KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANDIREKTORAT JENDERAL KEBUDAYAAN
LAPORAN
KAJIAN KONSERVASI CANDI BANGKALJAWA TIMUR
OLEH :Yudi Suhartono, MA
Drs. Marsis Sutopo, M.SiLiliek Agung Handoko, ST
Roni Muhammad, STSri Wahyuni, Amd
BALAI KONSERVASI BOROBUDURMAGELANG
2017
ii
Lembar Pengesahan
Laporan Kajian
KONSERVASI CANDI BANGKAL JAWA TIMUR
Tim Pelaksana :
Ketua : Yudi Suhartono, MA.
Anggota : - Drs. Marsis Sutopo, M.Si
- Liliek Agung Handoko, ST
- Roni Muhammad, ST
- Sri Wahyuni, Amd
Nara Sumber : Aris Munandar
Jangka Waktu Pelaksanaan : 8 bulan
Sumber Anggaran : DIPA Balai Konservasi Borobudur Tahun 2017
Borobudur, Desember 2017
Mengetahui/ Menyetujui
Plt Kepala BK Borobudur Ketua Tim Kajian
Iskandar Mulia Siregar, S.Si Yudi Suhartono, MANIP. 19691118 199903 1 001 NIP. 197005071998021001
iii
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat
RahmatNyalah kami berhasil menyelesaikan kajian dengan judul Kajian Konservasi Candi
Bangkal Jawa Timur Dalam kajian ini diuraikan antara lain permasalahan di situs candi Bangkal
yang disebabkan oleh genangan air dan pelapukan dan kerusakan bata. Dalam kajian juga
diuraikan mengenai model alternatif penanganan genangan air dan penanganan akibat
pelapukan dan kerusakan bata.
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Kepala Balai
Konservasi Borobudur selaku atasan kami, yang telah memberikan kepercayaan kepada kami
untuk melakukan kajian ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kapada Bapak Kepala
Balai Pelestarian Cagar Budaya Propinsi Jawa Timur beserta staf yang telah banyak membantu
dan menfasilitasi kami dalam pengumpulan data di lapangan. Selain itu kami juga mengucapkan
terima kasih kepada Bapak Aris Munandar, purna karya Balai Konservasi Borobudur selaku nara
sumber yang telah memberi arahan dan masukan pada kajian ini. Ucapan terima kasih kami
juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu kami yang tidak
dapat kami sebutkan satu persatu.
Kami menyadari hasil kajian ini belum sempurna dan masih banyak kekurangan, oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun bagi kesempurnaan kajian ini.
Semoga kajian yang telah dilakukan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Borobudur, Desember 2017
Tim Kajian
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………….... i
LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………………………. iiKATA PENGANTAR …………………………………………………………….………. iii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………............... iv
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………….........……... 1
1.1. Dasar ………………………………………………………………………….. 1
1.2 Latar Belakang …..………..…………………………………………………. 1
1.3. Permasalahan ……………………...……………………………………....... 3
1.4. Tujuan ..................................................................................................... 3
1.5 Manfaat ................................................................................................... 3
1.6. Ruang Lingkup................. ..................................................................-.... 3
1.7. Metodologi .............................................................................................. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................……………………................ 10
2.1. Pengertian Bata ....................................................................................... 12
2.2. Kelembaban Bata ……………………... . ................................................. 12
2.3. Pengaruh Kelembaban Bata .................................................................... 16
2.4. Tinjauan Tentang Konservasi Arkeologi .................................................. 17
BAB III. GAMBARAN UMUM DAN NILAI PENTING SITUS CANDI BANGKAL... 20
3.1. Lingkungan Situs Candi Bangkal …………. ........................................... 20
3.2. Riwayat Penelitian dan Perlindungan Candi Bangkal ....................... 21
3.3. Nilai Penting Situs Candi Bangkal ………………………………….... 27
v
BAB IV HASIL PENGUMPULAN DATA................................................................ 30
4.1. Kondisi Lingkungan Candi Bangkal ......................................................... 30
4.2. Observasi Lapangan ........................................................... .................... 44
BAB V. PEMBAHASAN ........................................................................................... 46
5.1. Analisis Tanah Halaman Candi Bangkal ................................................. 46
5.2. Analisis Lingkungan dan Drainase............................................................. 48
5.3. Pelapukan Bata.......................................................................................... 65
5.4. Analisis Kualitas Bata ..................... .......................................................... 75
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan ………………………………………………………….............. 80
4.2. Rekomendasi.……………………………………………………….............. 81
DAFTAR PUSTAKA ……………………..………………………………….................... 82
vi
7
1
BAB IPENDAHULUAN
1.1. Dasar1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
3. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 34 Tahun 2016 Tanggal 24 Agustus
2016. tentang Rincian Tugas Balai Konservasi Borobudur
4. DIPA Balai Konservasi Peninggalan Borobudur tahun 2017
5. Surat Keputusan Kepala Balai Konservasi Borobudur Nomor : 5903/E12/HK/2017 tentang
Tim pelaksana kajian Kajian Konservasi Candi Bangkal, Jawa Timur.
1.2. Latar Belakang PermasalahanNegara Indonesia kaya akan sumberdaya alam maupun sumberdaya budaya yang bisa
digunakan untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Kekayaan sumber daya budaya dapat
berupa fisik maupun non fisik. Salah satu kekayaan tersebut adalah sumberdaya arkeologi /
peninggalan purbakala (cagar budaya) yang tersebar di seluruh Indonesia.
Dalam Undang-undang Nomor 109 Tahun 2010, pengertian cagar budaya adalah warisan
budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar
budaya, situs cagar budaya dan kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu
dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan.
pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan (Anomin, 2010).
Cagar budaya yang ada di Indonesia memiliki bahan yang berbeda, secara garis besar
bahan cagar budaya dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu terbuat dari bahan organik (gading,
tulang kayu), dan bahan anorganik (batu, bata, logam, keramik). Kondisi bahan cagar budaya di
Indonesia sebagian besar telah mulai mengalami pelapukan dikarenakan faktor usia dan
lingkungan.
Cagar budaya berbahan bata banyak ditemui pada cagar budaya yang berasal dari
periode Hindu Buddha. Salah satu kerajaan di Indonesia masa periode Hindu Buddha adalah
Kerajaan Majapahit, yang merupakan salah satu kerajaan besar di Indonesia yang berpusat di
Jawa Timur, yang masa pemerintarahnya berlangsung antara abad 13 – 16 Masehi. Kerajaan
2
Majapahit banyak meninggalkan bukti-bukti kejayaannya yang sebagian besar terletak di Jawa
Timur. Salah satu peninggalan dari kerajaan Majapahit adalah candi Bangkal yang di Dusun
Bangkal, Desa Candiharjo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto. Candi Bangkal terbuat dari
bata dan memiliki ukuran panjang bangunan candi 10,24 meter, lebar 6,25 meter, dan tinggi 10,8
meter.
Kondisi candi Bangkal cukup parah karena hampir seluruh permukaan candi telah
mengalami kerapuhan. Hal ini disebabkan candi selalu tergenang air baik pada musim penghujan
maupun musim kemarau sehingga proses kapilarisasi air terus berlangsung. Faktor yang menjadi
pemicu tergenangnya candi adalah posisi tanah di lingkungan candi yang lebih rendah
dibandingkan tanah sekitar yang merupakan persawahan sehingga apabila sawah dialiri air,
maka candi akan ikut tergenang. Selain itu, di sebelah utara candi terdapat Sungai Porong yang
berjarak ± 400 m dan di sebelah selatan juga terdapat Sungai Sadar yang berjarak ± 200 m
sehingga kedua sungai tersebut memungkinkan terjadinya rembesan air sungai masuk ke
lingkungan candi.
Berdasarkan informasi dari BPCB Jawa Timur, yang pada tahun 2016 telah melakukan
observasi, yang hasilnya secara umum dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Di bagian kaki sisi barat daya terjadi keretakan yang kemungkinan disebabkan adanya
ketidakstabilan lapisan tanah.
2. Kemiringan candi ke arah timur terlihat jelas dari sisi utara candi saat tergenang air. Secara
fisik, struktur bata yang terendam air berwarna kehitaman dan relatif utuh.
3. Pada bilik candi terlihat adanya pertumbuhan organisme berupa lumut, alga, dan lumut kerak
(lichenes) yang cukup pesat sehingga menutup hampir seluruh permukaan dinding bata.
Sedangkan di sisi luar bangunan terlihat alga tumbuh cukup merata pada bagian kaki dan
pada bagian atap tampak.
4. Bata penyusun bagian kaki hingga tubuh candi tampak rapuh dan membubuk. Keadaan ini
terjadi terutama pada sebagian besar bata pengganti. Selain itu, penggaraman juga terlihat
pada bata kuna dan bata pengganti di bagian kaki, tubuh, atap bangunan bagian luar dan
atap di dalam bilik candi.
Melihat kondisi candi Bangkal yang telah disebutkan di atas, diperlukan kajian konservasi
yang menyeluruh terhadap terhadap situs dan bangunannya. Kajian ini penting dilakukan
mengingat kondisi situs candi Bangkal sudah mengalami kerusakan yang cukup parah sehingga
diperlukan solusi penanganan pelestariannya dalam upaya menyelamatkan salah satu bukti
kerajaan Majapahit.
3
1.3. PermasalahanBerdasarkan latar belakang permasalahan, maka permasalahan yang muncul pada
penelitian ini adalah :
1. Jenis-jenis kerusakan dan pelapukan apa saja yang terjadi pada situs candi Bangkal dan
apa penyebabnya ?
2. Bagaimana solusi penanganan konservasi terhadap kerusakan dan pelapukan yang terjadi
pada situs candi Bangkal ?
1.4. TujuanSesuai dengan permasalahan-permasalahan yang diajukan, maka penelitian ini
bertujuan :
1. Menidentifikan kerusakan dan pelapukan yang terjadi pada situs candi Bangkal
2. Menidentifikasi penyebab dari kerusakan dan pelapukan yang terjadi pada situs candi
Bangkal.
2. Mencari solusi penanganan untuk konservasi candi Bangkal.
1.5. ManfaatManfaat kajian yang diharapkan adalah
1. Sebagai bahan wacana pengembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang konservasi
cagar budaya
2. Data dan analisis yang dilakukan dalam kajian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam
melakukan konservasi pada situs candi Bangkal.
1.6. Ruang LingkupSesuai dengan tujuan penelitian maka ruang lingkup kajian ini adalah candi Bangkal dan
lingkungan sekitarnya. Fokus kajian lebih pada kerusakan dan pelapukan yang terjadi serta solusi
penanganannya. Penetapan fokus penelitian diperlukan agar pengkajian terhadap permasalahan
yang telah dirumuskan dapat tercapai sesuai dengan tujuan penelitian (Muhadjir, 2002 : 148).
4
1.7. Metodologi1. Metode penelitian
Untuk membantu dalam penelitian menggunakan metode Induktif kualitatif. Metode ini
bertolak dari data yang ada dilapangan yang kemudian akan dirumuskan menjadi model, konsep,
teori, prinsip, proposi, atau definisi yang bersifat umum. Induksi adalah proses dimana peneliti
mengumpulkan data dan kemudian mengembangkan suatu teori dari data tersebut, yang sering
juga disebut grounded theory (Lawrence R. Frey, dalam Mulyana, 2006 : 156-157).
2. Alat dan BahanAlat yang digunakan adalah
- Thermodiff
- Portimeter
- Data loger
- Weather Tracker
- Patridisk
- Skavel
- Beker gelas dan stik untuk mengukur penguapan
- Ph meter stik
- Alat injeksi
- Stop watch
- Dan lain-lain
Bahan yang digunakan adalah
- Paraloid B 72
- EDTA
- Tuluol teknis
- Minyak atsiri
- Aquadest
- Alkohol
- Dan lain-lain
5
3. Analisis Laboratorium
Untuk mengetahui kandungan unsur dan mineral pada sampel yang berasal dari situs candi
Bangkal dilakukan analisis unsur dan analisis mineral untuk mengetahui kondisi bata di situs
Candi Bangka;. Analisis dilakukan di Laboratorium Balai Konservasi Borobudur dan
Laboratorium Universitas Gadjah Mada untuk beberapa sampel yang diambil.
4. Tahapan Penelitian
Sehubungan dengan tujuan kajian ini, maka kajian dilakukan melalui tahapan-tahapan
yang meliputi :
a. Tahap Pengumpulan Data
Pada tahap ini, untuk memperoleh data yang sesuai dengan tujuan kajian, maka
pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara yaitu :
1). Studi Pustaka
Pada tahap ini dilakukaan penelahan pustaka yang berhubungan dengan topik yang
dibahas dan dapat digunakan untuk pembahasan topik yang dibicarakan atau sebagai
bahan acuan. Pustaka yang ditelaah meliputi kerusakan dan pelapukan pada cagar
budaya berbahan bata dan data mengenai candi Bangkal
2). Pengumpulan data lapangan
Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data ke lapangan yaitu ke situs Candi Bangkal
di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, untuk memperoleh data tentang kondisi
keterawatan bangunan candi Bangkal . Selain itu juga diambil data mengenai kondisi
lingkungan sekitar candi dan pengambilan sampel untuk dilakukan analisis di
laboatorium.
3). Pengujian di laboratorium
Sampel dari pengambilan sampel di lapangan berupa bata lama, bata baru, bata rapuh,
spesi Candi Bangkal, bata pengrajin, bata pengganti Candi Dermo, serta tanah dan air
halaman Candi Bangkal dilakukan analisis laboratorium. Selain analisis sampel yang
6
diambil dilapangan juga pengujian lapangan berupa pembersihan endapan garam pada
permukaan bata menggunakan larutan EDTA 5% dalam media kertas tisue menjadi
bubur kertas. Analisis yang diujikan antara lain kompoisis kimia dan sifat fisik bata.
Analisis yang dilakukan antara lain :
a) Analisis AAS(Atomic Absorption Spectrophotometry)
Bertujuan untuk mengetahui komposisi kimia air genangan, endapan garam bata
lama dan bata baru hasil percobaan pembersihan dengan menggunakan larutan
EDTA 5%
Analisa menggunakan instrument AAS dilakukan di Laboratorium Kimia Balai
Konservasi Borobudur. Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS) atau
Spektrofotometri Serapan Atom adalah salah satu jenis analisa spektrofometri
dimana dasar pengukurannya adalah pengukuran serapan suatu sinar oleh suatu
atom, sinar yang tidak diserap, diteruskan dan diubah menjadi sinyal listrik yang
terukur. Prinsip dari spektrofotometri adalah terjadinya interaksi antara energi dan
materi. Pada spektroskopi serapan atom terjadi penyerapan energi oleh atom
sehingga atom mengalami transisi elektronik dari keadaan dasar ke keadaan
tereksitasi. Dalam metode ini, analisa didasarkan pada pengukuran intesitas sinar
yang diserap oleh atom sehingga terjadi eksitasi. Untuk dapat terjadinya proses
absorbsi atom diperlukan sumber radiasi monokromatik dan alat untuk menguapkan
sampel sehingga diperoleh atom dalam keadaan dasar dari unsur yang diinginkan.
AAS adalah spektroskopi yang berprinsip pada serapan cahaya oleh atom. Atom–
atom menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat
unsurnya. Cahaya pada panjang gelombang tersebut mempunyai cukup energi
untuk mengubah tingkat elektroniksuatu atom. Transisi elektronik suatu unsur
bersifat spesifik. Dengan absorbsi energi, terdapat lebih banyak energi yang akan
dinaikkan dari keadaan dasar ke keadaan eksitasi dengan tingkat eksitasi yang
bermacam-macam. Instrumen AAS meliputi Hollow Cathode Lamp sebagai sumber
energi, flame untuk menguapkan sampel menjadi atom. Monokromator sebagai filter
garis absorbansi, detektor dan amplifier sebagai pencatat pengukuran. AAS bekerja
berdasar pada penguapan larutan sampel, kemudian logam yang terkandung di
dalamnya diubah menjadi atom bebas. Atom tersebut mengabsorbsi radiasi dari
sumber cahaya yang dipancarkan oleh lampu katoda (Hollow Cathode Lamp) yang
mengandung energi radiasi yang sesuai dengan energi yang diperlukan untuk
transisi elektron atom. Hollow Cathode Lamp sebagai sumber sinar pada AAS akan
7
menghilangkan kelemahan yang disebabkan oleh self absorbtion yaitu
kecenderungan atom-atom pada ground state untuk menyerap energi yang
dipancarkan oleh atom tereksitasi ketika kembali ke keadaan ground state.
b). Analisis fisik
Bertujuan untuk mengetahui sifat fisik bata lama, bata baru, bata rapuh, spesi Candi
bangkal, bata pengrajin, bata pengganti Candi Dermo dan tanah.
