I. PENDAHULUAN
Tuberkulosis merupakan penyakit yang sangat kompleks, karena sangat
efektifnya penularan, sangat istimewanya pathogenesis, dan perjalanan
penyakitnya yang kronik. Penyakit TB dapat mengenai semua sistem organ,
sehingga hampir semua disiplin medis terkait dengan penyakit ini. Penyakit ini
karena dapat mengenai semua sistem organ tidak jarang keliru didiagnosis sebagai
penyakit lain, terutama dinegara dengan prevalensi rendah. Sebaliknya dinegara
dengan prevalens tinggi seperti Indonesia, seringkali terjadi overdiagnosis. Hal ini
dikarenakan gejalanya tidak khas, perangkat diagnosis yang ada tidak sepenuhnya
memuaskan, dan pelaksanaan pemeriksaan diagnostik yang baku dan benar tidak
praktis. Jadi penyakit TB berpotensi mengarah kedua kutub ekstrim,
underdiagnosis, atau overdiagnosis, yang keduanya dapat terjadi di satu wilayah
secara bersamaan.
Menyadari akan berbagai masalah TB tersebut, para ahli dari berbagai
organisasi kesehatan dan medis yang bergerak di bidang TB merasa perlu
mengembangkan suatu panduan baku yang bila dilaksanakan dengan benar akan
menghilangkan atau paling tidak meminimallisasi kerugian dan kerusakan yang
ditimbulkan oleh manajemen TB yang tidak sesuai pedoman.
Organisasi yang mempunyai inisiatif awal diantaranya WHO, International
Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) yang biasa disebut The
Union, American Thoracic Society (ATS), CDC Amerika dan lain-lain.
Pengembangan panduan baku ini juga mendapat dukungan dari berbagai LSM
1
Internasional bidang kesehatan seperti USAID, KNCV ( Royal Netherlands
Tuberculosis Foundation), Global Fund dan lain-lain. Panduan baku ini disebut
dengan International Standarts For Tuberculosis (ISTC). Sebagaimana tuntutan
saat ini, maka penyusunan ISTC juga berdasarkan Evidence Based Medicine
(EBM). ISTC tidak dimaksudkan untuk menggantikan berbagai pedoman (Guide
Line) manajemen TB yang telah disusun secara rinci oleh masing-masing
organisasi profesi, tetapi berperan sebagai rambu-rambu minimal untuk tenaga
medis yang mengelola kasus TB. ISTC memuat hal-hal apa (what) yang
seharusnya dilakukan dokter dalam mengelola pasien TB, sedangkan pedoman
organisasi profesi berisi panduan bagaimana (how) mengelola pasien TB. ISTC
berisi 17 standar yang terdiri dari 6 standar diagnosis, 9 standar terapi, dan 2
standar kesehatan masyarakat. Naskah ISTC asli dapat dibagi menjadi 2, bagian
pertama adalah naskah singkat berisi 17 butir rasionalisasi dan EBM yang relevan.
Sebenarnya jika seorang dokter menjalankan pedoman manajemen TB yang
disusun oleh organisasi profesinya, dengan sendirinya akan selaras dengan ISTC.
Namun masalahnya masih banyak dokter yang dalam mengelola kasus TB tidak
mengikuti pedoman yang ada. Itulah mengapa diperlukan adanya panduan baku
minimal yaitu ISTC.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis complex.
B. Epidemiologi Tuberkulosis
Tuberkulosis merupakan penyebab terbesar penyakit dan
kematian di dunia khususnya di Asia dan Afrika dan sejak tahun 2005 terdapat
peningkatan yang disebabkan oleh pertumbuhan populasi di India, Cina,
Indonesia, Afrika Selatan dan Nigeria. Menurut WHO prevalens kasus
tuberkulosis tahun 2006 ada 14,4 juta kasus dan Multidrug Resistant Tuberculosis
(MDR Tuberkulosis) ada 0,5 juta kasus dengan Tuberkulosis kasus baru MDR
23.353 kasus. Jumlah total kasus Tuberkulosis baru MDR yang diobati tahun
2007 dan 2008 sekitar 50.000 kasus. Tuberkulosis kasus baru didapatkan MDR
Tuberkulosis 2% dan Tuberkulosis kasus yang telah diobati didapatkan MDR
Tuberkulosis 19%. Sebagian besar dari kasus tuberkulosis ini (95%) dan
kematiannya (98%) terjadi di negara- negara yang sedang berkembang. Di antara
mereka 75% berada pada usia produktif yaitu 20-49 tahun.
