KEBIJAKAN PENGEMBANGAN EKONOMI
PERIKANAN TUNA LONGLINE BERPERSPEKTIF MITIGASI
BENCANA DI PADANG, SUMATERA BARAT
TOMI RAMADONA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
Tidakkah engkau memperhatikan bahwa sesungguhnya bahtera itu
berlayar di laut dengan nikmat Allah, agar diperlihatkan-Nya
kepadamu sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)-Nya.
Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda
bagi setiap orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur.
Dan apabila mereka dihantam gelombang yang besar sebesar gunung,
mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya
maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan,
lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus.
Adapun yang mengingkari ayat-ayat Kami
hanyalah orang-orang yang tidak setia lagi ingkar
QS.LUKMAN (31-32).
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kebijakan
Pengembangan Ekonomi Perikanan Tuna Longline Berperspektif Mitigasi
Bencana di Padang Sumatera Barat adalah benar merupakan hasil karya saya
sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Bogor, Januari 2013
Tomi Ramadona
NRP. H352100051
ABSTRACT
TOMI RAMADONA. The Policy Development of Tuna Longline Fishery
Economy Based on Disaster Mitigation Perspective in Padang, West Sumatra.
Supervised by TRIDOYO KUSUMASTANTO and ACHMAD FAHRUDIN.
This research aimed to determine 1) fisheries sector macro economic
conditions, 2) the potential for sustainability and management of fisheries
resources, 3) the potential and priorities for mitigation of disasters, 4) the fisheries
development and the feasibility investment of disaster mitigation perspective, 5)
institutions in fisheries development of disaster mitigation perspective and 6)
formulate policy direction of tuna fisheries economy development based on
disaster mitigation perspective. The analysis methods was conducted by Shift
Share, Location Quotient, Minimum Requirement Approach, Bioeconomic
Model, Exponential Comparison method (MPE), Investment feasibility analysis,
stakeholder analysis, descriptive analysis and AHP techniques. The result showed
that fisheries provide high contribution in macro economic analysis as the leading
sectors of regional economic development. The analysis of bioeconomy,
especially Tuna was bellow the optimal level, with the optimal management based
on MEY management regimes showed that effort can be increase by 133 trip or
equal as 33 tuna longliners and a production of 418.53 tons. The highest potential
disaster on fisheries was earthquakes, tsunamis, strong winds, and waves.
Strategies for mitigation priorities were (1) provision of GPS, APS, disaster
information applications for fisherman, (2) provision of early warning and
integrated information systems, also (3) establishment of building fishing ports
and other infrastructure disaster mitigation perspective. Investment feasibility
analysis showed longliner tuna productivity remains high as well as the addition
of mitigation facilities, so the development of the business was feasible.
Stakeholders involved in this policy were KKP, DKP and local government. This
research concluded that appropriate policy strategies could be implemented in
Padang city was optimization the production of sustainable fisheries resources
through the provision of facilities for fisheries and mitigation perspective, also
increase participation and synergy stakeholder to prosperity.
Keywords : tuna, longliner, policy analysis, fishery resources, bioeconomic,
sustainability, disaster mitigation, Padang City, West Sumatera
RINGKASAN
TOMI RAMADONA. Kebijakan Pengembangan Ekonomi Perikanan Tuna
Longline Berperspektif Mitigasi Bencana di Padang, Sumatera Barat. Dibimbing
oleh TRIDOYO KUSUMASTANTO dan ACHMAD FAHRUDIN
Kota Padang memiliki perairan laut seluas 720 km² dengan panjang pantai
68,126 km. Kontribusi yang dihasilkan subsektor perikanan terhadap
perekonomian daerah sebagian besar berasal dari perikanan tangkap. Perikanan
tangkap menghasilkan nilai sebesar Rp. 218.495.600.000, atau sekitar 83 persen
dari total nilai produksi perikanan Kota Padang secara keseluruhan (DKP Sumbar,
2011). Besarnya nilai produksi perikanan tangkap tidak terlepas dari tingginya
nilai kontribusi yang dihasilkan jenis ikan tuna. Sumberdaya tuna merupakan
komoditi unggulan perikanan Kota Padang. Jenis tuna yang didaratkan di Kota
Padang adalah Tuna Mata Besar/bigeye (Thunus obesus) dan Tuna Sirip
Kuning/yellowfin (Thunus albacares). Spesies yang menjadi sumberdaya ekspor
Kota Padang tujuan Singapura, Jepang dan Amerika ini merupakan komoditi
perikanan tangkap yang memberikan nilai kontribusi terbesar dibandingkan
spesies lain, yakni sebesar Rp. 70.063.200.000 (tahun 2010) atau sekitar 24 persen
dari seluruh nilai produksi perikanan Kota Padang. Melihat kontribusi yang
dihasilkan, maka amatlah wajar pengembangan sumberdaya ini akan memberikan
keuntungan berganda bagi perekonomian daerah secara keseluruhan. Pada sisi
yang lain, Kota Padang termasuk dalam kawasan rawan bencana gempa dan
tsunami, selain gempa dan tsunami masih terdapat potensi bencana pesisir lain di
wilayah ini yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi
pengembangan sumberdaya perikanan. Kota Padang merupakan wilayah dengan
karakteristik perikanan yang kompleks, pada satu sisi mempunyai potensi
perikanan laut yang potensial dan di sisi lain dihadapkan pada kondisi daerah
yang rawan bencana. Karakteristik ini menuntut suatu kebijakan yang diharapkan
mampu menyelesaikan permasalahan dalam hal pengembangan sumberdaya
perikanan baik oleh faktor internal maupun eksternal. Potensi perikanan
mendorong pengembangan ekonomi, sementara potensi bencana menuntut adanya
tindakan mitigasi. Aktifitas pengembangan dan mitigasi ini membutuhkan
investasi, sehingga diperlukan kebijakan yang komprehensif.
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kondisi ekonomi makro
sektor perikanan di Kota Padang, menganalisis potensi keberlanjutan dan bentuk
pengelolaan sumberdaya perikanan di Kota Padang ditinjau dari aspek biologi dan
ekonomi, menganalisis potensi bencana serta prioritas bentuk mitigasi dalam
rangka pengembangan sumberdaya perikanan di Kota Padang, menganalisis
pengembangan perikanan dan kelayakan investasi berperspektif mitigasi bencana
di Kota Padang, menganalisis bentuk kelembagaan terkait pengembangan
sumberdaya perikanan berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang serta
merumuskan arahan kebijakan pengembangan ekonomi perikanan tangkap
berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang. Penelitian dilakukan dengan
metode studi kasus dan menggunakan metode pengambilan contoh purposive
sampling. Tahapan analisis data pada penelitian ini yaitu menganalisis kondisi
makro ekonomi dengan analisis Shift Share, Location Quotient dan Minimum
Requirement Approach, menganalisis potensi sumberdaya serta pengelolaan
perikanan dengan bioekonomi, menganalisis potensi bencana serta prioritas
bentuk mitigasi terkait pengambangan sumberdaya perikanan dengan studi
literatur, analisis deskriptif dan MPE, menganalisis bentuk kelembagaan dengan
analisis stakeholder dan analisis deskriptif serta analisis prioritas, strategi,
rumusan arahan kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan yang
berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana dengan teknik AHP.
Pada tahap analisis makro ekonomi,diperoleh gambaran bahwa perikanan
merupakan sektor basis yang memberikan kontribusi cukup besar terhadap
perekonomian Kota Padang, sehingga dapat dijadikan sebagai prioritas kebijakan
pembangunan ekonomi daerah. Berdasarkan analisis bioekonomi, pemanfaatan
sumberdaya perikanan di Padang khususnya tuna masih berada di bawah titik
optimalnya, pada penelitian ini juga diperoleh hasil pengelolaan yang optimal
adalah menggunakan rezim pengelolaan MEY atau Sole Owner dengan discount
rate sebesar 16% yaitu dengan meningkatkan effort sebesar 133 trip dan produksi
sebesar 418,53 ton. Analisis ini juga menyimpulkan perlu adanya penambahan
armada penangkapan sebanyak 33 unit.Hasil analisis MPE mengungkapkan
potensi bencana terbesar di Padang yang berdampak kuat terhadap perikanan
adalah gempa bumi, tsunami, angin kencang, gelombang laut dan intrusi air laut.
Arahan prioritas bentuk mitigasi adalah (1) Penyediaan GPS, APS, Aplikasi
informasi bencana untuk nelayan, (2) Penyediaan sistem peringatan dini dan
sistem informasi terpadu, dan (3) Pendirian bangunan pelabuhan dan prasarana
perikanan lainnya yang berperspektif mitigasi bencana. Mitigasi bencana untuk
pengembangan perikanan tangkap berupa penyediaan prasarana mitigasi darat dan
laut yang terdiri atas penyediaan sistem peringatan dini, radar tsunami dan
gelombang, pusat informasi bencana, jalur evakuasi dan assembly point, shelter
pelabuhan dan tambat badai laut serta sarana mitigasi armada penangkapan.
berupa penyediaan GPS, aplikasi BB/android serta radio komunikasi dan navigasi.
Hasil analisis kelayakan investasi pada pengembangan usaha perikanan
berperspektif mitigasi bencana, nilai NPV sebesar Rp 45.530.835.838, nilai B/C
2,40 dan IRR sebesar 54,73%. Hasil kelayakan investasi ini menyimpulkan bahwa
pengembangan usaha perikanan tangkap dengan penambahan prasarana dan
sarana mitigasi layak dan menguntungkan, sehingga program ini memiliki
prospek untuk dikembangkan. Stakeholder yang memberi pengaruh dan terkait
dalam kebijakan ini adalah KKP, DKP dan Pemerintah Daerah Kota Padang.
Analisis AHP menghasilkan kesimpulan bahwa perikanan merupakan sektor
prioritas yang potensial dikembangkan pada bidang kelautan Kota Padang.
Analisis ini juga menguraikan bahwa prioritas kebijakan pengembangan
perikanan di Kota Padang adalah penyediaan prasarana dan sarana perikanan yang
kondusif dan berperspektif mitigasi bencana dengan nilai 0,203. Hasil dari
serangkaian analisis menyimpulkan kebijakan yang tepat untuk diterapkan di Kota
Padang yaitu optimalisasi produksi sumberdaya perikanan dengan memperhatikan
faktor keberlanjutan melalui penyediaan sarana dan fasilitas perikanan yang
kondusif dan berperspektif mitigasi bencana serta meningkatkan partisipasi dan
sinergisitas stakeholder untuk mencapai kesejahteraan.
Kata Kunci : ikan tuna, longline, analisis kebijakan, sumberdaya perikanan,
bioekonomi, keberlanjutan, mitigasi bencana, Kota Padang,
Sumatera Barat
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2013
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang
wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN EKONOMI
PERIKANAN TUNA LONGLINE BERPERSPEKTIF MITIGASI
BENCANA DI PADANG, SUMATERA BARAT
TOMI RAMADONA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Diniah, M.Si
Judul Tesis : Kebijakan Pengembangan Ekonomi Perikanan Tuna Longline
Berperspektif Mitigasi Bencana Di Padang, Sumatera Barat
Nama : Tomi Ramadona
NRP : H352100051
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS.
Ketua
Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si
Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi
Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika
Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS.
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr,
Tanggal Ujian : 30 November 2012 Tanggal Lulus :
PRAKATA
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis aturkan kehadirat Allah SWT atas
segala karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang
berjudul “Kebijakan Pengembangan Ekonomi Perikanan Tuna Longline
Berperspektif Mitigasi Bencana di Padang, Sumatera Barat”. Sebagian isi dari
karya ilmiah ini sedang menunggu penerbitan di Jurnal Kebijakan dan Sosial
Ekonomi Perikanan dan Kelautan BBPSEKP KKP RI Volume 2 Tahun 2013.
Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Prof.Dr.
Ir.H.Tridoyo Kusumastanto,MS dan Dr.Ir.Achmad Fahrudin,M.Si yang telah
membimbing, mengarahkan dan memotivasi penulis selama menempuh studi di
institusi ini. Penulis juga menyampaikan apresiasi kepada Prof.Dr.Ir.Ahmad
Fauzi,M.Sc, Prof.Dr.Ir.Marimin,M.Sc, Dr.Ir.Sugeng Budiharsono, Dr.Ir.Luky
Adrianto,M.Sc, Dr.Ir.Aceng Hidayat,MT, Dr.Ir.Luki Abdullah,M.Sc,
Dr.Ir.Diniah,M.Si, Ir.Sobari,M.Si, Yudi Wahyudin,M.Si, Kastana Sapanli,M.Si
serta kepada guru-guru penulis lainnya yang telah memberikan masukan, arahan
dan motivasi dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Terimakasih juga penulis
sampaikan kepada Kepala PPS Bungus beserta staf, LPSDKP, DKP Padang,DKP
Sumbar, BPSPL, Bappeda Padang, BPS Sumbar dan BPS Pusat, BPBD Padang,
segenap tenaga pengajar dan pegawai Program Studi ESK dan Dept. ESL IPB,
Keluarga Besar Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan Universitas Riau,
Rekan-rekan ESK 2010 dan SPs IPB, UR, UPI, Undip, Unand, dan UBH serta
semua pihak yang telah ikut berkontribusi dalam berbagai hal.
Penulis menyampaikan rasa hormat setinggi-tingginya kepada Ibunda,
Ayahanda, Adinda serta seluruh keluarga besar atas doa, pengorbanan, pengertian
dan dukungan yang tidak ternilai selama ini. Kepada keluarga di Bekasi, Vitcom,
IKMP Palito dan pihak lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi
penulis, civitas akademika, peneliti, pemerintah dan semua pihak yang terkait,
sehingga mampu memperkaya khasanah keilmuan serta pengembangan ekonomi
sumberdaya kelautan yang dapat mensejahterakan masyarakat.
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pulutan, Kabupaten Limapuluh Kota, Provinsi
Sumatera Barat pada 11 Mei 1987, sebagai putra pertama dari dua bersaudara dari
pasangan Eldanetri dan Ilham Asmaradan. Tahun 2005 penulis lulus dari
SMAN 1 Harau Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat dan pada tahun yang
sama diterima di Universitas Riau melalui jalur PBUD pada Program Studi Sosial
Ekonomi Perikanan. Penulis memperoleh gelar Sarjana Perikanan melalui institusi
ini pada tahun 2009. Bulan September 2009 sampai Juni 2010 penulis bekerja di
PTC-SIT Fajar Hidayah sebagai tenaga pengajar.
Penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana pada tahun 2010 di Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya
Kelautan Tropika. Selama mengikuti perkuliahan, penulis diamanahkan sebagai
koordinator tingkat mahasiswa Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika. Selama
perkuliahan ini penulis juga beraktifitas sebagai staf pengajar pada lembaga
pelatihan komputer Vitcom Bogor.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................... xxiii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xxvii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xxix
I. PENDAHULUAN ................................................................. .............. 1
1.1. Latar Belakang ...................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah .............................................................. 3
1.3. Tujuan Penelitian .................................................................. 4
1.4. Manfaat Penelitian ................................................................ 4
1.5. Ruang Lingkup Penelitian .................................................... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 6
2.1. Konsep Basis Ekonomi dan Kontribusi Sektor ..................... 6
2.2. Karakteristik Perikanan Laut ................................................ 8
2.3. Sumberdaya Perikanan Tuna ................................................ 9
2.4. Tuna Longline ....................................................................... 13
2.5. Pengembangan Sumberdaya Perikanan ................................ 14
2.6. Potensi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Laut .............. 15
2.7. Mitigasi Bencana ................................................................... 19
2.8. Kelayakan Investasi .............................................................. 22
2.9. Kelembagaan dan Partisipasi Masyarakat ............................ 23
2.10. Analisis kebijakan ................................................................. 24
2.11. Kebijakan Kelautan dan Perikanan ....................................... 25
2.12. Konsep Pembangunan Berkelanjutan ................................... 28
2.13. Keterkaitan Pengembangan Sumberdaya Perikanan,
Pembangunan Berkelanjutan dan Mitigasi Bencana ............. 30
2.14. Studi Terdahulu ..................................................................... 30
III. KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................. 33
IV. METODE PENELITIAN .................................................................. 36
4.1. Metode Penelitian .................................................................. 36
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................. 36
4.3. Jenis dan Sumber Data ........................................................... 36
4.4. Metode Pengumpulan Data ................................................... 39
4.5. Metode Pengambilan Contoh ................................................. 40
4.6. Metode Analisis Data ............................................................ 40
4.6.1. Analisis Shift Share (SS) ........................................... 40
4.6.2. Analisis Location Quotient (LQ) .............................. 41
4.6.3. Analisis Minimum Requirement Approach (MRA) ... 42
4.6.4. Analisis Bioekonomi ................................................. 42
4.6.5. Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) .............. 45
4.6.6. Analisis Kelayakan Investasi .................................... 47
4.6.6.1. Net Present Value (NPV) ............................. 47
4.6.6.2. Benefit Cost (B/C) ....................................... 48
4.6.6.3. Internal Rate of Return (IRR) ..................... 48
4.6.7. Analisis Kelembagaan ............................................... 49
4.6.8. Analisis Deskriptif .................................................... 51
4.6.8. Analisis Proses Berjenjang (AHP) ............................ 52
4.7. Batasan Penelitian .................................................................. 54
V. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ............................. 57
5.1. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah .......................... 57
5.2. Kondisi Fisik Dasar dan Kebencanaan .................................. 59
5.2.1. Topografi ................................................................... 59
5.2.2. Oseanografi ................................................................ 62
5.2.3. Hidrologi ................................................................... 66
5.2.4. Klimatologi ............................................................... 67
5.2.5. Geologi ..................................................................... 67
5.2.6. Litologi ..................................................................... 68
5.2.7. Geomorfologi ............................................................ 69
5.3. Kondisi Kependudukan ......................................................... 70
5.3.1. Jumlah dan Perkembangan Penduduk ........................ 70
5.3.2. Komposisi Penduduk ................................................ 71
5.3.3. Ketenagakerjaan ........................................................ 72
5.3.4. Tingkat Kesejahteraan Penduduk .............................. 74
5.3.5. Kondisi Sosial Budaya ............................................... 75
5.3.6. Kondisi Perekonomian .............................................. 77
5.4. Potensi Perikanan dan Kelautan ........................................... 80
5.4.1. Potensi dan Karakteristik Subsektor Perikanan ........ 80
5.4.2. Potensi dan Karakteristik Bidang Kelautan .............. 87
5.4.3. Prasarana Pendukung ................................................ 88
VI. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN
TUNA DAN MITIGASI BENCANA .............................................. 92
6.1. Analisis Ekonomi Sub Sektor Perikanan ............................... 92
6.1.1. Analisis Kontribusi ................................................... 92
6.1.2. Analisis Basis Ekonomi ............................................ 94
6.1.3. Analisis Makro Perikanan antar Wilayah ................. 96
6.2 Analisis Bioekonomi Sumberdaya Perikanan ........................ 97
6.2.1. Estimasi Parameter Biologi ....................................... 99
6.2.2. Estimasi Parameter Ekonomi .................................... 102
6.2.3. Estimasi Produksi Lestari .......................................... 104
6.2.4. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan .............. 106
6.2.5. Analisis Optimasi Dinamik ....................................... 109
6.3. Analisis Kebencanaan ............................................................. 113
6.3.1. Analisis Potensi Bencana ........................................... 113
6.3.1.1. Gempa Bumi ............................................... 116
6.3.1.2. Tsunami ...................................................... 119
6.3.1.3. Angin Kencang/Badai ................................. 122
6.3.1.4. Intrusi Air Laut ........................................... 123
6.3.1.5. Gelombang Laut ......................................... 123
6.3.1.6. Banjir .......................................................... 125
6.3.1.7. Gerakan Tanah ............................................ 127
6.3.2. Analisis Mitigasi Bencana ........................................ 132
6.3.2.1. Mitigasi Bencana ........................................ 132
6.3.2.2. Prioritas Bentuk Mitigasi ............................ 135
6.3.2.3. Mitigasi Bencana untuk Pengembangan
Perikanan Tuna Longline ............................ 138
6.4. Analisis Pengembangan Ekonomi Perikanan Tuna
Longline dan Kelayakan Investasi Berperspektif Mitigasi
Bencana ................................................................................. 140
6.4.1. Perencanaan Pengembangan ..................................... 140
6.4.2. Kelayakan Investasi Pengembangan Tuna Longline
Berperspektif Mitigasi Bencana ................................ 142
6.5. Analisis Kelembagaan .......................................................... 150
6.5.1. Kelembagaan Usaha Perikanan .................................. 150
6.5.2. Kelembagaan dalam Mitigasi Bencana ..................... 152
6.5.3. Analisis Stakeholder dalam Pengembangan
Perikanan Berperspektif Mitigasi Bencana ................ 153
6.6. Analisis Kebijakan ................................................................ 158
6.6.1. Analisis Kebijakan Pengembangan Sektor Prioritas . 158
6.6.2. Analisis Kebijakan Pengembangan Perikanan .......... 161
6.7. Implikasi Kebijakan Pengembangan Ekonomi Perikanan
Tuna Longline Berperspektif Mitigasi Bencana ................... 163
VII. SIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 199
7.1. Simpulan ............................................................................... 199
7.2. Saran ...................................................................................... 201
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Jenis dan Sumber Data ........................................................................... 40
2. Parameter Bioekonomi dan Sumber Data .............................................. 41
3. Matrik Metode Perbandingan Eksponensial .......................................... 49
4. Administrasi Wilayah Kota Padang ...................................................... 61
5. Nama Kecamatan dan Kelurahan Pesisir di Kota Padang ..................... 62
6. Klasifikasi Kemiringan Wilayah Kota Padang ...................................... 63
7. Klasifikasi Topografi Kawasan Pesisir Kota Padang ............................ 64
8. Klasifikasi Ketinggian Wilayah Kota Padang ....................................... 65
9. Karakteristik Pulau-Pulau di Wilayah Kota Padang ............................... 66
10. Karakteristik Pantai di Kota Padang ....................................................... 67
11. Jenis Batuan dan Daya Dukungnya ....................................................... 73
12. Sebaran dan Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Padang Tahun
1999 dan Tahun 2009 ............................................................................ 75
13. Persentase Penduduk 5 Tahun Keatas menurut Tingkat Pendidikan di
Kota Padang ........................................................................................... 76
14. Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas menurut Jenis
Kegiatan dan Jenis Kelamin .................................................................. 77
15. Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja
menurut Lapangan Usaha di Kota Padang ............................................. 77
16. Jumlah Keluarga menurut Tingkat Kesejahteraan di Kota Padang ....... 78
17. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Padang ............................................ 82
18. Perkembangan Laju Inflasi di Kota Padang .......................................... 84
19. Nilai Produksi menurut Jenis Usaha Perikanan di Sumatera Barat ....... 84
20. Potensi Perikanan Tangkap laut ............................................................. 85
21. Potensi Budidaya laut ............................................................................ 86
22. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pesisir di Kota Padang ...... 86
23. Jumlah Nelayan Laut menurut Kecamatan ............................................. 88
24. Jumlah Perahu dan Kapal menurut Kecamatan ..................................... 89
25. Perhitungan Kontribusi Antar Sektor di Kota Padang Berdasarkan
Indikator PDRB Harga Konstan ............................................................ 97
26. Perhitungan LQ Subsektor Perikanan Kota Padang .............................. 99
27. Share Tenaga Kerja Subsektor Perikanan antar Wilayah di Sumatera
Barat Tahun 2010. ................................................................................. 101
28. Perhitungan MRA Subsektor Perikanan antar Wilayah di Sumatera
Barat Tahun 2010. ................................................................................. 102
29. Perkembangan Produksi dan Effort Tuna Kota Padang ........................ 103
30. Perbandingan Data Aktual, Parameter Biologi, MSY dan Uji
Statistik pada Sumberdaya Ikan Tuna ................................................... 105
31. Keluaran Regresi Model CYP ............................................................... 106
32. Parameter Biologi. ................................................................................. 106
33. Biaya Per-trip dan Harga Rata-rata Ikan Tuna Kota Padang ................. 107
34. Effort, Produksi Aktual dan Produksi Lestari Ikan Tuna Kota Padang .. 109
35. Hasil Estimasi Parameter Biologi dan Ekonomi Sumberdaya Ikan
Tuna ....................................................................................................... 111
36. Hasil Analisis Bioekonomi dalam Berbagai Rezim Pengelolaan
Sumberdaya Ikan Tuna ......................................................................... 112
37. Pengelolaan optimum Sumberdaya Ikan Tuna ...................................... 114
38. Hasil Optimasi Dinamik dengan Model CYP pada Pengelolaan
Sumberdaya Tuna .................................................................................. 115
39. Nilai Total Potensi Bencana Hasil Analisis MPE .................................. 119
40. Kejadian Tsunami di Sumatera Barat .................................................... 124
41. Bahaya Tsunami Kota Padang ............................................................... 125
42. Nilai Total Alternatif Prioritas Mitigasi Analisis MPE ......................... 141
43. Investasi Tuna Longliner ....................................................................... 148
44. Biaya Operasional Per-trip Tuna Longline. ........................................... 148
45. Biaya Perawatan Tuna Longliner Per-unit ............................................. 149
46. Biaya Investasi Prasarana Mitigasi Darat dan Laut ............................... 150
47. Biaya Investasi Sarana Mitigasi Armada Penangkapan (59 Unit
Longline) ................................................................................................ 150
48. Biaya Operasional Prasarana dan Sarana Mitigasi Per-tahun ................ 151
49. Biaya Perawatan Prasarana Mitigasi Darat dan Laut ............................. 151
50. Biaya Perawatan Sarana Mitigasi Armada Penangkapan ...................... 152
51. Total Biaya/Outflow................................................................................ 152
52. Asumsi Penerimaan Perikanan Tuna Longline ...................................... 153
53. Nilai NPV, B/C dan IRR ........................................................................ 153
54. Analisis Stakeholder Pengembangan Sumberdaya Perikanan yang
Berkelanjutan di Kota Padang ............................................................... 161
55. Rangkuman Hasil Analisis Penelitian Pengembangan Ekonomi
Perikanan Tuna Longline Berperspektif Mitigasi Bencana .................... 179
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Wilayah Penyebaran Tuna Mata Besar (Bigeye) ................................... 12
2. Wilayah Penyebaran Tuna Sirip Kuning (Yellowfin) ............................ 12
3. Tuna Sirip Kuning (Yellowfin) .............................................................. 13
4. Tuna Mata Besar (Bigeye) ..................................................................... 13
5. Konstruksi Armada Tuna Longline ....................................................... 14
6. Keterkaitan antar Sistem Perikanan (Charles, 2001) ............................. 15
7. Segitiga Pembangunan Berkelanjutan (Charles, 2001) ......................... 29
8. Kerangka Pemikiran Penelitian ............................................................. 36
9. Kerangka Operasional Penelitian .......................................................... 37
10. Sebagian Bentuk Topografi Kota Padang .............................................. 65
11. Grafik Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Padang ................................. 82
12. Peta Kecamatan Pesisir Kota Padang .................................................... 87
13. Perkembangan Produksi dan Nilai Perikanan Kota Padang .................. 90
14. Perkembangan Kontribusi Sub Sektor Perikanan di Kota Padang
Berdasarkan Indikator PDRB Harga Konstan ........................................ 98
15. Perkembangan Nilai LQ Sub Sektor Perikanan di Kota Padang ........... 100
16. Perkembangan CPUE Sumberdaya Tuna .............................................. 104
17. Perbandingan Produksi Aktual dan Lestari Sumberdaya Tuna ............. 110
18. Kurva Pertumbuhan Logistik Tuna di Padang ....................................... 112
19. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Ikan Tuna .......................................... 113
20. Keseimbangan Bioekonomi Model Gordon Schaefer ........................... 114
21. Nilai Rente Pada Berbagai Tingkat Discount Rate ................................ 116
22. Kurva Pengelolaan Optimal (i=16%) .................................................... 117
23. Potensi Bencana Pesisir ......................................................................... 120
24. Peta Risiko Bencana Gempa Bumi Di Kota Padang ............................. 123
25. Peta Risiko Bahaya Tsunami Kota Padang ........................................... 126
26. Peta Prakiraan Tinggi Gelombang ......................................................... 129
27. Peta Risiko Bencana Banjir Kota Padang .............................................. 131
28. Peta Risiko Bencana Longsor Kota Padang .......................................... 133
29. Peta Risiko Bencana Abrasi Kota Padang ............................................. 136
30. Prioritas Bentuk Mitigasi Bencana ........................................................ 143
31. Matriks Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder dalam
Pengembangan Perikanan yang Berkelanjutan di Kota Padang ............ 159
32. Diagram Hierarki Prioritas Pengembangan Bidang Kelautan ............... 163
33. Hasil Penilaian AHP Prioritas Kebijakan Pengelolaan Perikanan ........ 164
34. Diagram Hierarki Prioritas Kebijakan Pengembangan Perikanan ......... 166
35. Hasil Penilaian AHP Prioritas Kebijakan Pengelolaan Perikanan ........ 167
36. Diagram Kebijakan Pengembangan Sumberdaya Perikanan Tuna
Longline Berperspektif Mitigasi Bencana ............................................. 180
37. Kesimpulan Komprehensif Penelitian “Kebijakan Pengembangan
Ekonomi Perikanan Tuna Longline Berperspektif Mitigasi Bencana
di Padang Sumatera Barat” .................................................................... 181
1
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Daftar Responden Primer ...................................................................... 196
2. Peta Administrasi Kota Padang ............................................................. 197
3. Peta Topografi Kota Padang .................................................................. 198
4. Peta Rencana Pola Ruang Laut Kota Padang ........................................ 199
5. Peta Hidrologi dan Tata Air Kota Padang ............................................. 200
6. Peta Geologi Kota Padang ..................................................................... 201
7. PDRB Kota Padang Atas Dasar Harga Konstan .................................... 202
8. PDRB Provinsi Sumatera Barat atas Dasar Harga Konstan .................. 203
9. Kondisi dan Potensi Pemanfaatan Ruang Pesisir Kota Padang ............. 204
10. Fasilitas Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bungus ....................... 205
11. Perhitungan LQ Antar Sektor di Kota Padang ...................................... 207
12. Perhitungan Effort dan CPUE Analisis Bioekonomi ............................. 208
13. Hasil Estimasi Harga Sumberdaya Ikan Tuna dengan IHK Tahun
Dasar 2007 .............................................................................................. 209
14. Perhitungan Parameter Biologi Ikan Tuna Hasil Regresi ....................... 210
15. Perhitungan Bioekonomi dengan Aplikasi Maple 13 ........................... 211
16. Cashflow Pengembangan Ekonomi Perikanan Tuna Longline
Berperspektif Mitigasi Bencana ............................................................ 216
17. Prosedur Perhitungan Consistency Ratio (CR) AHP prioritas
Pengembangan Bidang Kelautan Kota Padang ..................................... 217
18. Prosedur perhitungan Consistency Ratio (CR) AHP prioritas
Kebijakan Pengembangan Perikanan Berperspektif Mitigasi
Bencana .................................................................................................. 218
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau,
serta garis pantai terpanjang ke-empat di dunia yaitu 95.181 km (World Resources
Institute, 2001). Berdasarkan Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982,
Indonesia memiliki wilayah perairan pedalaman dan kepulauan seluas 2,3 juta
km2, laut territorial seluas 0,8 km
2 dan Zona Ekonomi Ekslusif seluas 2,7 juta
km2. Sebagai bagian dari potensi bidang kelautan, sektor perikanan memberikan
kontribusi yang penting bagi perekonomian Indonesia, yaitu penghasil protein,
tenaga kerja dan pendapatan (Kusumastanto and Jolly, 1997).
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia berada pada
pertemuan tiga lempeng utama dunia yakni lempeng Indo-Australia, Eurasia dan
Pasifik. Fakta ini membuat Indonesia sangat berpotensi dilanda gempa bumi dan
tsunami. Kondisi ini juga diperparah dengan posisi Indonesia yang berada di jalur
cincin api pasifik yang terkenal sebagai jalur rangkaian gunung api paling aktif di
dunia. Tidak kurang dari 240 buah gunung berapi berada di Indonesia dimana 70
diantaranya dikategorikan aktif (Budiman, 2010). Wilayah pesisir Sumatera
bagian barat merupakan daerah rawan gempa bumi yang mempunyai titik-titik
gempa berada di dasar laut. Kondisi ini dapat mengakibatkan patahan yang akan
menimbulkan gelombang yang sangat besar. Kota Padang termasuk dalam
kawasan yang rawan dilanda bencana gempa dan tsunami yang pada dasarnya
adalah kawasan pantai. Selain gempa dan tsunami masih terdapat potensi bencana
pesisir lain di wilayah ini, dimana secara langsung maupun tidak langsung dapat
mempengaruhi pengembangan sumberdaya perikanan.
Kota Padang terletak di kawasan pesisir pantai barat Sumatera yang
berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia, wilayah ini memiliki perairan
laut seluas 720 km² dengan panjang pantai 68,126 km. Potensi sektor perikanan
tangkap merupakan lapangan usaha yang mempunyai prospek sangat bagus untuk
dikembangkan, hal ini dapat dilihat dari jumlah produksi yang cenderung naik.
Perikanan tangkap pada tahun 2010 menghasilkan nilai sebesar Rp
251.201.500.000, atau sekitar 83 persen dari total nilai produksi perikanan Kota
2
Padang secara keseluruhan. Besarnya nilai produksi perikanan tangkap tidak
terlepas dari tingginya nilai kontribusi yang dihasilkan jenis ikan tuna.
Sumberdaya tuna merupakan komoditi unggulan perikanan Kota Padang, jenis
tuna yang didaratkan di Kota Padang adalah Tuna Mata Besar/Bigeye (Thunus
obesus) dan Tuna Sirip Kuning/Yellowfin (Thunus albacares). Spesies ini
merupakan produk ekspor Kota Padang tujuan Singapura, Jepang dan Amerika.
Menurut data Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kota Padang tahun 2010, tuna
merupakan komoditi perikanan tangkap yang memberikan nilai kontribusi
terbesar dibandingkan spesies lain, yakni sebesar Rp 70.063.200.000 atau sekitar
24 persen dari seluruh nilai produksi perikanan Kota Padang. Melihat kontribusi
yang dihasilkan, maka amatlah wajar pengembangan sumberdaya ini akan
memberikan keuntungan berganda bagi perekonomian daerah secara keseluruhan
sehingga perlu diatur kebijakan yang tepat untuk pengembangan sumberdaya ini.
Dalam rangka meningkatkan peran sektor kelautan dan perikanan pada
pembangunan nasional, maka pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan
Perikanan menggagas suatu visi dan arah kebijakan strategis yang bernama
“Revolusi Biru” yang berbasis pada wilayah dengan konsep minapolitan.
Kawasan minapolitan diartikan sebagai suatu bagian wilayah yang mempunyai
fungsi utama ekonomi yang terdiri dari sentra produksi, pengolahan, pemasaran
komoditas perikanan, pelayanan jasa, dan/atau kegiatan pendukung lainnya.
Sumatera Barat memiliki empat lokasi kawasan minapolitan yaitu Kota Padang
untuk perikanan tangkap, Pesisir Selatan sebagai basis budidaya laut, Darmasraya
untuk budidaya air tawar dan Maninjau sebagai kawasan minapolitan budidaya
perairan umum. Kota Padang sebagai sentra perikanan tangkap menempatkan PPS
Bungus sebagai kawasan inti minapolitan.
Kerusakan akibat bencana alam telah meningkat pesat selama beberapa
dekade terakhir (Millennium Ecosystem Assessment dalam Costanza dan Farley,
2007), sebagian besar kerusakan ini terkonsentrasi di pantai. Kajian terhadap
berbagai bencana alam di Indonesia telah mengemukakan kesimpulan bahwa
kemerosotan kualitas lingkungan dan ketidaksiapan pemerintah serta masyarakat
mengakibatkan kerugian yang sangat besar dan menghambat kegiatan ekonomi.
Kondisi Kota Padang dengan potensi sumberdaya perikanan tuna yang besar,
3
namun dihadapkan pada permasalahan lokasi yang rawan bencana serta kebijakan
pengelolaan perikanan yang diterapkan pemerintah dengan orientasi optimalisasi
produksi, membutuhkan sebuah arahan kebijakan yang efektif guna
mengembangkan sumberdaya perikanan tuna yang berkelanjutan dan
berperspektif mitigasi bencana.
1.2. Perumusan Masalah
Kota Padang merupakan wilayah dengan karakteristik perikanan yang
kompleks, pada satu sisi memiliki potensi perikanan laut yang potensial dan di sisi
lain dihadapkan pada kondisi daerah yang rawan bencana. Kondisi ini menuntut
suatu kebijakan yang diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan dalam hal
pengembangan sumberdaya perikanan khususnya tuna longline, baik oleh faktor
internal maupun eksternal. Potensi perikanan dapat mendorong program
pengelolaan dan pengembangan, sementara potensi bencana menuntut adanya
tindakan mitigasi. Aktivitas pengembangan dan mitigasi ini membutuhkan
investasi, sehingga diperlukan kebijakan yang komprehensif dengan
mempertimbangkan faktor pemerintah dan masyarakat (kelembagaan). Perumusan
masalah dalam kegiatan penelitian ini terkait dengan potensi perikanan, potensi
bencana alam dan upaya mitigasi, kelayakan investasi, kelembagaan serta
kebijakan, yaitu:
1) Bagaimana kondisi ekonomi makro sektor perikanan di Kota Padang?
2) Bagaimana potensi keberlanjutan dan bentuk pengelolaan sumberdaya
perikanan tuna di Kota Padang ditinjau dari aspek biologi dan ekonomi?
3) Potensi bencana apa saja yang terdapat di pesisir serta prioritas bentuk
mitigasi terkait pengembangan sumberdaya perikanan di Kota Padang?
4) Bagaimana pengembangan perikanan tuna dan kelayakan investasi
berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang?
5) Bagaimana bentuk kelembagaan dalam pengembangan perikanan
berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang?
6) Bagaimana rumusan arahan kebijakan pengembangan ekonomi perikanan
tuna berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang?
4
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pemaparan perumusan masalah
tersebut, yaitu:
1) Menganalisis kondisi ekonomi makro sektor perikanan di Kota Padang.
2) Menganalisis potensi keberlanjutan dan bentuk pengelolaan sumberdaya
perikanan tuna di Kota Padang ditinjau dari aspek biologi dan ekonomi.
3) Menganalisis potensi bencana serta prioritas bentuk mitigasi terhadap
pengembangan sumberdaya perikanan di Kota Padang.
4) Menganalisis pengembangan perikanan tuna dan kelayakan investasi
berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang.
5) Menganalisis bentuk kelembagaan terkait pengembangan sumberdaya
perikanan berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang.
6) Merumuskan arahan kebijakan pengembangan ekonomi perikanan tuna
berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi
Pemerintah Kota Padang beserta institusi terkait dalam merumuskan kebijakan
pengembangan sumberdaya perikanan di daerah tersebut. Selain itu, penelitian ini
juga diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan dalam
pengembangan sumberdaya perikanan dan penanggulangan bencana, sehingga
mampu memperkaya khasanah keilmuan serta pengembangan ekonomi
sumberdaya kelautan yang dapat mensejahterakan masyarakat.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mengkaji bentuk pengelolaan dan pengembangan
sumberdaya perikanan tuna yang ditangkap dengan tuna longline dan beroperasi
pada sebagian Perairan Samudera Hindia (WPP 572). Hasil tangkapan ikan tuna
tersebut sebagian besar didaratkan di Padang, Provinsi Sumatera Barat. Objek
yang diteliti adalah perikanan tuna (tuna sirip kuning dan mata besar) dengan alat
tangkap jenis tuna longline. Data yang digunakan merupakan data time series
tahun 2000-2010. Mitigasi bencana pada penelitian ini pada penyediaan prasarana
5
mitigasi darat dan laut serta sarana mitigasi bagi armada penangkapan. Penelitian
dilakukan dengan metode studi kasus dan menggunakan metode pengambilan
contoh purposive sampling. Beberapa alat analisis yang digunakan yaitu;
menganalisis kondisi ekonomi makro dengan analisis Shift Share, Location
Quotient dan Minimum Requirement Approach, menganalisis potensi sumberdaya
serta pengelolaan perikanan dengan metode analisis bioekonomi, menganalisis
potensi bencana serta prioritas bentuk mitigasi terhadap sumberdaya perikanan
dengan studi literatur, analisis deskriptif dan Metode Perbandingan Eksponensial,
menganalisis pengembangan perikanan dan kelayakan investasi berperspektif
mitigasi bencana dengan analisis NPV, B/C dan IRR, mengidentifikasi bentuk
kelembagaan dengan analisis stakeholder dan deskriptif, serta merumuskan
arahan kebijakaan dengan teknik AHP dan deskriptif.
6
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Basis Ekonomi dan Kontribusi Sektor
Teori basis ekonomi memiliki pandangan bahwa laju pertumbuhan
ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah
tersebut. Kegiatan ekonomi dikelompokkan atas kegiatan basis dan kegiatan non
basis. Hanya kegiatan basislah yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi
suatu wilayah (Tarigan, 2005). Teori basis ini mempunyai beberapa kelebihan
yaitu sederhana, mudah diterapkan, dapat menjelaskan struktur perekonomian
suatu daerah dan dapat memberikan peramalan jangka pendek pertumbuhan suatu
wilayah (Glasson, 1990).
Sjafrizal (2008) menyatakan bahwa sektor basis merupakan sektor yang
kegiatannya dapat mendatangkan pendapatan dari luar wilayah, sektor yang fungsi
permintaanya bersifat exogenous dan sektor yang dapat meningkatkan
pertumbuhan perekonomian wilayah serta menjadi tulang punggung
perekonomian daerah karena mempunyai keuntungan kompetitif (competitive
advantage) yang cukup tinggi. Sektor non basis menurut sjafrizal merupakan
sektor-sektor selain sektor basis yang kurang potensial, tetapi sektor ini berfungsi
sebagai penunjang sektor basis atau disebut juga service basis atau service
industries. Sektor non basis kegiatannya hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal
(daerah setempat) serta permintaannya dipengaruhi oleh pendapatan masyarakat
setempat.
Sektor basic terdiri dari usaha-usaha lokal yang aktivitasnya bergantung
pada faktor-faktor eksternal. Kehidupan usaha sektor ini banyak tergantung dari
usaha-usaha nonlokal. Perikanan misalnya dapat dikategorikan sebagai sektor
basic karena sebagian besar produk ini dikonsumsi di luar misalnya untuk
restoran, pabrik pengalengan dan berbagai industri lainnya yang berada di wilayah
lain. Sektor non basic di sisi lain, terdiri dari usaha-usaha yang secara keseluruhan
tergantung dari kondisi usaha lokal, misalnya usaha warung makan yang menjual
makanannya pada konsumen lokal sehingga produknya sebagian besar
dikonsumsi lokal (Fauzi, 2010).
7
Analisis shift share digunakan untuk menganalisis dan mengetahui
pergeseran dan peranan perekonomian di daerah. Metode itu dipakai untuk
mengamati struktur perekonomian dan pergeserannya dengan cara menekankan
pertumbuhan sektor di daerah, yang dibandingkan dengan sektor yang sama pada
tingkat daerah yang lebih tinggi atau nasional. Menurut Stevens dan Moore
(1980), Keunggulan analisis shift share antara lain; (1). Memberikan gambaran
mengenai perubahan struktur ekonomi yang terjadi. (2). Memungkinkan seorang
pemula mempelajari struktur perekonomian dengan cepat. (3). Memberikan
gambaran pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktur dengan cukup akurat.
Location Quotient (LQ) merupakan indeks yang membandingkan
sumbangan dalam persen aktivitas tertentu dengan sumbangannya dalam persen
beberapa agregasi dasar. Pada tahap awal LQ dapat sangat bermanfaat bagi
analisis ekspor dan impor regional. Location Quotient (LQ) dapat digunakan
untuk menentukan apakah suatu sektor ekonomi termasuk dalam sektor basis atau
sektor non basis di suatu daerah dalam periode tertentu. Sektor basis dikatakan
telah mampu berswasembada di wilayahnya dan dapat mengirim atau
menyumbangkan sebagian produksinya ke wilayah lain, sedangkan kebalikannya
termasuk dalam sektor non basis (Tarigan, 2005).
Pendekatan lain yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi
perikanan adalah melalui pendekatan Minimum Requirement Approach atau
MRA. Meskipun penggunaan MRA biasanya digunakan untuk menggambarkan
ekonomi wilayah secara keseluruhan, pendekatan ini dapat juga digunakan untuk
melihat potret spesifik sektor perikanan relatif terhadap sektor ekonomi lainnya
dalam suatu wilayah. Pendekatan ini pertama kali dikenalkan oleh Ullman dan
Dacey pada tahun 1960 yang kemudian masih banyak digunakan untuk melihat
keragaman ekonomi sektoral di suatu wilayah sampai saat ini. Minimum
Requirement Approach mengasumsikan bahwa suatu wilayah tidak akan
memenuhi permintaan dari luar sampai kebutuhan wilayahnya dipenuhi terlebih
dahulu. Minimum Requirement Approach membutuhkan pendugaan variable yang
dianalisis terlebih dahulu (produksi, tenaga kerja, atau yang lainnya) untuk
kebutuhan lokal (Fauzi, 2010).
8
2.2. Karakteristik Perikanan Laut
Pada pengelolaan sumberdaya perikanan khususnya perikanan tangkap,
terdapat hal yang paling kritis karena sumberdaya perikanan adalah barang publik
(public goods), yaitu rezim kepemilikan yang bersifat common property
(kepemilikan bersama) dan rezim akses yang bersifat open access (siapa saja
boleh memanfaatkan sumberdaya tersebut tanpa izin dari siapapun). Setiap orang
tidak dapat dibatasi dalam penggunaan manfaat yang diberikan barang publik dan
tidak ada persaingan dalam mengkonsumsinya, sehingga eksploitasi atau
pemanfaatan terus berjalan tanpa pemeliharaan (Zulbainarni, 2012). Pemanfaatan
sumberdaya ini bila tidak diatur dengan baik, maka akan cenderung ke arah
pemanfaatan yang berlebih dan akan menimbulkan dampak yang dapat
mengancam kelangsung usaha itu sendiri. Oleh sebab itu, perlu adanya
pengelolaan yang seksama agar produksi optimum dapat terjaga.
Perikanan tangkap di Indonesia berdasarkan lokasi pemanfaatannya,
diklasifikasikan dalam 3 kelompok, yaitu (1) perikanan lepas pantai (offshore
fisheries); (2) perikanan pantai (coastal fisheries) dan (3) perikanan darat (inland
fisheries). Kegiatan perikanan pantai dan perikanan darat sangat erat kaitannya
dengan pengelolaan lingkungan pesisir. Masalah utama yang dihadapi perikanan
tangkap pada umumnya adalah menurunnya hasil tangkap yang disebabkan oleh
eksploitasi berlebihan (overfishing) dan degradasi kualitas fisik, kimia dan biologi
lingkungan perairan (Dahuri et.al., 2001).
Komoditi unggulan perikanan tangkap berasal dari habitat tertentu, bisa
dari wilayah yang luas bisa juga merupakan wilayah yang sempit. Masing-masing
wilayah mempunyai karakteristik sendiri. Jenis ikan karang tentunya hidup di
perairan karang, ikan pelagis di perairan permukaan dan ikan demersal cenderung
hidup di dasar perairan. Beberapa jenis ikan ada yang beruaya sangat jauh,
khususnya ikan oseanis yang hidupnya lebih banyak di perairan samudera
(Diniah, 2008).
Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang cukup besar
baik dari segi kuantitas maupun keragamannya. Menurut Puslitbang Oseanologi
LIPI (2001) potensi lestari sumberdaya perikanan laut Indonesia adalah sebesar
6,41 juta ton per tahun yang terdiri dari ikan pelagis 4,77 juta ton, ikan demersal
9
1.37 juta ton, ikan karang konsumsi 145 ribu ton, udang penaeid 94.80 ribu ton,
lobster 4.80 ribu ton, dan cumi-cumi 28.25 ribu ton. Berdasarkan data dari
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP Tahun 2011, produksi perikanan laut
Indonesia tahun 2010 adalah sebesar 5.039.446 ton, bila dibandingkan dengan
potensi lestari yang ada ternyata tingkat pemanfaatannya masih di bawahnya yaitu
sebesar 78.62%. Perairan Laut Sumatera Barat merupakan bagian dari wilayah
Pengelolaan Samudera Hindia dimana potensi, produksi dan tingkat pemanfaatan
sumberdaya ikan berada di Samudera Hindia. Komoditas perikanan tangkap
unggulan Sumatera Barat adalah tuna.
2.3. Sumberdaya Perikanan Tuna
Sumberdaya tuna merupakan salah satu dari beberapa sumberdaya
potensial yang sudah terbukti besar sumbangannya bagi perekonomian perikanan
nasional. Produksi tuna di perairan Indonesia pada tahun 2010 adalah sebesar
911.065 ton yang terdiri dari Tunas, Skipjack tunas dan Eastern little tunas,
walaupun secara nasional pemanfaatannya tidak merata diseluruh perairan
Indonesia (KKP, 2011). Sumberdaya tuna menyebar di perairan Indonesia dari
barat hingga ke timur dan lebih banyak menyebar diperairan bebas. Oleh karena
itu, tidak banyak nelayan tradisional yang turut memanfaatkan sumberdaya ini.
Pemanfaatan sumberdaya tuna lebih banyak dilakukan oleh perusahaan skala
menengah ke atas, karena memerlukan investasi yang besar.
Ikan tuna termasuk dalam keluarga Scrombidae, memiliki ciri fisik yaitu;
tubuh seperti cerutu, mempunyai dua sirip punggung, sirip depan yang biasanya
pendek dan terpisah dari sirip belakang, mempunyai jari-jari sirip tambahan
(finlet) di belakang sirip punggung dan sirip dubur. Sirip dada terletak agak ke
atas, sirip perut kecil, sirip ekor berbentuk bulan sabit (Saanin 1984). Tuna
digunakan sebagai nama grup dari beberapa jenis ikan yang terdiri dari, tuna besar
(yellowfin tuna, bigeye, southern bluefin tuna, albacore) dan ikan mirip tuna
(tuna-like species), yaitu marlin, sailfish dan swordfish (KKP, 2005). Morfologi
tuna dapat dilihat pada Gambar 3 (tuna sirip kuning) dan Gambar 4 (tuna mata
besar).
10
Klasifikasi ikan tuna (Serdy 2004 dan FAO 2012) adalah sebagai berikut:
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Teleostei
Subkelas : Actinopterygi
Ordo : Perciformes
Subordo : Scombridae
Famili : Scombridae
Genus : Thunnus
Spesies : Albacore tuna (Thunnus alalunga)
Bluefin tuna (Thunnus thynnus)
Bigeye tuna (Thunnus obesus)
Skipjack tuna(Katsuwonus pelamis)
Yellowfin tuna (Thunnus albacares)
Blackfin tuna (Thunnus atlanticus)
Little tuna (Euthynnus alletteratus; Euthynnus affinis)
Southern bluefin tuna(Thunnus maccoyii)
Frigate mackerel (Auxis thazard; Auxis rochei)
Tuna merupakan jenis pelagic yang menyebar luas di seluruh perairan
tropis dan sub-tropis. Di Samudera Hindia dan Samudera Atantik, tuna menyebar
diantara 40° LU dan 40° LS (Collete dan Naven 1983 diacu dalam Julianingsih
2004). Tuna merupakan jenis ikan pelagis besar yang memiliki kekhasan sebagai
perenang cepat dan peruaya jauh. Bentuknya menyerupai cerutu dan memanjang.
Ikan tuna tergolong jenis ikan yang aktif dan umumnya menyebar di perairan
oceanik hingga perairan dekat pantai. Pada kawasan perairan Samudera Hindia
bagian barat Sumatera, jenis tuna besar yang ada hanya tiga jenis yaitu;
madidihang (Yellowfin tuna), tuna mata besar (Bigeye tuna) dan albakora
(Albacore), sementara tuna jenis sirip biru selatan, ekor panjang, sirip biru utara
dan sirip hitam tidak dijumpai (Uktolseja et al., 1998). Kota Padang merupakan
penghasil tuna jenis yellowfin (Gambar 3) dan bigeye (Gambar 4). Wilayah
penyebaran tuna ditampilkan pada Gambar 1 dan Gambar 2.
11
Gambar 1. Wilayah Penyebaran Tuna Mata Besar (Bigeye)
Sumber : Barto dalam FAO (2012)
Gambar 2. Wilayah Penyebaran Tuna Sirip Kuning (Yellowfin)
Sumber : Barto dalam FAO (2012)
Migrasi jenis ikan tuna di perairan Indonesia merupakan bagian dari jalur
migrasi tuna dunia karena wilayah Indonesia terletak pada lintasan perbatasan
perairan antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Migrasi kelompok tuna
yang melintasi wilayah perairan pantai dan teritorial terjadi karena perairan
tersebut berhubungan langsung dengan perairan kedua samudera. Kelompok tuna
merupakan jenis kelompok ikan pelagis besar, yang secara komersial dibagi
menjadi kelompok tuna besar dan tuna kecil. Tuna besar terdiri dari tuna mata
12
besar, madidihang, albakora, tuna sirip biru selatan, dan tuna abu-abu, sedangkan
yang termasuk tuna kecil adalah cakalang (KKP 2003).
Gambar 3. Tuna Sirip Kuning (Yellowfin)
Sumber : WWF Indonesia, 2011
Gambar 4. Tuna Mata Besar (Bigeye)
Sumber : WWF Indonesia, 2011
Pengembangan perikanan tuna (Thunnus sp) dapat mencakup seleksi
penggunaan teknologi. Seleksi teknologi menurut Haluan dan Nurani (1998) dapat
dilakukan melalui pengkajian aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi.
Teknologi yang dikembangkan ditinjau dari segi biologi tidak merusak atau
mengganggu kelestarian sumberdaya dan dapat digunakan secara efektif dari segi
teknis, dapat diterima masyarakat dari segi sosial serta secara ekonomi teknologi
tersebut bersifat menguntungkan.Aspek lain yang tidak dapat diabaikan adalah
kebijakan pemerintah. Pada penelitian ini teknologi pengembangan perikanan
tuna mencakup teknologi prasarana dan sarana perikanan tuna longline
berperspektif mitigasi bencana.
13
2.4. Tuna Longline
Ikan tuna di PPS Bungus Padang ditangkap menggunakan armada tuna
longline. Novita dalam Kosasih (2007) mengatakan bahwa konstruksi kapal ikan
harus sekuat mungkin, tetapi tubuhnya tidak terlalu berat, karena perlu olah gerak
selincah mungkin serta tahan terhadap gelombang. Seperti halnya setiap kapal
ikan, kapal tuna longline dibangun dengan konstruksi yang disesuaikan dengan
bentuk, cara penggunaan alat tangkap dan daerah penangkapannya. Tuna longline
menggunakan pancing dengan panjang dapat mencapai 15-75 km dan untaian
ribuan mata pancing yang umumnya dikhususkan untuk menangkap jenis bigeye
dan yellowfin.
