Download - IMUNISASI SONI

Transcript

BAB I PENDAHULUANKata imun berasal dari bahasa Latin immunitas yang berarti pembebasan (kekebalan) yang diberikan kepada para senator Romawi selama masa jabatan mereka terhadap kewajiban sebagai warganegara biasa dan terhadap dakwaan. Dalam sejarah, istilah ini kemudian berkembang sehingga pengertiannya berubah menjadi perlindungan terhadap penyakit, dan lebih spesifik lagi, terhadap penyakit menular. Sistem imun adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri dari sel-sel serta produk zat-zat yang dihasilkannya, yang bekerja sama secara kolektif dan terkoordinir untuk melawan benda asing seperti kuman-kuman penyakit atau racunnya, yang masuk ke dalam tubuh. Kuman disebut antigen. Pada saat pertama kali antigen masuk ke dalam tubuh, maka sebagai reaksinya tubuh akan membuat zat anti yang disebut dengan antibodi. Pada umumnya, reaksi pertama tubuh untuk membentuk antibodi tidak terlalu kuat, karena tubuh belum mempunyai "pengalaman". Tetapi pada reaksi yang ke-2, ke-3 dan seterusnya, tubuh sudah mempunyai memori untuk mengenali antigen tersebut sehingga pembentukan antibodi terjadi dalam waktu yang lebih cepat dan dalam jumlah yang lebih banyak. Itulah sebabnya, pada beberapa jenis penyakit yang dianggap berbahaya, dilakukan tindakan imunisasi atau vaksinasi. Hal ini dimaksudkan sebagai tindakan pencegahan agar tubuh tidak terjangkit penyakit tersebut, atau seandainya terkena pun, tidak akan menimbulkan akibat yang fatal. Dalam lingkup pelayanan kesehatan, bidang preventif merupakan prioritas utama. Imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang sangat efektif dalam upaya menurunkan angka kematian bayi dan balita. Imunisasi merupakan hal mutlak yang perlu diberikan pada bayi. Imunisasi adalah sarana untuk mencegah penyakit berbahaya, yang dapat menimbulkan kematian pada bayi. Penurunan insiden penyakit menular telah terjadi berpuluh-puluh tahun yang lampau di negara-negara maju yang telah melakukan imunisasi dengan teratur dengan cakupan yang luas. Untuk dapat melakukan pelayanan imunisasi yang baik dan benar diperlukan pengetahuan dan keterampilan tentang vaksin ( vaksinologi ), ilmu kekebalan ( imunologi ) dan cara atau prosedur pemberian vaksin yang benar.

1

BAB II PEMBAHASANDASAR DASAR IMUNISASISEJARAH SINGKAT Ketika Dr. Edward jenner (1749 1823) mengenalkan immunisasi untuk petama kalinya, pada tahun 1770 sampai 1791. Waktu itu paling sedikit 6 orang yang dicoba secara tidak terikat dengan menggunakan vaksin cowpox sebagai suatu immunisasi untuk smallpox pada manusia untuk pertama kalinya. Diantara masa itu ada seorang petani di negara Inggris Benjamin Jesty 1774 dan seorang guru dari Jerman Peter Plett pada tahun 1791. Benjamin Jesty dikenal sebagai pemerah susu tidak terinfeksi dengan smallpox dan menunjukkan bentuk yang ringan. Jesty mengambil bahan serologi (PUS) dari susu sapi yang terinfeksi dan mengimmunisasi istri dan anak-anaknya dari cowpox, dan membuat kebal dari smallpox. Lalu mulai berkembang dan menembus negara-negara maju, lalu WHO meresmikan immunisasi smallpox pada tahun 1979. (1)

SISTEM IMUN Yang dimaksud sistem imun adalah semua mekanisme yang digunakan badan untuk mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Pertahanan tersebut terdiri atas sistem imun alamiah atau non spesifik (natural/innate) dan didapat atau spesifik (adaptive/acquired).(4,5,6)

2

a. Mekanisme pertahanan non spesifik Meliputi kulit, membran mukosa, sel-sel fagosit, kompleks imun, lisozim, interferon, dan faktor faktor humoral lainnya. Mekanisme ini merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, oleh karena dapat memberikan respons langsung terhadap antigen, sedang sistem imun spesifik membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu sebelum dapat memberikan responsnya. Sistem ini disebut non spesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak lahir yang berupa permukaan tubuh dan berbagai komponen dalam tubuh. Bila pertahanan nonspesifik belum dapat mengatasi invasi

mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang. Mikroorganisme yang pertama kali dikenal oleh sistem imun akan dipresentasikan oleh sel makrofag (APC = antigen presenting cel) pada sel T untuk antigen TD (T dependent) sedangkan antigen TI (T independent) akan langsung diperoleh oleh sel B.

b. Mekanisme pertahanan spesifik Meliputi sistem produksi antibodi atau humoral oleh sel B dan sistem imunitas seluler oleh sel T.

3

-

Berbeda dengan sistem imun non spesifik, sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali muncul dalam badan segera dikenal oleh sistem imun spesifik, sehingga terjadi sensitisasi sel sel sistem imun tersebut. Bila sel sistem imun tersebut berpapasan kembali dengan benda asing yang sama, maka benda asing yang terakhir ini akan dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan olehnya

-

Imunitas humoral akan menghasilkan antibodi bila dirangsang oleh antigen. Semua antibodi adalah protein dengan struktur yang sama yang disebut imunoglobulin (Ig) yang dapat

dipindahkan secara pasif kepada individu yang lain dengan cara penyuntikan serum.

Proses imun terdiri dari dua fase

:

Fase pengenalan, diperankan oleh sel yang mempresentasikan antigen (APC = antigen presenting cells), sel limfosit B, limfosit T. Fase efektor, diperankan oleh antibodi dan limfosit T efektor

Imunisasi dan Vaksinasi(1) Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten. Anak diimunisasi, berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal atau resisten terhadap suatu penyakit tetapi belum tentu kebal terhadap penyakit yang lain. Imunisasi adalah suatu pemindahan atau transfer antibodi secara pasif, sedangkan istilah vaksinasi dimaksudkan sebagai pemberian vaksin (antigen) yang dapat merangsang pembentukan imunitas (antibodi) dari sistem imun di dalam tubuh. Imunitas secara pasif dapat diperoleh dari pemberian dua macam bentuk, yaitu imunoglobulin yang non-spesifik atau disebut juga gamaglobulin dan imunoglobulin yang spesifik yang berasal dari plasma donor yang sudah sembuh atau baru saja mendapatkan vaksinasi penyakit tertentu. Imunuglobulin non-spesifik digunakan pada anak dengan defisiensi imunoglobulin sehingga memberikan perlindungan dengan segera dan cepat yang seringkali dapat terhindar dari kematian. Hanya saja perlindungan tersebut tidaklah permanen melainkan hanya berlangsung beberapa minggu saja. Selain itu cara tersebut juga mahal dan memungkinkan anak justru menjadi sakit karena secara kebetulan

4

atau karena suatu kecelakaan serum yang diberikan tidak bersih dan masih mengandung kuman yang aktif. Sedangkan imunoglobulin yang spesifik diberikan pada anak yang belum terlindungi karena belum pernah mendapatkan vaksinasi dan kemudian terserang misalnya difteria, tetanus, hepatitis A dan B.

