5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Agronomi Tanaman Apel
Apel (Mallus sylvestris Mill) merupakan tanaman buah tahunan yang berasal dari
daerah Asia barat dengan iklim subtropis. Di Indonesia Apel telah ditanam sejak tahun
1934 hingga saat ini. Apel dapat tumbuh dan berbuah baik di dataran tinggi yang
memiliki temperatur rendah. Sampai saat ini belum banyak daerah yang
mengembangkan tanaman ini secara luas (Rumita dan Handoko, 2010).
Menurut sistematika, tanaman apel termasuk dalam :
Divisio : Magnoliophyta
Subdivisio : Angiospermae
Klas : Magnoliopsida
Ordo : Rosales
Famili : Rosaceae
Genus : Malus
Varietas apel sangat beragam, contohnya : Fuji, Red Delicious (Washington),
Gala Ambrosia, Granny Smith, Rome Beauty dan Manalagi. Setiap jenis apel memiliki
pertumbuhan yang berbeda-beda. Seperti diungkapkan oleh Khattak (2007) yang
meneliti tanaman apel varietas USDA, Golden Delicious dan Liberty menunjukkan
bahwa setiap varietas memiliki pertumbuhan yang berbeda-beda. Pertumbuhan
tersebut dilihat dari pertumbuhan embrio, panjang tunas, panjang akar dan jumlah
daun.
6
(a) (b) (c)
(d) (e) (f)
Gambar 1. Varietas Apel (a) Fuji, (b) Red Del (Washington), (c) Rome Beauty,
(d) Gala Ambrosia, (e) Granny Smith, (f) Manalagi (Dok.Pribadi)
Kultivar Fuji (Gambar 1.a) merupakan hasil persilangan antara Ralls janet
(Kakko) dengan Red Delicious yang dikembangkan oleh The Fruit Tree Research
Station (sekarang National Institute of Fruit Tree Science) MAFF, Jepang. Kultivar ini
diberi nama Fuji pada tahun 1962 dan diregister dalam Register Pertanian dan
Kehutanan sebagai Apel no. 1 Norin. Kultivar ini sekarang selain disukai di tempat
asalnya Jepang juga telah populer di banyak negara di dunia (Yomusa, 2015).
Berat buah sekitar 300 gram, Bentuknya bulat sampai lonjong, berwarna merah
sampai coklat kemerahan gelap. Belang jelas dengan warna dasar kuning. Keadaan
fusarium layu dan bentuk buah tidak bagus sering terjadi pada beberapa tahun.
Buahnya sangat manis dengan rasa asam sedang, mengandung banyak sari buah dan
rasanya enak. Daging buah berwarna putih kekuningan, keras dan agak kasar.
Cenderung mengandung banyak air. Kandungan gula sekitar 15%, keasaman 0,4 –
7
0,5% dan kekerasan daging buah sekitar 15 pounds. Kultivar apel ini dapat disimpan
lama, sekitar 90 hari pada suhu normal dan sekitar 150 hari pada cold storage
(Pudjiatmoko, 2008).
Apel Red Delicious (Washington) (Gambar 1.b) Berasal dari Amerika, kulit agak
tebal, warna kulit merah hati bergaris-garis, daging buah lunak, berair, rasa manis
sedikit asam. Enak dimakan dalam keadaan segar. Kelebihan dari varietas ini adalah
tanaman lebih pendek dan dapat tumbuh dan berbuah dengan cepat (Yomusa, 2015).
Varietas Rome Beauty (Gambar 1.c) adalah salah satu dari 2 jenis apel andalan
kota Malang. Apel ini berbentuk agak bulat dengan lekukan di bagian ujung relatif
dalam. Daging buah keras, bertekstur halus, dan beraroma kuat dengan warna daging
buah putih dengan rasa segar sedikit asam (Wibowo, 2011).
Varietas Gala Ambrosia (Gambar 1.d) merupakan hasil silangan dari varietas
Kidds Orange dengan Golden Delicious. Mulyanti (2011) menyatakan bahwa angka
konsumsi apel Gala Ambrosia menempati peringkat ke 4 pada data buah yang memiliki
penjualan tinggi, yaitu 1394 kg/tahun. Apel ini disukai masyarakat karena rasanya
yang manis, renyah, beraroma manis tajam dan berpenampilan menarik.
