1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hidup dan kehidupan mesti terus berjalan, bukan hanya untuk
generasi hari ini melainkan untuk generasi mendatang dan seterusnya.
Pembangunan haruslah berkelanjutan dan menjamin bahwa kehidupan
generasi mendatang pasti terjamin, sehingga generasi yang hidup sekarang
bukanlah ancaman bagi generasi berikutnya. Perhatian terhadap lingkungan
hidup menjadi sangat penting, karena dalam kegiatan-kegiatan pembangunan
dan pemanfaatan sumber daya alam, seringkali menimbulkan akibat-akibat
yang tidak diinginkan.
Banyak faktor yang menjadi penyebab meningkatnya kasus perusakan
lingkungan dan penurunan daya dukung lingkungan, di antaranya diakibatkan
oleh laju pertumbuhan penduduk, pembangunan infrastruktur, aktivitas
industri, eksploitasi sumberdaya mineral, limbah domestik, serta teknologi
yang tidak ramah lingkungan terus berjalan, pola kehidupan yang konsumtif,
lemahnya penegakan hukum, serta belum optimalnya kapasitas sumber daya
manusia dalam menegakkan aturan main yang ada. Semua itu dapat
meningkatkan kerusakan lingkungan hidup seperti pencemaran dan
penurunan kualitas lingkungan hidup semakin meluas. Tingkat pencemaran
yang tinggi akan dapat mengganggu ekosistem dan keanekaragaman hayati
yang dapat menurunkan daya dukung dan daya tampung lingkungan dalam
mendukung program-program pembangunan.
Akibat dari kerusakan lingkungan hidup juga menyebabkan terjadinya
masalah perubahan iklim yang bisa berdampak sangat buruk. Indonesia
sebagai negara tropis dan kepulauan, dikategorikan sebagai salah satu negara
yang rentan terhadap perubahan iklim. Dampak perubahan iklim sudah
menjadi ancaman yang cukup serius bagi lingkungan. Tanda-tanda dari
dampak perubahan iklim dapat dilihat dari adanya kenaikan temperatur udara,
perubahan curah hujan, kenaikan permukaan air laut, dan perubahan musim
2
yang ekstrim. Kondisi ini menyebabkan terjadinya bencana kekeringan,
banjir, longsor, dan bencana alam lainnya
Alasan penulis memilih judul ini karena akhir-akhir ini wilayah
provinsi Bali telah merasakan dampak pemanasan global dan perubahan
iklim, seperti terjadinya pergeseran musim, abrasi pantai yang cukup
mengkhawatirkan, berkembangnya berbagai jenis penyakit tropis,
menurunnya debit air permukaan, meningkatnya suhu udara dan dampak-
dampak lainnya yang merugikan wilayah Bali. Oleh karena itu, konsep
pembangunan berkelanjutan yang secara filosofis sudah diletakkan dan
dipraktekan oleh para leluhur di Bali yaitu Tri Hita Karana agar dimanfaatkan
di masa kini maupun di masa mendatang untuk menjaga keseimbangan
pemanfaatan sumber daya alam dan menjaga kelestarian sumber daya alam
itu sendiri.
3
B. Identifikasi Masalah dan Batasannya
Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimana mengetahui tantangan ke depan yang dihadapi Bali dalam
penataan ruang dan lingkungan hidup?
2. Bagaimana mengetahui strategi maupun kebijakan pemerintahan provinsi
Bali dalam pengelolaan lingkungan hidup menuju Bali yang bersih dan
hijau?
3. Baimana cara membangun budaya bersih masyarakat melalui
reaktualisasi Tri Hita Karana dalam pengelolaan lingkungan hidup untuk
mewujudkan Bali yang bersih dan hijau.
4. Apa saja tantangan dan dinamika dalam penegakan instrumen hukum
pengelolaan lingkungan hidup menuju Bali yang bersih dan hijau.
5. Bagaimana cara memebrikan kontribusi pemikiran kepada pemerintah
mupun masyarakat luas berkaitan dengan pentingnya implementasi nilai
Tri Hita Karana secara konsisten dalam rangka mewujudkan Bali Clean
and Green.
C. Tujuan dan Manfaat Rancangan
1. Tujuan Perancangan
Seminar ini dimaksudkan untuk mengumpulkan data-data dan informasi
yang berhubungan dengan lingkungan di Bali dengan menggunakan
konsep Tri Hita Karana. Adapun tujuan dari seminar ini dapat diuraikan
sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui berbagai tantangan ke depan yang dihadapi Bali
dalam penataan ruang dan lingkungan hidup.
b. Untuk mengetahui strategi maupun kebijakan pemerintah provinsi
Bali dalam pengelolaan lingkungan lidup menuju Bali yang bersih
dan hijau.
c. Untuk menemukan cara membangun budaya bersih masyarakat
melalui reaktualisasi Tri Hita Karana dalam pengelolaan lingkungan
hidup untuk mewujudkan Bali yang bersih dan hijau.
4
d. Untuk memotret berbagai tantangan dan dinamika dalam penegakan
instrumen hukum pengelolaan lingkungan hidup menuju Bali yang
bersih dan hijau
e. Untuk memberikan kontribusi pemikiran kepada pemerintah maupun
masyarakat luas berkaitan dengan pentingnya implementasi nilai Tri
Hita Karana secara konsisten dalam rangka mewujudkan Bali Clean
and Green.
2. Manfaatkan Perancangan
Hasil penelitian ini dapat berguna bagi :
a. Mahasiswa
Dapat memberikan tambahan pengetahuan dan wawasan yang
berkaitan dengan masalah lingkungan di Bali yang berlandaskan
dengan konsep Tri Hita Karana.
b. Perusahaan
Dapat memberikan masukan yang berharga bagi kepentingan pihak
perusahaan upaya pemeliharaan lingkungan di Bali.
c. Masyarakat
Dapat memberikan himbauan dalam pemeliharaan dan pelestarian
lingkuang di Bali dengan menggunakan konsep Tri Hita Karana.
d. Lembaga
Dapat menambah refrensi dan literatur kepustakaan.
5
D. Kerangka Teori
Pembangunan Daerah Bali berlandaskan pada kebudayaan yang
dijiwai oleh Agama Hindu dengan filosofi Tri Hita Karana, bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelestarian budaya, dan lingkungan
hidup, guna menuju masyarakat yang maju, aman, damai dan sejahtera (Bali
Mandara). Bali Green Province telah dicanangkan oleh Gubernur Bali pada
tanggal 22 Februari 2010 bertepatan dengan pembukaan Konferensi UNEP
ke-11 di Nusa Dua. Dan pada tanggal 20 Juli 2010 telah dilaksanakan
workshop dengan melibatkan berbagai komponen masyarakat, ada 3 (tiga)
membahas peta jalan (road map) menuju Bali Green Province, untuk
mengetahui alur road map dalam penelitian ini, maka dibuatlah kerangka
konseptual seperti pada Gambar 1.
Gambar 1.
E. Sistematika Penulisan
Strategi pengendalian pencemaran lingkungan dapat dilakukan dengan
beberapa pendekatan seperti pendekatan kebijakan dan kelembagaan,
teknologi, dan sosial ekonomi. Melalui penerapan aturan yang berkeadilan
pelanggaran lingkungan dapat di kurangi secara bertahap. Hal ini akan dapat
terjadi apabila aspek penegakan hukum lingkungan dijalankan secara
Green Culture
Green Economy
Green and Clean
6
konsisten. Selain itu, penerapan teknologi secara tepat dapat menurunkan
produksi sampah dan limbah dari suatu proses produksi. Implementasi konsep
green economy memungkinkan terjadinya keberlanjutan produksi ramah
lingkungan karena pencitraan usaha menjadi lebih diterima oleh pasar.
Selain ketiga pendekatan di atas, pemahaman terhadap fenomena pencemaran
lingkungan hidup tidak dapat dipisahkan dari perilaku masyarakat yang mulai
mengabaikan nilai-nilai kearifan lokal. Oleh karena itu, pendekatan budaya
yang berbasis pada perubahan perilaku masyarakat terkait pengelolaan
sampah dan limbah yang dihasilkannya sangat berperan dalam mengurangi
ancaman pencemaran lingkungan. Saat ini makin sedikit orang yang
menghormati aliran sungai sebagai sumber kemakmuran, seperti yang
tertuang dalam kitab suci. Mereka seenaknya saja membuang sampah ke
sungai bahkan di dekat mata air. Dengan memberikan penjelasan tentang
nilai-nilai kesucian air melalui kegiatan dharma wacana sebelum
persembahyangan di pura dan menyiapkan sarana berupa tempat sampah
yang memadai, maka akan terjadi perubahan perilaku masyarakat yang
semakin menghargai kebersihan dan kesucian.
Program sosialisasi melalui kegiatan di tempat suci pada umumnya
cukup efektif untuk mendidik masyarakat lebih mencintai lingkungan hidup.
Hal ini dilihat dari ketertiban masyarakat yang bersembahyang di beberapa
tempat suci/ pura yang menyampaikan pesan-pesan terkait pengelolaan
sampah dan limbah sebagai bagian dari proses persembahyangan. Perubahan
yang mendasar terjadi setelah beberapa kali ada kegiatan dharma wacana
yang memasukkan aspek penghormatan terhadap lingkungan dengan
melakukan kegiatan nyata, seperti kebersihan, pengolahan sampah, atau
melakukan aktivitas penanaman pohon. Peran tokoh agama dan tokoh
panutan sangat besar dalam perubahan perilaku masyarakat dalam menjaga
lingkungan.
