BAB I
TEORI KEBIJAKAN MONETER
A. Kerangka umum kebijakan moneter
Kerangka yang umum dipergunakan dalam membahas kebijakan moneter meliputi
target, indikator, dan instrumen kebijakan moneter.
1. Target akhir (ultimate target) kebijakan moneter
Pada dasarnya kebijakan moneter adalah bagian tak terpisahkan dari kebijakan
makro ekonomi suatu Negara, dimana bersama-sama dengan kebijakan fiskal diarahkan
untuk mencapai target akhir yaitu stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi, kesempatan
kerja, dan keseimbangan neraca pembayaran.
Target akhir kebijakan moneter ini merupakan variabel-variabel yang ingin dicapai
oleh otoritas moneter sebagai sarana pendukung untuk tercapainya sasaran akhir dari
kebijakan ekonomi, yaitu kesejahteraan masyarakat.
Idealnya, semua target kebijakan moneter tersebut dapat dicapai secara serempak dan
optimal. Namun berhubung sasaran-sasaran tersebut satu sama lain mengandung unsur-unsur
yang bersifat kontradiktif, maka bias dikatakan untuk mencapai semua sasaran secara optimal
dan serempak adalah tidak mungkin.
Sebagai contoh, apabila bank sentral melakukan ekspansi moneter untuk mendorong
tingkat pertumbuhan ekonomi dan memperluas kesempatan kerja, tindakan tersebut
mempunyai dampak yang tidak menguntungkan terhadap kestabilan harga dan keseimbangan
neraca pembayaran. Ekspansi moneter yang berlebihan cenderung mendorong laju inflasi,
yang pada gilirannya akan memengaruhi kegiatan ekspor dan impor. Sebaliknya, kebijakan
moneter yang ketat dapat menunjang tercapainya kestabilan harga dan keseimbangan neraca
pembayaran. Namun, kebijakan tersebut akan mendorong kenaikan suku bunga yang pada
gilirannya akan menghambat investasi dan produksi, yang akan mengakibatkan rendahnya
pertumbuhan ekonomi dan meluasnya tingkat pengangguran. Dalam teori ekonomi dikenal
adanya “trade-off” antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Oleh karena itu, dalam menetapkan kebijakan moneter, bank sentral dihadapkan
kepada dua pilihan. Pilihan pertama, bank sentral dapat memilih salah satu sasaran untuk
dicapai secara optimal dan mengabaikan sasaran lainnya. Misalnya, memilih tingkat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan mengabaikan tingkat inflasi. Pilihan kedua, bank
sentral memilih pencapaian semua sasaran secara serempak, tetapi tidak ada satu pun yang
1
dicapai dengan optimal. Misalnya menginginkan pertumbuhan ekonomi yang tidak begitu
tinggi demi tetap terpeliharanya tingkat inflasi yang masih dapat ditoleransi.
2. Indikator kebijakan moneter
Indikator kebijakan moneter adalah variabel-variabel yang ingin dikontrol oleh bank
sentral agar target akhir dapat dicapai. Indikator juga disebut sebagai target menengah atau
intermediate target dalam usaha mencapai target akhir dari kebijakan moneter.
Indikator penting sekali peranannya karena berfungsi sebagai indikasi apakah arah
suatu kebijakan moneter tetap tertuju kepada sasaran yang ingin dicapai atau tidak, sekaligus
sebagai pengukur sejauh mana pencapaian hasil dari kebijakan moneter. lbarat sebuah
kompas, indikator merupakan pembimbing kebijakan moneter menuju pencapaian sasaran
yang diinginkan.
Indikator atau intermediate target tersebut merupakan variabel-variabel ekonomi
yang memengaruhi keseimbangan pasar uang. Karena indikator sering bergejolak sesuai
dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada kekuatan-kekuatan yang bergerak di pasar
uang, yaitu permintaan dan penawaran uang, indikator yang dipilih harus dapat dikendalikan
dengan baik untuk kemudian diarahkan agar perkembangannya menunjang usaha pencapaian
target yang telah ditetapkan.
Terdapat dua pilihan variabel yang dapat digunakan, yaitu tingkat suku bunga
(interest rate) dan jumlah uang beredar (monetary aggregate).
a. Pilihan suku bunga
Untuk memperjelas bagaimana tingkat suku bunga dapat berfungsi sebagai indikator,
berikut ini diberikan suatu ilustrasi. Misalnya, bank sentral menetapkan bahwa suku bunga
sebesar x% per tahun adalah tingkat suku bunga yang ideal untuk mendorong kegiatan
investasi yang pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi pada tingkat tertentu.
Untuk mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi tersebut tentunya dibutuhkan waktu yang
cukup panjang. Apabila dalam perjalanan waktu ternyata suku bunga menunjukkan kenaikan
sehingga melampaui angka yang ditetapkan, bank sentral akan segera melakukan ekspansi
moneter dengan harapan suku bunga turun sampai pada tingkat tersebut. Sebaliknya, apabila
suku bunga menurun, bank sentral akan melakukan kontraksi moneter.
Dari ilustrasi tersebut terlihat bahwa dengan kebijakan moneter, suku bunga akan
dipengaruhi sedemikian rupa sehingga tetap stabil, sementara itu, jumlah uang beredar
(monetary aggregate) akan bergejolak naik dan turun demi mempertahankan suku bunga tetap
2
pada tingkat yang diinginkan. Bergejolaknya monetary aggregate ini dapat mengakibatkan
terganggunya kestabilan harga.
b. Pilihan Uang Beredar
Lain halnya dengan suku bunga, jumlah uang beredar sebagai indikator akan
memberikan dampak positif, yaitu tingkat harga yang stabil karena apabila jumlah uang
beredar bergejolak, bank sentral akan melakukan tindakan kontraksi atau ekspansi moneter
sehingga jumlah uang beredar akan relatif konstan pada suatu jumlah yang ditetapkan. Namun
demikian, kebijakan ini akan mengakibatkan suku bunga bergejolak karena gejolak
permintaan akan uang tidak diimbangi oleh penawaran akan uang.
3. Instrumen kebijakan moneter
Sementara itu instrumen kebijakan moneter, sesuai dengan istilahnya, adalah
seperangkat variabel yang dimiliki dan sepenuhnya dapat digunakan oleh bank sentral untuk
mengontrol indikator sedemikian rupa sehingga target yang ditetapkan dapat dicapai.
Untuk dapat mengontrol indikator, baik tingkat suku bunga maupun uang beredar,
bank sentral perlu melakukan intervensi dengan menggunakan instrumen-instrumen yang
dimiliki. Secara umum, instrumen yang biasa digunakan dikelompokkan menjadi dua bagian,
yakni instrumen langsung dan instrumen tidak langsung.
a. Instrumen langsung
Disebut sebagai instrumen langsung karena otoritas moneter dapat secara langsung
menggunakan instrumen tersebut ketika dibutuhkan. Berikut ini merupakan instrument
langsung yang dapat digunakan oleh bank sentral.
1) Penetapan suku bunga
Penetapan suku bunga merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan bank sentral
dalam rangka kebijakan moneter. Teknisnya, bank sentral menetapkan tingkat suku bunga,
baik suku bunga simpanan maupun suku bunga pinjaman. Dengan penetapan tingkat suku
bunga ini, bank sentral dapat melakukan ekspansi dan kontraksi moneter sesuai kebutuhan.
Akan tetapi, dengan makin mengglobalnya perekonomian dunia, penetapan suku bunga makin
hari makin tidak efektif.
2) Pagu kredit
Selain menetapkan suku bunga, bank sentral juga dapat menjaga likuiditas di pasar
dengan menetapkan besaran maksimum kredit perbankan yang dapat disalurkan, yang lazim
disebut sebagai pagu kredit (credit ceilings). Berapa maksimum bank menyalurkan kreditnya
3
diatur oleh otoritas moneter. Dengan pembatasan kredit ini, jumlah uang beredar dapat
dikendalikan. Pagu kredit inilah yang dinaikturunkan sesuai kebutuhan.
3) Rasio likuiditas
Kadang untuk keperluan tertentu bank sentral dapat mewajibkan bank-bank untuk,
selain memelihara cadangan tertentu, juga memelihara surat berharga tertentu atau valuta
asing tertentu dengan proporsi yang ditetapkan. Biasanya langkah ini dilakukan untuk
membiayai anggaran pemerintah melalui surat berharga. Dengan rasio likuiditas tersebut
secara otomatis bank-bank wajib menyimpan surat berharga sebagai cadangan.
