Download - Kearifan Lokal Dalam Muatan Lokal Jawa-madura

Transcript

PENGARUH KEARIFAN

PEMERTAHANAN BAHASA DAERAH (JAWA-MADURA)

DALAM PERSPEKTIF KEARIFAN LOKAL

PROF. DR. H. A. SYUKUR GHAZALI, M. PdGuru Besar Universitas Negeri MalangPENGERTIAN DAN WILAYAH KEARIFAN LOKALKearifan lokal merupakan nilai terkait secara spesifik dengan budaya tertentu, dan mencerminkan cara hidup masyarakat tertentu. Kearifan lokal disebut juga warna lokal (local color), mengacu kepada sesuatu yang asli atau khas dari suatu masyarakat, sesuatu yang masih bersifat indigeneous, asli, local genious, belum terpengaruh oleh budaya dari tempat lain, atau dari negara lain. Oleh karena itu, dalam penggunaannya, istilah kearifan lokal acapkali dipertentangkan dengan sesuatu yang bersifat lebih luas atau universal, yaitu kebudayaan dunia yang mondial.

Dalam bidang sastra, kearifan lokal atau warna lokal mengacu pada karya sastra daerah, baik yang berbentuk prosa atau pun puisi, yang di dalamnya terkandung unsur tokoh dan watak, dialek, kebiasaan-kebiasaan, deskripsi keadaan dan keindahan alam, pakaian, adat-istiadat, kepercayaan setempat yang terkait dengan daerah tertentu (Local color or regional literature is fiction and poetry that focuses on the characters, dialect, customs, topography, and other features particular to a specific regin). Oleh karena itu, penyebarluasan praktik-praktik kearifan lokal tertentu seringkali menjadi sebuah tantangan, sebab prinsip-prinsip kearifan lokal yang berlaku untuk suatu daerah tidak serta-merta dapat diterapkan untuk daerah lain. Dengan demikian, warna lokal Madura akan mengandung kearifan lokal khas Madura yang bisa saja tidak bersesuaian dengan kearifan lokal dari daerah lain.Makalah ini bertujuan untuk membangun kesadaran terhadap pentingnya kearifan lokal sebagai alat yang efektif untuk mengurangi risiko terjadinya atrisi (pengeroposan) kebudayaan akibat tergencetnya kearifan lokal oleh budaya lain yang lebih adidaya. Kita bangsa Indonesia tentunya tidak ingin mengalami rasa kehilangan seperti yang dirasakan oleh Sitanggang (2010), ketika budaya milik kita yang berharga terlupakan, atau, lebih jelek lagi, diaku oleh negara lain. Karena itu, dengan meningkatkan pemahaman terhadap kearifan lokal dan contoh-contoh pemanfaatannya, penulis berharap dapat memberikan wawasan bagi para praktisi dan pengambil kebijakan untuk mempertimbangkan khazanah berharga masyarakat Madura sebagai sumber daya yang berharga dalam pembangunan manusia Indonesia yang berbudi luhur dan bermartabat pada umumnya, dan masyarakat budaya Madura pada khususnya.1. TINJAUAN HISTORIS KEARIFAN LOKAL DALAM KEBUDAYAAN INDONESIANasionalisme Indonesia tidak dapat dilihat sebagai entitas mandiri yang terpisah dari kolonialisme Belanda (Faruk, 1995). Dikatakan demikian karena munculnya nasionalisme dan upaya-upaya memperjuangkannya adalah dampak dari penjajahan negeri keju yang menjajah negeri kita dengan menghisap kekayaan bumi ini sekuat-kuatnya. Penderitaan, kehilangan harga diri, keterkekangan, ketakutan, curiga-mencurigai, dan kegalauan batin lain yang timbul adalah akibat penjajahan itu. Akan tetapi, meskipun mengakibatkan sejumlah penderitaan, penjajah juga memberikan memberikan keuntungan kepada bangsa Indonesia yang tidak boleh kita lupakan, yaitu didirikannya Commissie voor de Inlandsche school en volklectuur (Komisi untuk Pendidikan Pribumi dan Bacaan Rakyat) oleh penjajah Belanda. Komisi yang kemudian diberi nama Balai Pustaka itu menyebabkan bangsa Indonesia bersentuhan dengan bacaan berbahasa asing dan komisi ini pulalah yang mendorong para penulis bangsa Indonesia menghasilkan karya tulis yang kemudian menjadi cikal-bakal materi bacaan kaum pribumi. Komisi inilah yang melahirkan karya-karya sastra roman Balai Pustaka dan Pujangga Baru yang memperlihatkan bagaimana warna lokal atau kearifan lokal diolah menjadi karya sastra rekaan yang melakukan gerakan inward looking (mencari ke dalam khazanah bangsanya sendiri) yang secara sentripetal bergerak ke timur atau melakukan gerakan outward looking yang secara sentrifugal memilih barat untuk sasaran gerakannya. Penjajah tidak memberikan ruang yang bebas bagi sastrawan masa penjajahan untuk mencipta. Beberapa batasan dengan sengaja diciptakan oleh penjajah, karena penjajah sadar bahwa melalui membaca pribumi akan menjadi terdidik dan terbuka pikirannya untuk melawan penjajah. Kondisi setengah terbelenggu itulah yang mendorong para sastrawan untuk mencari alternatif, di antaranya menggali harta karun masa lampau, yakni peninggalan sejarah. Dengan kemungkinan itu, Sanusi Pane menghasilkan Sandyakala ning Majapahit yang memanfaatkan peristiwa sejarah untuk menyampaikan pikirannya tentang nasionalisme, bahwa kepentingan pribadi dapat menggagalkan tercapai tujuan yang mulia, yaitu tercapainya keutuhan sebuah kerajaan besar. Lebih dari itu, saling curiga, saling memanfaatkan kesempatan untuk kepetingan pribadi lebih banyak menghasilkan kehancuran daripada kemenangan. Jika kita percaya pada pernyataan ahli sejarah Perancis bahwa sejarah akan berulang, maka karya Sanusi Pane ini telah hadir untuk memberikan pelajaran bahwa betapa pun kuatnya sebuah kekuasaan, pada suatu saat kekuatan itu akan kendor oleh perselisihan di antara pemegang kekuasaan yang saling mengedepankan kepentingan pribadi.Rustam Efendi melirik kemungkinan lain dengan menggali epos Ramayana. Dalam dramanya berjudul Bebasari, dikisahkan tentang Prabu Rama yang membebaskan istrinya, Dewi Sinta, dari raja angkara murka Dasamuka. Lalu terjadilah skenario cerita itu: Dewi Shinta ditawan oleh raja dari Ngalengkadirja itu. Prabu Rama, sang suami, haruslah berusaha membebaskan belahan hatinya. Penderitaan Ibu Pertiwi Dewi Sinta yang tertawan oleh penjajah Rahwana harus diakhiri. Dewi Sinta, Sang Ibu Pertiwi, harus bebas(ari)-merdeka, meskipun untuk itu harus ada pengorbanan jiwa.Dari contoh di atas, dapat kita petik pelajaran, bahwa sejarah dan epos mengandung mengandung kearifan lokal yang berisi mesiu yang mampu menyulut daya juang bagi perjuangan membebaskan negeri dengan menggunakan sastra.

