Pada faktanya, pasangan sehat yang melakukan koitus secara regular tanpa memakai alat kontrasepsi hanya mempunyai peluang berk
PAGE 26
BAB I
PENDAHULUAN
Kematian janin disegala umur kehamilan adalah suatu kejadian yang tragis. Disamping tugas dokter untuk menegakkan diagnosis dan mencari penyebabnya, dokter juga harus memiliki sensitifitas yang dibutuhkan untuk merencanakan persalinan dan memberikan konsultasi yang diperlukan orangtua.
Intrauterine Fetal Death (IUFD) adalah kematian janin dalam uterus atau neonatus dengan berat 500 gram atau lebih. Kematian hasil konsepsi diperkirakan terdapat pada 75 persen dari wanita yang mencoba untuk hamil. Sedangkan kematian perinatal termasuk didalamnya stillbirth dan kematian neonatus mencapai 1 persen di Amerika Serikat.
Diagnosis dari IUFD selain dari anamnesis adalah dari pemeriksaan fisik yang hanya memberikan sedikit kegunaan. Oleh karena itu diperlukan pemeriksaan lebih merinci untuk memastikan adanya IUFD. Setelah diagnosis IUFD ditegakkan, dokter harus merencanakan pengelolaan lebih lanjut yang mengikutsertakan orangtua.
Terdapat prinsip-prinsip yang perlu dipahami sebelum penggunaan obat-obatan untuk stimulasi uterus dalam proses persalinan janin mati. Prinsip-prinsip tersebut sangat berguna dalam pemilihan rencana terapi pada kasus IUFD yang berbeda.
Dalam referat ini berisi hal-hal yang perlu diperhatikan oleh dokter dalam menghadapi kasus kematian janin.
BAB II
PEMBAHASAN
Pada faktanya, pasangan sehat yang melakukan koitus secara regular tanpa memakai alat kontrasepsi hanya mempunyai peluang berkisar 25-30 % untuk terjadinya suatu kehamilan. Begitu pula hanya 70-75 % blastosit yang terbentuk mampu untuk berimplantasi serta hanya 58 % saja blastosit yang berimplantasi mampu bertahan sampai umur kehamilan 2 minggu.1 Setelah blastosit tersebut mampu bertahan untuk dapat hidup, masih banyak pula faktor-faktor yang mempengaruhi hasil konsepsi untuk terus hidup selama kehamilan maupun persalinan.
Definisi
Menurut WHO maupun American College of Obstetricians and Gynecologist yang termasuk kematian janin dalam uterus adalah kematian janin dalam uterus atau neonatus dengan berat 500 gram atau lebih. American College of Gynecologist juga menyebutkan kematian janin dalam uterus adalah kematian hasil konsepsi yang berlangsung pada umur kehamilan 22 minggu atau lebih. Sedangkan menurut The USA National Center for Health Statistics menyebutkan bahwa kematian janin dalam kandungan adalah kematian janin berumur lebih dari 20 minggu atau dengan berat 350 gram atau lebih.2 Apabila kematian janin terjadi saat persalinan dengan umur kehamilan lebih dari 28 minggu disebut sebagai kematian janin dalam persalinan (intrapartum fetal death).3 Walaupun definisi menurut WHOlah yang paling sering digunakan dalam banyak liteatur, ternyata tidak semua negara menggunakan definisi tersebut. Bahkan di USA, banyak ditemukan perbedaan dalam mendefinisikan kematian janin dalam kandungan ini.2
EpidemiologiKematian janin diperkirakan terdapat pada 75 persen dari wanita yang mencoba untuk hamil. Sedangkan kematian perinatal termasuk didalamnya stillbirth dan kematian neonatus mencapai 1 persen di Amerika Serikat. Penelitian terbaru menyebutkan pada umur kehamilan setelah 28 minggu, kematian janin kurang-lebih 2 persen pada masa perinatal.1Pada tahun 2003, menurut data dari The National Center for Health Statistics menyebutkan bahwa rata-rata kematian janin adalah 6,9 kematian dalam 1000 kelahiran. Untuk tingkat dunia, rata-rata kematian janin ini bervariasi, tergantung pada kualitas dari pelayanan kesehatan yang tersedia dan definisi mana yang digunakan untuk menyatakan kematian janin tersebut.2Insidensi
Waktu kematian janin adalah bervariasi dan berhubungan dengan penyebabnya. 1Umur kehamilan dalam mingguInsidensi dalam persen
5-717.5
8-1150,6
12-1547,0
16-1932,8
20-2710,7
Total 5-2733,0
grafik 1. hubungan umur kehamilan dengan insidensi 4Etiologi
Menurut waktunya kematian hasil konsepsi dapat dibagi menjadi :1 Kematian pada trimester pertama
Trimester pertama dari kehamilan didefinisikan sebagai periode dari waktu terjadinya pembuahan sampai umur kehamilan 13 minggu. Masa ini adalah masa yang sensitif untuk pertumbuhan hasil konsepsi. Terlihat pada tabel diatas, kematian pada masa ini adalah tinggi.
Penyebab kematian pada masa ini antara lain terpaparnya ibu dengan agen-agen teratogenik, penolakan imum pada hasil konsepsi, serta penyebab yang paling sering adalah kelainan kromosom.
Kematian hasil konsepsi dengan penyebab kelainan kromosom diperkirakan mencapai 30-60 %. Dengan pemeriksaan genetik yang lebih canggih lagi, angka tersebut dapat meninggi, terutama terjadi pada ibu-ibu yang berumur lanjut ketika pembuahan terjadi. Kurang lebih 7 % janin dengan kelainan kromosom yang dapat bertahan sampai umur kehamilan aterm, sehingga dipercaya bahwa kelainan kromosom yang terjadi pada umur kehamilan awal adalah berat dan mengganggu pertumbuhan dari embrio.1
Byrne dan kawan-kawan meneliti dari 3472 abortus spontan, diperoleh 27,9 % mempunyai bligted ovum. Kelainan kromosom paling sering yang didapatkan adalah autosomal trisomi, dan bentuk yang paling sering adalah trisomi 16, mempunyai fekuensi kurang-lebih 28%. Urutan nomor dua adalah kelainan kromosom berupa trisomi 22 dengan frekuensi 14 %.1
Kelainan genetik selain berpengaruh pada pertumbuhan menjadi janin juga berpengaruh pada plasenta. Suatu penelitian memperlihatkan adanya peningkatan apoptosis dan penurunan proliferasi sel pada plasenta dengan kelainan kromosom dibandingkan plasenta normal pada abortus spontan. Hal tersebut membuktikan kelainan genetik menyebabkan perubahan pada pertumbuhan dan ploriferasi trofoblas.