4) Kredit langsung
Pada era prakrisis kita mengenal apa yang disebut dengan kredit likuiditas di mana
Bank Indonesia memberikan kredit untuk keperluan prioritas tertentu. Misalnya terkait
dengan program atau proyek tertentu yang tengah digalakkan oleh pemerintah. Kredit
langsung ini merupakan salah satu bentuk instrumen langsung yang dapat dikendalikan bank
sentral. Namun, kini instrumen langsung ini tidak lagi digunakan karena dianggap tidak
efektif dan sangat mahal.
5) Kuota penjualan kembali surat berharga
Bank sentral dapat menetapkan kuota untuk penjualan kembali surat berharga yang
belum jatuh tempo. Biasanya ditransaksikan dengan tingkat bunga di bawah tingkat bunga
pasar uang antar bank. Sebenarnya, instrumen langsung ini tidak ubahnya pemberian kredit
oleh bank sentral secara langsung, hanya saja dijamin dengan surat berharga pasar uang.
Kuota biasanya diberikan sebagai insentif kepada sektor tertentu.
b. Instrumen tidak langsung
Disebut instrumen tidak langsung karena instrumen ini tidak secara langsung
memengaruhi uang beredar. Akan tetapi, melalui instrumen inilah, pada akhirnya jumlah uang
beredar dapat dikendalikan. Seperti juga instrumen langsung, terdapat banyak jenis instrumen
tidak langsung yang pada umumnya terdiri dari cadangan wajib minimun, fasilitas diskonto
dan rediskonto, operasi pasar terbuka, fasilitas simpanan bank sentral, intervensi valuta asing,
fasilitas overdraft, simpanan sektor pemerintah, lelang kredit, moral suasion, serta berbagai
instrumen dengan pola syariah.
4
1) Cadangan wajib minimun
Cadangan wajib minimum atau reserve requirement adalah ketentuan bank sentral
yang mewajibkan bank-bank untuk memelihara sejumlah alat-alat likuid (reserve) sebesar
persentase tertentu dari kewajiban lancarnya. Semakin kecil persentase tersebut semakin besar
kemampuan bank memanfaatkan reserve-nya untuk memberikan pinjaman dalam jumlah
yang lebih besar. Sebaliknya semakin besar persentase semakin berkurang kemampuan bank
untuk memberikan pinjaman.
Cadangan ini bisa dijaga dalam bentuk kas atau dalam bentuk rekening giro di bank
sentral. Biasanya cadangan dibedakan dalam dua bentuk, yakni cadangan primer dan
cadangan sekunder.
2) Fasilitas diskonto
Fasilitas diskonto atau discount rate policy adalah kebijakan moneter dalam
memengaruhi jumlah uang beredar melalui pengaturan suku bunga pemberian kredit bank
sentral kepada bank-bank. Apabila bank sentral menetapkan tingkat diskonto lebih tinggi,
bank-bank yang pada gilirannya mengurangi permintaan kredit dari bank sentral akan
mengurangi kemampuan bank-bank memberikan pinjaman sehingga jumlah uang beredar
menurun. Sebaliknya, apabila bank sentral menetapkan diskonto lebih rendah bank-bank
akan meningkatkan permintaan kredit ke bank sentral untuk disalurkan lebih lanjut berupa
pemberian pinjaman, sehingga jumlah uang beredar meningkat.
3) Operasi pasar terbuka
Operasi Pasar Terbuka (OPT) merupakan instrumen yang paling banyak digunakan
oleh otoritas moneter dalam melaksanakan kebijakan moneter mengingat instrumen ini lebih
berorientasi pasar, keterlibatan peserta tidak mengikat, arah kebijakannya mudah ditangkap
pekan pasar, dan tidak membebankan pajak pada bank.
Operasi pasar terbuka adalah kegiatan bank sentral melakukan jual beli surat-surat
berharga jangka pendek dalam rangka mengatur jumIah uang beredar atau suku bunga jangka
pendek. Apabila bank sentral bermaksud mengurangi jumlah uang beredar, bank sentral akan
menjual surat-surat berharga kepada bank-bank agar reserve bank-bank berkurang sehingga
kemampuan bank-bank memberikan pinjaman menurun. Tindakan ini disebut kontraksi
moneter.
Sebaliknya, untuk menambah jumlah uang beredar, bank sentral akan membeli surat-
surat berharga untuk meningkatkan kemampuan bank-bank memberikan pinjaman sehingga
jumlah uang beredar meningkat. Pembelian atau penjualan surat-surat berharga tersebut dapat
5
pula dilakukan oleh bank sentral dari/kepada masyarakat agar langsung dapat
menambah/mengurangi jumlah uang beredar. Sama halnya dengan reserve requirement,
kontraksi moneter sebagai akibat operasi pasar terbuka akan meningkatkan suku bunga, dan
sebaliknya ekspansi moneter akan menurunkan suku bunga.
4) Fasilitas simpanan bank sentral
Simpanan bank sentral merupakan simpanan bank-bank pada bank sentral untuk
jangka waktu yang sangat pendek. Simpanan ini bersifat sangat pendek, misaInya satu hari,
untuk menampung kelebihan likuiditas pada hari itu. Atas simpanan itu, bank menerima
bunga yang biasanya di bawah tingkat bunga pasar. Bank Indonesia telah menggunakan
fasilitas ini sejak krisis tahun 1997/98, yang dinamakan Fasilitas Simpanan Bank Indonesia
(FASBI).
5) Intervensi valuta asing
Intervensi valuta asing memiliki pola hampir sama dengan operasi pasar terbuka.
Bank sentral melakukan jual beli valuta asing dengan mata uang sendiri. Cara ini ditempuh
untuk memengaruhi jumlah uang beredar. Dalam praktiknya, intervensi valuta asing ini
banyak dilakukan untuk upaya stabilisasi atau smoothing pergerakan nilai tukar mata uang
sendiri. Dalam sistem nilai tukar mengambang (floating exchange rate system), intervensi jual
valuta asing dimaksudkan untuk memperkuat mata uang sendiri, sementara intervensi beli
valuta asing adalah untuk mengurangi kecenderungan menguatnya mata uang sendiri.
6) Fasilitas overdraft
Bank sentral juga dapat memberikan pinjaman jangka pendek kepada bank-bank
yang mengalami kesulitan likuiditas jangka sangat pendek dalam bentuk fasilitas overdraft.
Kesulitan likuiditas jangka pendek terjadi karena pada saat kliring bank akan terjadi
"menang" atau "kalah". Menang berarti kewajibannya lebih kecil daripada tagihannya kepada
bank-bank, sedangkan kalah berarti kewajibannya lebih besar daripada tagihannya. Dalam
kondisi kalah, bank harus menyediakan likuiditas untuk menutupi kewajibannya itu. Dalam
kondisi inilah bank dapat meminjam melalui fasilitas overdraft. Pinjaman ini memiliki
tingkat bunga di atas bunga pasar.
7) Simpanan sektor pemerintah
Simpanan sektor pemerintah dapat menjadi instrumen tidak langsung yang kerap
digunakan di banyak negara. Simpanan sektor pemerintah dapat dipindahkan, misalnya dari
bank umum ke bank sentral atau sebaliknya. Langkah itu secara tidak langsung akan
berdampak kepada uang beredar. Ketika uang beredar terlalu banyak, akan dilakukan
6
realokasi simpanan pemerintah dari bank umum ke bank sentral. Demikian sebaliknya.
Apabila terjadi kondisi uang beredar yang sangat kurang, simpanan pemerintah dari bank
sentral dapat direalokasi ke bank umum atau bank pelaksana.
8) Lelang kredit
Dalam kondisi pasar keuangan belum berkembang dan suku bunga patokan antar
bank belum terbentuk, bank sentral memerlukan instrumen sementara untuk mengubah sistem
pemberian kredit langsung ke alokasi pasar. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah
melakukan lelang kredit.
9) Moral suasion
Moral suasion atau imbauan juga dapat menjadi instrumen tidak langsung dalam
kebijakan moneter. Bank sentral atau otoritas moneter memberi imbauan kepada perbankan
untuk melakukan langkah tertentu yang dibutuhkan. Namun, efektivitas imbauan ini sangat
tergantung pada kredibilitas bank sentral.
c. Instrumen Lain
Dalam sejarah perkembangan moneter di berbagai negara termasuk di Indonesia,
tercatat pernah ditempuh kebijakan moneter yang dilakukan dengan cara pengguntingan uang.
Cara ini ditempuh untuk mengurangi uang beredar. Indonesia pernah melakukannya pada
tahun 1950 yang dikenal dengan nama "Gunting Sjafruddin". Dengan langkah ini, uang
beredar akan berkurang langsung sebesar persentase tertentu, sedangkan sisanya diganti
dengan surat berharga.