Alasan utama muncul dan meningkatnya beban tuberkulosis ini
antara lain disebabkan oleh kemiskinan penduduk, perubahan demografik dengan
meningkatnya penduduk dunia, perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi
terutama di negara- negara miskin, kurangnya pengetahuan tentang tuberkulosis,
kurangnya biaya untuk berobat, sarana diagnostik dan pengawasan kasus
3
tuberkulosis dimana terjadi deteksi dan tatalaksana kasus yang tidak adekuat, dan
terakhir adanya epidemi HIV terutama di Afrika dan Asia.
Indonesia merupakan negara dengan prevalensi tuberkulosis ke-3
tertinggi di dunia setelah China dan India.
C. Patogenesis Tuberkulosis
1. Tuberkulosis primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran nafas akan bersarang
di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang
disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin
timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang
reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah
bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama
dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer.
2. Tuberkulosis postprimer
Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian
setelah tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 14-40 tahun.
Tuberkulosis postprimer mempunyai nama yang bermacam-macam.
D. Definisi ISTC (International Standard of Tuberculosis Care)
International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) merupakan standar
yang melengkapi pedoman program penanggulangan tuberkulosis nasional
yang konsisten dengan rekomendasi WHO. Standar tersebut bersifat
4
internasional dan diperkenalkan pada bulan Februari 2006 dan direvisi
2009 serta dilaksanakan di Indonesia.
Tujuan ISTC adalah mendeskripsikan secara luas pada praktisi,
masyarakat bagaimana prosedur penatalaksanaan seseorang yang memiliki
penyakit tuberkulosis maupun yang dicurigai mengidap tuberkulosis. ISTC
sendiri memfasilitasi pada masyarakat bagaimana melayani pasien dengan
hasil sputum positif maupun negatif tuberkulosis, dan tuberkulosis
ekstrapulmoner akibat MDR-tuberkulosis, tuberkulosis dengan kombinasi
infeksi HIV dan faktor komorbid lainnya. Hal ini dilakukan untuk
mencegah penyebaran penyakit tuberkulosis dan menjaga kesehatan
masyarakat.
Penyebab utama meningkatnya beban masalah tuberkulosis antara lain
adalah :
1. Kemiskinan yang banyak terjadi pada negara berkembang
2. Kegagalan program tuberkulosis selama ini. Hal ini diakibatkan
oleh :
a. Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan
b. Tidak memadainya organisasi pelayanan tuberkulosis
(kurang terakses oleh masyarakat, penemuan kasus /diagnosis
yang tidak standar, obat tidak terjamin penyediaannya, tidak
dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang standar, dan
sebagainya).
5
c. Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan
obat yang tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah
didiagnosis)
d. Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG.
e. Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara
yang mengalami krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat.
3. Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan
perubahan struktur umur kependudukan.
3. Dampak pandemi HIV.
E. ISTC di Indonesia
Sejak sekitar 2 tahun yang lalu, ISTC mulai diperkenalkan di Indonesia.
Pada awalnya depertemen kesehatan yang berinisiatif untuk menerapkan ISTC di
Indonesia. Sebagaimana segala sesuatu hal yang “barunya” selalu mendapat
sorotan dari para pihak terkait. Pentingnya penerapan ISTC sangat nyata dan
diakui oleh berbagai organisasi profesi medis. IDAI sebagai salah satu organisasi
profesi medis yang terkait erat dalam manajemen TB anak juga mencermati dan
mengkritisi ISTC. Ada dua hal utama yang menjadi perhatian IDAI. Hal pertama
adalah bahwa ada beberapa standar baik dalam aspek diagnosis maupun terapi
yang kurang tepat untuk keadaan di Indonesia.
Hal kedua adalah dengan adanya kata standar, maka dikhawatirkan akan
mempunyai dampak hukum bila dokter dalam menjalankan profesinya tidak
sesuai dengan standar. Apalagi saat ini masyarakat yang sedang euphoria
6
reformasi yang kebablasan, cenderung mudah menuding terjadinya malpraktek
bila ada hasil pelayanan kesehatan yang tidak sesuai harapan. Belum lagi hal ini
ditunggangi oleh berbagai LSM yang melihat peluang mencari dana melalui jalur
ini.
