1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebijakan pangan satu negara akan sangat menentukan kondisi ketahanan
pangan negara tersebut. Idealnya seperti yang diterakan FAO1 bahwa satu negara
berhak untuk memiliki kedaulatan pangan dengan otoritas penuh terhadap
pengaturan baik produktivitas, distribusi, serta penetuan harga atau jaminan
adanya akses yang merata dengan kuantitas dan kualitas yang baik bagi seluruh
masyarakatnya. Hal ini jelas merujuk pada pandangan nasionalis atau merkantilis
yang melihat negara sangat diperlukan dalam memberi proteksi terkait sektor vital
ini. Namun pada praktiknya kemudian, di era globalisasi yang sarat akan bentuk
bentuk liberalisasi perdagangan ini, tindakan proteksi berlebihan oleh satu negara
dianggap sebagai penghambat perdagangan dan sangat dilarang keras.
Hal ini kemudian menimbukan dilema khususnya bagi negara berkembang
seperti Indonesia yang sebagai negara agraris justru tidak memiliki kedaulatan
atas pangannya sehingga krisis ketahan pangan sering terjadi. Hal ini dikarenakan
untuk pemenuhan pangannya Indonesia telah bergantung pada impor. Salah satu
pangan strategis Indonesia dengan jumlah impor terbesar adalah komoditas
kedelai. Kedelai merupakan salah satu komoditi yang paling dibutuhkan di
Indonesia mengingat Indonesia merupakan salah satu konsumen kedelai terbesar
1 FAO REPORT. Food Security PDF. 2011 dapat diunduh di http://bbc.world/fao.htm diakses pada
1 April 2013
2
yakni sekitar 26 juta ton tiap tahunnya, namun sayangnya petani domestik hanya
mampu menghasilkan 700 ton tiap tahunnya. Situasi ini sangat janggal mengingat
sebagai negara konsumen kedelai terbesar, hingga saat ini Indonesia belum
mampu meningkatkan ketahanan komoditi pangan satu ini untuk pemenuhan
rakyatnya, justru bergantung pada negara lain.
Ironisnya, seperti yang diterakan Romphius2, sebenarnya Indonesia telah
menanam kedelai sejak 1750. Sementara Amerika yang notebene sebagai importir
kedelai dunia baru memulainya pada 1950-an, Brasil dan Argentina baru mulai
1970-1980-an. Dari segi pengalaman budi daya petani Indonesia khususnya Jawa
dan Bali sudah memiliki pengalaman yang panjang. Hanya saja seiring dengan
upaya pengembangan budidaya kedelai, impor kedelai tetap dilakukan guna
memenuhi permintaan domestik yang tinggi. Impor kedelai di Indonesia sudah
terjadi sejak zaman penjajahan Belanda pada tahun 1929, yaitu sebanyak 68.000
ton dari Manchuria, walaupun produksi dalam negeri sudah mencapai 127.000 ton
pertahun. Setelah kemerdekaan, impor kedelai dimulai lagi pada tahun 1971
sebesar 277 ton, kemudian meningkat menjadi 171.746 ton pada tahun, 1976 dan
naik lagi menjadi 400.000 ton pada tahun 19843. Sebenarnya hingga awal tahun
90an impor kedelai tidak pernah lebih dari 500.000 ton dan produksi dalam negeri
terus meningkat bahkan di tahun 1992, produksi dalam negeri dapat mencapai 1.9
juta.
2 Usman Sunyoto. Politik dan Ketahanan Pangan Kedelai. Yogyakarta: CIRED. 2004. hal 10
3. Swastika. Menata Ulang Kebijakan Pangan kedelai . Bogor: Badan Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pertanian. 2006 hal 31
3
Pada perkembangannya kemudian, Indonesia ikut serta dalam liberalisasi
perdagangan oleh WTO dalam Agreement of Agriculture ( AoA) di tahun 1995
dan Letter of Intent IMF di tahun 1998,4 membuat proteksi dan subsidi serta
hambatan tarif dan non tarif harus dihapuskan, hasilnya adalah kedelai lokal tidak
mampu bersaing dan akhirnya banyak petani kedelai yang berpindah komoditi.
Hal ini lah yang kemudian menjadi lingkaran setan (vicius cycle). Produktivitas
kedelai lokal semakin menurun dan impor semakin meningkat yang akhirnya
membuat Indonesia menjadi ketergantungan dan permasalahan ini sulit
diselesaikan hingga saat ini. Dampak lanjutan berupa krisis pangan kedelai dunia
dan fluktuasi harga kedelai dunia yang tidak menentu dan dapat melonjak drastis
secara tiba-tiba seperti yang terjadi di tahun 2008, hingga 2012.
Berbagai program swasembada guna mencapai kemandirian pangan dan
ketahanan pangan jangka panjang sudah sering dilakukan, dan yang baru-baru ini
dikeluarkan untuk menangangani krisis kedelai di tahun 2012, dengan pasokan
kedelai dunia yang menurun dan lonjakan harga di pasar domestik, adalah
rancangan pemerintah untuk mengembalikan fungsi pengawasan, stock buffer,
price stabilizer dan penjamin pasar kedelai lokal kepada BULOG yang sempat
dilarang dalam LoI 1998. Program lengkap guna mendorong tercapainya
swasembada pada tahun 2014 juga telah dibentuk dengan ekspektasi produksi
kedelai dalam negeri mencapai 2,7 juta ton dengan laju peningkatan produksi
mencapai 1.5 ton/ha dari sebelumnya yang hanya 1.3 ton/ha. Dari hitungan ini
4 Ibid
4
maka pada tahun 2014 terdapat surplus 137 ribu ton. Dengan jumlah ini maka
impor diasumsikan tidak lagi diperlukan. Selain itu, pemerintah telah menetapkan
harga pembelian pemerintah atau HPP sebesar Rp.7000/kg pada Juni 20135.
Namun, program pemerintah untuk swasembada ini kerap mendapat
tantangan yang cukup berat. Data statistik di lapangan memperlihatkan produksi
tahun lalu yang hanya 851 ribu ton, yang berarti terdapat defisit produksi hingga
1,9 juta ton untuk mencapai 2.7 juta ton. Dengan hitungan sederhana maka setiap
tahun, produksi harus meningkat rata-rata 1.4 juta ton. Hal ini jelas angka yang
sulit. Selain itu, pengembalian fungsi BULOG sebagai kontrol harga dan stock
buffer untuk mengatasi lonjakan harga kedelai internasional juga akan sulit
dilaksanakan mengingat hingga kini, untuk mengurusi beras saja BULOG masih
sangat kewalahan mengingat kurangnya dana untuk stock buffering sehingga
tidak bisa mengontrol harga di pasar. Terlebih pada akhir Agustus 2013, seiring
dengan melambungnya nilai tukar dollar menjadi Rp.11.000, maka harga kedelai
juga ikut meningkat drastis menjadi Rp.9000/kg. Permasalahan kedelai ini selalu
sulit untuk diselelesaikan mengingat program swasembada yang selalu
kontradiktif dengan kebijakan peningkatan impor, penurunan tarif masuk, serta
kelonggaran bagi importir bebas.