Instrumen lain yang juga pernah dikenal adalah pembersihan uang. Agak sedikit
berbeda dengan pengguntingan uang, nilai uang diturunkan dengan persentase tertentu tanpa
ada penggantian untuk jumlah yang diturunkan. Indonesia tercatat pernah menggunakan
instrumen ini empat kali, yakni pada tahun 1959 (penurunan menjadi 10%), 1946 (penurunan
menjadi 3% di mana satu rupiah Jepang menjadi satu tiga sen uang NICA), 1949 (penurunan
menjadi 1%, di mana 100 rupiah Jepang menjadi satu rupiah ORI), dan 1965 (penurunan
menjadi 0,1% di mana 1.000 rupiah menjadi 1 rupiah). Dengan Jangkah ini diharapkan
terjadi penurunan jumlah uang beredar.
Instrumen langsung lain yang dikenal adalah penetapan uang muka impor. Melalui
kebijakan ini, importir yang akan melakukan transaksi pembelian dari luar negeri diwajibkan
menyetor sejumlah persentasi tertentu sebagai uang muka untuk pembelian valuta asing.
Dengan cara ini uang beredar dapat dikendalikan.
7
B. Strategi kebijakan moneter
Berikut ini akan dikemukakan tentang hal-hal yang biasanya menjadi bahan
pertimbangan bank sentral dalam menentukan strategi kebijakan moneter untuk menghadapi
gejolak perekonomian.
Secara siklikal, perekonomian mengalami periode di mana kegiatan ekonomi
menurun sampai titik balik terendah untuk kemudian diikuti oleh periode di mana kegiatan
ekonomi meningkat sampai titik balik tertinggi. Titik balik terendah disebut sebagai masa
resesi dan titik balik tertinggi disebut masa boom. Siklus masa resesi dan masa boom terjadi
bergantian dan berlangsung dari waktu ke waktu sehingga dikenal dengan istilah bussiness
cycle.
Perekonomian yang sedang dilanda resesi terutama ditandai oleh tingkat
pengangguran yang tinggi yang disebabkan oleh lesunya kegiatan ekonomi, sebaliknya pada
masa boom akan ditandai oleh inflasi yang disebabkan oleh kenaikan ongkos-ongkos produksi
sebagai akibat kegiatan ekonomi yang meningkat. Dilihat dari kacamata moneter, kegiatan
ekonomi yang lesu akan mengakibatkan demand for money untuk keperluan transaksi
menurun dan sebaliknya pada masa boom, demand for money untuk keperluan transaksi
meningkat.
Dalam menghadapi gejolak perekonomian seperti tersebut di atas, terdapat dua
pendapat yang berbeda di kalangan ahli-ahli moneter mengenai strategi kebijakan moneter
yang dapat ditempuh oleh bank sentral.
1. Countercyclical monetary policy.
Pihak pertama berpendapat bahwa bank sentral perlu secara aktif melakukan
tindakan moneter untuk memperlunak konjungtur sedemikian rupa, sehingga gelombang
siklus menjadi tidak terlalu tajam (gambar: dari C ke C1)
8
C
waktu
C1
Output
Menurut kelompok pendukung countercyclical monetary policy, pada saat
perekonomian akan mengalami resesi, bank sentral harus menempuh kebijakan moneter yang
bersifat ekspansif, yaitu meningkatkan supply of money sehingga ekspansi moneter tersebut
diharapkan dapat meningkatkan hasrat masyarakat berkonsumsi dan berproduksi. Selanjutnya
kenaikan konsumsi dan produksi/investasi tersebut akan meningkatkan kegiatan
perekonomian yang pada akhirnya dapat menghindarkan perekonomian darl cengkeraman
resesi. Sebaliknya, dalam menghadapi masa boom, bank sentral harus melakukan kontraksi
moneter yaitu dengan harapan dapat memperlambat kegiatan perekonomian sehingga
perekonomian akan terhindar dari tekanan inflasi.
2. Accomodative monetary policy.
Pihak kedua berpendapat seyogianya bank sentral melakukan kebijakan moneter
secara pasif. Usaha-usaha untuk melunakkan fluktuasi perekonomian hendaknya dihindari
dan kebijakan moneter diarahkan agar siklus bisnis berjalan secara wajar.
Kelompok yang menganut accomodative monetary policy berpendapat bahwa
expectation effect dari kebijakan moneter adalah lebih dominan daripada substitution effect,
interest rate effect, dan wealth effect. Dengan kata lain, tindakan ekspansi moneter dalam
menghadapi resesi tidak akan mendorong konsumsi dan produksi/investasi, melainkan hanya
meningkatkan harga karena masyarakat terlebih dahulu telah mengantisipasi tindakan moneter
yang akan dilakukan oleh bank sentral.
Selain itu, pengaruh tindakan moneter terhadap perekonomian tidak dapat terjadi,
dengan segera, tetapi membutuhkan tenggat waktu (time lag). Dengan demikian, ekspansi
moneter untuk menghadapi resesi ekonomi dampaknya tidak terjadi pada saat berlangsungnya
resesi, tetapi pada saat perekonomian menghadapi boom yang justru pada saat itu diperlukan
tindakan kontraksi moneter.
Sebaliknya, dampak kontraksi moneter untuk menghadapi boom tidak terjadi pada
saat berlangsungnya boom, tetapi pada saat ekonomi sedang menghadapi resesi yang justru
diperlukan tindakan ekspansi moneter. Kebijakan moneter yang bersifat aktif tersebut justru
akan mengakibatkan fluktuasi bussiness cycle menjadi lebih tajam (gambar: dari A ke A1).
9
Dengan kedua alasan tersebut, kelompok pendukung accomodative monetary policy
berpendapat bahwa sebaiknya kebijakan moneter diarahkan untuk mengatur uang beredar
yang jumlahnya konsisten dengan pertumbuhan ekonomi dan membiarkan bussiness cycle
berjalan secara wajar atau alamiah. Dengan kata lain, baik pada saat perekonomian berada
dalam resesi maupun boom, pertambahan uang beredar hendaknya dipertahankan pada tingkat
tertentu yang dapat menunjang sasaran jangka panjang, yaitu pertumbuhan ekonomi. Setiap
tindakan moneter untuk melunakkan fluktuasi tidak akan berhasil, bahkan akan memperburuk
situasi.
Pendapat kelompok pendukung accomodative monetary policy ahir-akhir ini
mendapatkan perhatian yang cukup besar, baik di negara-negara industri maupun negara-
negara yang sedang berkembang. Dalam memformulasikan kebijakan ini, terdapat dua hal
yang menjadi perhatian. Pertama menentukan monetary aggregate mana yang akan dipilih.
Apakah memilih base money/reserve money, narrow money, atau broad money. Yang kedua,
menentukan besarnya monetary aggregate dengan mempertimbangkan berbagai variable
seperti tingkat pendapatan, tingkat harga, dan tingkat bunga dimasa mendatang.
10
Output
Waktu
A1A
BAB II
PERAN DAN MEKANISME KEBIJAKAN MONETER
A. Peran Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kegiatan
ekonomi suatu negara dan merupakan faktor yang dapat dikontrol oleh otoritas moneter
sehingga dengan demikian dapat dipakai untuk mencapai sasaran pembangunan ekonomi.
Ketika kondisi perekonomian suatu negara tidak berkembang sesuai dengan yang
diharapkan atau direncanakan, maka serangkaian kebijakan ekonomi dapat diambil oleh
pemerintah untuk mengarahkan kembali jalannya aktivitas.
Implementasi kebijakan moneter tidak dapat dilakukan secara terpisah dari kebijakan
ekonomi makro lainnya, seperti kebijakan fiskal, kebijakan sektoral, dan kebijakan lainnya.
Semuanya mengarah pada pencapaian tujuan akhir yaitu kesejahteraan sosial masyarakat.
Secara keseluruhan, kebijakan fiskal bersama-sama dengan kebijakan moneter mempengaruhi
sisi permintaan (demand side) dalam perekonomian, sementara di sisi lain kebijakan sektoral
seperti perdagangan, perindustrian, pertambangan, pertanian, dan lain-lain, mempengaruhi sisi
penawaran (supply side) dari perekonomian.
Kebijakan moneter dijalankan sebagai suatu usaha dalam mengendalikan keadaan
ekonomi makro agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah
uang yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar terjadi kestabilan
harga dan inflasi serta terjadinya peningkatan output keseimbangan.
B. Saluran Transmisi Kebijakan Moneter
Pada dasarnya transmisi kebijakan moneter merupakan interaksi antara otoritas
moneter dengan perbankan dan lembaga keuangan lainnya serta pelaku ekonomi di sektor riil.
