TESIS
KEBIJAKAN PENGATURAN PERBUATAN DENGAN
MENGGUNAKAN KEKUATAN GAIB DALAM
PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA
NI KOMANG SUTRISNI
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
i
TESIS
KEBIJAKAN PENGATURAN PERBUATAN DENGAN
MENGGUNAKAN KEKUATAN GAIB DALAM
PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA
NI KOMANG SUTRISNI
NIM. 1390561018
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
2015
ii
KEBIJAKAN PENGATURAN KEJAHATAN DENGAN MENGGUNAKAN
KEKUATAN GAIB DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI
INDONESIA
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI KOMANG SUTRISNI
NIM:1390561018
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
iii
iv
PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS
Tesis Ini Telah Diuji Pada
Tanggal 16 April 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana, No.:1058/UN14.4/HK/2015, Tanggal 9 April 2015
Ketua : Prof.Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH.,MS.
Sekretaris : Dr. Ida Bagus Surya Dharma jaya, SH.,MH.
Anggota : 1. Dr. Gde Made Swardana, SH.,MH.
2. Dr. I Gede Artha, SH.,MH.
3. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH.M.Hum.
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Ni Komang Sutrisni
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul Tesis : Kebijakan Pengaturan Kejahatan dengan Menggunakan
Kekuatan Gaib dalam Pembaharuan Hukum Pidana di
Indonesia
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila
dikemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia
menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17
Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku
Denpasar, 07 April 2015
Yang menyatakan
Ni Komang Sutrisni
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur Penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang
melimpahkan rahmat, tuntunan, berkah, sehingga penulisan Tesis dengan judul
“Kebijakan Pengaturan Kejahatan dengan Menggunakan Kekuatan Gaib
dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia” dapat diselesaikan dengan
baik dan tepat waktu. Tesis ini merupakan tugas akhir selama penulis menempuh
pendidikan Pasca Sarjana (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana dan sebagai
syarat guna mencapai gelar Magister Hukum (S2) pada Program Studi Ilmu
Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Penulis menyadari sepenuhya bahwa keberhasilan dalam penyusunan tesis ini
tidak terlepas berkat adanya bantuan, bimbingan, dorongan, arahan dari berbagai
pihak. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis mengucapkan rasa hormat dan
terima kasih yang tidak terhingga kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr.
dr. Ketut Suastika, SP.PD-KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
kepada penulis untuk mengkuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program
Studi Magister di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan
kepada Direktur Program Pasca Sarjana Prof. Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, SP.S.(K)
atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa
Program Magister Ilmu Hukum pada Program Pasca Sarjana Universitas
Udayana. Tidak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada Prof.Dr. I Gusti
Ngurah Wairocana, SH.,MH., atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program
vii
Studi Magister Ilmu Hukum di Universitas Udayana. Pada kesempatan ini, penulis
juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Ketua Program Studi Magister Ilmu
Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Dr. Ni Ketut Supasti
Dharmawan, SH., M.Hum., LLM., dan Sekretaris Program Studi Magister Ilmu
Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Dr. Putu Tuni Cakabawa
Landra, SH.,MH., atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk mengkuti
dan menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum
Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Ungkapan terima kasih penulis
sampaikan pula kepada Prof.Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH.,MS,. Selaku
Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, dorongan semangat, arahan
serta saran secara baik dan teliti dalam penyelesaian tesis ini. Kepada bapak Dr.
Ida Bagus Surya Dharmajaya, SH.,MH., selaku Pembimbing II yang telah
memberikan bimbingan, semangat, arahan, serta saran secara baik dan teliti dalam
penyelesaian penyusunan tesis ini, kepada Dr. I Dewa Made Suartha, SH.,MH.,
selaku Pembimbing Akademik penulis yang telah memberikan arahan dan
dorongan semangat kepada penulis selama menuntut ilmu pada Program Studi
Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.
Seluruh Dosen pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca
Sarjana Universitas Udayana, khususnya Dosen pada konsentrasi Hukum dan
Sitem Peradilan Pidana atas segala ilmu yang telah diberikan. Pada kesempatan
ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Staf Tata Usaha Program
Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Kepada
kedua Orang Tua tercinta, Ayah I Ketut Sudana, S.H. dan Ibu Ni made Sipi,
Kakak Ni Putu Lovina, Ni Made Lorena, adik I Ketut Asmarajaya, Ni Wayan Ita
viii
Kusuma dewi, juga seluruh keluarga besar yang telah banyak memberikan doa
serta dukungannya kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini. Kepada teman-
teman Adit, deby, manik, kak Amik, kak noni, pak misran, Mba xin-xin, desy,
mita, indah, wilda, elik, dwi, andika serta seluruh sahabat Program Studi
Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana angkatan
2013 yang telah banyak mengispirasi serta memberi semangat dalam penyelesaian
tesis ini.
Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Mahaesa selalu
melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan
penyelesaian tesis ini. Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini sudah tentu
masih jauh dari kesempurnaan dan memiliki kekurangan-kekurangan baik dari
metode penulisan maupun analisis, sehingga tesis ini dapat diperbaiki demi
penyempurnaannya dan untuk itu dibutuhkan kritik serta saran yang membangun
sehingga dapat menyempurnakan penulisan tesis ini sesuai dengan apa yang
diharapkan. Akhir kata, besar harapan semoga tesis ini dapat bermanfaat
Denpasar, 17 April 2015
Ni Komang Sutrisni
ix
ABSTRAK
Meningkatnya masalah-masalah kejahatan dan kekerasan yang berlatar belakang kepercayaan terhadap adanya kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib, terutama mengenai maraknya tindakan main sendiri terhadap seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan kekuatan gaib sampai saat ini menimbulkan keresahan dalam kehidupan sosial masyarakat belum memiliki pengaturan yang jelas. Dalam perkembangannya perbuatan yang berkenaan dengan kekuatan gaib diakomodir dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), sebagai bentuk pencegahan kejahatan terhadap adanya tindakan anarkis tersebut. Bertolak dari hal tersebut, substansi permasalahannya ada dua yaitu, bagaimana pengaturan mengenai perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) saat ini serta bagaimana kebijakan formulatif perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam RUU KUHP atau di masa yang akan datang. Dua permasalahan pokok ini pada intinya ditujukan untuk mengetahui dan menganalisa kebijakan formulatif hukum pidana untuk saat ini dan di masa akan datang dalam rangka pencegahan dan penanggulangan kejahatan. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan penelitian yuridis normatif yang dilakukan melalui analisis yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan seperti buku, diktat, dan lain-lain, dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan dan konsep ahli hukum sebagai basis penelitiannya. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan konsep hukum, pendekatan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib, serta pendekatan sejarah dalam perumusan perbuatan tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian di dapat bahwa saat ini kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Pasal 545, 546, dan 547 KUHP. Pengaturan dalam pasal tersebut dikualifikasikan sebagai pelanggaran sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap perbuatan dengan kekuatan gaib, akan tetapi tidak efektif dalam penegakan hukumnya. Pengaturan tersebut tidak dianggap sebagai bentuk pelarangan melainkan sebagai bentuk kepercayaan serta tidak mampu untuk mencegah dan menanggulangi tindakan-tindakan main hakim sendiri terhadap kepercayaan tentang keberadaan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib, sehingga pasal-pasal tersebut layak untuk didekriminalisasikan. Konsepsi kebijakan pengaturan kejahatan dengan kekuatan gaib dalam pembaharuan hukum pidana yakni dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) , diatur dalam Pasal 293 RUU KUHP dalam bentuk delik formil. Pasal 293 merupakan bentuk kejahatan terhadap ketertiban umum yakni perluasan dari perbuatan penawaran untuk melakukan tindak pidana. Pengaturan ini bertujuan untuk mencegah secara dini perbuatan-perbuatan anarkis warga masyarakat terhadap keberadaan seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib secara sewenang-wenang. Kata Kunci: Kebijakan, Perbuatan, Kekuatan Gaib, , Pembaharuan, Hukum
Pidana
x
ABSTRACT
Increasing crime problems and violence which has background of beliefs
against the crime by using supernatural powers, especially regarding the rise of
the vigilantism action against a person suspected of committing a crime with
supernatural powers such as witchcraft, teluh, which to date has caused unrest in
the social life of the community. In the action development with regard to
supernatural forces are accommodated in the Draft Code of Criminal Law in
2012, as a prevention form of crimes against the anarchist action.Based on the
matter above, there are two problem substances, namely, how does the action
settings by using the magical powers of the Criminal Code today and how does
the action formulative policy using supernatural powers in the Draft Bill 2012 or
in the future coming up. Two main problems are essentially aimed to identify and
analyze formulative policy of criminal law for the time being and in the future in
the context of prevention and control of crime.This study was conducted using a
normative juridical research conducted through the analysis obtained from
library materials such as books, textbook, etc., associated with the legislation and
the concept of legal experts as a research base. The approach in this study using
the approach of legal concept, regulatory approach to regulatory action by using
magical powers, as well as the historical approach in the formulation of such
actions.
The result of this study is obtained that currently the formulative policy of
action setting by using supernatural powers stipulated in the Criminal Code in
Article 545, 546, and 547 of the Criminal Code. The settings in the article
qualifies as a violation as prevention and control of the action with magical
power, but not effective in law enforcement. Such arrangements are not
considered a prohibition form but as a form of trust as well as not being able to
prevent and overcome actions of vigilantism against the belief of the existence of
evil by using magical powers, so that the articles are eligible to be
decriminalized.Formulative policy conception of crime regulation with
supernatural powers in the criminal law reform in the Draft Code of Criminal
Law (Draft Bill) 2012, under Article 293 of the Criminal Code Bill, 2012 in the
form of a formal offense. Article 293 is a form of crime against the public order
act that is an extension of an offer to commit criminal acts. This arrangement
aims to prevent early deeds anarchist community of the existence of a person
suspected of committing a crime by using magical powers arbitrarily.
Keywords : Policy, Act, Supernatural Power, Reform, Criminal Law
xi
RINGKASAN
KEBIJAKAN PENGATURAN PERBUATAN DENGAN MENGGUNAKAN
KEKUATAN GAIB DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI
INDONESIA
Penelitian ini disusun dalam 5 (lima) bab yang secara garis besar dapat
dikemukakan sebagai berikut
Bab I yakni bab pendahuluan merupakan bab yang berisi tentang hal-hal
yang menjadi latar belakang penulisan penelitian ini bahwa Indonesia adalah
negara yang kaya akan budaya, yang terdiri dari perbedaan ragam budaya, adat
istiadat, maupun keyakinan. Di dalam kebudayaan bermacam kekuatan yang harus
dihadapi seperti kekuatan gaib maupun kekuatan lainnya. Berkaitan dengan hal
tersebut di Indonesia sudah lama dikenal adanya keberadaan atau kepercayaan
terhadap sesuatu kekuatan diluar nalar manusia baik dalam fungsinya yang positif
yang sering digunakan dalam rangka membantu orang lain, maupu kekuatan gaib
dalam fungsinya yang negatif untuk melakukan kejahatan. Perbuatan dengan
menggunakan kekuatan gaib dianggap sangat berbahaya terutama bagi kalangan
komunitas lokal yang jauh dari masyarakat perkotaan. Sering terjadi tindakan
main hakim sendiri terhadap seseorang yang dituduh menggunakan kekuatan gaib
untuk melakukan kejahatan. Hukum pidana selama ini belum mampu mengatasi
tindakan main hakim sendiri terhadap seorang yang diduga melakukan kejahatan
dengan kekuatan gaib, oleh sebab legalitas terhadap perbuatan dengan
menggunakan kekuatan gaib dalam KUHP tidak dapat diberlakukan lagi.
Bab II menguraikan tentang definisi Pengaturan Kejahatan dalam hukum
pidana merupakan suatu upaya untuk merumuskan suatu perbuatan yang
bertentangan dengan nilai-nilai dalam perkembangan hidup masyarakat yakni
terhadap nilai ketertiban, menganggu kedamaian dalam hidup masyarakat serta
nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Perbuatan dengan menggunakan kekuatan
gaib dapat diartikan suatu perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib yang
tidak terlihat oleh panca indra serta meliputi kejahatan yang mengatasnamakan
kekuatan gaib untuk melakukan kejahatan. Pembaharuan hukum pidana berkaitan
dengan kebijakan formulasi dapat diartikan sebagai usaha merumuskan atau
memformulasikan suatu undang-undang yang dapat digunanakan untuk
menanggulangi kejahatan.
Bab III membahas tentang Perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib
dalam KUHP merupakan suatu usaha dalam rangka penanggulangan kejahatan.
Eksistensi masalah perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib telah diakui
oleh kebijakan politik hukum pidana menunjuk pada pengaturan hukum pidana
pada Bab VI buku III tentang pelanggaran kesusilaan dalam Pasal 545, 546, dan
547 KUHP. Unsur-unsur perbuatan pidana dalam Pasal 545, 546, dan 547 tidak
lagi memenuhi kriteria sebagai perbuatan yang melawan hukum oleh sebab
perbuatan-perbuatan yang diatur dalam pasal-pasal tersebut merupakan suatu
sistem kepercayaan masyarakat Indonesia, sehingga tidak sesuai lagi dengan
perkembangan tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang pada akhirnya
pasals-pasal tersebut seharusnya didekriminalisasikan. Selanjutnya tetap
xii
diperlukan adanya kriminalisasi perbuatan-perbuatan dengan mengatasnamakan
kekuatan gaib dalam pembaharuan hukum pidana untuk mencegah tindakan
penghakiman massal terhadap seseorang yang diduga melakukan kejahatan
dengan menggunakan kekuatan gaib.
Bab IV membahas tentang Pengaturan Perbuatan dengan menggunakan
kekuatan gaib dalam pembaharuan hukum pidana yakni dalam RUU KUHP 2012
diatur dalam Pasal 293 yang merupakan perluasan dari bentuk penawaran untuk
melakukan kejahatan yang diatur dalam Pasal 291 RUU KUHP 2012 yang
merupakan bentuk bantuan yang lebih khusus dan dijadikan sebagai delik yang
berdiri sendiri yang mana perumusan Pasal 293 RUU KUHP merumuskan jenis
perbuatan yang berlebihan terlihat dari unsur-unsur pasal yang harus dibuktikan
satu persatu jika terjadi suatu tindak pidana berkaitan dengan rumusan pasal
tersebut. kriminalisasi perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam
konsep yang ideal adalah rumusan pasal yang mengacu kepada larangan terhadap
penggunaan-penggunaan kekuatan gaib yang dirumuskan secara formil, bahwa
yang dibuktikan adalah perbuatan yang menyatakan diri dan menawarkan jasa
dengan mengatasnamakan kekuatan gaib, bukan dari akibat perbuatan tersebut.
Bab V merupakan bab terakhir atau bab penutup yang memuat
kesimpulan dan saran. Kesimpulan yang dipaparkan penulis yakani Pengaturan
masalah perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam KUHP sudah ada
sejak dulu yang diatur dalam Pasal 545, 546, dan 547 KUHP, namun pasal-pasal
tersebut tidak pernah digunakan. Dalam RUU KUHP 2012 diadakan kriminalisasi
terhadap perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam bentuk perumusan
yang formil untuk mencegah terjadinya penghakiman massal terhadap seorang
yang dituduh menjadi pelaku kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib
karena tidak ada legalitas hukum yang pasti terhadap perbuatan dengan
menggunakan kekuatan gaib. Perbuatan-perbuatan mengenai kekuatan gaib dalam
pasal-pasal KUHP tersebut sudah sepatutnya didekriminalisasikan oleh sebab
tidak dianggap meresahkan masyarakat yang tetap diikuti dengan adanya
pengaturan mengenai perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam RUU
KUHP 2012 yang lebih jelas dan tegas.
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN DEPAN
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER ................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. iii
SURAT PERNYATAN BEBAS PLAGIAT ................................................... iv
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................ v
ABSTRAK ....................................................................................................... viii
ABSTRACT ..................................................................................................... ix
RINGKASAN .................................................................................................. x
DAFTAR ISI .................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 9
1.3 Ruang Lingkup Masalah ......................................................................... 9
1.4 Tujuan Penelitian .................................................................................... 4
1.5 Manfaat Penelitian .................................................................................. 10
a. Manfaat Teoritis ............................................................................... 10
b. Manfaat Praktis ................................................................................. 10
1.6 Orisinalitas Penelitian ............................................................................. 12
1.7 Landasan Teoritis.................................................................................... 14
xiv
1.8 Metode Penelitian ................................................................................... 48
1.8.1 Jenis Penelitian ........................................................................... 48
1.8.2 Jenis Pendekatan ......................................................................... 48
1.8.3 Sumber Bahan Hukum ............................................................... 49
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan ...................................................... 49
1.8.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum ........................ 50
BAB II TINJAUAN UMUM PENGATURAN PERBUATAN,
KEKUATAN GAIB, PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA ......... 51
2.1 Pengaturan Kejahatan ............................................................................. 57
2.2 Kekuatan Gaib ........................................................................................ 57
2.3 Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia .............................................. 68
BAB III KEBIJAKAN PENGATURAN PERBUATAN DENGAN
MENGGUNAKAN KEKUATAN GAIB DALAM HUKUM
POSITIF INDONESIA ...................................................................... 82
3.1 Pengaturan Perbuatan dengan Menggunakan Kekuatan Gaib dalam
KUHP ...................................................................................................... 82
3.2 Unsur-Unsur Perbuatan dengan Menggunakan Kekuatan Gaib dalam
KUHP ....................................................................................................... 97
BAB IV KEBIJAKAN PENGATURAN PERBUATAN DENGAN
MENGGUNAKAN KEKUATAN GAIB DALAM
PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI MASA
MENDATANG .................................................................................. 120
xv
4.1 Pengaturan Perbuatan dengan Menggunakan Kekuatan Gaib Dalam
RUU KUHP ............................................................................................ 120
4.2 Pengaturan Perbuatan dengan Menggunakan Kekuatan Gaib dalam
Konsep yang Ideal .................................................................................... 139
BAB V PENUTUP.......................................................................................... 154
5.1 Kesimpulan .............................................................................................. 154
5.2 Saran ........................................................................................................ 155
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 156
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pembangunan sebagai suatu proses perubahan yang direncanakan,
meliputi berbagai segi kehidupan. Salah satu dari segi pembangunan adalah
pembangunan hukum, yang pada hakikatnya berkaitan pula dengan segi-segi
kehidupan lainnya. Kaitan dari segi hukum dengan segi-segi kehidupan lainnya
yang sama-sama merupakan gejala sosial, yang berkaitan dengan tiga segi atau
aspek kehidupan pokok yakni dibidang politik, ekonomi, dan budaya. Ada aspek-
aspek dibidang politik yang murni bersifat politik, namun ada bagian dari bidang
politik yang diatur oleh bidang pertahanan, serta oleh bidang hukum.
Demikian pula halnya dengan bidang ekonomi dan sosial, yang
mengandung segi murni dan hal-hal yang diatur oleh bidang-bidang pertahanan
keamanan serta hukum. Sangat terlihat jelas hubungan antara pembangunan
hukum dengan pembangunan dibidang-bidang kehidupan lainnya. Hal tersebut
seyogyanya dapat dimengerti, mengingat bahwa tujuan hukum adalah kedamaian
yang berarti keserasian antara ketertiban dan ketentraman. Setiap pembangunan
yang dilakukan dalam masyarakat, mempunyai dasar-dasar tertentu, yang paling
sedikit mencakup agama, filsafat, Ideologi, Ilmu Pengetahuan, Teknologi.1
Fungsi hukum di indonesia dalam pembangunan adalah sebagai sarana
pembaharuan masyarakat. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa adanya
1 Soerjono Soekanto, 2012, Hukum Adat Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.302
2
ketertiban dalam pembangunan, merupakan sesuatu yang dipandang penting dan
sangat diperlukan. Sebagaimana halnya dengan negara-negara atau masyarakat-
masyarakat yang sedang berkembang laiinnya, maka Indonesia juga sedang
mengalami suatu masa transisi. Dalam hal ini, maka masa transisi tersebut
meliputi aneka macam bidang kehidupan, misalnya bidang hukum. Salah satu
aspek dari bidang hukum tersebut adalah, suatu transisi dari sistem hukum tidak
tertulis menuju sistem hukum tertulis (sebanyak mungkin berbentuk tertulis).
Walaupun demikian, dengan adanya hukum tertulis yang mengatur bagian
terbesar dari kehidupan masyarakat, hukum tidak tertulis pasti akan tetap
berfungsi.2
Fungsi hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dengan cara
mengatur kegiatan manusia. Sedangkan kepentingan manusia sangatlah banyak
dan tidak terhitung jumlah dan jenisnya. Di samping itu kepentingan manusia
akan terus berkembang sepanjang masa. Oleh karena itu peraturan hukum yang
tidak jelas harus dijelaskan, yang kurang lengkap harus dilengkapi dengan jalan
menemukan hukumnya agar dapat diterapkan terhadap peristiwanya. Peristiwa
hukum di Indonesia berkaitan erat dengan kebudayaan bangsa Indonesia asli yang
berbeda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat di daerah lainnya.3
Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya, yang terdiri dari
perbedaan ragam budaya, adat istiadat, maupun mengenai keyakinan. Di
Indonesia, kehidupan spiritual masih begitu kuat dalam kehidupan masyarakat
2 I Made Widnyana, 2013, Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana,
Fikahati Aneska, Yogyakarta, h.7
3 Munir Fuadi.2012. Teori-Teori Besar Dalam Hukum. Kencana Predana. Jakarta. 248
3
termasuk agama. Bagi masyarakat Indonesia selain merupakan bagian dari tradisi
itu sendiri juga merupakan suatu identitas sekaligus sumber moral dan spiritual
yang tidak mungkin ditinggalkan serta kebudayaan terhadap pengetahuan,
kepercayaan, kesenian dan moral. Perbedaan kebudayaan yang dimiliki bangsa
Indonesia menjadi ciri khas keberagaman segala bidang aspek kehidupan
masyarakat bangsa Indonesia termasuk di dalamnya kepercayaan akan keberadaan
suatu kekuatan-kekuatan di luar nalar manusia yang dipandang sangat berbahaya
yakni keberadaan seseorang yang melakukan perbuatan atau kejahatan dengan
sarana kekuatan gaib yang di Indonesia dikenal dengan berbagai macam
penamaan seperti praktik ilmu hitam, santet, teluh, desti, leak dan lain sebagainya.
Untuk selanjutnya dalam tulisan ini disebut sebagai perbuatan dengan
menggunakan sarana kekuatan gaib dalam fungsinya yang negatif.4
Kebudayaan terdiri dari bermacam kekuatan yang harus dihadapi seperti
kekuatan gaib maupun kekuatan lainnya. Berkaitan dengan hal tersebut di
Indonesia sudah lama dikenal dengan adanya keberadaan atau kepercayaan
terhadap sesuatu kekuatan di luar nalar manusia baik dalam fungsinya yang positif
yang sering digunakan dalam rangka membantu orang lain, maupun kekuatan gaib
dalam fungsinya yang negatif untuk melakukan suatu kejahatan. Kejahatan yang
dipandang bersumber dari dunia lain yang senantiasa menarik perhatian, seperti
santet dan sihir yang pada dasarnya menggunakan sarana kekuatan gaib untuk
melakukan kejahatan tersebut.
4 Ronny Rahman Nitibaskara, 2013, Mengapa RUU KUHP tak Pernah Berujung?,
http://www. catatan kriminalitas/ronny/.ac.id, Diakses 6 September 2014
4
Beberapa tema umum adalah perbuatan yang menggunakan sarana
kekuatan gaib itu bukan akal, atau buktinya tidak ada. Jika dipikir secara ilmiah
perbuatan atau kejahatan yang menggunakan sarana kekuatan gaib itu tidak ada
akan tetapi kenyataannya masyarakat tradisional mempercayai keberadaan
kejahatan yang menggunakan sarana kekuatan gaib tersebut. Kenyataan bahwa
kejahatan yang dilakukan dengan media kekuatan gaib tidak dapat dirabarasakan,
tidak rasional, dan tidak logis adalah bagian dari mengapa perbuatan tersebut
sangat berbahaya. Lehmann, dan J.E Myers menyebutkan “Local trust system is
used in crime is often describe magic, occult, witchcraft, sorcerer. The term of
magic in crime is known as black magic and it has private characteristic,
destruktif and damage others people”5(sistem kepercayaan lokal digunakan dalam
kejahatan sering menggambarkan sihir, okultisme, penyihir. Istilah sihir dalam
kejahatan ini dikenal sebagai ilmu hitam dan memiliki karakteristik pribadi,
destruktif dan membahayakan orang lain).
Perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dianggap sangat
berbahaya terutama bagi kalangan komunitas lokal yang jauh dari masyarakat
perkotaan. Sering terjadi tindakan main hakim sendiri terhadap seseorang yang
dituduh menggunakan kekuatan gaib untuk melakukan kejahatan oleh warga
masyarakat sekitar, fenomena tersebut tidak jarang terjadi dalam masyarakat
pedesaan. Warga masyarakat desa beranggapan bahwa satu-satunya jalan untuk
menghilangkan ancaman dari seseorang yang diduga melakukan kejahatan
dengan menggunakan kekuatan gaib adalah dengan cara membunuhnya. Dengan
5 Lehmann, A.C., and J.E Myers (eds), 1997, Magic, Witchraft and Religion : An
Antropological Study of the Supernatural, Mayfield Publising co., California, 246
5
demikian tindakan main hakim sendiri oleh warga terhadap keberadaan seseorang
yang diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan sarana kekuatan gaib ini
jauh dari penegakan hukum di Indonesia.6
Pengaturan terhadap praktik kekuatan gaib di indonesia sudah
diakomodir dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yakni:
Pasal 546 KUHP menentukan:
Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
(1) Barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan atau
mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagikan jimat-jimat atau
benda-benda yang dikatakan olehnya mempunyai kekuatan gaib;
(2) Barangsiapa mengajar ilmu-ilmu atau kesaktian-kesaktian yang
bertujuan menimbulkan kepercayaan bahwa melakukan perbuatan
pidana tanpa kemungkinan bahaya bagi diri sendiri.
Berdasarkan ketentuan tersebut Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa
dalam perumusan pasal tersebut terlihat adanya hal-hal yang bersifat gaib atau
supernatural yaitu, peramalan nasib atau mimpi dan jimat-jimat atau benda-benda
sakti berkekuatan gaib. Jadi, hukum formal atau perundang-undangan dapat atau
mungkin saja mengatur hal-hal yang gaib atau supernatural, sepanjang yang diatur
bukan substansi gaibnya, tetapi perbuatan yang berhubungan dengan hal-hal gaib
itu.7 Perumusan Pasal 546 KUHP menimbulkan multitafsir dari segi pemaknaan
terhadap larangan-larangan yang dirumuskan. Larangan terhadap perbuatan yang
dimaksud tidak menjelaskan apakah suatu perbuatan yang dilarang tersebut
6 Nicholas Herriman, 2013, Negara dan Santet Ketika Rakyat Berkuasa, Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, Jakarta, h.62
7Barda Nawawi Arief, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana Prenada,
Semarang, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief I) h.291
6
merupakan suatu perbuatan yang merugikan seseorang yang menggunakan
ataukah perbuatan yang dapat menyakiti orang lain sebagai akibat dari
penggunaan benda-benda yang dikatakan mempunyai kekuatan gaib. Di lihat dari
segi definisi kekuatan gaib tidak menunjukkan kekuatan gaib tersebut digunakan
untuk kejahatan melainkan sebagai sebuah bentuk kepercayaan.
Definisi terhadap perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam
hukum positif masih kabur, terlalu mengacu pada hukum formal yang hanya
memenuhi unsur-unsur penipuan serta berkaitan dengan pelanggaran yang
dilakukan dalam pengadilan. Definisi tersebut tidak secara mendalam menelusuri
situasi dan kondisi (proses) yang melatarbelakangi terjadinya tindakan penipuan
tersebut. Selain masalah definisi, persoalan hukum lainnya terhadap kejahatan
dengan menggunakan kekuatan gaib adalah persoalan tindakan lain di luar yang
diatur dalam Pasal 545, 546, 547 KUHP yang berkaitan dengan keberadaan
korban kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib yang sering terjadi dalam
masyarakat Indonesia yang berimplikasi pada tindakan main hakim sendiri oleh
warga masyarakat terhadap seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan
menggunakan kekuatan gaib.
Tataran prakteknya, banyak kegiatan-kegiatan serupa yang mendatangkan
suatu keyakinan dan dianggap sebagai suatu kebutuhan bagi seseorang yang
mempercayai keberadaanya. Misalnya, jimat-jimat yang digunakan untuk
menghindari malabahaya, kemudian mencari tukang ramal atau penafsir mimpi,
bukanlah hal yang merugikan bagi orang yang mencarinya. Sudah seharusnya
suatu larangan dalam peraturan perundang-undangan dapat merugikan orang lain
7
nantinya, sehingga dalam penelitian ini dianggap bahwa telah terjadi kekaburan
norma dalam pasal-pasal kekuatan gaib dalam KUHP tersebut yang tidak secara
tegas mengatur penggunaan kekuatan gaib yang dapat merugikan orang banyak
sehingga pasal-pasal tersebut tidak pernah diterapkan terhadap seseorang yang
melakukan pelanggaran terhadap perbuatan tersebut.
Pengaturan terhadap perbuatan yang berkaitan dengan menggunakan
kekuatan gaib sebagai suatu delik yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan sebagai wujud pembaharuan hukum pidana merupakan salah satu
kriminalisasi tindak pidana yang mengakomodir suatu tindakan berdasarkan
situasi kondisi bangsa Indonesia. perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib
yang pada hakikatnya banyak menimbulkan korban baik korban melalui kejahatan
dengan menggunakan kekuatan gaib maupun korban akibat dugaan sebagai
seseorang yang melakukan kejahatan dengan kekuatan gaib tersebut. Korban
dengan menggunakan kekuatan gaib secara langsung tidak dapat dibuktikan
hubungan kausalitas antara perbuatan dengan akibat perbuatan hal ini berkaitan
dengan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib merupakan suatu
perbuatan yang tidak berdasarkan atas rasio dan logika sehingga hukum tidak
dapat menjangkau bentuk perbuatan yang tidak dapat dibuktikan hubungan
kausalitasnya. Berdasarkan atas realitas tersebut, warga masyarakat yang
mengalami sendiri kejahatan melalui kekuatan gaib tersebut cenderung melakukan
tindakan main hakim sendiri terhadap seseorang yang diduga melakukan
kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib sehingga menimbulkan korban
akibat tindakan terebut. Dengan demikian hukum seharusnya mampu melindungi
8
hak-hak seseorang dari tindakan main hakim sendiri dengan melakukan
pencegahan secara dini terhadap praktek-praktek yang berkaitan dengan kekuatan
gaib. Dalam RUU KUHP pasal mengenai suatu perbuatan yang berkaitan dengan
penggunaan kekuatan gaib sudah diatur yakni dalam pasal:
293 RUU KUHP yang menentukan:
(1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib,
memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan
jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan
penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Kategori IV.
(2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau
menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya
dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga)8
Prinsip kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib sangat tidak logis
jika dikriminalisasikan sebagai tindak pidana dalam suatu peraturan tertulis dilihat
dari segi kegiatannya yang bersifat metafisik, tidak terlihat, tidak kasat mata,
menyebabkan penegakan hukum tidak akan bisa dilakukan. Akan tetapi bangsa
Indonesia yang terdiri dari beragam adat istiadat mempercayai keberadaan
kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib tersebut sebagai perbuatan yang
mengancam kedamaian dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dalam
perumusan pasal mengenai perbuatan dalam KUHP berkaitan dengan penggunaan
kekuatan gaib tidak jelas mengenai apa yang menjadi konsep atau dasar dari
perumusan pasal tersebut serta bagaimana pengaturan perbuatan dengan
8 KPK, 2013, Anotasi Delik Korupsi dan Delik lainnya yang berkaitan dengan Delik
Korupsi dalam RUU KUHP, KPK, Jakarrta, h. 306
9
menggunakan kekuatan gaib dalam pembaharuan hukum pidana dengan tujuan
yang utama ialah untuk menghindari adanya tindakan main hakim sendiri yang
terjadi terhadap warga masyarakat yang dituduh melakukan kejahatan dengan
menggunakan kekuatan gaib yakni dalam RUU KUHP tersebut. Dari latar
belakang tersebut, menarik bagi peneliti untuk melakukan penelitian mengenai
permasalahan tersebut dengan judul “ Kebijakan Pengaturan Perbuatan dengan
menggunakan Kekuatan Gaib Dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia”
1.2. Rumusan Masalah
1) Bagaimana Pengaturan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib
dalam Hukum Positif di Indonesia?
2) Bagaimana kebijakan Pengaturan Perbuatan dengan Kekuatan Gaib dalam
Pembaharuan Hukum Pidana di masa mendatang?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Dalam sebuah penelitian tidak dapat terlepas dari sempit dan luasnya
materi yang akan diteliti dan dibahas dalam penelitian yang dituangkan dalam
ruang lingkup masalah. Dalam ruang lingkup masalah yang akan diteliti dan
dibahas akan penulis jabarkan sebagai berikut.
Rumusan masalah dalam penelitian ini yang pertama adalah mengenai
pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam hukum positif di
Indonesia yakni dalam KUHP. Dalam pembahasannya akan dibahas mengenai
pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam KUHP serta
unsur-unsur perbuatan tersebut yang akan menjadi dasar dari pengaturan terhadap
10
perbuatan perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan kekuatan gaib untuk
melakukan kejahatan serta timbulnya fenomena atau masalah sosial yang
berkaitan dengan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib tersebut.
Rumusan masalah yang kedua dalam penelitian ini adalah mengenai
kebijakan pengaturan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam
pembaharuan Hukum Pidana yakni dalam RUU KUHP 2012, dalam
pembahasannya akan dibahas mengenai perbuatan apa saja yang dikriminalisasi
yang berkaitan dengan penggunaan kekuatan gaib dalam melakukan kejahatan
sebagai upaya pembaharuan hukum pidana yang mencakup kejahatan dengan
mengunakan kekuatan gaib, kemudian berkaitan erat dengan konsep ideal
perumusan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam melakukan
kejahatan.
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dapat dibagi menjadi 2 tujuan yakni tujuan umum dan
tujuan khusus. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Tujuan Umum
Mengenai tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaturan mengenai Perbuatan yang berkaitan dengan menggunakan
kekuatan gaib dalam hukum positif di Indonesia serta dalam pembaharuan
hukum pidana.
b. Tujuan Khusus
1. Untuk memahami dan menganalisis pengaturan mengenai kejahatan
yang berkaitan dengan penggunaan kekuatan gaib dalam KUHP.
11
2. Untuk memahami dan menganalisis pengaturan kejahatan dengan
menggunakan kekuatan gaib sebagai suatu kejahatan yang diakomodir
dalam RUU KUHP 2012.
1.5. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Pengkajian dan penelitian terhadap permasalahan tersebut di atas dapat
memberikan pengetahuan dan pemahaman secara teoritis bagi tataran akademisi,
praktisi hukum, dan masyarakat pada umumnya sehingga dalam pemahaman
tersebut diharapkan diperoleh kontribusi pemikiran dan pandangan terhadap
kriminalisasi terhadap perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam
RUU KUHP.
b. Manfaat Praktis
Pengkajian terhadap masalah-masalah yang telah dirumuskan dalam
permasalahan hukum di atas diharapkan nantinya secara praktek mampu
mengatasi permasalahan-permasalahan hukum yang berkaitan dengan keberadaan
kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib untuk melakukan kejahatan dalam
masyarakat sehingga dapat mengantisipasi adanya penghakiman secara massal
terhadap seorang yang dituduh melakukan kejahatan dengan menggunakan
kekuatan gaib.
12
1.6. Orisinalitas Penelitian
Permasalahan mengenai kebijakan pengaturan perbuatan dengan
menggunakan kekuatan gaib dalam pembaharuan hukum pidana sesuai dengan
RUU KUHP menarik untuk diteliti mengenai apakah mungkin perbuatan-
perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dapat dikriminalisasikan dalam
peraturan perundang-undangan. Tesis ini merupakan karya tulis asli penulis,
dengan tanpa adanya unsur plagiasi di dalam proses penulisan yang penulis akan
lakukan. Oleh sebab itu, tesis ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya
secara ilmiah dan terbuka atas saran dan kritik yang bersifat membangun.
