Jual Beli dan Riba
A. Jual Beli
1. Pengertian Jual Beli
Secara bahasa al-bai’ (menjual) berarti “mempertukarkan sesuatu
dengan sesuatu”.1 Ia merupakan sebua nama yang mencakup pengertian
terhadap kebalikannya yakni al-syira’ (membeli). Demikianlah al-bai’ sering
diterjemahkan dengan “jual-beli”.
Pengerian al-bai’ secara istilah,para fuqaha menyampaikan definisi
yang berbeda-beda antara lain,sebagai berikut.
a) Menurut fuqaha Hanafiyah :
”menukarkan harta dengan harta melalui tata cara tertentu, atau
mempertukarkan sesuatu yang disenangi dengan sesuatu yang lain
melalui tata cara tertentu yang dapat di fahami sebagai al-bai’,seperti
melalui ijab dan ta’athi (saling menyerahkan)”.
b) Menurut Imam Nawawi dalam al-Majmu’ menyampaikan definisi sebagai
berikut:
“mempertukarkan harta dengan harta untuk tujuan pe-milikan”
c) Menrut Ibn Qudamah menyampaikan definisi sebagai berikut :
“mempertukarkan harta dengan tujuan pemilikan dan penyerahan milik”
Karena jual beli merupakan kebutuhan doruri dalam kehidupan
manusia,artinya manusia tidak dapat hidup tanpa kegiatan jual beli,maka
islam menetapkan kebolehannya sebagaimana dinyatakan dalam banyak
keterangan al-Quran dan Hadis Nabi. Misalnya firman Allah,ahalla Allah al-
bai’ wa harrama al-riba’ (Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan
riba);was-tashyidu ida tabaya’tum(hendaklah mensaksikannya jika engkau
sekalian berjual-beli). Rasulullah SAW.pernah ditanya oleh seorang
1 Abdurrahman al-Zajairy,Kitab al-Fiqh ‘Ala Madzhahibil Arba’ah,Darul Fikri,Bairut,Juz II,h.141.
1
sahabat,”pekerjaan apakah yang paling baik”. Beliau menjawab:”pekerjaan
yang dilakukan seseorang dengan tangannya dan setiap jual-beli yang baik
(kullu bai’in mabrurin).2
:
Artinya
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu
membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
(Q.S An-Nissa : 29)
Berdasarkan ayat ini,yang menjadi kriteria suatu transaksi yang sah
adalah adanya unsure suka sama suka secara garis besar bentuk-bentuk
transaksi dalam muamalah Islam terbagi dua,yaitu :
a. Ijba’ri,terjadi dengan sendirinya .
b. Peralihan secara Ikhtiyari,terjadi atas kehendak salah satu atau dua belah
pihak.
Dari keseluruhan bentuk transakasi (muamalah) ini yang paling umum
adalah jual-beli. Firman Allah :
.…… ..........
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.(Q.S Al-
Baqarah: 275)
2. Syarat dan rukun Jual-beli
2 Ghufron A.Mas’adi,Fiqh muamalah kontejstual,PT Rajagrafindo persada,2002.h.119-120.
2
Ada bebrapa macam syarat dan rukun jual-beli menurut beberapa
mazhab :
a. Menurut mazhab Syafi’iyah
Syarat yang berkaitan dengan ‘aqid :
1) Al-rusyd,yakni baligh,berakal,dan cakap hokum,
2) tidak dipaksa
3) Islam,dalam hal jual-beli Mushaf dan kitab hadits
4) Tidak kafir harbi dalam hal jual-beli peralatan perang
Syarat yang berkaitan dengan ijab qabul atau sihigat akad :
1) Berupa percakapan dua pihak (khithobah)
2) Pihak pertama menyatakn barang dan harganya
3) Qabul dinyatakan oleh pihak kedua (mukhatbah)
4) Antara ijab dan qabul tidak terputus dengan percakapan lain
5) Kalimat qabul tidak berubah dengan qabul yang baru
6) Terdapat kesesuaian antara ijab dan qabul
7) Shighat akad tidak digantungkan dengan sesuatu yang lain
8) Tidak dibatasi dalam periode waktu tertentu
Syarat yang berkaitan dengan obyek jual-beli :
1) Harus suci
2) Dapat diserah terimakan
3) Dapat dimanfaatkan secara syara’
4) Hak milik atau milik orang lain dengan kuasa atasnya
5) Berupa materi dan sifat-sifatnya dapat dinyatakan secara jelas.