Terlihat adanya ambiguitas dalam kebijakan kedelai Indonesia dengan
tidak adanya ketegasan terkait blueprint dan kedaulatan atas pangan sehingga
5 Supadi. Ketahanan Pangan dan Produktivitas Kemandirian Pertanian Indonesia PDF. 2006.
Dapat diunduh di http://pustaka-deptan.go.id/publikasi/p3273085.pdf diakses pada 12 September 2013
5
pemerintah selalu saja mengeluarkan kebiajakan yang bersifat inkrementalis
dimana sasarannya hanya jangka pendek dan tidak sustain dengan hanya mencari
solusi pemenuhan permintaan domestik yang dari tahun ke tahun jauh melebihi
produksi lokal, dengan terus melakukan impor dan mengikuti alur perdagangan
bebas dengan menurunkan tariff guna mendapat harga yang murah di pasar
domestik tanpa pertimbangan atas multiplyer effect yang terjadi bagi produktivitas
lokal dan ketahanan pangan jangka panjang. Pola kebijakan inkrementalis ini
tidak pernah berubah
B. Rumusan Masalah
Penelitian ini akan menjelaskan bagaimana bentuk politik kebijakan
pemerintah terkait pangan kedelai dan mengapa kebijakan tersebut selalu bersifat
inkrementalis dengan menganalisa peran serta kepentingan aktor-aktor terkait
C. Fokus Penelitian
Peran dan kepentingan aktor aktor penting terkait isu kedelai menjadi
fokus tulisan ini dalam melihat bagaimana inkrementalisme / pragmatisme
kebijakan kedelai dibentuk dan dilaksanakan
D. Jangkauan Penelitian
Penelitian ini akan menitikberatkan pada kebijakan kedelai Indonesia
pasca liberalisasi pangan era Soeharto
6
E. Tujuan Penelitian
Indonesia dihadapi pada dilema antara kedaulatan pangan guna pencapaian
kemandirian dan ketahanan pangan kedelai yang sustain dan stabil (swasembada),
atau kebijakan penyelesaian permasalahan terkait desakan pemenuhan kebutuhan
jangka pendek (impor). Terlihat bahwa terdapat ambiguitas dalam penentuan
kebijakan pangan dan permasalahan antara food security dan food sovereignty
dimana situasi perkedelaian di Indonesia telah dikuasai oleh tata niaga pangan
yang sarat akan liberalisasi, namun di satu sisi keinginan untuk menjaga
keamanan pangan tetap dilakukan. Hal ini merupakan perdebatan panjang dan
fenomena krisis pangan yang berujung pada naiknya harga kedelai di tahun 2008
dan 2012-2013, maka penelitian terkait analisa kebijakan pangan kedelai
Indonesia ini perlu dilakukan untuk mendapat penjelasan komprehensif mengenai
bagaimana sebenarnya kebijakan terkait pangan kedelai Indonesia tersebut dibuat.
Penelitian ini mencoba menjelaskan faktor penyebab ambiguitas kebijakan pangan
kedelai yang memiliki tujuan untuk meningkatkan produktivitas kedelai lokal
namun selalu saja terganjal kebijakan untuk impor. Untuk itu analisa peran dan
pengaruh aktor-aktor terkait akan dibahas.
F. Tinjauan Pustaka
Sebenarnya cukup banyak literatur yang mengkaji mengenai kondisi
problematis terkait kebijakan pangan khususnya kedelai di Indonesia. Kedelai
sebagai pangan strategis memiliki tingkat konsumsi yang tinggi yakni sekitar 2-3
juta ton setiap tahunnya dan mengalami peningkatan sekitar 1.5-3 % setiap tahun.
7
Tulisan yang spesifik membahas mengenai produktivitas kedelai di
Indonesia dapat ditemui pada tulisan Romphius ( 2005 ) yang memetakan sejarah
dan perkembangan usaha tani kedelai di indonesia yang ternyata telah mulai
dibudidayakan pada abad ke-17 , jauh lebih dulu dibandingkan dengan importir
kedelai terbesar yakni Amerika. Pada waktu itu kedelai dibudidayakan sebagai
tanaman makanan dan pupuk hijau. Sampai saat ini di Indonesia kedelai banyak
ditanam di dataran rendah yang tidak mengandung air.
Hanya saja hingga kini produktivitas kedelai lokal tidak menunjukkan
peningkatan yang signifikan, hal ini tentu menjadi masalah seiring dengan
semakin meningkatnya jumlah permintaan / konsumsi domestik inilah yang
menimbulkan permasalahan pangan dan mendorong pemerintah untuk mengimpor
kedelai demi pemenuhan kebutuhan pangan. Menurut Swastika ( 1997: 50 ),
tingginya pertumbuhan konsumsi kedelai Indonesia disebabkan oleh dua faktor
utama, yaitu pertumbuhan penduduk dan pesatnya pertumbuhan industri pangan
dan pakan. Pertumbuhan penduduk menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan
industri pangan seperti tahu, tempe kecap, dan pangan olahan lainnya. Sedangkan
peningkatan industri pakan sejalan dengan meningkatnya industri peternakan yang
dikarenakan oleh tingginya kebutuhan akan produk turunan hasil peternakan.
Namun demikian, produktivitas kedelai justru mengalami penurunan setiap
tahunnya, ini merupakan permasalahan yang kompleks.
Penelitian Sumarno ( 1990 ) juga memperlihatkan fenomena yang sama
dengan menambahkan bahwa sebenarnya Indonesia pada tahun tahun 1975 hingga
1995, Indonesia mampu berswasembada kedelai, bahkan sempat mengalami net
8
impor negatif, hanya saja hal ini tidak berlangsung lama, dikarenakan tingginya
lonjakan permintaan untuk konsumsi kedelai di dalam negri sehingga kuantitas
impor pun ditingkatkan bahkan hingga kini ketergantungan impor masih
berlangsung. Oleh karenanya, menurutnya perlu diterapkan program
pengembangan usahatani kedelai atau program swasembada yang serius oleh
pemerintah.
