LAPORAN PENDAHULUAN
KAJIAN PEMETAAN RENCANA PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PULAU
SUMBAWA
Kerjasama:
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Mataram
Dan
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi NTB
MATARAM
2017
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas perkenanNya laporan pendahuluan
tentang Kajian Pemetaan Rencana Penanggulangan Kemiskinan di Pulau Sumbawa
dapat diselesaikan. Kegiatan ini dilaksanakan atas kerjasama antara lembaga penelitian dan
pengabdian masyarakat (LPPM) Universitas Mataram dan Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah (BAPPEDA) provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk tahun anggaran 2017.
Laporan ini memberikan gambaran umum tentang latar belakang, rumusan masalah,
tujuan, landasan teori serta metode/pendekatan yang akan digunakan dalam melakukan
Kajian Pemetaan Rencana Penanggulangan Kemiskinan di Pulau Sumbawa. Laporan
ini akan menjadi acuan dan pedoman dalam pelaksanaan studi serta dalam penyusunan
laporan akhir nantinya.
Mataram, 08 Mei 2017
Tim Peneliti LPPM
Universitas Mataram
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
DAFTAR TABEL......................................................................................................................4
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................................5
BAB I. PENDAHULUAN.........................................................................................................6
1.1 LATAR BELAKANG......................................................................................................6
1.2 PERMASALAHAN.........................................................................................................7
1.3 MAKSUD DAN TUJUAN...............................................................................................8
1.4 MANFAAT......................................................................................................................8
1.5 SASARAN.......................................................................................................................9
BAB II. KAJIAN TEORITIS/TINJAUAN PUSTAKA..........................................................10
2.1 Definisi Kemiskinan.......................................................................................................10
2.2 Penyebab Kemiskinan....................................................................................................12
2.3 Lingkaran Kemiskinan...................................................................................................14
2.4 Indikator Kemiskinan.....................................................................................................16
2.5 Mengukur Kemiskinan...................................................................................................18
2.6 Kesenjangan Ekonomi....................................................................................................20
2.7 Kesenjangan Non-Ekonomi............................................................................................21
2.8 Pendekatan dalam Penanggulangan Kemiskinan...........................................................21
2.9 Gambaran Umum Pulau Sumbawa................................................................................24
BAB III. METODOLOGI........................................................................................................27
3.1 Waktu dan Lokasi...........................................................................................................27
3.2 Penentuan sampel wilayah.............................................................................................27
3.3 Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data................................................................27
3.4 Analisis Data..................................................................................................................28
3.5 Skema Penelitian............................................................................................................28
3.6..............................................................................................Jadwal Pelaksanaan Kegiatan30
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................31
3
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kabupaten/kota di pulau Sumbawa serta luas wilayah administratif masing-masing....................................................................................................................................25
Tabel 2. Total jumlah penduduk dan angka kemiskinan di lima kabupaten/kota di pulau Sumbawa....................................................................................................................25
Tabel 3. Rincian dan jadwal penelitian...................................................................................30
4
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Siklus kemiskinan dari sisi pendapatan..................................................................14
Gambar 2. Siklus kemiskinan dari sisi tabungan,....................................................................15
Gambar 3. Siklus kemiskinan dari sisi konsumsi.....................................................................16
Gambar 4. Peta Pulau Sumbawa..............................................................................................24
Gambar 5. Skema penelitian....................................................................................................29
5
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Kemiskinan merupakan masalah umum yang dihadapi oleh semua daerah di Indonesia
termasuk Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Secara umum, kemiskinan dapat
didefinisikan sebagai suatu kondisi ketidakmampuan individu atau kelompok masyarakat
dalam memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) seperti rendahnya akses masyarakat terhadap
fasilitas-fasiltias pendidikan, kesehatan dan peluang-peluang ekonomi yang tersedia
(Subianto, 2008).
Menurut Badan Pusat Statistik (2016), angka kemiskinan di Provinsi NTB pada tahun
2015 mencapai 824.450 ribu jiwa, atau sekitar 17% dari total jumlah penduduk Provinsi
NTB. Dari angka tersebut, 214.609 jiwa berdomisili di Pulau Sumbawa, yang tersebar di 5
kabupaten/kota. Berbagai program penanggulangan kemiskinan khususnya di kabupaten/kota
Pulau Sumbawa telah dilaksanakan oleh pemerintah, diantaranya dibidang sosial ekonomi,
kesehatan dan pendidikan. Namun dalam perkembangannya, program-program tersebut
ternyata belum mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam menurunkan tingkat
kemiskinan. Hal tersebut dapat dilihat dari persentase angka kemiskinan yang turun dari
tahun ke tahun sangat kecil, bahkan di beberapa wilayah kabupaten/kota justru meningkat.
Pertanyaan yang mucul kemudian adalah mengapa program-program tersebut belum mampu
mengurangi angka kemiskinan secara signifikan termasuk di daerah kabupaten/kota di pulau
Sumbawa?, Apa bentuk kendala dan jenis permasalahan yang dihadapi?, Apakah pada level
pembuat kebijakan/program, proses pelaksanaan atau proses adaptasi masyarakat yang
lambat?, dan lain-lain. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) selaku lembaga
6
perwakilan pemerintah pusat di daerah memandang perlu dilakukan studi mendalam tentang
bentuk/jenis program penganggulangan kemiskinan di wilayah-wilayah yang angka
kemiskinannya masih tergolong tinggi, sebagai bahan acuan dalam menyusun program-
program ke depan.
Pemetaan rencana program penanggulangan kemiskinan sangat diperlukan untuk
meningkatkan efektifitas setiap program yang dilaksanakan. Output yang diharapkan dari
kegiatan semacam ini, disamping tersedianya informasi-informasi penting yang dapat
digunakan untuk perbaikan sistem dari program-program yang sudah dilaksanakan, juga
muncul rekomendasi-rekomendasi spesifik berbasis sumberdaya daerah. Studi-studi semacam
ini diharapkan mampu meningkatkan peran dan fungsi BAPPEDA Provinsi NTB dalam
membantu kepala-kepala daerah untuk menentukan kebijakan dan melaksanakan program
penanggulangan kemiskinan khususnya di Pulau Sumbawa.