Pada gambar USG dibawah dapat dilihat adanya kematian embrio dimana fetal pole > 5 mm namun tidak terlihat aktifitas jantung.5
Kematian pada trimester kedua dan ketiga
Kematian janin pada trimester kedua dan ketiga dapat disebabkan oleh beberapa sebab. Dapat dibagi menjadi :
Maternal2
1. Kehamilan serotinus (lebih dari 42 minggu)
Terjadinya sindroma postmaturitas. Sindrom ini berkaitan dengan infark plasenta yang menyebabkan insufisiensi plasenta dengan gangguan difusi oksigen dan berkurangnya transfer zat makanan kepada janin.62. Diabetes (tidak dikontrol dengan baik)
3. Sistemik lupus erithematosus
SLE dapat menyebabkan arteriolitis (vaskulitis desidual) yang menyebabkan buruknya persediaan darah pada sirkulasi uteroplasental. Dengan adanya antikardiolipin yang yang dikeluarkan oleh ibu hamil dengan SLE dapat menyebabkan adanya blok jantung janin dan fibrosis endomiokardial.64. Infeksi
5. Tekanan darah tinggi
Segala macam hipertensi dalam kehamilan dapat menyebabkan vasokontriksi pada pembuluh darah yang menyuplai oksigen serta makanan bagi janin sehingga janin mengalami asfiksia yang kemudian dapat berlanjut dengan kematian janin. 7
Dengan adanya hipertensi, resiko terjadinya solutio plasenta juga akan meningkat dan pada kasus solutio plasenta berat dapat menyebabkan perdarahan banyak juga syok yang dapat membahayakan baik ibu atau janinnya.6. Eklampsia
Dengan adanya eklamsia, aliran oksigen ke janin berkurang sehingga terjadi asfiksia janin dan apabila tidak ditolong secara cepat dapat menyebabkan kematian janin.77. Hemoglobinopati
Contohnya penyakit Sickle cell. Pada saat kehamilan, pasien dengan penyakit sickle cell, anemia dapat menjadi memburuk diikuti dengan oklusi dari pembuluh darah yang dapat menyebabkan mortalitas dari ibu dan kematian janin.88. Umur lanjut ibu.
Dengan semakin meningkatnya umur ibu, insidensi ibu mendapatkan penyakit-penyakit kardiovaskuler menjadi lebih tinggi sehingga berpengaruh pada saat kehamilan. Selain itu, frekuensi anak mempunyai kelainan kongenital menjadi lebih tinggi daripada ibu dengan usia yang sesuai. 7
9. Penyakit-penyakit yang berhubungan dengan Rh
Ibu dengan Rh negatif ketika menikah dengan bapak yang mempunyai Rh positif dapat mengandung bayi dengan Rh positif sesuai dengan Rh bapaknya. Hal ini akan menjadi bahaya baik pada saat kehamilan maupun pada saat persalinan dimana beberapa sel darah janin yang mengandung Rh positif dapat mencapai aliran darah ibu. Sel darah tersebut dikenal sebagai benda asing oleh sistem ibu sehingga sistem pertahanan ibu dapat menyerang sel darah janin dengan menghasilkan antibodi. Pada kehamilan pertama, bahaya janin dengan Rh positif tidak begitu tinggi karena ibu hanya menghasilkan antibodi yang kurang berarti. Tetapi ketika kehamilan berikutnya, antibodi ibu dapat melewati plasenta dan dapat mencapai janin dan menghancurkan sel darah janin dan dapat menyebabkan kematian janin. 9
10. Ruptur uterine
Peluang janin dapat bertahan saat ruptur uteri adalah rendah disebabkan oleh hipoksia karena lepasnya plasenta dan hipovolemi ibu. Apabila saat kejadian ruptur uteri janin masih hidup, satu-satunya cara untuk mempertahankan janin adalah dengan laparotomi segera.7
11. Antiphospholipid antibodi.
Adanya antiphospholipid antibodi contohnya anti kardiolipin dan lupus antikoagulan secara langsung menyerang trombosit dan endothelium pembuluh darah yang menyebabkan kerusakan vaskular, trombosis, kematian janin, dan kerusakan plasenta. 7
12. hipotensi
Adanya hipotensi juga dapat menyebabkan kematian janin dikarenakan pada hipotensi, aliran uteroplasental tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan janin sehingga terjadi hipoksia pada alat-alat vital janin contohnya jantung serta otak janin. Keadaan ini biasanya terjadi pada hipotensi yang akut contohnya pada perdarahan ibu yang massif. 7
13. Kematian ibu
Kematian ibu dengan sendirinya diikuti oleh kematian janin yang dikandungnya. Dikarenakan pada ibu yang mati, jantung yang berfungsi untuk memompa darah tidak bekerja lagi sehingga aliran uteroplasental tidak dapat dipenuhi. 7
Fetal
1. Kehamilan ganda
Pada kehamilan ganda dapat terjadi twin-to-twin transfusion syndrome (TTS). Pada TTS terjadi IUGR yang progresif pada salah satu janin. Darah dari salah satu janin berpindah ke janin lainnya lewat plasenta melalui anastomosis dari pembuluh darah kedua janin. Hal ini menyebabkan anemia pada janin donor serta plethora pada janin penerima dikarenakan overloud dari pembuluh darah.10
2. Intrauterine growth restriction
3. Kelainan kongenital
4. Kelainan genetik
5. Infeksi (ie, parvovirus B19, CMV, listeria)
Placental
1. Cord accident
2. Solutio plasenta
3. KPSW
4. Plasenta previa
Kematian pada trimester kedua dan ketiga apat pula dibagi menjadi 11
1. Penyebab akut contohnya ; solusio plasenta, komplikasi-komplikasi plasenta lainnya
2. Penyebab subakut contohnya ;infeksi dan insuffisiensi uteroplasenta
3. Penyebab kronik contohnya ; insuffisiensi uteroplasenta yang berlangsung lama, diabetes dan penolakan imun ibu
Infeksi
