A. Latar Belakang
Pada tanggal 9 Mei 2012, pesawat milik Sukhoi Company Rusia yaitu
Sukhoi Super Jet 100 (SJ 100) melakukan demonstrasi penerbangan (joy flight)
yang berangkat dari Bandar Udara Halim Perdanakusuma Jakarta, mengalami
kehilangan kontak yang kemudian dikabarkan menghilang. Setelah melalui proses
pencarian diketahui bahwa pesawat tersebut mengalami kecelakaan yang cukup
mengenaskan karena kondisi badan pesawat yang luluh lantak akibat menabrak
dinding gunung Salak di Jawa Barat. Kecelakaan tersebut juga telah
mengakibatkan seluruh penumpangnya yang berjumlah 45 orang meninggal
dunia.1)
Terkait demo terbang atau joy flight pesawat baru yang akan
diperkenalkan di satu negara seperti di Indonesia, menurut K. Martono harus
memenuhi persyaratan khusus seperti Diplomatic Clearence dari Kementerian
Luar Negeri serta Security Clearence dari Kementerian Pertahanan serta izin
terbang dari Kementerian Perhubungan.2) Berdasarkan keterangan Kementrian
Perhubungan sebelum melakukan penerbangan, Sukhoi SJ 100 sudah mendapat
sejumlah izin dari pihak yang berwenang seperti dari Kementerian Luar Negeri
mendapat Diplomatic Clearance No. 05099/Kons.-20/IV/2012 pada 20 April
2012, dari Markas Besar TNI memberi Security Clearance No. UD/0557/SIN.-
23/IV/2012 pada 23 April 2012. Kemudian dari Dirjen Perhubungan Udara juga
memberikan Flight Clearance No 3241/0705/NONSCHED-INT/2012 pada 7 Mei
2012 dengan rute Saigon-Halim Perdana Kusuma-Vientiane. Setelah pesawat
Sukhoi mendapat legalitas izin masuk ke Indonesia, tahap selanjutnya adalah
untuk penerbangan demo flight untuk promosi (joy flight).3)
1) Fabian Januarius Kuwado dan A. Wisnubrata, “Jumlah Penumpang Sukhoi Ternyata 47 Orang”, Kompas.com, Kamis, 10 Mei 2012, http://nasional.kompas.com/read/2012/05/10/ 1209041/Jumlah.Penumpang.Sukhoi.Ternyata.47.Orang, diakses 12 Juni 2012.
2) K. Martono, “Pilot Berkuasa Penuh”, hasil wawancara wartawan Harian Umum Suara Karya, Syamsuri S dan Andry Bey Roesmanto dengan pakar hukum penerbangan, Prof Dr K Martono SH LLM di Jakarta, Sabtu 19 Mei 2012, http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=303588, diunduh 29 Juni 2012.
3) M. Agus Yozami, “DPR Cecar Menhub Soal Tragedi Sukhoi”, http://www.hukumonline. com/berita/baca/lt4fc3ab1271edf/dpr-cecar-menhub-soal-tragedi-sukhoi, diunduh 29 Juni 2012.
1
Berdasarkan data yang dimiliki Kementrian Perhubungan bahwa joy flight
kedua berlangsung mulai pukul 14.10 WIB dan pada pukul 14.21 WIB melakukan
take off. Pesawat yang dipiloti oleh Aleksander Yablontsev itu melakukan kontak
pertama dengan Air Traffic Control (ATC) Bandara Soekarno Hatta pada radial
200 Halim Perdanakusuma. Kemudian pesawat minta izin turun 6.000 kaki dari
ketinggian 10.000 kaki dan setelah itu pesawat minta memutar 360 derajat (orbit
right) di atas training area Lanud Atang Sanjaya.4)
Selanjutnya dari Bandara Soekarno Hatta memanggil pesawat karena tidak
terlihat dari monitor radar dan pihak ATC melaporkan kejadian hilang target pada
Air Traffic Service (ATS) Coordinator Atang Sanjaya. Setelah itu, pesawat
ditetapkan dalam kondisi uncertainty phase yaitu keadaan tidak pasti meskipun
pihak ATC telah menghubungi berkali-kali namun tidak ada respon dari pilot
Sukhoi SJ 100 tersebut. Tidak ditemukannya kabar dari Sukhoi SJ 100 tersebut,
pihak ATC akhirnya menguhubungi Badan SAR untuk melakukan pencarian
setelah pesawat ditetapkan dalam kondisi alertting phase dan kondisi distress
phase mengingat bahan bakar pesawat diperkirakan sudah habis.5)
Menurut Direktur Utama PT Angkasa Pura II (Persero), Tri S. Sunoko,
menerangkan bahwa Air Traffic Control (ATC) bandara sudah bekerja sesuai
dengan prosedur. Karena telah teruji dalam penerbangan lain sebelumnya, petugas
akhirnya memberikan izin kepada pilot Sukhoi SJ 100 untuk menurunkan
ketinggian di sekitar Lanud Atang Sanjaya. ATC pun mengizinkan karena lokasi
berada di atas Lanud Atang Sanjaya. Selain itu, lokasi itu adalah area training dan
sudah 383 latihan penerbangan di area tersebut tidak ada masalah. Bahkan di
sekitar Atang Sanjaya pesawat bisa bermanuver sampai 3.000 kaki. Jadi petugas
ATC sudah memberikan instruksi sesuai dengan prosedur yang berlaku.6)
Menurut Sunaryo selaku konsultan pengembangan bisnis PT Trimarga
Rekatama, bahwa berdasarkan manifes terbaru yang dimilikinya, jumlah
penumpang yang berada di pesawat Sukhoi SJ 100 berjumlah 45 orang. Hal
tersebut diklarifikasi setelah sebelumnya pihak perusahaan merilis daftar
4) Ibid. 5) Ibid. 6) Ibid.
