IDUL FITHRI SEBAGAI PERJALANAN SPIRITUAL MENEMUI ALLAH
Setiap tanggal 1 Syawal seluruh umat Islam di Indonesia telah merayakan Hari Idul Fithri dengan
penuh kegembiraan dan rasa syukur. Hari Raya Idul Fitri merupakan puncak dari seluruh rangkaian
proses ibadah selama bulan Ramadhan dimana dalam bulan tersebut kita melakukan ibadah Shaum
dengan penuh keimanan kepada Allah SWT. Penetapan Hari Raya Idul Fitri oleh Rasulullah
dimaksudkan untuk menggantikan Hari Raya yang biasa dilaksanakan orang-orang Madinah pada
waktu itu. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW yaitu :
―Jabir ra. Berkata : Rasulullah SAW datang ke Madinah sedangkan bagi penduduk Madinah ada dua
hari yang mereka (bermain-main padanya dan merayakannya dengan berbagai permainan). Maka
Rasulullah SAW bertanya : ―Apakah hari yang dua ini?‖ penduduk Madinah menjawab : ―Adalah kami
dimasa jahiliyah bergembira ria padanya‖. Kemudian Rasulullah SAW bersabda : ―Allah telah menukar
dua hari ini dengan lebih baik, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri‖. (HR Abu Daud).
Berdasarkan hadits di atas, kita lihat betapa pentingnya keberadaan Hari Raya Idul Fitri bagi umat
Islam oleh sebab itu penulis mencoba membahas masalah Hakikat Idul Fitri menurut pandangan Ilmu
Tasawuf.
Pengertian Idul Fitri
Mayoritas umat Islam mengartikan Idul Fitri dengan arti ―kembali menjadi suci‖. Pendapat ini didasari
oleh sebuah hadits Rasulullah SAW yaitu :
―Barangsiapa yang melaksanakan ibadah Shaum selama satu bulan penuh dengan penuh keimanan
kepada Allah maka apabila ia memasuki Idul Fitri ia akan kembali menjadi fitrah seperti bayi (Tiflul)
dalam rahim ibunya‖. (HR Bukhari).
Menurut penulis pendapat yang mengartikan Idul Fitri dengan ―kembali menjadi suci‖ tidak
sepenuhnya benar karena kata ―Fithri‖ apabila diartikan dengan ―Suci‖ tidaklah tepat. Sebab kata
―Suci‖ dalam bahasa Arabnya adalah ―Al Qudus‖ atau ―Subhana‖. Jadi menurut penulis istilah Idul
Fitri dapat diartikan sebagai berikut : kata ―Id‖ berarti ―kembali‖ sedangkan kata Fitri‖ berarti
―Pencipta‖ atau ―Ciptaan‖. Dalam bahasa Arab akar kata Fitri berasal dari kata Al Fathir yang bisa
berubah menjadi kata Al Fithrah, Al Fathrah atau Al Futhura, sebagai contoh lihat ayat di bawah ini :
―Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan
(untuk mengurus berbagai macam urusan) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-
Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu‖. (QS Faathir
35 : 1).
Berdasarkan uraian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa kata ―Idul Fitri‖ mempunyai minimal
dua pengertian yaitu :
1. Kembali ke Pencipta
2. Kembali ke awal Penciptaan
Dua pengertian Idul Fitri yang dikemukakan oleh penulis seperti tersebut di atas mungkin sangat
asing dan juga mengherankan para pembaca. Oleh sebab itu penulis akan mencoba menjelaskan
masalah tersebut berdasarkan ayat-ayat dalam Al Qur‘an.
IDul Fithri Sebagai Proses Ke awal Penciptaan
Menurut ahli tasawuf hakikat manusia dibagi menjadi dua bangunan utama yaitu jasmani dan
bangunan rohani. Bangunan jasmani manusia diciptakan oleh Allah melalui enam proses kejadian
yaitu :
1. Sari pati tanah
2. Nutfah
3. Segumpal darah
4. Segumpal daging
5. Pertumbuhan tulang belulang
6. Pembungkusan tulang belulang dengan daging
7. Peniupan Roh-Ku ke dalam janian
Proses tersebut sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur‘an yaitu :
―Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dari sari pati tanah. Kami jadikan sari pati itu air mani
yang ditempatkan dengan kokoh di tempat yang teguh. Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal
darah, dari segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, Kami jadikan pula tulang-belulang.
Kemudian tulang belulang itu kami bungkus dengan daging‖. (QS Al Mu‘minun 23 : 12 – 14).
―Kemudian Ia menyempurnakan penciptaan-Nya dan Ia tiupkan padanya sebagian dari Roh-Nya dan
Ia jadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan rasa tetapi sedikit sekali kamu bersyukur‖. (QS
As Sajadah 32 : 9).
Berdasarkan firman Allah tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa setiap manusia lahir ata
diciptakan pasti akan melalui proses kejadian bayi dalam kandungan yang mendapat tiupan Roh dari
Allah (Roh-Ku).
Berdasarkan penyelidikan para ahli embriologi dapat diketahui fase-fase perkembangan seorang bayi
seorang bayi dala kandungan dan juga keadaan serta cirri-ciri dari bayi tersebut seperti gambar yang
dapat dilihat di halaman berikutnya.
Berdasarkan gambar-gambar tersebut dapat kita amati dan kita ketahui keadaan seorang bayi dalam
kandungan yaitu :
1. Seorang bayi dalam kandungan selalu dibungkus oleh lapisan Amnion yang berisi air ketuban
(Amnion water atau kakang kawah).
Karena seorang bayi berada dalam air ketuban maka sembilan lubang yang ada pada jasmamaninya
secara otomatis tertutup dan tidak berfungsi. Kesembilan lubang itu adalah : dua lubang telinga, dua
lubang mata, dua lubang hidung, satu lubang mulut, satu lubang anus, satu lubang kelamin. Tetapi
ada satu lubang yang ke sepuluh justru terbuka yaitu lubang pusar yang dihubungkan oleh tali
plasenta ke rahim ibu. Tali plasenta ini berfungsi sebagai alat untuk menyalurkan zat-zat makanan
dari rahim ibu kepada bayi tersebut. Dalam bahsa Jawa tali plasenta tersebut dinamakan adik ari-ari.
2. Dengan tertutupnya sembilan lubang yang terdapat pada seorang bayi dalam kandungan rahim
ibu, maka secara otomatis seluruh indera bayi belum berfungsi dengan kata lain bayi pada saat itu
tidak bias melihat, mendengar, berkata-kata, bernafas, serta tidak bias buang air besar maupun air
kecil. Tetapi rohani bayi tersebut pada saat itu sudah befungsi sifat ma‘aninya.
3. Apa yang dirasakan oleh bayi pada saat berada dalam kandungan rahim ibu, tidak seorangpun
mengetahuinya, kecuali bayi itu sendiri. Sayangnya setiap bayi yang telah tumbuh dewasa tidak
dapat mengingat apa yang telah ia rasakan pada waktu ia berada dalam kandungan rahim ibunya.
Di dalam Al Qur‘an juga dijelaskan bahwa ketika Roh-Ku ditiupkan ke dalam janin bayi ia telah
berjanji kepada Allah SWT. Janji ini dalam bahasa agama disebut Syahadat Awal.
―Dia ingat ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari Sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiawa mereka seraya berfirman : ―Bukankah Aku ini Tuhanmu?‖
Mereka menjawab : ―Benar, kami menyaksikan bahwa Engkau Tuhan kami ……‖ (QS Al A‘raaf 7 :
172).
Berdasarkan ayat tersebut para ahli tasawuf berpendapat bahwa seorang bayi dalam kandungan
sebenarnya sudah bersyahadah atau telah menyaksikan Wujud Tuhannya dengan mata rohaninya.
Hal dikarenakan sifat ma‘ani dan rohaninya masih berfungsi dengan baik, belum terpengaruh oleh
hawa nafsu yang berada pada jasadnya. Sehingga seorang bayi yang masih berada dalam kandungan
dapat dikategorikan masih suci baik lahir maupun batin. Tetapi sayangnya bayi tersebut belum
mampu mengingat apa yang dirasakan dan dialaminya saat itu karena daya ingat akalnya belum
berfungsi. Para ahli tasawuf mengatakan bahwa bayi dalam kandungan ibu sedang melakukan suatu
Laku Islam Yang Sejati yaitu laku Musyahadah kepada Allah dengan berserah diri secara total kepada
Allah SWT. Falsafah Jawa menyebut keadaan tersebut dengan istilah ―mati Dalam Hidup‖ di alam
suwung.
Idul Dithri Sebagai Proses Kembali Ke Pencipta
Setelah seorang bayi dalam kandungan telah cukup bulannya yaitu selama kurang lebih sembilan
bulan berada dalam kandungan maka ia secara otomatis akan dilahirkan kea lam dunia ini oleh
ibunya, inilah yang disebut dengan hari kelahiran seorang bayi, yang diistilahkan dalam dunia
kedokteran dengan istilah ―Natal‖, sedang keadaan bayi dalam kandungan disebut masa ―Pre Natal‖.
Setelah bayi lahir ke dunia sampai berusia lima tahun ia masih dikategorikan seorang manusia yang
masih ―suci‖ karena pengaruh-pengaruh hawa nafsunya belumlah berdampak negative terhadap
kesucian rohaninya.
Tetapi ketika seorang manusia memasuki usia akil baligh sampai ia dewasa dan lanjut usia, maka
mulailah lingkungan duniawi dan hawa nafsunya mempengaruhi kebersihan rohaninya, hal ini
dikarenakan beberapa hal yaitu :
1. Ktika seorang bayi dilahirkan pertama kalinya dari rahim seseorang maka secara ototmatis
kesembilan lubang yang terdapat pada jasmaninya mulai terbuka dan berinteraksi dengan hawa
dunia tetapi selama masa balita alat-alat inderawinya masih sangat selektif dalam menerima
rangsangan duniawi sehingga lingkungan dunianya belum berdampak terhadap perkembangan
kapasitas rohanin
2. Ketika memasuki usia akil baligh dan usia selanjutnya mulailah lingkungan dunia dan hawa
nafsunya memberikan dampak negative. Tetapi setiap manusia telah dibekali oleh Allah perlengkapan
yang lengkap baik yang lahir maupun yang batin, yaitu Jasad yang sempurna berikut
perlengkapannya yaitu Panca Indera yang terdiri dari : Penglihatan, pendengaran,
pengecapan/pengucapan, penciuman, serta rasa jasmani. Empat indera tersebut semuanya berada di
kepala manusia sedang rasa jasmani tersebar di seluruh tubuh. Selain itu manusia juga dilengkapi
oleh akal yang berpusat di kepala yang merupakan perpaduan antara Cipta, Rasa dan Karsa (Fikir,
Qalbu, dan Kehendak). Sedangkan perlengkapan yang paling tinggi nilainya adalah Roh yang berasal
dari Allah yang telah ditiupkan oleh Allah ketika bayi berusia kurang lebih tiga bulan. Roh manusia ini
mempunyai wujud, cirri-ciri, kemampuan, dan kelebihan yang berbeda-beda dengan sifat jasmaninya.
Semua perlengkapan yang telah diberikan oleh Allah kepada setiap manusia dimaksudkan agar
manusia dapat menjalankan fungsinya sebagai utusan Allah atau Khalifah Allah di muka bumi tetapi
sayangnya mayoritas manusia tidak dapat mengemban tugas tersebut bahkan yang lebih parah lagi
kebanyakan manusia itu terbelit dengan hawa nafsunya dan dunianya sehingga lupa terhadap
tugasnya, lupa terhadap Tuhannya, lupa terhadap syahadatnya, dan lupa terhadap asalnya. Dengan
kata lain pada saat itu manusia buta mata hatinya terhadap Tuhannya dan tidak mengenal Asalnya
yati Allah SWT.
Padahal suatu saat setiap manusia akan mengalami kematian dan rohnya harus kembali kepada yang
meniupkannya. Oleh sebab itu Allah memberitahukan kepada setiap manusia agar ia mencari
Kampung Akhirat (kampong asalnya) dan juga harus berusaha mengenal dan menemui Allah
(Liqa‘Allah) ketika ia masih berasa dan hidup di aats bumi.
Dan carilah dengan apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu, kampong Akhirat dan janganlah
kamu lupakan bagimu di dunia dan berbuat baiklah……‖ (QS Al Qashash 28 : 77).
―Hai manusia! Sesungguhnya engkau harus berusaha dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu,
hingga engkau menemuiNya‖. (QS Al Insyiqaaq 84 : 6)
Berdasarkan ayat tersebut, Allah memerintahkan agar manusia berusaha untuk kembali menemui
Allah agar nantinya ketika wafat Rohnya dapat kembali ke asalnya yaitu Allah. Kembalinya seorang
manusia kepada Allah sebagai Al Fathir, hal ini disebut dengan istilah Idul Fithri (Id = kembali, Fithri
= Pencipta).
Proses kembalinya seorang manusia ke Pencipta dikiaskan dengan bahasa symbol sebagaimana awal
mula kejadian manusia (yaitu keadaan seperti bayi dalam kandungan). Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam Al Qur‘an yaitu :
―Dan sesungguhnya kamu dating kepada Kami sendirian sebagaimana kami ciptakan kamu pada
mulanya (awal penciptaan)….‖ (QS Al An‘am 6 : 94).
―Kamu akan kembali menemui-Nya, sebagaimana Ia menciptakan pada mulanya (bayi dalam
kandungan)‖. (QS Al A‘raaf 7 : 29).
Berdasarkan ayat-ayat tersebut setiap manusia akan kembali menemui Sang Pencipta (Al Fathir)
sebagaimana ia diciptakan pada mulanya yaitu seorang bayi. Tetapi kata ―bayi‖ di ayat tersebut
bukanlah arti yang sesungguhnya melainkan kata mutasyabihat (symbol) yang maksudnya adalah
setiap manusia yang ingin kembali menemui Sang Pencipta (Idul Fithri) maka ia harus melakukan
suatu laku seperti seorang bayi dalam kandungan. Para ahli tasawuf menamakan laku tersebut
dengan istilah Shaum Khawasul Khawas menjadi Bayi Ma‘ani. Untuk mengetahui cara atau metode
bertemu kembali dengan Sang Maha Pencipta (Idul Fithri), para pembaca dapat bertanya kepada
Guru Mursyid atau juga membaca buku lain dari penulis yang berjudul KUNCI MEMAHAMI ILMU
MA‘RIFAT. Tetapi sebelum membaca buku tersebut sebaiknya para pembaca merenungkan ayat-ayat
Al Qur‘an dan hadits Rasulullah SAW di bawah ini :
―hai orang-orang yang BERIMAN, telah ditulis PUASA atas kamu sebagaimana telah ditulis PUASA
atas orang-orang beriman sebelum kamu, agar kamu bertambah TAQWA‖. QS Al Baqarah 2 : 183).
―…. Dan berpuasa itu lebih baik bagi kamu, JIKA KAMU MENGETAHUI‖ (QS Al Baqarah 2 : 184)
―…. Dan hendaknya kamu MENYEMPURNAKAN BILANGAN BULAN ITU dan juga kamu hendaknya
MENGAGUNGKAN ALLAH ATAS PETUNJUK-NYA ITU YANG TELAH DIBERIKAN KEPADAMU, supaya
kamu BERSYUKUR‖. (QS Al Baqarah : 185)
―Jika engkau ru‘yah Hilal atau menyaksikan Bulan maka berpuasalah‖. (Hadits)
―…… hendaklah kamu juga MENUTUP PANDANGANMU/PENGLIHATANMU‖. (QS An Nuur 24 : 30).
―Kami TUTUP JUGA PENDENGARAN MEREKA beberapa lama di dalam GUA‖. (QS Al Kahfi 18 : 11).
―Dan sesungguhnya kalau Kami memerintahkan kepada mereka : ―Bunuhlah ANFUSMU atau keluarlah
dari RUMAHMU (dirimu)!‖, niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari
mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka MELAKSANAKAN pelajaran yang diberikan kepada mereka,
tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan iman mereka, dan kalau
demikian pasti Kami berikan kepada mereka KARUNIA YANG BESAR DARI SISI KAMI‖. (QD An Nisaa
4 : 66-67).
―Ya itu kamu akan menyaksikan SINAR MATAHARI terbit dari sebelah kanan GUA dan terbenam di
sebelah kiri GUA, sedangkan mereka ketika itu berada di TEMPAT YANG LUAS dalam Gua tersebut
…..‖ (QS Al Kahfi 18 : 17).
―Sambil mereka berkata : ―Ya Tuhan kami, SEMPURNAKANLAH BAGI KAMI CAHAYA KAMI dan
ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu‖. (QS At Tahrim 66 :
Dan kamu mengira mereka itu sadar padahal mereka itu tidak sadar dan Kami balik-balikkan mereka
ke kanan dank e kiri, SEDANGKAN ANJING MEREKA MENJULURKAN KEDUA LENGANNYA KE MUKA
PINTU GUA. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kalian akan berpaling dari mereka dengan
melarikan diri dan tentulah hati kamu akan dipenuhi ketakutan (tanda Tanya) terhadap mereka‖. (QS
Al Kahfi 18 : 18)
―Puasa adalah milikKu dan Aku yang paling berhak memberikan ganjaran untuknya‖. (Al Shawm li
wa-ana ajabihi) (Hadits Qudsi).
―Apabila engkau berpuasa, hendaklah telingamu berpuasa dan juga matamu, lidahmu, dan mulutmu,
tanganmu, dan setiap anggota tubuhmua‖. (Hadits).
―Banyak orang berpuasa, hendaknya telingamu berpuasa dan juga matamu, lidahmu dan mulutmu,
tanganmu dan setiap anggota tubuhmu‖. (Hadits).
―Banyak orang yang berpuasa tetapi tidak memperoleh kebaikan dari puasanya kecuali lapar dan
haus‖. (Hadits).
―Buatlah perut-perutmu lapar dan hati-hatimu haus dan badanmu telanjang, mudah-mudahan mata
hati kalian bias melihat Allah di dunia ini‖ (Hadits).
Seorang sufi bernama Al Hujwiri dalam bukunya yang berjudul KASYFUL MAHJUB meriwayatkan :
―Aku bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW dan memohon kepada beliau untuk memberikan
nasehat kepadaku, dan beliau menjawab : ―Tahanlan lidahmu dan tutuplah indera-inderamu‖.
―Tatkala aku berada di sisi Rasululullah SAW tiba-tiba beliau bertanya ―Adakah orang asing diantara
kamu? Lantas beliau bersabda : ―Angkat tangan kamu dan memerintahkan agar menutup Pintu‖. (HR
Al Hakim dari Ya‘la bin Syidad).
Rasulullah SAW bersabda : ―Lishaimi farhatthani, farhatun‘ indal ifthari, wa farhatun‘indal liqa‘rabihi‖.
Artinya : bagi orang yang berpuasa pada saat kegembiraan, pertama di saat berbuka dan kedua
disaat bertemu Tuhannya. Hadits).
Hai manusia! Sesungguhnya kamu harus berusaha dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu,
hingga kamu menemui-Nya‖. (QS Al Insyiqaaq 84 : 64).
―Dan sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang-
orang yang mengharapkan menemui Allah (liman kaana yarjuloha)…‖ (QS Al Ahzab 33 : 21).
‗Barangsiapa yang mengharapkan bertemu dengan Allah, maka suatu saat waktu yang dijanjikan
Allah akan tiba‖. (QS Al Ankabuut 29 : 5).
―Barangsiapa yang bertemu dengan Allah, maka ia harus melakukan amal yang benar….‖ (QS Al Kahfi
18 : 110).
―… (yaitu) bunuhlah nafs-mu dan keluarlah dari rumahmu (anfus-mu) ani aqtuluu anfusakum
awiakhrujuu min diyaarikum)…‖ (QS An Nisaa‘ 4 : 66).
―… barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah menuju Allah dan Rasul-Nya…‖ (QS
An Nisaa 4 : 1100).
―…maka masuklah ke dalam Qua, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan Rahmat-Nya kepadamu dan
menyediakan sesuatu yang bermanfaat bagimu dalam urusan kamu, yaitu kamu akan melihat Cahaya
MATAHARI bersinar dari sebelah kanan di dalam Gua, dan tenggelam di sebelah kiri kamu beada di
tempat Yang luas dalam Gua tersebut
Mursyid itu SATU.
Pada hakikatnya Guru Mursyid itu SATU, karena memang ―isi‖ nya adalah sama yaitu Kalimah Allah
Yang Maha Esa. Setiap Guru Mursyid membawa kebenaran dari Rasulullah SAW, menyebarkan Tauhid
yang murni agar manusia tidak hanyut dalam kemusyrikan, inilah inti utama dakwah dari Guru
Mursyid.
Saya tidak pernah menulis nama Guru dalam setiap tulisan dan hanya menyingkat dengan ―Guru
Sufi‖ karena saya ingin sahabat semua menganggap Guru saya adalah guru anda juga dan Guru anda
adalah Guru saya juga, kita menyebut Beliau sebagai Guru Sufi. Kalau kebetulan sifat-sifat Guru Sufi
yang saya ceritakan mendekati dengan Guru anda, bisa jadi kita satu Guru dan kalaupun secara fisik
Guru kita berbeda tapi pada hakikatnya adalah sama karena karena isi dada dari Guru Mursyid adalah
Nur Allah.
Seorang murid harus fokus kepada Gurunya agar bisa mendapat pelajaran-pelajaran hakikat yang
berharga, mendapat kelimpahan ilmu yang menuntun murid kepada kebenaran. Walaupun pada
akhirnya tujuan dari berguru bukanlah mencari ilmu, mencari kehebatan atau kekeramatan, tujuan
semata hanyalah mencari Ridho-Nya.
Suatu hari saya menceritakan mimpi kepada Guru saya. Dalam mimpi tersebut Guru dari Guru saya
berpesan bahwa segala ilmu telah ditumpahkan kepada Guru saya dan Guru saya adalah gudang
segala ilmu. Ketika saya selesai cerita, Guru saya berkata, ―Bagus mimpimu itu, dan satu hal yang
harus kau ingat bahwa berguru itu bukan untuk mencari ilmu, tapi mencari Tilik kasih-Nya‖.
Saya bertanya, ―Apa itu tilik kasih-Nya itu Guru?‖
―Kasih sayang dan Rahmat Allah yang tercurahkan lewat Seorang Guru, itulah bekal yang hakiki dan
paling berharga bagi seorang murid‖ jawab Guru.
―Kamu tahu kenapa Guru saya mengatakan semua ilmu ada pada Gurumu ini?‖
―Tidak tahu Guru‖.
―Karena selama saya berguru sampai Beliau berlindung kehadirat Allah, saya tidak pernah mencari
ilmu, tidak pernah mengharapkan harta dan tidak pernah mengharapkan kekeramatan, yang saya
inginkan hanyalah Guru semata‖ Kata Guru.
Kemudian Beliau melanjutkan, ―Kalau Guru sakit, saya berharap Tuhan mau memindahkan penyakit
tersebut kepada saya, biarlah saya yang sakit dan Guru tetap sehat. Kalau Guru susah saya berdoa
agar Tuhan memindahkan kesusahan tersebut kepada saya, biarlah saya yang menanggung
kesusahan dan Guru tetap bahagia‖. Saya melihat Guru menangis ketika mengucapkan kata-kata
tersebut.
―Para Sahabat Nabi itu orang-orang pilihan, mereka mengorbankan apapun untuk Nabi bahkan
nyawapun diberikan andai itu diperlukan‖ kata Guru.
―Maka…dalam berguru kamu jangan pernah mencari ilmu, mengharapkan kehebatan, kalau kamu
benar-benar mencintai Gurumu maka Allah akan mencintai kamu dan seluruh alam akan
mencintaimu‖.
Nasehat-nasehat yang sudah lama sekali saya dengar dari Guru rasanya seperti baru saja Beliau
ucapkan, hangatnya masih terasa. Begitulah seorang Guru Mursyid salah satu ciri khas nya adalah
apabila memberikan pengajaran akan berbekas di hati murid dan murid akan berubah menjadi baik.
Seorang Guru pasti memberikan pelajaran yang baik, tidak terkecuali Guru saya dan Guru anda. Para
Guru adalah orang-orang yang dikirim oleh Allah SWT untuk meneruskan dakwah Rasulullah saw
menjadikan Islam sebagai rahmat bagi seluruh Alam. Tentu setiap Guru mempunyai kapasitas yang
berbeda antara satu sama lain. Ada Guru yang mempunyai murid banyak ada yang sedikit, ada yang
khusus untuk satu daerah ada yang tersebar di seluruh dunia.
Ibarat matahari, dia adalah tunggal, tapi bisa dilhat dan dirasakan diseluruh dunia sesuai dengan
kapasitas masing-masing. Ada yang melihat matahari lewat atap rumah yang bocor berbentuk
persegi empat, maka matahari itu berbentuk per segi empat, ada yang melihat dari lubang segitiga
maka cahaya matahari itu berbentuk segitiga juga, sesuai dengan wadah yang dilewatinya. Begitu
juga dengan Cahaya Allah, dia akan melewati wadah yang berbeda untuk bisa menerangi seluruh
alam tapi pada hakikatnya adalah satu.
Ibarat listrik, untuk bisa menerima arus listrik harus melewati kabel, dengan bentuk dan ukuran yang
berbeda. Ada yang berukuran besar, ada pula yang kecil bahkan ada yang sangat kecil, tapi
semuanya mempunyai isi yang sama yaitu listrik. Kabel besar akan bisa menyambung dan membagi
listrik kepada kabel kecil, dan dengan bantuan lampu bisa menerangi jumlah yang banyak sedangkan
kabel kecil hanya bisa dipakai beberapa bola lampu saja. Walau pun kawatnya banyak, kebalnya
ribuan kilometer tapi tidak menghilangkan isi nya selagi kabel terebut masih tersambung dengan
pembangkit listrik. Begitulah hakikat dari Mursyid yang wadahnya berbeda tapi isinya sama, karena
itu hakikat dari Mursyid adalah SATU.
Guru Mursyid yang mana paling hebat? Pertanyaan itu tidak akan pernah bisa terjawab, tergantung
kepada siapa anda bertanya. Para murid akan menganggap Gurunya paling hebat. Dari pada sibuk
mempertandingkan Guru Mursyid lebih baik kita bertanya dalam hati, sudahkah kita menjadi murid
yang baik? Bukankah Guru Mursyid itu adalah murid yang shiddiq dari Gurunya? Lalu kenapa kita
fokus kepada pertandingan Guru Mursyid yang bukan wilayah kita, kenapa kita tidak fokus bagaimana
menjadi murid yang baik saja. Kalau engkau mengatakan Guru mu hebat maka engkau harus bisa
membuktikan dengan kehebatan dirimu agar orang lain bisa yakin. Tapi kalau engkau mengatakan
Guru mu hebat disaat yang sama engkau rendahkan guru orang lain maka itu sama dengan engkau
merendahkan guru mu sendiri.
Dari pada mempermasalahkan siapa Guru Mursyid yang hebat dan itu adalah hak perogatif Allah, Dia
yang mengetahui siapa Wali-Nya yang utama, lebih baik kita belajar menjadi murid yang baik dan
menjadi hamba yang baik. Seperti ucapan dari Syekh Muda Wali di awal tulisan ini, ―Guru mu itu
adalah Guruku juga‖ sangat bagus dijadikan dasar untuk menguatkan persaudaraan diantara sesame
pengamal tarekat khususnya dan ummat Islam pada umumnya. Bagi saya Guru anda adalah Guru
saya juga karena Guru Sejati itu bukanlah manusia, Guru Sejati adalah Allah Ta‘ala yang menjadi
Maha Guru dari Segala Maha Guru.
Mengakhiri tulisan ini, kita semua berharap di bulan penuh berkah ini Allah berkenan melimpahkan
karunia-Nya kepada kita semua, menerangi hati kita, menjadikan kita murid yang baik da Semoga
Allah senantiasa menuntun kita kepada jalan-Nya yang lurus dan benar, Amin ya Rabbal ‗Alamin
Al Hikam : Sembahyang yang mensucikan Hati
Sembahyang apabila betul-betul kita mendirikannya, maka hakikat
sembahyang itu akan timbul nyata bagi yang mengerjakannya. Bagaimana hakikat-hakikat
sembahyang yang betul-betul dikerjakan itu? Maka yang mulia Imam Ibnu Athaillah Askandary
berkata dalam Kalam Hikmahnya sebagai berikut:
"Sembahyang mensucikan buat semua hati manusia dari segala kotoran-kotoran dosa, dan
membukakan baginya segala pintu yang ghaib (tersembunyi)."
Kejelasan dari Kalam Hikmah di atas adalah sebagai berikut:
I. Bahwa hakikat sembahyang itu apabila dikerjakan dengan betul, baik dan sempurna, maka
sembahyang itu akan mensucikan hati kita dari segala macam kotoran, dan akan mensucikan pula
dari segala sifat yang menjauhkan hati dari melihat Allah s.w.t. dengan segala kebesaranNya.
Betapa tidak, sebab Rasulullah s.a.w. telah bersabda dalam Hadis riwayat Muslim sebagai berikut:
"Perumpamaan shalat yang lima itu laksana sebuah sungai yang tawar airnya, di mana sungai itu
meluap-meluap di pintu salah seorang yang mandi didalammnya tiap-tiap hari sebanyak lima kali.
Apakah pendapatmu tentang orang tersebut? Apakah masih ada daki-daki di badannya? Mereka
menjawab:
Tidak ada sesuatupun (ya Rasulullah). Sabda Rasulullah s.a.w. : Sesungguhnya
shalat yang lima itu dapat menghilangkan dosa-dosa sebagaimana air yang
dapat menghilangkan segala kotoran."
Hadis ini menggambarkan dengan sembahyang yang dikerjakan dengan sebaik-baiknya, maka
pastilah hati kita suci pula dari segala kotoran-kotorannya. Sebab segala ucapan dan bacaan-bacaan
yang kita baca dalam sembahyang tentu sekali mendekatkan hati dan perasaan kita kepada yang
Maha Kuasa, yaitu Allah s.w.t. Karena itu pelajarilah dan dalamilah bacaan-bacaan yang kita baca
dalam sembahyang terdapat pada setiap gerak perbuatan kita itu. I. Sembahyang juga merupakan
kunci pembuka pintu-pintu segala yang ghaib berupa ilmu-ilmu ladunni, yakni ilmu-ilmu yang
bersumber dari keimanan dan keyakinan. Ilmu-ilmu itu merupakan rahasia yang datang dari Allah
s.w.t.
Jadi apabila segala dosa sudah dapat dibersihkan dengan shalat, maka ia akan
menimbulkan hati yang suci bersih, dan akan terbukalah pintu hati untuk menerima rahasia-rahasia
ketuhanan. Sebab hakikat shalat berarti sebagai jalan untuk mendapatkan atau untuk memperoleh
ilmu-ilmu makrifat yang terkandung dalam hakikat Tauhid yang laksana laut yang sangat dalam yang
tak ada pantainya. Oleh sebab itulah dalam satu Hadis dimana Imam Ghazali telah menuliskan dalam
kitabnya Ihya' Ulumuddin, sabda Rasulullah s.a.w. sebagi berikut:
"Tiada sesuatu yang diwajibkan Allah kepada makhlukNya sesudah Tauhid yang lebih menyukakan
kepadaNya selain daripada shalat. Andainya jikalau ada sesuatu yang lain (selain shalat), yang lebih
menyukakan kepadaNya niscaya para Malaikat telah terlebih dahulu beribadat dengan sesuatu itu.