Analisis fisik ini dilakukan di laboratorium fisik Balai Konservasi Borobudur.
Parameter-parameter yang diuji meliputi densitas, berat jenis, porositas, daya serap
air dan kekerasan. Analisis fisik ini penting untuk mengetahui sifat fisik batu terutama
dalam hubungannya dengan pelapukan yang terjadi. Batu yang telah mengalami
pelapukan tentunya akan mengalami penurunan kualitas dibandingkan batu yang
masih segar, diantaranya adalah semakin kecilnya nilai densitas, berat jenis dan
kekerasannya. Selain itu terjadinya pelapukan akan menyebabkan porositas dan
daya serap batu menjadi lebih tinggi.
Dalam melakukan analisis fisik untuk parameter-parameter diatas diperlukan
pengukuran berat natural, berat kering, berat jenuh dan volume total. Selanjutnya
dari parameter terukur dapat dihitung volume pori dan volume padatan. Untuk
menghitung densitas, berat jenis, porositas dan daya serap air menggunakan rumus
berikut :
Volume pori
Vv = Ws – Wd (cm3)
Volume padatan
Vg = V – Vv (cm3)
Densitas
J= Wd (g/ cm3)
V
Berat jenis
= Wd (g/ cm3)
Vg
Keterangan :Wd : Berat keringWs : Berat jenuhV : Volume totalVv : Volume poriVg : Volume padatan
Keterangan :Wd : Berat kering(g)Ws : Berat jenuh(g)V : Volume total(cm3)Vv : Volume pori(cm3)Vg : Volume padatan(cm3)
8
Porositas
η=Vv x 100% (%)
V
b. Tahap Pengolahan Data
Pada tahap ini, dilakukan pengolahan data hasil pengumpulan data lapangan dan data hasil
analisis di laboratorium serta data pustaka untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Hasil
pengolahan data ini diharapkan akan menghasilkan kesimpulan sementara sesuai denga
tujuan kajian.
Pada
c. Tahap Penafsiran Data
Berbeda dengan dua tahap sebelumnya, maka pada tahap ketiga akan dicoba untuk dianalis
lebih lanjut hasil pengolahan data yang telah dilakukan. Hasil analisis ini kemudian akan
ditafsirkan lebih lanjut untuk menjawab permasalahan yang ada. Pada tahap ketiga ini
diharapkan diperoleh suatu kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian. Kesimpulan
yang diambil tentu saja masih bersifat sementara, dan masih tetap diperlukan penelitian lebih
lanjut serta lebih menyeluruh.
9
5. Kerangka Pemikiran (Bagan Alur)Agar Kajian ini lebih terarah, maka berikut ini alur pemikiran penulis kembangkan sebagai
berikut :
BAB II
Interpretasi
Rekomendasi
Studi Pustaka
Penyusunan Proposalkajian
Analisis
Pengolahan data
Kondisi keterawatan situsPengujian laboratoriumterhadap sampel yangdibawa dari lapangan
Pengumpulan datalapangan
Pustaka
Kesimpulan
10
10
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian bata
Bata adalah suatu material (unsur bangunan) yang banyak dipergunakan untuk kontruksi
bangunan. Bata dibuat dari tanah dengan atau tanpa bahan baku lain dibakar cukup tinggi
sehingga tidak dapat larut dalam air (Anonim, 1964). Proses pembuatan bata, mulai dari
penggalian tanah, pencampuran dengan air dan bahan-bahan lainnya jika perlu hingga
pembentukannya dikerjakan oleh tangan. Ukuran bata merah standart adalah panjang 230 mm,
lebar 110 mm, dan tebal 50 mm.
Pada umumnya bata berwarna merah, tetapi kadang-kadang muncul warna lain, warna
kunung menunjukan pembakaran yang kurang sempurna, kecuali jika kandungan oksida besi
tanah liat aslinya kurang, sehingga kualitas bata menjadi rendah. Sebaliknya warna gelap
disebabkan oleh pembakaran yang berlebihan. Bata yang suhu pembakarannya kurang dari
600ºC akan rapuh, karena gugus hidroksida belum lepas. Kerapuhan bata dapat bata disebabkan
dapat disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya air hujan atau meningkatnya kelembaban
karena uap air yang menyebabkan garam-garam yang dapat larut membentuk Kristal dalam pori-
pori bata, temperatur udara, vegetasi, bakteri dan angina. Proses ini dipengaruhi oleh porositas
yang tergantung pada jumlah tanah liat (Hartono, 1994 dalam Sudibyo, dkk, 2008)
Berdasarkan kuat tekannya (Anonim, 1964,6) mutu bata merah dapat diklasifikasikan
menjadi 3 tingkat, yaitu :
1. Tingkat I mempunyai kuat tekan rata-rata ˃ 100 kg/cm2
2. Tingkat II mempunyai kuat tekan antara 80 – 100 kg/cm2
3. Tingkat III mempunyai kuat tekan antara 60 – 80 kg/cm2
Untuk pengujian kualitas bata dilakukan dengan melihat beberapa parameter, di antaranya
bentuk, warna, massa, kuat tekan, kadar air dan kadar garam yang larut dan membahayakannya.
Pada pembahasan ilmu bahan, bata dan bahan-bahan keramik lainnya dikelompokkan
dalam material berbasis silika (Parkani, 1999, dalam Chanyandaru, 2008). Silika di alam
terutama ada dalam bahan pasir dan batu. Kekuatan material yang terbentuk sangat di pengaruhi
oleh komposisi bahan baku yang digunakan. Secara umum mineral Silika akan menentukan sifat
kekuatan bahan. Mineral silika ini pula bertanggungjawab pada sifat kekerasan pada batu.
11
Struktur kekuatan bata terbentuk pada saat proses pemanasan. Pada proses pemanasan
tersebut beberapa mineral akan mengalami pelelehan parsial yang membentuk kristal mineral
baru yang lebih kuat. Mineral silika pada proses kristalisasinya akan berasosiasi dengan mineral
lain teruatama alumina. Komposisi silika dan alumina sangat dipengaruhi oleh bahan baku tanah
liat dan bahan tambahan yang digunakan sehingga tidak mengherankan jika kualitas bata antara
daerah satu dengan daerah lain sangat bervariasi. Tanah liat yang baik adalah tanah yang
mengandung alumina dan silika yang cukup tinggi. Pada beberapa jenis tanah liat kandungan
alumina (lempung) nya sangat tinggi, sehingga perlu penambahan silika dalam bentuk pasir.
Pada keramik modern, bahan tambahan yang digunakan adalah kaolinm. Komponen bahan
tambahan pada pembuatan bata antar daerah juga seringkali bervariasi untuk mendapatkan hasil
bata yang baik (Cahyandaru, dkk, 2008).
Selain bahan baku, proses pemanasan juga menentukan kualitas bata. Sebagai bahan
buatan, proses pembentukannya ditentukan oleh proses rekristalisasi mineral-mineral
penyusunnya. Secara umum semakin tinggi dan semakin lama proses pemanasan, kualitas bata
yang dihasilkan semakin baik. Temperatur ideal pemanasan bahan-bahan keramik adalah 900ºC,
dimana pada suhu tersebut kristal silikat dapat meleleh secara efektif dan mengalami
rekristalisasi secara sempurna. Pada pembuatan bata, temperatur tersebut sulit dicapai, karena
pemanasannya menggunakan bahan pembakar langsung tanpa menggunakan ruang tanur.
Berdasarkan pengalaman analisis yang dilakukan di laboratorium dengan metode DTA
(Differential Thermal Analysis), ditemukan temperatur pembakaran yang digunakan berkisar
antara 250 - 800ºC (Cahyandaru, 2008).
Pembuatan bata pada umumnya menggunakan bahan pembakar kayu atau sekam padi.
Temperatur yang dapat dicapai pada penggunaan kayu lebih baik dibanding dengan
menggunakan sekam. Informasi bahan pembakar yang digunakan pada bata asli penting untuk
diketahui. Analisis terhadap bata asli perlu memperhatikan adanya sisa-sisa arang bahan
pembakar yang seringkali masih menempel pada permukaan bata (Munandar, 2002).
Tanah yang baik sebagai bahan dasar adalah jenis lempung padas, apabila terlalu banyak
kandungan lempungan bata akan mudah pecah pada waktu proses pengeringan, terlebih pada
proses pengeringan dengan temperature yang relatif tinggi, sedang bila terlalu banyak pasir bata
akan mudah pecah karena getas. Perbandingan antara lempeng dan pasir akan dilakukan oleh
pengrajin yang berpengalaman secara alami. Dalam proses pembuatan bata terdapat bahan
organik seperti akar-akar, kayu, dan lain-lain dibersihkan karena bahan organik mudah terbakar
dan dapat berakibat bata menjadi berlubang (Cahyandaru, dkk, 2008).
12
Kualitas bata akan baik, kuat, dan tidak mudah pecah apabila dibakar pada suhu yang
tinggi. Bahan yang paling baik adalah kayu yang keras, disamping suhunya bisa mencapai tinggi
juga adanya unsur karbon, sehingga bata menjadi keras, Mulyono, dkk, 1999).
Kuat tekan merupakan parameter utama dalam menentukan kualitas/kerapuhan bata.
Kuat tekan bata berhubungan dengan pembakaran dan porositas, artinya bata yang dibakar
dengan suhu yang tinggi kualitas bata semakin baik dan kuat tekannya semakin tinggi. Sebaiknya
bata yang porositasnya tinggi, kuat tekannya semakin menurun (Sudibyo, dkk, 2008)
2.2. Kelembaban Bata
Bata merupakan merupakakan material yang hidroskopis, sehingga mudah terpengaruh
oleh faktor lingkungan yang dapat menyebabkan bata menjadi lembab. Faktor yang dapat
mempengaruhi kelembaban meliputi kandungan uap air di udara (kelembaban relative), aliran air
secara vertikal maupun horizontal yang melalui material bata. Distribusi air pada material porus
seperti halnya bata terjadi melalui beberapa tahap, seperti terlihat pada gambar di bawah ini
Gambar 1.1. Distribusi air pada material porus (bata)
Pada awalnya material dalam keadaan kering, seluruh pori-pori tidak terisi air (tahap 1).
Selanjutnya melalui kapiler (gerakana air secara vertikal) pori-pori yang diameternya kecil terisi
13
air sampai penuh (tahap 2), kemudian air bergerak membasahi pori-pori yang diameternya lebih
besar (tahap 3). Pada tahap terakhir seluruh pori-pori terisi air sampai jenuh (tahap 4). (Anonim,
2011)
Kandungan uap air di udara (kelembaban relative) adalah salah satu faktor penyebab
suatu material menjadi lembab, di antaranya adalah bata sebagai bahan bangunan mempunyai
sifat mudah menyerap air (hidrokopis), sehingga bata mudah terpengaruhi oleh faktor lingkungan
yang menyebabkan bata menjadi cepat rapuh dan rusak (Sudibyo, dkk, 2008)1.
a. Kelembaban relatif ialah perbandingan antara banyaknya uap air yang terdapat di udara
dengan banyaknya uap air maksimun yang dapat dikandung oleh udara pada suhu dan
tekanan yang sama, Kapasitas udara pada beberapa suhu dapat ditulis seperti table
kapasitas udara pada berbagai suhu di bawah ini.
Tabel Kapasitas udara pada berbagai suhu
Suhu ºC -20 -10 0 10 20 30
Kapasitas udara
gr/mᵌ
1,1 2,4 4,9 9,4 17,3 30,4
(Waryono, 1987)
Apabila material kering terletak di atmosfer yang mengandung uap air, maka kelembaban
relatif yang ada di dalamnya akan diserap oleh material organik dan anorganik. Jumlah uap
air yang disebut kandungan kelembaban hygroskopis yang dapat dihitung dengan rumus :
mH2O
ᴃ = ------------------------------ X 100 %
m kering + m H2O
ᴃ : Kelembaban Hygrokopis
mH2O : Masa air yang ada dalam benda
m Kering : masa material dalam kondisi kering
Untuk material bata yang kelembabannya telah mencapai 95 % dapat dikatakan tidak
hygrokopis lagi (Stambolov, 1976 dalam Cahyandaru, dkk, 2008).
14
b. Aliran air secara Vertikal
Semua bahan memiliki gaya antar molekul. Kohesi adalah gaya antar molekul yang sejenis
sedangkan adhesi adalah gaya antar moleku; yang tidak sejenis. Apabila gaya adhesi antara
suatu cairan dan bahan lebih besar dari tarikan antara molekul cairan itu sendiri, maka
permukaan bahan akan dibasahi oleh cairan tersebut. Air mempunyai kohesi yang kecil,
sehingga akan membasahi semua bahan yang tersentuh.
Apabila suatu tabung kosong dengan ujung terbuka dimasukan ke dalam bejana berisi air,
dan apabila cairan membasahi permukaan seluruhnya maka cairan tersebut akan naik pada
dinding dalam dari tabung tersebut, karena pengaruh tarikan permukaan yang disebut
kapilarisasi (Bowlws, 1991 dalam Cahyandaru, dkk, 2008). Pada bangunan bata, aliran air
pada arah vertikal terjadi saat air naik dari dasar dinding, melalui pori-pori bata. Jika tidak
terdapat gaya luar yang mempengaruhi, kecepatan aliran air pada arah vertikal yang
melewati pori-pori dengan radius r adalah sebaga berikut :
Jika keseimbangan tercapai pada saat v = 0, maka ketinggian maksimun cairan adalah :
Diameter pori-pori bata mempunyai ukuran rata-rata dari -1-10 mikron sehingga tinggi kapiler
pada bangunan bata antara 15 m sampai dengan 1,5 m.
15
Penggunaan rumus tersebut diasumsikan bahwa tidak terjadi penguapan air di
sekitarnya. Untuk bangunan bata yang menggunakan spesi, tentu saja perlu
diperhitungkan kenaikan kapiler pada spesi mortrar, karena dibuat dari bahan yang
berbeda (Stambolov, 1976 dalam Cahyandaru, dkk, 2008).
Dinding bangunan bata menjadi basah, tidak hanya disebabkan oleh kontak langsung
dengan air, tetapi juga disebabkan karena adanya kapiler air tanah. Kanaikan kapiler
maksimun dari air tanah, dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Tinggi kenaikan kapilerisasi h˛ dapat dihitung dari ∑Fᵥ= 0, dimana dari gambar dibawah :
16
Sehingga diperoleh :
Hc = 0,29746 cm²
---------------------
dcm
c. Aliran air horizontal
Perpindahan air melalui materai porus tergantung pada struktur kapiler . Perpindahan air
secara hosisontal dapat dihitung dengan rumus :
X = A √Dengan X : Perpindahan cairan setelah waktu t
A : Permeabilitas materai porus
T : Waktu
Hissche Moller menemukan untuk perpindahan air pada bata harga A = 0,3 x 10ˉᵌ m/s½
sampai dengan 3 x 10ˉᵌ, dan pada mortar dengan campuran semen : pasir + kapur = 1 : 3
: 8 diperoleh harga A = 10ˉᶟᶟ m/s½. Harga A tersebut dapat dipakai untuk menghitung waktu
yang dibutuhkan untuk penetrasi air pada sebuah dinding dengan ketebalan d dengan
rumus,.
T = d²
A²
(Stambolov, 1976 dalam Cahyandaru, dkk, 2008).
2.3. Pengaruh Kelembaban pada bata
Faktor-faktor kelembaban sangat berpengaruh terhadap kerusakan bata, baik secara
biologi maupun kimiawi. Kerusakan biologi tergantung tergantung pada besarnya kelembaban
pada bata, Algae, jamur, dan lumut akan tumbuh dengan baik pada kelembaban cukup tinggi
(Stambolov, 1976, dalam Cahyandaru, dkk, 2008). Polusi udara yang bereaksi dengan air
akan membentuk cairan asam. Cairan asam dan garam-garam terlarut yang terbawa oleh air
akan menimbulkan endapan garam. keduanya akan menyerang bata yang terbesar adalah
17
karena penggaraman pada permukaan bata. Kristal-kristal garam dapat merusak bata melalui
proses mekanis, yaitu berkembangnya Kristal-kristal garam pada pori-pori, kemudian terjadi
tekanan sehingga bata menjadi hancur, Kejadian tersebut dapat dijelaskan :
1. Larutan yang melalui pori-pori kecil mengendapkan Kristal-kristal garam pada pori-pori
besar.