Pendekatan kultural dalam mengatasi pencemaran lingkungan di Bali
dilandasi pada keunikan Bali yang merupakan satu ekosistem pulau kecil
dengan tingkat keseragaman kultural masyarakatnya yang tinggi. Masyarakat
Bali walaupun secara individu, kelompok dan kewilayahan memiliki
7
kekhususan masing-masing, sangat dimungkinkan untuk diberikan
kepercayaan mengelola sumber daya yang dimiliki secara mandiri dan
berbudaya.
Paradigma masyarakat Bali yang mengedepankan keharmonisan
dalam hidup (Tri Hita Karana) sangat selaras dengan konsep pembangunan
yang berkelanjutan. Apabila didapatkan kemandirian dalam mengelola
potensi sumber daya yang dimiliki Bali, maka pengelolaan lingkungan hidup
di Bali diyakini dapat membiayai potensi pencemaran lingkungan hidup yang
terjadi sebagai akibat aktivitas masyarakatnya. Pendekatan kultural yang
mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal, dapat dilakukan dengan
memberikan ruang gerak yang sewajarnya pada masyarakat yang memiliki
identitas kultural setempat, dan pada saat bersamaan masyarakat dengan
identias kultural lain seharusnya memahami nilai-nilai dan norma yang
diyakini oleh masyarakat setempat. Potensi kerusakan lingkungan di Bali
akan sangat mungkin semakin parah, apabila pemerintah mengabaikan
pendekatan kultural dalam mengatasi pencemaran lingkungan, dengan
semata-mata menekankan hanya pada pendekatan teknologi, institusi dan
ekonomi semata. Pemahaman terhadap nilai-nilai kearifan lokal dapat
meningkatkan apresiasi para pihak yang terlibat dalam program pengendalian
pencemaran lingkungan hidup. Oleh karena itu, untuk mengendalikan
pencemaran lingkungan hidup yang diakibatkan oleh sampah dan limbah
yang semakin banyak diperlukan suatu strategi rekayasa budaya dengan
mengimplemetasikan landasan filosofis pembangunan Bali yang
berlandaskan Tri Hita Karana secara konsisten dan terarah.
Strategi rekayasa budaya dilakukan dengan meningkatkan kesadaran untuk
menyelamatkan masa depan Bali dengan gerakan mengurangi timbunan
sampah atau limbah secara konsisten dan berkelanjutan. Strategi tersebut
dilakukan dengan mengimplementasikan melalui konsep 3-R, yakni reduce
(kurangi), reuse (gunakan kembali), dan recycling (daur ulang), untuk setiap
bidang kehidupan masyarakat. Masyarakat perlu digalang untuk mengurangi
(reduce) pemanfaatan sumber daya dalam berbagai aktivitas kehidupan.
8
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat diajak untuk dapat
memanfaatan kembali (reuse) benda yang telah dikonsumsi, dan kalau
memungkinkan melakukan upaya daur ulang (recycling) terhadap barang-
barang yang telah dimanfaatkan. Upaya-upaya tersebut harus dilakukan
dengan cara-cara yang sederhana, menarik, dan konsisten melalui program
sosialisasi, pilot project, gerakan menyeluruh, serta tindakan nyata dengan
memperbanyak keterlibatan intelektual dan tokoh masyarakat setempat dalam
program pemberdayaan masyarakat. Strategi ini sangat selaras dengan upaya
mewujudkan Bali sebagai Provinsi Hijau dan Bersih.
Pendekatan budaya yang berasal dari penghargaan pada keberagaman
ekologis, dengan mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal, perlu dijadikan
acuan dalam perencanaan pembangunan. Pendekatan itu dilakukan dengan
memberikan ruang gerak yang sewajarnya pada masyarakat yang memiliki
identitas kultural setempat, untuk mengelola sumber daya yang dimiliki
secara bijak, dan pada saat bersamaan masyarakat dengan identitas kultural
lain diharapkan dapat memahami nilai-nilai dan norma yang diyakini oleh
masyarakat setempat. Dituntut adanya proses asimilasi dan akulturasi yang
mendalam dalam pemaknaan pesan-pesan lokal yang diberikan. Pada sisi lain,
diperlukan penjelasan tentang manfaat dari mematuhi nilai-nilai kearifan
lokal dan tradisi serta simbol-simbol lokal secara rasional, sehingga dapat
dipahami secara universal.
Implementasi pendekatan budaya dalam pengelolaan lingkungan
hidup di Bali yang diharapkan dapat mewujudkan kelestarian lingkungan
hidup dan pembangunan berkelanjutan dapat dilakukan dengan
mentrasformasikan nilai-nilai kearifan lokal berbasis pada konsep orientasi
hidup yang mengedepankan keselarasan dan keharmonisan untuk mencapai
kesejahteraan manusia. Transformasi mitos-mitos yang diyakini secara tradisi
dituangkan secara lebih rasional menjadi logos. Dengan demikian, kedalaman
maknanya dapat dipahami oleh masyarakat dari identitas budaya berbeda
berdasarkan etnisitas, kepercayaan, dan agama. Oleh karena itu, tuntutan
terhadap kualitas, kuantitas, modalitas, dan kausalitas yang mendasari nilai-
nilai kearifan lokal perlu dimaknai secara universal. Hal itu akan
9
menyebabkan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi dipahami secara
rasional untuk dilaksanakan sepenuh hati oleh seluruh masyarakat Bali yang
semakin majemuk
10
BAB II
METODE PENELITIAN
F. Lokasi Penelitian
Pulau Bali yang dikenal sebagai salah satu “pulau terindah di dunia”
saat ini menghadapi ancaman pencemaran lingkungan hidup yang parah. Hal
ini bisa dilihat secara kasat mata dari semakin banyaknya sampah yang
berserakan, terutama di kawasan pemukiman padat perkotaan serta bau yang
menyengat dari air selokan yang buntu akibat tergenang cukup lama tanpa
ada pengelolaan. Beberapa hasil penelitian tentang kualitas air (sungai dan
laut), khususnya di Kawasan Teluk Benoa, menunjukan tingkat pencemaran
yang tinggi. Di samping itu, di beberapa kawasan padat lalu lintas, tingkat
pencemaran udara semakin bertambah setiap tahun. Tingkat pencemaran
lingkungan yang semakin tinggi sangat mengkhawatirkan apabila dikaitkan
dengan ketergantungan ekonomi masyarakat Bali pada pariwisata. Bila di
masa yang akan datang polutan yang masuk ke lingkungan sudah jauh
melebihi kemampuan daya dukung lingkungan Bali, maka pulau yang dikenal
sebagai destinasi pariwisata terbaik di dunia ini akan ditinggalkan. Pada
saatnya nanti, masa depan Bali benar-benar sangat kritis apabila tidak
dilakukan langkah-langkah penyelamatan yang terpadu dan tepat sasaran.
Salah satu upaya penyelamatan masa depan Bali dari ancaman kerusakan
lingkungan yang semakin parah adalah dicanangkannya Program Bali Clean
and Green. Mewujudkan Bali sebagai Provinsi Hijau dan Bersih merupakan
sebuah gagasan yang cerdas. Pulau Bali yang dijuluki sebagai Pulau Sorga,
Pulau Dewata, dan berbagai julukan indah lainnya tentu harus diimbangi
kenyataan bahwa memang Bali adalah pulau yang indah, memiliki aura
kesucian yang tinggi, bersih, aman, dan nyaman.
11
G. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi Penelitian
Indah, itulah kata pertama yang selalu diingat jika menyebut Bali,
pulau seribu pura, Pulau Dewata. Saking indahnya ada yang
menyebutnya surga dunia. Setiap hari sekitar 5.458 wisawatawan
domestik dan international masuk Bali. Tak heran jika pendapatan
terbesar provinsi ini dari sektor pariwisata.
Berdasarkan data Bali dalam angka tahun 2009, pada 2008 jumlah
wisatawan ke Bali sebanyak 1.992.299 orang, meningkat 19,4 persen dari
tahun sebelumnya. Surat kabar lokal malah pernah melansir berita,
jumlah wisatawan ke Bali melebihi jumlah penduduknya.
Dari data yang sama disebutkan, total luas Provinsi Bali 5.634,40
hektar, dengan kepadatan penduduk 652 orang per km persegi. Seiring
berkembangnya Bali sebagai provinsi wisata, jumlah investor yang
masuk pun semakin banyak. Ini pada akhirnya berimbas pada
meningkatnya jumlah pembangunan dan pendatang. Lalu, apa
dampaknya pada lingkungan Bali?
Tahun 2010 Pemerintah Provinsi Bali (Pemprov Bali)
mencanangkan program Bali Green and Cleen. Tampaknya mudah
menjalankan program ini, mengingat pengembangan pariwisata Bali
didasarkan konsep Tri Hita Karana, yaitu keseimbangan hubungan antara
manusia, alam, dan Sang Pencipta. Hal itu tentunya membuat Bali tetap
ajeg, lestari alamnya, terpelihara seni-budayanya, dan makmur
masyarakatnya. Tetapi, apakah pada kenyataanya semua berjalan sesuai
konsep Tri Hita Karana?