Pertama, interaksi antara bank sentral dengan perbankan dan lembaga keuangan lainnya
dalam berbagai transaksi keuangan yang terjadi di pasar keuangan. Kedua, interaksi yang
berkaitan dengan fungsi intermediasi, yaitu interaksi antara perbankan dan lembaga keuangan
lainnya dengan para pelaku ekonomi dalam berbagai aktivitas di sektor ekonomi riil.
Selanjutnya mengenai saluran atau channels mekanisme transmisi kebijakan moneter akan
dijelaskan berikut ini.
1. Saluran Langsung
Transmisi kebijakan moneter melalui saluran langsung atau saluran uang ( money
channel) mengacu pada teori klasik mengenai peranan uang dalam perekonomian. Pada
11
dasarnya teori ini menggambarkan kerangka yang jelas mengenai analisis hubungan
langsung antara uang beredar dan harga. Mekanisme transmisi moneter melalui saluran
uang merupakan konsekuensi langsung dari proses perputaran uang dalam
perekonomian, yang terdiri dari dua tahapan. Tahap pertama, bank sentral melakukan
operasi moneter untuk pengendalian uang beredar di masyarakat. Tahap kedua, bank-
bank mengelola likuiditasnya dalam bentuk cadangan yang dapat dipergunakan
sewaktu-waktu sebagai muara kegiatan utama bank di bidang perkreditan dan
pengerahan dana.
2. Saluran Suku Bunga
Saluran suku bunga lebih menekankan pentingnya aspek harga di pasar keuangan
terhadap berbagai aktivitas ekonomi di sector riil. Dalam kaitan ini, kebijakan moneter
yang ditempuh bank sentral akan berpengaruh terhadap perkembangan berbagai suku
bunga di sector keuangan dan selanjutnya akan berpengaruh pad atingkat inflasi dan
output riil. Bagaimana mekanismenya? Tahap pertama, operasi moneter bank sentral
akan mempengaruhi suku bunga jangka pendek (SBI, suku bunga antar bank).
Selanjutnya perubahan ini akan mempengaruhi suku bunga deposito yang ditawarkan
bank pada masyarakat penabung dan suku bunga kredit yang dibebankan bank kepada
para debiturnya. Pada tahap berikutnya, transmisi suku bunga dari sector keuangan ke
sector riil akan tergantung pada pengaruhnya terhadap permintaan konsumsi dan
investasi.
3. Saluran Kredit
Selain factor suku bunga, perilaku penawaran kredit perbankan dipengaruhi oleh
persepsi bank terhadap prospek usaha debitur dan kondisi internal perbankan sendiri.
Selain itu, tidak semua permintaan kredit debitur dapat dipenuhi oleh bank, khususnya
oleh kondisi dan prospek keuangan debitur yang dinilai tidak layak, antara lain karena
tingginya rasio utang terhadap modal, risiko kredit macet, dan sebagainya. Adanya
informasi yang tidak simetris (asymmetric information) antara bank dan debitur dapat
menyebabkan pasar kredit tidak selalu berada dalam keseimbangan. Pendekatan
mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui saluran kredit didasarkan pada asumsi
bahwa tidak semua simpanan masyarakat dalam bentuk uang disalurkan oleh perbankan
ke masyarakat dalam bentuk kredit. Dengan kata lain, fungsi intermediasi perbankan
tidak selalu berjalan sempurna, dalam arti bahwa kenaikan simpanan masyarakat tidak
12
selalu diikuti dengan kenaikan secara proporsional kredit yang disalurkan ke
masyarakat.
4. Saluran Nilai Tukar
Pendekatan mekanisme transmisi kebijakan moneter melaui saluran nilai tukar,
menekankan pentingnya aspek perubahan harga aset financial terhadap berbagai
aktivitas ekonomi. Dalam kaitan ini, pentingnya saluran nilai tukar dalam transmisi
kebijakan moneter terletak pada pengaruh aset financial dalam valuta asing yang berasal
dari hubungan kegiatan ekonomi suatu negara dengan negara lain. Selanjutnya,
perubahan nilai tukar dan aliran dana dari dan ke luar negeri akan mempengaruhi
kegiatan ekonomi riil di negara yang bersangkutan. Semakin terbuka perekonomian
suatu Negara yang disertai dengan system nilai tukar mengambang dan system devisa
bebas, semakin besar pula pengaruh nilai tukar dan aliran dana luar negeri terhadap
perekonomian dalam negeri.
Mengenai interaksi antara bank sentral dengan perbankan dan para pelaku ekonomi
dalam proses pertukaran uang dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada tahap awal, operasi
moneter oleh bank sentral akanmempengeruhi, baik secara langsung maupun tidak
langsung terhadap perkembangan nilai tukar. Pengaruh langsung terjadi sehubungan
dengan operasi melaui intervensi, jual beli valas dalam rangka stabilisasi nilai tukar.
Sementara, pengaruh tidak langsung terjadi karena operasi moneter yang dilakukan
bank sentral mempengaruhi perkembangan suku bunga di pasar uang dalam negeri dan
suku bunga luar negeri, yang selanjutnya akan mempengaruhi besarnya aliran dana dari
dan ke luar negeri.
Tahap berikutnya, perubahan nilai tukar berpengaruh, baik langsung maupun tidak
langsung terhadap perkembangan harga barang dan jasa di dalam negeri. Pengaruh
langsung terjadi karena perubahan nilai tukar mempengaruhi pola pembentukan harga
oleh perusahaan dan ekspektasi inflasi oleh masyarakat, khususnya terhadapa barang
impor. Sementara, pengaruh tidak langsung terjadi karena perubahan nilai tukar
mempengaruhi nilai ekspor dan impor, yang pada gilirannya berdampak pada output
dan perkembangan harga barang dan jasa.
5. Saluran Harga Aset
Perubahan harga aset, baik aset financial seperti obligasi dan saham maupun aset fisik
seperti property dan emas banyak dipengaruhi secara langsung oleh kebijakan moneter.
Transmisi ini terjadi karena penanaman dana oleh para investor dalam portofolio
13
investasinya yang pada umumnya tidak saja berupa simpanan di bank dan instrument
lain di pasar uang, tetapi juga dalam bentuk obligasi dan saham, serta aset fisik.
Perubahan suku bunga dan nilai tukar akan berpengaruh pada volume transaksi obligasi,
saham, dan aset fisik. Selanjutnya perubahan harga aset pada gilirannya akan
berdampak pada berbagai aktivitas di sector riil.
Selain itu, pengaruh harga aset terhadap sector riil juga terjadi pada permintaan
investasi oleh dunia usaha. Hal ini berkaitan dengan perubahan harga aset tersebut yang
memberikan dampak terhadap biaya modal yang harus dikeluarkan dalam berproduksi
dan berinvestasi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi permintaan agregat, output,
dan inflasi.
6. Saluran Ekspektasi
Dengan semakin meningkatnya ketidakpastian dalam perekonomian, saluran ekspektasi
semakin penting dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter ke sector riil. Para
pelaku ekonomi, dalam mengambil langkah bisnisnya ke depan, akan mendasarkan pada
prospek ekonomi ke depan. Ekspektasi para pelaku ekonomi dimaksud pada umumnya
dipengaruhi oleh berbagai informasi mengenai perkembangan indicator ekonomi dan
keuangn serta antisipasinya terhadap langkah-langkah kebijakan ekonomi dan moneter
yang ditempuh pemerintah dan bank sentral.
Dalam konteks kebijakan moneter, yang paling diperhatikan adalah ekspektasi inflasi
oleh masyarakat. Teori ekspektasi berpendapat bahwa apabila masyarakat cukup
rasional, mereka akan mengambil tindakan untuk mengantisipasi kemungkinan
terjadinya inflasi. Tindakan tersebut berupa pengurangan jumlah uang yang mereka
pegang dengan membelanjakannya ke dalam bentuk barang riil sehingga risiko kerugian
memegang uang karena inflasi dapat dihindari.
Ekspektasi masyarakat terhadap kenaikan harga pada gilirannya akan mendorong
kenaikan suku bunga. Apabila suku bunga meningkat lebih kecil dibandingkan dengan
kenaikan harga, secara riil rate of return atas aset financial menurun dan penurunan
tersebut akan mendorong orang mengalihkan kekayaannya dari bentuk aset financial ke
bentuk aset riil.
