12
II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
A. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Usahatani Kopi
Karo (2009) dalam tulisannya menjelaskan bahwa tanaman kopi merupakan
kelompok tumbuhan berbentuk pohon dalam marga Coffea. Tanaman kopi
tumbuh dengan optimal pada daerah-daerah yang terletak di antara 20o LU dan
20o LS. Berdasarkan data yang ada, Indonesia terletak di antara 5
o LU dan 10
o LS.
Hal ini berarti sangat ideal dan potensial bagi pengembangan tanaman kopi.
Tanaman kopi yang dirawat dengan baik umumnya sudah dapat berproduksi sejak
umur 2,5 tahun dan mulai berproduksi penuh sejak umur 4 tahun. Umur
ekonomis kopi robusta dapat mencapai 16 tahun (Tim Penulis PS, 2008). Namun
demikian, yang mempengaruhi tingkat produksi tanaman adalah proses budidaya
yang dilakukan seperti pemberantasan hama penyakit pemilihan bibit, dan
pemupukan.
2. Penentuan Mutu Kopi
a. Pengujian Mutu Kopi dengan Sensori Tes (Cupping Test)
Salah satu indikator kualitas kopi adalah dari rasa dan aromanya. Cupping test
merupakan salah satu teknik pengujian sensori untuk menguji citarasa kopi yang
13
umum digunakan. Cupping test digunakan oleh cupper untuk mengevaluasi
aroma dan mendeskripsikan flavor kopi.
Ada beberapa tahap pengujian yang dilakukan pada cupping, yaitu:
1) Penilaian warna biji kopi setelah disangrai dan digiling (bubuk kopi) yang
disebut dengan Agtron Number.
2) Penilaian fragrance/ keharuman – bau kopi sebelum diseduh – yaitu dengan
mencium bubuk kopi kering.
3) Pengujian aroma dilakukan pada kopi seduhan, sehingga berbeda dengan
fragrance.
4) Pengujian acidity/keasaman dilakukan dengan cara mencicip air kopi tanpa
ampas secara cepat ke dalam mulut, yaitu dengan cara menyeruput secara
cepat, sehingga semua syaraf lidah bekerja.
5) Penilaian flavor. Flavor merupakan persepsi keseluruhan dari karakteristik
aroma, rasa dan mouthfeel di belakang lidah saat meminum air kopi
6) Penilaian body, yaitu rasa “ketebalan” atau kekentalan minuman kopi saat di
mulut.
7) Penilaian after-taste, yaitu sensasi dan rasa kopi saat memasuki
kerongkongan saat ditelan.
8) Cupper’s Point Balance. Balance merupakan kombinasi penilaian dari 5
kategori menjadi satu penilaian total.
b. Pengujian Mutu Kopi melalui Biji Cacat (Defect)
Secara umum, kualitas biji kopi yang diperdagangkan diklasifikasikan
berdasarkan jumlah biji cacat, ukuran, dan kualitas biji. Berdasarkan sistem
14
klasifikasi menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 01-2907-2008) sebagai
berikut:
1) Mutu 1, dengan nilai cacat maksimal 11
2) Mutu 2, dengan nilai cacat 12-25
3) Mutu 3, dengan nilai cacat 26-44
4) Mutu 4a, dengan nilai cacat 45-60
5) Mutu 4b, dengan nilai cacat 61-80
6) Mutu 5, dengan nilai cacat 81-150
7) Mutu 6, dengan nilai cacat 151-255
8) Mutu 7 (asalan), dengan nilai cacat > 255
Ada beberapa macam keadaan pada biji kopi yang dapat dikategorikan sebagai
cacat, yaitu biji hitam; biji hitam sebagian; biji hitam pecah; biji gelondong; biji
coklat; kulit kopi husk ukuran besar, sedang, dan kecil; kulit kopi tanduk ukuran
besar, sedang, dan kecil; biji pecah; biji muda; biji berlubang satu; biji berlubang
lebih dari satu; biji bertutul; ranting, tanah, atau batu berukuran besar; ranting,
tanah, atau batu berukuran sedang; ranting, tanah, atau batu berukuran kecil.
Jumalh biji kopi yang dijasikan sampel seberat 300 gram.
c. Pengujian Mutu Kopi dengan Kadar Air dalam Biji
Standar pengujian kopi lainnya yang paling sering diterapkan adalah dengan
mengetahui kadar air dalam biji. Menurut SNI 01-2907-2008, kadar air
maksimum yang diizinkan yaitu 12,5%. Di lain pihak, menurut SCAA Green
Coffee Classification Method, grade I, II, dan III memiliki kisaran kadar air 9-
13%.
15
3. Nilai Ekonomi Kopi
Selain minyak, tidak ada komoditi yang lebih sering diperdagangkan di dunia
dibandingkan dengan kopi. Pada tahun 2006/2007, 5,8 juta ton kopi diekspor
dengan nilai ekspor kurang lebih 12.3 miliar dolar Amerika. Sebagian besar kopi
sedunia dihasilkan oleh petani rakyat di negara-negara tropis yang sedang
berkembang. Diperkirakan 20 sampai 25 juta petani rakyat dari enam puluh
negara lebih mengandalkan kopi sebagai tanaman perdagangan (OXFAM
International, 2008 dalam Donaghue, 2008).