Orisinalitas penelitian ini akan ditunjukan dengan membadingkan tesis atau
skripsi dari universitas di Indonesia. Adapun penelitian-penelitian tersebut antara
lain:
1) Tesis yang ditulis oleh Woro Winandi, Universitas Diponegoro, Semarang,
2001, dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak
Asasi Manusia dalam Kerusuhan Massal pada Kasus Pembantaian Dukun
Santet di banyuwangi”.
Dengan rumusan masalah
1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran hak
asasi manusia dalam kerusuhan massal?
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi perlindungan hukum terhadap
pelanggaran hak asasi manusia dalam kerusuhan masal di
banyuwangi?
13
3. Bagaimana realisasi pelaksanaan perlindungan hukum pada orang-
orang yang dituduh sebagai dukun santet yang menjadi korban
pembantaian dan orang-orang yang dituduh melakukan
pembantaian pada saat kerusuhan missal di banyuwangi?
2) Tesis yang ditulis oleh Saiful Abdullah, Universitas Diponegoro, Semarang
dengan judul “Kebijakan Hukum Pidana (Penal) dan Non Hukum Pidana
(Non Penal) dalam Menanggulangi Aliran Sesat” Dengan rumusan Masalah:
1. Bagaimanakah Kebijakan Hukum Pidana dalam menanggulangi
aliran sesat untuk saat ini dan untuk saat yang akan datang?
2. Bagaimanakah Kebijakan Non Penal untuk menanggulangi Aliran
Sesat?
3) Disertasi yang ditulis oleh Ronny Rahman Nitibaskara, Universitas
Indonesia, Jakarta dengan judul “ Reaksi Sosial Terhadap Tersangka Dukun
Teluh di Pedesaan Banten Jawa Barat”
Jika dibandingkan antara tesis ini dengan tesis dan disertasi di atas
tentunya memiliki perbedaan yang signifikan dari segi fokus penelitian. Tesis ini
meneliti kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib
dalam pembaharuan hukum pidana, yakni lebih menekankan pada konsep dari
perumusan norma yang terkait dengan kejahatan yang mengatasnamakan
kekuatan gaib. Tesis yang pertama tersebut menekankan pada tindakan main
hakim sendiri dari masyarakat terhadap seseorang yang dituduh melakukan santet.
Tesis yang kedua menekankan kepada aliran sesat yang tentunya berbeda dengan
14
kekuatan gaib untuk melakukan kejahatan. Sedangkan disertasi tersebut
dipusatkan terhadap reaksi sosial dari masyarakat terhadap seseorang yang diduga
melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib yang tentunya berbeda
dengan penelitian ini yang terfokus terhadap pengaturan perbuatan yang berkaitan
dengan kejahatan dengan mengatasnamakan kekuatan gaib untuk melakukan
kejahatan.
1.7. Landasan Teoritis
Landasan teoritis dapat diidentifikasi melalui, asas-asas hukum, konsep
hukum, teori-teori hukum atau norma-norma hukum yang digunakan untuk
membahas masalah penelitian. Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa “kata
teori berasal dari theoria yang artinya pandangan atau wawasan.9 Selanjutnya
akan dipaparkan mengenai landasan teoritis dari pembahasan penelitian ini.
1. Asas-Asas Hukum
1) Asas Legalitas
Perumusan azas legalitas dari Von Feurbach dalam bahasa latin
dikemukakan berhubung dengan teorinya yang dikenal dengan nama teori “vom
psychologischen”, yaitu yang menganjurkan supaya dalam menentukan
perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang
macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang
macamnya pidana yang diancamkan. Dengan cara demikian ini, maka oleh orang
9 Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, h.4
15
yang akan melakukan perbuatan yang dilarang tadi lebih dahulu telah diketahui
pidana apa yang akan di jatuhkan kepadanya jika nanti perbuatan itu dilakukan.
Asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga (3) pengertian yaitu:
(1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu
undang-undang.
(2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi.
(3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.10
Pengertian yang pertama, bahwa harus ada aturan undang-undang jadi
aturan hukum yang tertulis lebih dahulu, dengan jelas nampak dalam Pasal 1
KUHP, dalam teks Belanda disebutkan: “wettelijke strafbepaling” yaitu aturan
pidana dalam perundangan. Tetapi dengan adanya ketentuan ini konsekuensinya
adalah bahwa perbuatan-perbuatan pidana menurut hukum adat lalu tidak dapat
dipidana, sebab disitu tidak ditentukan dengan aturan yang tertulis. 11
2) Asas Praduga tak Bersalah
Asas praduga tak bersalah berasal dari Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang
No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang secara tersurat
menyatakan bahwa “ Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut,
dan/atau dihadapkan di depan Pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum
adanya putusan Pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh
10
Moeljatno, 1985, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara (selanjutnya disebut
Moeljatno I), Jakarta, h. 25
11
Ibid., h.26
16
kekuatan hukum yang tetap. Sementara itu, di dalam Undang-Undang No.8
Tahun 1981, asas praduga tak bersalah tidak secara tegas dicantumkan dalam
salah satu pasal, tetapi hal itu tersirat dalam bagian Mengingat angka 3 serta
dalam Penjelasan Umum angka 3 huruf c. Menurut Mardjono Reksodiputro,
unsur-unsur dalam asas praduga tak bersalah ini adalah asas utama perlindungan
hak warga negara melalui proses hukum yang adil (due process of law) yang
mencakup sekurang-kurangnya:
1. Perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang dari pejabat negara.
2. Bahwa pengadilanlah yang berhak menentukan salah tidaknya terdakwa.
3. Bahwa sidang pengadilan harus terbuka ( tidak boleh bersifat rahasia)
4. Bahwa tersangka dan terdakwa harus diberikan jaminan-jaminan untuk
dapat membela diri sepenuh-penuhnya.12
Asas praduga tidak bersalah merupakan salah satu asas penting dalam
proses peradilan pidana. Penerapan asas ini akan membuat seorang tersangka atau
terdakwa yang belum dinyatakan bersalah oleh putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap akan mendapatkan hak-haknya tanpa perkecualian dan
perbedaan sehingga mempunyai kedudukan yang seimbang dengan penegak
hukum. Asas ini berlaku terhadap siapa saja termasuk keberadaan seseorang yang
diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib dari tindakan
main hakim sendiri oleh warga masyarakat.
2. Konsep Hukum
1) Konsep Hak Asasi Manusia
12
Luhut M.P. Pangaribuan, 2013, Hukum Acara Pidana, Papas Sinar Sinanti, Jakarta, h.23
17
Menurut Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Indonesia adalah negara hukum yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Beberapa ahli tela merumuskan unsur-
unsur negara hukum. Sri Soemantri berpandangan bahwa status negara hukum
harus memenuhi unsur, yaitu:
a) Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar
atas hukum atau peraturan perundang-undangan.
b) Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara)
c) Adanya pembagian kekuasaan dalam negara
d) Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan.13
Kedudukan dan hubungan individu dengan negara menurut teori negara
hukum dikatakan oleh Sudargo Gautama bahwa dalam suatu negara hukkum,
terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perseorangan. Negara tidak dapat
bertindak sewenang-wenang.14
Tindakan-tindakan negara terhadap warganya
dibatasi oleh hukum. Untuk mewujudkan cita-cita negara hukum, adalah suatu
syarat mutlak bahwa rakyat juga sadar akan hak-haknya dan siap sedia untuk
berdiri tegak membela hak-haknya tersebut. Dengan dianutnya konsep negara
hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945, maka pengakuan dan perlindungan
HAM setiap warga negara wajib diberikan oleh negara, termasuk dalam proses
peradilan pidana. Dengan demikian perlindungan Hak Asasi Manusia setiap orang
dilindungi oleh konstitusi secara tegas sebagai salah satu unsur dari negara
hukum. Perlakuan sewenang-wenang terhadap seorang yang diduga melakukan
13
Sri Soemantri, 1997, Bunga Rampai Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, h.29
14
Ibid., h. 32
18
kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib sudah sepatutnya mendapat
perlindungan oleh negara melalui perangkat hukum yang ada.
2) Konsep Restorative Jusctice
Konsep Restorative Justice sebenarnya telah lama dipraktikan
masyarakat adat indonesia, seperti di Papua, Bali, Toraja, Minangkabau, dan
Komunitas tradisional lain yang masih kuat memegang kebudayaan. Apabila
terjadi suatu tindak pidana oleh seseorang, penyelesaian sengketa diselesaikan di
komunitas adat secara internal tanpa melibatkan aparat negara. Ukuran keadilan
bukan berdasarkan retributive berupa balas dendam atau hukuman penjara, namun
berdasarkan keinsyafan dan pemaafan (keadilan restorative). Walaupun perbuatan
pidana umum yang ditangani masyarakat sendiri bertentangan dengan hukum
positif, terbukti mekanisme ini telah berhasil menjaga harmoni ditengah
masyarakat. Keterlibatan aparat penegak hukum negara sering kali mempersulit
dan memperuncing masalah.15
Kovensi negara-negara di dunia mencerminkan paradigma baru untuk
menghindari peradilan pidana. Restorative Justice adalah alternatif yang popular
di berbagai belahan dunia untuk penanganan pelaku tindak pidana yang
bermasalah dengan hukum karena menawarkan solusi yang komprehensif dan
efektif. Keadilan restorative bertujuan untuk memberdayakan para korban, pelaku,
keluarga, dan masyarakat untuk memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum,
dengan menggunakan kesadaran dan keinsafan sebagai landasan untuk
15
Dewi, DS. dan Fatahillah A.Syukur, 2011, Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice
di Pengadilan Anak Indonesia, Indie Publishing, Depok, h.4
19
memperbaiki kehidupan bermasyarakat, termasuk korban dari penghakiman masal
atas dugaan sebagai pelaku kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib.
3) Konsep Kekuatan Gaib
Ahmad Syafi’I Mufid mnegungkapkan bahwa Indonesia adalah negara
yang kaya akan budaya, sehingga tidak asing lagi mengenai perbedaan ragam
budaya, adat istiadat, maupun mengenai keyakinan. Di Indonesia, kehidupan
spiritual tampaknya juga tidak pernah redup. Memang agama, bagi masyarakat
Indonesia, selain merupakan bagian dari tradisi itu sendiri, tampaknya adalah
suatu identitas sekaligus sumber moral dan spiritual yang tidak mungkin
ditinggalkan. Kebudayaan adalah hal kompleks yang mengungkap pengetahuan,
kepercayaan, kesenian dan moral. Di dalam kebudayaan bermacam kekuatan yang
harus dihadapi seperti kekuatan gaib maupun kekuatan lainnya, selain itu manusia
dan masyarakat juga memerlukan kepuasan dibidang spiritual maupun materiil.
Selain hal yang kompleks di atas, adapun kaidah-kaidah yang dinamakan
peraturan biasanya sengaja dibuat dan mempunyai sanksi tegas.16
Pengertian Kekuatan gaib dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna
sesuatu kekuatan yang ditimbulkan oleh adanya daya jiwa seseorang, kekuatan
rahasia, kekuatan jiwa yang dimiliki berdasarkan jasmaninya. Sedangkan gaib
merupakan kekuatan sakti atau supranatural yakni kekuatan gaib yang bersifat
luar biasa yang ada di luar jangkauan akal manusia dan yang dianggap berada
dalam alam, dalam benda, dalam tumbuhan, dalam binatang, atau manusia
16
Ahmad Shafii Mufid, keberadaan kekuatan di luar nalar manusia, 2009,
http:www//kekuatan/suprantural/manusia.ac.id /diakses pada tanggal 28 oktober 2014, h.5
20
tertertu. Serta kekuatan yang berkaitan dengan hal-hal yang ajaib (yang tidak
dapat diterangkan dengan akal)17
sedangkan arti santet dengan sihir atau
menyamakan arti menyantet atau menyihir diberikan dua arti yakni perbuatan
ajaib yang dilakukan dengan pesona dan kekuatan gaib (guna-guna, mantera dsb)
dan ilmu gaib (teluh, tuju, dan sebagainya). Sementara perbuatan menyihir adalah
berupa menggunakan sihir, memukau, memesona, membuat sangat terpikat. 18
Em Zul Fajri dan Ratu Aprillia Senja dalam kamus lengkap Bahasa
Indonesia tersebut menyamakan arti santet dengan teluh, tenung, guna-guna yang
bersifat gaib. Sementara perbuatan menyantet adalah mencelakakan orang lain
melalui cara gaib. Dari kedua Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut dapat
disimpulkan bahwa santet sebagai ilmu atau lebih tepatnya kemampuan,
kepandaian atau kemahiran untuk mencelakakan, menderitakan fisik maupun
psikis atau menghilangkan nyawa orang lain dengan cara gaib. Sementara sebagai
perbuatan santet adalah melakukan perbuatan atau rangkaian perbuatan
mencelakai, menderitakan fisik atau psikis atau menghilangkan nyawa orang lain
dengan cara gaib.
Kekuatan gaib sebagai salah satu elemen dalam kehidupan masyarakat
Indonesia memiliki karakter yang beraneka ragam, kekuatan gaib dipandang dari
segi fungsinya dapat dibagi menjadi dua yakni kekuatan gaib yang memiliki
fungsi positif dalam arti masyarakat Indonesia mempercayai keberadaan suatu
kekuatan di luar akal serta digunakan sebagai salah satu cara untuk melindungi
17
Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, h. 747
18
Em Zul Fajri dan Ratu Aprillia , 2009, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa,
Gramedia Pustaka utama, Jakarta, h.1224
21
diri, penyembuhan, serta kegiatan-kegiatan yang sifatnya untuk kebaikan. Di sisi
lain kekuatan gaib juga memiliki fungsi yang negatif, tidak sedikit masyarakat
Indonesia yang mempelajari suatu kekuatan di luar akal tersebut untuk melakukan
suatu kejahatan berupa menyakiti seseorang, membunuh, menjadikan seseorang
cacat fisik, serta dampak lain yang tidak baik. 19
Kekuatan gaib dalam fungsinya yang negatif tersebut di berbagai daerah
dikenal dengan sebutan yang berbeda-beda. Adanya hal-hal di luar rasio atau
logika yang sifatnya tak terlihat, ajaib, gaib dan berbau magis sudah menjadi
rahasia umum bagi masyarakat Indonesia pada umumya. Perbuatan magis ada
yang bersifat putih dan hitam. Perbuatan magis putih biasanya digunakan untuk
kebaikan seperti upacara-upacara adat yang digunakan untuk tujuan religi atau
menyembuhkan orang. Sedangkan yang menjadi permasalahan adalah ilmu magis
yang sifatnya negatif atau yang biasa dikenal dengan sebutan ilmu hitam (black
magi.)20
yang sering kali menimbulkan permasalahan-permasalahan sosial dalam
masyarakat yang masih kental dengan kepercayaan terhadap seseorang yang
melakukan kejahatan dengan mengunakan kekuatan gaib. Keberadaan hal tersebut
masih sangat diakui, akan tetapi keterbatasan bukti empiris menyebabkan
perbuatan tersebut tidak dapat dirumuskan sebagai suatu perbuatan yang dilarang
dalam peraturan perundang-undangan oleh sebab terkendala oleh sistem
pembuktian.
19
R.P. Suyono, 2008, Ajaran Rahasia Orang Jawa, Lkis, Yogyakarta, h.24
20
Ibid., h. 25
22
Konsep kekuatan gaib berbeda dengan jenis kegiatan-kegiatan yang
berhubungan atau dianggap bernuansa mistis seperti sulap dan hipnotis. Sulap
adalah suatu seni pertunjukan yang diminati sebagian besar masyarakat didunia,
karena pada penyajiannya sulap dapat membuat heran penontonnya akan rahasia
di balik penyajiannya. Sulap merupakan suatu gabungan dari berbagai seni yang
ada, misalnya seni tari, seni musik, seni rupa, dan lain-lain. Seni sulap bukanlah
suatu keterampilan yang berbau klenik atau supranatural, karena setiap trik sulap
dapat dijelaskan. Sulap semata-mata hanyalah permainan kelihaian tangan,
manipulasi, hasil kerja dari suatu perlengkapan atau peralatan ataupun efek yang
timbul dari suatu reaksi kimia dan yang telah dilatih sebaik mungkin oleh pesulap
sebelum dipertunjukkan kepada orang lain.21
Sedangkan hipnotis adalah satu ilmu
yang digunakan untuk bermain dengan alam bawah sadar manusia, setelah
seseorang memasuki alam bawah sadarnya akan mengikuti apa yang
diperintahkan. Hipnotis adalah cabang ilmu psikologi yang mempelajari pengaruh
sugesti terhadap pikiran manusia.22
Dengan demikian antara kekuatan gaib, sulap,
dan hipnotis memiliki perbedaan yang signifikan.
3. Teori Hukum
1) Teori Penemuan Hukum
Penafsiran dalam hukum pidana merupakan suatu hal yang sangat penting, hal
tersebut karena dalam berlakunya hukum pidana tidak dapat dihindari adanya
21
Hhtp://www.gumzkazama.wordpress.com/2013/02/07/pengertian-sulap-dan-sejarah-
sulap// h.2 diakses pada tanggal 1 April 2015 pukul 13.00 WITA
22
Ibid. h.3
23
penafsiran. Penafsiran tersebut dikarenakan hukum tertulis tidak dapat dengan
segera mengikuti arus perkembangan masyarakat. Perkembangan masyarakat ini
mengakibatkan nilai-nilai yang merupakan ukuran akan segala sesuatu juga ikut
berubah. Hukum tertulis bersifat kaku dan tidak dengan mudah mengikuti
perkembanngan masyarakat, ketika hukum tertulis terbentuk terdapat sesuatu hal
yang tidak diatur karena tidak menjadi perhatian pembentuk undang-undang.
Namun setelah undang-undang dibentuk dan dijalankan barulah muncul persoalan
mengenai hal yang tidak diatur.23
Norma seringkali dirumuskan secara singkat dan bersifat sangat umum
sehingga kurang jelas maksud dan artinya sehingga dalam menerapkan norma
tersebut akan menemukan kesulitan. Kesulitan tersebut dapat terselesaikan dengan
jalan menemukan hukumnya atau menafsirkannya. Hukum pidana yang berupa
aturan-aturan tertulis disusun, dibuat dan diundangkan untuk diberlakukan.
Hukum pidana yang wujudnya terdiri dari susunan kalimat-kalimat tertulis setelah
diundangkan untuk diberlakukan pada kehidupan secara nyata di dalam
masyarakat menjadi hukum positif, dan akan efektif dan dirasakan mencapai
keadilan dan kepastian hukum apabila dalam penerapannya itu sesuai dengan
yang dimaksud oleh pembentuk undang-undang tentang apa yang ditulis dalam
kalimat-kalimat tersebut. Perkembangan masyarakat dimana kebutuhan hukum
dan rasa keadilan juga berubah sesuai dengan nilai-nilai yang dianut dalam
masyarakat.24
23
Adami Chazawi, 2005, Pelajaran Hukum Pidana ( bagian 2), Rajawali Pers, Jakarta,
h.1
24
Ibid., h.3
24
Persoalan hukum di masa transisi setelah reformasi membutuhkan
terobosan hukum. Hampir tidak ada terobosan yang cerdas menghadapi kemelut
transisi pasca orde baru. Pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya
yaitu hukum untuk manusia. Aparat penegak hukum baik polisi, jaksa, maupun
hakim dituntut untuk mencari dan menemukan keadilan-keadilan dalam batas dan
di tengah keterbatasan kaidah-kaidah hukum yang ada. 25
Hukum adalah teks dan
hanya dapat menjadi aktif melalui campur tangan manusia. Sejak perilaku
manusia berperan aktif dalam realisasi teks-teks hukum atau peraturan perundang-
undangan, maka hukum memasuki dunnia yang semakin kompleks. Manusia tidak
lagi semata-mata dihadapkan pada teks hukum, melainkan juga pada kompleksitas
perilaku manusia.26
Praktik menunjukkan tidak jarang dijumpai peristiwa yang belum diatur
dalam hukum atau perundang-undangan dan meskipun sudah diatur tetapi tidak
lengkap dan jelas. Peraturan perundang-undangan di dalamnya memang tidak ada
yang selengkap-lengkapnya atau sejelas-jelasnya. Sedangkan kepentingan
manusia sangatlah banyak dan tidak terhitung jumlah dan jenisnya.27
Kepentingan
manusia juga akan terus berkembang sepanjang masa yang dalam hal ini hukum
berfungsi melindungi kepentingan manusia tersebut. Sehubungan dengan
peraturan tersebut maka peraturan hukum yang tidak jelas harus dijelaskan dan
yang kurang lengkap harus dilengkapi dengan jalan menemukan hukumnya agar
25
Bernard L. Tanya , 2006, Teori Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 212
26
Satjipto Rahardjo, 2010, Sosiologi Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, h.71
27
Bambang Sutiyoso, 2007, Metode Penemuan Hukum, UII Press, Yogyakarta, h. 29
25
aturan hukumnya dapat diterapkan terhadap peristiwanya. Manusia berfikir
melalui bahasa, berbicara dan menulis juga dengan bahasa. Oleh karena itu tidak
ada satupun diantara manusia mempunyai bahasa yang sama antara satu dengan
yang lainnya.28
Metode penemuan hukum merupakan proses pembentukan hukum oleh
hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas menerapkan hukum
terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang kongkret. Pengertian ini dapat dikatakan
sebagai proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen)
yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa kongkret (das sein)
tertentu. Inti dari penemuan hukum adalah bagaimana mencarikan atau
menemukan hukum untuk peristiwa kongkret. Pada hakikatnya semua perkara
membutuhkan metode penemuan hukum agar aturan hukumnya dapat diterapkan
secara tepat terhadap peristiwanya sehingga dapat diwujudkan putusan hukum
yang memenuhi aspek keadilan, kepastian hukum dan kemanfatan.29
Metode yang diteliti dalam penemuan hukum ini adalah metode
interpretasi. Interprestasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan
hukum yang memberikan penjelasan yang lebih jelas tentang teks undang-undang,
agar ruang lingkup kaidah dalam undang-undang tersebut dapat diterapkan pada
peristiwa hukum tertentu. Stephane Beaulac mengemukakan definitions or rules
of interpretation in an enactment apply to all the provisions of the enactment,
28
Jazim Hamidi, 2011, Hermenutika Hukum-Sejarah Filsafat dan Metode Tafsir, UB
Press, Malang, h.49
29
Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum suatu Pengantar , Liberty,
Yogyakarta (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo I), h.173
26
including the provisions that contain those definitions or rules interpretations30
(
definisi atau aturan intrepretasi dalam pemberlakuan berlaku untuk semua
ketentuan berlakunya, termasuk ketentuan yang berisi definisi tersebut atau aturan
definisi). Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada
pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum
terhadap peristiwa yang kongkret. Tujuan akhir penjelasan dan penafsiran aturan
tersebut untuk merealisasikan fungsi agar hukum positif itu berlaku. Interprestasi
merupakan upaya menemukan makna yang sebenarnya dari tanda-tanda apapun
yang digunakan untuk menyampaikan ide-ide.31
Metode penafsiran sejak semula dibagi menjadi empat (4), yaitu
interprestasi gramatikal, interprestasi sistematis, interprestasi historis, interprestasi
teleologis. Di samping itu dikenal interprestasi komparatif dan interprestasi
antisipatif. Berkaitan dengan penelitian ini, digunakan interprestasi historis yakni
penafsiran makna undang-undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti
sejarah terjadinya. Interprestasi historis meliputi penafsiran menurut sejarah
hukumnya dan penafsiran menurut sejarah terjadinya undang-undang. Undang-
undang selalu merupakan reaksi terhadap kepentingan atau kebutuhan sosial
untuk mengatur kegiatan kehidupan manusia yang dapat dijelaskan secara historis.
Metode interprestasi yang hendak memahami undang-undang dalam konteks
30
Stephane Beaulac, 2008, Handbook on Statutory Interpretations, General
Methodology, Canadian Charter and International Law, Lexis Nexis, Canada, p.70
31
Gregory Leyh, 2014, Hermeneutika Hukum Sejarah, Teori, dan Praktik, Nusa Media,
Bandung, h. 140
27
seluruh sejarah hukum disebut sebagai interprestasi menurut sejarah hukum.32
Teori ini digunakan untuk menganalisis permasalahan pada rumusan masalah
pertama yakni untuk menafsirkan tujuan atau konsep rumusan terhadap
pengaturan mengenai kekuatan gaib dalam hukum positif Indonesia. Penafsiran
Antisipatif atau futuristis yakni penafsiran yang digunakan untuk mencari
pemecahan masalah dalam peraturan-peraturan yang belum mempunyai kekuatan
berlaku, yaitu dalam rancangan undang-undang.33
Penafsiran ini relevan untuk
menjawab permasalahan dalam rumusan masalah II.
2. Teori Kebijakan Hukum Pidana
Istilah kebijakan berasal dari bahasa Inggris “policy” atau bahasa Belanda
“politeik”istilah ini dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan kata
politik. Oleh karena itu kebijakan hukum pidana sering disebut dengan politik
hukum pidana. Berbicara mengenai politik hukum pidana, maka tidak terlepas
dari pembicaraan mengenai politik secara keseluruhan karena hukum pidana
adalah salah satu dari ilmu hukum. Oleh karena itu sangat penting untuk
dibicarakan politik hukum pidana.34
.
Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik
hukum maupun dari politik kriminal. Sudarto pernah mengemukakan definisi
singkat, bahwa politik kriminal merupakan “suatu usaha yang rasional dari
32
Sudikno Mertokusumo, 2014, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar (Edisi Revisi),
Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo II), h.78
33
Ibid. h.81
34
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit., h.26
28
masyarakat dalam menanggulangi kejahatan” 35
kebijakan atau upaya
penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya
perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan
masyarakat(social welfare). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir
atau tujuan utama dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat.36
Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan
kejahatan termasuk bidang kebijakan kriminal (criminal policy). Kebijakan
kriminal inipun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas yaitu kebijakan sosial
(sosial policy) yang terdiri dari kebijakan atau upaya-upaya untuk kesejahteraan
sosial (social welfare) dan kebijakan atau upaya-upaya untuk perlindungan
masyarakat (social defence policy). Dengan demikian, kebijakan penanggulangan
kejahatan (politik kriminal) yang dilakukan dengan menggunakan sarana penal
(hukum pidana), melalui kebijakan hukum pidana (penal policy) khususnya pada
tahap kebijakan yudikatif/aplikatif (penegakan hukum pidana in concreto) harus
memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu,
berupa social welfare dan social defence. 37
Pencegahan kejahatan sebagai suatu usaha yang meliputi segala tindakan
yang mempunyai tujuan yang khusus untuk memperkecil luas lingkup dan
35
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit., h.1
36
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit.,h.2
37
Barda Nawawi Arief, 2007, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum
Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Mutiara, Jakarta, (selanjutnya disebut Barda Nawawi
Arief II), h. 77
29
kekerasan suatu pelanggaran, baik melalui pengurangan kesempatan-kesempatan
untuk melakukan kejahatan ataupun melalui usaha-usaha pemberian pengaruh
kepada orang-orang yang secara potensial dapat menjadi pelanggar serta kepada
masyarakat umum. Adam Sutton menyatakan the fact that prevention involves
identifying, then finding ways to solve, crime problems may seem blindingly
obvious it is surprising how often the problem solving process negleted.38
(fakta
bahwa pencegahan melibatkan identifikasi, kemudian menemukan cara untuk
memecahkan, masalah kejahatan mungkin nampak menyilaukan dan jelas
mengejutkan serta seberapa sering proses pemecahan masalah menjadi gagal).
Fenomena kejahatan dapat dengan mudah ditemui diberbagai tempat. Dari yang
konvensional sampai white collar crime (kejahatanberdasi), dari yang lokal
(primitif) sampai transnasional(canggih).39
Pencegahan kejahatan (politik kriminal), dapat ditempuh dengan beberapa
metode yaitu dapat berupa penerapan hukum pidana, pencegahan tanpa pidana
dan mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan
lewat mass media dari ketiga jenis penanggulangan diatas, yang pertama
dikategorikan dalam jalur penal (hukum pidana), sedangkan dua jenis terakhir
dapat dikelompokan dalam jalur non penal (non pidana). Pencegahan dan
penanggulangan kejahatan harus menunjang tujuan (goal), sosial welfare dan
social defence, di mana dalam social welfare dan social defence yang urgen
38
Adam Sutton, Adrian Cherney, and Rob white, 2008, Crime Prevention Principles,
Perspectives and practices, Cambrige University Press, New York, p.26
39
Josias Simon Runturambi, 2003, Dukungan Sistem Kepercayaan dalam Kejahatan,
Jurnal Hukum, Universitas Indonesia, h 2
30
adalah kesejahteraan/perlindungan masyarakat yang bersifat immaterial terutama
nilai kepercayaan, kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Karena itu, seharusnya
pencegahan dan penanggulangan kejahatan dilakukan dengan pendekatan integral
yaitu keseimbangan sarana penal dan non penal.40
Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan
kebijakan dalam arti ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan
politik sosial, serta keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan
sarana penal dan non penal. Penegasan perlunya upaya penanggulangan kejahatan
diintegrasikan dengan keseluruhan kebijakan sosial dan perencanaan
pembangunan (nasional). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudarto bahwa
apabila hukum pidana hendak dilibatkan dalam usaha mengatasi segi-segi negatif
dari masyarakat/modernisasi (antara lain penanggulangan kejahatan), maka
hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal atau social
defence planning, dan ini pun harus merupakan bagian integral dari rencana
pembangunan nasional.41
Pembentukan hukum, permulaanya adalah suatu perencanaan yang
didasarkan pada situasi kenyataan kehidupan yang diarahkan kesatu tujuan yang
tidak yuridis, yaitu suatu kepentingan atau usaha nilai yang akan dicapai diwaktu
yang akan datang. Berkaitan dengan perbuatan yang menggunakan kekuatan gaib
sudah lama dikenal dalam masyarakat hukum adat dan masyarakat mengakui
keberadaan tersebut. Namun dalam praktek pembuktian tindak pidana ini sangat
40
Lilik Mulyadi, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoritis, dan Praktis,
Alumni, Bandung, h.398
41
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit. h.6
31
sulit untuk dibuktikan, akan tetapi kriminalisasi dari perbuatan ini diperlukan
untuk mengantisipasi tindakan main hakim sendiri dikalangan masyarakat.
Hubungan dengan konsep keadilan dan kultur hukum dalam proses pengambilan
kebijakan oleh pemerintah hendaknya tidak terlepas dari apa yang menjadi
tuntutan dari masyarakat, teori ini relevan digunakan untuk membahas persoalan
rumusan masalah kedua dalam penulisan ini yang difokuskan terhadap kebijakan
pengaturan perbuatan yang berkaitan dengan kekuatan gaib.
3. Teori Pemidanaan
Pidana berasal dari kata straf dalam bahasa Belanda dan seringkali
diterjemahkan secara berbeda misalnya diterjemahkan “hukuman” yang menurut
para ahli hukum pidana dipandang kurang tepat. Istilah “hukuman” merupakan
istilah umum dan konvensional, dapat mengandung arti yang luas dan berubah-
ubah sesuai dengan konteksnya. Istilah “pidana” lebih sesuai dengan hukum
pidana.42
Menurut Roeslan Saleh pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud
nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik tersebut.
Nestapa atau penderitaan tersebut bukan suatu tujuan akhir yang dicita-citakan
masyarakat tetapi hanya suatu tujuan terdekat. Di samping pidana, untuk
mencapai tujuan-tujuannya hukum pidana juga menggunakan tindakan-tindakan
42
Bambang Waluyo, 2008, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 9
32
(maatregelen). Tindakan adalah sanksi yang tidak mengandung sifat
pembalasan.43
Ilmu hukum pidana sesuai dengan perkembangan pemikiran mengenai
tujuan pemidanaan yang berusaha mencari dasar pembenaran dari pidana, dapat
diklasifikasi teori-teori tujuan pemidanaan sebagai berikut:
a. Teori Retributif (retributive theory) atau Teori Absolut
Dasar pembenaran dari pidana menurut teori retributif adalah terletak pada
adanya tindak pidana atau tindak pidana sendiri yang memuat unsur-unsur yang
membenarkan pidana dijatuhkan. Pidana dijatuhkan karena orang telah melakukan
tindak pidana dan tidak untuk tujuan lain. Pidana adalah suatu penyangkalan dari
penyangkalan hukum yang terletak dalam tindak pidana itu sendiri. Tindak pidana
dalam hal ini dipandang sebagai pengingkaran terhadap ketertiban hukum negara
yang merupakan perwujudan cita susila.44
Dalam teori ini Hegel juga
mengajarkan bahwa hukum adalah suatu kenyataan kemerdekaan, oleh sebab itu
kejahatan merupakan tantangan terhadap hukum dan hak. Hukuman dipandang
dari sisi imbalan sehingga hukuman merupakan dialectische vergelding
(pembalasan dialektis)45
Berkaitan dengan keberadaan perbuatan dengan menggunakan kekuatan
gaib dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang menjadi masalah sosial perlu
43
Sigit Suseno, 2012, Sistem Pemidanaan dalam Hukum Pidana Indonesia di dalam dan
di luar KUHP (Suatu Analisis), Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan HAM
RI, Jakarta, h.32
44
Ibid., h.33
45
Leden Marpaung, 2005, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, h.
105
33
menjadi pertimbangan dalam penegakan hukum sesuai dengan kaidah hukum
pidana bangsa Indonesia. Proses kriminalisasi dalam perundang-undangan
merupakan hal yang sangat penting untuk mengapresiasi bentuk keinginan
masyarakat terhadap suatu kejahatan yang sebelumnya belum ada pengaturannya
secara tegas. Krimininalisasi suatu perbuatan harus juga mencakup sanksi atau
pidana terhadap perbuatan yang dianggap merusak nilai-nilai serta sendi
kehidupan masyarakat.
Nigel Walker menjelaskan ada dua golongan penganut teori retribusi.
Pertama, penganut teori retributive murni memandang pidana harus sepadan
dengan kesalahan pelaku. Kedua, penganut teori retributive tidak murni dipecah
lagi menjadi:
a. Penganut teori retributif terbatas (the limiting Retributivist) yang
berpandangan bahwa pidana tidak harus sepadan dengan kesalahan. Yang
lebih penting adalah, keadaan tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh
sanksi dalam hukum pidana itu tidak melebihi batas-batas yang tepat untuk
penetapan kesalahan pelanggaran.
b. Penganut teori retributif distribusi (Retribution in Distribution). Penganut
teori ini tidak hanya melepaskan gagasan bahwa sanksi dalam hukum
pidana harus dirancang dengan pandangan pada pembalasan, namun juga
gagasan bahwa seharusnya ada batas yang tepat dalam retribusi pada
beratnya sanksi.46
46
M. Sholehuddin, 2007, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track
System dan Implementasinya), Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.37
34
Perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib merupakan suatu
perbuatan yang dipandang tercela, dengan demikian pelaku dari perbuatan
tersebut sering menjadi korban dari main hakim warga masyarakat yang tidak
menerima keberadaan praktik tersebut. Dalam hukum pidana, seseorang yang
terbukti secara sah melakukan perbuatan melawan hukum harus dijatuhkan sanksi
atau pemidanaan oleh aparat negara. Penjatuhan sanksi tersebut memperoleh dasar
pembenar manakala suatu perbuatan kriminal yang merugikan korban sudah
sepatutnya memperoleh balasan dalam bentuk pemidanaan. Pemidanaan atau
hukuman penting untuk diberlakukan dalam rangka untuk menanggapi suatu
bentuk tindakan jahat terhadap pelaku kejahatan dengan menggunakan mkekuatan
gaib.
b.Teori Relatif (utilitarian theory)
Dasar pembenaran pidana menurut teori tujuan adalah terletak pada
tujuannya.Tujuan-tujuan pidana tersebut harus mempunyai kemanfaatan, misalnya
untuk mempertahankan tata tertib hukum masyarakat atau mencegah (prevention)
dilakukannya suatu tindak pidana. Oleh karena itu teori ini disebut teori tujuan
(utilitarian theory). Menurut Remmelink dalam teori relative hubungan antara
ketidakadilan dengan pidana bukan hubungan yang ditegaskan secara a-priori
sebagaimana teori absolute, tetapi dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai.47
Pidana dalam perspektif pertahanan tata tertib masyarakat adalah suatu
noodzakelijk, sesuatu yang terpaksa diperlukan. Menurut penganut teori tujuan
menekankan pada dua konsekuensi pemidanaan yang dikehendaki, yaitu pertama
47
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung, h. 16
35
efek pencegahan (deterent effect). Pidana biasanya mempunyai nilai karena
mencegah pelaku tindak pidananya dan mencegah yang lainnya untuk melakukan
tindak pidana serupa. Kedua, pidana untuk memperbaiki pelaku pidana. Pidana
dapat mengubah seseorang sehingga dia tidak mudah mempunyai keinginan untuk
menghalangi ketertiban sosial dengan perbuatan-perbuatan yang melanggar
keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhan orang lain yang sah.48
Teori tujuan dapat dibedakan dalam teori prevensi umum dan teori
prevensi khusus. Prevensi umum bertujuan untuk mencegah agar orang pada
umumnya melakukan tindak pidana dan mencegah rakyat pada umumnya untuk
melakukan tindak pidana. Efek pencegahan dalam prevensi umum terletak pada
pertama, penjatuhan pidana yang bersifat menakutkan. Pandangan ini
menitikbertakan pada eksekusi pemidanaan yang dipertunjukan kepada umum
sehingga menakutkan anggota masyarakat untuk melakukan tindak pidana. Oleh
karena itu perlu dibuat pidana yang berat dan eksekusi pidana yang berat tersebut
dilakukan di muka umum. Kedua, unsur utama yang dapat menahan niat jahat
manusia untuk melakukan tindak pidana terletak pada sanksi pidana.
