EKSTRAKSI KARAGINAN
Oleh :
Nama : Dely UtamiNIM : B1J008066Kelompok : 7Rombongan : IIAsisten : Nita Wahyu Suwardani
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONALUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGIPURWOKERTO
2011
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rumput laut merupakan tumbuhan laut yang belum dapat dibedakan
antara akar, batang dan daunnya, olehkarena itu disebut thalophyta. Rumput laut
memiliki banyak manfaat bagi kehidupan dengan banyaknya produk-produk rumput
laut yang dapat di manfaatkan dalam bidang kesehatan, industry, pangan, kosmetik,
dan sebagainya. Beberapa produk rumput laut antara lain: Agar, karagenan, dan
furselaran diekstrak dari rumput laut merah (Rhodophyceae), sedangkan alginat
diekstrak dari rumput laut coklat (Phaeophyceae). Secara alami terdapat tiga fraksi
karagenan yaitu kappa-karagenan, lamda-karagenan, dan iota-karagenan.
Disamping dari rumput laut, hidrokoloid hasil ekstraksi dapat juga diperoleh dari
ekstrak tanaman seperti pectin dan ekstrak hewan seperti gelatin
Mengingat bahwa rumput laut banyak tersebar di wilayah perairan kita
serta merupakan sumber komoditi hasil laut, maka pihak pemerintah khususnya
pemerintah kabupaten yang bersentuhan langsung dengan masyarakat perlu
mengupayakan pengetahuan keterampilan para penduduk di wilayah pesisir (petani
atau nelayan) untuk mengolah rumput laut menjadi bahan olahan seperti karaginan
sehingga nantinya dapat meningkatkan sumber pendapatan masyarakat yang
secara langsung juga meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
Sumberdaya laut dan pesisir memberi kesejahteraan masyarakat sekitar
60% rakyat Indonesia yang hidup di kawasan pesisir (Coastal Zona). Penangkap
ikan tradisional (Tradicional Fisher) merupakan bagian dari penduduk miskin (poor
community) di Indonesia. Faktor-faktor penyebab kemiskinan masyarakat antara
lain, pertumbuhan populasi penduduk yang relatif cepat, menurunnya luasan lahan
pertanian yang tersedia, sifat perairan laut yang bisa digunakan oleh siapa saja
(common property). Sebagai akibatnya, jumlah Tradicional Fisherman mengalami
peningkatan sekitar 50% dibandingkan satu dekade terakhir. Sementara itu,
sumberdaya laut belum terkelolah secara optimal, bahkan sumberdaya tersebut
mengalami degradasi kualitas akibat adanya kelebihan tangkap (over fishing); dan
cara penangkapan yang bersifat dekstruktif; adanya fenomena pendangkalan dan
pencemaran yang berasal dari aktivitas manusia di kawasan hulu, seperti aktivitas
industri pertanian, kehutanan, perikanan budidaya dan pertambangan;
pembangunan fisik di wilayah pantai (Physical Developtment of Beach Zone).
Perusakan sumberdaya alam dan masalah lingkungan di zona pesisir
telah mempengaruhi pola kehidupan masyarakat terutama nelayan tradisional.
Rumput laut merupakan salah satu sumber devisa negara dan sumber pendapatan
bagi masyarakat daerah pesisir pantai. Wilayah Indonesia yang sebagian besar
terdiri atas perairan laut merupakan negara yang kaya akan komoditas rumput laut.
Karaginan sampai saat ini belum diolah di Indonesia, walaupun bahan baku
yang digunakan (Eucheuma cottonii) untuk membuat karaginan banyak terdapat di
Indonesia. Karaginan adalah campuran yang kompleks dari beberapa polisakarida.
Ada tiga jenis karaginan, yaitu lamda, kappa, dan iota. Lamda dan kappa karaginan
dapat diekstrak dari rumput laut jenis Chondrus crispus dan beberapa spesies
Gigartina, sedangkan iota karaginan diekstrak dari Eucheuma spinosum. Karaginan
banyak dimanfaatkan pada industri farmasi, kosmetik, makanan dan minuman
seperti susu, keju, kecap, susu coklat, sirop, biscuit, dan es krim. Juga untuk pet
food dan keramik (Fikly, 2008).
Rumput laut yang tumbuh di perairan Indonesia tidak semuanya bermanfaat
bagi manusia. Rumput laut yang bernilai ekonomis penting kebanyakan dari jenis
Rhodophyta, khususnya Eucheuma sp. dan Gracillaria sp.. jenis rumput laut yang
paling banyak dimanfaatkan dan dibudidayakan serta merupakan suatu usaha yang
sangat bagus dalam dunia perdagangan adalah jenis rumput laut Eucheuma cotonii.
