Kebumen
dan
Jejak – Jejak Merah Putih
Genetik Historis Sebuah Kabupaten
Ravie Ananda
Jalan Garuda 13 Kebumen 54311
Jawa Tengah - Indonesia
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih
Jejak Merah PutihGenetik Historis Sebuah Kabupaten di Pesisir Urut Sewu
Jalan Garuda 13 Kebumen 54311
Jejak Merah Putih | 1
Jejak Merah Putih
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 2
Sebuah Pengantar
Merdeka!
“KEBUMEN DAN JEJAK – JEJAK MERAH PUTIH” adalah buku sejarah yang mengupas
peristiwa-peristiwa penting perjuangan bangsa Indonesia yang terjadi di Kabupaten
Kebumen baik pada masa kerajaan maupun pada masa menuju dan mempertahankan
kemerdekaan Indonesia.
Kebumen adalah nama baru kabupaten Panjer yang telah dikenal luas jauh sebelum
masa kemerdekaan. Kabupaten ini terletak di kawasan Kedu bagian Selatan, dimana dalam
kawasan tersebut hanya terdapat dua kabupaten yakni Purworejo dan Kebumen.
Banyak buku sejarah yang mengupas perjalanan bangsa menuju dan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia, akan tetapi dari semua literatur tersebut
ternyata tidak didapati catatan sejarah yang mengupas peran Kabupaten Kebumen yang
sebetulnya memiliki fungsi yang sangat penting pada masa itu. Berangkat dari kenyataan
tersebut, maka penulis sebagai putra daerah asli Kabupaten Kebumen merasa terpanggil
untuk menginformasikan kepada generasi penerus khususnya di Kebumen akan peran
pentingnya kabupaten kita ini dalam perjuangan bangsa menuju dan mempertahankan
kemerdekaan Republik Indonesia.
Atas Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, melalui restu para leluhur bangsa Indonesia,
akhirnya setelah melalui pengumpulan data dari berbagai sumber berupa: wawancara
dengan pelaku sejarah di kabupaten Kebumen, buku sejarah “Gelegar di Bagelen” yang
disusun oleh Ikatan Keluarga Resimen XX Kedu Selatan, kitab-kitab babad, dan beberapa
catatan sejarah lainnya, maka buku yang penulis beri judul “ Kebumen dan Jejak-jejak Merah
Putih” ini berhasil diselesaikan.
Meski masih banyak sejarah yang belum terpublikasikan di dalam buku ini, harapan
penulis semoga generasi muda kabupaten Kebumen sebagai generasi penerus bangsa
semakin mengenal peristiwa sejarah di kabupatennya sendiri dalam rangka memupuk
kecintaan terhadap tanah air. Terlebih setelah mengetahui bahwa sejarah perjuangan di
kabupaten Kebumen tidak kalah pentingnya dengan perjuangan di daerah lain dalam rangka
mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Merdeka!
Kebumen, Selasa Kliwon 21 Februari 2012
Ravie Ananda
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 3
Kebumen pada Masa Kerajaan
Panjer adalah nama sebuah kabupaten pada masa kerajaan, yang kemudian berganti
nama menjadi kabupaten Kebumen pada tahun 1935. Kabupaten ini terletak di kawasan
Kedu bagian Selatan, dimana dalam kawasan tersebut hanya terdapat dua kabupaten yakni
Purworejo dan Kebumen. Nama Panjer sendiri telah lama dikenal, jauh sebelum nama
Kebumen itu ada, tepatnya sejak masa Pra Islam. Satu hal yang sangat disayangkan adalah
“Nyaris hilangnya riwayat kabupaten Panjer dalam pengetahuan masyarakat kabupaten
Kebumen”.
Kurangnya perhatian dan pemeliharaan terhadap situs bangunan peninggalan
bersejarah dan budaya masa lampau yang terdapat di ibukota kabupaten Panjer tentunya
sangat memprihatinkan, mengingat Panjer adalah cikal bakal berdirinya kabupaten
Kebumen yang telah dikenal sejak 1000 tahun yang lalu sebagai salah satu wilayah yang
diperhitungkan dalam ranah nasional. Beberapa raja dan tokoh besar Nusantara pun
menggunakan tempat ini sebagai pengungsian, penyepian, basis pertahanan militer, dan
pamoksannya. Sebagai daerah yang kini hanya berbentuk kelurahan, Panjer tetap khas
dengan rasa dan suasana masa lampaunya.
Panjer dari Masa ke Masa
A. Panjer zaman Kerajaan Kediri
Wilayah Panjer sebagai sebuah kadipaten/Kerajaan telah dikenal dalam ranah
nasional pada masa kerajaaan Kediri. Dalam Kitab “Babad Kedhiri“, disebutkan:
“Babagan kadipaten Panjer dicritakake nalika Adipati Panjer sepisanan mrentah ing Panjer,
duwe kekareman adu pitik. Sawijining dina nalika rame-ramene kalangan adu pitik ing
pendhapa kadipaten, ana salah sijine pasarta sing jenenge Gendam Asmarandana, asale
saka Desa Jalas. Gendam Asmarandana sing pancen bagus rupane kuwi wusana ndadekake
para wanita kayungyun, kalebu Nyai Adipati Panjer. Nyai Adipati sing weruh baguse
Gendam Asmarandana uga melu-melu kayungyun. Kuwi ndadekake nesune Adipati Panjer.
Nalika Adipati Panjer sing nesu kuwi arep merjaya Gendam Asmarandana kanthi kerise,
Gendam Asmarandana kasil endha lan suwalike kasil nyabetake pedhange ngenani
bangkekane Adipati Panjer. Adipati Panjer sing kelaran banjur mlayu tumuju Sendhang
Kalasan sing duwe kasiyat bisa nambani kabeh lelara. Nanging durung nganti tekan
sendhang kasil disusul dening Gendam Asmarandana lan wusana mati. Gendam
Asmarandana sing weruh Adipati Panjer mati banjur mlayu tumuju omahe nanging dioyak
dening wong akeh. Gendam Asmarandana sing keweden banjur njegur ing Sendhang
Kalasan. Wong-wong sing padha melu njegur ing sendhang, kepara ana sing nyilem barang,
tetep ora kasil nyekel Gendam Asmarandana. Wong-wong ngira yen Gendam Asmarandana
wus malih dadi danyang sing manggon ing sendhang kuwi. Sabanjure kanggo ngeling-eling
kedadeyan kuwi digawe pepethan saka watu sing ditengeri kanthi aran Smaradana, mapan
ing Desa Panjer ”.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 4
Sendang Kalasan diubah menjadi sumur oleh
VOC pada tahun 1851 (lokasi di dalam
kompleks pabrik Mexolie/Sari Nabati sebelah
timur)
B. Panjer sebagai Tempat Mokhsanya
Maha Patih Gajah Mada
Maha Patih Gajah Mada adalah
salah satu tokoh termasyhur pada zaman
kerajaan Majapahit yang telah berhasil
menyatukan Nusantara dengan Sumpah
Palapanya. Dari berbagai literatur yang
ada belum pernah didapati mengenai
riwayat lengkap mengenai kelahirannya,
keluarga, dan kematiannya. Sosok Gajah
Mada hingga kini menjadi suatu misteri bagi sejarah Nusantara. Akhir-akhir ini banyak
bermunculan klaim terhadap lokasi kelahiran dari Maha Patih Gajah Mada, akan tetapi
mengenai Pamokshannya (tempat bertapanya Beliau hingga hilang dengan raganya seperti
tradisi tokoh-tokoh besar Jawa jaman dahulu) tidak pernah diketahui. Situs Pamokshan
Gajah Mada yang sejak dahulu telah diketahui masyarakat pada zaman Mataram Islam
adalah di Kabupaten Panjer. Situs tersebut kemudian dihilangkan bersama kompleks makam
kuno yang ada di sana oleh Belanda dengan mengubahnya menjadi pabrik minyak
Mexolie/Sari Nabati. Hal ini senasib dengan situs kerajaan Kediri yang kemudian diubah
Belanda menjadi pabrik gula Mamenang Kediri. Pernah muncul klaim mengenai pamokshan
Gajah Mada di suatu gua di balik sebuah air terjun di Jawa Timur. Klaim tersebut berdasar
pada pemahaman sekelompok orang terhadap Gajah Mada yang disamakan dengan Patih
Udara alias Patih Tunggul Maniq (Patih Majapahit sebelum Gajah Mada). Tentunya dasar
landasan tersebut sangat tidak tepat jika mengacu pada literatur Dr. J. Brandes yang diturun
dari kitab-kitab babad Jawa yang berhasil ditemukan oleh pemerintah Belanda pada waktu
itu. Literatur Dr. J. Brandes menyebutkan sebagai berikut :
“Kyai Patih Udara als kluizenaar Tunggulmaniq op den berg Mahameru; zijne 2
plichtkinderer: Ki Tanpa Una en Ni (of Dewi) Tanpa Uni de door Siung Wanara in de
Karawang rivier geworpen vorst en vorstin van Pajajaran. Rijksbestuurdeerna Patih Udara
vertrek: Patih Logender, diens broer, gehuwd met eene dochter van den Adipati van
Gending……
Brawijaya – Patih Wirun
Bra Kumara – Patih Wahas (zoon van Wirun) en daarna Ujungsabata.
Ardiwijaya – Patih Jayasena (zoon van Wahas, dipati van Kadiri)
Adaningkung of Kala Amisani – Patih Udara
Kencana Wungu – Patih Logender
Mertawijaya – Patih Gajah Mada
Angkawijaya – Patih Gajah Mada
……….
Dari uraian di atas sangat jelas bahwa Gajah Mada bukanlah Tunggul Maniq,
sehingga Pamoksan Tunggul Maniq yang diklaim di Jawa Timur tersebut bukanlah
Pamokshan Gajah Mada. Semakin kuat kiranya situs Pamoksan Gajah Mada yang berada di
desa Panjer sebagai situs asli mengingat desa tersebut sejak jaman dahul
tempat tokoh-tokoh besar Jawa mengungsi, bers
kekuatan militer serta pemerintahan darurat ketika kraton asli direbut oleh pemberontak.
Pamokshan Gajah Mada dari Dalam
C. Panjer Zaman Demak, Pajang dan Mataram
Mataram Islam adalah Kerajaan Mataram periode ke dua yang pada mulanya
merupakan sebuah hutan lebat yang dikenal sebagai Alas Mentaok, wujud hadiah dari
Hadiwijaya (Sultan Demak terakhir) kepada Ki Ageng Pemanahan atas jasanya dalam
membunuh Arya Penangsang yang merupakan saingan besar Hadiwijaya dalam perebutan
tahta Kerajaan Demak. Ki Ageng Pemanahan kemudian membabad hutan lebat tersebut dan
menjadikannya sebuah desa yang diberinya nama Mataram. Alas Mentaok itu sendiri
sebenarnya adalah bekas kerajaan Mataram Kuno yang runtuh sekitar tahun 929 M yang
kemudian tidak terurus dan akhirnya dipenuhi oleh pepohonan lebat hingga menjadi sebuah
hutan. Alas Mentaok mulai dibabad oleh Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani sekitar
tahun 1556 M. Ki Ageng Pemanahan memimpin desa Mataram hingga Ia wafat pada tahun
1584 M dan dimakamkan di Kotagedhe. Sepeninggal Ki Ageng Pemanahan, sebagai
pengganti dipilihlah putranya yang bernama Sutawijaya/
Mataram Islam pertama, dimakamkan di Kotag
Panembahan Senopati memerintah tahun 1587
putranya yang bernama Raden Mas Jolang
dimakamkan di Kotagedhe). Sultan Agung Hanyakrawati digantikan putranya yang bernama
Raden Mas Rangsang yang kemudian dikenal sebagai Sultan Agung Hanyakrakusuma
(memerintah tahun 1613 –
Putranya yang bernama Sultan Amangkurat Agung (Amangkurat I memerintah pada tahun
1646 – 1677 M). Di dalam
Indonesia) disebutkan secara Implisit mengenai keberadaan Panjer.
“Demikianlah maka pada suatu hari yang penuh berkat
berangkatlah rombongan Ki Gedhe ke Alas Mataram
di situ ada di antaranya: Nyi Ageng
Ki Juru Mertani, Sutawijaya, Putri Kalinyamat, dan pengikut dari Sesela
Ketika itu adalah hari Kamis Pon, tanggal Tiga Rabiulakir
yaitu pada tahun Jemawal yang penuh mengandung makna
Setibanya di Pengging rombongan berhenti sela
Sementara Ki Gedhe bertirakat di makam Ki Ageng Pengging
Lalu meneruskan perjalanan hingga ke tepi sungai Opak
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih
desa Panjer sebagai situs asli mengingat desa tersebut sejak jaman dahul
tokoh besar Jawa mengungsi, bersemadhi, bersembunyi dan sebagai basis
kekuatan militer serta pemerintahan darurat ketika kraton asli direbut oleh pemberontak.
alam Pamokshan Gajah Mada
emak, Pajang dan Mataram Islam
Mataram Islam adalah Kerajaan Mataram periode ke dua yang pada mulanya
merupakan sebuah hutan lebat yang dikenal sebagai Alas Mentaok, wujud hadiah dari
Hadiwijaya (Sultan Demak terakhir) kepada Ki Ageng Pemanahan atas jasanya dalam
Penangsang yang merupakan saingan besar Hadiwijaya dalam perebutan
tahta Kerajaan Demak. Ki Ageng Pemanahan kemudian membabad hutan lebat tersebut dan
menjadikannya sebuah desa yang diberinya nama Mataram. Alas Mentaok itu sendiri
erajaan Mataram Kuno yang runtuh sekitar tahun 929 M yang
kemudian tidak terurus dan akhirnya dipenuhi oleh pepohonan lebat hingga menjadi sebuah
hutan. Alas Mentaok mulai dibabad oleh Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani sekitar
emanahan memimpin desa Mataram hingga Ia wafat pada tahun
1584 M dan dimakamkan di Kotagedhe. Sepeninggal Ki Ageng Pemanahan, sebagai
ranya yang bernama Sutawijaya/Panembahan Senopati
Mataram Islam pertama, dimakamkan di Kotagedhe).
Panembahan Senopati memerintah tahun 1587 – 1601 M. Ia digantikan oleh
putranya yang bernama Raden Mas Jolang/Sultan Agung Hanyakrawati (wafat tahun 1613 M
dimakamkan di Kotagedhe). Sultan Agung Hanyakrawati digantikan putranya yang bernama
as Rangsang yang kemudian dikenal sebagai Sultan Agung Hanyakrakusuma
– 1646 M). Sultan Agung Hanyakrakusuma digantikan oleh
Putranya yang bernama Sultan Amangkurat Agung (Amangkurat I memerintah pada tahun
1677 M). Di dalam “Kidung Kejayaan Mataram Bait 04“ (terjemahan Bahasa
Indonesia) disebutkan secara Implisit mengenai keberadaan Panjer.
Demikianlah maka pada suatu hari yang penuh berkat
berangkatlah rombongan Ki Gedhe ke Alas Mataram
di situ ada di antaranya: Nyi Ageng Ngenis, Nyi Gedhe Pemanahan
Ki Juru Mertani, Sutawijaya, Putri Kalinyamat, dan pengikut dari Sesela
Ketika itu adalah hari Kamis Pon, tanggal Tiga Rabiulakir
yaitu pada tahun Jemawal yang penuh mengandung makna
Setibanya di Pengging rombongan berhenti selama dua minggu
Sementara Ki Gedhe bertirakat di makam Ki Ageng Pengging
Lalu meneruskan perjalanan hingga ke tepi sungai Opak
Jejak Merah Putih | 5
desa Panjer sebagai situs asli mengingat desa tersebut sejak jaman dahulu selalu menjadi
emadhi, bersembunyi dan sebagai basis
kekuatan militer serta pemerintahan darurat ketika kraton asli direbut oleh pemberontak.
an Gajah Mada dari Luar
Mataram Islam adalah Kerajaan Mataram periode ke dua yang pada mulanya
merupakan sebuah hutan lebat yang dikenal sebagai Alas Mentaok, wujud hadiah dari
Hadiwijaya (Sultan Demak terakhir) kepada Ki Ageng Pemanahan atas jasanya dalam
Penangsang yang merupakan saingan besar Hadiwijaya dalam perebutan
tahta Kerajaan Demak. Ki Ageng Pemanahan kemudian membabad hutan lebat tersebut dan
menjadikannya sebuah desa yang diberinya nama Mataram. Alas Mentaok itu sendiri
erajaan Mataram Kuno yang runtuh sekitar tahun 929 M yang
kemudian tidak terurus dan akhirnya dipenuhi oleh pepohonan lebat hingga menjadi sebuah
hutan. Alas Mentaok mulai dibabad oleh Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani sekitar
emanahan memimpin desa Mataram hingga Ia wafat pada tahun
1584 M dan dimakamkan di Kotagedhe. Sepeninggal Ki Ageng Pemanahan, sebagai
Panembahan Senopati (Raja
1601 M. Ia digantikan oleh
Sultan Agung Hanyakrawati (wafat tahun 1613 M
dimakamkan di Kotagedhe). Sultan Agung Hanyakrawati digantikan putranya yang bernama
as Rangsang yang kemudian dikenal sebagai Sultan Agung Hanyakrakusuma
1646 M). Sultan Agung Hanyakrakusuma digantikan oleh
Putranya yang bernama Sultan Amangkurat Agung (Amangkurat I memerintah pada tahun
(terjemahan Bahasa
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 6
Dimana rombongan dijamu oleh Ki Gedhe Karang Lo
Setelah itu berjalan lagi demi memenuhi panggilan takdir
hingga tiba di suatu tempat, di sana mendirikan Kota Gedhe”
Ki Gedhe Karang Lo yang dimaksud dalam bait di atas adalah pemimpin daerah
Karang Lo (kini masuk dalam wilayah Kecamatan Karanggayam). Ini artinya sebelum
berdirinya Kerajaan Mataram Islam pun, Karang Lo yang dahulunya merupakan bagian
wilayah dari Kadipaten/Kabupaten Panjer telah dikenal dan diperhitungkan dalam ranah
pemerintahan kerajaan pada waktu itu (Demak dan Pajang).
- Teritorial Panjer pada Jaman Mataram
Kerajaan Mataram Islam mengenal sistem pembagian wilayah berdasarkan jauh-
dekat dan tinggi-rendahnya suatu tempat, sehingga pada saat itu dikenallah beberapa
pembagian wilayah kerajaan yakni:
1. Negara Agung
2. Kuta Negara
3. Manca Negara
4. Daerah Brang/Sabrang Wetan
5. Daerah Brang/Sabrang Kulon.
Masa Pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma adalah masa keemasan
Mataram. Ia memerintah dengan bijaksana, adil dan penuh wibawa, sehingga rakyat pada
masa itu merasakan ketentraman dan kemakmuran. Menurut catatan perjalanan Rijklof
Van Goens (Ia mengunjungi Mataram lima kali pada masa pemerintahan Sultan Agung
Hanyakrakusuma) disebutkan bahwa:
“Mataram di bawah Sultan Agung bagaikan sebuah Imperium Jawa yang besar dengan
rajanya yang berwibawa. Istana kerajaan yang besar dijaga prajurit yang kuat, kereta sudah
ramai, rumah penduduk jumlahnya banyak dan teratur rapi, pasarnya hidup, penduduknya
hidup makmur dan tenteram. Kraton juga punya penjara, tempat orang-orang jahat
pelanggar hukum dan tawanan untuk orang Belanda yang kalah perang di Jepara. Pada
masa Sultan Agung inilah dikenal secara resmi adanya sebuah daerah lumbung pangan
(padi) di Panjer dengan bupatinya bernama Ki Suwarno“.
Panjer termasuk dalam katagori daerah Mancanegara Bang/Brang/Sabrang Kulon.
Jauh sebelum nama Kebumen itu ada, tepatnya di daerah Karang Lo/wilayah Panjer Gunung
(kini masuk dalam wilayah kecamatan Karanggayam), sudah terdapat penguasa
kademangan di bawah Mataram (masa pemerintahan Panembahan Senopati sekitar tahun
1587 M). Di daerah tersebut, cucu Panembahan Senopati yang bernama Ki Maduseno (putra
dari Kanjeng Ratu Pembayun (salah satu putri Panembahan Senopati) dengan Ki Ageng
Mangir VI) dibesarkan. Ki Maduseno menikah dengan Dewi Majati dan kemudian berputra
Ki Bagus Badranala (Badranala; makam di desa Karangkembang; dahulu masuk dalam
wilayah Panjer Gunung). Ki Badranala adalah murid Sunan Geseng dari Gunung Geyong
(Sadang Kebumen). Ia mempunyai peran yang besar dalam membantu perjuangan Mataram
melawan Batavia pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma. Ki Badranala
yang mempunyai jiwa nasionalis tinggi, membantu Sultan Agung dengan menyediakan
lokasi untuk lumbung dan persediaan pangan dengan cara membelinya dari rakyat desa.
Pada tahun 1627 M prajurit Mataram di bawah pimpinan Ki Suwarno mencari daerah
lumbung padi untuk kepentingan logistik. Pasukan Mataram berdatangan ke lumbung padi
milik Ki Badranala dan selanjutnya daerah tersebut secara resmi dijadikan Kabupaten Panjer
di bawah kekuasaan Mataram. Sebagai Bupati Panjer, dia
tugasnya mengurusi semua kepentingan logistik bagi prajurit Mataram. Karier militer Ki
Badranala sendiri dimulai dengan menjadi prajurit pengawal pangan dan selanjutnya Ia
diangkat menjadi Senopati dalam penyerangan ke Batavia
porandakan Belanda di benteng Solitude
Jakarta.
- Dibakarnya Lumbung Padi Panjer
Sejarah nasional menyebutkan bahwa kekalahan Sultan Agung Hanyakrakusuma
disebabkan oleh dibakarnya
lumbung terbesar pada saat itu adalah lumbung yang berada di Panjer (lokasi tersebut
berada di dalam kompleks daerah yang kini menjadi Pabrik
Nabati yang mempunyai luas sekitar 4
yang ke tiga dan sekaligus menjadi peperangan terakhir Sultan Agung Hanyakrakusuma.
Beliau wafat pada awal tahun 1645 M dan dimakamkan di Imogiri. Selanjutnya, pada masa
Sultan Amangkurat I, Panjer beruba
masih dijadikan pusat lumbung padi
Hanyakrakusuma.
Petanahan. Putra tertua Ki Badranala yang bernama Ki Kertasuta bertugas sebagai Demang
di wilayah Panjer Gunung, sedangkan adiknya yang bernama Ki Hastrasuta membantu
ayahnya (Ki Badranala) di Panjer Roma. Ki Kertasuta kemudian diangkat menjadi Patih
Bupati Panjer, Ki Suwarno. Ia dinikahkan dengan adik ipar Ki Suwarno dan berputra Ki
Kertadipa. Ki Badranala menyerahkan jabatan Ki Gedhe Panjer Roma kepada anaknya (Ki
Hastrasuta) yang kemudian bergelar Ki Gedhe Panjer Roma II. Beliaulah yang kemudian
berjasa memberikan tanah ke
mengungsi ke Panjer sebab tidak sepaham dengan Sultan Amangkurat I). Tanah tersebut
terletak di sebelah Timur Sungai Luk Ula dengan panjang kurang lebih 3 Pal ke arah Selatan
dan lebar setengah (½) Pal ke arah Timur. Pangeran Bumidirja kemudian membuka tanah
(trukah) yang masih berupa hutan tersebut dan menjadikannya desa. Desa inilah yang
kemudian bernama Trukahan
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih
lumbung padi untuk kepentingan logistik. Pasukan Mataram berdatangan ke lumbung padi
milik Ki Badranala dan selanjutnya daerah tersebut secara resmi dijadikan Kabupaten Panjer
di bawah kekuasaan Mataram. Sebagai Bupati Panjer, diangkatlah Ki Suwarno, dimana
tugasnya mengurusi semua kepentingan logistik bagi prajurit Mataram. Karier militer Ki
Badranala sendiri dimulai dengan menjadi prajurit pengawal pangan dan selanjutnya Ia
diangkat menjadi Senopati dalam penyerangan ke Batavia dan behasil memporak
Belanda di benteng Solitude yang kini telah berubah menjadi
Dibakarnya Lumbung Padi Panjer
Sejarah nasional menyebutkan bahwa kekalahan Sultan Agung Hanyakrakusuma
disebabkan oleh dibakarnya lumbung-lumbung padi Mataram oleh Belanda, dimana
lumbung terbesar pada saat itu adalah lumbung yang berada di Panjer (lokasi tersebut
berada di dalam kompleks daerah yang kini menjadi Pabrik Mexolie/Minyak Kelapa Sari
Nabati yang mempunyai luas sekitar 4 Ha). Peristiwa ini terjadi pada penyerangan Mataram
yang ke tiga dan sekaligus menjadi peperangan terakhir Sultan Agung Hanyakrakusuma.
Beliau wafat pada awal tahun 1645 M dan dimakamkan di Imogiri. Selanjutnya, pada masa
Sultan Amangkurat I, Panjer berubah menjadi sebuah kabupaten yang tidak sesibuk ketika
masih dijadikan pusat lumbung padi dan basis militer Mataram pada masa Sultan Agung
Situs bersejarah seluas 4Ha
yang tak terawat (disinilah
lokasi lumbung padi Mataram
dan Kabupaten
- Pembagian Wilayah Panjer
Panjer masa lalu
dibagi dalam dua wilayah
yaitu Panjer Roma (Panjer
Lembah) dan Panjer Gunung.
Ki Badranala diangkat
menjadi Ki Gedhe Panjer
Roma I atas jasanya
menangkal serangan Belanda
yang mendarat di pantai
anahan. Putra tertua Ki Badranala yang bernama Ki Kertasuta bertugas sebagai Demang
di wilayah Panjer Gunung, sedangkan adiknya yang bernama Ki Hastrasuta membantu
ayahnya (Ki Badranala) di Panjer Roma. Ki Kertasuta kemudian diangkat menjadi Patih
anjer, Ki Suwarno. Ia dinikahkan dengan adik ipar Ki Suwarno dan berputra Ki
Kertadipa. Ki Badranala menyerahkan jabatan Ki Gedhe Panjer Roma kepada anaknya (Ki
Hastrasuta) yang kemudian bergelar Ki Gedhe Panjer Roma II. Beliaulah yang kemudian
berikan tanah kepada Pangeran Bumidirja/Ki Bumi (paman Amangkurat I yang
mengungsi ke Panjer sebab tidak sepaham dengan Sultan Amangkurat I). Tanah tersebut
terletak di sebelah Timur Sungai Luk Ula dengan panjang kurang lebih 3 Pal ke arah Selatan
r setengah (½) Pal ke arah Timur. Pangeran Bumidirja kemudian membuka tanah
(trukah) yang masih berupa hutan tersebut dan menjadikannya desa. Desa inilah yang
Trukahan (berasal dari kata dasar Trukah yang berarti memulai). Seiring
Jejak Merah Putih | 7
lumbung padi untuk kepentingan logistik. Pasukan Mataram berdatangan ke lumbung padi
milik Ki Badranala dan selanjutnya daerah tersebut secara resmi dijadikan Kabupaten Panjer
ngkatlah Ki Suwarno, dimana
tugasnya mengurusi semua kepentingan logistik bagi prajurit Mataram. Karier militer Ki
Badranala sendiri dimulai dengan menjadi prajurit pengawal pangan dan selanjutnya Ia
an behasil memporak-
ang kini telah berubah menjadi Masjid Istiqlal
Sejarah nasional menyebutkan bahwa kekalahan Sultan Agung Hanyakrakusuma
lumbung padi Mataram oleh Belanda, dimana
lumbung terbesar pada saat itu adalah lumbung yang berada di Panjer (lokasi tersebut
Minyak Kelapa Sari Sari
Ha). Peristiwa ini terjadi pada penyerangan Mataram
yang ke tiga dan sekaligus menjadi peperangan terakhir Sultan Agung Hanyakrakusuma.
Beliau wafat pada awal tahun 1645 M dan dimakamkan di Imogiri. Selanjutnya, pada masa
yang tidak sesibuk ketika
Mataram pada masa Sultan Agung
Situs bersejarah seluas 4Ha
yang tak terawat (disinilah
lokasi lumbung padi Mataram
dan Kabupaten Panjer kuno)
Pembagian Wilayah Panjer
Panjer masa lalu
dibagi dalam dua wilayah
yaitu Panjer Roma (Panjer
Lembah) dan Panjer Gunung.
Ki Badranala diangkat
menjadi Ki Gedhe Panjer
Roma I atas jasanya
menangkal serangan Belanda
yang mendarat di pantai
anahan. Putra tertua Ki Badranala yang bernama Ki Kertasuta bertugas sebagai Demang
di wilayah Panjer Gunung, sedangkan adiknya yang bernama Ki Hastrasuta membantu
ayahnya (Ki Badranala) di Panjer Roma. Ki Kertasuta kemudian diangkat menjadi Patih
anjer, Ki Suwarno. Ia dinikahkan dengan adik ipar Ki Suwarno dan berputra Ki
Kertadipa. Ki Badranala menyerahkan jabatan Ki Gedhe Panjer Roma kepada anaknya (Ki
Hastrasuta) yang kemudian bergelar Ki Gedhe Panjer Roma II. Beliaulah yang kemudian
Ki Bumi (paman Amangkurat I yang
mengungsi ke Panjer sebab tidak sepaham dengan Sultan Amangkurat I). Tanah tersebut
terletak di sebelah Timur Sungai Luk Ula dengan panjang kurang lebih 3 Pal ke arah Selatan
r setengah (½) Pal ke arah Timur. Pangeran Bumidirja kemudian membuka tanah
(trukah) yang masih berupa hutan tersebut dan menjadikannya desa. Desa inilah yang
yang berarti memulai). Seiring
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 8
berjalannya waktu nama desa Trukahan kini hanya menjadi nama padukuhan saja (sekarang
masuk dalam wilayah kelurahan Kebumen).
Makam Ki Badranala dan Nyai Endang Patrasari di desa
Karangkembang
Riwayat desa Trukahan yang kemudian berubah
menjadi Kelurahan Kebumen pun kini nyaris hilang,
meskipun Balai Desa/Kelurahan Kebumen hingga kini
berada di daerah tersebut.
Kutipan dari “Babad Kebumen“ menyebutkan:
“Kanjeng Pangeran Bumidirdja murinani sanget
sedanipun Pangeran Pekik, sirna kasabaranipun nggalih,
punapadene mboten kekilapan bilih Negari Mataram
badhe kadhatengan bebendu. Puntonipun nggalih,
Kanjeng Pangeran Bumidirdja sumedya lolos saking praja sarta nglugas raga nilar
kaluhuran, kawibawan tuwin kamulyan.
Tindakipun Sang Pangeran sekaliyan garwa, kaderekaken abdi tetiga ingkang
kinasih. Gancaring cariyos tindakipun wau sampun dumugi tanah Panjer ing sacelaking
lepen Luk Ula. Ing ngriku pasitenipun sae lan waradin, toyanipun tumumpang nanging
taksih wujud wana tarabatan.
Wana tarabatan sacelaking lepen Luk Ula wau lajeng kabukak kadadosaken
pasabinan lan pategilan sarta pakawisan ingkang badhe dipun degi padaleman…..
Kanjeng Pangeran Bumidirdja lajeng dhedhepok wonten ing ngriku sarta karsa mbucal asma
lan sesebutanipun, lajeng gantos nama Kyai Bumi…..
Sarehning ingkang cikal bakal ing ngriku nama Kyai Bumi, mila ing ngriku lajeng
kanamakaken dhusun Kabumen, lami-lami mingsed mungel Kebumen.
Dhusun Kebumen tutrukanipun Kyai Bumi wau ujuripun mangidul urut sapinggiring
lepen Luk Ula udakawis sampun wonten 3 pal, dene alangipun mangetan udakawis wonten
½ pal”.
Dalam Babad Kebumen memang tidak terdapat cerita mengenai desa Trukahan,
akan tetapi jika dilihat dari segi Logika Historis yang dimaksud dengan desa/dhusun
Kabumian adalah Trukahan. Hal ini dapat ditelusuri berdasarkan Logika Historis antara lain:
1. Wilayah dan nama Trukahan sejak pra kemerdekaan hingga kini masih tetap ada,
dimana Balai Desa/Kelurahan Kebumen dan Kecamatan Kebumen berada dalam
wilayah tersebut (sedangkan Pendopo Kabupaten masuk dalam wilayah Bumirejo).
2. Makam/Petilasan Ki Singa Patra yang sebetulnya merupakan Pamokshan, sebagai
situs yang hingga kini masih terawat dan diziarahi baik oleh warga setempat maupun
dari luar Kebumen (meskipun belum diperhatikan oleh Pemerintah baik Kelurahan
maupun Kabupaten) adalah makam tertua yang ada di kompleks pemakaman desa
Kebumen. Singa Patra adalah sosok tokoh yang nyaris hilang riwayatnya, meskipun
namanya jauh lebih dikenal oleh warga kelurahan Kebumen sejak jaman dahulu kala
dan diyakini sebagai tokoh yang menjadi cikal bakal desa Trukahan masa lampau
(bukan Ki Bumi). Tokoh ini hidup lebih awal dibandingkan masa kedatangan
Badranala, sebab Beliau (Badranala) yang hidup pada masa Sultan Agung
Hanyakrakusuma adalah pendatang di desa Panjer (Lembah/Roma). Beliau sendiri
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 9
berasal dari daerah Karang Lo (yang dahulu masuk dalam wilayah Panjer Gunung).
Sebagai seorang pendatang yang kemudian berdiam di Panjer Roma, Badranala
memperistri Endang Patra Sari, anak perempuan Singa Patra. Endang adalah
sebutan kehormatan bagi perempuan Bangsawan. Hal ini bisa kita lihat pada situs
pemakaman Ki Badranala di desa Karangkembang dimana terdapat beberapa makam
yang menggunakan Klan/Marga Patra, dimulai dari Istri Badranala sendiri, hingga
beberapa keturunannya.
3. Hilangnya babad Trukahan dan riwayat Ki Singa Patra dimungkinkan adanya
kepentingan politik penguasa waktu itu. Terlebih riwayat Babad Kebumen baru
diterbitkan pada tahun 1953 di Praja Dalem Ngayogyakarta Hadiningrat oleh R.
Soemodidjojo (seorang keturunan KP. Harya Cakraningrat/Kanjeng Raden Harya
Hadipati Danureja ingkang kaping VI, Pepatih Dalem ing Kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat), yang notabene bukan warga asli bahkan mungkin tidak pernah sama
sekali tinggal di Panjer ataupun Trukahan/Kebumen. Dengan kata lain, warga
Kelurahan Kebumen baru mengenal sosok Bumidirdja semenjak diterbitkannya
riwayat Babad Kebumen yang kini lebih populer dengan adanya media Internet.
4. Kurun waktu Mataram Sultan Agung Hanyakrakusuma jelas lebih tua daripada
Bumidirja. Sedangkan Ki Badranala yang kemudian bermukim di Panjer saat itu telah
memperistri perempuan dari Klan Patra (yang mengilhami nama sebuah Hotel di
Kota Kebumen).
5. Dalam “Sejarah Kebumen dalam Kerangka Sejarah Nasional“ yang ditulis oleh
Dadiyono Yudoprayitno (Mantan Bupati Kebumen) disebutkan bahwa Pangeran
Bumidirdja membuka tanah hasil pemberian Ki Gedhe Panjer Roma II/Ki Hastrosuto
(anak Ki Badranala). Riwayat ini pun tidak disebutkan dalam Babad Kebumen.
Riwayat yang lebih terkenal sampai saat ini adalah riwayat yang ditulis oleh R.
Soemodidjojo yang notabene bukan warga asli dan bahkan mungkin belum pernah
tinggal di Kebumen, dimana diceritakan bahwa Kebumen berasal dari kata Ki Bumi
yang merupakan nama samaran dari Pangeran Bumidirja yang kemudian trukah di
tepi sungai Luk Ula, sehingga kemudian tempat tersebut dinamakan Kebumian.
6. Pasar Kebumen, pada awalnya berada di wilayah Trukahan, tepatnya di daerah yang
kini menjadi kompleks kantor Kecamatan Kebumen dan Klenteng hingga kemudian
pindah ke daerah yang kini menjadi pasar Tumenggungan (sehingga daerah di sekitar
bekas pasar lama tersebut sampai sekarang masih bernama Pasar Pari dan Pasar
Rabuk, karena memang lokasi pasar lama telah menggunakan sistem
pengelompokan).
7. Adanya pendatang setelah dibukanya tanah/trukah seperti yang disebutkan dalam
Babad Kebumen yang kemudian bermukim, juga bisa diperkirakan mendiami daerah
yang kini bernama Dukuh. Hal ini dimungkinkan dengan sebutan nama Dukuh yang
telah ada sejak lama.
- Asal Mula Nama Tumenggung Kalapaking
Datangnya Pangeran Bumidirdja di Panjer, menimbulkan kekhawatiran Ki Gedhe
Panjer Roma II dan Tumenggung Wangsanegara Panjer Gunung karena Pangeran Bumidirdja
saat itu dinyatakan sebagai buronan Kerajaan. Akhirnya Ki Gedhe Panjer Roma II dan
Tumenggung Wangsanegara memutuskan untuk meninggalkan Panjer dan tinggallah Ki
Kertawangsa yang dipaksa untuk tetap tinggal dan taat pada Mataram. Ia diserahi dua
kekuasaan Panjer dan kemudian bergelar Ki Gedhe panjer Roma III. Dua Kekuasaan Panjer
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 10
(Panjer Roma dan Panjer Gunung) membuktikan bahwa Panjer saat itu sebagai sebuah
wilayah berskala luas sehingga dikategorikan dalam daerah Mancanegara Brang Kulon.
Pamokshan Ki Singa Patra di Pemakaman
Kelurahan Kebumen
Pada tanggal 2 Juli 1677 Trunajaya
berhasil menduduki istana Mataram di
Plered yang ketika itu diperintah oleh
Sultan Amangkurat Agung (Amangkurat I).
Sebelum Plered dikuasai oleh Trunajaya,
Sultan Amangkurat Agung dan putranya
yang bernama Raden Mas Rahmat berhasil
melarikan diri ke arah Barat. Dalam pelarian
tersebut, Sultan Amangkurat Agung jatuh
sakit. Beliau kemudian singgah di Panjer (tepatnya pada tanggal 2 Juni 1677) yang pada
waktu itu diperintah oleh Ki Gedhe Panjer III. Sultan Amangkurat I diobati oleh Ki Gedhe
Panjer III dengan air Kelapa Tua (Aking) karena pada waktu itu sangat sulit mencari kelapa
muda. Setelah diobati oleh Ki Gedhe Panjer III, kesehatan Sultan Amangkurat I berangsur
membaik. Beliau kemudian menganugerahi gelar kepada Ki Gedhe Panjer III dengan pangkat
Tumenggung Kalapa Aking I (Kolopaking I, sebagai jabatan Adipati Panjer I (1677 – 1710).
Tumenggung Kalapaking I digantikan oleh putranya dan bergelar Tumenggung Kalapaking II
(1710 – 1751), dilanjutkan oleh Tumenggung Kalapaking III (1751 – 1790) dan Tumenggung
kalapaking IV (1790 – 1833)). Setelah merasa pulih, Sultan Amangkurat Agung melanjutkan
perjalannya menuju ke Barat, akan tetapi sakitnya ternyata kambuh kembali dan akhirnya
Beliau wafat di desa Wanayasa (Kabupaten Banyumas) tepatnya pada tanggal 13 Juli 1677.
Menurut Babad Tanah Jawi, kematian Sultan Amangurat Agung dipercepat oleh air kelapa
beracun pemberian Raden Mas Rahmat (putranya sendiri yang menyertai Beliau dalam
pelarian). Sesuai dengan wasiatnya, Beliau kemudian dimakamkan di daerah Tegal Arum
(Tegal) yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Tegal Wangi. Sementara itu tampuk
kepemimpinan Panjer periode Kolopaking hanya berlangsung hingga Kalapaking IV
dikarenakan adanya suksesi di Panjer pada waktu itu antara Kalapaking IV yang mendukung
Pangeran Diponegoro dan Arungbinang IV yang bekerjasama dengan Belanda, yang berakhir
dengan pembagian wilayah dimana Trah Kalapaking mendapat bagian di Karanganyar dan
Banyumas, sedangkan Arungbinang tetap di Panjer. Suksesi inilah yang mengakibatkan
kematian Kalapaking IV setelah peristiwa penyerbuan besar-besaran Kotaraja Panjer yang
akhirnya dibumihanguskan oleh Belanda yang bekerjasama dengan Arungbinang IV karena
Kalapaking IV mendukung Pangeran Diponegoro yang sebelumnya sempat menyusun
kekuatan pasukan di daerah tersebut. Panjer pada masa itu merupakan pusat kekuatan
terakhir dari Pasukan Diponegoro. Suplai senjata, logistik dan prajurit disiapkan di ibukota
Kabupaten Panjer (kini menjadi pabrik minyak Mexolie/Sari Nabati).
Sejak pemerintahan Arungbinang IV inilah Panjer Roma dan Panjer Gunung digabung
menjadi satu dengan nama Kebumen. Untuk memantapkan kedudukan setelah
kemenangannya atas peristiwa pembagian wilayah, Arungbinang IV mendirikan Pendopo
Kabupaten baru yang kini menjadi Pendopo dan Rumah Dinas Bupati Kebumen lengkap
dengan alun-alunnya. Adapun Pendopo Agung Kabupaten lama/Kabupaten Panjer kemudian
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 11
dibumihanguskan dan diubah menjadi Pabrik Minyak Mexolie/Sari Nabati Panjer yang
dibangun pada tahun 1851.