Vaksinasi, merupakan suatu tindakan yang dengan sengaja memberikan paparan pada suatu antigen berasal dari suatu patogen. Antigen yang diberikan telah dibuat demikian rupa sehingga tidak menimbulkan sakit namun memproduksi limfosit yang peka, antibodi dan sel memori. Cara ini menirukan infeksi alamiah yang tidak menimbulkan sakit namun cukup memberikan kekebalan. Tujuannya adalah memberikan infeksi ringan yang tidak berbahaya namun cukup untuk menyiapkan respon imun sehingga apabila terjangkit penyakit yang sesungguhnya dikemudian hari anak tidak menjadi sakit karena tubuh dengan cepat membentuk antibodi dan mematikan antigen / penyakit yang masuk tersebut. Vaksinasi mempunyai keuntungan(1): Pertahanan tubuh yang terbentuk akan dibawa seumur hidupnya. Vaksinasi cost-effective karena murah dan efektif. Vaksinasi tidak berbahaya. Reaksi yang serius sangat jarang terjadi, jauh lebih jarang daripada komplikasi yang timbul apabila terserang penyakit tersebut secara almiah.

TUJUAN IMUNISASI adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi) atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar.(1)

KEBERHASILAN IMUNISASI Tergantung dari beberapa faktor, yaitu status imun pejamu, faktor genetik pejamu, serta kualitas dan kuantitas vaksin.(1)

Status imun pejamu Terjadinya antibodi spesifik pada pejamu terhadap vaksin yang diberikan akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Misalnya pada bayi yang semasa fetus mendapat antibodi maternal spesifik terhadap virus campak, bila vaksinasi campak diberikan pada saat 5

kadar antibodi spesifik campak masih tinggi akan memberikan hasil yang kurang memuaskan. Demikian pula air susu ibu (ASI) yang mengandung IgA sekretori (sIgA) terhadap virus polio dapat mempengaruhi keberhasilan vaksinasi polio yang diberikan secara oral. Namun pada umumnya kadar sIgA terhadap virus polio pada ASI sudah rendah pada waktu bayi berumur beberapa bulan. Pada penelitian di Sub Bagian Alergi-Imunologi, Bagian IKA FKUI/RSCM, Jakarta ternyata sIgA polio sudah tidak ditemukan lagi pada ASI setelah bayi berumur 5 bulan. Kadar sIgA tinggi terdapat pada kolostrum. Karena itu bila vaksinasi polio diberikan pada masa pemberian kolostrum (kurang atau sama dengan 3 hari setelah bayi lahir), hendaknya ASI (kolostrum) jangan diberikan dahulu 2 jam sebelum dan sesudah vaksinasi. Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik. Pada bayi neonatus fungsi makrofag masih kurang. Pembentukan antibodi spesifik terhadap antigen tertentu masih kurang. Jadi dengan sendirinya, vaksinasi pada neonatus akan memberikan hasil yang kurang dibandingkan pada anak. Maka, apabila imunisasi diberikan sebelum bayi berumur 2 bulan, jangan lupa memberikan imunisasi ulangan. Status imun mempengaruhi pula hasil imunisasi. Individu yang mendapat obat imunosupresan, menderita defisiensi imun kongenital, atau menderita penyakit yang menimbulkan defisiensi imun sekunder seperti pada penyakit keganasan juga akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Bahkan adanya defisiensi imun merupakan kontraindikasi pemberian vaksin hidup karena dapat menimbulkan penyakit pada individu tersebut. Demikian pula vaksinasi pada individu yang menderita penyakit infeksi sistemik seperti campak, tuberkulosis milier akan mempengaruhi pula keberhasilan vaksinasi. Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan fungsi sel sistem imun seperti makrofag dan limfosit. Imunitas selular menurun dan imunitas humoral spesifisitasnya rendah. Meskipun kadar globulin normal atau bahkan meninggi, imunoglobulin yang terbentuk tidak dapat mengikat antigen dengan baik karena terdapat kekurangan asam amino yang dibutuhkan untuk sintesis antibodi. Kadar komplemen juga berkurang dan mobilisasi makrofag berkurang, akibatnya respons terhadap vaksin atau toksoid berkurang.

Faktor genetik pejamu Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik. Secara genetik respons imun manusia dapat dibagi atas responder baik, cukup, dan rendah terhadap antigen tertentu. Ia dapat memberikan respons rendah terhadap antigen tertentu, tetapi 6

terhadap antigen lain dapat lebih tinggi. Karena itu tidak heran bila kita menemukan keberhasilan vaksinasi yang tidak 100%.

Kualitas dan kuantitas vaksin Vaksin adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian rupa sehingga patogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi masih tetap mengandung sifat antigenisitas. Beberapa faktor kualitas dan kuantitas vaksin dapat menentukan keberhasilan vaksinasi, seperti cara pemberian, dosis, frekuensi pemberian ajuvan yang dipergunakan, dan jenis vaksin. Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respons imun yang timbul. Misalnya vaksin polio oral akan menimbulkan imunitas lokal disamping sistemik, sedangkan vaksin polio parenteral akan memberikan imunitas sistemik saja. Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah juga mempengaruhi respons imun yang terjadi. Dosis terlalu tinggi akan menghambat respons imun yang diharapkan. Sedang dosis terlalu rendah tidak merangsang sel-sel imunokompeten. Dosis yang tepat dapat diketahui dari hasil uji klinis, karena itu dosis vaksin harus sesuai dengan dosis yang direkomendasikan. Frekuensi pemberian juga mempengaruhi respons imun yang terjadi. Disamping frekuensi, jarak pemberian pun akan mempengaruhi respons imun yang terjadi. Bila pemberian vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi spesifik masih tinggi, maka antigen yang masuk segera dinetralkan oleh antibodi spesifik yang masih tinggi tersebut sehingga tidak sempat merangsang sel imunokompaten. Bahkan dapat terjadi apa yang dinamakan reaksi arthus, yaitu bengkak kemerahan di daerah suntikan antigen akibat pembentukan kompleks antigen antibodi lokal sehingga terjadi peradangan lokal. Karena itu pemberian ulang (booster) sebaiknya mengikuti apa yang dianjurkan sesuai dengan hasil uji klinis. Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan respons imun terhadap antigen. Ajuvan akan meningkatkan respons imun dengan mempertahankan antigen pada atau dekat dengan tempat suntikan, dan mengaktivasi APC ( antigen presenting cells ) untuk memproses antigen secara efektif dan memproduksi interleukin yang akan mengaktifkan sel imunokompeten lainnya. Jenis Vaksin, vaksin hidup akan menimbulkan respons imun lebih baik dibanding vaksin mati atau yang diinaktivasi (killed atau inactivated) atau bagian (komponen) dari mikroorganisme. Vaksin hidup diperoleh dengan cara atenuasi. Tujuan atenuasi adalah 7

untuk menghasilkan organisme yang hanya dapat menimbulkan penyakit yang sangat ringan. Atenuasi diperoleh dengan memodifikasi kondisi tempat tubuh mikroorganisme, misalnya suhu yang tinggi atau rendah, kondisi anerob, atau menambah empedu pada media kultur seperti pada pembuatan vaksin BCG yang sudah ditanam selama 13 tahun. Dapat pula dipakai mikroorganisme yang virulen untuk spesies lain tetapi untuk manusia avirulen, misalnya virus cacar sapi. Persyaratan vaksin(1) 1. Mengaktivasi APC untuk mempresentasikan antigen dan memproduksi interleukin. 2. Mengaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk banyak sel memori 3. Mengaktivasi sel T dan sel Tc terhadap beberapa epitop, untuk mengatasi variasi respons imun yang ada dalam populasi karena adanya polimorfisme MHC.

4. Memberi antigen yang persisten, mungkin dalam sel folikular dendrit jaringan limfoid tempat sel B memori direkrut sehingga dapat merangsang sel B sewaktu-waktu menjadi sel plasma yang membentuk antibodi terus-menerus sehingga kadarnya tetap tinggi. Vaksin yang dapat memenuhi ke empat persyaratan tersebut adalah vaksin virus hidup.

