Download - Indepth report konsumtivisme dan tergusurnya ruang publik di internet

Transcript
Page 1: Indepth report konsumtivisme dan tergusurnya ruang publik di internet

Indepth Report

Konsumtivisme dan Tergusurnya Ruang Publik

di Internet

Copyleft 2011 by Yayasan Satudunia

oleh:

Firdaus Cahyadi,

Page 2: Indepth report konsumtivisme dan tergusurnya ruang publik di internet

Segala produksi ada disini Menggoda kita 'tuk memiliki Hari-hari kita berisi hasutan

Hingga kita tak tau diri sendiri (Iwan Fals, Mimpi yang Terbeli)

I. Konsumtivisme Digital, Uang Mengalir Sampai Jauh....

Sebuah berita di detik.com1 pada 25 November 2011. Dalam portal berita itu berjudul, “90

Orang Jadi Korban Antrean Blackberry 'Murah', 3 Patah Tulang”. Fenomena ini seakan

membanarkan sinyalemen makin kuatnya sikap konsumtif masyarakat seiring dengan

berkembangnya teknologi telematika (Telekomunikasi dan Informatika).

Kita semua tentu paham bahwa Blackberry bukanlah kebutuhan dasar, sehingga

seharusnya tidak perlu diperebutkan dalam memperolehnya. Blackberry tidak terkait dengan

hidup dan mati kita sebagai manusia. Namun, mengapa kita rela berdesak-desakan bahkan

mengorbankan diri kita demi sebuah Blackbarry?

Memang benar Blackbarry tidak ada kaitannya dengan hidup dan mati. Namun

kepemilikan Blackbarry terkait dengan gengsi. Karena desakan gengsi itu pulalah, maka tidak

memiliki Blackbarry seakan menjadi hidup ini tidak berarti.

Sebelumnya seperti ditulis oleh harianberita.com2, seorang siswi Sekolah Menengah

Umum (SMU) di Bogor, Jawa Barat, terjun ke bisnis prostitusi untuk membiayai gaya hidupnya

yang suka jalan-jalan ke mall dan berganti-ganti handphone. Di era digital ini, akses terhadap

produk-produk telematika seperti internet, handphone dan perangkat teknologi informasi lainnya

seakan menjadi gaya hidup. Munculnya gaya hidup online itu telah menjadikan sebagian dari

kita menjadi sangat konsumtif.

Sebuah survei yang dilakukan oleh aktivis FAKTA (Forum Warga Kota) Jakarta, sebuah

LSM yang mendampingi warga miskin kota Jakarta pada tahun 2010 lalu menarik disimak.

Menurut FAKTA, masyarkat miskin dampingannya mengeluarkan uang rata-rata Rp

30.000/bulan/KK untuk mengakses internet di warnet dan sebesar Rp 160.000/bulan/KK untuk

membeli voucher handphone. Jika ditotal maka sekitar Rp. 190 ribu/bulan/KK pengeluaran

warga miskin kota untuk belanja produk telematika.

Pengeluaran warga miskin kota untuk produk ICT itu ternyata hampir sama dengan

pengeluaran per KK warga miskin untuk kebutuhan minimum makanan per kapita per bulan

atau menurut Badan Pusat Statistics (BPS) dikenal dengan Garis Kemiskinan Makanan (GKM).

1 http://us.detiknews.com/read/2011/11/25/140451/1775592/10/90-orang-jadi-korban-antrean-blackberry-murah-3-

patah-tulang?n990102mainnews 2 http://www.harianberita.com/siswi-smu-bogor-pasang-tarif-rp-300-ribu.html

Page 3: Indepth report konsumtivisme dan tergusurnya ruang publik di internet

Pada tahun 2010 GKM di Jakarta mencapai Rp 213.487. Bahkan pengeluaran untuk belanja

produk telematika warga miskin itu telah melebihi pengeluaran kebutuhan minimum untuk

perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan atau Garis Kemiskinan Non-Makanan

(GKNM). Pada tahun 2010 GKNM di Jakarta sebesar Rp 117.682.

Sebegitu pentingkah handphone bagi kehidupan mereka hingga mereka rela berjejalan

untuk antre mendapatkan handphone murah? Benarkah kepemilikan akan handphone

merupakan kebutuhan atau sekedar gaya hidup yang telah disihir oleh korporasi di bidang

telematika sebagai kebutuhan?

Fenomena di atas mungkin menandai bahwa kita sedang memasuki era konsumtivisme

digital. Konsumtivisme adalah paham untuk hidup secara konsumtif, sehingga orang yang

konsumtif dapat dikatakan tidak lagi mempertimbangkan fungsi atau kegunaan ketika membeli

barang melainkan mempertimbangkan prestise yang melekat pada barang tersebut3.

Pertanyaan berikutnya tentu saja adalah kemana uang dari masyarkat kita yang telah

menjadi konsumen loyak produk telematika itu? Seperti tersebut di atas bahwa jumlah

pengguna ponsel meningkat pesat dan juga mayoritas pengakses internet di Indonesia juga

menggunakan ponsel dalam mengaksesnya. Sekarang mari kita lihat jumlah impor ponsel di

Indonesia dari tahun ke tahun.

Menurut data dari Asosiasi Importir Selullar Indonesia, seperti ditulis salah satu media

massa di Jakarta, menyebutkan bahwa pada tahun 2009, Indonesia mengimpor ponsel buatan

China sebanyak 6,3 juta unit, sementara dari negara lain sebanyak 4,2 juta unit. Pada tahun

2010, impor ponsel dari China sebanyak 9,6 juta unit dan dari negara lain menurun menjadi 2,4

juta unit.

Nah, bagaimana dengan bisnis operator selular di Indonesia? Menurut data dari

Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, menyebutkan bahwa hingga kuartal I tahun 2010,

pelanggan telkomsel sebanyak 88.950.000. Sementara pelanggan Indosat sebesar 39.100.000,

XL Axiata 32.924.000, Hutchinson 7.311.000 dan Natrindo 4.105.156.