Mari bicara tentang hutan di Bali. Berdasarkan data statistik
lingkungan hidup Indonesia 2009, luas hutan di Bali 130.686,01 hektar
(23,2 persen luas Provinsi Bali). Luas hutan ini mencakup hutan lindung,
hutan produksi terbatas, dan hutan produksi. Dari semua itu, 3 hektar (ha)
mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut antara lain disebabkan
aktivitas perambah hutan. Selain itu, Bali juga memiliki kawasan hutan
12
bakau seluas 2.215,5 ha, 2.004,5 ha dalam kawasan hutan dan 211 ha di
kawasan nonhutan.
Nah, yang masuk kategori rusak berat seluas 253,4 ha (11,44
persen), kategori rusak 201,5 (9,1 persen), dan kategori tak rusak 1.760,6
(79,47 persen). Selain karena perambahan hutan, kerusakan juga sebab
alih fungsi, misalnya pembukaan tambak di Kabupaten Buleleng.
2. Sampel Penelitian
Secara umum, permasalahan lingkungan hidup yang menjadi
tantangan mewujudkan Bali sebagai Provinsi Hijau dapat dilihat dari
beberapa hal.
Pertama adalah terkait dengan potensi sumber daya alam yang
semakin kritis, seperti keberadaan kawasan hutan di Bali yang belum
mencapai luas yang ideal dan kondisi yang optimal. Luas lahan kritis di
Bali semakin bertambah akibat perubahan alam dan aktivitas manusia.
Lahan hijau semakin berkurang akibat desakan kebutuhan terhadap
pembangunan pemukiman , akomodasi pariwisata, sarana dan prasarana
infrastruktur dan lain lain. Secara kuantitas, potensi air bersih semakin
berkurang setiap tahun, karena berkurangnya sumber air baku yang
disebabkan oleh mengecilnya debit dan menurunnya kualitas air oleh
adanya pencemaran. Berkurangnya cadangan air tanah diakibatkan oleh
pengambilan yang melampaui kemampuannya, sehingga potensi air
tanah menjadi menurun. Selain itu, kawasan terbuka hijau semakin hari
semakin mengecil yang diikuti alih fungsi lahan dari kawasan resapan air
menjadi kawasan terbangun. Hal ini banyak dijumpai di kawasan yang
berdekatan dengan pusat pertumbuhan pariwisata, pada daerah-daerah
yang padat permukiman, atau pada jalur sepanjang jalan baru. Bahkan
intrusi air laut sudah sudah dijumpai pada air tanah pantai di kawasan
pariwisata Sanur, Kuta dan sekitarnya. Sedangkan pencemaran air
permukaan telah pula terjadi pada sungai-sungai yang terutama berada di
Kota Denpasar dan Badung.Tentu sangat tidak mungkin mengharapkan
terjadinya peningkatan kawasan hijau yang subur di suatu kawasan
13
apabila tidak tersedia cadangan air yang memadai. Selain itu,
bertambahnya kawasan pantai yang mengalami abrasi merupakan
masalah lingkungan yang sangat serius, karena telah menimbulkan
kerugian ekonomi yang tidak kecil akibat hilangnya lahan-lahan
penduduk serta rusaknya fasilitas umum.Permasalahan ketersediaan air
ini merupakan tantang terbesar Program Bali Hijau, karena tidak
mungkin tumbuhan dapat hidup dengan baik tanpa ada persediaan air
yang memadai. Oleh karena itu, pemerintah dan para pihak terkait benar-
benar harus serius menangani permasalahan air ini apabila ingin program
mewujudkan Bali Hijau tidak hanya program wacana.
Kedua, tantangan mewujudkan Bali sebagai Provinsi yang Bersih
berasal dari perilaku masyarakat dan aktivitas jasa/industri berkaitan
dengan produksi sampah dan limbah. Masalah sampah dan limbah
dijumpai terutama pada daerah-daerah yang mempunyai laju
pembangunan yang cukup pesat, seperti Kota Denpasar dan Badung saat
ini telah menjadi momok yang menakutkan. Memang masalah ini selalu
akan berkaitan dengan jumlah dan aktivitas penduduknya, karena makin
besar jumlah penduduk dan aktivitasnya makin besar pula jumlah sampah
dan limbah yang dihasilkan. Tata ruang perkotaan yang mengabaikan
asas keterpaduan antar sektor menimbulkan konflik dalam pengendalian
masalah yang terjadi setelah adanya kegiatan pembangunan. Bila tidak
diimbangi dengan langkah-langkah yang terpadu, khususnya dari aspek
pengendalian dan penegakan hukum yang konsisten, maka masalah
sampah dan limbah ini akan menjadi ancaman serius terhadap masa
depan Bali. Kerbersihan udara Bali saat ini juga semakin terusik dengan
semakin banyaknya polutan yang masuk ke dalam udara ambien. Akibat
tidak tersedianya sistem transportasi publik yang memadai, sehingga
memicu peningkatan kepemilikan kendaraan bermotor berdampak pada
peningkatan pencemaran udara dan kebisingan. Penggunaan bahan bakar
minyak (HSD/MFO) pada pembangkit listrik di Bali memberikan
kontribusi terhadap perubahan kualitas lingkungan di sekitarnya seperti
pencemaran air, udara, kebisingan dan getaran.
14
Ketiga, tantangan Program Bali Clean and Green juga berasal
dari aspek sosial masyarakat Bali. Semakin bertambahnya penduduk
pendatang yang bermukim di kawasan perkotaan yang padat serta masih
ditemukannya penduduk miskin di Bali akan berkaitan dengan
permasalahan lingkungan seperti perambahan hutan, pelanggaran tata
ruang wilayah, pemukiman kumuh maupun masalah sanitasi yang buruk.
Kinerja pelayanan birokrasi pemerintahan yang rendah, terutama pada
aspek perizinan usaha, korupsi, kolusi, dan nepotisme memiliki kaitan
dengan sikap apatisme masyarakat Bali terhadap program-program
pembangunan.Di samping itu, sikap mau menang sendiri, arogran, dan
mementingkan diri sendiri, kelompok dan golongan akan mendorong
tindakan yang mengabaikan rasa kesetiakawanan sosial,gotong royong,
dan empati yang sangat penting dalam pengendalian terhadap
permasalahan lingkungan.
Berbagai permasalahan lingkungan hidup yang dihadapi Bali
tentunya memerlukan pengelolaan dan pengendalian dampak lingkungan
yang konsisten dan terpadu. Hal ini terkait dengan upaya meningkatkan
partisipasi para pihak terkait dan perubahan perilaku masyarakat dalam
memandang laju proses pembangunan. Harapan agar konsep
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang
menyeimbangkan aspek ekonomi, budaya dan lingkungan menjadi
harapan bersama dalam mewujudkan Bali yang maju dan sejahtera.
H. Jenis dan Sumber Data
Bertambahnya jumlah penduduk berdampak langsung pada
peningkatan jumlah sampah dan limbah. Apabila sampah dan limbah tersebut
tidak dikelola dengan benar maka pulau Bali yang terkenal ini lama kelamaan
akan dikotori tumpukan sampah. Padahal Bali dikenal sebagai pulau Sorga,
pulau Dewata, atau pulau seribu pura. Apa yang harus dilakukan untuk
menyelamatkan Bali dari kehancuran akibat sampah dan limbah tersebut?
Tulisan ini diambil dari hasil penelitian tentang pencemaran lingkungan
hidup dengan studi kasus di kawasan kota-kota besar di Bali secara umum
15
dan di kawasan Teluk Benoa Bali secara khusus, bertujuan untuk dapat
menawarkan suatu strategi rekayasa budaya yang mengedepankan upaya
bersama dari seluruh komponen masyarakat dalam menyelamatkan Bali dari
permasalahan pencemaran lingkungan.
1. Pencemaran Lingkungan Hidup ( Kasus di Kawasan Teluk Benoa Bali )
Berdasarkan survey International Network for Partnership and
Sustainable Development (INSPD) pada tahun 2007, disebutkan bahwa
perilaku masyarakat di Kawasan Bali Selatan yang membuang sampah
secara sembarangan dinyatakan sebagai penyebab terbanyak (37%)
terjadinya pencemaran lingkungan hidup. Selain itu, sebab lainnya adalah
masyarakat yang tidak mempunyai septik tank (25 %) dan masyarakat
yang tidak peduli terhadap lingkungan (18%). Ketiga pernyataan tersebut
memiliki kesamaan karena menunjukkan perilaku masyarakat yang tidak
ramah lingkungan, sehingga merupakan satu kesatuan (80%). Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa pencemaran lingkungan hidup
di Bali paling besar diakibatkan oleh perilaku masyarakat yang tidak
mengelola sampah dan limbah secara benar.
Gambar 2. Salah satu tempat di Teluk Benoa
Studi kasus tentang pencemaran lingkungan hidup di kawasan
Teluk Benoa Bali Selatan memperlihatkan betapa pencemaran lingkungan
hidup yang terjadi tidak bisa dilepaskan dari kondisikawasan
16
permukiman yang ada di bagian hulu karena sampah dan limbah yang
berakumulasi dari aliran sungai yang melintasi kawasan dari hulu ke hilir.