Apel Granny Smith (Gambar 1.e) berasal dari Autralia, termasuk salah satu buah-
buahan yang kaya akan antioksidan untuk peningkatan kualitas kesehatan tubuh
manusia. Tekstur buahnya agak keras dan berair. Ukuran buahnya cukup besar 64x61
mm serta berbentuk bulat. Salah satu keunikan yang dimiliki apel granny smith adalah
kadar asamnya yang tinggi dari pada apel lainnya, sehingga apel jenis ini tidak akan
mudah berubah warna menguning jika dikupas dan dibiarkan terkena angin (Prahara,
2015).
8
Apel manalagi (Gambar 1.f) paling sering dijumpai berwarna hijau. Rasa daging
buahnya manis walaupun belum matang, aromanya kuat, kandungan airnya kurang.
Daging buah berwarna putih kekuningan. Bentuk buah agak bulat dengan ujung dan
pangkal berlekuk dangkal. Apel ini memiliki produktivitas yang cukup tinggi yaitu
antara 10,9 – 58,6 kg/pohon (Dinas Pertanian Kota Batu, 2010). Angka konsumsi apel
ini cukup tinggi di kalangan masyarakat dengan nilai mencapai 875 g/orang/bulan
(Sumarwan, 2016).
2.2. Pengertian Kultur In Vitro
Menurut Nursandi (2014), penggunaan istilah kultur jaringan penting dipahami
perbedaannya dengan istilah kultur in vitro agar tidak terjadi kerancuan dalam
penggunaan istilah tersebut, selama ini ada sementara ahli yang secara tegas ingin
membedakan pengertian keduannya. Kultur in vitro dianggap mengandung arti yang
lebih bersifat umum dan luas tentang berbagai budidaya yang dilakukan secara in vitro,
didalamnya termasuk kultur jaringan yaitu budidaya in vitro yang menggunakan
jaringan sebagai bahan tanamnya. Karena beragamnya bahan tanam yang digunakan
kemudian ditawarkan kultur in vitro sebagai istilah yang mewadahi kegiatan yang telah
berkembang itu. Pada pemahaman yang sederhana kultur mengandung arti budidaya
sedangkan in vitro dalam botol, berarti kultur in vitro merupakan budidaya tanaman
dalam botol. Pengertian yang lebih luas dari istilah itu adalah teknik budidaya sel,
jaringan, dan organ tanaman dalam suatu lingkungan yang terkendali dan dalam
keadaan aseptik atau bebas mikroorganisme.
Prinsip dasar perbanyakan secara kultur in vitro dapat diartikan sebagai usaha
mengisolasi atau memisahkan bagian-bagian tanaman dari tanaman induk dan
9
menumbuhkan bagian tanaman tersebut di dalam media yang kondisinya mendorong
pertumbuhan bagian tanaman itu, serta memperbanyaknya sehingga menghasilkan
bagian-bagian tanaman yang sempurna dan dilakukan dalam kondisi lingkungan yang
aseptik. Hal ini berarti teknik in vitro harus dilaksanakan dalam kondisi bebas bakteri,
jamur, mikroorganisme serta kontaminasi lainnya, karena kontaminasi yang terjadi
pada bahan tanam/eksplan maupun media kultur dapat mengakibatkan kematian
jaringan eksplan (Husen dkk, 2006).
Menurut Farid (2003), kultur in vitro pada dasarnya merupakan suatu sistem
pertumbuhan sel-sel sebelum berdiferensiasi, sehingga mampu menghasilkan tanaman
baru. Kalus dapat dihasilkan dari semua bagian tanaman seperti akar, batang dan daun.
2.3. Kultur Kalus
Kultur kalus sangat penting peranannya dalam bioteknologi tanaman.
Manipulasi auksin dan sitokinin dalam media dapat mempermudah perkembangan
tunas, akar, atau embrio somatik yang akhirnya akan menghasilkan suatu tanaman
lengkap. Kultur kalus juga bisa digunakan untuk memulai suspensi sel, yang digunakan
dalam berbagai macam cara dalam pembelajaran transformasi tanaman. Kultur kalus
biasanya dioperasikan dalam gelap (kekurangan kemampuan berfotosintesis menjadi
tidak berfotosintesis), sebagaimana cahaya mampu mendorong diferensiasi kalus
(Slater et al, 2003).