Untuk melihat ada atau tidaknya potensi uang mengalir ke luar negeri, tentu kita harus

melihat komposisi dari pemegang saham lima besar operator selullar di Indonesia tersebut.

Menurut data dari Litbang KOMPAS menyebutkan bahwa kepemilikan asing dalam Telkomsel

mencapai 35 persen, Hutchinson 60 persen, Indosat 70,14 persen, XL Axiata 80 persen dan

Natrindo 95 persen.

3 http://www.indowarta.com/index.php?view=article&catid=102%3Aopini&id=310%3Abudaya-

konsumerisme&option=com_content&Itemid=333

Page 4: Indepth report konsumtivisme dan tergusurnya ruang publik di internet

Hal yang sama juga terjadi pada produk laptop. Dari tahun ke tahun impor laptop di

Indonesia semakin meningkat. Seperti ditulis oleh Kompas.com, sampai November 2009, nilai

impor komputer jinjing telah menembus 461 juta dollar AS. Angka ini melonjak 30,4 persen

dibandingkan impor laptop seluruh tahun 2008 yang hanya 353,4 juta dollar AS. Dari nilai impor

itu, laptop China menguasai 90,4 persen atau 416,7 juta dollar.

Page 5: Indepth report konsumtivisme dan tergusurnya ruang publik di internet

Coretan di dinding membuat resah Resah hati pencoret mungkin ingin tampil

Tepi lebih resah pembaca coretannya Sebab coretan di dinding adalah pemberontakan

Kucing hitam yang terpojok di tiap tempat sampah Di tiap kota . . . . . . . .

(Coretan di Dinding, Iwan Fals)

II. Apa itu Ruang Publik?

Melintas di jalan raya Sudirman, Jakarta. Melihat kanan-kiri jalan penuh dengan iklan-

iklan perusahaan. Dari iklan makanan hingga produk finansial (keuangan). Sepertinya kita

dirayu untuk membelanjakan seluruh uang kita, bukan sekedar untuk membeli produk barang

dan jasa namun juga untuk membeli produk investasi.

Melaju terus di jalan raya Jakarta. Hingga suatu saat mata kita tertuju pada sebuah

coretan-coretan tangan di dinding. Orang menyebutnya ini sebagai mural. Mural adalah lukisan

atau tulisan di dinding atau bidang datar lainnya. Tulisan itu berbunyi, “Demi Flyover, Pohon

Geme Over,”

Sumber gambar Jalan Layang Jakarta4

Tulisan mural itu sebagai wujud protes dari proyek pembangunan flyover sepanjang

Antasari-Blok M. Pembangunan jalan layang non-tol itu dinilai telah mengorbankan pohon-

pohon di kawasan itu. Mural itu seperti hendak merebut perhatian masyarakat di tengah

4 http://jalanlayangjakarta.blogspot.com/2011/02/demi-fly-over-pohon-game-over.html

Page 6: Indepth report konsumtivisme dan tergusurnya ruang publik di internet

berjejalnya iklan-iklan produk di sepanjang jalan Jakarta. Namun mural itu seperti minoritas di

tengah mayoritas iklan-iklan produk di sepanjang jalan Jakarta.

Fenomena di atas menunjukan pertarungan dalam memperebutkan ruang publik.

Menurut Jurgen Habermas5 bahwa ruang publik merupakan media untuk mengomunikasikan

informasi dan juga pandangan6.

Pinggir jalan raya adalah bagian fasilitas yang dibangun untuk kepentingan publik.

Pinggir jalan raya yang tersisa kini telah jadi ajang perebutan berbagai pihak untuk

mengomunikasikan informasi dan pandangannya. Pihak yang berorentasi profit, korporasi,

merebut ruang publik melalui iklan-iklannya, untuk menginformasikan produknya. Sementara,

masyarakat merebut ruang publik melalui mural, untuk tujuan sosial. Dari sekedar

mengekspresikan diri hingga bentuk protes dari berbagai kebijakan publik.

Jika pinggir jalan raya disebut ruang publik maka, ruang publik itu hanya

mengomunikasikan informasi dan pandangan dari satu pihak, atau searah. Ruang publik

lainnya, ada yang justru memfasilitasi perdebatan antar berbagai pihak tentang sebuah isu.

Ruang publik itu adalah media massa.

Namun seiring dengan berubahnya waktu, penguasaan kepemilikan media massa oleh

segelintir orang, atau lebih sering disebut sebagai konglomerasi media, mulai mengancam

ruang publik. Kenapa demikian? Karena kontrol kepemilikan media pada segelintir konglomerat

itu menyebabkan konten (isi) yang ditampilkan tidak lagi beragam. Bahkan dalam kasus tertentu

bias terhadap kepentingan pemilik media.

Amerika Serikat adalah negara yang dapat dijadikan contoh dari konglomerasi media.

Pada era tahun 1980-an hinggga pertengahan tahun 1990-an, perusahaan media massa di

Amerika Serkat terus mengalami penurunan. Tahun 1996, perusahaan media di negeri itu

hanya menyisakan lima media, yaitu Time-Warner, Viacom, News Corp., Bertelsmann Inc., dan

Disney7. Hal yang sama nampaknya juga terjadi di Indonesia, namun dengan skala yang

berbeda.

Dalam sebuah wawancara melalui Skype dengan SatuDunia8 Ketua Yayasan Pantau9

Andreas Harsono mengungkapkan sekelumit sejarah konglomerasi media massa di Indonesia.

