Download - Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Transcript
Page 1: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Pengaruh Minuman Jahe Madu Terhadap Mual Dan Muntah Pada Ibu Hamil Di

Puskesmas Pahandut Dan Puskesmas Pembantu di Wilayah Kerja Puskesmas Pahandut

Palangka Raya

Pengaruh Manajemen Nyeri Persalinan Pada Ibu Primipara di Kota Palangka Raya

Analisis Kesesuaian Antara Hasil Pengukuran Antopometri Dengan Persepsi Mengenai

Status Gizi Ibu Hamil

Hubungan Asupan Zat Gizi Dengan Kadar Hemoglobin Pada Pasien Thalasemia Yang

Menjalani Rawat Jalan Di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya

Determinan Stigma Mahasiswa Poltekkes Kemenkes Yogyakarta Terhadap Orang

Dengan Hiv/Aids (ODHA)

Analisis Implementasi Pojok Laktasi Di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya

Analisis Fungsi Pelaksanaan Program Asi Eksklusif Oleh Bidan

Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

ISSN : 2087 - 9105

Page 2: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

TIM REDAKSI

Jurnal Forum Kesehatan

Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya

Tim Penyunting :

Penanggung Jawab : Dhini, M.Kes

Redaktur : Iis Wahyuningsih, S.Sos

Editor : Vissia Didin Ardiyani, SKM, MKM

Tim Pembantu Penyunting :

Penyunting Pelaksana : 1. Dwirina Hervilia, SKM, MKM

2. Munifa, SKM, MPH

Pelaksana TU : 1. Deddy Eko Heryanto, ST

2. Daniel, A.Md.Kom

3. Arizal, A.Md

Tim Mitra Bestari :

1. Dr. Merryana Adriani, SKM, M.Kes (FKM Universitas Airlangga)

2. Dr. Ni Komang Yuni Rahyani, S.Sit., M.Kes (Poltekkes Kemenkes Denpasar)

3. Dr. Djenta Saha, S.Kp., MARS (Dosen Tidak Tetap Poltekkes Kemenkes Palangka Raya)

Alamat Redaksi :

Unit Perpustakaan Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya

Jalan George Obos No. 32 Palangka Raya 73111- Kalimantan Tengah

Telepon/Fax : 0536 – 3221768

Email : [email protected], [email protected]

Website : www.poltekkes-palangkaraya.ac.id

Terbit 2 (dua) kali setahun.

Page 3: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

PENGANTAR REDAKSI

Salah satu tugas utama dari lembaga pendidikan tinggi sebagaimana tercantum dalam

Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah melaksanakan penelitian. Agar hasil-hasil penelitian dan

karya ilmiah lainnya yang telah dilakukan oleh civitas akademika Politeknik Kesehatan

Kemenkes Palangka Raya lebih bermanfaat dan dapat dibaca oleh masyarakat, maka

diperlukan suatu media publikasi yang resmi dan berkesinambungan.

Jurnal Forum Kesehatan merupakan Jurnal Ilmiah sebagai Media Informasi yang

menyajikan kajian hasil-hasil penelitian, gagasan dan opini serta komunikasi singkat maupun

informasi lainnya dalam bidang ilmu khususnya keperawatan, kebidanan, gizi, dan umumnya

bidang ilmu yang berhubungan dengan kesehatan.

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hanya

berkat bimbingan dan petunjuk-Nyalah upaya untuk mewujudkan media publikasi ilmiah

Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya yang diberi nama Jurnal Forum Kesehatan

Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 ini dapat terlaksana. Dengan tekat yang kuat dan kokoh,

kami akan terus lebih memacu diri untuk senantiasa meningkatkan kualitas tulisan yang akan

muncul pada penerbitan – penerbitan selanjutnya.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes

Palangka Raya sebagai Penanggung Jawab serta Dewan Pembina yang telah memberikan

kepercayaan dan petunjuk kepada redaktur hingga terbitnya Jurnal Forum Kesehatan

Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 ini. Ucapan terimakasih dan penghargaan juga

disampaikan kepada Dewan Redaksi dan Tim Mitra Bestari yang telah meluangkan

waktunya untuk mengkaji kelayakan beberapa naskah hasil penelitian/karya ilmiah

yang telah disampaikan kepada redaksi.

Kepada para penulis yang telah menyampaikan naskah tulisannya disampaikan

penghargaan yang setinggi-tingginya dan selalu diharapkan partisipasinya untuk mengirimkan

naskah tulisannya secara berkala dan berkesinambungan demi lancarnya penerbitan Jurnal

Forum Kesehatan ini selanjutnya.

Akhirnya, semoga artikel-artikel yang dimuat dalam Jurnal Forum Kesehatan

Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 ini dapat menambah wawasan dan memberikan

pencerahan bagai lentera yang tak kunjung padam. Kritik dan saran yang bersifat

membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan penerbitan selanjutnya.

Tim Redaksi

Page 4: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

DAFTAR ISI

Hal.

Pengaruh Minuman Jahe Madu Terhadap Mual Dan Muntah Pada Ibu Hamil Di

Puskesmas Pahandut Dan Puskesmas Pembantu di Wilayah Kerja

Puskesmas Pahandut Palangka Raya

Herlina Diyaningsih ................................................................................................................ 60

Pengaruh Manajemen Nyeri Persalinan Pada Ibu Primipara di Kota Palangka Raya

Christine Aden ......................................................................................................................... 66

Analisis Kesesuaian Antara Hasil Pengukuran Antopometri Dengan Persepsi

Mengenai Status Gizi Ibu Hamil

Demsa Simbolon, Yanti Sutrianti, Jon Farizal ...................................................................... 78

Hubungan Asupan Zat Gizi Dengan Kadar Hemoglobin Pada Pasien Thalasemia Yang

Menjalani Rawat Jalan Di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya

Yanti Thomas, Fretika Utami Dewi ........................................................................................ 88

Determinan Stigma Mahasiswa Poltekkes Kemenkes Yogyakarta Terhadap Orang

Dengan Hiv/Aids (ODHA)

Hesty Widyasih, Suherni ......................................................................................................... 94

Analisis Implementasi Pojok Laktasi Di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya

Lola Meyasa ............................................................................................................................. 99

Analisis Fungsi Pelaksanaan Program Asi Eksklusif Oleh Bidan

Seri Wahyuni ........................................................................................................................... 107

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Page 5: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Herlina Diyaningsih, Determinan Gizi Kurang pada Balita 1-5 tahun

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 60

Pengaruh Minuman Jahe Madu Terhadap Mual Dan Muntah Pada Ibu Hamil Di Puskesmas

Pahandut Dan Puskesmas Pembantu di Wilayah Kerja

Puskesmas Pahandut Palangka Raya

Effect Of Ginger Honey Drink Towards Nausea and Vomiting In Pregnant Women

In Pahandut Primary Health Center Palangka Raya

Herlina Diyaningsih

Abstrak. Mual dan muntah adalah gejala yang sering terjadi pada awal kehamilan jika tidak ditangani dengan

benar akan mengakibatkan komplikasi pada ibu dan janin. Metode yang digunakan untuk mengurangi mual

dan muntah yaitu metode farmakologis dengan menggunakan vitamin B6 dan non farmakologis yaitu salah

satu alternatif adalah minuman jahe dan madu. Tujuan penelitian ini menganalisis pengaruh minuman jahe

madu terhadap frekuensi mual muntah pada ibu hamil. Penelitian Eksperimen dengan menggunakan desain

randomize pre-post test design control group. Pada desain penelitian ini terdapat 4 (empat) kelompok, yaitu 3

(tiga) kelompok intervensi dan 1 kelompok kontrol. Kelompok intervensi diberikan minuman madu, jahe dan

kombinasi madu dan jahe sedangkan kelompok kontrol diberikan vitamin B6 pada ibu hamil yang mengalami

mual muntah. Hasil analisis bivariat menunjukan ada pengaruh yang bermakna secara statistik antara ketiga

kelompok intervensi (minuman madu, jahe, kombinasi madu dan jahe) dan kelompok kontrol terhadap durasi

mual, frekuensi mual, frekuensi muntah dan frekuensi mual dan muntah dengan nilai P<0,05. Kesimpulan:

pemberian intervensi minuman jahe dan kombinasi jahe madu lebih efektif dibandingkan kelompok intervensi

madu dan kontrol. Saran, pemberian minuman jahe dan kombinasi jahe madu sebaik digunakan sebagai salah

satu pilihan dalam pengobatan mual muntah pada ibu hamil

Kata Kunci: Madu, jahe, kombinasi madu dan jahe, mual muntah

Abstract. Nausea and vomiting are common symptoms in early pregnancy if not treated properly will lead to

complications in the mother and fetus. The method used to reduce nausea and vomiting that pharmacological

methods by using the vitamin B6 and non- pharmacological alternativeis ginger and honey drink. Objective of

study to analyze the effect of ginger honey drink to the frequency of nausea and vomiting in pregnant women.

The study method used experimental randomize design pre - post test control group design. In this design,

groups were divided into four groups they were three groups as intervention and one group as control. The

group of intervention were given honey drink, ginger, combination of ginger and honey while the control group

was given vitamin B6 to pregnant women with nausea and vomiting. The results showed no statistically

significant effect between the three intervention groups (drink honey, ginger, honey and ginger combination)

and a control group of the duration of nausea, frequency of nausea, vomiting frequency and the frequency of

nausea and vomiting with a P value <0.05 and the control group p = 0.001. Overall, providing intervention

combination honey and ginger was more effective than the control intervention group ginger and honey. For

suggestion, giving drink ginger and honey combination was used as one of the best options in the treatment of

nausea and vomiting in pregnant women

Key word: Honey, ginger, honey and ginger combination, nausea and vomiting.

Pendahuluan

Mual dan muntah adalah gejala yang sering terjadi

pada kehamilan 50- 80% terjadi pada tirmester

pertama wanita hamil.1 Keluhan ini muncul sejak

awal kehamilan hingga usia kehamilan 20 minggu,

hanya sekitar 10% dari seluruh kasus mual muntah

ini yang tetap dikeluhkan hingga akhir kehamilan.2

Penyebab mual dan muntah pada kehamilan belum

diketahui dengan pasti, mual dan muntah berkaitan

erat dengan etiologi dan patogenesis mual dan

muntah pada kehamilan. Menurut teori, perubahan

fisiologis pada ibu hamil menyebabkan peningkatan

kadar human chorionic gonadotropin (hCG) dan

perubahan psikologis seperti takut dan cemas dapat

mengaktifkan Chemosreseptor Triger Zone

(CTZ).3Neurotrasmiter ini adalah Serotonin,

Dopamin, Asetilkolin dan Histamin dan

kemoreseptor yang kelima adalah Neurokinin 1

neuropeptide yang dikenal sebagai substansi P.

Stimulasi dari kemoreseptor ini memicu aktivasi

pusat muntah menyebabkan mual dan muntah. 4

Page 6: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

ARTIKEL PENELITIAN

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 61

Metode yang digunakan untuk mengurangi mual

muntah yaitu makan porsi kecil tapi sering, batasi

lemak dalam diet, istirahat, Farmakologis dengan

menggunakan vitamin B6 dan non farmakologis

yaitu salah satunya adalah minuman jahe dan

madu.5.6

Jahe dan madu memiliki manfaat untuk mengurangi

mual muntah pada kehamilan karna jahe memiliki

kandungan minyak atsiri yaitu gingerol dan madu

juga mengandung piridoksin, kedua zat tersebut

sebagai anti chemoreseptor yang dapat memblok

atau menghentikan zat serotonin, dopamin,

asetilkolin, histamin dan neurokinin yang dapat

mengaktifkan pusat muntah. 7.8

Jahe tidak memiliki efek samping pada kehamilan

dan madu yang kaya nutrisi dan enzim untuk

kebutuhan nutrisi ibu hamil dan asupan gizi janin

serta ketika jahe dan madu diminum secara

bersamaan efek jahe lebih cepat bertransmisi karna

madu mengandung enzim diastase, invertase,

glukosa oksidase, dan peroksidase untuk

metabolisme sehingga lebih cepat diserap oleh

tubuh.9 Mengatasi mual dan muntah pada ibu hamil.

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh

pemberian minuman madu, jahe dan kombinasi

terhadap mual muntah pada ibu hamil trimester 1 dan

II.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian Eksperimen

dengan menggunakan desain randomize pre-post test

design control group. Pada desain penelitian ini

terdapat 4 kelompok, yaitu 3 kelompok intervensi

dan 1 kelompok kontrol. Pada kelompok intervensi

diberikan vitamin B6 pada masing-masing kelompok

intervensi diberikan minuman madu (A), minuman

jahe (B) dan minuman kombinasi madu dan jahe (C)

pada ibu hamil yang mengalami mual dan muntah

sedangkan kelompok control (D) tidak diberikan

minuman madu, jahe dan kombinasi madu dan jahe..

Pupulasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu

hamil yang mengalami mual muntah yang

memeriksakan kehamilannya di Puskemas Pahandut

dan Puskesmas Pembantu Wilayah Puskesmas

Pahandut berjumlah 69 orang dan yang bersedia

menjadi reponden sebanyak 64 orang pada bulan

Januari – Februari Tahun 2014 dan memenuhi

kriteria inklusi dan ekslusi. Jumlah sampel dalam

penelitian ini dihitung berdasarkan estimasi proporsi

suatu populasi dengan ditetapkan kesalahan tipe I

sebesar 5%, kesalahan tipe II 20% didapatkan jumlah

sampel sebanyak 60 responden. Variabel bebas

penelitian ini adalah minuman madu, minuman jahe

dan minuman

kombinasi madu dan jahe. Variabel Terikatnya

adalah durasi mual, frekuensi mual, frekuensi muntah

dan frekuensi mual dan muntah. Pengolahan data dan

analis data menggunakan SPSS for window versi 15

analisis univariat, analisis bivariat (Paired Test,

Wilcoxon, Kruskal-Wallis Uji post-hoc Mann

Whitney)

Hasil Penelitian

Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar usia

responden berusia antara 20 sampai 35 yaitu 80,0%

dengan jumlah responden 12 orang pada kelompok

A,B,D. Usia termuda < 20 tahun pada kelompok A

dan kelompok B yaitu 13,3 % dengan jumlah

resonden 2 orang. Dan yang terkecil pada usia tertua

>35 tahun terdapat pada kelompok A,B, dan

kelompok C yaitu 6,7 % dengan jumlah 1 orang.

Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan nilai p

value sebesar 0,695 maka dapat disimpulkan bahwa

tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rerata

usia di antara empat kelompok (p > 0,05).

Tabel 1. Karakteristik Responden

Kelompok A B C D

Usia

ibu

(Thn)

f %

f %

f %

f %

P

Value <20 2 13 2 13 3 20 3 20 20-35 12 80 12 80 11 73 12 80 0,695 >35 1 7 1 7 1 7 - Jumlah 15 100 15 100 15 100 15 100 15 100

Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar usia

kehamilan responden <12 pada empat kelompok ,

Usia kehamilan< 12 pada kelompok A yaitu 73,3%

dengan jumlah responden 6 orang. Usia kehamilan >

12 minggu yang terkecil pada kelompok A yaitu 26,7

% dengan jumlah responden 4 orang. Berdasarkan

hasil uji statistik didapatkan nilai p value sebesar

0,526 maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat

perbedaan yang signifikan antara rerata paritas

diantara empat kelompok (p > 0,05).

Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar

paritas responden pada multigravida pada kelompok

A dan kelompok D sama yaitu 60% dengan jumlah

resonden 9 orang dan yang terkecil pada

Primigravida orang dan yang terkecil pada kelompok

C yaitu 26,7% dengan jumlah responden 4 orang.

Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan nilai p

value sebesar 0,526 maka dapat disimpulkan bahwa

tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rerata

paritas diantara empat kelompok (p > 0,05).

Page 7: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Herlina Diyaningsih, Determinan Gizi Kurang pada Balita 1-5 tahun

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 62

Tabel 2. Distribusi frekuensi karakteristik

responden menurut usia ibu

dan uji homogenitas

Kelompok A B C D Umur

keham

ilan

f %

f %

f %

f %

P

Value TI 11 73 6 40 9 60 8 53 0,256 TII 4 27 9 60 6 40 12 47 Jumlah 15 100 15 100 15 100 15 100 15 100

Tabel 3. Distribusi frekuensi karakteristik

responden menurut paritas dan uji homogenitas

Kelompok Paritas A B C D

f %

f %

f %

f %

P

Value Primi 6 40 8 53 4 27 6 40 Multi 9 60 7 47 11 73 9 60 0,526 Jumlah 15 100 15 100 15 100 15 100

Tabel 4. Distribusi frekuensi karakteristik

responden menurut riwayat keluarga dan uji

homogenitas

Kelompok A B C D Riwayat

klg

f %

f %

f %

f %

P

Value Ya 10 67 10 67 8 53 11 73 Tidak 5 33 5 33 11 73 4 27 0,157 Jumlah 15 100 15 100 15 100 15 100

Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar

riwayat keluarga responden yang mengalami mual

dan mutah pada empat kelompok, yaitu pada

kelompok D yaitu 73,3 % dengan jumlah responden

11 orang dan yang terkecil pada kelompok yang

tidak memiliki riwayat keluarga yaitu pada kelompok

D yaitu 26,7 dengan jumlah responden 4 orang

Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan nilai p

value sebesar 0,157 maka dapat disimpulkan bahwa

tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rerata

paritas diantara empat kelompok (p > 0,05).

Berdasarkan tabel 5 pada kelompok A dapat

dilihat nilai median skor durasi mual, frekuensi mual,

frekuensi muntah dan frekuensi mual dan muntah

sebelum diberikan intervensi adalah adalah sebesar

10 dan skor sesudah intervensi adalah sebesar 9 .

Rata-rata skor frekuensi sebelum diberikan intervensi

adalah sebesar skor durasi mual, frekuensi mual,

frekuensi muntah dan frekuensi mual dan muntah

11,08 dan rata-rata skor durasi mual, frekuensi mual,

frekuensi muntah dan frekuensi mual dan muntah

sesudah intervensi 9,13 sehingga dapat disimpulkan

bahwa terjadi penurunan skor durasi mual, frekuensi

mual, frekuensi muntah dan frekuensi mual dan

muntah sesudah intervensi. Dari hasil analisi statistik

menggunakan statistik non-parametrik uji wilcoxon

didapat nilai p value sebesar 0,007 maka secara

statistik terdapat perbedaan skor durasi mual,

frekuensi mual, frekuensi muntah dan frekuensi mual

dan muntah yang signifikan antara skor frekuensi

sebelum dan sesudah dilakukan intervensi (p value <

0,05). Sehingga dapat disimpulkan intervensi

kelompok A berpengaruh terhadap penurunan durasi

mual, frekuensi mual, frekuensi muntah dan

frekuensi mual dan muntah.

Tabel 5 . Perbedaan frekuensi skor durasi mual,

frekuensi mual, frekuensi muntah dan frekuensi

mual dan muntah sebelum dan sesudah intevensi

pada masing-masing kelompok berpasangan A

,B, C dan kelompok kontrol D

Mual dan Muntah Mean ±SD p value

Kelompok A sebelum

intervensi

11,08±2,81

0,007

Kelompok A Sesudah intervensi

9,13±2,59

Kelompok B sebelum

intervensi

11,68±2,66

0,001

Kelompok B Sesudah

intervensi

7,60±1,99

Kelompok C sebelum intervensi

11,68±3,22

0,001

Kelompok C Sesudah

intervensi

7,20±1,52

Kelompok D sebelum pemberian vitamin B6

11,73±2,64

0,001 Kelompok D Sesudah

pemberian vitamin B6

9,53±2,64

Pada kelompok B dapat dilihat nilai median skor

durasi mual, frekuensi mual, frekuensi muntah dan

frekuensi mual dan muntah sebelum diberikan

intervensi adalah adalah sebesar 12 dan skor sesudah

intervensi adalah sebesar 7 . Rata-rata skor frekuensi

sebelum diberikan intervensi adalah sebesar skor

durasi mual, frekuensi mual, frekuensi muntah dan

frekuensi mual dan muntah 11,68 dan rata-rata skor

frekuensi durasi mual, frekuensi mual, frekuensi

muntah dan frekuensi mual dan muntah sesudah

intervensi 7,60 sehingga dapat disimpulkan bahwa

terjadi penurunan skor durasi mual, frekuensi mual,

frekuensi muntah dan frekuensi mual dan muntah

sesudah intervensi.Dari hasil analisis statistik

menggunakan statistik non-parametrik uji wilcoxon

didapat nilai p value sebesar 0,001 maka secara

Page 8: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

ARTIKEL PENELITIAN

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 63

statistik terdapat perbedaan skor durasi mual,

frekuensi mual, frekuensi muntah dan frekuensi mual

dan muntah yang signifikan antara skor frekuensi

sebelum dan sesudah dilakukan intervensi (p value <

0,05). Sehingga dapat disimpulkan intervensi

kelompok B berpengaruh terhadap penurunan durasi

mual, frekuensi mual, frekuensi muntah dan

frekuensi mual dan muntah . Pada kelompok C dapat

dilihat nilai median skor durasi mual, frekuensi mual,

frekuensi muntah dan frekuensi mual dan muntah

sebelum diberikan intervensi adalah adalah sebesar

11 dan skor sesudah intervensi adalah sebesar 7 .

Rata-rata skor frekuensi sebelum diberikan intervensi

adalah sebesar skor frekuensi mual muntah 11,68 dan

rata-rata skor durasi mual, frekuensi mual, frekuensi

muntah dan frekuensi mual dan muntah sesudah

intervensi 7,20 sehingga dapat disimpulkan bahwa

terjadi penurunan skor durasi mual, frekuensi mual,

frekuensi muntah dan .frekuensi mual dan muntah

sesudah intervensi. Dari hasil analisi statistik

menggunakan statistik non-parametrik uji wilcoxon

didapat nilai p value sebesar 0,001 maka secara

statistik terdapat perbedaan skor durasi mual,

frekuensi mual, frekuensi muntah dan frekuensi mual

dan muntah yang signifikan antara skor frekuensi

sebelum dan sesudah dilakukan intervensi (p value <

0,05). Sehingga dapat disimpulkan intervensi

kelompok C berpengaruh terhadap penurunan durasi

mual, frekuensi mual, frekuensi muntah dan

frekuensi mual dan muntah. Pada kelompok D dapat

dilihat nilai median skor durasi mual, frekuensi mual,

frekuensi muntah dan frekuensi mual dan muntah

sebelum diberikan intervensi adalah adalah sebesar

12 dan skor sesudah intervensi adalah sebesar 10 .

Rata-rata skor frekuensi sebelum diberikan intervensi

adalah sebesar skor durasi mual, frekuensi mual,

frekuensi muntah dan frekuensi mual dan muntah

11,73 dan rata-rata skor frekuensi durasi mual,

frekuensi mual, frekuensi muntah dan frekuensi mual

dan muntah sesudah intervensi 9,53 sehingga dapat

disimpulkan bahwa terjadi penurunan skor frekuensi

sesudah mendapatkan vitamin B6 perawatan biasa

yang diberikan dipuskesmas pada kelompok D

(kontrol). Dari hasil analisi statistik menggunakan

statistik parametrik uji paired t test didapat nilai p

value sebesar 0,001 maka secara statistik terdapat

perbedaan skor durasi mual, frekuensi mual,

frekuensi muntah dan frekuensi mual dan muntah

yang signifikan antara skor frekuensi sebelum dan

sesudah dilakukan intervensi (p value < 0,05).

Sehingga dapat disimpulkan setelah mendapatkan

vitamin B6 perawatan biasa yang diberikan

dipuskesmas pada kelompok D (kontrol)

berpengaruh terhadap penurunan durasi mual,

frekuensi mual, frekuensi muntah dan frekuensi mual

dan muntah .

Tabel 6 . Perbedaan frekuensi skor durasi mual,

frekuensi mual, frekuensi muntah dan frekuensi

mual dan muntah sebelum dan sesudah intevensi

pada masing-masing kelompok berpasangan A,

B, C dan kelompok kontrol D

Mual dan Muntah Mean

Rank

p value

Kelompok A Sesudah

intervensi

21,60

0,008

Kelompok B Sesudah intervensi

36,87

Kelompok C Sesudah

intervensi

39,23

Kelompok D Sesudah

pemberian vitamin B6

24,30

Tabel 6 menunjukkan frekuensi mual muntah

pada kelompok A, B, C, dan D diuji secara bersama-

sama diperoleh hasil uji statistik nilai p value sebesar

0,008 (p < 0,05) maka secara statistik dapat

disimpulkan bahwa terdapat perbedaan bermakna

durasi mual, frekuensi mual, frekuensi muntah dan

frekuensi mual dan muntah antara kelompok A,B,C

dan D setelah diberikan intervensi. Dengan Uji post-

hoc Mann Whitney penurunan frekuensi kelompok B

sebesar 39,23 dan kelompok C sebesar 36,87

sedangkan kelompok A sebesar 21, 60 dan D sebesar

24,30 sehingga dapat disimpulkan bahwa kelompok

intervensi C dan B durasi mual, frekuensi mual,

frekuensi muntah dan frekuensi mual dan muntah

lebih rendah dari pada kelompok A dan D. Kelompok

C dan B lebih efektif dalam menurunkan durasi mual,

frekuensi mual, frekuensi muntah dan frekuensi mual

dan muntah pada ibu hamil dibandingkan dengan

kelompok intervensi A dan D.

Page 9: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Herlina Diyaningsih, Determinan Gizi Kurang pada Balita 1-5 tahun

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 64

Pembahasan

Mual dan muntah adalah gejala umum

yang dialami oleh perempuan pada trimester

pertama kehamilan dan mempengaruhi 50-

80% dari hamil perempuan.1 Berdasarkan

hasil analisis univariat terhadap frekuensi

mual dan muntah sebelum dan sesudah

diberikan intervensi pada keempat kelompok

menunjukkan bahwa skor frekuensi mual dan

muntah yang diberikan kelompok madu,

jahe, jahe dan madu diberikan B6 sebelum

pemberian intervensi dan sesudah intervensi

terhadap ketiga kelompok dan kelompok

kontrol terjadi penurunan skor frekuensi

mual dan muntah menjadi frekuensi lebih

rendah dari pada sebelum intervensi. Salah

satu manajemen farmakologis dengan

pemberian obat-obatan yang sering diberikan

pada wanita hamil yang mengalami mual

muntah adalah obat yang mengandung efek

anti mual seperti vitamin B6 sebagai anti

chemoreseptor yang dapat memblok atau

menghentikan serotonin untuk mencegah

aktifnya pusat muntah.10.11 Beberapa

alternatif non farmakologis yang dianjurkan

jahe dan madu untuk mengurangi mual

muntah. Jahe memiliki kandungan minyak

atsiri dan gingerol dan madu juga

mengandung piridoksin ketiga zat tersebut

sebagai anti chemoreseptor yang dapat

memblok atau menghentikan serotonin untuk

mencegah aktifnya pusat muntah.9.12 Manfaat

vitamin B6 dan kombinasi madu dan jahe

yang bekerja pada sistem, organ, yang sama

dengan efek farmakologi yang sama sehingga

memiliki interaksi farmakodinamik yang

sinergis dalam menurunkan frekuensi mual

dan muntah.7

Pemberian kelompok intervensi jahe dan

kombinasi madu dan jahe lebih efektif dalam

menurunkan skor durasi mual, frekuensi

mual, frekuensi muntah dan frekuensi mual

dan muntah pada ibu hamil dibandingkan

kelompok intervensi madu dan kelompok

kontrol.

Kesimpulan Dan Saran

Kesimpulan dari penelitian ini yaitu

minuman madu berpengaruh terhadap durasi

mual, frekuensi mual, frekuensi muntah dan

frekuensi mual muntah pada ibu hamil yang

mengalami mual muntah diwilayah

Puskemas Pahandut Palangka Raya;

minuman jahe (B) berpengaruh terhadap

durasi mual, frekuensi mual, frekuensi

muntah dan frekuensi mual muntah pada ibu

hamil yang mengalami mual muntah

diwilayah Puskemas Pahandut Palangka

Raya; minuman kombinasi madu dan jahe

berpengaruh terhadap durasi mual, frekuensi

mual, frekuensi muntah dan frekuensi mual

muntah pada ibu hamil yang mengalami mual

muntah diwilayah Puskemas Pahandut

Palangka Raya; minuman jahe dan kombinasi

madu dan jahe lebih efektif dalam

menurunkan durasi mual, frekuensi mual,

frekuensi muntah dan frekuensi mual muntah

pada ibu hamil yang mengalami mual muntah

diwilayah Puskemas Pahandut Palangka

Raya

Berdasarkan simpulan maka disarankan

sebagai berikut bagi masyarakat hendaknya

menggunakan minuman jahe dan kombinasi

madu dan jahe sebagai salah satu pilihan

dalam pengobatan ibu hamil dengan mual

muntah; Bagi instansi kesehatan hendaknya

sebagai menerapkan atau pertimbangan dan

mempromosikan minuman jahe dan

kombinasi madu dan jahe untuk dijadikan

sebagai bagian dari intervensi kebidanan

dalam pengelolaan asuhan ibu hamil yang

mengalami mual dan muntah dengan

menggunakan manajemen non-farmakologis

yang lebih bersifat preventif serta

memberikan asuhan kebidanan yang holistik

pada ibu hamil yang mengalami mual muntah

dengan pilihan alternatif pengobatan yang

lebih sederhana, mudah dilakukan dan

minimal efek samping; bagi pengembangan

ilmu pengetahuan hendaknya memasukkan

materi mengenai terapi non-farmakologis

yaitu minuman jahe dan kombinasi madu dan

madu dalam proses belajar-mengajar

terutama dalam pembelajaran asuhan

kebidanan pada ibu hamil dalam rangka

mengembangkan praktik kebidanan yang

berbasis terapi non-farmakologis; Bagi

penelitian selanjutnya perlunya penelitian

tentang pengukuran kadar serotonin sebagai

alat ukur yang lebih objektif dalam mengukur

frekuensi mual dan muntah pada kehamilan.

Daftar Pustaka

1. Carolin. S, Franzcog, Kristyn.W and

Vicky. M. Randomized controlled Trial of

Ginger to Treat Nausea and Vomiting in

Pregnancy. Obsetric Ginecology 2004

2. Leveno and Keneth .J. Obsetri Williams

Edisi 21. Jakarta EGC. 2009

Page 10: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

ARTIKEL PENELITIAN

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 65

3. Mario Fasten. Nausea and Vomiting in

early pregnancy. Clinical Eviden 2009

4. Garret K, Tsuruta K, Walker S, Jackson

and Sweat, Managing nausea and

vomiting .Critical Care Nurse. 2005

5. Fraser Diane, Margaret Cooper. Buku

Ajar Bidan. EGC 2009

6. Jensen. Lowderilk Bobak. Keperawatan

Maternitas Jakarta EGC 2005

7. Dipiro, Cecily.V, Talbert. R.L., Yee. G.C,

Matzke. G.R., Wells. B.G, and Posey.

L.M. Nausea and Vomiting dalam

Pharmacotherapy A Pathophysiologic

Approach, 7th Edition, McGraw Hill

Medical, USA 2008

8. Levine, Marcum. G, Yanchis. S, Anne,

Voss. C and Robert. L. Protein and ginger

for treatment of chemotherapyinduced

delayed nausea. Journal of Alternative

and Complementary. Medicine, 2008;

551-545

9. Salim. A. Khasiat Kombinasi Madu dan

Jahe in Madu Jan 14, 2009

White Brett. Ginger : An Review Am

Francisco 200

10. Pongrojpaw D , Somprasit and

Chanthasenanon A. A Randomized

Comparison of Ginger and

Dimenhydrinate in the Treatment of

Nausea and Vomiting in Pregnancy J Med

Assoc Thai 2007

11. Taras, Heater. B, Georgousis. A, Smith.

M, and Einarson.A. The use of CAM by

Women Suffering from nausea and

Vomiting during Pregnancy. BMC

Complementary and Alternative

Medicine 2004.