Jadi, apabila masyarakat, khususnya perusahaan-perusahaan besar, dapat memanfaatkan
statistic atau data moneter dengan baik untuk memperkirakan tingkat inflasi yang akan
terjadi, perusahaan-perusahaan akan menaikkan harga barang-barang yang diproduksi
dan masyarakat akan meminta upah yang lebih tinggi mendahului kemungkinan inflasi
14
yang mereka perkirakan terjadi. Mereka tidak perlu harus menunggu melakukan
tindakan penyesuaian harga dan upah sampai setelah terjadi inflasi. Apabila tindakan
tersebut dilakukan oleh seluruh atau sebagian besar anggota masyarakat, akan
membawa dua implikasi moneter. Pertama, kebijakan moneter tidak efektif karena
kebijakan moneter tidak dapat mengubah sector riil, yaitu konsumsi, produksi, investasi,
dan kesempatan kerja, tetapi yang terjadi hanyalah perubahan tingkat harga. Kedua,
ekspektasi masyarakat terhadap inflasi akan mengakibatkan inflasi, yang semula hanya
dugaan, justru menjadi kenyataan.
Bagaimana ekspektasi inflasi terbentuk? Ekspektasi inflasi dipengaruhi selain oleh
perkembangan inflasi yang telah terjadi (inertia) juga oleh kebijakan moneter yang
ditempuh oleh bank sentral yang tercermin pada perkembangan suku bunga dan nilai
tukar. Semakin kredibel kebijakan moneter, yang antara lain ditunjukkan pada
kemampuan bank sentral dalam mengendalikan suku bunga dan nilai tukar, semakin
kuat pula dampaknya terhadap pembentukan ekspektasi inflasi oleh masyarakat. Dalam
kondisi demikian, ekspektasi inflasi masyarakat akan cenderung mendekati sasaran
inflasi yang ditetapkan bank sentral dalam kebijakan moneternya. Dengan perkataan
lain, semakin kredibel kebijakan moneter, semakin rendah deviasi ekspektasi
masyarakat dari sasaran inflasi yang ditetapkan bank sentral. Oleh karena itu, semakin
kecil pula distorsi yang dimbulkannya terhadap perkembangan output dan pencapaian
sasaran inflasi.
15
BAB III
OPERASI MONETER BANK INDONESIA
A. Proses Pengambilan Keputusan dalam Penetapan Kebijakan Moneter
Proses pembahasan dan perumusan kebijakan tersebut dilakukan secara berjenjang di
tingkat direktorat di Bank Indonesia, dan dilanjutkan pada pembahasan dalam forum Komite
Evaluasi Kebijakan Moneter yang melibatkan satuan kerja di sektor moneter dan perbankan di
Bank Indonesia. Asesmen tentang kondisi terkini dan prakiraan ekonomi tersebut selanjutkan
disampaikan ke Dewan Gubernur dalam forum Komite Kebijakan Moneter (KKM). Forum
tersebut merupakan forum diskusi antara anggota Dewan Gubernur dengan pimpinan satuan
kerja di Bank Indonesia, yang ditujukan untuk memperoleh gambaran menyeluruh tentang
perekonomian. Forum ini dilaksanakan sebelum pelaksanaan RDG dan tidak melibatkan
pengambilan keputusan terkait stance kebijakan moneter. Proses pengambilan keputusan baru
dilaksanakan pada RDG.
Proses selanjutnya adalah Rapat Pra-Rapat Dewan Gubernur (Pra RDG). Di forum
Pra-RG ini Dewan Gubernur dan pimpinan Direktur di bidang Moneter dan Perbankan
membahas mengenai asesmen Bank Indonesia terhadap perekonomian makro dan sektor
keuangan. Setelah Pra RDG, Rapat Dewan Gubernur (RDG) dilaksanakan. Dalam RDG,
masing-masing anggota Dewan Gubernur memberikan pandangannya terhadap kondisi
perekonomian makro dan sektor keuangan dan membahas pilihan-pilihan kebijakan yang
akan diambil. RDG mengambil keputusan kebijakan moneter dalam bentuk penentuan BI rate
melalui konsensus. Sesuai dengan UU Bank Indonesia, Gubernur Bank Indonesia memiliki
hak veto dalam Rapat tersebut.
[A.] Proses Operasi Moneter yang Dilakukan Bank Indonesia
1. Kerangka Operasi Moneter
Dalam rangka mencapai sasaran akhir kebijakan moneter, Bank Indonesia
menerapkan kerangka kebijakan moneter melalui pengendalian suku bunga (target suku
bunga). Stance kebijakan moneter dicerminkan oleh penetapan suku bunga kebijakan (BI
Rate). Dalam tataran operasional, BI Rate tercermin dari suku bunga pasar uang jangka
pendek yang merupakan sasaran operasional kebijakan moneter. Sejak 9 Juni 2008, BI
menggunakan suku bunga Pasar Uang Antara Bank (PUAB) overnight (o/n) sebagai sasaran
operasional kebijakan moneter.
Agar pergerakan suku bunga PUAB o/n tidak terlalu melebar dari anchor-nya (BI
16
Rate), Bank Indonesia selalu berusaha untuk menjaga dan memenuhi kebutuhan likuiditas
perbankan secara seimbang sehingga terbentuk suku bunga yang wajar dan stabil melalui
pelaksanaan operasi moneter (OM).
Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam
rangka pengendalian moneter melalui Operasi Pasar Terbuka dan Standing Facilities. Operasi
Pasar Terbuka yang selanjutnya disebut OPT merupakan kegiatan transaksi di pasar uang
yang dilakukan atas inisiatif Bank Indonesia dalam rangka mengurangi (smoothing) volatilitas
suku bunga PUAB o/n. Sementara instrumen Standing Facilities merupakan penyediaan dana
rupiah (lending facility) dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan dana rupiah
(deposit facility) oleh Bank di Bank Indonesia dalam rangka membentuk koridor suku bunga
di PUAB o/n. OPT dilakukan atas inisiatif Bank Indonesia, sementara Standing Facilities
dilakukan atas inisiatif bank.
2. Proses Operasi Moneter
a. Instrumen Operasi Moneter
Operasi Moneter dilakukan dengan Operasi Pasar Terbuka (OPT) dan Standing
Facilities (SF) .
1) Operasi Moneter: Operasi Pasar Terbuka
Kegiatan Operasi Pasar Terbuka (OPT) meliputi:
i. Absorpsi Likuiditas:
Penerbitan SBI
Term Deposit
Reverse Repo
Penerbitan SBIS
ii. Injeksi Likuiditas:
Transaksi Repo
Berikut ini adalah tabel jenis instrumen OPT dan dampaknya terhadap likuiditas serta
karakteristiknya :
17
Keterangan:
o VRT (Variable Rate Tender)
o FRT (Fixed Rate Tender)
o FX (foreign exchange)
o SBI (Sertifikat Bank Indonesia)
o SBIS (Sertifikat Bank Indonesia Syariah)
o SUN (Surat Utang Negara)
2) Operasi Moneter : Standing Facilities
Standing facilities meliputi:
Penyediaan dana rupiah (lending facility) - Dilakukan dengan mekanisme repurchase
agreement (repo) surat berharga
Penempatan dana rupiah oleh bank di Bank Indonesia (deposit facility) - Dilakukan
dengan menempatkan dana rupiah oleh bank secara berjangka di Bank Indonesia
Berikut adalah tabel jenis instrumen standing facilities dan dampaknya terhadap likuiditas
serta karakteristiknya:
18
Keterangan : FASBIS (Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah)
3) Operasi Moneter : Syariah
Operasi Moneter Syariah adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam
rangka pengendalian moneter melalui kegiatan operasi pasar terbuka dan penyediaan standing
facilities berdasarkan prinsip syariah. Tujuan dari Operasi Moneter Syariah adalah:
i. Mencapai target operasional pengendalian operasi moneter syariah d.r. mendukung
pencapaian akhir kebijakan moneter BI;
ii. Target operasional berupa kecukupan likuiditas perbankan syariah atau variabel lain
yang ditetapkan BI.
Kegiatan Operasi Moneter Syariah (OMS)
Dilakukan dalam bentuk antara lain:
OPT Syariah; dan
Standing Facilities Syariah.
Sesuai dengan Pasal 26 UU Perbankan Syariah No.21 Tahun 2008 dan PBI tentang OMS
Pasal 4 No.10/36/PBI/2008 : kegiatan-kegiatan tersebut harus memenuhi prinsip syariah yang
dinyatakan dalam bentuk pemberian fatwa dan/atau opini syariah oleh otoritas fatwa (MUI -
DSN) yang berwenang.
b. Proyeksi Likuiditas
Untuk menentukan berapa jumlah likuiditas yang harus diserap (absorpsi) maupun
disediakan (injeksi) dalam rangka menjaga keseimbangan supply dan demand, Bank
Indonesia melakukan estimasi kebutuhan likuiditas perbankan sehingga dapat ditetapkan
target operasi moneter setiap harinya. Estimasi likuiditas perbankan dilakukan dengan
19
mempertimbangkan faktor-faktor otonom (autonomous factor) seperti operasi keuangan
Pemerintah dan mutasi uang kartal.