2. Problematika Lokal sebagai Sumber Kearifan lokalMengirimkan anak untuk mengenyam pendidikan ala Belanda merupakan salah satu fenomena yang terjadi di zaman penjajahan. Konsekuensi pilihan itu bisa menimbulkan peristiwa berikutnya, seorang pemuda dari kalangan keluarga konservatif tertarik kepada gadis yang memiliki cara berpikir maju, cerdas, dan mampu menyatakan pikirannya secara terbuka. Jika rasa tertarik pemuda itu tidak bertepuk sebelah tangan, maka terjadilah hubungan cinta antara pemuda desa berpendidikan Belanda dengan gadis keturunan Belanda. Ketika hubungan cinta itu telah terjalin, muncullah ke permukaan persoalan-persoalan yang terkait dengan perbedaan budaya, cara pandang, cara berpikir, dan adat-istiadat. Menurut skenario Abdoel Moeis dalam Salah Asuhan, barat dan timur tidak boleh bertemu secara harmonis. Barat harus dianggap sebagai pengganggu bagi kehidupan harmonis timur, sehingga Hanafi pun harus berpisah dengan Corrie du Busje. Akhirnya, sebagai hukuman Hanafi tidak dapat kembali ke haribaan ibunya, atau pulang kembali ke pelukan istrinya Rapiah karena ia telah merusak kebudayaan nenek moyangnya. Sebagai kesimpulan, kita dapat menangkap kearifan lokal dari novel Salah Aasuhan bahwa Abdoel Moeis memandang barat mengandung unsur yang belum bisa berpadu dengan timur, khususnya dengan adat-istiadat Minang. 3. ZAMAN PASCAKEMERDEKAAN

Di zaman perjuangan untuk mencapai kemerdekaan, segala daya-upaya dikerahkan untuk menggapai negeri impian. Ketika negara yang dicita-citakan telah berada dalam rengkuhan, maka berubahlah arah dan tujuan perjuangan. Cita-cita yang kita paterikan dalam dada adalah negara merdeka yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja, subur kang sarwa tinandur murah kang sarwa tinuku (damai sentosa, subur dan makmur karena apa-apa yang ditanam mudah tumbuh dan subur, sehingga penduduknya mengalami kehidupan yang tenteram karena apa-apa yang dibelinya murah).Akan tetapi, dalam negara merdeka kenyataannya tidak demikian. Kehidupan yang damai seperti dilontarkan oleh para dalang belumlah mudah digapai meskipun pagelaran sudah menjelang usai. Karena itu, lakon yang ceritanya tentang yang kuat menindas yang lemah, yang berkuasa memangsa makhluk yang dikuasai, mayoritas menindas minoritas, akan terus ada sampai dunia yang sementara ini kelak binasa. Inilah subject matter kearifan lokal yang menjadi lahan subur cipta kreatif sastra. Bagaimana sastrawan memahami kearifan lokal di daerahnya masing-masing dan bagaimana kearifan lokal itu diterjemahkan ke dalam karya sastra yang mereka tulis? Penerjemahan kearifan lokal oleh masing-masing sastrawan tentu berbeda satu sama lain. Sastrawan Jawa, Bali, dan Madura tentunya memiliki kreativitas sendiri yang menunjukkan ciri khasnya masing-masing, sebagaimana dipaparkan berikut.