Page 11: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Christine Aden, Pengaruh Manajemen Nyeri Persalinan di Kota Palangka Raya

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 66

Pengaruh Manajemen Nyeri Persalinan Pada Ibu Primipara

di Kota Palangka Raya

Effects of Labor Pain Management in Primiparous Women

Christine Aden

Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Palangka Raya

Abstrak. Nyeri persalinan merupakan pengalaman subjektif tentang sensasi fisik yang terkait dengan

kontraksi uterus, dilatasi dan penipisan serviks, serta penurunan janin selama persalinan. Nyeri persalinan

memiliki keunikan dengan respon yang berbeda-beda bagi setiap ibu bersalin. Upaya menurunkan nyeri

persalinan dapat dilakukan dengan tehnik nonfarmakologi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

pengaruh manajemen nyeri persalinan pada ibu primipara di kota Palangka Raya.Penelitian ini dilakukan

pada 26 ibu primipara.Data dianalisis, Uji T tidak berpasangan serta generalized estimating equation

(GEE). Hasil penelitian ada perubahan persepsi persalinan pada kelompok intervensi sebesar 2,2 kali

sebelum intervensi dan sesudah intervensi manajemen nyeri persalinan. Ditemukan nyeri sedang pada ibu

yang memanfaatkan tehnik manajemen nyeri dan pada pengamatan ke II terdapat perbedaan proporsi skala

nyeri antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol (nilai P=0,038). Ditemukan adanya interaksi antara

manajemen nyeri dengan waktu pengamatan pada pengamatan ke III (α=0,005 < 0,01). Pada pengamatan

ke III, manajemen nyeri menaikan rata-rata dilatasi servik sebesar 4,5 cm. Berdasarkan uji GEE

menyatakan tidak ada perbedaan nilai pada kelompok intervensi dan kontrol baik pre maupun post test.

Secara substansi pada kelompok intervensi yang telah mendapatkan pengetahuan tentang manajemen nyeri

persalinan teramati dapat menerapkan dan memadukan tehnik mengurangi nyeri persalinan secara mandiri

dan dengan dukungan keluarga.

Kata kunci: Nyeri persalinan, manajemen nyeri persalinan, primipara

Abstract. Labor Pain is a subjective experience about physical cencation that associated with the

pysicological process of labor and pregnant women characteristics to face the labor. Labor pain is unique

with different responses for every pregnant women. Efforts to reduce labor pain can be done with non

pharmacological technic. This study aimed to determine the effect of labor pain management on the

primiparous women in Palangka Raya. This study was done to 26 primiparous. Data was analyzed by

unpaired t test and generalized estimating equation (GEE). The results of analysis showed that there was a

change of labor perception in the intervention group at 2.2 times as much before intervention and after

intervention of labor pain management. Moderate pain was found in the mothers who utilizing pain

management. Interaction was found between pain management with observations time on the third

observations (ᾳ= 0.005<0,01). On the third observations, pain management raised the average of cervic

dilatation to 4.5 cm. Based on the generalized estimating equation (GEE) revealed no difference

knowledge score between intervention group and control both pre and post test. Substantialy, in the

intervention group who got education about pain management reported that they applied and combined

the technic to reduce labor pain independently and with family support.

Key words: Labor Pain, Labor Pain Management, Primiparous

Pendahuluan

Persalinan adalah proses berakhirnya

kehamilkan, melalui proses ini semua perempuan

akan mengalami nyeri persalinan¹. Nyeri persalinan

dimulai oleh adanya kontraksi uterus (his) yang

disebabkan penurunan kadar hormon progesteron.

Progesteron bekerja sebagai penenang otot polos

uterus, dan menjelang persalinan kadar progesteron

turun yang mengakibatkan kekejangan pembuluh

darah yang menyebabkan his atau kontraksi uterus

yang dirasakan ibu sebagai rasa nyeri. Nyeri juga

dapat terjadi karena distensi pada uterus. Uterus

yang menjadi besar dan meregang dapat

mengakibatkan iskemia pada otot-ototnya,

sehingga sirkulasi uteroplasenta terganggu.

Selanjutnya teori iritasi mekanik menyebutkan

bahwa di belakang servik terletak ganglion

servicale (fleksus frankenhauser). Bila kepala janin

menekan atau menggeser ganglion ini maka akan

akan timbul kontraksi uterus².

Nyeri persalinan merupakan pengalaman

subjektif tentang sensasi fisik yang terkait dengan

kontraksi uterus, dilatasi dan penipisan serviks,

serta penurunan janin selama persalinan. Nyeri

persalinan juga juga dipengaruhi budaya, usia,

Page 12: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

ARTIKEL PENELITIAN

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 67

sosialekonomi, agama, lingkungan, kepribadian

dan persiapan persalinan.¹-6

Upaya menurunkan nyeri persalinan dapat

dilakukan dengan tehnik farmakologi dan

nonfarmakologi.¹-12. Metode nonfarmakologi

bersifat nonintrusif, noinvasif, murah, simple,

efektif dan tanpa efek yang merugikan .¹-3 metode

nonfarmakologi yang paling efektif menurunkan

nyeri saat persalinan adalah teknik pernapasan,

relaksasi, akupresur dan massage5 dan

penggabungan tehnik-tehnik tersebut dilakukan

dalam relaksasi otot, latihan pernapasan, dan

massase pada area lumbalsakral sangat bermakna

menurunkan nyeri persalinan6-7.

Persiapan persalinan dengan melakukan

latihan pengelolaan nyeri persalinan secara non

farmakologi menurut Lamaze, Bradley dan Dick

Read selain mengurangi nyari persalinan juga akan

meningkatkan kepuasan ibu terhadap pengalaman

persalinan ¹-4. Dari hasil penelitian diketahui

bahwa apabila ibu yang telah termotivasi untuk

mempersiapkan diri menghadapi persalinan maka

rasa nyeri selama persalinan dapat berkurang

sampai dengan sepertiganya². Latihan pengelolaan

nyeri persalinan akan membantu ibu memahami

persalinan dan menghadapi persalinan dengan

tenang dan menggunakan koping menghadapi nyeri

dengan efektif8.

Kecemasan menghadapi persalinan dapat

menambah lama persalinan dan menyebabkan

kelelahan ibu. Kecemasan selama persalinan akan

menyebabkan reaksi fisik berupa peningkatan

denyut jantung dan tekanan darah, dan dapat

menurunkan kontraksi uterus dan mengakibatkan

persalinan lama dan berisiko pada kematian ibu

dan janin.¹-4.

Metode farmakologi dengan analgesika untuk

menurunkan nyeri dan kecemasan ibu selama

persalinan memiliki efek samping yang merugikan

bagi ibu dan janin. Diantaranya adalah ibu dapat

mengalami hipoksia dan kontraksi uterus menurun,

sedangkan janin dapat mengalami masalah

pernapasan dan kesulitan mengisap ASI.¹-8

Persalinan di Kalimantan Tengah tahun 2010

sebanyak 43.550 jiwa sedangkan 10% persalinan

adalah di Palangka Raya yaitu sebanyak 4.724

jiwa.9 . Teramati manajemen nyeri persalinan yang

diberikan pada kelas persiapan persalinan belum

diterapkan dengan maksimal. Selama periode

ANC pemeriksaan kehamilan yang diberikan

bersifat rutin yang diberikan berkisar pada 7T yaitu

timbang berat badan dan ukur tinggi badan,

mengukur tekanan darah dan tinggi fundus,

memberikan imunisasi tetanus toxoid, memberikan

tablet tambah darah teratur, pemeriksaan

laboratorium dan wawancara.

Penelitian ini ingin memperkenalkan

manajemen nyeri persalinan pada ibu hamil

menjelang persalinan sehingga memiliki koping

yang efektif menghadapi pesalinan dan memiliki

kepuasan terhadap pengalaman persalinan.

Penelitian ini juga dapat meyakinkan para

penolong persalinan, sehingga dapat

menerapkannya saat melakukan praktek di rumah

sakit, puskesmas maupun klinik pribadi.

Tujuan penelitian ini adalah diketahuinya

pengaruh manajemen nyeri persalinan terhadap

nyeri persalinan ibu primipara di Kota Palangka

Raya

Metodologi Penelitian

Rancangan penelitian ini menggunakan

rancangan kuasi eksperimen (quasi experiment)

dengan nonrandomize pre and post test with

control group dilanjutkan untuk mengukur

pengaruh manajemen nyeri persalinan.

Populasi penelitian ini adalah ibu primipara

usia 20-40 tahun dengan kehamilan tunggal, usia

kehamilan 34-36 minggu (usia kehamilan untuk

mengikuti kelas manajemen persalinan).

Pengambilan data mulai Juli sampai dengan

Desember 2012. Cara pengambilan sampel pada

penelitian ini adalah dengan purposif sampling dan

untuk kelompok kontrol responden diperoleh

dengan menggunakan tehnik aksidental sampling.

Kriteria Inklusi sebagai berikut kehamilan dengan

presentasi kepala, taksiran berat janin 2500 gram-

4000gram, persalinan tanpa penyulit, bersedia

terlibat dalam penelitian dan ibu tinggal di

Palangka Raya. Sedangkan kriteria eksklusi adalah

ibu primipara dengan pemberian obat analgesika,

Ibu dengan ketuban pecah dini lebih dari 20 jam,

Ibu mendapatkan induksi persalinan, Ibu dengan

gangguan pendengaran dan visual, Ibu menderita

penyakit infeksi, Ibu dengan peradangan kulit

sensitif di area massase. Jumlah sampel ditentukan

berdasarkan hasil penelitian sebelumnya.

Perhitungan besar sampel untuk penelitian ini

berdasarkan rata-rata dan standar deviasi penelitian

terdahulu yang mendekati. Jumlah sampel minimal

yaitu 26 ibu primipara. Pengambilan data

karakteristik responden menggunakan kuesioner

yang diisi langsung oleh responden. Sedangkan

data pengetahuan tentang persalinan menggunakan

kuesioner yang diisi sebelum dan setelah responden

mendapat pengajaran dalam kelas manajemen nyeri

persalinan. Kisi-kisi pertanyaan pengetahuan

dalam kuesioner meliputi pengertian tentang

persalinan, tanda dan gejala persalinan, nyeri

persalinan, faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri

persalinan dan cara mengurangi nyeri persalinan.

Pelaksanaan kelas manajemen nyeri persalinan

menggunakan protokol dengan memperhatikan

kriteria inklusi dan esklusi, memberikan

pengetahuan pada responden dan keluarga yang

akan mendampingi persalinan bagaimana peran

serta suami atau anggota keluarga terdekat

mendukung agar nyeri selama persalinan dapat

dikurangi. Demonstrasi dan redemonstrasi cara

menghitung kontraksi, cara mengedan dan teknik

Page 13: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Christine Aden, Pengaruh Manajemen Nyeri Persalinan di Kota Palangka Raya

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 68

mengurangi nyeri persalinan : relaksasi dan

pengaturan pola pernapasan, perubahan posisi,

massase/ teknik efflurage, counter pressure pada

sakrum. Kelas manajemen nyeri persalinan diberikan di

laboratorium keperawatan maternitas jurusan

keperawatan Poltekkes Kemenkes Palangka Raya.

Sebelum kelas dimulai responden mendapatkan

pemeriksaan pemeriksaan fisik dan kehamilan

Vital Sign ; Pengukuran tekanan darah, jumlah

pernapasan, jumlah nadi dan suhu. Auskultasi

bunyi napas, Leopold, mengukur tinggi fundus,

menghitung taksiran berat janin, menghitung

denyut jantung janin

menghitung gerak janin, menimbang berat

badan, memantau tanda udema, memantau

kontraksi dan merujuk klien jika ada indikasi.

Responden yang datang didapat dari dari bidan

klinik swasta dan rumah sakit dr.Doris Sylvanus

Palangka Raya.

Materi manajemen nyeri persalinan dibuat

menjadi sebuah booklet dan petugas pemberi

informasi adalah peneliti sendiri sehingga

konsistensi intervensi dapat dipertahankan. Petugas

duduk berhadapan dengan responden yang bisa

duduk atau berbaring dengan jarak 1 - 1,5 .

Responden didampingan suaminya/ keluarga.

Metode yang digunakan adalah ceramah, tanya

jawab, diskusi, demostrasi dan redemonstrasi

(latihan tindakan mengurangi nyeri persalinan)

Pendidikan kesehatan dalam satu kelas diberikan

pada 5-6 responden dengan pasangannya.

Waktu pelaksanaan intervensi disepakati

bersama klien. Lamanya waktu penyampaian

materi sekitar 60 menit atau disesuaikan dengan

kondisi jika waktu yang dibutuhkan lebih lama dari

yang ditetapkan. Secara rinci kegiatan 30 menit

pertama dibagi menjadi pendahuluan selama 5

menit untuk pemberi materi mengucapkan salam

pembuka dan memperkenalkan diri serta

menjelaskan cakupan materi. Penjelasan selama 30

menit, peneliti memberikan penjelasan mengenai

materi yang ada dalam booklet dan memberikan

kesempatan pada responden untuk bertanya bila

belum jelas. Selanjutnya penutup selama 5 menit

untuk menyimpulkan materi. Selanjutnya

pelaksanaan mengurangi nyeri persalinan berupa

demonstrasi selama 30 menit kedua. Berupa

aplikasi dari pengetahuan yang dijelaskan 30 menit

pertama. Demonstrasi ini dilakukan oleh pemberi

materi dan responden dan pasangan diminta untuk

redemonstrasi kembali, selama proses ini

responden diberi kesempatan bertanya. Setelah

selesai pemberi materi mengucapkan salam

penutup. Booklet yang telah diberi dibawa pulang

untuk klien dan keluarga membaca dan melatihnya

kembali secara teratur sampai pelaksanaan pada

hari persalinan. Jika dibutuhkan, responden dan

pasangannya dapat kembali datang untuk

berkonsultasi tentang materi dan praktek

manajemen nyeri persalinan.

Observasi dan pelaksanaan manajemen nyeri

persalinan dilakukan oleh responden sendiri dan

keluarganya. Responden diminta untuk

melaporkan jika saat persalinan mulai dirasakan

dan menentukan tempat persalinannya agar mudah

dimonitor oleh peneliti.

Kepada responden dan keluarga diingatkan

agar :Jangan cemas dan jangan takut pada

persalinan, Observasi tanda-tanda persalinan,

Segera ke BPS (bidan praktik swasta) atau rumah

sakit tempat merencanakan persalinan dengan

membawa semua perlengkapan persalinan, mulai

menghitung kontraksi, Gunakan teknik

mengurangi nyeri persalinan yang telah diajarkan.

Tetap kooperatif dengan bidan penolong untuk

mengetahui skala nyeri, kala persalinan dan dilatasi

cervik.

Penolong persalinan yang merupakan

numerator penelitian ini adalah bidan pemilik

klinik persalinan swasta dan bidan yang bekerja di

ruang bersalin dr.Doris Sylvanus yang

berpendidikan minimal D3 kebidanan yang telah

berpengalaman lebih dari tiga tahun sebagai bidan

praktik.

Numerator tidak diberikan pelatihan

manajemen nyeri persalinan seperti pada kelompok

intervensi hal ini dilakukan untuk memaksimalkan

peran keluarga dan pendamping untuk membantu

mengurangi nyeri persalinan.

Agar terdapat kesetaraan dalam pemahaman

dalam pengukuran/ observasi skala nyeri

persalinan,antara peneliti dan bidan penolong yang

ada di ruang bersalin di rumah sakit dan di praktek

bidan swasta tempat penelitian dilakukan. Peneliti

dan bidan melakukan persamaaan persepsi

terhadap alat ukur yang menggunakan lembar

observasi skala nyeri Visual Analogue Skale

(VAS) yang telah valid dan terstandar Dalam

lembar observasi terdapat gambar ekspresi nyeri

dan ekspresi

0 = tidak nyeri (tidak ada rasa nyeri).

1 - 4 = nyeri ringan (ada rasa nyeri, terasa mulai

mengganggu namun masih dapat

ditahan).

5 - 6 = nyeri sedang (ada rasa nyeri dan terus

mengganggu, ada usaha kuat untuk

menahan).

7 – 8 = nyeri berat (ada rasa nyeri yang sangat

mengganggu, ditandai dengan gerakan

memukul, meremas, menangis).

9 - 10 = nyeri tak terahankan (ada rasa nyeri yang

sangat mengganggu, ditandai dengan

menangis atau berteriak).

Pada bidan dijelaskan bahwa setiap melakukan

pemeriksaan dalam per empat jam untuk

mengetahui dilatasi cervik, bidan langsung menilai

berapa skala nyeri responden berdasarkan VAS

serta lansung mengisi pada lembar observasi jam

pemeriksaan, ukuran dilatasi servik dan skala nyeri.

Pengukuran skala nyeri berakhir seiring dilatasi

servik mencapai 10 cm dan persalinan kala II

Page 14: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

ARTIKEL PENELITIAN

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 69

berakhir. Standar Asuhan Persalinan Normal

dengan pengelolaan nyeri persalinan yang telah

diketahui numerator (bidan) tetap dipertahankan

pada semua responden kelompok kontrol dan

kelompok intervensi.

Penelitian ini menggunakan kuasi eksperimen

kelompok kontrol dan kelompok intervensi.

Analisis Univariat dilakuakan untuk menganalisis

karakteristik variabel. Analisis Bivariat

menggunakan uji T Test Tidak Berpasangan untuk

mengetahui a) perbedaan pengetahuan kelompok

intervensi sebelum dan setelah pemberian

intervensi manajemen nyeri persalinan serta

perbedaaan pengetahuan kelompok kontrol setelah

persalinan, b) perbedaan persepsi persalinan antara

kelompok kontrol dan kelompok intervensi, c)

perbedaan skala nyeri persalinan kelompok kontrol

dan kelompok intervensi, dan analisis multivariat

menggunakan Generalized Estimating Equation

untuk mengetahui perbedaan pengaruh manajemen

nyeri persalinan kelompok kontrol dan intervensi.

Hasil Penelitian

Karakteristik responden

Rata-rata umur responden pada kelompok

intervensi yaitu 21,5 ± 3,6 tahun dengan nilai

median 20 tahun (95% CI 19,4-23,7). Umur

termuda yaitu umur 15 tahun dan umur tertua yaitu

28 tahun. Sedangkan untuk kelompok kontrol rata-

rata umur responden yaitu 20 ± 2,8 tahun dengan

nilai median 20 tahun (95% CI 19,3-22,7). Umur

termuda yaitu 18 tahun dan umur tertua 27

tahun(Tabel1).

Pendidikan pada kelompok intervensi paling

banyak berpendidikan SD (80%) dan yang sedikit

yaitu berpendidikan SMP (40%). Sedangkan pada

kelompok kontrol paling banyak yaitu

berpendidikan SMP (60%) dan yang paling sedikit

yaitu SMA (57,1%) (Tabel 2). Pekerjaan responden

pada kelompok intervensi dan kontrol besarannya

adalah sama yaitu 50% bekerja dan 50% tidak

bekerja. Penghasilan rata-rata pada kelompok

intervensi sebesar Rp 2.800.000 ± 855.000 dengan

nilai median Rp 3.000.000 (95% CI 2.290.000 –

3.320.000) . Penghasilan terendah yaitu Rp

2.000.000 dan penghasilan tertinggi yaitu Rp

5.000.000. Sedangkan pada kelompok kontrol rata-

rata penghasilan yaitu Rp 2.300.000 ± 1.082.000

dengan nilai median Rp 2.000.000 (95% CI Rp

2.290.000 – Rp 3.320.000).

Sedangkan pada kelompok kontrol rata-rata

penghasilan yaitu Rp 2.300.000 ± 1.082.000

dengan nilai median Rp 2.000.000 (95% CI Rp

2.290.000 – Rp 3.320.000). Penghasilan terendah

yaitu Rp 1.000.000 dan penghasilan tertinggi yaitu

Rp 5.000.000. Untuk persiapan persalinan dari

kelompok intervensi lebih banyak yang melakukan

cuti < 7 bulan (100%) sedangkan pada kelompok

kontrol lebih banyak yang melakukan cuti pada

bulan ke-7 masa kehamilan. (Tabel 1)

Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Umur, Pendidikan, Penghasilan,

Pekerjaan, Persiapan/Cuti pada Kelompok yang Diberi Pelatihan Manajemen Nyeri dan Kontrol,

Palangka Raya (n=26), 2012

Karakteristik Manajemen Nyeri Kontrol

Umur (tahun)

Rata-rata

Median

SD

Min-Maks

95% CI

21,5

20,0 3,6

15 – 28

19,4 – 23,7

20,0

20,0 2,8

18 – 27

19,3- 22,7

Pendidikan

SD

SMP

SMA

PT

4 (80%)

2 (40%)

6 (42,9%)

1 (50%)

1 (20,0%)

3 (60%)

8 (57,1%)

1 (50%)

Pekerjaan

Kerja

Tidak kerja

8 (50%)

5 (50%)

8 (50%)

5 (50%)

Penghasilan

(juta)

Rata-rata

Median

SD

Min-Maks

95% CI

2.810 3.000

855.000

2.000 – 5.000 2.290 – 3.320

2.300 2.000

1.082

1.000 – 5.000 1.690 – 2.950

Persiapan/cuti

<7 bulan

7 bulan

>7 bulan

Tidak

3 (100%)

1 (33,3%)

4 (50%)

5 (50%)

0 (0%)

2 (66,7%)

4 (50%)

7 (58,3%)

Page 15: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Christine Aden, Pengaruh Manajemen Nyeri Persalinan di Kota Palangka Raya

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 70

Uji Homogenitas Responden

Tabel 2 menjelaskan hasil analisis uji leven test terhadap

umur didapatkan nilai p > α sehingga dapat disimpulkan

tidak ada perbedaan yang bermakna (homogen) pada

karakteristik umur ibu primipara pada kelompok

intervensi dengan kelompok kontrol (nilai p = 0,363 >

0,05). Demikian pula dengan variabel pendidikan dengan

nilai p = 0,515 > 0,05 menyatakan bahwa tidak ada

perbedaan yang bermakna tingkat pendidikan ibu pada

kelompok intervensi dan kontrol. Pekerjaan responden

pada kelompok intervensi dan kontrol tidak ada perbedaan

(nilai p=1,000 > 0,05). Penghasilan dan persiapan cuti

juga tidak ada perbedaan yang signifikan, berturut-turut

nilai p= 0,452 dan 0,277.

Tabel 2. Uji Homogenitas Karakteristik Responden berdasarkan Umur, Pendidikan, Penghasilan, Pekerjaan,

Persiapan Cuti pada Kelompok yang Diberi Pelatihan Manajemen Nyeri dan Kontrol,

Palangka Raya (n=26), 2012

Karakteristik Manajemen

Nyeri

Kontrol Nilai

P

Umur (tahun)

Rata-rata

Median

SD

Min-Maks

95% CI

21,5 20,0

3,6

15 – 28 19,4 – 23,7

20,0 20,0

2,8

18 – 27 19,3 – 22,7

0.363

Pendidikan

SD

SMP

SMA

PT

4 (80%)

2 (40%) 6 (42,9%)

1 (50%)

1 (20,0)

3(60%) 8(57,1)

1(50%)

0.515

Pekerjaan

Kerja

Tidak kerja

8 (50%) 5 (50%)

8(50%) 5(50%)

1.000

Penghasilan (juta)

Rata-rata

Median

SD

Min-Maks

95% CI

2.810 3.000

855.000

2.000 – 5.000

2.290 –

3.320

2.300 2.000

1.082

1.000 – 5.000 1.690 – 2.950

0.452

Persiapan/cuti

<7 bulan

7 bulan

>7 bulan

Tidak

3 (100%)

1 (33,3%) 4 (50%)

5 (50%)

0 (0%)

2(66,7) 4(50%)

7(58,3)

0.277

Persepsi Responden terhadap Persalinan

Pada kelompok intervensi persepsi responden

terhadap persalinan sebelum dilakukan intervensi

responden yang merasa tidak cemas dan percaya diri

(TCPD) sebanyak 3 orang dan yang merasa cemas

dan tidak percaya diri sebanyak 10 orang (CTPD).

Setelah dilakukan intervensi jumlah responden yang

merasa TCPD meningkat menjadi 11 orang

sedangkan yang CPTD menurun menjadi

2 orang. Pada kelompok kontrol persepsi awal dan

akhir penelitian tidak mengalami perbedaan yang

berarti. Reponden yang merasa TCPD 1 orang

sedangkan yang CTPD 12 orang. ( tabel 3).

Berdasarkan uji Generalized Estimating Equation

didapatkan hasil nilai p = 0.000 < 0,05. Artinya ada

perubahan persepsi pada kelompok intervensi

sebesar 2,2 kali sebelum intervensi dan sesudah

intervensi setelah dikontrol variabel kontrol

(placebo).

Page 16: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

ARTIKEL PENELITIAN

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 71

Tabel 3. Persepsi Responden sebelum dan sesudah dilakukan perlakuan pada kelompok yang diberi Pelatihan

Manajemen Nyeri dan kontrol, Palangka Raya (N=26), 2012

Kelompok Persepsi

sebelum

Persalinan

Persepsi

sesudah

Persalinan

Tcpd Ctpd Tcpd Ctpd

Kontrol 1 12 1 12

Intervensi 3 10 11 2

Skala Nyeri Ibu Bersalin

Pada skala nyeri pemeriksaan dalam (PD) ke I

tidak ada perbedaan proporsi skala nyeri pada

kelompok intervensi dan kontrol (nilai P = 0,782).

Namun bila dilihat dari substansi terlihat adanya

perbedaan proporsi antara kelompok intervensi dan

kontrol. Pada t dan kelompok intervensi persentase

skala terbanyak ada pada skala nyeri ringan

(61,1%) dibandingkan dengan skala nyeri sedang,

sementara skala nyeri berat dan tak tertahankan

tidak ada (0%). Pada kelompok kontrol lebih

banyak pada kelompok nyeri berat dan tak

tertahankan (100%), nyeri sedang sebanyak (60%),

nyeri ringan (38,9%).

Pada skala nyeri PD ke II, terdapat perbedaan

proporsi skala nyeri antara kelompok intervensi

dan kelompok kontrol (nilai P=0,038). Pada

kelompok intervensi skala nyeri ringan lebih

banyak (88,9%) diikuti dengan skala nyeri sedang

(37,5%) dan skala nyeri berat (33,3%). Sedangkan

skala nyeri tak tertahankan tidak ada. Pada

kelompok kontrol, skala nyeri terbanyak yaitu pada

skala nyeri tak tertahankan (100%) diikuti dengan

skala nyeri berat (66,7%), skala nyeri sedang

(62,5%) dan skala nyeri ringan (11,1%).

Skala nyeri PD ke III pada kelompok

intervensi dan kontrol secara statistik tidak ada

perbedaan (nilai P = 0,270). Pada kelompok

intervensi proporsi terbanyak yaitu pada nyeri

sedang (100%) diikuti dengan nyeri ringan

(66,7%), nyeri berat (57,1%), tak tertahankan 0

(0%). Sedangkan pada kelompok kontrol proporsi

terbanyak pada nyeri tak tertahankan (100%), nyeri

berat (42,9%), nyeri ringan (33,3%), dan nyeri

sedang 0 (0%). (Tabel 4.)

Tabel 4 Perbedaan Skala Nyeri Persalinan pada Kelompok yang Diberi Pelatihan Manajemen Nyeri dan

Kontrol, Palangka Raya (n=26), 2012

Karakteristik Manajemen

Nyeri

Kontrol Nilai

P

Skala Nyeri PD I

1 – 4 = nyeri ringan

5 – 6 = nyeri sedang

7 – 8 = nyeri berat

9- 10 = nyeri tak

tertahankan

11 (61,1%)

2 (40%)

0 (0%)

0 (0%)

7(38,9%)

3 (60%)

1 (100%)

1 (100%)

0,782

Skala Nyeri PD II

1 - 4 = nyeri ringan

5 - 6 = nyeri sedang

7 – 8 = nyeri berat

9- 10 = nyeri tak

terahankan

8 (88,9%)

3 (37,5%)

2 (33,3%)

0 (0%)

1(11,1%)

5(62,5%)

4(66,7%)

2 (100%)

0,038

Skala Nyeri PD III

1 - 4 = nyeri ringan

5 - 6 = nyeri sedang

7 – 8 = nyeri berat

9- 10 = nyeri tak

terahankan

2 (66,7%)

6 (100%)

4 (57,1%)

0 (0%)

1(33,3%)

0 (0%)

3(42,9%)

2 (100%)

0,063

*Berdasarkan uji Kolmogorov Smirnov

Page 17: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Christine Aden, Pengaruh Manajemen Nyeri Persalinan di Kota Palangka Raya

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 72

Dilatasi Cervik (Pembukaan Persalinan)

Ukuran dilatasi servik pada pemeriksaan

dalam (PD) I pada kelompok intervensi rata-rata

2,1 cm ± 1 dengan nilai median 2 (95% CI 1,5 –

2,7 cm). Ukuran dilatasi terkecil yaitu 0 (tidak ada

pembukaan) ukuran dilatasi terbesar adalah 4 cm.

Pada kelompok kontrol ukuran dilatasi pada PD I

4,6 cm ± 2,7 dengan nilai median 4 cm (95% CI 3,0

- 6,1). Ukuran dilatasi yang terkecil yaitu 0 (tidak

ada dilatasi) dan ukuran dilatasi terbesar yaitu 10

cm.

Ukuran dilatasi servik pada pemeriksaan

dalam (PD) II pada kelompok intervensi rata-rata

5,2 cm ± 2,6 (95% CI 3,7-6,8) dengan nilai median

5. Ukuran dilatasi terkecil yaitu 2 cm dan terbesar

10 cm. Pada kelompok kontrol ukuran dilatasi

servik pada PD II 7,5 cm ± 2,9 (95% CI 5,7-9,3).

Ukuran dilatasi terkecil yaitu 0 (dalam hal ini

responden sudah melahirkan) dan ukuran dilatasi

terbesar yaitu10.

Ukuran dilatasi servik pada PD III dalam

kelompok intervensi rata-rata 7,4 cm ± 3,4 (95%

CI 5,3-9,5) dengan nilai median 10. Ukuran dilatasi

terkecil yaitu 0 cm (dalam hal ini responden sudah

melahirkan) dan terbesar 10 cm. Pada kelompok

kontrol ukuran pembukaan PD III 5,2 cm ± 5 (95%

CI 2,1-8,2). Ukuran dilatasi terkecil yaitu 0 (dalam

hal ini responden sudah melahirkan) dan ukuran

pembukaan terbesar yaitu 10.

Ukuran dilatasi servik PD IV pada kelompok

intervensi rata-rata 2,3 cm ± 3,5 (95% CI 0,2-4,4)

dengan nilai median 0. Ukuran dilatasi terkecil

yaitu 0 cm (dalam hal ini responden sudah

melahirkan) dan terbesar 10 cm. Pada kelompok

kontrol ukuran dilatasi PD IV 0,7 cm ± 2,8 (95%

CI -0,9-2,5). Ukuran pembukaan terkecil yaitu 0

(dalam hal ini responden sudah melahirkan) dan

ukuran pembukaan terbesar yaitu 10.

Perbedaan Dilatasi Servik Berdasarkan

Pemeriksaan Dalam ditunjukan pada tabel 5.

menunjukkan adanya interaksi antara manajemen

nyeri dengan waktu pengamatan pada pengamatan

ke-3 (α=0,005 < 0,01). Pada pengamatan ke-3,

manajemen nyeri menaikan rata-rata pembukaan

persalinan sebesar 4,5 cm

.

Tabel 5. Koefisien, Simpang Galat dan Nilai p Efek Metode Manajemen Nyeri Terhadap Pembukaan

Persalinan Ibu saat Bersalin di Kota Palangka Raya, 2012

Predikto r

K oefisien Sim pang

galat N ilai p

a

Konstanta

4,3

0,8

<

0,

0

1

Manajemen Nyeri Ya

-2,2

0,9

<

0

,0

1

Tidak 0,0 --

PD

I

0,0

--

--

II 2,5 0,1 <

0

,0

1

III 0,8 1,9 >

0

,0

1

Interaksi Intervensi & pengam atan

Intervensi * PD 1

0,0

--

Intervensi * PD II 2,1 1,8 >0,01

Intervensi * PD III 4,5 2,1 <0,01

Keterangan: a) uji statistik dengan metode generalized estimating equation dan

matriks korelai exchangeable.

Page 18: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

ARTIKEL PENELITIAN

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 73

Pengetahuan Pengetahuan Responden menurut

Kelompok

Rata-rata nilai pengetahuan responden

sebelum intervensi pada kelompok intervensi yaitu

54,2 ± 7,2 dengan nilai median 55,1 (95%CI 49,8-

58,6). Nilai pengetahuan terendah 46,4 dan

tertinggi 72,5. Rata-rata nilai pengetahuan

responden sesudah intevensi yaitu 49,5 ± 6,1

dengan nilai median 46,4 (95% CI 45,8-53,2).

Nilai terendah 43,5 dan tertinggi 60,9. Sedangkan

pada kelompok kontrol hanya diukur diakhir,

sehingga nilai pre dianggap sama dengan nilai post.