Efektivitas operasi moneter berbasis suku bunga tidak terlepas dari adanya informasi
yang handal dan sama kepada seluruh pelaku pasar, sehingga tercipta persepsi yang sama
untuk mencapai tujuannya, yaitu terbentuknya suku bunga yang wajar. Oleh karena itu, sejak
Oktober 2008 Bank Indonesia mulai mengumumkan kondisi likuiditas perbankan kepada
pelaku pasar dan masyarakat sebanyak dua kali setiap harinya melalui website Bank
Indonesia, BI-SSSS dan sarana lainnya. Dengan adanya informasi mengenai kondisi
likuiditas, diharapkan dapat membantu treasury bank dalam mengelola kebutuhan
likuiditasnya dan meningkatkan efektifitas pelaksanaan Operasi Moneter.
Pengumuman proyeksi likuiditas meliputi 2 (dua) materi utama yaitu:
i. Proyeksi Total Likuiditas Tersedia
Proyeksi Total Likuiditas adalah perkiraan ketersediaan likuiditas rupiah di pasar dan
merupakan hasil proyeksi dari net perubahan faktor otonomus yang berperan dalam
menambah/mengurangi ketersediaan likuiditas rupiah. Ketersediaan likuiditas rupiah
antara lain dipengaruhi oleh net aliran masuk/keluar uang kartal dari/ke sistem
perbankan dan mutasi rekening pemerintah di Bank Indonesia, net instrumen
Operasi Moneter jatuh waktu, dan net perubahan saldo giro perbankan di Bank
Indonesia.
ii. Proyeksi Excess Reserve
Proyeksi Excess Reserve adalah perkiraan selisih antara saldo giro perbankan di Bank
Indonesia dengan kewajiban pemeliharaan Giro Wajib Minimum (GWM).
3. Penyempurnaan Operasi Moneter
Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan operasi moneter dan mendorong
perkembangan pasar uang domestik, Bank Indonesia melakukan penyempurnaan operasi
moneter yang mulai dilakukan sejak Maret 2010. Penyempurnaan operasi moneter tersebut
dilakukan melalui upaya penyerapan ekses likuiditas rupiah dengan lebih mengutamakan
penggunaan instrumen Operasi Pasar Terbuka (OPT) tenor yang lebih panjang.
a. Perpanjangan Profil Jatuh Waktu Sertifikat Bank Indonesia
Dalam rangka menyempurnakan operasi moneter, Bank Indonesia memperpanjang
profil jatuh waktu Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Perubahan tersebut dilakukan melalui
perubahan pelaksanaan lelang SBI dari mingguan menjadi bulanan, dan melakukan
penyerapan ekses likuiditas rupiah dengan lebih mengutamakan kepada SBI. dengan tenor
20
yang lebih panjang.
b. Paket Kebijakan Penguatan Manajemen Moneter dan Pengembangan Pasar
Keuangan
Paket kebijakan yang diambil secara umum berupa kebijakan untuk memperkuat
operasi moneter dan menyempurnakan aspek prudential perbankan, terdiri dari penambahan
instrumen dan penyempurnaan beberapa ketentuan baik di pasar uang rupiah maupun valas,
yang terdiri dari:
Pelebaran koridor suku bunga PUAB O/N; diimplementasikan mulai 17 Juni 2010.
Penerapan minimum one month holding period Sertifikat Bank Indonesia (SBI);
diimplementasikan mulai 7 Juli 2010.
Penambahan instrumen moneter non-securities dalam bentuk term deposit; berlaku mulai
7 Juli 2010.
Penyempurnaan ketentuan mengenai Posisi Devisa Neto (PDN); berlaku mulai 1 Juli
2010.
Penerbitan SBI berjangka waktu 9 dan 12 bulan; yang diimplementasikan pada minggu
ke-II Agustus 2010 (SBI 9 Bulan)
Penerapan mekanisme triparty repurchase (repo) Surat Berharga Negara (SBN);
Sebagai tindak lanjut dari beberapa penyempurnaan Operasi Moneter dimaksud,
Bank Indonesia juga telah menyempurnakan Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan ketentuan
pelaksanaanya (Surat Edaran Bank Indonesia), yaitu PBI No. 12/11/PBI/2010 tanggal 2 Juli
2010 tentang Operasi Moneter dan Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) No. 12/16/DPM
tanggal 6 Juli 2010 perihal Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta dan Lembaga
Perantara dalam Operasi Moneter, SE BI No. 12/17/DPM tanggal 6 Juli 2010 perihal Koridor
Suku Bunga (Standing Facilities) dan SE BI No. 12/18/DPM tanggal 7 Juli 2010 perihal
Operasi Pasar Terbuka.
4. Bagaimana Bekerjanya Kebijakan Moneter?
Tujuan akhir kebijakan moneter adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai
rupiah yang salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Untuk
mencapai tujuan itu Bank Indonesia menetapkan suku bunga kebijakan BI Rate sebagai
instrumen kebijakan utama untuk mempengaruhi aktivitas kegiatan perekonomian dengan
tujuan akhir pencapaian inflasi. Namun jalur atau transmisi dari keputusan BI rate sampai
dengan pencapaian sasaran inflasi tersebut sangat kompleks dan memerlukan waktu (time
lag).
21
Mekanisme bekerjanya perubahan BI Rate sampai mempengaruhi inflasi tersebut
sering disebut sebagai mekanisme transmisi kebijakan moneter. Mekanisme ini
menggambarkan tindakan Bank Indonesia melalui perubahan-perubahan instrumen moneter
dan target operasionalnya mempengaruhi berbagai variable ekonomi dan keuangan sebelum
akhirnya berpengaruh ke tujuan akhir inflasi. Mekanisme tersebut terjadi melalui interaksi
antara Bank Sentral, perbankan dan sektor keuangan, serta sektor riil. Perubahan BI Rate
mempengaruhi inflasi melalui berbagai jalur, diantaranya jalur suku bunga, jalur kredit, jalur
nilai tukar, jalur harga aset, dan jalur ekspektasi.
Pada jalur suku bunga, perubahan BI Rate mempengaruhi suku bunga deposito dan
suku bunga kredit perbankan. Apabila perekonomian sedang mengalami kelesuan, Bank
Indonesia dapat menggunakan kebijakan moneter yang ekspansif melalui penurunan suku
bunga untuk mendorong aktifitas ekonomi. Penurunan suku bunga BI Rate menurunkan suku
bunga kredit sehingga permintaan akan kredit dari perusahaan dan rumah tangga akan
meningkat. Penurunan suku bunga kredit juga akan menurunkan biaya modal perusahaan
untuk melakukan investasi. Ini semua akan meningkatkan aktifitas konsumsi dan investasi
sehingga aktifitas perekonomian semakin bergairah. Sebaliknya, apabila tekanan inflasi
mengalami kenaikan, Bank Indonesia merespon dengan menaikkan suku bunga BI Rate untuk
mengerem aktifitas perekonomian yang terlalu cepat sehingga mengurangi tekanan inflasi.
Perubahan suku bunga BI Rate juga dapat mempengaruhi nilai tukar. Mekanisme ini
sering disebut jalur nilai tukar. Kenaikan BI Rate, sebagai contoh, akan mendorong kenaikan
selisih antara suku bunga di Indonesia dengan suku bunga luar negeri. Dengan melebarnya
selisih suku bunga tersebut mendorong investor asing untuk menanamkan modal ke dalam
instrument-instrumen keuangan di Indonesia seperti SBI karena mereka akan mendapatkan
22
tingkat pengembalian yang lebih tinggi. Aliran modal masuk asing ini pada gilirannya akan
mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah. Apresiasi Rupiah mengakibatkan harga barang impor
lebih murah dan barang ekspor kita di luar negeri menjadi lebih mahal atau kurang kompetitif
sehingga akan mendorong impor dan mengurangi ekspor. Turunnya net ekspor ini akan
berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi dan kegiatan perekonomian.
Perubahan suku bunga BI Rate mempengaruhi perekonomian makro melalui
perubahan harga aset. Kenaikan suku bunga akan menurunkan harga aset seperti saham dan
obligasi sehingga mengurangi kekayaan individu dan perusahaan yang pada gilirannya
mengurangi kemampuan mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi seperti konsumsi dan
investasi.