3.1.1 Warna Lokal dan Kearifan Lokal Sastrawan Jawa

Almarhum Umar Kayam memandang dunia pewayangan tidak hanya ada di dalam pagelaran, melainkan juga dijumpai di alam nyata. Begitu filosofi itu dipahaminya dalam cerita pendeknya Parta Krama. Kayam mengangkat episode menikahnya penengah Pandawa, Raden Harjuna, yang ketika mudanya masih bernama Parta, sebagai latar parodi wayangnya. Harjuna muda yang tertarik pada Rara Ireng, atau Sumbadra, adik Prabu Kresna dimintai syarat untuk menjemput penganten wanita dengan kereta kencana dewa-dewa, yang ditarik oleh kerbau danu piaraan para dewa, dan harus diiringi suara gamelan Lokananta, gamelan dari surga. Mendengar syarat tersebut, Raden Harjuna segera melesat kekayangan untuk menghadap dewa di Jonggringslaka. Dog ... dog ... dog ... heeeee kocap kacarita ....Kecanggihan diplomasi wanita, rayuan calon istri yang meminta tebusan yang tidak masuk akal, dan penggunaan kekuatan supranatural untuk memperoleh apa yang diinginkan inilah yang mengilhami Umar Kayam untuk menulis cerita pendek Parta Krama yang merupakan parodi dari cerita wayang Raden Harjuna Melamar Sumbadra. Pengarang Para Priyayi itu menyampaikan kritik terhadap kondisi politik-sosial saat ini, yaitu bahwa seorang istri besar pengaruhnya terhadap keputusan yang dibuat oleh suaminya. Karena itu, istri juga merupakan sasaran empuk untuk disogok agar istri mendorong suaminya menghasilkan keputusan yang sesuai dengan keinginan penyogoknya. Alkisah, seorang istri pejabat senior Bank, Lies Herjuna, meminta BMW seri 7 dan setelan kalung komplit bikinan Bulgari kepada A Jouw A Jouw lewat suaminya, Drs. Herdjuna, yang pada saat itu sedang mempertimbangkan permohonan kredit A Jouw A Jouw. Dengan kedudukannya yang tinggi, Drs Herdjuna menyetujui kredit A Jouw A Jouw, dengan catatan, permintaan istrinya supaya dipenuhi. Beberapa bulan kemudian, setelah kredit A Jouw A Jouw cair, termuat di surat kabar, bahwa Drs Herdjuna dan A Jow A Jow dibebaskan dari tuduhan kolusi yang terjadi di Bank Jonggring Salaka. Dengan contoh di atas dapat disimpulkan bahwa dunia wayang merupakan sumber yang kaya bagi kearifan lokal. Sumber mata air kearifan lokal itu tidak akan pernah kering jika para pemiliknya terampil memanfaatkan airnya.3.1.2 Warna Lokal dan Kearifan Lokal Sastrawan Bali

Dunia kehidupan Bali, bagi Oka Rusmini, adalah mata air yang tidak pernah kering bagi karya-karyanya. Penderitaan yang dialami oleh wanita Bali, perbedaan perlakuan akibat perbedaan kasta, persoalan yang dialami oleh perempuan atau laki-laki yang kawin dengan pasangan yang berbeda kasta, merupakan pokok masalah yang acapkali diangkat oleh Rusmini ke dalam novel dan cerpen-cerpennya. Dalam Tarian Bumi, misalnya, Rusmini berkisah bahwa bagi perempuan Bali saat ini, yang diidam-idamkan adalah hidup dengan laki-laki yang berpikiran cerdas, hidup dari keringatnya sendiri, dan menghargai wanita dari kemajuan berpikirnya. Perempuan Bali tidak lagi mendambakan kawin dengan kasta bangsawan yang dapat membuat hidupnya terkungkung di penjara karena hidup dalam griya rumah tempat tinggal para bangsawan. Rusmini menuturkan kearifan lokal di bumi tumpah darahnya dalam cerita seperti berikut ini.

Novel Tarian Bumi (Rusmini, 2004), menceritakan salah satu tokoh, Luh Sekar dari kalangan sudra, semasa kecil hidupnya penuh dengan kesengsaraan. Miskin dan selalu menjadi ejekan warga desa karena ayahnya meninggalkan keluarganya dan terlibat dalam gerakan PKI. Ketika menanjak dewasa, Luh Sekar ingin menjadi penari joget dengan harapan tidak dihina lagi oleh warga desa. Hal ini diperkuat oleh anggapan bahwa menjadi seorang penari tidaklah gampang karena menyangkut anugrah dari dewa tari. Setelah berhasil menjadi penari, Luh Sekar berkeinginan menikah dengan laki-laki golongan bangsawan dengan gelar Ida Bagus. Luh Sekar tidak mau menikah dengan golongan sudra karena ia ingin hidup berkecukupan dan bisa mengangkat derajatnya dari kehinaan. Untuk hal ini, Luh Sekar melakukan ibadah yang cukup ketat. Keinginannya terkabul, ia diperistri oleh seorang bangsawan bernama Ida Bagus Pidada. Dengan ini pula namanya berubaha menjadi Jero Kenanga dan ia harus meninggalkan keluarganya yang sudra. Jero Kenanga tidak diterima sepenuhnya dalam keluarga suaminya, sementara ia juga tidak diterima oleh keluarganya sendiri karena mengingat ia sudah menjadi keluarga griya (bangsawan). Akan sial jadinya jika Jero Kenanga masih dekat dengan keluarga lamanya. Kesialan itu terbukti ketika suami Kenanga, Ida Bagus Pidada meninggal dalam keadaan yang mengenaskan dengan luka tusukan di sana-sini dan dalam pelukan seorang pelacur. 3.1.3 Warna Lokal dan Kearifan Lokal Sastrawan Madura

Keagungan dan kejayaan kerajaan di Madura sirna dilibas penjajahan yang berjalan berabad lamanya. Kekuasaan sekarang berpindah ke pemimpin formal, informal, pemerintahan desa, dan para kiai (Touwen-Bouwsma,1984; Kuntowijoyo, 2002). Para kiai sangat besar pengaruhnya terhadap masyarakat bawah.

