Download - Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Transcript
Page 1: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan PesisirBadan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan

Kementerian Kelautan dan Perikanan

SPOT-4 Image of The Aceh Tamiang District, Nanggroe AcehDarussalam

ISSN 1907-0659

KOMPARASI HASIL PENGAMATAN PASANGSURUT DI PERAIRAN PULAU PRAMUKA DANKABUPATEN PATI DENGAN PREDIKSI PASANGSURUT

SPOT-4 DATA CLASSIFICATION ANALYSIS USINGNEURAL NETWORK

STUDI POTENSI EKOWISATA BAHARI DIKABUPATEN BATUBARA(Studi Kasus Pada Pulau Pandang)

PEMANFAATAN DATA SATELIT OSEANOGRAFIUNTUK PREDIKSI DAERAH POTENSIALPENANGKAPAN TUNA MATA BESAR( ) DI SAMUDERA HINDIASELATAN JAWA-BALI

POTENSI DAMPAK KENAIKAN MUKA LAUTTERHADAP DATARAN PESISIR DAN AKTIFITASPRODUKSI GARAM DI KAWASAN PESISIRMUNDU, KABUPATEN CIREBON

UJI TOKSISITAS SEDIMEN PESISIR CIREBONTERHADAP PERTUMBUHAN DIATOM PLANKTONIK

ESTIMASI CADANGAN KARBON PADA KOMUNITASLAMUN DI PULAU PARI, TAMAN NASIONALKEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

TIDE MODEL DRIVER

Thunnus obesus

Chaetoceros gracilis

Muhammad Ramdhan

Danang Surya Candra

Alexander M. A. Khan, Fedi A. Sondita & Budhi H. Iskandar

Teja Arief Wibawa

Wahyu Budi Setyawan

Rachma Puspitasari

Susi Rahmawati

ISSN1907-0659

J. Segara Volume 7 Nomor 1 Hal. 1 - 71 JakartaAgustus 2011

Page 2: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Jurnal SEGARA adalah Jurnal yang diasuh oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan SumberdayaLaut dan Pesisir, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan – KKP, dengantujuan menyebarluaskan informasi tentang perkembangan ilmiah bidang kelautan di Indonesia,seperti: oseanografi, akustik dan instrumentasi, inderaja,kewilayahan sumberdaya nonhayati, energi,arkeologi bawah air dan lingkungan. Naskah yang dimuat dalam jurnal ini terutama berasal darihasil penelitian maupun kajian konseptual yang berkaitan dengan kelautan Indonesia, yang dilakukanoleh para peneliti, akademisi, mahasiswa, maupun pemerhati permasalahan kelautan baik daridalam dan luar negeri. Terbit pertama kali tahun 2005 dengan frekuensi terbit dua kali dalam satutahun.

Pimpinan Redaksi/Penanggung JawabDr. Budi Sulistiyo

Pemimpin Pengelola RedakturProf. Dr. Ngurah N. Wiadnyana

Redaksi PelaksanaBagus Hendrajana, ST, M.Sc

Dicky Hartawan, S.IkomSyahrial Nur Amri, M.SiDani Saepuloh, A.Md

Redaksi Jurnal Ilmiah Segara bertempat di Kantor Pusat Balitbang Kelautan dan PerikananAlamat : JL. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta Utara 14430Telpon : 021 - 6471-1583Faksimili : 021 - 6471-1654E-mail : [email protected]

Jurnal Segara Volume 7 No. 1 Agustus 2011 diterbitkan olehPusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan PesisirTahun Anggaran 2011

ISSN 1907-0659

VOLUME 7 NO. 1 AGUSTUS 2011Nomor Akreditasi: 319/AU1/P2MBI/10/2010

(Periode Oktober 2010 - Oktober 2013)

Mitra BestariProf. Dr. Rosmawati PeranginanginProf. Dr. Safwan HadiProf. Dr. Cecep KusmanaProf. Dr. Hasanuddin Z. AbiddinIr. Tjoek Aziz Soeprapto, M. ScDr. I Wayan NurjayaDr. Hamzah Latif

Dewan EditorProf. Dr. Wahyoe S. Hantoro

Dr. Sugiarta WirasantosaIr. Tukul Rameyo Adi, MTDr. Irsan S. Brodjonegoro

Dr. Richardus KaswadjiDr. Edvin Aldrian

Page 3: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan PesisirBadan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan

Kementerian Kelautan dan Perikanan

ISSN 1907-0659

KOMPARASI HASIL PENGAMATAN PASANG SURUT DIPERAIRAN PULAU PRAMUKA DAN KABUPATEN PATI DENGANPREDIKSI PASANG SURUT TIDE MODEL DRIVERMuhammad Ramdhan

SPOT-4 DATA CLASSIFICATION ANALYSIS USING NEURALNETWORKDanang Surya Candra

STUDI POTENSI EKOWISATA BAHARI DI KABUPATENBATUBARA(Studi Kasus Pada Pulau Pandang)Alexander M. A. Khan, Fedi A. Sondita & Budhi H. Iskandar

PEMANFAATAN DATA SATELIT OSEANOGRAFI UNTUKPREDIKSI DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN TUNA MATABESAR (Thunnus obesus) DI SAMUDERA HINDIA SELATANJAWA-BALITeja Arief Wibawa

POTENSI DAMPAK KENAIKAN MUKA LAUT TERHADAPDATARAN PESISIR DAN AKTIFITAS PRODUKSI GARAM DIKAWASAN PESISIR MUNDU, KABUPATEN CIREBONWahyu Budi Setyawan

UJI TOKSISITAS SEDIMEN PESISIR CIREBON TERHADAPPERTUMBUHAN DIATOM PLANKTONIK Chaetoceros gracilisRachma Puspitasari

Volume 7 Nomor 1 Agustus 2011Hal. 1 - 81

ESTIMASI CADANGAN KARBON PADA KOMUNITAS LAMUN DI PULAU PARI, TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA Susi Rahmawati

Page 4: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

i

PENGANTAR REDAKSI

Jurnal Segara adalah jurnal yang diterbitkan dan didanai oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan SumberdayaLaut dan Pesisir, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan.

Jurnal Segara Volume 7 No.1 Agustus 2011 merupakan terbitan pertama di tahun anggaran 2011. Naskah yangdimuat dalam jurnal Segara berasal dari hasil penelitian maupun kajian konseptual yang berkaitan dengan kelautanIndonesia, yang dilakukan oleh para peneliti, akademis, mahasiswa, maupun pemerhati permasalahan kelautandari dalam dan luar negeri.

Di nomor pertama 2011, jurnal ini menampilkan 7 artikel ilmiah hasil penelitian tentang: komparasi hasil pengamatanpasang surut di perairan Pulau Pramuka dan Kabupaten Pati dengan prediksi pasang surut tide model driver, spot-4 data classification analysis using neural network, studi potensi ekowisata bahari di Kabupaten Batubara (studikasus pada Pulau Pandang), pemanfaatan data satelit oseanografi untuk prediksi daerah potensial penangkapantuna mata besar (thunnus obesus) di Samudera Hindia selatan Jawa-Bali, potensi dampak kenaikan muka lautterhadap dataran pesisir dan aktifitas produksi garam di kawasan pesisir mundu, Kabupaten Cirebon, uji toksisitassedimen pesisir cirebon terhadap pertumbuhan diatom planktonik chaetoceros gracilis, estimasi cadangan karbonpada komunitas lamun di Pulau Pari, taman nasional Kepulauan Seribu, Jakarta.

Diharapkan artikel tersebut dapat memberikan kontribusi bagi pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang kelautan Indonesia. Akhir kata, Redaksi mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga atas partisipasiaktif peneliti dalam mengisi jurnal ini.

REDAKSI

Page 5: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Volume 7 Nomor 1 Agustus 2011

DAFTAR ISI Halaman

ii

ISSN 1907 - 0659

65-71

KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………….......................

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………………...............

LEMBAR ABSTRAK ..............................................................................................................

Komparasi Hasil Pengamatan Pasang Surut di Perairan Pulau Pramuka dan Kabupaten Pati denganPrediksi Pasang Surut Tide Model DriverMuhammad Ramdhan ......................................................................................................................................................

SPOT-4 Data Classification Analysis Using Neural NetworkDanang Surya Candra..................................................................................................................

Studi Potensi Ekowisata Bahari di Kabupaten Batubara (Studi Kasus pada Pulau Pandang)Alexander M. A. Khan, Fedi A. Sondita & Budhi H. Iskandar...........................................................................

Pemanfaatan Data Satelit Oseanografi Untuk Prediksi Daerah Potensial Penangkapan Tuna MataBesar (Thunnus obesus) Di Samudera Hindia Selatan Jawa-BaliTeja Arief Wibawa..........................................................................................................................................................

Potensi Dampak Kenaikan Muka Laut terhadap Dataran Pesisir dan Aktifitas Produksi Garamdi Kawasan Pesisir Mundu, Kabupaten CirebonWahyu Budi Setyawan......................................................................................................................................

Uji Toksisitas Sedimen Pesisir Cirebon terhadap Pertumbuhan Diatom PlanktonikChaetoceros GracilisRachma Puspitasari...............................................................................................................

Estimasi Cadangan Karbon Pada Komunitas Lamun di Pulau Pari, Taman Nasional KepulauanSeribu, JakartaSusi Rahmawati...............................................................................................................

1-10

11-16

17-28

29-41

42-56

i

ii

57-64

iii-vii

Page 6: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Muhammad Ramdhan

KOMPARASI HASIL PENGAMATAN PASANG SURUT DI PERAIRAN PULAU PRAMUKA DAN KABUPATEN PATI DENGANPREDIKSI PASANG SURUT TIDE MODEL DRIVER

THE COMPARISON BETWEEN TIDAL OBSERVATION AND THE PREDICTION BY USING TIDE MODEL DRIVERSOFTWARE, IN PRAMUKA ISLAND AND PATI COASTAL WAVES

ABSTRACT

Tidal data for sea water level are needed to determine the coastlineand the bathymetric survey. This paper will compare the results oftidal observations in the field with a prediction generated from theTide Model Driver (TMD) software. The results show that for theislands waters, tipe of tidal data from the field observation wasdifferent with the tipe of tidal predictions obtained from TMD. Asfor the open sea water, tidal data from the field observation matchwith the tipe of tidal predictions are obtained from TMD.

Keywords: tide, tide prediction, tide type, Tide Model Driver

Danang Surya Candra

ABSTRACT

The overall objective of remote sensing image classificationprocedures is to automatically categorize all pixels in an imageinto land use/land cover classes. Normally, multispectral patternpresent within the data for each pixel is used as the numericalbasis for the categorization. The knowledge of land use/land coveris important for many planning and management activities and isconsiderd an essential element for modeling and understandingthe earth as a system. SOFM is one of the most fascinating topicsin the neural network field. In the data clustering, the SOFM netcarries out the online cluster process in the input model, in thetopological nature of the input multi-bands data is clustered intothe output layer of neuron weights . The research shows that SOFMmethod is better than MLC in accuracy. The experiment prove thatSOFM is quite good in term of classification processing speed.Clearly, the results of using SOFM classifier in classification ofmulti-spectral remote sensing data are very good result ofaccuracy and fast in classification process.

Keywords: Spot-4, Classification, SOFM, Neural Network

SPOT-4 DATA CLASSIFICATION ANALYSIS USING NEURAL NETWORK

ANALISA PENGKLASIFIKASIAN DATA SPOT-4 MENGGUNAKAN METODE JARINGAN SYARAF TIRUAN

ABSTRAK

Klasifikasi citra penginderaan jauh bertujuan untukmengkategorikan semua piksel dalam gambar ke dalam kelaspenggunaan lahan/tutupan lahan secara otomatis. Biasanya datapenginderaan jauh multispektral digunakan untuk melakukanklasifikasi dan pola spektral dalam data untuk setiap pixel digunakansebagai dasar numerik untuk kategorisasi. Informasi tentangpenggunaan lahan/penutupan penting untuk memodelkan danmemahami bumi sebagai sebuah sistem. SOFM adalah salah satuproses pengelompokan secara langsung, di mana SOFMmemberikan suatu pengaruh pada winner neuron neighborhoodpada output layer sehingga sifat topologi dari data input multi-banddikelompokkan ke dalam output layer dari neuron weights.

Kata Kunci: Spot-4, klasifikasi, SOFM, Neural Network

iii

ABSTRAK

Data pasut air (pasut) laut sangat diperlukan dalam penentuan garispantai dan pelaksanaan survey bathimetri. Paper ini akanmembandingkan hasil pengamatan pasut di lapangan dengan suatuprediksi yang dihasilkan dari perangkat lunak Tide Mode Driver(TMD). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa untuk wilayahperairan kepulauan, tipe pasut dari data pengamatan lapanganberbeda dengan tipe pasut yang diperoleh dari prediksi TMD.Sedangkan untuk wilayah perairan terbuka, tipe pasut dari datapengamatan lapangan sama dengan tipe pasut yang diperoleh dariprediksi TMD.

Kata Kunci: pasut, prediksi pasut, tipe pasut, Tide ModelDriver

Page 7: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Alexander M. A. Khan, Fedi A. Sondita & Budhi H. Iskandar

STUDI POTENSI EKOWISATA BAHARI DI KABUPATEN BATUBARA(Studi Kasus Pada Pulau Pandang)

STUDY OF MARINE ECOTOURISM POTENCY IN BATUBARA REGENCY

ABSTRACT

Ecotourism is nature-based tourism that involves educationand concern on natural environment and ecological sustainability.Pandang Island area is 7 hectares, with potential natural resourcesthat can be developed to be ecotourism destination. The island’szonation and its surrounding waters have been established byconsidering natural condition, such as shore line, shore type,substrate, temperature, coral reefs and coral fish’s type. The firstzone is allocated for conservation purpose especially for turtlenesting and coral reefs; the second zone is allocated for supportingand facilitates for tourism activities, and the last zone is bufferzone for preventing direct impact of tourism activities on theconservation zone (the first zone). Tourism activities recommendedin the utilization zone are: diving, snorkeling, swimming, sportfishing, beach tracking, other beach sports, camping and otherreasonable ecotourism activities.

Keywords: ecotourism, marine and coastal ecotourism, coastal and marine zonation, island carrying. capacity

Teja Arief Wibawa

ABSTRAK

Informasi penting yang dibutuhkan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang bertanggungjawab dan berkelanjutan adalahteridentifikasinya lokasi habitat penting bagi suatu jenis ikansepanjang siklus hidupnya. Tuna mata besar adalah salah satujenis ikan pelagis besar yang memiliki nilai ekonomis tinggi di perairanIndonesia. Faktor-faktor oseanografi memiliki peranan yang sangatpenting dalam menentukan distribusi tuna mata besar tersebut.Ketersediaan data satelit oseanografi secara near real-time danterus menerus memantau kondisi beberapa parameter oseanografi,dapat dimanfaatkan sebagai suatu pendekatan untukmengidentifikasi lokasi habitat tuna mata besar tersebut. Tujuandari penelitian ini adalah untuk memprediksi sebaran daerah potensialpenangkapan tuna mata besar di Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali pada musim timur. Data penangkapan tuna mata besar selamaperiode empat tahun (2004-2007) selama musim timur, diperolehdari perusahaan penangkapan tuna yang berbasis di Benoa, Bali.

PEMANFAATAN DATA SATELIT OSEANOGRAFI UNTUK PREDIKSI DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN TUNA MATABESAR (Thunnus obesus) DI SAMUDRA HINDIA SELATAN JAWA-BALI

OCEANOGRAFYC SATELLITE DATA UTILISATION FOR TUNA (Thunnus obesus) FISHING GROUND PREDICTION INTHE INDIAN OCEAN, SOUTHERN PART OF JAWA-BALI

iv

ABSTRAK

Ekowisata adalah perjalanan wisata yang melibatkan pemahamandan pengetahuan menyangkut kelestarian lingkungan. Pulau Pandangseluas 7 hektar, mempunyai potensi sumber daya alam yang dapatdikembangkan menjadi objek ekowisata dan zonasi dilakukanberdasarkan pada pengkajian kondisi Pulau Pandang dan perairan disekitarnya. Kondisi tersebut mencakup garis pantai, jenis pantai,substrat, temperatur, jenis terumbu dan ikan karang. Zona pertamauntuk konservasi penyu dan ekosistem terumbu karang; yang keduauntuk zona pemanfaatan yang mendukung dan memfasilitasi kegiatanekowisata dan zona terakhir sebagai zona penyangga untukmencegah dampak kegiatan wisata terhadap zona konservasi.Aktivitas wisata yang dapat dilakukan dalam zona pemanfaatanadalah menyelam, snorkling, berenang, olahraga memancing, jalanpantai, olahraga pantai lainnya, berkemah dan sebagainya.

Kata Kunci: ekowisata, ekowisata bahari dan pantai, zona pesisir dan bahari, daya dukung pulau

ABSTRACT

Responsible and sustainable fisheries management requireessential information of identified important habitat of each fishspecies on whole their life cycles. Bigeye tuna is one of the largepelagic fish which has a high economic value in Indonesian waters.Oceanographic factors have an important role in determining thedistribution of bigeye tuna habitat. The availabil ity ofoceanographic satellite data in near real-time and continuouslyobserve condition of some oceanographic parameters, can beused as an approach to identify bigeye tuna habitat. The aim of theresearch was to predict the distribution of bigeye tuna potentialfishing ground in southern Indian Ocean off Java-Bali duringsoutheast monsoon period. Bigeye tuna catchment dataencompassed during southeast monsoon period of 2004-2007were derived from longliners based on Benoa Harbour, Bali.Oceanographic variables were sea surface chlorophyll-aconcentration (SSC), sea surface temperature (SST), sea surface

Page 8: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Wahyu Budi Setyawan

ABSTRAK

Salah satu efek primer dari pemanasan global adalah kenaikanmuka laut, dan daerah yang paling terpengaruh adalah dataranrendah tepi pantai seperti dataran pesisir Mundu. Skenario kenaikanmuka laut karena pemanasan global dari Intergovernmental Panelon Climate Change (IPCC) tahun 2001 dan tahun 2007, masing-masing untuk kenaikan muka laut maksimum 0,8 dan 0,5 meter hinggatahun 2100, diterapkan terhadap daerah pesisir Mundu. Hasil analisispenggenangan dengan asumsi tidak terjadi perubahan morfologimenunjukkan bahwa sebagian besar kawasan pesisir Mundu akantergenang pada saat air laut pasang maksimum pada kedua kondisiskenario kenaikan muka laut; dan analisis erosi pantai dengan tidakmemperhitungkan peningkatan laju erosi karena penambahankedalaman perairan menunjukkan bahwa sebagaian besar daratanpesisir Mundu akan tererosi. Erosi tersebut akan menyebabkansebagian besar lahan untuk produksi garam ikut hilang.

Kata Kunci: pemanasan global, kenaikan muka laut, daerah pesisir, lahan produksi garam

POTENSI DAMPAK KENAIKAN MUKA LAUT TERHADAP DATARAN PESISIR DAN AKTIFITAS PRODUKSI GARAMDI KAWASAN PESISIR MUNDU, KABUPATEN CIREBON

POTENTIAL IMPACT OF SEA LEVEL RISE TO THE COASTAL ZONE AND SALT PRODUCTION ACTIVITY OF MUNDUCOASTAL REGION, CIREBON REGENCY

ABSTRACT

One of the primary effects of global warming is sea-level rise,and coastal lowland will be the strongly affected area of the effect,such as Mundu coastal land. Sea-level rise scenarios ofIntergovernmental Panel on Climate change (IPCC) year of 2001and 2007, for 0.8 and 0.5 meters maximum sea-level riserespectively at 2100, was applied on the coastal zone. Inundationanalysis with no morphological change assumption indicates thatmost of the coastal lowland will be inundated when high tidecondition at both sea level scenarios; and erosion analysis withdisregarding erosion rate due to sea-level rate indicates that mostof the coastal land will be eroded away. The erosion will also makelost of salt production lands from the coastal zone.

Keywords: global warming, sea-level rise, coastal zone, salt production land

v

Parameter oseanografi yang digunakan meliputi sea surfacechlorophyll-a concentration (SSC), sea surface temperature (SST),sea surface height anomaly (SSHA), dan eddy kinetic energy (EKE).Ekstraksi nilai SSC, SST,SSHA dan EKE dilakukan pada setiapkoordinat penangkapan tuna mata besar. Analisis data dilakukandengan menggunakan generalized additive model (GAM).Persamaan yang diperoleh dari analisis GAM tersebut digunakanuntuk memprediksi sebaran daerah potensial penangkapan tunamata besar. Hasil analisis GAM menunjukkan bentuk persamaanGAM dengan kombinasi SSC, SST, SSHA dan EKE secara statistikmemiliki tingkat akurasi tertinggi dalam menjelaskan variasi hookratetuna mata besar. Prediksi sebaran daerah potensial penangkapantuna mata besar pada Juni, Juli Agustus, September dan November,menunjukkan adanya kesesuaian dengan daerah penangkapan tunamata sebenarnya.

Kata Kunci: tuna mata besar, satelit oseanografi, GAM

The selected GAM equation was used to predict thedistribution of bigeye tuna potential fishing ground. GAM analysisrevealed that GAM which constructed from the combination ofSSC, SST, SSHA and EKE, statistically has the highest accuracyin explaining hook rate of bigeye tuna variation. Monthly predictionof bigeye tuna’s potential fishing ground on June, July, August,September and November, indicated it’s suitability with the realbigeye tuna fishing ground.

Keywords: bigeye tuna, oceanographic satellite, GAM

Page 9: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

ABSTRAK

Daerah pesisir Cirebon banyak mendapat pengaruh dari aktivitasrumah tangga, industri dan pelabuhan. Aktivitas-aktivitas tersebutberpotensi menyumbangkan kontaminan yang masuk ke dalamekosistem akuatik dan mempengaruhi kualitas sedimen setempat.Kondisi kesehatan sedimen dapat ditinjau dari berbagai aspekdiantaranya aspek toksisitas sedimen terhadap biota akuatik.Penelitian ini bertujuan mengevaluasi toksisitas sedimen pesisirCirebon terhadap pertumbuhan diatom planktonik C. gracilis. Sampelsedimen diambil dari 11 stasiun dengan menggunakan Grab SmithMcIntrye 0,05m2. Kultur murni C. gracilis dengan kepadatan awalsatu juta sel/ml dipaparkan terhadap sedimen selama 96 jam. Titikakhir pengamatan adalah rata-rata jumlah sel C. gracilis padaperlakuan dibandingkan dengan kontrol setelah 96 jam pemaparan.Rata-rata jumlah sel C. gracilis pada perlakuan sedimen dianalisauntuk mengetahui efek stimulasi atau penghambatan pertumbuhanC. gracilis dibanding dengan kontrolnya. Selain itu, kadar logamberat Cd dalam sedimen juga dianalisa. Hasil penelitian menunjukkanbahwa sedimen pesisir Cirebon masih menunjukkan efek stimulasipertumbuhan. Efek stimulasi pertumbuhan ditandai dengan rata-rata jumlah sel C. gracilis yang mengalami peningkatan padaperlakuan sedimen dibanding kontrol air laut. Hasil ANOVAmenunjukkan tidak ada beda nyata jumlah sel di tiap stasiun. Hasilanalisis korelasi menunjukkan tidak ada korelasi yang kuat antarakadar Cd dalam sedimen dengan jumlah sel C. gracilis. Hal inimenunjukkan bahwa sedimen Cirebon masih berada dalam kondisibaik dan mampu mendukung kehidupan diatom planktonik C. gracilis.

Kata Kunci: sedimen, toksisitas, plankton , C. gracilis, Cirebon

ABSTRACT

Coastal area of Cirebon is much influenced from domesticactivities, industries, fisheries and ports. These activitiespotentially contribute contaminants that enter the aquaticecosystems and affect the quality of sediment. The health conditionof sediment can be evaluated from various aspects includingaspect of sediment toxicity to aquatic biota. This study aims toevaluate toxicity of sediment Cirebon to planktonic diatomae, C.gracilis. Sediment samples were taken from 11 stations using theGrab Smith McIntrye 0.05 m2. C. gracilis was exposed to sedimentfor 96 hours. Endpoint of the test is mean number of cells C.gracilis in treatment compared to control after 96 h exposure.Mean number of cells of C. gracilis in treatment was analyzedwheter its showed a stimulation or an inhibition growth effectcompared to control. The results indicate that Cirebon sedimentstill showed stimulation effect on growth of C. gracilis. Stimulationeffect of growth was characterized by the increasing of cellsnumber in sediment treatment than that of cells in seawater control.Result of ANOVA shows no significance difference was amongstations. Result of correlation analysis shows that there was nostrong correlation between Cd concentration in sediment andnumber of cells of C. gracilis. Generally, Cirebon sediment is stillin a good condition and can support for planktonic diatom, C.gracilis ’s life.

Keywords: sediment, toxicity, plankton, C. gracilis, Cirebon

vi

Rachma Puspitasari

UJI TOKSISITAS SEDIMEN PESISIR CIREBON TERHADAP PERTUMBUHAN DIATOM PLANKTONIK Chaetoceros gracilis

TOXICITY TEST OF SEDIMENT FROM CIREBON COASTAL AREA IN RELATION TO THE GROWTH OF DIATOMPLANKTONIK

ESTIMASI CADANGAN KARBON PADA KOMUNITAS LAMUN DI PULAU PARI, TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU,JAKARTA

CARBON BACKUP ESTIMATION OF SEAGRESS COMMUNITY IN PARI ISLAND, THOUSAND IS LANDS NATIONALPARK, JAKARTA

Susi Rahmawati

ABSTRAK

Perkembangan sektor industri yang relatif cepat di berbagainegara menyebabkan peningkatkan konsentrasi gas rumah kaca diatmosfer, sehingga berkontribusi terhadap perubahan iklim global.Salah satu upaya mitigasi perubahan iklim adalah pemeliharaan danpengembangan ekosistem laut dan pesisir sebagai penyerap danpenyimpan karbon. Sebuah penelitian dilakukan terhadap cadangankarbon pada komunitas lamun di Pulau Pari, Jakarta. Data diperolehsecara acak di sepanjang pesisir pantai dengan menggunakan plotberukuran 0,25 m2 untuk struktur komunitas dan 0,0625 m2 untukmenentukan biomassa. Sementara itu, kandungan karbon pada lamundianalisis dengan menggunakan metode Kurmies. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa pesisir Pulau Pari dibentuk oleh komunitas lamunEnhaluss-Thalassia. Rerata cadangan karbon pada komunitas

ABSTRACT

The rapid development of industrial sector in many countrieshas caused the increasing of greenhouse gases emission in theatmosphere that contributes to global climate change. One ofaspect of climate change mitigation is maintaining and improvingthe ability of ocean and coastal area ecosystems as carbonsequester and carbon storage. A study was conducted on carbonstock of seagrass community at Pari Island, Jakarta. Data werecolected randomly along the coastal area using plots measuringof 0.0625 m2 for biomass and 0.25 m2 for community structure.Whilst carbon content of seagrasses was analysed using Kurmiesmethod. Results show that Pari Coastal Island was formed byEnhaluss-Thalassia community. The average of carbon stock ofseagrass community at Pari Island was 200.5 g C m-2

Page 10: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

lamun di Pulau Pari adalah 200,5 g C m-2 atau 2,005 Mg C ha-1

atau setara 2,005 ton C ha-1, sedangkan total cadangan karbonnyaadalah 67,21 Mg C (67,21 ton C). Informasi tersebut dapat dijadikansebagai acuan dasar dalam strategi mitigasi dan adaptasi lamunterhadap perubahan iklim.

.Kata Kunci: Lamun, Cadangan karbon, Pulau Pari, Kepulauan Seribu

or 2.005 Mg C ha-1 equivalence of 2.005 tons ha-1, mean whilethe total carbon stock was 67.21 Mg C (67.21 tons C). Thisinformation could be used as a basic information on the mitigationand adaptation to climate change.

Keywords: Seagrass, Carbon stock, Pari Island, Seribu Islands

vii

Page 11: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Muhammad Ramdhan1)

1) Peneliti pada Loka Penelitian Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir, Balitbang Kelautan dan Perikanan - KKP

Diterima tanggal: 13 Februari 2011; Diterima setelah perbaikan: 20 April 2011; Disetujui terbit tanggal 24 Mei 2011

ABSTRAK

Data pasut air (pasut) laut sangat diperlukan dalam penentuan garis pantai dan pelaksanaan surveybathimetri. Paper ini akan membandingkan hasil pengamatan pasut di lapangan dengan suatu prediksiyang dihasilkan dari perangkat lunak Tide Model Driver (TMD). Hasil yang diperoleh menunjukkanbahwa untuk wilayah perairan kepulauan, tipe pasut dari data pengamatan lapangan berbeda dengantipe pasut yang diperoleh dari prediksi TMD. Sedangkan untuk wilayah perairan terbuka, tipe pasutdari data pengamatan lapangan sama dengan tipe pasut yang diperoleh dari prediksi TMD.

Kata Kunci: pasut, prediksi pasut, tipe pasut, Tide Model Driver

ABSTRACT

Tidal data for sea water level are needed to determine the coastline and the bathymetric survey.This paper will compare the results of tidal observations in the field with a prediction generated fromthe Tide Model Driver (TMD) software. The results show that for the islands waters, tipe of tidal datafrom the field observation was different with the tipe of tidal predictions obtained from TMD. As for theopen sea water, tidal data from the field observation match with the tipe of tidal predictions are obtainedfrom TMD.

Keywords: tide, tide prdiction, tide tipe, Tide Model Driver

Komparasi Hasil Pengamatan Pasang Surut.....Dengan Prediksi Pasang Surut Tide Model Driver (Ramdhan, M.)

KOMPARASI HASIL PENGAMATAN PASANG SURUT DI PERAIRAN PULAU PRAMUKADAN KABUPATEN PATI DENGAN PREDIKSI PASANG SURUT TIDE MODEL DRIVER

1

PENDAHULUAN

Data pasang surut (pasut) air laut memiliki artipenting dalam mengimplementasikan Undang-undangRepublik Indonesia Nomor 27 tahun 2007 (UU-27/2007)tentang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulauKecil. Perairan Pesisir oleh UU-27/2007 didefinisikansebagai laut yang berbatasan dengan daratan meliputiperairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garispantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, danlaguna.

Dalam UU-27/2007 tidak dinyatakan secaraeksplisit tentang garis pantai mana yang digunakan

sebagai dasar penarikan batas area perairan pesisir.Namun dalam UU ini diterangkan bahwa sempadan pantaiadalah daratan sepanjang tepian yang lebarnyaproporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai,minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggike arah darat. Sehingga secara tersirat UU-27/2007mengambil titik pasang tertinggi (Highest Water Level –HWL) sebagai awal rezim yurisdiksi perairan pesisir.