Infeksi adalah penyebab penting pada IUFD. Romero dan kawan-kawan menyebutkan teori ascending bacterial infections dimana bakteri berpindah dari vagina melewati serviks menuju ruang amnion. Di ruang amnion ini, bakteri mengaktivasi sitokin yang menyebabkan kerusakan janin, persalinan prematur, dan pada kasus yang berat dapat terjadi IUFD. Moyo dan kawan-kawan memeriksa stillbirth di Zimbabwe dan membuktikan teori tersebut dengan menemukan bermacam-macam strain E.coli di organ-organ dalam janin. Dari 104 stillbirth yang diteliti, didapatkan pertumbuhan bakteri pada spesimen paru-paru, hepar dan cairan perikardium. Pertumbuhan bakteri yang lebih signifikan ditemukan pada kultur dari spesime tenggorokan, tali pusat, dan plasenta. Tidak semua infeksi disebabkan oleh bakteri. Pada penelitian yang dilakukan di Swedia, menunjukan Parvovirus B19 terdapat pada 50-70% orang dewasa dan seringkali tanpa gejala, dan pada kehamilan sering dikaitkan dengan anemia pada janin, hidrop fetalis, abortus spontan serta IUFD. 6
Diabetes
Diabetes sering sebagai sebab komplikasi selama kehamilan pada janin begitu pula pada ibu. Cundy dan kawan-kawan mendapatkan data bahwa kematian janin umur kehamilan 20-28 minggu meningkat 2,5 kali pada ibu dengan diabetes tipe2.6
Berat- badan ibu sebelum hamil
BMI sebelum kehamilan telah diteliti memiliki hubungan dengan outcome buruk. Pada penelitian tahun 1998, didapatkan bahwa nullipara dengan BMI 25,0 atau lebih memiliki resiko terjadinya kematian janin empat kali lipat dibandingkan wanita dengan BMI 20 atau kurang. Penelitian ini juga mencatat bahwa dengan meningkatnya BMI, meningkat pula resiko mempunyai penyakit hipertensi. 6
IUFD yang berhubungan dengan tali pusat
11Penyebab paling sering dari IUFD pada trimester ketiga berhubungan dengan tali pusat. Carey dan Rayburn mencatat selama kurang-lebih 5 tahun dan mendapatkan lilitan tunggal tali pusat terjadi pada 23,6 % persalinan baik pada bayi yang hidup atau yang meninggal. Mereka juga mendapatkan 3,7 % lilitan multiple tali pusat pada stillbirth. Penelitian lainnya mencatat bahwa insidensi lilitan tali pusat berkisar 1 % dan yang berhubungan dengan kematian adalah 2,7 %. Walaupun begitu, adanya lilitan talipusat bukan berarti kematian. Apabila lilitan tersebut lepas dan sirkulasi janin kembali baik, janin dapat bertahan. Tetapi apabila lilitan tersebut menjadi ketat dapat menyebabkan vasokontriksi dan penurunan sirkulasi darah janin. Lebih jauh lagi, menurunnya jumlah Whartons jelly pada area tersebut menyebabkan oklusi dari aliran darah janin.6
Abnormalitas dari tempat insersi
Kelainan insersi dari plasenta seperti insersi marginal dan insersi velamentosa juga dapat menyebabkan kematian janin. Insersi marginal hanya terjadi pada 5-7 % kehamilan, akan tetapi dapat menyebabkan terjadinya ruptur dan kompresi pembuluh darah yang kemudian dapat menyebabkan kematian janin. Insersi filamenosa terjadi pada 1 % kehamilan tunggal, merupakan insersi pembuluh darah pada membran eksternal plasenta. Pembuluh darah ini tidak terlindungi oleh Whartons jelly sehingga dapat melilit, ruptur torsi. 6Faktor-faktor resiko 12
Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik hanya memberikan sedikit kegunaan untuk mendiagnosa kematian janin dalam kandungan. Pada banyak pasien, satu-satunya gejala yang mereka rasakan adalah berkurangnya gerakan janin.2
Secara klinik, kematian janin harus dicurigai bila pasien melaporkan tidak ada gerakan janin terutama kalau rahim tetap kecil meski sudah mencapai tanggalnya.
Pada pemeriksaan fisik, tidak ditemukannya detak jantung janin menandakan adanya kematian janin dalam kandungan.2 Akan tetapi tidak ditemukannya detak jantung janin bukan merupakan alat diagnostik yang tepat dan harus dikonfirmasikan dengan menggunakan pemeriksaan ultrasonografi. Ultrasonografi dapat memastikan kurangnya gerakan janin dan tidak adanya aktivitas jantung janin. 1314Bila lewat dari waktu yang cukup, kolaps tubuh janin dengan tulang kranial yang tumpang tindih dapat dilihat dengan foto sinar X atau ultrasonografi. Meskipun jarang diindikasikan pada saat ini, penemuan dengan pemeriksaan sinar X dapat diperoleh data sebagai berikut ; 15
Gas dalam sistem kardiovaskuler (tanda Robert) ( terjadi dalam 3 atau 4 hari)
Tumpang-tindih tulang tengkorak janin (tanda Spalding) akibat pencairan otak
Perlengkungan atau angulasi yang nyata dari tulang belakang ( setelah maserasi ligamentum spinosim)
11Amniosentesis jarang diindikasikan untuk memastikan diagnosis kematian janin, tetapi kalau dilakukan, hal ini akan memperlihatkan cairan keruh yang coklat gelap dengan peningkatan kadar keratin fosfokinase yang nyata sekali.Penatalaksanaan15
Segera setelah diagnosis kematian janin dalam kandungan ditegakkan, pasien harus mendapatkan informasi tentang kondisinya tersebut. Sering, pasien juga diajak untuk melihat ketidakadanya denyutan janinnya untuk memperoleh kepercayaan dari pasien. Kita harus mengerti bagaimana perasaan kehilangan pasien dan kita juga harus memberikan waktu sebelum membicarakan bagaimana penatalaksanaan lebih lanjutnya. Biasanya pasien hanya membutuhkan waktu antara 5-10 menit atau sebuah pembicaraan lewat telfon kepada teman dekat atau keluarga sebelum mereka siap untuk membicarakan kelanjutan terapinya.
Persalinan seharusnya segera dilaksanakan secepat mungkin setelah diagnosis ditegakkan, namun reaksi pasien bervariasi terhadap rekomendasi ini. Beberapa menginginkan persalinan sesegera mungkin, namun beberapa lainnya menginginkan waktu beberapa jam atau hari sampai mereka siap secara mental. Terdapat sebuah penelitian dimana persalinan yang dilakukan lebih dari 24 jam setelah diagnosis ditegakkan ternyata pada pasien ini terdapat peningkatan gejala-gejala ansietas dibandingkan pasien dengan persalinan kurang dari 6 jam setelah diagnosis.
