Jurnal Mercatoria, 13 (1) Juni 2020 ISSN 1979-8652 (Print) ISSN 2541-5913 (Online)
DOI: https://doi.org/10.31289/mercatoria.v13i1.3124
Jurnal Mercatoria Available online http://ojs.uma.ac.id/index.php/mercatoria
Received: November 27, 2019; Accepted: June 02, 2020; Published: June 27, 2020
Penerapan Hukum Materil terhadap Pelaku Pembunuhan dengan Unsur Penyertaan
(Studi Kasus Putusan Mari No. 966 k/pid/2014)
Application of Material Laws to The Applicant of Murdering with Inclusion Elements
(Case Study of Mari Decision No 966 k/pid/2014)
Elfirda Ade Putri *
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Indonesia
*Coresponding Email: [email protected]
Abstrak Pada dasarnya vonis hakim pada kasus pembunuhan ini terkadang tidak selaras dengan ketentuan yang berlaku, selain itu hukuman yang diberlakukan terkadang tidak sesuai dengan perbuatan pelaku, sehingga keadilan pun tidak didapat, khususnya bagi pihak-pihak yang dirugikan. Adanya diskrepansi mengenai penjatuhan hukuman di setiap peradilan padahal sebelum menjatuhkan hukuman pada putusan, hakim yang dalam pertimbangan yuridis adalah selaras dari tahap peradilan, sebagaimana pada tuntutan jaksa, keterangan terdakwa, keterangan saksi, barang bukti dan pasal-pasal hukum pidana. Penerapan hukum materil oleh JPU pada Putusan MARI No 966 K/Pid/2014 belum tepat. Jaksa pada dakwaan subsidair yaitu dengan menggunakan Pasal 338 ayat (1) juncto Pasal 55 KUHP. Jaksa tidak menuntut terdakwa Pasal 340 KUHP, sebagaimana perbuatan pidana yang dibuat oleh terdakwa terdapat unsur “berencana”. Kata Kunci: Penerapan Hukum, Pembunuhan, Disertai Penyertaan.
Abstract Murder accompanied by inclusion or carried out jointly is a special form of murder that incriminates the perpetrators. Basically, judges 'considerations in deciding cases, especially with murder cases, are sometimes not in accordance with applicable law, apart from that the sentence imposed is sometimes not in accordance with the perpetrators' actions, so that justice is not obtained, especially for the injured parties. There are differences in sentencing in each court, even though prior to sentencing, the judge has considered the same juridical considerations from each court level, whether it consists of indictments of the public prosecutor, defendant's statements, witness statements, witness statements, evidence and articles of law criminal. The application of material law by the Public Prosecutor in the Supreme Court Decision number 966 K / Pid / 2014 is not right. The public prosecutor uses the subsidair indictment using Article 338 paragraph (1) jo Article 55 of the Criminal Code. Public prosecutor did not ensnare the defendant Article Number 340 of the Indonesian Criminal Code, where the criminal act committed by the defendant contained an element of "planning".
Keywords: Application of Law, Murder, Accompaniment. How to Cite: Putri, E.A. (2020). Penerapan Hukum Materil terhadap Pelaku Pembunuhan dengan Unsur Penyertaan (Studi Kasus Putusan Mari No. 966 k/pid/2014). Jurnal Mercatoria. 13 (1): 15-28.
Elfirda Ade Putri, Penerapan Hukum Materil terhadap Pelaku Pembunuhan dengan Unsur Penyertaan (Studi Kasus
Putusan Mari No. 966 k/pid/2014)
16
Jurnal Mercatoria, 13 (1) 2020: 15-28
17
PENDAHULUAN
Dewasa ini pembahasan mengenai
kejahatan merupakan masalah yang
hingga hari ini menjadi keresahan banyak
orang, baik yang berhubungan dari
kuantitas atau kualitas dari kejahatan itu
dan lain sebagainya. Kejahatan selalu
muncul kapan saja dan masalah yang
selalu ada di muka bumi. Sebab adanya
kejahatan menganggu keseimbangan
hidup, ketertiban, serta keamanan yang
berdampak pada kehidupan masyarakat
adalah pembunuhan. Perilaku kejahatan
ini mampu dilaksanakan siapa saja, orang
sehat, orang miskin, orang kaya, penderita
gangguan jiwa, perorangan, kelompok,
pria, wanita, orang tua, dan anak-anak.
Tegasnya setiap manusia dapat melakukan
kejahatan (Kusuma, 1984).
Pembunuhan merupakan perbuatan
pidana dilakukan secara sadar dan
menghilangkan nyawa orang lain dan
melanggar hukum (Pasal 338 Republik
Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum
Pidana). Dimana hal ini juga merupakan
suatu pelanggaran HAM, yang mana salah
satu unsur dari hak asasi manusia itu
sendiri adalah hak untuk mendapatkan
suatu penghidupan yang layak.
Pada saat ini tindak pidana
pembunuhan marak sekali terjadi,
khususnya di Negara Indonesia. Pada
kenyataannya saat ini pembunuhan
dilakukan dengan berbagai macam cara,
baik itu dilakukan dengan perencanaan
ataupun dilakukan dengan suatu
kesengajaan. Biasanya pembunuhan
dikerjakan dengan berencana inilah yang
paling memberatkan hukumannya bagi
pelaku pembunuhan tersebut. Dan hal ini
merupakan masalah hukum yang cukup
serius dan sangat urgent untuk dibahas
secara bertahap dan mendalam.