JENIS VAKSIN Pada dasarnya, vaksin dibagi menjadi 2 jenis, yaitu (1)

:

Live attenuated (bakteri atau virus hidup yang dilemahkan) Inactivate (bakteri, virus atau komponennya dibuat tidak aktif)

Vaksin hidup attenuated Diproduksi di laboratorium dengan cara melakukan modifikasi virus atau bakteri penyebab penyakit. Vaksin mikroorganisme yang dihasilkan masih memiliki kemampuan untuk tumbuh menjadi banyak (replikasi) dan menimbulkan kekebalan tetapi tidak menyebabkan penyakit. Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar (wild) penyebab penyakit. Virus atau bakteri liar ini dilemahkan (attenuated) dilaboratorium, biasanya dengan cara pembiakan berulang-ulang. Misalnya vaksin campak yang dipakai sampai sekarang, diisolasi untuk mengubah virus liar campak menjadi virus vaksin dibutuhkan 10 tahun dengan cara

8

melakukan penanaman pada jaringan media pembiakan secara serial dari seorang anak yang menderita penyakit campak pada tahun 1954. o Supaya dapat menimbulkan respons imun, vaksin hidup attenuated harus berkembang biak (mengadakan replikasi) di dalam tubuh resipien. o Apapun yang merusak organisme hidup dalam botol (misalnya panas atau cahaya) atau pengaruh luar terhadap replikasi organisme dalam tubuh (antibodi yang beredar) dapat menyebabkan vaksin tersebut tidak efektif. o Respons imun terhadap vaksin hidup attenuated pada umumnya sama dengan yang diakibatkan oleh infeksi alamiah. Respons imun tidak membedakan antara suatu infeksi dengan virus vaksin yang dilemahkan dan infeksi dengan virus liar. o Vaksin virus hidup attenuated secara teoritis dapat berubah menjadi bentuk patogenik seperti semula. Hal ini hanya terjadi pada vaksin polio hidup. o Antibodi dari sumber apapun (misalnya transplasental, transfusi) dapat mempengaruhi perkembangan vaksin mikroorganisme dan menyebabkan tidak adanya respons (non response). Vaksin campak merupakan mikroorganisme yang paling sensitif terhadap antibodi yang beredar dalam tubuh. Virus vaksin polio dan rotavirus paling sedikit terkena pengaruh. o Vaksin hidup attenuated bersifat labil dan dapat mengalami kerusakan bila kena panas dan sinar, maka harus dilakukan pengelolaan dan penyimpanan dengan baik dan hatihati.

Vaksin hidup attenuated yang tersedia Berasal dari virus hidup : Vaksin campak, gondongan (parotitis), rubela, polio, rotavirus, demam kuning (yellow fever). Berasal dari bakteri : Vaksin BCG dan demam tifoid oral.

Vaksin Inactivated o Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara mambiakkan bakteri atau virus dalam media pembiakan (persemaian), kemudian dibuat tidak aktif dengan penambahan bahan kimia (biasanya formalin). o Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka seluruh dosis antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan penyakit (walaupun pada orang dengan defisiensi imun) dan tidak dapat mengalami mutasi menjadi bentuk

9

patogenik. Antigen inactivated tidak dipengaruhi oleh antibodi yang beredar. Vaksin inactivated dapat diberikan saat antibodi berada di dalam sirkulasi darah. o Vaksin inactivated selalu memerlukan dosis ganda. Pada umumnya pada dosis pertama tidak menghasilkan imunitas protektif, tetapi hanya memacu atau menyiapkan sistem imun. Respons imun protektif baru timbul setelah dosis kedua atau ketiga. Hal ini berbeda dengan vaksin hidup, yang mempunyai respons imun yang mirip atau sama dengan infeksi alami, respons imun terhadap vaksin inactivated sebagian besar humoral, hanya sedikit atau tak menimbulkan imunitas selular. Titer antibodi terhadap antigen inactivated menurun setelah beberapa waktu. o Pada beberapa keadaan suatu antigen untuk melindungi terhadap penyakit masih memerlukan vaksin seluruh sel (whole cell), namun vaksin bakterial seluruh sel bersifat paling reaktogenik dan menyebabkan paling banyak reaksi ikutan atau efek samping. Ini disebabkan respons terhadap komponen-komponen sel yang sebenarnya tidak diperlukan untuk perlindungan (contoh antigen pertusis dalam vaksin DPT).

Vaksin Inactivated yang tersedia saat ini berasal dari

:

Seluruh sel virus yang inactivated, contoh influenza, polio, rabies, hepatitis A. Seluruh bakteri yang inactivated, contoh pertusis, tifoid, kolera, lepra. Vaksin fraksional yang masuk sub-unit, contoh hepatitis B, influenza, pertusis aseluler, tifoid Vi, lyme disease. Toksoid, contoh difteria, tetanus, botulinum. Polisakarida murni, contoh pneumokokus, meningokokus, dan haemophilus influenzae tipe b. Gabungan polisakarida (haemophillus influenzae tipe B dan pneumokokus).

10

11

BAB IIIPROSEDUR IMUNISASI Tata cara pemberian imunisasi(1)Sebelum melakukan vaksinasi, dianjurkan mengikuti tata cara sebagai berikut : Memberitahukan secara rinci tentang risiko imunisasi dan risiko apabila tidak divaksinasi. Periksa kembali persiapan untuk melakukan pelayanan secepatnya bila terjadi reaksi ikutan yang tidak diharapkan. Baca dengan teliti informasi tentang produk ( vaksin ) yang akan diberikan dan jangan lupa mendapat persetujuan orang tua. Melakukan tanya jawab dengan orang tua atau pengasuhnya sebelum melakukan imunisasi. Tinjau kembali apakah ada kontraindikasi terhadap vaksin yang diberikan. Periksa identitas penerima vaksin dan berikan antipiretik bila diperlukan. Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut telah disimpan dengan baik. Periksa vaksin yang akan diberikan apakah tampak tanda-tanda perubahan. Periksa tanggal kadarluwarsa dan catat hal-hal istimewa, misalnya adanya perubahan warna yang menunjukkan adanya kerusakan. Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan ditawarkan pula vaksin lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal ( catch up vaccination ) bila diperlukan. Berikan vaksin dengan teknik yang benar. Lihat uraian mengenai pemilihan jarum suntik, sudut arah jarum suntik, lokasi suntikan, dan posisi bayi/anak penerima vaksin. Setelah pemberian vaksin, kerjakan hal-hal sebagai berikut : Berilah petunjuk ( sebaiknya tertulis ) kepada orang tua atau pengasuh apa yang harus dikerjakan dalam kejadian reaksi yang biasa atau reaksi ikutan yang lebih berat. Catat imuniasi dalam rekam medis pribadi dan dalam catatan klinis. Catatan imunisasi secar rinci harus disampaikan kepada Dinas Kesehatan bidang Pemberantasan Penyakit Menular. Periksa status imunisasi anggota keluarga lainnya dan tawarkan vaksinasi untuk mengejar ketinggalan, bila diperlukan. 12

Penyimpanan Aturan umum untuk sebagian besar vaksin, Bahwa vaksin harus didinginkan pada temperatur 2-8C dan tidak membeku. Sejumlah vaksin ( DPT, Hib, hepatitis B, dan hepatitis A ) menjadi tidak aktif bila beku(1)

Arah Sudut Jarum pada Suntikan Intramuskular Jarum suntik harus disuntikan dengan sudut 450-600 ke dalam otot vastus lateralis atau otot deltoid. Untuk suntikan otot vastus lateralis, jarum diarahkan ke arah lutut sedangkan untuk suntikan pada deltoid jarum diarahkan ke pundak. Kerusakan saraf dan pembuluh vaskular dapat terjadi apabila suntikan diarahkan pada sudut 900. (1)

Tempat Suntikan yang Dianjurkan Paha anterolateral adalah bagian tubuh yang dianjurkan untuk vaksinasi pada bayi dan anak umur di bawah 12 bulan. . Vaksin harus disuntikkan ke dalam batas antara sepertiga otot bagian tengah yang merupakan bagian yang paling tebal dan padat. Regio deltoid adalah alternatif untuk vaksinasi pada anak yang lebih besar ( mereka yang telah dapat berjalan ) dan orang dewasa.(1) Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi dan anak umur dibawah 12 bulan adalah : Menghindari risiko kerusakan saraf iskiadika pada suntikan daerah gluteal. Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal untuk menyerap suntikan secara adekuat. Imunogenitas vaksin hepatitis B dan rabies akan berkurang apabila disuntikkan di daerah gluteal Menghindari risiko reaksi lokal dan terbentuknya nodulus di tempat suntikan yang menahun. Menghindari lapisan lemak subkutan yang tebal pada paha bagian anterior.

