i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayahNya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk
mendapatkan gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Jurusan Pemikiran Politik Islam
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatulllah Jakarta.
Dalam upaya memenuhi persyaratan tersebut, maka skripsi ini ditulis
dengan judul “Islam dan Negara: Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.
Selanjutnya penulis menyadari bahwa skripsi ini terdapat banyak
kesalahan, kekurangan, dan kekhilafan dalam penulisan skripsi ini. Penulis
menyadari bahwa tanpa kontribusi pemikiran, gagaran serta dorongan berbagai
pihak, sulit dibayangkan skripsi ini akan terselesaikan. Berkat dukungan dan
bantuan dari berbagai pihak, maka sebagai ungkapan rasa hormat yang dalam,
penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, MA. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat; Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils. selaku ketua Jurusan
AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. Wiwi Siti Sajorah, MA. sebagai
sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam. Beserta seluruh staf pengajar
di Jurusan Pemikiran Politik Islam, Fak. Ushuluddin dan Filsafat UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Idris Thaha M. Si Selaku pembimbing skripsi, yang dengan sabar dan
bijak terus membimbing, menasehati dan mengarahkan penulis untuk
menghasilkan karya terbaik yang penulis miliki.
ii
3. Terima kasih juga saya sampaikan kepada Pak Amsal Bahtiar, Hamid
Nasuhi, Ibu Hermawati, Masri Mansur, Chaider S Bamualim, dan Bakir
Ihsan, atas motivasinya akhirnya saya bersemangat untuk menyelesaikan
skripsi ini.
4. Ayahanda Alimuddin (Almarhum) dan Ibunda Durryiha, terimakasih
atas kasih sayang, bimbingan dan motivasi yang tak kenal henti dari
mereka berdua sehingga penulis mampu mengenyam pendidikan yang
layak untuk bekal masa depan. Sebagai wujud terimakasih, penulis
persembahkan skripsi ini untuk mereka berdua. Do’a ibu khususnya,
senantiasa penulis harapkan dalam mengarungi bahtera kehidupan ini.
Untuk mendiang ayah, semoga para malaikat tuhan sampaikan akan
kabar bahagia ini. Trima kasih juga untuk K Harto dan adik semata
wayangku Litfi Imam, teruslah berjuang sampai titik darah penghabisan.
5. Terima kasih kepada kepada orang-orang yang pernah mewarnai
kehidupanku, Aliyah, Nuri, Ratu Monesa, Devi, dan Icha. Semua orang
ini sangat berpengaruh dalam mewarnai kehidupanku. Meski semua
harus seperti ini, tapi paling tidak skripsi ini lahir atas inspirasimu.
Untuk Nuri, teruslah berjuang di IKOHI untuk membela kaum
perempuan tertindas. Untuk Icha, soga kau cepat berubah semoga sifat
ABG-mu cepat hilang. Untuk Ratu Monesa, aku tunggu novelmu
diluncurkan.
6. Terima kasih kepada kawan-kawan Madura terutama Om Idris dan Bang
Nabil, dua orang ini sangat banyak membantu dalam penyelesaian
skripsi ini. Bang Katib yang jadi tim sukses Jazuli-Atut, thanks juga
iii
motivasinya, cepat cari istri dan yang penting kecilin perutnya. Teman-
taman Formad, Mohang, Erik, rosi, hayat, Majdi, Anis, Ojan, Robet,
dan lain sebagainya, jangan pernah menyerah menghadapi kerasnya
kehidupan Jalarta.
7. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada teman-teman Forsa,
Inay, Aang, Oji, dan itay. Teman PST Tarbiyah, Ayu, Tika, Tuhfah,
Wieji, Reni, Alimah, dan Ivah. Semuanya kau adalah bagian inspirasiku.
Kritik dan Saran yang sifatnya konstruktif sangat penulis harapkan.
Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya,
dan bagi masyarakat pada umumnya. Akhirnya hanya do’a jualah yang
dapat penulis mohonkan kepada Allah SWT. Semoga senantiasa
membimbing langkah kita menuju masa depan yang lebih baik. Amin.
Jakarta, 20 Desember 2007
Penulis
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………… i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………….... iv
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………. 1
A. Latar Belakang Masalah …………………………………………………. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……………………………………...5
C. Tujuan Penelitian …………………………………………………………..6
D. Metodologi Penelitian …………………………………………………….6
E. Sistematika Penyususnan …………………………………………………7
BAB II BIORAFI BAHTIAR EFFENDY……………………………………....9
A. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pendidikan ………………………….9
B. Karya Tulis Ilmiyah ……………………………………………………..12
C. Bahtiar Effendy dan Pemikirannya ……………………………………...20
BAB III DINAMIKA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA ………………24
A. Pertautan antara Islam dan Negara……………………………………….24
B. Ketegangan di Seputar Islam dan Negara………………………………..27
C. Islam Sebagai Kekuatan Ideologi Politik di Indonesia…………………..35
D. “Penjinakan” Islam oleh Negara…………………………………………43
1. Zaman Orde Lama …………………………………………….. 44
2. Zaman Orde Baru ………………………………………………..46
BAB IV PANDANGAN BAHTIAR EFFENDY TENTANG HUBUNGAN
ISLAM DAN NEGARA DI INDONESIA …………………………………… 50
A. Pergeseran Paradigma Hubungan Islam dan Negara ……………………50
1. Generasi Baru Intelegensia Muslim ..................................................... 51
2. Keterlibatan Dalam Birokrasi ………………………………………...59
3. Gerakan Transformasi Sosial …………………………………………61
B. Melemahnya Kooptasi Negara atas Politik Islam ………………………..64
v
1. Panggung Politik Umat Islam ………………………………………...65
C. Arah Baru Hubungan Islam dan Negara ………………………………….67
1. Penerimaan terhadap Demokrasi …………………………………….. 68
2. Islam dan Negara: Menuju Hubungan yang Integratif ………………..73
D. Catatan Kritis ……………………………………………………………. 75
BAB V PENUTUP ……………………………………………………………...76
A. Kesimpulan ……………………………………………………………...76
B. Saran-saran ………………………………………………………………77
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………..79
vi
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Hubungan antara Islam dan Negara merupakan persoalan yang hingga kini
masih menjadi perdebatan aktual sebagian besar masyarakat Muslim Indonesia.
Perdebatan ini sebenarnya merupakan bagian dari masalah yang lebih besar
tentang dimana posisi agama dalam Negara. Dalam hal ini, Islam sebagai agama
yang mayoritas dianut masyarakat Indonesia mempunyai kepentingan lebih besar
ketimbang agama-agama lainnya. Salah satu alasan yang sering dikemukakan
karena Islam terlanjur dipercaya pemeluknya sebagai petunjuk bagi seluruh
kehidupan sosial maupun politik.
Di samping itu, pembahasan dan perdebatan di seputar hubungan agama
dan negara tampaknya tidak akan pernah berakhir dalam sejarah kehidupan
manusia. Banyak peneliti, baik dari kalangan Indonesianis maupun dari Indonesia
yang telah melakukan kajian dan studi serius mengenai keterkaitan agama dan
negara. Secara garis besar, perbincangan tentang hubugan antara agama dan
negara telah melahirkan tiga ‘blok’ besar dalam kalangan peneliti.
Pertama, ‘blok’ kontra yang dengan tegas menolak adanya hubungan
antara agama dan negara. Aliran ini beranggapan bahwa agama dan negara
merupakan dua hal yang berbeda dan bertolak belakang. Agama sama sekali tidak
membicarakan persoalan negara dengan jelas. Kelompok ini disebut sebagai
kalangan sekuler. Kedua, ‘blok’ yang mengatakan agama dan negara mempunyai
kaitan erat yang tidak dapat dipisahkan. Golongan blok ini sering disebut kaum
vii
formalis. Ketiga, ‘blok’ yang mengambil jalan tengah yang mencoba mencari titik
temu antara kedua blok di atas.1
Terlepas dari perdebatan blok-blok di atas, Islam sebagai agama yang
sejak awalnya menekankan bahwa wahyu Allah itu memiliki keterkaitan yang erat
dengan berbagai persoalan kehidupan, maka dalam perjalanan sejarah masyarakat
muslim tidak pernah lepas dari masalah ini. Hal ini juga akan semakin rumit
ketika dalam kenyataannya mendudukkan antara Islam dan negara dalam
kehidupan sosial tidaklah gampang.
Banyak faktor yang membuat rumusan atau pola hubungan antara Islam
dan negara tidak mudah. Pernah dalam tahapan sejarah, faktor tersebut
dirumuskan dalam istilah-istilah seperti belum diterimanya Islam secara utuh;
sekuler; ketakutan terhadap Islam, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, ada
sebagian orang Islam berpandangan bahwa beberapa faktor yang turut
mempersulit terwujudnya hubunga Islam dan Negara yang harmonis berasal dari
sisi ‘dalam’ masyarakat Islam itu sendiri.
Meskipun kecenderungan seperti itu banyak mendapat dukungan dari
berbagai kalangan, namun tidak sedikit pula yang menganggap faktor ‘dalam’
tersebut bukan sebagai persoalan. Harus diakui, hampir semua orang Islam
sepakat bahwa Islam itu satu, tetapi penafsiran terhadap semua dimensi ajaran
Islam tidaklah tunggal. Beragam potret aliran maupun mazhab baik dalam soal
fikih, tasawuf, ilmu kalam maupun cabang ilmu Islam lainnya, merupakan bukti
1Idris Thaha, Mendamaikan Agama dan Negara dalam Azyumardi Azra, Reposisi
Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antarumat (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), Cet. I, h. viii.
viii
bahwa Islam tidaklah monolitis.2 Inilah yang sebenarnya menjadi salah satu faktor
kunci sulitnya mengurai hubungan antara Islam dan Negara.
Kompleksitas penafsiran terhadap hubungan antara keduanya akan terus
menajadi perdebatan mengingat kenyataan bahwa Islam tidak mungkin bisa
diterjemahkan dalam bentuknya yang tunggal. Meskipun ada benang merah yang
menghubungkan penafsiran antara keduanya, namun dalam mempraktikkan dalam
kehidupan sehari-hari sangatlah bervariasi.
Dengan kata lain, multiinterpretasi tentang Islam memang telah menjadi
sesuatu yang tidak bisa dihindarkan dan bahkan menjadi keniscayaan sejarah. Hal
inilah yang membedakan antara Islam dengan agama lain seperti agama kristen
yang mengenal sistem kependetaan. Dalam Islam, setiap muslim memiliki hak
dan otoritas dalam memahami agamanya. Karena kebenaran absolut hanya milik
Allah, maka tak seorangpun berhak mengklaim bahwa pemahamannya paling
benar dan otoritatif dibanding yang lain.
Demikian lenturnya Islam, sehingga seringkali menimbulkan dilema
termasuk dalam munculnya bebagai pemikiran dan pemahaman tentang Islam
yang tidak saja berbeda, namun juga bertolak belakang bahkan berbenturan.
Dalam konteks penafsiran hubungan antara Islam dan politik misalnya,
terjadi perbedaan pendapat yang sangat signifikan dalam umat Islam. Ada yang
mengatakan Islam dan politik tidak dapat dipisahkan. Gagasan lainnya
mengatakan Islam dan negara merupakan dua entitas yang terpisah dan harus
dipisahkan. Sedangkan pandangan yang paling moderatpun juga ada. Pandangan
moderat menegaskan, meski Islam dan politik merupakan persoalan yang berbeda,
2 Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politk Islam: Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara yang Tidak Mudah (Jakarta: Uhsul Press, 2005), h. 21.
ix
namun keduanya mempunyai kaitan yang sifatnya substansial yang akan selalu
ada.3 Tiga tipologi pemikiran inilah yang sampai saat ini menjadi patokan untuk
menjelaskan dimana seharusnya posisi agama (Islam) dalam negara.
Bahtiar Effendy, merupakan salah satu tokoh yang turut meramaikan
perdebatan relasi Islam dan negara. Banyak karya dan buku telah diterbitkannya
sebagai bagian kepedulian dan kontribusinya dalam mencari jalan keluar dari
kebuntuan perdebatan yang sudah memakan waktu ratusan tahun itu. Buku-buku
Bahtiar Effendy yang secara tegas mengupas hubungan antara Islam dan Negara
bisa dilihat dalam Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia.
Buku Islam dan negara ini merupakan buku yang secara lugas membahas
hubungan politik Islam dan negara di Indonesia. Menurut Bahtiar Effendy,
hubungan politik Islam dengan negara mengalami jalan buntu. Baik ketika
Suekarno mapun rezim Sueharto berkuasa. Kedua rezim tersebut memandang
Islam politik maupun partai-partai politik yang berlandaskan Islam sebagai
pesaing potensial kekuasaan yang dapat merobohkan landasar negara, Pancasila.4
Buku lain Bahtiar Effendy yang tegas menyajikan kekurang harmonisan
hubungan Islam dan Negara yaitu, Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama,
Negara, dan Demokrasi. Buku yang bertebal 294 itu memaparkan ketegangan
yang terjadi antara politik Islam dan negara sepanjang Soekarno dan Soeharto
menjadi Presiden. Tidak hanya itu, buku ini juga menyajikan berbagai pandangan
Islam kaum muda reformis yang mencoba meredam aura Islam ideologis. Salah
3 Effendy, Jalan Tengah Politk Islam, h. 6. 4 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam
di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), cet I, h. 2.
x
satu tokoh muda itu adalah Nurcholis Madjid dengan gagasan segarnya Islam Yes,
Partai Islam, No.
Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara yang
Tidak Mudah juga merupakan buku lain Bahtiar Effendy yang membahas secara
jelas dan tajam tentang pemikiran politik Islam di Indonesia. Buku ini juga
mengkaji dan mengangkat tema politik yang tidak akan pernah berhenti dan habis
dibahas para pemikir dan praktisi politik seputar hubungan Islam dan dunia
politik. Selain itu, buku ini juga merekam berbagai peristiwa politik di Indonesia
yang berkaitan dengan masalah agama dan politik. Misalnya tentang proses
transisi demokrasi, pembentukan partai politk, pemilihan umum, etika politk, dan
lain sebagainya.
Selain itu, masih banyak buku lain Bahtiar Effendy yang mengupas secara
tegas pasang surutnya hubungan Islam dan Negara. Di antar buku tersebut yaitu,
Gus Dur dan Pupusnya Dwi Tunggal: Retaknya hubungan NU, Presiden, dan
Negara, Repolitisasi Islam: Pernahkan Islam Berhenti berpolitik? dan Islam in
Contemporary Indonesian Politics.
Pandangan kritis inilah yang menarik perhatian penulis untuk memahami
lebih tajam hubungan Islam dan Negara menurut Bahtiar Effendy. Di samping itu,
penulis juga akan mencoba mencari letak berdirinya Bahtiar Effendy dalam tiga
aras besar pemikiran tentang hubungan Islam dan negara. Untuk itu, penulis
tertarik mengkajinya melalui skripsi yang berjudul: “Hubungan Islam dan Negara:
Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy.”
xi
B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH
Agar pembahasan mengenai hubungan Islam dan Negara tidak terlalu
melebar, penulis akan membatasi pembahasan ini pada konsep Hubungan Islam
dan negara yang ditawarkan Bahtiar Effendy dengan mengurai beberapa teori dan
perspektif yang diajuakannya.
Dengan pembatasan masalah seperti itu, maka permasalahan yang akan
menjadi objek dan fokus penulisan ini adalah bagaimana hubungan Islam dan
Negara menurut Bahtiar Effendy.
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami secara jelas
rumusan ideal yang ditawarkan Bahtiar Effendy soal hubungan Islam dan Negara.
Serta melakukan alisis kritis terhadapnya. Sementara kegunaan penelitian ini
adalah untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut:
1. Mengetahui latar belakang Bahtiar Effendy dalam merumuskan
hubungan antara Islam dan Negara.
2. Mengetahui faktor penyebab ketegangan antara Islam dan Negara
3. Mengetahui fluktuasi hubungan Islam dan Negara baik saat orde
lama maupun orde baru.
4. Mengetahui konsep ideal tentang hubungan Islam dan Negara.
Selain itu, tujuan penulisan skripsi Hubungan Islam dan Negara ini juga
sebagai upaya menghargai karya intelektual tokoh muda yang lahir dari kalangan
internal Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan
bisa dibilang, Bahtiar merupakan salah satu sosok yang layak dikategorikan
sebagai intelektual muda yang konsen terhadap pembahasan Islam dan Negara.
xii
D. METODOLOGI PENELITIAN DAN TEKNIK PENULISAN
Dalam menyusun skripsi ini, penulis menggunakan satu metodologi
penelitian. Yaitu studi kepustakaan.
1. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan bertujuan untuk memperoleh data melalui
sumber bacaan meliputi buku-buku dan artikel yang ditulis Bahtiar
Effendy. Selain itu, studi kepustakaan ini akan diperkaya dengan
sejumlah data yang ada di media massa seperti koran, majalah, dan
jurnal yang berkaitan dengan pemikiran Bahtiar Effendy soal Islam
dan Negara.
2. Wawancara Tokoh
Sebagai data pendukung dan pelengkap skripsi, penulis
juga akan melakukan wawancara langsung dengan Bahtiar Effendy
selaku tokoh yang diangkat dalam skripsi ini. Dari wawancara ini
diharapkan mampu menemukan pemikiran orosinil Bahtiar
Effendy terkait dengan relasi Islam dan Negara.
Sementara teknik penulisan dalam karya tulis ini, analisis
data yang digunakan bersifat kualitatif dengan teknik pembahasan
deskriptif analitis yang bertujuan menggambarkan konsep ideal
hubungan Islam dan Negara menurut Bahtiar Effendy.
Tentu saja, pengumpulan data, pembahasan masalah, dan
penulisan dalam skripsi ini disesuaikan dengan standar penulisan
karya ilmiah (skripsi, tesis, dan disertasi) yang diterbitkan Center
xiii
for Quality Development and Assurance (CeQDA) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Setelah penulis memaparkan latar belakang masalah, pokok-pokok
masalah, tujuan, metode, serta sistematika penulisan, pada BAB II penulis
mencoba untuk memaparkan dengan jelas tentang riwayat hidup, latar belakang
pendidikan, karya tulis ilmiyah, serta Bahtiar Effendy dan pemikirannya
Pada BAB III, penulis akan menyajikan beberapa studi kasus soal
dinamika hubungan Islam dan negara yang meliputi pertautan Islam dan negara
serta ketegangan di sepurat hubungan Islam dan Negara di sejumlah negara Islam.
Di BAB III ini juga, penulis sudah mulai masuk pada salah satu topik inti skripsi
yaitu, Islam sebagai kekuatan ideologi politik di Indonesia, dan “Penjinakan”
Islam oleh Negara baik pada era Orde Lama maupun Orde Baru. Sedangkan Bab
IV, penulis sudah masuk pada pokok inti tulisan ini yaitu, pemaparan Bahtiar
Effendy dalam menjelaskan hubungan antara Islam dan Negara di Indonesia. Serta
bagaimana solusi yang ditawarkan dalam mengurai ketegangan di antara
keduanya.
Bab IV diawali dengan Pergeseran Paradigma Hubungan Islam dan
Negara. Pada sub pokok bahasan selanjutnya, akan dipaparkan munculnya
generasi baru intelegensia Muslim, keterlibatan dalam birokrasi, dan gerakan
transformasi sosial yang dilakukan umat Islam.
Selain itu, di bab IV ini juga akan dijelaskan tentang melemahnya kooptasi
negara atas Politik Islam yang mengantarkan pada perubahan panggung utama
politik Islam. Juga akan dibahas tentang arah baru hubungan Islam dan negara.
xiv
Bab IV ini akan diakhiri dengan catatan kritis terhadap pemikiran politik Bahtiar
Effendy. Terutama catatan kritis tentang definisi Islam dan Negara menurut
Bahtiar serta relevasnsi Islam dan Negara dalam konteks kehidupan bernegara
saat ini di Indonesia.
Sementara pada bab V, penulis menyimpulkan dari seluruh bahasan dan
masalah yang menjadi fokus kajian serta merekomendasikan sejumlah saran
terkait dengan hubungan seharusnya Islam dan negara.
xv
BAB II
BIOGRAFI BAHTIAR EFFENDY
A. RIWAYAT HIDUP DAN LATAR BELAKANG PENDIDIKAN
Bahtiar Effendy adalah dosen mata kuliah Pemikiran Politik Barat pada
Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (FUF) UIN
Jakarta. Selain itu, dia juga dosen Program Pascasarjana UIN Jakarta, Program
Pascasarjana Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Muhammadiyah Jakarta
(UMJ). Bahtiar dilahirkan di Ambarawa, Jawa Tengah, pada 10 Desember 1958.