2
penumpang pesawat tersebut berjumlah 50 orang. Perubahan manifes tersebut
terjadi karena daftar penumpang yang didata terbawa oleh seseorang dalam
pesawat. Berdasarkan informasi bahwa nama Edi Saryoko dari Gatari, tidak ikut
dalam terbang. Dengan demikian, dari jumlah 48 penumpang yang ada, tinggal 45
penumpang.7)
Data korban kecelakaan Sukhoi SJ 100 sebagian besar adalah warga
Negara Indonesia dan sisanya warga negara asing. Selain itu, pesawat tersebut
bukanlah pesawat komersil karena penerbangan pesawat tersebut merupakan salah
suatu agenda perusahaan penerbangan Sukhoi atas produk pesawat komersil yang
tujuan utamanya yaitu memamerkan keunggulan Sukhoi SJ 100 sebagai pesawat
regional dan merupakan bintang dari industri penerbangan Rusia. Indonesia
merupakan salah satu Negara yang dijadikan ajang demonstrasi terbang (joy
flight) selain Kazakhstan, Pakistan, Laos, dan Vietnam.8)
Kecelakaan tersebut tentu menimbulkan luka yang mendalam bagi para
keluarga korban, terlebih lagi pada waktu itu belum adanya kepastian adanya
pemberian ganti rugi dari pihak Sukhoi. Selain itu, instrumen hukum manakah
yang tepat untuk menuntut pihak Sukhoi dalam meminta pertanggungjawaban
ganti rugi bagi korban yang meninggal pada saat kecelakaan tersebut. Mengingat
dalam peraturan perundang-undangan khususnya Permenhub No. 77 Tahun 2011
secara tegas bahwa dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan Pasal 1 ayat (5)
yang menyatakan bahwa Badan Usaha Angkutan Udara adalah badan usaha milik
negara, badan usaha milik daerah, atau badan hukum Indonesia berbentuk
perseroan terbatas atau koperasi, yang kegiatan utamanya mengoperasikan
pesawat udara untuk digunakan mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos
dengan memungut pembayaran.
Apabila mengacu pada Pasal 1 ayat (5) Permenhub tersebut jelas Sukhoi
SJ 100 tidak masuk dalam katagori pengangkut yang secara resmi beroperasi di
wilayah Indonesia dan bukan berbadan hukum Indonesia serta tidak adanya
7) Ibid8) Anonim, “Proyek Prestisius Rusia Terjerembab di Gunung Salak” Mei 11, 2012
http://indopremiernews.wordpress.com/tag/kecelakaan-pesawat-sukhoi-superjet-100/, diunduh 12 Juni 2012.
3
pungutan biaya bagi para penumpang pada saat demontrasi penerbangan
melainkan lebih menekankan pada marketing atas penjualan pesawat Sukhoi SJ
100 yang rencananya akan dipesan oleh Indonesia melalui PT. Trimarga
Rekatama. Selain itu tidak sesuainya daftar manifest penumpang, karena ada
korban tetapi namanya tidak tercantum. Sebaliknya ada nama korban, tetapi yang
bersangkutan batal ikut.
Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk menyusun Metode
Penelitian Hukum ini dengan judul: IMPLEMENTASI PERMENHUB NO. 77
TAHUN 2011 SEBAGAI DASAR TUNTUTAN GANTI KERUGIAN ATAS
KECELAKAAN PENERBANGAN JOY FLIGHT PESAWAT SUKHOI SJ-
100 DI GUNUNG SALAK BOGOR JAWA BARAT
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka permasalahan yang
dikemukakan dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Bagaimana pertanggungjawaban pihak operator pesawat Sukhoi kepada
korban kecelakaan Sukhoi Super Jet 100?
2. Bagaimana implementasi Permenhub No. 77 Tahun 2011 sebagai dasar
tuntutan ganti kerugian pada kecelakaan Sukhoi Super Jet 100?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian ini yaitu:
1. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pihak operator pesawat Sukhoi
kepada korban kecelakaan Sukhoi Super Jet 100.
2. Untuk mengetahui implementasi Permenhub No. 77 Tahun 2011 sebagai
dasar tuntutan ganti kerugian pada kecelakaan Sukhoi Super Jet 100.
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :
1. Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan teoritis, untuk
memberikan pengetahuan dan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang
hukum pengangkutan, khususnya mengenai tanggung jawab pihak Sukhoi
dalam kecelakaan penerbangan joy flight dan penerapan Permenhub No.77
4
Tahun 2011 dalam kecelakaan joy flight penerbangan Sukhoi SJ 100
sebagai dasar tuntutan kepada pihak Sukhoi dalam pemberian santunan
kepada ahli waris korban kecelakaan Sukhoi SJ 100 tersebut.
2. Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan praktis, untuk
menambah ilmu pengetahuan bagi penulis dan masyarakat sebagai bahan
kajian dan wawasan serta informasi yang jelas dan tepat tentang masalah
pengguna jasa transportasi udara di Indonesia.
D. Kerangka Konseptual
Soerjono Soekanto mendefinisikan kerangka konseptual adalah kerangka
yang menggambarkan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan
dalam arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau yang akan diteliti.9)
Pada penulisan skripsi ini kerangka konseptual yang dapat dikemukakan adalah
sebagai berikut:
Menurut Sudarsono ganti rugi sebagai penggantian kerugian.10) Ganti
kerugian merupakan suatu kewajiban yang dibebankan kepada orang yang telah
bertindak melawan hukum dan menimbulkan kerugian pada orang lain karena
kesalahannya tersebut.11)
Kecelakaan adalah peristiwa pengoperasian pesawat udara yang
mengakibatkan kerusakan berat pada peralatan atau fasilitas yang digunakan
dan/atau korban jiwa atau luka serius.12)
Penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan
wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi
penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas
penunjang dan fasilitas umum lainnya.13)
9) Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI Press,1986), hal .132.10) Sudarsono, Kamus Hukum, cetakan ke-6, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2009), hal.136.
11) Syafrudin, Pidana Ganti Rugi : Alternatif Pemidanaan di Masa Depan Dalam Penanggulangan Kejahatan Tertentu, (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2002), hal.3
12) Indonesia. Peraturan Menteri Perhubungan No.77 Tahun 2011 tentang Tanggungjawab Pengangkut Angkutan Udara, Pasal 1 angka (12).
13) Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, (LNRI Tahun 2009 Nomor 1; TLNRI Nomor 4986), Pasal 1 angka (1).
5
Joy flight merupakan penerbangan uji coba sebuah pesawat komersial. Joy
flight juga dapat diartikan sebagai terbang bersenang-senang. Penumpang tidak
membayar, melainkan diundang ikut serta menikmati pesawat baru, sambil
melihat-lihat pemandangan.14)
Pengertian perusahaan penerbangan (airlines) adalah perusahaan yang
bergerak dalam bidang angkutan udara yang mengangkut penumpang, barang,
pos, dan kegiaan keudaraan lainnya dengan memungut bayaran, dengan
menggunakan pesawat terbang bersayap tetap maupun bersayap putar yang
melakukan kegiatan penerbangan secara berjadwal maupun tak berjadwal.15)
Sukhoi Superjet 100 merupakan pesawat penumpang untuk jarak tempuh
menengah yang dirancang sejak tahun 2000. Superjet 100 menjadi pesawat
penumpang pertama sejak keruntuhan Uni Soviet, dan juga merupakan pesawat
sipil pertama buatan Sukhoi. Superjet 100 melakukan terbang perdananya pada
2008 dan mendapat sertifikasi untuk beroperasi di Rusia pada 2011, dan di Uni
Eropa pada Februari 2012.16)
Pada semua undang-undang pengangkutan dipakai istilah penumpang
untuk pengangkutan orang tetapi rumusan mengenai penumpang secara umum
tidak diatur. Dalam Undang-Undang Penerbangan juga tidak dijumpai rumusan
pasal mengenai pengguna jasa. Dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan
orang, penumpang adalah orang yang mengikatkan diri untuk membayar biaya
angkutan atas dirinya yang diangkut. Dalam perjanjian pengangkutan, penumpang
mempunyai dua status yaitu sebagai subyek karena dia adalah pihak dalam
perjanjian, dan sebagai obyek karena dia adalah muatan yang diangkut. Sebagai
pihak dalam perjanjian pengangkutan, penumpang harus mampu melakukan
perbuatan hukum atau mampu membuat perjanjian.17) Suherman menyatakan
14) Tengku Bintang, “Joy flight Bahaya Gadis Cantik dan Pilot Yang Ramah” http://lifestyle. kompasiana.com/catatan/2012/05/11/joy-flight-bahaya-gadis-cantik-dan-pilot-yang-ramah/, diunduh, 8 Juli 2012.