Perlu proses yang panjang serta berbagai pertemuan dan diskusi diantara
berbagai organisasi profesi medis yang berlangsung cukup sengit dan alat dalam
rangka penerapan ISTC di Indonesia. Aspek hukum juga telah dikaji oleh para
pakar hukum dibidang kesehatan. Sebagai jalan keluar, ISTC versi Indonesia
adalah terjemahan langsung dan lengkap dari versi aslinya, namun didepannya
dicantumkan wewanti (disclaimer) yang menerangkan bahwa penerapan ISTC di
Indonesia disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Selain itu dibagian
belakang ditambahkan addendum yang berisi penjelasan perbedaan standar untuk
penerapan di Indonesia sesuai dengan asupan dari berbagai organsisasi profesi.
POINT OF INTEREST: ISTC untuk pasien anak
Standar 1:
Batuk bukan entri utama untuk TB anak
Standar 4:
Pemeriksaan dahak pada pasien anak bila memungkinkan
Standar 6:
Uji diagnostik TB pada anak yang utama adalah uji tuberkulin, foto toraks
sebagai tambahan.
7
Standar 8:
Terapi fase awal pada TB anak umumnya dengan 3 obat, bukan dengan 2
obat; pada keadaan tertentu diperluklan lebih dari 4 obat
Standar 10:
Evaluasi respon pengobatan terbaik dinilai secara klinis, foto toraks
umumnya tidak diperlukan dan dapat menyesatkan
Standar 16:
Setiap menangani pasien TB seharusnya dilakukan pelacakan; jika
mendiagnostik TB pada seorang anak maka harus dicari pasien TB dewasa
sebagai sumber penularnya (lacak sentripetal); jika menemukan pasien TB dewasa
BTA (+), seharusnya anak-anak (terutama balita) yang kontak erat dievaluasi
kemungkinan terinfeksi atau sakit TB (lacak sentrifugal).
Disclaimer
ISTC telah disepakati oleh organisasi profesi untuk diterapkan dalam
penanganan tuberkulosis di Indonesia. Meskipun demikian mengingat
keterbatasan dalam hal sarana, prasarana, dan letak geografis serta belum
meratanya sumber daya manusia dan masih terdapatnya penyulit penyakit selain
TB yang mengenai para pasien tersebut, maka dalam pelaksanaannya ISTC ini
dapat disesuaikan dengan situasi dari kondisi yang ada demi kepentingan terbaik
pasien.
8
Beberapa masukan dari Perhimpunan Dokter Spesialis untuk penerapan di
Indonesia dicantumkan sebagai addendum.
Standar Internasional Untuk Pelayanan Tuberkulosis (ISTC)
Standar Untuk Diagnosis
Standar 1
Setiap orang dengan batuk produktif selama 2-3 minggu atau lebih yang
tidak jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk tuberkulosis.
Standar 2
Semua pasien (dewasa, remaja, dan anak) yang diduga menderita
tuberkulosis paru harus menjalani pemeriksaan dahak mikroskopik minimal 2 dan
sebaiknya 3 kali. Jika mungkin paling tidak satu spesimen harus berasal dari
dahak pagi hari.
Standar 3
Pada semua pasien (dewasa, remaja, dan anak) yang diduga menderita
tuberkulosis ekstra paru, spesimen dari bagian tubuh yang sakit seharusnya
diambil untuk pemeriksaan mikroskopik dan jika tersedia fasilitas dan sumber
daya, dilakukan pemeriksaan biakan dan histopatologi.
Standar 4
Semua orang dengan temuan foto toraks diduga tuberkulosis seharusnya
menjalani pemeriksaan dahak secara mikrobiologi.
9
Standar 5
Diagnosis tuberkulosis paru sediaan apus dahak negatif harus didasarkan
pada kriteria berikut: minimal pemeriksaan dahak dan mikroskopik 3 kali negatif
(termasuk minimal 1 kali dahak pagi hari) temuan foto toraks sesuai tuberkulosis
dan tidak ada respon terhadap antibiotika spektrum luas (catatan: fluoroquinolon
harus dihindari karena aktif terhadap M. Tuberkulosis Kompleks sehingga dapat
menyebabkan perbaikan sesaat pada penderita tuberkulosis). Untuk pasien ini jika
tersedia fasilitas biakan dahak seharusnya dilakukan. Pada pasien yang duduga
terinfeksi HIV evaluasi diagnostic harus disegerakan.