Bahtiar memulai pendidikannya dari Sekolah Dasar (SD) dan Ibtidaiyah di
kampung kelahirannya. Setelah lulus SD dan Ibtidaiyah pada tahun 1970, dia
kemudian melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi di Pondok
Pesantren Pabelan, Mungkid, Magelang Jawa Tengah. Ketika masih duduk di
kelas enam – setingkat kelas tiga sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA)- di
Pesantren Pabelan, pada tahun 1976 hingga 1977 Bahtiar memperoleh beasiswa
American Field Service (AFS) untuk belajar di Columbia Falls High School,
Columbia Falls, Montana, Amerika Serikat. Yang menarik, Bahtiar adalah sedikit
di antara—kalau bukan satu-satunya—santri pesantren yang pernah mengikuti
program pertukaran pelajar AFS antara Indonesia-Amerika di sebuah SLTA di
Columbia Falls, Montana.
Sekembalinya dari AS, dia mengajar di Pesantren Pabelan hingga tahun
1979. Pada tahun itu juga, dia melanjutkan studi ke Fakultas Ushuluddin, IAIN
Jakarta, kini UIN Jakarta, dan menyelesaikan S-1 tahun 1985. Dengan biaya dari
xvi
Asia Foundation, antara tahun 1986-1988, dia meneruskan sekolah S-2 pada
program studi Asia Tenggara di Ohio University, Athens, Ohio, AS. Atas anjuran
Prof. R. William Liddle dan beasiswa dari Midwest University Consortium for
Internastional Activities (MUCIA), Asia Foundation, dan Departement of Political
Science OSU, dia melanjutkan pendidikannya ke Ohio State University,
Columbus, Ohio, AS. Dari Universitas inilah, Pada tahun 1994, ia meraih gelar
Doktor di bidang ilmu politik dengan menulis disertasi yang berjudul Islam and
the State: The Transformation of Islamic Political Ideas and Practices in
Indonesia. Disertasi yang berbahasa Inggris ini kemudian diterjemakah ke dalam
bahasa Indonesia dengan judul Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan
Praktik Politik Islam di Indonesia yang diterjemahkan Ihsan Ali-Fauzi dan
diterbirkan oleh Paramadina tahun 1998.
Selain itu, tahun 1998 Bahtiar menjabat sebagai Wakil Direktur Lembaga
Studi dan Pengembangan Usaha Indonesia (LSPEU Indonesia),1 juga dipercaya
menjadi Ketua Dewan Akademi Program Pascasarjana UIN Jakarta dari tahun
1999 hingga sekarang, dan Ketua Program Studi Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Jakarta (UMJ) tahun 2001-2004. Tidak hanya itu, dia juga
menjabat Deputy Director of the Institute for the Study and Advancement of
Business Ethic, 1996-sekarang.2 Di penghujung tahun 2006, Bahtiar meraih gelar
Profesornya di bidang pemikiran politik Islam dari Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat UIN Jakarta.
Selain aktif menjadi narasumber talkshow mengenai politik di beberapa
stasiun televisi, aktif menulis artikel di berbagai surat kabar dan majalah, dia juga
1Biorafi Bahtiar Effendy yang ditulis dalam bukunya Islam dan Negara. 2”Islam dan Demokrasi”, artikel diakses pada tanggal 11 November dari:
www.tokohindonesia.com.
xvii
telah mempublikasikan sejumlah buku yang dikarangnya, di antaranya yaitu: (1)
Merambah jalan baru Islam. Buku ini ditulis Bahtiar bersama Fachry Ali
(Bandung: Mizan, 1968); (2) Islam and the State: Transformation of Islamic
Political Ideas and Practices in Indonesia. Buku ini merupakan disertasi Bahtiar
untuk meraih gelar doktornya di Ohio State University yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia dengan judul Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran
dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998); (3) Re-
politisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti berpolitik?; (Bandung: Mizan, 2000);
(4) Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi
(Yogyakarta: Galang Press, 2001); (5) Masyarakat Agama dan Pluralisme
Keagamaan (Yogyakarta: Galang Press, 2001; (6) Jalan Tengah Politik Islam;
Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara yang Tidak Mudah (Jakarta: Ushul Press,
2005); (7) Gus Dur dan Pupusnya Dwi Tunggal: Retaknya Hubungan NU,
Presiden, dan Negara (Jakarta: Ushul Press, 2005) (8) Islam in Contemporary
Indonesian Politic (Jakarta: Ushul Press, 2005).
Hampir semua buku yang ditulis Bahtiar cakupan bahasannya tidak jauh dari
isu seputar kaitan politik antara Islam dan negara di Indonesia. Dalam buku-
bukunya itu, dengan gamblang Bahtiar menjelaskan fluktuasi hubungan antara
Islam dan negara sepanjang sejarah perjuangan kemerdekaan hingga munculnya
kekuasaan rezim orde baru di pentas politik nasional. Tidak berhenti di situ,
Bahtiar juga menyinggung munculnya beragam partai Islam di pentas nasional
pasca jatuhnya rezim Soeharto. Ia menilai, menjamurnya partai Islam di era
reformasi menimbulkan kontroversi mengenai keterlibatan Islam dalam politik.
Sebuah pertanyaan patut diajukan terkait menjamurnya partai Islam tersebut,
xviii
apakah fenomena maraknya partai Islam merupakan perwujudan dari hadirnya
kembali Islam di pentas politik atau hanya sekedar repolitisasi Islam? Dalam
bukunya Re-politisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti berpolitik? Bahtiar
dengan lugas membahas munculnya partai Islam sebagai kekuatan politik Islam di
era reformasi.
B. KARYA TULIS ILMIYAH
Sebagai seorang intelektual, Bahtiar tergolong sebagai tokoh yang produktif
menulis karya tulis ilmiah, baik yang berbentuk buku maupun yang berbentuk
artikel yang disajikan dalam sejumlah seminar nasional maupun internasional.
Karya-karya tulis ilmiah Bahtiar pada umumnya ditulis dalam bahasa Indonesia
dan sedikit saja yang menggunakan bahasa asing, khususunya bahasa Inggris.
Sampai saat ini, Bahtiar sedikitnya telah mempublikasikan delapan buku karya
ilmiahnya dalam bahasa Indonesia dan satu buku berbahasa Inggris yang diberi
judul Islam in Contemporary Indonesian Politic yang baru-baru ini diterbitkan
Ushul Press, Jakarta. Ketujuh buku tersebut hampir bisa dipastikan sebagian
besarnya merupakan kumpulan tulisan-tulisan Bahtiar yang dimuat di sejumlah
media massa nasional maupun internasional. Hanya beberapa buku saja yang
bukan merupakan kumpulan tulisan seperti Islam dan Negara: Transformasi
Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Teologi Baru Politik Islam,
Merambah Jalan Baru Islam, dan Masyarakat Agama dan Pluralisme
keagamamaan.
Pada tahun 1986 Bahtiar Effendy bersama Fachry Ali menulis buku
berjudul Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia
xix
Masa Orde Baru. Buku setebal 336 ini merupakan analisis sosial-historis
mengenai kondisi masyarakat Indonesia sebelum masuk dan berkembangnya
Islam hingga munculnya dinamika pemikiran Islam Indonesia. Penyelidikan
dilakukan secara hati-hati mulai awal pertautan antara Islam dengan kultur dan
kepercayaan masyarakat pribumi sampai perkembangan selanjutnya di mana
muncul pemikiran keagamaan yang menempati mainstream modernis-
tradisionalis. Kedua mainstream gerakan pemikiran ini cukup lama mewarnai
perjalanan Islam Indonesia - disertai konflik dan pertentangannya di bidang sosial,
budaya, dan politik - baik sebelum maupun sesudah berlangsungnya
kemerdekaan.
Baru pada masa Orde Baru diketengahkan arah pemikiran Islam Indonesia
dengan melihat pandangan para tokoh seperti Nurcholish Madjid, M. Dawam
Raharjo, Abdurrahman Wahid, M. Amin Rais, dan sejumlah tokoh lainnya yang
dinilai telah memudarkan dikotomi kaku antara modernis-tradisionalis. Hal ini
disebabkan kesamaan substansial di mana keduanya tidak lagi terjebak pada aspek
kecabangan (furu’iyyah) ajaran keislaman tetapi masalah universal kemanusiaan.3
Walaupun pengelompokan pemikiran konvensional seperti di atas masih
cukup terasa, paling tidak, perhatian sejumlah pemikir muda masa orde baru
menunjukkan kecenderungan yang sama terhadap pertautan pemikiran
kemanusiaan universal yang sangat berpengaruh pada masyarakat Indonesia.
Sebagai negara berkembang, Indonesia dihadapkan pada arus modernisasi,
industrialisasi, dan demokratisasi yang menuntut agar melihat kembali nilai-nilai
lama untuk dinyatakan urgensi dan relevansinya.
3 Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1986), h. 297
xx
Arah pemikiran mereka diikhtiarkan untuk menjawab pertanyaan apakah
pemahaman tentang Islam selama ini telah mampu menjawab berbagai persoalan
kemanusiaan universal, antara dunia yang terus berubah dengan hukumnya yang
profan dengan agama yang suci dan sakral? Bagaimana dampak positif jawaban
mereka terhadap bangsa Indonesia yang ikut merasakan persoalan tersebut?
Melalui pertanyaan ini, para pemikir muda masa Orde Baru mencari formulasi
pemikiran yang tepat untuk memproyeksikan masa depan umat Islam Indonesia.
Tahun berikutnya 1998, Bahtiar menerbitkan sebuah buku yang berjudul
Islam dan negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia. Buku ini merupakan terjemahan dari disertasi doktor yang
dipertahankannya tahun 1994 pada departemen Ilmu Politik, Ohio State
University, Amerika Serikat. Judul asli buku ini yaitu, Islam and the State: the
Transformation of Islamic Polical Ideas and Practice in Indonesia. Secara
khusus buku ini membahas hubungan antara Islam dan negara di Indonesia yang
sudah lama mengalami Jalan buntu baik ketika Seokarno berkuasa dengan
demokrasi terpimpinnya maupun saat Soekarno menjadi presiden dengan
demokrai pancasila. Dalam buku itu Bahtiar menjelaskan akar ketegangan
hubungan Islam dan negara. Menurutnya, akar ketegangan itu bersumber dari
artikulasi politik umat Islam yang lebih menonjolkan aspek legal formal ajaran
Islam dengan agenda utamanya menjadikan Islam sebagai agama negara.
Akibatnya, partai politik yang berasas Islam dianggap sebagai ancaman potensial
yang dapat merongrong ideologi nengara yang nasionalis. Karena alasan ini,
sepanjang lebih dari empat dekade, kedua pemerintahan tersebut mencoba
melemahkan dan menjinakkan partai Islam.
xxi
Dua tahun berikutnya (2000), Bahtiar menerbitkan tulisan-tulisannya yang
sebagian besar dimuat di media massa sejak 1995 hingga 1999. Buku yang
diterbitkan Mizan ini diberi judul Repolitisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti
Berpolitik? Dari empat bab yang ada dalam buku ini, salah satu bab terpentingnya
terdapat di bab pertama yang mengkaji tentang peran agama yang bukan saja
berkutat pada wilayah privat, melainkan agama yang mampu memberikan
jawaban atas semua persoalan yang ada. Menurut Bahtiar, berbicara tentang apa
yang terjadi pada umat Islam di Indonesia, mau tidak mau harus berbicara tentang
ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah yang selama demokrasi terpimpin
hingga tampilnya rezim orde baru kedua ormas tersebut berada di bawah tekanan.
Selain NU dan Muhammadiyah, ICMI juga merupakan ormas Islam yang kerap
dibicarakan publik. Dalam bab ini dengan jernih Bahtiar memaparkan bagaimana
ormas Islam tersebut memainkan peran penting dalam himpitan ekonomi dan
politik orde baru yang beringas. Dan menjelaskan strategi apa yang digunakan
ormas tersebut hingga pada detik-detik terakhir keberadaannya Islam tidak lagi
dimusuhi.
Yang menarik dari buku ini adalah penjelasan di bab ketiga yang secara
jelas mengupas munculnya partai-partai Islam pasca jatuhnya rezim Orde Baru.
Dalam pandangan sebagian kalangan, fenomena ini bisa dimaknai sebagai
reingkarnasi politik Islam atau yang lumrah disebut repolitisasi Islam. Penilaian
seperti itu sah saja disampaikan mengingat Islam sedari awal kelahirannya
memang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan politik.
Belum diketahui secara pasti apa yang dimaksud sejumlah kalangan
dengan fenomena repolitisasi Islam. Jika indikator yang digunakan untuk
xxii
menjelaskan repolitiasi Islam adalah munculnya sejumlah partai yang
menggunakan simbol Islam, maka tidak menutup kemungkian yang dimaksudkan
adalah munculnya kembali kekuatan politik Islam. Akan tetapi, membandingkan
apa yang muncul setelah jatuhnya Soeharto dengan apa yang pernah berkembang
pada tahun 1950-an hingga 1960-an merupakan sesuatu hal yang tergesa-gesa.
Bisa saja menjamurnya partai Islam sebagai bentuk perayaan euforia reforasmi
semata.
Sementara di tahun 2001, Bahtiar kembali menerbitkan dua buku dengan
tema yang hampir serupa: yaitu Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama,
Negara, dan Demokrasi dan Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan.
Kedua buku ini merupakan kumpulan artikel serius Bahtiar yang disampaikan di
forum ilmiah tingkat nasional, dan semuanya berbahasa Indonesia.
Dalam buku ini, Bahtiar mengawali pembahasannya hampir sama dengan
buku sebelumnya, Islam dan Negara. Menurut Bahtiar, setelah berakhirnya
kolonialisme barat pada pertengahan abad ke-20, negara Islam seperti Turki,
Malaysia, Pakistan, Maroko, Aljazair, dan Sudan mengalami kesulitan dalam
mengembangkan tesis yang memungkinkan antara Islam dan negara. Di negara-
negara tersebut, relasi Islam dan negara selalu diwarnai dengan cerita
antagonisme. Sementara di Indonesia, hubungan Islam dan negara tidak jauh
berbeda dengan sejumlah negara Islam tersebut. Untuk waktu yang cukup lama,
hubungan keduanya mandeg bahkan bersitegang.4
Dalam konteks seperti itu, buku ini hadir untuk menjelaskan mengapa
perseteruan antara Islam dan negara terjadi dalam sebuah negara yang mayoritas
4 Teologi Baru Politik Islam, Pertautan Antara Agama, Negara, dan Demokrasi
(Yogyakarta: Galang Press, 2001) h. 3-4.
xxiii
penduduknya Islam. Adakah jalan keluar yang menghubungkan politik antara
Islam dan negara yang lebih harmonis dan integratif? Pertanyaan-pertanyaan
seperti itu dijawab secara lugas dalam buku ini. Salah satu penjelasan yang paling
mungkin dicerna adalah munculnya generasi baru Islam di era 1970-an dan 1980-
an yang lebih mengedepankan agenda substantif Islam dan menolak pandangan
yang legal formaslistik. Sebagai sebuah generasi baru, gerakan pemikiran baru ini
dianggap potensial untuk membangun jembatan dan sintesis yang memungkinkan
antar keduanya. Dengan kata lain, lahirnya generasi baru Islam ini merupakan
harapan besar untuk membangun komunikasi yang mesra antara Islam dan negara.
Menunjukkan bahwa politik Islam telah menemukan bentuknya yang baru dalam
memperjuangkan agenda Islam.
Sementara dalam buku Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan
Bahtiar mengeksplorasi posisi dan peran agama dalam menghadapi persoalan
kemasyarakatan pada akhir abad ke-20. Sebuah abad yang ditandai dengan
perubahan-perubahan mencengangkan di seluruh ranah kehidupan yang lebih
dekenal dengan istilah globalisasi.
Pada posisi itu, agama tidak diletakkan sebagai sistem yang terkucilkan
yang menjadi mitos menakutkan karena mengutuk arus globalisasi, tetapi dapat
mengambil peran strategis sebagai instrumen dalam memandang dunia. Agama
secara substansial harus memberi inspirasi dalam menyelesaikan persoalan
kehidupan walaupun tidak bersifat formalistik-institusional. Keharusan ini muncul
mengingat sistem nilai agama yang tidak hanya menuntut untuk diikuti melainkan
juga mempengaruhi bahkan membentuk struktur budaya, nilai, dan norma sosial.
Artinya, pandangan dunia seseorang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai agama
xxiv
sehingga secara inheren berperan dalam setiap pembuatan keputusan baik politik
maupun ekonomi.
Oleh sebab itu, pandangan keagamaan tidak bisa dianggap hanya
beroperasi pada wilayah privat semata melainkan harus disosialisasikan guna
mengoptimalkan peran dan fungsi agama (deprivatisasi agama).5 Akibatnya,
agama perlu dikaji secara kontekstual melalui berbagai pendekatan sehingga
mampu menjawab semua persoalan masyarakat. Di sini agama mempunyai bentuk
praksis dan dinamis dengan tetap berdiri tegak di tengah arus perubahan besar dan
radikal. Globalisasi kemudian diyakini tidak serta-merta mencerabut peran dan
posisi agama dalam masyarakat mengingat agama merupakan domain nilai yang
selalu berdialog dengan kenyataan sosial.
Dua buku lainnya - yang tentu dengan tema yang hampir sama- terbit dua
tahun kemudian (2005). Kedua buku tersebut yaitu, Gus Dur dan Pupusnya Dwi
Tunggal: Retaknya Hubungan NU, Presiden, dan Negara serta buku Jalan
Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara yang Tidak Mudah,
terdiri dari sejumlah tulisan-tulisan kolom yang dimuat di media massa nasional.
Buku Gus Dur dan Pupusnya Dwi Tunggal ini mengkaji secara khusus
sepak terjang politik Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur
yang pernah menjadi presiden RI. Gus Dur dalam beberapa performa politiknya
sangat kontroversial menarik untuk dikaji dalam perspektif politik dan kaitannya
5 Deprivatize merupakan istilah yang dipinjam Bahtiar dari Jose Cassanova untuk
menunjukkan peran penting agama dalam kehidupan sosial politik seperti yang terjadi di Spanyol, Polandia, Brazil, dan Amerika. Lihat Bahtiar Effendy, Masayarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan (Yogyakarta: Galang Press, 2001) h. 6.
xxv
dengan Islam. Apalagi, Gus Dur dianggap sebagai representasi kemenangan
politik Islam di jagad politik nasional.
Dalam buku yang terdiri dari tiga bab ini, Bahtiar memulai
pembahasannya terutama soal hubungan Gus Dur dengan kyai, dan kalangan
Nahdliyin yang selama ini menjadi basis dukungannya saat bertarung dalam dunia
politik. Selain itu, Bahtiar juga membahas kebingungan politisi Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) ketika mereka berhadapan dengan kenyataan bahwa
Gus Dur harus dilengserkan di tengah jalan oleh koalisi poros tengah.
Dalam bab lainnya juga dijelaskan mengenai pertikaian Gus Dur dengan
elit politik di legislatif tentang hak interpelasi, memorandum, sidang istimewa,
dan kesukannya jalan-jalan ke luar negeri. Semua ketegangan itu dengan baik di
jelaskan dalam buku ini.
Sementara dalam buku Jalan Tengah Politik Islam, Bahtiar mencoba
menampilkan rekam jejak peristiwa politik yang berkaitan dengan masalah agama
dan politik mulai dari masalah HAM, Islam dan demokrasi, pemilihan umum,
transisi demokrasi, politisasi agama, Islam dan ekstrimisme, Islam dan kekuasaan,
dan tema-tama lainnya yang tidak kalah menarik juga dibahas dengan baik oleh
Bahtiar. Dalam buku ini, Bahtiar sekali lagi ingin menegaskan bahwa
perbincangan mengenai hubungan politik dengan agama tidak akan pernah selesai
dibicarakan banyak kalangan sepanjang masa. Tema kaitan agama dan politik
inilah yang selama ini menjadi fokus utama kajian dan pemikiran Bahtiar.
