1
KARAKTERISTIK USAHA GAHARU ALAM
(Aquilaria malaccensis) DI PROVINSI BENGKULU
(Studi Kasus di Kabupaten Bengkulu Selatan, Kabupaten Kaur,
dan Kabupaten Seluma)
DWI MARYANI
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
KARAKTERISTIK USAHA GAHARU ALAM
(Aquilaria malaccensis) DI PROVINSI BENGKULU
(Studi Kasus di Kabupaten Bengkulu Selatan, Kabupaten Kaur,
dan Kabupaten Seluma)
DWI MARYANI
E14062548
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan
Pada Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
3
RINGKASAN
DWI MARYANI. E14062548. Karakteristik Usaha Gaharu Alam (Aquilaria
malaccensis) di Provinsi Bengkulu (Studi Kasus: Kabupaten Bengkulu
Selatan, Kabupaten Kaur dan Kabupetan Seluma). Dibimbing oleh IIN
ICHWANDI.
Hutan merupakan sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk
kesejahteraan masyarakat. Salah satu hasil hutan yang memiliki potensi untuk
dimanfaatkan adalah resin gaharu. Gaharu memiliki nilai jual tinggi dengan
kualifikasi produksi yang terdiri dari kelas gubal, kemedangan dan abu. Masing-
masing produk mengandung oleo resin dan chromone yang menghasilkan aroma
khas, sehingga gaharu banyak digunakan di berbagai industri seperti industri
parfum, kosmetik, obat-obatan dan keperluan ritual agama. Banyaknya kebutuhan
akan gaharu menyebabkan permintaan terhadap gaharu juga meningkat sehingga
proses pencarian gaharu yang juga semakin meningkat, sehingga berdampak pada
populasi gaharu alam yang semakin berkurang. Walaupun populasi gaharu
semakin berkurang, namun proses pengusahaan gaharu masih berlangsung
sehingga perlu dilakukan pengkajian tentang karakteristik usaha gaharu alam saat
ini.
Kegiatan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik usaha
gaharu alam di Provinsi Bengkulu, yang meliputi karakteristik pelaku usaha
gaharu (pencari, pedagang pengumpul kecil dan pedagang pengumpul besar),
proses pencarian gaharu, jenis dan karakteristik kualitas, sistem pemasaran serta
kebijakan dalam pengusahaan gaharu. Adapun metode yang dilakukan yaitu
secara kualitatif dengan mendeskripsikan karakteristik usaha gaharu alam dan
secara kauntitatif dengan menghitung marjin keuntungan.
Terdapat tiga kelompok pelaku usaha gaharu yaitu pencari gaharu, pedagang
pengumpul kecil, dan pedagang pengumpul besar. Kelompok pencari gaharu
melakukan pencarian. Pada proses pencarian membutuhkan pengetahuan,
khususnya mengenai ciri-ciri pohon yang mengandung gaharu. Hasil yang
didapatkan kelompok pencari gaharu selanjutnya dijual ke pedagang pengumpul
melalui saluran tataniaganya. Penjualan gaharu di awali dengan penentuan
kualitas dan penetapan harga. Terdapat tujuh kelas kualitas yang disepakati, kelas
kualitas tersebut sangat menentukan harga. Semakin baik kualitas gaharu maka
harga semakin tinggi dan semakin rendah kualitas gaharu maka harga semakin
rendah. Perbedaan harga dari setiap kualitas gaharu dapat mencapai 3-15 kali lipat
dari setiap peningkatan kelas kualitasnya. Pelaku usaha yang paling berperan
dalam menetapkan harga yaitu pedagang pengumpul besar sehingga marjin harga
tertinggi diperoleh pedagang pengumpul besar yaitu 1,4-2 kali lipat dengan
pendapatan yang diperoleh 28 kali lipat dari pendapatan kelompok pencari gaharu.
Untuk mengatur pemasaranya pemerintah menetapkan kebijakan berupa
penetapan kuota yang berlaku dalam kurun waktu satu tahun, izin yang diberikan
pedagang pengumpul besar berlaku selama lima tahun dan tarif retribusi
ditetapkan berdasarkan kelas gubal Rp. 20.000/kg dan kemedangan sebesar
Rp 20.00/kg.
Kata Kunci: Karakteristik usaha gaharu, kualitas gaharu, pengusahaan gaharu
SUMMARY
Business Characteristics of Natural Agarwood (Aquilaria malaccensis) in
Bengkulu Province (Case Study: South Bengkulu Regency, Kaur Regency,
and seluma Regency). Guided by IIN ICHWANDI.
Forest is a natural resource that can be used for the people walfare. One of
forest product which has potential to be used is resin agarwood. Gaharu has high
sold price with production qualification that consist of gubal, kemedangan and
ash. Each of product containsOleo Chromone which are produce unique aroma, so
that it often used in many industries such as parfum industry, cosmetic industry
and religion ritual need. High demand of agarwood cause the demand of it
increase more, so that influence to the decrease more, but the agarwood exertion
process still do so that it is important to do investigation of natural agarwood
characteristics nowdays.
This Research aims to know the characteristic of the natural agarwood
exertion in Bengkulu Province, that consist of the characteristic of
agarwoodenterprenuer (finder small, collector seller and big collector seller), the
process of agarwood exertion, kinds and quality characteristic, marketing system
and also policy in agarwood exertion. The methodology of this research is
qualitative by describing the characteristic of natural agarwood exertion and
quantitative by counting the margin of profit.
There are three groups of gaharuenterprenuer namely: agarwood finder,
small collector and big collector. The group of agarwood finders do the gaharu
exertion. On the process of agarwood exertion need the specific skill about the
characteristic of tree that contain agarwood. The products then sell to collector
seller of agarwoodthrough its selling channel. The selling of agarwood begun by
determining the condition and price, where there are seven agreed quality. This
quality class is so determining the price, better quality of agarwood higher the
price and lower quality of agarwood lower the price. The differences of price from
each quality of agarwood can reach 3-15 times from the increasing each quality.
Enterprenuer have role in determining namely big collector seller so that margin
of highest price gotten by them is 1,4-2 multiple times with their income that they
gottetn 28 times from income of agarwood finders group.
In order to manage marketing of agarwood, government determines policy
in the form of quota in a year, the license that is given to big collector seller in 5
year and the rate of dues determined based on gubal class Rp 20.000,-/kg and
kemedanganRp 2.000,-/kg.
Keyword: business characteristic of agarwood, quality agarwood, agarwood
cultivation.
5
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Karakteristik
Usaha Gaharu Alam (Aquilaria malaccensis) di Provinsi Bengkulu (Studi Kasus:
Kabupaten Bengkulu Selatan, Kabupaten Kaur dan Seluma). adalah benar-benar
hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah
digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2011
Dwi Maryani
E14062548
Judul : Karakteristik Usaha Gaharu Alam (Aquilaria malaccensis) di Provinsi
Bengkulu (Studi Kasus: Kabupaten Bengkulu Selatan, Kabupaten Kaur
dan Kabupaten Seluma)
Nama : Dwi Maryani
NRP : E14062548
Menyetujui
Dosen Pembimbing
(Dr. Ir. Iin Ichwandi, MSc. F. Trop)
NIP. 119641217 199002 1 001
Mengetahui
Ketua Departemen Manajemen Hutan
Fakultas Kehutanan IPB
(Dr. Ir. Didik Suharjito, MS)
NIP. 19630401 199403 1 001
Tanggal Lulus:
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan segala rahmat dan anugerah-Nya kepada penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan penyusunan karya ilmiah yang berjudul Karakteristik
Usaha Gaharu Alam (Aquilaria malaccensis) di Provinsi Bengkulu (Studi
Kasus: Kabupaten Bengkulu Selatan, Kabupaten Kaur dan Kabupaten
Seluma).
Penulis menyadari dalam menyelesaikan karya ilmiah ini tidak terlepas
dari bantuan moral maupun material dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini penulis ucapkan terimakasih kepada:
1. Kedua orang tua tercinta, kakak-kakakku, dan kembaranku terimakasih atas
doa, dukungan serta kasih sayang yang selalu diberikan. Semoga karya ini
dapat menjadi bukti kasih sayangku terutama untuk Ibu dan Ayah.
3. Bapak Dr. Ir. Iin Ichwandi, MSc. F. Trop selaku dosen pembimbing skripsi
yang telah memberikan bimbingan, arahan, waktu, dan kesabaran kepada
penulis selama penyusunan skripsi ini.
4. Dosen dan Staf Departemen Manajem Hutan. Terimakasih atas semua ilmu
pengetahuan dan bantuan yang diberikan kepada penulis.
5. Bapak Taher selaku pedagang pengumpul besar gaharu, Bapak Sarkawi selaku
pedagang pengumpul kecil, Bapak Jefri dan semua staf BKSDA Provinsi
Bengkulu, dan seluruh pelaku usaha gaharu yang telah memberikan izin,
informasi dan bantuan kepada penulis selama melakukan penelitian.
6. Sahabat-sahabat seperjuangan Sofi, Muti, Iyis, Suke, Linda Z, Linda S, Copek
dan semua teman-teman MNH 43. Terimakasih atas kebersamaan selama ini
dan rasa persahabatan yang telah kalian berikan selama ini.
7. Dang Riswan, Emil, Febri, dan Ita terima kasih atas dukungan, semngat, dan
motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Teman-teman satu bimbingan skripsi Aida dan Kiki terimakasih untuk
masukan, semangat, dukungan, dan doa dalam menyusun skripsi ini.
9. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu terimakasih atas
bantuannya.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bengkulu Selatan pada tanggal 2 Maret 1988 sebagai
anak ke empat dari empat bersaudara pasangan Bapak Baksin dan Ibu Ristahayati.
Penulis memulai pendidikan dasar di SD Negeri 17 Manna dari tahun 1994
sampai tahun 2000. Pada tahun 2000 penulis melanjutkan pendidikan di SLTP
Negeri 2 Kota Manna pada tahun 2000 sampai pada tahun 2003. Pada tahun yang
sama penulis melanjutkan pendidikannya di SLTA Negeri 4 Kota Manna pada
tahun 2003 sampai 2006. Pada tahun ini juga penulis melanjutkan pendidikan di
Intitut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan
masuk ke Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan.
Selama menjadi mahasiswa di IPB penulis aktif di organisasi Forest
Management Student Club (FMSC) staf kelompok DAS pada tahun 2007-2008.
Penulis juga tergabung dalam organisasi Ikatan Mahasiswa Bumi Raflesia
(IMBR). Kegiatan praktek yang diikuti penulis diantaranya Praktek Pengolahan
Ekosistem Hutan (P2EH) di Kamojang dan Sancang Jawa Barat. Praktek
Pengelohan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sekabumi Jawa
Barat. Praktek Kerja Lapang (PKL) di KPH Parengan Perum Perhutani Unit II
Jawa Timur.
Untuk menyelesaikan pendidikan dan sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Kehutanan Intitut Pertanian Bogor,
Penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul Karakteristik
Usaha Gaharu Alam (Aquilaria malaccensis) di Provinsi Bengkulu (Studi Kasus
di Kabupaten Bengkulu Selatan, Kaur, dan Seluma) dibawah bimbingan Dr. Ir. Iin
Ichwandi, MSc.F.Trof
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hutan merupakan sumber daya alam yang merupakan aset multiguna yang
dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat. Hasil hutan yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat ada dua yaitu, Hasil Hutan Kayu (HHK) dan Hasil
Hutan Bukan Kayu (HHBK). Hasil hutan kayu di antaranya kayu, veneer, pulp.