Armada penangkapan merupakan salah satu faktor yang turut menentukan
jumlah dan hasil tangkapan, juga sebagai sarana untuk menunjang operasional
penangkapan ikan secara efesien dan efektif, yang bertujuan untuk mendapatkan
hasil tangkapan yang maksimal. Ketersediaan armada penangkapan dalam ukuran
tertentu akan sangat menentukan jumlah dan hasil tangkapan. Desain armada
tangkap tuna longline skala 30 GT ditampilkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Konstruksi Armada Tuna Longline
Sumber: LP Unpatti, 2012
Armada tangkap tuna longline secara khusus dirancang dan digunakan
untuk mengoperasikan pancing (longline) yang dilengkapi dengan satu atau
beberapa perlengkapan penangkapan ikan. Perlengkapan tuna longline berupa
penarik/penggulung tali (linehauler), pengatur tali, pelempar tali, bangku umpan,
ban berjalan, bak umpan hidup atau mati dan alat penyemprot air kapal. Armada
tangkap tuna longline selain untuk penangkapan juga sekaligus menampung,
menyimpan mendinginkan, dan mengangkutnya. (LP Unpatti, 2012).
14
2.5. Pengembangan Sumberdaya Perikanan
Tiga komponen sustainable fishery system menurut Charles (2001), yaitu
natural system, management system, dan human system. Natural system terdiri
dari sumberdaya ikan itu sendiri, ekosistem, dan lingkungan biofisik. Human
system adalah aspek yang menyangkut aktivitas manusia yang terdiri atas nelayan,
sektor pasca-panen dan konsumen, rumah tangga dan komunitas nelayan, serta
kondisi sosial ekonomi budaya dan lingkungan di masyarakat pesisir.
Management system merupakan sistem pengelolaan perikanan yang terdiri atas
perencanaan dan kebijakan perikanan, pembangunan dan pengelolaan perikanan
serta penelitian di bidang perikanan. Hubungan antara ketiga komponen dalam
keberlanjutan sistem perikanan dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Keterkaitan antar Sistem Perikanan (Charles, 2001)
15
Natural system merupakan faktor utama keberlanjutan (sustainability).
Sistem alam ini tidak akan terpengaruh tanpa adanya campur tangan manusia.
Oleh karenanya, peran manusia sangat penting dalam keberlanjutan. Interaksi
antara ketiga komponen akan menyebabkan keseimbangan yang baru pada
natural system. Pada daerah tropis, tekanan sumberdaya (natural system) lebih
besar karena jumlah masing-masing spesies yang sedikit.
Dalam rangka mencapai keseimbangan semua sistem, maka diperlukan
pengelolaan yang terpadu oleh segenap stakeholder. Sebagaimana yang
dikemukakan Aldon et al., (2011) bahwa sebuah kemitraan yang kuat dan
terorganisir antara masyarakat, nelayan dan pengambil kebijakan dengan saling
melengkapi satu sama lain akan mendukung faktor lingkungan (sumberdaya).
2.6. Potensi Bencana Alam di Wilayah Pesisir
Kerusakan akibat bencana alam telah meningkat pesat selama beberapa
dekade terakhir (Millennium Ecosystem Assessment dalam Costanza dan Farley.
2007). Sebagian besar kerusakan ini terkonsentrasi di pantai, tsunami di Asia dan
badai katrina hanya dua contoh terakhir. Akibatnya, pertumbuhan penduduk dan
peningkatan jumlah infrastruktur yang dibangun di wilayah pesisir rentan
terhadap kerusakan.
Berdasarkan UU Nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil, defenisi wilayah pesisir adalah daerah peralihan
antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan di
laut. Sedangkan defenisi perairan pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem
darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan di laut. Perairan
pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 mil
laut diukur dari garis pantai serta yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau,
estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau dan laguna.
Pesisir sebagai kawasan peralihan yang menghubungkan ekosistem darat
dan laut, selain kaya akan sumberdaya alam juga sangat rentan terhadap
perubahan akibat aktivitas manusia dan bencana alam (Dahuri et al. 2001).
Menurut Ruswandi (2009), terdapat enam elemen penyebab bencana alam di
daerah pesisir yaitu; angin kencang/puting-beliung, gempa bumi, tsunami,
16
gelombang badai pasang, banjir, dan gerakan tanah. Selanjutnya ada empat
elemen sebagai akibat bencana yaitu; abrasi, akresi, erosi dan intrusi air laut.
Elemen potensi bencana alam yang terdapat di wilayah pesisir tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Angin Kencang
Angin kencang terjadi akibat adanya perbedaan tekanan udara yang
sangat tinggi pada zona tertentu di atmosfer. Perbedaan tersebut menimbulkan
gerakan putaran angin yang kuat, disertai dengan hujan lebat dan menimbulkan
efek destruktif karena membawa energi yang besar. Berbeda dengan badai tropis,
angin kencang berlangsung singkat, dari hitungan detik hingga beberapa menit.
Dampak angin kencang pada wilayah pesisir sulit dikurangi sekalipun dengan
populasi mangrove yang padat,hal ini disebabkan arah datangnya angin tersebut
berasal dari atas (Fritz dan Blount, 2006).
b. Gelombang Laut
Gelombang badai pasang (storm tide) adalah gelombang tinggi yang
ditimbulkan karena efek terjadinya siklon tropis di sekitar wilayah Indonesia dan
berpotensi kuat menimbulkan bencana alam. Indonesia bukan daerah lintasan
siklon tropis tetapi keberadaan siklon tropis akan memberikan pengaruh kuat
terjadinya angin kencang, gelombang tinggi disertai hujan deras (BNPB, 2009).
Berdasarkan gaya pembangkitnya, gelombang laut (ocean wave) secara
garis besar dikelompokkan dalam tiga jenis (Macmillan, 1966; Mihardja dalam
Latief, 2008), yaitu:
Gelombang angin atau ombak (wind wave), gelombang ini dibangkitkan
oleh angin .
Gelombang pasang surut atau gelombang pasang (tidal wave) sering disebut
pasang surut (tide) disingkat pasut yang terlihat secara kasat mata sebagai
pasang naik (flood tide) dan pasang surut (ebb tide). Keadaan pasang surut
ini di laut sangat ditentukan oleh posisi bumi–bulan–matahari. Pada waktu
bulan purnama dimana posisi bumi–bulan–matahari dalam satu garis lurus,
maka muka laut saat pasang sangat tinggi dan sewaktu surut sangat rendah.
17
Bila posisi bumi–bulan–matahari membentuk sudut 90 derajat, maka muka
laut saat pasang tidak terlalu tinggi dan saat surut tidak terlalu rendah.
Gelombang badai (storm surge), yaitu gelombang yang timbul akibat angin
kuat atau badai (storm) yang menekan air laut ke arah garis pantai dengan
ketinggian kurang lebih empat meter mengakibatkan runtuhnya lereng gisik
(landfall). Badai tersebut terjadi akibat persentuhan uap yang ditimbulkan
oleh kenaikan suhu muka air laut dengan lapisan atmosfer yang dingin dan
basah, sehingga terjadi perpindahan energi dari laut ke atmosfer. Jika
gelombang badai terjadi pada saat pasang, maka kekuatan pasang dan
kekuatan badai menyatu dan menghasilkan gelombang badai yang lebih
dahsyat.
c. Tsunami
Tsunami adalah rangkaian gelombang laut dengan periode panjang yang
ditimbulkan oleh gangguan impulsif dari dasar laut (BNPB, 2009). Adapun
pembangkit gelombang panjang tsunami ini diantaranya adalah gempa bumi
dangkal (kedalaman epicentre kurang dari 40 km) yang berpusat di tengah
perairan dengan magnitude yang cukup besar, yaitu lebih dari 6,4 SR. Syarat
lainnya adalah gempa tektonik yang terjadi merupakan gempa vertikal yang
melibatkan pergeseran vertikal lempengan dengan luasan yang cukup besar.
Berdasarkan jarak bangkitnya, tsunami dibedakan atas tiga jenis yaitu tsunami
jarak pusat gempa ke lokasi sejauh 200 km yang terjadi kurang dari 30 menit,
tsunami jarak menengah sejauh 200-1000 km (terjadi 30 menit–2 jam setelah
gempa), dan tsunami jarak jauh lebih dari 1000 km yang terjadi lebih dari 2 jam
setelah gempa (Diposaptono dan Budiman, 2006).
Menurut Sonak, Pangam and Giriyan (2008), tsunami adalah fenomena
yang sangat tak terduga dan negara-negara yang terkena dampak di wilayah ini
sama sekali tidak siap untuk menghadapi peristiwa bencana semacam ini.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh tsunami berdampak sangat parah bagi manusia
dan alam. Oleh karena itu, mitigasi bencana menjadi solusi dalam mengurangi
dampak bencana yang terjadi.
18
d. Abrasi
Abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan
arus laut yang bersifat merusak. Kerusakan garis pantai akibat abrasi ini dipicu
oleh terganggunya keseimbangan alam daerah pantai tersebut. Walaupun abrasi
bisa disebabkan oleh gejala alami, namun manusia sering disebut sebagai
penyebab utama abrasi (BNPB, 2009).
e. Erosi
Erosi terdiri atas tiga jenis yaitu; erosi gisik (beach) yang dicirikan oleh
adanya tebing laut (sea cliff) yang terjal dan terdapatnya singkapan endapan
batuan, erosi tebing sungai yang terjadi akibat gerusan arus sungai pada tebing
sungai-sungai besar dan erosi permukaan yang terjadi akibat adanya aliran air
permukaan yang menggerusi material hasil pelapukan (Latief, 2008).
f. Longsor
Tanah longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau
bebatuan, ataupun pencampuran keduanya menuruni atau keluar lereng akibat
terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng (BNPB, 2009).
Apabila beban di atas lapisan keras melebihi daya dukung yang diijinkan, maka
kemungkinan besar akan terjadi longsor/keruntuhan (land slide) atau amblesan/
perosokan (settlement/land subsidence).
g. Gempa Bumi
Menurut BNPB (2009), gempa bumi adalah peristiwa pelepasan energi
yang diakibatkan oleh pergeseran/pergerakan pada bagian dalam bumi (kerak
bumi) secara tiba-tiba. Tipe gempa yang umum ada dua, yaitu gempa tektonik dan
gempa vulkanik. Dampak dari gempa bumi pada banyak kasus menimbulkan
kerugian harta benda bahkan korban jiwa.
h. Banjir
Banjir merupakan limpasan air yang melebihi tinggi muka air normal,
sehingga melimpas dari palung sungai yang menyebabkan adanya genangan pada
lahan rendah di sisi sungai. Pada umumnya banjir terjadi akibat curah hujan yang
tinggi di atas normal sehingga sistem pengaliran air yang terdiri dari sungai dan
19
anak sungai alamiah serta sistem drainase dangkal penampung banjir buatan yang
ada tidak mampu akumulasi air hujan tersebut sehingga akibatnya meluap (BNPB,
2009).
i. Akresi
Akresi muncul akibat adanya pendangkalan di muara sungai yang
disebabkan oleh tingginya kandungan material tersedimentasi yang berasal dari
hasil erosi akibat aktivitas`manusia di bagian hulu. Oleh karena itu, kecepatan
timbulnya akresi dapat diperlambat dengan aktivitas penghijauan di areal
tangkapan air dan sekitar bendungan (Ruswandi 2009).
j. Intrusi Air Laut
Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan
muka air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air
tanah secara berlebihan untuk berbagai keperluan pemukiman dan industri.
Pengambilan air tanah yang tidak seimbang dengan pemasukan air dari
permukaan mengakibatkan air laut yang lebih berat masa jenisnya langsung
masuk ke akuifer (tempat penampungan air di dalam tanah) hingga mengendap
(Ruswandi 2009).
2.7. Mitigasi Bencana Alam
Berdasarkan UU Nomor 24 tahun 2007, mitigasi adalah serangkaian upaya
untuk mengurangi risiko, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran
atau peningkatan kemampuan menghadapi ancaman. Bencana adalah rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam maupun faktor non alam sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda, dan dampak psikologis. Regulasi terkait penanggulangan bencana alam di
Indonesia terdapat pada pasal 1 ayat 5 UU Nomor 24 tahun 2007 tentang
penanggulangan bencana. Undang-undang ini menyatakan bahwa
penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang
meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana,
kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Mitigasi bencana
20
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 47 UU Nomor 24 tahun 2007 dilakukan
untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan
yang rawan bencana.
Forum Mitigasi (2007) membedakan mitigasi bencana atas dua macam
yaitu mitigasi pasif (non struktural) dan mitigasi aktif (struktural), kategori
mitigasi ini antara lain :
Mitigasi Pasif (Non Struktural)
- Penyusunan peraturan perundang-undangan.
- Pembuatan pedoman/standar/prosedur.
- Penyesuaian rencana tata ruang berdasarkan peta risiko bencana serta
pemetaan masalah.
- Pembuatan brosur/poster.
- Pembuatan rencana alternatif tindakan kedaruratan (contigency plan).
- Penelitian/pengkajian karakteristik bencana/analisis risiko bencana
- Internalisasi Penanggulangan Bencana (PB) dalam muatan lokal
pendidikan.
- Pembentukan satuan tugas bencana/perkuatan unit-unit sosial
masyarakat.
- Pengutamaan PB dalam pembangunan dan sosialisasi.
Mitigasi Aktif (Struktural)
- Pembuatan dan penempatan tanda peringatan, bahaya, larangan
memasuki daerah rawan bencana atau tanda peringatannya.
- Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan ke daerah aman.
- Pembangunan penampungan sementara, daerah jalur evakuasi.
- Pembuatan bangunan struktur seperti: pengaman lereng (slope
protection/seawalls), pemecah ombak (breakwater/detached
breakwater), krib tegak lurus penahan gerakan sedimentasi sejajar gisik
(groyne), dan pengaman gisik (beach protective).
Menurut Diposaptono dan Budiman (2006), upaya mitigasi bencana secara
garis besar dapat dilakukan dengan dua cara yaitu upaya struktur/fisik (hard/soft
solution) yang sering disebut hardware dan upaya non struktur/non fisik yang
disebut juga dengan software.
21
Upaya mitigasi struktur dilakukan dalam mitigasi bencana melalui dua
metode, yaitu metode perlindungan alami revegetasi/remangrovisasi, sand-
dune, pengisian gisik (beach nourishment) dan lainnya, serta metode
perlindungan buatan seperti peredam abrasi (bank revetment), pemecah
ombak (breakwater), pengaman lereng (slope protection/seawall), dan lain-
lain.
Upaya non struktur yang dapat dilakukan dalam mitigasi bencana seperti
pembuatan peta rawan bencana, pembuatan peraturan perundangan terkait,
norma standar prosedur manual (NSPM) dan sosialisasi yang intensif
kepada masyarakat dan aparat terkait dalam upaya pengurangan risiko
bencana (mitigasi bencana) seperti pelatihan penyelamatan diri.
Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana
pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka,
sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan
harta, dan gangguan kegiatan masyarakat (Carter, 1991). Dengan demikian
pengurangan risiko bencana alam adalah suatu upaya untuk menekan kerugian
masyarakat yang diakibatkan oleh peristiwa bencana alam (BNPB, 2009). Jika
upaya ini ditingkatkan menjadi suatu kebijakan maka upaya tersebut ditujukkan
untuk mengamankan seluruh aset pemerintah termasuk seluruh hasil
pembangunan yang selama ini telah dilaksanakan agar tidak rusak, sehingga
hasil pembangunan akan tetap dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas.
Mengurangi jumlah bencana adalah suatu hal yang tidak akan mungkin
terjadi, tetapi mengurangi risiko bencana yang terjadi merupakan suatu keharusan.
Langkah penting yang harus segera diambil adalah melakukan modernisasi
jaringan dan integrasi sistem pengamatan. Lembaga Pengetahuan dan Teknologi
Nasional Amerika Serikat-Bidang Pengurangan Risiko Bencana dalam laporan
bulan Juni 2005, menyebutkan tantangan utama dalam pengurangan risiko
bencana adalah identifikasi tiga tema menuju suatu masyarakat pegas bencana
(three themes in moving towards a disaster resilient society) yaitu:
Menyediakan informasi bahaya/bencana dimana dan kapan hal ini diperlukan.
Memahami proses alamiah gejala/tanda bahaya.
22
Membangun strategi dan teknologi mitigasi bencana gempa bumi, banjir
pesisir dalam kaitan dengan tsunami, badai hurikane, gunung api, longsor dan
amblesan.
2.8. Kelayakan Investasi
Studi kelayakan investasi menurut Husnan dan Suwarsono (1997) adalah
penelitian tentang dapat tidaknya usaha investasi dapat dilaksanakan dengan
berhasil. Sebuah studi kelayakan dilaksanakan untuk menjawab pertanyaan
mengenai peluang usaha cukup ekonomis dan menjanjikan keuntungan yang
layak apabila dilaksanakan. Semakin sederhana usaha yang akan dilaksanakan,
maka semakin sederhana pula lingkup penelitian yang akan dilakukan. Pada
tahapan studi kelayakan perlu diperhatikan ruang lingkup kegiatan usaha, cara
kegiatan usaha dilakukan, evaluasi terhadap aspek-aspek yang menentukan
berhasilnya seluruh usaha, sarana yang diperlukan serta hasil kegiatan usaha
tersebut.
Jika dipandang dari sudut perusahaan saja, minimal ada tiga penyebab
mengapa kegiatan studi kelayakan investasi yang dilaksanakan menjadi faktor
pertimbangan yang cukup penting dalam pengambilan keputusan (Anggoro,
2004), yaitu:
Investasi umumnya menyangkut pengeluaran modal yang besar.
Pengeluaran modal mempunyai konsekuensi jangka panjang. Salah satu
contoh yang mudah dilihat adalah apabila sebagian besar modal investasi
didapatkan dari pinjaman bank konvensional, maka pihak pengusaha harus
tetap mengembalikan modal yang dipinjam berikut bunganya baik itu
investasi sukses maupun tidak.
Komitmen pengeluaran modal adalah keputusan yang sulit untuk diubah,
karena jika dipertengahan dirasa usaha tidak akan berjalan lancar maka
modal yang telah ditanamkan sulit ditarik kembali.
Studi kelayakan investasi tujuannya adalah agar modal yang ditanamkan
dapat dimanfaatkan dan menghindari penanaman modal yang terlalu besar untuk
bagian yang ternyata tidak menguntungkan. Studi kelayakan proyek memerlukan
biaya, tetapi biaya yang dibutuhkan relatif lebih kecil apabila dibandingkan
23
dengan risiko kegagalan suatu proyek yang menyangkut investasi dalam jumlah
yang besar (Anggoro, 2004).
Tahapan dalam melakukan proyek investasi umumnya adalah identifikasi
untuk memperkirakan kesempatan dan ancaman dari usaha tersebut, perumusan
untuk menerjemahkan kesempatan investasi kedalam suatu rencana proyek yang
konkret, penilaian untuk menganalisis dan menilai aspek pasar, teknik, keuangan
dan perekonomian, pemilihan untuk mengingat segala keterbatasan dan tujuan
yang akan dicapai serta tahap implementasi yaitu menyelesaikan proyek tersebut
dengan tetap berpegang pada anggaran. Langkah awal sebelum melakukan studi
kelayakan, terlebih dahulu harus ditentukan aspek -aspek yang akan dipelajari
yaitu aspek pasar, aspek teknis, aspek hukum, aspek manajerial, aspek ekonomi,
sosial, dan lingkungan, serta aspek finansial (Kadariah et al., 1999).
2.9. Kelembagaan dan Partisipasi Masyarakat
Kelembagaan adalah suatu aturan yang dikenal atau diikuti secara baik
oleh anggota masyarakat yang memberi naungan (liberty) dan meminimalkan
hambatan (constraints) bagi individu atau anggota masyarakat. Kelembagaan
kadang ditulis secara formal dan ditegakkan oleh aparat pemerintah, tetapi
kelembagaan juga tidak ditulis secara formal seperti aturan adat dan norma yang
dianut masyarakat. Kelembagaan itu umumnya dapat diprediksi dan cukup stabil
serta dapat diaplikasikan pada situasi berulang (Wiratno dan Tarigan, 2002).
Kelembagaan dapat diartikan sebagai aturan yang dianut oleh masyarakat
atau organisasi yang dijadikan panutan oleh anggota masyarakat atau anggota
organisasi dalam mengadakan transaksi satu dengan yang lainnya. Hal ini sejalan
dengan Tjondronegoro (1999) yang mengatakan bahwa kelembagaan adalah suatu
tata aturan yang dibentuk oleh masyarakat sehingga memiliki ciri tradisional dan
non formal.
Menurut Jentoft (2004) kelembagaan memiliki peran yang penting bagi
sektor perikanan, baik bagi sumberdaya ikan itu sendiri ataupun untuk
kelangsungan hidup nelayan. Perikanan, seperti praktek sosial-ekonomi, tidak bisa
ada tanpa mereka, pengguna (user) tidak akan tahu bagaimana harus bersikap.
Kelembagaan memungkinkan orang di industri untuk melakukan apapun tugas
24
mereka, baik itu pengolahan ikan, pemasaran ataupun konsumsi. Kelembagaan
juga sangat diperlukan ketika mengorganisir, mengkomunikasikan, mewakili,
negosiasi, pengelolaan, pengaturan ataupun dalam melakukan suatu penelitian.
Menurut Nikijuluw (2002) ada beberapa hal yang menyebabkan
pentingnya pelibatan masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan
pengelolaan perikanan tangkap, yaitu: (1) langkah awal mempersiapkan
masyarakat untuk menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat
setempat terhadap program pengelolaan perikanan tangkap yang dilaksanakan, (2)
sebagai alat untuk memperoleh informasi mengenai kebutuhan, kondisi dan sikap
masyarakat setempat, dan (3) masyarakat mempunyai hak urun rembuk dalam
menentukan program pengelolaan lingkungan yang akan dilaksanakan di wilayah
mereka.
2.10. Analisis Kebijakan
Analisis kebijakan adalah setiap jenis analisa yang menghasilkan dan
menyajikan informasi sehingga dapat menjadi dasar bagi para pengambil
kebijakan dalam menguji pendapat mereka. Kata “analisa” digunakan dalam
pengertian yang paling umum yang secara tidak langsung menunjukkan
penggunaan intuisi dan pertimbangan yang mencakup tidak hanya pengujian
kebijakan, tetapi juga merencanakan dan mencari sintesa atas alternatif-alternatif
baru. Aktivitas ini meliputi sejak awal penelitian untuk memberi wawasan
terhadap masalah atau issue yang mendahului atau mengevaluasi program yang
sudah selesai (Quandun dalam Dunn, 2003).
Dunn (2003) mengungkapkan bahwa analisis kebijakan merupakan sebuah
disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan
argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang ada
hubungannya, sehingga dapat dimanfaatkan ditingkat politik dalam rangka
memecahkan permasalahan kebijakan yang ada. Ruang lingkup dan metode-
metode analisis sebagian bersifat deskriptif, dan informasi/fakta mengenai sebab
akibat kebijakan sangat penting untuk memahami masalah-masalah kebijakan.
Menurut Parsons (1994), analisis kebijakan terdiri dari rangkaian aktivitas
pada spektrum ilmu pengetahuan dalam (in) proses kebijakan, pengetahuan untuk
25
(for) proses kebijakan, dan pengetahuan tentang (about) proses kebijakan. Secara
kontinum, proses pengambilan keputusan dalam sebuah kebijakan terdiri atas tiga
variasi yaitu analisis kebijakan, monitoring dan evaluasi kebijakan, serta analisis
untuk kebijakan. Analisis kebijakan mencakup determinasi kebijakan yaitu
analisis yang berkaitan dengan cara pembuatan kebijakan, mengapa, kapan, dan
untuk siapa kebijakan dibuat dan isi kebijakan yang merupakan deskripsi tentang
kebijakan tertentu dan hubungannya dengan kebijakan sebelumnya. Monitoring
dan evaluasi kebijakan berfokus pada pengkajian kinerja kebijakan dengan
mempertimbangkan tujuan kebijakan dan apa dampak kebijakan terhadap suatu
persoalan tertentu. Analisis untuk kebijakan mencakup informasi untuk kebijakan
dan advokasi terhadap kebijakan.
Setiap model kebijakan yang ada tidak dapat diterapkan untuk semua
perumusan kebijakan, sebab masing-masing model memfokuskan perhatiannya
pada aspek yang berbeda. Menurut Jay Forrester dalam Dunn (2003), bahwa
persoalannya tidak terletak pada menggunakan atau membuang model, akan tetapi
yang menjadi persoalan adalah pada pemilihan diantara berbagai alternatif yang
ada. Oleh karena itu, perlu dikaji terlebih dahulu setiap alternatif yang akan
menjadi prioritas dalam pengembilan kebijakan.
Dalam rangka merumuskan kebijakan pengelolaan dan pengembangan
perikanan di wilayah pesisir dan lautan secara optimal dan berkelanjutan, maka
diperlukan arahan dan kebijakan secara terpadu. Hal ini disebabkan tingginya
keterkaitan antar sektor yang ada di wilayah pesisir tersebut. Oleh karena itu,
dalam sebuah kebijakan pembangunan kelautan, harus memperhatikan empat
aspek utama yaitu: (1) aspek teknis dan ekologis, (2) aspek sosial ekonomi-
budaya, (3) aspek politis dan (4) aspek hukum dan kelembagaan (Indrawani,
2000).
2.11. Kebijakan Kelautan dan Perikanan
Dalam rangka merumuskan suatu kebijakan sebagai payung bagi
pembangunan kelautan, maka kebijakan tersebut tidak boleh berdiri sendiri
melainkan merupakan paket kebijakan yang komponen-komponennya saling
melengkapi dan menunjang. Todaro (1997) menyatakan bahwa suatu kebijakan
26
yang sifatnya komplementer, terpadu dan saling mendukung harus mencakup tiga
unsur fundamental, yaitu; Pertama, adanya satu atau serangkaian kebijakan yang
dirancang secara khusus guna mengoreksi berbagai macam distorsi atau gangguan
atas harga-harga relatif dari masing-masing faktor produksi demi lebih
terjaminnya harga-harga pasar. Kedua, adanya satu atau serangkaian kebijakan
yang dirancang secara khusus untuk melaksanakan perubahan struktural terhadap
distribusi pendapatan, distribusi aset, kekuasaan, dan kesempatan memperoleh
pendidikan serta penghasilan (pekerjaan) yang lebih merata. Ketiga, adanya satu
atau serangkaian kebijakan yang dirancang secara khusus untuk memodifikasi
ukuran distribusi pendapatan kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi melalui
pajak progresif.
Menurut Kusumastanto (2003), agar bidang kelautan menjadi sektor
unggulan dalam perekonomian nasional, diperlukan kebijakan pembangunan yang
bersifat terintergrasi antar institusi pemerintah dan sektor pembangunan. Dalam
rangka mengarahkan pembangunan tersebut, maka diperlukan sebuah kebijakan
pembangunan kelautan (ocean development policy) sebagai bagian dari ocean
policy yang nantinya menjadi “payung” dalam mengambil sebuah kebijakan yang
bersifat publik. Penciptaan kebijakan ini dibangun oleh sebuah pendekatan
kelembagaan (institutional arrangement) yang lingkupnya mencakup dua
lembaga dalam suatu sistem pemerintahan, yakni eksekutif dan legislatif.
Kebijakan kelautan dan perikanan pada akhirnya menjadi kebijakan ekonomi
politik yang nantinya menjadi tanggung-jawab bersama.
Kebijakan pemerintah membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan
(DKP) yang sekarang mengalami perubahan nomenklatur menjadi kementerian
melalui Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009, merupakan suatu keputusan
ekonomi politik dari perubahan mendasar di tingkat kebijakan nasional.
Keputusan politik ini diharapkan tidak hanya sampai pada pembentukan
kementerian saja, melainkan harus ada sebuah visi bersama pada semua level
institusi negara dalam menjadikan bidang kelautan sebagai mainstream
pembangunan bangsa (Kusumastanto, 2003).
Otonomi daerah sebagaimana diisyaratkan dalam Undang-Undang Nomor
32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang mengatur tentang kewenangan
27
mengatur daerah dengan batasan pengelolaan wilayah laut provinsi dalam batasan
12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah
perairan kepulauan, pemerintah kabupaten/kota mengelola sepertiganya atau 4 mil
laut. Sementara UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, pada prinsipnya pembagian alokasi pendapatan
antara pemerintah pusat dan daerah berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam
termasuk sumberdaya laut dan pesisir.
Daerah yang memiliki potensi sumberdaya yang besar terutama pesisir dan
kelautan seharusnya memiliki kesempatan dalam memanfaatkan seoptimal
mungkin potensi tersebut untuk pembangunan. Permasalahan utama yang
dihadapi jika kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi pada pertumbuhan
ekonomi adalah akan berdampak pada timbulnya efek negatif terhadap kondisi
ekologi maupun ekonomi yang berakibat pada gejolak sosial. Kebijakan kelautan
(ocean policy) adalah kebijakan yang dibuat oleh policy makers dalam
mendayagunakan sumberdaya kelautan secara bijaksana untuk kepentingan publik
dalam rangka meningkatkan kesejateraan masyarakat (social welfare)
(Kusumastanto 2003). Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat dalam pemanfaatan
sumberdaya kelautan dan perikanan harus mempertimbangkan berbagai aspek
antara lain aspek ekologi, sosial dan ekonomi, sehingga dapat bermanfaat secara
optimal. Pemanfaatan sumberdaya yang optimal disatu sisi dapat menyokong
pembangunan ekonomi dan di sisi lain bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan
(sustainaibility) sehingga akan mencapai kesejateraan.
Keterkaitan proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian
sumberdaya pesisir yang mengintegrasikan berbagai kegiatan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, membutuhkan suatu model pengembangan wilayah
pesisir yang sibernitik sebab bertindak berdasarkan analisis tajam untuk mencapai
tujuan, holistik karena konteks ini melibatkan semua pihak yaitu pemerintah,
dunia usaha dan masyarakat serta stakeholder dengan mempertimbangkan potensi
yang dimiliki untuk pengembangan pesisir dan potensi bencana yang dapat terjadi
(Ruswandi, 2009).
28
Ecological
Sustainability
2.12. Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan
gagasan ataupun konsep pembangunan yang sudah sejak lama dicanangkan baik
oleh sekelompok masyarakat tertentu, negara, maupun oleh Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB). Pembangunan berkelanjutan juga didefinisikan sebagai upaya
sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup termasuk sumberdaya ke
dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan
mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan (UU Nomor 23, tahun
1997). Melalui definisi tersebut, dapat dipahami bahwa konsep pembangunan
berkelanjutan didirikan atau didukung oleh tiga pilar atau tiga dimensi
keberlanjutan (Triple-P), yaitu keberlanjutan usaha ekonomi (profit),
keberlanjutan kehidupan sosial manusia (people), dan keberlanjutan ekologi alam
(planet). Ketiga pendekatan tersebut bukanlah pendekatan yang berdiri sendiri,
tetapi saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain sehingga ketiganya harus
diperhatikan secara seimbang (Munasinghe, 1993). Segitiga pembangunan
berkelanjutan ditampilkan pada Gambar 7.
Gambar 7. Segitiga Pembangunan Berkelanjutan (Charles, 2001)
Gambar 7 menunjukkan segitiga pembangunan yang membentuk dasar
kerangka kerja untuk evaluasi keberlanjutan berdasarkan pada tiga komponen
penting yaitu ekologi, keberlanjutan sosial ekonomi dan sosial/masyarakat.
Socioeconomic
Sustainability
Community
Sustainability
Institutional
Sustainability
29
Komponen keempat yaitu keberlanjutan kelembagaan berinteraksi dengan dan
mendasari kegiatan dari tiga komponen lainnya (Charles, 2001).
Semakin terkonsentrasinya sebagian besar kegiatan masyarakat di pesisir,
hilangnya hutan mangrove, hancurnya terumbu karang, meningkatnya
penambangan pasir pantai dan semakin banyaknya industri membuang limbahnya
ke wilayah pesisir, maka sudah sewajarnyalah jika pengembangan wilayah pesisir
memperhatikan konsep pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan (Salim, 1980). Konsep ini sebagaimana juga dijelaskan dalam UU
Nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup.
Pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (PBBL)
adalah konsep untuk mengelola pengembangan wilayah pesisir agar lebih tertata
dan tidak bertambah kacau dan membahayakan generasi mendatang (Sugandhy
dan Hakim, 2007). Konsep ini diperlukan untuk menjaga agar ambang batas tetap
pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada di
dalamnya. Ambang batas ini tidak bersifat mutlak karena tergantung kepada
kondisi teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam,
serta kemampuan biosfer untuk menerima dampak kegiatan manusia (Peng et al.
2006). Sementara itu, Pengembangan Wilayah Pesisir (PWP) adalah pendekatan
pengelolaan wilayah dengan ekosistem pesisir yang sangat kompleks, dinamis dan
memiliki kerentanan tinggi, karena memiliki kekayaan sumberdaya alam yang
multiple use dan berpotensi menimbulkan konflik serta masih berlakunya
penguasaan ruang terbuka oleh kelompok tertentu.
Pendekatan Mata Pencaharian Berkelanjutan (PMB) atau the sustainable
livelihood approach (SLA) sebagai suatu integrasi kerangka kerja konseptual
dengan prinsip operasional untuk menyiapkan pedoman formulasi kebijakan dan
praktek pembangunan, sudah banyak diterapkan dalam penelitian pengembangan
wilayah pesisir dan kehidupan nelayan. Program yang sudah dilaksanakan di 25
negara pesisir Benua Afrika bagian barat telah berhasil menyusun kebijakan
inisiatif pengurangan kemiskinan (poverty reduction iniative policy), dan
mengidentifikasi bahwa kemiskinan secara tidak langsung menjadi pemicu
terjadinya eksploitasi sumberdaya ikan yang berlebihan (over-exploited fish
resources).
30
2.13. Keterkaitan Pengembangan Sumberdaya Perikanan, Pembangunan
Berkelanjutan dan Mitigasi Bencana
Manajemen bencana adalah upaya penanganan bencana sejak dari
kedaruratan, pemulihan, pembangunan, pencegahan, mitigasi dan kesiap-siagaan
(Carter, 1991). Mitigasi bencana dalam pengembangan perikanan adalah upaya
pengurangan risiko bencana yang berpotensi terjadi di wilayah pesisir terhadap
pengelolaan dan pengembangan sumberdaya perikanan. Pemanfaatan sumberdaya
yang terkendali adalah untuk memastikan bahwa ambang batas tidak terlampaui
sehingga keberlanjutannya terjamin. Oleh karena itu laju pemanfaatannya tidak
lagi hanya mengutamakan kepentingan ekonomi (profit) saja, tetapi juga harus
memperhatikan kepentingan sosial (people) dan ekologi (planet) sehingga terjadi
keseimbangan, karena mata pencaharian berkelanjutan akan mempengaruhi
kualitas lingkungan.
Kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan dan
berperspektif mitigasi bencana adalah kegiatan penelitian yang sedang dilakukan
dan berpedoman pada ketiga aspek tersebut, yakni pengembangan sumberdaya
perikanan, aspek keberlanjutan dan mitigasi bencana. Kajian ini diharapkan dapat
menemukan arahan kebijakan yang sesuai dengan permasalahan perikanan di
pesisir saat ini, sehingga dapat diterapkan di pesisir Indonesia yang wilayahnya
merupakan rawan bencana. Selain itu dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya perikanan diperlukan pendekatan berbasis ekosistem dimana konsep
ini sangat penting dalam kegiatan eksploitasi spesies dan keberlanjutan jangka
panjang (Haputhantri, Villanueva and Moreau, 2008).
2.14. Studi Terdahulu
Beberapa studi penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini
adalah sebagai berikut: Muzakkir (2008) dalam tulisan ilmiahnya yang berjudul
“Kajian Ekonomi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Tangkap di Kabupaten
Agam Provinsi Sumatera Barat”, menjelaskan bahwa rekmendasi kebijakan yang
tepat agar tercapainya tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap yang
optimal dan berkelanjutan serta mampu memberi nilai manfaat terhadap
kesejahteraan nelayan adalah dengan membuat kebijakan tingkat upaya (effort)
31
penangkapan ikan pada level optimal. Bentuk kebijakan yang dapat diambil
antaranya adalah; (a) menunda penerbitan izin baru penambahan armada tangkap
kecuali payang masih dapat ditambah untuk 2 unit lagi, (b) mendorong investasi
pada industri perikanan tangkap skala menengah ke atas untuk beroperasi di zona
lepas pantai dan ZEEI. Selain itu pemerintah (policy maker) juga membuat
kebijakan pengelolaan perikanan tangkap terutama dalam hal zonasi pemanfaatan
dan alokasi optimum pemanfaatan sumberdaya perikanan bagan, payang dan
tonda di Perairan Tanjung Mutiara.
Luthfi (2005) dalam tulisan ilmiahnya yang berjudul “Strategi
pengembangan perikanan tuna (Thunnus sp) yang berbasis di Kota Padang:
implikasi pembangunan Bandar Udara Internasional Minangkabau” menjelaskan
bahwa PPS Bungus dan Bandar Udara Internasional Minangkabau sudah siap
untuk mendukung pengembangan tuna ekspor yang berbasis di Kota Padang. Hal
ini diindikasikan dengan telah tersedianya fasilitas yang lengkap di PPS Bungus
serta telah tersedianya gedung untuk proses pengolahan dan pengepakan tuna
ekspor. Kesiapan Bandar Udara Internasional Minangkabau dalam mendukung
pengembangan tuna ekspor adalah dapat melayani penerbangan langsung ke
negara tujuan ekspor dengan pesawat terbang berbadan lebar dan pesawat khusus
kargo serta tersedianya fasilitas cold storage di terminal kargo dengan kapasitas
300 ton. Dalam rangka merumuskan strategi pengembangan tuna (Thunnus sp)
ekspor yang berbasis di Kota Padang sebagai aset daerah yang dapat dijadikan
sektor pertumbuhan ekonomi baru dan andalan untuk peningkatan perekonomian
masyarakat di Kota Padang dilakukan analisis SWOT. Analisis SWOT
menghasilkan lima prioritas utama strategi pengembangan perikanan tuna ekspor
yang berbasis di Kota Padang sebagai berikut; 1) peningkatan produksi hasil
tangkapan tuna di kawasan perairan Sumatera Barat; 2) meningkatkan teknologi
penangkapan tuna dengan modernisasi alat tangkap; 3) peningkatan kualitas SDM
nelayan; 4) kebijakan pemerintah dalam bidang perikanan, pengawasan dan
kemudahan pemasaran untuk ekspor; 5) perluasan pangsa pasar ekspor tuna.
Ruswandi (2009) dalam disertasinya yang berjudul „Model Kebijakan
Pengembangan Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan dan Berperspektif Mitigasi
Bencana Alam‟ mengemukakan bahwa kebijakan pemanfaatan sumberdaya alam
32
minyak dan gas bumi sebagai national competence dapat meningkatkan kegiatan
perikanan sebagai local competence dengan mengarahkan nelayan kepada akses
pasar dan permodalan, kegiatan pariwisata dapat meningkatkan permintaan
terhadap hasil perikanan (derive demand). Selain itu kebijakan pengembangan
yang akan diterapkan untuk wilayah pesisir Indramayu dan Ciamis, hendaknya
mempertimbangkan laju kemerosotan kualitas lingkungan yang telah terjadi.
Ruswandi juga menyatakan Kebijakan pengembangan wilayah pesisir hendaknya
sudah memperhitungkan anggaran yang proporsional untuk mewujudkan
pembangunan sistem perlindungan pesisir terpadu. Upaya yang dilakukan lebih
bersifat pro-aktif yang menekankan pada upaya pencegahan dan kesiapsiagaan.
33
II. KERANGKA PEMIKIRAN
Perikanan sebagai sektor yang berbasis sumberdaya, pemanfaatan dan
pengembangannya tidak terlepas dari berbagai permasalahan. Kota Padang
dengan potensi yang dimiliki khususnya sumberdaya perikanan tuna, serta
ditetapkannya sebagai kawasan inti minapolitan memiliki permasalahan dalam
pengelolaan dan pengembangan sumberdaya perikanan karena posisinya yang
termasuk daerah rawan bencana. Tahapan awal dalam penelitian ini adalah
melakukan identifikasi potensi dan pengelolaan sumberdaya perikanan di pesisir
Kota Padang. Identifikasi ini dilakukan untuk menggambarkan karakteristik
sumberdaya perikanan. Karakteristik sumberdaya yang digambarkan mencakup
tiga sistem yaitu sistem sumberdaya itu sendiri (natural system), sistem manusia
(human system) dan sistem pengelolaan (management system). Karena menurut
Garcia dan Charles (2008), semua sistem perikanan merupakan bagian dari
tingkatan yang lebih tinggi dari sistem alam dan manusia, dimana semuanya
saling berhubungan melalui sistem air, ekonomi dan sosial/masyarakat tempat
mereka ada.
Dalam rangka menyusun arahan kebijakan pengembangan ekonomi
perikanan tangkap berperspektif mitigasi bencana, diperlukan gambaran kondisi
makro ekonomi Kota Padang khususnya mengenai sektor perikanan. Tahapan
analisis menggunakan teknik Shift Share, Location Quotient dan Minimum
Requirement Approach. Selanjutnya setelah gambaran makro ekonomi diperoleh,
maka dilakukan analisis bioekonomi untuk melihat potensi perikanan dan kondisi
pengelolaan sumberdaya perikanan tuna di Kota Padang. Analisis bioekonomi ini
juga menjadi landasan dalam pembuatan kebijakan terkait kelayakan investasi
pengembangan perikanan tuna longline berperspektif mitigasi bencana. Pada
tahap analisis potensi bencana dan upaya mitigasi digunakan studi literatur,
analisis deskriptif dan MPE. Analisis berikutnya setelah potensi pengembangan
dan mitigasi diketahui adalah analisis kelayakan investasi yang digunakan untuk
menilai pengembangan ekonomi perikanan tuna dan kelayakan investasi
berperspektif mitigasi bencana. Dalam rangka mengkaji karakteristik
kelembagaan yang terdapat pada komunitas nelayan perikanan tangkap dan
34
mitigasi bencana dilakukan analisis kelembagaan dengan teknik analisis
stakeholder. Selanjutnya, tahapan akhir sebelum merumuskan arahan kebijakan
pengembangan ekonomi perikanan tuna longline berperspektif mitigasi bencana
adalah mengidentifikasi prioritas kebijakan dengan menggunakan AHP dan
analisis deskriptif. Kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 8
dan dijelaskan dalam kerangka operasional penelitian pada Gambar 9.
Gambar 8. Kerangka Pemikiran Penelitian
Investasi
Potensi
Perikanan Potensi Bencana
Pengembangan
Mitigasi
Pemerintah Masyarakat Kebijakan Kebijakan
Pengembangan perikanan dan mitigasi
bencana
Kebijakan pengembangan ekonomi perikanan tuna longline
berperspektif mitigasi bencana di Padang Sumatera Barat
35
Gam
bar
9. K
eran
gk
a O
per
asio
nal
Pen
elit
ian
36
III. METODE PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus (case
study). Menurut Maxfield dalam Nazir (2009), penelitian studi kasus adalah
penelitian tentang status subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase
spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas. Sementara tujuan dari studi kasus
adalah untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang,
sifat-sifat, serta karakter-karakter yang khas dari kasus ataupun status dari
individu yang kemudian dari sifat-sifat tersebut akan dijadikan suatu hal yang
bersifat umum. Pada penelitian ini, satuan studi kasusnya adalah Kota Padang
Provinsi Sumatera Barat.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bungus
Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat. Pertimbangan dalam pemilihan PPS
Bungus sebagai lokasi penelitian adalah karena PPS Bungus merupakan salah satu
pusat perekonomian penting Kota Padang yang berfungsi sebagai pintu gerbang
kegiatan ekspor perikanan khususnya tuna ke negara lain. PPS Bungus juga
ditetapkan pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
sebagai sentra tuna Indonesia bagian barat. Peranan dan potensi yang dimiliki PPS
Bungus ini juga dihadapkan pada kondisi daerah yang rawan bencana, sehingga
memerlukan arahan kebijakan pengembangan yang komprehensif untuk dapat
mensejahterakan rakyat. Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu Bulan
April sampai Mei 2012.
3.3. Jenis dan Sumber Data
Data yang dibutuhkan pada penelitian Kebijakan Pengembangan Ekonomi
Perikanan Tuna Longline Berperspektif Mitigasi Bencana di Padang Sumatera
Barat ini berupa data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil
wawancara dengan pakar, nelayan/pelaku usaha serta stakeholder lain yang
kemudian diformulasikan kedalam analisis kuntitatif dan kualitatif. Data sekunder
37
diperoleh dari beberapa instansi terkait. Adapun jenis dan sumber data dalam
penelitian ini disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis dan Sumber Data
No. Kegiatan Penelitian Jenis
Data Bentuk Data Sumber Data
Pengolahan
Data
1 Identifikasi kondisi
makro subsektor
perikanan
Sekunder Laporan statistik
tahunan daerah BPS Sumbar
BPS Pusat
Analisis
LQ
2 Analisis parameter
biologi dan ekonomi
sumberdaya perikanan
Primer Hasil wawancara
dengan nelayan PPS Bungus
DKP Padang
DKP Sumbar
Analisis
Bioekono
mi Sekunder Laporan statistik
perikanan
3 Identifikasi potensi
bencana terkait
pengelolaan
sumberdaya perikanan
Primer Hasil wawancara
dengan pakar LPSDKP
BPBD
BMKG
BPSPL
Padang
Studi
Literatur
Analisis
Deskriptif
Analisis
AHP
Sekunder Hasil kajian
kebencanaan,
Laporan kronologis
bencana
4 Identifikasi upaya
mitigasi dan prioritas
bentuk mitigasi
terhadap
pengembangan
sumberdaya perikanan
Primer Hasil wawancara
dengan pakar Bappeda
LPSDKP
KKP
BNPB
Studi
Literatur
Analisis
Deskriptif
Analisis
AHP
Sekunder Hasil kajian
kebencanaan,
Laporan kronologis
bencana
5 Analisis kelayakan
investasi
Primer Hasil wawancara
dengan nelayan PPS Bungus
DKP Padang
DKP Sumbar
NPV
B/C
IRR
Sekunder Laporan statistik
perikanan
6 Identifikasi dan
analisis bentuk
kelembagaan
perikanan tangkap
Primer Hasil wawancara
dengan nelayan BBP Sosek
KKP
DKP Padang
DKP Sumbar
Analisis
Kelembag
aan Sekunder Laporan statistik
perikanan
7 Identifikasi kebijakan
pengelolaan
sumberdaya perikanan
Primer Hasil wawancara
dengan pakar Bappeda
Pemda
KKP
DKP Padang
Analisis
Deskriptif
Studi
Literatur
Sekunder Laporan peraturan/
perundangan
8 Penyusunan arahan
kebijakan
Primer Hasil wawancara
dengan pakar Bappeda
DKP Padang
BPBD Padang
KKP
Analisis
deskriptif
Analisis
AHP
Sekunder Laporan kronologis
bencana, Laporan
statistik perikanan
Instansi-instansi dalam penelusuran data sekunder antara lain; Badan Pusat
Statistik Pusat dan Provinsi (BPS), Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus
(PPSB), Loka Penelitian Sumberdaya dan Kerentanan Pesisir Bungus (LPSDKP),
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Padang (BPBD), Balai Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir dan Lautan Padang (BPSPL), Dinas Kelautan dan Perikanan
38
Kota Padang dan Provinsi Sumatera Barat (DKP), Badan Perencanaan Daerah
Kota Padang (Bappeda), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Maritim
Teluk Bayur (BMKG) dan Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kementerian
Kelautan dan Perikanan RI (BBPSEKP). Informasi yang diperoleh dalam bentuk
peraturan perundangan, data statistik perikanan, data statistik ekonomi regional,
kajian kebencanaan, hasil penelitian dan data perikanan lainnya.
Melalui data yang ada di lapangan, diharapkan memperoleh informasi dan
gambaran rinci terkait pengelolaan sumberdaya perikanan di Kota Padang
Sumatera Barat. Dengan demikian, arahan kebijakan pengembangan ekonomi
perikanan tuna longline berperspektif mitigasi bencana dapat dianalisis melalui
data tersebut. Pada tahapan analisis bioekonomi, parameter dan sumber data
disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Parameter Bioekonomi dan Sumber Data
No. Jenis Data Parameter Satuan Sumber
1 Primer Hasil tangkapan Ton/trip Hasil wawancara dengan
nelayan
Penerimaan (p) Rp/ton
Biaya operasional (c) Rp/trip
Biaya Investasi Rp/tahun
Biaya perawatan Rp/trip
2 Sekunder Produksi (h) ton Pelabuhan Perikanan Samudera
(PPS) Bungus, DKP Kota
Padang, DKP Provinsi Sumatera
Barat
Effort (E) trip
CPUE ton/trip
Laju pertumbuhan (r) ton/th
Koefisien daya tangkap (q) ton/unit
Kapasitas daya dukung (k) ton
Data untuk kebutuhan parameter bioekonomi ini diperoleh pada lokasi
penelitian yang terdiri atas data primer dan sekunder.Data primer diperoleh
melalui wawancara dengan pemilik kapal (armada) dan nelayan tuna longline.
Informasi melalui penelusuran data primer ini juga diperoleh melalui stakeholder
terkait. Data sekunder diambil dari statistik Pelabuhan Perikanan Samudera
Bungus serta data tambahan dari DKP Provinsi Sumbar dan DKP Kota Padang.
Nilai parameter yang diperoleh diharapkan mampu untuk dianalisis lebih lanjut
dalam penyusunan arahan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan.
39
3.4. Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan
sekunder. Pengambilan data primer meliputi stuktur biaya dari usaha penangkapan
ikan serta pola usaha perikanan dan wilayah tangkapan yang diperoleh dengan
metode wawancara kepada nelayan untuk kebutuhan analisis bioekonomi. Data
untuk analisis deskriptif mencakup telaah proses kebijakan, program kebijakan
dan manfaatnya bagi nelayan, biaya dan hasil tangkapan sebelum dan sesudah
kebijakan, serta informasi terkait bencana dan mitigasi. Pada tahap analisis AHP,
data primer diperoleh melalui wawancara dengan pakar dipandu kuesioner.
Data sekunder dalam penelitian ini berupa data urut waktu (time series)
yang meliputi data produksi (landing) dan input yang digunakan (effort), harga
per unit yaitu data yang diperoleh dari pengamatan pihak lain, yaitu harga ikan per
kilogram per-tahun dan Indek Harga Konsumen/consumers price index (IHK),
perkembangan jumlah nelayan serta armada dan alat tangkap, biaya dari masing-
masing alat tangkap, serta data pendukung lainnya yang diperoleh dari PPS
Bungus Kota Padang. Data lainnya dalam penelitian ini berupa data kisaran biaya
dan komponen investasi terkait prioritas bentuk mitigasi bencana dan usaha tuna
longline. Tahapan identifikasi kondisi bencana dibutuhkan data peta bencana,
kesesuaian lahan, data mitigasi bencana serta data kebijakan atau Undang-undang
terkait kebencanaan di Kota Padang yang diperoleh dari LPSDKP Bungus, BPBD
Kota Padang, Bappeda Kota Padang, BMKG Maritim Teluk Bayur dan BPSPL
Kota Padang.
Dalam rangka mengetahui kondisi perekonomian terkait kontribusi sektor
perikanan dibutuhkan data sekunder yang meliputi; perkembangan PDRB Kota
Padang, perkembangan PDRB Provinsi Sumatera Barat, perkembangan tenaga
kerja Kota Padang dan Provinsi Sumatera Barat serta data time series dari sektor
perikanan selama 10 tahun terakhir. Data yang yang dikumpulkan untuk
merumuskan kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan yaitu; masterplan
program minapolitan dan program pengembangan perikanan lainnya yang
ditetapkan pemerintah, unsur-unsur dan pihak terkait di dalamnya serta data-data
pendukung yang diperoleh melalui BPS Provinsi Sumatera Barat dan BPS Pusat
Jakarta.
40
3.5. Metode Pengambilan Contoh
Metoda pengambilan contoh yang digunakan dalam mengumpulkan data
pada penelitian ini adalah purposive sampling. Pada penelitian ini, nelayan yang
menjadi responden adalah kelompok nelayan yang mendaratkan ikan di PPS
Bungus dengan hasil tangkapan ikan dari jenis pelagis besar yaitu tuna. Penentuan
jenis spesies ini karena pertimbangan tuna merupakan komoditas unggulan dan
produk ekspor Kota Padang. Selain itu ikan tuna memberikan sumbangsih
terbesar bagi produksi perikanan tangkap laut Kota Padang, yakni hampir 30
persen dari total jumlah produksi (Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Padang,
2011). Teknik pengambilan contoh pada nelayan tuna (longline) adalah seluruh
nelayan kapal longline yang mendaratkan ikan pada waktu penelitian dijadikan
sampel. Selama periode penelitian tercatat 9 kapal longline mendaratkan ikan di
PPS Bungus. Jumlah responden terhitung sebanyak 9 orang yang merupakan
pimpinan usaha atau kapten kapal. Informasi ditambah dari responden yang
diperoleh berdasarkan data kuesioner KKP Ditjen Perikanan Tangkap PPS
Bungus selama tahun 2011 sebanyak 22 armada longline (22 orang).
Penentuan sampel untuk analisis AHP menggunakan teknik purposive
sampling. Responden diberikan informasi yang rinci oleh peneliti dalam tahap
pengumpulan data. Responden adalah orang yang memiliki kapasitas berdasarkan
kepakaran terkait pengembangan perikanan Kota Padang dan mitigasi bencana di
daerah ini. Metode purposive sampling ini menentukan para pakar yang dijadikan
responden dalam menentukan bobot nilai dari kriteria kebijakan. Pada penelitian
ini jumlah responden pakar adalah sebanyak 9 orang yang terdiri dari kalangan
akademisi, peneliti, birokrat pemerintahan maupun pemangku kepentingan
lainnya (rincian responden dimuat pada Lampiran 1).
3.6. Metode Analisis Data
4.6.1. Analisis Shift Share
Analisis Shift share bertujuan untuk mengetahui kontribusi sektor
perikanan terhadap PDRB dan tenaga kerja (Sawono dan Endang dalam
Ramadona, 2009). Analisis Shift Share menggunakan persentase nilai produksi
suatu sektor terhadap PDRB (persentase antara PDRB sektor perikanan pada
41
tahun i terhadap total PDRB seluruh sektor pada tahun i di Kota Padang). Model
matematik analisis Shift Share sebagai berikut:
Ki = %100xPi
Vi
Dimana :
Ki : Besarnya kontribusi sektor perikanan dalam tahun i
Vi : PDRB sektor perikanan Kota Padang menurut harga konstan pada tahun i.
Pi : Total PDRB seluruh sektor Kota Padang menurut harga konstan tahun i.
Kriteria Shift share yaitu semakin besar nilai shift share, maka kontribusi
sektor perikanan terhadap PDRB semakin besar.
4.6.2. Analisis LQ (Location Quotient)
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui tingkat basis sektor perikanan
dalam pembangunan wilayah berdasarkan indikator PDRB. Model matematik LQ
(Tarigan, 2005) :
LQ =
Vtvt
Vivi
/
/
keterangan :
LQ : Location Quotient
Vi : PDRB sektor perikanan Kota Padang menurut harga konstan.
Vi : Total PDRB seluruh sektor Kota Padang menurut harga konstan.
vt : PDRB sektor perikanan Provinsi Sumatera Barat menurut harga konstan.
Vt : Total PDRB seluruh sektor Provinsi Sumatera Barat menurut harga
konstan.
Kriteria penentuan sektor basis yaitu nilai LQ < 1, maka sektor perikanan
merupakan sektor non basis, sedangkan jika LQ > 1, maka sektor perikanan
merupakan sektor basis. Asumsi yang mendasari model di atas adalah bahwa
demand wilayah terhadap barang dan jasa mula-mula dipenuhi oleh produksi
wilayah dan jika jumlah yang diminta melebihi jumlah produksi itu, maka
kekurangannya diimpor dari luar wilayah (Kadariah,1985).