Setahun berikutnya (2006), Bahtiar menerbitkan buku yang diberi judul
Islam in Contemporary Indonesian Politic. Buku ini bisa dikategorikan sebagai
buku ilmiah pertama Bahtiar yang diterbitkan dalam bahasa Inggris, karena enam
xxvi
buku yang ditulis sebelumnya semuanya berbahasa Indonesia. Di lihat dari semua
judul yang ada dalam buku ini, tema yang dibahas Bahtiar tidak jauh dari apa
yang ditulisnya selama ini, yaitu tentang kaitan politik antara Islam dan negara
dalam konteks keindonesiaa. Seperti diulang-ulang dalam buku sebelumnya, buku
ini juga membahas kembali hubungan Islam dan politik bisa jadi merupakan
prsoalan yang membosankan. Bukan hanya karena alasannya yang tidak menarik,
melainkan juga karena artikulasi yang dibahasnya sekedar mengulang-ngulang
dari wacana yang sering dibicarakan kalangan ilmuan politik Islam.
Diawali dengan judul artikel What is Polical Islam?: An examanation of its
theoretical mapping in Modern Indonesia seolah bisa ditebak apa yang akan
disampaikan dalam tulisan ini. Tulisan yang ada dalam artikel ini sebenarnya
merupakan salah satu bab dari disertasi yang ditulisnya guna meraih gelar doktor
ilmu politik di Ohio State University. Dalam judul ini, Bahtiar memberi
penjelasan tentang beberapa garis utama teori para ilmuan politik barat yang
digunakan untuk melihat fenomena politik Islam kontemporer di Indonesia. Teori-
teori tersebut meliputi teori dekonfessionalisasi Islam, domestikasi Islam,
skismatik dan aliran, trikhotomi dan Islam kultural, dan teori Islam kultural.6
C. BAHTIAR EFFENDY DAN PEMIKIRANNYA
Secara umum buku yang ditulis Bahtiar Effendy membahas tema yang
selama ini menjadi konsentrasi keilmuannya dalam bidang politik khususnya
tentang hubungan antara Islam dan negara dalam konteks Keislaman dan
Keindonesiaa. Seperti diakuinya, berbicara tentang kaitan Islam dan negara bisa
6 Idris Thaha, Book Review Bahtiar Effendi dalam Jurnal Studia Islamika Pusat
Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, 2006, h. 333-336.
xxvii
saja merupakan sesuatu yang membosankan. Bukan karena masalahnya yang
kurang menarik, melainkan karena artikulasi yang disampaikan dalam perdebatan
ini hanya akan mengulang apa yang telah dibahas para ilmuwan politik
sebelumnya. Meski membosankan, Bahtiar mengakui bahwa pembahasan
hubungan antara Islam dan negara merupakan sesuatu yang sangat menarik, dan
hal ini akan menjadi objek bahasan yang tidak akan kering dibahas dan tak akan
berhenti dibicarakan banyak orang. Pembahasan mengenai hubungan Islam dan
negara akan terus menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan. Dengan demikian,
topik kajian Islam dan negara akan selalu muncul di tengah masyarakat yang
mayoritas penduduknya beragama Islam.
a. Islam dan Negara
Salah satu ciri khas yang menonjol dari pemikiran Bahtiar Effendy adalah
konsistensinya dalam membahas hubungan antara Islam dan negara. Sejumlah
buku telah ditulisya secara khusus mengkaji kaitan Islam dan negara. Di antara
buku yang sudah diterbitkannya dan fokus bicara kaitan Islam dan negara dan
menjadi rujukan utama penulisan skripsi ini yaitu, Islam dan Negara:
Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik di Indonesia dan Teologi Baru Politik
Islam: Pertautan Antara Agama, Negara, dan Demokrasi. Kedua buku ini secara
jalas mengupas hubungan politik antara Islam dan negara sepanjang rezim
Soekarno dan Soeharto. Dalam buku ini Bahtiar dengan baik menjelaskan
hubungan antagonisme antara Islam dan negara. Menurutnya, baik Soekarno
maupun Soeharto melihat politik Islam sebagai kekuatan utama yang potensial
dapat merobohkan kepentingan nasional. Akibat dari pandangan seperti itu maka,
xxviii
dalam setiap kebijakannya kedua kepala negara tersebut seringkali
mendiskreditkan kelompokkan Islam. Bahkan, tidak jarang politik Islam sering
dijadikan sasaran kecurigaan negara.
Bahtiar mengatakan, ketegangan antara Islam dan negara terjadi karena
para aktivis politik Islam lebih mengedepankan aspek formal legalistik dalam
memperjuangkan agenda politik mereka seperti keinginan menjadikan Islam
sebagai dasar negara. Waktu itu, kedua rezim ini memandang politik Islam sedang
dalam performa terbaiknya yang dapat mengancam landasan negara yang
nasionalis. Implikasinya, banyak partai-partai yang berlandaskan Islam sering
mendapat perlakuan tidak adil dari negara.
Ketegangan antara Islam dan negara terjadi sejak periode awal
kemerdekaan Indoneisa dimana para aktivis politik Islam saat itu dalam artikulasi
politiknya lebih mengedepankan faktor legal formalistiknya ketimbang substansi
dari ajaran Islam. Akibat dari itu semua, sepanjang sejarah orde lama dan orde
baru, politik Islam selalu menjadi sasaran kecurigaan dan peminggiran.
Ketegangan itu mereda ketika para aktivis politik Islam merubah strategi
perjuangannya dengan lebih mendahulan dimensi substasni ajaran Islam.
Akibatnya, negara perlahan mulai mengakomodasi kepentingan Islam. Tidak
hanya itu, Islam juga dianggap sebagai kekuatan yang potensial untuk memajukan
bangsa yang tidak selamanya harus dipinggirkan. Periode akomodatif ini terjadi
pada tahun 70-an bersamaan dengan munculnya generasi baru aktivis pemikiran
Islam seperti Munawir Sadjali, Nurcholis Madjid, Dawam Raharjo, Ahmad
Wahib, dan lain sebagainya.
xxix
Bahtiar tergolong penulis yang sangat selektif dan tidak menulis tema apa
saja. Meski ada tulisan yang sedikit keluar dari mainstream Bahtiar sebagai
ilmuan politik Islam seperti tentang ekonomi dan budaya, namun kajian tersebut
selalu terkait dengan pandangannya sebagai ilmuwan politik.
xxx
BAB III
DINAMIKA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA
A. Pertautan Antara Islam dan Negara
Pertautan antara Islam dan negara akan terus menjadi sorotan sekaligus
perdebatan pada level akademik maupun dalam wilayah praktis. Kompleksitas
hubungan Islam dan negara bukan satu-satunya dasar penyebab perdebatan ini,
melainkan lebih pada kenyataan bahwa Islam tidak mungkin dapat diterjemahkan
dalam bentuk yang tunggal. Perdebatan di seputar apakah Islam itu hanya sebatas
agama (din) atau Islam merupakan Negara (dawlah) sekaligus merupakan pokok
inti perdebatan dalam hubungan Islam dan negara.
Dari segi doktrin, seringkali disebutkan bahwa ajaran Islam telah
terumuskan sedemikina rupa sehingga akan selalu sesuai dengan perkembangan
zaman dan selalu “hadir di mana-mana” (omnipresence). Hal ini merupakan
sebuah pandangan yang mengakui bahwa dimanapun, kehadiran Islam akan
senantiasa memberikan pandangan moral bagi tindakan manusia. Dalam
perkembangannya, ternyata pandangan semacam ini telah mendorong sebagian
pemeluknya untuk percaya bahwa Islam mencakup cara hidup yang total.1
Sementara jika dipotret dari sudut pandang pemahaman pemeluknya, umat
Islam mempunyai latar belakang sosial yang beragam. Secara sosiologis, dapat
1 Bahkan tidak sedikit di kalangan umat Islam yang melangkah lebih jauh dan
menekankan bahwa, Islam adalah sebuah totalitas yang padu yang menawarkan pemecahan terhadap semua masalah kehidupan. Tak diragukan lagi, mereka meyakini bahwa Islam mempunyai sifat yang sempurna dan menyeluruh sehingga Islam mencakup din, dunya, dan dawlah. Bahtiar Effendy, Agama dan Politik: Mencari Keterkaitan yang Memungkinkan Antara Doktrin dan Kenyataan Empirik dalam M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru (Ciputat: Penertbit PT Logos Wacana Ilmu, 2001), cet. I, h. ix-xii
xxxi
dirumuskan secara sederhana bahwa latar belakang sosial budaya, pendidikan, dan
geografis akan berpengaruh dalam membentuk pandangan seseorang tentang
bagaimana agama dan negara seharunsya berada. Dengan kata lain, situasi
sosiologis, kultural, dan intelektual yang berbeda atau apa yang disebut
Mohammed Arkoun2 sebagai “estetika penerimaan” sangat berpengaruh dalam
menentukan bentuk dan isi pemahaman pemeluknya. Kecenderungan intelektual
yang berbeda dapat berujung pada pemahaman yang berbeda mengenai suatu
doktrin. Manifestasi dari multiinterpretasi terhadap Islam tersebut yaitu
munculnya berbagai mazhab fikih, teologi, dan filsafat Islam yang juga beragam.
Singkatnya, multiinterpretasi tentang Islam memang telah menjadi sesuatu yang
tidak bisa dihindari bahkan telah menjadi keniscayaan dalam sejarah Islam.
Dalam Islam, persoalan hubungan agama dan negara menjadi perdebatan
yang cukup hangat dan berlanjut hingga saat ini. Dalam bukunya yang berjudul
Pergolakan Politik Islam, Azyumardi Azra menuliskan, ketegangan perdebatan
mengenai hubungan agama dan negara ini diilhami oleh hubungan yang agak
canggung antara Islam sebagai agama dan Islam sebagai negara di lain pihak.
Setelah Perang Dunia II, lanjutnya, masyarakat di berbagai penjuru dunia,
khususnya masyarakat Islam, terkesan mengalami hubungan yang canggung
antara Islam dan negara atau politik pada umumnya.3
2 Mohammed Arkoun merupakan salah seorang pemikir Islam kontemporer. Ia dilahirkan
pada tanggal 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, di Kabilia, suatu daerah pegunungan berpenduduk Berber di sebelah timur Aljir. Salah satu pokok penting pemikiran Arkoun adalah pentingnya pembaruan pemikiran Islam. Bagi Arkoun, umat Islam masih belum beranjak dari pembahasan teologis-dogmatis yang kaku dan dianggap standar dan tidak boleh diperdebatkan lagi. Untuk itu, Arkoun menyarankan agar umat Islam bersedia melakukan pembahasan secara ilmiah dan terbuka dalam mempelajari dan mengungkapkan etika ajaran al-Quran yang tidak boleh dilepaskan dari konteks sejarahnya. Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) cet, I Juni 2001, h. v-ix.
3 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina) cet. I Mei 1996, h. 1.
xxxii
Kecanggungan hubungan Islam dan negara di atas bersumber dari
kenyataan bahwa agama dalam pengertian terbatas hanya berkaitan dengan unsur
ilahiah, sakral, dan suci. Sementara negara pada umumnya berkaitan dengan
bidang yang lebih profan atau keduniaan. Lebih jauh lagi, Islam dipandang tidak
pernah memberikan panduan praktis tentang ketatanegaraan.
Tentang hubungan Islam dan negara, Munawir Sjadzali menyebutkan
sedikitnya ada tiga aliran yang menanggapinya.4 Pertama, aliran yang
berpandangan bahwa Islam merupakan agama yang sempurna dan holistik
(rahmatan lil’alamin) yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia.
Penganut aliran ini meyakini Islam sebagai suatu agama serba lengkap yang di
dalamnya mencakup antara lain sistem ketatanegaraan.
Pandangan holistik terhadap Islam mempunyai implikasi yang sangat luas.
Salah satu di antaranya yaitu kecenderungan untuk memahami Islam dalam
pengertian yang literal yang hanya menekankan dimensi luarnya. Dalam
contohnya yang paling ekstrim, kecenderungan seperti ini telah menghalangi
kaum muslimin untuk dapat secara jernih memahami pesan-pesan al-Quran
sebagai instrumen ilahiah yang dapat memberikan panduan nilai-nilai moral dan
etis yang benar bagi kehidupan manusia.5
Aliran kedua beranggapan bahwa Islam tidak memiliki hubungan dengan
negara karena Islam tidak mengatur aspek kehidupan bernegara dan tata
pemerintahan. Menurut aliran ini, Nabi Muhammad hanyalah seorang Nabi
4 H. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta:
UI Press) edisi ke-5, h. 1-3 5 Bahtiar Effendy, Agama dan Politik: Mencari Keterkaitan yang Memungkinkan antara
Doktrin dan Kenyataan Empirik dalam M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru (Ciputat: Penertbit PT Logos Wacana Ilmu, 2001), cet. I, h. ix-xii
xxxiii
pembawa wahyu yang tugas utamnya mengajak manusia kembali pada kehidupan
yang dimuliakan Allah dan Muhammad bukanlah pemimpin negara.
Sedangkan aliran ketiga merupakan kelompok yang mencoba
mendamaikan kedua pandangan di atas. Aliran ketiga ini menolak anggapan
bahwa Islam merupakan sistem nilai yang serba lengkap dan mengatur hubungan
kenegaraan. Juga menolak persepsi bahwa Islam sama sekali tidak mengatur
hubungan ketatanegaraan. Menurut aliran ini, Islam memang tidak menyediakan
sistem ketatanegaraan tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan
bernegara.
B. Ketegangan di Seputar Islam dan Negara
Dalam bukunya yang berjudul Islam dan Negara, Bahtiar Effendy
mengatakan, salah satu alasan menulis buku itu karena diilhami terutama oleh
fenomena mengejutkan yang terjadi di negara-negara muslim seperti Turki, Mesir,
Sudan, Maroko, Pakistan, Malaysia, dan Aljazair tentang tidak harmonisnya
hubungan Islam dan negara. Menurutnya, sejak berakhirnya kolonialisme barat
pada pertengahan abad ke-20, negara-negara tersebut mengalami kesulitan dalam
upaya mengembangkan sintesis yang memungkinkan (viable) antara praktik dan
pemikiran politik Islam dengan negara di daerah mereka masing-masing. Di
negara-negara tersebut, jika bukan konflik hubungan politik antara Islam dan
Negara diwarnai ketegangan-ketegangan yang tajam. 6
Di Indonesia, dalam hal hubungan politiknya dengan negara, sudah lama
Islam mengalami jalan buntu baik saat Soekarno maupun ketika Soeharto
6 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam
di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998) cet. I, h. 2.
xxxiv
berkuasa. Kedua pemimpin itu memandang partai-partai politik yang
berlandaskan Islam sebagai pesaing kekuasaan yang potensial yang dapat
merobohkan landasan negara yang nasionalis. Degan alasan ini, selama empat
dekade, kedua pemerintahan tersebut berupaya untuk melemahkan dan
menjinakkan partai-partai Islam. Akibatnya, tidak saja para pemimpin dan aktivis
Islam politik gagal menjadikan Islam sebagai dasar ideologi dan agama negara
pada 1945 (menjelang Indonesia merdeka) dan lagi pada akhir 1950-an (dalam
perdebatan-perdebatan di Majelis Konstituante mengenai masa depan konstitusi
Indonesia), tetapi mereka juga mendapatkan diri mereka berkali-kali disebut
‘kelompok luar’ atau kelompok minoritas. Pendek kata, Islam politik telah
dikalahkan baik secara konstitusional, fisik, birokratis, lewat pemilihan umum
maupun secara simbolik. Yang lebih menyakitkan lagi, Islam politik seringkali
menjadi sasaran ketidak percayaan dan dicurigai sebagai anti ideologi pancasila.7
Dalam situasi seperti itu, banyak pemikir dan aktivis politik Islam
memandang negara dengan rasa curiga. Bagi mereka, negara telah menerapkan
kebijakan ganda terhadap Islam. Di satu pihak Islam dibiarkan bahkan didorong
untuk menumbuh kembangkan dimensi ritualnya, namun pada saat yang
bersamaan negara tidak membiarkan Islam berkembang secara politik.8
Banyak tokoh dan analis yang memprediksi akar terjadinya ketegangan
hubungan antara Islam dan Negara. Salah satu akar persoalan yang sering
dikemukakan yaitu tentang watak Islam yang holistik. Sudah menjadi rahasia
umum jika umat Islam percaya akan sifat Islam yang holisitk. Ada yang melihat
agama sebagai sistem peradaban yang menyeluruh. Bahkan, ada yang
7 Effendy, Islam dan Negara, h. 2-3. 8 Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Antara Agama, Negara, dan
Demokrasi (Yogyakarta: Galang Press, 2001) h. 5.
xxxv
mempercayainya sebagai agama dan negara. Pandangan semcam ini
mengindikasikan bahwa Islam tidak sekedar sistem ritus belaka. Bahkan lebih
tegas lagi, Islam tidak mengenal pemisahan antara nilai spritual dan temporal. 9
Cara pandang terhadap Islam yang holisitk semacam ini menghasilkan
dampak pemahaman keagamaan yang cenderung memahami Islam secara ‘literal’
yang hanya menekankan dimensi luarnya saja serta melupakan dimensi
kontekstual ajaran Islam tersebut. Dengan kata lain, hubungan Islam dengan
segala aspek kehidupan manusia harus dalam bentuk legal-formalistik yang
ditandai keinginan untuk menerapkan syari’ah secara langsung sebagai konstitusi
negara.
Sementara di pihak lain ada yang melihat totalitas Islam dalam dimensinya
yang lebih substantif. Pandangan substantif ini lebih mengedepankan isi dari pada
bentuk dalam melihat kehidupan sosial masyarakat Islam. Karena wataknya yang
substansialis itu kecenderungan pandangan ini menganggap syari’ah tidak perlu
diformalkan menjadi undang-undang dasar negara, yang terpenting semua aspek
hukum positif yang dijalankan negara berkesesuaian dengan prinsip ajaran Islam
yang holistik.
Menanggapi ketegangan ini Bahtiar Effendy mengatakan, pertama,
masalah hubungan politik antara Islam dan negara muncul dan berkembang dari
pandangan-pandangan yang berbeda dari kalangan pendiri Republik ini tentang
cita-cita Indonesia. Kedua, antagonisme politik antara Islam dan negara yang
tidak mesra tersebut tidak hanya muncul dari doktrin Islam itu sendiri, melainkan
juga dari bagaimana Islam diartikulasikan secara sosio-kultural, ekonomis, dan
9 Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 7-8.
xxxvi
politis. Menurut Bahtiar, adanya pandangan mengenai Islam yang legal
formalistik, memancing munculnya ketegangan-ketegangan dalam sebuah
masyarakat yang secara sosial-keagamaan sangat plural. Pada sisi lain, pandangan
Islam yang substansialistik dapat memberi landasan yang penting bagi
pengembangan sintesis yang sesuai antara Islam dan Negara, dalam rangka
membentuk kembali hubungan politik antara keduanya.10
Di Indonesia, lanjut Bahtiar Effendy, akar ketegangan hubungan politik
antara Islam dan negara tidak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan
pemahaman keagamaan yang berbeda. Awal hubungan yang antagonistik ini
dapat ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan ketika elit politik nasional
terlibat dalam perdebatan tentang kedudukan Islam di Indonesia menjelang
kemerdekaannya.11 Setelah berjuang selama empat dasawarsa merebut
kemerdekaannya, untuk pertama kalinya Indonesia mengalami masalah yang
sangat substansial seputar dasar negara. Pertanyaan yang kerap muncul yaitu, atas
dasar apakah negara yang baru merdeka ini didasarkan? Saat itu, para wakil rakyat
Indonesia terbelah atas dua kelompok. Pertama, kelompok yang menganjurkan
agar negara berdasarkan kebangsaan tanpa kaitan khas pada ideologi keagamaan
tertentu. Kedua, kelompok yang menganjurkan Islam sebagai dasar negara. Dalam
perkembangannya, kelompok pertama disebut sebagai kaum nasionalis sekuler
sedangkan kelompok kedua dikenal dengan kelompok nasionalis Islami.12
10 Effendy, Islam dan Negara, h. 15-16. 11 Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 9. 12 Nasionalis Islami menunjuk pada kalangan nasionalis yang berkomitmen pada
pandangan negara dan masyarakat harus diatur oleh Islam dalam cakupannya yang sangat luas. Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, melainkan juga mengatur soal hubungan antar sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Sedangkan nasionalis sekuler didekatkan kepada mereka yang Islam, Kristen, dan lainnya yang menginginkan pemisahan agama dari negara. H. Endang Saifuddin Anshari, M.A., Piagam Jakarta; 22 Juni 1945
xxxvii
Kedua aliran pemikiran tersebut masing-masing mempunyai akar dalam
sejarah dan perkembangan gerakan nasionalis Indonesia pada tengah pertama
abad ini. Kalangan nasionalis sekuler berpandangan bahwa perjuangan
kemerdekaan Indonesia dimulai sejak berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei
1908. Organisasi kepemudaan ini dianggap sebagai organisasi pertama di antara
bangsa Indonesia yang disusun dengan bentuk modern dan mempunyai makna
yang cukup besar. Dari gerakan Boedi Oetomo inilah, gerakan-gerakan nasionalis
sekuler lainnya muncul. Sebut saja seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai
Indonesia (Parindo), Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru), Partai Indonesia
Raya (Parindra), dan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Gerakan-gerakan ini
lahir sebagai respons atas kolonialisme dan mencita-citakan Indonesia merdeka
berdasarkan faham kebangsaan (nasionalisme).13
Dengan faham kebangsaan sebagai sentimen dan kekuatan utama,
kelompok nasionalis sekuler dengan dipelopori Soekarno, kemudian mendominasi
dan mengarahkan gerakan nasionalis Indonesia untuk merebut kemerdekaan dari
penjajah. Yang terjadi kemudian, dalam kadarnya yang lebih besar, ternyata
kelompok ini membangun panggung konfrontasi ideologi dengan kelompok
nasionalis Islami terutama dalam soal hubungan agama (Islam) dan negara dalam
sebuah negara Indonesia yang akan merdeka.