1.2 PERMASALAHAN
Angka kemiskinan di Pulau Sumbawa masih tergolong tinggi, lebih tinggi dari rata-
rata nasional. Program penanggulangan kemiskinan dari pemerintah pusat dengan jumlah
anggaran yang cukup besar masih belum optimal dalam mengurangi angka kemiskinan di
kantong-kantong kemiskinan. Oleh karenanya, kajian hal-hal yang berkaitan dengan aspek-
aspek kemiskinan di daerah bersangkutan sangat diperlukan. Untuk lebih jelasnya, masalah
yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Tingkat kemiskinan di Pulau Sumbawa yang masih cukup tinggi.
b. Program-program penanggulangan kemiskinan yang diluncurkan pemerintah masih
belum mampu mengurangi angka kemiskinan secara signifikan.
7
c. Kurangnya data dan informasi seperti potensi, jenis program, kendala/hambatan yang
berkaitan dengan daerah-daerah terutama daerah dengan angka kemiskinan yang
masih relatif tinggi.
1.3 MAKSUD DAN TUJUAN
Penelitian dimaksudkan untuk mendapatkan informasi tentang program
penanggulangan kemiskinan di kabupaten/kota di Pulau Sumbawa. Dengan maksud tersebut
maka tujuan penelitian adalah berikut:
1. Mengidentifikasi mata pencaharian masyarakat yang tinggal di daerah miskin di Pulau
Sumbawa.
2. Mengidentifikasi bentuk, jenis dan mekanisme intervensi pemerintah beserta mitra
pemerintah (kebijakan dan program/kegiatan) untuk penanggulangan kemiskinan di
Pulau Sumbawa.
3. Mengetahui efektifitas (korelasi) program-program penanggulangan kemiskinan
dengan angka kemiskinan di Pulau Sumbawa.
4. Mengidentifikasi peluang pengembangan usaha dan alternatif usaha lainnnya.
5. Memberikan rekomendasi yang dapat memperbaiki pelaksanaan program yang sudah
berjalan maupun program baru untuk mengakselerasi penanggulangan kemiskinan di
kantung-kantung kemiskinan.
1.4 MANFAAT
Secara teoritis, kajian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kebijakan
penanggulangan kemiskinan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah (pemerintah provinsi
maupun pemerintah kabupaten), swasta serta respon masyarakat miskin khususnya di
kabupaten/kota yang ada di Pulau Sumbawa.
8
Sedangkan manfaat praktis adalah sebagai bahan masukan bagi para pengambil
kebijakan terutama pada level provinsi dan kabupaten/kota bahwa dalam penyusunan dan
pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan.
1.5 SASARAN
1. Tersedianya informasi tentang jenis-jenis mata pencaharian masyarakat miskin di
Pulau Sumbawa.
2. Teridentifikasinya bentuk, jenis dan mekanisme intervensi pemerintah beserta mitra
pemerintah untuk penanggulangan kemiskinan di Pulau Sumbawa.
3. Tersedianya informasi tentang korelasi antara program penanggulangan kemiskinan
dengan tingkat kemiskinan di di Pulau Sumbawa.
4. Teridentifikasinya informasi yang menjadi faktor penghambat dalam pelaksanaan
program penanggulangan kemiskinan di Pulau Sumbawa.
5. Tersedianya informasi tentang jenis-jenis usaha masyarakat miskin yang dapat
dikembangkan ke depan.
6. Tersusunnya daftar rekomendasi untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan
program penanggulangan kemiskinan yang telah dilaksanakan maupun program-
program baru di Pulau Sumbawa.
9
BAB II. KAJIAN TEORITIS/TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Kemiskinan
World Bank (2006) mendefinisikan kemiskinan sebagai bentuk kehilangan
kesejahteraan (depriviation of well being) dari individu atau kelompok masyarakat.
Sedangkan menurut Pattinama (2009), kemiskinan merupakan suatu kondisi rendahnya akses
individu/masyarakat terhadap infrastruktur sosial ekonomi, keluar dari keterisolasian,
ketidakberdayaan, kebebasan mengeluarkan pendapat, serta memperoleh keadilan dalam
pembangunan. Definisi yang lebih spesifik disampaikan oleh BPS (2016), dimana
kemiskinan adalah suatu kondisi ketidakmampuan individu/masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan dasar baik itu kebutuhan makanan dan non-makanan. Kebutuhan makanan
diartikan sebagai kebutuhan minimum kalori perorang perhari, yaitu 2.100 kilokalori
(Suharto dkk, 2002). Sedangkan yang termasuk kebutuhan non-makanan adalah kebutuhan
untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Kemiskinan juga diartikan dari aspek
sosial oleh Sen dalam Bloom dan Canning (2001), sebagai bentuk kekurangan kebebasan
substantif “capability deprivation” yaitu kesempatan dan rasa aman. Mengacu pada definisi
kemiskinan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kemiskinan merupakan masalah
multidimensi kehidupan yang sangat kompleks. Dalam laporan ini, definisi kemiskinan akan
lebih banyak mengacu kepada definisi yang disampaikan oleh BPS karena variabel-variabel
yang digunakan lebih terukur dan jelas.