15) H.K.Martono, Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan, Cetakan ke-1, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 216.
16) Anonim, “Pembuatan SUKHOI SJ 100 - Sejarah Sukhoi Superjet 100 - Sukhoi Superjet 100”, http://www.jadilah.com/2012/05/pembuatan-sukhoi-sj-100.html, diakses 8 Juli 2012.
17) Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hal.50-51.
6
bahwa definisi penumpang adalah seorang yang diangkut dengan pesawat terbang
berdasarkan suatu persetujuan pengangkutan udara.18)
Tanggung jawab adalah suatu keharusan bagi seseorang untuk
melaksanakan dengan selayaknya apa yang telah diwajibkan kepadanya, istilah
tanggung jawab sendiri, dalam bahasa Inggris dapat mempunyai arti, yaitu
liability. Istilah liability adalah istilah yang tepat untuk dipergunakan dalam
hukum pengangkutan, karena mempunyai arti yang menunjukkan tanggung jawab
untuk mengganti suatu kerugian yang diderita oleh suatu pihak lain, karena
tindakan dari pihak lain, karena cidera janji, karena suatu perbuatan hukum atau
karena sesuatu yang menjadi milik atau di bawah penguasaan pihak lain.
Tanggung Jawab Pengangkut adalah kewajiban perusahaan penerbangan untuk
mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang serta
pihak ketiga.19)
Secara etimologis pengertian implementasi menurut Kamus Webster yang
dikutip oleh Solichin Abdul Wahab adalah: konsep implementasi berasal dari
bahasa inggris yaitu to implement. Dalam kamus besar webster, to implement
(mengimplementasikan) berati to provide the means for carrying out
(menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); dan to give practical effect to
(untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu).20) Menurut Van Meter dan
Van Horn sebagaimana yang dikutip Solichin Abdul Wahab bahwa implementasi
adalah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/pejabat-
pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada
tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.21)
Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) Peraturan Perundang-
undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat
18) E. Suherman, Tanggung Djawab Pengangkut Dalam Hukum Udara Indonesia, (Bandung: Eresco, 1962), hal.311.
19) Indonesia,Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4956), Pasal 1 angka (22).
20) Solichin Abdul Wahab, Analisa Kebijakan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hal.64
21) Ibid, hal.65.
7
secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-
undangan. Berdasarkan uraian tersebut, maka pengertian Peraturan Menteri
Perhubungan adalah peraturan yang dikeluarkan atau ditetapkan oleh pejabat di
lingkungan Kementerian Perhubungan. Permenhub No.77 Tahun 2011 adalah
peraturan tentang tanggungjawab pengangkut angkutan udara.
E. Kerangka Teoretis
1. Klasifikasi Pengangkutan
Pengangkutan dapat dikelompokan menurut macam atau moda atau
jenisnya (modes of transportation) yang dapat ditinjau dari segi barang yang
diangkut, dari segi geografis transportasi itu berlangsung, dari sudut teknis
serta dari sudut alat angkutannya. Secara rinci klasifakasi pengangkutan
sebagai berikut:22)
1. Dari segi barang yang diangkut, meliputi:
a. Angkutan penumpang (passanger);
b. Angkutan barang (goods);
c. Angkutan pos (mail).
2. Dari sudut geografis. Ditinjau dari sudut geografis dapat dibagi menjadi:
a. Angkutan antar benua: misalnya dari Asia ke Eropah;
b. Angkutan antar kontinental: misalnya dari Francis ke Swiss dan
diseterusnya sampai ke Timur Tengah;
c. Angkutan antar pulau: misalnya dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera;
d. Angkutan antar kota: misalnya dari Jakarta ke Bandung;
e. Angkutan antar daerah: misalnya dari Jawa Barat ke Jawa Timur;
f. Angkutan di dalam kota: misalnya kota Medan, Surabaya dan lain-lain.
3. Dari sudut teknis dan alat pengangkutnya, Jika dilihat dari sudut teknis dan
alat angkutnya, maka dapat dibedakan sebagai berikut:
22) Rustian Kamaluddin, Ekonomi Transportasi:Karekteristik, Teori dan Kebijakan,(Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hal. 15-19.
8
a. Angkutan jalan raya atau highway transportation(road transportation),
seperti pengangkutan dengan menggunakan truk,bus dan sedan;
b. Pengangkutan rel (rail transportation), yaitu angkutan kereta api, trem
listrik dan sebagainya. Pengangkutan jalan raya dan pengangkutan rel
kadang-kadang keduanya digabung dalam golongan yang disebut rail
and road transportation atau land transportation (angkutan darat);
c. Pengangkutan melalui air di pedalaman( inland transportation), seperti
pengangkutan sungai, kanal, danau dan sebagainya;
d. Pengangkutan pipa (pipe line transportation), seperti transportasi
untuk mengangkut atau mengalirkan minyak tanah, bensin dan air
minum;
e. Pengangkutan laut atau samudera (ocean transportation), yaitu
angkutan dengan menggunakan kapal laut yang mengarungi samudera;
f. Pengangkutan udara (transportation by air atau air transportation),
yaitu pengangkutan dengan menggunakan kapal terbang yang melalui
jalan udara.
2. Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Pengangkutan
Didalam hukum pengangkutan, dikenal beberapa prinsip-prinsip
tanggung jawab untuk pengangkut. Prinsip-prinsip ini berkaitan dengan
tanggung jawab pengangkut untuk membayar ganti kerugian kepada
pengguna jasa penerbangan. Prinsip tanggung jawab tersebut adalah :
a. Based on fault (prinsip tanggung jawab berdasarkan atas kesalahan)
Prinsip based on fault atau prinsip tanggung jawab berdasarkan
atas kesalahan diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata yang menyebutkan: “Tiap perbuatan melanggar hukum yang
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Pasal ini
dikenal dengan pasal tentang perbuatan melawan hukum.