42
4.6.3. Analisis Minimum Requirement Approach (MRA)
Pendekatan MRA dapat mengukur seberapa besar kekuatan sektor basic
dengan mengukur base multiplier-nya. Teknik MRA mengandalkan wilayah yang
memiliki karakteristik yang sama yang dapat digunakan sebagai acuan atau peer.
Karakteristik ini dapat berupa kesamaan potensi, posisi ataupun kondisi lainnya.
Formula MRA secara matematis ditulis sebagai berikut (Fauzi, 2010):
(
)
Pengukuran MRA dalam penelitian ini menggunakan variable tenaga kerja
(E=employment) sebagai salah satu indikator. Formula di atas menyatakan bahwa
basic employment sektor i (dalam hal ini perikanan) di wilayah a adalah
merupakan perkalian dari total tenaga kerja sektor i di wilayah a dengan selisih
share sektor perikanan dengan share minimum sektor yang terdekat (peer).
Pengukuran MRA dalam penelitian ini menggunakan variabel tenaga kerja
(E=employment) sebagai indikator.
4.6.4. Analisis Bioekonomi
Penilaian sumberdaya perikanan yang perlu diketahui adalah nilai estimasi
tangkapan lestari dari stok ikan. Guna mengetahui nilai estimasi tangkapan lestari
dilakukan estimasi dengan model kuantitatif. Produksi stok ikan dipengaruhi oleh
faktor endogenous seperti faktor biologi, pertumbuhan, kelahiran, rekruitmen,
kematian dan ruaya, serta faktor exogenous seperti iklim, bencana, dan aktivitas
manusia berupa penangkapan, pencemaran yang dapat menyebabkan turunnya
kualitas perairan berdampak rusaknya ekosistem perairan.
Ada beberapa langkah yang dilakukan dalam pemodelan bioekonomi:
Pertama, menyusun data produksi dan upaya (effort) dalam bentuk urut waktu
(series), pada penelitian ini series data selama 10 tahun. Jika menyangkut
multigear-multispecies, terlebih dahulu harus dipisahkan menurut jenis alat
tangkap dan produksi. Selanjutnya melakukan standarisasi alat tangkap, langkah
ini diperlukan karena ada variasi atau keragaman dari kekuatan alat tangkap.
43
Aspek yang diteliti dalam penelitian ini adalah singlegear-singlespecies, yaitu
sumberdaya ikan tuna dengan alat tangkap tuna longline.
Estimasi stok ikan digunakan model surplus produksi. Model ini
mengasumsikan stok ikan sebagai penjumlahan biomass dengan persamaan:
........................................................... (4-1)
dimana f(xt) laju pertumbuhan alami, atau laju penambahan asset biomass,
sedangkan ht adalah laju upaya penangkapan.
Penelitian ini menggunakan bentuk model fungsional guna
menggambarkan stock biomass, yaitu bentuk logistik, sebagai berikut:
Bentuk Logistik :
(
)
= (
) ................................. (4-2)
Pada fungsi logistik r adalah laju pertumbuhan intrinsik, K adalah daya
dukung lingkungan. Ketika stok sumberdaya perikanan tuna mulai dieksploitasi
oleh nelayan, maka laju eksploitasi sumberdaya perikanan tuna dalam satuan
waktu tertentu diasumsikan merupakan fungsi dari input (effort) yang digunakan
dalam menangkap ikan dan stok sumberdaya yang tersedia. Bentuk fungsional
hubungan itu dapat dituliskan sebagai berikut :
.............................................................. (4-3)
Selanjutnya diasumsikan bahwa laju penangkapan linear terhadap biomass dan
effort ditulis sebagai berikut :
................................................................... (4-4)
Pada formula di atas q adalah koefisien kemampuan penangkapan
(catchability coefficient) dan Et adalah upaya penangkapan. Jika diasumsikan
pada kondisi keseimbangan (equilibrium) maka kurva tangkapan-upaya lestari
(yield-effort curve) dari fungsi tersebut dituliskan dalam persamaan (4-5).
Logistik : (
) ..................................................... (4-5)
Estimasi parameter r, K, dan q untuk persamaan yield-effort dari kedua
model di atas (Logistik) melibatkan teknik non-linear, dengan menuliskan
44
Ut=ht/Et. Pada persamaan (4-6) dapat ditransformasikan menjadi persamaan
linear, sehingga metode regresi biasa dapat digunakan untuk mengestimasi
parameter biologi dari fungsi di atas. Teknik untuk mengestimasi parameter
biologi dari model surplus produksi adalah melalui pendugaan koefisien yang
dikembangkan oleh Clarke, Yoshimoto, dan Pooley (1992) yang dikenal dengan
metode CYP.
Persamaan CYP secara matematis ditulis sebagai berikut :
. (4-6)
Dengan meregresikan hasil tangkap per unit input (effort), yang disimbolkan
dengan U pada periode t+1, dan dengan U pada periode t, serta penjumlahan input
pada periode t dan t+1, akan diperoleh koefisien r, q, dan K secara terpisah.
Setelah disederhanakan persamaan (4-6) dapat diestimasikan dengan OLS
(Ordinary Least Square) melalui:
......................... (4-7)
sehingga nilai parameter r, q, dan K pada persamaan (4-6) dapat diperoleh melalui
persamaan berikut :
................................................................. (4-8)
Nilai parameter r, q, dan K kemudian disubstitusikan ke dalam persamaan
(4-5) fungsi logistik, untuk memperoleh tingkat pemanfaatan lestari antar waktu.
Dengan mengetahui koefisien ini, manfaat ekonomi dari ekstraksi sumberdaya
ikan tuna ditulis pada persamaan (4-9) :
(
) ...................................................... (4-9)
Memaksimalkan persamaan (4-9) terhadap effort (E) akan menghasilkan :
(
) ..................................................................... (4-10)
Dengan tingkat panen optimal sebesar :
(
) (
) .................................................... (4-11)
45
Substitusi dari perhitungan optimasi (4-10) dan (4-11) ke dalam persamaan (4-9),
akan diperoleh manfaat ekonomi optimal.
Fauzi dan Anna (2005), menyatakan dalam melakukan estimasi parameter
ekonomi berupa harga per kg atau per ton dan biaya memanen per trip atau per
hari melaut sebaliknya diukur dalam ukuran riil (disesuaikan dengan indeks harga
konsumen). Pada penelitian ini, parameter ekonomi yang diperoleh melalui data
lapangan berupa harga per kg dan biaya per trip. Jadi harga nominal pada periode
t (Pnt) misalnya, bisa di konversi dengan harga riil (prt) berdasarkan formula
berikut :
(
)
Biaya riil yang dikeluarkan diperoleh melalui penyesuaian dengan inflasi
berdasarkan formula:
(
)
Langkah terakhir berupa perhitungan nilai optimal berdasarkan formula
yang sudah ditetapkan dilakukan dengan software Excell dan Maple 13 yang
memudahkan repetisi (untuk analisis sensitifitas) maupun untuk keperluan
pembuatan grafik. Melakukan analisis kontras dengan data riil untuk melihat
sejauh mana hasil pemodelan bisa diterima sesuai data riil yang ada.
4.6.5. Metode Perbandingan Eksponensial (MPE)
MPE (Metode Perbandingan Eksponensial) merupakan salah satu metode
untuk menentukan urutan prioritas alternatif keputusan dengan kriteria jamak atau
disebut juga sebagai model keputusan berbasis indeks kerja. Teknik ini digunakan
sebagai pembantu bagi individu pengambilan keputusan untuk menggunakan
rancang bangun model yang telah terdefinisi dengan baik pada tahapan proses.
Berbeda dengan teknik lainnya, MPE akan menghasilkan nilai alternatif yang
perbedaannya lebih kontras (Marimin, 2010).
Menurut Marimin (2010), ada beberapa tahapan yang harus dilakukan
dalam penggunaan metode perbandingan eksponensial yaitu: menyusun alternatif-
alternatif keputusan yang akan dipilih, menentukan kriteria atau perbandingan
46
kriteria keputusan yang penting untuk dievaluasi, menentukan tingkat kepentingan
darisetiap kriteria keputusan atau pertimbangan kriteria, melakukan penilaian
terhadap semua alternatif pada kriteria, menghitung skor atau nilai total setiap
alternatif, dan menentukan urutan prioritas keputusan didasarkan pada skor atau
nilai total masing-masing alternatif.
Formulasi perhitungan skor untuk setiap alternatif dalam metode
perbandingan eksponensial adalah sebagai berikut :
∑
Keterangan :
TNi = total nilai alternatif ke -i
RKij = derajat kepentingan relatif kriteria ke-j pada pilihan keputusan i
TKKj = derajat kepentingan kritera keputusan ke-j; TKKj> 0; bulat
n = jumlah pilihan keputusan
m = jumlah kriteria keputusan
Penentuan tingkat kepentingan kriteria dilakukan dengan cara penilaian
dari pakar atau berdasarkan hasil perhitungan analisis sebelumnya. Penentuan
skor alternatif pada kriteria tertentu dilakukan dengan memberi nilai setiap
alternatif berdasarkan nilai kriterianya. Semakin besar nilai alternatif semakin
besar pula skor alternatif tersebut. Total skor masing-masing alternatif keputusan
akan relatif berbeda ecara nyata karenaadanya fungsi eksponensial. Matrik MPE
dapat dilihat secara jelas pada Tabel 3.
Tabel 3. Matrik Metode Perbandingan Eksponensial
Alternatif
Kriteria Nilai
Alternatif Peringkat
K1 K2 … Km
Alternatif 1 V11 V12 … V1m NK1
Alternatif 2 V21 V22 … V2m NK2
Alternatif 3 V31 V32 … V3m NK3
… … … … … …
Alternatif n Vn1 Vn2 … Vnm NKn
Bobot B1 B2 … Bm
Sumber: Marimin, 2010
47
Metode perbandingan eksponensial mempunyai keuntungan dalam
mengurangi bias yang mungkin terjadi dalam analisa. Nilai skor yang
menggambarkan urutan prioritas menjadi besar (fungsi eksponensial) ini,
mengakibatkan urutan prioritas alternatif keputusan lebih nyata. Pada penelitian
ini metode perbandingan eksponensial digunakan untuk menjawab tujuan
penelitian yang ketiga yaitu mengidentifikasi potensi bencana pesisir serta
prioritas bentuk mitigasi terkait pengembangan sumberdaya perikanan di Kota
Padang.
4.6.6. Analisis Kelayakan Investasi
Analisis kelayakan investasi diperhitungkan dengan membandingkan
antara besarnya biaya yang dikeluarkan dengan manfaat yang diterima dalam
suatu kegiatan investasi untuk jangka waktu tertentu. Pada analisis kelayakan
investasi terdapat beberapa kriteria investasi yang dilakukan yaitu: Net Present
Value (NPV), Benefit Cost (B/C) dan Internal Rate of Return (IRR). Pada
penelitian ini, analisis kelayakan investasi digunakan untuk menilai kelayakan
usaha tuna longline di Kota Padang dan investasi penggunaan sarana mitigasi
terhadap usaha perikanan tangkap tersebut.
4.6.6.1. Net Present Value (NPV)
Net Present Value (NPV) adalah metode untuk menghitung selisih antara
nilai sekarang investasi dan nilai sekarang penerimaan kas bersih (operasional
maupun terminal cash flow) di masa yang akan datang pada tingkat bunga tertentu
(Husnan dan Suwarsono, 2005). Menurut Gray et al.(1993), formula yang
digunakan untuk menghitung NPV adalah sebagai berikut:
Keterangan :
Bt : Penerimaan (benefit) pada tahun ke-t, i : Discount rate (%)
Ct : Biaya (cost) pada tahun ke-t, n : Umur ekonomis usaha (tahun)
t : Periode investasi (t=0,1,2,3,…,n)
∑
48
Kriteria kelayakan investasi yaitu :
NPV > 0 : maka kegiatan layak dan menguntungkan
NPV = 0 : maka kegiatan impas
NPV < 0 : maka kegiatan tidak layak
4.6.6.2. Benefit-Cost (B/C)
Benefit-Cost merupakan angka perbandingan antara nilai kini arus manfaat
dibagi dengan nilai sekarang arus biaya. Rumus dari Benefit-Cost (Kadariah dkk,
1999):
Kriteria penilaian B/C :
B/C > 1 : maka kegiatan layak dan menguntungkan
B/C = 1 : maka kegiatan impas
B/C < 1 ; maka kegiatan tidak layak
4.6.6.3. Internal Rate of Return (IRR)
Internal rate of return (IRR) adalah tingkat suku bunga pada saat NPV
sama dengan nol dan dinyatakan dalam persen (Gray et al.,1993). IRR merupakan
tingkat bunga yang bilamana dipergunakan untuk mendiskonto seluruh kas masuk
pada tahun-tahun operasi proyek akan menghasilkan jumlah kas yang sama
dengan investasi proyek. Tujuan perhitungan IRR adalah mengetahui persentase
keuntungan dari suatu proyek tiap tahunnya. Menurut Kadariah et al., (1999),
rumus IRR adalah sebagai berikut.
[ ]
Keterangan :
i(+) : Discount rate yang menghasilkan NPV positif
i(-) : Discount rate yang menghasilkan NPV negatif
∑
Net B/C =
∑
(Bt-Ct > 0)
(Bt-Ct < 0)
49
NPV(+) : NPV yang bernilai positif
NPV(-) : NPV yang bernilai negatif
Kriteria kelayakan :
IRR > i, maka kegiatan layak
IRR = i, maka kegiatan impas
IRR < i, maka kegiatan tidak layak
4.6.7. Analisis Kelembagaan
Analisis kelembagaan ini bertujuan untuk memotret situasi kelembagaan
yang sudah ada. Menurut Ostrom et al. (1994), kelembagaan sebagai alat untuk
mengarahkan, mengharmonisasikan, mensinergikan atau membatasi perilaku
manusia yang cenderung mementingkan diri sendiri, opurtunis dan tidak mau
bekerjasama. Fokus analisis adalah perilaku manusia yang ada dalam suatu arena
aksi (masyarakat nelayan tangkap pesisir Kota Padang). Arena aksi ini meliputi
situasi aksi (aktivitas masyarakat sehari-hari mencakup siapa saja yang
berpartisipasi, posisinya dalam aktivitasnya, aksi/aktivitas yang dilakukannya, apa
saja yang bisa dihasilkannya dari aktivitas tersebut, serta aktor/pelaku aksi
(pemerintah, nelayan dan pengusaha).
Selain proses pengumpulan data, analisis ini juga membahas hal-hal yang
berkaitan dengan dimensi sosial ditinjau dari perspektif keberlanjutannya.
Perspektif keberlanjutan dari dimensi sosial antara lain dengan melakukan analisis
keadaan sosial serta atribut-atribut yang mempengaruhi keberlanjutan perikanan
dan mitigasi bencana dari sisi sosial. Objek yang diteliti khususnya adalah usaha
perikanan tangkap tuna dan upaya mitigasi terkait pengembangan usaha tersebut
di Kota Padang.
Dalam rangka menentukan stakeholder yang benar-benar berkompeten
dalam merumuskan kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan yang
berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana, digunakan stakeholder analysis
yaitu suatu teknik yang digunakan untuk mengidentifikasi dan merujuk pihak
(seseorang) yang tepat atau berpengaruh pada aktivitas suatu program. Analisis
kualitatif ini memiliki beberapa tujuan, yaitu: (1) mengidentifikasi individu,
kelompok atau lembaga yang berpengaruh pada suatu kegiatan, (2) mengantisipasi
50
sejumlah pengaruh positif atau negatif dari inisiatif suatu program dan (3)
membangun suatu strategi untuk mencapai dukungan paling efektif terhadap suatu
ide dan (4) mengurangi sejumlah kendala dalam penerapan suatu program.
Sejumlah stakeholder yang terlibat dalam kegiatan pengembangan
perikanan dan mitigasi bencana, masing-masing dipetakan berdasarkan penilaian
atas tingkat kepentingan (importance) dengan pengambil keputusan dari substansi
kebijakan yang akan diputuskan dan tingkat pengaruhnya (influence) pada proses
penyusunan kebijakan. Penilaian ini dilakukan dengan cara pembobotan
berdasarkan dua kriteria tersebut, yakni kedekatan kepentingan dan kekuatan atau
daya pengaruhnya dalam proses pengambilan keputusan. Tingkat signifikansi
mengindikasikan kedekatan kepentingan (prioritas yang diberikan) oleh
pengambil keputusan. Semakin dekat kebutuhan dan kepentingan stakeholder
bersangkutan dengan prioritas pengambil keputusan maka makin besar
signifikansinya. Sedangkan pengaruh stakeholder dapat dipahami dengan cara
melihat besar kecilnya kemampuan stakeholder tertentu dalam mempersuasi pihak
lain untuk mengikuti kemauannya. Sumber pengaruh dapat berasal dari peraturan,
uang, opini, informasi, massa, kepemimpinan dan lainnya. Adapun langkah-
langkah dalam melakukan analisis stakeholder, adalah:
1) Membuat tabel stakeholder, yang berisi informasi mengenai:
Daftar semua stakeholder yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi
oleh program.
Kepentingan stakeholder (yang tertutup maupun terbuka) dalam
kaitannya dengan program dan tujuannya. Kepentingan mengacu pada
motif dan perhatian mereka pada kebijakan atau program. Setidaknya
terdapat dua kepentingan utama.
Sikap stakeholder terhadap kebijakan atau program. Sikap mengacu
pada reaksi utama dari berbagai stakeholder dalam memutuskan
pandangan terhadap kebijakan.
2) Menilai sikap dari stakeholder terhadap kebijakan sebagai berikut:
Penilaian sikap menggunakan skala likert dari 3 hingga -3. Nilai 3 artinya
sangat mendukung, 2 adalah cukup mendukung, 1 adalah netral, -2 yaitu
cukup menentang dan -3 adalah sangat menentang.
51
3) Membuat penilaian awal tentang tingkat kekuatan dan pengaruh dari
masing-masing stakeholder. Kekuatan stakeholder mengacu pada
kuantitas sumberdaya yang dimiliki stakeholder yaitu sumberdaya
manusia (SDM), finansial dan politik. Penilaian tingkat kekuatan
menggunakan skala likert 1 sampai lima (5=sangat kuat, 4=kuat, 3=rata-
rata, 2=lemah, dan 1=sangat lemah).
4) Menentukan tingkat pengaruh total yaitu jumlah dari tingkat kekuatan
(SDM, finansial dan politik) dari masing-masing stakeholder.
5) Menentukan nilai total yaitu perkalian antara sikap dengan pengaruh untuk
setiap stakeholder.
6) Memutuskan kebutuhan keterlibatan stakeholder dalam kebijakan atau
program, dimana jika nilai pengaruh kurang dari 10 maka stakeholder
dapat diabaikan dan jika lebih dari 10 maka stakeholder harus dilibatkan.
7) Menentukan tingkat keterlibatan stakeholder dalam pengambilan
keputusan, dimana stakeholder dibagi dalam tiga grup, yaitu:
Grup 1 dengan nilai total 10–20 adalah pihak penerima informasi.
Grup 2 dengan nilai total 21–30 adalah pihak pemberi pertimbangan.
Grup 3 dengan nilai total lebih dari 30 adalah pihak pengambil
kebijakan.
Setelah stakeholder analysis menghasilkan daftar stakeholder yang benar-
benar berkompeten dalam merumuskan strategi pengelolaan dan pengembangan,
maka langkah berikutnya adalah melakukan in depth interview diantara para pakar
yang terpilih untuk merumuskan suatu kebijakan.
4.6.8. Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif adalah cara analisis dengan mendeskripsikan atau
menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa membuat
kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi. Menurut Surakhmad
(2002) analisis deskriptif adalah dengan menuturkan dan menafsirkan data yang
ada, permasalahannya adalah situasi yang dialami, suatu hubungan, suatu kegiatan
dengan kegiatan lain, pandangan, sikap yang nampak, atau tentang suatu proses
yang sedang berlangsung. Analisis deskriptif dalam hal ini akan lebih difokuskan
52
kepada analisis kebijakan terkait pengembangan perikanan dan mitigasi bencana.
Analisis deskriptif ini bertujuan untuk mengambarkan atau melukiskan (to
describe) secara cermat dan sistematis fakta, gejala, fenomena, opini atau
pendapat dan sikap mengenai implementasi kebijakan. Responden dalam analisis
ini berupa nelayan dan pakar yang terlibat secara langsung mengenai masalah ini.
Desain atau format deskriptif survei dilakukan dengan mengambil sampel dari
populasi sebagai subyek penelitian. Pendapat subyek penelitian inilah yang akan
dideskripsikan tentang variabel yang akan diteliti.
Metode wawancara mendalam merupakan salah satu teknik yang
digunakan dalam penelitian ini untuk mengumpulkan data dan informasi.
Penggunaan metode ini didasarkan pada dua alasan, Pertama, dengan wawancara,
peneliti dapat menggali tidak saja apa yang diketahui dan dialami subjek yang
diteliti, tetapi juga apa yang tersembunyi jauh di dalam diri subjek penelitian.
Kedua, apa yang ditanyakan kepada informan bisa mencakup hal-hal yang bersifat
lintas waktu, yang berkaitan dengan masa lampau, masa sekarang, dan juga masa
mendatang. Pendekatan yang digunakan dalam menggali informasi yaitu berupa
pendekatan interpretatif.
Analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menyelesaikan
beberapa tujuan penelitian yaitu; identifikasi potensi bencana serta prioritas
bentuk mitigasi terhadap pengembangan sumberdaya perikanan, analisis
kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan serta penentuan arahan kebijakan
pengembangan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan dan berperspektif
mitigasi bencana. Melalui analisis ini diharapkan terbangun keselarasan tujuan
dari berbagai tahapan analisis yang dilakukan.
4.6.9. Analisis Proses Berjenjang (AHP)
Proses Hierarki Analitik (Analysis Hierarchy process-AHP) yang
dikembangkan oleh Dr. Thomas L.Saaty pada tahun 1970-an digunakan untuk
mengorganisasikan informasi dan judgement dalam memilih alternatif yang paling
disukai (Saaty, 1983). Dengan menggunakan AHP, suatu persoalan yang akan
dipecahkan dalam suatu kerangka berpikir yang terorganisir, sehingga
53
memungkinkan dapat diekspresikan untuk mengambil keputusan yang efektif atas
persoalan tersebut.
Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang
tidak terstruktur, stratejik dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata
dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai
numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif
dibandingkan dengan variabel yang lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut
kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas
tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut.
Prinsip dasar penyelesaian persoalan dengan metode AHP adalah
decomposition, comparative judgement, synthesis of priority, dan logical
consistency. Pada analisis ini, kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan
berpasangan. Menurut Saaty (1983), untuk berbagai persoalan skala 1 sampai 9
adalah skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat. Kemudian menurut
Marimin (2004), untuk memeriksa apakah perbandingan berpasangan telah
dilakukan dengan konsekuen digunakan parameter Consistency Ratio (CR).
Teknik komparasi berpasangan yang digunakan dalam AHP dilakukan
dengan wawancara langsung terhadap responden. Responden bisa seorang ahli
atau bukan, tetapi terlibat dan mengenal baik permasalahan tersebut. Jika
responden merupakan kelompok, maka seluruh anggota diusahakan memberikan
pendapat (Marimin, 2004). Responden dalam penelitian ini adalah pakar dalam
bidang pengembangan perikanan dan kebencanaan sebanyak 9 orang.
Pada dasarnya AHP dapat digunakan untuk mengolah data dari satu
responden ahli. Namun demikian dalam aplikasinya penilaian kriteria dan
alternatif dilakukan oleh beberapa ahli multidisiplioner. Konsekuensinya pendapat
beberapa ahli tersebut perlu dicek konsistensinya satu persatu. Pendapat yang
konsisten kemudian digabungkan dengan menggunakan rata-rata geometrik
Marimin (2004). Rumus perhitungan rata-rata geometrik adalah:
_
XG = √
_
XG = rata-rata geometrik
n = jumlah responden
Xi = penilaian oleh responden ke-i
54
Hasil penilaian gabungan ini yang kemudian diolah dengan prosedur AHP.
Kemudian untuk penyelesaian analisis ini dilakukan menggunakan aplikasi
Microsoft Excel 2010 dan Criterium Decision Plus (CDP) versi 30. Dalam rangka
memeriksa apakah perbandingan berpasangan (pada metode pairwise
comparisions) telah dilakukan dengan konsisten atau tidak digunakan parameter
Consistency Ratio (CR). Langkah-langkah dalam perhitungan consistency ratio
adalah;
1) Membuat matriks yang berisi kriteria dan alternatif sehingga diperoleh nilai
faktor (nilai eigen) pada tiap kriteria.
2) Menghitung nilai Weighted Sum Vector dengan jalan mengalikan kedua
matriks tersebut.
3) Menghitung Consistency Vector dengan jalan menentukan nilai rata-rata
dari Weighted Sum Vector.
4) Menghitung nilai rata Consistency Vector (P) disebut juga λ maks.
5) Menghitung nilai Consistency Index (CI) dengan menggunakan rumus:
CI=(p-n)/(n-1). n = banyaknya alternatif.
6) Menghitung nilai Consistency Ratio (CR) yaitu dengan rumus:
CR=CI/RI. Nilai RI yaitu indeks random yang didapat dari tabel Oarkidge.
Analysis Hierarchy process (AHP) dalam penelitian ini dilakukan untuk
menentukan prioritas pengembangan sektor prioritas pada bidang kelautan serta
prioritas kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan berperspektif mitigasi
bencana dalam rangka menghasilkan rumusan arahan kebijakan pengembangan
perikanan tangkap di Kota Padang.
3.7. Batasan Penelitian
1) Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan
dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan
cara bertindak (KBBI).
2) Perikanan adalah semua kegiatan yag berhubungan dengan pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mlai dari
praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang
dilaksanakan dalam suatu sistem perikanan (UU Nomor 31 tahun 2004).
55
3) Jenis sumberdaya perikanan yang diteliti dalam analisis bioekonomi
adalah Tuna Mata Besar/Bigeye Tuna (Thunnus obesus) dan Tuna Sirip
Kuning/Yellowfin Tuna (Thunnus albacares).
4) Lokasi penelitian dalam analisis bioekonomi yaitu usaha perikanan tuna
yang mendaratkan ikan di PPS Bungus Kota Padang dengan alat tangkap
tuna longline.
5) Daerah penangkapan ikan dalam studi ini meliputi wilayah operasi
penangkapan kegiatan tuna longline yang berbasis operasi di Kota Padang
(Bungus).
6) Stok ikan adalah sediaan (biomass) ikan tuna yang terdapat di WPP 572
pada periode tertentu.
7) Effort adalah upaya untuk menangkap ikan dengan menggunakan
teknologi penangkapan tertentu yang dinyatakan dalam satuan trip atau
hari melaut.
8) Catch per Unit Effort (CPUE) adalah hasil tangkapan per satuan unit
upaya yang dinyatakan dalam satuan ton/trip atau ton/hari.
9) Maximum Sustainable Yield (MSY) adalah hasil tangkapan maksimum
yang melestarikan sumberdaya.
10) Maximum Economic Yield (MEY) adalah hasil tangkapan maksimum yang
memberikan keuntungan ekonomi yang maksimum.
11) Open Access (OA) adalah kondisi dimana setiap nelayan dapat ikut terlibat
dalam memanfaatan atau melakukan perburuan ikan atau mengeksploitasi
ikan tanpa adanya kontrol atau pembatasan.
12) Jenis alat tangkap yang digunakan sebagai parameter dalam analisis
bioekonomi adalah tuna longline (rawai tuna).
13) Nilai rente adalah selisih total penerimaan dikurangi dengan total biaya
penengkapan sumberdaya ikan.
14) Biaya penangkapan ikan (cost per-unit effort) adalah biaya total yang
dikeluarkan untuk melakukan penengkapan ikan per tahun per-unit effort.
15) Alokasi optimal adalah kondisi dimana sumberdaya perikanan di perairan
dapat dialokasi pada tingkat produksi yang optimal, tingkat upaya optimal,
jumlah alat tangkap optimal dan jumlah nelayan optimal, sehingga pada
56
gilirannya rente optimal pemanfaatan sumberdaya ikan diperairan dapat
teralokasi secara optimal per nelayan.
16) Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis,
hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan
teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang
mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan
mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu
(UU Nomor 24 tahun 2007).
17) Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam (BNPB, 2009).
18) Mitigasi bencana adalah Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk
mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun
penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana
(UU Nomor 24 tahun 2007).
19) Potensi bencana di kawasan pesisir terdiri atas angin kencang/puting-
beliung, gempa bumi, tsunami, gelombang badai pasang, banjir, gerakan
tanah, abrasi, akresi, erosi dan intrusi air laut (Ruswandi, 2009).
20) Berperspektif mitigasi bencana adalah serangkaian upaya/kebijakan
pengelolaan dan pengembangan yang berwawasan atau berpandangan
mitigasi bencana.
57
V. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
5.1. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah
Kota Padang merupakan Ibukota Provinsi Sumatera Barat yang terletak di
pesisir pantai bagian barat Sumatera. Luas keseluruhan Kota Padang adalah
694,96 km², terletak pada 100º05‟05‟‟BT–100º34‟09‟‟BT dan 00º44‟00‟‟LS-
01º08‟35‟‟LS. Batas-batas administrasi wilayah Kota Padang, adalah :
• Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Padang Pariaman.
• Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Solok.
• Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Pesisir Selatan.
• Sebelah barat berbatasan dengan Selat Mentawai.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1980, luas wilayah
Kota Padang secara administratif adalah 694,96 km². Wilayah Kota Padang yang
sebelumnya terdiri dari 3 kecamatan dengan 15 kelurahan dikembangkan menjadi
11 kecamatan dengan 193 kelurahan, secara rinci diuraikan pada Tabel 4 berikut:
Tabel 4. Administrasi Wilayah Kota Padang
No. Kecamatan
Sebelum UU 22/1999 Setelah UU 22/1999
Luas
(Km²)
Jumlah
Kelurahan
Luas
(Km²)
Jumlah
Kelurahan
A Wilayah Darat 694,96
1 Bungus Teluk Kabung 100,78 13 100,78 6
2 Lubuk Kilangan 85,99 7 85,99 7
3 Lubuk Begalung 30,91 21 30,91 15
4 Padang Selatan 10,03 24 10,03 12
5 Padang Timur 8,15 27 8,15 10
6 Padang Barat 7,00 30 7,00 10
7 Padang Utara 8,08 18 8,08 7
8 Nanggalo 8,07 7 8,07 6
9 Kuranji 57,41 9 57,41 9
10 Pauh 146,29 13 146,29 9
11 Koto Tangah 232,25 24 232,25 13
B Wilayah Laut - - 720,00 -
Total 694,96 193 1.414,96 104
Sumber : Bappeda dan BPS Kota Padang, 2009
UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diikuti oleh
Peraturan Pemerintah nomor 25 Tahun 2000 menyebabkan terjadi penambahan
58
luas administrasi Kota Padang menjadi 1.414,96 km² (720,00 km² di antaranya
adalah wilayah laut) dan penggabungan beberapa kelurahan, sehingga menjadi
104 kelurahan (Bappeda Kota Padang, 2010). Total sebelas kecamatan yang ada
di Kota Padang, enam diantaranya merupakan kecamatan yang memiliki wilayah
pesisir dengan total luas wilayahnya mencapai ± 694,96 km2 berdasarkan PP
Nomor 17/1980. Total panjang garis pantai 68,126 km dan tidak termasuk
panjang garis pantai pulau-pulau kecil. Nama kecamatan dan kelurahan pesisir di
Kota Padang ditampilkan pada Tabel 5 (Peta administrasi lihat Lampiran 2).
Tabel 5. Nama Kecamatan dan Kelurahan Pesisir di Kota Padang
No. Kecamatan Kelurahan
1 Koto Tangah Padang Sarai, Pasie Nan Tigo, Parupuk Tabing
2 Padang Utara Air Tawar Barat, Ulak Karang Utara, Ulak Karang Selatan,
Lolong Belanti
3 Padang Barat Rimbo Kaluang, Purus, Olo, Berok Nipah
4 Padang Selatan Batang Harau, Bukit Gado-gado, Air Manis, Teluk Bayur
Selatan
5 Bungus Bungus Barat, Bungus Selatan, Teluk Kabung Utara, Teluk
Kabung Tengah, Teluk Kabung Selatan
6 Lubuk Begalung Gates Nan Duapuluh
Sumber : BPS Kota Padang, 2010
Wilayah pesisir Kota Padang yang sebagian besar memiliki topografi datar
(dijelaskan pada Sub-bab 5.2.1) sangat mendukung perekonomian masyarakat di
sektor perdagangan, perikanan dan pariwisata. Hal ini menyebabkan ketiga sektor
tersebut menjadi sektor yang mendominasi kegiatan perekonomian di wilayah
pesisir. Ketiga sektor tersebut bahkan akan dijadikan sebagai sumber devisa
utama selain dari perpajakan oleh Pemerintah Propinsi Sumatera Barat.
5.2. Kondisi Fisik Dasar dan Kebencanaan
5.2.1. Topografi
Wilayah Kota Padang memiliki topografi yang bervariasi, perpaduan
daratan yang landai dan perbukitan bergelombang yang curam. Sebagian besar
topografi wilayah Kota Padang memiliki tingkat kelerengan lahan rata-rata lebih
dari 40 persen. Ketinggian wilayah Kota Padang dari permukaan laut juga
59
bervariasi, mulai 0 meter dpl sampai lebih dari 1.000 meter dpl. Peta topografi
Kota Padang dimuat pada Lampiran 3.
Kondisi topografi Kota Padang yang bervariasi menyebabkan kelerengan
Kota Padang juga bervariasi dari yang datar dengan kemiringan 0 persen sampai
dengan daerah yang mempunyai kemiringan lebih dari 40 persen. Secara garis
besar wilayah Kota Padang dikelompokan dalam empat klasifikasi kemiringan
dan luas masing-masing wilayah yang diuraikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Klasifikasi Kemiringan Wilayah Kota Padang
No. Klasifikasi
Kemiringan Lereng
Luas Wilayah
(Km2)
Persentase
1 0–2% Datar sampai Landai 210,36 30,27%
2 3–15% Landai sampai
Bergelombang 50,98 7,34%
3 16–40% Bergelombang sampal
Berbukit 124,74 17,95%
4 >40 % Berbukit sampai
Bergunung 308,88 44,45%
Total 694,96 100,00%
Sumber : Bappeda Kota Padang, 2010
Kawasan dengan kelerengan lahan antara 0–2 persen umumnya terdapat di
Kecamatan Padang Barat, Padang Timur, Padang Utara, Nanggalo, sebagian
Kecamatan Kuranji, Kecamatan Padang Selatan, Kecamatan Lubuk Begalung dan
Kecamatan Koto Tangah. Kawasan dengan kelerengan lahan antara 2–15 persen
tersebar di Kecamatan Koto Tangah, Kecamatan Pauh dan Kecamatan Lubuk
Kilangan yakni berada pada bagian tengah Kota Padang. Kawasan dengan
kelerengan lahan 15–40 persen tersebar di Kecamatan Lubuk Begalung, Lubuk
Kilangan, Kuranji, Pauh dan Kecamatan Koto Tangah. Sedangkan kawasan
dengan kelerengan lahan lebih dari 40 persen tersebar di bagian Timur Kecamatan
Koto Tangah, Kuranji, Pauh, dan bagian Selatan Kecamatan Lubuk Kilangan dan
Lubuk Begalung serta sebagian besar Kecamatan Bungus Teluk Kabung.
Kawasan dengan kelerengan lahan lebih dari 40 persen ini merupakan kawasan
yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung (Bappeda Kota Padang,
2010).
Selain dari perbedaan ketinggian bentuk topografi, Kota Padang juga
memiliki bentuk pantai yang bervariasi. Bentuk pantai daerah ini adalah landai
60
dan curam serta dibeberapa lokasi pantainya memiliki teluk-teluk dan tanjung
yang dikelilingi oleh pulau-pulau kecil. Pantai yang terjal (curam) dan dalam
sebagian besar terdapat di daerah Kecamatan Bungus Teluk Kabung.
Kota Padang berhubungan langsung dengan Samudera Hindia dan
sebahagian wilayahnya merupakan deretan pegunungan Bukit Barisan yang
memanjang dari barat laut ke tenggara. Hal ini mengakibatkan topografi wilayah
Kota Padang mempunyai kemiringan mulai dari yang landai sampai ketinggian
500 m di atas permukaan laut. Topografi kawasan pesisir Kota Padang dapat
dikelompokkan dalam enam kelompok yang disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Klasifikasi Topografi Kawasan Pesisir Kota Padang
No. Kawasan Pesisir Ketinggian
(m) DPL Keterangan
1 Padang Sarai-Batang Arau 0-10 Pedataran pantai
2 Batang Arau-Labuhan Tarok 0-100 0-10 m dari permukaan laut relatif
kecil
3 Labuhan Tarok-Pasar Laban 0-100 0-10 m dari permukaan laut relatif
besar
4 Pasar Laban-Sungai Pisang 10-100
5 Sungai Pisang sekitarnya 0-100 0-10 m dari permukaan laut relatif
sangat kecil
6 Sungai Pisang-Pesisir Selatan 25-500
Sumber : Bappeda Kota Padang, 2010.
Melalui Tabel 7 dapat dilihat bahwa wilayah Kota Padang secara umum
pada bagian Utara mempunyai topografi yang landai. Pada bagian selatan Kota
Padang sebagian besar mempunyai topografi yang berbukit. Wilayah yang
mempunyai topografi relatif datar adalah Kecamatan Padang Utara, Padang Barat,
Padang Timur, Nanggalo, dan sebagian Kecamatan Kuranji, Pauh, Lubuk
Begalung, Lubuk Kilangan serta sebagian kecil Padang Selatan.
Wilayah perbukitan di Kota Padang terdapat di sebagian besar Kecamatan
Koto Tangah bagian timur, Kecamatan Pauh, Lubuk Kilangan dan Kecamatan
Bungus Teluk Kabung. Secara garis besar klasifikasi ketinggian Kota Padang
dapat dikelompokan atas 5 kelas ketinggian seperti yang disajikan pada Tabel 8.
Melalui data tersebut dapat diketahui persentase terbesar wilayah Kota Padang
berada pada ketinggian 100-500 meter dpl yakni hampir mencapai 30 persen dari
total wilayah.
61
Tabel 8. Klasifikasi Ketinggian Wilayah Kota Padang
No. Kelas Ketinggian Luas Wilayah (Km2) Persentase
1 0-25 meter dpl 149,50 21,51%
2 25-250 meter dpl 63,69 9,16%
3 100-500 meter dpl 205,30 29,54%
4 500–1000 meter dpl 164,22 23,63%
5 Lebih dari 1000 meter dpl 112,25 16,15%
Total 694,96 100,00%
Sumber : Bappeda Kota Padang, 2010
Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa wilayah Kota Padang yang
berada pada ketinggian 0-250 meter dpl sebesar 30,67 persen dan wilayah dengan
ketinggian di atas 250 meter mencapai 69,33 persen. Topografi wilayah yang
beragam ini secara tidak langsung akan menyebabkan karakteristik SDM,
pengelolaan SDA, penyebaran pemukiman serta berbagai kondisi kependudukan
lainnya berkaitan erat dengan kondisi wilayah tersebut.
Gambar 10. Sebagian Bentuk Topografi Kota Padang
Sumber : DKP Kota Padang, 2010
Gambar 10 menunjukkan sebagian bentuk topografi Kota Padang yang
terdiri atas pebukitan, pesisir pantai, dataran rendah dan dataran tinggi. Sedangkan
topografi pada pulau-pulau kecil yang terdapat di Kota Padang sebagian besar
berbentuk datar, berpasir dan berkarang. Pulau-pulau yang terdapat di Kota
Padang sebagian besar pantainya agak landai sehingga seperti dataran dan
sebagian kecil saja yang pantainya agak curam atau dalam. Pulau-pulau yang
pantainya agak curam biasanya pantai berbatu seperti Pulau Ular, Pisang Gadang,
Pasumpahan, dan Sironjong.
62
5.2.2. Oseanografi
Kota Padang mempunyai garis pantai sepanjang ±84 km dan luas
kewenangan pengelolaan perairan ±72.000 ha serta 19 pulau-pulau kecil. Secara
fisik administratif ada 6 kecamatan yang bersentuhan langsung dengan pantai
yaitu: Kecamatan Koto Tangah, Kecamatan Padang Utara, Kecamatan Padang
Barat, Kecamatan Padang Selatan, Kecamatan Lubuk Begalung dan Kecamatan
Bungus Teluk Kabung. Wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil ini mempunyai
potensi sumber daya alam yang dapat pulih (renewable) antara lain perikanan,
hutan bakau, terumbu karang, padang lamun, estuaria, dan pulau-pulau kecil. Peta
Rencana Pola Ruang Laut Kota Padang terdapat pada Lampiran 4.
Pulau-pulau kecil di Kota Padang menyimpan potensi ekonomi yang
tinggi. Hal ini didasari oleh karakteristik pulau yang unik serta pesona bahari yang
tinggi. Kondisi pulau-pulau kecil di Kota Padang umumnya memiliki karakteristik
landai, hanya beberapa pulau yang mempunyai ketinggian sampai 100 m dpl,
yaitu; Pulau Pasumpahan, Pulau Sikuai, Pulau Sironjong. Karakteristik pantai
pulau-pulau kecil secara rinci dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Karakteristik Pulau-Pulau di Wilayah Kota Padang
No. Nama Pulau Kecamatan Luas
(ha)
Keliling
(m)
Karakteristik
Pantai Jenis Pantai
1 Bintangur Bungus 56,78 3.396,80 Landai, curam Pasir, batu, cadas
2 Sikuai Bungus 48,12 3.198,11 Landai, curam Pasir, batu, cadas
3 Toran Padang Selatan 33,67 2.277,23 Landai Pasir, batu
4 Bindalang Padang Selatan 27,06 1.996,47 Landai Pasir, batu
5 Pisang Padang Selatan 26,19 2.007,05 Landai, curam Pasir, batu, cadas
6 Pandan Padang Selatan 24,32 1.821,77 Landai Pasir, batu
7 Sirandah Bungus 19,18 1.741,27 Landai Pasir, batu
8 Pasumpahan Bungus 16,90 1.916,02 Landai, curam Pasir, batu, cadas
9 Sibonta Bungus Kabung 13,18 1.423,56 Landai Pasir, batu
10 Sao Koto Tangah 12,46 1.310,79 Landai Pasir, batu
11 Sironjong Bungus 11,04 1.381,15 Curam Cadas, pasir
12 Sinyaru Bungus 7,90 1.139,06 Landai Pasir, batu
13 Setan Bungus 7,81 1.331,92 Landai, curam Batu, cadas
14 Air Koto Tangah 7,09 990,20 Landai Pasir, batu
15 Pasir Gadang Padang Selatan 4,91 891,71 Landai Pasir, batu
16 Setan Kecil Bungus 3,33 692,47 Landai, curam Batu, cadas
17 Pisang Ketek Padang Selatan 3,02 846,43 Landai, curam Batu, cadas
18 Kasik Bungus 1,73 483,82 Landai Pasir, batu
19 Ular Bungus 1,38 594,98 Curam Cadas
Sumber : DKP Kota Padang 2011.
63
Kota Padang selain memiliki kekhasan bentuk pulau-pulau juga
mempunyai bentuk pantai yang bervariasi dan indah. Pantai-pantai di Kota
Padang memiliki karakteristik landai dan curam. Jenis pantai yang terdapat pada
wilayah ini terdiri atas pantai berpasir, berbatu, cadas dan berlumpur. Kota
Padang memiliki 16 pantai dengan karakteristik yang berbeda. Pengelompokan
pantai menurut karakteristiknya secara rinci dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Karakteristik Pantai di Kota Padang
No. Pantai Karakteristik Jenis Pantai
1 Padang Sarai – Parupuk Tabing Landai Pasir
2 Parupuk Tabing - Muaro Padang Landai Pasir, batu/krip
3 Batang Arau - Air Manis Curam Cadas
4 Air Manis Landai Pasir, batu
5 Air Manis - Teluk Bayur Curam Batu, cadas
6 Teluk Bayur - Sungai Baremas Landai Pasir, batu
7 Sungai Baremas - Labuhan Tarok Curam Cadas
8 Labuhan Tarok - Teluk Kabung Landai Pasir, batu
9 Teluk Labuhan Cina Landai Lumpur, pasir, batu
10 Labuhan Cina - Teluk Kaluang Landai, dan curam Pasir, batu, cadas
11 Teluk Kaluang Landai Lumpur
12 Teluk Kaluang - Teluk Buo Landai – curam Pasir, batu, cadas
13 Teluk Buo Landai Lumpur, pasir, batu
14 Teluk Buo - Sungai Pisang Landai, curam Pasir, batu, cadas
15 Sungai Pisang Landai Pasir, lumpur
16 Sungai Pisang - Pesisir Selatan Landai, curam, Pasir, batu, cadas
Sumber : DKP Kota Padang, 2001
Kota Padang memiliki dua jenis bentuk pantai yaitu bentuk pantai landai
dan curam/terjal. Bentuk landai tersebar di wilayah pesisir pantai mulai Purus
sampai perbatasan Kabupaten Padang Pariaman (Batang Anai). Sedangkan bentuk
pantai terjal dan perbukitan dicirikan dengan adanya tebing laut dengan dataran
sempit dibawahnya sebagaimana ditemukan pada Batang Arau sampai wilayah
Kecamatan Bungus Teluk Kabung.
Pantai berpasir (Sandy beach) adalah pantai berpasir di Pantai Padang
(terdiri beberapa macam tipe antara lain; pasir coklat keabu-abuan, pasir putih
kecoklatan dan pasir putih.
• Pasir coklat keabu-abuan merupakan materi pantai yang paling umum
ditemukan, tersebar di sekitar Pantai Padang mulai dari Muara Jambak
64
sampai Pantai Gunung Padang. Pasirnya sebagian besar berbutir kasar dan
terpilah sedang.
• Pasir putih kecoklatan adalah jenis yang tersebar di Pantai Bungus Teluk
Kabung sekitar lokasi wisata Pantai Carlos dan Pantai Carolin. Di Pantai
Carlos, vegetasi umumnya ditumbuhi oleh kelapa dan pohon waru, dengan
kelerengan pantai tinggi. Sedangkan vegetasi Pantai Carolin didominasi oleh
pohon waru dengan sedikit pohon kelapa.
• Pasir putih umumnya terdiri dari materi biogenik atau pecahan cangkang/
kerang yang terpilah sedang, tersebar di sekitar pantai-pantai pulau kecil
yaitu; Pulau Sikuai, Pulau Sironjong (Kelurahan Sungai Pisang), Pulau Sawo,
Pulau Air (bagian barat Muara Jambak).
Pantai berbatu dan bertebing (rocky beach) dapat dibagi menjadi dua
macam tipe yaitu :
• Pantai berbatu terdapat di selatan Kota Padang di Air Manis, Teluk Bayur
(Tanjung Selatan), Selatan Teluk Bungus dan di sekitar Kelurahan Sungai
Pisang.
• Pantai berbatu terjal/tebing bersusunan basal tersebar sekitar Gunung Padang
Barat, Kelurahan Sungai Pisang, Teluk Buo, Ujung Nibung Ujung Sungai
Brameh, Ujung Jungut Batupati (bagian selatan Teluk Bayur).
Secara umum, pembentukan pantai ini berasal dari keadaan struktur
geologi, geomorfologi turf vulkan, batuan andesit/basalt. Jenis batuan tersebut
banyak mengandung deposit mineral, terutama dalam bentuk bahan galian
golongan C seperti pasir, tanah liat, kerikil, koral, batu kali dan bebagai jenis
batuan lainnya.
Kerusakan lingkungan pantai di Kota Padang umumnya diakibatkan oleh
abrasi, sedangkan sedimentasi dalam jumlah kecil terjadi pada muara-muara
sungai di Teluk Bungus dan Perairan Sungai Pisang. Terjadinya abrasi juga
disebabkan oleh arus yang melalui pulau kecil dan saat-saat tertentu terjadi
gelombang besar dari Lautan Hindia serta semakin berkurangnya pohon-pohon
pelindung di pinggir pantai seperti hutan mangrove sehingga hantaman ombak
langsung ke pantai. Daerah-daerah yang sering terkena abrasi pantai adalah Ulak
Karang, Purus, Air Tawar dan Tabing (Bappeda Kota Padang, 2010).
65
Proses abrasi Pantai Padang dimulai sejak 70an tahun yang lalu, yang
disebabkan oleh terganggunya keseimbangan antara sedimen yang hanyut dan
sedimen yang terendapkan. Pada awalnya sedimen yang terangkut sebagian
berasal dari selatan Pantai Padang, pengangkutan sedimen tersebut sekarang ini
tidak lagi terjadi disebabkan perubahan morfologi pantai bahagian selatan. Proses
abrasi pantai di Kota Padang telah mulai berkurang, karena sepanjang pantai telah
di bangun penahan abrasi berupa krib. Parameter Hidro Oseanografi Kota Padang
(DKP Kota Padang, 2005) yaitu:
a. Arus dan Angin
Perairan Kota Padang dan sekitarnya memiliki pola arus permukaan yang
umumnya sangat dipengaruhi oleh pola angin geostropik atau angin muson.
Berdasarkan karakteristik iklim di belahan bumi selatan (southtern
emisphere), maka kawasan sepanjang Pantai Padang dipengaruhi oleh
angin musim barat yang bertiup Bulan November sampai Maret dan angin
musim timur bertiup dari Bulan Mei sampai September. Angin musim
barat dan timur di perairan Kota Padang berkekuatan rata-rata 9–11 knot
bertiup ke arah tenggara (hampir sejajar dengan garis Pantai Padang) dan
rata-rata 8 knot dengan pola berubah-ubah namun arah dominannya hampir
tegak lurus garis pantai. Lemahnya kecepatan angin musin timur disebabkan
karena arah angin musim timur telah mengalami pembelokan arah akibat
gaya Coriolis pada saat ITCZ (Inter Tropical Convergence Zone) yang
berada di bagian selatan khatulistiwa. Selain itu di perairan Kota Padang
juga terjadi arus pantai yang diakibatkan oleh gelombang. Arus ini
berpengaruh terhadap abrasi dan sedimentasi pantai, sehingga menjadikan
tinggi gelombang laut yang terjadi berkisar antara 0,5–2,0 meter
b. Pasang Surut (Pasut)
Jenis pasang surut yang terdapat di perairan Kota Padang adalah tipe
campuran condong ke harian ganda (mixed semi diurnal tide) yaitu terjadi
dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari. Abrasi yang tergolong kuat
dan merusak di perairan dan sekitarnya dipengaruhi arus pasang yang
menimbulkan gelombang pasang dan mempengaruhi pola arus sejajar pantai
66
5.2.3. Hidrologi
Wilayah Kota Padang dilalui oleh banyak aliran sungai besar dan kecil.
Terdapat tidak kurang dari 23 aliran sungai yang mengalir di wilayah Kota
Padang dengan total panjang mencapai 155,40 km (10 sungai besar dan 13 sungai
kecil). Umumnya sungai-sungai besar dan kecil yang ada di wilayah Kota Padang
ketinggiannya tidak jauh berbeda dengan tinggi permukaan laut. Kondisi ini
mengakibatkan cukup banyak bagian wilayah Kota Padang yang rawan terhadap
banjir/genangan (Bappeda Kota Padang, 2010).
Wilayah pesisir Kota Padang tercakup dalam Daerah Aliran Sungai (DAS)
Batang Kandis, Kuranji dan Air Dingin (utara) serta DAS Batang Arau, Lubuk
Paradu dan Timbulun (selatan). Beberapa sungai besar yang mendominasi daerah
aliran sungai di sekitar Kota Padang membentuk pola aliran sungai tertentu
berupa pedial, sub dendritik dan dendritik. Pola aliran sungai itu yaitu (dari utara
ke selatan):
• Batang Anai bermuara di Kelurahan Pasia Nan Tigo.
• Air Dingin bermuara di Kelurahan Pasia Nan Tigo.
• Batang Kuranji bermuara di Kelurahan Ulak Karang Utara.
• Batang Arau termasuk Sungai Banjir Kanal (merupakan sungai yang
dipecah dari Batang Arau) bermuara di Muaro Pantai Padang.
• Air Pinang bermuara di Muaro Bungus Teluk Kabung.
Pola pengaliran yang berkembang di wilayah ini berkisar antara dendritik
hingga sub-dendritik. Pola dendritik banyak berkembang pada bagian timur laut
wilayah Kota Padang yang sekaligus mewakili wilayah dengan ketinggian lebih
besar. Sementara pola sub-dendritik berkembang pada bagian barat daya wilayah
Kota Padang terutama di sekitar wilayah pemukiman.
Muka air tanah di wilayah Kota Padang yang tercermin dari aliran sungai,
sumur gali maupun beberapa data pemboran teknik umumnya dangkal hingga
sangat dangkal, hal ini dipengaruhi oleh faktor litologi yang melandasi paparan
dataran Kota Padang yang berupa endapan aluvial dan dataran pantai Holosen.
Arah aliran air tanah di dalam akifer di daerah ini umumnya terdiri dari material
lapisan pasir halus hingga sangat kasar, lapisan lanau dan yang semipermeable
yaitu lanau-lempung dengan jenis akifer bebas. Endapan sedimen kuarter tersebut
67
dengan distribusi muka air tanah yang dangkal dapat memungkinkan untuk
terjadinya fenomena likuifaksi di beberapa lokasi tertentu (Bappeda Kota Padang,
2010). Peta Hidrologi dan Tata Air Kota Padang terdapat pada Lampiran 5.
5.2.4. Klimatologi
Kota Padang termasuk daerah yang curah hujannya tinggi dengan rata-rata
3000–4000 mm per tahun. Curah hujan rata-rata tahunan Kota Padang pada tahun
2008 sebesar 4.7619 mm, dengan curah hujan rata-rata 385 mm/bulan. Curah
hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari dengan curah hujan 776 mm dan
terendah pada Bulan Mei dengan curah hujan 167 mm. Suhu udara rata-rata Kota
Padang sepanjang tahun 2008 berkisar antara 22,0ºC–31,7ºC dan kelembaban
udara rata-rata berkisar antara 70-84 persen (Bappeda Kota Padang, 2010).
5.2.5. Geologi
Secara regional wilayah Kota Padang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Sistem Sesar Besar Sumatera (Sumatera Great Fault System).
Sesar Semangko yang terdapat pada bagian tengah Pulau Sumatera dan palung
laut di barat Pulau Sumatera mengapit wilayah Kota Padang dan sekaligus
merupakan kontrol bagi terjadinya kegiatan tektonik di wilayah ini. Struktur
geologi yang berkembang di Kota Padang umumnya berupa patahan/sesar
mendatar dengan arah barat laut–tenggara dan timur laut–barat daya, beberapa
diantaranya berarah hampir utara–selatan dan barat–timur.
Struktur geologi di wilayah Kota Padang pada umumnya tertutupi oleh
endapan kuarter. Banyaknya kekar-kekar pada litologi yang berumur pra-tersier
menunjukkan terjadinya kegiatan tektonik yang intensif pasca terbentuknya
batuan ini dan mengingat tidak adanya singkapan struktur geologi pada
permukaan endapan kuarter, maka dapat dipastikan bahwa struktur geologi pra-
tersier dan tersier tertutupi oleh endapan kuarter. namun demikian juga dijumpai
adanya struktur geologi yang teramati pada litologi berumur kuarter.