Sedangkan kelompok nasionalis Islami meyakini berdirinya Sarekat Islam
(SI) pada 16 Oktober 1905 sebagai titik tolak pergerakan nasional Indonesia.
Berbeda dengan Boedi Oetomo yang ruang lingkup gerakan awalnya tidak
mengarahkan perhatiannya pada seluruh rakyat Indonesia, SI sejak awal Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta, Gema Insani Press, 1997) cet. I, h. 8-9.
13 Saifuddin Anshari, M.A. h. 4.
xxxviii
berdirinya diarahkan kepada rakyat jelata dengan ruang lingkup Indonesia. Pada
tahun 1923 SI berganti nama menjadi Partai Sarekat Islam (PSI), kemudian pada
tahun 1927 dirubah lagi menjadi Partai Syarikat Islam Hindia Belanda (PSIHT),
dan akhirnya pada tahun 1930 menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).
Menyusul gerakan ini, pada tahun 1932 di Sumatera didirikan Persatuan Muslimin
Indonesia (Permi) dan pada tahun 1938 berdiri juga Partai Islam Indonesia (PII) di
Jawa.14 Semua partai ini berdasarkan Islam.
Menurut M. Natsir yang menjadi tokoh kunci kaum nasionalis Islami, bagi
pergerakan-pergerakan Islam seperti PSII, Permi, dan PII, kemerdekaan tidak
sekedar kemerdekaan Indonesia, melainkan juga kemerdekaan kaum muslim di
seluruh Indonesia dan sekaligus kemerdekaan Islam. Bagi Natsir, cita-cita kaum
muslim dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah untuk kemerdekaan
Islam agar kaidah-kaidah Islam dilaksanakan untuk kesejahteraan dan
kesempurnaan kaum muslimin serta segenap ciptaan Allah.15
Bahkan dalam banyak kesempatan, Natsir menegaskan bahwa tanpa Islam,
maka nasionalisme Indonesia tidak akan ada. Menurutnya, Islam pertama-tama
telah menanamkan benih-benih persatuan Indonesia dan telah menghapus
isolasionis pulau-pulau yang beragam. Sejalan dengan itu, ia juga menyatakan
bahwa orang Islam tidak akan berhenti berjuang hingga kemerdekaan diperoleh,
melainkan akan terus melanjutkan perjuangannya selama negara belum
didasarkan dan diatur menurut susunan hukum kenegaraan Islam.16
14 Saifuddin Anshari, M.A. h. 6. 15 Saifuddin Anshari, M.A. h.7-8.
xxxix
Pada awalnya, benturan antara dua kelompok ini berlangsung di sekitar
masalah watak nasionalisme dalam upaya menemukan ikatan bersama untuk
mencapai kemerdekaan Indonesia. Namun pada awal 1940-an, polemik di atas
berkembang jauh melampaui masalah nasionalisme. Polemik-polemik itu
menyentuh masalah yang lebih penting yakni mengenai hubungan politik antara
Islam dan negara. Dalam periode ini, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tidak
ada tokoh yang begitu sering terlibat dalam berbagai perdebatan kecuali Suekarno
dan Natsir.16
Dari tulisan-tulisan awalnya mengenai Islam di tahun 1940-an, dapat
diketahui bahwa Suekarno mendukung pemisahan Islam dari Negara. Dengan
tegas ia menentang pandangan mengenai hubungan legal formal antara Islam dan
Negara, khususnya dalam sebuah negara yang semua penduduknya tidak
beragama Islam. Baginya, model negara semacam itu akan menimbulkan perasaan
diskriminatif terhadap kelompok minoritas non Islam di negara tersebut.17
Kontan saja gagasan pemisahan Islam dan negara mendapat respon keras
dari aktivis dan pemikir Islam, khususnya M. Natsir. Bertolak belakang dengan
sikap Soekarno, Natsir menjadi corong utama paham penyatuan Islam dan negara.
Seperti mayoritas umat Islam yang lain, Natsir percaya akan watak Islam yang
holisitik dan hadir dalam setiap keadaan dan zaman. Natsir percaya,
16 Effendy, Islam dan Negara, h. 75. 17 Meski Soekarno beragama Islam, ia menganut faham substansialistik dengan keyakinan
bahwa, lewat perwakilan yang demokratis-karena posisinya sebagai umat yang mayoritas- Islam akan mampu menyusun dan menentukan agenda-agenda negara yang pada akhirnya akan menghasilkan rumusan-rumusan kebijakan yang diresapi nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, otentisitas ‘negara Islam’ tidak pertama-pertama diditunjukkan oleh penerimaan legal formal Islam sebagai dasar ideologi dan konstitusi negara, melainkan melalui ‘api’ dan semangat Islam dalam kebijakan-kebijakan negara. Soekarno menyatakan kembali argumen pemisahan Islam dan negara pada tahun 1945 dalam sidang BPUPKI. Dalam badan itu, bersama kelompok nasionalis lainnya, ia terlibat dalam perdebatan resmi dengan kelompok Islam untuk menemukan kompromi mengenai rumusan ideologis dan pengaturan konstitusional Indonesia merdeka. Effendy, Islam dan Negara, h. 76-77.
xl
sesungguhnya Islam lebih dari satu sistem agama saja dan merupakan kebudayaan
yang lengkap. Baginya, Islam tidak sekedar memuat praktik-praktik ibadah,
melainkan juga mengandung prinsip-prisip umum yang relevan untuk mengatur
hubungan antara individu dan masyarakat bahkan negara.
Untuk menjembatani berbagai perbedaan di antara dua kelompok tersebut
dalam merumuskan dasar negara untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia,
dibentuklah sebuah panitia kecil yang terdiri dari Soekarno, Hatta, Ahmad
Subardjo, Muhammad Yamin, Abikusno Tjokrosujoso, A. Kahar Muzakkir, Agus
Salim, A. Wahid Hasjim, dan A.A. Maramis. Panitia kecil ini menyusun sebuah
kesepakatan bersama yang dikenal dengan Piagam Jakarta. Intinya, piagam ini
mengesahkan Pancasila sebagai dasar negara dengan penambahan, bahwa sila
ketuhanannya dilengkapi hingga menjadi kalimat “Percaya kepada Tuhan dengan
kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Lahirnya
Piagam Jakarta ini dapat dipahami sebagai bentuk kompromi antar kedua kubu
yang berseberangan guna menyongsong kemerdekaan Indonesia meski sehari
setelah kemerdekaan diproklamirkan, teks dalam sila ketuhanan “Dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” terus diperdebatkan yang
mengarah pada kecenderungan untuk dihapuskan.18
Setelah memproklamirkan kemerdekaannya, selama hampir lima tahun
Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan
Jepang dari sekutu, Belanda bermaksud untuk kembali menjajah kepulauan
18 Dikisahkan seorang angkatan laut Jepang datang ke Hatta dan melaporkan bawha orang-orang kristen yang berdomisili di wilayah timur Nusantara tidak akan bergabung dengan Indonesia jika beberapa unsur dalam Piagam Jakarta yaitu kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya tidak dihapuskan. Menanggapi hal itu, kelompok Islam bersepakat untuk mencabut kalimat sakral tersebut digantikan dengan kalimat “Ketuhan Yang Maha Esa”. Ada beberapa alasan mengapa tokoh Islam bersedia menghapus tujuh kata tersebut. Di antara alasan yang penting karena alasan situasi yang berlangsung menyusul diproklamirkannya kemerdekaan mengharuskan para pendiri bangsa ini untuk bersatu, khususnya untuk mengusir Belanda.
xli
Nusantara. Selama periode ini, praktis tidak ada perdebatan serius antara aktivis
Islam dengan kelompok Nasionalis. Perdebatan yang sempat menghangat seputar
hubungan Islam dan negara dihentikan. Sejenak mereka bersedia melupakan
perdebatan-perdebtan ideologis di antara mereka. Dan tidak diragukan lagi, pada
masa itu, para pendiri republik merasa bahwa mereka harus mengerahkan seluruh
tenaga dan kemampuan untuk mempertahankan Republik Indonesia yang baru
merdeka dan mencegah kembali Belanda berkuasa.
Akibat tidak adanya pertikaian, kedua kelompok ini mampu
mengembangkan hubungan politik yang relatif harmonis. Sementara kelompok
nasionalis tetap memegang kemudi kekuasaan, pada saat yang bersamaan pada
Desember 1949, Belanda menyerahkan kekuasaannya kepada Reublik Indonesia,
kelompok Islam mulai memperlihatkan kekuatannya dalam kancah politik
nasional. Dengan Masyumi sebagai satu-satunya kendaraan politik, kelompok
Islam berhasil menarik jumlah pengikut yang cukup besar.
C. Islam Sebagai Kekuatan Ideologi Politik di Indonesia
Berbicara tentang Islam sebagai kekuatan politik di Indonesia,
penelusurannya tidak akan terlepas dari kiprah awal umat Islam dalam upaya
merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Saat itu, Islam sangat efektif dan
mampu mengkonsolidasikan kekuatan perlawanan di daerah-daerah menjadi
sebuah kekuatan nasional yang mengantarkan kemerdekaan Indonesia. Setelah
merdeka, Islam tetap saja dianggap sebagai kekuatan politik yang tidak bisa
dianggap remeh. Hal itu bisa dilihat dari perdebatan-perdebatan dalam Majelis
Konstituante tentang perumusan dasar dan falsafah negara dimana kelompok
xlii
Islam menjadi sorotan utama karena menuntut disahkannya kembali tujuh kata
dalam piagam Jakarta. Bahkan di masa orde lama, orde baru, dan orde reformasi
sampai pada masa transisi demokrasi pun, Islam tetap dianggap sebagai kekuatan
politik yang cukup dominan yang memberikan aroma tersendiri dalam upaya
melakukan pembaharuan.
Sementara itu, adanya dikotomi antara kelompok Islam dan nasionalis
dalam perpolitikan nasional, secara tidak sengaja menempatkan Islam sebagai
kekuatan politik tersendiri yang cukup signifikan di luar kekuatan politik lainnya.
Dalam sub ini, penulis tidak akan mengulas secara detail mengenai kekuatan
Islam sepanjang sejarah perjuangan dan pasca kemerdekaan Indonesia. Melainkan
hanya sebatas memberikan cuplikan babakan sejarah tentang Islam yang cukup
memainkan peran penting dalam perpolitikan Indonesia.
Dalam potret sejarah, bangkitnya nasionalisme Indonesia pada dekade
pertama abad 20, memancing munculnya gerakan-gerakan masyarakat pribumi
untuk menentang penjajahan Belanda untuk merebut kemerdekaan Indonesia.
Tidak diragukan lagi, dalam upaya nasionalistik ini, sebagai agama mayoritas
yang dianut penduduk Indonesia, Islam memainkan peran yang cukup signifikan.
Seperti yang telah ada, Islam berfungsi sebagai mata rantai yang mampu
menyatukan rasa persatuan nasional melawan penjajahan Belanda. Dalam fase ini,
Islam bukan saja menjelma sebagai kekuatan politik yang mampu mengikat tali
persatuan nasional, melainkan juga Islam tampil sebagai simbol persamaan nasib
keterjajahan dari agama lain (Belanda yang kristen). Menurut Natsir, tanpa Islam
nasionalisme Indonesia tidak akan pernah ada karena Islam pertama-tama telah
xliii
menanamkan benih persatuan Indonesia dan telah menghapuskan sikap-sikap
isolasionis pulau-pulau yang beragam.
Pada masa awal perjuangan kemerdekaan, umat Islam menjadikan Sarekat
Islam (SI) sebagai satu-satunya perwujudan dan perjuangan politik umat Islam.
Bermula dari sebuah organisasi dagang Sarekat Dagang Indonesia (SDI),19 SI
berkembang pesat menjadi organisasi politik nasional yang pertama di Indonesia.
Perubahan SDI menjadi SI bukan hanya dalam perubahan nama, melainkan juga
perubahan orientasi dari komersial ke politik. Salah seorang tokoh Muslim lulusan
Barat, Tjokroaminoto merupakan tokoh muslim petama yang menyatakan bahwa
Islam merupakan faktor pengikat simbol nasional menuju kemerdekaan yang
sempurna bagi rakyat Indonesia. SI mempunyai tujuan jangka panjang yaitu
Islamisasi bagi masyarakat Indonesia. Untuk meraih cita-cita jangka jauh ini, bagi
Tjokroaminoto kemerdekaan Indonesia merupakan sesuatu yang mutlak.20
Selama periode awal, SI dengan cepat mendapat respon positif dari
kalangan masyarakat Indonesia. Hanya dalam beberapa tempo, SI telah
berkembang dengan cepat. Salah satu ciri yang menonjol dari kemajuan SI bukan
saja agenda politiknya yang berskala nasional, melainkan juga disebabkan
kemampuan SI dalam menghimpun dukungan basis massa yang memutus
dikotomi pengelompokan-pengelompokan sosial di masyarakat yang lokalistik.
Dengan agenda politiknya yang berskala nasional itulah, SI mampu meraup
dukungan dari semua kelas dan struktur sosial baik yang berada di pedesaan
19 SDI didirikan pada 11 November 1911 oleh Saman Hudi, salah seorang pedagang Muslim kaya asal Sura Karta, Jawa Tengah. Semula SDI diarahkan untuk melawan dominasi perdagangan Cina dengan mengorbankan penduduk pribumi. Sisi lain perjuangan SDI itu adalah- meski tidak secara langsung- ditujukan kepada Belanda yang memberikan prioritas dan perlindungan kepada usahawan Cina yang agresif dalam perdagandan dan Industri. Pada 1922 SDI berganti nama menjadi SI dengan pemimpin baru H.O.S Tjokroaminoto.
20 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, edisi revisi, (Jakarta: Penerbit LP3ES, 2006) cet. I, h. 80.
xliv
maupun di kota. Mulai dari pedagang Islam, kalangan priyai hingga petani
bergabung dalam gerakan politik nasional SI untuk merebut kemerdekaan
Indonesia. Dengan kata lain, SI merupakan pusat kebangkitan nasional Indonesia.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Islam tetap saja menjadi
kekuatan politik yang cukup dominan bahkan sangat menonjol. Proklamasi
kemerdekaan pada tahun 1945 telah memberikan kesempatan yang sama kepada
berbagai aliran politik di Indonesia untuk dengan bebas membentuk partai-partai
politik sebagai sarana demokrasi. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh
kelompok Islam. Maka pada tanggal 7-8 November 1945 melalui sebuah kongres
umat Islam di Yogyakarta dibentuklah sebuah partai politik Islam dengan nama
Masyumi. Akan tetapi, Masyumi yang dideklarasikan pada November ini bukan
Masyumi buatan Jepang karena dibentuk oleh ummat Islam sendiri tanpa
intervensi dari pihak luar.
Sebagaimana telah diprediksikan semula, kehadiran Masyumi mendapat
sambutan hampir dari semua gerakan Islam nasional maupun lokal, yang
berhaluan politik maupun keagamaan. Banyak kalangan yang memprediksi, jika
pemilu dilaksanakan saat itu juga maka, bukan hal mustahil bagi Masyumi – yang
saat itu merupakan gabungan dari kelompok muslim modernis seperti
Muhammadiyah dan kelompok Islam tradisional seperti NU – akan keluar sebagai
pemenang dalam pemilu tersebut.
Menurut Natsir, Masyumi pada periode awal pembentukannya benar-benar
merupakan jumlah massa yang sangat konkret. Bila dihubungakan dengan setting
politik tahun 1945, bisa difahami bahwa pembentukan Masyumi dalam rangka
menyalurkan aspirasi politik uamt Islam sebagai cerminan dari potensi mereka
xlv
sebagai penduduk yang mayoritas. Sementara jika dilihat dari sisi lain, Munculnya
Masyumi pada 1945 dapat pula dipandang sebagai jawaban positif ummat
terhadap manifesto politik Wakil Presiden Hatta tanggal 1 November 1945 yang
mendorong pembentukan partai-partai.
Setidaknya ada dua hal penting yang dihasilkan dalam kongres November
1945 tersebut. Pertama, pembentukan partai politik dengan nama Masyumi.
Kedua, selain Masyumi umat Islam tidak memiliki partai politik lain. Hasil
kongres ini mendapat respon yang baik dari kalangan ulama baik yang modernis
maupun yang tradisionalis, disamping juga dukungan dari pemimpin umat
nonulama jawa-madura.21
Salah satu kekuatan Masyumi terletak pada organisasinya yang federatif
yang di dalamnya terdapat anggota biasa (perorangan) dan anggota luar biasa
(kolektif) seperti NU dan Muhammadiyah. Karena wataknya yang federatif itulah,
Masyumi berhasil merangkul organisasi dan kelompok-kelompok muslim lainnya.
Namun, bentuknya yang federatif ini juga merupakan kekurangan Masyumi.
Dalam beberapa kesempatan, semangat lebih nononjolkan golongan mengalahkan
semangat persatuan dalam partai. Pada suatu waktu semangat golongan ini begitu
dominan sehingga menyulitkan partai dalam melakukan konsolidasi. Kegagalan
dalam mempersatukan antar golongan tersebut ternyata telah menghadapkan
Masyumi pada persoalan-persoalan yang serius, yaitu perpecahan partai. Pada
1947 PSII keluar dari Masyumi dan menyatakan dirinya kembali kepada partai
yang independen disusul NU yang juga keluar dari Masyumi pada 1952 dan
mengubah dirinya dari gerakan sosial keagamaan menjadi gerakan politik. Tentu
21 Syafii Maarif, Islam dan Pancasila, h.113.
xlvi
saja peristiwa itu sangat mengguncang Masyumi terutama setelah NU keluar dari
Masyumi.
Meski di penghujung babak perjuangannya Masyumi melemah karena
konflik internal di kalangan pemimpinnya, namun tidak bisa dipungkiri bahwa
Masyumi merupakan salah satu kekuatan politik di Indonesia yang
merepresentasikan kepentingan politik umat Islam secara keseluruhan. Untuk
memberikan gambaran lebih jauh mengenai posisi politik Islam (Masyumi) pada
masa pascarevolusi, beberapa catatan historis berikut tampaknya sangat relevan
dikemukakan di sini.