Hak Asasi Manusia yakni
seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai
mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerahnya yang harus
dijunjung tinggi, dihormati, serta
dilindungi oleh negara, pemerintah,
hukum, dan setiap orang demi harkat dan
martabat serta perlindungan dan
kehormatan manusia (Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999,
tentang Hak Asasi Manusia).
Pandangan hidup sekaligus idiologi
bangsa dan dasar negara kita, pancasila,
mengandung pemikiran bahwa manusia
diciptakan oleh Tuhan YME dengan
menyandang dua aspek yakni, aspek
individualitas (pribadi) dan aspek
sosialitas (bermasyarakat). Maka
kebebasan setiap orang dibatas oleh hak-
hak asasi orang lain (Irsan, 2005).
Elfirda Ade Putri, Penerapan Hukum Materil terhadap Pelaku Pembunuhan dengan Unsur Penyertaan (Studi Kasus
Putusan Mari No. 966 k/pid/2014)
18
Pembukaan UUD 1945 memberikan
kewajiban kepada negara dan pemerintah
untuk menghormati HAM dimana secara
keseluruhan pasal dalam batang tubuhnya,
khususnya berkaitan dengan kesamaan
kedudukan setiap warga negara dalam
hukum dan pemerintahan, hak atas
pekerjaan serta kehidupan yang layak,
kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
hak untuk mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan, kebebasan memeluk
agama dan untuk beribadat sesuai dengan
agama dan kepercayaan itu, hak untuk
memperoleh pendidikan dan pengajaran
(Irsan, 2005).
Dalam perkara tindak pidana
pembunuhan muncul masalah mengenai
perkara yang sering kali tidak sesuai
dengan hukum yang telah diterapkan
kepada pelaku yang melakukan perbuatan
pidana tersebut. Salah satu hal mengenai
masalah hukuman yang dijatuhkan hakim
kepada pelaku dipersidangan kerap kali
tidak sesuai dengan kenyataan dan yang
seharusnya diterapkan. Di sisi lain
perbuatan yang dilakukan pelaku juga
tidak sesuai dengan penerapan pasal yang
tercantum di dalam undang-undang yang
seharusnya diberlakukan.
Contoh nyata dari kasus
pembunuhan yang terjadi di Jakarta Barat,
yang dilakukan oleh terdakwa Mulyadi
pada putusan Mahkamah agung tahun
2014, yang mana di dalam tiap tingkatan
peradilan baik itu dari tingkat Pengadilan
Negeri, Pengadilan Tinggi serta pada
putusan Mahkamah Agung terdapat
adanya perbedaan tiap-tiap penjatuhan
hukuman yang dijatuhi oleh hakim dalam
perkara memutuskan pembunuhan yang
dilakukan dengan unsur penyertaan
kepada terdakwa Mulyadi tersebut.
Pada hakikatnya, penegakan hukum
bertujuan untuk mewujudkan ketertiban
dan kepastian hukum dalam masyarakat
yang berintikan keadilan. Kepastian
hukum tanpa didasarkan pada sendi-sendi
keadilan akan menimbulkan
ketidakpuasaan dan mengundang banyak
reaksi (Alfitra, 2012). Karena penegakan
hukum yang baik tidaklah pandang bulu
atau pilih kasih. Siapa yang jadi pelaku
pelanggar hukum haruslah diadili dan
diputuskan sesuai hukum (Nurdin, 2012).
Masalah tersebut itulah yang
terkadang menjadi pemasalahan yang
cukup serius yang harus dicari jalan keluar
dan jawabannya agar hukum di Indonesia
selalu ditegakkan dengan adil, sehingga
tidak adanya pihak-pihak yang merasa
dirugikan. Tindak pidana merampas
nyawa orang lain bukanlah suatu hal yang
dianggap sebagai masalah kecil. Masalah
ini sangatlah penting karena berhubungan
dengan nyawa orang lain. Dimana nyawa
seseorang yang dirampas berkaitan
Jurnal Mercatoria, 13 (1) 2020: 15-28
19
dengan pelanggaran HAM yang harus
diperhatikan, dilindungi dan dijaga dari
segala tindakan yang dapat merugikannya.
Pembunuhan yang disertai penyertaan
merupakan bentuk khusus pembunuhan
yang memberatkan pelakunya. Pada
dasarnya Pertimbangan hakim dalam
memutuskan perkara khususnya dengan
kasus pembunuhan ini terkadang tidak
sesuai terhadap ketentuan yang berlaku,
selain itu hukuman yang diberlakukan
terkadang tidak sesuai dengan perbuatan
pelaku, sehingga keadilan pun tidak
didapat, khususnya bagi pihak-pihak yang
dirugikan.
