IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA HASIL PILKADA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Syarat Guna Mencapai
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
FACHRIZAL
NIM. 1113048000060
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1438 H/2017 M
v
ABSTRAK
Fachrizal. NIM 1113048000060. IMPLEMENTASI KEWENANGAN
MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA
HASIL PILKADA. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum
Kelembagaan Negara. Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438/2017 M. ix +86 halaman + 6 halaman lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui implementasi kewenangan
sementara yang diamanatkan kepada Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan
sengketa hasil pilkada. Selain itu juga untuk mengetahui dampak dan efektivitas
penerapan regulasi penyelesaian Pilkada mengenai ketentuan ambang batas selisih
suara.yang kontradiktif dengan asas kepastian hukum.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kepustakaan yang
dikolabirasikan dengan metode pengamatan atau observasi proses penyelesaian
sengketa hasil pilkada pada persidangan di MK menggunakan tinjauan literature
resmi yang dipublikasikan oleh lembabga Mahkamah Konstitusi tersebut. Dengan
argumentasi dan putusan hakim yang telah tercatat atau terkodifikasi dengan baik
seiring berjalanya pelanggaran. Proses penyelesaian sengketa didominasi perkara
yang gugur akibat tidak memenuhi ambang batas selisih penghitungan suara yang
terdapat pada pasal 158 Undang-Undang Pilkada.
Jumlah perkara yang teregistrasi ke Mahkamah Konstitusi yakni 53 perkara
sedangkan yang lolos hingga melaju ke proses sidang hanya 7 perkara. Hasil
penelitian menunjukkan bahwasanya pelanggaran terstruktur sistematis dan masif
dijadikan dalil utama oleh pihak yang berperkara demi mengesampingkan
ketentuan ambang batas.
Implementasi dari kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian
sengketa tersebut berkiblat pada keadilan yang substansial dengan tetap tunduk
terhadap konstitusi, serta sebagai upaya perlindungan terhadap hak konstitusional
warga negara. Namun di sisi lain unsur kepastian hukum dalam menjalankan
amanat Undang-Undang Pilkada bagi pihak yang bersengketa tidak terpenuhi
secara maksimal.
Kata Kunci : Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Hak Konstitusional warga
Negara, Keadilan Substansial dan Asas Kepastian Hukum
Pembimbing : 1. Dr. Muhammad Maksum, S.H., MDC.
2. Drs. Sukadarto, S.H., M.M., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 2004 s.d. Tahun 2016
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-
Nya, penyusunan skripsi yang berjudul “IMPLEMENTASI KEWENANGAN
MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA
HASIL PILKADA" dapat diselesaikan dengan baik, walaupun terdapat beberapa
kendala yang dihadapi saat proses penyusunan skripsi ini.
Hal ini tidak dapat dicapai tanpa adanya bantuan, dukungan, dan bimbingan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, dengan segala
kerendahan hati dan penuh rasa hormat saya ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Dr. Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat,S.H., M.H., ketua Program Studi Ilmu Hukum
dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum., sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Muhammad Maksum, S.H., M.A., MDC dan Drs. Sukadarto, S.H., M.M.,
M.H. Dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan
pikirannya. Beserta Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, khususnya Dosen Program Studi Ilmu Hukum yang telah
memberikan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat untuk peneliti.
vii
4. Muhmammad Sani, S.H. dan Tihana (Orang tua), Nur Meilinda (Kakak) yang
sangat sabar mendidik peneliti dari mulai lahir, sekarang, hingga seterusnya
tanpa kenal lelah serta memberikan dukungan materiil, immateriil beserta doa
kepada peneliti. Kemudian Lisa Kurniati (Adik) yang selalu memberikan
dukungan dalam penyelesaian skripsi. Semoga Peneliti Sukses secepatnya dan
Allah SWT Selalu memberkati langkah kaki kita.
5. Sahabat-sahabat yang peneliti sayangi, yakni group “UNO” (Pangki Ladipa,
Rekky Prasetyo, Irfan Saputra, Topan Rohmattulah, Kurnia Dwi Sulistiorini,
Andhitta A.D, Tika Arizkya, Puti Shakina, dan Wardah Humaira) dan “Audit
Bahagia” (Daryanto Wibowo, Ahmad Syahroni, M. Hanafi, Jafar Shiddiq,
Reyza Ramadhan, Rahmat Ivan, Fachri Hafizd, Shabir M, dan kawan
seperjuangan lainnya) yang selalu menemani dan mewarnai hari-hari peneliti
selama di kampus terimakasih untuk 8 semester yang singkat ini kawan.
Semoga silaturahim dan komunikasi kita tidak akan terputus hingga tua nanti.
6. Kerabat terdekat Ilmu Hukum Konsentrasi Kelembagaan Negara khususnya
Silvia Amanda, Ismatun Nadhifa, Reyza Ramadhan dan kawan yang lainnya
serta Senior Abang Muhammad Anshor, S.H. dkk. Terima kasih atas
dukungannya dan menjadi tempat bertukar pikiran dan berkeluh kesah penulis.
Semoga pertemanan dan silaturahim kita tak akan lekang oleh jarak dan waktu.
7. Keluarga besar Ilmu Hukum angkatan 2013, Junior dan Senior Ilmu Hukum
UIN Jakarta khususnya Terimakasih telah menemani mengarahkan serta
berkontribusi selama berproses di dunia perkuliahan dan memberikan dorongan
semangat dalam kelancaran skripsi Peneliti.
viii
8. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) Damai 2016, Ahmad Muflih, Ida
Fitriyah, Wahyu Andhika, Nur Nazmi Laila, Khoirurrrahman, Ririn Puspita,
Nurul Mustofa, Syaviera Dena, Ahmad Husni, Athfan Radhibillah. Telah
menemani dan memberikan banyak inspirasi kepada penulis serta menularkan
nilai-nilai tentaNg kehidupan yang memotivasi peneliti.
9. Semua Pihak terkait yang tidak d apat peneliti sebutkan satu persatu. Tidak ada
yang Peneliti bisa berikan untuk membalas jasa-jasa kalian kecuali doa dan
ucapan terima kasih. Akhir Kata, Peneliti berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Terima kasih.
Jakarta, September 2017
Fachrizal
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv
ABSTRAK ......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix
BAB I: PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ......................................................................... 7
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ................................................. 8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 8
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ............................................ 10
F. Metode Penelitian. ......................................................................... 14
G. Sistematika Penulisan .................................................................... 16
BAB II : TEORI HUKUM DAN DEMOKRASI ........................................ 19
A. Teori Demokrasi dan Negara Hukum ............................................ 19
B. Teori Trias Politika & Asas Dalam Prinsip Negara Hukum .......... 23
C. Teori Hukum Progresif dan Keadilan Substantif .......................... 32
BAB III: TINJAUAN UMUM PENANGANAN PERKARA SENGKETA
HASIL PILKADA ........................................................................ 36
A. Mahkamah Konstitusi Sebagai Lembaga Yudikatif ...................... 36
B. Sengketa Pilkada, dan Norma Hukum didalamnya ....................... 41
C. Pengajuan Sengketa Hasil Pilkada 2017 ........................................ 45
D. Mahkamah Konstitusi Sebagai Pelaksana UU Pilkada .................. 48
x
BAB IV : MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MEMUTUS SENGKETA
HASIL PILKADA ......................................................................... 51
A. Perkara Sengketa Hasil Pilkada Yang Diajukan Kepada
Mahkamah Konstitusi .................................................................... 51
B. Pandangan Mengenai Kriteria Ambang Batas dan Realitas di
Persidangan .................................................................................... 61
C. Efektivitas Penerapan UU Pilkada ................................................. 67
BAB V : PENUTUP ..................................................................................... 72
A. Kesimpulan .................................................................................... 72
B. Saran .............................................................................................. 73
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 74
LAMPIRAN -LAMPIRAN ................................................................................. 76
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia memiliki sejarah demokrasi yang panjang dan khas hingga detik ini.
Konsep dan stigma sebagai suatu negara hukum telah sangat jelas termaktub dalam
pasal 1 ayat (1) UUD 1945. Dalam implementasinya kedua hal tersebut tentu
haruslah berjalan secara beriringan, sehingga terbentuk suatu konsep negara yang
mapan, demokratis, adil, dan sejahtera. Fenomena inilah yang sebenarnya menjadi
suatu hal yang belum ditemui dalam sistem kelembagaan yang diimbangi dengan
kepastian hukum yang jelas.
Prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat dapat menjamin peran serta
masyarakat yang mana direfleksikan dalam hal memilih pemimpin mereka karena
dalam negara demokrasi rakyat harus dilibatkan secara aktif. Indonesia merupakan
negara yang menganut sistem demokrasi dengan menempatkan manusia sebagai
pemilik kedaulatan yang biasa disebut kedaulatan rakyat.1 Pelaksanaan demokrasi
tersebut dituangkan melalui proses pemilu. Rakyat sebgai ujung tombak
demokrasi diberi wewenang untuk menentukan secara mutlak siapa pemimpin
mereka dengan mekanisme berupa pemilihan umum. Hal ini sesuai dengan apa
yang telah tertulis dalam pasal 1 ayat (2) UUD yang menyatakan :”kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang - Undang Dasar”.
1 Janedjri M. Gaffar, Politik Hukum Pemilu, (Jakarta : Konstitusi Press, 2013), h. 77.
2
Terkait dengan prinsip demokrasi yang melekat pada bangsa ini,perlu
diketahui bahwasanya salah satu syarat pokok demokrasi adalah adanya sistem
pemilihan umum yang jujur dan adil (free and fair elections). Pemilu jujur dan adil
dapat dicapai apabila adanya tingkat kesadaran dam kedewasaan rakyat dalam
berdemokrasi. Terlepas dari itu tersedianya perangkat hukum yang mengatur
proses pelaksanaan pemilu; sekaligus melindungi para penyelenggara, kandidat,
pemilih, pemantau, dan warga negara pada umumnya dari ketakutan, intimidasi,
kekerasan, penyuapan, penipuan, dan berbagai praktik curang juga dibutuhkan
sebagai perangkat penting dalam pemilu. Oleh karena itu, pemilu yang jujur dan
adil membutuhkan peraturan perundang-undangan beserta aparat yang bertugas
menegakkan peraturan perundang-undangan pemilu tersebut.2
Dalam beberapa hal perlu diketahui, beberapa produk hukum yang dihasilkan
lembaga legislatiflah yang terkadang belum memenuhi unsur kepastian hukum.
Terlebih dalam hal kewenangan lembaga negara yang mana memiliki peran sentral
dalam penegakan dan penyelesaian suatu sengketa hukum dalam pesta demokrasi
yang berlangsung ke depan, padahal inilah sejatinya yang dijadikan sebagai salah
satu tolak ukur apakah negara tersebut secara utuh telah menganut prinsip sebagai
negara hukum yang menjunjung tinggi pula nilai demokrasi didalamnya.
Kondisi seperti ini yang kerap menimbulkan suatu ketimpangan dalam proses
penegakan hukum yang ada di Indonesia. Meskipun secara sistem pemerintahan
2 Arif Wibowo, Menata Ulang Sistem Penyelesaian Sengketa dan Pelanggaran Pilkada- dlm
buku Demokrasi local, (Jakarta, Konstitusi Press, 2013) h. 117.
3
sudah dapat dikatakan baik tetapi jika salah satu substansi instrumen penegakan
hukum yang ada tidak memadai maka sejatinya negara tersebut belum dapat
dikatakan dapat menjalankan pemerintahan yang baik (good governence).3
Jika ditelisik perjalanan demokrasi bangsa Indonesia bukan tanpa halangan
dan rintangan. Berjalannya proses hukum yang beriringan dengan proses politik
yang ada kerap turut mengawal dan mewarnai dinamika kehidupan berdemokrasi
di bangsa ini. Kondisi seperti yang tergambarkan diatas pernah dirasakan bersama
dari mulai era Pemilihan Umum masih menggunakan sistem perwakilan hingga
menjadi demokrasi langsung yang rutin dilaksanakan kerap kali diwarnai problem
sengketa terhadap hasil keputusan yang diterbitkan badan independen negara
yakni KPU sebagai Pelaksana dalam pesta demokrasi yang berlangsung. Dapat
diketahui bahwasanya rezim pemilu sendiri dalam kewenangan penyelesaian
sengketanya oleh Mahkamah Konstitusi melalui amanat UUD 1945. Berbeda
dengan Pilkada yang tidak dapat dikatakan secara mutlak terletak dalam rezim
pemilu, dimana sempat beberapa kali diombang-ambing regulasinya terkait
kewenangan penyelesaian sengketa hasil Pilkada tersebut. Yang lebih menarik
perhatian publik yakni pada momentum terselengaranya Pilkada langsung secara
serentak yang menjadi proyeksi besar dalam pesta demokrasi di Indonesia
3 Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: liberty, 2007), h. 123
4
regulasinya sempat beberapa kali berubah atau direvisi dalam kurun waktu yang
cukup singkat guna beradaptasi dengan situasi politik hukum yang ada.4
Dalam proses penyelesaian sengketa hasil Pilkada beberapa kali terjadi pola
pelimpahan kewenangan, seperti yang mana terjadi pada dua Lembaga Peradilan
yang merupakan kiblat keadilan tertinggi di Indonesia yakni Mahkamah Konstitusi
dan Mahkamah Agung bergantian pernah mengemban amanat untuk menangani
sengketa Pilkada. Fenomena ini sebelumnya dipicu oleh DPR yang mana sebagai
lembaga Legislatif menafsirkan adanya salah satu pasal dalam UUD 1945 yakni
pasal 18 ayat (4) yang menyebutkan bahwasanya “Gubernur, Bupati dan Walikota
masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota
dipilih secara demokratis” yang mana dari sinilah DPR mulai merumuskan dan
menghasilkan beberapa regulasi terkait pelaksanaan Pemerintahan Daerah yang
kemudian dipartisi kembali demi kebutuhan hukum yang lebih spesifik lagi
kedalam tiga UU berbeda yakni UU tentang Pemerintahan Daerah, UU tentang
Desa, dan UU tentang Pilkada. Dari UU Pilkada tersebutlah yang mana isinya
memicu untuk adanya regulasi mencakup penetapan prosedur pemilihan secara
langsung, hingga ke ranah pengaturan mengenai lembaga yang berwenang apabila
terjadi perselisihan hasil Pilkada yang ada.
Berbicara mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi sesungguhnya hal
tersebut sangat jelas diuraikan dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
4 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika,
2010), h.116
5
yang menyatakan “Mahkamah konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-
Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya di berikan Undang Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang pemilihan umum”.
Asumsi dan pandangan yang kini ada bahwasanya MK dapat diberi
kewenangan lebih untuk menangani sengketa pilkada bukan hal yang ringan dan
tanpa regulasi khusus yang mengamanatkan secara eksklusif kepada MK,
semuanya telah terbackup melalui UU Pilkada yang memang sempat beberapa kali
mengalami revisi namun pada akhirnya bermuara kembali ke MK sebagai lembaga
yang dianggap kredibel dan baik secara kinerja melalui Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan
Walikota Menjadi Undang-Undang5
Lebih spesifik lagi dalam pelaksanaan Pemilu Kepala daerah atau sering
disebut Pilkada yang mana berdasarkan UU Pilkada terbaru yakni Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur,
5 Topo Santoso, Penegakan Hukum Pemilu – praktik Pemilu 2004, Kajian Pemilu 2009-2014
(Jakarta : PerludemUS-AID, DRSP), h. 5
6
Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.dalam Pasal 157 ayat (1), (2), dan
(3) Yang menyebutkan bahwasanya Perkara perselisihan hasil Pemilihan
diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus yang dibentuk sebelum
pelaksanaan pemilihan serentak nasional. Perkara perselisihan penetapan
perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah
Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus tersebut.
Terlihat secara eksplisit bahwasanya Mahkamah Konstitusi merupakan
lembaga yang kini diamanatkan memiliki kewenangan yang sifatnya sementara
dalam menangani perkara penyelesaian sengketa hasil Pilkada.
Peranan dari Mahkamah konstitusi di sini bukan tanpa regulasi yang
menjabarkan mengenai prasyarat atau kriteria sengketa yang dapat diputus dalam
menjalankan tugasnya melindungi hak konstitusi bagi para calon pemimpin daerah
tersebut yang telah terenggut atau dicurangi dalam pelaksaan pemilihan kepala
daerah. Adapun dalam pasal selanjutnya yakni pasal 158 Undang-Undang Pilkada
ini turut menjabarkan dan membahas mengenai ambang batas selisih perolehan
suara yang dapat diajukan kepada MK yang mana pasalnya berisi mengenai
pengaturan terhadapa peserta pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dapat
mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara dengan
ketentuan ambang batas selisih perolehan suara untuk tingkat Provinsi dan
Kabupaten ketentuan persentase berkisar antara 0,5% sampai 2% bergantung
dengan Jumlah penduduknya dengan rasion penduduk lebih tinggi jumlah
persentasenya lebih rendah.