Akibat terpenting yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata adalah tanggung jawab pihak yang melakukan
9
perbuatan melawan hukum, berupa kewajibannya membayar ganti
kerugian. Dapat dikemukakan bahwa tanggung jawab menurut pasal
tersebut adalah tanggung jawab berdasarkan atas kesalahan, kesalahan
yang harus dibuktikan oleh pihak yang harus menuntut ganti kerugian.
Selain itu menurut Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
tanggung jawab seseorang bisa juga diakibatkan karena kelalaian atau
kurang hati-hatinya.
Pada prinsip ini jelas bahwa beban pembuktian ada pada pihak
yang dirugikan, artinya pihak yang dirugikan yang harus membuktikan
bahwa kerugiannya diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum. Dan
prinsip based on fault ini tidak didasarkan pada perjanjian, tetapi dengan
perbuatan melawan hukum tersebut juga menimbulkan perikatan.23)
b. Presumption of liability
Prinsip ini merupakan prinsip “praduga bahwa pengangkut selalu
bertanggung jawab”, tanpa ada keharusan bagi pihak yang dirugikan untuk
membuktikan bahwa ada perbuatan melawan hukum dari pengangkut atau
tidak. Prinsip ini didasarkan pada perjanjian pengangkutan, akan tetapi
pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya, apabila
pengangkut dapat membuktikan bahwa:24 )
1. Kerugian yang disebabkan oleh malapetaka yang selayaknya tidak
dapat dicegah atau dihindarinya atau berada diluar kekuasaannya;
2. Ia telah mengambil mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk
menghindarkan timbulnya kerugian;
3. Kerugian yang timbul bukan karena kesalahannya, dan
4. Kerugian ditimbulkan oleh kelalaian atau kesalahan dari penumpang
sendiri karena cacat, sifat atau mutu barang yang diangkut.
c. Presumption of non liability
Prinsip ini merupakan prinsip “praduga bahwa pengangkut selalu
tidak bertanggung jawab, untuk barang bawaan yang berada didalam
23) Siti Nurbaiti, Hukum Pengangkutan Darat (Jalan dan Kereta Api, (Jakarta : Pusat Studi Hukum Transportasi dan Telekomunikasi Fakultas Hukum Universitas Trisakti, 2007), hal. 18-20.
24) Ibid., hal. 20-22.
10
pengawasan penumpang sendiri, contohnya adalah bagasi tangan, dan
beban pembuktian adanya tanggung jawab pengangkut terletak pada
penumpang dan tanggung jawab ini baru ada, apabila ada kesalahan dari
pengangkut. Dengan adanya prinsip ini, maka ada kemungkinan tidak ada
satu pihakpun yang dapat dipertanggung jawabkan mengenai kerugian
terhadap barang bawaan yang berada dalam pengawasan penumpang
sendiri, yaitu apabila penumpang membuktikan bahwa ia telah mengambil
tindakan seperlunya untuk menjaga barang tersebut, sedangkan
pengangkut juga telah membuktikan bahwa ia tidak mungkin dapat
mencegah timbulnya kerugian. Dengan demikian, maka penumpang
sendirilah yang harus memikul kerugiannya. Kemungkinan tersebut,
terlepas dari hal apakah kerugian terhadap berang bawaan yang berada
dalam pengawasan penumpang sendiri ditimbulkan oleh penumpang lain.
Jika terjadi hal yang demikian, memang pengangkut tidak bertanggung
jawab, akan tetapi penumpang tersebut, dapat menuntut ganti kerugian
berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai
perbuatan melawan hukum.25)
d. Strict liability (prinsip tanggung jawab mutlak)
Prinsip ini mengandung pengertian, bahwa secara yuridis, salah
atau tidak salah, pengangkut harus bertanggung jawab tanpa melihat ada
atau tidak adanya kesalahan atau tidak melihat siapa yang bersalah, atau
suatu prinsip tanggung jawab yang memandang kesalahan sebagai suatu
yang tidak relevan untuk dipermasalahan apakah pada kenyataannya ada
atau tidak ada.26)
e. Limitation of liability (prinsip pembatasan tanggung jawab)
Prinsip pembatasan tanggung jawab ini ada yang bersifat breakable
limit dan unbreakable limit. Breakable limit, artinya dapat dilampaui dan
tidak bersifat mutlak, dimana ganti rugi yang diberikan oleh pengangkut
masih dapat diterobos, atau ganti rugi yang dibayarkan masih boleh
25 Ibid,. hal. 23-24.26) Ibid., hal. 25-26.
11
melebihi jumlah yang dinyatakan, yaitu dalam hal kerugian disebabkan
oleh adanya perbuatan sengaja (willful misconduct) atau kelalaian berat
(gross negligence) dari pengangkut. Sedangkan unbreakable limit, artinya
tidak dapat dilampaui dengan alasan apapun. Hal ini berarti tanggung
jawab pengangkut dan ganti rugi yang harus dibayarkan tidak boleh
melebihi jumlah yang dinyatakan.27)
3. Ganti Kerugian Dalam Pengangkutan Udara
Saat ini ganti kerugian dalam kecelakaan penerbangan diatur dalam
Permenhub No. 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut
Angkutan Udara. Berkembangnya industri di bidang angkutan udara dewasa
ini berdampak pada semakin banyaknya maskapai penerbangan komersial
(airlines) di Indonesia. Banyaknya maskapai penerbangan ini salah satunya
menyebabkan semakin murahnya harga tiket pesawat yang hampir sama
dengan harga tiket angkutan darat, seperti kereta api sehingga pengguna jasa
angkutan udara (pesawat) dari tahun ke tahun semakin meningkat. Namun
sayangnya, hal tersebut belum diimbangi dengan adanya perlindungan
terhadap pengguna jasa angkutan udara, salah satu contohnya adalah
maraknya kasus delay dan kecelakaan pesawat. Banyak keluhan dan kritik dari
berbagai kalangan akibat kerugian yang dirasakan para pengguna angkutan
udara tersebut.
Oleh karena itu, dalam rangka memberikan perlindungan kepada
pengguna angkutan udara dan menjawab keluhan serta kritik berbagai
kalangan yang beranggapan bahwa selama ini penyelenggaraan jasa
penerbangan dirasakan sangat merugikan pengguna angkutan udara, maka
dikeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 77 Tahun 2011
tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara. Beberapa hal yang
menjadi dasar ditetapkannya Permenhub ini adalah amanah dari beberapa
pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
27) Ibid., hal. 28-29.