Jenis rumput laut ini banyak dimanfaatkan karena penggunaannya sangat luas
dalam bidang industri seperti industri makanan, kosmetik, obat-obatan bahkan
sebagai komoditas ekspor.
Selain jenis rumput laut penghasil agar-agar, terdapat juga jenis lain yang
cukup potensial dan banyak di perairan Indonesia yaitu Eucheuma sp. yang dapat
menghasilkan karaginan dan dapat dimanfaatkan dalam berbagai kegunanaan,
dimana karaginan tersebut bersifat hidrocolloid, terdiri dari dua senyawa utama,
senyawa pertama bersifat mampu membentuk gel dan senyawa kedua mampu
menyebabkan cairan menjadi kental. Pemakaian karaginan diperkirakan 80%
digunakan di bidang industri makanan, farmasi dan kosmetik. Pada industri
makanan sebagai stabilizer, thickener, gelling agent, additive atau komponen
tambahan dalam pembuatan coklat, milk, pudding, instant milk, makanan kaleng
dan bakery (Aslan, 1991) untuk industri non food antara lain pada industri farmasi
yaitu sebagai suspensi, emulsi, stabilizer dalam pembuatan pasta gigi, obat obatan,
mineral oil. Industri-industri lain misalnya pada industri keramik, cat dan lain-lain.
B. Tujuan
Tujuan dari praktikum ekstraksi karaginan ini adalah:
1. Untuk mengetahui rendemen dari ekstraksi karaginan.
2. Untuk mengetahui proses karaginan dari rumput laut dari Euchema cotonii.
II. Tinjauan Pustaka
Rumput laut merupakan golongan alga yaitu tumbuhan berklorofil yang
terdiri dari satu atau banyak sel dan berkoloni. Alga dapat dibedakan berdasarkan
pigmentasinya. Selain berklorofil, alga juga mengandung zat warna lainnya seperti
biru, keemasan, pirang, dan merah (Afrianto et al., 1993).
Dalam dunia ilmu pengetahuan, rumput laut dikenal sebagai alga. Alga
mempunyai bentuk yang bermacam-macam seperti benang atau tumbuhan tinggi.
Ciri utamanya tidak dapat dibedakan antara organ akar, batang, dan daun. Alga
bersifat autotrof yaitu dapat hidup sendiri tanpa tergantung kepada mahkluk lain.
Proses pertumbuhan rumput laut sangat bergantung kepada sinar matahari untuk
melakukan fotosintesis (Munaf, 2000).
Alga dapat dibedakan berdasarkan pigmentasinya. Selain berklorofil, alga
juga mengandung zat warna lainnya seperti biru, keemasan, pirang, dan merah
(Afrianto, et al., 1993). Rumput laut yang dikonsumsi sebagai bahan pangan
mempunyai beberapa nilai gizi tinggi didalamnya. Diantaranya mengandung
sejumlah protein, vitamin, dan beberapa mineral essensial yang dibutuhkan
manusia. Rumput laut mempunyai kandungan protein antara 4% sampai 25% dari
berat kering. Kandungan asam amino dalam protein bervariasi bergantung pada
faktor iklim, habitat, umur, bagian thalus, serta kondisi pertumbuhan seperti cahaya,
nutrien, dan salinitas (Insan dan Widyartini, 2001).
Karaginan merupakan suatu filakoid yang berupa polisakarida. Selain itu
juga merupakan sumber hidrokoloid penting sehingga hasil ekstraksinya dapat
digunakan sebagai penebal, pengemulsi, penstabil, pengental, dan pengikat
substansi pada industri makanan, farmasi, kosmetik, tekstil, keramik, dan karet.
Karaginan dipasaran merupakan tepung berwarna kekuning-kuningan. Karaginan
mudah larut dalam air membentuk larutan kental atau jel yang tergantung dari
proporsi fraksi kappa atau iota (Setyowati et al., 1998). Rumput laut penghasil
karaginan yaitu Eucheuma cottonii, E. isiforme, E. spinosum, Gigartina, dan
Gymnogongrus sp. (Poncomulyo et.al., 2006).