Pertama, pada tahun 1950 partai partai politik di Indonesia mengalami
penyegaran setalah sekian lama mengalami kelesuan pada 1949. Dalam parlemen
yang baru dibentuk, Masyumi tampil sebagai partai terbesar dengan menduduki
49 kursi dari 236 kursi. Kedua, dalam beberapa kesempatan Masyumi diminta
untuk membentuk dan memimpin kabinet. Dari tujuh kabinet yang berjalan di
bawah sistem demokrasi konstitusional (1950-1957) tiga kabinet
kepemimpinannya dipercayakan kepada Masyumi; kabinet Natsir pada 1950-
1951, kabiner Sukiman pada 1951-1952, dan kabinet Burhanuddin Harahap pada
1955-1956. Selain itu, ketika PNI diberi mandat untuk membentuk pemerintahan,
Masyumi dan NU berperan sebagai pasangan koalisi utama. Yang terakhir, dalam
pemilu pertama yang diselenggarakan pada 1955 golongan Islam yang terdiri dari
Masyumi, NU, PSII, dan Perti menguasai 114 suara dari 257 kursi.22
Memasuki rezim orde baru pada 1965, banyak pemimpin Islam yang
menaruh harapan besar terhadap rezim yang dipimpin Soeharto ini. Harapan itu
22 Effendy, Islam dan negara, h.94.
xlvii
terpatri jelas dari para aktivis Islam karena selama masa demokrasi terpimpin
politik Islam benar-benar dipojokkan. Tidak hanya itu, harapan besar itu juga
didasarkan pada kenyataan keterlibtan aktivis politik Islam bersama militer,
kelompok keagamaan, pelajar, dan mahasiswa yang berhasil mengganyang PKI
dan meruntuhkan kekuasaan rezim orde lama. Meski Orde Baru membebaskan
para aktivis Islam dari tahanan, khusunya dari kalangan Masyumi, namun umat
Islam tidak bisa menaruh harapan besar terhadap rezim ini. Orde Baru
menerapkan sistem dan kebijakan kembali ke UUD 45 dengan tegas dan kosekuen
serta menindak tegas kelompok manapun tak terkecuali Islam, yang mencoba
melawan Pancasila. Oleh karena itu, untuk mengembangkan sayap politiknya,
kelompok Islam mulai merumuskan ulang srategi politiknya yang selama dua
dasawarwa awal kemerdekaan lebih mengedepankan aspek legal formal terutama
keinginan menjadikan Islam sebagai dasar negara.
Mengacu pada perjuangan yang legal formal itulah, arus utama politik
Islam pada masa orde baru lebih bersifat substansialistik. Dengan kata lain, para
aktivis Islam mulai merubah strategi perjuangannya dengan mengedepankan
aspek nilai, makna dan isi, daripada bentuk dan simbol. Perubahan stategi ini
tentu saja tidak muncul secara kebetulan. Melainkan kesadaran ini lahir dari
sebuah refleksi perjuangan dimana ekspresi politik Islam yang lebih
mengedepankan aspek legal formalistik sering menemui kendala-kendala yang
bersifat kultural maupun struktural. Bahkan, dalam beberapa periode awal
kemerdekaan politik Islam diperlakukan secara diskriminatif dan dimarjinalkan.
Akibat dari perubahan strategi perjuangan itu, setidaknya sepanjang akhir
tahun 1980-an hingga pertengagan 1990-an, negara membuat sejumlah kebijakan
xlviii
yang menguntungkan kelompok Islam. Di antara kebijakan tersebut yaitu,
disahkannya Undang-Undang Pendidikan Nasional (UUPN), disahkannya
Undang-Undang Peradilan Agama (UUPA), pembentukan ICMI, dibuatnya
Kompilasi Hukum Islam, dikeluarkannya keputusan bersama tingkat menteri
mengenai BAZIS, dan dihapuskannya SDSB merupakan contoh kebijakan lain
negara yang sangat menguntungkan politik Islam.26
Menurut Bahtiar, lahirnya ICMI pada Desember 1990, menunjukkan
bahwa situasi politik nasional tengah berpihak pada Islam. Pada masa itu, bulan
madu antara Islam dan negara dimulai. Kendatipun dalam waktu yang cukup lama
Islam menjadi sasaran kecurigaan negara, namun dengan bulan madu yang sedang
dirajut itu, lambat laun ketegangan antara Islam dan negara mulai terkikis. Sejak
saat itu, satu persatu kepentingan Islam mulai diakomodir oleh negara, baik yang
menyangkut hal-hal yang bersifat struktural maupun kultural.27
Memasuki masa reformasi yang ditandai dengan lengsernya Sueharto, era
ini membawa perubahan yang cukup besar terhadap iklim politik di Indonesia.
Sueharto yang selama 32 tahun mengangkangi kebebasan berekspresi akhirnya
dipaksa meletakkan jabatannya oleh seluruh rakyat Indonesia dengan kepeloporan
gerakan mahasiswa. Tentu saja, rontoknya rezim diktator ini membawa berkah
kebebasan dan euforia politik yang sangat luar biasa. Salah satu berkahnya yaitu,
terbukanya pintu liberalisasi dan relaksasi politik. Dengan demikian, rakyat
Indonesia merasa terbebas dari belenggu kultural maupun struktural yang selama
ini menyulitkan mereka melakukan adaptasi terhadap politik nasional serta
melakukan kontrol peneyelenggaraan negara.
26 Effendy, Teologi Baru Politik Islamh, h. 45. 27 Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politk Islam; Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara
yang Tidak Mudah. (Jakarta: Penerbit Ushul Press, 2005) cet. I, h. 254.
xlix
Sementara euforia politik ditandai dengan munculnya puluhan partai yang
tak terbayangkan dalam sejarah Indonesia modern. Seperti yang pernah
dilaporkan banyak media, antara Mei sampai Oktober 1998, di tengah situasi yang
tidak menentu, kita dapat menyaksikan lahirnya 181 partai politik. Dari jumlah
itu, 42 partai dapat dikategorikan sebagai partai politik Islam. Mayoritas dari
mereka menggunakan asas dan simbol Islam. Mungkin saja munculnya puluhan
partai politik tersebut merupakan sesuatu yang menggelisahkan karena setiap
kelompok akan terjebak pada imajinasi politik mereka msing-masing yang lebih
mengedepankan kepentingan golongan ketimbang bersama-sama memikirkan
masalah bangsa. Namun di ujung sprektrum yang lain, menjamurnya partai politik
setelah ruhtuhnya tembok otoritanisme Sueharto, harus difahami sebagai ekpresi
kebebasan berserikat yang selama Sueharto berkuasa tidak pernah mereka
dapatkan. Termasuk di dalamnya, maraknya partai politik yang mengklaim
dirinya sebagai partai Islam.
D. ”Penjinakan” Islam oleh Negara
Pada sebagian besar babakan sejarahnya, relasi politik antara Islam dan
negara di Indonesia diwarnai dengan cerita antagonisme dan kecurigaan satu sama
lain. Seperti telah diuraikan dalam bab sebelumnya, hubungan antara Islam dan
negara di Indonesia sudah lama mengalami jalan buntu. Baik saat presiden
Suekarno maupun Sueharto berkuasa. Keduanya memandang partai-partai yang
berlandaskan Islam sebagai pesaing tangguh kekuasaan yang potensial dapat
merobohkan landasan negara yang nasionalis. Karena alasan ini, sepanjang lebih
l
dari empat dekade, kedua pemerintahan di atas berupaya untuk melemahkan dan
menjinakkan kekuatan Islam dengan serangkaian kebijakan yang diskriminatif.
A. Zaman Orde lama
Sesuai dengan watak pemikirannya yang nasionalis, Soekarno sebagai
penguasa rezim Orde Lama (Orla) ingin memisahkan Islam dari negara. Menurut
Soekarno, Islam dan negara merupakan dua entitas yang berbeda yang harus
dipisahkan dari kehidupan politik bernegara. Islam harus berdiri sendiri dan
negara berada jauh bahkan sama sekali tidak ada sangkutpautnya dengan Islam.
Meskipun konsep Soekarno ini mengharuskan pemisahan agama dari negara,
namun pada dasarnya ia tidak menolak sama sekali adanya persatuan agama dan
negara. Ia berpendapat bahwa persatuan agama dan negara dalam Islam bisa
berlaku jika seluruh masyarakatnya seratus persen beragama Islam dan secara
murni menjalankan ajaran-ajaran Islam. Dengan kondisi masyarakat yang tidak
seratus persen Islam, ia meyakini, gagasan penyatuan Islam dan negara pasti
ditolak penganut agama lain.
Pandangan pemisahan agama dan negara Soekarno itu diilhami oleh
pengalaman Mustafa kamal Ataturk di Turki dengan ajaran sekularisasinya.
Menurut Suekarno alasan Mustafa kamal memisahkan agama dari negara
disebabkan karena pada masa awal khalifah-khalifah Usmaniah di Turki, sudah
terdapat dualisme hukum. Yang pertama hukum Islam dan yang kedua hukum
yang difirmankan oleh sultan dan parlemen. Akibat dualisme hukum inilah, Turki
li
mengalami kemunduran karena pengaruh syaikhul Islam yang sangat dominan,
sementara mereka berpandangan kolot yang cenderung menghambat kemajuan.28
Selain itu, di masa Orde Lama terjadi perdebatan-perdebatan yang sangat
sengit antara kubu Suekarno yang nasionalis dengan kubu M. Natsir yang agamis.
Kelompok Natsir berpendapat bahwa nilai-nilai agama harus dijalankan dalam
bernegara. Negara dalam bentuk apapun harus menjalankan nilai-nilai agama.
Natsir berkali-kali menegaskan bahwa, Islam tidak megenal pemisahan agama
dengan negara. Sementara itu, kubu Soekarno berpendirian, demi kemajuan
negara agama harus terpisah dari negara. Dengan pemisahan itu, bukan saja
negara yang akan semakin maju melainkan juga agama pun akan menjadi lebih
maju dan merdeka. Lebih penting lagi, Soekarno beranggapan bahwa yang
dikatannnya itu tidak bertentangan dengan Islam, sesuai dengan apa yang
difahami, baginya Islam memiliki hukum-hukum yang luwes yang selalu dapat
disesuaikan dengan zaman
Perdebatan yang dimulai sebelum pra-kemerdekaan itu memasuki babak
yang tidak menemukan pangkal penyelesaiannya. Setelah Indonesia merdeka,
kalagan agamis tetap mendesakkan supaya Islam dijadikan dasar negara. Yang
paling krusial, perdebatan dijadikannya Islam sebagai dasar negara dibuka
kembali dalam Majelis konstituante. Dalam sidang tersebut, umat Islam tetap
menginginkan Islam sebagai dasar negara. Namun sekali lagi, keinginan kalangan
agamis ini ditolak dengan alasan menjaga keutuhan bangsa. Dalam konteks ini,
sekali lagi kekuatan politik Islam dapat dijinakkan dalam perdebatan di
konstituante.
28 Badri Yatim, Soekarno, Islam, dan Nasionalisme. (Jakarta: Penerbit PT Logos
Wacana Ilmu. 1999) cet. I, h. 140-141.
lii
B. Zaman Orde Baru
Di masa orde baru, hubungan Islam dan negara mengalami perubahan dan
perkembangan yang signifakan. Pada awalnya, pemerintah orde baru menaruh
kecurigaan terhadap kelompok Islam karena kemampuan Islam dalam
menggerakann massa yang dalam waktu singkat dapat melawan kekuasaan orde
baru. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa orde baru lebih suka
memperlakukan Islam sebagai agama dan sistem kepercayaan saja, ketimbang
sebagai ideologi politik. Inilah yang disebut Bahtiar Effendy sebagai penjinakan
idealisme dan aktivitas politik Islam .
Di antara kebijakan mencolok orde baru yang dapat menjinakkan kekuatan
politik Islam adalah penetapan asas tunggal bagi seluruh partai politik dan Ormas.
Kebijakan orde baru ini menandai puncak atau selesainya program de-Islamisasi
politik pada masa orde baru. Pada saat itu, partai politik Islam seolah-olah sudah
tamat. Setidaknya, dengan kebijakan itu secara formal semua partai politik hanya
mempunyai asas tunggal tunggal pancasila dan tidak ada yang mempunyai asas
agama tertentu, termasuk Islam.
Kondisi penjinakan politik Islam seperti di atas, pada tahun 1990-an
berangsur berubah. Pada saat itu, sebagai bentuk kebijakan orde baru yang
berubah maka, dibentuklah ICMI, Bank Muamalat, Pelaksanaan Festival Istiqlal,
sistem pendidikan nasional, UU peradilan agama, dan lain sebagainya. Kondisi
inilah yang menurut banyak kalangan menunjukkan bahwa, umat Islam justeru
diakomodasi oleh negara saat tidak ada lagi partai politik Islam. Kondisi seperti
ini menurut Bahtiar Effendy sebagai masa bulan madu antara Islam dan negara.
liii
Setidaknya ada tiga pola hubungan yang terjadi antara Islam dan orde baru
yang berkuasa selama 32 tahun. Pertama, di tahun 70-an hubungan Islam dan
orde baru bersifat konfrontatif, rivalitas atau antagonis. Dalam kurun waktu
tersebut, hubungan Islam dan negara tampak renggang, bertolak belakang,
bermusuhan, bahkan bertentangan. Periode ini ditandai dengan kuatnya negara
yang secara ideologi politik menguasai wacana pemikiran sosial politik di
kalangan masyarakat. Hubungan tidak akur ini dimuali ketika orde baru
mengandaskan harapan-harapan politik Islam agar politik Islam bisa bermain di
kancah nasional. Salah satu upaya orde baru untuk mengandaskan harapan politik
Islam yaitu dengan menolak merehabilitasi Masyumi dan hanya membebaskan
para aktivisnya yang pernah dipenjaran Soekarno. Di dalam fase ini juga, orde
baru hanya memberlakukan Islam sebatas memajukan kesalehan pribadi dan
menentang politisasi agama.29
Kedua, hubungan Islam dan orde baru bersifat reaktif kritis atau resiplokal,
yaitu suatu hubungan yang mengarah pada tumbuhnya saling pengertian timbal
balik serta pemahaman di antara kedua belah pihak. Dalam periode yang
berlangsung antara 1980-an hingga periode 1990-an ini, mulai timbul kesadaran
pemerintah bahwa Islam merupakan denominasi politik yang tidak bisa
dikesampingkan. Pada periode ini, orde baru mulai memandang Islam sebagai
yang mayoritas sebagai faktor dan modal yang tidak bisa diabaikan.
Sedangkan pola ketiga bersifat akomodatif atau integratif simbiosis. Pola
hubungan saling mengerti ini berlangsung antara awal hingga akhir 1990-an yang
ditandai dengan responsifnya pemerintah yang antara lain ditandai dengan
29 Idris Thaha, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholis Madjid dan M. Amien
Rais. (Jakarta:Penerbit Teraju, 2005) cet. I, h. 168-190
liv
lahirnya sejumlah kebijakan yang akomdatif terhadap kelompok Islam. Bukti
akomodasi itu bisa dikategorkan dalam empat jenis yaitu akomodasi struktural,
akomodasi legislatif, akomodasi infrastruktural, dan akomodasi kultural.
lv
BAB IV
PANDANGAN BAHTIAR EFFENDY TENTANG HUBUNGAN
ISLAM DAN NEGARA DI INDONESIA
A. Pergeseran Paradigma Hubungan Islam dan Negara
Selama hampir tiga dekade, (sejak 1940-an sampai akhir tahun 1960-an),
sebagaiman disinggung dalam bab III, ketegangan ideologis antara Islam dan
negara tak kunjung menemukan titik temu. Namun, memasuki gerbang tahun
1970-an mulai tumbuh benih-benih intelegensia muslim yang mempunyai
pandangan baru mengenai hubungan Islam dan negara. Jika generasi
kemerdekaan, terutama epos Mohamad Natsir dan Wahid Hasyim1—untuk
menyebut beberapa saja—lebih menempatkan negara adalah agama; agama
adalah negara (al-din wa al-daulah), maka generasi yang muncul kemudian,
menempatkan agama sebagai inspirasi atau nilai-nilai untuk mengatur negara,
tanpa harus menerapkan hukum agama dalam negara secara legalistik.
Para generasi baru ini, terutama yang lahir pada tahun-tahun 1930-an dan
1940-an, memberikan respon terhadap tantangan modernisasi dan rasa frustasi
politik Muslim dengan penuh energi dan kreativitas. Generasi ini, dalam
pembentukannya mengalami eksposur yang intens terhadap radikalisasi ideologis
(Islam), yang dikondisikan oleh adanya perdebatan-perdebatan politik dalam
medan nasional yang memicu konflik-konflik dan ketegangan-ketegangan antara
1Pada pembahasan ini pemikir dan aktivis (politik) Islam generasi pertama atau generasi
awal merujuk pada generasi yang terlibat sengit dalam pembentukan ideologi negara (Indonesia), yaitu Mohamad Natsir, Ki Bagus Hadikusumo, Sukiman, Wahid Hasyim, dan lain sebagainya, yang mempunyai aspirasi menjadikan Islam sebagai ideologi negara.
lvi
Islam dan negara. Sebagaimana diakui Bahtiar, geneologi intelegensia generasi ini
diawali oleh “sistuasi” krisis. Situasi yang terkondisikan oleh adanya urgensi
untuk membangun sebuah blok historis yang sama-sama menguat: antara ideologi
kebangsaan dan Islamisme. Situasi yang tidak mengembirakan ini, demikian
Bahtiar, muncul terutama—meskipun tidak secara keseluruhan—karena hubungan
politik yang tidak harmonis antara Islam dan negara serta hasil sinergi sosio-
kultural dan politik antara keduanya yang tidak begitu tepat.
Meski demikian, lahirnya para generasi baru ini memberikan secercah
harapan bagi penyelesaian ketegangan antara Islam dan negara dengan
menekankan keterpautan yang erat antara Islam dan negara, dan tetap
mempertahankan batas yang tepat antara keduanya, serta terhindar dari kehidupan
keagamaan (Islam) yang dikontrol negara. Kendati tidak menjadi faktor satu-
satunya yang menjadi katalisator keharmonisan hubungan Islam dan negara,
namun Bahtiar mengakui, bahwa gagasan-gagasan generasi baru intelegensia
Muslim ini memberikan kontribusi yang sangat besar dalam mendamaikan
hubungan Islam dan negara.
Oleh karena itu, pembahasan berikutnya akan spesifik pada pandangan-
pandangan inti Bahtiar Effendy tentang hubungan Islam dan negara. Agar lebih
terstruktur, pembahasan akan mengikuti kronologi ide Bahtiar Effendy tentang
hubungan Islam dan negara dengan susunan berikut. Pertama, akan
mengeskplorasi lahirnya generasi baru intelegensia Muslim yang menurut Bahtiar
memberikan pengaruh besar terhadap pergeseran paradigma dalam memandang
hubungan Islam dan negara. Selain itu, karena ia tidak menjadi faktor satu-
lvii
satunya, maka ide tentang reformasi birokrasi dan gerakan transformasi sosial
juga akan disertakan.
Kedua, pembahasan akan masuk pada melemahnya kooptasi negara atas
peran politik kaum Muslim. Pada moment ini, kecenderungan negara yang lebih
akomodatif terhadap aspirasi politik Islam akan didedahkan dengan mengungkap
beberapa bukti. Ketiga, ingin melihat orisinilitas gagasan Bahtiar Effendy tentang
hubungan Islam dan negara. Pada pembahasan ini akan diurai arah baru hubungan
yang tepat antara Islam dan negara yang ditawarkan Bahtiar. Selain itu, perlu
ditambahkan, bahwa apakah ide tersebut bisa disebut ”baru” dalam spektrum
hubungan Islam dan negara pada umumnya; serta mampukah ia mempertahankan
hubungan tersebut secara ajek. Keempat, catatan kritis yang ingin melihat
beberapa ruang yang tidak diisi oleh Bahtiar mengenai hubungan Islam dan
negara, serta menguji kekuatan dan kelemahan gagasan-gagasannya.
1. Generasi Baru Intelegensia Muslim
Periode tahun 1980-an dan 1990-an, sebagaimana ditengarai oleh Yudi
Latif,2 merupakan masa “panen raya” bagi intelegensia Muslim Indonesia dari
berbagai gerakan. Hal itu dibuktikan bukan hanya karena jumlah intelegensia
Muslim yang memiliki kualifikasi-kualifikasi pendidikan tinggi mencapai
tingkatan yang belum pernah ada sebelumnya, melainkan juga jumlah mereka
yang meraih gelar pasca-sarjana dari luar negeri, terutama dari universitas-
universitas di Barat (khususnya Amerika Serikat), juga lebih besar dibandingkan
dengan periode manapun dalam sejarah Indonesia.
2Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia
Abad ke-20, (Bandung: Mizan, 2005), h. 580.
lviii
Profil pendidikan penduduk Indonesia berdasarkan agama, yang
didasarkan pada Survei Antarsensus Indonesia yang dilakukan oleh Biro Pusat
Statistik, menunjukkan bahwa dari tahun 1976 sampai 1995, kelompok penduduk
Muslim mengalami peningkatan pendidikan secara ajek, terutama setalah akhir
1980-an.3 Akses terhadap pendidikan Barat ini, pada gilirannya, memberikan
kontribusi besar terhadap pergeseran paradigma hubungan Islam dan negara
karena ide-ide mereka lebih inklusif.