Hasil hutan bukan kayu merupakan hasil hutan hayati maupun nonhayati selain
kayu di antaranya adalah getah-getahan, resin, minyak hasil sulingan, kulit pohon,
buah, biji, lebah madu, damar, dan lain-lain. Adapun HHBK yang dimanfaatkan
dan memiliki potensi untuk dimanfaatkan oleh masyarakat, dapat dibedakan
menjadi beberapa bagian, salah satunya adalah resin gaharu (Sumadiwangsa &
Harbagung 2000).
Gaharu merupakan salah satu produk hasil hutan yang bernilai jual tinggi
dalam bentuk gumpalan, cacahan, serpihan atau bubuk yang memiliki kualifikasi
produksi yang terdiri dari kelas gubal, kemedangan dan bubuk atau abu. Masing-
masing produk di dalamnya terkandung oleo resin dan chromone yang
menghasilkan aroma khas. Dengan aroma khas yang sangat populer dan disukai di
berbagai negara menyebabkan gaharu banyak digunakan sebagai bahan baku
industri seperti industri parfum, kosmetik, obat-obatan, dan untuk keperluan
ritual agama.
Banyaknya kebutuhan gaharu pada berbagai industri menyebabkan
permintaan terhadap gaharu semakin meningkat. Meningkatnya permintaan
terhadap gaharu tidak hanya pada pasar dalam negeri tetapi juga pada pasar
internasional. Salah satu negara dengan permintaan gaharu yang sangat tinggi
adalah negara Cina dengan permintaan 500 ton/tahun (ASGARIN 2002).
Permintaan gaharu dari Cina menunjukkan bahwa kebutuhan ekspor
gaharu cukup tinggi. Tingginya permintaan gaharu dengan kondisi sumberdaya
alam yang sangat terbatas menyebabkan proses pencarian gaharu alam di
Indonesia semakin intensif dan tak terkendali padahal tidak semua pohon
penghasil gaharu mengandung gaharu. Sejauh ini para pencari gaharu dengan
2
pengetahuan yang sangat minim melakukan penebangan pohon penghasil gaharu
secara sembarangan tanpa diikuti dengan upaya pelestarian dan budidaya,
sehingga mengakibatkan populasi gaharu alam semakin berkurang dan menuju
kepunahan.
Melihat kondisi pohon penghasil gaharu yang semakin langka, maka
Convention on International Trade of Endangered Species (CITES) pada
konferensi ke IX di Florida, Amerika Serikat pada tahun 1994 memasukan
Aquilaria malaccensis dan Aquilaria filarial ke dalam Appendix II sebagai
tumbuhan yang terancam punah sehingga dalam pemungutannya harus
dikendalikan dan ekspornya dibatasi kuota. Adapun legalitas CITES di Indonesia
dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
(Ditjen PHKA) Departemen Kehutanan.
Pembatasan ekspor dengan kuota merupakan salah satu kebijakan
pemerintah dalam perdagangan ekspor-impor. Berdasarkan data Ditjen PHKA
tahun 2010 menetapkan kuota ekspor gaharu untuk jenis A. malaccensis yaitu
146,125 ton/tahun, sedangkan untuk jenis A. filarial sebesar 427 ton/tahun. Untuk
memenuhi kuota yang telah ditetapkan banyak perkebunan yang telah
membudidayakan gaharu. Budidaya ini dilakukan karena gaharu alam yang terus
menyusut. Selama ini gaharu untuk kebutuhan ekspor berasal dari beberapa
sentra produksi gaharu yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia seperti
Kalimantan Barat, Papua, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Timur, Jambi,
Bengkulu, Maluku, Mataram, Lombok, Riau, Jawa Barat dan beberapa daerah
lainnya.
Hasil survey yang dilakukan Asosiasi Pengusaha Eksportir Gaharu
Indonesia (ASGARIN 2002) menunjukan bahwa persediaan gaharu alam di
Sumatera tersisa 26%, Kalimantan 27%, Nusa Tenggara 5%, Sulawesi 4%,
Maluku 6%, dan Papua 37%. Data tersebut menujukan bahwa Sumatera masih
memiliki potensi dalam urutan ke tiga di Indonesia setelah Kalimantan dan Papua.
Salah satu sentra produksi gaharu di Sumatera yaitu Bengkulu.
Bengkulu memiliki potensi dalam pengusahaan gaharu. Pengusahaan yang
telah dilakukan oleh pencari gaharu di Bengkulu adalah pengusahaan dari gaharu
alam dan gaharu budidaya yaitu jenis A. malaccensis. Namun, selama ini
3
pengumpulan gaharu di Provinsi Bengkulu masih dilakukan secara tradisional dan
masih bertumpu pada potensinya di hutan alam. Total produksi gaharu rata-rata di
Provinsi Bengkulu pada tahun 2010 adalah 3,15 ton/tahun. Data produksi gaharu
yang dihasilkan oleh pencari gaharu di Bengkulu sebanyak 3 ton/ tahun kelas
kemedangan dan 150 kg/tahun kelas gubal yang berasal dari gaharu alam.
Sedangkan kuota yang ditetapkan untuk Provinsi Bengkulu dalam pemenuhan
ekspor gaharu Indonesia sebanyak 2 ton/tahun artinya Bengkulu dapat
memberikan kontribusi sebesar 1,37% dalam memenuhi kuota gaharu yang
ditetapkan untuk Indonesia, sehingga dapat dikatakan bahwa Bengkulu masih
memiliki potensi untuk memproduksi Gaharu terutama gaharu alam (Taher 5 Mei
2010, komunikasi pribadi).
Walaupun Bengkulu masih memiliki potensi untuk memproduksi gaharu
alam, namun secara umum dapat dikatakan bahwa produksi gaharu alam bersifat
fluktuatif dan tidak menentu. Permasalahan utama yang dihadapi dalam
pemanfaatan gaharu alam adalah informasi tentang pengusahaan gaharu alam
masih sangat terbatas terutama cara pengelolaan dalam pengusahaan gaharu alam
yang dilihat dari proses pencarian gaharu, penentuan kualitas gaharu yang masih
sangat beragam, sistem pemasaran gaharu dan kebijakan-kebijakan. Oleh karena
itu, kajian tentang karakteristik usaha gaharu alam sangat diperlukan sebagai
bahan masukan dan pertimbangan bagi pengambil kebijakan yang berkaitan
dengan pengusahaan gaharu alam di daerah dan pusat.
1.2 Perumasan Masalah
Pohon karas (A. malaccensis) merupakan salah satu pohon penghasil gaharu
yang memiliki mutu yang sangat baik dan memiliki harga jual yang paling tinggi
dibandingan dengan gaharu yang dihasilkan dari jenis tumbuhan penghasil gaharu
lainnya. Dengan harga yang tinggi inilah menyebabkan gaharu jenis
A. malaccensis banyak dicari oleh para pelaku usaha gaharu mulai dari kelompok
pencari hingga eksportir.
Meningkatnya pencarian dan pemungutan gaharu tersebut mengakibatkan
banyak pohon karas yang ditebang karena tidak jarang juga kelompok pencari
gaharu melakukan penebangan secara asal-asalan sehingga menebang pohon karas
yang tidak mengandung gaharu. Selain itu juga penebangan pohon karas yang
4
tidak diimbangi dengan pembudidayaan menyebabkan populasi pohon karas
tersebut semakin berkurang dan mengalami kepunahan. Berkaitan dengan hal
tersebut maka CITES pada konferensinya ke IX di Florida tahun 1994 memasukan
gaharu jenis A. malaccensis dalam kategori Apendix II sehingga pengusahaan
gaharu alam jenis ini perlu mendapatkan perhatian yang khusus.
Perhatian dalam penelitian ini dipusatkan pada pengusahaan gaharu alam
dirumuskan dalam suatu perumusan masalah mengenai karakteristik pengusahaan
gaharu alam yang meliputi karakteristik pelaku usaha gaharu (pencari, pedagang
pengumpul kecil, dan pedagang pengumpul besar), proses pencarian gaharu,
kualitas gaharu, sistem pengusahaan gaharu, dan kebijakan-kebijakan dalam
pengusahaan gaharu tersebut.
1.3 Tujuan Penelitian
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan berdasarkan beberapa tujuan yang
ingin dicapai, antara lain sebagai berikut :
1. Mengetahui karakteristik pelaku usaha gaharu alam (pencari, pedagang
pengumpul kecil, dan pedagang pengumpul besar) di Provinsi Bengkulu
2. Mengetahui proses pencarian gaharu alam di Provonsi Bengkulu
3. Mengetahui kualitas gaharu yang terdapat di Provinsi Bengkulu
4. Mengetahui sistem tataniaga dalam usaha gaharu
5. Mengetahui kebijakan-kebijakan dalam usaha gaharu alam
1. 4 Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini adalah :
1. Bagi peneliti adalah untuk melatih kemampuan meneliti dan menganalisis
suatu masalah
2. Sebagai bahan informasi bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui
karakteristik pengusahaan gaharu alam di Provinsi Bengkulu.
3. Dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para pelaku usaha gaharu dalam
memperbaiki sistem perdagangan gaharu di Provinsi Bengkulu.
5
1. 5 Batasan Masalah
Mengingat begitu luasnya ruang lingkup pada penelitian ini, maka peneliti
membatasi permasalahan tersebut pada :
1. Saluran tataniaga adalah saluran yang digunakan oleh lembaga tataniaga
untuk menyalurkan gaharu dari pencari gaharu ke eksportir gaharu.
2. Lembaga tataniaga adalah lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi-
fungsi tataniaga mulai dari pencari gaharu, lembaga perantara sampai ke
eksportir.
3. Penetapan harga jual gaharu adalah proses pembentukan dan unsur-unsur
yang mempengaruhi pembentukan harga gaharu.
4. Marjin tataniaga adalah selisih harga disuatu lembaga pemasaran dengan
harga di titik rantai pemasaran lainya.
5. Perilaku pasar adalah polah tingkah laku dari lembaga-lembaga pemasaran
dalam struktur pasar tertentu yang meliputi kegiatan penjualan, pembelian,
penentuan harga dan kerjasama antar lembaga pemasaran.
6. Anak kapak (pencari gaharu) adalah sebutan orang/kelompok yang
melakukan pencarian gaharu dan melakukan penjualan gaharu di Provinsi
Bengkulu.
7. Pedagang Pengumpul kecil (Tengkulak) adalah pedagang yang melakukan
pembelian dari pencari, mengumpulkan dan menjualnya ke pengumpul besar.
8. Pedagang Pengumpul besar adalah pedagang yang melakukan pembelian dari
pengumpul kecil dan pencari, mengumpulkanya dan menjualnya ke eksportir.
9. Eksportir adalah pedagang yang melakukan penjualan gaharu ke luar negeri.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gambaran Umum Gaharu
Kata gaharu berasal dari bahasa Melayu yang artinya harum, ada juga yang
mengatakan bahwa kata gaharu berasal dari bahasa Sansekerta arguru yang berarti
kayu berat (dapat tenggelam). Gaharu merupakan hasil dari jenis kayu tertentu
yang terdapat dalam hutan. Dengan kata lain gaharu atau gubal (juga sering
disebut sebagai aloeswood, englewood, agarwood) yang merupakan substein
aromatik berupa gumpalan dan padatan berwarna coklat muda sampai coklat
kehitaman yang terbentuk pada lapisan dalam dari kayu tertentu (Susilo 2003).