Kematian janin antara 13 dan 28 minggu memungkinkan pendekatan yang berbeda.
Harapan dengan kewaspadaan.16
Sekitar 80 % pasien akan mengalami permulaan persalinan yang spontan dalam 2-3 minggu kematian janin, dan hanya 10 % janin mati yang bertahan dalam uterus lebih dari 3 minggu. Hal yang menarik adalah ketika Townsend & Shelton menemukan bahwa persalinan spontan pada janin yang mati berhubungan dengan RH-isoimunisasi, dimana 50 % dari ibu tidak terjadi persalinan spontan setelah 5 minggu bertahan. Sebagai tambahan Ursell juga menemukan bahwa koagulopati terjadi sebelum 4 minggu pada 5 pasien dengan janin mati yang berhubungan dengan Rh isoimunisasi. Janin yang mati direabsorsi kalau kematian terjadi sebelum 12 minggu kehamilan. Lebih dari ini, janin menyusut mengalami dehidrasi dan gepeng dikenal sebagai fetus papiraseus atau janin kompresus Perasaan kehilangan dan bersalah dari pasien dapat menciptakan keadaan yang menyerupai anxietas sehingga pendekatan konservatif ini terbukti tak dapat diterima.
Induksi persalinan
Alasan bagi induksi persalinan dibenarkan adalah beban emosional pasien yang berhubungan dengan mengandung janin yang meninggal, kemungkinan infeksi dalam rahim walaupun kejadiannya jarang, serta 10 persen resiko pembekuan intravaskuler diseminata (DIC) bila janin yang mati dipertahankan lebih dari 5 minggu.
Pilihan terapi yang tersedia adalah larutan hipertonik yang diberikan intraamnion oksitosin atau prostaglandin yang dapat diberikan dalam beberapa rute. Penggunakan larutan hipertonik harus diberikan oleh orang yang ahli dibidangnya. Penggunaan larutan salin intraamnion telah dijelaskan oleh Cspo(1966), Goplerud dan White(1968) serta Rozenman (1980), dimana kebanyakan pasien mengalami persalinan setelah 24 jam, tetapi koagulopati dapat terjadi sama seperti kasus solutio plasenta dan kematian ibu pernah dilaporkan. Efek samping lain adalah ditemukannya kasus infeksi pada penggunaan larutan hipertonik glukosa. Selain kedua larutan diatas, larutan hipertonik urea juga pernah dilaporkan oleh Greenhalf & Diggory (1971), tetapi peranan lebih lanjut masih belum jelas.15
Segala macam induksi pesalinan mempunyai beberapa prinsip yang harus kita perhatikan. Antara lain;
1. Berbagai macam agen yang dapat meningkatkan tonus uterus mempunyai kapasitas untuk terjadinya ruptur uterus
2. Miometrium sensitif terhadap prostaglandin pada setiap umur kehamilan, tetapi terdapat evidensi dimana sensitifitas meningkat dengan meningkatnya umur kehamilan
3. Adalah tidak masalah prostaglandin mana yang diberikan dan rute mana yang dipilih, tetapi akan selalu terdapat hubungan antara efek samping dengan dosis tinggi.
4. Miometrium adalah tidak sensitif dengan oksitosin yang diberikan jauh dari waktunya. Walaupun sensitifitas biasanya meningkat dengan meningkatnya umur kehamilan.
5. Penipisan dan perlunakan serviks didefinisikan dengan Bishop score merefleksikan sebagai sensitifitas miometrium terhadap oksitosin
6. Stimulasi uterus dengan pemberian prostaglandin dan oksitosin lebih banyak dihubungkan dengan kerusakan uterus dan serviks. 15Dari prinsip diatas didapatkan prinsip pengelolaan induksi persalinan sebagai berikut :
1. Oksitosin diberikan untuk induksi persalinan bila serviks dapat melunak (Bishops score > 4), yang pada umumnya terdapat pada umur kehamilan lanjut (>35 minggu)
2. Prostaglandin diberikan apabila tersedia, dokter telah terbiasa menggunakannya dan telah biasa digunakan pada daerahnya.
3. Apabila prostaglandin digunakan, dosis awal diberikan pada saat kehamilan serta dosis berikutnya diberikan apabila terdapat respon dari pemberian prostaglandin.
4. Harus selalu hati-hati dengan stimulasi mememakai prostaglandin atau oksitosin.15Vaginal supositoria dengan prostaglandin E2 (Prostin) telah mendapatkan persetujuan dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) untuk digunakan dari minggu keduabelas sampai keduapuluhdelapan kehamilan. 16Prostaglandin adalah obat yang sangat efektif dengan angka keberhasilan sebesar 97 persen. Pada wanita dengan kematian janin sebelum umur kehamilan 28 minggu induksi persalinan dapat pula disertai dengan adanya prostaglandin E2 vaginal suppositoria, (10-20 mg tiap 4-6 jam), misoprosol (prostaglandin E1) suppositoria maupun oral (400 mcg tiap 4-6 jam). Meskipun sekurang-kurangnya 50 persen dari pasien yang menerima prostaglandin mengalami mual dan muntah-muntah atau diare dengan peningkatan suhu, efek samping ini bersifat sementara. Dilaporkan juga terdapat kasus ruptura uteri dan laserasi serviks setelah pemberian prostaglandin ini. Dosis maksimum yang dianjurkan adalah 20 mg suppositoria setiap 3 jam.2
Di bawah ini adalah beberapa efek samping dari terapi dengan prostaglandin :151. Demam
2. Takikardi
3. Gejala-gejala gastrointestinal seperti mual-muntah dan diare
Setelah 28 minggu kehamilan, kalau serviks cukup baik untuk induksi dan tidak ada kontraindikasi, oksitosin merupakan obat pilihan. Penggunaan prostaglandin E2 suppositoria pada umur kehamilan ini menyebabkan peningkatan resiko ruptur uteri, sehingga dosis yang lebih kecil harus digunakan. Kalau servik tidak baik untuk induksi, satu atau lebih laminaria tentaria yang ditempatkan ke dalam saluran serviks sebelum induksi oksitosin dapat meningkatkan pematangan serviks. Serangkaian infus oksitosin yang terkendali tiap hari mungkin dibutuhkan untuk menginduksi persalinan. Persalinan didahului dengan tindakan membuka servik dan dilanjutkan dengan pemberian drip oksitosin. Pasien dengan riwayat persalianan via SC harus dikelola secara hati-hati mengingat adanya resiko rupture uteri. Menurut The American Collage of Obstetricians and Gynecologists, induksi persalinan menggunakan prostaglandin E2 dan misoprostol tidak boleh digunakan pada wanita dengan riwayat persalianan via SC. Hal ini dimungkinkan karena terdapat resiko rupture uteri. 2