7
Berkenaan dengan latar belakang di atas, maka dilakukan penelitian terhadap
substansi hukum dari pada Lembaga Yudikatif yang sejatinya berwenang dalam
penyelesaian sengketa Pilkada yang dipengaruhi kriteria perkara melalui ambang
batas selisih perolehan suara dalam regulasinya. Dalam penelitian ini, peneliti
memfokuskan penelitian pada Implementasi Kewenangan Mahkamah Konstitusi
yang diamantkan melalui UU Pilkada yang terhitung masih baru ini, dengan
analisis yang sifatnya normatif empiris terkait penerapan wewenang dan peranan
Mahkamah Konstitusi sebelum Peradilan khusus terbentuk sesuai yang termaktub
dalam pasal 157 UU Pilkada yang mana diarahkan melalui pengaturan ambang
batas selisih perolehan suara yang dapat disengketakan sesuai dengan ketentuan
pasal 158 UU Pilkada tersebut. Oleh karena itu, judul dalam penelitian ini adalah
“IMPLEMENTASI KEWENANGAN DALAM PENYELESAIAN
SENGKETA HASIL PILKADA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI”.
B. Identifikasi Masalah :
Berdasarkan latar belakang masalah yang dijabarkan sebelumnya, maka
identifikasi masalah penelitian ini sebagai berikut :
1. Proses penyelesaian sengketa hasil Pilkada Serentak yang menerapkan
ambang batas selisih
2. Lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa dalam Pilkada secara
keseluruhan sifatnya terpartisi tidak dalam satu lembaga khusus
3. Substansi hukum dalam Undang-Undang Pilkada tentang penyelesaian
sengketa Pilkada
8
4. Implementasi kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian
sengketa hasil Pilkada.
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Karena cakupan identifikasi masalah di atas cukup luas, dikhawatirkan
nantinya akan ada keterbatasan dari peneliti secara keseluruhan maka penelitian
hanya akan dibatasi pada aspek Implementasi kewenangan Mahkamah
Konstitusi dalam menerima perkara melalui ketentuan ambang selisih
perolehan suara.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah dan pembatasan masalah yang telah
dipaparkan sebelumnya, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam
penelitian ini meliputi:
Bagaimana Implementasi kewenangan sementara yang diamanatkan kepada
Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa hasil pilkada melalui
ketentuan ambang batas selisih perolehan suara?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui implementasi kewenangan sementara yang
diamanatkan kepada Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan
sengketa hasil pilkada
9
b. Untuk mengetahui dampak dan efektivitas penerapan regulasi
penyelesaian Pilkada mengenai ketentuan ambang batas selisih
suara.yang kontradiktif dengan asas kepastian hukum
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan
pengetahuan pembaca mengenai efektivitas pasal-pasal yang terdapat
pada Undang-Undang (UU Pilkada) hasil kinerja lembaga Legislatif yang
diimplementasikan terkait dengan unsur hukum mengenai penentuan
ambang batas selisih suara yang berimplikasi kepada wewenang
Mahkamah Konstitusi dalam Penyelesaian Sengketa Hasil Pilkada.
b. Manfaat Praktis
Peneliti berharap hasil penelitian ini menjadi masukan ataupun saran
untuk:
Pemerintah melakukan pembenahan dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan, DPR sebagai badan Legislatif membentuk regulasi
yang lebih ideal serta mengesampingkan kepentingan politisnya guna
mengutamakan aspek kepentingan rakyat. Demi menunjang pelaksanaan
Pilkada yang demokratis namun berlandaskan keadilan, sebuah
sistematika penyelesaian sengketa hasil Pilkada perlu lebih ditingkatkan
untuk mengedepankan efektivitas dalam penyelesaian sengketa hasil
pilkada.
10
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Sepanjang pengetahuan peneliti, penelitian ataupun kajian terdahulu yang
pernah dilakukan dalam hal terkait penyelesaian sengketa dalam Pilkada adalah:
1. Penelitian yang disusun dalam skripsi yang berjudul “Independensi Dan
Akuntabilitas Mahkamah Konstitusi Dalam Memutus Perkara Pemilu
Kepala Daerah Lebak Banten (Analisis Putusan MK No. 111/PHPU.D-
XI/2013)” yang disusun oleh Eka Sari Saputri, Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta Tahun 2014, yang membahas
tentang alasan serta asumsi yang sifatnya yuridis dalam isi putusan
tersebut. Uniknya dalam putusan tersebut amat sering muncul dissenting
opinion dalam majelis. Adapun pada akhirnya memang disini ketua MK itu
sendirilah yang pada dasarnya memiliki jiwa yang besar pada awalnya
namun tergerus sendirinya Karena kasus korupsi yang ia timpa. Jelas
berbeda dengan skripsi peneliti yang membahas tentang UU Pilkada yang
melatarbelakangi wewenang Mahkamah Konstitusi.
2. Penelitian yang disusun dalam skripsi yang berjudul “Penghapusan
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Sengketa Pemilukada
(Analisis Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013)” yang disusun oleh Jentel
Chairnosia, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta
Tahun 2011, yang membahas tentang alasan serta asumsi yang sifatnya
yuridis dalam hal pemindahan kewenangan memutus perkara Pilkada
11
dimana didalamnya mencakup bahasan mengenai sistem kewenangan yang
dianut MK khusus untuk menangani sengketa rezim Pemilu secara general
kepada Pilpres dan Pileg, sehingga dalam implementasinya MK
membatalkan produk hukum yang menyatakan MK berhak dan memiliki
wewenang perkara Pemilukada. Jelas berbeda dengan skripsi peneliti yang
membahas tentang UU Pilkada yang melatarbelakangi wewenang
Mahkamah rKonstitusi.
3. Dalam buku karya Veri Junaidi yang berjudul “ Mahakamah Konstitusi
Bukan Mahkamah Kalkulator” .Buku ini membahas tentang analisis yang
menyajikan pemetaan awal untuk merumuskan bentuk-bentuk pelanggaran
sistematis, terstruktur dan massif. Peta awal ini akan berguna bagi
pembentuk undang-undang untuk memberikan rambu-rambu dalam
penyelesaian perselisihan hasil Pemilukada di MK. Pada akhirnya,
kelemahan atas penyelesaian perselisihan hasil pemilukada oleh MK bisa
tertutupi tanpa harus berfikir untuk mencabut wewenangannya. Bahasan
buku ini tidak hanya menjadi rekomendasi bagi pembentuk undang-
undang, kebutuhan empirik bagi praktisi, namun juga menarik menjadi
kajian akademik mengingat belum banyak literatur terkait kewenangan
MK satu ini.. Jelas berbeda dengan skripsi peneliti yang membahas tentang
UU Pilkada yang melatarbelakangi wewenang Mahkamah Konstitusi.
4. Penelitian oleh Dian agung Wicaksono dan Ola Anisa Ayutama dalam
Jurnal Rechtvinding Volume 4, Nomor 1, April 2015 dengan judul “Inisiasi
12
Pengadilan Khusus Pemilihan Kepala Daerah dalam Menghadapi
Keserentakan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota di Indonesia.
Yang mana di dalamnya menjabarkan secara detail mengenai Sejarah
Perjalanan Pilkada yang mulai diterapkan secara serentak. Sistematika
pelaksanaan pemilu dan penyelesaian sengketa hasil Pilkada yang ideal.
Serta secara detail menggambarkan kondisi hukum pemilu yang ada di
Indoesia dari mulai dan sebelum demokrasi secara langsung diberlakukan
hingga saat pemilu serentak diadakan. Jelas berbeda dengan skripsi peneliti
yang membahas tentang UU Pilkada yang melatarbelakangi wewenang
Mahkamah Konstitusi.
F. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Dalam mengkaji dan membedah permasalahan tipe penelitian ini adalah
penelitian yuridis normative dengan data kualitatif, yaitu penelitian yang
bertujuan untuk memberikan gambaran serta penjelasan atau merumuskan
masalah sesuai dengan keadaan/fakta yang ada dengan membandingkan
kepada teori atau norma hukum yang ada dan seharusnya diterapkan .6
6 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, Cet. IV, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
h. 9
13
2. Pendekatan Penelitian
Mengingat tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian normative
empiris, yaitu suatu penelitian terhadap efektivitas dan kualitas hukum yang
sedang berlaku, maka dari itu pendeketan yang dilakukan terfokus pada data
mengenai efektivitas dan kualitas hukum Undang- Undang Pilkada yang
berimplikasi dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Dalam studi hukum, pendekatan diperlukan untuk mendapatkan
informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari
jawabannya. Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
Pendekatan Undang-Undang (Statue approach) ,pendekatan tersebut
menggunakan legislasi dan regulasi yang bertumpu dengan hirarki perundang-
undangan dan materi muatan didalamnya.7
Pendekatan Sosiologis juga digunakan untuk membantu melihat hukum
dari segi penerapan dan efektivitas dari regulasi yang dikaji, untuk
mengevaluasi efektivitas peraturan yang diterapkan.8
3. Sumber Bahan Hukum
1) Bahan Hukum Primer
7 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2015), h. 136 8 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
LembagaPenelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h.50
14
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif, artinya mempunyai otoritas. 9 Dengan kata lain, bahan
hukum primer merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat.10 Dalam
penelitian ini digunakan peraturan perundang-undangan,
Yurisprudensi, dan Perpu yang berkaitan dengan penelitian ini,
diantaranya adalah:
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
c) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah Konstitusi
d) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
2) Bahan Hukum Sekunder
9 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
LembagaPenelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010)., h. 181 10 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cet. VIII, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2014), h. 31
15
Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, 11 seperti: rancangan
undang-undang, buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, hasil
penelitian, pendapat pakar hukum, teori atau pendapat sarjana,
penelusuran internet, majalah, jurnal, surat kabar, makalah, dan
sebagainya.
3) Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder,12 seperti kamus (hukum), ensiklopedia, dan sebagainya.
4. Prosedur Pengumpulan Bahan
Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penelitian ini, maka
peneliti menggunakan prosedur pengumpulan bahan dengan cara:
a. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan dengan cara mempelajari dan menganalisa
secara sistematis bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan badan hukum tersier yang
berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.
b. Pengamatan atau observation
11 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cet. VIII, h. 31
12 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cet. VIII., h. 32
16
Pengamatan atau observation dilakukan dengan cara mengamati suatu
hal yang menjadi objek dalam penelitian untuk memperoleh dasar bagi
perumusan masalah yang tidak ditemukan dalam teori, dan sekaligus
memberikan ruang lingkup tertentu bagi perumusan masalah penelitian.
5. Pengolahan dan Analisa Bahan Hukum
Bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan,
wawancara, dan observasi akan peneliti uraikan dan hubungkan sedemikian
rupa, sehingga disajikan dalam penelitian lebih sistematis guna menjawab
permasalahan yang telah dirumuskan dalam skripsi ini. Cara pengolahan data
dilakukan dengan cara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu
permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang
dihadapi.13
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan peneliti dalam skripsi
ini berdasarkan kaidah-kaidah dan teknik penulisan yang terdapat dalam
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2013”.
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi kedalam lima bab.
Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub-bab guna lebih memperjelas ruang
13 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2015), h. 180
17
lingkup dan cakupan permasalahan yang dinteliti. Adapun urutn dan tata letak
masing-masing bab serta pokok pembahasannya sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan
Merupakan bagian pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah
tema yang penulis bahas, yang terdapat beberapa identifikasi masalah
dan di rumusan masalah ke dalam rumusan masalah,dan berisikan
tujuan dan manfaat dari penelitian, tinjauan kajian terdahulu, kerangka
konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan
Bab II: Teori Hukum dan Demokrasi
Merupakan bagian kedua yang memuat beberapa teori yang menjadi
landasan berfikir dalam permasalahan yang dibahas yang saling
memiliki keterkaitan hukum, dan prinsip dasar penerapan demokrasi di
Indonesia.
Bab III: Tinajuan Umum Penanganan Perkara Sengkerta Hasil Pilkada
Merupakan bagian ketiga yang memuat mengenai penyajian data
lembaga peradilan secara umum yang mememiliki peran dalam proses
sengketa Pilkada di Indonesia. Penjelasan mengenai data kongkret
penyelesaian sengketa Pilkada sebelumnya dan kredibilitas lembaga
terkait.
Bab IV: Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Memutus Sengketa Hasil Pilkada
18
Merupakan bagian yang membahas secara mendalam fokus utama
disertai dengan hasil analisi data secara mendalam mengenai
Implementasi hukum dari Undang-Undang Pilkada.
Bab V: Penutup
Pada bab ini berisi kesimpulan dan saran-saran yang dapat diberikan
oleh penulis.
19
BAB II
TEORI HUKUM DAN DEMOKRASI
A. Teori Demokrasi dan Negara Hukum
Permasalahan terkait demokrasi merupakan perbincangan yang aktual namun
juga klasik dalam suatu sistem pemerintahan. Hal ini tidak terlepas dari prinsip
demokrasi itu sendiri yang dinilai memiliki peran ideal dalam menunjang
pemerintahan, yang mana rakyat menjadi titik berat dalam menjalankan
pemerintahan suatu negara1
Secara etimologis atau bahasa demokrasi itu sendiri berasal dua suku kata yakni
dari kata demos (rakyat) dan kratein atau kratos (kekuasaan), dari kata ini dapat
diasumsikan bahwasanya kekuasaan Negara itu bersumber dan berasal dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat.2 Rakyatlah penentu akhir penyelenggaraan kekuasaan
dalam suatu negara. Pada era modern ini demokasi secara luas dianggap sebagai
konsep yang diidealkan oleh semua Negara di dunia. Meskipun dalam praktik
penerapannya, tergantung kepada penafsiran masing-masing Negara dan para
penguasa di Negara-negara yang menyebut dirinya demokrasi.
Demokrasi mempunyai kelemahan yaitu pada demokrasi terlalu mengandalkan
diri pada prinsip suara mayoritas sesuai dengan doktrin “one man one vote” adapun
1 Abu Daud Busroh , Ilmu Negara. (Jakarta : Sinar Grafika , 2011, cet. Keenam), h.211 2 A. Salman Manggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara
(Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia), (Jakarta : Prodi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah dan
Fajar Media, 2013, Cet. Pertama), h.220.
20
pihak mana yang paling banyak suaranya, ialah yang paling menentukan keputusan.
Padahal, mayoritas suara belum tentu mencerminkan kebenaran dan keadilan.3
Dalam penerapan demokrasi khususnya di Indonesia sejarah menyebutkan
bahwasanya konsep pemikiran yang ditawarkan demokrasi yakni tidak lain dan
tidak bukan bertujuan untuk meniadakan kesenjangan sosial dan menyatukan
keberagaman yang sejatinya menjadi identitas negara Indonesia. Dengan
berlandaskan pancasila, demokrasi berimplikasi sebagai poros jalannya
pemerintahan dari awal kemerdekaan hingga dewasa ini. Perjalanan sejarah
tersebutlah yang memberikan warna tersendiri akan corak demokrasi di era
pemerintahan yang berkuasa pada masanya. Hingga kini demokrasi masih mengalir
dalam setiap sendi-sendi pemerintahan yang ada, ditopang dengan pembagian
wewenang berlandasakan pada asas check and balances perkembangan sistem
demokrasipun menjadi amat pesat hingga menentuh pada level pemilihan kepala
daerah secara langsung oleh rakyat. Namun di sisi lain bukan tanpa celah,terkadang
demokrasi juga dimanfaatkan sebagai instrumen meraih kekuasaan dengan
menghalalkan segala cara untuk memperoleh suara lebih maksimal manghancurkan
lawan politiknya.4 Disinilah celah daripada demokrasi yang perlu dibenahi terlebih
apabila adanya timbul persaingan politik yang tidak sehat dan justru merugikan
kepentingan rakyat yang terintimidasi kepentingan individu semata.