Yang menjadi rumusan masalah
pada penelitian ini adalah :
a. Bagaimanakah hakim dalam
pertimbangannya menjatuhkan pidana
bagi pelaku yang melakukan tindak
pidana pembunuhan yang disertai
dengan penyertaan pada Putusan
Mahkamah Agung Nomor 966
K/Pid/2014?
b. Bagaimana penerapan hukum pidana
materiil terhadap kasus dalam
Putusan Mahkamah Agung Nomor
966 K/Pid/2014?
METODE PENELITIAN
Metode adalah pedoman, cara dalam
seseorang meneliti dan memahami materi
yang dihadapi (Soekanto, 1986). Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan
normatif yaitu penelitian yang dilakukan
berdasarkan perundang-perundangan.
Pengolahan bahan hukum dalam
rangka penelitian normatif meliputi
berbagai aktifitas intelektual yaitu
memaparkan teori hukum dan
menginterprestasikan hukum yang
berlaku, menganalisa perbandingan
hukum yang berlaku terhadap kenyataan
yang seharusnya, serta konsistensi hukum.
Bahan-bahan yang telah
dikumpulkan kemudian ditafsirkan dengan
cara penafsiran yang ada dalam ilmu
hukum. Penafsiran tersebut adalah
penafsiran gramatikal yaitu penafsiran
menurut tata bahasa, penafsiran
sistematis, dan penafsiran historis.
Penafsir harus berusaha mengungkap
kembali kepermukaan kehendak pembuat
undang-undang yang tercantum dalam
teks undang-undang .
Bahan-bahan hukum yang diperoleh
berasal dianalisis secara kualitatif
normatif, yaitu menganalisis hasil
penelitian kepustakaan yang terkumpul
dan dituangkan dalam bentuk uraian logis
dan sistematis untuk memperoleh
kejelasan penyelesaian masalah, kemudian
ditarik secara deduktif, dari hal yang
Elfirda Ade Putri, Penerapan Hukum Materil terhadap Pelaku Pembunuhan dengan Unsur Penyertaan (Studi Kasus
Putusan Mari No. 966 k/pid/2014)
20
bersifat umum menjadi hal yang bersifat
khusus.
Bahan Hukum Primer adalah data
penelitian langsung pada subyek
merupakan pusat informasi untuk diteliti
(Azwar, 1998). Data primer diperoleh
melalui bahan yang mendasari dan
berkaitan dengan penulisan ini, yaitu:
1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP);
2) Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP);
3) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia.
Bahan Hukum Sekunder yaitu data
yang diperoleh dengan mengadakan
penelitian kepustakaan. Penelitian
kepustakaan ini mencakup asas-asas
hukum, penelitian sistematika hukum, dan
perbandingan hukum (Sri, 2004). serta
buku atau jurnal ilmiah yang berisi para
pendapat pakar yang berhubungan
terhadap pembunuhan.
Bahan Hukum Tersier, adalah yang
memberikan informasi tentang bahan
hukum primer dan sekunder, misalnya
kamus hukum, jurnal, dan internet.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertimbangan Hakim dalam
Menjatuhkan Pidana bagi Pelaku
Tindak Pidana Pembunuhan yang
Disertai dengan Penyertaan pada
Putusan Mahkamah Agung Nomor 966
K/Pid/2014
Penyertaan merupakan tindak pidana
yang dilakukan secara bersama-sama atau
yang dapat dikatakan dengan deelneming
diatur di dalam Pasal 55 dan Pasal 56 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana. arti kata
penyertaan tersebut berarti turut sertanya
seseorang atau lebih pada waktu seorang lain
melakukan perbuatan pidana. Sedangkan
menurut Aruan Sakidjo dan Bambang
Poernomo, penyertaan yakni perbuatan
pidana dapat dikerjakan oleh satu orang dan
bagian dari setiap orang yang melakukan
perbuatan itu sifatnya berbeda-beda.
Penyertaan dapat terjadi pra kejadian dan
dapat pula penyertaan terjadi bersamaan
dilakukannya perbuatan itu (Poernomo,
1990). Menurut Adami Chazawi penyertaan
adalah pengertian yang meliputi semua
bentuk turut serta atau terlibatnya orang atau
orang-orang baik secara mental maupun
secara fisik dengan melakukan masing-masing
perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak
pidana (Chazawi, 2002).
Penyertaan menurut KUHP.
Penyertaan diatur dalam Pasal 55 dan Pasal
56 KUHP. Berdasarkan penjelasan diatas,
penyertaan terdiri dari dua hal, yaitu :
1. Pembuat/dader (Pasal 55) dengan
struktur: Pelaku (pleger); Yang
menyuruh melakukan (doenpleger); Yang
Jurnal Mercatoria, 13 (1) 2020: 15-28
21
turut serta (medepleger); Penganjur
(uitlokker).
2. Pembantu/Medeplichtige (Pasal 56) yang
terdiri dari:
a. Pembantu pada saat kejahatan
dilakukan;
b. Pembantu sebelum kejahatan
dilakukan (Prasetyo, 2011).
Pelaku adalah orang yang melakukan
sendiri perbuatan yang memenuhi unsur-
unsur delik dan perbuatan paling bertanggung
jawab atas kejahatan (Prasetyo, 2011).