Dampak perubahan suku bunga kepada kegiatan ekonomi juga mempengaruhi
ekspektasi publik akan inflasi (jalur ekspektasi). Penurunan suku bunga yang diperkirakan
akan mendorong aktifitas ekonomi dan pada akhirnya inflasi mendorong pekerja untuk
mengantisipasi kenaikan inflasi dengan meminta upah yang lebih tinggi. Upah ini pada
akhirnya akan dibebankan oleh produsen kepada konsumen melalui kenaikan harga.
Mekanisme transmisi kebijakan moneter ini bekerja memerlukan waktu (time lag).
Time lag masing-masing jalur bisa berbeda dengan yang lain. Jalur nilai tukar biasanya
bekerja lebih cepat karena dampak perubahan suku bunga kepada nilai tukar bekerja sangat
cepat. Kondisi sektor keuangan dan perbankan juga sangat berpengaruh pada kecepatan
tarnsmisi kebijakan moneter. Apabila perbankan melihat risiko perekonomian cukup tinggi,
respon perbankan terhadap penurunan suku bunga BI rate biasanya sangat lambat. Juga,
apabila perbankan sedang melakukan konsolidasi untuk memperbaiki permodalan, penurunan
suku bunga kredit dan meningkatnya permintaan kredit belum tentu direspon dengan
menaikkan penyaluran kredit. Di sisi permintaan, penurunan suku bunga kredit perbankan
juga belum tentu direspon oleh meningkatnya permintaan kredit dari masyarakat apabila
prospek perekonomian sedang lesu. Kesimpulannya, kondisi sektor keuangan, perbankan,
dan kondisi sektor riil sangat berperan dalam menentukan efektif atau tidaknya proses
transmisi kebijakan moneter.
23
B. Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter
Mengingat bahwa laju inflasi di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh faktor
permintaan (demand pull) namun juga faktor penawaran (cost push), maka agar pencapaian
sasaran inflasi dapat dilakukan dengan efektif, diperlukan kerja sama dan koordinasi antara
pemerintah dan BI melalui kebijakan makroekonomi yang terintegrasi. Sehubungan dengan
hal tersebut, di tingkat pengambil kebijakan, Bank Indonesia dan Pemerintah secara rutin
menggelar Rapat Koordinasi untuk membahas perkembangan ekonomi terkini. Di sisi lain,
Bank Indonesia juga kerap diundang dalam Rapat Kabinet yang dipimpin oleh Presiden RI
untuk memberikan pandangan terhadap perkembangan makroekonomi dan moneter terkait
dengan pencapaian sasaran inflasi. Koordinasi kebijakan fiskal dan moneter juga dilakukan
dalam penyusunan bersama Asumsi Makro di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) yang dibahas bersama di DPR. Selain itu, Pemerintah juga berkoordinasi dengan
Bank Indonesia dalam melakukan pengelolaan Utang Negara.
Di tataran teknis, koordinasi antara Pemerintah dan BI telah diwujudkan dengan
membentuk Tim Koordinasi Penetapan Sasaran, Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI)
di tingkat pusat sejak tahun 2005. Anggota TPI, terdiri dari Bank Indonesia dan departmen
teknis terkait di Pemerintah seperti Departemen Keuangan, Kantor Menko Bidang
Perekonomian, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Perdagangan,
Departemen Pertanian, Departemen Perhubungan, dan Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi. Menyadari pentingnya koordinasi tersebut, sejak tahun 2008 pembentukan TPI
diperluas hingga ke level daerah. Ke depan, koordinasi antara Pemerintah dan BI diharapkan
akan semakin efektif dengan dukungan forum TPI baik pusat maupun daerah sehingga dapat
terwujud inflasi yang rendah dan stabil, yang bermuara pada pertumbuhan ekonomi yang
berkesinambungan dan berkelanjutan.
24
C. Perkembangan Kebijakan Moneter di Indonesia
Dalam buku The Indonesian Economy Entering New Era, Ascarya menulis sebuah
artikel berjudul the dynamics of monetary policy yang menguraikan kebijakan moneter yang
diambil oleh Bank Indonesia untuk mengatasi permasalahan ekonomi yang ada dari periode
1953 hingga 2009. Uraian kondisi ekonomi dan kebijakan moneter yang diungkapkan oleh
Ascarya terdapat pada tabel berikut :
No Kondisi Ekonomi Kebijakan Moneter
I. Periode 1953-1968 ( Tahun tahun awal dibentuknya Bank Indonesia) Program Revitalisasi dan Stabilisasi- Banyaknya mata uang yang
berbeda beda yang dicetak dan diedarkan di berbagai daerah
- Peredaran uang yang sangat banyak
- Hiperinflasi hingga 653,3%- Jumlah simpanan merosot
- Ditetapkanya rupiah sebagai mata uang resmi Republik Indonesia
- Reevaluasi mata uang dari Rp 1.000 menjadi Rp.1 (Sanering)
- Kebijakan uang ketat; meningkatkan bunga deposit hingga 72%
- Meningkatkan kredit langsung untuk aktivitas ekonomi
- Menerbitkan UU Perbankan Nomor 14 tahun 1967
II. Periode 1968-1973- Inflasi mengalami penurunan- Simpanan masyarakat meningkat- Kebijakan moneter dan fiscal
yang terkoordinasi namun kurang terdapat prinsip prudensial dan mekanisme cek and balance atas kebijakan ekonomi
- Fokus kepada menstabilkan harga
- Meningkatkan koodinasi fiscal-moneter
- Mengontrol peredaran uang- Menciptakan gerakan
menabung nasional- Menurunkan bunga tabungan
secara gradual- Bunga pinjaman investasi
yang rendahIII. Periode 1974- 1978
- Krisis moneter internasional- Invlasi mengalami peningkatan
drastic pada 1974- Meningkatnya peredaran uang
dari keuntungan perdagangan minyak dan kredit likuiditas dari Bank Indonesia
- Kebijakan moneter terbuka sejak 1974; batas kredit; batas bunga dan kredit yang lebih selektif
- Kebijakan uang terbuka- Menurunkan persyaratan
cadangan pada 1978- Kredit langsung kepada Bulog- Kredit likuiditas untuk KIK dan
KMKP
25
IV. Periode 1979-1983- Resesi global sejak 1979- Inflasi lebih tinggi dibandingkan
dengan Negara rekan perdagangan
- Harga komoditas yang tidak kompetitif
- Peredaran uang yang berlebih
- Mengontrol peredaran uang- Fasilitas kredit ekspor bagi
sektor non migas
V. Periode 1983-1988- Resesi global masih berlanjut- Harga minyak dunia mengalami
penurunan dari US$ 35 menjdadi US$ 10 per barel
- Perlambatan ekonomi- KElemahan structural- Peredaran mata uang kembali
berlebih sejak 1987
- Menghilangkan batas kredit dan bunga
- Kebijakan Operasi Pasar Terbuka
- Kredit likuiditas ditujukan kepada sektor yang menjadi prioritas utama
VI Periode 1988-1997
- Berkembangnya berbagai instrument keuangan
- Meningkatnya permintaan kredit diiringi kenaikan tingkat bunga pinjaman
- Pemisahan sektor riil dan keuangan
- Peredaran uang berlbeih pada tahun 1990 dan 1994
- Tingkat bunga rendah pada tahun 1994
- Kebijakan uang ketat- Meningkatkan cadangan wajib
dari 2% menjadi 3%
VII Periode 1997-1999
- Ekonomi mengalami overheating- Kelemahan structural- Hutang luar negeri yang tidak
dilindung nilai- Krisis moneter yang diawali dari
Thailand- Perbankan mengalami kejatuhan;
kredit macet meningkat; ROA dan CAR minus
- Kebijakan uang ketat- Melikuidasi 16 bank pada 16
November 1997- Menandatangani Letter of
Intent dengan International Monetary Fund yang mempersyaratkan adanya kebijakan blanket guarantee dan bailout atas perbankan lain yang mengalami kesulitan modal
- Menerbitkan UU Perbankan pada tahun 1998 dan UU Bank Sentral pada tahun 1999
VIII Periode 2000-2004
26
- Recovery- Bank sentral yang lebih
independen- Tekanan inflasi dan tingkat
bunga yang tinggi- Restrukturisasi perbankan
dengan BLBI
- Kebijakan uang ketat melalui Operasi Pasar terbuka dengan menerbitkan SBI serta melalui intervensi terhadap nilai tukar mata uang rupiah
- Kebijakan moneter yang lebih akomodatif pada tahun 2003
- Kembali menerapkan kebijakan uang ketat pada tahun 2004
IX Periode 2005-2007
- Pemulihan perekonomian makin cerah
- Terdapat tekanan dari eksternal berupa ketidakseimbangan global
- Kenaikan harga minyak dan suku bunga The Fed (Bank Sentral Amerika Serikat)
- Inflasi tinggi mencapai 17,1% pada tahun 2005
- Kebijakan Uang ketat dengan meningkatkan BI Rate menjadi 12,75% pada Desember 2005 dan Meningkatkan cadangan wajib
- Kebijakan moneter akomodatif pada 2006-2007
X Periode 2007-2009
- Krisis keuangan global sejak Juli 2007
- IHSG mengalami penurunan sejak maret 2008 ; Harga minyak naik sangat drastic hingga sempat menyentuh angka $ 147/barell
- Sistem perbankan mengalami mengalami pelemahan
- Tekanan inflasi berkuran- Banyak bank sentral menurunkan
kebijakan tingkat bunganya
- Meningkatkan suku bunga BI sejak mei 2008
- Menurunkan cadangan wajib dan Rasio Kecukupan Modal
- Bailout kepada bank century- Kebijakan moneter akomodatif
secara agresif sejak bulan 2008 hingga awal 2010
D. Full Fledged Inflation Targeting (FFIT)
Pada tahun 2005, Bank Indonesia mulai mengenalkan suatu framework dalam
mengambil kebijakan moneter yang dikenal dengan Full Fledged Iflation Targeting(FFIT).