Menurut Food Chemical Codex (1974), yang disebut karaginan minimal
harus mengandung sulfat 18% dari berat kering, sedangkan agar-agar hanya
mengandung sulfat 3–4%. Karaginan sampai saat ini belum diolah di Indonesia
walaupun bahan baku yang dapat digunakan untuk membuat karaginan banyak
terdapat di Indonesia antara lain Eucheuma spinosum. Seperti halnya agar-agar
dan karaginan yang dapat dihasilkan dari ganggang merah (Rhodophyceae), alginat
yang dapat dihasilkan dari ganggang coklat jenis Sargassum banyak pula
digunakan. Sampai saat ini jumlah rumput laut jenis ini sangat sedikit di Indonesia.
Rumput laut penghasil karaginan (Carragenophyte), yaitu Eucheuma
spinosum, Eucheuma cottonii, Eucheuma striatum, sudah dibudidayakan di
Indonesia. Pembudidayaan dilakukan di tempat-tempat yang kondisi arusnya relatif
tenang, sehingga produktivitasnya dapat ditingkatkan. Wilayah Indonesia yang 70
persen berupa laut dan terdapat 17.500 pulau, merupakan negara yang kaya akan
rumput laut. Rumput laut segar tidak dapat disimpan lama pada suhu ruang. Oleh
karena itu, harus diolah menjadi bentuk rumput laut kering, tepung agar, tepung
alginat, atau tepung karaginan (Soegiarto, et.al. 1999)
E. cottonii dan E. spinosum merupakan rumput laut yang secara luas
diperdagangkan, baik untuk keperluan bahan baku industri di dalam negeri maupun
untuk ekspor. Sedangkan E. edule dan Hypnea sp hanya sedikit sekali
diperdagangkan dan tidak dikembangkan dalam usaha budidaya. Hypnea biasanya
dimanfaatkan oleh industri agar. Sebaliknya E. cottonii dan E. spinosum
dibudidayakan oleh masyarakat. Dari kedua jenis tersebut E. cottonii yang paling
banyak dibudidayakan karena permintaan pasarnya sangat besar. Jenis lainnya
Chondrus spp., Gigartina spp., dan Iridaea spp tidak ada di Indonesia (Whistler,
et.al., 1973).
Pengolahan karaginan masih jarang dilakukan. Padahal prosesnya hampir
sama dengan pengolahan agar-agar. Kalau pada waktu ekstrasi untuk
mendapatkan agar-agar memakai asam, maka untuk mendapatkan karagenan
memakai basa. Bila penanganan pascapanen telah sempurna, proses selanjutnya
dapat dilakukan secara sederhana untuk skala rumah tangga dan dapat juga
dilakukan untuk skala industri. Indonesia belum mempunyai standar mutu
karaginan. Standar mutu yang dikenal adalah EEC Stabilizer Directive dan
FAO/WHO Specification. Tepung karaginan mempunyai standar 99 % lolos
saringan 60 mesh, tepung yang terendap alcohol 0,7 dan kadar air 15 % pada RH
50 dan 25 % pada RH 70.
Karaginan dipasaran merupakan tepung berwarna kekunung-kuningan.
Karaginan mudah larut dalam air membentuk larutan kental atau gel yang
tergantung dari proporsi fraksi kappa atau iota. Karaginan dalam dunia peridustrian
berbentuk garam apabila bereaksi dengan sodium, natrium, kalsium dan potassium
(Setyowati, 1998).
III. MATERI DAN METODE
A. Materi
Alat-alat yang digunakan yaitu thermometer, timbangan analitik, kertas pH,
pompa vacuum, pengaduk dan alat penjepit cawan, kain saring 40-100 mesh,
blender, alat pemanas, oven, gelas ukur 50, 100, 500 ml, cawan, pipet, dan
erlenmeyer.
Bahan utama yang digunakan untuk proses pembuatan karaginan yaitu
rumput laut Eucheuma cottonii, KOH 10%, alkohol 96%, NaCI 0,05%, kaporit dan
akuades.
B. Metode
Euchema cotonii
Direndam dengan air kaporit
(sampai berubah warna)
Dicuci dengan akuades
Direndam dengan air
Direbus sebanyak 300 gram Euchema cotonii
Selama 15 menit
Diblender
Direbus kembali selama 3 jam
Diberi larutan KOH 10 % selama 2 jam
(pH 8-9)
Disaring
Diberi larutan NaCl 0,05 % sebanyak 50 ml
Selama 30 menit
Dimasukkan alkohol 96 % sebanyak 400 ml
Sampai mengendap
Diaduk dan dibiarkan sampai mengendap
Serat basahnya disaring
Direndam kembali dalam alkohol 96 %
Selama 30 menit
Serat basah karaginan yang kaku disaring
Dikeringkan dengan oven suhu 600C
Selama 15-20 jam
Nilai rendemen karaginan dihitung
I.
II. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Rendemen karaginan = Produk akhir (g) x 100%
Berat bahan baku (g)
=
= 22,23 %
B. Pembahasan
Karaginan adalah senyawa hidrokoloid yang diekstraksi dari rumput laut
merah jenis Eucheuma cottonii. Karaginan dapat digunakan untuk meningkatkan
kestabilan bahan pangan baik yang berbentuk suspensi (dispersi padatan dalam
cairan), emulsi (dispersi gas dalam cairan). Selain itu dapat digunakan sebagai
bahan penstabil karena mengandung gugus sulfat yang bermuatan negatif
disepanjang rantai polimernya dan bersifat hidrofilik yang dapat mengikat air atau
gugus hidroksil lainnya (Suryaningrum, 2000). Karena sifatnya yang hidrofilik maka
penambahan karaginan dalam produk emulsi akan meningkatkan viskositas fase
kontinyu sehingga emulsi menjadi stabil. Karaginan dapat berfungsi dalam industri
makanan sebagai bahan pengental, pengemulsi dan stabilisator suhu. Karaginan
digunakan dalam industri makanan, kosmetik dan tekstil (Kadi, 1990).
Karaginan merupakan polisakarida yang diekstraksi dari rumput laut merah
dari jenis Chondrus, Eucheuma, Gigartina, Hypnea, Iradea dan Phyllophora.
Polisakarida ini merupakan galaktan yang mengandung ester asam sulfat antara 20
-30% dan saling berikatan dengan ikatan (1,3): B (1,4) D glikosidik secara berselang
seling. Karaginan juga merupakan suatu campuran yang kompleks dari beberapa
polisacharida. Lambda dan Kappa karaginan secara bersama-sama dapat diekstrak
dari rumput laut jenis Chondrus crispus dan beberapa species dari Gigartina,
sedangkan lota karaginan diekstrak dari Eucheuma cottinii (Aslan, 1991).
Karaginan adalah polisakarida sulfat galaktopyranose yang banyak
digunakan dalam kedua produk non-makanan, makanan, dan sebagai pengental
dan stabilisator. Termasuk ke dalam keluarga polisakarida galaktan yang juga
termasuk agar, dan diproduksi oleh alga merah (Rhodophyta). Karaginan adalah
galaktan sulfat linier dengan beta 3-terkait- D-galactopyranosyl residu dan 4-linked
3,6-anhydroalpha- D galactopyranosyl residu. Ada sekitar 15 jenis Karaginan yang
berbeda dalam hal jumlah dan posisi kelompok sulfat dan adanya jembatan 3,6-
anhydro substruktur. Karaginan telah heterogen strukturnya, yang dapat bervariasi
sesuai dengan jenis alga, tahap dalam siklus hidup, dan prosedur pengolahan
(Henares, 2010).
Menurut Committee on Food Chemicals Codex (1996), untuk dapat
diklasifikasikan sebagai karaginan, polisakarida pada rumput laut harus
mengandung 18- 40% asam sulfat berdasarkan berat kering dan terbagi atas tiga
kelompok utama yaitu kappa, iota, dan lambda karaginan. Kappa karaginan
tersusun dari 1,3-D-galaktosa-4-sulfat dan (1,4) 3,6-anhydro-D-galaktosa.
Standar mutu karaginan dalam bentuk tepung adalah 99% lolos saringan 60
mess dan memiliki tepung densitas adalah 0,7 dengan kadar air 15%. Suhu gelasi
dari karaginan berbanding lurus dengan konsentrasi kation yang terdapat dalam
sistem. Standar karaginan yang kini banyak dikenal adalah EEC Stabilizer Directive
dan FAO atau WHO Specification (Winarno, 1996).
Standar mutu karaginan mengacu pada Committee on Food Chemicals
Codex (1996), karena di Indonesia belum mempunyai standar mutu karaginan.
Spesifikasi karaginan menurut CFCC :
Spesifikasi CFCC
Zat volakl maksimal 12%
Asam sulfat 18-40 %
Abu 15-40%
Viskositas (1,5% lart, 75C) min. 5cps
Logam berat Pb (ppm) maks.10
Hasil berat kering karaginan yang didapat yaitu sebesar 6,67 gram.