Penelitian lain yang melihat bahwa sebenarnya Indonesia sulit melepaskan
ketergantungan terhadap impor kedelai dikarenakan oleh tingginya pinjaman
tanpa bunga atau nilai kredit yang diberikan oleh negara eksportir seperti Amerika
terhadap importir lokal serta preferensi baik perajin tahu tempe serta produk
olahan kedelai lainnya untuk menggunakan kedelai impor yang jauh lebih murah
dan dinilai memiliki kualitas lebih baik. Hal ini dikemukakan oleh Siswono (
2003 ) yang melihat dampak liberalisasi pangan dan kerjasama ekonomi bagi
komoditi pangan strategis Indonesia. Hal ini terlihat dari analisis data oleh Hafsah
( 2003 ) terkait pemberian kredit lunak oleh USDA ( Departmen Pertanian
Amerika Serikat sebesar 12 juta US$ setiap tahunnya dan terus mengalami
peningkatan seperti pada tahun 2001 sebesar 650 juta US$ dan tahun 2002 sebesar
750 juta US$.
Penelitian selanjutnya oleh Ridha Amaliyah yang menjabarkan tiga pilar
utama AoA adalah sebagai berikut ( Ridha Amaliyah: 2008 )
a) Akses Pasar ( Market Access )
Mekanisme-mekanisme kunci dalam komitmen ini adalah membangun
perdagangan dengan rezim tarif (tariffication), pengurangan tarif, dan pengikatan
9
besarnya tarif masing-masing produk pertanian. Tarifikasi atau yang juga disebut
comprehensive tariffication pada prinsipnya adalah mekanisme penarifan tanpa
kecuali. Penarifan ini dilakukan dengan mengubah semua bentuk kebijakan non-
tarif menjadi tarif yang senilai (tariff ekivalen). Artinya, proteksi di sektor
pertanian sebenarnya masih diperbolehkan, asalkan proteksi tersebut dalam
bentuk tarif, tanpa harus mengurangi tingkat proteksinya. Pengurangan tarif
ditetapkan rata-rata sebesar 36 persen atau minimal 15 persen yang berlaku untuk
setiap mata tarif dalam jangka waktu 6 tahun dan hanya berlaku bagi negara-
negara maju. Untuk negara berkembang, penurunan tarifnya sebesar 24 persen
atau minimal 10 persen untuk setiap mata tarif dalam jangka waktu 10 tahun.
Sasaran penurunan tarif adalah hambatan non-tarif yang sudah diganti dengan
tarif.
b) Subsidi Domestik
Komitmen ini diwujudkan dalam bentuk kebijakan penurunan subsidi baik
untuk produksi maupun dalam bentuk pengalihan/transfer dana kepada produsen.
Isi 231 kesepakatan dalam AoA dirancang agar dukungan domestik diubah
sedemikian rupa sehingga dapat dihilangkan, atau kalaupun ada maka
pengaruhnya terhadap distorsi perdagangan dan produksi pertanian kecil sekali.
Untuk mengakomodasi kepentingan negara-negara berkembang, tidak semua
subsidi perlu dipotong. Mereka dapat diklasifikasikan dalam kategori khusus.
Kategori tersebut dapat digolongkan dalam Green Box, Blue Box, dan Amber Box.
Green box merupakan subsidi yang secara tidak langsung mendukung produk
pertanian. Subsidi ini dianggap tidak terlalu mengacaukan pasar. Blue box
10
merupakan subsidi yang berupa pembayaran langsung kepada petani untuk
membatasi jumlah produksi. Selain itu, juga diperuntukkan bagi bantuan
pemerintah yang bertujuan untuk mendorong sektor pertanian dan pembangunan
pedesaan di negara berkembang. Sedangkan, Amber box adalah subsidi yang
secara langsung dianggap mengacaukan perdagangan, tetapi boleh diberikan
untuk sementara dengan syarat akan dihapuskan secara bertahap.
c) Subsidi Ekspor
Komitmen ini dimaksudkan untuk mendisiplinkan kebijakan dan tindakan
pemerintah yang menyalurkan bantuan terhadap ekspor dalam bentuk subsidi
ekspor. Pengurangan subsidi ekspor dilaksanakan pada target volume komoditas
yang diekspor maupun dalam bentuk nilai (budgetary). Pengurangan dalam
bentuk nilai diberlakukan kewajiban penurunan sebesar 36 persen dan penurunan
kuantitas volume sebesar 21 persen dari total ekspor dalam kurun waktu enam
tahun dengan menggunakan tahun dasar periode 1980-1990 untuk negara maju.
Kewajiban pengurangan nilai sebesar 24 persen dan kewajiban pengurangan
volume sebesar 14 persen dalam jangka waktu sepuluh tahun untuk negara
berkembang.
Amaliyah menganalisa terdapat kaitan antara perjanjian pertanian WTO
ini dengan ketahanan pangan Indonesia khususnya kedelai dimana kedelai lokal
tidak mampu bersaing dengan kedelai impor yang mengakibatkan banyaknya
petani kedelai lokal yang akhirnya beralih pada komoditi lain dimana daya saing
dengan impornya masih tidak terlalu lemah. Selain itu krisis ekonomi di tahun
1998, yang memaksa Indonesia untuk melakukan perjanjian ( Letter of Intent )
11
dengan IMF terkait pemberian hutang luar negri yang mana menuntut Indonesia
untuk menerapkan beberapa program yang dibentuk IMF yang salah satu
diantaranya adalah penghapusan subsidi untuk usaha tani kedelai dan membuka
keran impor seluas-luasnya.
Penelitian serupa mengenai liberalisasi pertanian juga dilakukan oleh
Maryoto ( 2004 ) yang menyimpulkan bahwa persoalan yang muncul pada aspek
pertanian negara berkembang saat ini sudah sangat komplek, tidak lagi hanya
persoalan kuantitas dan kualitas produksi dan hambatan terkait sektor financial,
infrastruktur dan teknologi saja, tapi permasalahan yang lebih sulit datang dari
lonjakan produk impor serta strategi untuk dapat bertahan dalam kompetisi ini.
Penelitian Ryan Primarsati (2008) menekankan pada pengaruh perubahan harga
kedelai terhadap masyarakat, penelitia Rini Romala (2010) menekankan pada
bagaimana bentuk kebijaka pangan pasca liberalisasi pangan di era Soeharto dan
penelitian Aditya Rahmana (2008) menekankan pada hubungan ekonomi politik
dalam ketahanana pangan Indonesia.
