Download - Kecap Ikan Rudyanto Kurniawan 12.70.0168 C3 Unika Soegijapranata

Transcript
Page 1: Kecap Ikan Rudyanto Kurniawan 12.70.0168 C3 Unika Soegijapranata

Acara I

KECAP IKAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

TEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:

Rudyanto Kurniawan 12.70.0168

Kelompok: C3

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2014

Page 2: Kecap Ikan Rudyanto Kurniawan 12.70.0168 C3 Unika Soegijapranata

1. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan kecap ikan dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Kecap Ikan

Kelompok Perlakuan Warna Rasa Aroma Salinitas (%) Penampakan

C1 Papain 0,4% ++++ +++ ++++ 3 ++

C2 Papain 0,8% +++ +++ +++ 2,5 ++

C3 Papain 1,2% +++ +++++ ++ 3,1 ++

C4 Papain 1,6% + +++ +++ 3 +

C5 Papain 2,0% +++ ++++ +++++ 2,9 ++

C6 Papain 2,5% ++ +++ ++ 3,5 ++

Keterangan:

Warna : + : tidak coklat gelap Rasa : + : sangat tidak asin ++ : kurang coklat gelap ++ : kurang asin +++ : agak coklat gelap +++ : agak asin ++++ : coklat gelap ++++ : asin +++++: sangat coklat gelap +++++ : sangat asin

Aroma : + : sangat tidak tajam Penampakan : + : sangat cair ++ : kurang tajam ++ : cair +++ : agak tajam +++ : agak kental ++++ : tajam ++++ : kental +++++: sangat tajam +++++ : sangat kental

Pada hasil pengamatan di atas, dapat dilihat, bahwa perlakuan tiap kelompok berbeda,

karena digunakan enzim papain dengan konsentrasi yang juga berbeda – beda dengan

konsentrasi yang semakin besar mulai dari kelompok C1 sampai dengan C6. Dari segi

warna, dapat dilihat bahwa pada kelompok C1 dengan enzim papain 0,4 % didapatkan

warna sangat coklat gelap dan warna yang paling terang adalah pada kelompok C4

dengan warna tidak coklat gelap. Dari segi rasa, didapatkan rasa asin yang sangat asin

pada kelompok C4, kemudian pada kelompok lain, pada kelompok C5 didapatkan rasa

yang asin, sedangkan sisanya adalah rasa agak asin. Dari segi aroma didapatkan aroma

yang paling tajam adalah pada kelompok C5, sedangkan yang paling rendah adalah

pada kelompok C3 dan C6, didapatkan aroma yang kurang tajam, sisanya pada

kelompok C1 didapatkan aroma yang tajam, pada kelompok C2 dan C4 didapatkan

1

Page 3: Kecap Ikan Rudyanto Kurniawan 12.70.0168 C3 Unika Soegijapranata

2

aroma yang agak tajam. Dari segi salinitas, didapatkan nilai yang paling tinggi adalah

pada kelompok C6 dengan nilai 3,5%; yang paling rendah adalah pada kelompok C2

dengan salinitas 2,5%. Dari segi penampakan pada kelompok C4 didapatkan

penampakan yang sangat cair, sisanya didapatkan hasil dengan penampakan yang cair.

Dalam data tersebut, tidak dapat dilhat adanya pola perubahan terhadap perbedaan

enzim papain yang digunakan.

Page 4: Kecap Ikan Rudyanto Kurniawan 12.70.0168 C3 Unika Soegijapranata

2. PEMBAHASAN

Dalam praktikum ini, dilakukan percobaan kecap ikan yang dilakukan dengan membuat

kecap ikan. Dalam praktikum ini dilakukan pembuatan kecap ikan dengan cara

enzimatis. Dalam praktikum ini dilakukan peninjauan terhadap beberapa aspek sensoris,

yaitu rasa, aroma dan warna. Menurut Moeljanto (1992) ikan tergolong sebagai bahan

pangan yang mudah rusak karena di dalam ikan terdapat kadar air sekitar 70-80%. Maka

dari itu, pengolahan terhadap daging ikan dilakukan untuk menanggulangi kerusakan

tersebut. Menurut Irawan (1995), pengolahan terhadap daging ikan akan memperbaiki

beberapa aspek kekurangan ikan dari segi bau, penampakan, tekstur dan rasa. Menurut

Harada et al (2007) kecap ikan diproses dan dibuat dari daging, kulit, dan tulang kecuali

organ dalam yang beracun.