12
Permenhub ini terdiri atas 10 Bab dan 29 Pasal serta Lampiran. Dalam
Permenhub ini diatur mengenai besaran yang diberikan bagi para pengguna
jasa angkutan udara. Adapun besaran yang telah ditentukan adalah:
1. Jumlah ganti rugi atas keterlambatan pesawat atau delay lebih dari 4 (empat) jam adalah Rp. 300.000,- per penumpang;
2. Jumlah ganti rugi bagi penumpang yang meninggal dunia di dalam pesawat karena kecelakaan adalah Rp. 1,25 milyar, jumlah yang sama juga diberikan kepada orang yang cacat tetap menurut ketentuan dokter dalam jangka waktu 60 hari;
3. Jumlah ganti rugi bagi penumpang yang mengalami kehilangan, musnah atau rusaknya bagasi tercatat diberikan penggantian sebesar Rp. 200.000,-/kg dan paling banyak Rp. 4.000.000,-/penumpang; dan
4. Jumlah ganti rugi untuk kehilangan kargo diganti Rp. 100.000,-/kg kepada pengirim dan jika mengalami kerusakan diberikan penggantian sebesar Rp. 50.000,-/kg.
Selain itu yang tidak kalah penting diatur dalam Permenhub ini adalah
mengenai batas tanggung jawab pengangkut angkutan udara. Batas tanggung
jawab pengangkut angkutan udara adalah:
1. Pada penumpang dimulai sejak penumpang meninggalkan ruang tunggu bandara menuju pesawat udara sampai dengan penumpang memasuki terminal kedatangan di bandara tujuan;
2. Pada bagasi tercatat dimulai sejak pengangkut menerima bagasi tercatat pada saat pelaporan (check-in) sampai dengan diterimanya bagasi tercatat oleh penumpang; dan
3. Pada kargo dimulai sejak pengirim barang menerima salinan surat muatan udara dari pengangkut sampai dengan waktu ditetapkan sebagai batas pengambilan sebagaimana tertera dalam surat muatan udara (airway bill).
Pada dasarnya, penerapan Permenhub ini diharapkan dapat mengatasi
persoalan keterlambatan atau delay penerbangan yang merugikan pengguna
jasa angkutan udara yang selama ini sudah sangat sering terjadi. Walaupun
keterlambatan atau delay penerbangan bisa disebabkan oleh beberapa faktor,
salah satunya adalah pertumbuhan angkutan udara tidak diimbangi dengan
pertumbuhan sarana dan prasarana bandara. Sebagai contohnya kadang
pesawat mengalami keterlambatan landing karena landasan/traffic di bandara
padat. Namun dalam hal ini masyarakat sebagai pengguna jasa angkutan udara
juga harus tetap dilindungi.
13
Pada Pasal 2 Permenhub No. 77 Tahun 2012, jenis tanggung jawab
pengangkut dan besaran kerugian menyatakan bahwa:
Pasal 2.
Pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara wajib bertanggung jawab atas kerugian terhadap:a. penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka;b. hilang atau rusaknya bagasi kabin;c. hilang, musnah, atau rusaknya bagasi tercatat;d. hilang, musnah atau rusaknya kargo;e. keterlambatan angkutan udara; danf. kerugian yang diderita oleh pihak ketiga.
Pasal 3
Jumlah ganti kerugian terhadap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a ditetapkan sebagai berikut:a. Penumpang yang meninggal dunia di dalam pesawat udara karena akibat
kecelakaan pesawat udara atau kejadian yang semata-mata ada hubungannya dengan pengangkutan udara diberikan ganti kerugian sebesar Rp 1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per penumpang.
b. Penumpang yang meninggal dunia akibat suatu kejadian yang semata-mata ada hubungannya dengan pengangkutan udara pada saat proses meninggalkan ruang tunggu bandar udara menuju pesawat udara atau atau pada saat proses turun dari pesawat udara menuju ruang kedatangan di bandar udara tujuan dan/atau bandar udara persinggahan (transit) diberikan ganti kerugian sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) per penumpang.
c. Penumpang yang mengalami cacat tetap, meliputi:d. Penumpang yang dinyatakan cacat tetap total oleh dokter dalam jangka
waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak terjadinya kecelakaan diberikan ganti kerugian sebesar Rp 1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per penumpang; dan
e. Penumpang yang dinyatakan cacat tetap sebagian oleh dokter dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak terjadinya kecelakaan diberikan ganti kerugian sebagaimana termuat dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
f. Cacat Tetap Total sebagaimana dimaksud pada huruf c angka 1 yaitu kehilangan penglihatan total dari 2 (dua) mata yang tidak dapat disembuhkan, atau terputusnya 2 (dua) tangan atau 2 (dua) kaki atau satu tangan dan satu kaki pada atau di atas pergelangan tangan atau kaki, atau kehilangan penglihatan total dari 1 (satu) mata yang tidak dapat
14
disembuhkan dan terputusnya 1 (satu) tangan atau kaki pada atau di atas pergelangan tangan atau kaki.
g. Penumpang yang mengalami luka-luka dan harus menjalani perawatan di rumah sakit, klinik atau balai pengobatan sebagai pasien rawat inap dan/atau rawat jalan, akan diberikan ganti kerugian sebesar biaya perawatan yang nyata paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) per penumpang.
Pasal 5
(1) Jumlah ganti kerugian terhadap penumpang yang mengalami kehilangan, musnah atau rusaknya bagasi tercatat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c ditetapkan sebagai berikut:a. Kehilangan bagasi tercatat atau isi bagasi tercatat atau bagasi tercatat
musnah diberikan ganti kerugian sebesar Rp 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per kg dan paling banyak Rp 4.000.000,00 (empat juta rupiah) per penumpang; dan
b. Kerusakan bagasi tercatat, diberikan ganti kerugian sesuai jenisnya bentuk, ukuran dan merk bagasi tercatat.
(2) Bagasi tercatat dianggap hilang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila tidak diketemukan dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak tanggal dan jam kedatangan penumpang di bandar udara tujuan.
(3) Pengangkut wajib memberikan uang tunggu kepada penumpang atas bagasi tercatat yang belum ditemukan dan belum dapat dinyatakan hilang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebesar Rp 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per hari paling lama untuk 3 (tiga) hari kalender.
Pasal 7
(1) Jumlah ganti kerugian terhadap kargo yang dikirim hilang, musnah atau rusak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d ditetapkan sebagai berikuta. Terhadap hilang atau musnah, pengangkut wajib memberikan ganti
kerugian kepada pengirim sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) per kg
b. Terhadap rusak sebagian atau seluruh sisi kargo atau kargo, pengangkut wajib memberikan ganti kerugian kepada pengirim sebesar Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per kg.
c. apabila pada saat menyerahkan kepada pengangkut, pengirim menyatakan nilai kargo dalam surat muatan udara (airway bill), ganti kerugian yang wajib dibayarkan oleh pengangkut kepada pengirim sebesar nilai kargo yang dinyatakan dalam surat muatan udara.