Standar 6
Diagnosis tuberculosis intratoraks (yakni paru, pleura dan kelenjar getah
bening hilus atau mediastinum) pada anak dengan gejala namun sediaan apus
dahak negatif seharusnya didasarkan atas kelainan radiografi toraks sesuai
tuberkulosis dan pajanan kepada kasus tuberkulosis yang menular atau bukti
infeksi tuberkulosis (uji kulit tuberkulin positif atau interferon gamma release
assay). Untuk pasien seperti ini, bila tersedia fasilitas bahan dahak seharusnya
diambil untuk biakan (dengan cara batuk, kumbah lambung, atau induksi dahak).
Standar untuk Pengobatan
Standar 7
Setiap praktisi yang mengobati pasien tuberkulosis mengemban tanggung
jawab kesehatan masyarakat yang penting. Untuk memenuhi tanggung jawab ini
praktisi tidak hanya wajib memberikan paduan obat yang memadai tapi juga harus
10
mampu menilai kepatuhan pasien kepada pengobatan serta dapat menangani
ketidakpatuhan bila terjadi. Dengan melakukan hal itu, penyelenggara kesehatan
akan mampu menyakinkan kepatuhan kepada panduan sampai pengobatan selesai.
Standar 8
Semua pasien ( termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah
diobati harus diberi panduan obat ini pertama yang disepakati secara internasional
menggunakan obat yang bioavailabilitasnya telah diketahui. Fase awal seharusnya
terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol. Etambutol boleh
dihilangkan pada fase inisial pengobatan untuk orang dewasa dan anak dengan
sediaan apus darah negatif, tidak menderita tuberkulosis paru yang luas atau
penyakit ekstra paru yang berat, serta telah diketahui HIV negatif. Fase lanjutan
yang dianjurkan terdiri dari isoniazid dan rifampisin yang diberikan selama 4
bulan. Isoniazid dan etambutol selama 6 bulan merupakan panduan alternatif pada
fase lanjutan yang dapat dipakai jika kepatuhan pasien tidak dapat dinilai, akan
tetapi hal ini beresiko tinggi untuk gagal dan kambuh, terutama untuk pasien yang
terinfeksi HIV.
Dosis obat anti tuberkulosis yang digunakan harus sesuai dengan
rekomendasi internasional. Kombinasi dosis tetap yang terdiri dari kombinasi 2
obat (isoniazid dan rifampisin), 3 obat (isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid),
dan 4 obat (isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol) sangat
direkomendasikan terutama jika menelan obat tidak diawasi.
11
Standar 9
Untuk membina dan menilai kepatuhan (adherence) kepada pengobatan,
suatu pendekatan pemberian obat yang berpihak kepada pasien, berdasarkan
kebutuhan pasien, dan rasa saling menghormati antara pasien dan penyelenggara
kesehatan, seharusnya dikembangkan untuk semua pasien. Pengawasan dan
dukungan seharusnya sensitif terhadap jenis kelamin dan spesifik untuk berbagai
usia dan harus memanfaatkan berbagai macam intervensi yang direkomendasikan
serta layanan pendukung yang tersedia, termasuk konseling dan penyuluhan
pasien.
Elemen utama dalam strategi yang berpihak kepada pasien adalah
penggunaan cara-cara menilai dan mengutamakan kepatuhan terhadap panduan
obat dan menangani ketidakpatuhan bila terjadi. Cara-cara ini seharusnya dibuat
sesuai dengan keadaan pasien dan dapat diterima oleh kedua belah pihak, yaitu
pasien dan penyelenggara pelayanan. Cara-cara ini dapat mencakup pengawasan
langsung menelan obat (directly observed therapy-DOT) oleh pengawas menelan
obat yang dapat diterima dan dipercaya oleh pasien dan sistem kesehatan.
Standar 10
Semua pasien harus dimonitor responnya terhadap terapi, penilaian terbaik
pada pasien tuberkulosis ialah pemeriksaan dahak mikroskopik berkala (dua
spesimen) paling tidak pada waktu fase awal pengobatan selesai (2 bulan), pada
bulan ke lima, dan pada akhir pengobatan. Pasien dengan sediaan apus dahak
positif pada pengobatan bulan ke lima harus dianggap gagal pengobatan dan
pengobatan harus dimodifikasi secara tepat (lihat standar 14 dan 15). Pada pasien
12
tuberkulosis ekstra paru dan pada anak, respon pengobatan terbaik dinilai secara
klinis. Pemeriksaan foto thoraks umumnya tidak diperlukan dan dapat
menyesatkan.