Sedangkan orang yang menyuruh melakukan
(Doenpleger) adalah orang yang melakukan
perbuatan dengan perantaraan orang lain,
dimana perantara sebagai alat. Maka ada dua
pihak, yaitu pembuat langsung (manus
misnistra/auctor physicus), dan pembuat tidak
langsung (manus domina/auctor
intellectualis). unsur-unsur pada doenpleger
alat yang dipakai adalah:
a. manusia;
b. berbuat;
c. tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Adapun perihal timbulnya alat tidak
dapat dipertanggungjawabkan, adalah:
a. Bila ia tidak sempurna pertumbuhan
jiwanya (Pasal 44);
b. Bila ia berbuat karena daya paksa (Pasal
48);
c. Bila ia berbuat karena perintah jabatan
yang tidak sah (Pasal 51 ayat (2));
d. Bila ia sesat (keliru) mengenai salah satu
unsur delik;
e. Bila ia tidak mempunyai maksud seperti
yang disyaratkan untuk kejahatan yang
bersangkutan.
Orang yang turut serta (medepleger)
yakni yang dengan sengaja turut berbuat atau
turut mengerjakan terjadinya sesuatu.
Sehingga, kualitas pada tiap-tiap peserta
pelaku pidana adalah sama turut melakukan
sesuatu, dimana mereka memenuhi seluruh
unsur delik dan salah satu memenuhi
sebagian rumusan delik. Tiap-tiap perbuatan
memenuhi sebagian unsur delik (Prasetyo,
2011). Penganjur (uitlokker) yakni orang yang
memerintahkan orang lain untuk
menjalankan perbuatan pidana dengan
menggunakan fasilitas yang diatur dalam
undang-undang secara terbatas, yakni
menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan
kekuasaan, paksaan, intimidasi, atau
penyimpangan, dengan membuka peluang,
fasilitas, atau keterangan (Pasal 55 (ayat 1)
angka 2 KUHP) (Prasetyo, 2011). Pembantuan
(medeplichtige) yang terdapat dalam Pasal 56
KUHP, pembantuan terbagi dua hal:
1. Pembantuan pada saat kejahatan
dilakukan, serupa dengan turut serta,
namun perbedaannya terletak pada:
a) Perbuatannya bercirikan
membantu/menunjang, sedang pada
Elfirda Ade Putri, Penerapan Hukum Materil terhadap Pelaku Pembunuhan dengan Unsur Penyertaan (Studi Kasus
Putusan Mari No. 966 k/pid/2014)
22
turut serta adalah perbuatan
pelaksanaan;
b) Pembantu hanya sengaja mendukung
bantuan tanpa disyaratkan harus kerja
sama dan tidak
bertujuan/berkepentingan sendiri,
namun dalam turut serta orang yang
turut serta sengaja melakukan
perbuatan pidana, yakni bekerja sama
dan mempunyai tujuan sendiri;
c) Pembantuan dalam pelanggaran tidak
dipidana (Pasal 60 KUHP), namun
pada turut serta dalam pelanggaran
akan dipidana;
d) Pidana pembantu paling tinggi yaitu
yang berhubungan dikurangi
sepertiga, sedangkan turut serta
dipidana sama.
2. Pembantuan sebelum kejahatan
dilakukan, yang dilakukan dengan cara
memberi kesempatan, sarana, atau
keterangan. Ini mirip dengan
penganjuran (Prasetyo, 2011).
Menurut alam pemikiran pidana
normatif murni, pembicaraan tentang pidana
selalu terbentur pada suatu titik pertentangan
yang pradoksal, yaitu bahwa pidana pada satu
pihak diadakan untuk melindungi
kepentingan seseorang, tetapi pada pihak lain
memerkosa kepentingan seseorang lain
dengan memberikan hukuman berupa
penderitaan kepada korban. Pidana adalah
reaksi atau delik dan ini berwujud suatu
nestapa yang sengaja ditimpakan negara
kepada pembuat delik itu. Nestapa itu
bukanlah tujuan yang dicita-citakan
masyarakat. Nestapa hanya tujuan terdekat.
Pidana mengandung unsur-unsur dan ciri-ciri
sebagai berikut:
1) Pidana pada prinsipnya adalah suatu
pengenaan penderitaan, nestapa, maupun
dampak-dampak lain yang tidak
menggembirakan.
2) Pidana dilakukan dengan sengaja oleh
orang atau badan yang mempunyai
kewenangan (oleh yang berkuasa).
3) Pidana dikenakan pada seseorang atau
badan hukum (korporasi) yang sudah
mengerjakan perbuatan pidana
berdasarkan perundang-undangan (Arif,
1984).
Berbeda halnya dengan pendapat G.P.
Hoefnagels, beliau tidak setuju dengan
pendapat bahwa pidana merupakan suatu
pencelaan (cencure) atau suatu penjeraan
(discoragemen) atau merupakan suatu
penderitaan (suppering). Menurutnya
hukuman pidana yaitu perisriwa pada
pelanggaran hukum yang sudah ditetapkan
oleh perundang-undangan pada saat
penahanan dan pemeriksaan terdakwa
maupun polisi sampai vonis dijatuhkan. Jadi
Hoefnagels melihat secara empiris bahwa
pidana merupakan suatu proses waktu, dari
keseluruhan proses pidana itu sendiri (sejak
perintah penahanan sampai vonis dijatuhkan).