Kemiskinan menurut Nurkse, 1953 dalam Kuncoro (1997) dapat diklasifikasi ke dalam
4 macam, yaitu:
1. Kemiskinan absolut, yaitu keadaan dimana pendapatan kasar bulanan tidak mencukupi
untuk membeli kebutuhan minimum. Seseorang termasuk ke dalam golongan miskin
10
absolut apabila pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan dan tidak cukup untuk
menentukan kebutuhan dasar hidupnya. Definisi kemiskinan absolut seringkali digunakan
dalam perencanaan program penanggulangan kemiskinan yang ditetapkan oleh
pemerintah karena definisi dan pendekatan tersebut dapat digunakan untuk menilai efek
dari kebijakan anti kemiskinan antar waktu atau perkiraan dampak suatu proyek terhadap
kemiskinan. Pendekatan ini juga merupakan pendekatan yang digunakan oleh Bank
Dunia untuk dapat membandingkan angka kemiskinan antar negara. Bank Dunia
menggunakan pendekatan ini karena memudahkan dalam menentukan kemana dana
bantuan akan disalurkan dan kemajuan yang dicapai suatu negara dapat dianalisis.
2. Kemiskinan relatif, yaitu kemiskinan yang dilihat berdasarkan perbandingan antara suatu
kebutuhan dengan tingkat pendapatan lainnya. Seseorang termasuk golongan miskin relatif
apabila telah dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, tetapi masih jauh lebih rendah
dibandingkan dengan keadaan masyarakat sekitarnya. Berdasarkan konsep ini, garis
kemiskinan akan mengalami perubahan bila tingkat hidup masyarakat berubah sehingga
konsep kemiskinan ini bersifat dinamis atau akan selalu ada.
3. Kemiskinan struktural yaitu kondisi di mana sekelompok orang berada di dalam wilayah
kemiskinan, dan tidak ada peluang bagi mereka untuk keluar dari kemiskinan. Kemiskinan
struktural lebih menuju kepada orang atau sekelompok orang yang tetap miskin atau
menjadi miskin karena struktur masyarakatnya yang timpang, yang tidak menguntungkan
bagi golongan yang lemah.
4. Kemiskinan kultural yaitu budaya yang membuat orang miskin, yang dalam antropologi
kemiskinan sebagai adanya budaya miskin. Seseorang termasuk golongan miskin kultural
apabila sikap orang atau sekelompok masyarakat tersebut tidak mau berusaha
memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang
membantunya atau dengan kata lain seseorang tersebut miskin karena sikapnya sendiri
11
yaitu pemalas dan tidak mau memperbaiki kondisinya. Menurut Mardimin (1996),
kemiskinan kultural terjadi karena budaya masyarakat sendiri yang sudah turun-temurun
membuat mereka menjadi miskin.
2.2 Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan menurut Munkner (2001) disebabkan oleh faktor-faktor dan dimensi-
dimensi yang berbeda. Secara konseptual, penyebab kemiskinan di Indonesia dapat
dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu kemiskinan alamiah, kemiskinan struktural dan
kemiskinan kultural (Chalid, 2006).
1. Kemiskinan alamiah merupakan kemiskinan yang disebabkan faktor alam seperti
sumberdaya yang langka dan akibat perkembangan teknologi yang rendah dan juga
kemiskinan akibat jumlah penduduk yang melaju dengan pesat di tengah-tengah
sumberdaya alam yang tetap. Kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor seperti ini
pada umumnya tidak mempunyai kesenjangan yang terlalu tinggi (Medah. 2013).
2. Kemiskinan struktural atau kemiskinan buatan adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh
kebijakan suatu sistem supra-struktural politik yang membentuk struktur-struktur sosial.
Fenomena di lapang menunjukkan bahwa penduduk miskin tidak dapat menggunakan
sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Misalnya, kebijakan
telah membuat sekelompok masyarakat mendominasi penguasaan sarana ekonomi,
sementara kelompok masyarakat lainnya tidak memiliki kesempatan. Pada kategori ini,
kesenjangan ekonomi masyarakat sangat tinggi antara yang miskin dan yang kaya.
3. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang muncul akibat tuntutan tradisi/adat yang
membebani masyarakat seperti upacara perkawinan, kematian dan pesta adat lainnya, dan
12
juga sikap mentalitas seperti lamban, malas, konsumtif serta kurang berorientasi ke
depan.
Kemiskinan yang terjadi di Indonesia umumnya dapat dikategorikan ke dalam bentuk
kemiskinan struktural atau buatan, karena secara alamiah Indonesia mempunyai cukup
potensi dan sumber daya untuk tidak mengalami kemiskinan. Kemiskinan struktural adalah
kemiskinan akibat dari supra-struktur yang membuat sebagian anggota atau kelompok
masyarakat tertentu mendominasi sarana ekonomi, sosial, politik dan budaya. Struktur ini
menyebabkan tidak adanya pemerataan, tidak berkembangnya kualitas dan daya kreasi rakyat
dalam pelaksanaan pembangunan serta dipinggirkannya peran dan partisipasi masyarakat
dalam setiap pelaksanaan pembangunan yang terindikasi dengan melemahnya tingkat
keswadayaan masyarakat.
Sumber lain mengklasifikasi penyebab kemiskinan menjadi 2 faktor, yakni: faktor
manusia, dan faktor non-manusia.
a. Faktor oleh manusia, meliputi: sikap, pola pikir serta wawasan yang rendah, malas berpikir
dan bekerja, kurang keterampilan, pola hidup yang cendrung konsumtif, sikap
apatis/egois/pesimis, rendah diri, adanya jarak antara kaya dan miskin, belenggu adat dan
kebiasaan, adanya teknologi baru yang hanya menguntungkan kaum tertentu (kaya), adanya
perusakan lingkungan hidup, pendidikan rendah, populasi penduduk yang tinggi,
pemborosan dan kurang menghargai waktu, kurang motivasi mengembangkan prestasi,
kurang kerjasama, pengangguran dan sempitnya lapangan kerja, kesadaran politik dan
hukum, serta tidak dapat memanfaatkan sumber daya alam (SDA) setempat (Manurung
dalam Bulletin YDS, 1993).
b. Faktor non-manusia, meliputi: faktor alam, lahan tidak subur/lahan sempit, keterisolasian
desa, sarana perhubungan tidak ada, kurangnya fasilitas umum, langkanya modal, tidak
13
stabilnya harga hasil bumi, industrialisasi sangat minim, belum terjagkau oleh media
informasi, kurang berfungsinya lembaga-lembaga desa, serta kepemilikan tanah yang kurang
merata (Manurung dalam Bulletin YDS, 1993).