Salah satu pengolahan yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan fermentasi dan

memprosesnya menjadi kecap ikan. Menurut Berna et al(2006), fermentasi merupakan

metode yang dapat digunakan untuk memperpanjang umur simpan dan memperbaiki

cita rasa dan kandungan nutrisi. Kecap ikan merupakan produk fermentasi dari limbah

ikan seperti tulang dan ekor dengan hasil berupa cairan berwarna coklat. Kecap ikan

dapat dibuat dengan melakukan fermentasi antara tulang ikan dengan garam dan dalam

prosesnya dipengaruhi oleh asam amino dan peptida. Ditambahkan dari pernyataan

Rodtong et al(2007) bahwa kecap ikan(nam-pla dalam bahasa Thailand) merupakan

produk fermentasi yang difermentasi pada kadar garam 28%-30%. Saat fermentasi

berlangsung, terbentuk senyawa tertentu seperti asam, karbonil dan beberapa senyawa

yang mengandung Nitrogen. Ditambahkan dari pernyataan Fakunle et al(2013), bahwa

garam juga digunakan untuk membunuh bakteri – bakteri yang tidak

diinginkan.Menurut Werasit & Anan (2007), kecap ikan merupakan cairan berwarna

coklat jernih, yang merupakan hasil hidrolisis dari ikan. Untuk melakukan fermentasi

pada ikan, harus digunakan enzim atau bakteri yang bersifat halofilik(suka garam), jika

digunakan substansi yang bersifat halotolerant, maka fermentasi tidak akan dapat

berlangsung. Namun fermentasi dengan menggunakan garam membutuhkan waktu yang

sangat lama, maka dapat dilakukan metode lain yaitu metode enzimatis. Menurut

Afrianto & Liviawaty(1989) fermentasi secara enzimatis dapat dilakukan dengan

3

Page 5: Kecap Ikan Rudyanto Kurniawan 12.70.0168 C3 Unika Soegijapranata

4

menggunakan enzim contohnya adalah enzim protease seperti bromelain dan papain.

Kedua enzim protease tersebut digunakan untuk menguraikan protein menjadi beberapa

komponen seperti peptide, peptone, dan asam amino yang saling berinteraksi

menciptakan rasa yang khas. Dengan fermentasi cara ini waktu yang dibutuhkan untuk

melakukan fermentasi jauh lebih singkat dan didapatkan nilai protein yang lebih tinggi

daripada cara penggaraman biasa.

Dalam praktikum ini digunakan ikan bawal sebagai bahan dasar untuk pembuatan kecap

ikan. Menurut Saanin (1984) ikan bawal (Colossoma macropomum), memiliki

klasifikasi dan tata nama sebagai berikut:

Filum : Chordata

Subfilum : Craniata

Kelas : Pisces

Subkelas : Neopterigii

Ordo : Cypriniformes

Subordo : Cyprimoidea

Famili : Characidea

Genus : Colossoma

Spesies : Colossoma macropomum

Ikan bawal merupakan ikan yang mampu berkembang dengan baik di dalam kolam

maupun di keramba. Sehingga ikan ini merupakan ikan yang cukup mudah didapatkan

dengan kualitas yang cukup baik karena dapat berkembang dengan sangat baik.

Menurut Astawan & Astawan (1991), produk kecap yang didapatkan dari kecap ikan

adalah kecap asin, berbeda dengan kecap manis yang dibuat dari fermentasi kedelai.

Secara fisik, kecap ikan akan nampak lebih cair daripada kecap manis yang diproses

dari kedelai. Kecap ikan memiliki kandungan protein dan asam lemak tak jenuh yang

berkisar antara 16-18%. Dalam pembuatannya, pertama tulang dan ekor ikan bawal

dihancurkan dan ditimbang sebanyak 50 gram. Menurut Lay (1994) penghancuran

bertujuan untuk mempermudah proses pencampuran agar hasil yang didapatkan pada

proses lanjutan didapatkan hasil yang tetap homogen. Kemudian tulang dan ekor yang