Dengan memperhatikan tata kota yang masih ada dan luas wilayah pabrik yang
mencapai lebih kurang 4 Ha, serta adanya pohon-pohon Saman dan Beringin tua yang dalam
sistem Macapat digunakan sebagai simbol suatu pusat pemerintahan kota zaman kerajaan,
begitu juga dengan Tugu Lawet yang pada awalnya merupakan tempat berdirinya sebuah
Pohon Beringin Kurung (yang kemudian ditebang dan dijadikan Tugu Lawet), serta lokasi
pasar Kebumen lama yang pada awalnya berada di wilayah Trukahan (pusat pasar rabuk
berada di sebelah Timur Balai Desa Kebumen, pasar lama berada di sebelah Utara klenteng,
sub pasar rabuk berada di sebelah Utara pasar lama, pasar pari/padi berada di sebelah
Selatan klenteng semakin menguatkan bahwa pusat pemerintahan Kabupaten
Panjer/Kebumen tempo dulu adalah di desa Panjer dan Trukahan. Hal ini sesuai juga dengan
kurun waktu berdirinya Masjid Agung Kauman Kebumen yang didirikan oleh KH. Imanadi
pada masa pemerintahan Arungbinang IV (setelah masa Diponegoro) yang membuktikan
bahwa berdirinya Pendopo Kabupaten Kebumen dan Masjid Agung Kauman di wilayah
Kutosari dan Bumirejo merupakan pindahan dari pusat kota lama di Panjer.
D. Panjer sebagai Tempat Persembunyian, Bersemadhi dan Penyusunan Strategi Perang
Pangeran Diponegoro
Pecahnya perang Diponegoro pada tanggal 20 juli 1825 meluas sampai ke wilayah
Kedu, Bagelen, Banyumas, Tegal dan Pekalongan. Pada tanggal 21 Juli 1826 datanglah
utusan Pangeran Diponegoro ke Kotaraja Kabupaten Panjer (lokasi Kotaraja tersebut kini
berada di kompleks pabrik minyak kelapa Sari Nabati Panjer, sedangkan lokasi Kodim 0709
Kebumen dahulunya dinamakan Kebun Raja atau Taman Raja karena disitulah taman/kebun
Kabupaten Panjer berada). Utusan Pangeran Diponogoro tersebut bernama Senopati Sura
Mataram dan Ki Kertadrana (Adipati Sigaluh Karanggayam). Kedatangan mereka di Panjer
Roma disambut oleh Tumenggung Kalapaking IV, Senopati Gamawijaya, dan Banaspati Brata
Jayamenggala (nama asli Mbah Jamenggala yang akhirnya dihukum gantung oleh Belanda di
tengah alun – alun Kebumen karena mendukung Pangeran Diponegoro). Bersamaan dengan
utusan tersebut, datang pula tamu dari Kradenan yaitu Ki Cakranegara. Mereka kemudian
mengadakan perundingan dengan keputusan untuk membantu Perjuangan Pangeran
Diponegoro yang sedang melawan Belanda. Adipati Panjer Roma (Tumenggung Kalapaking
IV) bertugas menyediakan logistik pangan, dan persenjataan untuk para prajurit Panjer
Roma yang dipimpin oleh Senopati Gamawijaya.
Pada tanggal 19 November 1828 terjadi perang besar di Bagelen (nama wilayah Kedu
selatan saat itu) antara Belanda melawan Pangeran Diponegoro yang pada saat itu dibantu
oleh prajurit Banyumas. Dalam perang tersebut Pangeran Diponegoro hampir tertangkap
oleh Belanda. Beliau jatuh sakit sehingga pasukan Banyumas mundur dan bersembunyi di
benteng Sokawarna. Pangeran Diponegoro sendiri bersembunyi di sebuah goa di
Lobanggadung selama beberapa hari hingga pulih. Setelah sembuh dari sakitnya, Pangeran
Diponegoro segera berangkat ke Kotaraja Panjer untuk bertemu dengan Tumenggung
Kolopaking IV dan pemimpin-pemimpin barisan Prajurit Panjer Roma. Di tengah perjalanan,
Pangeran Diponegoro dan Raden Basah Mertonegoro serta pengiringnya disergap oleh
Belanda. Pangeran Diponegoro dan pengikutnya kemudian turun dari kudanya dan
bersembunyi dalam jurang sehingga Belanda tidak dapat mengejarnya. Pejalanan ke ibukota
Panjer Roma pun dilanjutkan dengan bejalan kaki. Setibanya di Panjer Roma, Pangeran
Diponegoro dan rombongan disambut oleh Tumenggung Kalapaking IV. Mereka kemudian
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 12
menyusun strategi dan kekuatan bersama. Di sana pulalah Beliau selama 3 hari bersemadhi
di kompleks makam kuno dan Pamokshan Maha Patih Gajah Mada yang dari dahulu telah
menjadi salah satu tempat semadi para tokoh-tokoh Mataram (Lokasi tempat pertemuan
dan peristirahatan sementara Pangeran Diponegoro itu kini menjadi taman kanak-kanak
PMK Sari Nabati. Di tempat itu pulalah kuda tunggangan Beliau beristirahat sementara
Pangeran Diponegoro bersemadhi).
Keberadaan Pangeran Diponegoro di kotaraja Panjer ternyata tercium juga oleh
Belanda. Beliau berhasil meloloskan diri dari kotaraja Panjer sebelum daerah tersebut
diserbu oleh Belanda yang bekerjasama
dengan Adipati Arungbinang IV.
TK Sari Nabati; Tempat P. Diponegoro dan
Kudanya Beristirahat. Kediaman Kalapaking
IV
Pada tahun 1831 Belanda di
bawah pimpinan Mayor Van Royen yang
bekerjasama dengan Arungbinang IV pun
berhasil menguasai Pendopo Agung
Panjer setelah melalui pertempuran yang
cukup alot dan penyerangan besar –
besaran dari tiga penjuru. Pengepungan
Pendopo Agung Panjer sebagai Jantung Pertahanan Panjer melibatkan bala bantuan
pasukan VOC dalam jumlah besar dari Batavia yang kemudian berposisi di Kongsi Dagang
VOC di Gombong (tempat ini kemudian dijadikan pertahanan militer Belanda dalam
melawan kekuatan Panjer, sehingga berubahlah status kantor Kongsi Dagang Gombong
menjadi Benteng Gombong).
Pasukan Pimpinan Mayor Van Royen mengepung dari arah timur,pasukan pimpinan
Mayor Biskus dan Magilis menyerang dari arah Selatan (Pertahanan Bocor) yang saat itu
telah dikosongkan oleh Gamawijaya dan prajuritnya menuju ke Pendopo Agung Panjer.
Sedangkan dari arah barat penyerangan dilakukan oleh pasukan pimpinan Mayor Verbrug,
kapten Arons dan Huster.
Dikuasainya Pendopo Agung Panjer, dan meninggalnya Tumenggung Kalapaking IV
akibat luka parah dalam pertempuran di Pendopo Agung Panjer tidak menyurutkan nyali
para pejuang Panjer yang kemudian meneruskan perjuangan dengan mendirikan
pemerintahan darurat di Karangsambung.
Tokoh – tokoh panjer seperti Senopati Jayamenggala (Jamenggala), Kyai Welaran,
KH. Imanadi, Gamawijaya dan lain – lain tidak mau terjebak Belanda yang mengundang
diplomasi di Pendopo Agung Panjer. Stategi gerilya pun dilakukan oleh mereka. Padepokan
kecil tersembunyi sebagai tempat berkumpul para gerilyawan Panjer di sebelah timur sungai
Luk Ula adalah tempat terdekat dari Pendopo Agung Panjer (padepokan tersebut kini
menjadi Masjid Darussalam di wilayah kelurahan Kebumen).
Atas perintah Gubernur Jenderal Graff Van Den Bosch dengan pertimbangan
peperangan yang tetap berlangsung meski Pendopo Panjer telah dikuasai telah memakan
biaya yang cukup besar, maka Belanda yang sudah satu tahun menduduki Pendopo Agung
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 13
Panjer pun kemudian membumihanguskan tempat tersebut dan menyerahkan
ketataprajaan Panjer kepada Arungbinang IV. Kotaraja dan Pendopo Panjer lama dipindah
ke tempat yang baru (di daerah yang sekarang menjadi Pendopo Kebupaten Kebumen
beserta alun – alunnya).
Gerilya yang membuat pasukan Belanda pimpinan Mayor Biskus, Mayor Verbug dan
Kapten Flissinger kewalahan pun berakhir dengan tertangkapnya tokoh – tokoh tersebut.
Senopati Jayamenggala/Jamenggala tertangkap di sebelah timur kali Luk Ula (sekarang
menjadi kompleks Masjid Agung Kauman Kebumen) setelah berkali – kali melakukan gerilya
dari arah barat sungai Luk Ula (Legok). Dia kemudian digantung di pohon beringin kurung di
tengah alun – alun baru. Jenazahnya dikuburkan di sebelah timur laut beringin kurung.
KH. Imanadi tertangkap di Ayam Putih, setelah berenang dari Kali Gending saat
dikepung oleh Belanda. Belanda dengan sabar menyusuri sungai Luk Ula dari Kaligending
menuju ke selatan. KH. Imanadi yang menepi di tepian sungai Lukula wilayah selatan pun
kemudian tertangkap dan di penjara. Beliau kemudian dikeluarkan oleh Arungbinang IV dan
dijadikan Pengulu Landrat Kebumen yang pertama. Saat itulah Beliau mendirikan Masjid
Kauman kebumen.
Kyai Welaran juga wafat dalam pertempuran di Karangsambung dan dimakamkan di
pucuk gunung Paras di bawah pohon Jati. Sedangkan Senopati Gamawijaya tertangkap oleh
kolektur Mangunprawira dan ditembak mati di daerah Bocor. Jenazahnya dimakamkan
langsung ditempat tesebut.
Pertempuran berakhir secara keseluruhan pada tahun 1832. Secara resmi
Arungbinang IV mulai memerintah kabupaten Panjer pada tahun tersebut serta mengubah
nama kabupaten Panjer menjadi Kebumen.
Bekas Pendopo Agung Panjer sendiri kemudian dijadikan Pabrik Mexolie (dalam
perkembangannya menjadi Sari Nabati) oleh Belanda pada tahun 1851.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 14
KEBUMEN PADA MASA PEJUANGAN KEMERDEKAAN
Peran Kedu Selatan
A. Zaman Belanda
Sejak jaman penjajahan Hindia Belanda, wilayah Kedu Selatan dikenal sebagai
sumber pajurit. Hal ini dibuktikan dengan adanya dua Batalyon KNIL di Kedu Selatan yaitu
Batalyon Gombong dan Batalyon Puworejo, serta sebuah Kader School (Sekolah Bintara) di
Gombong dan sebuah Depo Pendidikan untuk merekrut prajurit di Purworejo.
Kedu Selatan juga telah menghasilkan seorang Opsir KNIL berpangkat Mayor dengan
jabatan Komandan Batalyon. Ia merupakan satu-satunya opsir bangsa Indonesia asli yang
mendapat pangkat tertinggi hingga masa berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia pada
tahun 1942. Tokoh tersebut adalah Oerip Soemohardjo yang lahir di Guron, Sindurejan,
Purworejo pada tanggal 21 Februari 1893. Oerip adalah anak dari Soemohardjo, seorang
mantri guru (cucu dari KRT. Widjoyokusumo Adipati Trenggalek/Cicit dari KRT.
Poerbonegoro Bupati Ambal Kebumen yang pertama dan terakhir).
Di jaman Jepang, Oerip Soemohardjo hidup bertani di daerah Kaliurang. Setelah
Proklamasi Kemerdekaan dan keluarnya Dekrit 5 Oktober 1945, Pemerintah RI mengangkat
Oerip sebagai Kepala Staf Umum Markas Tertinggi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan
pangkat Letnan Jenderal.
Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo inilah yang meletakkan dasar-dasar kemiliteran
dalam tubuh Tentara Indonesia yang dalam perkembangannya menjadi Nasional Indonesia
(TNI).
B. Zaman Jepang
Pada tahun 1942, Indonesia memasuki era baru pendudukan. Tentara Jepang
berhasil membuat Belanda bertekuk lutut dan meninggalkan jajahannya di Indonesia. Sejak
saat itu berdirilah Pemerintahan Bala Tentara Dai Nippon.
Kedatangan Jepang ke Indonesia dengan janji kemakmuran bersama dalam “Asia
Timur Raya” disambut baik oleh rakyat Indonesia. Propaganda “Nippon Cahaya Asia, Nippon
Saudara Tua Asia” dan lain - lain semakin meyakinkan dan memikat hati rakyat yang telah
350 tahun dijajah oleh Belanda. Dalam waktu singkat, Jepang berhasil menanamkan rasa
hormat dan rasa segan bangsa Indonesia kepadanya meski terkadang dengan jalan paksaan
dan kekerasan diantaranya:
1. Para pelajar di seluruh tanah air, mulai dari sekolah terendah, setiap pagi diharuskan
mengikuti upacara penghormatan bendera Matahari dengan lagu “Kimigayo” dan
menghormat ke Meizi Tenno atau Tenno Heika.
2. Mulai dari pelajar sekolah terendah hingga pegawai negeri diharuskan belajar bahasa
Jepang. Selain itu diharuskan latihan baris berbaris, sikap penghormatan, menyanyi, Taizo
(senam pagi), Odori (menyanyi) dalam bahasa dan gaya Jepang.
3. Gedung - gedung besar maupun kecil milik pemerintah berikut semua alat - alat yang ada
di dalamnya diwajibkan bertempelkan stiker yang berbunyi “Milik Pemerintah Bala
Tentara Dai Nippon”.
4. Adanya keharusan kepada para pelajar yang sudah dewasa, pemuda - pemuda di
pedesaan, pegawai kantor, dan juga buruh di pabrik - pabrik untuk mengikuti latihan
baris - berbaris dan latihan - latihan kemiliteran setiap hari.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 15
Latihan - latihan kemiliteran yang disertai contoh atau demonstrasi yang harus
diikuti peserta latihan, dengan diiringi lagu - lagu yang membangkitkan semangat dan
keberanian untuk menghadapi perang (Perang Dunia II), membuat jiwa keprajuritan
pemuda Indonesia yang selama ini terbenam menjadi bangkit kembali. Hal ini terbukti
dengan besarnya minat pemuda - pemuda Indonesia yang masuk tentara PETA pada tahun
1943 dan 1944.
Rakyat Indonesia di berbagai penjuru tanah air berbalik melawan Jepang karena
janji-janji manisnya tidak terbukti. Setelah berhasil menguasai Indonesia, ternyata Jepang
menguras habis kekayaan tanah air untuk logistik perangnya, tanpa memperdulikan akibat -
akibat yang sangat menyengsarakan rakyat. Tindakan kejam dan perlakuan kasar terhadap
rakyat Indonesia pun sangat mencolok.
Dalam kesatuan PETA, juga tumbuh dan berkembang semangat dan jiwa
keprajuritan bela bangsa. Hal ini dibuktikan dalam peristiwa pemberontakan tentara PETA
Blitar yang dipimpin oleh Shodancho Soepriyadi, pemberontakan tentara PETA Daidan
Gemilir (Cilacap) di bawah pimpinan Bundancho Koesaeri tahun 1945, dan peristiwa lain
yang sejenis.
Kesatuan Militer di Bawah Penjajahan Jepang
Setelah masuknya Jepang ke Indonesia, berbagai lapisan masyarakat Indonesia
dilatih kemiliteran yang tujuannya untuk mencukupi jumlah tentara Jepang yang semakin
berkurang akibat kekalahannya di Perang Dunia II. Kesatuan - kesatuan militer tersebut
adalah:
1. Seinendan (Barisan Pemuda)
2. Keibodan (Barisan Pembantu Polisi)
3. Gakutotai (Barisan Pelajar).
Anggota Seinendan, Keibodan, dan Gakutotai diambil menjadi tentara Heiho yang
awalnya bertugas sebagai pembantu tentara Jepang. Namun pada akhirnya Heiho juga
dikirim oleh Jepang ke medan pertempuran untuk menghadapi Sekutu baik di dalam wilayah
Indonesia maupun di luar Indonesia seperti di Burma, Semenanjung Malaya dan beberapa
tempat yang lain.
Terbentuknya PETA (Pembela Tanah Air)
Atas usul dari Gatot Mangkoepradja (seorang tokoh pergerakan nasional), maka
pada tanggal 3 Oktober 1943 Jepang membentuk PETA (Pembela Tanah Air) di Jawa dengan
Osamu Sirei No. 44 yang berjudul “Tentang Pembentukan Pasukan Sukarela untuk Membela
Tanah Jawa”, dimana tugasnya semata - mata untuk mempertahankan daerahnya terhadap
serbuan dari luar. Dalam bulan itu juga, dilatihlah puluhan Calon Perwira Indonesia di Jawa
dengan sebutan Boe Ei Gyugun Kanbu Kyoikutai (Korps Pendidikan Perwira Tentara Sukarela
Pembela Tanah Air Jawa).
Tingkatan - Tingkatan Perwira Tentara PETA
Hanya pemuda - pemuda Indonesia yang terpilihlah yang bisa menjadi anggota PETA.
Terdapat tiga tingkatan perwira sekaligus jabatan dalam tentara PETA. Ketiga tingkatan
tersebut yaitu:
1. Daidancho (Komandan Batalyon)
2. Chudancho (Komandan Kompi)
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 16
3. Shodancho (Komandan Peleton)
Selain itu, terdapat pula:
1. Bundancho (Komandan Regu)
2. Gyuhei (Prajurit)
Di setiap Daidan (Batalyon) terdapat:
- 1 orang Daidancho
- 4 orang Chudancho (tiap Chudancho membawahi 3 Shodancho)
- Sejumlah Shodancho (tiap Shodancho membawahi 3 atau 4 Bundancho, sedangkan tiap
Bundancho membawahi regu yang berjumlah 10 sampai dengan 12 Gyuhei)
Pada dasarnya, dalam setiap kabupaten dibentuk satu Daidan (Batalyon). Para
Daidancho berada di bawah Bo Ei Taicho (Komandan Pertahanan Setempat) yang juga
merupakan Syuchokan (Residen) dalam wilayah Karisidenan setempat. Dalam setiap Daidan
(Batalyon) selalu terdapat Syidokan (Perwira Pelatih) dan Syido-Kasyikan (Bintara Pelatih)
yang berasal dari tentara Jepang sekaligus merangkap sebagai Pengawas. Terdapat pula Bo
Ei Gyugun Toku Setsu Yugekitai (Pasukan Gerilya Istimewa Tentara Sukarela Pembela Tanah
Air) yang disingkat Yugekitai dan Detasemen Kempetai (Polisi Tentara).
Kesatuan PETA di Kedu termasuk Kedu Selatan
Sejak mulai dibentuk sampai dengan dibubarkannya PETA pada tanggal 19 Agustus
1945, di Kedu terdapat kesatuan - kesatuan PETA sebagai berikut:
A. Kedu Dai I Daidan (Batalyon) di Gombong dipimpin oleh Daidancho R. Abdoel Kadir,
kemudian digantikan oleh R. Bambang Soegeng membawahi Chudancho -
chudancho:
1. Moein Gozali
2. Sarbini (Jenderal (Purn.))
3. M. Koesen
4. Soedradjat
B. Kedu Dai II Daidan (Batalyon) di Magelang dipimpin oleh Daidancho Moh. Soesman,
membawahi Chudancho - chudancho:
1. Maryadi
2. Slamet Soeherman
3. Soeryo Soempeno
4. Bambang Soegeng
C. Kedu Dai III Daidan (Batalyon) di Gombong dipimpin oleh Daidancho
Djoyokoesoemo, membawahi Chudancho - chudancho:
1. Kaslan Hoedyono Soekamto
2. Sanmo Samsiatmojo
3. Soeradji
4. Soetardjo
D. Kedu Dai IV Daidan (Batalyon) di Purworejo dipimpin oleh Daidancho R. Moekahar
Ronohadiwidjoyo, membawahi Chudancho - chudancho:
1. R. Soetarto
2. R. Koen Kamdani
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 17
3. R. Abdoel Madjid
4. Kardjono
Markas Kempetai di Kebumen
Selain PETA, Jepang juga memiliki kesatuan yang dinamakan Kempetai (Polisi
Tentara). Anggota Kempetai berasal dari orang - orang Jepang dan warga Indonesia yang
terpilih. Kesatuan ini terkenal sadis dan kejam, bahkan serdadu - serdadu Jepang sendiri pun
sangat takut dengan Kempetai. Markas Kempetai di kota Kebumen terdapat di tiga lokasi
yakni: di sebelah Utara Stasiun Kebumen (sekarang menjadi kompleks KODIM 0709
Kebumen), di Jalan Pahlawan (sebelah Barat Kantor BRI), dan di Jalan Sarbini (Depan Kantor
DPU). Di markas - markas tersebut, hanya terdapat 3 sampai 4 anggota Kempetai.
Kesatuan-Kesatuan Lain
Para pemuda yang terpilih dalam seleksi masuk menjadi anggota PETA tetapi terlalu
muda usianya, kemudian dipisahkan dan dikumpulkan di Magelang (di sebelah Selatan alun
- alun Magelang menempati gedung bekas MOSVIA/Sekolah Bupati) untuk dididik khusus
dalam kesatuan Tokobetshu Sinentai (Pemuda Istimewa). Dari kabupaten Kebumen hanya
terpilih satu orang yang masuk dalam Tokobetshu Sinentai yaitu Darmansyah (terakhir
menjabat sebagai Camat Pejagoan).
Satu pasukan Tokobetshu Sinentai terdiri dari 40 orang. Pendidikan dilakukan selama
tiga bulan dengan materi Ilmu Kemiliteran Tanpa Senjata. Pelatih Militer sekaligus
Pemeriksa/Pengawas yang terkenal saat itu adalah Obata Sang, seorang ahli Sumo Jepang.
Fungsi dari Tokobetshu Sinentai adalah untuk cadangan pasukan Zibakutai (Barisan Berani
Mati) yang bermarkas di Candi Mendut.
Setelah dididik selama 3 bulan, para pemuda Tokobetshu Sinentai gagal dikirim dan
dipulangkan ke kabupaten masing - masing karena alasan utama mereka membantu orang
tua untuk menggarap sawah yang terbengkalai selama mereka dilatih, sedangkan hasil
panennya untuk kepentingan Jepang.
Tidak lama setelah para pemuda Tokobetshu Sinentai dipulangkan ke kabupaten
masing - masing, Jepang mengadakan pelatihan lagi dengan nama Nomin Senentai (Pemuda
Pertanian). Pendidikan berlangsung selama 3 bulan di tempat yang sama (di Magelang).
Materi yang diajarkan selain Kemiliteran adalah Pertanian. Pelatih Kemiliteran adalah Obata
Sang, sedangkan pelatih - pelatih pertanian berasal dari Indonesia. Dari kabupaten Kebumen
terpilihlah dua orang pemuda yaitu Darmansyah (bekas Tokobetshu Sinentai) dan Darsu
(Terakhir menjabat sebagai Kepala Administrasi Sekolah Teknik Kebumen).
Seinendan Di Kebumen
Tidak seperti Romusha (tenaga kerja paksa) pada umumnya, Seinendan kabupaten
Kebumen terpilih menjadi Seinendan Romusha Teladan untuk percontohan yang kemudian
diikutkan dalam program Romusha di Banten selama tiga bulan. Jika Romusha biasa tidak
dipulangkan oleh Jepang dan cenderung diperlakukan secara kejam, Seinendan Romusha
Kebumen diperlakukan sangat istimewa dan dipulangkan setelah tiga bulan menjadi
Seinendan Romusha Percontohan.
Di setiap desa di seluruh wilayah kabupaten Kebumen dipilih sepuluh pemuda yang
sehat dan kuat untuk dijadikan Seinendan. Pelatihan Seinendan diadakan seminggu sekali di
desa masing - masing. Pemimpin Seinendan Kecamatan dinamakan Sonsidoin. Terdapat 300
Seinendan di Kecamatan Kebumen (30 desa) di bawah pimpinan dan kepelatihan Sonsidoin
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 18
Darmasyah. Kensidoin (pimpinan Seinendan tingkat kabupaten) Kebumen dijabat oleh
Marsum. Dalam setiap bulan diadakan latihan bersama Seinendan tingkat kabupaten yang
diadakan di alun - alun Kebumen. Latihan baris - berbaris dipimpin oleh Sonsidoin
Darmansyah yang juga diperbantukan pada Seinendan tingkat Kabupaten. Selain materi
baris - berbaris, Seinendan juga dibekali materi Pertanian.
Spontanitas Rakyat Kedu Selatan Menyambut Proklamasi Kemerdekaan
Seperti halnya yang terjadi di daerah lain, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
disambut gembira oleh masyarakat Kedu Selatan yang terdiri dari berbagai golongan dan
lapisan masyarakat. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa ada juga oknum - oknum yang
justru bersikap kebalikannya.
Golongan yang menyambut gembira dan menerima baik Proklamasi Kemerdekaan
17 Agustus 1945 dikenal sebagai golongan “Republikein”, sedangkan yang sebaliknya
disebut “Antirepublik”. Tidak mudah untuk memisahkan siapa yang termasuk dalam
golongan republikein dan mana yang antirepublik kecuali dengan pengamatan yang cermat
melalui kata - kata, sikap dan perbuatannya. Dengan kondisi masyarakat yang demikian,
ditambah lagi dengan adanya peristiwa - peristiwa yang terjadi di berbagai kota besar, maka
di Kedu Selatan para prajurit eks tentara PETA berhimpun menyusun kekuatan sesama eks
tentara PETA yang baru kembali dari kesatriaan - kesatriaannya (Daidan) dimana waktunya
bersamaan dengan munculnya gerakan “Siap-siapan” dari para pemuda pelajar.
Gerakan Siap - siapan adalah gerakan yang dilakukan oleh kelompok pemuda pelajar
yang dengan jeli mengamati oknum - oknum tertentu dan membuat penilaian Republikein
atau Antirepublik. Oknum yang dinilai Antirepublik (bila pejabat) disiapkan atau dipersilakan
mundur dan diganti dengan orang-orang Republikein. Hanya saja karena jiwa mudanya,
gerakan ini terkadang melampaui batas, yang bila dilepaskan cenderung menjadi
boomerang. Karena itu prajurit eks PETA yang tengah menyusun barisan pun ikut turun
tangan, Tut Wuri Handayani.
Pihak - pihak yang termasuk dalam golongan Antirepublik ialah oknum yang dengan
adanya Proklamasi 17 Agustus 1945:
- Merasa lebih suka dan cocok menjadi bangsa jajahan.
- Secara terang-terangan dalam kata dan perbuatannya tidak mendukung Proklamasi
17 Agustus 1945
- Acuh tak acuh, tidak terdapat tanda - tanda memberi dukungan terhadap proklamasi
17 Agustus 1945.
- Di zaman Belanda dan Jepang digolongkan penjilat, sangat membantu kepentingan
penjajah, serta cenderung menindas rakyatnya.
Pada saat itu terdapat sejumlah oknum pejabat yang diturunkan oleh gerakan Siap -
siapan, diantaranya juga terjadi di Kebumen. Selain itu banyak kepala desa yang dinilai
menjilat penjajah, sehingga diturunkan oleh rakyatnya. Istilah popularnya adalah “Didaulat”
dan seketika diadakan pemilihan baru.
Keadaan demikian mendorong para kepala desa yang tidak didaulat, terpanggil
menunjukkan rasa solidaritasnya. Sebagian besar dari mereka meletakkan jabatannya
dengan dalih sudah tua dan memberikan kesempatan kepada yang lebih muda.
Dengan dikumandangkannya Seruan Presiden 23 Agustus 1945 tentang
Pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) membuat bekas prajurit PETA yang sebagian
telah terhimpun, bekas Heiho, KNIL, Pelaut, dan pemuda lainnya membentuk BKR.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 19
Terbentuknya BKR membuat operasi Siap-siapan menjadi lebih tertib dan teratur
caranya. Di tempat tertentu seperti di stasiun, batas daerah, dan kendaraan lewat diadakan
pemeriksaan terhadap orang yang dicurigai. Hal ini dilakukan untuk mengamankan dan
menegakkan Proklamasi 17 Agustus 1945.
Menegakkan Kekuasaan
Proklamasi 17 Agustus 1945 tidak akan berarti jika kekuasaan pemerintah masih
berada di tangan Jepang. Pada waktu itu Jepang memang masih merasa menguasai
pemerintahan. Tentaranya masih bersenjata, dan untuk daerah Kedu Selatan, tentara-
tentara Jepang berada dalam kesatriaan - kesatriaan PETA, instansi pamong praja, pabrik -
pabrik, serta lembaga tertentu meski jumlahnya tidak banyak. Dengan demikian, hal yang
mutlak harus segera dilakukan adalah merebut senjata dan peralatan militer dari tangan
Jepang.
Pengambilalihan Kekuasaan dari Tangan Jepang
Secara formal, Jepang sudah tidak mempunyai kekuasaan lagi di Indonesia sejak
menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Namun, dalam
kenyataannya Jepang masih berkuasa atas pemerintahan hingga waktu penyerahan secara
resmi kepada Sekutu.
Pengambilalihan kekuasaan dari tangan Jepang di Kedu Selatan adalah sebagai berikut:
1. Pada jajaran Kepolisian yang justru merupakan satu-satunya instansi bersenjata,
pengambilalihan berlangsung dengan baik tanpa pertumpahan darah. Hal tersebut
terjadi karena Jepang yang bertugas di tubuh Kepolisian termasuk golongan yang
mengikuti realita. Maka, jadilah polisi Jepang menjadi Polisi RI yang ditandai dengan
diturunkannya bendera Jepang dan dikibarkannya Sang Merah Putih.
2. Dalam tubuh pamong praja yang pada tiap kabupaten ditempatkan seorang opsir
(biasanya berpangkat Mayor) pun tidak beraksi, sehingga pengambilalihan
kekuasaan berlangsung sesuai dengan naskah Proklamasi yang menyatakan bahwa
“Hal - hal yang mengenai pemindahan kekuasaan diselenggarakan dengan cara
seksama dan dalam tempo yang sesingkat - singkatnya”.
Seperti halnya pada jajaran Kepolisian, jajaran Pamong Praja dari Bupati, Wedana,
Asisten Wedana, sampai dengan Lurah berikut para pegawainya, otomatis menjadi
Bupati, Wedana, Asisten Wedana, Lurah, dan Pegawai Republik Indonesia. Dengan
demikian terbentuklah Kabupaten, Kawedann, Asistenan, Kelurahan Republik
Indonesia, ditandai dengan dikibarkannya Sang Merah Putih.
3. Pada jajaran pemerintahan lainnya yang terdiri dari dinas – dinas dan jawatan,
seperti: Pekerjaan Umum, Kesehatan, Jawatan Kereta Api, Pendidikan dan
Pengajaran, Pertanian, Perekonomian, dan Kehewanan, pengambilalihan kekuasaan
berlangsung dengan seksama dan tanpa kekerasan. Yang terjadi semata – mata
hanyalah pergantian nama, yang semula dinas atau jawatan Pemerintahan Bal
Tentara Dai Nippon, menjadi dinas atau jawatan Pemerintah Republik Indonesia.
Biasanya ditandai dengan dikibarkannya Sang Merah Putih di depan kantor, sehingga
pegawai – pegawainya pun otomatis menjadi Pegawai Republik Indonesia. Walaupun
demikian, tentara Jepang tidak begitu saja menyerahkan senjatanya dengan sukarela
kepada pejuang RI.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 20
Tidak semua pengambilalihan kekuasaan dari Jepang dapat dengan mudah
dilakukan. Ada beberapa peristiwa pengambilalihan kekuasaan yang didahului secara
diplomasi dengan didukung oleh pasukan siap tempur apabila diplomasi mengalami
kegagalan. Misal yang terjadi di Pabrik Minyak Mexolie Kebumen (PMK Sari Nabati di desa
Panjer) dan di Pabrik Minyak Olvado Karanganyar.
Sepasang roda meriam kuno peninggalan Belanda yang
dijadikan Monumen Peringatan di Sari Nabati Panjer
Perebutan Senjata Dari Tangan Jepang
Perebutan senjata dari tangan tentara
Jepang tidak hanya bertujuan untuk melumpuhkan
Jepang, tetapi juga untuk mempersenjatai pejuang
Indonesia. BKR maupun barisan – barisan para
pejuang lain, terpaksa harus merebut senjata
sebagai jalan tercepat guna mempertahankan kemerdekaan bangsa.
- Upaya Pencarian Senjata di Krendetan dan Prembun
Eks Shodancho Sarwo Edhie (Mertua dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono)
dan eks Shodancho Sroehardoyo menuju ke Krendetan, tempat pertahanan meriam Jepang
yang kuat. Mereka menduga Jepang menyembunyikan senjata di sini. Dengan tekun mereka
mencari, tetapi tidak berhasil. Pencarian diteruskan ke Prembun, langsung menuju ke rumah
Shidokan yang dikenalinya waktu di pasukan PETA. Dalam sumur, ditemukan satu dus peluru
Karaben Steier. Peluru kemudian dibersihkan dan dijemur sambil berharap karebennya
ditemukan. Usaha itu gagal, sehingga mereka pun pulang.
- Perampasan Senjata di Stasiun Kereta Api Kutoarjo
Berita pelucutan senjata Nakamura Butai oleh BKR di Magelang, mendorong
Sroehardoyo meneruskan usaha pencarian senjata. Ketika itu Sarwo Edhie telah pindah ke
Batalyon A. Yani di Magelang. Sroehardoyo menuju pantai Ayah yang di era Jepang
merupakan pertahanan pantai. Ternyata usaha tersebut pun gagal. Saat pulang dengan
menggunakan kereta api dari Kroya yang datang dari Jakarta, diketahui bahwa ada satu
kompi tentara Jepang yang akan ke Yogyakarta, berada dalam kereta yang sama.
Sroehardoyo duduk di bordes terakhir, memikirkan cara melucuti Jepang. Stasiun
demi stasiun sudah dilewati. Gombong, Karanganyar, dan Kebumen, tetapi belum juga
menemukan caranya. Tidak seorang pun bisa ditanya. Terlintas dalam pikiran, jika sampai di
stasiun Kutoarjo tidak menemukan cara, maka kesempatan memperoleh senjata pun akan
hilang.
Ketika kereta akan masuk stasiun, terlihat BKR dan Pemuda Pelajar Kutoarjo siap
mengadakan pengamanan. Sudah menjadi ketentuan bahwa bila ada pasukan Jepang yang
lewat, harus diadakan pengamanan ketat. Sroehardoyo tergugah. Apalagi dia bertemu
dengan eks Chudancho Sarbini di stasiun. Sroehardoyo pun segera mengutarakan
maksudnya. Ia sadar jika menggunakan kekerasan akan menemui kesulitan. Maka
Sroehardoyo pun menggunakan cara diplomasi yang ternyata disetujui Sarbini.
Perundingan berjalan lancar. Hasil dari perundingan tersebut, Taicho (Pimpinan)
Jepang memberi komando “So Juwo desu” (senjata keluarkan). Hanya saja Taicho minta
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 21
agar perwiranya tetap boleh mempertahankan samurainya. Hampir saja pistol tidak
diserahkan. Untung Taicho kemudian menyerahkan 3 pucuk pistol. Dengan lega
Sroehardoyo dibantu BKR Kutoarjo dan BKR Kereta Api yang bertugas di stasiun Kutoarjo,
antara lain pemuda Soekadaroh, mengurus pengangkutan senjata ke BKR Purworejo.
Sedangkan eks Chudancho Sarbini melanjutkan perjalanan ke Jawa Timur bersama pasukan
Jepang.
Senjata rampasan sebanyak satu kompi tersebut merupakan senjata pertama,
embrio Resimen XX/Kedu Selatan. Peristiwa menggembirakan tersebut dirayakan BKR
Purworejo dengan show of force berkeliling kota bersenjata lengkap dengan sangkur
terhunus pada pagi harinya. Mereka membuktikan bahwa BKR bukan lagi “macan kertas”
(peristiwa ini menjadi dasar acuan dijadikannya stasiun Kutoarjo sebagai bangunan cagar
budaya).
Pelucutan Senjata di Kebumen
Pelucutan senjata di Kebumen dilakukan oleh BKR, pemuda, dan pelajar dipimpin
oleh eks Chudancho Soedrajat. Dengan kekuatan 400 orang bersenjata bambu runcing dan
senjata lain, mereka meruntuhkan mental Jepang. Pelucutan senjata berlangsung tanpa
perlawanan. Orang – orang Jepang selanjutnya dimasukkan ke dalam rumah tahanan di
penjara Kebumen. Pelucutan senjata di kota Kebumen berlangsung di empat tempat yakni:
1. Pabrik Minyak Kelapa Mexolie Kebumen (PMK Sari Nabati Panjer kebumen),
terhadap satu regu Jepang.
2. Jalan Pahlawan (sebelah barat kantor BRI), terhadap dua regu Jepang.
3. Jalan Kranggan Kebumen, terhadap satu regu Jepang.
4. Jalan Jenderal Sarbini (sekarang depan Kantor DPU), terhadap seorang perwira
Jepang.
Ex Pabrik Mexolie/Sarinabati Panjer Kebumen
Pelucutan Senjata di Karanganyar
Pelucutan senjata di Karanganyar berlangsung
di Pabrik Minyak Olvado dilakukan oleh BKR dan
pemuda berkekuatan 300 orang dengan bersenjata
bambu runcing. Pelucutan dipimpin oleh eks
Bundancho Bambang Widjanarko dan eks Bundancho
Koedoes yang menjatuhkan mental tentara Jepang
sehingga penyerahan lima pucuk senjata berlangsung
tanpa perlawanan.
Kantor DPU Kebumen
Pelucutan Senjata di Sumpyuh
Pelucutan senjata di Sumpyuh melibatkan
hampir semua pasukan BKR di Kedu Selatan, yakni :
BKR Kebumen, Gombong, Kutoarjo, dan Purworejo,
dipimpin oleh Daidancho Gatot Soebroto, Koordinator
BKR Daerah Banyumas.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 22
Selain pasukan BKR, dalam pelucutan tersebut ikut pula lebih kurang 300 orang
pemuda bersenjata bambu runcing. Dengan penuh semangat dan rela berkorban, mereka
bergerak bersama BKR Gombong yang dipimpin oleh eks Shodancho Soedarsono Bismo dan
eks Shodancho Slamet Soebyakto (sebagai komandan dan wakil komandan peleton).
Sedangkan yang menjadi komandan regu adalah eks Bundancho Djoerdjani, eks Bundancho
Bagyoto, eks Bundancho Yatiman, dan eks Bundancho Soemarto. Mereka berhasil
memperoleh sebuah truk Dodge, sepucuk SMR (Senapan Mesin Ringan), 40 senapan, dan
puluhan pakaian seragam Jepang.
Pasukan BKR Kebumen dengan kekuatan satu kompi dipimpin oleh eks Shodancho H.
Soegondo dan wakil eks Shodancho Soedarmin. Adapun Komandan Peleton I adalah eks
Shodancho Dimyati (terakhir sebagai mantan Lurah Kebumen), Peleton II eks Bundancho
Soemari, dan Peleton III eks Bundancho Soegito. Bertindak sebagai Komandan Regu adalah
eks Bundancho D.S. Iskandar, eks Bundancho Soediro, eks Bundancho Soenaryo, dan eks
Bundancho Solichin. Mereka berhasil memperoleh sebuah sepeda motor, sedan Chevrolet,
pick up, 3 buah truk, 3 pucuk SMR, 60 pucuk senapan, dan 15 peti peluru.
Jalan Kranggan Kebumen
Pasukan BKR Kutoarjo dengan kekuatan satu
peleton dipimpin oleh eks Shodancho M. Toegiran
dengan komandan – komandan regunya eks
Bundancho Senoe, eks Bundancho Soedarman, dan
eks Bundancho Badroen berhasil memperoleh
sebuah truk Australia dan 40 senapan.
BKR Purworejo juga mengerahkan dua
peleton pasukan dipimpin oleh eks Shodancho
Sanoesi, Seksi I eks Bundancho Soesilo Handoyo,
Seksi II eks Bundancho Soewaridjan, dan Komandan Regu diantaranya eks Bundancho
Soewandi. Mereka memaki dua truk Ghurka ke Sumpyuh dan berhasil memperoleh lebih
kurang 50 senapan pendek yang dipakai PETA.
Sejak saat itu, BKR di Kedu Selatan, baik BKR di Gombong, Kebumen, Kutoarjo,
Purworejo kekuatan senjata dan angkutannya bertambah. Hal ini menambah pula rasa
percaya diri dan semangat tempur dalam perjuangan mempertahankan Kemerdekaan
Negara Proklamasi 17 Agustus 1945.
Bengkel Senjata Kebumen
Para pejuang bersenjata di Kedu Selatan terus berupaya keras untuk menambah
persenjataan yang dimiliki dengan berbagai cara. TKR Batalyon III Resimen Moekahar
Kebumen mengetahui bahwa di ACW Bandung terdapat sejumlah alat dan mesin selain
senapan, pistol, mitraliur, granat yang tidak atau belum dipindahkan dan tidak
dibumihanguskan. Atas saran Kepala Bagian Persenjataan Batalyon Letnan II Iskandar dan
saran teknis Letnan II Tirtohoedoyo, maka Mayor Rahmat, bersama Letnan II Iskandar dan
Letnan II Tirtohoedoyo pergi ke Bandung untuk mengambil dan memindahkan alat – alat
dan senjata ke Kebumen.
Mereka dikawal oleh satu kompi pasukan yang dipimpin oleh Kapten Soegondo,
Letnan I Dimyati (terakhir sebagai Lurah Kebumen), dan Letnan Muda Pratedjo. Pemindahan
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 23
dilakukan dengan menggunakan truk dan kereta api. Mereka berhasil memindahkan
beberapa pucuk senjata, 30 mesin bubut, dan sejumlah alat produksi lain. Alat – alat
tersebut kemudian dibawa ke kompleks Sekolah Teknik (ST) Kebumen untuk melengkapi
alat-alat yang telah ada sebelumnya dan selanjutnya digunakan sebagai alat memproduksi
senjata, baik senjata tajam maupun senjata api, seperti : pedang panjang (model samurai
Jepang), pedang biasa, pistol, pistol mitraliur, kaki Senapan Mesin Ringan dan kaki Senapan
Mesin Berat untuk Pasukan Anti Serangan Udar (PASU) 12.7 dan M 2.3.