2.3 Lingkaran Kemiskinan
Kemiskinan suatu individu atau kelompok masyarakat dapat dikarenakan individu
atau kelompok masyarakat tersebut berada dalam suatu siklus yang membawa pada kondisi
miskin. Jika dianalisis terdapat tiga siklus kehidupan yang dapat membawa individu atau
kelompok masyarakat pada kondisi miskin. Pertama, yaitu jika siklus dilihat dari sektor
ekonomi yaitu tingkat pendapatan yang rendah. Seseorang yang miskin memiliki pendapatan
rendah dan mengakibatkan si miskin memiliki daya beli yang rendah atas pendidikan dan
informasi. Karenanya, si miskin hanya mendapatkan tingkat pengetahuan rendah dan
berpengaruh pada tingkat produktifitas yang dihasilkannya juga rendah. Sebagai akibatnya,
individu atau kelompok masyarakat tersebut menjadi tetap miskin. Siklus ini akan terus
berputar, sampai ada suatu kondisi yang dapat memotong siklus tersebut sehingga si miskin
dapat berubah tidak menjadi miskin kembali atau setidaknya memiliki tingkat kehidupan
yang lebih baik. Adapun siklus ini dapat diilustrasikan dalam gambar sebagai berikut.
14
Produksi Rendah Pengetahuan Rendah
Daya beli pendidikan dan informasi rendah
Pendapatan RendahMISKIN
Gambar 1. Siklus kemiskinan dari sisi pendapatan.
Kedua, yaitu jika siklus dilihat dari sisi tabungan yang mana individu miskin atau
suatu kelompok masyarakat miskin memiliki tabungan yang rendah. Tabungan yang rendah
menyebakabkan si miskin memiliki modal yang kecil untuk usaha atau melakukan aktifitas
perekonomian. Secara umum modal yang kecil mengakibatkan tingkat produktifitas rendah
sehingga produksi juga rendah. Dikarenakan produksi yang rendah maka pendapatan yang
dihasilkan juga rendah. Sehingga, jadilah individu atau kelompok masyarakat tersebut tetap
miskin. Siklus ini akan terus berputar, sampai dengan ada suatu kondisi yang dapat
memotong siklus tersebut sehingga si miskin dapat berubah atau menuju ke tingkat
kesejahteraan yang lebih baik. Adapun siklus ini dapat diilustrasikan dalam gambar sebagai
berikut:
Gambar 2. Siklus kemiskinan dari sisi tabungan,
Ketiga, yaitu jika siklus dilihat dari sisi konsumsi. Sebagaimana telah diketahui
bahwa pada umumnya individu atau kelompok masyarakat miskin memiliki tingkat konsumsi
yang rendah termasuk juga konsumsi atas papan, sarana dan prasarana yang juga masih
rendah. Dengan tingkat konsumsi yang rendah dapat menyebabkan status gizi juga rendah.
15
Pendapatan Rendah Produktifitas Rendah
Modal Kecil
Tabungan RendahMISKIN
Status gizi yang rendah berakibat pada tingkat kesehatan yang rendah. Hal ini dikarenakan
kesehatan yang baik pada umumnya didukung oleh gizi yang baik pula. Apabila suatu
individu atau kelompok masyarakat yang memiliki tingkat kesehatan yang rendah, maka
kinerja yang dihasilkan juga relatif rendah. Kinerja yang rendah menimbulkan tingkat
produktifitas juga rendah. Tingkat produktifitas yang rendah menyebabkan individu atau
kelompok masyarakat tersebut berada dalam kondisi tetap miskin. Siklus ini akan terus
berputar, sampai ada suatu kondisi yang dapat memotong siklus tersebut sehingga si miskin
dapat berubah atau menuju pada kondisi kesejahteraan yang lebih baik. Adapun siklus
tersebut dapat diilustrasikan dalam gambar sebagai berikut.
Gambar 3. Siklus kemiskinan dari sisi konsumsi.
2.4 Indikator Kemiskinan
Berdasarkan pemutahiran basis data terpadu (PBDT) tahun 2015, TNP2K menetapkankan 20
indikator kemiskinan yang dikelompokkan ke dalam 5 aspek, yaitu: status kesejahteraan (3
indikator), pendidikan (2 indikator), kesehatan (4 indikator), ketenagakerjaan (3 indikator)
dan informasi pokok rumah tangga (8 indikator).
A. Status kesejahteraan
16
Kinerja Rendah Kesehatan Rendah
Status Gizi Rendah
Konsumsi RendahMISKIN
1. Jumlah rumah tangga dan individu, menurut status kesejahteraan
2. Jumlah rumah tangga dengan kepala rumah tangga perempuan menurut kelompok
umur
3. Jumlah individu, menurut kelompok usia dan jenis kelamin
B. Pendidikan
1. Jumlah anak bersekolah, menurut tingkat pendidikan dan jenis kelamin
2. Jumlah anak yang bersekolah dan tidak bersekolah menurut kelompok usia
C. Kesehatan
1. Jumlah rumah tangga menurut penggunaan fasilitas tempat buang air besar
2. Jumlah rumah tangga menurut tempat pembuangan akhir tinja
3. Jumlah individu yang menderita cacat menurut kelompok usia
4. Jumlah individu yang memiliki penyakit kronis menurut kelompok usia
D. Ketenagakerjaan
1. Jumlah individu yang bekerja dan tidak bekerja menurut kelompok usia
2. Jumlah kepala rumah tangga yang bekerja menurut lapangan pekerjaan
3. Jumlah individu usia 18-60 tahun yang bekerja menurut lapangan pekerjaan
E. Informasi pokok rumah tangga
1. Jumlah rumah tangga menurut status penguasaan bangunan tempat tinggal yang
ditempati
2. Jumlah rumah tangga menurut status penguasaan lahan tempat tinggal yang ditempati
3. Jumlah rumah tangga menurut jenis lantai terluas dari tempat tinggal yang ditempati
4. Jumlah rumah tangga menurut jenis dinding dari tempat tinggal yang ditempati
5. Jumlah rumah tangga menurut jenis atap dari tempat tinggal yang ditempati
6. Jumlah rumah tangga menurut air minum
7. Jumlah rumah tangga meurut sumber penerangan utama
17
8. Jumlah rumah tangga menurut bahan bakar/energi utama untuk memasak
Sedangkan BPS tahun 2008 menetapkan 8 indikator untuk menentukan rumah tangga
miskin, yaitu:
1). Luas lantai perkapita,
2) Jenis lantai,
3) Air minum/ketersediaan air,
4) Jenis jamban,
5) Kepemilikan asset,
6) Pendapatan perbulan,
7) Pengeluaran, dan
8) Konsumsi lauk-pauk.