Pohon penghasil gaharu mencapai tinggi sampai 40 m dan diameter lebih
dari 60 cm, dengan ciri batang yang lurus, bulat tidak berbanir, kulit batang halus,
coklat keputih-putihan. Tajuknya bulat, lebat dengan percabangan yang
horizontal. Daunnya tunggal, berseling, tebal, berbentuk jorong sampai jorong
lanset. Permukaan bawah daunnya kadang-kadang berbulu halus, perbungaan
berbentuk payung, bercabang, tumbuh pada ketiak daun, bunganya kecil berwarna
hijau atau kuning kotor. Jenis ini tersebar dari India, Birma dan Malaysia
(Semenanjung Malaya, Filipina, Sumatera sampai Kalimantan bagian Timur dan
Utara, dan Papua). Tempat tumbuhnya adalah hutan primer tanah rendah, dengan
ketinggian sampai kira-kira 300 m dpl (LIPI 1980).
Gaharu merupakan bagian dari kayu atau akar dari jenis tumbuhan tertentu
yang telah mengalami proses perubahan kimia dan fisika akibat terinfeksi oleh
sejenis jamur. Oleh karena pembentukannya hanya terjadi jika terkena infeksi
jamur, maka tidak semua jenis penghasil gaharu mengandung gaharu (Nassendi &
Masud 1996). Pohon yang mengandung gaharu adalah pohon yang sudah
terinfeksi jamur, yang memiliki ciri pohon yang mati, daun menguning, ranting
bengkak berbintik-bintik sepanjang batang dan cabang, serta ditandai kulit yang
sangat kering. (Barden et al. 2009).
Tanaman gaharu termasuk tanaman hutan yang menghasilkan gubal bernilai
ekonomi tinggi. Penghasil gaharu dikenal dari genus Aquilaria, Aetoxylon,
Enskleia, Gonystylus, Wikstroemia, Girynops, Dalbergia dan Exoccaria. Sampai
7
saat ini dikenal 16 jenis pohon penghasil gaharu. Beberapa di antaranya yang
dikenal di Indonesia adalah: A. malaccensis (karas), A. hirta (gaharu),
A. microcorpa, A. beccariana, A. filarial, A. cumingiani, Enklea malaccensis,
Gonystylus bancanus (kayu ramin), G. macrophyllus, W. androsalmifolia,
Gyrinops verstegii, G cumingiani. Di samping terdapat beberapa jenis tanaman
gaharu yang berpotensi sebagai penghasil gaharu ada juga gaharu yang belum
banyak dikenal masyarakat yaitu: Aetoxylon sympetalum, W. polyantha dan W.
tenuiramis.
Secara alami gaharu terbentuk akibat serangan jamur yang masuk ke dalam
kayu melalui bagian-bagian batang yang rusak atau dahan-dahan yang rusak.
Proses pembentukan gaharu pada pohon biasanya ditandai oleh terbentuknya
garis-garis sejajar sumbu batang, berwarna merah sampai coklat sampai kehitam-
hitaman pada jaringan batang. Selain itu, upaya pembentukkan gaharu biasa
dilakukan secara buatan. Salah satunya teknologi yang digunakan untuk
mempercepat terbentuknya gaharu adalah dengan inokulasi cendawan pembentuk
gaharu (Siran & Nina 2004).
Nakanishi dan Ishihara (1991) dalam Susilo (2003) mengatakan bahwa ada
beberapa macam zat penting yang terkandung dalam gubal gaharu adalah
(-Agarofuran, Nor-ketoagarofuran, (-)-10-Epi-y-eudesmol, Agarospirol, Jinkohol
eremol, Kusunol, Dihydrokaranone, Jinkohol II, serta Oxo agarospirol), selain zat
penting tersebut juga terdapat senyawa yang penting di dalam gaharu. Terdapat
lebih kurang 17 macam senyawa, antara lain noroxoagarofuran, agarospirol, 3,4-
dihydroxy-dihydroagarufuran, p-methoxy-benzylacetone dan aquillochin (Susilo
2003).
Menurut Mandang dan Bambang (2002), gaharu dari jenis A. malaccensis,
G. verteeghii, A. sympetalum, G. bancanus dan G. macrophylus, mempunyai
persamaan ciri jari-jari dan pembulu: kelima jenis kayu gaharu ini sama-sama
mempunyai serat dengan noktah halaman yang tegas pada bidang radial dan
cenderung 2 baris; jari-jari umumnya satu seri, serta noktah antar pembuluh
berukuran kecil, 4-7 mikron.
Masih banyak permasalahan yang dihadapi mulai dari pelestarian jenis, cara
pemungutan dan cara penentuan kualitas. Terutama masalah cara pemungutan
8
gaharu hingga saat ini masih dilakukan dengan cara cincang yaitu dengan
mencincang bagian pohon yang diduga mengandung gaharu. Cara ini memerlukan
banyak tenaga, waktu dan biaya. Dilain pihak hasil yang didapat terkadang tidak
sesuai dengan apa yang telah dilakukan dan bahkan tidak ditemukan gaharu pada
pohon tersebut, sehingga menyebabkan punahnya jenis tumbuhan penghasil
gaharu tersebut (Yusliansyah 1997).
2.2 Sistem Perdagangan Gaharu
Perdagangan gaharu di Indonesia telah dimulai sejak abad ke-5, dimana
Cina merupakan pembeli terbesar. Namun demikian, perdagangan gaharu mulai
marak pada abad ke-15 ketika hubungan Cina dan Kalimantan Bagian Utara
terjalin dengan baik. Pada masa pemerintahan Belanda dari abad ke-18 sampai
permulaan abad ke-19 juga terus berlangsung hingga sekarang. Perdagangannya
dilakukan secara tradisional oleh penduduk lokal yang bertempat tinggal di sekitar
kawasan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (Soehartono &
Mardiastuti 2003).
Adapun negara-negara yang terlibat dalam perdagangan gaharu adalah
Vietnam, Indonesia dan Malaysia. Menurut laporan CITES, yang menjadi
pengekspor terbesar di dalam perdagangan gaharu internasional adalah negara
Indonesia dengan total ekspor 900 ton pada tahun 1995-1997. Kemudian disusul
dari Semenanjung Malaysia dengan total ekspor di atas 340 ton dari jenis
Aquilaria malaccensis. Vietnam juga merupakan sumber dari perdagangan
gaharu. Dari data impor menujukan bahwa Taiwan merupakan konsumer gaharu
dari Vietnam dengan total impor di atas 500 ton pada tahun 1993-1998 (Barden
et al. 2009).
Selama ini gaharu yang diperdagangkan berasal dari gaharu alam,
permintaan gaharu yang semakin meningkat menyebabkan harga gaharu semakin
tinggi. Tingginya harga gaharu menyebabkan perburuan gaharu semakin
meningkat di Indonesia, padahal tidak semua pohon gaharu menghasilkan gubal
gaharu. Para pemburu dengan pengetahuan yang sangat minim melakukan
penebangan secara sembarangan tanpa diiringi upaya budidaya, akibatnya
populasi gaharu semakin menurun.
9
Populasi gaharu yang semakin menurun menyebabkan CITES pada
konferensinya yang ke IX memasukan gaharu kedalam Appendix II. Salah satu
spesies penghasil Gaharu yang masuk dalam daftar Appendix II adalah Aquilaria
malaccencis. Karena Aquilaria malaccencis dianggap langkah dan terancam
punah maka CITES mengeluarkan peraturan perizinan bahwa semua eksportir
gaharu diwajibkan memiliki surat ijin CITES (Keong 2006). Surat ijin CITES ini
sesuai dengan Keputusan Presiden No.43 tahun 1978, Surat Ijin Usaha
Perdagangan (SIUP) atau Surat Ijin Usaha (SIU) dari departemen teknis dan
mengikuti ketentuan-ketentuan umum dalam dunia perdangan lainnya (Susilo
2003).
Adapun legalitas CITES di Indonesia dikeluarkan oleh Direktorat Jendral
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan.
Sedangkan perizinanan perdagangan komoditi gaharu di Indonesia diatur dalam
Keputusan Menteri Kehutanan 447/KPTS-II/2003. Dimana izin pengumpulan atau
pemungutan gaharu disetujui dan ditandatangani oleh Gubernur setelah
mendapatkan pertimbangan dari:
1. Rekomendasi kuota dari BKSDA setempat.
2. Rekomendasi dari Bupati atau Walikota setempat.
3. Rekomendasi teknis dari Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/ Kota setempat.
Prosedur perizinan gaharu tidak jauh berbeda dengan prosedur perizinan
pengusahaan HHBK (non gaharu) hanya saja dalam perizinan gaharu ada
penambahan persyaratan yaitu pengajuan proposal atau rencana kerja
pengusahaan HHBK (Nurapriyanto et al. 2009).
Selain penetapan perizinan untuk melindungi gaharu dari kepunahan,
CITES juga menetapkan kebijakan perdagangan ekspor gaharu yaitu penetapan
kuota. Penetapan kuota pengambilan atau penangkapan tumbuhan dan satwa liar
didasarkan pada prinsip kehati-hatian (Precautionary Principle) dan dasar-dasar
ilmiah untuk mencegah terjadinya kerusakan atau degradasi populasi. Kuota
ditetapkan oleh direktorat jendral PHKA berdasarkan rekomendasi Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk setiap kurun waktu satu tahun. Pada saat ini
dalam proses penyusunan kuota disadari bahwa ketersediaan data potensi atau
tumbuhan masih sangat terbatas (Direktorat Jendral PHKA 2004).
10
Kuota perdagangan gaharu Indonesia mengalami penurunan dari tahun ke
tahun, hal ini ditunjukan dari data PHKA dan CITES yang menunjukkan bahwa
kuota ekspor pada tahun 2000-2008.
Tabel 1 Kuota ekspor gaharu
Tahun Aquilaria filarial Aquilaria malaccensis
Kuota (ton) Realisasi (ton) Kuota (ton) Realisasi (ton)
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
496
192
125
125
125
150
125
125
125
200
-
173
90
-
-
-
150
-
-
-
-
162
1.145
75
75
50
50
60
50
75
75
225
-
808
65
-
-
-
60
50
75
75
- Sumber : Majalah Trubus (2008) dan PHKA (2010)
Penurunan kuota ini disebabkan ketersediaan gaharu yang semakin
menurun. Penetapan kuota merupakan pedoman dan pengendalian seluruh bentuk
pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar yang diperoleh dari alam.
1.3 Pelaku Usaha Gaharu Alam
Menurut Sudiyono (2002) lembaga pemasaran adalah badan usaha atau
individu yang menyelenggarakan pemasaran, menyalurkan jasa dan komoditi dari
porodusen kepada konsumen akhir serta mempunyai hubungan dengan badan
usaha atau individu lainnya. Lembaga pemasaran ini timbul karena adanya
keinginan konsumen untuk memperoleh komoditi yang sesuai dengan waktu,
tempat, dan bentuk yang diinginkan konsumen. Tugas lembaga pemasaran ini
adalah menjalankan fungsi-fungsi pemasaran serta memenuhi keinginan
konsumen semaksimal mungkin.
Ada tiga kelompok yang secara langsung terlibat dalam penyaluran barang
dan jasa, mulai dari tingkat produsen sampai tingkat konsumen yaitu pihak
produsen, pihak perantara, pihak konsumen akhir. Pihak produsen adalah pihak
yang memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan. Pihak lembaga perantara
adalah pihak yang memberikan pelayanan dalam hubungannya dengan
pembelian atau penjualan barang dan jasa dari produsen ke konsumen, yaitu
11
pedagang besar (wholesaler) dan pedagang pengecer (retailer), sedangkan
konsumen akhir adalah pihak yang langsung menggunakan barang/jasa yang
dipasarkan (Limbong & Sitorus 1987).