Beberapa permukiman padat di bagian daratan mengalirkan limbah
aktivitas masyarakatnya ke kawasan Teluk Benoa, yang termasuk wilayah
administratif Kecamatan Denpasar Selatan Kota Denpasar dan Kecamatan
Kuta dan Kuta Selatan Kabupaten Badung.
Hasil pengamatan di lapangan menemukan adanya beberapa
aktivitas yang berpotensi menghasilkan sampah dan limbah dalam jumlah
yang besar, seperti kegiatan jasa kepelabuhan di Pelabuhan
Benoa; aktivitas Bandara Internasional Ngurah Rai; aktivitas pembangkit
listrik PLTD/PLTG Pesanggaran; TPA Suwung; dampak reklamasi
Serangan; aliran air dari Tukad Badung dan Tukad Mati; aktivitas
perdagangan, bisnis, dan transportasi, serta sampah dan limbah
masyarakat. Dilihat dari seluruh aktivitas yang ada di kawasan Teluk
Benoa yang mengakibatkan pencemaran lingkungan hidup, terdapat
kondisi yang rumit dan saling terkait.
Naradha (2004: 224), menuliskan juga penyebab pencemaran
lingkungan hidup di Bali, yaitu perilaku masyarakat yang tidak ramah
lingkungan. Hal itu didapatkan dalam survei terhadap 406 pemilik telepon
di Bali yang dilakukan oleh Bali Post, yang menyatakan sebanyak 322
responden (80 %) menyebutkan kerusakan tersebut akibat
pemerintah kurang tegas menegakkan aturan yang ada.
Hasil penelitian INSPD (2007), sebanyak 55 orang (36,67 %), dari
150 orang yang diwawancarai, menyatakan kondisi air sungai di sekitar
tempat tinggalnya tidak jernih, 38 orang (25,33 %)menyatakan agak
keruh, dan 43 orang (28,67 %) menyatakan keruh sekali. Penurunan
kualitas lingkungan hidup di sekitar tempat tinggalnya
dinyatakan akibat perilaku masyarakat membuang sampah langsung ke
sungai (54 orang, 36 %), dan limbah cair yang dibuang ke sungai (56
orang, 37,33%). Sebanyak 82 orang (54,67 %) menyatakan sangat
terganggu akibat terjadinya pencemaran lingkungan hidup di sekitar
tempat tinggalnya.
17
Berdasarkan pengamatan, pencemaran lingkungan hidup di
kawasan Teluk Benoa dapat dilihat dengan mudah melalui banyaknya
tumpukan sampah yang teronggok di pinggir jalan, di lahan-lahan kosong,
di sepanjang aliran Tukad Badung dan Tukad Mati, serta sungai kecil
lainnya yang mengalir ke kawasan Teluk Benoa. Demikian juga limbah
yang dihasilkan aktivitas pelabuhan , bengkel dan kegiatan perdagangan,
serta aktivitas domestik mengalir langsung ke saluran sungai. Warnanya
yang pekat menyebarkan bau yang busuk yang berasal dari bahan
pencemar yang dikandungnya. Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat
bahwa permasalahan sampah dan air limbah yang masuk ke kawasan
Teluk Benoa serta masalah kependudukan merupakan faktor-faktor
dominan yang menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan di
kawasan Teluk Benoa. Kondisi ini, secara umum mewakili kawasan
lainnya di Bali, yakni menunjukan perilaku masyarakat yang membuang
sampah secara sembarangan yang menyebabkan pencemaran oleh sampah.
Sejak tahun 1980-an hingga tahun 2007, sangat terasa sampah yang
menuju ke kawasan Teluk Benoa semakin bertambah. Khususnya, pada
bulan Oktober hingga Januari, pada masa musim angin Barat, sampah-
sampah yang sebelumnya di hanyutkan ke laut lepas pada musim
tersebut sering dihempaskan gelombang dari tengah laut menuju
daratan. Hal itu mengakibatkan banyak sampah yang masuk kembali ke
daratan melalui gelombang air laut.Pemandangan di sepanjang tepi pantai
Teluk Benoa menjadi kotor karena penuh dengan sampah. Peningkatan
jumlah sampah terjadi secara signifikan setelah kegiatan upacara dan hari-
hari raya. Tumpukan sampah sisa upacara ini menggunung di pojok jalan
dan di lokasi pembuangan.
Tumpukan sampah dapat dilihat dengan mudah di lahan-lahan
kosong yang masih banyak terdapat di sepanjang Jl. By Pass Ngurah Rai,
mulai dari kawasan Nusa Dua, Jimbaran, Tuban, Kuta, hingga Sanur.
Kawasan kosong tersebut merupakan lahan yang termasuk milik negara,
karena keberadaan hutan bakau yang menjadi kewenangan pemerintah
melalui Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Berdasarkan
18
tanggung jawab kepemerintahan, tanggung jawab pengelolaan lahan
negara tersebut menjadi kewenangan pemerintah. Namun, karena tidak
terpadunya kebijakan pengelolaan persampahan, kondisi sampah yang
berserakan dibiarkan dalam waktu lama tanpa ada yang mengurusnya.
2. Fenomena Sampah di Daerah Perkotaan
Menurut Bappenas (2006:5), permasalahan sampah di kawasan
perkotaan disebabkan oleh beberapa parameter yang saling berkaitan, yaitu
pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan penduduk,
pola konsumsi masyarakat, pola keamanan dan perilaku penduduk,
aktivitas fungsi kota, kepadatan penduduk dan bangunan, serta
kompleksitas problem transportasi. Kondisi perkembangan wilayah di
sekitar kawasan Teluk Benoa sangat sesuai dengan uraian tersebut. Semua
parameter yang disebutkan tersebut saling berinteraksi, sehingga
menimbulkan pencemaran lingkungan hidup.
Gambar 3. Suasana sungai di Kota Denpasar
19
Sebagai akibat pembangunan sarana dan prasarana kepariwisataan
yang terkonsentrasi di kawasan Tanjung Benoa, Nusa Dua, Tuban, Kuta,
dan Sanur, pertumbuhan penduduk di kawasan tersebutmeningkat cepat,
sehingga kepadatan penduduknya tertinggi (7,2 %) dari wilayah lainnya
(rata-rata di Provinsi Bali 1,2%). Menurut Suyoto (2008:34), jumlah
sampah yang dihasilkan di suatu kawasan dinyatakan dalam besarnya
timbulan sampah dikalikan dengan jumlah penduduk. Selain itu, besarnya
timbulan sampahtergantung dari tingkat hidup, pola hidup serta mobilitas
masyarakat, iklim, dan pola penyediaan kebutuhan hidup. Timbulan
sampah rata-rata yang masuk ke kawasan Teluk Benoa Bali berasal
dari penduduk yang bermukim di Kota Denpasar dan sekitarnyayang
besarnya 2,5-3,0 kg/orang/hari. Dengan demikian, dapat dihitung dalam
sehari timbunan sampah yang dihasilkan oleh penduduk sebanyak 430-an
ton (dihitung dari jumlah penduduk di kawasan Teluk Benoa tahun 2006)
dan timbunan sampah tersebut akan meningkat menjadi 603 ton per hari
(berdasarkan proyeksi penduduk tahun 2015). Sungguh sebuah jumlah
yang sangat besar apabila dihitung dalam hitungan bulan atau tahun.
Ironisnya sampai saat ini, penanganan sampah di kota-kota besar di
Indonesia, termasuk di Kota Denpasar, masih dilakukan dengan paradigma
konvensional, yakni “ Kumpul-Angkut-Buang” yang menyebabkan
sampah bertumpuk di pinggir jalan menunggu pengangkutan untuk
dibuang di tempat penampungan akhir (TPA). Apabila kendaraan
pengangkut sampah mengalami masalah, tumpukan sampah yang
menggunung di pinggir jalan menjadi pemandangan sehari-hari.
Tumpukan sampah yang mengotori lingkungan sudah menjadi
pemandangan yang biasa di Kota Denpasar dan sekitarnya.
Produksi sampah di Kota Denpasar semakin bertambah
seiringdengan bertambahnya penduduk kota. Pada tahun 2004 jumlah
sampah yang dikelola oleh petugas kebersihan Dinas Kebersihan dan
Pertamanan Kota Denpasar berjumlah 690.804 m3 atau berkisar 1854,4 –
2017,4 m3/hari. Kondisi tersebut semakin bertambah setiap tahun. Pada
20
tahun 2005 jumlah sampah yang dikelola menjadi sekitar 889.550 m3
meningkat menjadi 983.667 m3 pada tahun 2006. Permasalahan sampah di
kawasan perkotaan memang menjadi momok bagi
keindahan kota bersangkutan, sehingga tugas yang dibebankan kepada
instansi teknis yang menangani sampah, seperti Dinas Kebersihan dan
Pertamanan, merupakan tugas berat yang langsung berhadapan dengan
keluhan masyarakat. Walaupun sebenarnya, pelayanan pemerintah di
bidang persampahan masih sangat minim. Hal itu dapat dilihat daridata
Biro Pusat Statistik yang dikutip oleh Suyoto (2008) bahwauntuk
penanganan sampah di kawasan perkotaan di Indonesia baru 11,25 %
sampah yang dihasilkan dapat diangkut oleh petugas pemerintah, sisanya
63,35 % sampah ditimbun/dibakar, 6,35 % sampah dibuat kompos, dan
19,05 % sampah dibuang ke kali/sembarangan. Sementara itu, di kawasan
pedesaan, sebanyak 19 % sampah diangkut petugas, 54 %
ditimbun/dibakar, 7 % dibuat kompos, dan 20 % dibuang di
kali/sembarangan. Data-data tersebut menunjukkan bahwa penanganan
sampah masih dilakukan secara konvensional, bahkan sebagian dibuang di
sembarang tempat.