Jurnal Mercatoria, 13 (1) 2020: 15-28
23
Faktanya, pidana adalah satu
penderitaan, akan tetapi hal tersebut bukanlah
suatu keharusan. Ada pula pidana tanpa
penderitaan. Untuk itu harus pula dibedakan
antara:
1. Penderitaan yang sengaja dituju oleh si
pemberi pidana;
2. Penderitaan yang oleh si pemberi pidana
dipertimbangkan untuk tidak dihindari
3. Penderitaan yang tidak disengaja dituju
(Arif, 1984).
Menurut Sudarto, penjelasan
pemidanaan yakni sinonim dengan penjelasan
penghukuman. Bahwa penghukuman
bersumber dari kata dasar hukum, oleh
karena itu diartikan bahwa menentukan
hukum atau memutuskan tentang hukumnya
(berechten). Menentukan hukum untuk
sebuah kejadian bukan saja berkaitan bidang
hukum pidana saja, namun juga hukum
perdata. Oleh karena penelitian ini seputar
masalah hukum pidana, maka maksudnya
dipersempit, yaitu penghukuman pada kasus
pidana, yang sering sekali sama dengan
pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan
pidana oleh hakim (Lamintang, 2010).
Teori pemidanaan, dapat
dikelompokkan ke dalam tiga golongan, yaitu:
a. Teori absolut atau teori pembalasan
(vergeldings theorien)
Prinsip dasar teori ini adalah
pembalasan. Dimana menjadi alasan
pembenar dari pemberiaan penderitaan
bersifat pidana itu pada penjahat. Negara
berwenang memberikan sanksi pidana sebab
pelaku tersebut telah melakukan perampasan
hak, penyerangan dan kepentingan hukum
(pribadi, masyarakat atau Negara) yang sudah
dilindungi. Oleh karena itu, pelaku wajib
dijatuhkan sanksi yang sesuai dengan tindak
pidana yang dilakukannya. Penjatuhan pidana
prinsipnya memberikan penderitaan kepada
pelaku dibenarkan karena penjahat telah
melakukan penderitaan terhadap orang lain.
b. Teori Relatif atau Teori Tujuan (doel
theorin)
Teori ini berpokok pada dasarnya
pidana ialah alat untuk menerapkan tata tertib
(hukum) di masyarakat. Tujuan pidana ialah
menertibkan masyarakat, serta menerapkan
tata tertib itu dibutuhkan pidana. Dimana
pidana berupa alat untuk mencegah
munculnya kejahatan, yang bertujuan agar
masyarakat lebih tata tertib dan tetap
terlindungi. Ditinjau dari sudut pertahanan
masyarakat, pidan merupakan suatu yang
terpaksa perlu diadakan. Untuk menggapai
tujuan ketertiban masyarakat tersebut, pidana
memiliki tiga perihal, yakni bersifat menakut-
nakuti dan bersifat memperbaiki serta bersifat
membinasakan.
c. Teori Gabungan (vernegings theorien)
Prinsip dasar teori gabungan yaitu
asas pembalasan dan asas pertahanan tata
Elfirda Ade Putri, Penerapan Hukum Materil terhadap Pelaku Pembunuhan dengan Unsur Penyertaan (Studi Kasus
Putusan Mari No. 966 k/pid/2014)
24
tertib masyarakat, maka maksudnya ada pada
dua alasan tersebut yang menjadi dasar dari
penjatuhan pidana. Teori ini dibedakan
menjadi dua bagian, pertama; teori yang
mendahulukan pembalasan, namun
pembalasan tersebut tidak dapat melewati
batas terhadap apa yang diperlukan dan
cukup untuk dipertahankannya guna
memperoleh tujuan menertibkan masyarakat.
Dan yang kedua mendahulukan perlindungan
tata tertib pada masyarakat, namun
penderitaan atas dijatuhkannya sanksi pidana
tidak dapat lebih berat daripada perbuatan
yang dilakukan terpidana (Chazawi, Pelajaran
Hukum Pidana Bagian 3, 2002).
Hukum diciptakan untuk melindungi
hak asasi manusia, yaitu hak untuk hidup,
namun hukum pidana justru menciptakan
pidana mati yang jelas akan merenggut hak
yang justru paling asasi seperti yang
tercantum pada Pasal 10 KUHP (Putri, 2007).
Adapun jenis-jenis pidana yang diatur
sebagaimana di dalam Pasal 10 KUHP terbagi
menjadi pidana pokok dan pidana tambahan,
pidana pokok tersebut yaitu :
a. Pidana Mati
Sebagaimana diatur pada Pasal 11
KUHP “pidana mati dijalankan oleh algojo
ditempat gantungan pada leher terpidana
kemudian menjatuhkan papan tempat
terpidana berdiri”.
b. Pidana Penjara
Pidana penjara adalah pidana yang
bertujuan untuk membatasi kemerdekaan
seseorang. Pidana penjara ialah seumur hidup
atau selama waktu tertentu (Pasal 12 KUHP).
c. Pidana Kurungan
Pidana ini lebih ringan dari pada
hukuman penjara. Pidana kurungan paling
sedikit satu hari dan paling lama satu tahun
(Pasal 18 KUHP).
d. Pidana denda
Pidana ini selain diancam pada pelaku
pelanggaran, juga diancam pada pelaku
kejahatan. Jumlah yang dapat dikenakan pada
hukuman denda minimal tiga rupiah tujuh
puluh lima sen, apabila pidana denda tidak
dibayarkan, maka diganti dengan pidana
kurungan (Pasal 30 KUHP).