Standar 11
Rekaman tertulis tentang pengobatan yang diberikan, respon bakteriologis
dan efek samping seharusnya disimpan untuk semua pasien.
Standar 12
Di daerah dengan prevalensi HIV tinggi pada populasi umum dan daerah
dengan kemungkinan tuberkulosis dan infeksi HIV muncul bersamaan, konseling
dan uji HIV diindikasikan bagi semua pasien tuberkulosis sebagai bagian
penatalaksanaan rutin. Di daerah dengan prevalensi HIV yang lebih rendah,
konseling dan uji HIV diindikasikan bagi pasien tuberkulosis dengan gejala
dan/atau tanda kondisi yang berhubungan dengan HIV dan pada pasien
tuberkulosis yang mempunyai resiko tinggi terpajan HIV.
Standar 13
Semua pasien dengan tuberkulosis dan infeksi HIV seharusnya dievaluasi
untuk menemukan perlu/tidaknya pengobatan anti retroviral diberikan selama
masa pengobatan tuberkulosis. Perencanaan yang tepat untuk mengakses obat anti
retroviral seharusnya dibuat untuk pasien yang memenuhi indikasi. Mengingat
kompleksnya penggunaan serentak obat anti tuberkulosis dan anti retroviral,
konsultasi dengan dokter ahli di bidang ini sangat direkomendasikan sebelum
mulai pengobatan serentak untuk infeksi HIV dan tuberkulosis, tanpa
13
memperhatikan mana yang muncul lebih dahulu. Bagaimanapun juga
pelaksaanaan pengobatan tuberkulosis tidak boleh ditunda. Pasien tuberkulosis
dengan infeksi HIV juga seharusnya diberi kotrimoksazol sebagai pencegahan
infeksi lainnya.
Standar 14
Penilaian kemungkinan resistensi obat, berdasarkan riwayat pengobatan
terdahulu, pajanan dengan sumber yang mungkin resisten obat dan prevalensi
resistensi obat dalam masyarakat seharusnya dilakukan pada semua pasien. Pasien
gagal pengobatan dan kasus kronik seharusnya selalu dipantau kemungkinannya
akan resistensi obat. Untuk pasien dengan kemungkinan resistensi obat, biakan
dan uji sensitivitas obat terhadap isoniazid, rifampisin, dan etambutol seharusnya
dilaksanakan segera.
Standar 15
Pasien tuberkulosis yang disebabkan kuman resisten obat (khususnya MDR)
seharusnya diobati denga panduan obat khusus yang mengandung obat anti
tuberkulosis lini ke dua. Paling tidak harus menggunakan empat obat yang masih
efektif dan pengobatan harus diberikan paling sedikit 18 bulan. Cara-cara yang
berpihak kepada pasien disyaratkan untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap
pengobatan. Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang berpengalaman
dalam pengobatan paisen dengan MDR TB harus dilakukan.
14
Standar Untuk Tanggung Jawab Kesehatan Masyarakat.
Standar 16
Semua penyelenggara pelayanan untuk pasien tuberkulosis seharusnya
memastikan bahwa semua orang (khususnya anak berumur di bawah 5 tahun dan
orang terinfeksi HIV) yang mempunyai kontak erat dengan pasien tuberkulosis
menular seharusnya dievaluasi dan ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi
internasional. Anak berumur di bawah 5 tahun dan orang terinfeksi HIV yang
telah terkontak dengan kasus menular seharusnya dievaluasi untuk infeksi laten
M. tuberkulosis maupun tuberkulosis aktif.
Standar 17
Semua penyelenggara pelayanan kesehatan harus melaporkan kasus
tuberkulosis baru maupun kasus pengobatan ulang serta hasil pengobatannya ke
kantor Dinas Kesehatan setempat sesuai dengan peraturan hukum dan kebijakan
yang berlaku.
Addendum
Standar 1
Untuk pasien anak selain gejala batuk, entri untuk evaluasi adalah berat
badan yang sulit naik dalam waktu kurang lebih 2 bulan terakhir atau gizi buruk.
15
Standar 3
Sebaiknya dilakukan juga pemeriksaan foto toraks untuk mengetahui ada
tidaknya TB paru dan TB milier. Pemeriksaan dahak juga dilakukan, bila
mungkin pada anak.