Dari segi konsumsi, 80 persen kopi dikonsumsi di pasar konsumen. Kopi hanya
dapat tumbuh dengan baik di negara-negara beriklim subtropis dan tropis.
Kebanyakan negara-negara penghasil tersebut adalah negara berkembang.
Memang ada pasar dalam negeri di negara produsen kopi, namun hanya sebagian
kecil yang berkembang, Apabila dibandingkan dengan konsumsi dari penduduk
negara-negara maju, pasar tersebut menjadi terasa kecil. Oleh karena itu,
perdagangan kopi merupakan hubungan antara negara-negara kurang maju dan
pasar global yang penting untuk diperhitungkan.
Dalam dua puluh tahun terakhir, kepopuleran coffee bar (tempat untuk minum
kopi yang dianggap bergengsi) dan keberadaan konsumen (khususnya di negara-
negara maju) yang lebih tertarik mengkonsumsi kopi dengan mutu yang spesial
semakin bertambah. Konsumen coffee bar tersebut membayar lebih untuk
suasana dan kenikmatan coffee bar. Sebenarnya harga kopi tidak semahal itu,
tetapi nilai kenikmatan dan suasana coffee bar sangat mahal. Walaupun
demikian, menjamurnya coffee bar tersebut menimbulkan pertambahan konsumsi
16
kopi. Biasanya di tempat-tempat semewah itu konsumen diperkenalkan dengan
mutu kopi yang spesial. Akibatnya, konsumen menjadi loyal pada jenis kopi
tertentu dan berani membayar dengan harga lebih tinggi.
Bagi Indonesia, kopi merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang
mempunyai kontribusi nyata dalam perekonomian, yaitu sebagai penghasil devisa
ekspor, sumber pendapatan petani, penghasil bahan baku industri, penciptaan
lapangan kerja, dan pengembangan wilayah. Sebagai penghasil devisa ekspor,
nilai ekspor kopi terus meningkat dari tahun ke tahun, terutama dalam tiga tahun
terakhir. Hal ini dapat dilihat dari Gambar 1.
Dari luas areal 1,3 juta ha, sebagian besar perkebunan kopi diusahakan dalam
bentuk perkebunan rakyat (96%) dan sisanya diusahakan dalam bentuk
perkebunan besar (Tabel 2). Posisi tersebut menunjukkan bahwa peranan petani
dalam perkembangan perekonomian nasional masih cukup dominan. Volume
ekspor kopi Indonesia memberikan kontribusi lebih dari separuh volume ekspor
total komoditas pertanian, yaitu sebesar 60%. Sedangkan secara nilai ekspor
(FOB), kontribusi dari ekspor kopi mencapai lebih dari 40% dari total nilai ekspor
pertanian nasional (BPS, 2011).
4. Sistem Verifikasi 4C (Common Code for Coffee Community)
Data AEKI (2012) menyatakan bahwa jumlah ekspor kopi nasional mencapai 5
juta hingga 6 juta bags/tahun dan 70% disumbang oleh Lampung atau sekitar 250
ribu ton. Dari jumlah tersebut, 30-40% dieskpor ke Eropa yang merupakan
negara-negara pengimpor yang menerapkan kebijakan verifikasi oleh 4C.
Perkebunan kopi Lampung melibatkan 230 ribu kepala keluarga .
17
Biocert (2012) menyatakan bahwa program 4C merupakan program verifikasi
kopi yang dikembangkan oleh 4C Association, yaitu sebuah asosiasi industri kopi
dunia (produsen, prosesor, trader, pemerintah, LSM internasional) dimana para
anggotanya didorong untuk menerapkan aspek sosial, lingkungan dan ekonomi
dalam proses produksi, pengolahan dan pemasaran kopi-nya. Tujuan 4C ini untuk
mendorong perbaikan yang berkelanjutan dalam produksi kopi dunia dengan
mengacu pada Aturan Pelaksanaan (Code of Conduct) 4C yang bersifat sukarela.
Standar 4C mengacu pada standar - standar umum yang berlaku di sertifikasi
sektor perkopian, seperti standar Rainforest Alliance, Utz Kapeh, Organik,
C.A.F.E. Practices, namun skema verifikasi 4C tidak seketat skema sertifikasi
standar-standar tersebut. Verifikasi ini memberikan kesempatan bagi praktik yang
masih membutuhkan peningkatan disiplin lebih lanjut agar dapat memenuhi
standar. Karenanya program 4C dapat menjadi langkah awal menuju sistem
sertifikasi tersebut di atas.
Proses verifikasi akan menilai kesesuaian satu unit terhadap standar sekaligus
memberikan saran/masukan terhadap praktek produksi agar sesuai dengan standar
yang telah disepakati. Dengan kata lain verifikasi 4C memungkinkan perbaikan
yang berkelanjutan dan hal ini menjadi kekhasan program 4C dibandingkan
dengan program lainnya. Yang dimaksud unit dalam Asosiasi 4 C adalah
produsen, prosesor, pedagang, pemerintah, LSM internasional yang terdaftar
sebagai anggota.