Sedangkan berat rumput laut kering yang digunakan yaitu 20 gram. Sehingga dapat
diperoleh rendemen karaginan yaitu sebesar 22,23%. Suwandi et al., (1998),
menjelaskan bahwa karaginan adalah suatu polisakarida dengan berat molekul
besar, mengandung unit D-galaktosa yang berulang yaitu 3,6-anhydro-D-galaktosa
(3,6-AG) dan D-galaktosa sulfat. Pengikatan D-galaktosa terjadi melalui rantai
(1,3) dan ikatan (1,4) galaktosa.
Ekstraksi karaginan dari rumput laut Eucheuma pada prinsipnya merebus
rumput laut dalam larutan alkali kemudian disaring, dijendalkan, dipres dan
dikeringkan kembali. Ekstraksi dipengaruhi beberapa faktor antara lain lama dan
suhu ekstraksi. Proses ekstraksi dengan alkali mempunyai fungsi untuk membantu
ekstraksi polisakarida menjadi lebih sempurna sehingga dapat meningkatkan
kekuatan gel. Waktu ekstraksi mempengaruhi kekentalan larutan karaginan
(Suryaningrum, 2000).
Tahapan proses ekstraksi karaginan tersebut memiliki beberapa tujuan yaitu
pada proses Perebusan dengan air memiliki tujuan untuk melunakkan rumput laut.
Proses penghancuran dengan diblender bertujuan untuk menghaluskan rumput laut,
sedangkan pada proses Ekstraksi ditambahkan KOH 10 % yang berfungsi untuk
menstabilkan pH agar tetap 8-9.Proses pemucatan ditambah dengan kaporit
0,025% yang berfungsi untuk memucatkan, dan fungsi larutan yang lain yaitu
Natrium Hidroksida (NaOH) untuk mengatur pH, filter (Celite atau tanah diatomae)
untuk membantu proses penyaringan. Alkohol untuk mengendapkan karaginan dan
Natrium Clorida (NaCl) untuk membantu pengendapan karaginan (Istini et.al.,
2006).
Perlakuan alkali membantu ekstraksi polisakarida menjadi sempurna, juga
mempercepat terbentuknya 3,6 anhidrogalaktosa selama proses ekstraksi
berlangsung. Karaginan mempunyai jenis yang sensitif terhadap ion kalium dan ion
kalsium. Rendemen karaginan juga dipengaruhi lama dan suhu ekstraksi. Semakin
lama proses ekstraksi dan semakin tinggi suhu ekstraksi akan meningkatkan
rendemen karaginan. Hal ini disebabkan karena semakin lama rumput laut kontak
dengan panas maupun dengan larutan pengekstrak, maka semakin banyak
karaginan yang terlepas dari dinding sel dan menyebabkan rendemen karaginan
semakin tinggi. Rendemen dipengaruhi oleh jenis, iklim, metode ekstraksi, waktu
pemanenan dan lokasi budidaya. Selain itu rendemen juga dipengaruhi oleh skala
produksi, dimana skala produksi yang besar akan menghasilkan rendemen yang
besar pula (Suryaningrum, 2002).
Eucheuma merupakan salah satu jenis rumput laut dari kelas Rhodophyceae
(alga merah). Eucheuma memiliki thalli (kerangka tubuh tahanan) bulat silindris atau
gepeng, berwarna merah, merah-coklat, hijau-kuning, memiliki percabangan
berselang tidak beratur (dikhotomus atau trikhotomous) memiliki benjolan-benjolan
(glant nodule) dan duri-duri atau spines. Eucheuma memiliki thalli yang ‘gelatinus’
dan atau ‘kartilagenous’ (lunak seperti tulang rawan) (Aslan, 1991).
Mutu karaginan ditentukan oleh jenis rumput laut, daerah budidaya, cara
ekstraksi (suhu ekstraksi, pH ekstraksi, lama ekstraksi) dan metode pemisahan
karaginan (Setyowati et al., 1998). Bahan rumput laut yang digunakan dalam
praktikum ini yaitu Eucheuma cottonii. Termasuk rumput laut merah dengan
klasifikasi menurut Alexopoulus (1996), adalah :
Divisi : Rhodophyta
Class : Rhodophyceae
Ordo : Eucheumales
Family : Eucheumaceae
Genus : Eucheuma
Spesies : Eucheuma cottonii
Ciri-ciri Eucheuma cottonii adalah thallus dan cabang-cabangnya berbentuk
silindris atau pipih, percabangannya tidak teratur dan kasar (sehingga merupakan
lingkaran) karena ditumbuhi oleh nodulla atau spine untuk melindungi gametan.