Dengan demikian Batalyon III/Kebumen memiliki bengkel senjata. Senjata – senjata
yang dihasilkan digunakan untuk melengkapi persejataan badan perjuangan di Kedu Selatan,
agar potensi dan semangat juang meningkat.
SMP 7 Kebumen (dahulu Sekolah Tehnik dan bengkel
senjata)
Tenaga yang dilibatkan dalam kegiatan
produksi senjata terdiri dari:
- 24 orang Guru Sekolah Teknik Kebumen
diantaranya; Sanoesi, Haroen, Soedjangi, Dalilan,
dan Badaruzzaman.
- 100 orang siswa Sekolah Teknik Kebumen.
- 200 orang personil yang dipindahkan dari Bandung.
Personil dari Bandung pada umumnya telah berkeluarga. Mereka membawa
keluarganya tinggal di Kebumen. Keberhasilan produksi senjata di Kebumen merupakan
prestasi yang langka. Namun hal tersebut juga menjadi beban bagi kesatuan tingkat
batalyon. Karenanya, bertepatan dengan penandatanganan Persetujuan Linggarjati tanggal
25 Maret 1947, atas pertimbangan Resimen dan Divisi, bengkel senjata Kebumen kemudian
diserahkan ke Kementerian Pertahanan RI. Begitu juga dengan personilnya, sebagian besar
masuk ke TRI (Tentara Republik Indonesia), termasuk siswa di ST Kebumen. Sedangkan guru
ST Kebumen kembali bekerja seperti semula.
TKR Batalyon I Moekahar/Purworejo tidak ketinggalan pula berupaya menambah
senjata. Senjata yang berhasil diproduksi adalah granat yang terkenal dengan sebutan
Granat Gombyok. Granat ini adalah hasil karya Letnan II Soenarto (mantan Sersan KNIL)
yang ditugaskan di bagian persenjataan Batalyon I Resimen Moekahar. Granat Gombyok
mendapat sambutan dan dukungan baik oleh Komandan Batalyon I Resimen Moekahar
Mayor Koen Kamdani dan selanjutnya diproduksi secara masal.
Granat Gombyok pada masanya benar – benar memasyarakat. Bengkel Granat
Gombyok di Batalyon I/Purworejo pun akhirnya diserahkan kepada Kementerian
Pertahanan RI di Yogyakarta.
Menghadapi Sekutu
Tanpa memperhatikan Poklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia, sebagai
pemenang perang, tentara Sekutu merasa berhak masuk ke wilayah Indonesia yang
sebelumnya adalah wilayah kekuasaan Bala Tentara Jepang yang berakhir pada 14 Agustus
1945, saat Jepang menyerah kepada Sekutu.
Sekutu mendarat pertama kali di Jakarta pada tanggal 5 Oktober 1945. Disusul
pendaratan kedua di Medan pada tanggal 9 Oktober 1945, di Surabaya pada tanggal 25
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 24
Oktober 1945, di Palembang pada tanggal 12 oktober 1945, di Semarang pada tanggal 20
Oktober 1945, di Bali pada tanggal 27 Oktober 1945 dan di Makasar sejak awal September
1945.
Kedatangan Sekutu belakangan diketahui diboncengi NICA – Belanda. Keadaan ini
menimbulkan kecurigaan dan kewaspadaan di kalangan TKR, meskipun di sisi lain masuknya
Sekutu ke wilayah RI didasarkan hasil keputusan Perjanjian Postdam.
Pengumuman SEAC yang disiarkan di Singapura menyebutkan tujuan Sekutu ke
indonesia yaitu:
1. Melindungi dan mengungsikan tawanan – tawanan perang dan tawanan biasa.
2. Melucuti dan mengembalikan tentara Jepang ke negaranya.
3. Menjaga keamanan dan ketenteraman agar kedua maksud itu dapat terlaksana tanpa
mengganggu kedaulatan RI.
Meskipun tentara Sekutu berdalih sebagaimana di atas, namun dalam kenyataannya
mereka bertingkah lain. Hal itu menimbulkan rakyat terutama pemudanya merasa
tersinggung kehomatannya karena kedatangan Sekutu tidak lain adalah untuk membantu
Belanda menjajah kembali Indonesia.
Bangsa Indonesia sendiri telah bertekad bulat “lebih baik mati daripada hidup
dijajah”, seperti terlihat dalam semboyan “Sekali Merdeka Tetap Merdeka” dan Merdeka
atau Mati”
Kehadiran Sekutu yang diboncengi tentara NICA – Belanda telah meningkatkan
persatuan dan kesatuan bangsa untuk melakukan perlawanan yang gigih meskipun dengan
senjata apa saja yang dimilikinya. Rakyat sadar bahwa dari kekuatan senjata, sangatlah tidak
seimbang antara TKR dan barisan – barisan pejuang RI dengan Sekutu yang persenjataannya
serba lengkap dan lebih berpengalaman.
Namun berkat persatuan dan kesatuan, perjuangan mempertahankan kemerdekaan
sebagai perjuangan mulia dan suci yang diridhoi Tuhan, Sekutu yang demikian kuat dalam
alat dan perlengkapan perang pada akhirnya dapat diusir dari bumi Indonesia. Meski untuk
sampai ke arah itu harus dibayar dengan pengorbanan besar baik jiwa maupun harta benda.
Pertempuran – pertempuran menghadapi sekutu yang kadang kala melibatkan Jepang
terjadi di seluruh kota besar di Indonesia. TKR dan barisan – barisan pejuang RI melawan
dengan sekuat tenaga.
Menanggulangi Serangan Sekutu
Pertempuran dengan Jepang selama 5 hari di Semarang yang menelan korban lebih
kurang 2000 jiwa di pihak RI dan 950 jiwa di pihak Jepang telah menyibukkan segenap
pemuda di Jawa Tengah. Keadaan ini memberi kesempatan kepada Sekutu untuk
mendaratkan pasukannya di Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945. Pada mulanya
pasukan sekutu tidak mendapatkan gangguan dari pihak RI ataupun pemuda pejuang.
Mereka berhasil menuju Ambarawa dan tiba di Magelang pada tanggal 26 Oktober 1945
untuk menjalankan misi melindungi dan mengungsikan tawanan – tawanan perang dan
tawanan biasa, melucuti senjata dan mengembalikan tentara Jepang, serta menjaga
keamanan dan ketenteraman agar kedua misi dapat terlaksana dengan sebaik – baiknya.
Sambutan baik terhadap sekutu di Semarang menjadi berubah setelah diketahui
bahwa Sekutu diboncengi NICA – Belanda. Terlebih setelah Sekutu mulai melukai perasaan
rakyat, dengan memberikan kebebasan tentara NICA – Belanda untuk berbuat apa saja yang
dikehendakinya.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 25
NICA kemudian membebaskan orang – orang Belanda yang ditawan di tempat
penampungan di Ambarawa dan Magelang. Orang – orang ini tidak mau tahu kalau yang kini
berkuasa adalah pemerintah RI. Bahkan mereka berusaha mendapatkan kembali kedudukan
sebagai penguasa seperti sebelumnya. Dengan demikian teranglah bahwa mereka itu
melanggar kedaulatan bangsa Indonesia. Perbuatan mereka itu menjadi penyebab
timbulnya kemarahan rakyat Jawa Tengah, sehingga bangkit keberaniannya untuk
melakukan pemboikotan makanan dan keperluan sehari – hari lainnya bagi Sekutu.
Tindakan itu baru permulaan. Apabila tentara Sekutu dan NICA tidak menyadari tugasnya
yang dikeluarkan dalam pernyataan resminya, maka rakyat Jawa Tengah akan bertindak
lebih tegas lagi.
Kegiatan Sekutu di Semarang dan Magelang lewat Ambarawa, semakin jelas dan
nyata memperlihatkan kekurangajarannya. Segenap potensi pasukan – pasukan TKR dan
badan – badan kelaskaran di Jawa Tengah mengalir ke kota Semarang dan Ambarawa untuk
mengadakan pengepungan terhadap sekutu.
Pada tanggal 30 Oktober 1945 di Semarang meletus pertempuran melawan Sekutu.
Esok harinya tanggal 1 November 1945 rakyat Magelang mengangkat senjata melawan
Sekutu.
Pertempuran Magelang
Selain 9 orang tentara Sekutu yang diterjunkan di lapangan Gunung Tidar pada
tanggal 24 September 1945, pada tanggal 26 Oktober 1945 tentara Sekutu (Inggris) dari
Semarang masuk Kota Magelang lengkap dengan tank, panser, truk, jip, dan lain – lain.
Pasukan Inggris dari kesatuan tentara Ghurka dan beberapa perwira tentara Belanda turut
di dalamnya.
Sekutu mendirikan markasnya di Kompleks Militer Badaan, sehingga lapangan penuh
dengan kendaraan militer. Tentaranya mulai ditempatkan di Zusteran dan Socitet, dan
langsung menduduki gedung – gedung umum di jalan Poncol. Bendera Inggris pun dipasang
dimana Sekutu berada. Akhirnya terjadi insiden.
Rakyat mengepung gedung – gedung untuk menurunkan bendera Inggris dan
menggantikannya dengan bendera Merah Putih. Inspektur Polisi Legowo kepala Polisi Kota
menengahi insiden antara rakyat dengan tentara Inggris. Penyelesaian kompromi dicapai,
pengibaran harus didampingi bendera Merah Putih.
Insiden berlangsung kembali ketika tentara Inggris merampas kendaraan tentara
Jepang yang sudah di tangan rakyat. Bahkan senjata pun harus dikembalikan kepada
mereka. Rakyat tetap bertahan. Akhirnya terjadilah “Clash” bersenjata antara pihak
Indonesia dengan pihak Sekutu. Korban pun berjatuhan.
Pasukan TKR yang sedang disusun di Kedu dan sekitarnya tidak diam. Masing –
masing menyusun pasukannya yang terlatih dan bersenjata lengkap untuk membantu
pasukan di Magelang.
Kekuatan utama pasukan RI di kota Magelang ialah Resimen TKR Kedu Tengah di
bawah Komandan Resimen Kedu Tengah, Letkol M. Sarbini (dahulu eks Chodancho) dengan
5 batalyon yaitu:
1. Batalyon I/Mayor Soeryo Soempeno
2. Batalyon II/Mayor Koesen
3. Batalyon III/Mayor Ahmad Yani (Pahlawan Revolusi)
4. Batalyon IV/Mayor Soewito Haryoko
5. Batalyon V/Mayor Wagiman
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 26
Di Kota Magelang/wilayah Kedu Tengah, selain pasukan TKR Resimen Kedu Tengah,
terdapat pula pasukan dari badan – badan kelaskaran di antaranya BPRI, Pesindo, Hizbullah,
dan Sabilillah.
Pasukan bantuan dari luar Kota Magelang pun berdatangan baik dari Purwokerto,
Yogyakarta dan Kedu Selatan (Purworejo, Kutoarjo, Kebumen, dan Gombong).
Gombong mengirimkan satu Seksi BKR bersenjata lengkap di bawah pimpinan eks
Shodancho Soedarsono Bismo dengan eks Shodancho Slamet Soebyakto sebagai wakil.
Sedangkan komandan – komandan regunya antara lain Regu I eks Bundancho Djoerdjani,
Regu II eks Bundancho Soeparman, dan Regu III eks Bundancho Bagyoto.
Setelah tiba di Tempuran (sebelum masuk Magelang), mereka melaporkan diri
kepada Komandan Pertempuran Letkol (TKR) Sarbini yang bermarkas di Tempuran. Atas
perintahnya, Peleton Soedarsono Bismo menuju alun – alun Magelang dimana telah berada
pasukan – pasukan dari Yogyakarta, Solo, dan Magelang sendiri.
Kebumen mengirimkan satu kompi BKR pimpinan eks Shodancho Soedarmin.
Komandan seksi I eks Shodancho Dimyati, seksi II eks Bundancho Soemari, seksi III eks
Bundancho D.S. Iskandar, komandan regunya eks Bundancho Soegito dan eks Bundancho
Pratedjo.
Setibanya di Tempuran, Kompi Soedarmin melapor kepada Letkol Sarbini selaku
komandan pertempuran. Kehadiran sejumlah pasukan dari berbagai kesatuan tersebut
mengakibatkan Magelang dengan tentara Sekutunya terkepung rapat.
Pertempuran dan Gencatan Senjata
Tanggal 28 Oktober 1945 tentara Jepang Kidobutai dari Semarang datang ke
Magelang karena hasutan tentara Inggris yang mengatakan bahwa semua tentara Jepang
dibunuh oleh extrimis – extrimis. Kidobutai mengadakan penggeledahan dengan ganasnya
kampung – kampung sekitar Badaan, Potrobangsan, Botton mencari pemuda extrimis.
Akibatnya rakyat yang dibunuhnya.
Dini hari 29 Oktober 2945 pertempuran meletus. Inggris memperkuat
kedudukannya, terutama di Zusteran dengan senjata berat “Elenan” dan mortir. Pesawat
mengirim makanan dan lain – lain. Kota Magelang terbagi dua. Zusteran merupakan garis
depan Inggris dan watertoren garis depan pejuang. Pada malam hari, pasukan TKR masuk ke
daerah Sekutu untuk mengadakn perlawanan dan sabotase, sedangkan pagi harinya, TKR
sudah menghilang. Keadaan demikian berlangsung selama tiga hari pertempuran.
Tanggal 1 November 1945, ada berita Cease Fire karena presiden Soekarno akan
datang di Magelang ke Markas BKR di Jalan Embong Mawar. Perwira dari Pertahanan
Yogyakarta datang membicarakan kedatangan Presiden pada 2 November 1945. Inspektur
Polisi Legowo yang bertugas menjemput Presiden sempat dilucuti tentara Jepang di
tikungan Jalan Dukuh dan dihadapkan kepada komandan Sekutu. Namun setelah dijelaskan,
Legowo dibebaskan. Setibanya di Rumah Sakit Jiwa Keramat, rombongan Presiden dan
jenderal Bethel berikut Merah Putih dan bendera Inggris berdampingan tampak dari jauh.
Legowo mengantar rombongan ke tempat perundingan di markas Tentara Inggris Badaan.
Perundingan juga diikuti oleh Letkol Sarbini sebagai Komandan TKR, wakil Residen Kedu
Winarno, Pimpinan Laskar Rakyat Budi Handoko, dan Walikota Magelang Soeprodjo. Dari
pihak Inggris ialah Letkol Edward, Mayor Holmes, dan Kapten Ball.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 27
Perundingan Presiden RI dan Jenderal Bethel menghasilkan :
- Pembentukan Contact Committe (CC) terdiri dari pihak Indonesia dan Inggris, atas nama
semua yang duduk dalam committe. Tujuan CC bekerja sama secara erat untuk bersama
– sama mencari jalan penyelesaian konflik yang akan timbul.
- Penjelasan rinci tugas kewajiban tentara Inggris selama pendudukan, terutama
pengamanan tawanan perang maupun sipil Sekutu dan pelucutan senjata tentara Jepang.
- Penjelasan yang berkuasa menurut hukum di bumi Indonesia adalah RI.
- Semua kebutuhan tentara Inggris seperti bahan makanan, alat angkutan, dan keperluan
lainnya agar dapat dicukupi pihak Indonesia.
Seusai perundingan Presiden melakukan release ke seluruh tanah air melalui RRI
yang terletak di kantor telepon, seberang rumah bupati. Cease Fire resmi berlaku mulai
pukul 06.00 wib tanggal 2 November 1945. Kota Magelang pun tenteram, hanya kadang –
kadang pada malam hari terdengar tembakan di sana – sini.
Dengan diam diam, pada tanggal 21 November 1945 tentara Inggris dengan 62 truk
meninggalkan Magelang tanpa Pamit kepada CC. Markas dan rumah – rumah ditinggalkan
kosong. Mereka membawa pasukan sipil, wanita dan anak – anak Belanda.
Pasukan TKR terdiri dari Batalyon Mayor Soeryo Soempenoe, Mayor Achmad Yani
dan Mayor Koesen, dipimpin Letnan Kolonel Sarbini sebagai pejuang mengejar Sekutu yang
mundur ke Ambarawa.
Di pihak TKR, khusus Kedu Selatan eks Shodancho Yahya Purworejo, pemuda Ribut
dari Kebumen, dan dua pemuda Purworejo tak dikenal gugur tertembak. Sedangkan
pemuda Blewuk dari kebumen cedera matanya. Korban di pihak Inggris tidak diketahui.
Ketika gencatan senjata mulai berlaku tanggal 2 November 1945, maka pasukan BKR
dan badan kelaskaran kembali ke basisnya. Begitu pula pasukan BKR Purworejo, Kutoarjo,
Kebumen maupun Gombong yang selanjutnya segera merampungkan penyusunan TKR.
Berhubung tiga batalyon di Magelang mengejar mundurnya Inggris, maka TKR
Purworejo kembali ke Magelang sebagai pasukan keamanan dan pertahanan kota. Salah
satu posnya ialah Magelang Utara di Kramat. Komando Pos berada di salah satu barak
Rumah Sakit Kramat. Pos Depan di jalan Raya Magelang – Ambarawa (dekat Payaman).
Antara Komando Pos dengan Pos Depan dihubungkan telepon lapangan yang kebetulan
dapat kiriman dari PTT Bandung. Pos Magelang Utara dipimpin Sroehardoyo (Komandan
Seksi TKR Purworejo). Dengan senjata lengkap senapan panjang dan mitraliur. Logistik
terurus baik, 3 kali sehari dapat Nuk dari dapur umum ibu – ibu pegawai rumah sakit
Kramat.
Heriosme Pejuang Kedu Selatan dalam Pertempuran Ambarawa
Pertempuran Ambarawa yang dikenal pula sebagai “Palagan Ambarawa” merupakan
suatu rentetan peristiwa dengan pertempuran Magelang. Pertempuran itu merupakan
luapan kemarahan rakyat terhadap Sekutu yang secara nyata membantu Belanda untuk
kembali menjajah Indonesia.
Tentara Sekutu berada di Ambarawa sejak hari pendaratannya di Semarang pada 20
Oktober 1945. Tindakan – tindakan tentara Sekutu ternyata tidak menghormati kedaulatan
RI, maka terjadilah insiden pada hari itu juga antara TKR dan pemuda dengan pihak Sekutu
dan NICA.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 28
Insiden lalu meluas menjadi pertempuran. TKR dipimpin Mayor Soemarto, Komandan
Batalyon Ambarawa, dengan dua Kompi di dalam kota, dan dua kompi di Bantir Sumowono,
dibantu angkatan Muda pimpinan Soekardjan.
Setelah pertempuran meletus di Ambarawa, pasukan – pasukan bantuan dari sekitar
Ambarawa berdatangan yaitu dari Salatiga, Boyolali, dan Surakarta.
Mundurnya Sekutu dari Magelang diduga ada hubungannya dengan petempuran di
Ambarawa. Dalam perjalanan mundur, di daerah Pingit pasukan Sekutu menteror rakyat
dengan kejamnya.
Pasukan Mayor Imam Hadrongi dari Purwokerto yang telah berada di Magelang
sejak pertempuran meletus, berkekuatan 3 kompi diperkuat dengan 2 pucuk meriam 7,5 cm
siap membebaskan Pingit.
Pada pagi 22 November 1945 Batalyon Imam Hadrongi melakukan serangan subuh
terhadap daerah Pingit. Ternyata Sekutu telah meninggalkan Pingit menuju ke Ambarawa.
Pada hari yang sama Sekutu membuka serangannya dengan tembakan – tembakan mortir
dan senapan mesin ke kampung Temanggungan dan Kampung Panjang Kidul dimana
terdapat pertahanan Kompi Soehardi, Polisi di bawah pimpinan Soegito, Angkatan Muda di
bawah pimipnan Soekarjan yang di dalamnya bergabung Angkatan Muda Narapidana
Ambarawa.
Tentara Sekutu menggunakan tentara Jepang sebagai tawanan, untuk mendesak
pertahanan pasukan RI. Pada tanggal 23 November 1945, pasukan Sekutu diperkuat tank
melancarkan serangan ke seberang timur kali Panjang, kemudian ke kawedanan dan pasar
Praja.
Semakin hebatnya pertempuran di Ambarawa, menyebabkan bertambahnya
pasukan – pasukan TKR dan badan – badan kelaskaran datang ke Ambarawa. Dari
Yogyakarta datang Batalyon 10 Divisi III pimpinan Mayor Soeharto (Presiden ke – 2 RI),
Batalyon B di bawah pimpinan Mayor Sardjono, dan Tentara Rakyat Mataram (TRM) di
bawah pimpinan Soetardjo yang dikenal dengan Bung Tardjo. Sementara dari Purwokerto
selain Batalyon Imam Hadrongi juga tiba Batalyon Wijaya Kusuma pimpinan Mayor Soegeng
T. Sewoyo. Kedua Batalyon ini langsung di bawah pimpinan Komandan Resimen I Divisi V
Purwokerto Letkol Isdiman yang telah bertugas sejak pertempuran Magelang.
Setibanya di Ambarawa, semua batalyon menyusun pertahanan dan persiapan
melancarkan serangan. Sekutu berusaha mempertahankan kedudukannya, sedangkan TKR
berupaya merebut pertahanan Sekutu. Kedua belah pihak mengerahkan segala
kemampuannya, sehingga pertempuran berjalan cukup sengit. Tembakan meriam dibalas
dengan tembakan meriam. Tembakan senapan mesin dibalas dengan tembakan senapan
mesin.
Tekanan – tekanan kuat pasukan TKR dan pejuang, menyebabkan Sekutu
mengerahkan pesawat terbangnya untuk melakukan pemboman dan penembakan senapan
mesin ke arah kedudukan RI. Namun TKR dan para pejuang tidak gentar. Sekutu menjadi
cemas, sehingga tentara Jepang digunakan untuk menyusup dengan kawalan tank ke daerah
belakang RI. Dalam situasi demikian, Pos Ngampin (sebelah selatan Gereja Jago) jebol. Seksi
Sroehardoyo diperintahkan maju. Tugas Pos Magelang Utara digantikan Seksi Soeparyo dari
Purworejo.
Seksi Sroehardoyo langsung menghadapi serangan dengan tembakan – tembakan
mitraliur 12,7 dan bom seberat 50 kg di belakang pertahanannya. Lubang – lubang bekas
jatuhnya bom, dimanfaatkan sebagai perlindungan sehingga atas kehendak Tuhan, anak
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 29
buah seksi Sroehaardoyo tetap utuh. Peristiwa ini dirasakannnya sebagi suatu vuurdroop
(ujian latihan tembak) baginya.
Tidak disangka beberapa saat setelah serangan udara Inggris berhenti, datang Mayor
Koen Kamdani selaku Komandan Batalyon I/TKR Purworejo menengok anak buah yang
bertugas di garis terdepan. Mayor Koen Kamdani sekaligus menyerahkan SK pengangkatan
eks Shodancho Sroehardoyo menjadi komandan Kompi I Batalyon I dengan pangkat Kapten.
Tidak lama kemudian komandan Resimen Purworejo Letnan Kolonel Moekahar juga datang.
Setelah melihat keadaan anak buah Sroehardoyo yang kelelahan dan pucat, Letnan Kolonel
Moekahar memerintahkan pasukan istirahat di garis belakang.
Pasukan Sroehardoyo baru kembali ke Purworejo setelah pasukan pengganti pos
Ngampin datang. Perjalanan ke Purworejo untuk istirahat ternyata banyak menghadapi
tantangan dan hambatan, bahkan sebagian sempat kesasar.
Sementara itu situasi pertempuran Ambarawa semakin bertambah gawat setelah
Sekutu menggunakan bantuan tentara Jepang secara besar – besaran. Sadar akan bahaya,
maka pasukan TKR yang semula sudah berada di dekat kota Ambarawa, segera mundur
hingga Bedono.
Untung saja pasukan – pasukan bantuan mulai berdatangan dari beberapa daerah,
antara lain dari Yogyakarta Batalyon I Divisi III dipimpin oleh Mayor Pranoto Reksosamudra.
Batalyon Polisi Istimewa dipimpin oleh Oni Sastroatmodjo, Barisan Macan yang anggotanya
terdiri dari para narapida yang dipersenjatai, juga Laskar Wanita Indonesia (Laswi) yang aktif
menyelenggarakan dapur umum dan PPPK. Sedangkan dari Purwokerto selain pasukan divisi
V TKR yang telah berada di medan sejak di Magelang, juga menyusul para pasukan Resimen
Moekahar (Resimen Purworejo) yang kelak menjadi Resimen XX/Kedu Selatan.
Setelah reorganisasi dan kosolidasi, semula Resimen Purworejo akan mengirim
Batalyon I/Mayor Koen Kamdani dan Batalyon III/Soedradjat, serta satu kompi meriam.
Karena keterbatasan angkutan, Batalyon I yang terdiri dari Kompi I/Kapten Sroehardoyo,
Kompi II/Kapten Sanoesi, Kompi III/Kapten Bambang Irawan, dan Kompi Meriam Letnan I
Oerip, pada 6 Desember 1945 dengan truk menuju Magelang terus ke Gumawang.
Selanjutnya mereka menyusun pertahanan di lokasi yang telah ditentukan.
Lima hari kemudian Batalyon III berkekuatan 3 kompi berangkat dari Kebumen
menggunakan Kereta Api Luar Biasa (KLB) ke Yogyakarta. Setelah istirahat di hotel Tugu,
mereka ganti kereta ke Magelang dan turun di stasiun Wates.
Atas pertimbangan pimpinan, setelah Batalyon III tiba di Magelang hanya satu kompi
saja yang ke Ambarawa. Dua kompi lainnya termasuk Komandan Batalyon III/Kebumen,
kembali ke Kebumen.
Dalam tugas ke Ambarawa, Kapten Soemrahadi yang semula Kepala Staf Batalyon III
menjabat sebagai Komandan Kompi, sedangkan Kapten H. Soegondo Komandan Kompi I
menjabat sebagai wakil Komandan Kompi I. Adapun Komandan Seksi I letnan II Kliwon, Seksi
II Letnan Muda Tambeng, Seksi III Letnan Muda Soepadi, Kepala Staf kompi Serma Soepardi.
Kompi Soemrahadi ke Ambarawa dari stasiun Wates (Magelang) dengan kereta dan turun di
Stasiun Bedono sekitar pukul 16.00 Wib. Di sana Kompi Soemrahadi mendengar dan melihat
kilat tembakan dari Banyubiru dengan sasaran kedudukan musuh di Ambarawa. Tembakan
tersebut ternyata dari barisan Jenggot yang lebih dahulu tiba, untuk melindungi Kompi
Soemrahadi.
Ketika menyeberangi Jalan Raya Magelang – Ambarawa menuju kiri jalan, pasukan
disambut mortir musuh selama satu jam. Sungguh satu mukjizat, mortir musuh yang
menghujani tidak satu pun melukai, meskipun berjatuhan di sela – selanya. Bahkan satu
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 30
diantaranya jatuh tiga meter di hadapan Kapten Soemrahadi langsung menghunjam ke
dalam tanah, tapi tidak meledak. Pasukan semakin hati – hati dan tiba di desa Jambu pada
malam hari.
Selama dua hari dua malam Kompi Soemrahadi bertahan di desa Jambu di daerah
pohon – pohon besar, tanpa ganti pakaian, dengan makan seadanya seperti singkong bakar,
jagung bakar, kelapa, atau gori rebus.
Setelah dua hari bertahan,pada malam ke tiga Kompi Soemrahadi mendapat
perintah masuk kota Ambarawa pada jam 04.30 Wib dengan sasaran Zusteran. Pada jam D
kompi telah siap dan pada jam 04.30 Wib terdengar ledakan. Sasaran didekati melalui
selokan menerobos di bawah tembok Zusteran. Ternyata tidak ada perlawanan. Bunyi
ledakan tadi bukan komando maju, melainkan ledakan ranjau di jalan dekat jembatan
masuk Kota Abarawa yang megakibatkan gugurnya Komandan Kompi III Kapten Bambang
Irawan berikut seorang pengawal komandan batalyon. Dua orang pengawal lain luka berat.
Mayor Kamdani terpental ke sawah dan dirawat. Kejadian ini membuat Kompi Bambang
Irawan “Ngamuk”. Kompi Sroehardoyo dan Kompi Sanoesi terus maju melancarkan
serangan ke kota.
Dengan penuh kesiagaan dan kewaspadaan Kompi Soemrahadi dan Kompi I, II, III
Batalyon I melakukan pembersihan sekitar kompleks Zusteran. Semua kamar dan ruangan,
bahkan kamar mandi dan gudang diperiksa. Namun tidak ada seorang musuh pun yang
masih hidup ditemukan. Yang ada hanyalah mayat – mayat serdadu Ghurka berserakan di
halaman, ruangan, dan di gudang, dengan pakian seragam dan senjata yang masih di
tangan. Ada pula Gurkha berseragam dan senjata di tangan dalam keadaan berdiri, mati
bersandar di dalam WC diduga telah bunuh diri. Dari ratusan mayat yang ditemukan
terdapat beberapa yang sudah mulai berbau.
Kompi Soemrahadi memeriksa secara teliti. Kompleks Zusteran ini akan digunakan
sebagai penampungan pasukan. Kompi Soemrahadi ditunjuk menempati tiga gedung di
pusat kota, di jalan menuju stasiun (seberang Monumen Palagan). Pasukan lainya termasuk
kompi I, II, III Batalyon I tersebar di dalam kota yang telah ditunjuk pimpinan. Sejauh ini
beberapa gedung ternyata merupakan gudang makanan (terbanyak makanan kaleng),
gudang pakaian, sedikit gudang benzene, dan sedikit gudang peluru.
Siang harinya pembersihan dan patroli terus dilakukan. Di sana - sini terdapat
kebakaran gedung – gedung, kantor, rumah, pasar, yang dilakukan musuh saat mundur ke
Semarang. Beberapa penduduk yang tidak ikut mengungsi keluar kota, memilih tetap dalam
rumahnya.
Pada malamnya kota Ambarawa sunyi senyap. Sesekali memang terdengar suara –
suara tembakan dan masih terlihat api kebakaran yang belum padam. Lebih kurang pukul
22.00 Wib, Panglima Divisi V Kolonel Soedirman didampingi para komandan resimen
mengadakan inspeksi dalam kota dan beberapa asrama penampungan, untuk
menyampaikan amanat agar pasukan TKR tidak “melik” terhadap benda musuh maupun
milik penduduk.
Hal itu berarti pasukan TKR tidak boleh menggunakan kesempatan untuk mengambil
apalagi merampas barang atau harta benda yang bukan miliknya. Kepada mereka yang
sudah terlanjur mengambil atau membawanya diperintahkan untuk mengembalikan di
mana barang tersebut diambil.
Panglima menegaskan bahwa perjuangan ini adalah perjuangan suci dan tidak boleh
dikotori oleh nafsu kebendaan. Pesan Panglima divisi V ini diteruskan para komandan dan
anak buah dalam kesatuan masing - masing.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 31
Bila pada saat terakhir pasukan RI masuk kota tidak mendapat perlawanan, tidak
berarti secara kebetulan Sekutu telah tiba waktunya mundur meninggalkan Ambarawa.
Sesungguhnya Sekutu telah kehilangan kepercayaan terhadap kekuatannya sendiri untuk
menghadapi pasukan TKR dan pejuang RI yang bersatu dengan daya dobraknya yang
demikian hebat, sehingga mereka memilih lari mundur ke Semarang daripada hancur.
Gerakan mundur Sekutu ke Semarang, dikejar Kompi Letnan I Panoedjoe Batalyon II
yang baru datang. Di Semarang Barat terjadi tembak - menembak. Dalam peristiwa ini
Letnan Soeratman Komandan Seksi Kompi Panoedjoe gugur dan dimakamkan di
Bandungrejo (Bayan) timur kota Kutoarjo.
Demikianlah Ambarawa dapat dikuasai secara penuh oleh pihak RI pada tanggal 15
Desember 1945. Hari itu kemudian dijadikan hari Infanteri dan kemudian dikukuhkan
sebagai hari TNI Angkatan Darat. Monumen Palagan Ambarawa didirikan untuk mengenang
peristiwa heroik tersebut.
Mengembalikan Tawanan Perang
Para tawanan perang yang akan dikembalikan tergolong atas: tawanan perang yang
terdiri dari orang Belanda, Australia, dan Eropa lain berikut keluarganya yang dikenal
sebagai APWI (Allied Prisoners of War and Internees). Mereka berstatus tawanan sejak
Belanda menyerah kepada Jepang pada 2 Maret 1942 sampai dengan 14 Agustus 1945.
Tawanan Jepang yang berstatus tawanan sejak Jepang menyerah pada 14 Agustus
1945 hingga masalah pengembalian tawanan perang selesai. Dalam prakteknya sebagian
Jepang ditawan RI.
Latar Belakang Pengembalian Tawanan Perang oleh RI
Indonesia mendapatkan kepercayaan Internasional melalui Sekutu dalam
perundingan RI dengan Sekutu pada 30 November 1945 di Jakarta. Pihak RI diwakili oleh
Wakil Menteri Luar Negeri RI Agus Salim, dan Sekutu diwakili oleh Wakil Kepala Staf Sekutu
Brigjen I. C. A. Lauder.
Dalam perundingan disepakti bahwa pemulangan Jepang dan APWI yang berada
dalam daerah kekuasaan RI diserahkan dan dipertanggungjawabkan kepada pihak RI.
Perundingan itu merupakan tindak lanjut dari tawaran kerja sama RI dengan Sekutu yang
dilontarkan oleh Wakil Menteri Luar Negeri RI sebagai move diplomatic setelah melihat
Sekutu menderita kekalahan dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, dan
terhambatnya tentara Sekutu melucuti tentara Jepang karena sudah dilucuti oleh RI.
Sampai akhir November 1945 masih terdapat 35.000 orang tentara Jepang dan
36.000 APWI di daerah kekuasaan RI yang tidak berhasil dicapai oleh Sekutu. Bagi RI
penyerahan tugas Internasional ini merupakan pengakuan de facto oleh Sekutu terhadap
keberadaan negara Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Selanjutnya
untuk pelaksanaannya pemerintah mempercayakan kepada TKR.
Operasional Pengembalian Tawanan Perang
Operasional pengembalian berada di bawah Panglima Besar Soedirman.
Pelaksanaannya adalah Panitia Urusan Pengangkutan Jepang dan APWI (POPDA) yang
dipimpin oleh Jenderal Mayor Abdoel Kadir, wakilnya Kolonel Laut Jayadiningrat, bermarkas
di dekat bandara Solo.
TKR Resimen Moekahar mendapat perintah dan kepercayaan mengirim kompi guna
melaksanakan tugas Internasional tersebut. Ikut pula kesatuan TKR Jawa tengah lainnya dari
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 32
divisi Siliwangi antara lain dipimpin oleh Komandan Kompi Letnan I Ismail. Kemudian
disusun komandan kompi, seksi, regu, dan prajurit yang secara khusus diberikan latihan dan
tambahan pengetahuan untuk menghadapi tugas POPDA. Pasukan lalu diberi seragam,
perlengkapan perseorangan dan senjata dari pihak POPDA.
Anggota Resimen Moekahar tugas POPDA ekspedisi pertama bertugas di Colomadu,
masuk Batalyon AURI sejak bulan Desember 1945 sampai April 1946 adalah:
- Komandan Kompi Kapten Toemiran (Bataliyon I/Kutoarjo).
- Seksi I Letnan II Soegito (Batalyon III/Kebumen)
- Seksi II Letnan Muda Bagyoto (Batalyon IV/Gombong).
- Seksi III Letnan Muda Legiman (Batalyon I/Purworejo).
Sedangkan pasukan ekspedisi II terdiri dari:
- Komandan Kompi Kapten Roes’an (Batalyon IV/Gombong)
- Seksi I Letnan II AA Djoerdjani (Batalyon IV/Gombong)
- Seksi II Letnan Muda Bagyoto (Batalyon IV/Gombong)
- Seksi III Letnan Muda Soeparman (Batalyon IV/Gombong).
Mereka bertugas di Tegalgondo, masuk Batalyon I Markas Besar Tentara pimpinan
Letkol Achmad S. Widjaya. Sejak Mei 1947, kompi Roes’an, Seksi I dan Seksi II bertugas di
Purbalingga (Purworejo-Klampok), Seksi III tetap bertugas seperti biasa.
Pelaksanaan Tugas
Tugas yang dilakukan Kompi Resimen Purworejo dalam POPDA sebagai berikut:
Tugas pokok kompi adalah sebagai satuan pengawal atau satuan pengaman tawanan.
Pelaksanaannya baik dalam kamp maupun perjalanan atau pengangkutan, baik dengan
kendaran bermotor, kereta api ataupun pesawat udara untuk mencegah terjadinya hal – hal
yang tidak diinginkan.
Tugas pengamanan kamp tawanan di Solo berjalan lancar. Namun di Purbalingga,
satuan pengamanan dituntut tegas dalam menghadapi gangguan berupa perkelahian
antarsesama kelompok tawanan yang terdiri dari tentara Sekutu asal India (Gurkha/Sikh).
Biasanya terjadi karena adanya perbedaan agama dan kebudayaan yang berakibat jatuhnya
korban.
Tawanan dari Solo ke Semarang diangkut dengan Dakota. Tiap pesawat terdapat
seorang pilot dan co pilot Inggris, seorang perwira RI selaku pengawal, seorang anggota
palang merah bangsa Indonesia dan seorang Inggris menerima di Semarang, sekaligus
mendampingi perwira RI yang mengawal hingga kembali meninggalkan Semarang. Di
Semarang, tawanan diterbangkan ke Jakarta tiap hari. Apabila cuaca baik mencapi 3 - 4
perjalanan pengangkutan Solo – Semarang, yang berlangsung sampai dengan akhir
Desember 1945. Pengangkutan dengan pesawat Solo – Semarang terhenti karena lapangan
terbang Banteng dihancurkan TRI.
Pengangkutan selanjutnya dengan kereta api yang dikenal Kereta Luar Biasa (KLB).
Tawanan Jepang langsung ke Tegal, APWI ke Jakarta melalui Yogyakarta, Kroya, Cirebon,
Cikampek. Formasi KLB biasanya 10 gerbong. Setiap gerbong berisi 50 tawanan atau lebih
dan dikawal dua anggota TRI satgas POPDA.
KLB berjalan tidak cepat, sering berhenti karena dicegat pasukan dengan bendera
merah. Perjalanan Solo – Jakarta ditempuh dua hari. Setiap KLB dihentikan, turunlah
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 33
perwira dari satgas memberikan penjelasan pada komandan pasukan, barulah kereta dapat
melanjutkan perjalanannya.
Setelah Cirebon, kereta dihentikan pasukan, penjelasan seperti biasa diberikan,
namun komandan pasukan sulit menerima, hingga harus menghadap Jenderal Mayor
Abdoel Kadir yang bertindak sebagai pimpinan tertinggi dalam KLB. Barulah sang komandan
pasukan mau mengerti, seraya ketakutan setelah mendapat teguran dari Jenderal Mayor
Abdoel Kadir.
Setibanya di Bekasi dilakukan acara serah terima dengan pengawal dari Belanda.
Pengawalan dari Bekasi ke Jakarta selanjutnya menjadi tanggung jawab pasukan NICA -
Belanda (bukan Inggris - Sekutu).
Satgas POPDA lalu turun dari KLB. Satgas POPDA dari RI menginap di asrama yang
disediakan.Letaknya tidak jauh dari pos tentara Inggris di Bekasi. KLB langsung ke Jakarta
termasuk Jenderal Mayor Abdoel Kadir, penghubung dan staf MBT untuk penyerahan
administrasi tawanan.
Selama di Bekasi, satgas POPDA berada dalam pelayanan dan pengamanan Belanda.
Pernah suatu kali satgas harus menyingkir ke Jakarta dan berada dalam lindungan Sekutu
karena Bekasi diserang secara gencar oleh pejuang RI.
Setelah seminggu berada di Bekasi, barulah KLB datang untuk selanjutnya segera
berangkat ke Solo. KLB penuh dengan saudara seperjuangan yang sebelumnya ditawan
Belanda. Mereka hendak pulang ke kampung halamannya dan ada pula yang karena
tugasnya sehingga perlu ke Yogyakarta.
Dalam perjalanan Solo- Jakarta atau sebaliknya, pada setiap stasiun tertentu kereta
api berhenti cukup lama untuk menerima Nuk makan pagi, makan siang atau makan sore
yang dibagikan kepada para penumpang.
Tugas Berakhir tanpa Berkesudahan
Kompi Roes’an berikut Seksi I Letnan II A.A. Djoerdjani dan Seksi II Letnan Muda
Bagyoto sudah sejak bulan Mei 1947 bertugas di Purbalingga untuk pengamanan dan
pemulangan APWI. Akan tetapi tugas Internasional ini berakhir tanpa berkesudahan. Secara
mendadak datang perintah untuk secepat mungkin menutup jalan di Bobotsari guna
menghambat gerak laju pasukan Belanda yang sedang menuju ke Purwokerto melalui
daerah Purbalingga pada 22 Juli 1947.
Belanda telah melanggar Perjanjian Linggarjati dan tanggal 22 Juli 1947 merupakan
hari kedua terjadinya Agresi Militer Belanda I.
Laskar-Laskar Perjuangan Kebumen setelah Kemerdekaan
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan, di Kebumen
segera bermunculan laskar - laskar perjuangan secara spontanitas yang bertujuan untuk
mempertahankan, menegakkan, dan mengisi kemerdekaan. Laskar - laskar tersebut antara
lain:
1. Kelompok atau Barisan Bekas Prajurit PETA;
- di Kebumen dipimpin oleh eks Chudancho M. Sarbini didampingi oleh eks
Chudancho Soedradjat.