3 Abu Daud Busroh , Ilmu Negara. (Jakarta : Sinar Grafika , 2011, cet. Keenam), h.210 4 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta : Nusa media, 2010) h.113
21
Atas dasar kelemahan yang dimiliki demokrasi tersebut proses pengambilan
keputusan dalam dinamika kekuasaan Negara harus diimbangi dengan prinsip
keadilan, nomokrasi, atau the rule of the law.5 Prinsip inilah yang dinamakan prinsip
Negara hukum, yang mengutamakan kedaulatan hukum, prinsip supremasi hukum
(supremacy of law), atau kekuasaan tertinggi di tangan hukum.6
Teori negara hukum secara umum dibagi ke dalam dua jenis, yaitu teori negara
hukum formal dan teori negara hukum material. Pertama, teori negara hukum
formal, dipelopori oleh Immanuel Kant. Teori mengakibatkan negara bersifat pasif,
artinya tugas negara hanya mempertahankan ketertiban dan keamanan negara saja,
atau negara hanya sebagai ”penjaga malam”, sedangkan dalam urusan sosial
maupun ekonomi, negara tidak boleh mencampurinya.
Kedua, teori negara hukum material (welfare state), yang dipelopori oleh
Kranenburg. Teori ini menyatakan bahwa negara selain bertugas membina
ketertiban umum, ia juga ikut bertanggungjawab dalam membina dan mewujudkan
kesejahteraan rakyatnya. Teori ini banyak dipraktekkan di negara-negara
berkembang, seperti Indonesia.7
Menurut Bagir Manan dalam bukunya Teori dan politik Konstitusi, untuk
melaksanakan prinsip Negara berdasarkan hukum harus memenuhi syarat tegaknya
5 Otje Salman S dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum (Mengingat,mengumpulkan dan
Menemukan Kembali,(Bandung : Refika Aditama, 2007, Cet. Ketiga) h.76 6 Raisul Muttaqien, Teori Hukum Murni (Hans Kelsen), (Bandung : Nusamedia, 2010, Cet.
Ketiga) h.86 7 Munir Fuady, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum (Jakarta : Kencana, 2013,
Cet. Pertama), h. 100.
22
tatanan kerakyatan atau demokrasi, karena Negara berdasarkan atas hukum tidak
mungkin tumbuh berkembang dalam tatanan kediktatoran. 8 Dalam hal tersebut
rakyat semata-mata menjadi objek hukum dan bukan subjek hukum, karena itu
setiap upaya untuk mewujudkan tatanan Negara berdasarkan hukum tanpa diikuti
dengan usaha mewujudkan tatanan kerakyatan atau demokrasi akan sia-sia.9
Adapun apabila demokrasi juga dapat berkembang menjadi demokrasi yang
berlebihan yaitu mengembangkan kebebasan tanpa keteraturan dan kepastian
sehingga Negara tersebut kacau. Negara demokrasi yang seperti ini bukanlah
demokrasi yang diidealkan. Demokrasi yang yang ideal itu demokrasi yang teratur
berdasarkan hukum. karena itu, antara ide demokrasi dan Negara hukum
(nomokrasi) dipandang harus bersifat sejalan dan seiring, sehingga suatu Negara itu
dapat disebut sebagai Negara demokrasi dan sekaligus sebagai Negara hukum.10
demokrasi dan Negara hukum tidak dapat dipisahkan, oleh karena itu kualitas
demokrasi suatu Negara akan menentukan kualitas hukum Negara tersebut, begitu
pula sebaliknya.
Dalam hal ini peranan dari M ahkamah Konstitusi yang memiliki wewenang
sementara dalam hal menyelesaikan perkara pemilihan kepala daerah yang
merupakan praktik demokrasi langsung. Tidak menutup mata praktik demokrasi
8 A. Salman Manggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara
(Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia), (Jakarta : Prodi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah dan
Fajar Media, 2013, Cet. Pertama), h.120. 9 Otje Salman S dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum (Mengingat,mengumpulkan dan
Menemukan Kembali,(Bandung : Refika Aditama, 2007, Cet. Ketiga) h.83 10 Raisul Muttaqien, Teori Hukum Murni (Hans Kelsen), (Bandung : Nusamedia, 2010, Cet.
Ketiga) h.79
23
yang berlangsung di masyarakat kerap digunakan sebagai ajang kontestasi politik
secara tidak sehat oleh para oknum yang memiliki hasrat berkuasa disuatu
pemerintahan daerah tertentu khususnya. Hal inilah yang memicu urgensitas dari
suatu lembaga untuk membentuk sistematika penyelesaian sengketa dalam praktik
pesta demokrasi yang ada, tentunya bermuara pada selisih hasil penghitungan suara
dalam suatu pemilihan langsung tersebut. Mahkamah Konstitusi disini yang
memiliki peranan dalam mengawal hak konstitusi dari warga negara dipandang
sebagai lembaga yang paling kredibel dan strategis guna menyelesaikan sengketa
perolehan suara dari pesta demokrasi yang ada sekaligus melindungi hak
konstitusional dari pada warga negara yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah
jika terjadi sengketa dalam hal selisih perolehan suara yang mencederai hasil
Pilkada secara langsung tersebut.
Dari pemikiran tersebutlah yang mana disini Mahkamah Konstitusi dinilai
berkompeten dan mampu sebagai lembaga pencari keadilan bagi para peserta
kontestasi pada Pemilihan Kepala Daerah yang mana amanat daripada kewenagan
yang diberikan oleh Undang-Undang No.10 Tahun 2016 yang mengatur secara
spesifik pesta demokrasi yang ada di Daeraah atau di sebut Pilkada.
B. Teori Trias Politika danAsas dalamPrinsip Negara Hukum
Dalam kehidupan berdemokrasi pemerintah yang memiliki kewenangan atas
dasar amanat rakyat ini tentunya dalam implementasinya membutuhkan suatu
sistem yang menyokong pemerintahan sehingga peran dalam menjalankan roda
24
pemerintahan dapat terdistribusikan secara merata guna menunjang kehidupan,
11melayani kebutuhan rakyat secara menyeluruh merata dan dengan kinerja yang
optimal. Berangkat dari tujuan tercapainya kesejahteraan rakyat dengan prinsip
kedaulatan yang berada di tangan rakyat guna menghindarkan dan mengoptimalkan
fungsi dan wewenang pemerintah di butuhkan adanya pemisahan kekuasaan secara
proporsional disamping menghindarkan potensi kedigdayaan pemerintah yang
otoriter karena memiliki peran dan fungsi yang bertumpu hanya pada satu titik
kekuasaan saja. Trias politica atau teori mengenai pemisahan kekuasaan, di latar
belakangi pemikiran bahwa kekuasaan-kekuasaan pada sebuah pemerintahan yang
berdaulat tidak dapat diserahkan kepada orang yang sama dan harus dipisahkan
menjadi dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas untuk mencegah penyalahgunaan
kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi
warga negara dapat lebih terjamin12.
Dalam bukunya yang berjudul L’esprit des Louis Montesquieu membagi
kekuatan negara menjadi tiga kekuasaan agar kekuasaan dalam negara tidak terpusat
pada tangan seorang raja penguasa tunggal, yaitu sebagai berikut;
Legislatif, yaitu kekuasaan untuk membentuk undang-undang. Eksekutif, yaitu
kekuasaan untuk menjalankan undang-undang. Yudikatif, yaitu kekuasaan untuk
mengawasi pelaksanaan undang-undang (mengadili).
11 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta : Nusa media, 2010) h.117 12 Abu Daud Busroh , Ilmu Negara. (Jakarta : Sinar Grafika , 2011, cet. Keenam), h.213
25
Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu dimaksudkan untuk
memelihara kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat
keamanan masyarakat dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa satu orang atau
lembaga akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan
masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat padanya. Oleh karenanya, dia berpendapat
bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan
yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya.13
Dalam menstabilkan kekuasan melalui pemahaman teori daripada Montesque tersebut
Indonesia pada dasarnya memiliki suatu pilar atau pegangan yang menjadi ciri khas
dan identitas hukum yang selaras dengan kehidupan bernegara bangsa Indonesia.
Hal ini mengacu pada prinsip pokok Negara Hukum yang berlaku di zaman
sekarang ini merupakan pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya suatu negara
sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang sebenarnya. Di
samping, jika konsep Negara Hukum itu dikaitkan pula dengan paham negara yang
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa seperti Indonesia. Adapun Asas-Asas yang merupakan
bagian dari Prinsip Negara Hukum di Indonesia yakni : 14
1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law)
Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu
bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi.
13 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika,
2010), h.132 14 Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature Ke Positive Legislature,(Jakarta
: KonstitusiPress, 2013, Cet.Pertama), h.39
26
Dalam perspektif supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya
pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya, bukanlah manusia, tetapi konstitusi
yang mencerminkan hukum yang tertinggi. Pengakuan normative atas supremasi
hukum tercermin dalam perumusan hukum dan/atau konstitusi, sedangkan
pengakuan empirik tercermin dalam perilaku sebagian terbesar masyarakatnya
bahwa hukum itu memang ‘supreme’. Bahkan, dalam republik yang menganut
sistem presidential yang bersifat murni, konstitusi itulah yang sebenarnya lebih
tepat untuk disebut sebagai ‘kepala negara’. Itu sebabnya, dalam sistem
pemerintahan presidential, tidak dikenal pembedaan antara kepala Negara dan
kepala pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.
2. Kepastian Hukum
Nilai kepastian hukum merupakan nilai yang pada prinsipnya memberikan
perlindungan hukum bagi setiap warga negara dari kekuasaan yang bertindak
sewenang-wenang, sehingga hukum memberikan tanggung jawab pada negara
untuk menjalankannya. Nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan instrumen
hukum positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikannya dalam hukum
positif15.
Dalam hal ini kepastian hukum berkedudukan sebagai suatu nilai yang harus ada
dalam setiap hukum yang dibuat dan diterapkan. Sehingga hukum itu dapat
15 Lili Rasjidi, Filsafat Hukum Mazhab Dan Refleksinya, (Bandung: Remaja Rosdakarya
Offset, 1994), h.95
27
memberikan rasa keadilan dan dapat mewujudkan adanya ketertiban dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Secara filsafati hukum diharapkan dapat memenuhi aspek ontologi yaitu
menciptakan ketentraman dan kebahagian bagi hidup manusia, sebagai suatu tujuan
yang ingin dicapai setiap manusia dan merupakan hakikat dari hukum itu sendiri.
Menurut Theo Huijbers hakekat hukum juga menjadi sarana bagi penciptaan suatu
aturan masyarakat yang adil (rapport du droit, inbreng van recht) 16 . Secara
Epistemologi hukum dilahirkan melalui suatu metode tertentu yang sistematis dan
obyektif serta selalu dilakukan pengkajian-pengkajian, sehingga melahirkan ilmu
hukum yang merupakan bagian dari ilmu pengetahuan. Dalam aspek Aksiologi,
hukum memiliki nilai-nilai yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh setiap manusia
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hukum yang ditaati masyarakat mengandung nilai kepastian tidak terkecuali
hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Nilai kepastian inilah yang harus
ada dalam setiap hukum yang dibuat sehingga dapat memberikan rasa keadilan dan
menciptakan ketertiban. Hukum yang hidup dalam masyarakat
Kepastian mengandung beberapa arti, diantaranya adanya kejelasan, tidak
menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan dapat dilaksanakan.
Hukum harus berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung keterbukaan
sehingga siapapun dapat memahami makna atas suatu ketentuan hukum. Hukum
16 Theo Huijbers, Filsafat Hukum. (Yogyakarta: Kanisius. 1995) .h.75
28
yang satu dengan yang lain tidak boleh kontradiktif sehingga tidak menjadi sumber
keraguan.
Untuk tercapainya nilai kepastian di dalam hukum, maka diperlukan syarat-syarat
sebagai berikut:
a. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah
diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara;
b. Bahwa instansi-instansi negara penguasa (pemerintahan) menerapkan
aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat
kepadanya;
c. Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena
itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;
d. Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak
menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka
menyelesaikan sengketa hukum; dan
e. Bahwa putusan peradilan secara konkrit dapat dilaksanakan17.
Kelima syarat yang dikemukakan tersebut menunjukkan bahwa kepastian hukum
dapat dicapai jika substansi hukumnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian hukum adalah hukum yang
lahir dari dan mencerminkan budaya masyarakat. Kepastian hukum yang seperti ini
yang disebut sebagai kepastian hukum yang sebenarnya (realistic legal certainly),
17 Theo Huijbers, Filsafat Hukum. (Yogyakarta: Kanisius. 1995), .h.77
29
yaitu mensyaratkan adanya keharmonisan antara negara dengan rakyat dalam
berorientasi dan memahami sistem hukum.
Menurut Lon Fuller hukum itu dapat memenuhi nilai-nilai kepastian apabila di
dalamnya terdapat 8 (delapan) asas, yang dapat diuraikan sebagai berikut18:
a. Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan
putusan-putusan sesaat untuk hal-hal tertentu.
b. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik.
c. Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas.
d. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum.
e. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan.
f. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa
dilakukan.
g. Tidak boleh sering diubah-ubah.
h. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.
3. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law)
Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang
diakui secara normative dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip
persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan
manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-
tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan ‘affirmative
18 Theo Huijbers, Filsafat Hukum. (Yogyakarta: Kanisius. 1995), h.90
30
actions19’ guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau
kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai
tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat
kebanyakan yang sudah jauh lebih maju. Kelompok masyarakat tertentu yang dapat
diberikan perlakuan khusus melalui ‘affirmative actions’ yang tidak termasuk
pengertian diskriminasi itu misalnya adalah kelompok masyarakat suku terasing
atau kelompok masyarakat hukum adapt tertentu yang kondisinya terbelakang.
Sedangkan kelompok warga masyarakat
tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus yang bukan bersifat diskriminatif,
misalnya, adalah kaum wanita ataupun anak-anak terlantar.
4. Asas Legalitas (Due Process of Law)
Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam
segala bentuknya (due process of law)20, yaitu segala tindakan pemerintahan harus
didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan
perundang-undangan tertulis harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului
tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan. Dengan demikian, setiap
perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau ‘rules and
procedures’ (regels). Prinsip normatif demikian nampaknya sangat kaku dan dapat
menyebabkan birokrasi menjadi lamban. Karena itu, untuk menjamin ruang gerak
19Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature Ke Positive Legislature,(Jakarta :
KonstitusiPress, 2013, Cet.Pertama), h.40 20 Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature Ke Positive Legislature,(Jakarta
: KonstitusiPress, 2013, Cet.Pertama),, h.37
31
para pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya, maka sebagai
pengimbang, diakui pula adanya prinsip ‘frijsermessen’ yang memungkinkan para
pejabat administrasi negara mengembangkan dan menetapkan sendiri ‘beleid-
regels’ atau ‘policy rules’ yang berlaku internal secara bebas dan mandiri dalam
rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan oleh peraturan yang sah.
5. Pembatasan Kekuasaan21
Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan cara
menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan
kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap
kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-
wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and
absolute power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi
dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat
‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi
dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan
membagi-bagi kekuasaan itu ke dalam beberapa organ yang tersusun secara
vertical. Dengan demikian, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi
dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-
wenangan.
21 Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature Ke Positive Legislature,(Jakarta
: KonstitusiPress, 2013, Cet.Pertama), h.38
32
6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak
Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial
judiciary). Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiap
Negara Hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh
dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun
kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak
diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan
oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun
legislative ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. 22 Dalam
menjalankan tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga kecuali
hanya kepada kebenaran dan keadilan. Namun demikian, dalam menjalankan
tugasnya, proses pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus bersifat terbuka, dan
dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati
nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya
bertindak sebagai ‘mulut’ undang-undang atau peraturan perundang-undangan,
melainkan juga ‘mulut’ keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup
di tengah-tengah masyarakat.
C. Teori Hukum Progresif dan Keadilan Substantif
Indonesia yang merupakan negara hukum berlandasakan Pancasila memiliki
tujuan untuk mencapai masyarakat yang adil makmur dan sejahtera secara merata.
22 Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature Ke Positive Legislature,(Jakarta
: KonstitusiPress, 2013, Cet.Pertama), h.40
33
Dengan kerangka tersebutlah hukum di Indonesia dibentuk berdasarkan tujuan
untuk membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahwasanya
makna dari hal ini adalah tujuan atau kondisi ideal yang dikehendaki harus
senatiasa berorientasi pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.23 Adapun
jikasanya tidak tercapai kondisi ideal tersebut sangat mungkin disebabkan oleh
tidak berkualitasnya penegakan hukum yang ada di Indonesia, dari sinilah lahir
hukum progresif yang merupakan wujud daripada ketidakpuasan dan keprihatinan
atas kualitas penegakan hukum yang ada.
Dalam perspektif teori hukum progresif, hukum merupakan suatu institusi yang
bertujuan mengantarkan manusia pada kehidupan yang bertujuan mengantarkan
manusia kepada kehidupan yang adil sejahtera, dan membuat manusia bahagia.