2. Apabila pori-pori kecil kering dan tidak membawa larutan-larutan lagi, endapan Kristal
garam pada pori-pori yang besar akan berhenti dan tidak terjadi tekanan.
3. Pori-pori yang besar telah penuh terisi Kristal-kristal garam, sedangkan distribusi larutan
melalui pori-pori kecil masih berlanjut sehingga terjadi pertumbuhan Kristal garam pada
pori-pori yang kecil, sehingga terjadi tekanan.
Asal endapan garam pada bata kemungkinan berasal dari bahan dasarnya sendiri (tanah), atau
proses pembakarannya, tetapi sering sekali garam yang merusak ini datang dari luar tinggi
(Stambolov,1976, dalam Cahyandaru, dkk, 2008).
Ada 3 kriteria kadar air garam yang larut dan membahayakan menurut normalisasi Indonesia no
10 (Anonim, 1964).
1. Tidak membahayakan
Bila kurang dari 50 % permukaan bata tertutup oleh lapisan tipis garam
2. Kemungkinan membahayakan
Bila 50 % atau lebih permukaan bata tertutup oleh lapisan putih yang agak tebal
(pengkristalan garam-garam terlarut) tetapi permukaan bata tidak menjadi bubuk atau
terlepas.
3. Membahayakan
Bila lebih dari 50 % permukaan bata tertutup oleh lapisan putij yang tebal (pengkristalan
garam-garam terlarut), tetapi bagian dalam dari bata menjadi bubuk dan lepas.
2.4. Tinjauan Tentang Konservasi Arkeologi
Pemahaman tentang konservasi pada mulanya berhubungan dengan penggunaan atau
pemanfaatan tanah dan air, tanaman, binatang, dan mineral. Dalam hal ini konservasi
dimaksudkan sebagai usaha di dalam memanfaatkan tanah dan sumber-sumber alam secara
bijaksana, agar tanah dan sumber-sumber alam tersebut dapat terpelihara secara baik dan
terlindungi sehingga dapat dimanfaatkan lebih lama. Ide mengenai konservasi ini timbul karena
18
adanya kesadaran bahwa tanah dan sumber-sumber alam di setiap area memiliki ketahanan
yang terbatas, sedangkan tanah dan sumber-sumber alam tersebut merupakan modal dasar
bagi kehidupan manusia. Dari titik pandang inilah ide konservasi kemudian berkembang menjadi
suatu usaha yang ditujukan pada pemeliharaan tanah, hutan, margasatwa dan situs-situs
arkeologi, dan sejarah (Subroto, 1995).
Dalam konsepsi arkeologis, konservasi adalah pengelolaan dan pemeliharaan benda
cagar budaya agar dapat dimanfaatkan lebih lama dengan tetap mempertahankan makna
kulturalnya. Kegiatan konservasi di bidang ini meliputi; pemeliharaan berkesinambungan
(maintenance), pengawetan objek tanpa melakukan perubahan (preservation), mengembalikan
objek pada keadaan sebenarnya tanpa menggunakan bahan baru (restoration), mengembalikan
objek pada keadaan mendekati aslinya dengan bukti bukti yang ada baik bukti fisik maupun bukti
tertulis (reconstruction), dan memodifikasi objek sesuai dengan penggunaannya (adaptation)
(Taufik, 2005).
Konservasi arkeologi adalah upaya pelestarian benda arkeologi. Oleh karena itu
merupakan prinsip bahwa konservasi harus berdasarkan kaidah-kaidah arkeologi serta budaya
yang melatarbelakanginya. Prinsip ini secara filosofi menjiwai konservasi arkeologi untuk tetap
melestarikan keaslian benda serta nilai yang dikandungnya. Dari segi operasional, konservasi
arkeologi harus dapat dipertanggungjawabkan secara teknis. Konservasi tidak cukup hanya
dilakukan dengan pendekatan atau gejala (simptomatik), tetapi harus dilakukan dengan
pendekatan sistemik atas problema yang ada, yang mencakup faktor penyebab, proses keruskan
dan pelapukan yang berlangsung, serta akibatnya. Untuk itu diperlukan suatu pola pikir untuk
memahami permasalahan yang ada, sehingga diperoleh metode konservasi yang konprehensif
dan dapat dipertanggungjawaban secara ilmiah. Prinsip dan pola pikir tersebut harus
dipergunakan sebagai landasan atau arahan dalam menjabarkan metode konservasi yang tepat
guna untuk mencegah dan menanggulangi permasalahan yang ada tanpa menyimpang dari
kaidah-kaidah arkeologi dan budaya (Samidi, 1996/1997)
19
BAB III
GAMBARAN UMUM DAN NILAI PENTING SITUS CANDI BANGKAL
3.1. Lingkungan Situs Candi Bangkal
Secara administratatif, S i tus Cand i Bangka l terletak di wilayah Dusun Bangkal,
Desa Candiharjo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Situs tersebut terdiri
dari Candi Bangkal, candi perwara dan sisa pagar keliling terbuat dari bata.
Situs Candi Bangkal mempunyai luas sekitar 1.702 m dan dilindungi oleh pagar keliling
terbuat dari BRC yang diberdiri di atas pondasi setinggi sekittara 30 cm. Tanah pada kawasan
sekitar situs merupakan tanah yang relatif subur, hal tersebut dapat diketahui dari banyaknya
persawahan pada sekitar lokasi situs. Candi Bangkal terletak tidak jauh dari pemukiman warga
dan berada tidak begitu jauh dari sungai Porong. Terhadap tanggul sungai Porong, candi
hanya berjarak sekitar 200 m
Batas-batas situs Candi Bangkal terdiri dari
Sebelah utara situs berbatasandengan pendopo desa yang biasa digunakan untuk warga
berkumpul pada acara-acara tertentu dan makam tokoh desa Masih sisi utara juga
berbatasan langsung dengan sawah.
Foto 3.1. Batas sisi utara situs candi Bangkal
20
Pada bagian timur sitius, masih berbatasan dengan sawah
Foto 3.2. Batas sisi utara situs candi Bangkal
Foto 3.3. Batas sisi timur situs candi Bangkal
21
. Pada bagian selatan situs berbatasan dengan sawah dan kebun warga,
Sedangkan pada bagian barat, situs berbatasandengan jalan utama desa.
Foto 3.4. Batas sisi selatan situs candi Bangkal
Foto 3.5. Batas sisi timur situs candi Bangkal
22
3.2. Riwayat Penelitian dan perlindungan Candi Bangkal
Candi Bangkal adalah salah satu candi di Jawa Timujr yang memiliki informasi yang
sangat minim, hal ini dikarenakan data prasasti maupun literature kuno yang berisi mengenai
informasi candi tersebut belum ditemukan. Namun demikian candi ini merupakan peninggalan
kerajaan Majapahit, yang didasarkan pada pendapat Agus Aris Munandar bahwa Candi Bangkal
dibangun pada masa Majapahit, atau lebih tepatnya pada abad ke-14 M (Munandar, 2003:115-
116 dalam Purnomo, 2009).
Keberadaan situs candi Bangkal pertama kali diungkapkann oleh NJ. Krom pada tahun
1923 dalam bukunya Inleiding tot de Hindoe Javaansche Kunst pernah menyebutkan
keberadaan serta mendeskripsikan Candi Bangkal secara singkat (Krom, 1923:287-298
dalam Purnomo, 2009). Begitupun E.B. Vogler dalambukunya yang berjudul De Monsterkop
in de Hindoe-Javaansche Bouwkunst, pernah menjelaskan keberadaan serta membahas
kepala Kala yang terdapat pada canditersebut (Purnomo, 2009).
Penelitian lain yang menggunakan Candi Bangkal sebagai bahan pembanding dalam
proses rekonstruksi candi secara arsitektural adalah: Windyasti Sulistyo (2004) dalam
skripsinya yang berjudul Pola Penataan Tujuh Percandian Hindu masaSinghasari-Majapahit
di Jawa (abad ke 13-15 M), menyertakan Candi Bangkal sebagai salah satu pembahasannya.
St. Prabawa yang membahas Candi Ngetos, dengan skripsinya berjudul Candi Ngetos:
Tinjauan Arsitektural, Kronologi danLatar Belakang Keagamaan (2006), dan Tino Suhartanto
yang membahas CandiKalicilik dengan skripsinya yang berjudul Candi Kalicilik: Tinjauan
Arsitektur danArkeologis (2007) mengunakan Candi Bangkal sebagai candi pembanding dalam
penelitiannya dikarenakan Candi Bangkal memiliki kesamaan secara arsitektural (Purnomo,
2009).
Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala yang sekarang bernama Balai Pelestaran
Cagar Budaya Jawa Timur pada tahun 1992 melakukan Konsolidasi terhadap candi Bangkal.
Kegiatan yang dilakukan antara lain melakukan pergantian beberapa bagian bata lama yang
te;lah rusak dengan bata baru. Namun kondisi bata baru sebagian besar saat telah mengalami
pelapukan (bata rapuh).
23
3.3. Deskripsi
Situs Candi Bangkal mempunyai luas 1.702 m², terdiri dari candi induk (candi Bangkal)
satu candi perwara dan Pagar kelililing. Denah Candi Bangkal mempunyai panjang 10 m,
dengan lebar 6,25 m mengarah ke barat dengan derajat kemiringan menuju barat laut 355°,
pada sisi depancandi terdapat penampil yang juga merupakan tangga naik berbentuk
menyerupaimotif salib portugis. Sebagian besar bahan pembuatnya adalah bata merah,
kecuali pada bagian kepala Kala, lantai tangga naik, ambang pintu masuk garbhagrha, batu
sungkup serta antefiks candi (Purnomo, 2009).
Struktur Candi Bangkal dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: kaki, tubuh, dan atap,
dengan garbhagrha candi yang terletak pada pusat bangunan. Sejumlah ragam hias yang
terdapat pada candi tersebut adalah: motif salib portugis, motifkerang, motif Sulur-suluran, dan
guirlande (Purnomo, 2009)
Sisa-sisa bangunan candi perwara terdapat pada bagian depan candi yang memanjang
dari selatan ke utara, yang berbahan dasar bata merah. Candi perwara tersebut mempunyai
ukuran denah dengan panjang 9,40 m dan lebar 3,10 m. Jarak antara candi induk dengan
candi perwara adalah 2 m, yang diukur dari bagian tengahmasing-masing candi (Purnomo,
2009)
Foto 3.6. Bangunan Candi Bangkal
24
Pada kompleks candi juga terdapat sisa pagar keliling yang terbuat dari bata merah
dengan kondisi yang sudah tidak utuh, dan mengelilingi kompleks percandian.Pada bagian
yang masih dapat diamati dapat diketahui tinggi pagar keliling kira-kira40 cm, dan juga
terdapat pintu masuk menuju wilayah percandian pada bagian barat pagar (Purnomo, 2009).
Keistimewaan Candi Bangkal antara lain adalah bentuk denahnya yang tidak biasa,
tangganya yang berjumlah dua pada kaki candi yang menyatu pada batur.Hiasan kepala Kala
yang terbuat dari andesit juga menjadi istimewa karena terdapat pada candi yang bahan
pembuatannya didominasi oleh bata, dan hal semacam itutidak banyak ditemukan pada
candi di Jawa Timur (Purnomo, 2009)
Pada batu sungkup yang terletak tepat di langit-langit garbhagrha ditemukan relief tokoh
yang mengendarai kuda dan memegang sebilah pedang, dan memilikibingkai yang berbentuk
sinar. Hiasan pada batu sungkup antara lain ditemukan pada Candi Sawentar dan Candi
Kalicilik.(Purnomo, 2009)..
Gambar 3.1. Sketsa Denah Candi Bangkal (sumber : Purnomo, 2009)
25
3.4. Nilai Penting Situs Candi Bangkal
Nilai Penting pada sumberdaya arkeologi perlu dilakukan untuk mengetahui seberapa
penting sumberdaya arkeoogi yang ada, yang dapat dijadikan dasar dalam penentuan
pengelolaan selanjutnya terhadap sumberdaya yang dikenal dengan istilah Manajemen
Sumberdya Budaya (Cultural Resource Management /CRM). Penentuan nilai penting
merupakan langkah awal karena perumusan rancangan manajemen sumberdaya budaya
bergantung dari bobot signifikansi yang diberikan kepada sumberdaya arkeologi (Pearson and
Sullivan 1995 dalam Suhartono, 2008).
Dalam melakukan penentuan nilai penting sumberdaya arkeologi bukan perkara yang
mudah karena nilai yang terkandung di dalam sumberdaya arkeologi merupakan sesuatu yang
tidak riel dan sangat subyektif sifatnya. Biasanya penilaian yang dilakukan lebih bersifat kualitatif,
sehingga dalam penilaian yang dilakukan tidak memunculkan angka-angka (kuantitatif). Menurut
Pearson and Sullivan (1995 dalam Suhartono, 2008) apabila sumberdaya arkeologi tidak
memiliki nilai tertentu bagi masyarakat atau sebagian masyarakat, maka pengelolaan terhadap
sumberdaya tersebut tidak perlu lagi dilakukan. Selain itu hasil penilaian juga menentukan
prioritas dan upaya peletariannya.
Dalam menentukan nilai penting sumberdaya arkeologi, ada beberapa variabel . yang
mungkin dapat dipakai sebagai pertimbangan pembobotan, antara lain :
(a) kelangkaan, apakah jumlah sumberdaya budaya yang termasuk jenis ini jarang atau
mudah ditemukan (jumlahnya banyak)
(b) keunikan, apakah sumberdaya budaya yang dinilai sangat khas di antara
sumberdaya sejenis
(c) umur/pertanggalan, semakin kuno semakin tinggi nilainya (hukum entropi)
(d) tataran, nilai penting sumberdaya dirasakan dan diakui oleh komunitas atau
masyarakat pada tingkat lokal (Kabupaten/Kota), regional (provinsi), nasional
(negara), atau internasional (dunia).
(e) integritas (termasuk keutuhan), nilai sumberdaya akan semakin tinggi apabila
masih menunjukkan kesatuan yang utuh dengan konteksnya, baik itu sebagai benda
tunggal, berkelompok (compound), maupun kompleks (tersebar tetapi merupakan
kesatuan).
26
(f) keaslian, nilai sumberdaya budaya semakin tinggi jika bahan belum mengalami
penggantian, pengurangan, atau percampuran. (Tanudirjo, 2004 dalam Suhartono,
2008)
Dalam kajian ini akan dilakukan penentuan nilai penting pada situs candi Bangkal yang
merupakan sumberdaya arkeologi peninggalan kerajaan Majapahit, Penilaiai nilai penting yang
dilakukan meliputi nilai arkeologi, sejarah, estetika dan ilmu pengetahuan.
a. Nilai ArkeologiNilai arkeologis (archaeological value) adalah nilai yang berkaitan kekunoaan
(Subroto, 1995 ; Taufik, 2005). Dalam hal ini meliputi umur bangunan, bentuk arsitektur dan
temuan artefak di sekitarnya. Situs Candi Bangkal memiliki nilai arkeologi yang tinggi.
Berdasarkan memilliki arsitektural bergaya Majapahit yang diperkirakan berasal dari abad XIV
M dan telah berusia sekiytar 700 tahun.
Candi Bangkal terdiri dari bangunan candi Induk, satui candi perwara dan pagar
keliling, terbuat dari bata. Candi Induk memiliki denah berbentuk persegi panjang dengan
panjang 10 m, lebar 6,25 m, dan tinggi 10 m dan menghadap ke arah barat. Pada sisi
depan candi terdapat penampil yang merupakan tempat anak tangga pada sisi kiri dan
kanannya yang kemudian menyatu pada batur. Secara arsitektural bangunan candi Bangkal
terdari dari bagian kaki, tubuh dan atap. Pada bagian tubuh terdapat bilik candi dan memiliiki
hiasan Kala yang terbuat dari batu andesit di atas pintu masuk.
Di depan candi Induk, terdapat sisa-sisa bangunan candi Perwara candi perwara
terdapat pada bagian depan candi yang memanjang dari selatan ke utara, yang berbahan
dasar bata merah. Candi perwara tersebut mempunyai ukuran denah dengan panjang
9,40 m dan lebar 3,10 m. Jaraka ntara candi induk dengan candi perwara adalah 2 m,
yang diukur dari bagian tengah masing-masing candi (Purnomo, 2009). Selain candi
Perwara, juga terdapat sisa pagar keliling yang terbuat dari bata merah dengan kondisi
yang sudah tidak utuh, dan mengelilingi kompleks percandian dan memiliki masuk ke
kompleks candi.