Pendekatan ini lebih sederhana dari pendekatan lainnya namun kelemahannya adalah
cenderung mengabaikan perkembangan standar kebutuhan minimum manusia yang
mengikuti perkembangan dan kemajuan pembangunan maupun teknologi.
2.5 Mengukur Kemiskinan
Kemiskinan umumnya diukur berdasarkan sisi pengeluaran. Jadi penduduk miskin
diidentifikasi sebagai penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di
bawah garis kemiskinan (BPS, 2016). Sedangkan, garis kemiskinan merupakan penjumlahan
dari garis kemikinan makanan dan non-makanan. Garis kemiskinan makanan ditentukan dari
nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilokalori
18
perorang perhari (Suharto dkk, 2002). Sedangkan non-makanan adalah kebutuhan minimum
untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan.
Kemiskinan dapat diukur secara kuantitatif maupun kualitatif. Salah satu indikator
kuantitatif dari kemiskinan antara lain adalah tingkat pendapatan rumah tangga, tingkat
konsumsi rumah tangga, dan sebagainya. Sedangkan indikator kualitatif antara lain adalah
tingkat pendidikan, kondisi rumah yang dihuni, dan sebagainya. Menurut Haughton dan
Khandker (2009), pendekatan kemiskinan secara menyeluruh berfokus pada kapabilitas
individu terhadap fungsinya dalam masyarakat. Secara umum orang miskin kurang memiliki
kapabilitas. Mereka tidak memiliki pendapatan, pendidikan, kesehatan yang cukup atau
kurang memiliki kebebasan politik. Oleh karena itu pengukuran kemiskinan penting untuk
dilakukan. Terdapat empat alasan untuk mengukur kemiskinan (Haughton dan Khandker,
2009): penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu agenda dalam pembangunan; 2)
untuk mengidentifikasi individu atau kelompok masyarakat miskin sehingga target dari
intervensi kebijakan yang pro poor dapat tercapai; 3) untuk melakukan monitor dan evaluasi
atas intervensi kebijakan dalam program pengentasan kemiskinan; dan 4) untuk melakukan
evaluasi atas efektifitas kelembagaan yang menjalankan program pengentasan kemiskinan.
Langkah utama untuk mengukur kemiskinan adalah mendefinisikan sebuah indikator
kesejahteraan seperti pendapatan per kapita atau konsumsi per kapita. Secara prinsipnya
pendapatan adalah konsumsi ditambah dengan perubahan dalam kekayaan suatu individu.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam permanent income hypothesis konsumsi dapat mengukur
pendapatan permanen karena konsumsi suatu individu dipengaruhi oleh pendapatan
permanennya. Oleh karena itu, pengukuran kesejahteraan melalui nilai konsumsinya layak
dilakukan.
Menurut Ravallion (1998), terdapat tiga langkah untuk mengukur kemiskinan.
Pertama, seperti telah dijelaskan sebelumnya yaitu mendefinisikan sebuah indikator
19
kesejahteraan. Kedua, menetapkan standar minimum kehidupan individu, yaitu kebutuhan
minimal seorang individu yang harus dipenuhi, selanjutnya disebut garis kemiskinan. Ketiga
adalah membuat deskripsi data sebagai informasi agregat dari garis kemiskinan suatu
masyarakat yang menjadi kajian.
2.6 Kesenjangan Ekonomi
Dalam analisis tentang perkembangan kemiskinan, hal terkait yang perlu dibahas
adalah kesenjangan ekonomi, yang ditunjukan dengan timpangnya pertumbuhan pengeluaran
antar kelompok masyarakat. Kesenjangan yang terjadi antar sektor yaitu antara pekerja
formal dan informal, antara sektor pertanian dan non-pertanian, serta kesenjangan antara
daerah pedesaan dan perkotaan. Faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya kesenjangan
yaitu: kebijakan yang tidak pro-poor, kurangnya akses terhadap sarana-prasarana pendukung
ekonomi untuk masyarakat menengah ke bawah, berkurangnya kebutuhan tenaga kurang
terampil, pertumbuhan penduduk kelompok ekonomi menengah ke bawah yang relatif tinggi,
tidak adanya peningkatan upah yang signifikan. Dengan demikian diperlukan intervensi
berupa kebijakan pemerintah yang pro-poor, khususnya untuk kelompok masyarakat
menengah ke bawah, yaitu dengan meningkatkan keterampilan, produktivitas, akses terhadap
modal sehingga dapat meningkatkan akses terhadap kegiatan ekonomi produktif.
Perbedaan yang mencolok antara tingkat pendapatan pada sektor pertanian dan non-
pertanian menyebabkan kesenjangan semakin tinggi. Pekerja dengan keahlian yang lebih
tinggi mendapatkan upah relatif jauh lebih besar dibandingkan pekerja biasa. Upah pekerja di
sektor formal relatif lebih tinggi dibandingkan upah pekerja di sektor informal. Pekerja pada
sektor formal lebih banyak terdapat pada pusat-pusat ekonomi terutama di daerah perkotaan.