Hasil verifikasi yang lolos namun masih memerlukan perbaikan lebih lanjut akan
mendapatkan nilai kuning. Jika satu produsen mendapatkan nilai rata-rata
18
(kuning) dari hasil verifikasinya, maka kopi yang diproduksi dapat dipasarkan
sebagai kopi 4C. Namun Asosiasi 4C tidak memberikan harga premium ataupun
jaminan pasar bagi kopi 4C, melainkan memasukkan produk kopi 4C yang telah
diverifikasi ke dalam daftar produsen dan mempublikasikannya di website 4C.
Calon-calon pembeli kopi 4C adalah anggota Asosiasi 4C yang berasal dari
kalangan industri yang telah berkomitmen untuk membeli kopi 4C sejumlah 2,8
juta bag sebagai persyaratan menjadi angota Asosiasi 4C. Harga kopi 4C
ditentukan dari hasil negosiasi langsung antara produsen dan pembelinya.
Kekhasan lain dari program 4C adalah biaya verifikasi ditanggung oleh Asosiasi
4C yang bersumber dari iuran anggota (produsen dan trader/industri). Karena
biaya verifikasi tidak hanya ditanggung oleh produsen saja maka setiap produsen
yang ingin mengikuti program ini harus menjadi anggota Asosiasi 4C dan
membayar biaya keanggotaan. Besarnya biaya keanggotaan ditentukan oleh
Sekretariat 4C sesuai dengan jumlah kopi yang diproduksi
(http://www.biocert.or.id, 2012).
Asosiasi 4C memiliki basis di Jerman. Untuk memperlancar proses verifikasi di
Indonesia, 4C Association menunjuk Lembaga Swadaya/Non-Governmental
Organization (NGO) untuk melakukan verifikasi tersebut. NGO tersebut antara
lain Biocert dan Control Union. Proses verifikasi yang dilakukan pada petani
kopi binaan Nestlé diwakilkan oleh Control Union.
Dalam pelaksanaanya, 4C memiliki Kode Perilaku yang berlaku bagi semua unit
tanpa terkecuali. Kode Perilaku merupakan instrumen inti dari Asosiasi untuk
menggalakkan produksi, pemrosesan, dan perdagangan kopi hijau yang
19
berkelestarian. Dalam kode perilaku ini terdapat tiga dimensi, yaitu dimensi
sosial, ekonomi, dan lingkungan.
a. Dimensi Sosial
Dalam dimensi sosial, merupakan dimensi yang menjamin persamaan kelayakan
dalam bekerja dan kondisi kehidupan petani dan keluarga sebagaimana pekerja
pada umumnya. Terdapat sebelas prinsip dalam dimensi ini, yaitu prinsip
kebebasan berserikat, kebebasan tawar menawar, persamaan hak, hak atas masa
kanak-kanak dan pendidikan, kondisi kerja, pengembangan kapasitas dan
keterampilan, kondisi kehidupan dan pendidikan. Prinsip kondisi kerja meliputi
adanya kontrak kerja, adanya kesesuaian jam kerja serta jam lembur dengan
peraturan yang berlaku, jaminan kesehatan dan keselamatan kerja oleh pemberi
kerja, kesetaraan upah antara pekerja tetap dengan pekerja musiman dan pekerja
per potong. Dimensi sosial ini diutamakan bagi perkebunan besar milik swasta
maupun pemerintah yang mempekerjakan tenaga kerja.
b. Dimensi Lingkungan
Secara garis besar dimensi lingkungan fokus kepada perlindungan hutan dan
konservasi keanekaragaman hayati seperti air, tanah, keanekaragaman hewan dan
tumbuhan, serta energi. Dimensi ini mengandung sebelas prinsip, yaitu :
1) Konservasi keanekaragaman hayati
2) Penggunaan dan penanganan bahan kimia, yang terdiri atas :
a. Meminimalkan penggunaan pestisida
b. Efek berbahaya dari pestisida dan bahan kimia lain yang digunakan pada
kesehatan manusia dan lingkungan diminimalkan
20
3) Konservasi tanah
4) Kesuburan tanah dan manajemen nutrisi, meliputi : (a) penggunaan pupuk
secara tepat, dan (b) menjalankan manajemen zat organik
5) Air, meliputi (a) pelestarian sumber air, dan (b) manajemen air limbah
6) Menjalankan strategi manajemen limbah yang aman
7) Energi, yang meliputi (a) mengutamakan penggunaan sumber energi
terbaharui, dan (b) pelestarian energi (efisiensi penggunaan energi).
c. Dimensi Ekonomi
Kode perilaku juga mengatur enam prinsip dalam dimensi ekonomi yang
membahas mengenai kelangsungan ekonomi sebagai basis dari kesejahteraan dan
keberlanjutan. Kelangsungan ekonomi meliputi penghasilan yang layak bagi
seluruh pelaku ekonomi dalam rantai kopi, kebebasan dalam akses pasar, dan
keberlanjutan mata pencaharian. Prinsip yang harus dijalankan dalam dimensi
ekonomi mencakup:
1) Informasi pasar yang dapat diakses secara bebas dalam unit 4C
2) Akses pasar, yaitu meningkatkan kemampuan para produsen mendapatkan
akses pasar yang memadai, termasuk informasi pasar, kredit keuangan,
pasokan masukan, dll
3) Pemantauan kualitas kopi. Kualitas kopi secara teratur dinilai, berdasarkan
berbagai atribut pasar yang berbeda seperti kelembaban, cacat, citarasa,
aroma, atau keasaman di samping atribut kelestarian. Laporan-laporan ini
dibuat dan tersedia bagi petani.