Kiai sangat mempengaruhi keputusan yang bersifat sosial, misalnya mendamaikan keluarga yang carok, memberi nama bayi yang baru lahir, atau meminta Kiai untuk memberikan doa selamat pada acara pernikahan atau permulaan tanam. Bahkan, keputusan politik pun diwarnai oleh oleh sikap tersebut. Terbukti pada Pemilu tahun 1971, NU memperoleh 67% suara. Ini menunjukkan bahwa agama Islam bagi orang Madura adalah pokeddhn, pilihan hidup-mati, meskipun tidak dapat disangkal bahwa banyak pula di antara penganut Islam di Madura masih berbau sinkretisme. Kenyataan ini tentu akan memberi warna lokal dan sekaligus menjadi nilai kearifan yang tercermin di dalam karya tulis, khususnya cerita rakyat Madura (Davies dan Dimyati, 2011) seperti ditemui dalam Angling Darma Ambya Madhura dalam paparan berikut.

Kearifan Lokal dalam Angling Darma Amby MadhurDalam Angling Darma Ambya madura didapati kearifan lokal berwarna Islam. Warna lokal seperti tampak dari upaya Raden Sosro Danukusumo (1941) dalam menyelipkan beberapa unsur agama Islam. Tentunya ini sangat dihargai, karena tulisan asli Angling Darma (AD) berorientasi agama Hindu. Penyebutan ad sebagai ambya Madura mendorong kita membuat tafsiran bahwa dalam teks tersebut ada kisah nabi-nabi. Penafsiran itu berdasarkan perkataan ambya yang dalam bahasa Madura berarti cerita nabi-nabi (Asis Safioedin 1977:43).

Selanjutnya, nilai luhur yang biasanya mendapat sorotan dan dihubungkaitkan dengan nilai moral Islam seperti dalam senarai berikut:1. Meskipun Angling Darma seorang raja, tetapi baginda amat taat kepada pandita (guru). Dalam adat Madura, ini dikenal sesanti Bapak, Bubuk, guru, rato yang bermakna kita harus taat dan menghormati ibu/bapa, kemudian kepada guru, baru yang terakhir kepada rajanya (... ban potrana guru. enggi sang maha pendita, Mani 'sutro mela kaemanen, eanggep panjimadan, Bahagian I halaman 3),Jika kata-kata guru dilanggar, malapetaka akan menimpa kita (Reng nerrak larangna guru, maste daraka epanggi, Bahagian II halaman 4).2. Ketika menyaksikan kepelbagaian makhluk dengan tingkah-laku yang sama dengan manusia, Angling Darma senantiasa mengingat Tuhannya yang Mahasuci (... nalekana ngoladin, solana mano' s bannya', semmona ta'bida oreng, emot da' Maha Socce, Bahagian I halaman 14).

3. Persahabatan antara Raja Angling Darma dengan Naga Pertala lebih daripadahubungan antara saudara. Mereka juga saling menjaga persahabatan agar kekal dan abadi. Hubungan itu juga tergambar dalam pepatah Madura, iaitu kenca palotan, kanca taretan yang bermakna sahabat yang baik itu melebihi saudara sendiri (Naga Pertala se esambadin, ganeko pan kenal lebatbecce, ban bula ajanji, lebbi tretan onggu, Bahagian I halaman 21).

4. Raja yang melanggar janjinya akan mendapat hukuman yang berat dari dewa, raja yang tidak kuat memegang janji tidak layak menjadi raja. Suara raja adalah suara Tuhan. (Krana ella terro da' sang Ratih, daddina ta' guggun, monggu rato cedra oca' dibi', kenneng okom laban diba lebbi, seda la epaste dapa' claka 'epon, Bahagian II halaman 17).

5. Sangatlah sukar untuk raja mengakui kesalahannya. Oleh sebab itu, ketika Angling Darrna berbuat salah, sesuailah dengan makna yang tersembunyi di sebalik namanya, dan ia harus menjalani darma. Termasuk di dalamnya ialah ia harus mengakui kesalahan dan selanjutnya meminta ampun kepada Tuhannya (... pan sengko' dibi' ta' enda' da' totor bagus, sang raja Angling Darma lebat ngennes dalem ate, pan atobat sang rato da' ka dibana, Bahagian II halaman 28).

6. Kesedaran bahwa raja boleh juga membuat salah, dan orang salah harus bersedia dihukum telah digambarkan dengan indah ketika burung belibis yang pandai berbicara menolak secara halus ketika ia hendak dilantik menjadi raja. (Nangeng sengko' poma-poma ja' padaddi rato gun dinna ', karan sengko' reya laggi' epaste nyandang sangsara, Bahagian 111 halaman 3),

7. Petunjuk bagi gadis dalam memilih suami ada empat: a) seperti permata, yakni laki-laki jernih warna, indah dan utama budinya, karena pemulia itumahal harganya, b) seperti burung unggulan, bagus bulu dan bunyinya,dan mahal pula harganya, maka akan disukai orang, c) seperti keris, iaitu dibuat daripada bahan yang tinggi mutunya, bagus bentuknya dan indah wujud-rupanya, dan d) seperti wanita utama, terlihat indah dipandang dan halus tingkah laku dan budinya.