Ujungnya runcing atau tumpul berwarna coklat ungu atau hijau kuning. Spina
Eucheuma cottonii tidak teratur menutupi thallus dan cabang-cabangnya.
Permukaan licin, cartilaginous, warna hijau, hijau kuning, abau-abu atau merah.
Penampakan thallus bervariasi dari bentuk sederhana sampai kompleks (Kadi,
1990).
Eucheuma sp. Memiliki komposisi zat organik kadar air 27,5%, protein
5,40%, abu 22,25%, lemak 8,62% dan serat kasar 3,01% (Soegiarto et al., 1978).
Eucheuma cotonii dapat menghasilkan karaginan melalui ekstraksi. Karaginan
dapat berfungsi industri makanan sebagai bahan pengental, pengemulsi, dan
stabilisator pada suhu, coklat, es krim, keju, jelly, dan makanan ternak, pada industri
kosmetik dan pada bidang farmasi (Setyowati et al., 1998).
Proses pembuatan tepung karaginan dari rumput laut secara hidrasi menurut
Setyowati et al., (1998), melalui tahapan seperti ekstraksi, pengendapan,
pengeringan, dan penepungan. Sebelum ekstraksi, rumput laut dibersihkan dari
kotoran berupa karang, kapur, batu-batuan, pasir, lumpur dan garam mineral.
Kotoran ini dipisahkan dengan pencucian dan dilanjutkan dengan pengeringan.
Afrianto dan Liviawati (1993), menjelaskan bahwa sebelum diekstraksi, rumput laut
yang telah dikeringkan dapat direndam dalam larutan kaporit 0,25% atau kapur
tohor 0,5% kemudian diaduk selama tiga hari hingga rumput laut menjadi pucat
(proses pemucatan).
Prosedur isolasi karaginan dari berbagai rumput laut telah banyak
dikembangkan. Umumnya prosedur ini terdiri atas tiga tahapan kerja yaitu ekstraksi,
penyaringan, dan pengendapan. Tahapan ekstraksi, kecepatan dan daya larut
karaginan dalam air dipengaruhi oleh temperatur dan waktu proses bergabungnya
seluruh fraksi karaginan dari rumput laut dengan fraksi air yang digunakan sebagai
media pelarut. Di samping itu, stabilitas karaginan sangat ditentukan oleh pH larutan
(Bawa et al., 2007).
Proses pembuatan karaginan meliputi :
1. Persiapan
Rumput laut yang digunakan adalah Eucheuma cottonii yang kering ditimbang
seberat 30 g.
2. Perebusan
Rumput laut direbus dengan air selama 15 menit dengan perbandingan 1:15,
kemudian dihaluskandengan blender.
3. Ekstraksi
Ekstraksi dilakukan dengan merebus rumput laut selama 6 jam dengan
perbandingan 1:30. Nilai pH air ekstraksi diatur dengan menambahkan larutan
KOH 10% sehingga pHnya menjadi 8-9 (basa). Fungsi KOH disini adalah untuk
mengatur pH.
4. Penyaringan
Hasil yang didapat kemudian disaring dengan kain kasa dalam keadaan panas
untuk menghindari pembentukan gel.
5. Pemucatan
Larutan hasil penyaringan kemudian dipucatkan (bleaching) dengan kaporit
0,25% (20 menit) lalu ditambah dengan NaCl 0,05% untuk memudahkan
pengendapan.
6. Pengendapan
Tahap ini dilakukan dengan menambahkan alkohol 96% dengan perbandingan
1:2 sedikit demi sedikit sambil diaduk-aduk selama 15 menit sampai terbentuk
serat-serat karaginan.
7. Perendaman
Serat basah karaginan yang didapat kemudian direndam kembali dengan
alkohol 96% selama 30 menit sehingga didapat serat karaginan yang lebih
kaku, kemudian diperas lagi.
8. Pengeringan
Hasil endapan tersebut dikeringkan dalam oven pada suhu 600C hingga kering
selama 15-20 menit
9. Analisis hasil
Karaginan yang didapat kemudian dihitung rendemen. Adapun kandungan
rendemen karaginan dapat dihitung dengan menggunakan metode yang
digunakan dengan rumus:
Rendemen agar (%) = Produk a k hir x 100%
Bobot bahan baku
Menurut Atmadja et al,. (1998), karaginan dengan kualitas yang baik
mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
1. Pemerian
Karaginan tidak berbau, berbentuk serbuk kasar, berwarna krem sampai coklat
terang.