Kota Padang merupakan endapan kuarter berupa dataran pantai yang
berumur holosen yang berhadapan dengan endapan laut terbuka yang dibagian
timur dibatasi berupa patahan-patahan yang berarah hampir barat laut–tenggara,
68
dicirikan oleh endapan kuarter yang terdiri dari endapan aluvial, rawa, dan
pematang pantai. Dataran tersebut terpisah oleh laut terbuka dan pematang pantai
yang bagian belakangnya terbentuk rawa-rawa pantai sebagai endapan swamp.
Gambaran geologi pesisir ini dicirikan oleh endapan pasir lepas, kerikil dengan
terputusnya lapisan lanau dan lempung. Peta geologi Kota Padang terdapat pada
Lampiran 6.
Indikasi terdapatnya struktur geologi di wilayah Kota Padang
diperkirakaan berupa sesar-sesar yang berarah barat-timur pada skala yang lebih
besar dan sesar-sesar relatif kecil dengan arah relatif utara. Struktur ini didapati
pada satuan litologi tufa Kristal (QTt) yang terdapat pada wilayah timur Kota
Padang. Hubungan antara aktivitas megastruktur geologi (Mandala Tektonik)
dalam hal ini Sistem Sesar Besar Sumatera ataupun Palung Laut di Samudera
Hindia dengan aktivitas unit struktur geologi segmentasi Sesar Sumatera di
wilayah Kota Padang sangat jelas terlihat pada peristiwa-peristiwa gempa yang
pernah terjadi (Bappeda Kota Padang, 2010).
5.2.6. Litologi
Litologi yang menutupi wilayah Kota Padang secara umum didominasi
oleh endapan aluvium kuarter (Qal) terutama pada wilayah radius 5 sampai 10
kilometer dari garis pantai ke arah timur laut. Endapan ini terdiri dari material
berupa lanau, pasir dan kerikil serta terdapat butiran-butiran batu apung. Bagian
selatan Kota Padang sebagian berupa litologi lahar, konglomerat dan endapan-
endapan kolovium lain yang merupakan bagian dari satuan batuan aliran yang tak
teruraikan (Qtau) menurut Peta Geologi lembar Padang. Satuan batuan berupa
Tufa Kristal (QTt) yang keras juga terdapat di bagian selatan Kota Padang.
Satuan batuan lain yang terdapat di wilayah pantai Kota Padang adalah
andesit dan tufa yang terdapat berselingan (QTta). Di beberapa tempat pada
satuan ini juga dijumpai andesit sebagai inklusi di dalam tufa. Satuan batuan kipas
aluvium (Qf) terdapat pada beberapa tempat pada radius kurang lebih 10
kilometer arah timur laut garis pantai. Satuan ini merupakan hasil rombakan
gunung api strato yang permukaannya ditutupi oleh bongkah-bongkah andesit
(Bappeda Kota Padang, 2010).
69
Wilayah Kota Padang juga terdapat satuan batu gamping hablur (pTls)
yang merupakan litologi berumur pra-tersier dan menempati bagian timur wilayah
Kota Padang. Litologi ini memiliki ciri khas membentuk punggungan-
punggungan tajam. Struktur geologi berupa kekar-kekar berkembang intensif pada
satuan ini. Satuan berumur pra-tersier lain yang terdapat di wilayah timur Kota
Padang adalah satuan batuan yang terdiri dari litologi berupa filit, batu lanau meta
dan batu pasir meta (pTps). Litologi ini biasanya mendasari bukit-bukit atau
punggungan yang relatif landai. Masing-masing satuan batuan yang terdapat di
wilayah Kota Padang memiliki daya dukung yang bervariasi. Daya dukung
masing-masing jenis batuan ditampilkan pada Tabel 11.
Tabel 11. Jenis Batuan dan Daya Dukungnya
No. Simbol Jenis Batuan Daya Dukung
1 Qtau
Aliran yang tak teruraikan ; jenis batuan vulkanik
yang tak dipisah aliran lahar, konglomerat dan
endapan koluvium
rendah
2 Qal Alluvium; terdiri dari lempung, pasir, kerikil, pasir
dan bongkahan
rendah - sedang
3 Q t Kipas alluvium; terdiri rombakan batuan andesit
berupa bongkahan dari gunung api
sedang - tinggi
4 QTt Tufa kristal; jenis batuan tufa basal, tufa abu,
lapili, tufa basal berkaca, dan pecahan lava .
sedang - tinggi
5 Qta dan
QTp
Andesit dan Tufa sedang - tinggi
6 PTls Batu gamping; dari lunak sampai keras sedang - tinggi
7 PTps Fillit, kwarsit, batu lanau meta. Lokasi terlihat
pada singkapan sekitar Koto Lalang jalan ke arah
Solok yang mendasari bukit-bukit dan pegunungan
yang landai
sedang
Sumber : Bappeda Kota Padang, 2010
5.2.7. Geomorfologi
Morfologi merupakan aspek yang sangat penting dalam pembahasan
kebencanaan maupun dalam kaitannya dengan penataan ruang. Wilayah Kota
Padang memiliki topografi yang bervariasi, perpaduan daratan yang landai dan
perbukitan bergelombang yang curam. Sebagian besar topografi wilayah Kota
Padang memiliki tingkat kelerengan lahan rata-rata lebih dari 40 persen.
70
Menurut data Bappeda Kota Padang (2010), sebagian wilayah Kecamatan
Padang Barat merupakan daerah dengan morfologi berupa dataran pantai (M4)
yang tersusun dari litologi dominan pasir dan lempung. Dataran pantai ini juga
terdapat di pantai barat Kecamatan Padang Utara. Wilayah Kecamatan Padang
Utara merupakan morfologi berupa rawa buri (F3) dan pematang pantai (M1).
Sebagian besar wilayah Kecamatan Pauh, Padang Timur dan Kuranji merupakan
morfologi kipas alluvial (F4) yang tersusun atas litologi berupa lanau, pasir,
kerikil dan bongkah. Sebagian besar wilayah Kecamatan Koto Tangah memiliki
morfologi berupa dataran alluvial (F1) yang tersusun dari litologi berupa
lempung, lanau pasir dan kerikil.
Ketinggian wilayah Kota Padang dari permukaan laut juga bervariasi,
mulai 0 m dpl sampai lebih dari 1.000 m dpl. Kawasan dengan kelerengan lahan
antara 0–2 persen umumnya terdapat di Kecamatan Padang Barat, Padang Timur,
Padang Utara, Nanggalo, sebagian Kecamatan Kuranji, Kecamatan Padang
Selatan, Kecamatan Lubuk Begalung dan Kecamatan Koto Tangah. Kawasan
dengan kelerengan lahan antara 2–15 persen tersebar di Kecamatan Koto Tangah,
Kecamatan Pauh dan Kecamatan Lubuk Kilangan yakni berada pada bagian
tengah Kota Padang dan kawasan dengan kelerengan lahan 15–40 persen tersebar
di Kecamatan Lubuk Begalung, Lubuk Kilangan, Kuranji, Pauh dan Kecamatan
Koto Tangah. Sedangkan kawasan dengan kelerengan lahan lebih dari 40 persen
tersebar di bagian timur Kecamatan Koto Tangah, Kuranji, Pauh, dan bagian
selatan Kecamatan Lubuk Kilangan dan Lubuk Begalung dan sebagian besar
Kecamatan Bungus Teluk Kabung. Kawasan dengan kelerengan lahan lebih dari
40 persen ini merupakan kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan
lindung.
5.3. Kondisi Kependudukan
5.3.1. Jumlah dan Perkembangan Penduduk
Penduduk Kota Padang tahun 2009 berjumlah 875.750 jiwa. Selama kurun
waktu 10 tahun (1999–2009), jumlah penduduk Kota Padang bertambah sebanyak
89.706 jiwa atau 11,41 persen, atau rata-rata tumbuh sekitar 1,14 persen per
tahun. Koto Tangah merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak
71
(18,96 persen) sedangkan Kecamatan Bungus Teluk Kabung merupakan
kecamatan dengan jumlah penduduk terkecil (2,79 persen). Tiga kecamatan
memiliki pertumbuhan penduduk yang negatif, yakni Kecamatan Padang Barat,
Padang Utara dan Nanggalo.
Tabel 12. Sebaran dan Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Padang Tahun 1999
dan Tahun 2009
No. Kecamatan Luas
(Km²)
Jumlah Penduduk
(Jiwa)
Kepadatan Penduduk
(Jiwa/Km²)
1999 2009 1999 2009
1 Bungus Teluk Kabung 100,78 21.740 24.417 216 242
2 Lubuk Kilangan 85,99 39.962 44.552 465 518
3 Lubuk Begalung 30,91 97.295 109.793 3.148 3.552
4 Padang Selatan 10,03 63.707 64.458 6.352 6.427
5 Padang Timur 8,15 85.812 88.510 10.529 10.860
6 Padang Barat 7,00 72.641 62.010 10.377 8.859
7 Padang Utara 8,08 85.654 77.509 10.601 9.593
8 Nanggalo 8,07 68.355 59.851 8.470 7.416
9 Kuranji 57,41 79.831 123.771 1.391 2.156
10 Pauh 146,29 42.917 54.846 293 375
11 Koto Tangah 232,25 128.130 166.033 552 715
Total 694,96 786.044 875.750 1.131 1.260
Sumber : Bappeda Kota Padang 2010
Perkembangan jumlah penduduk Kota Padang dalam 24 tahun terakhir
menunjukkan kecenderungan pertambahan yang tidak terlalu signifikan. Pada
tahun 1986 penduduk Kota Padang tercatat sebanyak 564.440 jiwa, dan pada
tahun 2009 bertambah menjadi 875.750 jiwa. Jadi dalam kurun waktu 1986-2009,
jumlah penduduk Kota Padang bertambah sebanyak 311.310 jiwa atau 55,15
persen, atau rata-rata tumbuh sekitar 2,30 persen per tahun.
5.3.2. Komposisi Penduduk
Rasio penduduk berdasarkan jenis kelamin, penduduk perempuan
(304.828 jiwa) lebih banyak dari penduduk laki-laki (289.849 jiwa) dengan rasio
(51,26:48,74). Komposisi penduduk Kota Padang menurut kelompok umur
menunjukkan pola piramida yang menggambarkan penduduk berusia muda (<50
tahun) memiliki jumlah terbesar (96%), dan semakin tinggi kelompok umurnya
semakin sedikit jumlahnya. Kelompok penduduk pada kelompok usia produktif
72
(15-44 tahun) mencapai 578,484 jiwa (282.005 laki-laki dan 296.479 perempuan),
kelompok usia produktif ini mencapai 66,06 persen dari jumlah penduduk Kota
Padang, terdiri dari laki-laki sebesar 32 persen dan perempuan 34 persen.
Gempa yang terjadi di Kota Padang berdampak pula terhadap jumlah
penduduk. Berdasarkan hasil evaluasi korban gempa yang dilakukan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Kota Padang sebanyak 383 jiwa telah
meninggal dunia akibat gempa. Kecamatan Padang Barat merupakan kecamatan
yang mengalami korban meninggal terbanyak yaitu 81 jiwa sedangkan Kecamatan
Lubuk Kilangan adalah yang paling sedikit yaitu sebanyak 5 jiwa meninggal.
Melalui data penduduk Kota Padang yang berumur 5 tahun ke atas,
persentase terbesar adalah tidak bersekolah lagi sebesar 67,99 persen, sedangkan
yang masih bersekolah sebesar 29,31 persen. Penduduk yang masih sekolah,
persentase terbesar adalah kelompok umur 7-12 tahun atau jenjang SD sebesar
11,92 persen, jenjang SLTP 6,24 persen dan jenjang SLTA sebesar 4,01 persen.
Secara rinci presentase penduduk menurut tingkat pendidikan di Kota Padang
disajikan dalam Tabel 13.
Tabel 13. Persentase Penduduk 5 Tahun ke atas menurut Tingkat Pendidikan di
Kota Padang
No. Kelompok
Umur (tahun)
Jenjang
Sekolah
Tidak/Belum
Pernah
Sekolah (%)
Masih
Sekolah
(%)
Tidak
Bersekolah
Lagi (%)
Total (%)
1 5 - 6 TK 1,88 1,58 0,00 3,46
2 7 - 12 SD 0,06 11,92 0,03 12,01
3 13 - 15 SLTP 0,03 6,24 0,48 6,75
4 16 - 18 SLTA 0,06 4,01 1,24 5,31
5 > 18 PT 0,66 5,56 66,24 72,46
Jumlah
2,69 29,31 67,99 100,00
Sumber : BPS Kota Padang, 2010
5.3.3. Ketenagakerjaan
Melalui data penduduk Kota Padang yang berumur 15 tahun ke atas tahun
2009 (630,919 jiwa), angkatan kerja mencapai 54,75 persen (345,428 jiwa).
Sebesar 45,25 persen (285,491 jiwa) adalah bukan angkatan kerja, termasuk
didalamnya adalah orang yang bersekolah, mengurus rumah tangga dan lain-lain.
73
Presentase penduduk berumur 10 tahun ke atas menurut jenis kegiatan dan
kelamin diuraikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke atas menurut Jenis
Kegiatan dan Jenis Kelamin
No. Jenis Kegiatan Laki-laki Perempuan Jumlah
1 Angkatan Kerja 69,69% 39,80% 54,75%
a. Bekerja 59,97% 32,11% 46,04%
b. Mencari Pekerjaan 9,72% 7,68% 8,70%
2 Bukan Angkatan Kerja 30,31% 60,20% 45,26%
a. Sekolah 18,89% 21,04% 19,97%
b. Mengurus Rumahtangga 1,31% 35,13% 18,22%
c. Lainnya 10,11% 4,04% 7,08%
Total 100,00% 100,00% 100,00%
Sumber : Bappeda Kota Padang, 2010
Persentase angkatan kerja penduduk Kota Padang berumur 10 tahun ke
atas adalah sebanyak 54,75 persen, 46 persen didalamnya adalah dengan status
bekerja. Sedangkan jumlah penduduk yang sedang mencari pekerjaan adalah 8,7
persen. Melalui Tabel 14, diketahui bahwa persentase terbesar penduduk Kota
Padang bekerja di sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 35,40 persen
dan sektor jasa-jasa sebesar 31,16 persen. Hal yang menarik pada dua sektor ini
adalah penyumbang tenaga kerja terbesar berjenis kelamin perempuan. Jumlah
penduduk yang bekerja di bidang perikanan tangkap diuraikan pada Tabel 23.
Tabel 15. Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun ke atas yang Bekerja menurut
Lapangan Usaha di Kota Padang
No. Lapangan Usaha Jenis Kelamin
Jumlah Laki-laki Perempuan
1 Pertanian 7,55 % 1,54% 4,55%
2 Pertambangan dan Penggalian 1,48% 0,00% 0,74%
3 Industri 4,49% 4,37% 4,43%
4 Listrik, Gas dan Air Bersih 1,22% 0,21% 0,72%
5 Konstruksi 8,54% 0,64% 4,59%
6 Perdagangan, Hotel & Restoran 24,31% 46,48% 35,40%
7 Komunikasi dan Transportasi 14,83% 1,01% 7,92%
8 Keuangan 3,20% 1,04% 2,12%
9 Jasa-jasa 25,89% 36,43% 31,16%
10 Lainnya 8,50% 8,28% 8,39%
Total 100,00% 100,00% 100,00%
Sumber : Bappeda Kota Padang, 2010
74
5.3.4. Tingkat Kesejahteraan Penduduk
Secara umum, kondisi tingkat kesejahteraan penduduk di Kota Padang
dapat dikatakan sudah cukup baik. Hal ini terindikasi dari data kondisi tingkat
kesejahteraan keluarga pada akhir tahun 2008, dari total 168.808 keluarga,
ternyata sebagai besar yaitu sekitar 92,05 persen (164.049 keluarga) merupakan
kelompok Keluarga Sejahtera (KS) dengan proporsi terbesar pada KS III sekitar
34,76 persen, disusul oleh KS II sekitar 33,46 persen, KS I sekitar 20,11 persen,
dan KS Plus sekitar 8,84 persen, dan selebihnya yaitu sekitar 7,95 persen (4.759
keluarga) merupakan kelompok keluarga Pra Sejahtera.
Tabel 16. Jumlah Keluarga menurut Tingkat Kesejahteraan di Kota Padang
No. Kecamatan Tingkat Kesejahteraan (KK)
Jumlah PS KS I KS II KS III KS Plus
1 Bungus Tl. Kabung 294 1.514 1.641 1.246 412 5.107
2 Lubuk Kilangan 172 1.702 4.284 3.747 762 10.667
3 Luhuk Begalung 917 5.093 6.371 7.256 2.252 21.889
4 Padang Selatan 337 3.018 6.271 2.757 599 12.982
5 Padang Timur 405 2.633 5.007 7.268 1.778 17.091
6 Padang Barat 139 2.027 2.202 5.684 736 10.788
7 Padang Utara 71 1.734 3.614 5.045 1.416 11.880
8 Nanggalo 88 1.879 4.914 4.316 895 12.092
9 Kuranji 694 5.865 7.567 7.005 2.642 23.773
10 Pauh 31 2.675 4.335 3.015 643 10.699
11 Koto Tangah 1.611 5.814 10.282 11.337 2.796 31.840
Jumlah
4.759 33.954 56.488 58.676 14.931 168.808
7,95% 20,11% 33,46% 34,76% 8,84% 100,00%
Sumber : Bappeda Kota Padang, 2010
Ekonomi yang tumbuh semakin kuat dan disertai kenaikan PDRB per
kapita, belum diikuti oleh penyebaran kekayaan pada seluruh penduduk sehingga
masih terdapat kesenjangan. Kesenjangan itu tercermin pada angka gini ratio,
dimana semakin besar gini ratio semakin besar kesenjangan yang ada. Meski
ekonomi Kota Padang terus tumbuh, tetapi belum dapat dinikmati secara merata
oleh seluruh penduduk kota. Hal tersebut bisa dilihat dari angka gini ratio Kota
Padang yakni sebesar 0,2637 pada tahun 2008 yang berarti masih terjadi
ketimpangan distribusi pendapatan walaupun nilainya masih moderat.
Kesenjangan pendapatan antara kelompok penduduk, salah-satunya merefleksikan
masih banyaknya penduduk yang hidup dalam kemiskinan.
75
Dalam rangka pelaksanaan berbagai program pemerintah, khususnya
penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT), maka pendekatan yang digunakan
adalah jumlah rumah tangga miskin dan bukan jumlah penduduk miskin.
Pendataan yang dilakukan oleh BPS Kota Padang tahun 2006, jumlah Rumah
Tangga Miskin (RTM) di Kota Padang berjumlah 38.120 RTM. Tahun 2007
jumlahnya tetap 38.120 RTM, dan pada akhir tahun anggaran 2008 jumlah RTM
telah berkurang menjadi 29.661 RTM atau turun sebesar 22,19 persen. Namun
pada tahun 2009 jumlah rumah tangga miskin kembali meningkat jumlahnya
menjadi 35.148 RTM.
5.3.5. Kondisi Sosial Budaya
Salah satu ciri masyarakat Minangkabau adalah sistem kekerabatannya
yang bersifat matrilineal. Sistem sosial atas kehidupan kekerabatan yang
menganut sistem garis keturunan ibu ini menjadikan garis keturunan dan harga
benda-benda diperhitungkan melalui garis ibu bukan garis bapak, sehingga yang
berkuasa atas seluruh kelompok keluarga adalah saudara laki-laki seorang wanita
dan bukan suaminya. Pada sistem kekerabatan ini terdapat tiga unsur yang paling
dominan, yaitu (a) garis keturunan menurut garis ibu, (b) perkawinan harus
dengan kelompok lain, di luar kelompok sendiri yang saat ini dikenal istilah
eksogami matrilineal, dan (c) ibu memegang peran sentral dalam pendidikan,
pengamanan kekayaan dan kesejahteraan keluarga.
Aspek sosial budaya lainnya yang penting di Minangkabau adalah adanya
kepala-kepala suku yang diangkat menjadi penghulu atau kepala kaum atau kepala
suku. Kepala suku disebut penghulu suku dan berkuasa sepenuhnya secara adat
terhadap kaumnya dan segala urusan sukunya tidak dapat dicampuri oleh orang
atau kaum di luar sukunya. Sebagai masyarakat yang menganut paham
kekeluargaan, orang Minangkabau dilingkupi oleh lembaga-lembaga yang dijiwai
oleh sistem kekeluargaan tersebut dalam mengatur kehidupan sosial, budaya dan
ekonomi masyarakatnya.
Kota Padang jika dilihat dari kultur sejarah Minangkabau, maka termasuk
daerah rantau pesisir, sehingga budaya dan keseniannya juga sangat dipengaruhi
oleh kondisi tersebut. Pengaruh budaya daerah lain yang cukup kuat mewarnai
76
budaya dan kesenian di Kota Padang adalah budaya dan kesenian daerah Solok,
Padang Pariaman, dan Pesisir Selatan sebagai kawasan yang berbatasan langsung
dengan Kota Padang. Kota Padang sebenarnya masih memiliki budaya dan
kesenian yang khas, namun saat ini gambaran nilai budaya dan kesenian ini hanya
dapat dilihat di daerah pinggiran kota, seperti daerah Teluk Kabung, Kuranji, dan
Koto Tangah.
Minangkabau jika ditinjau dari sektor pendidikan, maka merupakan salah-
satu daerah pertama yang mewadahi gerakan pembaruan pendidikan Islam. Hal ini
dapat dibuktikan pada koreksi beberapa nilai adat yang tidak sesuai dengan nilai-
nilai Islam. Masyarakat Minangkabau merupakan komunitas yang sangat kuat
memegang teguh nilai-nilai adat, namun perlu diingat bahwa nilai-nilai adat
merupakan buatan manusia yang dapat berubah sesuai dengan kondisi, maka perlu
adanya penyesuaian nilai-nilai adat ketika nilai yang lama telah tidak relevan lagi.
Perubahan nilai-nilai dalam masyarakat tersebut akan menentukan masa depan
suatu masyarakat sehingga pendidikan memegang peran yang sangat penting.
Pendidikan bagi suatu masyarakat berfungsi sebagai penentu masa depan,
menjawab berbagai persoalan dalam masyarakat, sekaligus melestarikan nilai-
nilai dan warisan sosial-kultural tempat pendidikan tersebut dilaksanakan.
Sumatera Barat pada umumnya dan Minangkabau khususnya dikenal
sebagai daerah yang menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan agama, hal ini dapat
dilihat dari falsafah hidup yang telah menjadi cita-cita, dan pedoman dalam
kehidupan masyarakat yaitu nilai falsafah hidup “Adat Basandi Syarak, Syarak
Basandi Kitabullah”.
Kota Padang sebagai Ibukota Provinsi Sumatera Barat melalui RPJP 2005-
2020 telah menyusun program kegiatan untuk mendukung terwujudnya cita-cita
kembali ke nagari dan kembali ke surau dengan cara :
Mendorong peningkatan peran dan fungsi lembaga Ninik Mamak, Alim
Ulama dan Cadiak Pandai (tali tigo sapilin, tungku tigo sajarangan) dalam
pembinaan anak kemenakan dan anak nagari khususnya, dan masyarakat
dalam arti luas.
Mengembangkan dan memberikan mata pelajaran BAM (Budaya Alam
Minangkabau) sejak dari tingkat SD sampai dengan Perguruan Tinggi.
77
Mendorong aktivitas keagamaan dan perayaan hari besar agama.
Untuk terlaksananya program kegiatan ini harus didukung oleh prasarana
dan sarana yang memadai, baik dari segi kelembagaan maupun mekanisme
pelaksanaan. Nilai positif dari aspek sosial budaya yang merupakan kultur dari
masyarakat Kota Padang yang juga dimiliki oleh masyarakat Minangkabau pada
umumnya adalah nilai kebersamaan, demokratis dan gotong-royong. Barek samo
dipikua, ringan samo dijinjiang, saciok bak ayam, sadantiang bak basi, duduak
samo randah, tagak samo tinggi, duduak surang basampik-sampik, duduak
basamo balapang-lapang.
5.3.6. Kondisi Perekonomian
Kondisi perekonomian Kota Padang dijelaskan melalui laju pertumbuhan
ekonomi, struktur perekonomian dan inflasi yang diuraikan dalam sub bab sebagai
berikut:
a. Laju Pertumbuhan Ekonomi
Selama 10 tahun terakhir, laju pertumbuhan ekonomi Kota Padang dapat
dibagi menjadi dua pola kecenderungan, yaitu sebelum tahun 2000 dan
setelah tahun 2000. Sebelum tahun 2000, setelah mengalami pertumbuhan
yang cukup tinggi sampai tahun 1997, laju pertumbuhan ekonomi Kota
Padang mengalami koreksi sangat besar akibat terjadinya krisis ekonomi pada
tahun 1997-1998.
Pada periode 1999 sampai 2009 laju pertumbuhan ekonomi Kota Padang
menunjukkan kecenderungan pertumbuhan yang cukup stabil pada kisaran
angka 5-6 persen per-tahun. Apabila dibandingkan dengan laju pertumbuhan
ekonomi Provinsi Sumatera Barat dan laju pertumbuhan ekonomi nasional,
laju pertumbuhan ekonomi Kota Padang terlihat masih di bawah rata-rata
provinsi dan nasional.
Sebelum gempa pertumbuhan ekonomi Kota Padang tahun 2008 mencapai
6,21 persen, setelah gempa, tahun 2009 pertumbuhan ekonomi Kota Padang
turun menjadi 5,08 persen yang merupakan pertumbuhan terendah selama
periode 2002-2009. Pertumbuhan ekonomi Kota Padang ini jika
dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Barat tahun
78
8,82% 9,05% 9,12%
6,48%
-7,76%
1,49%
4,47% 4,07%
5,30% 5,55% 5,89% 5,29% 5,12%
6,14% 6,21%
5,08%
-10,0%
-8,0%
-6,0%
-4,0%
-2,0%
0,0%
2,0%
4,0%
6,0%
8,0%
10,0%
12,0%
1994199519961997199819992000200120022003200420052006200720082009
laju
pe
rtu
mb
uh
an
(%
)
2009, maka kondisi Kota Padang jauh lebih baik. Sehingga dapat ditarik
kesimpulan bahwa faktor bencana menjadi salah satu parameter penting
dalam pertumbuhan ekonomi daerah. Perkembangan laju pertumbuhan
ekonomi Kota Padang dapat dilihat pada Tabel 17 dan Gambar 11.
Tabel 17. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Padang
No. T a h u n Laju Pertumbuhan
Ekonomi Keterangan
1 1994 8,82%
2 1995 9,05%
3 1996 9,12%
4 1997 6,48%
5 1998 -7,76% krisis ekonomi
6 1999 1,49%
7 2000 4,47%
8 2001 4,07%
9 2002 5,30% Mulai digunakan tahun dasar 2000 untuk
menghitung PDRB atas dasar harga konstan 10 2003 5,55%
11 2004 5,89%
12 2005 5,29%
13 2006 5,12%
14 2007 6,14%
15 2008 6,21%
16 2009 5,08%
Sumber : Padang Dalam Angka 1999–2010, Bappeda Kota Padang dan BPS
Kota Padang.
Gambar 11. Grafik Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Padang
Sumber : Padang Dalam Angka 1999–2010, Bappeda Kota Padang dan BPS Kota
Padang.
79
b. Struktur Perekonomian
Struktur perekonomian Kota Padang pada tahun 2009 masih didominasi oleh
sektor pengangkutan dan komunikasi dengan kontribusi sebesar 24,31 persen,
diikuti oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan konstribusi
sebesar 20,85 persen. Besaran nilai PDRB Kota Padang berdasarkan harga
berlaku menunjukkan nilai PDRB yang meningkat dari Rp 20,14 triliun tahun
2008 meningkat menjadi Rp 21,84 triliun menjadi 2009, walaupun dengan
kenaikan yang tidak sebesar dari tahun 2007 yang sebesar Rp 17,37 triliun.
Nilai PDRB Kota Padang berdasarkan harga konstan tahun 2000 juga
menunjukkan peningkatan dari Rp 10,80 triliun tahun 2008 meningkat
menjadi Rp 11,35 triliun menjadi 2009, terjadi kenaikan yang cukup besar
jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. (PDRB Kota Padang dan
PDRB Provinsi Sumatera Barat atas harga konstan termuat dalam Lampiran 7
dan Lampiran 8). Struktur ekonomi Kota Padang pasca gempa pada tahun
2009 masih tetap didominasi oleh sektor pengangkutan dan komunikasi
diikuti dengan sektor perdagangan, hotel dan restoran sektor jasa-jasa sebesar
16,99 persen dan sektor industri sebesar 14,97 persen.
c. Inflasi
Pasca gempa bumi 30 September 2009, Kota Padang mengalami deflasi
selama 2 bulan berturut-turut. Satu bulan pasca gempa bumi terjadi, inflasi
Kota Padang merupakan yang tertinggi dibandingkan kota lain di Indonesia
yaitu sebesar 1,78 persen (m-t-m). Pada bulan selanjutnya, Kota Padang
justru mengalami deflasi yang cukup dalam yaitu sebesar -0,53 persen (m-t-
m) di Bulan November dan -0.65 persen (m-t-m) di Bulan Desember.
Banyaknya obat-obatan dan bahan makanan yang masuk ke Kota Padang
selama periode ini lebih bersifat bantuan sehingga dapat dikatakan bahwa
sebenarnya sebagian besar aktivitas ekonomi di Kota Padang masih terhenti.
Selain itu, hancurnya beberapa pusat perdagangan serta terbatasnya kapasitas
konsumsi masyarakat membuat tingkat inflasi juga tidak mengalami lonjakan
seperti yang dikhawatirkan oleh banyak pihak sebelumnya. Perkembangan
laju inflasi Kota Padang dalam beberapa tahun terakhir ditampilkan pada
Tabel 18.
80
Tabel 18. Perkembangan Laju Inflasi di Kota Padang
Laju Inflasi
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
10,99% 9,86% 10,22% 5,55% 6,98% 19,33% 8,05% 6,73% 13,09% 17,56%
Sumber : BPS Kota Padang (Padang Dalam Angka 2001–2010)
5.4. Potensi Perikanan dan Kelautan
5.4.1. Potensi dan Karakteristik Sub Sektor Perikanan
Kota Padang memiliki potensi perikanan yang besar, baik pada usaha
perikanan laut maupun perairan umum. Potensi ini dinyatakan dalam kontribusi
yang dihasilkan bagi perekonomian daerah. Hal ini ditandai dengan tingginya
produksi dan nilai yang dihasilkan bagi peningkatan ekonomi daerah. Rincian
nilai produksi menurut jenis usaha perikanan di Sumatera Barat ditampilkan pada
Tabel 19 sebagai berikut:
Tabel 19. Nilai Produksi menurut Jenis Usaha Perikanan di Sumatera Barat
No. Kabupaten/Kota Total
Sektor Perikanan
Penangkapan
Laut
Budidaya
Laut
Penangkapan
Perairan
Umum
1 Kab. Kep.Mentawai 238.177.565 238.177.565 748.630 -
2 Kab. Pesisir Selatan 463.938.325 458.980.350 129.320 4.957.975
3 Kab. Padang Pariaman 563.032.548 559.652.548 - 3.380.000
4 Kab. Pasaman Barat 1.233.810.200 1.233.810.200 - -
5 Kota Padang 255.011.970 251.201.500 574.475 3.810.470
6 Kota Pariaman 144.035.880 144.035.880 - -
Sumber: DKP Provinsi Sumatera Barat, 2010
Usaha perikanan tangkap laut di Kota Padang memberikan kontribusi yang
signifikan bagi perekonomian daerah. Kontribusi ini sebagaimana yang
ditampilkan pada Tabel 19 menunjukkan usaha penangkapan di laut memberikan
nilai sebesar Rp 251.201.500.000. Nilai ini setara 86 persen dari total nilai
produksi sektor perikanan di Kota Padang selama tahun 2010 sebesar Rp 293,31
milyar.
Salah satu potensi perairan wilayah Kota Padang yang telah dimanfaatkan
adalah sumberdaya perikanan. Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Kota
81
Padang (2010) potensi perikanan daerah ini terdiri dari kelompok sumberdaya
sebagai berikut;
Ikan Pelagis Besar seperti; tuna, albakora, setuhuk, ikan pedang, layaran,
cakalang, tongkol dan tenggiri dengan potensi lestari 159.652 ton.
Ikan Pelagis Kecil meliputi; ikan-ikan yang hidup di daerah permukaan laut
yang berukuran relatif kecil seperti ikan kembung, bentong, layang, selar,
lemuru dan lain sebagainya dengan potensi lestari 288.924 ton. Sumber
daya ikan pelagis ini relatif telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat
nelayan dengan alat tangkap yang sederhana.
Ikan Demersal, adalah jemis ikan yang hidup di perairan dalam, meliputi;
ikan kerapu, bambangan, bawal dan lainnya. Potensi lestari jenis ikan
Demersal ini sebesar 1.085 ton.
Ikan Karang yang terdapat di sekitar terumbu karang, dimanfaatkan untuk
dikonsumsi dan sebagai ikan hias.
Udang, dengan daerah penangkapan sekitar perairan pantai Kota Padang
dan perairan Kepulauan Mentawai.
Kota Padang memiliki potensi pengembangan yang besar pada bidang
perikanan, hal ini ditandai dengan adanya faktor penunjang baik perikanan
tangkap laut maupun perikanan budidaya laut. Faktor penunjang tersebut
dijabarkan dalam Tabel 20 dan Tabel 21.
Tabel 20. Potensi Perikanan Tangkap Laut
No. Lokasi Potensi Potensi Sarana Pelabuhan
1 Laut Kota Padang Ikan Pelagis, Demersal, Sarana Pelabuhan Perikanan,
PPI Muaro Anai, TPI Gaung,
TPI Pasie Nan Tigo
2 Pesisir Kota Padang Ikan Karang, Ikan Hias Batang Arau, Purus
3 ZEE Tuna (Bigeye, Yellowfin) PPS Bungus
Sumber: DKP Padang, 2010
Wilayah desa pantai yang terdapat di Kota Padang memiliki keuntungan
alamiah karena terletak pada kawasan geografis yang sangat sesuai dengan
aktivitas perikanan laut. Selain itu, lokasi ini juga didukung oleh faktor kawasan
pusat pengembangan perikanan karena berada di Ibukota Provinsi. Aktivitas
perikanan laut telah turun temurun menjadi bagian yang integral bagi masyarakat
82
pesisir ini dimana telah menjadi karakteristik utama masyarakatnya. Potensi
budidaya perikanan laut disajikan pada Tabel 21 berikut:
Tabel 21. Potensi Budidaya Laut
No. Lokasi Potensi Pemanfaatan Keuntungan Jenis budidaya
1 Bungus Teluk
Kabung
Budidaya laut Terlindung dari
hempasan gelombang,
Bebas Pencemaran,
Kedalaman air lebih 5
meter pada saat surut,
Terhindar dari pengaruh
air tawar
Marine fin fish,
Echinodermata
(Marine teat
fish)
Rumput laut
(Sea weed),
2 Sungai Pisang Budidaya laut
3 Pulau
Pesumpahan Budidaya laut
4 Teluk Buo Budidaya laut
Sumber: DKP Padang, 2010
Kondisi biofisik lokasi di beberapa kawasan pesisir dan pantai Kota
Padang memperlihatkan adanya peluang yang cukup potensial untuk
pengembangan usaha budidaya perikanan, terutama budidaya kepiting bakau dan
kerapu. Adapun kecamatan yang memenuhi persyaratan lokasi secara umum
untuk budidaya laut adalah Kecamatan Teluk Kabung di daerah Teluk Buo dan
Sungai Pisang.
Karakteristik wilayah Kota Padang dengan sebagian besar kecamatan
berada di pesisir menyebabkan komposisi penduduk menyebar di sepanjang garis
pantai. Total sebelas kecamatan yang ada di Kota Padang, tercatat ada enam
kecamatan yang berada di pesisir pantai dengan komposisi penduduk seperti yang
disajikan pada Tabel 22. Komposisi penduduk ini secara langsung maupun tidak
langsung berpengaruh terhadap pengembangan usaha perikanan.
Tabel 22. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pesisir di Kota Padang
No. Kecamatan Jumlah
Penduduk Luas (km
2)
Kepadatan Penduduk
(jiwa/Km2)
1 Koto Tangah 141.638 232,25 610
2 Padang Barat 56.980 7,00 8140
3 Padang Utara 69.479 8.08 8599
4 Lubuk Begalung 93.203 30,91 3015
5 Padang Selatan 57.342 10,03 5717
6 Bungus T. Kabung 22.640 100,78 220
Jumlah 420.906 382,12 4376,83
Sumber: DKP Padang, 2010
83
Koto Tangah merupakan kecamatan pesisir dengan jumlah penduduk
terbesar yaitu 141.638 jiwa. Posisi kedua jumlah penduduk terbesar adalah
Kecamatan Lubuk Begalung sebanyak 93.203 jiwa. Bungus Teluk Kabung
dengan luas wilayah kedua terluas setelah Koto Tangah hanya dihuni oleh 22.640
jiwa, hal ini disebabkan oleh topografi wilayahnya berupa pebukitan sehingga
kepadatan penduduk daerah ini kecil. Peta kecamatan pesisir Kota Padang
ditampilkan pada Gambar 12 sebagai berikut:
Gambar 12. Peta Kecamatan Pesisir Kota Padang
Kota Padang memiliki enam kecamatan pesisir yang terbentang dari utara
hingga selatan. Bagian barat kecamatan pesisir ini berhadapan dengan Samudera
Hindia (Lautan Indonesia). Faktor posisi dan kondisi daerah ini menyebabkan
adanya keterkaitan yang kuat dengan kebiasaan dan aktivitas masyarakat
setempat. Keterkaitan ini berupa sistem mata pencaharian, kebudayaan/tradisi
setempat serta berbagai aktivitas sosial lainnya. Aktivitas perikanan sebagian
besar menjadi pola kehidupan masyarakat kecamatan pesisir Kota Padang.
Kecamatan pesisir itu antara lain Kecamatan Koto Tangah, Padang Utara, Padang
Barat, Lubuk Begalung, Padang Selatan dan Kecamatan Bungus Teluk Kabung.
84
Nelayan dapat dikelompokan menjadi nelayan penuh dan nelayan
sambilan. Nelayan penuh adalah nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan
untuk melaut sehingga status pekerjaannya sebagai nelayan merupakan pekerjaan
pokok. Nelayan sambilan adalah nelayan yang sebagian waktu kerjanya
digunakan untuk melaut sehingga status pekerjaannya sebagai nelayan merupakan
pekerjaan sampingan (DKP Padang, 2010). Kota Padang memiliki jumlah nelayan
yang cukup banyak, baik sebagai nelayan penuh maupun sambilan.
Perkembangan jumlah nelayan di Kota Padang ditampilkan pada Tabel 23 di
bawah ini:
Tabel 23. Jumlah Nelayan Laut Menurut Kecamatan
No. Kecamatan Penuh Sambilan Jumlah
1 Bungus Teluk Kabung 1.554 138 1.692
2 Lubuk Kilangan - - -
3 Lubuk Begalung 971 104 1.025
4 Padang Selatan 882 89 971
5 Padang Timur - - -
6 Padang Barat 382 29 411
7 Padang Utara 635 47 682
8 Nanggalo 26 7 33
9 Kuranji - - -
10 Pauh - - -
11 Koto Tangah 1.912 122 2.034
Padang 2010 6.362 536 6.898
2009 5.919 518 6.434
2008 4.631 714 5.345
2007 5.544 355 5.899
2006 5.879 351 6.230
2005 5.774 490 6.264
Sumber: DKP Padang, 2010
Melalui data jumlah nelayan laut Kota Padang tahun 2010 terlihat bahwa
jumlah nelayan terbesar di Kota Padang terdapat di daerah Kota Tangah sebanyak
2.034 orang, kemudian posisi kedua Kecamatan Bungus Teluk Kabung 1.692
orang. Sedangkan tiga kecamatan tidak memiliki tenaga kerja nelayan karena
lokasinya yang tidak memiliki perairan pantai yaitu Kecamatan Lubuk Kilangan,
Kecamatan Kuranji dan Kecamatan Pauh.
85
Teknologi penangkapan ikan di Kota Padang terdiri dari berbagai macam
alat tangkap dan berbagai macam armada tangkap mulai dari yang bersifat
tradisional seperti pancing, colok, sampai yang menggunakan teknologi mesin
bagan ukuran besar dan tonda. Masing-masing alat tangkap memiliki kapasitas
yang berbeda-beda sehigga hasil tangkapannya juga berbeda-beda dan juga
dipengaruhi oleh wilayah operasi penangkapan yang berbeda. Alat tangkap yang
bersifat tradisional umumnya operasi penangkapannya masih dalam skala kecil.
Usaha penangkapan ikan oleh nelayan di Kota Padang sebagian besar
sudah menggunakan sarana atau armada penangkapan menggunakan mesin,
namun di beberapa tempat masih ada yang menggunakan alat tangkap tanpa
motor. Berdasarkan jenis armada yang digunakan, nelayan Kota Padang
dibedakan atas nelayan yang menggunakan perahu tanpa motor (PTM),
menggunakan motor tempel (MT) dan kelompok nelayan yang menggunakan
kapal motor (KM). Data rinci jumlah armada tangkap yang ada di enam
kecamatan pesisir di Kota Padang dijabarkan pada Tabel 24 sebagai berikut:
Tabel 24. Jumlah Perahu dan Kapal Menurut Kecamatan
No. Kecamatan
Perahu
Tanpa Motor
(PTM)
Motor
Tempel
(MT)
Kapal
Motor
(KM)
Jumlah
Total
1 Bungus TL. Kabung 18 246 53 317
2 Lubuk Kilangan - - - -
3 Lubuk Begalung 26 111 48 185
4 Padang Selatan 5 144 187 336
5 Padang Timur - - - -
6 Padang Barat 15 176 - 191
7 Padang Utara 17 209 - 226
8 Nanggalo - - - -
9 Kuranji - - - -
10 Pauh - - - -
11 Koto Tangah 15 270 77 362
Padang 2010 96 1.156 365 1.617
2009 103 1.095 352 1.550
2008 279 1.124 317 1.720
2007 264 829 448 1.541
2006 154 645 476 1.284
2005 363 532 550 1.445
Sumber: DKP Kota Padang, 2010
86
Tabel 24 menunjukkan bahwa persentase usaha nelayan dengan
menggunakan perahu tanpa motor tahun 2010 sebanyak 22,57 persen dan motor
tempel 71,49 persen, sementara jumlah nelayan yang menggunakan Kapal Motor
sebesar 5,94 persen. Hal ini memperlihatkan aktivitas kegiatan penangkapan ikan
yang dilakukan oleh nelayan sudah memasuki jalur I, II dan wilayah ZEEI.
Perkembangan armada dari tahun ke tahun terlihat adanya tren kenaikan jumlah
motor tempel, sementara Perahu Tanpa Motor (PTM) dan Kapal Motor (KM)
cenderung mengalami penurunan. Hasil analisis data primer di lapangan
mengungkapkan bahwa usaha penangkapan oleh nelayan yang sudah jauh dari
pantai juga disebabkan karena sumberdaya ikan sejauh 4 mil dari pantai sudah
mengalami degradasi, sehingga produksi penangkapan ikan di kawasan ini sangat
minim. Perkembangan produksi dan nilai perikanan tangkap Kota Padang
ditampilkan pada Gambar 13.
Gambar 13. Perkembangan Produksi dan Nilai Perikanan Kota Padang
Sumber: DKP Kota Padang, 2011
Perkembangan produksi dan nilai perikanan tangkap Kota Padang
sebagaimana yang ditampilkan pada Gambar 13 menunjukkan tren positif.
Kontribusi terbesar sektor perikanan di Kota Padang adalah berasal dari produksi
jenis ikan pelagis besar seperti tuna, cakalang dan tongkol. Ketiga spesies pelagis
ini menyumbang 66,33 persen dari total nilai kontribusi seluruh jenis ikan di Kota
Padang tahun 2010. Tuna merupakan penyumbang kontribusi terbesar Kota
Padang yakni mencapai Rp 70.063.200.000,00. Hal ini dikarenakan selain
12.336,30 13.329,50 13.740,76
15.686,09 16.473,18
18.098,10
138.578
115.580
176.961 185.790
207.303
251.202
0
50.000
100.000
150.000
200.000
250.000
300.000
0
2.000
4.000
6.000
8.000
10.000
12.000
14.000
16.000
18.000
20.000
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Nil
ai
(ju
ta r
up
iah
)
Pro
du
ksi
(T
on
)
Produksi Nilai
87
produksi yang cukup besar, tuna juga merupakan produk ekspor untuk tujuan
Jepang, Singapura dan Amerika (DKP Kota Padang, 2011).
5.4.2. Potensi dan Karakteristik Bidang Kelautan
Kota Padang memiliki berbagai potensi kelautan yang penting untuk
dikembangkan, baik renewable resource maupun non renewable resource.
Kondisi dan potensi pemanfaatan ruang pesisir Kota Padang dijelaskan dalam
Lampiran 9. Adapun potensi kelautan Kota Padang sebagaimana disajikan dalam
Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Padang (Bappeda Kota Padang, 2010)
antara lain:
a. Hutan Bakau (Mangrove)
Potensi hutan bakau di wilayah Kota Padang relatif sedikit dibanding dengan
kabupaten lainnya di Sumatera Barat yaitu seluas 64,45 ha. Hutan bakau
umumnya terdapat di pulau-pulau kecil Kota Padang. Namun demikian,
potensi ini masih bisa dikembangkan di beberapa pesisir Kota Padang sebagai
sarana mitigasi alam dan juga untuk manfaat ekonomi lainnya.
b. Terumbu Karang
Terumbu karang merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting
dalam menjaga ekosistem dan merupakan habitat tempat hidup ikan mencari
makan dan tempat pemijahan. Luas terumbu karang yang ada di wilayah Kota
Padang sekitar 400 ha.
c. Padang Lamun dan Rumput Laut
Padang Lamun terdapat di sepanjang pantai yang merupakan habitat, tempat
makanan ikan, tempat pemijahan dan tempat berlindung larva ikan. Rumput
laut merupakan salah-satu sumber daya alam laut yang dapat dimanfaatkan
sebagai bahan makanan. Saat ini pengolahan rumput laut di Kota Padang
masih dalam skala kecil rumah tangga untuk dijadikan bahan agar-agar.
d. Estuaria
Estuaria merupakan kawasan yang fungsinya sebagai salah satu sumber
penyedia dan penyimpan zat hara bagi lautan. Estuaria terdiri dari estuaria
88
muara sungai, estuaria laguna dan estuaria dataran pasir. Fungsi estuaria di
Kota Padang belum banyak mendukung kesuburan pantai kecuali yang ada di
Kecamatan Bungus Teluk Kabung, hal ini disebabkan kawasan estuaria telah
tercemar oleh limbah permukiman dan industri di sekitarnya. Estuaria di
kawasan Bungus Teluk Kabung perlu diantisipasi pengelolaannya agar tidak
rusak karena berdekatan dengan Pelabuhan Pertamina.
e. Pulau-pulau Kecil
Pulau pulau kecil yang ada di wilayah Kota Padang berjumlah 19 pulau, 13
pulau terletak relatif dekat dengan daratan. Pulau terjauh terletak 13,15 mil
dari daratan, yaitu Pulau Pandan. Pemanfaatan pulau-pulau kecil ini belum
optimal, sebagian telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kebun kelapa,
dan beberapa pulau telah dikembangkan untuk kegiatan pariwisata. Kondisi
pulau ini sebagian mengalami abrasi akibat terumbu karang yang
mengelilinginya telah rusak, disebabkan oleh alam dan penangkapan ikan
yang menggunakan bom dan potasium.
5.4.3. Prasarana Pendukung
Prasarana dan sarana pendukung sektor perikanan dan kelautan Kota
Padang adalah:
a. Bandara Internasional Minangkabau (BIM)
Bandar udara ini berjarak lebih kurang 23 Km dari pusat Kota Padang. BIM
menempati lahan seluas ± 427 hektar sebagai pintu gerbang utama Sumatera
Barat. Bandara ini mulai dibangun tahun 2001 menggantikan Bandara Tabing
yang telah beroperasi selama 34 tahun. BIM dapat menampung pesawat udara
berbadan lebar seperti A 330 atau MD 11. Kelengkapan fasilitas yang jauh
berbeda dengan Bandara Tabing dapat lebih menggairahkan aktivitas
penerbangan di bandara ini. Bandara ini dibuka sejak Februari 2005 dan
sudah dapat dimanfaatkan untuk melayani pesawat domestik dan
internasional. Kondisi ini membuka peluang dan tersedianya Space Cargo
ekspor tuna segar dan komoditi perikanan lainya langsung ke mancanegara.
89
b. Pelabuhan Teluk Bayur
Kegiatan jasa dan perhubungan laut di Sumatera Barat secara umum lebih
banyak dilakukan di Pelabuhan Teluk Bayur. Pelabuhan Teluk Bayur
merupakan salah satu pelabuhan yang ramai dan terbesar yang dikunjungi
kapal samudra dan kapal antar pulau sehingga mempunyai kedudukan yang
strategis untuk Provinsi Sumatera Barat serta merupakan pintu gerbang
perekonomian Sumatera Bagian Barat. Fungsi dari pelabuhan ini adalah:
Fungsi utama sebagai pusat pelayanan transportasi laut skala regional dan
internasional.
Pintu gerbang Pantai Barat Sumatera melalui laut yang dapat melayani
penumpang maupun cargo domestik serta internasional.
c. Pelabuhan Muaro
Pelabuhan Muaro diarahkan untuk pelayanan lingkup lokal dan antar pulau-
pulau (interinsuler). Kapal penumpang, kapal barang dan kapal pesiar (yacht)
dengan kapasitas terbatas menggunakan pelabuhan ini sebagai tempat sandar
dan pemberangkatan kapal. Kawasan sarana pendukung transportasi
(Pelabuhan) Muaro seluas 5 Ha.
d. Pelabuhan Batang Arau
Pelabuhan Batang Arau berfungsi sebagai pelabuhan kapal-kapal mesin dan
perahu motor tempel. Kapal-kapal tonda di Kota Padang sebagian besar
mendarat di pelabuhan ini. Aktivitas perikanan di pelabuhan ini antara lain
bongkar hasil tangkapan, pelelangan dan aktivitas perbaikan kapal. Beberapa
tempat pendaratan dan pangkalan ikan di Kota Padang selain Batang Arau
adalah PPI Muaro Anai, TPI Gaung, TPI Pasie Nan Tigo dan Purus.
e. Pelabuhan Umum Bungus
Pelabuhan Umum Bungus merupakan pelabuhan yang melayani penumpang
umum (Ferri) dari Kepulauan Mentawai, Nias dan pulau-pulau lainnya.
Pelabuhan ini terletak di utara Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus
Kecamatan Teluk Kabung Padang. Pelabuhan ini hanya difungsikan sebagai
sarana transportasi, sedangkan untuk kegiatan perikanan dioperasikan di PPS
Bungus.
90
f. Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus (PPSB)
Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus terletak di Kecamatan Bungus Teluk
Kabung, 16 km dari pusat Kota Padang dan ± 30 km dari Bandara
Internasional Minangkabau dengan luas lahan 14 Ha. Secara geografis berada
pada posisi koordinat 010-02‟-15” dan 1000-23‟-34” BT. Keadaan cuaca
secara umum sama dengan cuaca di sekeliling equator, angin beraturan,
panas, curah hujan banyak. Kondisi perairan cukup tenang karena terlindung
oleh gugusan pulau-pulau Kepulauan Mentawai. Pelabuhan ini lebih
difokuskan sebagai pelabuhan Tempat Pendaratan Ikan (TPI) dan pelabuhan
untuk kapal-kapal yang membawa hasil pemanfaatan sumberdaya laut
lainnya. Selain itu PPS Bungus juga difungsikan sebagai tempat perbaikan
dan pembuatan kapal-kapal khususnya kapal nelayan dan kapal angkut barang
interinsuler.
PPS Bungus merupakan salah satu pusat perekonomian penting Kota Padang
yang berfungsi sebagai pintu gerbang kegiatan ekspor perikanan khususnya
tuna ke negara lain. Terhitung sejak tanggal 1 Mei 2001 Pelabuhan Perikanan
Nusantara Bungus ditingkatkan statusnya menjadi eselon II/b dengan
klasifikasi Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus (PPSB) berdasarkan
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.26.1/MEN/2001.
Fasilitas yang tersedia pada pelabuhan PPS Bungus yaitu; kolam pelabuhan,
dermaga, receiving hall, perbengkelan, perbekalan, pabrik es, dan fasilitas
penunjang (Rincian fasilitas PPS Bungus disajikan dalam Lampiran 10). Di
samping itu pada beberapa tempat terdapat Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
mini, antara lain di Pasir Jambak, Gaung, dan Batung.
Potensi usaha dan investasi Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus tergolong
masih besar, hal ini dipengaruhi antara lain; dukungan sumberdaya ikan
masih cukup besar, usaha perikanan tuna longline dan purseseine,
pembangunan pabrik es dan Cold Storage, unit pengolahan berupa
pengalengan ikan, pengeringan tepung ikan, dan lain-lain. dock yard (slip
way kapasitas 100 GT), dukungan perbankan, jasa keuangan non bank,
penyaluran logistik (perbekalan melaut), toko alat-alat atau bahan perikanan
serta waserba. PPS Bungus sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
91
Nomor 16 tahun 2006, memiliki potensi dan karakteristik yaitu; melayani
kapal perikanan yang beroperasi di laut teritorial, ZEEI, dan laut lepas.
Kapasitas tambat labuh 60 GT dan menampung 100 kapal perikanan (6.000
GT). Panjang dermaga sekitar 300 m, sarana ekspor ikan serta terdapat
industri perikanan.
Produksi hasil tangkapan tuna yang didaratkan di PPS Bungus dari tahun
2000-2011 sangat berfluktuasi. Fluktuasi hasil tangkapan ini dipengaruhi oleh
berbagai faktor, antara lain perbedaan upaya penangkapan yang dilakukan,
keadaan cuaca yang berbeda setiap bulannya, ketersediaan sumber makanan,
peningkatan/penurunan jumlah armada longline, serta kondisi oseanografi
yang mempengaruhi kehidupan dan keberadaan tuna pada fishing ground.
92
VI. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN
PERIKANAN TUNA DAN MITIGASI BENCANA
6.1. Analisis Ekonomi Sub Sektor Perikanan
6.1.1. Analisis Kontribusi
Perikanan merupakan merupakan salah satu sub sektor pertanian di Kota
Padang dengan potensi ekonomi yang cukup besar. Hal ini berdasarkan atas hasil
analisis deskriptif dan studi literatur pada bab penelitian ini sebelumnya. Nilai
kontribusi yang dihasilkan bagi perekonomian daerah diperoleh berdasarkan
indikator PDRB melalui analisis Shift Share dengan perbandingan persentase
antara PDRB sub sektor perikanan pada tahun i terhadap total PDRB seluruh
sektor pada tahun i di Kota Padang. Secara rinci hasil analisis Shift Share
disajikan pada Tabel 25.