Pernyataan ini berpuncak pada tuntutan akan kehadiran hukum progresif yang
mengandung pengertian tentang konsep, fungsi, dan tujuan hukum yang harus
diwujudkan. Hukum progresif merupakan bagian dari proses searching for the truth
(pencarian kebenaran) yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif bertolak dari
realitas empirik tentang bekerjanyahukum dalam masyarakat sekaligus refleksi
ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dari penegak hukum di Indonesia
pada akhir abad ke-20.
Landasan dalam hukum progresif terdapat dua asumsi pokok yakni yang
pertama hukum untuk manusia. Asumsi tersebut bermakna bahwasanya apabila
23 Satjipto Raharjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2007,
Cet. Kedua), h.11
34
terdapat problematika dalam penyelesaian suatu permasalahan hukum maka
disinilah posisi hukum yang harus dapat dibenahi bukan sebaliknya manusia yang
dipaksa masuk ke dalam skema hukum tersebut. Yang kedua yakni hukum bukan
merupakan hal yang mutlak dan final, dikarenakan hukum tersebut pada dasarnya
harus dapat mengikuti dan dalam proses untuk menjadi. Pemikiran Prof. Satjipto
Raharjo ini sering dikenal “Law as a process law in the making” atau hukum yang
selalu dalam proses untuk menjadi.24
Nafas daripada teori yang dikemukakan oleh Prof. Satjipto ini menggambarkan
kondisi antara realitas hukum yang dihadapi seorang hakim apabila hukum tertulis
atau Undang-Undang yang ada tidak dapat mewujudkan suatu keadilan yang hakiki
dalam perkara yang dihadapi. Karena dalam praktik penerapan yang ada terkadang
realitas yang dihadapi tidak dapat terselesaikan begitu saja dengan peraturan
perundang-undangan.
Esensi daripada lahirnya pemikiran progresif ini juga tidak lain dan tidak bukan
untuk mencapai keadilan yang sejatinya dibutuhkan oleh manusia melalui suatu
terobosan hukum tanpa terpaku dengan kitab tertulis semata. Makna keadilan
substantive sebagai bentuk realisasi dan konstruksi pemikiran penegakan hukum
yang progresif dan responsif sudah seperti mengalir dan mendarah daging dengan
nafas juga hakikat dibentuknya mahkamah ini. Yang mana khusus dalam
penanganan perkara terkait pelanggaran yang mengakibatkan selisih suara yang
24 Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature Ke Positive Legislature, (Jakarta
: KonstitusiPress, 2013, Cet.Pertama), h.40
35
dapat dikatakan tidak halal tersebut tetap harus diputus secara seadil-adilnya karena
meskipun dunia ini runtuh hukum harus tetap ditegakkan (fiat justitia et pereat
mundus).
Dalam mengkaji mengenai pokok permasalahan menggunakan beberapa teori
yang mencakup tentang demokrasi dan negara hukum, trias politika, asas dalam
prinsip negara hukum, serta mengenai keadilan substantive. Dari beberapa teori
tersebut sangatlah erat kaitannya dengan penegakan dan penerapan hukum dalam
lingkup perkara selisih hasil Pilkada yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
Sebagaimana yang diketahui bahwasanya regulasi yang dijadikan landasan itu
sendiri memang sejatinya merupakan representasi kinerja para legislator. Namun
dalam hal ini tidak menutup kemungkinan adanya celah hukum yang bertolak
belakang dengan beberapa teori yang telah disampaikan tadi membuat suatu naluri
akademis diamanahkan untuk menganalisa lebih lanjut dengan aspek yang lebih
fokus berdasarkan cakupan data real yang turut dijadikan sarana terwjudnya suatu
konklusi dari fokus permasalahan yang dikaji.
36
BAB III
TINJAUAN UMUM PENANGANAN PERKARA SENGKERTA HASIL
PILKADA
A. Mahkamah Konstitusi Sebagai Lembaga Yudikatif
1. Definisi
Konstitusi didefinisikan sebagai suatu kerangka masyarakat politik (negara)
yang diorganisir dengan dan melalui hukum kehidupan secara umum yang
dikerjakan oleh para budak yang berada di luar batas kewarganegaraan.
Sedangkan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yaitu suatu lembaga
tertinggi negara yang baru yang sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan
Mahkamah Agung (MA). Dalam hal ini Indonesia terhitung merupakan negara
yang ke tujuh puluh delapan yang memiliki lembaga pengadilan
konstitusionalitas yang diberikan kewenangan menguji materil sebuah undang-
undang. Sehingga dalam hal undang-undang Mahkamah Konstitusilah yang
memiliki wewenang penuh dalam menguji undang-undang tersebut.1 Selain itu
Mahkamah Konstitusi juga memiliki wewenang dalam membubarkan partai
politik, memutuskan sengketa hasil pemilu dan pemecatan presiden dan wakil
presiden apabila melakukan pelanggaran hukum. Dalam pembentukannya
mahkamah konstitsi pada awalnya menitikberatkan pada aspek pengujian PUU
terhadap Konstitusi yang ada atau sering terdengar dengan istilah Contitutional
1 Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature Ke Positive Legislature, (Jakarta :
KonstitusiPress, 2013, Cet.Pertama), h.2
37
Court bahkan disamping itu sifat putusan yang final and bindng ini juka
memberikan ruang gerak Mahkamah Konstitusi menjadi sejajar dengan Lembaga
Peradilan Tertinggi negara yakni Mahkamah Agung namun tetap dalam naungan
kekuadsan kehakiman . Dari beberapa peranan yang melekat pada Mahkamah
Konstitusi julukan khusus yang diberikan kepadanya yakni The Guardian of
Constitution.2
2. Kedudukan, Fungsi dan Wewenang Mahkamah Konstitusi
Kekuasaan negara pada umumnya diklasifikasikan menjadi tiga cabang,
walaupun kelembagaan negara saat ini mengalami perkembangan yang sangat
pesat dan tidak sepenuhnya dapat diklasifikasi ke dalam tiga cabang kekuasaan
itu. Namun demikian, cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif
adalah tiga cabang kekuasaan yang selalu terdapat dalam organisasi negara.
Cabang kekuasaan yudikatif diterjemahkan sebagai kekuasaan kehakiman.
Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, kekuasan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
Kekuasaan kehakiman diselenggarakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi [Pasal 24 ayat (2) UUD 1945]. Dengan demikian, kedudukan MK
adalah sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping MA. MK
2 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika,
2010), h.132
38
adalah lembaga peradilan yang dibentuk untuk menegakkan hukum dan
keadilan 3 dalam lingkup wewenang yang dimiliki. Kedudukan MK sebagai
pelaku kekuasaan kehakiman sejajar dengan pelaku kekuasaan kehakiman lain,
yaitu MA,serta sejajar pula dengan lembaga negara lain dari cabang kekuasaan
yang berbeda sebagai konsekuensi dari prinsip supremasi konstitusi dan
pemisahan atau pembagian kekuasaan. Lembaga-lembaga negara lainnya
meliputi; Presiden, MPR, DPR, DPD dan BPK.
Setiap lembaga negara menjalankan penyelenggaraan negara sebagai
pelaksanaan kedaulatan rakyat berdasarkan dan di bawah naungan
konstitusi.Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, fungsi konstitusional yang
dimiliki oleh MK adalah fungsi peradilan untuk menegakkan hukum dan
keadilan.Namun fungsi tersebut belum bersifat spesifik yang berbeda dengan
fungsi yang dijalankan oleh MA. Fungsi MK dapat ditelusuri dari latar belakang
pembentukannya, yaitu untuk menegakkan supremasi konstitusi. Oleh karena itu
ukuran keadilan dan hukum yang ditegakkan dalam peradilan MK adalah
konstitusi itu sendiri yang dimaknai tidak hanya sekadar sebagai sekumpulan
norma dasar, melainkan juga dari sisi prinsip dan moral konstitusi, antara lain
prinsip negara hukum dan demokrasi, perlindungan hak asasi manusia, serta
perlindungan hak konstitusional warga negara.4
3 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika,
2010), h.4 4 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi, (Jakarta : KonstitusiPress, 2014, Cet.Pertama), h.12
39
Dalam Penjelasan Umum UU MK disebutkan bahwa tugas dan fungsi MK
adalah menangani perkara ketatanegaraan atau perkara konstitusional tertentu
dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab
sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Selain itu, keberadaan
MK juga dimaksudkan sebagai koreksi terhadap pengalaman ketatanegaraan
yang ditimbulkan oleh tafsir ganda atas konstitusi.
Fungsi tersebut dijalankan melalui wewenang yang dimiliki, yaitu memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara tertentu berdasarkan pertimbangan
konstitusional. Dengan sendirinya setiap putusan MK merupakan penafsiran
terhadap konstitusi. Berdasarkan latar belakang ini setidaknya terdapat 5 (lima)
fungsi yang melekat pada keberadaan MK dan dilaksanakan melalui
wewenangnya, yaitu sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the
constitution), penafsir final konstitusi (the final interpreter of the constitution),
pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights), pelindung hak
konstitutional warga negara (the protector of the citizen’s5constitutional rights),
dan pelindung demokrasi (the protector of democracy).
Wewenang yang dimiliki oleh MK telah ditentukan dalam Pasal 24C UUD
1945 pada ayat (1) dan ayat (2) yang dirumuskan sebagai wewenang dan
kewajiban. Wewenang tersebut meliputi:
a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
5 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi, (Jakarta : KonstitusiPress, 2014, Cet.Pertama), h.15
40
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar
c. Memutus pembubaran partai politik dan
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Sedangkan kewajiban MK adalah memberikan putusan atas pendapat DPR
mengenai dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga
memiliki kewajiban memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan
pelanggaran hukum oleh presiden dan wakil presiden menurut UUD.
Dengan demikian ada empat kewenangan dan satu kewajiban konstitusional bagi
Mahkamah Konstitusi. Pengadilan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi
merupakan pengadilan tinggal pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.
Artinya, tidak ada upaya hukum lain atas putusan Mahkamah Konstitusi, seperti
yang terjadi pada pengadilan lain6.
Dari amanat yang telah di Emban melalui Undang-Undang Dasar tersebut, kini
Mahkamah Konstitusi memiliki tugas tambahan dari UU No. 10 Tahun 2016 tentang
Pilkada. Regulasi tersebut kembali mengamanatkan peran sebagai lembaga
peradilan sengketa hasil Pilkada kepada MK setelah terombang ambing oleh
Regulasi yang tumpang tindih dan dibatalkan oleh Keputusan MK sendiri dengan
6Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika,
2010), h.131
41
catatan argumentasi pada saat itu nomenklatur Pemilukada yang sejatinya bukan
rezim pemilu sehingga MK membatalkan kewenangannya melaui keputusan MK .
B. Sengketa Pilkada, dan Norma Hukum didalamnya
Salah satu perwujudan negara yang demokratis adalah diselenggarakannya
pilkada sebagai sarana untuk memilih Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil
Bupati, dan Walikota/ Wakil Walikota, hal ini secara jelas dinyatakan dalam Pasal
18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan “Gubernur, Bupati, dan walikota masing-
masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan dipilih secara
demokratis”. Pemilihan Kepala Daerah merupakan sarana bagi masyarakat lokal
dalam suatu daerah guna menentukan sosok yang pantas untuk memimpin daerah
tersebut. Pemilihan Kepala Daerah juga merupakan suatu perjalanan panjang yang
diwarnai oleh tarik menarik antara kepentingan pusat kota dan daerah, bahkan
kepentingan asing.
Dengan sedemikian besarnya kepentingan yang diperjuangkan dalam
pemilihan kepala daerah maka tidak heran jika berbagai cara dilakukan oleh para
calon kepala daerah guna memuluskan langkahnya menjadi pemimpin suatu daerah.
Pelaksanaan Pilkada tidak terlepas dari peranan KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota (KPUD) sebagai salah satu institusi penyelenggara pemilu.
Dilihat dari sisi historis sejak diberlakukaunnya undang-undang nomor 32
tahun 2004, mengenai pemilihan kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh
rakyat, telah banyak menimbulkan permasalahan, diantaranya waktu yang sangat
panjang, sehingga sangat menguras tenaga dan pikiran, belum lagi biaya yang begitu
42
besar, baik dari segi politik (isu tentang perpecahan internal parpol, isu tentang
money politic, kecurangan yang melibatkan instansi resmi, disintegrasi social
walaupun sementara, black campaign, perhitungan suara yang salah, KPUD yang
bermasalah ) dan lain-lain.
Dalam lingkup di era modern saat ini persengketaan Pilkada sudah dalam level
yang lebih tinggi lagi. Berindikasi kejahatan yang sifatnya Terstruktur Sistematis
dan Massif, terus terulang dan berkelanjutan mengawal pelaksaan Pilkada hingga
menghasilkan suatu penghitungan yang memenangkan Pasangan Calon dengan
lebel menghalalkan segala cara. Oleh karenanya melalui perbaikan secara
berbanding lurus dengan mode kasus didalamnya membuat para instrumen penegak
hukum dan penyusun regulasi dituntut untuk lebih optimal dalam menjalankan tugas
dan wewenangnya demi terselenggaranya pemilihan kepala daerah yang
berkeadilan dan menjunjung tinggi demokrasi yang berintegritas didalamnya.7
Adapun dasar hukum secara keseluruhan menganai fokus pembahasan pada
Penyelesaian Sengketa Hasil Pilkada ini berkaitan dengan beberapa peraturan
perundang-undanagan diantaranya yakni :
1. UU Pilkada yang memang sempat beberapa kali mengalami revisi namun pada
akhirnya bermuara kembali ke MK sebagai lembaga yang dianggap kredibel
dan baik secara kinerja melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1
7 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta : Sinar Grafika,
2012), h.4
43
Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan
Walikota Menjadi Undang-Undang.
2. UU Terdahulu Yang Pernah Mewarnai Rekam Jejak Pilkada:8
Perselisihan tentang hasil pemilihan kepala daerah semula menjadi
kewenangan MA untuk memutus dan mengadili, namun kemudian
kewenangan tersebut dialihkan ke MK yang pada dasarnya kewenangan MK
adalah memutus perselisihan tentang hasil penghitungan suara pemilihan
umum yang sifatnya nasional. Berdasarkan ketentuan Pasal 79 UU No. 8
Tahun 2011 tentang MK, kewenangan memutus Perselisihan tentang Hasil
Pemilihan Umum (PHPU) meliputi PHPU Presiden dan Wakil Presiden dan
PHPU Legislatif yaitu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Dan berdasarkan Pasal 74 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang MK,
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) adalah perselisihan antara peserta
pemilu (perseorangan calon anggota DPD, pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden, atau parpol) dan KPU sebagai penyelenggara pemilu; yang
diperselisihkan adalah penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional
oleh KPU; dan perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu secara
8 Hukum Online, “Wewenang MK dalam Mengadili Sengketa Hasil Pemilukada”, diakses pada
tanggal 12 Juli 2017 dari http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6843/lembaga-yang-berwenang-
menangani-sengketa-hasil-pemilukada
44
nasional yang dimaksud harus mempengaruhi terpilihnya calon anggota DPD,
penentuan terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden atau
penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
putaran kedua, atau perolehan kursi parpol peserta pemilu di suatu daerah
pemilihan.
Namun setelah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah diundangkan, kewenangan MK ditambah lagi yaitu
memutus perselisihan tentang hasil pilkada yang semula merupakan
kewenangan MA. Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 tersebut menyatakan
“Penanganan perselisihan hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah
Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini
diundangkan”.
Jadi, sejak dikeluarkannya UU No. 12 Tahun 2008 tentang
Pemerintahan Daerah, kewenangan memutus perselisihan tentang hasil pilkada
yang semula merupakan kewenangan MA dialihkan ke MK. Sehingga pada
tanggal 29 Oktober 2008, Ketua MA Prof. Dr. Bagir Manan dan Ketua MK
Prof. Dr. Moh. Mahfud MD menandatangani berita acara pengalihan
wewenang memutus perselisihan tentang hasil pilkada melalui nota
45
kesepahaman antara MA dan MK sebagai pelaksanaan amanat UU No. 12
Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.9
C. Pengajuan Sengketa Hasil Pilkada 2017
1. Data Jumlah Perkara
Fakta dan data yang terjadi dalam pelaksanaan Pilkada 2016 memang
mengundang banyak perhatian mulai dari masa kampanye, dari segi
pelaksanaan, hingga keluarnya hasil rekapitulasi resmi yang diterbitkan oleh
KPU.terhadap pihak-pihak yang merasa tidak puas atas rekapitulasi, penetapan,
dan pengumuman hasil penghitungan suara, baik pada tingkat kabupaten/kota
maupun tingkat provinsi, terdapat sarana yang dapat ditempuh, yakni melalui
permohonan perselisihan hasil pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota
kepada Mahkamah Konstitusi terhitung paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh
empat) jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilihan, baik
oleh KPU provinsi maupun KPU kabupaten/kota. Dalam pengajuan perkara
yang masuk hingga ketahap permohonan perselisihan hasil pemilihan,
berdasarkan situs web resmi dari Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwasanya
MK Terima 48 Perkara Permohonan PHP Kada 2017 Pada hari terakhir
penerimaan permohonan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota (PHP Kada) Serentak 2017 MK menerima 3 perkara.