Kepada para Malaikat itu sebagian dari mereka ada yang rukuk saja, sebagian yang lain ada yang
sujud saja, dan sebagian yang lain lagi ada yang berdiri saja dan ada yang duduk saja."
Hadis ini terang dan jelas menunjukkan bagaimana mulianya shalat setelah Tauhid di sisi Allah s.w.t.
Sebab dalam Hadis ini Rasulullah telah menjelaskan ibadat-ibadat para Malaikat pada umumnya
disibukkan dengan sembahyang. Sama ada mereka itu sebagiannya yang pada rupanya rukuk saja,
atau sujud saja, atau berdiri saja, atau duduk saja. Tetapi semua perbuatan mereka ini adalah
merupakan cara khas dari sembahyangnya para Malaikat Allah s.w.t.
Jadi apabila kita rajin sembahyang, rajin serta tekun dan mengerjakannya dengan sesungguh hati,
baik, serius dan sempurna, maka sembahyang adalah jalan untuk menerangkan hati kita dalam
menerima ilmu-ilmu pengetahuan. Sebab apabila sembahyang yang demikian yang mana kita tidak
pernah lupa mengerjakannya sebagai perintah Allah s.w.t., di samping itu kitapun selalu pula
mengerjakan sembahyang-sembahyang sunnat, maka bertambah dekatlah hubungan kita dengan
Allah. Dengan bertambah dekatnya hubungan kita kepada Allah, berarti tercapailah maksud dan cita-
cita kita dengan kehendak-Nya,
dan dengan kasih sayangNya. Karena itu yakinlah dan jangan ragu-ragu lagi,
bahwa di samping sembahyang itu mempunyai banyak faedahnya sebagai tersebut
di atas, juga ada hikmatnya untuk memudahkan mencapai rezeki-rezeki yang
halal dari Allah s.w.t. Artinya usaha kita dalam mencapai rezeki-rezeki itu
akan dimudahkan Allah dan diberkati oleh-Nya apabila kita rajin
bersembahyang. Yakni biarlah sembahyang yang kita kerjakan itu baik lagi
sempurna, pula dengan terarahnya hati kita kepada Allah s.w.t. Itulah
sebabnya maka Al-Ghazali menukikkan sabda Nabi Muhammad s.a.w. di mana Nabi
telah bersabda sebagai berikut:
"Wahai Abu Hurairah! Perintahkanlah keluarga anda dengan mengerjakan sembahyang, karena
bahwasanya Allah akan mendatangkan kepada anda rezekiNya dari (sumber-sumber dan jalan-jalan)
di luar dugaan anda."
Hadis ini dan Hadis-Hadis sebelumnya adalah menggambarkan kelebihan sembahyang. Itulah
sebabnya maka sebagian Ulama menyamakan antara orang yang sembahyang dengan pedagang.
Mereka berkata: "Orang yang mengerjakan shalat adalah umpama saudagar yang tidak memperoleh
keuntungan sebelum pokoknya betul-betul bersih dan kembali."
Jadi apabila pokok perdagangan tidak rugi sepeserpun berarti perdagangan itu telah beruntung,
apalagi jika memang untung dan labanya terlihat pula dengan nyata. Alangkah bahagianya orang
yang sembahyang di mana lahir dan batinnya turut bersembahyang sama menghadap Allah s.w.t.
Insya Allah segala faedah dan nikmat di atas akan diperolehnya dengan izin Allah. Itulah kesimpulan
yang jelas dan terang dari Kalam Hikmah ini.
Sifat Ruh
Allah Yang Maha Suci dengan sengaja menciptakan ruh yang menjadi sumber kehidupan seluruh
makhluk-Nya dari dunia hingga akhirat. Dan pada hakikatnya seluruh ciptaan-Nya tersebut ―Hidup‖
karena tidaklah Ia menciptakan suatu makhluk melainkan padanya ada ruh yang meliputinya.
Termasuk langit dan bumi beserta isi antara keduanya pun punya ruh. Allah Yang Hidup adalah Dzat
pemberi hidup dan kehidupan pada seluruh makhluk bangsa ruhaniah yang diwujudkan pada alam
semesta. Tidak ada yang hidup melainkan dengan sumber kehidupan, yaitu ruh! Adapun ruh sendiri
berasal daripada-Nya, dan menjadi nur (hidup) makhluk.
Tetapi bagaimanakah sesungguhnya sifat ruh itu?
Ruh adalah sesuatu yang lembut dan halus, meliputi seluruh keadaan makhluk dan tidaklah ia
bertempat pada suatu tempat yang sifatnya lokal dan mikro. Apabila ruh meliputi pada sesuatu yang
mati, maka hiduplah sesuatu itu. Ruh tidak dapat diukur besar kecilnya dengan suatu wujud
jasmaniah. Ruh tidak berjenis sebagaimana jenis jasmani manusia dan makhluk lainnya. Dan apabila
ruh mensifati serta meliputi hati manusia, maka memancarlah ―himmah‖ dan kestabilan serta
kekuasaan dalam gerak langkah hidupnya. Dan bilamana menyelusup menyelimuti nafsu (jiwa) serta
mendominasinya, tercerminlah kemauan dan semangat hidup dalam menata kehidupannya.
Iika ruh menguasai akal pikiran maka akal pikiran akan menjurus kesempurnaan di dalam pandangan
dan dapat menentukan suatu sikap atas dasar pertimbangan yang matang bagi perjalanan hidupnya.
Begitulah adanya, jika ruh singgah di telinga maka mendengarlah ia, manakala ruh berkelebat melalui
mata maka memandanglah ia, dan ketika ruh bertamasya pada mulut maka berhamburanlah kata-
kata yang punya mulut, pun bila ruh menjalar pada tangan maka bergeraklah ia meraba dan
mengusap, juga apabila ruh mengalir pada kaki maka dapatlah melangkah tegap ataupun gontai.
Begitu pula bila ruh meliputi dan menguasai sel–sel yang bergerak ke seluruh peredaran darah maka
tampaklah gerak hidup jasmani.
Ruh adalah golongan makhluk Allahur Rabbul ‗ alamin yang dikekalkan kehidupannya. Adapun hidup
serta kehidupan makhluk yang diliputi ruh selalu tumbuh dan berkembang. Allah Yang Maha Kaya
menamai kehidupan langit dan bumi beserta isi keduanya dengan isyarat ―Nur‖ (cahaya atau
kehidupan), sebagaimana firman-Nya :
Allahu nuurus samaawaati wal ardhi …
―Allah (pemberi) cahaya (hidup) langit dan bumi ….‖ QS. 24 An Nuur : Ayat 35.
Innallah khalaqa ruuhan nabiyyi shalallahu ‗alaihi wasalam min dzaatihi wakhuliqal ‗aalamu biasrihi
min nuuri muhammadin shalallahu ‗ alaihi wasallam. (Al – HADIS )
―Sesungguhnya Allah menciptakan ruh Nabi saw, daripada Dzat-Nya lalu diciptakan alam sekaliannya
dengan rahasia-Nya dari pada Nur Muhammad saw.‖
Ruh, termasuk makhluk ciptaan-Nya yang gaib dan hidup meliputi dimensi alam jasmaniah. Dan ruh
memiliki sifat yang berlawanan dengan jasmani. Ruh adalah Nurullah! Tapi ruh sebagai Nurullah
bukan berarti sebagaimana cahaya yang memancar dari matahari atau lampu. Nur dalam pengertian
ayat dan Hadis tersebut di atas bermakna Hidup! Yakni suatu makhluk yang hidup dihidupkan Allah
Yang Maha Hidup dengan ruh ciptaan-Nya! Allahul Hayyi jualah yang menghidupkannya dengan
memberikan ruh ciptaan-Nya.
Kalimat ―Nur‖ di dalam firman Allahul ‗Azhim sangat banyak, bahkan lebih dari tiga puluh (30) ayat
yang menyebut tentang ―Nur‖ sekaligus meliputi atau menjadi simbol berbagai hal seperti Muhammad
Rasul Allah saw., Al Qur‘aan, Agama Islam, Malaikat, Ilmu serta Hidayah (petunjuk). Istilah ―Hidup‖
yang meliputi kehidupan seluruh makhluk juga dirumuskan dalam bahasa wahyu dengan istilah ―Nur‖.
Apabila ruh diibaratkan nur yang terang benderang maka jasmani diibaratkan suatu tempat yang
gelap gulita semisal ruangan. Padahal tidaklah akan tampak terang suatu cahaya bila ia tidak
bertempat pada yang gelap gulita. Begitu pula keadaan gelap pekatnya jasmani dikatakan gelap
gulita bila tidak ada sesuatu yang meneranginya. Demikianlah pengertian ―Ruh‖ sebagai ―Nur‖ dalam
istilah wahyu-Nya.
Ma‘rifat, Fana‘ dan Cinta
―Siapa yang mengenal Allah Swt ia menyaksikanNya dalam segala hal. Dan siapa yang fana‘ padaNya, ia sirna dari segalanya, dan siapa yang mencintaiNya tak akan pernah memprioritaskan selain Dia.‖
Sang arif senantiasa memandang segalanya ada di sisiNya dan bagiNya, lalu ia tidak melihat yang lain kecuali Dia. Bagaimana ia melihat yang lain, –pasti mustahil-– ketika ia sedang melihatNya?
Sebuah syair menyebutkan: Sejak daku mengenal Tuhan
Aku tak melihat yang lain Begitu jua yang lain tak tampak Sejak aku berpadu denganNya
Tak ada ketakutan pada diriku Hari ini, sungguh aku telah sampai
Syeikh Zarrug menegaskan, ma‘rifat adalah mewujudkan kema‘rifatannya sesuai dengan keagungan yang dima‘rifati (Allah Swt). Sehingga perwujudan hakikat itu, membuat seakan-akan menjadi sifat baginya, tidak bergerak dan tidak berpindah. Gerak-geriknya tidak berjalan kecuali menurut
aturannya. Maka pada saat itulah hatinya tegak setiap waktu dan dalam kondisi apa pun. Maka menyaksikan Allah azza wa-Jalla mengarahkan pada rasa fana‘ di dalamnya, secara total kembali padaNya.
Disnilah Ibnu Athaillah as-Sakandary melanjutkan, ―Siapa yang fana‘ padaNya, ia sirna dari segalanya,‖ maka fana‘ itu sendiri adalah menyaksikan Allah Swt, tanpa unsur makhluk, dimana
hukum tindakan dalam sifat tidak masuk, karena sifat tindakan hanyalah efek belaka. Sehingga tak ada berita tentang tindakan jika dipandang dari segi Dia. Sifat disandarkan pada yang disifati, dan tidak lain kecuali Dia Satu-satuNya. Itulah kenyataan sirna dari segalanya bersamaNya, karena
segalanya kembali padaNya.
Bila ma‘rifat menimbulkan fana‘. Dan kefanaan berdampak kesirnaan, maka kesirnaan itu menuntut adanya wujud prioritas. Maka cintalah yang menumbuhkan prioritas itu.
Kenapa? Karena hakikat cinta adalah teraihnya keindahan Sang Kekasih melalui kecintaan qalbu, hingga dalam situasi apa pun tak ada yang tersisa.Itulah yang kemudian disebutkan, bahwa cinta adalah memprioritaskan di Keabadian Kekasih.
Ma‘rifat, Fana‘ dan Cinta adalah tiga tonggak kewalian. Sang wali senantiasa ma‘rifat kepada Allah Swt, senantiasa fana‘ padaNya dan mencintaiNya. Siapa yang tidak memiliki kategori ini semua, maka
ia tidak mendapatkan bagian dalam kewalian. Semoga Allah menjadikan kita golongan mereka. Amin. Demikian penjelasan Syeikh Zarruq dalam Syarah Al-Hikam.
JENIS-JENIS KARAMAH
1. Pemberian
Karamah jenis ini, termasuk karamah yang tertinggi, sebab terjadinya kerana pemberian Allah kepada
seorang tanpa diminta lebih dulu.
2. Usaha Sendiri
Karamah jenis ini termasuk karamah yang diusahakan, misalnya terkabulnya sebuah doa seorang
wali.
PEMBAHAGIAN KARAMAH
Pertama : Karamah Hissiyyah
Iaitu karamah yang dapat dirasa dan dilihat dengan mata, seperti dapat berjalan di atas air atau
dapat terbang di udara.
Kedua : Karamah Ma‘nawiyyah
Iaitu Istiqamahnya seseorang untuk mengabdi kepada Tuhannya, baik secara zahir maupun batin.
Karamah macam ini banyak diharapkan para wali-wali Allah. Kata mereka: ―Istiqamah lebih baik dari
seribu karamah.‖
Syeikh Abul Abbas Al Mursi pernah berkata: ―Seorang wali besar, bukanlah seorang yang dapat
memperdekatkan jarak yang jauh. Yang termasuk wali besar adalah seorang yang dapat
mengendalikan hawa nafsunya di hadapan Tuhannya.‖46
Jika seorang wali hanya berharap mendapat karamah, maka wali itu tidak termasuk wali yang
berperingkat tinggi. Ibnu Athaillah pernah berkata: ―Kemahuan yang tinggi tidak sampai menembusi
tembok-tembok takdir.‖47 Maksud ucapan itu adalah karamah tidak akan bertentangan dengan
ketetapan takdir. Sebab, semua yang terjadi di alam semesta, baik yang biasa mahupun yang luar
biasa sumbernya dari takdir Allah swt. Pada umumnya, kemahuan seorang wali tidak akan
bertentangan dengan takdir Allah.
Abu Hurairah menyebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda: ―Adakalanya seorang hina yang biasa
ditolak bila mengetuk pintu orang, namun jika ia berdoa, pasti terkabul.‖48
46 Lathaiful Minan
47 Syarah Al Hikam
48 Hadis riwayat Muslim
Di lain kesempatan Rasulullah saw bersabda:
―Takutlah kamu dengan firasat seorang mukmin, sesungguhnya ia melihat dengan cahaya Allah.‖49
49 Hadis riwayat Tirmidzi, Thabrani, Ibnu Adi dan An Najar di dalam kitab At Tarikh
CONTOH-CONTOH KARAMAH
1. Dapat Menghidupkan Mayat
Imam Taajus Subki memberi contoh karamah Abi Ubaid Al Busri. Beliau pernah berdoa kepada Allah
agar kudanya yang mati ditengah medan perang dihidupkan kembali. Doa beliau terkabul dan kuda
Abi Ubaid akhirnya hidup kembali.
Pernah Mifraj Ad Damamini berkata kepada anak burung yang telah dipanggang: ―Terbanglah wahai
burung dengan izin Allah‖. Ucapan beliau terkabul dan burung itu hidup kemudian terbang.
Syeikh Ahdal pernah memanggil kucing yang telah mati. Akhirnya kucing itu hidup dan datang
kepada Syeikh Ahdal.
Syeikh Abdul Qadir Al Jailani pernah berkata kepada seekor ayam yang baru di makan dagingnya:
―Hai ayam hiduplah kau dengan izin Zat yang dapat menghidupkan tulang belulang‖.
Dengan izin Allah, tulang belulang tersebut berubah wujudnya menjadi ayam kembali.
Pernah Abi Yusuf Dahmani berkata kepada seorang mayat:
―Hai fulan, hiduplah dengan izin Allah‖. Ucapan beliau terkabul sehingga mayat itu hidup kembali
selama beberapa waktu.
Imam Subki pernah bercerita: ―Aku pernah dengar kisah Syeikh Zainuddin Al Faruqy Asy Syafi‘i,
bahawa pada suatu hari ada seorang anak kecil jatuh dari atap rumahnya lalu mati. Ketika Syeikh
Zainuddin melihat kejadian itu, beliau berdoa kepada Allah. Maka dengan izin Allah, anak kecil yang
mati itu hidup kembali.
Selanjutnya Imam Subki berkata: ―Sesungguhnya kejadian semacam itu tidak terhitung banyaknya.
Dan aku yakin benar adanya karamah seperti itu. Hanya saja yang belum pernah kudengar adanya
seorang wali yang dapat menghidupkan orang mati yang telah lama atau yang sudah menjadi tulang
belulang. Yang kami dengar hanyalah pada diri sebagian Nabi di zaman dulu.Dan itu pun merupakan
suatu mukjizat baginya. Bukan termasuk jenis karamah. Yang mungkin terjadi pada diri seorang Nabi
terdahulu adalah menghidupkan suatu kaum yang telah mati beberapa abad, kemudian mereka
dihidupkan. Dengan izin Allah kaum itu hidup selama beberapa waktu. Yang tidak mungkin terjadi
dimasa ini adalah adanya seorang wali yang menghidupkan Imam Syafi‘i atau Abu Hanifah, kemudian
keduanya dapat hidup lama dan bergaul dengan masyarakat seperti pada waktu sebelumnya.
2. Berbicara Dengan Orang Mati
Jenis karamah seperti ini lebih banyak dari jenis karamah di atas. Tentang hal ini Imam Subki
memberi contoh karamah Syeikh Abu Said Al Kharaz dan karamahnya Syeikh Abdul Qadir Al Jailani.
Dan kisah karamah ayahnya, Syeikh Taqiuddin As Subki.
3. Berubahnya Sesuatu Menjadi Bentuk Yang Lain
Jenis karamah ini pernah terjadi pada diri Syeikh Isa Al Hataar Al Yamani. Disebutkan bahawa ada
seorang ingin menguji karamah Syeikh Isa Al Hattar. Ia menyuruh pelayannya membawa dua botol
minuman keras kepada beliau. Setelah kedua botol itu diterima oleh Syeikh Isa, maka ia menuang isi
kedua botol itu seraya berkata kepada sebilangan orang yang ada di sisinya: ―Minumlah minyak
samin ini‖. Maka minuman keras yang ada di kedua botol itu berubah menjadi minyak samin yang
rasanyaamat lazat. Kisah karamah jenis ini sering terjadi.
4. Jarak Jauh Menjadi Dekat:
Karamah seperti ini pernah terjadi pada diri seorang wali yang berada di Masjid kota Tursus (Turki).
Wali tersebut pernah tergerak dalam hatinya ingin pergi ke Masjidil Haram, kemudian beliau
memasukkan kepalanya dikantungnya lalu mengeluarkannya kembali. Maka dengan izin Allah, wali itu
telah berada di Masjidil Haram . Kisah semacam ini pada umumnya dikisahkan secara berurutan dari
orang-orang yang dapat dipercaya.
6. Berbicara Dengan Benda Dan Binatang:
Karamah seperti ini tidak dapat diragukan kewujudannya. Karamah ini pernah terjadi pada diri
seorang Sufi yang bernama Ibrahim Bin Adham. Beliau pernah mendengar suara dari pohon delima
yang minta dimakan. Ketika Ibrahim Bin Adham makan buahnya, tiba-tiba pohon itu bertambah tinggi
dan buahnya yang masam berubah jadi manis, serta dapat menghasilkan dua kali setiap tahun.
7. Dapat Menyembuhkan Penyakit:
Karamah seperti ini pernah terjadi pada Syeikh Sirri As-Saqathi. Seorang pernah menemuinya ketika
beliau sedang menyembuhkan orang yang sakit kusta dan buta. Syeikh Abdul Qadir Jailani pernah
berkata kepada seorang anak yang sakit lumpuh, buta dan kusta: ―Berdirilah engkau dengan izin
Allah‖. Dengan izin Allah, maka anak tersebut segera bangun tanpa suatu cacat pun.
8. Ditakuti binatang
Karamah seperti ini pernah terjadi pada diri Abu Said ibnu Abil Khair Al Maihani. Singa dan binatang
yang lain takut kepadanya. Ada pula sebahagian wali yang dipatuhi segala benda seperti yang terjadi
pada diri Syeikhul Islam Izzudin Ibnu Abdis Salam beliau pernah berkata kepada angin di waktu
peperangan antara kaum Muslimin dan umat Nasrani: ―Hai angin terbangkan musuh-musuh kami‖.
Dengan izin Allah kaum Nasrani diterbangkan angin dan dilempar ke tanah sampai binasa.
9. Waktu lebih cepat dan waktu lebih panjang
Karamah seperti ini sukar diterangkan kepada orang awam hanya saja orang terdahulu semuanya
mempercayai akan terjadinya panjangan dan singkatnya waktu. Karamah seperti ini banyak terjadi.
11. Terkabulnya Segala Doa.
12. Dapat Menahan Lisan Seseorang Yang Sedang Berbicara.
13. Diberitahu Tentang Sesuatu Yang Akan Terjadi Dan Diperlihatkan Sesuatu Yang Tersembunyi.
15. Dapat Menahan Lapar dan Minum Dalam Waktu Yang Panjang.
16. Dapat Menjalankan Sesuatu Dengan Kehendaknya.
Karamah seperti ini banyak di alami oleh para wali. Diriwayatkan bahawa sebahagian wali ada yang
diikuti oleh hujan. Salah seorang dari mereka bernama Syeikh Abul Abbas As Syatir, ia sering menjual
hujan dengan harga beberapa dirham. Kisah semacam ini banyak terjadi, sehingga sukar untuk
dimungkiri kewujudannya.
17. Mampu Untuk Makan Banyak
18. Terjaga Dari Makanan Yang Haram
Karamah seperti ini pernah terjadi pada seorang wali yang bernama Al Haritsul Muhasibi, iaitu ketika
beliau mendengar suara dari makanan yang hendak dimakannya, bahawa makanan itu diperolehi
dengan cara yang haram. Setelah beliau mengerti bahawa makanan itu adalah makanan haram,
maka segera beliau meninggalkan makanan itu.
19. Dapat Melihat Dari Belakang Hijab:
Jenis karamah seperti ini pernah terjadi pada seorang wali yang bernama Abu Ishak As-Syirazi. Beliau
dapat melihat Ka‘bah sedangkan beliau berada di kota Baghdad.
20. Diberi Kehebatan Dan Kebesaran Peribadi
Adakalanya seorang wali diberi kehebatan peribadi yang dapat menyebabkan kematian orang
tertentu ketika ia melihat diri wali tersebut. Hal ini pernah terjadi pada seorang pembesar yang mati
ketika berhadapan dengan Abu Yazid Al Busthami. Adakalanya seorang yang berhadapan dengan
seorang wali seperti ini, maka ia akan tunduk, bahkan akan mengakui apa sahaja yang tersembunyi
dalam hatinya. Kejadian seperti ini banyak terjadi.
21. Diberi Perlindungan
Mendapat perlindungan Allah dari segala kejahatan yang akan menimpa. Bahkan kejahatan yang
semula direncanakan itu akan berbalik jadi kebaikan. Hal ini terjadi pada diri Imam Syafi‘I apabila
beliau akan dihukum oleh khalifah Harun Rasyid, tetapi akhirnya dengan izin Allah beliau dibebaskan.
22. Dapat Berubah Bentuk
Karamah seperti ini dikenali di kalangan ahli Sufi dengan ―Alamul Mithsal, iaitu antara alam yang
nyata dan alam arwah. Orang yang yang mendapat karamah seperti ini dapat berubah bentuk dan
berpindah tempat dengan bebas. Karamah seperti jenis ini pernah di alami oleh seorang wali yang
bernama Qadhibul Bani. Orang yang tidak mengenal beliau akan menyangkanya tidak pernah
melakukan solat dan ia membencinya. Pada suatu hari, ketika beliau dicela oleh seorang yang
menyangkanya tidak pernah melakukan solat, di saat itu Allah memperlihatkan karamahnya, sehingga
beliau dapat berubah dalam beberapa bentuk yang menunjukkan bahawa beliau sedang melakukan
solat. Beliau bertanya : ―Dalam gambaran atau bentuk manakah yang kamu lihat aku tidak solat?‖
Perkara serupa ini pernah terjadi pula pada seorang wali yang pernah dilihat oleh seorang ketika
beliau sedang berwudhu di Masjid Sayufiah di Cairo. Orang itu menegur: ―Hai orang tua, nampaknya
cara kamu berwudhu itu tidak tertib‖. Jawab si wali: ―Aku tidak pernah berwudhu dengan cara yang
tidak tertib. Hanya saja anda tidak dapat melihatku, kalau anda dapat melihat, pasti kamu akan
melihat ini‖. Beliau berkata demikian sambil memegang tangan orang itu, sampai ia dapat melihat
Ka‘bah, kemudian beliau membawanya ke Mekkah dan menetap di sana selama beberapa tahun.
23. Dibukakan Segala Sumber Kekayaan Bumi
Jenis karamah seperti ini pernah dialami oleh Abu Turab, ketika beliau menghentakkan kakinya ke
bumi, maka Allah mengeluarkan air dari tanah itu. Kata Imam Subki: ―Di antara jenis karamah seperti
ini ialah terpancarnya sumber mata air di musim kemarau dan bumi tunduk pada seorang yang
memukulkan kakinya ke bumi‖. Pernah diceritakan bahawa ada seorang yang berjalan ke kota
Mekkah untuk berhaji. Dalam perjalanan itu ia merasa haus sekali. Namun ia tidak mendapat seteguk
air pun. Kemudian ia menemui seorang fakir yang bertongkat. Tepat di tempat itu terpancarlah
sumber mata air yang dapat memberikan minuman kepada para jemaah haji yang sedang lewat di
tempat itu. Semua jemaah haji yang lewat di tempat itu membekali dirinya dengan air yang terpancar
di bawah tongkat si fakir.
24. Diberikan Kemampuan Untuk Mengarang Berpuluh-Puluh Karangan Dalam Masa yang Singkat
Biasanya pekerjaan seberat itu tidak mungkin dilaksanakan oleh seorang yang banyak disibukkan
dalam pembahasan berbagai macam ilmu pengetahuan. Adakalanya untuk menulis sebuah karangan
sahaja seorang akan menghabiskan seluruh umurnya. Apalagi akan menulis berpuluh-puluh buah
karangan dalam waktu yang sangat singkat. Karamah semacam ini termasuk jenis karamah waktu
dapat menjadi panjang. Jenis karamah ini pernah dialami oleh Imam Syafi‘I Rahimullah. Beliau
mampu mengarang berpuluh-puluh kitab, padahal sebenarnya waktunya tidak akan cukup untuk
melakukan hal itu, disebabkan kesibukan beliau sehari-harinya untuk mengkhatamkan Al Qur‘an
setiap harinya dengan bacaan yang penuh oleh tadabbur dan di bulan Ramadhan pun beliau dapat
mengkhatamkannya dua kali setiap harinya. Di samping itu, beliau juga disi-bukkan oleh banyaknya
memperdalami ilmu pengetahuan, memberikan pelajaran, berzikir dan banyaknya penyakit yang
dialaminya. Dalam suatu riwayat dikatakan bahawa beliau menderita tiga puluh macam penyakit.
Karamah semacam ini dialami juga oleh Imamul Haramain Abul Ma‘ali Al Juwaini. Dengan umur yang
tidak panjang, beliau mampu mengarang beberapa buah kitab. Sebenarnya umur yang sependek itu
tidak akan cukup untuk mengarang berpuluh-puluh kitab disebabkan kesibukan beliau dalam belajar
dan mengajar serta berzikir.
Jenis karamah seperti ini diberikan juga kepada seorang wali yang mampu mengkhatamkan Al Quran
sebanyak lapan kali dalam sehari. Imam Nawawi juga diberi Allah kemampuan untuk mengarang
berpuluh-puluh kitab dalam waktu singkat. Sebenarnya umur beliau yang sedemikian itu tidak cukup
untuk mengarang kitab sebanyak itu. Ditambah lagi dengan berbagai macam ibadah yang beliau
lakukan setiap harinya. Karamah seperti ini diberikan juga kepada Imam Taqiuddin As Subki. Beliau
mampu menulis berpuluh-puluh kitab. Sebenarnya umur yang sependek itu tidak akan cukup untuk
menulis kitab sebanyak itu disebabkan beliau sangat sibuk memberi pengajaran, tekun beribadat,
banyak membaca Al Quran dan berzikir. Sebenarnya jika kita hitung pekerjaan besar yang
dikerjakannya dengan umurnya yang singkat, pasti tidak cukup untuk memenuhi sepertiganya,
namun Allah memberinya barakah dalam umur, sehingga beliau dapat merampungkan segala tugas
besar dipikulnya.
25. Terhindar Dari Terkena Racun
Jenis karamah seperti ini pernah terjadi pada seorang wali yang diancam oleh seorang raja zalim.
Raja zalim itu berkata: ―Tunjukkanlah padaku bukti kebenaranmu, jika tidak, aku akan hukum kamu‖.
Pada waktu itu si wali melihat dekatnya kotoran unta. Maka ia berkata: ―Lihatlah itu‖. Tiba-tiba
kotoran unta itu jadi sebungkal emas. Kemudian ia melihat sebuah tempat air yang tidak ada airnya.
Si wali itu melemparkan tempat air yang kosong itu ke udara. Ketika tempat air itu jatuh tiba-tiba
telah berisi air penuh dan tempat air itu terjungkir. Namun air yang di
dalamnya tidak tertumpah setitik pun. Melihat kejadian tersebut raja itu hanya berkata: ―Ini hanyalah
perbuatan sihir belaka‖. Kemudian raja memerintahkan untuk melemparkan si wali ke dalam api yang
bernyala-nyala. Tidak lama si wali tersebut segera keluar dan menarik putera raja yang masih kecil ke
tengah api yang sedang menyala. Melihat kejadian ini raja hampir jadi gila, kerana putera satu-
satunya diseret ke tengah api yang sedang menyala. Setelah beberapa saat, si wali keluar bersama
putera raja itu dari api, sedang ditangan kanan putera raja itu memegang buah apel dan dikirinya
memegang buah delima. Raja bertanya pada puteranya: ―Wahai puteraku, dari mana kamu tadi?‖
Jawab si putra: ―Aku dapat dari sebuah kebun‖.Mendengar keterangan putera raja itu para pembesar
kerajaan hanya berkata: ―Itu hanyalah suatu sihir belaka‖. Kemudian raja berkata kepada si wali:
―Jika kamu dapat minum racun ini, aku akan percaya padamu‖. Setelah itu, si wali minum racun itu.
Namun ia tidak mati hanya bajunya sahaja yang koyak. Kemudian ditambah lagi meminum racun.
Setiap kali minum racun ia tetap hidup hanya bajunya saja yang koyak-koyak. Pada terakhir kali
ketika ia diberi minuman racun lagi bajunya tidak koyak dan ia pun selamat.
Di antaranya pula ada yang dibukakan baginya alam ghaib di hadapan pandangan matanya, sehingga
ia dapat melihat apa saja yang terselubung di sebalik dinding, bahkan ia dapat mengetahui apa yang
dilakukan oleh orang dirumahnya. Di antaranya pula ada yang diberi karamah kasyaf. Misalnya jika
seorang wali mendatangi rumah seorang yang telah berbuat zina atau mabuk atau mencuri atau
berbuat maksiat, maka wali itu dapat mengetahuinya, seperti yang terjadi pada Syeikh Ibnu Arabi.
Mukasyafah semacam ini dikhususkan bagi mereka yang hidup secara wara‘. Di antaranya pula ada
yang diberi karamah dapat mengetahui gerak geri orang, misalnya seorang wali bergerak hatinya
ingin bertemu dengan gurunya, maka gurunya segera hadir di hadapannya.