Rata-rata nilai untuk kelompok kontrol yaitu 52,2

± 5,9 (95% CI 48,6 – 55,8) dengan nilai median

52,2. Nilai terendah 43,5 dan tertinggi 66,7.

Berdasarkan uji t test tidak berpasangan

menyatakan tidak ada perbedaan nilai pada

kelompok intervensi dan kontrol baik pre maupun

post test. (Tabel 6 ).

Tabel 6. Pengetahuan Responden pada Kelompok yang Diberi Pelatihan Manajemen Nyeri dan Kontrol,

Palangka Raya (n=26), 2012

Karakteristik Manajemen

Nyeri

Kontrol Nilai

P*

Sebelum

Rata-rata

Median

SD

Min-Maks

95% CI

54,2

55,1

7,2

46,4 – 72,5

49,8 – 58.6

52,2

52,2

5,9

43,5 – 66,7

48,6 – 55,8

0,446

Setelah

Rata-rata

Median

SD

Min-Maks

95% CI

49,5

46,4

6.1

43,5 – 60,9

45,8 – 53,2

52,2

52,2

5,9

43,5 – 66,7

48,6 – 55,8

0,267

*Berdasarkan uji t test tidak berpasangan

Pembahasan

Karakteristik dan homogenitas responden

Responden kelompok kontrol berjumlah 13

responden dan kelompok intervensi berjumlah 13

orang seluruhnya berjumlah 26 orang.Responden

diperoleh dari RS Doris Sylvanus dan Klinik Bidan

Praktek Swasta. Perbedaan tempat memperoleh

responden di Rumah Sakit dan Puskesmas tidak

mempengaruhi hasil penelitian karena pengambilan

responden berdasarkan kriteria inklusi. Semua

responden belum terpapar dengan manajemen nyeri

persalinan atau informasi sejenis tentang tindakan

mengurangi nyeri persalinan.

Partisipan dalam kelompok intervensi ini

dipilih pada saat mereka datang untuk melakukan

pemeriksaan ANC pada klinik bidan. Ada sekitar 35

ibu hamil yang memenuhi kriteria dan 25 orang

yang menjawab untuk kontrak waktu pelaksanaan

yang diperkirakan bisa dihadiri, tetapi yang datang

untuk menuntaskan kelas persalinan hanya 13 ibu

hamil. Berbagai alasan dikemukakan saat dihubungi

dengan telepon seperti belum adanya waktu

pendamping untuk dapat hadir, tidak ada

transportasi, ada acara keluarga dan sebagainya.

Tampak dari tabel 1, dari karakteristik umur

responden ditemukan bahwa umur termuda dalam

kelompok intervensi adalah 15 tahun dan pada

kelompok kontrol adalah 18 tahun. Masukkan

responden dengan usia muda di luar kriteria inklusi

(kelompok risiko) merupakan keterbatasan

penelitian ini. Hal ini terjadi karena dalam waktu

penelitian yang terbatas jumlah minimal responden

tidak didapatkan.

Masuknya dua responden termuda dalam

kelompok intervensi dan kelompok kontrol atas

keinginan responden dan keluarga, selama

penelitian kondisi kehamilan dan kesehatan

responden dalam pengawasan dan tidak ditemukan

komplikasi dalam kehamilan dan persalinan.

Penelitian ini hanya menggali karakteristik

responden untuk melihat gambaran responden yaitu

umur, pendidikan, penghasilan, pekerjaan,

persiapan dan persalinan (cuti) yang dikontrol oleh

kriteria inklusi. Dari hasil uji homogenitas,

kelompok intervensi dan kelompok kontrol setara

tidak ada perbedaan yang bermakna dalam usia,

pendidikan, penghasilan, pekerjaan dan persiapan

cuti.

Para ahli mengatakan bahwa nyeri persalinan

karena adanya fisiologis dari kontraksi, kerusakau

jaringan dan faktor emosional .¹-4Faktor emosi yang

dapat menjadi predisposisi adalah usia, agama,

persiapan persalinan, tingkat sosial ekonomi,

lingkungan dan kepribadian.¹-4. Ambang nyeri

hampir sama pada semua individu tanpa

memandang jenis kelamin, sosial, etnik, dan

perbedaan kultural, tetapi perbedaan-perbedaan ini

menimbulkan persepsi nyeri pada tiap individu .

Page 19: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Christine Aden, Pengaruh Manajemen Nyeri Persalinan di Kota Palangka Raya

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 74

Karena kelompok penelitian ini setara maka

pendapat ahli yang mengatakan bahwa nyeri

persalinan karena faktor emosi yang dapat menjadi

predisposisi adalah usia, persiapan persalinan,

tingkat sosial dalam penelitian ini dapat diabaikan

sedangkan faktor lain yang menjadi predisposisi

nyeri persalinan yang belum bisa dikontrol oleh

peneliti karena keterbatasan waktu dan responden.

Penelitian ini hanya melihat karakteristik

responden secara univariat pada tabel 1 dan 2 dan

tidak menggali hubungan tiap faktor terhadap nyeri

persalinan.

Persepsi Responden

Pada kelompok intervesi telah diberikan

manajemen nyeri persalinan dengan memberikan

pengetahuan tentang pengertian persalinan, tanda

gejala persalinan, nyeri persalinan dan mengajarkan

tehnik mengurangi nyeri persalinan yaitu,

perubahan posisi, pengaturan pernapasan, massase,

counter pressure dan akupresure.

Manajemen nyeri yang diajarkan dan dilatih

secara kognitif mampu mengubah persepsi ibu

hamil tentang nyeri dan persalinan serta sebagai cara

mempersiapkan ibu hamil menghadapi persalinan3

karena adanya partisipasi ibu hamil dalam kelas

persalinan secara lengkap akan meningkatkan rasa

percaya diri 4. Rasa percaya diri berhubungan

dengan menurunnya persepsi nyeri dan kebutuhan

akan analgesika 4.

Hal yang sejalan dapat dilihat dari tabel 3

bahwa terjadi perubahan persepsi persalinan pada

kelompok intervensi menjadi tidak cemas dan

percaya diri dan secara bermakna disimpulkan

bahwa ada perubahan persepsi pada kelompok

intervensi sebesar 2,2 kali sebelum dan sesudah

latihan manajemen nyeri. Data tentang persepsi

responden ini diambil setelah kelompok intervensi

selesai

Target pelatihan hanya satu kali, dan waktu

pelatihan lebih panjang dari yang ditetapkan,

hampir empat jam karena disesuaikan kebutuhan

tiap responden juga disebabkan keterbatasan

support sistem untuk mengantar responden

mengikuti kelas persalinan. Hal ini memungkinkan

responden tidak ada yang datang untuk kesempatan

kedua yang ditawarkan melakukan latihan

manajemen nyeri jika belum jelas.

Secara terbuka kelompok intervensi

mengatakan bahwa kehadiran pendamping

persalinan yang juga hadir dalam kelas manajemen

nyeri yaitu suami, ibu dan saudara kandung sangat

mendukung saat persalinan dan mengatakan

mengatakan ada rasa puas terhadap proses

persalinan.

Tingginya tingkat stress, kecemasan dan

ketakutan mempengaruhi persepsi terhadap

pengalaman persalinan yaitu pada tingkat respon

positif yang paling rendah. Ibu yang memiliki

sejumlah informasi yang benar akan

memperlihatkan rasa sangat puas pada pengalaman

persalinannya dan menggambarkan kondisi bayinya

lebih positif dibandingkan ibu yang tidak

mendapatkan informasi yang cukup1.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi

ibu pada persalinan mempengaruhi harga dirinya

dan pengalaman persalinan yang positif

meningkatkan harga dirinya. Faktor kunci yang

mempengaruhi interprestasi ibu pada pengalaman

persalinan adalah saat ibu telah menguasai

“personal mastery” dan memiliki kontrol dalam

persalinan4. Ibu yang tidak memiliki kontrol pada

dirinya atau lingkungannya merasa ketidak

kepuasan terhadap pada pengalaman persalinan ,

dan kurang merasa sejahtera setelah persalinan 4 .

Skala Nyeri Persalinan

Ketidaknyamanan dan nyeri selama proses

melahirkan adalah unik , pengalaman melahirkan

mempunyai potensi yang besar untuk mendapatkan

pereda nyeri yang memuaskan. Pada kelompok

intervensi manajemen nyeri diberikan informasi

tentang persalinan sejati dan saat terjadinya

ketidaknyamanan nyeri. Informasi ini berupaya agar

kecemasan akan berkurang jika seseorang

mengetahui kapan waktu terjadinya nyeri dan lama

berlangsungnya ketidaknyamanan tersebut ¹.

Ketegangan dan emosi akibat rasa cemas

sampai rasa takut dapat memperberat persepsi nyeri

selama persalinan1. Nyeri atau kemungkinan nyeri

dapat menginduksi ketakutan, sehingga timbul

kecemasan yang berakhir dengan kepanikan dan

memperlambat proses persalinan.¹-4. Kadar

katekolamin ibu pada awal persalinan sama seperti

saat sebelum persalinan jika ibu relatif bebas dari

cemas. Kadar katekolamin secara fisiologis secara

fisiologis meningkat seiring kemajuan persalinan,

kadar katekolamin juga cenderung meningkat

sebagai respon terhadap peningkatan stress, nyeri

atau komplikasi selama persalinan (intrapartu)3.

Tetapi katekolamin berlebihan akibat sindrom

ketakutan-ketegangan-nyeri akan menghambat efek

oksitosin. Gangguan oksitosin menyebabkan

kontraksi uterus menjadi kurang efektif dan efeknya

akan memperpanjang waktu persalinan ¹ .

Ibu dengan tingkat kecemasan yang rendah

memperlihatkan tingkat nyeri yang rendah. Ibu yang

didampingi suami saat melahirkan melaporkan rasa

nyeri yang kurang. Ibu yang memiliki rasa percaya

diri menghadapi persalinan akan memperlihatkan

respon nyeri yang kurang sebaik kemampuan atau

koping yang ditunjukkannya.3

Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa pada fase laten

PD I kelompok intervensi sebagian besar

menyatakan nyeri ringan sedangkan pada kelompok

kontrol terbanyak menyatakan nyeri berat dan nyeri

tak tertahankan.

Berlanjut pada PD II empat jam setelah

pemeriksaan PD I terdapat perbedaan yang

bermakna (nilai P=0,038). Demikan juga yang

terjadi pada PD III empat jam setelah setelah PD II

secara substansi terlihat dalam fase aktif bahwa

Page 20: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

ARTIKEL PENELITIAN

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 75

kelompok intervensi terbanyak merasakan nyeri

sedang kelompok kontrol merasakan nyeri tak

tertahankan.

Seperti dalam penjelasan sebelumnya bahwa

adanya persepsi positif kelompok intervensi

terhadap nyeri persalinan dengan didukung oleh

persiapan persalinan yang baik yaitu kemampuan

untuk mengurangi nyeri persalinan dengan berbagai

bentuk tindakan manajemen nyeri persalinan maka

respon atau skala nyeri akan menjadi minimal.

Selama persalinan kelompok intervesi

mengatakan bahwa tehnik mengurangi nyeri yang

diajarkan seperti perubahan posisi, pernapasan,

massase, counter pressure diterapkan secara mandiri

dan dibantu keluarga. Tehnik-tehnik tersebut

dipadukan secara bersamaan, dengan beragam

perubahan posisi yang dilakukan untuk mengatasi

nyeri yaitu posisi berdiri, berdiri dengan bersandar

ke depan, duduk tegak, berjalan, setengah duduk,

duduk bersandar ke depan dengan disangga, tangan

dan lutut, berlutut, berbaring miring, jongkok , dan

telentang.

Tehnik pernapasan membantu untuk

mempertahankan kontrol sepanjang kontraksi,

tehnik pernapasan yang diajarkan adalah tehnik

pernapasan lambat, tehnik pernapasan cepat dan

tehnik mengejan. Massase atau tehnik efflurage

merupakan pijatan yang dilakukan partisipan

dengan menggunakan tekanan lembut pada

abdomen dengan arah sirkular secara berulang atau

oleh suami/ keluarga pada permukaan tubuh paha

dan tulang belakang.¹-4. Efflurage dilakukan

partisipan secara perlahan seirama dengan

pernapasan saat kontraksi, berguna untuk

mengganggu ibu supaya tidak memusatkan

perhatiannya pada kontraksi.¹-4.

Counter Pressure merupakan tehnik yang

memberikan tekanan yang lembut, tekanan yang

kuat diatas sakrum selama kontraksi. Tekanan

dengan kepalan tangan atau lutut. Tekanan yang

kuat pada sakrum yang dilakukan pasangan

partisipan saat ibu pada posisi setengah duduk atau

saat ibu berbaring miring.¹-4.

Ada satu responden dalam kelompok intervensi

yang menggunakan metode mengalihkan perhatian

dengan terus memainkan game melalui handphone

selama proses persalinan kala I dengan memadukan

tehnik pernapasan, massase dan counter pressure

oleh suami.

Kelemahan yang ditemukan dari evaluasi ini

tidak ada responden yang menyatakan secara

spesifik tehnik mana yang sangat membantu

mengurangi nyeri persalinan, karena paduan dua

sampai tiga tehnik dilakukan secara bersamaan.

Sebaliknya dengan menggambungkan beberapa

tehnik yang diajarkan dirasakan mampu

mengurangi nyeri sejalan dengan pendapat yang

mengatakan bahwa menggabungkan beberapa

tehnik non farmakologi akan mengurangi nyeri

persalinan karena respon terhadap keunikan nyeri

persalinan berbeda pada setiap ibu 3.

Dilatasi Servik

Pada penelitian ini pemeriksaan dalam (PD)

dilakukan satu kali tiap empat sesuai protap sampai

pembukaan lengkap responden melahirkan. Pada

PD I dan PD II jumlah responden kelompok kontrol

dan kelompok intervensi sama, tetapi pada PD III

kelompok kontrol menjadi enam responden dan

kelompok intervensi menjadi duabelas responden.

Hal ini terjadi karena responden kelompok kontrol

dan kelompok intervensi sudah bersalin pada

rentang waktu PD II dan PD III.

Kedatangan kelompok kontrol ke klinik lebih

banyak pada fase aktif disebabkan pemilihan

responden kelompok kontrol menggunakan metode

aksidental yaitu responden yang memenuhi kriteria

inklusi yang datang ingin bersalin yang ada pada

saat itu. Berbeda dengan kelompok intervensi yang

telah dianjurkan sejak pertama merasakan nyeri

persalinan pada fase laten agar segera ke klinik

Bidan. Perbedaan waktu kedatangan ini merupakan

kelemahan penelitian ini.

Kala I persalinan dimulai dari kontraksi

uterus yang teratur dan meningkat hingga serviks

membuka lengkap (10 cm). Kala I terbagi dua fase,

yaitu fase laten dan fase aktif. Fase laten dimulai

sejak awal kontraksi10 .

Dari tabel 5 dapat diperhatikan bahwa dilatasi

servik pada kelompok intervensi meningkat sejak

dari PD I yaitu rata-rata 2,1 cm ± 1 dengan nilai

median 2 (95% CI 1,5 – 2,7 cm). Pada PD II menjadi

rata-rata 5,2 cm ± 2,6 (95% CI 3,7-6,8) dengan nilai

median 5. Selanjutnya pada PD III dalam kelompok

intervensi rata-rata 7,4 cm ± 3,4 (95% CI 5,3-9,5)

dengan nilai median 10. Pada yang terakhir yaitu PD

IV rata-rata dilatasi cervik adalah 2,3 cm ± 3,5 (95%

CI 0,2-4,4) dengan nilai median 0. Ukuran dilatasi

terkecil yaitu 0 cm (dalam hal ini responden sudah

melahirkan) dan terbesar 10 cm.

Pemeriksaan dalam pada responden

dilakukan setiap empat jam sampai dilatasi 10 cm.

Dari tabel diketahui bahwa pada responden

kelompok intervensi rata-rata melahirkan pada PD

III.

Hasil penelitian sebelumnya menyatakan

bahwa Fase laten berlangsung 8 jam hingga serviks

membuka 3 cm10. Rata-rata durasi total kala I

persalinan pada kehamilan pertama berkisar 3,3 jam

sampai 19,7 jam.¹

Brown mengatakan mayoritas persalinan

terjadi kurang dari 12 jam setelah melakukan

tindakan mengurangi nyeri dengan tehnik

pernapasan, relaksasi, akupresur, dan massase 5 .

Dari pendapat para ahli bahwa tidak ada kecemasan,

memiliki persepsi positif terhadap kehamilan

artinya tidak ada ketakutan-ketegangan-nyeri akan

mensupport kerja oksitosin agar kontraksi uterus

Page 21: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Christine Aden, Pengaruh Manajemen Nyeri Persalinan di Kota Palangka Raya

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 76

menjadi efektif dan efeknya mempersingkat

persalinan.

Pada penelitian ini kelompok intervensi

datang ke klinik pada fase laten sehingga monitoring

waktu pembukaan dapat dilakukan dengan tepat

mulai dari kedatangan. Berbeda dengan kelompok

kontrol yang sebagian besar datang pada fase aktif

sehingga tidak diterpantau waktu yang tepat mulai

fase laten kala I. Perbedaan waktu kedatangan

kelompok intervensi dan kelompok kontrol ke

depan perlu diperbaiki untuk penelitian berikutnya.

Karena dari hasil analisis multivariat tidak

ditemukan perbedaan rata rata pembukaan atau

dilatasi servik antara kelompok intervesi dan kontro.

Walaupun demikian terpantaunya pada kelompok

intervensi rata-rata lama persalinan 4.10’ hal ini

menunjukkan bahwa kelompok intervensi mampu

mencapai waktu persalinan singkat dari rentang

waktu 3,3 jam sampai 19,7 jam.¹

Pengetahuan

Berdasarkan uji homogenitas tidak ada perbedaan

bermakna variabel pendidikan dengan nilai p =

0,515 > 0,05 pada kelompok intervensi dan kontrol.

Dari karakteristik pendidikan pada kelompok

intervensi paling banyak berpendidikan SD (80%)

dan yang sedikit yaitu berpendidikan SMP (40%).

Sedangkan pada kelompok kontrol paling banyak

yaitu berpendidikan SMP (60%) dan yang paling

sedikit yaitu SMA (57,1%).

Rata-rata nilai pengetahuan responden sebelum

intervensi pada kelompok intervensi yaitu 54,2 ± 7,2

dengan nilai median 55,1 (95%CI 49,8-58,6). Nilai

pengetahuan terendah 46,4 dan tertinggi 72,5. Rata-

rata nilai pengetahuan responden sesudah intevensi

yaitu 49,5 ± 6,1 dengan nilai median 46,4 (95% CI

45,8-53,2). Nilai terendah 43,5 dan tertinggi 60,9.

Sedangkan pada kelompok kontrol hanya diukur

diakhir, sehingga nilai pre dianggap sama dengan

nilai post. Rata-rata nilai untuk kelompok kontrol

yaitu 52,2 ± 5,9 (95% CI 48,6 – 55,8) dengan nilai

median 52,2. Nilai terendah 43,5 dan tertinggi 66,7.

Dari aspek pengetahuan pada penelitian ini

ditemukan tidak ada perbedaan nilai pengetahuan

responden pada kelompok kontrol dan kelompok

intervensi pre dan post test.

Tampak bahwa hasil pengajaran yang telah

diberikan peneliti untuk responden kelompok

intervensi meliputi pengertian persalinan normal,

tanda dan gejala persalinan, nyeri persalinan, faktor-

faktor yang mempengaruhi persalinan dan cara

mengurangi nyeri persalinan tidak berbeda dengan

responden kelompok kontrol. Kondisi ini dapat di

telaah kembali pada penelitian berikutnya untuk

mencari penyebabnya antara lain tehnik pengajaran,

bahasa dan istilah yang dipergunakan. Adanya

stimulasi dan sensasi dari ruangan tempat mengajar

banyak gambar phantom alat laboratorium yang

dapat mengalihkan perhatian responden kelompok

intervensi sehingga nilai pengetahuan sebelum dan

setelah intervensi manajemen nyeri persalinan dapat

meningkat.

Secara sustansi teramati oleh bidan/ numerator

bahwa responden kelompok intervensi tampak

mendemonstrasikan dengan baik tehnik melakukan

manajemen nyeri persalinan dan hal ini tidak

dilakukan dengan baik oleh kelompok intervensi.

Dapat disimpulkan bahwa walaupun dari aspek

pengetahuan tidak berbeda dengan kelompok

kontrol tetapi tehnik untuk mengurangi persalinan

dapat di terima dengan baik oleh kelompok

intervensi dari proses latihan sebelumnya.

Tidak dipungkiri bahwa setiap responden dari

kelompok kontrol pun akan berusaha mencari

informasi terntang persalinan dan rasa nyeri yang

akan dialami dari berbagai sumber, tetapi tidaklah

cukup jika tidak disertai latihan untuk tentang tehnik

untuk mengurangi nyeri persalinan.

Teramati oleh bidan penolong/numerator bahwa

sangat berbeda respon serta perilaku yang

ditunjukkan oleh kelompok intervensi dan

kelompok kontrol. Perilaku lebih kooperatif

ditunjukkan oleh kelompok intervensi dalam

mengatasi rasa nyeri persalinan. Responden lebih

percaya diri menghadapi nyeri dengan

menggunakan berbagai tehnik. Ibu yang percaya

diri pada kemampuannya (koping efektif)

menghadapi persalinan , ia akan menunjukkan

koping yang efektif selama persalinan3,13,14

Semua responden dalam proses persalinan di

dukung oleh keluarga atau suami. Dukungan

tersebut sebagai bentuk adanya pengetahuan

keluarga setelah mengikuti manajemen nyeri

persalinan. Berbeda dengan keluarga dan suami

yang sudah memahami manajemen nyeri persalinan

maka respon rasa perduli akan apa yang dibutuhkan

ibu selama periode persalinan cepat terpenuhi. Pada

kelompok kontrol, peran suami dan keluarga hanya

sebagai pendamping dan respon yang ditunjukkan

tidaklah semaksimal keluarga yang telah memiliki

pengetahuan. Namun demikian dukungan

manajemen nyeri persalinan juga diberikan oleh

bidan penolong di klinik sesuai standar Asuhan

Persalinan Normal (APN) pada semua ibu bersalin.

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan analisis karakteristik responden

ditemukan rata-rata umur responden pada kelompok

intervensi yaitu 21,5 tahun dengan umur termuda

yaitu umur 15 tahun dan umur tertua yaitu 28 tahun.

Rata-rata umur responden kelompok kontrol yaitu

20 tahun dengan umur termuda yaitu 18 tahun dan

umur tertua 27 tahun. Mayoritas pendidikan pada

kelompok intervensi dan pada kelompok kontrol

pendidikan dasar (SD dan SMP). Pekerjaan

responden pada kelompok intervensi dan kontrol

adalah sama besar antara bekerja dan tidak bekerja.

Rata-rata penghasilan kelompok intervensi sebesar

Rp 2.800.000 dan rata-rata penghasilan kelompok

kontrol yaitu Rp 2.300.000 . Kelompok intervensi

lebih banyak yang melakukan cuti < 7 bulan (100%)

Page 22: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

ARTIKEL PENELITIAN

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 77

sedangkan pada kelompok kontrol lebih banyak

yang melakukan cuti pada bulan ke-7 masa

kehamilan. Ada perubahan persepsi persalinan pada

kelompok intervensi sebesar 2,2 kali sebelum

intervensi dan sesudah intervensi manajemen nyeri

persalinan. Nyeri sedang ditemukan pada kelompok

intervensi yang menggunakan tehnik manajemen

nyeri persalinan. Terdapat peningkatan rata-rata

dilatasi cervik sebesar 4,5 cm pada kelompok

intervensi. Tidak ada perbedaan nilai pengetahuan

antara sebelum dan sesudah intervensi pada

kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Secara

substansi pada kelompok intervensi yang telah

mendapatkan pengetahuan tentang manajemen

nyeri persalinan teramati dapat menerapkan dan

memadukan tehnik mengurangi nyeri persalinan

secara mandiri dan dengan dukungan keluarga.

Saran yang diajukan 1). Bagi Institusi

Pelayanan Kebidanan, berdasarkan hasil penelitian,

maka disarankan agar pemberian manajemen nyeri

dapat diintegrasikan saat pemberian pendidikan

kesehatan antenatal dalam bentuk komunikasi yang

lebih intensif dan latihan yang terjadual. 2). Bagi

penelitian selanjutnya, materi manajemen nyeri,

metode pengajarannya jumlah responden dan tehnik

pengumpulan data, perlu disempurnakan kembali

pada penelitian selanjutnya mengontrol

counfonding faktor usia, pendidikan, penghasilan,

pekerjaan, persiapan persalinan, agama, dukungan

keluarga, budaya dan lingkungan persalinan

terutama di rumah sakit. 3). Bagi institusi

pendidikan, penelitian ini dapat menjadi

pertimbangan rujukan sebagai bahan ajar untuk

meningkatkan kemampuan mahasiswa pada tehnik

mengurangi nyeri persalinan.

Daftar Pustaka

1.Bobak, M.I, Lodermik, L.D., & Jensen, D.M.

(2005). Buku ajar keperawatan maternitas. Alih

bahasa Maria A.Wijayarini & Peter I.Anugerah.

Jakarta: ECG.

2.Cunningham, F.G.; McDonald, P.C.; Gant, N.F.

1993. Williams Obstetrics, 19th

ed. Prentice-Hall

Int., Norwalk, CT, USA. William

3.Reeder.,Martin, & Griffin, (2003).Keperawatan

maternitas ed 18: Kesehatan wanita, bayi dan

keluarga. Jakarta: ECG.

4 Nichols,H Francine & Humenick, S

Sharron.(2000).Childbirth education,

practice,research and theory.(2nd

ed).Philadelphia:Saunders.

5.Brown, Dauglas & Flood(2001).Womens

evaluation of intrapartum nonpharmacological

pain relief methods used during labor.J Perinat

Educ

6.Davim, Torres & Dantas (2009) Effectiveness of

non pharmacological strategies in relieving labor

pain.Rev Esc Enferm USP

2009.www.ee.usp.br/reeups

7.Hamid (2010) Comparison between massage and

music therapiesto relieve the severity of labor

pain.Womens Health 6.3 p.377-381

http://search.proquest.com/docview/577558656

8.Dale (1995).Management of pain in

childbirth.International Journal of Childbirth

Education 10.4

http://search.proquest.com/docview/212865810

9.Dinkes Propinsi Kalimantan Tengah, 2012

10.Sarwono, Prawiroharjo (2009).Ilmu

Kebidanan.Jakarta.Bina Pustaka

11. Ip WY, Tang CS, Goggins WB.An educational

intervention to improve women's ability to cope

with childbirth.. J Clin Nurs. 2009

Aug;18(15):2125-35. doi: 10.1111/j.1365-

2702.2008.02720.x

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19583645

12. Chang MY, Wang SY, Chen CH (2002).

Effects of massage on pain and anxiety during

labour: a randomized controlled trial in Taiwan.

J Adv Nurs. 2002 Apr;38(1):68-73

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1189553

2

13.Mortazavi, et all (2012). Effects of massge

therapy and presence of attendant on pain,

anxiety and satisfaction during labor.Arch

Gynecol Obstct 2012.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2227123

9

14.Martin & Fleming (2011). The birth satisfaction

scale.International Journal of Health Care

Quality Assurance Vol 24 Iss:2,pp 124-135

Page 23: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Demsa, Yanti, Jon, Analisis Kesesuaian antara Hasil Pengukuran Antropometri dengan Persepsi Ibu Hamil

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 78

Analisis Kesesuaian Antara Hasil Pengukuran Antopometri Dengan Persepsi

Mengenai Status Gizi Ibu Hamil

Anthropometri Conformity of Nutritional Status in Pregnant Women

Demsa Simbolon, Yanti Sutrianti, Jon Farizal

Poltekkes Kemenkes Bengkulu, Jl. Indragiri No.3 Padang Harapan Bengkulu

Abstrak. Tingginya masalah kurang gizi di berbagai daerah merupakan beban ganda masalah gizi di Indonesia.

Hal ini secara signifikan akan meningkatkan Angka Kematian Ibu (AKI). Masalah kematian dan kesakitan pada

ibu sesungguhnya tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan dalam masyarakat dimana

mereka berada. Penelitian ini bertujuan untuk Mengetahui kesesuaian antara hasil pengukuran antropometri

dengan persepsi ibu hamil mengenai status gizi di Wilayah Kerja Puskesmas Bermani Ulu tahun 2013.

Penelitian ini menggunakan Cross Sectional Study. Teknik pengambilan sampel yaitu simple random sampling,

dengan menggunakan cara Cluster Random Sampling, jumlah sampel yaitu 82 ibu hamil. Uji statistik yang

digunakan adalah Chi-Square, uji Kappa Cohen dan regresi logistik multivariat. Hasil Uji Kappa Cohen

menunjukkan ketidaksesuaian hasil pengukuran LILA (kappa cohen =0,111 dan nilai p value > 0,05) dan

pengukuran tinggi badan (kappa cohen= -0,06 dan nilai p value > 0,05) antara persepsi ibu dan hasil pengukuran

antropometri. Faktor yang mempengaruhi kesesuaian pengukuran tinggi badan adalah umur, pendidikan dan

pengetahuan. Faktor yang berhubungan dengan kesesuaian LILA adalah pengetahuan. Instansi kesehatan

khususnya Puskesmas Bermani Ulu diharapkan melakukan penyuluhan untuk memperbaiki persepsi ibu hamil.

Meningkatkan pengetahuan ibu tentang status gizi yang baik. Sehingga lebih dini, dapat dilakukan tindakan

untuk menghindari masalah akibat status gizi yang buruk.

Kata Kunci : Kesesuaian Antropometri, Status Gizi Hamil, Persepsi.

Abstract. In many regions, malnutrition is a double burden of nutrition in Indonesia. This will significantly

increase the Maternal Mortality Rate (MMR). Problems on maternal mortality and morbidity related to socio-

cultural factors and environment in communities where they are located. This study aimed to know

correspondence between the results of anthropometric measurements with maternal perception regarding

nutritional status in Ulu Bermani Working Area Health Center in 2013. This study used cross-sectional study

approach. Sampling technique was used cluster random sampling method, the sample size was 82 pregnant

women. The statistical test was a Chi-Square test, Kappa Cohen's and multiple logistic regression. Kappa

Cohen's test showed discrepancies MUAC measurements (cohen kappa = 0,111 and p value> 0,05) and height

measurement (cohen kappa = -0,06 and p value> 0.05) between maternal perception and anthropometric

measurements. Factors affecting the suitability of height measurement is mother's age, education and knowledge.

Factors relating to the suitability of MUAC measurement was mothers’ knowledge. Health agencies in particular

PHC Ulu Bermani was expected to conduct outreach to improve the perception of pregnant women. Increasing

knowledge of mothers about good nutritional status so that it can be tackled the problems due to poor nutritional

status. Keywords: Suitability Anthropometric, Nutritional Status of Pregnant, Perception.

Pendahuluan

Badan Kesehatan dunia (WHO) melaporkan angka

kematian ibu diseluruh dunia diperkirakan 585.000

kelahiran hidup pada setiap tahunnya. Di Asia

Tenggara, Indonesia merupakan penyumbang AKI

tertinggi (DepKes, 2010). Laporan data terakhir hasil

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia AKI

Indonesia sangat tinggi mencapai angka 339 per

100.000 kelahiran hidup (BPS, 2012). Salah satu faktor

yang berhubungan dengan peningkatan kematian ibu

adalah buruknya status gizi ibu hamil. Penilaian status

gizi dapat dilakukan secara langsung dan tidak

langsung. Penilaian status gizi langsung diantaranya

adalah pengukuran antropometri. Pengukuran

antropometri yang dapat dilakukan adalah

dengan mengukur berat badan (BB), tinggi badan (TB)

dan lingkar lengan atas (LILA) ibu hamil (Departemen

Gizi dan Kesmas, 2007).

Kekurangan energi kronis (KEK) pada ibu hamil

merupakan salah satu faktor yang menjadi penyebab

utama terjadinya pendarahan dan infeksi yang

merupakan faktor utama kematian ibu. Gizi ibu

sebelum dan selama hamil dapat mempengaruhi

pertumbuhan janin yang dikandung (Waryono, 2010).