Adapun pidana tambahan yaitu, terdiri
dari:
a) Pencabutan hak-hak tertentu
Sebagaimana yang diatur dalam Pasal
35 ayat (1) KUHP hak-hak yang dapat dicabut,
yaitu:
1. Hak memegang jabatan pada
umumnya atau jabatan tertentu;
2. Hak untuk memasuki dan
menjalankan jabatan dalam
Angkatan Bersenjata/TNI;
3. Hak memilih dan dipilh dalam
pemilihan yang diadakan
berdasarkan ketentuan peraturan
umum;
Jurnal Mercatoria, 13 (1) 2020: 15-28
25
4. Hak untuk menjadi penasihat hukum
atau pengurus atas penetapan
pengadilan, hak menjadi wali, wali
pengawas, pengampu atau
pengampu pengawas atas anak yang
bukan anak sendiri;
5. Hak menjalankan perwalian,
menjalankan kekuasaan bapak atau
pengampuan atas anak bukan anak
sendiri;
6. Hak mendapatkan mata pencaharian.
b) Pidana perampasan barang-barang
tertentu
Adapun dua perihal barang yang boleh
dirampas melalui putusan hakim pidana, yang
diatur dalam Pasal 39 KUHP, yaitu:
1. Barang-barang kepunyaan terpidana
yang diperoleh dari kejahatan;
2. Barang-barang kepunyaan terpidana
yang sengaja dipergunakan untuk
melakukan kejahatan.
c) Pidana pengumuman keputusan hakim
Sebagaimana pada Pasal 43 KUHP,
bahwa: “di dalam hal-hal bahwa hakim
memberikan perintah untuk memberi
pengumuman terhadap keputusannya
berdasarkan kitab undang-undang umum
yang lain, ditentukannya juga tahap-tahap
melaksanakan perintah itu atas biaya
terpidana”.
Hakim sebagai pejabat peradilan
negara memiliki kewenangan oleh undang-
undang untuk mengadili (Pasal 1 butir 8
Republik Indonesia, Kitab undang-undang
Hukum Acara Pidana). Pertimbangan hakim
adalah alasan yang dipakai hakim dalam
menjatuhkan putusan. Menurut Lilik Mulyadi
hakikat pada pertimbangan yuridis hakim
yakni pembuktian unsur-unsur perbuatan
pidana dengan membuktikan bahwa tindakan
telah memenuhi dan sesuai dengan tindak
pidana yang didakwakan oleh jaksa oleh
karena itu hal tersebut menjadi pertimbangan
yang relevan terhadap amar atau diktum
putusan hakim (Mulyadi, 2007).
Dasar hukum mengenai pertimbangan
hakim itu sendiri diatur pada Pasal 197 ayat
(1) butir d KUHAP yang bunyinya:
“Pertimbangan disusun secara ringkas
mengenai fakta dan keadaan beserta alat
pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan
di sidang yang menjadi dasar penentuan-
penentuan kesalahan terdakwa”.
Putusan hakim dapat berupa putusan
lepas maupun putusan bebas.
Putusan lepas yang menyatakan
bahwa tersangka bebas dari segala tuntutan
hukum, hal ini dapat disebabkan karena
memiliki unsur-unsur pengecualian yang
mengakibatkan terdakwa tidak bisa dipidana.