21
Petani kopi tidak selalu memperhatikan atribut kualitas dan kelestarian dalam
produk mereka pada saat penjualan. Kurangnya kesadaran produk ini
mengakibatkan harga yang lebih rendah untuk petani. Akses ke penilaian
rutin atas mutu kopi inilah yang memungkinkan petani memperkirakan
dengan lebih baik nilai hasil panen mereka. Dengan ini mereka bisa
bernegosiasi lebih baik bagi kopi mereka, termasuk harga yang lebih tinggi.
Akses ke penilaian mutu kopi juga mendorong petani memperbaiki kualitas
dan menjajaki praktik produksi yang berkelestarian.
4) Penyimpanan catatan yang digunakan untuk memantau efisiensi produksi
akan membawa perbaikan bagi kinerja kebun
5) Perniagaan, yaitu tersedia mekanisme penentuan harga yang transparan untuk
mencerminkan kualitas kopi dan praktik-praktik produksi yang
berkelestarian.
6) Mekanisme keterlacakan internal dijalankan. Kopi dengan kualitas dan/ atau
asal-usul yang berbeda dicampur. Ini berarti menghasilkan harga keseluruhan
kopi yang lebih rendah dan transparansi rantai pasoka yang lebih buruk.
Keterlacakan yang lebih tinggi memungkinkan pembeli menilai kopi
berdasarkan atribut asal-usul uniknya dan dengan lebih baik menghargai
setiap petani yang menghasilkan kopi berkualitas tinggi.
Selain ketiga dimensi di atas,dalam kode perilaku Unit 4C terdapat sepuluh
praktik yang tidak boleh dilakukan sebagai prasyarat menjadi anggota 4C, yaitu:
1) Penggunaan tenaga kerja anak.
2) Perbudakan dan kerja paksa.
3) Perdagangan manusia.
22
4) Larangan untuk bergabung dalam serikat pekerja atau keterwakilan oleh
serikat pekerja.
5) Penggusuran paksa tanpa menyediakan kompensasi.
6) Perumahan yang tidak layak apabila dibutuhkan oleh pekerja.
7) Ketiadaan air yang layak bagi pekerja.
8) Perusakan sumber daya alam dan hutan primer.
9) Penggunaan pestisida yang dilarang.
10) Transaksi amoral dalam bisnis menurut perjanjian internasional serta hukum
dan praktik nasional.
d. Sistem Penilaian 4C
Untuk mengukur perwujudan dari ke 28 prinsip dalam tiga dimensi di atas,
diberlakukan sistem penilaian “The Traffic Light System”. Sistem ini memilki tiga
tingkatan penilaian yaitu hijau, merah, dan kuning. Masing-masing tingkat
penilaian mengilustrasikan perwujudan dari 28 prinsip tersebut. Merah
mengindikasikan praktik di lapangan tidak boleh dilanjutkan sama sekali atau
tidak lolos verifikasi. Kuning mengindikasikan bahwa praktik di lapangan masih
dalam tahap, yaitu dapat lolos namun memerlukan perbaikan lebih lanjut. Hijau
merefleksikan praktik yang telah sesuai dengan prinsip yang berlaku (Asosiasi
4C, 2009).
e. Verifikasi 4C pada Program Pembinaan Nestlé
Verifikasi 4C mulai menjadi tren di kalangan pasar kopi dunia sejak tahun 2008.
Kemudian, Nestlé memutuskan menggunakan verifikasi ini sebagai standar
pembinaan petani sejak tahun 2010. Hal ini dilakukan untuk memudahkan
23
penilaian terhadap kondisi perkebunan petani. Selain itu, agar petani dapat
dengan mudah mengakses pasar dunia jika sudah menjadi bagian dari wadah
pemasaran yang mendunia.
Asosiasi 4C memiliki basis di Jerman. Karena asosiasi ini memiliki anggota yang
tersebar di banyak negara, 4C membutuhkan LSM yang dapat menjadi
kepanjangan tangan untuk proses verifikasi anggota. Di Indonesia sendiri, Bio-
Cert dan Control Union merupakan lembaga sertifikasi independen (LSM) yang
menjadi kepanjangan tangan 4C tersebut. Control Union menjadi lembaga yang
mengurusi verifikasi anggota yang berasal dari petani binaan Nestlé.
5. Kelayakan Finansial
Untuk mengetahui Soetriono (2010) berpendapat bahwa analisis finansial adalah
analisis kelayakan yang melihat dari sudut pandang petani sebagai pemilik. Pada
analisis finansial, diperhatikan segi cash-flow dari suatu proyek/usahatani yaitu
perbandingan antara hasil penerimaan atau penjualan kotor (gross-sales) dengan
jumlah biaya-biaya (total cost) yang dinyatakan dalam nilai sekarang untuk
mengetahui kriteria kelayakan atau keuntungan suatu proyek. Hasil finansial
sering juga disebut “private returns”. Beberapa hal lain yang harus diperhatikan
dalam analisis finansial ialah returns (pendapatan) diperhitungkan sebelum pihak-
pihak yang berkepentingan dalam pembangunan proyek kehabisan modal.