Kekurangan energi kronis (KEK) adalah keadaan ibu

hamil dan wanita usia subur (WUS) yang kurang gizi

diakibatkan oleh kekurangan asupan energi dan protein

yang berlangsung terus-menerus yang dapat

mengakibatkan timbulnya gangguan penyakit tertentu

(Depkes, 2002). Di Negara berkembang seperti

Bangladesh, India, Indonesia, Myanmar, Nepal,

Srilangka dan Thailand prevalensi wanita yang

Page 24: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

ARTIKEL PENELITIAN

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 79

mengalami KEK adalah 15-47% yaitu BMI< 18,5.

Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007

menunjukkan prevalensi ibu hamil resiko KEK di

Indonesia sebesar 21,6% dengan range 11,8%

(Provinsi Riau) sampai (32,4%). Di wilayah Sumatera,

prevalensi KEK tertinggi di Provinsi Bengkulu

(25,6%), prevalensi KEK tertinggi di wilayah Curup

bagian Utara mencapai 34,52%. Salah satu kecamatan

Curup Utara adalah wilayah kerja Puskesmas Bermani

Ulu.

Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian anemia

dan KEK salah satunya adalah status gizi yang kurang.

Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat

keseimbangan dan keserasian antara perkembangan

fisik dan perkembangan mental orang tersebut. Tingkat

status gizi optimal akan tercapai apabila kebutuhan zat

gizi juga terpenuhi (Hananto, 2002). Status gizi ibu

hamil pada waktu pembuahan dan selama hamil dapat

mempengaruhi pertumbuhan janin yang sedang

dikandung. Untuk kesehatan ibu selama hamil maupun

pertumbuhan dan aktivitas dan deferisiensi janin, maka

ibu dalam keadaan hamil harus cukup mendapat

makanan bagi dirinya sendriri maupun bagi janinnya

(Paath, 2005). Kekurangan atau kelebihan nutrisi dapat

menyebabkan kelainan yang tidak diinginkan pada

wanita hamil tersebut. Kekurangan makanan dapat

menyebabkan anemia, abortus, partus

prematurus,inersia uteri, hemoragia post partum, sepsis

puerperalis, BBLR, dan sebagainya. Sedangkan makan

secara berlebihan karena wanita tersebut salah mengerti

bahwa ia makan untuk dua orang dapat pula

mengakibatkan komplikasi antara lain bayi terlalu besar

dan sebagainya.

Kecukupan zat gizi selama hamil baru dapat

dipantau melalui parameter keadaan kesehatan ibu dan

berat lahir janin. Meskipun baku penilaian status gizi

wanita yang tidak hamil tidak dapat diaplikasikan pada

wanita hamil, perubahan fisiologis selama hamil dapat

digunakan sebagai petunjuk. Berat badan yang rendah

sebelum konsepsi, serta pertambahan berat yang tidak

adekuat merupakan penilaian langsung yang dapat

digunakan untuk menilai laju pertumbuhan janin. Berat

lahir berkorelasi positif dengan pertambahan berat total

selama hamil. Pemeriksaan antropometri yang biasa

dilakukan adalah penimbangan berat (BB), pengukuran

tinggi (TB), penentuan berat ideal dengan indeks masa

tubuh (IMT), dan pola pertambahan berat badan. Tinggi

badan ibu hamil dikatakan normal, jika tinggi badannya

> 145 cm. Ibu yang tingginya >145cm cenderung

mempunyai pertambahan berat badan yang lebih besar

daripada ibu yang pendek (Kurniasih et al. 2010).

Hasil survei awal yang dilakukan peneliti di

Puskesmas Bermani Ulu pada tanggal 11 Desember

2012 terhadap 9 orang ibu hamil, terdapat 6 orang ibu

hamil memasuki usia TM III dan 3 orang ibu hamil

memasuki usia TM II. Dari hasil wawancara didapatkan

bahwa 3 ibu hamil berpendidikan dasar (SD-SMP), 5

ibu hamilberpendidikan menengah (SMA) dan 1 ibu

hamilberpendidikan Perguruan Tinggi. Semua ibu

hamil berumur sekitar 20 -35 tahun. Disamping itu,

didapatkan ibu hamil yang tidak bekerja (Ibu Rumah

Tangga) 5 responden, bekerja sebagai petani 3 ibu

hamildan 1 ibu hamilbekerja swasta. Dari hasil

wawancara juga diperoleh bahwa, seluruh ibu

hamilmempunyai pengetahuan yang baik mengenai

dampak dari kekurangan gizi dan mengenai makanan

yang tidak baik dikonsumsi oleh ibu hamil. Serta

hampir seluruh ibu hamil (88,8%) mempunyai persepsi

yang salah mengenai penambahan berat badan yang

normal selama hamil, dan sebagian kecil ibu hamil

(11,1%) yang berpendidikan SD menjawab tidak tahu.

Dan hampir seluruh ibu hamil (88,8%) mengatakan

bahwa berat badan dan tinggi badannya sudah

memenuhi kriteria berat badan dan tinggi badan yang

normal selama hamil serta ibu dalam keadaan sehat.

Persepsi lain mengenai status gizi , dilihat juga dari pola

konsumsi makanan. Terdapat 6 ibu hamil dengan

pendidikan SD-SMA mengatakan bahwa

mengkonsumsi kopi selama hamil tidak berpengaruh

buruk pada bayi yang dikandung, hanya 1 ibu dengan

pendidikan perguruan tinggi yang tidak sependapat

dengan pernyataan tersebut, dan 1 ibu menjawab ragu-

ragu.

Berdasarkan hasil pengukuran antopometri

terhadap 9 orang ibu hamil yang ada di Wilayah kerja

Puskesmas Bermani Ulu didapatkan 7 dari 9 ibu yang

berpendapat bahwa berat badan dan tinggi badan ibu

sekarang sudah memenuhi kriteria yang normal selama

hamil dan ibu dalam keadaan sehat. Terdapat 5 ibu

hamilyang hasil pengukuran berat badannya tidak

sesuai dengan kriteria berat badan yang normal selama

hamil atau tidak sesuai dengan pendapat ibu, dan 2 ibu

hamil yang hasil pengukuran tinggi badannya tidak

sesuai dengan kriteria tinggi badan yang normal

sealama hamil.

Perubahan pengetahuan, persepsi, sikap, perilaku,

gaya hidup, pola makan, serta peningkatan pendapatan

mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan

yang konsumsi. Perubahan pengetahuan, sikap,

perilaku, persepsi dan pola makan, serta peningkatan

pendapatan masih dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial

ekonomi, budaya dan politik yang dapat mempengaruhi

status gizi seseorang, khususnya status gizi ibu hamil

(Surasmo, 2002).

Ketidaksesuaian antara persepsi ibu dengan

pengukuran antopometri dapat berdampak pada

masalah kesehatan, sehingga jika hal ini tidak ditindak

lanjuti akan berdampak tidak baik, tidak hanya pada ibu

itu sendiri, tetapi kepada janin yang sedang dikandung.

Dampak dari persepsi ibu yang salah tersebut akan

berpengaruh terhadap status gizi ibu. Karena ibu yang

menganggap berat badan dan tinggi badannya sudah

memenuhi kriteria yang normal selama hamil, ternyata

setelah dilakukan pengukuran hasilnya tidak sesuai. Ibu

hamil yang mempunyai persepsi yang salah karena

tidak mengetahui keadaan tentang status gizinya.

Ketidaksesuaian ini kemungkinan berkaitan persepsi

yang salah tentang makanan, rendahnya pengetahuan

ibu. Namun belum ada penelitian yang menganalisis

bagaimakah kesesuaian antara hasil pengukuran

Page 25: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Demsa, Yanti, Jon, Analisis Kesesuaian antara Hasil Pengukuran Antropometri dengan Persepsi Ibu Hamil

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 80

antropometri dengan persepsi ibu hamil mengenai

status gizinya. Berdasarkan uraian di atas maka perlu

dilakukan penelitian untuk menganalisis kesesuaian

antara hasil pengukuran antropometri dengan persepsi

ibu hamil mengenai status gizinya dan menganalisis

faktor-faktor yang berhubungan dengan kesesuaian

pengukuran. Hasil penelitian diharapkan menjadi

masukan penting dalam perbaikan perilaku ibu dalam

pemeliharaan status gizi dan kehamilannya.

Metode

Desain penelitian menggunakan pendekatan Cross

Sectional. Variabel independen adalah karakteristik ibu

hamil (pendidikan, paritas, pendapatan umur), perilaku

ibu hamil (pengetahuan, sikap dan praktek) dan

variabel dependen (kesesuaian pengukuran

antropometri). Populasi adalah seluruh ibu hamil yang

ada di Wilayah Kerja Puskesmas Bermani Ulu yang

berjumlah 139 orang. Teknik sampling secara cluster

sampling yaitu pengambilan sampel secara gugus

(cluster), peneliti mendaftar banyaknya kelompok atau

gugus yang ada dalam populasi itu (Notoatmodjo,

2010). Pada setiap desa terpilih, diambil sampel secara

simple random sampling. Berdasarkan rumus besar

sampel untuk uji hipotesis perbedaan proporsi, sampel

minimal yang dibutuhkan adalah 82 orang ibu hamil.

Dari 139 ibu hamil akan diambil 82 orang ibu hamil

secara cluster dari 6 desa. Data primer diambil dengan

cara pembagian kuesioner kepada ibu hamildan

melakukan pengukuran antropometri. Pengumpulan

data dibantu 2 orang mahasiswa yang telah mendapat

pelatihan dan arahan cara melakukan pengukuran

sehingga mempunyai persepsi yang sama, artinya

semua tindakan yang dilakukan sesuai dengan prosedur

yang telah direncanakan sebelumnya, dengan harapan

data yang terkumpul valid dan reliabel. Instrumen

penelitian terdiri dari daftar pertanyaan kuesioner dan

lembar observasi, meteran tinggi badan, pita pengukur

lingkar lengan atas (LILA). Analisa univariat

mendeskripsikan proporsi masing-masing variabel

yang diteliti. Analisis data numerik menggunakan

ukuran sental dan varians. Persepsi ibu hamil diukur

berdasarkan lembar pertanyaan yang berjumlah 20

pertanyaan menggunakan skala Likert. Analisa bivariat

menggunakan Chi Square (X2) dan uji Kappa Cohen

untuk mengetahui kesesuaian hasil ukur antopometri

dengan persepsi ibu hamil mengenai status gizinya.

Analisis multivariat menggunakan regresi logistik

multivariat.

Tabel 1. Karakteristik dan Perilaku Ibu Hamil

Karakteristik dan Perilaku Ibu Hamil Frekuensi Persentase

Umur ibu

<20 tahun dan >35 tahun

20 -35 tahun

39

43

47,6

52,4

Paritas

Primipara

Multi+Grandemultipara

38

44

46,3

53,6

Pendidikan Ibu

Tinggi

Rendah

22

60

26,8

73,2

Pendapatan Ibu

Tinggi

Rendah

9

73

11,0

89,0

Pengetahuan

Tinggi

Rendah

36

46

43,9

56,1

Sikap

Mendukung

Tidak Mendukung

43

39

52,4

47,6

Praktek

Baik

Kurang Baik

60

22

73,2

26,8

Page 26: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

ARTIKEL PENELITIAN

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 81

Hasil

Karakteristik Dan Perilaku Ibu Hamil

Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar dari ibu

hamil(52,4%) berusia antara 20-35 tahun, dan hampir

sebagian dari ibu hamil(46,3%) adalah primipara,

sebagian dari ibu hamil(73,2%) berpendidikan rendah,

serta hampir seluruh dari ibu hamil(89,0%) memiliki

pendapatan yang rendah. Berdasarkan perilaku ibu

menunjukkan bahwa hampir sebagian dari ibu

hamil(46,3%) memiliki pengetahuan yang tinggi

mengenai gizi dan kesehatan selama kehamilan,

sebagian dari ibu hamil(52,4%) memiliki sikap yang

mendukung dalam memeuhi kebutuhan gizi dan

kesehatan selama kehamilan, dan sebagian besar lagi

dari ibu hamil(73,2%) memiliki praktek yang baik

dalam memenuhi kebutuhan gizi selama kehamilan.

Status Gizi Ibu Hamil berdasarkan Pengukuran

Antropometri. Tabel 2 menunjukkan distribusi

frekuensi ibu hamilterhadap hasil pengukuran

antropometri, hasil penelitian menemukan bahwa dari

hasil pengukuran tinggi badan sebagian besar dari ibu

hamil(89,0%) memiliki tinggi badan lebih dari 145 cm

yang artinya memiliki tinggi badan yang normal, dari

hasil pengukuran lingkar lengan atas (lila)

menunjukkan bahwa sebagian dari ibu hamil(74,4%)

memiliki ukuran lingkar lengan atas yang normal.

Tabel 2. Status Gizi Ibu Hamil Berdasarkan Pengukuran Antropometri

Variabel Frekuensi Persentase

Tinggi badan

≥145cm = normal 73 89,0

<145cm = pendek 9 11,0

Lingkar Lengan Atas

<23,5 cm 21 25,6

≥23,5 cm- ≤29,5cm 61 74,4

Kesesuaian Pengukuran Status Gizi

Tabel 3 menunjukkan bahwa hampir seluruh ibu hamil

(95,8%) mempersepsikan tinggi badannya normal,

namun sebagian kecil (4,2%) mempersepsikan tinggi

badannya pendek (tidak normal). Hasil uji Kappa

Cohen diperoleh nilai kappa -0,06 dan nilai p value

0,511 > 0,05 sehingga dapat disimpulkan terdapat

ketidaksesuaian ukuran tinggi badan antara

pengukuran antropometri dan persepsi ibu. Dari hasil

pengukuran antropometri tinggi badan ibu normal,

hampir seluruhnya (95,8%) mempersepsikan tingginya

normal, namun dari seluruh ibu hamil secara

antropometri tinggi badan pendek pendek, seluruhnya

(100%) mempersepsikan tinggi badannya normal.

Hasil uji kesesuaian dengan Kappa Cohen terhadap

ukuran LILA diperoleh nilai kappa 0,111 dan nilai p

value 0,266> 0,05; maka disimpulkan terdapat

ketidaksesuaian antara hasil pengukuran LILA secara

antropometri dengan persepsi ibu. Dari hasil

pengukuran Antropometri LILA normal, hampir

seluruhnya (90,2%) mempersepsikan LILAya normal,

namun dari seluruh pengukuran LILA tidak normal,

hampir seluruhnya (81%) mempersepsikan LILA

normal.

Tabel 3. Kesesuaian Antara Hasil Pengukuran Antropometri Dengan

Persepsi Ibu Hamil mengenai Status Gizi

Persepsi Ibu Pengukuran Antropometri Nilai

Cappa P value

Normal Tidak Normal

Tinggi Badan

Normal

Pendek

69

3

95,8

4,2

10

0

100

0,0

-0,06

0,511

Total 72 100,0 10 100,0

LILA

Normal

KEK

55

6

90,2

9,8

17

4

81,0

19,0

0,111

0,266

Total 73 100,0 9 100,0

Tabel 4 menunjukkan hampir seluruh ibu hamil (80,5%)

mempersepsikan ukuran tinggi badannya sesuai dengan

pengukuran antropometri tinggi badan dan sebagian

besar dari ibu hamil (65,9%) mempersepsikan ukuran

LILA sesuai dengan pengukuran antropometri LILA.

Page 27: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Demsa, Yanti, Jon, Analisis Kesesuaian antara Hasil Pengukuran Antropometri dengan Persepsi Ibu Hamil

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 82

Tabel 4

Distribusi Frekuensi Kesesuaian Status Gizi Antara hasil Pengukuran Antropometri dengan

Persepsi Ibu Hamil

Kategori

Pengukuran Antropometri

Tinggi Badan LILA

n % n %

Sesuai 66 80,5 54 65,9

Tidak Sesuai 16 19,5 28 34,1

Determinan Kesesuaian Hasil Pengukuran Status

Gizi

Tabel 5 menunjukkan tidak ada hubungan yang

signifikan antara karakteristik ibu hamil dengan

kesesuaian ukuran tinggi badan, serta tidak ada

hubungan yang signifikan antara perilaku ibu hamil

dengan kesesuaian ukuran tinggi badan. Variabel yang

menjadi kandidat dalam analisis multivariat adalah

umur ibu, pendidikan, pendapatan, dan pengetahuan.

Tabel 6 menunjukkan tidak ada hubungan signifikan

antara karakteristik ibu hamil dengan kesesuaian

ukuran LILA, dan tidak ada hubungan signifikan antara

sikap dan praktek konsumsi ibu hamil dengan

kesesuaian ukuran LILA. Namun pengetahuan

berhubungan dengan kesesuaian ukuran LILA.

Variabel yang menjadi kandidat dalam analisis

multivariat untuk mengetahui determinan kesesuaian

hasil pengukuran LILA adalah paritas dan pegetahuan

ibu.

Tabel 5. Hubungan Krakteristik dan Perilaku Ibu Hamil dengan Kesesuaian Hasil Pengukuran

Tinggi Badan

Karakteristik dan Perilaku

Kesesuaian Ukuran Tinggi Badan

P value OR (95%CI) Sesuai Tidak Sesuai

n % n %

Umur ibu

o <20 dan >35 tahun

o 20 -35 tahun

33

33

84,6

76,7

6

10

15,4

23,3

0,229*

1,667

(0,543-5,144)

Pendidikan Ibu

o Tinggi

o Rendah

20

46

90,2

76,7

2

14

9,1

23,3

0,149*

3,043

(0,632-14,656)

Pendapatan

o Tinggi

o Rendah

9

57

100,0

78,1

0

16

0,0

21,9

0,117*

-

Paritas

o Primipara

o Multi+ Grandemulti

31

35

81,6

79,5

7

9

18,4

20,5

0,817

1,139

(0,379-3,42)

Pengetahuan Gizi

o Tinggi

o Rendah

32

34

88,9

73,9

4

12

11,1

16,1

0,089*

2,824

(0,825-9,662)

Sikap

o Mendukung

o Tidak Mendukung

35

31

81,4

79,5

8

8

18,6

20,5

0,828

1,129

(0,379-3,367)

Praktek konsumsi

o Baik

o Tidak Baik

47

19

78,3

86,4

13

3

21,7

13,6

0,416

0,571

(0,146-2,233)

* kandidat multivariat

Page 28: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

ARTIKEL PENELITIAN

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 83

Tabel 6. Hubungan Krakteristik dan Perilaku Ibu Hamil dengan Kesesuaian Hasil Pengukuran

LILA

Karakteristik dan

Perilaku

Kesesuaian Ukuran LILA

P value OR (95%CI) Sesuai Tidak Sesuai

n % n %

Umur ibu

o <20 dan >35 tahun

o 20 -35 tahun

25

29

64,1

67,4

14

14

35,9

32,6

0,75

0,862

(0,346-2,15)

Pendidikan Ibu

o Tinggi

o Rendah

13

41

59,1

68,3

9

19

40,9

31,7

0,434

0,669

(0,244-1,836)

Pendapatan

o Tinggi

o Rendah

6

48

66,7

65,8

3

25

33,3

34,2

0,957

1,042

(0,24-4,52)

Paritas

o Primipara

o Multi+ Grandemulti

22

32

57,9

72,7

16

12

42,1

27,3

0,158*

0,516

(0,205-1,3)

Pengetahuan Gizi

o Tinggi

o Rendah

28

26

77,8

56,5

8

20

22,2

43,5

0,044*

2,692

(1,012-7,162)

Sikap

o Mendukung

o Tidak Mendukung

30

24

69,8

61,5

13

15

30,2

38,5

0,433

1,442

(0,577-3,606)

Praktek Konsumsi

o Baik

o Tidak Baik

39

15

65,0

68,2

21

7

35,0

31,8

0,788

0,867

(0,306-2,458)

Setelah melalui tahap analisis multivariat diperoleh

model akhir seperti pada tabel 7. Hasil analisis

menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi

kesesuaian pengukuran antropometri tinggi badan dan

persepsi ibu tergantung pada umur ibu, pendidikan ibu

dan pengetahuan ibu dengan mengontrol variabel

paritas dan sikap ibu. Ibu muda dan tua berisiko 5,5 kali

mempunyai persepsi tidak sesuai dengan pengukuran

antropometri, ibu

pendidikan rendah berisiko 9,8 kali mempunyai

persepsi tidak sesuai dengan pengukuran antropometri,

dan ibu pengetahuan rendah tentang gizi berisiko 5,5

kali mempunyai persepsi tidak sesuai dengan

pengukuran antropometri tinggi badan. Faktor yang

berhubungan dengan kesesuai ukuran LILA adalah

pengetahuan. Ibu hamil pengetahuan rendah tentang

gizi berisiko 2,692 kali mempunyai persepsi tidak

sesuai dengan pengukuran antropometri LILA.

Tabel 7. Determinan Ketidaksesuaian Hasil Pengukuran Antropometri dan Persepsi Ibu Hamil

mengenai Status Gizinya

Kesesuaian Ukuran Tinggi Badan

Determinan B P OR OR 95% CI

Umur

Pendidikan

Pengetahuan

Paritas

Sikap

Constant

1,705

2,285

1,719

-0,939

-1,224

-4,209

0,048

0,030

0,029

0,234

0,105

0,000

5,504

9,829

5,580

0,391

0,294

0,015

1,012- 29,925

1,241- 77,835

1,198-26,001

0,083- 1,834

0,067-1,292

Kesesuaian Ukuran LILA

Determinan B P OR OR 95% CI

Pengetahuan

Constant

0,990

-1,253

0,047 2,692 1,012-7,162

* kandidat multivariat

Page 29: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Demsa, Yanti, Jon, Analisis Kesesuaian antara Hasil Pengukuran Antropometri dengan Persepsi Ibu Hamil

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 84

Pembahasan

Keterbatasan Penelitian

Desain penelitian menggunakan pendekatan

Cross Sectional yang hanya melihat hubungan antara

variabel dalam satu waktu yang bersamaan, sehingga

penelitian yang dilakukan tidak dapat dengan yakin

menjelaskan hubungan sebab akibat. Penelitian ini

tidak melakukan pemeriksaan kesehatan ibu hamil dan

status gizi secara kontinuitas karena indikator normal

dan tidaknya status gizi juga harus melihat secara

objektif seperti keadaan kesehatan, apakah ibu

mengalami penyakit seperti DBD, malaria, typoid

yang dapat berpengaruh langsung pada status gizi ibu.

Sampel yang kecil dapat mengakibatkan tidak

representatif terhadap seluruh populasi dan hasil

pengukuran menjadi kurang tetap untuk generalisasi

terhadap populasi seluruhnya.

Kesesuaian Pengukuran Status Gizi

Hasil uji kappa menunjukkan secara statistik ada

perbedaan antara pengukuran tinggi badan dengan

persepsi ibu hamil atau dengan kata lain terdapat

ketidaksesuaian antara hasil pengukuran tinggi badan

secara antropometri dengan persepsi ibu mengenai

tinggi badannya. Ketidaksesuaian ini kemungkinan

karena faktor pengalaman dan nilai yang dianut oleh

ibu hamil, seperti yang dijelaskan oleh Sunaryo (2004)

bahwa persepsi sesorang terhadap objek dipengaruhi

oleh faktor internal yang ada dalam diri ibu hamil

meliputi pengalaman, pengetahuan serta nilai–nilai

yang dianut dan ekspresi/pengharapan. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa dari seluruh ibu

pendek hasil pengukuran antropometri, seluruhnya

(100%) mempersepsikan tinggi badannya normal. Hal

ini menunjukkan keadaan yang sangat kontroversi,

yang menunjukkan rendahnya pengetahuan ibu

tentang antropometri tinggi badan, kemungkinan ibu

tidak mengetahui ukuran tinggi badannya dan tidak

mengetahui berapa ukuran tinggi badan yang normal

dan baik untuk ibu hamil, dan mungkin juga

mempersepsikan tinggi badan tersebut berdasarkan

pengukuran tinggi badan yang pernah mereka lakukan.

Sehingga mereka mempersepsikan tinggi badannya

normal berdasarkan apa yang mereka fikirkan dan

mereka rasakan. Pengetahuan ini terbentuk dari

pemikiran dan perasaan bagaimana mereka

mempersepsikan suatu objek yang mereka tidak

ketahui.

Sunaryo (2004) menjelaskan bahwa persepsi

merupakan proses akhir dari pengamatan yang diawali

oleh proses penginderaan. Dengan persepsi, individu

menyadari dan dapat mengerti tentang keadaan

lingkungan yang ada disekitarnya maupun tentang hal

yang ada dalam diri individu yang bersangkutan,

sehingga individu mampu mengetahui, mengartikan

dan menghayati tentang hal yang diamati, baik yang

ada di luar maupun di dalam individu. Sedangkan

menurut Secord & Backman dalam Azwar (2005)

mendefinisikan persepsi sebagai suatu keteraturan

tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran

(kognisi) dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang

terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya. Selain

dilihat dari faktor persepsi, ketidaksesuaian ini juga

mungkin disebabkan karena indikator pengukuran

tinggi badan merupakan indikator penilalain status gizi

yang umumnya hanya mengukur total tinggi (panjang)

(Departemen Gizi dan Kesmas, 2007). Hal ini

mungkin juga disebabkan oleh faktor lainnya.

Kotler dan Armstrong (2001) menyebutkan

persepsi dipengaruhi dua faktor, yaitu faktor stimulus

dan faktor individu. Faktor stimulus antara lain

karakteristik fisik dari objek atau produk dan sumber

informasi, sedangkan faktor individu adalah

karakteristik seseorang dan motivasi. Motivasi adalah

dorongan bertindak untuk mencapai tujuan tertentu

dan seseorang yang termotivasi siap untuk bertindak.

Cara bertindak dipengaruhi persepsi dalam rangkaian

proses memilih, mengatur dan menginterpretasikan

informasi untuk membentuk gambaran, Hasil dari

dorongan dan gerakan ini diwujudkan dalam bentuk

perilaku.

Berdasarkan pengukuran LILA, hasil penelitian

menemukan ada perbedaan antara pengukuran LILA

dengan persepsi ibu, sehingga terdapat

ketidaksesuaian antara hasil pengukuran antropometri

dengan persepsi ibu mengenai ukuran LILA.

Ketidaksesuaian kemungkinan disebabkan karena

adanya faktor yang mempengaruhi persepsi, yaitu

pengalaman, pengetahuan, dan nilai-nilai budaya yang

dianut (Sunaryo, 2004). Nilai- nilai yang dianut ini

biasanya tidak pernah terlepas dari kebudayaan

(Khasanah, 2011).

Teori yang dikemukakan oleh Sumarman (2004)

juga mengatakan bahwa persepsi ibu hamil secara

tidak langsung berpengaruh terhadap hasil pengukuran

antropometri, sehingga ibu hamil juga akan salah

memperepsikan status gizinya. Hal ini sesuai teori

yang dikemukakan oleh Proverawati (2011) dimana

salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi ibu

hamil ini adalah persepsi atau pandangan ibu hamil

mengenai staus gizi, Pengetahuan gizi yang kurang,

prasangka buruk pada bahan makanan tertentu, salah

persepsi tentang kebutuhan dan nilai gizi suatu

makanan dapat mempengaruhi status gizi seseorang.

Hasil penelitian menunjukkan hampir sebagian dari

ibu hamil mempersepsikan LILAnya normal, namun

berdasarkan pengukuran antropometri ternyata

LILAnya tidak sesuai dengan apa yang dipersepsikan

oleh ibu tersebut, sementara LILA yang tidak normal

sebagai indicator ibu mengalami KEK yang akan

berdampak pada status gizi dan kesehatan ibu dan

janin. Hal ini terjadi karena faktor pengetahuan ibu

hamil yang rendah, sehingga ibu tidak mengenai

ukuran LILA yang normal, dan mungkin juga karena

mereka belum pernah melakukan pengukuran LILA

sehingga tidak pernah mendapat informasi mengenai

Page 30: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

ARTIKEL PENELITIAN

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 85

LILA yang normal. Ketidaksesuaian ini juga berkaitan

dengan faktor kepercayaan dan pengalaman (Sunaryo,

2004).

Pengalaman ibu hamil juga kemungkinan

berhubungan dengan jumlah paritas, karena pada

penelitian ini sebagian ibu hamil adalah paritas

multigravida dan grande multigravida. Pada ibu yang

pernah hamil atau melahirkan anak 4 kali atau lebih,

kemungkinan akan ditemui keadaan kesehatan

terganggu seperti anemia, kurang gizi (KEK).

Pengalaman saat hamil sebelumnya akan membentuk

persepsi ibu. Jika masa hamil sebelumnya berjalan

normal tanpa ada masalah atau penyakit, maka pada

kehamilan selanjutnya jika tidak ada keluhan penyakit

atau masalah, ibu mereka akan berfikir dan

berpandangan bahwa kehamilan yang dijalaninya saat

ini normal-normal saja. Meskipun badannya kurus,

mereka tidak mengetahui bahwa kehamilan yang

dijalaninya berisiko atau tidak, selama ibu merasa

sehat, tidak sakit, sehingga ibu berpersepsi keadaanya

normal-normal saja.

Selain faktor pengalaman, faktor psikologis ibu

juga dapat menjadi faktor yang mempengaruhi proses

terjadinya persepsi, hal ini sesuai dengan teori yang

dikemukakan Sunaryo (2004) bahwa proses terjadinya

persepsi melalui tiga tahap yaitu proses fisik, fisiologis

dan psikologis. Proses psikologis disini berhubungan

dengan otak, dan keadaan yang ada di dalam ibu hamil

tersebut. Namun pada penelitian ini tidak dilakukan

pengukuran keadaan psikologis ibu hamil.

Meskipun dalam penelitian ini sebagian ibu hamil

mempunyai pengetahuan yang baik mengenai gizi

selama hamil, tetapi mereka tidak mempunyai

pengetahuan yang cukup mengenai ukuran-ukuran

antropometri seperti tinggi badan dan LILA yang

normal. Ketidaktahuan ini akan berdampak pada

ketidaktahuan kondisi status gizi ibu selama hamil

yang berhubungan dengan pertumbuhan dan

perkembangan bayi serta kesehatan ibu hamil tersebut,

Perlu intervensi untuk merubah persepsi yang salah

dan menyamakan persepsi ibu hamil, dengan

melakukan pendidikan gizi dan kesehatan berupa

penyuluhan, pendampingan, penilaian dan

pemantauan status gizi. Upaya ini diharapkan akan

mampu meningkatkan pengetahuan ibu hamil,

khususnya mengenai ukuran-ukuran antropometri

yang normal. Pengetahuan yang diperoleh akan

mestimulus terbentuknya sikap dan perilaku yang baik

dalam pemenuhan gizinya. Penilaian dan pemantauan

antropometri ibu hamul akan memberikan informas

yang benar mengenai pertambahan berat badan selama

hamil, sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi

kehamilan, persalinan dan outcome kelahiran yang

baik.

Determinan Kesesuaian

Hasil penelitian menenukan bahwa faktor yang

mempengaruhi kesesuaian pengukuran antropometri

tinggi badan dan persepsi ibu tergantung pada umur

ibu, pendidikan ibu dan pengetahuan ibu dengan

mengontrol variabel paritas dan sikap ibu. Ibu muda

dan tua berisiko 5,5 kali mempunyai persepsi tidak

sesuai dengan pengukuran antropometri, ibu

pendidikan rendah berisiko 9,8 kali mempunyai

persepsi tidak sesuai dengan pengukuran antropometri,

dan ibu pengetahuan rendah berisiko 5,5 kali

mempunyai persepsi tidak sesuai dengan pengukuran

antropometri tinggi badan. Faktor yang berhubungan

dengan kesesuai ukuran LILA adalah pengetahuan. Ibu

hamil pengetahuan kurang berisiko 2,692 kali

mempunyai persepsi tidak sesuai dengan pengukuran

antropometri LILA.

Temuan ini sejalan dengan pendapat Hermina

(1992) bahwa rendahnya tingkat pendidikan ibu hamil

dapat menyebabkan keterbatasan dalam upaya

menangani masalah gizi dan kesehatan keluarga.

Pendidikan formal sangat penting dalam menentukan

status gizi ibu hamil. Kemampuan baca tulis akan

membantu dalam memperlancar komunikasi dan

penerimaan informasi, dengan demikian informasi

tentang kesehatan akan lebih mudah diterima oleh ibu

hamil (Wara, 2006). Joko (2011) menjelaskan

pendidikan yang dijalani seseorang memiliki pengaruh

pada peningkatan kemampuan berfikir, dengan kata

lain seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan

dapat mengambil keputusan yang lebih rasional,

umumnya terbuka untuk menerima perubahan atau hal

baru dibandingkan dengan individu yang

berpendidikan lebih rendah.