telah dihancurkan dimasukkan ke dalam wadah fermentasi. Kemudian enzim papain

ditambahkan dengan konsentrasi 0,4% ; 0,8%; 1,2%; 1,6%; 2% dan 2,5%. Enzim yang

Page 6: Kecap Ikan Rudyanto Kurniawan 12.70.0168 C3 Unika Soegijapranata

5

digunakan pada praktikum ini adalah enzim papain. Menurut Lisdiana & Soemardi

(1997) enzim papain digunakan untuk memecah molekul protein dalam suatu bahan

pangan. Enzim ini dapat didapatkan dari getah pepaya yang berasa dari batang, daun

dan buahnya. Ditambahkan dari pernyataan Winarno (1995), papain tergolong di dalam

kelompok enzim protease sulfhidril golongan protein. Karena kemampuannya dalam

memecah molekul protein, enzim tersebut dapat digolongkan ke dalam golongan

endopeptidase karena kemampuannya memecah protein dari dalam. Menurut Soeparno

(1994), enzim protease akan menghidrolisis ikanan peptida di dalam daging. Menurut

Kasmidjo (1997), hidrolisis dari ikatan peptida akibat enzim protease, akan memecah

ikatan peptida yang panjang. Sedangkan proses fermentasi akan membuat kecap lebih

mudah diserap dan dicerna oleh tubuh. Tujuan lain dari penambahan enzim papain

adalah untuk mempercepat reaksi fermentasi.

Kemudian dilakukan inkubasi pada suhu ruang selama 3 hari dengan ditambahkan

dengan air 250 ml. Menurut Astawan & Astawan (1988), penambahan enzim akan

membantu dalam mempersingkat waktu inkubasi, sehingga waku inkubasi akan menjadi

lebih cepat dibandingkan dengan metode penggaraman tanpa enzim. Namun metode ini

punya kelemahan yaitu dihasilkan aroma dan rasa yang kurang sedap jika dibandingkan

dengan metode tradisional. Hal tersebut terjadi karena cairan supernatan yang

dihasilkan dari proses fermentasi tersebut akan menghasilkan nitrogen larut yang terus

meningkat selama penyimpanan. Selain itu, penggunaan suhu ruang bertujuan agar

enzim dapat bekerja dengan baik. Selama inkubasi dilakukan, wadah inkubasi

dipastikan agar disimpan tetap dalam kondisi tertutup. Tujuan dari penutupan itu adalah

membuat kondisi menjadi anaerob dengan membatasi udara yang masuk. Menurut

Lisdiana & Soemardi (1997), kondisi anaerob akan mempercepat proses fermentasi dan

untuk mencegah masuknya substansi lain ke dalam wadah fermentasi tersebut.

Kemudian hasil fermentasi disaring. Menurut Fachruddin (1997), penyaringan

dilakukan untuk memisahkan filtrat kecap ikan dari tulang dan ekor ikan. Filtrat direbus

hingga mendidih selama 30 menit. Dilakukan penambahan bumbu yang telah

dihaluskan, yaitu 50 gram bawang putih, 50 gram garam, dan 50 gram gula jawa yang

dilakukan selama perebusan berlangsung. Perebusan dilakukan untuk membunuh

Page 7: Kecap Ikan Rudyanto Kurniawan 12.70.0168 C3 Unika Soegijapranata

6

mikroorganisme yang tidak diinginkan yang merupakan hasil dari fermentasi serta

filtrasi. Selama perebusan, dilakukan pengadukan. Menurut Moeljanto (1992),

pengadukan dilakukan untuk menjaga larutan tetap homogen dan agar bumbu – bumbu

yang ditambahkan terlarut dengan baik. Menurut Fachruddin (1997), bumbu yang

ditambahkan ke dalam bahan pangan dapat menambah cita rasa dan menambah umur

simpan bahan pangan. Bawang putih dapat digunakan sebagai penyedap dan sebagai zat

pengawet karena mengandung allicin. Ditambahkan dari pernyataan Santosa (1994),

bahwa bawang putih dapat berperan sebagai penyedap. Di dalam bawang putih

terkandung semacam minyak atsiri sehingga bawang putih memiliki bau yang khas dan

menyengat. Menurut Kasmidjo (1990), gula dapat memberikan warna coklat pada

kecap. Selain itu, gula aren atau gula kelapa juga dapat dimanfaatkan untuk menambah