13

Keadaan Bayi atau Anak sebelum Imunisasi Orangtua atau pengantar bayi/anak dianjurkan mengingat dan memberitahukan secara lisan atau melalui dafatr isian tentang hal-hal yang berkaitan dengan indikasi kontra atau risiko kejadian ikutan pasca imunisasi tersebut di bawah ini : Pernah mengalami kejadian ikutan pasca imunisasi yang berat ( memerlukan pengobatan khusus atau perlu perawatan di rumah sakit ). Alergi terhadap bahan yang juga terdapat di dalam vaksin ( misalnya neomisin ). Sedang mendapat pengobatan Steroid jangka panjang, radioterapi, atau kemoterapi. Tinggal serumah dengan orang lain yang imunitasnya menurun ( leukimia, kanker, HIV/AIDS ). Tinggal serumah dengan orang lain dalam pengobatan yang menurunkan imunitas ( radioterapi, kemoterapi, atau terapi steroid ). Pada bulan lalu mendapat imunisasi yang berisi vaksin virus hidup ( vaksin campak, poliomielitis, rubela ). Pada 3 bulan yang lalu mendapat imunoglobulin atau tranfusi darah. Menderita penyakit susunan syaraf pusat

Pencatatan Imunisasi dan Kartu Imunisasi Setiap bayi/anak sebaiknya mempunyai dokumentasi imunisasi seperti kartu imunisasi yang dipegang oleh orangtua atau pengasuhnya. Setiap dokter atau tenaga paramedis yang memberikan imunisasi harus mencatat semua data-data yang relevan pada kartu imunisasi tersebut. Orangtua/pengasuh yang membawa anak ke tenaga medis atau paramedis untuk imunisasi diharapkan senantiasa membawa kartu imunisasi tersebut. Data yang harus dicatat pada kartu imunisasi adalah sebagai berikut : o Jenis vaksin yang diberikan, termasuk nomor batch dan nama dagang o Tanggal melakukan vaksinasi o Efek samping bila ada o Tanggal vaksinasi berikutnya o Nama tenaga medis/paramedis yang memberikan vaksin

14

PENYIMPANAN DAN TRANPORTASI VAKSIN Penyimpanan vaksin membutuhkan suatu perhatian khusus karena vaksin merupakan sediaan viologis yang rentan terhadap perubahan temperatur lingkungan. Vaksin akan rusak apabila temperatur terlalu tinggi atau terkena sinar matahari langsung seperti pada vaksin polio tetes dan vaksin campak. Kerusakan juga dapat terjadi apabila terlalu dingin atau beku seperti pada toksoid difteria, toksoid tetanus, vaksin pertusis (DPT,DT), Hib conjugate, hepatitis B dan vaksin influenza. Pada beberapa vaksin apabila rusak akan terlihat perubahan fisik. Pada vaksin DPT misalnya akan terlihat gumpalan antigen yang tidak bisa larut lagi walaupun sudah dikocok sekuat kuatnya. Sedangkan vaksin lain tidak akan berubah penampilan fisik walaupun potensinya sudah hilang/berkurang. Vaksin yang sudah dilarutkan lebih cepat rusak. Dengan demikian kita harus yakin betul bahwa cara penyimpanan yang kita lakukan sudah benar dan menjamin potensi vaksin tidak akan berubah. Lemari Pendingin untuk Penyimpanan Vaksin yang aman(1) Termometer ruangan di bagian tengah lemari pendingin harus ada, temperatur dicek dan dicatat secara teratur setiap hari. Lemari pendingin harus ditutup rapat, tidak boleh ada kebocoran pada sekat pintu Lemari pendingin tidak boleh dipakai untuk menyimpan makanan atau minuman. Botol plasti berisi es atau air garam diletakan di baigan bawah lemari pendingin untuk mempertahankan keseimbangan temperatur dalam ruang lemari pendingin, terutama apabila sedang tidak ada arus listrik. Lemari pendingin boleh dibuka seminimal mungkin Defrosting harus dilakukan secara teratur pada lemari pendingin yang tidak frost free untuk mencegah terbentuknya gumpalan es di ruang pembeku. Letakan vaksin di rak bagian atas atau tengah, jangan di rak bagian bawah atau di daun pintu karena perubahan temperatur terlalu besar apabila pintu dibuka-tutup terlalu sering Jangan memenuhi lemari pendingin dengan vaksin secara berlebihan karena akan menggangu sirkulasi udara dingin dalam lemari pendingin.

15

Selama dilakukan defrosting atau pembersihan lemari pendingin, maka vaksin harus dipindahkan ke lemari pendingin lainnya atau disimpan dalam kotak berisolasi yang berisi es atau ice pack.

Prosedur yang harus diperhatikan waktu menggunakan vaksin(1): Vaksin yang sudah kadaluarsa harus segera dikeluarkan dari lemari pendingin untuk mencegah terjadinnya kecelakaan. Vaksin harus selalu ada di dalam lemari pendingin sampai saatnya dibutuhkan, semua vaksin yang sudah tidak digunakan lagi harus dikembalikan ke dalam lemari pendingin. Di lemari pendingin vaksin yang sudah terbuka atau sedang dipakai diletakan dalam satu wadah/tempat khusus sehingga segera dapat dikenali. Vaksin BCG yang sudah keluar masuk lemari pendingin selama pemeriksaan klinik harus dibuang pada saat akhir klinik. Vaksin polio oral dapat cepat dicairkan dan cepat pula dibekukan kembali sampa 10 kali tanpa kehilangan potensi vaksin. Vaksin polio oral dapat dipakai beberapa kali pemeriksaan poliklinik asalkan memenuhi syarat-syarat belum kadaluarsa dan vaksin disimpan dalam lemari pendingin penyimpan vaksin yang memadai. Untuk vial vaksin multidosis yang mengandung bakteriostatik misalnya DPT, vial yang terpakai dibuang bila sudah kadaluarsa atau terkontaminasi. Vaksin yang tidak mengandung bakteriostatik segera dibuang dalam waktu 24 jam apabila sudah terpakai. Vaksin campak dan MMR yang sudah dilarutkan agar dibuang setelah 8 jam. Vaksin Hib yang sudah dilarutkan harus dibuang setelah 24 jam.