Pengecualian :
a. Tidak mampu bertanggung jawab (Pasal
44 KUHP)
Elfirda Ade Putri, Penerapan Hukum Materil terhadap Pelaku Pembunuhan dengan Unsur Penyertaan (Studi Kasus
Putusan Mari No. 966 k/pid/2014)
26
b. Melakukan di bawah daya paksa (Pasal
48 KUHP)
c. Adanya pembelaan terdakwa (Pasal 49
KUHP)
d. Adanya ketentuan undang-undang (Pasal
50 KUHP)
e. Adanya perintah jabatan (Pasal 51 KUHP)
2. Putusan bebas ditetapkan apabila
peradilan menyatakan adapun dari hasil
investigasi di sidang, kelalaian terdakwa
terhadap perbuatan yang dituntut kepada
terdakwa tidak terbukti secara sah dan
memastikan maka terdakwa diputus
bebas. (Pasal 191 ayat 1 KUHAP)
Di dalam setiap tingkatan proses
peradilan, pengambilan keputusan sangat
diperlukan oleh hakim dalam menentukan
putusan yang akan dijatuhkan kepada
terdakwa. Suatu proses peradilan pastilah
diakhiri oleh suatu putusan akhir (vonis),
dimana di dalamnya terdapat penjatuhan
sanksi pidana (penghukuman). Peran hakim
haruslah mempertimbangkan amar putusan
yang selaras dengan tindakan yang sudah
dilaksanakan oleh pelaku pidana tersebut
dengan hukuman yang seharusnya
diberlakukan. Hakim haruslah mempunyai
pertimbangan yuridis terhadap dakwaan
jaksa, keterangan terdakwa, keterangan saksi,
dan bukti lainnya yang sebagaimana tertera di
dalam KUHAP Pasal 184 yang pada umumnya
menerangkan bahwa dalam pidana bukti-
bukti sangat diperlukan dalam suatu proses
persidangan. Sebagaimana halnya terkait
dengan kasus pembunuhan penyertaan
tersebut diatas, pertimbangan majelis hakim
dalam menetapkan putusan perkara dari
setiap peradilan pada kasus ini, baik itu dalam
tingkatan Pengadilan Negeri, Pengadilan
Tinggi sampai pada putusan Mahkamah
Agung, terdapat adanya perbedaan penerapan
hukuman yang diberlakukan kepada
terdakwa dalam menjatuhkan hukuman dari
tiap-tiap peradilan. Hal tersebut dapat
dikatakan bahwa hakim masih belum
mempertimbangkan dengan baik suatu
putusan perkara dalam amar putusan
sehingga penjatuhan hukuman (vonis) dari
tiap-tiap peradilan yang diterapkan berbeda
dari tiap-tiap tingkatan peradilan. Padahal
hakim telah membandingkan bukti antara
yang satu dan bukti lainnya dalam tiap
peradilan dengan serupa. Mengingat di dalam
putusan kasus Pengadilan Negeri
menjatuhkan hukuman diberikan ke
terdakwa dengan vonis pidana penjara selama
empat belas (14) tahun penjara, sedangkan di
dalam Pengadilan Tinggi Hakim menjatuhkan
hukuman kepada terdakwa dengan vonis
pidana penjara selama sepuluh (10) tahun
penjara, dan kemudian di dalam putusan
Mahkamah Agung Hakim memutuskan
kembali hukuman kepada terdakwa dengan
menjatuhkan hukuman selama empat belas
tahun (14) penjara. Dalam hal ini penulis
Jurnal Mercatoria, 13 (1) 2020: 15-28
27
berpendapat bahwa hakim masih belum peka
dalam keputusan yang dijatuhkannya, padahal
peran hakim haruslah profesional dan
bijaksana dalam memutuskan perkara pada
umumnya. Oleh sebab itu, berdasarkan hasil
analisis, hakim dalam pertimbangannya
memberikan sanksi pidana belum dilakukan
dengan sesuai dan dengan tepat, karena tidak
adanya profesionalitas dalam menjatuhkan
hukuman yang penerapan hukumannya justru
berbeda-beda dalam setiap tingkat peradilan.
Penerapan Hukum Pidana Materiil
terhadap Kasus dalam Putusan MARI
No 966 K/Pid/2014
Penuntut umum yang mendakwa
terdakwa dengan Dakwaan Subsidair yaitu
pembunuhan yang dilakukan bersama-
sama, memutuskan terdakwa dengan pasal
338 KUHP Jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Penerapan hukum pidana dalam perkara
ini belum tepat, penuntut umum dalam
dakwaannya belum tepat dalam
menerapkan pasal yang dijatuhi kepada
terdakwa Mulyadi. Karena berdasarkan
rangkaian faktanya, dapat dilihat adanya
bentuk rangkaian tindakan perencanaan
yang secara matang yang dilakukan oleh
saksi MARIO, saksi ALEX, saksi ROBY dan
Terdakwa MULYADI yang dengan alasan
utang korban terhadap Mamuro untuk
mengaburkan/menyesatkan pemeriksaan
di depan persidangan sehingga fakta yang
sesungguhnya tidak terungkap, namun
dari rangkaian tersebut diatas telah
menandakan adanya bentuk kesadaran
dari saksi MARIO, saksi ALEX, saksi ROBY
dan Terdakwa MULYADI untuk
merencanakan suatu maksud yang
bertujuan untuk menghilangkan nyawa
korban WILLIAM LIEM. karena dilihat dari
alasan saksi MARIO yang memiting leher
korban, Terdakwa MULYADI mengikat
kaki korban dengan tali dan tangannya
diikat dengan tali oleh saksi ALEX
WIGUNA, sedangkan saksi ROBY memukul
korban dengan tangan kosong serta
paralon dan martil ke arah kepala korban
WILLIAM LIEM. Perencanaan tersebut juga
dapat dilihat dari maksud saksi MARIO
dengan Terdakwa MULYADI yang pada
saat bertemu dengan korban WILLIAM
LIEM di 7 Eleven kemudian mengajak
korban untuk mengikuti saksi ke Warnet
Granat, dan pada saat itu saksi MARIO
menghubungi saksi ALEX WIGUNA dan
saksi ROBY untuk menunggu korban
WILLIAM LIEM di lantai 4 Warnet Granat
tersebut. Dari situlah dapat dikatakan
bahwa adanya suatu niat saksi dan
Terdakwa berawal dengan merencanakan
suatu perencanaan untuk melakukan
penganiayaan hingga sampai kepada
pembunuhan korban WILLIAM LIEM.