(2) Krgo dianggap hilang setelah 14 (empat belas) hari kalender terhitung sejak seharusnya tiba di tempat tujuan.
Pasal 9
15
Keterlambatan angkutan udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e terdiri dari:a. Keterlambatan penerbangan (flight delayed);b. tidak terangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas pesawat udara
(denied boarding passenger); danc. pembatalan penerbangan (cancelation of flight)
Pasal 10
Jumlah ganti kerugian untuk penumpang atas keterlambatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a ditetapkan sebagai berikut:a. Keterlambatan lebih dari 4 (empat) jam diberikan ganti rugi sebesar Rp
300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per penumpang;b. Diberikan ganti kerugian sebesar 50% (lima puluh persen) dari ketentuan
huruf a apabila pengangkut menawarkan tempat tujuan lain yang terdekat dengan tujuan penerbangan akhir penumpang (re-routing), dan pengangkut wajib menyediakan tiket penerbangan lanjutan atau menyediakan transportasi lain sampai ke tempat tujuan apabila tidak ada moda transportasi selain angkutan udara;
c. Dalam hal dialihkan kepada penerbangan berikutnya atau penerbangan milik Badan Usaha Niaga Berjadwal lain, penumpang dibebaskan dari biaya tambahan, termasuk peningkatan kelas pelayanan (up grading class) atau apabila terjadi penurunan kelas atau sub kelas pelayanan, maka terhadap penumpang wajib diberikan sisa uang kelebihan dari tiket yang dibeli.
Permenhub Nomor 77 Tahun 2011 di atas, merupakan suatu peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai masalah penerapan ganti rugi
pada kecelakaan pesawat penerbangan yang berlaku di Indonesia.
4. Asuransi Penerbangan
Setiap kegiatan penerbangan tidak menutup kemungkinan terjadinya
risiko-risiko yang timbul yang menimbulkan kerugian bagi pihak pengangkut
dan penumpang. Untuk menghadapi hal tersebut, perusahaan angkutan udara
melakukan asuransi penerbangan untuk menanggung dan menutup risiko-
risiko tersebut.
Asuransi menurut Pasal 246 KUHD merupakan suatu perjanjian,
dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang
tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian
kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
16
diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak
tertentu.
Menurut Martono, asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian
dengan mana seseorang penanggung dengan menerima premi dari tertanggung
untuk memberikan kepadanya santunan kerugian atau kerusakan atau
hilangnya keuntungan yang diharapkan oleh tertanggung karena sesuatu
peristiwa yang belum dapat dipastikan.28)
Dari definisi tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa asuransi
mengandung materi yaitu adanya suatu persetujuan/perjanjian, terdapat subyek
hukumnya, ada premi, ada ganti rugi, adanya peristiwa yang belum tentu
terjadinya atau onzekeker voorvaal.29) Subyek hukum disini adalah pihak-
pihak yang berkepentingan yang mendukung hak dan kewajiban dari
perjanjian asuransi. Pihak-pihak tersebut antara lain terdiri dari pihak
tertanggung yaitu orang atau badan yang mengasuransikan obyek asuransi,
sedangkan pihak penanggung yaitu perusahaan asuransi.
Dalam kegiatan penerbangan apabila terjadi kecelakaan dapat
menimbulkan kerugian finansial yang sangat besar. Dengan demikian,
dibutuhkan adanya lembaga asuransi yang berani menanggung kerugian-
kerugian tersebut. Dibalik kemajuan besar yang dicapai oleh industri
penerbangan saat ini, salah satu pendorongnya adanya lembaga asuransi
penerbangan yang mampu memberikan jaminan finansial atas semua kerugian
yang diderita perusahaan penerbangan.
Dalam perkembangan asuransi penerbangan di Indonesia, karena
cabang asuransi ini masih baru, apabila ditinjau dari segi pengaturannya
sampai saat ini belum ada ketentuan-ketentuan khusus mengenai asuransi
penerbangan.30)
28) K. Martono, Hukum Udara, Angkutan Udara, dan Hukum Angkasa, (Bandung: Alumni, 1987), hal. 126.29) Moch. Chidir Ali Mashudi, Hukum Asuransi, (Bandung: Mandar Maju, 1998), hal. 4.
30) Saefullah Wiradipradja dan Mieke Komar Kantaatmadja. Hukum Angkasa dan Perkembangannya, (Bandung: Remadja Karya 1988), hal.134.
17
Menurut Saefullah Wiradipradja dan Mieke Komar Kantaatmadja,
jenis-jenis asuransi penerbangan dibedakan menjadi:31
1) Penutupan asuransi yang dilakukan oleh operator, pengangkut, atau
pemilik pesawat udara.
Dalam hal ini, jenis asuransi dapat berupa :
a. Asuransi rangka pesawat (hull insurance)
Asuransi ini ialah jaminan ganti rugi atas risiko yang dihadapi pesawat
udara baik pada waktu on ground (pesawat udara sedang berada di
darat dalam keadaan diam), taxying (pesawat mengadakan gerakan-
gerakan lambat misalnya ketika pesawat mengambil posisi untuk
diparkirkan), mooring (pesawat dapat terapung diatas air dalam
keadaan diam), maupun in flight (sejak pesawat udara dengan
kekuatannya memulai untuk terbang, selama di udara, sampai ketika
pesawat berhenti mendarat).
b. Asuransi loss of use (loss of use insurance)
Asuransi ini menutupi kemungkinan adanya kerugian sebagai akibat
kehilangan keuntungan yang seharusnya diperoleh, misalnya hilangnya
keuntungan sebagai akibat adanya kecelakaan maka pesawat harus
diperbaiki dan untuk beberapa lama pesawat tidak dioperasikan.
c. Asuransi tanggung jawab pengangkut kepada penumpang dan bagasi
penumpang
Asuransi ini menanggung kerugian pengangkut sebagai akibat
tanggung jawabnya kepada penumpang beserta bagasinya.
d. Asuransi tanggung jawab pengangkut terhadap pihak ketiga (third
party legal liability insurance)
Asuransi ini menanggung kerugian pihak pengangkut sebagai akibat
dari tanggung jawabnya kepada pihak ketiga di permukaan bumi. Yang
dimaksud dengan pihak ketiga adalah pihak yang tidak termasuk di
dalam perjanjian pengangkutan.