b. Syarat Jual-beli menurut mazhab Hanabilah
Syarat yang berkaitan dengan para pihak :
1) Al-Rusyd (baligh dan berakal sehat) kecuali dalam jual-beli barang-
barang yang ringan
2) Ada kerelaan
Syarat yang berkaitan dengan shighat
3
1) Berlangsung dalam satu majlis
2) Antara Ijab dan Qabul tidak terputus
3) Akadnya tidak dibatasi dengan periode waktu tetentu
Syarat yang berkaitan dengan obyek :
1) Berupa mal (harta)
2) Harta tersebut milik para pihak
3) Dapat diserahterimakan
4) Dinyatakan secara jelas oleh para pihak
5) Harga dinyatakan secara jelas
6) Tidak ada halangan syara’.3
3. Jual-beli Bathil dan Fasid
Menurut fuqaha Hanafiyah jual beli yang bathil adalah jual-beli yang
tidak memenuhi rukun dan tidak diperkenankan oleh syara’. Jual-beli bathil
ini samasekali tidak menimbulkan akibat hokum peralihan hak milik dan tidak
menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Sedang jual-beli fasid menurut mereka adalah jual beli yang secara
prinsip tidak bertentangan dengan syara’ namun terdapat sifat-sifat tertentu
yang menghalangi keabsahannya.
Beberapa macam jual-beli yan Fasid dan Bathil:
a. Bai’ al-Ma’dum (jual beli atas barang yang tidak ada)
b. Ba’I al-Ma’juz al-Taslim (jual beli barang yang tidak mungkin dapat
diserahkan)
c. Ba’I al-Gharar (jual-beli yang mengandung tipu daya yang merugikan)
d. Jual-beli barang Najis
e. Ba’I al-‘Urban (membayar sesuatu dengan tidak tunai)
f. Ba’I al-Mu’allaq ‘ala Syarth (jual beli yang digantungkan)
g. Ba’I al-Ghaibah
3 Ghufron A.Mas’adi,Fiqh muamalah kontejstual,PT Rajagrafindo persada,2002.h.123-124..
4
h. Jual beli orang buta
i. Jual-beli dengan harga haram
j. Ba’I al-Inah (jual beli yang di rekayasa)
4. Pembagian macam-macam jual-beli
a. Dari aspek obyeknya jual-beli dibedakan menjadi empat macam :
1) Ba’I al-Muqayadhah atau ba’I al-‘ain bil’-‘ain, yakni jual-beli barang
dengan barang yang lazim disebut jual-beli barter,seperti menjual
hewan dengan gandum.
2) Ba’I al-Muthlaq atau ba’I al-a’in bil-dain,yakni jual-beli barang
dengan barang lain secara tangguh atau menjual barang dengan tsaman
secara mutlaq,seperti dirham,Rupiah atau Dolar.
3) Ba’I al-Sharf atau ba’I al-dain ,yakni menjual-belikan tsaman (alat
pembayaran) dengan tsaman lainnya,seperti Dinar,Dirham,Dolar atau
alat-alat pembayaran lainnya yang berlaku secara umum.