Salah satu kendala yang dihadapi wilayah perkotaan yang semakin
padat penduduknya adalah mahalnya harga lahan, sehingga untuk tempat
penampungan sementara sampah sebelum diangkut oleh petugas dan
tempat penampungan akhir selalu menimbulkan masalah. Apalagi untuk
daerah-daerah yang permukimannya padat dan tidak ada sarana jalan yang
dapat dilalui oleh truk pengangkut sampah, maka sampah
dikumpulkan atau dibuang begitu saja di pinggir jalan dan di lahan kosong,
sehingga menimbulkan dampak, seperti bau dan menjadi tempat hidupnya
vektor penyakit.
Kebijakan persampahan yang tidak terpadu sangat bertolak
belakang dengan kebijakan di bidang pariwisata, khususnya menyangkut
aktivitas promosi pariwisata Bali. Sering disebutkan bahwa Bali memiliki
pemandangan alam yang indah dengan lingkungan yang asri dan tempat-
tempat suci yang bersih. Masyarakatnya hidup damai dan tenteram. Pujian
21
yang sering disampaikan tersebut mulai dipertanyakan dengan semakin
banyaknya pemandangan yang tidak menarik akibat tumpukan sampah
yang dibiarkan begitu saja. Sampah yang dibuang di dekat lokasi tempat
persembahyangan, seperti Pura Subak dalam waktu yang lama sampai
menimbulkan bau dan pemandangan yang kotor, menunjukkan lemahnya
penghargaan masyarakat terhadap nilai kesucian suatu tempat
persembahyangan. Tumpukan sampah yang berbau tentunya akan
menimbulkan gangguan terhadap aktivitas ritual, di samping gangguan
terhadap keindahan. Apabila hal tersebut sampai terjadi, menunjukan
ketidakterpaduan pengelolaan persampahan yang sangat parah.
Sampah tidak saja mengotori kawasan pinggir jalan atau wilayah
perkotaan, namun sudah menumpuk di pinggir sungai dan di tempat-
tempat kosong yang tidak terurus. Bahkan, di laut, pada musim angin
Barat, tumpukan sampah mengambang dalam jumlah yang besar di atas
permukaan laut sehingga mengganggu keindahan laut. Kondisi
tersebut mudah dilihat di perairan Pantai Kuta maupun Pantai Tanjung
Benoa yang mendapat kiriman sampah dari daratan. Padahal, masyarakat
meyakini bahwa laut adalah kawasan suci yang harus dihormati.
Banyaknya sampah di kawasan suci, seperti laut, menunjukkan lemahnya
pemahaman terhadap nilai-nilai kesucian laut. Selain itu, hal tersebut
memperlihatkan komitmen yang rendah dari aparatur pemerintah yang
bertanggung jawab terhadap kelestarian laut.
Keluhan terhadap sampah yang tidak dikelola dengan baik sudah
sering disampaikan melalui pernyataan di media atau dalam berbagai
kegiatan pertemuan. Keluhan masyarakat tersebut tidak mendapat respon
dengan semestinya. Beberapa pandangan yang sering disampaikan seperti
masalah sampah harus segera dicarikan solusi pemecahannya, karena
sudah mengotori semua wilayah, mulai dari wilayah daratan hingga di
dasar laut. Masalah terbesaradalah berhubungan dengan sampah plastik,
yang tidak dapat dihancurkan oleh sistem alam dalam waktu yang sangat
lama. Sampah plastik ini sudah banyak mengotori terumbu karang,
sehingga menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan yang parah.
22
Faktor-faktor yang menyebabkan sampah menjadi momok
masyarakat dapat diuraikan menjadi tujuh bagian, sebagai berikut.
Pertama, sampah hanya ditumpuk di tempat penampungan akhir
(TPA), selama pengangkutan dengan truk yang tidak representatif, sampah
masih banyak yang berceceran di jalan, dan di saluran air. Selain
itu, kondisi sampah campur aduk (complicated) antara sampah organik,
nonorganik, dan sampah yang mengandung limbah B3, seperti batu
batere, stryrefoam, PVC, bekas kaleng pestisida, botol kaca, dan lain lain.
Pada musim kemarau, sampah sangat rentan dengan kebakaran
akibat adanya gas methane. Apabila gasmethane ini tidak dikelola dengan
baik, akan menimbulkan magma dan ledakan yang berakibat bencana bagi
kawasan sekitarnya.
Kedua, kondisi TPA sudah sangat sesak, sehingga tumpukan
sampah memiliki ketinggian hingga 15 meter yang berpotensi
menimbulkan longsoran yang menutup wilayah sekitarnya. Walaupun
beberapa TPA sejak semula sudah didesain sebagailokasi penampungan
sampah dengan metode sanitary landfill, kenyataannya metode yang
dilaksanakan adalah open dumping.
Ketiga, sebagian besar truk sampah tidak layak untuk dioperasikan,
sehingga sampah dan lindi berupa cairan yang berbau tercecer di
sepanjang perjalanan menuju TPA yang menimbulkan gangguanbagi
pengguna jalan dan masyarakat. Walaupun jadwal angkut sampah sudah
ditetapkan pada waktu transportasi sepi, sepertimalam hari atau dini hari,
kenyataannya seringkali pengangkutan sampah dilakukan pada jam-jam
sibuk, sehingga menimbulkan kemacetan lalu lintas. Sementara itu, lindi
(cairan sampah yang berbau) di lokasi TPA tidak diolah sama sekali,
sehingga mencemarikawasan sekitarnya.
Keempat, hampir semua pemerintahan di daerah tidak memiliki
konsep dan perencanaan yang terpadu dalam pengelolaan TPA.
Perencanaan yang menggambarkan upaya pengurangan, pemanfaatan
kembali, dan daur ulang, seperti konsep 3R (Reduce,Reuse, Recycling)
23
tidak berjalan dengan baik, sehingga sampah yang dihasilkan masyarakat
semakin banyak setiap tahun.
Kelima, pemerintah seperti sengaja mengabaikan upaya
penghijauan di sekitar TPA sebagai kawasan green belt, dan tidak
dilakukan penataan bagi gubuk-gubuk liar di sekitar TPA. Tidak ditatanya
kawasan sekitar TPA mengakibatkan kondisinya yang semrawut dan tidak
sehat, sehingga menimbulkan gangguankesehatan bagi para pemulung dan
masyarakat di kawasan sekitarnya. Interaksi antara pemulung dengan
sesamanya seringkali memunculkan tindakan kriminal.
Keenam, akibat pengelolaan TPA yang buruk sangat berpotensi
menimbulkan berbagai penyakit, seperti ISPA, radang paru-paru/TBC,
gatal-gatal, alergi kulit, diare, anemi, disentri, infeksi telinga, infeksi
mata, dan lain lain. Penyebaran penyakit yang diakibatkan pengelolaan
TPA yang buruk dapat menyebar dalam radius 1 s.d. 3 Km akibat
penyebaran udara.
Ketujuh, pengelolaan sampah yang tidak baik akan menimbulkan
dampak ikutan berupa banjir dan longsor akibat tertutupnya saluran air
drainase. Dampak banjir akan menimbulkan kerugian yang
berkepanjangan bagi masyarakat, khususnya yang berada di bantaran
sungai dan daerah yang rendah akibat kerusakan bangunan rumah serta
penyebaran penyakit menular yang diakibatkan air yang kotor.
Pengamatan terhadap sistem pengelolaan sampah di TPA Suwung
menunjukan kondisi yang sama dengan ketujuh permasalahan yang
disampaikan oleh Sunyoto (2008). Bahan pencemar yang berasal
dari lokasi TPA Suwung merupakan penyebab utama terjadinya
pencemaran lingkungan hidup di kawasan Teluk Benoa, khususnya di
perairan yang berdekatan dengan lokasi TPA. Kualitas air laut yang
mendapat tekanan bahan pencemar telah diamati dalam kegiatan
pemantauan lingkungan hidup yang dilaksanakan oleh pemerintah dan
lembaga lainnya.
Hasil pemantauan lingkungan hidup yang dilakukan oleh tim
pemantauan lingkungan hidup Pacific Consultant
24
International(PCI) menunjukan adanya kandungan BOD yang tinggi di
lokasi perairan laut di sebelah TPA Suwung, yang diduga berasal
darisampah dan lindi yang ada di TPA. Pada kegiatan pemantauan tahun
2004, konsentrasi BOD diukur sebesar 67,5 mg/liter, pada tahun 2005
kondisinya tidak berubah banyak yakni sebesar 72,4 mg/liter (PCI, 2004,
2005).
Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali (1999:IV-123), melalui Bali
Urban Infrastruktur Project (BUIP), telah melakukan pengukuran kualitas
perairan di sekitar lokasi TPA di Bali sebagai rangkaian kegiatan untuk
pembangunan infrastruktur publik dengan dana dari Bank Dunia. Pada
pengukuran kualitas air laut di perairan dekat TPA Suwung didapatkan
konsentrasi BOD sebesar 140,09 mg/L di bagian outlet kolam lindi
TPA, jauh di atas baku mutu lingkungan hidup sebesar 30 mg/L.
Sementara itu, konsentrasi BOD padaperairan laut di sekitarnya terukur
pada konsentrasi 30,93 mg/L.Tumpukan sampah di TPA Suwung yang
menghasilkan lindi yang mengalir langsung ke perairan laut di
sekitarnya. Lindi yang masuk ke perairan akan meningkatkan konsentrasi
BOD dalam perairan tersebut. Konsentrasi BOD yang tinggi menunjukkan
adanya pencemaran akibat bahan-bahan organik yang masuk ke dalam
perairan laut dan mengakibatkan terganggunya kehidupan biota perairan.
Baku mutu air laut untuk kegiatan pariwisata untuk parameter BOD adalah
sebesar 10 mg/liter. Jadi, melihat besarnyakonsentrasi BOD di perairan
laut tersebut (72 s.d. 140 mg/L)menunjukan tingkat pencemarannya yang
termasuk tinggi.
Permasalahan sampah di kawasan Teluk Benoa semakin bertambah
berat akibat lemahnya sistem pengelolaan persampahan di Kota Denpasar
dan sekitarnya. Sampah yang dikelola oleh Dinas Kebersihan dan
Pertamanan (DKP) Kota Denpasar dibuang pada Tempat Pembuangan
Akhir (TPA) Suwung yang masih mempergunakan metode Open
Dumping, yakni menumpuk sampah begitu saja tanpa pengolahan. Kondisi
itu menyebabkan luas TPAtersebut semakin menyempit,
sedangkan luberan leachet (cairan sampah/lindi) masuk ke dalam perairan
25
laut. Cairan tersebut mengandung bahan pencemar yang terdiri
atas komponen fisik, seperti padatan tersuspensi dan padatan terlarut serta
komponen kimia yang mengandung senyawa nitrogen, sulfat, fosfat, dan
logam berat. Dalam waktu yang lama, semua polutan tersebut mengadakan
interaksi dengan bahan pencemar dari kawasan lainnya,
sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan hidup di kawasan Teluk
Benoa.
Kebijakan pemerintah yang tidak terpadu di dalam pengelolaan
persampahan dapat dilihat dari penanganan tempat pembuangan akhir
sampah di Suwung yang terus bermasalah. TPA Suwung pada tahap I
seluas 14,4 Ha didesain dengan sistem sanitary landfill, yakni sistem yang
mengolah sampah dengan terlebih dahulumemasang suatu lapisan kedap
air, pipa pengumpul air lindi, pipa ventilasi pelepas gas methane, dan
kolam pengolah lindi sebelum dilepas ke perairan, serta jaringan drainase
air hujan. Hingga tahun 1999, TPA Suwung tahap I telah mengalami
kelebihan beban (over load) karena sampah yang masuk telah melebihi
kapasitas lahan yang ada. Akibatnya, sampah yang datang kemudian
disebarkan di lahan hutan bakau yang terletak di sebelah TPA Suwung
tahap I, tanpa kejelasan status pengalihan lahan dari Departemen
Kehutanan yang bertanggung jawab terhadap keberadaan hutan bakau.
Pengembangan kawasan TPA menjadi 40 Ha memerlukan
tambahan lahan sebesar 25,6 Ha yang disebut pengembangan tahap II,
namun belum memiliki status lahan yang pasti. Selain itu, sampah yang
datang hanya ditumpuk saja (open dumping), sehingga memerlukan areal
yang terus melebar ke kawasan hutan bakau di sebelahnya. Data yang
diperoleh dari hasil penelitian analisis dampak lingkungan hidup untuk
kegiatan IPST Sarbagita menemukan bahwa sampah yang masuk ke TPA
Suwung berjumlah 445 ton per hari (dan cenderung mengalami
peningkatan setiap tahun akibat pertambahan jumlah penduduk) yang
berasal dari sumber sampah di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung
(Dinas PU Provinsi Bali, 2001).
26
Kondisi TPA Suwung yang semakin banyak memerlukan
lahankarena hanya menerapkan metode open dumping telah mendapat
perhatian dari pemerintah pusat sebagai bagian dari program peningkatan
infrastruktur publik. Oleh karena itu, pemerintah sejak tahun 2001 telah
memiliki rencana membangun sistem pengolah sampah untuk wilayah
Denpasar-Badung-Gianyar dan Tabanan (SARBAGITA). Berdasarkan
kajian yang dilakukan oleh tim BUIP tempat penampungan sampah
direncanakan berada di Kabupaten Tabanan karena lahannya relatif lebih
murah dibandingkan dengan harga lahan di Denpasar/Badung. Namun,
akibat ditolaknya tempat penampungan sampah di Dusun Mandung, Desa
Sembung Gede,Kecamatan Kerambitan Kabupaten Tabanan, oleh
masyarakat, rencana tersebut tidak dapat dilaksanakan.
Permasalahan sampah di Kawasan Bali Selatan semakin banyak
mendapat sorotan, terutama karena dampak yang ditimbulkan
dirasakan sudah menimbulkan gangguan terhadap kesehatan masyarakat
serta keindahan kawasan. Oleh karena itu, pada tahun 2005, rencana
pengolahan sampah di Kawasan Sarbagita kembalidiwacanakan melalui
program pengembangan infrastruktur sanitasi perkotaan
Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah RepublikIndonesia. Oleh
pemerintah, TPA yang akan dipergunakan adalah TPA Suwung dengan
luas 22 Ha, sedangkan metode pengolahan sampah yang akan
dipilih adalah sistem Galfad (Gasification, LandFill gas and Anaerobic
Digestion).
Pada intinya sistem Galfad memanfaatkan seluruh materi sampah
untuk diubah menjadi energi dengan produk daur ulang dalam satu proses
terpadu. Proses Galfad dimulai ketika sampah dipisah-pisahkan menjadi
sampah basah organik, sampah yang dapat didaur ulang, dan sampah
organik kering. Sumber energi yang pertama akan diperoleh dari sampah
(lama) yang sudah ada di TPA Suwung, diambil gasnya, disaring
(dipisahkan), lalu digunakan untuk menggerakkan generator penghasil
listrik.
27
Sumber energi kedua, adalah biogas dari sumber organik baru yang
basah yang diambil atau diekstrak melalui proses anaerobic
digestion. Anaerobic digestion adalah proses biologis untuk mengubah
material organik menjadi gas yang dapat dibakar, dalam ruangan yang
basah tanpa udara, sehingga menghasilkan gasmethane dan carbondioxide.
Biogas tersebut digunakan untuk menghasilkan listrik dari generator yang
digerakan dengan panas yang ditimbulkan oleh biogas. Selanjutnya,
sumber energi yang ketiga adalah berasal dari sampah kering yang
diproses untuk menghasilkan gas untuk membuat uap sebagai sumber
bahan bakar listrik melalui proses pyrolisis dan gasification sampah kering
(Buletin Cipta Karya, 2008: 9).
Dilihat dari pemaparan tentang proses dan mekanisme pengolahan
sampah di TPA Suwung, sistem yang dikerjasamakan antara pemerintah
daerah dengan pihak swasta ini terlihat sangat menarik dan
menguntungkan untuk dilaksanakan. Namun, sejak disetujui sebagai suatu
proyek kerjasama pada tahun 2005 sampai tahun 2008, sistem pengolahan
sampah tersebut masih belum bisa dilaksanakan. Secara administratif,
lahan yang akan dimanfaatkan untuk pengembangan TPA
Suwung merupakan kawasan hutan bakau, sehingga kepemilikan lahan
tersebut merupakan kewenangan Departemen Kehutanan
Republik Indonesia. Untuk itu, apabila lahan tersebut akan dialihkan
menjadi areal TPA, tentu harus melalui prosedur alih kepemilikan dari
Departemen Kehutanankepada BPKS yang memerlukan prosedurnya dan
waktu yang lama.
I. Metode Pengumpulan Data
Untuk mengetahui keadaan lingkungan di wilayah Bali penulis
menggunakan metode pengumpulan data yang dapat berupa teks, dokumen,
gambar, foto, artefak, atau obyek-obyek lain yang ditemukan di lapangan
selama penelitian dilakukan (Jonathan, 2007: 100) . Metode ini dibedakan
berdasarkan sumbernya yaitu, metode pengumpulan data primer dan metode
pengumpulan data sekunder.