31) Ibid, hal. 134-138
18
e. Asuransi awak pesawat (crew insurance)
Pihak pengangkut juga mempunyai tanggung jawab terhadap para
awak pesawat yang bekerja untuk dan atas nama pengangkut atau
perusahaan penerbangan, yaitu untuk menanggung kerugian karena
meninggalnya atau luka-lukanya para awak pesawat yang
menyebabkan para awak tidak dapat bekerja.
f. Asuransi pembajakan pesawat udara (hijacking insurance)
Asuransi ini menanggung kerugian karena peristiwa pembajakan yang
terjadi dan menimbulkan kerugian material yang cukup besar.
2) Asuransi tanggung jawab pengelola pelabuhan udara (airport owner /
operator liability insurance).
Pengelola pelabuhan udara mempunyai risiko yang cukup besar karena
tanggung jawabnya terhadap para pemakai jasa pelabuhan udara, baik
orang-orang, pesawat-pesawat udara, maupun barang-barang yang berada
di bawah pengawasan pihak pengelola pelabuhan udara.
3) Asuransi tanggung jawab pengusaha pabrik pesawat dan bengkel
reparasinya (product liability insurance).
Pihak pengusaha pabrik pesawat udara dan bengkel reparasinya
mempunyai tanggung jawab hukum atas semua barang hasil produksinya.
Kesalahan-kesalahan dalam pembuatan pesawat (faulty design) atau
kesalahan-kesalahan dalam pemakaian suku cadang dapat menyebabkan
kecelakaan-kecelakaan pesawat.
4) Asuransi-asuransi yang ditinjau dari segi penumpang, pemilik kargo dan
paket pos.
Pengangkut telah mengasuransikan tanggung jawabnya kepada
penumpang, kargo, dan paket pos. Selain itu, penumpang sendiri dapat
mengadakan penutupan asuransi untuk dirinya. Untuk keperluan itu,
penumpang akan mendapat kupon asuransi (insurance coupon) sehingga
ada kemungkinan penumpang memiliki tiga polis asuransi yaitu polis
asuransi jiwa, polis asuransi kecelakaan diri, dan kupon asuransi.
19
Asuransi banyak membantu meringankan risiko atas tanggung jawab
perusahaan penerbangan, yaitu dengan menutup risiko-risiko yang berkenaan
dengan pengangkutan barang dan penumpang. Mengingat biaya-biaya
menyangkut cara-cara pengangkutan ini dan kerugian berskala besar yang
mungkin timbul dalam kegiatan penerbangan, maka asuransi merupakan suatu
keharusan guna melindungi pengangkut.
Dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 1992 terdapat ketentuan
mengenai kewajiban untuk menutup asuransi yaitu antara lain :
1. Pasal 47 Undang-Undang No. 15 Tahun 1992, yang menyebutkan bahwa
setiap orang atau badan hukum yang mengoperasikan pesawat udara wajib
mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam pasal
43 dan Pasal 44 ayat 1.
2. Pasal 48 Undang-Undang No. 15 tahun 1992, yang menyebutkan bahwa
setiap orang atau badan hukum yang mengoperasikan pesawat udara wajib
mengasuransikan awak pesawat udara yang dipekerjakannya.
Pengaturan mengenai asuransi yang terkait dengan penumpang yaitu
terdapat pula dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 1964 tentang Dana
Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang dan Peraturan Pemerintah
No.17 Tahun 1965 tentang Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana
Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang (lebih dikenal dan dilaksanakan
oleh PT. Asuransi Kerugian Jasa Raharja).
Dalam Pasal 3 ayat 1a Undang-Undang No. 33 Tahun 1964
menyebutkan bahwa tiap penumpang yang sah dari kendaraan bermotor
umum, kereta-api, pesawat terbang, perusahaan penerbangan nasional dan
kapal perusahaan perkapalan/pelayaran nasional, wajib membayar iuran
melalui pengusaha/pemilik yang bersangkutan untuk menutup akibat
keuangan disebabkan kecelakaan penumpang dalam perjalanan. Mengenai tata
cara pembayaran terdapat dalam Pasal 3 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 17
Tahun 1965 yang menyebutkan setiap penumpang harus membayar iuran
wajib yang yang harus dibayar bersama dengan pembayaran biaya
pengangkutan penumpang (tiket) kepada pengusaha alat angkutan penumpang
20
umum yang bersangkutan. Dalam hal ini, iuran wajib dikatakan sebagai premi,
dan besarnya premi tersebut ditentukan oleh Menteri. Ketentuan ini berlaku
untuk tiap penumpang yang sah dari kendaraan bermotor umum, kereta-api,
pesawat terbang, perusahaan penerbangan nasional dan kapal perusahaan
perkapalan/pelayaran nasional.
Asuransi ini dibuat untuk menanggung risiko penumpang apabila
dalam melakukan perjalanan dengan alat transportasi mengalami kecelakaan.
Risiko yang ditanggung dalam asuransi wajib kecelakaan penumpang ini yaitu
selama penumpang berada di dalam alat angkutan untuk jangka waktu saat
penumpang naik kendaraan yang bersangkutan di tempat berangkat dan saat
turunnya dari kendaraan tersebut di tempat tujuan. Apabila terjadi
musibah/kecelakaan dalam perjalanan, maka penumpang akan mendapatkan
ganti rugi dari perusahaan asuransi yang telah ditunjuk oleh pemerintah.
F. Metode Penelitian
Pada penulisan Metode Penelitian Hukum ini, digunakan metode
penelitian hukum normatif.32) Metode penelitian hukum normatif adalah
penelitian hukum yang didasarkan pada literatur atau studi dokumen yang
diambil dari bahan-bahan pustaka atau yang dikenal dengan library research.
Bahan dalam penulisan ini terdiri dari 2 (dua) yaitu bahan hukum dan bahan
non hukum. Adapun bahan-bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan
ini meliputi:
1. Bahan-bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan
berlaku umum. Dalam hal ini bahan-bahan hukum yang digunakan penulis
adalah peraturan perundang-undangan sebagai berikut :
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
b. Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 tentang
Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara
2. Bahan-bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer. Dalam hal bahan hukum
32) Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hal. 141
21
sekunder yag digunakan penulis adalah buku-buku atau literatur-literatur
yang berhubungan dengan penelitian ini, khususnya tentang asuransi dan
pengangkutan.
3. Bahan-bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Dalam hal ini bahan hukum tersier yang digunakan penulis yaitu dan
kamus hukum.