16

BAB IVJADWAL IMUNISASIDari 237 juta penduduk Indonesia, 30 persen, atau 71 juta, berada di bawah usia 18 tahun dan memenuhi syarat untuk imunisasi di bawah program Departemen Kesehatan. Negara ini masih dalam 10 besar di seluruh dunia untuk paling sedikit jumlah anak di bawah usia 5 tahun yang belum pernah divaksinasi untuk penyakit apapun. "Menurut WHO, sekitar 1,4 juta anak di bawah 5 tahun mati tua di Indonesia setiap tahun dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, seperti campak atau tetanus," "Selain itu, Unicef juga mencatat bahwa 30.000 sampai 340.000 anak-anak Indonesia meninggal setiap tahun dari penyakit campak." (9) Jadwal imunisasi adalah informasi mengenai kapan suatu jenis vaksinasi atau imunisasi harus diberikan kepada anak. Jadwal imunisasi suatu negara dapat saja berbeda dengan negara lain tergantung kepada lembaga kesehatan yang berwewenang mengeluarkannya.(1,2,3,7) IMUNISASI WAJIB 1. BCG Imunisasi BCG diberikan pada umur sebelum 3 bulan. Namun untuk mencapai cakupan yang lebih luas, Depkes menganjurkan pemberian BCG antara umur 0 12 bulan. Dosis 0,05 ml untuk bayi kurang dari 1 tahun dan 0,1 ml untuk anak (>1 tahun). Diberikan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas pada insersio M.deltoideus sesuai anjuran WHO, tidak ditempat lain(bokong,paha). Hal ini dilakukan karena lebih mudah dilakukan secara intradermal (jaringan lemak subkutis tipis), ulkus yang terbentuk tidak meggangu struktur otot setempat, dan sebagai tanda baku untuk keperluan diagnosis. Vaksin BCG tidak dapat mencegah infeksi TB namun hanya mencegah komplikasinya. Vaksin BCG merupakan vaksin hidup (yang dilemahkan/attenuated), maka tidak boleh di berikan pada penderita dengan imunokompromais Apabila BCG diberikan pada umur lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Vaksin BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif. Imunisasi BCG ulangan tidak dianjurkan

2.

Hepatitis B Imunisasi hepB-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam setelah lahir). Hal merupakan upaya untuk memutus rantai penularan melalui transmisi maternal dari ibu kepada bayinya.

17

Imunisasi hepB-2 diberikan setelah 1 bulan (4minggu)dari imunisasi hepB-1 yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Untuk mendapat respons imun optimal, interval imunisasi hepB-2 dengan hepB-3 minimal 2 bulan dan terbaik 5 bulan. Maka imunisasi hepB-3 diberikan pada umur 3 6 bulan Jadwal dan dosis hepB-1 saat bayi lahir, dibuat berdasarkan status HbsAg ibu yang melahirkan, yaitu : Ibu dengan status HbsAg yang tidak diketahui Ibu HbsAg positif, atau Ibu HbsAg negatif

Bila semula bayi dari ibu yang HbsAg nya tidak diketahui lalu setelah perjalanan selanjutnya ternyata diketahui HbsAgnya positif maka bayi tersebut harus diberikan tambahan Hepatitis B Imunoglobulin (HbIg) 0,5ml sebelum bayi berumur 7 hari Bayi yang lahir dari ibu yang positif HbsAgnya, diberikan vaksin hepB-1 ditambah HbIg 0,5 ml secara bersamaan dalam waktu 12 jam setela lahir. Apabila sampai usia 5 tahun anak belum mendapat vaksin hepatitis B maka secepatnya diberikan imunisasi Hep B dengan jadwal 3 kali pemberian (cathup vaccination) Ulangan imunisasi hepB-4 dapat dipertimbangkan pada umur 10-12 tahun apabila kadar pencegahan belum tercapai (anti HBs 3 bulan sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu dan BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif. DTP-1 diberikan pada umur lebih dari 6 minggu, dapat dipergunakan DTwp atau DTap. DTP-1 diberikan secara kombinasi dengan Hib-1 (PRP-T)

2 bulan

DTP-1

Hib-1

Hib-1 diberikan mulai umur 2 bulan dengan interval 2 bulan. Hib-1 dapat diberikan secara terpisah atau dikombinasikan dengan DTP-1.

Polio-1

Polio-1 dapat diberikan bersamaan dengan DTP-1

23

Pcv-1

Diberikan pada umur 2 bulan

4 bulan

DTP-2

DTP-2 (DTwp atau DTap) dapat diberikan secara terpisah atau dikombinasikan dengan Hib-2 (PRP-T).

Hib-2

Hib-2 dapat diberikan terpisah atau dikombinasikan dengan DTP-2

Polio-2

Polio-2 diberikan bersamaan dengan DTP-2

Pcv-2

Diberikan pada umur 4 bulan

6 bulan

DTP-3

DTP-3 dapat diberikan terpisah atau dikombinasikan dengan Hib-3 (PRP-T).

Hib-3

Apabila mempergunakan Hib-OMP, Hib-3 pada umur 6 bulan tidak perlu diberikan.

Polio-3

Polio-3 diberikan bersamaan dengan DTP-3

Hepatitis B-3

HB-3 diberikan umur 6 bulan. Untuk mendapatkan respons imun optimal, interval HB-2 dan HB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan.

Pcv-3

Diberikan pada umur 6 bulan

6 -23 bulan

Influenza

Dapat diberikan sejak umur 6 bulan

24

9 bulan

Campak-1

Campak-1 diberikan pada umur 9 bulan, campak-2 merupakan program BIAS pada SD kelas 1, umur 6 tahun. Apabila telah mendapatkan MMR pada umur 15 bulan, campak-2 tidak perlu diberikan. Apabila sampai umur 12 bulan belum mendapatkan imunisasi campak, MMR dapat diberikan pada umur 12 bulan.

15-18 bulan

MMR

Hib-4

Hib-4 diberikan pada 15 bulan (PRP-T atau PRPOMP).

18 bulan DTP-4

DTP-4 (DTwp atau DTap) diberikan 1 tahun setelah DTP-3.

Polio-4

Polio-4 diberikan bersamaan dengan DTP-4.

2 tahun

Hepatitis A

Vaksin HepA direkomendasikan pada umur > 2 tahun, diberikan dua kali dengan interval 6-12 bulan. Vaksin tifoid polisakarida injeksi direkomendasikan untuk umur > 2 tahun. Imunisasi tifoid polisakarida injeksi perlu diulang setiap 3 tahun. DTP-5 diberikan pada umur 5 tahun (DTwp/DTap)

2-3 tahun Tifoid

5 tahun

DTP-5

Polio-5

Polio-5 diberikan bersamaan dengan DTP-5.

Varisela

Vaksin cacar air/varisela disuntikan mulai umur 5 tahun

6 tahun.

MMR

Diberikan untuk catch-up immunization pada anak yang belum mendapatkan MMR-1. Menjelang pubertas, vaksin tetanus ke-5 (dT atau TT) diberikan untuk mendapatkan imunitas selama 25 tahun.

10 tahun dT/TT

25

Kontra Indikasi BCG(1) Reaksi uji tuberkulin > 5 mm Sedang menderita infeksi HIV atau dengan risiko tinggi infeksi HIV. Imunokompromais akibat pengobatan kortikosteroid, obat imunosupresif, mendapat pengobatan radiasi, penyakit keganasan yang mengenai sumsum tulang atau sistem limfe. Anak menderita gizi buruk Sedang menderita panas tinggi Menderita infeksi kulit yang luas Pernah sakit tuberkulosis Kehamilan

26

BAB VKEJADIAN IKUTAN PASCA IMUNISASI (KIPI)Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI=adverse events associated with

vaccines,adverse events following immunization) didefinisikan sebagai semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa 1 bulan setelah imunisasi. Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan reaksi simpang (adverse effects), atau kejadian lain yang bukan terjadi akibat efek langsung vaksin. Reaksi simpang vaksin antara lain dapat berupa efek farmakologis, efek samping (side effects), interaksi obat, intoleransi, reaksi idiosinkrasi, dan reaksi alergi yang umumnya secara klinis sulit dibedakan. Reaksi alergi dapat terjadi terhadap protein telur (vaksin campak, gondong, influenza, dan demam kuning), antibiotik, bahan preservatif (neomisin, merkuri), atau unsur lain yang terkandung dalam vaksin. (1)

Faktor penyebab Pokja KIPI Depkes RI membagi penyebab kejadian ikutan pasca imunisasi menjadi 4 kelompok, yaitu karena : 1. 2 3. 4. Kesalahan program/teknik pelaksanaan imunisasi .Induksi vaksin Faktor kebetulan Dan penyebab tidak atau belum diketahui.