8. Untuk melaksanakan Darma (kewajiban utama sebagai manusia mulia), kata Angling Darma kepada Balik Madrim yang memohon untuk diperkenankan mengiringi perjalanan rajanya karena ada banyak cobaan dalam perjalanan nanti. Selain itu, mereka yang berniat melaksanakan darma itu harus kuat memerangi godaan syaitan dan nafsu (...gun jalan pan raja coba, lamon kodu maksa ngereng, kodu kellar merrangenna gudana syetan ban bellis, Bahagian IV halaman 26),9. Tugas makhluk di dunia ternyata berbeda-beda. Orang tua bertanggung-jawabmembentuk perilaku anaknya, agar jangan sampai anak cacat raganya ataupun rusak penampilannya. Saudagar pula bertanggung-jawab memberi perhiasan yang patut. Adalah tidak wajar jika saudagar terlalu banyak mengambil dan menyimpan keuntungan yang diperolehnya. Kedudukan yang paling agung adalah Sang Khalik, pemberi nyawa dan kehidupan, iaitu tuhan seluruh alam yang harus disembah dan dimuliakan.

10. Perilaku wanita terhadap laki-laki: a) Saudara wanita yang lebih tua harus duduk di sebelah kanan saudara laki-lakinya yang lebih muda, sedangkan wanita yang lebih muda di sebelah kiri, b) wanita yang berkedudukan sebagaiisteri harus duduk di ujung kaki, karena isteri tidak boleh berada di tempat lebih tinggi dari laki-laki. Ia juga harus berada di ujung kaki untuk menunjukkan ia siap bersimpuh menyembah suaminya.

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Angling Darma Ambya Madura bukan hanya sekadar cerita perjalanan, atau cerita percintaan seperti disebut Drewes, tetapi juga sebuah teks penuh dengan nasihat dan ajaran tentang kemuliaan budi pekerti. Isi dan amanat yang dikandunginya akan menjadi lebih bermakna di tangan tukang pengkritik dan pentafsir yang berwibawa. Penamaan manuskrip ini sebagai ambya pastinya tidak menyimpang jikalau dilihat di sisi bentuknya sebagai karya seni untuk membentuk rasa, atau dilihat daripada segi fungsinya sebagai penyampai ajaran moral dan akhlak keagamaan.4. PRO-KONTRA ORIENTASI PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN BERBASIS BAHASA DAERAH (JAWA-MADURA)Dalam prespektif keindonesiaan, terdapat dikotomi yang cukup tajam dalam orientasi pembangunan kebudayaan Indonesia. Kubu pertama beranggapan bahwa leluhur kita menyediakan budaya yang lengkap dan sempurna; penerus bangsa tinggal menggalinya untuk kemaslahatan pembangunan bangsa dan negara, termasuk juga memanfaatkan kearifan lokal untuk pembangunan manusia dalam lingkup lokal. Di pihak lain, kubu kedua beranggapan bahwa masa depan adalah dunia yang berbeda. Untuk itu, penerus bangsa berkewajiban mencari dan menemukan ratna mutu manikam yang patut untuk hiasan mereka yang hidup di era yang berbeda. Faruk (1995: 3) menyebut kedua kubu itu dengan sebutan nasionalisme sentripetal untuk kubu pertama dan nasionalisme sentrifugal untuk kubu kedua.Untuk pengembangan tamaddun Madura, ke manakah kita hendak mengembangkannya? Ke barat atau ke timur. Kedua pilihan mengandungi kekuatan dan kelemahan. 4.1 Berorientasi ke Timur Dari analisis terhadap karya sastra seperti dipaparkan sebelum ini tampak bahwa ada tiga cara memanfaatkan kearifan lokal. Pertama, local genious secara sentripetal digunakan sebagai landasan untuk mencari model: seperti apakah bentuk dan isi kebudayaan Indonesia pada masa yang akan datang. Pada tahap ini, bayangan Indonesia baru belum menemukan bentuknya. Kedua, kearifan lokal digunakan sebagai batu loncatan untuk menghasilkan subject-matter, tokoh, latar, peristiwa yang lebih mendarat di bumi Indonesia dan juga berorientasi ke dunia berwawasan global. Akan tetapi para pelaku budaya masih ragu-ragu untuk memilih barat sepenuhnya. Namun mereka sadar, bahwa timur tidaklah dapat mewadahi pikiran mereka sepenuhnya. Ketiga, ketika berada di buminya sendiri yang merdeka, para pelaku budaya mulai menyadari bahwa di lingkungannya sendiri cukup banyak masalah yang dapat diangkat menjadi ide tulisan kreatif dengan kendaraan muatan lokal/warna lokal /local genious. Meskipun demikian, terbersit dalam benak mereka sebuah pertanyaan, Apakah menggosok ratna mutu manikam kearifan lokal itu suatu tindakan yang arif? Ataukah perbuatan itu bagaikan mengangkat batang tenggelam? Marilah kita menyisihkan pikiran yang jernih untuk memberikan pilihan yang mampu mewujudkan budaya Madura dengan penampilan yang menyenangkan siapa saja yang mendekatinya sebagaimana terselip dalam lagu Madura modern Kembhang Malat di bawah ini.Kembhng MalatKembhng Malat potRobna bhghus ngapncot

Ghi bhuru potk dari taman sar

Buna room tor asr

Bannya kembhng s sa

Ta seddh akadhi malat

Mnangka kaator d ajunan gust

S sedd akadhi malat

4.2 Berorientasi ke Barat

Untuk kalangan budayawan, seniman, ilmuwan, yang oleh sebab latar-belakang pendidikannya, berorientasi ke barat, mereka selalu beranggapan bahwa timur itu penuh dengan pikiran yang diwarnai oleh mitos, penuh dengan keanehan, dan selalu mengkhayalkan dunia impian (dream land) atau dunia masa lalu yang damai sentosa. Oleh karena itu, kelompok ini berpendapat bahwa pandangan kaum sentripetal tidak didasarkan pada dunia nyata. Golongan ini secara sentrifugal bergerak keluar; mereka mencari dunia impian yang lebih menjanjikan, yaitu dunia barat. Pandangan yang demikian terdapat dalam The Oxford Companion to American Literature berikut:

"In local-color literature one finds the dual influence of romanticism and realism, since the author frequently looks away from ordinary life to distant lands, strange customs, or exotic scenes, but retains through minute detail a sense of fidelity and accuracy of description. Its weaknesses may include nostalgia or sentimentality" (p. 439).Kubu kedua ini beranggapan bahwa dalam warna lokal tidak ada kearifan di dalamnya. Yang dilihat adalah artefak dan mentafak yang penuh kelemahan, karena di dalam pandangan kubu ini, dalam dunia sentripetal yang ada hanya nostalgia dan perasaan yang penuh sentimental. Dengan kondisi yang demikian, kubu sentrifugal telah memberikan penghakiman bahwa kubu sentripetal tidak mampu memberikan pikiran dan paparan yang tegas dan rinci, dan uraian yang cermat serta seksama. Sikap yang demikian dapat kita lihat dari pandangan Kartini (1985:1), pelopor gerakan pencerdasan kaum wanita, di bawah ini:

... Hati saya menyala-nyala karena semangat yang menggelora akan zaman baru. Ya, bolehlah saya katakan, bahwa dalam hal pikiran dan perasaan saya, saya tidak turut menghayati Zaman Hindia ini, tetapi saya sama sekali hidup sezaman dengan saudara-saudara saya perempuan berkulit putih di barat yang jauh.Kartini dengan tegas menolak sikap dan pandangan hidup saudara-sudaranya yang sama-sama berkulit sawo matang yang menurutnya masih berpendirian terbelakang, terikat oleh masa lampaunya, dininabobokkan oleh keindahan masa lalunya, dikekang oleh mitos dan warna lokal yang menyilaukan pemiliknya.

Dalam pandangan Kartini di atas, warna kulit tentunya bukan menjadi sasaran utama Kartini. Fokus sasarannya adalah sikap dan pikiran yang telah dicapai oleh kaum kulit putih, yaitu cara berpikir maju, berpandangan jauh ke depan. Dengan demikian, memilih barat merupakan solusi bagi ketertinggalan, cara berpikir lokal, dan tindakan yang tidak rasional, melainkan emosional.Cara pandang yang relatif sama dengan Kartini dianut juga oleh Sutan Takdir Alisjahbana (STA). Melalui tokoh Tuti dalam roman Layar Terkembang STA menggambarkan bahwa pendidikan dan pengalaman berorganisasi yang dimilikinya, Tuti tidak canggung berada di depan masyarakatnya. Ia begitu mudah bergaul, keluar masuk desa dan kota tanpa ada rasa canggung. STA menggambarkan bahwa pendidikan dan organisasi mampu membuat keterbelakangan menjadi terkuak lebar bak Layar Terkembang. Namun, Takdir dengan berani menghadapkan Tuti, tokoh protagonis roman itu, pada pilihan yang tidak populer: ia dijauhi oleh laki-laki karena Tuti berperangai tidak seperti wanita pada umumnya di zaman itu. Dengan demikian, Takdir telah sejak awal menyadari bahwa memilih barat pun, dan meninggalkan Timur dengan warna lokal dan kearifan lokalnya, akan meletakkan para pelakunya untuk berani berhadapan dengan konsekuensi apa pun, baik bersifat pribadi atau yang bersifat sosial. 5. MEMANFAATKAN KEARIFAN LOKAL DI DALAM BAHASA DAERAH UNTUK MEMBANGUN KEARIFAN LOKAL JAWA-MADURADalam menghadapi tantangan era industri era IT, terutama untuk menghadapi tantangan zaman menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) masyarakat menaruh harapan besar pada lembaga pendidikan sekolah untuk mengasuh putra-putrinya. Masyarakat beranggapan bahwa sekolah sebagai sebuah komunitas belajar akan menyediakan kesempatan kepada putra-putri mereka untuk mengeksplorasi dan mengelola dunia secara lebih produktif melalui kemahirwacanaan: membaca berbagai bidang pengetahuan, terampil menulis, terampil berkomunikasi lisan, dan peka terhadap perubahan. Orang tua siswa juga berharapkan agar putra-putrinya memiliki pemahaman tentang kehidupan sosial, ketekunan mengembangkan diri, sopan santun, menjadi lebih bermartabat, dan secara pribadi memberikan sumbangan untuk terbentuknya generasi yang memiliki kualitas yang tinggi (Joyce, 1992:1). Pada saat ini, pertumbuhan dan perkembangan siswa selain diarahkan melalui pendidikan sekolah, juga dipengaruhi oleh produk teknologi komunikasi dan informasi. Tayangan televisi, siaran radio, pemberitaan media cetak, dan internet memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengakses berbagai perkembangan informasi yang berlangsung dengan sangat cepat. Era globalisasi memposisikan siswa sebagai bagian dari arus perkembangan teknologi komunikasi informasi yang cenderung meniadakan batas-batas geografis negara dan identitas budaya. Pada saat ini, yang terjadi bukan hanya akulturasi budaya beserta tatanilai yang menyertainya, tetapi sudah merupakan peleburan budaya. Salah satu konsekuensi sulit yang dihadapi oleh siswa ialah seringnya siswa mengalami dilema moral ketika harus membuat keputusan dengan tepat pada situasi kehidupan yang terus berubah. Di sinilah tugas mulia dari lembaga pendidikan: memberdayakan siswa agar mampu mengatasi dilema moral, sehingga, pada gilirannya mereka dapat bertahan dengan nilai moral yang terus-menerus mengalami perubahan. Besarnya tanggung-jawab lembaga pendidikan terhadap pembangunan moral anak bangsa diperlihatkan oleh Departemen Pendidikan Nasional RI melalui terbitnya salah satu kebijakan pendidikan nasional. Melalui Proyek Perluasan dan Peningkatan Mutu SLTP, Depdiknas sejak tahun 2001 telah mengimplementasikan Program Pembangunan Karakter Bangsa. Melalui Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, Depdiknas melakukan upaya sadar untuk memperbaiki, meningkatkan seluruh perilaku yang mencakup adat-istiadat, nilai-nilai, potensi, kemampuan, bakat, pikiran, dan cita-cita bangsa Indonesia, nilai-nilai luhur yang dibangun sebagai prioritas karakter bangsa yakni: iman, takwa, jujur, disiplin, demokrasi, adil, bertanggung jawab, cinta tanah air, mandiri, sehat, kreatif, berilmu/berkeahlian, dan berakhlak mulia (Muhammad, 2003: i).