Adapun tujuan dari kultur kalus dan suspensi sel yaitu untuk perbanyakan dan
klon tanaman melalui pembentukan organ dan embrio, regenerasi varian-varian
genetika, mendapatkan tanaman bebas virus, sebagai sumber produksi protoplas,
10
sebagai bahan awal untuk kreopreservasi, produksi metabolit sekunder dan
biotransformasi (Zulkarnain, 2009).
Priyono et al (2000), menjelaskan bahwa eksplan dapat membentuk kalus pada
beberapa minggu setelah penanaman didalam botol kultur, terbentuk kalus disebabkan
adanya rangsangan luka. Rangsanagn tersebut menyebabkan kesetimbangan pada
dinding sel berubah arah, sebagian frotoplas mengalir keluar sehingga mulai terbentuk
kalus.
Semakin banyak kalus yang dibentuk maka semakin tinggi peluang
memperoleh bibit dalam jumlah yang banyak (George dan Sherrington 1992). Dengan
teknik ini juga dapat menyebabkan variasi somaklonal yang menyediakan karakter
tanaman yang diinginkan berupa varietas baru (Akbar et al. 2003). Oleh karena itu
sangat diharapkan dapat diaplikasikan pada tanaman buah seperti Apel.
Untuk menjaga kehidupan dan perbanyakan yang berkesinambungan, kalus
yang dihasilkan perlu disubkulturkan. Masa kalus ada dua macam, yaitu masa yang
remah (friable) dan kompak. Bila masa kalus remah, maka pemindahan kalus cukup
dilakukan dengan menyendok kalus dengan spatula atau skalpel langsung disubkultur
ke media baru. Namun bila kalus kompak mesti dipindah ke petridish steril untuk
dipotong-potong dengan skalpel baru disubkulturkan ke media baru (Luri, 2009).
Pembentuk kalus, dengan cara memisahkan jaringan dari tanaman dan
permukaan sayatan disterilkan untuk membunuh bakteri atau jamur yang dapat
mengakibatkan kontaminasi. Beberapa peneliti mampu membentuk kalus dari tanaman
yang tumbuh dalam kondisi aseptik dengan permukaan biji yang disterilisasikan untuk
mengurangi permasalahan kontaminasi mikroorganisme (Sugito dan Nugroho, 2004).
11
Organogenesis merupakan proses terbentuknya organ seperti tunas, akar, baik
secara langsung atau secara tidak langsung melalui pembentukan kalus. Organogenesis
ini bisa ditumbuhkan dari biji, daun atau bagian tanaman lain yang akan tumbuh
menjadi tanaman sempurna (Syara, 2006).
2.4. Keberhasilan Teknik Kultur In Vitro
Keberhasilan teknik kultur in vitro dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
eksplan, media, sterilisasi, lingkungan kultur serta zat pengatur tumbuh.
2.4.1. Pengertian Eksplan
Eksplan merupakan bagian kecil jaringan atau organ yang dikeluarkan atau
dipisahkan dari tanaman induk yang kemudian dijadikan bahan inokulum awal yang
ditanaman dalam media (Gunawan, 1995). Bagian tanaman yang dapat digunakan
sebagai eksplan adalah biji atau bagian-bagian biji seperti embrio atau kotiledon, tunas
pucuk, potongan ujung batang, potongan ujung akar (Yusnita, 2003).
Menurut Katuk (1989), bahwa biasanya eksplan yang terlalu kecil, mempunyai
daya tahan kurang. Ukuran eksplan yang paling baik adalah 0,5 sampai 1,0 cm, namun
ukuran ini dapat bervariasi tergantung pada material tanaman yang dipakai serta jenis
tanaman. Adapun apabila tujuannya untuk mendapatkan tanaman yang bebas penyakit,
maka makin kecil eksplan makin baik hasil yang diperoleh. Namun eksplan yang baik
daya tahannya yaitu eksplan yang berukuran besar. Dari semua jenis tanaman bagian
meristem yang paling banyak berhasil. Pada tanaman berkayu, jaringan embrio,
seedling, tunas, mempunyai kemampuan beregenerasi yang tinggi.
Regenerasi secara in vitro menggunakan jaringan muda (embrionik) sangat
mudah untuk menghasilkan kalus. Fitch et al. (1993) melaporkan bahwa faktor-faktor
12
yang berpengaruh terhadap keberhasilan regenerasi kalus antara lain adalah spesies
tanaman, asal eksplan, macam dan konsentrasi zat pengatur tumbuh.