.
b. Nilai EstetikaNilai Estetika (aesthetic value) yaitu nilai keindahan yang dapat menarik dan atau
mendorong wisatawan untuk berkunjung ke tempat itu. Keindahan dan keunikan merupakan
daya tarik khusus bagi penikmat-penikmat seni sehingga menjadikan peninggalan tersebut
27
terkenal dan dikagumi banyak orang (Hartono, 2004). Nilai estetika yang melekat pada suatu
objek antara lain dapat diamati dari aspek bentuk, pahatan relief, arca, dan gayanya.
(Subroto, 2003). Sedangkan menurut Tanudirjo (2004) nilai estetis adalah kandungan unsur-
unsur keindahan baik yang terkait dengan seni rupa, seni hias, seni bangun, seni suara
maupun bentuk-bentuk kesenian lain, termasuk juga keserasian antara.
Candi Bangkal sebagai peninggalan kerajaan Majapahit memiliki nilai estetika yang
cukup tinggi. Dari bentuk arsiktektur memiliki gaya arsitektur Majapahit dengan gaya seni
Khas Jawa Timur. Pada batu sungkup terbuat dari batu andesit, yang terletak tepat di langit-
langit garbhagrh ditemukan relief tokoh yang mengendarai kuda dan memegang sebilah
pedang, dan memiliki bingkai yang berbentuk sinar. Relief tersebut kini menjadi tidak
mudah diamati karena telah menjadi sarang kelelawar dan tertutup oleh kotoran kelelawar
(Purnomo). Walaupun tertutup kotoran kelelawar, dapat dilihat secara umum, bahwa relief ini
memiliki nilai seni dan estetika yang cukup tinggi Nilai estetika lain dapat dilihat dari
penggambaran tokoh kala yang terletak di atas pintu dan terbuat dari bahan batu andesit,
Foto 3.6. Hiasam pada batu sungkup candibangkal (sumber Purnomo, 2009)
28
.
c. Nilai SejarahNilai sejarah (historic valaue), adalah peran sumberdaya arkeologi dalam suatu
peristiwa sejarah yang cukup menentukan, berkaitan dengan tokoh sejarah tertentu, atau
berperan penting dalam tahapan tertentu dalam perkembangan suatu bidang kajian
(Tanudirjo, 2004 dalam Suhartono, 2008). Dari segi sejarah, Candi Bangkal memiliki nilai
sejarah yang tinggi, merupakan peninggalan dari kerajan Majapahit sekitar abab XIV M.
d. Nilai Ilmu Pengetahuan
Nilai ilmu pengetahuan adalah sejauh mana sumber daya arkeologi mempunyai
potensi untuk diteliti lebih lanjut dalam menjawab masalah-masalah dalam bidang keilmuan.
Nilai penting ini dapat dirinci lebih lanjut menjadi nilai substantif, antropologis, ilmu sosial,
dan Arsitektural.. Sumberdaya arkeologi mempunyai nilai substantif jika mampu memberikan
jawaban atas masalah yang berkaitan dengan tujuan deskripsi dan eksplanasi peristiwa atau
proses yang terjadi di masa lampau. Aspek ini berkaitan erat dengan pengkajian secara
arkeologis. Nilai penting antropologis untuk menjelaskan perubahan budaya dalam bentang
waktu yang lama dan proses adaptasi manusia terhadap lingkungan tertentu. Nilai penting
bagi ilmu sosial un tuk mengkaji prnsip-prnsip umum dalam bidang sosial humaniora,
Foto 3.7. Hiasan Kala di atas pintu masuk
29
terutama yang berkaitan dengan interaksi manusia dengan manusia lainnya. Nilai penting
Arsiterktural untuk menunjukkan gaya seni bangun masa tertentu, diciptakan oleh arsitek
besar, mencerminkan inovasi dalam penggunaan bahan dan ketrampilan merancang, dan
merupakan hasil penerapan teknologi dan materi baru pada masa ketika dibangun.(Tanudirjo,
2004 dalam Suhartono, 2008). Adapun menurut Pearson and Sullvan (1995 dalam
Suhartono, 2008) nilai ilmu pengetahuan diberikan kepada sumberdaya arkeologi karena
potensinya untuk mengumpulkan pengetahuan-pengetahuan tentang masa lalu.
Dari segi ilmu pengetahuan, keberadaan candi Bangkal merupakan data yang penting
untuk mengetahui keberadaan candi peninggalan Majapahit di wilayah Mojokerto, yang
letaknya tidak terlalu jauh dengan situs Trowulan yang diduga merupakan pusat Kerajaan
Majapahit. Di bidang studi arsitektural dapat mengamati cara-cara dan metode membangun
Candi Bangkal yang merupakan karya arsitektural dari sekitar abad XIV.
Berdasarkan analisis nilai penting di atas, dapat diketahui bahwa situs candi Bangkal memiliki
nilai penting yang tinggi dari sisi arkeologi, sejarah, estetika dan ilmu pengetahuan, Dengan
demikian, untuk menjaga nilai penting yang dikandung pada situs candi Bangkal, perlu dilakukan
upaya pelestarian terhadap candi Bangkal sehingga dapat diwariskan kepada generasi yang
akan datang.
30
BAB IVHASIL PENGUMPULAN DATA
4.1. Kondisi Lingkungan Candi BangkalKompleks Candi Bangkal terletak di tengah persawahan dan pemukiman penduduk, di
sebelah utara, selatan dan timur berbatasan langsung dengan persawahan sedangkan di sebelah
barat berbatasan dengan jalan desa. Di sebelah timur berjarak sekitar 100 m komplek candi
terdapat sungai Porong yang secara keletakan lebih tinggi daripada kompleks Candi Bangkal.
Kondisi ini menyebabkan ketika air melimpah di sungai porong akan mengalir ke persawahan
yang ada di bawahnya dan juga masuk ke halaman Candi Bangkal. Kondisi ini makin diperparah
ketika musim hujan tiba yang menyebabkan ketinggian air yang masuk kehalaman candi dan
meredam kaki candi setinggi 1,12 meter.
Foto 4.1. KondisiCandi Bangkalketika terendam air(Sumber : BPCBJawa Timur)
Foto 4.2. Kondisi kompleks Candi Bangkal ketikaterendam air (Sumber : BPCB Jawa Timur).
31
Gambar 4.1. Denah Awal Candi Bangkal
32
Gambar 4.2 Potongan Melintang Existing Candi Bangkal
33
Gambar 4.3. Potongan Memanjang Existing Candi Bangkal
30
Informasi dari juru pelihara, air yang mengenangi kompleks candi ini tidak hanya terjadi
pada saat musim hujan, pada saat tidak hujan pun air bisa mengenangi kompleks candi. Air ini
berasal dari luapan air di sekitar situs (air sawah) yang masuk ke kompleks candi. Karena sering
terendam air menyebabkan bagian bawah kaki menjadi lembab dan mudah ditumbuhi oleh
mikroorganisme. Hal ini terbukti, ketika air surut, terlihat adanya pertumbuhan algae berwarna
hitam pada bagian bawah kaki candi. Algae ini terlihat memanjang pada setiap sisi candi bagian
bawah. Adanya algae ini juga bisa menunjukkan ketinggian air ketika mengenangi bangunan
candi. Hasil pengukuram pada bagian tertinggi dari kaki yang ditumbuhi algae adalah 1,12 m
Berdasarkan hal di atas, dapat diketahui bahwa sumber air yang mengenangi situs
Candi Bangkal, berasal dari air hujan dan air luapan dari lahan sekitar situs. Selain hal itu, air
bawah tanah juga ikut mempengaruhi terjadi genangan air di permukaan tanah. Untuk
membuktikan hal tersebut, dilakukan uji permeabilitas pada tanah di sekitar candi. Permeabilitas
adalah cepat lambatnya air merembes ke dalam tanah baik melalui pori makro maupun pori
mikro baik kearah horizontal maupun vertikal. Sedangkan tanah adalah kumpulan partikel padat
dengan rongga yang saling berhubungan. Rongga ini memungkinkan air dapat mengalir di dalam
partikel melalui rongga dari satu titik yang lebih tinggi ke titik yang lebih rendah. Sifat tanah yang
memungkinkan air melewatinya pada berbagai laju alir tertentu disebut permeabilitas tanah. Sifat
ini berasal dari sifat alami granular tanah, meskipun dapat dipengaruhi oleh faktor lain (seperti air
terikat di tanah liat). Jadi, tanah yang berbeda akan memiliki permeabilitas yang berbeda
(http://llmu-tanah.blogspot.co.id).
Foto 4.3. Algae warna hitam yang menempel padakaki candi
31
Untuk mengetahui apakah tanah di situs Candi Bangkal bersifat permeable atau tidak,
maka dilakukan uji lapangan dengan menggunakan pipa paralon ukuran 1 dim dengan panjang
1 meter berjumlah 4 buah. Pipa paralon ini kemudian di tancapkan ke tanah sampai batas pipa
tidak bisa menembus tanah lagi. Kemudian sisa pipa yang ada di permukaan tanah di ukur
panjangnya dan pipa yang ada yang dipermukaan tanah di isi air hingga penuh. Pipa paralon no
1 dan no 2 di letakan di timur laut candi di dalam pagar keliling yang terbuat dari barat . Pipa 1
dan pipa 2 ini di letakkan berjejer dengan jarak sekitar 2 m. Sedangkan pipa 3 dan 4 di letakkan
di barat daya candi. Pertimbangan peletakan pipa di timur laut dan barat daya adalah supaya
hasilnya searah. Dikarenakan adanya kotak galian (tes pit) yang dilakukan oleh BPCB Jawa
Timur untuk keperluan studi teknis pemugaran, maka kotak dipindahkan di sisi tenggara.
Foto 4.7. Kotak tespittim BPCB Jawa Timur
Foto 4.4. Pengukuran panjang sisaparalon di permukaan tanah
Foto 4.5. Pipa no. 1 dan 2yang terletak di timur laut
Foto 4.6. Air yang dituangkandi paralon no. 1
32
Air yang ada di dalam pipa paralon ini dibiarkan selama 4 hari dan dilakukan pengamatan setiap
harinya untuk mengetahui apakah air akan berkurang karena mengalir atau tidak, yang ditunjukan
air akan tetap utuh dan tidak berkurang. Hasil pengamatan yang di dilakukan menunjukkan air
yang di dalam paralon tetap utuh dan tidak meresap ke tanah. Hasil ini menunjukkan bahwa tanah
halaman Candi Bangkal memiliki kecenderungan mendekati impermeable (kedap air), yang dapat
diartikan air yang ada dipermukaan tanah tidak dapat merembes ke dalam tanah, sehingga air
yang ada permukaan tanah akan menggenang.
Setelah dibiarkan ditanam selama 4 hari, pipa ini dicabut dari tanah. Pencabutan pipa dilakukan
secara perlahan sambil di ukur kecepatan air dari bawah ke atas lubang bekas pipa. Data ukuran
ini akan digunakan untuk menghitung debit air yang ada di bawah permukaan tanah. Berdasarkan
data pengukuran tersebut, digunakan untuk menghitung debit air, berdasarkan hasil perhitungan
diperoleh debit air sebagai berikut :
Tabel 4.1. Debit Air
No Kedalaman (cm) Diameter (cm) Debit (lt/mnt)
1 30 2,54 0,15
2 55 2,54 0,26
3 30 80 145,85
4 55 80 267,40
Untuk mengetahui tinggi genangan air yang masih menggenangi permukaan halaman dan tinggi
genangan air yang pernah menggenangi permukaan halaman candi dilakukan pengukuran
ketinggian air genangan dan permukaan tanah di sekitar situs. Hal yang dilakukan adalah :
• Pengukuran menggunakan pesawat level
• Mengambil titik permukaan tanah halaman
• Pengukuran elevasi muka air tanah diambil dari ketinggian air tanah halaman,
tanggul/pagar , permukaan genangan air di dalam dan luar pagar, permukaan muka air
tanah sumur penduduk dan permukaan cekungan tanah di sebelah barat candi
• Titik nol diambil pada permukaan genangan air yang muncul dikotak ekskavasi (sudut
barat daya). Kotak ekskavasi ini dibuka oleh tim studi teknis pemugaran Balai Pelestarian
Cagar Budaya Cagar Jawa Timur.
33
• Hasil pengukuran menunjukkan elevasi permukaan sawah rata-rata +25 cm dari elevasi
0 (nol) bangunan candi, sedangkan elevasi tanah halaman candi berada rata-rata +12
cm dari elevasi 0 (nol) bangunan candi. Dari pengukuran ini dapat disimpulkan bahwa
permukaan sawah lebih tinggi dari permukaan halaman sehingga bila musim tanam
dimungkinkan air sawah masuk ke halaman dan menggenangi bangunan candi.
Foto 4.9. Pengukuran pada salah satu titik dihalaman candi
Foto 4.8. Pengukuran menggunakanpesawat level
Foto 4.11. Sawah yang terletak di sisi selatan dan timurhalaman candi yang merupakan salah satu titikukur genangan air.
Foto 4.10 Titik 0 (batasgenangan di bata)pada kotak ekskavasidi sudut barat daya.
Titik nol
34
4. 2. Observasi LapanganA. Observasi Mikro Klimatalogi
Untuk mengetahui data lingkungan di Candi Bangkal, dilakukan pengukuran mikro
klimatologi dengan parameter sebagai berikut
a. Pengukuran Kecepatan Angin
Untuk mengetahui kecepatan angin yang menerpa bangunan candi, dilakukan
pengukuran kecepatan angin menggunakan alat Weather Tracker dengan hasil yang
diperoleh sebagai berikut :
• Tertinggi : 16,6 km/jam
• Rata-rata : 13,3 km/jam
• Arah : timur ke barat
b. Mikroklimatologi Bilik Candi Bangkal
Dari hasil pengukuran suhu dan kelembaban udara pada Candi Bangkal
menggunakan datalogger yang ditempatkan di bagian dalam candi (bilik) pada tanggal 14-
17 Juli 2017, menunjukkan bahwa temperatur minimal 25,2°C dan temperatur maksimal
29,9°C sehingga terdapat fluktuasi temperatur sebesar 4,7°C dengan rata-rata temperatur
sebesar 25,9°C. Sedangkan dari parameter kelembaban udara, kelembaban udara
maksimal 100 % dan kelembapan udara minimal 81,4 %, sehingga perbedaan kelembapan
udara atau fluktuasi kelembaban udara sebesar 17,6 % dengan kelembaban udara rata-rata
96,5%.
35
Grafik 4.1. Mikroklimatologi di dalam bilik candi
Temperatur minimal : 25,2oCTemperatur maksimal : 29,9 oCTemperatur rata-rata : 25,9 oCKelembapan minimal : 81,4%Kelembaban maksimal : 100%Kelembaban rata-rata : 96,5%
0102030405060708090100
13:00
16:00
19:00
22:00
1:004:007:00
10:00
13:00
16:00
19:00
22:00
1:004:007:00
10:00
13:00
16:00
19:00
22:00
1:004:007:00
10:00
13:00
Tem
pera
tur (
o C) ,
Kel
emba
pan(
%)
Waktu
Temperatur
Kelembaban
Foto 4.12.Pengukuran suhu dan kelembaban di dalam bilikcandi mengunakan alat data logger.
36
c. Mikroklimatologi luar Candi BangkalSedangkan untuk pengukuran di bagian luar candi menunjukkan bahwa temperatur minimal
22,2°C dan temperatur maksimal 30,5°C sehingga terdapat fluktuasi temperatur sebesar
8,3°C dengan rata-rata temperatur sebesar 25,8°C. Sedangkan dari parameter kelembaban
udara, kelembapan udara maksimal 93,8 % dan kelembapan udara minimal 66,3 %,
sehingga perbedaan kelembapan udara atau fluktuasi kelembaban udara sebesar 27,5 %
dengan kelembaban udara rata-rata 85,2 %.
Grafik 3.2. Mikroklimatologi di luar bangunan candi
Temperatur minimal : 22,2oCTemperatur maksimal : 30,5 oCTemperatur rata-rata : 25,8 oCKelembaban minimal : 66,3%Kelembaban maksimal : 93,8%Kelembaban rata-rata : 85,2%
Dari hasil datalogger yang dipasang di bagian dalam dan luar candi seperti yang ditunjukkan
pada 2 grafik diatas menunjukkan bahwa temperatur dan kelembaban udara di luar candi
relatif lebih fluktuatif dibandingkan dengan di dalam candi (bilik). Ini dikarenakan temperatur
dan kelembaban udara bagian luar candi tidak terhalang oleh dinding maupun atap candi
sehingga fluktuasi temperatur dan kelembabannya menjadi lebih besar. Hal ini yang
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
13:00
16:00
19:00
22:00
1:004:007:00
10:00
13:00
16:00
19:00
22:00
1:004:007:00
10:00
13:00
16:00
19:00
22:00
1:004:007:00
10:00
13:00
Tem
pera
tur(
o C,
Kele
mba
ban(
%)
Waktu
Temperatur
Kelembapan
37
mengakibatkan kerusakan dan pelapukan komponen bangunan di luar ruangan terjadi lebih
intensif seperti pengelupasan.