Pada tahun 2003, Dickinson dan Evans membandingkan adanya efektifitas dari pemberian misoprostol secara oral, vaginal atau kombinasi pada induksi persalianan trimester kedua. Mereka menemukan regimen yang paling berefek adalah misoprosol 400mcg yang dimasukkan dalam vagina setiap 6 jam. Pemberian bahan anti diare dan anti emetik sebelum peyembuhan dapat mengurangi efek samping. Efek samping ini biasanya lebih dikenal dengan misoprostol daripada prostaglandin E2.2
Indikasi dilakukan Caesarean section:15
Indikasi absolut
a. Plasenta previa
b. CPD
c. Riwayat SC klasik
d. Riwayat telah dilakukan 2 atau lebih tindakan SC
e. Ancaman ruptur uteri
f. Adanya ruptur uteri
Indikasi relatif
Riwayat dilakukan SC kurang dari 2 kali
Letak lintang
Penanganan rasa sakit pada pasien induksi persalinan dengan janin meninggal adalah lebih mudah daripada penanganan pada pasien dengan janin hidup. Penggunaan narkotik dengan dosis tinggi dapat diperbolehkan untuk diberikan kepada pasien dan sering kali morpin atau Dilaudid PCA cukup untuk mengatasi rasa sakit. Pasien yang memerlukan penanganan rasa sakit yang luar biasa maka dengan intravenous narkotik, maka sebaiknya diberikan epidural anesthesia.2
Masalah-masalah yang dihadapi pada janin mati dalam uterus yang lama15
Tiga masalah utama yang berhubungan dengan retensi janin mati dalam kandungan adalah :
1. infeksi. Masalah yang paling sering terjadi adalah infeksi. Walaupun begitu, apabila ketuban masih utuh, resiko infeksi adalah rendah
2. distress ibu dan
3. koagulopati.
Koagulopati hanya terjadi setelah umur kehamilan 16 minggu. Saat janin yang mati masih dalam kandungan setelah 3-4 minggu, kadar fibrinogen darah menurun yang menunjukan adanya koagulopati. Keadaan ini adalah jarang pada kehamilan tunggal dikarenakan adanya kecepatan dalam diagnosis dan persalinan serta alasan lain seperti reaksi pasien yang mengiginkan persalinan secepat mungkin setelah diagnosis ditegakkan. Pada beberapa kasus kehamilan ganda, tergantung pada tipe kehamilannya, persalianan setelah kematian salah satu janin mungkin ditunda untuk menunggu kematangan janin yang bertahan hidup. Pada kasus ini, beberapa ahli perinatologi menyarankan untuk memeriksa faktor-faktor pembekuan pada saat kematian janin didiagnosis dan memeriksanya lagi pada saat gejala klinik menunjukkan adanya koagulopati. Namun terdapat ahli perinatologi lain yang tidak menyarankan adanya pemeriksaan faktor-faktor pembekuan pada pasien ini. DIC dapat terjadi baik pada janin yang masih hidup atau pada ibu sebagai akibat dari transfer bahan janin dengan aktivitas yang mirip tromboplastin ke dalam sirkulasi dari kembar yang lain atau ibu. Diatas itu semua, resiko berkembang kearah DIC adalah jarang.2
Pemantauan koagulopati. 13
Tidak peduli cara terapi yang dipilih, kadar fibrinogen mingguan harus dipantau selama penanganan yang mengandung harapan, bersama hitung hematokrit dan trombosit. Kalau kadar fibrinogen menurun, bahkan kadar fibrinogen yang normal sebesar 300 mg/dl mungkin merupakan tanda awal dari koagulopati konsumtif dalam kasus kematian kematian janin. Meningkatnya waktu protrombin dan waktu tromboplastin sebagian, adanya hasil-hasil degredasi fibrin-fibrinogen, dan menurunnya hitung trombosit dapat menegaskan diagnosis. Romero dan kawan-kawan mempelajari bahwa untuk memeriksa ada tidaknya koagulopati lebih baik mengukur kadar fibrinogen dari pada kadar FDP. Fibrinogen biasanya turun kurang-lebih 50 mg/dl setiap minggu, dan dihubungkan dengan tendensi pendarahan setelah kadar fibrinogen turun dibawah 100mg/dl.
Kalau dirasakan ada bukti laboratorium dari pembekuan intravaskuler diseminata (DIC) yang ringan tanpa adanya perdarahan, kelahiran dengan cara yang paling tepat dianjurkan. Kalau gangguan pembekuan lebih berat atau kalau terdapat bukti adanya pendarahan, penambahan voleme darah atau penggunaan terap komponen (kriopresipitat atau plasma beku yang segar ) harus diberikan sebelum dilakukan interfensi. Jimenez dan Pritchard (1968) mendeskripsikan sebuah kasus dimana antifibrinolitik gagal untuk mengatasi koagulopati. Namun pemberian infus heparin menyebabkan peningkatan dari kadar fibrinogen darah. Apabila tanda-tanda koagulopati terlihat saat belum ada tanda-tanda persalinan, dapat digunakan heparin untuk menghentikan konsumsi dari factor-faktor koagulopati. Heparin dapat dihentikan dan persalinan dapat dimulai secara aman setelah 6 jam. Penggunaan heparin juga telah diteliti oleh Skelly sebagai terapi koagulopati pada kematian janin umur kehamilan 22 minggu dengan kehamilan kembar tiga. Terapi dapat diteruskan sampai umur kehamilan 35 minggu ketika janin kedua mati dan janin ketiga dapat dilahirkan. Apabila terdapat tanda-tanda koagulopati saat terdapat tanda-tanda persalinan atau terdapat pendarahan yang aktif, heparin adalah dikontraindikasikan.15 Terapi harus diberikan langsung untuk mengganti faktor-faktor darah yang kurang dengan menggunakan darah yang segar, kriopresipitat atau FFP (fresh frozen plasma).