Titik pasang tertinggi dapat diperoleh dari pengamatanpasut air laut. Fenomena pasut diartikan sebagai naikturunnya muka laut secara berkala akibat adanya gayatarik benda-benda angkasa terutama matahari dan bulanterhadap massa air di bumi (Pariwono,1989). Sedangkanmenurut Dronkers (1964) pasut laut merupakan suatu

Korespondensi Penulis:Jl. Raya Padang-Painan Km.16,Bungus,Padang-25245. Email: [email protected]

Page 12: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

2

fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air lautsecara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gayagravitasi dan gaya tarik menarik dari benda-bendaastronomi terutama oleh matahari, bumi dan bulan.Pengaruh benda angkasa lainnya dapat diabaikan karenajaraknya lebih jauh atau ukurannya lebih kecil. Untukmengetahui posisi titik pasut terendah atau tertinggi disuatu wilayah pengamatan pasut yang ideal dilakukanadalah selama 18,6 tahun (Dahuri et al., 1996; Djunarsjah,2007; Malik, 2007).

Menurut Wyrtki (1961), pasang surut di Indonesiadibagi menjadi 4 tipe yaitu:

1. Pasang surut harian tunggal (Diurnal Tide).Merupakan pasut yang hanya terjadi satu kalipasang dan satu kali surut dalam satu hari, initerdapat di Selat Karimata.

2. Pasang surut harian ganda (Semi Diurnal Tide).Merupakan pasut yang terjadi dua kali pasangdan dua kali surut yang tingginya hampir samadalam satu hari, ini terdapat di Selat Malakahingga Laut Andaman.

3. Pasang surut campuran condong harian tunggal(Mixed Tide, Prevailing Diurnal). merupakanpasut yang tiap harinya terjadi satu kali pasangdan satu kali surut tetapi terkadang dengan duakali pasang dan dua kali surut yang sangatberbeda dalam tinggi dan waktu, ini terdapat diPantai Selatan Kalimantan dan Pantai UtaraJawa Barat.

4. Pasang surut campuran condong harian ganda(Mixed Tide, Prevailing Semi Diurnal) merupakanpasut yang terjadi dua kali pasang dan dua kalisurut dalam sehari tetapi terkadang terjadi satukali pasang dan satu kali. Surut dengan memilikitinggi dan waktu yang berbeda, ini terdapat diPantai Selatan Jawa dan Indonesia Bagian Timur.

Pola gerak muka air pasut di wilayah Indonesiadidominasi oleh tipe harian ganda. Secara umum polatersebut dapat dilihat pada gambar 5.

Dari data hasil pengamatan pasut yang akandilakukan pada kegiatan pengamatan pasut salah satutujuannya adalah untuk memperoleh informasi tentangtipe pasang surut apa yang berlaku di daerah kegiatanberlangsung.

Inti dari dilakukannya pengamatan pasut adalah untukmemperoleh data tinggi muka air laut, kemudiandigunakan untuk menentukan datum vertikal yang akandigunakan dalam survey penetapan legal coastline(Andriani, 2007).

METODE PENELITIAN

Paper ini akan menyajikan data hasil pengamatanlangsung pasang surut di dua lokasi kegiatan, yaituwilayah Pulau Pramuka dan Kabupaten Pati. Dimanawilayah tersebut merupakan wilayah studi kasus dalamkegiatan aplikasi survey legal coastline untuk mendukungpenetapan hak pengusahaan perairan pesisir tahun 2010

Gambar 1. Pola gerak pasut harian tunggal (diurnaltide) (Malik,2007).

Gambar 2. Pola gerak pasut harian gandal (semi-diurnal tide) (Malik,2007).

Gambar 3. Pola gerak pasut harian campurancondong harian tunggal (Malik,2007).

Gambar 4. Pola gerak pasut harian campurancondong harian ganda (Malik,2007).

Page 13: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

3

Gambar 5. Pola tipe pasut di Indonesia (digambar ulang dari Anugerah, 1987 Triatmodjo, 1996)

di Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lautdan Pesisir (Puslitbang SDLP), Badan Penelitian danPengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP).Lama waktu pengamatan pasut di lokasi kegiatan belumbisa memenuhi kondisi ideal, oleh sebab itu akandigunakan data modelling sebagai alat bantu untukmendapatkan titik tertinggi di wilayah tersebut. Koordinatstasiun pengamatan pasut untuk kegiatan ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 1. Lokasi stasiun pengamatan

Gambar 6. Lokasi daerah kegiatan pengamatan pasut

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Pengamatan langsung

Dari data yang diperoleh, Secara visual dapat terlihatbahwa di kawasan pulau Pramuka pada tanggal 12Agustus 2010 jam 20:00 WIB hingga 13 Agustus 2010jam 20:00 WIB terjadi dua kali pasang dan satu kalisurut dengan surut terendah terjadi pada 13 Agustus 2010jam 07.00 WIB, dan pasang tertinggi pada pada 12Agustus 2010 jam 22.00 WIB. Hal ini sesuai denganyang disebutkan oleh Wyrtki (1961) bahwa wilayah P.Pramuka yang berada di kawasan pantai utara JawaBarat tergolong dalam tipe pasang surut campuran

Komparasi Hasil Pengamatan Pasang Surut.....Dengan Prediksi Pasang Surut Tide Model Driver (Ramdhan, M.)

No. Lokasi Stasiun

Lintang Bujur

1. Pulau Pramuka -5,7425 106,6136 2. Kabupaten pati -6,4587 111,0511

Page 14: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

condong harian tunggal. Grafik hasil pengamatan pasangsurut di P. Pramuka dapat dilihat pada Gambar 7.

Grafik pasang surut permukaan air laut P. Pramuka tanggal 12 ‐ 16 Agustus 2010

50

60

70

80

90

100

110

120

130

140

0 12 24 36 48 60 72 84

Ketin

ggian (cm)

8/12/2010   20:00:00  

8/13/2010   08:00:00  

8/13/2010   20:00:00  

8/14/2010   08:00:00  

8/14/2010   20:00:00  

8/15/2010   08:00:00  

8/15/2010   20:00:00  

8/16/2010   08:00:00  

Gambar 7. Grafik Pengamatan pasut pulau Pramuka.

Di stasiun pasut Banyutowo - Kab. Pati dilakukanpengamatan pada tanggal 28 Oktober 2010 jam 13:00WIB hingga 04 November 2010 jam 13:00 WIB. Hasilpengamatan menunjukkan terjadi 7 (tujuh) kali pasangtinggi dan 7 (tujuh) kali surut rendah dengan surutterendah terjadi pada 29 Oktober 2010 jam 11.00 WIB

Gambar 8. Grafik Pengamatan pasut Kab. Pati.

Tinggi Pasut (cm) Rata-rata Maksimum Minimum

100,77 133,00 56,00

dengan ketinggian pasut 56 cm, dan pasang tertinggipada pada 30 Oktober 2010 jam 00.00 WIB denganketinggian pasut 181 cm. Hal ini menunjukkan bahwatipe pasut di wilayah tersebut adalah pasang surut hariantunggal (diurnal tide). Grafik hasil pengamatan pasangsurut di Kabupaten Pati dapat dilihat pada Gambar 8.

Tinggi Pasut (cm) Rata-rata Maksimum Minimum

115,34 181,00 56,00

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

4

Page 15: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

2. Hasil model TMD

Tidal Model Driver (TMD) adalah perangkat lunak /software yang dapat digunakan untuk melakukan ramalan(prediksi) ketinggian pasut di permukaan bumi denganplatform Matlab, Software ini dikembangkan pada tahun2003 di Universitas Oregon State - Amerika Serikat.Secara global, Software tersebut menggunakankonstanta-konstanta pasut yang telah di generate secaraglobal dari berbagai sumber.

Untuk mendapatkan gambaran kondisi pasutsepanjang tahun di daerah lokasi kegiatan, TMD di setting

m2 s2 k1 o1 n2 p1 k2 q1 Amplitudo (cm) 3,38 4,45 25,87 12,36 1,15 7,28 0,86 2,87 P.

Pramuka go 167,77 97,03 35,63 18,09 115,37 25,83 78,4 2,43 Amplitudo (cm) 4,31 7,56 40,3 15,59 1,82 11,5 0,19 1,71 Kab.

Pati go 332,65 223,38 230,22 162,64 285,17 230,17 185,29 129,99

Tabel 2. Konstanta pasut yang digunakan dalam pemodelan TMD

untuk dapat memberikan hasil prediksi selama 365 haripada tahun 2010.

TMD menggunakan konstanta pasut m2, s2, k1, o1,n2, p1, k2, q1 dalam menghitung prediksi ketinggianpasut di suatu titik.

Grafik prediksi pasut hasil pemodean TMD untuklokasi kedua kegiatan dapat dilihat pada Gambar 9 danGambar 10.

Tipe pasang surut dapat ditentukkan berdasarkanbilangan Formzahl (F) yang dinyatakan dalam bentuk:

Gambar 9. Grafik pasut untuk P. Pramuka hasil pemodelan TMD.

Maksimum (cm) Minimum (cm)

52,21 -48,9

Komparasi Hasil Pengamatan Pasang Surut.....Dengan Prediksi Pasang Surut Tide Model Driver (Ramdhan, M.)

5

Page 16: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Maksimum (cm) Minimum (cm)

69,77 -77,12

Gambar 10. Grafik pasut untuk Kab. Pati hasil pemodelan TMD.

F = [A(o1) + A(k1)]/[A(m2) + A(s2)]..........................1)

Dimana:

F : bilangan FormzahlA(k1) : amplitudo komponen pasang surut

tunggal utama yang disebabkan olehgaya tarik bulan & matahari

A(o1) : amplitudo komponen pasang suruttunggal utama yang disebabkan olehgaya tarik bulan

A(m2) : amplitudo komponen pasang surutganda utama yang disebabkan olehgaya tarik bulan

A(s2) : amplitudo komponen pasang surutganda utama yang disebabkan olehgaya tarik matahari

dengan ketentuan :

F d” 0.25 : Pasang surut tipe harian ganda0,25<Fd”1.5 : Pasang surut tipe campuran condong

harian ganda1.50<Fd”3.0 : Pasang surut tipe campuran condong

harian tunggalF > 3.0 : Pasang surut tipe harian tunggal

Untuk lokasi pulau Pramuka, dari konstanta pasutyang digunakan oleh TMD diperoleh nilai F sebesar4,882503193. Hal ini menunjukkan bahwa TMDmenggolongkan tipe pasut di lokasi tersebut kedalampasang surut harian tunggal. Hasil ini berbeda denganapa yang diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan.

Di lokasi Kab. Pati diperoleh nilai F sebesar 4,708509.TMD menggolongkan tipe pasut di wilayah Kab. Patisebagai tipe pasang surut harian tunggal, hasil yangsesuai dengan pengamatan langsung di lapangan.

Hasil berbeda yang diperoleh di stasiun pulau Pramukadiduga karena TMD menggunakan konstanta pasut yangglobal, sehingga kurang mampu untuk memprediksisecara akurat tipe pasut di wilayah pulau-pulau kecilseperti pulau Pramuka. Pada tabel 2-5 Lampiran.disajikan secara lengkap data hasil pengamatan pasutdan data prediksi hasil modeling dengan TMD.

3. Perbandingan data Insitu dengan data TMD

Grafik pada gambar 11 dan 12 menunjukkan perbedaandata hasil pengamatan langsung di P.Pramuka dan Kab.Pati dengan data yang dihasilkan oleh TMD. Datapengamatan di masing-masing tempat ditumpangsusunkan dengan data yang dihasilkan oleh TMD.

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

6

Page 17: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Data pengamatan di Pulau Pramuka memiliki nilaiRMS error sebesar 8,68 cm. Dari grafik dapat terlihatbahwa pada beberapa bagian data hasil pengamatanmenunjukkan hasil tren pasut yang menurun, namun dataTMD menunjukkan data tren pasut naik. Seperti padadata pengamatan jam 16.00 WIB tanggal 13 Agustus2010. Hal ini dikarenakan hasil model TMDmengklasifikasikan daerah perairan P. Pramuka memilikitipe pasut harian tunggal, namun pada kenyataannya P.Pramuka memiliki tipe pasut campuran cenderung hariantunggal.

Data pengamatan di Kab. Pati memiliki RMS erroryang lebih kecil dari pada data P. Pramuka yaitu sebesar

Gambar 12. Grafik perbandingan data pasut pengamatan Kab. Pati dengan TMD

Gambar 11. Grafik perbandingan data pasut pengamatan P.Pramuka dengan TMD

7,84 cm. Untuk bentuk grafik, dapat dilihat bahwa trenkenaikan dan penurunan pasut relatif sama antara datapengamatan lapangan dengan data yang di hasilkan TMD.

Kesimpulan dan Saran

Pulau pramuka, yang terletak di gugusan PulauSeribu, memiliki tipe pasut campuran condong hariantunggal, hal tersebut didukung oleh data hasilpengamatan lapangan dan literatur. Namun dari hasilprediksi pasut TMD, tipe pasut yang diperoleh untuk pulauPramuka adalah tipe harian tunggal. Penyebabnya dapatdikarenakan TMD menggunakan konstanta pasut globaldalam perhitungan prediksi pasutnya, atau adanya

Komparasi Hasil Pengamatan Pasang Surut.....Dengan Prediksi Pasang Surut Tide Model Driver (Ramdhan, M.)

7

Page 18: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

komponen pasut lain yang dominan di perairan kepulauanyang belum dimasukkan dalam formula model prediksiperangkat lunak TMD.

Untuk perairan terbuka seperti wilayah perariran Kab.Pati yang terletak di Laut Jawa, tipe pasut yang diperolehdari data pengamatan lapangan dan prediksi TMDmenunjukkan hasil yang sama, yaitu tipe harian tunggal.

Prediksi pasut dari TMD disarankan baik untukdigunakan pada wilayah perairan terbuka. Namun untukperairan kepulauan, prediksi pasut TMD harus dimodifikasiulang konstanta pasutnya, sesuai dengan datapengamatan lapangan.

PERSANTUNAN

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir.Endhay Kusnendar, MS sebagai Kepala Balitbang-KP,Dr. Budi Sulistiyo-Kepala Puslitbang Sumberdaya Lautdan Pesisir.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Malik, 2007. Power Point Bahan kuliah PasangSurut, http://www.slideshare.net/guest01cdf1/pasang-surut-pasut, diakses tanggal 24 Oktober 2010.

Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting, M. J. Sitepu. 1996.Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautansecara Terpadu. PT Pradnya Paramita. Jakarta.

Djunarsjah, E., 2007, Konsep penentuan batas laut, KKsains dan rekayasa hidrografi, FTSL-ITB, Bandung.

Nontji, A., Dr. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan.Jakarta

Pariwono, J.I. 1989. Gaya Penggerak Pasang Surut.Dalam Pasang Surut. P3O -LIPI. Jakarta.

Triatmodjo, B. 1996. Pelabuhan. Beta Offset. Yogyakarta

Andriani,V. 2007. Kajian Legal Coastline dalamMendukung Pelaksanaan Kadaster Kelautan diIndonesia, Tesis Magister FTSL-ITB, Bandung.

Wyrtki, K.1961. Naga report: scientific results of marineinvestigations of the. South China Sea and the GulfofThailand, 1959-1961. vol. 2.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2007tentang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulauKecil.

Tinggi Muka Air laut (cm) Lokasi Stasiun MSL* MAX** MIN***

Tungang pasut (cm)

Tipe Pasut

Selang Waktu (hari)

Pulau Pramuka 100,77 133 56 77

tipe campuran condong harian tungal

4

Kab. Pati 115,34 181 56 125 tipe

harian tungal

7

Pulau Pramuka 0 52,21 -48,89 101,1

tipe harian tungal

365

Kab. Pati 0 69,77 -77,12 146,89 tipe

harian tungal

365

LAMPIRAN

Tabel 1. Data hasil pengamatan pasut dan prediksi TMD

Ket: * Mean Sea Level, ** Ketinggian Maksimum, *** Ketinggian Minimum

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

8

Page 19: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Tabe

l 2. D

ata

hasi

l pen

gam

atan

Lapa

ngan

P. P

ram

uka

ketin

ggia

n da

lam

cm

Tg

l

Ja

m

0 1

2 3

4 5

6 7

8

9

10

11

12

13 14

15 16

17 18

19

20

21

22

23

12/8

/201

0

- -

- -

- -

-

-

-

-

- -

- -

- -

-

-

-

-

11 0

12 0

12 4

12 2

13/8

/201

0 11 6

10 5 9 8

9 6 9 4

9 0 9 0

8 8

9 0

10 0

10 6

11 0

11 4

11 6

11 8

11 4

11 4

11 0

11 6

-

10 6

11 0

11 6

10 5

14/8

/201

0

10 0 98

9 0 8 6

8 6 8 7

- 8 6

8 9

96

10 5

11 3

11 3

10 8

11 5

11 6

11 6

11 7

11 9

12 0

11 5

10 6

10 6

10 0

15/8

/201

0

93

86 7 9

7 6 7 4

7 6 8 0

8 6

8 9

95

10 5

11 0

12 0

12 0

12 3

12 6

12 8

13 0

13 3

12 8

12 0

10 5

95

86

16/8

/201

0

74

66 5 8

5 6 5 7

6 2 6 8

7 4

-

-

- -

- -

- -

-

-

-

-

-

-

-

-

Tabe

l 3. :

Dat

a ha

sil p

enga

mat

an L

apan

gan

Ban

yuto

wo,

Kab

. Pat

i

ke

tingg

ian

dala

m c

m

Tgl

Jam

0

1 2

3 4

5

6

7

8

9

10

11

12

13 14

15 16

17 18

19

20

21

22

23

28

/10/

2010

-

- -

- -

-

-

-

-

-

- -

- 64

74 76

84 88

11 2

12 6

13 6

15 4

16 2

17 2

29/1

0/20

10

17 8

16 8

15 9 14 8

13 2 11 8

99 96

8 5

68

64

56

58

61

63 67

78 88

10 4

12 0

13 6

15 2

16 6

17 6

10/3

0/20

10

18 1

17 7

17 5 16 5

14 8 13 4

11 6

10 6

9 8

82

74

76

70

72

70 64

74 82

92

11 5

12 6

15 5

16 5

17 2

10/3

1/20

10

17 8

17 3

17 3 16 8

15 5 13 3

11 8

10 4

9 4

82

76

68

76

68

80 80

82 82

84

97

10 4

11 2

13 4

15 2

1/11

/201

0

15 5

16 0

16 4 15 6

14 6 13 2

11 6

98

8 7

78

77

75

75

78 86

92 98

10 2

10 6

10 8

11 4

12 4

13 4

14 8

2/11

/201

0

16 6

17 4

17 6 16 8

16 2 15 4

13 8 11 2

9 4

86

82

82

77

92

96

98 10 2

10 2

10 8

98

10 8

12 2

12 8

13 8

3/11

/201

0

15 8

16 6

17 2

16 4

15 6

14 8

13 4

11 4

9 8

86

78

78

86

92 10 4

10 8

11 2

11 4

12 0

12 2

12 4

12 6

13 2

13 8

4/11

/201

0

14 6

16 2

16 2

15 8

15 2

14 6

13 2

11 6

9 8

82

74

72

70

70

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

Komparasi Hasil Pengamatan Pasang Surut.....Dengan Prediksi Pasang Surut Tide Model Driver (Ramdhan, M.)

9

Page 20: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Ta

bel 4

. Dat

a TM

D u

ntuk

P. P

ram

uka

ketin

ggia

n da

lam

cm

Tg

l

Jam

0 1

2 3

4 5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

12/8

/20

10 22

16

8

-1 -9

- 16 - 21

- 23

- 22

- 19

- 15

- 11

-7 -3

-1 1

2

4

7

10

13

15

16

16

13/8

/20

10 14

10

5

-2 -8

- 12 - 15

- 16

- 15

- 12

-9

-5

-1 2

4 5

6

6

7

7

8

8

7

6

14/8

/20

10

4

1 -3

-7 - 10

- 12 - 13

- 12

- 10

-7

-3

1 5

8 10

11 12

11 10

9

7

5

1

-2

15

/8/2

010

-6

-9 - 13

- 15 - 16

- 16 - 14

- 12

-8

-3

1

6 10

13

16 17

18 18

17

14

11

6

0

-6

16/8

/20

10

- 12

- 18 - 22

- 24 - 24

- 23 - 19

- 14

-9

-3

3

8 13

16

20 22

24 25

24

22

17

11

3

-6

Ta

bel 5

. : D

ata

TM

D u

ntuk

B

anyu

tow

o, K

ab. P

ati

ke

tingg

ian

dala

m c

m

Tgl

Jam

0

1 2

3 4

5 6

7

8

9

10

11

12

13

14 15

16 17

18

19

20

21

22

23

28/1

0/20

10

58

57

51

40 27

11 -5

- 21

- 34

- 44

- 51

- 54

- 54

- 50 - 45

- 37 - 28

- 17 -4

9

23

37

48

57

29/1

0/20

10

62

62

57

47 33

16 -1

- 17

- 30

- 41

- 48

- 52

- 53

- 51 - 47

- 42 - 34

- 24 - 13

1

16

31

45

56

10/3

0/20

10

63

65

61

51 38

21 4

- 12

- 26

- 36

- 44

- 47

- 49

- 48 - 46

- 42 - 37

- 30 - 20

-8

7

22

38

51

10/3

1/20

10

60

64

62

54 41

25 8

-8

- 21

- 32

- 38

- 41

- 43

- 42 - 41

- 39 - 36

- 31 - 24

- 15

-2

13

28

43

1/11

/201

0

54

60

60

54 42

27 11

-5

- 18

- 28

- 33

- 36

- 36

- 34 - 33

- 32 - 30

- 28 - 24

- 17

-7

5

19

33

2/11

/201

0

45

52

54

50 40

26 11

-5

- 17

- 26

- 31

- 31

- 30

- 27

- 24 - 23

- 21 - 21

- 19

- 15

-8

1

13

25

3/11

/201

0

36

43

46

43

35

23

8

-6

- 18

- 27

- 30

- 30

- 26

- 22

- 17 - 13

- 11 - 10

- 10

-8

-4

2

10

20

4/11

/201

0

28

35

37

35

28

17

3

- 11

- 22

- 30

- 33

- 31

- 26

- 20

- 12

-6

-2

1

2

3

5

8

13

19

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

10

Page 21: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Danang Surya Candra1)

1) Peneliti pada Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional - LAPAN

Diterima tanggal: 27 Februari 2011; Diterima setelah perbaikan: 5 April 2011; Disetujui terbit tanggal 19 Mei 2011

ABSTRACT

The overall objective of remote sensing image classification procedures is to automatically categorizeall pixels in an image into land use/land cover classes. Normally, multispectral remote sensing dataare used to perform the classification and, indeed, the spectral pattern present within the data for eachpixel is used as the numerical basis for categorization. The knowledge of land use/land cover is importantfor many planning and management activities and is considered an essential element for modeling andunderstanding the earth as a system. SOFM is one of the most fascinating topics in the neural networkfield. In the data clustering, the SOFM net carries out the online cluster process in the input model, inwhich the SOFM net exerts a constraint of the winner neuron neighborhood of the output layer so thatthe topological nature of the input multi-bands data is clustered into the output layer of neuron weights.The research shows that SOFM method is better than MLC in accuracy. The experiment prove thatSOFM is quite good in term of classification processing speed. Clearly, the results of using SOFMclassifier in classification of multi-spectral remote sensing data are very good result of accuracy andfast in classification process.

Keywords: Spot-4, Classification, SOFM, Neural Network

ABSTRAK

Klasifikasi citra penginderaan jauh bertujuan untuk mengkategorikan semua piksel dalam gambarke dalam kelas penggunaan lahan/tutupan lahan secara otomatis. Biasanya data penginderaan jauhmultispektral digunakan untuk melakukan klasifikasi dan pola spektral dalam data untuk setiap pixeldigunakan sebagai dasar numerik untuk kategorisasi. Informasi tentang penggunaan lahan/penutupanlahan sangat penting untuk kegiatan perencanaan dan pengelolaan dan dianggap sebagai elemenpenting untuk memodelkan dan memahami bumi sebagai suatu sistem. SOFM adalah salah satutopik yang paling menarik di neural network. Dalam data clustering, SOFM neural network melakukanproses pengelompokan secara langsung, di mana SOFM memberikan suatu pengaruh pada winnerneuron neighborhood pada output layer sehingga sifat topologi dari data input multi-band dikelompokkanke dalam output layer dari neuron weights. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akurasi metode SOFMlebih baik daripada MLC. Penelitian membuktikan bahwa SOFM cukup baik dalam hal kecepatanpemrosesan klasifikasi. Jadi hasil dari metode SOFM dalam klasifikasi multi-spektral data penginderaanjauh adalah SOFM memiliki akurasi hasil yang baik dan kecepatan dalam proses klasifikasi.

Kata Kunci: Spot-4, klasifikasi, SOFM, Neural Network

SPOT-4 Data Classification Analysis Using Neural Network........(Candra, D. S.)

SPOT-4 DATA CLASSIFICATION ANALYSIS USING NEURAL NETWORK

11

Korespondensi Penulis:Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13320. Email: [email protected]

Page 22: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

12

INTRODUCTION

The knowledge of land use/land cover is important formany planning and management activities and isconsidered an essential element for modeling andunderstanding the earth as a system. More recently,remote sensing data have been utilized for land use/landcover mapping.

The ability to classify multispectral remote sensingdata correctly and quickly is very important. The neuralnetwork classifier presents distribution-free approach tomultispectral remote sensing data classification. Neuralnetwork perform considerably better than classicalmethods (Bhiscof & Leonardis, 1998). There are manymethods in neural network. One of them is Backpropagation method. Back propagation neural networkhas weakness of very slow convergence during training(Li & Si, 1992). Another one is Self-Organizing FeatureMap (SOFM) neural network. SOFM is one of the mostfascinating topics in the neural network field. Suchnetworks can learn to detects regularities and correlationsin their input and adapt their future responses to thatinput accordingly. SOFM learn to classify input vectorsaccording to how they are grouped in the input space. Itlearns both the distribution and topology of the inputvectors they are trained on.

Operationally SPOT-4 data was applied to depict landuse changes, urban planning, disaster, etc in Indonesia,providing basic maps for planning and development.

The research has primary objectives: (1) to apply theSOFM classifier to classify land cover from SPOT-4 data.The aim is to show how SOFM can be a classifier formulti-spectral remote sensing data, (2) to analyze theclassification result of the SOFM classifier. The aim is toknow how accurate and classification process speed ofthis classifier, and (3) to compare the classification resultaccuracy using SOFM and MLC. The purpose is to knowwhich one is the better one for classifier.

SOFM Neural Network

Neural network models have two important properties:the ability to ‘learn’ from input data and to generalize andpredict unseen patterns based on the data source, ratherthan on any particular a priori model (Seto & Liu, 2003).The self-organizing feature map neural network developedby Kohonen is a neural network model providing atopology-preserving mapping from a high-dimensionalinput space onto a low-dimensional map space (Ji, 2000).The fundamental idea of SOFM is related to constructinga hierarchic pattern searching system using a special

neural model, which is able to map a given vector spacein a labeled discrete neural structure (Kohonen, 1996).

SOFM is one of the most fascinating topics in theneural network field. Such networks can learn to detectregularities and correlations in their input and adapt theirfuture responses to that input accordingly. SOFM learnsto recognize groups of similar input vectors in such away that neurons physically near each other in the neuronlayer respond to similar input vectors.

The network is created from a two dimensional latticeof ‘nodes’, each of which is fully connected to the inputlayer. Figure 1 shows a very small SOFM network of 5 X5 nodes connected to the input layer representing a twodimensional (Hasi, et al - 11. 2004).

Each node has a specific topological position (x, ycoordinate in the lattice) and contains a vector of weightsof the same dimension as the input vectors. That is tosay, if the training data consists of vectors V of ndimensions:

V1,V2,V3,......,Vn ............................... 1)

Then each node will contain a corresponding weightvector W of dimensions:

W1,W2,W3,......,Wn ........................... 2)

The lines connecting the nodes in Figure 1 are onlythere to represent adjacency and do not signify aconnection as normally indicated when discussing aneural network. There are no lateral connections betweennodes within the lattice.

In the data clustering, the SOFM net carries out theonline cluster process in the input model, in which theSOFM net exerts a constraint of size of the winner neuronneighborhood of the output layer so that the topologicalnature of the input multi-bands data is clustered into theoutput layer of neuron weights. The cluster centers arerepresented by their weights. Through competing andlearning rules, the weight can also be updated. In thisclustering process, both the new neuron weights andthose of the winner neuron neighborhood are updated.The size of the winner neuron neighborhood reducesgradually during the iteration. The SOFM structure ispresented in Figure 1. When the process is finished, theinput data are partitioned into non-intersected classes.In this way, the similarity of the individuals in the sameclass is stronger than that in different classes.

Page 23: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

SOFM Algorithm

Let Wj is the weighting vector transmitted from inputvector i to output vector j, and let x={x1, x2,...,xn}be an input vector, n is the dimension, equal to thenumber of input satellite bands. Network training andtesting includes fine tuning and coarse tuning. Coarsetuning is the learning process, which is accomplishedby following steps (Ji, 2000):

Step 1. For each neuron, the weight is randomlyinitialized to a real value within the rangeof 0.0–255.0 (Digital Number (DN) valueof satellite image data).

Step 2. Feed the network with an input vector ,the distances of vector x to all neuronsare computed by formula (3.1).

Step 3. Find the neurons that have the minimumdistance to the input vector x , andupdate the weight by formula (3.2) and(3.3).

Step 4. Feed new inputs and repeat steps 2 and3, until the network convergences.

SPOT-4 Data Classification Analysis Using Neural Network........(Candra, D. S.)

13

After the competition and learning process arefinished, the input data are grouped into non-intersectedclusters. Every cluster is represented by its centroid.Such centers are called template vectors or codingvectors. With regard to the input vector, the correspondingcoding vector, instead of the input vector itself, is appliedin the next step, i.e. the fine tune. This method is calledthe vector quantization. The fine tune is accomplishedby the learning vector quantization (LVQ) algorithm, whichconsist of the following steps:

Step 1. After a training input vector israndomly selected, is identified underthe condition of minimum

Step 2. The LVQ algorithm is used, if x and wc are in thesame class, wc is changed by using

formula (3.4),

Otherwise, using formula (3.5)

.............. 1)

.................................................................... 2)

..................... 3)

..................... 4)

......... 5)

Figure 1. The SOFM neural network structure (Hasi. et al., 2004).

Step 5. For each input vector, label it as its classand label each neuron of output layeras its cluster by majority voting principle.The learning rate decreasesgradually with time :a value for is selected between 0.5and 0.9.

Page 24: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

14

After that, classification result from SOFM and MLC arecompared. The stages are described by flowchart below.

Figure 6. Flowchart of making land coverclassification.