4) Ba’ I al-salam atau ba’I al-dain bil-‘ain. Dalam hali ini barang yang
diakadkan bukan berfungsi sebagai mabi’ melainkan berupa dain
(tanggungan) sedangkan uang yang dibayarkan sebagai tsaman,bisa
jadi berupa ‘ain dan bisa jadi berupa dain namun harus diserahkan
sebelum keduanya berpisah. Oleh karena itu tsaman dalam akad salam
berlaku sebagai ‘ain.
b. Dari aspek tsaman jual-beli dibedakan menjadi empat macam.
1) Ba’I al-Murabahah,yakni jual beli mabi’ dengan ra’s al-mal (harga
pokok) ditambah sejumlah keuntungan tertentu yang disepakati dalam
akad.
2) Ba’I al-Tauliyah yakni jual beli mabi’ dengan harga asal (ra’s al-mal)
tanpa ada penambahan harga atau pengurangan.
3) Ba’I al-Wadhi’ah yakni jual beli barang harga asal dengan
pengurangan sejumlah harga atau diskon.
5
4) Ba’I al-Musawamah,yakni jual-beli barang dengan tsaman yang
disepakati kedua pihak,karena pihak penjual cenderung merahasiakan
harga asalnya. Ini adalah jual-beli paling populer berkembang
dimasyarakat sekarang ini.4
B. Riba (al-ziyadah)
1. Pengertian
Secara bahasa riba berarti al-ziyadah (tumbuh subur,tambahan),seperti
terdapat dalam ayat berikut ini :
..............
………kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi
itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang
indah.(Q.S al-Hajj:5)
.…… ……
……….. disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari
golongan yang lain.,….(Q.S al-Nahl: 92)
Seluruh fuqaha sepakat bahwasanya hukum riba adalah haram
berdasarkan keterangan yang sangat jelas dalam al-Qur’an dan al-Hadis.
Pernyataan al-Qur’an tentang larangan riba terdapat pada surat al-
Baqarah ayat 275:
“orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit 4 Ghufron A.Mas’adi,Fiqh muamalah kontejstual,PT Rajagrafindo persada,2002.h.141-142.
6
gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah
sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali
(mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya.”
Surat al-Baqarah ayat 275 di atas mengecam keras pemungutan riba
dan mereka diserupakan dengan orang yang kerasukan setan. Selanjutnya ayat
ini membantah kesamaan antara riba dan jual-beli dan mengharamkan riba.
Larangan riba dipertegas kembali pada ayat 278, pada surat yang
sama, dengan perintah meninggalkan seluruh sisa-sisa riba, dan dipertegas
kembali pada ayat 279 yang artinya: Jika kamu tidak meninggalkan sisa-sisa
riba maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kamu. Jika
kamu bertaubat maka bagimu adalah pokok bartamu. Tidak ada di antara
kamu orang yang menganiaya dan tidak ada yang teraniaya.
Berdasarkan uraian singkat tentang pernyataan al-Qur’an tentang riba
dalam surat al-Baqarah dan surat Ali Imran, tampaklah bahwa keduanya
berada dalam konteks seruan shadaqah (termasuk seruan infaq fi sabilillah dan
kewajiban berzakat). Dalam pernyataan al-Qur’an, antara keduanya (yakni
riba dan shadaqah) selalu dipertentangkan. Kecaman, ancaman keras dan
pengharaman riba dipertentangkan dengan seruan shadaqah yang sangat
gencar. Praktek riba yuang memungut keuntungan secara berlipat ganda
dipertentangkan dengan pahala shadaqah yang spektakuler, dan riba sebagai
hutang kepada manusia dipertentangkan dengan shadaqah yang dinyatakan
sebagai pinjaman kepada Allah. Jelaslah bahwa tujuan dari semua itu adalah
7
bahwa Allah bermaksud menghapus tradisi Jahiliyah, yakni praktek riba, dan
menggantinya dengan tradisi baru, yakni tradisi shadaqah.5
2. Sebab-sebab Haramnya Riba
Sebab-sebab riba diharamkan ialah banyak sekali, adapun rincian sebab-
sebab tersebut ialah:
a. Karena Allah dan Rasul-Nya melarang atau mengharamkannya firman
Allah:
.........