Klasifikasi Lapangan Sesuai dengan manfaatnya di lapangan maka KN PP KIPI memakai kriteria WHO Western Pasific untuk memilah KIPI dalam lima kelompok penyebab, yaitu : 1. Kesalahan program 2. Reaksi suntikan 3. Reaksi vaksin 4. Koinsiden, dan 5. Sebab tidak diketahui

27

Kesalahan program/teknik pelaksanaan imunisasi (programmatic errors) Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan, pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut misalnya dapat terjadi pada : dosis antigen (terlalu banyak) lokasi dan cara menyuntik sterilisasi semprit dan jarum suntik jarum bekas pakai tindakan a dan antiseptik kontaminasi vaksin dan peralatan suntik penyimpanan vaksin pemakaian sisa vaksin jenis dan jumlah pelarut vaksin tidak memperhatikan petunjuk prosedur (petunjuk pemakaian, indikasi kontra)

Induksi Vaksin (vaccine induced) Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin, dan secara klinis biasanya ringan.Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaksis sistemik dengan risiko kematian. Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengna baik dan tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh produsen sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus,atau berbagai tindakan dan perhatian lainya termasuk kemungkinan interaksi dengan obat atau vaksin lain. Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi. Sebagai acuan dan perbandingan dapat dipakai rekomendasi dari Advisory Committee on Immunization Practices dan Committee on Infectious Disease of the American Academy of Pediatrics.

Faktor kebetulan (coincidental) Seperti telah disebutkan di atas, maka kejadian yang timbul ini terjadi secra kebetulan saja setelah imunisasi. Indikator kebetulan ini ditandai dengan ditemukannya kejadian yang sama pada kelompok populasi setempat dengan karakteristik serupa yangtidak mendapat imunisasi pada saat bersamaan.

28

Penyebab tidak diketahui Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokan ke dalam salah satu penyebab lain maka untuk sementara dimasukkan ke dalam kelompok ini. Tetapi biasannya dengan kelengkapan informasi lebih lanjut maka akan dapat ditentukan masih dalam kelompok mana yang sesuai.

Pemberian Parasetamol sebelum dan sesudah imunisasi Kepada orangtua atau pengantar diberitahukan bahwa 30 menit sebelum imunisasi DPT/DT. MMR, Hib, hepatitis B dianjurkan memberikan parasetamol 15 mg/kgbb kepada bayi/anak untuk mengurangi ketidaknyamanan pasca vaksinasi. Kemudian dilanjutkan setiap 3-4 jam sesuai kebutuhan, maksimal 6 kali dalam 24 jam. Jika keluhan masih berlanjut, diminta segera kembali kepada dokter. Reaksi KIPI Orangtua atau pengantar perlu diberitahu bahwa setelah imunisasi dapat timbul reaksi lokal di tempat penyuntikan atau reaksi umum berupa keluhan dan gejala tertentu, tergantung pada jenis vaksinnya. Reaksi tersebut umumnya ringan, mudah diatasi oleh orangtua atau pengasuh, dan akan hilang dalam 1-2 hari. Di tempat suntikan kadang- kadang timbul kemerahan, pembengkakan, gatal, nyeri selama 1-2 hari. Kompres hangat dapat mengurangi kedaan tersebut. Kadang-kadang teraba benjolan kecil yang agak keras selama beberapa minggu atau lebih, tetapi umumnya tidak perlu dilakukan tindakan apapun.

BCG Orangtua atau pengantar perlu diberitahu bahwa 2 minggu setelah imunisasi BCG dapat timbul bisul kecil ( papula ) yang semakin membesar dan dapat terjadi ulserasi dalam waktu 2-4 bulan, kemudian menyembuh perlahan dengan menimbulkan jaringan parut tanpa pengobatan khusus. Bila ulkus mengeluarkan cairan orangtua dapat mengompres dengan cairan antiseptik. Bila cairan bertambah banyak atau koreng semakin membesar orangtua harus membawanya ke dokter.

Hepatitis B Kejadian ikutan pasca imunisasi hepatitis B jarang terjadi. Segera setelah imunisasi dapat timbul demam yang tidak tinggi, pada tempat penyuntikan timbul kemerahan, pembengkakan, nyeri, rasa mual dan nyeri sendi. 29

Orangtua atau pengasuh dianjurkan untuk memberi minum lebih banyak ( ASI atau air buah ), jika demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin. Jika demam berikan parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3-4 jam bila diperlukan, boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi tersebut menjadi berat dan menetap, atau jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi/anak ke dokter.

DPT Reaksi yang dapat terjadi segera setelah vaksinasi DPT antara lain demam tinggi, rewel, di tempat suntikan timbul kemerahan, nyeri dan pembengkakan, yang akan terjadi dalam 2 hari.

DT Reaksi yang dapat terjadi pasca vaksinasi DT antara lain kemerahan, pembengkakan dan nyeri pada bekas suntikan. Bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres dengan air dingin. Biasanya tidak perlu tindakan khusus.

Polio Oral Sangat jarang terjadi reaksi sesudah imunisasi polio, oleh karena itu orangtua/pengasuh tidak perlu melakukan tindakan apapun.

Campak dan MMR Reaksi yang dapat terjadi pasca vaksinasi campak dan MMR berupa rasa tidak nyaman di bekas penyuntikan vaksin. Selain itu dapat terjadi gejala-gejala lain yang timbul 512 hari setelah penyuntikan selama kurang dari 48 jam yaitu demam tidak tinggi, erupsi kulit kemerahan halus/tipis yang tidak menular, pilek. Pembengkakan kelenjar getah bening kepala dapat terjadi sekitar 3 minggu pasca imunisasi MMR.

Klasifikasi Tuntutan keamanan vaksin dan faktor risiko yang tetap ada dapat menimbulkan keengganan yang potensial dapat mengancam kegagalan program imunisasi. Karena ini perlu suatu usaha perlindungan, antara lain dengan berbagai upaya peningkatan keamanan pembuatan, penyediaan, dan distribui vaksin, serta peningkatan kualitas program dari teknik pelaksanaan imunisasi(1).