9 Hukum Online, “Wewenang MK dalam Mengadili Sengketa Hasil Pemilukada”, diakses pada
tanggal 12 Juli 2017 dari http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6843/lembaga-yang-berwenang-
menangani-sengketa-hasil-pemilukada
46
Dengan demikian, total perkara yang masuk sejak dibukanya pendaftaran
permohonan adalah sebanyak 53 perkara.10.
2. Syarat Pengajuan Permohonan Perkara Sengketa Hasil Pilkada
Bagi pasangan calon yang tidak puas dengan hasil pilkada serentak 2017,
maka yang bersangkutan bisa mengajukan sengketa pilkada ke Mahkamah
Konstitusi (MK) tiga hari pasca penetapan hasil pilkada. Namun, syarat
pengajuan sengketa pilkada harus memenuhi selisi 2 sampai 0,5 persen dari
jumlah suara sah pilkada.
Dalam Undang-undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan
Kepala Daerah disebutkan beberapa ketentuan mengenai hal-hal yang berbau
teknis terkait dengan tata cara penggajuan sengketa beserta penjelasannya, serta
pengaturan ketentuan menenai ambang batas sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 157 dan Pasal 158.
Adapun tata cara teknis yang disebutkan dalam pasal 157 adalah sebagai
berikut :
1. Peserta Pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan
hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi atau KPU
Kabupaten/Kota kepada Mahkamah Konstitusi.
2. Peserta Pemilihan mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lambat 3 (tiga) hari kerja
10 Lulu Anjarsari, “Pertarungan Calon Abdi Daerah di MK”, Majalah KonstitusiPress Nomor
122 (April 2017), h.10
47
terhitung sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan oleh
KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
3. Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilengkapi
alat/dokumen bukti dan Keputusan KPU Provinsi atau KPU
Kabupaten/Kota tentang hasil rekapitulasi penghitungan suara.
4. Dalam hal pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
kurang lengkap, pemohon dapat memperbaiki dan melengkapi
permohonan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya permohonan
oleh Mahkamah Konstitusi.
5. Mahkamah Konstitusi memutuskan perkara perselisihan sengketa hasil
Pemilihan paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja sejak diterimanya
permohonan.
6. Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (8)
bersifat final dan mengikat.
7. KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti
putusan Mahkamah Konstitusi.
Selain itu juga disebutkan secara mendetail dalam beberapa ayat mengenai
kriteria batas selisih perolehan suara yang dapat diterima pada Pasal 158
Adapun beberapa pasalnya berisi mengenai pengaturan terhadap peserta
pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dapat mengajukan permohonan
pembatalan penetapan hasil penghitungan suara dengan ketentuan ambang
batas selisih perolehan suara untuk tingkat Provinsi dan Kabupaten ketentuan
48
persentase berkisar antara 0,5% sampai 2% bergantung dengan Jumlah
penduduknya dengan rasion penduduk lebih tinggi jumlah persentasenya lebih
rendah.
D. Mahkamah Konstitusi Sebagai Pelaksana UU Pilkada
Perkara penyelesaian sengketa hasil Pilkada yang telah dieksekusi oleh
Mahkamah Konstitusi pada Pilkada serentak tahun 2017 ini menghasilkan
beberapa fakta yang timbul dari efek turunan penerapan norma hukum dalam
salah satu pasal UU Pilkada. Hal ini menimbulkan beberapa data yang cukup
ideal untuk dikaji secara mendalam mengenai bagaimana dan sejauh mana
dampak penerapan norma yang dipatuhi secara penuh oleh Mahkamah
Konstitusi tersebut.11
Pada awal April lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) menggugurkan
sejumlah perkara Perselisihan Hasil pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
(PHP Kada) Tahun 2017 di tengah jalan. Dari 53 perkara yang diregistrasi MK,
hanya 7 perkara yang memenuhi syarat untuk dilanjutkan pada proses
persidangan berikutnya dan 3 perkara baru memasuki persidangan pendahuluan
sampai dengan akhir Maret 2017. Sedangkan sebanyak 41 permohonan diputus
menjadi putusan akhir, dan dua permohonan dijatuhi putusan sela dalam
tahapan putusan dismissal.12
11 Lulu Anjarsari, “Pertarungan Calon Abdi Daerah di MK”, Majalah KonstitusiPress Nomor
122 (April 2017), h.14 12 Lulu Anjarsari, “Pertarungan Calon Abdi Daerah di MK”, Majalah Konstitusi Press Nomor
122 (April 2017)h.15
49
Putusan digelar pada 3 – 4 April 2017 merupakan salah satu rangkaian
tahapan penanganan perkara PHP Kada dismissal yang Tahun 2017 yang dilalui
usai melalui dua tahapan sebelumnya. Dua tahapan sebelumnya, yakni sidang
pemeriksaan pendahuluan dan sidang mendengar jawaban Termohon dan Pihak
Terkait. Kemudian, Majelis Hakim Konstitusi memeriksa secara pleno dalam
Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) mengenai persyaratan sesuai dengan
Pasal 157 dan Pasal 158 UU Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada). Bagi
permohonan yang tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka MK memutus
melalui putusan dismissal agar perkara itu tidak lagi dilanjutkan. Terkait hal
ini, Ketua MK Arief Hidayat menyampaikan “MK selalu berupaya
mengedepankan keadilan substantif. Akan tetapi, lanjutnya, MK tidak boleh
melupakan posisinya sebagai pelaksana UU Pilkada karena kewenangan
menangani PHP Kada sudah dibatalkan melalui Putusan MK Nomor 97/PUU-
XI/2013. Maka kewenangan menangani PHP Kada saat ini merupakan amanat
UU Pilkada sampai terbentuknya badan peradilan khusus. Sebagai pelaksana,
MK harus tunduk pada aturan yang tercantum dalam UU Pilkada.” 13
Karena itulah, MK tetap mempergunakan Pasal 157 dan Pasal 158 UU
Pilkada. Sebanyak 40 perkara harus terdiskualifikasi dan tidak bisa dilanjutkan
karena tidak memenuhi ambang batas selisih suara dan tenggang waktu. Jika
dirinci, terdapat sebanyak 26 permohonan tidak dapat diterima karena tidak
13 Nano, Arif, Bayu. “MK Tetap Tagakkan Keadilan Substantif” Majalah Konstitusi Press.
No.112 (April 2017): h. 32-34.
50
memenuhi ambang batas selisih suara sebagaimana diatur dalam Pasal 158 UU
Pilkada. Selain itu, sebanyak 12 permohonan tidak dapat diterima dikarenakan
tidak memenuhi tenggang waktu yang diatur dalam Pasal 157 UU Pilkada. Dan
terakhir, sebanyak 2 permohonan tidak dapat diterima karena pemohon bukan
merupakan pasangan calon. Meskipun begitu, dari 43 putusan dismissal
kemarin ada tiga putusan yang diputus tidak menggunakan Pasal 157 maupun
Pasal 158 UU Pilkada. Ketiga perkara tersebut, yakni:; PHP Kabupaten
Tolikara (14/PUU.BUP-XV/2017), PHP Puncak Jaya (42/PUU.BUP-
XV/2017), PHP Intan Jaya (50/PUU.BUP-XV/2017).
51
BAB IV
PERAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MEMUTUS SENGKETA
HASIL PILKADA
A. Perkara Sengketa Hasil Pilkada Yang Diajukan Kepada Mahkamah
Konstitusi
1. Data Mengnai Jumlah Perkara yang Masuk ke Mahkamah Konstitusi
Salah satu agenda ketatanegaraan yang penting pada 2017 terlaksana di 101
daerah melalui pelaksanaan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak. Pada
15 Februari 2017, sebanyak 337 pasangan calon abdi daerah bertarung untuk
memperebutkan suara para pemilih pada daerah masing-masing. Mahkamah
Kontitusi (MK) pun kembali diberi amanat kewenangan oleh Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota sebagai
pintu terakhir bagi para paslon yang masih berkeberatan terhadap hasil
penghitungan suara yang dikeluarkan KPU Provinsi/Kabupaten/Kota.1
Mahkamah Konstitusi pada 22 Februari 2017 mulai membuka pendaftaran
pasangan calon Pilkada Serentak Tahun 2017 yang berkeberatan dengan hasil
penghitungan. Dari data awal hingga dengan penutupan pendaftaran pada 1 Maret
2017, MK menerima sebanyak 50 perkara dari 48 daerah. Kemudian, pada 30 Maret
2017, MK kembali menerima tiga sengketa pilkada susulan dari Kabupaten
Kepulauan Yapen, Papua. Keseluruhan jumlah perkara yang ditangani MK terkait
1 Hukum Online, “Sengkarut Sengketa Pilkada 2017:Mengawal Sengketa Pilkada yang
Berintegritas”, diakses pada tanggal 12 Juli 2017 dari http://www.hukumonline.com/
52
Pilkada Serentak Tahun 2017 sampai dengan 30 Maret 2017 adalah 53 perkara.
Seperti diketahui, kewenangan MK menangani sengketa pilkada sesungguhnya
telah dimulai sejak 2008 lalu. Namun pada 2014, MK membatalkan kewenangan
tersebut karena pilkada bukanlah merupakan rezim pemilu seperti amanat UUD
1945. Akan tetapi, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan,
Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) kembali mengamanahi MK untuk
kembali menangani Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP Kada)
Tahun 2017 sampai terbentuknya badan peradilan khusus. Jika dihitung sejak 2008
hingga 2017, MK telah menangani total keseluruhan perkara PHP Kada sebanyak
903 perkara. Adapun Statistik atau diagram secara menyeluruh mengenai sengketa
Perselisihan Hasil Pilkada yang telah diterima dan ditangani MK adalah sebagai
berikut :2
2 Lulu Anjarsari. “Pertarungan Calon abdi daerah di MK.” Majalah Konstitusi Press. No.112 (April
2017): h.13-15.
27 3
230
132
105
192
9
142
53
0
50
100
150
200
250
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015/2016 2017
Jumlah Perkara Sengketa Hasil Pilkada Tahun 2008-
April 2017
53
Grafik dan jumlah perkara yang cukup tinggi tersebut selayaknya mendapat
fasilitas dan pelayanan maksimal dari para instrumen penegak keadilan yang ada
agar terakomodir dengan seoptimal mungkin. Dalam hal ini intensitas MK yang
termanahkan dalam menjalankan tugas tersebut terpecah fokusnya secara tidak
langsung karena disisi lain juga berkewajiban sampingan untuk pula menyelesaikan
perkara pengujuan Undang-Undang dan yang lainnya. Namun dari sudut pandang
para legislator atas dasar trek record yang cukup berpengalaman inilah yang
menjadikan Mahkamh Konstitusi dianggap paling kredibel dalam menjalankan
tugas sementara sebagai penegak keadilan bagi para calon pemimpin daerah di
Indonesia.
Berdasarkan data dari situs resmi mahkamah konstitusi frekuensi sengketa hasil
Pilkada pada 2017 jika di bandingkan dengan jumlah peserta daerah yang
mengadakan pilkada serentak yaknidari 101 daerah (terdiri atas 7 provinsi, 76
kabupaten, dan 18 kota), Mahkamah Konstitusi menerima permohonan dari calon
kepala daerah dari 48 daerah yang erdiri dari 4 Provinsi, 36 Kabupaten, dan 9 Kota.
Semuanya tertuang dalam perkara PHP Kada Tahun 2017 sebanyak 53 permohonan.
Berdasarkan jumlah tersebut, sebanyak 40 perkara diajukan oleh pasangan calon
bupati, sebanyak 9 perkara di ajukan oleh pasangan calon walikota, dan sebanyak 4
perkara diajukan oleh pasangan calon gubernur.3
3 “Catatan Perkara : Putusan Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) dalam Pilkada Serentak 2017
Sepanjang April 2017”, Majalah KonstitusiPress Nomor 122 (April 2017) h.42-48
54
Dari data tersebut dapat ditemui bahwasanya tanpa mengesampingnkan prinsip
kesetaraan keadilan seharusnya pengoptimalan kinerja Mahkamah Konstitusi wajib
hukumnya untuk didukung dengan instrumen hukum dan lembaga lainnya seperti
KPU Bawaslu dan Panwaslu yang ada .
Seperti yang dipaparkan dalam literature mengenai Pemilihan Umum dalam
Jurnal Konstitusi disebutkan bahwasanya karena demi menjalankan suatu sistem
Pemilu yang berkeadilan perlu beberapa persyaratan yakni
a. Adanya mekanisme dan penyelesaian hukum yang efektif,
b. Adanya aturan mengenai sanksi yang jelas atas pelanggaran pemilu,
c. Adanya ketentuan terperinci dan memadai untuk melindungi hak pilih,
d. Adanya hak bagi pemilih, kandidat, partai politik untuk mengadu kepada
lembaga penyelenggara pemilu atau lembaga pengadilan,
e. Adanya kewenangan untuk mencegah hilangnya hak pilih yang diputuskan oleh
lembaga penyelenggara pemilu atau lembaga pengadilan,
f. Adanya hak untuk banding, adanya keputusan yang sesegera mungkin,
g. Adanya aturan main mengenai waktu yang dibutuhkan untuk memutuskan
gugatan,
h. Adanya kejelasan mengenai implikasi bagi pelanggaran aturan pemilu terhadap
hasil pemilu, dan
i. Adanya proses, prosedur, dan penuntutan yang menghargai hak asasi manusia.4
4 Hamdan Zoelva , “Problematika Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada Oleh Mahkamah
Konstitusi”, Jurnal Konstitusi Vol.10, no.3 (September 2013): h.7
55
2. Dalil Masuknya Perkara Ke Mahkamah Konstitusi
Jika dikategorikan berdasarkan kedudukan hukum, maka terdapat empat
kategori pemohon yang mengajukan PHP Kada Tahun 2017 ke Mahkamah
Konstitusi. Keempat kategori tersebut, yakni Pasangan Calon
Gubernur/Bupati/Walikota; Bakal Pasangan Calon Bupati/Walikota; Pemantau
Pemilihan; dan Perseorangan/ Lembaga Swadaya Masyarakat. Pasangan Calon
Gubernur/Bupati/Walikota menjadi pemohon yang menggugat hasil pemilihan
terbanyak, yakni 46 pemohon.Jika dibandingkan dengan Pilkada Serentak Tahun
2015, persentase pilkada yang bersengketa cenderung berada pada kisaran 50%.
Pada Pilkada Serentak 2015, MK menerima 153 permohonan dari 259 daerah yang
menyelenggarakan pemilihan. Tak jauh berbeda dengan Pilkada Serentak Tahun
2017, yang diikuti 101 daerah dan sengketa pilkada yang masuk ke MK sebanyak
53 permohonan.
Terkait dalil permohonan, seperti pada tahun-tahun sebelumnya, sebagian besar
permohonan yang masuk mendalilkan adanya kecurangan yang terstruktur,
sistematis, dan massif (TSM). Bentuk kecurangan tersebut di antaranya adanya
keberpihakan KIP/KPU Provinsi/ Kabupaten/Kota (pengurangan suara ataupun
penggelembungan suara salah satu pasangan calon), penggunaan kekuasaan yang
dilakukan oleh calon petahana, politik uang dan lainnya. 5
5 Lulu Anjarsari, “Pertarungan Calon Abdi Daerah di MK”, Majalah KonstitusiPress Nomor
122 (April 2017), h.11
56
Di samping itu, permasalahan DPT pun menjadi isu yang kembali muncul
dalam setiap sengketa pilkada di MK. Dalil lainnya yang muncul pada PHP Kada
tahun 2017, terkait dengan penyalahgunaan Surat Keterangan (Suket) dari Dukcapil
setempat.