Ada pula jenis karamah berupa didatangkannya sebuah pohon kepada seorang wali, kemudian wali
itu menikmati buah dari pohon yang hadir di hadapannya. Di antaranya pula ada yang diberi karamah
dapat mengetahui segala jenis batu-batu mulia dan logam-logam mulia yang ada di perut bumi,
meskipun demikian, seorang wali yang diberi karamah jenis ini tidak memperdulikan sedikit pun
tentang harta kekayaan yang terpendam itu.
Di antaranya pula ada yang diberi karamah berupa ilmu yang dapat memahami segala ucapan benda-
benda yang mati, sehingga seorang wali yang diberi karamah seperti ini, ia dapat mendengar ucapan
tasbih benda-benda yang mati. Di antaranya pula ada yang diberi karamah dapat mengetahui segala
rahsia benda-benda yang hidup. Di antaranya pula ada yang diberi karamah segala macam ilmu
pengetahuan, baik yang berupa ilmu-ilmu zahir mahupun ilmu-ilmu bathin. Seorang yang diberi
karamah berupa ini, ia akan dapat memahami berbagai macam persoalan dunia dan akhirat. Di
antaranya pula ada yang diberi karamah berupa tingkatantingkatan Al Quthbiyah. Di antaranya pula
ada yang diberi karamah pengetahuan dan kasyaf, sehingga dapat membezakan mana-mana
pendapat mazhab-mazhab yang benar.
Di antaranya pula ada yang diberi karamah dapat melihat dan mendengar hal-hal yang ghaib,
sehingga antara yang terang dan yang terselubung tidak ada beza baginya. Di antaranya pula ada
yang diberi karamah dapat berbicara dengan makhluk alam malakut dan dapat mendengar
guratanguratan pena di Lauh Mahfuz. Di antaranya pula ada yang diberi karamah tidak tersentuh
makanan, minuman dan pakaian yang berasal dari hasil syubhat, apa lagi yang haram. Jenis karamah
ini, biasanya si wali diberi tanda tertentu oleh Allah jika ada makanan, minuman dan pakaian dari
hasil syubhat yang menyentuh dirinya. Di antara yang mendapat karamah macam ini adalah ibunya
Abu Yazid Al Bustami. Setiap kali ia mendapat makanan atau minuman yang syubhat, maka
tangannya berpeluh dan gementar, sehingga ia harus menjauhi makanan dan minumannya.
Di antaranya pula ada yang diberi karamah berupa makanan atau minuman sedikit yang dihidangkan
dapat menjadi banyak. Karamah ini pernah diberikan kepada Syeikh Abu Abdullah At Tawudi ketika ia
menyuruh kawannya ke tukang jahit, maka ia mengeluarkan sepotong kain yang sempit dari balik
bajunya, kemudian ia menyuruh kawannya untuk membawanya ke tukang jahit seraya berkata: ―Dari
kain yang sempit ini buatlah pakaian yang cukup untuk beberapa orang‖. Nyatanya kain yang
sedemikian sempit itu dapat mencukupi pakaian untuk beberapa orang.
Di antaranya pula ada yang diberi karamah dapat menjadikan air masin atau payau menjadi air tawar
dan segar. Karamah seperti ini pernah diberikan kepada Syeikh Abdullah Ibnul Ustad Al Marwazi
sahabat Syeikh Abu Madyan. Di antaranya pula ada yang diberi karamah dapat berjalan di atas udara
seperti ketika ia berjalan di atas bumi. Di antaranya pula ada yang diberi karamah dapat berkata-kata
dengan makhluk alam arwah, sehingga ia dapat mengetahui keadaan mereka yang sudah wafat,
walaupun telah wafat bertahuntahun. Di antaranya pula ada yang diberi karamah dapat melenyapkan
dirinya dari alam wujud ke alam ghaib, sehingga ia dapat menghilang dari suatu majlis tanpa
pengetahuan mereka yang hadir. Di antaranya pula ada yang diberi karamah dapat melangkahi bumi
yang luas hanya dengan satu langkah atau hanya dengan sekejap mata, sehingga ia dapat solat
Zuhur di Mekkah, kemudian solat Asar di tanah kelahirannya.
Inilah beberapa contoh karamah yang diberikan oleh Allah kepada para wali Allah untuk membuktikan
kekuasaan Allah pada para makhluk Allah yang tidak percaya akan wujudnya karamah.
MURSYID
Dalam setiap aktivitas rintangan itu akan selalu ada. Hal ini dikarenakan Tuhan menciptakan syetan
tidak lain hanya untuk menggoda dan menghalangi setiap aktivitas manusia. Tidak hanya terhadap
aktivitas yang mengarah kepada kebaikan, bahkan terhadap aktivitas yang sudah jelas mengarah
menuju kejahatan pun, syetan masih juga ingin lebih menyesatkan.
Pada dasarnya kita diciptakan oleh Tuhan hanya untuk beribadah dan mencari ridla dari-Nya. Karena
itu kita harus berusaha untuk berjalan sesuai dengan kehendak atau syari‘at yang telah ditentukan.
Hanya saja keberadaan syetan yang selalu memusuhi kita, membuat pengertian dan pelaksanaan kita
terkadang tidak sesuai dengan kebenaran.
Dengan demikian, kebutuhan kita untuk mencari seorang pembimbing merupakan hal yang essensial.
Karena dengan bimbingan orang tersebut, kita harapkan akan bisa menetralisir setiap perbuatan yang
mengarah kepada kesesatan sehingga bisa mengantar kita pada tujuan.
Thariqah
Thariqah adalah jalan. Maksudnya, salah satu jalan menuju ridla Allah atau salah satu jalan menuju
wushul (sampai pada Tuhan). Dalam istilah lain orang sering juga menyebutnya dengan ilmu haqiqat.
Jadi, thariqah merupakan sebuah aliran ajaran dalam pendekatan terhadap Tuhan. Rutinitas yang
ditekankan dalam ajaran ini adalah memperbanyak dzikir terhadap Allah.
Dalam thariqat, kebanyakan orang yang terjun ke sana adalah orang-orang yang bisa dibilang sudah
mencapai usia tua. Itu dikarenakan tuntutan atau pelajaran yang disampaikan adalah pengetahuan
pokok atau inti yang berkaitan langsung dengan Tuhan dan aktifitas hati yang tidak banyak
membutuhkan pengembangan analisa. Hal ini sesuai dengan keadaan seorang yang sudah berusia
tua yang biasanya kurang ada respon dalam pengembangan analisa. Meskipun demikian, tidak berarti
thariqah hanya boleh dijalankan oleh orang-orang tua saja.
Lewat thariqah ini orang berharap bisa selalu mendapat ridla dari Allah, atau bahkan bisa sampai
derajat wushul. Meskipun sebenarnya thariqah bukanlah jalan satu-satunya.
Wushul
Wushul adalah derajat tertinggi atau tujuan utama dalam ber-thariqah. Untuk mencapai derajat
wushul (sampai pada Tuhan), orang bisa mencoba lewat bermacam-macam jalan. Jadi, orang bisa
sampai ke derajat tersebut tidak hanya lewat satu jalan. Hanya saja kebanyakan orang menganggap
thariqah adalah satu-satunya jalan atau bahkan jalan pintas menuju wushul.
Seperti halnya thariqah, ibadah lain juga bisa mengantar sampai ke derajat wushul. Ada dua ibadah
yang syetan sangat sungguh-sungguh dalam usaha menggagalkan atau menggoda, yaitu shalat dan
dzikir. Hal ini dikarenakan shalat dan dzikir merupkan dua ibadah yang besar kemungkinannya bisa
diharapkan akan membawa keselamatan atau bahkan mencapai derajat wushul. Sehingga didalam
shalat dan dzikir orang akan merasakan kesulitan untuk dapat selalu mengingat Tuhan.
Dalam sebuah cerita, Imam Hanafi didatangi seorang yang sedang kehilangan barang. Oleh Imam
Hanafi orang tersebut disuruh shalat sepanjang malam sehingga akan menemukan barangnya.
Namun ketika baru setengah malam menjalankan shalat, syetan mengingatkan/mengembalikan
barangnya yang hilang sambil membisikkan agar tidak melanjutkan shalatnya. Namun oleh Imam
Hanafi orang tersebut tetap disuruh untuk melanjutkan shalatnya.
Seperti halnya shalat, dzikir adalah salah satu ibadah yang untuk mencapai hasil maksimal harus
melewati jalur yang penuh godaan syetan. Dzikir dalam ilmu haqiqat atau thariqat, adalah mengingat
atau menghadirkan Tuhan dalam hati. Sementara Tuhan adalah dzat yang tidak bisa diindera dan
juga tiak ada yang menyerupai. Sehingga tidak boleh bagi kita untuk membayangkan keberadaan
Tuhan dengan disamakan sesuatu. Maka dalam hal ini besar kemungkinan kita terpengaruh dan
tergoda oleh syetan, mengingat kita adalah orang yang awam dalam bidang ini (ilmu haqiqat) dan
masih jauh dari standar.
Karena itu, untuk selalu bisa berjalan sesuai ajaran agama, menjaga kebenaran maupun terhindar
dari kesalahan pengertian, kita harus mempunyai seorang guru. Karena tanpa seorang guru,
syetanlah yang akan membimbing kita. Yang paling dikhawatirkan adalah kesalahan yang berdampak
pada aqidah.
Mursyid
Mursyid adalah seorang guru pembimbing dalam ilmu haqiqat atau ilmu thariqat. Mengingat
pembahasan dalam ilmu haqiqat atau ilmu thariqat adalah tentang Tuhan yang merupakan dzat yang
tidak bisa diindera, dan rutinitas thariqah adalah dzikir yang sangat dibenci syetan. Maka untuk
menjaga kebenaran, kita perlu bimbingan seorang mursyid untuk mengarahkannya. Sebab penerapan
Asma‘ Allah atau pelaksanaan dzikir yang tidak sesuai bisa membahayakan secara ruhani maupun
mental, baik terhadap pribadi yang bersangkutan maupun terhadap masyarakat sekitar. Bahkan bisa
dikhawatirkan salah dalam beraqidah.
Seorang mursyid inilah yang akan membimbing kita untuk mengarahkannya pada bentuk
pelaksanaan yang benar. Hanya saja bentuk ajaran dari masing-masing mursyid yang disampaikan
pada kita berbeda-beda, tergantung aliran thariqah-nya. Namun pada dasarnya pelajaran dan tujuan
yang diajarkannya adalah sama, yaitu al-wushul ila-Allah.
Melihat begitu pentingnya peranan mursyid, maka tidak diragukan lagi tinggi derajat maupun
kemampuan dan pengetahuan yang telah dicapai oleh mursyid tersebut. Karena ketika seorang
mursyid memberi jalan keluar kepada muridnya dalam menghadapi kemungkinan godaan syetan,
berarti beliau telah lolos dari perangkap syetan. Dan ketika beliau membina muridnya untuk
mencapai derajat wushul, berarti beliau telah mencapai derajat tersebut. Paling tidak, seorang
mursyid adalah orang yang tidak diragukan lagi kemampuan maupuan pengetahuannya.
Rahasia dibalik Kesederhanaan
Suatu ketika sahabat Umar meminta izin untuk menemui Rasulullah SAW. Setelah diijinkan beliau
segera saja masuk ke dalam bilik kecil yang ditempati oleh Rasulullah SAW. Kaget bukan kepalang
dengan apa yang dilihatnya. Bola matanya tidak setuju dengan pemandangan di depannya, tapi ini
kenyataan. Hatinya bergejolak tak karuan. Berbagai perasaan berpadu dalam kalbu. Sedih, iba,
bangga, tak tahulah apa nama perasaan itu. Ia mendapati beliau sedang berbaring di atas tikar yang
sangat kasar. Bukan hanya tikar kasar, tapi juga kecil. Sangking kecilnya tikar kasar yang beliau
kenakan, sebagian tubuh beliau berada di atas tanah. Beliau hanya berbantalkan pelepah kurma yang
keras, hingga bekas-bekas guratan terlukis tak beraturan di pipi putih Rasulullah SAW.
Sesaat suasana hening. Sahabat Umar mengambil posisi duduk di dekat Rasulullah SAW. Setetes air
bening menyembul keluar dari sudut matanya, turun setapak demi setapak, melewati gundukan kecil,
menyusuri lembah halus di pipinya, dan akhirnya jatuh membasahi bumi. Satu tetes, diikuti tetesan-
tetesan yang lain, hingga puluhan tetes telah melewati gundukan kecil dan lembah halus di pipinya.
Sahabat nabi yang terkenal garang itu terisak. Ia yang dikenal dengan watak kerasnya, tak mampu
menahan lelahan air mata yang mendesak sekuat tenaga.
Melihat sahabat setianya berlinangan air mata, Rasulullah SAW pun bertanya, ‖Mengapa engkau
menangis wahai Umar?‖
‖Bagaimana aku tidak menangis…‖ Mengambil nafas. ―Tikar ini telah menimbulkan bekas pada
tubuhmu. Padahal engkau Nabi Allah dan kekasih-Nya. Kekayaanmu hanya yang aku lihat sekarang
ini. Sedangkan Kaisar Romawi duduk di singgasana emas dan berbantalkan sutera.‖ Jawab umar
panjang lebar sambil menahan gejolak di hatinya.
Dengan lembut Nabi saw bertutur kepadanya, ‖Mereka telah menyegerakan kesenangannya sekarang
juga. Sebuah kesenangan yang akan cepat berakhir. Kita adalah kaum yang menangguhkan
kesenangan kita untuk hari akhir.‖
Sederhana disayang Allah dan manusia.
Dulu, 14 abad yang lalu, manusia mulia yang terpilih menjadi rasul akhir zaman telah memberi
tauladan kepada umatnya untuk berlaku sederhana. Padahal, dulu Rasulullah SAW mampu untuk
menggenggam dunia. Beliau sanggup untuk hidup dengan kemewahan dan dikelilingi harta, tapi
bukan itu pilihan nabi akhir zaman ini. Beliau saw lebih memilih hidup dengan kesederhanaannya. Ya,
sederhana dan apa adanya. Tidak foya-foya sok kaya, tidak berlebih-lebihan sok berlebih hartanya,
dan tidak pula bergaya sok paling punya.
Sederhana, pasti banyak yang suka. Sederhana, pasti banyak yang cinta. Sederhana, pasti banyak
yang bangga. Bukan hanya makhluk bernama manusia yang suka dengan pribadi sederhana, tapi
Allah pun turut mencintai manusia yang berperilaku sederhana.
Ibnu Abbas pernah menuturkan, suatu ketika datang seseorang menghadap kepada Rasulullah SAW
dan berkata: ya Rasulallah, tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang apabila aku kerjakan, maka
aku dicintai Allah dan manusia? Beliau menjawab:
ذ ب ف اص حبك انذ ذ هللا، اص ب ذ ف بس ػ حبك ان انبس
―Berlakulah zuhud dalam urusan dunia niscaya kamu akan dicintai Allah, dan zuhudlah kamu terhadap
apa yang dimiliki orang lain niscaya kamu akan dicintai orang-orang.‖ (HR. Ibnu Majah)
Betapa dahsyat apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Tanpa perlu menghamburkan banyak uang,
yang dibutuhkan hanya kesabaran, tapi hasilnya melebihi perhiasan dunia, yakni Cinta. Tidak ada
yang lebih berharga dari pada sebentuk cinta. Apalah artinya harta yang berlimpah, jika kita tidak
pernah mendapatkan cinta dari orang lain. Adakah manusia di dunia ini yang tidak ingin dicintai?
Semua orang pasti ingin dicintai. Dicintai oleh sang pencipta dan dicintai oleh sesama manusia. Rasa-
rasanya, tidak ada yang lebih membahagiakan hati selain dicintai.
Apa untungnya dicintai Allah, Sang Pencipta manusia? Allah berfirman dalam sebuah hadits qudsi:
فإرا ت أحببت ك ؼ غ انزي س ، س بصش ب بصش انزي ، ب ذ ب، بطش انت ب سجه ش انت ب، ب إ
، سأن ألػط نئ استؼبر ألػز
―Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk
mendengar, penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, tangannya yang dia gunakan untuk
memukul, dan kakinya yang dia gunakan untuk menendang. Jika dia meminta kepada-Ku niscaya
akan Aku berikan dan jika dia meminta perlindungan kepada-Ku niscaya akan Aku lindungi.‖ (HR.
Bukhari)
Apa untungnya dicintai manusia? Jelas, manusia hidup di dunia ini atas dasar cinta. Kalau bukan
karena cinta, niscaya kedamaian dan ketentraman tak kan tercipta. Kalau bukan karena cinta Allah
kepada hamba-hamba-Nya, niscaya tidak akan terbuka pintu taubat dan maghfirah. Kalau bukan
karena cinta Rasulullah kepada umatnya, niscaya tidak akan ada dakwah islamiyah yang menyebar
luas.
Singkatnya, cinta harus senantiasa hadir di setiap penggal kehidupan ini. Cinta suami kepada
isterinya, cinta ibu kepada anak-anaknya, cinta seorang anak kepada orang tuanya, cinta sesama
muslim, cinta lingkungan, dan cinta-cinta yang lain. Dan untuk mendapatkan sebentuk cinta dari
Sang Pencipta dan manusia adalah dengan bersikap zuhud. Ya, zuhud, begitu kata Nabi.
Apa itu zuhud?
Zuhud artinya meninggalkan kesenangan duniawi. Bisa juga diartikan dengan kesederhanaan.
Sederhana dalam memandang kehidupan dunia yang fana. Artinya tidak mengorentasikan segala
urusan untuk kesenangan dunia, tapi untuk mendapatkan kebahagiaan di akhirat. Apa yang ada di
hati selalu bernilai akhirat. Apa yang direncakan dan dikerjakan tidak hanya sebatas impian dunia,
tapi jauh ke negeri akhirat sana. Dan dengan kesederhanaan itu, Allah menjadi cinta kepada kita.
Kesederhanaan tidak hanya kepada harta dunia, tapi juga terhadap apa yang dimiliki manusia.
Artinya hati kita tidak iri dengan apa yang dimiliki orang lain. Kita turut bahagia dengan kebahagiaan
orang lain. Kita turut senang saat tetangga kita memperoleh kenikmatan. Kita harus bahagia melihat
rumput tetangga yang lebih hijau, bukan malah benci atau iri saat mereka bisa membeli mobil baru.
Sederhana, baik terhadap gemerlapnya dunia maupun terhadap apa yang dimiliki orang lain, itulah
tips jitu dari baginda Nabi supaya dicintai Allah SWT dan tetangga.
Sederhana atau nggak punya?
Sederhana bukan berarti miskin. Sederhana bukan berarti hidup pas-pasan dan serba kekurangan.
Sederhana bukan berarti tidak boleh kaya, tapi sederhana adalah sebuah sikap bagaimana kita
menjalani sepenggal episode kehidupan ini dengan tidak berlebih-lebihan. Bisa jadi orang yang
memiliki sifat sederhana adalah seorang saudagar kaya raya, tapi ia tak pernah memamerkan
kekayaannya dengan begitu jemawa. Pakaian yang ia kenakan adalah pakaian pada umumnya orang
memakai, bukan yang berharga jutaan rupiah. Penampilannya biasa-biasa saja alias low profile, juga
tidak congkak sok paling berharta.
Kaya, sukses, berkecukupan, itu suatu hal yang tidak cela. Apalagi hidup di tengah suasana yang
serba membutuhkan dana. Itu sangat penting demi memakmurkan kita dan keluarga. Dulu,
Rasulullah adalah orang yang kaya. Abu Bakar juga seorang saudagar yang kaya. Utsman bin Affan,
Abdurrahman bin Auf, Mush‘ab bin Umair, dan yang lainnya. Mereka adalah orang-orang kaya di
masanya, tapi mereka tetap berlaku sederhana. Bahkan, apa yang mereka miliki seringkali diinfakkan
untuk kesejahteraan bersama.
Kaya boleh-boleh saja, tapi tidak untuk foya-foya. Berharta boleh-boleh saja, tapi jangan berlebih-
lebihan dalam membelanjakannya.
Sederhana vs sombong
Hidup dengan bergaya sederhana akan menjauhkan seseorang dari sifat sombong, bangga diri, dan
congkak. Manakah yang lebih disukai oleh masyarakat? Orang yang sederhana dalam berpenampilan
atau orang yang sok glamour? Orang yang senantiasa tawadhu‘ atau orang yang selalu bercerita
tentang kelebihan dirinya?
Siapa yang tidak suka dengan seorang pemuda yang sederhana, padahal ia putra tunggal pemilik
perusahaan ternama? Sikapnya ramah, suka menolong, dan tidak membeda-bedakan tingkatan
sosial. Ia bergaul dengan siapa saja. Tidak hanya bergaul dengan orang-orang kaya, tapi juga
dengan rakyat biasa. Dan siapa yang tidak benci dengan seorang pemuda yang sok glamour,
berlagak paling kaya, padahal ia anak orang biasa?
Akhir kata, jangan remehkan kesederhanaan, karena sesuatu yang sederhana memiliki makna yang
lebih dahsyat dari apa yang terlihat. A little things mean a lot, begitu kata orang pepatah. Terlebih,
kesederhanaan akan menghantarkan kita pada kebahagiaan, bahagia di dunia dan akhirat. Dicintai
Allah Rabb semesta alam dan makhluk bernama manusia.
Al Hikam : Apabila Cahaya Yakin Telah Bersinar
Sebagaimana dimaklumi, bahwa bersahabat dengan orang-orang baik dalam agama di mana kita
dapat menjadi orang baik pula, karena persahabatan itu
berarti pada hakikatnya kita bersahabat dengan Allah s.w.t. Demikian pula melihat Wali Allah, pada
hakikatnya kita melihat Allah, sebab Wali-waliNya itu tidak ada sesuatu dalam hati mereka terikat dan
bergantung kepada selain Alah. Dengan demikian, maka bercahayalah hati kita dengan cahaya yakin
terhadap ajaran agama, dan segala tuntunan-tuntunannya. Dan bagaimanakah akibat daripada
cahaya yakin dalam hati apabila telahbersinar cahaya tersebut?
Dalam hal ini, yang Mulia Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary telah menerangkan hal keadaan tersebut
dalam rumusan Kalam Hikmahnya sebagai berikut:
"Jikalau cahaya yakin telah bersinar buat anda, pastilah anda melihat akhirat lebih dekat kepada anda
dari anda berjalan kepada akhirat itu. Dan pastilah (pula) anda melihat kebaikan-kebaikan dunia di
mana sungguh telah kelihatan perubahan kehancuran atas kebaikan-kebaikan tersebut."
Kalam Hikmah ini keterangannya sebagai berikut : "Ilmu yang tidak didesak-desak oleh waham tidak
dicampuri oleh keraguan dan tidak disertai oleh kehancuran. Jadi arti yakin ialah ilmu (pengetahuan)
yang telah mantap sedemikian rupa sehingga kita tidak ragu-ragu lagi dan tiak pula dicampuri oleh
hal-hal yang tiak bersifat kepastian.
Ilmu yang tersebut itu ialah ilmu mengenai ketuhanan Allah s.w.t. baik tentang DzatNya maupun
tentang sifat-sifatNya. Demikian juga ilmu yang berupa wahyu yang telah disampaikanNya kepada
Rasul-rasulNya melalui Malaikat dan kitab-kitab suciNya. Ilmu itu apabila cahaya bathin telah bersinar
sedemikian rupa, maka ia akan membawa efek-efek kebajikan lahiriah dan bathiniah.
Efek-efek kebajikan pada lahiriah, maksudnya kelihatan berbekas cahaya itu atas tindak-tanduk
anggota-angota tubuhnya yang lain. Pada waktu itu timbullah kegemarannya kepada akhirat dan
telah kurang perhatiannya kepada dunia yang sama sekali tak ada hubungannya dengan kerohanian
dan keagamaan.
Terdoronglah hatinya kepada Allah dan rindullah perasaanya untuk dapat melihat hakikat
jombangnya Allah, disamping hatinya pula tenang dan tenteram dangan merendah di bawah
keagungan dan kebesarannya Allah s.w.t. Bersegeralah dia menuntut keridhaanNya dan mencapai
segala sesuatu yang dicintaiNya. Lidahnya bergerak menyebut Allah, hatinya penuh dengan berfikir
pada kebesaran dan keagunganNya . Demikian juga rohnya haus untuk mendekat dengan Allah, di
samping mabuk karena minum 'air cinta kasihNya'. Pada waktu itulah dia tenggelam dalam melihat
bagaimana dekatnya dia dengan Allah s.w.t. Inilah tanda-tanda apabila cahaya yakin dalam hati telah
bersinar sedemikian rupa, sehingga mengakibatkan negeri akhirat dengan segala
ihwalnya lebih dekat kepada perasaanya, padahal akhirat itu masih jauh sebab
dia dalam perjalanan. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah dengan kitab
suci Al-Quran:
"Sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti datang. Dan kamu sekali-kali tidak sanggup
menolongnya." (Al_An'am:134)
Dan untuk pengertian itulah penyair ahli Tasawuf telah bersyair sebagai berikut:
"Janganlah anda rela memberikan cinta kepada selain Allah
Tetapi jadilah selamnya dimabuk rindu nestapa
Anda melihat sesuatu yang ghaib terang dan nyata
Anda beruntung sebab berhubung bertemu rasa"
Demikianlah apabila hati dan perasaan telah dipenuhi dengan cahaya yakin, yang berarti itulah
cahaya iman.
kalaulah demikian maka kerinduan dan cinta itu mengakibatkan segala sesuatu yang jauh dalam
kenyataan adalah dekat dalam perasaaan. Negeri akhirat adalah jauh, sebab harus menempuh sisa
hidup, transisi kubur sebagai alam barzakh dan berkumpulnya manusia di hari kiamat. Teatapi hati
para Wali
Allah menganggap semuanya itu adalah dekat dan selalu terlihat dalam ruang
matanya.
Demikian juga dunia sebagai ciptaan Allah di mana didalam dunia kita lihat secara lahir adanya
keindahan yang bersifat alami atau keindahan yang dibuat oleh tangan manusia. Tetapi terhadap
para Auliya' Allah tiada melihat lahiriahnya tetapi melihat hakikatnya. Mereka melihat bahwa dunia
tidak akan kekal . Mereka melihat kegelapan dan kekacauan penuh berleluasa di mana-mana. Mereka
melihat bahwa semuanya itu hanya membosankan mereka. Itulah yang menyebabkan ghairah hati
dalam dada, mundur teratur melihat kerendahan-kerendahannya.
Sabda Rasulullah s.a.w.: " Bahwasanya cahaya iman apabila telah masuk ke dalam hati terbukalah
dada seseorang dan lapanglah dadanya itu. Ditanyakan kepada Nabi, Wahai Rasulullah! Adakah
sebagian dari tanda-tandanya untuk itu yang dapat dikenal? Nabi menjawab: Ada. (Tandanya ialah);
renggang hatinya dari dunia sebagai kampung tempat tipuan, dan kembali hatinya condong kepada
negeri yang kekal dan bersiap-siap untuk (bekalan) mati sebelum datangnya."
Kesimpulan :
Yakin apabila telah mantap dalam hati, maka hati akan melihat segala-galanya untuk kepentingan
agama dan akhirat, dan segala hijab antara hatinya dan antara kepentingan agama dan akhirat akan
hancur berantakan. Pada waktu itu terang benderanglah jalan yang dituju dan sampailah ia kepada
tujuan utama yang hakiki. Ke arah itulah tujuan para Nabi dan para Rasul dan sekalian hamba-hamba
Allah yang shaleh.
Ya Allah! Engkau kurniakanlah kepada kami hakikat yakin dan kemantapan makrifat kepadaMu.
Engkau sinarkanlah yakin itu dalam hati kami sehingga tertunjuklah segala anggota badaniah kami
lahir dan bathin menuju kepadaMu, ya Allah!.
Lima Jenis Kegilaan
Terdapat berbagai jenis kegilaan di dunia ini. Kita akan membahas lima jenis kegilaan yang paling
umum.
* Gila yang berasal dari akal pikiran
* Gila akan wanita,
* Gila akan uang,
* Gila akan mabuk-mabukan,
* Gila akan kebijaksanaan.
Pada sebuah persimpangan jalan di dekat taman, berdiri sebuah pohon yang teduh. Lima orang
dengan lima jenis kegilaan duduk bersama di bawah pohon tersebut. Mereka berbicara dengan diri
mereka sendiri. Bagi orang yang berlalu-lalang, lima orang ini terlihat sama, tetapi terdapat alasan
yang berbeda atas kegilaan mereka.
Manusia yang sakit jiwa mengambil semua serpihan kertas dan lembaran daun kering yang ada di
tanah dan meletakkannya di sekitar tangannya sembari mengoceh, ―Kau pergi ke sini, kau pergi ke
sana.‖
Dia yang terobsesi oleh wanita mengambil semua serpihan kertas dan mengira bahwa kertas itu
adalah surat cinta. Dia berkomat-kamit, ―Kekasihku menulis ini, kekasihku menulis itu. Kekasihku
berkata, ‗Aku akan datang kepadamu!‘‖
Dia yang terobsesi oleh uang mengambil semua serpihan kertas, melihatnya, membolak-baliknya, dan
mengomel kepada dirinya sendiri, ―Bank ini, bank itu. Rekening ini, rekening itu. Simpananku.‖
Dia yang gila karena mabuk berdiri dan berjalan sempoyongan di jalan, menabrak orang lain dan
benda-benda yang ada di sekitarnya. Akhirnya, dia terjatuh tak sadarkan diri di jalan, dan maling
merampok pakaiannya. Ketika dia sadar kembali dia begitu malu, sehingga dia kembali ke rumah,
bertengkar dengan istrinya, dan menyalahkan keluarganya atas kesalahannya.
Tetapi dia yang terobsesi oleh kebijaksanaan mengambil sebuah daun kering yang telah mati dan
tersenyum dengan sedih. ―Sungguh indah ketika engkau masih bersatu dengan batangmu. Pada
awalnya engkau adalah sebuah daun indah yang berwarna hijau yang menyejukkan orang lain.
Kemudian engkau berubah menjadi kuning, dan saat ini warnamu menjadi sama dengan tanah.
Engkau adalah daun kering yang akan kembali ke tanah sebagai pupuk. Setiap orang dan segala
sesuatu akan mendapatkan takdir yang sama. Setiap orang dan segala sesuatu menjadi makanan
bagi tanah.‖ Dia tertawa dan menangis, tetapi bukan dari dalam dirinya.
Manusia yang terobsesi dengan kebijaksanaan tertawa karena penjelasannya sendiri. Dia berkata,
―Sungguh inilah kehidupan! Oh Tuhan, aku mencari-Mu dan menjadi gila. Engkaulah satu-satunya
dokter yang dapat menyembuhkan kegilaanku. Jika Engkau tidak datang, aku akan mati seperti daun
ini. Engkaulah Tuhan yang menciptakan, melindungi, dan merawatku. Engkaulah Tuhan yang
memahami dan mengerti akan diriku. Berikanlah aku obat rahmat, cinta dan kebijaksanaan-Mu dan
penuhilah kebutuhan-kebutuhanku. Aku adalah budak-Mu di dunia ini.‖ Hatinya terbuka, dan dia
berserah diri kepada Tuhan.
Empat orang lainnya tidak menyadari hal ini. Mereka berbicara akan apa yang ada di dalam diri
mereka. Tetapi bagi dunia, kelima orang ini terlihat gila.