- di Gombong dipimpin oleh eks Chudancho Kaslan Hoedyono Soekamto didampingi
eks Shodancho Soedarsono Bismo dan eks Shodancho Slamet Soebyakto. Pada
waktu pembentukan di Gombong, eks Chudancho M. Sarbini memberikan
pengarahan.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 34
2. Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI), dipimpin oleh Kyai Masdoeki, R.
Moh. Syafei, Soekirno, dan Koencoro.
3. Barisan Hizbullah, dipimpin oleh Idroes.
4. Barisan Banteng 45, dipimpin oleh R. Moh. Syafei dan Moh. Sodik
5. Ikatan Pelajar Indonesia (IPI), dipimpin oleh Soehendro Hendarsin.
6. Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), dipimpin oleh Sri Darmadji.
7. Kelompok Guru Badan Pendidikan Anak (BAPA), dipimpin oleh Aboe Chamid
Yoedopranoto.
8. Kelompok Pegawai Negeri dan Karyawan dengan nama PERBI (Persatuan Buruh
Indonesia), dipimpin oleh Alip Prawirohardjo.
9. Pemuda Putri Indonesia (PPI), dipimpin oleh Sri Moelyani.
10. Persatuan Wanita Republik Indonesia (PERWARI), dipimpin oleh Ibu Goelarso dan Ibu
Mangkoe Soemitro.
11. Palang Merah Indonesia (PMI), dipimpin oleh Dokter Goelarso Sosrohadikoesoemo.
12. Pemuda Minyak;
- di Kebumen (Mexolie) dipimpin oleh Soewarno
- di Karanganyar (Olvado) dipimpin oleh Soepomo
13. Tentara Kereta Api dipimpin oleh Letnan Muda Basuki
14. AOI (Angkatan Oemat Islam), dipimpin oleh Kyai Abdurrohman, Kyai Mahfud
Abdurrohman (Romo Pusat), dan H. Noersodik Abdurrohman (Komandan Pasukan)
15. Pamong Praja, dipimpin oleh Bupati Kebumen Said, kemudian diganti oleh Prawoto
Soedibyo.
16. Polisi Negara;
- di Kebumen dipimpin oleh Ajun Komisaris Soedjono
- di Gombong dipimpin oleh Inspektur I Soebiyono
17. Corps Tentara Pelajar Kompi 330 Kedu Selatan pimpinan Wiyono dengan seksi -
seksi;
- di Prembun dipimpin oleh Soewignyo
- di Kebumen dipimpin oleh Sadar Soedarsono
- di Karanganyar dipimpin oleh Soetrisno
- di Gombong dipimpin oleh David Soelistanto
18. Corps Armada (CA) II (AL) pimpinan Mayor (AL) Wagiman, sejak masuk di Kedu
Selatan dari Cilacap pada pertengahan tahun 1947 Markas berada di Kutoarjo dan
sebagian kekuatannya di Kebumen.
Pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Kebumen
Dalam suasana siaga menghadapi berbagai kemungkinan sebagai konsekwensi dari
Proklamasi 17 Agustus 1945, maka pada tanggal 23 Agustus 1945 keluarlah Seruan Presiden
RI sebagai berikut:
“ Saya berharap kepada kamu sekalian, hai prajurit - prajurit bekas PETA, Heiho, dan Pelaut
serta pemuda-pemuda lain, untuk sementara waktu, masuklah dan bekerjalah pada Badan
Keamanan Rakyat. Percayalah nanti akan datang saatnya kamu dipanggil untuk menjadi
prajurit dalam Tentara Kebangsaan Indonesia…”
Berdasarkan seruan Presiden tersebut, segenap jajaran pemerintahan di daerah
segera mengadakan pertemuan untuk membahas dan mengambil langkah - langkah
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 35
lanjutan dengan berpedoman dan memperhatikan petunjuk yang telah digariskan dari
tingkat atasnya, antara lain:
- Badan Keamanan Rakyat (BKR) ditempatkan dalam wadah Badan Penolong Keluarga
Korban Perang (BPKP) yang dibina oleh Komite Nasional Indonesia (KNI) di daerah -
daerah.
- Tugas BKR adalah menjaga keamanan rakyat setempat.
Rakyat terutama pemuda para bekas prajurit PETA, Heiho, KNIL, Pelaut serta
pemuda lain menanggapi dan menyambut baik Seruan Presiden dengan perasan lega,
karena wadah untuk berjuang telah jelas tersedia. Pembentukan BKR di Kedu Selatan
khususnya di Kebumen tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di daerah - daerah lain.
Pembentukan melalui berbagai proses dan melalui sejumlah tahapan. Di daerah tingkat
kabupaten diadakan musyawarah koordinasi antara bekas Opsir Peta yang tertinggi
pangkatnya dengan Bupati dan Kepala Polisi Negara Kabupaten untuk memecahkan
berbagai masalah guna melaksanakan Seruan Presiden tersebut, dimana hasilnya sebagai
berikut:
- Segera diadakannya pemanggilan kepada para bekas prajurit PETA, Heiho, Pelaut,
KNIL, dan pemuda lain di kampung - kampung atau desa - desa, agar berkumpul pada
tanggal dan tempat yang telah ditentukan.
- Pemanggilan dilakukan oleh Camat ditujukan kepada Kepala Desa/Lurah setempat
melalui Kurir Khusus yang pada tiap hari membawa surat-surat dari kecamatan ke
desa/kelurahan. Yang dimaksud dengan Kurir Khusus adalah pamong desa yang
secara bergiliran dari desanya, tiap hari berdinas jaga (piket) di Kantor Kecamatan,
yang sekaligus menjadi Rumah Dinas Camat. Dengan cara ini, berita panggilan cepat
sampai pada alamat yang dituju, meski di pelosok dan gunung - gunung sekali pun.
Cara pemanggilan itu ditempuh berhubung keterbatasan jumlah radio saat itu.
- Mengenai konsumsi BKR di tingkat Kabupaten menjadi tanggung jawab Bupati selaku
Ketua BPKKP Kabupaten, Wedana untuk tingkat Kawedanan, dan Camat untuk
tingkat Kecamatan.
- Mengenai persenjataan, berasal dari pinjaman Kepala Polisi setempat.
- Mengenai akomodasi, sejumlah gedung yang ada milik siapa pun sementara waktu
boleh digunakan oleh BKR.
A. BKR Prembun
Pembentukan dan markas BKR di Prembun mengambil tempat di rumah Ibu
Bantar, seorang penduduk setempat (hingga BKR menjadi TKR). Setelah TKR Ki IV
Batalyon III Resimen 14/ Moekahar resmi terbentuk, markas pindah di gedung bekas
Pabrik Gula Prembun (sekarang menjadi Polsek Prembun). Pembentukan BKR
Prembun dipimpin oleh eks Sersan KNIL Soedirman dan eks Sersan Heiho Soegiarto.
Para pemuda bekas prajurit PETA, Heiho, KNIL, Pelaut, dan pemuda lainnya yang
bertempat tinggal di sekitar Prembun mulai dari Kecamatan Prembun hingga
Kecamatan Mirit diminta untuk mejadi BKR.
Pembentukan BKR Prembun dihadiri oleh:
1. Eks Bundancho Saterdjan
2. Eks Bundancho Soeprapto
3. Eks Bundancho Ponirin
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 36
4. Eks KNIL Soehardjo
5. Eks KNIL Soekandari
Jumlah pemuda yang mendaftar BKR Prembun lebih banyak pada hari
berikutnya dibandingkan pada hari pertama, hingga mencapai lebih kurang 1 Kompi
dengan kekuatan 100 orang anggota. Eks Heiho Soegiarto terpilih menjadi
Komandan Pasukan (sejak kepulangannya dari Butai ke kampung halamannya,
Soegiharto langsung menghimpun pemuda-pemuda baik bekas prajurit maupun
bukan untuk diajak menjadi pasukan di bawah pimpinannya).
Bekal anggota BKR Prembun diselenggarakan oleh Wedana Prembun dengan
bantuan Ibu-ibu Perwari dan dari organisasi wanita lainnya. Mereka
menyelenggarakn dapur umum guna menyediakan “Nuk” (nasi bungkus) bagi
pasukan BKR.
Senjata BKR Prembun lumayan banyak. Senjata-senjata tersebut berasal dari
hasil melucuti tentara Jepang yang ada di gedung bekas Pabrik Gula dan pinjaman
Polisi Prembun. Senjata tajam berupa keris, tombak dan bambu runcing juga dimiliki
oleh BKR Prembun.
Tempat pendaftaran BKR Prembun kebanyakan menggunakan tempat-
tempat yang pada masa Jepang dihuni oleh prajurit-prajurit PETA.
Pakaian BKR Prembun sebagian berseragam PETA, sebagian kecil berseragam
Heiho dan sebagian lagi berpakaian campuran milik sendiri.
Pada BKR Prembun berlaku Komandan Tunggal, artinya langsung atas
komando dari Pimpinan BKR. Hal ini berlaku hingga seksi-seksi (peleton) terbentuk.
B. BKR Kutowinangun
Pembentukan BKR Kutowinangun bertempat di Kawedanan Kutowinangun
dipimpin oleh eks Shodancho Eri Soepardjan. Pada waktu itu hadir pula:
1. Eks Shodancho Goenoeng
2. Eks Bundancho Marsoem
3. Eks Bundancho Aboe Soejak
4. Eks Heiho Bawoek
5. Eks Heiho Saimin
Satu Kompi BKR Kutowinangun berhasil dibentuk dan dipusatkan di Sekolah
Muhammadiyah, serta sebagian lain di SDN Kutowinangun (menjadi asrama BKR,
asrama TKR, asrama TRI Ki. III Batalyon III Resimen 14/ Moekahar Div. V, dan asrama
TNI Ki. I Batalyon 64 Resimen 20 Div. III/ Diponegoro). Eks Shodancho Goenoeng
dipilih sebagi pemimpin, sedangkan eks Shodancho Eri Soepardjan dapat panggilan
masuk BKR di Magelang.
Pada waktu itu eks Shodancho Chanafie datang terlambat karena beberapa
hari ditahan oleh Jepang di Bogor. Sementara itu, eks Shodancho Soepardiyo yang
baru saja dari Bogor langsung menuju ke kampungnya di Tanjung Meru dan sempat
menjemur kedelai hasil panen. Namun setelah mendengar berita tentang adanya
pembentukan BKR Kutowinangun, dia segera ke Markas BKR Kutowinangun. Dengan
pertimbangan sendiri bahwa dirinya kemungkinan akan lebih bermanfaat dan lebih
tepat bila ke BKR di ibukota Kabupaten, maka eks Shodancho Chanafie dan eks
Shodancho Soepardiyo kemudian pindah dan masuk ke BKR di Kebumen.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 37
Pembentukan BKR Kutowinangun didukung oleh Wedana Kutowinangun
sedangkan dapur umum diselenggarakn oleh Ibu-ibu Perwari yang menyediakan
“Nuk”.
Pakaian BKR Kutowinangun ada tiga macam yaitu Hijau PETA, Khaki Heiho,
dan campuran.
Persenjataan BKR Kutowinangun masih sangat minim, namun semangat
mereka tetap tinggi.
C. BKR Kebumen
Kepala Polisi Kebumen Ajun Komisaris Soedjono sejak menerima berita radio
tentang panggilan masuk BKR, bersama Wedana Kota Kebumen Soembono, terjun
langsung dalam menghubungi bekas Opsir PETA yang berkedudukan di kota
Kebumen agar secepatnya membentuk BKR Kebumen. Hanya dalam waktu singkat,
eks Shodancho Dimyati (terakhir menjabat sebagai Lurah Kebumen), eks Chudancho
Soedradjat dan eks Chudancho M. Sarbini dapat dihubungi.
Kompleks Ruko Pasar Tumenggungan Kebumen
(dahulu Pos Polisi pada awal kemedekaan)
Pada tanggal 23 Agustus 1945 diadakan
pembentukan BKR Kebumen bertempat di Kantor
Polisi Kebumen (kini menjadi kompleks Ruko
sebelah Timur Pasar Tumenggungan) dipimpin
oleh eks Chudancho Soedradjat dan mendapat
pengarahan dari eks Chudancho M. Sarbini. Hadir pula pada saat itu:
1. Eks Shodancho Soediyono
2. Eks Shodancho Soegondo
3. Eks Shodancho Dimyati
4. Eks Bundancho Pratedjo
5. Eks Bundancho Koesni
6. Eks Bundancho Kliwon
7. Eks Bundancho Soepadi
8. Eks Bundancho Soerodjo
9. Eks Bundancho Soemarsono
10. Eks Bundancho D.S. Iskandar
11. Eks Bundancho Soekardi
12. Eks Bundancho Karsadi
13. Eks Bundancho Karsidi
14. Eks Bundancho Soepyan
15. Eks Bundancho Soerip
16. Eks Bundancho Soemari
17. Eks Bundancho Soediro
18. Eks Bundancho Soepardi
19. Eks Bundancho Marikin
20. Eks Bundancho Nasikun
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 38
21. Eks Bundancho Soeparman
22. Eks Bundancho Djoefri
23. Eks Gyuhei Badroen Asmara
24. Pemuda Satiyo
25. Brigadir Polisi Soepodo dan lain-lain hingga terhimpun 1 Kompi
Eks Shodancho Soepardiyo, eks Shodancho Chanafie dan eks Shodancho
Soemrahadi (Mayor Jenderal (Purn.) Soemrahadi) datang menyusul setelah tiba
kembali dari Bogor dan sempat beberapa hari singgah di Kutowinangun.
Bupati Kebumen Said Prawirosastro yang juga berasal dari Kebumen
menyerahkan satu koper uang Jepang yang masih berlaku saat itu kepada Perwira
Logistik BKR eks Shodancho Chanafie untuk membiayai BKR Kebumen.
Dapur umum diadakan oleh Ibu-ibu Perwari Kebumen di bawah pimpinan Ibu
Goelarso dan Ibu Mangkoe Soemitro yang dipusatkan di Gedung Sekolah Cina HCS
(Holland Chinese School) yang terletak di jalan Ahmad Yani (dahulu termasuk jalan
Kutoarjo; dekat Tugu Lawet/sekarang SMA Masehi/Politeknik Darma Patria).
SMA Masehi/STIMIK Dharmapatria
(dahulu HCS)
Kepala polisi Kebumen, Ajun Komisaris Soedjono memberikan pinjaman
senjata kepada BKR Kebumen berupa:
- 5 pucuk pistol Buldok
- 3 pucuk pistol Colt Kuda
- 1 pucuk pistol Mauser
- 24 pucuk senapan panjang polisi
Senjata tersebut merupakan kekuatan BKR Kebumen dalam menghadapi
tugas dan berbagai kemungkinan yang akan terjadi, antara lain perlucutan senjata
tentara Jepang di Kebumen dan di Sumpyuh.
Pakaian BKR Kebumen ada tiga macam yaitu sebagian besar Hijau PETA,
sebagian kecil Khaki Heiho, dan campuran milik masing-masing.
D. BKR Pejagoan
Atas pertimbangan terhadap Kawedanan Pejagoan yang letaknya berada di
sebelah Kali Luk Ula, maka Pejagoan ditunjuk menjadi tempat pendaftaran anggota
BKR bagi pemuda bekas PETA, Heiho, Pelaut, dan pemuda lain yang tinggal di sekitar
Pejagoan.
Pembentukan BKR Pejagoan dihadiri pula oleh:
1. Eks Shodancho Soeprapto
2. Eks Heiho Soegito
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 39
3. Eks Bundancho Tambeng
4. Eks Bundancho Aifin
Para pemuda berdatangan mendaftar sehingga terhimpunlah pasukan
sebesar kompi. Kegiatan pembentukan, pendaftaran, dan kesiagaan pasukan BKR
dilakukan di pabrik Genteng Soka di Kebulusan.
Seperti halnya didaerah lainnya, bekal pasukan BKR Pejagoan
diselenggarakan oleh Wedana Pejagoan. Pelaksanaannya dilakukan oleh Camat
Pejagoan Daroesman dengan dibantu oleh Ibu-ibu Perwari Pejagoan.
Seragam BKR Pejagoan seperti halnya di BKR lainnya, sebagian Hijau PETA,
sebagian kecil Khaki Heiho, dan sebagian besar lainnya campuran milik masing-
masing.
BKR Pejagoan pada awalnya tidak memiliki senjata sama sekali. Mereka
memiliki semangat yang tinggi untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan
meski hanya bersenjatakan keris, tombak, pedang dan bambu runcing.
E. BKR di Karanganyar
Pembentukan BKR di Karanganyar dilakukan melalui proses rapat terlebih
dahulu di rumah eks Bundancho Bambang Widjonarko. Turut hadir dalam rapat
tersebut:
1. Wedana Karanganyar Hardjo Kartoatmodjo
2. Eks Shodancho Moeryoeni
3. Eks Shodancho Saparin Soeprayitno
4. Eks Bundancho Soeprihatin Soendoro
5. Eks Bundancho O. Wagiman
6. Eks Bundancho Koedoes
Rapat memutuskan tentang waktu dan tempat pendaftaran masuk BKR untuk
para pemuda baik bekas pajurit maupun bukan, yang tinggal di sekitar Karanganyar.
Pada hari dan waktu yang telah ditentukan, berkumpullah para pemuda bekas
prajurit PETA, Heiho, KNIL, dan lain-lain di kawedanan Karanganyar hingga mencapai
satu kompi.
Bekal pasukan BKR Karanganyar dan dapur umum diselenggarakan oleh
Wedana Karanganyar dibantu Ibu-ibu Perwari.
BKR Karanganyar memiliki 5 pucuk senjata hasil dari pelucutan tentara
Jepang yang berada di Karanganyar oleh para bekas tentara PETA sebelum BKR
terbentuk. Senjata lain yang dimiliki BKR Karangayar adalah bambu runcing dan
berbagai jenis senjata tajam.
Seragam BKR Karanganyar seperti halnya di BKR lainnya, sebagian Hijau PETA,
sebagian kecil Khaki Heiho, dan sebagian besar lainnya campuran milik masing-
masing pemuda non prajurit.
F. BKR di Gombong
Pembentukan BKR di Gombong dilakukan oleh para bekas PETA yang sejak
dibubarkannya PETA pada 19 Agustus 1945 mereka tetap berkumpul dan siaga di
kesatrian menempati kantin yang terletak di depan kesatrian. Mereka adalah:
1. Eks Shodancho Soedarsono Bismo
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 40
2. Eks Shodancho Slamet Soebyakto (Brindil)
3. Eks Shodancho Soetjipto
4. Eks Bundancho A.A. Djoerdjani
5. Eks Bundancho Bagyoto
6. Eks Heiho Soemarto Atmaji.
Gombong yang memiliki fasilitas militer lebih lengkap berhasil membentuk
pasukan sebesar kekuatan 2 kompi. Anggota-anggota kompi tersebut antara lain:
1. Eks Chuyak Bundancho Soembogo
2. Eks Bundancho Soetrisno
3. Eks Bundancho Soemardjo
4. Eks Bundancho Soeparman
5. Eks bundancho Soetiyono
6. Eks Bundancho Soewarso
7. Eks Gyuhei Soemarno
8. Eks Gyuhei Sarmin
9. Eks Gyuhei Soekarno
10. Eks Gyuhei Soedarmin
11. Eks Gyuhei Marsoem
12. Eks Gyuhei Lawoek
13. Eks Gyuhei Ponimin
14. Eks Heiho Kasmin
15. Eks Heiho Sombol
16. Eks Heiho Solichin
17. Eks heiho Soeyono
Pengarahan kepada Pasukan BKR Gombong disampaikan oleh Eks Chudancho
M. Sarbini. Sedangkan eks Chudancho Kaslan Hoedyono Soekamto ditunjuk sebagai
Pimpinan BKR Gombong.
Atas permintaan Wedana Gombong Sosroboesono, Ibu-ibu Perwari Gombong
menyelenggarakan dapur umum untuk menyediakan Nuk bagi pasukan BKR
Gombong.
Persenjataan BKR Gombong meminjam dari Kepala Polisi Gombong.
Sebanyak 40 pucuk senjata pun dipinjamkan kepada Komandan Pasukan BKR
Gombong.
Organisasi Kelaskaran Kebumen setelah adanya BKR
Meskipun telah berdiri BKR di berbagai tempat sebagai wadah perjuangan sesuai
dengan seruan Presiden pada 23 Agustus 1945, oganisasi kelaskaran-kelaskaran tetap aktif
dan memperkuat diri. Organisasi Kelaskaran yang ada di Kabupaten Kebumen antara lain:
1. Barisan Pemuda Rakyat Indonesia (BPRI)
Sejak November 1945, atas anjuran Bung Tomo (pemimpin peristiwa 10
November 1945) setelah para pemuda kembali dari pertempuran Surabaya, Barisan
Pemuda Rakyat Indonesia (BPRI) berubah nama menjadi Barisan Pemberontak
Rakyat Indonesia (BPRI).
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 41
Di Kebumen, BPRI dipimpin langsung oleh Soekirno dan Koencoro. Dalam
pengembangannya, disusunlah Pasukan Laskar Rakyat (PLR) yang dipimpin langsung
oleh Soekirno dengan markas di Gedung Bunder (dahulu termasuk wilayah jalan
Stasiun, kemudian berubah menjadi jalan Pemuda; Depan Hotel Putra).
2. Barisan Banteng 45
Barisan Banteng 45 Kebumen dipimpin RM. Syafei dan Moh. Sodik;
bermarkas di belakang Gedung Bunder (belakang Markas BPRI). Anggota Banteng 45
kebanyakan berasal dari pemuda-pemuda Gombong. Laskar ini memiliki Markas
Besar di Solo yang dipimpin oleh dr. Mawardi.
3. Barisan Pelajar - Gabungan Sekolah Menengah (GSM) - Ikatan Pelajar Indonesia
(IPI) - Pasukan Tentara Pelajar (TP)
Barisan Pelajar di bawah pimpinan Soetoyo Sismomihardjo juga mengadakan
perubahan organisasi secara bertahap.
a. Pada mulanya dibentuk Gabungan Sekolah Menengah (GSM), dipimpin oleh
Marsoedi (Ketua Pelajar pada SMP Negeri).
b. Tahap berikutnya dibentuk wadah yang disebut Ikatan Pelajar Indonesia (IPI),
dipimpin oleh ketua terpilih Imam Pratiknyo dari SMP, Wakil Ketua Utari dari
SKP, dan Sekretaris Soeyati dari SKP.
c. Tahap selanjutnya IPI Purworejo membentuk Pasukan Tentar Pelajar (TP) sebagi
perwujudan dari peran aktif mereka dalam memprtahankan kemerdekaan.
Pasukan TP Purworejo disebut sebagai Kompi 330 yang secara organisasi di
bawah Komandan Batalyon TP 300 Kapten Martono yang berkedudukan di
Yogyakarta. TP 330 dipimpin oleh Komandan Kompi Wiyono (dari SMP Negeri), Wakil
Komandan Kompi Tuwuh (dari STP) bermarkas di gedung bekas Hotel Van Laarn
Purworejo. TP Kompi 330 meliputi Kedu Selatan terdiri dari 6 seksi yaitu:
1. Seksi 331 di Purworejo, Komandan Seksi; Toewoeh
2. Seksi 332 di Kebumen, Komandan Seksi; Sadar Soedarsono
3. Seksi 333 di Gombong, Komandan Seksi; David Soelistanto
4. Seksi 334 di Kutoarjo, Komandan Seksi; Chajat Soemarsono
5. Seksi 335 di Karanganyar, Komandan Seksi; Soetrisno
6. Seksi 336 di Prembun, Komandan Seksi; Soewignyo
Pada awalnya, IPI kebumen di bawah pimpinan Soehendro Hendarsin (dari
SMP Negeri), kemudian berkembang mengikuti dan menyesuaikan diri dengan IPI
Purworejo sehingga terbentuk seksi-seksi TP di Kebumen, Gombong, Karanganyar
dan Prembun di bawah komando Ki TP 330 Wiyono di Purworejo.
4. Barisan Hizbullah
Tidak seperti BPRI dan TP yang lahir setelah Kemerdekaan, Hizbullah telah
ada sejak Jepang berkuasa di Indonesia. Hizbullah dibentuk oleh Pemerintah Jepang
pada tanggal 14 Oktober 1944 di Jakarta dan berkembang luas di seluruh pulau Jawa.
Tujuan dibentuknya Hizbullah adalah untuk menambah potensi pertahanan Jepang
dalam rangka menghadapi Perang Dunia II dengan menghimpun kekuatan dari
pemuda-pemuda Islam setempat yang mendapat latihan secara kemiliteran.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 42
Hizbullah Kebumen dipimpin oleh Idroes dan tidak banyak mengalami
perubahan organisasi maupun pimpinan. Hizbullah Kebumen meningkatkan kualitas
dengan mengadakan latihan hingga ke desa-desa.
5. Angkatan Muda
Angkatan Muda Kebumen awalnya dipimpin oleh Sri Darmadji. Barisan ini
kemudian pecah menjadi dua yaitu:
1. Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) dipimpin oleh Sri Darmadji
2. Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dipimpin oleh Samso dan Chamdini
6. Pemuda Puteri Indonesia (PPI)
PPI Kebumen di bawah pimpinan Sri Moelyani meningkatkan kegiatannya
dengan kegiatan PMI/PPPK dan membantu kegiatan pengawasan terhadap orang-
orang (wanita) yang dicurigai, dalam rangka kewaspadan dan dalam
koordinasi/bimbingan BKR/TKR.
7. Badan Pendidikan Anak (BAPA)
Pada awalnya, BAPA Kebumen dipimpin oleh Abu C. Yoedapranoto, lalu
berkembang menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGRI) dipimpin oleh
Brotosoesastro. Secara otomatis semua guru kemudian masuk dalam PGRI.
8. Persatuan Buruh Indonesia (PERBI)
Gerakan ini pada awalnya dipimpin oleh Alip Prawirohardjo, kemudian
berkembang menjadi Barisan Buruh Indonesia dipimpin oleh Sarjono.
9. Angkatan Oemat Islam (AOI)
AOI muncul pada pertengahan September 1945 bermarkas di Somalangu
Desa Sumberadi kecamatan dan kabupaten Kebumen. Organisasi ini didirikan oleh
Kyai Abdurrohman, Kyai Affandi (Kepala Depertemen Agama (DEPAG) pertama
Kabupaten Kebumen), dan Kyai Moh. Syafei. Dalam perjalanannya, dikarenakan
adanya perbedaan pendapat, Kyai Affandi dan Kyai Moh. Syafei mengundurkan diri
dari AOI.
Pimpinan AOI adalah Kyai Mahfoed Abdoelrahman yang dikenal sebagai
“Romo Pusat”. Hampir di setiap desa dalam Kabupaten Kebumen terdapat santri
yang amat patuh kepada Romo Pusat, sehingga tidak heran AOI dari hari ke hari
semakin banyak cabang dan rantingnya. Bahkan AOI mempunyai pasukan bersenjata
yang dipimpin oleh adik Romo Pusat yang bernama H. Noersodik (berpangkat
Mayor).
10. Muslimat
Muslimat Kebumen merupakan salah satu organisasi wanita Islam yang
dipimpin oleh Ibu Mangkoe Soemitro. Dalam wadah ini, wanita-wanita Islam siap
berjuang mempertahankan kemerdekaan dengan tetap memperhatikan kodratnya
sebagai wanita.
11. Pamong Praja
Dipimpin oleh Bupati Kebumen Said, kemudian diganti oleh Prawoto Soedibyo.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 43
12. Polisi Negara
- di Kebumen dipimpin oleh Ajun Komisaris Soedjono
- di Gombong dipimpin oleh Inspektur I Soebiyono
13. Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari)
Perwari Kebumen dipimpin oleh Ibu Goelarso
14. Palang Merah Indonesia (PMI)
PMI Kebumen dipimpin oleh dr. Goelarso Sosrohadikoesoemo
15. Pemuda Minyak
- Di Kebumen (Mexolie/Sari Nabati) dipimpin oleh Soewarno
- Di Karanganyar (Olvado) dipimpin oleh Soepomo
16. Tentara Kereta Api
Tentara Kereta Api Kebumen dipimpin oleh Letnan Muda Basoeki
17. Corps Armada (CA) II (AL)
Di bawah pimpinan Mayor (AL) Wagiman, sejak masuk di Kedu Selatan dari Cilacap
pada pertengahan tahun 1947 Markas berada di Kutoarjo dan sebagian kekuatannya
di Kebumen.
Eks Pabrik Mexolie/ Sarinabati Panjer, markas
Barisan Pemuda Minyak Kebumen
Dibentuknya Tentara Keamanan Rakyat
(TKR) di Kedu Selatan
Dibentuknya Tentara Keamanan
Rakyat (TKR) dilatarbelakangi oleh
ketidakpuasan para anggota BKR dan
pemuda pejuang karena Pemerintah RI
belum juga membentuk suatu tentara
nasional Indonesia yang resmi. Mantan
Opsir KNIL yang berpangkan Mayor di jaman Hindia Belanda, Oerip Soemohardjo pun
sampai berkata “Aneh suatu Negara zonder tentara”.
Maklumat Pemerintah Tanggal 5 Oktober 1945
Akhirnya pada tanggal 5 Oktober 1945 Pemerintah RI mengeluarkan maklumat
sebagai berikut:
“Untuk memperkuat perasaan keamanan umum, maka diadakan satu Tentara Keamanan
Rakyat”.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 44
Maklumat ini disusul dengan Pengumuman Pemerintah tanggal 7 Oktober 1945 yang
berbunyi:
“Ini hari telah dilakukan pembentukan Tentara Kebangsaan di salah satu daerah di Jakarta
dengan maksud untuk menyempurnakan kekuatan Republik Indonesia”.
Pemuda-pemuda bekas Peta, Heiho, Keigun, dan pemuda dari Barisan Pelopor telah
menyiapkan tenaganya, agar setiap waktu dapat membaktikan tenaganya untuk menentang
kembalinya penjajah Belanda. Pemuda-pemuda dan Tentara Kebangsaan itu dengan segera
diperlengkapi dengan persenjataan, agar dengan jalan demikian dapat mempertahankan
keamanan umum.
Dua hari setelah dikeluarkannya Pengumuman Pemerintah tersebut, segera disusul
dengan seruan Mr. Kasman Singadimedja selaku Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP) yang isinya sebagai berikut:
“Untuk menjaga keamanan rakyat pada dewasa ini oleh Presiden Republik Indonesia telah
diperintahkan pembentukan Tentara Keamanan Rakyat. Tentara ini terdiri atas rakyat
Indonesia yang berperasaan penuh tanggung jawab atas keamanan masyarakat Indonesia
dan guna menjaga kehormatan Negara Indonesia.
Pemuda dan lain-lainnya yang tegap sentosa badan dan jiwanya, bekas prajurit
PETA, prajurit HIndia Belanda, Heiho, Kaigun Heiho, Barisan Pemuda, Hisbullah, pelopor
dan lain-lainnya, baik yang sudah maupun yang belum pernah memperoleh latihan militer
supaya selekas-lekasnya mendaftarkan diri pada kantor BKR di ibukota kabupaten
masing-masing atau kepada badan-badan lainnya yang ditunjuk oleh Residen (kepala
darah) atau wakilnya. Merdeka!!!
Maklumat, Pengumuman Pemerintah dan Seruan Ketua KNIP tersiar ke seluruh
negeri. Semakin jelaslah bagi rakyat, terutama pemuda yang sejak awal berniat
mengabdikan dirinya untuk berjuang melalui kesatuan bersenjata. TKR mendapat sambutan
hangat, tidak hanya dari pemuda yang telah tergabung dalam BKR, tetapi juga pemuda-
pemuda lainnya. Hal ini terbukti dengan banyaknya unsur pegawai negeri, swasta, guru,
pelajar, petani, pedagang, dan santri yang tadinya belum masuk ke dalam BKR, berbondong-
bondong masuk TKR. Sehingga apabila tidak diadakan pembatasan peneriman saat itu, pasti
kekuatan TKR sangat besar.
Kepala Staf Umum TKR, Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo menyusun TKR dengan
10 Divisi di Jawa dan 6 Divisi di luar Jawa. Satu di antara 10 Divisi TKR di Jawa adalah Divisi V
di bawah pimpinan Kolonel Soedirman (dikemudian hari dikenal sebagai Panglima Besar
Jenderal Soedirman) yang berkedudukan di Purwokerto meliputi daerah Kedu, Pekalongan,
dan Banyumas.
Perubahan Nama Dan Peningkatan Status TKR
Berdasarkan Penetapan Pemerintah No. 2 Tanggal 7 Januari 1946, maka nama
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) diubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat (TKR). Ini
berarti bahwa Tentara Keamanan Rakyat hanya berumur 93 hari, yakni sejak tanggal 5
Oktober 1945 hingga 7 Januari 1946.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 45
Pembentukan TKR DI Kedu Selatan
Pengumuman sekaligus pemanggilan pemuda-pemuda untuk masuk TKR selain
disampaikan melalui pimpinan-pimpinan BKR, disebarluaskan pula melalui jalur Pamong
Praja, Bupati, Wedana, Camat, dan Lurah.
Untuk Kedu Selatan, pengumuman dan panggilan baru dilakukan pada akhir bulan
Oktober 1945. Hal ini disebabkan karena kesibukan tugas yang tengah dihadapi, di samping
persiapan akomodasi, administrasi, dan lain-lain.
Inti dari pasukan TKR adalah para pemuda bekas prajurit PETA, Heiho, KNIL, Pelaut,
Pelopor, BKR dan pemuda-pemuda lain yang telah mendapat latihan kemiliteran di zaman
Hindia Belanda dan Jepang. Namun dalam penyusunan kesatuan-kesatuannya mereka
diharuskan mendaftarkan ulang dan melalui penelitian latar belakang keluarga dan
kesehatan. Oleh karena itu tidak sedikit di antara mereka yang tidak diterima karena
kesehatan atau latar belakang keluarganya tidak mendukung. Adapun jalannya
pembentukan TKR di Kedu Selatan (khususnya di Kebumen) adalah sebagai berikut:
1. Di Kebumen
Pendaftaran dan pemeriksaan kesehatan serta penelitian bagi pemuda-pemuda yang
mendaftarkan masuk TKR dilakukan secara terpusat di Pendopo Kabupaten
Kebumen oleh sebuah tim pendaftar yang dipimpin oleh eks Shodanco Soemrahadi
pada bulan November 1945. Pemuda yang berasal dari BKR Kebumen, BKR Prembun,
BKR Kutowinangun, dan BKR Pejagoan
merupakan intinya.
2. Di Gombong
Pendaftaran dan pemeriksaan dilakukan
secara terpusat di Markas BKR di
Kesatrian Gombong. BKR Gombong dan
Karanganyar dijadikan intinya.
Pendopo Kabupaten Kebumen
Kesatuan-kesatuan TKR Resimen Purworejo di Kedu Selatan
Resimen Purworejo dipimpin oleh Letnan Kolonel Moekahar. Selanjutnya resimen ini
lebih dikenal dengan sebutan Resimen Moekahar dimana daerahnya meliputi Kabupaten
Purworejo dan Kabupaten Kebumen.
Penyusunan resimen menggunakan pedoman sebagai berikut:
1. Komandan Batalyon dijabat oleh eks Chudancho
2. Komandan Kompi dijabat oleh eks Shodancho
3. Komandan Seksi dijabat oleh eks Bundancho
4. Komandan Regu dijabat oleh eks Prajurit PETA/Heiho
5. Staf dijabat oleh eks Perwira dan Bintara KNIL
Selanjutnya ada empat batalyon dalam Resimen Purworejo. Untuk Batalyon I dan II
berkedudukan di Kabupaten Purworejo, sedangkan Batalyon III dan IV berkedudukan di
kabupaten Kebumen.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 46
Batalyon III
Markas di Gedung bekas Kepatihan Kebumen, Jalan Tamanwinangun, kompleks
Pabrik Gula (sekarang menjadi MAN 2 Kebumen)
Susunan Batalyon III sebagai berikut:
Komandan Batalyon : Mayor Soedradjat (pindah ke Staf Divisi V), diganti
: Mayor R. P.S. Rachmat
Kepala Staf/Wadan : Kapten Soemrahadi (terakhir Mayjen (Purn))
Staf Umum/Sekretariat :Letnan I Soepardiyo (pindah ke Staf Divisi V), diganti
: Letnan I Soedirman
Intelejen : Letnan I Soepardiyo (pindah ke Staf Divisi V), diganti
: Letnan II Soeparman
Operasi dan Pendidikan : Letnan I Soepardiyo (pindah ke Staf Divisi V), diganti
: Letnan II Soediro
: Letnan Muda Soetomo
Organisasi dan Personalia : Letnan I Soepardiyo (pindah ke Staf Divisi V), diganti
: Letnan I Soedirman
: Letnan Muda Soeparno (kemudian diganti)
: Letnan II Soehardjo
Perlengkapan : Letnan II Soekardi
Keuangan : Letnan II Soedarmo
Persenjataan dan Kendaraan : Letnan II D.S. Iskandar
: Sersan Soedman
Kesehatan : Serma Sukir
: Sersan Diran
: Kopral Satiyo
Perhubungan : Letnan II Tirtohoedoyo
Pos Tentara : Serma Sabirin
Komandan Kompi I : Kapten H. Soegondo (di Kebumen kemudian di
Kutowinangun)
Dan. Seksi I : Letnan II Soediro (kemudian diganti)
: Letnan II Soemari
Dan. Seksi II : Letnan II Soegito
Dan. Seksi III : Letnan Muda Pratedjo
Komandan Kompi II : Kapten Goenoeng (di Kutowinangun kemudian di
Kebumen)
Dan. Seksi I : Letnan II Marsum
Dan. Seksi II : Letnan Muda Saterdjan (kemudian diganti)
: Letnan Muda Soerodjo
Dan. Seksi III : Letnan Muda Aboe Soedjak (kemudian diganti)
: Letnan Muda Soetardjo
Komandan Kompi III : Letnan I Soedarmin (di Kebumen)
Dan. Seksi I : Letnan II Moh. Koesni
Dan. Seksi II : Letnan Muda Tambeng
Dan. Seksi III : Letnan Muda Soemarsono
Komandan Kompi IV : Kapten Chanafie (di Prembun)
Dan. Seksi I : Letnan II Soehardjo (kemudian diganti)
: Letnan Muda Suparno
Dan. Seksi II : Letnan Muda Sastrodihardjo
Dan. Seksi III : Serma Soegiharto
Komandan Kompi Markas : Letnan I A.A. Dimyati
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 47
Dan. Seksi I : Letnan II Kliwon (pindah ke Staf Divisi V)
Dan. Seksi II : Letnan II Soepadi (pindah ke Staf Divisi V)
Dan. Seksi III : Letnan Muda Soepyan
MAN II Kebumen/Panjer Eks Kepatihan
Batalyon IV
Markas berkedudukan di Gombong
dan menempati tangsi bagian Selatan
(bekas Dai III Daidan PETA), dengan
susunan selengkapnya sebagai berikut:
Komandan Batalyon : Mayor Kaslan H. Soekamto (pindah ke Wonosobo)
: diganti Mayor Roedy Soeyono (kemudian diganti)
: Kapten Soedarsono Bismo (pengganti sementara)
: Mayor Panoedjoe
Kepala Staf : Kapten Soeyono (kemudian diganti)
: Kapten Soeyono (kemudian diganti)
: Kapten Soepono
Ajudan Batalyon : Letnan I Hadisiswoyo
Sekretaris : Letnan II Soemardjo
Operasi, Pedidikan&Latihan : Letnan I Slamet (kemudian diganti)
: Letnan II Soedirman
Organisasi dan Personalia : Letnan Muda Rasiman
Intelejen : Letnan II Soeratin (kemudian diganti)
: Letnan II I. Soeparman
Perlengkapan : Letnan II R. Soehodo
Keuangan : Letnan I Soetjipto (kemudian diganti)
: Letnan I Moeryoeni
Persenjataan : Letnan II Maryono
Kendaraan : Letnan Muda Soeratman
Perhubungan : Letnan II Maryono (dirangkap)
Kesehatan : Letnan I Ben Oni (kemudian diganti)
: Kapten Kaprawi
Pos Tentara : Sersan Ratimin
Komando Polisi Militer : Letnan I CPM Y. Soedjono
Komandan Kompi I : Kapten Soepono (kemudian diganti)
: Kapten Soedarsono Bismo
Kepala Staf Kompi : Serma Soeratmin
Dan. Seksi I : Letnan II B. Soetrisno
Dan. Seksi II : Letnan Muda Karsidi
Dan Seksi III : Letnan Muda Sardjono
Komandan Kompi II : Letnan II I. Soeparman (kemudian diganti)
: Letnan I Slamet
Dan. Seksi I : Letnan II Bambang Widjanarko
Dan Seksi II : Letnan Muda Soemardjo
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 48
Dan. Seksi III : Letnan Muda Soewondo
Kepal Markas Kompi : Serma Koedoes (kemudian berubah menjadi Kompi IV)
Komandan Kompi III : Letnan II Oerip (kemudian diganti)
: Letnan I Soetjipto
Dan. Seksi I : Letnan Muda Soemarto Atmadji
Dan. Seksi II : Letnan Muda Roemkasah
Dan Seksi III : Letnan Muda Joemin
Kepala Markas Kompi : Serma Hadiprayitno
Komandan Kompi IV : Kapten Soedarsono Bismo (kemudian diganti)
: Kapten Roes’ an
Dan. Seksi I : Letnan II A.A. Djoerdjani
Dan. Seksi II : Letnan Muda Bagyoto
Dan. Seksi III : Letnan Muda Soeparman
Kepala Markas Kompi : Serma Soetikto (kemudian berubah menjadi Kompi II)
Komandan Kompi Markas : Letnan I Soendoro
Dan. Seksi I : Letnan II M. Badjoeri
Dan. Seksi II : Serma Salimin
Batalyon F/ Batalyon Jenggot
Batalyon F dibentuk atas perintah langsung Kepala Staf Markas Tertinggi TKR Letnan
Jenderal Oerip Soemohardjo dalam kunjungannya ke Purworejo dengan maksud
mempersatukan dan menghimpun para bekas KNIL yang sudah pensiun dalm satu kesatuan
KTR, serta untuk mencegah agar nantinya mereka tidak melakukan salah satu perbuatan
yang dapat merugikan perjuangan RI.