Menurut Von Feuerbach sanksi pidana menimbulkan suatu tekanan
secara kejiwaan atau daya paksa psikis yang dapat mencegah manusia melakukan
tindak pidana. Menurut Johannes Andenaes prevensi umum mempunyai tiga
bentuk pengaruh, yaitu:
1) Pengaruh pencegahan
2) Pengaruh untuk memperkuat larangan-larangan moral
48
Sigit Suseno, Op.Cit., h.34
36
3) Pengaruh untuk mendorong kebiasaan perbuatan patuh pada
hukum.49
Salah satu seorang penganut teori prevensi umum, Van Veen menyatakan
bahwa prevensi umum mempunyai tiga fungsi yaitu50
:
1) Menjaga dan menegakan wibawa penguasa, yaitu yang berperan dalam
perumusan tindak pidana yang langsung bersinggungan dengan
wibawa pemerintah.
2) Menjaga (pemberlakuan) atau menegakkan norma hukum
3) Pembentukan norma, menggarisbawahi pandangan bahwa perbuatan-
perbuatan tertentu dianggap asusila sehingga tidak diperbolehkan.
Prevensi khusus bertujuan untuk mencegah agar pelaku tindak pidana
tidak mengulangi melakukan tindak pidana. Teori prevensi khusus mengoreksi
kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam prevensi umum. Dalam konteks
keberadaan perbuatan yang berkaitan dengan media kekuatan gaib masih menuai
kontroversi dari berbagai ahli hukum, salah satu upaya dari hukum untuk
melindungi masyarakat dari keberadaan kejahatan dengan menggunakan media
kekuatan gaib ialah dengan melakukan kriminalisasi dengan mencatumkan
sejumlah ancaman sanksi yang dapat dikenakan terhadap pelaku kejahatan dengan
menggunakan kekuatan gaib tersebut. Dasar dari pemidanaan dari segi tujuan
ialah ancaman tersebut mampu untuk memberikan efek jera terhadap pelaku
kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib untuk melakukan kejahatan.
49
Sigit Suseno, Op.Cit. h. 35
50
Sigit Suseno, Op.Cit., h.36
37
b. Teori gabungan
Teori ini menggabungkan dasar pembenaran pidana pada pembalasan
(teori absolute) dan tujuan pidana yang bermanfaat (teori tujuan). Menurut
Utrecht teori-teori gabungan dapat dibedakan dalam tiga golongan:
a. Teori gabungan yang menitikberatkan pada pembalasan tetapi
pembalasan tersebut tidak boleh melebihi batas yang diperlukan
dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib
masyarakat. Terhadap kejahatan dengan menggunakan media
kekuatan gaib adalah sebuah kejahatan yang dilakukan dengan
cara-cara yang tidak biasa, atau dapat juga dikategorikan
sebagai kejahatan yang dilakukan dengan cara yang luar biasa
diluar nalar manusia biasa, sehingga penghukuman yang
dijatuhkan merupakan suatu pembalasan.51
b. Teori-teori gabungan yang menitikberatkan pada
mempertahankan tata tertib masyarakat, tetapi beratnya pidana
harus sesuai dengan beratnya tindak pidana yang dilakukan.
c. Teori gabungan yang menitikberatkan pada pembalasan dan
mempertahankan tata tertib masyarakat.
Teori pemidanaan digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam
rumusan masalah dua (2) yang berkaitan dengan dasar pembenaran penjatuhan
sanksi dalam perumusan aturan yang berkaitan dengan penggunaan kekuatan
kekuatan gaib untuk melakukan kejahatan.
51
Sigit Suseno, Op.Cit., h.37
38
4. Teori Hukum Integratif
Pembangunan hukum di era reformasi sampai saat ini tengah mengalami
tantangan perubahan, baik di dalam negeri maupun dalam fora hubungan
internasional. Tantangan perubahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang
tengah mengalami masa transisi dari sistem otoritarian memasuki sistem
demokrasi tidaklah cukup diatasi dengan melakukan perubahan-perubahan, baik
dibidang perundang-undangan, perekonomian dan politik, melainkan harus diikuti
dengan perubahan, cara pandang dan sikap masyarakat dan birokrasi tentang baik
buruknya atau kuat lemahnya sistem baru yang akan dianut bagi kepentingan
masa depan bangsa.52
Teori hukum pembangunan dari Mochtar Kusumaatmaja dalam
menghadapi tantangan perubahan dimaksud mengandalkan hukum sebagai
kekuatan normatif yang harus berakar pada masyarakatnya, akan tetapi pada saat
yang sama hukum harus diberdayakan untuk mengubah sikap dan perilaku
masyarakatnya lebih utama dibandingkan dengan perubahan sikap dan perilaku
birokrasi dalam sistem pemerintahan birokrasi Indonesia. Teori hukum progresif
tidak mengakui kelebihan kekuatan normatif dari hukum tertulis atau undang-
undang sebagai sarana untuk menemukan solusi dalam kehidupan masyarakat
karena semua produk hukum tertulis dipandang selalu mencerminkan kepentingan
kekuasaan daripada kepentingan keadilan rakyat.53
52
Romli Atmasasmita, 2012, Teori Hukum Integratif Rekontruksi Terhadap Teori Hukum
Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Genta Publising,Yogyakarta, h.94
53
Ibid., h.95
39
Teori hukum progresif dari Satjipto Rahardjo memandang kekuatan
hukum tiada lain merupakan pencerminan dari kehendak pemegang kekuasaan di
mana manusia tidak diberdayakan sebagai subjek hukum yang harus dihormati
melainkan justru telah dijadikan korban dari kekuasaan melalui hukum yang telah
dibuatnya. Menurut Satjipto Rahardjo, kekuasaan “authoritative” dalam hukum
merupakan penyebab terjadi penyimpangan terhadap fundamental hukum yaitu
hukum untuk manusia bukan sebaliknya. Melalui Teori hukum progresif, Satjipto
hendak mengembalikan hukum kepada jalur yang seharusnya (on the right track)
dan untuk itulah beliau berpendapat diperlukan terobosan-terobosan hukum (legal
breakthrough, bukan legal breaking) atau terobosan besar dalam proses
pembentukan dan penegakan hukum.54
Bertolak dari pandangan kedua guru besar hukum Indonesia di atas, dapat
disimpulkan bahwa jika hukum menurut Mochtar merupakan sistem norma
(system of norms) dan menurut Satjipto, hukum sebagai sistem perilaku (systems
of behavior), maka dilengkapi bahwa hukum dapat diartikan dan juga seharusnya
diartikan sebagai sistem nilai (system of values). Ketiga hakikat hukum dalam
konteks kehidupan masyarakat Indonesia harus dipandang sebagai satu kesatuan
pemikiran yang cocok dalam menghadapi dan mengantisipasi kemungkinan
terburuk abad globalisasi saat ini dengan tidak melepaskan diri dari sifat
tradisonal masyarakat Indonesia yang masih mengutamakan nilai(values) moral
dan sosial.55
54
Ibid.,h.96
55
Ibid.,h. 97
40
Ketiga hakikat hukum dalam satu wadah pemikiran Romli Atmasasmita
disebut “tripartite character of the Indonesian legal theory of Social and
Bureucratic Engineering (SBE)”. Rekayasa birokrasi dan rekayasa masyarakat
yang dilandaskan pada sistem norma, sistem perilaku dan sistem nilai yang
bersumber pada Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia, itulah yang disebut
sebagai Teori Hukum Integratif. Ketiga karakter hukum tersebut di atas dapat
dijelaskan bahwa setiap langkah pemerintah dalam pembentukan hukum dan
penegakan hukum merupakan kebijakan berlandaskan sistem norma dan logika
berupa asas dan kaidah, dan kekuatan normatif dari hukum harus dapat
diwujudkan dalam perubahan perilaku masyarakat dan birokrasi ke arah cita-cita
membangun negara hukum yang demokratis.56
Negara demokratis dapat dibentuk jika dipenuhi secara konsisten tiga pilar
yaitu penegakan hukum (rule by law), perlindungan HAM (enforcement of human
rights), dan akses masyarakat memperoleh keadilan(acces to justice). Dalam
konteks negara Indonesia, ketiga pilar tersebut harus diikat oleh Pancasila sebagai
ideologi bangsa Indonesia. Ikatan Pancasila tersebut merupakan sistem nilai
tertinggi dalam perubahan sistem norma dan sistem perilaku yang berkeadilan
sosial. Hanya dengan sudut pandang ini, maka dapat diciptakan kepatuhan hukum
pada masyarakat dan birokrasi. Inti pemikiran Teori Hukum Integratif adalah
merupakan perpaduan pemikiran Teori Hukum pembangunan dan Teori Hukum
Progresif.57
56
Ibid., h.98
57
Romli Atmasasmita , Loc.Cit.
41
Teori Hukum Integratif harus dipahami dalam pengertian yang dinamis,
tidak bersifat status quo, dan pasif, melainkan hukum memiliki mobilitas fungsi
dan peranannya secara aktif sesuai dengan perkembangan keadaan masyarakat
nasional dan internasional dari waktu ke waktu. Selain itu, Teori Hukum Integratif
dapat dikembangkan sebagai model analisis hukum yang bersifat komprehensif
dan holistik dalam menghadapi dan mengantisipasi perkembangan nasional dan
internasional dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat dan tidak akan
mendegradasikan kepentingan nasional di segala bidang melainkan akan tetap
memelihara karakteristik lokal serta menyesuaikan perkembangan internasional
ke dalam sistem hukum lokal dan sebaliknya secara proposional.58
Pandangan teori hukum integratif dari Romli Atmasasmita berbeda
dengan pandangan dengan teori Hukum pembangunan dari Mohctar
Kusumaatmaja dan teori hukum progresif dari Rahardjo karena teori hukum
intergratif tidak hanya menjadi landasan pengkajian masalah pembangunan
nasional dalam konteks “inward looking” melainkan juga dalam konteks
pengaruh hubungan internasional ke dalam sistem kehidupan bangsa Indonesia.
Hal ini disebabkan dalam praktik hubungan internasional di tengah era globalisasi
sering terjadi bahwa negara berkembang termasuk Indonesia telah menjadi
“korban” dari sikap negara maju yang bersifat hipokrit dan lebih mementingkan
kepentingan nasionalnya dari kepentingan kemajuan bersama bangsa-bangsa
negara berkembang.59
58
Romli Atmasasmita, Loc.Cit.
59
Romli Atmasasmita, Op.Cit., h.105
42
Berdasarkan dari pertimbangan tersebut, hukum sebagai sistem nilai
sangat penting dan tetap relevan dalam proses pembaharuan masyarakat saat ini
ditengah berkembangnya ideologi globalisasi. Pandangan tersebut relevan dengan
pandangan aliran Sejarah Hukum (Von Savigny) yang telah menegaskan bahwa
hukum harus sesuai dengan jiwa bangsa (volkgeist), dan dalam arti negatif, hukum
selalu tertinggal dari perkembangan masyarakat. Pandangan Savigny harus
diartikan bahwa akseptabilitas dan kredibilitas hukum di Indonesia terletak pada
sejauh mana nilai-nilai yang terkandung dalam hukum telah sejalan dan sesuai
dengan Pancasila yang telah didaulat sebagai jiwa bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia dan merupakan nilai fundamental
(fundamental values), menghormati berbagai pandangan atau nilai-nilai yang
bersifat heterogen, serta tumbuh dan berkembang dalam kehidupan bangsa
Indonesia sejak dulu. Karakter Pancasila, yang memegang paham “berbeda-beda
dalam satu kesatuan” ini, bertentangan secara diametral dengan membentuk satu
kesatuan pemikiran, sikap dan nilai ke dalam wadah satu dunia tanpa
mempertimbangkan dengan teliti kenyataan adanya perbedaan-perbedaan, baik
secara geografis, kultur, etnis dan keagamaan agama, termasuk dalam bidang
hukum (heterogenitas hukum)60
. Teori ini relevan untuk membahas permasalahan
dari rumusan masalah kedua yakni bagaimana kebijakan pengaturan kejahatan
dengan menggunakan kekuatan gaib dalam pembaharuan hukum pidana di
Indonesia.
60
Romli Atmasasmita, Op.Cit., h.106
43
5. Teori Kriminalisasi
Kejahatan dan perilaku menyimpang adalah masalah kemanusiaan
sekaligus masalah sosial, dan karena keberadaannya hampir bersamaan dengan
usia manusia maka disebut sebagai the oldest social problem (masalah sosial
tertua).61
Sedemikian itu, maka hukuman menjadi suatu fakta yang sudah diterima
dalam kehidupan manusia, sekalipun berbeda-beda bentuk dan cara
pelaksanaannya, tetapi hukuman adalah the universal response to crime and
deviance in all societies62
(respon yang universal terhadap kejahatan dan
penyimpangan terhadap masyarakat)
Kriminalisasi tidak lain adalah penetapan yuridis atas suatu perilaku atau
tindakan sebagai perbuatan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku, baik berupa kejahatan maupun berupa pelanggaran. Perintah atau
larangan terhadap suatu perbuatan dalam peraturan hukum pidana, secara umum
telah terlebih dahulu ada dan diatur dalam bentuk norma, baik norma agama,
norma etika dan kesusilaan, adat istiadat serta kebiasaan yang ada, dipelihara dan
ditaati bersama dalam pergaulan hidup suatu masyarakat. Norma atau aturan dasar
yang hidup dalam suatu masyarakat bahkan telah mengakar dengan begitu kuat
sehingga dijadikan sebagai ajaran moral, jika ada anggota masyarakat yang tidak
mentaati norma-norma itu maka masyarakat tersebut dinilai melakukan tindakan
amoral.63
61
Barda Nawawi Arief II, Op.Cit. h.73
62
Heru Permana, 2007, Politik Kriminal, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, h. 11
63
Ibid., h.12
44
Hukum pidana, dengan melalui proses kriminalisasi kemudian
menegaskan kembali kejahatan atau perilaku menyimpang itu sebagai perbuatan
pidana, dan karenanya maka setiap orang yang melanggar aturan tersebut, patut
dipidana. Kebijakan yang paling menentukan dalam proses kriminalisasi adalah
kebijakan legislasi dalam proses legislasi, meliputi perumusan tindak pidana,
penetapan besar dan bentuk ancaman hukuman, siapa saja yang diposisikan
sebagai korban. Kebijakan legislasi, dilaksanakan dalam tiga tahapan penting,
yakni tahap formulasi, tahap aplikasi, dan tahap eksekusi.64
Kriminalisasi pada
umumnya berkaitan erat dengan moralitas, karena itu maka penting pula untuk
memperhatikan hubungan antara kriminalisasi dan moralitas dalam rangka
pembentukan hukum nasional. Sudarto juga menegaskan bahwa kriminalisasi
diperlukan terhadap perbuatan yang amoral dan mendatangkan kerugian materiil
dan spiritual bagi masyarakat.65
Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminil
dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah:66
1) Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana,
2) Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.
Berdasarkan dari pendekatan kebijakan itu pula, Sudarto berpendapat
bahwa dalam menanggapi masalah sentral yang pertama di atas, yang sering
64
Barda Nawawi Arief, 2007, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan
dengan Pidana Penjara, Undip, Cet.Keempat (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief III),
Semarang, h.35
65
Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h.30
66
Ibid., h.36
45
disebut masalah kriminalisasi harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya
sebagai berikut:
1) Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan
nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil
dan spiritual berdasarkan Pancasila, sehubungan dengan ini maka
penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan
mengadakan penenguhan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri,
demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
2) Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan
hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu
perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spiritual) atas
warga masyarakat
3) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan
hasil
4) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan
sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).67
Beranjak dari empat (4) hal di atas, ketika memformulasi perbuatan yang
dikriminalisasi perlu dipertimbangkan juga faktor lainnya yang berupa perbuatan
tersebut dapat menimbulkan kerugian materiil dan immaterial baik yang nyata-
nyata ada dan dapat diperhitungkan besarannya maupun kerugian yang mungkin
ada atau potensi kerugian yang akan diderita masyarakat. Kesamaan persepsi
diantara lembaga terkait tentang pentingnya kriminalisasi terhadap perbuatan
dimaksud, misalnya lembaga penegak hukum dan lembaga-lembaga yang tugas
pokok dan fungsinya berkenaan dengan penanganan masalah yang akan diatasi.
Sikronisasi antara perbuatan yang dikriminalisasikan dengan ketentuan dalam
perundangan lainnya, baik yang setara maupun yang lebih tinggi hirarkinya.
Kesiapan aparat penegak hukum, baik skill maupun knowledge serta kondisi sosial
masyarakat terutama kesiapan masyarakat dalam memberi kontribusi terhadap
penerapan dan penegakan perbuatan yang akan dikriminalisasi.
67
Teguh Prasetyo, 2010, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Nusa Media, Bandung h.
39
46
Kriminalisasi dan dekriminalisasi harus didasarkan pada faktor-faktor
kebijakan tertentu yang mempertimbangkan bermacam-macam faktor, termasuk:
1) Keseimbangan sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan
hasil yang ingin dicapai,
2) Analisa biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya
dengan tujuan-tujuan yang ingin dicari,
3) Penilaian atau penafsiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya
dengan prioritas-prioritas lainya dalam pengalokasian sumber daya
manusia,
4) Pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan
dengan atau dipandang dari pengaruh pengaruhnya yang sekunder.68
Teori kriminalisasi dalam penelitian mengenai kebijakan pengaturan
perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib berdasarkan konsep mengenai
kekuatan gaib yang digunakan untuk melakukan kejahatan, walaupun sebelumnya
telah ada pengaturan berkaitan dengan penggunaan kekuatan gaib dalam rumusan
norma, akan tetapi konsep yang digunakan berbeda dengan konsep kekuatan gaib
dalam pembaharuan hukum pidana. teori ini relevan digunakan untuk membahas
permasalahan dalam rumusan masalah kedua yang berkaitan dengan kebijakan
kriminalisasi perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam pembaharuan
hukum pidana.
68
Ibid., h.40
47
1.7.4 Kerangka Berpikir
Kebijakan Pengaturan dengan Menggunakan Kekuatan
Gaib Dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Perbuatan atau kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib dianggap sangat
berbahaya terutama bagi kalangan komunitas lokal yang jauh dari masyarakat
perkotaan sering terjadi tindakan main hakim sendiri oleh warga masyarakat
terhadap seseorang yang dituduh mengunakan kekuatan untuk melakukan
kejahatan, sehingga penting untuk mengkaji norma dalam KUHP yang tidak
jelas dari segi definisi dan RUU KUHP berkaitan dengan pengaturan kekuatan
gaib yang banyak menimbulkan multi tafsir.
Bagaimana pengaturan perbuatan
dengan mengunakan kekuatan
gaib dalam KUHP
Bagaimana pengaturan perbuatan
dengan kekuatan gaib dalam
pembaharuan hukum pidana di
masa mendatang
Teori penafsiran historis, teori
kebijakan hukum pidana
Teori penafsiran antisipatif atau
futuristik, teori kebijakan hukum
pidana, teori pemidanaan, teori
hukum integratif, teori
kriminalisasi
Sasaran Penelitian
Mengkaji dan menganalisis mengenai kekaburan norma dalam pasal 546
KUHP yang merumuskan kekuatan gaib sebagai salah satu bentuk
kepercayaan, serta mengkaji dan menganalisis perumusan pasal kekuatan gaib
dalam RUU KUHP yang menimbulkan banyak multitafsir sehingga nantinya
tidak relevan digunakan sebagai sarana pencegahan terhadap keberadaan
praktik-praktik kekuatan gaib yang banyak menimbulkan tindakan main hakim
sendiri
48
1.8. Metode Penelitian
1.8.1. Jenis Penelitian
Penelitian hukum ini menggunakan kajian secara yuridis normatif yang
dilakukan melalui analisis yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan seperti
buku, diktat, dan lain-lain, dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan
dan konsep para ahli hukum sebagai basis penelitiannya.69
Penelitian hukum
normatif memiliki ciri-ciri, beranjak dari adanya kesenjangan dalam norma/asas
hukum dalam tulisan ini beranjak dari adanya kekaburan norma terhadap
pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam KUHP, tidak
menggunakan hipotesis, dan menggunakan bahan hukum yang terdiri atas bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder. Di dalam penelitian hukum normatif,
maka penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan terhadap kaidah-kaidah
hukum yang merupakan patokan-patokan berperilaku atau bersikap tidak pantas.70
1.8.2. Jenis Pendekatan
Dalam penelitian hukum normatif dikenal metode pendekatan antara
lain; pendekatan analisis konsep (analitycal concept approach), pendekatan kasus
(case approach), pendekatan fakta (fact approach), pendekatan frasa (word and
phrase approach), pendekatan sejarah ( historycal approach), pendekatan
perbandingan (comparative approach).71
Dalam penulisan penelitian ini digunakan
69
Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.25
70
Nomensen Sinamo, 2009, Metode Penelitian Hukum, Bumi Intitama Sejahtera, Jakarta,
h.107
71
Johnny Ibrahim, 2011, Teori dan Metodologi penelitian Hukum Normatif, Bayumedia,
Surabaya, h.300
49
pendekatan analisis konsep hukum, analisis perundang-undangan yang berkaitan
dengan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib.
1.8.3. Sumber Bahan Hukum
Bahan-bahan hukum sebagai kajian normatif sebagian besar dapat
diperoleh melalui penelusuran terhadap berbagai dokumen hukum.72
Sumber
bahan hukum dari penelitian ini meliputi :
1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang sifatnya mengikat berupa
peraturan perundang-undangan yakni KUHP dan RUU KUHP 2012
mengenai kriminalisasi kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib,
penelitian-penelitian, atau dokumen-dokumen yang berkaitan dengan
penelitian ini.
2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya
ilmiah dibidang hukum, literatur hukum dan sebagainya.73
3) Bahan hukum tersier berupa kamus dan buku pegangan (hand Out)74
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan
Pengumpulan bahan dalam penelitian ini menggunakan teknik studi
dokumen, yaitu dengan menganalisa data-data primer yang berkaitan dengan
objek penelitian ini serta pencatatan yaitu mengumpulkan dan mengelompokkan
bahan-bahan hukum (primer, sekunder, dan tersier) yang terkait dengan
permasalahan, selanjutnya dilakukan pencatatan terhadap bahan-bahan hukum
72Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung,
h.98
73
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, h. 142
74
Soerjono Soekanto, 2006, Pengantar Penelitian Hukum, UI, Jakarta (selanjutnya
disebut sebagai Soerjono Soekanto I), h.52
50
yang relevan secara singkat dalam lembaran yang disediakan. Bahan-bahan
hukum tersebut didapat baik dari perpustakaan maupun juga melalui pencarian
bahan dan bantuan internet.
1.8.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Teknik pengolahan bahan hukum dalam penelitian ini yaitu dengan
mengolah bahan hukum secara kualitatif artinya bahan-bahan hukum yang relevan
diolah dengan melihat kualitas kegunaan. Teknik analisa bahan hukum dengan
menggunakan teknik deskripsi yaitu teknik dasar analisis yang tidak dapat
dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti pengambaran/uraian apa adanya
terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non
hukum. Teknik interpretatif yaitu berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam
ilmu hukum yakni digunakan salah satu penafsiran dalam penelitian ini yani
penfasiran historis yang digunakan untuk mengkaji kekaburan norma mengenai
kekuatan gaib dalam KUHP, penafsiran antisipatif yang digunakan untuk
mengkaji norma mengenai pengaturan perbuatan gaib dalam RUU KUHP. Dalam
penelitian ini penulis juga menggunakan teknik evaluasi yakni penilaian berupa
tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah
oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma,
keputusan, dalam perumusan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib
dalam RUU KUHP . Selanjutnya diikuti dengan teknik argumentasi yang tidak
bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada
alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.
51
BAB II
TINJAUAN UMUM
PENGATURAN PERBUATAN, KEKUATAN GAIB, PEMBAHARUAN
HUKUM PIDANA DI INDONESIA
2.1 Pengaturan Kejahatan dalam Hukum Pidana
Istilah kebijakan dalam tulisan ini diambil dari istilah Policy (inggris) atau
politiek (belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah kebijakan
hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah politik hukum pidana. istilah
kebijakan hukum pidana berasal dari kata “kebijakan” dan “hukum pidana”
sebagaimana menurut Sudarto yang mengemukakan:
Masalah “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk
mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti
memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dalam kesempatan lain beliau
menyatakan bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti, “usaha
mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang.75
Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik
hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto, politik hukum adalah:
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu saat.
b. Kebijakan dari suatu negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa
75
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit., h.27
51
52
digunakan untuk mengepresikan apa yang terkandung dalam masyarakat
dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan76
Berdasarkan dari pengertian demikian Sudarto selanjutnya menyatakan,
bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk
mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti
memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dengan demikian, dilihat sebagai
bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti,
bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-
undangan pidana yang baik. Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan
hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan
penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga
merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut
politik kriminal maka politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan
penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”.77
Menurut A.Mulder dalam Barda Nawawi Arief Strafrechtpoliteik ialah
garis kebijakan untuk menentukan:
a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah
atau diperbaharui.
b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.
c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan
pidana harus dilaksanakan.
76
Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, Cet. Ke-5, h. 32
77
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit., h. 28
53
Definisi Mulder di atas bertolak dari pengertian sistem hukum pidana
menurut Marc Ancel yang menyatakan, bahwa tiap masyarakat yang teroganisir
memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari:
a. peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya,
b. Suatu prosedur hukum pidana
c. Suatu mekanisme pelaksanaan pidana.78
Hukum pidana merupakan seperangkat dogma, sistem aturan serta norma
yang menempatkan tingkah laku individu manusia sebagai objek sekaligus subjek
utama dalam pengaturannya. Hal ini menunjukkan bahwa hukum pidana memiliki
fungsi mempertahankan ketertiban dan memelihara keteraturan yang terdapat
dalam tata pergaulan masyarakat. Namun adapun keterbatasan kemampuan
hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan, berikut diungkapkan oleh para
sarjana antara lain:
a. Rubin menyatakan bahwa pemidaan (apapun hakikatnya, apakah
dimaksudkan untuk menghukum atau untuk memperbaiki) sedikit atau
tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan.
b. Schultz mengatakan, bahwa naik turunnya kejahatan di suatu negara
tidaklah berhubungan dengan perubahan-perubahan di dalam
hukumnya atau kecenderungan dalam putusan-putusan pengadilan,
tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau berfungsinya perubahan-
perubahan kultural yang besar dalam kehidupan masyarakat.
c. Johannes Andenaes menyatakan, bahwa bekerjanya hukum pidana
selamanya harus dilihat dari keseluruhan konteks kulturalnya. Ada
saling pengaruh antara hukum dengan faktor-faktor lain yang
membentuk sikap dan tindakan kita.
d. Wolf Middendorf menyatakan bahwa sangatlah sulit untuk melakukan
evaluasi terhadap efektivitas dari general deterrence karena mekanisme
pencegahan (deterrence) itu tidak diketahui. Kita tidak dapat
mengetahui hubungan sesungguhnya antara sebab dan akibat. Orang
mungkin melakukan kejahatan atau mungkin menanggulanginya lagi
78
Barda Nawawi Arief I, Loc.Cit.
54
tanpa hubungan ada tidaknya undang-undang pidana yang dijatuhkan.
Sarana-sarana kontrol sosial lainnya, seperti kekuasaan orang tua,
kebiasaan-kebiasaan atau agama mungkin dapat mencegah perbuatan
yang sama kuatnya dengan ketakutan orang terhadap pidana.79
Kebijakan formulasi hukum pidana diartikan sebagai suatu usaha untuk
membentuk atau merumuskan suatu perbuatan yang tidak dikehendaki oleh
masyarakat dalam peraturan perundang-perundangan bahwa perbuatan tersebut
dapat mengancam kesejahteraan masyarakat dan menganggu ketertiban umum
yang bertujuan untuk menegakan kepastian hukum dan keadilan dalam rangka
perlindungan hak asasi manusia. Kebijakan pengaturan kejahatan dalam hukum
pidana merupakan suatu upaya untuk merumuskan suatu perbuatan yang
bertentangan dengan nilai-nilai dalam perkembangan hidup masyarakat yakni
terhadap nilai ketertiban, menganggu kedamaian dalam hidup masyarakat serta
nilai-nilai keadilan dalam masyarkat. Kebijakan pengaturan kejahatan dalam
hukum pidana sebagai salah satu tanggung jawab negara untuk menjaga dan
menjamin kedamaian hidup bermasyarakat, berbangsa serta sebagai wujud
perlindungan Hak Asasi Manusia.
Hukum pidana di indonesia mengenal dua jenis perumusan delik yakni:
1) Delik Formil
Delik formil dalam bahasa indonesia ialah delik yang oleh pembuat
undang-undang dirumuskan secara formil, dengan kata lain undang-undang
pidana cukup menguraikan perbuatan yang dilarang saja dan tidak menyebut
akibat perbuatan seperti yang dirumuskan dalam Pasal 161 KUHP (Penghasutan),
79
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit., h.54
55
263 KUHP (Pemalsuan Surat), Pasal 362 KUHP (Pencurian) dan selanjutnya
semua delik-delik omissie. Penuntut umum yang menghadapi delik formil, yaitu
hanya menguraikan perbuatan yang dilarang, tidak perlu menulis akibat perbuatan
itu ke dalam surat dakwaannya dan tidak perlu ia membuktikannya. Misalnya
bahwa korban pencurian menderita kerugian. Pasal 285 KUHP hanya mengancam
pidana barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh (perbuatan aktif atau positif).
Tidak disyaratkan bahwa perempuan itu hamil (akibat), karena pasal tersebut
tidak bertujuan untuk mencegah kehamilan, tetapi melindungi perempuan dari
nafsu birahi jahat lelaki.80
Delik sumpah palsu yang merupakan delik formil yang tidak
menimbulkan halangan baik pemilik barang, dan pada delik penghasutan yang
ternyata tidak menimbulkan efek bagi yang dihasut, keadaan itu tidak dapat
dijadikan alasan bagi terdakwa untuk dibebaskan. Akibat penghasutan dan akibat
pengucapan sumpah palsu tidak disebut sebagai unsur delik. Contoh delik formil
ialah menurut Pasal 156 KUHP, yaitu di depan umum menyatakan perasaan
permusuhan atau kebencian atau pun penghinaan terhadap suatu golongan rakyat
indonesia, tidak mensyaratkan adanya akibat.
2) Delik Materiil
Delik Materiil adalah delik yang dirumuskan oleh pembuat undang-
undang dengan mensyaratkan adanya akibat yang dilarang. Di dalam aturan
undang-undang perbuatan yang menjadikan timbulnya akibat kadang-kadang
80
Zainal Abidin Farid, 2010, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, h. 360
56
juga ikut dirumuskan dan sering tidak dimasukkan sebagai unsur konstitutif delik
itu. Delik materiil mengandung unsur akibat, seperti delik pembunuhan. Perbuatan
tidak diuraikan dalam Pasal 338 KUHP, yang berarti perbuatan apa saja yang
membawa akibat kematian orang lain termasuk pembunuhan, misalnya menikam,
memukul, menembak, meracun, melempar orang ke dalam jurang, mengenakan
ilmu hitam selama dapat dibuktikan. Bila perbuatan untuk menghilangkan nyawa
orang lain belum terjadi, tetapi sudah dilakukan perbuatan pelaksanaan
kesengajaan, maka yang terjadi ialah percobaan pembunuhan. Contoh lain ialah
penganiayaan menurut Pasal 351 KUHP, bahwa apa yang dimaksud penganiayaan
tidak dijelaskan oleh KUHP. Pasal 351 (4) KUHP memperluas pengertian
penganiayaan dengan memberikan penafsiran autentik, yang menyatakan dengan
penganiayaan disamakan dengan merusak kesehatan.81
Beberapa pengarang berpendapat bahwa perbedaan antara delik formil dan
delik materiil ialah bahwa perbuatan dan akibat yang tidak diinginkan terwujud
bersamaan, yang waktu dan tempat terjadinya tidak dapat dipisahkan, sedangkan
delik materiil tidaklah demikian halnya. Menurut Hazewinkel-Suringa pendapat
demikian tidak selalu benar. Beberapa delik formil dapat dilakukan dengan
perbuatan yang tidak selalu terjadi bersamaaan dengan akibat. Misalnya surat
dengan menggunakan bahan kimia, yang bekerjanya lambat. Sebaliknya, dapat
terjadi perbuatan dan akibat yang terjadi jatuh bersamaan, misalnya menabrak
orang lain yang mengakibatkan korban mati pada saat dan ditempat yang
bersamaan. Beberapa pengarang juga berpendapat bahwa pembedaan delik formil
81
Ibid., h.361
57
dan delik materiil penting dalam hal terjadi percobaan dan penyertaan. Percobaan
untuk melakukan delik formil terjadi apabila pelaku delik telah melakukan
sebagian perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Percobaan untuk
melakukan delik materiil telah terjadi apabila perbuatan pelaksanaan sedemikian
sifatnya, sehingga akan menimbulkan akibat yang dilarang.82
Perumusan suatu perbuatan yang dilarang dalam suatu undang-undang
sangat penting dalam rangka untuk menjamin hak-hak warga masyarakat yang
menjadi korban kejahatan. Pembedaan rumusan delik formil dan delik materiil
dilakukan untuk mengidentifikasikan bentuk-bentuk perbuatan yang dilarang
menurut hukum serta dalam rangka untuk menjangkau perbuatan-perbuatan yang
menimbulkan keresahan dalam masyarakat, seperti keberadaan kejahatan dengan
menggunakan kekuatan gaib yang tidak dapat dirumuskan secacra materiil oleh
karena terkendala masalah pembuktian yang tidak dapat dijangkau oleh hukum.
Akan tetapi untuk mencegah maraknya praktek-praktek kejahatan tersebut serta
untuk mengantisipasi tindakan main hakim sendiri terhadap seorang yang diduga
melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib maka pengaturan
tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk delik formil.
2.2 Kejahatan dengan Menggunakan Kekuatan Gaib
Kejahatan tumbuh dan berkembang mengikuti dinamika masyarakat dan
pembangunan. Berkenaan dengan hal tersebut, H.R Abdussalam dan DPM
Sitompul mengemukakan bahwa bertambahnya masyarakat dan gencarnya
82
Ibid., h. 362
58
pembangunan, maka kejahatan akan semakin meningkat.83
Kejahatan merupakan
perilaku anti sosial sebagaimana dikemukakan Robert M.Bohm dan Keith N.
Haley bahwa “a typical social definition of crime is behavior that violates the
norms of society, or more simply antisocial behavior”84
( definisi sosial yang khas
dari kejahatan adalah perilaku yang melanggar norma-norma masyarakat, atau
perilaku antisocial). Pernyataan tersebut dapat diakui kebenarannya dewasa ini,
muncul dan berkembangnya berbagai bentuk kejahatan dengan berbagai modus
operandi atau dimensi baru, tidak terlepas dari pengaruh dinamika masyarakat dan
pembangunan, khususnya pembangunan dibidang perekonomian serta ilmu
pengetahuan dan teknologi.