Tabel 25. Perhitungan Kontribusi Antar Sektor di Kota Padang Berdasarkan
Indikator PDRB Harga Konstan
No. SEKTOR KONTRIBUSI (%)
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1 Pertanian 5,25 5,31 5,26 5,22 5,16 5,14 5,16 5,13 5,12 5,14 5,10
Perikanan 2,84 2,89 2,85 2,85 2,83 2,83 2,86 2,86 2,87 2,89 2,89
2 Pertambangan dan
Penggalian 1,68 1,67 1,61 1,55 1,52 1,52 1,53 1,54 1,53 1,53 1,54
3 Industri Pengolahan 18,10 17,98 17,98 17,42 17,05 16,99 16,97 16,77 16,55 16,34 16,12
4 Listrik, Gas dan Air
Bersih 1,50 1,64 1,72 1,75 1,69 1,67 1,67 1,73 1,77 1,79 1,79
5 Bangunan 4,17 4,15 4,11 4,07 4,06 4,12 4,22 4,24 4,25 4,24 4,30
6 Perdagangan, Hotel
dan Restoran 22,37 22,31 22,32 22,06 21,81 21,94 22,30 22,12 21,78 21,44 21,17
7 Pengangkutan dan
Komunikasi 22,45 22,31 22,71 23,84 24,83 24,59 23,63 23,87 24,30 24,73 25,20
8 Keuangan, Persewaan
dan Jasa Perusahaan 7,31 7,37 7,25 7,23 7,39 7,58 7,82 7,93 8,00 8,07 8,13
9 Jasa-jasa 17,17 17,25 17,03 16,85 16,49 16,46 16,69 16,66 16,69 16,72 16,66
Total (%) 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Data kontribusi antar sektor di Kota Padang selama 11 tahun terakhir
menunjukkan terjadinya fluktuasi dan perbedaan kontribusi masing-masing
sektor. Sektor yang secara umum memberikan peningkatan kontribusi antara lain;
pertanian, bangunan, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, serta jasa-jasa.
Peningkatan sektor ini pun tidak setiap tahun meningkat tapi beberapa kali
mengalami fluktuasi. Sementara itu sektor lainnya mengalami penurunan.
93
Perbedaan kontribusi dan fluktuasi ini tidak lepas dari faktor karakteristik potensi
daerah serta berbagai goncangan yang terjadi akibat krisis nasional maupun
daerah. Secara umum terjadi peningkatan PDRB pada beberapa sektor di Kota
Padang. Menggeliatnya ekonomi dan iklim investasi menjadi pemicu peningkatan
pendapatan daerah ini. Kondisi ini juga berdampak pada sub sektor perikanan
yang turut mengalami peningkatan. Perhitungan kontribusi ini dihitung melalui
analisis Shift Share berdasarkan indikator PDRB harga konstan tahun 2000.
Rekap perkembangan kontribusi ini secara jelas ditampilkan dalam Gambar 14.
Gambar 14. Perkembangan Kontribusi Sub Sektor Perikanan di Kota Padang
Berdasarkan Indikator PDRB Harga Konstan
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Perkembangan kontribusi yang dihasilkan sub sektor perikanan seperti
yang ditampilkan dalam Gambar 14, memperlihatkan terjadinya peningkatan
kontribusi selama sepuluh tahun terakhir. Hal ini tidak terlepas dari peningkatan
nilai tuna sebagai komoditi ekspor dan juga dampak positif dari kebijakan
pemerintah pusat yang menetapkan Kota Padang (PPS Bungus) sebagai sentra
perikanan tuna Indonesia Bagian Barat. Kontribusi utama perikanan di Padang
adalah berasal dari perikanan tangkap, hal ini didukung oleh posisinya sebagai
daerah pesisir yang menghadap ke Samudera Hindia. Trend peningkatan
kontribusi ini perlu disikapi stakeholder terkait melalui kebijakan pengembangan
yang akan berdampak bagi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
2,84
2,89
2,85 2,85
2,83 2,83
2,86 2,86
2,87
2,89 2,89
y = 0,0034x + 2,8393 R² = 0,2193
2,78
2,80
2,82
2,84
2,86
2,88
2,90
Ko
ntr
ibu
si (
%)
Kontribusi Sektor Perikanan
94
6.1.2. Analisis Basis Ekonomi
Penilaian basis ekonomi Kota Padang dalam penelitian ini dihitung
menggunakan analisis Location Quotient (LQ). Analisis basis ekonomi memuat
sembilan sektor perekonomian yang ada di Kota Padang. Secara rinci perhitungan
LQ antar sektor ditampilkan pada Lampiran 11. Berdasarkan hasil analisis
Location Quotient, beberapa sektor di Kota Padang dapat dikategorikan sektor
basis selama 10 tahun terakhir. Sektor basis tersebut yaitu; Industri Pengolahan;
Listrik, Gas dan Air Bersih; Perdagangan, Hotel dan Restoran; Pengangkutan dan
Komunikasi serta Keuangan, Persewaan; Jasa Perusahaan. Sektor-sektor ini
menurut Sjafrizal (2008) merupakan sektor yang kegiatannya dapat mendatangkan
pendapatan dari luar wilayah, sektor yang fungsi permintaanya bersifat exogenous
dan dapat meningkatkan pertumbuhan perekonomian wilayah serta menjadi tulang
punggung perekonomian daerah karena mempunyai keuntungan kompetitif
(competitive advantage) yang cukup tinggi.
Perkembangan sub sektor perikanan di Kota Padang yang tergolong ke
dalam sektor pertanian mengalami tren peningkatan. Dari tahun 2000 sampai
tahun 2010 perikanan dikategorikan sektor basis karena nilai LQ>1. Kenaikan ini
dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya karena peningkatan produksi
perikanan laut khususnya nilai kontribusi yang dihasilkan tuna. Perhitungan nilai
LQ sub sektor perikanan diuraikan dalam Tabel 26 dan Gambar 15.
Tabel 26. Perhitungan LQ Sub Sektor Perikanan Kota Padang
No. Tahun vi Vi vt Vt
LQ Ket. (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp)
1 2000 200.331,34 7.065.516,84 646.242,48 22.889.614,05 1,004 Basis
2 2001 212.670,09 7.353.091,21 672.803,05 23.727.373,93 1,020 Basis
3 2002 220.719,27 7.742.458,47 673.812,25 24.840.187,76 1,051 Basis
4 2003 232.880,90 8.171.842,43 723.332,45 26.146.781,64 1,030 Basis
5 2004 244.687,98 8.652.900,05 761.891,34 27.578.136,56 1,024 Basis
6 2005 257.950,07 9.110.697,44 789.009,26 29.159.480,53 1,046 Basis
7 2006 273.710,82 9.577.495,51 841.317,65 30.949.945,10 1,051 Basis
8 2007 290.518,81 10.165.760,80 884.919,95 32.912.968,59 1,063 Basis
9 2008 309.983,58 10.797.259,04 946.556,49 35.176.632,42 1,067 Basis
10 2009 328.365,61 11.345.637,08 989.540,40 36.683.238,68 1,073 Basis
11 2010 347.020,00 12.021.600,00 1.013.604,10 38.860.187,68 1,107 Basis
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
95
Gambar 15. Perkembangan Nilai LQ Sub Sektor Perikanan di Kota Padang
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Hasil analisis yang ditampilkan pada Tabel 26 dan Gambar 15
menunjukkan perikanan merupakan sektor basis di Kota Padang. Adanya tren
kenaikan nilai LQ menjadi landasan dalam merumuskan kebijakan pengembangan
yang akan diambil. Sub sektor perikanan sudah seharusnya ditempatkan menjadi
tulang punggung perekonomian daerah sehingga mendapat proporsi untuk
dikembangkan dan memberikan keuntungan komparatif bagi daerah. Kebijakan
pengembangan sektor basis ini juga akan memberikan dampak berganda bagi
peningkatan kontribusi sektor lain.
Perekonomian suatu daerah terdiri dari beberapa sektor dengan berbagai
potensi ekonomi. Pertumbuhan atau penurunan salah satu sektor mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Analisis pertumbuhan ekonomi dengan
sektor wilayah tertentu membantu pembuat kebijakan (policy maker) dan
stakeholder dalam pengambilan kebijakan yang lebih baik (Herath et al., 2012).
Melalui hasil analisis shift share diperoleh kesimpulan bahwa sub sektor
perikanan memiliki peluang dalam meningkatkan perekonomian daerah. Oleh
karena itu, perlu adanya kebijakan dalam penguatan sektor basis melalui investasi
dan program pengembangan guna mencapai kesejahteraan.
1,00 1,02
1,05
1,03 1,02
1,05 1,05 1,06 1,07 1,07
1,11
y = 0,0079x + 1,0015 R² = 0,8221
0,94
0,96
0,98
1,00
1,02
1,04
1,06
1,08
1,10
1,12
Nil
ai L
Q
Nilai LQ Sektor Perikanan
96
6.1.3. Analisis Makro Perikanan antar Wilayah
Menurut Fauzi (2010), pendekatan MRA (Minimum Requirement
Approach) dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi makro sub sektor
perikanan. Pendekatan ini dapat mengukur seberapa besar kekuatan sektor basis
dengan mengukur base multiplier-nya. Melalui pendekatan ini diperoleh
gambaran pengaruh sub sektor perikanan terhadap sektor lainnya di Kota Padang
dengan membandingkannya pada daerah yang memiliki karakteristik potensi
perikanan laut di Provinsi Sumatera Barat .
Pengukuran MRA dalam penelitian ini menggunakan variabel tenaga kerja
(E=Employment) sebagai indikator. Pada kasus ini, teknik MRA mengandalkan
wilayah yang memiliki karakteristik yang sama yang digunakan sebagai acuan
atau peer. Daerah lain yang dipilih sebagai pembanding dalam indikator tenaga
kerja adalah daerah pesisir yang menjadikan sub sektor perikanan sebagai salah
satu tulang punggung perekonomian. Daerah tersebut antara lain Kota Pariaman,
Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Pasaman
Barat dan Kabupaten Kepulauan Mentawai. Perhitungan nilai share tenaga kerja
antar wilayah dijelaskan dalam Tabel 27 berikut:
Tabel 27. Share Tenaga Kerja Sub Sektor Perikanan antar Wilayah di Sumatera
Barat Tahun 2010
No. Wilayah Total Tenaga
Kerja
Tenaga Kerja
Perikanan
Share Tenaga
Kerja
1 Kota Padang 304790 6898 0,023
2 Kota Pariaman 31932 1177 0,037
3 Kab. Padang Pariaman 159162 4381 0,028
4 Kab. Pesisir Selatan 158806 13998 0,088
5 Kab. Pasaman Barat 158617 2762 0,017
6 Kab. Kepulauan Mentawai 36453 3216 0,088
Sumber. BPS Provinsi Sumbar, 2010 (Data diolah tahun 2012)
Dari data nilai share yang diperoleh terlihat bahwa daerah yang memiliki
nilai share tertinggi untuk perikanan adalah Kabupaten Kepulauan Mentawai dan
Pesisir Selatan. Nilai ini merupakan perbandingan komposisi tenaga kerja
keseluruhan dengan tenaga kerja yang khusus bekerja sebagai nelayan (perikanan
tangkap). Sedangkan daerah dengan nilai share terendah adalah Kabupaten
Pasaman Barat dengan nilai 0,017. Kota Padang sebagai Ibu Kota Provinsi
memiliki keunggulan komparatif pada sektor jasa, keuangan dan perdagangan,
97
sehingga jumlah tenaga kerja terbesar bergerak pada sektor-sektor tersebut. Nilai
share Pasaman Barat dijadikan sebagai peer dalam tahap perhitungan selanjutnya
karena merupakan nilai yang paling minimum dari sub sektor perikanan.
Perhitungan MRA dijelaskan dalam Tabel 28 sebagai berikut:
Tabel 28. Perhitungan MRA Sub Sektor Perikanan antar Wilayah di Sumatera
Barat Tahun 2010
No. Wilayah Share
Sektor
Minimum
Shares
Peer
Total
Emp.
Sektor
Total
Emp.
Basic
Emp.
Basic
Multiplier
1 Kota Padang 0,023 0,017 6.898 304.790 1.716,570 177,6
2 Kota Pariaman 0,037 0,017 1.177 31.932 634,156 50,4
3 Kab. Padang Pariaman 0,028 0,017 4.381 159.162 1.675,246 95,0
4 Kab. Pesisir Selatan 0,088 0,017 13.998 158.806 11.298,298 14,1
5 Kab. Kepulauan Mentawai 0,088 0,017 3.216 36.453 2.596,299 14,0
6 Kab. Pasaman Barat 0,017 0,017 2.762 158.617
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Data hasil analis Tabel 28 dapat digunakan untuk menghitung pengganda
basis (base multiplier) sub sektor perikanan. Pengganda basis ini dihitung
berdasarkan rasio antara total tenaga kerja perikanan dibagi dengan basic
employment. Kota Padang dalam analisis ini memiliki nilai basic multiplier
sebesar 177,6 hal ini menunjukkan bahwa setiap 177 tenaga kerja yang diciptakan
oleh sektor basis akan menghasilkan 0,6 tenaga kerja di sektor non basis. Daerah
yang memberikan efek pengganda terbesar adalah Kota Pariaman, dimana dapat
diinterpretasikan bahwa pada daerah ini untuk setiap 50 tenaga kerja di sektor
basis diharapkan akan tercipta 4 tenaga kerja di sektor non basis.
6.2. Analisis Bioekonomi Sumberdaya Perikanan
Analisis bioekonomi sumberdaya perikanan yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah pada jenis ikan tuna. Tuna sebagai objek penelitian dipilih
karena merupakan komoditi utama perikanan tangkap Kota Padang yang
menghasilkan kontribusi terbesar dibandingkan jenis lain. Berdasarkan hal
tersebut, maka analisis bioekonomi dalam penelitian ini menggunakan satu jenis
spesies (single species) yaitu tuna. Ikan tuna yang diteliti adalah jenis Tuna Mata
Besar/bigeye (Thunus obesus) dan Tuna Sirip Kuning/yellowfin (Thunus
albacares).
98
Data sekunder sebagai rujukan analisis data pada tahap ini diperoleh dari
Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus Kota Padang yang juga merupakan sentra
perikanan tuna Indonesia bagian barat. Jenis armada atau alat tangkap yang
menjadi objek penelitian adalah tuna longline/rawai tuna. Data produksi dan effort
yang diperoleh di lapangan yaitu selama 12 tahun. Data ini selanjutnya dianalisis
melalui analisis bioekonomi dari tahun 2000 sampai tahun 2010. Jumlah produksi
dan effort ikan tuna yang didaratkan di PPS Bungus dengan alat tangkap longline
ditampilkan dalam Tabel 29.
Tabel 29. Perkembangan Produksi dan Effort Tuna Kota Padang
No. Tahun Produksi (ton) Effort (trip) Produksi Total (ton)
1 2000 801,63 181 833,69
2 2001 1.353,22 231 1.407,35
3 2002 1.095,45 177 1.139,27
4 2003 603,79 105 627,94
5 2004 251,87 27 261,94
6 2005 103,89 13 115,31
7 2006 1.277,93 161 1.289,72
8 2007 148,27 19 148,85
9 2008 397,35 59 403,37
10 2009 689,67 80 719,86
11 2010 679,64 83 730,82
12 2011 837,44 107 838,35
Sumber: Statistik Perikanan Tangkap PPS Bungus 2000-2012.
Hasil tangkapan per-upaya penangkapan (CPUE) tuna longline dari waktu
ke waktu yang didaratkan di Kota Padang cenderung meningkat, sebagaimana
disajikan pada Gambar 16. Menurut Sparre dan Venema (1989), CPUE
merupakan indek kelimpahan stok ikan di perairan. Oleh karena itu, melalui nilai
yang dihasilkan pada analisis ini dapat diartikan bahwa masih terdapat peluang
penambahan produksi mengingat tersedianya stok ikan di lokasi penangkapan.
Upaya meningkatkan produksi ini juga harus mempertimbangkan faktor
keberlanjutan sumberdaya. Kebijakan dan regulasi dari pemerintah terkait
pengelolaan khususnya sumberdaya ikan tuna di Perairan Kota Padang dan WPP
572 Kawasan Samudera Hindia menjadi suatu keharusan guna mencapai
optimalisasi dan keberlanjutan. Perkembangan Catch Per Unit Effort (CPUE)
ditampilkan pada Gambar 16.
99
Gambar 16. Perkembangan CPUE Sumberdaya Tuna
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Gambar 11 menunjukkan CPUE tertinggi terjadi pada tahun 2004 (9,329
ton/trip) dan terendah terjadi pada tahun 2000 (4,429 ton/trip). CPUE rata-rata
sebesar 7,222 ton/trip atau 7.222 kg/trip. Nilai ini relatif cukup besar
dibandingkan biaya operasional sekali melaut. Rendahnya tingkat effort yang
secara langsung berdampak pada CPUE juga dipengaruhi oleh kondisi pelabuhan.
Melalui data di lapangan, beberapa kendala usaha tuna longline di PPS Bungus
Kota Padang adalah terkait kurangnya pasokan BBM, sumber air bersih dan
keamanan.
6.2.1. Estimasi Parameter Biologi
Estimasi Parameter biologi dilakukan dengan menggunakan beberapa
model estimator yaitu, model estimasi Algoritma Fox, model estimasi Clarke,
Yashimoto dan Pooley (CYP), model estimasi Walter dan Hilborn (W-H) dan
model estimasi Schnute. Adapun parameter yang diestimasi meliputi tingkat
pertumbuhan intrinsik (r), daya dukung lingkungan perairan (K) dan koefisien
daya tangkap (q). Selain itu juga dilakukan uji statistik untuk validitas data serta
membandingkan biomas (x), produksi (h) dan Effort (E) pemanfaatan aktual dan
optimal sumberdaya ikan tuna dari tiap-tiap model.
4,43
5,86 6,19 5,75
9,33
7,99 7,94 7,80
6,73
8,62 8,19 7,83
y = 0,2646x + 5,5019 R² = 0,4495
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
CP
UE
Perkembangan CPUE
CPUE Linear (CPUE)
100
Penelitian ini menggunakan hasil analisis model estimator Clarke,
Yashimoto dan Pooley (CYP). Penggunaan model ini karena hasil analisis dari
parameter estimasi menghasilkan nilai yang logis secara apriori teori dan
didukung oleh uji statistik. R square dari model estimasi CYP dalam analisis
penelitian ini juga cukup besar. Menurut Pindyck RS and DL Rubinfeld (1998),
nilai determinasi atau R square lazim digunakan untuk mengukur goodnes of fit
dari model regresi dan untuk membandingkan tingkat validitas hasil regresi
terhadap variabel independen dalam model, dimana semakin besar nilai R square
menunjukkan bahwa model tersebut semakin baik.
Estimasi parameter biologi dan teknik pada sumberdaya ikan tuna dapat
dilihat pada Tabel 30. Tingkat pertumbuhan intrinsik (r) dan koefisien daya
tangkap (q) yang paling tinggi dari keempat model estimasi tersebut adalah model
estimasi W-H yaitu sebesar 2,76 ton per tahun dan 0,0066 ton per trip, sedangkan
untuk daya dukung lingkungan perairan (K) yang tertinggi adalah model
Algoritma Fox sebesar 4.119,23 ton per tahun. Berdasarkan uji statistik, model
estimasi yang memiliki signifikansi uji F di bawah 0,05 dan nilai adjusted R2
lebih
tinggi dibandingkan model lain adalah model estimasi Walter-Hilborn.
Tabel 30. Perbandingan Data Aktual, Parameter Biologi, MSY dan Uji Statistik
pada Sumberdaya Ikan Tuna
Pemanfaatan Aktual
Parameter Biologi
MSY
Persentase
Aktual
terhadap
MSY
Uji Statistik
r q K Uji F Sig R
Square
Adjust
ed R2
Algoritma Fox -1,325 0,002 4.119,23 7,437 0,023 0,452 0,392
Biomas (x) (ton) 2.059,62
Produksi (h) (ton) 672,97 (1.363,99) -50,3%
Effort (E) (trip) 103,58 (319,05) -32,5%
CYP 2,642 0,005 1.676,68 3,942 0,071 0,530 0,395
Biomas (x) (ton) 838,34
Produksi (h) (ton) 672,97 1.107,49 62,0%
Effort (E) (trip) 103,58 248,14 41,7%
Walter-Hibron 2,755 0,007 484,39 4,648 0,052 0,570 0,448
Biomas (x) (ton) 242,19
Produksi (h) (ton) 672,97 333,68 201,7%
Effort (E) (trip) 103,27 207,26 49,8%
Schnute 0,364 0,000 -56086,73 0,305 0,747 0,080 -0,183
Biomas (x) (ton) (28.043,36)
Produksi (h) (ton) 672,97 (5.106,58) -13,2%
Effort (E) (trip) 103,27 (1.228,18) -8,4%
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
101
Berdasarkan perhitungan model CYP yang diuraikan pada Lampiran 12,
Lampiran 13 dan Lampiran 14 diperoleh parameter biologi untuk ikan tuna yang
didaratkan di PPS Bungus seperti yang diuraikan dalam Tabel 31 dan Tabel 32.
Melalui perhitungan tersebut diperoleh hasil bahwa tingkat pertumbuhan
instrinsik ikan tuna (r) adalah 2,64 ton per tahun dan koefisien daya tangkap (q)
sebesar 0,0053 ton per trip serta daya dukung lingkungan perairan (K) adalah
1.676,68 ton per tahun.
Tabel 31. Keluaran Regresi Model CYP
Parameter
Regresi Coefficients Standard Error t Stat F
Multiple
R
β 0 2,491798979 0,675790891 3,687233746
3,94176
0,727792
β 1 -0,138324632 0,303714268 -0,45544331
β 2 -0,001146852 0,000542138 -2,115423638
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 (Rincian dalam Lampiran 14)
Data pada Tabel 31 selanjutnya diolah untuk mengestimasi parameter
biologi dari sumberdaya ikan tuna dengan alat tangkap longline. Tabel 32
menunjukkan hasil estimasi parameter biologi dari sumberdaya ikan tersebut
berdasarkan estimator CYP dan fungsi pertumbuhan logistik. Parameter biologi
yang ditunjukkan adalah laju pertumbuhan (r), koefisien daya tangkap (q),
koefisien daya dukung (K).
Tabel 32. Parameter Biologi
Parameter
r q K 2,64211946530 0,00532382510 1.676,68
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Data pada Tabel 32 menunjukkan parameter biologi dari sumberdaya ikan
tuna hasil estimasi menggunakan metode CYP. Tingkat pertumbuhan alami atau
laju pertumbuhan sumberdaya tuna sebesar 2,64, koefisien daya tangkap sebesar
0,005 sedangkan koefisien daya dukung sebesar 1.676,68. Hasil estimasi dari tiga
parameter tersebut berguna untuk menentukan tingkat produksi lestari, seperti
Maximum Sustainable Yield (MSY), Maximum Economic Yield (MEY) dan
kondisi Open Access.
102
6.2.2. Estimasi Parameter Ekonomi
a. Harga dan Struktur Biaya
Data untuk estimasi parameter ekonomi yang berkaitan dengan struktur
biaya dan harga dalam penelitian ini merupakan data cross section yang diperoleh
melalui data sekunder selama 10 tahun di Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera
Barat dan wawancara lapangan pada nelayan di Pelabuhan Perikanan Samudera
Bungus. Data cross section untuk biaya input diperoleh dari responden yang
menggunakan armada longline yang terkait dengan sumberdaya ikan tuna.
Komponen biaya merupakan faktor penting dalam usaha perikanan tangkap,
karena besarnya biaya akan mempengaruhi efisiensi dari usaha tersebut. Harga
yang digunakan pada ikan tuna adalah harga riil. Harga riil adalah harga yang
diperoleh dilapangan dikalikan dengan Indeks Harga Konsumen (IHK). Pada
penelitian ini digunakan IHK dengan tahun dasar 2007. Langkah berikutnya
adalah melakukan penyesuaian dengan Indek Harga Konsumen sehingga
diperoleh nilai biaya per-trip tuna longline dan harga per-ton seperti yang
disajikan dalam Tabel 33.
Tabel 33. Biaya Per-trip dan Harga Rata-rata Ikan Tuna Kota Padang
No. Tahun IHK IHK 2007
Biaya Trip
(Rp/trip)
Harga (Juta
Rp/ton)
1 2000 226,59 51,68 167.268.362 32,61
2 2001 254,24 57,98 187.679.936 36,59
3 2002 283,33 64,62 209.152.043 40,78
4 2003 297,58 67,86 219.667.562 42,83
5 2004 111,54 72,07 233.281.217 45,48
6 2005 126,12 81,50 263.791.271 51,43
7 2006 142,20 91,88 297.414.205 57,98
8 2007 154,76 100,00 323.685.445 63,10
9 2008 135,63 87,64 283.679.888 55,31
10 2009 116,64 116,64 377.544.005 73,60
11 2010 122,62 122,62 396.895.000 77,38
Rata-rata 269.096.267 52,46
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Data biaya dalam penelitian ini adalah biaya per-unit effort, oleh karena itu
biaya tersebut dihitung dari data primer yang diperoleh di lapangan. Biaya per-trip
sangat ditentukan oleh lamanya penangkapan di laut. Selain faktor biaya juga
sangat diperlukan faktor harga atau nilai dari sumberdaya yang dimanfaatkan
dalam menganalisis bioekonomi sumberdaya tersebut. Variabel harga
103
berpengaruh terhadap jumlah penerimaan yang diperoleh dalam usaha
penangkapan ikan. Data harga nominal merupakan nilai rataan dari harga target
spesies dari alat tangkap yaitu tuna. Harga tersebut disajikan dalam bentuk harga
ikan (juta rupiah) per ton yang diperoleh dari data primer.
b. Estimasi Discount Rate
Discount rate merupakan suatu rate untuk mengukur manfaat masa kini
dibandingkan manfaat yang akan datang dari ekploitasi sumberdaya alam. Tingkat
pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidupnya menggambarkan persepsi masyarakat terhadap sumberdaya
alam itu sendiri. Karenanya discount rate seperti ini disebut juga sebagai social
discount rate. Pada negara-negara berkembang seperti Indonesia, biasanya tingkat
social discount rate tinggi karena menganggap nilai masa depan dari sumberdaya
alam dan lingkungan lebih rendah dari saat ini. World Bank merilis tingkat
discount rate yang dianjurkan bagi negara-negara berkembang adalah 10 persen
sampai dengan 20 persen.
Pengukuran tingkat social discount rate sebenarnya relatif sulit karena
adanya dinamika perkembangan sosial. Dinamika ini mengakibatkan persepsi
masyarakat terhadap sumberdaya alam bisa berbeda dari waktu ke waktu
tergantung dari situasi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Namun demikian,
kendala ini dapat di atasi melalui pendekatan tingkat suku bunga perbankan, yaitu
keseimbangan antara suku bunga simpanan dan pinjaman.
Melalui hasil perhitungan real discount rate diperoleh laju pertumbuhan
dari PDRB Kota Padang, yaitu dengan nilai g =0,0061 atau 0,61 persen. Standar
elastisitas pendapatan terhadap konsumsi sumberdaya alam ditentukan
berdasarkan pendekatan Brent (1990) diacu dalam Anna (2003) sebesar 1, ρ
diasumsikan sama dengan nilai nominal saat ini (current nominal discount rate)
sebesar 17 persen. Nilai r dihitung menggunakan rumus r=ρ–γ.g, sehingga
melalui perhitungan tersebut diperoleh nilai r yaitu 16,39. Nilai r tersebut
kemudian dijustifikasi untuk menghasilkan real discount rate dalam bentuk
annual continues discount rate melalui δ= ln(1+r), yaitu sebesar 0,16 atau 16
persen. Angka tingkat diskon ini selanjutnya digunakan sebagai discount rate
pada perhitungan optimal dinamik dari sumberdaya ikan tuna. Penggunaan nilai
104
market discount rate yang berlaku saat ini sebesar 17 persen juga digunakan
sebagai nilai discount rate pembanding dalam analisis sumberdaya ikan tuna.
6.2.3. Estimasi Produksi Lestari
Produksi lestari merupakan hubungan antara hasil tangkapan dengan
upaya penangkapan dalam bentuk kuadratik, dimana tingkat effort maupun hasil
tangkapan yang diperoleh tidak akan mengancam kelestarian sumberdaya
perikanan. Produksi lestari dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu produksi
lestari maksimum (MSY) dan produksi lestari secara ekonomi yang maksimum
(MEY). Pada analisis estimasi MSY, variabel yang digunakan berupa parameter
biologi saja, sedangkan pada analisis MEY, variabel yang digunakan adalah
parameter biologi dan ekonomi. Parameter biologi diantaranya parameter r, q, K,
sedangkan parameter ekonomi seperti c (cost per-unit effort), harga riil (real
price), dan annual continues discount rate ( δ ).
MSY atau maximum sustainable yield merupakan hasil tangkapan terbesar
yang dapat dihasilkan suatu stok sumberdaya perikanan yang berada dalam batas
kelestarian. MSY dalam hal ini dihitung menggunakan fungsi pertumbuhan
logistik. Sebelum mengestimasi MSY, terlebih dahulu dilakukan estimasi
parameter biologi. Selanjutnya hasil estimasi ini digunakan untuk mengestimasi
tingkat upaya (effort) pada kondisi MSY. Nilai effort, produksi aktual dan
produksi lestari Ikan Tuna Kota Padang disajikan pada Tabel 34.
Tabel 34. Effort, Produksi Aktual dan Produksi Lestari Ikan Tuna Kota Padang
No. Tahun Effort Produksi Produksi
(Et) Aktual (ton) Lestari (ton)
1 2000 181 801,63 1.986,59
2 2001 231 1.353,22 2.690,14
3 2002 177 1.095,45 1.933,20
4 2003 105 603,79 1.045,51
5 2004 27 251,87 240,63
6 2005 13 103,89 113,42
7 2006 161 1.277,93 1.723,93
8 2007 19 148,27 167,29
9 2008 59 397,35 551,11
10 2009 80 689,67 769,78
11 2010 83 679,64 801,99
Rata-rata 672,97 1.093,05
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
105
Melalui Tabel 34 dapat dilihat bahwa terdapat selisih antara pemanfaatan
aktual dan lestari sumberdaya tuna. Rata-rata jumlah produksi aktual ikan tuna
adalah 672,97 ton yang berada di bawah potensi lestarinya yaitu 1093,05 ton.
Sehingga masih terbuka peluang untuk meningkatkan produksi tuna di kawasan
ini. Fungsi produksi lestari (hMSY) dipengaruhi oleh tingkat effort (E) dengan
adanya parameter biologi r, q, dan K secara kuadratik. Dengan memasukan nilai
effort (E) tersebut, maka akan diketahui tingkat produksi lestari dan upaya
pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap longline di Kota Padang. Gambar 17
memperlihatkan perbandingan antara produksi aktual dibandingkan dengan
produksi lestari dari alat tangkap longline pada sumberdaya ikan tuna.
Gambar 17. Perbandingan Produksi Aktual dan Lestari Sumberdaya Tuna
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Gambar 17 menunjukkan bahwa pada tahun 2000 sampai 2010 produksi
lestari cenderung lebih besar dibandingkan produksi aktual. Beberapa tahun
diantaranya memang terjadi penurunan produksi lestari, namun dari hasil analisis
ini dapat disimpulkan bahwa masih terbuka peluang peningkatan produksi tuna,
karena masih tersedianya stok ikan di perairan. Menurunnya produksi ini
dipengaruhi berkurangnya jumlah armada tangkap yang mendaratkan ikan di
Kota Padang yang sekaligus menyebabkan turunnya upaya penangkapan (effort).
Beberapa permasalahan berkurangnya armada tangkap di Pelabuhan Perikanan
Samudera Bungus adalah terkait keamanan, ketersediaan air bersih dan supplay
bahan bakar (solar).
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
Pro
du
ksi (
ton
)
P. Aktual P. Lestari
106
6.2.4. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap
Analisis bioekonomi dilakukan untuk menentukan tingkat penguasaan
maksimum bagi pelaku pemanfaatan sumberdaya perikanan. Perkembangan usaha
perikanan tidak hanya ditentukan dari kemampuan untuk mengeksploitasi
sumberdaya ikan secara biologis saja, akan tetapi faktor ekonomi juga sangat
berperan penting. Pendekatan analisis secara biologi dan ekonomi merupakan
salah satu alternatif yang dapat diterapkan dalam upaya optimalisasi penguasaan
sumberdaya perikanan tangkap secara berkelanjutan.
Parameter ekonomi dimasukkan dalam analisis ini agar diketahui tingkat
optimal dari nilai manfaat atau rente pemanfaatan sumberdaya perikanan yang
diterima oleh masyarakat nelayan. Sehingga pemanfaatan sumberdaya perikanan
mampu mencapai tujuan akhirnya yaitu peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat nelayan. Pada Tabel 35 memperlihatkan hasil estimasi
parameter biologi dan ekonomi, sumberdaya ikan tuna.
Tabel 35. Hasil Estimasi Parameter Biologi dan Ekonomi Sumberdaya Ikan Tuna
Parameter
r (ton/trip) q (ton/unit) K (ton) p (price, jt
Rp/ton)
c (cost, jt
Rp/trip)
2,642119465 0,005323825 1.676,68 47,43 38,86
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Berdasarkan data pada Tabel 35, maka estimasi beberapa kondisi
sustainable yield, yaitu MSY, Open Access dan Sole Owner dapat ditentukan.
Hasil estimasi menunjukkan harga ikan yang diperoleh melalui parameter
ekonomi adalah Rp 51,90 juta per ton, dan untuk biaya penangkapan ikan per-trip
adalah sebesar Rp 440,56 juta. Hasil perhitungan dari masing-masing kondisi
tersebut dari berbagai rezim pengelolaan sumberdaya ikan tuna secara ringkas
disajikan dalam Tabel 34. Melalui hasil estimasi parameter biologi dan ekonomi,
diperoleh gambaran fungsi pertumbuhan logistik sumberdaya perikanan tuna
dengan menggunakan aplikasi Maple 13 ditampilkan pada Gambar 18
(Perhitungan lihat Lampiran 15).
107
Gambar 18. Kurva Pertumbuhan Logistik Tuna di Padang
Keterangan : f(x)=2.642119465x (1-0.000596416728x)
Pada kondisi keseimbangan, laju pertumbuhan sama dengan nol dan
tingkat populasi sama dengan K (carrying capacity). Carrying capacity
dipengaruhi oleh laju pertumbuhan instrinsik (r), semakin tinggi nilai r, semakin
cepat tercapainya carrying capacity. Tingkat maksimum pertumbuhan akan
terjadi pada kondisi setengah dari carrying capacity atau K/2. Tingkat ini disebut
juga sebagai Maximum Sutainable Yield atau MSY. Melalui hasil analisis
diperoleh kurva pertumbuhan logistik seperti terlihat pada Gambar 18 yang
menunjukkan tingkat carrying capacity dan MSY sumberdaya ikan tuna. Hasil
analisis menunjukkan bahwa tingkat MSY saat ini adalah pada tingkat
pertumbuhan (growth) 1.107,49 ton. Hasil analisis bioekonomi dalam berbagai
rezim pengelolaan ditampilkan pada Tabel 36.
Tabel 36. Hasil Analisis Bioekonomi dalam Berbagai Rezim Pengelolaan
Sumberdaya Ikan Tuna
No. Variabel Kendali Sole Owner
/ MEY
Open Access/
OAY MSY Aktual
1 x (ton) 915,28 153,89 838,34 -
2 h (ton) 1.098,17 369,27 1.107,49 686,68
3 E (trip) 225 451 248 104
4 π (juta Rp) 43.332,71 - 42.890,17 31.572,62
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Pada kondisi MEY (Sole Owner), jumlah stok tuna adalah sebanyak
915,28 ton dengan hasil tangkapan sebesar 1.098,17 ton dan jumlah upaya
tangkap sebanyak 225 trip, sehingga nilai rente yang didapatkan adalah sebesar
108
Rp 43.332,71 juta. Pengelolaan Open Access menghasilkan standing stock
sebanyak 153,89 ton dengan hasil tangkapan sebesar 369,27 ton dan jumlah upaya
tangkap sebanyak 451 trip. Pada kondisi MSY, stok ikan adalah sebanyak 838,34
ton dengan hasil tangkapan sebesar 1.107,49 ton dan jumlah upaya tangkap
sebanyak 248 trip, sehingga memperoleh rente Rp 42.890,17 juta. Hasil analisis
pada beberapa rezim pengelolaan sumberdaya tuna diperoleh kesimpulan bahwa
pengelolaan optimal adalah pada rezim MEY (sole owner). Gambar rezim
pengelolaan sumberdaya tuna di Kota Padang ditampilkan pada Gambar 19.
Gambar 19. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Ikan Tuna
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Nilai rente sumberdaya ikan tuna pada kondisi open access adalah nol. Ini
berarti jika sumberdaya ikan tuna di Kota Padang dibiarkan terbuka, maka
persaingan usaha pada kondisi ini menjadi tidak terkendali sehingga
mengakibatkan nilai keuntungannya menjadi nol. Berdasarkan besaran nilai rente
yang diperoleh pada rezim pengelolaan sole owner atau MEY, nilai rente yang
diperoleh adalah nilai yang tertinggi jika dibandingkan dengan kondisi lainnya.
Selain itu, pada MEY jumlah stok ikan diperairan menghasilkan jumlah yang
paling banyak. Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya perikanan secara statik
di Kota Padang sebaiknya dikelola dengan rezim pengelolaan MEY atau Sole
Owner. Keseimbangan bioekonomi model Gordon Schaefer ditampilkan pada
Gambar 20.
0
10000
20000
30000
40000
50000
60000
0
200
400
600
800
1000
1200
Aktual MEY OAY MSY
Re
nte
Ek
on
om
i (j
uta
Rp
)
Ca
tch
(to
n),
Eff
ort
(tr
ip)
Rezim Pengelolaan SDI
Produksi (ton) Effort (trip) π (juta Rp)
109
Gambar 20. Keseimbangan Bioekonomi Model Gordon Schaefer
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
6.2.5. Analisis Optimasi Dinamik
Model estimasi yang sesuai dalam pemanfaatan sumberdaya tuna
berdasarkan analisis statik sebelumnya adalah model CYP. Melalui model ini
diperoleh parameter biologi dan ekonomi pemanfaatan tuna di Kota Padang.
Dalam rangka merumuskan sebuah kebijakan pengembangan sumberdaya
perikanan yang berkelanjutan, maka dalam tahap ini analisis menggunakan
pendekatan optimasi dinamik. Hasil analisis sumberdaya tuna dengan pendekatan
dinamik menggunakan discount rate 16 persen ditampilkan pada Tabel 37.
Tabel 37. Pengelolaan optimum Sumberdaya Ikan Tuna
No. Variabel Kendali Aktual
Optimal
Dinamik
(i=16)
Optimal
Dinamik
(i=17)
1 x (ton) 876,46 874,23 2 h (ton) 686,68 1.105,21 1.105,46 3 E (trip) 104 237 238 4 π (juta Rp) 31.572,62 322.066,45 304.364,86
5 π overtime (juta Rp) - 5.172,22 874,23
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Analisis secara dinamik dengan menggunakan discount rate 16 persen dan
17 persen ini bertujuan untuk mengetahui pengelolaan yang tepat agar
(10.000,00)
-
10.000,00
20.000,00
30.000,00
40.000,00
50.000,00
60.000,00
70.000,00
- 100 200 300 400 500 600
TR
,TC
(ju
ta R
p)
Effort (trip)
MEY MSY
TC OA
π max
110
sumberdaya ikan tuna dapat dikelola secara berkelanjutan. Besaran jumlah ikan
yang boleh ditangkap dan jumlah effort yang bisa dilakukan akan berguna untuk
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan tuna di Kota Padang secara
optimal dan berkelanjutan. Pengelolaan secara optimal dengan nilai discount rate
16 persen dan 17 persen menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan
pengelolaan beberapa rezim yang ada. Nilai rente pada discount rate 16 persen
adalah Rp 322.066,45 juta dan rente pada discount rate 17 persen adalah Rp
304.364,86 juta. Hasil analisis juga menujukkan semakin rendah nilai discount
rate, maka jumlah input produksi semakin sedikit sehingga secara alami jumlah
pertumbuhan alami sumberdaya ikan tuna semakin meningkat dan lestari, kondisi
ini juga akan menghasilkan nilai rente yang semakin tinggi. Hasil optimasi
dinamik pengelolaan sumberdaya tuna pada berbagai tingkat discount rate 10-20
persen sebagai pembanding ditampilkan pada Tabel 38.
Tabel 38. Hasil Optimasi Dinamik dengan Model CYP Pada Pengelolaan
Sumberdaya Tuna
No. Variabel
Kendali (i=10) (i=12) (i=14) (i=18) (i=20)
1 x (ton) 890,27 885,57 880,97 872,03 867,69
2 h (ton) 1.103,25 1.103,98 1.104,63 1.105,71 1.106,14
3 E (trip) 232 234 235 238 239
4 π (juta Rp) 502.296,71 422.247,41 365.023,42 288.621,83 261.836,75
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Berdasarkan Tabel 38 menunjukkan bahwa pada tingkat discount rate
10% diperoleh nilai biomas sebanyak 890,27 ton, jumlah biomas tersebut lebih
besar dibandingkan biomas pada tingkat discount rate 20% sebesar 867,69 ton.
Jumlah tangkapan pada discount rate 10% sebanyak 1.103,25 ton, jumlah ini lebih
besar dibandingkan pada discount rate 20% dengan jumlah tangkapan sebesar
1.106,14 ton. Tingkat upaya penangkapan pada discount rate 10% adalah
sebanyak 232 trip sementara tingkat discount rate 20% sebanyak 239 trip.
Keuntungan atau rente ekonomi yang diperoleh pada tingkat 10% sebesar Rp
502.296,71 juta, sedangkan tingkat discount rate 20% lebih kecil nilainya yaitu
Rp 261.836,75 juta/trip. Hubungan tingkat discount rate dan rente ekonomi
optimal dinamik sumberdaya tuna di Kota Padang lebih jelasnya ditampilkan pada
Gambar 21.
111
Gambar 21. Nilai Rente Pada Berbagai Tingkat Discount Rate
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Pada Gambar 21 dapat dilihat tingkat discount rate yang tinggi akan
mendorong semakin laju tingkat effort dan sebaliknya tingkat discount rate yang
rendah akan memperlambat laju tingkat effort. Secara umum tingkat discount rate
yang lebih rendah dapat menghasilkan optimal yield dan optimal biomass yang
lebih tinggi dan apabila tingkat discount rate turun hingga ke level nol, maka
analisis dinamik pada sumberdaya tuna ini identik dengan analisis statik pada
pengelolaan sole owner atau MEY. Tingkat discount rate yang tinggi akan
memacu eksploitasi sumberdaya ikan tuna yang lebih ekstraktif dan dampaknya
akan mempertinggi tekanan terhadap sumberdaya tuna. Jika tingkat discount rate
semakin tinggi hingga tak hingga, maka analisis dinamik pada sumberdaya tuna
ini akan sama dengan analisis statik pada pengelolaan Open Access (OA),
sehingga kondisi ini akan mengakibatkan terjadinya degradasi yang menjurus
pada kepunahan dari sumberdaya.
Berdasarkan hasil analisis melalui pendekatan optimasi dinamik, dapat
disimpulkan bahwa pengelolaan yang optimal dan lestari pada sumberdaya ikan
tuna sebaiknya dilakukan sesuai dengan hasil yang telah diperoleh melalui
analisis dengan discount rate 16 persen. Ini berarti pemerintah pusat dan daerah
khususnya Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Padang hendaknya dapat
merumuskan beberapa kebijakan pengelolaan. Kebijakan yang harus dibuat adalah
menetapkan jumlah effort yang diperbolehkan sebesar 237 trip. Jika dibandingkan
0
100.000
200.000
300.000
400.000
500.000
600.000
9 11 13 15 17 19 21
Re
nte
Eko
no
mi (
Rp
Ju
ta)
Tingkat Discount Rate
112
dengan effort aktualnya maka terdapat selisih, sehingga untuk hasil yang optimal
maka jumlah effort dapat ditingkatkan sebanyak 133 trip atau setara dengan
penambahan 33 unit armada tuna longliner. Pengelolaan optimal berdasarkan
hasil analisis adalah pada tingkat produksi/ yield (h) sebesar 1.105,21 ton dan
effort (E) sebanyak 237 trip. Kurva pengelolaan optimal sumberdaya ikan tuna di
Kota Padang ditampilkan pada Gambar 22.
Gambar 22. Kurva Pengelolaan Optimal (i=16%)
Keterangan : Perhitungan dengan Maple 13 di Lampiran 15
Secara umum tingkat discount rate yang lebih rendah dapat menghasilkan
optimal yield dan optimal biomass yang lebih tinggi. Apabila tingkat discount rate
turun hingga ke level 0, maka analisis dinamik pada sumberdaya tuna ini identik
dengan analisis statik pada pengelolaan sole owner atau Maximum Economic
Yield (MEY). Jika tingkat discount rate semakin tinggi hingga tak terhingga,
maka analisis dinamik pada sumberdaya ikan pelagis besar ini akan sama dengan
analisis statik pada pengelolaan open access (OA). Pengelolaan dengan tingkat
discount rate 16% seperti yang ditampilkan pada Gambar 22 menunjukkan tingkat
optimal pemanfaatan sumberdaya tuna. Pengelolaan pada tingkat ini di satu sisi
tidak memacu eksploitasi sumberdaya secara ekstraktif yang mengakibatkan
terjadinya degradasi yang menjurus pada kepunahan sumberdaya dan di sisi yang
lain memberikan rente ekonomi yang optimal.
113
6.3. Analisis Kebencanaan
6.3.1. Analisis Potensi Bencana
Identifikasi potensi bencana alam disamping potensi sumberdaya alam
merupakan salah satu aspek penting dalam pertimbangan perumusan kebijakan
pengembangan wilayah. Dengan memahami potensi bencana alam yang mungkin
terjadi maka langkah preventif, proaktif dan kesiap-siagaan sebelum terjadinya
bencana, serta langkah penanggulangan ketika terjadi bencana, dan langkah
pemulihan setelah terjadi bencana alam dapat dimasukkan dalam rumusan
kebijakan pengembangan wilayah. Sejauh ini, identifikasi potensi bencana alam di
kawasan pesisir khususnya terkait pengembangan perikanan dan kelautan belum
dilakukan secara komprehensif. Hal ini terbukti dalam kebijakan pengembangan
wilayah pesisir yang pada umumnya belum berperspektif mitigasi bencana
(Forum Mitigasi Bencana, 2007). Secara khusus pentingnya analisis potensi
bencana dalam penelitian ini terkait pada perumusan kebijakan pengembangan
sumberdaya perikanan yang berkelanjutan.
Penelitian tahap ini bertujuan untuk mengetahui jenis bencana alam yang
potensial terjadi di Kota Padang dalam kaitannya dengan pengembangan
perikanan yang berkelanjutan. Model analisis potensi bencana yang digunakan
untuk menentukan potensi bencana yang memiliki pengaruh terbesar terhadap
pengembangan perikanan adalah dengan menggunakan metode perbandingan
eksponensial (MPE), studi literatur dan analisis deskriptif.
Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) yang digunakan dalam
penelitian ini (Sub-bab 6.3.1 dan Sub-bab 6.3.2) merupakan salah satu metode
penentuan prioritas keputusan yang dilakukan berdasarkan beberapa analisis dari
tahapan penelitian sebelumnya. Hasil analisis yang dilakukan sebelumnya
dijadikan sebagai komponen dalam pengambilan keputusan untuk
mengidentifikasi potensi bencana yang ada di pesisir Kota Padang terkait
pengembangan sumberdaya perikanan. Metode perbandingan eksponensial terdiri
dari beberapa tahapan yang dilakukan yaitu:
Menyusun alternatif-alternatif potensi bencana
Menentukan kriteria atau perbandingan kriteria potensi bencana
Menentukan tingkat kepentingan dari setiap kriteria potensi bencana
114
Melakukan penilaian terhadap semua alternatif pada kriteria
Menghitung skor atau nilai total setiap alternatif
Menentukan urutan potensi bencana
Pada tahapan MPE, perlu ditentukan dahulu kriteria potensi bencana dan
alternatif bencana. Kriteria pembentuk MPE ini antara lain; kawasan pelabuhan,
TPI dan PPI, kawasan pemukiman nelayan, kawasan pasar perikanan dan kawasan
perairan (laut). Sedangkan alternatif bencana yaitu; gempa bumi, tsunami, banjir,
erosi, akresi, longsor, abrasi, angin kencang, intrusi air laut dan gelombang laut.
Rumusan yang akan ditentukan dalam rangkaian proses MPE diuraikan menjadi
unsur-unsurnya yaitu kriteria dan alternatif.
Tingkat potensi bencana dalam metode ini diperoleh dengan menentukan
besarnya bobot dari masing-masing kriteria yang ada. Penentuan besarnya bobot
ini dilakukan melalui pendapat pakar. Angka pembobotan ditentukan berdasarkan
skala ordinal dengan skala 1 sampai 5. Bobot 1 berarti kriteria tersebut sangat
tidak berpotensi, bobot 2 berarti tidak berpotensi, bobot 3 berarti cukup
berpotensi, bobot 4 berarti berpotensi dan bobot 5 berarti sangat berpotensi. Pada
metode MPE, nilai total setiap alternatif diperoleh dengan menjumlahkan seluruh
kriteria yang dipangkatkan dengan bobotnya. Berdasarkan perhitungan MPE
diperoleh nilai total potensi bencana yang ditampilkan pada Tabel 39.
Tabel 39. Nilai Total Potensi Bencana Hasil Analisis MPE
No. Alternatif
Kriteria Nilai
Alternat
if
Kawasan
Pelabuhan
, TPI, PPI
Kawasan
Pemukiman
Nelayan
Kawasan
Pasar
Perikanan
Kawasan
Perairan
(Laut)
1 Gempa Bumi 5 5 5 5 2.500
2 Tsunami 5 5 5 5 2.500
3 Banjir 2 2 2 2 64
4 Erosi 2 1 1 1 19
5 Akresi 2 1 3 2 114
6 Longsor 2 2 2 2 64
7 Abrasi 2 4 1 1 274
8 Angin Kencang 4 4 4 4 1.024
9 Intrusi Air Laut 3 3 3 3 324
10 Gelombang Laut 2 4 2 5 913
Bobot 4 4 4 4
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
115
Langkah terakhir dalam Metode Perbandingan Eksponensial ini adalah
menentukan urutan prioritas keputusan dari seluruh alternatif keputusan yang
tersedia. Pemeringkatan dilakukan dengan mengurutkan alternatif keputusan dari
jumlah nilai yang terbesar ke nilai terkecil. Hasil dari pengurutan akan diperoleh
alternatif keputusan yang paling baik untuk kemudian dipilih menjadi sebuah
kebijakan pengelolaan.
Berdasarkan hasil tabulasi kuesionerdan wawancara dengan pakar melalui
metode ordinal MPE, diketahui bahwa secara spesifik jenis bencana yang
berpotensi terjadi di Kota Padang terkait pengembangan perikanan adalah gempa
bumi, tsunami, angin kencang, gelombang laut dan intrusi air laut, sementara
bencana yang lain pengaruhnya tidak terlalu besar. Hasil MPE ini merupakan
rangkaian proses analisis setelah melalui studi literatur dan kepustakaan. Potensi
bencana pesisir hasil MPE ditampilkan pada Gambar 23.
Gambar 23. Potensi Bencana Pesisir
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Pada Gambar 23 dapat diketahui bahwa potensi bencana yang paling
tinggi terkait pengembangan sumberdaya perikanan adalah gempa bumi. Posisi
kedua adalah tsunami, pada rangking ketiga ditempati angin kencang. Posisi
keempat dan kelima adalah gelombang laut dan intrusi air laut. Penjelasan terkait
potensi bencana pesisir yang berhubungan dengan pengembangan sumberdaya
perikanan diuraikan pada sub bab selanjutnya. Data uraian potensi bencana
tersebut diperoleh dari data lapangan melalui studi literatur dan kepustakaan.
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
Gempa Bumi Tsunami Angin Kencang Gelombang Laut Intrusi Air Laut
Kawasan Pelabuhan Kawasan Pemukiman Kawasan Pasar Kawasan Perairan
116
6.3.1.1. Gempa Bumi
Secara regional, daerah Sumatera Barat termasuk daerah rawan gempa
bumi nomor 3 di Indonesia. Berdasarkan asal usul kejadiannya gempa dapat
dibagi menjadi dua bagian yakni gempa bumi yang berasal dari \\jaman lempeng
Samudera Hindia-Australia yang berinteraksi dengan lempeng Benua Asia di
sebelah barat Sumatera dan gempa bumi yang berasal dari aktivitas gerak sesar
aktif mendatar Sumatera. Jejak rekam gempa bumi merusak yang pernah terjadi
akibat interaksi kedua lempeng tersebut diantaranya adalah gempa bumi Sumatera
Barat tahun 1822, Gempa bumi Siri Sori tahun 1904 (tsunami), Gempa bumi
Padang (1835,1981, dan 1991). Gempa bumi sesar aktif Sumatera pernah terjadi
1926, 1943, 1977, 2004 dan 2007. Gempa bumi tunjaman tersebut yang terjadi di
dasar laut Samudera Hindia dengan kekuatan besar dari 6,5 SR dapat memicu
terjadinya gelombang tsunami yang mengancam pantai barat Sumatera (Bappeda
Kota Padang, 2010).
Berdasarkan data dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi,
Peta Geomorfologi Lembar Padang, Peta Bahaya Goncangan Gempa Bumi
Indonesia, Peta Wilayah Rawan Bencana Gempa Bumi Indonesia. Intensitas
Gempa Bumi (MMI) Kota Padang mempunyai tingkat kegempaan berkisar antara
V hingga VII (skala MMI), yaitu:
Skala V–VI: tersebar dominan ke bagian barat laut–tenggara yang meliputi
daerah bagian tengah hingga timur laut Kota Padang.
Skala VI–VII: tersebar mulai dari bagian barat laut–tenggara, bagian tengah
meliputi daerah Pasir Jambak, Cupak hingga terus ke arah tenggara Kota
Padang.
Dalam rangka mengetahui kerentanan Kota Padang ini terhadap bencana
gempa bumi secara mikro, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral telah melakukan kajian mikrozonasi geoseismik yakni perpaduan kondisi
geologi dengan parameter utama respon dinamika gempa (periode dan
amplifikasi) sehingga dapat dipisahkan antara daerah berkerentan tinggi akan
goncangan gempa bumi dengan daerah lainnya yang kurang kerentanannya akan
goncangan gempa bumi. Secara umum wilayah Kota Padang mempunyai periode
dominan terendah (<0,14 detik) hingga tertinggi (3,8 detik) dan bersifat
117
menguatkan gelombang gempa bumi (amplifikasi) terendah 4 kali dan amplifikasi
tertinggi lebih dari 12 kali (Bappeda Kota Padang, 2010).
Pusat-pusat gempa di Kota Padang paling banyak berkaitan dengan gempa
tektonik. Pusat-pusat gempa tektonik di Kota Padang terbentuk di sepanjang jalur
gempa mengikuti zona subduksi sepanjang 6.500 km di sebelah barat Pulau
Sumatera. Tumbukan Lempeng Samudra Hindia-Australia yang menyusup di
bawah Lempeng Eurasia membentuk Zona Benioff yang secara terus menerus
aktif bergerak berarah barat timur yang merupakan zona bergempa dengan
seismisitas cukup tinggi. Kondisi ini menyebabkan Kota Padang menjadi daerah
tektonik giat dan merupakan sumber gempa merusak.
Data kegempaan dari BMG dan USGS memperlihatkan lokasi pusat-pusat
gempa di perairan Kota Padang tersebar cukup merata. Pusat gempa terlihat lebih
banyak di perairan antara Pulau Enggano dan Daratan Sumatera. Frekuensi
kejadian gempa dari tahun 1900 hingga 1963 relatif sedikit, sedangkan dari tahun
1963 hingga 1995 terjadi peningkatan. Gempa terjadi 3 sampai 16 kali per tahun
dalam kurun 1963-1975, frekuensi ini menurun hingga 2 kali kejadian dalam
tahun 1984 dan kemudian meningkat lagi dengan 2 kali kejadian pada tahun 1995.