Anakku, pahamilah keadaan ini. Jangan mengikuti apa yang dunia lakukan. Jika engkau melihat
seseorang yang benar-benar mengerti akan dirinya, kehilangan dirinya dalam meraih kebijaksanaan,
dan mati dalam Tuhan, engkau sebaiknya menghormatinya dan belajar kebijaksanaan dan kata-kata
baik darinya. Hal itu akan menjadikan engkau mulia.
Apa itu Insan Kamil?
Insan kamil atau manusia paripurna dibahas secara khusus oleh para sufi, khususnya Ibnu Arabi dan
Abdul Karim Al-Jili. Pengertian insan kamil tidak sesederhana seperti yang selama ini dipahami
kalangan ulama, yaitu manusia teladan dengan menunjuk pada figur Nabi Muhammad SAW.
Bagi para sufi, insan kamil adalah lokus penampakan (madzhar) diri Tuhan paling sempurna, meliputi
nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Allah SWT memilih manusia sebagai makhluk yang memiliki
keunggulan (tafadhul) atau ahsani taqwim (ciptaan paling sempurna) menurut istilah Alquran.
Disebut demikian karena di antara seluruh makhluk Tuhan manusialah yang paling siap menerima
nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Makhluk lainnya hanya bisa menampakkan bagian-bagian tertentu.
Bandingkan dengan mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang, bahkan malaikat tidak mampu mewadahi
semua nama dan sifat-Nya.
Itulah sebabnya mengapa manusia oleh Seyyed Hossein Nasr disebut sebagai satu-satunya makhluk
teomorfis dan eksistensialis, seperti dijelaskan pada artikel yang lalu. Lagi pula, unsur semua makhluk
makrokosmos dan makhluk spiritual tersimpul dalam diri manusia. Ada unsur mineral, tumbuh-
tumbuhan, dan binatang sebagai makhluk fisik.
Ada juga unsur spiritualnya yang non-fisik, yakni roh. Tegasnya, manusia sempurna secara kosmik-
universal dan sempurna pula pada tingkat lokal-individual. Itu pula sebabnya manusia sering disebut
miniatur makhluk makrokosmos (mukhtasar al-‗alam) atau mikrokosmos (al-insan al-kabir).
Keparipurnaan manusia diungkapkan pula dalam ayat dan hadis. Dalam Alquran disebutkan, manusia
diciptakan paling sempurna (QS. At-Tin: 4) dan satu-satunya makhluk yang diciptakan dengan ―dua
tangan‖ Tuhan (QS. Shad: 75), dan diajari langsung oleh Allah semua nama-nama (QS. Al-Baqarah:
31).
Dalam hadis-hadis tasawuf, banyak dijelaskan keunggulan manusia, seperti, Innallaha khalaqa ‗Adam
‗ala shuratih (Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya). Oleh kalangan sufi, ayat dan
hadis itu dinilai bukan saja menunjukkan manusia sebagai lokus penjelmaan (tajalli) Tuhan paling
sempurna, melainkan juga seolah menjadi nuskhah atau salinan. Menurut istilah Ibnu Arabi disebut
as-shurah al-kamilah.
Manusialah satu-satunya makhluk yang mampu mengejawantahkan nama dan sifat Allah baik dalam
bentuk keagungan maupun keindahan Allah. Malaikat tidak mungkin mengejawantahkan sifat Allah
Yang Maha Pengampun, Maha Pemaaf, dan Maha Penerima Taubat karena malaikat tidak pernah
berdosa.
Tuhan tidak bisa disebut Maha Pengampun, Maha Pemaaf, dan Maha Penerima Taubat tanpa ada
makhluk dan hambanya yang berdosa, sementara malaikat tidak pernah berdosa. Demikian pula
makhluk-makhluk Allah lain yang hanya mampu mengejawantahkan sebagian nama dan sifat Allah.
Dari sinilah sesungguhnya manusia disebut insan kamil.
Kesempurnaan lain manusia menurut Ibnu Arabi adalah diri manusia mempunyai perpaduan dua
unsur penting, yaitu aspek lahir dan batin.
Aspek lahir baharu (hadis) dan aspek batin yang tidak baharu. Seperti disimpulkan Dr Kautsar Azhari
Noer dalam disertasinya, ―Aspek lahir manusia adalah makhluk dan aspek batinnya adalah Tuhan.‖
Kepaduan dan kesempurnaan manusia inilah yang melahirkan konsep khalifah dan ketundukan alam
semesta (taskhir). Atas dasar ini maka dapat dipahami mengapa para malaikat sujud kepada Adam
dan alam semesta tunduk kepada anak manusia.
Namun, perlu diketahui, konsep insan kamil menurut Ibnu Arabi maupun Al-Jili menyatakan tidak
semua manusia berhak menyandang gelar ini. Manusia yang tidak mencapai tingkat kesejatiannya
seperti manusia yang didikte hawa nafsunya sehingga meninggalkan keluhuran dirinya, kata Ibnu
Arabi, tidak layak disebut insan kamil.
Hanyalah mereka yang telah menyempurnakan syariat dan makrifatnya benar yang layak disebut
insan kamil. Manusia yang tidak mencapai tingkat kesempurnaan lebih tepat disebut binatang
menyerupai manusia dan tidak layak memperoleh tugas kekhalifahan.
Perlu ditegaskan kembali, kesempurnaan manusia bukan terletak pada kekuatan akal dan pikiran (an-
nuthq) yang dimilikinya, melainkan pada kesempurnaan dirinya sebagai lokus penjelmaan diri (tajalli)
Tuhan. Manusia menjadi khalifah bukan karena kapasitas akal dan pikiran yang dimilikinya.
Alam raya tunduk kepada manusia bukan pula karena kehebatan akal pikirannya, tetapi lebih pada
kemampuan manusia mengaktualisasikan dirinya sebagai insan kamil. Kemampuan aktualisasi diri ini
bukan kerja akal, melainkan kerja batin, yakni kemampuan intuitif manusia menyingkap tabir yang
menutupi dirinya dari Tuhan.
Kekuatan intuitif (kasyf) dan rasa (dzauq) jauh lebih dahsyat daripada akal pikiran. Tidak semua
manusia secara otomatis mampu menjadi insan kamil. Ia memerlukan perjuangan dan mungkin
perjalanan panjang. Tidak cukup bermodal kecerdasan logika dan intelektual. Yang lebih penting
adalah kecerdasan emosional-spiritual.
Modal utama menjadi khalifah di bumi pun tidak cukup dengan kecerdasan logika dan intelektual,
tetapi diperlukan juga kualitas insan kamil. Saat alam dikelola manusia yang tidak berkualitas insan
kamil, selain menimbulkan ancaman yang dikhawatirkan malaikat, yaitu kerusakan alam dan
pertumpahan darah (QS. Al-Baqarah: 30), alam juga belum tentu mau tunduk kepada manusia.
Banyak contoh alam membangkang kepada manusia sebagaimana diperlihatkan di dalam kisah-kisah
umat terdahulu di dalam Alquran.
Umat Nuh yang keras kepala (QS. 53: 52) ditimpa bencana banjir (QS. 11: 40). Umat Syu‘aib yang
korup (QS. 7: 85, 11: 84-85) ditimpa gempa mematikan (QS 11: 94).
Umat Saleh yang hedonistik (QS. 26: 146-149) ditimpa keganasan virus dan gempa bumi (QS. 11:
67-68). Umat Luth yang dilanda penyimpangan seksual (QS. 11: 78-79) ditimpa gempa dahsyat (QS.
11: 82). Penguasa Yaman, Raja Abrahah, yang ambisius ingin mengambil alih Ka‘bah dihancurkan
oleh burung/virus (QS. 105: 1-5).
Hujan tadinya menjadi sumber air bersih dan pembawa rahmat (QS. 6: 99), tiba-tiba menjadi sumber
malapetaka. Banjir memusnahkan areal kehidupan manusia (QS. 2: 59). Gunung-gunung tadinya
sebagai patok bumi (QS. 30: 7) tiba-tiba memuntahkan lahar panas dan gas beracun (QS. 77: 10).
Angin yang tadinya berfungsi dalam proses penyerbukan tumbuh-tumbuhan (QS. 18: 45) dan
mendistribusikan awan (QS. 2: 164) tiba-tiba tampil ganas meluluhlantakkan segala sesuatu yang
dilewatinya (QS. 41: 16). Lautan tadinya jinak melayani mobilitas manusia (QS. 22: 65) tiba-tiba
mengamuk dan menggulung apa saja yang dilaluinya (QS. 81: 6).
Tadinya, malam membawa kesejukan dan ketenangan (QS. 27: 86) tiba-tiba menampilkan ketakutan
yang mencekam dan mematikan (QS. 11: 81). Siang tadinya menjadi hari-hari menjanjikan (QS. 73:
7) seketika berubah menjadi hari-hari menyesakkan dan menyedot energi positif (QS. 46: 35).
Kilat dan guntur sebelumnya menjalankan fungsi positifnya dalam proses nitrifikasi untuk kehidupan
makhluk biologis di bumi (QS. 13: 12) tiba-tiba menonjolkan fungsi negatifnya, menetaskan larva-
larva (telur hama) betina, yang memusnahkan berbagai tanaman para petani (QS. 13: 12).
Disparitas flora dan fauna tadinya tumbuh seimbang mengikuti hukum-hukum ekosistem (QS. 13: 4)
tiba-tiba berkembang menyalahi pertumbuhan deret ukur kebutuhan manusia sehingga kesulitan
memenuhi komposisi kebutuhan karbohidrat dan proteinnya secara seimbang (QS. 7: 132).
Manakala manusia kehilangan jati dirinya sebagai insan kamil, pertanda berbagai krisis akan muncul.
Sebaliknya, selama masih ditemukan kualitas insan kamil di muka bumi, sepanjang itu kiamat belum
akan terjadi.
Keutamaan Cinta Dalam Ibadah
Ibnu Qayyîm al-Jawziyyah menghimpun banyak ungkapan dari para sufi besar berkenaan dengan
cinta dan prioritasnya dalam peribadatan yang benar:
• Junaid mengatakan:
Saya mendengar al-Harits al-Muhâsibi berkata, cinta itu terjadi apabila engkau merasa condong
secara penuh terhadap sesuatu, dan kemudian engkau lebih menyukai hal tersebut melampaui
dirimu, jiwamu dan milikmu sendiri, kemudian kerelaanmu atas hal itu sepenuh lahir dan batin, dan
kemudian engkau mengetahui kelemahanmu dalam cintamu kepada-Nya.
• ‗Abd Allâh Ibn al-Mubarak
Barang siapa diberi sebagian dari cinta dan ia tidak diberi rasa kagum dengan jumlah yang sama,
maka ia telah tertipu.
• Yahya Ibn al-Mu`adz al-Razi berkata:
Cinta seberat atom lebih aku sukai daripada tujuh puluh tahun ibadah tanpa cinta.
• Abu Bakrah al-Qaththani berkata:
Pada musim haji terjadi diskusi tentang cinta di kota Mekah dan para syekh berbicara tentang hal itu.
Junaid adalah yang termuda usianya di antara mereka. Mereka berkata kepada Junaid, ―Katakanlah
apa yang engkau miliki, wahai orang Irak.‖ Ia menundukkan kepalanya penuh hormat dan kedua
matanya penuh airmata, kemudian berkata, ―Seorang hamba meninggalkan dirinya sendiri, tak putus
mengingat Tuhannya, terus-menerus memenuhi tugas-tugasnya, memandang kepada-Nya dengan
hatinya, hati yang terbakar oleh cahaya Keagungan-Nya, dan minumannya begitu jernih dari gelas
cinta-Nya. Apabila ia berkata, itu karena Allah dan apabila ia berucap itu dari Allah, apabila ia
berpindah itu karena perintah dari Allah dan apabila ia diam ia bersama Allah. Ia oleh Allah, ia untuk
Allah dan ia bersama Allah (fa huwa billâhi wa lillâhi wa ma`allâhi).‖ Para syekh itu lantas menangis
keras dan berkata, ―Tidak ada lagi cinta di atas itu, semogalah Allah menguatkanmu, wahai Mahkota
para Pengenal (Tâj al-`ârifîn–penj.)!‖
• Junaid juga mengatakan:
Orang yang mengenal Allah tidaklah dianggap sebagai orang yang mengenal sampai ia menjadi
seperti tanah; sama saja baginya apakah orang baik atau orang jahat yang menginjak-nginjaknya;
atau seperti hujan, ia memberi tanpa membeda-bedakan, baik kepada mereka yang ia sukai atau pun
tidak ia sukai.
• Sumnun mengatakan:
Para pecinta Allah memperoleh kemuliaan di dunia dan di akhirat. Nabi saw bersabda, ―Manusia itu
bersama orang yang dicintainya,‖ Mereka bersama Allah baik selagi di dunia atau pun di akhirat.
• Yahya Ibn Muadz juga mengatakan:
Bukanlah orang yang benar seseorang yang menganggap diri mencintai-Nya seraya melanggar
larangan-larangan-Nya.
• Ia juga mengatakan:
Orang yang mengenal Allah akan meninggalkan kehidupan duniawi ini dan ia tidak pernah merasa
cukup dengan dua hal: menangisi dirinya sendiri, dan menangisi kerinduannya kepada Tuhannya.
• Penempuh jalan penyucian diri lainnya mengatakan:
Pengenal Allah tidaklah dikatakan pengenal sehingga apabila kekayaan Sulaiman diberikan
kepadanya, kekayaan itu tidak akan sekejappun membuatnya sibuk dengan selain Allah.
SUJUD
―Hendaklah engkau memperbanyak sujud, karena tidaklah engkau sujud saja sujud demi karena
Allah, kecuali Allah mengangkat dengan sujud itu satu derajat dan menggugurkan satu dosa.‖ (Rasul
Saw).
Abu Firâs, Rabî‘ah bin Ka‗b al-Aslami, adalah seorang pria yang seringkali melayani Rasul saw. Karena
seringnya, maka suatu ketika Rasul saw. bermaksud membalas budinya, dengan memberinya sesuatu
yang bersifat material dan dalam jangkauan kemampuan beliau. Beliau bersabda: ―Hai Abu Firâs,
pintalah sesuatu kepadaku.‖ Mendengar itu, langsung saja Abu Firâs berkata: ―Aku meminta kiranya
aku menemanimu di surga.‖ Nabi saw. terperanjat, karena tidak menduga yang dimintanya surga.
―Mintalah yang lain!‖ jawab Nabi mengelak. ―Tidak ada yang lain, hanya itu, wahai Rasul.‖ ―Jika
demikian, maka bantulah aku (guna memperoleh permintaanmu itu) dengan memperbanyak sujud.‖
Demikian pesan Rasulullah kepadanya (HR. Muslim).
Hadits semakna diriwayatkan oleh sahabat Nabi yang lain yaitu Tsaubân. Menurutnya Rasul saw.
pernah menyampaikan kepadanya bahwa: ―Hendaklah engkau memperbanyak sujud, karena tidaklah
engkau sujud saja sujud demi karena Allah, kecuali Allah mengangkat dengan sujud itu satu derajat
dan menggugurkan satu dosa.‖
Yang dimaksud dengan sujud dalam hadits-hadits di atas, bukan sekedar meletakkan ketujuh
anggota badan – dahi, kedua telapak tangan, dan kedua lutut serta jari-jari kaki – ke lantai, tetapi ia
adalah sikap kejiwaan yang tecermin dalam perasaan seseorang tentang kehebatan dan keagungan
Allah, rahmat dan kasih sayang-Nya, yang mengantar kepada kepatuhan melaksanakan perintah dan
menjauhi larangan-Nya. Itu pulalah yang dilukiskan Nabi saw. sebagai saat terdekat seseorang
kepada Allah. ―Sedekat-dekat seorang hamba kepada Allah, adalah saat ia sujud.‖
Perjalanan menuju ke surga sungguh panjang; di sana sini banyak gangguan; ada yang berupa
godaan dan rayuan, dan juga ancaman yang menakut-nakutkan. Tetapi bila tekad dibulatkan, dan
perjalanan dilanjutkan, maka insya Allah, seseorang akan terbiasa dengan gangguan itu, dan tahu
bagaimana menampik dan menghindarinya. Yang dibutuhkan hanyalah niat yang tulus, tekad yang
kuat, serta kemauan yang bulat. Dengan niat yang tulus, Anda akan memiliki tekad yang kuat,
dengan tekad, Anda akan mampu beramal, seringnya beramal menghasilkan kebiasaan, dan
kebiasaan adalah banyak dan berulangnya sesuatu.
Niat yang tulus itulah yang menghasilkan nurani yang suci. Bukan nurani yang digambarkan oleh
sementara pakar ilmu jiwa yang katanya memelihara pribadi seseorang dari tekanan-tekanan yang
ditimbulkan oleh dunia luar, agar tunduk kepada peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh orang
tua, masyarakat dan Tuhan. Bukan juga hati nurani yang timbul dari rasa benci yang mendalam,
yang bila dinampakkan oleh ―bawah sadar‖ berbenturan ia dengan selainnya, sehingga dengan
terpaksa kebencian itu dikemas dengan ―kasih‖ yang dimanipulasi, sehingga yang bersangkutan
berpura-pura cinta dan senang kepada orang lain atau kebajikan.
Bukan ini dan bukan itu, tetapi hati nurani yang sadar dan berdialog dengan fitrah kesucian manusia,
dan yang mengingatkannya dari saat ke saat tentang tujuan hidup yang bukan hanya untuk dirinya
sendiri, bukan juga hanya untuk memenuhi kebutuhan jasmani. Bukan hidup yang hanya sekarang
dan di sini, tetapi hidup yang berkelanjutan yang melampaui batas usia seseorang di pentas bumi ini,
atau melampaui usia generasinya saja tetapi bahkan generasi manusia seluruhnya. Hati nurani yang
menghasilkan pengawasan yang melekat pada diri seseorang yang timbul dari dalam, bukan dari luar
pengawasan yang menghalanginya melakukan kedurhakaan sekaligus mendorongnya melakuan
kebaikan kendati dia jauh dari pandangan manusia.
Dengan membiasakan sujud kepada Allah dalam pengertian di atas, akan terbentuk hati nurani yang
benar-benar memiliki cahaya yang menerangi perjalanan manusia, memberinya bekal untuk
membedakan yang haq dari yang batil, memisahkan yang salah dari yang benar, sehingga dengannya
ia mengetahui kebajikan dan dosa, kendati orang lain memfatwakan sebaliknya. ―Kebajikan adalah
yang mantap dalam jiwa (yang suci), sedang dosa adalah keraguan dalam dada dan engkau enggan
diketahui orang lain (bila melakukannya).‖
Demikian Rasul saw. menyerahkan kepada jiwa – setelah dibentuk menurut pola Islami yakni dengan
memperbanyak sujud – menyerahkan kepadanya penilaian dan tolok ukur kebaikan dan keburukan
sambil memberinya kemampuan melaksanakan yang baik dan menghindar dari yang buruk, sehingga
pada akhirnya seseorang akan memperoleh surga bahkan akan hidup di sana tidak jauh dari Rasul
saw., sebagaimana diidamkan oleh Abu Firâs. Semoga kita pun berada disana bersama beliau.
Hb. Lutfi : Pengertian Berzikir Sampai Gila
Tanya Jawab dengan Habib Lutfi,- Al Kisah
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Seorang guru tarekat memberi keterangan bahwa
membaca zlkir La ilaha illallah dalam sehari semalam tidak boleh lebih dari 12.000 kali. Kalau
melebihi, bisa berakibat gila. Benarkah hal itu? Lalu bagaimana bila dikaitkan dengan
Hadist,wPerbanyaklah zikir sampai kamu gila?" Demikian pertanyaan inl, atas jawabannya saya
ucapkan terima kasih. Wasalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
jawaban:
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Saudara Bambang, ada bacaan tertentu yang harus
Anda perhatikan. Misalnya, bacaan kalimat La Ilaha illallah, bacaan Allah, Allah, kalimat yang
mengandung Asma al-Husna, atau wirid yang mengandung ayat Al-Qur'an. Semua itu harus
diperhatikan, karena mengandung asrar atau rahasia karena di dalamnya mengandung magnet yang
tinggi, tergantung besar-kecilnya, sesuai pemberian Allah (Swt).
Hal itu tidak diketahui oleh semua ulama. Yang mengerti hanya sebagalan besar kalangan para wall.
Saya ambilkan contoh yang mudah dipahami, misalnya obat-obatan. Dari tablet sampal kapsul, yang
mengerti dosis-dosisnya adalah dokter. Bila si peminum obat mengalami overdosis, pasti akibatnya
kurang baik. Kekuatan zikir lebih dari itu. Bila tubuh dan batinnya kurang kuat menerima asrar-nya,
maka akan timbul perbuatan ganjil atau tidak pada tempatnya. Terkadang yang mengamalkan tidak
merasa. Untuk itu perlu batasan dalam dosisnya.
Adapun terkait Hadist yang Anda tanyakan, yang dimaksud sampai gila adalah cinta yang luar biasa.
Sebab, bila zikir dibaca dengan baik, ia mampu menumbuhkan cinta yang amat kuat kepada Allah,
juga tumbuh rasa khawf (takut) bila imannya meluntur atau tipis, yang berakibat dirinya jauh dari
Allah dan Rasul-Nya. Maka gandengan kalimat khawf adalah raja' (peng-harapan) yang penuh. Tiada
yang bisa diharapkan terkecuali Allah, baik untuk bersandar, berteduh, berlindung maupun
memohon. Yang ditakutkan adalah matl dalam keadaan su'ul khatimah (akhir kehidupan yang jelek),
dan yang diharapkan yaitu mati dalam keadaan husnul khatimah (akhir kehidupan yang baik). Selain
dan khawf, raja', ada juga haya', yang artinya malu kepada Allah. Dia malu bila berbuat maksiat,
malu bila akhlaknya dan budi pekertinya tidak terpuji kepada Allah, Rasul-Nya, para sahabat, para
wali, dan para ulama. Itulah yang terkandung dalam Hadist tersebut. Jadi bukan gila dalam
pengertian penyakit dan bukan pula gila dalam pengertian meninggalkan syariat atau sunnah, akhlak
dan adab Nabi (saw).
Orang yang gila (tergila-gila) atau gandrung kepada Allah jauh berbeda dibanding gila karena
maksiat. Biasanya orang yang gandrung dengan pacarnya, akan berpakaian rapi, menggunakan
parfum, berbuat apa saja untuk mendapat simpati dan cintanya. Padahal bila sudah tercapai, orang
yang dicintai dan dinikaihnya itu, tidak bisa menjamin akan selamatdari api neraka, atau menjadi
jaminan masuk surga-Tetapi, kalau kita gandrung dengan Yang Menciptakan surga, Pastilah kita akan
didekatkan dengannya, masuk surga.
RAHASIA SYUKUR
Syukur, inilah satu jenis perasaan yang jarang bermukim permanen di hati kita. Bahkan, kerap kita
lupa dan alpa. Istilah saya, kadarkum. Kadang sadar, kadang kumat. Nah, sidang pembaca sekalian,
mulai sekarang, ketahuilah bahwa sebenarnya Anda adalah orang yang sangat beruntung, baik dalam
bisnis maupun dalam kehidupan sehari-hari. Dan itu amat layak untuk Anda syukuri. Hm, tidak
percaya? Silakan simak alinea berikutnya.
Jika Anda mempunyai makanan di lemari es, pakaian yang menutup badan, atap di atas kepala, dan
tempat untuk tidur, maka Anda lebih kaya daripada 75 persen penduduk dunia! Jika Anda mempunyai
tabungan di bank dan uang receh di dompet, maka Anda lebih kaya daripada 92 persen penduduk
dunia!
Jika Anda tidak pernah mengalami kesengsaraan karena perang, penjara, penyiksaan, atau
kelaparan, maka Anda lebih beruntung daripada 700 juta orang di dunia! Jika Anda dapat menghadiri
tempat ibadah atau pertemuan religius tanpa rasa takut akan penyerangan, penangkapan, atau
kematian, maka Anda lebih beruntung daripada 3 milyar orang di dunia! Dan jika Anda dapat
membaca tulisan saya, maka Anda lebih beruntung daripada lebih dari 2 juta orang di dunia yang
tidak dapat membaca sama sekali!
Terus, syukur dan sukses, adakah kaitannya? Ah, jangan ditanya. Erat sekali kaitannya. Anda sudah
baca buku kecil berpengaruh besar The Secret? Dipaparkan di sana, syukur adalah anak tangga
mutlak untuk memastikan kesuksesan. Wejangan si pengarang, ―Bayangkanlah hal-hal yang Anda
dambakan dengan penuh rasa syukur, seakan-akan Anda sudah menerimanya. Dengan demikian,
Anda akan menerimanya segera!‖ Inilah hasil kerja dari hukum tarik-menarik yang universal.
Baca pula buku fenomenal dan kontroversial The Hidden Messages in Water. Di buku yang
direkomendasikan oleh pakar pengembangan diri kelas dunia Anthony Robbins dan John Gray ini
dituliskan bahwa air seolah-olah dapat mengerti bahasa manusia. Lebih jauh lagi, kristal air akan
memperagakan bentuknya yang paling apik dan menarik apabila diperdengarkan kata ‗syukur‘ dan
‗cinta‘ -dalam bahasa apapun!
Itu semua, apa artinya sih? Pahamilah, alam semesta berasal dari air. Semua kehidupan juga bermula
dari air. Dan yang terpenting, 70 persen tubuh manusia terdiri dari air. Jadi, setiap kali Anda
menyebut kata ‗syukur‘ atau menyimpan rasa syukur, pada waktu yang sama Anda membekali diri
Anda dengan energi-energi positif yang sangat Anda butuhkan untuk menggapai sukses. Tambahan
lagi, kata ‗syukur‘ dan rasa syukur memendam setumpuk manfaat yang lain, di antaranya
menyejukkan hati dan memungkinkan Anda menuai hikmah dari berbagai kejadian.
Tidak mengherankan semua agama menganjurkan dan mengajarkan kita untuk menghafalkan dan
melafalkan kata ‗alhamdulillah‘, ‗puji Tuhan‘ atau yang sejenis sebanyak-banyaknya -bahkan sampai
ribuan kali sehari. Ternyata, ini bukan semata-mata soal kalkulasi pahala. Jauh-jauh hari Yang Maha
Kuasa telah merancang ini sebagai modal untuk sukses.
Apalagi Ia telah berkomitmen di kitab-Nya, ―Sesungguhnya jika engkau bersyukur, niscaya Aku akan
menambahkan lebih banyak nikmat kepada engkau.‖ Dan tentunya kita yakin bahwa Ia akan
menepati janjinya. Akhirnya, janganlah kita cuma pandai meminta. Lengkapi pula dengan bersyukur.
Hakikat Iman
Di dalam kitab tafsir Ruhul Bayan disebutkan bahwa iman menurut syari‘at adalah meyakini dengan
hati, mengakui dengan lisan dan mengerjakan dengan amal perbuatan. Adapun pengertian Islam
menurut syari‘at adalah tunduk dan patuh. Maka setiap yang beriman berarti telah Islam, namun
tidak setiap yang Islam berarti telah beriman. Adapun pengertian Islam menurut hakikat yaitu
sebagaimana sabda Nabi SAW:
ذ ا تش ا االهللا الان
Menyaksikan tiada Tuhan selain Allah, sedangkan pengertian iman secara hakikat adalah
sebagaimana firman Allah dalam surat al-Hadid ayat 16 :
وأل أ ا نهز أي ى تخشغ ا ب نزكشهللا قه
Belumlah seseorang itu dikatakan beriman sebelum hatinya itu dapat khusyuk mengingat Allah.
Dari pengertian iman secara syari‘at dan hakikat ini, imam Ghazali membagi iman manusia kepada
tiga tingkatan:
Iman tingkat pertama adalah imannya orang-orang awam yaitu imannya kebanyakan orang yang
tidak berilmu. Mereka beriman karena taklid semata. Sebagai perumpamaan iman tingkat pertama
ini, kalau kamu diberi tahu oleh orang yang sudah kamu uji kebenarannya dan kamu mengenal dia
belum pernah berdusta serta kamu tidak merasa ragu atas ucapannya, maka hatimu akan puas dan
tenang dengan berita orang tadi dengan semata-mata hanya mendengar saja.
Ini adalah perumpamaan imannya orang-orang awam yang taklid. Mereka beriman setelah
mendengar dari ibu bapak dan guru-guru mereka tentang adanya Allah dan Rasul-Nya dan kebenaran
para Rasul itu beserta apa-apa yang dibawanya. Dan seperti apa yang mereka dengar itu, mereka
menerimanya serta tidak terlintas di hati mereka adanya kesalahan-kesalahan dari apa yang
dikatakan oleh orang tua dan guru-guru mereka, mereka merasa tenang dengannya, karena mereka
berbaik sangka kepada bapak, ibu dan guru-guru mereka, sebab orang tua tidak mungkin
mengajarkan yang slah kepada anak-anaknya, guru juga tidak mungkin mengajarkan yang salah
kepada murid-muridnya. Karena kita percaya kepada orang tua dan kepada guru, maka kita pun
beragama Islam.
Iman yang semacam ini tidak jauh berbeda dengan imannya orang-orang Yahudi dan Nasrani yang
juga merasa tenang dengan hal-hal yang mereka dengar dari ibu, bapak dan guru-guru mereka.
Bedanya adalah mereka memperoleh ajaran yang salah dari orang tua dan guru-guru mereka,
sedangkan orang-orang Islam mempercayai kebenaran itu bukan karena melihat kebenaran karena
penyaksiannya terhadap Allah, tetapi karena mereka telah diberikan ajaran yang haq, yang benar.
Selanjutnya iman tingkat kedua yaitu imannya orang-orang ahli Ilmu Kalam yaitu dimana mereka
beriman cukup berdasarkan dalil aqli dan naqli, dan mereka merasa puas dengan itu. Iman tingkat
kedua ini tidak jauh berbeda derajatnya dengan iman tingkat pertama. Sebagai contoh, apabila ada
orang yang mengatakan kepadamu bahwa Zaid itu di rumah, kemudian kamu mendengar suaranya,
maka bertambahlah keyakinanmu, karena suara itu menunjukkan adanya Zaid di rumah tersebut.
Lalu hatinya menetapkan bahwa suara orang tersebut adalah suara si Zaid.
Iman pada tingkat ini adalah iman yang bercampur baur dengan dalil dan kesalahan pun juga
mungkin terjadi karena mungkin saja ada yang berusaha menirukan suara tadi, tetapi yang
mendengarkan tadi merasa yakin dengan apa yang telah di dengarnya, karena ia tidak berprasangka
buruk sama sekali dan ia tidak menduga ada maksud penipuan dan peniruan. Jadi imannya orang-
orang ahli ilmu kalam masih terdapat kesalahan dan kekeliruan padanya.
Adapun Iman tingkat ketiga yaitu imannya orang-orang ahli makrifat yang telah mempelajari tarekat.
Mereka beriman kepada Allah dengan pembuktian melalui penyaksian kepada Allah. Sebagai
perumpamaan: Apabila kamu masuk ke dalam rumah, maka kamu akan melihat dan menyaksikan
Zaid itu dengan pandangan mata kamu. Inilah makrifat yang sebenarnya dan inilah yang dikatakan
iman yang sebenarnya. Karena mereka beriman dengan pembuktian melalui penyaksian mata
hatinya, maka mustahil mereka terperosok ke jurang kesalahan.