Selain akses terhadap pendidikan Barat, transformasi ide-ide pemikir Barat
tentang tema-tema pembaharuan, khususnya hubungan Islam dan negara, bagi
mahasiswa Islam di Indonesia juga cukup memberi pencerahan. Bahtiar
menengarai, pertukaran ide yang begitu intens dengan beberapa pemikir sekular
Barat,4 membuat generasi intelegensia Muslim ini mendiagnosa bahwa
permusuhan akut antara Islam dan negara berkaitan erat dengan dimensi-dimensi
teologi atau filosofis filsafat politik Islam. Landasan-landasan teologis atau
filosofis tersebut, membentuk dan mempengaruhi pemikiran dan praktik para
politisi Muslim generasi awal.
Aktivis dan pemikir Muslim pertama ini memahami Islam secara
komprehensif (tetapi literal) yang menganggap Islam sebagai agama yang
sempurna; mengurusi segala urusan di dunia, termasuk masalah-masalah kecil
(seperti makan dan minum), apalagi masalah besar, seperti masalah kenegaraan.
3Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa, h. 580. 4Beberapa buku yang cukup berpengaruh di kalangan generasi intelgensia Muslim baru
ini adalah karangan seorang teolog berkebangsaan Amerika Serikat bernama, Harvey Cox. Judul bukunya adalah: “The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective. Selain itu, buku berjudul Basic Demands and Fundamental Values of Socialist Democratic Party. Buku ini merupakan buku pedoman ideologi Partai Demokrat Sosial di Jerman Barat. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 139; Djohan Effendi & Ismet Natsir (penyunting), Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, (Jakarta: LP3ES, 2003), h. 162.
lix
Pandangan yang demikian, berimplikasi pada aspirasi mereka yang berpretensi
untuk mengatur negara menurut Islam, menerapkan hukum agama (Islam) dalam
negara secara formal dan legal, dan tidak memberi kebebasan kepada warga
negara untuk berkeyakinan sesuai agama (madzhab) yang dianutnya.
Dengan demikian, menurut Bahtiar, intelgensia Muslim baru ini melihat
bahwa komunitas politik Islam sebelumnya mengalami kesulitan besar dalam
mencari titik temu pandangan teologis-filosofis mereka dengan realitas politik
Nusantara. Berbagai epos sejarah sebelumnya menunjukkan bahwa ikhtiar
membangun sebuah hubungan yang kaku, formalistik dan legalistik, antara Islam
dan negara berujung pada kegagalan; mengalami pertengkaran yang akut; bahkan
pada level tertentu menjurus pada kekerasan. Kegagalan ini, demikian Bahtiar,
disadari betul oleh intelegensia Muslim berikutnya dengan mempertanyakan
seluruh rumusan dasar perjuangan politik Islam generasi Natsir: baik menyangkut
ketepatan strategi, efektifitas taktik, dan cita-cita politik Islam.
Tokoh-tokoh terkemuka dari generasi baru intelegensia Muslim, seperti
Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Nurcholish Madjid
keberatan dengan gagasan pemikir dan aktivis Islam sebelumnya yang ingin
menempatkan Islam sebagai sebuah ideologi atau pemikiran: bahwa negara
merupakan perpanjangan (atau bagian integral) dari Islam. Dikatakan, ”Meskipun
Islam, sebagai agama, mempunyai ajaran-ajaran sosial-politik, ia bukanlah sebuah
ideologi. Ideolog Islam itu tidak ada.”5 Pernyataan salah satu eksponen generasi
intelegensia Muslim baru ini, yaitu Dawam Rahardjo, membuktikan bahwa
mereka betul-betul mempunyai perspektif baru dalam melihat hubungan Islam,
5Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi,
(Yogyakarta: Galang Press, 2001), h. 12-13.
lx
dan sama sekali tidak berpretensi unuk menjadikan Islam sebagai sebuah ideologi
apapun.
Bahtiar Effendy mencatat, bahwa semua eksponen dari intelegensia
Muslim baru ini mempunyai pemahaman kurang lebih sama dengan Dawam.
Djohan Effendy dan Ahmad Wahib misalnya, ia menegaskan bahwa Nabi
Muhammad tidak pernah memproklamasikan berdirinya sebuah negara Islam.6
Dengan gagasan ini, Djohan dan Wahib sepertinya berikhtiar dengan gigih
melakukan terobosan-terobosan pemahaman keagamaan yang lebih terbuka
(inklusif) menyangkut hubungan Islam dan negara. Keterbukaan mereka
setidaknya bisa mempertemukan antara Islam dan negara yang sebelumnya
bermusuhan. Lebih dari itu, dengan pemahaman yang demikian, mereka lebih
berpretensi menempatkan seluruh warga negara pada status yang sama, baik
dalam haknya maupun dalam kewajibannya.
Sebagai intelegensia Muslim baru yang bernaung di bawah organisasi
HMI Yogyakarta, Dawam, Djohan, dan Wahib—tanpa menafikan yang lain—
menyerukan perlunya penyegaran pemahaman terhadap Islam. Perlu diakui, pada
tahun 1970-an, bahwa di tubuh HMI tumbuh subur ide-ide pembaharuan yang
dimotori oleh para aktivis-aktivis di atas. Selain di HMI, punggawa-punggawa di
atas adalah peserta tetap kelompok diskusi Limited Group (1967-1971), di bawah
asuhan Mukti Ali. Menurut Bahtiar, melalui diskusi-diskusi yang intens, baik
dalam lingkungan HMI ataupun di Limited Group, mereka melakukan terobosan
penting dalam penyegaran pemahaman keagamaan sehingga sampai pada poin-
poin berikut.7
6Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 13. 7Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 15.
lxi
Pertama, generasi intelegensia Muslim baru ini berpandangan bahwa tidak
ada bukti yang valid bahwa al-Qur’an dan Sunnah meniscayakan kaum Muslim
untuk mendirikan negara Islam. Sejarah politik Nabi Muhammad bagi mereka
tidak memberi eksemplar tentang proklamasi negara Islam. Dengan demikian,
para punggawa tersebut tidak sependapat dengan agenda politik para pemimpin
dan aktivis Islam generasi awal yang berpretensi untuk menjadikan Islam sebagai
dasar negara, dan ingin menerapkan hukum Islam secara legal formal.
Kedua, eksponen intelegensia Muslim baru ini mengakui bahwa Islam
memiliki nilai-nilai etis atau prinsip-prinsip sosial-politik. Namun demikian,
mereka tidak beranggapan bahwa Islam sebagai ideologi. Ideologi Islam,
demikian kata mereka, tidak ada. Lebih dari itu, mereka berkesimpulan bahwa
menjadikan Islam sebagai ideologi berujung pada reduksionisme Islam.
Ketiga,Islam itu bersifat permanen dan universal sehingga tafsir
terhadapnya tak dapat dibatasi hanya pada aspek formal dan legal. Sebaliknya,
tafsir terhadap ajaran Islam harus didasarakan pada pemahaman yang paripurna
atas teks dan semangan al-Qur’an dan Sunnah.
Keempat, mereka mempercayai hanya Allah yang memiliki kebenaran
mutlak. Karenanya pemahaman orang atas doktrin Islam bersifat terbatas dan
relatif. Karena doktrin Islam itu multitafsir dan Islam sendiri tidak mengenal
struktur kependetaan dalam beragama, maka tak ada seorangpun yang berhak
mengklaim bahwa pemahamannya mengenai Islam lebih benar daripada
pemahaman orang lain.
Dalam kacamata Bahtiar, ide-ide di atas merupakan torobosan baru bagi
perkembangan format politik Islam. Lebih jauh, ia menegaskan bahwa generasi
lxii
intelegensia Muslim baru ini menganjurkan perlunya perumusan agenda politik
Islam secara baru, yang lebih berorientasi pada isi ketimbang simbol. Oleh karena
itu, mereka tidak mempunyai alasan yang cukup kuat untuk tidak menerima
Pancasila sebagai dasar ideologi negara. Dengan kata lain, mereka meneguhkan
bahwa keterikatan komunitas Muslim haruslah pada nilai-nilai Islam, daripada ke
lembaga sosial-politik, kendati memakai simbol-sismbol Islam.8
Klimaks dari terobosan intelegensia Muslim baru ini, menurut Bahtiar,
terletak pada gagasan mendiang Nurcholish Madjid—sapaan akrabnya Cak Nur—
yang dituangkan dalam sebua paper berjudul, ”Keharusan Pembaruan Pemikian
dan Masalah Integrasi Umat,” yang disampaikan pada awal tahun 1970-an.
Analisanya yang tajam dan mengena pada kondisi umat Islam yang sedang
mandeg, ia menawarkan sebuah pembaharuan bagi umat Islam, karena komunitas
Muslim kehilangan daya dobrak psikologis dalam perjuangan mereka. Poin
penting dari analisis-analisisnya dalam paper tersebut, menyangkut hubungan
Islam dan negara adalah jargon ”Islam Yes, Partai Islam, No”, serta keharusan
”sekularisasi.”
Bahtiar menempatkan gagasan Cak Nur, tentang ”Islam Yes, Partai Islam,
No,” sebagai ikhtiar untuk mendorong umat Islam agar mengarahkan komitmen
mereka kepada nilai-nilai Islam, bukan kepada partai-partai Islam, kendati
menggunakan simbol Islam. Sementara terminologi kontroversial Cak Nur,
mengenai ”sekularisasi,” lebih ditujukn untuk menempatakan sesuatu secara
proporsional. Karena ia menganggap bahwa para penanggap dan pengkritiknya
8Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 15.
lxiii
ahistoris dalam menafsirkan terhadap ide yang digagasanya, berulangkali
Nurcholish Madjid membedakan sekularisasi dengan sekularisme.
Menurutnya, sekularisasi tidak dimaksudkan untuk menerapkan
sekularisme, karena “Secularism is the name for an ideology, a new closed word
view which funtion very much like a new religion” (sekularisme adalah nama
untuk sebuah ideologi, suatu pandangan dunia baru yang tertutup yang fungsinya
sangat mirip dengan sebuah agama baru).9
Para pengkritiknya menganggap bahwa sekularisasi tanpa sekularisme
adalah mustahil. Sekularisasi tidak lain adalah penerapan sekularisme. Kritik itu
kemudian disambut oleh Cak Nur dengan menjelaskan secara lebih detail dan
hati-hati terhadap istilah yang menjadi polemik itu. Cak Nur tetap konsisten pada
pendiriannya bahwa sekularisasi bukanlah bertujuan untuk menerapkan
sekularisme. Ia mencoba menempatkan istilah sekularisasi secara tepat melalui
analogi istilah: sekularisasi dan “sosialisasi.” Menurutnya, istilah sosialisasi yang
dalam bahasa Inggrisnya socialised medicine (pengobatan yang
disosialisasikan),10 belum tentu merupakan penerapan sosialisme. Di negara-
negara kapatalis justru sosialisasi pengobatan itu terjadi dengan pesat sekali.
Demikian juga dengan istilah sekularisasi, belum tentu merupakan penerapan
sekularisme. Dengan menganalogikan istilah sekularisasi dan sosialisasi seperti di
atas Cak Nur berharap agar para pengkritiknya bisa membedakan apa yang
dimaksud dengan sekularisasi dan sekularisme.
Lebih jauh, Cak Nur mengakui bahwa sekularisasi bisa saja dimengerti
sebagai proses sosial politik menuju sekularisme, dengan implikasi paling
9Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1993), h. 207.
10Madjid, Islam Kemodernan, h. 221.
lxiv
ekstrimnya adalah pemisahan secara total agama dari negara. Namun, pengertian
seperti ini bukanlah satu-satunya pengertian yang bisa dijadikan rujukan.
Pengertian lain dari sekularisasi yang bisa dijadikan rujukan adalah yang bersifat
sosiologis, bukan filosofis. Misalnya Talcot Parson dan Robert N. Bellah, yang
menegaskan bahwa sekularisasi, dalam pengertian sosiologis, adalah pembebasan
masyarakat dari belenggu takhayul dalam beberapa aspek kehidupannya, dan
tidak berarti penghapusan orientasi keagamaan dalam norma-norma dan nilai
kemasyarakatan. Bahkan, proses pembebasan dari takhayul itu semata-mata
terjadi karena dorongan, atau merupakan kelanjutan logis dari suatu bentuk
orientasi keagamaan, khususnya monoteisme.11 Sekularisasi dalam pengertian ini,
berpangkal dari monoteisme yang antara lain berakibat pada penurunan nilai
pranata-pranata sosial (baik kesukuan, kekeluargaan dan, lainnya) dan menjadikan
pusat kesucian hanya kepada Tuhan.
Dengan demikian, kata sekularisasi dalam pengertian sosiologis
mengandung arti pembebasan, yaitu pembebasan dari sikap penyucian yang tidak
pada tempatnya. Karena itu, ia mengandung makna “desakralisasi,” yaitu
pencopotan ketabuan dan kesakralan dari obyek-obyek yang semestinya tidak tabu
dan tidak sakral. Namun, kendati pengertian sosiologis sekularisasi itu relatif
banyak digunakan oleh para ilmuan sosial, harus diakui bahwa masih tetap ada
kontroversi di sekitar istilah itu. Sebagaimana diakui Cak Nur, hal itu terjadi
karena sekularisme sendiri lahir pada zaman Pencerahan Eropa yang mempunyai
semangat anti-agama. Sehingga cukup sulit untuk menentukan kapan proses
11Madjid, Islam Kemodernan, h. 258.
lxv
sekularisasi dalam pengertian sosiologisnya berhenti dan berubah menjadi
penerapan sekularisme secara filosofis.12
Sejalan dengan ikhtiar tersebut, pemikir-pemikir lain seperti Harun
Nasution, Munawir Sjadzali, dan Abdurrahman Wahid, dalam pandangan Bahtiar,
juga mengemukakan pandangan-pandangan teologis lain yang ”kurang lebih
sama.” Pada prinsipnya, mereka semua lebih menekankan isi (substance) daripada
bentuk (form) dalam menerjemahkan Islam hubungannya dengan negara.
Komunitas politik Muslim, demikian Bahtiar, tidak harus mengartikulasikan
aspirasi politiknya secara formalistik-legalistik, namun harus berkomitmen kepada
nilai-nilai Islam yang lebih substansialistik.
2. Keterlibatan Dalam Birokrasi
Selain munculnya generasi baru intelegensia Muslim yang memberi
pengaruh besar terhadap paradigma baru hubungan Islam dan negara, Bahtiar
mengakui bahwa reformasi birokrasi menjadi salah satu pilar yang meneguhkan
pergeseran pandangan tentang hubungan Islam dan negara. Arus besar gerakan
ini, demikian Bahtiar, meyakini bahwa ketegangan hubungan Islam dan negara
akan menghilang jika para pemikir dan aktivis Muslim melibatkan diri dan
berpartisipasi dalam proses kehidupan birokrasi negara. Islam tidak seharusnya
diposisikan vis-a-vis dalam kaitannya dengan negara; serta tidak perlu
menempatkan Islam sebagai entitas yang bertentangan dengan Pancasila.13
Menurut penganut aliran ini, hubungan antara Islam dan negara bersifat
komplementer, yaitu dalam Pancasila terkandung nilai-nilai Islam. Dengan
12Madjid, Islam Kemodernan, h. 207. 13Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 21.
lxvi
demikian, dilihat dari perspektif keagamaan tidak ada keharusan bagi komunitas
Islam untuk mempermasalahkan bangunan negara Indonesia yang berdasarkan
Pancasila. Selain itu, Bahtiar mengemukakan bahwa mereka yang menganut
gerakan ini beranggapan, sepanjang sejarah politik Islam modern, para pemimpin
dan aktivis politik Islam belum mampu mengembangkan sebuah tradisi
pemerintahan yang kuat. Ketika tokoh-tokoh terkemuka dari komunitas Muslim
diberi kesempatan untuk mendudukan jabatan birokrasi dalam pemerintahan,
komunitas Islam politik tidak mempunyai peran yang dominan dalam mengemban
jabatan-jabatan tersebut. Realitas ini menunjukkan bahwa aktivis politik Islam
tidak hanya marjinal dalam negara, tetapi juga tidak-dekat dengan negara.
Hal penting lain, menurut Bahtiar, aktivis gerakan ini mempercayai bahwa
pendekatan seperti ini dinilai efektif untuk mengembalikan harga diri politik
komunitas Muslim, yang sering diperlakukan sebagai kaum marjinal dalam
panggung politik di Indonesia. Di samping itu, strategi ini dipandang penting
untuk menghidupkan kembali perhatian komunitas politik Islam terhadap
masalah-masalah kenegaraan.
Sang pemula dari gerakan ini adalah Dahlan Ranuwihardja, mantan ketua
umum HMI dan GPII tahun 1960-an. Ia berpendapat, demikian menurut Bahtiar,
dalam bingkai negara yang berasap pada Pancasila, terdapat banyak peluang dan
ruang untuk mengimplementasikan nilai-nilai ajaran Islam. Oleh karena itu,
komunitas politik Muslim tidak mempunyai alasan yang kokoh untuk menolak
negara Indonesia yang berdasarkan Pancasilah. Bahkan, ketika masalah “negara
lxvii
Islam” versus “ negara nasional” mencuat ke publik Bumiputera, penganut alur
berpikir ini mendukung “negara nasional”.14
Selain Dahlan Ranuwihardja, di tahun-tahun kemudian, gerakan ini
diteruskan oleh beberapa seperti Mintaredja, Sulastomo, Harono Mardjono, Akbar
Tanjung, dan Ridwan Saidi. Dalam perspektif birokratis, tradisi ini dikembangkan
oleh eksponen seperti Sularso, Bintoro Tjokroamidjojo, Barli Halim, Bustanil
Arifin, Madjid Ibrahim, Norman Razak, Zainul Yasni, Omar Tusin, Sya’dillah
Mursyid, Mar’ie Muhammad, Hariri Hadi, dan lain sebagainya. Kendati para
eksponen ini seringkali dicap keluar dari perjuangan politik umat Islam, karena
memilih jalur yang berbeda dengan komunitas politik Muslim lainnya, namun
mereka memberikan kontribusi besar pada proses “Islamisasi birokrasi.”15
3. Gerakan Transformasi Sosial
Gerakan transformasi sosial memang tidak secara spesifik memberikan
perhatian pada hubungan Islam dan negara. Seperti diakui Bahtiar, gerakan ini
adalah salah satu gerakan yang paling sulit dideskripsikan karena lebih
memberikan prioritas pada penguatan masyarakat sipil (civil society) vis-a-vis
negara. Namun demikian, Bahtiar melihat kaitan ide-ide madzhab transormasi
sosial ini dalam ikhtiarnya untuk menciptakan hubungan yang sinergis dan
integratif antara Islam dan negara terletak pada beberapa poin berikut.16
Pertama, madzhab gerakan transformasi sosial ini memberikan perhatian
secara spesifik pada berkembangnya suatu masyarakat yang egaliter dan
emansipatif. Bagi Bahtiar, agenda yang demikian hendak menempatkan
14Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 23. 15Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 24. 16Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 25.
lxviii
pendekatan yang lebih integratif atau tidak partisan sifatnya. Mereka menyadari
bahwa untuk mewujudkan ide-ide transformatifnya diperlukan serangkaian
strategi dan garapan yang lebih diversifikatif. Strategi dan langkah-langkah yang
diambil oleh madzhab ini biasanya berujung pada penguatan civil society dengan
membangun lembaga-lembaga sipil, seperti LSM, lembaga riset, ormas-ormas,
dan lain sebagainya.
Kedua, penganut alur berfikir ini beranggapan, dan memang begitu
kenyataannya, bahwa rezim Orde Baru telah membuat negara sedemikian kuat,
dan bahkan cenderung otoriter. Karena demikian, negara berfungsi sebagai
institusi yang paling dominan dalam pembangunan sosial dan politik masyarakat.
Menyadari kondisi dan situasi ini, penganut gerakan transformasi sosial megambil
langkah uutama ntuk bekerjasama dengan berbagai lembaga/aktor, atau institusi
demi terwujudnya masyarakat yang transformatif, kuat, mandiri, dan tidak
mempunyai ketergantungan pada negara.
Oleh karena itu, Bahtiar berkesimpulan, bahwa melalui strategi yang
demikian, gerakan transformasi sosial ini, mendorong komunitas Muslim untuk
memaknai politik secara lebih luas, tidak hanya terjebak pada satu panggung
perjuangan politik yaitu melalui parlemen. Dengan kata lain, perjuangan politik
kaum Muslim bisa seluas ranah kemasyarakatan dan kenegaraan pada umumnya.