Penurunan yang cukup tajam atas proporsi tenaga kerja di bidang pertanian juga disebabkan
oleh kualitas SDM yang masih belum siap dan tingginya keahlian yang diperlukan untuk
sektor industri. Sedangkan tingkat pendidikan penduduk miskin atau kelompok 40% ekonomi
20
terbawah yang rendah menyebabkan pekerja miskin menjadi kurang kompetitif untuk
mendapatkan lapangan kerja yang layak (Decent Job).
2.7 Kesenjangan Non-Ekonomi
Dalam pengertian yang lebih luas atas tingkat kemiskinan selain kesenjangan di
bidang ekonomi, kesenjangan juga terjadi di bidang non-ekonomi. Kesenjangan di bidang
non-ekonomi yaitu di bidang pendidikan, kesehatan serta akses terhadap sarana dan
prasarana. Ketimpangan di bidang pendidikan terjadi pada usia kurang lebih 15 tahun dengan
usia yang lebih tua. Jika dibandingkan masih cukup banyak generasi tua yang belum
menamatkan Sekolah Dasar (SD) ataupun Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP).
Sehingga apabila dibandingkan terdapat ketimpangan dari sisi tingkat pendidikan antara
generasi tua dan generasi muda.
Untuk akses di bidang kesehatan, kesenjangan terjadi pada kesehatan ibu dan anak.
Masih terdapatnya anak yang belum memiliki akte lahir membuat terbatasnya akses
penduduk miskin terhadap pendidikan gratis serta jaminan sosial lainnya. Sedangkan
kesenjangan non-ekonomi lainnya yaitu kesenjangan terhadap akses infrastruktur,
penerangan, air bersih, dan sanitasi. Salah satu kunci utama rendahnya pertumbuhan
pendapatan kelompok menengah ke bawah adalah kurangnya akses terhadap pelayanan dasar
sehingga dapat menjadi lebih produktif.
2.8 Pendekatan dalam Penanggulangan Kemiskinan
Pemerintah melalui UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang PROPENAS, menetapkan upaya
penanggulangan kemiskinan sebagai satu dari beberapa prioritas. Sasaran penanggulangan
kemiskinan ini adalah menurunkan jumlah penduduk miskin, meningkatkan asksesibilitas
masyarakat miskin terhadap pelayanan dasar terutama pendidikan, kesehatan dan prasarana
21
dasar termasuk air minum dan sanitasi; mengurangi beban pengeluaran masyarakat miskin
terutama untuk pendidikan dan kesehatan, prasarana dasar khususnya air minum dan sanitasi,
meningkatkan kualitas hidup keluarga miskin; dan meningkatkan pendapatan dan kesempatan
berusaha kelompok masyarakat miskin, termasuk meningkatnya akses masyarakat miskin
terhadap permodalan, bantuan teknis, dan berbagai sarana dan prasarana produksi.
Dalam pengimplementasiannya, Sumodiningrat (1996) mengelompokkan kebijakan
penanggulangan kemiskinan menjadi tiga berdasarkan target/sasarannya, yaitu:
1. Kebijkan yang bersifat tidak langsung, dimana kebijakan diarahkan untuk
memberikan dasar tercapainya suasana yang mendukung kegiatan sosial ekonomi
penduduk miskin. Kebijakan ini lebih diarahkan pada penciptaan kondisi menjamin
kelangsungan setiap upaya peningkatan pemerataan pembangunan dan
penanggulangan kemiskinan, penyedia sarana dan prasarana, penguatan kelembagaan
serta penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang menunjang kegiatan sosial
ekonomi masyarakat.
2. Kebijakan yang bersifat langsung, dimana kebijakan/program mengarah pada
peningkatan kegiatan ekonomi kelompok sasaran. Kebijaksanaan langsung diarahkan
pada peningkatan akses terhadap sarana dan prasarana yang mendukung penyediaan
kebutuhan dasar berupa pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan pendidikan.
3. Kebijakan yang bersifat khusus, dimana program diarahkan untuk menjangkau
masyarakat miskin dan daerah terpencil melalui upaya yang sangat khusus. Kebijakan
khusus diutamakan pada penyiapan penduduk miskin di lokasi yang terpencil untuk
dapat melakukan kegiatan sosial ekonomi sesuai dengan budaya pada masyarakat
setempat.
22
Mustopadidjaja (1988) berpendapat bahwa keberhasilan implementasi kebijakan tergantung
pada 3 unsur penting, yaitu:
1). adanya program atau kebijakan yang dilaksanakan,
2) adanya dukungan dari terget grup atau kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dan
diharapkan akan manerima manfaat dari perubahan, dan
3) unsur pelaksanaan, baik organisasi maupun program yang bertanggung jawab dalam
pengelolaan, pelaksanaan dan pengawasan dari proses implementasi tersebut.
Sementara itu, Ndraha (1997) berpendapat bahwa sikap dan perilaku merupakan salah satu
aspek penting yang mempengaruhi implementasi suatu kebijakan. Sikap adalah
kecenderungan jiwa terhadap sesuatu, sedangkan perilaku adalah operasionalisasi dan
aktualisasi sikap seseorang atau kelompok dalam atau terhadap situasi dan kondisi
lingkungan baik masyarakat, alam, teknologi atau juga organisasi.
Dalam rangka mendekatkan kebijakan publik yang diformulasikan (kebijakan makro) dengan
operasionalisasi program-program di lapangan, diperlukan pendekatan yang holistik dan
terpadu baik kebutuhan program yang berdampak langsung dan berjangka pendek seperti
crash program, peningkatan usaha produktif dan lain sebagainya, maupun berdampak tidak
langsung yang sifatnya berjangka menengah dan panjang seperti penyediaan prasarana dan
sarana untuk memberikan akses terhadap pelayanan pendidikan dan kesehatan, kemudahan
serta menunjang mobilitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat khususnya orang-orang
miskin. Kebijakan dan program bantuan sosial yang merupakan crash program dalam rangka
penanggulangan kemiskinan untuk kelompok rentan perlu diimplementasikan secara baik
khususnya dalam hal kriteria dan indentifikasi kelompok sasaran penerima.