Dari ketiga tingkatan iman ini dapatlah kita ketahui bahwa hanya orang-orang ahli makrifatlah atau
orang-orang ahli tarekatlah yang dikatakan benar-benar telah beriman kepada Allah. Adapun imannya
orang-orang awam dan imannya orang-orang ahli ilmu kalam adalah beriman secara syari‘at, namun
secara hakikat mereka belum beriman kepada Allah, disebabkan karena ketiadaan ilmu dan
ketidaktahuan mereka. Jadi hanya dengan mempelajari tarekatlah kita baru dapat lepas dari syirik
khafi (syirik yang tersembunyi) dan syirik yang jali (syirik yang nyata).
Kita patut bersyukur kepada Allah SWT karena kita tergolong kepada tingkatan iman yang ketiga
yaitu imannya orang-orang ahli makrifat yang tentunya peringkat ini hanya dapat dicapai oleh orang-
orang yang telah mempelajari ilmu tarekat. Karena tanpa bertarekat mustahil Allah dapat dikenal.
Namun mayoritas umat Islam saat ini tidak mau mempelajari ilmu tarekat atau ilmu hati, sehingga
mereka tidak mengenal Tuhan yang mereka sembah dan sesungguhnya mereka berada dalam
kesesatan yang nyata sebagaimana firman Allah dalam surat az-Zumar ayat 22 :
م ى نهقسة ف ب قه ضهم فى أنئك ركشهللا ي ب ي
Artinya : Maka celakalah bagi orang yang hatinya tidak dapat mengingat Allah, mereka itu dalam
kesesatan yang nyata.
Demikianlah celaan Allah terhadap orang-orang yang tidak dapat mengingat-Nya, yang kesemuanya
itu disebabkan karena mereka tidak mempelajari soal hati. Namun kebanyakan umat Islam saat ini
tidak tahu kalau mereka itu tidak tahu. Mereka menganggap bahwa amal ibadah mereka dapat
diterima oleh Allah SWT, karena merasa bahwa tauhid mereka telah sempurna, padahal
sesungguhnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata.
Tentu bagi kita yang telah memperoleh ilmu dan pengenalan kepada Allah, kita memiliki kewajiban
untuk berdakwah dalam rangka melepaskan umat manusia dari kesesatan karena tidak mengenal
Allah, dan di dalam melakukan dakwah tentunya harus dilaksanakan dengan arif dan bijaksana,
sebagaimana firman Allah
م انى أدع ة سبك سب ػظة ببنحك ان ة انحس
Artinya : Serulah kepada Tuhanmu dengan bijaksana dan nasehat yang baik.
Dakwah bil hikmah adalah dakwah yang ditujukan kepada orang yang alim atau orang yang berilmu.
Adapun dakwah dengan mauizatil hasanah adalah dakwah yang ditujukan kepada orang yang awam
atau orang yang bodoh dengan cara memberikan nasehat yang baik.
Ada dua jenis orang bodoh yang harus kita ketahui sebagai sasaran dakwah kita. Jenis pertama
adalah orang bodoh yang mau belajar, maka tunjukilah ia, karena dia memang jauh dari panduan
dan petunjuk sedang niatnya penuh untuk menambah ilmu pengetahuan dan taat melakukan ibadah.
Jenis yang kedua adalah orang bodoh yang tidak tahu kalau dirinya tidak tahu dan tidak mau tahu.
Maka janganlah dekati dia dan jangan membuang-buang waktu untuk mendakwahinya karena orang
bodoh jenis kedua ini adalah syetan yang berwujud manusia. Pintarnya tidak dapat diturutkan,
bodohnya tidak dapat ditunjukkan, ia lebih bodoh dari keledai, lebih bebal dari lembu. Tinggalkanlah
ia dalam kebodohannya, sampai nanti Allah merobahnya.
Kalau menghadapi orang bodoh saja sudah sulit, tentu lebih sulit lagi berdakwah kepada orang yang
berilmu dikarenakan kesombongan yang ada pada dirinya karena telah merasa banyak memiliki ilmu.
Orang alim seperti ini disebut alim tanggung, ilmunya ke atas tak sampai, ke bawah tak jejak, yang
selalu berebut pengaruh di masyarakat dan berdakwah di sana-sini. Mereka bagaikan cendawan yang
tumbuh menonjol di sana-sini sambil membusungkan dada dengan banyaknya ilmu yang tak bersari.
Sungguh sedih dan kasihan kita melihat orang yang seperti ini. Disangka emas rupanya mentasi.
Maka ajaklah mereka ini untuk mengenal Allah dengan cara yang bijaksana karena mereka terhijab
oleh ilmu yang mereka miliki.
Bagaimana Belajar Makrifat?
Prof Dr Nasiruddin Umar
"Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul (Muhammad) dari (kalangan) kalian
yang membacakan ayat-ayat Kami, menyucikan kalian, dan mengajarkan kepada kalian kitab dan
hikmah, serta mengajarkan apa yang kalian belum ketahui". (QS al-Baqarah [2] 151).
Dalam ontologi keilmuan Islam, ilmu dan makrifat mempunyai persamaan dan perbedaan. Persama-
annya, keduanya sama-sama sebagai pengetahuan yang diperlukan manusia guna memberikan
kemudahan dalam menjalani kehidupan. Perbedaannya, dari segi ontologi, ilmu adalah pengetahuan
yang berada dalam lingkup dan domain manusia tanpa harus melibatkan unsur-unsur asing dari luar
diri manusia. Logika manusia cukup untuk memahami objek ilmu.
Sedangkan makrifat adalah pengetahuan yang secara umum berada di luar lingkup dan domain
manusia. Keberadaannya ditentukan kemampuan manusia mengakses unsur-unsur luar dirinya,
dalam hal ini Tuhan. Secara epis-timologis, ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui hasil
olah nalar dan logika manusia. Sementara itu, makrifat adalah pengetahuan yang diperoleh melalui
hasil olah batin dan spiritual manusia.
Orang yang mengusai ilmu disebut alim dan orang yang menguasai makrifat disebut arif. Hanya
sedikit menjadi rancu ketika kata "tim dam marifah diindonesiakan menjadi ilmu dan makrifat. Ini
sudah mengalami reduksi dan penyederhanaan makna. Secara aksiologis, ilmu bertujuan memberi
kejelasan dan kemudahan manusia di dalam menjalani kehidupannya.
Makrifat, lebih berusaha untuk memberikan kepuasan intelektual dan spiritual yang pada akhirnya
akan menghadirkan rasa tenang dan damai secara konstruktif ke dalam diri manusia. Metodologi
keilmuan umumnya berangkat dari sikap keraguan terhadap satu fenomena atau informasi.
Dari sikap ini, lahirlah upaya untuk memahami dan mendalami dalam bentuk studi yang melibatkan
parameter keilmuan logika. Seperti melakukan observasi atau survei dan penelitian mendalam lainnya
sebagai pengujian kembali terhadap konsep dan teori yang dihasilkan oleh parameter tersebut.
Setelah itu harus ada keberanian intelektual si penelitinya untuk memublikasikan kesimpulan hasil-
hasil studinya secara terbuka kepada publik. Sepanjang belum ada yang keberatan dan menolak
(tentu saja setelah melalui studi yang selevel), sepan-jang itu pula diakui sebagai sebuah kebenaran
yang dapat diyakini.
Jika ternyata di kemudian hari ada yang mematahkan logika dan temuan itu, bisa menjadi tanda
berakhirnya konsep dan teori itu. Metodologi kemakrifatan sama sekali berbeda (untuk tidak
mengatakan bertolak belakang) dengan metodologi keilmuan. Sebab, umumnya metode ini berangkat
dari rasa dan sikap yakin terhadap suatu objek yang mengandung misteri.
Berangkat dari keyakinan itu, tugas pertama yang harus dilakukan guru atau mursyid adalah
melakukan proses pembersihan diri para murid dari berbagai keraguan. Proses ini biasa disebut
pembersihan jiwa (tadzkiyah al-nafs) atau penghalusan kalbu (tahdzib al-qulub). Proses ini
digambarkan dalam surah al-Baqarah ayat 151 di atas.
Itu menjelaskan bahwa sebelum dilakukan proses pendidikan dan pengajaran atau taklim, terlebih
dahulu dilakukan proses pembersihan diri. Selain ayat tersebut, masih banyak lagi ayat dan hadis,
serta perkataan sahabat yang mengisyaratkan metode mendapatkan makrifat. Kisah antara Nabi
Musa dan Khidir di dalam surah al-Kahfi juga relevan dengan pembahasan ini.
Bagaimana Nabi Musa yang dikenal sebagai nabi ulul azmi masih harus belajar kepada hamba Tuhan
yang tidak populer di dunia publik. Persyaratan menjadi murid juga lebih unik dibanding dengan
metode keilmuan biasa, yaitu, "...Janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun
sampai aku menerangkan kepadamu." (QS al-Kahfi [18] 70).
Lebih unik lagi, sang guru mencontohkan sesuatu yang sama sekali di luar kemampuan logika untuk
memahaminya, yaitu membocorkan perahu-perahu nelayan, membunuh anak kecil tak berdosa, dan
memugar reruntuhan bangunan tua. Namun, ending dari cerita ini ialah Nabi Musa mendapatkan
kearifan bahwa di atas langit masih ada langit. Ilmu Tuhan itu mahaluas.
Dari situ, kita pun mendapatkan hikmah bahwa manusia utama dan pilihan Tuhan tidak mesti harus
populer, bahkan tidak mesti menjadi nabi. Rasulullah memberikan contoh bagaimana mempelajari
makrifat dengan mengedepankan keikhlasan dan kedekatan diri terus-menerus kepada Allah SWT.
Sahabatnya juga demikian.
Ali pernah membuat pernyataan "Barang siapa mengajariku satu huruf, aku rela menjadi budaknya".
Generasi berikutnya, seperti Imam Bukhari, setiap kali akan menerima sebuah hadis terlebih dahulu
ia shalat dua rakaat. Kitab Al-Talim wal Mu-taallim, yang mengajarkan sopan santun guru dan murid,
mastfi dipegang teguh di sejumlah besar pondok pesantren.
Dalam tradisi intelektual Islam, tidak tampak perbedaan tajam antara metode memperoleh ih iu dan
makrifat, bahkan keduanya sering digunakan bergantian {inter-changable). Dalam tradisi pondok
pesantren, cara memperoleh ilmu masih tetap dominan mengakomodasi metodologi makrifat yang
menuntut kepasrahan dan ketawadhuan santri kepada kiai atau gurunya.
Oleh karena itu, mungkin ilmuan pesantren menganggap pola pembidangan ilmu dan makrifat di atas
dianggap terlalu ske-matis. Namun, pembahasan tni sekaligus juga untuk memberi masukan terhadap
dunia pendidikan kita yang kini sedang disorot banyak kalangan. Ternyata tingginya ilmu
pengetahuan yang dicapai seseorang tidak berbanding lurus dengan akhlaknya.
Sudah tentu, di situ ada yang salah. Setidaknya, mata rantai penyucian diri (tadzkiyah) sudah banyak
ditinggalkan dan tidak lagi menjadi faktor dalam dunia pendidikankita. Umumnya, kita loncat ke
proses pembelajaran (taklim). Padahal, Alquran mengingatkan kita perlunya mendahulukan tadzkiyah
sebelum taklim.
Bahkan, salah satu ayat yang sering dipasang di punggung Alquran, "La yamassuhu illal
muthahharun." (Tidak ada yang menyentuhnya [Alquran], selain hamba-hamba yang disucikan). (QS
al-Hadid [57] 79). Di sisi lain, pengetahuan makrifat itu sendiri bertingkat-tingkat. Dimulai dari yang
paling sederhana, yaitu mengenal makhluk-makhluk fisik Allah SWT.
Dari sini, ilmu menjadi bagian dari makrifat. Pengetahuan makrifat juga mencakup upaya mengenal
makhluk-makhluk metafisik-spiritual, dan pada puncaknya mengenal Sang Pencipta dalam
hubungannya dengan makhluknya. Tentu sajariada setiap jenjang makrifat itu membutuhkan
metodologinya sendiri.
Guru atau mursyid juga bertingkat-tingkat, mulai dari mursyid biasa hingga wali, bahkan Nabi
Muhammad secara langsung. Tidak masalah, apakah orang itu masih hidup atau sudah tiada.
Faktanya, banyak sekali di antara para arifin, gurunya adalah orang yang sudah di alam lain (akan
dibahas dalam artikel khusus). Tidak heran kalau di antara mereka ada yang mengatakan "Alangkah
miskinnya seorang murid jika para gurunya hanya orang-orang hidup".
Kemuliaan
Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily
Sulthanul Auliya‘ Syeikh Abul Hasan asy-Syadzily mengatakan: Allah Swt. berfirman: ―Hanya bagi
Allahlah kemuliaan, dan bagi Rasul-Nyaserta bagi sekalian orang-orang yang beriman.‖
Kemuliaan orang yang beriman adalah pencegahan Allah terhadap dirinya untuk menghamba kepada
hawa nafsu, syetan dan dunia atau segala yang ada di jagad ini baik yang ghaib maupun yang
tampak, baik itu dunia maupun akhirat.
Sedangkan orang munafik tidak mengerti keagungan kecuali melalui kausalitas (sebab akibat) serta
penyembahan terhadap tuhan-tuhan yang banyak.
―Adakah Tuhan (yang lain) disamping Allah? Maha Luhur Allah dari apa yang mereka sekutukan.
Apakah mereka menyekutukan melalui (tuhan-tuhan) yang tak bisa mencipta sesuatu pun,
sedangkan mereka itu diciptakan, dan mereka (tuhan-tuhan) tidak mampu menolong mereka, juga
menolong diri mereka sendiri. Apabila engkau mengajak mereka kepada petunjuk, mereka tidak akan
mengikutimu, baik mereka engkau ajak atau engkau diam saja.‖
Sebagian Sufi berkata, ―Barang siapa yang menghendaki kemuliaan dunia akhirat maka masuklah
dalam mazhab kami ini dalam dua hari.‖
Ada seseorang bertanya, ―Bagaimana caranya untukku?‖.
Dijawab, ―Pisahkan berhala-berhala dari hatimu, dan ringankanlah tubuhmu dari kepentingan
duniawi, baru kemudian jadilah dirimu semaumu. Sebab Allah tak akan meninggalkanmu. Apabila
setelah itu ada sesuatu dari dunia yang datang kepadamu, jangan engkau pan¬dang dengan mata
hasrat kesenangan, jangan pula Anda menyertai dunia itu dengan gembira. Jangan pula Anda duduk
bersamanya kecuali dengan kewajiban ilmu dalam mendistribusikan dan menahan¬nya.
Apabila suatu hari Anda masih mencari duniawi, maka saksi kanlah bahwa Allah telah mencarimu
dalam pencarianmu pada dunia itu. Dan engkau sebenarnya dicari melalui pencarian. Kalau engkau
keluar menuju upaya pencarian dunia melalui jalan ridha, maka masuklah jalan itu. Hati Anda jangan
bergantung padanya, dengan tetap bergantung pada Allah, dan memang harus begitu. Sebab engkau
tidak tahu apakah engkau akan mendapatkannya atau tidak?
Kalau engkau telah mendapatkannya, engkau tidak tahu apakah itu milik Anda atau milik orang lain?
Kalau itu milik Anda engkau tidak tahu apakah di dalamnya mengandung unsur kebaikan atau
keburukan? Kalau itu bukan milik Anda, maka Anda tidak berhak mengetahuinya, apakah itu untuk
kekasihmu atau musuhmu?
Kesimpulannya: Bagaimana hati bisa tenang manakala masih singgah kepada seuatu yang
membingungkan yang terilustrasikan dari semua ini, bahkan lebih banyak lagi? Karena itu carilah
dunia itu, tetapi Anda tetap bergantung kepada-Nya dan memandang-Nya.
Bersyukurlah manakala Anda berhasil, dan bersabar serta ridhalah jika belum berhasil. Bahkan
memuji kepada Allah itu lebih layak indahnya. Sebab Allah tidak menghalangimu dari sukses duniawi
itu, karena Allah bakhil. Tidak demikian! Tetapi Allah menghalangimu karena Dia memandang
kepadamu. Artinya, apabila Allah menghalangimu dari sukses itu, Allah sebenarnya telah memberi
anugerah kepadamu. Namun pemberian anugerah dalam ketidaksuksesan itu hanya dipahami oleh
orang-orang shiddiqun.
Sebaliknya, apabila Anda mendapatkan jalan keluar usaha dari Allah melalui jalan kebencian, yang
mengganti pengetahuan (yang benar) atau yang mendekatinya, maka cepat-cepatlah kembali kepada
Allah, larilah kepada-Nya hingga Dia sendiri yang member sihkan Anda, dan (Allah bertindak
sebagaimana kehendak-Nya -- sedangkan akibat baik hanya bagi orang-orang yang bertakwa).‖
Sufi Road : Karomah Bukan Derajat Luhur
Tidak setiap orang yang memiliki keistemewaan itu sempurna kebersihan batin dan keikhlasannya.‖
Saat ini publik ummat sering menilai derajat luhur seseorang dari kehebatan-kehebatan ilmu dan
karomahnya.
Syeikh Abu Yazid al-Bisthamy pernah didatangi muridnya, yang melaporkan karomah dan kehebatan
seseorang.
―Dia bisa menyelam di lautan dalam waktu cukup lama…‖
―Saya lebih kagum pada paus di lautan…‖
―Dia bisa terbang…!‖ kata muridnya.
―Saya lebih heran, burung kecil terbang seharian…karena kondisinya memang demikian,‖
jawabnya.―Lhah, dia ini bisa sekejap ke Mekkah…‖
―Saya lebih heran pada Iblis sekejap bisa mengelilingi dunia…Namun dilaknat oleh Allah.‖
Suatu ketika orang yang diceritakan itu datang ke masjid, tiba-tiba ia meludah ke arah kiblat.
―Bagaimana ia menjaga adab dengan Allah dalam hakikat, sedangkan adab syariatnya saja tidak
dijaga..‖ kata beliau.
Banyak orang yang mendalami ilmu pentetahuan, mampu membaca dan mengenal dalil, kitab-kitab,
bahkan memiliki keistemewaan, tetapi banyak pula diantara mereka tidak bersih hatinya, tidak ikhlas
dalam ubudiyahnya.
Begitu pula ketika karomah dan tanda-tanda yang hebat itu disodorkan pada Sahl bin Abdullah at-
Tustary, ra, beliau balik bertanya, ―Apa itu tanda-tanda? Apa itu karomah? Itu semua akan sirna
dengan waktunya. Bagiku orang yang diberi pertolongan Allah swt untuk merubah dari perilakunya
yang tercela menjadi perilaku yang terpuji, lebih utama dibanding orang yang punya karomah seperti
itu.‖
Sebagian Sufi mengatakan, ―Yang mengagumkan bukannya orang yang memasukkan tangan ke
kantong sakunya, lalu menafkahkan apa saja dari kantong itu. Yang mengagumkan adalah orang
yang memasukkan tangannya ke kantong sakunya karena merasa ada sesuatu yang disimpan di
sana. Begitu ia masukkan tangannya ke sakunya, sesuatu itu tidak ada, namun dirinya tidak berubah
(terkejut) sama sekali.‖
Jadi karomah itu sesungguhnya hanyalah cara Allah memberikan pelajaran kepada yang diberi
karomah agar perjalanan ruhaninya tidak berhenti, sehingga semakin menajak, semakin naik, bukan
untuk menunjukkan keistemewaanya.
Yang istimewaan adalah Istiqomah. Karena itu para Sufi menegaskan, ―Jangan mencari karomah,
tetapi carilah Istiqomah.‖ Sebab istiqomah itu lebih hebat dibanding seribu karomah. Dan memang,
hakikat kartomah adalah Istiqomah itu sendiri.
Bahkan Imam Al-Junayd
al-Baghdady pernah mengi-ngatkan, betapa banyak para Wali yang terpleset derajatnya hanya
karena karomah.
Syeikh Abdul Jalil Mustaqim pernah mengatakan, ketika anda diludahi seseorang dan anda sama
sekali tidak marah, itulah karomah, yang lebih hebat dibanding karomah yang lainnya.
Ketika dalam sebuah perkumpulan Thariqat Sufi, tiba-tiba ada seseorang datang, dan langsung
membicarakan kehebatan ilmu ini dan itu, karomah si ini dan si itu. Lalu seseorang diantara mereka
menegur,
―Mas, kalau di sini, ilmu-ilmu seperti yang anda sampaikan tadi hanya dinilai sampah. Jadi percuma
sampean bicara sampah di sini…‖
Ada seseorang disebut-sebut sebagai Wali:
―Wah dia itu wali, bisa baca pikiran orang, dan kejadian-kejadian yang pernah kita lakukan walau pun
sudah bertahun-tahun lamanya…‖
―Lhah, orang yang punya khadam Jin juga bisa diberi informasi oleh Jinnya tentang kejadian yang
lalu maupun yang akan datang… Jadi hati-hati…‖
―Beliau itu keturunan seorang Ulama besar..‖
―Tidak ada jaminan nasab itu, nasibnya luhur di hadapan Allah…‖
Dan panjang sekali kajian soal karomah dan kewalian ini, yang butuh ratusan halaman. Tetapi
kesimpulannya, seseorang jangan sampai mengagumi kehebatan lalu mengklaim bahwa kehebatan
itu menunjukkan derajat di depan Allah. Tidak tentu sama sekali.
Mencari Wujud Mutlak Sang Pencipta Menurut Cara Pandang Sufi
Para sufi melihat Al-Quran sebagai sebuah semesta makna yang tidak terbatas tetapi saling
berhubungan. Mereka juga meyakini prinsip kesatuan makna dan pesan Al-Quran sebenarnya selaras
dengan prinsip Wahdah Al-Wujud
Dalam pandangan kaum sufi, Al-Qur‘an adalah firman Illahi yang terbuka dan tak terbatas. Tiap-tiap
huruf, kata dan kalimat yang terkandung di dalamnya memiliki makna yang bertingkattingkat dan
berlapis-lapis. Menurut mereka, Al-Qur‘an adalah kumpulan ayat, yakni tanda-tanda yang
menggambarkan hakikat yang sesungguhnya.
Imam Husain bin Ali bin Abi Thalib pernah berkata: ‖Sesungguhnya Al-Qur‘an turun dalam empat
bentuk, yakni: lbarah (ungkapan tekstual) untuk orang awam; Isyarah (pemisalan) untuk orang
khusus; Latha`if (makna-makna yang lembut) untuk para wali, dan Hakikat untuk para Nabi.‖
Oleh karena itulah para sufi melihat Al-Qur‘an sebagai cakrawala yang luas tak terbatas, sebagaimana
ilmuwan melihat alam semesta. Hal demikian ini dikarenakan Al-Qur‘an merupakan representasi dari
Lauhul Mahfuzd yang melembari seluruh penciptaaNya.
Para Sufi melihat Al-Qur‘an sebagai sebuah semesta makna yang tidak terbatas tetapi saling
berhubungan. Sebagian besar kaum Sufi meyakini prinsip kesatuan makna dan pesan Al-Qur‘an ini
sebenarnya selaras dengan prinsip kesatuan wujud (Wahdah al-Wujud). Inti prinsip ini adalah
hubungan yang mengikatkan segala sesuatu pada SATU PUSAT. Segala sesuatu selain Wujud Mutlak
tidak lain daripada pantulan dan bayangan-Nya semata. Tiap-tiap bayangan merupakan ‗nama‘ yang
merepresentasikan Sang Wujud Mutlak tersebut dalam bentuk parsial.
Manusia tidak bisa mengenal Sang Wujud tanpa melalui Nama-Nama yang tersusun secara bertingkat
sedemikian ini, sehingga Nama di bawah memahami Nama di atasnya. Demikian terus terjadi secara
bertahap, hingga sampai pada Nama Tertinggi (Al-Ism al-A‘zham).
Nama tertinggi tersebut hanya bisa dipahami oleh Manusia Sempuma (al-lnsan alKamil), yakni Nabi
Muhammad Rasullullah SAW. Dan Manusia Sempurna, hanya dapat dipahami oleh manusia-manusia
suci yang dalam mazhab Syaiah dipercayai sebagai Fatimah, Ali bin Abi Thalib, dan sebelas imam
keturunan beliau `Alaihlm as-Salam.
Untuk memahami Al-Qur‘an, para Sufi berpegang pada makna yang ingin disampaikan Al Qur‘an dan
bukan pada ragam makna yang mungkin dipahami darinya. Di sinilah muncul apa yang disebut
sebagai Metode Ta‘wil, yaitu upaya untuk kembali kepada makna asal suatu kata yang digunakan
akan menghantarkan pada pemahaman yang tepat.
Tentang wujud, dari bahasa Arab wajada (menemukan), sedang wijdan adalah turunannya, kata
yang berarti intuisi. Dari makna kata itu, dipahami bahwa: ―Setiap yang berwujud pastilah
menemukan dirinya sendiri, dalam derajat kesadaran yang berbeda-beda.‖
Imam Husain bin Ali bin Abi Thalib As dalam doanya di Padang Arafah melantunkan kalimat ini:‖…Apa
yang ditemukan oleh seseorang yang tidak menemukan-MU dan apa yang tidak ditemukan oleh
seseorang yang telah menemukan-MU….‖
Wujud sama dengan segala sesuatu. Wujud adalah keberadaan, wujud adalah tema paling inklusif
yang mencakup segala sesuatu, wujud pasti dapat ditemukan dan menemukan, wujud (kewujudan)
sama dengan kesatuan, sesuatu pasti dikehendaki oleh Pewujudnya, wujud bersifat tunggal dan
sederhana, wujud tak terhingga.
Semua wujud partikular pasti memiliki Mahiyah. Mahiyah berasal dari definisi dan analisis terhadap
sesuatu, yang hanya mungkin terjadi pada bagian tertentu dari keseluruhan wujud. Sedang Wujud
Mutlak tidak memiliki Mahiyah, karena Wujud Mutlak adalah keseluruhan wujud itu sendiri.
Pengetahuan tentang Wujud Mutlak hadir dalam diri setiap Maujud secara langsung, mengingat
pengetahuan ini tak lain daripada pengetahuan manusia tentang hakikat darinya sendiri. Yang
dimaksud manusia di sini adalah AKU dan EGO yang sadar, yang dengan penyaksian batinnya
menyadari wujudnya sendiri, tanpa sarana penginderaan.
Dalam pengetahuan dengan ketidakhadiran, subjek dan objek pengetahuan menyatu dan tidak bisa
dipisah-pisahkan, sehingga jenis pengetahuan ini meleburkan dimensi epistemelogis subjek dengan
dimensi ontologisnya. Di sinilah mengada dan mengetahui menjadi satu.
Wujud kadang digambarkan sebagai sesuatu yang tidak tampak dalam dirinya sendiri, tapi
menampakan segala sesuatu selainnya. Karena itu, wujud pada umumnya diibaratkan dengan
‗Cahaya‘ yang tidak tampak dalam dirinya sendiri tetapi menampakan dan memungkinkan kita melihat
hal-hal lainnya.
Filosofi hikmah, Mulla Shadra menyatakan :‖Wujud adalah sesuatu yang secara primer nyata dalam
segala sesuatu, dan itulah hakikat. Sebaliknya semua selainnya (yakni, Mahiyah) adalah seperti
pantulan, bayangan dan santiran‖.
Wujud Mutlak mustahil untuk dibeda-bedakan, dibanding-bandingkan, didefinisikan dan dianalisis,
karena Dia bersifat elementer (mendasar) dan sederhana, tidak memiliki bagian, tidak memiliki
bandingan dan tidak memiliki batasan. Maujud (eksistensi), alam semesta dan apa yang kita saksikan
hanyalah pantulan dari Cahaya Mutlak ini. Wujud Mutlak dalam teks-teks agama disebut Tuhan
(Rabb),
Wujud dalam pandangan para pemikir Muslim adalah suatu pengalaman transenden dalam
menemukan dan menyaksikan segala sesuatu. Setiap subjek menemukan wujud dalam tingkat yang
berbeda-beda. Pada tingkat tertinggi, Wujud Mutlak menemukan segala sesuatu dalam Diri-Nya
secara Iangsung.Tetapi, tingkat-tingkat di bawahnya, setiap maujud menemukan dirinya sebagai
bayangan dan refleksi dari pancaran Wujud Mutlak, dan merasakan kehadiran-Nya dalam suasana
yang remang-remang.
Allah SWT berfirman ―Maka kemana pun engkau menghadap, di situlah wajah Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Luas (Maha Meliputi) dan Maha Mengetahui.‖ (QS AI-Baqarah 115)
Menurut ungkapan orang Arab apa yang disebut Wajah adalah pusat atau bagian yang paling mulia
dari sesuatu (Abu AI-gadim ar-Raghib al-Isfahani : al-Mufradat fi Gharib Al-Qur‘an).
Wujud Mutlak dalam bahasa para Ahli Hikmah disebut dengan Wajib Al-Wujud (Wujud niscaya
Mewujud), yaitu apabila kita membayangkan semua wujud selain Wujud Mutlak, dengan pasti kita
akan menemukan bahwa semua selain DIA hanyalah pancaran dan penampakan-Nya. Karen semua
maujud bergantungan secara esensial pada wujud yang mandiri dan bergantung sepenuhnya pada
diri sendiri. Bila tidak demikian, maka rantai kemaujudan akan menjadi ketiadaan mutlak.
Hubungan Wujud Mutlak dan semua maujud selain-Nya biasanya diistilahkan dengan hubungan
‗sebab‘ dan ‗akibat atau hubungan ciptaan dan pencipta. Para Ahli Hikmah menyebut seluruh maujud
selain Wujud Mutlak sebagai bayangan (Syabah), penampakan (Tajalli), nama (Ism), tanda (Ayah)
atau perumpamaan(Matsal). Dari sini dapat disimpulkan sebagaimana mustahil ada ciptaan tanpa ada
pencipta.
Ciptaan tiada lain daripada hubungan, sisi, nama dan sifat dari Sang Wujud Mutlak. Firman Allah
SWT: ―Wahai manusia, kalian semua faqir (bergantung) kepada Allah, dan Allah adalah
Maha Kaya lagi Maha Teruji‖ (QS Faathir; 15)
Dalam kaitan dengan Faqir, Imam Husain bin Ali bin Abi Thalib AS dalam doanya di Padang Arafah
juga mengatakan ini: ―Ya Allah, akulah faqir ketika aku (merasa) kaya, sebagaimana aku tidak benar-
benar faqir dalam (kenyataan) ke-faqir-anku: Ya Allah, akulah yang bodoh (ketika aku merasa)
mengetahui, bagaimana aku tidak benar-benar bodoh dalam (kenyataan) kebodohanku.
Ada suatu riwayat yang mengisahkan, bahwa suatu ketika Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as
pemah ditanya :‖Dimana wajah Allah, Sebelum menjawabnya, beliau meminta si penanya untuk
membakar api unggun. Ketika api sedang menyala dengan hebat, Amirul Mukminin Ali AS bertanya :
―Tunjukkan padaku di mana wajah bara api ini?
Si penanya mejawab, ―Seluruh sudut api ini adalah wajahnya‖. Mendengar jawaban ini kemudian
Amirul Mukminin Ali AS menimpali, ―Kalau benda ciptaan dan buatan seperti api saja engkau sudah
tidak bisa mengetahui wajahnya, bagaimana dengan Dzat Pencipta yang sama sekali tidak serupa
dengan ciptaan ini?‖
Oleh sebab itu, cara paling mungkin untuk mengenal Wujud Mutlak ialah dengan meminta kepada-
Nya memperkenalkan Diri-Nya. Dan agama adalah wilayah pengungkapan Illahi. Dalam kalam dan
wahyu Illahi, Wujud Mutlak (Allah) itu memperkenalkan Diri-Nya dalam bahasa perumpamaan (matsal
atau mitsal) dan tanda (ayah) yang bisa dipahami oleh pikiran manusia. Hanya dengan cara demikian
Sang Mutlak dapat kita kenali dan kita sapa, kita seru dan kita ingat, kita hadirkan dalam kalbu dan
kita cintai.