Evaluasi
Saat terjadinya kematian janin merupakan saat yang sangat berat baik bagi keluarga maupun penyedia jasa kesehatan. Dalam waktu yang sangat membuat stres ini, penggunaan daftar pengecekan sangat menolong untuk mencegah terjadinya kesalahan mengevaluasi ibu, janin dan placenta begitu pula untuk meyakinkan bahwa kebutuhan emosional dari keluarga pasien dapat dipenuhi.
Tanggung jawab dokter tidak berakhir dengan lahirnya janin. Selain dukungan moril pada orangtua, suatu pencarian harus dilakukan untuk menentukan penyebab terjadinya kematian janin dalam kandungan.2
Menurut alogaritma yang telah dimodifikasi dari Wisconsin Stillbirth Service (WSS, 1994) dan draf dokumen Alberta yang berjudul Investigation of Stillbirths Protocol (1998), terdapat suatu panduan penatalaksanaan kematian janin untuk pencarian penyebab kematian yang terdiri dari 6 langkah.
Enam langkah dalam mencari etiologi dari kematian janin :4
( disesuaikan menurut the Alberta Investigation of Stillbirths Protocol, 1998)
Yang dilakukan saat diagnosis kematian janin ditegakkan :
1. Riwayat penyakit ibu dan riwayat keluarga
a. evaluasi riwayat obstetrik terdahulu
menekankan pada kematian janin sebelumnya
b. evaluasi riwayat kehamilan sekarang termasuk didalamnya:
b.1 umur kehamilan
b.2 pertumbuhan janin
b.3 riwayat perdarahan dalam kehamilan
b.4 peningkatan pembuluh darah
b.5 penyakit- penyakit sebelumnya atau kemungkinan ibu terpapar infeksi virus
b.6 pemakaian obat-obatan selama kehamilan
b.7 penilaian ibu terhadap gerakan janin
c. evaluasi pemeriksaan antenatal
c.1 ultrasonografi, termasuk juga pemeriksaan cairan amnion
c.2 pemeriksaan laboratorium (termasuk pemeriksaan darah rutin)
c.3 diagnosis prenatal
c.4 pemantauan kesejahteraan janin ( NST, biophysical profiles, ultrasonografi Doppler)
d. evaluasi riwayat keluarga
2. pemeriksaan ibu
a. ultrasonografi bila mungkin untuk mengetahui kemungkinan adanya kelainan kongenital
b. pemeriksaan darah rutin, termasuk hitung trombosit
c. Kleihauer test
d. Pemeriksaan golongan darah atau pemeriksaan adanya antibodi
e. HbA1C
f. Pemeriksaan mikrobiologi yang dipertimbangan apabila
dicurigai adanya infeksi sebagai factor penyebab dari kematian janin
kematian janin masih belum jelas
Pemeriksaan tersebut antara lain :
Pemeriksaan serologi ibu (IgG dan IgM) untuk:
Parvovirus
Toxoplasmosis
Cytomegalovirus
Pemeriksaan HIV, sifilis, dan serologi rubella
Biakan darah ibu untuk mencari Listeria
Biakan dari sekret serviks dan vagina
Yang dilakukan setelah kelahiran dari janin yang mati
3. Pemeriksaan janin mati
a. Pemeriksaan fisik
Berisi tentang pemeriksaan fisik yang rinci dari janin dan plasenta
Pemeriksaan ini harus dilakukan segera setelah kelahiran janin yang mati, dan dapat dilakukan oleh dokter atau bidan yang menolong persalinan atau ahli anak yang menangani janin. Termasuk didalamnya :
a.1. Pemeriksaan umum.
a.1.a keadaan janin dalam keadaan masih segar atau sudah mengalami maserasi
a.1.b berat badan, umur kehamilan, berat untuk umur kehamilan sesuai atau tidak.
a.1.c pengukuran : lingkar kepala, dada, perut; panjang kepala-tumit; kepala-pinggang; kepala-kaki
a.1.d warna dari vernik putih atau berwarna mekonium; adakah lesi pada kulit berupa vesikel dll.
a.2. Pemeriksaan pada kepala dan wajah
a.2.a penampakan umum dari kepala dan wajah ada kelainan atau tidak
a.2.b hubungan kuantitatif antara bagian-bagian tubuh
a.2.b.1. apakah jarak kepala- wajah secara kasar sesuai lingkar kepala. Rasio ini dapat mengindikasikan adanya hidrosefalus atau mikrosefalus
a.2.b.2. apakah jarak antar cantus mata sesuai dengan lingkar kepala. Rasio ini dapat mengindikasikan adanya hipo atau hipertelorisme
a.2.b.3. apakah terdapat letak telinga yang abnormal. Letak telinga yang normal adalah tinggi sekital pangkal hidung dengan aksis yang vertikal.
a.2.c. pemeriksaan kelainan structural yang nampak
a.2.c.1. anterior (hidung yang rata, mata kecil, adanya celah bibir, celah palatum, mulut kecil, dll)
a.2.c.2. posterior ( anencephalus, encephalocele, dll)
a.3. Pemeriksaan leher
a.3.1. apakah pendek
a.3.2. akakah terdapat hygroma kistik
a.3.3. apakah terdapat meningomyelokel
a.4. Pemeriksaan badan
a.4.1. perhatikan adakah edema, distensi abdomen.
a.4.2. apakah ada kelainan-kelainan spesifik seperti :
ventral terdapat omphalocele, hernia umbilicus, gastroschisis, diastesis rekti
dorsal terdapat rakitis, meningokel, meningomyelokel
insersi tali pusat apakah insersinya normal,jumlah pembuluh darah
genetalia eksternal apakah ada. Kalaupun ada apakah hermaprodit atau adakah kelaian ukuran pada penis, skrotum, clitoris, labia, vagina.
anus apakah ada atau tidak.
a.5. Pemeriksaan ekstremitas
a.5.1. secara umum mempunyai panjang yang normal atau tidak.
a.5.2. apakah mempunyai kelainan spesifik.
b. otopsi
Otopsi secara menyeluruh harus dilakukan pada setiap kematian janin. Otopsi juga disarankan untuk dilakukan walaupun penyebab kematian janin telah jelas. Apabila orang tua tidak menyetujui adanya otopsi menyeluruh, dapat dilakukan otopsi yang terbatas.
Otopsi yang dilakukan pada kasus kematian janin dapat menyediakan keterangan tentang:
Penyebab kematian
Menyediakan informasi bagi orangtua tentang kehamilan di kemudian hari.
Menyediakan informasi bagi saudara yang hidup.