Kebanyakan penelitian terdahulu hanya fokus pada pengaruh satu
kebijakan internasional terhadap kebijakan impor pangan kedelai (seperti AoA
atau LoI saja), namun tidak secara komprehensif menjelaskan dilema
berkepanjangan yang dihadapi Indonesia untuk swasembada dalam ranah
domestik, maka untuk melengkapi penelitian terdahulu, penelitian ini akan
mencoba memberi penjelasan lebih komprehensif terkait ambiguitas kebijakan
pangan kedelai Indonesia yang dipengaruhi tidak saja oleh desakan sederet
perjanjian yang mengharuskan untuk liberalisasi atau peran AS sebagai eksportir
12
kedelai terbesar, tapi analisa mendalam yang membahas bagaimana dan mengapa
bentuk perpolitikan kebijakan kedelai di Indonesia bersifat pragmatis /
inkremental dengan tarik menarik kepentingan antar aktor pro impor dan
swasembada.
G. Kerangka konseptual
Seperti apa yang dikatakan oleh Milton Friedman6 mengenai pertumbuhan
pangan yang berdasarkan deret hitung, dan pertumbuhan penduduk yang erdasarkan
deret ukur, masalah pangan terus saja menjadi permasalahan tidak berkesudahan.
Namun peningkatan permintaan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan
berkurangnya ketersediaan / produksi pangan domestik bukanlah penyebab tunggal
masalah pangan satu negara. Kebijakan pangan yang tidak tepat merupakan faktor
utama. Untuk kasus kedelai di Indonesia, kebijakan yang dirumuskan pemerintah
kerap menghadapi dilema antara swasembada atau impor.
Jika ditelisik lebih jauh terdapat permasalahan antara penerapan kebijakan
demi mencapai ketahanan pangan (food security) dimana berdasarkan konsep yang
dirumuskan dalam world food summit 1996yang menekankan akses semua orang
terhadap pangan pada setiap waktu, tidak memandang di mana pangan itu diproduksi
dan dengan cara bagaimana yang berarti selama kebutuhan pangan nasional dapat
dipenuhi, maka impor diperbolehkan. Atau memilih untuk lebih menitikberatkan
pada pencapaian kedaulatan pangan yang berarti pemenuhan pangan sendiri dengan
6 Milton Friedman. Food Security and Demography PDF. 1953. Dapat diunduh di
http://socjologia.amu.edu.pl/isoc/userfiles/40/friedman-1953.pdf diakses pada 30 September
2013
13
blueprint atau kebijakan yang mandiri tanpa dipengaruhi oleh konstelasi politik
internasional serta adanya proteksi terhadap petani dan perdagangan pangan lokal.
Untuk dasar / landasan kebijakan terkait pangan sendiri, Indonesia telah
memiliki Undang Undang pangan No 7 tahun 19967, dimana disebutkan bahwa
ketahanan pangan adalah adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga
yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup , baik jumlah maupun
mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Pemerintah bertanggung jawab atas
pengendalian, pembinaan, dan pengawasan mulai dari proses produksi, distribusi
hingga konsumsi.
Lebih lanjut disebutkan bahwa tujuan pengaturan, pembinaan, dan
pengawasan pangan adalah:
a. Tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi
kepentingan kesehatan manusia;
b. Terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab; dan
c. Terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar dan
terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Undang Undang ini juga menjelaskan mengenai cadangan pangan
nasional, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang terdiri atas:
a.Cadangan pangan Pemerintah;
b.Cadangan pangan masyarakat.
7 Kementan. Undang Undang Pangan No 7 Tahun 1996 PDF. 1996. Dapat diunduh di
http://ditjennak.deptan.go.id/download.php?file...1996.pdf diakses pada 30 September 2013
14
Dalam upaya mewujudkan cadangan pangan nasional, sebagaimana
dimaksud pada ayat, maka Pemerintah:
a. Mengembangkan, membina, dan atau membantu penyelenggaraan cadangan
pangan masyarakat dan Pemerintah di tingkat perdesaan, perkotaan, propinsi, dan
nasional;
b. Mengembangkan, menunjang, dan memberikan kesempatan seluas-luasnya
bagi peran koperasi dan swasta dalam mewujudkan cadangan pangan setempat
dan atau nasional.
Selanjutnya pada pasal Pasal 48 diterangkan bahwa untuk mencegah dan
atau menanggulangi gejolak harga pangan tertentu yang dapat merugikan
ketahanan pangan, Pemerintah mengambil tindakan yang diperlukan dalam
rangka mengendalikan harga pangan tersebut.
Pasal 49 menyatakan pemerintah melaksanakan pembinaan yang meliputi
upaya:
a. Pengembangan sumber daya manusia di bidang pangan melalui kegiatan
pendidikan dan pelatihan, terutama usaha kecil;
b. Untuk mendorong dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan
pengembangan sumber daya manusia, peningkatan kemampuan usaha kecil,
penyuluhan di bidang pangan, serta penganekaragaman pangan;
c. Untuk mendorong dan mengarahkan peran serta asosiasi dan organisasi profesi
di bidang pangan;
d. Untuk mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dan atau pengembangan
teknologi di bidang pangan;
15
e. Penyebarluasan pengetahuan dan penyuluhan di bidang pangan;
f. Pembinaan kerja sama internasional di bidang pangan, sesuai dengan
kepentingan nasional;
g. Untuk mendorong dan meningkatkan kegiatan penganekaragaman pangan yang
dikonsumsi masyarakat serta pemantapan mutu pangan tradisional
Kebijakan ini kemudian disempurnakan pada tahun 2012 dengan
dikeluarkannya Undang-Undang terkait pangan No 188 yang dimana juga
dijelaskan mengenai kedalutan, kemandirian dan keamanan pangan. Kedaulatan
pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan
pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak
bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi
sumber daya lokal.
Kemandirian pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam
memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat
menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat
perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial,
ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat. Ketahanan pangan adalah kondisi
terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin
dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,
beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama,
8 Kementan. Undang Undang Pangan No 18 Tahun 2012 PDF. 2012. Dapat diunduh di
http://ppvt.setjen.pertanian.go.id/ppvtpp/files/61UU182012.pdf diakses pada 30 September
2013
16
keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif
secara berkelanjutan.
Sedangkan keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan
untuk mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda
lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia
serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat
sehingga aman untuk dikonsumsi.