Mengapa pendidikan nilai dan akhlak mulia itu perlu dilakukan? Semiawan (2000: 4) menjawab pertanyaan itu dengan pernyataan bahwa kekerasan dan benturan-benturan sosial dapat dicegah sejak dini dengan mengedepankan kebersamaan dan pluralitas, prinsip-prinsip toleransi, dan anti terhadap segala bentuk kekerasan. Berdasarkan gagasan tersebut, proses pembelajaran dapat diberdayakan untuk mengembangkan kompetensi nilai moral sebagai fondasi tumbuhnya power of culturing. Hal yang terpenting bagi guru adalah melatih kesadaran, sikap berdisiplin, dan etos ilmiah peserta didik. Fungsi pendidikan tidak bisa lepas dari nilai-nilai yang ditanamkan. Fungsi imperatif itu diharapkan mampu memasuki wilayah budaya, pendidikan, dan ideologi. Pengalaman belajar yang diberikan di lembaga pendidikan diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam pembentukan dirinya menjadi makhluk yang mengedepankan nilai moral, dan kelak, bekal itu akan membawanya menjadi manusia Indonesia berakhlakul karimah.Salah satu kebijakan yang dapat dipilih untuk mewujudkan cita-cita manusia Indonesia yang mengedepankan semangat moral sebagai titik tolak dalam berpikir, bersikap, dan bertindak yakni dengan memberdayakan pembelajaran apresiasi sastra untuk pendidikan nilai moral. Pembelajaran apresiasi sastra untuk pendidikan nilai moral memberikan kesempatan kepada siswa mengonstruksi pengalaman dan pengetahuan baru untuk memahami moralitas kehidupan manusia. Pengalaman belajar apresiasi sastra memberikan pencerahan batin kepada siswa untuk memahami diri sendiri, orang lain, alam semesta, dan Tuhan. Siswa sebagai subjek belajar aktif mencari, memikirkan, merenungkan, menghayati, dan menilai nilai-nilai moral yang diangkat, diolah, didistilasi, dan disublimasikan oleh sastrawan dalam bentuk karya sastra. Pemahaman, penghayatan, dan internalisasi nilai moral dalam karya sastra yang dialami oleh siswa memiliki potensi besar mengantarkan siswa tumbuh menjadi manusia dewasa yang menjunjung tinggi martabat kemanusiaannya. Dengan demikian, siswa akan menjadi individu yang memiliki dan menghargai nilai-nilai moral.

Apresiasi nilai moral dapat menumbuhkan kesadaran bahwa terdapat kewajiban moral (oughtness) pada tiap-tiap keputusan dalam kehidupan, dan pengingkaran terhadap kewajiban tersebut membawa sanksi secara langsung atau tidak langsung. Kesadaran terhadap kewajiban moral ditunjukkan tidak dalam wujud seperangkat pengetahuan tentang hukum atau kaidah moral, melainkan dalam wujud keterampilan berpikir kritis atas setiap keputusan nilai dan sikap moral yang dipilihnya, dan secara konsisten teramati dalam hidup yang nyata. Di sinilah pentingnya pendidikan untuk melakukan hibridasi terhadap kearifan lokal (local wisdom) yang dimiliki masyarakat kita sejak zaman dahulu, sebagai titik tolak untuk mendeskripsikan, mengidentifikasi, menglasifikasi, memilih, dan memutuskan nilai yang perlu dipelajari siswa.