Pemasaran gaharu melibatkan beberapa pelaku usaha gaharu mulai dari
pencari gaharu sebagai produsen, pengumpul kecil (tengkulak) dan pengumpul
besar sebagai lembaga perantara, eksportir sebagai lembaga pengekspor. Pencari
gaharu biasanya terdiri dari pencari bebas dan pencari terikat. Pencari bebas
adalah pencari gaharu dengan modal kerja sendiri sehingga bebas di dalam
menentukan waktu pencarian gaharu dan menjual hasil perolehannya baik kepada
pedagang pengumpul di desa, di kecamatan, maupun langsung pada pedagang
besar atau ekportir. Pencari terikat adalah pencari gaharu yang dimodali sehingga
waktu pencarian dan perolehannya terikat pada pemberi modal yaitu pedagang
pengumpul yang merupakan perpanjangan dari pedagang besar. Pengumpul kecil
(tengkulak) biasanya lembaga atau individu yang langsung berhubungan dengan
pencari gaharu yang langsung membeli gaharu dari pencari gaharu dan kemudian
menjualnya kepada pengumpul besar. Pedagang pengumpul besar adalah pelaku
pemasaran yang memiliki modal besar dan juga memiliki izin usaha yang
dikeluarkan oleh instansi pemerintah(Yusliansyah et al. 2003).
2. 4 Kualitas dan Harga Gaharu
Penetapan harga gaharu di perdagangan internasional didasarkan pada
kualitas gaharu tersebut. Semakin baik kualitas gaharu maka harga gaharu akan
semakin mahal begitu juga sebaliknya semakin rendah kualitas gaharu maka
harganya pun semakin rendah. Parameter yang digunakan dalam penentuan
kualitas gaharu adalah warna, kadar resin, kadar minyak, dan ukuran bentuk
serpihan (Barden et al. 2009).
Menurut (Bambang et al. 1996) semakin hitam warna gaharu semakin tinggi
kualitasmya dan biasanya gaharu kualitas ini tenggelam dalam air. Gaharu
kualitas pertama harus memiliki warna yang paling hitam dan mengkilat. Gaharu
yang warnanya hitam dan mengkilat memiliki tingkat kepadatan dan
pendamarannya lebih tinggi yang menunjukkan tingginya kadar resin yang
terkandung di dalamnya. Sehubungan dengan kadar resin, semakin banyak kadar
resin yang terkandung maka kadar harum dan kadar aromnya akan semakin tinggi.
12
Begitu juga dengan bentuk dan ukuran, ukuran yang lebih besar akan menunjukan
kualitas gaharu yang lebih baik.
Penentuan kualitas gaharu pada umumnya dilakukan tidak seragam dan
dilakukan secara visual saja, sehingga sifatnya lebih subyektif dan kualitas gaharu
yang dihasilkan tergantung dari orang yang menentukannya. Untuk menghindari
keragaman dari kualitas gaharu Badan Standarisasi Nasional (BSN) menetapkan
Standar Nasional Indonesia (SNI) mutu gaharu. Dalam standar diuraikan
mengenai definisi gaharu, lambang dan singkatan, istilah, spesifikasi, klasifikasi,
cara pemungutan, syarat mutu, pengambilan contoh, cara uji, syarat lulus uji dan
syarat penandaan. Klasifikasi mutu gaharu terdiri dari gubal gaharu, kemedangan
dan abu gaharu. Setiap kelas mutu dibedakan lagi menjadi beberapa sub kelas,
berdasarkan ukuran, warna, kandungan damar wangi, serat, bobot dan aroma
ketika dibakar (Yusliansyah et al. 2003).
Menurut SNI 01-5009.1-1999 yang dimaksud dengan gubal gaharu adalah
kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, dengan aroma
yang kuat, ditandai oleh warnanya yang hitam atau kehitaman berseling coklat.
Sedangkan kemedangan adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon
penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi dengan aroma yang lemah,
ditandai oleh warnanya yang putih ke abu-abuan sampai kecoklatan, berserat
kasar dan kayunya yang lunak. Abu gaharu adalah serbuk kayu sisa pemisahan
gaharu dari kayu (BSN 2004).Sedangkan kualitas gaharu di provinsi Bengkulu
dibedakan berdasarkan warna, bentuk, dan seratnya, persyaratan kualitas gaharu
di provinsi Bengkulu pada penelitian Misran (1997) dapat dilihat pada Tabel 2.
Umumya penentuan harga dan kualitas gaharu sangat didominasi oleh
pembeli dengan alasan bahwa gaharu yang dikumpulan pencari masih sangat
kasar dan kualitasnya masih bervariasi sehingga perlu disortir ulang (perlu biaya
sortir) untuk mendapatkan nilai jual tinggi. Di samping itu rendahnya daya tawar
pencari juga disebabkan oleh adanya keterikatan antara pencari dengan pedagang
pengumpul besar (Subarudi & Karyono 2004).
13
Tabel 2 Persyaratan kualitas gaharu di Bengkulu
No Kualitas gaharu Keterangan
1 Gaharu super Berwarna hitam, padat serta mengkilap, banyak mengandung
minyak, serta serat kayu tidak kelihatan
2 Kelas A Berwarna hitam agak mengkilap, padat, serat kayu agak kelihatan
3 Kelas B Berwarna hitam, dibandingkan dengan kelas A, kepingan kayu agak
tipis, sedikit terdapat alur atau bintik putih, pada bagian tengah
kepingan terdapat rongga
4 Kelas C Masih berwarna hitam, lebih banyak alur putih dibandingkan kelas
B, kepingan kayu tipis dan bila digenggam kuat menjadi rapuh atau
patah
5 Kemedangan
super
Berwana campur alur putih, serat kayu tampak jelas, dibandingkan
dengan kelas di atas walaupun agak padat tetapi bobotnya ringan
6 Kemedangan A Berwarna coklat tua, banyak terdapat alur atau bintik putih dan serat
kayunya kasar
7 Kemedangan B Berwarna coklat campur putih, banyak terdapat alur atau bintik
putih, serat kayunya kasar
8 Kemedangan C Berwarna kuning hingga colat muda, sedikit mengandung gaharu
dan serat kayunya kasar
9 Tri A Berwarna hitam campur alur putih, kepingan kayunya kecil, tipis
dan pendek, serat kayunya kasar
10 Tri B Warna hitam lebih sedikit dari kualitas A, kepingan kayunya kecil,
tipis dan pendek serta serat kayunya kasar
11 Tri C Warna hitamnya lebih sedikit dibandingkan kualitas Tri B, kepingan
kayunya lebih kecil dari Tri B dan serat kayunya kasar
Sumber: Misran (1987)
Di Nusa Tenggara Timur harga jual gaharu pada berbagai lembaga
pemasaran mengalami perbedaan berdasarakan kualitas dan lembaga
pemasaranya. perbedaan harga jual gaharu pada masing-masing lembaga dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Harga jual gaharu pada berbagai lembaga pemasaran (Rp/ Kg) Kelas Pencari gaharu Pengumpul kecil Pengumpul besar (penguasa)
Super
Kelas II
Teri Hitam
Teri Bunting
Kacangan
700.000
300.000
75.000
40.000
25.000
1.000.000
450.000
100.000
60.000
35.000
1.500.000
600.000
150.000
100.000
50.000
Sumber : Universitas Nusa Cendana (1996)
14
2.5 Biaya Produksi Gaharu
Sudarsono (1995) dalam Ratih (2009) menyatakan fungsi biaya adalah
perilaku biaya yang mencerminkan hubungan antara besarnya biaya dengan
kuantitas produksi. Disamping itu diketahui bahwa fungsi produksi dipengaruhi
oleh faktor produksi. Jadi fungsi produksi dapat dianggap sebagai pembatas
fungsi biaya. Fungsi biaya total memperlihatkan bahwa sekelompok biaya
masukan dan untuk setiap tingkat keluaran. Jadi biaya produksi adalah total
pengeluaran yang terjadi dalam mengorganisasikan dan melaksanakan proses
produksi.
Firdaus (2008) menjelaskan biaya peroduksi akan berpengaruh pada harga
yang akan terbentuk pada suatu produksi, harga pokok merupakan jumlah biaya
memproduksi suatu produk ditambah biaya lainya sehingga barang itu berada di
pasar. Unsur biaya pokok dalam pengusahaan gaharu dibagi ke dalam dua
golongan yaitu:
1. Biaya tetap total (total fixed cost-TFC), yaitu keseluruhan biaya yang
dikelurkan untuk memperoleh faktor produksi yang tidak dapat diubah
jumlahnya.
2. Biaya variable total (total variable cost-TVC), yaitu keseluruhan biaya yang
dikeluarkan untuk memperoleh faktor produksi yang dapat diubah jumlahnya.
Komponen-komponen biaya penjualan gaharu dari pencari sampai ke
eksportir sangat mempengaruhi keuntungan yang akan diterima pada setiap pelaku
usaha gaharu alam ini. Adapun yang termasuk biaya tetap dalam pengusahaan
gaharu adalah biaya peralatan (kapak, parang, pisau raut, pahat cengkung,
timbangan, alat angkutan), biaya perizinan dan biaya tempat/gudang. Sedangkan
yang termasuk biaya variabel adalah biaya perbekalan, biaya transportasi, dan
biaya tenaga kerja, biaya sortir, dan biaya administrasi (Subardi & Karyono
2004). Dari hasil penelitian yang dilakukan di Riau komponen dan nilai biaya
pada setiap lembaga pemasaran dapat dilihat pada Tabel 4, 5 dan 6.
Tabel 4 Biaya pencarian gaharu pada tingkat pencari di Riau
Alat dan bahan Biaya
- Perbekalan - Transportasi - Alat
60.000
10.000
30.000 Sumber : Subardi dan Karyono( 2004)
15
Tabel 5 Biaya produksi gaharu di tingkat pedagang pengumpul kecil
Uraian Rata-rata Biaya/ kg (Rp) Keterangan
Transportasi 10.000 Pembelian dan pengangkutan
dari tingkat petani minimal
50 kg.
Akomodasi 1.000
Keamanan 1.000
Lain-lain 200
Sumber : Subardi dan Karyono ( 2004)
Tabel 6 Biaya produksi gaharu di tingkat pedagang pengumpul besar
Uraian Biaya (Rp/ Kg)
Gaharu Kemedangan
Sortir 1.000 1.000
Administrasi 1.700 1.700
Sekuriti 600 600
IHH 2.000 1.000
Bunga Bank 1.000 1.000
Sumber : Subardi dan Karyono (2004)
2.6 Marjin Usaha Gaharu
Marjin usaha dapat dinyatakan sebagai nilai dari jasa-jasa pelaksanaan
kegiatan sejak dari tingkat produsen hingga tingkat pedagang pengecer. Adanya
perbedaan kegiatan dari setiap pelaku usaha akan menyebabkan perbedaan harga
jual antara satu pelaku usaha dengan pelaku usaha yang lain sampai tingkat
konsumen akhir. Semakin banyak pelaku usaha yang terlibat dalam penyaluran
suatu komoditas dari titik produsen ke titik konsumen, maka akan semakin besar
perbedaan harga komoditas tersebut di titik produsen dengan harga yang
dibayarkan konsumen akhir (Limbong & Sitorus 1987).
Marjin pengusahaan diartikan sebagai perbedaan antara harga yang
dibayarkan oleh konsumen untuk membeli produk dengan harga pabrik yang
diterima oleh produsen yang membuat produk tersebut (Beddu et al. 1996).
Marjin usaha pada komoditas gaharu dapat dilihat dari selisih antara total
pendapatan dengan total biaya. Marjin usaha pada setiap pelaku pengusahaan
gaharu berbeda-beda. Keuntungan yang diperoleh dari setiap penjualan yang
dilakukan oleh setiap pelaku dipengaruhi oleh harga penjualan dan biaya yang
diperlukan pada saat produksi. Penentuan harga jual komoditas gaharu didasarkan
pada kualitas gaharu, sedangkan biaya didasarkan pada proses-proses yang
dilakukan oleh setiap pelaku usaha.