Sayid Haidar Amuli menulis, ―Ketika manusia mencoba mendeteksi wujud melalui daya nalarnya yang
lemah dan pikirannya yang goyah, kebutaan dan kebingungannya Akan semakin bertambah.‖
Cahaya Wujud memancar kepada segenap maujud secara bertingkat-tingkat, sesuai dengan prinsip
kebijakan (hikmah), kekuasaan (qudrah), dan keadilan (‗adl).Tingkat dan derajat kesempurnaan
setiap maujud (Meratib al-Kamaiat al-Wujudiyyah) sesuai dengan kemampuan tiap-tiap maujud
sendiri. Derajat kesempurnaan ini harus dimengerti sebagai kelemahan dan kekurangan maujud
untuk menyerap pancaran cahaya Wujud Pencipta, bukan sebagai kelemahan dan kekurangan dalam
pancaran cahaya penciptaan atau pewujudan Illahi.
Untuk mengenal Wujud Mutlak, dalam sebuah doanya, Imam Muhammad bin hasan al Mahdi
Ajjalallah Farajahu bermunajat: ―Ya Allah, perkenalkanlah daku pada Diri-Mu, sesungguhnya bila
Engkau tidak memperkenalkanku kepada Diri-Mu, maka aku takkan mengenal utusan-Mu. Ya Allah,
perkenalkanlah daku kepada utusanMu, maka apa bila tidak, aku takkan pernah mengenal hujjah-Mu,
sesunggunya bila Engkau tidak memperkenalkanku kepada hujjah-Mu, maka aku takkanmengenal
agama Mu‖….(dari berbagai sumber)
Syam`un Al-Ghazy – Lelaki yang beribadah 1000 bulan
Pada suatu saat malaikat Jibril AS datang menemui nabi Muhammad SAW, kemudian menuturkan
cerita tentang seorang laki-laki. Nama orang itu adalah Syam`un Al Ghazy, dia telah memerangi
orang-orang kafir selama seribu bulan, sedangkan senjata yang digunakannya hanyalah jenggot unta.
Dikisahkan setiap kali dia memukul orang kafir dengan jenggot untanya tersebut, maka sudah dapat
dipastikan orang yang bersangkutan akan langsung tewas. Entah sudah berapa banyak orang yang
mati ditangan Syam`un yang memiliki senjata yang sangat aneh itu.
Menghadapi kekuatan Syam`un yang teramat sulit ditandingi, maka orang- orang kafir yang
jumlahnya tak terhitung itu merasa kewalahan. Dan karena sudah kehabisan cara, akhirnya mereka
berusaha membujuk isteri Syam`un yang juga termasuk orang kafir, agar mau diajak bersekongol
untuk bersama-sama membunuhnya.
―Kami akan memberimu uang dan harta yang sangat banyak, agar engkau bersedia membunuh
suamimu!‖ kata salah seorang diantara kafir itu kepada isteri Syam`un.
―Saya tidak mampu membunuhnya,‖ jawab isteri Syam`un.
―Kami akan memberimu tali yang sangat kuat. Dengan tali itu, ikatlah kedua tangan dan kakinya
sewaktu tidur. Setelah itu kamilah nanti yang akan membunuhnya,‖ kata orang kafir itu lagi.
Wanita kafir ini pun menyanggupinya, dan berhasil melakukan apa yang diperintahkan oleh orang-
orang yang memusuhi suaminya.
Alkisah, ketika bangun tidur, tentu Syam`un merasa sangat terkejut mendapati kedua tangan serta
kakinya sudah dalam keadaan terikat dengan tali yangi sangat kuat.
―Siapa gerangan orang-orang yang telah mengikat saya‖ tanya Syam‘un sambil menatap isterjnya.
―Akulah yang telah mengikatmu, sekadar untuk mencoba kekuatanmu saja‖, jawab isterinya.
Rupanya sang isteri sengaja menjawab demikian dengan pertimbangan bila ternyata suaminya nanti
mampu melepaskan- . diri dari ikatan itu, maka hal itu tak akan membahayakan dirinya.
Kenyataannya Syam‘un memang berhasil melepaskan diri.
Tak berhasil dengan cara itu, orang-orang kafir itu kemudian datang lagi sambil membawa rantai
yang sangat kokoh. Isteri Syam‘un lagi-lagi menyatakan kesediaannya untuk melakukan apa yang
dikehendaki oleh mereka dan berhasil. Ya… suaminya diikat dengan menggunakan rantai tersebut.
―Siapakah orang yang telah mengikat saya dengan rantai ini ? tanya Syam`un kepada isterinya, saat
terbangun dari tidurnya.
―Saya yang melakukan itu, sekadar untuk menguji kekuatanmu‖ ,jawab isterinya.. .
Maka Syam`un pun lalu menarik tangannya, dan seketika rantai yang membelenggu tangan serta
kakinya langsung terputus.
―Hai isteriku, saya adalah seorang Wali Allah. Tak ada seorangpun yang akan sanggup merontokkan
kekuatan saya, kecuali rambutku ini!‖ jelas Syam`un. Perlu diketahui, laki-laki yang dinugerahi
karamah luar biasa oleh Allah SWT ini memang rnemiliki rambut yang sangat panjang. Disitulah
rupanya letak kekuatannya (Kisah ini lah yang meng-inspirasikan kisah Samson)
Isteri Syam‘un pun menyimak baik- baik apa yang dikatakan oleh suaminya itu. Malam harinya
dengan nekad dia kemudian memotong rambut Syam`un selagi Syam`un sedang tidur, dan
mengikatnya. Alat atau tali yang digunakan untuk mengikat tak lain adalah rambutnya itu pula.
Ketika Syam`un terbangun dari tidurnya, lagi-lagi dia merasa terkejut karena tubuhnya telah dalam
keadaan terikat.
―Siapakah yang telah mengikat tubuhku ini?‖ tanyanya kemudian. Dan isterinya pun memberi
jawaban sama seperti yang sudah-sudah.
Syam`un menarik tali yang mengikat tubuhnya. Tetapi kali ini, meskipun sudah berusaha dengan
sekuat tenaga, dia tetap tak bisa melepaskan tali pengikat yang terbuat dari rambut kepalanya sendiri
itu.
Menyaksikan usahanya telah berhasil, isteri Syam`un buru-buru menemui orang kafir dan
menceritakan apa yang terjadi. Maka segeralah mereka menemui Syam`un lalu membawanya ke
tempat penjagalan manusia. Laki-laki ini diikat disebuah tiang yang ada disitu dan orang-orang kafir
itu kemudian memotong- motong anggota tubuhnya. Dengan sadisnya mereka mencungkil matanya,
memotong kedua tangan dan kakinya, telinganya, lidahnya, bibirnya ,dan lain-lain.
Namun Allah SWT tak membiarkan seorang wali-Nya menderita seperti itu terlalu panjang. Dia lalu
berfirman kepada Syam`un : ―Apakah yang engkau kehendaki Syam`un?‖
Syam`un pun menjawab, ―Saya menghendaki agar Engkau memberi kekuatan kepada saya, sehingga
nantinya mampu meruntuhkan tiang bangunan dan reruntuhannya menimpa mereka.‖
―Allah SWT pun memberikan kekuatan luar biasa kepadanya. Lalu Syan`un menggerakkan tubuhnya,
menyebabkan tiang bangunan menjadi patah berantakan, disusul ambruknya seluruh badan
bangunan tersebut menimpa orang-orang kafir, mereka, termasuk isteri Syam`un semuanya
langsung tewas.
Adapun Syam`un sendiri diselamatkan oleh Allah SWT, bahkan Dia juga mengembalikan semua
anggota tubuhnya. Setelah itu Syam`un beribadah kepada Allah SWT siang malam selama seribu
bulan…
Salah seorang diantara para sahabat lalu bertanya, ―Wahai Rasulullah, apakah engkau mengetahui?‖
(maksudnya pahala ibadah Syam`un).
Rasulullah SAW mengatakan bahwa Beliau tidak mengetahui, berapa banyak pahala yang
dianugerahkan Allah kepada Syam`un tsb.
Oleh karena itu maka Allah SWT kemudian menurunkan surat Al-Qadar melalui malaikat Jibril AS.
Pada surat ini Allah menjelaskan, bahwa ibadah yang dilakukan seseorang pada malam Qadar (salah
satu malam dibulan Ramadhan), itu adalah lebih baik dari ibadah yang dilakukan selama seribu bulan.
RABIAH AL ADAWIYAH
Pada suatu hari seorang lelaki datang kepada Rabiah al-Adawiyah al-Bashriyah dan bertanya, ―Saya
ini telah banyak melakukan dosa. Maksiat saya bertimbun melebihi gunung-gunung. Andaikata saya
bertobat, apakah Allah akan menerima tobat saya?‖ ―Tidak,‖ jawab Rabiah dengan suara tegas. Pada
kali yang lain seorang lelaki datang pula kepadanya. Lelaki itu berkata, ―Seandainya tiap butir pasir
itu adalah dosa, maka seluas gurunlah tebaran dosa saya. Maksiat apa saja telah saya lakukan, baik
yang kecil maupun yang besar. Tetapi sekarang saya sudah menjalani tobat. Apakah Tuhan
menerima tobat saya?‖ ―Pasti,‖ jawab Rabiah tak kalah tegas. Lalu ia menjelaskan, ―Kalau Tuhan
tidak berkenan menerima tobat seorang hamba, apakah mungkin hamba itu tergerak menjalani
tobat? Untuk berhenti dari dosa, jangan simpan kata ―akan‖ atau ―andaikata‖ sebab hal itu akan
merusak ketulusan niatmu.‖
Memang ucapan sufi perempuan dari kota Bashrah itu seringkali menyakitkan telinga bagi mereka
yang tidak memahami jalan pikirannya. Ia bahkan pernah mengatakan, ―Apa gunanya meminta
ampun kepada Tuhan kalau tidak sungguh-sungguh dan tidak keluar dari hati nurani?‖ Barangkali
lantaran ia telah mengalami kepahitan hidup sejak awal kehadirannya di dunia ini. Sebagai anak
keempat. Itu sebabnya ia diberi nama Rabiah. Bayi itu dilahirkan ketika orang tuanya hidup sangat
sengsara meskipun waktu itu kota Bashrah bergelimang dengan kekayaan dan kemewahan. Tidak
seorang pun yang berada di samping ibunya, apalagi menolongnya, karena ayahnya, Ismail, tengah
berusaha meminta bantuan kepada para tetangganya.
Namun, karena saat itu sudah jauh malam, tidak seorang pun dari mereka yang terjaga. Dengan
lunglai Ismail pulang tanpa hasil, padahal ia hanya ingin meminjam lampu atau minyak tanah untuk
menerangi istrinya yang akan melahirkan. Dengan perasaan putus asa Ismail masuk ke dalam
biliknya. Tiba-tiba matanya terbelak gembira menyaksikan apa yang terjadi di bilik itu.
Seberkas cahaya memancar dari bayi yang baru saja dilahirkan tanpa bantuan siapa-siapa. ―Ya Allah,‖
seru Ismail, ―anakku, Rabiah, telah datang membawa sinar yang akan menerangi alam di sekitarnya.‖
Lalu Ismail menggumam, ―Amin.‖ Tetapi berkas cahaya yang membungkus bayi kecil itu tidak
membuat keluarganya terlepas dari belitan kemiskinan. Ismail tetap tidak punya apa-apa kecuali tiga
kerat roti untuk istrinya yang masih lemah itu. Ia lantas bersujud dalam salat tahajud yang panjang,
menyerahkan nasib dirinya dan seluruh keluarganya kepada Yang Menciptakan Kehidupan.
Sekonyong-konyong ia seolah berada dalam lautan mimpi manakala gumpalan cahaya yang lebih
benderang muncul di depannya, dan setelah itu Rasul hadir bagaikan masih segar-bugar. Kepada
Ismail, Rasulullah bersabda, ―Jangan bersedih, orang salih. Anakmu kelak akan dicari syafaatnya oleh
orang-orang mulia. Pergilah kamu kepada penguasa kota Bashrah, dan katakan kepadanya bahwa
pada malam Jumat yang lalu ia tidak melakukan salat sunnah seperti biasanya. Katakan, sebagai
kifarat atas kelalaiannya itu, ia harus membayar satu dinar untuk satu rakaat yang ditinggalkannya.
Ketika Ismail mengerjakan seperti yang diperintahkan Rasulullah dalam mimpinya, Isa Zadan,
penguasa kota Bashrah itu, terperanjat. Ia memang biasa mengerjakan salat sunnah 100 rakaat tiap
malam, sedangkan saban malam Jumat ia selalu mengerjakan 400 rakaat. Oleh karena itu, kepada
Ismail diserahkannya uang sebanyak 400 dinar sesuai dengan jumlah rakaat yang ditinggalkannya
pada malam Jumat yang silam. Itulah sebagian dari tanda-tanda karamah Rabiah al-Adawiyah,
seorang sufi perempuan dari kota Bashrah, yang di hatinya hanya tersedia cinta kepada Tuhan.
Begitu agungnya cinta itu bertaut antara hamba dan penciptanya sampai ia tidak punya waktu untuk
membenci atau mencintai, untuk berduka atau bersuka cita selain dengan Allah.
Tiap malam ia bermunajat kepada Tuhan dengan doanya, ―Wahai, Tuhanku. Di langit bintang-
gemintang makin redup, berjuta pasang mata telah terlelap, dan raja-raja sudah menutup pintu
gerbang istananya. Begitu pula para pecinta telah menyendiri bersama kekasihnya. Tetapi, aku kini
bersimpuh di hadapan-Mu, mengharapkan cinta-Mu karena telah kuserahkan cintaku hanya untuk-
Mu.‖
Fariduddin al-Attar menceritakan dalam kitab Taz-kiratul Auliya bahwa Rabiah pandai sekali meniup
seruling. Untuk jangka waktu tertentu ia menopang hidupnya dengan bermain musik. Namun,
kemudian ia memanfaatkan kepandaiannya untuk mengiringi para sufi yang sedang berzikir dalam
upayanya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Selain itu ia mengunjungi masjid-masjid, dari pagi
sampai larut malam. Namun, lantaran ia merasa dengan cara itu Tuhan tidak makin menghampirinya,
maka ditinggalkannya semua itu.
Ia tidak lagi meniup seruling, dan ia tidak lagi mendatangi masjid-masjid. Ia menghabiskan waktu
dengan beribadah dan berzikir. Setelah selesai salat isya, ia terus berdiri mengerjakan salat malam.
Pernah ia berkata kepada Tuhan, ―Saksikanlah, seluruh umat manusia sudah tertidur lelap, tetapi
Rabiah yang berlumur dosa masih berdiri di hadapan-Mu. Kumohon dengan sangat, tujukanlah
pandangan-Mu kepada Rabiah agar ia tetap berada dalam keadaan jaga demi pengabdiannya yang
tuntas kepada-Mu.‖
Jika fajar telah merekah dan serat-serat cahaya menebari cakrawala, Rabiah pun berdoa dengan
khusyuk, ―Ya, illahi. Malam telah berlalu, dan siang menjelang datang. Aduhai, seandainya malam
tidak pernah berakhir, alangkah bahagianya hatiku sebab aku dapat selalu bermesra-mesra dengan-
Mu. illahi, demi kemuliaan-Mu, walaupun Kautolak aku mengetuk pintu-Mu, aku akan senantiasa
menanti di depan pintu karena cintaku telah terikat dengan-Mu.‖
Lantas, jika Rabiah membuka jendela kamarnya, dan alam lepas terbentang di depan matanya, ia
pun segera berbisik, ―Tuhanku. Ketika kudengar margasatwa berkicau dan burung-burung
mengepakkan sayapnya, pada hakikatnya mereka sedang memuji-Mu. Pada waktu kudengar desauan
angin dan gemericik air di pegunungan, bahkan manakala guntur menggelegar, semuanya kulihat
sedang menjadi saksi atas keesaan-Mu.
Tentang masa depannya ia pemah ditanya oleh Sufiyan at-Thawri: ―Apakah engkau akan menikah
kelak?‖ Rabiah mengelak, ―Pernikahan merupakan kewajiban bagi mereka yang mempunyai pilihan.
Padahal aku tidak mempunyai pilihan kecuali mengabdi kepada Allah.‖ ―Bagaimanakah jalannya
sampai engkau mencapai martabat itu?‖ ―Karena telah kuberikan seluruh hidupku,‖ ujar Rabiah.
―Mengapa bisa kaulakukan itu, sedangkan kami tidak?‖ Dengan tulus Rabiah menjawab, ―Sebab aku
tidak mampu menciptakan keserasian antara perkawinan dan cinta kepada Tuhan.‖
Saling Memberi Wasiat Kebenaran
SYAIKH Abdul-Qadir al-Jailani Rah.a. mengatakan: Ikutilah, janganlah kalian membuat-buat sesuatu
yang baru. Taatilah dan jangan merusaknya. Esakanlah dan jangan menyekutukanNya. Bersihkanlah
sesuatu yang haq dan jangan mencampuradukkannya. Jujurlah dan jangan suka mengadu.
Bersabarlah dan jangan merasa takut dan sedih. Istiqamahlah dan jangan melarikan diri. Bertanyalah
dan jangan merasa bosan. Tunggulah dan nantikanlah, jangan berputus asa. Bersaudaralah, jangan
saling bermusuhan. Bersatulah atas dasar ketaatan, jangan bercerai berai. Saling mencintailah,
jangan saling menyimpan amarah. Bersihkan diri dari dosa, jangan kotori dan lumuri dengannya.
Berhiaslah dengan melakukan taat kepada Tuhanmu. Janganlah meninggalkan pintu junjunganmu.
Janganlah menoleh dan berpaling dari hadapan-Nya. Janganlah menunda-nunda untuk melakukan
taubat. Janganlah merasa bosan untuk selalu meminta ampun kepada Tuhanmu setiap siang dan
malam. Semoga kamu sekalian diberikan rahmat, keberuntungan, dijauhkan dari api neraka,
didekatkan kepada surga, disampaikan di sisi Allah swt., diberikan semua kenikmatan di dalam surga
Darussalam. Dan kalian akan abadi selamanya di sana. Menikmati kesenangan dengan bidadari dan
segala macam wewangian serta suara-suara yang merdu. Dan kalian akan diangkat bersama para
nabi, shiddiqiin, para syuhada‘, dan orang-orang yang shalih.
WEJANGAN NABI KHIDIR
1. Kalau seseorang akan melakukan ibadah Haji, maka harus diketahui tujuan sebenarnya, kalau
tidak apa yang dilakukan akan sia-sia belaka. Itulah yang dinamakan Iman Hidayat
2. Sebelum seseorang melakukan sesuatu, hendaknya diteliti dahulu agar tidak tertipu oleh nafsu,
supaya tetap dalam jati diri yang asli ( pancamaya ). Penghalang tingkah laku menuju kebaikan ada
tiga golongan, dan siapa berhasil menjauhi penghalang tersebut akan berhasil menyatukan dirinya
dengan yang ghaib. Yang dimaksud dengan penghalang tersebut adalah marah, sakit hati, angkara
murka, sombong, dan semacamnya
3. Orang Islam adalah pewaris atau penerus ajaran Muhammad Rasulullah SAW, oleh karena itu
harus melestarikan dan memperjuangkan ajaran tersebut
4. Tanda-tanda adanya Alllah itu ada pada diri manusia sendiri. Hal ini harus direnungkan dan diingat
betul. Orang yang suka membicarakan dan memuji diri sendiri, akan dapat melemahkan semangat
usahanya
5. Semua garis hidup manusia telah ditentukan di dalam Johar awal. Lalu kalau begitu,
jawabannya,karena disesuaikan dengan ketentuan dan kegaiban yang dirasakan di jaman azali.
Berdiri tegak sambil sendhakep adalah untuk menciptakan keheningan hati, menyatukan konsentrasi
dan menyatukan segala gerakan dan ucapan
6. Ruku berarti tunduk kepada Yang Menciptakan, merasa sedih dan malu sampai Sang Pencipta
muncul, lalu keluar air mata sehingga tenanglah kehidupan ruh manusia yang melakukan rukuk
7. Gerakan sujud dalam sholat bermula dari munculnya cahaya yang menandakan pentingnya sujud
ke permukaan bumi. Adanya cahaya tersebut, manusia merasa berhadapan dengan wujud Allah SWT
sehingga orang yang sujud yakin bahwa Allah SWT melihat diriNya( pelajaran tentang ikhsan ). Pada
waktu sujud, bumi dan segala isi serta keindahannya tidak nampak oleh manusia, sehingga pada
waktu itu yang dilihat hanya Allah SWT semata
8. Pada waktu duduk di antara sujud, seolah-olah seorang sedang bimbang menunggu kedatangan
Allah. Walaupun tidak nampak datang, tetapi sesunguhnya Allah benar-benar ada dan Dialah satu-
satunya tempat mengabdi. Sekali-kali jangan ada manusia yang menganggap dirinya itu sama
dengan Allah SWT
9. Tidak ada manusia yang dapat menyamai Nabi Muhammad SAW, karena beliau adalah makhluk
pilihan yang dimuliakan Allah SWT, yang selalu dikaruniai dengan pengetahuan rahasia.Nabi
Muhammad SAW sering melakukan puasa
10. Akan dimuliakan Allah oleh Allah SWT manusia yang mau mengeluarkan shodaqoh, yang
melakukan ibadah haji, yang rajin melaksanakan sholat
11. Sudahkah petunjuk iman terasa dalam dirimu ? Tauhid adalah pengetahuan yang penting untuk
menyembah Allah SWT, ma‘rifat harus dimiliki untuk mengetahui kejelasan yang terlihat, sedang
ru‘yat sebagai saksi adanya yang terlihat dengan nyata
12. Ketika Syekh Melaya bertanya mengapa ada orang yang masuk neraka, jawabnya adalah neraka
disediakan buat manusia yang mempunyai sifat hewani, manusia yang tidak mengenal dan meniru
tingkah laku Nabiyulloh, amnusia yang mengikuti bujuk rayu iblis, serta orang kafir yang menyembah
kayu dan batu
13. Ruh Idhofi adalah yang kekal sampai hari kiamat, berasal dari Ruh Allah yang mendapat sinar
Allah, yang senantiasa menerangi hati penuh kewaspadaan, selalu mawas diri, mencari kekurangan
yang ada, selalu memprsiapkan diri, menghadapi kematian, serba pasrah kepada Allah SWT, merasa
sebagai anak cucu Adam yang harus mempertanggung jawabkan segala perbuatan. Ruh idhofi sudah
ada sebelum manusia diciptakan
14. Johar awallah yang menimbulkan sholat Daim, sholat yang tidak memerlukan air wudhu, yaitu
sholat batin yang sebenarnya, sholat selama-lamanya selagi manusia masih hidup, dimana saja,
kapan saja, dan bagaimanapun keadaannya
15. Kehidupan manusai itu ibarat wayang dengan layarya, sedang wayang tidak tahu warna dirinya.
Oleh karena itu manusia memerlukan hidyat dari Allah SWT.Pengganti Allah adalah utusan Allah,
yaitu Muhammad yang termasuk badan mukmin. Ruh mukmin identik dengan ruh idhofi
16. Disebut Iman Maksum kalau sudah mendapat ketetapan sebagai panutan ( suri tauladan ), yaitu
mengikuti contoh nabi Muhammad. Kalau tidak mengikuti tauladan maka tidak mengetahui keislaman
sehingga hidupnya akan tersesat, kufur serta kafir badannya. Orang kufur akan bingungkarena tiada
pedoman manusia yang dapat diteladani
17. Fakir dekat denagn kafir, sebab kafir berarti buta tuli tidak mengerti tentang surga neraka. Fakir
tidak akan mendekatkan diri kepada Allah SWT, tidak menyembah dan memujinya
18. Adapun wujud Dzatullah itu tidak satu makhluk apapun yang mengethaui. Sedang yang dimaksud
dengan iman tauhid adalah meyakini adanya Allah SWT dan mengakui Muhammad sebagai rasulNya
19. Ruh idhofi ada di dalam diri manusia, namanya ma‘rifat, hidupnya disebut syahadat ( kesaksian ),
hidup tunggal di dalam hidup, rukuk sujud sebagai penghiasnya, ruku berarti dekat dengan Tuhan
pilihan. Kalau sudah begitu maka tidak akan menderita dan tidak takut ketika menjelang ajal (sakratul
maut )
20. Manusia harus mengakui sedalam-dalamnya bahwa keberadaannya karena Allah hidup dan
menghidupi dirinya serta menghidupi semua makhluk hidup
21. Sholat adalah sarana pengabdisan hamba kepada Sang Pencipta, yang menjalankan sholat adalah
raga, tetapi geraan raga terdorong oleh adanya iman yang hidup, sinarnya memancar dari ruh.
Seandainya nyawa tidak hidup, maka tidak akan ada perbuatan
22. Allah SWT tidak berjumlah tiga. Semua yang hidup akan mati, lalu berganti hidup di akhirat.
Kurang lebih tiga hari perubahan hidup tiu pasti terjadi. Tiga hari sebagai isyaratbahwa manusia
terjadi dari tiga asal lahi, yaitu ayah, ibu dan Allah SWT. Setelah dititipkan selama 7 hari maka
dikembalikan pada yang memberi amanat . Titipan tauhid dikembalikan pada hari ke 30. Kalau waktu
menegembalikan itu menangis, pertanda, dia menyesali sewaktu masih hidup. Hal ini akan
menimbulkan kesedihan yang berkepanjangan . Siapapun akan mengalami kesedihan itu karena
merasa kehilangan, mati, yang terjadi pada hari ke 40. Pada waktu itu ruh jasad di hadapan Sang
Pemberi. Pda hari ke 1000 sudah tidak ada lagi yang tertinggal. Pada waktu itu ruh kembali kepada
Allah SWT dalam keadaan sempurna, seperti mula pertama diciptakan
23. Seluruh yang ada pada diri mausia dan lingkungannya bukan milik manusia, melainkan milik Sang
Hyang Agung, oleh karena itu manusia harus angrogo sukmo yaitu hatinya sudah bulat menyatu
sebagai kawulo gusti
24. Kalau sudah memahami serta menguasai amalan dan ilmu, manusia hendaknya waspada
terhadap semua masalah. Manusia harus mampu ibarat mati didalam hidp atau hidup didalam mati.
Itulah hidup abadi, yang mati aalah nafsunya, lahiriahnya badan yang menjalani mati
25. Banyak pemuka agama yang salah dalam penafsiran maupun menyampaikan suatu pesan
sehingga justru mematikan pengertian yang benar. Ada pemuka agama yang ibarat seekor burung,
mencari pohon rindang dengan banyak buahnya sekedar tempat bertengger. Disitu pula dia
memperoleh kemuliaan hidup baru, ada yang berpangkat tinggi, ada yang ikut orang kaya, tetapi ada
pula orang bodoh yang memanfaatkannya. Adapula yang justru terpaksa menjadi pemuka agama,
menumpuk harta kekayaan dan banyak isteri, semuanya ingin mendapatkan yang serba lebih
26. Ada agamawan yang ingin mati bersama raganya dengan mempertinggi semedi. Sayang mereka
tidak mengikuti petunjuk Allah SWT, tidak didukung oleh ilmu, sehingga kosong karena hanya
mengandalkan fikiran walaupun badannya sampai kurus kering
27. Semedi mestinya hanya sebagai ragi, sedang ilmu sebagai pendukung. Semedi tanpa ilmu tidak
akan berhasil, sedang ilmu tanpa semedi akan hambar yang juga tidak akan berhasil
28. Banyak pula agamawan palsu, ajarannya hanya setengah-setengah. Seorang diantara para
sahabat itu dianggap yang paling berilmu, harus ditaati ucapannya, ketika berjalan harus disembah-
sembah, biasanya bertempat tinggal di puncak gunung. Pengaruhnya sangat besar, bayak murid
datang kepadanya untuk berguru, nasihatnya banyak sekali dan bermacam-macam, seperti gong
besar yang dipukul, tetapi isinya tidak bermutu sehingga ruglah murid-murid yang bergru tersebut
29. Manusia bukan yang paling mulia diantara ciptaanNya dan harus menyadari bahwa isi jagad ini
bukan hanya manusia, tetapi manusia ditugaskan menjadi Khalifah
Shalat mempunyai makna tersembunyi yang tersirat dalam gerakannya, berdiri adalah lambang api
yang bersifat Qohar, rukuk adalah lambang angin yang bersifat Jalal, sujud adalah lambang air yang
bersifat Jamal, dan duduk adalah labang bumi yang bersifat Kamal.
Qohar berarti Maha Mandiri ( Kuasa )
Jalal berarti Maha Kuasa
Jamal berarti Maha Indah
Kama berarti Maha Sempurna
Shalat selalu diakhiri dengan fadhillah masing-masing shalat
Empat perkara yang menakjubkan ;
1. Takjub kepada Shahadat
2. Takjub kepda Takbir
3. Takjub kepada Tuhan
4. Takjub kepada Sakratul maut
Tauhid dan Makrifatullah
Menurut Syaikh Ibnu Atha'illah as-Sakandari, siapapun yang merenung secara mendalam akan
menyadari bahwa semua makhluk sebenarnya menauhidkan Allah SWT lewat tarikan nafas yang
halus. Jika tidak, pasti mereka akan mendapat siksa. Pada setiap zarah, mulai dari ukuran sub-atomis
(kuantum) sampai atomis, yang terdapat di alam semesta terdapat rahasia nama-nama Allah. Dengan
rahasia tersebut, semuanya memahami dan mengakui keesaan Allah. Allah SWT telah berfirman;
"Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan
sendiri atau pun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari." (QS.
13:15)
Jadi, semua makhluk mentauhidkan Allah dalam semua kedudukan sesuai dengan rububiyah Tuhan
serta sesuai dengan bentuk-bentuk ubudiyah yang telah ditentukan dalam mengaktualisasikan tauhid
mereka. Lebih lanjut Syaikh Ibnu Atha'illah mengatakan bahwa sebagian ahli makrifat berpendapat
bahwa orang yang bertasbih sebenarnya bertasbih dengan rahasia kedalaman hakikat kesucian
pikirannya dalam wilayah keajaiban alam malakut dan kelembutan alam jabarut.
Sementara sang salik, bertasbih dengan dzikirnya dalam lautan qolbu. Sang murid bertasbih dengan
qolbunya dalam lautan pikiran. Sang Pecinta bertasbih dengan ruhnya dalam lautan kerinduan. Sang
Arif bertasbih dengan sirr-nya dalam lautan alam ghaib. Dan orang shiddiq bertasbih dengan
kedalaman sirr-nya dalam rahasia cahaya yang suci yang beredar di antara berbagai makna Asma-
Asma dan Sifat-sifat-Nya disertai dengan keteguhan di dalam silih bergantinya waktu. Dan dia yang
hamba Allah bertasbih dalam lautan pemurnian dengan kerahasiaan Sirr al-Asrar dengan
memandang-Nya, dalam ke'baqa'an-Nya.