Swasembada pangan merupakan target utama kementrian Pertanian dalam
rangka mewujudkan Ketahanan Pangan. Seperti yang tercantum dalam Peraturan
Menteri Pertanian No. 15/Permentan/Rc.110/1/20109 selama lima tahun ke depan
(2010-2014), dalam membangun pertanian di Indonesia, Kementerian Pertanian
mencanangkan 4 (empat) target utama, yaitu:
1. Pencapaian Swasembada dan Swasembada Berkelanjutan.
2. Peningkatan Diversifikasi Pangan.
3. Peningkatan Nilai Tambah, Daya Saing, dan Ekspor.
4. Peningkatan Kesejahteraan Petani.
Impor dilakukan apabila cadangan pangan nasional ( persediaan Pangan di
seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk konsumsi manusia
dan untuk menghadapi masalah kekurangan Pangan, gangguan pasokan dan
harga, serta keadaan darurat ) dan cadangan pangan pemerintah ( persediaan
9 Kementan. Kebijakan Ketahanan Pangan 2010-2014 PDF. 2010 dapat diunduh di
http://bkp.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/KUKP%202010%20%202014%20Edit%20TA%20Nov%202011.pdf....pdf diakses pada 30 September 2013
17
pangan yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah ) tidak dapat memenuhi
kebutuhan.
Cadangan pangan pemerintah terdiri atas:
a. Cadangan Pangan Pemerintah Provinsi adalah persediaan Pangan yang
dikuasai dan dikelola oleh pemerintah provinsi.
b. Cadangan Pangan Pemerintah Kabupaten/Kota adalah persediaan Pangan
yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota.
c. Cadangan Pangan Pemerintah Desa adalah persediaan Pangan yang
dikuasai dan dikelola oleh pemerintah desa.
d. Cadangan Pangan Masyarakat adalah persediaan Pangan yang dikuasai
dan dikelola oleh masyarakat di tingkat pedagang, komunitas, dan rumah
tangga.
Selanjutnya pada Pasal 39 dinyatakan bahwa pemerintah menetapkan
kebijakan dan peraturan Impor Pangan yang tidak berdampak negatif terhadap
keberlanjutan usaha tani, peningkatan produksi, kesejahteraan Petani, Nelayan,
Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil. Serta melakukan
penanggulangan krisis pangan dengan cara mengatur kebijaka terkait distribusi,
pemasaran, perdagangan, stabilisasi pasokan dan harga, serta bantuan pangan (
Pasal 46 )
Pasal 56 berisi: : a. Penetapan harga pada tingkat produsen sebagai
pedoman pembelian Pemerintah;
b. Penetapan harga pada tingkat konsumen sebagai pedoman bagi
penjualan Pemerintah;
18
c. Pengelolaan dan pemeliharaan Cadangan Pangan Pemerintah;
d. Pengaturan dan pengelolaan pasokan Pangan;
e. Penetapan kebijakan pajak dan/atau tarif yang berpihak pada
kepentingan nasional;
f. Pengaturan kelancaran distribusi antarwilayah; dan/atau
g. Pengaturan Ekspor Pangan dan Impor Pangan 2009-2012
Kebijakan ini juga memembahas mengenasi :
a. Peningkatan produktivitas komoditas pangan agar tercapai lonjakan
produksi pangan yang dapat dihasilkan di dalam negeri, sekaligus untuk
menjaga tingkat efisiensi pada sistem produksi.
b. Perluasan areal tanaman pangan
c. Pemberdayaan organisasi petani di tingkat pedesaan untuk membantu
meningkatkan posisi tawar petani di hadapan pedagang pengumpul dan
tengkulak;
d. Pengawasan sistem persaingan pedagang yang tidak sehat dengan sasaran
jelas, yakni berkurangnya kolusi harga antar pedagang yang merugikan
petani
e. Kebijakan fiskal yang memberikan insentif bagi usaha pertanian, misalnya
dengan pemberian keringanan pajak bagi para pelaku usaha di bidang
pertanian dan pengolahan pangan untuk mendorong pertumbuhan investasi
usaha berbasis pertanian dan pangan.
f. Alokasi anggaran negara dan anggaran daerah yang memadai untuk
pembangunan pertanian dan ketahanan pangan, melalui peningkatan
19
kapasitas, kepedulian dan pemberian pemahaman serta umpan balik
kepada lembaga pemerintah yang berkompeten termasuk lembaga
legislatif;
g. Kebijakan proteksi perdagangan, minimal untuk empat komoditas utama
dalam special products (SPs), yaitu: beras, jagung, kedelai dan tebu (plus
daging) sebagaimana disampaikan secara resmi oleh Indonesia kepada
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Langkah ini dapat dilakukan
melalui penerapan berbagai instrumen dan regulasi perdagangan secara
arif untuk melindungi dari persaingan yang tidak menguntungkan dan
memberikan dukungan terhadap peningkatan daya saing produk pertanian
strategis nasional.
Dalam Undang Undang pangan ini terlihat bahwa goal dari kebijakan
pangan pemerintah Indonesia adalah pencapaian self sufficiency atau swasembada
dengan impor hanya sebagai alternatif saat cadangan nasional tidak memenuhi.
Namun pada kenyataannya pemerintah justru terus saja bergantung pada impor
tanpa upaya nyata untuk mencapai swasembada. Ketidaktegasan pemerintah
dalam mengambil arah kebijakan pangan kedelai Indonesia membuat program
yang ada terkait swasembada menjadi tidak efektif dan regulasi untuk impor terus
dipermudah. Sekali lagi hal ini menunjukkan permasalahan dalam menentukan
untuk berdaulat secara pangan atau sekedar kebijakan instan demi memenuhi
kebutuhan pangan.
Terkait kemandirian pangan atau self sufficiency sebenarnya sejalan
dengan teori merkantilisme, dimana negara merupakan aktor utama yang memiliki
20
wewenang dalam menentukan arah dan melaksanakan kebijakan perekonomian
sepenuhnya.10
Proteksionisme merupakan salah satu upaya suatu negara untuk
merumuskan kebijakan ekonomi sedemikian rupa dalam rangka melindungi
perekonomian domestik dari dominasi produk-produk asing.11
Namun yang lantas menjadi kendala kemudian adalah situasi sistem
ekonomi politik internasional, dimana comparative advantage atau prinsip
efisiensi produktivitas, sering menjadi dilema seiring dengan masuknya pangan
dalam era liberalisme . Seperti yang selalu diutarakan oleh David Ricardo ( 1817 )
sebagai salah satu tokoh liberalisme yang melihat persaingan ( competitiveness )
merupakan sesuatu yang sudah sewajarnya terjadi tanpa harus ada satu bentuk
proteksi dimana memang pasar ( market ) lah yang menentukan kebijakan, yang
dalam hal ini diartikan bahwa keputusan untuk impor kedelai merupakan satu
bentuk keputusan yang tepat dan sudah seharusnya dilakukan dengan
pertimbangan efisisensi. Maka muncullah tanggapan bahwa lebih menguntungkan
bila impor dengan harga yang lebih murah dan mutu yang lebih bagus
dibandingkan harus produksi sendiri dengan hasil yang tidak optimal. Karena itu
importir diberi keleluasaan dalam perdagangan kedelai domestik
10
Jackson dan Sorensen. Introduction to International Relations. Oxford University Press: 2007. Hal 175-216