Oleh karena usia anggota batalyon ini sebagian besar telah tua-tua dan rata-rata
telah berjenggot, maka Batalyon F kemudian dikenal sebagai Batalyon Jenggot.
Markas Batalyon ini berkedudukan di Meranti Purworejo. Anggotanya sebagain
besar tinggal dan menetap di wilayah Purworejo dan Gombong.
Peran Sekolah Militer Gombong
Direktur Sekolah Militer Gombong adalah Kolonel Samidjo, sedangkan
instruktur/tenaga pengajarnya selain dari Sekolah Militer Gombong, juga berasal dari
Sekolah Militer Yogyakarta.
Pada awal tahun 1946, diadakan pendidikan bagi tamtama, bintara dan bahkan yang
sudah berpangkat perwira secara selektif dari batalyon-batalyon. Mereka mendapatkan
pendidikan secara kilat dalam rangka mengisi kekurangan perwira di kesatuan-kesatuan.
Resimen Purworejo mengirimkan prajuritnya antara lain:
1. Sersan Soemartono dari Batalyon I
2. Kopral Hardiyono dari Batalyon II
3. Prajurit Soetardjo dari Batalyon III (Kebumen)
4. Sersan Mochamad Achmad dari Batalyon IV (Gombong)
Pertengahan tahun 1946, Resimen Purworejo menyelenggarakan Latihan Opsir
Persamaan (LOP) selama 4 minggu untuk Tingkat Komandan Seksi (Peleton).Tiap batalyon
mengirimkan 3 orang Komandan Seksi untuk tiap angkatan. Latihan diselenggarakan dalam
beberapa angkatan dan menitikberatkan pada serangan dan pertahanan.
Bersamaan dengan itu di Panasan (Maospati) diselenggarakan Latihan Opsir
Persamaan untuk Tingkat Komandan Kompi dan Perwira Operasi Batalyon se-Jawa. Latihan
dipimpin Kolonel Latief Hendraningrat, dengan Komandan Kompi Latihan Kapten Setiadi.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 49
Dalam latihan tersebut, selain PBB, diajarkan pula Tata Upacara Militer (TUM), Taktik dan
Ketangkasan Militer, serta Olah Raga Militer.
Materiil/Logistik dan akomodasi
Keadaan Logistik/materiil masing-masing batalyon tidak sama. Markas Resimen
Purworejo Batalyon I dan IV yang berada di Purworejo dan Gombong menggunakan
bangunan militer peninggalan Hindia Belanda sebagai kantor, perumahan perwira, asrama
bintara, dan tamtama. Sedangkan Batalyon II (Kutoarjo) dan Batalyon III (Kebumen)
dikarenakan tidak memiliki bangunan militer, maka BPKKP setempat menyediakan
bangunan yang diperoleh dari pinjaman baik milik pemerintah, perusahaan, maupun
perorangan.
Batalyon III di Kebumen menggunakan beberapa gedung antara lain:
1. Gedung yang terletak di Jalan Taman Winangun (dikenal dengan Jalan Pasar Hewan)
sebelah selatan stasiun Kebumen, milik pabrik gula dan bekas rumah kediaman patih
Kebumen.
2. Kompleks Pabrik Minyak Mexolie, sebelah utara stasiun Kebumen milik Pabrik
Minyak Kebumen (PMK Sari Nabati).
3. Kompleks Rumah Sakit, sebelah timur RSU milik RSU Kebumen, Yayasan Zending
4. Kompleks Pabrik Gula (Tebu) Kebumen (Bioskup/GOR Gembira), jalan Pasar Hewan
yang terletak di sebelah selatan stasiun Kebumen, milik pabrik gula. Pada waktu
Perang Dunia II, gedung ini pernah dihuni oleh tentara Australia.
5. Sekolah HCS, Jalan Kutoarjo 1 (berubah menjadi jalan Ahmad Yani; SMA
Masehi/STIMIK Dharma Patria), milik yayasan.
6. Kompleks Pabrik Gula (Tebu) di Prembun, milik perusahan swasta.
7. Sekolah Muhammadiyah Kutowinangun, milik yayasan dan Sekolah Dasar Negeri
milik Pemerintah
GOR Gembira (eks Bioskop/Pabrik Gula Panjer
Kebumen)
Terpilihnya Panglima Besar Jenderal
Soedirman
Pada awal pembentukan resimen
tanggal 15 Oktober 1945, diadakan pencalonan
Panglima Jawa Tengah di bekas Gedung
Kempetai (eks HCS Magelang). Rapat dihadiri
para komandan resimen. Dari Resimen Purworejo hadir Komandan Resimen Letkol
Moekahar dan Kapten Soedjono. Dalam rapat tersebut, Komandan Resimen Purworejo
mendapat dropping satu juta rupiah dan langsung diserahkan kepada Kapten Soedjono.
Dana tersebut dirasakan amat besar dan digunakan sebagai modal awal dalam
pembentukan resimen. Karena belum ada bagian keuangan, kasir, dan pembukuan,
penggunaan dipertanggungjawabkan kepada Kapten Soedjono sendiri.
Dalam melengkapi aparat keamanan negara untuk menghadapi musuh, Presiden
Soekarno telah menunjuk dan mengangkat Soepriyadi, seorang Shodancho PETA Daidan
Blitar sebagai pimpinan TKR. Soepriyadi telah terbukti memiliki kebangsaan yang tinggi
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 50
karena berani memberontak terhadap Jepang yang bertindak kejam dan sangat
merendahkan martabat bangsa dan rakyat Indonesia. Soepriyadi diharapkan mampu
bertindak sebagai pucuk pimpinan TKR dan pimpinan Pertahanan Negara. Namun setelah
lama tidak muncul, maka pada tanggal 12 November 1945 diadakan rapat para perwira
tinggi dan menengah TKR di Markas Besar TKR Yogyakarta dengan acara tunggal “Memilih
Panglima Besar”.
Rapat mencalonkan sejumlah perwira TKR, antara lain Kepala Staf TKR Letjen Oerip
Soemohardjo, dan Panglima Divisi V Purwokerto Kolonel Soedirman. Akhirnya dengan suara
bulat, Kolonel Soedirman terpilih menjadi Panglima Besar TKR.
Pelantikan Kolonel Soedirman sebagai Panglima Besar TKR diselengarakan oleh
Presiden RI, Ir. Soekarno pada tanggal 18 Desember 1945. Kolonel Soedirman kemudian
dinaikkan pangkatnya menjadi Jenderal penuh. Sedangkan Letjen Oerip tetap menjabat
sebagai Kepala Staf TKR dengan pangkat Letnan Jenderal.
Perubahan Nama TKR menjadi TRI
Berdasarkan Dekrit Presiden tanggal 26 Januari 1946, maka nama Tentara
Keselamatan Rakyat disempurnakan dan ditingkatkan statusnya menjadi Tentara Republik
Indonesia (TRI)
Lahirnya TRI Resimen XX Divisi III/Pangeran Diponegoro
Tindak lanjut penyempurnaan organisasi Tentara Republik Indonesia (TRI) telah
melahirkan Resimen XX Divisi III/Pangeran Diponegoro. Resimen ini merupakan peralihan
dari TKR Resimen Purworejo pimpinan Letkol Moekahar (cikal bakal Resimen XX Divisi
III/Pangeran Diponegoro). TRI Resimen XX Divisi III/Pangeran Diponegoro mempunyai tugas
dan tanggung jawab wilayah pertahanan Kedu Selatan, sehingga kemudian lazim disebut
Resimen XX/Kedu Selatan.
Hari lahirnya Resimen ini pada tanggal 5 Oktober 1946, yakni saat
diselenggarakannya upacara peresmian divisi - divisi hasil penyempurnaan organisasi TRI
dan pelantikan panglima – panglima divisi yang baru. Brigade –bBrigade dan resimen –
resimen telah masuk di dalamnya. Dalam kenyataannya penyerahan Duaja Resimen XVII,
XVIII, XIX, XX, XXI, XXII Divisi III baru dapat dilangsungkan pada tanggal 17 Oktober 1946.
Kesatuan Organik TRI Resimen XX Divisi III/Pangeran Diponegoro
Tentara Republik Indonesia Resimen XX berkedudukan di Purworejo, dibawah
pimpinan Letnan Kolonel Koen Kamdani, mempunyai:
1. Markas Resimen berkedudukan di Purworejo, satu kompleks dengan Rumah Sakit Tentara
di Jalan Marga Cakra.
2. Batalyon 62 Resimen XX (dahulu Batalyon IV) berkedudukan di Gombong, Tangsi Kantin
Gombong, pimpinan Mayor Panoedjoe.
3. Batalyon 64 Resimen XX (dahulu Batalyon III) berkedudukan di Kebumen, di gedung bekas
Kepatihan Kebumen di jalan Pasar Hewan (MAN 2 Kebumen/Panjer). Komando Batalyon
adalah Mayor Rahmat. Markas Batalyon pindah ke Prembun pada pertengahan tahun
1947.
4. Batalyon 66 Resimen XX (dahulu Batalyon I) berkedudukan di Purworejo, Tangsi Kedung
Kebo, dipimpin oleh Mayor Sroehardoyo.
5. Batalyon 68 Resimen XX (dahulu Batalyon II) berkedudukan di Kutoarjo kemudian pindah
ke Purworejo (Tuksongo), dipimpin oleh Mayor Slamet Soedibyo.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 51
6. Batalyon F dikenal dengan Batalyon Jenggot Resimen XX, bekedudukan di Purworejo
(Tuksongo) dipimpin oleh Mayor Ismail.
7. Kompi Artileri dikenal dengan Kompi Meriam Resimen Purworejo, pimpinan Letnan I
Oerip, pindah ke Magelang menjadi Batery III Batalyon Altileri Divisi III. Komandan
Batalyon adalah Kapten Soetadi, dan sebagai Kepala Staf Batalyon Kapten Soepardi
(mantan Kepala Staf Batalyon F).
Penyerahan Duaja Resimen XX Divisi III/Pangeran Diponegoro
Peresmian divisi – divisi dan sekaligus pelantikan panglima – panglima divisi hasil
reorganisasi dalam rangka penyempurnaan organisasi Tentara Republik Indonesia (TRI)
dilangsungkan pada tanggal 5 Oktober 1946 di alun – alun Utara Yogyakarta. Bertindak
sebagai Inspektur Upacara adalah Panglima Besar Jenderal Soediman.
Selanjutnya pada tanggal 17 Oktober 1946 dilangsungkan upacara penyerahan Duaja
Resimen Divisi III/Pangeran Diponegoro di Lapangan Tidar Magelang dengan Ispektur
Upacara Panglima Divisi III/Pangeran Diponegoro Jenderal Mayor Soesalit. Komandan
Upacaranya adalah Letkol M. Sarbini yang pada waktu itu menjabat sebagai Komandan
Resimen XIX/Magelang.
Pasukan upacara terdiri dari enam batalyon; empat Batalyon Infanteri dan dua
Batalyon Senjata Bantuan. Dari Resimen XX/Kedu Selatan, mengirim satu Batalyon Upacara,
dipimpin oleh Mayor Rahmat (Komandan Batalyon 64 Kebumen), terdiri dari:
- 1 Kompi dari Batalyon 62/Gombong, dipimpin oleh Letnan I Soetjipto
- 1 Kompi dari Batalyon 64/Kebumen, dipimpin oleh Kapten Chanafie
- 1 Kompi dari Batalyon 66/Purworejo, dipimpin oleh Kapten Radjiman
- 1 Kompi dari Batalyon 68/Puworejo, dipimpin oleh Letnan II Semin (Mayor (Purn.))
Batalyon gabungan bersenjata lengkap ini sebelum melaksanakan tugasnya terlebih
dahulu melapor kepada Komandan Resimen XX Letkol Koen Kamdani di alun – alun
Purworejo pada tanggal 15 Oktober 1946 pukul 17.00 Wib. Setelah itu berangkat ke
Magelang dengan berjalan kaki melalui Mergoyoso. Tiba di Magelang pada tanggal 16
Oktober 1946 pukul 05.00 Wib menjelang fajar.
Setelah menerima petunjuk seperlunya, pasukan istirahat di Asrama Tuguran
Magelang. Pagi hari berikutnya pada tanggal 17 Oktober 1946, Batalyon Gabungan Resimen
XX bersama – sama dengan Batalyon Upacara lainnya dari Resimen XVII, XVIII, XIX, XXI, XXII,
siap melaksanakan upacara di Lapangan Tidar. Penyerahan Duaja dilakukan langsung
Panglima Divisi III/Pangeran Diponegoro kepada para Komandan Resimen yaitu:
1. Resimen XVII (warna Ungu), Komandan Letkol Wadiono, Temanggung
2. Resimen XVIII (warna Kuning), Komandan Letkol Slamet Soeharman, Wonosobo
3. Resimen XIX (warna Hijau), Komandan Letkol Sarbini, Magelang
4. Resimen XX(warna Biru), Komandan Letkol Koen Kamdani, Purworejo
5. Resimen XXII (warna Merah), Komandan Letkol Soeharto, Yogyakarta.
Dalam peristiwa yang sangat penting ini, Panglima Besar Jenderal Soediman
menghadiri acara dan memberikan amanatnya yang sangat singkat sebagai beikut:
“Keadaan makin gawat, hendaknya Duaja ini menambah semangat dan persatuan Corps”
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 52
Kesatuan – Kesatuan B.P (Bawah Perintah) Resimen XX
Pertahanan daerah Jawa Tengah memiliki Divisi III/Pangeran Diponegoro
(bertanggung jawab atas daerah Pekalongan, Kedu, dan Yogyakarta) dan Divisi
IV/Panembahan Senopati (bertanggung jawab atas daerah Surakarta, Semarang, dan
Madiun)
Selanjutnya divisi - divisi membagi lagi daerah pertahanannya ke resimen – resimen
di bawahnya. Resimen XX Divisi III/Pangeran Diponegoro mendapat tugas dan tanggung
jawab pertahanan daerah Kedu Selatan yang terdiri dari Kabupaten Purworejo dan
Kebumen.
Menjelang dan Menghadapi Agresi Militer Belanda I
Perseteruan antara pihak Republik Indonesia dan Belanda dari hari ke hari semakin
memanas. Pemerintah RI dengan dukungan rakyat berupaya keras untuk mempertahankan
Negara Proklamasi. Di sisi lain Belanda masih bermimpi untuk kembali berkuasa dan
berusaha mewujudkannya dengan berbagai cara.
Situasi Politik Dalam Negeri Menjelang Agresi Militer Belanda I
Menjelang Agresi Militer Belanda I terjadi beberapa peristiwa penting antara lain:
Dalam rangka membuktikan kepada dunia Internasional terutama pihak Barat bahwa
Indonesia adalah Negara demokrasi, pada tanggal 3 November 1945 Pemerintah Indonesia
mengeluarkan “Maklumat Pemerintah No. X” tentang Pembentukan Partai Politik. Sejak saat
itu timbul partai - partai politik yang bermacam coraknya, melengkapi partai politik yang
telah berdiri sebelumnya (PNI, Masyumi dan PKI). Partai - partai politik baru tersebut antara
lain; PIR, Murba, Partai Kebangsaan Indonesia, dan NU dengan maksud untuk mengarahkan
tujuannya melawan Belanda.
Namun pada kenyataannya tidak demikian. Sesama partai terjadi saling jegal untuk
kepentingan sendiri dan adakalanya melupakan tujuan utamanya untuk saling menegakkan
dan mempertahankan kemerdekaan. Terlebih lagi masing - masing partai, terutama partai
yang kuat membentuk pasukannya sendiri sebagi pengawal memperkuat organisasi
partainya.
Keadaan ini mempersulit kedudukan RI. Waktu itu pemerintahan RI adalah Kabinet
Parlementer pimpinan Sultan Syahrir, yang cenderung menginginkan diplomasi dengan
pihak Belanda, antara lain dicapainya perundingan Linggar Jati yang sangat menguntungkan
Belanda karena Pemerintah Belanda hanya mengakui kekuasan De Facto Pemerintah RI atas
Jawa dan Sumatera saja. Meskipun demikian Belanda selalu saja melanggarnya, seperti
perjanjian - perjanjian sebelumnya.
Pro dan Kontra Perjanjian Linggarjati
Selain pelanggaran dan pengambilalihan kedudukan Sekutu yang termasuk dalam
wilayah De Facto RI, Belanda bertindak lebih jauh dengan membentuk Negara Federal,
seperti Negara Pasundan pada 4 Mei 1947.
Menghadapi perkembangan tersebut, selain kesulitan - kesulitan yang datang dari
Belanda yang jelas hendak menjajah kembali, pemerintah RI pun menghadapi kesulitan yang
timbul karena pertikaian antara Tentara Indonesia dengan laskar yang menolak perjanjian
Linggar jati. Hal ini sampai menimbulkan insiden penculikan terhadap seorang komandan
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 53
pasukan Tentara Indonesia Letnan Kolonel Soeroto Koento yang dilakukan oleh Pasukan
Laskar Rakyat. Padahal perwira tersebut belum tentu setuju atas isi perundingan Linggar
Jati.
Dalam rangka kegiatan pengamanan dan pembinaan teritorial dan terjadinya
kemelut situasi, maka Panglima Besar Jenderal Soedirman mengeluarkan instruksi yang
sangat penting yakni:
- Berjuang terus, jangan guncang dan jangan bimbang menghadapi tindakan Belanda dan
kakitangannya.
- Kuatkan persatuan kita dan eratkan kerjasama antara semua kekuatan yang ada di Negara
kita.
- Kerahkan tenaga kelaskaran sebanyak - banyaknya ke medan perjuangan yang telah
ditentukan.
- Kirim ke medan pertempuran alat senjata dan keperluan lainnya sebanyak – banyaknya.
- Berjuanglah bersama tentara dengan teratur, jangan sekali - kali bertindak sendiri - sendiri.
- Tetap teguh, kuat, hati - hati, dan waspada.
Perintah Harian tersebut sangat memperteguh jiwa dan semangat seluruh slagorde
Pemerintahan RI, baik sipil maupun militer dan laskar - laskar dalam badan - badan
perjuangan yang ada.
Pembinaan Teritorial
Kegiatan pembinaan teritorial waktu itu dilakukan antara lain dalam bentuk pagar
desa, penerangan - penerangan terhadap pemuda dan pelajar serta masyarakat umum,
tujuannya untuk mempertahankan kemerdekaan RI, kesadaran bernegara, dan melatih
pemuda desa untuk pembelaan terhadap Negara dan Bangsa.
Dislokasi Militer Belanda
Dislokasi tentara Belanda konsentrasi terbesar berada di Jawa Barat yaitu: Jakarta,
Bogor, Cianjur, dan Bandung.
Divisi “C” KL (Divisi 7 Desember)
Terdiri dari 3 Brigade dalam komando Mayor Jenderal A. Durst Birtt. Setiap Brigade
berkekuatan 3 Batalyon dan 2 ½ Batalyon sebagai cadangan untuk tentara pendudukan.
Divisi C adalah divisi KL pertama yang dibentuk menurut organisasi tentara Inggris.
Markasnya di daerah Selatan Bogor, termasuk Sukabumi dan Pelabuhan Ratu.
Divisi “B” KNIL
Markas Divisi B berada di Bandung dalam komando Mayor Jenderal Siem de Waal.
Divisi B terdiri dari Brigade V pimpinan Kolonel Jan Meyer dan Brigade W pimpinan Kolonel
Van Gulik. Setiap brigade berkekuatan 4 batalyon, ditambah 3 batalyon untuk pendudukan
dan cadangan. Tugasnya menduduki daerah Utara dan Timur Bandung, lalu menuju Jawa
Tengah gabung dengan Brigade T/Van Langen dari Semarang.
Divisi “A”
Divisi A bermarkas di Surabaya dalam komando Mayor Jenderal de Bruijne. Terdiri
dari Brigade Marinir, Brigade Infanteri 4, dan Brigade X yang menduduki daerah Malang dan
Jawa Timur bagian Timur.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 54
Panglima Besar Soedirman menetapkan kata sandi seandainya Belanda menyerang:
- Ibu Pertiwi memanggil; jikalau perundingan dengan Belanda gagal.
- Siap maju jalan; sebagai perintah untuk menyerang Belanda.
Kenyataannya dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, Belanda selalu
menggunakan perundingan sebagai peluang untuk mengkhianati. Kini dalam masa
perjuangan kemerdekaan perundingan - perundingan yang dilakukan adalah usaha
mengembalikan kekuasaan secara penuh di bumi Indonesia sebagai penjajah.
Sementara perundingan berjalan, di perbatasan sering terjadi insiden yang ternyata
merupakan upaya penjajakan Belanda untuk mengetahui titik lemah pertahanan RI. Belanda
yang semula membonceng dan kemudian mengoper daerah pendudukan Sekutu, kini
terdislokasi di Jakarta, Semarang, Surabaya dan meluaskan dislokasi di Bogor dan
Palembang. Pihak TNI tetap mematuhi Cease Fire. Sementara Belanda memanfaatkan
dengan menyerang dan merebut Krian, Sidoarjo dan Mojokerto.
Penugasan Batalyon 64 Kebumen dan 62 Gombong menghadapi Belanda
Untuk menghadapi pasukan Belanda di berbagai front, pasukan TNI Kedu Selatan
ditugaskan keluar daerah.
- Di Jawa Barat
Tugas di front Jawa Barat yakni di Bandung Utara dilakukan sejak awal tahun 1946.
Pasukan pertama yang diberangkatkan sebesar satu kompi dari Batalyon 64 Kebumen
dipimpin oleh Kapten Chanafie dengan Komandan Seksi Letnan Muda Saterdjan dan Letnan
Muda Soepyan. Kemudian diganti oleh kompi Kapten Goenoeng dengan komandan seksinya
Letnan Muda Koesni, Letnan Muda Pratedjo, lalu diganti Kompi H. Soegondo dengan
komandan - komandan Seksi Letnan Tambeng dan Letnan Muda Soemarsono.
Pasukan diangkut dengan kereta api melalui Cikampek dan Purwakarta. Di Rendeh
pasukan berjalan kaki sepanjang 12 Km ke Cipunduy, tempat kedudukan Komando Sektor
pimpinan Mayor Panoedjoe. Selanjutnya kompi ditempatkan di desa Liwiliang, tidak jauh
dari sungai Citarum. Selesai tugas, pasukan kembali ke pangkalan Kebumen. Penggantinya
adalah Kompi Dimyati dan diperintahkan Mayor Rachmat selaku Komandan Sektor untuk
survey ke Cigentrong. Ternyata di sana terdapat gudang peluru mortir, beberapa kotak
peluru mitraliur, dan ban mobil yang terus diangkut ke Rendeh. Kompi Dimyati sempat
diserang “Anjing Nica” Kartalegawa.
Setelah tugas sekitar 25 hari, Kompi Dimyati diganti Kompi Chanafie yang berasal
dari seksi - seksi gabungan antarkompi: Seksi I Letnan II Soehardjo, Seksi II Letnan Muda
Soetardjo (sebelum pindah ke Batalyon 68 Resimen XX) dan seksi III Letnan Muda Soewandi.
Aliran kali Citarum digunakan sebagai garis pertahanan. Seksi I bersama markas kompi tugas
di Liwiliang, Seksi II di Bayabang, Seksi III di sayap paling kiri dari markas kompi. Selama
tugas tidak pernah terjadi pertempuran. Namun tembakan - tembakan sepihak pasukan
Belanda untuk mengacaukan pasukan RI sering terjadi, bahkan pernah pula terjadi
tembakan jebakan. Di daerah ini Belanda banyak memperalat penduduk untuk menjadi
mata - mata.
Kompi IV, salah satu Kompi Batalyon 62 (Batalyon IV di Gombong) pimpinan Letnan I
Slamet Soebyakto bertugas di front Bayabang, Bandung Utara pada Mei 1947, di
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 55
perkebunan karet Cigentrong Nagreg sektor Cipendey. Kompi IV menggantikan pasukan dari
Divisi Siliwangi. Setelah selesai tugas, posisinya diganti lagi oleh pasukan dari Siliwangi.
Senjata kompi IV sempat kurang. Mereka diangkut menggunakan kereta api, setelah
di radius medan, dilanjutkan berjalan kaki. Konsumsi dari dapur umum, makan dua kali
dalam sehari. Aktifitas kompi ialah pertahanan, pengintain, dan patroli tempur.
Lokasi musuh antara lain di Ciranjang berkekuatan satu seksi yang didukung
persenjataan penyangga. Tidak ada korban dari kedua belah pihak karena tidak terjadi
kontak senjata.
Keadaan pasukan di medan laga sangat memprihatinkan. Soegito, Komandan Seksi
Kompi Chanafie hanya menelan ludah ketika dapur umum kebakaran. Nuk selalu terlambat.
Mandi di pancuran sawah membuat para prajurit terkena gudig (penyakit kulit). Baju hanya
tokji biji (katok siji klambi siji), sehingga ketika dijemur selama menunggu kering pemilik
baju juga harus ikut berjemur di tengah teriknya matahari.
- Di Mojokerto – Jawa Timur
Bulan November 1946, Kompi Kapten Goenoeng dari Batalyon 64 Kebumen dengan
Komandan Seksi I Letnan II Soemari, Seksi II Letnan Muda Pratedjo dan Seksi III Letnan Muda
Soepyan dikirim ke Purworejo untuk bergabung dengan Batalyon 66 pimpinan Mayor
Sroehardoyo. Kompi Goenoeng menginap di Purworejo dan menerima pakaian masing -
masing mendapat dua stel serta gaji dua bulan sebesar Rp. 360,- (perbulan Rp. 180,-).
Seluruh anggota kompi menjadi senang.
Pagi harinya kompi berangkat menuju Yogyakarta dan bermalam lagi di STM Jetis.
Kemudian berangkat ke Mojokerto dan ditempatkan di desa Patokpalung. Pada saat itu
sedang terjadi gencatan senjata.
Terkadang Belanda berpatroli ke daerah perbatasan pendudukannya. Penduduk
Patokpalung melapor ke pos penjagaan TNI, maka TNI bersama rakyat mengejar musuh
sambil diteriaki. Musuh pun lari sampai jauh masuk ke daerah pendudukannya.
Pernah terjadi baku tembak antara pasukan Republik dengan Belanda yang sama -
sama sedang berpatroli. Ketika berada di tepi “ Segara Trowulan”, barulah keduabelah pihak
saling menyadari bahwa mereka berpapasan dengan patroli musuh masing - masing. Setelah
sekitar 40 m jaraknya, barulah terjadi tembak - menembak yang seru sehingga Belanda
kehilangan dua orang dan mereka bergegas meninggalkan tempat dan berlari - lari menuju
truk yang mangkal di ujung jalan dekat jalan raya Mojokerto dan Sidoarjo. Peristiwa ini
terjadi menjelang malam.
Adanya peristiwa ini membuat masyarakat berpendapat bahwa di daerah Trowulan
masih bergema wibawa kerajaan Majapahit sebagai pertanda di sekitar Pendopo Agung
Majapahit dan segara Trowulan masih wingit. Atas perlindungan Tuhan, pasukan RI selamat
dari pertempuran.
Penerimaan peduduk setempat baik sekali. Batalyon Mayor Sreohardoyo sendiri
merupakan Batalyon gabungan dari resimen XX yang terdiri:
1 kompi dari Batalyon 64 Kebumen, Komandan Kompi Kapten Goenoeng
1 kompi dari Batlyon 62 Gombong, Komandan Kompi Kapten Roes’an
1 kmpi dari Batalyon 66,Komandan Kompi Kapten Sanoesi
1 kompi dari Batalyon 68, Komandan Kompi Kapten Toemiran
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 56
- Di front Markas Medan Barat - Semarang
Sejak Februari 1946 selama satu bulan pasukan Batalyon IV Mayor Soeyono dengan
kekuatan tiga kompi bertugas di front MMB. Soeyono juga bertindak sebagai Komandan
Sektor di MB. Mereka merupakan pasukan gabungan Letkol Sarbini.
Kompi-kompi dalam Batalyon Soeyono dilengkapi dengan empat pucuk Senapan
Mesin Ringan (SMR), 70 kareben, dan dua senjata semi otomatis (organic sector
Karanganyar Semarang).
Pasukan berangkat dari Gombong dengan kereta api sampai stasiun Kaliwungu dan
diteruskan jalan kaki ke garis depan sejauh 10 Km. Pasukan melakukan blokade ekonomi
dan pertahanan, patroli tempur dan pengintai, serta pengawasan lalu lintas pengungsi dari
Semarang ke luar kota.
Pada suatu hari di bulan Februari, patroli pengintai pasukan di desa Jerakah Tugu
sempat diketahui musuh. Patroli pun menghindar, setengah jam kemudian musuh
berkekuatan satu kompi lengkap diperkuat kavaleri dan artilerinya serta dibantu pesawat
jenis piper (capung) menembaki patroli TNI dengan beberapa pucuk mortir 8 sehingga dua
orang TNI gugur oleh peluru mortir musuh.
Ketika Batalyon Soeroyo diserang di Tugurejo, Batalyon Jenggot membalas serangan
Belanda dengan meriamnya.
Di Kendal, Kompi Roes’an terlibat serangan dengan Belanda cukup sengit. Korban
cukup banyak, terutama dari pasukan Angkatan Laut. Peristiwa ini dikenal sebagai peristiwa
Tapakrejo karena terjadi di desa Tapakrejo wilayah Kendal, sebelah utara rel kereta api.
Seminggu setelah hari pernikahannya, pada tanggal 18 Desember 1946, Kapten
Chanafie dari Batalyon 64 Kebumen dengan kompinya ditugaskan ke front untuk:
- Melaksanakn blokade ekonomi terhadap Belanda di Semarang
- Bersiap siaga bila Belanda memperluas posisinya
- Mengisi garis pertahanan yang ditinggalkan Batalyon Muin dari Wonosobo yang
hancur dan menelan banyak korban.
Batalyon 68 menugaskan Kompi IV pimpinan Komandan Kompi Letnan I Toegiyo
dengan para Komandan Seksinya; Letnan Muda Kasil, Letnan Muda Soegiyo, Letnan Muda
Soetardjo. Mereka menggantikan Kompi Kapten Soedirman Batalyon 64 Kebumen.
Batalyon 64 menugaskan Kapten Soedirman untuk kedua kalinya menggantikan
Kompi Kapten Chanafie. Kapten Soedirman lalu digantikan Kapten H. Soegondo, dengan
anak buah Kompi Biroe. Ini terjadi atas kebijakan Komandan Batalyon Mayor Rachmat.
Pada masa penugasan Kompi H. Soegondo pecahlah Agresi Militer belanda I. Belanda
masuk Kaliwungu, Cirebon telah jatuh. Kompi Soegondo kembali ke Kebumen, melewati
Banjarnegara, Sadang Wetan, dan langsung memotong jalan lewat pegunungan.
Sebagian besar pasukan Kompi Soegondo dipimpin oleh Letnan II Soegito, komandan
seksi I, dari Darupono ke Kebumen melalui Kendal, rumah sakit Pekalongan, terus ke selatan
menuju Kebumen. Dalam perjalanan mereka sempat melaksanakan bumi hangus.
Nota Panglima Besar Soedirman Perihal Sistem Wehrkreise
Untuk menghadapi rencana serbuan Belanda, Panglima Besar mengeluarkan
perintah kepada kesatuan-kesatuan TNI mengenai desentralisasi komando dengan
memperkenalkan sistem Wehrkreise atau Lingkungan Pertahanan. Namun pendeknya
waktu dan sulitnya komunikasi, membuat sistem tersebut tidak dapat diterapkan dalam
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 57
menghadapi penyerbuan Belanda. TNI masih menggunakan sistem pertahanan Linie atau
garis melebar.
Pada tanggal 20 Juli 1947 Letnan Gubernur Jenderal Van Mook mendapatkan
persetujuan dari Pemerintah Belanda untuk melaksankan aksi militer terhadap Indonesia.
Pada pukul 00.20 Wib tanggal 21 Juli 1947 Radio Belanda menyiarkan pidato Perdana
Menteri Belanda Beel tentang persetujuan atas aksi militer tersebut. Bahkan pada pukul
00.00 Wib hari itu pasukan Belanda sudah mulai menghantam kedudukan pasukan RI di
garis demarkasi, dengan tembakan-tembakan meriam dan senjata-senjata lainnya. Enam
jam kemudian induk kekuatan pasukan Belanda di darat ikut menggempur dibantu angkatan
udaranya.
Di front Barat, Belanda menggerakkan Brigade V yang terdiri dari Resimen Infanteri
1-3, Resimen Infanteri 1-8, dan Resimen Infanteri 1-9 menerobos Tomo-Cirebon-
Purbalingga-Banyumas-Cilacap kemudian Gombong. Setelah melewati kota-kota tersebut,
untuk masuk lebih jauh ke Jawa Tengah, akan bergabung lagi dengan Brigade V pasukan dan
Resimen Infanteri 1-4, Resimen Infanteri II-4, dan Resimen Infanteri I-II.
Akan tetapi kuatnya pertahanan RI di Bumiayu dan Purwokerto membuat Brigade V
yang seharusnya menerobos Bumiayu terhambat sampai tanggal 25 Juli 1947. Pasukan
tersebut kemudian melambung dan menusuk melalui jalan Belik-Bobotsari-Purbalingga baru
bisa sampai di Purwokerto dan Cilacap. Jalan ini oleh TNI dihancurkan untuk memberi
kesempatan mundur pasukan TNI di Pekalongan.
Pertempuran Hambatan di Belik-Purbalingga
Untuk menghadang laju Belanda, Batalyon 62 Gombong yang sedang bertugas
POPDA di Purworejo Klampok diperintahkan ke Belik-Purbalingga. Pertempuran Belik adalah
pertempuran kecil. Namun merupakan salah satu tonggak kecil dalam Darma Bhakti
Resimen XX di Kedu Selatan terhadap tanah air yang dilakukan oleh kompi Roes’an dengan
hanya berkekuatan dua seksi yakni Seksi Letnan II Djoerdjani, dan Seksi Letnan Muda
Bagyoto, yang di dalamnya ikut pula anggotanya yang bernama Kasno.
Sebelum Agresi Militer, Seksi Djoerdjani pernah ditugasi sebagai pengawal eks
tahanan Jepang dan Kamp Tentara India di Klampok. Tawanan Jepang yang dikawal adalah
orang Eropa dan adapula nyonya-nyonya dan noni-noninya. Seksi ini juga pernah secara
bergantian ditugasi menjaga Lapangan Terbang Wirasaba yang letaknya 4 Km dari Puworejo
Klampok.
Pada tanggal 22 Juli 1947, setelah mendengar tentara Belanda yang telah menduduki
Pemalang bergerak ke selatan menuju Purbalingga, Kompi Roes’an diperintahkan untuk
segera memperkuat pertahanan Kota Purbalingga. Komando Pertahanan Kota saat itu
dipegang oleh Mayor Polisi Tentara Prayoga dengan kekuatan satu Detasemen Polisi
Tentara. Pada saat itu, pasukan TNI tidak ada di Purbalingga, sebab sedang ditugasi di front
Bandung Timur.
Seksi I Letnan II Djoerdjani dilengkapi dengan 3 pucuk Senapan Mitraliur Ringan
(SMR) dan 30 senapan LE. Karena tergesa – gesa dan pemilihan tempat untuk bertahan
sudah malam, maka penempatan pasukan tidak tepat posisi stelling atau penempatan
pertahanannya. Seksi I berkedudukan di kiri jalan antara Purbalingga dengan Belik,
sedangkan Seksi II yang saat itu dioper langsung di bawah pimpinan Kapten Roes’an,
menempatkan diri di sebelah kanan jalan.
Vuur Contak dimulai pukul 03.30 Wib. Lebih kurang hanya 10 menit musuh
membuka tembakan dari atas panser dan dari kendaraan Belanda lainnya. Personil tentara
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 58
Belanda yang diangkut dengan kendaraan lapis baja tidak sempat turun mengadakan
pembersihan. Belanda melaju terus menuju kota Purbalingga.
Jalan Belik – Purbalingga dijadikan poros jalan untuk memisahkan Seksi I dengan
Seksi II. Kedua seksi ini mundur menuju ke daerah Purworejo Klampok, namun kalah cepat
dengan gerak lajunya pasukan Belanda yang menggunakan kendaraan panser lapis baja,
yang juga menuju Puworejo Klampok.
Melalui rute yang berbeda, Seksi I Djoerdjani dan Seksi II Bagyoto dioper langsung
oleh Komandan Kompi Roes’an dan sampailah di Gombong untuk bergabung dengan induk
pasukan Batalyon 62. Keesokan harinya,tanggal 5 Agustus 1947 lebih kurang pukul 04.00
Wib, kota ini jatuh ke tangan Belanda.
Gerakan cepat musuh pada peristiwa Belik – Purbalingga ini bisa digarisbawahi
sebagai berikut:
- Lawan yang dihadapi adalah poros utama gerakan musuh ke pedalaman Jawa
Tengah, berhenti untuk berpangkalan di Gombong yang ada tangsi dan depo
batalyonnya, yang melahirkan istilah Clash I atau Agresi Militer Belanda I. Musuh
melewati daerah yang di luar dugaan TNI, yaitu dari Pemalang menuju ke kota
Purbalingga.
- Taktis, gerakan musuh sangat cepat di Purbalingga tanpa mengalami hambatan yang
berarti, sebab semua pasukan penghambat tidak sempat untuk memilih tempat yang
strategis guna menghambat lajunya musuh. Seluruh unsur pertahanan kota
Purbalingga termasuk batalyon yang didatangkan dari Cilacap, dengan menggunakan
kereta api, belum sampai seluruhnya keluar dari dalam gerbong, serta emplasemen
stasiun Kalimanah yang jaraknya 2 Km sebelah selatan Purbalingga, sudah Vuur
Contak dengan pasukan kendaraan bermotor Belanda yang melalui Kalimanah
tersebut.
- Banyumas yang pernah dinyatakan sebagai daerah yang memiliki pasukan cukup
kuat sejak jaman Palagan Ambarawa, baik dalam arti kekuatan manusia maupun
senjatanya, pada waktu Agresi Militer Belanda I tersebut dalam keadaan kosong.
Sebagian besar pasukannya sedang memperkuat garis demarkasi di Priangan Timur.
- Pasukan yang ada selain staf divisi dan brigade adalah pasukan dari Puwokerto
sendiri yakni Batalyon Mayor Brotosiswoyo, Batalyon Mayor Wongso/Purbalingga,
dan Batalyon Mayor Soerono/Cilacap, yang akan ikut menghambat di Purbalingga –
Belik. Akan tetapi di stasiun Kalimanah, pasukan ini lebih dahulu ditembaki oleh
Belanda.
Selain itu ada Detasemen polisi Tentara (PT), Perhubungan (PHB), Zeni, BAT 340 TP
Purwokerto dan satu Seksi 344 TP Purwokerto yang ikut menghadang dari jurusan Bumi
Jawa – Belik – Bobotsari. Seksi TP 342/ Soemarko malah ikut dalam penghancuran 9
jembatan di jalur Bumiayu sampai Purwokerto, dan setibanya di Purwokerto atas perintah
Panglima Divisi Gatot Soebroto ikut menghancurkan jembatan – jembatan dari jurusan
Cijulang – Banjar – Patoman.
Seksi 343 Batalyon TP betugas di Lapangan Terbang Wirasaba pernah mendampingi
Kompi Roes’an. Seksi 342 TP Zeni Purwokerto bertugas di Bumiayu, Cijulang dan Banyumas
– Wangon. Seksi 341 TP Purwokerto yang sedang latihan Tentara Pelajar di Tawangmangu
minta dipulangkan untuk berjuang di Purwokerto.
Demikanlah situasi dan kondisi di wilayah Karisidenan Banyumas yang berbatasan
dengan Kedu Selatan. Jika Belanda menyerbu Gombong (daerah Kedu Selatan paling utara),
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 59
tentu melangkahi dahulu wilayah Banyumas sebagai “ Sedulur Sinarawadi “ dalam legenda
Dulang Mas pada masa perang gerilya Diponegoro.
Situasi di Gombong Menjelang Agresi Militer Belanda I
Menghadapi gerakan Belanda menyerbu Gombong, kekuatan TNI yang
berkedudukan di kota Gombong adalah :
1. Batalyon 62 Resimen XX Divisi III pimpinan Mayor Panoedjoe
2. Kader School pimpinan Kolonel Samidjo yang kemudian diganti oleh Kolonel
Soekaswo
3. Inspektorat Infanteri pimpinan Jenderal Mayor Didi Kartasasmita
4. Satu seksi Polisi Tentara (PT)
5. Satu seksi Tentara Pelajar pimpinan Soewarno
6. Badan Perjuangan: Pesindo, BPRI, Hizbullah, dan Sabilillah.
Selain itu pada awal tahun 1947 ada Balai Besar Jawatan Kereta Api, mengungsi dari
Bandung dan berkantor di Benteng Tangsi Gombong. Di desa Selokerto terdapat “Barisan
Bambu Runcing“ pimpinan Abdul Manap yang bergabung dalam wadah “Instansi Gerilya
Maruto“.
Berbagai Peristiwa Militer
Mengingat situasi yang semakin genting, maka Komandan Batalyon 62 Mayor
Panoedjoe mempertimbangkan perlunya penempatan pasukan guna membentuk Garis
Pertahanan Kota Gombong (GPKG).
1. Idjo
Daerah Idjo ditetapkan sebagai “Garis Pertahanan Pertama”. Kompi III Letnan I
Soetjipto ditempatkan di perbatasan Kebumen dan Banyumas (di Idjo). Seksi I Letnan II
Soemardjo di poros jalan kereta. Seksi II Letnan Muda Hadiprayitno di Selatan Stasiun Idjo
membujur ke Selatan, jalan arah Rawakele - Jatijajar ke Kaligending. Seksi III Serma
Soemarno di Selatan dan Timur stasiun, terowongan kereta api Idjo dan sekitarnya.