Sumber-sumber gempa tersebut kebanyakan berada pada kedalaman 33 hingga
100 km, dengan magnitude lebih besar dari 5 skala richter. Gempa berkekuatan
lebih besar dari 6,5 skala richter di permukaan, berpeluang besar menyebabkan
deformasi di daratan maupun di dasar laut (BPPT dalam UNP, 2007).
Tingginya tingkat kerawanan bencana gempa di Kota Padang adalah
akibat gempa berskala besar yang merobohkan bangunan dan dapat memakan
korban jiwa yang tidak sedikit. Begitu juga kaitannya dengan pengembangan
perikanan, sebab sentra-sentra usaha potensial perikanan di Kota Padang
khususnya perikanan tangkap berada di lokasi yang rawan bencana. Sentra usaha
itu seperti pelabuhan pendaratan ikan, pasar perikanan, pemukiman nelayan dan
sarana perikanan lainnya. Peta risiko bencana gempa bumi Kota Padang disajikan
pada Gambar 24 yang dirilis oleh BPSPL Kota Padang.
118
Gam
bar
24
. P
eta
Ris
iko
Ben
cana
Gem
pa
Bum
i K
ota
Pad
ang
119
6.3.1.2. Tsunami
Posisi Kota Padang yang berada di pantai barat Sumatera dimana
berbatasan langsung dengan laut terbuka (Samudra Hindia) dan zona tumbukan
aktif dua lempeng menjadikan Padang salah satu kota paling rawan bahaya
tsunami. Gempa tektonik sepanjang daerah subduksi dan adanya seismik aktif,
dapat mengakibatkan gelombang yang luar biasa dahsyat. Melalui catatan sejarah
bencana, tsunami pernah melanda Sumatera Barat pada tahun 1797 dan 1833.
Kejadian bencana tsunami yang bersumber dari gempa yang berada di Sumatera
Barat dapat dilihat pada Tabel 40.
Tabel 40. Kejadian Tsunami di Sumatera Barat
Tahun Bulan Hari Lat Lon Ms I N C V TR BR Sumber
1797 2 10 -1 100 4 (Heck, 1947)
1861 9 25 -1.5 100 6.5 1.5 1 T 3 IND SG1 SW.
1922 4 10 -1 100 0 U 1 IND SG1 Padang
Sumber : Bappeda Kota Padang, 2010
Ket: : Lat (latitude), Lon (longitude), Ms (Magnitude-SR ), I (Inundasi)
Berdasarkan catatan pada Tabel 40 tersebut, dibuat dua skenario terpaan
tsunami. Skenario terburuk dengan terjadinya slip vertikal sepanjang 20 meter di
dasar laut, tsunami akan ditandai dengan terjadinya gempa bumi besar diatas 8
skala richter selama lebih dari 1 menit tanpa terputus. Terpaan pertama akan
datang selang antara 20-40 menit setelah terjadinya gempa. Pada kondisi ini
tsunami akan menerpa Kota Padang dengan ketinggian bervariasi antara 5-16
meter (Bappeda Kota Padang, 2010).
Ketinggian tsunami setinggi 16 meter akan terjadi pada daerah teluk,
seperti daerah Teluk Bayur dan Sungai Pisang. Daerah padat penduduk seperti
Kecamatan Koto Tangah, Padang Utara dan lainnya, gelombang diperkirakan
akan datang dengan ketinggian 5-6 meter. Informasi lebih jelas dapat dilihat pada
Gambar 25 Peta Risiko Bahaya Tsunami Kota Padang yang dirilis oleh Badan
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (BPSPL) Kota Padang, data bahaya
tsunami di uraikan pada Tabel 41.
120
Tabel 41. Bahaya Tsunami Kota Padang
No. Kecamatan Luas Total
(Ha)
Bahaya
Tsunami
Luas Bahaya
Tsunami (Ha)
Luas Bahaya
Tsunami (%)
1 Koto Tangah 21.594 6-5 m 248 1,14
Koto Tangah 5-4 m 692 3,2
Koto Tangah 4-3 m 342 1,58
Koto Tangah 3-2 m 647 2,99
Koto Tangah 1-0 m 19.665 91,06
2 Pauh 15.953 1-0 m 15.953 100
3 Kuranji 5.795 1-0 m 5.795 100
4 Nanggalo 1.112 5-4 m 19 1,7
Nanggalo 4-3 m 36 3,23
Nanggalo 3-2 m 87 7,82
Nanggalo 1-0 m 970 87,23
5 Padang Utara 617 6-5 m 84 13,61
Padang Utara 5-4 m 328 53,16
Padang Utara 4-3 m 93 15,07
Padang Utara 3-2 m 20 3,24
Padang Utara 1-0 m 92 14,91
6 Lubuk Kilangan 8.362 1-0 m 8.362 100
7 Padang Timur 639 4-3 m 14 2,19
Padang Timur 3-2 m 157 24,56
Padang Timur 1-0 m 468 73,23
8 Padang Barat 508 6-5 m 80 15,74
Padang Barat 5-4 m 283 55,7
Padang Barat 4-3 m 145 28,54
9 Lubuk Begalung 2.711 6-5 m 24 0,88
Lubuk Begalung 1-0 m 2.687 99,11
10 Padang Selatan 1.119 6-5 m 30 2,68
Padang Selatan 5-4 m 20 1,78
Padang Selatan 4-3 m 7 0,62
Padang Selatan 1-0 m 1.060 94,72
11 Bungus Teluk Kabung 9.975 6-5 m 140 1,4
Bungus Teluk Kabung 1-0 m 9.836 98,6
12 Pulau 164 6-5 m 164 100
Sumber : UNP, 2007
Tabel 41 mennjukkan hampir seluruh kecamatan di Kota Padang berada
dalam bahaya tsunami. Kisaran tinggi bahaya tsunami mencapai 1-6 meter.
Bahaya tsunami terlebih dirasakan pada daerah pesisir yang merupakan basis
usaha perikanan tangkap. Dengan demikian, diperlukan rumusan kebijakan
pengembangan perikanan yang tepat di daerah ini.
121
Gam
bar
25. P
eta
Ris
iko
Bah
aya
Tsu
nam
i K
ota
Pad
ang
122
6.3.1.3. Angin Kencang/Badai
Angin kencang/badai baik yang terjadi di laut maupun pesisir dapat
merugikan usaha perikanan. Badai yang terjadi di laut akan menimbulkan
gelombang besar sehingga bisa merugikan armada penangkapan bahkan nyawa
nelayan. Sementara itu, badai yang datang di wilayah pesisir akan menyebabkan
kerugian materil dan non materil seperti rusaknya fasilitas perikanan, pemukiman
nelayan dan lain sebagainya.
Kota Padang termasuk wilayah yang rawan bencana angin kencang/badai.
Dari data yang tercatat di BPBD maupun BMKG Maritim Teluk Bayur, daerah-
daerah yang berada di pesisir Kota Padang merupakan wilayah yang sering
dilanda bencana ini. Badai umumnya berpotensi terjadi pada enam kecamatan
pesisir di Kota Padang baik di daratan maupun di tengah laut. Saat badai terjadi,
kecepatan angin bisa melebihi 50 kilometer per jam.
Beberapa faktor penyebab datangnya badai di Kota Padang adalah adanya
transisi matahari dari Selatan menuju khatulistiwa sehingga terjadi pertemuan
angin yang bergerak dari utara menuju Selatan. Selain itu badai juga terjadi akibat
adanya pumpunan angin bergerak menuju daerah yang bertekanan rendah dengan
kecepatan tinggi akibat terjadinya pertemuan angin dari arah utara dan selatan
karena perbedaan pergerakan matahari dan angin. Faktor lainnya adalah adanya
pumpunan angin yang memanjang di sepanjang Pantai Barat Sumatera dan
berbalik karena daerah di Sumatera Barat umumnya dikelilingi Bukit Barisan.
Akibatnya, angin berbalik arah dan bertambah kencang karena bertemu angin
gunung di kawasan perbukitan dan angin darat di daerah sekitar pantai (BMKG
Maritim Teluk Bayur, 2012).
Sejauh ini, informasi dan peringatan terkait bencana badai di Kota Padang
disampaikan melalui BMKG Maritim. Khusus untuk kegiatan perikanan tangkap,
nelayan mendapat informasi sebelum pergi melaut tentang perkiraan cuaca buruk
dan kondisi perairan yang akan dilalui. Peta perkiraan dan peringatan bahaya serta
informasi meteorologi maritim lainnya disampaikan secara online oleh BMKG
Maritim setiap harinya melalui situs http://maritim.bmkg.go.id.
123
6.3.1.4. Intrusi Air Laut
Faktor penyebab meluasnya intrusi air laut adalah diakibatkan oleh
terjadinya kenaikan muka air laut. Selain itu, intrusi air laut juga dipicu oleh
terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan untuk
berbagai keperluan, seperti air untuk kebutuhan pemukiman dan industri.
Pengambilan air tanah yang tidak seimbang dengan pemasukan air dari
permukaan mengakibatkan air laut yang lebih berat masa jenisnya langsung
masuk ke akuifer (tempat penampungan air di dalam tanah) hingga mengendap.
Sebagai Kota Pesisir, Kota Padang yang juga merupakan Ibukota Provinsi
Sumatera Barat memiliki risiko yang tinggi terhadap ancaman intrusi air laut.
Ancaman ini didasari oleh padatnya pemukiman di sekitar pusat kota serta
berbagai aktivitas perdagangan dan industri yang menambah potensi bencana di
daerah ini. Sejauh ini pemerintah Kota Padang telah berusaha mengantisipasi
bencana intrusi air laut melalui program pembangunan dan pengelolaan hutan
kota yang dikenal dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Usaha mengatasi intrusi
air laut di Kota Padang adalah dengan upaya peningkatan kandungan air tanah
melalui pembangunan hutan lindung kota pada daerah resapan air dengan tanaman
yang mempunyai daya evapotranspirasi yang rendah (Samsoedin dan Endro,
2007). Kawasan strategis perikanan yang rawan akan intrusi air laut seperti TPI,
PPI, Pelabuhan dan pemukiman nelayan di sekitar kecamatan pesisir padat
penduduk seperti Kecamatan Koto Tangah, Kecamatan Lubuk Begalung dan
Kecamatan Padang Utara.
6.3.1.5. Gelombang Laut
Pada umumnya kondisi gelombang di suatu perairan diperoleh secara tidak
langsung yaitu melalui data angin yang terdapat di kawasan perairan tersebut. Hal
ini didasari atas kondisi umum yang berlaku di laut yaitu sebagian besar
gelombang yang ditemui dibentuk oleh tiupan angin. Gelombang ini merambat ke
segala arah membawa energi tersebut yang kemudian dilepaskannya ke pantai
dalam bentuk hempasan ombak. Rambatan gelombang dapat menempuh jarak
ribuan kilometer sebelum mencapai pantai. Gelombang yang mendekati pantai
akan mengalami pembiasaan (refraction), jika mendekati semenanjung akan
memusat (convergence) dan menyebar (divergence) jika menemui cekungan.
124
Keadaan gelombang selain disebabkan oleh hembusan angin juga dipengaruhi
oleh keadaan topografi dasar laut atau sea botton topography (Lutfi, 2005).
Hubungan yang erat antara gelombang, angin dan dasar perairan
menyebabkan perairan di bagian barat Sumatera khususnya Padang tidak pernah
tenang. Hal ini selain disebabkan oleh hembusan angin yang mempunyai gradian
kecuraman yang tinggi, juga disebabkan karena pada musim barat di perairan
Sumataera Barat sering terjadi badai dengan periode yang singkat antara 1-3 jam.
Keadaan ini menyebabkan di daerah perairan pantai sering terjadi gelombang
pecah. Tinggi gelombang yang terjadi di Kota Padang berkisar antara 0,5-2,0
meter (BMKG Maritim Teluk Bayur, 2012).
Gelombang laut atau gelombang samudera yang terjadi di perairan Kota
Padang berasal dari Samudera Hindia sekitar Mentawai dan pesisir barat daratan
Kota Padang. Posisi perairan Kota Padang yang berbatasan dengan Samudera
Hindia menyebabkan kawasan ini sangat rawan dilanda gelombang laut. Selain
itu, awan gelap (Cumulonimbus) di lokasi tersebut dapat menimbulkan angin
kencang dan menambah tinggi gelombang. Gelombang laut berdampak langsung
pada kerugian materi nelayan bahkan tidak jarang adanya korban jiwa. Informasi
berupa prakiraan gelombang dari BMKG ditampilkan pada Gambar 26.
Gambar 26. Peta Prakiraan Tinggi Gelombang
Sumber : BMKG Maritim Teluk Bayur, 2012
125
6.3.1.6. Banjir
Bencana banjir merupakan kejadian alam yang sulit untuk diprediksi
karena bencana ini datang secara tiba-tiba dengan periodisitas yang tidak
menentu, kecuali untuk daerah-daerah yang sudah menjadi langganan terjadinya
banjir tahunan. Secara umum banjir adalah peristiwa dimana daratan yang
biasanya kering (bukan daerah rawa) menjadi tergenang oleh air, hal ini
disebabkan oleh curah hujan yang tinggi dan kondisi topografi wilayah berupa
dataran rendah hingga cekung.
Beberapa wilayah yang diidentifikasikan rawan bencana banjir di wilayah
Kota Padang menurut data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Padang antara lain adalah Lubuk Minturun, Simpang Kalumpang, Padang Sarai,
Dadok Rawan Panjang sekitarnya, Ikur Koto, Anak Air, Padang Sarai semuanya
berada di Kecamatan Koto Tangah, kemudian, Lapai, Siteba, Maransi, Gunung
Pangilun di wilayah Kecamatan Nanggalo, serta Ampang, Gunung Sarik, Andalas
di wilayah Kecamatan Kuranji. Daerah Simpang Haru yang termasuk wilayah
Kecamatan Padang Timur juga merupakan wilayah rawan banjir, serta dua derah
yang berada di Kecamatan Lubuk Begalung yaitu Parak Laweh dan Arai Pinang.
Banjir memberikan dampak yang sangat serius terhadap ekosistem
perairan pantai. Kerugian yang ditimbulkan banjir bisa berupa material maupun
non material. Baik secara langsung maupun tidak langsung kerugian ini dirasakan
oleh masyarakat,termasuk juga nelayan. Kerugian banjir mungkin akan sulit untuk
ditabulasi secara matematis, namun secara visual sangat nyata telah menimbulkan
berbagai macam kerugian baik fisik maupun non fisik. Selain itu menurut Ilyas
dan Slamet (2007) banjir peran penting dalam pengiriman butiran sedimen, air
tawar yang cukup besar, pengayaan kandungan unsur hara (nutrien) dan
peningkatan polusi ke dalam perairan. Keseluruhan material tersebut lambat laun
akan berdampak terhadap keberadaan ekosistem perairan. Wilayah-wilayah yang
berisiko terkena banjir dapat dilihat pada Gambar 27 Peta Risiko Bencana Banjir
Kota Padang yang dirilis oleh Badan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
(BPSPL) Kota Padang.
126
Gam
bar
27. P
eta
Ris
iko B
enca
na
Ban
jir
Kota
Pad
ang
127
6.3.1.7. Gerakan Tanah (Longsor, Abrasi, Akresi dan Erosi)
Gerakan tanah dapat terjadi apabila di bawah lapisan yang keras dijumpai
adanya lapisan dengan kompresibilitas tinggi. Daerah yang berpotensi terjadinya
gerakan tanah yaitu daerah pematang pantai, dimana lapisan keras berada pada
kedalaman 5-10 meter dan dibawahnya terdapat lapisan lempung/lanau lunak
(Puradimaja dalam Ruswandi 2009).
Jenis gerakan tanah yang sering terjadi adalah longsoran dan amblesan.
Longsor terjadi pada batuan/tanah pelapukan yang mempunyai lereng. Melalui
data UNP (2007) tingkat risiko longsor lahan di Kota Padang dapat dibedakan
menjadi tiga bagian yaitu tingkat risiko longsor lahan rendah, sedang, dan tinggi.
Tingkat risiko longsor lahan rendah umumnya tersebar di bagian timur, barat,
utara Kota Padang. Hal ini disebabkan karena sebagian besar bentuk penggunaan
lahan berupa hutan dan kebun campuran, sedangkan pada satuan lahan yang
memiliki kepadatan penduduk yang padat memiliki lereng yang rendah, sehingga
tidak memiliki potensi untuk mengalami longsor lahan.
Tingkat risiko longsor lahan sedang umumnya tersebar pada bagian tengah
Kota Padang. Tingkat risiko longsor lahan sedang ini disebabkan karena bentuk
penggunaan lahannya berupa permukiman yang bersifat menyebar, sehingga
apabila terjadi longsor lahan tidak begitu banyak menimbulkan korban jiwa dan
harta benda. Tingkat risiko longsor lahan tinggi umumnya terdapat pada satuan
bentuk lahan perbukitan yaitu pada daerah Gunung Padang, Pauh, dan Lubuk
Kilangan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 28 tentang peta risiko
longsor Kota Padang yang dirilis oleh BPSPL Kota Padang.
Bencana gerakan tanah seperti longsor, abrasi, akresi dan erosi memiliki
dampak terhadap pengembangan perikanan. Dampak bencana ini berupa
kerusakan yang ditimbulkan terhadap sarana perikanan, pemukiman nelayan serta
ekosistem lingkungan perairan yang secara langsung maupun tidak langsung akan
merugikan sub sektor perikanan. Beberapa kawasan strategis perikanan yang
berada di wilayah pesisir Kota Padang rentan terhadap bencana ini, seperti
Kecamatan Bungus Teluk Kabung, Kecamatan Lubuk Begalung dan Kecamatan
Padang Selatan.
128
Gam
bar
28. P
eta
Ris
iko B
enca
na
Longso
r K
ota
Pad
ang
129
Wilayah dataran di Kota Padang dapat dikategorikan dalam dua kondisi,
yaitu kondisi stabil dan tidak stabil. Kondisi ini dipengaruhi oleh topografi dan
karakteristik masing-masing wilayah. Adapun uraian kondisi ini dijelaskan
sebagai berikut (Bappeda Kota Padang, 2010) :
Kondisi Stabil (S)
Terdapat pada daerah dataran yang tersusun oleh endapan aluvial, rawa,
kipas aluvial, pematang pantai dan dataran pantai, berupa lempung-pasir,
kerikil-kerakal, lepas agak padat, sudut lereng 0–5 persen berupa dataran
dengan elevasi 0–5 m (dml), tipe erosi limpasan-alur, serta runtuhan tebing
sungai sebagai akibat limpasan aktivitas aliran air sungai, meliputi
sepanjang pesisir pantai bagin barat Kota Padang.
Kondisi Tidak Stabil (TS)
- Tingkat Rendah-Sedang (R–S) : Terdapat pada daerah barat laut hingga
ke arah selatan, yang tersusun oleh endapan dataran aluvial berupa
endapan vulkanik (dominan) berupa lahar, tuf dan koluvium, sifat
endapan padat-sangat padat, padat, sudut lereng 5–30 persen berupa
dataran bergelombang dengan elevasi 5–10 m (dml), tipe erosi alur-
lembah (runtuhan tebing sungai) akibat aktivitas aliran air permukaan
dan sungai. Tingkat ini meliputi bagian timur laut-tenggara, sedikit
berada pada bagian barat Kota Padang.
- Tingkat Sedang-Stabil (S–T): Terdapat pada daerah dataran hingga
perbukitan yang tersusun oleh batuan tua yang terdiri dari malihan/
metamorf, sifat endapan sangat padat, mudah tererosi oleh aliran air
permukaan dan terdapat dinding dengan >30 persen hingga tegak lurus,
dapat runtuh, tipe erosi limpasan-galur-jurang. Adanya goncangan
gempa bumi dapat menimbulkan rekahan-rekahan ke arah lembah yang
dapat menyebabkan terjadinya longsoran ke arah hulu. Tingkat ini
meliputi bagian timur laut hingga tenggara,dan selatan Kota Padang.
Kondisi abrasi atau akresi di wilayah pantai Kota Padang terdapat pada
daerah yang tersusun oleh endapan pematang pantai berupa lanau-pasir, sifat
endapan lepas-lepas dan dapat terjadi abrasi atau akresi sebagai akibat dari
130
aktivitas air laut. Adapun jenis bencana gerakan tanah di Kota Padang untuk
kawasan pantai dapat berupa :
Abrasi dan Akresi, bencana ini terdapat pada daerah yang tersusun oleh
endapan pematang pantai berupa lanau-pasir, sifat endapan lepas-lepas dan
dapat terjadi Abrasi dan Akresi sebagai akibat dari aktivitas air laut.
Tingkat risiko abrasi pantai yang terjadi di Kota Padang dapat dibedakan
menjadi dua bagian yaitu tingkat risiko abrasi pantai tinggi dan rendah.
Tingkat risiko abrasi pantai tinggi umumnya terdapat pada Kecamatan Koto
Tangah dan Padang Utara. Tingkat risiko abrasi tinggi ini dapat dibuktikan
dengan adanya beberapa bangunan rumah yang telah runtuh akibat abrasi
pantai, sedangkan tingkat abrasi pantai yang rendah ditandai dengan adanya
beberapa pohon kelapa yang telah kelihatan akarnya di pemukaan dan
adanya beberapa pohon kelapa yang telah tumbang akibat abrasi pantai.
Adapun peta risiko bencana abrasi pantai di Kota Padang berdasarkan data
BPSPL dapat dilihat pada Gambar 29.
Erosi, bencana ini tersebar di bagian barat laut–tenggara sepanjang tepi
pantai yang meliputi daerah Padang. Terdapat pada batuan alluvial kuarter
(Qa), biasanya terjadi di sekitar tebing sungai/pantai yang disebabkan oleh
arus/ombak.
Gelinciran batuan/runtuhan batuan merupakan gerakan tanah yang terjadi
karena adanya perlapisan dari batuan dan juga adanya patahan. Sedangkan
longsoran terjadi pada tanah pelapukan.
Beberapa lokasi yang diidentifikasikan rawan gerakan tanah antara lain
daerah Lubuk Paraku, Panorama, Bukit Tantangan Beringin, serta Pauh Batu
Busuk Patamuan di wilayah Kecamatan Lubuk Kilangan; Bukit Air Manis, Bukit
Lantik, Bukit Turki, Bukit Gado-Gado, serta Perbukitan sekitar Teluk Bayur di
Kecamatan Padang Selatan. Daerah-daerah ini sangat berpotensi terjadi gerakan
tanah apabila curah hujan turun cukup tinggi. Selain itu masih terdapat beberapa
lokasi rawan gerakan tanah di wilayah Kecamatan Lubuk Begalung yaitu antara
lain di Bukit Gaung, Bukit Pampangan, Bukit Lampu (Bappeda Kota Padang,
2010).
131
Gam
bar
29. P
eta
Ris
iko B
enca
na
Ab
rasi
Kota
Pad
ang
132
6.3.2. Analisis Mitigasi Bencana
6.3.2.1. Mitigasi Bencana
Bencana alam merupakan peristiwa alamiah yang tidak bisa dihilangkan
atau ditunda, namun terdapat upaya untuk mengurangi risiko yang ditimbulkan
oleh bencana alam. Upaya mitigasi bencana meliputi kegiatan-kegiatan yang
dilakukan untuk mengurangi kerugian yang ditimbulkan oleh bencana alam, baik
kerugian jiwa maupun kerugian materi. Kegiatan yang perlu dilakukan tidak
hanya sebatas membangun infrastruktur ataupun kegiatan fisik lainnya namun
juga menyangkut penetapan kebijakan-kebijakan pengaturan dan pengendalian
dalam rangka mengurangi risiko bencana.
Kondisi kerawanan bencana di wilayah Kota Padang memerlukan upaya
mitigasi bencana sebagai titik tolak dari manajemen bencana. Manajemen ini
diperlukan untuk mengurangi dan meniadakan korban dan kerugian yang timbul.
Berdasarkan jenis-jenis bencana yang mungkin terjadi di wilayah Kota Padang
dan mengacu pada Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Padang, kebijakan-
kebijakan yang perlu diambil pemerintah antara lain:
Menyusun regulasi (Peraturan Daerah) kebencanaan daerah yang mencakup
regulasi mengenai :
- Pengaturan organisasi perangkat daerah yang menangani kebencanaan
- Pengaturan pendanaan untuk kegiatan-kegiatan yang terkait dengan
upaya pengurangan risiko bencana
- Pengaturan dan penetapan dasar hukum mengenai aspek teknis upaya
pengurangan risiko bencana, antara lain; standar pendirian bangunan
tahan bencana, jalur evakuasi bencana, standar pengelolaan ekosistem
dan lingkungan, dan lainnya
- Perencanaan pengurangan risiko dan penanganan bencana alam
Membentuk perangkat daerah yang menangani masalah kebencanaan
Pembentukan Kelompok Kerja Kebencanaan yang beranggotakan dinas-
dinas terkait
Memperkuat kerjasama penanganan bencana dengan daerah lain di
sekitarnya
133
Memperkuat akses komunikasi antara daerah kepulauan, baik melalui radio
atau telepon
Memperkuat akses informasi ke pusat informasi kebencanaan dan lembaga-
lembaga riset terutama di daerah-daerah dan pulau-pulau terpencil
Membangun sistem informasi bencana
Memfasilitasi penelitian-penelitian yang dilakukan oleh lembaga riset
tentang kebencanaan di wilayah Kota Padang
Memperkuat jaringan pemerintah, masyarakat dan swasta dalam
pengurangan risiko bencana
Memperkuat kesiapsiagaan masyarakat dengan melakukan sosialisasi dan
pelatihan bencana
Melakukan perencanaan logistik dan penyediaan dana, peralatan, dan
material yang diperlukan untuk tanggap darurat
Merencanakan dan menyiapkan SOP (Standart Operation Procedure) untuk
kegiatan tanggap darurat
Sumberdaya perikanan khususnya perikanan tangkap merupakan sektor
yang memiliki karakteristik yang rawan terhadap bencana, hal ini disebabkan
sebagian besar prasarana dan sarananya berada di kawasan pesisir. Kawasan
pesisir sebagaimana dijabarkan dalam potensi bencana menjadi zona yang patut
diperhitungkan dalam menentukan setiap arahan dan kebijakan yang akan dibuat.
Sehingga kebijakan terkait sumberdaya ini benar-benar diperhitungkan kondisi,
potensi dan karakteristiknya.
Beberapa upaya mitigasi saat ini telah dilaksanakan di Kota Padang, baik
berupa mitigasi aktif maupun mitigasi pasif. Upaya mitigasi ini sebagian besar
ditangani oleh unit khusus yang dikelola oleh pemerintah daerah yaitu BPBD
(Badan Penanggulangan Bencana Daerah). Khusus pengembangan perikanan dan
lingkungan pesisir, realisasi program yang telah dilakukan di Kota Padang adalah
sebagai berikut:
a. Early Warning System (EWS)
Alat ini berfungsi pada saat terjadi gempa yang berpotensi tsunami. Cara
kerja alat ini adalah berupa bunyi sirene yang ditempatkan pada lokasi
134
strategis setelah sebelumnya diberikan sosialisasi prosedur kerja alat kepada
masyarakat setempat. EWS di Kota Padang difungsikan sejak tahun 2007,
awalnya hanya ada 2 unit alat. Pada tahun 2012 ini menurut data di lapangan
sudah terdapat 10 unit, walaupun menurut BPBD kebutuhan Kota Padang
adalah 26 unit pada zona merah. EWS diserahterimakan pada BPBD Kota
Padang untuk pengelolaannya sejak 2009, sebelumnya alat ini ditangani oleh
dinas kebakaran.
b. Rabab
Sarana komunikasi merupakan alat komunikasi Pusdalops berupa radio
penerima. Cara kerjanya apabila ada bencana disampaikan berita bencana
tentang potensi tsunami pada masjid-masjid yang dipasang rabab. Saat ini
jumlah masjid yang dipasangi rabab di Kota Padang berjumlah 26 buah.
Kebutuhan rbab di Kota Padang adalah setiap masjid yang berada dalam
zona merah di Kota Padang dipasangi rabab.
c. Radar Tsunami
Sarana mitigasi berupa radar berfungsi sebagai pemantau gelombang tsunami.
Radar dipasang di Universitas Bung Hatta (UBH) karena posisinya yang
strategis menghadap pantai barat Sumatera. Cara kerja alat ini berupa sistem
wireless yang disampaikan berupa data informasi kepada stasiun penerima
yakni BPBD dan Walikota Padang. Penyediaan radar tsunami ini dibawah
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bekerjasama dengan NGO
Amerika. Penggunaan alat sejauh ini belum optimal, disebabkan oleh
beberapa faktor non teknis. Berdasarkan data yang dihimpun di lapangan,
orientasi penggunaan alat ini sebenarnya dikhususkan untuk membantu
nelayan dalam mendeteksi datangnya gelombang yang membahayakan.
d. Peta dan Jalur Evakuasi
BPBD selaku otoritas yang diberikan wewenang dalam menangani masalah
kebencanaan di Kota Padang telah membuat beberapa upaya dalam evakuasi
bencana. Pembuatan jalur evakuasi serta sarana evakuasi telah dibangun di
beberapa lokasi yang dinilai strategis dan rawan. Jalur evakuasi ini berupa
papan informasi, jembatan, jalan, titik point dan lain-lain. Sementara untuk
135
peta evakuasi telah dibuat dan terus diperbaharui oleh BPBD bekerjasama
dengan instansi lain.
e. Kelompok Siaga Bencana
Kelompok Siaga Bencana (KSB) merupakan perpanjangan tangan dari
BPBD. Unit ini berasal dari anggota masyarakat dan relawan yang peduli
terhadap risiko bencana alam. Beberapa kegiatan atau program yang
dilaksanakan KSB antara lain; sosialisasi penanggulangan bencana dan
kebijakan kebencaan kepada masyarakat, latihan evakuasi bencana dan
lainnya.
6.3.2.2. Prioritas Bentuk Mitigasi
Dalam rangka menentukan prioritas bentuk mitigasi bencana yang akan
diambil terkait pengembangan sumberdaya perikanan, maka dalam tahap ini
digunakan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE). Teknik analisis MPE
menggunakan informasi dari pakar terkait keputusan yang akan diambil. Kriteria
pembentuk MPE ini adalah; ekologi (dinamika perairan pesisir dan faktor
keberlanjutan sumberdaya perikanan), ekonomi (kesejahteraan masyarakat) dan
sosial (kesesuaian dengan karakteristik masyarakat dan SDM lokal). Alternatif
bentuk mitigasi bencana yaitu:
1) Pembuatan peraturan, UU dan kebijakan lain terkait mitigasi bencana dan
keberlanjutan SD Perikanan
2) Sosialisasi mitigasi bencana, simulasi bencana
3) Sistem penyelamatan dini, jalur evakuasi
4) Pendampingan pendirian bangunan/ fasilitas standar
5) Sistem peringatan dini, sistem informasi terpadu
6) Remangrovisasi, artificial reeft, beach nourishment
7) Pemecah ombak, peredam abrasi, penahan sedimentasi sejajar pantai
8) Pengembangan sistem mitigasi berbasis kearifan local
9) Penyediaan GPS, APS, Aplikasi informasi bencana untuk nelayan
10) Pendirian bangunan pelabuhan dan prasarana perikanan lainnya yang
berperspektif mitigasi bencana
136
Tingkat kepentingan dalam metode ini diperoleh dengan menentukan
besarnya bobot dari masing-masing kriteria yang ada. Penentuan besarnya bobot
ini dilakukan melalui pendapat pakar. Angka pembobotan ditentukan berdasarkan
skala ordinal dengan skala 1 sampai 5. Bobot 1 berarti kriteria tersebut sangat
tidak penting, bobot 2 berarti tidak penting, bobot 3 berarti cukup penting, bobot 4
berarti penting dan bobot 5 berarti sangat penting. Pada metode MPE, nilai total
setiap alternatif diperoleh dengan menjumlahkan seluruh kriteria yang
dipangkatkan dengan bobotnya. Berdasarkan perhitungan MPE diperoleh nilai
total masing-masing alternatif seperti yang ditampilkan pada Tabel 42.
Tabel 42. Nilai Total Alternatif Prioritas Mitigasi
No. Alternatif Kriteria Nilai
Alternatif Ekologi Ekonomi Sosial
1
Pembuatan peraturan,UU dan
kebijakan lain terkait mitigasi
bencana dan keberlanjutan Perikanan
5 4 5 1.506
2 Sosialisasi mitigasi bencana, simulasi
bencana 4 4 5 1.137
3 Sistem penyelamatan dini, jalur
evakuasi 4 5 5 1.506
4 Pendampingan pendirian bangunan/
fasilitas standar 4 4 5 1.137
5 Sistem peringatan dini, sistem
informasi terpadu 5 5 5 1.875
6 Remangrovisasi, artificial reeft,
beach nourishment. 5 4 4 1.137
7 Pemecah ombak, peredam abrasi,
penahan sedimentasi sejajar pantai 5 5 3 1.331
8 Pengembangan sistem mitigasi
berbasis kearifan lokal 5 4 5 1.506
9 Penyediaan GPS, APS, Aplikasi
informasi bencana untuk nelayan 5 5 5 1.875
10
Pendirian bangunan pelabuhan dan
prasarana perikanan lainnya yang
berperspektif mitigasi bencana
5 4 5 1.506
Bobot 4 4 4
Sumber: Hasil Analisis Data, 2012
Berdasarkan hasil tabulasi kuesionerdan wawancara dengan pakar melalui
metode ordinal MPE, diperoleh hasil bahwa prioritas bentuk mitigasi yang perlu
137
0
500
1000
1500
2000
1 2 3 4 5
Ekologi Ekonomi Sosial
dikembangkan di Kota Padang terkait usaha perikanan antara lain; Sistem
peringatan dini dan sistem informasi terpadu, Penyediaan GPS, APS dan Aplikasi
informasi bencana untuk nelayan, Pembuatan peraturan,Undang-undang dan
kebijakan lain terkait mitigasi bencana dan keberlanjutan sumberdaya perikanan,
Sistem penyelamatan dini dan jalur evakuasi, Pengembangan sistem mitigasi
berbasis kearifan lokal serta Pendirian bangunan pelabuhan dan prasarana
perikanan lainnya yang berperspektif mitigasi bencana. Secara rinci prioritas
bentuk mitigasi bencana ini ditampilkan dalam Gambar 30.
Keterangan:
1 = Sistem peringatan dini, sistem informasi terpadu
2 = Penyediaan GPS, APS, Aplikasi informasi bencana untuk nelayan
3 = Sistem penyelamatan dini, jalur evakuasi
4 = Pengembangan sistem mitigasi berbasis kearifan lokal
5 = Pendirian bangunan pelabuhan dan prasarana perikanan
lainnya yang berperspektif mitigasi bencana
Gambar 30. Prioritas Bentuk Mitigasi Bencana
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Berdasarkan perhitungan analisis MPE yang ditampilkan dalam Gambar
30, terlihat prioritas utama bentuk mitigasi adalah sistem informasi terpadu serta
penyediaan GPS dan aplikasi informasi bencana untuk nelayan. Sarana mitigasi
ini selanjutnya akan dianalisis kelayakan investasinya seperti diuraikan pada Bab
6.5.3. Teknik MPE yang digunakan pada pemilihan bentuk mitigasi bencana
dalam kaitannya terhadap pengembangan perikanan ini menggunakan tiga kriteria
yaitu Ekonomi (kesejahteraan masyarakat), Ekologi (dinamika perairan pesisir
dan faktor keberlanjutan Sumberdaya Perikanan) dan Sosial (kesesuaian dengan
karakteristik masyarakat dan SDM lokal).
138
6.3.2.3. Mitigasi Bencana untuk Pengembangan Perikanan Tuna Longline
United Nation Escap (2004) memaparkan spektrum luas teknologi yang
digunakan dalam kesiap-siagaan bencana. Teknologi ini merupakan sarana yang
direkomendasikan dalam upaya mitigasi dan manajemen bencana yang meliputi:
Penginderaan jauh, Sistem Informasi Geografis (SIG), Global Positioning System
(GPS), sistem navigasi satelit, satelit komunikasi, radio amatir dan komunitas,
televisi dan siaran radio, telepon kabel, fax, telepon selular, internet, e-mail serta
paket perangkat lunak khusus, manajemen data base online dan jaringan
informasi bencana.
Teknologi yang disajikan dalam buku panduan tersebut menjadi sarana
mitigasi penting terhadap keberlanjutan sumberdaya. Hasil analisis MPE
sebelumnya terkait sarana mitigasi yang paling efektif dalam mitigasi bencana
terhadap pengembangan perikanan di Kota Padang adalah; (1) Sistem peringatan
dini dan sistem informasi terpadu, (2) Penyediaan GPS, APS dan aplikasi
informasi bencana untuk nelayan, (3) Sistem penyelamatan dini dan jalur
evakuasi, (4) Pengembangan sistem mitigasi berbasis kearifan lokal serta (5)
Pendirian bangunan pelabuhan dan prasarana perikanan lainnya yang
berperspektif mitigasi bencana. Sarana mitigasi ini merupakan upaya pengurangan
dampak yang ditimbulkan dari bencana potensial terkait pengembangan
sumberdaya perikanan sesuai analisis sebelumnya yakni gempa, tsunami, badai,
gelombang laut dan intrusi air laut.
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan serta melalui penelusuran
data primer dan sekunder di lapangan, maka diperoleh bentuk mitigasi bencana
untuk pengembangan perikanan tangkap di Kota Padang. Bentuk mitigasi ini
terdiri dari prasarana mitigasi darat dan laut serta sarana mitigasi armada
penangkapan. Bentuk prasarana dan sarana mitigasi ini nantinya akan dimasukkan
sebagai komponen dalam perhitungan kelayakan investasi pengembangan usaha
perikanan tangkap sebagaimana diuraikan pada Bab 6.4.2. Melalui perhitungan
kelayakan investasi dengan memasukkan komponen mitigasi ini diharapkan dapat
melahirkan rumusan kebijakan pengembangan ekonomi perikanan tuna longline
berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang.
139
Bentuk prasarana dan sarana mitigasi bencana untuk pengembangan
perikanan tangkap antara lain:
Prasarana Mitigasi Darat dan Laut
- Sistem Peringatan Dini (EWS)
Early Warning System ini sama halnya dengan sarana mitigasi yang telah
ada di Kota Padang, namun penempatan sistem peringatan selama ini
masih terbatas di lokasi padat penduduk, sedangkan pelabuhan yang
menjadi sentra wilayah perikanan masih belum memadai.
- Radar Tsunami dan Gelombang
Penyediaan radar tsunami dan gelombang sebagai deteksi bencana
belum optimal. Wilayah pelabuhan menjadi bagian vital bagi nelayan
sehingga perlu adanyapenyediaan prasarana ini. Alat ini juga perlu
dilengkapi dengan operator yang akan mengelola dan
mendayagunakannya.
- Pusat Informasi Bencana
Pusat informasi terpadu kebencanaan yang dibangun pada kawasan
sentra perikanan ini memuat prasarana mitigasi, sistem informasi terpadu
dan sarana mitigasi lainnya.
- Jalur Evakuasi dan Assembly Point
Karakteristik Pesisir Kota Padang terutama sentra perikanan yang terdiri
atas pantai dikelilingi pebukitan membutuhkan jalur evakuasi serta titik
berkumpul yang aman dari tsunami dan tanah longsor dari arah bukit.
- Shelter Pelabuhan
Shelter atau bangunan perlindungan warga saat terjadi bencana berada di
areal pelabuhan. Shelter ini merupakan bangunan multifungsi yang juga
dimanfaatkan dalam pengembangan perikanan berupa tempat berkumpul
organisasi nelayan serta aktivitas perikanan lainnya.
- Tambat Badai Laut
Tambat badai laut berfungsi sebagai kawasan evakuasi dan perlindungan
bagi kapal-kapal nelayan yang dihadapkan pada bencana gelombang atau
badai. Dalam pengoperasiannya membutuhkan sarana komunikasi
dengan menara pemantau (pusat informasi bencana).
140
Sarana Mitigasi Armada Penangkapan
- GPS
Global Positioning System (GPS) merupakan sistem informasi berupa
peta yang mensimulasikan posisi. Fungsi utama dari GPS pada sarana
mitigasi ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai posisi
nelayan/armada yang berada di lautan untuk diarahkan pada posisi yang
aman dari bahaya bencana di lautan.
- Paket aplikasi BB/Android
Fungsi aplikasi BB/android adalah memberikan informasi langsung dari
perangkat tentang lokasi dan letak geografis gempa/badai dengan latitude
mendekati equator. Aplikasi ini menggunakan sumber informasi
langsung dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
- Radio komunikasi dan navigasi
Sarana ini merupakan jembatan penghubung antara nelayan/armada
dengan pusat informasi bencana. Kondisi di tengah lautan membutuhkan
media khusus untuk berkomunikasi sehingga diperlukan sarana yang
efektif dan memadai.
6.4. Analisis Pengembangan Ekonomi Perikanan Tuna Longline dan
Kelayakan Investasi Berperspektif Mitigasi Bencana
6.4.1. Perencanaan Pengembangan
Pengembangan suatu sektor di Kota Padang harus mempertimbangkan
faktor bencana. Sebagaimana dalam pembahasan analisis sebelumnya, Kota
Padang merupakan kawasan rawan bencana yang memerlukan upaya mitigasi
dalam setiap pembangunan dan pengembangannya. Mitigasi bencana menjadi
penting karena sebesar apapun usaha pengembangan yang dilakukan apabila
faktor ini diabaikan maka ketika bencana datang semua akan loss. Oleh sebab itu,
perlu keseimbangan dalam pengembangan suatu usaha dan juga pembangunan
mitigasi di daerah tersebut.
Kota Padang memiliki keunggulan komparatif dalam sub sektor perikanan
tangkap. Keunggulan komparatif ini dijelaskan pada analisis kondisi makro
ekonomi sub sektor perikanan. Pengembangan usaha tuna menjadi sumberdaya
141
potensial bagi perekonomian daerah Kota padang. Kontribusi yang dihasilkan
sumberdaya ini dapat memberikan keuntungan berganda bagi perekonomian
daerah. Oleh karena itu perlu serangkaian upaya dalam mengoptimalkan potensi
sumberdaya ini.
Analisis bioekonomi telah mengemukakan hasil bahwa dalam rangka
mengoptimalkan produksi perikanan tuna perlu adanya penambahan effort sebesar
133 trip. Hal ini berarti diperlukan tambahan armada penangkapan sebanyak 33
unit dengan asumsi jumlah trip dalam satu tahun sebanyak 4 kali. Penambahan
jumlah armada ini secara matematis akan menambah cost dalam hal investasi dan
juga meningkatkan benefit dari segi penerimaan..
Komponen biaya investasi pengembangan sumberdaya perikanan terdiri
dari penyediaan armada tuna longline, pancing, mesin dan peralatan lain.
Komponen biaya investasi ini belum termasuk biaya perawatan dan biaya
operasional. Jumlah investasi untuk pengembangan usaha tuna longline adalah
sebanyak 33 unit armada. Armada tuna longliner sebelumnya yang ada di PPS
Bungus (26 unit) tidak dilengkapi dengan sarana mitigasi, sehingga membutuhkan
investasi untuk penyediaan sarana mitigasi bencana. Jumlah investasi yang
dibutuhkan untuk penyediaan sarana mitigasi menjadi 59 unit. Melalui
penambahan armada dan sarana mitigasi ini diharapkan akan memperoleh hasil
yang lebih optimal bagi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Mitigasi bencana dalam upaya pengembangan ekonomi perikanan tangkap
di kawasan ini berupa penyediaan prasarana mitigasi darat dan laut serta sarana
mitigasi armada penangkapan. Investasi pada prasarana mitigasi darat dan laut
berupa penyediaan sistem peringatan dini, radar tsunami dan gelombang, pusat
informasi bencana, jalur evakuasi dan assembly point, shelter pelabuhan dan
tambat badai laut. Investasi sarana mitigasi armada penangkapan terdiri dari
penyediaan GPS, aplikasi BB/android serta radio komunikasi dan navigasi.
Rencana pengembangan ekonomi perikanan dan kelayakan investasi
berperspektif mitigasi bencana yang akan diuraikan dalam sub bab ini mencakup
perencanaan pengembangan usaha perikanan dan pengembangan upaya mitigasi
bencana. Komponen-komponen kelayakan investasi diperoleh berdasarkan
penelusuran data primer dan sekunder serta studi literatur.
142
6.4.2. Kelayakan Investasi Pengembangan Tuna Longline Berperspektif
Mitigasi Bencana
Ikan Tuna (Thunnus,sp) memiliki karakteristik yang khas yaitu melakukan
migrasi dalam geografis yang luas dan selalu berpindah setiap waktu. Perairan
Laut Indonesia bukanlah satu-satunya tempat permanen dari ikan tuna dunia.
Tempat beruaya yang jauh dan luas ini membutuhkan teknologi dan armada
penangkapan yang mampu menyesuaikan dengan karakteristik spesies tersebut.
Jenis alat penangkap tuna yang biasa digunakan yaitu; Tuna longline,
handline, huhate, pukat cincin, dan jaring insang. Rawai tuna atau tuna longline
adalah alat penangkap tuna yang paling banyak digunakan untuk menangkap
kelompok ikan pelagis besar itu. Longline merupakan rangkaian sejumlah pancing
yang dioperasikan sekaligus. Satu unit tuna longline biasanya mengoperasikan
1.000–2.000 mata pancing dalam sekali setting. Tuna longline umumnya
dioperasikan di laut lepas atau perairan samudera. Alat tangkap ini bersifat pasif,
menanti umpan dimakan oleh ikan sasaran. Setelah pancing diturunkan ke
perairan, mesin kapal dimatikan agar kapal dan alat tangkap hanyut terbawa
arus (drifting).
Produktivitas perikanan tangkap adalah produktivitas (kapal/perahu)
perikanan tangkap. Produktivitas kapal penangkap ikan merupakan tingkat
kemampuan kapal penangkap ikan untuk memperoleh hasil tangkapan ikan per-
tahun. Produktivitas kapal penangkap ikan per-tahun, ditetapkan berdasarkan
perhitungan jumlah hasil tangkapan ikan per-kapal dalam satu tahun, dibagi
besarnya jumlah kapal yang bersangkutan. Besar kecilnya produktivitas
penangkapan tersebut akan menentukan tingkat kelayakan usaha. Disamping itu,
kelayakan usaha juga ditentukan oleh biaya produksi. Kapal tuna longline
memiliki biaya produksi yang paling besar pada biaya bahan bakar (solar) yang
mencapai 70 persen dari total biaya operasional. Harga solar yang cenderung
meningkat diduga akan sangat berpengaruh terhadap kelayakan usaha tuna
longline. Pada bagian ini penelitian dimaksudkan untuk mengkaji kelayakan usaha
tuna longline berperspektif mitigasi bencana yang berpangkalan di Pelabuhan
Perikanan Samudra (PPS) Bungus Kota Padang.
Armada tangkap tuna longline di Kota Padang berpangkalan di PPS
Bungus. Lama trip dalam sekali penangkapan adalah 2-6 bulan. Usaha perikanan
143
tangkap tuna longline membutuhkan investasi untuk pembelian kapal, alat
tangkap, mesin dan peralatan penunjang mencapai Rp 800 juta. Perincian
investasi untuk satu unit kapal dapat dilihat pada Tabel 43. Selain itu juga
dibutuhkan biaya operasional dan perawatan, pengadaan bahan bakar (solar),
nakhoda dan anak buah kapal (ABK), perbekalan, es dan lain-lain.
Tabel 43. Investasi Tuna Longliner
No. Jenis Investasi Nilai Investasi
(Rp)
Umur Ekonomi
(th)
Depresiasi
(Rp/th)
1 Kapal Longline 450.000.000 15 30.000.000
2 Pancing Longline 150.000.000 10 15.000.000
3 Mesin 150.000.000 10 15.000.000
4 Peralatan lain 50.000.000 5 10.000.000
Total Investasi
(1 Unit Tuna Longline) 800.000.000 70.000.000
Total Investasi
(33 Unit Tuna Longline) 26.400.000.000 2.310.000.000
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Total biaya investasi yang dibutuhkan untuk menyiapkan armada dan alat
tangkap sebesar Rp 800 juta per unit kapal. Berdasarkan hasil analisis
bioekonomi, diperoleh informasi bahwa jumlah armada yang optimal dalam
pengembangan perikanan di Padang adalah penambahan armada sebanyak 33 unit
dari 26 unit armada longline yang sudah ada di PPS Bungus. Hal ini berarti bahwa
total investasi yang dibutuhkan sebesar Rp 26,4 miliyar. Biaya ini belum termasuk
biaya operasional penangkapan dan biaya perawatan.
Tabel 44. Biaya Operasional Per-trip Usaha Tuna Longline.
No. Jenis Biaya Kebutuhan Satuan Harga (Rp) Biaya (Rp)
1 BBM (Solar) 40.000 liter 6.300 252.000.000
2 Pelumas 250 liter 13.000 3.250.000
3 Air tawar 50 gallon 22.000 1.100.000
4 Umpan 4 ton 5.000.000 20.000.000
5 Makanan 5 bulan 9.200.000 46.000.000
6 Biaya tambat labuh 1 trip 45.000 45.000
7
Biaya tenaga kerja (ABK dan
Nakhoda) 5 bulan 8.500.000 42.500.000
8 Bagi hasil untuk nakhoda (1%) 1 trip 12.000.000 12.000.000
9 Lainnya 1 20.000.000 20.000.000
Total 396.895.000
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
144
Data biaya operasional yang diambil dari lapangan adalah dengan asumsi
satu kali trip selama 2 bulan dan jumlah trip satu tahun sebanyak 4 kali. Total
biaya operasional untuk 59 unit kapal sebesar Rp 93.667.220.000 per tahun. Biaya
operasional per-trip terbesar adalah untuk pengadaan BBM (solar), yang mencapai
63 persen dari seluruh biaya operasional. Oleh karena itu, kenaikan harga BBM
akan menjadi beban berat bagi pengusaha tuna longline dan nelayan. Selain itu,
pemilik kapal juga harus menyediakan biaya perawatan, terutama untuk
perawatan kapal, alat tangkap dan mesin. Perkiraan biaya perawatan yang
diperlukan dalam usaha penangkapan tuna dapat dilihat pada Tabel 45.
Tabel 45. Biaya Perawatan Tuna Longliner Per-unit
No. Jenis Perawatan Biaya Perawatan
(Rp/kali)
Frekuensi
Perawatan
(kali/tahun)
Biaya
(Rp/tahun)
1 Kapal Longline 8.000.000 2 16.000.000
2 Alat Tangkap Longline 3.000.000 2 6.000.000
3 Mesin 7.000.000 2 14.000.000
4 Peralatan lain 2.000.000 2 4.000.000
Total 40.000.000
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Biaya perawatan armada tuna longline sebagaimana yang ditampilkan
pada Tabel 45 adalah sebesar Rp 40 juta. Biaya ini merupakan nilai yang harus
dikeluarkan untuk satu unit kapal dalam satu tahun. Berdasarkan hasil analisis
sebelumnya, dengan penambahan armada sebanyak 33 unit sehingga total armada
menjadi 59 unit, maka diperoleh total biaya perawatan yang harus dikeluarkan
adalah sebesar Rp 2.360.000.000.
Analisis kelayakan investasi pada tahap ini bertujuan untuk
menggambarkan tingkat kelayakan investasi rencana pengembangan ekonomi
perikanan tuna longline berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang. Analisis
ini dibutuhkan dalam menyiapkan rumusan kebijakan pengembangan perikanan di
Kota Padang. Oleh karena itu, pada bagian ini juga akan diuraikan komponen
investasi sarana mitigasi pengembangan usaha perikanan. Komponen biaya
investasi terdiri atas investasi prasarana mitigasi darat dan laut serta investasi
sarana mitigasi armada penangkapan. Besarnya biaya komponen investasi sarana
mitigasi ditampilkan pada Tabel 46 dan Tabel 47.
145
Tabel 46. Biaya Investasi Prasarana Mitigasi Darat dan Laut
No. Jenis Investasi Nilai Investasi
(Rp)
Umur
Ekonomi
(th)
Depresiasi
(Rp/th)
1 Sistem Peringatan Dini (EWS) 250.000.000 10 25.000.000
2 Radar Tsunami dan Gelombang 1.200.000.000 10 120.000.000
3 Pusat Informasi Bencana 1.500.000.000 10 150.000.000
4 Jalur Evakuasi dan Assembly Point 350.000.000 10 35.000.000
5 Shelter Pelabuhan 450.000.000 10 45.000.000
6 Tambat Badai Laut 1.300.000.000 5 260.000.000
Total Biaya Investasi 5.050.000.000 635.000.000
Sumber : Data Primer, 2012
Biaya investasi prasarana mitigasi darat dan laut yang dimasukkan pada
perhitungan analisis kelayakan investasi tahap ini adalah berdasarkan analisis
mitigasi bencana perikanan tangkap yang diuraikan pada sub bab sebelumnya,
Komponen prasarana investasi ini menjadi bagian penting dalam pengembangan
sumberdaya perikanan tangkap untuk memberikan hasil yang optimal dan
kesejahteraan bagi masyarakat khususnya nelayan.Total biaya investasi yang
dibutuhkan sebesar Rp 5,05 miliyar.
Tabel 47. Biaya Investasi Sarana Mitigasi Armada Penangkapan (59 Unit
Longline)
No. Jenis Investasi Nilai Investasi
(Rp)
Umur
Ekonomi
(th)
Depresiasi
(Rp/th)
1 GPS 413.000.000 10 41.300.000
2 Paket aplikasi BB/Android 236.000.000 5 47.200.000
3 Radio Komunikasi dan navigasi 531.000.000 5 106.200.000
Total Biaya Investasi 1.180.000.000 194.700.000
Sumber : Data Primer, 2012
Investasi sarana mitigasi armada penangkapan membutuhkan biaya
sebesar Rp 1,18 milyar untuk seluruh armada longline di Bungus. Total biaya
investasi yang dibutuhkan untuk menyiapkan prasarana mitigasi darat dan laut
serta sarana mitigasi armada penangkapan untuk 59 unit armada menjadi Rp 6,23
milyar. Komponen mitigasi ini dalam pengoperasiannya di lapangan masih
membutuhkan biaya operasional dan perawatan yaitu dengan rincian pada Tabel
48 dan Tabel 49.
146
Tabel 48. Biaya Operasional Prasarana dan Sarana Mitigasi Per-tahun
No. Jenis Biaya Operasional Kebutuhan
Biaya
satuan
(Rp)
Biaya
(Rp/tahun)
1 Biaya Operator 2 2.500.000 60.000.000
2 Penyuluhan, Sosialisasi dan Pelatihan 2 3.000.000 6.000.000
3 Prasarana Mitigasi Darat dan Laut 1 12.000.000 12.000.000
4 Sarana Mitigasi Armada Penangkapan 59 6.000.000 354.000.000
5 Biaya Lainnya 1 2.000.000 2.000.000
Total 434.000.000
Sumber : Data Primer, 2012
Perhitungan biaya operasional mencakup biaya prasarana mitigasi darat
dan laut serta sarana mitiasi armada penangkapan. Total biaya operasional yang
dibutuhkan adalah sebesar Rp 434 juta per tahun. Komponen biaya ini sudah
termasuk biayauntuk penyuluhan, sosialisasi dan pelatihan kepada nelayan dan
masyarakat setempat serta biaya untuk operator/teknisi yang bertugas mengelola
prasarana mitigasi bencana.