Selain bahan hukum di atas, dalam penulisan ini juga terdapat bahan-
bahan nonhukum karena dianggap perlu. Bahan nonhukum tersebut seperti
Kamus Besar Bahasa Indonesia, jurnal, hasil penelitan dan disiplin ilmu
lainnya sepanjang mempunyai relevansi dengan objek permasalahan yang
akan diteliti. Bahan-bahan nonhukum tersebut untuk memperluas wawasan
peneliti dan/atau memperkaya sudut pandang peneliti.33)
Bahan-bahan non hukum yang dipergunakan dalam penulisan ini
meliputi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan hasil wawancara kepada
praktisi hukum penerbangan dan pihak terkait seperti kepada Ketua Umum
Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), pihak PT. Trimarga dan lain-lain.
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan
pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek
mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Macam-macam
pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah:34)
1. Pendekatan undang-undang (statute approach)
2. Pendekatan kasus (case approach)
3. Pendekatan historis (historical approach)
4. Pendekatan komparatif (comparative approach)
5. Pendekatan konseptual (conceptual approach)
Penelitian yang dilakukan oleh penulis lebih ditujukan kepada
pendekatan undang-undang. Pendekatan undang-undang ini dilakukan dengan
33) Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal.57.
34) Ibid., hal. 93
22
cara melakukan telaah terhadap Permenhub No. 77 Tahun 2011 yang
berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan.35)
G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini disusun secara sistematika dan dibagi menjadi 5 (lima) bab,
yakni sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan dikemukakan latar belakang, pokok permasalahan,
tujuan penulisan, kegunaan penulisan, kerangka konseptual, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : KERANGKA TEORETIS
Bab ini diuraikan tentang teori-teori yang berhubungan dengan
penulisan ini diantaranya yaitu macam pengangkutan yang
didalamnya diuraikan mengenai istilah pengangkutan, macam-macam
angkutan. Selanjutnya diuraikan mengenai prinsip-prinsip tanggung
jawab pengangkut, ganti kerugian dalam pengangkutan udara baik
menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 maupun Permehub
Nomor 77 Tahun 2011 dan terakhir diulas mengenai asuransi.
BAB III : DATA HASIL PENELITIAN
Bab ini diuraikan tentang profil pesawat Sukhoi SJ-100, kronologi
kasus kecelakaan Sukhoi SJ-100, data wawancara mengenai
pemberian ganti kerugian kepada penumpang yang turut menjadi
korban pada penerbangan joy flight Sukhoi SJ-100.
BAB IV : ANALISIS
Bab ini diuraikan mengenai jawaban atas permasalahan tentang
pertanggungjawaban pihak operator Sukhoi kepada penumpang yang
turut menjadi korban pada penerbangan joy flight Sukhoi SJ-100 dan
implementasi Permenhub No. 77 Tahun 2011 yang dijadikan sebagai
dasar tuntutan kepada pihak Sukhoi dalam pemberian santunan kepada
ahli waris korban kecelakaan Sukhoi SJ-100.
35 ) Ibid, hal. 94
23
BAB V : PENUTUP
Dalam bab ini penulis akan memberikan kesimpulan atas pembahasan
dari permasalahan dan saran yang diharapkan dapat menjadi
pertimbangan pemikiran untuk penyelesaian permasalahan.
24
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Muhammad, Abdulkadir. Arti Penting dan Strategis Multimoda Pengangkutan Niaga di Indonesia, Dalam Perspektif Hukum Bisnis di Era Globalisasi Ekonomi. (Yogyakarta: Penerbit Genta Press, 2007).
Fakultas Hukum. Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, (Jakarta: Peraturan Dekan FH-Untar No.015-D/FH-UNTAR/II.2011, 2011), Lampiran 2.
Kamaluddin, Rustian. Ekonomi Transportasi: Karekteristik, Teori dan Kebijakan. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003).
Mamuji, Sri dan Soerjono Soekanto. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. (Jakarta: Raja Grafindo,1995).
Martono, K. Hukum Udara, Angkutan Udara, dan Hukum Angkasa. (Bandung: Alumni, 1987).
Mashudi, Moch. Chidir Ali. Hukum Asuransi. (Bandung: Mandar Maju, 1998).
Ningrum. Lestari Usaha Perjalanan Wisata Dalam Perspektif Hukum Bisnis. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004).
Nurbaiti, Siti. Hukum Pengangkutan Darat (Jalan dan Kereta Api. (Jakarta : Pusat Studi Hukum Transportasi dan Telekomunikasi Fakultas Hukum Universitas Trisakti, 2007).
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press,1986).
Suherman, E. Tanggung Djawab Pengangkut Dalam Hukum Udara Indonesia. (Bandung: Eresco, 1962).
Wahab, Solichin Abdul. Analisa Kebijakan : Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997).
Wiradipradja, Saefullah dan Mieke Komar Kantaatmadja. Hukum Angkasa dan Perkembangannya. (Bandung: Remadja Karya 1988).
25
B. Peraturan Perundang-Undang
Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4956).
________. Peraturan Menteri Perhubungan No.77 Tahun 2011 tentang Tanggungjawab Pengangkut Angkutan Udara, (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 486)
C. Artikel, Makalah, Berita Internet
Anonim. “Pembuatan SUKHOI SJ 100 - Sejarah Sukhoi Superjet 100 - Sukhoi Superjet 100”, http://www.jadilah.com/2012/05/pembuatan-sukhoi-sj-100.html, diakses 8 Juli 2012.
________. Proyek Prestisius Rusia Terjerembab di Gunung Salak” Mei 11, 2012 http://indopremiernews.wordpress.com/tag/kecelakaan-pesawat-sukhoi-superjet-100/, diunduh 12 Juni 2012.
Bintang, Tengku. “Joy flight Bahaya Gadis Cantik dan Pilot Yang Ramah” http://lifestyle. kompasiana.com/catatan/2012/05/11/joy-flight-bahaya-gadis-cantik-dan-pilot-yang-ramah/, diunduh, 8 Juli 2012.
Kuwado, Fabian Januarius dan A. Wisnubrata, “Jumlah Penumpang Sukhoi Ternyata 47 Orang”, Kompas.com, Kamis, 10 Mei 2012, http://nasional.kompas.com/read/2012/05/10/ 1209041/Jumlah. Penumpang.Sukhoi.Ternyata.47.Orang, diakses 12 Juni 2012.
Martono, K. “Pilot Berkuasa Penuh”, hasil wawancara wartawan Harian Umum Suara Karya, Syamsuri S dan Andry Bey Roesmanto dengan pakar hukum penerbangan, Prof Dr K Martono SH LLM di Jakarta, Sabtu 19 Mei 2012, http://www.suarakarya-online.com/news.html?id =303588, diunduh 29 Juni 2012.
Yozami, M. Agus. “DPR Cecar Menhub Soal Tragedi Sukhoi”, http://www.hukumonline.com/ berita/baca/lt4fc3ab1271edf/dpr-cecar-menhub-soal-tragedi-sukhoi, diunduh 29 Juni 2012.
26
Top Related