R. Soesilo membedakan pengertian kejahatan secara juridis dan
pengertian kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi juridis, pengertian
kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan
undang-undang. Ditinjau dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan
kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita,
juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan,
ketentraman dan ketertiban.85
Mien Rukmini mengemukakan bahwa kejahatan merupakan bagian dari
kehidupan sosial, hidup, dan tidak terpisahkan dari kegiatan manusia sehari-hari.
83
H.R. Abdussalam dan DPM Sitompul, 2007, Sistem Peradilan Pidana, Restu Agung,
Jakarta, h.1
84
Robert M.Bohm and Keith N. Haley, 2007, Introduction to Criminal justice, McGraw-
Hill, New York, p.31
85
Abintoro Prakoso, 2013, Kriminologi dan Hukum Pidana, Laksbang Grafika,
Yogyakarta, h. 45
59
Perampokan, pemerkosaan, penipuan, penodongan, dan berbagai bentuk perilaku
sejenis, menunjukkan dinamika sosial.86
Kejahatan diartikan juga sebagai pola
tingkah laku yang merugikan masyarakat, baik secara fisik maupun materi, baik
yang dirumuskan dalam hukum maupun tidak.87
Kejahatan dipandang sebagai
suatu perbuatan yang meresahkan dan menggangu ketertiban sosial serta
menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat, sehingga kejahatan memerlukan
suatu penegakan yang serius oleh hukum dalam suatu negara. William J.
Chambliss mengatakan “ crime as any antisocial act that threatens the exiting
social structure or the fundamental well being of humans .88
(kejahatan sebagai
tindakan antisocial yang mengancam struktur sosial atau kesejahteraan
masyarakat).
Kejahatan merupakan perbuatan yang antisosial dalam masyarakat, yang
dianggap mengganggu ketertiban dalam kehidupan masyarakat yang dapat
menimbulkan kerugian dalam bentuk materiil maupun immateriil. Sudah
dikemukakan di atas bahwa kriminologi memiliki peranan penting untuk
menentukan suatu perbuatan bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan
masyarakat. Menurut Freda Alder, “criminology is the body of knowledge
regarding crime as a social phenomenom. It includes wthin its scope the process
86
Mien Rukmini, 2009, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi s(Sebuah Bunga Rampai),
Alumni, Bandung, h.81
87
Muhammad Mustofa, 2013, Metodologi Penelitian Kriminologi, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, h.9
88 William J. Chambliss and Aida Y.Hass, 2011, Criminology, Connecting Theory,
Research and Practice, Mc Graw Hill Companies, AS, h.7
60
of making laws, of breaking laws, and of reacting toward the breaking of laws ”89
(kriminologi adalah tubuh pengetahuan tentang kejahatan sebagai fenomena
sosial. Ini termasuk dalam ruang lingkup proses pembuatan undang-undang,
melanggar hukum, dan reaksi terhadap pelanggar hukum). Kriminologi dapat
didefinisikan sebagai suatu pengetahuan empiris yang mempelajari dan
mendalami secara ilmiah kejahatan dan orang yang melakukan kejahatan
(penjahat).
Berdasarkan pandangan para pakar hukum pidana tersebut, dapat
disimpulkan bahwa kejahatan adalah tiap kelakuan yang merugikan, merusak
dan menganggu ketertiban umum yang menimbulkan kegoncangan sedemikian
besar dalam masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak untuk mencela
dan mengadakan perlawanan terhadap kelakuan tersebut dengan jalan
menjatuhkan dengan sengaja suatu nestapa terhadap pelaku perbuatan tersebut
melalui sarana hukum pidana.
Uraian terdahulu telah menyinggung bahwa fenomena kejahatan dengan
menggunakan kekuatan gaib berkaitan erat dengan kebudayaan dan religi yang
hidup di tengah-tengah masyarakat indonesia. Terkait dengan keberadaan
kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib dapat diklasifikasikan sebagai ilmu
hitam (black magic), merupakan jenis ilmu sihir untuk mengendalikan suatu
kejadian, objek, orang dan fenomena lainnya secara mistis atau supranatural
dengan perantara orang yang ahli dalam bidangnya (paranormal). Black magic
termasuk ditentang oleh masyarakat karena karakternya yang dapat
89Freda Adler, Gerhard O.W. Mueller, William S. Laufer, 2010, Criminology, Mc Graw
Hill, AS, p.10
61
menyengsarakan orang lain, sedangkan white magic atau ilmu putih mempunyai
karakter yang baik dan fungsinya dapat menolong orang yang sedang kesusahan,
seperti menyembuhkan penyakit, untuk mengusir wabah penyakit, dan
sebagainya. Kejahatan dengan kekuatan gaib identik dengan suatu kekuatan gaib
yang bertujuan ke arah negatif, karena sifatnya yang mencelakakan bahkan dapat
membahayakan nyawa orang lain. Kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib
yang dikenal misalnya ilmu hitam, santet, teluh, susuk, pesugihan, leak (di Bali),
sedangkan di negara-negara lain ilmu hitam yang dikenal yaitu voode dari Haiti.90
Praktek dukun voodoo di Afrika, juga sihir (tenung) di indonesia dapat
dikatakan sebagai praktek sorcery (praktek ilmu tenung) yang berkaitan dengan
fungsi dukun sebagai tukang tenung. Berkaitan dengan fungsi dukun sebagai
sorcerer yang melakukan praktik kejahatan dengan kekuatan gaib didasarkan atas
permintaan seseorang (juga dalam white magic), maka dapat diketahui bahwa
santet, sihir berfungsi sebagai sarana untuk menyelesaikan permasalahan dalam
masyarakat. Sebagai contoh, penolakan cinta, sehingga minta pertolongan pada
dukun untuk diberi pengasihan agar bisa memikat hati orang yang telah
melakukan penolakan cinta melalui mantera dari dukun. Hal tersebut juga untuk
menyelesaikan sengketa antar warga, misalnya saja masalah warisan, sengketa
tanah, batas pagar rumah yang dapat menimbulkan dendam berkepanjangan,
mengobati penyakit, mengusir wabah, dan lain-lain.91
90
http:www//indoskeptics.wordpress/2014/04/11/voodoo-dan-santet-fakta-atau-
fiksi//.com, diakses pada tanggal 12 Desember 2014 pukul 13.00 Wita
91
Mohammad Sobary, 1997, Fenomena Dukun Dalam Budaya Kita, Pustaka Firdaus,
Jakarta, h.113
62
Beberapa contoh fungsi santet, sihir, dan ilmu gaib lainnya tersebut dapat
diketahui memiliki fungsi jahat atau baik bagi masyarakat tergantung pada tujuan
dari seseorang yang menyuruh melakukan perbuatan jahat tersebut. tidak jarang
pula ilmu gaib termasuk di dalamnya santet dan sihir memiliki kekuatan yang
sakti, sehingga dapat dipergunakan untuk mengutuk atau menyumpahi orang yang
dimaksud oleh seseorang yang menyuruh melakukan. Oleh karena itu ilmu gaib
yang bersifat negatif mempunyai fungsi kontrol dalam masyarakat dengan kata
lain untuk mengurangi atau bahkan menambah konflik dalam masyarakat. Hal ini
terjadi, karena di satu sisi timbul rasa saling curiga antara anggota masyarakat
yang satu dengan yang lain, dengan menuduh seorang warga menjadi dukun
santet dan melakukan praktek-praktek ilmu hitam.
Karakter jahat yang ditimpakan masyarakat kepada seseorang yang
menjalankan praktek perdukunan dalam ilmu hitam dapat dipandang sebagai
orang jahat. Sehubungan dengan stigma orang jahat yang ditujukan kepada orang-
orang yang menjalankan praktek perdukunan ilmu hitam in dapat diketahui sejak
jaman Kerajaan Majapahit.92
Dalam hal ini perbuatan tenung dipandang sebagai
perbuatan tercela. Pada teori labeling (pemberian nama) kedudukan perilaku
penjahat tidak ditekankan, dalam teori ini yang ditekankan adalah reaksi
masyarakat terhadap penjahat. Sehingga dalam prakteknya harus ada reaksi
masyarakat terhadap perbuatan si penjahat. Demikian pula pada dukun yang
sering menjadi sasaran amuk massa, sebagai akibat dari reaksi masyarakat pada
perbuatan jahat yang dilakukan oleh dukun tersebut.
92
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit. h. 290
63
Semakin maraknya praktek perdukunan dan klenik yang menggunakan
sihir dilandasi oleh adanya anggapan bahwa untuk melakukan penganiayaan dan
pembunuhan terhadap orang yang dipandang sebagai lawan, santet, sihir
merupakan cara yang paling efesien dan tidak ada resiko untuk berhadapan
langsung dengan pihak yang berwajib. Sekalipun perbuatan tersebut adalah dosa
menurut agama yang dianut, namun perbuatan tersebut masih ada yang
memerlukannya. Dengan kata lain, santet dan sihir memiliki fungsi dan peran
sangat penting dalam masyarakat, karena penggunaan ilmu gaib tersebut terkait
dengan masalah kuat tidaknya keyakinan beragama dan perasaan kesusilaan
masyarakat.
Ilmu gaib berkaitan dengan metafisika yang merupakan cabang filsafat
yang membicarakan tentang hal-hal yang sangat mendasar yang berada di luar
pengalaman manusia. Ditinjau dari segi filsafat secara menyeluruh metafisika
(Mistik) adalah ilmu yang memikirkan hakikat di balik alam nyata. 93
Metafisika
membicarakan hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata tanpa dibatasi pada
sesuatu yang dapat diserap oleh pancaindra. Pengertian secara umum, Mistik
adalah pengetahuan yang tidak rasional. Pengertian mistik bila dikaitkan dengan
agama ialah pengetahuan (ajaran atau keyakinan) tentang Tuhan yang diperoleh
melalui meditasi atau latihan spiritual, bebas dari ketergantungan pada panca
indera dan rasio. Metafisika mengkaji segala sesuatu secara komprehensif.
Menurut Asmoro Achmadi, metafisika merupakan cabang filsafat yang
93
Jujun S. Suriasumantri, 2009, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, h. 64
64
membicarakan sesuatu yang bersifat “keluarbiasaan”, yang berada di luar
pengalaman manusia. Metafisika mengkaji sesuatu yang berada di luar hal-hal
yang berlaku pada umumnya, atau hal-hal yang tidak alami, serta hal-hal yang
berada di luar kebiasaan atau di luar pengalaman manusia.94
Aristoteles menyinggung masalah metafisika dalam karyanya tentang
Filsafat pertama, yang menyatakan ontology : the theory of being qua being. for
aristoteles, the first filosofhy, the science of the essece of things.95
(teori mengenai
keberadaan sesuatu, aristoreles, filosofi pertama, adalah ilmu tentang hakikat
suatu hal). Menurutnya, ilmu metafisika termasuk cabang filsafat teoritis yang
membahas masalah hakikat segala sesuatu, sehingga ilmu metafisika menjadi inti
filsafat. Pengetahuan metafisika (mistik) adalah pengetahuan yang tidak dapat
dipahami rasio, maksudnya hubungan sebab akibat yang terjadi tidak dapat
dipahami rasio. Pengetahuan ini kadang-kadang memiliki bukti empiris tetapi
kebanyakan tidak dapat dibuktikan secara empiris.96
Tafsiran paling pertama yang diberikan oleh manusia terhadap alam ini
adalah bahwa terdapat wujud-wujud bersifat ghaib (supranatural) dan wujud ini
lebih kuasa dibandingkan dengan alam nyata. Animisme, mengembangkan
metafisika bahwa alam dan manusia dikuasai oleh wujud-wujud yang bersifat
ghaib dan magis. Misalnya, roh-roh yang bersifat ghaib terdapat pada benda.
94
Suryadi, Filsafat ilmu (Aristoteles), 2010, http:www// media/ilmu/.co.id, diakses pada
tanggal 27 Oktober 2014 h.2
95
Dagobert.D.Runes, The Dictionary of Philosophy, Philosophical Library, New york, h.
219 96
Suryadi, Op.Cit., h.3
65
Seperti batu, pohon, merupakan contoh kepercayaan yang berdasarkan pemikiran
supernaturalisme.97
Naturalisme yaitu paham yang menolak pendapat bahwa
terdapat wujud-wujud yang bersifat supernatural karena naturalisme hanya
menerima pandangan yang menyatakan bahwa ada itu semata-mata realitas alam.
Materialisme yang merupakan turunan naturalisme merupakan paham yang
berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan
ghaib, melainkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri.98
Pertama, mereka yang memiliki kemampuan atau pengaruh melalui
kekuatan mental itu disebabkan jiwa mereka telah menyatu dengan jiwa setan atau
roh jahat. Para filosof menyebut mereka ini sebagai ahli sihir dan kekuatan
mereka luar biasa. Kedua, mereka yang melakukan pengaruh magisnya dengan
menggunakan watak benda-benda atau elemen-elemen yang ada di dalamnya,
baik benda angkasa atau benda yang ada di bumi. Inilah yang disebut jimat-jimat
yang biasa disimbolkan dalam bentuk benda-benda materi atau rajah. Ketiga,
mereka yang melakukan pengaruh magisnya melalui kekuatan imajinasi sehingga
menimbulkan berbagai fantasi pada orang yang dipengaruhi.99
Secara ontologi, ilmu membatasi diri pada pengkajian objek yang berada
dalam lingkup pengalaman manusia dan secara epistemologi, ilmu merupakan
metode ilmiah yakni cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan
97
Suryadi, Op.Cit., h.4
98
Suryadi, Op.Cit., h.5
99
Suryadi, Op.Cit., h.7
66
yang benar, sehingga sempat diragukan untuk membicarakan mistik yang berada
di luar pengalaman manusia atau akal sehat manusia tersebut akankah dapat
ditinjau secara perspektif filsafat ilmu atau hanya melalui perspektif filsafat saja.
Meskipun demikian, ilmu adalah bagian dari pengetahuan dan pengetahuan
merupakan unsur dari kebudayaan. Dalam hal ini mistik sebagai budaya hukum
yang berakar dari suatu kebudayan suatu masyarakat, artinya mistik dapat dilihat
dengan perspektif keilmuan dalam hal ini ditinjau melalui filsafat ilmu.
Pandangan dari aspek filsafat ilmu, diketahui bahwa mistik juga
merupakan bagian dari objek kajian filsafat yakni dalam cabang metafisik karena
dalam metafisik dipelajari pembicaraan-pembicaraan tentang prinsip yang paling
universal dan sesuatu yang di luar kebiasaan (beyond nature). Mistik sendiri
merupakan suatu yang universal dan seringkali merupakan suatu hal di luar
kebiasaaan manusia umumnya atau sebaliknya kemudian justru menjadi kebiasaan
manusia. Metafisik berusaha untuk menyajikan pandangan yang komprehensif
tentang segala hal yang ada. 100
membahas mengenai epistemology mistik, berarti
berusaha mencari tahu bagaimana sejarah munculnya mistik ini diantara rasa, hati,
dan keyakinan seseorang. Jadi tidak melalui indera atau rasio akal manusia.
Menurut teori Robert K.Merton dijelaskan bahwa magis atau mistik atau
ritus kepercayaan tertentu maupun kepercayaan bersifat fungsional memberi efek
terhadap jiwa atau kepercayaan diri bagi mereka yang memang
100
Jujun S. Suriasumantri, Op.Cit.,h.64
67
mempercayainya.101
Dengan demikian aspek epistemologi hal gaib diperoleh
melalui berbagai cara, seperti meyakinkan seseorang melalui pengkulturasian,
karisma, secara damai melalui pendekatan agama dan keyakinan termasuk
menjadi budaya hukum. Pada akhirnya berdasarkan aspek aksiologis kegunaan
utama dari mistik atau kegaiban adalah selain mempermudah sebagian pihak
untuk mempengaruhi masyarakat melalui kharismatik dan pengkulturasian dalam
kebudayaan. Dari hal tersebut pada hakekatnya keberadaan terhadap suatu hal-hal
yang bersifat kegaiban dipercayai oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, dan
cenderung digunakan sebagai media untuk melakukan kejahatan.
Objek dari mistik tersebut merupakan objek yang gaib, kasat mata dan
supra rasional. Maka cara memperolehnya sering kali tidak menggunakan akal
rasional. Gaib dapat diperkenalkan sebagai suatu bentuk dari intuisi dijelaskan
bahwa intuisi yang ditemukan orang dalam penjabaran-penjabaran mistik
memungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan yang langsung yang mengatasi
pengetahuan yang diperoleh dengan akal dan indra.102
Kehadiran mistik ke dalam
budaya hukum, secara teori juga dapat dianalisis berdasarkan teori-teori mengenai
perilaku manusia dan budaya. Suatu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-
konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat mengenai hal-
hal yang harus mereka anggap bernilai dalam hidup.
101
Suryadi, Op.Cit., h.9
102
Ahmad Tafsir, 2004, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
Pengetahuan, Rosdakarya, Bandung, h.52
68
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
kekuatan gaib adalah suatu kekuatan yang bersumber dari sesuatu yang tidak
terlihat, tersembunyi, tidak nyata, tidak diketahui sebab-sebabnya, menjadi
rahasia, mistis, misterius, dan semua hal yang tidak dapat dilihat atau dirasakan
oleh panca indra orang-orang biasa kecuali oleh mereka yang memiliki kelebihan
untuk merasakan kegaiban dalam bentuk kekuatan. Kekuatan gaib tersebut,
digunakan dalam berbagai bentuk aktivitas oleh seseorang yang memiliki
kelebihan tersebut. Kekuatan gaib tidak dapat diterangkan dengan akal sehat
karena sifatnya yang di luar akal sehat, berkaitan dengan hal-hal yang luar biasa,
serta melampaui batas kemampuan manusia biasa, dan lainnya.
Perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dapat diartikan suatu
perbuatan dengan menggunakan media yang tidak terlihat oleh panca indra serta
meliputi kejahatan yang mengatasnamakan kekuatan gaib untuk melakukan
kejahatan. Sehingga akibat kejahatan dengan kekuatan gaib tersebut menimbulkan
banyak korban serta menimbulkan reaksi sosial yang begitu tinggi dalam
masyarakat. Kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib merupakan perbuatan
yang bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan yang dilakukan dengan cara-cara
yang tidak benar, yang menyebabkan terganggunya keseimbangan sosial dalam
masyarakat. Perbuatan gaib yang digunakan di Indonesia dalam berbagai daerah
telah disebutkan memiliki penyebutan yang berbeda-beda yang sulit untuk
diidentifikasikan ke dalam suatu peraturan sehingga secara umum digunakan
69
istilah perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam hal ini kekuatan gaib
yang digunakan untuk melakukan kejahatan.
2.3 Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia
Sejak kemerdekaan, keinginan untuk mewujudkan sistem hukum
nasional merupakan salah satu agenda utama dalam pembangunan nasional,
sebagaimana ditunjukkan oleh dokumen resmi negara yang membahas mengenai
RUU UUD 1945 yang dipelopori oleh para pejuang pergerakan kemerdekaan
yang memiliki gagasan untuk membentuk karakter dan ciri khas sistem hukum
nasional.103
Politik hukum pidana nasional, mesti dimaknai sebagai kehendak
nasional untuk menciptakan hukum pidana yang sesuai dengan aspirasi dan tata
nilai yang bersumber dari bangsa Indonesia sendiri. Selain itu hukum pidana juga
dapat berperan serta untuk memberikan sumbangan untuk mewujudkan tujuan
terbentuknya negara (cita-cita kemerdekaan), yaitu mewujudkan negara yang adil
makmur berdasarkan Pancasila.104
Mempunyai hukum pidana Indonesia dalam sistem hukum nasional adalah
sebuah mimpi yang hingga hari ini belum menjadi nyata. Telah panjang
perjalanan para intelektual hukum pidana hingga bergenerasi masih belum mampu
menjelmakan sebuah cita-cita yang hendak membebaskan dari cengkeraman
103
Retno Lukito, 2013, Tradisi Hukum Indonesia, IMR Press, Cianjur, h.5
104
Mokhammad Najih, 2014, Politik Hukum Pidana Konsepsi Pembaharuan Hukum
Pidana dalam Cita Negara Hukum, Setara Press, Malang, h.1
70
kuku-kuku hukum produk kolonialisme.105
Melihat sejarah pembentukan RUU
KUHP, tidak dapat dilepaskan dari usaha pembaharuan KUHP secara
menyeluruh. Usaha ini baru dimulai sejak adanya rekomendasi hasil Seminar
Hukum Nasional I, pada tanggal 11-16 Maret 1963 di Jakarta yang menyerukan
agar rancangan kodifikasi hukum pidana nasional secepat mungkin diselesaikan.
Kemudian pada tahun 1964 dikeluarkan Rancangan KUHP pertama kali dan
berlanjut terus hingga sekarang.
Demikian dapat disimpulkan bahwa usaha pembaharuan hukum pidana
secara universal, global atau menyeluruh ini masih merupakan rechtsidee (cita
hukum) atau iuscostituendum, sebab belum disahkan menjadi sebuah perundang-
undangan (ius costitutum)106
Pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari
kebijakan atau politik hukum pidana (penal policy). Makna dan hakikat
pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi
diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri. Latar belakang dan urgensi
diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosiopolitik,
sosiofilosofis, sosiokultural, atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya
kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum). Ini
berarti, makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana juga berkaitan erat
dengan berbagai aspek itu. Artinya, pembaharuan hukum pidana juga pada
105
Mardjono Reksodiputro, 1995, Pembaharuan Hukum Pidana, Lembaga Kriminologi
UI, Jakarta, h.14
106
Mokhammad Najih, Op.Cit., h.2
71
hakikatnya harus merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaharuan
terhadap berbagai aspek dan kebijakan yang melatarbelakanginya.
Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu
upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai
dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat
Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan
penegakan hukum di Indonesia.107
pembaharuan hukum pidana ditentukan
dengan kebijakan hukum pidana itu sendiri, artinya pembaharuan hukum pidana
dapat diarahkan melalui kebijakan hukum pidana, atau adanya kebijakan hukum
pidana berarti telah mengadakan suatu pembaharuan hukum pidana. Pembaharuan
hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang
pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau
“policy”(yaitu bagian dari politik hukum/penegakan hukum, politik hukum
pidana, politik kriminal, dan politik sosial). Demikian pula Me. Grath W.T.
menyatakan “Rational Consideration must be partnered by moral considerans in
criminal justice”(pertimbangan rasional harus bermitra dengan pertimbangan –
pertimbangan dalam peradilan pidana) 108
kebijakan kriminal tidak dapat
dilepaskan sama sekali dari masalah nilai karena seperti yang dikatakan oleh
Christiansen “ the conception of problem crime and punishment is an essential
107
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit., h.29
108
Me. Grath W.T. 1976, Developping a Stable Base For Criminal Justice Planning,
Abstracts on Criminology and Penology, Kluwer Deventer, Vol. 16 No.3, p360
72
part of the culture of any society”(konsepsi masalah kejahatan dan hukuman
merupakan bagian penting dari budaya masyarakat) begitu pula menurut W.
Clifford “the very foundation of any criminal justice system consists of the
philosophy behind a given country”109
(sangat mendasar dari setiap sistem
peradilan pidana terdiri dari filosofi di belakang negara tertentu). Terlebih bagi
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan garis kebijakan pembangunan
nasionalnya bertujuan membentuk manusia Indonesia seutuhnya berdasarkan
landasan filosofi.
Setiap kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai. Oleh karena
itu, pembaharuan hukum pidana harus pula berorietasi pada pendekatan nilai.
Makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana adalah sebagai berikut:
1) Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan
a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pemabaharuan hukum pidana
pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi
masalah-masalah sosial (termasuk masalah masalah kemanusiaan)
dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan
masyarakat dan sebagainya).
b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana
pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan
masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan).110
109
Ibid., p.361
110
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h.34
73
c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum
pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui
substansi hukum (legal substance)dalam rangka lebih mengefektifkan
penegakan hukum.111
2) Dilihat dari sudut pendekatan nilai
Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya
melakukan peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi dan reevaluasi) nilai-
nilai sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural yang melandasi dan memberi
isi terhadap muatan normatif dan subtantif hukum pidana yang dicita-citakan.
Bukanlah pembaharuan (reformasi) hukum pidana, apabila orientasi nilai dari
hukum pidana yang dicita-citakan(misalnya, KUHP baru) sama saja dengan
orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau WvS).
112
Penganalisisan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan
dari konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau
kebijakan pembangunan nasional. Dengan demikian pemecahan masalah-masalah
di atas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan
sosial politik yang telah ditetapkan.113
Dengan demikian, kebijakan hukum pidana
termasuk pula kebijakan dalam menangani dua masalah sentral di atas, harus pula
111
Barda Nawawi Arief I., Loc.Cit.
112
Barda Nawawi Arief I.,Op.Cit., h. 35
113
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit., h.36
74
dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ( policy oriented
approach).
Berdasarkan dari sudut pendekatan kebijakan dan sudut pendekatan nilai,
pengkajian menitikberatkan pada hukum pidana materiil (KUHP), mengingat
bagian hukum pidana ini mampu merumuskan atau memformulasikan perbuatan-
perbuatan apa yang dijadikan tindak pidana, bagaimana mengenai
pertangungjawaban pidananya, serta bagaimana mengenai pidana dan
pemidanaanya. Dengan demikian tahap formulasi menempati posisi strategis jika
dibandingkan tahap aplikasi maupun tahap pelaksanaan hukum pidana yang
merupakan kelanjutan dari operasionalisasi atau penegakan hukum pidana.
Usaha pembaharuan hukum di Indonesia yang sudah dimulai sejak
proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, melalui Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak dapat dilepaskan dari
landasan dan sekaligus tujuan nasional yang ingin dicapai seperti dirumuskan
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, khususnya alinea ke empat sebagai perumusan tujuan nasional dapat
diketahui dua tujuan nasional yang utama yaitu untuk melindungi segenap bangsa,
dan untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila. Menurut
Barda Nawawi Arief, terlihat dua kata kunci dari tujuan nasional, yaitu
perlindungan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat. Dua kata kunci itu
identik dengan istilah yang dikenal dalam kepustakaan/dunia keilmuan dengan
75
sebutan social defence dan social welfare. Dengan adanya kedua kata kunci
inipun terlihat adanya asas keseimbangan dalam tujuan pembangunan nasional.114
Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk
perlindungan masyarakat dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan
dengan memperbaiki atau memulihkan kembali si pembuat kejahatan tanpa
mengurangi keseimbangan kepentingan peroragan dan masyarakat. Kebijakan
yang ditempuh oleh bangsa Indonesia dalam melaksanakan pembaharuan hukum
pidana, melalui dua jalur, yaitu:
1. Pembaharuan Konsep Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Nasional, yang maksudnya untuk menggantikan KUHP yang
berlaku sekarang.
2. Pembaruan perundang-undangan pidana yang maksudnya mengubah,
menambah, dan melengkapi KUHP yang berlaku sekarang.115
Menurut Barda Nawawi Arief, bahwa penyusunan RUU KUHP pada
hakikatnya merupakan suatu upaya pembaharuan/rekontruksi/retrukturisasi
keseluruhan sistem hukum pidana substantive yang terdapat dalam KUHP (WvS)
peninggalan zaman Hindia Belanda. Restrukturisasi mengandung arti menata
kembali dan hal ini sarat dengan makna rekontruksi yaitu membangun kembali.
Jadi RUU KUHP bertujuan melakukan penataan ulang bangunan sistem hukum
pidana nasional. Hal ini tentunya berbeda dengan pembuatan atau penyusunan
114
Barda Nawawi Arief, 2009, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang (selanjutnya disingkat Barda Nawawi III) , h.43
115
Ibid., h.44
76
RUU biasa yang sering dibuat selama ini. Perbedaanya dapat diidentifikasi
sebagai berikut:
a. Penyusunan RUU biasa: bersifat parsial/fragmenter, pada umumnya
hanya mengatur delik khusus/tertentu, masih terikat pada sistem induk
(WvS) yang sudah tidak utuh, hanya merupakan “sub sistem”, tidak
membangun/merekontruksi “ sistem hukum pidana”
b. Penyusunan RKUHP bersifat menyeluruh/terpadu/integral, mencaup
semua aspek/bidang, bersistem/berpola, menyusun/menata ulang
(rekontruksi/reformulasi) sistem Hukum Pidana Nasional yang
terpadu.116
RUU KUHP mengemban misi:
1. Dekolonisasi KUHP peninggalan/warisan kolonial dalam bentuk
rekodifikasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
2. Demokratisasi hukum pidana, yang ditandai dengan dimasukannya tindak
pidana terhadap HAM, hapusnya tindak pidana penaburan permusuhan
atau kebencian, yang merupakan tindak pidana formil dan dirumuskan
kembali sebagai tindak pidana penghinaan yang merupakan tindak pidana
materiil.
3. Konsolidasi hukum pidana, karena sejak kemerdekaan perundang-
undangan hukum pidana mengalami pertumbuhan yang pesat baik di
dalam maupun di luar KUHP dengan berbagai kekhasannya, sehingga
116
Ibid., h.45
77
perlu ditata kembali dalam kerangka asas-asas hukum pidana yang diatur
dalam Buku I KUHP.
4. Adaptasi dan harmonisasi terhadap berbagai perkembangan hukum yang
terjadi baik sebagai akibat perkembangan di bidang ilmu pengetahuan
hukum pidana maupun perkembangan nilai-nilai, standar-standar serta
norma yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab di dunia internasional.
Upaya penanggulangan kejahatan dengan kebijakan hukum pidana, mencakup
3 (tiga) tahapan, yaitu:
1. Tahap formulasi (kebijakan legislatif)
2. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif)
3. Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).117
Tahap formulasi merupakan tahap penegakan hukum in abstracto,
sedangkan tahap aplikasi dan tahap eksekusi telah memasuki tahap penegakan
hukum in concreto. Penelitian dalam tesis ini, pembahasan akan menitikberatkan
pada tahap formulasi atau kebijakan formulasi hukum pidana. Tahap kebijakan
formulasi merupakan tahap awal dan menjadi sumber landasan dalam proses
kongkritisasi bagi penegakan hukum pidana berikutnya, yaitu tahap aplikasi dan
eksekusi. Adanya tahap formulasi ini menunjukkan bahwa upaya pencegahan dan
penanggulangan kejahatan juga menjadi tugas dan kewajiban dari para pembuat
hukum, bukan hanya tugas penegak/penerap hukum. Tahap formulasi ini
117
Ibid., h. 46
78
merupakan tahap yang paling strategis, karena adanya kesalahan dalam tahap ini
dapat menghambat upaya pencegahan dan penanggulangan pada tahap aplikasi
dan eksekusi. 118
Kebijakan legislatif adalah suatu perencanaan atau program dari pembuat
undang-undang mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi problem
tertentu dan cara bagaimana melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah
direncanakan atau diprogramkan itu. Pembuatan hukum pidana adalah bagian
dalam kerangka menganggulangi kejahatan, artinya setiap perbuatan negatif yang
ada dalam masyarakat tentunya mendapat reaksi dari masyarakat dalam kerangka
untuk menekan kejahatan tersebut. Masyarakat tidak membiarkan adanya
perbuatan negatif yang terjadi, oleh karenanya dilakukan berbagai upaya untuk
menanggulangi kejahatan itu. Usaha masyarakat untuk menanggulangi kejahatan
ini disebut dengan politik kriminal.119
Pembaharuan hukum pidana dilakukan dengan pendekatan sistemik yaitu
usaha pendekatan yang menyeluruh dan integral. Namun perlu dicatat secara total,
melainkan menyempurnakannya dalam artian yang baik tetap dipertahankan, yang
tidak cocok lagi dihilangkan dan yang kurang akan ditambah. Oleh karenanya,
pembaharuan hukum pidana selalu berada dalam masalah kriminalisasi,
dekriminalisasi, dan depenalisasi. Pendekatan sistemik dalam pembaharuan
hukum pidana untuk membentuk atau mewujudkan KUHP baru adalah
118
Ibid., h.47
119
Ibid., h.59
79
menempatkan KUHP sebagai pokok atau bahan yang diperbaharui, dengan
melihat kepada doktrin dasar nasional seperti Pancasila, UUD 1945, dan
Wawasan Nusantara.
Objek yang diperbaharui adalah secara makro dan mikro hukum pidana.
Secara makro adalah pembaharuan pada struktur atau lembaga-lembaga sistem
peradilan pidana, substansinya yang menyangkut harmonisasi atau sinkronisasi
hukum pidana, dan pembaharuan aspek budaya masyarakat dan nilai-nilai
filosofis kehidupan. Sedangkan secara mikro pembaharuan itu menyangkut tiga
masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu perbuatan pidana,
pertanggungjawaban pidana, dan pidana. Metode yang dipakai adalah metode
komprehensif integratif, baik secara deduktif ( menurut doktrin), maupun secara
induktif (empirik). Dengan demikian, pembaharuan hukum pidana berdasarkan
pendekatan sistemik ini adlaah pembaharuan yang menyeluruh dari segala aspek
terkait dengan hukum pidana.120
Pembaharuan hukum pidana dalam hal objek baik yang makro maupun
mikro, tentunya akan terjadi kalau ada perubahan perkembangan dalam studi
terhadap apa yang dinamakan kejahatan. Oleh karena itu, studi kejahatan yang
mendukung pembaharuan hukum pidana, diantaranya yaitu:
1. Pembaharuan hukum pidana tidaklah dapat terjadi tanpa adanya perubahan
pandangan masyarakat tentang penilaian suatu tingkah laku.
120
Teguh Prasetyo, Op.Cit.,31
80
2. Perubahan penilaian tingkah laku tersebut tidaklah terlepas dari dukungan
sosial budaya di mana masyarakat tumbuh dan berkembang.121
Pembaharuan hukum pidana ditandai oleh adanya perkembangan
kejahatan yang terjadi dalam masyarakat, sedangkan yang mengkaji kejahatan
dari aspek kemasyarakatan (sosiologis) adalah kriminologi. Dengan demikian
kriminologi juga berfungsi sebagai sumber inspirasi dalam menggerakkan
pembaharuan hukum pidana tersebut. di samping itu jika dilihat dari pembaharuan
hukum pidana, maka masalahnya juga berkisar kepada tiga persoalan, yaitu
kriminalisasi, dekriminalisasi, dan depenalisasi.
Kriminalisasi adalah proses penetapan suatu perbuatan yang semula bukan
tindak pidana atau tidak diatur dalam hukum pidana, karena perkembangan
masyarakat, kemudian menjadi tindak pidana atau dimuat dalam hukum pidana.
Artinya, tahap akhir proses kriminalisasi adalah pembentukan hukum pidana.
Dalam hal ini, kriminologi memberikan masukan tentang perbuatan-perbuatan apa
saja yang layak dimasukan ke dalam hukum pidana. Di samping itu tentunya para
ahli hukum pidana tidak dapat bekerja sendiri untuk memasukkan perbuatan
menjadi perbuatan pidana, melainkan perlu bantuan dari ilmu sosial lainnya
termasuk kriminologi. Dalam usaha pembinaan dan pembaharuan hukum nasional
apabila dipandang perlu juga akan diikutsertakan kalangan di luar hukum yang
erat hubungannya dengan pembinaan dan pembaharuan hukum.122
121
Teguh Prasetyo, Op.Cit.,h.32
122
Teguh Prasetyo, Loc.Cit.