Tabel 49. Biaya Perawatan Prasarana Mitigasi Darat dan Laut
No. Jenis Perawatan
Biaya
Perawatan
(Rp/kali)
Frekuensi
Perawatan
(kali/ tahun)
Total Biaya
(Rp/tahun)
1 Sistem Peringatan Dini (EWS) 1.000.000 2 2.000.000
2 Radar Tsunami dan Gelombang 1.000.000 2 2.000.000
3 Pusat Informasi Bencana 2.000.000 2 4.000.000
4 Jalur Evakuasi dan Assembly Point 1.000.000 2 2.000.000
5 Shelter Pelabuhan 500.000 2 1.000.000
6 Tambat Badai Laut 3.000.000 2 6.000.000
Total Biaya Perawatan 9.100.000 17.800.000
Sumber : Data Primer, 2012
Prasarana mitigasi darat dan laut merupakan salah satu komponen biaya
investasi terbesar yang harus dikeluarkan. Komponen ini membutuhkan biaya
perawatan dalam pemanfaatannya. Total biaya perawatan yang harus dikeluarkan
sebesar Rp 17,8 juta selama satu tahun. Biaya terbesar adalah pada perawatan
tambat badai laut karena prasarana mitigasi ini terletak di laut yang mudah
mengalami kerusakan.
147
Tabel 50. Biaya Perawatan Sarana Mitigasi Armada Penangkapan
No. Jenis Perawatan
Biaya
Perawatan
(Rp/kali)
Frekuensi
Perawatan
(kali/ tahun)
Total Biaya
(Rp/tahun)
1 GPS 200.000 2 400.000
2 Paket aplikasi BB/Android 200.000 1 200.000
3 Radio Komunikasi dan navigasi 200.000 1 200.000
Total Biaya Perawatan
(1 Unit Armada Penangkapan) 600.000 800.000
Total Biaya Perawatan
(59 Unit Armada Penangkapan) 35.400.000 47.200.000
Sumber : Data Primer, 2012
Komponen prasarana dan sarana mitigasi dalam pengembangan ekonomi
perikanan tangkap ini membutuhkan biaya perawatan sebesar Rp 64,2 juta
pertahun. Komponen perawatan prasarana mitigasi darat dan laut membutuhkan
biaya perawatan sebesar Rp 17,8 juta, sedangkan biaya perawatan untuk armada
penangkapan sebesar Rp 47,2 juta per tahun. Rincian total biaya (Outflow)
kelayakan investasi pengembangan ekonomi perikanan tuna longline
berperspektif mitigasi bencana diuraikan pada Tabel 51.
Tabel 51. Total Biaya/Outflow
No. Komponen Biaya Biaya (Rp)
1 Biaya Investasi Usaha Tuna Longline (33 unit) 26.400.000.000
2 Biaya Investasi Prasarana dan Sarana Mitigasi (59 unit) 6.230.000.000
3 Biaya Perawatan Tuna Longline (59 unit) 2.360.000.000
4 Biaya Perawatan Prasarana dan Sarana Mitigasi (59 unit) 64.200.000
5 Biaya Operasional Usaha Tuna Longline (59 unit) 93.667.220.000
6 Biaya Operasional Prasarana dan Sarana Mitigasi (59 unit) 434.000.000
Total 129.155.420.000
Sumber : Data Primer, 2012
Melalui Tabel 51 dapat dilihat rincian komponen yang dikeluarkan untuk
masing-masing jenis biaya dalam perhitungan kelayakan investasi. Total biaya
yang dibutuhkan dalam kelayakan investasi pengembangan ekonomi perikanan
tuna berperspektif mitigasi bencana adalah sebesar Rp 129,1 milyar. Diasumsikan
investasi dilakukan pada komponen yang ditambahkan. Biaya investasi dalam
pengembangan usaha ini sebesar Rp 32.630.000.000, biaya perawatan sebesar Rp
2.424.200.000 dan biaya operasional sebesar Rp 94.101.220.000 per tahun.
148
Berdasarkan data di lapangan, penerimaan pengusaha longline dalam
usaha ini berfluktuasi yang dipengaruhi oleh musim dan harga ikan. Nilai hasil
tangkapan tersebut dikurangi retribusi sebesar 3 persen. Proyeksi penerimaan
yang dijadikan asumsi dalam kajian ini dapat dilihat pada Tabel 52. Berdasarkan
basis data yang ada, selanjutnya disusun proyeksi laba/rugi usaha penangkapan
tuna longline di PPS Bungus. Hasil proyeksi laba/rugi usaha longline dapat dilihat
pada Tabel 53 berikut ini:
Tabel 52. Asumsi Penerimaan Perikanan Tuna Longline
No. Uraian Produksi
(Kg/trip)
Rataan Harga
(n=9) (Rp/Kg)
Rataan Nilai
Produksi
(Rp/trip)
1 Rataan Hasil Tangkapan
a. Tuna Sirip Kuning 2.605 59.250 154.355.139
b. Tuna Mata Besar 5.609 77.351 433.850.155
Retribusi (3%)
(17.646.159)
2 Rataan Penerimaan setelah Retribusi
570.559.135
Rataan Penerimaan (Rp/unit/tahun)
2.282.236.539 (1 tahun = 4 trip)
Penerimaan Total (Rp/tahun) 134.651.955.786
(59 unit)
Sumber: Hasil Analisis Data, 2012
Total nilai penerimaan usaha perikanan longline dalam satu tahun untuk
59 unit armada adalah sebesar Rp 134,6 miliyar. Total nilai ini berdasarkan
analisis data di lapangan dengan jumlah trip per tahun sebanyak 4 kali. Hasil
perhitungan NPV, B/C dan IRR usaha penangkapan menggunakan tuna longline
disajikan pada Tabel 53. Sedangkan proyeksi laba rugi dan cashflow pada
perhitungan ini diuraikan dalam Lampiran 16. Hasil analisis mengungkapkan
bahwa penangkapan ikan menggunakan tuna longline memperoleh keuntungan
dan layak dikembangkan.
Tabel 53. Nilai NPV, B/C dan IRR
Uraian Nilai
Net Present Value (NPV) Rp 45.530.835.838
Benefit Cost (B/C) 2,40
Internal Rate of Return (IRR) 54,73%
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 (Rincian dalam Lampiran 16)
149
Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 53 dapat dilihat nilai NPV Rp
45.530.835.838, artinya nilai saat ini dari keuntungan yang akan diperoleh selama
umur proyek 5 tahun di masa yang akan datang adalah Rp 45.530.835.838. Nilai
B/C 2,40 artinya setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan
penerimaan/manfaat sebesar 2,4 kali dari biaya yang dikeluarkan selama umur
usaha 5 tahun dengan suku bunga 17%. IRR 54,73%, artinya usaha tersebut
mampu memberikan tingkat pengembalian atau keuntungan 54,73% pertahun dari
seluruh investasi yang ditanamkan selama umur usaha 5 tahun.
Analisis pada tahap ini menyimpulkan bahwa pengembangan usaha
perikanan berperspektif mitigasi bencana memberikan keuntungan sehingga layak
untuk dikembangkan, analisis ini ditinjau dari indikator NPV, IRR dan B/C. Hal
ini didukung oleh faktor posisi PPS Bungus sebagai kawasan pendaratan ikan tuna
di bagian barat Sumatera memiliki jarak penangkapan yang dekat dengan
Samudera Hindia. Kondisi ini tentu saja akan berdampak positif terhadap
berkurangnya biaya operasional penangkapan. Selain itu, prospek tuna ekspor
menjadi keuntungan tersendiri bagi setiap pengelola perikanan di wilayah ini
termasuk nelayan penangkap ikan, karena memiliki keuntungan dari segi harga
dan jaminan pemasaran. Namun di sisi lain perlu juga dipertimbangkan aspek
keberlanjutan sumberdaya tuna itu sendiri, sehingga optimasi produksi tidak
mengganggu keberlanjutan atau kelestarian sumberdaya.
Investasi prasarana dan sarana mitigasi yang ditujukan bagi
pengembangan perikanan tangkap di PPS Bungus Kota Padang tidak hanya
terfokus pada pengembangan usaha tuna, tetapi juga memberikan manfaat bagi
usaha penangkapan lain di sekitar areal tersebut. Selain itu penyediaan prasarana
dan sarana investasi ini juga bisa menjadi model dan perbandingan dalam
pengembangan usaha perikanan berperspektif mitigasi bencana bagi daerah lain.
Hal ini didasari karena usaha mitigasi yang dibangun, menjadi sarana mengurangi
resiko/dampak bencana bagi aspek yang lain. Melalui hasil analisis ini diharapkan
peran serta policy maker (pemerintah) serta lembaga keuangan (bank dan non
bank) untuk berperan serta dalam mengembangkan usaha perikanan tuna
berperspektif mitigasi bencana di Padang. Peran serta ini mengingat besarnya
biaya investasi yang harus dikeluarkan dan keuntungan yang akan diperoleh.
150
6.5. Analisis Kelembagaan
6.5.1. Kelembagaan Usaha Perikanan
Kelembagaan atau pranata sosial merupakan suatu sistem tata kelakuan
dan hubungan yang berpusat pada aktivitas untuk memenuhi kebutuhan khusus
dalam kehidupan masyarakat (Sanim, 2002). Komponen kelembagaan dalam
penelitian ini terdiri atas nelayan sebagai anggota masyarakat, teknologi dan
informasi perikanan, pemasaran, kelompok nelayan, permodalan, pemerintah dan
aturan tidak tertulis dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kota Padang.
Nelayan sebagai makhluk sosial memiliki tanggung jawab dalam menjaga
keutuhan sistem interaksi yang harmoni dalam masyarakat dan memberikan
pegangan dalam kontrol sosial. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa baik
nelayan pendatang maupun lokal, mekanisme interaksi sosial berlangsung secara
bersama-sama, dimana selain berupaya meningkatkan kesejahteraan melalui
pengelolaan usaha perikanan, beberapa nelayan juga memiliki peran dalam
masyarakat sebagai pengatur desanya.
Masyarakat di sekitar PPS Bungus atau Kecamatan Bungus Teluk Kabung,
didominasi oleh penduduk lokal dan hanya sebagian pendatang. Jumlah penduduk
laki-laki lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk perempuan. Penduduk yang
berperan sebagai nelayan adalah penduduk lokal, sedangkan pendatang umumnya
bergerak pada usaha armada perikanan tonase besar. Kapal-kapal tonase besar
seperti longline dan purse seine yang mendarat di PPS Bungus didominasi oleh
pendatang terutama dari Jawa dan Sumatera Utara, begitu juga dengan ABKnya
yang yang sebagian besar adalah pendatang. Faktor yang menyebabkan dominasi
dari pendatang dalam usaha ini adalah karakteristik penduduk lokal yang tidak
terbiasa melaut jauh dan dalam waktu yang lama.
Pemasaran hasil perikanan di PPS Bungus lebih banyak dikuasai oleh
penduduk lokal, kecuali untuk jenis tuna. Pengusaha dalam bidang pengolahan
yang bergerak pada usaha ini berasal dari pendatang. Kondisi tersebut disebabkan
karena jenis ikan yang didaratkan umumnya tuna dan cakalang serta rendahnya
pengetahuan masyarakat tentang penguasaan teknologi pada hasil perikanan jenis
ikan tersebut.
151
Secara umum pemodalan usaha perikanan di Kota Padang berasal dari
pengusaha lokal dan juga pendatang yang berinvestasi pada usaha tersebut.
Investasi berupa penyediaan armada dan alat tangkap serta biaya operasional
penangkapan. Sistem bagi hasil terkait usaha ini antara nelayan dan pengusaha
bisa berupa rantai penjualan/pemasaran atau bagi hasil secara langsung di
lapangan.
Beberapa perhimpunan atau organisasi kemasyarakatan yang berhubungan
dengan pengembangan sumberdaya perikanan juga terdapat di Kota Padang.
Organisasi tersebut diantaranya HNSI Kota Padang (Himpunan Nelayan Seluruh
Indonesia), PPNSI (Perhimpunan Petani Nelayan Seluruh Indonesia) serta
kelompok-kelompok nelayan yang terdapat di beberapa kecamatan di Kota
Padang. Nelayan dan pengusaha yang bergerak pada usaha tuna di daerah ini
sebagian besar juga tergabung ke dalam Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin) dan
Asosiasi Tuna Longline Indonesia (Atli) yang merupakan wadah dalam
pengembangan usaha perikanan khususnya tuna.
Aturan lokal dalam mengendalikan penangkapan ikan di laut pada
masyarakat nelayan Kota Padang belum ada, baik yang terkait dengan waktu
penangkapan, jenis, ataupun ukuran ikan yang ditangkap. Di Sumatera Barat
kearifan lokal yang berkembang adalah pengelolaan perikanan di perairan umum
daratan seperti sungai, danau dan genangan. Kearifan lokal yang terkenal adalah
lubuk larangan, terutama untuk spesies ikan yang sudah mulai langka.Perikanan
tuna di Kota Padang sampai saat ini belum memiliki kearifan lokal dalam
pengelolaan dan pemanfaatannya.
Kelembagaan masyarakat nelayan Kota Padang dalam mendukung
program pembangunan perikanan meliputi; kelompok nelayan, kelompok
masyarakat pengawas, kelompok pedagang dan pengolah ikan serta lembaga
ekonomi untuk pemberdayaan masyarakat. Dalam rangka meningkatkan peran
dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, masyarakat nelayan di kawasan ini
perlu diberikan tambahan pengetahuan tentang kelestarian sumberdaya, jenis alat
tangkap dan ukuran ikan yang layak ditangkap. Pada masyarakat tersebut belum
terdapat bentuk kelembagaan dalam mengantisipasi peningkatan hasil tangkapan,
sehingga selama ini kelebihan produksi tergantung pada mekanisme pasar.
152
6.5.2. Kelembagaan dalam Mitigasi Bencana
Kelembagaan masyarakat terkait mitigasi bencana di Kota Padang berupa
kelembagaan formal dan informal. Kelembagaan formal terdiri atas lembaga dan
institusi serta peraturan dan kebijakan terkait penanggulangan bencana yang resmi
dibentuk pemerintah Kota Padang. Lembaga ini seperti BPBD (Badan
Penanggulangan Bencana Daerah), serta undang-undang dan kebijakan dalam
menanggulangi setiap potensi bencana baik berupa mitigasi, evakuasi, recovery
ataupun pembangunan paska kejadian bencana. Sementara itu, untuk kelembagaan
informal di Kota Padang berupa kearifan lokal masyrakat setempat.
Upaya meminimalisir dampak bencana, dihadapkan pada kerentanan
kelembagaan formal dalam hal mitigasi bencana di Kota Padang, keterbatasan dan
kelemahan itu antara lain:
Belum optimalnya fungsi dari badan penanggulangan bencana, BPBD yang
diberi tugas dalam menanggulangi bencana di Kota Padang masih
terkendala dengan terbatasnya prasarana dan sarana mitigasi bencana.
Minimnya SDM dan institusi terkait penanggulangan bencana, baik secara
kualitas maupun kuantitas.
Masih sedikitnya lembaga dan peran serta masyarakat sebagai pendukung
kinerja badan penanggulangan bencana dalam pelaksanaan penanggulangan
bencana di Kota Padang
Kelembagaan yang terlahir di tengah masyarakat hasil inisiasi pemerintah
ataupun swasta adalah berupa Kelompok Siaga Bencana (KSB). Di Kota Padang
ada dua model KSB, yaitu KSB yang dibentuk oleh Pemerintah Kota (Pemko)
Padang dan yang dibentuk oleh lembaga non-pemerintah (contohnya KSB yg
dibentuk oleh Komunitas Siaga Tsunami–Kogami, Lembaga Pengkajian dan
Pemberdayaan Masyarakat–LP2M). Kelompok Siaga Bencana (KSB) merupakan
program dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Padang
untuk menyiapkan masyarakat yang terlatih dan siap dalam menghadapi risiko
bencana di daerah masing-masing di tingkat kelurahan. Beberapa kegiatan yang
dilaksanakan berupa pelatihan, kegiatan penyadaran masyarakat dan simulasi
penanggulangan bencana.
153
Secara umum kelembagaan mitigasi bencana belum berjalan optimal di
Kota Padang. Berbagai sarana mitigasi aktif banyak yang tidak sesuai SOP di
dalam pelaksanaannya. Mulai dari EWS, sistem peringatan dini hingga berbagai
perlengkapan tanggap darurat. Hal ini terbukti dari hasil data lapangan bahwa
beberapa kejadian bencana terakhir menunjukkan bahwa panduan dan evakuasi
yang dilakukan tidak berjalan dengan efektif.
Masyarakat Minangkabau memiliki kearifan lokal dalam mitigasi bencana.
Kearifan lokal itu antara lain terdapat pada desain membangun rumah dengan
model Rumah Gadang. Rumah panggung ini dibangun nenek moyang
Minangkabau tetap dapat berdiri kokoh meski terjadi gempa, banjir dan bencana
lainnya. Kearifan lokal yang lain adalah berupa prediksi atau perkiraan kejadian
bencana yang akan terjadi dimana berakar dari pengalaman, wawasan ataupun
suatu hal yang sudah menjadi tradisi daerah setempat. Dari data di lapangan
diketahui bahwa masyarakat Minang mengenal petuah “alam takambang jadikan
guru”. Dari falsafah ini masyarakat belajar dari fenomena alam terkait kejadian
alam yang bakalan terjadi sehingga terlebih dahulu mengambil langkah antisipasi.
Pada masyarakat pesisir masih dijumpai masyarakat dan nelayan yang percaya
dengan kearifan lokal ini, seperti adanya tanda-tanda pohon yang bergerak ribut
tanpa adanya angin, kondisi ini dipercaya akan ada bencana sehingga nelayan-pun
tidak jadi melaut dan melakukan evakuasi.
6.5.3. Analisis Stakeholder dalam Pengembangan Perikanan Berperspektif
Mitigasi Bencana
Dalam rangka membuat suatu kebijakan terkait pengembangan
sumberdaya perikanan yang berkelanjutan di Kota Padang, maka diperlukan suatu
kerjasama dari berbagai pihak untuk merumuskannya. Berbagai stakeholder
dianggap berperan penting dalam merumuskan suatu kebijakan. Adapun
stakeholder tersebut adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi terkait,
masyarakat lokal, pengusaha, nelayan, akademisi serta LSM. Tentunya masing-
masing pihak memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh yang berbeda dalam
merumuskan suatu kebijakan.
154
Analisis stakeholder perlu dilakukan untuk menentukan pihak-pihak yang
berkompeten dalam merumuskan kebijakan tersebut. Schmeer (2007) menyatakan
analisis ini merupakan proses sistematis untuk mengumpulkan dan menganalisis
informasi secara kualitatif dalam menentukan kepentingan siapa yang harus
diperhitungkan ketika mengembangkan atau menerapkan suatu kebijakan.
Stakeholder dapat diartikan sebagai individu, kelompok atau lembaga yang
kepentingannya dipengaruhi oleh kebijakan atau pihak yang tindakannya secara
kuat mempengaruhi kebijakan. Setiap stakeholder memiliki pengaruh dan
kepentingan dalam kebijakan pengembangan perikanan yang berkelanjutan.
Stakeholder yang memiliki kepentingan tinggi merupakan stakeholder primer
dimana kepentingannya dipengaruhi secara langsung oleh kebijakan. Sedangkan
stakeholder sekunder, kepentingannya dipengaruhi secara tidak langsung. Daftar
stakeholder serta pengaruh dan kekuatannya dapat dilihat pada Tabel 54.
Gambar 31. Matriks Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder dalam
Pengembangan Perikanan yang Berkelanjutan di Kota Padang
Keterangan Stakeholder :
KKP RI (Ditjen Perikanan Tangkap UPT PPSB), DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan Kota
Padang), Bappeda (Badan Perencana Pembangunan Daerah Kota Padang), BPSPL (Balai
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Padang), Pemda (Pemerintah Daerah Kota Padang),
Dinas PU Kota Padang, Dinas Perhubungan Kota Padang, Dinas Perindustrian Perdagangan
Pertambangan dan Energi Kota Padang, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), Akademisi,
Pemilik Unit Usaha Lokal, Masyarakat Lokal, Nelayan, Investor/Pengusaha Luar.
155
Kepentingan stakeholder dalam kebijakan pengembangan sumberdaya
perikanan yang berkelanjutan dipengaruhi oleh faktor ekologi, sosial dan
ekonomi. Pengaruh stakeholder yang berbeda-beda dalam kebijakan ini
disebabkan oleh faktor politik, birokrasi dan struktural. Hasil dari kajian pada
Tabel 54 digunakan sebagai dasar dalam penyusunan matriks kepentingan dan
pengaruh stakeholder dalam kebijakan pengembangan perikanan yang
berkelanjutan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 31.
Stakeholder yang dianalisis dalam penelitian ini adalah segenap pemangku
kepentingan yang berkaitan dengan program-program pengembangan perikanan,
baik berupa minapolitan, industri perikanan ataupun kebijakan lainnya dalam hal
pengembangan perikanan. Hasil analisis stakeholder menetapkan beberapa
stakeholder primer yang akan diikutsertakan dalam merumuskan kebijakan
pengembangan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan di Kota Padang.
Stakeholder primer dalam pengembangan perikanan di Kota Padang adalah
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Dinas Kelautan dan Perikanan Kota
Padang (DKP) dan Pemerintah Daerah Kota Padang (Pemda). Stakeholder primer
yang diperoleh pada tahapan analisis ini memiliki peran dan tanggung jawab yang
besar dalam rangka menjawab tantangan pengembangan ekonomi perikanan
berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang.
Hasil analisis stakeholder juga digunakan sebagai indikator dalam tahapan
analisis kebijakan pada sub bab selanjutnya. Penyusunan hierarki dalam analisis
kebijakan melalui teknik AHP pada Sub Bab 6.6 yaitu dengan memasukkan
stakeholder primer sebagai aktor yang ditentukan oleh analisis stakeholder.
Rangkaian analisis yang digunakan dalam setiap tahapan pada penelitian ini guna
memperoleh rumusan akhir berupa kebijakan pengembangan ekonomi perikanan
berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang.
156
Tabel 54. Analisis Stakeholder Pengembangan Sumberdaya Perikanan yang Berkelanjutan di Kota Padang
No. Stakeholder
Kriteria Evaluasi Keputusan
Kepentingan Sikap Kekuatan Pengaru
h
Total
S F P Keterlibatan Tingkat Keterlibatan
1 KKP RI (Ditjen
Perikanan Tangkap
UPT PPSB)
Perencanaan dan Pengembangan
Minapolitan dan Program
Perikanan lainnya 3 3 4 4 11 33 Terlibat Pengambil Kebijakan
2 Dinas Perikanan dan
Kelautan
Membina masyarakat nelayan,
Koordinasi dengan instansi
terkait. 3 3 4 4 11 33 Terlibat Pengambil Kebijakan
3 Badan Perencanaan
dan Pembangunan
Daerah (BAPPEDA)
Membuat masterplan dan
rencana strategis pengembangan
perikanan, Melakukan
koordinasi dengan instansi lain
dalam mengembangkan
perikanan
3 3 3 3 9 27 Terlibat Pemberi
Pertimbangan
4 Balai Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir
dan Laut (BPSPL)
Melakukan riset dan
perencanaan terkait program
pengelolaan sumberdaya
perikanan
3 3 3 3 9 27 Diabaikan Pemberi
Pertimbangan
5 Pemerintah Daerah Melakukan inisiasi dan
mengkoordinasikan program
minapolitan dengan instansi
terkait
3 3 4 4 11 33 Terlibat Pengambil Kebijakan
6 Dinas Pekerjaan
Umum (PU)
Membangun prasarana dan
sarana terkait pengembangan
perikanan, Meningkatkan
fasilitas perikanan
2 3 4 3 10 20 Terlibat Penerima Informasi
157
Tabel 54. Lanjutan
7 Dinas Perhubungan Meningkatkan sarana
dermaga/pelabuhan dan jalan
raya di kawasan minapolitan 2 3 3 3 9 18 Diabaikan Penerima Informasi
8 Dinas Perindustrian
Perdagangan
Tambang dan Energi
(Disperindagtamben
)
Meningkatkan sarana industri
perikanan, Meningkatkan sarana
perdagangan domestik dan
internasional, Penyediaan sarana
bahan bakar armada
penangkapan
2 3 3 3 9 18 Terlibat Penerima Informasi
9 LSM Memberikan pengetahuan dan
pendampingan terkait
pengelolaan sumberdaya
perikanan, Melakukan kontak
langsung dengan masyarakat
nelayan
2 3 3 2 8 16 Diabaikan Penerima Informasi
10 Akademisi Meningkatkan dan menguatkan
peranan SDM di bidang
perikanan, Riset dan pengabdian
masyarakat di bidang perikanan
3 3 2 2 7 21 Diabaikan Pemberi
Pertimbangan
11 Pemilik Unit Usaha
Lokal
Meningkatkan kesejahteraan,
Meningkatkan aktivitas ekonomi 3 2 3 2 7 21 Diabaikan Pemberi
Pertimbangan
12 Masyarakat Lokal Memperoleh pekerjaan,
Meningkatkan kesejahteraan 2 2 2 1 5 10 Diabaikan Penerima Informasi
13 Nelayan Meningkatkan kesejahteraan 3 4 1 1 6 18 Diabaikan Penerima Informasi
14 Investor/Pengusaha
Luar
Membuka lapangan pekerjaan,
Meningkatkan keuntungan 2 2 5 2 9 18 Diabaikan Penerima Informasi
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Keterangan: S: Sumberdaya Manusia, F: Finansial, P: Politik
158
6.6. Analisis Kebijakan
6.6.1. Analisis Kebijakan Pengembangan Sektor Prioritas
Tahapan analisis kebijakan pada sub bab ini merupakan metode
pengkajian untuk menghasilkan dan mentransformasikan flow of thingking dari
serangkaian analisis yang telah dilakukan guna memperoleh kesimpulan
komprehensif sebagaimana yang dijabarkan pada Sub-bab 6.7. Pada tahapan ini
akan dikaji pemilihan sektor prioritas yang potensial dikembangkan pada bidang
kelautan di Kota Padang.
Berdasarkan data kontribusi antar sektor di Kota Padang, menunjukkan
bahwa bidang kelautan yang terdiri atas tujuh sektor (Kusumastanto, 2003)
memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi perekonomian Kota Padang.
Tujuh sektor itu antara lain; perikanan, pertambangan laut, pariwisata bahari,
industri kelautan, jasa kelautan, tansportasi laut dan bangunan kelautan. Sektor-
sektor dalam bidang kelautan ini perlu dianalisis prioritas pengembangan yang
sesuai dengan karakteristik daerah agar kebijakan yang dihasilkan mampu
memberikan pengaruh nyata terhadap pembangunan dan kemajuan daerah.
Penyusunan hierarki pengambilan keputusan AHP dengan aktor adalah KKP RI,
DKP Kota Padang dan Pemda Kota Padang, sedangkan kriteria yaitu ekonomi,
ekologi, dan sosial. Bentuk hierarki ditampilkan dalam Gambar 32 dan hasil
analisis pada Gambar 33.
Gambar 32. Diagram Hierarki Prioritas Pengembangan Bidang Kelautan
159
Melalui Analytical Hierarchy Process (AHP) diperoleh prioritas
pengembangan sektor di bidang kelautan Kota Padang sebagaimana ditampilkan
pada Gambar 26. Hasil analisis ini berdasarkan data primer melalui wawancara
mendalam dan kuesionerdengan pakar. Pemilihan aktor dalam penyusunan
hierarki analisis kebijakan melalui teknik pengambilan keputusan AHP ini adalah
berdasarkan tahapan analisis stakeholder (lihat Sub-bab 6.5.3). Sedangkan untuk
penentuan kriteria adalah berdasarkan konsep segitiga pembangunan
berkelanjutan (lihat Gambar 2) yang terdiri atas komponen ekologi, ekonomi dan
sosial. Hasil penilaian AHP mengenai prioritas pengembangan bidang kelautan di
Kota Padang ditampilkan pada Gambar 33 sebagai berikut.
Gambar 33. Hasil Penilaian AHP Prioritas Pengembangan Bidang Kelautan
Berdasarkan hasil analisis pada Gambar 33, sektor prioritas yang perlu
dikembangkan di Kota Padang adalah perikanan dengan skor 0,34 diikuti sektor
industri kelautan 0,32 dan pariwisata bahari 0,149. Hasil judgement pakar ini juga
berlandaskan karena faktor potensi dan karakteristik Kota Padang, dimana
kontribusi terbesar bidang kelautan sejauh ini adalah dari ketiga sektor tersebut.
Selain itu ketiga sektor ini masih berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut
sebagai tulang punggung perekonomian daerah.
Perikanan menjadi alternatif pertimbangan yang paling kuat untuk
dikembangkan di Kota Padang. Sektor ini terpilih karena faktor potensi daerah
160
yang dimilikinya. Kota Padang dengan segenap potensi perikanan dan titik fokus
sentra program pemerintah pusat, menjadikan sektor ini pilihan paling kuat untuk
meningkatkan perekonomian daerah. Dukungan sumberdaya alam berupa
komoditas perikanan unggulan dan sumberdaya manusia menjadi pertimbangan
penting dalam pengambilan keputusan ini. Nilai Consistency Ratio pada
pemilihan prioritas kebijakan pengembangan bidang kelautan dalam analisis ini
adalah sebesar 0,0201. Sehingga dalam kasus ini penilaian kriteria pada analisis
AHP telah dilakukan dengan konsisten (perhitungan lihat Lampiran 17).
Berdasarkan hasil perangkingan alternatif keputusan melalui teknik AHP,
maka dapat diambil sebuah kebijakan pembangunan bidang kelautan di Kota
Padang. Kebijakan yang paling tepat bagi pembangunan bidang kelautan secara
berkelanjutan di Kota Padang adalah mengutamakan pembangunan di sub sektor
perikanan. Kebijakan ini dianggap paling tepat karena Kota Padang memiliki
potensi sumberdaya perikanan yang cukup besar. Hanya saja, demi tercapainya
pembangunan sub sektor perikanan yang optimal, maka pemerintah harus lebih
memperhatikan aspek keberlanjutan dan mitigasi bencana.
Prioritas pengembangan sektor dalam bidang kelautan berikutnya di Kota
Padang adalah Industri Kelautan. Melalui program kemudahan investasi yang
ditawarkan pemerintah serta pembangunan kelautan yang memadai maka sektor
ini layak untuk dikembangkan lebih baik lagi. Output bagi perekonomian daerah
yang dihasilkan sektor industri kelautan selama ini cukup menjadi pertimbangan
untuk pengembangan lebih lanjut agar hasil yang diperoleh lebih optimal bagi
daerah dan kesejahteraan masyarakat khususnya. Sektor dalam bidang kelautan
lainnya yang harus dikembangkan adalah sektor pariwisata bahari. Sebagai daerah
yang terdiri atas pulau-pulau dengan pantai yang indah, maka Kota Padang
berpotensi untuk dikembangkan sebagai tujuan wisata bahari. Hal ini dikarenakan
bahwa Kota Padang memiliki wisata pantai yang indah dan belum dikembangkan
secara optimal.
Hasil analisis AHP mengenai prioritas pengembangan bidang kelautan ini
juga menguatkan analisis sebelumnya mengenai analisis ekonomi makro Kota
Padang. Analisis ekonomi makro menyimpulkan bahwa perikanan merupakan
sektor basis yang memberikan kontribusi ekonomi bagi daerah. Melalui
161
serangkaian analisis ini pemerintah dapat memberikan perhatian lebih terhadap
usaha pengembangan perikanan di Kota Padang. Perikanan perlu dijadikan
sebagai sektor prioritas pembangunan ekonomi daerah.
6.6.2. Analisis Kebijakan Pengembangan Perikanan
Berdasarkan hasil analisis pada Sub Bab 6.6.1, telah diperoleh hasil bahwa
perikanan merupakan sektor prioritas yang paling potensial dikembangkan pada
bidang kelautan Kota Padang. Kebijakan ini dianggap paling tepat karena Kota
Padang memiliki potensi sumberdaya perikanan yang cukup besar. Dalam rangka
tercapainya pembangunan sub sektor perikanan yang optimal, maka pemerintah
juga harus memperhatikan aspek keberlanjutan ekosistem perairan. Hal ini
didasari karena kondisi Samudera Hindia (WPP 572) yang menjadi fishing ground
utama menghadapi tantangan keberlanjutan. Selain itu, untuk hasil yang optimal,
perhatian pemerintah juga harus diarahkan pada aspek mitigasi bencana.
Penyusunan hierarki pengambilan keputusan AHP dengan aktor adalah KKP,
DKP Kota Padang dan Pemda Kota Padang, sedangkan kriteria yaitu ekonomi,
ekologi, dan sosial. Bentuk hierarki ditampilkan dalam Gambar 34 dan hasil
analisis pada Gambar 35.
Gambar 34. Diagram Hierarki Prioritas Kebijakan Pengembangan Perikanan
162
Melalui Analytical Hierarchy Process (AHP) diperoleh prioritas kebijakan
pengembangan perikanan Kota Padang sebagaimana ditampilkan pada Gambar
34. Beberapa alternatif kebijakan disusun dengan mempertimbangkan kondisi
wilayah Kota Padang, yaitu kondisi potensi dan permasalahan perikanan serta
kondisi daerah yang rawan bencana.
Gambar 34. Hasil Penilaian AHP Prioritas Kebijakan Pengembangan Perikanan
Berdasarkan hasil analisis sesuai Gambar 34, prioritas kebijakan
pengembangan perikanan di Kota Padang adalah penyediaan sarana pelabuhan,
TPI, PPI dan fasilitas perikanan lainnya yang kondusif dan berperspektif mitigasi
bencana dengan skor 0,203. Alternatif kebijakan ini dipilih mengingat kondisi
sentra-sentra fasilitas perikanan yang ada di Kota Padang masih rawan mengalami
risiko bencana, selain itu fasilitas perikanan ini juga tergolong masih kurang
kondusif akibat terbatasnya prasarana dan sarana yang ada dalam memenuhi
kebutuhan aktivitas perikanan setempat. Alternatif prioritas kebijakan berikutnya
yaitu pendidikan dan pelatihan bagi nelayan dengan skor 0,163. Masih terbatasnya
pengetahuan dan keterampilan nelayan lokal dalam meningkatkan kualitas hasil
perikanan baik produksi penangkapan maupun nilai tambah yang dihasilkan,
menuntut adanya kebijakan pemerintah dalam memberikan pendidikan dan
pelatihan bagi nelayan.
163
Prioritas kebijakan ketiga adalah bantuan modal usaha bagi nelayan serta
masyarakat yang ingin mengembangkan usaha perikanan. Hasil AHP
menunjukkan alternatif kebijakan ini dipilih dengan skor 0,133. Prioritas alternatif
kebijakan selanjutnya adalah subsidi bahan bakar 0,109 dan Pusat informasi cuaca
dan kebencanaan yang mudah diakses dengan skor 0,093. Secara umum, hasil
judgement pakar dalam memberikan penilaian terkait prioritas kebijakan
pengembangan sumberdaya perikanan adalah dengan mempertimbangkan faktor
potensi perikanan dan karakteristik sumberdaya yang ada di Kota Padang. Nilai
Consistency Ratio pada pemilihan prioritas kebijakan pengembangan bidang
kelautan adalah 0,0256, yang artinya dalam kasus ini penilaian kriteria telah
dilakukan dengan konsisten. Tabel pengisian matriks berdasarkan kuesionerdan
penormalan matriks serta penentuan nilai CR terdapat dalam Lampiran 18.
Hasil analisis prioritas kebijakan pengembangan perikanan yang diperoleh
melalui teknik AHP ini dijadikan sebagai pertimbangan dalam menyusun
kebijakan pengembangan perikanan berperspektif mitigasi bencana yang akan
diuraikan pada bab selanjutnya. Pertimbangan pakar dalam analisis ini menjadi
salah satu acuan dalam menyusun arahan kebijakan sebagaimana diuraikan pada
Sub Bab 6.7.
6.7. Implikasi Kebijakan Pengembangan Ekonomi Perikanan Tuna
Longine Berperspektif Mitigasi Bencana
Tujuan akhir yang ingin dicapai dari penelitian ini sebagaimana
disebutkan pada bagian awal adalah memperoleh rumusan kebijakan
pengembangan ekonomi perikanan berperspektif mitigasi bencana. Berdasarkan
hal tersebut serangkaian analisis dengan berbagai metode telah selesai dilakukan.
Tahapan akhir sebelum merumuskan arahan kebijakan adalah menyiapkan
landasan strateginya. Mintzberg (1994) menyebutkan bahwa strategi adalah
sebuah pola dalam sebuah arus keputusan, kebijakan atau tindakan. Dengan
demikian, pembahasan selanjutnya dalam penelitian ini adalah menyusun
landasan strateginya. Secara ringkas hasil analisis dari studi ini disajikan pada
Tabel 55.
164
Sebagai landasan strategi umum dalam pengembangan sumber daya alam
khususnya perikanan yang dipergunakan adalah meletakkan pengembangan
ekonomi lokal atas dasar prakarsa/inisiatif serta kekhasan daerah yang
bersangkutan (endegenous development), melalui pemanfaatan sumberdaya lokal
yang di perkokoh dengan ikatan modal sosial (Sanim, 2006). Hasil penelitian
mengemukakan bahwa endegenous development Kota Padang adalah sub sektor
perikanan.
Melalui analisis Shift Share, Location Quotient dan MRA diketahui bahwa
sektor perikanan memberikan pengaruh yang berarti bagi perekonomian Kota
Padang. Hal ini terbukti dari adanya peningkatan kontribusi dari tahun ke tahun
dan tren positif nilai LQ selama sepuluh tahun terakhir, dimana sub sektor
perikanan di Kota Padang tergolong pada sektor basis. Sektor basis menurut
Sjafrizal (2008) adalah sektor yang dapat meningkatkan pertumbuhan
perekonomian wilayah serta sektor yang menjadi tulang punggung perekonomian
daerah karena mempunyai keuntungan kompetitif (competitive advantage) yang
cukup tinggi. Analisis MRA menguraikan multiplier effect perikanan pada sektor
lain. Fakta ini memberikan peluang terhadap arahan kebijakan pembangunan Kota
Padang untuk mempertimbangkan sektor basis sebagai penyangga perekonomian
daerah. Hal ini didasari karena melalui kajian analisis ini dapat memberikan
gambaran mengenai perubahan struktur ekonomi yang terjadi pada suatu daerah
(Benjamin dkk, 1980). Kajian ini juga didukung oleh hasil analisis prioritas
pengembangan bidang kelautan melalui teknik AHP, hasil analisis
mengemukakan bahwa perikanan menjadi sektor kelautan yang paling potensial
untuk dikembangkan dengan nilai 0,364 melebihi sektor pertambangan laut
(0,035), transportasi laut (0,068), industri kelautan (0,236), bangunan kelautan
(0,047), jasa kelautan (0,101) ataupun pariwisata bahari (0,149).
Kontribusi yang dihasilkan sub sektor perikanan terhadap perekonomian
daerah sebagian besar berasal dari perikanan tangkap sebagaimana yang
ditampilkan pada Tabel 19. Perikanan tangkap menghasilkan nilai sebesar Rp
218.495.600.000, atau sekitar 83 persen dari total nilai produksi perikanan Kota
Padang secara keseluruhan. Besarnya nilai produksi perikanan tangkap tidak
terlepas dari tingginya nilai kontribusi yang dihasilkan jenis ikan tuna.
165
Sumberdaya tuna merupakan komoditi unggulan perikanan Kota Padang, jenis
tuna yang didaratkan di Kota Padang adalah Tuna Mata Besar/bigeye (Thunus
obesus) dan Tuna Sirip Kuning/yellowfin (Thunus albacares). Spesies ini
merupakan sumberdaya ekspor Kota Padang tujuan Singapura, Jepang dan
Amerika. Tuna merupakan komoditi perikanan tangkap yang memberikan nilai
kontribusi terbesar dibandingkan spesies lain, yakni sebesar Rp 70.063.200.000
(DKP Kota Padang, 2011) atau sekitar 24 persen dari seluruh nilai produksi
perikanan Kota Padang. Melihat kontribusi yang dihasilkan, maka amatlah wajar
pengembangan sumberdaya ini akan memberikan keuntungan berganda bagi
perekonomian daerah secara keseluruhan.
Melalui analisis bioekonomi diperoleh informasi bahwa produksi tuna
masih berada dibawah titik optimalnya, sehingga kebijakan yang harus dibuat
adalah menetapkan jumlah ikan tuna yang boleh ditangkap per-tahunnya
berjumlah 1.105,21 ton. Sehingga jumlah produksi dapat ditingkatkan sebesar
418,53 ton untuk hasil yang optimal. Kebijakan lainnya adalah dengan
menambah effort sebanyak 133 trip. Penentuan tingkat discount rate menjadi
salah satu pertimbangan yang penting dalam optimasi sumberdaya ini. Nilai
discount rate yang menghasilkan rente optimal dan keberlanjutan adalah pada
tingkat 16 persen.
Hasil analisis bioekonomi ini juga dapat menjadi landasan kebijakan
pemerintah dalam mengalokasikan jumlah tenaga kerja perikanan. Kondisi tuna
yang masih underfishing memberi peluang terhadap penyerapan jumlah tenaga
kerja baru. Penambahan effort sebanyak 133 trip akan membuka setidaknya 1500
tenaga kerja perikanan tangkap. Jumlah ini belum memasukkan jumlah tenaga
kerja yang mampu diserap pada sektor lain, sebagaimana multiplier effect
perikanan yang dijelaskan pada Sub Bab 6.1.3. dalam analisis Minimum
Requirement Approach (MRA). Penambahan effort sebanyak 133 trip berarti
diperlukan tambahan armada penangkapan sebanyak 33 unit dengan asumsi
jumlah trip dalam satu tahun sebanyak 4 kali.
Dalam rangka meningkatkan produksi tuna, serangkaian upaya perlu
dilakukan pengambil kebijakan. Kebijakan yang diambil dapat berupa aturan
pengelolaan, prasarana-sarana maupun terkait sumberdaya manusia. Kebijakan
166
juga harus mempertimbangkan faktor bencana. Hal ini disebabkan karena lokasi
pendaratan ikan yakni Kota Padang yang juga sebagai sentra perikanan tuna
Indonesia bagian barat adalah daerah rawan bencana. Sehingga upaya mitigasi
menjadi sebuah solusi dalam usaha meningkatkan optimasi yang ingin diperoleh.
Berdasarkan hasil analisis MPE, bencana yang potesial terdapat di Kota Padang
terkait pengembangan perikanan adalah gempa, tsunami dan badai. Mitigasi
bencana dalam upaya pengembangan ekonomi perikanan tangkap di kawasan ini
berupa penyediaan prasarana mitigasi darat dan laut serta sarana mitigasi armada
penangkapan. Investasi pada prasarana mitigasi darat dan laut berupa penyediaan
sistem peringatan dini, radar tsunami dan gelombang, pusat informasi bencana,
jalur evakuasi dan assembly point, shelter pelabuhan dan tambat badai laut.
Investasi sarana mitigasi armada penangkapan terdiri dari penyediaan GPS,
aplikasi BB/android serta radio komunikasi dan navigasi.
Tahapan analisis makro ekonomi, bioekonomi dan kebencanaan
memberikan rekomendasi terhadap pengembangan ekonomi perikanan dan
kelayakan investasi berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang. Hasil analisis
berupa tambahan armada penangkapan sebanyak 33 unit serta prasarana dan
sarana mitigasi pengembangan perikanan menjadi komponen yang digunakan
dalam perhitungan analisis kelayakan investasi. Tahapan analisis ini
menghasilkan kesimpulan bahwa usaha pengembangan perikanan berperspektif
mitigasi bencana menguntungkan dan layak dilakukan ditinjau dari indikator
NPV, B/C dan IRR. Analisis kelayakan invstasi menghasilkan nilai NPV sebesar
Rp 45.530.835.838, B/C sebesar 2,4 dan IRR sebesar 54,73 persen. Penambahan
prasarana dan sarana mitigasi ini merupakan upaya untuk meminimalisir dampak
risiko bencana yang terjadi. Unsur mitigasi bencana yang dimasukkan ke dalam
upaya optimalisasi produksi sumberdaya perikanan yang berkelanjutan bertujuan
untuk memperoleh hasil yang optimal untuk kesejahteraan. Oleh sebab itu, perlu
kebijakan stakeholder yang memiliki kepentingan dan pengaruh yang tinggi
dalam rangka mengembangkan sumberdaya perikanan di Kota Padang agar
berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana.
Stakeholder primer yang ditemukan dalam analisis stakeholder yakni
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP RI), Dinas Kelautan dan Perikanan
167
Kota Padang serta Pemeritah Daerah Kota Padang. Stakeholder ini memiliki
kewajiban dalam menjawab tantangan pengembangan dan pengelolaan perikanan
di Kota Padang, karena memiliki kepentingan dan pengaruh yang paling besar.
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dalam penelitian ini, maka
diperoleh alternatif kebijakan terkait pengembangan ekonomi perikanan
berperspektif mitigasi bencana yaitu:
Optimalisasi produksi sumberdaya perikanan dengan memperhatikan faktor
keberlanjutan dan mitigasi bencana.
Penyediaan sarana dan fasilitas perikanan yang kondusif dan berperspektif
mitigasi bencana dengan mengedepankan karakteristik masyarakat lokal dan
kondisi wilayah.
Meningkatkan partisipasi dan sinergisitas stakeholder dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan.
Melalui alternatif kebijakan di atas dapat dirumuskan kebijakan
pengembangan ekonomi perikanan berperspektif mitigasi bencana yaitu
“Optimalisasi produksi sumberdaya perikanan dengan memperhatikan faktor
keberlanjutan melalui penyediaan sarana dan fasilitas perikanan yang kondusif
dan berperspektif mitigasi bencana serta meningkatkan partisipasi dan sinergisitas
stakeholder untuk mencapai kesejahteraan”.
Dalam rangka menyusun rumusan arahan kebijakan pengembangan
ekonomi perikanan berperspektif mitigasi bencana, maka karakteristik
sumberdaya yang digambarkan mencakup tiga sistem yaitu sistem sumberdaya itu
sendiri (natural system), sistem manusia (human system) dan sistem pengelolaan
(management system). Pengembangan sub sektor perikanan harus dilakukan
dengan membuat beberapa kebijakan pembangunan yang tepat serta
mempertimbangkan karakteristik wilayah. Kota Padang memiliki kondisi wilayah
yang rawan dilanda bencana, kondisi ini patut dipertimbangkan dalam
merumuskan arahan kebijakan yang dibuat. Hal ini didasari karena pengembangan
perikanan sangat berkaitan dengan sektor lain dan membutuhkan sinergisitas
seluruh stakeholder dalam perencanaan dan pengembangannya. Rumusan
kebijakan yang dibangun harus mempertimbangkan berbagai faktor seperti
ekologi, ekonomi dan sosial serta berbagai sektor. Rumusan arahan kebijakan
168
pengembangan ekonomi perikanan berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang
diuraikan pada point-point berikut ini.
a. Kebijakan Pengaturan Total Allowable Effort
Kebijakan pemerintah dalam mengatur jumlah effort yang diperkenankan
tetap menjadi alternatif yang penting, sebab walaupun kondisi aktual suatu
sumberdaya masih dibawah kondisi lestari, tetap saja akan membahayakan
keberlanjutan apabila dibiarkan terbuka (open access) tanpa adanya regulasi yang
kuat. Pengaturan Total Allowable Effort menjadi solusi dalam rangka mencapai
optimalisasi dan keberlanjutan.
Pengelolaan sumberdaya perikanan tuna Kota Padang sebaiknya
menggunakan rezim pengelolaan MEY atau Sole Owner. Diantara langkah teknis
yang dapat dilakukan pemerintah sesuai dengan hasil analisis bioekonomi adalah
menetapkan kebijakan dengan menambah effort (E) sebanyak 133 trip atau
dengan hasil tangkapan tertinggi 1.105,21 ton pertahun. Kebijakan penambahan
jumlah effort ini dilakukan juga mengingat kebutuhan terhadap tenaga kerja pada
sektor ini tinggi. Penambahan effort ini dimungkinkan karena berdasarkan analisis
bioekonomi masih terdapat potensi penambahan pada kondisi lestari.
b. Kebijakan Pengembangan Teknologi Perikanan
Dalam rangka meningkatkan produksi dan menjaga keberlanjutan, maka
segenap upaya terarah perlu dilakukan. Pengembangan teknologi perikanan
menjadi salah satu solusi untuk mencapai tujuan tersebut. Pemerintah perlu
mengembangkan riset dan teknologi pada pengelolaan sumberdaya perikanan
yang mengutamakan keberlanjutan, baik dari segi budidaya maupun penangkapan.
Sebagaimana yang disampaikan Kusumastanto (2003), perikanan sebagai
salah satu sumberdaya pulih yang menjadi faktor kunci sustainability, maka
investasi dalam penyediaan teknologi ramah lingkungan yang mengedepankan
optimasi dan keberlanjutan perlu dilakukan. Perikanan sebagai sektor basis Kota
Padang sudah seharusnya menjadi sektor unggulan daerah yang dapat
memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi setempat.
169
c. Kebijakan Pengembangan Pasca Panen
Pasca panen merupakan faktor penting dalam pengelolaan usaha
perikanan, sebab sifat dari fisik ikan sendiri yang sangat rentan terhadap kondisi
lingkungan. Hal ini juga karena Kota Padang sebagai daerah tropis dengan suhu
dan musim yang kompleks memiliki potensi sumberdaya ekspor . Oleh karena itu,
kebijakan pemerintah dalam mengelola dan mengembangkan usaha perikanan
perlu memperhatikan faktor pasca panen. Kebijakan pasca panen sumberdaya
perikanan berkaitan erat dengan industrialisasi perikanan. Kebijakan
industrialisasi perikanan tangkap dijabarkan ke dalam 7 strategi industrialisasi
perikanan tangkap yaitu :
Penguatan sistem dan manajemen pengelolaan dan pemulihan sumber daya
ikan.
Penguatan sistem dan manajemen standarisasi dan modernisasi sarana
perikanan tangkap
Penguatan sistem dan manajemen pelabuhan perikanan
Penguatan sistem dan manajemen pendaratan ikan
Penguatan sistem dan manajemen perijinan
Penguatan sistem dan manajemen modal dan investasi
Penguatan sistem dan manajemen usaha nelayan
Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus adalah salah satu dari 5 pelabuhan
yang menjadi Pilot Project pengembangan kawasan industrialisasi di bidang
perikanan tangkap. Konsep industrialisasi di kawasan ini adalah dengan
tersedianya fasilitas pengolahan hasil perikanan. Sejauh ini peran pemerintah
dalam industrialisasi perikanan tercermin melalui kebijakan dan aturan terkait
kemudahan investasi dan sinergisitas antar instansi. Dalam rangka mencapai
optimalisasi hasil perikanan, maka pemerintah perlu meningkatkan kapasitas
kelembagaan terpadu dan pemasaran produk unggulan perikanan.
Fahrudin (2003) menyebutkan dalam rangka meningkatkan kompetensi
pemasaran produk perikanan, maka pemerintah perlu mengembangkan teknologi
eksploitasi dan pasca panen sumberdaya hayati laut yang disesuaikan dengan
standar negara tujuan ekspor. Selain itu pemerintah juga perlu meningkatkan
170
arus informasi dari negara importir mengenai standar mutu dan arus informasi ke
negara importir mengenai spesifikasi produk perikanan Indonesia.
d. Kebijakan Mitigasi Bencana
Beberapa kebijakan mitigasi bencana yang perlu dilakukan pemerintah
(policy maker) dalam rangka pengembangan usaha perikanan di Kota Padang
yaitu sebagai berikut:
Pembangunan dan penyediaan infrastruktur prasarana mitigasi bencana di
areal pelabuhan (kawasan strategis perikanan) berupa sistem peringatan dini,
radar tsunami dan gelombang, pusat informasi bencana, jalur evakuasi dan
assembly point, shelter pelabuhan dan tambat badai laut.
Penyediaan sarana mitigasi armada penangkapan bagi nelayan seperti
penyediaan GPS, aplikasi BB/android serta radio komunikasi dan navigasi.
Memberdayakan masyarakat pesisir khususnya nelayan dalam bidang
penanggulangan bencana/mitigasi melalui usaha berupa penyuluhan,
sosialisasi dan pendampingan pendirian bangunan/prasarana.
Merevisi RTRW Pesisir dan peraturannya dengan mempertimbangkan aspek
mitigasi bencana alam.
e. Kebijakan Pengembangan Sumberdaya Manusia Perikanan
Sumberdaya manusia perikanan merupakan faktor kunci dalam usaha
pengembangan perikanan. Segenap upaya optimalisasi sumberdaya alam dan
peningkatan prasarana perikanan saja tidak cukup tanpa mengembangkan
sumberdaya manusia perikanan di dalamnya. Hasil analisis prioritas
pengembangan perikanan (lihat Sub Bab 6.6.2) mengungkapkan bahwa salah satu
prioritas pengembangan perikanan di Kota Padang adalah pendidikan dan
pelatihan bagi nelayan. Keterbatasan dalam pengetahuan dan keterampilan
nelayan lokal dalam meningkatkan kualitas hasil perikanan baik produksi
penangkapan maupun nilai tambah yang dihasilkan menuntut adanya kebijakan
pemerintah dalam memberikan pendidikan dan pelatihan bagi nelayan. Dalam
rangka mengembangkan sumberdaya manusia perikanan, pemerintah perlu
mempertimbangkan aspek karakteristik masyarakat (kearifan lokal) dan kondisi
171
wilayah. Pertimbangan ini berkaitan dengan manajemen mitigasi bencana dan
juga pengembangan sumberdaya perikanan di kawasan pesisir.
f. Kebijakan Pengelolaan Secara Terpadu
Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan juga
harus mengutamakan aspek keterpaduan. Kebijakan pemerintah dalam rangka
mencapai pengelolaan yang terpadu diuraikan sebagai berikut:
Keterpaduan ekologis
Kota Padang sebagai daerah yang memiliki potensi ekonomi sumberdaya
yang tinggi dihadapkan pada potensi bencana ekologi yang juga tinggi
menuntut adanya kebijakan pemerintah dalam membangun keterpaduan
ekologis. Keterkaitan ekologis yang sangat tinggi di wilayah pesisir dan
lautan menyebabkan perlunya pengelolaan yang terpadu secara ekologis.
Pemerintah daerah harus mampu menciptakan kebijakan pengelolaan yang
selaras antara kegiatan ekonomi di wilayah daratan hingga lautan.
Keterpaduan sektoral
Sub sektor perikanan sebagai bagian dari multisektor bidang kelautan
memiliki hubungan yang erat dengan sektor lainnya. Pengembangan sub
sektor ini harus dilakukan secara terpadu dengan pengembangan sektor lain
seperti pariwisata bahari, perhubungan laut, pertambangan laut, industri
kelautan, bangunan kelautan dan jasa kelautan.
Keterpaduan bidang ilmu
Keterpaduan antara berbagai disiplin ilmu penting dilakukan untuk menjamin
terciptanya sebuah konsep pengelolaan yang komprehensif. Hal ini juga
didasari karena kondisi karakteristik wilayah yang komplek. Beberapa bidang
ilmu yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir dan laut adalah
oseanografi, biologi laut, keteknikan, sosiologi, hukum, mitigasi bencana, dan
sebagainya.