“Konglomerasi media, dalam arti cross section10, di Indonesia muncul sejak jaman Soeharto

5 Jurgen Habermas adalah filsuf dan sosiolog Jerman dalam tradisi teori kritis dan pragmatisme Amerika. Ia mungkin

paling dikenal berkat karyanya tentang konsep ranah publik, topik dan judul dari buku pertamanya. http://sulfikar.com/teori-ruang-publik-1-ruang-publik-habermas.html 6 http://sulfikar.com/teori-ruang-publik-1-ruang-publik-habermas.html

7 https://fordiletante.wordpress.com/2008/01/29/konglomerasi-media-dalam-grup-mnc-media-nusantara-citra/

8 Wawancara via skype dilakukan 23 Juni 2011

9 Yayasan Pantau adalah sebuah lembaga yang bertujuan memperbarui jurnalisme di Indonesia

10 Media cetak, radio, televisi dan internet

Page 7: Indepth report konsumtivisme dan tergusurnya ruang publik di internet

dan semua terpusat di Jakarta,” ujar Andreas Harsono, “Di era Hindia Belanda dan Soekarno

memang ada media besar, tapi tidak cross section, pada waktu itu hanya koran saja,”

“Adapun aktornya, kebanyakan sama sejak Orde Baru,” katanya, “Namun ada aktor baru

dalam konglomerasi media ini setelah Orde Baru tumbang, yaitu Trans Corps”

Page 8: Indepth report konsumtivisme dan tergusurnya ruang publik di internet

III. Internet dan Ruang Publik yang Timpang...

Di tengah ancaman konglomerasi media terhadap ruang publik, muncul alternatif media

lain sebagai wahana untuk mengekspresikan diri, gagasan, dan pandangan. Media itu adalah

internet. Di internet sesorang bisa dengan mengungkapkan informasi dan pandangannya

melalui teks (tulisan) dan audio visual (video).

Pertumbuhan pengguna internet pun kian besar di Indonesia. Pada tahun 2011,

penetrasi pengguna internet di Indonesia telah mencapai 40-45 persen. Padahal di tahun 2010

lalu rata-rata penetrasi penggunaan Internet di kota urban Indonesia masih 30-35 persen11.

Sumber gambar: Kompas.com

Medan adalah kota dengan penetrasi pengguna internet terbesar. Namun jika

dibandingkan antara Jawa dan luar Jawa maka, penetrasi internet terbesar masih berada di

wilayah Jawa (Jakarta, Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi/Bodetabek, Bandung, Semarang dan

Surabaya). Sementara penetrasi pengguna internet di Makasar (Indonesia Timur) justru

mengalami penurunan.

Dominasi penetrasi pengguna internet di kawasan Jawa dan Sumatera sebenarnya

menjadi sebuah kewajaran, karena Jawa dan Sumatera adalah pasar potensial bagi produk-

produk telematika (telekomunikasi dan informatika). Akibatnya, infrastruktur telematika pun

terpusat di Jawa dan Sumatera.

11

http://tekno.kompas.com/read/2011/10/28/16534635/Naik.13.Juta..Pengguna.Internet.Indonesia.55.Juta.Orang

Page 9: Indepth report konsumtivisme dan tergusurnya ruang publik di internet

Sumber: Sumber: Muhammad Salahuddien, ID-Sirti

Ketimpangan penetrasi pengguna internet di Indonesia yang dipicu oleh ketimpangan

infrastruktur telematika itu juga berimbas pada pengguna facebook dan produksi tweet di

Indonesia. Seperti ditulis di Snapshot of Indonesia Social Media Users - Saling Silang Report

Feb 201112, menyebutkan bahwa pengguna facebook terbesar di Indonesia didominasi oleh

warga Jakarta (50,33%). Pada urutan selanjutnya Bandung (5,2%), Bogor (3,23%), Yogyakarta

(3,09%), Medan (3,04%), Makasar (2,23%) dan Surabaya (2,18%). Bandingkan dengan

pengguna Facebook di Jayapura (0,12%) dan Ternate (0,03%).

Begitu pula produksi tweet di Twitter. Tweet yang diproduksi dari Jakarta mendominasi

seluruh tweet dari Indonesia. Tweet yang diproduksi dari Jakarta sebesar 16,33%, dari

Bandung 13,79%, dari Yogyakarta 11,05%, dari Semarang 8,29% dan dari Surabaya 8,21%.

Bandingkan tweet yang diproduksi dari Palu hanya 0,71%, Ambon 0,35% dan Jayapura 0,23%.

Ketimpangan akses telematika itu menyebabkan ruang publik di internet menjadi

timpang, bias kota – kota di Jawa dan Indonesia Barat. Dengan kata lain warga di Indonesia

yang ada di luar Jawa dan Indonesia barat sulit bahkan tidak bisa mengakses ruang publik di

internet.

12

http://www.slideshare.net/salingsilang/snapshot-of-indonesia-social-media-users-saling-silang-report-feb-2011

Page 10: Indepth report konsumtivisme dan tergusurnya ruang publik di internet

...... Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan

Tidak mengandung perdebatan Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan

(Aku Tulis Pamflet Ini, WS. Rendra)

IV. Konvergensi Telematika=Konglomerasi Media Baru?

13 Agustus 2011, adalah tanggal yang mungkin tidak bisa dilupakan oleh pemerhati

media di negeri ini. Sejak tanggal itulah secara resmi detikcom berada di bawah Trans Corp

Company13. Detik.com adalah media online popular di Indonesia. Sementara Trans Corp adalah

korporasi media di pertelevisian.

Pada Rabu, 10 Agustus 2011, diadakan acara buka bersama yang sekaligus menjadi

pertemuan pertama manajemen baru dengan para karyawan detikcom. Dalam sambutan CEO

Trans Corps Chairul Tanjung mengatakan bahwa dua hal penting dari sebuah industri media,

adalah membangun bisnis yang kuat dan membangun idealisme. "Jadi, dari sisi bisnis,

detikcom harus kuat. Kalau bisnisnya tidak kuat, maka media akan melacurkan dirinya untuk

bisa hidup," kata Chairul seperti ditulis oleh detik.com.