81
Dekriminalisasi adalah suatu proses dalam rangka menjadikan suatu
perbuatan yang semula merupakan tindak pidana kemudian karena perkembangan
masyarakat dikeluarkan dari hukum pidana, artinya perbuatan tersebut tidak
dianggap jahat lagi oleh masyarakat. Kriminologilah yang memberi masukan
tentang perkembangan perbuatan negatif yang terjadi dalam masyarakat. Artinya
studi kriminologi terhadap kenyataan yang sudah diatur dalam hukum pidana
tersebut, dan kenyataan ini karena perkembangan yang terjadi dapat bertolak
belakang dari apa yang sudah diatur dalam hukum pidana.123
Depenalisasi adalah perbuatan yang dulunya diancam dengan pidana,
karena perkembangan masyarakat, perbuatan yang dulunya diancam dengan
pidana dianggap bukan perbuatan yang perlu diancam dengan pidana lagi, tetapi
sifat perbuatannya masih dianggap jahat. Oleh karena itu dalam depenalisasi ini
sifat ancaman pidananya dicarikan pada alternatif lainnya, lantaran bobot
kejahatannya berkurang. Sebagai perbuatan yang negatif, kejahatan yang terjadi
dalam masyarakat tentunya mendapat reaksi dari masyarakat tempat kejahatan itu
terjadi. Reaksi ini berupa reaksi formal maupun refaksi informal. Dalam reaksi
yang formal akan menjadi bahan studi bagaimana bekerjanya hukum pidana itu
dalam masyarakat, artinya dalam masalah ini akan ditelaah proses bekerjanya
hukum pidana manakala terjadi pelanggaran terhadap hukum pidana tersebut.124
Proses ini berjalan sesuai dengan mekanisme sistem peradilan pidana,
yakni proses dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan sampai pelaksanaan putusan
123
Teguh Prasetyo, Op.Cit., h. 33
124
Teguh Prasetyo, Op.Cit., h. 34
82
di penjara (Lembaga Pemasyarakatan). Studi terhadap reaksi informal atau reaksi
masyarakat umum terhadap kejahatan itu berkaitan bukan saja terhadap kejahatan
yang sudah diatur dalam hukum pidana (pelanggarannya menimbulkan reaksi
formal) yang dapat menyebabkan terjaidnya tindakan main hakim sendiri oleh
masyarakat, juga reaksi terhadap kejahatan yang belum diatur oleh hukum
pidana. Artinya, masyarakat menganggap perbuatan itu jahat tetapi perbuatan itu
belum diatur oleh hukum pidana. Hal ini nantinya berpengaruh dalam menetapkan
kriminalisasi, dekriminalisasi, dan depenalisasi.125
Beberapa studi mengenai reaksi
masyarakat terhadap kejahatan ini ternyata menunjukkan hubungan yang
signifikan antara reaksi masyarakat dengan terjadinya kejahatan
Berdasarkan definisi ini, secara sederhana kebijakan formulasi dapat
diartikan sebagai usaha merumuskan atau memformulasikan suatu undang-undang
yang dapat digunakan untuk menangulangi kejahatan. Dalam perumusan undang-
undang akan ada proses kriminalisasi, yaitu suatu proses untuk menentukan suatu
perbuatan yang awalnya bukan sebagai tindak pidana kemudian dijadikan sebagai
tindak pidana. Proses kriminalisasi harus mempertimbangkan banyak hal, seperti
kepentingan hukum yang akan dilindungi, tingkat bahaya, kerugian, kesiapan dan
penguasaan teknologi oleh aparat dan lain sebagainya. Hal ini penting agar pada
tahap implementasi peraturan tersebut nantinya dapat berjalan dengan efektif dan
tidak bersifat mandul, apalagi sampai terjadi krisis kelebihan kriminalisasi (the
crisis of over-criminalization) dan krisis kelampauan batas dari hukum pidana (the
crisis of overreach of the criminal law)
125
Teguh Prasetyo, Op.Cit., h.5
83
BAB III
KEBIJAKAN PENGATURAN PERBUATAN DENGAN
MENGGUNAKAN KEKUATAN GAIB DALAM HUKUM POSITIF
INDONESIA
3.1 Pengaturan Perbuatan dengan Menggunakan Kekuatan Gaib dalam
KUHP
Secara kodrati, manusia adalah makhluk pribadi dan sosial. Sebagai makhluk
pribadi maupun sosial tidak pernah lepas dari pergesekan dan kepentingan
maupun ketergantungan antara yang satu dengan yang lain. Bertitik tolak dari hal
tersebut di atas, Moeljatno menyatakan, bahwa hukum pidana adalah bagian dari
keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar
dan aturan- aturan untuk:126
1.9. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang boleh dilakukan, yang
dilarang, disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi
barangsiapa melanggar larangan tersebut.
1.10. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana telah diancamkan.
1.11. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar
larangan tersebut.127
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya disingkat menjadi
KUHP merupakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan perbuatan-
perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, memiliki tujuan-tujuan sebagaimana
126
Moeljatno, Op.Cit,.h.4
127
Moeljatno, Op.Cit., h.5
83
84
tujuan hukum pada umumnya. Arti terpenting dari adanya hukum pidana sebagai
bagian dari sistem hukum yang berlaku di dalam suatu negara, terletak pada
tujuan hukum pidana itu sendiri yakni menciptakan tata tertib di dalam
masyarakat sehingga kehidupan masyarakat dapat berlangsung dengan damai dan
tenteram. Kebijakan penal (hukum pidana) pada hakikatnya mengandung unsur
preventif, karena dengan adanya ancaman dan penjatuhan pidana terhadap
delik/kejahatan diharapkan adanya efek pencegahan atau penanggulangan.
Kebijakan penal tetap diperlukan dalam rangka penanggulangan kejahatan
karena hukum pidana merupakan salah satu sarana kebijakan sosial untuk
menyalurkan ketidaksukaan masyarakat, pencelaan, kebencian masyarakat
terhadap suatu objek perbuatan yang sekaligus juga diharapkan menjadi sarana
perlindungan sosial (sosial defence). Oleh karena itu sering dikatakan bahwa
penal policy merupakan bagian dari perlindungan sosial yang memiliki sifat
universal di semua negara. Hukum pidana sebagai sarana penanggulangan
kejahatan, selama ini masih merupakan sesuatu yang lazim digunakan diberbagai
negara, termasuk Indonesia. Praktek perundang-undangan selama ini
menunjukkan, bahwa penggunaan hukum pidana merupakan bagian dari
kebijakan atau politik hukum yang dianut di Indonesia.
Formulasi perbuatan-perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib
dalam KUHP sebagai tindak pidana, merupakan usaha yang rasional dalam
menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana)
yang merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dalam
melindungi masyarakat dari kejahatan, serta merupakan bagian dari kebijakan
85
sosial untuk mencapai tujuan nasional sebagaimana terdapat dalam Pembukaan
UUD NRI 1945. Secara singkat, dalam perspektif hukum pidana, merupakan
cakupan dalam pelanggaran-pelanggaran terhadap ketertiban umum.
Kepercayaan masyarakat Indonesia dipahami benar oleh pemerintah
Kolonial Hindia Belanda ini terbukti dari ketika pemerintah Hindia Belanda
memberlakukan Wetboek van Strafrecht Nederlands Indie ( Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Hindia Belanda) yang berlaku pada tanggal 1 Januari
1918 di kerajaan Belanda, kemudian berdasarkan asas konkordansi di berlakukan
di Indonesia. Selanjutnya pada saat Indonesia merdeka tahun 1945, maka
terjadilah untuk sementara kekosongan hukum. Untuk mengisi kekosongan
hukum itulah maka melalui Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945
diberlakukan kembali semua lembaga-lembaga dan peraturan perundang-
undangan yang ada sebelumnya sepanjang tidak bertentangan dengan konstitusi.
Berlaku atas Penetapan Undang-Undang No.1 Tahun 1946, maka
berdasarkan ketetapan inilah sampai sekarang yang berlaku adalah Wetboek van
Strafrecht Nederlands Indie ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Hindia
Belanda) Tahun 1918 dengan beberapa penghapusan, pengurangan, perubahan
pasal-pasal di sana-sini yang disesuaikan dengan kepentingan politik hukum kita
yang saat itu masih diakomodirnya pasal-pasal berkaitan dengan kekuatan gaib.
Pada hakekatnya pengaturan kejahatan dengan kekuatan gaib merupakan masalah
dilihat dari sistem hukum masa lalu yang pernah ada di Indonesia atau dalam
hukum adat. Misalnya yang berhubungan dengan masalah “tenung” pernah
dirumuskan sebagai delik di dalam Pasal 13 Perundang-undangan Majapahit.
86
Pengaturan di zaman Majapahit, perbuatan tenung dipandang sebagai
salah satu dari enam “tatayi” (kejahatan) berat yang diancam dengan pidana mati.
Demikian pula di dalam beberapa sumber hukum adat di Indonesia. Misalnya
dalam hukum adat Dayak kanayan, dijumpai istilah “nyampokng nyawa” (yaitu
usaha membunuh orang lain dengan mistik sebagai usaha untuk merusak hasil
panen/padi di lading/sawah orang lain), dan “sarapo” (perbuatan
meletakkan/menyimpan suatu barang ke dalam rumah orang lain secara tidak
wajar, sehingga dapat diartikan seolah-olah perbuatan “nyampokng). Hal yang
menarik untuk dikemukakan disini ialah bahwa delik-delik “masa lalu” yang
sudah tidak berlaku, tetapi merupakan rumusan delik adat “masa kini” yang masih
tercantum di dalam kodifikasi hukum adat dayak yang telah ditetapkan atau
dikukuhkan kembali dalam keputusan Musyawarah Adat.128
Sistem hukum yang formal dan rasional hanya berusaha menjaring
perbuatan lahiriah yang secara empiris dapat diidentifikasikan dan dibuktikan
hubungan kausalitasnya. Oleh karena itu, perbuatan yang bersifat mistik, gaib, dan
metafisika sulit diterima dalam sistem hukum yang formal dan rasional. Namun
demikian, tidak berarti semua perbuatan yang berhubungan dengan masalah gaib
tidak dapat diatur dalam sistem perundang-undangan yang formal dan rasional.
Sepanjang perbuatan tersebut dapat diidentifikasikan, dapat saja perbuatan itu
diatur dalam hukum formal. Sistem KUHP Indonesia mengenal pembagian delik
yakni berupa Kejahatan yang dimuat di dalam Buku Kedua dan Pelanggaran yang
dimuat di dalam Buku Ketiga.
128
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit. h.290
87
Pembedaan ini mengikuti sistem Wetboek Strafrecht Nederland, namun
berbeda dengan di Nederland KUHP Indonesia membagi lagi kejahatan tersebut
ke dalam kejahatan biasa dan kejahatan ringan. Perbedaan kejahatan menurut
Jonkers ialah kejahatan pada umumnya termasuk rechtsdelicten, delik hukum
yaitu perbuatan yang tidak adil menurut filsafat, yang tidak tergantung dari suatu
ketentuan hukum pidana, tetapi dalam kesadaran bathin manusia dirasakan bahwa
perbuatan tidak adil dan disamping tidak adil menurut undang-undang yaitu
perbuatan yang tidak sah yang dietntukan oleh undang-undang. Sebaliknya
pelanggaran yang termasuk wetsdelicten, yaitu perbuatan yang oleh masyarakat
tidak dipandang sebagai perbuatan tercela yang pembuatnya harus dipidana, tetapi
oleh pembentuk undang-undang ditetapkan sebagai delik untuk menjamin
keamanan umum, memelihara dan mempertahankan ketertiban umum atau
memajukan kesejahteraan umum.129
Eksistensi masalah Kejahatan dengan
menggunakan kekuatan gaib telah diakui oleh kebijakan politik hukum pidana
menunjuk pada pengaturan hukum pidana pada Bab VI buku III tentang
pelanggaran kesusilaan yakni:
1) Pasal 545 KUHP menyebutkan
Ayat (1) barang siapa menjadikan sebagai pencariannya untuk
menyatakan peruntungan seseorang, untuk mengadakan peramalan
atau penafsiran impian, diancam dengan pidana kurungan paling lama
enam hari atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah
Ayat (2) jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun
sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang
sama, pidananya dapat dilipatduakan
129
Zainal Abidin Farid, Op.Cit, h. 352
88
2) Pasal 546 KUHP menentukan:
Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
Ayat (1) barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan,
membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagikan
jimat-jimat atau benda-benda yang dikatakan olehnya mempunyai
kekuatan gaib
Ayat (2) barang siapa mengajar ilmu-ilmu atau kesaktian-kesaktian
yang bertujuan menimbulkan kepercayaan bahwa melakukan
perbuatan pidana tanpa kemungkinan bahaya bagi diri sendiri
3) Pasal 547 menentukan:
seorang saksi, yang ketika diminta untuk memberi keterangan dibawah
sumpah menurut ketentuan undang-undang, dalam sidang pengadilan
memakai jimat-jimat atau benda-benda sakti, diancam dengan pidana
kurungan paling lama sepuluh hari atau pidana denda paling banyak tujuh
ratus lima puluh rupiah
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut terlihat adanya hal-hal yang
bersifat gaib atau supernatural yaitu, peramalan nasib, mimpi dan jimat-jimat atau
benda-benda sakti berkekuatan gaib. Jadi, hukum formal dapat atau mungkin saja
mengatur hal-hal yang gaib atau supernatural sepanjang yang diatur bukan
substansi gaibnya, tetapi perbuatan yang berhubungan dengan hal-hal gaib itu.
Dari perumusan pasal-pasal dalam KUHP tersebut yang terkait dengan kekuatan
yang bersifat magis terutama dalam Pasal 546 KUHP yang pada intinya suatu
perbuatan pidana yang mengatasnamakan kekuatan gaib sebagai salah satu media
yang mempunyai kekuatan gaib merupakan suatu pengaturan yang bersifat tidak
jelas dari segi pemaknaan, oleh sebab banyak masyarakat yang menggunakan
benda-benda yang disebut dalam Pasal 456 KUHP yang diyakini dapat
memberikan perlindungan terhadap hal-hal yang bersifat buruk.
89
Ditinjau dari segi penafsiran historis yang berusaha mencari makna
undang-undang menurut terjadinya undang-undang yang berkaitan dengan tujuan
pembentukan undang-undang tersebut dengan jalan meneliti sejarah dari konsep
pembentukan Pasal 545, 546, dan 547 KUHP yakni menurut Boeke Strafwetboek
voor inlander (Kitab Keadilan Hoekoeman Boeat Anak Negeri Tahun 1911) yang
menyebutkan:
beberapa kali soedah kadjadian, orang-orang bikin roesoeh atau
mendjalankan kadjahatan doerhaka atua soempah palsoe di hadapan haki
atau di hadapan pengaidlan, sasoedahnja dia dapat pengadjaran dari orang-
orang jang mengadjar ilmoe-ilmoe itoe. Satijap kali kadjadjijan begitoe
roepa maka tijap-tijap kali djoega di njatakan bahwa orang-orang, jang
bikin roesoeh atau jang soempah palsoe itoe, membawa atau pakai jimat-
jimat atau penangkal. Dari itoe diadakan katentoewan2 seperti terseboet di
dalam fasal 546,547dan 545 diadakan dengan maksoed akan menegahkan
orang membawa djimat djika dia misti menghadap dihadapan hakim atau
dihadapan pengadilan akan mengeloewarkan kesakjian dengan
bersoempah, sebab soedah seringkali kadjadjian di hindia Nederland,
orang jang dipersidangkan dari madjelis hoekoem mengalowerkan
kesakjian dengan berdoesta, kadapat membawa djimat jang di
semboenjikan olihnja baik di dalam setangan kapala baik di dalam ikat
pinggangnja atau tali pending.
Dengan terjemahan peneliti yakni:
Beberapa kali sudah kejadian, orang-orang bikin rusuh atau menjalankan
kejahatan durhaka atau sumpah palsu dihadapan hakim atau dihadapan
pengadilan, sesudahnya dia dapat pengajaran dari orang-orang yang mengajar
ilmu-imu itu. Setiap kali kejadian yang sama, maka tiap-tiap kali juga dinyatakan
bahwa orang-orang yang bikin rusuh atau yang sumpah palsu itu, membawa atau
memakai jimat-jimat atau penangkal. Dari itu diadakan ketentuan-ketentuan
seperti tersebut di dalam Pasal 545, 546, dan 547 diadakan dengan maksud akan
menegakkan orang yang membawa jimat jika dia mesti menghadap dihadapan
90
hakim atau di hadapan pengadilan akan mengeluarkan kesaktian dengan
bersumpah, sebab sudah seringkali kejadian di Hindia Nederland, orang yang
dipersidangkan dari majelis hukum mengeluarkan kesaktian dengan berdusta,
tertangkap membawa jimat yang disembunyikan olehnya baik di dalam tangan
juga di dalam ikat pinggang.
Penafsiran atau interprestasi historis terhadap Pasal 545, 546, dan 547
KUHP ialah mencari maksud suatu peraturan seperti yang dikehendaki oleh
pembentuk undang-undang. Kehendak pembentuk undang-undanglah yang
bersifat menentukan. Penafsiran ini juga disebut sebagai penafsiran subjektif,
karena penafsiran dipengaruhi oleh pandangan subjektif dari pembentuk undang-
undang. 130
Sejarah dari pembentukan pasal-pasal tersebut sesuai dengan konsep
menurut Boeke Strafwetboek voor inlander ( Kitab keadilan Hoekoeman Boewat
Anak Negeri Tahun 1911) berupa kebiasaan dari setiap penyelenggaran suatu
proses dihadapan hakim atau pengadilan sering terjadi keributan yang dilakukan
oleh orang yang melakukan suatu kejahatan.
Pelanggaran tersebut sering dilakukan dengan sumpah palsu di hadapan
hakim atau pengadilan. Orang-orang yang berperilaku demikian diyakini memiliki
jimat-jimat yang memiliki kemampuan yang bersifat gaib yang diperoleh dari
suatu pembelajaran yang diberikan oleh orang-orang yang memiliki keahlian
untuk itu. Perbuatan tersebut yang berupa mengenakan benda-benda yang tidak
lazim dianggap sebagai sebuah pelanggaran yang harus mendapatkan sanksi.
Menurut pembentuk undang-undang pada masa itu, bahwa setiap perbuatan
130
Sudikno Mertokusomo II, Op.Cit.h.42
91
berupa sumpah palsu yang terjadi dalam sidang dan keributan, maka setiap itu
juga orang-orang yang melakukan perbuatan tersebut memakai jimat-jimat yang
diyakini sebagai penangkal untuk menghindari penegakan hukum dari kejahatan
yang dilakukan.
Perumus undang-undang pada masa itu, memiliki kepercayaan penuh
terhadap sesuatu yang bersifat gaib yang berada dalam benda-benda di bawah
penguasaan seorang pelaku kejahatan yang berupa jimat-jimat yang dipakai dalam
persidangan. Maksud dari perumusan pasal ini tiada lain untuk menghukum atau
memberikan sanksi terhadap orang yang tertangkap membawa jimat dalam
pengadilan atau bahkan seorang tersebut memiliki kemampuan untuk
mengeluarkan kesaktian yang dapat menghambat proses persidangan. Hal ini
berdasarkan fakta bahwa kejadian-kejadian tersebut sering terjadi dalam sidang
pengadilan.
Benda-benda tersebut diyakini memiliki suatu kekuatan di luar nalar
manusia atau bersifat gaib dalam arti kekuatan gaib yang dianggap memberikan
dampak positif. Penting untuk adanya pengidentifikasian sifat-sifat dari sesuatu
kekuatan yang bersifat magis atau gaib yang berkarakter jahat dengan sifat dari
keberadaan ilmu dengan karakter baik, misalnya dalam rangka penyembuhan
suatu dengan cara yang gaib dan sebagainya. Benda-benda yang disebutkan dalam
Pasal 456 KUHP yang dikatakan memiliki kekuatan gaib tidak secara jelas
menyebutkan apakah kekuatan gaib yang dimaksudkan tersebut dapat
menimbukan suatu akibat yang buruk atau menimbulkan kerugian terhadap orang
lain.
92
Pelanggaran bernuansa spiritisme ini menjadi fenomena sosial riil di
masyarakat Indonesia. Sifatnya yang bernuansa supernatural menimbulkan
kerugian materiil dan moril bagi korban maupun masyarakat umum. Modus
operandinya beragam, tetapi telaah terhadap tindakan tersebut terbatas, hanya
terpaku pada tindak pidana saja, seperti penipuan, perampokan atau pencurian,
tanpa adanya kejelasan proses pidananya secara utuh. Tidaklah mengherankan
perkembangan jenis kejahatan ini memiliki intensitas yang tinggi dalam
masyarakat. Korban atau masyarakat umum lebih memilih mendiamkan saja
kejadian yang dialaminya daripada melaporkan ke pihak yang berwajib. Rumitnya
prosedur dan mekanisme hukum yang ada, sulitnya alat bukti maupun saksi dalam
menjelaskan peristiwa tersebut, membuat korban tidak mau melapor karena takut
atas kejadian yang dialami.
Keterbatasan penyingkapan dan pengungkapan kasus-kasus kejahatan
dengan menggunakan kekuatan gaib yang bernuansa lokal atau mistis pada
umumnya disebabkan sebagian masyarakat Indonesia terikat kuat dengan tradisi
lokalnya. Banyak orang percaya terhadap benda-benda yang mempunyai
kekuatan tertentu seperti barang pusaka, lambang-lambang, senjata tradisional
atau jimat. Berbagai tradisi tersebut mengandung atau mewarisi sistem
kepercayaan lokal yang dapat dipergunakan untuk hal-hal yang produktif
misalnya dalam berbagai ritus peralihan, maupun dipergunakan untuk mendukung
tindak kejahatan. Di dalam sistem kepercayaan lokal diyakini ada kekuatan-
kekuatan gaib yang bersifat baik dan jahat, mahluk-mahluk halus, roh-roh leluhur,
93
roh-roh lain, baik maupun jahat, kekuatan sakti yang berguna (positif) maupun
merusak.
Setiap daerah atau komunitas mewarisi sistem kepercayaan lokal masing-
masing. Berkembang atau tidaknya dukungan sistem kepercayaan lokal pada
kejahatan bergantung kepada para pendukung (penganut) dalam melestarikannya.
Para pendukung sistem kepercayaan lokal secara umum sangat beragam menurut
daerah dan komunitasnya. Para pendukung sistem kepercayaan lokal tersebut
sering dilibatkan dalam melaksanakan kegiatan ritual kehidupan sehari-hari.131
Dalam realitasnya sulit sekali menentukan secara langsung bentuk dukungan
sistem kepercayaan lokal dalam aksi kejahatan. Seringkali terdengar sistem
kepercayaan lokal beserta pendukungnya mendapat reaksi keras dari warga
masyarakat sekitarnya. Contohnya adalah kasus-kasus penentangan atau
pembunuhan terhadap mereka yang diduga melakukan kejahatan dengan kekuatan
gaib seperti pembunuhan dukun santet di Jawa Timur, begu ganjang di Tapanuli,
terhadap pengguna Leak di Bali, atau Suanggi di Maluku.132
Secara implisit dan
terbatas, dukungan sistem kepercayaan lokal terhadap kejahatan dapat ditelusuri
melalui teknik-teknik, motivasi, pewarisan ( modus operandi) yang berbeda-beda
menurut budaya, tempat, waktu, dan peristiwanya.
Sebagai fakta sosial, baik implisit maupun eksplisit beberapa contoh
tersebut menunjukan bahwa peristiwa pada kategori kejahatan yang didukung
sistem kepercayaan (ilmu gaib) tidak membedakan status pelaku, dapat dilakukan
131
A. Josias Simon Runturambi, Op.Cit., h.3
132
Ibid., h.4
94
oleh seorang terpelajar atau non terpelajar, kaya maupun tidak, pejabat atau rakyat
biasa, penguasa atau bukan penguasa. Artinya, meskipun masyarakat saat ini
mengaku diri sebagai masyarakat rasional, modern dan transparan, tetapi di sisi
lain penggunaan sistem kepercayaan lokal (ilmu gaib) yang mengandalkan
kekuatan-kekuatan irasional menjadi salah satu cara menyelesaikan persoalan
yang dihadapi, agar bisa sukses dan eksis, atau dalam kasus tertentu, sekedar
untuk menghilangkan, menyiksa atau membunuh lawannya.133
Sifat dan ciri-ciri masyarakat seperti ini mendorong tampilan penggunaan
kekuatan-kekuatan irasional atau magis disembunyikan sedemikian rupa agar
tidak diketahui orang lain, karena selain tidak ingin mendapat stempel pendukung
kekuatan supranatural yang bersiat negatif. Penolakan yang begitu kuat dalam
fenomena ini, membuat para pengguna ilmu gaib dalam kejahatan, terutama
pelaku kejahatan tidak sembarang mempertontonkannya, lebih cenderung diam-
diam dan terkesan menghindar dari keramaian. Kondisi-kondisi seperti ini cukup
menyulitkan pengungkapan bentuk-bentuk dukungan sistem kepercayaan pada
kejahatan, kalaupun mungkin diungkap hanya dalam keadaan khusus saja.134
Berkaitan dengan bermacam konsepsi sistem kepercayaan lokal dalam
kejahatan serta reaksi sosial terhadapnya, diidentifikasi adanya tiga macam
penggolongan yang dapat dipergunakan dalam melihat keterlibatan seseorang
pelaku dalam praktik ilmu-ilmu gaib ini pertama, mereka yang memiliki
keterlibatan minimal dalam praktik ilmu gaib, tetapi begitu tertarik secara
133
bid., h.5
134
Ibid., h.6
95
individual dalam menjelaskan beberapa kejadian aneh seperti piring bisa terbang,
tanah terbelah, dan bermacam fenomena para psikologikal lainnya. Keterlibatan
pada golongan pertama ini ditandai dengan ketiadaan penggunaan mistik atau
kekuatan supernatural, pemahamannya masih ilmiah, menjunjung tinggi
dukungan keilmuan dalam menjelaskan fenomena sistem kepercayaan.135
Kedua, mereka yang mencari pengertian hubungan sebab akibat misterius
atas suatu peristiwa tertentu, dengan menggunakan bantuan numerologi,
astrologi, dan palmistry (rajah tangan). Pengetahuan pada tahap ini lebih ekstra
ilmiah. Ketiga, mereka yang berada dalam tingkatan sistem kepercayaan yang
kompleks seperti ilmu sihir, ilmu setan, ritual magis, dan tradisi mistik lain,
seringkali kontradiksi dengan pemahaman ilmiah. Pola atau proses kejahatan yang
didukung sistem kepercayaan lokal (ilmu gaib) mengalami perubahan menurut
dinamika gerak dalam masyarakat. Tindak kejahatan seperti penipuan, pencurian,
perampokan, dan beberapa kejahatan lain saat ini telah menggunakan peralatan
dan sarana maju, tidak sekedar kemampuan pribadi dan sederhana. Namun,
landasan filosofi dalam melakukan kejahatan tetap masih didominasi oleh sistem
kepercayaan (ilmu gaib) dalam membantu menyukseskan pelaksanaan
kejahatan.136
Beberapa pelaku kejahatan yang tertangkap aparat penegak hukum,
menjelaskan bahwa meskipun peralatan dalam melakukan kejahatan semakin
canggih tetapi tetap saja diperlukan dukungan sistem kepercayaan (ilmu gaib)
135
Sultan Abi, 2013, Masalah guna-guna dalam kehidupan masyarakat Indonesia,
http:www.masalah/guna guna/ kehidupan/masyarakat/Indonesia/.ac.id, diakses pada tanggal 2
Februari 2015, pukul 10.30 Wita
136
Ibid., h.2
96
dalam menunjang keberhasilan pelaksanaan aksi kejahatan seperti menghitung
hari baik, memohon keselamatan atau kekuatan, melaksanakan ritual tertentu,
membawa benda sakti atau jimat, dan seterusnya. Fenomena kejahatan ini yang
muncul dengan puncaknya terlihat sebagai kejahatan konvensional biasa, akan
tetapi sebenarnya merupakan bagian dari pola atau proses budaya, kebiasaan atau
tradisi yang berlangsung secara tersembunyi dalam masyarakat.
Bentuk kejahatan yang didukung oleh sistem kepercayaan ilmu gaib pada
dasarnya mengikuti pola atau aturan main yang sama dalam melakukan kejahatan
biasa. Pelaku kejahatan dalam melakukan aksinya dipengaruhi oleh aspek utama
yakni sistem nilai, norma, dan sanksi yang berlaku serta situasi dan kondisi
situasional. Kedua aspek tersebut menentukan preferensi, apakah kejahatan ini
dipergunakan sebagai cara pertama, kedua, atau ketiga dalam mencampai tujuan
dari kejahatan yang dilakukan. Pemahaman terhadap sistem nilai, norma, dan
sanksi menjadi penting mengingat keragaman nilai budaya dalam masyarakat kita
tidak semata memberi petunjuk tentang cara melakukan kejahatan dengan ilmu
gaib, tetapi juga sekaligus memberi petunjuk cara menangkalnya. Sisi pencegahan
dan pengurangan terhadap perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib tidak
saja diupayakan melalui budaya lokal, akan tetapi secara normatif telah dimuat
dalam hukum pidana (KUHP), terutama dalam Pasal 545, 546, dan Pasal 547
KUHP tersebut di atas.137
Larangan bagi seseorang untuk bermata pencaharian sebagai ahli nujum,
meramalkan dan atau menerangkan mimpi pada dasarnya dilarang karena
137
A. Josias Simon Runturambi, Op.Cit.h.7
97
dianggap menganggu ketertiban umum. Akan tetapi pada kenyataannya, praktik
dan penjualan tukang ramal bertebaran dimana-mana, baik secara tertutup maupun
terbuka. Semuanya dibiarkan begitu saja baik oleh masyarakat umum maupun
penegak hukum. Dalam Pasal 546 memuat larangan yang disebutkan di atas,
tetapi pada praktiknya, benda-benda tersebut mulai dari cincin, batu, keris, banyak
diperjual belikan dan tampak resmi, serta mengundang banyak penggemar dan
pengagum. Pasal 545 dan 546 KUHP ini menunjukkan bahwa larangan tersebut
bukan lagi dianggap sebagai perbuatan yang merugikan orang lain karena
berkaitan dengan kepercayaan terhadap hal-hal gaib tersebut. Hal itu juga tampak
dalam Pasal 547 KUHP yang pada kenyataannya sukar sekali diterapkan karena
sulit untuk mengetahui tersangka itu sedang berkomat kamit tentang kasusnya
atau sedang membaca mantera dalam suatu sidang pengadilan.
Pasal-pasal KUHP tersebut menunjukkan bahwa suatu norma tidak lagi
sesuai dengan perkembangan tatanan kehidupan bangsa Indonesia saat ini
terhadap fenomena larangan bernuansa spiritisme. Dalam faktanya, pasal-pasal
tersebut tetap dilanggar dan bahkan tidak dianggap, serta larangan-larangan yang
disampaikan dalam pasal-pasal tersebut jika dilanggar justru tidak meresahkan,
apalagi menimbulkan gejolak sosial yang besar dan berbalik menjadi kesenangan
atau hiburan bagi pihak-pihak tertentu. Hal ini menjadi salah satu faktor dari
sulitnya penegakan hukum terhadap seseorang yang dikatakan menjual,
menawarkan, menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan untuk
dijual atau dibagikan jimat-jimat atau benda-benda yang dikatakan olehnya
mempunyai kekuatan gaib. Pasal-pasal mengenai penggunaan kekuatan gaib
98
dalam KUHP menekankan pada larangan atas profesi atau pekerjaan seseorang
yang menyatakan dirinya memiliki kekuatan gaib untuk mengadakan peramalan
dan peruntungan seseorang atau membuat serta membagikan jimat yang berisi
kekuatan gaib.
Berdasarkan perumusan pasal-pasal tersebut diatas dapat disimpulkan
bahwa hal tersebut bukan merupakan suatu kejahatan atau pelanggaran yang dapat
membahayakan masyarakat atau mengakibatkan suatu penderitaan atau kematian,
melainkan suatu cara dan alat untuk melindungi diri sesuai dengan kepercayaan
masyarakat. Kualifikasi dari perumusan pasal-pasal tersebut bukan merupakan
suatu kejahatan melainkan sebagai suatu pelanggaran yang diketahui ancaman
sanksi terhadap pelanggaran jauh berbeda dengan sanksi yang diancamkan
terhadap perbuatan yang dikualifikasi sebagai kejahatan. Sehingga pada tataran
implementasi pasal-pasal ini dianggap tidak berfungsi serta bukan lagi merupakan
pelanggaran kesusilaan yang menganggu ketertiban umum dan kesejahteraan
masyarakat.
3.2. Unsur-unsur Perbuatan dengan Menggunakan Kekuatan Gaib dalam
Pasal 545, 546, dan 547 KUHP
Kewenangan negara memonopoli reaksi terhadap pelanggar hukum pidana
mulai terjadi ketika muncul organisasi negara modern. Konsep bahwa kejahatan
atau pelanggaran adalah melanggar kepentingan negara sebagai representasi
kepentingan publik umumnya menjadi dasar pemberian kewenangan negara untuk
memonopoli reaksi terhadap kejahatan atau pelanggaran. Selanjutnya, konsep ini
diperkuat oleh pengklasifikasian ilmu hukum, di mana hukum pidana adalah
99
bagian dari hukum publik yang tidak membolehkan campur tangan individu.
Negara memainkan peranan yang penting dalam pengambilan keputusan terhadap
pelanggar hukum pidana. Secara historis, negara telah mengambil alih konflik
yang terjadi antara pelanggar hukum pidana dengan orang yang terlanggar haknya
(korban kejahatan), orang yang kepentingannya dilindungi oleh hukum pidana,
menjadi konflik antara pelanggar dengan negara atau kepentingan publik.138
Istilah tindak pidana merupakan istilah teknik yuridis yang berasal dari
terjemahan delict atau strafbarfeit disamping istilah lainnya seperti peristiwa
pidana, perbuatan pidana, pelanggaran pidana, perbuatan yang dapat dihukum dan
perbuatan yang boleh dihukum. Moeljatno memberikan definisi tindak pidana
yaitu perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan
pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut.139
perbuatan-perbuatan
tersebut dianggap merugikan masyarakat dalam arti bertentangan atau
mengganggu ketertiban umum. Sehingga suatu perbuatan akan menjadi perbuatan
yang dilarang oleh undang-undang apabila perbuatan tersebut dikategorikan
sebagai melawan hukum, merugikan masyarakat, dilarang oleh aturan hukum
pidana, serta pelakunya diancam dengan pidana.
Berkaitan dengan perbuatan menggunakan kekuatan gaib dalam Pasal
545, 546, dan 547 KUHP tersebut maka dapat diidentifikasi unsur-unsur
perbuatan melawan hukum yakni seperti yang telah disebutkan di atas dalam
Pasal 545 KUHP menentukan:
138
Teguh Prasetyo, Op.Cit., h. 112
139
Moeljatno, Op.Cit., h.6
100
Ayat (1) barang siapa menjadikan sebagai pencariannya untuk
menyatakan peruntungan seseorang, untuk mengadakan peramalan
atau penafsiran impian, diancam dengan pidana kurungan paling lama
enam hari atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah
Ayat (2) jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun
sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang
sama, pidananya dapat dilipatduakan
Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 545 KUHP tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Unsur-unsur obyektif
1) Menjadikan sebagai pencarian
2) Menyatakan peruntungan seseorang
3) Mengadakan peramalan atau penafsiran impian.
Selanjutnya unsur Pasal 546 KUHP seperti yang telah disebutkan di atas
yang menentukan:
Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
Ayat (1) barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan,
membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagikan
jimat-jimat atau benda-benda yang dikatakan olehnya mempunyai
kekuatan gaib
Ayat (2) barang siapa mengajar ilmu-ilmu atau kesaktian-kesaktian
yang bertujuan menimbulkan kepercayaan bahwa melakukan
perbuatan pidana tanpa kemungkinan bahaya bagi diri sendiri
Unsur-unsur dalam Pasal tersebut yakni
a. Unsur objektif
1. perbuatannya
a) Menjual, menawarkan menyerahkan, membagikan
101
b) Mempunyai persediaan
c) Untuk dijual
d) Untuk dibagikan
e) Mengajar ilmu-ilmu atau kesaktian-kesaktian yang
menimbulkan kepercayaan
2. Objeknya
a) Jimat-jimat
b) Benda-benda yang dikatakan mempunyai kekuatan gaib
Selanjutnya Pasal 547 KUHP seperti yang disebutkan di atas menentukan:
4) Pasal 547 menyebutkan:
seorang saksi, yang ketika diminta untuk memberi keterangan dibawah
sumpah menurut ketentuan undang-undang, dalam sidang pengadilan
memakai jimat-jimat atau benda-benda sakti, diancam dengan pidana
kurungan paling lama sepuluh hari atau pidana denda paling banyak tujuh
ratus lima puluh rupiah
Unsur-unsur perbuatan tersebut yakni:
(a) Unsur Objektif
1) perbuatan
a) memakai
2) objeknya
a) jimat-jimat
b) benda-benda sakti
Unsur subjektif di dalam Buku III KUHP itu dapat diketahui apakah
sesuatu pelanggaran itu harus dilakukan dengan sengaja atau tidak dengan sengaja
102
ataupun sebaliknya. Hingga tahun 1916 Hoge Raad menganut sutau paham yang
juga dikenal de leer van het materieele feit atau paham mengenai tindakan secara
material, di mana Hoge Raad telah berpendapat, bahwa adalah sudah cukup untuk
menyatakan seseorang itu sebagai dapat dihukum karena telah melakukan suatu
pelanggaran, apabila orang tersebut secara material atau secara nyata telah
berperilaku seperti yang dirumuskan di dalam sesuatu ketentuan pidana, tanpa
perlu mempertimbangkan lagi apakah perilaku orang tersebut dapat
dipersalahkan kepadanya atau tidak.140
Perumusan unsur-unsur dalam pelanggaran pasal tersebut dalam
perkembangannya sesungguhnya bukan merupakan perbuatan yang dianggap
meresahkan atau menggangu ketertiban umum. Akan tetapi ada satu unsur pasal
yang seharusnya mampu untuk diterapkan dalam suatu perbuatan pidana dalam
rumusan pasal tersebut yakni rumusan pasal yang berkaitan dengan pengajaran
terhadap kesaktian-kesaktian yang menimbulkan kepercayaan bahwa melakukan
perbuatan pidana tanpa kemungkinan bahaya bagi diri sendiri. Dalam realitasnya
pasal-pasal tersebut tidak pernah diterapkan terhadap pelanggaran-pelanggaran
tersebut.