Hasil penelitian juga sejalan dengan hasil

penelitian Suryani (2009) yang mengatakan bahwa

ada hubungan antara pengetahuan dengan status gizi

ibu hamil. Notoatmodjo (2003) menjelaskan bahwa

pengetahuan merupakan domain yang sangat penting

untuk terbentuknya perilaku tindakan seseorang,

Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang, maka

akan semakin besar pula perilaku seseorang dalam

peningkatan dan pemeliharaan kesehatan. Adanya

hubungan pengetahuan dengan ketidaksesuaian hasil

pengukuran dan persepsi ibu dapat dijelaskan bahwa

semakin tinggi pengetahuan seseorang akan semakin

mempertimbangkan jumlah dan jenis makanan yan

dipilih untuk dikonsumsi. Orang yang berpengetahuan

rendah akan berperilaku memilih makanan yang

menarik panca indera dan tidak mengadakan pilihan

berdasarkan nilai gizi makanan tersebut, sebaliknya

mereka yang memiliki pengetahuan gizi baik akan

cenderung lebih banyak menggunakan pertimbangan

rasional tentang nilai gizi makanan tersebut

(Kristiyanasari, 2010).

Kesimpulan Terdapat ketidaksesuaian antara hasil pengukuran

tinggi badan secara antropometri dengan persepsi ibu

(nilai kappa -0,06 dan p value >0,05). Demikian juga

pada ukuran LILA, terdapat ketidaksesuaian antara

hasil pengukuran antropometri dengan persepsi (nilai

kappa 0,111 dan nilai p value >0,05). Hasil penelitian

Page 31: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Demsa, Yanti, Jon, Analisis Kesesuaian antara Hasil Pengukuran Antropometri dengan Persepsi Ibu Hamil

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 86

menenukan bahwa faktor yang mempengaruhi

ketidakkesesuaian pengukuran antropometri tinggi

badan dan persepsi ibu tergantung pada umur ibu,

pendidikan ibu dan pengetahuan ibu dengan

mengontrol variabel paritas dan sikap ibu. Faktor yang

mempengaruhi ketidakkesesuaian ukuran LILA

adalah pengetahuan Ibu hamil mengenai makanan

bergizi.

Saran Petugas kesehatan harus melakukan intervensi

berupa pendidikan gizi dan kesehatan untuk

meningkatkan pengetahuan ibu yang akan dapat

memperbaiki dan menyamakan persepsi ibu hamil

mengenai status gizi. Perlu juga dilakukan penilaian

dan pemantauan status gizi prahamil dan selama hamil

secara berkala untuk meningkatkan pengetahuan

mengenai ukuran-ukuran antropometri yang normal,

sehingga diharapkan jika ibu sudah mengetahui hal

tersebut, mereka akan berusaha memenuhi kebutuhan

gizi agar ukuran-ukuran antropometrinya dalam batas

normal yang akhirnya bermuara pada kelahiran bayi

yang sehat dan ukuran lahir normal.

Daftar Pustaka 1. Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat.

2007. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta :

PT RajaGrafindo Persada.

2. Depkes RI. 2002. Angka Kematian Ibu. Diakses

dari http//www.Aki Indonesia.com.

3. Harnani. A. 2006. Pengaruh Tabu Makanan.

Tingkat Kecukupan Gizi. Konsumsi Tablet Besi

dan Teh Terhadap kadar Hemoglobin Ibu Hamil

Di Kota Pekalongan Tahun 2006. Semarang :

Universitas Di Ponogoro Semarang. Laporan

Penelitian. Diakses dari http://www.google.com.

18 November 2012.

4. Hernawati. I. 2010. Analisis Kematian Ibu.

Berdasarkan Data SDKI. Riskesdas. Dan

Laporan Rutin KIA. Diakses dari http://laporan

AKI .com. 26 Desember 2012.

5. Kartikasari. W.B.. Mifbakhuddin. Mustika N.D.

2011. Hubungan Pendidikan. Paritas. dan

Pekerjaan dengan Status Gizi Ibu Hamil

Trimester III Di Puskesmas Bangetayu

Kecamatan Genuk Kota Semarang. Universitas

Muhammadiah Semarang. Jurnal Peneltian.

Diakses tanggal 16 Mei 2013.

6. Khasanah. N. 2011. Dampak Persepsi Budaya

Terhadap Kesehatan Reproduksi Ibu dan Anak.

Laporan Penelitian. Diakses tanggal 6 Juni 2013.

7. Kristiyanasari. W. 2010. Gizi Ibu Hamil.

Yogyakarta : Nuha Medika.

8. Kusmiyati. Y. Wahyuningsih. H.P. Sujiyati. 2009.

Perawatan Ibu Hamil. Yogyakarta: Fitramaya.

9. Laporan Tahunan Kabupaten Rejang Lebong.

Cakupan Pengukuran ibu Hamil KEK. Kabupaten

Rejang Lebong Tahun 2010-2012.

10. Laporan Tahunan Puskesmas Bermani Ulu Tahun

2012.

11. Mahmudah. M. 2011. Tingkat Pengetahuan Ibu

hamil Terhadap Pola Hidup Sehat Selama

Kehamilan Di RBMutiara Ibu Mojogedang

Kabupaten Karanganyar. Laporan Penelitian.

Diakses dari http://www.google

cendikia.com.tanggal 6 November 2012.

12. Mansjoer. A. Triyanti. K. Savitri. R. Wardhani.

W.I. . Setiowulan. W. 2009. Kapita Selecta

Kedokteran Jilid II. Jakarta: Media Aesculapius.

13. Mawadah. N. Hardinsyah. 2008. Pengetahuan.

Sikap dan Praktek Gizi Serta Tingkat Konsumsi

Ibu hamil Di Kelurahan Kramat Jati dan

Kelurahan Ragunan Propinsi DKI Jakarta.

Universitas Institut Pertanian Bogor. Laporan

Penelitian. Diakses tanggal 16 Mei 2013.

14. Mulyaningrum. S. 2009. Faktor-faktor yang

berhubungan dengan resiko kekurangan energi

kronis (KEK) pada ibu hamil di DKI Jakarta

tahun 2007. Jakarta : Universitas Indonesia.

Laporan Penelitian. Diakses tanggal 5 Desember

2012.

15. Notoatmodjo. S. 2010. Metodelogi Penelitian

Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

16. Notoatmodjo. S. 2010. Promosi Kesehatan Teori

dan Aplikasi. Jakarta : Rineka Cipta

17. Paath. E.F.. Rumdasih. Y. Heryati. 2005. Gizi

Dalam Kesehatan Reproduksi. Jakarta: EGC.

18. Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Rejang Lebong

Tahun 2011.

19. Profil Kesehatan Provinsi Bengkulu tahun 2011.

Diakses dari http://www.profil dinkes

bengkulu.com.

20. Proverawati. A. dan Asfuah. S. 2009. Gizi Untuk

Kebidanan. Yogyakarta : Nuha Medika.

21. Sandjaja. 2009. Resiko Kurang Energi Kronis

(KEK) Pada Ibu Hamil Di Indonesia. Pusat

Page 32: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

ARTIKEL PENELITIAN

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 87

Penelitian Dan Pengembangan Gizi Dan Makanan

. Depkes RI. Diakses tanggal 7 November 2012.

22. BPS. 2012. Laporan Survei Demografi Ksehatan

Indonesia. Jakarta: BPS.

23. Siwi. S. 2009. Hubungan Tingkat Pengetahuan

Tentang Gizi Dengan Kadar Hemoglobin Pada

Ibu Hamil Di Kecamatan Jebres Surakarta.

Diakses tanggal 18 November 2012.

24. Srini. S. dkk. 1995. Persepsi Dan Prilaku Orang

dani Di Lembah Baliem Terhadap Kehamilan.

Universitas Cendrawasih Jayapura. Diakses

tanggal 18 November 2012.

25. Sunaryo. 2004. Psikologi Untuk Keperawatan.

Jakarta : EGC.

26. Supariasa. IDN. Bakri. B. Fajar. I. 2002. Penilaian

Status Gizi. Jakarta : EGC.

27. Suryani. 2007. Hubungan Pengetahuan Dan

Status Ekonomi Dengan Status Gizi Ibu hamil Di

Puskesmas Putri Ayu Kota Jambi. Laporan

Penelitian. Diakses tanggal 14 Desember 2012.

28. Utami. Y.S. . 2008. Persespi Dan Sikap Ibu

Terhadap Rubrik Gizi Dan Kesehatan di Media

Cetak Dihubungkan Dengan Perilaku Hidup

Sehat Mahasiswi. Institut Pertanian Bogor.

Laporan Penelitian.

Page 33: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Yanti, Fretika, Hubungan Asupan Zat Gizi dengan Kadar Hb pada Pasien Thalasemia

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 88

Hubungan Asupan Zat Gizi Dengan Kadar Hemoglobin Pada Pasien Thalasemia

Yang Menjalani Rawat Jalan Di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya

Association between Dietary Intake and Hemoglobin Level in Patients with Thallasemia in

dr. Doris Sylvanus Hospital

Yanti Thomas, Fretika Utami Dewi

Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya

Abstrak. Thalasemia merupakan penyakit kongenital herediter yang diturunkan secara autosomal berdasarkan

kelainan hemoglobin, dimana satu atau dua rantai hemoglobin kurang atau tidak terbentuk secara sempurna

sehingga terjadi anemia hemolitik. Tujuan dari penelitian ini adalah Mengetahui hubungan asupan energi,

protein, vitamin C, dan Fe terhadap kadar hemoglobin pada pasien thalasemia yang menjalani rawat jalan di

Rumah Sakit dr. Dorys Sylvanus Palangka Raya. Rancangan penelitian ini bersifat cross sectional. Sampel

diperoleh secara purposive sampling dan diperoleh sampel sebanyak 9 orang. Data asupan zat gizi (energi,

protein, vitamin C, dan Fe) diperoleh dengan cara food record selama tiga hari tidak berturut-turut. Data kadar

hemoglobin diperoleh dengan cara menggunakan alat hemocue. Analisis data menggunakan uji regresi linier

sederhana. Asupan zat gizi tertinggi untuk asupan energi sebesar 1.795,86 kal, asupan protein sebesar 69,56 g,

asupan vitamin C sebesar 17,2 mg dan asupan Fe sebesar 7,66 mg sedangkan asupan zat gizi terendah untuk

asupan energi sebesar 1.044,63 kal, asupan protein sebesar 33,86 g, asupan vitamin C sebesar 1,0 mg dan

asupan Fe sebesar 2,56 mg. Kadar Hb tertinggi sebesar 13,2 mg% dan terendah 6,9 mg%. Tidak ada hubungan

yang signifikan antara asupan energy, protein, vitamin C, dan Fe dengan kadar hemoglobin (P value > 0,05).

Kesimpulannya adalah tidak ada hubungan asupan zat gizi terhadap kadar hemoglobin pada pasien thalasemia.

Kata Kunci: Pasien Thalasemia, kadar hemoglobin, Asupan Energi, Asupan Protein, Asupan Vitamin C, dan

Asupan Fe.

Abstract. Thalassemia is a congenital disease inherited in an autosomal hereditary disorder based on

hemoglobin, where one or two chains of hemoglobin less or not completely formed, causing hemolytic anemia.

The purpose of this study was to investigate association between intake of energy, protein, vitamin C, and Fe

and levels of hemoglobin in thalassemia patients who underwent outpatient at RSUD dr. Doris Sylvanus

Palangkaraya. The study design was cross-sectional. Samples were obtained by purposive sampling and 9

people were selected as sample. Data nutrient intake (energy, protein, vitamin C, and Fe) were obtained by a

three-day food record. Data hemoglobin levels were obtained by using a hemocue. Data was analyzed by linear

regretion test. The highest intake of energy nutrient intake account for 1795.86 cal, 69.56 g protein intake,

vitamin C intake was 17.2 mg and 7.66 mg of Fe intake while the lowest nutrient intake for energy of 1,044 ,

63 cal, protein intake was 33.86 g, intake of vitamin C of 1.0 mg and 2.56 mg of Fe. The highest Hb level of

13.2 mg% and the lowest was 6.9 mg%. There was no significant relationship between energy, protein, vitamin

C, and Fe intake with hemoglobin levels (P value > 0,05). In conclusion, there was no relationship of nutrient

intake on hemoglobin levels in patients with thalassemia.

Key words: thalassemia patients, energy intake, protein intake, vitamin C intake, Fe intake, hemoglobin levels.

Pendahuluan

Thalasemia adalah gangguan pembuatan

hemoglobin yang diturunkan. Pertama kali

ditemukan secara bersamaan di Amerika Serikat dan

Itali antara 1925-1927. Kata Thalasemia

dimaksudkan untuk mengaitkan penyakit tersebut

dengan penduduk Mediterania, dalam bahasa Yunani

Thalasa berarti laut1. Thalasemia merupakan

sindroma kelainan darah herediter yang paling sering

terjadi di dunia, sangat umum di jumpai disepanjang

sabuk thalasemia yang sebagian besar wilayahnya

merupakan endemis malaria. Heterogenitas

molekular penyakit tersebut baik carrier thalasemia

beta sangat bervariasi dan berkaitan erat dengan

pengelompokkan populasi sehingga dapat dijadikan

petanda genetik populasi tertentu1.

Penyakit thalasemia ditemukan diseluruh dunia

dengan prevalensi gen thalasemia tertinggi di

beberapa Negara tropis2, kurang lebih 3% dari

penduduk dunia mempunyai gen thalasemia dimana

angka kejadian tertinggi sampai dengan 40% kasus

adalah di Asia3. Adapun di wilayah Asia Tenggara

pembawa sifat thalasemia mencapai 55 juta orang4.

Berdasarkan laporan Badan Kesehatan Dunia

(WHO) tahun 2006, sekitar 7% penduduk dunia

diduga carrier Thalasemia dan sekitar 300 ribu – 500

ribu bayi lahir dengan kelainan ini setiap tahunnya.

Penderita Thalasemia tertinggi ada di negara-negara

Page 34: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

ARTIKEL PENELITIAN

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 89

tropis, namun dengan tingginya angka migrasi

penyakit ini juga ditemukan di seluruh dunia.

Demikian pula dengan Indonesia, Data

Perhimpunan Yayasan Thalasemia Indonesia (YTI)

mencatat pada 2006 terdapat sekitar 3.053 kasus

Thalasemia dan 2008 jumlah penderita meningkat

menjadi 5.000 orang. Layaknya fenomena gunung es,

ditenggarai ada sekitar 200 ribu penderita thalasemia

yang belum terdeteksi kasusnya. Bahkan terdapat

jutaan carrier yang tidak terdeteksi di Tanah Air.

Potensi mereka sangat besar untuk menurunkan

penyakit tersebut kepada anak-anaknya.

Kelainan yang ditemukan pada penderita

thalasemia adalah gangguan sintesis jumlah

hemoglobin pada rantai alpha atau rantai beta

sehingga hemoglobin yang terbentuk dalam sel darah

merah mempunyai jumlah rantai protein yang tidak

sempurna (kekurangan atau tidak mempunyai rantai

protein). Dalam satu sel darah merah yang normal

mengandung 300 molekul hemoglobin yang akan

mengikat oksigen5.

Protein merupakan zat makanan bagian terbesar

tubuh sesudah air, seperlima bagian tubuh adalah

protein. Protein bertindak sebagai prekursor sebagian

besar koenzim, hormon, asam nukleat dan molekul-

molekul yang esensial untuk kehidupan, membangun

serta memelihara sel-sel jaringan tubuh. Protein

adalah bahan baku utama pembentukan sel-sel tubuh

manusia6. Protein berperan penting dalam

transportasi zat besi di dalam tubuh. Oleh karena itu,

kurangnya asupan protein akan mengakibatkan

transportasi zat besi terhambat sehingga akan terjadi

defisiensi besi. Di samping itu makanan yang tinggi

protein terutama yang berasal dari hewani banyak

mengandung zat besi.

Zat besi merupakan mikroelemen yang esensial

bagi tubuh, yang diperlukan dalam pembentukan

darah yaitu untuk mensintesis kadar hemoglobin.

Kelebihan zat besi disimpan sebagai protein feritin

dan hemosiderin di dalam hati, sumsum tulang

belakang, dan selebihnya di simpan dalam limfa dan

otot. Kekurangan zat besi akan menyebabkan

terjadinya penurunan kadar feritin yang diikuti

dengan penurunan kejenuhan transferin atau

peningkatan protoporfirin. Jika keadaan ini terus

berlanjut akan terjadi anemia defisiensi besi, dimana

kadar hemoglobin turun di bawah nilai normal7.

Hasil dari suatu penelitian menunjukkan bahwa

sebanyak 37% zat besi heme dan 5% zat besi non

heme yang ada dalam makanan dapat diabsorbsi. Zat

besi non heme yang rendah absorbsinya dapat

ditingkatkan apabila adanya peningkatan asupan

vitamin C dan faktor-faktor lain yang mempermudah

absorbsi seperti daging, ikan, dan ayam8.

Vitamin C merupakan unsur esensial yang

sangat dibutuhkan tubuh untuk pembentukan sel-sel

darah merah. Vitamin C menghambat pembentukan

hemosiderin yang sukar dimobilisasi untuk

membebaskan besi bila diperlukan. Adanya vitamin

C dalam makanan yang dikonsumsi akan

memberikan suasana asam sehingga memudahkan

reduksi zat besi ferri menjadi ferro yang lebih mudah

diserap usus halus. Absorpsi zat besi dalam bentuk

non heme meningkat empat kali lipat bila ada vitamin

C8.

Berdasarkan data kunjungan pasien thalasemia

di ruang F di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka

Raya tahun 2013 tercatat sebanyak 25 orang yang

mengalami thalasemia. Dari data tersebut diketahui

bahwa anak yang rentan mengalami thalasemia

usianya berkisar antara 1-25 tahun. Berdasarkan

uraian tersebut maka peneliti tertarik untuk

melakukan suatu penelitian tentang hubungan asupan

zat gizi terhadap kadar hemoglobin pada pasien

thalasemia yang menjalani rawat jalan di RSUD dr.

Doris Sylvanus Palangka Raya.

Penelitian ini betujuan untuk mengetahui

hubungan asupan zat gizi dengan kadar hemoglobin

pada pasien thalasemia yang menjalani rawat jalan di

RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.

Bahan Dan Metode

Penelitian ini dilakukan dengan rancangan cross

sectional yaitu menganalisis beberapa variabel yang

diteliti dan dikumpulkan melalui hasil pengukuran

dan wawancara untuk mengetahui hubungan asupan

zat gizi terhadap kadar hemoglobin pada pasien

thalasemia yang menjalani rawat jalan di RSUD dr.

Doris Sylvanus Palangka Raya.

Populasi dalam penelitian ini adalah semua

penderita thalasemia yang menjalani rawat jalan di

RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya dimana

jumlah penderita thalasemia berjumlah 25 orang.

Sampel dalam penelitian ini adalah semua pasien

yang ada pada populasi dan terdiagnosis thalasemia

yang menjalani rawat jalan di RSUD dr. Doris

Sylvanus Palangka Raya dan diambil secara

purposive sampling. Jumlah sampel yang diperoleh

sebanyak 9 orang. Variabel terikat dalam penelitian

ini adalah kadar hemoglobin pasien thalasemia.

Sedangkan variabel bebas dalam penelitian ini adalah

asupan zat gizi yang meliputi Energi, Protein,

Vitamin C, dan Fe.

Data primer dalam penelitian ini adalah data

identitas pasien yang meliputi data asupan energi,

protein, vitamin C, dan Fe diperoleh dari hasil food

record untuk makanan dari rumah selama 3 hari

secara tidak berturut-turut. Data kadar hemoglobin

pasien diperoleh dengan cara mengukur langsung

menggunakan alat hemocue. Sedangkan data

sekunder dalam penelitian ini adalah data gambaran

umum lokasi penelitian yang terdiri dari bentuk

pelayanan, visi dan misi, serta motto rumah sakit dr.

Doris Sylvanus Palangka Raya diperoleh dari hasil

kajian dokumentasi berdasarkan laporan tahunan RS.

Page 35: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Yanti, Fretika, Hubungan Asupan Zat Gizi dengan Kadar Hb pada Pasien Thalasemia

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 90

Pengolahan data yang dilakukan dalam

penelitian ini adalah data asupan energi, protein,

vitamin C, dan Fe yang diperoleh melalui food record

kemudian bahan makanan tersebut di konversikan

dalam berat mentah masak dan selanjutnya dianalisis

dengan cara memasukkannya kedalam nutrie survey

kemudian menghitung rata-rata asupan tersebut

dengan menggunakan alat hitung kalkulator. Analisis

data dilakukan secara univariat dan bivariat. Analisis

data secara univariat yaitu, mendeskripsikan

distribusi frekuensi yang didapat. Sedangkan analisis

data secara bivariat yaitu menganalisis data secara

statistik dengan menggunakan uji regresi linear

sederhana dengan P ≤ 0,05, maka Ho ditolak, artinya

ada hubungan antara variabel, P ≥ 0,05, maka Ho

diterima, artinya tidak ada hubungan antara variabel.

Hasil Dan Pembahasan

Asupan Zat Gizi dan Kadar Hemoglobin Distribusi sampel berdasarkan asupan zat gizi

dan kadar hemoglobin dapat dilihat pada tabel 1.

Berdasarkan tabel 1. Dapat diketahui bahwa asupan

zat gizi tertinggi untuk asupan energi sebesar

1.795,86 kal, asupan protein sebesar 69,56 g, asupan

vitamin C sebesar 17,2 mg dan asupan Fe sebesar

7,66 mg sedangkan asupan zat gizi terendah untuk

asupan energi sebesar 1.044,63 kal, asupan protein

sebesar 33,86 g, asupan vitamin C sebesar 1,0 mg dan

asupan Fe sebesar 2,56 mg. Kadar Hb tertinggi

sebesar 13,2 mg% dan terendah 6,9 mg%

.

Tabel 1. Distribusi Asupan Zat Gizi dan Kadar Hb Sampel

Inisial Sampel Zat Gizi Kadar Hb

(mg%) E (kal) P (g) Vit C(mg) Fe(mg)

SL 1228.6 44.73 6.2 3.7 9.4

ZMK 1254 53.13 9.53 6.06 9.5

RTA 1795.86 69.56 17.2 7.66 7.2

ZN 1227.83 60.03 4.76 3.9 10.1

FZ 1180.3 51.08 3.5 6.06 7.5

JE 1125.2 40.33 2.6 2.56 6.9

CNN 1044.63 33.86 16.13 5.06 12.1

NAS 1089.23 47.43 1.0 6.36 13.2

ML 1385.03 59.6 12.96 6.4 8.1

Berdasarkan tabel 1. dapat diketahui bahwa

asupan Fe penderita thalasemia cenderung rendah akan

tetapi kadar hemoglobin terlihat mendekati nilai

normal hal tersebut terjadi karena penderita thalasemia

rutin melakukan transfusi akan tetapi dapat

menimbulkan terjadinya penumpukan zat besi, dalam

tubuh besi terikat oleh transferin dan dalam perjalanan

ke jaringan besi segera diikat molekul dengan berat

rendah. Bila berjumlah banyak dapat menyebabkan

kerusakan sel. Pada penderita dengan kelebihan zat

besi, penimbunan besi dapat ditemukan pada semua

jaringan dan sebagian besar di sel retikuloendotelial

yang relatif tidak merusak, miosit dan hepatosit yang

bisa merusak. Kerusakan tersebut disebabkan karena

terbentuknya hidroksil radikal bebas.

Hemoglobin adalah molekul yang terdiri dari 4

kandungan Heme (berisi zat besi) dan 4 rantai globin

(alfa, beta, gama, dan delta), berada di dalam eritrosit

dan bertugas utama untuk mengangkut oksigen.

Kualitas darah dan warna merah darah ditentukan oleh

kadar hemoglobin. Ada enam orang (66,6%) sampel

dengan kadar hemoglobin rendah hal tersebut dapat

terjadi dikarenakan asupan zat gizi yang kurang di

konsumsi serta lama periode transfusi terakhir.

Untuk memudahkan proses pengangkutan

diperlukan protein sebagai alat angkut dan

penyimpanan terhadap 22 hemoglobin yaitu

mengangkut oksigen dalam eritrosit sedangkan

mioglobin mengangkut oksigen dalam otot. Ion besi

diangkut dalam plasma darah oleh transferin dan

disimpan dalam hati sebagai kompleks dengan feritin9.

Selain itu diperlukan juga vitamin C yang juga

membantu tubuh menyerap zat besi yang penting

sebagai pembangun blokade sel-sel darah merah,

selain itu, vitamin ini berperan dalam penyerapan besi

sebagai reducing agent yang mengubah bentuk feri

menjadi fero dan chelating agent yang mengikat besi

sehingga daya larut besi meningkat.

Sebelum diolah lebih lanjut, data terlebih dahulu

diuji normalitas. Hasil uji normalitas, data

berdistribusi normal dengan Sig. asupan energi =

0.091, Sig. asupan protein = 0.996, Sig. asupan vitamin

C = 0.334, Sig. asupan Fe = 0.592, Sig. kadar

hemoglobin = 0.363.

Hubungan Asupan Energi dengan Kadar

Hemoglobin Pada Pasien Thalasemia

Data hubungan asupan energi dengan kadar

hemoglobin dapat dilihat pada tabel 2. Berdasarkan

hasil analisis menggunakan uji regresi linear pada

variabel asupan energi dengan kadar hemoglobin

tersebut diperoleh persamaan garis yaitu y = 63,589 -

17,532 asupan energi artinya bila asupan energi

bertambah 1 satuan maka kemungkinan kadar

Page 36: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

ARTIKEL PENELITIAN

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 91

hemoglobin berkurang sebesar 17,532. Berdasarkan

uji regresi linear sederhana diketahui besarnya

koefisien (R) adalah sebesar 0,559 artinya bahwa

hubungan asupan energi dengan kadar hemoglobin

menunjukkan hubungan yang sedang (0,40-0,599)

(Dahlan, 2004). Sedangkan dari hasil perhitungan

besarnya koefisien determinan (R2) adalah sebesar

0,312 artinya bahwa pengaruh asupan energi dengan

kadar hemoglobin adalah sebesar 31,2% sementara

sisanya sebesar 68,8% dipengaruhi oleh faktor lain

yang tidak diteliti pada penelitian ini. Hasil uji statistik

diperoleh tidak ada hubungan yang signifikan antara

asupan energi dengan kadar hemoglobin (P value =

0,118).

Tabel 2. Hubungan Asupan Energi Dengan Kadar Hemoglobin

Variabel R R2 Persamaan Garis P .Value

Asupan Energi 0,559 0,312 y = 63,589 - 17,532 0,118

Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan tidak

ada hubungan asupan energi dengan kadar

hemoglobin karena p > 0,05. Hal ini diduga karena

asupan energi yang diperoleh sebagian besar berasal

dari pangan sumber karbohidrat sehingga tidak

memberikan sumbangan zat besi dalam jumlah besar.

Kekurangan konsumsi energi dapat

menyebabkan anemia, hal ini terjadi karena

pemecahan protein tidak lagi ditujukan untuk

pembentukan sel darah merah dengan sendirinya

menjadi kurang, melainkan untuk menghasilkan

energi atau membentuk glukosa. Sumber energi yang

dikonsumsi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan

metabolisme basal, pemeliharaan sel, pertumbuhan,

dan penyembuhan dan pergerakan tubuh. Pemecahan

protein untuk energi dan glukosa dapat menyebabkan

ketidakseimbangan dalam tubuh dan melemahnya

otot-otot.

Hubungan Asupan Protein dengan Kadar

Hemoglobin Pada Pasien Thalasemia

Data hubungan asupan protein dengan kadar

hemoglobin dapat dilihat pada tabel 3. Berdasarkan

hasil analisis menggunakan uji regresi linear pada

variabel asupan protein dengan kadar hemoglobin

tersebut didapat nilai y = 13,506 - 0,082 asupan

protein artinya bila asupan protein bertambah 1 satuan

maka kemungkinan kadar hemoglobin berkurang

sebesar 0,082. Berdasarkan uji regresi linear

sederhana diketahui besarnya koefisien (R) adalah

sebesar 0,408 artinya bahwa hubungan asupan protein

dengan kadar hemoglobin menunjukkan hubungan

yang sedang (0,40-0,599) (Dahlan, 2004). Sedangkan

dari hasil perhitungan besarnya koefisien determinan

(R2) adalah sebesar 0,167 artinya bahwa pengaruh

asupan protein dengan kadar hemoglobin adalah

sebesar 16,7% sementara sisanya sebesar 83,3%

dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti pada

penelitian.

Tabel 3. Hubungan Asupan Protein Dengan Kadar Hemoglobin

Variabel R R2 Persamaan Garis P .Value

Asupan Protein 0,408 0,167 y = 13,506 – 0,082 0,275

Berdasarkan uji statistik menunjukkan tidak ada

hubungan antara asupan protein dengan kadar

hemoglobin karena p value = 0,275. Hal ini diduga

karena penderita thalasemia tidak diperbolehkan

terlalu banyak mengkonsumsi daging berwarna merah

yang merupakan sumber protein yang tinggi karena

berpotensi mengalami penumpukan zat besi yang

berbahaya bagi kesehatan tubuhnya. Padahal, zat besi

yang berlebih bisa menyebabkan keracunan bagi

tubuhnya. Oleh karena itu, makanan yang kadar

kandungan zat besinya tinggi harus mereka hindari.

Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan

merupakan bagian terbesar tubuh sesudah air.

Seperlima bagian tubuh protein, separuhnya ada di

dalam otot, seperlima di dalam tulang dan tulang

rawan, sepersepuluh di dalam kulit, dan selebihnya di

dalam jaringan lain, dan cairan tubuh. Protein

mempunyai fungsi khas yang tidak dapat digantikan

oleh zat gizi lain, yaitu membangun serta memelihara

sel-sel dan jaringan tubuh10.

Protein diperlukan oleh tubuh untuk membangun

sel-sel yang telah rusak, membentuk zat-zat pengatur

seperti enzim dan hormon, membentuk zat anti energi

dimana tiap gram protein menghasilkan sekitar 4,1

kalori11.

Hubungan Asupan Vitamin C dengan Kadar

Hemoglobin Pada Pasien Thalasemia

Data hubungan asupan vitamin C dengan kadar

hemoglobin dapat dilihat pada tabel 4. Berdasarkan

hasil analisis menggunakan uji regresi linear pada

variabel asupan vitamin C dengan kadar hemoglobin

tersebut diperoleh persamaan garis yaitu y = 9,653 –

0,039 asupan vitamin C artinya bila asupan vitamin C

Page 37: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Yanti, Fretika, Hubungan Asupan Zat Gizi dengan Kadar Hb pada Pasien Thalasemia

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 92

bertambah 1 satuan maka kemungkinan kadar

hemoglobin berkurang sebesar 0,039. Berdasarkan uji

regresi linear sederhana diketahui besarnya koefisien

(R) adalah sebesar 0,107 artinya bahwa hubungan

asupan vitamin C dengan kadar hemoglobin

menunjukkan hubungan yang sangat lemah (0,00-

0,199) (Dahlan, 2004). Sedangkan dari hasil

perhitungan besarnya koefisien determinan (R2)

adalah sebesar 0,011 artinya bahwa pengaruh asupan

vitamin C dengan kadar hemoglobin adalah sebesar

1,1% sementara sisanya sebesar 98,9% dipengaruhi

oleh faktor lain yang tidak diteliti pada penelitian.

Hasil uji statistik diperoleh tidak ada hubungan yang

signifikan antara asupan vitamin C dengan kadar

hemoglobin (P value = 0,785).

Tabel 4. Hubungan Asupan Vitamin C dengan Kadar Hemoglobin

Variabel R R2 Persamaan Garis P .Value

Asupan Vitamin C 0,107 0,011 y = 9,653 – 0,039 0,785

Berdasarkan uji statistik menunjukkan tidak ada

hubungan antara asupan vitamin C dengan kadar

hemoglobin karena p value = 0,785. Hal ini diduga

karena asupan vitamin C yang dikonsumsi para

sampel sangat terbatas jumlahnya. Diketahui bahwa

vitamin C dapat membantu penyerapan zat besi dalam

pencegahan terjadinya anemia, namun apabila zat besi

yang dikonsumsi dalam jumlah yang terbatas maka

fungsi vitamin C sebagai enhancer zat besi tidak akan

berjalan8. Konsumsi vitamin C 200 mg setiap hari

akan meningkatkan ekskresi besi yang dihasilkan oleh

desferioamin.