13

http://suratbuncit.detik.com/read/2011/08/12/113903/1702247/238/detikcom-dan-manajemen-baru

Page 11: Indepth report konsumtivisme dan tergusurnya ruang publik di internet

Benarkah bisnis media yang kuat dengan serta

merta juga akan memperkuat idealisme jurnalis? Dalam

sebuah live chat di komunitas jurnalistik.net via skype14,

wartawan senior Farid Gaban menanggapi pernyataan

itu. “Chairul benar sebagian, bahwa bisnis media harus

sehat agar terjaga independensinya,” tulisnya,

Tapi, menurut Farid Gaban, independensi

jurnalistik dan kesehatan bisnis media seringkali tidak

ada korelasinya. “Justru, makin besar bisnis media,

seringkali makin hati-hati mengkritik,” jelasnya “Bisnis

tanggungjawab pemimpin perusahaan (CEO), sementara

jurnalistik tanggungjawab pemimpin redaksi (chief

editor),”

Pesatnya teknologi telematika yang makin

konvergen15, ternyata diiringi dengan makin kuatnya

kecenderungan konglomerasi media. Sebelum detik.com

diakusisi oleh Para Groups, Group Bakrie Telecom juga berencana menyatukan media-media

yang ada di bawah Group Bakrie.

Seperti ditulis di salah satu portal berita16, Presiden Direktur PT Bakrie Telecom Tbk

(BTEL) Anindya Novyan Bakrie saat memaparkan Bakrie Telecom, Media and Technology

(BakrieTMT2015) yang akan menyinergikan lini bisnis telekomunikasi (BTEL), media (VIVA

Group) dan teknologi (BConn dan BNET) sampai dengan tahun 2015.

Konvergensi telematika pun digunakan oleh pemilik modal untuk memperkuat

konglomerasi medianya. “Konglomerasi media di era konvergensi telematika adalah sesuatu

yang sulit dihindarkan,” ujar Don Bosco Salamun, dari Berita Satu Media Holdings17, saat

menjadi pembicara di konferensi media baru yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis

Independen (AJI)18.

14

Selasa, 8 November 2011 15

16

http://www.investor.co.id/bedahemiten/era-konvergensi-di-mata-bakrie-telecom/8867 17

Berita Satu Media Holdings is an Indonesian media holding company that operates the Berita Satu TV, BeritaSatu.com, Jakarta Globe, Globe Asia, The Peak, Campus Asia, Investor Daily, Majalah Investor and Suara Pembaruan. Berita Satu Media Holdings are a multiplatform media company, focusing in broadcast, print, digital, online, social media, mobile, and events. http://www.linkedin.com/company/berita-satu-media-holdings. 18

Konferensi “Media Baru: Menjadi Tuan di Negeri Sendiri”, Hotel Nikko Jakarta, 7 Juli 2011

Page 12: Indepth report konsumtivisme dan tergusurnya ruang publik di internet

”Karena dengan penyatuan kepemilikan media itu dapat menjadikan operasional industri

media lebih efisien,” katanya, “Seorang wartawan misalnya, dapat membuat satu berita bukan

hanya untuk satu kanal namun juga beberapa kanal sekaligus”

Makin menguatnya konglomerasi media di era konvergensi telematika itu juga

dibenarkan oleh Ketua Yayasan Pantau Andreas Harsono. Menurutnya, konvergensi telematika

akan semakin memperkuat konglomerasi media di Indonesia. “Akan makin parah,” ungkapnya.

Menurut aktivis AJI Margiyono, proses konvergensi telematika itu adalah istilah

teknologi. “Sementara istilah bisnisnya ya konglomerasi,” ujarnya19, “Dimana industri-industri

media besar cenderung membeli/mencaplok media-media lain,”,

Di tempat terpisah, Direktur LSPP Ignatius Haryanto dalam sebuah wawancara dengan

SatuDunia menyatakan bahwa yang paling pertama diuntungkan dengan era konvergensi

telematika ini adalah pengusaha media.

“Karena itu membuka peluang baru untuk menyebarkan konten-konten media melalui

outlet-outlet yang beragam,” ujarnya, “Kuntungan dari konvergensi telematika ini paling cepat

dimanfaatkan oleh pengusaha-pengusaha media. Nah, pertanyaannya kemudian adalah publik

akan mendapatkan apa dengan konvergensi telematika ini?”

Artinya, persoalan di internet tidak jauh berbeda dengan di media konvensional, yaitu

kecenderungan konglomerasi media.

No Media

Group

Newspaper Magazine Radio

Station

Television

Station

Cyber Media Other Bussines

1 Kompas-

Gramedia

Group

Kompas,

The Jakarta

Post, Warta

Kota dan 11

surat kabar

lokal

37 Majalah dan

Tabloid, 5 book

publisher

Sonora

Radio dan

Otomotion

Radio

Kompas

TV20

Kompas.com,

Kompasiana.com21

Hotel,Printing,

House,

Promotion,

Agencies,

University

2 MNC

(Media

Nusantara

Citra)

Seputar

Indonesia

Genie,

Mom&Kiddy,

Realita,

Majalah Trust

Trijaya

FM,Radio

Dangdut

TPI, ARH

Global,

Women

Radio

RCTI, Global

TV, TPI

(MNC TV),

Indovision

(Televisi

Cable)

Okezone.com IT Bussines

19

Diskusi Lingkar Belajar Telematika (1), Yayasan SatuDunia, 18 Agustus 2011. http://www.satudunia.net/content/notulensi-diskusi-lingkar-belajar-telematika-1 20

Saat tulisan ini dibuat Group Kompas sedang mempersiapkan kompasTV 21

Kompasiana adalah sebuah Media Warga (Citizen Media)

Page 13: Indepth report konsumtivisme dan tergusurnya ruang publik di internet

3 Jawa Pos Jawa Pos,

Fajar, Riau

Pos, Rakyat

Merdeka,

dan 90

surat kabar

lokal di

berbagai

daerah

23 majalah

mingguan

Fajar FM di

Makassar

JTV di

Surabaya

dan 3

stasiun TV

lokal22

Travel Bureau,

Power House

4 Mugi Reka

Aditama

(MRA)

Cosmopolitan,

Harper’s

Bazaar,Esquire,

FHM, Good

House Keeping

dan 10 majalah

lainnya

(kebanyakan

franchise)

Hard Rock

FM23

, MTV

Sky24

O’Channel25

Holder of Saveral

International

Boutique

5 Bali Post Bali post,

Suluh

Indonesia

dan 2 koran

lainnya

Tabloid Tokoh Bali TV dan

8 TV lokal

lainnya

Balipost, bisnis bali

6 Mahaka

Media

Harian

Republika

Golf Digest,

Arena, Parents

Indonesia, A+

Radio Jak

FM

JakTV, TV

One26

Entertaiment.