Upaya penanggulangan kejahatan terhadap perbuatan dengan
menggunakan kekuatan gaib melalui upaya penal yakni dalam KUHP yang diatur
dalam pasal 545, 546, dan 547 KUHP tidak dijadikan upaya untuk menegakan
hukum terhadap seseorang yang telah melanggar pasal-pasal tersebut yang
berkaitan dengan sarana kekuatan gaib yang dilakukan untuk melakukan
140
P.A.F. Lamintang dan Franciscus Theojunior Lamintang, 2014, Dasar-Dasar Hukum
Pidana di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h.197
103
pelanggaran tersebut. hal ini berkaitan dengan substansi pasal-pasal tersebut
terutama mengenai pemaknaan kekuatan gaib yang tidak jelas atau normanya
kabur dari segi definisi terhadap kekuatan gaib mengakibatkan kesulitan dalam
penegakan hukum terhadap seorang yang melanggar pasal-pasal tersebut. Aparat
penegak hukum sampai saat ini tidak pernah melakukan tindakan dalam bentuk
apapun terhadap pelanggar dalam pasal-pasal tersebut. Fenomena demikian
mencerminkan suatu perbuatan yang sudah tidak semestinya lagi ada dalam
sebuah pengaturan dalam undang-undang karena fungsinya untuk melindungi
kepentingan umum sudah tidak mendapat pengaruh atau kerugian terhadap
khalayak umum tidak didapati.
Tb. Ronny Rahman Nitibaskara dalam tulisannya menyampaikan terkait
pasal kekuatan gaib yang terumus dalam Pasal 545, 546, 547 KUHP harus ada
dekriminalisasi atau penghapusan pasal-pasal ilmu gaib dalam KUHP tersebut.
Biarlah orang meramal, menjual ataupun membeli benda gaib dan sebagainya,
karena secara kriminologis tidak meresahkan masyarakat. Sebaliknya, harus tetap
ada kriminalisasi santet dalam arti melahirkan delik baru karena dampak sosial
yang ditimbulkan merupakan faktor potensial kriminogen yang cukup besar.
Keresahan masyarakat, main hakim sendiri, pelecehan agama, merupakan produk
sampingan yang ditimbulkannya.141
Kemudian dibeberapa kesempatan Kepolisian Republik Indonesia yang
diwakili Kepala Biro Penyusunan dan Penyuluhan Hukum Mabes Polri Brigadir
Jenderal (Pol) Bambang Sri Herwanto menyatakan Praktik Kekuatan Gaib yang
141
Tb. Ronny Rahman Nitibaskara I, Op.Cit.,h.9
104
sebenarnya sudah diadopsi dalam tiga pasal pada KUHP, yakni Pasal 545, 546,
dan 547 KUHP. Namun, pasal-pasal tersebut dapat dikatakan pasal mandul
karena tidak pernah diterapkan dalam praktik. Artinya kriminalisasi delik yang
berhubungan dengan sarana kekuatan gaib bukanlah hal yang baru dalam RUU
KUHP.142
Oleh sebab banyak orang yang melakukan kegiatan yang teridentifikasi
sebagai suatu pelanggaran dalam pasal-pasal tersebut yang tidak ditindaklanjuti
menurut hukum.
Pelanggaran-pelanggaran tersebut saat ini semakin banyak menyebar luas
tanpa menghiraukan aturan hukum yang telah mengatur hal tersebut. hal ini
dikarenakan bahwa perbuatan-perbuatan dalam aturan-aturan tersebut sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan budaya masyarakat saat ini yang menjadikan
larangan-larangan dalam pasal tersebut sebagai sebuah bentuk kepercayaan,
kegemaran, dan dianggap tidak mengganggu ketertiban umum ataupun
meresahkan masyarakat. Dengan demikian perlu diadakan dekriminalisasi
terhadap larangan-larangan tersebut dalam KUHP karena sudah tidak sesuai
dengan perkembangan masyarakat Indonesia saat ini.
Tb. Ronny Nitibaskara menyatakan bahwa Pasal 545 KUHP melarang
seseorang berprofesi sebagai tukang ramal atau penafsir mimpi. Nyatanya praktek
tukang ramal bertebaran di mana-mana secara tertutup ataupun terbuka, di pasar
dan pusat keramaian lainnya banyak praktek dukun ramal menggunakan buruk
gelatik atau meramal kode buntut. Di lapisan atas banyak pengusaha, pejabat rajin
142
Bambang Sri Herwanto, 2013, Kriminalisasi Delik Santet Sudah Ada sejak Dulu,
Jakarta,http:www//nasional.kompas.com/read/2013/04/04/175661357/Polri.Kriminalisasi.Delik.Sa
ntet. diakses pada tanggal 2 Januari 2015 pukul 14.00 WITA
105
mendatangi peramal kartu menanyakan nasibnya. Belum lagi ramalan berupa
astrologi, palmistry, grafologi yang terdapat dalam mass media. Kesemuanya ini
dibiarkan sehingga undang-undang menjadi disfungsional. Pasal 546 KUHP
melarang penjualan benda-benda gaib. Realitasnya sejak lama benda-benda gaib
tertentu mulai keris, batu mirah delima, batu anti tembak, keong buntet, rotan
nunggal, wesi kuning ramai di cari dan diperjualbelikan dengan harga yang tinggi.
Pasal 547 melarang seseorang untuk mempengaruhi jalannya sidang pengadilan
dengan menggunakan jmat dan mantera.143
Pengaturan suatu perbuatan yang tidak pernah ditegakkan terhadap suatu
kasus merupakan salah satu bentuk bahwa norma tersebut tidak layak lagi
dijadikan sebagai perbuatan yang melanggar hukum. Akan lebih baik jika
perbuatan yang dianggap tidak bertentangan dengan hukum didekriminalisasikan,
hal ini sebagai perwujudan atau bentuk bahwa hukum memang untuk manusia,
perubahan penormaan dalam hukum pidana sesuai dengan perkembangan
masyarakat Indonesia. Pengaturan pelanggaran berkenaan dengan benda-benda
gaib di atas menyangkut kepercayaan seseorang atau keyakinan seorang manusia
yang tidak dapat dibuktikan hubungan kausalitasnya dengan perbuatan pidana
yang dilakukan, dengan demikian hal ini merupakan suatu bentuk tinjauan
pembentuk undang-undang mengenai perumusan suatu perbuatan pidana.
Perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib memang terbukti dan
diakui keberadaanya dalam tata kehidupan masyarakat Indonesia terutama dalam
143
Tb. Ronny Nitibaskara, Kejahatan Metafisis dan Permasalahannya dalam
Perkembangan Hukum Pidana di Indonesia, (selanjutnya disebut TB Ronny Nitibaskara II)
http:// keahatan/metafisis/ permasalahan/ hukum/pidana/Indonesia/ac.id, diakses pada tanggal 25
Oktober 2014 pukul 10.00 Wita.
106
masyarakat pedesaan yang masih sarat dengan adat-istiadat serta kegiatan-
kegiatan yang bersifat kultural sehingga kemampuan seseorang untuk melakukan
atau memiliki ilmu gaib tersebut tidak terbantahkan. Seringkali timbul korban
dalam penyalahgunaan ilmu gaib tersebut oleh orang-orang yang memiliki suatu
niat jahat terhadap orang lain, tidak segan-segan korban yang menjadi incaran
kegiatan-kegiatan tersebut sampai meninggal dunia. Hukum di Indonesia belum
mampu untuk menjangkau perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan melalui
praktik ilmu gaib yang berkarakter hitam atau jahat dalam peraturan perundang-
undangan Indonesia. hal ini berkaitan dengan sulitnya pembuktian terhadap hal-
hal yang bersifat gaib.
Romli Atmasasmita dan Murad Harahap dari Universitas Padjajaran,
Bandung pernah mengadakan penelitian pada tahun 1991 mengenai tindakan main
hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat terhadap orang-orang yang dituduh
telah melakukan kejahatan dengan kekuatan gaib seperti santet, tenung, dan teluh
di Jawa Barat.144
Penelitian tehadap teluh, santet, di Jawa Barat didasarkan atas
pertimbangan sebagai berikut:
1. Perbuatan dengan kekuatan gaib seperti santet, teluh, tenung bersifat
misterius, dalam arti perbuatan dan akibat dari perbuatannya tidak
dapat dilihat, diketahui dan dibuktikan secara nyata. Sedangkan di
lain pihak, kegiatan santet tersebut telah banyak menimbulkan
kerugian-kerugian fisik dan psikis, bahkan kematian pada korban.
2. Masalah perbuatan dengan kekuatan gaib melibatkan tiga pihak,
yakni pihak pertama orang yang menyuruh melakukan perbuatan
tersebut, pihak kedua orang yang melakukan perbuatan tersebut atau
tukang santet, teluh, tenung dan sebutan laiinya. Masalah kejahatan
dengan kekuatan gaib ini dipandang sangat unik, oleh karena itu jika
144
Woro Winandi, 2011, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak
Asasi Manusia Dalam Kerusuhan Massal Pada Kasus Pembantaian Dukun Santet di Banyuwangi,
Tesis, Undip, Semarang, h. 50, dikutip dari Romli Atmasasmita dalam Jurnal Dinamika Hak
Asasi Manusia, Vol.I, No. 01, Mei-Oktober 2000
107
kasus pembunuhan tukang teluh diajukan ke muka sidang
pengadilan, pihak kedua justru menjadi korban dari suatu kejahatan
dengan kekerasan (pembunuhan) dan pihak ketiga, justru tidak
pernah terungkap dan tidak pernah menjadi pihak yang berperkara di
muka sidang pengadilan.
3. Pelaku kejahatan dengan kekuatan gaib tidak pernah merasa atau
menganggap dirinya sebagai penjahat, melainkan sebagai
penyelamat dari mereka yang berkepentingan. Di lain pihak,
sekalipun perbuatan dimaksud bertentangn dengan hukum, agama,
dan tidak dibenarkan oleh hukum pidana positif, mereka yang
berkepentingan dengan kekuatan ilmu gaib, tetap berkeras hati untuk
melaksanakan niatnya tersebut.145
4. Pekerjaan melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib
dapat mengakibatkan stagnasi produktivitas kerja lingkungan
masyarakat pada umumnya, khususnya pada korban. Di lain pihak,
masalah ini menimbulkan penggolongan tindakan karena menyuruh
melakukan perbuatan kejahatan tersebut terlepas dari jangkauan
hukum pidana yang berlaku.
5. Kejahatan dengan kekuatan gaib sebagai suatu masalah yang unik,
selain mempersoalkan masalah pelaku dan korban kejahatan
(pembunuhan), juga mempersoalkan masalah korban karena
kelemahan-kelemahan dari sitsem pembuktian dalam perkara pidana
atau menimbulkan viktimisasi structural.146
Mencermati keadaan pada beberapa kasus penyerangan massa masyarakat
terhadap orang yang dituduh mengamalkan kejahatan dengan kekuatan gaib di
beberapa daerah dewasa ini sangat memprihatinkan, terutama pada sistem hukum
negara Indonesia. Pemerintah tidak terlalu menghiraukan kejadian-kejadian yang
berbau mistis, padahal sudah cukup banyak korban baik harta benda bahkan
nyawa sekalipun yang menjadi korban akibat kemarahan atau tindakan main
hakim sendiri yang dilakukan terhadap orang yang dituduh mengamalkan
kejahatan dengan kekuatan gaib. Walaupun perkara seperti itu sudah dianggap
tabu di zaman modern seperti hari ini, namun tetap harus mengakui bahwa
146 Ibid.,h.53
108
masyarakat Indonesia masih dibelenggu oleh perkara-perkara atau kejadian-
kejadian mistis yang dilakukan seseorang147
Suatu tindakan individu ataupun kelompok mendapat sorotan penting
dalam ilmu sosiologi. Tindakan tersebut mempunyai tujuan tertentu untuk dirinya
sendiri ataupun untuk orang lain merupakan kajian yang dilakukan oleh para
sosiolog. Tindakan seseorang yang melakukan kejahatan dengan kekuatan gaib
atas permintaan kliennya merupakan suatu tindakan yang irasonal, karena
tindakan tersebut kebanyakan didasari adanya unsur perasaan dendam. Kejahatan
dengan kekuatan gaib, menurut beberapa ahli akademisi memang ada. Namun bila
dilihat hanya menggunakan satu kajian ilmu maka tidak akan pernah ditemukan
apa dan bagaimana kejahatan dengan kekuatan gaib tersebut. Bahkan untuk
penyelesaian permasalahan yang ditimbulkan adanya kejahatan dengan kekuatan
gaib sangat sulit untuk diatasi, terlebih lagi dari segi ilmu pengetahuan dan
kedokteran, belum ada penjelasan yang meyakinkan keberadaan korban kejahatan
melalui kekuatan gaib tersebut.148
Emilie Durkheim melalui teori sosiologi mengungkapkan bahwa
berkaitan dengan solidaritas bahwa individu yang telah menyatu dan membentuk
massa akan mampu menyebabkan mereka kehilangan entitas pribadinya yang
cenderung berbuat di luar kontrol pribadinya. Identitas sosial seseorang biasanya
akan tenggelam apabila orang tersebut ikut terlibat dalam suatu perkumpulan
147
Ahmad Siregar, 2013, Maraknya Tindakan Main Hakim Sendiri di Indonesia, http:www//rustamcastello/solusi/hukum/pada/pratek/perdukunan// diakses pada tanggal 18
November 2014
148
Nicholas Herriman, Op.Cit. h.4
109
massa.149
Secara umum dari ilmu sosial, efek dari keberadaan kejahatan dengan
kekuatan gaib yang berkembang di masyarakat menimbulkan berbagai macam
tindakan lain yang saling berhubungan. Adanya korban kejahatan dengan
kekuatan gaib yang muncul dimasyarakat dapat melahirkan tindakan-tindakan
yang tak terkontrol, seperti misalnya pengeroyokan massal atau main hakim
sendiri kepada orang yang diduga pelaku kejahatan dengan kekuatan gaib.
Adanya pengeroyokan atau main hakim sendiri ini dari segi sosiologi karena
adanya rasa solidaritas dalam kelompok.
Keberadaan kejahatan dengan kekuatan gaib ini masih dapat dijumpai di
kehidupan masyarakat. Dapat dilihat pada halaman surat kabar, banyak sekali
terdapat iklan-iklan yang menawarkan jasa ramal, pemasangan susuk, dukun-
dukun santet, teluh dan sebagainya. Sehingga sering ditemukan adanya
masyarakat yang menjadi korban dimana mereka menderita sakit bahkan
kematian yang tidak masuk akal dalam dunia kedokteran sebagai akibat kejahatan
dengan kekuatan gaib tersebut. Secara viktimologis, masyarakat yang merasa
dirinya menjadi korban kejahatan tersebut umumnya menganggap hukum belum
mampu memberikan perlindungan, karenanya masyarakat yang resah dan para
korban mengambil jalan keadilannya sendiri dimana biasanya jalan keadilan
tersebut sering kali diwujudkan dalam berbagai reaksi sosial yang justru
membuahkan tindakan kejahatan, seperti main hakim sendiri, pengeroyokan,
penganiayaan, pengasingan, bahkan pembataian.
149
Soerjono Soekanto, 2005, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Press
(selanjutnya disebut Soerjono Serkanto II), Jakarta, h.37
110
Kesulitan dalam pembuktian terhadap kejahatan ini merupakan salah satu
kelemahan dalam proses penegakan hukum terhadap terjadinya kejahatan ini.
Sering terjadinya tindakan main hakim sendiri oleh warga masyarakat terhadap
warga masyarakat yang diduga berprofesi sebagai dukun yang melakukan
kejahatan dengan kekuatan gaib merupakan salah satu bagian dari akibat tidak
terjangkaunya hukum terhadap perbuatan-perbuatan yang mengatasnamakan
kekuatan gaib untuk melakukan perbuatan pidana. Indonesia sebagai negara
hukum berkewajiban untuk melindungi warga masyarakat Indonesia dalam bentuk
pelanggaran atau kejahatan dalam bentuk apapun untuk mewujudkan
kesejahteraan sosial.
Demikian apa yang diatur dalam Pasal 545, 546, dan 547 KUHP tidak
dapat diberlakukan terhadap seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan
menggunakan kekuatan gaib yang mengalami penghakiman secara massal, karena
substansi yang diatur dalam Pasal 545, 546, dan 547 KUHP tidak lagi dianggap
sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Larangan-larangan dalam
pasal-pasal tersebut sudah bergeser menjadi suatu bentuk kepercayaan atau
keyakinan oleh seseorang terhadap suatu hal, sehingga keberadaan seseorang yang
diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib yang dikenal
dalam masyarakat mengalami tindakan anarkis warga setempat tanpa
menghiraukan keberadaan hukum yang berlaku dalam suatu negaranya terlebih
lagi mengingat bahwa Indonesia adalah negara hukum, yang sudah sepatutnya
perbuatan atau kejahatan dalam bentuk apapun harus ditindaklanjuti oleh pihak
yang berwajib. Penekanan dalam tulisan ini berkaitan dengan tindakan anarkis
111
warga yang ada di Indonesia dalam suatu wilayah yang banyak melakukan
tindakan anarkis terhadap seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan
menggunakan kekuatan gaib.
Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib melalui
jalur non penal sasaran pokoknya adalah menangani faktor-faktor kondusif
penyebab terjadinya kejahatan, yang berpusat pada kondisi-kondisi sosial secara
langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan
kejahatan. Masyarakat yang menduga dalam wilayahnya dihuni oleh seseorang
yang diduga berprofesi sebagai orang yang ahli dalam melakukan kejahatan
dengan menggunakan kekuatan gaib cenderung melakukan tindakan anarkis
seperti tindakan main hakim sendiri. Tidak jarang tindakan seorang demikian
menumbuhkan atau menimbulkan kejahatan baru terhadap seseorang yang
berprofesi sebagai orang yang ahli melakukan kejahatan dengan menggunakan
kekuatan gaib yakni tindakan penganiayaan, kekerasan, bahkan berpotensi
menimbulkan pelanggaran HAM.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang masih kuat dalam
memegang tradisi. Kepercayaan masyarakat terkait dengan masalah perbuatan
dengan kekuatan gaib masih mengakar dengan cukup kuat menjadi mitos
tersendiri ditengah-tengah masyarakat. Cara pandang masyarakat tentang
perbuatan dengan kekuatan gaib menjadikan perbuatan dengan kekuatan gaib
seperti sudah membudaya dikalangan masyarakat. Fenomena perbuatan dengan
kekuatan gaib di tengah masyarakat Indonesia seringkali menimbulkan kekerasan
yang tidak terkontrol. Di banyak kasus orang sering diusir bahkan dibunuh karena
112
tuduhan sebagai dalang kejadian tersebut. Hal tersebut yang harus dihindari
jangan sampai menimbulkan anarkisme masyarakat.
Persoalan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib yang lebih
dikenal dengan sihir, santet, klenik, dan tenung sesungguhnya bukanlah suatu hal
yang baru bagi masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Jawa pada
khususnya, karena segala persoalan yang berhubungan dengan mistik merupakan
bagian dari dunia kebatinan, sekalipun ada diantara para pengikut aliran
kepercayaan atau kebatinan yang menolak eksistensi kejahatan dengan
menggunakan kekuatan gaib tersebut. Suatu kejahatan dengan menggunakan
kekuatan gaib seperti santet sangat popular pada masyarakat Using di
Banyuwangi, tidak jauh berbeda dengan teluh di kalangan masyarakat Sunda. Di
dalam santet maupun teluh ini tidak jarang diketemukan korban-korban yang
teraniaya, cacat, dan mati sebagai akibat dari perbuatan santet ataupun teluh
tersebut.150
Sistem pembuktian menurut hukum pidana sampai saat ini belum
menjangkau perbuatan atau kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib yang
menimbulkan konsekuensi bahwa perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib
yang dipandang jahat belum dapat dibuktikan sebagai tindak pidana. Akibatnya,
warga masyarakat yang merasa dirugikan oleh praktek kekuatan gaib seperti
keberadaan praktek perdukunan yang terkait dengan teluh atau santet melakukan
150
Dominikus Rato, 2006, Perilaku Main Hakim Sendiri: Pembunuhan Tukang Santet,
Sebuah Pendekatan Sosial-Budaya ( Di kalangan masyarakat Osing di kenal ilmu santet serupa,
watuk gambiran, sabuk mangir, aran goyang, semar mesen, dan sebagainya.http://www. Tragedi
Banyuangi 1998.co.id., di akses pada tanggal 24 Desember 2014 pukul 11.00 Wita
113
balas dendam dengan cara membantai, membunuh, mengucilkan orang yang
diduga sebagai dukun santet atau tukang teluh dengan cara-cara yang sadis
sebagaimana teradi di Banyuwangi, dengan adanya peristiwa pembantaian
terhadap 128 orang.151
Kasus yang terakhir terjadi di pertengahan tahun 2013
tepatnya tanggal 7 juli, di desa Geudong-geudong, Kota Juang, Bireuen, dini hari
sekitar pukul 01.00 WIB, massa mengamuk dan membakar rumah Mukhtar Abas,
pembakaran itu dilakukan massa karena mukhtar dituduh sebagai dukun santet.152
Tragedi tersebut menyebabkan balas dendam yang di lakukan oleh
keluarga korban yang diduga terkena santet atau masyarakat akan menimbulkan
suatu kerusuhan massal yang memiliki tiga sifat yang paling nyata, yaitu berupa
pengerusakan, perampasan, dan pembakaran yang dilakukan dengan sengaja.
Kondisi ini telah menunjukkan bahwa penegakan hukum belum menyentuh pada
praktek perdukunan atau kejahatan dengan kekuatan gaib laiinnya. Arti penegakan
hukum sesungguhnya sangat terkait dengan kegiatan menyerasikan hubungan
nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan
mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir,
151
Anjani Ritasan, 2003, Kumpulan Tragedi Sarat Misteri, http:www// berita/ tragedy/
pembantaian/banyuangi/.ac.id, diakses pada tanggal 24 Oktober 2014 pukul 14.00 Wita
152
Muhammad adam, 2013, Dalam KUHP Pengaturan Kejahatan Santet Relevan dalam
rangka pembentukan hukum nasional yang sesuai dengan karakter bangsa indoneseia,
http://berita daerah/.ac.id, diakses pada tanggal 23 November 2012, pukul 13.30 WITA
114
yakni untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan
hidup.153
Penegakan hukum memerlukan unsur-unsur pendukung penegakan hukum
yang terdiri dari, pembuatan undang-undang, penegakan hukum, dan lingkungan,
karena penegakan hukum pada hakekatnya merupakan bagian dari rangkaian
penanggulangan kejahatan serta suatu proses untuk mewujudkan keinginan-
keinginan hukum menjadi kenyataan, yang berupa pikiran-pikiran badan pembuat
undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum tersebut.
Tanpa adanya ketiga unsur dalam penegakan hukum tersebut, maka pelaksanaan
hukum tidak akan berjalan. Unsur pertama, berupa pembuatan undang-undang
pada lembaga legislatif di Indonesia, belum diketemukan adanya peraturan
perundang-undangan yang mengatur delik atau kejahatan yang berhubungan
dengan metafisika khususnya mengenai delik materiil.154
Keberadaan pengaturan
kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib saat ini hanya dalam bentuk
pelanggaran dalam sebuah lembaga pengadilan yang tidak pernah terapkan.
Unsur kedua, yakni penegakan hukum yang terlibat ialah polisi dan
aparat penegak hukum terkait, seperti: Jaksa, Hakim, dan Penasihat Hukum.
Sebenarnya keberhasilan atau kegagalan dalam penegakan hukum berawal dari
peraturan hukum itu dibuat. Misalnya: badan legislatif membuat peraturan yang
153
Soerjono Soekanto, 2005, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Rajawali Press (selanjutnya disebut Soerjono Soekamto III), Jakarta, h.3
154
Ibid., h.4
115
sulit dilaksanakan dalam masyarakat, maka sejak saat itu pula badan legislatif
telah menjadi perancang kegagalan bagi aparat penegak hukum dalam
menerapkan peraturan hukum itu. Akibatnya, peraturan hukum tersebut gagal
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum. Unsur ketiga dalam penegakan hukum
adalah lingkungan.155
Lingkungan ialah dimensi sosial yang meliputi faktor manusia dan
lingkungan sosial dari penegakan hukum itu sendiri. Faktor manusia yang
berhubungan dengan lingkungan pada penegakan hukum sangat memegang
peranan, sebab hanya melalui faktor manusia penegakan hukum dapat
dilaksanakan. Sedangkan faktor sosial dalam penegakan hukum dapat dikaitkan
dengan manusianya secara pribadi dan kepada penegak hukum dapat dikaitkan
dengan manusianya secara pribadi dan kepada penegak hukum sebagai
lembaga(institusi), karena penegak hukum tidak dapat lepas dari institusi di mana
penegak hukum tersebut berpijak.156
Penyimpangan terhadap penegakan hukum, akan nampak sebagai
penegakan hukum yang bersifat represif. Akan tetapi dapat saja penyimpangan
penegakan hukum dalam rangka mencapai tujuan yang didasari kepentingan
umum, merupakan usaha menciptakan kesejahteraan masyarakat (social welfare)
sehingga dalam penegakan hukum dapat saja terjadi sebagai actual enforcement
155
Ibid., h.12
156
Ibid., h.25
116
yang tidak dapat dihindari. 157
Penyimpangan penegakan hukum terhadap pelaku
pelanggaran dalam Pasal 545, 546, dan 547 KUHP tidak pernah ditegakkan dalam
hal bahwa pelanggaran tersebut tidak lagi merupakan perbuatan pidana, akan
tetapi berubah menjadi suatu bentuk kepercayaan manusia terhadap sesuatu hal
yang tidak boleh diintervensi oleh siapapun termasuk negara.
Realitas bangsa Indonesia terhadap perilaku main hakim sendiri terhadap
seorang yang dituduh menjadi seseorang yang melakukan kejahatan dengan
menggunakan kekuatan gaib tidak bisa dihindari, belum ada satupun aturan yang
mampu melindungi hak asasi manusia dari seseorang yang mengalami tindakan
kekerasan oleh masyarakat terhadap tuduhan sebagai pelaku kejahatan dengan
menggunakan kekuatan gaib. Hal ini menjadi dasar dari upaya pembentukan
hukum yang mengatur mengenai kejahatan dengan kekuatan gaib dalam rangka
melindungi hak asasi manusia seluruh masyarakat Indonesia dari tindakan
sewenang-wenang terhadap tuduhan tersebut.
Penegakan hukum memiliki esensi penting dalam memajukan
pembangunan nasional. Muladi sebagaimana dikutip oleh Dikdik M.Arief Mansur
dan Elisatris Gultom menjelaskan hubungan antara penegakan hukum dengan
pembangunan nasional di mana tujuan akhir dari politik kriminal adalah
perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan utama kesejahteraan masyarakat.
Dengan demikian penegakan hukum pidana merupakan bagian dari politik
157
Sunarto, 2009, Alternatif Meminimalisasi Pelanggaran HAM dalam Penegakan
Hukum Pidana, dalam Muladi (ed), Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep, dan Implikasinya
dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, h. 140
117
kriminal, pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat (politik sosial). Sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari keseluruhan kebijakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Sering dikatakan bahwa usaha penanggulangan kejahatan termasuk usaha
penegakan hukum merupakan bagian integral pembangunan nasional.158
Masyarakat merupakan sistem sosial yang menjadi wadah dari pola-pola
interaksi sosial atau hubungan interpersonal maupun kelompok lainnya.159
Adanya hukum adat dalam suatu masyarakat juga mempunyai dasar dan
bentuknya. Masyarakat lebih cenderung menggunakan hukum adat untuk
menyelesaikan permasalahan-permasalahan hukum yang terjadi dalam
masyarakat. Hukum pidana formal dianggap tidak mampu untuk menjangkau
perbuatan-perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib. Kasus-kasus main
hakim sendiri terjadi berulang-ulang di Indonesia terkait dengan keberadaan
seseorang yang dituduh sebagai dukun santet.
Kehidupan sosial masyarakat indonesia banyak terjadi kasus
penganiayaan maupun pengeroyokan yang didasarkan pada tuduhan melakukan
kejahatan dengan kekuatan gaib. Bahkan tidak sedikit terjadi isu melakukan
kejahatan dengan kekuatan gaib dijadikan alat untuk melakukan pembusukan
karakter terhadap seseorang. Penyebab lain dari terjadinya berbagai tindakan main
158
Didik M.Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan antara Norma dan Realita, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.12
159
Soerjono Soekanto II, Op.Cit. h.34
118
hakim sendiri oleh warga terhadap orang yang diduga melakukan kejahatan
dengan menggunakan kekuatan gaib yakni lumpuhnya fungsi kepemimpinan dan
lembaga masyarakat itu sendiri. Berbagai kekuatan masyarakat dengan segala
fungsi kepemimpinannya menjadi lumpuh karena telah dipegang oleh negara
melalui jaringan yang korporatis yang semuanya bergantung pada kekuasaan
negara.
Akibatnya, pembalikan yang terjadi secara tiba-tiba tersebut menjadi
bersifat kriminogen, karena massa menjadi beringas dan ini diwujudkan dalam
bentuk amuk massal terhadap seseorang yang diduga melakukan kejahatan
dengan menggunakan kekuatan gaib seperti santet, tenung, sihir, teluh, dan
sebagainya. Dalam rangka menjerat orang-orang yang menjalankan praktek
kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib tidak mudah karena harus ada
peraturan yang mengaturnya terlebih dahulu sebagaimana terkandung dalam asas
legalitas, sehingga perlu ada pengaturan terhadap perbuatan-perbuatan yang
dipandang sebagai kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib yang lebih jelas
dan tegas. Oleh karena fungsi umum dari hukum pidana adalah
menyelenggarakan pengaturan untuk menciptakan ketertiban dan keamanan
masyarakat.
Setiap anggota masyarakat menjadi pemegang peranan ditentukan tingkah
lakunya oleh pola-pola peraturan yang diharapkan dari padanya baik oleh norma-
119
norma hukum maupun oleh kekuatan-kekuatan diluar hukum.160
Fungsi
khususnya melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang merugikan,
dengan sanksi pidana yang diharapkan dapat menimbulkan pencegahan terhadap
terjadinya kejahatan.161
Penentuan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib
sebagai suatu tindak pidana merupakan tahap formulasi kebijakan hukum pidana
yang merupakan suatu rangkaian dengan tahap penerapan dan tahap pelaksanaan.
Memformulasikan tindak pidana merupakan masalah sentral, terutama
menyangkut perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan sanksi
apa yang selayaknya dikenakan bagi si pelanggar. Dari beberapa contoh
penegakan terhadap seseorang yang dituduh melakukan perbuatan kejahatan
dengan kekuatan gaib tersebut, faktanya bahwa hukum pidana belum mampu
sebagai sarana untuk menanggulangi bentuk-bentuk kejahatan yang terjadi dalam
masyarakat.
Membicarakan masyarakat adalah suatu keharusan yang melekat pada
perbincangan mengenai hukum. Hukum dan masyarakatnya merupakan dua dari
satu mata sisi uang. Maka tanpa perbincangan mengenai masyarakat terlebih
dahulu, sesungguhnya berbicara tentang hukum yang kosong.162
Hal ini berkaitan
dengan dampak yang ditimbulkan akibat dari keberadaan kejahatan dengan
kekuatan gaib yang menimbulkan faktor kriminogen laiinnya dalam bentuk
160
Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum Progresif sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta
Publishing, Yogyakarta (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo I), h. 33
161
Soerjono Soekanto III, Op.Cit.h. 27
162
Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum dan Perilaku Hukum Yang Baik adalah dasar
hukum yang baik ( selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo II), Kompas, Jakarta, h.9
120
perilaku anti sosial terhadap suatu kejahatan. Penggunaan hukum pidana memang
untuk membatasi dan menghindarkan dari tindakan main hakim sendiri tetap
merupakan fungsi yang penting dalam menerapkan hukum pidana, yakni
memenuhi keinginan pembalasan. Hanya saja penderitaan yang diakibatkan oleh
pidana harus dibatasi dalam batas-batas yang paling sempit dan pidana harus
menyumbangkan pada proses penyesuaian kembali terpidana pada kehidupan
masyarakat sehari-hari, di samping itu beratnya pidana tidak boleh melebihi
kesalahan terdakwa, bahkan tidak dengan alasan-alasan prevesi general apapun.
Reformulasi terhadap pasal-pasal yang mengatur tentang kejahatan
metafisis dalam penyusunan konsep RUU KUHP dalam rangka untuk
perlindungan masyarakat akibat dari adanya tindakan penghakiman massal yang
dilakukan terhadap warga masyarakat yang diduga melakukan kejahatan dengan
menggunakan kekuatan gaib penting untuk dilakukan. Tujuan diadakannya
reformulasi terhadap kejahatan metafisis yang tumbuh subur di kalangan
masyarakat, untuk mencegah dampak sosial yang timbul akibat kejahatan dengan
kekuatan gaib seperti fitnah yang beruntun dengan penganiayaan, pengeroyokan,
pembakaran rumah orang yang diduga melakukan kejahatan dengan kekuatan
gaib tersebut serta akibat yang lebih fatal berupa pengadilan massa.
121
BAB IV
KEBIJAKAN PENGATURAN PERBUATAN DENGAN
MENGGUNAKAN KEKUATAN GAIB DALAM PEMBAHARUAN
HUKUM PIDANA
4.1. Pengaturan Kejahatan dengan menggunakan Kekuatan Gaib dalam
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Upaya mengkriminalisasikan perbuatan yang berhubungan dengan
kekuatan gaib dalam konsep RUU KUHP hanya menitikberatkan perhatiannya
pada usaha pencegahan ( prevensi) dilakukannya praktik-praktik yang berkaitan
dengan kekuatan gaib oleh seseorang ataupun yang berprofesi sebagai dukun.
Pengaturan tersebut berbeda dengan rumusan dalam Pasal 545, 546, dan 547
KUHP seperti telah disebutkan di atas bahwa rumusan tersebut lebih dominan
berkenaan dengan perbuatan-perbuatan yang mengacu kepada bentuk-bentuk
penipuan dan pelanggaran-pelanggaran dalam pengadilan yang berbeda dengan
rumusan perbuatan dalam Pasal 293 RUU KUHP. Pencegahan atau
pemberantasan terpusat pada profesi atau pekerjaan dengan menggunakan
kekuatan gaib yang dipandang merugikan orang lain. Kriminalisasi terhadap
perbuatan yang berkaitan dengan kekuatan gaib disejajarkan atau dikelompokkan
ke dalam delik-delik mengenai penawaran untuk melakukan tindak pidana yang
berdekatan dengan Pasal 162 dan 163 KUHP, yang di dalam RUU KUHP 2012
menjadi Pasal 291 dan Pasal 292 RUU KUHP 2012 yang menentukan:
121
122
Pasal 291 RKUHP 2012:
Setiap orang yang dengan lisan atau tulisan menawarkan untuk memberi
keterangan, kesempatan, atau sarana untuk melakukan tindak pidana, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak
Kategori II.
Pasal 292 RKUHP 2012:
(1) Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan
tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau
memperdengarkan rekaman sehingga terlihat oleh umum, yang berisi
penawaran untuk member keterangan, kesempatan atau sarana guna
melakukan tindak pidana dengan maksud agar penawaran tersebut
diketahui atau lebih diketahui oleh umum, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 ( satu) tahun atau pidana denda paling banyak
Kategori II.
(2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada
waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang sama maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa
pencabutan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g.