Dalam kasus kongkretnya Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur
Banten Rano Karno – Embay Mulya Syarief mendalilkan KPU Provinsi Banten
memberikan Surat keterangan kepada pemilih tidak terdaftar dalam DPT. Hal ini
dinilai Pemohon melanggar Pasal 112 ayat (2) huruf a UU Nomor 10 Tahun 2016
juncto Pasal 59 ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2015. 6
Tak hanya itu, rekomendasi dari Panwaslih yang bermasalah pun menjadi dalil
yang diungkapkan para Pemohon seperti PHP Kada Kabupaten Maybrat. Pasangan
Calon Bupati dan Wakil Bupati Maybrat, Karel Murafer dan Yance Way
mempermasalahkan mengenai kejanggalan rekomendasi dari Panwaslih. Dalam
permohonannya, Pemohon mendalilkan sudah melaporkan kepada Panwaslih
Kabupaten Maybrat mengenai masalah yang terdapat pada 25 TPS di Distrik
Aitinyo. Atas laporan tersebut, Panwaslih justru mengeluarkan rekomendasi agar
dilakukan pemungutan suara ulang di 260 TPS se-Kabupaten Maybrat padahal yang
diminta oleh Pemohon hanya di 25 TPS. Hal inilah yang menjadi dalil utama
pemohon karena kejanggalan rekomendasi.
6 Hukum Online, “Sengkarut Sengketa Pilkada 2017:Mengawal Sengketa Pilkada yang
Berintegritas”, diakses pada tanggal 12 Juli 2017 dari http://www.hukumonline.com/
57
Adapun terdapat 3 perkara ataupun dalil khusus yang agak cenderung memiliki
perbedaan dari perkara-perkara sengketa hasil Pilkada lainnya yang diajukan.
Seperti yang disebutkan oleh Jurnal resmi (official) Mahkamah Konstitusi dalam
keterangan langsung oleh ketua Mahkamah Konstitus yang menyebutkan
bahwasanya :
Dari dalil-dalil yang diungkapkan para pemohon PHP Kada (Perkara Hasil
Pilkada) Tahun 2017, Ketua MK Arief Hidayat mengungkapkan ada tiga kasus
berbeda, yakni PHP Kada Kabupaten Intan Jaya, PHP Kada Puncak Jaya, dan PHP
Tolikara. Ketiganya merupakan kasus sengketa pilkada dengan modus baru yang
ditangani MK. Meski dalil yang diungkapkan terkait adanya kecurangan TSM, ia
menjelaskan ketiganya memiliki kerumitan tersendiri bagi hakim konstitusi untuk
memeriksanya.7
Sedangkan yang tidak kalah menarik pula dalam PHP Kada Tolikara, Pasangan
Calon Bupati dan Wakil Bupati John Tabo-Barnabas Weya mendalilkan adanya
kesalahan penghitungan suara oleh KPU Kabupaten Tolikara yang mengindikasikan
adanya diskoordinasi antara KPU dan Panwaslih.
Dalam PHP Puncak Jaya minimnya data otentik yang ada di Kabupaten Puncak
Jaya. Penyebabnya, rekapitulasi 6 distrik tidak memenuhi syarat karena minimnya
data otentik formulir penghitungan suara tingkat PPS dan formulir penghitungan
suara di tingkat PPD. Dalam hasil rekapitulasi, KPU Kabupaten Puncak Jaya tetap
7 Lulu Anjarsari, “Pertarungan Calon Abdi Daerah di MK”, Majalah KonstitusiPress Nomor
122 (April 2017), h.11
58
mencantumkan 6 distrik yang bermasalah tersebut. Alasan inilah yang membuat
Panwaslih Kabupaten Puncak Jaya mengeluarkan rekomendasi membatalkan
rekapitulasi pada 6 distrik yang tercantum dalam rekapitulasi KPU Kabupaten
Puncak Jaya. Atas hal ini, KPU melalui Komisioner Ida Budhiarti pun akhirnya
meminta MK untuk memberikan solusi atas permasalahan tersebut.
Sedangkan dalam PHP Kada Kabupaten Intan Jaya terjadi pengajuan perkara
sengketa tersebut kepada MK padahal sejatinya penghitungan suara yang dilakukan
oleh KPU sendiri belum usai dikarenakan adanya serangan dan ancaman intimidasi
dari masing-masing pendukung paslon yang menghambat proses penghitungan
suara.
Mengomentari ketiga perkara tersebut, Ketua MK (Arief Hidayat) menyebut
objek permohonan dalam dua sengketa di atas, yakni PHP Kada Kabupaten Tolikara
dan Puncak Jaya, dinyatakan cacat hukum oleh MK. Karena itulah, MK
memutuskan agar dilakukan pemungutan suara ulang di distrik-distrik yang
bermasalah dan hasilnya dilaporkan epada MK selambatnya 60 hari kerja.
Sementara, untuk PHP Kada Intan Jaya, objek permohonan prematur karena belum
selesainya proses rekapitulasi penghitungan suara. Untuk itulah, lanjutnya, MK
memutuskan dilakukan putusan akhir agar penghitungan dilanjutkan. 8
8 Nano, Arif, Bayu. “MK Tetap Tagakkan Keadilan Substantif” Majalah Konstitusi Press.
No.112 (April 2017): h. 32-34.
59
3. Rekapitulasi Data Perkara yang Memenuhi Syarat Berdsarkan Putusan
Dismissal
Dalam rangka menangani PHP Kada yang sekarang, MK posisinya beda. Kalau
dulu berarti kewenangannya bisa di atas undang-undang, maka MK sekarang
pelaksana undang-undang. Karena itulah, MK tetap mempergunakan Pasal 157 dan
Pasal 158 UU Pilkada. Sebanyak 40 perkara harus terdiskualifikasi dan tidak bisa
dilanjutkan karena tidak memenuhi ambang batas selisih suara dan tenggang waktu.
Jika dirinci, terdapat sebanyak 26 permohonan tidak dapat diterima karena tidak
memenuhi ambang batas selisih suara sebagaimana diatur dalam Pasal 158 UU
Pilkada. Selain itu, sebanyak 12 permohonan tidak dapat diterima dikarenakan tidak
memenuhi tenggang waktu yang diatur dalam Pasal 157 UU Pilkada. Dan terakhir,
sebanyak 2 permohonan tidak dapat diterima karena pemohon bukan merupakan
pasangan calon.
Meskipun begitu, dari 43 putusan dismissal tersebut ada tiga putusan yang
diputus tidak menggunakan Pasal 157 maupun Pasal 158 UU Pilkada. Ketiga perkara
tersebut, yakni PHP Kabupaten Tolikara (14/PUU.BUP-XV/2017), PHP Puncak
Jaya (42/PUU.BUP-XV/2017), dan PHP Intan Jaya (50/PUU.BUP-XV/2017). 9
Sementara itu, tersisa tujuh perkara yang memenuhi persyaratan mengenai ambang
batas selisih suara maupun tenggang waktu. Ketujuh permohonan tersebut, yakni:
9 Hukum Online, “Sengkarut Sengketa Pilkada 2017:Mengawal Sengketa Pilkada yang
Berintegritas”, diakses pada tanggal 12 Juli 2017 dari http://www.hukumonline.com/
60
a. PHP Kada Kabupaten Maybrat (No. 10/PHP.BUP-XV/2017),
b. PHP Kada Provinsi Sulawesi Barat (No. 13/PHP. GUB-XV/2017)
c. PHP Kada Kota Yogyakarta (No. 28/PHP.KOT-XV/2017)
d. PHP Kada Kabupaten Gayo Lues (No. 29/PHP BUP-XV/2017)
e. PHP Kada Kota Salatiga (No. 30/PHP.KOT-XV/2017)
f. PHP Kada Kabupaten Bombana (No. 34/PHP.BUPXV/2017)
g. PHP Kabupaten Takalar (No. 36/PHP.BUP-XV/2017)
Dari data tersebut dapat ditemukan fakta bahwasanya perkara yang ditangani
MK melelui tahapan putusan dismissal. Hal ini merupakan tahapan yang dilalui usai
melalui dua tahapan sebelumnya. Dua tahapan sebelumnya, yakni sidang
pemeriksaan pendahuluan dan sidang mendengar jawaban Termohon dan Pihak
Terkait. Kemudian, Majelis Hakim Konstitusi memeriksa secara pleno dalam Rapat
Permusyawaratan Hakim (RPH) mengenai persyaratan sesuai dengan Pasal 157 dan
Pasal 158 UU Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada).
Bagi permohonan yang tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka MK
memutus melalui putusan dismissal agar perkara itu tidak lagi dilanjutkan. Meskipun
argumentasi kuat yang berulang kali disampaikan langsung oleh ketua MK Arief
Hidayat bukan tanpa landasan hukum, namun dalam hal ini dapat dilihat fenomena
yang sebenarnya terjadi dalam penanganan perkara Pilkada 2017 ini. Penerapan Pasal
158 dan 157 yang dijadikan batu pijakan dalam menentukan kelayakan perkara tidak
dapat dipungkiri lagi. Fenoena ketimpanganpun terjadi dengan keadilan substantive
yang digadang-gadang menjadi goal MK dengan unsur kepasttian hukum yang
61
menjadi salah satu asas penting dalam penegakan hukm dalam menyelesaikan sebuah
perkara terlihat bias . Persentase perkara yang terselamatkan dari pasal 158 dan 157
itu sendiri bisa dibilang sangatlah senjang dengan jumlah perkara yang masuk, yakni
jika dibandingkan yakni rasionya 7: 53.
Dalam menganalisis fakta tersebut maka dapat diingat dan berpijak melalui
teori hukum progresif seperti yang dikemukakan oleh Prof. Satjipto yang mana
menggambarkan kondisi antara realitas hukum yang dihadapi seorang hakim apabila
hukum tertulis atau Undang-Undang yang ada tidak dapat mewujudkan suatu
keadilan yang hakiki dalam perkara yang dihadapi. Karena dalam praktik penerapan
yang ada terkadang realitas yang dihadapi tidak dapat terselesaikan begitu saja
dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini tentunya sangatlah tercermin dengan
fenomena Pilkada dewasa ini yang apabila terjadi penyelewengan hak ataupun
pelangaran yang dialami oleh Pasangan Calon dengan kategori TSM tersebut
melampaui ambang batas yang ditentukan pada pasal 158 maka Mahkamah
Kosntitusi disini berupaya mengambil langkah awal melalui putusan dismissal yang
notabene berfungsi menelusuri perkara yang masuk sebelum masuk keproses
perisdangan guna mengedepankan keadilan substansial.
B. Pandangan Mengenai Kriteria Ambang Batas dan Realitas di Persidangan
1. Tinjauan berdasarkan pandangan Saldi Isra (Pakar Kukum Tata Negara Yang
Kini Sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi)
Jika ditelusuri pengalaman penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala
daerah sedikit ke belakang, ruang menggunakan jalur ke MK tak sepenuhnya
62
murni digunakan pasangan calon untuk mengoreksi kesalahan penghitungan
suara yang memengaruhi terpilihnya pasangan calon. Sejumlah fakta
menunjukkan, sebagian pasangan yang kalah dalam proses pemilihan seperti
berupaya memakai jalur ke MK menjadi jalan pintas untuk mengoreksi suara
rakyat.
Contoh yang paling menonjol, meski bentangan fakta menunjukkan terjadi
selisih suara sangat mencolok, pasangan calon yang kalah tetap memilih jalan
mengajukan sengketa ke MK. Padahal, dalam batas penalaran yang wajar,
perbedaan suara tak mungkin dibuktikan sebagai akibat dari kesalahan
perhitungan.
Pilihan menggunakan jalur MK menjadi seperti berubah menjadi modus baru
ketika muncul alasan multitafsir mengajukan sengketa yaitu terjadi pelanggaran
yang bersifat TSM. Dengan alasan tersebut, penyelesaian sengketa ke MK tak
ubahnya seperti keranjang sampah ketidaksiapan pelaku politik kontestasi
pengisian jabatan kepala daerah menerima pilihan rakyat.10
Meskipun sebagiannya terkesan coba-coba, pilihan ke MK tetap
dilakukan karena sebagiannya juga berupaya memanfaatkan kemungkinan
”perilaku liar” hakim MK. Paling tidak, pengalaman yang menimpa Akil
Mochtar menjadi bukti pemanfaatan tersebut. Tanpa pembatasan, MK berubah
10 Saldi Isra, “Ambang Batas Sengketa Pilkada”, diakses pada tanggal 12 Juli 2017 dari
https://www.saldiisra.web.id/index.php/tulisan/artikel-koran/12-seputarindonesia/610-ambang-batas-
sengketa-pilkada.html
63
menjadi tumpukan perkara penyelesaian sengketa penyelesaian pemilihan kepala
daerah.
Pada salah satu sisi, disebabkan jumlah hakim yang terbatas (yaitu sembilan
orang) dan di sisi lain jumlah permohonan sengketa yang menumpuk, MK harus
lebih konsentrasi menyelesaikan sengketa pemilihan kepala daerah. Akibatnya,
MK memiliki waktu yang terbatas untuk menyelesaikan wewenang
konstitusional terutama pengujian undangundang (judicial review) terhadap
undang-undang dasar sebagaimana diatur Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945.
Apalagi, sebelum dilakukan secara serentak, agenda pilkada hampir
dilaksanakan sepanjang tahun. Dengan penyelenggaraan demikian, sepanjang
tahun pula MK harus membagi perhatian dengan kewajiban menyelesaikan
permohonan sengketa pilkada.11
Oleh karena itu, Saldi Isra Sendiri pernah mengemukakan, sekiranya dalam
hal Penyelesaian Perkara Sengketa Hasil Pilkada ini dilakukan tanpa pengaturan
yang lebih ketat pihak-pihak yang dapat mengajukan sengketa pilkada, MK
potensial kehilangan fokus melaksanakan wewenang dalam UUD 1945 terutama
judicial review. Padahal, sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman,
judicial review merupakan mahkota MK.
11 Saldi Isra, “Ambang Batas Sengketa Pilkada”, diakses pada tanggal 12 Juli 2017 dari
https://www.saldiisra.web.id/index.php/tulisan/artikel-koran/12-seputarindonesia/610-ambang-batas-
sengketa-pilkada.html
64
Sejak semula, Saldi Isra dalam beberapa kesempatan termasuk orang yang
mendorong ada pembatasan persentase tertentu untuk dapat mengajukan
permohonan sengketa ke MK. Kendati demikian, pembatasan tersebut tidak
dimaksudkan untuk menghilangkan kesempatan bagi pasangan calon yang
merasa dicurangi secara total memilih jalur ke MK.
Artinya, ambang batas masih dapat diterobos melalui mekanisme pemeriksaan
pendahuluan (dismissal process) sepanjang pemohon mampu menunjukkan
buktibukti yang sangat kuat telah terjadi pelanggaran yang bersifat TSM. Bila
dalam proses awal bukti-bukti tidak kuat, ambang batas diperlakukan secara
ketat.12
Dalam batas penalaran yang wajar, dengan ada pemeriksaan pendahuluan,
ruang menghidupkan terobosan yang telah dilakukan MK dalam memeriksa
permohonan yang mengindikasikan ada pelanggaran yang bersifat TSM tetap
bisa dipertahankan. Misalnya, dalam Putusan No 57/PHPU.D-VI/2008 MK
menyatakan bahwa konstitusi dan Undang-Undang MK yang menempatkan MK
sebagai pengawal konstitusi sehingga berwenang memutus perkara pelanggaran
atas prinsip-prinsip pemilu dan pilkada.
Selain itu, MK juga pernah memutuskan bahwa dalam mengawal konstitusi,
MK tak dapat membiarkan dirinya dipasung oleh keadilan prosedural (procedural
12 Saldi Isra, “Ambang Batas Sengketa Pilkada”, diakses pada tanggal 12 Juli 2017 dari
https://www.saldiisra.web.id/index.php/tulisan/artikel-koran/12-seputarindonesia/610-ambang-batas-
sengketa-pilkada.html
65
justice) sematamata, melainkan juga harus mewujudkan keadilan substansial.
Banyak kalangan percaya, ketika PMK No 1/2015 membuka tahapan
pemeriksaan pendahuluan, MK sebetulnya tidak hendak mematikan peluang
pasangan calon yang tidak memenuhi ambang batas.
Artinya, dengan ada pemeriksaan pendahuluan, semua permohonan yang
masuk ke MK akan dinilai terlebih dahulu pada tahapan ini. Sepanjang pemohon
dapat menunjukkan bukti-bukti yang kuat telah terjadi pelanggaran yang bersifat
TSM dan bukti-bukti tersebut mampu memberikan keyakinan pada hakim,
ambang batas jangan dijadikan sebagai instrumen untuk membunuh upaya
pencarian keadilan substantif.