Selain itu, komunitas politik umat Islam juga diajak untuk merumuskan hubungan
yang secara esensial lebih penting antara kekuatan politik Islam dengan negara
serta lembaga-lembaga yang ada, utamanya dengan institusi yang mempunyai
lxix
aspirasi sama. Pada tahap berikutnya, madzhab ini juga mengajak umat Islam
untuk merumuskan kembali tujuan politik Islam yang lebih terbuka.17
Dalam tilikan Bahtiar, eksponen utama dari gerakan transformasi sosial ini
adalah Sudjoko Prasojo dan Dawam Raharjdo. Meski Dawam Rahardjo juga
termasuk pada generasi intelegensia Muslim baru yang punya perhatian terhadap
pembaruan dan penyegaran pemahaman keislaman, namun ia juga masuk dalam
katagori ini. Sudjoko Prasojo menggunakan—salah satunya—Perguruan Tinggi
Dakwah Islam (PTDI) sebagai institusi untuk menerjemahkan gagasan-
gagasannya; sementara Dawam Rahardjo berjuang di atas lembaga bernama
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Eekonomi dan Sosial (LP3ES).
Dalam perkembangan berikutnya, gerakan ini deteruskan oleh Adi sasono
dengan Lembaga Studi Pembangunan (LSP) sebagai medan utamnya.18 Ia
menggawangi lembaga ini dengan merumuskan gerakan transformasi sosialnya
melalui berbagai studi kebijakan, seperti sosial, ekonomi, dan politik untuk
membela kaum tertindas dan mengkampanyekan kesetaraan, keadilan sosial
ekonomi, dan demokratisasi politik.
Untuk sementara, bisa disimpulkan bahwa tiga aras utama gerakan di atas
sangat berbeda dengan apa yang diperjuangkan oleh aktivis dan pemikir Muslim
generasi awal. Jika eksponen generasi awal lebih menekankan pada keterpautan
Islam dan negara secara kaku—karena pengaruh pemahaman keagamaan
mereka—maka generasi setelahnya lebih terbuka dengan medan perjuangan yang
mereka pilih sendiri.
17Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 26. 18Effendy, Islam dan Negara, h. 169-170.
lxx
Oleh karena itu, jika diringkas, sebagaimana sering diungkapkan oleh
Bahtiar dalam beberapa tulisannya, paradima hubungan Islam dan negara telah
bergesar: pada awalnya menekankan legal-formal menuju komitmen pada
substansi dan nilai-nilia. Dan, berkat gerakan ini pula, negara kemudian
memperlunak cengkramannya terhadap komunitas politik umat Islam.
B. Melemahnya Kooptasi Negara atas Politik Islam
Pengaruh gagasan baru intelegensia Muslim dengan tiga arus utama
artikulasinya dalam memperbaiki hubungan Islam dan negara memberi kontribusi
besar terhadap peran negara untuk menurunkan tensinya mendesak peran politik
Islam ke pinggiran. Selain itu, ketegangan internal rezim Orde Baru, khususnya
Soeharto dengan militer juga turut memberi keuntungan tersendiri bagi komunitas
politik Islam. Ketidakpuasan militer terhadap Soeharto, membuat Soeharto
menoleh pada komunitas politik kaum Muslim untuk dijadikan patner dalam
menjalankan proses-proses kenegaraan dan kebangsaan.
Seperti yang diamati oleh Yudi Latif, “Sikap-sikap bersahabat yang
ditunjukkan oleh organisasi-organisasi Muslim terhadap ajaran resmi (ortodoksi)
negara mendorong rezim penguasa untuk mengakomodasi representasi Muslim
dalam kepemimpinan politik dan birokrasi Orde Baru.”19 Proposisi Yudi Latif di
atas menggambarkan pergeseran paradigma komunitas Muslim dalam melihat
hubungan Islam dan negara yang semakin nyata.
Hal ini yang menyebabkan negara punya ”iktikad baik” untuk
mengakomodir kepentingan-kepentingan kaum Muslim. Kebijakan ”iktikad baik”
19Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa, h. 576.
lxxi
yang dijalankan negara terhadap kepentingan-kepentingan kaum Muslim juga
tampak jelas dalam peningkatan dukungan terhadap Islam, baik struktural maupun
kultural, seperti diindikasikan oleh peningkatan yang berarti dalam subsidi-subsidi
pemerintah terhadap masjid-masjid dan sekolah-sekolah agama; serta disahkannya
beberapa undang-undang yang lebih menguntungkan bagi kepentingan umat
Islam.
Implikasinya, arus ”urbanisasi” komunitas Muslim untuk melebur ke
dalam negara meledak. Ledakan terbesar arus ”urbanisasi” komunitas Muslim dari
pinggiran ke panggung ”kekuasaan,” baik dalam birokrasi maupun dalam partai
(Golkar), terjadi di pertengahan tahun 1980-an (utamanya, tahun 1983-1988).
Pada saati itu pula, pemerintah banyak mengeluarkan kebijakan yang lebih
akomodatif terhadap kepentingan kaum Muslim. Pada momen ini, komunitas
politik Muslim merasa bisa merefleksikan suatu ”tindakan sejarah” (historical
action) dan menemukan kembali sejarah (historical self-invention) mereka yang
telah terputus (ruptures)—untuk menyuarakan aspirasi politiknya dengan
langgam yang berbeda.
1. Panggung Politik Umat Islam
Setelah hampir empat dekade umat Islam kehilangan medan aktualisasi
dirinya untuk bisa bersuara melawan proses marginalisasi politik dan ekonomi,
memasuki penghujung tahun 1970-an kalangan Muslim mulai menemukan
kembali ranah perjuangannya dalam menyuarakan kepentingan mereka. Seperti
dikatakan oleh Bahtiar Effendy: “Sejak pertengahan tahun 1980-an, ada indikasi
bahwa hubungan antara Islam dan negara mulai mencair, menjadi lebih
akomodatif dan integratif. Hal ini ditandai dengan semakin dilonggarkannya
lxxii
wacana politik Islam serta dirumuskannya sejumlah kebijakan yang dianggap
positif oleh sebagian (besar) masyarakat Islam. Kebijakan-kebijakan itu
berspektrum luas, ada yang bersifat (1) struktural, (2) legislatif, (3) infrastruktural,
dan (4) kultural.”20
Dalam matra yang pertama, Bahtiar berpandangan bahwa negara semakin
membuka ruang kepada aktivis-aktivis Islam untuk terlibat dalam proses
kenegaraan, baik melalui jalur eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Mereka ini
ditampung baik di birokrasi pemerintahan, maupun dalam partai Golkar. Bahkan,
seiring dengan kian membaiknya hubungan antara komunitas Muslim dengan
pemerintah, komposisi Kabinet Pembangunan Kelima Presiden Soeharto (1988-
1993) mengakomodasi figur-figur teknokrat santri dalam jumlah yang belum
pernah terjadi sebelumnya. Sikap akomodatif pemerintah terhadap intelektual
Muslim juga ditunjukkan dengan diangkatnya Abdurrahman Wahid, Nurcholish
Madjid, dan beberapa tokoh terkemuka Muslim lainnya sebagai anggota MPR
dari utusan golongan di bawah bendera Golkar.21 Klimaks dari ini semua, menurut
Bahtiar, adalah keterbukaan pemerintah dalam mendukung pembentukan Ikatan
Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pada 1990.
Pada matra yang kedua, Bahtiar menengarai, sikap akomodasi negara
terhadap komunitas Islam ditunjukkan dengan disahkannya sejumlah undang-
undang yang memihak pada kepentingan komunitas Muslim. Misalnya,
disahkannya Undang-Unang Pendidikan Nasional (UUPN) pada 1989;
disahkannya Undang-Undang Peradilan Agama (UUPA) pada 1989; kompilasi
20Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 35. 21Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa, h. 577-578.
lxxiii
hukum Islam pada 1991; kebijakan baru tentang jilbab pada 1991; SKB tentang
BAZIS pada 1991; dan kebijakan SDSB pada 1993.22
Matra yang ketiga, menurut Bahtiar berhubungan dengan semakin
tersedianya berbagai infrastruktur yang diperlukan oleh komunitas Muslim untuk
menjalankan kewajiban kegamaannya. Melalui Yayasan Amal Bakti Muslim
Pancasila, Soeharto membangun ratusan masjid dan—atas permintaan Majelis
Ulama Indonesia (MUI)—memotori pengiriman para juru dakwah ke daerah-
daerah terpencil. Yang paling fenomenal adalah kesediaan negara membantu
mendirikan sebuah bank yang beroperasi menurut tuntunan ajaran Islam, yaitu
Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada 1991.23
Matra yang keempat, demikian Bahtiar, menyangkut akomodasi kultural
negara terhadap Islam. Hal ini ditunjukkan dari iktikad baik negara untuk tidak
melarang idiom-idiom Islam dalam perbendaharaan bahasa pranata ideologis
komunitas Muslim, baik dalam organisasi kemasyarakatan, kemahasiswaan,
maupun politik kenegaraan. Menurut Bahtiar, hal ini merupakan bentuk
akomodasi negara secara kultural yang paling dini dibanding yang lain.24
Dalam konteks ini, kemudian Bahtiar Effendy melakukan abstraksi dari
hasil-hasil studinya yang panjang untuk memberikan temuan baru menyangkut
hubungan Islam dan negara. Selain itu, ia mencoba merumuskan dan meramalkan
apakah perkembangan hubungan Islam dan negara yang semakin adekuat itu bisa
bertahan lama (bergerak maju) atau sebaliknya (bergerak surut).
C. Arah Baru Hubungan Islam dan Negara
22Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 35. 23Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 36. 24Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 35.
lxxiv
Sebagaimana seorang pemikir terkemuka, setelah mendiskripsikan
berbagai perkembangan politik Islam kaitannya dengan negara, Bahtiar Effendy
mencoba memecah kebuntuan akut dengan memberi arah baru hubungan antara
Islam dan negara yang ideal. Menurutnya, dalam dua puluh tahun terakhir,
perkembangan hubungan Islam dan negara semakin ditemukan titik-temunya,
terutama, berkat lahirnya generasi intelgensia Muslim baru dengan berbagai
agenda dan cita-cita politiknya yang lebih mengedepankan nilai-nilai daripada
simbol-simbol.
Dalam perkembangannya, gerakan dan formulasi baru tersebut
berimplikasi pada pencarian yang memungkinkan antara Islam dengan sistem
yang dianut negara-bangsa modern pada umumnya, yaitu demokrasi. Dalam
tilikan Bahtiar, Islam dan demokrasi bisa dipertemukan melalui prasarat-prasarat
tertentu, dan negara-negara Muslim, khususnya di Indonesia, tidak terlalu sulit
untuk menerima demokrasi dengan prasarat-prasarat tertentu pula. Oleh karena
itu, dengan adanya penerimaan terhadap demokrasi—karena keduanya memang
bisa dipertemukan—akan berimplikasi pada hubungan Islam dan negara yang
lebih ”integratif.”
1. Penerimaan terhadap Demokrasi
Bahtiar mengakui, bahwa bergulirnya demokrasi yang dianut dalam sistem
negara-bangsa dunia Islam, termasuk di Indonesia, tidak serta merta diterima
begitu saja. Ia selalu melalui pergulatan panjang karena demokrasi hadir secara
tidak ramah; ia berbarengan dengan serbuan kolonialisme yang notabene rekayasa
kaum penjajah sebagai upaya untuk melumpuhkan daya resistensi kekuatan
lxxv
terpenting Bumiputra. Dalam konteks ini, demokrasi sedari awalnya telah saling
berhadapan dengan Islamisasi.
Hal ini mengandung implikasi yang sangat penting, karena untuk kurun
panjang sejarah pra-kolonial Indonesia, Islam berperan penting sebagai semen
perekat yang paling kuat dalam mempersatukan gugus-gugus manusia dari
pelbagai latar geografis, bahasa, budaya, dan sejarah. Sejarah pra-kolonial
Indonesia, sebagaimana banyak dikatakan para ahli, tidak memiliki pengalaman
persatuan nasional. Bisa dikatakan, satu-satunya faktor pemersatu yang paling
efektif dalam perjuangan nasional untuk kemerdekaan adalah jaringan sentimen
kolektif yang bersumber dari solidaritas umat Islam.
Basis afirmasi dari nasionalisme relegius seperti itu adalah bahwa
perbedaan identitas kelompok keagamaan membentuk jurang yang tak
terjembatani antara penguasa dan yang dikuasai, bahwa pemerintah Kristen
Belanda tidak memiliki hak moral untuk memerintah umat Islam. Karena Islam
tampil sebagai elemen dasar nasionalisme Indonesia, setidaknya pada tahap awal
perjuangan kebangsaan Indonesia, dan menjadi agen utama yang memproduksi
“bahasa” keresahan dan pemberontakan, bisa dipahami jika kekuatan-kekuatan
kolonial memberikan perhatian yang besar pada proyek sekularisasi sebagai upaya
untuk mengenyahkan Islam dari ranah politik (political sphere).
Dampak dari semua itu, adalah terseretnya sebagian komunitas politik
Muslim Nusantara untuk memposisikan diri berlawanan dengan demokrasi yang
diwariskan oleh kolonial Belanda. Posisi yang demikian, kemudian dianggap
menjadi salah satu—jika tidak semuanya—penyebab bahwa Islam seakan-akan
tidak ditemukan unsur-unsur kesamaannya dengan demokrasi. Hal itu bisa
lxxvi
dibuktikan, misalnya, dari karya-karya para ahli yang membahas tentang
demokrasi, sedikit sekali—jika tidak ingin dikatakan tidak ada—yang
memasukkan dunia Islam sebagai tema bahasannya.
Menurut Bahtiar, hasrat untuk meminggirkan sebagian besar dunia Islam,
dan seluruh negara Arab, dari survei demokrasi ini berpijak di atas argumentasi
bahwa negara-negara ini secara keseluruhan tidak memiliki pengalaman yang
memadai tentang demokrasi, dan lebih dari itu, menurut mereka, dunia Islam tidak
mempunyai prospek untuk melakukan proses transisi menuju demokrasi, atau
paling minimal transisi ke semi-demokrasi. Bahkan, pemikir seperti Huntington
dan Fukuyama, demikian Bahtiar, sampai pada kesimpulan yang agak gegabah:
bahwa Islam secara inherent tidaklah sesuai dengan demokrasi dan malah menjadi
ancaman besar terhadap kegiatan-kigiatan demokrasi (liberal).25
Persepsi yang demikian, bagi Bahtiar, terbentuk karena adanya pandangan
yang tunggal terhadap Islam. Terlebih lagi, pikiran seperti ini hanya merujuk pada
kegiatan sementara aktivis Muslim militan dan radikal, khususnya yang
berkecambah di Timur Tengah. Fatalnya, istilah seperti Islam militan, radikal
Islam, Islam extrimis, dan sejenisnya digunakan secara serampangan, dan
dianggap mencakup seluruh pemimpin, negara, dan organisasi yang berada di
dunia Islam.26 Anggapan sebagian besar pengamat Barat tentang Islam yang
bersifat tunggal itu, berasal dari pemahaman mereka yang terbatas tentang sifat
dan esensi Islam, baik dalam tataran ide (sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an
25Bahtiar Effendy, “Demokrasi dan Agama: Eksistensi Agama dalam Politik Indonesia,”
dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Islam, Negara, dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 2005), h, 155-172.
26Akbar S. Ahmed, Posmedernisme Islam: Tantangan dan Harapan, (Bandung: Mizan, 1997), h.
lxxvii
dan Sunnah) ataupun historis (sebagaiamana tergambarkan dalam pengalaman
kesejarahan komunitas Muslim).
Bahtiar melihat, bahwa kesalahan para pengamat Barat terletak pada
ketidakmampuan mereka untuk memahami Islam sebagai agama yang multitafsir.
Bahwa dalam mozaik gerakan Islam, tidak hanya semata-mata gerakan Islam
fundamentalis—yang ingin menerapkan hukum agama dalam negara—yang
tumbuh, tetapi juga gerakan-gerakan Islam yang lebih menekankan nilai-nilai dan
substansi juga mulai berkecambah di hampir deretan dunia-dunia Islam. Oleh
karena itu, seharusnya para pengamat Barat jangan menerapkan standar ganda
dengan mengekspos secara besar-besaran, misalnya fundamentalime Islam, tetapi
mereka juga harus menoleh terhadap gerakan-gerakan Islam yang relatif “liberal.”
Dalam konteks Indonesia, seperti dijelaskan dalam pembahasan terdahulu,
terdapat dua mainstream dalam melihat Islam dan demokrasi. Mainstream
pertama, khususnya generasi Natsir, menurut Bahtiar, sesungguhnya melihat
kesesuaian Islam dan demokrasi. Namun, pola tafsir yang dikembangkan oleh
Natsir ambigu, dan mengatasi pemikirannya tentang demokrasi, sehingga
berpretensi mengharuskan pemeluknya untuk mengkaitkan Islam secara legalistik
dan formalistik dengan seluruh aspek kehidupan, tak terkecuali dalam aspek
politik kenegaraan. Ia melihat bahwa esensi dari doktrin Islam adalah bahwa
setiap pemeluknya harus mendasarkan diri dengan nilai-nilai Islam sehingga
berimplikasi pada sebuah pemahaman bahwa seluruh kebijakan yang dirumuskan
tidak boleh bertentangan dengan Islam.27
27Effendy, “Demokrasi dan Agama,” h. 155-172.
lxxviii
Pandangan yang demikian, mengganggu berkembangnya sebuah sistem
politik yang pluralistik, khususnya di sebuah negara di mana konstruk sosial dan
keagamaannya sangat beragam. Lebih dari itu, Bahtiar meyakini, tidaklah
berlebihan jika dikatakan bahwa model pemikiran seperti itu telah mempunyai
andil—meskipun tidak harus dianggap sebagai faktor penyebab—dalam
runtuhnya sistem demokrasi konstitusional di Indonensia pada tahun 19950-an,28
di mana perdebatan di Konstituante untuk merumuskan undang-undang dasar
tidak bisa dipertemukan antara golongan agama dan nasionalis.
Mainstream kedua melihat, khususnya generasi intelgensia Muslim baru,
bahwa al-Qura’an dan Sunnah tidak memberikan panduan yang jelas dan detil
tentang model hubungan Islam dan sistem politik modern. Eksponen ini hanya
meyakini bahwa Islam memiliki prinsip etis (dalam nilai-nilai universal Islam)
yang relevan bagi pengelolaan sistem politik modern. Para penganut paham ini
selalu menunjukkan bahwa al-Qur’an dan Sunnah sarat dengan ide-ide normatif
tentang musyawarah (syura), keadilan (al-‘adl), dan persamaan yang sejajar
dengan prinsip-prinsip demokrasi.29
Dengan demikian, mereka berpendapat bahwa hubungan Islam dan politik
tidak harus bersifat kaku yang harus legalistik-formalistik, tetapi harus bersifat
substansialistik, yaitu melalui nilai-nilai. Selama sistem politik negara berdiri di
atas prinsip-prinsip musyawarah, keadilan, dan persamaaan, maka sudah absah
untuk dikatakan bahwa dasar negara tersebut sudah sesuai dengan semangat
Islam. Dalam konteks normatif, prinsip-prinsip politik Islam sama sekali tidak
bertentangan dengan demokrasi, dan bahkan nsesuai dengan nilai-nilai demokrasi.
28Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 119. 29Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 120.
lxxix
Model pemikiran Islam yang diperjuangkan oleh genersi intelgensia
Muslim baru ini, yaitu yang lebih substansialistik—sebuah posisi yang
menekankan pada pentingnya isi daripada bentuk, nilai daripada simbol—dapat
mendorong berkembangnya kehidupan politik yang demokratis. Oleh karena itu,
sudah cukup kuat alasan untuk menerima demokrasi; karena demokrasi pada
prinsipnya sesuai dengan nilai-nilai Islam; begitu juga sebaliknya, nilai-nilai
demokrasi sesuai dengan prinsip politik Islam, khususnya musyawarah, keadilan,
dan persamaan.
Berpijak dari persoalan di atas, Bahtiar berkesimpulah bahwa pemahaman
keagamaan (keislaman) yang lebih menekankan nilai-nilai, landasan etis,
inspirasi, atau substansilah—dalam istilah Bahtiar tertransformasikan—yang
mempunyai tingkat kesesuaian yang tinggi dengan demokrasi. Sementara
pandangan keagamaan yang lebih menekankan legal-formal sangat sulit
dipertemukan dengan demokrasi, kecuali gerakan dan pemikiran yang seperti ini
ditransformasikan menjadi pemahaman keagamaan (keislaman) yang lebih
menekankan nilai-nilai universal seperti yang menjadi mainstream kedua.