Adanya vitamin C dalam makanan yang

dikonsumsi akan memberikan suasana asam sehingga

memudahkan reduksi zat besi ferri menjadi ferro yang

lebih mudah diserap usus halus. Absorpsi zat besi

dalam bentuk non heme meningkat empat kali lipat

bila ada vitamin C8.

Hubungan Asupan Fe dengan Kadar Hemoglobin

Pada Pasien Thalasemia

Data hubungan asupan Fe dengan kadar

hemoglobin dapat dilihat pada tabel 5. Berdasarkan

hasil analisis menggunakan uji regresi linear pada

variabel asupan Fe dengan kadar hemoglobin tersebut

didapat nilai y = 9,016-0,060 asupan Fe artinya bila

asupan Fe bertambah 1 satuan maka kemungkinan

kadar hemoglobin berkurang sebesar 0,060.

Berdasarkan uji regresi linear sederhana diketahui

besarnya koefisien (R) adalah sebesar 0,044 artinya

bahwa hubungan asupan Fe dengan kadar hemoglobin

menunjukkan hubungan yang sangat lemah (0,00-

0,199) (Dahlan, 2004). Sedangkan dari hasil

perhitungan besarnya koefisien determinan (R2)

adalah sebesar 0,002 artinya bahwa pengaruh asupan

Fe dengan kadar hemoglobin adalah sebesar 0,2%.

Hasil uji statistik diperoleh tidak ada hubungan yang

signifikan antara asupan Fe dengan kadar hemoglobin

(P value = 0,910).

Tabel 5. Hubungan Asupan Fe Dengan Kadar Hemoglobin

Variabel R R2 Persamaan Garis P .Value

Asupan Fe 0,044 0,002 y = 9,016 - 0,060 0,910

Zat besi adalah mineral yang dibutuhkan untuk

membentuk sel darah merah (hemoglobin). Selain itu,

mineral ini juga berperan sebagai komponen untuk

membentuk mioglobin (protein yang membawa

oksigen ke otot), kolagen (protein yang terdapat di

tulang, tulang rawan, dan jaringan penyambung), serta

enzim. Zat besi juga berfungsi dalam sistim

pertahanan tubuh. Namun, pada penderita thalasemia

terjadi kelebihan zat besi dalam tubuhnya, sehingga

dianjurkan mengkonsumsi makanan yang

menghambat penyerapan zat besi seperti asam fitat,

asam oksalat dan tanin yang banyak terdapat pada

serealia, kacang-kacangan dan teh.

Talasemia diakibatkan adanya variasi atau

hilangnya gen ditubuh yang membuat hemoglobin.

Hemoglobin adalah protein sel darah merah (SDM)

yang membawa oksigen. Orang dengan thalasemia

memiliki hemoglobin yang kurang dan SDM yang

lebih sedikit dari orang normal yang akan

menghasilkan suatu keadaan anemia ringan sampai

berat, sehingga tidak berpengaruh pada asupan Fe dan

protein.

Kesimpulan Dan Saran

Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat

diambil kesimpulan adalah asupan energi, protein,

vitamin C dan Fe tidak terdapat hubungan dengan

kadar hemoglobin pada pasien thalasemia. Saran yang

diajukan yaitu diharapkan dapat lebih memotivasi

pasien thalasemia dengan cara membentuk suatu

perkumpulan khusus bagi anak-anak yang menderita

thalasemia sehingga asupan makan dapat terkontrol

Page 38: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

ARTIKEL PENELITIAN

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 93

dan memberikan penyuluhan gizi di poli anak dengan

cara bekerja sama dengan ahli gizi di rumah sakit

sehingga asupan zat gizi yang di konsumsi dapat lebih

terkontrol dengan baik.

Daftar Pustaka

1. Ganie, R.A. 2004. Kajian DNA Thalassemia

Alpha di Medan. USU Press: 41

2. Thalasemia International Federation (TIF). 2008.

Guidelines for the clinical management of

thalasemia. http:/www.thalasemia.org.cy.

Diakses tanggal 22 januari 2014.

3. Rund, D. dan Rachmilewitz, E. 2005. Medical

Progress: β thalasemia. The new England

Journal of Medecine, 353, 1135-49.

4. Thavorncharoensap, M.,et al. 2010. Factors

affecting health related quality of life in

thalassaemia.thai children with thalasemia.

Journal BMC Disord. Diakses tanggal 22 januari

2014

5. Indriati G, 2011. Pengalaman Ibu Dalam

Merawat Anak Dengan Thalasemia di Jakarta.

Depok : Universitas Indonesia Program Studi

Magister Ilmu Keperawatan. Diakses tanggal 22

januari 2014.

6. Mitayani, dan Sartika, W, 2010. Buku Saku Ilmu

Gizi. Trans Info Media. Jakarta

7. Almatsier, S. 2004. Penuntun Diet Edisi Baru.

PT. Gramedia Pusaka Utama. Jakarta.

8. Andriani, M dan Wirjatmadi, B.2012. Pengantar

Gizi Masyarakat. Kencana Prenada Media

Group. Jakarta.

9. Winarno, F.G., 2002. Kimia Pangan dan Gizi.

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

10. WHO & Depkes RI. Modul C Pelatihan dan

Penilaian Pertumbuhan Anak WHO 2005.

Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

11. Proverawati, A. dan Wati, E.K. 2010. Ilmu Gizi

untuk Keperawatan dan Gizi Kesehatan. Nuha

Medika. Yogyakarta.

12. Kartasapoetra, G. dan Marsetyo, H. 2008. Ilmu

Gizi Korelasi Gizi, Kesehatan, dan Produktivitas

Kerja. Rineka Cipta. Jakarta.

Page 39: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Hesty, Suherni, Determinan Stigma Mahasiswa Poltekkes Yogyakarta terhadap ODHA

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 94

Determinan Stigma Mahasiswa Poltekkes Kemenkes Yogyakarta Terhadap Orang

Dengan Hiv/Aids (ODHA)

Stigma determinant of Students Health Polytechnic of Yogyakarta towards ODHA

Hesty Widyasih1, Suherni2

Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta

Abstrak. Kasus HIV/AIDS di Indonesia semakin meningkat. Prevalensi kasus AIDS di DIY juga

meningkat. HIV dan AIDS sering dikaitkan dengan perilaku menyimpang. HIV tidak dapat disembuhkan

dan dapat menyebabkan kematian, sehingga menyebabkan stigma negatif ODHA di masyarakat termasuk

dari tenaga kesehatan. Mahasiswa Poltekkes Kemenkes Yogyakarta sebagai calon tenaga kesehatan yang

dituntut untuk dapat memberikan asuhan yang tepat bagi pasien ODHA tidak terlepas dari stigma tersebut.

Tujuan Penelitian adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi stigma mahasiswa Poltekkes

Kemenkes Yogyakarta terhadap Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA). Penelitian ini merupakan

penelitian survei dengan pendekatan cross sectional. Penelitian dilakukan di Poltekkes Kemenkes

Yogyakarta pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2013. Populasi penelitian adalah seluruh mahasiswa

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta tingkat 3. Teknik sampel dengan proportional random sampling

didapatkan jumlah sampel 190 responden. Pengambilan data dengan kuesioner. Analisis dilakukan dengan

analisis Univariate, bivariate (chi square) dan multivariate (regresi logistik). Tidak ada hubungan antara

tingkat pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan stigma Mahasiswa terhadap ODHA (p value=0.075). Ada

hubungan persepsi terhadap ODHA dengan stigma Mahasiswa terhadap ODHA (p value 0.000). Tidak ada

hubungan antara ketersediaan informasi tentang HIV/AIDS dengan stigma Mahasiswa terhadap ODHA (p

value=0.063). Ada hubungan antara pengalaman pertemu ODHA dengan stigma mahasiswa tentang ODHA

(p value= 0.034). Mahasiswa yang berpengalaman bertemu dengan ODHA mempunyai peluang untuk tidak

menstigma sebesar 2.047 kali lebih besar sedangkan yang mempunyai persepsi baik mempunyai peluang

untuk tidak menstigma sebesar 3.516 kali dibandingkan dengan yang mempunyai persepsi buruk Kata Kunci: Stigma terhadap ODHA

Abstract. HIV/AIDS cases in Indonesia has increased The prevalence of AIDS cases in DIY also increased.

HIV and AIDS are often associated with deviant behavior. HIV is incurable and can lead to death, thus

causing a negative stigma of people living with HIV in the community, including health professionals.

Health polytechnic of Yogyakarta’s students as a potential health personnel who are required to provide

appropriate care for people living with HIV patients can not be separated from the stigma. The study

objective was to determine the factors that influence stigma Health polytechnic of Yogyakarta’s students

against people living with HIV/AIDS. This study was a cross sectional survey . The study was conducted in

Health polytechnic of Yogyakarta in June to August 2013. The study population was all students of Health

polytechnic of Yogyakarta grade 3 . Technics sampling obtained by random sampling proportional sample of

190 respondents . Data were taken by questionnaire. The analysis was performed by analysis univariate,

bivariate (chi-square) and multivariate (logistic regression) . There was no relationship between the level of

knowledge about HIV/AIDS and stigma against people living with HIV/AIDS (p value=0.075). There is a

relationship between the perception of people living with HIV/AIDS and stigma against people living with

HIV/AIDS (p value 0.000). There is no relationship between the availability of information about HIV/AIDS

and stigma against people living with HIV/AIDS (p value = 0.063 ). There is a relationship between the

experience to meet people living with HIV/AIDS and stigma against people living with HIV/AIDS (p value

= 0.034). Students experienced to meet people living with HIV/AIDS have the opportunity not to stigmatize

at 2,047 times greater, while having a good perception have the opportunity not to stigmatize 3,516 times

greater compared to a bad perception.

Keywords : Stigma against people living with HIV/AIDS

Page 40: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

ARTIKEL PENELITIAN

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 95

Pendahuluan

Lebih dari 150 negara di dunia telah

melaporkan adanya penyakit infeksi HIV/AIDS.

Acquired Immune Deficiency Syndrom (AIDS)

merupakan kumpulan gejala penyakit yang

disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus

(HIV). Penyakit infeksi HIV dan AIDS hingga kini

masih menjadi masalah kesehatan global. Masalah

yang berkembang sehubungan dengan penyakit

HIV dan AIDS adalah kejadian HIV/AIDS dan

kematian yang masih tinggi1.

Peningkatan kasus HIV/AIDS di Indonesia

dalam 4 tahun terakhir yaitu dari tahun 2008

sampai dengan 2012 menunjukkan peningkatan

yang cukup signifikan. Berdasarkan data dari

Ditjen Pengendalian Penyakit Menular dan

Pengendalian Lingkungan (PPM dan PL)

Kementerian Kesehatan RI, pada tahun 2008

ditemukan kasus HIV di Indonesia sebanyak 489

kasus, AIDS sebanyak 4969 kasus. Sedangkan

tahun 2012 kasus HIV sebanyak 86762 kasus dan

untuk AIDS sebanyak 32103 kasus2.

HIV dan AIDS sering dikaitkan dengan

perilaku menyimpang seperti homoseksual, pekerja

seks, pengguna narkoba atau penyakit kutukan

Tuhan. HIV tidak dapat disembuhkan dan dapat

menyebabkan kematian, itulah alasannya mengapa

stigma negatif dan diskriminasi muncul di

masyarakat. Stigma dan diskriminasi dapat terjadi

di mana saja dan kapan saja.

Stigma dapat diartikan sebagai suatu bentuk

prasangka yang mencemarkan atau menolak

seseorang atau kelompok tertentu karena mereka

terlihat berbeda dari orang lain atau dari biasanya.

Stigma dapat dikategorikan sebagai perilaku

tertutup (covert behaviour) karena respon yang

timbul belum dapat diamati orang lain (dari luar)

secara jelas. Stigma sering kali menyebabkan

terjadinya diskriminasi yang pada gilirannya akan

mendorong munculnya pelanggaran HAM (Hak

Asasi Manusia) bagi ODHA dan keluarganya.

Daerah Istimewa Yogyakarta yang merupakan

salah satu propinsi di Indonesia yang dikenal

sebagai kota pelajar dan kota pariwisata memiliki

tingkat lalu lintas manusia yang sangat tinggi yang

membawa serta berbagai kebudayaan dan sangat

memungkinkan terjadinya berbagai perilaku

berisiko tertular atau menularkan HIV dan AIDS3.

Jumlah kumulatif kasus AIDS berdasarkan kasus

tiap propinsi di Indonesia, propinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta mengalami peningkatan

kasus yang cukup signifikan dalam 4 tahun

terakhir2. Abell et al (2007) mengungkapkan bahwa

petugas kesehatan walaupun cukup ramah dengan

ODHA, akan tetapi tetap lebih suka untuk menjaga

jarak dan menghindari untuk bersentuhan secara

langsung4. Hal ini terkait dengan masih banyaknya

petugas kesehatan yang masih percaya dengan

mitos-mitos tentang penularan HIV.

Mahasiswa kesehatan sebagai calon-calon

tenaga kesehatan yang juga seharusnya lebih

paham tentang HIV/AIDS juga masih memiliki

sikap negatif terhadap ODHA. Mahasiswa

kesehatan diharapkan memiliki pengetahuan

tentang HIV/AIDS lebih baik dibandingkan

mahasiswa lain pada umumnya, akan tetapi

kenyataannya sikap mereka terhadap ODHA tidak

jauh berbeda dengan mahasiswa non kesehatan.

Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan

(Poltekkes Kemenkes) Yogyakarta merupakan

Institusi Pendidikan Kesehatan dengan status

negeri yang mencetak lulusan tenaga kesehatan

yang profesional. Sebagai calon tenaga kesehatan

yang profesional mahasiswa dituntut untuk dapat

memberikan asuhan yang tepat termasuk kepada

pasien dengan HIV/AIDS. Sebagaimana diketahui

HIV/AIDS menjadi salah satu fokus penanganan

dalam mencapai Millenium Development Goals.

Partisipasi semua pihak dibutuhkan dalam

mencapai hal ini termasuk institusi pendidikan

yang mendidik tenaga kesehatan. Tujuan penelitian

ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang

mempengaruhi stigma mahasiswa terhadap orang

dengan HIV/AIDS.

Metoda

Penelitian ini merupakan penelitian survei

dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini

dilakukan di Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.

Subjek penelitian adalah mahasiswa tingkat 3

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta Jurusan Analis

Kesehatan, Jurusan Gizi, Jurusan Kebidanan,

Jurusan Keperawatan, dan Jurusan Keperawatan

Gigi yang memenuhi kriteria yaitu bersedia

menjadi responden penelitian dan hadir pada saat

penelitian dilaksanakan. Pelaksanaan penelitian

pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2013.

Pengumpulan data menggunakan kuesioner yang

telah valid dan reliabel. Analisis data

menggunakan uji chi-square dan regresi logistik.

Hasil

Penelitian dilakukan pada 190 orang

mahasiswa tingkat 3 Poltekkes Kemenkes

Yogyakarta. Hasil tabulasi silang tingkat

pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan stigma

Mahasiswa terhadap ODHA disajikan dalam tabel

1 menunjukkan bahwa mahasiswa yang tidak

menstigma adalah yang memiliki pengetahuan baik

yaitu sebesar 72,3%. Dari hasil analisis Chi square

didapatkan nilai p value 0.075 (>0.05) yang berarti

bahwa tidak ada hubungan antara tingkat

pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan stigma

Mahasiswa terhadap ODHA.

Page 41: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Hesty, Suherni, Determinan Stigma Mahasiswa Poltekkes Yogyakarta terhadap ODHA

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 96

Tabel 1. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Stigma tentang HIV/AIDS dengan Stigma

terhadap ODHA

Variabel

Stigma x2

p

value

Tidak

Menstigma

Menstigma total

n % n % n %

Tingkat

Pengetahuan

Baik 47 72.3 18 27.7 65 100 3.177 0.075

Kurang 74 59.2 51 40.8 125 100

Persepsi ODHA

Baik 76 76.8 23 23.2 99 100 15.299 0.000

Kurang 45 49.5 46 50.5 91 100

Ketersediaan

Informasi

Lengkap 73 69.5 32 30.5 105 100 3.461 0.063

Kurang 48 56.5 37 43.5 85 100

Pengalaman

Bertemu

Tidak 44 55 36 45 80 100 4.506 0.034

Pengalaman 77 70 33 30 110 100

Kurang 48 56.5 37 43.5 85 100

Hasil tabulasi silang persepsi terhadap ODHA

dengan stigma Mahasiswa terhadap ODHA

disajikan dalam tabel 1 menunjukkan bahwa

mahasiswa yang tidak menstigma adalah

mahasiswa yang mempunyai persepsi terhadap

ODHA pada kategori baik yaitu sebesar 76,8%.

Dari hasil analisis Chi square didapatkan nilai p

value 0.000 (<0.05) yang berarti bahwa ada

hubungan persepsi terhadap ODHA dengan stigma

Mahasiswa terhadap ODHA.

Hasil tabulasi silang Ketersediaan Informasi

tentang HIV/AIDS dengan Stigma Mahasiswa

terhadap ODHA disajikan dalam tabel 1

menunjukkan bahwa mahasiswa yang tidak

menstigma adalah mereka yang mempunyai

ketersediaan informasi HIV/AIDS lengkap yaitu

sebesar 69,5%.

Dari hasil analisis Chi square didapatkan nilai

p value 0.063(>0.05) yang berarti bahwa tidak ada

hubungan antara ketersediaan informasi tentang

HIV/AIDS dengan stigma mahasiswa terhadap

ODHA.

Hasil tabulasi pengalaman Bertemu ODHA

dengan stigma mahasiswa tentang ODHA disajikan

dalam tabel 1 menunjukkan bahwa mahasiswa yang

tidak menstigma adalah mereka yang mempunyai

pengalaman bertemu ODHA yaitu sebesar 70%.

Dari hasil analisis Chi square didapatkan nilai

p value 0.034(<0.05) yang berarti bahwa ada

hubungan antara pengalaman pertemu ODHA

dengan stigma mahasiswa tentang ODHA

Tabel 2 Hasil analisis regresi logistik

Variabel p value

Exp

(B)

95% CI for Exp (B)

Lower Upper

Pengalaman Bertemu ODHA 0.026 2.047 1.089 3.848

Persepsi terhadap ODHA 0.000 3.516 1.866 6.625

Constant B -0.441

Dari hasil analisis multivariat didapatkan 2

(dua) variabel bebas yang secara statistik

berpengaruh pada stigma tentang ODHA yang

ditunjukkan dengan p value <0.05. Tabel 5

menunjukkan bahwa mahasiswa yang

berpengalaman bertemu dengan ODHA mempunyai

peluang untuk tidak menstigma sebesar 2.047 kali

lebih besar dibandingkan dengan yang tidak

berpengalaman bertemu ODHA. Demikian pula

untuk persepsi mahasiswa terhadap ODHA, yang

mempunyai persepsi baik mempunyai peluang

untuk tidak menstigma sebesar 3.516 kali

dibandingkan dengan yang mempunyai persepsi

buruk.

Page 42: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

ARTIKEL PENELITIAN

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 97

Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada

hubungan antara tingkat pengetahuan tentang

HIV/AIDS dengan stigma Mahasiswa terhadap

ODHA. Pengetahuan akan membentuk keyakinan

tertentu sehingga seseorang berperilaku sesuai

dengan keyakinannya. Namun demikian perubahan

pengetahuan tidak selalu menyebabkan perubahan

perilaku. Semakin tinggi pengetahuan dan

pemahaman seseorang tentang HIV/AIDS akan

mengurangi ketakutan irrasional yang dapat

memicu munculnya stigma terhadap ODHA.

Pengetahuan yang komprehensif tentang HIV/AIDS

dapat mengurangi bahkan menghilangkan mitos

atau kepercayaan yang salah tentang HIV/AIDS

yang pada akhirnya dapat menghentikan bahkan

mengurangi epidemi HIV/AIDS yang terkait

dengan stigma.

Hasil penelitian didapatkan bahwa ada

hubungan persepsi terhadap ODHA dengan stigma

Mahasiswa terhadap ODHA. Hasil analisis dengan

regresi logistik menunjukkan mahasiswa yang

mempunyai persepsi baik mempunyai peluang

untuk tidak menstigma sebesar 3.516 kali

dibandingkan dengan yang mempunyai persepsi

buruk. Persepsi seseorang merupakan proses aktif

yang memegang peranan, bukan hanya stimulus

yang mengenainya tetapi juga individu sebagai satu

kesatuan dengan pengalaman-pengalamannya,

motivasi serta sikapnya yang relevan dalam

menanggapi stimulus5. Persepsi yang baik

mengakibatkan mahasiswa berperilaku tidak

menstigma.

Persepsi terhadap penderita HIV/AIDS

berkaitan dengan nilai-nilai, seperti rasa malu

(shame), sikap menyalahkan (blame), dan

menghakimi (judgement) yang berhubungan dengan

penyebab penyakit AIDS. Penelitian ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan Cock di Afrika

menemukan bahwa perilaku menstigma terhadap

penderita HIV/AIDS berhubungan dengan rasa

malu (shame) dan menyalahkan (blame) yang

berhubungan dengan penyakit tersebut6.

Hasil penelitian didapatkan bahwa tidak ada

hubungan antara ketersediaan informasi tentang

HIV/AIDS dengan stigma mahasiswa terhadap

ODHA. Responden mendapatkan informasi tidak

hanya di kampus. Mereka mengakses internet,

menonton televisi, mengikuti seminar dan lain

sebagainya. Menurut UNAIDS pendidikan tentang

HIV/AIDS yang paling efektif dilakukan melalui

pendidikan seks dan kesehatan di institusi

pendidikan atau melalui pendidikan teman

sebaya7,8.

Materi HIV/AIDS telah diberikan kepada

mahasiswa melalui mata kuliah yang ada di masing-

masing jurusan. Meskipun belum ada mata kuliah

khusus tentang HIV/AIDS, namun kewaspadaan

universal telah diberikan dalam perkuliahan.

Pencegahan infeksi juga diajarkan kepada

mahasiswa sebagai bagian dari kewaspadaan

universal. Tidak hanya dari dosen yang

memberikan materi HIV/AIDS tetapi pembimbing

lahan praktik juga mengajarkan kepada mahasiswa.

Materi HIV/AIDS juga didapat mahasiswa melalui

seminar-seminar maupun kegiatan kemahasiswaan

seperti Saka Bhakti Husada.

Hasil penelitian didapatkan bahwa ada

hubungan antara pengalaman pertemu ODHA

dengan stigma mahasiswa tentang ODHA. Ini

menunjukkan pentingnya pengalaman nyata bagi

mahasiswa untuk bertemu ODHA agar mahasiswa

berperilaku tidak menstigma. Kesalahpahaman

tentang bagaimana HIV ditularkan dan cara

pencegahannya merupakan pemicu munculnya

stigma terhadap ODHA9. Hasil analisis dengan

regresi logistik menunjukkan bahwa mahasiswa

yang berpengalaman bertemu dengan ODHA

mempunyai peluang untuk tidak menstigma sebesar

2.047 kali lebih besar dibandingkan dengan yang

tidak berpengalaman bertemu ODHA. Sikap akan

lebih mudah terbentuk apabila pengalaman

pribadi terjadi dalam situasi yang melibatkan

faktor emosional10. Pengalaman bertemu ODHA

membentuk sikap dalam diri mahasiswa dan

kemungkinan menimbulkan perilaku tidak

menstigma. Tidak adanya pengalaman sama sekali

dengan suatu objek cenderung akan membentuk

sikap negatif terhadap objek tersebut11. Hal ini

sesuai dengan hasil pada penelitian ini bahwa

mahasiswa yang tidak punya pengalaman bertemu

ODHA maka lebih berpeluang untuk menstigma.

Kesimpulan dan Saran

Tidak ada hubungan antara tingkat

pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan stigma

Mahasiswa terhadap ODHA. Ada hubungan

persepsi terhadap ODHA dengan stigma Mahasiswa

terhadap ODHA. Tidak ada hubungan antara

ketersediaan informasi tentang HIV/AIDS dengan

stigma Mahasiswa terhadap ODHA. Ada hubungan

antara pengalaman pertemu ODHA dengan stigma

mahasiswa tentang ODHA. Mahasiswa yang

berpengalaman bertemu dengan ODHA mempunyai

peluang untuk tidak menstigma sebesar 2.047 kali

lebih besar dibandingkan dengan yang tidak

berpengalaman bertemu ODHA. Mahasiswa yang

mempunyai persepsi baik mempunyai peluang

untuk tidak menstigma sebesar 3.516 kali

dibandingkan dengan yang mempunyai persepsi

buruk.

Page 43: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Hesty, Suherni, Determinan Stigma Mahasiswa Poltekkes Yogyakarta terhadap ODHA

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 98

Bagi pengajar baik dosen maupun pembimbing

lapangan mahasiswa praktikan sebaiknya memberi

pengarahan dan informasi yang cukup tentang

HIV/AIDS kepada mahasiswa sehingga saat

bertemu ODHA tidak timbul keraguan dalam

melakukan penatalaksanaan dan mencegah stigma

terhadap ODHA. Bagi institusi Poltekkes

Kemenkes Yogyakarta sebaiknya memberi

pengalaman nyata pada mahasiswa untuk

berinteraksi langsung dengan ODHA baik berupa

ekstrakurikuler maupun dimasukkan dalam mata

kuliah sesuai dengan jurusan masing-masing.

Daftar Pustaka

1. Nasronudin. HIV dan AIDS: Pendekatan

Biologi Molekuler, Klinis dan Sosial.

Surabaya: UNAIR; 2007.

2. Depkes RI. Statistik Kasus HIV/AIDS di

Indonesia: Dilapor s.d. Desember 2011.

Jakarta: Ditjen PPM dan PL Depkes RI. 2011.

3. Suyono, Yeni dan Iskandar

Zulkarnain.Virology and Natural History of

HIV". Berkala, Ilmu Penyakit Kulit dan

Kelamin, Airlangga Periodical of Dermato-

Venerology Vol. 8 No. 2 Agustus 2006

Airlangga University Press. 2006

4. Abell, N.R., S.E; McCann, T.J, & Padmore, J.,

Examining HIV/AIDS Provider Stigma. AIDS

Care, 2007. 19(2)(Assesing Regional Concern

In The Islands of The Eastern Carribean).

5. Walgito B. Pengantar psikologi umum, Andi

Offset. Yogyakarta; 2004.

6. Cock KMD, Mbori-Ngaca D, Marum M.

Shadow on the content: public health and

HIV/AIDS in Africa in the 21st century. The

Lancet, 2002.360;67-72.

7. UNAIDS. Fight Stigma and Discrimination To

Win the War Against HIV / AIDS. Jakarta:

Kesreprodotinfo; 2002.

8. UNAIDS. Voluntary Counseling and Testing.

Best Paractise Collection. Technical Update;

pp 1-12; 2000.

9. Aggleton P, Parker R, UNAIDS. World AIDS

campaign 2002-2003: A conceptual framework

and basis for action HIV/AIDS stigma and

discrimination 2002 [diunduh 04 November

2010]. Tersedia dari http://www.eldis.org.

10. Notoatmojo, S., Konsep perilaku dan perilaku

Kesehatan. Promosi kesehatan dan Ilmu

Perilaku, Jakarta: Rineka Cipta, 2007.

11. Azwar, S., Sikap Manusia (Teori dan

Pengukurannya). Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2011.

Page 44: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Lola Meyasa, Analisis Implementasi Pojok Laktasi di RSUD dr. Doris Sylvanus

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 99

Analisis Implementasi Pojok Laktasi Di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya

Analysis of the Lactation Room Implementation in Public Hospital dr. Doris Sylvanus Palangka Raya

Lola Meyasa

Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Palangka Raya

Abstrak. ASI merupakan intervensi yang paling efektif untuk mencegah kematian anak, karena ASI

menyediakan nutrisi yang dibutuhkan untuk tumbuh kembang yang sehat dan memberikan antibodi terhadap

berbagai penyakit infeksi dan alergi. Cakupan pemberian ASI untuk Kalimantan Tengah menurun cukup

tajam dari 29,2% tahun 2010 menjadi 17,1% tahun 2011. Untuk Kota Palangka Raya dari 30,2% tahun 2010

menjadi 19,5% tahun 2011. RSUD dr. Doris Sylvanus berkomitmen sebagai RSSIB dan mendukung program

ASI eksklusif, diantaranya dengan menyediakan pojok laktasi di 3 ruangan. Tujuan penelitian ini adalah

menganalisis bagaimana implementasi pojok laktasi di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya. Metode

penelitian adalah kualitatif, dilakukan dengan wawancara mendalam dan observasi langsung. Informan

utama 3 orang Karu penanggung jawab pojok laktasi dan informan triangulasi petugas ruangan, pasien ibu

menyusui, konselor ASI, Kabid Yanmed RSUD dr. Doris Sylvanus, Kasi Yankes Dinkesprov Kalimantan

Tengah. Analisis data menggunakan metode analisis isi. Implementasi pojok laktasi di RSUD dr. Doris

Sylvanus sudah sesuai peraturan yang ada, yaitu merupakan bagian dari program RSSIB, RS PONEK dan

syarat akreditasi RS. Pemanfaatannya lebih ditujukan untuk pasien, meskipun tidak ada larangan kepada

pegawai untuk menyusui dan/atau memerah ASI di lingkungan RS. Pelayanan konseling yang diberikan di

pojok laktasi diantaranya ASI eksklusif, perawatan bayi, dan KB. Komunikasi tentang pojok laktasi belum

jelas karena tidak ada sosialisasi. SDM maupun fasilitas sudah sesuai standar, hanya penempatan beberapa

konselor ASI masih belum tepat. Struktur birokrasi masih belum efektif, karena belum ada juknis dan SOP

khusus pojok laktasi, serta adanya fragmentasi dengan banyaknya tim. Disarankan untuk RS diantaranya

melakukan sosialisasi, membuat SOP dan alur mekanisme pertanggungjawaban yang jelas. Dinkesprov juga

diharapkan melakukan advokasi dan koordinasi untuk penyusunan Perda ASI.

Kata kunci : pojok laktasi, implementasi kebijakan, ASI eksklusif.

Abstract. Exclusive breastfeeding is the most effective intervention to prevent mortality in children because

it provides nutrition needed for the growth of the babies and supplies antibodies toward numerous infections

and allergens. Exclusive breastfeeding in Central Kalimantan gradually decreased from 29.2% in 2010 to

17.1% in 2011. In Palangka Raya, it was from 30.2% in 2010 to 19.5% in 2011. Public Hospital dr. Doris

Sylvanus Palangka Raya committed as Baby Friendly Hospital and support exclusive breastfeeding program,

provides lactation room in three places. The objective of this study was to analyze how implementation of

the lactation room in Public Hospital dr. Doris Sylvanus Palangka Raya. This research was a qualitative

research done by using in-depth interview and direct observations. The main informants in this study were

three ward managers who were responsible for the lactation room program and the triangulation’s informant

in this study were staff, breastfeeding mom, breastfeeding counselor and manager of Medical Service of

Public Hospital dr. Doris Sylvanus Palangka Raya, section manager of Health Service of Central Kalimantan

Provincial Health Office. The method of analyzing the data in this study was content analysis method. The

implementation of lactation room showed that the availability of the lactation room was an integral part in

Mother and Baby Friendly Hospital, Comprehensive Emergency Obstetric Neonatal Care and as the

requirement of hospital accreditation. The utilization of the lactation room was focused for patients.

Communication regarding to the lactation room had not done yet because there was no socialization. Human

resources and facilities had been complied the standard. Bureaucracy structure was not effective yet because

they do not have any technical guidances and standard operational procedures towards lactation room’s

implementation and fragmentation. It was suggested to the hospital to socialize, make a standard operational

procedure and have a clear mechanism of responsibility. The Provincial Health Office was also urged to

advocate and make coordination headed for breastfeeding policy.

Keywords: lactation room, policy implementation, exclusive breastfeeding.

Page 45: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

ARTIKEL PENELITIAN

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 100

Pendahuluan

AKB Kota Palangka Raya pada tahun 2011

tercatat 10,8 per 1000 kelahiran hidup (KH),

meningkat dari tahun 2010 tercatat 4,6 per 1000

kelahiran hidup dan lebih tinggi dibanding dengan

target Renstra Kota Palangka Raya tahun 2011 yaitu

sebesar 1,3 per 1.000 KH. Sedangkan AKABA di

Kota Palangka Raya tahun 2011 sebesar 11,39 per

1000 KH, meningkat dari tahun 2010 sebesar 1,60

per 1000 KH. ASI eksklusif adalah pemberian ASI

tanpa makanan tambahan lain pada bayi berumur

nol sampai enam bulan, merupakan intervensi yang

paling efektif untuk mencegah kematian anak,

karena ASI menyediakan nutrisi yang dibutuhkan

untuk tumbuh kembang yang sehat dan memberikan

antibodi terhadap berbagai penyakit infeksi dan

alergi.1-3

Hasil terbaru dari SDKI 2012 cakupan

pemberian ASI eksklusif di Indonesia adalah 27%.