Outdoor

Advertisment

7 Femina

Group

Femina, Gadis,

Ayah Bunda,

Dewi dan 10

majalah lainnya

Radio U

FM

Production House

8 Bakrie

Group

AnTV, TV

One

Vivanews.com Property,

minning, palm oil

dan

telekomunikasi

9 Lippo Jakarta Majalah Beritasatu.com Property,hospital,

22

Batam, Pekanbaru, Makassar 23

Bandung, Jakarta, Bali dan Surabaya 24

Jakarta dan Bandung 25

Has been taken over SCTV 26

Bekerjasama dengan Group Bakrie

Page 14: Indepth report konsumtivisme dan tergusurnya ruang publik di internet

Group27

Globe,

Investor

Daily, Suara

Pembaruan

Investor, Globe

Asia, Campus

Asia

Education,

insurance,

internet service

provider

10 Trans Corp TransTV,

Trans7

Detik.com28

11 Media

Group29

Media

Indonesia,

Lampung

Post,

Borneo

News

MetroTv mediaindonesia.com

Sumber: diolah dari tabel konglomerasi media Ignatius Haryanto30

27

Berita Satu Media Holdings 28

Saat tulisan ini dibuat, masih dalam proses akusisi 29

http://id.wikipedia.org/wiki/Media_Group 30

10 tahun Yayasan Tifa,”Semangat Masyarakat Terbuka”

Page 15: Indepth report konsumtivisme dan tergusurnya ruang publik di internet

V. Kebijakan Telematika dan ‘Penggusuran’ Ruang Publik

a. UU ITE dan Pelemahan Perlawanan Publik

Prita Mulyasari. Sebuah nama yang tidak bisa dipisahkan dari sebuah gerakan sosial di

internet. Prita Mulyasari adalah seorang perempuan yang menuliskan ketidakpuasannya

terhadap pelayanan sebuah rumah sakit Omni Internasional melalui email pribadinya ke rekan-

rekannya.

Akhirnya email pribadi tersebut sampai ke RS Omni Internasional. RS Omni Internasional

kemudian melakukan gugatan perdata dan melaporkan Prita Mulyasari secara pidana. Dalam

hukum pidana Prita Mulyasari dinilai telah melakukan pencemaran nama baik seperti yang

tertuang dalam Pasal 27 ayat 3 Undang Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Kasus itu kemudian mendorong para pengguna internet, blogger dan facebooker

menggalang dukungan untuk Prita Mulyasari melawan RS Omni Internasional. Gerakan

dukungan online itu kemudian berlanjut ke aktifitas offline. Hal itu terlihat dari berbagai

demonstrasi di persidangan Prita Mulyasari dan yang paling besar tentu saja adalah gerakan

koin keadilan untuk Prita.

Gencarnya dukungan di dunia maya terhadap Prita Mulyasari ini akhirnya mencuri

perhatian media massa mainstream untuk memberitakannya. Gerakan dukungan terhadap

Prita Mulyasari pun semakin besar sejak beritanya muncul di media massa mainstream

konvensional31. Menggemannya dukungan terhadap Prita Mulyasari pun membuat para

kandidat calon Presiden pada tahun 2009 memanfaatkan kasus ini sebagai salah satu isu dalam

kampanye mereka.

Besarnya dukungan terhadap gerakan di internet dalam kasus Prita Mulyasari ini

akhirnya dicoba diulangi dalam kasus-kasus lainnya. Meskipun tidak semuanya bisa mengulang

lagi keberhasilan gerakan itu. Gerakan di internet yang cukup berhasil dalam mengulang

gerakan dalam kasus Prita adalah dukungan terhadap Bibit-Candra dalam kasus Cicak Vs Buaya

(KPK)32.

31

Televisi, koran, tabloid, majalah, radio 32

Saat itu ada anggota KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang dinilai telah dikriminalkan oleh kepolisian. Pihak polis i diberi label buaya, sementara pihak KPK diberi label cicak

Page 16: Indepth report konsumtivisme dan tergusurnya ruang publik di internet

Gerakan Sosial di Facebook Jumlah Pendukung Keterangan

Page Dukung:

Bebasmurnikan Prita dr

Tuntutan Bui33

19.339 (per 8 Juni 2011)

Causes; “Dukungan Bagi Ibu

Prita Mulyasari, Penulis

Surat Kelahuhan Melalui

Internet yang ditahan”34.

389.639

(per 8 Juni 2011)

Gerakan 1.000.000

Facebookers Dukung

Chandra Hamzah & Bibit

Samad Riyanto35

378,453 (per 19 Juli 2011)

Cause;Dukung Korban

Lapindo Mendapatkan

Keadilan 36

17,238 ( Per Juni 2011)

Group Gerakan Rakyat

Dukung Pembebasan Nenek

Minah37

3669 (per 7 Juni 2011)

Selain gerakan sosial di facebook, muncul pula gerakan jurnlisme warga melalui website

UGC (User Generate Content)38. Hal itu misalnya dilakukan Akhmad Rovahan39. Pengajar di

sebuah madrasah di Buntet, Cirebon, itu menulis karut-marut pengucuran dana pendidikan

untuk tujuh sekolah di Kecamatan Astanajapura. Karyanya itu kemudian diunggah di Suara

33

(http://www.facebook.com/pages/Dukung-Bebasmurnikan-Prita-dr-Tuntutan-Bui/179105094476?ref=ts) 34

http://www.causes.com/causes/290597-dukungan-bagi-ibu-prita-mulyasari-penulis-surat-keluhan-melalui-internet-yang-

ditahan

35 http://www.facebook.com/pages/Gerakan-1000000-Facebookers-Dukung-Chandra-Hamzah-Bibit-Samad-

Riyanto/192945806132?ref=ts&sk=info 36

http://www.causes.com/causes/333125?m=faf1a932 37

http://www.facebook.com/group.php?gid=180415896573 38

User Generte Conten (UGC) adalah website yang memungkinkan pengguna internet menulis dan mengupload sendiri connten di web tersebut 39

Majalah TEMPO, Edisi 2 Mei 2011. http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2011/05/02/MD/mbm.20110502.MD136575.id.html

Page 17: Indepth report konsumtivisme dan tergusurnya ruang publik di internet

Komunitas (www.suarakomunitas.net), salah satu portal tempat para pewarta warga berbagi

informasi, akhir tahun 2010.