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
b. Karena riba menghendaki pengambilan harta orang lain dengan tidak ada
imbangannya, seperti seseorang menukarkan uang kertas Rp. 10.000,-
dengan uang recehan senilai Rp. 9.950,-, maka uang senilai Rp. 50,- tidak
ada imbangannya, maka uang senilai Rp. 50,- adalah riba.
c. Dengan melakukan riba, orang tersebut menjadi malas berusaha yang sah
menurut syara’, bila riba sudah mendarah daging pada seseorang, maka
orang tersebut lebih suka beternak uang,karena ternak uang akan
mendapat keuntungan yang lebih besar dari pada dagang, dan dikerjakan
tidak dengan susah payah. Seperti orang yang memiliki uang Rp.
1.000.000.000 cukup disimpan di bank dan ia memperoleh bunga sebesar
2% tiap bulan, maka orang tersebut memperoleh uang tanpa kerja tiap
bulan dari bank tempat uang disimpan, sebesar Rp. 20.000.000.
d. Riba menyebabkan putusnya berbuatan baik terhadap sesama manusia
dengan cara utang piutang atau menghilangkan faidah utang piutang,
maka riba lebih cenderung memeras orang miskin dari pada menolong
orang miskin.
3. Macam-macam Riba
5 Drs. Ghufron A. Mas’adi, M.Ag. Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: 2002, PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 151-154
8
Menurut Ibn al-Jauziyah, dalam kitab I’lam al-Muwaqi’in “an Rab
al-‘Alamin, bahwa riba dibagi menjadi dua bagian, riba jali dan riba khafi,
riba jali sama dengan riba nasi’ah dan riba khafi merupakan jalan yang
menyampaikan kepada riba jali.
Al-Qur’an menyatakan:
“Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya.”
Ribna fadli ialah berlebih salah satu dari dua pertukaran yang diperjual
belikan, bila yang diperjual belikan sejenis, berlebih timbangannya pada
barang-barang yang ditimbang, berlebih takarannya pada barang-barang yang
ditakar dan berlebihan ukurannya pada barang-barang yang diukur.
Riba nasi’ab adalah riba yang pembayarannya atau penukarannya
berlipat ganda karena waktunya diundurkan, maka riba fadli adalah semata-
mata berlebihan pembayaran, baik sedikit maupun banyak, riba jali dan riba
khafi yang dijelaskan oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah di atas, juga dijelaskan
pula bahwa menurut beliau riba jali adalah riba yang nyata bahaya dan
mudaratnya, sedangkan riba nasi’ah dan riba khafi adalah riba yang
tersembunyi bahaya dan mudaratnya, inilah yang disebut riba fadli yang besar
kemungkinan membawa kepada riba nasi’ah.
Riba qardhi sama dengan riba fadli, hanya saja riba fadli kelebihannya
terjadi ketika qardli berkaitan dengan waktu yang diundur.6
DAFTAR PUSTAKA
A. Mas’adi Ghufron, Fiqh muamalah kontejstual,PT Rajagrafindo persada.
al-Zajairy Abdurrahman, Kitab al-Fiqh ‘Ala Madzhahibil Arba’ah,Darul Fikri,
Bairut, Juz II.
6 Drs. H. Hendi Suhendi, M.Si. Fiqh Muamalah, Jakarta: 2002, PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 57-62.
9
Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: 2002, PT. Raja Grafindo Persada.
JUAL BELI DAN RIBA
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas
FIQH
10
Disusun oleh: Kelompok II
Eka Khairunnisa : 1001111390
Elvariani : 1001111446
Ika Wahyuti Ningsih: 1001111428
Nur Fitriana : 1001111449
Rusna Mawaddah : 1001111444
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Prodi Pendidikan Agama Islam
Tahun Ajaran 2010/2011
Palangka Raya
11
Top Related