16
Dalam pengusahaan gaharu yang mendapatkan keuntungan yang terbesar
dalam kegiatan ini adalah pihak pengumpul besar atau eksportir. Berdasarkan data
penelitian yang dilakukan di provinsi Riau terlihat pedagang pengumpul besar
memperoleh marjin sebesar 74,8 %, pedangan pengumpul kecil sebesar 20,1 %
dan petani pencari sebesar 5,1 %. Pihak yang mendapatkan keuntungan yang
terkecil adalah pencari gaharu. Hal ini disebabkan pada umumnya pencari gaharu
memiliki posisi tawar yang rendah dalam menjual hasil gaharu yang
dikumpulkannya karena rendahnya pengetahuan mereka tentang kualitas gaharu
yang ada dan terbatasnya informasi harga gaharu yang berlaku di pasaran.
17
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Kerangka Pikir
Kabupaten Bengkulu Selatan, Kabupaten Kaur dan Kabupaten Seluma
merupakan sentra produksi gaharu di Provinsi Bengkulu. Dari ketiga kabupaten
ini tercatat hasil produksi gaharu sebanyak 3,15 ton/tahun dengan klasifikasi kelas
kemedangan 3 ton dan 150 kg kelas gubal. Sedangkan kuota yang ditetapkan
untuk Provinsi Bengkulu dalam pemenuhan ekspor gaharu Indonesia sebanyak 2
ton/tahun. Artinya ketiga kabupaten ini masih memiliki kemampuan untuk
memproduksi gaharu terutama gaharu alam.
Proses pengusahaan gaharu mempunyai prosedur dan melibatkan pelaku-
pelaku usaha. Adapun pelaku yang terlibat dalam pengusahaan gaharu adalah
pencari gaharu sebagai produsen, pedagang pengumpul kecil dan pedagang
pengumpul besar sebagai perantara dan eksportir sebagai pengekspor. Tujuan
penelitian ini akan dicapai dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Mendiskripsikan karakteristik pelaku pengusahaan gaharu (pencari, pedagang
pengumpul kecil, dan pedagang pengumpul besar) yang dilakukan dengan
wawancara kepada semua pihak yang terlibat dalam usaha gaharu ini. Melalui
pengkajian diskriptif dari pencari gaharu tentang karakterikstik pencari
(nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, alamat tinggal, pekerjaan,
pendapatan, sumber pendapatan, jumlah anggota keluarga, pengeluaran
rumah tangga per bulan), dan karakteristik pedagang pengumpul kecil dan
pedagang pengumpul besar (sejarah usaha, modal, biaya, kegiatan usaha dan
legalitas usaha).
2. Data kegiatan/proses pencarian gaharu (waktu pencarian, peralatan dan
perbekalan dalam proses pencarian, teknik pencarian, jumlah gaharu yang
didapatkan dalam proses pencarian gaharu, biaya-biaya dalam pencarian
gaharu, pendapatan/harga jual gaharu, sistem pembagian hasil dalam
kelompok).
3. Pengkajian deskriptif dengan pedagang pengumpul kecil dan pedagang
pengumpul besar, mengenai sistem penentuan kualitas dan sistem penentuan
18
harga, kegiatan-kegiatan usaha, dan biaya-biaya (biaya transportasi, biaya
akomodasi, biaya keamanan) sehingga dapat dilihat marjin usaha yang
diperoleh setiap pelaku usaha gaharu.
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini merupakan tahapan pelaksanaan
penelitian yang akan dilakukan di lapangan yang disesuaikan dengan tujuan
penelitian. Berdasarkan uraian kerangka pemikiran di atas, maka alur kerangka
berpikir terkait dengan rencana penelitian tersaji pada Gambar 1.
Gambar 1 Alur pelaksanaan penelitian.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di tiga kabupaten provinsi Bengkulu yaitu
kabupaten Bengkulu Selatan, kabupaten Kaur, dan kabupaten Seluma. Pemilihan
tempat penelitian dilakukan secara sengaja (Purposive Sampling), karena ketiga
kabupaten tersebut merupakan daerah utama penghasil gaharu di provinsi
Bengkulu. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai Agustus 2010.
Eksportir Pengumpul
Besar
Pencari
Terikat
Pencari
Pengumpul
Kecil
Pencari
Bebas
- Karakteristik pencari
- Kegiatan pencarian gaharu
- Biaya pencarian gaharu
- Marjin pemasaran gaharu
- Karakteristik pedagang pngumpul
kecil dan pedagang pengumpul
besar
- Sistem sortir kualitas
- Biaya-biaya produksi
- Bentuk-bentuk gaharu yang dibeli
dan dijual dalam setiap kualitas
- Marjin pemasaran gaharu
19
3.3 Objek dan Alat Penelitian
Objek atau sasaran dalam penelitian ini adalah para pelaku usaha gaharu
(kelompok pencari, pedagang pengumpul kecil, dan pedagang pengumpul besar)
Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: alat tulis, alat hitung,
komputer, kamera, dan pedoman wawancara (kuesioner).
3.4 Teknik Penentuan Responden
Pemilihan responden (pencari gaharu, pengumpul kecil, pengumpul besar
dan informan) dilakukan secara sengaja (pusposive sampling) yang disesuaikan
dengan kondisi yang diperlukan untuk penelitian. Kabupaten yang dijadikan
sebagai studi kasus adalah Kabupaten Bengkulu Selatan, Kabupaten Kaur, dan
Kabupaten Seluma. Pemilihan ketiga Kabupaten tersebut karena daerah ini
merupakan hutan sentra produksi gaharu unggul dengan produksi yang telah
diekspor keluar negeri. Begitu juga dengan pengambilan sampel kecamatan dan
desa dilakukan dengan sengaja yaitu desa yang menurut informasi dari pengumpul
besar merupakan desa-desa yang terdapat gaharu dan penduduknya ada yang
berperan sebagai pencari dan juga sebagai pengumpul kecil.
Jumlah responden pencari gaharu yang diambil dari Kabupaten Kaur
sebanyak 4 kelompok/27 orang, Kabupaten Seluma sebanyak 3 kelompok/25
orang dan Kabupaten Bengkulu Selatan sebanyak 1 kelompok/8 orang. Penentuan
responden pedagang dan pelaku usaha lainnya dilakukan secara berantai
(snowball sampling) mulai dari pencari gaharu sebagai produsen sampai ke
eksportir. Jumlah responden pengumpul besar yang diambil adalah satu orang
berasal dari Kabupaten Bengkulu Selatan Kota Manna. Responden pengumpul
kecil diambil satu orang yang berasal dari Kabupaten Kaur. Struktur responden
dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
Selain itu untuk memperoleh data pendukung juga diwawancarai pihak
(BKSDA Bengkulu dan pihak Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA)
bagian HUMAS dan perizinan.
20
Gambar 2 Struktur responden dalam penelitian.
3.5 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan
data sekunder. Data primer meliputi :
1. Data karakteristik responden (nama, umur, alamat, jenis kelamin, agama,
pendidikan, pekerjaan, pendapatan, sumber pendapatan, jumlah anggota
keluarga, dan pengeluaran rumah tangga/bulan).
2. Data kegiatan pencarian gaharu (peralatan yang digunakan, waktu
pemungutan dan lamanya waktu pemungutan, tempat mencari gaharu, jumlah
anggota kelompok pencari, cara menduga pohon yang mengandung gaharu,
cara melakukan pendugaan dan cara penentuan kualitas gaharu, jenis gaharu
yang didapatkan, jumlah gaharu yang diperoleh dalam satu periode pencarian).
3. Data biaya dan pendapatan pencarian gaharu (biaya-biaya/komponen biaya
dalam proses pencarian dan pemasaran pada setiap lembaga, pendapatan, dan
sitem bagi hasil dalam kelompok pencarian).
4. Data mengenai sistem pengusahaan (pelaku usaha, sistem pengusahaan dan
perizinan pengusahaan gaharu alam)
Data primer diperoleh langsung dari pencari gaharu, pedagang kecil dan
pedagang besar, informan (BKSDA dan PHKA) dan semua lembaga pengusahaan
gaharu yang terkait dalam proses pengusahaan gaharu. Data primer ini diperoleh
dengan teknik wawancara terstruktur dan wawancara yang tidak tersetruktur.
2 Kelompok
(Bebas dan terikat)
Kabupaten Kaur
Pengumpul
Kecil
Pengumpul
Besar
3 Kelompok (terikat)
Kabupaten Seluma
3 Kelompok
(Terikat dan bebas)
Kabapten Kaur dan B/S
21
= TR - TC TR = p.q
= p1.q1 + p2.q2 + p3.q3 + + pn.qn =
TC = TFC + TVC
TC = c1 + c2 + c3 + + cn
= TR - TC TR = p.q
= p1.q1 + p2.q2 + p3.q3 + + pi.qi
=
TC = TFC + TVC
TC = c3 + c4 + c5 + + ci
Sedangkan data sekunder adalah data yang menyangkut:
1. Kondisi umum Kabupaten Bengkulu Selatan, Kabupaten Kaur dan Kabupaten
Seluma.
2. Data yang menyangkut keadaan lingkungan, baik fisik, sosial ekonomi
masyarakat dan data mengenai perizinan pengusahaan gaharu.
3. Data skema perizinan, persyaratan perizinan, dan data statistik pemasaran
gaharu dan data penetapan kuota.
3.6 Metode Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan dan analisis data yang diperoleh dari data primer maupun data
sekunder secara kuantitatif dan kulitatif. Analisis secara kualitatif dilakukan
dengan mendeskripsikan karekteristik pelaku usaha gaharu alam, proses pencarian
gaharu, mendeskripsikan kualitas gaharu, sistem usaha pemasaran gaharu
mendeskripsikan kebijakan dalam pemasaran gaharu. Analisis secara kuantitatif
dilakukan untuk mengetahui keadaan marjin pengusahaan dengan menggunakan
bantuan kalkulator dan program Microsoft Excel 2007. Data yang terkumpul di
tabulasikan dan dianalisis sesuai dengan keperluannya.
Menurut Gittinger (1986) untuk menghitung marjin keuntungan (profit
margin) pemasaran gaharu dapat menggunakan rumus :
a. Marjin pada pencari Gaharu
b. Marjin ditingkat pedagang pengumpul kecil/ besar
22
dimana :
= Profit margin TR = Total Revenue
p1 = harga gaharu kualitas super q1 = kuantitas gaharu kelas super
p2 = harga gaharu kelas A/B q2 = kuantitas gaharu kelas A/B
p3 = harga gaharu kelas B/C q3 = kuantitas gaharu kelas B/C
p4 = harga gaharu kelas C1 q4 = kuantitas gaharu kelas C1
p5 = harga gaharu kelas C2 q5 = kuantitas gaharu kelas C2
p6 = harga gaharu kemedangan super q6 = kuantitas gaharu kemedangan super
p7 = harga gaharu kelas teri q7 = kuantitas gaharu kelas teri
pn = harga gaharu kelas ke-n tingkat pencari
qn = kuantitas gaharu kelas ke-n tingkat pencari
pi = harga gaharu kelas ke-i tingkat pengumpul (besar/ kecil)
qi = kuantitas gaharu kelas ke-i pada tingkat pengumpul (besar/ kecil)
TFC = total fixed cost (total biaya tetap)
TVC = total variabel cost (total biaya variabel)
c1 = biaya perbekalan
c2 = biaya alat
c3 = biaya transfortasi
c4 = biaya administrasi
c5 = biaya pensortiran
cn = biaya ke-n pada tingkat pencarian gaharu
ci = biaya ke-I pada tingkat pengumpul kecil/ besar
23
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4. 1 Letak dan Geografis
Secara geografis, Provinsi Bengkulu terletak di pesisir barat Pulau Sumatera
dan berada diantara 101020-103059 BT dan 2025-5000 LS. Secara administrasi
Provinsi Bengkulu memiliki luas wilayah sebesar 1.978.870 ha. Wilayah
Provinsi Bengkulu memanjang dari perbatasan Provinsi Sumatera Barat sampai
dengan perbatasan Provinsi Lampung yang jaraknya lebih kurang 567 kilometer.