2. Berat molekul
Berat molekul rata-rata karaginan bentuk kappa adalah 2 x 107, iota adalah 1,5
x 106, sedangkan lambda tidak diketahui.
3. Kelarutan
Semua karaginan larut dalam air panas (lebih dari 75C). Kappa dan iota tidak
larut dalam air suling yang bersuhu 20 C sedangkan lambda larut. Winarno
(1985), menambahkan bahwa tingkat kelarutan karaginan akan semakin besar
pada suhu yang lebih tinggi dan waktu proses yang lama.
4. Pembentukan gel
Larutan panas (lebih dari 75C) kappa dan iota karaginan akan membentuk gel
pada waktu pendinginan. Lambda tidak dapat membentuk gel baik dalam
larutan panas maupun dingin. Gel dari kappa dan iota dapat mencair kembali
pada saat larutan dipanaskan.
5. Kekentalan
Dalam keadaan dingin, karaginan akan mengalami kenaikan kekentalan yang
nyata jika dicapai suhu gelnya. Setyowati et al., (1998), menambahkan bahwa
karaginan dapat terlepas dari dinding sel dan larut jika kontak dengan panas.
Suasana basa akan memprcepat ekstraksi ataupun bisa menyebabkan
degradasi yaitu berubahnya atau putusnya susunan rantai molekul dan
menurunnya jumlah ester sulfat. Perubahan ini akan menghasilkan karaginan
dengan viskositas rendah.
Karaginan dipasaran merupakan tepung berwarna kekunung-kuningan.
Karaginan mudah larut dalam air membentuk larutan kental atau gel yang
tergantung dari proporsi fraksi kappa atau iota. Karaginan dalam dunia perindustrian
berbentuk garam apabila bereaksi dengan sodium, natrium, kalsium dan potassium
(Setyowati, 1998).
Karaginan adalah komponen dinding sel yang tersusun atas perulangan unit
galaktosa dan 3,6 anhidrogalaktosa yang dihubungkan dengan ikatan 1,3 dan 1,4
glikosidik secara bergantian. Peningkatan permintaan karaginan di pasar global
setiap tahun mencapai 5 % dari prediksi total produksi karaginan per tahun yakni ±
58. 930 ton, dan dimanfaatkan untuk dairy product 33 %, food grade 25 %, produk
daging, dan ayam 15 %, water gel 15 %, pasta gigi 6 % dan lain-lain (Jamal, 2009).
Karaginan secara luas digunakan dalam makanan untuk tujuan gelasi,
pengentalan, stabiliser dan emulsi, suspensi dan buih dan untuk mengendalikan
pertumbuhan kristal. Hal ini karena sifat karaginan yang dapat berfungsi sebagai
gelling agent, thickhe agent, stabilizer dan emulsifrer (Winarno, 1985). Lebih lanjut
menambahkan fungsi karaginan pada berbagai industri seperti farmasi dan
kosmetika adalah sebagai bodying agent dan pensuspensi dalam industri cat,
pertanian dan keramik.
Fungsi karaginan dalam sistem susu sudah dikenal dan dipelajari selama
bertahun-tahun. Berinteraksi sinergis dengan protein susu, terutama kasein, untuk
menghasilkan peningkatan viskositas dan gelasi . Salah satu aspek dari ini
'reaktivitas susu' dari karaginan dalam sistem non-gel adalah kemampuannya untuk
menghambat visual fase pemisahan antara kasein dan polisakarida yang terjadi
mudah karena ketidakcocokan biopolimer stabilisator polisakarida perlu untuk
ditambahkan ke produk susu untuk peningkatan produk fungsionalitas (Spagnuolo,
2005).
Kegunaan karaginan yang lain yaitu sebagai pengatur keseimbangan,
pengental, pembentuk gel, dan pengemulsi. Karaginan banyak digunakan dalam
industri makanan untuk pembuatan kue, roti, makroni, jam, jelly, sari buah, bir, es
krim, dan gel pelapis produk daging. Dalam industri farmasi banyak dimanfaatkan
untuk pasta gigi dan obat-obatan. Selain itu juga dapat dimanfaatkan dalam industri
tekstil.
III. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan dan praktikum, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa:
1. Kandungan karaginan dari rumput laut jenis Eucheuma cottonii sebesar
22,23%.