Syaikh Muhammad Nafis al-Banjari membagi tauhid dalam konteks makrifatullah menjadi empat
samudera makrifat, berikut ini uraian untuk setiap tahapan makrifat tauhid dengan interpretasi
pribadi, yaitu :
Tauhid Af'al sebagai pengesaan terhadap Allah SWT dari segala macam perbuatan. Maka hanya
dengan keyakinan dan penyaksian saja segala sesuatu yang terjadi di alam adalah berasal dari Allah
SWT.
Tauhid Asma' adalah pengesaan Allah SWT atas segala nama. Ketika yang mewujud dinamai, maka
semua penamaan pada dasarnya dikembalikan kepada Allah SWT. Allah sebagai Isim A'dham yang
Maha Agung adalah asal dari semua nama-nama baik yang khayal maupun bukan. Karena dengan
nama yang Maha Agung ―Allah‖ inilah, Allah memperkenalkan dirinya.
Tauhid Sifat adalah pengesaan Allah dari segala sifat. Dalam pengertian ini maka manusia dapat
berada dalam maqam Tauhid as-Sifat dengan memandang dan memusyahadahkan dengan mata hati
dan dengan keyakinan bahwa segala sifat yang dapat melekat pada Dzat Allah, seperti Qudrah
(Kuasa), Iradah (Kehendak), ‗Ilm (Mengetahui), Hayah (Hidup), Sama' (mendengar), Basar (Melihat),
dan Kalam (Berkata-kata) adalah benar sifat-sifat Allah. Sebab, hanya Allah lah yang mempunyai
sifat-sifat tersebut. Segala sifat yang dilekatkan kepada makhluk harus dipahami secara metaforis,
dan bukan dalam konteks sesungguhnya sebagai suatu pinjaman.
Tauhid Dzat berarti mengesakan Allah pada Dzat. Maqam Tauhid az-Dzat menurut Syaikh al-Banjari
adalah maqam tertinggi yang, karenanya, menjadi terminal terakhir dari pemandangan dan
musyahadah kaum 'Arifin. Dalam konteks demikian, maka cara mengesakan Allah pada Dzat adalah
dengan memandang dengan mata kepala dan mata hati bahwasanya tiada yang maujud di alam
wujud ini melainkan Allah SWT Semata.
Tauhid Af'al pada pengertian Syaikh al-Banjari akan banyak berbicara tentang kehendak Allah SWT
yang maujud sebagai ikhtiar dan sunnatullah manusia yaitu takdir. Apakah kemudian takdir yang
dialami seseorang disebut baik atau buruk, maka itulah kehendak Allah sesungguhnya yang
terealisasikan kepada semua makhluk yang memiliki kehendak bebas untuk memilah dan memilih,
dengan pengetahuan terhadap aturan dan ketentuan yang sudah melekat padanya sebagai makhluk
sintesis yang ditempatkan dalam suatu kontinuum ruang-waktu relatif.
Tauhid Af‘al adalah Samudera Pengenalan, di samudera inilah salik sebagai pencari wasiat Allah harus
mendekat ke pintu ampunan Allah untuk bertobat dan menyucikan dirinya, menyibakkan pagar-pagar
awal dirinya dengan ketaatan kepada-Nya dan meninggalkan kemaksiatan pada-Nya, mendekat
kepada-Nya untuk menauhidkan-Nya, beramal untuk-Nya agar memperoleh ridha-Nya. Kalau saya
proyeksikan ke dalam sistem qolbu yang diulas sebelumnya mempunyai tujuh karakteristik dominan,
maka di Samudera Af'al inilah seorang salik harus berjuang untuk me-metamorfosis-kan qolbunya
dari dominasi nafs ammarah, menuju lawwamah, menuju mulhammah, dan mencapai ketenangan
dengan nafs muthma'innah.
Dalam Samudera Asma', maka hijab-hijab tersingkap dengan masing-masing derajat dan
keadaannya. Ia yang menyingkapkan, sedikit demi sedikit akan semakin melathifahkan dirinya ke
dalam kelathifahan Yang Maha Qudus memasuki medan ruh ilahiah-Nya (dominasi qolbu oleh ruh
yang mengenal Tuhan). Samudera Asma' adalah Samudera Munajat dan Permohonan, difirmankan
oleh Allah SWT bahwa ―Dan bagi Allah itu beberapa Nama yang baik (al-Asma al-Husna) maka
bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu." (QS. 7:180). Di samudera inilah salik
akan diuji dengan khauf dan raja', keikhlasan, keridhaan, kefakiran, kezuhudan, dan keadaan-
keadaan ruhaniah lainnya.
Di tepian Samudera Asma' adalah lautan kerinduan yang berkilauan karena pendar-pendar cahaya
rahmat dan kasih sayang Allah. Di Lautan Kerinduan atau Lautan Kasih Sayang atau Lautan Cinta
Ilahi, sinar kemilau cahaya Sang Kekasih menciptakan riak-riak gelombang yang menghalus dengan
cepat, menciptakan kerinduan-kerinduan ke dalam rahasia terdalam. Lautan Kerinduan adalah pintu
memasuki hamparan Samudera Kerahasiaan.
Tauhid as-Sifat adalah Samudera Kerahasiaan atau Samudera Peniadaan karena di samudera inilah
semua makhluk diharuskan untuk menafikan semua atribut kediriannya sebagai makhluk, semua
hasrat dan keinginan, kerinduan yang tersisa dan apa pun yang melekat pada makhluk tak lebih dari
suatu anugerah dan hidayah kasih sayang-Nya semata, maka apa yang tersisa dari Lautan Kerinduan
atau Lautan Cinta Ilahi adalah penafian diri. Apa yang melekat pada semua makhluk adalah
manifestasi dari rahmat dan kasih sayang-Nya yang dilimpahkan, sebagai piranti ilahiah yang
dipinjamkan dan akan dikembalikan kepada-Nya.
Siapa yang kemudian menyalahgunakan semua pinjaman Allah ini, maka ia harus
mempertanggungjawabkan dihadapan-Nya. Qolbu yang didominasi kerahasiaan ilahiah didominasi
kerahasiaan sirr dengan suluh cahaya kemurnian yang menyemburat dari kemilau yang membutakan
dari samudera yang paling rahasia sirr al–asrar yakni Samudera Pemurnian dari Tauhid az-Dzat.
Di tingkatan Tauhid az-Dzat segala sesuatu tiada selain Dia, inilah Samudera Penghambaan atau
Samudera Pemurnian/Tanpa Warna sebagai tingkatan ruhaniah tertinggi dengan totalitas tanpa
sambungan. Suatu tingkatan tanpa nama, karena semua sifat, semua nama, dan semua af‘al sudah
tidak ada. Bahkan dalam tingkat kehambaan ini, semua deskripsi tentang ketauhidan hanya dapat
dilakukan oleh Allah Yang Mandiri, ―Mengenal Allah dengan Allah‖. Inilah maqam Nabi Muhammad
Saw, maqam tanpa tapal batas, maqam Kebingungan Ilahiah. Maqam dimana semua yang baru
termusnahkan dalam kedekatan yang hakiki sebagai kedekatan bukan dalam pengertian ruang dan
waktu, tempat dan posisi. Di maqam ini pula semua kebingungan, semua peniadaan, termurnikan
kembali sebagai yang menyaksikan dengan pra eksistensinya.
Ketika salik termurnikan di Samudera Penghambaan, maka ia terbaqakan didalam-Nya. Eksistensinya
adalah eksistensi sebagai hamba Allah semata. Maka, di Samudera Penghambaan ini menangislah
semua hati yang terdominasi rahasia yang paling rahasia (sirr al-asrar).
Aku menangis bukan karena cintaku pada-Mu dan cinta-Mu padaku,
atau kerinduan yang menggelegak dan bergejolak yang tak mampu
kutanggung dan ungkapkan.
Tapi, aku menangis karena aku tak akan pernah mampu merengkuh-Mu.
Engkau sudah nyatakan Diri-Mu Sendiri bahwa ―semua makhluk akan
musnah kalau Engkau tampakkan wajah-Mu.‖
Engkau katakan juga, ―Tidak ada yang serupa dengan-Mu.‖
Lantas, bagaimanakah aku tanpa-Mu,
Padahal sudah kuhancurleburkan diriku karena-Mu.
Aku menangis karena aku tak kan pernah bisa menyatu dengan-Mu.
Sebab,
Diri-Mu hanya tersingkap oleh diri-Mu Sendiri
Dia-Mu hanya tersingkap oleh Dia-Mu Sendiri
Engkau-Mu hanya tersingkap oleh Engkau-Mu Sendiri,
Sebab,
Engkau Yang Mandiri adalah Engkau Yang Sendiri
Engkau Yang Sendiri adalah Engkau Yang Tak Perlu Kekasih
Engkau Yang Esa adalah Engkau Yang Esa
Engkau Yang Satu adalah Engkau Yang Satu.
Maka dalam ketenangan kemilau membutakan Samudera Pemurnian-Mu,
biarkan aku memandang-Mu dengan cinta-Mu,
menjadi sekedar hamba-Mu dengan ridha-Mu,
seperti Muhammad yang menjadi Abdullah Kekasih-Mu.
Penguraian tauhid yang dilakukan oleh Syaikh al-Banjari memang didasarkan pada langkah-langkah
penempuhan suluk yang lebih sistematis. Oleh karena, pentauhidan sebenarnya adalah rahasia dan
ruh dari makrifat, maka dalam setiap tingkatan yang diuraikan menjadi Tauhid Af‘al, Asma', Sifat dan
Dzat, sang salik diharapkan dapat merasakan dan menyaksikan tauhid yang lebih formal maupun
khusus, yang diperoleh dari melayari keempat Samudera Tauhid tersebut. Hasil akhirnya, kalau tidak
ada penyimpangan yang sangat
mendasar, sebenarnya serupa dengan pengalaman makrifat para sufi lainnya yakni pengertian bahwa
ujung dari makrifat semata-mata adalah mentauhidkan Allah sebagai Yang Maha Esa dengan
penyaksian dan keimanan yang lebih mantap sebagai hamba Allah.
Sufi Road : Al-Ghazali dan Tasawuf
Imam Ghazali : ―Ketika masih muda, aku menyelami samudera yang dalam ini. Aku menyelaminya
sebagai penyelam handal dan pemberani, buka sebagai penyelam penakut dan pengecut. Aku
menyerang setiap kegelapan dan mengatasi semua maslah, menyelami kegoncangan. Aku teliti
aqidah setiap kelompok dan menyingkap rahasia cara pikir setiap golongan, agar aku bisa
membedakan antara kelompok yang memperjuangkan kebenaran dan kelompok yang
memperjuangkan kebathilan, agar bisa membedakan antara pengikut sunnah dan pencipta bid‘ah‖.
Al-Ghazali dan Tasawuf
Bahwa Al-Ghazali adalah ulama‘ besar yang sanggup menyusun kompromi antara syari‘at dan hakikat
atau tasawuf menjadi bangunan baru yang cukup memuaskan kedua belah pihak, baik dari kalangan
syar‘I ataupun lebih-lebih kalangan sufi.
Berbagai macam buku yang membahas tentang sepak terjang Al-Ghazali yang tumbuh kembang pada
masa dimana banyak muncul mazhab dan goolngan. Ketika itu, beragam kecenderungan berfikir, baik
yang bernuansa agama maupun rasio, berbenturan dan beradu argumentasi. Al-Ghazali merasakan
dirinya di antara mazhab yang terpecah belah, kelompok-kelompok perusak, filsafat asing dan bid‘ah-
bid‘ah pemikiran. Sehigga tergambar dalam bait kata-katanya yang begitu menggugah hati dengan
gemuruh semangat dan keberanian;
Dengan demikian tidak ayal al-Ghazali merasakan dirinya berhadapan dengan samudera luas, dengan
gulungan ombak yang sangat dahsyat dan dalam. Dia tidak memposisikan dirinya sebagai
―penggembira‖ yang hanya ikut-ikutan dalam gelombang dahsyat itu. Dia tidak merasa takut
terhadap luasnya samudera, kedalaman dasar samudera dan besarnya gelombang.
Dasar ajaranTasawuf adalah cinta rindu untuk berhubungan dengan kekasihnya Allah SWT, dan
berasik-maksyuk dengan Dia. Perkembangan yang cukup menarik adalah timbulnya kesadaran dari
dalam untuk memoderasi ajaran Tasawuf, dan untuk mengeliminir konflik antara syari‘at dan tasawuf
atau hakikat. Upaya ini walaupun tidak akan berhasil memuaskan sepenuhnya, namun cukup
konstruktif dan positif. Pertentangan antara hakikat dan syari‘ah bisa diperkecil. Namun sebaliknya
menimbulkan konflik ke dalam antara golongan yang lebih ortodoks dengan sufisme murni yang lebih
heterodoks (pantheis). Disamping itu kelemahan yang mendasar dari kompromi ini, umumnya
terletak pada penghargaan terhadap Tasawuf (hakikat) selalu dipandang lebih tinggi dari Syari‘at. Al-
Ghazali misalnya membagi iman menjadi tiga tingkat, dan yang paling tinggi adalah para arifin (sufi).
Ajaran ini diterangkan sebagai berikut;
―Keimanan tingkat awal, imannya orang-orang awam, yakni iman dasar taklid.
Tingkat kedua, imannya para mutakallimin (teolog), atas dasar campuran (taklid) dengan sejenis
dalil.
Tingkatan ini masih dekat dengan golongan awam.
Tingkat ketiga, imannya para arifin (sufi) atas dasar pensaksian secara langsung dengan perantara
nurul yaqin.(ihya‘ ‗ulumuddin, III, hal. 15).
Setelah Al-Ghazali melihat bahwa ahli ilmu kalam, filosof dan kaum Batiniyah tidak mampu
mengantarkannya mencapai keyakinannya dan hakikat, maka dia melirik tasawuf yang menurut
pandangannya adalah harapan terakhir yang bisa memberikannya kebahagiaan dan keyekinan. Ia
mengatakan, ―setelah aku mempelajari ilmu-ilmu ini (kalam, filsafat, dan ajaran bathiniyah), aku
mulai menempuh jalan para sufi.‖
Para sufi banyak berbicara tentang kasyf dan mu‘ayanah, mampu berhubungan dengan alam malakut
dan belajar darinya secara langsung, mampu mengetahui lauhul-mahfuzh dan rahasia-rahasia yang
dikandungnya. Namun, bagaimanakah caranya agar manusia mampu mendapatkan kasyf dan
mu‘ayanah? Para sufi menjawab, caranya dengan menuntut ilmu dan mengamalkan ilmu yang
didapatkan. Al-Ghazali mengatakan, ―Aku tahu bahwa tarekat mereka menjadi sempurna dengan ilmu
dan amal‖
Jalan pertama, yaitu Ilmu. Al-Ghazli mulai mendapatkan ilmu kaum sufi dari kitab Qut Al-Qulub
Mu‘amalah Al-Mahbub karya Abu Thalib Al-Makki dan kitab Ar-Ri‘ayah li Huquq Allah karya Harits Al-
Muhasibi, serta ucapan-ucapan pucuk pimpinan sufi semisal Al-Junaidi, As-Syibli, Al-Busthami, dan
lain-lain. Al-Ghazali mengatakan, ―Mendapatkan ilmu Tasawuf bagiku lebih mudah dari pada
mengamalkannya. Aku mulai mempelajari ilmu kaum sufi dengan menelaah kitab-kitab dan ucapan-
ucapan guru-guru mereka. Aku mendapatkan ilmu dengan cara mendengar dan belajtar. Nampaklah
bagiku bahwa keistimewaan guru besar sufi tidak mungkin digapai dengan cara belajar, tetapi
dengan cara dzauq, hal, dan memperbaiki sifat diri.‖
Jalan kedua, yaitu dengan cara Tahalli (menghias diri dengan sifat-sifat utama), Tkhalli
(membersihkan firi dari sifat-sifat yang rendah dan tercela) agar manusia dapat memberesihkan hati
dari pikiran selain Allah dan menghias hati dengan berzikir kepadaNya. Al-Ghazalai mengatakan,
―Adapu manfaat yang dicapai dari ilmu sufi adalah terbuangnya aral yang merintangi jiwa,
mensucikan diri dari akhlaknya yang tercela dan sifatnya yang kotor, hingga dengan jiwa yang telah
bersih itu hati menjadi kosong dari selain Allah dan dihiasi dengan dzikir kepada Allah.‖
Di dalam kitab-kitab Ihya‘ ‗Ulumuddin, Al-Ghazali menulis, ―Bagi hati, ada dan tiadanya sesuatu
adalah sama. Lantas, bagaimanakah hati meninggalkan semua urusan Dunia? Demi Allah, ini adalah
jalan yang sangat sukar; jarang sekali ada manusai yang sanggup melakukannya‖
Cukup lama Al-Ghazali berada dalam situasi tarik menarik antara dorongan hawa nafsu dan panggilan
akhirat, hingga akhirnya ia merasa dirinya tidak lagi harus memilih, tetapi dipakasa untuk
meninggalkan Bagdad. Kini lidahnya menjadi berat dan dirinya merasa bosan mengajar. Keadaan ini
membuat hatinya sedih dan kondisi fisiknya lemah, sampai-sampai dokter putus asa mengobatinya.
Para dokter mengatakan, ―Penyakitnya bersumber dari hati dan merembet ke tubuhnya. Penyakitnya
tidak bisa diobati kecuali mengistirahatkan pikiran dari factor-faktor yang membuatnya sakit‖
―Disaat menyadari ketidak mampuan dan semua upaya telah gagal, akupun mau tak mau harus
kembali kepada Allah dalam keadaan yang terpaksa dan tidak mempunyai pilihan lagi. Allah-yang
menjawab doa yang terpaksa jika berdoa-mengabulkan niatku, sehinngga kini terasa mudah bagiku
meninggalkan pangkat, harta, anak, dan teman.‖
Sesudah mengalami masa-masa keraguan yang cukup rumit, baik dalam filsafat ataupun
penggunaannya dalam Ilmu Kalam, akhirnya justru mendapatkan kepuasan dalam penghayatan
kejiwaan dalam Sufisme, yakni mempercayai kemutlakan dalil kasyfi.[12] Hal ini merupakan
keunikan-keunikan atau keanehan al-Ghazali. Mungkin karena pengaruh lingkungan keluarga dan
masyarakat Persi masa itu yang merupakan lahan yang subur bagi perkembangan pemikiran dan
kehidupan sufisme. Agaknya beliau telah sejak kecil punya penilaian positif terhadap ajaran sufisme.
Karena memang beliau melihat dan menghayati betapa institusi tasawuf dapat memperdalam
keyakinan dan perasaan agama yang mendalam, serta dapat membina akhlaq yang luhur. Dan
ternyata akhirnya Al-Ghazali jadi propagandis sufisme yang paling bersemangat dan paling sukses.
Misalnya, tetntang kehidupan para sufi dan tasawuf yang digambarkannya:
―Sungguh aku mengetahui secara yakin bahwa para sufi itulah orang-orang yang benar-benar telah
menempuh jalan Allah SWT, secara khusus. Dan bahwa jalan mereka tempuh adalah jalan yang
sebaik-baiknya, dan laku hidup mereka adalah yang paling benar, dan akhlaq adalah yang paling suci.
Bahkan seandainya para ahli pikir dan para filosof yang bijak, dan ilmu para ulama yang berpegang
pada rahasia syari‘at berkumpul untuk menciptkan jalan dan akhlaq yang lebih baik dari apa yang ada
pada mereka(para sufi) tidak mungkin bisa menemukannya. Lantaran gerak dan diam para sufi, baik
lahir ataupun bathin, dituntun oleh cahaya kenabian. Dan tidak ada cahaya kenabian diatas dunia ini,
cahaya lain yang bisa meneranginya.‖(mungqidz min al-Dlalal, hal, 31).
Kemudian soal pendalaman perasaan agama dan pemantapan iman, Al-Ghazali melihat bahwa
tasawuf adalah sarana yang hebat untuk untuk mendukung bagi pendalaman rasa agama
(spiritualitas Islam) dan untuk memantapkan dan menghidupkan iman. Dengan Ilmu kalam orang
baru bisa mengerti tentang pokok-pokok keimanan, namun tidak bisa menanamkan keyakinan yang
mantap dan menghidupkan pengalaman agama. Oleh karena itulah Tasawuflah sarana yang paling
hebat untuk mengobati penyakit formalism dan kekeringan rasa keagamaan ini menurut Al-Ghazali.
Yang menjadi masalah kemudian, bagaimana cara mengawinkan dan mengkrompromikan tasawuf
dengan syari‘at? Atau dengan kata lain bagaimana mengkompromokan syari‘at dan hakikat sehingga
keduanya tidak saling menggusur, akan tetapi justru saling mendukungnya. Persoalan inilah yang
telah cukup lama diangan-angankan oleh para sufi sendiri, bagaimana cara menjembatani dua system
yang tumbuh berdampingan yang sering memancing konflik yang cukup tajam.
Adapun fungsi hakikat itu sendiri terhadap syari‘at adalah sebagaimana digamabarkan Imam Al-
Qusyairi di dalam risalahnya yaitu;
―Syari‘at itu perintah untuk melaksanakan ibadah, sedang hakikat menghayati kebesaran Tuhan
(dalam ibadah). Maka setiap syari‘at yang tidak diperkuat hakikat adalah tidak diterima; dan setiap
hakikat yang tidak terkait dengan syari‘at tak menghasilkan apa-apa. Syari‘at datang dengan
kewajiban pada hamba, dan hakikat memberitakan ketentuan Tuhan. Syari‘at memerintahkan
mengibadahi Dia, hakikat meyaksikannya pada Dia. Syari‘at melakukan yang diperintahkan Dia,
hakikat menyaksikan ketentuannya, kadar-Nya, baik yang tersembunyi maupun yang di luar. (Risakah
Qusyairiyah. Hal, 46)
Disini, Al-Ghazali berupaya membersihkan tasawuf dari ajaran-ajaran asing yang merasukinya, agar
tasawuf berjalan di atas koridor Al-Qur‘an dan As-Sunnah. Ia menolak paham Hulul dan Ittihad
sebagaimana yang di propagandakan oleh al-Hallaj dan lainnya. Al-Ghazali hanya menerima tasawuf
Sunni yang didirikan diatas pilar Al-Qur‘an dan As-Sunnah. Ia berusaha mengembalikan tema-tema
tentang Akhlaq, Suluk, atau Hal pada sumber Islam. Semuanya itu harus mempunyai landasan Al-
Qur‘an dan As-Sunnah.
Satu hal mencolok yang dilakukan Al-Ghazali pada tasawuf adalah upayanya dalam mengalihkan
tema-tema Dzauq (rasa), Tahliq (terbang), Syathahat, dan Tahwil menjadi nilai-nilai yang peraktis. Ia
mengobati hati dan bahaya jiwa, lalu mensucikannya dengan akhlaq yang mulia. Upaya ini nampak
jelas terlihat dalam kitab Al-Ihya‘-nya. Ia bebicara tentang akhlaq yang mencelakakan(al-Muhlikat)
dan akhlaq yang menyelamatkan (al-Munjiyat). ―Al-Muhlikat adalah setiap akhlaq yang tercela
(madzmum) yang dilarang al-Qur‘an. Jiwa harus dibersihkan dari akhlaq yang tercela ini. Al-Munjiyat
adalah akhlaq yang terpuji (mahmud), sifat yang disukai dan sifatnya orang-orang muqarrabin dan
shiddiqin, dan menjadi alat bagi hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhan semesta alam.
Tema ilmu sufi menurut Al-Ghazali adalah Dzat, sifat da perbuatan Alah SWT. Adapun buah dari
pengetahuan tentang Allah adalah timbulnya sikap mencintai Allah, karena cinta tidak aka muncul
tanpa ―pengetahuan‖ dan perkenalan. Buah lain dari pengetahuan tentang Allah adalah ―tenggelam
dalam samudra Tauhid‖, karena seorang ‗arif tidak melihat apa-apa selain Allah, tidak kenal selain
Dia, di dalam wujud ini tiada lain kecuali Allah dan perbuatan-Nya. Tidak ada perbuatan yang dapat
dilihat manusia kecuali itu adalah perbuatan Allah. Setiap alam adalah ciptaan-Nya. Barang siapa
melihat itu sebagai hasil perbuatan Allah, maka ia tidak meluhat kecuali dalam Allah, ia tidak menjadi
arif kecuali demi Allah, tidak mencintai kecuali Allah SWT. Imam Al-Ghazali menambahkan, ―Mereka
melatih hati, hingga Allah memperkenankan melihatNya. Sementara itu, tasawuf dilakukan dengan
memegang teguh dan mengamalkan Al-Qur‘an dan As-Sunnah.‖
Sehingga dalam perilaku dan ucapannya, Al-Ghazali teguh memegangi syari‘at. Ia mengatakan,
―seorang arif sejati mengatakan, ―jika kamu melihat seorang manusia mampu terbang di awang-
awang dan mampu berjalan di atas air, tetapi ia melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
syari‘at, maka ketahuilah dia itu setan.‖
Bahkan dengan terang-terangan dia menolak dan melawan mereka deangan berbagai alasan dan
dalil. Secara terus terang menyatakan seseorang yang telah mendapatkan penyingkapan (kasyf) dan
penyaksian (musyahadah) tidak layak mengeluarkan suatu ucapan yang bertentangan dengan aqidah
Islam, yakni aqidah tauhid murni yang membedakan mana Tuhan dan mana hamba, serta
menegaskan bahwa Tuhan adalah Tuhan dan hamba adalah hamba. Itulah aqidah yang dipegang
teguh Al-Ghazali.[21]Al-Ghazali mengatakan bahwa ungkapan-ungkapan yang diucapkan oleh kaum
sufi itu boleh jadi masuk ke dalam kategori imajinasi (tawahhun) karena mereka kesulitan dengan
kata-kata tentang kebersatuan yang telah mereka capai. Atau, boleh jadi, penggunaan istilah-istilah
itu masuk kerangka pengembangan dan perluasan istilah yang sesuai dengan tradisi sufi dan para
penyair. Mereka biasanya meminjam istilah yang paling mudah dipahami, seperti kata penyair
berikut; ―Aku adalah yang turun, dan yang turun adalah aku juga. Kami adalah ruh yang bersemayam
dalam satu badan‖.
Lebih jauh, Al-Ghazali mengambil kesimpulan secara umum denga memberikan catatan penting yang
menyatakan bahwa kebersatuan dengan Tuhan (ittihad) secara rasional tidak mungkin terjadi. Dan
Al-Ghazali tidak membahas lebih lanjut ihwal makrifat intuitif (al-ma‘rifah adz-dzawiqiyyah), yang
merupakan konsep utama tasawufnya. Sebab, Al-Ghazali, sebagaimana di katakana oleh Ibnu Thufail,
telah terasah dengan berbagai ilmu dan terpoles dengan ma‘rifat. Karena itu, pembahasan Al-Ghazali
tentang konsep ma‘rifat senantiasa berada dalam batas-batas agama. Ia tidak pernah membiarkan
dirinya hanyut dalam ucapan orang lain.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa tasawuf menurut Al-Ghazali adalah mengosongkan hati dari segala
sesuatu selain Allah, menganggap rendah segala sesuatu selain Allah, dan akibat dari sikap itu
mempengaruhi pekerjaan hati dan anggota badan.
Al-Ghazali dan Syari‘at
Sebagaimana dipaparkan di atas tentang kehidupan Al-Ghazali bahwa, kehidupannya diliputi
gelombang pemikiran yang sangat dahsyat sehingga membuat Al-Ghazali terombang-ambing dengan
keyakinannya, maka dengangan demikian terlontarlah kata-katanya yang bijak bahwa, ―hingga
akhirnya ia merasa dirinya tidak lagi harus memilih, tetapi harus dipakasa untuk meninggalkan
Bagdad. Kini lidahnya menjadi berat dan dirinya merasa bosan mengajar. Keadaan ini membuat
hatinya sedih dan kondisi fisiknya lemah, sampai-sampai dokter putus asa mengobatinya. Para dokter
mengatakan, ―penyakitnya bersumber dari hati dan merembet ke tubuhnya. Penyakitnya tidak bisa
diobati kecuali mengistirahatkan pikiran dari faktor-faktor yang membu atnya sakit‖
Mengenai goncangan kepercayaan yang dipandang sesat dari ajaran Syi‘ah Bathiniyah atau yang
beliau sebut golongan Ta‘limiyah, yang mengharuskan percaya kepada iman-iman yang dipandang
ma‘sum (terpelihara dari kesalahan), Al-Ghazali menganjurkan agar masyarakat muslim lebih baik
beriman kepada Nabi Muhammad yang memang diwajibkan seluruh muslim langsung beriman
kepada Nabi, dan bukannya iman-iman kepada penyebar bid‘ah
Dari susunan Ihya‘ ‗Ulum al-Dien tergambar pokok pikiran Al-Ghazali mengenai hubungan syariat dan
hakekat atau tasawuf. Yakni sebelum mempelajari dan mengamalkan tasawuf orang harus
memperdalam ilmu tentang syari‘at dan aqidah telebih dahulu. Tidak hanya itu, dia harus
konsekuwen menjalankan syari‘at dengan tekun dan sempurna. Karena dalam hal syari‘at seperti
shalat, puasa dan lain-lain, di dalam ihya‘ diterangkan tingkatan, cara menjalankan shalat, puasa, dan
sebagainya. Yakni sebagai umumnya para penganut tasawuf dalam ihya‘ dibedakan tingkatan orang
shalat antara orang awam, orang khawas, dan yang lebih khusus lagi. Demikian juga puasa, dan
sebagainya. Sesudah menjalankan syari‘at dengan tertib dan penuh pengertian, baru pada jilid ketiga
dimulai mempelajari tarekat. Yaitu tentang mawas diri, pengendalian nafsu-nafsu, dan kemudian lau
wiridan dalam menjalankan dzikir, hingga akhirnya berhasil mencapai ilmu kasyfi atau penghayatan
ma‘rifat.
Tasawuf dan Syari‘at
Salah satu tuduhan yang kerap dialamatkan kepada tasawuf adalah bahwa tasawuf mengabaikan
atau tidak mementingkan syari‘at. Tuduhan ini berlaku hanya bagi kasus-kasus tertntu yang biasanya
terdapat dalam tasawuf tipe ―Keadaan Mabuk‖(sur, intoxication), yang dapat membedakan dari
tasawuf tipe ―keadaan-tidak-mabuk‖(sahw, sobiety). ―Keadaan Mabuk‖ dikuasai oleh persaan
kehadiran Tuhan: para sufi melihat Tuhan dalam segala sesuatu dan kehilangan kemampuan untuk
membedakan makhluq-makhluq. Keadaan ini disertai oleh keintiman (uns), kedekatan dengan Tuahn
yang mencintai. ―keadaan-tidak-mabuk‖ dipenuhi oleh rasa takut dan hormat (haybah), rasa bahwa
Tuhan betapa agung, perkasa, penuh murkan dan jauh, derta tidak perduli pada persoalan-persoalan
kecil umat manusia.