28
1. Metode Pengumpulan Data Primer
Data primer, berupa teks hasil wawancara yang diperoleh melalui
wawancara dengan informan yang dijadikan sampel penelitian. Data dapat
direkam atau dicatat oleh peneliti (Jonathan, 2007: 98).
a. Metode Observasi
Kegiatan observasi meliputi pencatatan secara sitematis atas kejadian-
kejadian, perilaku, obyek-obyek yang dilihat dan hal-hal lain yang
digunakan guna mendukung penelitian yang sedang dilakukan. Pada
tahap awal observasi dilakukan secara umum dan tahap selanjutnya
penelitian dilakukan secara terfokus, sehingga dapat menemukan pola-
pola perilaku dan hubungan yang terus-menerus terjadi. Hal ini
dilakukan dengan cara datang langsung ke beberapa daerah yang
lingkungannya tercemar, yaitu Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di
daerah Suung, Denpasar. ( Jonathan Sarwono, 2007;100).
b. Metode Wawancara (In-depth Interview)
Dengan menggunakan teknik wawancara ini keberhasilan untuk
mendapatkan data atau informasi atas obyek yang diteliti sangat
tergantung pada kemampuan peneliti dalam melakukan wawancara.
Merupakan metode pengumpula data dengan cara bertanya langsung
kepada penduduk setempat yang wilayahnya sudah tercemar.
(Jonathan Sarwono, 2007;101)
2. Metode Pengumpulan Data Sekunder
Data Sekunder, berupa data-data yang sudah tersedia dan dapat
diperoleh peneliti dengan cara membaca, melihat atau mendengarkan (
Jonathan Sarwono, 2007;98).
a. Metode Kepustakaan
Metode kepustakaan adalah mecari data literature yang berhubungan
dengan desain komunikasi visual, meliputi buku-buku, kamus, media
29
cetak, dan media komunikasi lainnya yang erat kaitannya dengan
obyek permasalahan. Fungsi dari metode ini guna lebih memperjelas
secara teoritis ilmiah tentang kasus yang diambil dan juga untuk
mencari pendekatan guna mencari pemecahan masalah yang
berhubungan dengan cara penampilan isi pesan baik ilustrasi maupun
teks dalam merancang sebuah media komunikasi visual dalam
promosi. Hal ini dilakukan degnan cara mencari literatur yang
berhubungan dengan lingkungan yang ada dibuku, artikel dikoran, dan
media elektronik yaitu di internet. (Poerwadarmita W.J.S, 1985;382).
b. Metode Dokumentasi
Kajian dokumen merupakan sarana bantu bagi peneliti dalam
mengumpulkan data atau informasi dengan cara membaca surat-surat,
pengumuman, iktisar rapat, pertanyaan tertulis atas kebijakan tertentu
serta bahan-bahan tulisan yang lain. Metode ini dilakukan dengan cara
mengambil beberapa foto lokasi daerah yang tercemar di wilayah Bali.
(Jonathan Sarwono, 2007;102).
J. Analisa Data
Bagi Pulau Bali yang dikenal sebagai destinasi wisata dunia,
fenomena pencemaran lingkungan hidup merupakan sebuah ironi. Sebagai
kawasan yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi Bali yang menjadi lokasi
hotel, restoran, dan beragam fasilitasperdagangan dan bisnis yang berkelas
dunia, seharusnya kawasan tersebut menampilkan kualitas daerah yang sesuai
dengan citra daerah tujuan wisata internasional. Namun, fakta-fakta yang
menunjukkan peningkatan pencemaran lingkungan hidup di kawasan yang
telah berkembang menjadi segitiga emas pertumbuhan ekonomi Bali tersebut
sangat memprihatinkan.Apalagi, masyarakat Bali sebagai pendukung budaya
setempatdikenal luas memiliki konsep nilai yang mengedepankan
keharmonisan dengan alam; sangat menghargai keindahan; dan nilai-nilai
spiritual seharusnya memberikan kontribusi yang besar pada pembentukan
citra kawasan yang baik.
30
Refleksi yang dapat ditarik dari kondisi yang paradoks
tersebutdimulai pada periode tahun 1980 s.d. 1990-an ketika pemerintahmulai
melaksanakan pembangunan fasilitas kepariwisataan di Pulau Bali secara
besar-besaran tanpa diimbangi dengan perencanaan yang terpadu terhadap
sistem pengendalian pencemaran lingkungan hidup. Pada periode tersebut
pembangunan jalan baru, peningkatan kapasitas energi listrik, sarana air
minum, perbaikanfasilitas pelabuhan laut, dan bandara internasional yang
diikuti dengan pembangunan hotel, restoran, dan fasilitas pariwisata lainnya,
menyebabkan peningkatan yang signifikan pada pertumbuhan perekonomian
Bali. Wacana pembangunan pariwisata telah mendominasi sektor
pembangunan di Bali. Pemerintah daerah memberikan peluang yang sangat
besar kepada kelompok pemodal untuk memanfaaatkan potensi sumber daya
alam Bali di bidang pariwisata dengan mengeluarkan kebijakan tentang tata
ruang wilayah dalam bentuk kawasan pariwisata.
Diskursus pembangunan fasilitas kepariwisataan akan menciptakan
lapangan kerja yang akan meningkatkan ekonomi masyarakat. Akhirnya,
menjadi jargon politik. Pembangunan pariwisata disebutkan sebagai satu-
satunya pembangunan yang tidak bertentangan dengan budaya masyarakat
dan sangat ramah lingkungan. Jargon tersebut yang disampaikan secara terus-
menerus oleh aparat pemerintah, dibantu kelompok intelektual organik yang
digaji investor untuk kepentingan bisnisnya. Berbagai upaya dilakukan untuk
memberikan pelayanan kepada wisatawan yang diharapkan akan membawa
berkah ekonomi bagi Bali. Pembangunan resor, hotel, dan fasilitas pariwisata
memerlukan lahan yang luas sehingga berbagai cara dilakukan untuk
memenuhi tuntutan investor. Lahan-lahan milik negara atau tanah adat
diberikan hak pengelolaan kepada kelompok konglomerat. Bahkan, cara-cara
kekerasan dan intimidasi tidak segan-segan dilakukan oleh para pemodal
dengan memanfaatkan kekuasaan aparat militer dan pemerintah setempat
untuk menguasai lahan milik masyarakat.
Berdasarkan pengamatan terhadap fenomena yang terjadi pada
periode tahun 1980 s.d. 1990-an didapatkan adanya keterlibatan pemerintah
yang sangat sistematis dalam membantu kelompok investor dalam
31
mewujudkan keinginannya untuk menguasai potensi sumber daya alam untuk
kepentingan bisnisnya. Beberapa kebijakan pemerintah, seperti Keputusan
Gubernur Bali No 15 Tahun 1988 tentang 15 Kawasan Wisata, yang
kemudian direvisi menjadi Keputusan Gubernur Bali No. 528 Tahun 1993,
yang diikuti dengan persetujuan prinsip pembangunan fasilitas
kepariwisataan,sangat memudahkan kelompok investor untuk menguasai
kawasan-kawasan yang strategis di Bali. Pembangunan kawasan hotel atau
resor di kawasan Bali Selatan berlangsung seperti efek domino,dimulai dari
pembangunan di kawasan Nusa Dua, Kuta, dan Sanur kemudian menyebar ke
wilayah Tanjung Benoa, Benoa, Jimbaran, dan kawasan lainnya, termasuk
yang bukan ditetapkan sebagai kawasan wisata. Berbagai bentuk pelanggaran
tata ruang wilayahmulai terjadi dengan keberpihakan aparatur pemerintah
yang memberikan kemudahan perizinan kepada kelompok pebisnis, tanpa
diikuti dengan penegakan hukum lingkungan hidup yang memadai.
Fenomena kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup terjadikarena
pemerintah terlambat merencanakan sistem pengelolaan lingkungan hidup
untuk mengatasi pencemaran lingkungan hidup yang diakibatkan berbagai
polutan yang dihasilkan dari aktivitas pembangunan. Hal ini dapat dilihat dari
realitasnya, hingga tahun 2005 karena pemerintah Bali belum memiliki suatu
sistem pengolahan sampah dan air limbah yang mampu
mengatasipermasalahan peningkatan polutan ke lingkungan hidup secara
terpadu. Beberapa fasilitas yang ada, tidak berfungsi secara optimal
karena lemahnya kinerja pemerintah di bidang pengelolaan lingkungan hidup
menyebabkan permasalahan pencemaran lingkungan hidup. Akhirnya,
meledak sebagai suatu permasalahan yang berdampak luas ke berbagai segi
kehidupan masyarakat. Ketika pemerintah mulai merencanakan program
pengendalian pencemaran lingkungan hidup dengan merancang
pembangunan instalasi pengolahan sampah/IPST Sarbagita, instalasi
pengolahan air limbah/DSDP dan proyek pengamanan pantai Bali/BBCP,
kondisi perpolitikan negara sedang mengalami pengalihan dari rezim Orde
Baru yang totaliter kepada pemerintahan Rezim Reformasi yang menghambat
terlaksananya program-program tersebut.
32
Pada awal tahun 1998-an ketika rencana program pengelolaan
lingkungan hidup untuk mengendalikan permasalahan pencemaran dan
perusakan lingkungan hidup di Bali mulai digagas oleh pemerintah,
masyarakat sedang berada pada suatu kondisi yang dipengaruhi oleh eufora
kebebasan berpendapat dan otonomi daerah. Berbagai elemen
masyarakat mulai mempertanyakansecara kritis program-program pemerintah
yang dilaksanakan di daerahnya. Tuntutan terhadap keterbukaan
informasi tentangperencanaan pembangunan di daerahnya dan kompensasi
yang terkait dengan dampak yang akan terjadi semakin banyak disuarakan
melalui pertemuan formal dan informal. Peranan media, baik cetak maupun
elektronik, dalam menyampaikan aspirasi masyarakat sangat besar
pengaruhnya terhadap upaya keterlibatan masyarakat dalam perencanaan
pembangunan di daerahnya.