Studi kelayakan perlu dilakukan untuk menganalisis bagaimana perkiraan aliran
kas yang akan terjadi. Analisis ini akan mencermati kinerja keuangan usahatani
yang berumur tahunan seperti kopi. Alur biaya dan penerimaan akan dilihat dari
tahun pertama kopi ditanam, dimana petani baru menanamkan investasi tetapi
24
belum mendapatkan hasil, sampai dengan proyeksi alur keuangan saat umur
ekonomis tanaman berakhir.
Pada umumnya ada beberapa metode yang biasa dipertimbangkan untuk dipakai
dalam penilaian aliran kas dari suatu investasi, yaitu metode Net B/C Ratio, Gross
B/C Ratio, Payback Period, Net Present Value, dan Internal Rate of Return
(Kadariah, 2001). Yang termasuk dalam biaya investasi dalam perkebunan kopi
adalah bibit kopi, bibit tanaman naungan, peralatan berusahatani seperti hand
sprayer, cangkul, arit, terpal, dan sebagainya.
6. Analisis Incremental
Metode lain yang dapat digunakan adalah analisis incremental. Pendekatan yang
umum digunakan dalam pemilihan suatu alternatif penyelesaian adalah dengan
membandingkan alternatif secara berpasangan (pairwise comparison). Dengan
metode ini, apabila terdapat lebih dari dua alternatif, dalam penelitian ini
mengikiti program atau tidak mengikuti program, penentuan alternative terbaik
dilakukan melalui proses analisis dan evaluasi secara bertahap dengan
menggunakan teknik incremental analysis (Salengke, 2011).
Analisis incremental adalah cara pengambilan keputusan di mana biaya
operasional atau pendapatan dari satu alternatif dibandingkan dengan alternatif
lain. Alternatif keputusan terbaik adalah biaya operasional terkecil atau
pendapatan yang terbesar. Analisis incremental ini fleksibel, dimana data dapat
dihitung dan disajikan untuk alternatif keputusan berdasarkan periode, seperti
hari, minggu, bulan atau tahun.
25
7. Analisis Sensitivitas
Menurut Gittinger (1993), analisis sensitivitas adalah suatu kegiatan menganalisis
kembali suatu proyek untuk melihat apakah yang akan terjadi pada proyek
tersebut bila suatu proyek tidak berjalan sesuai rencana. Analisis sensitivitas
mencoba melihat realitas suatu proyek yang didasarkan pada kenyataan bahwa
proyeksi suatu rencana proyek sangat dipengaruhi unsur-unsur ketidakpastian
mengenai apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Semua proyek harus
diamati melalui analisis sensitivitas.
Gittinger (1993) menyatakan bahwa dalam bidang pertanian, proyek sensitif untuk
berubah, yang diakibatkan oleh empat masalah utama, yaitu :
a) Harga, terutama perubahan dalam harga hasil produksi yang disebabkan oleh
turunnya harga di pasaran.
b) Keterlambatan pelaksanaan usahatani. Dalam usahatani dapat terjadi
keterlambatan pelaksanaannya karena ada kesulitan-kesulitan secara teknis
atau inovasi baru yang diterapkan, atau karena keterlambatan dalam
pemesanan dan penerimaan peralatan.
c) Kenaikan biaya, baik dalam biaya investasi maupun biaya operasional, yang
diakibatkan oleh perhitungan-perhitungan yang terlalu rendah.
d) Kenaikan hasil, dalam hal ini kesalahan perhitungan hasil.
Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat apakah yang akan terjadi pada
analisis usaha jika terdapat suatu kesalahan atau perubahan dalam dasar-dasar
perhitungan biaya maupun manfaat atau penerimaan. Analisis kepekaan ini
dilakukan untuk meneliti kembali suatu analisis kelayakan usaha agar dapat
26
melihat pengaruh yang akan terjadi akibat adanya keadaan yang berubah atau
kesalahan dalam perhitungan. Hal ini terjadi karena dalam menganalisis
kelayakan suatu usaha, biasanya didasarkan pada proyeksi yang mengandung
banyak ketidakpastian dan perubahan yang akan terjadi di masa datang.
8. Persepsi
Persepsi adalah suatu proses yang didahului oleh penginderaan. Penginderaan
adalah suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat penerimaan
yaitu alat indera. Stimulus yang mengenai individu kemudian diorganisasikan,
diinterpretasikan, sehingga individu menyadari tentang apa yang diinderakannya
tersebut. Dengan persepsi individu dapat menyadari, dapat mengerti tentang
keadaan lingkungan yang ada disekitar, dan juga tentang keadaan diri individu
yang bersangkutan (Davidoff, 1981 dalam Walgito,1978).
Persepsi tidak hanya datang dari luar diri individu, tetapi juga dapat datang dari
dalam individu yang bersangkutan.Apabila yang menjadi objek persepsi adalah
diri individu sendiri maka disebut dengan persepsi diri, karena dalam persepsi
tersebut merupakan aktivitas terintegrasi, maka seluruh apa yang ada dalam diri
individu seperti perasaan, pengalaman, kemampuan, berfikir, kerangka acuan, dan
aspek lainnya yang ada dalam diri individu akan ikut berperan dalam persepsi
tersebut (Walgito, 1978).