cita rasa dari kecap. Warna coklat yang muncul pada kecap berasal dari reaksi browning

yang disebabkan oleh pemanasan yang berlanjut sehingga komponen gula dan zat lain

bereaksi satu sama lain dan terjadi karamelisasi. Kemudian dilakukan penyaringan

kedua setelah agak dingin. Penyaringan dilakukan untuk memisahkan kecap dari

bawang putih dan kotoran lain setelah perebusan. Lalu dilakukan pengamatan secara

sensoris dari segi warna, rasa, aroma serta kenampakannya, kemudian salinitasnya

diukur dengan hand refractometer. Menurut Pitiporn & Tongchai (2006) metode sensori

merupakan metode yang paling mudah untuk dilakukan. Metode sensori tidak

membutuhkan peralatan khusus sehingga merupakan metode yang murah dan mudah

untuk dilakukan. Menurut Meritt et al (1982), metode sensorik memiliki beberapa

kelebihan seperti kemudahan dalam penerapannya dan dapat diaplikasikan untuk segala

jenis produk dan tidak membutuhkan peralatan khusus. Namun kelemahan dari metode

ini adalah susah untuk menentukan standart karena hasil yang didapatkan merupakan

hasil yang subjektif dan penilaian tiap panelis berbeda – beda. Menurut Kilinc et al

(2005) digunakan hand refractometer untuk didapatkan derajat brix ikan yang

mengindikasikan perubahan flavor kecap ikan.

Dari segi warna, dapat dilihat bahwa pada kelompok C1 dengan enzim papain 0,4 %

didapatkan warna sangat coklat gelap dan warna yang paling terang adalah pada

kelompok C4 dengan warna tidak coklat gelap. Dari segi warna, menurut Astawan &

Astawan (1991), warna ikan dipengaruh oleh banyaknya enzim papain atau bubur buah

Page 8: Kecap Ikan Rudyanto Kurniawan 12.70.0168 C3 Unika Soegijapranata

7

yang digunakan. Semakin banyak enzim yang digunakan maka warnanya semakin

coklat. Hal tersebut tidak sesuai dengan yang ada pada data hasil pengamatan, di mana

C1 dengan kadar papain paling rendah dihasilkan warna yang paling gelap, seharusnya

warnanya lebih terang daripada yang lain. Dari segi rasa, didapatkan rasa asin yang

sangat asin pada kelompok C4, kemudian pada kelompok lain, pada kelompok C5

didapatkan rasa yang asin, sedangkan sisanya adalah rasa agak asin. Menurut Shahidi &

Botta (1994) pada penggunaan enzim yang lebih sedikit, rasa akan lebih asin karena

tidak semua protein teruraikan sehingga masih banyak komponen protein yang terikat

dalam ikan, sehingga rasanya lebih asin. Namun pada penggunaan enzim yang sedikit,

yang tertinggal adalah rasa amisnya. Menurut Astawan & Astawan (1991) semakin

tinggi konsentrasi enzim yang digunakan maka rasa asin akan semakin melemah. Hal

tersebut juga didukung dari pernyataan Amstrong (1995) bahwa apabila enzim yang

ditambahkan semakin banyak maka hidrolisis prtoein akan semakin tinggi sehingga

asam glutamat yang dihasilkan makin tinggi. Asam glutamat akan melemahkan rasa

asin pada ikan. Namun pada data praktikum ini tidak demikian, didapatkan hasil di

mana rasa asin tidak merata dan yang paling tinggi pada kelompok C3, di mana

konsentrasi enzim berada pada persentase lebih besar daripada kelompok C1 dan C2.

Dari segi aroma didapatkan aroma yang paling tajam adalah pada kelompok C5,

sedangkan yang paling rendah adalah pada kelompok C3 dan C6, didapatkan aroma

yang kurang tajam, sisanya pada kelompok C1 didapatkan aroma yang tajam, pada

kelompok C2 dan C4 didapatkan aroma yang agak tajam. Menurut Amstrong (1995)

aroma dan flavor ditentukan oleh kadar nitrogen dalam kecap. Apabila semakin tinggi

enzimnya, maka Nitrogen juga akan semakin banyak. Dengan semakin tingginya

nitrogen, maka aroma amis yang tajam akan semakin hilang. Hal tersebut juga tidak