Keterpaduan stakeholder
Melalui hasil analisis stakeholder pada tahapan analisis sebelumnya diperoleh
gambaran mengenai stakeholder primer dalam usaha perikanan di Kota
Padang. Keterpaduan antar berbagai stakeholder harus dilakukan oleh
172
pemerintah, swasta, masyarakat, LSM dan perguruan tinggi. Adanya
hubungan kerjasama antar stakeholder ini dapat menjamin keberlangsungan
sistem pengelolaan yang terpadu guna mencapai kesejahteraan masyarakat.
Keterpaduan geografis
Keterpaduan geografis dalam pengembangan perikanan tuna di Kota Padang
terkait dengan karakteristik sumberdaya tuna itu sendiri. Ikan tuna merupakan
jenis highly migratory species, spesies ini mampu beruaya pada tempat yang
jauh. Pertimbangan karakteristik sumberdaya tuna dalam pengelolaan dan
pengembangan perikanan menjadi hal yang penting dalam membangun
kerjasama dan koordinasi antar kabupaten/kota bahkan antar provinsi.
Prinsip keterpaduan perikanan tercermin melalui program minapolitan.
Minapolitan adalah konsep pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan
berbasis kawasan berdasarkan atas prinsip-prinsip terintegrasi, efesiensi,
berkualitas dan percepatan. Kawasan minapolitan adalah suatu bagian wilayah
yang mempunyai fungsi utama ekonomi yang hadir dari sentra produksi,
pengolahan, pemasaran, komoditas perikanan, pelayanan jasa dan atau kegiatan
lainnya. Tujuan program minapolitan adalah:
Meningkatkan produksi dan kualitas produk perikanan.
Meningkatkan pendapatan nelayan, pembudidaya ikan, pengusaha dan
pengolah ikan yang adil dan merata.
Mengembangkan kawasan minapolitan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi
daerah.
PPS Bungus adalah kawasan minapolitan di Kota Padang dan ditetapkan
sebagai zona inti atau pusat pengembangan kawasan minapolitan. Pelabuhan ini
ditetapkan sebagai sentra perikanan tangkap di wilayah Sumatera Barat dengan
komoditas utamanya adalah tuna. Program minapolitan dengan orientasi
optimalisasi produksi ini juga harus mempertimbangkan aspek keberlanjutan.
Sebagaimana hasil bioekonomi pada analisis sebelumnya, maka diperoleh batasan
maksimal effort dan produksi perikanan di daerah ini guna mencapai
sustainability.
Beberapa arahan kebijakan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini
diharapkan dapat disusun program-program pengelolaan dan mitigasi oleh
173
pemerintah setempat untuk mendukung penerapan kebijakan pengembangan
sumberdaya perikanan yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana.
Pemerintah Kota Padang sesuai dengan UU nomor 32 tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah memiliki kewenangan untuk menentukan program
pembangunan sekaligus dengan anggaran pembangunannya, termasuk bentuk
mitigasi yang efektif dan sesuai untuk diterapkan.
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian di atas, dapat disusun rangkuman
hasil penelitian kebijakan pengembangan ekonomi perikanan berperspektif
mitigasi bencana (lihat Tabel 55). Selanjutnya pembahasan akan mengemukakan
kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan di Kota Padang (lihat Gambar
36) dan kesimpulan komprehensif pengembangan ekonomi perikanan
berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana di kota padang (lihat Gambar
37).
174
Tabel 55. Rangkuman Hasil Analisis Kebijakan Pengembangan Ekonomi Perikanan Tuna Longline Berperspektif Mitigasi Bencana
Analisis Makro
Perikanan dan
Kelautan
Analisis Bioekonomi
Sumberdaya
Perikanan
Analisis Kebencanaan
Analisis
Kelayakan
Investasi
Analisis
Kelembagaan
Analisis Kebijakan
Pengembangan
Perikanan
- Melalui
analisis Shift
Share,
Location
Quotient dan
MRA
diketahui
bahwa sub
sektor
perikanan
memberikan
pengaruh yang
berarti dan
merupakan
sektor basis
bagi
perekonomian
Kota Padang
serta
memberikan
dampak
berganda bagi
sektor lainnya.
- Pemanfaatan
sumberdaya
perikanan di Padang
khususnya tuna
masih berada di
bawah titik
optimalnya.
Sehingga masih ada
peluang untuk
meningkatkan
produksi. Pada
penelitian ini juga
diperoleh hasil
pengelolaan yang
optimal adalah
menggunakan rezim
pengelolaan MEY
atau Sole Owner
dengan discount
rate sebesar 16
persen melalui
penambahan effort
sebesar 133 trip atau
setara dengan
penambahan 33 unit
armada dan
produksi sebesar
418,53 ton.
- Potensi bencana terkait
pengelolaan perikanan di Kota
Padang adalah gempa bumi,
tsunami, angin kencang,
gelombang laut dan intrusi air
laut.
- Prioritas mitigasi terkait
pengembangan perikanan adalah
Sistem peringatan dini dan
sistem informasi terpadu,
Penyediaan GPS, APS dan
Aplikasi informasi bencana
untuk nelayan.
- Mitigasi bencana untuk
pengembangan perikanan
tangkap berupa penyediaan
prasarana mitigasi darat dan laut
yang terdiri atas penyediaan
sistem peringatan dini, radar
tsunami dan gelombang, pusat
informasi bencana, jalur
evakuasi dan assembly point,
shelter pelabuhan dan tambat
badai laut serta sarana mitigasi
armada penangkapan. berupa
penyediaan GPS, aplikasi
BB/android serta radio
komunikasi dan navigasi
- Berdasarkan
kriteria
investasi (NPV,
B/C dan IRR)
pengembangan
ekonomi
perikanan
berperspektif
mitigasi di Kota
Padang masih
menguntungkan
dan layak untuk
dikembangkan.
- Riset dan
teknologi ramah
lingkungan
dalam rangka
optimalisasi
pemanfaatan
sumberdaya
perikanan.
- Stakeholder
primer dalam
pengambilan
kebijakan
pengembangan
sumberdaya
perikanan
adalah KKP,
DKP dan
Pemda Kota
Padang.
- Kelembagaan
perikanan
tangkap berupa
regulasi dan
kebijakan dari
institusi formal.
- Kelembagaan
dalam mitigasi
bencana berupa
institusi dan
kebijakan
formal serta
kearifan lokal.
- Hasil analisis juga
menyatakan sektor
dalam bidang kelautan
yang potensial
dikembangkan di Kota
Padang adalah
perikanan.
- Prioritas kebijakan
pengembangan
perikanan di Kota
Padang adalah
Penyediaan sarana
pelabuhan, TPI, PPI
dan fasilitas perikanan
lainnya yang kondusif
dan berperspektif
mitigasi bencana.
Pendidikan dan
pelatihan bagi nelayan.
Bantuan modal usaha
bagi nelayan serta
masyarakat yang ingin
mengembangkan usaha
perikanan. subsidi
bahan bakar dan Pusat
informasi cuaca dan
kebencanaan yang
mudah diakses.
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
175
Gambar 36. Diagram Kebijakan Pengembangan Ekonomi Perikanan Tuna Longline Berperspektif Mitigasi Bencana
Analisis
Bioekonomi
Analisis
Kebencanaan
Analisis Kelayakan
Investasi
Analisis
Kelembagaan
Analisis Kebijakan
Analisis Makro
Ekonomi
Sumberdaya perikanan Kota
Padang memiliki potensi yang
layak untuk dikembangkan
Potensi bencana adalah gempa
bumi, tsunami, angin kencang,
gelombang laut dan intrusi air
laut.
Usaha perikanan tangkap tuna longline berperspektif mitigasi
bencana di Kota Padang layak
untuk dikembangkan
Stakeholder primer adalah KKP, DKP Kota Padang (DKP),
Pemda Kota Padang
Penyediaan sarana dan fasilitas
perikanan lainnya yang kondusif
dan berperspektif mitigasi bencana
Perikanan memberikan
pengaruh yang cukup berarti
bagi perekonomian Kota Padang
Pengelolaan sumberdaya
perikanan seharusnya
menggunakan rezim pengelolaan MEY
Prioritas mitigasi adalah Sistem peringatan dini dan sistem info.
terpadu, Penyediaan GPS,dan
Aplikasi informasi bencana untuk nelayan,
Adanya stimulus dan kebijakan dari pemerintah dan swasta
untuk membantu
mengembangkan perikanan
Meningkatkan partisipasi stakeholder untuk optimalisasi
pengelolaan dan pengembangan
sumberdaya perikanan
Mengarahkan kebijakan perikanan yang mengedepankan
karakteristik masyarakat lokal
dan kondisi wilayah.
Sektor ini layak untuk
dikembangkan untuk menjadi tulang punggung perekonomian
daerah
Optimalisasi produksi
sumberdaya perikanan
dengan
memperhatikan faktor
keberlanjutan dan
mitigasi bencana.
Penyediaan sarana dan
fasilitas perikanan
yang kondusif dan
berperspektif mitigasi
bencana dengan
mengedepankan
karakteristik
masyarakat lokal dan
kondisi wilayah.
Meningkatkan
partisipasi dan
sinergisitas
stakeholder dalam
pengelolaan
sumberdaya
perikanan.
Optimalisasi produksi
sumberdaya perikanan
dengan memperhatikan
faktor keberlanjutan
melalui penyediaan sarana
dan fasilitas perikanan
yang kondusif dan
berperspektif mitigasi
bencana serta
meningkatkan partisipasi
dan sinergisitas
stakeholder untuk
mencapai kesejahteraan.
180
176
Gambar 37. Kesimpulan Komprehensif Penelitian “Kebijakan Pengembangan Ekonomi Perikanan Tuna Longline
Berperspektif Mitigasi Bencana di Padang, Sumatera Barat”
199
VII. SIMPULAN DAN SARAN
7.1. Simpulan Melalui serangkaian analisis yang dilakukan untuk merumuskan kebijakan
pengembangan ekonomi perikanan tuna longline berperspektif mitigasi bencana
di Kota Padang, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil analisis makro ekonomi, perikanan merupakan sektor
basis yang memberikan pengaruh besar bagi perekonomian Kota Padang
Hal ini ditunjukkan dengan nilai LQ>1 selama 10 tahun terakhir dan nilai
basic multiplier perikanan Kota Padang sebesar 177,6 sehingga sektor ini
layak untuk dikembangkan menjadi tulang punggung perekonomian daerah.
Hal ini sejalan dengan hasil analisis prioritas pengembangan bidang
kelautan dengan asil analisis perikanan merupakan sektor dalam bidang
kelautan yang paling potensial untuk dikembangkan. Oleh karena itu, perlu
serangkaian kebijakan dalam mengembangkan produk/sektor unggulan di
Kota Padang untuk mencapai kesejahteraan.
2. Sumberdaya tuna merupakan salah satu produk unggulan Kota Padang.
Tingkat produksi optimal pada pemanfaatan sumberdaya tuna di Kota
Padang sebesar 1.105,21 ton per tahun dengan tingkat upaya (effort) sebesar
237 trip per tahun. Rente ekonomi optimal sebesar Rp 322.066,45 juta per
tahun. Demi tercapainya keberlanjutan dan optimasi produksi, pengelolaan
sumberdaya perikanan seharusnya menggunakan rezim MEY atau Sole
Owner dengan discount rate sebesar 16 persen melalui penambahan effort
sebesar 133 trip dan produksi sebesar 418,53 ton. Analisis ini juga
menyimpulkan perlu adanya tambahan armada penangkapan sebanyak 33
unit untuk produksi yang lebih optimal.
3. Potensi bencana terkait pengelolaan perikanan di Kota Padang adalah
gempa bumi, tsunami, angin kencang, gelombang laut dan intrusi air laut.
Prioritas mitigasi terkait pengembangan perikanan yaitu sistem peringatan
dini dan sistem informasi terpadu, penyediaan GPS, APS dan aplikasi
informasi bencana untuk nelayan, pembuatan peraturan,undang-undang dan
kebijakan lain terkait mitigasi bencana dan keberlanjutan sumberdaya
perikanan, sistem penyelamatan dini dan jalur evakuasi, pengembangan
200
sistem mitigasi berbasis kearifan lokal serta pendirian bangunan pelabuhan
dan prasarana perikanan lainnya yang berperspektif mitigasi bencana.
Mitigasi bencana untuk pengembangan perikanan tangkap berupa
penyediaan prasarana mitigasi darat dan laut yang terdiri atas penyediaan
sistem peringatan dini, radar tsunami dan gelombang, pusat informasi
bencana, jalur evakuasi dan assembly point, shelter pelabuhan dan tambat
badai laut serta sarana mitigasi armada penangkapan. berupa penyediaan
GPS, aplikasi BB/android serta radio komunikasi dan navigasi.
4. Berdasarkan kriteria investasi (NPV, B/C dan IRR), pengembangan
ekonomi perikanan berperspektif mitigasi bencana menguntungkan dan
layak untuk dikembangkan. Analisis tahap ini dengan memasukkan
komponen prasaranan dan sarana mitigasi serta penambahan jumlah armada
sebanyak 33 unit berdasarkan hasil analisis sebelumnya. Hasil analisis
kelayakan investasi menghasilkan nilai NPV sebesar Rp 45.530.835.838,
B/C 2,40 dan IRR sebesar 54,73%.
5. Dalam rangka mengembangkan sumberdaya perikanan sebagai tulang
punggung perekonomian daerah, maka perlu adanya perhatian dan
kebijakan dari stakeholder yang memiliki kepentingan dan pengaruh yang
tinggi terhadap sumberdaya ini. Hasil analisis stakeholder menetapkan
beberapa stakeholder primer dalam merumuskan kebijakan pengembangan
sumberdaya perikanan yang berkelanjutan di Kota Padang. Stakeholder
primer tersebut adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Dinas
Kelautan dan Perikanan Kota Padang (DKP) dan Pemerintah Daerah Kota
Padang (Pemda). Kelembagaan perikanan tangkap yang terdapat di Kota
Padang berupa regulasi dan kebijakan dari institusi formal sedangkan
kelembagaan dalam mitigasi bencana di daerah ini berupa institusi dan
kebijakan formal serta kearifan lokal.
6. Rumusan kebijakan pengembangan ekonomi perikanan berperspektif
mitigasi bencana di Kota Padang adalah: Optimalisasi produksi sumberdaya
perikanan dengan memperhatikan faktor keberlanjutan melalui penyediaan
sarana dan fasilitas perikanan yang kondusif dan berperspektif mitigasi
bencana serta meningkatkan partisipasi dan sinergisitas stakeholder untuk
201
mencapai kesejahteraan. Arahan kebijakan adalah; kebijakan pengaturan
total allowable effort, kebijakan pengembangan teknologi perikanan,
kebijakan pengembangan pasca panen, kebijakan mitigasi bencana,
kebijakan pengembangan sumberdaya manusia perikanan, kebijakan
pengelolaan secara terpadu.
7.2. Saran
Berdasarkan rekomendasi berikut diharapkan dapat dilakukan stakeholder
dalam rangka pengembangan ekonomi perikanan tuna longline berperspektif
mitigasi bencana antara lain:
1. Pemerintah perlu mengatur tingkat upaya penangkapan sumberdaya
perikanan berada pada tingkat eksploitasi optimal sehingga kelestarian
sumberdaya perikanan dapat berkelanjutan dan menghasilkan rente ekonomi
yang maksimal.
2. Stakeholder perikanan (pemerintah, swasta, lembaga keuangan) perlu
berperan serta dalam mengembangkan usaha perikanan tuna melalui
penyediaan investasi untuk prasarana dan sarana perikanan berperspektif
mitigasi bencana demi tercapainya optimalisasi dan kesejahteraan.
3. Pemerintah perlu membuat serangkaian program dalam rangka
menumbuhkan dan mengembangkan kearifan lokal serta partisipasi
masyarakat terhadap pengembangan perikanan dan mitigasi bencana.
4. Perlu keterpaduan stakeholder dalam merumuskan, merencanakan dan
menjalankan setiap program dan kebijakan terkait pengembangan perikanan
dan mitigasi bencana dalam rangka mencapai optimasi produktivitas
sumberdaya dan perlindungan sistem penyangga kehidupan.
202
DAFTAR PUSTAKA
Aldon MET, AC Fermin, RF Agbayani. 2011. Socio-cultural Context of Fishers‟
Participation in Coastal Resources Management in Anini-y, Antique in
West Central Philippines. J Fisheries Research. Elsevier. 107:112-121.
Anna S. 2003. Model Embedded Dinamik Ekonomi Interaksi Perikanan-
Pencemaran [Disertasi]. Bogor. Program Pascasarjana. Institut Pertanian
Bogor. 371 hal.
Anggoro G. 2004. Studi Kelayakan Mesin Untuk Proses Pembuatan Lubang Oval
Pada Frame Truk di PT. GKD. [Skripsi]. Jakarta: Universitas Indonesia.
[BAPPEDA Kota Padang] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota
Padang. 2010. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Padang 2010-
2030. Padang.
Benjamin H, Stevens, CL Moore. 1980. A Critical Review of The Literature on
Shift-Share as A Forcasting Technique. Journal of Regional Science, Vol.
20, No. 4.
[BNPB] Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana. 2009. Data
Bencana Indonesia tahun 2009. Jakarta.
[BNPB] Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana. 2007. Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana.
[BPS Kota Padang] Badan Pusat Statistik Kota Padang. 2011. Padang dalam
Angka 2010. Padang.
Budiman C. 2010. Menata Kembali Relasi Ilmu Pengetahuan dan Bencana Alam.
Inovasi Online. PPI Jepang. Vol. 18 | XXII | November 2010.
Carter WN. 1991. Disaster Management-A Disaster Manager’s Handbook.
Manila: Asian Development Bank.
Charles AT. 2001. Sustainable Fisheries Systems. United Kingdom: Blackwell
Science.
Clarke RP, SS Yoshimoto, SG Pooley. 1992. A Bioeconomic Analysis of The
Northwestern Hawaiian Island Lobster Fishery. J Marine Resource
Economics. Marine Resources Foundation. 7: 115-140.
Colgan CS. 2003. Measurement of The Ocean and Coastal Economy: Theory and
Methods. USA: University of Southern Marine.
203
Costanza R and J Farley. 2007. Ecological Economics of Coastal Disasters:
Introduction to the Special Issue. J Ecological Economics. Elsevier.
63:249-253.
Dahuri R, J Rais, SP Ginting, MJ Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Diniah. 2008. Pengenalan Perikanan Tangkap. Bogor: Departemen Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan FPIK IPB.
Diposaptono S dan Budiman. 2006. Tsunami. Bogor: PT Sarana Komunikasi
Utama. Edisi II.
[DKP Kota Padang] Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Padang. 2011. Database
Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Padang. Padang.
[DKP Kota Padang] Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Padang. 2005. Database
Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Padang. Padang.
[DKP Provinsi Sumatera Barat] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera
Barat. 2010. Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Sumatera Barat Tahun
2010. Padang.
Dunn WN. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Samodra Wibawa dkk,
penerjemah; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Fahrudin A. 2003. Pengembangan Ekspor Produk Kelautan Indonesia Ke Eropa.
Buletin Ekonomi Perikanan 5:1 [terhubung berkala].
http://journal.ipb.ac.id/index.php/bulekokan/article/view/2480
[23November 2012].
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2012. Biological characteristics of
tuna. Fisheries and Aquaculture Department.
http://www.fao.org/fishery/topic/16082/en#Taxonomy. [25 November
2012].
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2012. World review of highly
migratory species and straddling stocks. Fisheries and Aquaculture
Department. FAO Corporate Document Repository.
http://www.fao.org/docrep/003/T3740E/T3740E02.htm. [25 November
2012].
Fauzi A. 2010. Ekonomi Perikanan: Teori, Kebijakan dan Pengelolaan. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Fauzi A dan S Anna. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan
untuk Analisis Kebijakan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Forum Mitigasi. 2007. Mitigasi Bencana. Direktorat Pesisir dan Lautan. Ditjen
KP3K, Departemen Kelautan dan Perikanan.
204
Fritz HM and C Blount. 2006. The Regional Technical Workshop. Di dalam:
Khao Lak, editor. Protection from Cyclones: Role of Forests and Trees in
Protecting Coastal Areas Againts Cyclones. In Coastal protection in The
Aftermath of The Indian Ocean Tsunami: What rule for Forest and Trees?.
Thailand. 28-31 August 2006. hlm 37-63.
Garcia SM and AT Charles. 2008. Fishery Systems and Linkages: Implications
for Science and Governance. J Ocean and Coastal Management. Elsevier.
51:505-527.
Glasson J. 1990. Pengantar Perencanaan Regional. Paul Sitohang, penerjemah;
Jakarta: LPFEUI. http: //digilib.unnes.ac.id/ gsdl/collect/skripsi/indeks/
assoc/HASH958c.dir/doc.pdf. [26 Mei 2009].
Gray C, LK Sabur, P Simanjuntak, PFL Maspaitella. 1993. Pengentar Evaluasi
Proyek. Jakarta: PT. Gramedia.
Haluan J dan TW Nurani. 1998. Penerapan Metode dalam Pemilihan Teknologi
Penangkapan Ikan yang Sesuai untuk Dikembangkan di Suatu Wilayah
Perairan. Buletin Jurusan PSP Volume II. FPIK IPB. Bogor. Hal 3-16.
Haputhantri SSK, MCS Villanueva, J Moreaux. 2008. Trophic Interactions in The
Coastal Ecosystem of Sri Lanka: An ECOPATH Preliminary Approach. J
Estuarine Coastal and Shelf Science. Elsevier. 76:304-318.
Herath J, TG Gebremedhin, BM Maumbe. 2012. A Dynamic Shift Share Analysis
of Economic Growth in West Virginia. Research Paper 2010-2012.
Morgantown, West Virginia University.
Husnan S dan Suwarsono. 1997. Studi Kelayakan Proyek. Unit Penerbit dan
Percetakan. AMP. YKPN. Yogyakarta.
Indrawani SM. 2000. Analisis Kebijakan Pengelolaan Terumbu Karang dan
Perspektif Pengembangan Pariwisata di Kecamatan Senayang Kepulauan
Riau. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Jentoft S. 2004. Institutions in Fisheries: What They Are, What They Do, and
How They Change. J Marine Policy. Pergamon. 28:137-149.
Julianingsih S. 2004. Inventarisasi Kebijakan Nasional dan Internasional.
Perikanan Tangkap Untuk Penangkapan Tuna. [Skripsi]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Kadariah. 1985. Ekonomi Perencanaan. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia. 79 hal.
Kadariah, Karlina dan Grey. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta: FEUI.
[KKP RI] Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2011.
Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2011. Jakarta.
205
[KKP RI] Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2003.
Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2003. Jakarta.
Kosasih. 2007. Strategi Pengembangan Perikanan Tuna Longline Anggota
Asosiasi Tuna Longline Indonesia (Studi Kasus di Benoa Bali). [Tesis].
Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Kusumastanto, T. 2006. Ekonomi Kelautan (Ocean Economics–Oceanomics).
Bogor: PKSPL-IPB.
Kusumastanto T. 2003. Ocean Policy dalam Membangun Negeri Bahari di Era
Otonomi Daerah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kusumastanto T. 2002. Reposisi Ocean Policy dalam Pembangunan Ekonomi
Indonesia di Era Otonomi Daerah. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang
Kebijakan Ekonomi Perikanan dan Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Kusumastanto T, Jolly CM. 1997. Demand Analysis for Fish in Indonesia. J
Applied Economics. Routledge. 29:95-100.
Latief H. 2008. Pedoman Penanggulangan Dampak Kerusakan Kawasan Pesisir
Akibat Bencana Gelombang Pasang Berbasis Ekosistem. Bandung: Pusat
Kajian Tsunami ITB.
[LP Unpatti] Lembaga Penelitian Universitas Pattimura. 2012. Industri Perikanan
Tangkap (TUNA). Badan Penanaman Modal Daerah Kabupaten Buru
Selatan Vol.132 http://dc247.4shared.com/doc/XW9DFysb/preview.html.
[25 November 2012].
Luthfi. 2005. Strategi pengembangan perikanan tuna (Thunnus sp) yang berbasis
di Kota Padang: implikasi pembangunan Bandar Udara Internasional
Minangkabau. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Macmillan CDH. 1966. Tide. American Elsivier Publishing. Co. Inc. 240p.
Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.
Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Mintzberg H. 1994. The Rise and Fall of Strategic Planning. New York: The Free
Press.
Munasinghe M. 1993. Enviromental Economics and Sustainable Development.
IBRD Washington USA. World Bank Enviromental Paper Number 3.
Muzakir. 2008. Kajian Ekonomi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Tangkap
Dikabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat. [Tesis]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
206
Nazir M. 2009. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.
Nikijuluw VPH. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta: PT.
Pustaka Cidesindo.
Ostrom E et al. 1994. Rules, Games and Common-pool Resources. USA: The
University of Michigan Press.
Parsons RJ, D James, Jorgensen, H Santos, Hernandez. 1994. The Integration of
Social Work Practice. California: Brooks/Cole.
Peng BH, Hong, X Xue, J Di. 2006. On the Measurement of Socioeconomic
Benefits of Integrated Coastal Management (ICM): Aplication to Xiament,
China. A Environmental Science Research Centre, Xiament University,
Xiament, Fujian 361005, China. Marine Policy Center, Woods Hole
Oceanographic Institution, Woods Hole, MA 02543, USA. J Ocean and
Coastal Management. Elsevier. 49:93-109.
[Puslitbang Oseanografi LIPI] Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2001. Potensi, Pemanfaatan dan
Peluang Pengembangan Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia.
Jakarta.
Ramadona T. 2009. Analisis Ekonomi Basis Sektor Perikanan di Kabupaten
Limapuluh Kota Provinsi Sumatera Barat. [Skripsi]. Pekanbaru: Program
Sarjana, Universitas Riau.
Ruswandi. 2009. Model Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir yang
Berkelanjutan dan Berperspektif Mitigasi Bencana Alam di Pesisir
Indramayu dan Ciamis. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Saaty TL. 1983. Decision Making for Leaders : The Analytical Hierarchy Process
for Decision in Complex World. Pittsburgh: RWS Publication.
Salim E. 1980. Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Jakarta: LP3ES.
Sanim B. 2002. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan (Kumpulan Materi
Kuliah). Tidak dipublikasikan. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian.
Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Schmeer K. 2000. Stakeholder Analysis Guidelines. In: Schribner ES and
Brinherhoff D (editor). Policy Toolkit for Strengthening Health Sektor
Reform 2: 1-43. Bethesda MD. Abt Associates Inc.
Serdy A. 2004. One fin, two fins, red fins, bluefins: some problems of
nomenclature and taxonomy affecting legal instruments governing tuna
and other highly migratory species. J Marine Policy. Pergamon. 28:235-
247.
207
Sjafrizal, 2008. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi. Padang. 329 hal.
Sonak S, P Pangam, A Giriyan. 2008. Green Reconstruction of The Tsunami-
Affected Areas in India Using the Integrated Coastal Zone Management
Concept. J Enviromental Management. Elsevier. 89:14-23.
Sugandhy A dan R Hakim. 2007. Prinsip Dasar Kebijakan Pembangunan
Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan. Jakarta: Bumi Aksara.
Surakhmad W. 1978. Dasar dan Teknik Research: Pengantar Metodologi Ilmiah.
Bandung: Tarsito.
Tarigan R. 2005. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Tjondronegoro SM. 1999. Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial Di Pedesaan
Jawa. Dalam Keping-Keping Sosiologi dari Pedesaan. Jakarta: Ditjen
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Todaro MP. 1997. Economic Development (5th ed.). New York, London:
Longman.
Uktolseja, et al. 1998. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan
Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut LIPI
bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Perikanan. Departemen Pertanian.
Jakarta. Hal 40-88.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
[UNP] Universitas Negeri Padang. 2010. Laporan Final Penyusunan Mitigasi
Bencana Kota Padang. Padang
World Resources Institute. 2001. Coastline Length. World Vector Shoreline,
United State Defense Mapping Agency.
208
WWF Indonesia. 2011. Perikanan Tuna, Panduan Penangkapan dan
Penanganannya. Jakarta Selatan.
Zulbainarni N. 2012. Teori dan Praktik Pemodelan Bioekonomi dalam
Pengelolaan Perikanan Tangkap. Bogor: IPB Press.
209
LAMPIRAN
210
Lampiran 1. Daftar Responden Primer
A. Responden Pakar
1. Ir. Yempita Efendi, MS
(Dekan FPIK Universitas Bung Hatta Padang)
2. Dr. Semeidi Husrin, MSc
(Kasie TO dan Peneliti LPSDKP/ Loka Penelitian Sumberdaya dan
Kerentanan Pesisir Bungus)
3. Nia Naelul Hasanah R, ST
(Kasie PT dan Peneliti LPSDKP/ Loka Penelitian Sumberdaya dan
Kerentanan Pesisir Bungus)
4. M. Ramdhan, MT
(Fungsional Peneliti LPSDKP/ Loka Penelitian Sumberdaya dan
Kerentanan Pesisir Bungus)
5. Ir. Asifus Zahid
(Kepala PPS Bungus Padang)
6. Rudi Suharman, Amd
(Kepala Pengembangan PPS Bungus Padang)
7. Priyagus, MM
(Kepala Tata Operasional PPS Bungus Padang)
8. Ir. Lazuardi
(Sekdis DKP Kota Padang)
9. Ir. Salman
(Kabid Perikanan Tangkap DKP Kota Padang)
B. Responden Nelayan
1. KM. Iskandar Jaya
2. KM. Sriwijaya
3. KM. Tiar Jaya
4. KM. Sumber Maju A
5. KM. Simampalu
6. KM. Elisabeth
7. KM. Kakap Mina Utama
8. KM. Asia Jaya
9. KM. Wilujeng
211
Lampiran 2. Peta Administrasi Kota Padang
212
Lampiran 3. Peta Topografi Kota Padang
213
Lampiran 4. Peta Rencana Pola Ruang Laut Kota Padang
214
Lampiran 5. Peta Hidrologi dan Tata Air Kota Padang
215
Lampiran 6. Peta Geologi Kota Padang
216
Lampiran 7. PDRB Kota Padang Atas Dasar Harga Konstan
No LAPANGAN USAHA 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1 PERTANIAN 370.872,48 390.178,01 407.403,29 426.292,45 446.450,89 468.549,12 494.412,92 521.837,86 552.956,60 583.179,90 612.530,
e. Perikanan 200.331,34 212.670,09 220.719,27 232.880,90 244.687,98 257.950,07 273.710,82 290.518,81 309.983,58 328.365,61 347.020,
2
PERTAMBANGAN DAN
PENGGALIAN 118.726,28 122.433,24 125.007,62 126.698,39 131.664,79 138.365,88 146.764,69 156.188,15 165.247,06 173.459,84 185.320,
3 INDUSTRI PENGOLAHAN 1.278.969,47 1.322.001,21 1.392.438,10 1.423.308,80 1.475.532,85 1.547.686,41 1.625.745,53 1.705.202,18 1.787.051,88 1.854.245,03 1.938.430,
4 LISTRIK, GAS DAN AIR BERSIH
106.162,72 120.931,96 132.980,13 143.398,20 145.939,51 152.097,75 160.034,16 176.334,39 191.461,97 203.481,61 214.890,
5 BANGUNAN 294.382,16 305.465,15 318.508,51 332.873,24 351.114,69 375.149,17 404.260,75 430.863,00 458.912,18 481.031,75 517.210,
6 PERDAGANGAN, HOTEL & RESTORAN
1.580.229,95 1.640.839,90 1.727.934,24 1.802.831,96 1.887.278,01 1.998.670,44 2.135.316,57 2.249.145,42 2.351.206,16 2.432.008,19 2.544.650,
7
PENGANGKUTAN DAN
KOMUNIKASI 1.586.317,86 1.640.470,76 1.758.360,23 1.947.897,87 2.148.797,20 2.240.171,36 2.263.328,12 2.426.344,00 2.623.518,04 2.805.272,58 3.029.070,
8 KEUANGAN, PERSEWAAN & JASA PERUSAHAAN
516.605,20 542.144,62 561.635,95 591.224,49 639.568,98 690.671,46 748.768,12 805.854,60 864.305,07 915.990,91 977.180,
9 JASA-JASA 1.213.250,72 1.268.626,36 1.318.190,41 1.377.317,03 1.426.553,13 1.499.335,85 1.598.864,65 1.693.991,20 1.802.600,08 1.896.967,27 2.002.320,
PDRB / GRDP 7.065.516,84 7.353.091,21 7.742.458,47 8.171.842,43 8.652.900,05 9.110.697,44 9.577.495,51 10.165.760,80 10.797.259,04 11.345.637,08 12.021.600,
Sumber : BPS Kota Padang
217
Lampiran 8. PDRB Provinsi Sumatera Barat Atas Dasar Harga Konstan
No LAPANGAN USAHA 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1 PERTANIAN 5385595,71 5648004,31 6091915,61 6.557.510,72 6.937.172,92 7.293.205,65 7.658.394,83 8.038.919,12 8.478.980,94 8.773.503,32 9.094.245,77
e. Perikanan 646242,48 672803,05 673.812,25 723.332,45 761.891,34 789.009,26 841.317,65 884.919,95 946.556,49 989.540,4 1.013.604,1
2 PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN
873887,57 868572,82 884878,74 894.245,03 923.379,06 951.882,62 980.826,77 1.028.828,26 1.087.108,74 1.137.763,2 1.203.809,02
3 INDUSTRI PENGOLAHAN 3218470,01 3318632,53 3404309,81 3.472.186,00 3.629.455,72 3.808.287,01 3.978.641,07 4.209.069,40 4.509.531,82 4.670.605,07 4.787.847,71
4 LISTRIK, GAS DAN AIR BERSIH
210962,36 243639,82 271084,9 284.293,97 301.070,70 338.722,91 368.981,69 394.432,98 407.582,49 431.225,75 441.350,12
5 BANGUNAN 1131101,81 1157117,15 1194839,17 1.278.358,43 1.375.769,34 1.440.337,58 1.544.889,64 1.627.195,26 1.751.509,59 1.822.283,08 2.072.420,52
6
PERDAGANGAN, HOTEL &
RESTORAN 4147024,46 4332173,03 4543977,61 4.755.166,34 5.006.640,26 5.305.757,21 5.662.879,36 6.056.682,55 6.464.805,03 6.707.683,59 694.099,93
7
PENGANGKUTAN DAN
KOMUNIKASI 2650332,56 2749038,34 2928943,45 3.165.005,33 3.419.244,73 3.754.819,81 4.140.569,92 4.526.737,30 4.959.077,34 5.256.339,28 5.777.504,58
8
KEUANGAN, PERSEWAAN
& JASA PERUSAHAAN 1164508,32 1204302,67 1230509,41 1.294.725,54 1.376.937,68 1.464.102,75 1.579.347,52 1.692.546,42 1.827.504,98 1.901.983,36 2.011.441,28
9 JASA-JASA 4107731,25 4205893,26 4289729,05 4.445.290,27 4.608.466,14 4.802.364,99 5.035.414,31 5.338.557,30 5.690.531,48 5.981.852,02 6.530.577,74
PDRB / GRDP 22889614,05 23727373,93 24840187,76 26.146.781,64 27.578.136,56 29.159.480,53 30.949.945,10 32.912.968,59 35.176.632,42 36.683.238,68 38.860.187,68
Sumber : BPS Kota Padang
218
Lampiran 9. Kondisi dan Potensi Pemanfaatan Ruang Pesisir Kota Padang
No Kecamatan Fasilitas Basis Perikanan Perhubungan Wisata Industri Konservasi Pertanian/
Perkebunan
1 Koto Tangah - Pemukiman
- Fasilitas Sosial
- Fasilitas Ekonomi
- Bagan
- Payang
- Pukat Tepi
- Jaring Insang
- Pancing
- Pengolahan/ Perdagangan
- Pangkalan kapal-kapal ikan
- Pangkalan ke pulau-pulau sekitar
- Pantai berpasir
- Estuaria Laguna
- Estuaria Sungai
- Memancing
- RT/pengolahan
ikan (Teri)
- Pembangunan
Kapal/Perahu
- Pembuatan tepung
ikan
- Estuaria
- Pantai/penghijauan
- Kelapa Rakyat
2. Padang Utara - Pemukiman
- Fasilitas Sosial
- Fasilitas Ekonomi
- Payang
- Pukat Tepi
- Jaring Insang
- Pancing
- Perdagangan
- Pangkalan Perahu - Pantai Reklamasi
- Estuaria Sungai
- Memancing
- - Pantai/Reklamasi
- Estuaria
-
3. Padang Barat - Pemukiman
- Fasilitas Sosial
- Fasilitas Ekonomi
- Payang
- Pukat Tepi
- Jaring Insang
- Pancing
- Perdagangan
- Pangkalan perahu - Pantai
- Estuaria Sungai
- Memancing
- Perhotelan
- Pembangunan
Perahu
- Pantai/Reklamasi -
4. Padang Selatan - Pemukiman
- Fasilitas Sosial
- Fasilitas Ekonomi
- Tonda
- Payang
- Jaring Insang
- Pancing
- Perdagangan
- Pelabuhan
- Kapal Dagang
- Kapal Ikan
- Kapal Wisata
- Supervisi
- Pelabuhan Umum
- Batu bara
- CPO
- Pantai berpasir
- Budaya
- Bukit Gado-gado
- Muara
- Memancing
- Snorkling
- Penyulingan CPO
- Pembangunan
Kapal/Perahu
- Bukit Gado-gado
- Teluk Bayur
- Terumbu Karang
- Kelapa Rakyat
5 Lubuk Begalung - Pemukiman
- Fasilitas Sosial
- Fasilitas Ekonomi
- Bagan
- Payang
- Jaring Insang
- Tonda
- Pancing
- Pengolahan/ Perdagangan
- Pangkalan kapal ikan
- Pelabuhan Kapal Wisata
- Pelabuhan Kapal Dagang
- Pantai
- Memancing
- Snorkling
-
- Pengolahan ikan
(Teri)
- Pembangunan
Kapal
- Bukit Lampu
- Mangrove
- Terumbu Karang
- Kelapa Rakyat
- Tanaman
pangan
- Holtikultura
6 Bungus Teluk
Kabung
- Pemukiman
- Fasilitas Sosial
- Fasilitas Ekonomi
- Bagan
- Payang
- Jaring Insang
- Tonda
- Pancing
- Pengolahan/ Perdagangan
- Pangkalan Kapal/ Perahu
- Pelabuhan Navigasi
- Pelabuhan Pel Airud
- Pelabuhan Perikanan Samudera
- Pelabuhan ASDP
- Pelabuhan Pertamina
- Pelabuhan Kapal Wisata
- Pantai
- Memancing
- Snorkling
- Pengolahan ikan
(Teri)
- Pembangunan
Kapal
- Kayu Lapis
- Bukit
- Mangrove
- Terumbu Karang
-
Sumber : DKP Kota Padang
219
Lampiran 10. Fasilitas Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bungus
1. Fasilitas Pokok
NO NAMA FASILITAS UKURAN KONDISI
1 Areal Pelabuhan 22 Ha Baik
Tanah Sertifikasi 140,380 M2 Baik
Tanah Reklamasi 61,402 M2 Baik
Tanah DKP Provinsi Sumbar 2 Ha Baik
Lahan Industri 7,5 Ha Baik
Difungsikan pihak ke-3 1,4 Ha Baik
Lahan belum dimanfaatkan 6,1 Ha Baik
2 Kolam Pelabuhan 4 Ha Baik
Alur Pelayaran Baik
3 Dermaga Baik
Dermaga Bongkar (10,50 x 36,20 M) 380,1 M2 Baik
Dermaga Bunker (10,6 x 36,30 M) 384,78 M2 Baik
Dermaga Tambat (4,23 x 182,75 M) 773,03 M2 Baik
Dermaga Jetty (101,70 x 8,40 M) 854,28 M2 Baik
4 Jalan Baik
Jalan Utama 6.220 M2 Baik
Jalan Komplek 464 M2 Baik
Jalan Lingkungan I 621 M2 Baik
Jalan Lingkungan II 254 M2 Baik
5 Drainase di belakang kantor adm 220 M2 Baik
6 Drainase di gedung Dry Ice 200 M2 Baik
7 Gorong-gorong 1 Pkt Baik
2. Fasilitas Fungsional
NO NAMA FASILITAS UKURAN KONDISI
1 Kantor Baik
Kantor Adm 270 M2 Baik
Kantor Bengkel 250 M2 Baik
Kantor KP 30 M2 Baik
Kantor BLPPMHP 250 M2 Baik
Kantor P2SDKP 304 M2 Baik
Kantor LPSDKP 1.274 M2 Baik
2 Receiving Hall 3.342 M2 Baik
3 Gedung Processing Tuna 450 M2 Baik
4 Transit Sheet 212,68 M2 Baik
220
Lampiran 10. Lanjutan
NO NAMA FASILITAS UKURAN KONDISI
5 Keranjang Ikan kap. 50 kg 200 Unit Baik
6 Fish Box Baik
Kapasitas 2 ton 4 Unit Baik
Kapasitas 1 ton 6 Unit Baik
Kapasitas 250 kg 25 Unit Baik
7 Ice Cruiser 1 Unit Baik
8 Kereta Dorong 2 Unit Baik
9 Mesin Packing Box 1 Unit Baik
10 Galangan Kapal/ hanggar terbuka 2500 M2 Baik
11 Vessel Lift 1 Unit Baik
12 Hanggar Vessel Lift 80 M2 Baik
13 Forklift 1 Unit Baik
14 Net Loft/ Tempat perbaikan jaring 525 M2 Baik
15 Gedung Dry Ice 825 M2 Baik
16 Tadon air metal 100 M2 Baik
17 Tanki air + Instalasi 1.522 M2 Baik
18 Ground Recevoir Air 350 M2 Baik
19 Bak Pengolahan Air 169 M2 Baik
20 Bangunan Intake 10 Ltr/ dtk Baik
21 Sumur Artesis + instalasinya 1 Pkt Baik
22 Pabrik es Danitama 1.522 M2 Baik
23 Genset Baik
Genset 35 KVA 1 Unit Baik
Genset 15 KVA 1 Unit Baik
24 Jaringan Listrik PLN .. KVA Baik
25 Tanki BBM + instalasinya 75 M3 Baik
26 Hidrant 3 Unit Baik
27 Lampu Suar 2 Unit Baik
28 Rambu-rambu Baik
Papan pengumuman 7 Unit Baik
Papan petunjuk 4 Unit Baik
Papan perhatian 3 Unit Baik
Portal 2 Unit Baik
29 CCTV 2 Unit Baik
30 SSB 1 Unit Baik
31 Jaringan LAN 1 Pkt Baik
32 Telepon 3 Unit Baik
Sumber : PPS Bungus, 2010
221
Lampiran 11. Perhitungan LQ Antar Sektor di Kota Padang
TAHUN
SEKTOR
1 2 3 4 5 6 7 8 9
LQ KET LQ KET LQ KET LQ KET LQ KET LQ KET LQ KET LQ KET LQ KET
2000 0,223 Non Basis 0,440 Non Basis 1,287 Basis 1,630 Basis 0,843 Non Basis 1,234 Basis 1,939 Basis 1,437 Basis 0,957 Non Basis
2001 0,223 Non Basis 0,455 Non Basis 1,285 Basis 1,602 Basis 0,852 Non Basis 1,222 Basis 1,926 Basis 1,453 Basis 0,973 Non Basis
2002 0,215 Non Basis 0,453 Non Basis 1,312 Basis 1,574 Basis 0,855 Non Basis 1,220 Basis 1,926 Basis 1,464 Basis 0,986 Non Basis
2003 0,208 Non Basis 0,453 Non Basis 1,312 Basis 1,614 Basis 0,833 Non Basis 1,213 Basis 1,969 Basis 1,461 Basis 0,991 Non Basis
2004 0,205 Non Basis 0,454 Non Basis 1,296 Basis 1,545 Basis 0,813 Non Basis 1,201 Basis 2,003 Basis 1,480 Basis 0,987 Non Basis
2005 0,206 Non Basis 0,465 Non Basis 1,301 Basis 1,437 Basis 0,834 Non Basis 1,206 Basis 1,910 Basis 1,510 Basis 0,999 Non Basis
2006 0,209 Non Basis 0,484 Non Basis 1,320 Basis 1,402 Basis 0,846 Non Basis 1,219 Basis 1,766 Basis 1,532 Basis 1,026 Basis
2007 0,210 Non Basis 0,492 Non Basis 1,312 Basis 1,447 Basis 0,857 Non Basis 1,202 Basis 1,735 Basis 1,541 Basis 1,027 Basis
2008 0,212 Non Basis 0,495 Non Basis 1,291 Basis 1,530 Basis 0,854 Non Basis 1,185 Basis 1,724 Basis 1,541 Basis 1,032 Basis
2009 0,215 Non Basis 0,493 Non Basis 1,284 Basis 1,526 Basis 0,853 Non Basis 1,172 Basis 1,726 Basis 1,557 Basis 1,025 Basis
2010 0,218 Non Basis 0,498 Non Basis 1,309 Basis 1,574 Basis 0,807 Non Basis 11,851 Basis 1,695 Basis 1,570 Basis 0,991 Non Basis
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Keterangan :
1 : Pertanian 6 : Perdagangan, Hotel dan Restoran
2 : Pertambangan dan Penggalian 7 : Pengangkutan dan Komunikasi
3 : Industri Pengolahan 8 : Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
4 : Listrik, Gas dan Air Bersih 9 : Jasa-jasa
5 : Bangunan
222
Lampiran 12. Perhitungan Effort dan CPUE Analisis Bioekonomi
Tahun Produksi (ton) Effort SDT CPUE CPUEt+1 ET+1 LnCPUEt+1 LnCPUEt Et+E+1
2000 802 181 4,428867403 5,858108225 231 1,767826723 1,488143886 412
2001 1353 231 5,858108225 6,18900565 177 1,822774436 1,767826723 408
2002 1095 177 6,18900565 5,750419048 105 1,74927273 1,822774436 282
2003 604 105 5,750419048 9,328555556 27 2,233080186 1,74927273 132
2004 252 27 9,328555556 7,991538462 13 2,07838329 2,233080186 40
2005 104 13 7,991538462 7,937453416 161 2,071592495 2,07838329 174
2006 1278 161 7,937453416 7,803421053 19 2,054562234 2,071592495 180
2007 148 19 7,803421053 6,734813559 59 1,907290127 2,054562234 78
2008 397 59 6,734813559 8,6209 80 2,154189488 1,907290127 139
2009 690 80 8,6209 8,188433735 83 2,102722638 2,154189488 163
2010 680 83 8,188433735
Rata-rata 519,052 68,375 7,794441853
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
223
Lampiran 13. Hasil Estimasi Harga Sumberdaya Ikan Tuna dengan IHK Tahun Dasar 2007
Tahun IHK IHK 2007 Biaya Trip Harga
(Rp/trip) (Juta Rp/ton)
2000 226,59 51,68 167.268.362 32,61
2001 254,24 57,98 187.679.936 36,59
2002 283,33 64,62 209.152.043 40,78
2003 297,58 67,86 219.667.562 42,83
2004 111,54 72,07 233.281.217 45,48
2005 126,12 81,50 263.791.271 51,43
2006 142,20 91,88 297.414.205 57,98
2007 154,76 100,00 323.685.445 63,10
2008 135,63 87,64 283.679.888 55,31
2009 116,64 116,64 377.544.005 73,60
2010 122,62 122,62 396.895.000 77,38
Rataan 269.096.267 52,46 Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
209
224
Lampiran 14. Perhitungan Parameter Biologi Ikan Tuna Hasil Regresi
SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics
Multiple R 0,727791986
R Square 0,529681175
Adjusted R Square 0,395304368
Standard Error 0,132000349
Observations 10
ANOVA
df SS MS F Significance F
Regression 2 0,137363191 0,068681596 3,941760381 0,071346598
Residual 7 0,121968644 0,017424092
Total 9 0,259331835
Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95,0% Upper 95,0%
Intercept 2,491798979 0,675790891 3,687233746 0,007784969 0,893807449 4,089790509 0,893807449 4,089790509
X Variable 1 -0,138324632 0,303714268 -0,45544331 0,662581213 -0,856494756 0,579845493 -0,856494756 0,579845493
X Variable 2 -0,001146852 0,000542138 -2,115423638 0,072207811 -0,002428806 0,000135101 -0,002428806 0,000135101
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
225
Lampiran 15. Perhitungan Bioekonomi dengan Aplikasi Maple 13
> >
>
>
>
>
226
Lampiran 15. Lanjutan >
>
>
>
>
>
>
>
>
227
Lampiran 15. Lanjutan >
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
228
Lampiran 15. Lanjutan
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
229
Lampiran 15. Lanjutan
> >
>
>
>
>
>
>
>
>
>
230
Lampiran 16. Cashflow Pengembangan Ekonomi Perikanan Tuna Longline Berperspektif Mitigasi Bencana
No Uraian Tahun
0 1 2 3 4 5
A Inflow
1. Penerimaan 107.721.564.629 114.454.162.418 121.186.760.207 127.919.357.997 134.651.955.786
2. Nilai Sisa Proyek 13.052.000.000
Total Inflow - 107.721.564.629 114.454.162.418 121.186.760.207 127.919.357.997 147.703.955.786
B Outflow
1. Biaya Investasi 32.630.000.000 - -
2. Biaya Operasional 94.101.220.000 94.101.220.000 94.101.220.000 94.101.220.000 94.101.220.000
3. Biaya Perawatan 2.424.200.000 2.424.200.000 2.424.200.000 2.424.200.000 2.424.200.000
Total Outflow 32.630.000.000 96.525.420.000 96.525.420.000 96.525.420.000 96.525.420.000 96.525.420.000
C Arus Bersih (NCF) (32.630.000.000) 11.196.144.629 17.928.742.418 24.661.340.207 31.393.937.997 51.178.535.786
D CASH FLOW UNTUK IRR (32.630.000.000) 11.196.144.629 17.928.742.418 24.661.340.207 31.393.937.997 51.178.535.786
Discount Factor (17%) 1,0000 0,8547 0,7305 0,6244 0,5337 0,4561
Present Value (32.630.000.000) 9.569.354.383 13.097.189.289 15.397.814.708 16.753.376.526 23.343.100.932
E CUMMULATIVE (32.630.000.000) (23.060.645.617) (9.963.456.327) 5.434.358.380 22.187.734.906 45.530.835.838
F ANALISIS
NPV (17%) Rp 45.530.835.838
IRR 54,73%
Net B/C 2,40
PBP 1,0 tahun
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
231
Lampiran 17. Prosedur Perhitungan Consistency Ratio (CR) AHP Prioritas Pengembangan Bidang Kelautan Kota Padang.
TABEL PENORMALAN MATRIKS
SEKTOR Perikanan
Pertambangan
Laut
Pariwisata
Bahari
Industri
Kelautan
Jasa
Kelautan
Transportasi
Laut
Bangunan
Kelautan BOBOT
Perikanan 0,4105 0,2647 0,4167 0,4624 0,4155 0,3364 0,3137 0,3743
Pertambangan Laut 0,0456 0,0294 0,0231 0,0289 0,0166 0,0187 0,0196 0,0260
Pariwisata Bahari 0,1368 0,1765 0,1389 0,1156 0,1662 0,1682 0,1961 0,1569
Industri Kelautan 0,2052 0,2353 0,2778 0,2312 0,2493 0,2804 0,2353 0,2449
Jasa Kelautan 0,0821 0,1471 0,0694 0,0771 0,0831 0,1121 0,1176 0,0984
Transportasi Laut 0,0684 0,0882 0,0463 0,0462 0,0416 0,0561 0,0784 0,0607
Bangunan Kelautan 0,0513 0,0588 0,0278 0,0385 0,0277 0,0280 0,0392 0,0388
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Λmaks (P) 7,1591
CI 0,0265
CR 0,0201
KEPUTUSAN KONSISTEN
Apabila nilai CR > 0,1, maka pengisian matriks/kuesioner tidak konsisten, harus diulangi lagi
Apabila nilai CR ≤ 0,1, maka pengisian matriks/kuesioner konsisten, nilai bobot dapat digunakan
232
Lampiran 18. Prosedur Perhitungan Consistency Ratio (CR) AHP Prioritas Kebijakan Pengembangan Perikanan Berperspektif
Mitigasi Bencana
TABEL PENORMALAN MATRIKS
ALTERNATIF
KEBIJAKAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 BOBOT
1 0,0244 0,0145 0,0246 0,0173 0,0364 0,0182 0,0303 0,0152 0,0303 0,0455 0,0228 0,1821 0,0338 0,0130
2 0,0488 0,0290 0,0246 0,0173 0,0364 0,0228 0,0455 0,0182 0,0303 0,0455 0,0303 0,1821 0,0394 0,0168
3 0,1220 0,1449 0,1231 0,1387 0,1273 0,1821 0,2731 0,0455 0,1821 0,2731 0,1821 0,5463 0,1183 0,0736
4 0,0488 0,0580 0,0308 0,0347 0,0545 0,0303 0,0455 0,0182 0,0455 0,0455 0,0303 0,1821 0,0473 0,0234
5 0,0122 0,0145 0,0176 0,0116 0,0182 0,0152 0,0228 0,0130 0,0182 0,0303 0,0182 0,0455 0,0296 0,0091
6 0,1220 0,1159 0,0615 0,1040 0,1091 0,0910 0,1821 0,0455 0,1821 0,2731 0,1821 0,4552 0,0789 0,0525
7 0,0732 0,0580 0,0410 0,0694 0,0727 0,0455 0,0910 0,0303 0,0455 0,1821 0,0455 0,2731 0,0591 0,0322
8 0,1463 0,1449 0,2461 0,1734 0,1273 0,1821 0,2731 0,0910 0,2731 0,3642 0,1821 0,6373 0,1183 0,0876
9 0,0732 0,0870 0,0615 0,0694 0,0909 0,0455 0,1821 0,0303 0,0910 0,1821 0,0455 0,3642 0,0789 0,0389
10 0,0488 0,0580 0,0410 0,0694 0,0545 0,0303 0,0455 0,0228 0,0455 0,0910 0,0455 0,2731 0,0473 0,0269
11 0,0976 0,0870 0,0615 0,1040 0,0909 0,0455 0,1821 0,0455 0,1821 0,1821 0,0910 0,4552 0,0789 0,0435
12 0,0122 0,0145 0,0205 0,0173 0,0364 0,0182 0,0303 0,0130 0,0228 0,0303 0,0182 0,0910 0,0338 0,0118
13 0,1707 0,1739 0,2461 0,1734 0,1455 0,2731 0,3642 0,1821 0,2731 0,4552 0,2731 0,6373 0,2366 0,1092
Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
lanjutan....
233
Lampiran 18. Lanjutan Ket :
1. Pemberian bantuan armada penangkapan.
2. Pemberian bantuan alat tangkap
3. Pemberian bantuan modal usaha
4. Jaringan pemasaran perikanan
5. Sarana koperasi nelayan
6. Subsidi bahan bakar
7. Penegakan aturan/kebijakan penangkapan
8. Pendidikan dan pelatihan bagi nelayan
9. Informasi daerah penangkapan
10. Tersedianya tempat pengawetan ikan, industri pengolahan serta penanganan pasca panen
11. Pusat informasi cuaca dan kebencanaan yang mudah diakses
12. Pemberian bantuan sarana informasi bencana (GPS, APS, aplikasi lainnya)
13. Sarana pelabuhan, TPI, PPI dan fasilitas perikanan lainnya yang kondusif dan berperspektif mitigasi bencana
λmaks (P) 13,4798
CI 0,0400
CR 0,0256
KEPUTUSAN KONSISTEN
Apabila nilai CR > 0,1, maka pengisian matriks/kuesioner tidak konsisten, harus diulangi lagi
Apabila nilai CR ≤ 0,1, maka pengisian matriks/kuesioner konsisten, nilai bobot dapat digunakan
195
Top Related