  Scene Selection ofSPOT-4 Data

Ortho-Rectification andProjection Transformation

Map Reference

Image Enhancement,Image Transform, and

Cropping

Land CoverClassificationUsing MLC

Calculation of ClassificationResult Accuracy

PR

EP

RO

CE

SS

ING

PR

OC

ES

SIN

GP

OS

TPR

OC

ESS

ING

Land CoverClassification

Using SOFM & LVQ

Calculation of ClassificationResult Accuracy

Comparison of ClassificationResult Accuracy Between SOFM

and MLC

Envi 4.4

SOF

M N

eura

l Net

work

Pro

gram

Usin

g Vi

sual

C++

2008

Orth

o Re

ctifi

catio

nSo

ftwar

e an

dER

Map

per 7

.1

DEM SRTM

Arc GIS 9.3

RESULTS

The SOFM structure in the experiment is illustratedas follows: the input layer has 4 nodes and each of themcorresponds uniquely to one of the SPOT-4 bands 1, 2,3 and 4. The initial value of the learning rate á is set hereto 0.9, which reduces gradually with the training timeuntil 0.005. The maximum iteration time is 2000. In theoutput layer, the initial size of the the winner neuronneighborhood is set to be 12x12.

Figure 7. The image of SOFM classificationresult.

The learning rate t is a small positive value,decreases with iteration until 0.001.

Step 3. The iteration is stopped when it comesto the maximum times; otherwise, returnto step 1.

Study Area and Data Analysis

The Area of Interest (AoI) is put in Aceh TamiangDistrict, Nanggroe Aceh Darussalam. SPOT-4 data isused in this research. The 512 x 512 pixel of SPOT-4data is used for the AoI. The K/J of SPOT-4 data is 262/341. And the acquisition date is June 12, 2008.

The data analysis has three stages. The first stage ispre-processing. In this stage, ortho-rectification, projectiontransfor-mation, composite band, image enhancement,and cropping is done. The second stage is processing.In this stage, If is not equal to , wi is changed by(3.6)

.................. 6)

The data analysis has three stages. The first stage ispre-processing. In this stage, ortho-rectification, projectiontransfor-mation, composite band, image enhancement,and cropping is done. The second stage is processing.In this stage, remote sensing data classification for landcover is done. SOFM Neural Network is used in thisstage. And the last stage is post-processing. Land coverclassification result accuracy is calculated in this stage.

Figure 5. The SPOT-4 Image of The Aceh TamiangDistrict, Nanggroe Aceh Darussalam.

Page 25: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

The classification was conducted after the SOFMtraining. There is no threshold set during the process sothat no unclassified pixel occurs. To the purpose ofcomparison, the same training data sets are classifiedwith the maximum likelihood method (MLC). The inputbands are the same bands 1, 2, 3 and 4 produced bySPOT-4 ortho-rectification process. Likewise, there is nothreshold set during the processing. The result imagesof classification are shown in Figures 7 and 8. In theexperiment, the SOFM process needs 14 second inclassification process. Clearly, the classification processspeed of the SOFM classifier is quite fast.

We computed a confusion matrix to evaluate the abilityto detect land cover and to assess the accuracy of theSOFM method compared to a more conventionalclassifier, MLC. The confusion matrix is a commonly usedtool for assessment of accuracy of land coverclassification (Card, 1982). The matrix scores how theclassification process has labeled a series of test sitesor test pixels at which the correct land cover label isknown. Typically, the true class label is displayed acrossrows, while the actual mapped class is displayed incolumns. The diagonal of the confusion matrix displaysthe number of sites or pixels for which the true class andthe mapped class agree. The overall accuracy of the entiresample is then the sum of the diagonal elements dividedby the total of all sites or pixels. For individual classes,the marginal totals of the matrix can easily be used toestimate the producer’s accuracy and user’s accuracyfrom the sample. The producer’s accuracy is theprobability that a pixel truly belonging to class i is alsomapped as class i, while the user’s accuracy is theprobability that a pixel mapped as class i is truly of classI (Card, 1982).

Comparing both of classifier, the SOFM result hasmore accuracy in classification of urban (99.04%) thanMLC (94.97%). It is also happened in others class. Thegeneral accuracy of SOFM is 97.13%, whereas that ofMLC is only 87.54%. Clearly, the accuracy of the SOFMmethod is higher than the MLC method.

Figure 8. The image of MLC classification result.

Table 2. The confusion matrix of MLC classification result.

*) Total sample = 262144; accurate = 229471; general accuracy = 87.54 %

Table 1. The confusion matrix of SOFM classification result

*) Total sample = 262144 pixels; accurate = 254633 pixels; general accuracy = 97.13 %

SPOT-4 Data Classification Analysis Using Neural Network........(Candra, D. S.)

Cla ss Ref SO FM

Ur ba n Agric ultur e Land

Wa te r Body M angrove Ba re Land W et Land

Urban 238 36 5 3 1 6 1 1 89 11 0 Agricul ture Land 38 1 39 64 3 1 2 05 7 2 55 5 W ater Body 2 2 20 687 85 7 0 30 7 M angrove 2 22 0 225 24 30 3 0 11 7 Bare Land 1 08 1 94 9 0 10 5 1 83 78 8 W et Land 80 2 258 49 7 2 2 778 6 Tota l 240 66 1 41 86 9 21 172 27 88 0 1 88 24 2 833 3 Acc ur ac y (%) 99 .04 98 .4 3 97 .71 8 7.1 7 9 7. 64 9 8.0 7

C la s s Re f M LC

U rb a n A gr ic u ltu re L a n d

W a te r Bo dy

M a ng ro v e B a re La nd W e t L a nd

U rb a n 2 2 8 5 6 2 1 2 9 2 9 8 3 2 6 9 4 6 5 8 3 7 3 8 A g ri c ul tur e L a nd 3 0 9 1 3 6 7 3 7 2 7 3 6 5 6 1 2 8 3 1 7 0 W a te r B o dy 5 5 3 1 8 8 8 0 2 7 2 4 0 4 4 8 1 M a ng ro v e 0 3 9 9 1 5 8 1 8 2 3 1 0 6 0 B a re La n d 5 7 4 2 5 5 1 0 0 1 2 8 8 3 0 W e t L a nd 3 2 2 0 1 8 0 9 0 0 1 9 8 8 4 T ota l 2 4 0 6 6 1 4 1 8 6 9 2 1 1 7 2 2 7 8 8 0 1 8 8 2 4 2 8 3 3 3 A c c u ra c y (% ) 9 4 .9 7 9 6 .3 8 8 9 . 1 7 6 5 . 3 9 6 8 . 4 4 7 0 . 1 8

15

Page 26: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

DISCUSSION AND CONCLUSION

In this research, we applied the SOFM to classifyland cover from multi-spectral remote sensing data. TheSPOT-4 data that we used had four bands and we usedall the bands in the experiment. We choose 512 x 512pixels of this data for the samples. This data can beclassified by the SOFM. This SOFM is combined by LVQto form the target classes. After that, we analyzed theclassification result of the SOFM classifier. The researchshows that the SOFM classifier accomplished 97.13 %accuracy in general. In the experiment, the SOFM needs14 second in the classification process. Thus, the SOFMclassifier is quite good in accuracy and classificationprocess speed. We also do comparing between theSOFM classifier and MLC. The MLC has 87.54 %accuracy. It shows that SOFM is better than MLC inaccuracy. Clearly, the results of using SOFM classifierin classification of multi-spectral remote sensing dataare SOFM has a quite good result of accuracy and fastin classification process speed. The results can provethat the SOFM is quite good for classifier.

The main problem in Indonesia regarding land coverclassification manner is about the remote sensing data.Mostly, the data is covered by cloud. We know that radardata has not a cloud in its coverage. So, the suggestionfor the next research is to classify the radar data usingSOFM classifier. Many methods are studied to find agood classifier for land cover classification in remotesensing data. We should compare the SOFM classifierto other methods. We can also do the modification ofthe SOFM to get better and faster classifier.

ACKNOWLEDGEMENTThis research has been partially supported by LAPAN

for SPOT-4 data. Our thanks goes to them, without theirsupport in this paper, it could not have beenaccomplished.

REFERENCES

Bischof, H & Leonardis, A., 1998, Finding Optimal NeuralNetworks for Landuse Classification, IEEE Xplore,Downloaded on February 2, 2009 at 01:57 from IEEEXplore.

Bullinaria, J. A., 2004, Introduction to Neural Networks :Lecture 18 - Learning Vector Quantization (LVQ).

Card, D.H., 1982, Using known map category marginalfrequencies to improve estimates of thematic mapaccuracy, Photogrammetric Engineering and RemoteSensing, 48, pp. 431–439.

Foody, G.M., 2004, Thematic map comparison evaluatingthe statistical significance of differences inclassification accuracy, Photogrammetric Engineeringand Remote Sensing, 70, pp. 627–633.

Hasi, B., et al, 2004, Self-organizing Feature Map NeuralNetwork Classification of The ASTER Data Basedon Wavelet Fusion, Science in China Ser. D EarthSciences, Vol.47, No.7, pp. 651—658.

Ji, C. Y., 2000, Land-use Classification of Remote SensedData Using Kohonen Self-Organizing Feature MapNeural Networks, Photogrammetric Engineering andRemote Sensing, vol. 66, No.12, pp. 1451-1460.

Kohonen, T., 1982, Self-organized Formation ofTopologically Correct Feature Maps, BiologicalCybernetics, 43, pp. 59–69.

Kohonen, T., 1990, Self-organizing Map. Proc. IEEE 78,pp. 1464–1480.

Kohonen, T., 1993, Physiological Interpretation of TheSelf-organizing Map Algorithm. Neural Netw. 6, pp.895–905.

Kohonen, T., Oja, E., Simula, O., Visa&, A., Kangas, J.,October 1996, Engineering Applications of The Self-orgnizing Map, Proceedings of the IEEE, vol. 84. pp.1258–1384.

Li, R & Si, H., 1992, Multi-spectral Image ClassificationUsing Improved Backpropagation Neural Networks,Downloaded on February 2, 2009 at 01:37 from IEEEXplore.

Lillesand, T. M., Kiefer, R. W., & Chipman, J. W., 2004,Remote Sensing and Image Interpretation, JohnWiley&Sons, Inc, Fifth Edition.

Minsky, M., Kohonen’s Self Organizing Feature Maps.,http://www.ai- junkie.com/ann/som/som1.html.,accessed on May 31th, 2009.

Seto, K.C. & Liu, W., 2003, Comparing ARTMAP NeuralNetwork with the Maximum-Likelihood Classifier fordetecting urban change. Photogrammetric Engineeringand Remote Sensing, 69, pp. 981–990.

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

16

Page 27: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Alexander M. A. Khan1), Fedi A. Sondita1) & Budhi H. Iskandar1)

1)Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran, Bandung

Diterima tanggal: 13 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan: 29 April 2011; Disetujui terbit tanggal 15 Mei 2011

Studi Potensi Ekowisata Bahari Di Kabupaten Batubara........(Khan, A.M.A, et al)

STUDI POTENSI EKOWISATA BAHARI DI KABUPATEN BATUBARA(Studi Kasus Pada Pulau Pandang)

17

Korespondensi Penulis:Jl. Raya Bandung Sumedang KM 21, Jatinangor 40600. Email: [email protected]

ABSTRAK

Ekowisata adalah perjalanan wisata yang melibatkan pemahaman dan pengetahuan menyangkutkelestarian lingkungan. Pulau Pandang seluas 7 hektar, mempunyai potensi sumber daya alam yangdapat dikembangkan menjadi objek ekowisata dan zonasi dilakukan berdasarkan pada pengkajiankondisi Pulau Pandang dan perairan di sekitarnya. Kondisi tersebut mencakup garis pantai, jenispantai, substrat, temperatur, jenis terumbu dan ikan karang. Zona pertama untuk konservasi penyudan ekosistem terumbu karang; yang kedua untuk zona pemanfaatan yang mendukung dan memfasilitasikegiatan ekowisata dan zona terakhir sebagai zona penyangga untuk mencegah dampak kegiatanwisata terhadap zona konservasi. Aktivitas wisata yang dapat dilakukan dalam zona pemanfaatanadalah menyelam, snorkling, berenang, olahraga memancing, jalan pantai, olahraga pantai lainnya,berkemah dan sebagainya.

Kata Kunci: ekowisata, ekowisata bahari dan pantai, zona pesisir dan bahari, daya dukung

ABSTRACT

Ecotourism is nature-based tourism that involves education and concern on natural environmentand ecological sustainability. Pandang Island area is 7 hectares, with potential natural resources thatcan be developed to be ecotourism destination. The island’s zonation and its surrounding waters havebeen established by considering natural condition, such as shore line, shore type, substrate, temperature,coral reefs and coral fish’s type. The first zone is allocated for conservation purpose especially forturtle nesting and coral reefs; the second zone is allocated for supporting and facilitates for tourismactivities, and the last zone is buffer zone for preventing direct impact of tourism activities on theconservation zone (the first zone). Tourism activities recommended in the utilization zone are: diving,snorkeling, swimming, sport fishing, beach tracking, other beach sports, camping and other reasonableecotourism activities.

Keywords: ecotourism, marine and coastal ecotourism, coastal and marine zonation, island

pulau

carrying capacity

Page 28: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

18

PENDAHULUAN

Menurut Alcock & Crossland (1999) dan Gunn (1994)bahwa pengembangan strategi pengelolaan daerahekowisata didasarkan pada sistem zonasi berbagaibentuk pemanfaatan dan prinsip-prinsip ekologis.Kesesuaian lahan untuk pengembangan wisata baharimutlak memerlukan dukungan data dan informasi yangbenar dan berbasiskan ilmu pengetahuan, meliputi: (1)kondisi kawasan (2) daya dukung kawasan (3) sumberdaya hayati dan non hayati serta (4) kondisi sosialekonomi masyarakat (Prasetyo et al., 1996 yang diacudalam Arifin, 2001).

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengkaji potensiekowisata bahari di Pulau Pandang Kabupaten Batubara,Sumatera Utara, (2) merancang pengembanganekowisata bahari di Pulau Pandang Kabupaten Batubara,Sumatera Utara yang sesuai dengan kondisi alam danmanfaat penelitian ini adalah: memberikan masukan bagiPemerintah Daerah Kabupaten Batubara dan pihak terkaitlainnya tentang pengembangan suatu kawasan wisata,khususnya kawasan ekowisata bahari.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Pulau PandangKecamatan Tanjung Tiram Kabupaten Batubara PropinsiSumatera Utara. Pengumpulan data sekunder pada bulanFebruari sampai dengan Maret 2004 dan survei lapanganuntuk memperoleh data primer dilakukan pada bulanMaret sampai dengan Oktober 2004.

Alat dan Bahan

Alat-alat yang dipergunakan dalam penelitian iniadalah peralatan survei lingkungan perairan, seperti:handheld GPS, kompas, current meter, thermometer,handheld refractor meter, sechi disc, kayu ukur, komputer,stopwatch, underwater equipment dan peralatan scubadiving. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, antaralain: peta-peta laut dan daratan, kuisioner dan softwareSistem Informasi Geografis.

1. Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan berupa data utama (primer)dan data penunjang (sekunder), diperoleh daripengamatan langsung dan tidak langsung. Data primeryang diperoleh dengan cara pengamatan langsung,diantaranya adalah: peta penggunaan lahan, inventarisasiekosistem dan keberadaan sumber daya alam. Datasekunder berupa data yang telah tersedia di berbagai

instansi pemerintah, perguruan tinggi maupun padaperpustakaan yang telah dikumpulkan, diantaranya; datasaran dan prasarana wisata, rencana strategis kabupatendan peta-peta pendukung (rupa bumi, lingkungan pantai,bathimetri dan tata-ruang lahan).

2. Analisis Data

a. Potensi Pulau Pandang

Data kondisi dan potensi Pulau Pandang diantaranyaadalah: (1) data ekosistem dan keberadaan sumber dayaalam dan (2) ketersediaan air tawar, dimana jarak lokasidengan sumber air tawar jika kurang dari 2 km merupakankondisi yang ideal bagi pariwisata (Bakosurtanal, 1996).Kapasitas volume air tawar untuk memprediksi jumlahwisatawan yang dapat berkunjung ke pulau tersebut.Untuk mengetahui volume air tawar yang ada di pulautersebut digunakan rumus:Volume = Luas alas x tinggi air

b. Analisis Kesesuaian Kawasan Untuk EkowisataBahari

1. Pembuatan Peta Digital

Analisis spasial digunakan untuk mengidentifikasikesesuaian lahan untuk berbagai peruntukan dandigambarkan dalam hirarki kesesuaian lahan. Dalampenelitian ini, kelas kesesuaian lahan dibagi ke dalam 4(empat) kelas (Tabel 1).

Parameter kesesuaian lahan merupakan hasilmodifikasi dari Bakosurtanal (1996) yaitu untuk kegiatanwisata pantai: kecepatan arus menjadi luasan pantai,kecerahan perairan menjadi panjang pantai untuk wisatabahari.

2. Analisis Daya Dukung Kawasan Untuk Pariwisata

Standar kebutuhan ruang dan fasilitas pariwisatapantai yang dikeluarkan oleh WTO (1981), (Tabel 2).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Ekosistem dan Keberadaan SumberdayaAlam

A. Terumbu karang

Penentuan posisi terumbu karang dan keberadaansumber daya alam menggunakan global positioningsystem (GPS) dan peta dasar. Analisis yang digunakandalam menginventarisir keberadaan sumber daya alam,

Page 29: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Sumber: WTO (1981) yang diacu dalam Arifin (2001)

ialah dengan menggunakan metode ecological rapidassessment, yaitu suatu metode pendugaan dengan caramengamati secara seksama keberadaan suatuekosistem di suatu daerah atau wilayah. Salah satu jenis

terumbu karang yang sudah langka adalah jenisTubastrea sp dan menurut beberapa ahli tidak semuadaerah terumbu karang di Indonesia mempunyai jeniskarang ini (Gambar 2). Jenis-jenis karang yang ditemukan

Studi Potensi Ekowisata Bahari Di Kabupaten Batubara........(Khan, A.M.A, et al)

19

 

Gambar 1. Terumbu karang.

No Kapasitas m2/orang orang/ 20 – 50 m pantai

1

Kelas Rendah Kelas Mewah Kelas Istimewa (VIP)

10 15 20 30

2,0 – 5,0 1,5 – 3,5 1,0 – 3,0 0,7 – 1,5

2 Air Bersih

Penginapan daerah pesisir = 200 – 300 liter/hari/orang

Penginapan daerah pesisir pantai tropik = 500 – 1.000 liter/hari/orang

3 Akomodasi (Penginapan)

Ekonomi, ruang yang disyaratkan = 10 m2/bed

Menengah, ruang yang disyaratkan = 19 m2/bed

Istimewa, ruang yang disyaratkan = 30 m2/bed

Tabel 2. Standar kebutuhan ruang dan fasilitas pariwisata pantai

Kelas kesesuaian Penjelasan Skor S-1

(sangat sesuai ) Daerah ini tidak mempunyai pembatas (penghambat) yang serius untuk menetapkan perlakuan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas (panghambat) yang berarti atau berpengaruh secara nyata terhadap penggunaannya dan tidak akan menaikkan masukan atau tingkatan perlakuan yang diberikan

718 – 840

S2 (Sesuai ), Daerah ini mempunyai pembatas (penghambat) yang agak serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus ditetapkan. Pembatas (penghambat) ini akan meningkatkan masukan atau tingkatan perlakuan yang diperlukan

514 – 717

S3 (Sesuai bersyarat)

Daerah ini mempunyai pembatas (penghambat) yang serius untuk mempertahankan tingkat per lakuan yang harus ditetapkan. Pembatas (penghambat) akan lebih meningkatkan masukan atau tingkatan perlakuan yang diperlukan

274 – 513

N (Tidak sesuai) Daerah in i mempunyai pembatas (penghambat) permanen, sehingga mencegah segala kemungkinan perlakuan pada daerah tersebut

=273

Sumber: modifikasi dari BAKOSURTANAL, (1996).

Tabel 1. Kelas kesesuian lahan

Page 30: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

dalam penelitian ini, diantaranya dari jenis: Porites sp,Pocillopora sp, Acropora sp, Tubastrea sp, Zoanthid sp,Sponge sp dan Porites sp.

Kerusakan terumbu karang di Pulau Pandang banyakdiakibatkan oleh ulah manusia. Kondisi perairan PulauPandang yang relatif tenang dijadikan sebagai daerahperistirahatan (fishing base) oleh para nelayan yangdaerah operasinya (fishing ground) berada di sekitarperairan Pulau Pandang. Kerusakan terumbu karang yangdiketahui selama penelitian, diantaranya disebabkan olehjangkar dan alat tangkap sejenis pukat teri (trawl) yangbanyak dioperasikan oleh nelayan di sekitar lokasipenelitian.

2. Sumber Daya Ikan

Sumberdaya hayati yang dapat diamati, diantaranyaadalah Crustacea spp (udang dan kepiting), Molusca sp(kerang-kerangan) dan Echinodermata (teripang dan bulubabi). Jenis ikan yang tercatat selama penelitian ini,diantaranya adalah: Abudefduf spp, Chromis spp, Scarusspp, Achanturus spp, Lutjanus spp, Caesio spp, Zanclusspp, Thalasoma spp, Neopomacentrus spp, heniochusspp, Pterocaesio spp, Epinephelus spp, Neoglyphidodon

spp, Scolopsis spp, Anampses spp, Myripristis spp,Sargocentron spp, Siganus spp, Labroides spp,Halichoeres spp, Dischistodus spp dan Pomachantusspp (Gambar 4).

Jenis biota laut lainnya yang banyak dijumpai di lokasipenelitian, diantaranya, jenis seaweed, Diadema sp (bulubabi), teripang dan penyu.

3. Pantai Pasir

Dengan luasan yang hanya sekitar 7 hektar, PulauPandang hanya memiliki sekitar 2 – 3 hektar pantai.Sebagian dari luasan tersebut merupakan tempatbertelurnya (nursery ground) penyu laut. Untukkepentingan konservasi, pantai yang biasa digunakanoleh penyu untuk bertelur sangat perlu di jaga keberadaandan kelestariannya. Pantai-pantai yang terdapat di PulauPandang memiliki panjang pantai antara 120 sampaidengan 360 meter. Panjang pantai yang ada ini dapatdigunakan untuk berbagai keperluan dalam menunjangkegiatan ekowisata maupun untuk kegiatan konservasi.Lokasi penyu bertelur memiliki luasan 40 x 30 meter atausekitar 120 meter persegi dan terletak di sebelah timurpulau, kondisi lokasi penyu bertelur.

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

 

Gambar 2. Genus Tubastrea sp (tanda panah).

 

a b

Gambar 3. Contoh kerusakan terumbu karang akibat; (a) jaring dan (b) jangkar.

20

Page 31: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

4. Pantai berbatu

Pantai berbatu dapat di jumpai pada bagian selatandan utara Pulau Pandang. Batu-besar menjulang danmengelilingi pulau sehingga tidak dijumpai adanya pantaiberpasir di bagian tersebut. Panjang garis pantai berbatudi sebelah selatan sekitar 270 meter dan disebelah utaramemiliki panjang garis pantai sekitar 480 meter.

5. Ketersediaan Air Bersih

Saat ini, sumber air bersih yang ada di Pulau Pandangberasal dari sumur galian peninggalan Belanda berjarak20 meter dari tepi pantai di sebelah barat. Sumur galiantersebut memiliki kedalaman air sedalam 8 meter dengandiameter sumur sebesar 1 meter. Dari kondisi tersebut,dapat diperkirakan bahwa volume air maksimal dari sumurgalian tersebut adalah sebanyak 6,28 m3 air tawar atausetara dengan 6000 liter air.

Kesesuaian Pulau Dan Perairan Sekitar PulauPandang

berhubungan dengan kegiatan rekreasi pantaidengan fokus pada kegiatan snorkling dan menyelam.Analisis ini berguna untuk pembuatan peta digital,menurut kriteria untuk pariwisata pantai dan bahari yangdikeluarkan oleh BAKOSURTANAL (1996) dan hasilmodifikasi.

1. Analisis Kesesuaian Lahan Darat Untuk Kegiatan ekowisata

Kelas kesesuaian untuk pariwisata pantaiditentukan dengan rencana kegiatan pariwisata padakawasan tersebut. Jenis kegiatan pada pariwisata pantaiyang bisa dilakukan, seperti berjalan di sepanjang pantai,permainan pasir, berjemur, olahraga pantai, berenang,berperahu, dan kegiatan lainnya yang memungkinkanuntuk dilakukan di pantai. Parameter pembatas untukkegiatan di pantai adalah: (1) kedalaman pantai, (2)tutupan pantai, (3) tipe pantai, (4) substrat, (5) panjangpantai dan (6) luasan pantai Analisis kesesuaian untukkegiatan pariwisata pantai diukur menurut pemberianbobot dan skor bagi tiap parameter.

Studi Potensi Ekowisata Bahari Di Kabupaten Batubara........(Khan, A.M.A, et al)

 

Gambar 4. Beberapa jenis ikan-ikan karang di Pulau Pandang.

 

Gambar 6. Pantai berbatu.

Penentuan zonasi dalam kawasan Pulau Pandangdilakukan dengan mempertimbangkan beberapaparameter biofisik yang ada. Pariwisata yangdimaksudkan dalam penelitian ini adalah yang

21

Page 32: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

(a) Sangat sesuai, S1 (highly suitable)

 No.

Lokasi

ParameterKedalama

n

Substrat

Luasan pantai

Panjang pantai

Tipe pantai

Penutupan lahan

Nilai total

Ket

K

S

N

K

S

N

K

S

N K S N K S N K S N1

Pantai 1

S1

18

180

S1

16

128

S1

14

140

S1

15

90

S1

14

84

S1

14

84

706

S1

2

Pantai 2

S1

18

180

S1

16

128

S3

6

60

S3

5 30

S3

12

72

S1

14

84

554

S2

3 Pantai 3 S1

18

180

S1

16

128

S2

14

140

S2

10

60

S2

14

84

S1

14

84

676

S2

4 Pantai 4 S1

18

180

S1

16

128

S2

14

140

S1

15

90

S1

14

84

S1

14

84

706

S1

Tabel 3. Hasil analisis sistem penilaian kelayakan pariwisata pantai di Pulau Pandang

Keterangan:K = Kategori S1 = Sangat SesuaiS = Skor S2 = SesuaiN = Nilai S3 = Sesuai Bersyarat

Gambar dapat dilihat pada Lampiran 1.

Pantai yang termasuk pada kondisi sangat sesuai ini(S1) dapat dikatakan sebagai pantai yang tidak memilikifaktor pembatas yang serius untuk dijadikan sebagailokasi pariwisata pantai dengan jenis kegiatan yang dapatdilakukan diantaranya, adalah: berenang, bermain pasir,olahraga air dan pantai, berjemur, berjalan santai di pantai,kemah dan menikmati pemandangan pantai. Berdasarkanpada analisis sistem penilaian kelayakan untuk pariwisatapantai, didapatkan suatu bagian pantai di Pulau Pandangyang termasuk ke dalam kategori sangat sesuai, yaitupada pantai 1 dan pantai 4 dengan nilai 706 (Tabel 3).Pantai 1 dapat dikembangkan menjadi kawasanpemanfaatan (zona pemanfaatan) untuk menunjangkegiatan ekowisata yang ada. Berdasarkan padapengalaman penulis, jarak antara pantai yang ada diPulau Pandang tersebut dengan sumber air tawar berjarakkurang dari 2 km.

(b) Cukup Sesuai, S2 (Moderately Suitable)

Pulau Pandang ini ternyata mempunyai faktorpembatas yang cukup serius untuk dijadikan kawasanpariwisata pantai, namun demikian masih cukup sesuaiuntuk dikembangkan.

Berdasarkan pada analisis menggunakan sistempenilaian kelayakan untuk pariwisata bahari yangdikeluarkan oleh BAKOSURTANAL (1996) dan hasilmodifikasinya diperoleh bahwa ada 2 (dua) bagian pantaidi Pulau Pandang, yaitu pantai 2 dan 3 yang memiliki

kriteria cukup sesuai, S2 (moderately suitable) dengannilai 554 dan 676. Faktor-faktor yang menjadi pembatasdalam pengembangan wisata pantai, diantaranya adalahluasan pantai yang kurang, panjang pantai yang tidakmemadai, tipe pantai yang ada dan jenis penutupan lahanyang ada.

2. Analisis Kesesuaian Perairan Untuk Kegiatan ekowisata

Aktifitas pariwisata bahari dapat difokuskan pada kegiatanmenyelam dan snorkling. Parameter pembatas dalamkegiatan menyelam dan snorkling adalah: (1) kecerahanperairan, (2) daerah terumbu karang, (3) Kecepatan arusdan (4) kedalaman perairan. Setiap parameter mendapatnilai dan skor sesuai dengan tingkat kepentingannya bagikegiatan olahraga bahari, seperti snorkling dan menyelam(Lampiran 1).

a. Cukup Sesuai, S2 (Moderately Suitable)

Hasil analisis kesesuaian dalam pengembanganekowisata bahari di Pulau Pandang menurut kajian dariBakosurtanal (1996), dan modifikasinya ternyata hanyamenempati kategori cukup sesuai (S2, moderatelysuitable). Nilai yang diperoleh untuk tiap-tiap parameteryang diukur pada setiap stasiun yang ada hanyamemperoleh nilai paling kecil, sebesar 608 dan palingbesar memperoleh nilai 680 (Tabel 4). Parameter yangsangat mencolok untuk dijadikan pengukuran kategoriyang ada adalah kondisi keberadaan terumbu karang di

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

22

Page 33: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Keterangan: K = Kategori S1 = Sangat Sesuai S = Skor S2 = Sesuai N = Nilai S3 = Sesuai Bersyarat Sts = Stasiun

Gambar dapat dilihat pada Lampiran 1

Tabel 4. Hasil analisis sistem penilaian kelayakan pariwisata bahari di Pulau Pandang

 Stasiun

pengamatan

ParameterKedalaman

Suhu

perairan

Kecepatan arus

Kecerahan perairan

Terumbu karang

(Genus)

Ikan karang

(Genus)

Nilai total

Ket

K

S

N

K

S

N

K

S

N K S N K S N K S N

1

S1

14

84

S1

10

80

S2

12

120

S2

18

180 N 2 1

6S1

20

160

640 S2

2

S2 12

72

S1

10

80

S2

12

120

S3

16

160 N 2 1

6S1

20

160

608 S2

3 S2 12 72 S

110

80

S2

12

120

S3

16

160 N 2 1

6S1

20

160

608 S2

4 S1 14 84 S

110

80

S1

18

180

S3

16

160 N 2 1

6S1

20

160

680 S2

5 S2 12 72 S

110

80

S2

12

120

S3

16

160 N 2 1

6S1

20

160

608 S2

6 S1 14 84 S

110

80

S1

18

180

S3

16

160 N 2 1

6S1

20

160

680 S2

pulau Pandang yang hanya terdata sekitar 6 genus. Untukikan-ikan karang, data yang berhasil dihimpun dalampenelitian ini ada sekitar 22 genus dan kondisi terumbukarang yang ada banyak yang mengalami kerusakanakibat jangkar dan jaring nelayan.