sesuai dengan hasil pengamatan praktikum ini, di mana C5 dengan kadar papain yang

lebih tinggi malah memiliki aroma yang sangat tajam.Dari segi salinitas, didapatkan

nilai yang paling tinggi adalah pada kelompok C6 dengan nilai 3,5%; yang paling

rendah adalah pada kelompok C2 dengan salinitas 2,5%. Menurut Kilinc et al (2005),

apabila derajat brix yang dihasilkan semakin tinggi, maka flavor yang terbentuk

semakin banyak. Ditambahkan dari pernyataan Hariono et al(2006), dengan semakin

banyaknya hidrolisa protein yang dipecah oleh enzim, maka semakin banyak asam

amino bebas dan peptida kecil yang bebas dan meningkatkan flavor. Sehingga

Page 9: Kecap Ikan Rudyanto Kurniawan 12.70.0168 C3 Unika Soegijapranata

8

seharusnya nilai salinitas akan semakin meningkat dengan bertambahnya enzim yang

digunakan, namun hal tersebut masih kurang sesuai jika melihat data antara C1-C5

didapatkan hasil yang tidak beraturan. Dari segi penampakan pada kelompok C4

didapatkan penampakan yang sangat cair, sisanya didapatkan hasil dengan penampakan

yang cair. Dalam data tersebut, tidak dapat dilhat adanya pola perubahan terhadap

perbedaan enzim papain yang digunakan. Menurut Astawan & Astawan (1991), pada

kadar papain yang lebih tinggi, akan didapatkan kecap yang semakin cair, karena

semakin banyaknya protein yang dipecahkan oleh enzim, namun dalam praktikum tidak

demikian, didapatkan hasil yang hampir merata satu sama lain dan kelompok C4 yang

paling encer, dengan hasil sangat cair. Ketidak sesuaian dari segi sensoris di atas dapat

terjadi karena beberapa penyebab. Menurut Meritt et al(1982), metode sensori memiliki

kelemahan yaitu susah untuk menentukan standart, dan bersifat sujektif. Maka dapat

disimpulkan bahwa hasil sensori yang diberikan oleh panelis atau praktikan tidak

akurat, sehingga hasilnya tidak sesuai dengan teori yang ada. Sedangkan pada segi

salinitas ada penyebab lain. Menurut Pedrotti & Pedrotti (1993), metode refraktometer

dalam menentukan indeks bias mempunyai beberapa kelemahan adalah rumitnya alat

yang digunakan, waktu yang lama dan sampel yang dibutuhkan banyak. Namun karena

hand refractometer merupakan alat yang sederhana, maka rumitnya alat dan lamanya

waktu yang dibutuhkan bukanlah masalah dalam pecobaan ini, namun bisa jadi karena

kurangnya data yang diperlukan dalam percobaan ini.

Page 10: Kecap Ikan Rudyanto Kurniawan 12.70.0168 C3 Unika Soegijapranata

3. KESIMPULAN

Kecap ikan dibuat dari tulang dan ekor ikan yang telah dihancurkan dan difermentasi

dengan garam atau enzim

Kecap ikan dengan metode enzim dapat dibuat dengan lebih cepat daripada

penggaraman.

Kecap ikan memiliki rasa yang asin, berbentuk cair, dan berwarna coklat.

Enzim yang digunakan harus bersifat halofilik

Tulang dan ekor ikan dihancurkan untuk menambah luas kontak bahan dan

mempercepat fermentasi

Penggunaan enzim papain bertujuan untuk memecah protein dan mempercepat

berlangsungnya proses fermentasi

Penyaringan dilakukan untuk memisahkan kecap dari padatan atau kotoran yang

tidak diinginkan

Dengan semakin tingginya enzim, seharusnya rasanya menjadi tidak semakin asin

Dengan semakin tingginya enzim, seharusnya aromanya menjadi tidak semakin

tajam

Dengan semakin tingginya enzim, seharusnya warnanya menjadi semakin coklat

Dengan semakin tingginya enzim, seharusnya tampak semakin cair

Dengan semakin tingginya enzim seharusnya salinitasnya semakin meningkat

Ketidaksesuaian hasil praktikum pada segi sensoris dapat terjadi karena keleamahan

dari metode sensori

Ketidakseusaian hasil praktikum pada salinitas dapat terjadi karena sampel kurang

banyak.