Bidang kesehatan merupakan komponen penting bagi upaya penanggulangan kemiskinan.
Pendekatan program ini apabila akan diteruskan perlu dilakukan secara komprehensif
berbasis keluarga. Dengan pendekatan keluarga maka program pendidikan wajib belajar
23
pendidikan dasar 9 tahun, program peningkatan kesehatan bagi ibu hamil dan anak balita
akan terlaksana dengan baik. Juga kepala keluarga akan memperoleh kemudahan dalam
mengakses sumber-sumber permodalan, termasuk bantuan dana bergulir atau program padat
karya.
Pada akhirnya dampak dari keberhasilan program penanggulangan kemiskinan sangat
tergantung pada kapasitas si miskin sendiri yang tercermin dalam knowledge, attitude dan
practices untuk berjuang keluar dari belenggu kemiskinan. Dalam program kemitraan
Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) maka diharapkan dapat
meningkatkan produktivitas UMKM penerima bantuan dana, meningkatkan keuntungan dan
mengurangi pengangguran.
2.9 Gambaran Umum Pulau Sumbawa
Pulau Sumbawa merupakan salah satu dari dua pulau besar yang masuk ke dalam wilayah
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Total luas Pulau Sumbawa mencapai 15.414,5 km2,
atau sekitar 2/3 luas Provinsi NTB, yang terbagi menjadi 5 kabupaten/kota administratif,
yaitu: Kabupaten Sumbawa Barat, Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Dompu, Kabupaten
Bima dan Kota Bima. Kelima kabupaten/kota tersebut terbagi menjadi 63 kecamatan dan 543
desa/kelurahan. Adapun luas masing-masing wilayah kabupaten/kota administratif tersebut
tertera pada Tabel 1 dibawah ini.
24
Gambar 4. Peta Pulau Sumbawa.
Tabel 1. Kabupaten/kota di Pulau Sumbawa serta luas wilayah administratif masing-masing.
No Kabupaten/Kota Luas (km2) Jumlah
Kecamatan
Jumlah
Desa/Kelurahan
1 Sumbawa Barat 1.849,02 8 65
2 Sumbawa 6.643,98 24 166
3 Dompu 2.324,60 8 81
4 Bima 4.389,40 18 193
5 Kota Bima 207,50 5 38
Total area 15.414,50 63 543Sumber: BPS, 2016
Meskipun luas wilayah Pulau Sumbawa lebih besar dari Lombok, namun jumlah
penduduknya lebih sedikit dari total penduduk yang mendiami Pulau Lombok. Total
penduduk Pulau Sumbawa mencapai 1.441.297 jiwa atau sekitar 30% dari total penduduk
Provinsi NTB (4.835.577 jiwa) (Tabel 2). Dari angka tersebut, sekitar 214.609 jiwa (14.89%)
masih teridentifikasi berada di bawah garis kemiskinan. Angka tersebut masih lebih tinggi
25
Kab. Sumbawa Barat
Kab. Sumbawa
Kab. DompuKab. Bima
Kota Bima
dari rata-rata angka kemiskinan dan nasional yakitu 12%, meskipun sedikit lebih rendah dari
angka kemiskinan rata-rata Provinsi NTB tahun 2015 yakni 17 % (BPS, 2016).
Tabel 2. Total jumlah penduduk dan angka kemiskinan di lima kabupaten/kota di Pulau Sumbawa.
No Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk Th 2015 (jiwa)
Jumlah Penduduk miskin
Jiwa %
1 Kab. Sumbawa Barat 133.391 22.503 16,87
2 Kab. Sumbawa 441.10273.664
16,7
3 Kab. Dompu 238.386 35.996 15,1
4 Kab. Bima 468.682 75.177 16,04
5 Kota Bima 159.736 15.558 9,74
6 Rata-rata 1.441.297 222.898 14,89
Sumber: BPS, 2016
Berdasarkan jumlah jiwa, angka kemiskinan terbesar terdapat di Kabupaten Bima (75.176
jiwa) diikuti oleh Kabupaten Sumbawa, Dompu, Sumbawa Barat dan Kota Bima. Namun
berdasarkan prosentase dari total jumlah penduduknya, Kabupaten Sumbawa Barat
menempati peringkat tertinggi (16.87%) diikuti oleh Kab. Sumbawa, Kab. Bima, Kab.
Dompu, dan Kota Bima pada level 9.74 % (Tabel 2). Angka kemiskinan di Sumbawa secara
umum lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata angka kemiskinan Provinsi NTB.
26
BAB III. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Lokasi
Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan, yang dimulai pada Bulan April sampai
dengan Bulan Mei 2017. Lokasi pengambilan sampel meliputi wilayah administratif
kabupaten/kota Pulau Sumbawa.
3.2 Penentuan sampel wilayah
Penetapan lokasi dilakukan dengan metode purposive sampling dengan mengambil 4
kabupaten/kota berdasarkan jumlah angka kemiskinan (jiwa). Data terbaru dari BPS
menunjukkan bahwa 4 kabupaten/kota dengan angka kemiskinan tertinggi di Pulau Sumbawa
yaitu (1) Kab. Bima, (2) Kab. Dompu, (3) Kab. Sumbawa, dan (4) Kota Bima. Oleh
karenanya, 4 kabupaten/kota tesebut ditetapkan sebagai sampel wilayah. Selanjutnya dari
keempat kabupaten/kota ditetapkan masing-masing satu desa sebagai representasi yaitu Desa
Labuhan Sumbawa di Kab Sumbawa, Desa Tambe di Kabupaten Bima, Desa O’o di Kab
Dompu dan Kelurahan Jatibaru di Kota Bima.