3. Daya dukung kawasan untuk kegiatan ekowisata di Pulau Pandang

Istilah daya dukung (carrying capacity) dalampenelitian ini adalah kemampuan dari Pulau Pandanguntuk dapat menampung segenap aktivitas manusia yangakan memanfaatkan Pulau Pandang sebagai kawasanekowisata, khususnya ekowisata bahari. Kebutuhansetiap orang akan ruang dan jenis kegiatan yangdiinginkan adalah sangat bervariasi dan relatif, bergantungpada latar belakang budaya, kemampuan ekonomi dangaya hidup (Tabel 5). Langkah dalam menganalisis dayadukung kawasan Pulau Pandang dilihat dari data panjanggaris pantai, ketersediaan air tawar dan luas lahan untukakomodasi. Setelah diketahui panjang garis pantai,volume air tawar yang ada serta luasan dari lahan yangada di pulau pandang, kemudian akan dibandingkandengan standar kebutuhan ruang dan fasilitas pariwisata

di wilayah pesisir yang dikeluarkan oleh WTO (1981) yangdiacu dalam Dahyar (1999).

a. Panjang Pantai

Pantai pasir merupakan salah satu bentang alam yangdapat dijadikan objek wisata. Banyak wisatawan yangmenggemari wilayah pantai untuk berbagai aktivitaswisatanya, seperti: berjalan di pantai, menikmatikeindahan pantai, berjemur di pantai, olahraga di pantaidan lain sebagainya.

Daya tampung 2 (dua) bagian pantai di PulauPandang diperkirakan bahwa untuk kelas rendah palingsedikit dapat menampung 12 orang dan paling banyakdapat menampung 32 orang. Sedangkan untuk kelasmenengah, paling sedikit dapat menampung 8 orang danpaling banyak dapat menampung 23 orang. Untuk kelasmewah, paling sedikit dapat menampung 6 orang danpaling banyak dapat menampung 17 orang selanjutnyauntuk kelas istimewa (VIP) kapasitas daya tampungPulau Pandang paling sedikitnya dapat menampung 3orang dan paling banyak untuk kelas istimewa (VIP) inisebanyak 10 orang (Tabel 6).

Studi Potensi Ekowisata Bahari Di Kabupaten Batubara........(Khan, A.M.A, et al)

23

Page 34: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

No Kapasitas pantai m2/orang orang/ 20 – 50 m pantai

1

Kelas Rendah Kelas Menengah Kelas Mewah Kelas Istimewa (VIP)

10 15 20 30

2,0 – 5,0 1,5 – 3,5 1,0 – 3,0 0,7 – 1,5

2 Air Bersih

Penginapan daerah pesisir = 200 – 300 liter/hari/orang

Penginapan daerah pesisir pantai tropik = 500 – 1.000 liter/hari/orang

3 Akomodasi (Penginapan)

Ekonomi, ruang yang disyaratkan = 10 m2/bed

Menengah, ruang yang disyaratkan = 19 m2/bed

Istimewa, ruang yang disyaratkan = 30 m2/bed

Tabel 5. Standar kebutuhan ruang dan fasilitas pariwisata di wilayah pesisir

Sumber : WTO (1981) yang diacu dalam Dahyar (1999)

Estimasi panjang pantai terhadap daya tampung

Lokasi Pantai 1 Pantai 2

Panjang pantai pasir (m) 321 121,8 Daya tampung (orang) * Kelas rendah * Kelas menengah * Kelas mewah * Kelas istimewa (VIP)

32 23 17 10

12 8 6 3

Tabel 6. Estimasi data tampung wisatawan berdasarkan kapasitas pantai pasir di Pulau Pandang

Keterangan: Lokasi pantai dapat dilihat pada Lampiran 1

b. Ketersediaan Air Tawar

Ketersediaan air tawar di Pulau Pandang hanyaberasal dari sumur galian peninggalan Belanda. Estimasivolume air tawar yang berasal dari sumur galian yangada sebesar 6.000 liter.

Daya dukung Pulau Pandang menurut kapasitas atauketersediaan air tawar di pulau tersebut hanya dapatmenampung wisatawan antara 6 – 12 wisatawan per hari(Tabel 7). Menurut PERPAMSI (Persatuan PerusahaanAir Minum di Seluruh Indonesia) (2005) kebutuhan airuntuk kegiatan aktifitas ekowisata di pulau tersebut dapat

Ketersediaan air tawar 6.000 Liter Daya tampung (orang per hari) berdasarkan kebutuhan air di daerah pesisir pantai tropik = 500 – 1000 liter per hari per orang

6 – 12 orang per hari

Tabel 7. Estimasi daya tampung wisatawan berdasarkan ketersediaan air tawar

menampung orang antara 23 sampai dengan 200 orangper hari.

Kapasitas air tawar yang ada, jika hanya 60% yangdapat dipergunakan atau setara dengan 3.600 liter, makapulau tersebut hanya dapat menampung wisatawanmenurut WTO (1981) sekitar 4 sampai dengan 7 orangsedangkan menurut PERPAMSI (2005) pulau tersebutdapat menampung antara 14 sampai dengan 120 orangper hari.

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

24

Page 35: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

c. Lahan Untuk Akomodasi

Luas lahan untuk akomodasi sangat terkait eratdengan luasan pantai dengan daya tampung wisatawanyang ada di Pulau Pandang.

Untuk kelas rendah Pulau Pandang paling sedikitdapat menampung orang sebanyak 183 orang dan palingbanyak sekitar 578 orang, sedangkan untuk kelasmenengah, paling sedikit dapat menampung orangsebanyak 96 orang dan paling banyak sekitar 304 orang.Untuk kelas istimewa, paling sedikit dapat menampungorang sebanyak 61 orang dan paling banyak dapatmenampung orang sebanyak 193 orang (Tabel 8).

Luasan dan daya tampung

Lokasi

Pantai 1 Pantai 2

Luas lahan pantai (m2) 5.776 1.827 Daya tampung (orang)

* Ekomomi * Menengah * Istimewa

578 304 193

183 96 61

Tabel 8. Estimasi daya tampung wisatawan berdasarkan luasan pantai di Pulau Pandang

Keterangan: Lokasi pantai dapat dilihat pada Lampiran 1

d. Zonasi dan aktivitas ekowisata di Pulau Pandangdan perairan sekitarnya

Aktivitas yang dapat dilakukan sangat berbeda padatiap zonasi. Zonasi bertujuan untuk memberikan arahanbagi penataan ruang pemanfaatan lahan daratan danperairan agar tetap terjaga keaslian dan keunikannya.

(1). Zona konservasi (Pantai 3)

Zona konservasi berada di pantai 3 dan perairan didepannya. Kegiatan dapat dirancang dengan tujuan untukmengkonservasi penyu laut dan terumbu karang yangada pada lokasi tersebut. Kegiatan yang dapat dilakukanantara lain adalah kegiatan penelitian dan pengembangankhusus bagi habitat penyu dan ekosistem terumbu karangjenis langka, seperti: Tubastrea sp. Selain kegiatanpenelitian dan pengembangan bagi konservasi, tidakdiperbolehkan kegiatan lainnya pada lokasi tersebut.

(2). Zona Penyangga (pantai 4)

Zona ini ditujukan sebagai daerah peralihan antarazona konservasi dan zona pemanfaatan. Zona ini terletakdi pantai 4 dan perairan di depannya. Jenis kegiatan yang

dapat dilakukan pada zona ini, antara lain adalah: hiking,sport fishing, sun bathing, water sports, diving, swimmingdan kegiatan olahraga air lainnya. Pada zona ini, tidakada pemanfaatan lahan yang bersifat permanen, sepertiadanya bangunan bagi tujuan ekowisata. Zona ini, dapatmenampung antara 10 sampai dengan 36 orang untukmelakukan aktivitas ekowisata.

(3). Zona pemanfaatan (Pantai 1 dan 2)

Pembangunan infrastruktur yang menunjangsegenap kegiatan baik itu kegiatan konservasi maupunkegiatan ekowisata terpusatkan pada zona ini. Zona initerletak di pantai 1 dan 2 dengan daya tampungmaksimum 120 orang wisatawan berdasarkan pada

ketersediaan air tawar. Daya tampung ini menjadi lebihkecil, yaitu berkisar antara 3 sampai dengan 32 orangapabila dihitung menurut panjang garis pantai yangtersedia. Perhitungan menurut luasan lahan untukakomodasi menunjukkan daya tampung maksimumsekitar 61 orang kelas VIP. Dengan demikian, pulau iniagar ditujukan bagi wisatawan kelas VIP dan hanya dapatmenampung sekitar 61 orang agar tetap sesuai dengandaya dukung pulau tersebut. Selain untuk tujuanakomodasi, pada zona ini juga dapat dilakukan kegiatanwisata pantai, seperti: sun bathing, hiking, beachtracking, camping, banana boat dan sebagainya.

KESIMPULAN

Pulau Pandang dan perairan sekitarnya memilikiekosistem terumbu karang, pantai berpasir, pantaiberbatu, daerah perbukitan, vegetasi hutan dan semakbelukar. Salah satu pantai di pulau ini merupakan habitatpenyu untuk bertelur pada musim tertentu. Berdasarkanpada kriteria panjang pantai, pulau ini dapat menampung3 – 32 orang, sedangkan menurut kriteria ketersediaanair tawar pulau ini menampung 4 – 120 orang. Namundemikian, kriteria luasan pantai untuk keperluanakomodasi (panginapan) membatasi daya tampung pulauini pada 3 – 32 orang. Kelestarian dan kekhasan pulau

Studi Potensi Ekowisata Bahari Di Kabupaten Batubara........(Khan, A.M.A, et al)

25

Page 36: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

tersebut perlu dijaga sehingga jumlah wisatawan yangdiperbolehkan agar dibatasi hanya sekitar 61 orang.Secara umum pulau tersebut sangat sesuai (S2,moderately suitable) untuk pengembangan kegiatanekowisata bahari dalam jumlah terbatas dan meliputikegiatan berikut: menyelam, berenang, snorkling, hiking,sun bathing, beach tracking, beach sports, fishing sport,camping dan lain sebagainya.

Kegiatan ekowisata yang dikembangkan di PulauPandang hendaknya merupakan kegiatan ekowisatadalam jumlah terbatas sesuai dengan daya dukunglahannya. Disarankan agar dilakukan upaya-upayarehabilitasi dan konservasi terhadap ekosistem yang adadi pulau tersebut, khususnya untuk ekosistem terumbukarang dan pantai pasir tempat penyu bertelur.Rehabilitasi dan konservasi ini dimaksudkan untukmemperbaiki kondisi ekosistem yang ada agar dapat pulihkembali.

PERSANTUNAN

Penulis dalam kesempatan ini bermaksudmenghaturkan ucapkan terima kasih yang setinggi-tinggikepada beberapa pihak yang telah membantu penulisanpenelitian, diantaranya:Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, BadanPerencanaan Pembangunan Kabupaten Asahan, BadanPerencanaan Pembangunan Kabupaten Batubaru, DinasKelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara, PT.Multi Mas Nabati, Asahan, PT. Inalum Asahan, JurnalSegara P3SDLP Badan Penelitian dan PengembanganKelautan dan Perikanan (Balitbang KP), Medan DivingClub (MeDiC) Serta masyarakat Kabupaten Batubarayang telah banyak membantu.

DAFTAR PUSTAKA

Alcock, D & Crossland C. 1999. Tourism: The key playerin the ecologically sustainable development of theGreat Barrier Reef. CRC Reef Research Center. JamesCook University Townsville. Queensland Australia:Indonesian Journal Of Coastal and Marine Resources.Vol. 2 No. 1 PKSPL – IPB.

Arifin T. 2001. Evaluasi kesesuaian kawasan pesisir danarahan pengembangannya bagi pariwisata bahari diTeluk Palu Propinsi Sulawesi Tengah. Laporan tesis.Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.Bogor: (tidak diterbitkan).

Asahan Dalam Angka. 2001. Pemerintah KabupatenAsahan. Kisaran.

Asahan Dalam Angka. 2002. Pemerintah kabupatenAsahan. Kisaran.

Asahan Pos No. 68/Tahun II/6-11 Juli. 2004. Untukmeningkatkan keamanan Selat Malaka, Indonesia,Malaysia dan Singapura akan gelar patroli bersama.Kisaran.

Azman S. 2001. Analisis kebijakan pengembanganpariwisata bahari dalam rangka meningkatkankeragaan perekonomian wilayah Kabupaten PadangPariaman. Laporan tesis. Program PascasarjanaInstitut Pertanian Bogor. Bogor: IPB(tidak diterbitkan).

Bakosurtanal 1996. Pengembangan prototipe wilayahpesisir dan marine Kupang Nusa Tenggara Timur.Pusbina-Indrasig. Bakosurtanal. Cibinong: (tidakditerbitkan).

Canter, L.W & Loren GH. 1979. Handbook Of VariablesFor Environmental Impact Assessment. Michigan:Ann Arbor Science Publisher Inc.

Clark, J.R. 1991. Carrying capacity and tourism in coastaland marine areas. Parks. Vol 2.3.

Dahuri, R. 1993. Daya dukung lingkungan danpengembangan pariwisata bahari berkelanjutan.Makalah. Disajikan Pada Seminar NasionalManajemen Pesisir Untuk Turisme. MagisterManajemen. Institut Pertanian Bogor.

Dahuri, R, J Rais, SP Ginting & MJ Sitepu. 1996.Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan LautanSecara Terpadu. Jakarta. PT. Pradnya Paramita.

Dahuri R. 1999. Kebijakan dan strategi pengelolaanwilayah pesisir dan lautan secara berkelanjutan.Makalah. Disajikan Pada Pelatihan Untuk PelatihBidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan LautanSecara Terpadu. Bogor: IPB (Tidak diterbitkan).

Dahyar M. 1999. Penerapan pendekatan pengelolaanwilayah pesisir terpadu dalam pembangunanpariwisata di Kepulauan Derawan Propinsi KalimantanTimur. Thesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor:IPB.

Dante 2001. Red coral for tourism?: 10 Principles andchallenges for a sustainable tourism development inthe 21st. Working Group On Tourism and Development.www.ecotourism.org.

Davies, T. & Sarah, C. 2000. Enviromental implication ofthe tourism industry. Discussion Paper 00-14.Resouces For The Future. www.ecotourism.org.

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

26

Page 37: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

27

[ESD] Ecotourism Society and Development WorkingGroup. 1991. Tourism. final report. GovernmentPublishing Services. Canberra: Australia.

Fennel, D.A. & Eagles PFJ. 1990. Ecotourism in CostaRica: A Conceptual Framework. Journal of Park andRecreation Administration 8.

Gunn CA. 1994. Tourism Planning: Basics, Concepts,Cases. 3rd ed. Taylor & Francis. Washington DC:USA.

Hidayati. D. Mujiyani. L Rachmawati&, A Zaelani. 2003.Ekowisata: Pembelajaran dari Kalimantan Timur.Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.

Ikawati Y, PS Hanggarawati, H Parlan, H Handini&, BSiswodihardjo. 2001. Terumbu Karang di Indonesia.Jakarta Penerbit Masyarakat Penulis IlmuPengetahuan dan Teknologi berkerja sama denganKantor Menteri Negara Rist dan Teknologi.

Ilahude AG&, S Liasaputri. 1980. Teluk Jakarta : SebaranNormal Hidrologi di Teluk Jakarta. LON-LIPI. Jakarta.

[Insula-INCID] Insula-International Scientific Council ForIsland Development. 1995. Piagam PariwisataBerkelanjutan (Charter For Sustainable Tourism) hasildari World Conference On Sustainable TourismMeeting di Lanzarote, Canary Island. Spanyol. http://www.insula.org/tourism/charte.htm.

Linberg K. 1991. Policies For Maximising NatureTourism’s Ecological and Economic Benefits. WorldResources Institute: Washington DC.

McLean J&, Stepen W. 1997. Developing Ecotourism: ACommunity Based Aprroach. School of Leisure andTourism Studies. UTS. Sydney

Moscardo G&, Kim E. 1999. Sosial Science ResearchNeeds For Sustainable Coastal and Marine Tourism.CRC Reef Research Center. James Cook University.Townsville Old: Australia.

Nontji A. 1987. Laut Nusantara. Jakarta: PenertbitDjambatan.

ERPAMSI] Persatuan Perusahaan Air Minum di SeluruhIndonesia. 2005. Pelayanan air bersih dan sanitasidasar masih lemah. www.perpamsi.com

[PKSPL-IPB] Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir danLautan - Institut Pertanian Bogor. 2002. Atlas PesisirKabupaten Asahan dan Labuhan Batu PropinsiSumatera Utara. Laporan Akhir. Institut PertanianBogor. Bogor: IPB.

Rangkuti F. 1997. Analisa SWOT Teknik MembedahKasus Bisnis. Jakarta: Gramedia.

Saifullah. 2000. Kajian pengembangan pariwisata baharidan kontribusinya pada kesejahteraan masyarakatpesisir di Pulau Weh (Sabang). Thesis. ProgramPascasarjana IPB. Bogor: IPB.

Sunarminto T. 2002. Dampak ekoturisme wisata bahariPulau Menjangan Taman Nasional Bali Barat terhadapekonomi masyarakat dan kelestarian kawasan.Laporan Tesis. Program Pascasarjana InstitutPertanian Bogor. Bogor: IPB.

Studi Potensi Ekowisata Bahari Di Kabupaten Batubara........(Khan, A.M.A, et al)

Page 38: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Lampiran 1. Peta Lokasi dan Rencana Zonasi Pulau Pandang

Studi Potensi Ekowisata Bahari Di Kabupaten Batubara........(Khan, A.M.A, et al)

28

Page 39: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Teja Arief Wibawa1)

1) Peneliti pada Balai Penelitian Observasi Laut, Balitbang Kelautan dan Perikanan - KKP

Diterima tanggal: 10 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan: 21 April 2011; Disetujui terbit tanggal 10 Mei 2011

ABSTRAK

Informasi penting yang dibutuhkan dalam pengelolaan sumber daya perikanan yang bertanggungjawabdan berkelanjutan adalah teridentifikasinya lokasi habitat penting bagi suatu jenis ikan sepanjangsiklus hidupnya. Tuna mata besar adalah salah satu jenis ikan pelagis besar yang memiliki nilaiekonomis tinggi di perairan Indonesia. Faktor-faktor oseanografi memiliki peranan yang sangat pentingdalam menentukan distribusi tuna mata besar tersebut. Ketersediaan data satelit oseanografi secaranear real-time dan terus menerus memantau kondisi beberapa parameter oseanografi, dapatdimanfaatkan sebagai suatu pendekatan untuk mengidentifikasi lokasi habitat tuna mata besar tersebut.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memprediksi sebaran daerah potensial penangkapan tuna matabesar di Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali pada musim timur. Data penangkapan tuna mata besarselama periode empat tahun (2004-2007) selama musim timur, diperoleh dari perusahaan penangkapantuna yang berbasis di Benoa, Bali. Parameter oseanografi yang digunakan meliputi sea surfacechlorophyll-a concentration (SSC), sea surface temperature (SST), sea surface height anomaly (SSHA),dan eddy kinetic energy (EKE). Ekstraksi nilai SSC, SST,SSHA dan EKE dilakukan pada setiap koordinatpenangkapan tuna mata besar. Analisis data dilakukan dengan menggunakan generalized additivemodel (GAM). Persamaan yang diperoleh dari analisis GAM tersebut digunakan untuk memprediksisebaran daerah potensial penangkapan tuna mata besar. Hasil analisis GAM menunjukkan bentukpersamaan GAM dengan kombinasi SSC, SST, SSHA dan EKE secara statistik memiliki tingkatakurasi tertinggi dalam menjelaskan variasi hookrate tuna mata besar. Prediksi sebaran daerah potensialpenangkapan tuna mata besar pada Juni, Juli Agustus, September dan November, menunjukkan adanyakesesuaian dengan daerah penangkapan tuna mata sebenarnya.

Kata Kunci: tuna mata besar, satelit oseanografi, GAM

ABSTRACT

Responsible and sustainable fisheries management require essential information of identifiedimportant habitat of each fish species on whole their life cycles. Bigeye tuna is one of the large pelagicfish which has a high economic value in Indonesian waters. Oceanographic factors have an importantrole in determining the distribution of bigeye tuna habitat. The availability of oceanographic satellitedata in near real-time and continuously observe condition of some oceanographic parameters, can beused as an approach to identify bigeye tuna habitat. The aim of the research was to predict thedistribution of bigeye tuna potential fishing ground in southern Indian Ocean off Java-Bali duringsoutheast monsoon period. Bigeye tuna catchment data encompassed during southeast monsoonperiod of 2004-2007 were derived from longliners based on Benoa Harbour, Bali. Oceanographic variableswere sea surface chlorophyll-a concentration (SSC), sea surface temperature (SST), sea surfaceheight anomaly (SSHA) and eddy kinetic energy (EKE). Extraction of each SSC, SST, SSHA and EKEvalue on each bigeye tuna fishing ground were performed. Data analysis was performed using generalizedadditive model (GAM). The selected GAM equation was used to predict the distribution of bigeye tunapotential fishing ground. GAM analysis revealed that GAM which constructed from the combination ofSSC, SST, SSHA and EKE, statistically has the highest accuracy in explaining hook rate of bigeyetuna variation. Monthly prediction of bigeye tuna’s potential fishing ground on June, July, August,September and November, indicated it’s suitability with the real bigeye tuna fishing ground.

Keywords: bigeye tuna, oceanographic satellite, GAM

Pemanfaatan Data Satelit Oseanografi untuk Prediksi Daerah Potensial PenangkapanTuna Mata Besar (T. obesis).........(Wibawa, T.A.)

PEMANFAATAN DATA SATELIT OSEANOGRAFI UNTUK PREDIKSI DAERAHPOTENSIAL PENANGKAPAN TUNA MATA BESAR (Thunnus obesus) DI SAMUDRA

HINDIA SELATAN JAWA-BALI

29

Korespondensi Penulis:Jl. Baru Perancak,Negara-Jembrana,Bali 82251. Email: [email protected]

Page 40: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

30

PENDAHULUAN

Perairan Indonesia memiliki sumber daya perikananpelagis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi.Hampir sebagian besar jenis ikan pelagis besar yangditemukan di Perairan Indonesia memiliki nilai ekonomistinggi dengan tingkat penangkapan pada beberapawilayah sudah mendekati overfishing. Pengelolaansumber daya perikanan pelagis yang berkelanjutanmemerlukan informasi secara spasial dan temporaltentang kelimpahan suatu jenis ikan pelagis sepanjangsiklus hidupnya. Informasi tersebut diperlukan untukmengurangi tekanan antropogenik terhadap habitat-habitat ikan pelagis (Valavanis et al., 2008; Robinson,2010). Umumnya jenis ikan pelagis besar seperti tuna,memiliki fish behaviour yang berbeda antara setiap jenistuna (Brill, 1994; Brock et al., 1997; Merta et al., 2004;Lehodey et al., 2008). Perbedaan tersebut menyebabkanpengelolaan sumber daya perikanan pelagis sebaiknyadidasari pada pola kelimpahan setiap jenis ikan pelagispada suatu skala ruang dan waktu.

Ikan tuna mata besar merupakan salah satu sumberdaya perikanan pelagis besar yang bernilai ekonomistinggi di Perairan Indonesia. Hanya beberapa wilayah lautdalam Perairan Indonesia yang merupakan habitat tunamata besar, diantaranya adalah Samudra Hindia sebelahSelatan Jawa dan sebelah Barat Sumatra (Ukolseja,1996; Davis & Farley 2001; Merta et al., 2004; Hendiartiet al., 2005). Diduga telah terjadi overfishing penangkapantuna pada kedua wilayah tersebut, yang ditandai dengansemakin turunnya laju tangkapan tuna dari tahun ketahun.

Selain mempunyai keanekaragaman sumber dayaikan pelagis yang tinggi, Perairan Indonesia jugamempunyai karakteristik oseanografi yang unik dandinamis (Susanto et al., 2001; Hendiarti et al., 2004;Susanto et al., 2006). Kondisi oseanografi di PerairanIndonesia terutama dipengaruhi oleh fenomena Asia-Australian Monsoon (Tomczack & Godfrey, 2001;Hendiarti et al., 2004; Qu et al., 2005; Longhurst, 2007),Arus Lintas Indonesia (Sprintall et al., 2003; Wijffels etal., 2008) dan El Nino Southern Oscillation (ENSO)(Susanto et al., 2001; Hendiarti et al., 2004). Akibatnyakondisi oseanografi setiap wilayah laut dalam PerairanIndonesia cenderung bervariasi dalam skala ruang danwaktu. Dampaknya terhadap pengelolaan sumber dayaikan pelagis berbasis pendekatan ekologis adalahdiperlukannya informasi yang akurat tentang kondisioseanografi optimum bagi habitat satu jenis sumber dayaikan pelagis pada setiap wilayah laut dalam PerairanIndonesia.

Prediksi sebaran habitat tuna secara spasial dantemporal telah dikembangkan dengan memanfaatkandata satelit oseangrafi dan pemodelan statistika nonlinear, diantaranya untuk ikan tuna albakora (Zainuddinet al., 2008), ikan tuna sirip kuning (Zaglalia et al., 2004)dan ikan cakalang (Mugo et al., 2010). Satelit oseanografiyang mampu menyediakan data near real time dan terusmenerus dari beberapa parameter oseanografi, dapatdigunakan untuk mengetahui dinamika sebaranparameter-parameter oseanografi secara temporalmaupun spasial. Salah satu parameter oseanografitersebut adalah konsentrasi klorofil-a permukaan laut(SSC). Data SSC yang diperoleh dari sensor-sensorOcean Color, telah mendapat apresiasi dari para ahlioseanografi, setelah salah satu sensornya yaituSeaWiFS (Sea-viewing Wide-Field of view Sensor) mampumenghasilkan data SSC global selama sepuluh tahunberturut-turut (McClain, 2009). Sedangkan parameteroseanografi lainnya yang dapat diperoleh dari satelitoseanografi adalah Sea Surface Height Anomaly (SSHA).Tidak seperti sensor-sensor Ocean Color, pengukuranSSHA dengan menggunakan satelit altimetri merupakansuatu terobosan baru dalam teknologi satelit oseanografi,karena kemampuannya melakukan observasi tanpaterpengaruh oleh kondisi awan (Fu & Cazenave, 2001;Robinson, 2004). Observasi dengan menggunakan datasatelit oseanografi di perairan Indonesia telah terbuktidapat mengidentifikasi fenomena-fenomena oseanografiyang terjadi di Perairan Indonesia (Susanto et al., 2001;Hendiarti et al., 2004; Susanto & Marra, 2005; Susantoet al., 2006; Sartimbul et al., 2010).

Pemodelan statistika non-linear banyak digunakandalam analisis-analisis data ekologi, karenakemampuannya mengakomodasi data ekologi yangcenderung tidak memenuhi syarat-syarat untukmelakukan pemodelan statistika secara linear (Zuur etal., 2009). Generalized additive model (GAM) merupakansalah satu pemodelan statistika non-linear yang banyakdigunakan dalam analisis data-data bidang perikanan(Valavanis et al., 2008). Tujuan dari penelitian ini adalahuntuk memprediksi sebaran daerah potensialpenangkapan tuna mata besar di Samudra Hindia selatanJawa-Bali pada musim timur dari data-data satelitoseanografi.

METODE PENELITIAN

Wilayah penelitian adalah Samudra Hindia SelatanJawa-Bali dengan batasan koordinat 100° - 120° BT dan5° - 20° LS. Data harian tuna mata besar periode musimtimur selama empat tahun (2004 – 2007) diperoleh darilogbook perusahaan penangkapan tuna yang berbasisdi Pelabuhan Benoa, Bali. Data tersebut meliputikoordinat penangkapan tuna mata besar, jumlah individual

Page 41: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

tuna yang tertangkap, jumlah mata pancing yangdigunakan dan waktu penangkapan tuna. Data tersebutdiolah menjadi informasi tentang laju tangkapan tunapada setiap koordinat daerah penangkapan tuna (hookrate). Data harian konsentrasi klorofil-a permukaan laut(SSC) dan suhu permukaan laut (SST) harian denganperiode yang sama dengan periode data tangkapan tunamata diperoleh dari sensor MODIS Aqua dengan resolusispasial 4 km. Data komposit 7 harian sea surface heightanomaly (SSHA) diperoleh dari satelit altimetri denganresolusi spasial 0.33°. Sedangkan variabel eddy kineticenergy (EKE) diperoleh dari perhitungan east componentof eddy velocity field (u) dan north component of eddyvelocity field (v) dari satelit altimetri dengan persamaan:

222/1 vuEKE

(Fu & Cazenave, 2001; Robinson, 2004).

Untuk menyamakan resolusi spasial dantemporal dari seluruh dataset, data tangkapan ikan tunamata besar, SSC dan SST diolah menjadi data komposit7 harian dengan resolusi spasial 0,33°. Komposit 7 hariantersebut berdasarkan pada periode komposit 7 hariandata satelit altimetri. Untuk lebih detilnya, pembagiankomposit 7 harian tersebut ditampilkan dalam Tabel 1.Setiap data komposit 7 harian tuna mata besar dioverlaydengan data SSC, SST, SSHA dan EKE, untukmendapatkan nilai keempat variabel tersebut pada setiaplokasi penangkapan tuna mata besar.