B.. Observasi keterawatan material bata Candi Bangkal
Untuk mengetahui keterawatan pada material bata Candi Bangkal, dilakukan observasi
keterawatan pada bata candi di setiap lapis dan sisi. Data keterawatan bata yang diambil meliputi
1. Penggaraman
Ada 3 kriteria kadar garam yang larut dan membahayakan :
a. Tidak membahayakan
Bila kurang dari 50% lapisan bata tertutup oleh lapisan tipis berwarna putih (pengkristalan
garam-garam terlarut).
b. Kemungkinan membahayakan
Bila 50% atau lebih dari permukaan oleh lapisan putih yang agak tebal (pengkristalan
garam-garam terlarut), tetapi permukaan bata tidak menjadi bubuk atau terlepas.
c. Membahayakan
Bila lebih dari 50 permukaan bata tertutup oleh lapisan yang tebal (pengkristalan garam-
garam terlarut) tetapi bagian luar dan dalam menjadi bubuk dan lepas (Anonim,1964
dalam Munandar, dkk, 2000).
Tabel 3.2. Luas Permukaan Endapan Garam
Kriteriabatalama bata baru Luas (%)
Sisi utaraA Tidak membahayakan
kaki bawah 212 15 30kaki atas 102 15 15Tubuh 297 60Atap
B Mungkin membahayakankaki bawahkaki atasTubuh 59 5Atap
C Membahayakankaki bawahkaki atasTubuhAtap
38
Sisi timurA Tidak membahayakan
kaki bawah 94 23 30kaki atas 35 9 10Tubuh 179 17 40Atap
B Mungkin membahayakankaki bawahkaki atasTubuhAtap
C Membahayakankaki bawah 11 2kaki atasTubuhAtapSisi selatan
A Tidak membahayakankaki bawah 87 10kaki atas 45 17 10Tubuh 195 10 40Atap
B Mungkin membahayakankaki bawah 117 20kaki atasTubuh 31 5Atap
C Membahayakankaki bawahkaki atasTubuhAtapSisi barat
A Tidak membahayakankaki bawah 101 31 20kaki atas 50 4 10Tubuh 195 21 40Atap
B Mungkin membahayakankaki bawahkaki atas
39
TubuhAtap
C Membahayakankaki bawahkaki atasTubuhAtapPenampil tangga barat
A Tidak membahayakan 19 5B Mungkin membahayakanC Membahayakan
Penampil tangga utaraA Tidak membahayakan 16 5B Mungkin membahayakanC Membahayakan
Penampil tanggaselatan
A Tidak membahayakan 39 2 10B Mungkin membahayakanC Membahayakan
Bilik utaraA Tidak membahayakan 171 50B Mungkin membahayakanC Membahayakan
Bilik timurA Tidak membahayakan 150 60B Mungkin membahayakanC Membahayakan
Bilik selatanA Tidak membahayakan 170 60B Mungkin membahayakanC Membahayakan
Bilik baratA Tidak membahayakan 102 60B Mungkin membahayakanC Membahayakan
40
Tabel 3.3. Kadar air bata yang terjadi penggaraman / lapis
Lokasi Lapis Kadar air ( % )Utara kaki bawah 21 10,2
25 10,329 76,4
kaki atas 51 14,753 17,0
tubuh 58 22,961 15,4
atapTimur kaki bawah 11 13,7
13 13,115 92,427 14,5
kaki atas 41 16,745 14,6
tubuh 55 14,760 14,1
atapSelatan kaki bawah 21 10,6
25 12,827 10,3
kaki atas 43 15,049 13,6
tubuh 55 14,458 14,9
atapBarat kaki bawah 25 13,7
28 12,8kaki atas 40 16,1
45 14,5tubuh 64 16,4
70 17,5atap
Penampil utara 10 15,717 15,4
Penampil barat 15 14,7Penampil selatan 25 13,4
Bilik utara 53 27,667 22,9
41
69 27,282 25,2
Bilik timur 75 49,079 55,7
Bilik selatan 71 21,773 19,080 16,5
Bilik barat 65 20,369 16,378 36,7
2. Kerapuhan bata
Hasil observasi terhadap kondisi keterawatan bata terlihat bahwa bata rapuh banyak
dijumpai ditiap bagian bangunan candi. Dikarenakan suatu keterbatasan dalam observasi,
maka data kerusakan bata rapuh ini hanya dapat menghitung mulai bagian kaki sampai tubuh
candi sedangkan bagian atap / atas belum keseluruhannya dapat dihitung tingkat
kerusakannya. Hasil observasi menunjukan bata rapuh banyak dijumpai baik pada bata lama
maupun bata baru hasil kegiatan konsolidasi tahun 1996 / 1997. Hal observasi terhadap
kerusakan bata rapuh dapat dilihat pada tabel di bawah ini
Foto 4.13. Bata Rapuh di sisi barat
42
Tabel 3.4. Kedalaman pengikisan batu rapuh
Sisi Bagian kedalaman pengikisan ( cm ) Kriteria (buah)Candi minimun maksimum Bata lama Bata baru
Utara kaki bawah 1,5 5,5 7 7kaki atas 5,0 14,0 154 34Tubuh 3,5 14,0 250 131Atap 3,0 8,0 114
Timur kaki bawah 1,5 15,0 24 17kaki atas 4,0 18,0 68 145Tubuh 2,0 25,0 263 147Atap 2,0 8,0 116
Selatan kaki bawah 1,5 8,0 15 21kaki atas 3,0 10,0 54 32Tubuh 2,5 10,0 171 46Atap tdk diukur tdk diukur 22
Barat kaki bawah 1,5 3,0 8 5kaki atas 2,0 5,0 36 31Tubuh 3,0 10,5 42 156Atap tdk diukur tdk diukur 25
3. Pertumbuhan Mikroorganisme (algae, lumut dan lichen)
Candi Bangkal terletak di lingkungan terbuka, sehingga menyebabkan material berkontak
secara langsung dengan lingkungan. Bibit-bibit organisme sangat mudah mengenai material
candi dan selanjutnya tumbuh karena kondisi bata yang lembab. Berbagai jasad hidup
tumbuh di permukaan bata seperti algae, lumut dan lichen. Hasil observasi keterawatan
terhadap bata candi menunjukkan bahwa bangunan candi banyak di tumbuhi
mikroorganisme, yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
43
Foto 4.14. Tim sedang melakukan Observasi kerusakandan pelapukan bata
Foto 4.15. Tim sedang melakukan Observasi kerusakandan pelapukan bata
44
Tabel 4.5. Kondisi bata yang ditumbuhi Mikroorganisme
Sisi Bagian CandiPopulasi
algae, lumutdan lichen (%)
Lapis Kadar air(%)
Utara
kaki bawah 50 29 76,4
kaki atas25
32 13,935 12,853 11,2
tubuh3
55 13,657 13,459 13,2
atap 35 126 12,5131 14,9
Timurkaki bawah 40 15 92,4kaki atas 3 35 12,2
53 11,3tubuh 1 56 14,6
58 14,3atap 10 125 13,4
130 13,9
Selatan
kaki bawah 40 25 12,8
kaki atas35
33 3238 2551 25
tubuh3
58 9062 9565 70
atap 10 tdk diukur
Baratkaki bawah 40 25 13,7
kaki atas50
36 16,239 16,153 15,9
tubuh 5 55 9368 92
atap 30 tdk diukur
Bilik utara25
55 9660 9665 96
Bilik timur30
55 9260 9665 96
45
Bilik selatan10
60 9465 9470 94
Bilik barat20
55 9560 95,566 95,8
46
BAB VPEMBAHASAN
5.1. Analisis Tanah Halaman Candi BangkalUntuk membuktikan sifat impermeable (kedap air) tanah halaman Candi Bangkal dilakukan
uji di laborotorium. Pipa yang berjumlah 4 buah yang berisi tanah ditambah pipa baru sehingga
panjang pipa mencapai 1 meter seperti kondisi pipa di lapangan. Keempat pipa ini ditegakkan
secara secara vertikal dengan alat bantu, dengan pipa yang berisi tanah diletakan paling bawah.
Setelah tegak vertikal kemudian diisi dengan air hingga penuh. Kondisi ini diamati selama 2
minggu. Hasil pengamatan menunjukkan air yang ada di dalam pipa tidak berkurang dan tidak
ada air yang menetes ke bawah. Untuk menambah keakuratan pengujian, bawah pipa yang
lancip di diratakan dan dilakukan pengamatan selama 3 hari. Hasil tetap sama yaitu tidak air dari
atas pipa yang menetes ke bawah.
Dari percobaan peresapan air tanah Candi Bangkal dengan media pipa menunjukkan hasil
air tidak dapat meresap ke dalam tanah. Hal ini menunjukkan bahwa genangan air pada
permukaan tanah Candi Bangkal tidak dapat/sangat sulit meresap ke dalam tanah, sehingga
genangan air masih akan tertahan dan akan hilang ketika terjadi penguapan. Namun dari
pengujian ini belum sepenuhnya dapat menyimpulkan bahwa tanah halaman Candi Bangkal
bersifat impermeable (kedap air) sehingga perlu dilakukan analisis karakteristik fisik tanah.
Foto 5.2. Pengukuran panjangsisa paralon dipermukaan tanah
Foto 5.1.. Pengukuran panjangsisa paralon dipermukaan tanah
47
Untuk mengetahui karakteristik fisik tanah, dilakukan pengujian tanah yang berada di dalam
pipa. Untuk mengambil sampel tanah dilakukan dengan membelah pipa. Hasil analisis tanah
sebagai berikut :
Tabel 5.1. Hasil anlisis tanah pipa 1 bagian atas
Tabel 5.2.. Hasil analisis tanah pipa 4 bagian atas
Sampel Parameter Hasil KeteranganKode Jenis
1A TanahPipa 1 atas
Kadar air naturalKadar air jenuhBerat JenisPorositasDerajat kejenuhanKomposisi ukuranbutir :
49,0856
2,2721,4
127,27
%%g/cm3
%% Metode
Pengujian :- 1 mm 1,13 % Pengayakan- 0,5 mm 10,13 % Pengayakan- 0,25 mm 28,41 % Pengayakan- 0,125 mm 30,52 % Pengayakan- 0,0625 mm 14,49 % Pengayakan- < 0,0625 mm 15,33 % Pengayakan
Sampel Parameter Hasil KeteranganKode Jenis
4A TanahPipa 4 Atas
Kadar air naturalKadar air jenuhBerat jenisPorositasDerajat kejenuhanKomposisi ukuranbutir :
45,9357
2,3324,6
132,56
%%g/cm3
%% Metode Pengujian :
- 1 mm 4,46 % Pengayakan- 0,5 mm 20,78 % Pengayakan- 0,25 mm 25,38 % Pengayakan- 0,125 mm 22,04 % Pengayakan- 0,0625 mm 15,20 % Pengayakan- < 0,0625 mm 12,13 % Pengayakan
48
Berdasarkan hasil analsiis fisik, sifat fisik tanah lingkungan Candi Bangkal sampai dengan
kedalaman 60 cm dari permukaan tanah masih termasuk dalam satu lapisan yang sama. Tanah
Candi Bangkal merupakan jenis tanah pasir lempungan. Tanah pasir lempungan merupakan
tanah yang bersifat semi permeabel (sedikit lolos air), sehingga tanah jenis ini masih dapat
meresapkan air meskipun dalam jumlah yang sedikit dan diperlukan waktu yang relatif lebih lama
jika dibandingkan dengan tanah permeable (lolos air, seperti tanah pasiran). Hal ini menunjukkan
bahwa tidak dapatnya air genangan meresap ke dalam tanah selain dari sifat tanah yang sedikit
meloloskan air juga karena kondisi tanah halaman Candi Bangkal yang mendekati jenuh air. Ini
terlihat dari hasil pengujian kadar air natural yang nilainya mendekati kadar air jenuh tanah.
Karena kondisi tanah halaman Candi Bangkal yang sudah mendekati jenuh air maka genangan
yang ada diatasnya tidak dapat meresap ke dalam tanah
5.2. Analisis lingkung dan drainase1. Analisis Hidrologi
Air hujan yang jatuh di dalam situs Candi Bangkal dapat dipilah jadi 3 kelompok
berdasarkan lokasi jatuhnya, yaitu vegetasi, bangunan candi dan tanah permukaan. Air hujan
yang tertangkap oleh vegetasi, sebagian akan menguap dan sebagian lain akan jatuh ke tanah
permukaan melalui proses tetesan / aliran (drip, stem flow). Air dari tetesan tajuk daun
ataupun aliran batang tersebut akan masuk ke tanah permukaan (top soil) melalui proses
infiltrasi (peresapan) bersama dengan air hujan yang jatuh langsung ke permukaan tanah.
Tahap lanjutan setelah proses infiltrasi adalah perkolasi yaitu mengisi lapisan tanah hingga
Foto 5.3. Pemotongan bagian bawahuntuk diambil tanahnya
49
jenuh (saturation zone) dan menambah cadangan air tanah (groundwater). Air hasil proses
infiltrasi dan perkolasi akan bergerak menuju ke daerah yang tekanan hidroliknya rendah.
Apabila intensitas curah hujan tinggi sedangkan kapasitas maksimum infiltrasi telah
terlampaui maka tahap selanjutnya adalah terbentuknya tegangan tipis dari air hujan di
permukaan tanah (surface detention). Tegangan ini akan semakin menebal untuk kemudian
mengalir secara laminar hingga turbulen di atas permukaan tanah yaitu menuju ke daerah
yang topografinya lebih rendah. Gerakan air di atas permukaan tanah tersebut dikenal sebagai
overland flow atau surface runoff. Air dari limpasan permukaan (surface runoff) akan bergerak
atau mengalir menuju sungai (channel flow).
Pada kasus Candi Bangkal tidak dijumpai adanya mata air yang keluar dari tebing
tebing sungai atau lereng lereng tanah yang berbentuk kubangan. Lokasi Candi Bangkal di
keliling oleh sawah di mana elevasi permukaan sawah rata-rata +25 cm dari elevasi 0 (nol)
bangunan candi, sedangkan elevasi tanah halaman candi berada rata-rata +12 cm dari
elevasi 0 (nol) bangunan candi. Pada saat musim tanam, air sawah masuk ke halamun
sehingga halaman candi tergenang, meskipun tidak terjadi hujan. Ketika terjadi hujan,
genangan air sangat sedikit yang meresap kedalam tanah dikarenakan tanah yang jenuh air.
Hal ini juga ditunjukkan oleh hasil analisa laboratorium dimana kadar air tanah natural adalah
sebesar 45,93 - 49,08 %, sedangkan kadar air tanah jenuh sebesar 56 % sehingga hanya
berbeda sedikit yaitu 7 – 10 %. Dengan demikian bila turun hujan beberapa kali saja cepat
terjadi genangan.
Sementara air hujan yang menimpa bangunan Candi Bangkal, bila kejenuhan bata
telah tercapai akhirnya air hujan juga akan turun kehalaman candi. Jumlah air yang meresap
pada bata tersebut dapat dihitung berdasarkan kadar air jenuh bata (26,93 %) dikalikan
dengan volume solid dari Candi Bangkal. Terjadinya genangan air diperparah dengan tidak
adanya saluran air atau parit di sekeliling candi.
Dari pengukuran pernukaan air tanah di bawah halaman Candi Bangkal yang digali
ternyata ketinggiannya hampir sama dengan permukaan air tanah sumur penduduk. Jadi
ketinggian air tanah dibawah halaman candi akan mengikuti level permukaan air tanah. Bila
air tanah sumur turun, maka permukaan air tanah di halaman candi juga ikut turun.