3.3 Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data
Teknik pengumpulan data dan informasi dilakukan melalui wawancara mendalam
(depth interview) (Singarimbun dan Effendi, 1987). Responden adalah pejabat di BAPPEDA
kabupaten/kota selaku koordinator program penanggulangan kemiskinan di daerah. Selain itu
peneliti juga melakukan wawancara dengan kepala desa serta aparatnya selaku pelaksana
paling bawah dalam pengimplementasi program di kantung-kantung kemiskinan. Hal ini
dilakukan untuk mengamati secara langsung obyek penelitian di lapangan.
27
Sumber data ada dua yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari
masyarakat dan pemerintah pada level provinsi atau kabupaten/kota di Pulau Sumbawa
seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA)
dan kantor desa/kelurahan. Sedangkan data primer yang dikumpulkan meliputi mata
pencaharian, indikator-indikator kemiskinan, bentuk-bentuk program pemerintah, serta jenis-
jenis kendala yang dihadapi didalam pelaksanaan dan lain-lain. Adapun data sekunder
diperoleh dari literatur yang saling terkait dengan wilayah riset. Fokus penelitian adalah
kelompok penduduk miskin. Kelompok sasaran ditentukan berdasarkan pengenalan akan
kondisi lapang dan informasi awal yang telah diperoleh dari informan kunci (key informan).
Selanjutnya untuk mendapatkan informasi tentang kondisi nyata di lapang, dilakukan dengan
wawancara.
3.4 Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Data-data seperti
jenis mata pencaharian responden, jenis dan bentuk intervensi (program) yang telah
dilakukan oleh pemerintah, kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program, dan peluang
usaha masyarakat miskin di Pulau Sumbawa dianalisis melalui penafsiran kompilasi data,
dengan menggunakan acuan dari studi literatur dan juga logika verbal sesuai dengan variabel
dengan melakukan pengujian data.
3.5 Skema Penelitian
Penelitian ini dilakukan berdasarkan skema di bawah ini, Gambar 5. Dimulai dari
penggalian informasi tentang program-program penanggulangan kemiskinan (jenis program
dan sasaran) di kabupaten/kota, kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program.
28
Bedasarkan informasi-informasi di atas, dibuat beberapa rekomendasi untuk perbaikan
program yang sudah berjalan maupun menyusun program baru berdasarkan potensi daerah.
Gambar 5. Skema penelitian.
29
Kabupaten/Kota
Program penanggulangan
kemiskinan
Pembiayaan/Anggaran
Jenis Program
Jumlah Sasaran Program
Tercapai Tidak tercapai
Strategi/rekomendasi
3.6. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan
Adapun jadwal kegiatan penelitian tertera pada tabel di bawah ini.
Tabel 3. Rincian dan jadwal penelitian.
No Rincian kegiatan
Minggu ke-Maret April Mei
IV I II III IV I II III IV1 Penyusunan laporan pendahuluan2 Presentasi laporan pendahuluan3 Pengumpulan data
4A. Data sekunder (BAPPEDA kab/kota, kantor
desa)B. Data primer (responden melalui survey)
5 Presentasi laporan akhir6 Penyerahan laporan akhir
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Badan Pusat Statistik. 2016. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka 2012-2016.
Download. ntb.bps.go.id (diakses tanggal 25 Maret 2017).
2. Chalid, P. 2006. Teori dan isu pembangunan. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka.
3. Haughton, J., dan Khandker, S. R. 2009. Handbook on Poverty and Inequality.
Washington, DC: The World Bank. http://doi.org/10.1596/978-0- 8213-7613-3
4. Medah, M. S. 2013. Analisis Beberapa Faktor Penyebab Kemiskinan Petani Di
Kecamatan Kupang Timur–Kabupaten Kupang. PARTNER, 20(2), 144-153.
5. Munkner, Hans H dan Thomas W, 2001. Sektor Informal Sumber Pendapatan Bagi
Kaum Miskin, dalam Menggempur Akar-Akar Kemiskinan (Izzedin Bakhit dkk),
Attacking the Roots of Poverty, Jakarta: Yakoma-PGI.
6. Pabudu. 2005. Metode Penelitian Geografi. Jakarta: Bumi Aksara.
7. Pattinama, M.J., 2009. Pengentasan Kemiskinan dengan Kearifan Lokal (Studi Kasus
Di Pulau Buru-Maluku dan Surade-Jawa Barat). Jurnal Makara Sosial
Humaniora, 13(1), pp.1-12.
8. Singarimbun, M., dan Effendi, S. 1987. Metode Penelitian Survey, Jakarta,
PT. Pustaka LP3ES Indonesia.
9. Subianto, I. 2008. Analisis faktor-faktor yang memperngaruhi tingkat kemiskinan di
kabupaten sidoarjo, Fakultas Ekonomi, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Jawa Timur.
10. Suharto dkk . 2004 Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial: Studi kasus keluarga
miskin di Indonesia, lembaga Studi Pembangunan (LPS) STKS, Bandung, Indonesia.
11. Suharto, E. 2002. “Coping Strategies dan Keberfungsian Sosial: Mengembangkan
Pendekatan Pekerjaan Sosial dalam Mengkaji dan Menangani Kemiskinan." Makalah
31
pada Seminar “Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial: Merancang-Kembangkan
Program Pesswrembangunan Kesejahteraan Sosial yang Bernuansa Pekerjaan
Sosial” Selasa. Vol. 17.
12. Suharto, E. 1998. Human Development Strategy: The Quest for Paradigmatic and
Pragmatic Intervention for the Urban Informal Sector (No. 98/2). working paper.
13. Tim Nasional Percepatan penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). 2015. Peta
Indikator Kemiskinan per kabupaten provinsi Nusa Tenggara Barat.
14. Willis, K. 2011. Theories and practices of development. Taylor & Francis.
15. Word Bank. 2006. Era baru dalam pengentasn kemiskinan di Indonesia. Jakarta.
16. Yacoub, Y. 2013. Pengaruh Tingkat Pengangguran terhadap Tingkat Kemiskinan
Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Barat.
32
Top Related