Seksi I Kompi I Toegiran dan Kompi II Roes’an yang baru saja datang dari Belik
bertugas di Komando Markas Batalyon di kota Gombong. Adapun Kompi Badan Perjuangan
ditempatkan membujur ke Selatan. Pada tanggal 27 Juli 1947 sekitar pukul 15.00 Wib di
garis pertahanan terdepan pasukan Batalyon 62 terjadi kontak senjata yang cukup seru
dengan pasukan Belanda yang datang dari jurusan Banyumas menuju Gombong.
2. Bantar - Jetis Pelemahan
Bantar - Jetis Pelemahan ditetapkan sebagai “Garis Petahanan Kedua”. Kompi IV
Letnan I Slamet (dikenal dengan Slamet Bindil karena rambutnya melingkar atau bindil-
brindil) markas kompinya di Pendopo Penatus Sepuh Selokerto Sangkalputung. Pasukan
ditempatkan mulai dari Desa Tambak ke Timur dan sekitar Jembatan Bantar dan Jembatan
Jetis Pelemahan (sekitar 3 Km dari kota Gombong ke Barat).
Kompi IV berkekuatan 2 Seksi, yaitu Seksi I Letnan Muda M. Badjoeri dan Seksi II
Serma Koedoes. Tugas pokoknya ialah apabila garis pertahanan pertama gagal, maka tugas
yang harus dilaksanakan adalah:
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 60
- Menghancurkan lawan
- Penghambatan lawan
- Jika musuh tidak bisa dibendung, maka Jembatan Jetis - Pelemahan harus
dihancurkan dengan trekbom.
Pasukan komando batalyon sendiri yang terdiri dari Kompi I dan Kompi II tetap
berada di Benteng Tangsi Gombong.
Belanda menyerbu kota Gombong dengan kekuatan besar yang didukung
pelengkapan dan persenjataan lengkap seperti Tank dengan senjata meriamnya, kendaraan
lapis baja, senjata berat altileri, dan dikawal oleh pesawat Mustang yang terbang
menyambar-nyambar.
Dalam situasi demikian, Jembatan Bantar di Timur desa Kretek diledakkan tapi
Landmijn(Ranjau Darat) yang ditanam tidak meledak. Di desa Bawang Purbowangi, Belanda
dihambat pasukan Seksi I Letnan II M. Bajoeri. Bersamaan dengan itu terdengarlah bunyi
trek bom di jembatan Jetis Pelemahan yang dilakukan Seksi Serma Koedoes. Badan jalan di
ujung Barat jembatan menjadi hancur. Tank Belanda yang berkubah meraung-raung
mesinnya, maju tidak bisa, mundur pun tidak bisa. Infanteri Belanda yang mencoba
menyeberang kali Welar disambut Bren Kompi IV dari kubu di kampung Wakaf Klepusari
(kini makam Klepusari - makam keluarga Penatus).
Secara mendadak komandan Infanteri Belanda (seorang totok) menembak
Komandan Kompi IV Letnan I Slamet Brindil dari jarak sangat dekat (sekitar 10 m). Namun
Tuhan masih melindunginya sehingga tidak kena. Belanda totok tersebut kemudian
menyelinap mundur. Sejak saat itu Letnan I Slamet Brindil dikabarkan telah gugur di sebelah
Timur “Pertapaan Jetis”. Penduduk desa Jetis Selokerto ikut berkabung atas meninggalnya
Komandan Kompi IV yang sering dipanggil “Mas Slamet”. Mas Slamet sendiri adalah cucu
buyut dari tokoh cikal bakalnya Desa Jetis Selokerto.
Karena kekuatan yang tidak seimbang, Kota Gombong tepaksa ditinggalkan. Namun
sebelum pergi, pasukan Batalyon 62 bersama dengan anak-anak TP (Tentara Pelajar) Seksi
Gombong dan pasukan lainnya mengadakan taktik bumi hangus dan penghancuran
bangunan-bangunan vital.
Lebih kurang pukul 24.00 wib seluruh kota sudah dikosongkan. Pasukan Pertahanan
Kota Gombong di bawah komando Mayor Panoedjoe menuju ke titik konsolidasi di
Karanggayam.
3. Comando Operasi Pertahanan Daerah Kedu Selatan (COP PDKS) di Kebumen
COP PDKS di Kebumen dibentuk pada tanggal 5 Agustus 1947 (beberapa hari setelah
Belanda menduduki Gombong). Direktur Jenderal Angkatan Darat (DDAD) Jenderal Mayor
Abdoel Kadir yang pada saat itu bermarkas di Kebumen, berperan aktif dalam
mempersiapkan COP di Kebumen.
Sesuai rencana yang disiapkan, untuk menahan Belanda ke Yogyakarta, di Jawa
Tengah bagian Selatan telah ditugaskan Resimen XX, Resimen XXI dan Resimen XXII.
Sedangkan untuk bagian Tengah, tugas tersebut dipercayakan kepada Resimen XVII,
Resimen XVIII dan Resimen XIX. Karena itu, Pimpinan COP di Kebumen di jabat secara
bergantian oleh Resimen XX, XXI, dan XXII.
Komandan COP Kebumen yang pertama dijabat oleh Letkol Koen Kamdani,
Komandan Resimen XX, lalu oleh Mayor Soedjono dari Resimen XXII, dan terakhir ketika
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 61
Agresi Militer II dijabat oleh Mayor Rachmat, Komandan Batalyon Teritorial Kedu V di
Kebumen.
COP PDKS di Kebumen memiliki tugas Pengendalian Operasi Intel, Operasi Teritorial
dan Operasi Tempur. Adapun Staf Pelaksananya adalah:
- Perwira Intel : Letnan I Soeparman
- Perwira Operasi : Kapten Soebiandono, (kemudian diganti)
: Kapten Soedarsono Bismo
- Perwira Organisasi/ Personel : Letnan I Soenandar
- Perwira Logistik : Letnan I Moeryoeni
- Perwira Keuangan : Letnan I Soengkono
Markas COP Kebumen menggunakan gedung bekas rumah dr. Goelarso Sosrohadi
Koesoemo, Kepala RSU Kebumen, yang pindah ke rumah jabatan Kepala RSU di Kompleks
RSU Kebumen. Gedung tersebut terletak di sebelah Timur dan satu deret dengan Kabupaten
(sekarang menjadi Sekolah Taman Dewasa).
Taman Dewasa Kebumen
Markas Logistik karena tugas dan
kegiatannya menggunakan kediaman eks Bupati
Aroeng Binang Soemrah yang terletak di Jalan
Aseman (sekarang menjadi Jalan Jenderal
Sarbini Kebumen). Eks Bupati Aroeng Binang
Soemrah mengosongkan kediamannya karena
memilih tinggal di Purworejo.
Mess Pimpinan COP Kebumen menggunakan gedung yang terletak di Selatan alun -
alun Kebumen, bersebelahan dengan Kantor Pos Kebumen (sekarang menjadi Rumah Dinas
Ketua DPRD Tingkat II Kebumen).
Rumah Dinas Ketua DPRD Kebumen
Awalnya PDKS dibagi atas dua sektor,
yaitu sektor Utara dan sektor Selatan. Sektor
Utara mempunyai wilayah operasi Utara rel
kereta api ke Utara, meliputi Karanggayam,
Kajoran, dan Clapar di bawah komando Mayor
Panoedjoe Komandan Batalyon 62, bergantian
dengan Mayor Slamet Soedibyo Komandan Batalyon 68 dan bermarkas di Karanggayam.
Sektor Selatan mempunyai daerah operasi sebelah Selatan jalan kereta api ke Selatan,
meliputi Sugihwaras, Sidobunder, dan Puring, di bawah Komando Mayor Rahmat Komandan
Batalyon 64 yang bergantian dengan Mayor Sroehardoyo Komandan Batalyon 66 dan
bermarkas di Adimulya.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 62
Setelah beberapa hari lamanya, mulai dirasakan bahwa jarak Komando Operasi
dengan Pasukan Operasi perlu diperpendek. Oleh karena itu, markas COP PDKS yang semula
di Kebumen, kemudian dipindahkan ke Karanganyar dengan Komandan COP dijabat secara
bergantian antara Mayor Panoedjoe, Mayor Slamet Soedibyo, Mayor Sroehardoyo dan
Mayor Rachmat. Front Pertahanan Daerah Kedu selanjutnya dibagi atas tiga sektor yaitu:
1. Sektor Utara, dipimpin oleh Letnan I Soetjipto Komandan Kompi III Batlyon 62 dan
bermarkas di Kajoran.
2. Sektor Tengah, dipimpin oleh Kapten Toegiman Komandan Kompi I Batalyon 62 dan
bermarkas di Karanganyar.
3. Sektor Selatan, dipimpin oleh Kapten Radjiman Komandan Kompi II Batalyon 66 bermarkas
di Nampudadi. Kapten Radjiman kemudian digantikan oleh Kapten Soemrahadi Kepala Staf
Batalyon 66.
Pasukan yang siap di Front, selain pasukan - pasukan Kompi Soetjipto, Kompi
Toegiran, Kompi Radjiman/Soemrahadi, juga pasukan-pasukan TP Seksi Gombong dan TP
Seksi Yogya, pasukan Seksi Hizbullah pimpinan Safuan, Seksi BPRI pimpinan Ismail, dan
pasukan Gurkha sebagi pertukaran jasa baik dengan negara sahabat India.
Pada Bulan Juli 1947 (Perang Kemerdekaan/PK I) Belanda memasuki Gombong dari
arah Kroya. Di sekitar lokasi Terowongan Idjo, Batalyon 62 Resimen 20/Divisi Diponegoro
bertahan. Pertahanan di sebelah Selatan rel kereta api oleh Kompi Soetjipto, sebelah Utara
rel oleh Kompi Slamet Brindil, masing – masing dari Batalyon 62 Resimen 20. Terowongan
Idjo dikuasai oleh Kompi Slamet yang dipercayakan pada Seksi (Peleton) Yatiman.
4. Pertempuran Karanggayam
Desa Karanggayam juga dipakai sebagai nama Kecamatan Karanggayam, karena
kantor Camatnya berada di sini. Letaknya 5 Km sebelah Utara Karanganyar. Waktu itu di
Karanganyar masih ada kantor Kawedanan yang dulunya pernah menjadi kantor kabupaten
Karanganyar.
Pada tanggal 19 Agustus 1947 hari Jumat Pon, satu Batalyon Belanda yang
berkedudukan di Gombong menyerang kedudukan Batalyon 62 TNI di Kajoran
Karanggayam. Belanda bergerak melambung ke Utara melalui desa Sidayu, Penimbun,
Kenteng dan menyusup menuju Karanggayam yang waktu itu merupakan Front terdepan di
pedalaman Jawa Tengah yang langsung berhadapan dengan musuh yang berkedudukan di
Gombong.
Melalui pengintaian udara, Belanda mengetahui di kuburan Pamekas ada kubu
pertahanan dengan kekuatan senjata otomatis berat Watermantel (nama senjata
berpendingin air). Di tegalan medan terbuka berkibar bendera Merah Putih dengan tiangnya
dua batang bambu yang dirakit ala tali - temali Pramuka. Seharusnya bendera yang
dikibarkan, diturunkan dan dilipat agar musuh tidak mengetahui kedudukan TNI. Namun
Prajurit Yacob malah duduk berdampingan dengan Soedar, seorang prajurit gabungan yang
tengah asik membersihkan kareben nya sambil menyanyikan lagu “Berkibarlah Benderaku
Sang Merah Putih”. Memang pada waktu itu adalah zaman pemuda harapan bangsa tidak
gentar menghadapi maut. Ternyata keesokan paginya tanggal 19 Agustus 1947 sekitar jam
05.00 Wib, terjadilah pertempuran sengit di Karanggayam.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 63
Sebelum Belanda sampai di Karanggayam, terjadi kontak senjata dengan patroli TNI
pada jam 23.00 Wib di kampung Randakeli dan Penimbun. Pasukan Belanda membagi diri
menjadi beberapa kesatuan dan melingkar sampai kuburan Pamekas.
Karena sudah sangat terdesak, pasukan TNI yang berada di Gunung Pukul mundur ke
arah Kalipancur. Gunung Pukul kemudian diduduki kompi cadangan Belanda yang bergerak
melalui Pejaten.
Sedangkan Pasukan Belanda yang telah menduduki Kuburan Pamekas, tidak
mengetahui bahwa pasukan TNI sudah mundur, dan Gunung Pukul telah diduduki oleh
Belanda kawannya sendiri. Maka terjadilah baku hantam senjata yang cukup seru dan lama
antara sesama pasukan Belanda di Gunung Pukul dengan pasukan Belanda yang lainnya
yang telah menduduki kuburan Pamekas. 60 orang anggota pasukan Belanda tewas di
Karanggayam.
Lebih kurang pukul 10.00 - 14.00 Wib terjadi kontak senjata lagi antara pasukan
Belanda yang menduduki Gunung Kodenan dan Simpang Empat Kajoran dengan pasukan
TNI yang mempertahankan Markas Batalyon 62 di Pos Komando Kalipancur.
Oleh karena kedudukan pasukan TNI makin kritis, maka kurang lebih pukul 02.00
Wib, Mayor Panoedjoe selaku Komandan Pasukan Pertahanan di Karanggayam
memerintahkan pasukannya untuk pindah ke desa Clapar. Pasukan pun bergerak ke sana.
Setelah semalam di Clapar, Pasukan Batalyon 62 kembali lagi mempertahankan
Karanggayam pada tanggal 20 Agustus 1947 sambil mengadakan pembersihan dan
penguburan anggota TNI dan penduduk Karanggayam yang gugur.
Seminggu sesudah pertempuran, Batalyon 62 kemudian diganti oleh Batalyon 64
Resimen XX Kebumen pimpinan Mayor R.P.S. Rachmat. Anggota Batalyon 62 Gombong
istirahat di desa Pacor Kutoarjo.
Dalam pertempuran Karanggayam pada tanggal 19 Agustus 1947 tersebut, gugur
sebanyak 25 orang yaitu:
1. Aminas, Kopral dari Kompi I Batalyon 62.
2. Boediman, Prajurit I Kompi III Batalyon 62
3. Kasimin, Sersan dari Markas Kompi IV Batalyon 62
4. Yohanes, Prajurit I Kompi Markas Batalyon 62
5. Ismadi, Prajurit I Kompi Batalyon 62
6. Soemarto, Sersan Komandan Regu III Kompi II Batalyon 62
7. Saproel, Prajurit I anggota Kesehatan Batalyon 62
8. Sadjim, Prajurit I anggota Kesehatan Batalyon 62
9. Ngadiran, Sersan Mayor anggota Kader School Gombong.
10. Usman Kuper (Jepang RI), Regu III Seksi II Kompi III Batalyon 62
11. Gonggo, Prajurit I anggota Kesatuan Inspektorat Infanteri Gombong
12. Tujuh orang tak dikenal dari Inspektorat Infanteri Gombong
13. Dua Orang tak dikenal, anggota Polri
14. Dua orang tak dikenal anggota Hizbullah
15. Daslan penduduk Karanggayam, Pembantu Dapur Umum
16. Keman penduduk Karanggayam.
Adapun yang luka - luka dalam pertempuran tersebut adalah Rosimin (Prajurit Kompi
III), Prajurit Soekiman (Cembuk) dan Prajurit II Soeparno. Selain itu ada beberapa nama
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 64
Pembantu Dapur Umum, dan satu di antaranya masih meninggalkan keluarganya bernama
Mbok Yatin.
Selain itu, Kriyataroena yang rumahnya dijadikan dapur umum, ditangkap Belanda
dan diangkut ke Tangsi Gombong. Ia ditawan selama 10 hari dan mendapat siksaan berat.
Hal serupa juga dialami oleh Pardjo dari Desa Karang Jengkol yang rumahnya diserahkan
untuk tempat tinggal para keluarga Komandan Batalyon 62, Camat Karanggayam RM.
Soedarto, dan keluarga Letnan I Slamet (Komandan Kompi IV).
Untuk menghormati jasa - jasa dan pengorbanan para Pahlawan Perang
Kemerdekan, di lokasi pertempuran di bangun “Monumen Pertempuran Karanggayam” atau
yang sering disingkat Monumen Purangga.
Monumen Purangga diselesaikan dalam beberapa tahap. Penyelesaian Tahap I telah
diresmikan pada tanggal 19 Agustus 1992. Terletak di lokasi yang strategis di tepi jalur kota
Karanggayam ke Utara ke arah Clapar, Wanareja, Wadaslintang, yang kini menjadi jalur
perekonomian penduduk setempat.
Pembangunan Monumen Purangga dilaksanakan secara gotong royong oleh
Paguyuban Keluarga Eks Anggota Batalyon 62 Gombong dan didukung oleh beberapa
donatur yang secara umum diketuai oleh Brigjen TNI (Purn.) Slamet Soebyakto. Setelah
beliau wafat, dilanjutkan oleh Mayjen Polisi Drs. Soebagjo mantan Kapolda Jawa Timur, yang
pada Agresi Militer Belanda II pernah bersama - sama dengan Soekyanto (Ir. Dosen FT.
UGM), Djoefri Abdoellah (Drs. dan mantan Direktur Keuangan Depdagri), Soemardi Growol
(mantan Guru SMAN 15 Jakarta), RG. Soedarsono (Letkol Purn. Mantan Asbin Pusjarah
ABRI), dan Soetardjo Martoyoguno (Mantan Guru SMEP di Gombong).
5. Pertempuran Sidobunder
Sidobunder terletak 10 Km sebelah Barat kota Gombong. Sejak Agresi Militer
Belanda I, di bagian Barat desa terdapat pos-pos Pertahanan Garis Lini Sektor Selatan. Desa
Sidobunder dilalui oleh sungai Kemit dari kanal Tirtomoyo yang membelah menjadi
Sidobunder bagian Barat dan Sidobunder bagian Timur. Sungai ini di desa Kemit sendiri
airnya bening dan mengendakan pasir, kerikil dan krokos/kerakal. Namun di desa
Sidobunder, airnya keruh dan berlumpur, apalagi kalau banjir, menggenangi sawah dan
pekarangan sehingga halaman rumah penuh air. Oleh karenanya di daerah tersebut pada
saat itu disetiap tepi empang dipagari bambu untuk pengamanan terhadap anak - anak kecil
atau kambing peliharaan.
Desa Sidobunder pernah mengalami serangan tentara Belanda sampai delapan kali
diantaranya:
- Pada suatu hari, saat istirahat, Hadi Soewarno memberitahu anggota TP (Tentara Pelajar)
terdahulu yang sedang asyik mencari ikan di selokan, bahwa ada patroli Belanda NICA.
Namun merka tidak percaya, dikiranya hanya partoli teman sendiri. Betapa terkejutnya
mereka, karena setelah dekat, baru diketahui bahwa yang datang ke arahnya adalah
pasukan Belanda NICA. Mereka ditangkap dan disiksa.
- Pada hari Selasa, akhir Agustus 1947, pukul 09.00 Wib di pos pertahanan TNI sebelum
anggota TNI sempat sarapan, Belanda melakukan penyerangan yang menyebabkan banyak
gugurnya anggota TNI termasuk Komandan Kompi Letnan II Soemari yang baru saja
menggantikan Kompi Letnan I Dimyati (mantan Lurah Kebumen) Batalyon 64, serta lima
orang penduduk tewas. Untuk menghindari korban lebih banyak, tentara RI mundur ke
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 65
daerah Sugihwaras. Letnan II Soemari gugur disergap Belanda pada awal serangan,
jenazahnya dimakamkan di Krakal desa tempat kelahirannya.
Kisah Pertempuran Sidobunder, dimulai pada akhir Agustus 1947. Waktu itu
Moedoyo Sekretaris Batalyon 300 Detasemen II TP Yogyakarta datang ke markas Kompi 330
pimpinan Letnan Wiyono yang menempati Hotel Van Laar Purworejo, membawa perintah
Komandan Batalyon 300 Martono perihal suatu penugasan bagi pasukan TP Yogyakarta
untuk menggunakan TP yang ada di Front Gombong.
Adapun yang mendapat tugas adalah seksi 321 Anggoro dari Kompi 320 Tjok Saroso
Hoerip TP Yogyakarta (terakhir Marsekal Pertama AURI). Anggota TP mayoritas berasal dari
anak-anak SMA Kota Baru (Keluarga Pelopor Padmanaba) dan pelajar asal Sulawesi anggota
pasukan Perpis.
Pada saat itu, pasukan pelajar Perpis baru saja menyelesaikan pelatihan militer di
Wates. Persenjataannya lengkap, menyandang Bedil Popda serta Bren Gun (sejenis senjata
otomatis), pakaiannya sudah berseragam hijau. Kabarnya perlengkapan tersebut diberikan
oleh Jenderal Mayor Abdoel Kadir.
Pasukan seksi 321 berangkat dari Yogyakarta menggunakan kereta api dan turun di
stasiun Kebumen menghampiri pasukan pelajar Perpis pimpinan M. Saelan. Selanjutnya
perjalanan diteruskan berjalan kaki, ada juga yang naik gerobak kuda yang rodanya tinggi
dengan roda besi (kini sudah punah). Mereka tiba di Sidobunder pada tanggal 31 Agustus
1947.
Setelah melapor kepada Perwira yang bertugas dan Kepala Desa Sidobunder,
pasukan dijamu dengan “Noni Bungkus (nasi bungkus)” khas ala jaman Repiblik (saat itu
Republik sering diucapkan Repiblik). Noni tersebut segera diserbu oleh seluruh anak TP yang
sudah lapar dan lelah yang lagi semega – semeganya (senang – senangnya makan).
Pasukan Seksi 321 ditempatkan di sini untuk menggantikan pos pertahanan TP I
Sidobunder dan Puring yang dipimpin oleh Soemardi. Markasnya berada di rumah
Kartowiyoto (sekarang Gedung Sekolah Dasar Inpres).
Malam itu tampak banyak obor yang mencurigakan di seberang sawah. Namun,
Kepala Desa menerangkan bahwa itu adalah penduduk yang sedang mencari Jangkrik, belut,
ikan kutuk bayong sawah, dan katak hijau yang sangat bergizi. Situasi dianggap aman,
Komandan Seksi kemudian mengijinkan anak buahnya untuk beristirahat. Selesai istirahat,
Seksi 321 membagi peralatan dan menempati tempat tugas di beberapa titik, misalnya ada
yang bertugas jaga di Dukuh Sidobunder Tunjungan.
Regu I Poernomo dan Regu II Djoko Pramono bertugas mengawasi jembatan
Sidobunder. Pemegang Bren Gun ditempatkan di Kanan pos pertahanan. Sedangkan Perpis
di sebelah Selatan menempati pertigaan dekat lumbung desa. Di sebelah Utara pertahanan
TP adalah kedudukan pertahanan Hizbullah dan AOI (Angkatan Oemat Islam).
Keesokan harinya, pada tanggal 1 September 1947 dua anggota Seksi Anggoro
beserta empat pasukan Perpis antara lain Losung, menuju ke Karangbolong untuk mengecek
kebenaran berita bahwa Belanda sudah berada di sana. Sejauh titik batas pandang
pengintain, terlihat tiga serdadu Belanda sedang tugas jaga dan satu orang sedang mandi di
sumur timba (pada saat itu, sumur umumnya dikelilingi pagar hidup atau Turus yang
tumbuh setinggi dada atau bahu).
Pada malam harinya, sampai saat peralihan waktu ke tanggal 2 September 1947,
keadaan cuaca sangat buruk, langit mendung, dan guruh pun bergemuruh bersaut – sautan.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 66
Hujan lebat pun kemudian turun, sungai menjadi banjir, sawah dan kebun tergenang air.
Komunikasi antarpasukan sulit dilakukan.
Sekitar pukul 01.00 Wib pos pertahanan Perpis regu pimpinan Soekiman didatangi
perempuan berpakaian Jawa, mengantarkan wedang kopi panas dan singkong. Soekiman
curiga kepada orang tersebut. Disuruhnya perempuan itu cepat pergi, karena Ia teringat
kejadian di salah satu pos pertahanan, ada empat prajurit TNI meninggal karena ulah mata –
mata musuh yang mengantar makanan dan kopi panas.
Selanjutnya, pada pagi - pagi buta, rakyat dikejutkan oleh suara tembakan. Perpis
sudah dikepung. Anggoro segera membagi granat serta tambahan peluru. Seorang kurir
MBT tanpa senjata bernama Achmad (masih muda orangnya) yang pada saat itu
kemalaman, bergabung dalam TP dan diberi granat. Namun ia memilih kareben pegangan
Anggoro. Anggoro pun memberikannya.
Mundurnya pasukan Hizbullah dan AOI telah membuka jalan Belanda. Prajurit TP
Ridwan dengan senjata Bren berhasil menyapu serangan Belanda gelombang pertama.
Gelombang kedua pun dapat dibabatnya. Namun pada serangan gelombang ke tiga, Ridwan
tertembak Belanda dan gugur seketika. Senjata Bren kemudian diambil oleh Kampret.
Bersama dengan Acmad, Kampret berhasil menghambat serangan Belanda dari arah Utara.
Akan tetapi akhirnya kedua prajurit pejuang itu pun gugur. Kampret memiliki nama asli
Koenarso, ia adalah teman satu sekolah R.G. Soedarsono di SMP Gombong yang sering
memanggilnya “Mas Koen” karena usia dan angka kelasnya lebih senior.
Pasukan pelajar Perpis dengan senjata dan seragamnya yang lengkap, berusaha
keras menghambat serangan pasukan Belanda dari arah Timur. Namun serangan Belanda
datang begitu gencarnya. Bahkan pasukan Perpis pun akhirnya dapat terkepung. Maulwi
Saelan masih bisa meloloskan diri dari kepungan Belanda dengan cara melepas bajunya
sehingga kelihatan kulit badannya yang kuning langsat sehingga dikira sebagai Sinyo Belanda
yang tengah bersama pasukannya.
Penyerangan Belanda terus berlangsung hingga menjelang siang hari, dengan
bayonet terhunus di ujung larasnya. Regu I Purnomo pun datang dari pos terdepan untuk
bergabung dengan pasukan induknya dan terus bersama - sama mengadakan perlawanan
secara sengit.
Pasukan TP berusaha menggeser pertahanannya ke sebelah Selatan, tetapi Belanda
sudah menghadang. Anak - anak TP tetap teguh dan terus mengadakan perlawanan dengan
gigih sampai akhirnya mereka benar - benar kehabisan peluru.
Anak - anak TP tidak juga menyerah. Pertempuran berlanjut dengan perkelahian satu
lawan satu menggunakan sangkur, sehingga banyak berjatuhan korban. Dari 36 orang
anggota seksi 321, hanya 11 orang yang hidup antara lain mereka yang bertahan di sudut
desa dan berpura - pura mati dengan tidur di samping kawannya yang telah berlumuran
darah. Ada juga anggota TP yang keningnya terluka kena goresan telapak sepatu Belanda
yaitu prajurit TP Imam Soekotjo dan ada yang selamat karena bersembunyi di bawah lesung.
Pertempuran usai sekitar pukul 11.00 Wib, tanggal 3 September 1947. Jenazah -
jenazah yang berserakan di sawah dan pekarangan dikumpulkan, ditutupi dengan daun
pisang, dan dibawa ke Sugihwaras. Selanjutnya dengan “Risban Engkrak” yang terbuat dari
bambu, jenazah ditandu untuk dibawa ke Karanganyar, lalu diangkut dengan kereta api
menuju ke Yogyakarta, dan disemayamkan di Gedung Badan Penolong Keluarga Korban
Perang di Secodiningratan Yogyakarta. Di stasiun Tugu Yogyakarta para penjemput dan
pelayat sudah menanti dengan suasana penuh berkabung. Keluarga para korban, pelajar
SMP 1 Terban Taman, SMP II, SMP Bopkri, STM Jetis, Taman Siswa, SMT Kota Baru (Keluarga
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 67
Pelajar Padmanba) yaitu asal sekolah anggota pasukan Tentara Pelajar yang gugur, dan tidak
ketinggalan pula dengan penduduk ibukota perjuangan RI tersebut, ikut menjemput di
stasiun Tugu.
Pada waktu menuju tempat peristirahatan terakhir di Taman Makam Pahlawan
Kusuma Bangsa, semakin berbondong - bondong penduduk Yogyakarta berjajar di Kanan
dan Kiri jalan yang dilalui jenazah Pahlawan.
Para pelajar Yogyakarta berjajar rapi berdiri di tepi Jalan untuk memberi
penghormatan terakhir kepada para pahlawan yang masih sangat muda, yang gugur
mempertahankan Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Para anggota Tentara Pelajar yang gugur
antar lain:
1. Abunandir
2. Achmad Suryomiharjo
3. Ben Roemayar
4. Bayu
5. Djoko Pramono
6. Haroen
7. Herman Fernandes
8. Kadarisman
9. La Indi
10. Laksoedi
11. Koenarso (Kampret)
12. Losung
13. Purnomo
14. Pramono
15. Rahmat
16. Ridwan
17. Pinanggur Beni
18. Soegiyono
19. Soehapto
20. Soepadi
21. Soeryoharyono
22. Tadjoedin
23. Wiliy Hutahuruk
Sedangkan korban penduduk yang tewas adalah:
1. Ny. Ardjowinangun
2. Damiun
3. Kartowiyoto (pensiunan Carik Gede, rumahnya sebagai markas TP)
4. Madjani (mantan Polisi Desa Sidobunder)
5. Meran alias Madkarta
6. Ngalimun
7. Sungkowo (guru SD Sidobunder)
8. Sawal
9. Sawikrama
10. Paing alias Bajang, dari Banjareja Puring, berada di pasar Sidobunder.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 68
Di samping itu, ada juga korban luka di bibirnya, hingga hilang tak berbibir, dan telah
meninggal pada tahun 1960.
Sebagai tanda peringatan dan penghormatan bagi para pahlawan TP serta korban
penduduk dalam pertempuran Sidobunder, di pertigaaan jalan Sidobunder didirikan Tugu
Pertama pada tahun 1959. Pada tahun 1984 dibangun Monumen Balai Desa berbentuk Joglo
di belakang Tugu Pertama (di sebelah Utara dekat Tugu Pertama).
Dalam peresmian Monumen Balai Desa oleh Menteri Transmigrasi RI Martono (eks
Komandan Detasemen III TP Brigade XVII), dihadiri juga warga TRIP Jawa Timur, antara lain
Mayjen. (Purn.) Soebyantoro (Toret) eks Komandan Kompi TRIP Detasemen I Brigade XVII
Jawa Timur, mantan Duta Besar RI di Belgia, Alex Rumambi (eks Pasukan Pelajar Perpis), dan
beberapa Menteri eks TP yaitu: Menteri Perhubungan RI Marsekal Roesmin Noeryadin,
mantan KASAU Letjen. TNI Ali Said, SH, mantan Jaksa Agung dan Ketua MA, serta mantan
Menteri Sosial RI Nani Soedarsono, SH.
6. Blekatuk
Pada tanggal 21 Desember 1948, Kompi IV Batalyon 62 dengan kekuatan satu Seksi
dipimpin oleh Letnan I Slamet, turun dari Karanggayam menuju daerah pendudukan
Belanda di Gombong untuk menyerang pos-pos penjagaan Stelling (posisi siap tembak,
menghadap musuh) Belanda di Sumpyuh. Rencana ini sudah disepakati dengan pasukan
Kapten Soepardijo yang bertugas di daerah Pemalang. Keduanya pernah menjadi Shodancho
PETA di Gombong. Dengan kuasa Tuhan mereka bertemu lagi dan sepakat mengadakan
gerakan mengepung Belanda di Sumpyuh. Pasukan Soepardijo dari Barat- Utara, Kompi
Slamet dari arah Timur. Mereka akan saling kirim berita setelah tiba di titik yang telah
ditentukan.
Kompi Slamet menunggu berita dari kurir yang disertai Serma Sumbogo sambil
istirahat di Bawang Blekatuk, setelah melakukan perjalanan jauh dari Karanggayam. Tetapi
kurir berlum juga tiba, padahul semua sudah lelah sehingga tak ada yang bertugas jaga.
Desa Blekatuk adalah desa yang terletak menjorok ke tengah sawah di Utara desa
Bawang dan Utara Jalan Raya Banyumas Tugu - Gombong di kaki dataran tinggi.
Ketika semua tidur, Belanda menggrebeg desa tetangga di Selatan. Tujuannya adalah
mencari seorang serdadu Belanda totok yang hilang disergap gerilya RI, selagi berkencan
dengan perempuan desa ini. Mata - mata Belanda melaporkan adanya pasukan TNI bergerak
ke arah Utara dan beristirahat di Blekatuk. Belanda lalu mengalihkan perhatiannya ke desa
Blekatuk.
Tembakan serempak Belanda menyebabkan Seksi bubar tak terarah. Beberapa di
antaranya meloloskan diri ke sawah yang baru ditanami. Sedangkan Sersan Mayor Marsoem
gugur terkena tembakan musuh. Kurir pasukan Soepardiyo yang ditunggu - tunggu tidak
kunjung datang. Ternyata Kapten Soepardiyo tertangkap sebelum pengepungan terhadap
musuh di Sumpyuh dilakukan. Serdadu Belanda totok yang telah hilang tetap tidak
ditemukan. Sedangkan pasukan Kompi IV berhasil lolos dari sergapan dan kembali ke
kedudukan pertahanannya di Karanggayam.
7. Canonade Candi
Desa Candi terletak di sebelah Timur kota Karanganyar yang pada waktu itu menjadi
pengganti Pasar Karanganyar yang semula terletak di jalan raya Gombong – Kebumen,
kemudian ditutup karena pertimbangan keamanan umum terutama untuk menghindari
keganasan Belanda. Hal itu mengingat Markas COP Karangayar terletak di jalan Perlawanan,
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 69
sebelah Timur Alun-alun, sedangkan kantor dan gudang Logistik COP Karanganyar yang
terletak di Kelurahan Candi telah tiga kali terkena tembakan kanon/meriam (Kanonade)
musuh. Kantor Logistik COP Karanganyar saat itu dipimpin oleh Letnan I Moeryoeni (terakhir
menjabat sebagai Wakil Komandan Pusat Altileri di Cimahi).
Belanda sering menembakkan meriamnya ke daerah - daerah RI yang dianggap
rawan dan sangat dicurigai. Maksud dari Kanonade tersebut adalah untuk membuyarkan
pemusatan pertahanan Pasukan TNI. Sebelum melakukan penembakan, Belanda
mengadakan pengintaian terlebih dahulu melalui udara dengan pesawat Capung (sekarang
pesawat sejenis masih ada dan dijadikan koleksi Museum Satria Mandala Jakarta).
Pada tanggal 19 Oktober 1947, hari Minggu Wage, sekitar pukul 06.00 Wib mulailah
terdengar dentuman meriam dari Gombong, sebagai tembakan pendahuluan Belanda ke
arah Selatan Sugihwaras, kemudian baru ke arah Candi. Pada waktu itu cuaca mendung
karena sejak malam hari hujan telah turun dengan lebat.
Pasar Candi Karanganyar tidak seberapa jauh, berada di belakang gedung kantor
Kawedanan (yang ketika itu tinggal puing-puing karena telah dibumihanguskan; sekarang
gedung tersebut telah dibangun kembali). Keadaan pasar tersebut tidak terlalu baik. Namun
karena hari itu adalah hari pasaran, maka pasar Candi tetap ramai dikunjungi dan orang
mulai melaksankan jual beli/candak - kulak. Sekonyong-konyong aktifitas pasar pagi itu
dikejutkan oleh datangnya pesawat Capung musuh yang melakukan pengintain sambil
memberikan sinar kode, kemudian disusul dentuman peluru meriam yang pertama jatuh di
dekat pasar Candi.
Tembakan meriam dari Gombong semakin gencar bagai hujan peluru. Lebih - kurang
pukul 10.00 Wib tembakan mereda sebentar. Penduduk Candi dan sekitarnya bergegas
untuk mengungsi, namun tidak lama kemudian peluru Kanon kembali berjatuhan, bertubi-
tubi di Candi dan Plarangan. Kanonade Candi baru berhenti sekitar pukul 13.00 Wib. Jumlah
peluru yang ditembakkan lebih - kurang 300 butir. Hal ini bisa dihitung dari jumlah lubang di
tanah bekas jatuhnya ledakan peluru Kanon.
Karena bertepatan dengan hari pasaran, maka korban yang tewas pun banyak sekali.
Korban adalah penduduk setempat dan penduduk desa lain yang sedang berada di pasar.
Ada juga anggota TNI, TP dan pasukan perjuangan yang sedang berada di Candi. Mayat -
mayat bergelimpangan di mana-mana, terutama di pasar Candi sampai rel kereta api
sebelah Timur. Ada yang kepala, tangan, dan kakinya terpisah dari badannya. Jumlah korban
meninggal yang bisa didata ada 786 orang, termasuk di dalamnya 70 orang lebih terdapat di
pinggir rel kereta api, 13 orang anggota TP antara lain cucu Bupati Arung Binang (Mantan
Bupati Kebumen). Sangat dimungkinkan terdapat jenazah yang hanyut terbawa arus kali
yang waktu itu sedang banjir.
Peti - peti jenazah disiapkan oleh Djawatan Kesehatan Tentara (DKT) dan rumah Sakit
Tentara (RST) di Kebumen. Di antara petugas DKT yang mengurus jenazah - jenazah tersebut
terdapat Letnan Satiyo yang bertugas di DKT Resimen XX/ Kedu Selatan.
Korban lain dari Kanonade Candi ialah banyak rumah yang rusak bahkan hancur,
hewan piaraan seperti kerbau, sapi, dan kambing juga banyak yang mati. Belum lagi barang
– barang milik masyarakat yang tidak dapat di data. Karena banyaknya jumlah korban, maka
dibuatlah lubang - lubang untuk penguburan masal.
Bagi mereka yang identitasnya jelas, seperti anggota TP, kemudian dikumpulkan
untuk dirawat oleh kesatuannya dan diangkut ke Kebumen. Pada keesokan harinya dengan
menggunakan kereta api mereka diangkut ke Purworejo (bagi yang induknya di Purworejo)
atau ke Yogyakarta (bagi yang induknya di Yogyakarta).
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 70
Candi termasuk dalam daerah sektor Tengah di bawah Komando Kapten Toegiran
yang bermarkas di Karanganyar. Dalam Canonade Candi, Kapten Toegiran selamat, akan
tetapi Komandan Seksinya, yakni Letnan Muda Soehari terkena pecahan meriam di bagian
muka dan pundaknya, meski telah berlindung di bawah kolong jembatan kereta api dekat
stasiun kereta api Karanganyar. Selain itu, Letnan Muda Pratejo, Komandan Seksi, terkena
pecahan meriam di kaki (betis) kanan; dan Sersan Zarkoni, Komandan Regu Seksi Pratedjo
terkena di bagian perut.
8. Pertempuran Meles
Bersamaan dengan terjadinya Canonade Candi (Karanganyar), Belanda menyerang
Caruban, Bonjok Lor, melingkar masuk dari belakang, menyerang Regu I Seksi II Kompi III
Biroe Batalyon 64 Resimen XX/Divisi III.
Komandan Regu I ialah Serma Soemosastro, Komandan Seksi II Letnan II Soegito
Bawor, Komandan Seksi I merangkap Wakil Komandan Kompi III adalah Letnan II Iskandar,
Komandan Kompi III adalah Kapten Biroe. Pada waktu itu Pimpinan Staf Komando di bawah
Komandan SKO Mayor Rachmat, Komandan Batalyon 64 Resimen XX.
Regu I Seksi II Kompi Biroe yang mendapat serangan gencar Belanda dari arah
belakang, mengadakan perlawanan gigih sambil bergeser mengarah ke posisi pasukan Seksi
II/Soegito Bawor, dengan maksud memperkuat kedudukan pasukan TNI terhadap serangan
Belanda. Dalam pertempuran ini pasukan TNI mendapat bantuan dari Opsir Jepang, dan 1
Regu Gurkha.
Selain Pasukan TNI Kompi Biroe Resimen XX, di Meles juga terdapat pasukan TP.
Anak-anak TP dengan gigih melakukan perlawanan, meskipun banyak korban yang jatuh dari
pihak TP. Pertempuran Meles berlangsung cukup sengit. Korban di pihak Belanda tidak
diketahui.
Kedudukan Seksi II Soegito Bawor di desa Pekuwon kecamatan Kewarasan
berdekatan dengan rumah Letnan I Soedarmin eks Komandan Kompi II Batalyon 64 Resimen
XX, yang waktu itu berstatus sebagai Perwira Staf Resimen XX. Kebetulan, Letnan I
Soedarmin pada saat itu sedang berada di rumahnya, tempat di mana ia dilahirkan, tanpa
membawa sepucuk senjata pun. Juga tanpa pasukan, dan tidak menggabungkan diri pada
pasukan TNI terdekat. Akhirnya, Letnan I Soedarmin ditangkap dan ditembak oleh Belanda.
Jenazahnya dimakamkan di Kebumen.
9. Pertempuran Lingkar Sruweng
Pada Tanggal 20 Juli 1948, ketika Komandan Komando Operasi dijabat Mayor
Rachmat, terjadi pertempuran hebat antara TNI melawan Belanda.
Dalam Komando Sektor Selatan di Karanganyar terdapat pasukan TNI Kompi
Toemiran dari Batalyon 68 Resimen XX/Divisi III, pasukan TNI AL dari Corps Armada II (CA II)
Cilacap, Hizbullah, dan TNI Masyarakat.
Secara diam-diam Belanda menyeberang ke Timur di Sidobunder, masuk dari Buayan
(sebelah Selatan Gombong) langsung menuju ke Timur sampai di Selatan Sruweng. Belanda
menyerang pasukan TNI dan pejuang RI dari arah Sruweng. Dengan demikian, pejuang RI
menghadapi musuh dari dua arah yaitu dari Sruweng dan Gombong, dengan kata lain dari
arah depan dan belakang pertahanan TNI.