Otopsi yang terbatas terdiri dari :
A. Pemeriksaan luar oleh ahli forensik dengan
1. Pengukuran :
Berat badan
Jarak kepala-bokong
Kepala tumit
Panjang tungkai
Jarak antar putting susu
Lingkar dada
Lingkar perut
Jarak antar lingkar pupil
2. Pemeriksaan mekonium yang berasal dari
axilla
lipat paha
bawah kuku jari
B. Fotografi klinik yang terdiri dari
AP seluruh badan termasuk pinggang
PA seluruh pinggang termasuk pinggang
Foto lateral dari wajah
Foto frontal close up wajah
Foto seluruh bagian yang terdapat kelainan
C. Pemeriksaan radiologi
Terdiri dari :
Babygram
Radiology dari janin mati berguna dalam mencari dan mendokumentasikan kelainan (khususnya pada tulang) yang tidak terdeteksi dengan pemeriksaan fisik.
Foto AP
Foto lateral kepala
Foto pada bagian yang terdapat kelainan
Foto yang lebih merinci berguna bagi janin mati yang pendek termasuk foto AP, lateral pinggang dan foto AP tangan.
Ultrasonografi:
Pemeriksaan ultrasonografi lebih berguna ketika dilakukan pada antenatal daripada setelah kelahiran janin.
D. biopsy jaringan yang berasal dari :
Kulit/tendon untuk pemeriksaan sitogenetik
Hepar untuk pemeriksaan apakah terdapat infeksi dan penyakit-penyakit metabolisme
Rongga tubuh untuk mengkonfirmasikan lokasi organ tubuh
Sampel organ kecuali SSP
Sampel organ termasuk SSP
4. Pemeriksaan tali pusat
Panjang dalam cm
Jumlah pembuluh darah
Penampakan tali pusat apakah tebal, tipis
Lilitan tali pusat.
Contoh darah dari tali pusat yang hanya dimungkinkan pada janin yang masih segar. Terdiri dari :
a. Pemeriksaan darah rutin, golongan darah, tes antibodi direct
b. Pemeriksaan sitogenetik apabila terdapat tanda-tanda :
Malformasi kongenital lewat ultrasonografi atau pemeriksaan janin yang mati
Hidrops foetalis
IUGR yang berat
Kelainan cairan amnion
Hermaprodit
Riwayat orangtua dengan
1. Abortus yang berulang
2. Kematian janin terdahulu yang tidak jelas sebabnya
3. Kematian neonatal terdahulu yang tidak jelas sebabnya
4. Anak terdahulu mempunyai kelainan kongenital
c. Kultur untuk mencari Listeria dan untuk memastikan infeksi adalah penyebab kematian janin.
5. Pemeriksaan plasenta
Apusan bawah selaput amnion
Pemeriksaan plasenta yang dikirimkan dalam keadaan
Segar
Dalam larutan faali
Dalam formalin (khususnya untuk pemeriksaan sitogenetik)
Kegunaan dari pemeriksaan plasenta adalah :
1. Infeksi bakteri intra uterin
2. Penurunan aliran darah pada plasenta
3. Penolakan system immum ibu terhadap janin
Apabila setelah pemeriksaan diatas tetap tidak dapat menemukan jawabannya, dapat dilakukan tes-tes dibawah ini :
Pemeriksaan antiphospholipid antibodi
Pemeriksaan untuk mencari penyakit trombophilia seperti:
1. Factor V Leiden
2. Defisiensi protein S
3. Defisiensi protein C
4. Defisiensi antitrombin
5. hiperhomosisteinemi
( beberapa penulis tidak setuju apabila pemeriksaan ini dilakukan pada setiap kasus IUFD. Karena terdiri dari beberapa pemeriksaan yang mahal. Pemeriksaan ini lebih dipikirkan untuk dilakukan pada pasien-pasien dengan riwayat mempunyai trombosis vena, riwayat keluar dengan trombosis vena, infark plasenta, preeklamsi berat yang terjadi pada semester kedua dan awal trimester ketiga, solusio plasenta serta IUFG. Apabila pemeriksaan in dilakukan, hasil yang akurat didapatkan beberapa bulan postpartum)
Apabila dicurugai dapat tuberculosis sebagai faktor penyebab, dilakukan tes tuberkulin pada ibu
6. Pemeriksaan sitogenetik
Penatalaksaan pada kehamilan berikutnya
Kemungkinan untuk kehamilan normal setelah 3 kali kehilangan kehamilan adalah 30 %, 25 % setelah 4 kali kehilangan kehamilan serta 5% setelah 5 kali kehilangan kehamilan.2 Apabila, problem kesehatan ditemukan, tindakan dokter harus lebih ketat. Sebagai contoh, kontrol ketat gula darah pada masa-masa konsepsi dapat menurunkan resiko terjadinya kelainan kongenital pada janin. Konseling sebelum terjadinya kehamilan sangat menolong apabila ditemukan adanya kelainan kongenital atau kelainan genetik. Skrining genetik disertai dengan pemeriksaan ultrasonografi secara detail dilakukan untuk mengevaluasi kehamilan selanjutnya.
Kematian jann yang belum jelas penyebabnya, adalah suatu masalah. Pemeriksaan biophysical profile atau pemeriksaan denyut janyung janin dapat dikombinasikan dengan maternal kick counts test pada usia kehamilan trimester ketiga.
BAB III
RANGKUMAN
Pada faktanya, pasangan sehat yang melakukan koitus secara regular tanpa memakai alat kontrasepsi hanya mempunyai peluang berkisar 25-30 % untuk terjadinya suatu kehamilan.
Menurut WHO maupun American College of Obstetricians and Gynecologist yang termasuk kematian janin dalam uterus adalah kematian janin dalam uterus atau neonatus dengan berat 500 gram atau lebih. American College of Gynecologist juga menyebutkan kematian janin dalam uterus adalah kematian hasil konsepsi yang berlangsung pada umur kehamilan 22 minggu atau lebih.
Pada tahun 2003, menurut data dari The National Center for Health Statistics menyebutkan bahwa rata-rata kematian janin adalah 6,9 kematian dalam 1000 kelahiran. Untuk tingkat dunia, rata-rata kematian janin ini bervariasi, tergantung pada kualitas dari pelayanan kesehatan yang tersedia dan definisi mana yang digunakan untuk menyatakan kematian janin tersebut.