Bagaimanapun, kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak boleh diisi oleh
mereka yang meraih dukungan dengan cara yang curang. Dalam konteks itu,
peranti ambang batas tidak boleh dijadikan sebagai tameng guna melindungi
pelanggaran yang nyata-nyata memenuhi unsur TSM (Terstruktur Sistematis dan
Masif ).13
2. Tinjauan Realitas Persidangan dan Pandangan dari Fajar Laksono (Juru Bicara
Mahkamah Konstitusi)
Dalam kutipan wawancara eksklusif disalah satu media hukumonline dan
website resmi Mahkamah Konsttusi, Fajar Laksono menjabarkan berbagai
13 Saldi Isra, “Ambang Batas Sengketa Pilkada”, diakses pada tanggal 12 Juli 2017 dari
https://www.saldiisra.web.id/index.php/tulisan/artikel-koran/12-seputarindonesia/610-ambang-batas-
sengketa-pilkada.html
66
pengalaman dalam pelaksanaan penanganan sengketa Pilkada oleh Mahkamah
Konstitusi di tahun 2017 ini. Begitu banyak kejutan terjadi diluar dugaan dan
belum pernah terjadi sebelumnya. Dari mulai penerapan hukum yakni UU
Pilkada dalam beberapa pasal nya diantaranya pasal 157 dan pasal 158 yang
memang mendominasi ruang sidang. Hingga fenomena sikap inkonsistensi para
Lawyer yang saling berhadapan menggunakan dan argument hukum yang
terkadang menerobos pasal 158 namun tak jarang yang mengagung-agungkan
pasal tersebut. Hal ini merupakan fenomena hukum yang memang dapat
dikatakan dapat terprediksi sebelumnya.
Selaras dengan peristiwa yang peneliti temui didalam ruang sidang yang
terjadi yakni apabila dalil argumentasinya di dua kubu yang berbeda tersebut
digabung sudah pasti saling bertentangan. Ketika advokat tersebut menjadi kuasa
hukum pemohon yang tidak memenuhi syarat selisih suara menggugat yakni 0,5-
2 persen, MK diminta melepaskan diri dari syarat selisih suara dalam Pasal 158
UU Pilkada. Namun, ketika advokat yang sama menjadi kuasa hukum pihak
terkait di daerah lain, argumentasi yang disampaikan mesti MK harus
menjalankan Pasal 158 UU Pilkada.”
Kata-kata yang mendominasi argument dari para lawyer tersebut yakni disatu
sisi dibilang Pasal 158 ini harus dipertahankan, tapi di sisi lain Pasal 158 ini harus
‘ditabrak’ (diterobos). Fenoomena tersebut berbanding lurus dalil utama sebagai
titik pembeda adalah potensi pelanggaran TSM (Terstruktur Sistematis dan
Masif) dengan dalil perlunya ditegakkan hukum secara utuh dan konsisten sesuai
67
dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku yakni pada pasal 158
tersebut.
Pro kontra yang terjadi diruang sidang tersebut memang sudah menjadi hal
yang amat wajar dalam proses persidangan. Namun jika ditelaah secara
menyeluruh dominasi pertentangan dengan titik temu pasal 158 UU Pilkada
tersebut secara tidak langsung menggambarkan tidak adanya asas kepastian
hukum yang dapat diobang-ambing argumentasi perbedaan sudut pandang yang
dinilai secagai celah hukum bagi para pencari keadilan,
Tercermin dari keterangan yang dikemukakan Fajar Laksono bahwasanya
pada sengketa pilkada tahun kemarin sama juga seperti itu. Setiap kali sengketa
pilkada sama yang dipersoalkan yakni terkait ambang batas, namun hanya berdiri
di posisi berbeda dengan argumentasi yang berbeda.”14 Dari fenomena tersebut
tentu sudah selayaknya unsur kepastian hukum dalam UU Pilkada ini menjadi
dipertanyakan dan dievaluasi.
C. Efektivitas Penerapan UU Pilkada
Pelaksanaan Pilkada 2017 yang telah usai menghasilkan berbagai catatan
krusial yang mana letak pokok dan fokus yang telah tertuju dalam pokok pembahsan
yakni mengenai beberapa pasal terkait penyelesaian perkara sengketa hasil Pikada
oleh Mahkamah Konstitusi. Data yang telah dikemukakan sebelumnya secara
mendetail menerangkan peranan Mahkamah Konstitusi disini yang dijadikan poros
14 Agus Sahbani “Fajar Laksono dan Cerita Tentang Sengketa Pilkada”, diakses pada tanggal
12 Juli 2017 dari http://www.hukumonline.com
68
penegakan hukum dalam sengketa hasil Pilkada, memiliki instrumen hukum yang
berkonstribusi pada pemberian landasan wewenang dan sebagai penunjuk kriteria
penerimaan perkara melalui putusan dismissal berdasarkan ambang batas dan
ketentuan hukum penunjang lainnya sebagai prasyarat sengketa tersebut dapat
ditindak lanjuti ke dalam forum Persidangan yang utama.
Dapat dinilai melalui data yang telah dikemukakan bahwasanya secara formil
Mahkamah Konstitusi telah bekerja semaksimal mungkin untuk menghandle
perkara yang diterimanya dalam penyelesaian Sengketa Pilkada 2017 ini. Namun
yang tidak dapat diabaikan disini yakni apakah kinerja Mahkamah Konstitusi dalam
menjalankan Undang-Undang ini juga dapat dikatakan efektif dalam hal
menegakkan keadilan substantive
Melihat fakta yang ada yakni dengan persentase Perkara Sengketa yang
berpotensi terjadi pelangaran atau kejahatan TSM (Terstruktur Sistemais dan Masif)
yang sangat mendominasi dalil pengajuan perkara, Keadilan substantive yang
menjadi tujuan utama Mahkamah Konstitusi kembali diuji melalui proses
penyelesaian sengketa yang persentasenya pengajuan perkaranya dapat dikatakan
cukup tinggi . Hal ini mengingat penentuan ambang batas yang amat kental
mencederai pertimbangan persyaratan dan bukti kuat lainnya menjadi seolah gugur
begitu saja tanpa ada pertimbangan hukum yang matang didalamnya. Padahal dalam
realitasnya upaya penegakan keadilan substantive tersebut dapat dikatakan cukup
optimal oleh MK disini. Proses putusan dismissal sebagai gerbang penyaring dan
69
penyeleksian perkara secara mendalam juga menjadi upaya tambahan Mahkamah
Konstitusi dalam melindungi keadilan substansial di sini.
Berdasar pada teori yang telah dikemukakan oleh Sacipto Raharjo mengenai
hukum progresif langkah-langkah yang ditempuh Mahkamah Konstitusi dalam
memutus serangkaaian perkara yang diajukan dapat dikatakan selaras dengan
prinsip dan landasan hukum tertulis yang disuarankan oleh Undang-Undang namun
tidak mengesampingkan aspek substantive didalamnya. Argumentasi yang
membuat situasi persidangan diombang ambing perbedaan sudut pandang terhadap
beberapa pasal direspon secara bijak dan tetap dalam koridor yang tepat dan efisien.
Selaras dengan prinsip demokrasi adanya peradilan sengketa Pilkada ini
sebagai sarana pencari keadilan yang diamanatkan melalui Undang-Undang
membuat tambahan kewenangan kepada MK tersebut bernilai amat krusial
Pemberian kewenangan yang mengacu pada prinsip trias politika membuat peran
Mahkamah Konstitusi sebagai Lembaga Yudikatif sangatlah signifikan.
Namun bukan tanpa celah, pro dan kontra terhadap pasal 158 disini menuai
pandangan bahwasanya celah hukum yang ada dalam UU Pilkada cukup terbuka
dan menggoyahkan asas kepastian hukum didalmnya. Hal inilah yang memicu
problematika hukum yang perlu dicari solusinya. Dalam UU Pilkda sedemikian rupa
berupaya untuk memberikan sarana penunnjang demokrasi yang maksimal kepada
rakyat untuk memilih pemimpinnya namun dari sudut pandang lain metode
memperoleh kekuasaan dalam memimpin itulah yang harus dijaga agar
menciptakan mekanisme yang tetap berlandaskan keadian dan sesuai kehendak
70
rakyat. Untuk meraih keadilan inilah Indonesia sebagai negara hukum pada
dasarnya wajib untuk mengedepankan kepentingan warga negaranya dengan
menciptakan hukum yang dapat melindungi dan mengayomi hak warga negara
bukan hanya melenggangkan kepentingan politik didalamnya.15 Dari situlah terlihat
bahwasanya data antara selisih masing-masing calon menjadi tolak ukur
didalamnya, maka disisi lain akan ada potensi dan ambisi untuk berlomba-lomba
memperoleh suara secara tidak sehat melalui pelanggaran yang sifatnya terstriktur
sistematis dan massif menjadikan celah hukum didalamnya sangat dioptimalkan
untuk digunakan dalam melenggangkan kekuasaannya.16
Namun bukan tanpa antisipasi, Mahkamah Konstitusi disini juga berupaya
menjaga dan menyelaraskan amanh UU Pilkada tersebut melalui penerapan Putusan
dismissal disertai pemeriksaan pendahuluan. Hal ini dinilai urgen karena dengan
adanya pemeriksaan pendahuluan, semua permohonan yang masuk ke MK akan
dinilai terlebih dahulu pada tahapan ini. Sepanjang pemohon dapat menunjukkan
bukti-bukti yang kuat telah terjadi pelanggaran yang bersifat TSM dan bukti-bukti
tersebut mampu memberikan keyakinan pada hakim, ambang batas tidak dapat
dijadikan sebagai instrumen untuk membunuh upaya pencarian keadilan substantif
.
15 Janedjri M. Gaffar, Politik Hukum Pemilu, (Jakarta : Konstitusi Press, 2013), h. 57 16 Hamdan Zoelva , “Problematika Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada Oleh Mahkamah
Konstitusi”, Jurnal Konstitusi Vol.10, no.3 (September 2013): h.7
71
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Implementasi kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa
hasil Pilkda tahun 2017 dapat dikategorikan sangatlah efisien. Proses penyelesaian
sengketa melalui serangkaian tahapan sebelum melaju kemeja persidangan dinilai
dapat meminimalisir dampak terbuangnya waktu dalam proses persidangan yang
dibatasi oleh Undang-Undang. Namun bukan dengan mekanisme yang
mengabaikan hak konstitusional,melainkan MK berupaya maksimal membackup
semua perkara yang masuk dengan proses penanganan pemeriksaan pendahuluan
dan putusan dismissal yang membuat seolah penyelesaian sengketa menjadi lebih
efisien dalam hal jangka waktu dengan keterbatasan jumlah hakim yang ada.
Melihat aspek normatif didalamnya UU Pilkada yang menjadi batu pijakan dalam
proses penyelesaian sengketa hasil pilkada terlihat masih terdapat celah hukum
didalamnya. Tepat pada pasal 158 yang mengatur mengenai mabang batas menjadi
sorotan utama dan menuai pertanyaan yang menimbulkan hilangnya kepastian
hukum dalam beberapa aspek penyelesaian sengketa Pilkada.
Adanya benturan antara hak memperoleh keadilan yang diamanatkan oleh UUD
1945 pada pasal.28 D ayat 1 dengan asas mengesampingkan peraturan yang sifatnya
umum dan mengutamakan peraturan yang sifatnya khusus sesuai yang dituangkan
pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak dapat terelakkan. Tercermin
72
dari data persidangan, yang mendominasi argument dari kedua belah pihak yang
berperkara menjadikan pasala 158 UU Pilkada seperti pisau bermata dua.
Argumentasi tidak terpenuhinya unsur keadilan yang dicederai pelanggaran
bersifat TSM(terstruktur sistematis dan massif ) berbenturan dengan argumentasi
menuntut terpenuhinya asas formil dalam hal ambang batas sesuai yang tertulis di
UU Pilkada. Hal inilah yang perlu disoroti lebih lanjut dalam menerapkan UU
Pilkada tersebut terlepas dari upaya optimalisasi penegakan keadilan substansial
oleh Mahkamah Konstitusi dalam kewenangannya kali ini.
B. Saran
Berdasarkan pembahasan yang telah di ulas pada bab sebelumnya maka dalam
hal ini peneliti memberikan saran-saran sebagai berikut :
1. Kepada pembuat regulasi untuk meninjau kembali unsur dari pasal 158 UU
Pilkada guna mewadahi dan melindungi hak konasitusional warga negara
dalam memperoleh kepastian hukum.
2. Proyeksi pembentukan lembaga peradilan khusus sengketa Pilkada seperti
yang disebutkan pada pasal 157 lebih diutamakan agar Mahkamah Konstitusi
dapat fokus menjalankan tugas yang diamanatkan UUD 1945. Tentunya agar
proses penyelesaian sengketa dapat lebih mengandung unsur kepastian hukum
dari segi kelembagaan dan wewenagnya , optimal dalam pelaksanaanya, dan
Pilkada yang jujur demokratis dan tetap berkeadilan dapat terwujud..
80
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal
Al Iman, Abu Nashar Muhammad. Membongkar Dosa-Dosa Pemilu. Jakarta: Prisma
Media, 2004
Amiruddin dan Asikin, Zainal. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Cet. VIII.
Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Ana, Nur Rosihin. Pilkada Serentak 2015. dalam Majalah Konstitusi No.103
September 2015. Jakarta: Kepaniteraan dan Sekretariat Jendral, 2015
Anjarsari, Lulu. “Pertarungan Calon abdi daerah di MK.” Majalah Konstitusi Press.
No.112 (April 2017): h.13-15.
Bisariyadi, dkk.. “Komparasi Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu di Beberapa
Negara Penganut Paham Demokrasi Konstitusional”. Jurnal Konstitusi Vol. 9.
No.3, Sepetmber 2012.
Busroh, Abu Daud. Ilmu Negara. Jakarta : Sinar Grafika , 2011
Gaffar, Janedjri M. Demokrasi dan Pemilu di Indonesia, Cet. I. Jakarta: Konstitusi
Press, 2013
_____________. Politik Hukum Pemilu, Cet. II, Jakarta: Konstitusi Press, 2013
Hakim, Abdul dkk.. Memahami keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia.
Bandung: Citra Aditya Bakti., 2004
Hertanto dkk. Teori-Teori Politik dan Pemikiran Politik di Indonesia.. Bandarlampung.
Universitas Lampung, 2006
Kepala Daerah di Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya Terhadap Jaminan
Keamanan Nasional, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Jember. Vol 5 No. 6
April 2016
Lutfi, Mustafa. Hukum Sengketa Pemilukada di Indonesia- Gagasan Perluasan
Kewenangan Konstitusinal Mahkamah Konstitusi, Cet I, Yogyakarta: UII
Press, 2010.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.Anggono, Bayu Dwi. Pemabatasan
Pengajuan Perkara Hasil Pemilihan, 2016.
74
Mahmud Marzuki, Peter. Penelitian Hukum Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2015.
Manggalatung, A. Salman dan Yunus, Nur Rohim. Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara
(Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia). Jakarta : Prodi Ilmu Hukum UIN
Syarif Hidayatullah dan Fajar Media, 2013,
Nano, Arif, Bayu. “MK Tetap Tagakkan Keadilan Substantif.” Majalah Konstitusi
Press. No.112 (April 2017): h. 32-34
Pramudya, Kelik. “Mewujudkan Sistem Penyelesaian Hasil Pilakda Yang Efektf dan
Berkeadilan (Manifesting Effective And Fair Resoluution System and The
Local Election Result)”, Jurnal Rechtvinding Media Pembinaan Hukum
Nasional Vol.4, No. 1.(Apri 2015): h.123-179
Pratama, M. Heroik dan Debora Blandina Sinambela.. “Evaluasi Pilkada Serentak
2015, Sebuah Studi Mengenai Dinamika Pemungutan Suara di Pilkada 2015”
Jurnal Pemilu dan Demokrasi, edisi (April 2016): h.1-13
Raharjo, Satjipto. Membedah Hukum Progresif. Cet.II Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2007.
Rizky Ariestandi Irmansyah, S.H. Hukum, Hak Asasi Manusia dan Demokrasi
Yogyakarta.: Graha Ilmu, 2009
Rudy.. Hukum Pemerintahan Daerah Perspektif Konstitusionalisme Indonesia.
Bandarlampung: Indepth Publishing, 2012
Santoso, Topo, dkk.. Penegakan Hukum Pemilu Praktik Pemilu 2004, Kajian Pemilu
2004, Kalian Pemilu 2009-2014”. Jakarta: USAID- RSPPerludem,2016.