Untuk kepentingan pembentukan model, dataset yangada dibagi menjadi dua bagian, yaitu training data danevaluation data. Training data digunakan untukpembentukan model, sedangkan evaluation datadigunakan untuk memvalidasi hasil prediksi daripemodelan tersebut (Himmerman & Guissan, 2000).Sebelum dilakukan pemodelan GAM, terlebih dahuludilakukan eksplorasi dataset sesuai dengan proseduryang mengacu pada Zuur et al., (2009) dan Zuur et al.,(2010). Generalized additive model (GAM) merupakansalah satu alternatif model statistika apabila tidakditemukannya hubungan linear antara dua variabel (Zuuret al., 2007; Zuur et al., 2009). Metode ini bersifatnonlinear dan dapat digunakan untuk mengurangikelemahan penggunaan asumsi distribusi normal dalamanalisis data ekologi. Secara umum GAM menggunakansmoothing curve untuk memodelkan hubungan antaravariabel respon dengan variabel penjelasnya (Zuur et al.,2007). Bentuk dasar persamaan dasar dari GAM adalah:

iii XfY )(

dimana )( iXf merupakan smoothing curve (Zuur et al.,2007). Pemodelan GAM dilakukan dengan menggunakanmgcv package (Wood, 2006) yang terdapat dalamprogram R (R Core Development Project, 2008).Pemodelan GAM dilakukan dengan menggunakandistribusi gaussian dan fungsi identity link. Sebagaivariabel respon adalah laju pancing tuna mata besar (HR),sedangkan sebagai variabel-variabel penjelasnya adalahSSC, SST, SSHA dan EKE. Pembentukan model GAMdimulai dengan setiap satu variabel penjelas, yangdilanjutkan dengan kombinasi dua, tiga dan empatvariabel-variabel penjelas. Pemilihan model GAM yangakan digunakan untuk memprediksi sebaran habitat tunamata besar didasarkan pada nilai Akaike’s InformationCriteria (AIC) setiap model GAM yang terbentuk, nilaideviance setiap model GAM yang terbentuk, dan tingkatsignifikansi variabel-variabel penjelas yang digunakandalam pembentukan setiap model GAM (Zuur et al.,2007; Zuur et al., 2009).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dinamika sebaran daerah penangkapan tuna matabesar periode musim timur 2004-2007

Data tangkapan tuna termasuk dengan koordinatpenangkapannya relatif sulit ditemukan dalam duniaperikanan di Indonesia. Umumnya, data yang tersediaadalah data jumlah ikan tuna yang didaratkan di suatupelabuhan tanpa diketahui dimana ikan-ikan tersebutditangkap. Selain itu, karena adanya kompetisi diantarakapal-kapal penangkap tuna, umumnya data lokasipenangkapan tuna menjadi satu hal yang bersifat rahasia.Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian inimenggunakan data harian logbook penangkapan tunamata besar dari perusahaan penangkapan tuna yangberbasis di Pelabuhan Benoa, Bali. Meskipun terdapatbias dalam data tersebut, namun setidaknya datatangkapan tuna mata besar yang digunakan dalampenelitian ini dapat memberikan gambaran awal tentanglokasi-lokasi penangkapan tuna mata besar di SamudraHindia Selatan Jawa-Bali. Sebaran daerah penangkapantuna mata besar di wilayah tersebut cenderung beradapada daerah yang sama setiap bulannya. Secara umumdaerah penangkapan tuna mata besar di Samudra HindiaSelatan Jawa-Bali berada pada koordinat 110° - 115° BTdan 12° - 16° LS (Gambar 1). Kondisi tersebut salahsatunya disebabkan belum digunakannya alat-alat bantupemantau dinamika oseanografi oleh kapal-kapal longlinedalam menentukan lokasi penangkapan tuna di perairantersebut. Akibatnya, kapal-kapal longline tersebut hanyamengandalkan data-data penangkapan tuna pada trip-trip sebelumnya.

Pemanfaatan Data Satelit Oseanografi untuk Prediksi Daerah Potensial PenangkapanTuna Mata Besar (T. obesis).........(Wibawa, T.A.)

31

Page 42: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Berdasarkan atas data penangkapan tuna mata besartahun 1978 -1990, Ukolseja (1995), menyebutkan puncakmusim penangkapan tuna mata besar di Samudra HindiaSelatan Jawa-Bali terjadi pada November. Namunberdasarkan pada analisis data tangkapan tuna besarperiode 2004 – 2007, puncak penangkapan tuna matabesar terjadi pada Juli. Pergeseran puncak penangkapantuna mata besar tersebut diduga terkait erat denganperubahan iklim. Satu dekade terakhir, intensitas badaisiklon tropis yang merupakan salah satu dampakperubahan iklim di perairan tersebut semakin meningkat.Umumnya badai siklon tropis mulai muncul pada akhirperiode musim timur. Badai tersebut berdampak padatingginya gelombang di perairan tersebut, sehinggamenyebabkan berkurangnya trip-trip penangkapan tunapada periode tersebut.

Fenomena upwelling di Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali yang terjadi pada musim timur (Susanto et al., 2001;Susanto et al., 2005; Hendiarti et al., 2005), diduga tidakberpengaruh pada sebaran daerah penangkapan tunamata besar. Seperti yang ditampilkan pada Gambar 2,daerah penangkapan tuna mata besar berada diluar daerahupwelling. Hasil yang sama juga ditemukan oleh Hendiartiet al.(2005), ketika melakukan analisis data tangkapantuna yang didaratkan di Pelabuhan Cilacap dengan datakonsentrasi klorofil-a permukaan, sebagai salah satuindikator terjadinya upwelling.

Dinamika SSC, SST, SSHA dan EKE Samudra HindiaSelatan Jawa-Bali pada periode musim timur 2004-2007

Rata-rata tujuh harian variabel SSC, SST, SSHA, danEKE ditampilkan pada Gambar 3, 4, 5, dan 6. Rata-rataSSC tertinggi ditemukan pada minggu ke 17 (2004), 19(2005), 30 (2006) dan 22 (2007). Nilai SSC tertinggitersebut terjadi pada periode Agustus – September setiaptahunnya, kecuali pada 2006 yang terjadi padaNovember. Pada periode normal, intesitas upwelling diwilayah ini terjadi pada periode Juni – September. Prosesupwelling yang dipicu oleh transpor Ekman di sepanjangpantai selatan Jawa-Bali, mengangkat massa kolom airdi bawah lapisan permukaan yang kaya nutrien dan suhuyang lebih dingin ke lapisan permukaan laut (Hendiartiet al., 2004). Akibatnya produktivitas primer di wilayahupwelling cenderung meningkat ketika terjadi periodeupwelling. Proses upwelling juga mengakibatkanpenurunan SST (Hendiarti et al. 2004; Qu et al., 2005)dan penurunan SSHA (Susanto et al., 2001). Sepertiterlihat pada Gambar 3, kenaikan SSC diikuti denganpenurunan SST dan SSHA.

Pola upwelling yang berbeda pada periode musimtimur 2006, diduga kuat terkait dengan El Nino Southern

Oscillation (ENSO). Pola dan distribusi SSC pada periodemusim timur 2006 hampir sama dengan periode musimtimur 1997/1998. Gambar 3 menunjukkan pada periodemusim timur 2006, puncak upwelling terjadi padaNovember dan menyebar ke arah barat. SouthernOscillation Index (SOI) tahun 2006 dari NOAA NationalCenter for Environmental Prediction (NCEP)menunjukkan adanya fenomena El Nino pada periodetersebut. Ketika terjadi El Nino, massa air arus lintasIndonesia (ARLINDO) dari sebelah barat Samudra Pasifikmenuju Samudra Hindia berintensitas rendah dengansuhu massa air yang relatif dingin. Akibatnya, massa airARLINDO tersebut mempunyai pengaruh minimumterhadap proses upwelling (Hendiarti et al., 2004). Kondisitersebut menyebabkan pergerakan angin monson dariBenua Australia menuju Benua Asia akan mempunyaipengaruh maksimal terhadap intensitas upwelling baikpada skala ruang maupun waktu (Susanto et al., 2001;Hendiarti et al., 2004; Susanto et al., 2006).

Prediksi daerah potensial penangkapan tuna matabesar pada musim timur

Eksplorasi seluruh variabel penjelas (SSC, SST,SSHA dan EKE) dengan variance inflation factors (VIF)menunjukkan tidak adanya kolinearitas antar setiapvariabel penjelas (Tabel 2). Nilai VIF yang ditunjukkansetiap variabel penjelas kurang dari 3. Nilai VIF 3digunakan sebagai indikasi terjadinya kolinearitas antarsetiap variabel (Zuur et al., 2009). Analisis denganmenggunakan pairplot juga mengindikasikan hal yangsama. Nilai koefisien korelasi antar setiap variabelpenjelas kurang dari 0.5 (Gambar 7). Transformasi denganlogaritma natural + 1 dilakukan terhadap variabel respon,yaitu laju penangkapan tuna mata besar (HR+1).Sedangkan untuk variabel EKE dilakukan transformasidengan logaritma natural (ln(EKE)).

Pembentukan GAM selengkapnya ditampilkan dalamTabel 3. Pembentukan GAM dimulai dengan satu variabelpenjelas yang dilanjutkan dengan kombinasi dua, tigadan empat variabel penjelas. Jumlah data yang digunakandalam pembentukan GAM adalah 1689.Tingkatsignifikansi setiap variabel penjelas dikelompokkanmenurut Verzani (2005). Hanya variabel SST padapersamaan GAM nomor 5 dan persamaan GAM nomor11 yang menunjukkan penggunaan smoothing factorterhadap SST dalam kedua persamaan tersebut tidaksignifikan. Sedangkan deviance dan AIC menunjukkantingkat keakuratan variabel-variabel penjelas dalammenjelaskan variasi variabel respon dalam setiappersamaan GAM. Semakin besar nilai deviance dansemakin kecil nilai AIC berarti semakin tinggi tingkatkeakuratan model GAM dalam menjelaskan variasivariabel respon (Zuur et al., 2007; Zuur et al., 2009).

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

32

Page 43: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Persamaan GAM nomor 15 mempunyai nilai devianceterendah, AIC tertinggi dan tingkat signifikansi setiapvariabel penjelas berada dalam kelompok statisticallysignificant dan could be significant. Persamaan tersebutdipilih dan digunakan untuk memprediksi daerahpotensial penangkapan tuna mata besar dengan inputdata-data SSC, SST, SSHA dan EKE pada Mei-November2007.

Persamaan GAM nomor 15 tersebut jugamenunjukkan bahwa variabel EKE mempunyai pengaruhterbesar terhadap variasi data hookrate tuna mata besar,dilanjutkan dengan variabel SSHA, SST dan SSC.Sedangkan estimasi smoothing curve pada setiap variabelpenjelas dari persamaan GAM nomor 15 ditampilkan padaGambar 8. Pengaruh positif SSC terhadap variasihookrate tuna mata besar berada pada kisaran 0,05 –0,15 mg/m3. Sedangkan untuk SST dan SSHA beradapada kisaran 26 – 27 ° C dan -5 – 5 cm. Log natural EKEmenunjukkan pengaruh positif pada kisaran 5 – 6, berartinilai EKE yang mempunyai pengaruh positif terhadapvariasi tangkapan tuna mata besar berada pada kisaran150 – 400 cm2/dt2.

Hasil prediksi bulanan daerah potensial penangkapantuna mata besar pada periode musim timur 2007ditampilkan pada Gambar 9. Hasil prediksi bulanan antaraMei – November 2007 tersebut dioverlay dengan datatangkapan tuna mata besar bulanan periode Mei –November 2007. Pada prediksi Juni, Juli, Agustus,September dan November 2007, terlihat adanyakesesuaian daerah potensial penangkapan tuna matabesar yang diprediksikan menggunakan persamaan GAMdengan lokasi penangkapan tuna mata besar sebenarnya.

Persamaan GAM yang digunakan untuk memprediksidaerah potensial penangkapan tuna mata besar hanyadapat menjelaskan variasi hookrate tuna mata besarsebesar 5,14% saja. Nilai tersebut lebih kecildibandingkan dengan persamaan GAM yang dibentukoleh Mugo et al.(2010) untuk memprediksi habitat ikancakalang, yaitu sebesar 13,3 %. Diduga rendahnya nilaideviance persamaan tersebut karena sedikitnya jumlahdataset yang digunakan untuk memodelkan GAM danlapisan renang tuna mata besar yang berada di bawahlapisan termoklin (Holland, 1990; Liu et al., 2003),Variabel-variabel oseanografi yang digunakan dalampenelitian ini semuanya berasal dari satelit oseanografi.Sehingga variabel-variabel oseanografi tersebut hanyadapat menjelaskan kondisi oseanografi pada lapisanpermukaan saja.

Dengan demikian diperlukan penelitian yang lebihmendalam dengan menggunakan variabel-variabeloseanografi pada lapisan renang tuna mata besar,

sehingga sebaran habitat tuna mata besar dapatdiidentifikasi dengan lebih akurat. Secara umum disadaribahwa dinamika dalam suatu ekosistem adalah sangatkomplek dan heterogen untuk dapat dimodelkan secaraakurat baik dalam skala ruang dan waktu (Himmerman& Guissan, 2000). Namun pendekatan yang kami lakukandengan menggunakan data satelit oseanografi tersebutmerupakan suatu langkah awal dalam memahami sebaranhabitat tuna mata besar di Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali.

KESIMPULAN

Persamaan GAM yang memiliki tingkat akurasitertinggi dalam menjelaskan variasi hookrate tuna matabesar pada musim timur di Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali, merupakan kombinasi dari variabel SSC, SST, SSHAdan EKE. Variabel EKE mempunyai tingkat signifikansitertinggi dalam persamaan GAM tersebut, dilanjutkandengan variabel SSHA, SST dan SSC. Prediksi daerahpotensial penangkapan tuna pada uni, Juli, Agustus,September dan November 2007 menunjukkan kesesuaiandengan daerah penangkapan tuna mata besarsebenarnya.

PERSANTUNAN

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepadaGoddard Space Flight Center –National Aeronautics andSpace Administration (GSFC-NASA) dan ArchiveValidation and Interpretation of Satellite Oceanography(AVISO) untuk akses data-data SSC, SST, SSHA danUV Component of Geostrophic Velocity. Penulis jugamenyampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Sei-ichi Saitoh, Robinson Mugo, Ph.D, I Nyoman Radiarta,Ph.D (Laboratory of Marine Bioresources and EnvironmentSensing, Faculty of Fisheries Sciences HokkaidoUniversity), Prof. Jason Roberts (Marine GeospatialEcology Laboratory, Nicholas School of the Environment,Duke University , USA), Takahiro Osawa, Ph.D (Centerfor Remote Sensing and Ocean Sciences, UniversitasUdayana) dan I Made Tirta Ph.D (Jurusan MatematikaFMIPA Universitas Jember) atas masukan dan sarantentang teknis pengolahan dan penganalisaan data. Tidaklupa ucapan terima kasih penulis sampaikan kepadamitra bestari Jurnal Segara yang telah menelaah danmemberikan masukan untuk penyempurnaan makalahini.

DAFTAR PUSTAKA

Brill, R.W. 1994. A Review of Temperature and OxygenTolerance Studies of Tunas Pertinent to FisheriesOceanography, Movement Models and Stock

Pemanfaatan Data Satelit Oseanografi untuk Prediksi Daerah Potensial PenangkapanTuna Mata Besar (T. obesis).........(Wibawa, T.A.)

33

Page 44: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Assesments. Fisheries Oceanography 3 (3) : 204 –216

Davis, T.L.O & J.H. Farley. 2001. Size Distribution ofSouthern Bluefin Tuna (Thunnus maccoyii) by Depthon Their Spawning Ground. Fisheries Bulletin 99 : 381– 386.

Fu,L.L & A. Cazenave. 2001. Satellite Altimetry and EarthSciences: A Handbook of Techniques and Applications.International Geophysics Series . Vol 69. AcademicPress.

Hendiarti, N., H. Siegel & T. Ohde. 2004. Investigation ofDifferent Coastal Processes in Indonesian Watersusing SeaWiFS Data. Deep Sea Research Part II:Tropical Studies in Oceanography, 51:85-97.

Hendiarti, N., Suwarso., E. Aldrian, K. Amri, R. Andiastuti,S.E. Sachoemar & I.B. Wahyono. 2005. Pelagic FishCatch Around Java. Oceanography ,18(4):112-123.

Holland K.N., R.W. Brill, dan R.K.C. Chang. 1990.Horizontal and vertical movement of yellowfin tuna andbigeye tuna associated with fish aggregating devices.Fish Bull 88:493-507

Lehodey, P., I. Senina & R. Murtugudde. 2008. A SpatialEcosystem and Population Dynamics Model(SEAPODYM)- Modelling of Tuna and Like TunaPopulations. Progress in Oceanography 78 : 304 –318.

Liu, Cho-Teng, Ching-Hsi Nan, Chung-Ru Ho, Nan-JungKuo, Ming-Kuang Hsu & Ruo-Shan Tseng. 2003.Application of satellite remote sensing on the tunafishery of Eastern Tropical Pacific. InternationalAssociation of Geodesy Symposia, 126:175-182

Longhurst, A.R. 2007. Ecological Geography of the Sea.Second Edition. Elsevier

McClain, C.R. 2009. A Decade of Satellite Ocean ColorObservations. Annual Review of Marine Science. 1 :19 -24.

Merta, G.S., B Iskandar & S. Bahar. 2004. MusimPenangkapan Ikan Pelagis Besar dalam MusimPenangkapan Ikan di Indonesia. BRPL – BRKP

Moore II, T.S., J. Marra, dan Alkatiri, A. 2006. Responseof the Banda Sea to the Southeast Monsoon. MarineEcology Progress Series 261:41-49.

Mugo, R., S. Saitoh, A. Nihira, dan T. Kuroyama. 2010.Habitat Characteristisc of Skipjack Tuna (Katsuwonuspelamis) in The Western North Pacific : A RemoteSensing Perspective. Fisheries Oceanography 19(5): 382 – 396.

Qu, T., Y. Du, J. Strachan, G. Meyers & J. Slingo. 2005.Sea Surface Temperature and its Variability in TheIndonesian Region. Oceanography 18 : 50 – 61.

R Development Core Team. 2008. R : A Language andenvironment for statistical computing. R Foundationfor Statistical Computing, Vienna, Austria. availablefrom: URL:http://www.R-project.org.

Robinson, I. 2004. Measuring Ocean from the Space,The Principles and Methods of Satellite Oceanography.Springer-Praxis.

Robinson, I. 2010. Discovering The Ocean from Space.The Unique Applications of Satellite Oceanography.Springer-Praxis.

Sartimbul, A. H. Nakata, E. Rohadi, B. Yusuf & H.P.Kadarisman. 2010. Variations in Chlorophyll-aConcentration and The Impact on Sardinella lemuruCatches in Bali Strait, Indonesia. Progress inOceanography 87 : 168 -174.

Sprintal, J., T.J. Potemra, S.L. Hautala, N.A. Bray & W.W.Pandoe. 2003. Temperature and salinity variability inthe exit passages of the Indonesian Throughflow. Deep-Sea Research II ,50:2183-2204.

Susanto, R.D., A.L. Gordon & Q. Zheng. 2001. Upwellingalong the coast of Java and Sumatra and its relationto ENSO. Geophysical Research Letters 29 : 1599 –1602.

Susanto, R.D. & J. Marra. 2005. Effect of the 1997/98 ElNino on Cholorophyll a Varaibility Along the SouthernCoast of Java and Sumatra. Journal of Oceanograph,18:124-127.

Susanto, R.D, T.S. Moore II & J. Marra 2006. OceanColor Variabilty in The Indonesia Seas during SeaWiFSEra. Geochemistry, Geophysics and Geosystems 7(5). doi: 10.029/2005GC001009.

Susanto, R.D., A. Gordon & J. Sprintall. 2007.Observations and Proxies of the Surface LayerTroughflow in Lombok Strait. Journal of GeophysicalResearch, 112:1-11

Tomczak, M., dan M.J. Godfrey. 2001. RegionalOceanography : An Introduction. Available on http://www.es.flinders.edu.au/mattom/regoc/pdfversion.html

Ukolseja, Y. 1996. Monthly Average Distribution of FishingEffort and Catch per Unit Effort for Yellowfin Tuna andBigeye Tuna in Indonesian Waters of The IndianOcean, 1978 – 1990. Expert Consultation on IndianOcean Tunas 6. Available on http://iotc.org.

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

34

Page 45: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Pemanfaatan Data Satelit Oseanografi untuk Prediksi Daerah Potensial PenangkapanTuna Mata Besar (T. obesis).........(Wibawa, T.A.)

35

Valavanis, D.V., G.J. Pierce, A.F. Zuur, A. Palialexis, A.Saveliev, I. Katara & J. Wang. 2008. Modelling ofEssential Fish Habitat Base on Remote Sensing ,Spatial Analysis and GIS. Hydrobiologia 612 : 5 -20.

Wijffels, S.E., G. Meyers & J.S. Godfrey. 2008. A 20-YrAvarage of the Indonesia Troughflow: RegionalCurrents and Interbasin Exchange. Journal of PhysicalOceanography, 38:1965-1978.

Wood, S.N. 2006. Generalized Additive Model, AnIntroduction with R. Chapman and Hall/CRC Press.

Zagaglia, C.R., J.A. Lorenzzetti & J.S. Stech. 2004.Remote sensing data and longline catches of yellowfintuna (Thunnus albacares) in the equatorial Atlantic.Remote Sensing of Environment, 93:267-281.

Zainuddin, M., K. Saitoh dan S. Saitoh. 2008. Albacore(Thunnus alalunga) fishing ground in relation tooceanographic conditions in the western North PacificOcean using remotely sensed satellite data. FisheriesOceanography, 17:61-73.

Zuur, A.F., E.N. Ieno & G.M. Smith. 2007. AnalysingEcological Data. Springer.

Zuur, A.F., E.N. Ieno, N.J. Walker, A.A. Saveliev & G.M.Smith. 2009. Mixed Effect Models and Extension inEcology with R. Springer.

Zuur, A.F., E.N. Ieno & C.S. Elphick. 2010. A Protocolfor Data Exploration to Avoid Common StatisticalProblems. Methods in Ecology and Evolution 2010(1):3 – 14.

Lampiran

Tahun Minggu Periode 2004 2004 2005 2005 2006 2006 2007 2007

1 31 1 31 1 31 1 30

29 April – 5 Mei 24 November – 1 Desember 28 April – 4 Mei 23 November – 30 November 27 April – 3 Mei 22 November – 29 November 3 Mei – 9 Mei 21 November – 28 November

Tabel 1. Periode komposit 7 harian seluruh dataset

Variabel Penjelas VIF SSC SST SSHA ln(EKE)

1,589 1,494 1,085 1,066

Tabel 2. Nilai VIF setiap variabel penjelas

Page 46: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

No Model Variable P-

values Deviance(%) AIC

1 SSC SSC < 0,01 1,72 -1516,408 2 SST SST < 0,01 1,22 -1511,048 3 SSHA SSHA 0,02 1,12 -1509,046 4 ln(EKE) ln(EKE) 0,02 0,91 -1507,839 5 SSC + SST SSC 0,02 2,42 -1519,062 SST 0,14

6 SSC + SSHA SSC < 0,01 2,85 -1525,671 SSHA 0,01

7 SSC + ln(EKE) SSC < 0,01 2,62 -1522,492 ln(EKE) 0,03

8 SST + SSHA SST < 0,01 2,53 -1521,193 SSHA 0,01

9 SST + ln(EKE) SST < 0,01 2,46 -1522,504 ln(EKE) < 0,01

10 SSHA + ln(EKE) SSHA < 0,01 2,32 -1518,895 ln(EKE) < 0,01

11 SSC + SST + SSHA SSC 0,01 3,71 -1529,136 SST 0,11 SSHA < 0,01 12 SSC + SST + ln(EKE) SSC 0,02 3,66 -1529,718 SST 0,02 ln(EKE) < 0,01 13 SSC + SSHA + ln(EKE) SSC < 0,01 3,98 -1534,189 SSHA < 0,01 ln(EKE) 0,02 14 SST + SSHA + ln(EKE) SST < 0,01 4,06 -1536,557 SSHA < 0,01 ln(EKE) < 0,01

15 SSC + SST + SSHA + ln(EKE) SSC 0,04 5,14

-1542,482 SST 0,02 SSHA < 0,01 ln(EKE) < 0,01

Tabel 3. Pembentukan GAM

36

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

Page 47: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Gambar 1. Sebaran daerah penangkapan tuna mata besar setiap bulan dalam periode musim timur.

SSC

SST

SSHA

EKE

Gambar 2. Komposit SSC, SST, SSHA dan EKE untuk periode musim timur 2004 – 2007 yang dioverlaydengan lokasi penangkapan tuna mata besar.

37

Pemanfaatan Data Satelit Oseanografi untuk Prediksi Daerah Potensial PenangkapanTuna Mata Besar (T. obesis).........(Wibawa, T.A.)

Page 48: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Gambar 3. Rata-rata komposit tujuh harian variabel SSC periode 2004 – 2007

Gambar 4. Rata-rata komposit tujuh harian variabel SST periode 2004 – 2007.

38

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

Page 49: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Gambar 6. Rata-rata komposit tujuh harian variabel EKE periode 2004 – 2007.

Gambar 5. Rata-rata komposit tujuh harian variabel SSHA periode 2004 – 2007.

39

Pemanfaatan Data Satelit Oseanografi untuk Prediksi Daerah Potensial PenangkapanTuna Mata Besar (T. obesis).........(Wibawa, T.A.)

Page 50: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Gambar 7. Analisis pairplot antar setiap variabel penjelas

Gambar 8. Estimasi smoothing curve setiap variabel penjelas.

40

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

Page 51: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Gam

bar 9

.H

asil p

redi

ksi b

ulan

an d

aera

h po

tens

ial p

enan

gkap

an tu

na m

ata

besa

r per

iode

mus

im ti

mur

200

7.Li

ngka

ran-

lingk

aran

yan

g ad

a pa

da g

amba

r ter

sebu

t mer

upak

an p

lot k

oord

inat

pen

angk

apan

tuna

mat

a be

sar p

ada

perio

de y

ang

sam

a.

41

Pemanfaatan Data Satelit Oseanografi untuk Prediksi Daerah Potensial PenangkapanTuna Mata Besar (T. obesis).........(Wibawa, T.A.)

Page 52: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Wahyu Budi Setyawan1)

1) Peneliti pada Pusat Penelitian Oseanografi - LIPIProgram Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi, Universitas Trisakti

Diterima tanggal: 13 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan: 29 April 2011; Disetujui terbit tanggal 15 Mei 2011

ABSTRAK

Salah satu efek primer dari pemanasan global adalah kenaikan muka laut, dan daerah yang palingterpengaruh adalah dataran rendah tepi pantai seperti dataran pesisir Mundu. Skenario kenaikan mukalaut karena pemanasan global dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2001 dantahun 2007, masing-masing untuk kenaikan muka laut maksimum 0,8 dan 0,5 meter hingga tahun2100, diterapkan terhadap daerah pesisir Mundu. Hasil analisis penggenangan dengan asumsi tidakterjadi perubahan morfologi menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan pesisir Mundu akan tergenangpada saat air laut pasang maksimum pada kedua kondisi skenario kenaikan muka laut; dan analisiserosi pantai dengan tidak memperhitungkan peningkatan laju erosi karena penambahan kedalamanperairan menunjukkan bahwa sebagaian besar daratan pesisir Mundu akan tererosi. Erosi tersebutakan menyebabkan sebagian besar lahan untuk produksi garam ikut hilang.

Kata Kunci: pemanasan global, kenaikan muka laut, daerah pesisir, lahan produksi garam

ABSTRACT

One of the primary effects of global warming is sea-level rise, and coastal lowland will be thestrongly affected area of the effect, such as Mundu coastal land. Sea-level rise scenarios ofIntergovernmental Panel on Climate change (IPCC) year of 2001 and 2007 is 0.8 and 0.5 metersmaximum sea-level rise respectively until 2100, this is applied on the coastal zone e.g Mundu. Inundationanalysis with no morphological change assumption indicates that most of the coastal lowland will beinundated when high tide condition at both sea level scenarios; and erosion analysis with disregardingerosion rate due to sea-level rate indicates that most of the coastal land will be eroded away. Theerosion might also make lost of salt production lands from the coastal zone.

Keywords: global warming, sea-level rise, coastal zone, salt production land

Potensi Dampak Kenaikan Muka Laut Terhadap Dataran Pesisir.......Di Kawasan Pesisir Mundu (Setyawan, W.B)

POTENSI DAMPAK KENAIKAN MUKA LAUTTERHADAP DATARAN PESISIR DAN AKTIFITAS PRODUKSI GARAM

DI KAWASAN PESISIR MUNDU, KABUPATEN CIREBON

42

PENDAHULUAN

Kawasan pesisir adalah kawasan yang paling rentanterhadap dampak pemanasan global karena salah satuefek primernya adalah kenaikan muka laut, sedangkawasan pesisir itu sendiri sangat peka terhadapperubahan muka laut. Efek langsung dari kenaikan mukalaut terhadap kawasan pesisir adalah penggenangan

lahan basah dan dataran rendah di tepi pantai, erosipantai, dan peningkatan salinitas air tanah (Hopley, 1992),juga terhadap infrastruktur dan masyarakatnya (Mimura,1999). Perubahan yang terjadi di kawasan pesisir karenakenaikan muka laut tidak hanya berpengaruh terhadapkondisi lingkungan fisiknya, tetapi juga akan berpengaruhterhadap aktifitas manusia yang ada di kawasan pesisiryang terpengaruh oleh kanaikan muka laut itu.

Korespondensi Penulis:Jl. Pasir Putih I Ancol Timur, Jakarta Utara 14430. Email: [email protected]

Page 53: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

43

Besar kecilnya dampak dari kenaikan muka lauttersebut berbeda antara satu kawasan dengan kawasanlainnya, tergantung pada kondisi geografi dan sosial darikawasan tersebut (Mimura, 1999). Tentang pentingnyastudi tentang potensi dampak kenaikan muka laut iniNicholls (2003) menyebutkan bahwa, perubahan iklimglobal atau kenaikan muka laut global memiliki dampakpotensial (potential impacts). Adaptasi untukmengantisipasi dampak potensial yang terencana dapatmengurangi dampak potensial menjadi dampak awal(initial impacts).

Kawasan pesisir Mundu adalah salah satu kawasanpenghasil garam yang utama di Kabupaten Cirebon.Sebagian besar penduduk di kawasan tersebut adalahpetani garam. Tujuan penulisan makalah ini adalahmemberikan gambaran tentang apa yang akan terjaditerhadap kawasan pesisir Mundu dan para petani garamdi kawasan tersebut bila dampak pemanasan globalterjadi sesuai dengan skenario dari IntergovernmentalPanel on Climate Change (IPCC) yang telahdipublikasikan.

METODE PENELITIAN

Lokasi penelitian terletak di bagian timur delta KaliBangkaderes di daerah Mundu (Gambar 1). Secaraadministrasi daerah penelitian masuk ke dalam wilayahadministrasi Desa Rawaurip dan Pangarengan, Mundu,Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Pengamatan lapangan

detil dilakukan di dua lokasi, yaitu di bagian timur (Lokasititi A) dan utara (Lokasi titik B). Data lapangandikumpulkan pada kunjungan lapangan pada Maret danJuli 2006, September dan Nopember 2008, dan Mei danSeptember 2009. Data lapangan yang dikumpulkanmeliputi data kondisi geomorfologi pantai, batuanpenyusun pantai, dan aktifitas manusia di daerah pesisir.