Provinsi Bengkulu berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia pada garis
pantai sepanjang kurang lebih 433 kilometer. Bagian Timurnya berbukit-bukit
dengan dataran tinggi yang subur, sedang bagian Barat merupakan dataran rendah
yang relatif sempit, memanjang dari utara ke selatan serta diselingi daerah yang
bergelombang.
Gambar 3 Peta lokasi penelitian.
Lokasi
Penelitian
Skala 1 : 500.000
24
4.2 Iklim dan Hidrologi
Kondisi iklim di provinsi Bengkulu ditandai dengan jumlah curah hujan
yang cukup tinggi, yaitu: rata-rata 2000-3000 mm/tahun, dengan rata-rata hari
hujan antara 100-250 hari/tahun. Hari hujan rata-rata 20 hari/bulan dengan jumlah
hari hujan terendah 18 hari yang terjadi pada bulan Mei dan September,
sedangkan hari hujan tertinggi selama 23 hari terjadi pada bulan November dan
Desember. Curah hujan yang cukup tinggi di Provinsi Bengkulu dapat
menyebabkan erosi, seperti yang telah diidentifikasi bahwa lebih kurang 22.647
ha lahan di wilayah Provinsi Bengkulu mengalami erosi yang tersebar tiap
kabupaten. Erosi yang cukup besar terjadi di Kabupaten Rejang Lebong.
4.3 Topografi
Berdasarkan keadaan alam dan letaknya, maka wilayah provinsi Bengkulu
mempunyai ketinggian dari permukaan laut yang berbeda-beda. Keadaan
ketinggian wilayah Provinsi ini sangat bervariasi mulai dari 0-100 m, 100-500 m,
500-1000 m dan lebih besar 1000 m. Berdasarkan konsisi geologinya, pembagian
kelas ketinggian tersebut dapat dibedakan dalam lima formasi, yaitu: formasi
batuan andesit, formasi telisa atas, formasi telisa bawah, formasi kristalin, formasi
neogen, dan formasi alluvial.
4.4 Morfologi
Secara geomorfologi atau bentuk permukaan bumi, Provinsi Bengkulu dapat
dibedakan menjadi empat bentuk daerah, yaitu:
1. Dataran Pantai
Dataran ini terdapat di sepanjang pantai, yang membentang dari Muko-Muko
sampai Padang Guci. Umumnya daerah ini sempit dan terdapat cekungan dan
rawa- rawa.
2. Dataran Alluvial
Dataran ini berada memanjang di belakang dataran pantai yang mempunyai
lebar berkisar antara 5-10 km, umumnya daerah ini mempunyai kesuburan
tanah cukup tinggi.
25
3. Dataran Lipatan
Daerah ini hampir memanjang sejajar dengan dataran alluivial dengan
ketinggian antara 100-400 m diatas permukaan laut. Daerah ini antara lain
meliputi Lumbuk Pinang, Beringin Tambun dan Hulu Sungai Ipuh.
4. Daerah Vulkanik
Daerah ini menempati sebagian besar Pegunungan Bukit Barisan yang
merupakan jalur pegunungan patahan dan kompleks vulkanik dengan pusat
erupsi di luar Provinsi Bengkulu.
4.4.1 Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat
Provinsi Bengkulu terdiri dari beberapa kabupaten, di antaranya yang
merupakan lokasi penelitian adalah Kabupaten Bengkulu Selatan, Kabupaten
Kaur, dan Kabupaten Seluma. Pertumbuhan penduduk sangat tinggi. Masyarakat
Provinsi Bengkulu pada umumnya menggantungkan hidupnya dengan bertani.
Dilihat dari tingkat pendapatan daerah per kapita, Provinsi Bengkulu mengalami
perkembangan angka PDRB per kapita yang cukup tinggi. Penduduk provinsi
Bengkulu sebagian besar berbudaya melayu, dengan titik berat kepada tradisi
ninik mamak yang berorientasi pada tradisi minang. Sebagian besar penduduk
Bengkulu masih matrilineal dengan keturunan garis keturunan ibu sebagai garis
keturunan.
26
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Karakteristik Pelaku Pemasaran Gaharu
5.1.1 Pencari Gaharu
Pencarian gaharu di provinsi Bengkulu telah dilakukan sejak tahun 1984
sampai sekarang. Pencarian ini biasanya dilakukan dengan cara berkelompok.
Anggota kelompok pencari gaharu dalam setiap periode pencarian ke hutan
berasal dari berbagai desa dan kecamatan. Kelompok pencari ini bisa dikatakan
bukan kelompok yang tetap karena sering kali anggota kelompok bertukar-tukar.
Pertukaran ini biasanya disesuaikan dengan waktu dan kegiatan setiap anggota
yang saling mengajak untuk masuk ke hutan. Dalam pembentukan kelompok
terdapat dua kepercayaan yang berbeda antara pencari gaharu, dimana ada
beberapa kelompok yang mempercayai bahwa jumlah anggota kelompok tidak
boleh ganjil dengan alasan apabila anggota kelompok berjumlah ganjil
dikhawatirkan akan terjadi suatu musibah ketika pencarian. Selain itu, ada
kelompok pencari gaharu yang tidak menghiraukan jumlah anggota kelompok
yang berangkat dalam pencarian gaharu. Sehingga jumlah anggota dari berbagai
kelompok pencari gaharu sangat bervariasi berdasarkan tempatnya. Untuk melihat
keragaman jumlah anggota kelompok dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Jumlah anggota kelompok pencari gaharu
No Tempat Penelitian Jumlah Anggota Kelompok (orang)
1 Riau Subardi dan Karyono (2004) 3 5
2 Flores Universitas Nusa Cendana (1996) 3 5
Sumber : Data Sekunder
Jumlah anggota kelompok pencari gaharu di Provinsi Bengkulu jauh lebih
banyak dibandingkan dengan jumlah anggota kelompok dari tempat yang lainnya
seperti contoh kelompok pencari gaharu di Flores dan di Riau berjumlah 3-5
orang sedangkan di Bengkulu anggota kelompok berjumlah 5-10 orang.
Walaupun jumlah anggota kelompok berbeda, tetapi status kelompok pencari
gaharu di berbagai tempat sama yaitu terbagi atas dua jenis dimana terdapat
kelompok pencari bebas dan kelompok pencari terikat. Kelompok pencari bebas
27
adalah pencari gaharu dengan modal kerja sendiri sehingga bebas dalam
menentukan waktu pencarian gaharu dan menjual hasil perolehanya baik kepada
pengumpul kecil ataupun pada pedagang pengumpul besar. Pencari terikat adalah
pencari gaharu yang memiliki keterikatan berupa modal pinjaman yang diberikan
oleh pedagang pengumpul besar, sehingga waktu pencarian dan penjualan hasil
perolehannya terikat pada pemberi modal. Modal yang diberikan oleh pedagang
pengumpul besar berkisar Rp 500.000 per orang yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga sebesar Rp 200.000 dan Rp 300.000 untuk membeli
perlengkapan yang akan digunakan selama perjalanan dan di dalam hutan.
Sebagian besar kelompok pencari gaharu berasal dari Kabupaten Kaur
yaitu sebanyak empat kelompok dengan jumlah 27 orang atau sebanyak 45 % dari
60 orang responden, dengan status pencari bebas dua kelompok dan pencari
terikat dua kelompok. Bengkulu Selatan hanya terdiri dari satu kelompok dengan
jumlah anggota kelompok delapan orang (13 %) dari 60 responden yang ada,
dengan status kelompok pencari bebas. Kelompok pencari yang berasal dari
kabupaten Seluma hampir seimbang dengan kelompok pencari dari kabupaten
Kaur yaitu sebanyak 3 kelompok dengan jumlah anggota kelompok sebanyak 25
orang (42 %) dari 60 jumlah responden yang ada. Sebaran kelompok pencari
berdasarkan kabupaten dan status kelompok pencari dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Kelompok pencari gaharu berdasarkan Kabupaten
Kabupaten
Jumlah
Kelompok
Jumlah
(Orang)
Persentase
(%)
Status pencari Persentase (%)
Terikat Bebas Terikat Bebas
Bengkulu S 1 8 13 - 1 - 12
Kaur 4 27 45 2 2 25 25
Seluma 3 25 42 3 - 38 -
Total 8 60 100 5 3 63 37
Sumber : Data Primer Diolah (2010)
Tabel 8 menunjukan bahwa sebagian besar kelompok pencari berperan
sebagai kelompok pencari terikat yaitu sebanyak lima kelompok (63%) dari
delapan kelompok yang ada, sedangkan kelompok pencari bebas terdapat tiga
kelompok (37 %) dari delapan kelompok yang ada. Dalam penelitian ini
karakteristik mengenai pencari juga diolah secara deskriptif dengan membagi
karakteristik sesuai dengan umur, tingkat pendidikan, mata pencaharian,
pendapatan, dan pengeluaran rumah tangga responden pencari gaharu.
28
5.1.1.1 Umur dan Pendidikan
Umur dan pendidikan pencari gaharu sangat beragam. Sebaran umur
responden pencari yaitu dari umur 30 tahun sampai > 60 tahun sedangkan sebaran
pendidikan responden pencari sangat beragam yaitu dari tidak sekolah sampai
tingkat SMA. Adapun pengelompokan dan distribusi responden berdasarkan umur
dan pendidikan dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Distribusi Responden Pencari Gaharu Berdasarkan Umur dan Pendidikan
No TP
Kabupaten Kaur
Selang Umur
Kabupaten B/S
Selang Umur
Kabupaten Seluma
Selang Umur Total Persen
% 30-40 41-50 51-60 >60 30-40 41-50 51-60 >60 30-40 41-50 51-60 >60
1.
TS - - 4 2 - 1 - - - 1 - - 8 13,33
2
. TTSD - 2 1 - - - - - - 4 1 1 9 15,00
3.
SD - 2 2 - 2 2 - - 1 3 1 - 13 21,67
4
. SLTP 4 5 1 - 1 - 1 - 3 4 1 - 20 33,33
5.
SMA 3 1 - - - 1 - - 3 2 - - 10 16,67
6 Total 7
10 8 2 3
4 1 -
7 14 3 1
60 100
27 8 25
Persen(%) 45,00 13,33 41,67
Sumber :Data Primer Diolah (2010)
Keterangan : TP : Tingkat Pendidikan
TS : Tingkat Sekolah
TTSD : Tidak Tamat SD
Berdasarkan Tabel 9 tersebut dapat dilihat karakteristik responden
berdasarkan umur dan pendidikan pada masing-masing kabupaten. Sebagian besar
responden pencari gaharu berumur 41-50 tahun yaitu sebanyak 28 orang (46,67%)
dari 60 responden yang ada. Selang umur dari ketiga kabupaten tersebut dapat
dilihat selang umur 41-50 tahun ada selang umur terbanyak dengan perbandingan
persentase yang berurutan yaitu 37:50:56 dari seluruh responden yang ada pada
masing-masing kabupaten, sedangkan responden yang paling sedikit adalah
responden yang memiliki umur pada selang umur > 60 tahun yaitu sebanyak 3
orang (5%) dari 60 responden yang ada yang berasal dari Kabupaten Kaur 2 orang
dan 1 orang dari Kabupaten Seluma. Sisanya menyebar merata, dimana untuk
kelompok sebaran umur 30-40 tahun sebanyak 15 orang (25%), 51-60 tahun
sebanyak 14 orang (23,33%) dari 60 responden yang ada.