2.4.2. Pengertian Media Kultur
Media pertumbuhan kultur in vitro adalah media buatan dan semua kegiatan
dilakukan dengan keadaan steril (aseptik). Media tersebut mengandung senyawa
organik serta zat pengatur tumbuh. Soeryowinoto (1996), menyatakan bahwa media
adalah senyawa-senyawa organik maupun anorganik yang diperlukan untuk
pertumbuhan dengan syarat-syarat tertentu. Dalam pembuatan media yang perlu
diperhatikan adalah unsur-unsur makro, mikro, suplemen, dan zat pengatur tumbuh.
Media tanam pada kultur in vitro mempunyai dua fungsi utama. Fungsi pertama
adalah untuk pemasok nutrisi dan fungsi yang ke dua ialah untuk mengarahkan
pertumbuhan melalui zat pengatur tumbuh. Berdasarkan fisiknya media di bedakan
menjadi 3 jenis yaitu media padat, cair, dan media stasionari cair. Media kultur in vitro
yang memenuhi syarat adalah yang mengandung unsur hara makro dan mikro dengan
perbandingan tertentu, sumber energi seperti sukrosa, vitamin, dan zat pengatur
tumbuh. Keseimbangan yang terdapat dari komponen tersebut akan tampak pada
petumbuhan yang terjadi. Unsur hara makro dan mikro mempunyai peranan penting
dalam pertumbuahan klorofil, protein, mempertinggi enzim, translokasi karbohidrat,
memperkuat dan mengaktifkan pembentukan jaringan meristemtik (Winata, 1992).
Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994), bahwa unsur- unsur yang ditumbuhkan
oleh jaringan tanaman dikelompokan menjadi dua yaitu garam-garam anorganik dan
organik.
13
Berbagai jenis media dasar yang telah digunakan untuk embryogenesis somatik
tanaman antara lain media Murashige dan Skoog (MS). Modifikasi dari media dasar
MS yang berisi ½ garam makro, 2,4-D, dan glutamin lebih efektif untuk inisiasi kutur
embrio (Stephen et al., 1989).
Menurut Karsinah dkk. (1991), bahwa media yang sesuai untuk mendukung
persentase jaringan hidup 83,3% pada kultur biji dari buah mangga muda adalah media
MS + 1 ppm 2,4-D. Sedangkan kalus dapat terbentuk pada media MS + 1 ppm 2,4-D
dengan persentase sebesar 31,5%.
Induksi kalus padi IR64, Towuti dan Gajahmungkur diperoleh hasil yang sama
bahwa media terbaik untuk induksi kalus adalah media dasar MS + 2.4-D 3 mg/l + CH
3 mg/l (Lestari dkk, 2003).
2.4.3. Sterilisasi
Kegiatan sterilisasi merupakan salah satu hal terpenting dalam kegiatan kultur,
dengan demikian sterilisasi ini diharapkan dapat meminimalisir terjadinya
kontaminasi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam sterilisasi dianataranya
adalah eksplan, alat-alat kultur serta tempat penanaman (Sugiawan, 2004).
2.4.4. Lingkungan Kultur
Kondisi lingkungan yang menentukan keberhasilan pembiakan tanaman dengan
kultur in vitro meliputi cahaya, suhu, dan komponen atmosfir. Cahaya dibutuhkan
untuk mengatur proses morfogenesis tertentu. Dalam teknik kultur in vitro, cahaya
dinyatakan dalam dimensi penyinaran, intersitas, dan kualitasnya. Secara umum
intensitas cahaya yang optimum untuk tanaman pada kultur tahap inisiasi adalah 0-
1.000 lux, tahap multiplikasi sebesar 1.000-10.000 lux, tahap pengakaran sebesar
14
10.000-30.000 lux. Kultur yang kurang cahaya biasanya mengalami etiolasi dan
vitrifikasi. Etiolasi ditunjukan dengan pemanjangan ruas pada tunas yang terbentuk,
sedangkan vitrivikasi ditandai dengan sukulensi, batang tampak bening atau terlalu
lemas, karena banyak mengandung air (Yusnita, 2003). Suhu juga berpengaruh
terhadap kesehatan tanaman yang dikulturkan. Suhu yang umum digunakan untuk
pengkulturan berbagai jenis tanaman adalah 20˚C-30˚C untuk kebanyakan tanaman,
suhu yang terlalu rendah (kurang dari) 20˚C dapat menghabat pertumbuhan, dan suhu
yang terlalu tinggi (lebih dari) 32˚C menyebabkan tanaman kering (Hendaryono dan
Wijayani, 1994).