Santoso, Topo. Penegakan Hukum Pemilu – Praktik Pemilu 2004, Kajian Pemilu 2009-
2014. Jakarta : Perludem-US AID-DRSP, 2006.
Soehino. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty, 2007
Sudiro, Amad dan Bram Deni, Hukum dan Keadilan Aspek Nasional dan
Internasional, Cet. I. Jakarta: Raja Grafindo, 2013
Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum dalam Praktek, Cet. IV. Jakarta: Sinar Grafika,
2008.
75
Wibowo, Arif, Menata Ulang Sistem Penyelesaian dan Pelanggaran Pemilukada,
Dalam Buku : Demokrasi Lokal-evaluasi Pemilukada di Indonesia. Cet. II.
Jakarta : Konstitusi Press, 2013.
Zoelva Hamdan, “Problematika Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada Oleh
Mahkamah Konstitusi.” Jurnal Konstitusi Vol.10 No.3 (September 2013): h.7
Undang-undang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 TentangPenetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi
Undang-Undang.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan
Artikel dari Internet
Agus Sahbani “Fajar Laksono dan Cerita Tentang Sengketa Pilkada”, diakses pada
tanggal 12 Juli 2017 dari http://www.hukumonline.com
Hukum Online, “Wewenang MK dalam Mengadili Sengketa Hasil Pemilukada”,
diakses pada tanggal 12 Oktober 2016 dari
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6843/lembaga-yang-berwenang-
menangani-sengketa-hasil-pemilukada.
Mahkamah Konstitusi. “Polemik Badan Peradilan Khusus Sengketa Pilkada”. Artikel
diakses pada 12 Oktober 2016 dari
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=11647
Saldi Isra, “Ambang Batas Sengketa Pilkada”, diakses pada tanggal 12 Juli 2017 dari
https://www.saldiisra.web.id/index.php/tulisan/artikel-koran/12-
seputarindonesia/610-ambang-batas-sengketa-pilkada.html
76
LAMPIRAN
17 Nomor 122 • April 2017
Kategori Putusan AkhirPHP Kada Tahun 2017 Berdasarkan Syarat Permohonan
Selisih Suara Waktu Bukan Paslon
• ProvinsiBanten• ProvinsiAceh• ProvinsiGorontalo• KotaKendari• Kab.BengkuluTengah• Kab.Dogiyai• Kab.PulauMorotai• Kab.Jepara• Kab.NaganRaya• Kab.Tebo• Kab.Sarmi(2)• Kab.KepulauanSangihe• Kab.AcehUtara• Kab.AcehTimur• Kab.Pidie• Kab.AcehSingkil• Kab.Sorong• Kab.LannyJaya• Kab.ButonSelatan• Kab.Buru• Kab.HalmaheraTengah• Kab.Mappi• Kab.MalukuTenggaraBarat(2)• Kab.BanggaiKepulauan
• KotaTasikmalaya• KotaLangsa• KotaPayakumbuh• KotaBatu• KotaJayapura• Kab.Sarolangun• Kab.ButonTengah• Kab.Pati• Kab.Bireun• Kab.MalukuTengah• Kab.Buol• Kab.Sarmi
• KotaSorong• Kab.AcehBaratDaya
18 Nomor 122 • April 2017
Putusan SelaPerselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Bupati dan Wakil Bupati
dalam Pilkada Serentak Tahun 2017
No Daerah / Nomor Perkara Pemohon Putusan Tanggal
Putusan1 Kabupaten Tolikara
14/PHP.BUP-XV/2017Dr. (HC) John Tabo, S.E., MBA dan Barnabas Weya, S.Pd
Putusan Sela / ProvisiPemungutan suara ulang pada semua TPS di 18 (delapan belas) distrik di Kabupaten Tolikara paling lambat 60 hari kerja.
3 April 2017
2 Kabupaten Puncak Jaya 42/PHP.BUP-XV/2017
Yustus Wonda, S.Sos., M.Si dan Kirenius Telenggen, S.Th., M.CE
Putusan Sela / Provisi Pemungutan suara ulang di semua TPS di enam distrik yaitu Distrik Lumo, Distrik Yamoneri, Distrik Ilamburawi, Distrik Molanikime, Distrik Dagai dan Distrik Yambi paling lambat 60 hari kerja
4 April 2017
Putusan Akhir Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Gubernur dan Wakil Gubernur
dalam Pilkada Serentak Tahun 2017No. Daerah / Nomor
Perkara Pemohon Putusan Tanggal Putusan
1 Provinsi Aceh31/PHP.GUB-XV/2017
H. Muzakir Manaf dan Ir. H. T. A. Khalid, M.M
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf b UU Pilkada dengan ambang batas 1,5% karena jumlah penduduk Provinsi Aceh berjumlah 5.101.473 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan pemohon sebesar 132.283 suara (5,48%)
4 April 2017
2 Provinsi Gorontalo44/PHP.GUB-XV/2017
Hana Hasanah Fadel dan Tonny S Junus
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Provinsi Gorontalo berjumlah 1.143.765 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan pemohon sebesar 159.701 suara (24,8%)
4 April 2017
3 Provinsi Banten
45/PHP.GUB-XV/2017
Rano Karno dan Embay Mulya Syarief
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf c UU Pilkada dengan ambang batas 1% karena jumlah penduduk Provinsi Banten berjumlah 10.083.370 jiwa. Perbedaan jumlah jumlah total suara sah dengan pemohon sebe-sar 89.890 suara (1,90%)
4 April 2017
LAPORAN UTAMA
19 Nomor 122 • April 2017
Putusan Akhir Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Bupati dan Wakil Bupati
dalam Pilkada Serentak Tahun 2017No. Daerah / Nomor Perkara Pemohon Putusan Tanggal
Putusan
1 Kabupaten Intan Jaya 50/PHP.BUP-XV/2017
Bartolomius Mirip, S.Pd dan Deny Miagoni, S.Pd., M.Pd
Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Provinsi Papua untuk melakukan Rekapitulasi Penghitungan Suara Lanjutan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Intan Jaya Tahun 2017 paling lambat 14 hari kerja.
3 April 2017
2 Kabupaten Bengkulu Tengah(1/PHP.BUP-XV/2017)
M. Sabri, S.Sos., M.M. dan Naspian
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Bengkulu Tengah berjumlah 107.630 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 8.511 suara (14,70%)
3 April 2017
3 Kabupaten Jepara2/PHP.BUP-XV/2017
Dr. H. Subroto, S.E., M.M. dan H. Nur Yahman, S.H.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf d UU Pilkada dengan ambang batas 0,5% karena jumlah penduduk Kabupaten Jepara berjumlah 1.145.164 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 15.578 suara (2,50%)
3 April 2017
4 Kabupaten Tebo3/PHP.BUP-XV/2017
Hamdi, S.Sos., M.M. dan H. Harmain, S.E., M.M.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf b UU Pilkada dengan ambang batas 1,5% karena jumlah penduduk Kabupaten Tebo berjum-lah 324.420 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 17.700 su-ara (10,77%)
3 April 2017
5 Kabupaten Aceh Timur4/PHP.BUP-XV/2017
Ridwan Abubakar, S.Pd.I., M.M. dan Abdul Rani
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf b UU Pilkada dengan ambang batas 1,5% karena jumlah penduduk Kabupaten Aceh Timur berjumlah 419.143 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 4.530 suara (2,5 %)
3 April 2017
6 Kabupaten Aceh Singkil5/PHP.BUP-XV/2017
H. Safriadi, S.H. dan Sariman, S.P.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Aceh Singkil berjumlah 128.543 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 2.648 suara (4,38 %)
3 April 2017
7 Kabupaten Buton Selatan 6/PHP.BUP-XV/2017
H. Muhamad Faizal, S.E., M.S. dan Wa Ode Hasniwati
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Buton Selatan berjumlah 93.683 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 1.538 suara (3,8%)
3 April 2017
20 Nomor 122 • April 2017
8 Kabupaten Halmahera Tengah8/PHP.BUP-XV/2017
Muttiara T. Yasin, S.E., M.Si. dan Kabir Kahar, S.Ag.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Halmahera Tengah berjumlah 49.337 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 1.128 suara (3,87%)
3 April 2017
9 Kabupaten Mappi9/PHP.BUP-XV/2017
Drs. Aminadab Jumame dan Stefanus Yermogoin, S.Sos.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Mappi berjumlah 100.993 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 5.598 suara (12%)
3 April 2017
10 Kabupaten Maluku Tenggara Barat12/PHP.BUP-XV/2017
Dharma Oratmangun dan Markus Faraknimella
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Maluku Tenggara Barat berjumlah 120.985 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 2.130 suara (3,8%)
3 April 2017
11 Kabupaten Pidie15/PHP.BUP-XV/2017
H. Sarjani Abdullah dan M. Iriawan, S.E.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf b UU Pilkada dengan ambang batas 1,5% karena jumlah penduduk Kabupaten Pidie berjumlah 435.608 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 4.673 suara (2,34 %)
3 April 2017
12 Kabupaten Bireuen16/PHP.BUP-XV/2017
H.M. Yusuf Abdul Wahab dan dr. Purnama Setia Budi, Sp. OG.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 serta Pasal 1 angka 27, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) PMK 1/2017 tentang tenggang waktu pengajuan permohonan
3 April 2017
13 Kabupaten Aceh Barat Daya17/PHP.BUP-XV/2017
H. Said Syamsul Bahri dan Drs. H.M. Nafis A. Manaf, M.M.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Pemohon bukan merupakan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Aceh Barat Daya Tahun 2017
3 April 2017
14 Kabupaten Buol18/PHP.BUP-XV/2017
Dr. Ir. H. Syamsudin Koloi, M.S. dan Dra. Hj. Nurseha, M.Si.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 serta Pasal 1 angka 27, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) PMK 1/2017 tentang tenggang waktu pengajuan permohonan
4 April 2017
15 Kabupaten Buru20/PHP.BUP-XV/2017
Ir. Bakir Lumbessy, MBA. dan Amarullah Madani Hentihu, S.E.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Buru berjumlah 129.233 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 12.662 suara suara (17,91%)
3 April 2017
LAPORAN UTAMA
21 Nomor 122 • April 2017
16 Kabupaten Sarmi21/PHP.BUP-XV/2017
Ir. Albertus Suripno dan Adrian Roi Senis, Amd.Tek
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Sarmi berjumlah 36.051 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 1.924 suara (9,49%)
3 April 2017
17 Kabupaten Kepulauan Sangihe22/PHP.BUP-XV/2017
Drs. Hironimus Rompas Makagansa, M.Si. dan dr. Fransiscus Silangen, Sp.B., KBD
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Kepulauan Sangihe berjumlah 141.231 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 9.162 suara (10,83%)
3 April 2017
18 Kabupaten Nagan Raya23/PHP.BUP-XV/2017
Teuku Raja Keumangan, S.H., M.H. dan Said Junaidi, S.E.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Nagan Raya berjumlah 165.872 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 8.882 suara (9,18%)
4 April 2017
19 Kabupaten Aceh Utara24/PHP.BUP-XV/2017
Fakhrurrazi H. Cut dan Mukhtar Daud, SKH.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf c UU Pilkada dengan ambang batas 1% karena jumlah penduduk Kabupaten Aceh Utara berjumlah 569.426 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 16.636 suara (6,39%)
4 April 2017
20 Kabupaten Sarmi25/PHP.BUP-XV/2017
Drs. Mesak Manibor, M.MT. dan Sholeh
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 serta Pasal 1 angka 27, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) PMK 1/2017 tentang tenggang waktu pengajuan permohonan
4 April 2017
21 Kabupaten Sarolangun32/PHP.BUP-XV/2017
Drs. H. Muhammad Madel dan H. Musharsyah
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 serta Pasal 1 angka 27, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) PMK 1/2017 tentang tenggang waktu pengajuan permohonan
4 April 2017
22 Kabupaten Banggai Kepulauan33/PHP.BUP-XV/2017
Drs. H. Irianto Malingong, M.M. dan Hesmon Firatoni V.L. Pandili
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Banggai Kepulauan berjumlah 116.222 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 4.376 suara (6,45%)
4 April 2017
23 Kabupaten Buton Tengah37/PHP.BUP-XV/2017
Kiesman M. Talib Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 serta Pasal 1 angka 27, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) PMK 1/2017 tentang tenggang waktu pengajuan permohonan
4 April 2017
22 Nomor 122 • April 2017
24 Kabupaten Dogiyai38/PHP.BUP-XV/2017
Markus Waine dan Angkian Goo, S.Pi.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Dogiyai berjumlah 159.518 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 9.146 suara (7,22%)
4 April 2017
25 Kabupaten Sorong39/PHP.BUP-XV/2017
Zeth Kadakolo, S.E., M.M. dan H. Ibrahim Pokko
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf c UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Sorong berjumlah 117.945 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 11.898 suara (21.38%)
4 April 2017
26 Kabupaten Sarmi40/PHP.BUP-XV/2017
Demianus Kyeuw-Kyeuw, S.H., M.H. dan Ir. Musriadi HP., M.Si.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Sarmi berjumlah 36.051 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 4.059 suara (20,03%)
3 April 2017
27 Kabupaten Pati41/PHP.BUP-XV/2017
Gerakan Masyarakat Pati (GERAM PATI), dll
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 serta Pasal 1 angka 27, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) PMK 1/2017 tentang tenggang waktu pengajuan permohonan
4 April 2017
28 Kabupaten Maluku Tengah43/PHP.BUP-XV/2017
Alter Sopacua dan Aswar Rahim
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 serta Pasal 1 angka 27, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) PMK 1/2017 tentang tenggang waktu pengajuan permohonan
4 April 2017
29 Kabupaten Pulau Morotai46/PHP.BUP-XV/2017
M. Ali Sangaji, S.E., M.M. dan Yulce Makasarat, S.Th.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Pulau Morotai berjumlah 64.178 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 5.848 suara (15,26%)
4 April 2017
30 Kabupaten Lanny Jaya47/PHP.BUP-XV/2017
Briyur Wenda, S.Pd., MAP dan Paulus Kogoya, S.Sos.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf c UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Lanny Jaya berjumlah 115.597 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 34.566 suara (30,61%)
4 April 2017
31 Kabupaten Maluku Tenggara Barat49/PHP.BUP-XV/2017
Petrus P. Werembinan Taborat, S.H. dan Jusuf Siletty, S.H., M.H.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Maluku Tenggara Barat berjumlah 120.985 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 8.531 suara (15,37%)
4 April 2017
LAPORAN UTAMA
23 Nomor 122 • April 2017
Putusan AkhirPerselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Walikota dan Wakil Walikota
dalam Pilkada Serentak Tahun 2017
No. Daerah / Nomor Perkara Pemohon Putusan Alasan
1 Kota Sorong 7/PHP.KOT-XV/2017
Amos Lukas Watori, S.H. dan Hj. Noorjannah
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Pemohon bukan merupakan Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Aceh Barat Daya Tahun 2017
3 April 2017
2 Kota Batu 11/PHP.KOT-XV/2017
Rudi dan Sujono Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 serta Pasal 1 angka 27, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) PMK 1/2017 tentang tenggang waktu pengajuan permohonan
3 April 2017
3 Kota Langsa 19/PHP.KOT-XV/2017
Fazlun Hasan dan Syahyuzar AKA, S.Sos.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 serta Pasal 1 angka 27, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) PMK 1/2017 tentang tenggang waktu pengajuan permohonan
3 April 2017
4 Kendari 26/PHP.KOT-XV/2017
Abdul Rasak, S.P. dan Haris Andi Surahman, S.Pd.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf b UU Pilkada dengan ambang batas 1,5% karena jumlah penduduk Kota Kendari berjumlah 331.686 jiwa.Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 6.250 suara (4,13%)
4 April 2017
5 Kota Payakumbuh 27/PHP.KOT-XV/2017
Drs. H. Suwandel Muchtar, M.M. dan Drs. Fitrial Bachri
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 serta Pasal 1 angka 27, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) PMK 1/2017 tentang tenggang waktu pengajuan permohonan
3 April 2017
6 Kota Tasikmalaya35/PHP.KOT-XV/2017
Ir. H. Dede Sudrajat, M.P. dan dr. H. Asep Hidayat Surdjo, Sp.A., M.Kes.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 serta Pasal 1 angka 27, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) PMK 1/2017 tentang tenggang waktu pengajuan permohonan
4 April 2017
7 Kota Jayapura48/PHP.KOT-XV/2017
Lembaga Demokrasi dan Riset Papua (PDRI)
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 serta Pasal 1 angka 27, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) PMK 1/2017 tentang tenggang waktu pengajuan permohonan
4 April 2017
Top Related