29
Selang umur responden pencari gaharu yang termasuk ke dalam selang
umur produktif yaitu pada selang umur 41-50 tahun, sehingga dapat dikatakan
bahwa kelompok pencari gaharu yang memiliki anggota umur pencari yang
produktif adalah kelompok pencari yang berasal dari Kabupaten Seluma yaitu
sebanyak 14 orang (56 %) dari 25 responden. Responden pencari yang berada
pada usia 41-50 tahun ini mempunyai kemampuan fisik yang baik untuk
melakukan kegiatan pencarian gaharu. Hal ini berbeda dengan responden pencari
yang berumur lebih dari 50 tahun, pencari ditingkat umur ini biasanya lebih
berpengalaman dalam kegiatan pencarian akan tetapi memiliki kemampuan fisik
yang lebih rendah.
Tingkat pendidikan juga sangat berpengaruh dalam pembentukan pola pikir
pencari gaharu, dimana pencari yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan lebih
terbuka dan lebih mudah untuk mengadopsi pengetahuan-pegetahuan baru yang
dapat meningkatkan produksi dan efektivitas pencaharian (Ratih 2009). Selain itu,
pendidikan juga dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial seseorang dalam
masyarakat. Secara umum tingkat pendidikan responden masih relatif rendah, hal
ini terlihat dari masih banyaknya responden yang tidak memenuhi syarat
pendidikan 9 tahun. Terdapat 30 orang (50%) dari 60 responden pencari yang
tidak memenuhi syarat 9 tahun dari ketiga Kabupaten yaitu 13:5:12 atau
(28%:62%:44%), pendidikan diatas 9 tahun yaitu 30 orang (50%) dari 60
responden yaitu 14:3:13 atau (51,85%:37,5%:48,15%) dari angka tersebut dapat
dilihat bahwa taraf pendidikan yang baik antara ketiga kabupaten tersebut adalah
Kabupaten Kaur dengan pendidikan responden lebih dari 9 tahun jauh lebih
banyak daripada taraf pendidikan yang kurang dari 9 tahun.
5.1.1.2 Mata Pencaharian
Mata pencaharian responden pada umumnya adalah sebagai petani, baik
itu petani sawah maupun petani kebun. Namun, selain sebagai petani ada juga
beberapa responden yang bergerak pada bidang lain misalnya sebagai pedagang,
sebagai honorer, dan buruh bangunan. Pengelompokan responden berdasarkan
mata pencaharian selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 4.
30
Petani Buruh Tani Buruh Bangunan Pedagang Honorer
Kabupaten Kaur Kabupaten B/S Kabupaten Seluma
Gambar 4 Karakteristik responden pencari gaharu berdasarkan mata pencaharian.
Gambar 4 menunjukan bahwa sebagian besar mata pencaharian responden
adalah sebagai petani yaitu sebanyak 37 orang (62%) dengan masing-masing
jumlah per kabupaten secara berurutan 17:5:15 atau (63% : 62% : 61%)
sedangkan mata pencaharian responden yang lainya adalah sebagai buruh tani 11
orang (18,33%) dengan masing-masing kabupaten secara berurutan 4:3:5
(15%:23%:20%), buruh bangunan sebanyak 7 orang (12%) dengan rincian 4
orang dari Kabupaten Kaur dan 2 orang dari Kabupaten Seluma (15%:12%),
pedagang sebanyak 4 orang (6 %) dari Kabupaten Kaur 2 orang dan 2 orang dari
Kabupaten Seluma (7%:7%), dan sebagai honorer hanya 1 orang dari 60
responden (15%). Mata pencaharian responden yang beragam ini sangat
mempengaruhi jumlah pendapatan dan pengeluaran responden pancari gaharu.
5.1.1.3 Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga
Pendapatan rumah tangga petani berbeda antara pencari yang satu dengan
yang laiinya. Perbedaan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya sumber
pendapatan atau mata pencaharian yang di miliki. Demikian juga dengan
pengeluaran rumah tangga kelompok pencari berbeda. Untuk melihat distribusi
pendapatan dan pengeluaran rumah tangga kelompok pencari dapat dilihat pada
Tabel 10.
31
Tabel 10 Distribusi pendapatan dan pengeluaran rumah tangga pencari gaharu
No Rentang (Rp) Pendapatan Pengeluaran
Kaur B/S Seluma Total Kaur B/S Seluma Total
1 250.000-500.000 3 1 1 5 2 2 5 9
2 500.000-750.000 5 2 8 15 18 3 16 37
3 750.000-1.000.000 4 1 9 14 4 2 1 7
4 1.000.000-1.250.000 6 - 4 10 3 1 3 7
5 1.250.000-1.500.000 6 2 2 10 - - - -
6 >1.500.000 3 2 1 6 - - - -
Sumber : Data Primer Diolah (2010)
Keterangan :
B/S : Bengkulu Selatan
Tabel 10 menunjukkan bahwa sebagian besar responden pencari memiliki
penghasilan pada rentang Rp 500.000-Rp 1.000.000 per bulan yaitu sebanyak 29
orang dari 60 responden (48,33%). Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat seberan
pendapatan pencari gaharu bahwa mayoritas pencari memiliki pendapatan pada
rentang Rp 500.000-Rp 750.000 yaitu sebanyak 15 responden dan pencari yang
memiliki pendapatan pada rentang Rp 750.000- Rp 1.000.000 yaitu 14 responden.
Selain itu, terdapat beberapa responden yang memiliki pendapatan yang cukup
tinggi yaitu lebih dari Rp 1.000.000 sebanyak 26 responden yang tersebar pada
rentang yang berbeda. Grafik di atas menunjukan bahwa pencari yang memiliki
pendapatan pada rentang Rp 1.000.000-Rp 1.250.000 adalah sebanyak sepuluh
responden, dan pencari yang memiliki pendapatan pada rentang Rp 1.250.000-Rp
1.500.000 adalah sebanyak sepuluh responden, serta pencari yang memiliki
pendapatan lebih besar dari Rp 1.500.000 adalah sebanyak enam responden.
Tabel 10 menunjukan bahwa mayoritas pencari memiliki pengeluaran
sebesar Rp 500.000-Rp 750.000 yaitu sebanyak 37 responden, selain itu Tabel 10
juga menunjukan bahwa pengeluaran pencari paling besar adalah Rp 1.000.000-
Rp 1.250.000 yaitu sebanyak tujuh responden.
5.1.2 Pedagang Pengumpul Kecil
Pedagang pengumpul kecil dalam pengusahaan gaharu merupakan pelaku
usaha gaharu yang berperan sebagai perantara antara pencari gaharu dan pedagang
pengumpul besar. Pedagang pengumpul kecil dan pedagang pengumpul besar
memiliki keterkaitan yang erat karena pedagang pengumpul kecil merupakan
32
penunjukan dari pedagang pengumpul besar untuk membantu pedagang
pengumpul besar dalam mengumpulkan gaharu dari kelompok pencari gaharu.
Penunjukan yang dimaksud adalah pedagang pengumpul kecil merupakan orang
yang dipercaya oleh pedagang pengumpul besar dan merupakan rekomendasi dari
pedagang pengumpul besar, sehingga pedagang pengumpul kecil mendapatkan
izin dari BKSDA. Dengan adanya keterkaitan izin ini pedagang pengumpul kecil
berkewajiban untuk melaporkan pembelian dan melakukan penjual kepada
pedagang pengumpul besar.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan bahwa hanya terdapat satu pedagang
pengumpul kecil di tiga kabupaten lokasi penelitian yang terdapat di Kabupaten
Kaur dan pedagang pengumpul kecil ini memulai usahanya sejak tahun 2000
sampai sekarang. Kegiatan yang dilakukan oleh pedagang pengumpul kecil mulai
dari membeli gaharu dari kelompok pencari, melakukan pensortiran, pengaritan
dan penjualan kepada pedagang pengumpul besar. Kegiatan pembelian gaharu ini
tentu memerlukan modal yaitu berupa modal pegetahuan tentang kualitas, modal
tunai dan modal investasi. Modal pengetahuan sangat diperlukan dalam
melakukan pembelian gaharu dari kelompok pencari karena harga yang akan
ditetapkan berdasarkan kualitas gaharu yang akan dibeli, sedangkan modal tunai
juga sangat diperlukan karena dalam pembelian pedagang pengumpul kecil harus
membayar langsung gaharu yang dibeli dari kelompok pencari gaharu, selain itu
pedagang pengumpul kecil juga memberikan modal kepada kelompok pencari
gaharu. Modal investasi ditingkat pedagang pengumpul kecil berupa modal
gudang yang digunakan untuk menjadi tempat penyimpanan gaharu dan peralatan
yang digunakan dalam proses penjualan gaharu berupa timbangan dan kendaraan
roda dua.
Terdapat beberapa hambatan yang dihadapi oleh pedagang pengumpul kecil
di antaranya jumlah pembelian gaharu sangat tergantung pada hasil yang
diperoleh kelompok pencari, modal yang dimiliki oleh pedagang pengumpul kecil
seringkali mengalami kemacetan karena kelompok pencari yang tidak
mendapatkan hasil sesuai dengan target dan juga semakin banyaknya pembeli
gaharu yang illegal yang memberikan harga lebih tinggi.
33
5.1.3 Pedagang Pengumpul Besar
Pedagang pengumpul besar merupakan pusat sistem pemasaran gaharu di
provinsi Bengkulu, pedagang pengumpul besar menerima penjualan gaharu dari
pencari langsung maupun dari pedagang pengumpul kecil dan menjualnya
langsung kepada eksportir yang ada di Kepulauan Riau.
Kegiatan yang dilakukan oleh pedagang pengumpul besar sama halnya
seperti yang dilakukan oleh pedagang pengumpul kecil yaitu pengumpulan,
pensortiran, pengaritan, pengemasan dan penjualan (pengangkutan). Pedagang
pengumpul besar di Kabupaten Bengkulu Selatan Provinsi Bengkulu ini mulai
bergerak sejak tahun 1984 sampai dengan sekarang. Jenis gaharu yang terdapat di
Provinsi Bengkulu berupa gubal gaharu dan kemedangan gaharu. Rata-rata
pembelian yang dilakukan dari kelompok pencari gaharu sebanyak 15-20 kg,
sedangkan dari pedagang pengumpul kecil sebanyak 20 kg dalam satu periode
penjualan. Rata-rata penjualan yang dilakukan pedagang pengumpul besar ke
tingkat eksportir sebanyak 150-200 kg sekali penjualan. Kegiatan pensortiran
yang dilakukan oleh pedagang pengumpul besar melibatkan 4 orang dengan
sistem upah pembayaran per barang masuk, pengaritan juga dilakukan pedagang
pengumpul besar dengan melibatkan 5 orang dengan sistem pembayaran upah per
kg pengaritan gaharu. Tenaga kerja ditingkat pedagang pengumpul besar
merupakan anggota keluarganya sendiri dan kerabat. Pedagang pengumpul besar
yang terdaftar memiliki izin yang resmi untuk melakukan pembelian dan
penjualan gaharu. Untuk mendapatkan izin sebagai pedagang pengumpul ada
beberapa hal yang harus dipenuhi dan dipatuhi sebagai pedagang pengumpul.