2.4.5. Pengertian dan Perbedaan Zat Pengatur Tumbuh dan Hormon
Respons sel, jaringan, dan organ yang dikultur secara in vitro bervariasi
bergantung pada komponen kondisi kultur, jenis eksplan, dan genotip tanaman. Sering
kali kombinasi dari dua atau lebih komponen tersebut yang diaplikasikan secara
simultan maupun parsial diperlukan untuk meningkatkan respons sel, jaringan, ataupun
organ dalam kultur in vitro. Pertumbuhan dan morfogenesis eksplan tersebut
dikendalikan oleh keseimbangan antara zat pengatur tumbuh (ZPT) endogen maupun
eksogen (Laslo dan Vicas 2008).
Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik yang bukan nutrisi yang dalam
konsentrasi rendah (< 1mM) mampu mendorong, menghambat atau secara kualitatif
mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Sejarah pengetahuan tentang zat
pengatur tumbuh diilhami pengetahuan tentang hormon pada hewan dan manusia.
Hormon sendiri (dari bahasa gerika) secara sederhana berarti pembawa pesan kimia.
Dalam arti luas hormon adalah senyawa organik bukan nutrisi tanaman yang disentesa
15
disalah satu bagian tubuh tanaman dan dipindahkan kebagian lain yang dalam
konsentrasi rendah mampu menimbulkan tanggap biokimia, fisiologi dan morfologi.
Tanggap biokimia meliputi proses-prose kimia dalam sistem biologis tanggap
fisiologis prose pertumbuhan, adaptasi, differensiasi dan perkembangan tanama.
Sedangkan tanggap morfologi adalah terbentuknya kekhususan daun, akar, batang dan
lainnya. Karena hormon disintesa disalah satu bagian tubuh tanaman maka disebut juga
dengan istilah fitihormon, sedangkan zat sintetik seperti hormon yang tidak dihasilkan
oleh tanaman melainkan hasil turunnya disebut zat pengatur tumbuh (Santoso dan
Nursandi, 2003).
Hormon yang membantu pertumbuhan pada tanaman dikenal dengan fitohormon
atau substansi pertumbuhan tanaman atau pengatur pertumbuhan tanaman. Fitohormon
adalah senyawa organik bukan hara yang dihasilkan oleh tanaman yang dalam
konsentrasi tertentu dapat mendukung atau menghambat pembelahan sel serta berperan
dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Aslamyah, 2002).
Pada tanaman jenis monokotil, zat pengatur tumbuh golongan auksin dengan
konsentrasi 1-10 mg/l berperan dalam menghambat proses diferensiasi sel sehingga
pembentukan organ dapat dihambat dan hanya menghasilkan kalus. Zat pengatur
tumbuh 2.4-D merupakan golongan auksin yang sering digunakan untuk menginduksi
pembentukan kalus embriogenik pada serealia, 2.4-D berperan dalam memacu
hipermethilasi pada DNA, sehingga pembelahan sel selalu dalam fase mitosis, dengan
demikian maka pembentukan kalus menjadi optimal (Meneses et al., 2005).
Keberhasilan penerapan teknologi kultur anther pada berbagai jenis tanaman
sangat ditentukan oleh penggunaan ZPT, termasuk pada tanaman apel (Hofer 2004),
16
kentang (Uhrig 1985), Linum usitatissimum (Nichterlein et al. 1991), asparagus
(Falavigna et al. 1999), poplar (Stoehr dan Zsuffa 1990), dan jeruk (Germana et al.