Semarang, 16 September 2014 Asisten dosenYuni Rusiana

Rudyanto Kurniawan12.70.0168

9

Page 11: Kecap Ikan Rudyanto Kurniawan 12.70.0168 C3 Unika Soegijapranata

4. DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E. & Liviawaty. (1989). Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.

Amstrong, S.B. (1995). Buku Ajar Biokimia Edisi Ketiga. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Astawan, M.W. & M.Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV Akademika Pressindo. Jakarta.

Astawan,M.W. & M. Astawan. (1988)s. Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV. Akademika Pressindo. Jakarta.

Berna Kilinc ,Sukran Cakli , Sebnem Tolasa, & Tolga Dincer (2006) Chemical, Microbiological and Sensory Changes Associated with Fish Sauce Processing

Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Dendeng. Kanisius. Yogyakarta.

Fakunle Olubunmi, Sadiku Suleman, Ibanga Uche, and Babinisi Olumide. (2013). Preliminary Production Of Sauce From Clupeids

Harada, K.; Y. Makino; T. Yamauchi; N. Fukuda; M. Tamaru; Y. Okubo; T. Maeda; Y. Fukuda and T. Shiba. (2007).Antioxidative Activity of Puffer Fish Sauce. http://www.fish-u.ac.jp/kenkyu/sangakukou/kenkyuhoukoku/56/01_11.pdf.

Hariono I, Yeap S E, Kok T N and Ang G T. (2006). Use Of Koji And Protease In Fish Sauce Fermentation. Singapore J Pri Ind 32: 19-29 2005/06.

Irawan, A. (1995). Pengolahan Hasil Perikanan Home Industri dan Usaha Perikanan dan Mengomersilkan Hasil Sampingnya. Penerbit Aneka. Solo.

Kasmidjo, R.B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.

Kilinc, Berna, Sukran Cakli, Sebnem Tolasa, dan Tolga Dincer. (2005). Chemical, microbiological and sensory changes associated with fish sauce processing.

K. Yongsawaidigul, S.Rodtong, N. Raksakulthai (2007) Acceleration of Thai Fish Sauce Fermentation Using Proteinases and Bacterial Starter Cultures.

10

Page 12: Kecap Ikan Rudyanto Kurniawan 12.70.0168 C3 Unika Soegijapranata

11

Lay, B. W. (1994). Analisa Mikroba dalam Laboratorium. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Lisdiana & W. Soemardi. (1997). Budidaya Nanas: Pengantar dan Pemasaran. CV.Aneka. Solo.

Meriit, J. H, M. L. Windsor, A. Aitken, I. M. Mackie. (1982). Fish Handling and Processing Second Edition. Her Majesty’s Stationery Office. Edinburgh.

Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.Pedrotti, F.L. dan L.S. Pedrotti. 1993. Introduction to Optics, Second Edition. New Jersey: Prentice-Hall

Pitiporn Ritthiruangdej & Thongchai Suwonsichon. (2006). Sensory Properties of Thai Fish Sauces and Their Categorization

Santosa, H.B. (1994). Kecap dan Taoco Kedelai. Kanisius. Yogyakarta.

Saanin H. (1984). Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan, Bandung: Binacipta

Shahidi, F. & J.R. Botta. (1994). Seafoods: Chemistry, Processing, Technology & Quality. Chapman & Hall. USA.

Soeparno. (1994). Ilmu Dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Winarno, F.G. (1995). Enzim Pangan. Gramedia. Jakarta.

Werasit Kanlayakrit & Anan Boonpan. (2007). Screening of Halophilic Lipase-Producing Bacteria and Characterization of Enzyme for Fish Sauce Quality Improvement

Page 13: Kecap Ikan Rudyanto Kurniawan 12.70.0168 C3 Unika Soegijapranata

5. LAMPIRAN

5.1. Perhitungan

Rumus salinitas:

% salinitas =

Kelompok C1

Kelompok C2

Kelompok C3

Kelompok C4

Kelompok C5

12

Page 14: Kecap Ikan Rudyanto Kurniawan 12.70.0168 C3 Unika Soegijapranata

13

Kelompok C6

5.2. Foto

Dari kiri ke kanan

Atas: C1, C2, C3

Bawah: C4, C5, C6

5.3. Jurnal

5.4. Laporan sementara