2. Islam dan Negara: Menuju Hubungan yang Integratif
Hubungan yang integratif antara Islam dan negara jangan dimengerti
seperti gagasan Supomo tentang negara integralistik yang memposisikan negara
menyatu dengan masyarakat, sehingga berimplikasi pada munculnya
pemerintahan yang otoriter. Ia juga jangan dimengerti sebagai penyatuan agama
dan negara yang berimplikasi pada negara adalah agama; dan agama adalah
negara (al-din wa al-daulah). Tetapi, gagasan ini merupakan temuan Bahtiar
dalam melihat perkembangan hubungan yang tepat antara Islam dan negara dalam
lxxx
dua puluh tahun terakhir. Meskipun gagasan tentang hubungan yang integratif
antara Islam dan negara ini merupakan kelanjutan-kelanjutan—dan dalam tingkat
tertentu tidak jauh berbeda—dari temuan-temuan sebelumnya, namun penting
dikemukakan untuk mendedahkan tingkat orisinalitas gagasannya.
Dalam konteks yang lebih detail, ia menegaskan bahwa terjalinnya
hubungan yang integratif itu ditandai dengan lahirnya generasi intelengesia
Muslim baru yang tidak memposisikan Islam sebagai musuh dari negara, tetapi
terintegrasi atau menyatu dengan kontstruk negara Republik Indonesia. Perlu
dijelaskan, kata “integrasi” di sini bukan berarti Islam dan negara menyatu secara
legal-formal (al-din wa al-daulah), tetapi menyatu dari sisi nilai-nilai di mana
nilai-nilai Islam tidak bertentangan (menyatu/integratif) dengan Pancasila sebagai
ideologi negara.
Bahtiar mencatat, hubungan yang mulai integratif itu setidaknya ditandai
oleh tiga ciri utama. Pertama, landasan teologis; kedua, tujuan; dan ketiga,
pendekatan Islam politik.30 Dalam konteks teologisnya, format baru politik Islam
tidak lagi berhubungan secara legalistik dan formalistik antara Islam dan negara,
atau politik pada umumnya. Selama negara tidak bertentangan dengan nilai-nilai
universal Islam, baik secara ideologis maupun politis, maka komunitas Muslim
tidak perlu menggugat idiom-idiom tersebut, dan malah harus mendukungnya.
Pada matra tujuannya, sudah begitu nyata bahwa komunitas politik Islam
tidak lagi memperjuangkan pembentukan sebuah negara Islam. Pada umumnya,
mereka sudah memperjuangkan aspirasi politiknya berdasarkan pemahaman
mereka tentang Islam yang lebih kontekstual dengan pluralitas masyarakat
30Effendy, Islam dan Negara, h. 333.
lxxxi
Indonesia. Mereka berpartisipasi dalam pembangunan politik kenegaraan yang
mencerminkan atau sejalan dengan prinisp-prinsip universal nilai-nilai politik
Islam, yaitu keadilan, egalitarianisme, musyawarah, dan partisipasi.31
Dalam matra pendekatannya, khususnya untuk mencapai tujuan-tujuan di
atas, Islam politik tidak lagi menekankan ikhtiar melalui politik partisan dengan
parlemen sebagai medan utamnya. Lebih dari itu, Islam politik dengan format
yang baru ini memperluas dan meragamkan basis perjuangannya32 melalui medan
masing-masing, baik itu organisasi sosial-keagamaan (seperti Muhammadiyah dan
NU), lembaga swadaya masyarakat, lembaga riset, universitas-universitas, partai
politik (seprti Golkar, PPP, dan lain sebagainya), di birokrasi, dan lain sebagainya.
Jadi, basis perjuangannya tidak hanya bertumpu pada parlemen dan partai politik,
tetapi seluas wilayah dan ranah kebangsaan dan kenegaraan.
D. Catatan Kritis
Pandangan-pandangan Bahtiar Effendy cukup memberikan harapan bagi
bersemainya hubungan Islam dan negara secara tepat. Yaitu hubungan yang tidak
memposisikan Islam besebrangan dengan negara, tetapi terintegrasi melalui nilai-
nilai universal Islam, dan bukan melalui legal-formalnya (hukum Islam).
Gagasannya-gagasanya dengan analisis yang tajam dan didukung dengan data
yang akurat membuat ia layak ditempatkan sebagai pemikir terkemuka di negeri
ini mengenai hubungan Islam dan negara.
Namun demikian, sebagaimana layaknya seorang pemikir, bukan berarti
gagasannya tanpa kelemahan. Kelemahannya terletak pada pembedaan yang
31Effendy, Islam dan Negara, h. 334. 32Effendy, Islam dan Negara, h. 334.
lxxxii
kurang tegas antara “negara” dan “politik.” Di hampir semua kesempatan dalam
karya-karyanya, ia jarang sekali membatasi keduanya secara tegas, terutama
menyangkut definisi, dan bahkan sering menempatkan “negara” dan “politik”
sebagai entitas yang sama. Padahal, keduanya mempunyai fungsi dan peran yang
berbeda. Negara adalah jaringan yang rumit dari organ-organ, institusi-institusi,
dan proses-proses yang semestinya menerapkan kebijkan-kebijakan yang diambil
melalui proses politik dalam setiap masyarakat. Sedangkan ‘politik’ adalah proses
dinamis dalam memilih di antara pilihan-pilihan kebijakan yang saling
bertentangan. Di atas semua itu, Bahtiar telah memberikan pijakan baru bagi
hubungan Islam dan negara yang lebih visibel.
Selain itu, terdapat sejumlah kelamahan lainnya yang juga tidak dijelaskan
secara tegas dalam banyak buku yang ditulis Bahtiar. Kelemahan itu mencakup,
pertama tiadanya definisi Islam dan Negara. Karena ketiadaan definisi tersebut,
seringkali membuat pemerhati Islam politik kesulitan menangkap bagaimana
sebenarnya Bahtiar mendefinisikan Islam dan Negara. Kedua, relevansi hubungan
Islam dan Negara dalam konteks kekinian. Dari delapan buku yang sudah
ditulisnya, tak satupun terdapat pembahasan komprehensif yang menjelaskan
bagaimana relevansi perdebatan Islam dan Negara saat ini. Relevasi Islam dan
Negara dianggap penting untuk diungkapkan dalam skripsi ini mengingat topik
tersebut belum pernah dibahas dalam sejumlah bukunya. Untuk memenuhi
kebutuhan itu, penulis melakukan wawancara langsung dengan Bahtiar guna
menjelaskan kelemahan-kelemahan di atas.
Pertama menyangkut definis Islam dan Negara. Menurut Bahtiar, Islam
adalah panduan yang digariskan Tuhan melalui utusan-NYA. Sebagai panduan,
lxxxiii
tentu saja nilai-nilai Islam menjadi pedoman kehidupan bagi para pemeluknya.
Penegasan Islam sebagai panduan ini tidak ada bedanya dengan agama-agama
samawi lainnya seperti Hindu, Budha, dan Kristen yang juga menjadikan agama
sebagai panduan bagi pemeluknya. Dalam panduan itu, Tuhan menerapkan
seperangkat aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi para
pengikutnya. Dalam Islam, sudah jelas disebutkan bahwa seseorang dapat
dikatakan muslim jika ia mengucapkan dua kalimat syahadat, melaksanakan
shalat, puasa, zakat, dan haji bagi yang mampu.
Sementara negara dimaknai sebagai wilayah teritori dengan batas wilayah
tertentu yang dihuni sejumlah komunitas masyarakat dengan beragam
kepentingan. Karena ragamnya kepentingan itu maka, negara diatur oleh sebuah
sistem pemerintahan dengan seperangkat aturan-aturan yang mengikat demi
kepentingan bersama. Oleh karena itu, dapat dikatakan secara tegas bahwa Islam
dan Negara merupakan entitas berbeda yang bisa saling melengkapi. Yang
menjadi persoalan kemudian ketika multi tafsir terhadap ajaran Islam dipraktikkan
dalam kehidupan bernegara yang masyarakatnya sangat majemuk.33 Sebagai
implikasi atas keberagaman tafsir terhadap Islam dalam kehidupan bernegara,
beragam alternatif pun juga telah ditawarkan guna memberikan solusi dalam
memposisikan Islam dalam kehidupan bernegara. Ada perspektif yang
menginginkan Islam dan Negara harus disatukan (teokrasi). Sementara satu
perspektif lainnya menegaskan pentingnya pemisahan keduanya (sekuler). Dalam
perjalanannya, tak jarang dua pandangan berbeda ini saling bergesekan bahkan
bertabrakan.
33 Hasil wawancara dengan Bahtiar Effendy pada 29 Maret 2008.
lxxxiv
Dari dua perspektif di atas, Bahtiar menyodorkan pertanyaan-pertanyaan
kritis. Apa mungkin Islam dan Negara bisa dipisahkan dalam masyarakat yang
mayoritas Islam? Pertanyaan selanjutnya, apa mungkin Islam dan negara
disatukan – dalam pengertian Islam dijadikan dasar negara – sementara
penduduknya tidak semuanya beragama Islam? Dari pertanyaan itu, Bahtiar
memberikan penjelasan yang sangat lugas. Menurutnya, di Indonesia Islam tidak
mungkin sama sekali dipisahkan dari Negara mengingat dominasi pendudukanya
menjadikan Islam sebagai agama. Meski begitu, Indonesia juga tidak mungkin
didasarkan pada perundang-undangan Islam (syariat Islam) mengingat potret
masyarakatnya cukup majemuk. Oleh karena itu, kata Bahtiar, sebenarnya tidak
ada hubungan ideal antara Islam dan Negara untuk mendamaikan keduanya. Yang
ada hanyalah hubungan fungsional, realistis pragmatis, masuk akal, dan aplikatif
yang dapat meminimkan ketegangan antar keduanya. Bahtiar mencontohkan
adanya Departemen Agama (Depag) merupakan hasil kompromi politik antara
kelompok yang pro negara teokrasi dan pro negara sekuler.34 Kompromi politik
tersebut didasarkan pada keinginan untuk mendamaikan masing-masing kelompk
yang berada di dua kutub ekstrim yang saling berjauhan. Tidak ada pilihan lain,
kecuali menegoisasikan kedua kutub tersebut guna menciptakan stabilitas. Hal
inilah yang disebut Bahtiar dengan akomodasi parsial. Sampai saat ini, akomodasi
parsial dinilai sebagai bentuk akomodasi yang paling aplikatif dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Kedua, menyangkut relevansi hubungan Islam dan Negara saat ini. Bahtiar
meyakini, perdebatan seputar Islam dan Negara akan terus menjadi polemik yang
34 Hasil wawancara dengan Bahtiar Effendy pada 29 Maret 2008.
lxxxv
tetap akan dibicarakan sepanjang masa baik di kalangan pemerhati maupun
praktisi Islam politik. Meski perdebatan ini sudah memakan waktu yang cukup
lama, namun sampai saat ini persoalan meletakkan keduanya dalam posisi ideal
masih terus diperbincangkan. Bahtiar mengakui, banyak pihak yang tidak terlalu
nyaman dengan pilihan menjadi teokrasi maupun sekuler. Saat ini, katanya, secara
de facto yang berjalan di Indonesia adalah hubungan akomodasi parsial antar
keduanya. Dalam hubungan akomodasi parsial ini, negara pada titik-titik tertentu
diperbolehkan mengatur dan mengelola kehidupan penduduknya seperti
kebebasan memilih agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya
masing-masing. Akan tetapi, hak pengelolaan itu harus dibatasi apalagi
menyangkut persoalan hukum pidana. Hal itu sangatlah problematis dan
membutuhkan penafsiran mendalam sehingga negara bisa mengaturnya dengan
baik.35
Tidak hanya itu, Bahtiar juga menengarai adanya tuntutan menjadikan
syariat Islam sebagai dasar negara sebagai implikasi dari perdebatan Islam dan
Negara yang tidak kunjung selesai. Menurutnya, lahirnya kelompok-kelompok
masyarakat yang menyuarakan pentingnya Islam sebagai dasar negara bisa
difahami sebagai respon terhadap kegagalan Pancasila (dasar negara yang sekuler)
dalam menjalankan amanahnya dalam menjamin stabilitas bernegara. Untuk itu,
adanya desakan menjadikan Islam sebagai solusi kehidupan sangat bisa
dimengerti sebagai salah satu upaya untuk menjawab persoalan bangsa yang kian
carut marut. Oleh karena itu, di sinilah sebenarnya letak relevansi perdebatan
Islam dan Negara terus dibicarakan.
35 Hasil wawancara dengan Bahtiar Effendy pada 29 Maret 2008.
lxxxvi
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan penjelajahan secara singkat dan padat terhadap
pemikiran Bahtiar Effendy di bab-bab terdahulu, pada momen ini sudah saatnya
untuk menarik kesimpulan dari berbagai gagasan Bahtiar menyangkut hubungan
Islam dan negara. Dari eksplorasi yang cukup jauh, namun ringkas itu, memang
tidak secara “eksplitis” ditemukan pemikiran Bahtiar Effendi tentang hubungan
yang ideal antara Islam dan negara. Bahkan, di hampir semua gagasan-gasannya
dalam karyanya, Bahtiar memang tidak menegaskan posisi pemikirannya terkait
hubungan Islam dan negara. Tetapi, basis afirmasinya terhadap beberapa
perkembangan hubungan Islam dan negara sudah cukup menunjukkan posisinya
dalam spektrum gerakan dan pemikiran Islam tentang pertautan Islam dan negara.
Ada dua hal penting yang bisa disimpulkan dari pemikiran Bahtiar tentang
hubungan Islam dan negara, dan keduanya saling terkait satu sama lain. Pertama,
gagasan pemikirannya tentang kesesuaian Islam dan demokrasi. Kedua, ide
briliannya mengenai hubungan Islam dan negara yang terintegratif. Menyangkut
yang pertama, ia menunjukkan bahwa Islam (khususnya dalam al-Qur’an dan
Sunnah sebagai sumber utama) sarat dengan ide-ide normatif tentang musyawarah
(syura), keadilan (al-‘adl), dan persamaan yang sejajar dengan prinsip-prinsip
demokrasi.
Dengan demikian, ia menempatkan hubungan Islam dan negara tidak
harus bersifat rigid dengan menerapkan hukum (syariah) Islam dalam negara,
lxxxvii
tetapi hubungan keduanya harus melalui nilai-nilai Islam. Hal itu dilakukan
karena demokrasi yang dianut dalam sistem negara-bangsa modern, khususnya di
Indonesia, sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal Islam; dan
sebaliknya, keduanya mempunyai kesamaan yang bisa dipertemukan.
Pada dimensi yang kedua, menyangkut hubungan Islam dan negara yang
terintegratif. Hubungan yang integratif itu dibuktikan dengan gagasan generasi
intelengesia Muslim baru yang memposisikan Islam sebagai satu medan
perjuangan dengan kontstruk negara Republik Indonesia. Satu medan di sini
bukan berarti Islam dan negara menyatu secara legal-formal (al-din wa al-
daulah), tetapi menyatu dari sisi nilai-nilai di mana nilai-nilai Islam tidak
bertentangan (menyatu/integratif) dengan Pancasila sebagai ideologi negara.
Sejauh praktek-praktek kenegaraan masih berbasis pada nilai-nilai politik Islam,
maka selayaknya kaum Muslim untuk tetap setia menerimanya.
Dalam konteks yang lebih spesifik, hubungan yang mulai integratif itu
setidaknya ditunjukkan oleh landasan teologis politik Islam; tujuan politik Islam;
dan pendekatan politik Islam yang sudah diformat secara baru dengan
memperluas basis perjuanggannya. Basis perjuangannya tidak hanya
diprioritaskan pada parlemen sebagai panggung artikulasi, tetapi mulai diperluar
ke seluruh ranah kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.
B. Saran-Saran
Di penguhujung studi ini, sepertinya perlu juga untuk melampirkan
sekelumit sara-saran dalam rangka memperbaiki hubungan Islam dan negara di
masa depan. Saran yang utama adalah untuk konteks hubungan kengaraan dan
kebangsaan di masa yang akan datang, komunitas politik Islam tidak perlu
lxxxviii
mengembangkan hubungan Islam dan negara yang legalistik-formalistik. Hal ini
penting, sehingga tidak berimplikasi pada permusuhan antara Islam dan negara—
yang tentu hanya membuat komunitas politik Islam semakin tidak produktif.
Sebaliknya, kini dan nanti, komunitas politik Islam perlu memelihara dan
mengembangkan hubungan Islam dan negara yang integratif. Agar komunitas
politik Islam bisa berkontribusi secara menyeluruh dalam menyelesaikan
persoalan kenegaraan dan kebangsaan yang sekarang sedang dipertaruhkan.
Wallahu ‘alam.
lxxxix
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, S. Akbar, Posmedernisme Islam: Tantangan dan Harapan, Bandung: Mizan, 1997
Ali, Fachry dan Effendy, Bahtiar, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi
Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Bandung: Mizan, 1986, Cet. I
Al Chaidar, Pemilu 1999: Pertarungan Ideologis Partai-partai Islam Versus Partai-partai Sekuler, Jakarta: Darul Falah, 1999
Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan
Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. Cet. I
Amir, Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto, Jakarta: Pustaka LP3S
Indonesia, 2003. Cet. I Anwar, M. Syafi’I, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik
tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995. Cet. I
Asfar, Muhammad, Pemilu dan Perilaku Memilih 1955-2004, Surabaya:
kerjasama Pustaka Eureka dengan PusDeHam, 2006. Cet. I Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme
hingga Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996. Cet. I Badri, Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999. Cet. I Brown, L. Carl, Wajah Islam Politik: Pergulatan Agama & Negara Sepanjang
Sejarah Umat, terj. Abdullah Ali, Jakarta: Serambi, 2003, Cet. I Effendy, Bahtiar, Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi, dan
Negara yang Tidak Mudah, Jakarta: Ushul Press, 2005. Cet. I -------, Gus Dur dan Pupusnya Dwi Tunggal: Retaknya Hubungan NU, Presiden,
dan Negara, Jakarta: Ushul Press, 2005. Cet. I -------, Islam dan Negara: Trasformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, terj. Ihsan Ali Fauzi, Jakarta: Paramadina, 1998. Cet. I -------, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan: Perbincangan Mengenai
Islam, Masyarakat Madani, dan Etos Kewirausahaan, Yogyakarta: Galang Press, 2001
xc
-------, (Re) politisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik, Bandung:
Mizan, 2000. Cet. I -------, Teologi Baru Politik Islam: Pergulatan Agama, Negara, dan Demokrasi,
Yogyakarta: Galang Press, 2001 -------, Islam in Contemporary Indonesian Politics, Jakarta: Ushul Press, 2005.
-------, “Demokrasi dan Agama: Eksistensi Agama dalam Politik Indonesia,” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Islam, Negara, dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, Jakarta: Paramadina, 2005 Hidayat, Komaruddin dan Gaus AF, Ahmad, ed. Islam, Negara & Civil Society,
Jakarta: Paramadina, 2005, Cet. I Karim, M. Rusli, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1999. Cet. I Latif, Yudi, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Geneologi Intelegensia Muslim
Indonesia Abad ke-20, Bandung: Mizan, 2005 Maarif, Ahmad Syafii, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi tentang
Perdebatan dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, 2006 Mahendra, Yusril Ihza, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam,
Jakarta: Paramadina, 1999. Cet. I Madjid, Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1993. Natsir, M, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, Jakarta: Media Da’wah,
2001. Cet. I Natsir, Ismet dan Djohan Effendi (penyunting), Pergolakan Pemikiran Islam:
Catatan Harian Ahmad Wahib, Jakarta: LP3ES, 2003 Noer, Deliar, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, tej. Deliar Noer,
Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1996. Cet. VIII -------, Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan
Politik Indonesia 1945-1965, Bandung: Mizan, 2000. Cet. II Sirry, Mun’im A., Dilema Islam Dilema Demokrasi: Pengalaman Baru Muslim
dalam Transisi Indonesia, Jakarta: Gugus Press, 2002. Cet. I Sjadzali, H. Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,
Jakarta: UI-Press, 1993, Cet. V
xci
Sofyan, Ahmad A. dan Madjid, M. Roychan, Gagasan Cak Nur tentang Negara & Islam, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2003. Cet. I
Suradi, Haji Agus Salim dan Konflik Politik dalam Sarekat Islam, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1997. Cet. I Syamsuddin, M. Din, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001.
Cet.I Thaha, Idris, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M.
Amien Rais, Jakarta: Teraju, 2005. Cet. I
Top Related