2 Analisis Data Curah Hujan HarianDari data curah hujan harian didapatkan nilai curah hujan harian maksimum tiap bulan
sebagai berikut :
50
Tabel 5.3.. Curah hujan maksimum di sekitar Candi Bangkal
Bulan
Jumlah curah hujan maksimumTahun 2014 Tahun 2015 Tahun 2016 Tahun 2017
Jumlah
( mm )
Hari
hujan
Jumlah
( mm )
Hari
hujan
Jumlah
( mm )
Hari
hujan
Jumlah
( mm )
Hari
hujan
Januari 75,6 18 42,6 13 70,2 14 33,6 21
Pebruari 78,9 21 75,2 23 85,4 22 108,2 15
Maret 72,4 13 42,6 16 42,6 16
April 38,4 10 48,2 11 39,4 9 27,6 12
Mei 12,4 7 65,6 5 108,4 8 12,6 3
Juni 16,6 2 0 0 49,6 4 0 0
Juli 0 0 0 0 34,6 3
Agustus 0 0 0 0 18,6 2
September 0 0 0 0 22,4 5
Oktober 0 0 0 0 115,2 8
Nopember 0 0 0 0 76,2 7
Desember 42,4 13 42,4 14 86 16
Dari tabel tersebut nampak bahwa pada tahun 2014 dan 2015 musim penghujan diawali pada
bulan Desember dan berakhir pada bulan Mei Sedangkan pada tahun 2016 hampir sepanjang
tahun turun hujan. Tahun 2017 data curah hujan baru masuk sampai dengan bulan Juni.
Jumlah hari hujan dari pencatatan selama 4 tahun tersebut adalah 331 hari
Data data curah hujan maksimum dalam 1 hari tersebut kemudian dihitung standar
deviasinya, untuk mengetahui penyimpangan minimum dan maksimumnya
3. Standar deviasiStandar deviasi adalah nilai statistik yang digunakan untuk menentukan bagaimana
sebaran data dalam sampel, dan seberapa dekat titik data individu ke mean atau rata-rata nilai
sampel. Standar deviasi dari kumpulan data yang sama dengan nol menunjukkan bahwa
semua nilai-nilai dalam himpunan tersebut adalah sama. Sebuah nilai deviasi yang lebih besar
akan memberikan makna bahwa titik data individu jauh dari nilai rata-rata.
51
Untuk menghitung standar deviasi, pertama-tama menghitung nilai rata-rata dari
semua titik data. Rata-rata adalah sama dengan jumlah dari semua nilai dalam kumpulan data
dibagi dengan jumlah total titik data. Selanjutnya, penyimpangan setiap titik data dari rata-rata
dihitung dengan mengurangkan nilai dari nilai rata-rata. Deviasi setiap titik data akan
dikuadratkan, dan dicari penyimpangan kuadrat individu rata-rata. Nilai yang dihasilkan dikenal
sebagai varian. Standar deviasi adalah akar kuadrat dari varian.
Nilai varian yang dihasilkan merupakan nilai yang berbentuk kuadrat. Untuk
menyeragamkan nilai satuannya maka varian diakar kuadratkan sehingga hasilnya adalah
standar deviasi (simpangan baku) yang dihitung menggunakan rumus :
dimana : xi = nilai individu tiap titik
x- = nilai rata rata
s = nilai standart deviasi ( varian )
Hasil dari perhitungan tersebut adalah sebagai berikut :
Tabel 5.4. Perhitungan standar deviasi curah hujan
n
( jumlah
titik )
xi
( Nilai individu )
x-
( rata rata )
( xi –x- ) ( xi –x- )2
1 75,6 54,62 -20,98 440,28
s = akar pangkat
dua dari 24.158,76 :
28
= 862,81 = 29,37
2 78,9 54,62 -24,28 589,65
3 72,4 54,62 -17,78 316,23
4 38,4 54,62 16,22 263,00
5 12,4 54,62 42,22 1.782,30
6 16,6 54,62 38,02 1.445,31
7 42,4 54,62 12,22 149,26
8 42,6 54,62 12,02 144,41
9 75,2 54,62 -20,58 423,65
10 42,6 54,62 12,02 144,41
11 48,2 54,62 6,42 41,18
12 65,6 54,62 -10,98 120,62
13 42,40 54,62 12,22 149,26
14 70,2 54,62 -15,58 242,82
52
15 85,4 54,62 -30,78 947,58
16 42,6 54,62 12,02 144,41
17 39,4 54,62 15,22 231,56
18 108,4 54,62 -53,78 2.892,59
19 49,6 54,62 5,02 25,17
20 34,6 54,62 20,02 400,69
21 18,6 54,62 36,02 1.297,24
22 22,4 54,62 32,22 1.037,95
23 115,2 54,62 -60,58 3.670,27
24 76,2 54,62 -21,58 465,82
25 86 54,62 -31,38 984,88
26 33,6 54,62 21,02 441,72
27 108,2 54,62 -53,58 2.871,11
28 27,6 54,62 27,02 729,93
29 12,6 54,62 42,02 1.765,45
Jumlah 1.583,90 24.158,76
Curah hujan maksimum yang akan dihitung sebanyak 29 titik ( nilai n ), dengan jumlah
kumpulan titik curah hujan sebanyak 1.583,90 mm, sehingga nilai rata ratanya sebesar 54,62
mm ( x- ). Dengan menggunakan rumus tersebut diatas maka diperoleh standar deviasi
sebesar 29,37, yang artinya perhitungan curah hujan rencana minimum dan maximum dalam
satu hari yang digunakan antara 54,62 - 29,37 = 25,25 mm sampai dengan 54,62 + 29,37 =
83,99 mm
4. Perhitungan Curah Hujan Rencana MaksimumPerhitungan curah hujan rencana maksimum dihitung berdasarkan nilai penyimpangan
curah hujan maksimum dari rata rata curah hujan maksimum. Tujuan melakukan perhitungan
ini adalah untuk mendapatkan debit air hujan yang nantinya akan dipakai untuk melakukan
perencanaan dimensi kolam dan sistem drainase. Dari hasil perhitungan, didapatkan nilai
curah hujan harian rencana maksimum sebesar 83,99 mm(84 mm)
5. Analisis Intensitas HujanIntensitas curah hujan didefinisikan sebagai ketinggian curah hujan yang terjadi pada
kurun waktu dimana air hujan berkonsentrasi.Analisa intensitas curah hujan ini dapat diproses
53
berdasarkan data curah hujan yang telah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Perhitungan
besarnya intensitas curah hujan dapat dipergunakan beberapa rumus empiris dalam hidrologi.
Rumus Mononobe dibawah ini, dipakai apabila data hujan jangka pendek tidak tersedia, yang
ada hanya data hujan harian.
I : Intensitas curah hujan (mm/jam)
t : Lamanya curah hujan / durasi curah hujan (jam)
R24 : Curah hujan maximum dalam 24 jam
Keterangan :
R24 , dapat diartikan sebagai curah hujan dalam 24 jam (mm/hari)
Selanjutnya adalah menghitung intensitas curah hujan dengan berbagai waktu
konsentrasi sebagai berikut:
Untuk waktu konsentrasi : 60 menit dan curah hujan harian maksimum 84 mm, maka
Intensitas curah hujan adalah : (( 84 : 24) ( 24: 1 )2/3 ) mm/jam = 3,5 (576)1/3= 3,5 ( 8,7)
= 30,45 mm / jam
Untuk waktu konsentrasi : 45 menit
Intensitas curah hujan adalah = (( 84:24) (24:0,75)2/3 mm/jam = 3,5 ( 1024)1/3 = 3,5 (10,1)
= 35.35 mm/jam.
Untuk waktu konsentrasi : 30 menit
Intensitas curah hujan adalah = ((84:24) (24:0,5)2/3) mm/jam = 3,5 (2304)1/3 = 3,5 (13,21)
= 46,21 mm/jam
Untuk waktu konsentrasi : 15 menit
Intensitas curah hujan adalah = ((84:24) (24:0,25)2/3) mm/jam = 3,5 (9216)1/3 = 3,5 (20,96)
=73,36 mm/jam
Waktu konsentrasi adalah waktu yang diperlukan oleh air untuk mengalir di atas
permukaan tanah menuju saluran drainase / kolam retensi. Air hujan yang masuk halaman
Candi Bangkal akan terkonsentrasi dalam beberapa saat sehingga terjadi genangan. Apabila
54
tidak segera dibuang melalui sistim drainase atau ke kolam penampungan, genangan tersebut
makin lama makin meningkat. Waktu melimpasnya air genangan tersebut ke saluran drainase
atau ke kolam retensi disebut waktu konsentrasi atau waktu mulai terjadi genangan. Dari
rumus tersebut diatas secara teoritis dapat diketahui bahwa semakin cepat genangan terjadi,
semakin tinggi pula intensitas curah hujannya, begitu pula sebaliknya. Dari hasil perhitungan
tersebut bila kita buat tabel sebagai berikut :
Tabel 5.5. Analisis Intensitas Curah Hujan
No Waktu mulai terjadi
genangan ( menit )
Intensitas Curah
hujan ( mm/ jam )
Keterangan
1 15 73,36
2 30 46,21
3 45 35,35
4 60 30,45
6. Perencanaan Mengatasi Genangan air di Halaman CandiUntuk mengatasi genangan air yang ada di halaman Candi Bangkal perlu dilakukan
perencanaan sehingga ke depannya air yang menggenangi halaman candi dapat diatasi
(diminimalkan) sehingga keterawatan bangunan candi dapat terjaga. Yang mutlak harus
dilakukan adalah membuat tanggul yang mengelilingi Candi Bangkal.
Kondisi lingkungan Candi Bangkal yang berbatasan dengan persawahan ternyata
membawa permasalahan yang cukup serius bagi kelestarian bangunan candi. Hal ini
dikarenakan kondisi persawahan yang elevasinya lebih tinggi dari halaman candi sehingga
pada saat tertentu air sawah melimpas masuk ke halaman candi. Akibatnya halaman candi
akan tergenang air. Informasi yang diperoleh dari juru pelihara, musim tanam sawah yang
dilakukan penduduk sebanyak 3 kali dalam setahun, sehingga dengan demikian halaman akan
tergenang air terus meskipun pada musim kemarau. Ketinggian air yang menggenangi
halaman candi dapat dilihat pada kaki candi dimana terlihat adanya pertumbuhan algae yang
menghitam memanjang pada setiap sisi candi dengan ketinggian 1,12 m dari titik 0 (nol)
Hasil pengukuran, elevasi permukaan sawah rata-rata + 25 cm dari elevasi 0 (nol) bangunan
candi, sedangkan elevasi tanah halaman candi berada rata-rata + 12 cm dari elevasi 0 (nol)
bangunan candi.
55
Berdasarkan hal di atas untuk mengatasi air sawah yang masuk ke halaman perlu
dibuat tanggul setinggi minimal 1,12 m. Hal ini didasarkan pada ketinggian air yang pernah
masuk ke halaman candi yang setinggi 1,12 m. Kondisi saat ini sudah terdapat tembok /
tanggul di sisi utara, timur dan selatan halaman candi dengan ketinggian sekitar 30 cm namun
kondisinya di beberapa bagian telah mengalami kerusakan. Nantinya dalam pembuatan
tanggul perlu dibuat kedap air sehingga air sawah tidak dapat masuk lagi ke halaman candi.
Pembuatan tanggul ini hanya untuk mengatasi air sawah yang masuk ke candi, namun untuk
mengatasi genangan akibat air hujan perlu dibuatkan saluran drainase. Untuk pembuatan
saluran drainase tim kajian memberikan 2 alternatif yaitu :
a. Saluran Drainase model beton keliling, sumur dewatering dan kolam retensiSaluran drainase diperlukan untuk mengatasi genangan air di halaman terutama
pada musim hujan. Saluran drainase ini juga diperlukan untuk menampung limpasan air
sawah jika tanggul tidak mampu menahan limpasan air sawah (jika terjadi kebocoran atau
limpasan air melebihi tinggi tanggul). Ukuran saluran disesuaikan dengan intensitas curah
hujan yang telah di sebut diatas, dalam hal ini yang dipilih adalah pada waktu terjadi
intensitas curah hujan tertinggi dengan waktu mulai terjadi genangan adalah setelah 15
menit. Meskipun ini masih teoritis dan kemungkinan intensitas curah hujan bisa lebih
besar atau lebih kecil, hal ini tidak menjadi masalah karena perbedaannya hanya terletak
pada waktu yang diperlukan saluran dan kolam untuk menampung air hujan .
1) Dimensi dan ukuran
Kolam penampungan (kolam retensi) : Panjang 27,08 m x lebar 14,50 m x
kedalaman 1,5 m. Dinding kolam dan lantai dibuat dengan beton sehingga kedap
air.
Pagar keliling : Panjang 42,35 m x lebar 27,08 m
Halaman candi : Panjang 27,85 m x lebar 27,08 m
Tanggul dibuat kedap air yang mengelilingi halaman setinggi lebih dari 1,12 meter
Saluran air : lebar 1 m , panjang 82,78 m , kedalaman 0,75 m, dibuat dengan
beton kedap air, tertutup plat beton yang sebagian di lobangi.
Sumur dewatering : diameter 0,8 m kedalaman 1,5 m ( tertutup plat beton ), di
buat 2 buah. Pembuatan sumur dewatering ini bertujuan untuk mengurangi kapiler
air yang naik ke bangunan candi.
56
2). Perhitungan debit genangan
Kemampuan kolam penampungan untuk menampung air hujan adalah 27,08 x 14,50
x 1,5 = 588,99 m³, sedangkan saluran yang mengelilingi halaman Candi Bangkal
mampu menampung air hujan (27,85 + 27,85 + 27,08 ) x 1 x 0,75 = 62,09 m³,
Sehingga daya tampung kolam + saluran air adalah 588,99 m³ + 62,09 m³ = 651,08
m³. Sekarang bila curah hujan dengan intensitas maksimum 73,36 mm/jam maka air
yang masuk tiap jam adalah ( ( ( 14,50 x 27,08 ) + ( 27,85 x 27,08 )) x 73,36 ) : 1000
= 83,14 m³ /jam sehingga akan penuh selama 651,08 : 83,14 = 7,74 jam . Jadi dapat
dikatakan bahwa pada intensitas curah hujan 73,36 mm/jam akan terjadi genangan
setelah 15 menit dan 7,74 jam setelahnya kolam dan saluran air akan penuh. Agar
tidak menimbulkan genangan maka harus dipompa keluar. Dengan perhitungan
analogi yang sama, pada intensitas curah hujan yang berbeda maka waktu mulai
terjadinya genangan dan waktu akumulasi air maksimum akan berbeda pula seperti
diperlihatkan pada tabel dibawah ini:
Tabel 5.6. Waktu Akumulasi Air Maksimum
NoIntensitas Curah
hujan ( mm/ jam )
Waktu mulai
terjadi genangan
( menit )
Waktu akumulasi
air maksimum
( jam )
Keterangan
1 73,36 15 7,74
2 46,21 30 12,29
3 35,35 45 16.06
4 30,45 60 18,64
Jika saluran air dan kolam retensi tidak dapat menahan air dikarenakan hujan yang
turun begitu besar sehingga menyebabkan air melimpah, maka limpahan air ini
dapat dibuang dengan dengan menggunakan pompa dengan selang yang panjang
ke saluran drainase jalan desa yang di sebelah barat kompleks candi (depan pintu
gerbang masuk ke kompleks candi).
57
Gambar 5.1. Perencanaan Saluran drainase beton, sumur dewatering dan kolam retensi
58
Gambar 5.2. Potongan melintang perencanaan saluran drainase beton
59
Gambar 5.3. Potongan memanjang perencanaan saluran drainase beton
60
b. Saluran drainase model pipa berpori dan kolam retensiModel pipa berpori ini selain berfungsi untuk mengalirkan air hujan ke kolam
retensi, juga dapat menyerap air ke bawah bangunan candi dan di buang ke saluran
pembuangan, sehingga model pipa berpori tidak memerlukan sumur dewatering seperti
pada model saluran drainase sebelumnya. Secara teknis, tanah halaman digali sedalam
mendekati batas air tanah (sekitar 12 cm), kemudian baru baru dibuat konstruksi pipa dan
saluran drainase. Pipa-pipa dipasang memajang sejajar utara-selatan dan barat-timur.
Pipa-pipa ini disambungkan pada pipa yang menempel di pondasi candi ke tubuh candi
dan dibuat sejajar berbaris horizontal dengan dengan jarak antar pipa 75 cm dan. Pipa
yang digunakan berukuran 3 dim dan di setiap pipa diberi lubang dengan diameter 1 cm,
dengan jarak antar lubang 5 cm.
Saluran drainase keliling juga menggunakan pipa-pipa dengan ukuran lebih besar
yaitu ukuran 6 dim. Pipa-pipa dibiarkan utuh tanpa ada lubung. Pipa saluran drainase ini
kemudian dihubungkan dengan kolam retensi yang merupakan kolam penampungan air.
Kolam retensi ini dibuat dengan ukuran sama dengan kolam drainase beton dan dibuat
kedap air.