Untuk mencapai tujuan penelitian, dilakukan analisiskemungkinan penggenangan kawasan pesisir denganmembuat profil pantai terukur dan mempergunakanskenario kenaikan muka laut maksimal dari IPCC tahun2001 (Gambar 2A dan tahun 2007 (Gambar 2B). MenurutFolland et al. (2001), dengan skenario SRES (SpecialReport on Emission Scenarios), kenaikan muka lautglobal diproyeksikan berkisar dari 0,09 hingga 0,88 meterdalam periode tahun 1990 – 2100, dengan titik tengah0,48 meter. Sementara itu, menurut Bindoff et al. (2007),dengan mempergunakan skenario SRES seri A1B,kenaikan muka laut global berkisar dari 0,22 hingga 0,44meter. Dalam penelitian ini, untuk memudahkan analisisdilakukan pembulatan. Kenaikan maksimum skenarioIPCC tahun 2001 dipakai 0,8 meter, dan skenario IPCCtahun 2007 dipakai angka 0,5 meter pada proyeksi tahun2100.

Gambar 1. Peta lokasi penelitian. Titik bulat hitam dengan notasi A dan B adalah titik lokasi pengamatan detildan pembuatan profil pantai.

Page 54: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Profil pantai terukur dibuat dengan metode pengukurandengan waterpass pada September 2009. Posisi mukalaut pada profil pantai ditentukan dengan mempergunakanprediksi pasang-surut untuk Pelabuhan Cirebon yangdipublikasikan oleh Dinas Hidro-oseanografi TNI-AL untuktahun 2009. Penentuan posisi dan survei garis pantaidilakukan dengan GPS (Global Positioning System)Garmin 45. Selanjutnya, prediksi kemungkinanpenggenangan juga dilakukan berdasarkan kondisipasang surut. Di dalam Tabel Pasang Surut Tahun 2009dari Jawatan Hidro-Oseanografi TNI-AL, pasang tertinggiyang mungkin terjadi adalah 1,1 meter. Oleh karena itu,diambil prediksi kemungkinan penggenangan padaketinggian air laut pasang 1,1 meter untuk setiap skenariokenaikan muka laut.

Peta dasar yang dipergunakan adalah Peta RupabumiLembar 1309-214 Karangsembung skala 1:25.000 Edisi1 Tahun 2001 dari Bakosurtanal yang dibuat darikompilasi Foto Udara tahun 1993/1994. Gambaran umumkawasan pesisir Cirebon dilihat dari Citra Satelit Landsatkomposit warna 321 perekaman 9 Agustus 2003. Untukmelihat gambaran detil kawasan pesisir Delta Mundudipergunakan citra satelit dari Google Earth tahun 2010.

Berkaitan dengan penggunaan GPS Garmin 45 dapatdiberikan catatan sebagai berikut. Menurut manual yangditerbitkan tahun 1994, GPS Garmin 45 memilikikeakuratan 15 meter (Garmin, 1994 hal. 2). Biladioperasikan secara diferensial, keakuratannya dapatmencapai kurang dari 10 meter (Garmin, 1994 hal iv).Dalam penelitian ini GPS dioperasikan secara tunggalsehingga keakuratan penentuan posisi dalam penelitianini memiliki deviasi ± 10 – 15 meter.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Geomorfologi Kawasan Pesisir Mundu danAktifitas Produksi Garam

Citra satelit (Gambar 3) dan Peta Rupabumi (Gambar1) kawasan pesisir Cirebon menunjukkan bahwa daerahMundu merupakan sebuah delta kecil dari aliran SungaiBangkaderes. Hasil pengamatan lapangan menunjukkanbahwa kawasan pesisir Mundu merupakan dataranrendah tepi pantai yang tersusun oleh batulempung pejal,dan sebagian besar lahan di dataran pantai tersebutmerupakan kawasan ladang garam (Gambar 4A dan 4B).Aktifitas produksi garam merupakan satu-satunyaaktifitas produksi di dataran pesisir Delta Mundu. Lahanyang dipakai untuk kegiatan tersebut mencakup sebagianbesar kawasan delta tersebut (Gambar 5A).

Gambaran detil kondisi lahan produksi garam itu dapatdilihat pada Gambar 5B dan 5C. Kondisi lahan datar tepipantai yang tersusun oleh batulempung pejal sertadidukung oleh udara yang sangat panas di musimkemarau membuat kawasan tersebut sangat cocok untukproduksi garam.

Potensi Dampak Kenaikan Muka Laut Terhadap Dataran Pesisir.......Di Kawasan Pesisir Mundu (Setyawan, W.B)

Skenario kenaikan muka laut dari IPCCtahun 2001 (Folland et al.,, 2001).

Gambar 2A. Skenario kenaikan muka laut dariIPCC tahun 2007 (Bindoff et al., 2007).

Gambar 2B.

44

Page 55: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Gambar 3. Citra fals color composite 321 kawasan pesisir Cirebon. Tanda panah menunjuk ke lokasi penelitian.

Gambar 4A. Dataran pantai dan pantai bertebingtersusun oleh batulempung di lokasi A,bagian timur. Di kejauhan sebelah kiriadalah kawasan tambak garam. Arahpengambilan foto ke utara (lihat Gambar5B).

Gambar 4B. Pantai pasir dengan endapan pasirmenumpang diatas batuan indukbatulempung di lokasi B, bagian Utara.Di kejauhan bagian kanan adalahkawasan tambak garam. Arahpengambilan foto ke tenggara (lihatGambar 5C).

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

45

Page 56: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Gambar 5A. Citra satelit kawasan Delta Mundu. Hampir seluruh kawasan delta tersebut merupakan areal produksigaram rakyat. Sumber: Google Earth 2010.

Gambar 5A. Kenampakan lahan tambak garamdalam masa produksi di Lokasi A.Warna putih di dalam petak segi empatadalah garam. Panah putih adalah arahpengambila foto Gambar 4A.

Gambar 5B. Kenampakan lahan tambak garamdalam masa produksi di Lokasi B.Warna putih di dalam petak segi empatadalah garam. Panah putih adalah arahpengambila foto Gambar 4B.

Potensi Dampak Kenaikan Muka Laut Terhadap Dataran Pesisir.......Di Kawasan Pesisir Mundu (Setyawan, W.B)

46

Page 57: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Plot garis pantai yang diperoleh dari survei GPS disekitar lokasi pengamatan dan diplotkan pada PetaRupabumi menunjukkan bahwa pantai di daerah penelitianbersifat erosional dan telah mengalami pergeseran garispantai yang signifikan sejak tahun 1993 (Gambar 6A dan6B). Kemudian, hasil pengamatan lapangan di titik lokasiA ketika laut pasang menunjukkan bahwa sebagiandataran tepi pantai tergenang oleh air laut (Gambar 7Adan 7B). Ketika itu, kondisi laut bukan pada saat pasangtertinggi.

3.2. Potensi Efek Kenaikan Muka Laut

Salah satu dampak primer dari pemanasan globaladalah kenaikan muka laut (Hopley, 1992). Bagi daerahpenelitian yang rendah dan tersusun oleh batulempungpejal dan pantainya bersifat erosional, dampak darikenaikan muka laut yang akan terasa adalahpenggenangan dataran pantai yang rendah dan erosipantai. Kedua hal tersebut menyebabkan perubahan garispantai. Menurut London dan Volonte (1991), analisis

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

Gambar 7A. Kawasan tambak garam yang tergenangpada saat laut pasang di lokasi A. Lensamenghadap ke arah darat. Genangan airlaut menyebabkan petak-petak tambakgaram tidak terlihat.

Gambar 7B. Kawasan tepi dataran pantai yangtergenang ketika laut pasang di lokasiA. Lensa menghadap ke arah laut.Daratan yang tergenang menyebabkanbatas tepi pantai tidak terlihat.

Gambar 6A. Plot garis pantai di sekitar lokasi A.Memperlihatkan perubahan garis pantaidari tahun 1993 sampai 2008.

Gambar 6B. Plot garis pantai di sekitar lokasi B.Memperlihatkan perubahan garis pantaidari tahun 1993 sampai 2008.

47

Page 58: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

perubahan garis pantai dapat dilakukan denganpendekatan analisis penggenangan dan analisis erosipantai. Ini berarti bahwa, membicarakan penggenangandan erosi pantai karena kenaikan muka laut adalah jugamembicarakan perubahan garis pantai.

3.2.1. Penggenangan Dataran Pantai

Gambar 8A dan 8B menunjukkan profil pantai danskenario penggenangan daratan pesisir dari lokasipengamatan A dan B. Secara umum, kondisi pantai dikedua lokasi pengamatan itu hampir sama, yaitu pantaibermorfologi rendah dengan dataran pantai yang relatifdatar, tersusun oleh batu lempung pejal, dan bersifaterosional. Hal yang membedakan kondisi pantai di antarakedua lokasi pengamatan itu adalah hadirnya endapanpasir yang menyebabkan terbentuknya pantai pasir diSalah satu dampak primer dari pemanasan global adalahkenaikan muka laut (Hopley, 1992). Bagi daerah penelitianyang rendah dan tersusun oleh batulempung pejal danpantainya bersifat erosional, dampak dari kenaikan mukalaut yang akan terasa adalah penggenangan dataranpantai yang rendah dan erosi pantai. Kedua hal tersebutmenyebabkan perubahan garis pantai. Menurut London& Volonte (1991), analisis lokasi B, sedang di lokasi Atidak dijumpai endapan pasir (Bandingkan Gambar 4Adan 4B). Lebar endapan pasir di lokasi B sekitar 20 meter.

Tabel 1 memberikan gambaran tentang skenariopenggenangan kawasan pesisir daerah penelitian.Analisis itu dibuat dengan asumsi morfologi pantai tetap,tidak berubah oleh proses erosi pantai atau aktifitasgelombang.

Gambar 8A. Profil pantai di titik lokasi A. P1 dan P2 adalah patok pengukuran perubahan garis pantai.

Gambar 8B. Profil pantai di titik lokasi B. P1 dan P2 adalah patok pengukuran perubahan garis pantai.

Dari dua skenario kenaikan muka laut dari IPCCtersebut terlihat bahwa penggenangan daerah penelitianini lebih dipengaruhi oleh pasang-surut. Pengenanganhanya terjadi ketika laut dalam kondisi pasang, sedangketika dalam kondisi surut atau muka air berada padarata-rata muka laut dataran pantai muncul ke permukaanair. Dengan kata lain, dataran pantai menjadi dataranpasang-surut. Pada profil pantai, hal ini terlihat dari posisimuka laut rata-rata yang belum melewati elevasi dataranpantai. Saat ini, skenario kenaikan muka laut dari IPCCtahun 2007 masih mendapat kritik dari para ilmuwan,karena dipandang melakukan prediksi yangunderestimate dengan tidak memperhitungkankecenderungan kondisi sekarang ini berlanjut maupunkemungkinan kejadian perubahan yang luar biasa diAntartika dan Greenland, dan disarankan untuk direvisi(Wheeler, 2007).

3.2.2. Erosi Pantai dan Pergeseran Garis Pantai

Erosi pantai terutama terjadi karena akfititasgelombang laut yang mendorong ke pantai. Selain faktorresistensi batuan terhadap pukulan gelombang, laju erosiditentukan oleh kekuatan pukulan gelombang.Gelombang laut yang memukul ke pantai adalahgelombang perairan dangkal yang kekuatangelombangnya dipengaruhi oleh kedalaman perairan(Komar, 1976). Penambahan kedalaman air dekat pantaikarena kenaikan muka laut dengan demikian akanmenyebabkan meningkatnya energi gelombang danenergi pasang-surut di tepi pantai (Crooks, 2004),konsekuensinya adalah laju erosi pantai juga akanmeningkat. Di daerah penelitian ini, pergeseran garispantai karena erosi pantai akan terekspresikan dalam

Potensi Dampak Kenaikan Muka Laut Terhadap Dataran Pesisir.......Di Kawasan Pesisir Mundu (Setyawan, W.B)

48

Page 59: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Titik Lokasi A, Pantai Timur Titik Lokasi B, Pantai Utara Kondisi Sekarang – muka laut rata-rata 0 meter

Kondisi Sekarang – muka laut rata-rata 0 meter

Posisi muka laut rata-rata: Dataran tepi pantai sekitar 0,9 – 1

meter di atas muka laut. Posisi garis pantai di tebing pantai.

Posisi muka laut rata-rata: Ketinggian berm pantai pasir sekitar

1,35 meter di atas muka laut; garis pantai di pantai pasir

Ketinggian dataran pantai di belakang berm sekitar 0,95 meter di atas muka laut.

Posisi air pasang 1,1 meter: Dataran tepi pantai tergenang air laut. Batas garis pantai adalah tanggul

tambak garan terluar.

Posisi air pasang 1,1 meter: Ketinggian berm pantai pasir sekitar

0,25 meter di atas muka laut; garis pantai di pantai pasir.

Dataran pantai di belakang berm telah berada di bawah permukaan laut sekitar 0,15 meter.

Skenario Muka Laut + 0,5 meter (IPCC 2007) Skenario Muka Laut + 0,5 meter (IPCC 2007)

Posisi muka laut rata-rata: Ketinggian dataran tepi pantai berada

0,4 - 0,5 meter di atas muka laut. Posisi garis pantai di tebing pantai.

Posisi muka laut rata-rata: Ketinggian berm pantai pasir sekitar

0,85 meter di atas muka laut; garis pantai di pantai pasir.

Ketinggian dataran pantai di belakang berm sekitar 0,45 di atas muka laut.

Posisi air pasang 1,1 meter: Dataran tepi pantai tergenang dengan

ketinggian air laut sekitar 0,7 meter. Ketinggian air laut melebihi ketinggian

tanggul tambak sekarang. Garis pantai temporer bergeser ke

arah daratan mengikuti pola pasang-surut.

Posisi air pasang 1,1 meter: Seluruh daratan tepi pantai tergenang,

ketinggian air laut melebihi tanggul tambak.

Berberada sekitar 0,3 meter di bawah muka laut.

Dataran di belakang berm berada sekitar 0,65 meter di bawah muka laut.

Garis pantai temporer bergeser masuk ke arah daratan sesuai pola pasang-surut.

Skenario Muka Laut + 0,8 meter (IPCC 2001) Skenario Muka Laut + 0,8 meter (IPCC 2001)

Posisi muka laut rata-rata: Ketinggian dataran tepi pantai sekitar

0,1 – 0,2 meter di atas muka laut. Posisi garis pantai pada tebing pantai.

Posisi muka laut rata-rata: Ketinggian berm pantai pasir sekitar

0,55 meter di atas muka laut; garis pantai di pantai pasir.

Ketinggian dataran pantai di belakang berm sekitar 0,15 meter di atas muka laut..

Posisi air pasang 1,1 meter: Seluruh dataran tepi pantai tergenang

dengan kedalaman air laut sekitar 0,9 – 1 meter.

Posisi garis pantai temporer lebih jauih masuk ke pedalaman.

Posisi air pasang 1,1 meter: Seluruh dataran tepi pantai telah

tergenang. Berm telah berada sekitar 0,6 meter di

bawah muka laut. Dataran pantai di belakang berm

berada sekitar 0,95 meter di bawah permukaan laut.

Tabel 1. Resume analisis penggenangan dataran pesisir Mundu

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

49

Page 60: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

bentuk pergeseran tebing-tebing pantai yang tersusunoleh batulempung. Dalam penelitian ini, prediksipergeseran garis pantai dilakukan berdasarkan perubahangaris pantai dalam periode tahun 2008 sampai 2009dengan asumsi bahwa laju erosi tetap. Gambaran tentang

besarnya pergeseran itu dapat dilihat dalam Tabel 2 danGambar 9 dan 10.

Rangkaian seri foto lapangan pada Gambar 9menunjukkan bagaimana perubahan garis pantai terjadidi lokasi Titik B antara tahun 2008 dan 2009 yang

No. Lokasi 1993 – 2008 (m)

2008 – 2009 (m)

100 tahun kemudian (m)

Keterangan Tempat Pengukuran

1. Titik A – 78,15 – 13,85 – 1385 Rataan depan pantai 2. Titik B – 58,37 – 10,63 – 1063 Pergeseran berm

Tabel 2. Hasil analisis, pengukuran dan prediksi pergeseran garis pantai di daerah Mundu.

Catatan: Tanda (-) menunjukkan pantai bergeser ke arah darat atau tererosi.

Gambar 9A1. Patok titik lokasi B pada bulan Nopember 2008. P1 menunjuk ke patok, P2 menunjuk ke gerumbulanbelukar, P4 menunjuk ke puncak berm, dan P4 menunjuk batas air di tepi pantai. Perhatikan posisibatas air.

Gambar 9A2. Patok titik lokasi B pada bulan Nopember 2008, ke arah darat. P1 menunjuk patok yang terletakpada batas endapan pasir dan tambak garam. Posisi laut di sebelah belakang arah pengambilangambar.

Potensi Dampak Kenaikan Muka Laut Terhadap Dataran Pesisir.......Di Kawasan Pesisir Mundu (Setyawan, W.B)

50

Page 61: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Gambar 9B1. Patok titik lokasi B, bulan September 2009. P1 menunjuk ke patok, P2 menunjuk ke gerumbulanbelukar, P3 menunjuk ke puncak berm, dan P4 menunjuk ke batas air di tepi pantai. Bandingkandengan Gambar 9A1, Posisi P1 dan P2 tetap. Posisi P3 pada gambar ini bergeser ke P2, ini berartipergeseran puncak berm. Posisi P4 relatif sama terhadap P4, sehingga berarti garis batas air jugabergeser. Perhatikan posisi batas air yang telah bergeser ke arah darat, dan telah berada dekatgerumbulan belukar.

Gambar 9B2. Patok titik lokasi B pada bulan September 2009. P1 menunjuk ke patok (tepat di bawah Waterpass)yang telah berada di tengah endapan pasir (berm). P5 menunjuk ke patok baru yang dipasang padabatas antara endapan pasir dan tambak garam seperti posisi P1 tahun 2008. Jarak antara P1 danP5 adalah jarak pergeseran endapan pasir ke arah darat. Perhatikan batas antara endapan pasirdan tambak yang bergeser ke arah darat. Posisi laut di belakang arah pengambilan gambar.

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

51

Page 62: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Gambar 10. Plot prediksi perubahan garis pantai dan posisi garis pantai pada tahun 2100 (garis putus-putus) dikawasan pesisir Mundu berdasarkan pengamatan periode tahun 2008 – 2009.

ditunjukkan dengan pergeseran puncak berm dan batasendapan pasir dengan tambak garam. Gambar 9A1 dan9A2 diambil tahun 2008 di lokasi yang sama dengan arahyang pandang yang berbeda; dan demikian pula denganGambar 9B1 dan 9B2 yang diambil tahun 2009. Posisidan arah pengambilan Gambar 9A1 relatif sama denganGambar 9B1; posisi Gambar 9A2 relatif sama posisi danarah pengambilannya dengan Gambar 9B2.

Gambar 10 memperlihatkan prediksi perubahan garispantai di daerah penelitian dan prediksi posisi garis pantaipada tahun 2100. Dari gambar tersebut terlihat jelasbahwa sebagian besar dataran pesisir di kawasan DeltaMundu akan hilang karena tererosi, dan garis pantai akanberada di dekat kawasan pemukiman yang ada sekarang.Gambaran untuk kawasan seluruh Delta Mundu dapatdilihat pada Gambar 11.

Skenario perubahan garis pantai itu adalah skenarioperubahan garis pantai yang lambat. Pada kenyataannya,sangat mungkin terjadi laju erosi yang lebih cepat, karenakenaikan muka laut yang diprediksi itu apabila benar-benar terjadi dapat dipastikan akan meningkatkan energigelombang. Gelombang yang memukul ke pantai adalahgelombang perairan dangkal yang karakteristiknya adalahakan mengalami peningkatan energi bila terjadipenambahan kedalaman kolom air. Secara matematis,untuk perairan dangkal, keadaan tersebut dapat ditulissebagai berikut (Komar, 1976):

ECP ..................................... (1)

karena ghC

......................... (2)

maka ghEP ......................... (3)

dimana P : kekuatan gelombang, E : energigelombang, C : kecepatan rambat gelombang, g :

percepatan gravitasi, dan

h

: kedalaman air.

Dari persamaan matematis tersebut terlihat jelasbahwa makin tinggi kenaikan muka laut akanmempercepat laju erosi. Hal itu berarti, bila kitamemperhitungkan perubahan muka laut untukmemprediksi perubahan garis pantai, maka besarperubahan garis pantai yang akan terjadi akan lebih besardan lebih cepat.

3.2.3. Kehilangan Lahan Produksi Garam

Di depan telah diberikan gambaran bahwa dataranpesisir di Delta Mundu sebagian besar merupakan lahantepi pantai yang dipergunakan sebagai lahan tambakgaram. Dengan demikian, kelangsungan hidup aktifitasproduksi garam itu sangat ditentukan oleh keberadaanlahan datar tersebut. Di atas juga telah diuraikan bahwapotensi efek kenaikan muka laut di kawasan ini adalahpenggenangan dan erosi pantai atau pergeseran garis

Potensi Dampak Kenaikan Muka Laut Terhadap Dataran Pesisir.......Di Kawasan Pesisir Mundu (Setyawan, W.B)

52

Page 63: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Gambar 11. Citra satelit kawasan Delta Mundu dan prediksi posisi garis pantai pada tahun 2100. Garis hitamputus-putus adalah posisi garis pantai yang diprediksi. Sumber citra: Google Earth 2010.

pantai. Analisis skenario penggenangan karena kenaikanmuka laut di atas, seperti yang ditunjukkan denganGambar 8A dan 8B, menunjukkan bahwa baik denganskenario kenaikan muka laut 0,5 maupun 0,8 dataranpantai belum tergenangi pada posisi muka laut rata-rata,tetapi kawasan dataran pantai delta ini akan tergenangketika air laut pasang. Ini berarti lahan produksi garamtidak dapat dipergunakan lagi dengan cara tradisionalseperti sekarang. Kehilangan lahan karenapenggenangan ini dapat ditanggulangi dengan pembuatantanggul di sekeliling kawasan delta ini minimal setinggi0,5 m untuk skenario kenaikan muka laut 0,5 m, atau0,8 untuk skenario kenaikan muka laut 0,8 m.

Potensi dampak kenaikan muka laut yang ke-duaadalah pergeseran garis pantai karena erosi pantai.Analisis perubahan garis pantai yang dilakukan di atasadalah analisis berdasarkan laju perubahan garis pantaiantara tahun 2008 – 2009 dengan asumsi laju erosi tetap.Dengan analisis itu, terlihat pada Gambar 10 dan 11sebagian besar lahan produksi garam di sebelah timuraliran Kali Bangkaderes akan hilang karena tererosi.Angka prediksi dalam Tabel 2 adalah angka prediksi yanglambat yang belum memperhitungkan laju kenaikan mukalaut. Bila kenaikan muka laut diperhitungkan makapergeseran garis pantai akan lebih jauh lagi ke arah

daratan. Ini berarti lahan garam yang dapat hilang akanlebih besar lagi.

3.3. Pilihan Tindakan Antisipasi

Secara umum, dalam menghadapi efek pemanasanglobal, yang juga mencakup efek dari kenaikan mukalaut, menurut Hopley (1992) terdapat beberapa pilihanalternatif berikut:

1) Tidak melakukan apapun. Pilihan ini palingsedikit mengeluarkan biaya, tetapi akanmenyebabkan kehilangan yang besar, sepertikehilangan lahan tepi pantai dan segala sesuatuyang diatasnya. Pilihan ini dapat dilakukan untukdaerah-daerah yang belum terbangun.

2) Membangun pertahanan pantai yang sesuaidengan laju kenaikan muka laut.

Pekerjaan ini meliputi membangun dindingpantai, groin, tetrapod dan sebagainya; termasukjuga ke dalam cara ini adalah tindakan-tindakanbioteknik seperti menanam vegetasi. Pilihantindakan ini berbiaya tinggi dan bersifat temporer.Biasanya pilihan ini hanya dilakukan untukdaerah yang bernilai ekonomi tinggi.

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

53

Page 64: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

3) Mundur dengan perencanaan dan rekayasasosial.

Pilihan ini harus dilakukan denganmemperhitungkan kondisi sosial dan ekonomimasyarakat yang akan dipindahkan, dan kondisilingkungan. Pilihan untuk mundur ini dilakukanbila upaya mempertahankan atau perlindungantidak mungkin dilakukan secara ekonomi.

4) Perlindungan total. Tindakan perlindungan totalseperti membangun dinding pertahanan untukmelindungi lahan atau suatu kawasan dilakukanuntuk daerah-daerah berinvestasi sangat tinggi,memiliki nilai sejarah, atau karena tidak adaalternatif lain.

Uraian tentang penggenangan dan erosi pantai yangdiberikan di depan menggambarkan kondisi yangmungkin akan terjadi di daerah penelitian ini bila tidakdilakukan upaya apapun dalam menghadapi masalahkenaikan muka laut karena pemanasan global. Dari uraiantentang efek kenaikan muka laut itu terlihat bahwa,apabila hanya terjadi kenaikan muka laut dan tidakmenyebabkan erosi, maka sebagian besar dataran pesisiritu akan menjadi lahan pasang-surut. Perubahan kondisilahan dari kondisinya yang sekarang menjadi lahanpasang-surut dengan laju kenaikan muka laut 0,5 atau0,8 meter per 100 tahun dapat dikatakan relatif lambat.Persoalan yang lebih serius adalah persoalan erosipantai. Kenyataan di lapangan saat ini adalah bahwapantai di daerah penelitian adalah pantai yang mengalamierosi. Dengan demikian, upaya perlindungan pantai yangperlu diupayakan adalah bagaimana menghambat lajuerosi pantai.

Apabila tidak dilakukan tindakan antisipasi apapun,lahan di Delta Mundi ini akan rusak atau hilang karenaerosi dengan laju 13,85 m/tahun di lokasi Titik A, dan10,63 m/tahun di lokasi Titik B (lihat Tabel 2). Denganlaju erosi pantai seperti itu, maka pada tahun 2100sebagian besar lahan tepi pantai di delta ini akan hilang(Gambar 10 dan 11). Secara geomorfologi, membiarkankondisi seperti itu dengan tidak melakukan kegiatanapapun berarti mempertahankan kondisi alamsebagaimana kecenderungannya yang ada sekarang.Apabila lahan yang akan hilang itu adalah lahan yangtidak terbangun, maka membiarkan saja kecenderunganitu dapat menjadi pilihan dalam menghadapi kemungkinanperubahan karena kenaikan muka laut itu. Kenyataanyang ada saat ini adalah bahwa di atas lahan dataranpantai itu ada aktifitas produksi garam. Dengankenyataan seperti itu, pilihan membiarkan dengan tidakmelakukan tindakan pencegahan erosi apapun samaartinya dengan membiarkan lahan produksi garam

berkurang dengan laju seperti laju perubahan garis pantaidi atas. Para petani garam di kawasan tersebut tidakmungkin mengganti lahan yang hilang itu denganmembuka lahan baru ke arah darat karena lahan di arahdarat itu merupakan kawasan pemukiman mereka.

Pilihan antisipasi yang lain, selain dari membiarkan,memerlukan biaya. Menurut Nicholls & Tol (2006),diperlukan cost-benefit analysis dalam menentukanpilihan tindakan dalam merespon dampak dari kenaikanmuka laut. Dengan demikian, persoalan di dalam pilihantindakan antisipasi terhadap hasil prediksi efek kenaikanmuka laut adalah bagaimana penilaian yang diberikanterhadap aktifitas produksi garam itu. Pembahasan lebihlanjut mengenai pilihan antisipasi yang tersediamemerlukan pembahasan lebih lanjut, dan hal itu beradadi luar konteks tulisan ini.

Laju kenaikan muka laut sebesar 0,5 atau 0,8 meterper tahun memang kecil, tetapi laju perubahan garis pantaikarena erosi sebesar sekitar 10 sampai 13 metersekarang adalah laju yang cepat. Kenaikan muka lautakan memperbesar angka laju erosi tersebut. Oleh karenaitu upaya antisipasi perubahan garis pantai perlu segeradilakukan. Menggerakkan suatu kelompok masyarakatuntuk melakukan antisipasi dalam menghadapi suatuperubahan sama artinya dengan menggerakkanmasyarakat untuk beradaptasi. Proses adaptasi adalahsuatu proses yang berjalan dengan waktu seiring denganperubahan yang terjadi.

Mengenai dampak kenaikan muka laut terhadapkawasan pesisir Nicholls (2003) menyebutkan bahwadampak perubahan iklim global atau kenaikan muka lautadalah persoalan jangka panjang. Oleh karena itu,adaptasi untuk mengantisipasi dampak perubahan iklimglobal atau kenaikan muka laut global harusdiperhitungkan dengan cermat. Disebutkan pula olehNicholls, pengalaman mengelola kawasan pesisir dariBelanda, Inggris dan Jepang menunjukkan bahwa,adaptasi terhadap masalah di kawasan pesisir lebihmerupakan suatu proses daripada penerapan pilihanteknik. Ada empat tahapan proses adaptasi, yaitu (1)menyampaikan informasi dan perancangan, (2)perencanaan dan perancangan, (3) evaluasi, dan (4)monitoring dan evaluasi. Rangkaian proses tersebutmerupakan suatu siklus kegiatan. Kemudian, berkaitandengan proses adaptasi, dengan mengutip Adger et altahun 2004, Smith et al (2007) menyebutkan bahwa,kapasitas untuk melakukan adaptasi adalah fungsi darisejumlah faktor, yaitu:

1) Pengenalan akan kebutuhan adaptasi;2) Kepercayaan bahwa adaptasi adalah mungkin

dan dapat dilakukan;

Potensi Dampak Kenaikan Muka Laut Terhadap Dataran Pesisir.......Di Kawasan Pesisir Mundu (Setyawan, W.B)

54

Page 65: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

3) Kemauan melakukan adaptasi;4) Ketersediaan sumberdaya yang diperlukan untuk

menerapkan berbagai strategi adaptasi;5) Kemampuan memanfaatkan sumberdaya secara

memadai; dan6) Hambatan eksternal dalam menerapkan berbagai

strategi adaptasi.

Gambaran tentang pilihan adaptasi dan kemampuanuntuk melakukan adaptasi tersebut di atas menegaskanbahwa upaya untuk melakukan antisipasi potensi dampakkenaikan muka laut harus dilakukan jauh hari sebelumpotensi dampak yang digambarkan berubah menjadipersoalan yang nyata di depan mata yang tidak dapatdielakkan.