Kematian pada trimester kedua dan ketiga
Kematian janin pada trimester kedua dan ketiga dapat disebabkan oleh beberapa sebab. Dapat dibagi menjadi :
Penyebab dari ibu
Penyebab dari janin
Penyebab dari plasenta
Secara klinik, kematian janin harus dicurigai bila pasien melaporkan tidak ada gerakan janin terutama kalau rahim tetap kecil meski sudah mencapai tanggalnya.
Pada pemeriksaan fisik, tidak ditemukannya detak jantung janin menandakan adanya kematian janin dalam kandungan. Akan tetapi tidak ditemukannya detak jantung janin bukan merupakan alat diagnostik yang tepat dan harus dikonfirmasikan dengan menggunakan pemeriksaan ultrasonografi. Ultrasonografi dapat memastikan kurangnya gerakan janin dan tidak adanya aktivitas jantung janin. Bila lewat dari waktu yang cukup, kolaps tubuh janin dengan tulang cranial yang tumpang tindih dapat dilihat dengan foto sinar X atau ultrasonografi.
Menurut alogaritma yang telah dimodifikasi dari Wisconsin Stillbirth Service (WSS, 1994) dan draf dokumen Alberta yang berjudul Investigation of Stillbirths Protocol (1998), terdapat suatu panduan penatalaksanaan kematian janin untuk pencarian penyebab kematian yang terdiri dari 6 langkah, yaitu:
Riwayat penyakit ibu dan riwayat keluarga
Pemeriksaan ibu
Pemeriksaan janin mati
Pemeriksaan tali pusat
Pemeriksaan plasenta
Pemeriksaan sitogenetik
Kemungkinan untuk kehamilan normal setelah 3 kali kehilangan kehamilan adalah 30 %, 25 % setelah 4 kali kehilangan kehamilan serta 5% setelah 5 kali kehilangan kehamilan. Apabila, problem kesehatan ditemukan, tindakan dokter harus lebih ketat.
DAFTAR PUTAKA
1. Kliman H, McSweet J, Levin Y, Fetal death : etiology and pathological findings, 2000, diakses tanggal 14 agustus 2006 dari
http://www.med.yale.edu/obgin/kliman/placenta/articles/UpToDate.html2. Lindsey J, Fetal death, 2000, diakses tanggal 14 agustus 2006 dari
http://wwwemedicine.com/MED/topic3235.htm3. Stephansson O, Dickman P, Johansson A, Kieler H, Cnattingius S, Time of Birth and Risk of Intrapartum and Neonatal Death, diakses tanggal 10 September 2006 dari http://www.pauldickman.com/publications/ time of birth and risk of intrapartum and neonatal death.pdf
4. British Columbia Reproductive Care Program, Perinatal Mortality Guideline 5, Investigation and Assessment of Stillbirths, 2000 , reveied 2005 diakses tanggal 18 agustus 2006 dari http://medscape.com/medline/abstract/146263025. http://cmc.cuk.ac.kr/rad/text/07%BA%F1%B4%A2%BB%FD%BD%C4%B1%E2%B0%E8/page_04.htm6. 2005 American Medical Association :Chicago, IL., Recurrent Pregnancy Loss, 2004, Revised 15 Februari 2006, diakses 16 januari 2006 dari
http://66.102.7.104/search?q=cache:1Q64tRq-84MJ:www.cigna.com/health/provider/medical/procedural/coverageposition/medical/mm 0284 coveragepositioncriteria recurrent pregnancy loss.pdf+%22Intrauterine+Fetal+Death%22%22diagnosis%22%22paper%22&hl=id&gl=ID&ct=cink&cd=8
7. Cunningham F, Macdonald P, Gant N, Dalam : Williams Obstetrics, Edisi ke-18, Hypertensive Disorders in Pregnancy penyunting. Appleton &Lange, 1989 :653-694
8. Cunningham F, Macdonald P, Gant N, Dalam : Williams Obstetrics, Edisi ke-18, Connective-Tissue Disorders penyunting. Appleton &Lange, 1989 :839-841
9. Cunningham F, Macdonald P, Gant N, Dalam : Williams Obstetrics, Edisi ke-18, Diseases, Infections, and Injuries of the Fetus and Newborn Infant penyunting. Appleton &Lange, 1989 :593-600
10. Mabie W.C, Spontaneous abortion- Embryonic death, diakses tanggal 6 September 2006 dari http://www.obgyn.ufl.edu/ultrasound/4Gyn/1First%20TM/10Embry%20death.html11. Kanazawa, Abnormal Fetus, diakses tanggal 6 September 2006 dari http://www.kanazawa-med.ac.jp/~ryota/atlas/radio/echo/ob/ob014.jpg12. Fretts, R, Etiology and prevention of stillbirth, American Journal of Obstetrics & Gynecology 2005, 193:1923 http://www.uptodateonline.com/utd/content/image.do?file=obstpix/matern2.gif13. Thomson Healthcare Company, Still-birth-Diagnosis, Fetal death-Reports, 2001 diakses tanggal 16 agustus 2006 dari http://www.missingangelsbill.org/news/20011201.html14. Laura P. Hale, M.D. Ph.D., Pathology Core Course Spring Semester 1999, 1999, diakses tanggal 6 September 2006 dari http://pathology.mc.duke.edu/research/PTH250/image8.jpg15. Tindall V, Reid G, The management of Intra-uterine Death, dalam Progress in Obstetrics & Gynaecology, Volume 7, Editor John Studd, Churchill Livingstone, New York, 1989, hal :199-212
16. Baldwin V, Stillbirth, BC Childrens Hospital, diakses tanggal 18 agustus 2006 dari http://fn.bmjjournals.com/cgi/content/full/79/3/F223Menunggu dengan kewaspadaan
Mengerti dan memberi waktu kepada pasien
Informasi kepada pasien
Diagnosis IUFD
Induksi persalinan
Umur kehamilan 12-28 minggu
Umur kehamilan >28 minggu
Prostaglandin E2 /E1vaginal suppositoria
Servik baik
Servik jelek
Oksitosin drip
Laminaria + oksitosin drip
I/ SC tidak ada
I/ SC ada
SC
Segera terminasi kehamilan
Induksi persalinan
IUFD
Langkah 1. Riwayat penyakit ibu dan riwayat keluarga
Langkah 3.
Pemeriksaan janin mati
Pemeriksaan fisik
Otopsi
Langkah 4.
Pemeriksaan tali pusat
Langkah 2.
Pemeriksaan ibu
Langkah 5.
Pemeriksaan plasenta
Langkah 6.
Pemeriksaan sitogenetik
INFORMASI SAAT KONSELING
PAGE