Cakupan ASI eksklusif Kalimantan Tengah tahun

2009 sebesar 63,2% menjadi 29,2% pada tahun

2010 dan turun lagi menjadi 17,1% pada tahun

2011. Cakupan pemberian ASI eksklusif Kota

Palangka Raya berfluktuasi dari 12,8% tahun 2009,

naik menjadi 30,2% di tahun 2010 dan turun cukup

tajam menjadi 19,5% di tahun 2011. Cakupan

pemberian ASI eksklusif dipengaruhi banyak hal,

seperti peraturan perundangan tentang ASI yang

baru dikeluarkan, belum maksimalnya kegiatan

advokasi, komunikasi, edukasi, informasi (KIE)

terkait pemberian ASI, masih kurangnya

ketersediaan sarana prasarana dan tenaga konselor

ASI, belum optimalnya pembinaan kelompok

pendukung ASI, serta promosi dan pemasaran susu

formula yang kadang sulit untuk dikendalikan.1-3

Menyadari kekayaan manfaat ASI eksklusif

bagi bayi, Pemerintah telah menerbitkan beberapa

peraturan dalam rangka meningkatkan program ASI

eksklusif di Indonesia, diantaranya Keputusan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

450/Menkes/SK/IV/2004 tentang Pemberian ASI

secara Eksklusif pada Bayi di Indonesia, Peraturan

Bersama Menteri Negara Pemberdayaan

Perempuan, Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi, dan Menteri Kesehatan Nomor 48 /

Men.PP/XII/2008, Nomor PER.27/MEN/XII/2008,

Nomor 1177/Menkes/PB/XII/2008 tentang

Peningkatan Pemberian ASI selama Waktu Kerja di

Tempat Kerja, UU Kesehatan Nomor 36 Tahun

2009 Pasal 128 ayat (1) tentang bayi berhak

mendapatkan ASI sejak dilahirkan selama 6 bulan

kecuali atas indikasi medis, Peraturan Menteri

Negara Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 03

Tahun 2010 tentang Penerapan 10 Langkah Menuju

Keberhasilan Menyusui (LMKM), serta PP

Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 tentang

Pemberian ASI Eksklusif.4-8

Program ASI di tempat kerja sangat penting

dan memiliki nilai strategis mengingat jumlah

pekerja perempuan di Indonesia cukup besar,

menurut SDKI 2007 sebesar 57% dari total jumlah

pekerja. Bekerja menuntut ibu untuk meninggalkan

bayinya dalam jangka waktu yang cukup lama

setiap harinya, sehingga pemberian ASI eksklusif

semakin sulit. Keberhasilan program ASI di tempat

kerja akan sangat berdampak pada keberhasilan

program ASI secara nasional.9-10

Hasil survei pendahuluan yang dilakukan pada

Maret-April 2013 diketahui bahwa RSUD dr. Doris

Sylvanus telah menjadi RS sayang ibu dan bayi

(RSSIB) dan RS dengan Pelayanan Obstetri dan

Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK) sejak

tahun 2010. RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka

Raya telah menerapkan 10 LMKM yang didukung

dengan adanya 3 pojok laktasi, yaitu di Poli

Kandungan, Poli Tumbuh Kembang dan Ruang

Perinatologi, serta 4 orang petugas konselor ASI.

Pojok laktasi di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka

Raya dibuat sebagai salah satu syarat sebagai

RSSIB, RS PONEK dan akreditasi RS, yang

bertujuan untuk membantu pasien ibu-ibu menyusui

atau ibu-ibu yang bayinya dirawat di RSUD dr.

Doris Sylvanus Palangka Raya agar dapat menyusui

bayinya atau memerah ASI dengan terjaga

privasinya. Beberapa petugas kesehatan yang

bekerja di 3 ruangan yang memiliki pojok laktasi di

RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya

menyatakan belum pernah mendapatkan sosialisasi,

seminar maupun pelatihan khusus mengenai pojok

laktasi, seperti yang diungkapkan berikut ini:

Meskipun penyuluhan mengenai ASI eksklusif

selalu dilakukan, tetapi sosialisasi dan pemanfaatan

pojok laktasi secara khusus diakui masih jarang

dilakukan. Para pegawai di RSUD dr. Doris

Sylvanus Palangka Raya yang sedang menyusui

tidak pernah menggunakan pojok laktasi untuk

menyusui atau memerah ASI. Hal ini dibenarkan

oleh pihak Dinas Kesehatan, Badan Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Dinas

Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi

Kalimantan Tengah yang menyatakan sosialisasi

mengenai ASI eksklusif secara umum sudah sering

dilakukan, tetapi belum ada yang khusus mengenai

pojok laktasi. Ini disebabkan belum adanya

Peraturan Daerah (Perda) atau kebijakan lebih

lanjut dari peraturan tentang ASI eksklusif yang

sudah ada. Hasil observasi ditemukan bahwa

fasilitas atau peralatan yang tersedia di pojok laktasi

RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya belum

lengkap sesuai ketentuan.4-8, 11-13 Hal-hal tersebut

menunjukkan adanya permasalahan dalam

implementasi kebijakan yang berkaitan dengan

pojok laktasi di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka

Raya.

Page 46: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Lola Meyasa, Analisis Implementasi Pojok Laktasi di RSUD dr. Doris Sylvanus

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 101

Pojok laktasi atau menurut PP Nomor 33 Tahun

2012 disebut sebagai Ruang ASI, yaitu fasilitas

khusus berupa ruang untuk menyusui dan/atau

memerah ASI yang disediakan di tempat kerja dan

tempat sarana umum. Tempat kerja dan tempat

sarana umum dimaksud diantaranya adalah

perusahaan dan perkantoran milik Pemerintah,

Pemerintah Daerah dan swasta, pusat perbelanjaan,

serta fasilitas pelayanan kesehatan. Adapun

ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

penyediaan fasilitas khusus tersebut diatur dengan

Peraturan Menteri.8 Pojok laktasi atau ruang ASI

harus memenuhi persyaratan kesehatan seperti

lokasi bebas pajanan, lingkungan yang tenang,

penerangan dan sirkulasi udara cukup.11

Implementasi merupakan proses dan suatu

hasil (output), dimana keberhasilannya dapat diukur

atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil

akhir (output), yaitu: tercapai atau tidaknya tujuan-

tujuan yang ingin diraih. Perlu ditekankan bahwa

implementasi kebijakan tidak akan ada apabila

tujuan dan sasaran belum ditetapkan atau

diidentifikasi oleh pembuat kebijakan, sehingga

dari peraturan perundang-undangan yang telah

tersedia perlu dirumuskan menjadi kebijakan yang

operasional.14-15

Ada empat faktor yang berpengaruh terhadap

implementasi kebijakan yang merupakan suatu

sistem yang saling berkaitan bekerja secara

simultan dan berinteraksi satu sama lain, yaitu

komunikasi, sumber-sumber atau sumberdaya,

disposisi atau sikap, serta struktur birokrasi. Selain

berdampak langsung pada implementasi kebijakan,

faktor komunikasi juga memberikan pengaruh

langsung dan tidak langsung kepada ketiga faktor

lainnya. Jika komunikasi dilaksanakan dengan baik

dan benar, serta didukung dengan sumberdaya,

sikap pelaksana dan struktur birokrasi yang baik,

maka suatu kebijakan diharapkan akan dapat

dijalankan dengan baik pula.16

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif

dan subjek penelitian sebanyak 15 orang yang

ditentukan secara pusposive. Metode pengumpulan

data dengan wawancara mendalam, observasi

dengan lembar observasi, serta survei pendahuluan

dan pencatatan dari berbagai dokumen/literatur

yang berkaitan dengan implementasi kebijakan

pojok laktasi. Pengolahan dan analisis data

menggunakan metode analisis isi, meliputi

pengumpulan data, reduksi data, verifikasi data,

disajikan secara deskriptif.17-19

Hasil Dan Pembahasan Karakteristik Informan

Utama (IU) dan Informan Triangulasi (IT)

IU dalam implementasi ebijakan pojok laktasi

di RSUD dr. Doris Sylvnus Palangka Raya adalah 3

orang, yaitu Kepala Ruang (Karu) Perinatologi,

Karu Poli Kandungan dan Karu Poli Tumbuh

Kembang yang juga merupakan penanggung jawab

pojok laktasi yang ada di ruangan mereka masing-

masing. Semua Karu berjenis kelamin perempuan,

saat dilakukan wawancara berumur 50, 52 dan 55

tahun, dengan pendidikan terakhir masing-masing

adalah lulusan D III Keperawatan, D III Kebidanan

dan S1 Keperawatan. Masa kerja ketiga IU masing-

masing adalah 28, 30 dan 34 tahun. IT dalam

penelitian ini sebanyak 11 orang perempuan dan 1

orang laki-laki. Terdiri dari beberapa kelompok,

yaitu petugas ruangan berusia 40, 42 dan 54 tahun,

pengguna (ibu menyusui) berusia 22, 23 dan 33

tahun, konselor ASI berusia 39 dan 44 tahun, pihak

manajerial RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka

Raya dan Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan

Tengah berusia 42 dan 49 tahun.

Implementasi Pojok Laktasi

Implementasi pojok laktasi dalam penelitian ini

meliputi penyediaan dan pemanfaatan pojok laktasi.

Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa

menurut sebagian besar IU dan IT selama ini belum

ada kebijakan tertulis dan sosialisasi khusus

mengenai pemberian ASI selama waktu kerja di

tempat kerja dan pojok laktasi di RSUD dr. Doris

Sylvanus Palangka Raya. Yang ada hanya berupa

kesepakatan atau komitmen bersama mengenai

pelaksanaan rawat gabung dan IMD, serta

pemberian ASI eksklusif di RSUD dr. Doris

Sylvanus Palangka Raya. Salah seorang IT dari

pihak manajerial RS menyatakan bahwa

penyediaan pojok laktasi di RSUD dr. Doris

Sylvanus Palangka Raya adalah sesuai standar

nasional RSSIB dan RS PONEK, seperti yang

diungkapkan berikut ini:

”----RS Doris Sylvanus ini beberapa program

itu justru kita ee.. dapat kan dari pusat ni..

Hampir semua ya, pusat. ---- Tetapi, belum

tentu di tingkat satu itu sudah ada aturan,

sehingga tidak menjadi itu... bukan brarti kita

tidak bisa melaksanakan. Yang ada di Doris

Sylvanus itu adalah pada prinsipnya di

pelayanan itu kami melakukan sesuai standar.

Dengan standar nasional utamanya.----

Kebetulan salah satunya program kesehatan

ibu dan anak, khusus untuk PONEK,

kemudian khusus untuk RS sayang ibu dan

sayang bayi----, bahwa memang harus

terdapat, terdapat pojok laktasi. Jadi,

sebenarnya memenuhi standar sih itu, pada

intinya memenuhi standar.” (ITPM)

Page 47: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

ARTIKEL PENELITIAN

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 102

Dalam pedoman pelaksanaan RSSIB

dinyatakan bahwa RS membuat kebijakan tertulis

tentang manajemen yang mendukung pelayanan

kesehatan ibu dan anak termasuk pemberian ASI

eksklusif. RS dapat mengembangkan pelaksanaan

program tersebut, salah satunya dengan mempunyai

ruang dan klinik laktasi dengan konselor menyusui

yang siap 24 jam.20 Hal ini berarti dalam

pelaksanaannya pojok laktasi di RSUD dr. Doris

Sylvanus Palangka Raya telah memiliki dasar

kebijakan tertulis yang jelas, yaitu berdasarkan

pedoman pelaksanaan RSSIB dan RS PONEK.

Dalam pedoman pelaksanaan RSSIB dan RS

PONEK, disebutkan bahwa Ruang Menyusui

sebagai salah satu Pelayanan Penunjang Medik bagi

ibu yang bayinya masih dirawat dan tempat

penyimpanan ASI perah, baik dari ibunya sendiri

atau dari donor, itu sebabnya penyediaan pojok

laktasi di RSUD dr. Doris Sylvanus lebih

diperuntukkan bagi pasien.21 Namun demikian,

menurut pernyataan semua IU dan sebagian besar

IT, tidak ada batasan atau larangan kepada pegawai

untuk menyusui dan/atau memerah ASI di

lingkungan RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka

Raya. Hanya saja karena beberapa alasan seperti

kuatir anak tertular penyakit, atau kurang leluasa

karena harus melayani banyak pasien, sehingga

para pegawai lebih memilih pulang untuk

menyusui.

Sebagaimana yang tercantum dalam UU

Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 128 ayat (2) dan (3)

mengenai penyediaan waktu dan fasilitas khusus

bagi ibu menyusui, pemerintah dan masyarakat

harus mendukung ibu untuk menyusui secara penuh

dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus di

tempat kerja dan tempat sarana umum.6 Selain

sebagai tempat sarana umum, yaitu fasilitas

pelayanan kesehatan bagi masyarakat, RSUD dr.

Doris Sylvanus Palangka Raya adalah tempat kerja

bagi para pegawainya. Mengingat ada banyak

pegawai perempuan di RSUD dr. Doris Sylvanus

Palangka Raya, maka penyediaan waktu atau

kesempatan yang seluas-luasnya bagi pegawai

untuk menyusui sudah sesuai peraturan. Meskipun

demikian, idealnya pojok laktasi bagi para pegawai

juga perlu disediakan. Mengenai hal ini Pemerintah

sudah membuat kebijakan yang jelas diantaranya

seperti yang tercantum dalam UU Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan, SKB 3 Menteri

Tahun 2008 tentang Peningkatan Pemberian ASI

selama Waktu Kerja di Tempat Kerja, UU RI

Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, serta

yang terbaru adalah pada Permenkes Nomor 15

Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas

Khusus Menyusui dan/atau Memerah ASI.5, 22-24

Ada berbagai kendala yang dihadapi para

pelaksana dalam penerapan pojok laktasi di RSUD

dr. Doris Sylvanus Palangka Raya, seperti fasilitas

yang masih kurang, tidak adanya SK, kurangnya

motivasi dari para petugas, ruangannya yang hanya

di tempat-tempat tertentu, serta pasien ibu-ibu

menyusui yang kurang percaya diri untuk

menyusui. Penyediaan fasilitas dan penempatan

pojok laktasi hanya pada beberapa ruangan di

RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya (Poli

Tumbuh Kembang, Poli Kebidanan dan

Kandungan, Ruang Perinatologi) didasarkan pada

pedoman RSSIB dan RS PONEK. Pojok laktasi di

RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya

merupakan bagian integral dari penerapan

kebijakan RSSIB dan RS PONEK, yang dalam

pedoman pelaksanaannya memang tidak

mencantumkan tentang pembuatan SK khusus

mengenai pojok laktasi. Yang ada yaitu Direktur RS

membuat SK tentang Pemberian ASI dan penerapan

kode pemasaran PASI terkait dengan

penyelenggaraan RSSIB dan SK tim PONEK untuk

mendukung program PONEK.20-21

Berdasarkan pernyataan dari para IU dan IT,

diketahui bahwa berbagai upaya telah dilakukan

dan dipertimbangkan oleh para pelaksana dan pihak

manajerial terkait implementasi pojok laktasi di

RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.

Faktor Komunikasi

Semua IU dan sebagian besar IT dari kelompok

petugas, ibu menyusui dan konselor ASI

menyatakan mereka belum pernah menerima

informasi berupa sosialisasi khusus mengenai

implementasi pojok laktasi dari pihak manajerial

RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya. Hal ini

menyebabkan pemahaman para pelaksana akan

dasar kebijakan dari disediakannya pojok laktasi di

RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya

cenderung masih kurang jelas, seperti yang

diungkapkan salah seorang informan berikut ini:

”Mana ada? Jangankan yang tertulis,

sosialisasi saja tidak pernah lagi. Bagaimana

mau bagus pojok laktasinya, kalau sosialisasi

tidak ada, petugas tidak ada, segala

strukturnya tidak jelas nah..? ---- Tidak ada

dari RS.” (ITP 2)

Sedangkan IT dari pihak manajerial RS

menyatakan informasi awal mengenai pojok laktasi

berasal dari pusat, yaitu dari pedoman pelaksanaan

RSSIB. Meskipun informasi khusus mengenai

pojok laktasi belum disampaikan dengan baik dan

jelas oleh pihak manajerial RSUD dr. Doris

Sylvanus Palangka Raya, tetapi informasi mengenai

ASI eksklusif sudah disampaikan kepada para

pelaksana serta diteruskan kepada pasien maupun

sesama petugas dengan baik dan jelas. Sosialisasi

adalah sebuah proses penanaman atau transfer

kebiasaan atau nilai atau aturan melalui komunikasi

dari individu/kelompok atau suatu tingkatan,

Page 48: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Lola Meyasa, Analisis Implementasi Pojok Laktasi di RSUD dr. Doris Sylvanus

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 103

kepada individu/kelompok atau tingkatan yang lain.

Pengetahuan atas apa yang akan dikerjakan dapat

berjalan bila komunikasi berjalan dengan baik,

dimana setiap keputusan dan peraturan pelaksanaan

harus ditransmisikan (dikomunikasikan) secara

jelas dan konsisten kepada para pelaksana agar

tidak menimbulkan kebingungan dalam

penerapannya.14, 16

Faktor Sumber Daya

Dari segi kuantitas dan kualitas SDM

pelaksana pojok laktasi di RSUD dr. Doris Sylvanus

Palangka Raya sebenarnya sudah memenuhi

standar yang ada. Meskipun demikian masih ada

petugas yang belum menerima pelatihan konselor

ASI sesuai yang ditentukan dalam peraturan yang

terkait penyediaan pojok laktasi, sebagaimana yang

diungkapkan salah seorang informan berikut ini:

“Kalau saya tidak pernah pelatihan

(konselor) ASI, tapi ----jika (ada) yang

salah, itu.. saya beritahu. Kalau yang khusus

pojok laktasi tidak ada sih.. Yang tentang

ASI eksklusif juga tidak ada. APN. KB pasca

salin. APN kan termasuk di dalamnya

tentang IMD.” (IU 2)

Selain itu, penempatan beberapa orang

konselor ASI dalam mendukung pelayanan di pojok

laktasi di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya,

dirasa masih belum tepat. Hal ini didasari pada

adanya beberapa konselor ASI yang bertugas di

ruangan lain yang tidak memiliki pojok laktasi,

sedangkan salah satu pojok laktasi di Poli

Kebidanan dan Kandungan tidak memiliki konselor

ASI sama sekali. Sumber daya yang paling penting

dalam implementasi suatu kebijakan adalah SDM

atau staf pelaksana. Selain dilihat dari segi

kuantitas, kualitas SDM juga penting untuk

diperhatikan dalam rangka keberhasilan

implementasi suatu kebijakan. 14, 16

Hasil wawancara mendalam IU dan IT

menyatakan meskipun tidak ada informasi

mengenai tata cara penerapan pojok laktasi di

RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya, tetapi

tingkat kepatuhan petugasnya sudah baik. Hal ini

disebabkan semua petugas menganggap pelayanan

yang diberikan di pojok laktasi sudah menjadi

bagian dari pekerjaan mereka sehari-hari. Informasi

merupakan salah satu sumberdaya yang penting

dalam implementasi kebijakan, demikian juga

dalam implementasi pojok laktasi di RSUD dr.

Doris Sylvanus Palangka Raya, karena kurangnya

informasi dari para pejabat tinggi seringkali

menyebabkan kekaburan atas perintah-perintah

implementasi, sehingga menyebabkan

implementasi secara keseluruhan kurang optimal.14,

16

Semua Karu, petugas ruangan dan konselor

ASI di ketiga ruangan yang memiliki pojok laktasi

memiliki kewenangan yang sama dalam

memberikan konseling atau penyuluhan bagi

pasien-pasien ibu menyusui yang datang.

Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi

bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan

yang ditetapkan secara politik dan umumnya harus

bersifat formal agar perintah dapat dilaksanakan.

Wewenang ada dalam banyak bentuk, dari memberi

bantuan sampai memaksakan perilaku. Kadang

wewenang itu tidak ada, bahkan di atas kertas

sekalipun (wewenang formal).14, 16

Berdasarkan jawaban dari para informan

diketahui bahwa fasilitas di pojok laktasi RSUD dr.

Doris Sylvanus masih belum lengkap. Hal ini

didukung dengan hasil observasi langsung yang

menggunakan standar persyaratan pojok laktasi di

Poliklinik/Perkantoran/Tempat Kerja menurut

Buku Pedoman ASI Pemberdayaan Perempuan

dalam Peningkatan Pemberian ASI.11 Dalam

Pedoman Teknis Sarana dan Prasarana RS Kelas B

Tahun 2010 dicantumkan kebutuhan berbagai

ruangan. Khusus untuk ruang laktasi pada instalasi

rawat jalan, disana disebutkan kebutuhannya adalah

ruangan dengan luas 6 – 12 m2 dan fasilitas

meliputi kursi, meja, wastafel/sink dan water

dispenser. Sedangkan pada Pedoman

Penyelenggaraan PONEK 24 jam di Rumah Sakit

tertulis kriteria dari area laktasi meliputi ruangan

berukuran minimal 6 m2, dilengkapi dengan kursi,

wastafel dan tempat sampah. Berdasarkan dua

pedoman terakhir tersebut, fasilitas di pojok laktasi

RSUD dr. Doris Sylvanus sudah memenuhi

persyaratan.21, 25

Faktor Disposisi/Sikap

Dari hasil wawancara mendalam diketahui

bahwa memang tidak ada penunjukkan petugas

khusus sebagai pengelola atau penanggung jawab

pojok laktasi di RSUD dr. Doris Sylvanus, yang ada

adalah SK Direktur tentang ASI eksklusif. Hal ini

terlihat dari pernyataan salah satu informan di

bawah ini:

”Tidak ada.. Tidak pernah ada segala

penunjukkan khusus pojok laktasi. Semua ja

kami di sini...Iya...langsung kepala ruangan

ja.” (IU 2)

Adanya kesadaran dari para Karu untuk

langsung bertanggung jawab terhadap pengelolaan

pojok laktasi, merupakan bentuk disposisi atau

sikap yang baik. Mengingat Karu adalah orang yang

tentunya paling mengerti permasalahan yang ada di

ruangannya termasuk dalam hal pojok laktasi, tentu

hal ini juga akan berdampak positif terhadap

implementasi pojok laktasi secara keseluruhan.

Page 49: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

ARTIKEL PENELITIAN

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 104

Berdasarkan pernyataan dari IU dan IT

diketahui bahwa tidak ada pemberian insentif bagi

petugas yang mengelola atau memberikan

pelayanan di pojok laktasi di RSUD dr. Doris

Sylvanus Palangka Raya. Karena pada umumnya

orang bertindak menurut kepentingan mereka

sendiri, maka para pembuat kebijakan

memanipulasi insentif untuk mempengaruhi

tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara

menambah keuntungan atau biaya tertentu mungkin

akan menjadi faktor pendorong yang membuat para

pelaksana kebijakan melaksanakan perintah dengan

baik. Adanya kesadaran yang baik dari para

pelaksana bahwa tugas pelayanan yang mereka

lakukan di pojok laktasi merupakan bagian integral

dari pekerjaan mereka setiap hari, sehingga

meskipun mereka tidak diberi insentif, pelayanan di

pojok laktasi di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka

Raya tetap dapat berjalan.14, 16

Faktor Strukur Birokrasi

Berdasarkan jawaban dari semua IU dan

sebagian besar IT maka dapat disimpulkan bahwa

belum ada juknis, juklak, SOP, mekanisme

pencatatan dan pelaporan khusus terkait penerapan

pojok laktasi di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka

Raya. Yang ada saat ini adalah SOP yang berkaitan

dengan pemberian ASI eksklusif, seperti SOP IMD,

cara memerah ASI dan perawatan payudara, seperti

yang diungkapkan salah seorang informan di bawah

ini:

“SOP untuk IMD ada.. SOP untuk..., kalau

yang kaya bayi kecil-bayi kecil mereka di situ

pang.. Memerah ASI ada.. Cara memerah

ASI.. Puting susu, puting yang terbelah, yang

masuk ada.. SOPnya. Kalau yang khusus

pojok laktasi kadada pang..” (ITK 2)

Selain itu, diketahui adanya fragmentasi yang

terlihat dari pelayanan yang diberikan di masing-

masing ruangan dan dibentuknya berbagai tim yang

terkait dengan penerapan pojok laktasi di RSUD dr.

Doris Sylvanus Palangka Raya. Namun semuanya

merupakan suatu pelayanan kesehatan ibu dan anak

yang kesinambungan dan saling terkait satu dengan

yang lain, yang pada akhirnya bertujuan sama yaitu

untuk mendukung program ASI eksklusif, RSSIB

dan RS PONEK. Dengan adanya SOP para

pelaksana kebijakan pojok laktasi dapat

memanfaatkan waktu yang tersedia secara optimal.

Selain itu, SOP juga menyeragamkan tindakan-

tindakan dari para pejabat dalam organisasi yang

kompleks dan tersebar luas seperti di tingkat

Pemerintah Daerah tingkat Provinsi dan

Kabupaten/Kota. Dengan begitu mereka akan lebih

fleksibel dan memiliki pemahaman yang sama

dalam penerapan peraturan-peraturan yang berlaku,

termasuk kebijakan yang berkaitan dengan pojok

laktasi. Sedangkan fragmentasi adalah upaya

penyebaran tanggung jawab kegiatan-kegiatan atau

aktifitas-aktifitas pegawai diantara beberapa unit

kerja. Fragmentasi mempengaruhi kecenderungan

dalam beberapa hal, salah satunya pembentukan

banyak badan dengan tanggung jawab yang sempit

akan mendorong pengembangan perilaku yang

selanjutnya dapat mengakibatkan pertentangan

birokrasi dan kurangnya kerjasama.14, 16

Kesimpulan dan Saran

Penyediaan pojok laktasi di RSUD dr. Doris

Sylvanus Palangka Raya bukan merupakan suatu

kebijakan yang berdiri sendiri melainkan bagian

integral dari implementasi beberapa program RS

seperti ASI eksklusif, RSSIB, RS PONEK serta

dalam rangka memenuhi syarat akreditasi RS,

sehingga pemanfaatannya lebih ditujukan kepada

pasien, sesuai dengan tujuan dan sasaran dari

program RSSIB dan RS PONEK. Pegawai RS

masih sangat jarang memanfaatkan karena belum

tersedia ruang menyusui khusus untuk pegawai dan

akses dari tempat tinggal ke tempat kerja atau

sebaliknya masih mudah. Faktor komunikasi dalam

implementasi kebijakan pojok laktasi di RSUD dr.

Doris Sylvanus Palangka Raya dilihat dari transmisi

dan kejelasan, penyampaian informasi atau

sosialisasi mengenai penerapan pojok laktasi belum

pernah dilakukan dengan jelas oleh pihak

manajerial RS. Kuantitas dan kualitas SDM

pelaksana sudah memenuhi standar yang ada.

Informasi tentang tata cara penerapan pojok laktasi

masih belum ada, tetapi tingkat kepatuhan

petugasnya sudah baik. Tidak ada perbedaan

kewenangan antara Karu dan petugas dalam

menerapkan pojok laktasi. Fasilitas di pojok laktasi

RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya sudah

memenuhi standar sesuai Pedoman Teknis Sarpras

RS Kelas B dan RSSIB. Disposisi/sikap semua

pelaksana dalam implementasi kebijakan pojok

laktasi di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya

adalah mendukung, meskipun tidak ada

penunjukkan khusus dan insentif. Masih belum ada

juknis, SOP, pencatatan dan pelaporan khusus

mengenai penerapan pojok laktasi di RSUD dr.

Doris Sylvanus Palangka Raya, serta banyaknya tim

yang dibentuk sebagai upaya penyebaran tanggung

jawab (fragmentasi) menyebabkan penerapan pojok

laktasi cenderung tumpang tindih dan terkesan

kurang efektif.

Page 50: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Lola Meyasa, Analisis Implementasi Pojok Laktasi di RSUD dr. Doris Sylvanus

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 105

Kepustakaan

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Profil Kesehatan Indonesia 2010. In. Jakarta:

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia;

2011:35-38.

2. Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan

Tengah. Profil Kesehatan Provinsi

Kalimantan Tengah 2010. In. Palangka Raya:

Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan

Tengah; 2011.

3. Dinas Kesehatan Kota Palangka Raya. Profil

Kesehatan Kota Palangka Raya 2011. In.

Palangka Raya: Dinas Kesehatan Kota

Palangka Raya; 2012.

4. Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 450/Menkes/SK/IV/2004

tentang Pemberian ASI secara Eksklusif pada

Bayi di Indonesia. In. Jakarta: Departemen

Kesehatan Republik Indonesia; 2004:1-3.

5. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

Peraturan Bersama Menteri Negara

Pemberdayaan Perempuan, Menteri Tenaga

Kerja dan Transmigrasi, dan Menteri

Kesehatan Nomor 48/Men.PP/XII/2008,

Nomor PER.27/MEN/XII/2008, Nomor

1177/Menkes/PB/XII/2008 tentang

Peningkatan Pemberian ASI selama Waktu

Kerja di Tempat Kerja. In. Jakarta:

Kementerian Negara Pemberdayaan

Perempuan, Departemen Tenaga Kerja dan

Transmigrasi, Departemen Kesehatan

Republik Indonesia; 2008:1-6.

6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. In. Jakarta,

Republik Indonesia: Pemerintah Republik

Indonesia; 2009:47-48.

7. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan

dan Perlindungan Anak Republik Indonesia.

Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak Republik

Indonesia Nomor 03 Tahun 2010 tentang

Penerapan Sepuluh Langkah Menuju

Keberhasilan Menyusui. In. Jakarta:

Kementerian Negara Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak Republik

Indonesia; 2010:1-28.

8. Pemerintah Republik Indonesia. Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33

Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu

Eksklusif. In. Jakarta: Pemerintah Republik

Indonesia; 2012:1-26.

9. Riyadi S. Tinjauan terhadap Peraturan

Pemerintah tentang Pemberian Air Susu Ibu

Eksklusif, Perspektif Regulasi. 2012.

10. Wilar R. Sukses Menyusui Saat Bekerja. In:

Indonesia Menyusui, ed. Rulina Suradi dkk.

Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010.

11. Deputi Bidang Peningkatan Kualitas Hidup

Perempuan. Buku Pedoman ASI

Pemberdayaan Perempuan dalam

Peningkatan Pemberian ASI. Jakarta:

Kementerian Negara Pemberdayaan

Perempuan Republik Indonesia; 2008.

12. Bupati Klaten. Peraturan Daerah Kabupaten

Klaten Nomor 7 Tahun 2008 tentang Inisiasi

Menyusu Dini dan Air Susu Ibu Eksklusif. In.

Klaten: Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten;

2008:1-8.

13. Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Daerah

Khusus Ibukota Jakarta. Keputusan Kepala

Dinas Kesehatan Provinsi Daerah Khusus

Ibukota Jakarta Nomor 435/2008 tentang

Pemberian ASI Secara Dini (Inisiasi Menyusu

Dini) bagi Ibu Melahirkan di Provinsi Daerah

Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2008. In

Jakarta: Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi

Daerah Khusus Ibukota Jakarta; 2008: 1-4.

14. Agustino L. Dasar-dasar Kebijakan Publik.

Jakarta: CV Alfabeta Bandung; 2008.

15. Nugroho R. Kebijakan Publik: Formulasi,

Implementasi dan Evaluasi. Jakarta: PT. Elex

Media Komputindo; 2004.

16. Winarno B. Kebijakan Publik Teori dan

Proses Edisi Revisi. Yogyakarta: Media

Pressindo; 2008.

17. Moleong L. J. Metodologi Penelitian

Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda

Karya; 2011.

18. Saryono, Dwi Anggraeni M. Metodologi

Penelitian Kualitatif dalam Bidang

Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika; 2010.

19. Bungin B. Analisis Data Penelitian Kualitatif

Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke

Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta:

PT. RajaGrafindo Persada; 2012.

20. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik

Departemen Kesehatan RI. Pedoman

Pelaksanaan Program Rumah Sakit Sayang

Ibu dan Bayi. Jakarta: Departemen Kesehatan

Republik Indonesia; 2009.

21. Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan.

Pedoman Penyelenggaraan PONEK 24 jam di

Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia; 2012.

22. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

13 tentang Ketenagakerjaan. In. Jakarta,

Republik Indonesia: Pemerintah Republik

Indonesia; 2003.

23. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. In.

Jakarta, Republik Indonesia: Pemerintah

Republik Indonesia; 2009.

Page 51: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

ARTIKEL PENELITIAN

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 106

24. Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tata

Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui

dan/atau Memerah Air Susu Ibu. In. Jakarta:

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia;

2013.

25. Pusat Sarana, Prasarana dan Peralatan

Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Pedoman Teknis Sarana dan Prasarana

Rumah Sakit Kelas B. Jakarta: Kementerian

Kesehatan RI; 2010.

Page 52: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Seri Wahyuni, Analisis Fungsi Pelaksanaan Program ASI Ekslusif oleh Bidan

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 107

Analisis Fungsi Pelaksanaan Program Asi Eksklusif Oleh Bidan

Factional Analysis on Exclusive Breastfeeding Implementation by Midwifes

Seri Wahyuni

Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Palangka Raya

Abstrak. Bidan mempunyai peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan program ASI. Penelitian ini

bertujuan untuk menganalisis fungsi pelaksanaan program ASI Eksklusif oleh bidan puskesmas di Kota

Palangkaraya. Jenis penelitian ini adalah kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam

menggunakan pedoman wawancara mendalam. Informan utama dalam penelitian ini adalah empat bidan yang

telah mengikuti pelatihan program ASI Eksklusif. Informan triangulasi Kepala Seksi Pelayanan Kesehatan

Dasar dan Staf Gizi Dinas Kesehatan Kota Palangka Raya, Kepala Puskesmas, Bidan koordinator, Ibu Hamil

dan Ibu menyusui. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa cakupan ASI Eksklusif masih rendah dari target yang

ditetapkan nasional. Rendahnya cakupan ASI Eksklusif tidak hanya dipengaruhi oleh petugas kesehatan saja

tetapi dapat dipengaruhi oleh faktor lain yaitu: faktor pengetahuan ibu, faktor sosial budaya, faktor psikologis

ibu, faktor demografi, belum adanya peraturan walikota tentang ASI Eksklusif. Disamping itu pula faktor

motivasi, komunikasi, kepemimpinan, pengarahan, pengawasan dan supervisi juga berpengaruh terhadap

rendahnya cakupan ASI Eksklusif. Saran untuk pemerintah agar membuat peraturan walikota tentang ASI

Eksklusif dan membuat anggaran untuk program ASI Eksklusif. dan agar mengkomunikasikan program ASI

Eksklusif kepada petugas kesehatan secara rutin dan berkelanjutan serta melibatkan semua pihak yang terkait.

Bagi bidan agar dapat melakukan sosialisasi dan pendidikan kesehatan tentang pentingnya ASI Eksklusif bagi

pertumbuhan bayi kepada ibu hamil, ibu bersalin dan ibu menyusui dengan melibatkan keluarga, tokoh

masyarakat dan tokoh agama.

Kata kunci: Fungsi Pelaksanaan, Program ASI Eksklusif, Bidan

Abstract. Midwifes have important role in successful exclusive breastfeeding. This research aimed to analyze

on the implementation function of exclusive breastfeeding program at primary healthcare centers in Palangka

Raya. The study was a qualitative study. Data was collected through in-depth interview using interview

guideline. The main informant were four midwifes who have been trained on exclusive breastfeeding program.

Triangulation informants were head of basic health service and nutrition staff at health department in Palangka

Raya, head of primary healthcare center, midwife coordinator, pregnant women and breastfeeding mother. The

research result shows the coverage of exclusive breastfeeding was still very low from national target. Low

coverage exclusive breastfeeding not only influenced by providers but also influenced by another factor:

knowladge factor, social and culture factor, psychological mother factor, demography factor, there was not

local regulations about exclusive breastfeeding. Beside that motivation factor, communication, leadership,

directing, controlling and supervision also affect to low coverage exclusive breastfeeding. It is suggestion to

government to make local regulation about exclusive breastfeeding and make budget for exclusive

breastfeeding. For health department in Palangka Raya to administer a communication exclusive breastfeeding

for health worker regularly and involve all parties. For midwives association, they enhance their role for

promotion exclusive breastfeeding by socialization on health education about the importance of exclusive

breastfeeding for infant growth to the pregnant women, labor mothers and breastfeeding mothers with their

family, community leaders and religious leaders.

Key words: Implementation Function, Exclusive Brestfeeding Program and Midwifes

Pendahuluan

Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah

satu indikator yang digunakan untuk

menggambarkan status kesehatan masyarakat.

Menurut SDKI tahun 2012, AKB di Indonesia

masih tinggi yaitu 31 per 1000 kelahiran hidup.1

Beberapa penyebab kematian bayi dan balita di

Indonesia adalah infeksi, termasuk infeksi saluran

nafas dan diare. Selain itu, masalah gizi seperti

kurang kalori dan protein, juga menjadi salah satu

penyebab kematian bayi di Indonesia. Masalah gizi

berkaitan erat dengan rendahnya pemberian ASI

Eksklusif. Masalah gizi dapat menyebabkan

gangguan psikomotor, kognitif dan sosial.2

Gangguan tumbuh-kembang pada anak di

bawah umur lima tahun (balita) di Indonesia antara

lain disebabkan ibu tidak taat dalam memberikan

ASI eksklusif kepada bayinya. Dalam rangka

penurunan angka kematian bayi dan kejadian gizi

buruk Organisasi Kesehatan Dunia atau World

Health Organization (WHO) pada tahun 2001

merekomendasikan agar bayi baru lahir mendapat

ASI eksklusif selama enam bulan.3

Page 53: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

ARTIKEL PENELITIAN

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 108

Begitu banyak penelitian dan survey yang

menyatakan manfaat dan keuntungan dari

pemberian ASI Eksklusif baik bagi ibu, bagi bayi,

bagi keluarga dan masyarakat, namun ironisnya

cakupan ASI Eksklusif masih sangat rendah.

Menurut data SDKI 2012, praktek pemberian ASI

Eksklusif pada bayi sampai usia 4-5 bulan hanya

27%, dan sampai usia 6-8 bulan sebesar 3,4%.

Sedangkan cakupan ASI Eksklusif di Kalimantan

Tengah adalah 17,1% dan angka ini masih rendah

dibandingkan dengan target standar pelayanan

minima (SPM) yang telah ditetapkan pemerintah

sebesar 80%.

Dari data tersebut menunjukkan bahwa

kesadaran masyarakat Indonesia untuk pemberian

ASI juga masih sangat memprihatinkan. Banyak

aspek yang mempengaruhi pelaksanaan pemberian

ASI Eksklusif antara lain adalah ibu menyusui

menghadapi banyak hambatan yang berhubungan

dengan pelayanan yang diperoleh di tempat

persalinan4-6, dukungan yang diberikan oleh anggota

keluarga di rumah7-8, banyaknya ibu yang belum

dibekali pengetahuan yang cukup tentang teknik

menyusui yang benar dan manajemen kesulitan

laktasi9-10, termasuk tantangan yang dihadapi oleh

ibu bekerja11, selain itu praktek pemberian ASI

Eksklusif juga diketahui banyak dipengaruhi oleh

budaya dan norma yang berkembang dikalangan

anggota keluarga, rekan dan masyarakat secara

umum.9, 11

Keberhasilan program ASI Eksklusif juga

sangat dipengaruhi oleh sikap, pengetahuan dan

motivasi bidan/dokter penolong persalinan itu

sendiri.12 Hal ini didukung pula oleh pernyataan

Siregar A (2004), bahwa keberhasilan menyusu dini

banyak dipengaruhi oleh sikap dan perilaku petugas

kesehatan (dokter, bidan,perawat) yang pertama kali

membantu ibu selama proses persalinan. Selain itu

keberhasilan ibu menyusui juga harus didukung oleh

suami, keluarga, petugas kesehatan dan masyarakat.

Oleh karena itu sikap dan perilaku petugas

kesehatan khususnya bidan yang didasari

pengetahuan tentang ASI Eksklusif sebelumnya,

besar pengaruhnya terhadap keberhasilan pemberian

ASI Eksklusif itu sendiri.

Selain faktor ibu dan faktor petugas kesehatan,

adanya dukungan politis pemerintah baik pusat

maupun kota/daerah sangatlah penting dalam

keberhasilan program ASI Eksklusif tersebut.

Selama ini dukungan yang diberikan baik dari WHO

maupun dari pemerintah pusat sudah memadai tetapi

dukungan pemerintah kota Palangka Raya masih

sangat kurang yang dibuktikan belum adanya

peraturan walikota tentang ASI Eksklusif di Kota

Palangka Raya. Menurut data dari profil dinas

kesehatan Kota Palangka Raya menunjukkan

cakupan ASI Eksklusif tahun 2010 sebesar 30,2%

dan tahun 2011 semakin mengalami penurunan

menjadi 19,5%, dan cakupan tersebut masih rendah

dan berada di bawah Standar Pelayanan Minimal

(SPM) Dinas Kesehatan Kota (DKK) Palangkaraya

tahun 2011 yaitu sebesar 70%.

Puskesmas mempunyai dua puluh (20) program

pokok kesehatan salah satunya adalah kesehatan Ibu

dan Anak (KIA) dan program peningkatan gizi. Pada

tingkat puskesmas bidan diberi wewenang sebagai

pemegang program ASI Eksklusif. Peran dan fungsi

bidan di Puskesmas adalah 1) memberikan

pelayanan medis pada masa kehamilan (Antenatal

Care) di sebut bimbingan persiapan menyusui

(BPM) yang meliputi mempersiapkan psikis ibu,

pemeriksaan payudara terutama puting susu,

penyuluhan tentang manfaat ASI dan kerugian susu

buatan, penyuluhan tentang rawat gabung dan

manfaatnya, penyuluhan atau konsultasi gizi ibu

hamil. 2) bimbingan ibu menyusui (BIM) pada masa

postnatal meliputi membimbing ibu mengenai

teknik menyusui yang benar, perawatan payudara

pasca persalinan, memantau masalah menyusui pada

ibu, memberikan penyuluhan atau konsultasi gizi

bayi dan ibu menyusui, perawatan bayi, tumbuh

kembang bayi, KB dan lain-lain.13

Pelaksanaan merupakan salah satu unsur

penting dalam fungsi manajemen. Pencapaian hasil

target baru akan terealisasi bila program tersebut

telah dilaksanakan, dengan demikian dapat

dikatakan bahwa pelaksanaan program merupakan

tahapan yang sangat penting dalam fungsi

manajemen bahkan jauh lebih penting daripada

pembuat/penetapan program.

Salah satu indikator keberhasilan pelaksanaan

program ASI Eksklusif adalah diharapkan mampu

merubah perilaku bidan, sehingga bidan selalu

melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dalam

setiap pertolongan persalinan serta selalu

mendukung pemberian ASI Eksklusif misalnya

dengan memberikan penyuluhan tentang ASI

Eksklusif pada ibu sejak Ante Natal Care (ANC)

sampai menyusui, dan tidak memberikan susu

formula pada bayi setelah lahir. Oleh sebab itu

petugas kesehatan mempunyai peran yang sangat

besar dalam keberhasilan program ini. Petugas

kesehatan dalam hal ini bidan dapat menjadi faktor

pendorong/pendukung namun juga dapat menjadi

faktor penghambat keberhasilan program ASI

Eksklusif tersebut.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang

dilakukan peneliti pada bulan Mei 2013 terhadap 10

bidan di Kota Palangka Raya, didapatkan hasil 9

dari 10 bidan memiliki motivasi yang baik dalam

pelaksanaan prorgam pemberian ASI Eksklusif, 3

dari 10 bidan menyatakan bahwa program tentang

ASI Eksklusif belum disampaikan secara rutin baik

dari Dinas Kesehatan Kota (DKK) Palangka Raya

kepada Kepala Puskesmas, Bidan Koordinator dan

bidan pelaksana. 3 dari 10 bidan menyatakan bahwa

belum menyampaikan program ASI Eksklusif pada

setiap pemeriksaan kehamilan, pertolongan dan

Page 54: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Seri Wahyuni, Analisis Fungsi Pelaksanaan Program ASI Ekslusif oleh Bidan

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 109

nifas pada ibu serta keluarga dekat seperti suami,

nenek. 2 dari 10 bidan masih ada yang memberikan

susu formula pada bayi dengan alasan ASI belum

keluar. 9 dari 10 bidan menyatakan belum pernah

menyampaikan program ASI eksklusif kepada tokoh

masyarakat dan tokoh agama. 5 dari 10 bidan

menyatakan bahwa DKK Palangka Raya, Kepala

Puskesmas dan Bidan Koordinator belum

memberikan pengarahan, pengawasan dan supervisi

kepada bidan dalam pelaksanaan program ASI

Eksklusif. Dan dari 10 ibu yang bersalin normal di

pelayanan kesehatan, 8 diantaranya tidak pernah

diberi informasi mengenai ASI Eksklusif oleh bidan

sejak saat hamil, 9 dari 10 ibu menyatakan belum

pernah diberikan informasi mengenai ASI eksklusif

setelah melahirkan, sebanyak 10 ibu menyatakan

tidak pernah diberikan perawatan payudara baik

pada masa kehamilan dan masa nifas, 2 dari 10 ibu

menyatakan belum memberikan MP ASI berupa

susu formula, madu sebelum bayi berusia 6 bulan

dan 4 dari 10 menyatakan bayinya diberi susu

formula oleh bidan dengan alasan ASI belum keluar

pada hari 1-3. Selain itu informasi dari staf gizi dkk

Palangkaraya menyatakan bahwa belum ada

dukungan politis dalam bentuk Peraturan Daerah

(Perda) dan dana yang memadai untuk pelaksanaan

program ASI Ekslusif.

Metode Penelitian

Penelitian ini ini merupakan penelitian

kualitatif dan subjek penelitian sebanyak 18 orang

yang ditentukan secara purposive. Metode

pengumpulan data dengan wawancara mendalam,

serta survei pendahuluan dan pencatatan dari

berbagai dokumen dan/literatur yang berkaitan

dengan pelaksanaan program ASI Eksklusif.

Pengolahan dan analisis data menggunakan metode

analisis isi, meliputi pengumpulan data, reduksi

data, verifikasi data, disajikan secara deskriftif.

Hasil dan Pembahasan

Karakteristik Informan Utama (IU) dan

Informan Triangulasi (IT)

IU bidan puskesmas sebanyak 4 orang. IT

Kepala Seksi Pelayanan Kesehatan Dasar dan Staf

Gizi Dinas Kesehatan Kota Palangka Raya, 4 orang

Kepala Puskesmas,4 orang bidan koordinator,2

orang ibu hamil dan 2 orang ibu menyusui.

Cakupan ASI Eksklusif

Berdasarkana Data yang di dapat dari Profil

Kesehatan Kota Palangka Raya.di dapatkan cakupan

ASI Eksklusif di 4 Puskesmas Pahandut, Jekan

Raya, Kereng Bangkirai, Kalampangan sebagai

berikut:

Gambar 1.1 Cakupan ASI Eksklusif di 4 Puskesmas Pahandut, Jekan Raya,

Kereng Bangkirai dan Kalampangan

Gambar diatas memperlihatkan sebagian besar

adanya peningkatan cakupan ASI Eksklusif pada

tahun 2013 dibandingkan cakupan tahun 2012

namun masih berada jauh dari target nasional

sebesar 80%. Rendahnya cakupan ASI Eksklusif

tidak semata-mata hanya dipengaruhi oleh petugas

kesehatan khususnya bidan tetapi juga dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain

pengetahuan ibu menyusui yang masih kurang,

faktor sosial budaya, psikologis, faktor biologis,

faktor demografi dan belum adanya kebijakan

pemerintah kota dalam bentuk peraturan walikota

tentang ASI Eksklusif.

Faktor Motivasi

Sebagian besar IU dan IT mengatakan bahwa

pemberian motivasi tentang ASI Eksklusif dimulai

sejak ibu hamil atau saat datang periksa hamil

pertama kali. Walaupun bidan sudah memotivasi

ibu hamil, bersalin dan ibu menyusui untuk

memberikan ASI Eksklusif pada bayi 0-6 bulan

namun masih saja ditemui hambatan/kendala dalam

pelaksanaan pemberian ASI Eksklusif antara lain

kebayakan para ibu lebih memilih susu formula

pada hari 1-2 dengan alasan ASI belum keluar dan

ibu merasa kelelahan, ibu dan keluarga yang kurang

menyadari pemberian ASI Eksklusif, ibu

mempunyai ketakutan dengan menyusui akan

mempengaruhi bentuk payudara, takut tidak

0

10

20

30

40

2011 2012 Agu-13

PKM Pahandut

PKM Jekan Raya

PKM KerengBangkirai

PKM Kalampangan

Page 55: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

ARTIKEL PENELITIAN

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 110

berhasil menyusui dan sulit menyusui jika ibu

bekerja dan kurangnya dukungan dari keluarga.

Masih minimnya dukungan dari tokoh agama dan

tokoh masyarakat setempat juga menjadi salah satu

faktor penghambat dalam pelaksanaan program

tersebut.

Faktor Komunikasi

Sebagian besar IU dan IT mengatakan untuk

komunikasi/penyampaian informasi program ASI

Eksklusif dari Dinas Kesehatan Kota Palangka

Raya kepada bidan sudah dilakukan dalam bentuk

pertemuan/sosialisasi namun kegiatan ini belum

rutin dilaksanakan dan masih banyak pihak yang

terkait belum dilibatkan khususnya bidan pelaksana

karena yang sering diundang dalam

pertemuan/sosialisasi adalah kepala puskesmas dan

bidan koordinator. Hal ini menyebabkan

pemahaman sebagian bidan pelaksana akan penting

pelaksanaan program ASI Eklusif masih belum

menyeluruh. Hal ini dibenarkan oleh IT

menyatakan bahwa pada saat pertemuan/sosialisasi

tidak semua bidan pelaksana diundang hanya

perwakilan saja hal ini dikarenakan terbatasnya

tempat dan dana untuk pelaksanaan kegiatan

tersebut. Pelaksanaan program yang efektif sangat

ditentukan oleh komunikasi kepada para pelaksana

program secara akurat dan konsisten. Koordinasi

dalam bentuk komunikasi merupakan mekanisme

yang ampuh dalam pelaksanaan program ASI

Eksklusif. Semakin baik koordinasi komunikasi

diantara pihak yang terlibat dalam pelaksanaan

program tersebut, maka akan semakin kecil

kesalahan yang dilakukan dan demikian

sebaliknya14.

Faktor Kepemimpinan

Sebagian besar IU dan IT mengatakan bahwa

pimpinan (DKK Palangkaraya, Kepala Puskesmas

dan Bikor) selalu berusaha memotivasi untuk

melaksanakan program ASI Eksklusif. Tugas

sebagai seorang pimpinan dalam pelaksanaan

program ASI Eksklusif sudah dijalankan dengan

cukup baik. Diharapkan sebagai seorang pimpinan

tidak hanya sekedar mendorong atau memberi

motivasi saja kepada bawahan tetapi juga dapat

membantu orang yang dipimpinnya agar

mempunyai kemampuan untuk melaksanakan

program ASI Eksklusif. Sebagai seorang pemimpin

juga harus mampu menggerakan bawahannya

dalam hal ini bidan pelaksana agar senantiasa

terpacu untuk melaksanakan program ASI Eklusif

sehingga diharapkan target cakupan ASI Ekslusif

yang telah dibuat dapat tercapai dengan baik14.

Faktor Pengarahan

Berdasarkan jawaban sebagian IU mengatakan

bahwa ada pengarahan baik dari Dinas Kesehatan

Kota Palangka Raya maupun Kepala Puskesmas

untuk pelaksanaan program ASI Eksklusif. Hal ini

juga dibenarkan oleh IT bahwa Pengarahan dalam

pelaksanaan program ASI Ekslusif oleh Dinas

Kesehatan Kota Palangka Raya sudah dilakukan

namun pengarahannya terkadang diintegrasikan

dengan kegiatan/program yang lain, dan terkadang

pengarahan dibuat berupa surat edaran atau

menindaklanjuti surat dari Dinas Kesehatan

Provinsi mengenai program ini untuk disampaikan

kepada pelaksana program tersebut. Pengarahan

pada hakekat adalah keputusan keputusan pimpinan

yang dilakukan agar kegiatan-kegiatan yang

direncanakan dapat berjalan dengan baik. Dengan

pengarahan (directing) diharapkan adanya kesatuan

perintah (unity of command) artinya dengan

pengarahan ini akan ada kesamaan bahasa yang

harus dilaksanakan oleh para pelaksana sehingga

tidak terjadi kesimpangsiuran yang dapat

membingungkan para pelaksana program14.

Faktor Pengawasan

Pengawasan ialah melakukan penilaian dan

sekaligus koreksi terhadap setiap penampilan

karyawan untuk mencapai tujuan seperti yang telah

ditetapkan dalam rencana. Sebagian besar IU

mengatakan bahwa bentuk pengawasan (penilaian

dan koreksi) dari Dinas Kesehatan Kota Palangka

Raya yaitu dalam bentuk laporan KIA. IT juga

membenarkan hal ini bahwa pengawasan dalam

pelaksanaan program ASI Eksklusif oleh Dinas

Kesehatan Kota Palangka Raya kepada bidan

pelaksana di puskesmas masih dalam bentuk

pengawasan tidak langsung/administratif yaitu

penilaian dari laporan bulanan, tetapi untuk

pengawasan langsung sangat jarang dilakukan.

Padahal pengawasan secara langsung juga penting

dilakukan guna melihat secara langsung kondisi

sebenarnya dilapangan dan melakukan penilaian

atau koreksi apabila terjadi kesalahan khususnya

dalam pelaksanaan program ASI Eksklusif. Dalam

pengawasan masih ditemui beberapa hambatan

yaitu pengawasan yang dilakukan masih belum

spesifik hal ini disebabkan karena program ASI

Eksklusif belum menjadi prioritas program

kesehatan khususnya di Kota Palangka Raya14.

Faktor Supervisi

Elemen yang penting dari manajemen suatu

program adalah supervisi. Tanpa adanya supervisi

sangat sulit kiranya obyektif suatu program dapat

dicapai secara efisien dan efektif. Sebagian besar

informan utama menyatakan bahwa supervisi dari

DKK Kota Palangka Raya kepada bidan di

Puskesmas tidak pernah dilakukan. Namun IT

mengatakan bahwa supervisi pernah dilakukan

Page 56: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Seri Wahyuni, Analisis Fungsi Pelaksanaan Program ASI Ekslusif oleh Bidan

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 111

namun sangat jarang dilakukan dan hanya bersifat

umum/tidak spesifik. Proses supervisi perlu

dilakukan oleh pimpinan untuk melihat apa yang

dilakukan oleh bawahan, melakukan penilaian

kinerja dan memberikan saran untuk tindak lanjut

perbaikan. Kegiatan supervisi ini pada dasarnya

merupakan bimbingan teknis, fasilitasi dan

pendampingan kepada staf atau pelaksana program

pada level dibawahnya. Seorang kepala Bidang di

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus mampu

melakukan supervisi (bimbingan teknis, fasilitasi

dan pendampingan) terhadap anak buah di Dinas

Kabupaten/Kota maupun pelaksana program di

Puskesmas dan UPT lainnya sampai dengan tingkat

poskesdes dalam proses pelaksanaan

kegiatan/program agar dapat mencapai kinerja

program yang optimal14.

Kesimpulan dan Saran

Rendahnya cakupan ASI Eksklusif di Kota

Palangka Raya bukan hanya dipengaruhi oleh faktor

petugas kesehatan khususnya bidan saja tetapi juga

dipengaruhi oleh faktor pengetahuan ibu, Faktor

sosial budaya, faktor psikologi ibu dan faktor

demografi serta belumnya adanya dukungan politis

dari pemerintah kota Palangka Raya terkait

peraturan daerah tentang ASI Eksklusif. Bidan

puskesmas sudah memberikan motivasi tentang

ASI Eksklusif kepada ibu hamil, bersalin dan

menyusui namun masih saja ditemui kendala dalam

pelaksanaan pemberian ASI Eksklusif terutama dari

faktor ibu dan kurangnya dukungan keluarga

Pelaksanaan program ASI Eklusif dipengaruhi oleh

faktor motivasi, komunikasi, kepemimpinan,

pengarahan, pengawasan dan supervisi. Saran

disampaikan kepada pemerintah agar membuat

peraturan walikota tentang ASI Eksklusif dan

membuat anggaran untuk program ASI Eksklusif.

Bagi dinas kesehatan Kota Palangka Raya agar

mengkomunikasikan, melakukan pengarahan,

pengawasan dan supervisi program ASI Eksklusif

kepada petugas kesehatan secara rutin dan

berkelanjutan serta melibatkan semua pihak yang

terkait. Bagi ikatan bidan daerah meningkatkan

perannya untuk promosi ASI Eksklusif. Bagi bidan

agar dapat melakukan sosialisasi dan pendidikan

kesehatan tentang pentingnya ASI Eksklusif bagi

pertumbuhan bayi kepada ibu hamil, ibu bersalin

dan ibu menyusui dengan melibatkan keluarga,

tokoh masyarakat dan tokoh agama.

Daftar Pustaka

1. Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia.

Jakarta; 2012.

2. Soetjiningsih. Asi Petunjuk Untuk Tenaga

Kesehatan. Jakarta: EGC; 2012.

3. Kervin BE, Kemp L, Pulver LJ. Types and

Timing of Breastfeeding Support and Its

Impact on Mothers’ Behaviours. Paediatrics

and Child Health 2010 (46: 85-91).

4. Badan Pusat Statistik-Statistics Indonesia

(BPS) and ORC Macro. 2003. In.

Calverton,Maryland, USA; Indonesia

Demographic and Health Survey 2002-2003.

5. Septiari AM FJaBS. Practice and attitude of

midwives towards the current exclusive

breastfeeding recommendation until 6 months:

A qualitative study in North. Jakarta:

SEAMEO-TROPMED Regional Center for

Community Nutrition, University of

Indonesia; 2006.

6. WHO. Community Based Strategis for

Breastfeeding Promotion and Support in

Developing Country: WHO; 2007.

7. Green CP. Improving breastfeeding behaviors:

Evidence from two decades of intervention

research. Washington DC, USA: LINKAGES

Project; 1999.

8. Lawrence RA and Lawrence RM.

Breastfeeding: A guide for the medical

profession . 6th edition. Philadelphia. USA:

Mosby Inc; 2005.

9. Giugliani ERJ. Common problems during

lactation and their management. J Pediatr

(Rio J) 2004;80 (5 Suppl):S147-S154.

10. Arora S, McJunkin C, Wehrer J, Kunh P.

Major factors influencing breastfeeding rates:

mother's perception of father's attitude and

milk supply. Available at:

www.pediatrics.org/cgi/content/full/106/5/e6

7. Accessed on May 29.

11. Ong G YM, Li FL, and Choo TB.,. Impact of

working status on breastfeeding in Singapore:

Evidence from the National Breastfeeding

Survey 2001. Eur J Public Health 2005;15

(4):424-430.

12. Rahajuningsih Tri. Hubungan Antara Tingkat

Pengetahuan Ibu Tentang ASI dengan

Pemberian Kolostrum Dan ASI Eksklusif Di

Kelurahan purwoyoso Kecamatan Ngaliyan:

UGM; 2005.

13. Perinasai. Bahan Bacaan Manajemen Laktasi.

Jakarta; 2010.

14. Azwar A. Pengantar Administrasi Kesehatan

Binarupa Aksara; 2010.

Page 57: Jurnal Forum Kesehatan - Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

1. Jurnal ini memuat naskah di bidang kesehatan.

2. Naskah hasil penelitian atau naskah konsep yang

ditujukan kepada Forum Kesehatan, belum

dipublikasikan di tempat lain.

3. Komponen naskah:

Judul ditulis maksimal 150 karakter termasuk huruf

dan spasi.

Teks naskah ditulis dengan huruf Times New Roman

size 11pt.

Identitas peneliti ditulis dicatatan kaki di halaman

pertama.

Abstrak dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris

maksimal 200 kata, dalam satu alenia mencakup

masalah, tujuan, metoda, hasil, disertai dengan 3-5

kata kunci.

Pendahuluan tanpa subjudul, berisi latar belakang,

sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian.

Metode dijelaskan secara rinci, desain, populasi,

sampel, sumber data, teknik/instrumen pengumpul

data, prosedur analisa data.

Pembahasan mengurai secara tepat dan argumentatif

hasil penelitian, temuan dengan teori yang relevan,

bahasa dialog yang logis, sistematik, dan mengalir.

Tabel diketik 1 spasi sesuai urutan penyebutan dalam

teks. Jumlah maksimal 6 tabel dengan judul singkat.

Kesimpulan dan saran menjawab masalah penelitian

tidak melampaui kapasitas temuan, pernyataan tegas.

Saran logis, tepat guna, dan tidak mengada-ada.

4. Rujukan sesuai dengan aturan Vancouver, urut sesuai

dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, dibatasi

25 rujukan dan 80% merupakan publikasi 10 tahun

terakhir.

Cantumkan nama belakang penulis dan inisial nama

depan. Maksimal 6 orang, selebihnya diikuti “dkk (et

al)”.

Huruf pertama judul ditulis dengan huruf besar,

selebihnya dengan huruf kecil, kecuali penamaan

orang, tempat dan waktu. Judul tidak boleh digaris

bawah dan ditebalkan hurufnya.

Artikel Jurnal Penulis Individu:

Rivera JA, Sotres-Alvares D, Habicht JP, Shamah T,

Villalpando S. Impact of the Mexican Program for

Education, Health, and Nutrition on Rates of Growth

and Anemia in infants and young children a

randomized effectiveness study. JAMA. 2004;

291(21):2463-70.

Artikel Jurnal Penulis Organisasi

Diabetes Prevention Program Research Group.

Hypertension, insulin, and prosulin in participants with

impaired glucose tolerance. Hypertension.

2002;40(5):679-86.

Buku yang ditulis Individu:

Price, SA, Koch, MW, Basset, S. Health Care Resource

Management: Present and Future Challenges. St. Louis:

Mosby;1998.

Buku yang ditulis Organisasi dan Penerbit:

Royal Adelaide Hospital; University of Adelaide,

Departement of Clinical Nursing. Compendium of

nursing research and practice development, 1999-2000.

Adelaide (Australia): Adelaide University; 2001.

Bab dalam Buku:

Soentoro. Penyerapan Tenaga Kerja Luar Sektor

Pertanian di Pedesaan. Dalam Faisal Kasryno, editor.

Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia.

Jakarta:Yayasan Obor; 1984. p.202-262.

Artikel Koran:

Tynan T. Medical improvements lower homicide rate:

study sees drop in assault rate. The Washington Post.

2002 Aug 12; Sect. A:2 (col.4).

CD-ROM:

Women and HIV/AIDS: Reproductive and Sexual

Health[CD ROM], London: Reproductive Health

Matters;2005.

Artikel Jurnal di Internet:

Griffith, AI. Cordinating Family and School:

Mothering for Schooling, Education Policy Analysis

Archives [Online]. 1997 Jan [Cited 1997 February12] ;

102 (3): [about 3 p.]. Available from:

http://olam.ed.asu.edu/epaa/.

Buku di Internet:

Foley KM, Gelband H, editors. Improving palliative

care for cancer [monograph on the internet].

Washington: National Academy Press; 2001 [cited

2002 Jul 9]. Available from:

http://www.nap.edu/books/0309074029/html/.

Situs Internet:

Canadian Cancer Society [homepage on the internet].

Toronto: The Society; 2006 [update 2006 May 12;

cited 2006 Oct 17]. Available from:

http://www.cancer.ca/.

5. Naskah maksimal 20 halaman kuarto spasi ganda,

ditulis dengan program komputer Microsoft Word,

dalam softcopy dan 2 (dua) eksemplar copy dokumen

tertulis.

6. Naskah harus disertai surat pengantar yang

ditandatangani penulis dan akan dikembalikan jika ada

permintaan tertulis.

7. Naskah dikirimkan kepada: Redaksi Jurnal ‘Forum

Kesehatan’, Perpustakaan Gedung B Lantai 2

Politeknik Kesehatan Palangka Raya, Jalan George

Obos No.32 Palangka Raya, Telp : 0536-3221768 atau

email: [email protected].

PEDOMAN PENULISAN NASKAH