11 Bob Sugeng Hadiwinata, Politik Bisnis Internasional” (Jogjakarta: Penerbit Kanisius, 2002), 58.
21
Kebijakan kedelai Indonesia dapat dibedakan dalam dua fase, yakni fase
sebelum liberalisasi pangan dan fase setelah liberalisasi pangan. Fase sebelum
liberalisasi pangan terdiri dari12
:
(a) Fase revolusi (1945-1965)
Dalam fase ini, pemerintah sangat gencar dalam meningkatkan
sektor pertanian dan menjadikan pemenuhan pangan secara
mandiri sebagai prioritas kebijakan dengan membentuk BAMA
(b) Fase konsolidasi ( 1967-1983)
Dalam fase ini, pemerintah berupaya meningkatkan produktivitas
pangan melalui revolusi hijau dengan membentuk BULOG dan
program BIMAS, INMAS dan INMUM yang tertuang dalam
repelita 1-4
(c) Fase tumbuh tinggi ( 1984-1992 )
Sedikit berbeda dengan data produksi pangan secara keseluruhan
dimana fase tumbuh tinggi berlangsung dari tahun 1978-1986, dan
kemudian mengalami fase dekonstruksi, kasus kedelai, fase
tumbuh tinggi baru dimulai di tahun 1984 saat pemerintah mulai
melakukan program intensifikasi pertanian kedelai merujuk pada
keerhasilan swasembada beras di tahun 1984. Produktivitas kedelai
12
Busatanul Arifin. Pembangunan Pertanian Indonesia Selama 60 Tahun PDF. 2005. Dapat
diunduh di
http://repository.ipd.a.id/bitstream/handle/123456789/43763/bustanul%20arifin.pdf?sequence
=1 diakses pada 20 September 2013
22
pernah mencapai puncak produksi mendekati angka 2 juta ton di
tahun 1992
Selanjutnya sejak tahun 1995, dengan dikelarkannya peraturan mengenai
liberalisasi pangan oleh WTO dalam Agreement of Agriculture dan dengan
ditandatanganinya nota kesepakatan dengan IMF untuk mengikuti “aturan main”
perdagangan bebas di tahun 1998, praktis Indonesia memasuki fase liberalisasi
dimana prioritas kebijakan untuk swasembada menjadi sulit dicapai. Dengan
adanya pematasan tarif masuk bahkan penurunan hingga 0%, batasan wewenang
unuk subsidi, serta penghapusan peran BULOG atas kedelai, membuat pemerintah
seolah kehilangan kedaulatan untuk membuat kebijakan yang optimal terkait
pangan kedelai. Bisa dikatakan Indonesia telah masuk dalam fase:
(a) Memasuki liberalisasi pangan (1995-1998)
Fase dimana Indonesia harus menyetujui peraturan dalam Agreement
of Agriculture ( AoA ) di tahun 1995 dan Letter of Intent ( LoI ) di
tahun 1998
(b) Fase krisis / transisi ( 1998-2001)
Pada fase ini, Indonesia mengalami masa dimana situasi politik
maupun ekonomi tidak dalam kondisi stabil. Pergantian pemerintah
melalui jalan kudeta serta krisis ekonomi dan limpahan hutang negara
membuat sektor pangan terabaikan
(c) Fase ambigu dimana impor kian meningkat, produktivitas terus menurun
yanga mengakibatkan ketergantungan dan krisis pangan kedelai yang
23
lantas membuat pemerintah kembali ingin fokus berswasembda namun
tidak pernah berhasil ( 2001-sekarang )
Untuk memahami politik kebijakan kedelai di Indonesia penulis mengacu
pada tulisan Budi Winarno13
terkait model sistem politik yang bersumber dari
teori sistem David Easton yang memandang kebijakan publik sebagai respon
suatu sistem politik terhadap kekuatan-kekuatan lingkungan (input desakan
ataupun support aktor-aktor terkait, pengaruh kondisi sosial, politik, ekonomi,
kebudayaan, geografis dan sebagainya) yang ada disekitarnya. hasil akhir dari
kebijakan kedelai cenderung pragmatis atau inkremental
Tulisan ini akan menggunakan pendekatan kelompok dengan fokus pada
aktor-aktor penting terkait pembuatan kebijakan kedelai 14
yakni pemerintah
sebagai pembuat kebijakan ( kementrian perdagangan atau kemendag, kementrian
pertanian atau kementan, kementrian keuangan atau kemenkeu ); departemen
terkait yakni dewan kedelai nasional atau DEKANAS, badan urusan logistik atau
BULOG; lembaga swadaya masyarakat terkait yakni asosisasi petani kedelai
Indonesia (APKKI), asosiasi kedelai Indonesia ( AKINDO ), koperasi perajin tahu
tempe (KOPTI), serta dua raksasa importir kedelai Indonesia yakni PT Cargill, PT
FKS Multi Agra dan PT Gerbang Cahaya Utama. Peran dan interaksi serta
kepentingan antar aktor ini akan menetukan kebijakan yang diambil.
Mendag kerap mengeluarkan regulasi yang mendorong kelancaran praktik
impor dengan pertimbangan untuk memnuhi kebutuhan domestik yang tidak bisa
13
Budi Winarno. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Yogyakarta:Media Pressindo. 2007. hal 94
14 Ibid.
24
dilakukan oleh petani lokal, sederet regulasi seperti minimalisir tarif masuk yang
juga merupakan putusan mentri keuangan, hingga mengubah prasarat impor dari
importir khusus dan terdaftar menjadi importir umum. Di sisi lain, kementan
hanya mengeluarkan sederet program peningkatan produktivitas lokal yang kerap
kali hanya sebatas program tanpa implementasi yang efektif. Kedua kementrian
ini mengeluarkan kebijakan yang saling berseberangan, dengan meningkatknya
impor seiring dengan harga yang murah maka program swasembada oleh
kementan tidak dapat berjalan dengan efektif karena gairah petani menjadi
berkurang, dan di sisi lain dengan kegagalan program kementan ini maka
kebutuhan domestik akan terus menuntut untuk impor, hal ini sudah menjadi
lingkaran setan yang sulit untuk diputus. Dewan kedelai nasional yang merupakan
badan yang baru dibentuk di tahun 2009 hingga kini hanya berperan sebagai
pemberi masukan dan respon dari setiap kebijakan yang dikeluarkan baik oleh
kementan, kemendag maupun kemenkeu tanpa adanya wewenang untuk turut
secara langsung dalam pembuatan kebijakan
Berdasarkan konsep model sistem politik ini kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah bukan tanpa pengaruh dari lingkungan ekonomi sosial dan politik
sekitar atau aktor-aktor yang turut memberi input. Civil society atau LSM
merupakan kekuatan dasar yang dimiliki oleh masyrakat untuk menjembatani
aspirasinya utnuk dijadikan pertimbangan dalam decision making (grassroot).