Pada masa yang akan datang, agar program pemerintah di bidang
pengelolaan lingkungan hidup dapat dilaksanakan dengan berhasil,
diperlukan suatu strategi rekayasa budaya untuk meningkatkan peran
intelektual setempat
dalam menumbuhkan kepercayaanmasyarakat terhadap program
pemerintah, khususnya di bidang pengendalian pencemaran lingkungan
hidup. Kesadaran masyarakatterhadap upaya menyelamatkan masa depan
Bali perlu dibangun sejak awal, salah satunya dengan mulai mengurangi
pencemaran lingkungan hidup di Bali, melalui strategi rekayasa budaya
dengan melaksanakan konsep 3-R, yakni reduce (kurangi), reuse (gunakan
kembali), dan recycling (daur ulang) untuk setiap bidang kehidupan
masyarakat. Konsep 3-R ini sangat tepat dilaksanakan dalam semua hal mulai
dari aktivitas sosial, ekonomi, adat, dan ritual.
Strategi rekayasa budaya untuk membangun kesadaran masyarakat
Bali dalam pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup di Bali
dapat dilaksanakan secara efektif dengan mulai menawarkannya dalam
kegiatan sosial keagamaan. Masyarakat perlu digalang untuk mengurangi
(reduce) pemanfaatan sarana upacara/upakara yang berlebihan dalam
aktivitas ritual dan lebih banyak meningkatkan pemahamanterhadap
33
esensi sradha agama melalui penerapan Catur-margasecara seimbang dalam
pencapaian kesempurnaan rohani. Catur-marga terdiri atas (1) Bhakti-marga,
ialah dengan jalan penyerahan diri serta mencurahkan rasa cinta kasih yang
setulus-tulusnya dengan cara berbakti, biasanya dilaksanakan dengan sarana
upacara dan upakara; (2) Karma-marga, ialah dengan jalan berbuat dan
bekerja secara sungguh-sungguh dan tidak mengharapkan balasan/imbalan,
biasanya dilaksanakan dengantekun bekerja di bidang masing-masing;
(3) Janana-marga, ialah dengan jalan belajar serta mengamalkan ilmu
pengetahuan secara sungguh-sungguh dan tidak mengharapkan balasan,
biasanya dilaksanakan dengan mengamalkan ilmu pengetahuan kepada yang
memerlukan; dan (4) Raja-marga, ialah dengan jalan melakukan tapa-berata
yang tekun dan disiplin, biasanya dilaksanakan dengankegiatan meditasi,
yoga, maupun penyucian diri. Melalui pelaksanaan ajaran Catur-marga yang
seimbang, penggunaan bahan-bahan konsumsi dalam pelaksanaan ritual
keagamaan perlu lebih disederhanakan pada hal-hal yang pokok saja atau
diupayakan untuk pemanfaatan kembali (reuse) sarana upakara yang masih
mungkin digunakan kembali yang disesuaikan dengan ketentuan sastra
agama. Selanjutnya, kalau memungkinkan dilakukan aktivitas daur ulang
(recycling) sarana upakara tersebut sebagai langkah yang sangat tepat dalam
rangka pelestarian sumber daya alam. Strategi rekayasa budaya dapat
diwujudkan dengan memberikan porsi yang lebih besar terhadap peran tokoh
masyarakat dan intelektual setempat untuk mengimplementasi nilai-nilai
keselarasan hidup yang berlandaskan falsafah Tri Hita Karana.
Peran yang strategis dilakukan oleh tokoh masyarakat dan intelektual
setempat dalam memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap nilai-nilai
kearifan lokal berdasarkan perspektif kajian budaya dapat menjadi counter
hegemony dalam menyikapi fenomena pencemaran lingkungan hidup akibat
peningkatan timbunan sampah dan limbah. Perspektif kajian budaya
memberikan nilai yang setara terhadap masalah-masalah yang sebelumnya
dianggap marginal, seperti keberadaan sampah maupun limbah. Pada
pengertian lama, sampah dan limbah dianggap sebagai sesuatu yang tidak
berguna, kotor, dan harus dihindarkan. Namun, sesuai dengan realitas yang
34
ada, setelah keberhasilan para tokoh masyarakat dan intelektual
setempat dalam memberikan pemahaman yang lebih rasional tentang
pentingnya memberikan apresiasi terhadap keberadaan sampah dan limbah
pada posisi yang sewajarnya, muncul pengetahuan baru yang menempatkan
sampah dan limbah sebagai sesuatu yang penting, bernilai, dan harus dihargai
sewajarnya. Pada pengertian yang baru, sampah dan limbah adalah sesuatu
yang harus ditempatkan sebagai hal yang penting. Sampah dan limbah dapat
memiliki nilai ekonomi dengan mengubahnya menjadi pupuk, sumber energi,
atau materi yang berguna lainnya. Proses pengolahan sampah dan limbah
menjadi material yang berguna, berdasarkan perspektif kajian budaya,
merupakan proses yang mulia sehingga harus dihargai sewajarnya, sama
seperti proses produksi lainnya.
BAB III
35
KESIMPULAN
K. Kesimpulan dan Manfaat
Permasalahan pencemaran lingkungan hidup disebabkan terutama
oleh perilaku manusia yang tidak mengelola limbah dan sampah dari
aktivitasnya secara benar. Oleh karena itu, gerakan mengubah limbah dan
sampah menjadi benda yang masih bisa bermanfaat bagi manusia dan
lingkungan merupakan tugas yang mulia yang sepantasnya dihargai seperti
kegiatan masyarakat lainnya.Memuliakan pekerjaan yang berhubungan
dengan barang-barang sisa tentunya harus diikuti dengan penghargaan yang
wajar terhadap orang-orang yang terlibat dalam kegiatan tersebut.
Perubahan perilaku masyarakat dalam menjaga agar sampah dan
limbah yang dihasilkan secara benar harus dimulai dengan contoh dan
tindakan nyata. Gerakan pengendalian lingkungan hidup harus dimulai dari
pusat-pusat kegiatan masyarakat seperti kawasan pendidikan, pura, pasar, dan
pemukiman. Semuanya hanya akan berhasil dengan baik apabila kebijakan
pemerintah benar-benar diarahkan bagi pelayanan publik yang baik dan
berkeadilan.
Ancaman pencemaran lingkungan hidup bagi masa depan Bali adalah
tantangan yang harus dihadapi secara bijak. Pemerintah dan para pihak terkait
secara terpadu harus menyelesaikan permasalahan tersebut melalui program
perlindungan dan pengelolaan lingkungan Bali. Tantangan yang harus
diselesaiakan secara cepat dan terpadu meliputi masalah ketersediaan air,
pemanfaatan energi ramah lingkungan, penyediaan transportasi publik yang
nyaman dan aman serta manajemen transportasi yang terpadu, serta program
pengelolaan sampah dan limbah yang menyeluruh. Disamping itu, upaya
untuk meningkatkan perekonomian masyarakat sehingga menghilangkan
penduduk miskin akan sangat berperan dalam mengatasi pemukiman kumuh,
sanitasi yang buruk serta kegiatan eksploitasi sumber daya alam.
Potensi Bali untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik sangat besar
melalui implementasi nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki masyarakatnya
sejak lama. Upaya menumbuhkembangkan jadi diri masyarakat Bali yang
36
positif memerlukan dukungan keteladanan dan program aksi yang secara
nyata mampu mengurangi timbulan sampah dan limbah, meningkatkan
ketersediaan air, penyiapan energi ramah lingkungan, ketersediaan sistem
manajemen transportasi yang andal, murah dan nyaman, serta pertumbuhan
kesejahteraan masyarakat Bali skala dan niskala.
DAFTAR ISI
37
Dharma Putra, K.G.. 2005. Memilih Orientasi Strategi Penerapan Tri Hita
Karana (THK). dalam Green Paradise, Tri Hita Karana Tourism Awards
& Accreditation. Denpasar: Bali Travel News dan Pemda Bali.
Dharma Putra,K.G..2010, Pencemaran Lingkungan Ancam Pariwisata
Bali.Denpasar: Penerbit PT Pustaka Manikgeni.
Parining, N., Pitana, I.G., Dianta,I.M.P., Anom,I.P., Putra, K.G.D. 2003. Studi
Implementasi Konsep Pariwisata Kerakyatan. Denpasar: Bappeda
Provinsi Bali dan Pusat Penelitian Pariwisata dan Kebudayaan
Universitas Udayana.
www. parisada.org
www.babadbali.com
www.id.shvoong.com
www.regional.kompas.com
www.warmadewa.ac.ic
www.balisustain.blogspot.com
www.istp.murdoch.edu.au
www.plantemole.org
www.kgdharmaputra.blogspot.com
www.wartawarga.gundarma.ac.id
www.warmadewa.ac.id
38
LAMPIRAN
Green Culture
Green Economy
Green and Clean
Top Related