Dalam keadan terjepit, pertempuran tidak dapat dielakkan lagi. Korban mulai
berjatuhan, baik dari TNI AD, TNI AL, TP, Hizbullah, maupun TNI Masyarakat dan rakyat
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 71
setempat yang sulit dihitung berapa banyak jumlahnya. Mayat - mayat manusia
bergelimpangan di jalan raya antara Sruweng hingga Karanganyar.
COP Kebumen segera mengirim pasukan bantuan ke Karanganyar yang dipimpin oleh
Kapten Soedarsono Bismo, dan Letnan II Soeparman Dljiteng sebagai wakilnya, dengan
tugas menghalau serangan Belanda. Akhirnya pasukan bantuan TNI berhasil menghalau
serangan musuh. Pasukan Belanda pun kembali ke Gombong.
Letnan II Soekadroh yang karena tugasnya menjadi pengatur lalu lintas kereta api
untuk pasukan-pasukan ke Karanganyar, sesaat setelah pasukan Belanda terhalau tiba di
desa Jingklak dan masuk kota Karanganyar.
Letnan II Soekadroh melihat mayat yang bergelimpangan di jalan raya. Selain itu ia
melihat 19 kepala manusia yang sengaja dijajar di pinggir jalan raya oleh Belanda.
Pemandangan yang sangat memilukan.
Pasukan Palang Merah Indonesia yang antara lain terdapat Letnan Satiyo amat sibuk
mengumpulkan mayat-mayat yang bergelimpangan. Pasukan PMI kemudian merawat dan
sekaligus mengurusnya sampai semua dimakamkan.
Peristiwa ini mengakibatkan kota Kebumen yang biasanya sehari-hari tampak ramai,
menjadi lengang dan sepi. Selain itu sekolah-sekolah yang terletak di sebelah Barat kali Luk
Ula dan 5 Km sebelah Timur kali Luk Ula diliburkan. Sementara beberapa Jawatan
Pemerintahan pindah ke Prembun, antara lain Jawatan Pendidikan dan Pengajaran
Kabupaten Kebumen.
10. Berbagai Peristiwa di Kemit
Fakta Pelanggaran Belanda
Pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda secara terang - terangan telah melanggar
persetujuan Linggarjati, dengan melancarkan ekspansinya hingga ke Gombong. TNI
mengadakan perlawanan dengan tetap mematuhi perintah Gencatan Senjata. Pihak RI
kemudian mengambil Kali Kemit sebagi garis pertahanan dalam menghadapi Agresi Militer
Belanda I.
Pada tanggal 27 Agustus 1947, Komisi Tiga Negara (KTN) dibentuk. Kemudian
diadakan perundingan antara RI dengan Belanda di atas Kapal Renville yang menghasilkan
Persetujuan Renville pada 17 Januari 1948. Sebagai tindak lanjut dari perjanjian tersebut
maka :
1. Oleh KTN (Komisi Tiga Negara) setelah melakukan perundingan yang dipimpin Panglima
Divisi III Kolonel Bambang Soegeng dengan dihadiri antara lain: Letkol Koen Kamdani
Komandan Resimen XX selaku Komandan COP PDKS Kebumen, Mayor Rahmat, Mayor
Panoedjoe, Kapten Soebiyandono, Kapten H. Soegondo, Letnan Soeyono, Residen
Banyumas, Bupati Banjarnegara, Bupati Kebumen, Kepala Polisi Gombong, dan Kepala Polisi
Kebumen, Kali Kemit ditetapkan sebagai Garis Demarkasi/Garis Status Quo.
2. Pasukan-Pasukan TNI yang berada di kantong-kantong (dimaksud daerah yang diduduki
Belanda) harus ditarik keluar. Dengan demikian Kemit merupakan pintu keluar bagi pasukan
TNI Siliwangi dari Jawa Barat yang akan hijrah ke Jawa Tengah.
Pasukan Siliwangi diangkut menggunakan kereta api oleh Belanda, lalu diturunkan di
stasiun Gombong. Selanjutnya mereka berjalan kaki ke Karanganyar, dan diangkut
menggunakan kereta api RI menuju Yogyakarta.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 72
Untuk memperlancar pelaksanan hijrah, Local Joint Commite (LJC) dibentuk dengan
mendirikan pos di Panjatan (Karanganyar), dijabat oleh Kapten Musa yang ditugaskan MBT.
Selain itu, dibukalah Jembatan Renville di desa Panjer, Kebumen oleh Zeni atas
order COP Kebumen dan komunikasi telepon oleh satuan PHB pimpinan Kopral R. Soehadi.
Di Pihak RI, Garis Demarkasi dijaga oleh tujuh anggota PK yang menggunakan
rumah Bp. Prawiro Soemarto sebagai Pos PK RI. Ketujuh PK yang menjalankan tugas
istimewa ini gugur pada tanggal 19 Desember 1948 pada pukul 05.00 saat Belanda
memulai aksi militernya (Agresi Militer II) dengan terlebih dahulu menghabisi anggota PK
penjaga Garis Demarkasi tersebut. Makam tujuh Pahlawan tersebut sebelumnya terletak
di lokasi yang tidak layak, kemudian atas swadaya masyarakat Kemit, dipindahkan ke
pemakaman yang layak di desa Grenggeng diprakarsai oleh Bp. Taufik dan Bp.
Dwidjomartono.
Jembatan Renville Panjer
Perlakuan dan tindakan Kejam Belanda
Semasa Gombong diduduki
Belanda, rakyat sekitar Kemit menyaksikan
perlakuan kejam Belanda terhadap rakyat
pejuang RI, antara lain:
- Bermula dari gerakan pembersihan yang
dilancarkan Belanda pada siang hari di
Kemit dan sekitarnya sampai ke desa
Tratas, Sidomukti Penunggalan dan Kwarasan, Belanda menangkap KH. Aboemoestar dan H.
Abdoellah dari pasukan Sabilillah. Mereka diangkut ke Pos Tentara NICA di Kemit untuk
disiksa, dipukuli, dan akhirnya ditembak mati.
- Kyai Affandi, Daldiri, Moekri, dan penduduk desa Grenggeng sebelum diangkut ke ID
(Inlichtings Dienst) harus mengalami penyiksaan berat. Kedua kakinya diikat, digantung
dengan kepala di bawah, kaki di atas, dan dipukuli sampai berulang - ulang kali. Namun
berkat kemampuan (doa-doa) yang dimilikinya, mereka tidak merasakan apa - apa.
Belanda menjadi cemas sehingga mereka kemudian dipulangkan ke Pos Kemit. Terkecuali
Daldiri, ia berusaha untuk melarikan diri, sehingga tertembak mati oleh senjata Bren
Belanda.
- Asrul bin Kyai Muksin dari dusun Pancasan Grenggeng tertangkap oleh serdadu Belanda
sewaktu bertugas melakukan penyelidikan di Desa Sedayu Utara Gombong. Ia diketahui
Belanda telah mencatat sejumlah nama - nama tentara NICA di Pos Kemit. Akibatnya Asrul
tidak luput dari siksaan yakni:
- Sebuah papan bertuliskan “Garong” diikat di dahinya.
- Setelah itu kedua tangannya diikat, ia ditarik ke kanan dan ke kiri, diarak di jalan raya
Kemit sambil disiksa dengan kayu bakar yang membara.
- Berikutnya, kedua kaki Asrul diikat dengan tali, dimasukkan ke dalam air di sungai
Kemit, dengan posisi kepala di bawah. Berulang kali ia ditarik dan dimasukkan lagi,
seperti orang menimba air.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 73
Siksaan - siksaan berat tersebut membuat anjing-anjing NICA merasa sangat puas.
Mereka menganggap bahawa Asrul sudah mati. Namun, ternyata ia masih hidup. Anjing
NICA pun menjadi cemas. Asrul kemudian diseret ke dalam sebuah lobang yang telah
disiapkan, lalu ditembak dengan pistol Metraliur oleh kedua serdadu NICA yang bernama
Berlin dan Pietera. Namun ia belum mati juga. Akhirnya Asrul pun dikubur hidup - hidup.
Monumen Kemit
Untuk mengenang dan memperingati Perjuangan Kemerdekaan RI terutama para TP
(Tentara Pelajar) dalam berbagai pertempuran di sekitar Kemit, dibangunlah Monumen
Perjuangan Kemit yang diprakarsai dan disponsori oleh para mantan anggota TP Detasemen
300/Kapten Martono.
Perjuangan Pada Akhir Perang Kemerdekaan di Kedu Selatan
Menjelang Agresi Militer Belanda II
Situasi Dalam Negeri
Persetujuan Renville yang telah ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948
ternyata masih belum dapat menyelesaikan persengketaan antara pihak RI dengan Kerajaan
Belanda.
Situasi Politik
Program Pemerintah terutama mengenai pelaksanaan Program RERA (Rekonstruksi
dan Rasionalisasi) menimbulkan sikap pro dan kontra. Partai -partai politik yang giat
mencari pengikut dan pengaruh dalam kesatuan tentara, menunggangi pelaksanaan RERA.
Akibatnya, walaupun pelaksanaan RERA dalam tingkat Kementerian dan Pertahanan dapat
diselesaikan dengan lancar, namun di tingkat daerah mengalami hambatan bahkan di
angkatan perang sendiri timbul beberapa kendala.
Adanya pro dan kontra terhadap perjanjian Renvile, mendorong terjadinya Clash
antara pasukan setempat, terutama dari satuan laskar - laskar, badan perjuangan yang
sudah terpengaruh golongan kiri dengan pasukan hijrah yang datang dari kantong gerilya di
daerah pendudukan. Mereka hijrah ke dalam wilayah RI yang sudah sempit, di Pulau Jawa
tinggal sepertiganya karena patuh terhadap pemerintah. Akibat diterimanya perjanjian
Renville, beban perjuangan RI semakin berat.
Situasi Ekonomi
Kemampuan ekonomi dan keuangan Negara RI menjadi sangat berat antara lain
karena beban pemeliharaan 350.000 personil pasukan TNI ditambah dengan 470.000
anggota laskar perjuangan. Situasi ini ingin diperbaiki oleh Kabinet Hatta melalui program
pemerintah:
a. Berunding atas perjanjian Renville
b. Mempercepat pembentukan Negara Serikat
c. Rekonstruksi
d. Rasionalisasi
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 74
Pada saat itu, pencetakan uang RI yang disingkat ORI (Oeang Republik Indonesia)
masih kurang sempurna, sehingga banyak sekali uang palsu beredar. Untuk menyelidiki
pihak mana yang membuat uang palsu tidak mudah. Tanda-tanda uang palsu tidak mudah
diketahui. Perbedaan kadang hanya karena kurang satu atau tiga tanda titik kecil yang
tercantum di salah satu sisi halaman uang tersebut.
Kekurangan bahan sandang, pangan dan peralatan terasa sekali di dalam daerah RI
yang wilayahnya menjadi sempit. Pada tahun 1948, sudah 20 juta jiwa yang menghuni
hanya sepertiga pulau jawa dan masih ditambah dengan pasukan hijrah seperti Siliwangi.
Dalam daerah pendudukan Belanda, berlaku uang NICA (dikenal dengan uang merah
karena pecahan uang terbuat dari logam tembaga seperti: sen, serini, sebenggol warnanya
merah tembaga). Uang rupiahan atau seringgitan dari kertas berwarna coklat kemerahan,
sedangkan nilai tukarnya jauh lebih tinggi dibanding uang ORI. Barang siapa menolak
peredaran uang NICA akan berurusan dengan polisi Belanda (IVG).
Situasi Pertahanan dan Keamanan
Akibat dari Rekonstruksi dan Rasionalisasi, formasi Angkatan Perang RI dipekecil, dari
tiga divisi lebih, menjadi satu divisi. Hal ini berdasarkan Instruksi Panglima Besar No. 37
tanggal 25 Maret 1948, yang berlaku pula pada pasukan Tentara Pelajar yang diwadahi
dalam Kesatuan Reserve Umum “W”, disingkat KRU “W”.
Ditinjau dari segi ekonomi, adanya RERA memang masuk akal. Namun dalam
kenyataannya banyak anggota tentara yang terkena rasionalisasi, menjadi kecewa atau sakit
hati, sehingga pernah juga muncul “barisan sakit hati”. Mereka ada yang dimanfaatkan oleh
pihak kiri komunis kelak dalam pemberontakan PKI Madiun.
Situasi Umum di Kebumen
Menjelang Pemberontakan PKI, situasi politik memprihatinkan. Di Kabupaten
Kebumen tersebar berita bahwa di alun – alun Kebumen akan diadakan rapat akbar
golongan kiri dengan pembicara Muso PKI. Saat itu, Kompi III Bimo Batalyon Mobil
Sroehardoyo mengadakan pertahanan di desa Plarangan Karanganyar untuk menghadapi
Belanda yang bermarkas di benteng Gombong.
Pagi hari menjelang pelaksanaan rapat, rakyat berbondong-bondong menghadiri
rapat tersebut. Mereka membawa senjata tajam seperti: arit, bendo, alu tumbuk padi,
tombak, dan kudi dalam kora-kora yang disandang melingkari perutnya. Untunglah ada
berita bahwa rapat akbar batal, sehingga keadaan aman dan tidak ada bentrok apapun,
mengingat keadaan sedang gawat-gawatnya menghadapi Belanda.
Pengamanan Tokoh – tokoh PKI di Kebumen
Ketika terjadi peristiwa Madiun, Batalyon Teritorial Kedu IV Purworejo segera
mengadakan rapat Tritunggal merumuskan langkah yang perlu diambil dalam
mengamankan wilayahnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Tritunggal di Kabupaten
Kebumen. Langkah – langkah yang segera diambil adalah:
- Menangkap dan mengamankan tokoh – tokoh PKI serta simpatisannya yang tinggal
di desa – desa.
- Mengadakan pemisahan, yang berkaliber berat dikirim ke Yogyakarta/Magelang,
yang sedang diamankan di kabupaten (Batalyon Teritorial Kedu IV untuk Purworejo,
dan Batalyon Teritorial Kedu V untuk Kebumen).
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 75
- Dalam rangka pengamanan dilakukan pembinaan yang dipertanggungjawabkan pada
kedua Batalyon Teritorial. Di Kebumen bertempat di bekas asrama TNI Batalyon 64,
selatan jalan kereta, dan di LP Kebumen.
Agresi Militer Belanda II
Persetujuan Renville yang telah disepakati ternyata dilanggar pula oleh Belanda.
Pada tanggal 19 Desember 1948 pukul 06.00 wib Belanda telah memulai serangannya di
atas ibukota Yogyakarta sembari menunggu bala tentara Belanda dan angkatan perangnya
yang sedang dalam perjalanan dari Gombong menuju Yogyakarta.
Peristiwa Militer di Kebumen
Pada hari Minggu pagi – pagi benar pukul 05.30 Wib tanggal 19 Desember 1948
Komandan Kompi III Batalyon III Brigade X (Batalyon Sroehardoyo) yang berkedudukan di
Nampudadi dan Kepala Staf Kompi III Serma Koedoes mendengar ledakan Granat dari arah
Kemit. Suara yang sama terdengar pula oleh Kapten Soemrahadi pimpinan sementara Kompi
III karena Komandan Kompi III Kapten Radjiman sedang ke Purworejo untuk menengok
keluarganya yang sakit.
Ledakan granat itu tidak diragukan lagi setelah adanya laporan dari Kopral Soeroyo
anggota regu Combat pimpinan Serma Soekidi yang bertugas di dalam kota Gombong,
bahwa ledakan tersebut merupakan isyarat bahwa Belanda melaksanakan rencananya
“door stoot naar Yogyakarta“. Hal itu menjadi lebih meyakinkan dengan adanya siaran RRI
Yogyakarta secara berulang – ulang.
Batalyon Sroehardoyo dan pasukan – pasukan lain yang bertugas di pos – pos
pertahanan garis demarkasi Kemit segera melakukan pergeseran pasukan untuk menempati
posnya yang baru yang telah ditentukan sebelumnya. Batalyon Mobil Soehardoyo mendapat
tugas dan tanggung jawab pertahanan wilayah kabupaten Purworejo dan Batalyon Mobil
Soedarmo di wilayah Kabupaten Kebumen.
Batalyon Mobil II Mayor Soedarmo menempatkan Markas batalyon Kompi
Markasnya (Rahwana) di Wadas Malang kecamatan Krakal, berikut dengan Kepala Staf
Kapten Iskandar, Kompi I Werkudoro Kapten Soemantoro, Kompi I Gatotkoco Kapten
Soegiono, Kompi III Antasena Letnan I Moeklis dan Kompi Bantuan Anoman Letnan I
Tjiptono, pada dasarnya selalu berpindah – pindah. Namun sesekali secara bergantian
pasukan beristirahat di rumah Glondong Rustam desa Karang Jambu, berdekatan dengan
Komando Batalyon.
Batalyon Teritorial Kedu IV Purworejo dan Batalyon Teritorial Kedu V Kebumen telah
menyusun dan menempatkan kompinya, hingga dengan cepat sambil berjalan KODM –
KODM dapat dibentuk di tiap kecamatan dengan personil yang ada pada kecamatan
tersebut.
Instansi pemerintahan sipil, dinas dan jawatan serta sekolah – sekolah, jauh
sebelumnya telah mempersiapkan diri kemungkinan terjadinya Agresi II.
Gugurnya Tujuh Orang Polisi Keamanan (PK) RI
Tujuh orang anggota Polisi keamanan (PK) yang terdiri dari CPM penjaga garis
demarkasi Kemit gugur pada tanggal 19 Desember 1948 pada pukul 05.00 saat Belanda
memulai aksi militernya (Agresi Militer II) dengan terlebih dahulu menghabisi anggota PK
penjaga Garis Demarkasi tersebut. Ketujuh anggota PK tersebut menghuni rumah Bapak
Prawiro Sumarto, timur pasar Kemit sebagai Pos PK pihak RI.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 76
Gagalnya Trekbom jembatan Renville Panjer
Satu - satunya akses jalan darat yang bisa dilalui angkatan perang Belanda menuju ke
Yogyakarta adalah melalui Jembatan Renville Panjer sebab jembatan resmi Tembana
berhasil dihancurkan oleh pejuang RI. Jembatan Renville sendiri adalah jembatan kereta api
di sungai Luk Ula Kebumen yang secara darurat digunakan sebagai akses penghubung
dengan cara menumpuk balok – balok kayu di atas rel agar bisa dilalui kendaraan.
Pada pukul 06.00 Wib Belanda masuk dari arah barat ke kota Kebumen bagian
selatan dengan kereta api, dan bagian utara dengan jeep, panser wagen, dan tank sebanyak
kurang lebih 50 buah menggunakan lambang – lambang KTN, yang merupakan Stoot Troop.
Pada saat Belanda masuk kota, di dalam kota telah kosong. TNI dibagi dua yakni sektor
Utara dan Sektor Selatan.
Jembatan Renville Panjer (Letnan II Iskandar
tertangkap Belanda ketika akan melakukan
trekboom)
Saat Belanda masuk dan mendarat di
selatan kota, di sana terdapat Mayor
Rahmat, Kapten Toegiran, Letnan I Soediro,
dan Letnan II Iskandar. Namun setelah
mengetahui kekuatan Belanda yang besar,
ketiga perwira tersebut tidak terlihat lagi.
Sedangkan Letnan II Iskandar tertangkap di
Jembatan Renville saat melaksanakan Trekbom.
Sementara itu, di areal Pabrik Mexolie/Sarinabati Panjer, Soewarno (pimpinan
pemuda karyawan pabrik tersebut) dan dua anggota CA II Angkatan Laut serta dua
karyawan pabrik yang sedang melakukan bumi hangus di pabrik tersebut tertangkap basah
oleh Belanda yang begitu cepat menduduki Nabati. Soewarno dibawa ke stasiun, sedangkan
empat lainnya setelah diperiksa di lapangan tenis Panjer (di utara stasiun) kemudian
ditembak mati di sana. Soewarno dibawa dengan Panser Wagon ke Purworejo. Sepanjang
perjalanan ia mengalami beberapa peristiwa :
1. Di Kepedek Kutowinangun
Di desa Kepedek sebelah timur Kutowinangun terdapat puing bekas pabrik padi (kini
dipakai untuk KUD). Lima anggota AOI bersenjata kareben polisi menghadang Konvoi
Belanda yang membawa Soewarno dengan tembakan. Belanda membalas serangan,
tiga AOI gugur dan dua lainnya menghindar ke timur. Tapi sebelum sampai di tepi
kampung, mereka tertembak oleh senjata metraliur 12.7 Belanda dan gugur.
2. Di Jembatan Butuh
100 meter sebelum Jembatan kali Butuh, terlihat seorang berlari dari kolong
jembatan ke selatan melalui tanggul sungai. Belanda menembaknya dengan mitraliur
12.7 mm dan tepat mengenai sasaran. Korban adalah seorang Kopral dari Kompi
Soedarsono Bismo yang ditugaskan menarik trekbom untuk memutuskan jembatan.
Pemasangan trekbom dipimpin oleh Letnan II Soeparman Djliteng, Komandan Seksi I.
Soewarno diperintah NICA untuk memeriksa kolong jembatan tersebut,
diikuti 10 serdadu Belanda. Di sana ada sebuah trekbom seberat 150 kg yang siap
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 77
diledakkan dari jauh dengan seutas kawat. Namun karena tergesa-gesa kawat yang
diikat ke detonator belum dibuka. Trekbom tersebut diangkut Belanda ke Purworejo.
3. Di Kota Purworejo
Sekitar pukul 17.30 Wib panser wagon yang menawan Soewarno masuk kota
Purworejo dan langsung menuju jembatan kali Bogowonto di Cangkrep (Purworejo
Timur).
4. Di Gedung Timur Alun – Alun Purworejo
Pada pukul 20.00 Wib Soewarno dengan jeep dibawa masuk ke sebuah
gedung di timur alun – alun Purworejo (kini Markas CPM) untuk diperiksa Polisi
Militer Belanda. Tengah malam ia mendengar bahwa esok pagi ia akan ditembak
mati.
Pukul 01.30 Wib di belakang gedung tempat Soewarno ditahan, terdengar
ledakan granat. Serdadu NICA menjadi panik. Dalam kesempatan demikian,
Soewarno meloloskan diri melalui saluran got yang sampai di kali sebelah timur RSU
Purworejo. Selanjutnya ia ke selatan sampai di
Banyuurip dan ke barat sampai di Panjer
dengan selamat pada pukul 18.00 Wib pada
tanggal 20 Desember 1948.
Lapangan Tenis Panjer (tempat eksekusi 4 pejuang
aksi bumihangus Sarinabati yang tertangkap basah
oleh Belanda)
Sasaran pertama pasukan Belanda pada waktu masuk ke kota Kebumen pada tanggal
19 Desember 1948 adalah Pabrik Minyak Sari Nabati. Cepatnya gerak pasukan Belanda
untuk masuk ke pabrik ini menyebabkan gagalnya aksi bumihangus. Malah beberapa
pejuang yang tengah beraksi tertangkap dan ditembak mati oleh Belanda.
Tertangkapnya Letnan II D.S. Iskandar oleh Belanda
Ketika bertugas di sekitar jembatan Renville sungai Luk Ula, Letnan II D.S. iskandar
terkepung dan tertangkap Belanda. Ia lalu dibawa dengan kendaraan jeep ke berbagai sudut
kota Kebumen sehingga banyak anggota TNI dan masyarakat yang melihatnya.
Salah seorang yang melihatnya langsung adalah Letnan I Soeparman Clapar (kawan
lama Letnan II D.S. Iskandar) yang semula bermaksud menumpang jeep nya yang melintas di
jalan Stasiun (kini jalan Pemuda), sebelum mengetahui bahwa Letnan Iskandar duduk di
samping serdadu Belanda. Setelah mengetahui keadaan, Letnan I Soeparman segera ke
rumah untuk cepat – cepat memindahkan keluarganya ke Clapar. Letnan II Iskandar dibawa
ke stasiun dan diangkut ke Purworejo. Setelah tiga hari di tangsi Kedung Kebo, diangkut ke
Gombong dan terus ke Purwokerto pada tanggal 25 Desember 1948 di Brigade V.
Sesudah 17 hari ditawan di Bigade V, dengan kecerdikannya Letnan II Iskandar
meloloskan diri melalui RSU Puwokerto dan melapor ke induk pasukannya (berada di
gunung Sumbing).
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 78
Konvoi Belanda menuju Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948 melalui
Kebumen, Purworejo menggunakan kereta dan kendaraan terdiri dari beberapa Jeep,
Panser Wagon dan truk yang dipenuhi serdadu
Belanda. Karena terputusnya telepon dan radio belum
ada, pada pukul 12.30 Wib Letnan I Oemar datang
dengan motor mewartakan kepada Kompi I
Soedarsono Bismo yang bertugas di pertahanan
Kutoarjo (jalan Kaliwatu) bahwa keberangkatan
Belanda dari Gombong menggunakan simbol-simbol
KTN. Konvoi paling depan adalah tiga Panser dan
diikuti 13 truk.
Tugu/Monumen Perjuangan Renville Panjer
Instansi Sipil dan Militer Kebumen Meninggalkan Kota
Dinas-dinas, jawatan-jawatan, dan lembaga-lembaga pemerintahan sipil setelah
dilancarkannya Agresi Militer Belanda II tidak tinggal diam dan menyerah kepada Belanda.
Mereka memutuskan untuk meninggalkan kota melaksanakan pengabdian tugas
pemerintahan di luar kota, di desa-desa dan di gunung-gunung. Baik di kabupaten
Purworejo maupun di Kebumen melakukan hal yang sama.
- Komandan Batalyon II Brigade X Mayor Soedarmo di Pacekelan Wadasmalang, di
rumah Doelah Sepingi (wilayah kabupaten Wonosobo).
- Kepala Pemerintahan Militer Kabupaten, Mayor Rachmat di dukuh Brondong,
Kemejing kecamatan Wadaslintang (wilayah kabupaten Wonosobo).
- Bupati kebumen Sosroboesono di desa Kalipuru, rumah Lurah (wilayah kabupaten
Wonosobo).
- Kompi Gatotkaca, Antareja, dan Antasena sesekali secara bergantian di rumah
Glondong Rustam desa Karang Jambu (wilayah kabupaten Wonosobo).
- Wedono Tirtomenggolo di rumah Tirtodikrama desa Karang Jambu (wilayah
kabupaten Wonosobo).
- Rumah Penjara di Tegal, Brondong, kelurahan Kamejing, kecamatan Wadaslintang
(wilayah kabupaten Wonosobo).
- Kantor Pos di rumah Kartodikaryo, Karang Jambu, Wetan Gili (wilayah kabupaten
Wonosobo).
- Kejaksaan di rumah Doelsalam, Karang Jambu, Kulon Gili (wilayah kabupaten
Wonosobo).
- Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di rumah Soewadji Madsirod, Kepala
Dusun Wetan Gili ( wilayah kabupaten Kebumen).
- Kantor Kabupaten di rumah Bapak Madaslah, Congkokan, Karang Jambu (wilayah
kabupaten Kebumen).
- Sekretaris Kabupaten R. Soetikno di rumah Bapak Sariyoem, Kepala Sekolah Rakyat
III Wadasmalang (wilayah kabupaten Kebumen).
- Wedono, Opsir Pekerjaan Istimewa (OPI), Camat, Kepala PMO masing-masing dalam
wilayahnya.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 79
Selanjutnya muncul golongan Co (cooperator) yakni golongan yang mau mengabdi
dan bekejasama dengan Belanda, dan golongan Non Co yakni golongan yang tidak mau
mengabdi dan bekerjasama dengan Belanda. Golongan yang menjadi Co disebut
menyebrang. Alasan mereka adalah takut hidup sengsara dan sikap mental politik yang
memang melekat di dalam dirinya sebagai penjilat.
Long Mars Pasukan Siliwangi
Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948 adalah pertanda bagi RI
untuk tidak lagi terikat oleh perjanjian apapun dengan Belanda. RI berkuasa kembali
sepenuhnya atas wilayah dari Sabang sampai Merauke. Belanda hanya menguasai wilayah
kota – kota saja, sedangkan di luar kota, pihak RI dikuasai oleh RI. Atas peristiwa itu, maka
pasukan – pasukan yang tadinya terpaksa mengungsi akibat perjanjian Renville, diharuskan
kembali kedaerahnya masing – masing. Misalnya pasukan Siliwangi yang tadinya masuk ke
Jawa Tengah, harus kembali ke Jawa Barat untuk mempertahankan daerahnya. Perjalanan
pasukan Siliwangi kembali ke Jawa Barat dikenal dengan istilah Long Mars. Perjalanan
dengan jalan kaki dan gerak cepat tersebut kadang kala mendapat hambatan dari Belanda
dan pasukan DI/TII. Namun pasukan Siliwangi mampu menghadapi dan dalam waktu yang
relatif singkat Jawa Barat segera dikuasai kembali, kecuali kota-kota tertentu.
Pasukan Gerilya Maruto di Gombong Utara
Sejak serdadu kolonial Belanda menduduki daerah Gombong dan bercokol di tangsi
Gombong pada 25 Juli 1947, muncul kesatuan – kesatuan gerilya di Gombong dengan
sebutan Instansi Gerilya.
Salah satu instansi tersebut adalah Instansi Gerilya Maruto yang bergerilya di
Gombong Utara. Instansi ini meliputi desa Selokerto (dipimpin oleh Abdul Manap), desa
Jatinegara (dipimpin oleh Soemedi;kini anggota veteran), desa Semanding, Sedayu,
Wanasigra, Pekuncen, Bejiruyung, dan Kedung Puji.
Desa Kedung Puji pernah menjadi ibukota kecil Gombong Utara. Pada masa Agresi
Militer Belanda I, daerah ini melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda.
Setelah Belanda melakukan Agresi Militer II, maka banyak warga Gombong termasuk
anggota TNI dan para pelajar pejuang yang mengungsi di daerah RI yaitu di sebelah timur
Kemit (sebagai Garis Demarkasi RI dan Belanda), Karanganyar, dan Kebumen. Mereka
terhimpun dalam wadah “Instansi Gerilya Maruto” yang dipimpin oleh Komandan Kompi
Werkudara Kapten Soemantoro dari Batalyon Pendawa pimpinan Mayor Soedarmo
Djayadiwangsa. “Instansi Gerilya Maruto” adalah gabungan dari satuan-satuan gerilya
“Setan Merah, Samber Nyawa, Ronggolawe, dan Bambu Runcing”.
Dengan kembalinya pasukan RI ke Gombong menjadikan aktivitas perang gerilya
sering dilaksanakan di wilayah Gombong. Pos-pos pertahanan Belanda selalu diserang,
seperti halnya pos pertahanan Belanda di Sangkalputung.
Pos itu diserang dari balik perlindungan gedung rumah Penatus Sepuh Asmoredjo,
sehingga terjadi baku tembak yang seru. Serdadu Belanda dengan tiarap memuntahkan
peluru senjata bren bekaki dua (standar dua), yang dibalas pasukan gerilya, dengan
brondongan senjata mesin otomatis ringan dan granat. Esoknya terlihat darah berceceran di
sebelah samping barat rumah, tembok-tembok dan undak-undakan (trap) berlubang-lubang
terkena ujung peluru Belanda. Sebaliknya di pos kubu-kubu Belanda juga tercecer darah
akibat tembakan gerilya.
Selain menyerang pos-pos Belanda tadi, peranan Instansi Gerilya Maruto antara lain:
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 80
1. Ikut dalam Serangan Umum Gombong Malam Jumat Kliwon
2. Ikut aktif dalam penggulingan kereta api di Ngentak
3. Penyergapan CP Belanda di Sangkalputung
4. Membantu/mengerahkan tenaga untuk instansi, dinas, Pamong Praja Kebumen dan
desa-desa serta ODM-ODM (Onder Distrik Militer) di Gombong.
Pertempuran di Kebumen
Pada awal Agresi Belanda II, awal Januari 1949 untuk pertama kalinya Belanda
mengadakan patroli dalam kota Kebumen. Selama ini Belanda hanya berdiam diri dan
membaca situasi serta menerima laporan-laporan dari kaki tangannya.
Suatu hari patroli Belanda tiba di pasar Mertakanda desa Kutosari kecamatan Kota
Kebumen. Tanpa diduga mereka bertemu dengan pasukan TP yang sedang melintasi jalan
raya dari Kota Kebumen menuju ke luar kota (Sadang). Tembak-menembak pun berlangsung
selama kurang lebih 3/4 jam. Seorang anggota TP bernama Soehadi gugur tertembak.
Penjajah merampasi keris saat berpatroli
Pertempuran di Kedung Bener
Pasukan AL CA II yang berada di Kedu Selatan
sejak Agresi Belanda I, telah memperkuat pertahanan di
front Karanganyar. Dalam menghadapi Agresi Belanda
II, pasukan AL CA II dibagi :
- Grup A di bawah pimpinan Kapten Soeharto tetap ditugaskan di daerah Kebumen
untuk melakukan infiltrasi dan sabotase terhadap kedudukan musuh di wilayah
Kebumen.
- Grup B kembali ke pangkalan Cilacap.
- Grup C tetap di Purworejo di bawah pimpinan Mayor AL Wagiman.
Kapten Soeharto juga ditugaskan sebagai Sub SWK dibantu Letnan Badarusamsi dan
Letnan Kardiman. Ia membawahi dua kesatuan bersenjata yakni TNI eks AOI dan TNI eks
Hizbullah.
Dalam melancarkan serangan, Komandan Sub SWK Kapten Soeharto menemukan
penyebab mengapa dalam serangan yang pertama kali dilakukan banyak membawa korban
terutama di pihak AOI karena dengan cepat diketahui oleh musuh. Tiap kali menyerang dan
sebelum melepaskan tembakan, pasukan eks AOI meneriakkan “ Allah Akbar “. Keberanian
eks AOI tidak berdasarkan perhitungan, akan tetapi cenderung karena fanatisme organisasi.
Namun ada satu serangan yang berhasil yakni ketika melakukan penghadangan konvoi
Belanda berkekuatan tiga Tank dan sejumlah truk yang membawa pasukan.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 81
Jembatan Kedung Bener (sabotase TNI
terhadap Konvoi Belanda)
Pasukan TNI terdiri satu seksi AL CA
II, satu Kompi eks AOI, satu kompi eks
Hizbullah berhasil menghancurkan tiga
buah truk tentara Belanda dengan
menggunakan trekbom, merampas 7 pucuk
mortir, 2 pucuk mitraliur 12.7 mm dan
menawan 7 orang tentara KNIL. Peristiwa ini terjadi pada awal bulan Januari 1949 di desa
Jatisari kecamatan Kebumen tepatnya di jembatan Kedung Bener. Pada hari berikutnya,
Kedung Bener digrebeg dan dibakar Belanda.
Pertempuran di Pager Kodok
Kekalahan Belanda di jembatan Kedung Bener desa Jatisari pada awal bulan Januari
1949 nampaknya menimbulkan kemarahan besar. Beberapa hari kemudian, pada sekitar
tanggal 10 Januari 1949 patroli Belanda berkekuatan satu kompi bersenjata lengkap
langsung menuju gunung Pager Kodok. AOI yang berpusat di desa Somalangu memilih
gunung Pager Kodok sebagai basis pertahanan sekaligus jalan Pager Kodok sebagai titik
penghadangan. Di gunung Pager Kodok terdapat satu Batalyon AOI siap bertahan dan
menghadang musuh dengan Kompi Mustakim sebagai kompi terdepan.
Ketika patroli Belanda bertemu dengan pasukan AOI, maka pertempuran pun terjadi.
AOI menggunakan taktik Supit Udang dan dibantu rakyat dengan kentongan gobyoknya
yang membuat Belanda menjadi bingung karena telah terkepung. Pertempuran berlangsung
sejak pukul 09.00 Wib hingga sore hari pukul 16.00 Wib. Kompi Mustakim dan Kompi
Belanda sama – sama kehabisan peluru, sehingga berlanjut dengan perkelahian seorang
lawan seorang (sebuah kejadian yang langka bahkan mungkin hanya terjadi di Kebumen ;
dalam sebuah peperangan hingga berkelahi satu lawan satu).
Peristiwa ini terjadi di sebelah utara daerah Gunung Pager Kodok desa Tanahsari
Kebumen. Di pihak Belanda korban cukup besar dan hanya tersisa beberapa orang saja. Di
pihak AOI korban gugur adalah Letnan Mustakim beserta lima prajurit lainnya. Hari
beikutnya desa Tanahsari digrebeg dan dibakar Belanda.
Monumen Pager Kodok (pertempuran
melawan Belanda hingga perkelahian tanpa
senjata)
Pertempuran di Prembun
Pada masa Agresi Militer Belanda II,
Belanda menempatkan pasukannya di
Prembun dengan maksud untuk
mengamankan poros jalan Kebumen-
Kutoarjo. Pasukan Belanda menempati gedung-gedung bekas pabrik gula dan berkekuatan
satu detasemen dengan dibantu dua atau tiga buah bren carier.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 82
TNI dan rakyat pejuang yang terdiri dari pemuda pelajar yang bergabung dalam TP
dan rakyat, telah bertekad akan melakukan serangan terhadap pos Belanda tersebut.
Tujuannya tidak hanya untuk melemahkan pihak musuh saja, tetapi yang lebih penting
adalah untuk membuktikan bahwa TNI tetap dalam keadaan utuh dan mempunyai
kekuatan yang handal untuk mempertahankan kemerdekaan bangsanya.
Serangan dilakukan pada pertengahan bulan Januari 1949 oleh induk pasukan Kompi
Soemantoro Batalyon Soedarmo dan dibantu beberapa pasukan lain yang ada di daerah
Prembun. Posisi pasukan penyerang sebagai berikut:
- Di barat laut kota sebelah utara jalan Kebumen-Prembun, sekitar 1 km dari kota,
ditempatkan satu regu dengan tugas menutup jalan dari arah barat.
- Di timur laut kota sebelah utara jalan Prembun-Kutoarjo, sekitar 1 km dari kota,
ditempatkan satu regu dengan tugas menutup jalan dari arah timur.
- Kompi Soemantoro menyerang dari arah selatan kedudukan lawan (seberang rel
kereta api).
Tepat pukul 23.00 Wib serangan diawali dengan tembakan pengacauan oleh kedua
regu di utara kota, disusul tembakan dari arah selatan yang dipusatkan dari stasiun
Prembun.
Untuk menangkis serangan dari selatan, Belanda menghamburkan tembakan mortir
(tekidanto), disusul mengerahkan bren carriernya sampai halaman stasiun. Tembakan
gencar dari TNI memaksa bren carrier Belanda hanya bertahan beberapa menit dan segera
kembali ke induk pasukan. Pertempuran yang berlangsung kurang lebih 30 menit sangat
besar artinya bagi perjuangan, kepercayaan rakyat dan tidak sedikit pula pengaruhnya bagi
musuh TNI.
Serangan Umum Malam Jumat Kliwon di Gombong
Rencana penyerangan kota Gombong pada malam Jumat Kliwon pertengahan
Februari 1949 dicetuskan oleh para perwira komandan-komandan kesatuan TNI di wilayah
Kedu Selatan bagian barat. Rapat perencanaannya dibicarakan pada malam hari di Kalipuru,
dipimpin oleh Mayor Soedarmo Djayadiwangsa Komandan Batalyon Pendowo yang daerah
operasinya meliputi daerah kabupaten Kebumen termasuk Gombong. Waktu itu diputuskan
seluruh kesatuan bersenjata yang ada di wilayah Kebumen dilibatkan, antara lain Polisi
Tentara (kini CPM), Polisi Negara (Polri) dan Tentara Pelajar Kompi 330 Seksi 333 Brigade 17.
Serangan umum ini sebagai rentetan serangan umum lain, seperti Serangan Umum Kota
Purworejo dan Serangan Umum di Yogyakarta. Sebelumnya, satuan penyelidik para pelajar
pejuang yang bergabung dengan kesatuan TNI telah menentukan kedudukan pos-pos
penjaga Belanda di Gombong dan sekitarnya.
Hasil penyelidikan menyimpulkan bahwa kekuatan Belanda di Gombong sudah tidak
sekuat waktu pertama kali. Pasukan TNI akan menyerang kota Gombong dari segala
penjuru. Dari arah utara ialah pasukan Gerilya Maruto yang dikomandani langsung oleh
Kapten Soemantoro. Komandan Batalyon menyerang dari barat. Dari timur ditangani oleh
Kompi Gatotkaca, dari selatan Kompi Antareja dengan beberapa satuan lain yaitu satu Seksi
333 TP.
Setelah waktu Asar, pasukan RI sudah berada di desa-desa pinggiran kota Gombong,
yang akan menuju ke sasaran. Menjelang malam, satu – persatu gerilyawan sampai di
lingkungan rumah penduduk pinggir kota. Terdengar suara muslimin-muslimat membaca
ayat suci Al Quran. Hari itu memang malam Jumat, seolah tanda barokah bagi TNI.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 83
Ada dua orang, bapak beserta ibunya keluar rumah mau sholat di suraunya di dekat
rumah, terkejut melihat beberapa orang merunduk berjalan hati-hati dan waspada, sambil
memberi ucapan salam. Orang tua itu menjawab disertai doa “Semoga Tuhan bersama
pasukan gerilya TNI”!
Sekitar pukul 23.00 Wib tembakan senapan terdengar di malam sunyi di utara desa
Semanding, penyerangan dari arah Jatinegara. Berikutnya terdengar lagi dari arah selatan.
Pasukan Belanda yang berjaga di pos ujung desa Semanding dan di ujung desa Wanakriya
mulai terlihat ketakutan.
Kemudian tembakan kareben dari arah barat dipastikan Belanda di Sangkalputung,
disusul tembakan senapan dari arah timur. Penyerang dari daerah Grenggeng, Sidomulyo
dan Dwarawati Gombong Tenggara sudah di desa Wera dan Punjungsari.
Pos-pos Belanda sudah mulai gentar dengan mengumpat dan menggerutu “Wah duh
kita (Belanda) dikepung dari segala arah”. Sekitar pukul 23.30 Wib, pos Belanda di
Penjagaan Wanakriya diserang lebih dahulu dengan maksud menggiring Belanda mundur
masuk ke kota. TNI memperhitungkan, bren carrier pasti datang dari Tangsi Gombong
membantun pos Belanda yang diserang. Kemudian pos penjagaan Belanda di ujung
Semanding diserang, bren carrier keluar lagi menuju Semanding lewat Kedung Ampel.