2. Proses pembuatan karaginan meliputi, persiapan, perebusan, ekstraksi,
penyaringan, pemucatan, pengendapan, perendaman, pengeringan, dan
analisis hasil.
3. Karaginan digunakan sebagai penebal, pengemulsi, penstabil, pengental,
dan pengikat substansi pada industri makanan, farmasi, kosmetik, tekstil,
keramik, dan karet.
DAFTAR REFERENSI
Afrianto, E. dan Evi Liviawati. 1993. Budidaya Rumput Laut dan Cara Pengolahannya. Bathara. Jakarta.
Aslan, L.M. 1991. Budidaya Rumput Laut. Kanisius, Yogyakarta.
Bawa I G. A. G., A. A. Bawa Putra, dan Ida Ratu Laila. 2007. Penentuan pH Optimum Isolasi Karaginan dari Rumput Laut Jenis Eucheuma cottonii. Jurnal Kimia. 1(1). 15-20.
Fikly, I. 2008. Kajian Terap Teknologi Pengolahan Rumput Laut Skala Rumah Tangga Di Kabupaten Selayar. Diakses Minggu, 18 Mei 2008 03:57.
Food Chemical Codex. 1974. Seaweeds and their uses in Japan, Tokai University Press, Tokyo. CHAPMAN, V.J. 1970, Seaweeds and their uses, Methuen & Co. LTD, London. DAVIDSON, R.L., 1980 Handbook of Water-Soluble Gums and Resins, Mc. Graw-Hill, Inc, New York.
Henares. B. M. Erwin P.E. Fabian M. D. and Nina R. L. Rojas. 2010. Iota-Carrageenan Hydrolysis by Pseudoalteromonas Carrageenovora IFO12985. Department of Chemistry, School of Science and Engineering, Ateneo de Manila University, Loyola Heights, Quezon City, Philippines Philippine Journal of Science 139 (2): 131-138, December 2010 ISSN 0031 - 7683
Insan, A. L. dan D. S. Widyartini. 2001. Makroalgae. Fakultas Biologi. Universitas
jenderal Soedirman, Purwokerto.
Istini, S., A. Zatnika dan Suhaimi. 2006. Manfaat dan Pengolahan Rumput Laut. http://www.fao.org/docrep/field/003/AB882E/AB882E14.htm.
Jamal, Endang. 2009. Pengaruh Warna Cahaya Berbeda Terhadap Kandungan Karaginan Kappaphycus alvarezii Varian Merah. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura. Jurnal Triton Volume 5, No 2, Oktober 2009. Hal 26-30.
Kadi, A. 1990. Inventarisasi Rumput Laut di Teluk Tering dalam Perairan Pulau Bangka, (ed) Anonimous. LIPI. Jakarta. hal : 45 - 50.
Munaf, R. D. 2000. Rumput Laut : Proyek Sistem Informasi ilmu Pengetahuan Nasional Guna Menunjang pembangunan. Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah LIPI, Jakarta.
Setyowati, B., B. Sasmita dan H. Nursyam. 1998. Pengaruh Jenis Rumput Laut dan Lama ekstraksi terhadap Peningkatan Kualitas karaginan. UNIBRAW. Malang.
Setyowati, D. 1998. Pengaruh Jenis rumput Laut dan Lama Ekstraksi Terhadap Peningkatan Kualitas Karaginan dan Hubungan Dengan Fungsi Karaginan Sebagai Stabilisator Susu Kedelai. Laporan Penelitian Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya, Malang.
Spagnuolo. P.A. D.G. Dalgleish, H.D. Goff, E.R. Morris. 2005. Kappa-Carrageenan Interactions In Systems Containing Casein Micelles accccnd Polysaccharide
Stabilizers. Department of Food Science, University of Guelph, Gordon Street Guelph, Ont., Canada. Food Hydrocolloids 19 (2005) 371–377
Soegiarto, A. H. Mubarak, S. dan W. S. Atmaja. 1978. Rumput Laut (Algae), Manfaat dan Budidaya. LON. LIPI, Jakarta.
Suryaningrum., D., Murdinah., Arifin M. 2000. Penggunaan kappa-karaginan sebagai bahan penstabil pada pembuatan fish meat loaf dari ikan tongkol (Euthyinnus pelamys. L). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol: 8/6.
Whistler, R.L., dan BE Miller, J.N., 1973, Industrial Gums, Academic Press, New York.
Winarno, F.G. 1985. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Anggota IKAPI, Jakarta.
Top Related