Perluasan dari bentuk penawaran untuk melakukan kejahatan dengan
menggunakan kekuatan gaib diatur dalam:
Pasal 293 RUU KUHP 2012 yang menentukan
(1) setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib,
memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan
jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan
penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Kategori IV.
(2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau
menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya
dapat ditambah dengan 1/3 ( satu per tiga)
123
Unsur-unsur dari Pasal 293 RUU KUHP tersebut yakni:
a. Perbuatan, perbuatan tersebut berupa menyatakan dirinya
mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan harapan, menawarkan
jasa, atau memberikan bantuan jasa.
b. Perbuatan tersebut ditujukan terhadap orang lain bahwa karena
perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan
mental atau fisik seseorang.
Ada dua belas (12) macam perbuatan yang dilarang jika dihubungkan
dengan objek tindak pidana, maka rumusan tindak pidana tersebut dapat
dibedakan menjadi dua belas (12) macam perbuatan yang diatur yakni:
a. Tindak pidana menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib pada orang
lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit;
b. Tindak pidana menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib pada orang
lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan kematian;
c. Tindak pidana menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib pada orang
lain karena perbuatannya dapat menimbulkan penderitaan mental atau
penderitaan fisik;
d. Tindak pidana memberitahukan bahwa karena perbuatannya dapat
menimbulkan penyakit;
e. Tindak pidana memberitahukan bahwa karena perbuatannya dapat
menimbulkan kematian;
f. Tindak pidana memberitahukan harapan bahwa karena perbuatannya dapat
menimbulkan penderitaan mental atau penderitaan fisik;
124
g. Tindak pidana menawarkan jasa atau memberikan bantuan jasa pada orang
lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit;
h. Tindak pidana menawarkan jasa atau memberikan bantuan jasa pada orang
lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan kematian;
i. Tindak pidana menawarkan jasa atau memberikan bantuan jasa pada orang
lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penderitaan mental
atau fisik seseorang;
j. Perbuatan mencari keuntungan
k. Perbuatan sebagai pencaharian
l. Perbuatan sebagai kebiasaan
Setelah diidentifikasi, maka rumusan tindak pidana dengan menggunakan
kekuatan gaib dalam Pasal 293 RUU KUHP hanya terpenuhi satu unsur
perbuatan yang menyebabkan tiga (3) akibat perbuatan yakni dalam unsur
perbuatan pada huruf (a), (b), dan (c). di luar dari itu sebenarnya bukan
merupakan perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan dengan penggunaan
kekuatan gaib. Dengan demikian semakin jelas bahwa memang tindak pidana
tersebut bukan tindak pidana kekuatan gaib dalam arti perumusan yang materiil
melainkan tindak pidana yang mengatasnamakan kekuatan gaib untuk melakukan
suatu kejahatan dalam rumusan formil.
Perbuatan sebagaimana yang disebutkan dalam huruf (d), (e), (f), (g), (h),
(i), (j), (k), (l) di atas bukan termasuk sebagai perbuatan yang dapat
dikualifikasikan sebagai perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib oleh
sebab rumusan unsur tersebut terpisah dengan rumusan perbuatan dengan
125
menyatakan kekuatan gaib. Dalam teori kriminalisasi sebagaimana yang
disebutkan di atas oleh Sudarto bahwa salah satu ukuran kriminalisasi adalah
penggunaan hukum pidana harus memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya
kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan
beban tugas (overbelasting). Kelampauan beban tugas ini berkaitan dengan
perumusan pasal yang berlebihan (over criminalization) serta rumusan pasal yang
dapat menimbulkan multitafsir sehingga dalam tahapan imlementasi nantinya
tidak akan efektif untuk pencegahan perbuatan dengan menggunakan kekuatan
gaib maupun untuk melindungi seseorang dari tindakan main hakim sendiri.
Perumusan pasal 293 RUU KUHP merumuskan jenis perbuatan yang berlebihan
terlihat dari unsur-unsur pasal yang harus dibuktikan satu per satu jika terjadi
suatu tindak pidana berkaitan dengan rumusan pasal tersebut.
Perumusan Pasal 293 RUU KUHP dimaksudkan untuk memperluas
jangkauan Pasal 291 RKUHP 2012 kepada bentuk bantuan yang lebih khusus dan
dijadikan sebagai delik yang berdiri sendiri. Bentuk bantuan yang lebih khusus
dan berdiri sendiri telah dirumuskan dalam rumusan pasal yang lain, hal ini
terlihat dari:
Pasal 333 KUHP menentukan:
(1) Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas
kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan
yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan
tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, maka yang bersalah
diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama
dua belas tahun.
(4) Pidana yang ditentukan dalam pasal ini diterapkan juga bagi orang
yang dengan sengaja dan melawan hukum memberi tempat untuk
perampasan kemerdekaan.
126
Pasal 349 KUHP menentukan:
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan
kejahatan berdasarkan Pasal 346, ataupun melakukan atau membantu
melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 347 dan
348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah
dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian
dalam mana kejahatan dilakukan.
Pasal 415 KUHP menyebutkan:
Seorang pejabat atau orang lain yang ditugaskan menjalankan
suatu jabatan umum terus menerus atau untuk sementara waktu, yang
dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan
karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berarga itu
diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau menolong sebagai
pembantu dalam melakukan perbuatan tersebut, diancam dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 417 menyebutkan:
Seorang pejabat atau orang lain yang diberi tugas menjalankan suatu
jabatan umum terus-menerus atau untuk sementara waktu, yang
sengaja menggelapkan, mengahcurkan, merusakan atau membuat tak
dapat dipakai barang-barang yang diperutukan guna meyakinkan atau
membuktikan di muka penguasa yang berwenang, akta-akta, surat-
surat atau daftar-daftar yang dikuasainya karena jabatannya, atau
membiarkan orang lain mengilangkan, menghacurkan, merusakkan
atau membikin tak dapat dipakai barang-barang itu, atau menolong
sebagai pembantu dalam melakukan perbuatan itu, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
Unsur perbuatan dalam suatu rumusan delik merupakan unsur pokok yang
menjadi identitas dan ciri khas dari delik tersebut. Pada rumusan Pasal 293 RUU
KUHP, pembentuk undang-undang telah merumuskannya dalam bentuk delik
formil yaitu delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang
dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Sehingga Pasal 293
127
tidak memandang bahwa akibat dari perbuatan itu harus telah timbul, karena
esensi dari suatu delik dalam kategori formil ada pada perbuatannya sendiri yang
telah bertentangan dengan ketentuan yang diatur oleh undang-undang hukum
pidana dan telah diancam pidana bagi siapa saja yang melanggarnya. Sedangkan
unsur kekuatan gaib dalam rumusan Pasal 293 RUU KUHP menurut peneliti
bukanlah sebagai perbuatan melainkan isi dari sebuah pernyataan.
Berkaitan dengan hal tersebut Barda Nawawi Arief yang merupakan salah
satu tim penyusun RUU KUHP menjelaskan bahwa pasal tersebut bukan
merupakan delik, akan tetapi merupakan perluasan dari Pasal 162 KUHP yang
melarang bantuan melakukan tindak pidana. Pelarangan itu kemudian diperluas,
termasuk dalam bantuan non fisik, meskipun dalam KUHP peninggalan hukum
Belanda yang dimaksudkan hanya menggunakan sarana fisik, akan tetapi menurut
beliau di Indonesia ada bantuan non fisik. Hal ini menjadi relevan dirumuskan
dalam RUU KUHP Indonesia dalam bentuk perumusan yang formil bukan bentuk
perumusan yang bersifat materiil. Pengaturan ini bertujuan untuk menegakan
keadilan terhadap seseorang yang dituduh sebagai dukun yang dihakimi secara
massal.
Pendekatan kebijakan yang pertama terkait dengan kebijakan sosial dalam
rangka pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya untuk
mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam
rangka mencapai atau menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan
sebagainya). 163
Unsur kekuatan gaib dalam Pasal 293 RUU KUHP merupakan
163
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit., h.25
128
unsur yang paling kontroversial, sehingga menyebabkan para pakar dan ahli-ahli
hukum terbuai oleh keberadaan unsur tersebut dan berkesimpulan bahwa kekuatan
gaib telah ditarik oleh pembentuk undang-undang ke dalam ranah hukum yang
sebenarnya sarat dengan logika pembuktian secara rasional. Sebenarnya
ketentuan kekuatan gaib bukanlah menjadi unsur pokok dari rumusan Pasal 293
RUU KUHP tersebut, melainkan suatu isi atau muatan dari sebuah pernyataan.
Kesalahpahaman terhadap perumusan Pasal 293 RUU KUHP 2012
dengan muatan gaib tidak sedikit pandangan yang menyatakan bahwa pasal
tersebut merupakan rumusan pasal yang mengatur mengenai delik santet.
Sesungguhnya yang diatur dalam rumusan Pasal 293 RUU KUHP tersebut bukan
merupakan delik santet yang dikenal oleh masyarakat Indonesia pada umumnya.
Mardjono Reksodiputro yang mengoreksi kesalahpahaman sejumlah orang
terhadap rumusan Pasal 293 RUU KUHP menyatakan bahwa kesalahan bukan
hanya pada penggunaan istilah santet dan model pembuktian, tetapi juga rumusan
dan mekanisme pembuktian. Masyarakat sering menyebut Pasal 293 RUU KUHP
2012 sebagai pasal santet, serta masalah santet ini terus mengusik ranah hukum.
Padahal menurut Mardjono Reksodiputro sama sekali tidak menemukan istilah
santet dalam rumusan batang tubuh dan penjelasan RUU KUHP, Akan tetapi yang
tertulis adalah istilah kekuatan gaib. Kesalahan penggunaan istilah itu berimbas
pada persepsi sebagian orang bahwa yang ingin dikenai dalam pasal itu adalah
santetnya atau gaibnya, padahal sebenarnya yang menjadi target adalah orang
yang menipu yang selanjutnya Mardjono lebih menyebut Pasal 293 RUU KUHP
129
sebagai tindak pidana penipuan khusus.164
Dengan apa yang diungkapkan tersebut
bahwa Pasal 293 dipandang sebagai suatu tindak pidana penipuan khusus sudah
seharusnya dalam rumusan sanksi tersebut lebih berat dari ancaman sanksi
terhadap bentuk penipuan biasa.
Banyak pandangan yang mengulas mengenai tindak pidana dengan
kekuatan gaib dengan cara melakukan kajian perbandingan hukum pidana. Kajian
tersebut menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa dibeberapa negara tindak
pidana dengan kekuatan gaib ada yang dirumuskan perbuatan gaibnya dan ada
yang dirumuskan perbuatan menawarkan jasa melakukan kejahatan dengan
menggunakan kekuatan gaib. Kajian terhadap hukum acara terkait dengan
pembuktian kejahatan melalui kekuatan gaib belum ditemui dalam buku-buku
hukum pidana di indonesia dikarenakan sangat sulit mencari negara yang
memiliki undang-undang tindak pidana kekuatan gaib sekaligus hukum acara
pidana pembuktian, khususnya dalam hal pembuktian kejahatan dengan kekuatan
gaib tersebut. setelah peneliti melakukan penelusuran, ditemukan salah satu
negara tentangga indonesia yang memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Sihir
sebagai lex specialis dari KUHP negara tersebut. Negara tersebut adalah Papua
Nugini atau Papua New Guina yang terdapat pada Bab 274 tentang Undang-
Undang Sihir Tahun 1971 yang memberikan pengertian perbuatan menyihir yang
berarti any act (including a traditional ceremony or ritual) that is intended to
bring, or that purports to be able or to be adapted to bring, powers of sorcery into
action, or to make them possible or carry them into effect (setiap tindakan,
164
Mardjono Reksodiputro, 2013, Koreksi Pemahaman atas Pasal Santet,
hhtp://m.hukumonline.com, diakses pada tanggal 13 Januari 2015, pukul 10.00 Wita
130
termasuk upacara adat dan ritual, yang dimaksudkan untuk membawa atau harus
disesuaikan untuk membawa kekuatan sihir ke dalam tindakan, serta membuat
hal tersebut berlaku). Selain itu, di dalam undang-undang tersebut juga
memberikan pengertian tentang sihir (sorcery) dan penyihir (sorcerer).
Jenis-jenis tindak pidana sihir beserta pidana di dalam Undang-Undang
tentang Tindak Pidana Sihir menurut Laporan Komisi Pembaharuan Hukum
dalam praktik sebagai berikut165
:
1) Berpura-pura sebagai penyihir, pidana penjara pada Pengadilan Negeri
1 tahun, pidana penjara pada Mahkamah Agung 2 tahun penjara.
2) Menggunakan sihir untuk mempengaruhi orang lain, pidana penjara
pada Pengadilan Negeri 1 tahun, pidana penjara pada Mahkamah
Agung 2 tahun.
3) Melakukan sihir jahat dan membantu melakukan sihir jahat tersebut,
pidana penjara pada Pengadilan Negeri 1 tahun, pidana penjara pada
Mahkamah Agung 5 tahun.
4) Menyediakan sesuatu untuk melakukan sihir jahat, pidana penjara 8
tahun.
5) Memiliki peralatan untuk melakukan sihir jahat, pidana penjara 1
tahun.
6) Percobaan melakukan sihir, pidananya tergantung pada jenis kejahatan
yang dilakukan.
165
Samardi, 2013, pengaturan sihir di negara papua nugini, http://samardi/2013/06/05/soal-
hap-sihir/, h.2 diakses pada tanggal 31 Maret 2015, pukul 14.00
131
7) Berpura-pura melakukan sihir atau memberikan ramalan atas nasib,
pidana penjara 1 tahun.
8) Menuduh orang lain melakukan sihir, pidana penjara 1 tahun.
Berdasarkan hal tersebut, menarik dari Undang-Undang tentang Tindak
Pidana Sihir di negara Papua Nugini adalah klasifikasi dari bukti yang dapat
digunakan dalam hukum acara pidana. Menurut undang-undang ini, alat bukti
yang ada di sini menyimpangi alat bukti yang sudah menjadi kebiasaan dalam
hukum acara pidana di Papua Nugini. Menurut Komisi Pembaharuan untuk
reformasi hukum Papua Nugini menyebutkan bukti dalam kasus sihir tidak
ditentukan secara ketat, dalam artian majelis hakimlah dalam kasus per kasus
yang akan melakukan pemeriksaan dalam proses peradilan, atau dengan kata lain
pengamatan hakim dipersidangan juga dapat berperan sebagai alat bukti
tersendiri. Papua nugini selain mengakui hukum positif juga mengakui hukum
acara pidana Adat, dalam konteks adalah mengenai hukum acara pidana adat yang
berkaitan dengan tindak pidana sihir. Dasar diberlakukannya adalah Undang-
Undang Pengadilan Desa tahun 1973, pada bab Peraturan Pengadilan Desa tahun
1974 dimana perbuatan sihir merupakan perbuatan yang dilarang. Pengadilan
desa sendiri dipimpin oleh “sesepuh” yang ditunjuk berdasarkan kemampuannya
atas pilihan warga desa tersebut. pembuktian terhadap perbuatan menyihir lebih
mudah dibuktikan di Pengadilan Desa dikarenakan tidak terikat pada alat bukti
sebagaimana tertuang dalam hukum positif. Untuk menentukan seseorang
132
memiliki kemampuan sihir Pengadilan Desa dapat memperhatikan beberapa hal
yaitu:166
1. Ketokohan, tidak semua orang di desa dapat melakukan sihir, oleh
sebab itu maka hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melakukan
sihir, karena sifatnya tertentu maka diidentifikasi lebih mudah.
2. Gaya hidup, orang yang memiliki ilmu sihir mempunyai gaya hidup
berbeda dari masyarakat biasa mulai dari pakaian, cara bicara, dan
makanan.
3. Tes, orang tersebut dites dengan beberapa tes dan disimpulkan oleh
“sesepuh” memiliki kekuatan sihir atau tidak.
4. Ekspos, maksudnya adalah apakah masyarakat disekitar desa tersebut
membicarakan atau bahkan bercerita tentang kehebatan seseorang
yang memiliki ilmu sihir.167
Beberapa kriteria tersebut dapat disimpulkan bahwa kriteria tersebut
mirip dengan alat bukti petunjuk atau pengamatan untuk menentukan seseorang
adalah penyihir atau bukan. Rumusan pasal demikian dapat dikategorikan sebagai
perumusan dalam bentuk delik materiil. Di indonesia perbuatan-perbuatan
demikian sangat sulit diidentifikasikan karena begitu banyaknya bentuk-bentuk
kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam suatu wilayah yang berbeda
dengan wilayah lainnya. Hal yang paling menonjol terhadap reaksi keberadaan
kejahatan ini adalah kecenderungan warga masyarakat terutama masyarakat lokal
menstigma atau menuduh seseorang secara sewenang-wenang bahkan berujung
166
Ibid.,h.3 167
Ibid.
133
pada tindakan main hakim sendiri terhadap warga masyarakat yang diduga
melakukan kejahatan dengan kekuatan gaib.
Berdasarkan hal tersebut perumusan Pasal 293 bukan merupakan pasal
yang mengatur mengenai kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib secara
materiil, melainkan salah satu unsur perbuatan untuk mengatasi masalah sosial
terhadap seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan
kekuatan gaib. Masalah sosial di sini adalah berupa adanya tindakan main hakim
sendiri oleh warga masyarakat terhadap seseorang yang diduga melakukan
praktek-praktek kekuatan gaib yang dipandang telah mengganggu ketertiban
sosial dalam masyarakat. Tujuan utama dalam perumusan pasal ini adalah dalam
rangka untuk menciptakan kesejahteraan dalam masyarakat sehingga tindakan-
tindakan seperti dimaksud tidak akan terulang dengan keberadaan aturan tersebut.
Hal tersebut sejalan dengan penjelasan umum Pasal 293 RUU KUHP yang
menyebutkan:
Ketentuan Pasal 293 dimaksudkan untuk mengatasi keresahan
masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam (black magic),
yang secara hukum menimbulkan kesulitan dalam pembuktiannya.
Ketentuan ini dimasuksudkan juga untuk mencega secara dini dan
mengakhiri praktik main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga
masyarakat terhadap seseorang yang dituduh sebagai dukun teluh (
santet)
Konsep Pasal 293 RUU KUHP 2012, terjadi ketidaksesuaian dengan
penjelasan dari pasal tersebut. Dalam penjelasan pasal tersebut, menyatakan
bahwa ketentuan Pasal 293 RUU KUHP 2012 dimaksudkan untuk mengatasi
keresahan masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam (black magic),
penggunaan ilmu hitam disini tidak terkait secara eksplisit dengan penggunaan
134
istilah kekuatan gaib dalam Pasal 293 RUU KUHP 2012 sehingga menimbulkan
bias pemaknaan. Penjelasan pasal tersebut juga tidak memberikan gambaran yang
jelas dari bunyi pasal yang sebenarnya merupakan perbuatan perluasan dari
tindakan penawaran untuk melakukan tindak pidana dengan mengatasnamakan
kekuatan gaib.
Mengenai perbuatan menyantet atau menenung yang dilakukan oleh si
pelaku itu sendiri, telah diuraikan di atas mengenai perundang-undangan
Majapahit yang mengatur mengenai delik santet di dalam Pasal 13 Perundang-
undangan Majapahit yang menyebutkan:
Barang siapa menulis orang lain di atas kain orang mati atau di atas peti
mati, atau di atas dodot yang berbentuk boneka, atau barang siapa yang
menanam boneka tepung bertuliskan nama kuburan, menyangsangkannya
di atas pohon, di tempat sangar, atau di jalan simpang, orang yang
demikian itu sedang menjalankan tenung yang sangat berbahaya.
Barang siapa menuliskan nama orang lain di atas tulang, di atas tengkorak
dengan arang, darah atau trikatuka dan kemudian merendamnya di dalam
air, atau menanamnya di tempat penyiksaan, perbuatan tersebut
menenung.168
Bentuk perumusan delik dalam Perundang-undangan Majapahit di atas
cukup operasional, karena unsur-unsur delik yang dirumuskan di dalamnya adalah
perbuatan-perbuatan yang dapat diidentifikasikan secara nyata. Ada dua bentuk
perumusan tenung/menenung dalam Perundang-undangan Majapahit tersebut,
yaitu:
1) Unsur-unsur tenung dalam perumusan alinea ke-1:
168
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit., h.296
135
a) Menulis nama orang lain: di atas kain orang mati, di atas peti mati,
atau di atas dodot yang berbentuk boneka
b) Menanam boneka tepung yang bertuliskan nama dikuburan
c) Menyangsangkannya di atas pohon, di tempat sangar, atau di jalan
simpang.
2) Unsur-unsur menenung dalam rumusan alinea ke-2
a) Menuliskan nama orang: di atas tulang, di atas tengkorak.
b) Nama itu ditulis dengan arang, darah, dan trikatuka,
c) Merendamnnya di dalam air, dan
d) Menanamnnya di tempat penyiksaan.169
Memperhatikan unsur-unsur di atas jelas terlihat bahwa sasaran norma
(larangan) yang ditujukan pada perbuatan yang dapat diidentifikasikan dan
dibuktikan. Jadi, tidak disyaratkan adanya akibat dari perbuatan tenung atau
menenung tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perundang-
undangan Majapahit juga berorientasi pada tujuan preventif seperti dalam
pengaturan Pasal 293 RUU KUHP. Bedanya perbuatan-perbuatan dalam
perundang-undangan Majapahit mengenai perbuatan dengan menggunakan
kekuatan gaib lebih mudah diidentifikasi karena berkaitan dengan situasi, kondisi,
alam budaya, yang berkembang pada saat itu yang berbeda dengan cara-cara
melakukan kejahatan dengan kekuatan gaib pada saat sekarang yang berubah
dengan cepat sehingga kesulitan untuk dapat dilakukan pengidentifikasian yang
berbeda dengan rumusan Pasal 239 RUU KUHP.
169
Barda Nawawi Arief, Loc.Cit.
136
Secara konseptual sebagai bagian dari upaya perlindungan masyarakat
(social defence) dan upaya kesejahteraan masyarakat (social welfare) perbuatan
dengan menggunakan kekuatan gaib dalam melakukan kejahatan merupakan suatu
perbuatan yang dipandang tercela. Banyak persepsi masyarakat yang
menggolongkan Pasal 293 RUU KUHP 2012 merupakan pasal yang mengatur
tentang santet, yakni sebuah kejahatan yang oleh masyarakat indonesia yang
dipandang sangat tercela akan tetapi keberadaanya tidak dapat dijangkau oleh
hukum. Dari sudut kriminologi, santet dapat dikonstantir sebagai perilaku
menyimpang sebab kriminologi tidak saja mempunyai sasaran penelitian hal-hal
yang oleh negara atau hukum dinyatakan terlarang. Tetapi juga tingkah laku yang
oleh masyarakat dianggap tidak disukai, sekalipun tidak diatur oleh hukum
pidana. Kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat memang tidak menyukai
kehadiran perbuatan tersebut yang terbukti dari adanya reaksi sosial terhadap
seseorang yang diduga menjadi dukun santet.170
TB Ronny Nitibaskara berpendapat, dipandang dari sudut kirminologis
Pasal 293 RUU KUHP sudah memiliki rumusan formil yang baik, namun masih
banyak pihak melihat isi pasal tersebut dari sudut pandang delik materiil.
Mengenai ilmu gaib sendiri banyak dipraktekkan di Indonesia, hampir diseluruh
diwilayah Indonesia. Kenyataanya, fakta sosial menunjukkan bahwa ilmu gaib di
desa-desa di Indonesia sudah mendarah daging hingga menjadi mekanisme untuk
menyelesaikan sengketa antar warga. Walaupun keampuhan dan kebenaran
170
Ronny Nitibaskara, 2002, Sarasehan Metafisika, diceramahkan dalam Sarasehan
Metafisika Study Club, tanggal 14 Juli di Jakarta, http:www//kejahatan metafisis/.ac.id diakses
pada tanggal 25 Januari 2015
137
kekuatan gaib tidak pernah dapat dibuktikan namun hal itu telah menjadi bagian
dalam kehidupan penduduk sehari-hari.171
Berdasarkan dari semua pandangan terhadap perumusan Pasal 293 RUU
KUHP maka tujuan yang hendak dicapai ialah untuk menanggulangi kejahatan
dan mengadakan peneguhan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi
kesejahteraan dan pengayoman masyarakat berkaitan dengan adanya tindakan
anarkis masyarakat terhadap seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan
menggunakan kekuatan gaib. Perumusan Pasal 293 RUU KUHP berkaitan
dengan pendekatan kebijakan sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum,
dalam bidang pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya
pembaharuan subtansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih
mengefektifkan penegakan hukum.
Perumusan Pasal 293 RUU KUHP merupakan kelanjutan politik hukum
dalam KUHP berkaitan dengan Pasal 545, 546, dan 547 KUHP yang saat ini
berlaku. Faktanya pasal-pasal KUHP tersebut tidak pernah diberlakukan terhadap
pelanggar pasal tersebut, tidak pernah terjadi penegakan hukum terhadap yang
melanggarnya. Perumusan ketentuan Pasal 293 RUU KUHP merupakan
penegasan dalam rangka untuk mengefektifkan penegakan hukum yang selama ini
tidak efektif akibat adanya pemaknaan norma kekuatan gaib yang tidak jelas,
dalam rangka untuk mencegah tindakan main hakim sendiri oleh warga
masyarakat terhadap orang yang dituduh melakukan kejahatan dengan kekuatan
gaib. Akan tetapi perumusan Pasal 293 RUU KUHP 2012 memuat banyak bentuk
171
Tb Ronny Nitibaskara I, Op.Cit., h.8
138
perbuatan di luar perbuatan dengan mengatasnamakan kekuatan gaib, sehingga
pemaknaannya menjadi bias yang tidak sesuai dengan tujuan dari perumusan
pasal tersebut.
Indikator penegakan hukum yang baik berawal dari substansi hukum yang
jelas sehingga dalam penerapannya tidak menimbulkan penyimpangan-
penyimpangan yang tidak dikehendaki. Hal ini sesuai dengan pendapat Otje
Salman dan Anton F.Susanto bahwa pembangunan hukum ini harus mencakup
tiga aspek yang secara simultan berjalan melalui langkah-langkah strategis, mulai
dari perencanaan pembuatan aturan (legislation planning), proses pembuatannya
(law making), sampai kepada penegakan hukum (law enforcement), yang
dibangun melalui kesadaran hukum (law awareness) masyarakat.172
Perubahan paradigma yang menempatkan perbuatan dengan menggunakan
kekuatan gaib sebagai suatu kejahatan dan dipidana berdasarkan pertimbangan
bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan anti sosial yang banyak
meresahkan masyarakat. Terlebih dari itu perlindungan terhadap seseorang yang
diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib mengalami
tindakan anarkis berupa pengeroyokan massal, pembakaran rumah, menjadi hal
yang prioritas dalam rangkan perlindungan Hak Asasi Manusia. Pencegahan
terhadap dua bentuk perbuatan dalam suatu undang-undang merupakan hal cukup
rumit.
Berdasarkan dari segi pendekatan nilai, perumusan Pasal 293 RUU KUHP
2012 harus berbeda dengan muatan nilai yang terkandung dalam KUHP yang
172
Otje Salman dan Anton F Susanto, 2009, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan,
dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, h. 154
139
berlaku saat ini. Ditinjau dari nilai sosio politik pembentukan pasal 293 RUU
KUHP merupakan langkah kebijakan yang dibentuk oleh lembaga legislatif
berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila. Nilai
sosiofilosofis berkaitan dengan esensi dari perumusan pasal tersebut yang
bersumber dari Pancasila sebagai dasar falsafah negara Indonesia, sebagai bahan
dasar dari suatu perumusan aturan-aturan hukum di Indonesia. Muatan sosio
kultural dalam Pasal 293 RUU KUHP sangat kental terlihat dari unsur pernyataan
dengan kekuatan gaib, hal ini mencerminkan bahwa RUU KUHP yang sedang di
bahas saat ini sebagian besar ketentuan-ketentuannya mengacu kepada keadaan
sosial kultural bangsa Indonesia.
Terpenuhinya syarat yuridis, sosiologis, filosofis, maka undang-undang
diharapkan akan menjadi hukum yang responsif. Hukum responsif adalah model
atau teori yang digagas Nonet dan Selznick di tengah kritik pedas Neo-Marxis
terhadap liberal realism. Nonet dan Selznick menempatkan hukum sebagai sarana
respon terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Sesuai dengan
sifatnya yang terbuka maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk
menerima perubahan-perubahan sosial demi tercapainya keadilan dan emansipasi
publik.173
hal ini sesuai dengan keadaan sosial bangsa Indonesia terkait dengan
perumusan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib.
Pengaruh sosial dari adanya kriminalisasi dalam Pasal 293 RUU KUHP
tidak hanya berdampak positif melainkan memiliki dampak negatif pula dalam
kehidupan sosial masyarakat. Hal ini dikarenakan substansi dari isi atau muatan
173
Bernald L.Tanya, Yoan N Simanjuntak, dan Markus Yage, Op.Cit, h. 183
140
sebuah pernyataan yang mengatasnamakan kekuatan gaib sebagai sarana untuk
melakukan kejahatan telah banyak menimbulkan kesalahpahaman dari segi
rumusan pasal tersebut. Akan tetapi fokus kriminalisasi dalam Pasal 293 RUU
KUHP ditekankan pada perbuatan menawarkan atau memberikan jasa dengan
mengatasnamakan kekuatan gaib untuk membunuh atau mencelakakan orang lain.
Pendekatan yang rasional memang merupakan pendekatan yang seharusnya
melekat pada setiap langkah kebijakan. Hal ini merupakan konsekuensi logis,
karena dalam melaksanakan politik orang mengadakan penilaian dan melakukan
pemilihan dari sekian banyak alternatif yang dihadapi.
Politik kriminil dengan menggunakan kebijakan hukum pidana harus
merupakan suatu usaha atau langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan
sadar, ini berarti memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk
menanggulangi kejahatan harus benar-benar telah memperhitungkan semua faktor
yang mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana itu dalam
kenyataanya. Jadi diperlukan pula pendekatan yang fungsional dan inipun
merupakan pendekatan yang melekat pada setiap kebijakan yang rasional.
Apabila kejahatan dengan kekuatan gaib dikriminalisasikan sebagai delik materiil
hal ini akan berdampak dari segi pembuktian karena kejahatan dengan kejahatan
gaib merupakan suatu perbuatan yang irasional yang bertentangan dengan
kriminalisasi dalam undang-undang yang berdasarkan pada tingkat rasionalitas
dan sesuai dan memenuhi unsur-unsur dalam proses kriminalisasi.
141
4.2. Pengaturan Perbuatan dengan Menggunakan Kekuatan Gaib dalam
Konsep yang Ideal
Karakter magis dalam kasus perbuatan dengan menggunakan kekuatan
gaib memang paradox bilamana diperhadapkan dengan sistem hukum modern
yang serba formal dan rasional, karena alasan inilah KUHP sulit mengakomodir
semua hal yang bersifat non kausatif. Tetapi tidak bisa dipungkiri pula bahwa
fakta tentang peristiwa-peristiwa yang sulit dinalar tetapi terjadi dalam realitanya.
Fenomena semacam ini masih diakui eksistensinya oleh sebagian besar
masyarakat di negara kita, serta bagi kalangan yang meyakini, kejahatan dengan
kekuatan magis itu adalah ada dan dipandang mempunyai pengaruh jahat. Dari
realitas ini, usulan kriminalisasi mengenai kejahatan dengan menggunakan
kekuatan gaib datang dari penggalian panjang atas realitas masyarakat sendiri
melalui berbagai pendekatan.
Latar belakang sosiologis dan faktual dari perumusan Pasal 293 RUU
KUHP tersebut adalah adanya kepercayaan kejahatan dengan kekuatan gaib
dalam masyarakat. Kemudian fakta berikutya seringkali terjadi tindakan main
hakim sendiri kepada seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan
menggunakan kekuatan gaib. Aksi main hakim sendiri ini terjadi karena tidak ada
pengaturan dalam undang-undang yang mengatur kejahatan dengan menggunakan
kekuatan gaib secara tegas. Dari pengertian mengenai kejahatan dengan kekuatan
gaib yang sering dikenal dengan istilah santet, tenung, leak, di atas tentulah tidak
mungkin bisa dijadikan tindak pidana. Kesulitannya bukan pada membuktikan
142
tentang wujud kelakuan atau perbuatan nyatanya, melainkan pada hubungan sebab
dan akibat antara wujud nyata perbuatan dengan akibat.174
Berkaitan dengan perumusan perbuatan dengan ilmu gaib dalam Pasal 293
RUU KUHP ditinjau dari sudut pembangunan tujuan hukum nasional yakni
mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang merata spiritual sesuai
dengan Pancasila, berupaya untuk melindungi tindakan-tindakan anarkis massa
yang dilakukan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindakan kejahatan
dengan menggunakan kekuatan gaib. Upaya pemerintah untuk menjamin
kepastian hukum terhadap fenomena-fenomena yang terjadi dalam masyarakat
bukan hal mudah, pengklasifikasian jenis tindak pidana penting untuk dilakukan
dalam rangka untuk memperhitungkan biaya dan hasil akhir yang dikehendaki
dari dikriminalisasikanya suatu norma dalam peraturan perundang-undangan.
Pandangan dari sudut kriminologi, bahwa perbuatan yang bertentangan
dengan nilai-nilai kehidupan manusia mencakup kejahatan, pelaku kejahatan, dan
reaksi masyarakat terhadap kejahatan. Pelaku kejahatan adalah orang yang telah
melakukan kejahatan yang sering pula disebut sebagai penjahat. Sebagai
perbuatan negatif, kejahatan yang terjadi dalam masyarakat tentunya mendapat
reaksi dari masyarakat tempat kejahatan itu terjadi. Reaksi ini berupa reaksi
formal maupun reaksi informal. Dalam reaksi formal akan menjadi bahan studi
bagaimana bekerjanya hukum pidana itu dalam masyarakat, artinya dalam
masalah ini akan ditelaah proses bekerjanya hukum pidana manakala terjadi
pelanggaran terhadap hukum pidana tersebut. Terhadap reaksi informal atau
174
Adami Chazawi, 2013, Pasal 293 RUU KUHP Bukan Tindak Pidana Santet,
http:www//m.kompasiana.com/post/read/pasal-293-ruu-kuhp-bukan-tindak-pidana-santet//.ac.id
diakses pada tanggal 27 Januari 2015 pukul 12.30 pm
143
reaksi masyarakat umum terhadap kejahatan itu berkaitan bukan saja terhadap
kejahatan yang sudah diatur dalam hukum pidana yang dapat menyebabkan
tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat.
Korban dalam hal perumusan Pasal 293 RUU KUHP 2012 bukan
dimaksudkan terhadap korban yang mengalami penderitaan karena perbuatan gaib
seperti santet, tenung, teluh dan sebagainya. Akan tetapi korban disini maksudnya
adalah seseorang menjadi korban penipuan atas pernyataan seseorang. Lebih sulit
lagi permusan pasal ini menyertakan akibat dari suatu pernyataan yang dapat
menyebabkan kematian atau mencelakakan orang lain yang sejatinya sangat sulit
untuk dibuktikan, oleh sebab tidak akan ada seseorang yang melaporkan bahwa
seseorang tersebut mengalami penipuan akibat dari ditipu oleh orang yang
mengaku mempunyai kekuatan gaib untuk mencelakakan orang lain. Sedangkan
korban yang kedua adalah seseorang yang telah dituduh melakukan kejahatan gaib
yang dihakimi masa tanpa mempertimbangkan kebenaran yang sebenarnya,
karena warga Indonesia cenderung mempercayai suatu perbuatan yang tidak
berdasarkan fakta, hanya berdasarkan praduga-praduga.
Alasan yang menyebutkan adanya korban ini menyiratkan bahwa
perbuatan tersebut harus menimbulkan sesuatu yang buruk atau menimbulkan
kerugian. Salah satu kesimpulan dari Seminar Kriminologi ketiga Tahun 1970 di
Semarang antara lain menyatakan, hukum pidana hendaknya dipertahankan
sebagai salah satu sarana untuk social defence. Pemilihan pada konsepsi
perlindungan masyarakat inipun membawa konsekuensi pada pendekatan yang
rasional. Kepercayaan masyarakat terhadap kejahatan dengan kekuatan gaib
144
inilah yang sering melahirkan reaksi sosial yang membuahkan tindakan kejahatan.