Dalam hal ini asosiasi petani kedelai memiliki peran yang signifikan, namun
sayangnya asosiasi ini bukanlah asosiasi yang kuat sejauh ini keluhan dan protes
yang dikeluarkan oleh petani terkait krisis kedelai melaui asosiasi ini hanya
25
ditanggapi sebatas program swasembada tanpa implementasi yang signifikan oleh
kementan, di sisi lain kemendag terus memperlancar impor dan menyerahkan
urusan proteksi dan peningkatan produksi lokal pada kementan. Tidak seperti
asosiasi kedelai di AS, APKKI tidak bisa turut ikut campur secara langsung dalam
desicion making process.
Di sisi lain asosiasi kedelai Indonesia atau akindo lebih menitikberatkan
pada ketersediaan pangan kedelai nasional yang berarti impor bukanlah masalah
selama tidak merugikan, seruan untuk bisa mandiri dalam memproduksi kedelai
tidak disampaikan secara gencar. Di sisi lain kopti merupakan koperasi yang
dibentuk guna mendampingi bulog dalam distribusi impor kedelai oleh
pemerintah di era orde baru. Kopti cukup memiliki pengaruh yang kuat dalam
setiap kebijakan terkait kedelai karena kopti menampung aspirasi perajin tahu
tempe yang jumlahnya sangat banyak dengan kebutuhan yang kerap tidak bisa
dipenuhi oleh petani lokal. Sasaran utama dari kopti hanya sebatas pemenuhan
stok kedelai dengan harga yang murah, tanpa menitikberatkan apakah harus dari
lokal atau impor, namun pada praktiknya impor merupakan pilihan yang kerap
diambil dikarenakan keleluasan untuk melakukan impor dan tarif yang rendah,
serta produksi lokal yang tidak pernah cukup serta harga yang lebih mahal dari
pada impor. Hasilnya kopti justru memiliki hubungan yang lebih dekat dengan
importir dibandingkan dengan petani dan dengan degradasi kekuatan bulog untuk
mengontrol kedelai di tahun 1998, laju impor semakin sulit untuk dikontrol.
Tata niaga kedelai sendiri bersifat oligopoli dimana impor hanya dikuasai
oleh tiga perusahaan besar yakni PT Cargill, PT Gerbang Cahaya Utama dan PT
26
FKS Multi Agra dengan kuota mencapai 70% dari keseluruhan impor15
. PT
Cargill merupakan perusahaan multinasional yang berasal dari AS sebagai
eksportir terbesar mencapai 80 % dari keseluruhan impor, PT Gerbang Cahaya
Utama merupakan pemain lama yang termasuk dalam salah satu importir besar
yang menerima program subsidi ekspor oleh AS di tahun 2001, sedangkan pada
PT FKS Multi Agra, meskipun merupakan importir baru namun memiliki kuota
terbesar sebanyak 47 %, jika ingin menelisik lebih lanjut, terdapat nama Ir Yusan
sebagai komisaris independen yang merupakan mantan wakil kepala badan
koordinasi penanaman modal (BKPM) yang secara langsung mendampingi Gita
Wirjawan, mendag, yang dulunya merupakan kepala BKPM. Keleluasaan yang
dimiliki oleh ketiga importir ini menunjukkan adanya indikase kartel yang hingga
saat ini masih diselidiki oleh komisi pengawas persaingan usaha (KPPU).
Hubungan antar aktor seperti inilah dimana tidak kuatnya asosiasi petani
kedelai dan besarnya peran importir dalam memenuhi kebutuhan kedelai
membuat pemerintah membuat kebijakan inkremental yang cenderung
menyelesaikan masalah dipermukaan saja yakni mengenai bagaimana menjaga
pasokan kedelai atau ketahanan pangan kedelai yang berorientasi jangka pendek
dan cenderung hanya mengikuti kebijakan-kebijakan yang sudah ada dengan
perbaikan di sana sini sesuai kondisi yang dihadapi ( pragmatis ). Saat kedelai
15
Opini Jalan Satu. Kartel Kedelai dan Partai Penguasa. Kompas. 16 September 2013. Dapat
diunduh di http://politik.kompasiana.com/2013/09/16/kartel-kedelai-dan-partai-penguasa-
593226.html diakses pada 25 Desember 2013
27
murah keran impor akan dibuka sebesar-besarnya dan tarif menjadi 0 % namun
saat terjadi krisis, program untuk menuju swasembada dengan menyasar pada
peningkatan produksi lokal secara mandiri kembali digalakkan, namun bukan
berati impor diputus. Hasilnya kedaulatan pangan dimana ketegasan dalam
membuat kebijakan yang memberi serta proteksi kepada petani sehingga dapat
meningkatkan produktivitas dan jaminan atas pasokan kedelai nasional serta
ruang dalam desicion making secara mandiri tidak pernah bisa berhasil. Hal ini
juga dikarenakan saat ini tidak ada sosok pemimpin yang memang
memprioritaskan pangan seperti di era orde lama dan orde baru.