Sama halnya dengan pedagang pengumpul kecil, pedagang pengumpul
besar memiliki permasalahan dan resiko usaha yang cukup besar di antaranya
jumlah pembelian yang sangat tergantung pada hasil kelompok pencari, modal
yang sering mengalami kemacetan karena pencari tidak mendapatkan hasil sesuai
dengan target atau kelompok pencari yang tidak dapat mengembalikan modal
yang diberikannya dan terjadinya resiko penjualan pada saat gaharu dijual kepada
eksportir. Resiko penjualan yang terkadang dihadapi adalah harga jual gaharu
34
yang terkadang tidak sesuai dengan target dan perkiraan pedagang pengumpul
besar.
5.2 Proses Pencarian Gaharu
Proses pencarian gaharu diawali dengan memasuki kawasan-kawasan hutan
alam yang diduga banyak terdapat pohon penghasil gaharu, kawasan hutan di
provinsi Bengkulu yang biasanya didatangi oleh kelompok pencari gaharu adalah
kawasan hutan Air Tenam, Simpur, Air Kaghapan, Air Keruhan, Air kilighan, Ulu
Alas, Kawasan hutan Bengkulu Selatan, Gunung Kumbang, Bukit Puguak,
Gunung Bungkuk, sampai kawasan hutan Lampung bahkan kawasan hutan
lindung. Pohon yang mengandung gaharu yang menjadi incaran oleh kelompok
pencari gaharu di Provinsi Bengkulu adalah pohon karas (A. malaccensis).
5.2.1 Waktu Pencarian Gaharu
Pencarian gaharu biasanya dilakukan pada musim paceklik yaitu pada bulan
Maret sampai September. Proses pencarian dilakukan di dalam hutan dengan
lamanya waktu pencarian tergantung pada keahlian, kondisi topografi daerah yang
didatangi, kondisi fisik dari anggota kelompok pencari serta jarak lokasi hutan
yang akan didatangi. Terdapat perbedaan waktu pencaraian gaharu di Provinsi
Bengkulu dengan tempat lain, sebagai contoh pencarian gaharu di Provinsi
Bengkulu dilakukan selama 14-15 hari (1-2 minggu), di Kepulauan Riau
mencapai 2-6 minggu, sedangkan di Kabupaten Manggarai Flores waktu
pencarian hanya dalam hitungan hari yaitu 3-7 hari (1 minggu). Waktu pencarian
gaharu di Bengkulu relatif lebih pendek daripada di Riau hal ini diduga karena
jumlah anggota kelompoknya yang lebih banyak. Sedangkan di Kabupaten
Manggarai waktu pencarian relatif sangat singkat dengan jumlah anggota juga
sedikit dibandingkan dengan pencari di Bengkulu hal ini menyebabkan jumlah
pendapatan pencari gaharu di Kabupaten Manggarai juga relatif lebih sedikit
(0,7-2 kg) per periode pencarian.
Saat ini pencarian gaharu sudah tidak membutuhkan waktu berbulan-bulan
lagi karena aksessibilitas untuk menuju lokasi sudah cukup baik dengan melalui
jalan besar yang sebagian sudah beraspal saat menuju pinggir hutan dan jalan
setapak saat masuk ke dalam hutan dengan jarak yang di tempuh 6-10 km yang
ditempuh dalam waktu 2-5 jam.
35
5.2.2 Perbekalan dan Peralatan Pencarian Gaharu
Mengingat beban perjalanan yang berat dan lamanya perjalanan pada proses
pencarian, maka setiap kelompok pencari membawa perbekalan masing-masing
untuk memenuhi kebutuhan selama proses pencarian.
Tabel 11 Perbekalan pencarian gaharu dalam satu periode (2 minggu) No Nama Barang Jumlah Satuan Harga
1 Beras 7,50 Kg 45.000,00
2 Kelapa 4,00 Buah 6.000,00
3 Minyak tanah 0,50 Liter 3.000,00
4 Minyak goreng 0,25 Kg 2.250,00
5 Garam 1,00 Bungkus 1.000,00
6 Cabe 0,25 Kg 3.750,00
7 Mie Goreng 5,00 Bungkus 6.500,00
8 Kopi 0,50 Kg 6.000,00
9 Gula 0,50 Kg 4.500,00
10 Sabun 1,00 Bungkus 2.000,00
11 Pasta gigi 1,00 Bungkus 2.500,00
Total 82.500,00
Sumber : Data Primer Diolah (2010)
Tabel 12 Peralatan pencarian gaharu di Bengkulu
No Nama Alat Kegunaan
Bengkulu Samarinda
1
2
3
4
5
6
Parang
Kapak
Pisau Kecil
Pahat Cekung
Garut/ Arit
Pahat
- Untuk membuat/membersihkan jalan rintisan
- Membersihkan tumbuhan bawah disekitar pohon gaharu yang akan
ditebang
- Melukai pohon untuk mendeteksi kandungan gaharu
- Membelah dan mencincang pohon yang menghasilkan gaharu
- Membersihkan kayu yang mengandung gaharu
- Mendeteksi pohon mengandung gaharu - Menebang pohon - Membelah bagian-bagian batang
Membersihkan kayu dari bagian kayu
-
- Membersihkan batang/ kayu yang mengandung gaharu
- Membersihkan kayu yang tidak mengandung gaharu
- Memisahkan gaharu dari bagian kayu - Mengambil bagian kayu yang
mengandung gaharu
Menajamkan peralatan
- Membuat jalan rintisan - Identifikasi gaharu melalui
pelukaan
- Memisahkan gaharu dari bagian kayu
- Menebang pohon - Identifikasi gaharu melalui
pelukaan
- Memisahkan gaharu dari bagian kayu
- Memisahkan kayu dari bagian kayu
- Memisahkan kayu dari bagian gaharu
-
-
36
7 Batu Asahan -
Sumber : Data Primer Diolah (2010) dan BPK Samarinda
Gambar 5 Peralatan pencarian gaharu.
Peralatan yang digunakan oleh kelompok pencari gaharu di provinsi
Bengkulu sedikit lebih banyak dibandingkan dengan peralatan yang digunakan
oleh kelompok pencari di Samarinda, namun demikian perbedaan alat ini tidak
begitu berpengaruh pada hasil dan kualitas yang diperoleh oleh kelompok pencari
gaharu. Peralatan dan perlengkapan tersebut berupa alat-alat sederhana yang
berukuran tidak terlalu besar, ringan, mudah dibawa dan harga yang murah.
Walaupun perlengkapan tersebut sederhana, akan tetapi perlengkapan tersebut
sangat berguna selama proses pencarian. Perbekalan akan digunakan untuk
memenuhi kebutahan selama di dalam hutan, begitu juga dengan peralatan yang
dibawa akan sangat berguna dalam proses pencarian gaharu ini.
5.2.3 Teknik Mencari Gaharu
Teknik pencarian gaharu sangat penting dimiliki dan dipahami oleh
kelompok pencari gaharu karena teknik pencarian ini akan berpengaruh pada hasil
yang didapatkan pada saat melakukan pencarian gaharu, selain itu juga teknik
pencarian gaharu juga berpengaruh pada populasi pohon penghasil gaharu.
Populasi pohon penghasil gaharu semakin berkurang apabila dalam teknik
pencarian gaharu yang tidak benar. Hal ini dapat dilihat dari beberapa tahun
terakhir ini pencari gaharu mengalami kesulitan dalam memperoleh gaharu di
hutan, ini disebabkan semakin langka jenis pohon penghasil gaharu (karas).
Kesulitan ini tidak terlepas dari teknik pencarian gaharu yang merusak pohon
penghasil gaharu itu sendiri. Teknik-teknik yang penting diperhatikan dalam
proses pencarian gaharu yaitu: teknik pendugaan pohon, teknik penebangan
pohon, teknik pembersihan, dan teknik pengaritan.
37
5.2.3.1 Teknik Pendugaan Pohon
Proses pencarian gaharu diawali dengan pencarian pohon penghasil gaharu
oleh setiap anggota kelompok di lokasi yang menyebar. Setalah menemukan
pohon yang mengandung gaharu maka anggota kelompok yang lain akan diajak
untuk melakukan penebangan pohon gaharu tersebut. Karena tidak semua pohon
penghasil gaharu mengandung gaharu, maka sebelum pohon tersebut ditebang
terlebih dahulu dilakukan pendugaan isi gaharu. Pengetahuan cara pendugaan
pohon yang mengandung gaharu sangat diperlukan oleh setiap kelompok pencari
gaharu terutama bagi para pencari gaharu pemula agar tidak terjadi salah tebang
pada pohon yang tidak mengandung gaharu. Adapun ciri-ciri pohon yang
mengandung gaharu dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13 Ciri-ciri pohon mengandung gaharu No Bagian Bagian Pohon Ciri-Ciri
Bengkulu Kaltim dan NTB Manggarai
1 Luar Batang Terlihat tidak sehat
(terinfeksi jamur), terdapat
garis-garis luka (alur),
banyak benjolan berwarna
coklat/ hitam
Terinfeksi, hidup merana,
terdapat lengkungan dan
benjolan berwarna coklat
hingga hitam, batang
terpilin berwarna coklat
tua sampai hitam
Cabang yang sudah
cukup lama terpotong/
bagian batang yang
terluka, banyak semut
hitam pada pohon
Ranting Keropos dan banyak patah -
Kulit Kulit kering mengelupas,
mudah ditarik (dibuka),
kulit kayu mudah putus,
dan terdapat bintik-bintik
dan berduri-duri
- Kulit rapuh dan dapat
ditarik seperti tali
Daun Menguning dan
berguguran
Menguning dan
berguguran
Berwarna kuning
Akar Mengelupas dan Keropos Mengelupas -
2 Dalam Batang Terdapat alur seperti luka
warna coklat/hitam,
bintik-bintik seperti
ditusuk duri
-
-
Kulit
Dilukai
Kulit bagian dalam
berduri
Ditemukan gaharu kelas
Tri dilapisi selaput
berwarna putih
-
-
-
-
38
Dibakar Beraroma wangi dan khas - -
Sumber : Data Primer Diolah (2010), Balai Litbang Kehutanan Kalimantan(2003) dan Universitas Nusa
Cendana (1995)
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di beberapa tempat,
ciri-ciri pohon yang mengandung gaharu dari tahun ke tahun mengalami
perkembangan, seperti yang dilihat pada Tabel 13 bahwa penelitian pada tahun
1996 menunjukan hanya terdapat empat ciri pohon yang mengandung gaharu dan
pada tahun 2004 ciri semakin banyak ditemukan, sedangkan pada tahun 2010 di
Bengkulu ciri-ciri pohon yang mengandung gaharu tersebut semakin diperhatikan
dari bagian-bagian pohon yang diduga mengandung gaharu tersebut. Hal ini
menjukan bahwa adanya peningkatan pengetahuan tentang pendugaan pohon yang
mengandung gaharu. Walaupun pengetahuan tersebut semakin berkembang tetapi
pengetahuan mengenai ciri pohon yang mengandung gaharu tersebut belum
menjadi solusi dalam kesalahan penebangan pohon penghasil gaharu. Hal ini
disebabkan karena masih banyak pencari gaharu yang belum begitu ahli dan
memahami ciri-ciri kayu yang mengandung gaharu tersebut. Selain itu juga kerena
belum adanya keahlian pencari gaharu dalam pendugaan seberapa banyak dan
kuat kandungan gaharu yang ada didalam pohon yang akan ditebang tersebut
sehingga dapat mempercepat punahnya pohon penghasil gaharu.
5.2.3.2 Teknik Peneb
Top Related