Setelah konstruksi pipa dibuat kemudian di lapisi ijuk, di atas dilapisi tanah dari
luar halaman candi. Penggunaan tanah di luar halaman candi ini dikarenakan tanah di
halaman candi bersifat impermeable (jenuh air), sehingga air tidak bisa masuk ke dalam
dan bisa kembali terjadi genangan.
Dimensi dan ukuran
Pipa berpori ukuran 3 dim, dengan diameter lubang 1 cm, jarak antar lubang 5 cm
Jarak antar pipa berpori 75 cm, di pasang sejajar
Pipa untuk saluran drainase keliling berukuran 6 dm
Kolam penampungan (kolam retensi): Panjang 27,08 m x lebar 14,50 m x kedalaman
1,5 m. Dinding kolam dan lantai dibuat dengan beton kedap air.
Pagar keliling : Panjang 42,35 m x lebar 27,08 m
Halaman Candi : Panjang 27,85 m x lebar 27,08
Dibuat tanggul kedap air yang mengelilingi halaman setinggi lebih dari 1,12 meter
Pipa diletakkan di bawah tanah mendekati muka air air (± 12 cm)
Di atas pipa di lapisi ijuk dan ditutup dengan tanah, yang diambil dari luar halaman
candi.
61
Setelah saluran drainase pipa berpori terpasang, halaman candi tidak boleh di injak
oleh pengunjung karena jika terlalu sering di injak, maka tanah akan menjadi padat
dan dapat mengganggu sistem drainase yang ada di bawah tanah.
Seperti drainase dengan beton, Jika saluran air dan kolam retensi tidak dapat
menahan air dikarenakan hujan yang turun begitu sehingga menyebabkan air melimpah
maka limpahan air ini dapat dibuang dengan dengan menggunakan pompa dengan
selang yang panjang ke saluran drainase jalan desa yang di sebelah barat kompleks candi
(depan pintu gerbang masuk ke kompleks candi). Pompa yang digunakan memilkit debit
di atas 267,40 liter/menit
62
Gambar 5.4. Perencanaan Saluran Drainase dengan pipa berpori
63
Gambar 5.5. Potongan Melintang perencanaan saluran drainase dengan pipa berpori
64
Gambar 5.6. Potongan memanjang perencanaan drainase dengan pipa berpori
65
5.3. Pelapukan BataA. Penyebab Pelapukan Bata
Dari hasil observasi keterawatan bata candi, dapat diketahui banguan Candi Bangkal
telah mengalami kerusakan dan pelapukan yang cukup parah. Material bata telah banyak
mengalami penggaraman, kerapuhan dan keausan serta banyak ditumbuhi mikroorganisme
seperti algae, lumut dan lichen. Kondisi ini disebabkan beberapa faktor baik faktor internal
maupun eksternal. Salah satu faktor eksternal yang mempercepat kerusakan dan pelapukan
bata adalah pengaruh lingkungan yang ada disekitar candi. Kondisi Candi Bangkal dimana
di bagian kaki candi sering tergenang oleh air karena limpasan air sawah maupun air hujan,
ikut mempercepat kerusakan dan pelapukan bata candi.
Bata merupakan material yang higroskopis sehingga mudah terpengaruh oleh faktor
lingkungan yang dapat menyebabkan bata menjad lembab. Faktor tersebut meliputi
kandungan uap air di udara (kelembaban relatif) dan aliran air secara vertikal maupun
horizontal yang melalui materai bata (Munadar, dkk, 2000). Kondis demikan dapat dilihat
pada bangunan Candi Bangkal dimana bagian kaki candi sering tergenang karena limpasan
air sawah dan air hujan sehingga menyebabkan kondisi bata bangunan candi sering menjadi
lembab. Kelembaban tidak hanya terjadi pada bagian kaki candi yang selalu tergenang air
tetapi juga pada bagian tubuh dan atas candi. Hal ini terkait dengan naiknya air melalui
proses kapilarisasi.
Untuk mengetahui ketinggian naik proses kapilarisasi air dihitung dengan cara :
Xmax = 2σ 15.10ˉ⁶ meter dimana r = diameter pori
Pgr r
Berdasarkan rumus tersebut kemudian dihitung kapilarisasi air, dimana diameter pori bata
lama adalah 4,42 mikron sehingga tinggi kapiler maksimun adalah :
x = 15.10 ˉ⁶ = 3,39 m
4.42. 10 ˉ⁶
Tinggi kapiler air 3,39 m ditambah dengan tinggi genangan air maksimum yang pernah
menggenangi kaki candi yaitu setinggi 1,12 sehingga tinggi kapiler air yang naik ke tubuh
candi bisa mencapai 4,51 meter. Berdasarkan hitungan itu, air yang menggenangi bangunan
candi sangat memperngaruhi terjadinya kapilarisasi air.
Kapilarisasi air ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan pelapkan pada bata
bangunan Candi Bangkal. Dampak adanya kapilarisasi air terlihat adanya pertumbuhan
mikroorgisme, proses penggaraman dan bata menjadi rapuh.
66
B. Analisis Kualitas Air GenanganDalam kajian ini dilakukan uji kualitas air yang bertujuan untuk menegetahui
kandungan air genangan yang menggenang bangunan Candi Bangkal. Hal ini perlu
dilakukan karena air genangan ini bisa naik ke bangunan candi melalui proses kapilarisasi
yang telah di jelaskan pada point sebelumnya. Kandungan air genangan dapat dilihat di
bawah ini :
Tabel 5.7. Hasil uji laboratorium kualitas air genangan
Hasil uji laboratorium sampel air genangan pada halaman Candi Bangkal menunjukkan
bahwa jumlah kalsium sebanyak 103,3 ppm sedangkan pada air tawar biasanyaa kurang
dari 100 ppm. Air yang mengandung yang mengandung kalsium dapat menghasilkan
reaksi pelarutan CaCO3 (calcite) atau CaSO4 2H2O (gipsum) bila bereaksi dengan material
bata atau material lain yang dilewatinya sehingga dapat membentuk padatan dan
terbentuk endapan garam. Jumlah magnesium dalam air genangan kurang dari 50 ppm.
Unsur besi merupakan salah satu unsur minor dalam air jumlah unsur besi dalam air 0,01-
10 ppm.
C. Penanganan pelapukan bataBerdasarkan hasil observasi keterawatan bangunan candi, telah terjadi proses pelapukan
pada bata yang terdiri dari proses penggaraman, pertumbuhan mikroorganisme dan bata
Sampel Parameter Hasil Keterangan
Kode Jenis
Air genangan
pH
Temperatur
Konduktifitas
TDS
NaCl
Resistivitas
Kalsium(Ca)
Magneisum(Mg)
Besi(Fe)
6,56
26,8
1,419
389,9
388,1
1,283
103,3
8,925
0,09
oC
mS
ppm
ppm
kΩ
ppm
ppm
ppm
Metode Analisis :
Instrumentasi
Instrumentasi
Instrumentasi
Instrumentasi
Instrumentasi
Instrumentasi
AAS
AAS
AAS
67
rapuh. Jika kondisi tersebut tidak ditangani, maka kondisi keterawatan bangunan bisa
menjadi lebih parah dan mengacam kelestarian dari bangunan candi tersebut. Hal berarti
nilai penting yang terkandung dalam bangunan candi tersebut juga akan hilang.
Untuk mengurangai proses pelapukan terhadap bata perlu dilakukan penangananan yang
dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Penggaraman
a. Pembersihan dengan menggunakan EDTA 5 %
Berdasarkan hasil observasi menunjukkan bahwa telah terjadi penggaraman pada
bata candi dalam jumlah yang cukup banyak. Oleh karena itu untuk menjaga supaya
material bata terutama bata asli dapat bertahan lebih lama, dilakukan upaya
konservasi dengan membersihkan endapan garam yang ada. Pembersihan dilakukan
dengan menggunakan EDTA 5 %. Pemilihan EDTA sebagai bahan pembersihan
endapan garam karena EDTA merupakan salah satu asam organik yang dapat
melarutkan garam Ca, Mg, dan Fe pada endapan garam bata. Adapun cara yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan mereaksikan antara endapan garam
dengan larutan EDTA konsentrai 5%. Dalam pembersihan diperlukan media sebagai
perantara antara endapan garam dan larutan uji yaitu kertas tisue. Pemilihan kertas
tisue karena kertas tisue dapat menyerap larutan uji sehingga tetap dapat bereaksi
dengan endapan garam. Langkah-langkah pembersihan meliputi :
1) Bata dibersihkan secara mekanik dengan sikat nilon
2) Dilakukan pembersihan menggunakan metode paper pulp EDTA 5 %, dengan
cara dengan paper pulp dijadikan bubuk kertas bercampur dengan EDTA 5 %
kemudian ditempatkan ke bata dan dilindungi dengan plastik.
3) Di biarkan selama 24 jam, kemudian bubuk kertas dibersihkan dari permukaan
bata.
4) Dilakukan pembilasan dengan aquades pada permukaan bata.
68
Pembersihan bata lama dengan EDTA 5%
5.4. Kondisi bata sebelum dibersihkan5.5. Pembersihan mekanik dengan
menggunakan sikat
5.6. Kondisi bata setelah dibersihkansecara mekanik
5.7. Kertas yang dicampur EDTAditempelkan ke bata
5.8. Kertas yang ditempel dibiarkanselama 24
5.9. Kondisi setelah pembersihan,garam tampak sudah hilang
69
Pembersihan bata baru dengan EDTA 5 %
5.10.. Kondisi bata sebelum dibersihkan5.11.. Pembersihan mekanik dengan
menggunakan sikat
5.11. Kondisi bata setelah dibersihkansecara mekanik
5.12. Kertas Ttissu yang dicampurEDTA ditempelkan ke bata
5.13. Kertas tissue yang ditempeldibiarkan selama 24
5.14. Kondisi setelah pembersihan,garam tampak sudah hilang
70
Hasil pembersihan menggunakan EDTA 5% :
• Pembersihan secara mekanik dengan sikat nilon : masih terdapat endapan garam
pada permukaan bata lama dan bata baru
• Pembersihan menggunakan metode paper pulp EDTA 5% : pada permukaan bata
baru sudah tidak terdapat endapan garam, sedangkan pada permukaan bata lama
masih terdapat sedikit endapan garam
• Pembilasan dengan aquadest : untuk menetralkan EDTA 5% yang masih
menempel di permukaan
b. Pengujian komposisi kimia garam terlarut yang dapat dibersihkan dengan
menggunakan EDTA 5% metode analisis instrumental AAS
Untuk melihat keefektifan dari daru EDTA 5 %, dilakukan pengujian kelarutan
endapan garam dengan menggunakan AAS. Adapun parameter pengujian mengacu
pada mineral penyusun endapan garam, unsur tersebut antara lain kalsium,
magnesium, dan besi.
Tabel 5.8. Komposisi kimia sampel setelah dilarutkan EDTA 5 %
Parameter Satuan HasilBata lama Bata baru
Kalsium(Ca) Ppm 1871 524,2Magnesium(Mg) Ppm 10,97 10,74Besi(Fe) Ppm 17,46 4,402
Berdasarkan hasil pengujian kelarutan endapan garam dalam larutan EDTA 5 %,
jumlah kelarutan kalsium, magnesium, dan besi endapan garam bata lama lebih
besar dibandingkan dengan endapan garam bata baru setelah bereaksi selama 24
jam dengan larutan EDTA 5%. Adanya kelarutan garam Ca, Mg, dan Fe dari
endapan garam bata lama maupun bata batu dalam larutan EDTA 5% menunjukkan
bahwa endapan garam dapat dibersihkan dengan menggunakan larutan EDTA 5%.
2. Mikroorganisme
Candi Bangkal terletak di lingkungan terbuka, sehingga menyebabkan material
berkontak secara langsung dengan lingkungan. Bibit-bibit organisme sangat mudah
mengenai material candi dan selanjutnya tumbuh karena kondisi bata yang lembab.
Berbagai jasad hidup tumbuh di permukaan bata sehingga perlu penanganan agar tidak
semakin sulit dihilangkan.
71
Jasad yang menutupi permukaan bata terutama saat musim hujan adalah
ganggang / algae dan lumut. Pada musim hujan jasad ini akan aktif dan berwarna hijau
sehingga menutupi permukaan bata. Pada musim kemarau jasad kering dan berwarna
hitam / kecoklatan. Hal ini terlihat ketika pada musim hujan air menggenangi bagian kaki
hingga ketinggian sekitar 1 meter. Ketika musim kemarau, terlihat ganggang berwarna
hitam yang memanjang di sekeliling kaki candi. Aktifitas hidup algae pada permukaan
bata akan menghasilkan senyawa-senyawa kimia hasil metabolisme yang dapat
menyebabkan pelapukan. Demikian juga dengan lumut yang dapat menyebabkan
pelapukan bata karena aktivitas metabolisme dan rizoid (akar pada lumut) yang
menembus pori-pori bata.
Jasad jamur kerak (lichen) termasuk jasad yang dampak pelapukannya paling
tinggi. Jamur kerak merupakan bentuk simbiosis dari jamur dan ganggang. Warna jamur
kerak putih kehijauan dan tidak mati pada musim kemarau, tetapi masih meninggalkan
bercak putih pada permukaan. Pada musim hujan akan cenderung berwarna hijau dan
aktif. Metabolisme jamur kerak menghasilkan asam oksalat dan memacu pelapukan
batuan. Jamur kerak sulit dihilangkan karena menempel dengan kuat dan sulit dimatikan.
Diperlukan formula khusus untuk mematikan dan menghilangkan bekas-bekas bercat
putihnya (Siregar, Iskandar M, dkk, 2011).
Di bangunan Candi Bangkal, pertumbuhan mikroorganisme dapat dijumpai di kaki
candi dimana pada bekas algae yang menghitam yang merupakan bekas batas
genangan air tertinggi yang pernah menggenangi bangunan Candi Bangkal. Selain itu
pertumbuhan mikroorganime juga ditemukan dibeberapa bagian tubuh candinya
termasuk di dalam bilik candi. Pertumbuhan mikroorganime cukup banyak dikarenakan
di dalam bilik candi kondisi lingkungan cukup lembab.
72
Proses pelapukan secara bilogis dapat atasi dengan menghambat pertumbuhan
mikroorganisme di Candi Bangkal. Salah satu metode untuk mengurangi pertumbuhan
dengan menggunakan minyak atsiri.
Minyak atsiri merupakan zat yang berbau yang terkandung dalam tanaman dan
disebut juga minyak yang mudah menguap karena pada suhu udara biasa mudah
menguap tanpa mengalami dekomposisi (Doyle dan Munggall, 1980 dalam wahyuni,dkk,
2016). Minyak atsiri umumnya berbentuk cair diperoleh dari bagian tanaman akar, kulit
batang, daun, buah, biji, atau bunga dengan cara destilasi uap, ekstraksi, atau press
(ditekan).
Minyak atsiri tidak larut dalam air, larut dalam pelarut organik dan berbau harum
sesuai dengan tanaman penghasilnya. Tanaman yang menghasilkan minyak atsiri
diperkirakan berjumlah 150-200 spesies tanaman, yang termasuk dalam famili
Pinaceae, Labitae, Compositae, Lauraceae, Myrtaceae dan Umbelliferaceae (Ketaren,
1985 dalam Wahyuni, dkk). Penggunanan Minyak atsiri telah mulai digunakan dalam
konservasi
Pada kajian konservasi Candi Bangkal dilakukan pengujian minyak atsiri untuk
mematikan algae dan lumut pada permukaan candi. Minyak atsiri yang dipakai adalah
minyak cengkeh. Pemilihan minyak cengkeh karena setelah dikaji memiliki efektifiktas
membunuh algae dan lumut (Wahyuni, dkk 2015). Minyak daun cengkeh dapat dibagi
menjadi dua kelompok. Kelompok pertama yang memiliki komponen paling besar
merupakan senyawa fenolat dan eugenol. Senyawa ini mudah diisolasi dengan NaOH
kemudian dinetralkan dengan asam mineral. Kelompok kedua mengandung senyawa-
Foto 5.15. Pertumbuhan mikroorganisme didinding bilik candi
73
senyawa non fenolat yaitu β-kariofilen, α-kubeben, α-kopaen, humulen, δ-kadien, dan
kadina 1,3,5-trien (Sastrohamidjojo, 2004 dalam Wahyuni, dkk, 2016).