Elfirda Ade Putri, Penerapan Hukum Materil terhadap Pelaku Pembunuhan dengan Unsur Penyertaan (Studi Kasus
Putusan Mari No. 966 k/pid/2014)
28
Adapun unsur-unsur perbuatan pidana
harus terpenuhi adalah sebagai berikut:
1. Unsur Barang Siapa
Pertimbangan unsur barang siapa,
majelis hakim mempertimbangkan unsur
“barang siapa” dalam mempertimbangkan
dakwaan primair, sehingga unsur ini
terpenuhi;
2. Unsur dengan Sengaja
Perbuatan yang
disadari/menginsafi serta pelaku
perbuatan pidana yang menyadari akan
akibat dari perbuatannya. Perbuatan para
terdakwa selain dikehendaki juga
mengetahui akan dampak terhadap
tindakan tersebut yaitu menyebabkan
kematian karena dengan adanya
penganiayaan terhadap korban. Maka
unsur dengan sengaja telah terpenuhi.
3. Unsur Menghilangkan Nyawa Orang
Lain
Adanya kematian yang disebabkan
oleh perbuatan pelaku. Perbuatan pelaku
menyebabkan kematian bagi korban.
Karena dengan meninggalnya korban
WILLIAM LIEM adalah sebagai akibat
perbuatan para terdakwa karena
kekerasan benda-benda tumpul yang
membuat korban menjadi tidak berdaya
hingga meninggal. serta sebagaimana
keterangan di dalam Visum Et Repertum
dari RSCM
No.294/VER/315.03.12/VIII/2012
Tanggal 31 Agustus 2012. Yang
berkesimpulan pada pokoknya bahwa
mayat korban ditemukan tanda kekerasan
akibat benda tumpul, dan gambaran
kematian sesuai mati lemas. Dengan
demikian unsur merampas nyawa orang
lain telah terpenuhi.
4. Yang melakukan, menyuruh
melakukan atau turut melakukan
perbuatan
Unsur ini merupakan bentuk dari
penyertaan (deelneming) yang maksudnya
adalah adanya keikusertaan atau
terlibatnya seseorang secara mental atau
secara fisik dengan melakukan tiap-tiap
perbuatan maka dari itu menghasilkan
suatu tindak pidana, yaitu dilakukan oleh 2
(dua) orang atau lebih, mereka menyadari
bahwa mereka bekerja sama meski tidak
harus diawali adanya kesepakatan lebih
dulu atau adanya motivasi yang sama
antara mereka, dan dilakukan relatif sama.
Dengan demikian unsur ini telah
terpenuhi.
Dari uraian Penuntut Umum
seharusnya mendakwakan para terdakwa
dengan dakwaan melanggar Pasal 340
KUHP Juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
SIMPULAN
Pertimbangan Hakim saat memvonis
sanksi pidana terhadap pelaku perbuatan
pidana pembunuhan dengan penyertaan
Jurnal Mercatoria, 13 (1) 2020: 15-28
29
ini dalam Putusan MARI No 966
K/Pid/2014 masih belum tepat, karena
adanya diskrepansi pemberian sanksi
hukuman pada tahap peradilan padahal
sebelum menjatuhkan hukuman pada
putusan, para majelis mempertimbangkan
secara yuridis yang sejalan terhadap
semua tahap peradilan, yang dimulai dari
tuntutan JPU, keterangan terdakwa,
keterangan saksi, barang bukti dan pasal-
pasal hukum pidana, sehingga
kesimpulannya bahwa hakim belum tepat
dalam menjatuhkan hukuman dalam kasus
ini.
Penerapan hukum materiil oleh Jaksa
dalam Putusan MARI No 966 K/Pid/2014
belum tepat. Jaksa memakai dakwaan
subsidair yaitu dengan menggunakan
Pasal 338 ayat (1) jo Pasal 55 KUHP. Jaksa
penuntut umum tidak menjerat terdakwa
Pasal 340 KUHP, dimana perbuatan pidana
yang telah dibuat terdakwa terdapat unsur
“berencana”.
DAFTAR PUSTAKA
Alfitra. (2012). Hapusnya Hak & Menuntut Menjalankan Pidana. Jakarta: Raih Asa Sukses.
Arif, M. &. (1984). Teori-teori Kebijakan pidana. Bandung: Alumni.
Azwar, S. (1998). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Chazawi, A. (2002). Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Chazawi, A. (n.d.). Pelajaran Hukum Pidana. Irsan, K. (2005). Hak Asasi Manusia dan Hukum.
Jakarta.
Kusuma, M. W. (1984). Kriminologi dan masalah kejahatan, (suatu pengantar ringkas). Bandung: Armico.
Lamintang, T. (2010). Hukum Penitensier Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Mulyadi, L. (2007). Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana; Teori, Praktik, Teknik Penyusunan,dan Permasalahannya. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Nurdin, B. (2012). Kedudukan dan Fungsi Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia. Bandung: PT. Alumni.
Poernomo, A. S. (1990). Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Prasetyo, T. (2011). Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Pers.
Putri, K. I. (2007). Hukum Acara Pidana. Jakarta: Universitas Bhayangkara.
Soekanto, S. (1986). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Sri, S. S. (2004). Penelitian Hukum Normatif “Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Top Related