Tulisannya mengalir sampai ke Jakarta. Petugas Badan Pemeriksa Keuangan mengecek

langsung, juga tim pemantau dari beberapa kampus. Kasus itu menjadi pembicaraan di tingkat

provinsi. "Orang pemerintah daerah sampai minta tulisannya dicabut," kata Akhmad.

Kejadian itu bukan satu-satunya. Seorang warga mengunggah tulisan tentang sekolah

yang siswanya belajar secara lesehan. "Dua hari kemudian, datang meja-kursi dari pemerintah,"

kata Akhmad. Ada juga cerita pengusutan kasus meninggalnya tenaga kerja asal Cirebon di Jawa

Tengah oleh pemerintah setelah beredarnya tulisan dari kerabat korban di situs media

komunitas.

Suara Komunitas (www.suarakomunitas.net) sendiri adalah website yang dikelola oleh

media-media komunitas yang tersebar di seluruh Indonesia. Pengelolaannya difasilitasi oleh

sebuah NGOs Yogyakarta, COMBINE Resource Institution40.

Namun, nampaknya gerakan sosial di dunia maya kembali akan menemui kendala.

Kendala pertama adalah terkait dengan ancaman pencemaran nama baik di UU ITE. Dalam

kasus pidana41, Prita dikalahkan melalui putusan kasasi Mahkamah Agung. Dikalahkannya Prita

Mulyasari dalam kasus pidana melawan RS Omni menjadi preseden buruk bagi gerakan sosial

di dunia maya.

Selain dalam kasus Prita Mulyasari, pasal karet pencemaran nama baik dan perbuatan

tidak menyenangkan42, telah mengancam beberapa warga yang mencoba melakukan kritik

sosial terhadap tokoh-tokoh yang kebetulan memiliki kekuasaan, baik secara politik maupun

ekonomi. Bambang Kisminarso misalnya, polisi sempat menahannya berserta anaknya M.

Naziri atas tuduhan telah menghina anak presiden dalam pelanggaran ketentuan pencemaran

nama baik melalui UU ITE.

40

http://combine.or.id/suara-komunitas/ 41

http://www.mediaindonesia.com/citizen_read/2026 42

Pasal 27 ayat 3 UU ITE tentang pencemaran nama baik, pasal 28 UU ITE tentang perbuatan tidak menyenangkan.

Page 18: Indepth report konsumtivisme dan tergusurnya ruang publik di internet

Bambang mengajukan pengaduan kepada komisi pengawasan pemilu daerah bahwa

para pendukung putra presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah membagi-

bagikan uang kepada para calon pemilih43.

Selain itu ada Yudi Latif, seorang intelektual publik yang pernah terancam terjerat pasal

karet UU ITE ini. Pada akhir tahun 2010 lalu, Yudi latif, dilaporkan ke polisi oleh para kader

Partai Golkar dengan tuduhan mencemarkan nama baik pimpinan partainya, Aburizal Bakrie.

Dalam laporan polisi bernomor TBL/498/XII/2010/Bareskrim itu, Yudi dilaporkan atas dugaan

pelanggaran Pasal 310 dan atau Pasal 311 KUHP dan atau Pasal 45 ayat (2) jo Pasal 28 ayat (1)

dan (2) UU ITE44.

Sebelumnya pasal pencemaran nama baik selalu digunakan menjadi alat untuk

membungkam gerakan masyarkat sipil45.

1. Fifi Tanang, seorang penulis surat pembaca di sebuah surat kabar. Dituduh

mencemarkan nama baik PT Duta Pertiwi melalui tulisannya di kolom surat pembaca.

2. Alex Jhoni Polii, warga Minahasa, yang memperjuangkan kepemilikan tanahnya

melawan PT. Newmont Minahasa Raya (NMR). Dituduh melakukan tindak pidana

pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan.

3. Dr. Rignolda Djamaluddin, ia dinilai telah mencemarkan nama baik perusahaan

tambang emas PT. Newmont Minahasa Raya (NMR) karena pernyataannya tentang

gejala penyakit Minamata yang ditemukan pada beberapa warga Buyat Pante.

4. Yani Sagaroa dan Salamuddin, kedua orang itu dituding telah mencemarkan

nama baik perusahaan karena pernyataanya bahwa PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT)

harus bertanggung jawab atas penurunan kualitas kesehatan yang dialami masyarakat

Tongo Sejorong sejak perusahaan tersebut membuang limbah tailingnya ke Teluk

Senunu.

5. Usman Hamid (Koordiantor Kontras). Tuduhan: pencemaran nama baik.

6. Emerson Yuntho (Koordinator ICW). Tuduhan: pencemaran nama baik.

7. Illian Deta Arta Sari (aktivis ICW). Tuduhan: pencemaran nama baik.

43

Kritik Menuai Pidana, Human Right Watch, 2010. http://satuportal.net/system/files/indonesia0510indosumandrecs.pdf 44

http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=11870 45

http://www.satudunia.net/lawan-kebangkitan-orde-baru-di-dunia-maya

Page 19: Indepth report konsumtivisme dan tergusurnya ruang publik di internet

8. Gatot (aktivis KSN). Tuduhan: pencemaran nama baik.

9. Suryani (aktivis LSM Glasnot Ponorogo). Tuduhan: pencemaran nama baik.

10. Dadang Iskandar (aktivis Gunung Kidul Corruption Watch). Tuduhan:

pencemaran nama baik.