Langkah-langkah pembersihan algae dan lumut sebagai berikut :
Menyiapkan minyak cengkah 100 %
Minyak cengkeh disemprotkan pada permukaan bata yang ditumbuhi lumut maupun
algae
Dibiarkan selama 24 jam (ditutup dengan plastik jika khawatir terjadi hujan)
Setelah 24 jam terlihat bahwa ada perubahan warna menjadi coklat. Hal ini
menunjukkan bahwa algae dan lumut sudah berhenti melakukan fotosintensis.
Algae dan lumut selanjutkan dibersihkan secara mekanis
Algae dan lumut dimatikan terlebih dahulu baru dibersihkan secara mekanik. Hal ini
dimaksudkan agar ketika dibersihkan algae sudah dalam kondisi tidak aktif sehingga jika
menempel pada material lain tidak tumbuh dan berkembangbiak.
Foto 5.16. Kondisi bata sebelumdisemprot minyak cengkeh
Foto 5.17.. Penyemprotan denganminyak cengkeh
Foto 5.18. Kondisi bata setelah 24jam disemprot minyak cengkeh
74
3. Bata Rapuh
Bata rapuh merupakan bata yang mengalami penurunan kekuatan karena terjadinya
pelapukan namun bentuk dasarnya masih terlihat. Bata rapuh dapat menjadi rusak
bahkan hilang jika tidak ditangani, karena permukaannya yang sangat mudah terkikis.
Bata rapuh berbeda dengan dengan bata rusak karena bentuk dasarnya masih terlihat,
sedangkan bata rapuh sudah tidak terlihat lagi bentuk dasarnya. Hasil observasi
keterawatan bangunan menunjukan bahwa di Candi Bangkal banyak ditemukan bata
rapuh baik pada bata lama maupun pada bata pengganti. Bata pengganti yang rapuh
merupakan bata yang dipasang waktu konsolidasi tahun 1996/1997 dan sebagian besar
terletak di bagian tubuh candi.
Untuk bata pengganti yang telah rapuh, sebaiknya diganti dengan batu baru yang
kualitas lebih baik. Sedangkan untuk bata lama yang telah rapuh diusahakan untuk di
konservasi dengan cara konsolidasi dan tidak diganti.
Pada kajian ini telah dilakukan konsolidasi bata dengan menggunanakan paraloid 3%,
4%, 5% dengan pelarut toluol, yang prosedurnya dapat dilihat pada foto di bawah ini
Foto 5.19. Kondisi sebelum dioles dengan paraloid
Foto 5.20. Pengolesan denganparaloid
Foto 5.21. Kondisi setelah diolesdengan paraloid
75
Hasil Aplikasi bahan konsolidasi
• Konsolidasi bata rapuh menggunakan paraloid 3%, 4%, 5% dengan pelarut toluol
• Hasil konsolidasi menunjukkan bahwa struktur material bata rapuh telah terikat dengan
baik pada semua konsentrasi
• Tingkat kekerasan bata rapuh yang awalnya 1-2 skala mohs setelah dilakukan
konsolidasi menjadi 2-3 skala mohs
• Semua konsentrasi menunjukkan bata rapuh telah terikat dengan baik, karena itu
dipilih paraloid dengan konsentrasi terendah (3%)
5.4. Analisis Kualitas BataKualitas bata merupakan hal yang penting dalam menentukan apakah suatu bangunan
dapat bertahan lama atau tidak. Bangunan dengan kualitas bata yang baik akan bertahan lama
dalam menghadapi berbagai faktor yang bisa menyebabkan kerusakan dan pelapukan seperti
faktor lingkungan, air dan sebagainya termasuk dalam pemugaran bangunan candi di Jawa
Timur.
Dalam kajian ini akan menguji lima sampel bata yang biasa di gunakan dalam pemugaran
candi Bata termasuk bata asli / lama Candi Bangkal yang digunakan sebagai pembanding. Kelima
sampel bata yang di uji terdiri dari :
1. Bata lama Candi Bangkal
2. Bata baru yang ada di Candi Bangkal
3. Bata baru yang dibuat oleh pengrajin yang berasal dari Trowulan Mojokerto
4. Bata rapuh (yang sekarang terpasang di bangunan candi sejak tahun 1996/1997 waktu
kegiatan konsolidasi)
5. Bata baru pengganti untuk pemugaran Candi Dermo yang berasal dari pengrajin di
Kabupaten Magetan
Hasil pengujian terhadap kelima sampel tersebut dapat diuraikan sebagai berikut
76
Tabel 5.9. Hasil pengujian sampel bata lama Candi Bangkal
Tabel 5.10. Hasil pengujian sampel bata baru Candi Bangkal
Sampel Parameter Hasil KeteranganKode Jenis
1 Bata Berat jenis 2,41 g/cm3
Lama Porositas 39,35 %Kekerasan 2 - 3 Skala mohsKuat tekan
- Retak 16,22 kg/cm2
- Pecah 39,08 kg/cm2
Suhu Pembakaran + 450 °CDiameter pori 4.42 µmKomposisi kimia : Metode analisis :- Ca 0,64 % Titrimetri- Mg 2,14 % Titrimetri- Fe 7,33 % Titrimetri- Al 14,42 % Titrimetri- SO4 1,84 % Titrimetri- SiO2 40,54 % Gravimetri
Sampel Parameter Hasil KeteranganKode Jenis
2 Bata Berat jenis 2,38 g/cm3
Baru Porositas 30,08 %Kekerasan 2 – 3 Skala mohsKuat tekan
- Retak 23,50 kg/cm2
- Pecah 35,89 kg/cm2
Suhu Pembakaran + 400 °CDiameter pori 6,10 µmKomposisi kimia : Metode analisis :- Ca 0,62 % Titrimetri- Mg 2,81 % Titrimetri- Fe 7,40 % Titrimetri- Al 13,63 % Titrimetri- SO4 1,88 % Titrimetri- SiO2 34,72 % Gravimetri
77
Tabel 5.11. Hasil pengujian sampel bata pengrajin Trowulan
Tabel 5.12. Hasil pengujian sampel bata rapuh
Sampel Parameter Hasil KeteranganKode Jenis
3 Bata Berat jenis 2,46 g/cm3
Pengrajin Porositas 37,87 %Kekerasan 2 – 3 Skala mohsKuat tekan
- Retak 16,38 kg/cm2
- Pecah 36,36 kg/cm2
Suhu Pembakaran + 400 °CDiameter pori 4,29 µmKomposisi kimia : Metode analisis :- Ca 0,58 % Titrimetri- Mg 2,63 % Titrimetri- Fe 8,20 % Titrimetri- Al 14,53 % Titrimetri- SO4 1,66 % Titrimetri- SiO2 28,50 % Gravimetri
Sampel Parameter Hasil KeteranganKode Jenis
4 Bata Berat jenis 2,17 g/cm3
Rapuh Porositas 28,95 %KekerasanDiameter pori
2 - 36,58
Skala mohsµm
Komposisi kimia : Metode analisis :- Ca 1,32 % Titrimetri- Mg 2,41 % Titrimetri- Fe 6,63 % Titrimetri- Al 11,75 % Titrimetri- SO4 1,27 % Titrimetri- SiO2 38,47 % Gravimetri
78
Tabel 5.13. Hasil pengujian sampel bata Candi Dermo
Dari hasil pengujian kualitas bata, terlihat bahwa sampel bata pengganti Candi Dermo
memiliki kandungan unsur silika (SiO2) paling besar dibandingkan dengan sampel bata lainnya
yaitu 49,30 %. Untuk kandungan alumunium, sampel bata pengganti candi Dermo memeiliki
kandungan sebesar 12,08 %. Nilai kandungam alumunium (Al) tidak begitu berbeda banyak
dengan nilai kandungan Aluminium (Al) sampel lainnya,
Kandungan silika (SiO2)) dan alumunium (AL) sangat menentukan dalam kualitas bata.
Jika kedua unsur tersebut dominan terutama unsur silika, maka kualitas bata yang dihasilkan baik
dan keras. Melihat komposisi yang ada pada kelima sampel di atas, maka sampel bata pengganti
Candi Dermo memeiliki kualitas bata yang paling baik dibandingkan sampel lainnya karena
memiliki kandungan unsur silika dan alumunium paling dominan yaitu sebesar 61,38 %. Bata
pengganti Candi Dermo juga memiliki kuat tekan yang paling besar dibandingkan sampel bata
yang lain.
Selain pengujian secara laboratorium terhadap sampel bata, juga dilakukan pengujian
penggaraman pada sampel bata, kecuali sampel bata rapuh. Pengujian ini dilakukan untuk
mengetahui seberapa cepat garam akan muncul ke permukaan bata setelah diredam air terus
menerus pada bagian bawahnya. Setelah diredam selama 14 – 30 hari terlihat endapan garam
mulai muncul pada permukaan sampel-sampel bata tersebut. Hasil pengujian dapat di lihat pada
foto di bawah ini
Sampel Parameter Hasil KeteranganKode Jenis
5 Bata Pengganti Berat jenis 2,26 g/cm3
C. Dermo Porositas 33,77 %Kekerasan 2 -3 Skala mohsKuat tekan
- Retak 8,76 kg/cm2
- Pecah 44,79 kg/cm2
Diameter poriSuhu pembakaran
5.52
+ 350
µm°C
Komposisi kimia : Metode analisis :- Ca 0,81 % Titrimetri- Mg 1,47 % Titrimetri- Fe 6,59 % Titrimetri- Al 12,08 % Titrimetri- SO4 0,77 % Titrimetri- SiO2 49,30 % Gravimetri
79
Dari 4 sampel bata yang dilakukan pengujian penggaraman terlihat bahwa endapan
garam paling banyak muncul pada permukaan sampel bata pengganti Candi Dermo jika
dibandingkan dengan sampel lainnya. Hal ini masih memungkinkan mengingat sampel bata
pengganti Candi Dermo memiliki diameter pori yang cukup besar yaitu 5,52 µm sehingga secara
teoritis dengan diameter pori yang besar maka penyerapan air akan besar sehingga garam akan
cepat terbawa ke permukaan.
Berdasarkan pengujian laboratorium sampel bata dapat di simpulkan bahwa kualitas bata
pengganti yang paling baik adalah sampel bata pengganti Candi Dermo karena memiliki total
kandungan silika dan aluminium yang paling besar serta kekuatan yang paling besar. Meskipun
bata pengganti Candi Dermo mengalami penggaraman yang paling banyak tapi hal ini masih bisa
disiasati dengan memperkecil ukuran diameter pori sehingga penyerapan air akan berkurang.
Untuk memperkecil ukuran diameter pori maka dalam pembuatan bata diperbanyak campuaran
lempung nya dan mengurangi campuran pasir. Hal ini juga dilakukan untuk mengurangi garam
terlarut dari pasir yang bercampur ke bata.
Foto 5.23. Percobaan kapiler garampada sampel bata pengrajinTrowulan dan bata penggantiCandi Dermo
Foto 5.22. Percobaan penggaramanpada sampel bata lama danbata baru Candi Bangkal
BAB VI PENUTUP
A. KesimpulanDari hasil anaslisis yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Candi Bangkal merupakan bangunan peninggalan dari masa kerajaan Majapahit sekitar
abad XIV M. Analisis nilai penting menunjukan bahwa candi Bangkal memiliki nilai penting
yang cukup tinggi dari sisi arkeologi, sejarah, estetika dan nilai ilmu pengetahuan, sehingga
candi ini harus dijaga kelestariannya.
2. Kondisi candi Bangkal sering tergenang oleh air baik pada musim penghujan maupun musim
kemarau, Kondisi ini dikarenakan permukaaan tanah halaman candi lebih rendah daripada
permukaan sawah. Selain itu belum adanya drainase yang memadai di kompleks candi
Bangkal turut mempengaruhi adanya genangan air.
3. Sumber genangan air yang menggenangi halaman candi Bangkal berasal dari air hujan, air
tanah di bawah candi dan air luapan dari lahan di sekitar candi.
4. Berdasarkan data yang ada di kaki candi dapat diketahui bahwa batas genangan air tertinggi
yang pernah menggenangi halaman candi adalah setinggi 1,12 m.
5. Dari hasil analisis laboratorium, tanah halaman merupakan tanah pasir lempungan yang
yang bersifat semi permeable.
6. Adanya genangan air dapat mempercepat kerusakan dan pelapukan material (kerapuhan,
penggaraman, pertumbuhan mikroorganiisme) dan kerusakan struktur bangunan candi
(deformasi)
7. Dari hasil perhitungan kapilarisasi air, tinggi maksimum air yang terkapilarisasi mencapai
4,51 m.
8. Intensitas curah hujan maksimum di wilayah sekitar Candi Bangkal mencapai 73,36 mm/jam,
sehingga air hujan yang masuk ke halaman candi mencapai 83,14 m3/jam.
9. Untuk mengatasi persoalan air yang masuk akibat limpasan air sawah, perlu dilakukan
peninggian / pembuatan tanggul kedap air di sekeling halaman candi dengan tinggi minimal
1,12 m, yang merupakan batas tinggi air yang pernah menggenangi halaman candi.
10. Untuk mengatasi masalah genangan air, perlu dilakukan pembuatan saluran drainase di
sekeliling pagar Candi Bangkal dan kolam retensi di sebelah timur. Pada kajian ini ada 2
alternatif yang ditawarkan yaitu 1. Pembuatan Saluran Drainase Model Beton Keliling, Sumur
81
Dewatering Dan Kolam Ritensi. 2. Pembuatan Saluran Drainase Model Pipa Berpori Dan
Kolam Retensi.
11. Untuk membersihkan endapan garam pada bata dapat dilakukan dengan menggunakan
metode paper pulp EDTA 5%. Sedangkan untuk mengurangi pertumbuhan mikroorganisme
pada dapat dilakukan dengan minyak atsiri cengkeh.
12. Pada Candi Bangkal banyak ditemui bata yang telah rapuh, baik pada bata lama maupun
pada bata baru yang merupakan bata pengganti pada kegiatan konsolidasi pada tahun 1992.
Untuk bata lama yang telah rapuh perlu dilakukan konsolidasi menggunakan paraloid 3%-
5% dengan pelarut toluol, Sedangkan untuk bata pengganti (kegiatan konsolidasi pada tahun
1992) yang rapuh, dilakukan penggantian menggunakan bata baru.
B. Rekomendasi1. Perlu dilakukan penyusunan DED (Detail Engineering Design) untuk alternatif penanganan
genangan halaman Candi Bangkal yang dipilih.
2. Untuk bata pengganti direkomendasikan menggunakan bata pengganti Candi Dermo.
3. Agar bata pengganti memiliki kualitas yang lebih baik, disarankan menggunakan
perbandingan komposisi lempung : pasir (3:1) dan pembakaran menggunakan kayu keras.
4. Perlu dilakukan uji sondir tanah untuk mengetahui kekuatan daya dukung tanah akibat
genangan air
5. Perlu dilakukan tes boring tanah untuk mengetahui lapisan tanah di halaman Candi Bangkal
khususnya lapisan tanah yang bersifat impermeable. Apabila dibawah lapisan tanah
impermeable tersebut terdapat lapisan tanah permeable, maka untuk mengatasi genangan
cukup dilakukan dengan pengeboran pada lapisan impermeable.
DAFTAR PUSTAKA
Cahyandaru, nahar, dkk, 2008. Kajian Konservasi Candi Bata di Situs Muara
Jambi. Balai Konservasi Peninggalan Borobudur.
Doehne, E. 2002. Salt weathering: a selective review. Dalam Natural Stone,
Weathering Phenomena, Conservation Strategies and Case
Studies. Geological Society London, Special Publication 205, 51–
64.
Drajat, Hari Untoro 1995 “Manajemen Sumber Daya Budaya Mati” dalam Seminar
Nasional Metodologi Riset Arkeologi. Depok : Jurusan Arkeologi,
Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Pornomo, Nurmulia Rekso. 2009. “Candi Bangkal : Rekontruksi Arsitektural Latar
Belakang Keagamaan dan Tinjauan Arkeologi”. Skripsi. Program
Studu Arkeologi Unversitas Indonesia.
Sudibyo, dkk. 2008. Laporan Kajian Karakteristik Material Benda Cagar Budaya
dari Bata. Balai Konservasi Peninggalan Borobudur.
Stambolov, T, and J.R.J. Van Asperen de Boer, 1976. The Deterioration and
Conservation of Porous Building Materials in Monument, 2nd ed,
ICSPRCP, Roma.
Waryono, R., A. Rifai, dam D.H. Gunawan, 1987. Pengantar Meteorologi dan
Klimatologi untuk Universitas dan Umum. PT. Bina Ilmu Surabaya.
https://www.researchgate.net/profile/Heriansyah_Putra2/publication/281491511
Top Related