9. Kajian Penelitian Terdahulu
Berdasarkan hasil penelitian Andriyanti (2005), seiring bimbingan yang dilakukan
sejak tahun 1994 sampai sekarang, ada dua jenis biji kopi yang diperdagangkan
petani binaan Nestlé, yaitu : (1) kopi mutu non-grade adalah kopi dengan kadar
27
air lebih dari dua belas persen dan defect lebih dari 150. Umumnya kopi mutu ini
dihasilkan petani karena terdesak kebutuhan atau petani-petani dengan luas
pengusahaan lahan kurang dari 0.75 hektar dan modal terbatas, dan (2) 86%
petani menghasilkan kopi mutu Nestlé. Kopi mutu Nestlé ini terdiri atas dua jenis
mutu yaitu mutu A1 (kadar air 11 persen dan defect 80) dan A2 (kadar air kurang
dari 11 persen dengan defect 80-100). Kopi mutu Nestlé ini dihasilkan dari
pemanenan „petik merah kuning‟ dan penanganan pascapanen yang lebih baik dari
kopi non-grade.
Hasil pengamatan terhadap struktur penerimaan dan biaya usahatani petani KUB
menunjukkan nilai imbangan penerimaan terhadap biaya (R/C Ratio) sebesar 2,14.
Petani Non-KUB memperoleh nilai R/C Ratio sama dengan 2,13. Nilai R/C Ratio
antara petani KUB dengan petani non-KUB tidak berbeda jauh, dikarenakan
adanya perbedaan harga per satuan berat masing-masing jenis pupuk.
Guna memperoleh efek dari pembinaan Nestlé, dilakukan analisis Incremental
B/C Ratio. Analisis ini menggunakan data struktur biaya usahatani petani non-
KUB sebagai kontrol. Hasil analisis Incremental B/C Ratio bernilai 2,14.
Penerimaan total petani KUB dengan adanya pembinaan dari PT. Nestlé lebih
besar dari biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk usahataninya. Berdasarkan
hasil perhitungan, petani KUB memperoleh pendapatan rata-rata sebesar Rp.
2.136.580,32/ha/th. Pendapatan rata-rata petani non-KUB adalah Rp.
1.558.763,95/ha/th. Maka pendapatan petani KUB 37,07 persen lebih tinggi
dibandingkan pendapatan yang diperoleh petani non-KUB. Berdasarkan nilai
Incremental B/C Ratio sebesar 2,15 menunjukkan bahwa pembinaan yang
dilakukan oleh Nestlé membawa efek yang baik terhadap penerimaan petani kopi.
28
Budidarsono dan Wijaya (2004) dalam penelitiannya mengenai budidaya kopi
multistrata (agroforestri) yang mendapatkan premium fee melalui label konservasi
menunjukkan bahwa pola budidaya kopi multistrata jauh lebih menguntungkan
dibandingkan pola monokultur. Dalam penelitian tersebut diketahui bahwa jenis
budidaya kopi multistrata menghasilkan NPV positif. Sedangkan budidaya kopi
monokultur menghasilkan nilai NPV negatif untuk pola pionir-tradisional. Secara
finansial kemampuan memberikan IRR dari budidaya kopi multistrata berkisar
antara 21.4% dan 36.5%; relatif lebih besar dari pada tingkat bunga resmi pada
tahun 2000. Penelitian ini menunjukkan bahwa budidaya kopi dengan tetap
memperhatikan kelestarian lingkugan seperti melalui teknik multistrata ini juga
dapat memberikan keuntungan lebih besar dibandingkan budidaya kopi
konvensional (monokultur).
Hasil penelitian Maimun (2009) yang bertujuan membandingkan pendapatan,
nilai tambah kopi bubuk, serta saluran pemasaran antara kopi arabika organik dan
non-organik menunjukkan penerimaan petani untuk kopi arabika organik adalah
sebesar Rp. 30.450.000,- dihasilkan dari 2.100 kg per tahun. Sedangkan untuk
kopi arabika non organik penerimaan petani sebesar Rp. 24.375.000,00 dari 1.950
kg per tahun kopi yang mereka jual. Dengan adanya peralihan dari usahatani kopi
arabika non organik ke kopi arabika organik, maka di dapatkan hasil R/C rasio.
R/C atas biaya tunai sebesar 6,82 persen dan R/C atas biaya total sebesar 2,98
persen untuk kopi organik. Sedangkan R/C atas biaya tunai untuk kopi non
organik sebesar 6,33 persen dan R/C atas biaya total sebesar 2,51 persen.
Dari hasil analisis usahatani biaya kopi arabika organik dan non organik tidak
berbeda jauh selisih biayanya. Pendapatan usahatani kopi arabika organik lebih
29
besar dibandingkan dengan usahatani kopi arabika non organik. Hal ini bisa
disimpulkan bahwa budidaya kopi organik lebih menguntungkan.
Nilai tambah yang diperoleh oleh Industri kopi bubuk Ulee Kareng untuk kopi
arabika non organik sebesar Rp. 24.432,54 dan rasio nilai tambahnya 58,17
persen. Sedangkan nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan kopi bubuk
arabika organik sebesar Rp. 30.832,54 dan rasio nilai tambahnya adalah 58,72
persen. Hal ini bisa disimpulkan bahwa pengolahan kopi organik lebih
menguntungkan karena nilai tambah bubuk kopi arabika organik lebih besar
dibandingkan kopi arabika non organik.