Penggunaan karya sastra berbahasa daerah untuk pendidikan nilai moral selaras dengan Program Pendidikan Karakter bangsa dan standar kompetensi lintas kurikulum. Tujuan Program Pembangunan Karakter Bangsa yakni memfasilitasi kegiatan penanaman nilai moral dan etika, sebagai dasar pembangunan karakter individu melalui program pendidikan. Pelaksanaannya tercermin pada program intrakurikuler, ekstrakurikuler, kerjasama dengan masyarakat, dan penciptaan lingkungan sekolah yang kondusif (Muhammad, 2003:4). Adapun dalam standar kompetensi lintas kurikulum, guru mata pelajaran muatan lokal dapat bekerja sama dengan guru lain, khususnya mata pelajaran Agama, Pendidikan Kewarganegaraan dan Ilmu Pengetahuan Sosial dalam membahas topik-topik yang saling berhubungan. Kerja sama dengan guru ketiga mata pelajaran tersebut diarahkan pada pencapaian standar kompetensi misalnya, siswa memiliki keyakinan, menyadari, serta menjalankan hak dan kewajiban, dan saling menghargai dan memberi rasa aman dalam kehidupan bermasyarakat dengan berbagai budaya dan agama; serta siswa berkreasi dan menghargai karya artistik, budaya, dan intelektual; serta siswa menerapkan nilai-nilai luhur untuk meningkatkan kematangan pribadi menuju masyarakat yang beradab.Tema yang dikembangkan oleh pengarang dalam karya sastra bersifat tak terbatas mencakup berbagai problematika kehidupan manusia seperti kemiskinan, penindasan, kesewenang-wenangan, kelicikan, kerakusan, tanggung jawab, kegigihan menegakkan kebenaran, kejujuran, dan ketulusan cinta menjadi sorotan pengarang dari abad ke abad. Tokoh-tokoh atau peristiwa yang ditampilkan berasal dari berbagai bangsa, kelompok etnis, kelas sosial baik yang tinggal di istana, rumah-rumah penduduk, hingga gubuk-gubuk di pinggir sungai. Tokoh-tokoh atau peristiwa menjadi media ekspresi pengarang untuk menggambarkan nilai yang hidup dan berkembang pada suatu kelompok atau gagasan atas sebuah nilai kehidupan mulia yang ditawarkan oleh pengarang.

Jika pembelajaran apresiasi nilai moral dalam karya sastra memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan, dan meningkatkan pengetahuan, masalah penting yang harus dipikirkan yakni tersedianya pustaka yang kaya dengan kearifan lokal, padat dengan nilai moral yang menarik untuk dibahas di ruang kelas, hangat didiskusikan di perbincangan resmi maupun tidak resmi antara guru dan siswanya, antara cendekiawan dengan masyarakat pecinta seni, antara pengambil keputusan dengan masyarakat awam yang diwakilinya. 6. PENUTUP

Gagasan memanfaatkan pembelajaran Muatan Lokal Bahasa daerah Jawa-Madura yang menekankan pada pengintegrasian pendidikan nilai moral didasarkan pada kenyataan bahwa bahasa dan sastra daerah masih memberi harapan bagi manusia untuk berbicara tentang realitas kehidupan yang hakiki yang meskipun tidak berpijak pada gejala yang tampak, namun penuh makna untuk menyirami jiwa yang gersang. Karya di dalam bahasa daerah mengandung kearifan lokal yang kaya dengan pilihan kemungkinan tentang struktur kehidupan yang kompleks. Dengan demikian, menjadikan pembelajaran muatan lokal bahasa daerah sebagai sumber kearifan lokal memberikan harapan besar, sebab, unsur pembentuk sikap bisa dilacak dari tradisi keagamaan, cerita sastra, nasihat kebijakan (sage), dan pandangan hidup tokoh yang mengalir secara turun-temurun secara historis. Malang, 15 April 2015Malang, 11 April 2015A. Syukur GhazaliJl. Terusan Ambarawa 59 Malang

(0341) 570-317; [email protected] PUSTAKAFaruk, 1995. Perlawanan Tak Kunjung Usai: Sastra, Politik, Dekonstruksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Ghazali, Abdus Syukur. 2001. Naskah Angling Darma Ambya Madura. Dalam Majalah Sari Edisi No. 19, hal 85-107. Universiti Kebangsaan Malaysia. Kuala Lumpur

Gordon, S.P 2004. Professional Development for School Improvement: Empowering Learning Communities. Boston: Pearson Education Inc.

Joyce, B.; Weil, M.; Showers, B. Models of Teaching. Boston: Allyn and Bacon.Kartini. 1985. Surat-surat Kartini. Diterjemahkan oleh Sulastin Soetrisno. Jakarta: Penerbit Jambatan.

Kayam, Umar. Parta Krama. Harian Kompas, 23 Februari 1997.Kuntowijoyo, 2002. Perubahan Sosial dalam masyarakat Agraris Madura 18501940. Jogjakarta: Mata Bangsa.

Lickona, T. 1991. Educating for Character: How Our Schools can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books.Murgatroyd, Stephen dan Morgan, Colin. 1993. Total Quality Management and The School. Buckingham: Open University Press.

Republika Online, Perguruan Tinggi Harus Siap Hadapi MEA,

http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/dunia-kampus/15/01/17/nibq9z-perguruan-tinggi-harus-siap-hadapi-mea

Rusmini, Oka. 2007. Tarian Bumi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.Silins, H.C. 1994. Leadership Characteristics and School Improvement. Australian Journal of Education. 39 (93), 266-281.Sitanggang, Suang. 2010. Hidupkan Tradisi yang Hilang 40 Tahun. Harian Pagi Tribun Jambi, Spirit Baru Negeri Jambe. Senin, 14 Juni 2010.Sudibyo, Bambang. 2006. Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.The University of Iowa Libraries. 2011. Iowa Digital Library adds interactive collection of Madurese folk tales. Iowa: The University of Iowa. October 11, 2011

Touwen-Bouwsma, Elly (1984). "Madurese." In Muslim Peoples: A World Ethnographic Survey, edited by Richard V. Weekes, 458-462. Westport, Connecticut.: Greenwood Press.Malang, 11 April 2015B. Syukur GhazaliJl. Terusan Ambarawa 59 Malang

(0341) 570-317; [email protected]. Dibacakan Sosialisasi Kurikulum, Silabus, dan Buku pendamping Pembelajaran Muatan Lokal Bahasa daerah 2015 di SLB Negeri Pembina Malang, Jl. Cipto VIII/32