Tindakan tersebut seperti pengeroyokan, penganiayaan berat, pembunuhan
berencana sampai dengan pembakaran menjadi perhatian para ahli hukum dan
tokoh masyarakat lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Barda Nawawi Arief
bahwa:
pengaturan tersebut untuk mencegah tindak penghakiman masal. Sebab,
selama ini orang yang diduga menggunakan ilmu hitam langsung ditindak
oleh masyarakat tanpa melibatkan penegak hukum. Apabila itu tidak
diatur, kenyataanya orang Indonesia main hakim sendiri, dukun santet
dibunuh. Oleh karena itu, setelah melakukan kajian ilmiah di tiap wilayah
dan seminar berulang kali, para ahli hukum pidana pun menyarankan agar
hal itu dimasukan dalam RKUHP yang disusun pemerintah.175
Sebenarnya, bukan hanya mekanisme kejahatan kekuatan gaib itu sendiri
yang harus dikaji secara empiris. Dalam masalah ini mengandung dua hal penting
yang menjadi masalah yakni apakah reaksi sosial atas isu kejahatan dengan
kekuatan gaib yang membuahkan kejahatan ataukah korban dari perbuatan dengan
kekuatan gaib tersebut. Masyarakat yang menjadi korban kejahatan dengan
kekuatan gaib umumnya menganggap hukum tidak mampu memberikan
perlindungan. Oleh karena itu, mereka mengambil jalan keadilannya sendiri,
disinilah letak dilemanya mereka yang menjadi korban, baik yang terkena
langsung maupun yang hanya merasa di bawah ancaman kekuatan gaib, harus
menerima akibat hukum dari reaksi pembelaan yang dilakukannya..
Keinginan untuk mengangkat bukti-bukti kejahatan dengan
menggunakan kekuatan gaib ke permukaan, jelas tidak akan mungkin karena
175
Barda Nawawi Arief, 2013, Pro Kontra Hukum dan Santet dalam Pidana Menurut
Ahli dan Masyarakat, di kutip dari http:www//m.kaskus.ac.id// pada tanggal 15 Januari 2015 pukul
17.00 WITA
145
kejahatan dengan kekuatan gaib berada dalam entitas alam yang lain. Karena hal
ini sulit dibuktikan, maka orang lari dari dugaan penipuan, serta dampak dari
pasca kejahatan kekuatan gaib inilah yang banyak menimbulkan tindakan-
tindakan yang dapat dimasukan ke dalam kasus tindakan perbuatan pidana. Di
mana tindakan tersebut tertuju terhadap pelaku yang diduga melakukan kejahatan
dengan kekuatan gaib seperti dukun santet, teluh, tenung dan lain sebagainya
seperti pengeroyokan masal, pembakaran, fitnah atau pengerusakan nama baik
dan tindakan main sendiri lainnya. Hal ini dikarenakan dugaan-dugaan tersebut
hanya berdasarkan anggapan bahwa orang yang dijadikan sasaran mereka untuk
dikenai tindakan adalah orang yang sudah memiliki reputasi negatif di dalam
masyarakat, padahal hal demikian adalah belum tentu dilakukan oleh orang yang
bersangkutan.
Bambang Sri Herwanto selaku Kepala Biro Penyusunan dan Penyuluhan
Hukum Mabes Polri tahun 2013 mengatakan bahwa Pasal 293 RUU KUHP
menonjolkan larangan terhadap propaganda atau promosi jasa praktik magis untuk
mencegah adanya usaha penipuan masyarakat. Caranya dengan memberikan
harapan melalui kekuatan magis yang tidak perlu dilengkapi dengan adanya akibat
magis yang ditimbulkan karena pembuktian yang sulit. Bambang mendukung
adanya perkara soal kekuatan gaib dalam perundang-undangan karena pada
reliatasnya memang benar terjadi. 176
Akan tetapi perumusan terhadap larangan
penggunaan kekuatan gaib harus dirumuskan secara rasional dalam rangka untuk
176
Bambang Sri Herwanto, Op.Cit. h.1
146
mencegah dan menanggulangi kejahatan dalam rangka menciptakan kesejahteraan
masyarakat dan perlindungan sosial.
Aturan harus membuat masyarakat tidak melakukan tindakan main hakim
sendiri pada orang yang di duga melakukan kejahatan dengan kekuatan gaib.
Dalam hal pembuktian kejahatan gaib harus menggunakan bukti dan saksi secara
jelas dan pasti. Kebudayaan mempengaruhi hukum dalam masyarakat. Mistik
sebagai pengetahuan yang mempengaruhi pola pikir manusia pada akhirnya akan
muncul dalam bentuk budaya. Proses kebudayaan mempengaruhi hukum menjadi
budaya hukum. Secara filosofis, keberadaan mistik dalam budaya hukum dapat
dilihat dari tiga aspek yaitu, aspek ontologism, aspek epistemologi, dan aspek
aksiologis. Persoalannya menjadi pelik, apabila mistik budaya hukum terlalu
dominan sehingga mempengaruhi pola pikir masyarakat. Keberadaan mistik
sebagai suatu budaya hukum, harus ditempatkan pada posisi yang tepat serta harus
disertai dengan upaya pembuktian hukum yang tepat jika akan menjadi bagian
ketentuan tertulis seperti yang terumus dalam Pasal 293 RUU KUHP. 177
Berdasarkan bentuk-bentuk karakteristik perilaku sosial yang
dikemukakan Max Weber yaitu pertama, perilaku sosial masyarakat dapat
diklasifikasikan sebagai rasional dan berorientasi terhadap suatu tujuan. Kedua,
bawa perilaku sosial dapat diklasifikasikan oleh kepercayaan secara sadar pada
arti mutlak perilaku. Ketiga, perilaku sosial yang diklasifikasikan sebagai suatu
yang bersifat afektif atau emosional. Keempat, merupakan perilaku sosial yang
177
Dian Onasis, 2010, Tinjauan Filsafat Ilmu Terhadap Mistik dalam Hubungannya
dengan Budaya Hukum Indonesia, http:www.//hukum.kompasiana.com/2010/07/09/tinjauan-
filsafat-ilmu-terhadap-mistik-dalam-hubungannya-dengan-budaya-hukum-indonesia. diakses pada
tanggal 12 Februari 2015 pukul 13.20. PM
147
diklasifikasikan sebagai tradisional yang telah menjadi adat istiadat. Berdasarkan
perilaku sosial yang cenderung bersifat emosional dan tradisional yang kemudian
menjadi bagian dari budaya.178
Dengan demikian tindakan anarkis berupa
tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat terhadap seseorang
yang diduga melakukan kejahatan dengan kekuatan gaib merupakan perilaku
sosial yang cenderung bersifat emosional dan tradisional karena mengabaikan
hak-hak seorang warga negara yang diduga melakukan kejahatan gaib dalam
negara hukum.
Berkaitan dengan perumusan Pasal 293 RUU KUHP seperti yang telah
dikemukakan di atas cenderung overcriminalisation serta menimbulkan
multitafsir tidak menempatkan pencegahan terhadap kejahatan terhadap
perbuatan gaib dalam satu rumusan yang ideal, melainkan mencakup perbuatan-
perbuatan lain yang tidak dalam kategori sebagai kejahatan dengan menggunakan
kekuatan gaib. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa unsur dalam
perumusan Pasal 293 RUU KUHP meliputi dua belas (12) jenis perbuatan
pidana, yang memenuhi unsur larangan dengan menggunakan kekuatan gaib
hanya 3(tiga) perbuatan. Hal ini tidak efektif bila nantinya digunakan dalam
penegakan hukum terhadap seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan
kekuatan gaib, karena harus memenuhi unsur perbuatan dalam rumusan Pasal 293
RUU KUHP 2012 yang begitu banyak.
Berdasarkan kajian terhadap rumusan tersebut, maka menurut pendapat
peneliti rumusan yang ideal dalam Pasal 293 RUU KUHP 2012 yakni:
178
Ibid., h.4
148
(1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib dan
menawarkan jasa dengan mengatasnamakan kekuatan gaib bahwa
karena perbuatannya menimbulkan harapan yang dapat menyebabkan
penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Kategori IV.
Rumusan pasal demikian lebih mengacu kepada larangan terhadap
penggunaan-penggunaan kekuatan gaib untuk melakukan kejahatan. Rumusan
kekuatan gaib lebih jelas bahwa hanya merupakan sebuah isi dari sebuah
pernyataan dengan perumusan yang bersifat formil, bahwa yang dibuktikan adalah
perbuatan menyatakan diri dan menawarkan jasa dengan mengatasnamakan
kekuatan gaib bukan akibat dari perbuatan seperti penyakit, kematian, penderitaan
fisik atau mental sebagai akibat dari penawaran jasa dengan menggunakan
kekuatan gaib yang dibuktikan. Seperti yang telah diketengahkan di atas bahwa
tujuan dari perumusan pasal ini untuk menghindari tindakan main hakim sendiri
oleh warga masyarakat terhadap seorang yang diduga melakukan kejahatan
dengan menggunakan kekuatan gaib.
Apabila ada seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan
menggunakan kekuatan gaib untuk melakukan kejahatan, maka masyarakat harus
melaporkan terlebih dahulu kepada aparat penegak hukum jika suatu saat
rancangan tersebut disahkan. Masyarakat tidak boleh mendahului aparat penegak
hukum untuk menindak seorang yang diduga melakukan kejahatan dengan
menggunakan kekuatan gaib. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa Indonesia
adalah negara hukum dengan salah satu unsur yang dimiliki oleh negara hukum
149
adalah adanya perlindungan hak asasi manusia. Aparat penegak hukum akan
mengkualifisir bentuk perbuatan seorang yang diduga melakukan kejahatan
dengan menggunakan kekuatan gaib sesuai dengan pasal yang mengatur kejahatan
dengan menggunakan kekuatan gaib yang untuk sementara diatur dalam Pasal 293
RUU KUHP 2012.
Persoalan yang akan dicari adalah apakah benar pelaku yang diduga
melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib tersebut menyatakan
dirinya mempunyai kekuatan gaib atau menawarkan jasa dengan menggunakan
kekuatan gaib. Bukan persoalan mengenai penyakit, kematian, penderitaan fisik
atau mental yang dilakukan oleh seorang yang diduga melakukan kejahatan
dengan menggunakan kekuatan gaib. Dengan demikian seorang yang diduga
melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib dapat diatasi melalui
penegakan hukum yang rasional guna melindungi hak warga masyarakat
Indonesia dari penghakiman massal secara sewenang-wenang.
Pengaturan perbuatan dengan mengatasnamakan kekuatan gaib dalam
Pasal 293 RUU KUHP selain memiliki kelemahan dari segi perumusan delik
dengan perumusan yang terlalu berlebihan, juga berlebihan dari segi penambahan
ayat (2), Apabila diperhatikan subtansi keseluruhan Pasal 293 RUU KUHP
tersirat merupakan suatu larangan terhadap kejahatan seseorang yang dikualifisir
sebagai bentuk lain dari kejahatan penipuan, yang kemudian mungkin akan
dikenal sebagai penipuan dalam bentuk khusus. Bagaimana mungkin adanya
bentuk penipuan tanpa mencari keuntungan, atau hanya merupakan kebiasaan
150
menipu dengan tidak mencari keuntungan. Sebenarnya, tanpa ayat (2) dalam pasal
itu pun sudah tersirat pada ayat (1), dengan adanya frasa “menawarkan atau
memberikan jasa kepada orang lain” ini sudah menunjukkan mencari keuntungan
atas perbuatan itu.
Berkaitan dengan ancaman pidana bagi pelaku perbuatan dalam Pasal 293
RUU KUHP berdasarkan teori pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana
merupakan suatu proses dinamis yang meliputi penilaian secara terus menerus dan
seksama terhadap sasaran-sasaran yang hendak dicapai dan konsekuensi-
konsekuensi yang dapat dipilih dari keputusan tertentu terhadap hal-hal tertentu
pada suatu saat. Hal ini menumbuhkan pemikiran bahwa pengumspulan bahan-
bahan di dalam masalah ini akan menunjang pemecahan masalahnya dengan cara
yang sebaik-baiknya.179
Perkembangan pembaharuan hukum pidana dan
pemidanaan saat ini telah memasuki era baru dari konsep reaksi pemidanaan
tumbuh ke arah suatu modifikasi konsep reaksi pembinaan, salah satunya
pendapat Tolid Setyadi menyebut pidana denda sebagai bentuk pidana tertua
bahkan lebih tua dari pidana penjara.
Pidana denda merupakan hukuman berupa kewajiban seseorang untuk
mengembangkan keseimbangan hukum sebagai penebus dosa dengan pembayaran
sejumlah uang.180
Ancaman pidana dalam Pasal 293 RUU KUHP merupakan
179
Tolib Setyadi, 2010, Pokok-pokok Hukum Penitensier di Indonesia, Alfabeta,
Bandung, h. 64
180
Ibid., h.54
151
ancaman pidana berupa pidana penjara atau pidana denda yang dirumuskan secara
komulatif atau alternatif dengan pidana penjara. Hal ini menunjukkan diskresi
bagi hakim nantinya dalam memutuskan kesalahan seseorang berdasarkan fakta-
fakta kasuistis dengan fakta-fakta hukum dalam persidangan. Praktik-praktik
kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib yang banyak menimbulkan
tindakan anarkis masyarakat secara nyata ada dalam kehidupan masyarakat yakni
kejahatan dalam arti sosiologis dan kejahatan dalam arti yuridis.
Andi Hamzah memaknai pemidanaan sebagai penjatuhan pidana atau
pemberian pidana atau penghukuman. Kemudian diperluas kembali bahwa
pemberian pidana meliputi dua arti yakni:
a. Dalam arti umum, menyangkut pembentuk undang-undang ialah yang
menetapkan stelsel sanksi hukum pidana (pemberian pidana in
abtracto)
b. Dalam arti khusus ialah, menyangkut berbagai badan atau jawatan
yang kesemuanya mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum
pidana itu.181
Penjatuhan pidana bagi pelaku kejahatan dengan menggunakan kekuatan
gaib harus berorientasi dalam upaya-upaya untuk mereduksi kejahatan melalui
pendekatan humanistis. Hal ini sejalan dengan pemikiran Mochtar Kusumatmaja
dan Barda Nawawi Arief ketika membahas mengenai tujuan hukum. Mochtar
181
Ibid., h. 22
152
Kusumaatmaja mengemukakan bahwa tujuan pokok hukum bila mereduksi pada
satu hal saja adalah ketertiban yang dijadikan syarat pokok bagi adanya
masyarakat yang teratur. 182
Barda Nawawi berpendapat bahwa:
Apabila pidana akan digunakan sebagai sarana untuk tersebut (membentuk
manusia Indonesia seutuhnya) maka pendekatan humanistik harus pula
diperhatikan. Hal ini penting karena hanya kejahatan itu pada hakekatnya
merupakan masalah kemanusiaan, tetapi juga karena pada hakekatnya
pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat menyerang
kepentingan atau nilai-nilai yang paling berharga bagi kehidupan
manusia.183
Mengenai pendekatan humanistik sebagaimana disebutkan oleh Barda
Nawawi Arief, maka Soedarto menjelaskan pembaharuan hukum pidana tetap
berkisar kepada manusia sehingga ia tidak boleh sekali-kali meninggalkan nilai-
nilai kemanusiaan, ialah kasih sayang terhadap sesama.184
Immanuel Kant yang
menyatakan bahwa dasar hukum pemidanaan harus dicari dari kejahatan itu
sendiri yang telah menimbulkan penderitaan pada orang lain, sedang hukuman
itu merupakan tuntutan yang mutlak (absolute) dari hukum kesusilaan. Disini
hukuman itu merupakan pembalasan yang etis.185
Pemidanaan dan pidana bagi
pelaku kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam RUU KUHP 2012
perlu diarahkan kepada kepentingan dari penjatuhan pidana itu sendiri yakni
penanggulangan kejahatan, pembinaan bagi pelaku, dan yang terpenting
182
Mohctar Kusumaatmaja, Tanpa Tahun Edisi, Fungsi dan Perkembangan Hukum
dalam Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung, h.2
183
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit. h.32
184
Barda Nawawi Arief I., Op.Cit., h.40
185
Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika
Aditama, Bandung, h. 27
153
mengindari seorang menjadi korban penghakiman massal. Oleh sebab itu
formulasi mengenai pidana harus sesuai dengan prinsip dasar nilai-nilai
kemanusiaan.
Berkenaan dengan teori-teori mengenai tujuan pemidanaan dan
humanisasi pemidanaan bahwa pidana penjara yang diancamkan pada Pasal 293
RUU KUHP akan efektif menanggulangi kejahatan dengan kekuatan gaib dan
mencegah praktik main hakim sendiri oleh masyarakat. Jenis pidana ini boleh
dikatakan telah mendunia, karena jenis pidana penjara hampir dapat ditemui pada
setiap negara di dunia. Akan tetapi dalam perkembangannya banyak kalangan
yang mempersoalkan kembali jenis pidana ini. Hal tersebut terutama berkenaan
dengan masalah efektivitas serta dampak negatif dari penggunaan pidana penjara
itu. 186
Ancaman pidana penjara terhadap pelaku kejahatan dengan menggunakan
kekuatan gaib dalam Pasal 293 RUU KUHP masih berupa pidana penjara
diharapkan dapat memberikan efek pencegahan terhadap kejahatan tersebut jika
pasal 293 RUU KUHP jika suatu saat disahkan.
Kriminalisasi dalam perumusan Pasal 293 RUU KUHP bukan semata-
mata ditujukan untuk pembalasan, melainkan untuk perlindungan serta
membentuk suatu hukum pidana yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia.
menjawab tuntutan masyarakat terhadap upaya pemerintah melindungi hak-hak
warga negara yang ditetapkan melalui peraturan hukum yang jelas sehingga tidak
186
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit. h. 46
154
menimbulkan tindakan sewenang-wenang dalam masyarakat. Hasil-hasil
maksimum harus dicapai dengan biaya yang minimum bagi masyarakat dan
minimum penderitaan bagi indvidu. Dalam tugas demikian, orang harus
mengandalkan pada hasil-hasil penelitian ilmiah mengenai sebab-sebab kejahatan
dan efektivitas dari bermacam-macam sanksi.
Perumusan pasal 293 RUU KUHP sesuai dengan pandangan aliran
sejarah hukum dari Von Savigny yang telah menegaskan bahwa hukum harus
sesuai dengan jiwa suatu bangsa (volkgeist). Bangsa indonesia sebagai bangsa
yang terdiri dari berbagai macam suku, adat, budaya, tradisi, sudah seharusnya
menentukan pengaturan hukum yang sesuai dengan karakter masyarakat hukum
Indonesia. kecenderungan masyarakat Indonesia melakukan tindakan main hakim
sendiri terhadap warga yang diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan
kekuatan gaib sebagai dasar dalam kriminalisasi Pasal 293 RUU KUHP 2012.
Pengaturan tersebut perlu dalam rangka untuk menjaga keseimbangan antara
pelaku dan korban kejahatan. Rumusan pasal 293 RUU KUHP merupakan salah
satu cerminan hukum yang berdasar situasi alam kondisi masyarakat Indonesia.
sebagaimana Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia dan merupakan nilai
fundamental, menghormati berbagai pandangan atau nilai-nilai yang bersifat
heterogen, serta tumbuh dan berkembang dalam kehidupan bangsa Indonesia
sejak dulu.
Indonesia menganut sistem hukum tertulis yakni setiap perbuatan yang
bertentangan dengan ketertiban umum harus dituangkan dalam bentuk tertulis
155
dalam sebuah peraturan perundangan-undangan. Hal ini menjadi konsekuensi dari
tujuan hukum yakni kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Setiap
perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai tatanan kehidupan masyarakat
harus diwujudkan dalam undang-undang. Indonesia mengenal kejahatan yang
bersifat gaib, akan tetapi masyarakat juga menyadari betapa kesulitan untuk
membuktikan maupun merumuskan kejahatan yang bersifat gaib dalam bentuk
delik materiil ke dalam suatu undang-undang.
Dengan demikian konsep yang ideal dalam rangka pembaharuan hukum
pidana berkaitan dengan kejahatan dengan kekuatan gaib yang sering
menimbulkan tindakan main hakim sendiri dikalangan masyarakat dirumuskan
secara jelas dan berdasarkan dengan situasi kondisi alam budaya masyarakat
Indonesia sehingga mampu menciptakan perlindungan dan kesejahteraan dalam
masyarakat dengan karakter hukum bangsa Indonesia asli. Dalam rangka
penanggulangan dan pencegahan terhadap tindakan-tindakan anarkis yang terjadi
dikalangan masyarakat Indonesia berkaitan dengan kepercayaan terhadap
kekuatan gaib untuk melakukan kejahatan.
156
BAB V
PENUTUP
5.1 SIMPULAN
1. Pengaturan masalah perbuatan dengan mengunakan kekuatan gaib dalam
KUHP telah diatur pelanggaran bagi kegiatan dengan menggunakan
kekuatan gaib dalam Pasal 545, 546, dan 547 KUHP. Pasal 545 yang
mengatur larangan seseorang berprofresi sebagai tukang ramal atau
penafsir mimpi. Pasal 546 melarang penjualan benda-benda yang berdaya
magis, sedangkan Pasal 547 melarang seseorang untuk mempengaruhi
jalannya sidang dengan menggunakan jimat dan mantra. Pasal-pasal ini
tidak pernah digunakan oleh pihak Kepolisian dan Pengadilan terhadap
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi, oleh sebab perumusan norma yang
tidak jelas dari segi pemaknaan terhadap kekuatan gaib serta berkaitan erat
dengan suatu kepercayaan.
2. Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU
KUHP) yang mengatur kejahatan yang mengatasnamakan kekuatan gaib
sebagai bentuk tanggapan terhadap kegelisahan masyarakat atas
ketidakmampuan aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti laporan-
laporan tindak pidana yang berkaitan dengan kekuatan gaib. Dalam Pasal
293 ayat (1) RUU KUHP 2012 dalam rumusannya menimbulkan
multitafsir norma yang merumuskan banyak perbuatan yang tidak
dikualifikasikan sebagai suatu perbuatan dengan menggunakan kekuatan
gaib, sehingga dengan rumusan yang demikian tujuan dari pembentukan
pasal tersebut sulit diterapkan.
156
157
5.2 Saran
Pasal mengenai perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib memang
masih mengalami pro dan kontra. Sehingga peneliti dalam tulisan ini ingin
menyumbangkan hasil pemikiran melalui saran yakni:
1. Perbuatan-perbuatan mengenai kekuatan gaib yang diatur dalam Pasal 545,
546, dan 547 KUHP dalam perkembangannya dianggap bukan merupakan
perbuatan yang melanggar dan merugikan orang lain sehingga sudah
sepatutnya pasal-pasal tersebut didekriminalisaikan menjadi perbuatan yang
tidak bertentangan dengan hukum.
2. Berkaitan dengan perumusan Pasal 293 ayat (1) RUU KUHP 2012 mengenai
perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib perlu pengaturan perumusan
yang lebih tegas dan jelas mengenai perbuatan dengan kekuatan gaib yang
diatur dengan mengkaji dan menggali jenis-jenis perbuatan tersebut dalam
masyarakat agar nantinya dapat diterapkan terhadap perbuatan-perbuatan yang
dilarang berkaitan dengan penggunaan kekuatan gaib.
158
DAFTAR PUSTAKA
Adjie, Oemar Seno. 2004. Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta
Adler, Freda , Gerhard O.W. Mueller, William S. Laufer, 2010, Criminology, Mc
Graw Hill, AS
Ali , Zainuddin. 2009. Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta Ali, Achmad. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence), PrenadaMedia Group, Jakarta
Arief Mansur, Didik M. dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan
Korban Kejahatan antara Norma dan Realita, Raja Grafindo Persada,
Jakarta
Arief, Barda Nawawi. 2007. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum
Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Mutiara, Jakarta
________________. 2009. Tujuan dan Pedoman Pemidanaan, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang
_______________. 2011. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana
Prenada, Semarang
________________ dan Muladi, 2012, Teori-teori dan Kebijakan Pidana,
Alumni, Bandung
Atmasasmita , Romli. 2012, Teori Hukum Integratif Rekontruksi Terhadap Teori
Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Genta Publising, Yogyakarta
Chazawi, Adami. 2005. Pelajaran Hukum Pidana ( bagian 2), Rajawali Pers,
Jakarta.
Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Departemen Pendidikan Nasional, 2009, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat
Bahasa, Gramedia Pustaka utama, Jakarta.
Dewi, D.S dan Fatahillah A.Syukur, 2011, Mediasi Penal: Penerapan Restorative
Justice di Pengadilan Anak Indonesia, Indie Publishing, Depok.
Fuadi, Munir . 2012. Teori-Teori Besar Dalam Hukum. Kencana Predana. Jakarta.
159
Abdussalam, H.R. dan Sitompul, DPM. 2007. Sistem Peradilan Pidana, Restu
Agung, Jakarta.
Hamidi, Jazim. 2011. Hermenutika Hukum-Sejarah Filsafat dan Metode Tafsir,
UB Press, Malang.
Herriman, Nicholas . 2013. Negara dan Santet ketika Rakyat Berkuasa, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta. Ibrahim, Johnny. 2011, Teori dan Metodologi penelitian Hukum Normatif,
Bayumedia, Surabaya. Chambliss, J, William and Aida Y.Hass , 2011, Criminology, Connecting
Theory, Research and Practice, Mc Graw Hill Companies, AS.
KPK, 2013, Anotasi Delik Korupsi dan Delik lainnya yang berkaitan dengan
Delik Korupsi dalam RUU KUHP, KPK, Jakarta. Kusumaatmaja, Mohctar. Tanpa Tahun Edisi, Fungsi dan Perkembangan Hukum
dalam Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung.
Lamintang, P.A.F. dan Lamintang Francsscus Theojunior, 2014, Dasar-Dasar
Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta. Lehmann, A.C, and Myers J.E. (eds), 1997, Magic, Witchraft and Religion: An
Antropological study of the Supernatural, Mayfield Publising Co.
California Leyh, Gregory. 2014. Hermeneutika Hukum Sejarah, Teori, dan Praktik, Nusa
Media, Bandung.
Lukito, Retno 2013, Tradisi Hukum Indonesia, IMR Press, Cianjur.
M.Bohm , Robert and N. Haley Keith, 2007, Introduction to Criminal justice,
McGraw-Hill, New York. Mahmud MD, Mohammad. 2009. Politik Hukum di Indonesia (Edisi Revisi), Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Marpaung, Leden. 2008, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika,
Jakarta. Marzuki, Peter Mahmud. 2010. Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta.
160
Me. Grath W.T. 1976, Developping a Stable Base For Criminal Justice Planning,
Abstracts on Criminology and Penology, Kluwer Deventer, Vol. 16 No.3.
Mertokusumo, Sudikno. 2012. Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta.
__________________. 2014. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Cahaya Atma
Pustaka, Yogyakarta
Moeljatno, 2000, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta
Mulyadi, Lilik. 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoritis, dan
Praktis, Alumni, Bandung
Mustofa, Muhammad 2013, Metodologi Penelitian Kriminologi, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta
_________________. 2014. Politik Hukum Pidana Konsepsi Pembaharuan
Hukum Pidana dalam Cita Negara Hukum, Setara Press, Malang
Nasution , Bahder johan. 2008. Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju,
Bandung
Pangaribuan, Luhut M.P. 2013, Hukum Acara Pidana, Papas Sinar Sinanti,
Jakarta.
Permana, Heru. 2007, Politik Kriminal, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta
Prakoso, Abintoro. 2013. Kriminologi dan Hukum Pidana, Laksbang Grafika,
Yogyakarta
Prasetyo, Teguh. 2010. Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Nusa Media,
Bandung
Priyatno, Dwidja. 2006. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika
Aditama, Bandung
Rahardjo, Satjipto. 2009, Hukum dan Perilaku Hakum Yang Baik adalah dasar
hukum yang baik, Kompas, Jakarta, h.9
______________. 2009, Hukum dan Perubahan Sosial : suatu tinjauan Teoritis
serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia, Genta Publising, Yogyakarta
______________. 2009, Hukum Progresif sebuah Sintesa Hukum Indonesia,
Genta Publishing, Yogyakarta
______________. 2012, Hukum Progresif (Pemikiran Satjipto Rahardjo dalam
Perspektif Teori Masalah, Pustaka Rizki Putra, Semarang
161
Reksodiputro, Mardjono. 1995, Pembaharuan Hukum Pidana, Lembaga
Kriminologi UI, Jakarta
Rukmini, Mien. 2009, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi (Sebuah Bunga
Rampai), Alumni, Bandung
Runes, Dagobert.D. The Dictionary of Philosophy, Philosophical Library, New
York
Salman Otje dan Anton F Susanto. 2009, Teori Hukum Mengingat,
Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung
Santoso, Topo dan Eva. Achjani. 2011. Pengantar Kriminologi, Rajawali Press,
Jakarta
Saragih, Bintan R. 2006. Politik Hukum, Utomo, Bandung
Setyadi, Tolib. 2010, Pokok-pokok Hukum Penitensier di Indonesia, Alfabeta,
Bandung,
Sholehuddin, M, 2007, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double
Track System dan Implementasinya), Raja Grafindo Persada, Jakarta
Soekanto, Soerjono. 2005. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, Rajawali Press, Jakarta
Soemantri, Sri . 1997. Bunga Rampai Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung
________________. 2005. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Press,
Jakarta
_________________. 2006. Pengantar Penelitian Hukum, UI, Jakarta _________________. 2012. Hukum Adat Indonesia, RajaGrafindo Persada,
Jakarta.
Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung
Sunarso, Siswanto. 2005. Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, Citra Aditya
Bakti, Bandung
Sunarto, 2009, Alternatif Meminimalisasi Pelanggaran HAM dalam Penegakan
Hukum Pidana, dalam Muladi (ed), Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep,
dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika
Aditama, Bandung
162
Suriasumantri, Jujun S. 2009, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta
Suseno, Sigit. 2012. Sistem Pemidanaan dalam Hukum Pidana Indonesia di
dalam dan di luar KUHP (Suatu Analisis), Badan Pembinaan Hukum
Nasional Kementrian Hukum dan HAM RI, Jakarta
Sutiyoso, Bambang. 2006. Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum
yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press, Yogyakarta
Sutton, Adam, Cherney Adrian, and white, Rob, 2008, Crime Prevention
Principles, Perspectives and practices, Cambrige University Press, New
York
Suyono, R.P 2008. Ajaran Rahasia Orang Jawa, Lkis, Yogyakarta
Tafsir, Ahmad. 2004. Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi Pengetahuan, Rosdakarya, Bandung
Tanya, Bernald L, N Simanjuntak Yoan, dan Yage Markus, 2013, Teori Hukum
Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing,
Yogyakarta
Waluyo, Bambang . 2008. Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta
Widnyana, I Made, 2013, Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum
Pidana,Fikahati Aneska, Yogyakarta
Jurnal Hukum Banjo Elstonsius dan Alfred Mainassy. 2014. Suanggi dalam Perspektif Hukum
Pidana (Studi Kasus di Desa Buli Kecamatan Maba Kabupaten Halmahera Timur, Jurnal Hukum UNIERA, Volume 3 No.1.
Pundari, Ketut Nihan. 2011. Eksistensi Kejahatan Magis dalam Hukum Pidana,
Jurnal Hukum, Universitas udayana, Denpasar. Runturambi, Josias Simon. 2003. Dukungan Sistem Kepercayaan dalam
Kejahatan, Jurnal Hukum, Universitas Indonesia..
Warka, Made. 2006. Segi Hukum Praktek Teluh Dalam Masyarakat(Studi Kasus
di Kabupaten Banyuwangi), Jurnal Hukum Mimbar Keadilan.
163
Tesis Abdullah, Saiful. 2008. Kebijakan Hukum Pidana (penal) dan Non Hukum Pidana
(Non Penal) Dalam Menanggulangi Aliran Sesat. Winandi, Wono. 2001. Perlindungan Hukum terhadap Korban Pelanggaran Hak
Asasi Manusia dalam Kerusuhan Massal pada Kasus Pembantaian Dukun Santet di Banyuangi, (Tesis), Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang.
Peraturan Perundang Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2012 (RUU KUHP 2012)
Kitab Keadilan Hoekoeman Boeat Anak Negeri ( Boeke Strafwetboek voor
Inlander) Tahun 1911
Internet
Abi, Sultan. 2013. Masalah guna-guna dalam kehidupan masyarakat Indonesia,
http:www.masalah/guna guna/ kehidupan/masyarakat/Indonesia/.ac.id,
Adam, Muhammad . 2013. Dalam KUHP Pengaturan Kejahatan Santet Relevan
dalam rangka pembentukan hukum nasional yang sesuai dengan karakter
bangsa indoneseia, http:www//berita daerah/.ac.id, diakses pada tanggal
23 November 2012, pukul 13.30 WITA
Arief, Barda Nawawi. 2013, Pro Kontra Hukum dan Santet dalam Pidana
Menurut Ahli dan Masyarakat, di kutip dari http://m.kaskus.co.id// pada
tanggal 15 Januari 2015 pukul 17.00 WITA
Chazawi, Adami . 2013. Pasal 293 RUU KUHP Bukan Tindak Pidana Santet,
http://m.kompasiana.com/post/read/pasal-293-ruu-kuhp-bukan-tindak-
pidana-santet//.ac.id diakses pada tanggal 27 Januari 2015 pukul 12.30 pm
http://rustamcastello/solusi/hukum/pada/pratek/perdukunan// diakses pada
tanggal 18 November 2014
164
Nitibaskara, Ronny Rahman 2013., Mengapa RUU KUHP tak Pernah Berujung?,http:www//catatan kriminalitas/ronny/.ac.id, Diakses 6 September 2014
Nitibaskara, Ronny. 2002. Sarasehan Metafisika, diceramahkan dalam Sarasehan
Metafisika Study Club, tanggal 14 Juli di Jakarta, http://kejahatan
metafisis/.ac.id diakses pada tanggal 25 Januari 2015
Nitibaskara, Tb. Ronny. Kejahatan Metafisis dan Permasalahannya dalam
Perkembangan Hukum Pidana di Indonesia, http:// keahatan/metafisis/
permasalahan/ hukum/pidana/Indonesia/ac.id, diakses pada tanggal 25
Oktober 2014 pukul 10.00 Wita.
Onasis, Dian. 2010, Tinjauan Filsafat Ilmu Terhadap Mistik dalam Hubungannya
dengan BudayaHukum Indonesia,
http:www.//hukum.kompasiana.com/2010/07/09/tinjauan-filsafat-ilmu-
terhadap-mistik-dalam-hubungannya-dengan-budaya-hukum-indonesia.
diakses pada tanggal 12 Februari 2015 pukul 13.20. PM
Rato, Dominikus. 2006, Perilaku Main Hakim Sendiri: Pembunuhan Tukang
Santet, Sebuah Pendekatan Sosial-Budaya ( Di kalangan masyarakat
Osing di kenal ilmu santet serupa, watuk gambiran, sabuk mangir, aran
goyang, semar mesen, dan sebagainya. http://www. Tragedi Banyuangi
1998.co.id., di akses pada tanggal 24 Desember 2014 pukul 11.00 Wita
Reksodiputro, Mardjono. 2013. Koreksi Pemahaman atas Pasal Santet,
hhtp:/www/m.hukumonline.com, diakses pada tanggal 13 Januari 2015,
pukul 10.00 Wita
Ritasan, Anjani. 2003. Kumpulan Tragedi Sarat Misteri, http:// berita/ tragedy/
pembantaian/banyuangi/.ac.id, diakses pada tanggal 24 Oktober 2014
pukul 14.00 Wita
Shafii Mufid, Ahmad. keberadaan kekuatan di luar nalar manusia, 2009,
http://kekuatan/suprantural/manusia/diakses pada tanggal 28 oktober
2014
Soenarto, 2012, Tragedi Pembantaian Dukun Santet di Banyuangi,
http//:www.jurnalis/berita/banyuangi/.co.id, diakses pada tanggal 1 oktober 2014, pukul 15.00 Wita
Suryadi, Filsafat ilmu (Aristoteles), 2010, http:// media/ilmu/.co.id, diakses pada
tanggal 27 Oktober 2014
Samardi, 2013, pengaturan sihir di negara papua nugini,
http://samardi/2013/06/05/soal-hap-sihir/, h.2 diakses pada tanggal 31
Maret 2015, pukul 14.00.
Top Related