Walaupun kedua pos Belanda dibantu bren carrier, karena sudah terlanjur gelisah, maka
bisa didesak. Selanjutnya pos penjagaan Sangkalputung diserang dan digiring masuk kota
Gombong.
Bren carrier Belanda terlihat sibuk dan meraung-raung kebingungan, bergerak ke
selatan ada penghadangan dari utara, menyerang ke utara ada serangan dari selatan,
bergerak ke barat membantu pos Belanda di Sangkalputung, sepertinya ada serangan dari
timur. Akhirnya bren carrier bergerak menderu-deru ke sana-sini dengan tembakan ngawur
ke rumah-rumah penduduk kota di tepi jalan.
Belanda dengan bren carrier dan panser yang membantu pos penjaga di utara
didesak masuk kembali ke Tangsi Gombong. Dari kanan – kiri jalan yang dilewati, mereka
mendapat lemparan granat pasukan gerilya yang menghadang kembalinya pulang masuk
Tangsi Gombong. Pasukan penyerang dengan leluasa masuk kota Gombong sambil
melakukan bumi hangus pos-pos penjagaan Belanda dan gedung vital di kota Gombong.
Dua orang pelajar pejuang selaku penyelidik yaitu Ngatiman dan Sudarsono, sekitar
pukul 06.00 Wib mengitari kota Gombong sampai ke Semanding. Keduanya bisa
menyaksikan sisa-sisa kepulan asap bumi hangus dari gedung-gedung vital, dan ada pula
bren carrier yang mogok di tengah jalan raya.
Keberhasilan pejuang melakukan Serangan Malam Jumat Kliwon karena tepat
perhitungannya. Kekuatan moril pasukan Belanda di Gombong sedang turun, karena dunia
Internasional telah mengutuki Belanda sebagai agresor gara-gara “Door Stoot naar Jogya”,
pada Agresi Belanda II tanggal 19 Desember 1948.
Prajurit-prajurit yang gugur dalam Serangan Umum di Gombong yaitu:
- Letnan II Soetrisno Komandan Seksi dari Kompi Gatotkaca, seorang bintara dan
seorang tamtama dari Kompi Antasena.
- Letnan Martono, Sersan Mayor Konafi dan Sersan Soedibyo dari Kompi Werkudara
Batalyon Pandawa yang menyerang dari arah Semanding.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 84
Hasil dari Serangan Umum Gombong ialah :
- Pasukan kolonial Belanda menjadi panik
- Belanda mengakui keberanian gerilyawan Indonesia, tingginya tekad Bangsa
Indonesia mempertahankan kemerdekaan.
- Mereka yang selama ini memihak dan membantu kolonialis Belanda mulai
menyadari bahwa kekuatan pasukan Republik masih tangguh.
Dalam serangan umum di Gombong, Kompi Gatotkaca mendapat perlawanan sengit
dari Belanda yang mengerahkan 16 truk penuh dengan serdadunya mengejar Kompi
Gatotkaca. Namun Kompi Gatotkaca berusaha menghindari pertempuran, karena tugasnya
menyusul Kompi Soedarsono Bismo dari Batalyon Sroehardoyo yang diperbantukan untuk
Serangan Umum 1 Maret di Yogya.
Dalam perjalanan ke Yogyakarta dari Kebumen, Kompi Gatotkaca dihadang Belanda
di Pituruh. Pasukan kocar-kacir dan banyak jatuh korban. Akhirnya, mereka kembali ke
Kebumen sehingga tugas ke Yogyakarta menjadi tertunda.
Penggulingan Kereta Api Belanda di Ngentak
Pada akhir Februari 1949 di perbatasan Karisidenan Kedu bagian selatan dengan
Karisidenan Banyumas bagian timur, tepatnya di desa Ngentak, sebelah selatan desa
Purbowangi Mbawang, pasukan gerilya RI berhasil menggulingkan lokomotif kereta api
Belanda di sebelah timur Terowongan Idjo (penduduk Gombong menyebutnya “Ngijo”).
Penggulingan berhasil berkat kerjasama antara Instansi Gerilya Maruto di Gombong Utara
dengan Pasukan Gerilya Gombong Selatan, beserta rakyat di sekitarnya.
Kedua Instansi Gerilya tersebut sebelumnya telah bermufakat di Markas Gerilya di
desa Bejiruyung, akan memberhentikan dan menggulingkan lokomotif kereta dari timur ke
barat di malam hari, pada waktu yang telah diperhitungkan.
Suatu malam di akhir Februari 1949, hujan intik-rintik turun awan mendung
angameng leliwengan. Pemuda pelajar Soemedi asal desa Jatinegara, anggota Pasukan
Serba Guna Gombong Jatinegara dengan dua temannya bergegas keluar dari ujung jalan
pedusunan Rollah ke selatan menuju ke titik “lampu cangking”. Saat itu seorang “petugas
ronda keamanan rel kereta api” berjalan perlahan menelusuri jalur rel sepanjang Gombong-
Idjo. Soemedi mencegat petugas ronda tersebut, karena diduga NICA.
Petugas rel sangat terkejut, tidak mengira pada malam gerimis dan sunyi, ada juga
yang berkeliaran. Petugas tersebut dengan agak gemetaran menjawab tenang bahwa
dirinya bukan NICA, sambil merogoh lipatan kertas kecil yang diselipkan di tudungnya
diberikan kepada Soemedi. Isinya berupa surat keterangan yang menyatakan ia bernama
Sise, pejuang RI, anggota Instansi Gerilya Maruto.
Selanjutnya Soemedi membagi tugas. Kawan yang satu ditugasi menjemput dan
menghubungi gerilyawan dari Gombong Selatan, dari Kwarasan Jatiluhur dan Buayan, agar
bergerak ke barat desa Ngentak. Sedang teman yang satu lagi, ditugasi kembali menuju
Jatinegara, menghubungi Instansi Gerilya di utara untuk secepatnya menuju ke barat desa
Ngentak.
Sekitar pukul 23.00 Wib terdengar suara lokomotif dengan suara klakson “ngorong”
panjang meninggalkan stasiun Gombong. Gerilya telah siap stelling di kanan – kiri rel, di
belakang selokan irigasi jalur rel, berlindung di tepi tanggul selokan.
Kereta api tidak dijalankan cepat, tapi lambat sekali. Mudah direm. Menjelang
sampai di desa Ngentak, lima gerilyawan memberi tanda dengan senter agar kereta
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 85
berhenti dan memerintahkan agar lokomotif dipisahkan dari gerbong-gerbong yang
ditariknya. Semuanya ada tujuh gerbong. Gerilyawan lalu masuk gerbong, memeriksa para
penumpang dan menemukan tiga orang Cina yang membawa dagangan berbal-bal bahan
pakaian. Mereka juga menemukan lima prajurit NICA pengawal kereta dengan senjata
kareben dan sangkur serta granat nanasan yang semuanya segera dirampas. Di gerbong lain,
mereka menemukan lima orang “anjing NICA” bersama isteri-isterinya yang masih muda.
Kelima wanita itu jelas tidak memiliki kesadaran berbangsa. Senjata – senjata “anjing
ompong” disita tanpa ada perlawanan, sebab saat-saat itu serdadu kolonial Belanda sudah
turun mental, sudah tidak seganas tahun 1946 sampai dengan 1947 dan 1948 sebab sudah
mengetahui bahwa Yogya sebagai ibukota sudah diduduki pasukan gerilya Republik.
Para penumpang pedagang atau penumpang umum lainnya, diperintahkan kembali
ke rumahnya masing-masing. Ada yang bareng jalan dengan gerilyawan, ada yang mencari
jalan sendiri, orang-orang Tionghoa tidak berani pulang dan minta ditawan, sebab akan
lebih aman pikirnya. Tawanan semacam ini dibawa dan diarahkan agar mengajak teman-
teman berpihak kepada RI, tawanan ialah anggota Poh Ang Tui. Seperti diketahui sewaktu
Belanda baru datang di Gombong, gerakannya tidak karuan dan ganas.
Anjing-anjing NICA dibawa menyingkir ke pedalaman. Barang-barang yang bisa
dimanfaatkan seperti obat-obatan dan bahan baju dibagikan pada satuan-satuan di luar
kota Gombong untuk dibuat baju tentara dengan blaco dicelep atau diwenter ijo, atau
warna coklat kemerahan dengan pupus daun jati.
Setelah itu masinis diminta untuk membakar tungku lokomotifnya dengan
dimasukkan berpuluh-puluh potongan balok sehingga menyala-nyala seperti berkobar-
kobar api dalam tungku. Secepat kilat gerilya petugas pembawa bom yang masih muda
meloncat naik ke lokomotif, membalikkan badan dan berjongkok, menerima benda tidak
panjang tidak pendek seberat 50 kg disampaikan kepada temannya di bawah pintu
lokomotif. Benda kemudian dimasukkan ke dalam lokomotif. Secepat kilat gerilyawan
menyambar tangan masinis lalu meloncat ke luar dari dalam lokomotif dan terus bergulir
menggelinding ke bawah dengan mendekap masinis lalu meloncat ke atas melangkahi
selokan irigasi dan terus bertiarap dengan nafas ngos-ngosan sambil menyebut asma Allah.
Tidak lama kemudian meledaklah dengan suara yang menggelegar benda yang tadi
dimasukkan ke dalam tungku lokomotif.
Bebarengan dengan gelegar bom yang meledak, dengan pelan-pelan lokomotif
tumbang melintang berguling ke sebelah kanan rel atau agak ke sebelah utara rel kereta api
tersebut.
Lahirnya Kompi Arimbi
Pada masa Agresi Militer Belanda II, dalam kurun waktu Desember 1948 sampai
Desember 1949 di dataran tinggi Kebumen bagian utara di desa Kalipuru, ada satu kompi
kaum ibu yang diberi nama Kompi Arimbi. Mereka adalah para isteri perwira dan prajurit
dari Batalyon Pendawa yang dipimpin oleh Ibu Soedarmo Djayadiwangsa.
Tugas kompi ini antara lain memberi saran atau masukan kepada Batalyon Pendawa
terutama bantuan mental dan moril bagi prajurit. Selain itu Kompi Arimbi juga mendidik
anak-anaknya yang sering ditinggal tugas oleh bapaknya. Mereka juga menyiapkan dapur
umum atau bekal makanan yang berhari-hari masih bisa dimakan serta menyelenggarakan
pembinaan mental dan fisik isteri tentara yang ada di Kalipuru.
Kompi juga memberikan kursus pengetahuan tentang kewanitaan sepeti kursus
masak dengan bahan sesuai keadaan dan kursus menjahit pakaian dengan tangan serta
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 86
membuat pola baju anak dan wanita, serta mengadakan pengajian. Ada yang berpendapat
bahwa Kompi Arimbi merupakan embrio Persit (Persatuan Isteri Tentara).
Tugas Kompi Arimbi ternyata bekembang dan berkelanjutan untuk mendukung tugas
suami, berkaitan dengan tugas bangsa dan negara yaitu dalam Dharma Wanita, Dharma
Pertiwi, Persit, Aditya Garini, Jalesyanastri dan Bhayangkari.
Kalupuru adalah desa di Krakal Kebumen yang belum bisa dijamah oleh Belanda
selama Perang Kemerdekaan 1948-1949. Hal itu terjadi karena di Kalipuru bermarkas
Batalyon Pendawa yang dikomandani Soedarmo Djayadiwangsa.
Bermalam dan Bertempur dalam Satu Desa
Kompi Antasena pimpinan Komandan Kompi III Letnan I Moeklis melakukan
penghadangan di desa Kalijaya (selatan Krakal). Sejak pagi hingga malam musuh yang
dihadang tidak datang. Maka Letnan I Moeklis menentukan bermalam di desa Kalijaya.
Namun sungguh mengejutkan ketika anggota kompi mandi pagi, mereka melihat di kali yang
sama, juga mandi serdadu Belanda. Rupanya mereka menginap di desa yang sama. Dengan
cepat mereka kembali ke kemah masing-masing dan melapor kepada komandannya.
Dalam waktu singkat terjadi kontak senjata antara Kompi Moeklis dengan Belanda
yang sehari sebelumnya telah dinantikan. Hasilnya beberapa prajurit TNI luka-luka,
sedangkan di pihak Belanda tidak diketahui.
Kompi Bantuan Teritorial Kebumen
Pada pasca Rera, masing-masing kesatuan baik kesatuan mobil maupun kesatuan
teritorial telah menduduki posisinya serta siap melaksanakan tugasnya. Misal : Batalyon
Mobil Sroehardoyo untuk wilayah tempur Purworejo, Batalyon Teritorial Kedu IV Mayor
Slamet Soedibyo untuk wilayah teritorial Purworejo, Batalyon Mobil Panoedjoe untuk
wilayah tempur Temanggung, Batalyon Teritorial Kedu V Mayor R.P.S. Rachmat untuk
wilayah teritorial Kebumen, dan Batalyon Mobil Soedarmo untuk wilayah tempur Kebumen.
Letnan I Slamet Brindil ditugaskan sebagai Opsir Pekerjaan Istimewa yang mengadakan
koordinasi dan pengawasan terhadap KODM-KODM/PMO-PMO di wilayah kawedanan
Karanganyar. Di samping itu, Letnan I Slamet Brindil juga memimpin pasukan bersenjata
yang terdiri dari anggota Eks Batalyon 62 dan Batalyon 64 Resimen XX yang memilih
bergerilya di kampung sendiri meski telah masuk dalam susunan Batalyon Mobil Panoedjoe
di Temanggung dan sebagian masuk Batalyon Mobil Sroehardoyo.
Keberadaan pasukan Letnan I Slamet Brindil dilihat dari kacamata komando SWK
merupakan pasukan liar. Oleh karena itu mereka diminta bergabung ke Batalyon Soedarmo
dengan sanksi bila tidak bersedia menggabungkan akan dilucuti.
Pasukan Slamet yang telah berbentuk kompi dengan Komandan Seksi I letnan II
Soeparman (Kranjingan), Seksi II Letnan II A. Dimyati (Kebumen), Seksi III Letnan Muda
Bambang Soetjipto (Gombong), memilih bergabung ke Batalyon Mobil Sroehadoyo. Setelah
mendapat persetujuan dari Komandan Batalyon Teritorial Kedu V/KDM Kebumen dan
Komandan Batalyon Mobil Sroehardoyo/Komandan SWK Purworejo, mereka berangkat ke
Purworejo untuk melapor ke Komandan Batalyon Mobil melalui Puring, Petanahan, Klirong,
Ambal Jenar, langsung ke Markas Komando Batalyon Mobil Soehardoyo di Bruno.
Pasukan ini diterima dengan status Kompi Bantuan Teritorial. Mereka ditugaskan
kembali ke Teritorial Kebumen di bawah Komando KDM/Pemerintah Militer Kabupaten
Kebumen dalam koordinasi dengan Komandan SWK Kebumen Mayor Soedarmo.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 87
Dalam tugasnya, Kompi Bantuan Teritorial berhasil menghadang patroli serta menyergap
Belanda di pedalaman dan pinggiran Gombong, Karanganyar, Petanahan, Kwarasan,
Dwarawati, Adimulyo, Kwaru, Puring, Banyumudal, Karang Bolong, Ragadana, Buayan, Ayah,
logending, Idjo, Sumpyuh, Jatiluhur, Karangpetir, Wonorejo, dan pos Polisi Sangkalputung.
Mereka berhasil merampas beberapa pucuk senjata.
Penyergapan Pos Cipil Polisi (CP) Belanda di Pos Sangkalputung
Sangkalputung terletak di perempatan jalan raya sebagai ibu kota kelurahan desa
Selokerto, 2 Km barat kota Gombong. Perempatan jalan tersebut terdiri dari jalur jalan
besar dari Purwokerto ke Purworejo dan terus ke Yogyakarta. Dari arah barat ke timur, jalan
raya itu dipotong oleh desa dari Sempor lewat desa Jatinegara terus ke selatan ke desa
Bayan, Banyumudal, bisa terus ke Karangbolong.
Pada bulan Juli 1949, hari Minggu malam di Jetis diadakan pertemuan kecil antara
Komandan Kompi Bantuan KDM Kebumen (dikenal juga Kompi Bantuan Teritorial Wilayah
Kebumen) dengan Harun Jetis (terakhir purnawirawan ABRI), dan pelajar RG Soedarsono
selaku penyelidik dan koodinator sebagai pembantu umum dari Onder Distrik Militer (ODM)
Kwarasan. Mereka menentukan titik-titik tempat pasukan penyergapan itu akan stelling,
menanti datangnya satu regu Cipil Polisi Belanda, dengan seragam baju kuning kecoklatan
dari bahan dril lokal, bersenjata Lee Endfield (senapan ujung tumpul buatan Inggris).
Sedangkan komandan regunya menyandang stand (pistol metraliur bertangkai besi separuh
pipa).
Pada hari Minggu di pekarangan rumah Paman Harun di desa Jetis, pakaian R. Slamet
sedang di cat coklat, hijau, kuning, warna pakaian loreng seperti seragamnya serdadu
Belanda. Sedang topinya adalah helm baja tentara Dai Nippon, terbuat dari gabus, juga di
cat loreng dan di bagian depannya ditulis “Jager” yang berarti pemburu. Maksudnya
pemburu sergap. Sewaktu dicat loreng-loreng, digelar di rerumputan sambil dijemur agar
esok pagi bisa dipakai.
Seperti ODM (Onder Distrik Militer) Kwarasan, Soedarsono adalah Staf Pembantu
Penerangan dan Pembantu Penyelidik. Seminggu sekali Soedarsono membuat plakat
gambar lukisan dengan cat air di kertas karton gambar dan ditempel di papan pengumuman
tepi jalan depan pasar Kwarasan dan pasar Purwaganda. Isinya besifat pembinaan wilayah
serta pembinaan teritorial untuk membangkitkan semangat perjuangan dan perlawanan
terhadap penjajah Belanda.
Pagi-pagi benar pada hari Senin, bulan Juli 1949, regu penyergap telah siap di bagian
barat jembatan Kali Krewed. Mereka tiarap di tepi jalan raya. Ada yang amping-ampingan
pohon kenari besar, ada yang menyelinap di antara rumah penduduk di tepi jalan.
Penyergapan ini berkekuatan sekitar lima belas orang pejuang, dipimpin oleh R. Slamet
Soebyakto.
Ikut dalam penyergapan ini adalah : Serma Ponimin (badut, pelawak) dengan
panggilan akrab “Badel”, Adi Soetjipto, Hadiprajitno, Letnan Soetrisno Sembodro, Kopral
Harun, Paman Burhan dan Sersan Masduki.
R. Slamet Soebyakto selaku komandan berdiri bertolak pinggang tegak berwibawa,
memakai topi Jager ditengah jalan perempatan Sangkalputung. Dari jauh kelihatan CP
Belanda berdatangan naik sepeda yang catnya warna hijau rumput. Mereka didiamkan saja
oleh para penyergap, sesuai instruksi, agar tidak melepaskan tembakan.
CP Belanda yang datang paling awal, berikutnya dan berikutnya lagi sempat bersikap
sempurna dan memberi hormat kepada R. Slamet Soebyakto dengan berkata “Slamat Pagi
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 88
Tuan!”, dijawab dengan berteriak “Aman!”. Agaknya Slamet yang berseragam loreng
dianggap sebagai Komandan Patroli Belanda yang baru selesai berpatroli.
Komandan CP Belanda yang bersepeda paling belakang. Ia melihat anggota CP
Belanda yang di depannya sudah pada berjatuhan karena kaget digertak oleh penyergap,
sedang senjata beserta sepedanya masing-masing dirampas. Melihat keadaan gawat
tersebut, maka Komandan CP Belanda melepaskan tembakan sten gunnya.
Mendengar rentetan tembakan, maka komandan penyergap mengacungkan
pistolnya, serta kode gerakan tanda selesai cukup, dengan aba-aba “Tinggalkan!”. Pasukan
pemburu sergap dengan secepat kilat bergegas menyelinap ke arah barat, masuk desa
Selokerto, Kewangen. Mereka menyeberang lewat pesantren Tegalsari, Lemah Tenger turun
lagi menyeberang kali lalu masuk desa Jetis, lewat desa Kecepit, Margasana, dan terus
bablas ke Puring.
Penyergapan CP Belanda di Sangkalputung, telah behasil merampas tujuh pucuk
senjata laras panjang Belanda serta magazennya yang penuh peluru dan empat buah sepeda
baru, tanpa korban seorangpun, baik pihak TNI maupun pihak lawan.
Tidak beberapa lama kemudian datang bantuan tiga Anjing Nica yang menangkapi
pemuda-pemuda dan orang-orang yang dicurigai Belanda, antara lain Adimas Soemantri
(alm) dan juga cucunya Mbah Penatus Sesepuh Sangkalputus yang terakhir pemegang kas
militer di MBAD, dengan pangkat Pama TNI-AD.
Serangan Belanda di Tanuraksan
Pada tanggal 13 Agustus 1949 adalah hari mulai berlakunya gencatan senjata antara
Belanda dengan TNI. Namun setelah itu, serdadu Belanda mengadakan serangan terhadap
pertahanan RI di desa Tanuraksan, 5 Km sebelah utara Kebumen..
Menyadari kemungkinan bahwa serangan Belanda ini merupakan serangan jebakan,
maka TNI tidak mengadakan pelawanan tetapi menyingkir ke sebelah barat sungai Luk Ula.
Namun di Mertakanda Kebumen, pada waktu yang sama, tentara Belanda tewas ditembak
oleh anggota TP.
Peran Pejuang Kebumen dalam Serangan Umum 1 Maret
Serangan Umum 1 Maret 1949 yang lebih dikenal dengan Operasi Janur Kuning
merupakan pelaksanaan pengembangan jiwa dari Instruksi MBKD No. 3/1948 yang disertai
penerapan strategi dan taktik jitu di bawah Komando Letnan Soeharto Komando Batalyon
Bigade X Divisi III/Diponegoro.
Selain strategi, taktik dan komando yang tepat, keberhasilan Serangan Umum 1
Maret 1949 tidak luput pula dari keikutsertaan segenap potensi pertahanan dan rakyat di
Yogyakarta dan sekitarnya, baik keikutsertaan secara moral maupun material.
Tokoh Sri Sultan Hamengku Buwana IX sangat besar peranannya. Satu rapat siasat di
desa Batok, kecamatan Candirata kabupaten Magelang merumuskan dukungan untuk
Serangan Umum 1 Maret 1949 yang bakal dilancarkan. Keputusan rapat tersebut adalah
“Tiap pasukan TNI harus mengadakan serangan pada waktu bersamaan dengan
dilancarkannya SU 1 Maret sebagai usaha mengikat agar Belanda tidak dapat mengirim
bantuannya ke Yogyakarta sehingga kekuatan Belanda tidak sulit diperhitungkan”.
Untuk memperkuat pasukan RI di Yogyakarta, Batalyon Mobil III Brigade X SWK
Purworejo, atas perintah Panglima Divisi Diponegoro mengirimkan satu kompi bersenjata
lengkap diperkuat sepucuk 12.7 yang dipimpin oleh Kapten Soedarsono Bismo, yang terdiri
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 89
dari empat seksi dengan Komandan Seksi I Letnan II Soeparman Jliteng, Seksi II Letnan Muda
Soewandi, Seksi III Letnan Muda Hardjowinoto dan Seksi IV Letnan (AL) Soedjarwo.
Pasukan Soedarsono Bismo berangkat dari Bruno-Kedu Selatan pada tanggal 16
Februari 1949 menuju Yogyakarta melalui Bener, Banyuasin, Nagulan, dan Pengasih. Pada
tanggal 19 Februari 1949 mereka melapor kepada Komandan SU 1 Maret 1949/Komandan
Brigade X/Divisi III sekaligus juga merangkap sebagai Komandan Wehrkreise III Letnan
Kolonel Soeharto.
Kompi Bismo yang dikenal sebagai Kompi Irawan mendapat tugas langsung dari
Komandan SU 1 Maret 1949 sebagai pasukan pendobrak atau Stoot Troep. Tugas ini berhasil
dilaksanakan dengan baik, namun Kompi Bismo kehilangan enam anak buahnya dalam
pertempuran, yaitu: Serma Soemadio, Serma Bambang, Prajurit Satu Pasno, Prajurit Satu
Warmo Djoko, Prajurit Satu Talawi, dan Prajurit Satu Maryono. Jenazahnya dimakamkan di
dekat tempat kejadian, namun pada tahun 1952 dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan
Purworejo.
Penyerahan Kekuasan dari Pihak Belanda kepada Pihak RI di Kebumen
Keberhasilan SU 1 Maret 1949 dilanjutkan dengan langkah diplomasi pada tanggal 23
Agustus 1949 dengan diadakannya Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag untuk
membicarakan masalah Penyerahan Kekuasaan Balanda kepada Indonesia. Dengan
pertimbangan yang cukup bijaksana dan matang, akhirnya pemerintah RI menerima Naskah
Persetujuan KMB yang sebetulnya sangat merugikan, dimana di dalamnya dinyatakan
adanya negara RIS, APRIS, dan masalah Irian Barat yang penyelesaiannya secara menyeluruh
baru akan dibicarakan di kemudian hari. Hari penyerahan kekuasaan dari Belanda kepada
RIS ditetapkan pada tanggal 27 Desember 1949.
Di Gombong
Upacara penyerahan kekuasaan dilangsungkan di persimpangan jalan Cilacap-Yogyakarta-
Sempor pada tanggal 17 Oktober 1949. Pihak Belanda diwakili antara lain oleh:
- Letkol Beets (Komandan Garnizoen Gombong)
- Letnan I Joepen (Ajudan Komandan)
- R. Soepardo (Wedana NICA)
- Achmad (Asisten Wedana NICA)
- Sapari (Juru Tulis Kawedanan NICA)
Pihak RI diwakili oleh:
- Kapten Soegiono (Komandan Kompi Batalyon Pendawa)
- Letnan II Purwosasmito
- Letnan Muda Soemarto
- Serma Ahcmad Baseri
- Sersan Oentoeng Soetomo
- Sersan Agoes
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 90
Di Kebumen
Upacara penyerahan kekuasaan dilangsungkan di persimpangan jalan Karanganyar-
Yogyakarta-Karangsambung (Mertakanda) pada tanggal 17 Oktober 1949. Pihak RI diwakili
oleh Letnan I Moeklis (Komandan Kompi Batalyon Pendawa) sedangkan pihak Belanda
diwakili oleh Komandan KL setempat.
Perempatan Mertakanda Kebumen lokasi penyerahan
kekuasaan Belanda ke pihak RI di Kebumen
Sementara itu, Komandan Brigade IX/WK II
Kedu Letnan Kolonel Achmad Yani mengadakan
inspeksi di Kedu Selatan, bersama tiga orang
perwira KTN masing-masing dari Amerika, Belgia,
dan Australia untuk menyaksikan acara serah
terima tersebut di Pituruh, Kutoarjo, dan Purworejo.
Upacara serah terima secara resmi untuk wilayah Jawa Tengah dilangsungkan di kota
Semarang pada tanggal 27 Desember 1949. Pihak RI diwakili oleh Kolonel Gatot Soebroto
Panglima Divisi III/Diponegoro merangkap Gubernur Militer Jawa Tengah. Sedangkan pihak
Belanda diwakili oleh Jenderal Mollinger Panglima Divisi KL untuk Jawa Tengah.
Pertempuran melawan Angkatan Oemat Islam (AOI) Somalangu Kebumen
AOI adalah suatu oganisasi beraliran Islam yang muncul pada 11 September 1945 di
Somalangu Desa Sumberadi Kabupaten Kebumen. AOI mempunyai laskar yang berpaham
Islam. Kebanyakan anggotanya adalah penduduk di Somalangu, Kebumen dan sekitarnya.
AOI didirikan oleh Kyai Affandi (Kepala DEPAG pertama Kab. Kebumen), Kyai Moh. Syafei,
dan Kyai Abdoelrahman Somalangu. Dikarenakan adanya perbedaan pendapat, Kyai Moh.
Syafei dan Kyai Affandi kemudian mengundukan diri dari AOI. Kantor AOI pertama kali
berada di Jalan Stasiun (Sekarang menjadi Jalan Pemuda; Kantor Deperindagkop) dengan
nomor telp. 44.
Setelah mundurnya dua tokoh utamanya, AOI dipimpin oleh Kyai Abdoelrahman dan
para putranya yakni:
1. Kyai Machfoed Abdoelrahman (selanjutnya dikenal sebagai Romo Pusat)
2. Kyai Toifur Abdoelrahman
3. Kyai Noersodik Abdurrahman (Panglima Perang AOI dengan pangkat Mayor)
Basis Komando Laskar AOI berada di Somalangu. Besarnya pengaruh Romo Pusat
terhadap para pengikutnya,mengakibatkan timbulnya fanatisme dan bapakisme di
Kebumen. Kyai Somalangu pun mulai membuat aturan - aturan meski bersifat tidak tertulis
khususnya mengenai ketataprajaan yang sifatnya tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah
RI. Hal ini mengakibatkan kekacauan dalam kehidupan rakyat di Kebumen, dimana mereka
patuh terhadap peraturan AOI mengenai pembayaran pajak. Sejak saat itu pejabat, petugas
pamong praja, dan aparat pemerintahan lainnya mulai mendapat kesulitan. Keadaan
semacam ini menyebabkan timbulnya ketegangan yang berlangsung sejak awal berdirinya
AOI hingga masa pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 91
Setelah pengakuan kedaulatan tersebut, AOI mulai melakukan tindakan-tindakan
yang menyalahi hukum yang secara nyata dilakukan dengan sadar dan sengaja sehingga
menambah ketegangan antara pihak AOI dan Pemerintah RI.
Musyawarah yang diajukan Pemerintah RI untuk menyelesaikan ketegangan dan
pertikaian tanpa jatuhnya korban pun ditolak mentah-mentah oleh AOI. Pemerintah sangat
menyesalkan sikap penolakan AOI terhadap maksud baik pemerintah RI tersebut, karena
bagaimana pun juga Pemerintah tetap menghargai jasa AOI terhadap perjuangan
kemerdekaan antara lain:
1. Perlawanan Sidobunder (Karanganyar).
2. Perlawanan Kepedek (Kutowinangun)
3. Perlawanan Kedung Bener (Kebumen)
4. Perlawanan Pager Kodok (Kebumen)
Jembatan Kedung Bener (penyerangan AOI
terhadap Konvoi Belanda)
Pada sisi lain, dengan gejala – gejala
yang nampak, jelas menunjukkan bahwa AOI
telah bekembang sejalan dan senafas dengan
cita – cita pembentukan negara Islam konsepsi
Kartosuwiryo.
Berhubung sikap AOI yang keras kepala dan tetap menolak maksud baik pemerintah
yang sah, maka pihak pemerintah terpaksa mengambil tindakan militer. Dalam hal ini pun
pemerintah tetap bertindak bijaksana.
Dalam bidang kemiliteran, laskar AOI yang ikut aktif bergerilya melawan Belanda
bersama TNI, kemudian bersama pasukan Surengpati pimpinan Masdoeki, digabungkan
dalam satu batalyon, yaitu Batalyon Lemah Lanang di bawah pimpinan H. Noersodik dengan
pangkat Mayor, dimasukkan ke dalam Brigade IX/Diponegoro. Akan tetapi ketika Batalyon
Lemah Lanang di APRIS – kan, Kyai Somalangu segera membentuk pasukan tandingan yang
disebut “Pasukan Chimasatul Islam”. Sejak inilah nampak semakin nyata ketidakpatuhan AOI
terhadap Pemerintah RI.
Dalam suasana tegang, Batalyon Lemah Lanah pimpinan H. Noersodik memihak AOI.
Demikian pula dengan pasukan Surengpati yang anggotanya berasal dari Cilacap, segera
bergerak ke daerah asalnya.
Sikap keras AOI segera diimbangi oleh TNI dengan mengambil tindakan militer.
Batalyon 3 Brigade IX Mayor Sroehardoyo yang sedang bertugas di GBN IV di kabupaten
Brebes sejak awal Januari 1950 untuk menghadapi DI/TII di daerah ini pada tanggal 7 Mei
1950, seluruh anggota Batalyon 3 ditarik kembali ke pangkalannya di Gombong untuk
menghadapi AOI di Kebumen.
Pada tanggal 9 mei 1950 Peleton II Kompi Bismo ditempatkan di Kutowinangun
untuk menjaga keamanan jalan Kutoarjo – Kebumen, karena Komandan Brigade IX Divisi
Diponegoro Letkol Achmad Yani dan rombongan akan mengadakan peninjauan ke Batalyon
Lemah Lanang di Kebumen.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 92
Pada tanggal 11 Mei 1950, rombongan Komandan Brigade IX/Divisi III telah melewati
daerah Kutowinangun dengan aman. Rombongan terdiri dari sebuah jeep, dua buah bren
carrier, dua buah overval wagon yang berisi satu peleton pasukan. Setelah dekat Wonosari,
rombongan Komandan Brigade disambut dengan tembakan oleh pasukan AOI yang dibalas
dengan tembakan pula oleh pengawal. Tidak lama kemudian Rombongan Komandan
kembali ke arah Kutoarjo, sambil menanyakan di mana kedudukan Komandan Kompi Kapten
Soedarsono Bismo.
Lemah Lanang Somalangu/Candimulyo
Setelah dijelaskan bahwa Komandan
Kompi berada di Selatan Somalangu untuk
mengamankan jembatan dan rombongan
Komandan Brigade, seketika itu juga Komandan
Brigade memerintahkan agar Kompi I dari
Batalyon Sroehardoyo pada hari itu juga harus
masuk kota, tidak bertahan mengambil lokasi
yang sekarang. Perintah itu dilaksanakan.
Komandan Kompi bersama Peleton I bertugas di Utara Stasiun Kereta Api Kebumen di
Panjer (kini KODIM 0709 Kebumen), sedangkan Peleton II di depan RSU Kebumen, dan
Peleton III di Kawedusan.
Pada tanggal 14 Mei 1950, pukul 05.30 Wib, semua Kompleks yang telah ditempati
Kompi I/Bismo di depan Stasiun Kereta Api Kebumen di Panjer diserang pasukan AOI. Waktu
itu sebagian pasukan sedang stelling (posisi siap tembak) dan sebagian lagi sedang mandi.
Serangan AOI dibalas TNI dengan tembakan. Akhirnya, pasukan AOI mundur ke Timur untuk
menuju Somalangu.
Komandan Kompi I memerintahkan pengejaran dengan rute Peleton II melalui depan
Stasiun KA Kebumen terus menuju Selang dan mendekati desa Somalangu. Peleton III
menghadang dan menutup di Utara Kuburan Lemah Lanang, di sebelah Gumuk (gunungan).
Ketika itu Kompi II Soebiandono (Brigjen (Purn.)) datang membantu.
Setelah Kompi Bismo dan Kompi Soebiandono menerobos masuk Somalangu,
pasukan AOI mundur ke Wadug Gudig (Tirtomoyo), dan bertahan selama dua hari.
Dikarenakan tidak mendapat rangsum dari Somalangu, mereka akhirnya mundur ke Krakal
dan terus dikejar oleh TNI. Pasukan AOI naik ke Kalirancang menuju Kalipuru. Di Kalipuru
pasukan AOI bertahan empat hari, karena letak medannya yang memang menguntungkan
AOI.
Pada hari kelima pertahanan pasukan AOI akhirnya dapat ditembus pasukan TNI
dengan kontak senjata. Pasukan AOI lari sambil membakari rumah – umah penduduk
setempat menuju Igirtejo, Telepok, Sadang, Kaligending, dan terus ke pegunungan
Mahameru setelah mendapat desakan dari pasukan Batalyon Soeryo Soempeno dari arah
Wadaslintang.
Pegunungan Mahameru yang diserang TNI mengakibatkan pasukan AOI lari ke
Jagasima, lalu menuju Kroya. Dari Kroya, mereka melalui Kecamatan Adipala untuk menuju
Gunung Srandil, melewati Sampang, tetapi disambut dan mengalami kontak senjata dengan
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 93
Batalyon Nocoh Baros di desa Kebarongan selama satu jam pada pukul 12.00 Wib (tiga hari
setelah meninggalkan Kalipuru).
Sementara itu, sejak kontak senjata di Kebarongan sampai di Gunung Srandil,
Komando Operasi pasukan TNI telah berada di bawah kendali komando Komandan Brigade
IX Letkol Achmad Yani.
Kyai Somalangu sendiri bersama dengan pasukannya menuju Gunung Srandil melalui
Timur kota Kroya. Sedangkan TNI mendapatkan informasi bahwa pasukan H. Noersodik
mundur ke Mandalagiri.
Utara Stasiun KA Panjer Kebumen/Kodim 0709
Kompleks Sarinabati Panjer (tempat pecahnya
peristiwa AOI melawan TNI)
Sepanjang malam pasukan TNI
menembaki Gunung Srandil dengan mortir 8
mm. Akhirnya peluru mortirlah yang
menamatkan riwayat AOI dan Kyai
Somalangu, tepat di salah satu bukit yang
bernama Mandalagiri .
Sebagian besar pasukan Somalangu
melarikan diri ke arah Timur di pagi hari,
menyusur pantai menuju daerah Karang Duwur Pantai Ayah. Di desa ini, mereka
berhadapan dengan Kompi Doelhadi dari Batalyon Soeryo Soempeno dan Kompi Bismo dari
Batalyon Sroehardoyo, sehingga kontak senjata tak dapat dielakkan lagi.
Selain pasukan AOI yang lari ke arah Timur, pasukan Haji Noersodik dengan kekuatan
kurang lebih 200 orang lari ke Barat, menggabungkan diri dengan DI/TII Amir Fatah di
daerah Tegal – Brebes.
Pasukan DI/TII Amir Fatah dapat diatasi oleh pasukan TNI dengan melancarkan
“Operasi Merdeka” yang dilakukan serentak oleh Komando GBN untuk mengejar anggota –
anggota DI/TII, sehingga banyak anggota DI/TII yang tewas. Akhirnya pada tanggal 20
Desember 1950 Amir Fatah menyerahkan diri di Cisayong – Tasikmalaya.
Sejak dari Kalipuru sampai dengan desa Karang Duwur, pasukan Batalyon VIII
Panoedjoe terus melakukan kontak senjata dengan pihak pasukan AOI di desa
Karangsambung, di hutan karet Krumput (Kalimalang), di Kebarongan, di Gunung Srandil,
dan di Karangduwur.
Pada tanggal 29 September 1950, seluruh Batalyon Sroehardoyo ditarik ke
pangkalannya di Gombong untuk tugas lain.
Dalam peristiwa AOI Somalangu ini, diketahui bahwa kekuatan utama AOI terdiri atas:
- Satu Batalyon Lemah Lanang
- Satu Pasukan Chimasayul Islam
- Satu pasukan Hidayatul Islam
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 94
Sedangkan pasukan TNI pimpinan Letkol Achmad Yani Komandan Brigade IX/Divisi III terdiri
atas:
- Batalyon 3 Brigade IX/Divisi III yang kemudian menjadi Batalyon 411 di bawah pimpinan
Mayor Sroehardoyo
- Batalyon 8 Brigade IX/Divisi III yang kemudian menjadi Batalyon 409 di bawah pimpinan
Mayor Panoedjoe
- Batalyon 1 Brigade IX/Divisi III yang kemudian menjadi Batalyon “X” di bawah pimpinan
Mayor Soeryo Soempeno
- Batalyon APRIS, yang kemudian menjadi Batalyon 414 Brigade IX/Divisi III di bawah
pimpinan Kapten Nocoh Baros
- Detasemen Brigade Mobil Polisi dari Yogyakarta di bawah pimpinan Inspektur I Soemarsono
- Kompi Kavaleri dari Magelang
- Kompi Zeni Tempur dari Magelang
- Kompi PHB dari Magelang
Sementara itu, menurut keterangan dari KH. Afifudin Hanif (cucu Kyai Somalangu),
faktor utama terjadinya pemberontakan AOI dikarenakan Kyai Somalangu merasa sangat
kesal setelah melihat kenyataan bahwa Batalyon Lemah Lanang di APRIS kan dan
dimasukkannya sejumlah anggota APRIS ke dalam Batalyon Lemah Lanang. Keinginannya
adalah Batalyon Lemah Lanang tetap utuh dan kompak, tidak ada seorang pun dari luar yang
boleh masuk bergabung ke dalam Batalyon Lemah Lanang.
Sumber Lain
Tujuan AOI Somalangu ialah mendirikan negara Islam. Setelah merasa memiliki
kekuatan yang cukup dan anggota yang tersebar di berbagai daerah AOI berniat membentuk
pemerintahan yang berdiri sendiri seperti layaknya desa Mutihan (desa bebas pajak).
Didukung dengan banyaknya bekas TNI pelarian dari Madiun yang begabung dengan AOI di
Somalangu. Dikuatkan oleh Kyai Kebarongan (saudara Ipar) yang terkenal sakti mandra guna
dan kebal senjata yang kebetulan pada saat itu menjadi guru di Somalangu yang akhirnya
menjadikan Somalangu sebagai daerah yang sangat disegani dan memiliki kharisma bagi
seluruh umat islam di Kebumen terutama sebelah timur sungai Luk Ula. Adapun sebelah
Barat sungai Luk Ula hanya sebagian saja yang berkiblat pada Somalangu. Kyai Kebarongan
geraknya senafas dengan pegerakan di Bandung (DI/TII). Namun setelah diadakan penelitian
ternyata hanya tokoh utama AOI somalangu dan para tentaranya saja yang sepaham dengan
Kyai Kebarongan tesebut. Adapun para pemudanya hanya yang berada di pusat/
Somalangu, sedangkan di desa – desa hampir tidak terpengaruh.
Kebumen dan Jejak – Jejak Merah Putih | 95
WWW.KEBUMEN2013.COM
Top Related