Donahague (2008) yang meneliti mengenai Peran Informasi dalam Sertifikasi
Kopi Organik mendapatkan hasil bahwa keterlibatan petani kecil dalam proses
sertifikasi kopi organik dapat memberikan keuntungan baik langsung maupun tak
langsung. Keuntungan sosial-ekonomis langsung mencakup price premium dan
mengurangi pemakaian bahan kimia, yang biasanya sangat mahal bagi produsen
kecil. Pemakaian ini mahal dan bisa merugikan petani. Namun, terdapat kendala
dalam pemasaran yaitu jumlah para konsumen yang tertarik untuk membeli kopi
organik dengan harga yang lebih tinggi sangat terbatas, walau jumlah produsen
meningkat. Oleh karena itu, price premium tersebut menurun terus menerus.
Keuntungan tak langsung yang didapatkan oleh petani kecil yang mengikuti
proses sertifikasi kopi organik adalah semakin kuatnya proses kemitraan di tingkat
lokal maupun internasional. Sehingga, petani memiliki lebih banyak kesempatan
untuk meningkatkan nilai tambah produknya, sebab kemitraan baru ini
meningkatkan akses petani kepada pasar yang baru, selain informasi baru.
30
Biasanya petani kopi rakyat tidak mengetahui tentang pasar mereka, termasuk
standard kualitas yang dikehendaki oleh konsumen produk itu. Keterlibatan
produsen kecil dalam proses sertifikasi ini dapat menguntungkan karena informasi
dari mitra-mitra yang lebih dulu bergabung bisa diakses oleh petani itu. Selain
itu, melalui kemitraan dengan LSM lokal, petani bisa mengakses informasi dari
LSM yang lain dan menjalin kemitraan dengan perdagangan yang lebih luas.
Tandisau dan Herniwati (2009) yang melakukan penelitian di Sulawesi Selatan
mengungkapkan bahwa ada selisih harga yang besar antara produk pertanian
organik (tersertifikasi/terverifikasi) dengan non organik. Selisih harga mencapai
30% – 100%. Dengan penerapan teknologi pertanian organik secara baik,
diharapkan hasil yang diperoleh relatif sama dengan pertanian non organik.
Dengan demikian pendapatan petani akan meningkat, lingkungan sehat dan aman,
kondisi lahan tetap subur, mampu memberikan hasil yang tinggi secara kontinyu.
Manfaat yang didapat tersebut diharapkan dapat membuat petani tergerak dan
termotivasi untuk mengembangkan pertanian organik.
Masalah dan hambatan tetap terjadi dalam pengembangan pertanian organik.
Beberapa di antaranya adalah :
1) Pertanian organik menekankan pemberian bahan organik (pupuk organik),
sedangkan kadar hara bahan organik sangat rendah sehingga diperlukan
dalam jumlah banyak untuk dapat memenuhi kebutuhan hara tanaman.
2) Pengakuan sebagai pelaku pertanian organik harus melalui proses akreditasi
dan sertifikasi. Hal ini menjadi kendala karena pembentukan lembaga
akreditasi untuk produk tiap sub sektor di Indonesia mungkin belum
terpenuhi.
31
3) Lembaga pendukung kelompok tani, penyuluh, lembaga pemasaran, serta
pendukung lainnya harus dipersiapkan
4) Petani selama ini telah terbiasa dengan Revolusi Hijau dimana praktik
pertanian relatif serba cepat dengan bahan-bahan kimia, mudah, kebutuhan
relatif lebih sedikit. Tantangan dari keadaan ini adalah mengubah petani
kembali menjadi tekun, sabar dan mau bekerja keras.
5) Diperlukan inovasi teknologi pemanfaatan bahan organik yang sederhana,
cepat, mudah diaplikasikan, tidak membutuhkan waktu dan tenaga yang
banyak dalam proses pembuatan dan penanganan sampai pada aplikasinya.
Ini merupakan tantangan bagi peneliti.
B. Kerangka Pemikiran
Program verifikasi merupakan suatu program yang difokuskan untuk
meningkatkan mutu suatu komoditas. Program verifikasi ini menjadi suatu faktor
penting dalam perdagangan internasional dimana terjadi persaingan yang dapat
dikatakan tidak mengalami distorsi. Oleh sebab itu, sebagai komoditas yang
sangat laku di pasar internasional, produsen kopi perlu melengkapi produknya
dengan label “terverifikasi” maupun “tersertifikasi”. Hal ini menjadi penting
dikarenakan tingginya permintaan pasar akan kopi bermutu dan tingginya tingkat
persaingan kopi di antara negara-negara produsen.
Lampung sebagai salah satu daerah penghasil kopi terbesar di Indonesia, terutama
kopi yang ditujukan untuk ekspor perlu melihat verifikasi ini sebagai suatu
prasyarat dalam kegiatan produksinya. Hal ini ditujukan agar kopi tersebut
32
memiliki nilai jual yang tinggi dan tidak kalah bersaing. Juga, untuk menghindari
penolakan kopi di pasar internasional yang disebabkan oleh rendahnya mutu.