2000). Pada kultur anther apel, IBA 0,2 mg/l, NAA 4,0 mg/l, kinetin 0,2-0,5 mg/l, dan
GA3 1,0 mg/l dengan TDZ 0,1 mg/l (Hofer 2004), kentang penggunaan IAA 0,1 mg/l
dan BA 1,0-2,5 mg/l sesuai untuk pembentukan kalus dan regenerasi kalus dapat
dilakukan pada medium yang bebas dari ZPT (Uhrig 1985). Pada L. usitatissimum, 2,4-
D 2,0 mg/l dan BAP 1,0 mg/l dengan zeatin 1,0 mg/l (Nichterlein et al. 1991), pada
asparagus, NAA 2,0 mg/l dan BA 1,0 mg/l dengan NAA 1,0 mg/l dan BAP 0,5 mg/l
(Falavigna et al. 1999), pada poplar, BA 5 μM, dengan BA 1.5 μM (Stoehr dan Zsuffa
1990), pada jeruk, NAA 0,02 mg/l, kinetin 1,0 mg/l, BA 0,5 mg/l, dan zeatin 0,5 mg/l
(Germana et al. 2000) pada media dasar dapat menginduksi pembentukan dan
regenerasi kalus dalam kultur anther.
2.5. Peranan 2,4-D Terhadap Kultur In Vitro
Auksin adalah senyawa yang dicirikan oleh kemampuannya dalam mendukung
terjadinya perpanjangan sel (cell elongation) pada pucuk dengan struktur kimia yang
dicirikan oleh adanya Indol ring (Idiyah, 2014). Auksin sintetik yang sering digunakan
dalam kultur jaringan adalah IAA, NAA, IBA, dan 2,4-D. Pemilihan jenis auksin dan
konsentrasinya tergantung dari tipe pertumbuhan yang dikehendaki, level auksin
endogen, kemampuan jaringan mensintesa auksin dan golongan zat tumbuh lain yang
ditambahkan (Gunawan, 1988).
Dari segi fisiologis tanaman, auksin berperan terhadap pengembangan sel,
phototropisme, geotropisme, apical dominasi, pertumbuhan akar, parthenocarpy,
17
pembentukan kalus dan resprasi (Abidin, 1990). Adapun salah satu jenis auksin yang
biasa digunakn untuk inisiasi kalus yaitu 2,4-D (Karsinah dkk, 1991).
Dari golongan auksin 2,4-D merupakan auksin kuat, artinya auksin ini tidak
dapat diuraikan di dalam tubuh tanaman dan yang dapat terjadi hanya konyugasi. 2.4-
D merupakan golongan auksin sintesis yang mempunyai sifat lebih stabil dari pada
IAA, karena tidak mudah terurai oleh enzim-enzim yang dikeluarkan oleh sel atau oleh
pemanasan pada saat proses sterilisasi. Zat pengatur tumbuh ini biasanya digunakan
dalam konsentrasi rendah dan dalam masa induksi yang singkat, antara 2 sampai 4
minggu. Penggunaan zat pengatur tumbuh dalam masa panjang dapat menimbulakn
mutasi sel. Konsentrasi yang digunakan dari 0,001 – 2 mg/l (Hendaryono & Wijayani,
1994). Razdan (1989) melaporkan bahwa auksin 2,4-D merupakan auksin yang efektif
untuk induksi kalus embriogenik. Hal serupa dilaporkan oleh Fitch et al. (1993) bahwa
media induksi kalus yang diperkaya dengan 2,4-D dapat meningkatkan persentase
kalus embriogenik pepaya Kapoho. Hutami et al. (2001) melaporkan bahwa dari
penelitian regenerasi pepaya Bangkok dan pepaya Burung diperoleh induksi kalus
embriogenik tertinggi (72,16%) dan media terbaik adalah MS + sukrosa 3% + vitamin
B5+ 2,4-D 20 mg/l. Sunyoto et al. (2002) melaporkan bahwa media terbaik untuk
pembentukan kalus embriogenik pepaya Dampit dan Sari Rona adalah media MS yang
ditambah zat pengatur tumbuh 2,4-D 0,5 ppm + BAP 1 ppm + adenosin sulfat 160 mg/l
dan mampu merangsang pertumbuhan kalus embriogenik lebih cepat. Menurut Yusnita
(2004), penambahan auksin yang mempunyai daya aktivitas kuat seperti 2,4-D sangat
dibutuhkan untuk merangsang pembelahan sel dan pembentukan kalus. Konsentrasi
auksin yang dipilih ditentukan antara lain oleh tipe pertumbuhan dan perkembangan
18
eksplan yang diinginkan. Penggunaan auksin dengan daya aktivitas kuat seperti 2,4-D
dengan konsentrasi 10 mg/l pada penelitian ini merupakan formula terbaik, efektif, dan
sangat dibutuhkan untuk pembentukan induksi kalus embriogenik pepaya.