Dengan FFIT, kerangka kerja kebijakan moneter dilakukan secara transparan dan konsisten
dalam rangka mencapai sasaran inflasi beberapa tahun ke depan yang ditetapkan dan
diumumkan secara eksplisit. Guna mendukung optimalisasi pencapaian sasaran inflasi
tersebut, Bank Indonesia menetapkan policy rate (BI-Rate) yang diumumkan secara periodik
27
kepada publik sebagai sinyal kebijakan moneter untuk jangka waktu tertentu. Perubahan BI-
Rate mencerminkan respon bank sentral terhadap perkembangan kondisi makroekonomi.
Pelaksanaan FFIT di Indonesia mengikuti prinsip dasar bahwa FFIT adalah framework,
bukan rule. Dengan prinsip ini, kebijakan moneter tidak dilaksanakan secara kaku.
Pelaksanaan kebijakan moneter juga mempertimbangkan sasaran-sasaran pembangunan yang
lebih luas antara lain pertumbuhan ekonomi. Berbeda dengan prinsip full discretionary, FFIT
menuntut agar discretionary policy dalam pelaksanaan kebijakan moneter bersifat terbatas.
Konsep FFIT merupakan sebuah kerangka kebijakan moneter yang ditandai dengan
pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa
periode ke depan. Secara eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang rendah dan stabil merupakan
tujuan utama dari kebijakan moneter. Jadi, konsep FFIT adalah:
- Dalam merumuskan kebijakan moneter, Bank Indonesia akan selalu melakukan
analisis dan mempertimbangkan berbagai indikator ekonomi, khususnya prakiraan
inflasi.
- Pengendalian moneter dilakukan dengan menggunakan instrumen: (i) Operasi Pasar
Terbuka (OPT), (ii) Instrumen likuiditas otomatis (standing facilities), (iii) Intervensi
di pasar valas, (iv) Penetapan giro wajib minimum (GWM), dan (v) Himbauan moral
(moral suassion).
- Pengendalian moneter diarahkan pula agar perkembangan suku bunga PUAB berada
pada koridor suku bunga yang ditetapkan. Langkah ini dilakukan untuk meningkatkan
efektivitas pengendalian likuiditas sekaligus untuk memperkuat sinyal kebijakan
moneter yang ditempuh Bank Indonesia
Dengan konsep dasar tersebut, Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter
dengan elemen-elemen pokok sebagai berikut:
- Pertama, suku bunga (BI-rate) digunakan sebagai sasaran operasional moneter
menggantikan uang beredar. Perubahan sasaran operasional moneter ini didasarkan
pada pertimbangan makin lemahnya hubungan antara uang beredar dengan laju inflasi.
- Kedua, kebijakan moneter diperkuat dengan strategi yang bersifat pre-emptive atau
forward looking. Elemen dasar ini sekaligus merupakan tantangan besar bagi Bank
Indonesia mengingat inflasi di Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh ekspektasi
inflasi yang bersifat adaptif (inertia). Bank Indonesia menyebutkan, misalnya sekitar
74% inflasi pada tahun 2001 dan sekitar 89% inflasi pada tahun 2004 terutama
28
disumbang oleh ekspektasi yang bersifat adaptif. Kebijakan moneter perlu konsisten
terhadap sasaran akhir yang akan dicapai atau menghindari time-inconsistency policy.
Tanpa konsistensi yang kuat, kebijakan ke depan kurang mendapat perhatian dari
masyarakat.
- Ketiga, terkait dengan unsur kedua, pelaksanaan FFIT membutuhkan komunikasi
yangefektif dan transparan kepada masyarakat luas. Ini diperlukan agar langkah-
langkah kebijakan yang akan ditempuh ke depan benar-benar dipahami secara utuh
oleh masyarakat.
- Keempat, peningkatan koordinasi yang lebih kuat dengan Pemerintah. Elemen ini
sangat
penting dalam rangka pencapaian sasaran inflasi yang ditetapkan mengingat faktor-
faktor
pendorong inflasi tidak sepenuhnya berada dalam lingkup kewenangan Bank
Indonesia.
Meskipun kinerja dan manfaat dapat berbeda tergantung pada kondisi spesifik Negara
yang bersangkutan dan rezim yang dipraktekkan, pada umumnya negara yang menerapkan
FFIT memperoleh sejumlah keuntungan, yaitu:
- Sukses dalam membantu negara menurunkan inflasi,
- Kebijakan moneter lebih secara jelas terfokus,
- Komunikasi, transparansi, dan akuntabilitas secara bersama diperkuat,
- Membantu dalam menurunkan dan mengarahkan ekspektasi inflasi dan lebih baik
dalam mengatasi kejutan inflasi,
- Membantu dalam menurunkan volatilitas output dalam jangka menengah,
- Teruji terhadap kejutan ekonomi yang kurang menguntungkan,
- Kebijakan moneter relatif fleksibel dalam mengakomodasi kejutan inflasi temporer
yang tidak mengganggu pencapaian sasaran inflasi jangka menengah, dan
Independensi bank sentral dalam melaksanakan kebijakan moneter diperkuat.
Kisah sukses FFTI di sejumlah Negara maju didukung oleh terdapatnya prasyarat dan
pra kondisi yang diperlukan di Negara yang bersangkutan, sementara di Negara berkembang,
pra syarat tersebut tidak sepenuhnya dipenuhi. Calvo dan Mishkin (2003) mengidentifikasi
lima perbedaan antara Negara maju dengan Negara sedang berkembang yaitu: (a) lemahnya
disiplin fiscal (fiscal dominance); (b) lemahnya kelembagaan keuangan termasuk pengaturan
dan pengawasan prudential (financial dominance); (c) rendahnya kredibilitas dari
29
kelembagaan moneter; (d) dolarisasi kewajiban; dan (e) kerapuhan (vulnerability) terhadap
terhentinya aliran modal secara tiba-tiba (external dominance).
Kerangka kebijakan moneter merupakan suatu hal yang dinamis, yang dapat berubah
sejalan dengan perubahan pra kondisi yang diperlukan dan tantangan yang dihadapi. Masih
kuatnya dominasi fiskal dan kerapuhan sistem terhadap shock terbukti mengganggu
pencapaian target inflasi. Sebagai contoh, pada waktu BBM di dalam negeri dinaikkan secara
signifikan pada paruh kedua tahun 2005, komitmen pencapaian target inflasi tidak dapat
dipenuhi. Koordinasi kebijakan fiskal dengan kebijakan moneter masih perlu ditingkatkan
mengingat pencapaian target inflasi sesungguhnya merupakan tanggung jawab bersama Bank
Indonesia dan pemerintah. Oleh karena itu, kredibilitas kebijakan moneter dengan FFIT bukan
hanya menyangkut komitmen Bank Indonesia selaku otoritas moneter, tetapi juga komitmen
pemerintah selaku otoritas fiscal.
Perubahan kerangka kebijakan moneter juga dipengaruhi oleh perkembangan pasar
keuangan dan infrastruktur pendukungnya seperti perubahan system pembayaran yang cukup
pesat yang didukung oleh pesatnya perkembangan teknologi informasi. Dengan
perkembangan system pembayaran yang sedemikian pesat, transaksi crossborder menjadi sulit
dimonitor sehingga aliran modal masuk dan keluar semakin tidak mungkin dikontrol. Ketika
teknologi membuat pola transaksi berubah, kebijakan moneter pun akan berubah. Ketika
sistem perdagangan berubah dengan dunia berubah, kebijakan moneter yang dibutuhkan pun
berubah.
30
Top Related