30

Beberapa produsen vaksin misalnya telah melakukan perbaikan antigenisitas dan purifikasi vaksin meminimalkar, benda asing dalam vaksin untuk mengurangi kemungkinan reaksi simpang. Dari pengalaman di ISA terlihat bahwa walaupun vaksin yang beredar terbukti aman dan efektif ternyata tetap saja dapat timbul reaksi simpang yang menimbulkan reaksi masyarakat serta tuntutan ganti rugi. Reaksi simpang tersebut dapat berupa gejala minimal yang tidak memerlukan tindakan sampai dengan kelainan berat yang bahkan dapat menyebabkan kematian. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa vaksin hidup lebih potensial menimbulkan efek berbahaya dibandingkan dengan bukan vaksin hidup. Risiko berbahaya tersebut terutama dapat terjadi pada individui dengan defisiensi imun atau bayi dalam kandungan,dan bahkan dapat terjadi pada orang sehat. Selain karena organismenya sendiri, vaksin hidup dapat mengandung kontaminan yang sulit terdeteksi. Deteksi dan Pelaporan KIPI Kejadian ikutan pasca imunisasi adalah insiden medik yang terjadi setelah imunisasi dan dianggap disebabkan oleh imunisasi. KIPI menetapkan semua kejadian penyakit atau kematian dalam kurun waktu 1 bulan setelah imunisasi. Meskipun masyarakat seringkali beranggapan bahwa insiden medik setelah imunisasi selalu disebabkan oleh imunisasi, insiden umumnya terjadi secara kebetulan. Sebagian yang beranggapan bahwa vaksin sebagai penyebab KIPI juga keliru. Penyebab sebenarnya adalah kesalahan program yang sebetulnya dapat dicegah. Untuk menemukan penyebab KIPI kejadian tersebut harus dideteksi dan dilaporkan. KIPI yang harus dilaporkan Semua kejadian yang berhubungan dengan imunisasi seperti, 1. Abses pada tempat suntikan 2. Semua kasus limfadenitis BCG 3. Semua kematian yang diduga oleh petugas kesehatan atau masyarakat berhubungan dengan imunisasi. 4. Semua kasus rawat inap, yang diduga oleh petugas kesehatan atau masyarakat berhubungan dengan imunisasi. 5. Insiden medik berat atau tidak lazim yang diduga oleh petugas kesehatan atau masyarakat berhubungan dengan imunisasi.

31

Lima kategori KIPI di atas kadang disebut sebagai pencetus kejadian oleh karena adanya reaksi tersebut merangsang atau mencetuskan respons. Data yang harus dilaporkan 1. Data pasien Riwayat perjalanan penyakit Riwayat penyakit sebelumnya Riwayat imunisasi Pemeriksaan penunjang yang berhubungan 2. Data pemberian vaksin Nomor lot Masa kadaluarsa Pabrik pembuat vaksin Kapan dan dari mana vaksin dikirim Pemeriksaan penunjang tentang vaksin, apabila ada atau berhubungan 3. Data yang berhubungan dengan program Perlakuan umum petugas kesehatan terhadap rantai dingin vaksin seperti: Penyimpanan vaksin, apakah memebeku atau kadarluwarsa? Perlakuan terhadap vaksin, apakah dikocok lebih dahulu? Perlakuan setelah vaksinasi, misalnya apakah vaksin dibuang setelah selesai pelaksanan imunisasi? Perlakuan mencampur serta melakukan imunisasi Apakah pelarut yang dipakai sudah benar? Apakah pelarut steril? Apakah dosis sudah benar? Apakah vaksin diberikan dengan cara dan tempat yang benar? Apakah setiap semprit steril digunakan oleh satu orang? Perlakuan sterilasi peralatan apakah telah dilakukan?

Ketersediaan jarum dan semprit

4. Data sasaran lain Jumlah pasien yang menerima imunisasi dengan vaksin nomor lot sama atau pada masa yang sama atau keduanya, dan berapa pasien yang sakit serta gejalanya. Jumlah sasaran yang diimunisasi dengan lot lain atau masyarakat yang tidak diimunisasi tetapi penyakit dengan gejala yang sama. 32

BAB VIVAKSIN KOMBINASI

Vaksin kombinasi merupakan gabungan beberapa antigen tunggal menjadi satu jenis produk antigen untuk mencegah penyakit yang berbeda atau antigen dari galur multipel dari organisme penyebab penyakit yang sama. Alasan adalah : 1. vaksin kombinasi lebih praktis daripada vaksin terpisah, sehingga dapat meningkatkan cakupan imunisasi. 2. mengurangi biaya 3. mengurangi biaya pengobatan 4. memudahkan penambahan vaksin baru ke dalam program imunisasi yang telah ada. 5. untuk mengejar imunisasi yang terlambat 6. walaupun harga vaksin kombinasi kadang kadang lebih mahal bila dibandingkan dengan vaksin terpisah, apabila dihitung pengeluaraan total termasuk biaya berobat, transportasi, kecemasan anak dan orang tua, biaya pengadaan dan penyimpanan, maka secara ekonomis menjadi lebih murah. Di samping keuntungannya, vaksin kombinasi mempunyai beberapa kekurangan, yaitu: 1. terjadinya ketidakserasian kimiawi/fisis, sebagai akibat percampuran beberapa antigen beserta ajuvan-nya. 2. sulit dihindari adanya perubahan respons imun sebagai akibat interaksi antara antigen dengan antigen lain atau antara antigen dengan ajuvan yang berbeda. 3. pemakainan vaksin kombinasi dapat membingungkan para dokter dalam menyusun jadwal imunisasi, apalagi bila dipergunakan vaksin dari pabrik yang berbeda. Daya proteksi Daya proteksi suatu vaksin dinilai dari serokonversi kadar antibodi sebelum dan setelahh diberikan vaksinasi. Laporan beberapa penelitian memberikan hasil yang bervariasi. Beberapa hasil uji klinis pada vaksin kombinasi di Amerika dan Eropa mendapatkan titer antibodi salah satu antigen (atau komponen) dari vaksin kombinasi lebih rendah dibandingkan dengan vaksin terpisah. Walaupun demikian kadar antibodi masih diatas ambang pencegahan (protective level).(1) 33(1)

utama pembuatan vaksin kombinasi

Immunogenitas Imunogenitas dan efikasi vaksin berhubungan dengan titer antibodi yang terbentuk sehingga dapat mencegah penyakit. Pada pemberian vaksin monovalen, antibodi yang terbentuk akan mengenal antigen melalui epitop protein atau polisakarida. Pada vaksin kombinasi, akibat pembuatannya terjadi modifikasi epitop antigen sel B sehingga secara teori dapat mengurangi kemampuan vaksin membuat antibodi mengikat antigen. Hal tersebut akan mengurangi imunogenisitas yang berakibat mengurangi efikasi vaksin.(1) Jenis Vaksin Kombinasi 1. DTwP(ditambah komponen whole pertusis), merupakan vaksin kombinasi paling lama vaksin kombinasi tradisional 2. MMR, vaksin kombinasi dengan dasar vaksin campak atau MMR 3. Vaksin kombinasi dengan dasar DtaP (DTP dengan komponen a-cellular pertussis) atau Hepatitis B 4. Vaksin kombinasi lain yang sedang dikembangkan. Salah satu vaksin kombinasi terbaru bernama Pediacel yang memberikan proteksi terhadap lima jenis penyakit mayor, yakni difteri, tetanus, pertusis, poliomyelitis, danHaemophillus vaksin dipteri, influenza tipe-B. Vaksin ini mengombinasikan tetanus, lima komponen Pertusis

aseluler, enhanced Inactivated Polio Virus, dan Haemophilus influenzae tipe b tetanus conjugate (DTaP-eIPV-PRP-T atau DTaP-eIPV-Hib).Pediacel saat ini telah memperoleh lisensi di Kanada, United Kingdom (UK), dan beberapa negara lain untuk diberikan sebanyak tiga dosis primer dan/ atau booster pada bayi maupun anak-anak. Vaksin yang tidak memerlukan rekonstitusi Hib ini merupakan sediaan cair 0,5 mL yang diberikan secara parenteral intramuscular (IM). (8) Jadwal Vaksin Kombinasi Wajib(1) Umur Saat lahir 2 Bulan 3 Bulan 4 Bulan Pemberian vaksin Hep B+BCG+OPV DTwP/hepB+OPV DTwP/hepB+OPV DTwP/hepB+OPV 34 DTwP/hepBdiberikan 6 Minggu Keterangan

BAB VIIKESIMPULANPada saat seorang bayi dilahirkan ke dunia, ia sudah harus menghadapi berbagai 'musuh' yang mengancam jiwa. Virus, bakteri, dan berbagai bibit penyakit sudah siap menerjang masuk ke tubuh yang masih tampak lemah itu. Lemah? Tidak juga. Ternyata sang bayi mungil pun sudah siap untuk menghadapi kerasnya dunia. Berbekal antibodi yang diberikan ibunya, ia siap menyambut tantangan. Inilah contoh dari apa yang kita sebut sebagai daya imunitas (kekebalan) tubuh. Penggolongan sistem kekebalan Kekebalan tubuh dapat kita kelompokkan menjadi dua golongan: 1. Kekebalan pasif 2. Kekebalan aktif

Kekebalan pasif terjadi bila seseorang mendapatkan daya imunitas dari luar dirinya. Jadi, tubuhnya sendiri tidak membentuk sistim kekebalan tersebut. Kekebalan jenis ini bisa didapat langsung dari luar, atau secara alamiah (bawaan). Keunggulan dari kekebalan pasif adalah langsung dapat dipergunakan tanpa menunggu tubuh penderita membentuknya. Kelemahannya adalah tidak berlangsung lama. Kekebalan jenis ini memang biasanya hanya bertahan beberapa minggu sampai bulan saja.