Menginduksi kalus pada biji padi varietas Fathmawati menggunakan media MS
dengan pemberian 2,4-D 3 mg/l kalus yang dihasilkan lebih cepat dengan rataan
diameter kalus yang paling besar dibanding perlakuan lainnya yaitu 0.83 cm.
Sedangkan penggunaan 2,4-D sampai 7 mg/l menyebabkan diameter kalus menurun
(Lestari dkk, 2008).
Marlin et al. (2007) pada kultur meristem pisang cukup menunjukkan saat
terbentuk kalus tercepat diperoleh pada media dengan pemberian 1 ppm 2,4-D dan 0,1
ppm kinetin, yaitu 9 hari setelah kultur. Hal ini menunjukkan pula bahwa sumber
eksplan yang berbeda memberikan respon yang tidak sama terhadap pemberian ZPT
secara eksogen. Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan kalus menunjukkan pula
bahwa pertumbuhan kalus yang terbentuk dari masing-masing eksplan memiliki
diameter yang berbeda tergantung dengan perlakuan yang diberikan. Diameter kalus
terbesar (2.5 cm) terbentuk dari eksplan yang dikulturkan pada media dengan
penambahan 30 g/l sukrosa dan 2 ppm BAP : 2-4 ppm 2,4-D. Hasil penelitian Aniel
Kumar et al. (2010) menunjukkan bahwa media dengan pemberian 1 mg/l 2,4-D dan 2
mg/l BAP merupakan media terbaik dalam pembentukan kalus cabe.
2.6. Peranan Sitokinin Terhadap Kultur In Vitro
Sitokinin adalah zat pengatur tubuh turunan dari adenin. Sitokinin sangat penting
dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis (Gunawan, 1988), terutama pada
jaringan yang ditumbuhkan pada media buatan (Rahardja, 1994).
19
Dalam kultur jaringan, sitokinin berfungsi untuk mengatur pertumbuhan serta
morfogenesis. Pada kultur pucuk, dimana produksi sitokinin sedikit, material tanaman
tidak mampu untuk kehidupan selanjutnya tanpa penambahan sitokinin (Katuuk.
1989). Media dasar yang ditambahkan auksin hanya mendorong pertumbuhan kalus
dalam waktu yang singkat saja. Tetapi dengan penambahan sitokinin dan auksin pada
media dasar sangat mendorong pertumbuhan kalus dalam waktu yang lama
(Wattimena, 1987).
Penambahan zat pengatur tumbuh ke dalam media merupakan salah satu faktor
yang sangat mempengaruhi keberhasilan kultur jaringan. Kinetin dan BA merupakan
zat pengatur tumbuh yang termasuk kelompok sitokinin yang banyak digunakan untuk
memacu pertumbuhan tunas, walaupun zat pengatur tumbuh tersebut berasal dari
golongan yang sama tetapi mempunyai daya aktif yang berbeda. Dapat menstimulasi
pembelahan sel dan poliferasi tunas aksilar dan efektif untuk tanaman berkayu.
Pemakaian thidiazuron telah banyak digunakan karena mempunyai aktivitas
menyerupai sitokinin (Rusyadi dkk, 2005).
Dalam proses organogenesis peranan sitokinin sangat menentukan, namun
demikian hanya sel-sel yang kompeten saja yang mampu menghasilkan tunas, beberapa
hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi sitokinin dan auksin lebih efektif
dalam memacu pembentukan tunas (Gaba, 2004). Kombinasi auksin (IAA 0.1 mg/l)
dan sitokinin (BA 3 mg/l) untuk memacu pembentukan tunas dari kalus padi telah
dihasilkan juga oleh Edi (2004) pada perlakuan seleksi in vitro untuk mendapatkan
ketenggangan terhadap Al dan pH rendah.
20
2.7. Fungsi Utama ZPT Auksin dan Sitokinin
Menurut March (2006), zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin memiliki
fungsi yang berbeda yaitu auksin berfungsi mempengaruhi pertambahan panjang
batang, pertumbuhan, diferensiasi dan percabangan akar, perkembangan buah,
dominasi apikal, fototropisme dan geotropisme. Sedangkan sitokinin berfungsi
mendorong pembelahan sel dan pertumbuhan umum, mendorong perkecambahan dan
menunda penuaan.
Top Related