KESIMPULAN

Kawasan pesisir Mundu adalah dataran rendah tepipantai yang tersusun oleh batulempung pejal. Sebagiandataran rendah dekat pantai di kawasan tersebut akantergenang oleh air laut bila laut pasang tinggi. Di dataranpantai tersebut berkembang kegiatan pembuatan garamyang mencakup sebagian besar lahan datar yang rendahdi kawasan tersebut. Pendekatan analisis profil pantaiyang terukur, yang dikaitkan dengan posisi muka lautrata-rata, melalui analisis kondisi pasang-surutmemberikan gambaran bahwa, dengan skenario kenaikanmuka laut 0,5 dan 0,8 meter sebagian besar dataranpantai akan menjadi daerah pasang-surut pada tahun2100. Sementara itu, analisis perubahan garis pantaiberdasarkan laju perubahan garis pantai antara tahun2008-2009 memberikan gambaran bahwa garis pantaiakan bergeser sejauh 1000 sampai 1300 meter sampaitahun 2100. Perubahan garis pantai yang diprediksi ituakan menyebabkan sebagian besar dataran pantai didaerah penelitian hilang pada tahun 2100. Kehilanganlahan datar tepi pantai itu, yang juga berarti hilang pulalahan produksi garam di kawasan tersebut. Persoalandampak kenaikan muka laut terhadap kawasan pesisiradalah persoalan jangka panjang, sehingga langkah untukmelakukan tindakan antisipasi harus segera dilakukandari sekarang.

PERSANTUNAN

Data lapangan yang dipergunakan dalam makalah iniberasal dari kegiatan penelitian yang dibiayai oleh DIPAPusat Penelitian Oseanografi – LIPI tahun anggaran 2006,2008 dan 2009 untuk Program Pengendalian Pencemarandan Perusakan Lingkungan Hidup.

DAFTAR PUSTAKA

Bindoff, N.L., J. Willebrand, V. Artale, A, Cazenave, J.Gregory, S. Gulev, K. Hanawa, C. Le Quéré, S. Levitus,Y. Nojiri, C.K. Shum, L.D. Talley & A. Unnikrishnan.2007. Observations: Oceanic Climate Change andSea Level. In: Solomon, S., D. Qin, M. Manning, Z.Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M. Tignor and H.L.Miller (Eds.), Climate Change 2007: The PhysicalScience Basis. Contribution of Working Group I tothe Fourth Assessment Report of theIntergovernmental Panel on Climate Change.Cambridge University Press, Cambridge, UnitedKingdom and New York, NY, USA.

Crooks, S. 2004. The effect of sea-level rise on coastalgeomorphology. Ibis, 146 (Suppl. 1), 18-20.

Hopley, D. 1992. Global change and the coastline:assessment and mitigation planning. Journal ofSoutheast Asian Earth Sciences, v. 7, n. 1, 5-15.Hopley, D., 1992. Global change and the coastline:assessment and mitigation planning. Journal ofSoutheast Asian Earth Sciences, v. 7, n. 1, 5-15.

Folland, C.K., T.R. Karl, J.R. Christy, R.A. Clarke, G.V.Gruza, J. Jouzel, M.E. Mann, J. Oerlemans, M.J.Salinger & S.-W. Wang, 2001: Observed ClimateVariability and Change. In: Houghton, J.T.,Y. Ding, D.J.Griggs, M. Noguer,P.J. van der Linden, X. Dai, K.Maskell, & C.A. Johnson (eds.), Climate Change 2001:The Scientific Basis. Contribution of Working GroupI to the Third Assessment Report of theIntergovernmental Panel on Climate Change .Cambridge University Press, Cambridge, UnitedKingdom and New York, NY, USA.

Komar, P.D. 1976. Beach Processes and Sedimentation,Prentice-Hall, &., Englewood Cliffs, New Jersey, 429p.

London, J.B. & Volonte, C.R., 1991. Land useimplications of sea level rise: a case study at Myrtlebeach, South Carolina. Coastal Management, 19: 205-218.

Mimura, N. 1999. Vulnerability of island countries in theSouth Pacific to sea level rise and climate change.Climate Research, v. 12, 137-143.

Nicholls, R.J. & Tol, R.S.J. 2006. Impacts and responsesto the sea-level rise: a global analysis of the SRESscenario over the twenty-first century. Philosophical

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

55

Page 66: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Potensi Dampak Kenaikan Muka Laut Terhadap Dataran Pesisir.......Di Kawasan Pesisir Mundu (Setyawan, W.B)

Transaction of The Royal Society A, 364, 1073-1095,doi: 10.1098/rsta.2006.1754.

Nicholls, R.J. 2003. Case study on sea-level rise impacts.Organization for Economic Co-operation andDevelopment (OECD) Workshop on the Benefits ofClimate Policy. OECD, Paris.

Smith, T.F., Brooke, C., Preston, B., Gorddard, R., Abbs,D., McInnes, K., Withycombe, G. & Morrison, C. 2007.Managing for climate variability in the Sydney region.Journal of Coastal Research, SI 50 (Proceedings ofthe International Coastal Symposium), 109-113.

Wheeler, D. 2007. The IPCC debate on sea-level rise:critical stakes for poor countries. Center for GlobalDevelopment. [http://blogs.cgdev.org/globaldevelopment/2007/02/the-ipcc-debate-on-sea-level-r.php]. Akses 11 April 2010.

56

Page 67: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Rachma Puspitasari1)

1) Peneliti pada Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI

Diterima tanggal: 10 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan: 21 April 2011; Disetujui terbit tanggal 10 Mei 2011

ABSTRAK

Daerah pesisir Cirebon banyak mendapat pengaruh dari aktivitas rumah tangga, industri danpelabuhan. Aktivitas-aktivitas tersebut berpotensi menyumbangkan kontaminan yang masuk ke dalamekosistem akuatik dan mempengaruhi kualitas sedimen setempat. Kondisi kesehatan sedimen dapatditinjau dari berbagai aspek diantaranya aspek toksisitas sedimen terhadap biota akuatik. Penelitianini bertujuan mengevaluasi toksisitas sedimen pesisir Cirebon terhadap pertumbuhan diatom planktonikC. gracilis. Sampel sedimen diambil dari 11 stasiun dengan menggunakan Grab Smith McIntrye 0,05m2.Kultur murni C. gracilis dengan kepadatan awal satu juta sel/ml dipaparkan terhadap sedimen selama96 jam. Titik akhir pengamatan adalah rata-rata jumlah sel C. gracilis pada perlakuan dibandingkandengan kontrol setelah 96 jam pemaparan. Rata-rata jumlah sel C. gracilis pada perlakuan sedimendianalisa untuk mengetahui efek stimulasi atau penghambatan pertumbuhan C. gracilis dibandingdengan kontrolnya. Selain itu, kadar logam berat Cd dalam sedimen juga dianalisa. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa sedimen pesisir Cirebon masih menunjukkan efek stimulasi pertumbuhan. Efekstimulasi pertumbuhan ditandai dengan rata-rata jumlah sel C. gracilis yang mengalami peningkatanpada perlakuan sedimen dibanding kontrol air laut. Hasil ANOVA menunjukkan tidak ada beda nyatajumlah sel di tiap stasiun. Hasil analisis korelasi menunjukkan tidak ada korelasi yang kuat antarakadar Cd dalam sedimen dengan jumlah sel C. gracilis. Hal ini menunjukkan bahwa sedimen Cirebonmasih berada dalam kondisi baik dan mampu mendukung kehidupan diatom planktonik C. gracilis.

Kata Kunci: sedimen, toksisitas, plankton , C. gracilis, Cirebon

ABSTRACT

Coastal area of Cirebon is much influenced from domestic activities, industries, fisheries andports. These activities potentially contribute contaminants that enter the aquatic ecosystems andaffect the quality of sediment. The health condition of sediment can be evaluated from various aspectsincluding aspect of sediment toxicity to aquatic biota. This study aims to evaluate toxicity of sedimentCirebon to planktonic diatomae, C. gracilis. Sediment samples were taken from 11 stations using theGrab Smith McIntrye 0.05 m2. C. gracilis was exposed to sediment for 96 hours. Endpoint of the test ismean number of cells C. gracilis in treatment compared to control after 96 h exposure. Mean numberof cells of C. gracilis in treatment was analyzed wheter its showed a stimulation or an inhibition growtheffect compared to control. The results indicate that Cirebon sediment still showed stimulation effecton growth of C. gracilis. Stimulation effect of growth was characterized by the increasing of cellsnumber in sediment treatment than that of cells in seawater control. Result of ANOVA shows nosignificance difference was among stations. Result of correlation analysis shows that there was nostrong correlation between Cd concentration in sediment and number of cells of C. gracilis. Generally,Cirebon sediment is still in a good condition and can support for planktonic diatom, C. gracilis ’s life.

Keywords: sediment, toxicity, plankton, C. gracilis, Cirebon

Uji Toksisitas Sedimen Pesisir Cirebon Terhadap Pertumbuhan Diatom Planktonik C. gracilis (Puspitasari, R.)

UJI TOKSISITAS SEDIMEN PESISIR CIREBON TERHADAPPERTUMBUHAN DIATOM PLANKTONIK Chaetoceros gracilis

57

Korespondensi Penulis:Jl. Pasir Putih I Ancol Timur, Jakarta Utara 14430. Email: [email protected]

Page 68: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

PENDAHULUAN

Sedimen, sebagai salah satu unsur penyusunkawasan pesisir, merupakan habitat bagi banyakorganisme akuatik dan merupakan penyimpan utama daribanyak senyawa kimia yang secara terus menerusterpapar pada permukaan perairan. Dalam lingkunganakuatik, sebagian besar senyawa antropogenik danbuangan limbah (termasuk toksikan organik dananorganik) akhirnya dapat terakumulasi dalam sedimen.Senyawa kimia dalam sedimen dapat menimbulkan efektoksik langsung terhadap kehidupan akuatik atau dapatterbioakumulasi dalam rantai makanan. Toksisitassedimen diartikan sebagai perubahan ekologik danbiologik yang disebabkan oleh sedimen terkontaminasiatau reaksi teramati yang timbul pada organisme uji yangdipaparkan pada sedimen terkontaminasi (Luoma & Ho,1993). Saat ini, mikroalga banyak digunakan dalam ujiekotoksikologi baik air tawar atau air laut. Dalam ujitoksisitas, beberapa parameter yang umum dilihat untukmemperkirakan efek dari toksikan terhadap mikroalgaantara lain pertumbuhan dan aktivitas fotosintetik(Campanella et al., 2000).

Alga adalah komponen esensial dari ekosistemakuatik yang memproduksi oksigen dan substansiorganik melalui proses fotosintesis yang sangatdibutuhkan bagi organisme lainnya antara lain ikan daninvertebrata (Berard, 1996). Mikroalga berperanan pentingdalam keseimbangan ekosistem akuatik, karena beradadi tingkat pertama dalam rantai makanan yangmemproduksi bahan organik dan oksigen melaluifotosintesis. Diatom planktonik C. gracilis adalah spesiesyang dapat digunakan sebagai biota uji dalam ujitoksisitas sedimen karena memenuhi beberapapersyaratan sebagai biota uji (Rand & Petrocelli, 1985),yaitu pertumbuhannya yang cepat, sensitivitas danpenanganannya mudah di laboratorium (Hindarti, 2008).

Chaetoceros gracilis merupakan spesies dari kelasBacillariophyceae dan merupakan salah satu genusdiatom penting dalam plankton laut karena merupakangenus terbesar dan berperan sebagai produsen primerserta merupakan makanan penting bagi biota lainterutama udang (Panggabean, 1997). Jenis diatom inidapat digunakan sebagai bioindikator pencemaran airkarena mampu bertahan di perairan tercemar. Hal inidisebabkan karena diatom ini memiliki kemampuanmelekat pada substrat lebih baik daripada mikroalga lain.Kemampuan melekat disebabkan karena diatom memilikimaterial berupa lendir atau organel berupa setae(Aunurohim et al., 2008). Menurut Isnansetyo &Kurniastuty (1995), Chaetoceros toleran terhadap suhuair yang tinggi. Alga ini akan tumbuh optimal pada kisaransuhu 25-30°C dan masih dapat tumbuh pada suhu 37°C.

Pada suhu 40°, C. gracilis masih dapat bertahan hidupnamun tidak berkembang. Kisaran salinitas optimumuntuk pertumbuhan antara 17-25 permil dengan salinitasminimum sekitar 6 permil.

Pada penelitian terdahulu (Puspitasari & Hindarti,2009; Hindarti et al., 1999; Hindarti et al., 2008; Hindarti,2008), diperoleh gambaran tentang efek sedimen terhadappertumbuhan diatom, C. gracilis. Hal ini mendorongdilakukan penelitian yang lebih spesifik tentang efektoksisitas sedimen pesisir Cirebon terhadap pertumbuhandiatom planktonik C. gracilis. Jika terdapat kandunganbahan toksik yang berbahaya di dalam sedimen, makapertumbuhan C. gracilis akan terganggu ditandai denganadanya penghambatan pertumbuhan dan rata-rata jumlahselnya akan berkurang dibandingkan jumlah sel padakontrol. Terlebih lagi bahwa salah satu permasalahanyang dihadapi kawasan pesisir seperti Cirebon adalahmasuknya bahan pencemar atau limbah dari kegiatanyang terjadi di daratan sekitarnya (land based pollution),daratan dengan cakupan yang lebih luas melalui sungai,maupun hasil kegiatan yang ada di perairan pesisir danlaut itu sendiri (sea based pollution), seperti kegiatanpelabuhan, pelayaran, dan penambangan lepas pantai,yang menyebabkan terjadinya pencemaran akibat terlalubanyaknya bahan pencemar yang masuk ke perairanhingga melampaui daya dukung alamnya (Dahuri et al.1996).

METODE PENELITIAN

Pengambilan sampel

Sampel sedimen diambil dari 11 stasiun di daerahmuara sungai dan laut sekitar Sungai Sukalila (Gambar1). Posisi stasiun dicatat menggunakan GPS Garmin IIIPlus. Sampel sedimen diambil menggunakan Grab SmithMc-Intyre 0,05 m2 sebanyak 3 kali ulangan untuk setiapstasiun. Sampel sedimen dicuplik dari lapisan permukaandasar laut (kira-kira 0-10 cm) kemudian diambil sedimenlapisan atas setebal 1-5 cm, dikomposit dan dimasukkandalam botol 1 L sesuai dengan standar. Sampel sedimendisimpan dalam suhu 4oC dalam keadaan gelap sampaisaat dilakukan pengujian toksisitas (ASTM, 2006).

Prosedur uji toksisitas

Pembuatan larutan toksikan acuan kadmium

Toksikan acuan (reference toxicant) merupakan bahanatau zat yang diketahui dari penelitian sebelumnya untukmendapatkan penjelasan pengaruh pada organisme uji(Rand & Petrocelli, 1985). Uji toksikan acuan toksikandilakukan bersamaan dengan uji toksisitas sedimen. Ujitoksikan acuan digunakan untuk menilai kesehatan dan

58

Page 69: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Gambar 1 . Lokasi penelitian di perairan pesisir Cirebon, Februari 2010.

sensitifitas biota uji yang digunakan. Toksikan standaryang digunakan adalah kadmium. Prosedur pengujiannyamengacu pada Hindarti (1997). Larutan stok kadmiumdisiapkan dengan melarutkan kadmium klorida (CdCl2)ke dalam akuades. Konsentrasi uji disiapkan denganmengencerkan larutan stok kadmium sesuai konsentrasiyang diinginkan Konsentrasi larutan kadmium yangdipakai adalah 0,56; 1.0; 1,8; 3,2; 5,6 mg/L Cd(Puspitasari & Hindarti, 2009). Jadi, ada dua setpengujian yang dilakukan yaitu satu set pengujiankadmium (termasuk kontrol) sebagai toksikan acuanserta satu set pengujian sedimen termasuk kontrol.

Uji Toksisitas Sedimen

Kultur murni C.gracilis berumur 4 hari diperoleh darilaboratorium Marikultur-Puslit Oseanografi LIPI. Sedimenditimbang sebanyak 18 gram kemudian diaduk kira-kira

10 detik dengan 900 ml air laut yang sudah disaringdengan kertas saring ukuran 0,45 μm dan disteril denganautoklaf. Campuran dibiarkan selama 4 jam sampaisedimen mengendap, dan lapisan atas (overlying water)diambil sebanyak 100 ml untuk uji toksisitas sedimendan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml. Larutankontrol sedimen dan kontrol kadmium disiapkan danhanya berisi air laut steril saja. Larutan toksikan acuankadmium disiapkan dengan volume yang sama (100 ml).Kemudian 1 ml larutan kultur C. gracilis dengankepadatan satu juta sel/ml diinokulasikan ke dalamerlenmeyer berisi 100 ml larutan uji, sehingga kepadatansel menjadi 10,000 sel/ml. Masing-masing perlakuanmemiliki 3 ulangan. Lama pemaparan dengan kadmiumdan sedimen adalah 96 jam. Titik akhir pengamatanadalah pertumbuhan (jumlah sel) diatom pada perlakuandibanding dengan kontrol setelah 96 jam yang dihitung

Uji Toksisitas Sedimen Pesisir Cirebon Terhadap Pertumbuhan Diatom Planktonik C. gracilis (Puspitasari, R.)

59

Page 70: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

dengan haemocytometer. Uji dianggap valid apabila jumlahsel pada kontrol mencapai 2 x 105 sel/ml (CPMS-II, 1995).

Nilai Persentase penghambatan/Inhibition (I) danstimulasi (S) dari rata-rata jumlah sel tiap perlakuan (P)dibandingkan dengan rata-rata jumlah sel pada kontrolair laut (K) setelah 96 jam pemaparan dihitungberdasarkan persamaan berikut:

Parameter kualitas air yang dipantau selama ujiadalah oksigen terlarut yang diukur menggunakan DOmeter YSI 55, salinitas menggunakan refraktometer, pHdan suhu menggunakan pH meter Eijkelkamp.

Pengukuran kadar logam berat dalam sedimen

Sampel sedimen dikeringkan di oven pada suhu 105oC+ 24 jam. Sampel kemudian dihaluskan dengan mortarhingga halus dan homogen. Sebanyak satu gram contohsedimen tersebut didestruksi dengan HNO3/HCl (1:3)dalam Erlemeyer yang dipasangi oleh alat refluks dihotplate (USEPA, 1996). Pengukuran konsentrasi logamberat dalam sampel sedimen menggunakan alat atomicabsorption spectrophotometer (AAS) merek VarianAASpectra 20 dengan nyala campuran udara-asetilen.

Analisis statistik

Nilai IC50 (Effective Concentration) Cd terhadap rata-rata jumlah sel diatom C. gracilis dihitung dengan

K – PI = ————— X 100 %

K

P – KS = ————— X 100 %

K

software ICPIN (Norberg-King, 1993). Pengaruh sampelsedimen terhadap C. gracilis di tiap stasiun dibandingkandengan kontrol dianalisa dengan SPSS 17.0

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh sampel sedimen terhadap pertumbuhandiatom C.gracilis.

Nilai IC50 toksikan acuan Cd diperoleh sebesar 2,36mg/L Cd. Nilai ini diperoleh dengan memasukkan datajumlah sel diatom setelah pemaparan 96 jam ke dalamprogram software ICPIN. Nilai ini masih berada dalamkisaran nilai IC50 Cd untuk C. gracilis yang diperoleh daripenelitian rutin di Laboratorium Ekotoksikologi LIPI yaitu1,74 +0,82 mg/L Cd (unpublished data). Nilai IC50 inimenunjukkan bahwa pertumbuhan biota uji dalamkeadaan normal dan prosedur uji telah dilaksanakansesuai dengan prosedur standar.

Uji toksisitas pertumbuhan fitoplankton dianggap validbila jumlah sel pada kontrol negatif setelah 96 jam adalahe” 2 x 105 sel/mL (ASTM, 2006). Mengacu pada kondisitersebut, uji toksisitas sedimen ini valid karena rata-ratajumlah sel C. gracilis pada kontrol uji kadmium adalah8,2 x 105 sel/mL dan pada kontrol uji toksisitas sedimen9,5 x 105 sel/mL. Pengaruh toksikan kadmium terhadaprata-rata jumlah sel diatom disajikan dalam Gambar 2.

Parameter kualitas air larutan uji kadmium yang diukurpada permulaan uji berkisar antara 23,6 - 23,7 oC; 5,63 -6,80 mg/L; 8,12 - 8,20, dan 32 ppt masing-masing untuksuhu, oksigen terlarut, pH dan salinitas (Tabel 1).

Hasil uji toksisitas sedimen terhadap diatom disajikandalam Gambar 3. Berdasarkan data tersebut dapat dilihatbahwa pertumbuhan diatom di tiap stasiun bervariasi.Rata-rata jumlah sel di sebagian besar stasiun lebih tinggidaripada kontrolnya.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

kontrol 0,56 1,0 1,8 3,2 5,6

Konsentrasi kadmium (mg/L)

Jum

lah

sel (

x104 se

l/ml)

Gambar 2. Pengaruh konsentrasi kadmium terhadap rata-rata jumlah sel diatom, C. gracilis.

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

................ (1)

................ (2)

60

Page 71: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Sedangkan efek stimulasi (S) dan penghambatan/Inhibition (I) sedimen pada tiap stasiun terhadappertumbuhan diatom, C. gracilis dapat dilihat dalamGambar 4. Sebagian besar sedimen masih menunjukkanefek stimulasi pertumbuhan dengan maksimum nilai di

stasiun muara sungai (A) sebesar 75,5%. Pada stasiun6, 7 dan 10 dijumpai penghambatan pertumbuhan C.gracilis dengan maksimum nilai di stasiun 7 sebesar 19,3%.

-40

-20

0

20

40

60

80

100

St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 St 8 St 9 St 10 St A

Stasiun

Pers

enta

se (%

)

Gambar 4. Pengaruh sedimen pesisir Cirebon terhadap pertumbuhan diatom, C. gracilis berupa stimulasipertumbuhan atau penghambatan pertumbuhan. Stimulasi dinyatakan dengan nilai positif sedangkanpenghambatan dinyatakan dengan nilai negatif.

Uji Toksisitas Sedimen Pesisir Cirebon Terhadap Pertumbuhan Diatom Planktonik C. gracilis (Puspitasari, R.)

0

50

100

150

200

250

kontrol St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 St 8 St 9 St 10 St A

Stasiun

Jum

lah

sel (

x104 s

el/m

l)

Gambar 3. Perata jumlah sel diatom setelah 96 dipaparkan dengan sedimen pesisir Cirebon.

Tabel 1. Kisaran parameter larutan uji toksikan acuan kadmium

Kons. Oksigen Terlarut pH Suhu Salinitas (mg/L) (mg/L) (°C) (ppt) Kontrol 5,63 8,12 23,6 32

0,56 6,80 8,16 23,6 32 1 6,7 8,19 23,6 32

1.8 6,65 8,19 23,7 32 3,2 6,64 8,19 23,7 32 5,6 6,71 8,20 23,7 32

61

Page 72: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Parameter kualitas air larutan uji sedimen yang diukurpada permulaan uji berkisar antara 23,6-24,2 oC; 5,05-6,59 mg/L; 8,05-8,15 dan 32 ppt, masing-masing untuksuhu, oksigen terlarut, pH dan salinitas (Tabel 2).

Kons. Oksigen Terlarut pH Suhu Salinitas (mg/L) (mg/L) (°C) (ppt) ST A 5,05 8,05 24,0 32 ST 1 6,05 8,07 23,8 32 ST 2 6,43 8,14 23,8 32 ST 3 6,46 8,15 24,1 32 ST 4 6,33 8,12 23,9 32 ST 5 6,25 8,12 24,0 32 ST 6 6,36 8,14 24,0 32 ST 7 6,26 8,12 23,7 32 ST 8 6,12 8,15 24,0 32 ST 9 6,59 8,05 24,2 32 St 10 5,12 8,15 23,8 32

Kontrol 5,63 8,12 23,6 32

Tabel 1. Kisaran parameter larutan uji toksikan acuan kadmium

Sebagian besar stasiun sedimen menunjukkan efekstimulasi pertumbuhan C. gracilis dibanding kontrol,hanya di tiga stasiun (Stasiun 6, 7 dan 10) menunjukkanefek penghambatan yang relatif kecil masih dibawah50%. Walaupun tampak stimulasi pertumbuhan yangditandai dengan meningkatnya jumlah sel C. gracilisdibanding kontrol, tetapi setelah dianalisa dengan ANOVA,diperoleh hasil bahwa tidak ada beda nyata rata-ratajumlah sel antara perlakuan sedimen dengan kontrol airlaut (p>0,05) setelah 96 jam pemaparan. Walaupundemikian, peningkatan jumlah sel di sebagian besarstasiun sedimen, dapat menjadi indikator bahwa sedimenmasih dalam kondisi baik. Kondisi sedimen dapat

Gambar 5. Kadar logam kadmium dalam sedimen pesisir Cirebon, Februari 2010

Bulan Februari merupakan musim Barat, dimana padabulan ini masih dijumpai hujan sehingga aliran nutriendari daratan yang masuk ke dalam perairan pesisir cukuptinggi. Data Dinas Kelautan Perikanan dan PertanianCirebon menyebutkan bahwa pada Februari 2006-2008,curah hujan di daerah Cirebon mencapai 171-533 mm(Anonim, 2008). Nutrien ini dapat terendap ke dasarperairan dan mempengaruhi kualitas sedimen setempat.Nutrien ini akan memperkaya zat hara dalam sedimensehingga memicu pertumbuhan diatom setempat. Halini sesuai dengan pernyataan Kunarso et al. (2008) bahwaperairan pesisir konsentrasi nutriennya lebih tinggidaripada di laut karena mendapat masukan dari aktivitas

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

dikatakan seragam dilihat dari tidak adanya beda yangsignifikan pada jumlah sel C. gracilis.

62

Page 73: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

daratan melalui aliran sungai maupun air limpasan (runoff). Adanya pasokan air yang berasal dari hujan akanmemperkaya nutrien di lokasi setempat serta dapatmengencerkan konsentrasi toksikan yang mengalir keperairan. Hal ini menjadi alasan sehingga pertumbuhandiatom cenderung meningkat dibandingkan kontrol. Padabeberapa stasiun seperti stasiun 6, 7 dan 10 dijumpaiefek penghambatan pertumbuhan yang kecil (<50%),yaitu adanya penurunan jumlah sel C. gracilisdibandingkan dengan kontrolnya. Hal ini disebabkanadanya limpasan yang dibawa arus dari daratan. Namun,secara umum sedimen perairan Cirebon menunjukkanefek stimulasi terhadap pertumbuhan diatom ditandaidengan peningkatan jumlah sel C. gracilis di sebagianbesar stasiun.

Menurut Anonim (2010), hasil pengukuran logam beratdalam sedimen menunjukkan bahwa konsentrasikadmium sudah melewati ambang batas yang ditetapkanCCME (2002) sebesar 0,7 mg/kg Cd. Indonesia sendiribelum memiliki baku mutu sedimen, oleh karena itu biladipakai baku mutu dari Canadian Council of Ministers ofthe Environment, konsentrasi kadmium di beberapastasiun (Stasiun 4, 9, 10 dan A) sudah melewati ambangbatas (Gambar 5).

Walaupun kadar kadmium sudah melewati ambangbatas dari CCME, namun respon diatom secara umummasih menunjukkan stimulasi pertumbuhan. SedimenCirebon masih mengandung unsur nutrien yangdibutuhkan untuk pertumbuhan diatom sehinggadikategorikan masih dalam kondisi baik. Sifat hidup dariC. gracilis yang planktonik atau melayang di kolom airjuga turut berpengaruh. Sedimen dasar diduga tidakmengalami pengadukan yang cukup kuat oleh arussehingga partikel-partikel logam berat tidak terlepas kekolom air. Akibatnya walaupun logam berat kadmiumterukur tinggi dalam sedimen di beberapa stasiun namuntidak mempengaruhi secara nyata terhadap pertumbuhandiatom.

KESIMPULAN

Dari hasil uji toksisitas sedimen yang telah dilakukanmenunjukkan bahwa sedimen pesisir Cirebon secaraumum masih menstimulasi pertumbuhan diatomplanktonik C. gracilis ditandai dengan peningkatan rata-rata jumlah sel C. gracilis dibandingkan dengan kontrolair laut setelah 96 jam pemaparan dengan sedimen. Halini menunjukkan sedimen pesisir Cirebon masih dalamkondisi baik dan mendukung pertumbuhan diatomplanktonik C. gracilis.

PERSANTUNAN

Penelitian ini didanai oleh anggaran APBN PusatPenelitian Oseanografi LIPI tahun anggaran 2010. Ucapanterimakasih diucapkan kepada teman-teman peneliti danteknisi yang telah membantu dalam pengambilan sampeldilapangan, pengujian sampel di laboratorium sampaipenulisan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKAAunurohim, D. Saptarini & D. Yanthi. 2008. Fitoplankton

penyebab harmful Algae blooms (HABs) di PerairanSidoarjo. Surabaya Institut Teknologi SepuluhNovember.

Anonim. 2010. Polutan Antropogenik dan Toksisitasnyadi Perairan Estuari Sukalila, Cirebon. Laporan AkhirPusat Penelitian Oseanografi. Jakarta.

Anonim. 2008. Profil Kota Cirebon 2008. BadanPerencanaan Pembangunan Daerah dan Badan PusatStatistik kota Cirebon.1-189

ASTM. 2006. Standard Guide for Conducting Static 96-hToxicity Testing with Marine Algae method E 12 18-19 in : Annual Book of Standards. Vol. 11.06 BiologicalEffects and Environmental Fate; Biotechnology; Waterand Environmental Technology. ASTM International,West Conshohocken, PA. pp 58-78

Berard, A. 1996. Effect of Organic Four Solvents onNatural Phytoplankton Assemblages: Consequencesfor Ecotoxicological Experiments on Herbicides”. Bull.Environ. Contam. Toxicol. 57: 183–190.

CCME. 2002. Sediment Quality Guidelines. CanadianEnvironmental Quality Guidelines. 2 pp.

Campanella, L., F. Cubadda, M. P. Sammartino & A.Saoncella.2000. An Algal Biosensor for the Monitoringof Water Toxicity in Estuarine Environments. WaterRes. 25: 69–76.

CPMS-II 1995. Draft Protocol for Sub lethal Toxicity TestsUsing Tropical Marine Organisms. ASEAN-CanadaCooperative Programme on Marine Science – PhaseII. Regional Workshop on Chronic Toxicity Testing,Burapha University, Institute of Marine Science,Thailand.

Dahuri, R. J. Rais, S.P. Ginting & M.J. Sitepu.1998.Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan LautanSecara Terpadu. Pradya Paramita. Jakarta.1996

Luoma, S. N & K.T. Ho.1993. Approriate Uses of Marineand Estuarine Sediment Bioassays. In : Handbook

Uji Toksisitas Sedimen Pesisir Cirebon Terhadap Pertumbuhan Diatom Planktonik C. gracilis (Puspitasari, R.)

63

Page 74: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

of Ecotoxicology Vol.1. P. Calow (Ed.).OxfordBlackwell Sci.Publ., London.(1993):193-226.

Hindarti, D. 1997. Metode Uji toksisitas Dalam : MetodeAnalisis Air Laut, Sedimen dan Biota. Buku 2. PusatPenelitian dan Pengembangan Oseanologi : 160-168.