Kekebalan aktif terjadi bila seseorang membentuk sistem imunitas dalam tubuhnya. Kekebalan bisa terbentuk saat seseorang terinfeksi secara alamiah oleh bibit penyakit, atau 'terinfeksi' secara buatan saat diberi vaksinasi. Kelemahan dari kekebalan aktif ini adalah memerlukan waktu sebelum si penderita mampu membentuk antibodi yang tangguh untuk melawan agen yang menyerang. Keuntungannya, daya imunitas biasanya bertahan lama, bahkan bisa seumur hidup.

Imunitas pasif alamiah Pada saat seorang bayi lahir ke dunia, ia dibekali dengan sistem kekebalan tubuh bawaan dari ibunya. Inilah yang kita sebut sebagai kekebalan pasif alamiah. Kekebalan jenis ini sangat tergantung pada kekebalan yang dipunyai oleh si ibu. Misalnya, bila ibu mendapat imunisasi tetanus pada saat yang tepat di masa kehamilan, maka anak mempunyai kemungkinan sangat 35

besar untuk terlindung dari infeksi tetanus di saat kelahirannya. Imunitas bawaan yang dibekalkan pada si buah hati antara lain imunitas terhadap difteri dan campak.

Imunitas pasif didapat Pada keadaan ini, daya imunitas diperoleh dari luar, misalnya pemberian serum antitetanus. Kelebihannya dapat langsung dipergunakan tubuh untuk melawan bibit penyakit, tapi sayangnya kekebalan jenis ini biasanya mempunyai waktu efektif yang pendek. Contoh imunitas pasif didapat: Serum antitetanus Serum antirabies Serum antibisa ular

Imunitas aktif alamiah Pada saat tubuh kita dimasuki oleh bibit penyakit, terjadi suatu mekanisme pembentukan sistem pertahanan tubuh yang spesifik terhadap bibit penyakit yang menyerang. Dengan demikian, bila bibit penyakit tersebut mencoba kembali masuk ke tubuh kita, tubuh sudah siap dengan pertahanannya.

Imunitas aktif didapat Sesungguhnya prinsip dari imunitas aktif didapat ini diambil dari imunitas aktif alamiah. Bedanya, kita 'menyajikan' bibit penyakit atau bagian daripadanya, agar tubuh dapat membentuk sistem imunitas spesifik sebelum bibit penyakit tersebut benar-benar datang. Inilah yang dikenal sebagai vaksinasi. Keuntungan dari pemberian vaksinasi adalah kita dapat mengontrol agar masuknya bibit penyakit (agen) tidak sampai menimbulkan penyakit yang parah pada diri si penerima. Walau mungkin tidak bergejala, dalam keadaan normal kekebalan tetap terbentuk. Vaksin akan merangsang sistem kekebalan tubuh untuk bereaksi terhadap agen yang kita masukkan. Mungkin akan timbul sedikit keluhan pada penerima (resipien) akibat 'peperangan' yang terjadi antara sistim imunitas spesifik yang terbentuk dan agen (dalam vaksin) yang kita masukkan. Tapi setelah itu, akan terbentuk antibodi yang selalu siap untuk mengingat musuh-musuhnya. Jadi bila di belakang hari agen yang sama berusaha masuk, tubuh dengan cepat dapat melipatgandakan antibodi spesifiknya untuk membunuh agen tersebut.

36

Vaksin mengandung substansi atau antigen yang relatif tidak berbahaya bagi tubuh penerima (resipien). Substansi atau antigen yang dipergunakan biasanya didapat dari mikroorganisme penyebab penyakit itu sendiri. Komponen yang diberikan bisa berupa: Virus yang dilemahkan Bakteri yang sudah dimatikan Toksin kuman Toksoid Pemberian imunisasi aktif dan pasif bisa diberikan secara sendiri-sendiri ataupun bersama-sama. Contoh pemberian bersama-sama adalah pada kasus infeksi tetanus. Pemberian serum antitetanus diperlukan agar tubuh dapat segera melawan bibit penyakit, tapi vaksin antitetanus juga harus diberikan agar tubuh dapat membentuk sendiri sistem pertahanan tubuh terhadap tetanus. Pada saat daya kerja serum antitetanus telah habis, sistem kekebalan tubuh penderita telah siap menggantikannya.

Jenis-jenis imunisasi Ada berbagai ragam jenis imunisasi yang dapat diberikan. Tidak semua orang memerlukan pemberian imunisasi tersebut. Faktor epidemiologi harus dipertimbangkan untuk menentukan imunisasi apa yang harus diberikan pada seseorang. IMUNISASI WAJIB 1. BCG 2. DPT 3. Polio 4. Campak 5. Hepatitis B IMUNISASI DIANJURKAN 1. MMR 2. Hemophylus influensa B 3. Tifoid 4. Pneumokokus (Pcv) 5. Influenza 6. Varisela

37

DAFTAR PUSTAKA1. RanuhI.I.G.N, Suyitno H, Hadinegoro S Sri Rezeki, Kartasasmita B.C. Pedoman imunisasi di Indonesia. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008. 2. Jr.Hay.W.William, Levin J.Myron, Sondheimer M.Judith, Deterding.R Robin. Immunization in LANGE Current Diagnosis & Treatment. PEDIATRICS. 19th edition. USA: Mc Graw Hill companies. Inc. 2007: 236 262. 3. Pusponegoro D.H.dkk. Imunisasi. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi I, Ikatan Dokter Anak Indonesia. Tahun 2004: 399 403 4. Behrman,E.R. Kliegman R.MD. Arvin M.Ann.MD. Praktek-Praktek Imunisasi. Nelson Ilmu Kesehatan Anak, Vol.2. Edisi 15. Jakarta: EGC,2000: 1248 1262 5. Price A.Sylvia. Wilson M.Loraine. Respon Tubuh Terhadap Tantangan Imunologik. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Vol 1. Edisi 6. Jakarta: EGC, 2006: 81 105. 6. Rudoplh.D Colin,dkk. Alergi, Imunologi dan Reumatologi. Rudolph's Pediatrics, 21st Edition USA: McGraw-Hill companies.Inc. 2003: 484 491, 508 - 509 7. Hadinegoro R.S.Pusponegoro D.H. Soedjatmiko. Oswari.H. PANDUAN IMUNISASI ANAK mencegah lebih baik daripada mengobati. Satgas Imunisasi PP IDAI. Edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011. 8. http://www.jurnalmedika.com/edisi-tahun-2009/edisi-09-2009/100-kegiatan/71vaksin-kombinasi-proteksi-aman-efektif-dan-terjangkau 9. http://www.jurnalnet.com/konten.php?nama=BeritaUtama&topik=7&id=637 10. http://www.who.int/bulletin/volumes/85/6/06-037457/en/

38