11. Itce Julinar (Ketua SP Angkasapura). Tuduhan: pencemaran nama baik.

Kasus Prita Mulyasari yang akhirnya dikalahkan dalam putusan kasasi MA (UU ITE) dan

juga penggunaan pasal karet pencemaran nama baik dalam KUHAP untuk menjerat aktivis

menjadi preseden buruk bagi gerakan sosial digital ke depannya. Warga masyarakat yang akan

melakukan kontrol sosialnya melalui internet akan selalu dibayangi pasal pencemaran nama

baik UU ITE.

b. RUU Konvergensi Telematika dan Pelemahan Perlawanan Publik

Saat laporan ini46 dibuat pemerintah sedang membahas Rancangan Undang Undang

(RUU) Konvergensi Telematika. RUU itu nantinya akan menggantikan UU 36/1999 tentang

telekomunikasi. Terkait dengan hal itulah RUU Konvergensi Telematika ini menjadi penting

untuk mendapatkan pengawalan dari masyarakat.

Dalam konteks liberalisasi telekomunikasi, RUU Konvergensi Telematika ini tidak jauh

beda dengan UU 36/1999. Dalam penjelasan draft RUU itu disebutkan bahwa Dalam penjelasan

RUU Konvergensi Telematika secara gamblang disebutkan, bahwa salah satu hal yang

melatarbelakangi munculnya RUU Konvergensi Telematika adalah “Tekanan atau dorongan

untuk mewujudkan perubahan paradigma telematika dari vital dan strategis dan menguasai

hajat hidup orang banyak menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan semakin besar

melalui forum-forum regional dan internasional dalam bentuk tekanan untuk pembukaan pasar

(open market)”.47

Pertanyaannya kemudian adalah, dari sisi masyarkat, apakah RUU ini akan mampu

memberikan payung hukum baru yang masyarakat untuk memperkuat perlawanan terhadap

dominasi wacana dari konglomerasi media yang telah terkonvergensi itu?

46

Juli 2011 47

http://www.satudunia.net/content/indepth-report-membaca-inisiatif-e-asean

Page 20: Indepth report konsumtivisme dan tergusurnya ruang publik di internet

b.1. Pembagian Penyelenggara Telematika

Kendala pertama dari RUU ini muncul terkait dengan pembagian penyelenggara

telematika. "Persoalan pembagian penyelenggara telematika di RUU Konvergensi ini juga

menimbulkan pertanyaan," ujar Donny BU dalam wawancaranya dengan SatuDunia, di kantor

ICT Watch Jakarta48. Persoalan terkait dengan hal itu menurut Donny berasal dari Pasal 8 ayat 1

draft RUU Konvergensi Telematika.

Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa penyelenggaraan Telematika terdiri atas.

Penyelenggaraan Telematika yang bersifat komersial dan Penyelenggaraan Telematika yang

bersifat non-komersial. Semua penyelenggaraan telematika menurut RUU Konvergensi

Telematika dianggap komersial, kecuali pertahanan dan keamanan nasional, kewajiban

pelayanan universal, dinas khusus dan perseorangan.

Sedangkan menurut penjelasan pasal 8 RUU Konvergensi Telematika menyebutkan

bahwa yang dimaksud dengan “Penyelenggaraan Telematika yang bersifat komersial” adalah

penyelenggaraan telematika yang disediakan untuk publik dengan dipungut biaya guna

memperoleh keuntungan (profit oriented). Dan yang dimaksud dengan “Penyelenggaraan

Telematika yang bersifat non-komersial” adalah penyelenggaraan telematika yang disediakan

untuk keperluan sendiri atau keperluan publik tanpa dipungut biaya (non-profit oriented).

Pasal 13 RUU Konvergensi Telematika menyebutkan bahwa penyelenggaraan

Telematika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) wajib mendapat izin dari Menteri

berupa perizinan individu atau perizinan kelas.

Selain itu dalam pasal 12 juga disebutkan bahwa setiap penyelenggara telematika wajib

membayar biaya hak penyelenggaraan telematika yang diambil dari persentase pendapatan

kotor (gross revenue).

Sementara itu menurut RUU Konvergensi Telematika penyelenggaraan Layanan Aplikasi

Telematika adalah kegiatan penyediaan layanan aplikasi telematika yang terdiri dari aplikasi

pendukung kegiatan bisnis dan aplikasi penyebaran konten dan informasi.

48

Wawancara dengan Donny BU, ICT Watch, 1 April 2011

Page 21: Indepth report konsumtivisme dan tergusurnya ruang publik di internet

"Nah pertanyaannya adalah bagaimana dengan Media Online, Situs jejaring komunitas

seperti suarakomunitas.net, penyelenggara radio streaming (IP-Based), penyedia forum diskusi

yang user generated content atau layanan darurat (emergency) seperti AirPutih/ JalinMerapi?"

tanya Donny BU.

Soal penyelenggaraan telematika ini juga pernah diutaran oleh aktivis koalisi Masyarakat

Informasi (Maksi) dan juga Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Margi Margiyono49. "Jadi yang bisa

membuat aplikasi itu hanya komersial," ujar Margiyono, "Lantas, kalau NGO membuat aplikasi

bagaimana? Bukankah web termasuk juga aplikasi,"

Dalam RUU Konvergensi Telematika itu disebutkan bahwa baik penyelenggara non

komersial dan komersial harus izin ke menteri. "Jadi kalau kita bikin portal/website harus izin ke

menteri dan bayar BHP /Biaya Hak Penggunaan," lanjutnya.