Standar 6
Untuk penatalaksanaan di Indonesia, diagnosis didasarkan atas pajanan
kepada kasus tuberkulosis yang menular atau bukti infeksi tuberkulosis (uji kulit
tuberkulin positif atau interferon gamma release assay) dan kelainan radiografi
toraks sesuai TB.
Standar 8
Etambutol boleh dihilangkan pada fase inisial pengobatan untuk orang
dewasa dan anak dengan sediaan apus dahak negatif, tidak menderita tuberkulosis
paru yang luas atau penyakit ekstra paru yang berat serta telah diketahui HIV
negatif.
Secara umum terapi TB pada anak diberikan selama 6 bulan, namun pada
keadaan tertentu (meningitis TB, TB tulang, TB milier dan lain-lain) terapi TB
diberikan lebih lama (9-12 bulan) dengan paduan OAT yang lebih lengkap sesuai
derajat penyakitnya.
Standar 10
Respon pengobatan pada pasien TB milier dan efusi pleura atau TB paru
BTA negatif dapat dinilai dengan foto toraks.
16
Standar 17
Pelaksanaan pelaporan seharusnya difasilitasi dan dikoordinasikan oleh
dinas kesehatan setempat, sesuai dengan kesepakatan yang dibuat.
17
III. PENUTUP
KESIMPULAN
1. Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis dengan gejala yang sangat bervariasi.
2. Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu
gejala lokal dan gejala sistemik.
3. Alasan utama muncul dan meningkatnya beban tuberkulosis ini antara
lain disebabkan oleh kemiskinan penduduk, perubahan demografik
dengan meningkatnya penduduk dunia, perlindungan kesehatan yang
tidak mencukupi terutama di negara- negara miskin, kurangnya
pengetahuan tentang tuberkulosis, kurangnya biaya untuk berobat,
sarana diagnostik dan pengawasan kasus tuberkulosis dimana terjadi
deteksi dan tatalaksana kasus yang tidak adekuat, dan terakhir adanya
epidemi HIV terutama di Afrika dan Asia. Indonesia merupakan
negara dengan prevalensi tuberkulosis ke-3 tertinggi di dunia setelah
China dan India.
4. International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) merupakan
standar yang melengkapi pedoman program penanggulangan
tuberkulosis nasional yang konsisten dengan rekomendasi WHO.
Standar tersebut bersifat internasional dan diperkenalkan pada bulan
Februari 2006 dan direvisi 2009 serta dilaksanakan di Indonesia.
5. Tujuan ISTC adalah mendeskripsikan secara luas pada praktisi,
masyarakat bagaimana prosedur penatalaksanaan seseorang yang
18
memiliki penyakit tuberkulosis maupun yang dicurigai mengidap
tuberkulosis. ISTC sendiri memfasilitasi pada masyarakat bagaimana
melayani pasien dengan hasil sputum positif maupun negatif
tuberkulosis, dan tuberkulosis ekstrapulmoner akibat MDR-
tuberkulosis, tuberkulosis dengan kombinasi infeksi HIV dan faktor
komorbid lainnya. Hal ini dilakukan untuk mencegah penyebaran
penyakit tuberkulosis dan menjaga kesehatan masyarakat.
6. ISTC memuat hal-hal apa (what) yang seharusnya dilakukan dokter
dalam mengelola pasien TB, sedangkan pedoman organisasi profesi
berisi panduan bagaimana (how) mengelola pasien TB. ISTC berisi 17
standar yang terdiri dari 6 standar diagnosis, 9 standar terapi, dan 2
standar kesehatan masyarakat.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo A.W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M.K., dan Setiati S
(eds). 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Hal : 988-1000.
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2006. Pedoman Diagnosis
dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta : Indah Offset
Citra Grafika.
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI). 2007. Pedoman
Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Departemen Kesehatan
Republik Indonesia
4. Martini, T. 2010. Standar Internasional Untuk Penanggulangan TB.
Proseding dalam symposium TB Update 2010. Diakses dari
http://dokteraep.blogspot.com/2010/05/standar-internasional-
untuk_28.html. (29 Desember 2010)
5. TBCTA. 2009. International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) 2nd
Edition. Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. The Hauge.
6. International Standards For Tuberculosis Care 2nd Edition. 2009.
www.istcweb.org.
20
Top Related