PT Nestlé Indonesia Pabrik Panjang yang merupakan industri penghasil kopi
bubuk instan memiliki standar mutu yang harus dipenuhi guna menjaga kepuasan
konsumen. Untuk itu, Nestlé membutuhkan bahan baku yang bermutu tinggi
pula. Oleh sebab itu, perusahaan berusaha mendidik petani dengan cara berkebun
yang dapat menghasilkan kopi bermutu dengan sistem kemitraan yang tidak
mengikat. Sejak tahun 2008, pembinaan Nestlé ini ditujukan agar perkebunan
kopi rakyat milik petani dapat memperoleh verifikasi 4C untuk menstandarisasi
produknya, baik yang dijual dalam bentuk kopi instan maupun yang disalurkan
dalam bentuk bahan baku.
Sebagai program yang utamanya bertujuan meningkatkan mutu produk kopi,
maka mutu juga menjadi fokus dalam penelitian ini, apakah benar tercapai
peningkatan mutu kopi. Peningkatan mutu kopi ini diukur melalui sudut pandang
(persepsi) petani selaku produsen kopi.
Selama 17 tahun pembinaan dan 2 tahun program verifikasi ini berjalan, jumlah
petani binaan Nestlé terus bertambah. Secara kasar dapat disimpulkan bahwa
petani merespon dan memiliki persepsi yang baik terhadap program verifikasi
karena petani merasa menghasilkan produk yang baik dan laku dijual dengan
harga yang bagus dan sesuai harga dunia tanpa dikenai potongan-potongan akibat
adanya kekurangan dalam mutu.
Proses produksi yang dijalani sesuai himbauan Nestlé ini sebenarnya memerlukan
biaya yang lebih tinggi dibandingkan sistem produksi kopi konvensional. Di lain
33
hal, petani mendapatkan premium fee sehingga harga jualnya menjadi lebih tinggi
sehingga perlu dikaji ulang apakah besarnya premium fee ini sebanding atau lebih
besar dibandingkan kenaikan biaya produksi. Hal ini perlu diketahui agar tidak
terjadi keuntungan hanya di satu pihak, yaitu perusahaan, sedangkan petani
sebagai pelaku utama justru mengalami kerugian.
Cukup rumitnya prosedur dan syarat-syarat (kode perilaku) verifikasi 4C
sebenarnya ditujukan untuk menguntungkan seluruh unit yang tergabung di dalam
asosiasi tersebut, yaitu produsen, pedagang perantara, industri pengolah, dan
konsumen. Namun, dari sistem pemasaran produk pertanian yang umum terjadi
di usahatani rakyat di Indonesia, petani sebagai produsen justru mendapatkan
keuntungan (share) terkecil, bahkan tidak jarang mengalami kerugian. Dengan
demikian perlu adanya pengkajian secara kuantitatif untuk membuktikan apakah
program verifikasi memberikan peningkatan hasil yang nyata terhadap kelayakan
finansial usahatani kopi tersebut. Agar terlihat perbedaan kelayakan usahatani
tersebut, maka penelitian ini melihat kelayakan kedua jenis usahatani, yaitu yang
telah melakukan verifikasi dan belum melakukan verifikasi.
Kelayakan finansial diukur dengan beberapa metode yang biasa dipertimbangkan
untuk dipakai dalam penilaian aliran kas dari suatu investasi, yaitu metode Net
B/C Ratio, Gross B/C Ratio, Payback Period, Net Present Value, dan Internal
Rate of Return.
Program verifikasi ini mengedepankan dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Oleh sebab itu, pengkajian juga perlu dilakukan untuk menganalisis manfaat yang
dirasakan pada ketiga dimensi tersebut menurut persepsi petani. Untuk lebih
34
jelas, kerangka pikir analisis manfaat verifikasi kopi dalam upaya peningkatan
mutu kopi dapat dilihat pada Gambar 2.
C. Hipotesis
Untuk menjawab tujuan dari penelitian ini, telah disusun hipotesis, yaitu:
1) Diduga, usahatani kopi program verifikasi memberikan manfaat secara
finansial.
2) Diduga, menurut persepsi petani program verifikasi kopi dapat memberikan
manfaat sosial, ekonomi, dan lingkungan.
3) Berdasarkan persepsi petani, diduga program verifikasi kopi dapat
meningkatkan mutu kopi yang dihasilkan.
35
Gambar 2. Kerangka pikir analisis manfaat pembinaan dan verifikasi kopi
dalam upaya peningkatan mutu kopi
Mutu Kopi
Usahatani Kopi
Terverifikasi
Petani Binaan
Pembinaan Nestlé
Sosial
- Manfaat Sosial
menurut Persepsi
Ekonomi
- Analisis Kelayakan
Finansial (NPV, IRR,
Gross B/C, Net B/C,
PP)
- Analisis Incremental
B/C Ratio
- Analisis Sensitivitas
- Manfaat Ekonomi
menurut Persepsi
Petani
Manfaat
Output Proses Input
- SDM
- Faktor
Produksi
- Input
Penunjang
Lingkungan
- Manfaat Lingkungan
menurut Persepsi
Usahatani Kopi
Non-Verifikasi
Produk Kopi
Petani Tidak Dibina
Penilaian Kinerja oleh 4C
Top Related