RUU Konvergensi Telematika ini, lanjut Margiyono, jelas berpotensi menghambat

gerakan sosial digital atau klik activism dan juga jurnalisme warga. "Bagaimana tidak, untuk

menjadi citizen jurnalis dan aktivis sosial digital harus mendapat izin, membayar BHP dan

melakukan USO," tambahnya, "UU Pers saja menyatakan bahwa pers tidak perlu ijin, lha kok

Citizen Jurnalist harus izin”

49

Diskusi di SatuDunia, “Revisi UU ITE dan RUU Konvergensi Telematika, Bagaimana Sikap Masyarakat Sipil”, 25 Oktober 2010

Page 22: Indepth report konsumtivisme dan tergusurnya ruang publik di internet

“Begitu pula pers, kecuali penyiaran, tak bayar BHP,” tambah Margiyono “Lha kok

Citizen jurnalist harus bayar BHP?”

Dampak buruk RUU Konvergensi Telematika bagi organisasi non pemerintah mulai

dikeluhkan oleh aktivis Combine Resource Institute. "Organisasi kami menggunakan alat dan

perangkat telematika untuk pemberdayaan masyarakat (kebutuhan non komersial)," ujar

Page 23: Indepth report konsumtivisme dan tergusurnya ruang publik di internet

Ranggoaini Jahja, aktivis Combine Resource Institute kepada SatuDunia50, "Sehingga jika

penerapan RUU ini akan membatasi ruang kami untuk melakukan kerja pemberdayaan,

sementara operator swasta memperlakukan jenis layanan kepada masyarkat secara sama

maka organisasi kami menolak RUU ini,"

b.2. Ketimpangan Akses Telematika

Ketimpangan akses telematika yang menjadi fakta di Indonesia menjadi persoalan serius

dalam konteks perlawanan warga terhadap wacana dominan konvergensi media konglomerasi.

Warga yang ada di luar Jawa, utamanya di sebagian kawasan Indonesia tengah dan Timur akan

kesulitan mengimbangi atau melawan dominasi wacana media konglomerasi melalui blog,

jurnalisme warga jika mereka tidak memiliki akses terhadap telematika.

Akibatnya, tentu saja apa yang dipublikasikan oleh media konglomerasi yang teleh

konvergen itu mendominasi wacana publik dan dianggap sebagai sebuah kebenaran tunggal.

Perlawanan warga di kawasan Indonesia tengah dan timur terhadap wacana dominan media

konglomerasi menjadi penting, utamanya menyangkut persoalan pengelolaan sumberdaya

alam. Mengingat kawasan itu sangat kaya dengan sumberdaya alam. Sementara di sisi lain,

sebagian konglemerat media selain memiliki bisnis media juga memiliki bisnis yang terkait

dengan sumber daya alam semisal, perkebunan sawit dan tambang.

“Jika konsep besarnya adalah hak warga negara (masyarakat luas), mengapa yang diatur

dalam RUU Konvergensi Telematika ini lebih kental soal hak konsumen/pengguna?” ujar Donny

BU, “Sementara hak warga negara, utamanya yang belum mendapat akses telematika, belum

atau tidak diatur,”

Terkait dengan hak warga itu pula, Donny BU mengaku sepakat dengan catatan yang

pernah dibuat oleh Yayasan SatuDunia terkait hak warga negara dalam RUU Konvergensi

Telematika ini. Dalam Brief Paper SatuDunia51 tentang RUU Konvergensi Telematika

menyebutkan telah terjadi pereduksian hak warga negara menjadi sekedar hak konsumen.

50

Wawancara dengan RANGGOAINI JAHJA (via email), COMBIMBINE Resource Institution, 4 April 2011

51

http://www.satudunia.net/content/brief-paper-ruu-konvergensi-telematika

Page 24: Indepth report konsumtivisme dan tergusurnya ruang publik di internet

Menurut Brief Paper SatuDunia, meskipun berkali-kali disebutkan kata masyarakat

dalam RUU Konvergensi Telematika, namun di batang tubuh RUU ini justru tidak ada satu pasal

pun yang mengatur hak warga negara. Dalam salah satu pasal di RUU ini mengatur

perlindungan konsumen tapi bukan warga negara.

Antara konsumen dan warga negara jelas sesuatu yang berbeda. Hak konsumen muncul

didasarkan atas hubungan transaksional dengan korporasi. Sementara hak warga negara

muncul didasarkan atas kontrak sosial yang dibuat antara negara dan warganya.

Dalam kontrak sosial itu, negara diberikan mandat untuk menghormati, melindungi dan

memenuhi hak warganya. Termasuk hak warga atas pembangunan dalam hal ini termasuk

pembangunan telematika. Dalam pasal 38 RUU Konvergensi Telematika memang disebutkan

bahwa pelaksanaan kewajiban pelayanan universal telematika52 menjadi tanggung jawab

pemerintah.

Sayangnya di RUU Konvergensi Telematika itu tidak disebutkan mengenai hak warga

negara jika layanan universal gagal dipenuhi pemerintah. Apakah warga negara berhak

komplain atau bahkan mengajukan gugatan jika layanan universal telematika itu gagal

disediakan pemerintah? Tidak jelas, karena hak warga negara untuk komplain dan menggugat

itu tidak disebutkan dalam RUU.

Di sisi lain dalam RUU Konvergensi Telematika ini hanya mengatur perlindungan

mengenai hak konsumen atau pengguna telematika. Artinya, dalam RUU ini hak warga negara

telah direduksi menjadi hak konsumen. Hak warga negara untuk komplain bahkan menggugat

tidak ada payung hukumnya selama kita belum menjadi konsumen produk telematika. Hak

warga negara pelosok Indonesia untuk komplain dan menggugat akibat kegagalan pemerintah

menyediakan layanan universal telematika tidak mendapat perlindungan sama sekali dalam

RUU ini. Ini sangat sesuai dengan penjelasan umum RUU ini, bahwa “….paradigma telematika

dari vital dan strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak menjadi komoditas yang

dapat diperdagangkan….”

52

Kewajiban pelayanan universal telematika adalah kewajiban penyediaan layanan telematika agar masyarakat, terutama di daerah terpencil atau belum berkembang, mendapatkan akses layanan telematika.