H. Argumen Utama
Kebijakan pemerintah terkait kedelai kerap mengalami dilema antara
swasembada atau impor. Menerapkan prinsip kedaulatan pangan yakni
pemenuhan pasokan pangan nasional sendiri secara mandiri dengan adanya ruang
dalam desicion making process dan proteksi terhadap petani tanpa dipengaruhi
oleh bentuk perdagangan internasional, atau tidak mempermasalahkan bagaimana
dan dari mana pangan ini berasal selama ketahanan pangan yang berarti akses dan
pasokan pangan nasional terjamin. Jika menelisik kembali arah kebijakan pangan
yang sudah ada, pada Undang Undang pangan No 7 tahun 1996), orientasi
kebijakan selalu ditujukan pada pemenuhan ketahanan pangan, konsep
kemandirian dan kedaulatan pangan tidak diterakan didalamnya. Namun pada
praktiknya pemerintah di era orde lama dan orde baru cukup memberi perhatian
pada pangan dengan kebijakan yang bersifat proteksi pada petani. Seiring dengan
krisis pangan yang kerap terjadi dan ketergantungan terhadap impor menjadi
28
semakin besar pasca Agreement of Agriculture (AoA) oleh WTO di tahun 1995
dan Letter of Intent (loI) dengan IMF d tahun 1998, penyempurnaan dilakukan
dengan dikeluarkannya Undang Undang pangan No 18 tahun 2012 dan sederet
program pencapaian swasembada juga dirumuskan. Namun dalam prakteknya
produksi kedelai lokal tetap tidak bisa memenuhi permintaan nasional dan impor
terus saja meningkat. Terlihat bahwa Indonesia tidak memiliki blueprint yang
jelas akan arah kebijakan pangan kedelai meskipun undang undang pangan telah
mengalami perbaikan dan penambahan.
Kepentingan dan peran serta interaksi antar aktor dalam perumusan
kebijakan merupakan faktor penentu. Aktor di sini adalah pemerintah yakni
kemendag dengan kebijakan pemenuhan pangan kedelai murah secara impor dan
kementan yang mengeluarkan program peningkatan produksi lokal guna mencapai
swasembada. Di sisi lain asosiasi petani kedelai yang seharusnya memiliki andil
besar dalam memberikan masukan kepada pemerintah terkait kebijakan kedelai
justru tidak memiliki power yang signifikan. Kopti sebagai wadah bagi aspirasi
perajin tahu tempe lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan akan kedelai murah
tanpa menuntut secara spesifik dari mana kedelai itu berasal. Importir di sisi lain
tentu menginginkan adanya kelonggaran dalam melakukan impor dengan tarif
rendah seperti yang selama ini terjadi.
Terdapat tarik menarik kepentingan dan peran yang berbeda di sini,
kemendag lebih fokus dalam pemenuhan aspirasi kopti dikarenakan 70 %
pemanfaatan kedelai adalah untuk produsen tahu tempe, dan tahu tempe sendiri
merupakan pangan strategis masyrakat Indonesia. Keleluasaan untuk impor juga
29
diberikan karena hampir 100% kedelai yang digunakan dalam industri tahu tempe
adalah kedelai impor. Kopti yang tidak memiliki kekuatan untuk melakukan
impor sendiri memiliki hubungan yang lebih dekat dengan importir dibandingkan
dengan petani karena harga yang ditawarkan lebih rendah dan jaminan terkait
pasokan yang selalu ada. Importir juga memiliki posisi yang cukup signifikan
khususnya importir besar karena dengan tidak adanya Bulog dan produksi lokal
yang selalu tidak cukup, importir merupakan jalan untuk memenuhi kebutuhan
domestik.
Di sisi lain kementan dengan program swasembadanya kerap mengalami
stagnasi dengan dewan kedelai nasional asosiasi kedelai dan petani yang tidak
memiliki kekuatan signifikan dalam menjamin posisi petani kedelai lokal dalam
perdagangan domestik yang kerap kalah bersaing dengan kedelai impor, serta
tidak adnaya proteksi atau subsidi guna meningkatkan produktivitas kedelai lokal.
Tidak adanya singkronisasi kebijakan antar kementrian ini dan tarik menarik aktor
aktor penting pada ranah input tadi mengakibatkan program pemerintah yang
selalu bersifat pragmatis atau inkremental dimana impor terus dilakukan dan saat
krisis terjadi barulah swasembada kembali dirumuskan. Hasilnya kedaulatan
pangan tidak bisa tercapai begitu pula dengan kemandirian pangan, dan saat krisis
terjadi, bahkan ketahanan panganpun menjadi terancam.
I. Metode Penelitian
Sebagai metode penelitian beberapa langkah yang diambil adalah dengan
melakukan konseptualisasi kemudian melakukan generlisasi. Konseptualisasi
merupakan roses penyederhanaan fenomena dengan mengklasisfikasikan dan
30
mengkategorisasikannya. Data-data yang diperoleh melalui media
dikategorisasikan dalam konsep-konsep yang telah dibahas dalam landasan
konseptual. Setelah kategorisasi dilakukan, analisis difokuskan pad relasi antar
konsep-konsep, apakah itu kondisional, kausalitas, atau tidak berhubungan sama
sekali. Sedangkan generalisasi merupakan pernyataan tentang hubungan antar dua
konsep atau lebih. Jadi merupakan teknik analisi data dengan memakai langkah
induktif komparatif, yakni membandingkan data-data yang ada dalam penelitian
ini untuk dikategorikan berdasarkan unsur-unsur yang diteliti, dan kemudian
membuat kesimpulan.
Pengumpulan data-data tersebut bersifat purposive, bermaksud untuk
menguatkan argumen. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan
atau metode kualitatif karena argumen yang dibangun didasarkan pada basis
rasional. Penelitian ini berusaha memahami realitas sosial dengan memahami
hubungan rasional antara satu konsep dengan konsep yang lain. metode penelitian
yang digunakan adalah metode studi kasus dimana fokus pada analisa ekonomi
politik dibalik kebijakan impor kedelai Indonesia. Untuk memperoleh data,
digunakan teknik pengumpulan data secara studi oustaka, yaitu dengan
menelusuri, mengumpulkan, dan membahas data-data sekunder yang berasal dari
berbagai literatur seperti review atas buku, artikel, jurnal, data online, surat kabar,
dan majalah. Sedangkan data primer didapat dari wawancara ataupun mengunduh
dokumen atau blue print yang didapat langsung dari webiste Disperindag, Deptan,
dan Badan Pusat Statistik ( BPS ).
31
J. Sistematika Penulisan
Thesis ini terdiri dari lima Bab, dimana:
1. Bab pertama berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang,
rumusan masalah, manfaat dan tujuan penelitian, tinjauan pustaka,
kerangka konseptual, argumen utama, dan metode penelitian
2. Bab kedua berisi penjelasan mengenai gambaran perkedelaian
Indonesia, yakni perihal produksi, konsumsi, dan impor
3. Bab ketiga berisi penjelasan mengenai kebijakan kedelai Indonesia
identifikasi aktor-aktor terkait
4. Bab empat berisi analisa ambiguitas kebijakan kedelai Indonesia
dengan melihat peran posisi dan tarik menarik kepentingan aktor
terkait
5. Bab lima berisi kesimpulan
Top Related