Hindarti D.,Y.Darmayati, Sulistijo & M.G.L.Panggabean.1999. Effect of Jakarta Bay Sediment on GreenMussel Larvae (Perna viridis) and Phytoplankton(Chaetoceros gracilis and Tetraselmis sp) In:Proceedings of the Fourth ASEAN-Canada TechnicalConference on Marine Sciences. EVS EnvironmentsConsultants, Langkawi Malaysia. pp 124-13.

Hindarti, D. 2008. Uji Toksisitas Sedimen Dengan DiatomPlanktonik, Chaetoceros gracilis. Oseanologi danLimnologi di Indonesia 34 (3) : 461-478.

Hindarti, D., Z. Arifin, R. Puspitasari & E.Rochyatun.2008. Sediment contaminants and theirtoxicity in Kelabat Bay, Bangka Belitung Province,Indonesia. Mar. Res. in Indonesia. 33 (1) :203-212.

Isnansetyo & Kurniatuty.1995. Teknik KulturPhytoplankton dan Zooplankton. Yogyakarta. PenerbitKanisius.

Kunarso, D.H.,Y.Darmayati & R. Nuchsin. 2008. Kajianbakteri produktivity di estuari Cisadane. EkosistemEstuari Cisadane. LIPI :27-38.

Norberg-King, T.J. 1993. A Linear Interpolation Methodfor Sublethal Toxicity: The Inhibition Concentration(Icp) Approach (version 2.0). U.S. EnvironmentalProtection Agency, Environmental ResearchLaboratory, Duluth, M.N. Tech. Report 03-93 of theNational Effluent Toxicity Assessment Center.30 pp.

Panggabean, L. M. G.1997. Toxicity of HexavalentChromium and Cadmium to Green Mussels (Pernaviridis) Embryo. Pp X-38-43. In : Vigers, G. A,K.S.Ong,C. McPherson, N. Millson,I. Watson and A. Tang(eds.).ASEAN Marine Environmental Management :Quality Criteria and Monitoring for Aquatic Life andHuman Health Protection. Proceedings of the ASEAN– Canada Technical Conference on Marine Science(24-28 June 1996), Penang, Malaysia. EVSEnvironment Consultants, North Vancouver andDepartment of Fisheries Malaysia .817 pp.

Puspitasari, R. & D. Hindarti. 2009. Korelasi AntaraLogam Berat Dalam Sedimen dan ToksisitasnyaTerhadap Diatom, Chaetoceros gracilis. Oseanologidan Limnologi di Indonesia Volume 35 Nomor 2. 131-149.

Rand, G. M. & S. R. Petrocelli.1985.Fundamentals ofAquatic Toxicology: Methods and Applications. NewYork: Hemisphere Pub. Corp.1985.

USEPA. 1996.Test Methods for Evaluating Solid WasteSW-846 Methods 3050B

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

64

Page 75: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

ABSTRAK

Perkembangan sektor industri yang relatif cepat di berbagai negara menyebabkan peningkatkankonsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, sehingga berkontribusi terhadap perubahan iklim global.Salah satu upaya mitigasi perubahan iklim adalah pemeliharaan dan pengembangan ekosistem lautdan pesisir sebagai penyerap dan penyimpan karbon. Sebuah penelitian dilakukan terhadap cadangankarbon pada komunitas lamun di Pulau Pari, Jakarta. Data diperoleh secara acak di sepanjang pesisirpantai dengan menggunakan plot berukuran 0,25 m2 untuk struktur komunitas dan 0,0625 m2 untukmenentukan biomassa. Sementara itu, kandungan karbon pada lamun dianalisis dengan menggunakanmetode Kurmies. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pesisir Pulau Pari dibentuk oleh komunitaslamun Enhaluss-Thalassia. Rerata cadangan karbon pada komunitas lamun di Pulau Pari adalah 200,5g C m-2 atau 2,005 Mg C ha-1 atau setara 2,005 ton C ha-1, sedangkan total cadangan karbonnyaadalah 67,21 Mg C (67,21 ton C). Informasi tersebut dapat dijadikan sebagai acuan dasar dalamstrategi mitigasi dan adaptasi lamun terhadap perubahan iklim.

.Kata Kunci: Lamun, Cadangan karbon, Pulau Pari, Kepulauan Seribu

ABSTRACT

The rapid development of industrial sector in many countries has caused the increasing of greenhousegases emission in the atmosphere that contributes to global climate change. One of aspect of climatechange mitigation is maintaining and improving the ability of ocean and coastal area ecosystems ascarbon sequester and carbon storage. A study was conducted on carbon stock of seagrass communityat Pari Island, Jakarta. Data were colected randomly along the coastal area using plots measuring of0.0625 m2 for biomass and 0.25 m2 for community structure. Whilst carbon content of seagrasses wasanalysed using Kurmies method. Results show that Pari Coastal Island was formed by Enhaluss-Thalassia community. The average of carbon stock of seagrass community at Pari Island was 200.5 gC m-2 or 2.005 Mg C ha-1 equivalence of 2.005 tons ha-1, mean while the total carbon stock was 67.21Mg C (67.21 tons C). This information could be used as a basic information on the mitigation andadaptation to climate change.

Keywords: Seagrass, Carbon stock, Pari Island, Seribu Islands

Estimasi Cadangan Karbon pada Komunitas Lamun di Pulau Pari.........(Rahmawati, S.)

ESTIMASI CADANGAN KARBON PADA KOMUNITAS LAMUN DI PULAU PARI, TAMANNASIONAL KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

65

Susi Rahmawati1)

1) Peneliti pada Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI

Diterima tanggal: 28 April 2011; Diterima setelah perbaikan: 12 Juni 2011; Disetujui terbit tanggal 27 Juli 2011

Korespondensi Penulis:Jl. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta. E-mail: [email protected]

Page 76: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

PENDAHULUAN

Pertumbuhan sektor industri dan ekonomi di berbagainegara yang relatif cepat menyebabkan peningkatanemisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2) danCH4 di atmosfer. Akibatnya peningkatan tersebutberkontribusi dalam perubahan iklim dan berdampak padaperubahan pola cuaca, produksi makanan, sertakehidupan manusia (Nellemann et al., 2009). Faktamengenai emisi CO2 dapat dilihat pada hasil penelitianYusratika et al. (Tanpa tahun) dalam bidang transportasidi Jakarta pada tahun 2006, 2007, dan 2008.

Salah satu upaya mitigasi yang dilakukan untukmengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer adalahmemelihara dan mengembangkan kemampuan hutan danlautan untuk menyerap dan menyimpan karbon.Pemanfaatan hutan dalam upaya mitigasi tersebut sudahbanyak diimplementasikan, sedangkan penerapan peranlautan belum terlihat secara signifikan (Nellemann et al.,2009).

Lautan memiliki peranan yang penting dalam sikluskarbon secara global. Sekitar 93% CO2 di bumidisirkulasikan dan disimpan melalui lautan. Laut,termasuk ekosistem pesisir pantai, dapat menyimpankarbon dalam jumlah yang banyak dan dalam jangkawaktu yang relatif lama. Ekosistem pesisir pantai sepertiekosistem mangrove, rawa masin (salt marshes), danpadang lamun memiliki luas area yang relatif kecildibandingkan luas lautan (<0,5%) dan ekosistemterestrial lainnya. Namun, ekosistem tersebut memilikikemampuan menyerap dan menyimpan karbon dengankapasitas penyimpanan mencapai lebih dari 50% totalpenyimpanan karbon di dalam sedimen laut dan jugamemiliki produksi primer bersih (net primary production/NPP) yang cukup signifikan dibandingkan ekosistemlainnya (Larkum et al., 2006). Selain itu, biomassavegetasi pesisir yang bernilai sekitar 0,05% dibandingkanbiomassa tumbuhan di daratan mampu menyimpankarbon dengan jumlah yang sebanding setiap tahunnya(Nellemann et. al., 2009). Dengan demikian, lautanmemiliki kemampuan yang cukup tinggi dalam mengikatdan menyimpan CO2 di atmosfer.

Padang lamun, salah satu komunitas penyusunekosistem pesisir pantai, memiliki fungsi ekologis danbernilai ekonomi, juga merupakan habitat denganbiodiversitas biota laut yang tinggi. Fungsi ekologisekosistem lamun antara lain sebagai tempat pembenihanberbagai jenis ikan, tempat berbagai biota laut mencarimakan, menghubungkan habitat darat dan habitat lautlainnya, dan menstabilkan sedimen untuk mencegah erosipesisir pantai, dll. (Green & Short, 2003; Kennedy &Björk, 2009). Padang lamun juga memiliki fungsi utama

yang dapat dipertimbangkan yaitu sebagai penyimpankarbon (Kennedy & Björk, 2009).

Waktu pergantian komponen lamun yang relatif lama,terutama pada jenis lamun yang berukuran besar, dankemampuan lamun menyimpan kelebihan produksikarbon di dalam sedimen, serta kemampuan akumulasijangka panjang yang relatif besar menjadikan peranpadang lamun dalam menyimpan cadangan karbon(carbon stock) lebih signifikan dibandingkan pengukuranberdasarkan luas tutupan dan produksi primer bersih saja.Dengan demikian, padang lamun dapat berperan sebagaireservoir karbon (carbon sink) (Kennedy & Björk, 2009;Mateo et al., 1997).

Informasi mengenai kemampuan lamun sebagaipenyimpan cadangan karbon tersebut masih terbatas,terutama di Indonesia, sehingga penelitian mengenaipengukuran cadangan karbon pada lamun perludilakukan. Selain itu, wilayah pesisir Indonesia denganluas area padang lamun sekitar 30.000 km2, terluaskedua di dunia setelah Australia Timur (Green & Short,2003), kemungkinan memiliki kapasitas yang cukupbesar dalam meyimpan CO2. Oleh karena itu, penelitianini bertujuan mengestimasi nilai cadangan karbon yangterkandung pada komunitas lamun di Pulau Pari, TamanNasional Kepulauan Seribu, Jakarta.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di rataan terumbu pantai PulauPari (Gambar 1), Taman Nasional Kepulauan Seribu,Jakarta. Pencuplikan sampel dilakukan pada Juni 2010.Pendugaan cadangan karbon pada padang lamundilakukan dengan menggunakan metode random kuadrat.Pencuplikan sampel dilakukan pada dua lokasi yaituPantai Selatan (lokasi 1) dan Pantai Barat (lokasi 2) PulauPari (Gambar 1). Pantai Selatan memiliki vegetasicampuran, sedangkan Pantai Barat bervegetasi sejenis(Enhalus acoroides). Parameter-parameter yang diukuryaitu penutupan, biomassa, dan kandungan karbon padasetiap jenis lamun.

a) Penutupan lamun

Pengukuran penutupan lamun dilakukan denganmetode estimasi secara visual pada kuadratberukuran 0,25 m2 (Short et al., 2004). Perkiraanpenutupan dilakukan terhadap penutupan total danmasing-masing jenis.

b) Perhitungan Biomassa

Perhitungan biomassa dilakukan pada setiap bagiantumbuhan lamun yang berbeda yaitu bagian above-

66

Page 77: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

ground (Abg) meliputi taruk (daun dan pelepah daun)dan bunga, dan bagian below-ground (Blg) meliputiakar dan rhizome (Kaldy & Dunton, 2000). Sampelbiomassa dicuplik pada kuadrat berukuran 0,0625 m2

(Short & Coles, 2001). Selanjutnya sampeldikeringkan pada temperatur 60°C sampai beratnyakonstan sehingga diperoleh bobot kering (BK) (Shortet. al., 2004).

a) Kandungan karbon

Kandungan karbon didefinisikan sebagai jumlahkarbon yang terdapat di dalam setiap jenis lamun.Perhitungan kandungan karbon (%) pada setiap jenislamun (Abg dan Blg) dilakukan dengan metodeKurmies terhadap biomassa kering lamun. Pengujiandilakukan di Laboratorium Tanah, Balai PenelitianTanaman dan Sayuran, Kabupaten Bandung.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian di Pulau Pari.

1 2

b) Perhitungan cadangan karbon

Cadangan karbon ditentukan dengan mengalikanbiomassa dengan nilai kandungan karbon pada setiapjenis.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rataan terumbu pantai Pulau Pari memiliki lamundengan komunitas pembentuk Enhalus-Thalassia.Penutupan rata-rata lamun pada Pantai Selatan dan

Pantai Barat masing-masing adalah 22,86% dan 23,17%.Komposisi jenis lamun yang tercatat pada setiap lokasipenelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

Berdasarkan pada hasil penelitian, nilai biomassa dancadangan karbon dapat dilihat dalam Tabel 3. Nilaicadangan karbon rata-rata lamun adalah 200,5 g C m-2

atau 2,005 Mg C ha-1, dengan cadangan pada Abg danBlg masing-masing 79,2 g C m-2 dan 120,8 g C m-2. Nilaicadangan karbon pada lamun di Pulau Pari tidak berbedajauh dibandingkan dengan nilai karbon padang lamunmenurut Kennedy & Björk (2009) yaitu 184 g C m-2 (Tabel4).

Menurut Duarte & Chiscano (1999) rerata biomassalamun adalah 461 g BK m-2 (Tabel 5), sedangkan nilaibiomassa rata-rata lamun di Pulau Pari adalah 486 g BK

m-2 relatif tidak jauh berbeda. Perbedaan nilai biomassadan cadangan karbon antara literatur dan hasil penelitianini dapat disebabkan oleh kadar nutrisi lingkungan habitatlamun yang berbeda. Variabilitas kandungan nutrisidihasilkan dari perbedaan dalam satu jenis dan antar jenislamun (Duarte, 1990).

Nilai cadangan karbon ditentukan oleh biomassa dannilai kandungan karbon setiap jenisnya. Dari kedualokasi, nilai cadangan karbon terbesar terdapat padalokasi kedua yaitu Pantai Barat Pulau Pari dengan

Estimasi Cadangan Karbon pada Komunitas Lamun di Pulau Pari.........(Rahmawati, S.)

67

Page 78: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Lokasi Penelitian

Pantai Barat

Enhalus acoroides

Jenis Lamun

Thlassia hemprichii Enhalus acoroides Cymodocea rotundata Halophila ovalis Halodule uninervis Cymodocea serrulata

Pantai Selatan

Gambar 2. Jenis lamun yang tercatat pada setiap lokasi penelitian di Pulau Pari.

Biomassa (g BK m-2)

Cadangan Karbon (g C m-2) Lokasi

Abg Blg Abg Blg Tipe vegetasi

1 Pantai Selatan 182,7

99,9 68,9 33,9 Campuran

2 Pantai Utara 224,8 464,7 90,5 207,7 Sejenis Rerata 203,7 282,3 79,2 120,8

486 200,5 Keterangan: C = carbon BK = bobot kering

Tabel 3. Biomassa dan cadangan karbon pada komunitas lamun di Pulau Pari.

Tabel 4. Perbandingan cadangan karbon berdasarkan satuan luas pada ekosistem terestrial dan padanglamun (Kennedy & Björk, 2009).

Standing stock (g C m-2) Ekosistem

NPP (g C m-2

th-1) Plant Soil Hutan tropis 778 12.045 12,273 Hutan Subtropis 625 5.673 9,615 Hutan boreal 234 6.423 34,380 Savana tropis dan

padang rumput 787 2.933 11,733

Padang rumput subtropis dan padang semak

424 720 23,600

Padang pasir dan semi padang pasir

31 176 4,198

Tundra 105 632 12,737 Lahan pertanian 425 188 8,000 Lahan basah 1.229 4.286 72,857 Padang lamun (Posidonia oceanica)

400-817 (60-184a)

184 (124b)

7.000c (40.000-

160.000d) a. Pergent et al. (1994), b. Romero et al. (1992), c. Dihitung menggunakan konsentrasi karbon0,7 % BK, porositas 80%, dan dry solid density 2,5 g cm-2, d. Mateo et al. (1997).

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

68

Page 79: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Komunitas Biomassa (g BK m-2)

NPP (g DW m-2 per hari)

Referensi

Hutan Tropis 45000 5,2 Whittaker (1975) Subtropis 35000 3,4 Whittaker (1975) Boreal 20000 2,2 Whittaker (1975)

Padang rumput Savana 4000 2,4 Whittaker (1975) Subtropis 1600 1,6 Whittaker (1975)

Tundra dan alpine 600 0,4 Whittaker (1975) Rawa dan marshes 15000 5,5 Whittaker (1975) Lahan kultivasi 1000 1,8 Whittaker (1975) Fitoplankton 9,2 0,35 Cebriàn dan Duarte (1994) Microfitoplankton 0,13 Charpy-Roubaud & Sournia

(1990) Terumbu karang 2000 0,8 B = Whittaker (1975)

P = Crossland et al. (1991) Makroalga 40,7 1,0 B = Cebriàn & Duarte (1994)

P = Charpy-Roubaud & Sournia (1990)

Marsh plant 767 3,0 B = Cebriàn & Duarte (1994) P = Woodwell et al. (1973)

Mangrove 2,7 P = (Lugo et al. (1988) Lamun 461 2,7 Duare & Chiscano (1999)

Tabel 5. Rata-rata biomasa dan produksi primer bersih pada komunitas tumbuhan yang berbeda (Duarte& Chiscano, 1999).

cadangan karbon sebesar 298,2 g C m-2. Pantai Baratmerupakan lamun bervegetasi sejenis, E. acorides, yangmemiliki rerata nilai biomassa relatif lebih besardibandingkan Pantai Selatan (Tabel 3). Selain biomassa,nilai kandungan karbon E. acoroides, sekitar 40% BK,juga relatif lebih besar dibandingkan jenis lain yangtercatat dalam penelitian (Gambar 3), sehinggamemungkinkan vegetasi tersebut memiliki cadangankarbon yang lebih besar. Nilai kandungan karbon padaE. acoroides sesuai dengan hasil telaah Duarte (1990)pada lamun yaitu berkisar antara 36-41% BK.

Gambar 3. Penelitian Perbandingan kandungan karbon pada setiap jenis lamun yang tercatat.

Perbedaan nilai cadangan karbon pada dua lokasipenelitian juga didukung oleh komposisi jenis lamun yangberbeda (Gambar 2). Menurut Kennedy & Björk (2009),jenis lamun yang besar memiliki kapasitas yang lebihbesar untuk mengakumulasi karbon dikarenakanpergantian akar dan rimpang yang relatif lambat sehinggavegetasi sejenis E. acoroides di Pantai Barat cenderungmemiliki cadangan karbon lebih besar dibandingkanvegetasi campuran di Pantai Selatan. Menurut Gattuso(1998), kecepatan dan keberhasilan penyerapan karbonberbeda-beda di antara dan di dalam jenis lamun,

Estimasi Cadangan Karbon pada Komunitas Lamun di Pulau Pari.........(Rahmawati, S.)

69

Page 80: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

tergantung pada seluruh rangkaian proses alami termasukaktivitas herbivora, ekspor nutrisi dan dekomposisi.

Cadangan karbon pada setiap jenis ditentukan olehbiomassa dan kandungan karbonnya. Kandungan karbonyang terbesar terdapat pada jenis C. rotundata yaitusebesar 41,6% BK pada bagian Blg dan 40,3% BK padabagian Abg. Namun, menurut Duarte & Chiscano (1999)jenis ini pada umumnya memiliki biomassa yang relatifkecil jika dibandingkan E. acoroides (Tabel 6) sehinggacadangan karbonnya relatif kecil. Nilai kandungan karbonterkecil terdapat pada jenis H. ovalis, masing-masing18,9% dan 25,2% BK pada Blg dan Abg. Sementara itu,jenis lamun lainnya memiliki kandungan karbon berkisarantara 30-40 % BK.

Hasil penelitian mengenai kandungan karbon memilikinilai yang relatif sama dengan hasil telaah Duarte (1990).Menurutnya, kandungan karbon rata-rata pada daun lamunadalah sebesar 33,6±0,31% BK. Nilai tersebutdisimpulkan dari 21 jenis lamun dengan kisaran nilaikandungan karbon yang berbeda-beda setiap jenisnya.

Setiap jenis lamun memiliki kandungan karbon danbiomassa yang berbeda-beda. Halophila sp. memilikikandungan karbon yang kecil diduga karena jenis inimerupakan jenis lamun perintis (pioneering species),dengan ekspansi vegetatif dan produksi taruk baru yangrelatif cepat, namun penyimpanan karbon yang relatifsedikit. Sedangkan, jenis lamun klimaks (climax species)memiliki penyebaran yang lambat, namun menyimpankarbon yang relatif besar, pada umumnya jenis lamunyang berukuran besar seperti Thallasia spp. danPosidonia oceanica (Björk et al., 2008). Hal ini jugamendukung hasil penelitian yang menunjukkan bahwaPantai Selatan dengan komposisi jenis lamun yangberagam memiliki nilai cadangan karbon yang lebih kecildibandingkan Pantai Barat Pulau Pari yang terdiri darivegetasi sejenis E. acoroides yang berukuran besar.Menurut data Citra Aster tahun 2005, luas padang lamundi Pulau Pari adalah 32,706 ha (Supriyadi, komunikasilangsung). Total cadangan karbon dapat ditentukan darinilai cadangan karbon rata-rata yang diperoleh dan luas

Biomassa (g BK m-2) Jenis Lamun Abg Blg Cymodocea rotundata 33,2 62,5 Cymodocea serrulata 69,7 37,9 Halodule uninervis 27 60,8 Halophila ovalis 54,8 21,1 Thalassia hemprichii 86,9 209,9 Enhalus acoroides 72 392,4

Tabel 6. Rata-rata biomassa maksimum, pada Abg dan Blg, pada jenis lamun yang berbeda (Duarte &Chiscano, 1999)

lamun pada rataan terumbu Pulau Pari yang sudahdiketahui. Total cadangan karbon pada ekosistem lamundi Puau Pari adalah 67,21 Mg C. Jumlah CO2 yangdiserap juga dapat dihitung melalui konversi nilaicadangan karbon dengan menggunakan persamaanberikut:

C = 44/12 CO2 (Nellemann, 2009)

Nilai CO2 yang diserap oleh lamun di rataan terumbuPulau Pari adalah sekitar 18,31 Mg CO2-.

Estimasi cadangan karbon juga dilakukan di PerairanBarat, Pulau Belitung dengan rata-rata cadangan karbonpada lamun sebesar 0,54 Mg Ha-1 (Rahmawati, 2010).Tiga lokasi pencuplikan sampel memiliki komunitaspembentuk Enhalus-Thalassia dengan vegetasi lamuncampuran. Pulau Pari, apabila dibandingkan dengankomunitas lamun di Perairan Barat Pulau Belitung,memiliki cadangan karbon (Ha-1) yang lebih besar.Perbedaan ini bergantung terhadap jenis lamun dankondisi lingkungan (interaksi dalam ekosistem lamun)seperti pendapat Gattuso (1998).

Data yang diperoleh dari penelitian dapat dijadikansebagai basis data untuk mengetahui potensi padanglamun sebagai penyimpan CO2 di Indonesia dan sebagaisalah satu upaya mitigasi dan adaptasi terhadapperubahan iklim. Selain itu, kondisi dan kontribusi padanglamun dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalamupaya konservasi terhadap keberlanjutan ekosistemlamun di Pulau Pari.

KESIMPULAN DAN SARAN

Padang lamun di rataan terumbu pantai Pulau Pari,Taman Nasional Kepulauan Seribu, Jakarta didugamengandung cadangan karbon sebesar 67,21 Mg C atau2,005 Mg C ha-1. Adapun penelitian lanjutan dapatdilakukan dalam hal pengukuran karbon yang dilepaskan

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

70

Page 81: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

dari komunitas tersebut dan kemampuan penyerapankarbon dalam satuan waktu oleh setiap jenis lamun diPulau Pari.

PERSANTUNAN

Penulis mengucapkan terima kasih kepada BapakYaya Ihya Ulumudin atas gambar Peta Pulau Pari danBapak Indarto Happy Supriyadi atas data sekunder yangdiberikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikankepada Bapak Mumuh, Onny Nurahman, dan Hadiyantoatas kerja sama dan bantuannya saat pengambilandata di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Björk M., F. Short, E. McLeod & S. Beer, 2008, ManagingSeagrasses for Resilience to Climate Change, IUCN,Gland.

Duarte, C. M. 1990, Seagrass Nutrient Content, MarineEcology Progress Series, 67, 201-207.

Duarte, C. M. & C. L. Chiscano, 1999, Biomass andProduction: A Reassessment, Aquatic botany, 65,159-174.

Duarte, C. M., J. J. Middelburg & N. Caracao, 2005, Majorrole of marine Vegetation on The Oceanic CarbonCycle, Biogeosciencea, 2, 1-8.

Gattuso, J. P., M. Frankignoulle & R. Wollast, 1998,Carbon and Carbonate Metabolism in Coastal AquaticEcosystems, Annual Review of Ecology, Evolutionand Systematic, 29, 405-34.

Green, E. P. & F. T. Short, 2003, World Atlas ofSeagrasses, University of California Press.

Kaldy, J. E. & K. H. Dunton, 2000, Above- and below-ground production, biomass and reproductive ecologyof Thalassia testudinum (turtle grass) in a subtropicalcoastal lagoon, Marine Ecology Progress Series, 193,271-283.

Kennedy, H. & M. Björk, 2009, Seagrass Meadows, In:Laffoley, D. d’A. & Grimsditch, G., (eds), 2009, Themanagement of natural coastal carbon sinks, IUCN,Gland.

Larkum, A. W. D.; R. J. Orth & C. M. Duarte, 2006,Seagrasses: Biology, Ecology, and Conservation,Spinger.

Estimasi Cadangan Karbon pada Komunitas Lamun di Pulau Pari.........(Rahmawati, S.)

71

Mateo, M. A., J. Romero, M. Pérez, M. M. Littler & D. S.Littler, 1997, Dynamics of Millenary OrganicDeposits Resulting from the Growth of theMediterranean Seagrass Posidonia oceanica,Estuarine, Coastal and Shelf Science, 44, 103-110.

Nellemann, C., E. Corcorn, C. M. Duarte, L. Valdés, C.DeYoung, L. Fonseca & G. Grimsditch, 2009, BlueCarbon : A Rapid Response Assessment. UnitedNations Environment Programme, BirkelandTrykkeri AS.

Rahmawati, S. 2010, Estimasi Cadangan KarbonKomunitas Padang Lamun di Perairan Barat PulauBelitung, Provinsi Bangka Belitung, Belumdipublikasi.

Short, F. T. & R. G. Coles, 2001, Global SeagrassResearch Method, Elsevier.

Short, F. T., L. J. Mckenzie, R. G. Coles & J. L. Gaeckle,2004, SeagrassNet Manual for Scientific Monitoringof Seagrass Habitat – Western Pasific Edition,University of New Hampshire, USA; QDPI, NorthernFisheries Centre.

Yusratika, N., P. Lestari & I. Uttari, tanpa tahun, InventoriEmisi Gas Rumah Kaca (CO2 dan CH4) dari SektorTransportasi di DKI Jakarta BerdasarkanKonsumsi Bahan Bakar, Fakultas Teknik Sipil danLingkungan, Institut Teknologi Bandung.

Page 82: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

KETENTUAN CARA PENGIRIMAN NASKAH UNTUK JURNAL SEGARA

Jenis NaskahJenis Naskah yang dapat dimuat di Jurnal Segara adalah :

• Naskah hasil penelitian maupun kajian konseptual yang berkaitan dengan Kelautan Indonesia yang dilakukanoleh para peneliti, akademisi, mahasiswa, maupun pemerhati permasalahan kelautan baik dari dalam danluar negeri.

• Naskah yang berisikan hasil-hasil penelitian di bidang pengembangan ilmu oseanografi, akustik daninstrumentasi kelautan, inderaja, kewilayahan, sumberdaya nonhayati, energi, arkeologi bawah air danlingkungan.

Bentuk NaskahNaskah tulisan dapat dikirim dalam bentuk :

• Naskah tercetak di atas kertas A4, dengan jumlah halaman 10 – 15 halaman. Ditulis dengan menggunakanaplikasi MS.Word dengan spasi ganda, jenis font Arial, ukuran huruf 10.

• Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, dengan ketentuan, bila naskah ditulisdalam bahasa Indonesia, maka abstrak harus ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Bilanaskah ditulis dalam bahasa Inggris, abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.

• Abstrak merupakan ringkasan penelitian dan tidak lebih dari 250 kata. Kata kunci (3-5 kata) harus ada danmengacu pada Agrovoca.

• Materi naskah disusun mengikuti kaidah umum dan tidak mengikat, namun harus berisikan latar belakangmasalah yang membahas hasil penelitian terdahulu, teori singkat yang mendukung, metode yang digunakan,analisis, dan kesimpulan.

• Apabila terdapat istilah asing maka istilah tersebut perlu ditulis dengan abjad miring (Italic). Gambar (fotoilustrasi, grafik, statistik) dan tabel.

• Judul tabel ditulis di atas tabel.• Apabila terdapat gambar berupa grafik, statistik, peta atau foto, maka judul dari gambar tersebut harus

ditulis dibawah.• Kesimpulan disajikan secara singkat dengan mempertimbangkan judul naskah, maksud dan tujuan, serta

hasil penelitian.Referensi

• Referensi dari Jurnal lain ditulis seperti :Nama, Tahun, “judul Makalah”, Nama jurnal, Volume, Nomor, halaman.

• Referensi dari buku ditulis seperti: Nama, Tahun, “Judul Buku”, Penerbit.• Gelar dari nama penulis tidak perlu dicantumkan.• Pengutipan sumber tertulis tercetak mengikuti sistem Harvard, yaitu menuliskannya di antara tanda kurung

nama (belakang) penulisan yang diacu, titik dua, & halaman acuan yang dikutip, setelah akhir kalimatkutipan pada batang tubuh karangan, contoh seperti di bawah ini :.......(Gordon,et al.2003:12).......(Holt, 1967 : 11)

Metode Penilaian dan Pengiriman Naskah• Redaksi tidak membatasi waktu pengiriman makalah, semua makalah akan dinilai oleh editor/penyunting

ahli dengan format penilaian yang telah ditetapkan oleh dewan editor. Hasil penilaian dari editor/penyuntingahli akan diolah oleh dewan editor dan dikembalikan ke penulis untuk diperbaiki kembali.

• Agar makalah dapat dimuat, penulis diharapkan dapat menyerahkan makalah yang telah direvisi sebelumtanggal yang ditentukan.

• Makalah di atas dapat langsung dikirim dalam bentuk file dan print out ke Redaksi Jurnal Segara yangbertempat di kantor Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Penelitiandan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dengan alamat : JalanPasir Putih 1 Ancol Timur Jakarta utara 14430 atau kirim ke alamat e-mail : [email protected].

Page 83: Jurnal Segara Volume 7 Edisi 1 2011

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan PesisirBadan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan

Kementerian Kelautan dan Perikanan