Para sufi ―yang mabuk‖ merasakan keintiman denga Tuhan dan sangat yaqin pada kasih sayangNya,
sedangkan para sufi ―yang-tidak-mabuk‖ dikuasai rasa takut dan hormat kepada Tuhan dan tetap
khawatir terhadap kemurkaanNya. Yang pertama cenderung kurang mementingkan syari‘at dan
menyaatkan terang-terangan persatuan denagan Tuhan, sedangkan yagn kedua memelihara
kesopanan (adab) terhadap Tuhan. Para sufi yang, dalam ungkapan Ibn al-‗Arabi, ―melkihat dengan
kedua mata‖ selalu memelihara akal dan kasyf (penyingkakpan intuitif) dalam keseimbangan yang
sempurna dengan tetap mengakui hak-hak ―yang tidak-mabuk‖ dan ―yang-mabuk.‖
Tuduhan bahwa tasawuf mengabaikan syari‘at tidak dapkat diterima apabila ditujukan kepada
tasawuf tipe ―keadaan-tidak-mabuk‖. Pasalnya, tasawuf tipe ini sangat menekankan pentingnya
syari‘at. tasawuf tidak dapat dipisahkan karena bagi para penganutnya syri‘at adalah jalan awal yang
harus ditempuh untuk menuju tasawuf.
Dalam suatu bagian Al-Futuhat Al-Makkiyah, Ibn Al-‗Arabi menyatakan, ―jika engkau betanya apa itu
tasawuf? Maka kami menjawab, tasawuf adalah mengikatkan diri kepada kelakuan-kelakuan baik
menurut syri‘at secara lahir dan batin dan itu adalah akhlaq mulia. Ungkapan-ungkapan kelakuan baik
menurut syari‘at dalam perkataan Ibn al-‗Arabi ini menunjukkan bahwa tasawuf harus berpedoman
pada syari‘at. Menurut sufi ini, syari‘at adalah timbangan dan pemimpin yang harus di ikuti dan
disikuti oleh siapa saja yang mengigninkan keberhasialan tasawuf. Sebagai mana Ibn al‘Arabi, Hussen
Naser, seorang pemikir dari Iran yang membela tasawuf tipe ―keadaan-tidak-mabuk‖berulangkali
menekankan bahwa tidak ada tasawwuf tanpa syari‘at.
Iskam sebagai agama yang sngat menekankan keseimbangan memanifestasikan dirinya dalam
kesatuan syari‘at (hukum Tuahan) dan tharikat (jalan spiritual), yang sering disebut sufisme atau
tasawuf. Apabila syari‘ata adalah dimensi eksoteris Islam, yang kebih banyak berurusan aspek
lahiriyah, maka tharikat adalah dimensi esoteric Islam, yang lebih banyak berurusan dengan aspek
bathiniyah. Pentingnya menjaga keatuan syari‘at dan tharikat dituntut oleh kenyataan bahwa segala
sesuatu dialam ini, termasuk manusia, mempunyai aspek lahitaiyah dan bathiniyah.
Islam adalah suatu Agama yang mempunyai ajaran yang amat luas. Ajaran-ajaran Islam itu
dinamakan Syari‘at Islam. Syari‘at Islam mencakup segenap peraturan-peraturan Allah SWT, yang
dibawa/disampaikan oleh Nabi Muhammad saw, untuk seluruh manusia, dalam mengatur hubungan
manusia dengan Tuhan, hubungan menusia sesamanya dan hubungannya dengan makhluk lain. Dan
peraturan itu berfaedah untuk untuk mensucikan jiwa manusia danmenghiasinya dengan sifat-sifat
yang utama. Inilah pengertian syari‘at yang biasa dipakai oleh para Ulama‘ Salaf.
Tasawuf adalah satu cabang dari Syari‘at Islam, seperti halnya dengan Tauhid(aqidah) dan fiqih yang
merupakan cabang dari Syari‘at Islam. Seperti di dalam hadist yang diriwayatkan dari Umar ra, yang
mengisayaratkan tiga unsure dasar syari‘at Islam tentang Islam, Iman dan Ihsan.
Ihsan termasuk amal hati dalam hubungan dengan ma‘bud(Tuhan). Soal ini tidak dipelajari di dalam
ilmu kalam dan fiqh, tetapi dibicarakan di dalam Tasawuf. Adapun yang berkenaan dengan amal lahir
seperti shalat, puasa, zakat dan haji, itulah yang dipelajari dalam ilmu fiqh, yang menyangkut soal
aqidah dipelajari di dalam ilmu Kalam.
Selain dari Ihsan, tasawuf juga membahas tentang hubngan manusia dengan sesamanya yang
disebut akhlaq, seperti halnya dengan fiqh selain membahas tentang rukun Islam ia juga membahas
tentang muamalat maliah, jinayat, munahkat dan qoda‘, karena persoalan-persoalan ini erat
hubungannya dengan maslah pokok yang disebutkan Nabi diatas(Islam, Iman, Ihsan). Sebagai
contoh adalah tentang penyakit dengki(hasad). Dengki menurut hadist Rasul dapat memakan amal
seprti api memakan kayu bakar. Dari hadist ini (tentang Islam, Iman, Ihsan)dapat dipahamkan bahwa
dengki yang merusak hubungan dengan sesame manusia juga dapat merusak hubungan dengan
Tuhan. Karena itu masalah akhlaq yang tercela dan akhlaq yang terpuji yang bertumbuh di dalam
hati dapat dipelajari dalam ilmu Tasawuf. Dengan ini jelas, betapa kedudukan Tasawuf denga
rangkaian syari‘at Islam.
Tasawuf Islam tidak akan ada kalau tidak ada Tauhid. Tegasnya tiada guna pembersihan hati kalau
tidak beriman. Tasawuf Islam sebenarnya adalah hasil dari aqidah yang murni dan kuat yang seseuai
dengan kehendak Allah dan RasulNya.
Sungguh sudah banyak penganut Tasawuf yang tergelincir di bidang ini. Banyak para Shufi yang
telah mengaku dirinya Tuhan atau manifestasi Tuhan. Ada pula yang mengaku bahwa para Nabi lebih
rendah derajatnya dari para wali. Ada yang mengi‘tikadkan bahwa ibadat-ibadat yang kita kerjakan
tidak sampai kepada Tuhan kalau tidak dengan merabithahkan guru lebih dahulu. Dan bayak macam-
macam I‘tiqad yang sesat yang bersumber dari akal fikir manusia.
Mereka tidak melakukan segala I‘tiqad-I‘tiqad kafir dan musyrik ini kurang mendalami jiwa Tauhid
Islam yang murni/yang belum bercampur dengan filsafat pemikiran manusia. Oleh sebab itu untuk
mendalami tasawuf Islam terlebih dahulu harus dimatagkan pengertian Tauhid Islam. Amal Tasawuf
akan rusak binasa kalau tidak didahului oleh pengertian tentang Tauhid.
Demikianlah hubungan antara ilmlu Tasawuf dengan ilmu Tauhid (syari‘at). Tasawuf tidak aka nada
kalau tidak ada Tauhid dan Tauhid tidak akan tumbuh subur dan berbuah lebat kalau tidak ada
Tasawuf.
Kodifikasi TASAWUF dengan SYARI‘AT dalam Kacamata AL-GHAZALI
Imam Al-Ghazali (w, 111 M.) adalah ulama‘ ahli syari‘at penganut mazhab syafi‘I dalam hukum fiqh,
dan seorang teolog pendukung Asy‘ari yang sangat kritis, namun sesudah lamjut usia ia mulai
meragukan dalail akal yang menjadi tiang tegaknya mazhab asy‘ariah di samping dalil wahyu.
Sesudah mengalami keraguan terhadap kemampuan akal baik dalam filsafat ataupun penggunaannya
dalam ilmu kalam, akhirnya justru mendapat kepuasan dalam penghayatan kejiwaan dalam sufisme,
mempercayai kemutlakan dalail kasyf. Hal ini merupakan keunikan atau keanaehan al-Ghazali.
Mungkin karena pengaruh lingkungan keluarga dan masyarakat Persi masa itu yang merupakan lahan
yang subur bagi perkembangan pemikiran dan kehidupan sufisme. Agaknya beliau telah sejak kecil
punya penilaian positif terhadap ajaran sufisme. Karena memang beliau melihat dan menghayati
betapa institusi tasawuf dapat memperdalam keyakinan dan perasaan agama yang mendalam, serta
dapat membina akhlaq yang luhur. Dan ternyata akhirnya Al-Ghazali jadi propagandis sufisme yang
paling bersemangat dan paling sukses. Misalnya, tetntang kehidupan para sufi dan tasawuf yang
digambarkannya:
―Sungguh aku mengetahui secara yakin bahwa para sufi itulah orang-orang yang benar-benar telah
menempuh jalan Allah SWT, secara khusus. Dan bahwa jalan mereka tempuh adalah jalan yang
sebaik-baiknya, dan laku hidup mereka adalah yang paling benar, dan akhlaq adalah yang paling suci.
Bahkan seandainya para ahli piker dan para filosof yang bijak, dan ilmu para ulama yang berpegang
pada rahasia syari‘at berkumpul untuk menciptkan jalan dan akhlaq yang lebih baik dari apa yang ada
pada mereka(para sufi) tidak mungkin bisa menemukannya. Lantaran gerak dan diam para sufi, baik
lahir ataupun bathin, dituntun oleh cahaya kenabian. Dan tidak ada cahaya kenabian diatas dunia ini,
cahaya lain yang bisa meneranginya.‖(mungqidz min al-Dlalal, hal, 31).
Kutipan di atas menunjukkan betapa tingginya nilai tasawuf di mata al-Ghazali. Dan memang hingga
masa itu tasawuf masih dikelola oleh golongan elit (khawas), belum merakyat. Jadi kualitasnya masih
bias terkendali. Hanya timbulnya kecenserungan kea rah phanteis atau union-mistik dan
penyimpangan terhadap syari‘at yang meulai memperihatinkan dan menimbulkan ketegangan. Hal ini
tercermin dalam judul risalah otobiografi al-Ghazali al-Munqidz min ad-Dlalal, yang bias di
terjemahkan pembebas dari kesesatan. Dari segi sufuisme buku tersebut mengkritik kesesatan
peafsiran para penganut paham hulul, ittihad, dan wushul, dengan pernyataannya:
―ringkasnya, penghayatn makrifat itu memuncak sampai yang demikian dekatnya pada Allah sehingga
ada segolongan mengatakan hulul, segolongan lagi mengatakan ittihad, dan ada pula yang
mengatakan wushul, kesemua ini salah. Dan telah kujelaskan segi kesalahan mereka dalam
maqshudu al-Aqsha(Tujuan yang Tinggi).Al-Munqidz min al-Dlala, hal. 32‖
Mengenai goncangan kepercayaan yang dipandang sesat dari ajaran Syi‘ah Bathiniyah atau yang
beliau sebut golongan Ta‘limiyah, yang mengharuskan percaya kepada imam-imam yang dipandang
ma‘sum (terpelihara dari kesalahan), Al-Ghazali menganjurkan agar masyarakat muslim lebih baik
beriman kepada Nabi Muhammad yang memang diwajibkan seluruh muslim langsung beriman
kepada Nabi, dan bukannya iman-iman kepada penyebar bid‘ah. .
Sedang mengenai masalah ajaran-ajaran dalam sufisme, dalam munqidz telah ditunjikkan paham-
paham yang sesat. Agar masyarakat tidak tersesat kepaham neka-neka al-Ghazali mencoba
membatasi penghayatan makrifat dalam sufisme agar dimoderasi hanhya sampai ke penghayatan
yang amat dekat dengan Tuhan, tidak terjerumus ke paham hulul, ittihad, dan whusul. Dengan
demikian berarti al-Ghazali menolak penghayatan makrifat kea rah puncak, yaitu menolak fana‘ al-
fana‘. Jadi dalam mengamalkan tasawuf dibatasi dan dimoderasi hanya kepada penghayatan fana‘
(ecstasy) yang tengah-tengah, yang masih menyadari adanya perbedaan yang fundamental antara
manusia dan Tuhan yang transenden, mengatasi alam semesta. Yaitu hanya samkpai penghayatan
yang dekat (qurb) dengan Tuhan, sehingga kesadaran diri sebagai yang sedang makrifat tetap
berbeda dengan Tuhan yang dimakrifatinya.
Kemudian soal pendalaman perasaan agama dan pemantapan iman, Al-Ghazali melihat bahwa
tasawuf adalah sarana yang hebat untuk untuk mendukung bagi pendalaman rasa agama
(spiritualitas Islam) dan untuk memantapkan dan menghidupkan iman. Dengan ilmu kalam orang
baru bisa mengerti tentang pokok-pokok keimanan, namun tidak bisa menanamkan keyakinan yang
mantap dan menghidupkan pengalaman agama. Oleh karena itulah tasawuflah sarana yang paling
hebat untuk mengobati penyakit formalism dan kekeringan rasa keagamaan ini menurut Al-
Ghazali.[40] Yang menjadi masalah kemudian, bagaimana cara mengawinkan dan mengkompromikan
tasawuf dengan syari‘at itu? Atau dengan kata lain bagaimana mengkompromikan syari‘at dan hakikat
sehingga keduanya tidak saling menggusur, akan tetapi justru saling mendukung.?
Kebutuhan ini wajar, karena para sufi sendiri mengembangkan ajaran mereka adalah untuk
menyemarakkan kehidupan agama, dan bukan untuk merusaknya. Namun bagaimana caranya, itu
yang belum bisa di kemukakan oleh para ulama‘ sufi. Imam al-Qusyairi (w, 1074M.) dalam risalahnya
baru bisa merumuskan harapan sebagai berikut:
―Syari‘at itu perintah untuk melaksanakan ibadah, sedang hakikat menghayati kebesaran Tuhan
(dalam ibadah). Maka setiap syari‘at yang tidak diperkuat dengan hakikat tidak diterima; dan setiap
hakikat yang tidak terkait dengan syari‘at, pasti tak menghasilkan apa-apa. Syari‘at dating dengan
kewajiban pada hamba, dan hakikat memberikan ketentuan Tuhan. Syari‘at memerintahkan
mengibadahi pada Dia. Syari‘at melakuakan yang diperintahkan Dia, hakikat menyaksikan
ketentuanNya, kadarNya, baik yang tersembunyi ataupun yang tampak diluar. (Risalah Qusyairiyah,
hal. 46)‖
Walaupun cita untuik menjalin keselarasan pengamalan taswuf dengan syari‘at telah di cetuskan dan
menjadi keprihatinan ulama‘-ulama‘ sufi sebelumnya, namun baru al-Ghazali yang secara konkrit
berhasil merumuskan bangunan ajarannya. Konsep al-Ghazali yang mengkompromikan dan menjalin
secara ketat antara pengalaman sufisme denga syari‘at disusun dalam karyanya yang paling
monumental Ihya‘ Ulumu ad-Din.
Dari susunan Ihya‘ ‗Ulum al-Dien tergambar pokok pikiran Al-Ghazali mengenai hubungan syariat dan
hakekat atau tasawuf. Yakni sebelum mempelajari dan mengamalkan tasawuf orang harus
memperdalam ilmu tentang syari‘at dan aqidah telebih dahulu. Tidak hanya itu, dia harus
konsekuwen menjalankan syari‘at dengan tekun dan sempurna. Karena dalam hal syari‘at seperti
shalat, puasa dan lain-lain, di dalam ihya‘ diterangkan tingkatan, cara menjalankan shalat, puasa, dan
sebagainya. Yakni sebagai umumnya p[ara penganut tasawuf dalam ihya‘ dibedakan tingkatan orang
shalat antara orang awam, orang khawas, dan yang lebih khusus lagi. Demikian juga puasa, dan
sebagainya. Sesudah menjalankan syari‘at dengan tertib dan penuh pengertian, baru pada jilid ketiga
dimulai mempelajari tarekat. Yaitu tentang mawas diri, pengendalian nafsu-nafsu, dan kemudian lau
wiridan dalam menjalankan dzikir, hingga akhirnya berhasil mencapai ilmu kasyfi atau penghayatan
ma‘rifat.
Tema ilmu sufi menurut Al-Ghazali adalah Dzat, sifat da perbuatan Alah SWT. Adapun buah dari
pengetahuan tentang Allah adalah timbulnya sikap mencintai Allah, karena cinta tidak aka muncul
tanpa ―pengetahuan‖ dan perkenalan. Buah lain dari pengetahuan tentang Allah adalah ―tenggelam
dalam samudra Tauhid‖, karena seorang ‗arif tidak melihat apa-apa selain Allah, tidak kenal selain
Dia, di dalam wujud ini tiada lain kecuali Allah dan perbuatan-Nya. Tidak ada perbuatan yang dapat
dilihat manusia kecuali itu adalah perbuatan Allah. Setiap alam adalah ciptaan-Nya. Barang siapa
melihat itu sebagai hasil perbuatan Allah, maka ia tidak meluhat kecuali dalam Allah, ia tidak menjadi
arif kecuali demi Allah, tidak mencintai kecuali Allah SWT. Imam Al-Ghazali menambahkan, ―mereka
melatih hati, hingga Allah memperkenankan melihatNya. Sementara itu, tasawuf dilakukan dengan
memegang teguh dan mengamalkan Al-Qur‘an dan As-Sunnah.
Sehingga dalam perilaku dan ucapannya, Al-Ghazali teguh memegangi syari‘at. Ia mengatakan,
―seorang arif sejati mengatakan, ―jika kamu melihat seorang manusia mampu terbang di awang-
awang dan mampu berjalan di atas air, tetapi ia melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
syari‘at, maka ketahuilah dia itu setan.‖
Muroqobah Fokus pada Allah
Wahai penempuh jalan Allah, hendaknya Anda menetapi jalan akhirat melalui ajaran yang telah
diperintahkan kepadamu dalam aktivitas lahiriahmu. Bila Anda telah melakukannya, maka
duduklahdalam hamparan Muraqabah. Raihlah dengan penjernihan batinmu, hingga tak tersisa
sedikitpun yang menghalangimu. Berikanlah hak keseriusan dan ketekunanmu, lalu minimkanlah
pandanganmu untuk melihat lahiriahmu. Apabila Anda ingin dibukakan rahasia batinmu, untuk
mengetahui rahasia alam malakut Tuhanmu berupa intuisi ruhani yang datang kepadamu yang
kemudian dihalangi oleh bisikan-bisikan yang manjauhkan dari keinginanmu, maka ketahuilah
pertama-pertama, bahwa kedekatanTuhanmu pada dirimu merupakan ilmu yang langsung berkaitan
dengan hatimu, melalui pengulangan terus menerus pandangan dalam menarik kemanfaatanmu dan
menolak bahayamu. Lihatlah firman Allah Swt.: ―Adakah sang Khalik selain Allah, yang memberi rizki
kepadamu dari langit dan bumi‖
Sesungguhnya yang dari bumi adalah nafsumu, dan yang dari langit adalah hatimu. Apabila ada
sesuatu yang turun dari langit ke bumi, lalu siapakah yang memalingkan dari dirimu pada selain
Allah: ―Allah mengetahui apa yang ada di dalam bumi dan apa yang keluar darinya, serta apa yang
turun dari langit dan apa yang naik di dalamnya. Dan Allah menyertaimu dimanapun kamu berada.‖
(Qur‘an)
Berikanlah hak kesertaanNya dengan konsistensi ubudiyah kepada-Nya dalam aturan-aturan-Nya.
Tinggalkan kontra terhadap Sifat Rububiyah dalam Af‘al-Nya. Siapa yang kontra kepada-Nya akan
kalah: ―Dan Dia adalah Maha Perkasa di atas hamba-Nya, dan Dia Maha Bijaksana dan Maha
Meneliti.‖
Apa yang saya katakan kepadamu ini sungguh benar: ―Tiada yang muncul dari nafas-nafasmu,
kecuali Allahlah yang mengaturnya, apakah Anda pasrah atau menolak. Karena Anda ingin pasrah
pada suatu waktu, dan Anda mengabaikan, di waktu yang lain. Atau Anda ingin kontra pada suatu
saat, lalu Anda mengabaikan, kecuali yang ada hanya pasrah. Semua itu menunjukkan Rububiyah-
Nya dalam seluruh tindakan-Nya apalagi pada sisi orang yang sibuk dengan menjaga hatinya untuk
meraih hakikat-hakikat-Nya.
Apabila permasalahannya sedmikian rupa, maka berikanlah haknya adab berkaitan dengan apa yang
datang kepadamu, dengan Anda bersaksi terhadap sesuatu dari dirimu bahwa tiada awal kecuali
dengan Awal-Nya, dan tiada yang akhir kecuali dengan Pengakhiran-Nya, tiada dzahir kecuali dengan
Dzahir-Nya, tiada batin kecuali dengan Batin-Nya. Apabila Anda telah sampai pada awalnya awal,
Anda akan melihat, terhadap apa yang dilimpahi-Nya.
Apabila muncul suatu bisikan dari Sang kekasih yang sesuai atau tidak dengan dirimu, yang tidak
diharamkan syariat, maka lihatlah mengapa Allah ciptakan di dalam dirimu melalui pengaruh intuitif
dalam kondisimu. Bila Anda menemukan bnentuk peringatan yang menyadarkan Anda pada Allah
Swt, Anda harus membenarkannya. Itulah adab waktu bagi Anda. Anda jangan kembali pada selain
itu. Apabila Anda tidak menemukan jalan pembenaran, maka tanjakkan diri ke hadapanNya, maka
itulah adab waktu pada dirimu. Namun bila Anda kembali kepada selain jalan itu, berarti Anda telah
salah jalan.
Apabila hal itu tidak muncul dari dirimu, Anda harus bertawakal, ridha dan pasrah. Bila masih belum
menemukan jalan menempuhnya Anda harus berdoa agar bisa menarik menfaat dan menolak
bencana dengan disertai taslim dan pasrah total. Saya peringatkan agar anda tidak berupaya demi
sebuah pilihanmu, karena ikhtiyar demikian merupakan keburukan di mata orang yang memiliki mata
batin.
Dengan demikian ada empat adab:
Adab Tahqiq
Adab Keluhuran
Adab Tawakal
Adab Doa.
Siapa yang mendapatkan hakikat bersama-Nya akan terjaga oleh-Nya.
Siapa yang diluhurkan oleh Allah, cukuplah bersama Allah, tanpa lainNya.
Siapa yang tawakal kepadaNya, ia melepaskan ikhtiar/pilihan dirinya, menyandarkan pada pilihan-
Nya.
Siapa yang mendoa pada-Nya dengan syarat menghadap dan mahabbah pada-Nya, Insya Allah akan
diijabahi menurut kelayakan dari-Nya. Atau doanya tidak diijabahi —jika Dia menghendaki— karena
kehendak doanya tidak membuatnya maslahat. Setiap masing-masing etika ini ada hamparan
keleluasaan.
Hamparan pertama, adalah keleluasaan ―tahqiq‖. Apabila ada sesuatu intuisi (bisikan halus) yang
datang kepadamu tanpa tahqiq, lalu engkau dibukakan sifat-sifat-Nya, maka seharusnyalah Anda
tetap dengan rahasia batin Anda, dan diharamkan Anda menyaksikan selain Allah Ta‘ala.
Hamparan kedua, adalah hamparan keluhuran. Manakala datang intuisi kepadamu, selain keluhuran,
dan Anda dibukakan melalui Af‘al-Nya, maka luhurkanlah dirimu di sana melalui rahasia batinmu.
Anda diharamkan menyaksikan selain Sifat-sifat-Nya, dan Anda sebagai pihak yang menyaksikan dan
disaksikan. Pada tahap pertama adalah fana‘nya penyaksi, kemudian fana‘nya yang disaksikan (Anda
sebagai yang disaksikan dalam fana‘).
Hamparan ketiga, adalah hamparan tawakal. Apabila datang kepadamu suatu intuisi selain tawakal,
saya maksudkan adalah apa yang kami sebut terdahulu, baik Anda senangi atau tidak, dan Anda
dibukakan cacat-cacat bisikan, maka duduklah pada hamparan cinta-Nya, sembari bertawakal pada-
Nya, ridha terhadap yang tampak pada dirimu berupa dampak dari perbuatan-Nya dalam cahaya tirai-
Nya.
Hamparan keempat, adalah hamparan doa. Apabila muncul bisikan intuisi yang lain, lantas Anda
dibukakan bentuk kebutuhan (kefakiran) Anda kepada-Nya, maka Allah telah menunjukkan akan
Kemahakayaan-Nya. Raihlah kefakiran sebagai hamparan, dan waspadalah untuk tidak jatuh dari
derajat ini pada tahap lainnya, dikawatirkan Anda terjerumus dalam makar Allah sementara Anda
tidak tahu.
Minimal, bila Anda mengalami kejatuhan dari derajat tersebut, Anda akan kembali pada diri Anda,
sebagai pengatur atau pemilih yang menyebabkan Anda memuliakan diri Anda, dan selanjutnya tak
ada kondisi ruhani bagi Anda untuk membawanya secara serius dan tekun, baik dalam lahiriyah
maupun batin Anda, dengan mengharapkan agar Anda diberi sebagaimana Allah memberinya. Lalu
bagaimana Anda bisa menentang-Nya, terhadap hal-hal yang Allah tidak berkehendak memberikan
kepadamu.
Maka, dampak paling minimal dalam pintu ini, adalah tuduhan-tuduhan syirik, bahwa Anda telah
menang, padahal sebenarnya tidak sama sekali. Apabila Anda memang menang, lakukanlah
sekehendakmu, dan Anda tidak akan mampu melakukan menurut kehendakmu selamanya. Ini
menunjukkan besarnya ketekunanmu dalam memamahi tindakan-tindakan Allah Swt. Aku tidak akan
ikut pada seorang hamba yang bodoh, atau seorang Ulama yang fasik.
Saya tidak tahu, dimana posisi Anda pada dua sifat ini; apakah pada kebodohan atau kefasikan, atau
kedua-duanya? Kami mohon perlindungan Allah dari pengabaian jiwa dari mujahadah, dan kosongnya
qalbu dari musyahadah. Pengabaian diri akan menolak syariat, dan pengosongan akan menolak
tauhid. Sedangkan Sang Hakim telah membawa syariat dan tauhid. Karena itu tempuhlah dengan
cara menjauhkan diri dari kontra terhadap Tuhanmu, agar menjadi orang yang bertauhid. Amalkanlah
rukun-rukun syariat agar kamu menjadi pelaku Sunnah. Integrasikan keduanya dengan mata hati
yang lembut, maka Anda akan meraih hakikat. Sebagaimana firman-Nya: ―Atau tidakkah cukup
bersama Tuhanmu, bahwa Dia Maha Menyaksikan segalanya?‖
Kemudian bila muncul intuisi dalam muraqabahmu yang tidak disahkan oleh syariat atau pun yang
disahkan syariat, atas apa yang berlalu dari dirimu, maka lihatlah apa yang diperingatkan dan
diwaspadakan kepadamu. Apabila intuisi itu menjadikan Anda ingat kepada Allah, maka adab Anda
adalah mentauhidkan-Nya di atas hamparan KeEsaan-Nya. Namun bila Anda tidak demikian, adab
Anda adalah melihat adanya limpahan karunia-Nya, yang menempatkan dirimu melalui
Kemahalembutan Kasih-Nya. Dan Dia menghiasi dengannya melalui kepatuhan pada-Nya, dengan
mencintai-Nya secera khusus di atas hamparan Kasih-Nya.
Apabila Anda turun dari pintu derajat ini, sementara Anda tidak berkenan di sana, maka adabmu
adalah memandang keutamaan-Nya, karena Dia telah menutupimu atas tindakan maksiat kepada-
Nya, dan tirai itu tidak dibuka untuk makhluk lain. Namun apabila Anda berpaling dari adab ini, dan
Anda ingat akan maksiat Anda, sementara Anda tidak diingatkan dengan tiga adab di atas, maka
seharusnya Anda beradab dengan doa dalam taubat, atau sepadannya, demi meraih ampunan
menurut tindak kejahatan yang anda lakukan, yang merupakan salah satu sisi dari yang dibenci
syariat.
Namun apabila yang datang adalah intuisi ketaatan, lalu Anda datang dan mengingat siapa yang
memberikan limpahan manfaat kepadamu, maka janganlah matamu memandang sejuk karenanya,
tetapi harus mengingat pada Allah Yang memunculkannya. Sebab apabila pandangan mata Anda
sejuk tanpa menyertakan-Nya, berarti Anda telah turun dari derajat hakikat.
Apabila Anda tidak berada pada derajat tersebut, hendaknya Anda menempati pada derajat
berikutnya. Yaitu Anda menyaksikan akan keagungan keutamaan Allah terhadap diri Anda, karena
Anda telah dijadikan sebagai orang yang layak dan pewarisnya berupa rizki kebaikan dari derajat
tersebut. Bahkan diantara tanda-tandanya yang menunjukkan atas kebenarannya. Apabila Anda tidak
menempatinya dan turun di bawahnya, maka Adab Anda adalah merenungkan secara mendalam
pada ketaatan tersebut, benarkah hal itu memang taat yang sebenarnya dan Anda sendiri selamat
dari tuntutan-tuntutan di dalamnya? Ataukah sebaliknya, justru Anda tersiksa karenanya?
Na‘udzubillah! dari segala kebajikan yang kembali pada keburukan. ―Dan tampaklah pada mereka dari
Allah, apa-apa yang tidak mereka perhitungkan.‖
Jika Anda turun dari derajat ini pula kepada derajat lain, maka etika atau adab Anda adalah mencari
keselamatan dari derajat tersebut baik melalui kebaikan maupun keburukannya. Seharusnya tujuan
Anda yang berangkat dari kebajikan Anda lebih banyak dibanding tujuan dari pelajaran keburukan
Anda, apabila Anda masih menginginkan termasuk golongan orang-orang shalih.
Apabila Anda inginkan suatu bagian, sebagaimana yang diberikan kepada wali-wali Allah Swt. Anda
harus menolak semua manusia secara total, kecuali pada orang yang menunjukkan kepada Allah
melalui petunjuk yang benar dan amal yang kokoh yang tidak kontra dengan Al-Qur‘an dan Sunnah.
Berpalinglah dari dunia sepenuhnya, Anda jangan sampai tergolong orang yang ditawari dunia karena
tindakan itu. Namun seharusnya Anda menjadi hamba Allah yang diperintah untuk melawan
musuhNya. Jika Anda berada pada posisi dua karakter ini: berpaling dari dunia dan zuhud dari
manusia, maka tegakkanlah muraqabah (mawas diri untuk fokus kepada Allah, menetapi taubat
dengan penjagaan diri, memohon ampunan kepada Allah melalui kepasrahan dan kepatuhan
terhadap aturan-aturan secara istiqamah.
Penafsiran empat adab tersebut: Adalah hendaknya anda menjadi hamba Allah, dengan cara:
Mewaspadakan hatimu agar tidak melihat di semesta raya ini sesuatu pun selain Allah Swt. Bila anda
merasa meraih ini, akan ada panggilan intusi kebenaran dari Cahaya Kemuliaan, bahwa anda telah
buta dari Jalan Benar, karena darimana anda mampu melakukan Muroqobah?
Hendaknya anda mendengarkan firman Allah Swt, ―Dan Allah adalah Maha Mengawasi segala
sesuatu.‖ Dengan begitu anda merasa malu atas taubat anda yang anda duga sebagai taqarrub,
maka kokohkanlah taubatmu dengan menjaga hatimu. Dan jangan anda pandang bahwa taubat itu
muncul darimu, yang membuat dirimu malah keluar dari jalan yang benar.
Bila anda merasa bahwa semua itu datang dari diri anda, maka akan muncul intuisi ruhani yang
hakiki memanggilmu dari sisi Allah Ta‘ala, ―Bukankah taubat itu datang dariNya dan kembali
padaNya? Sedangkan kesibukanmu yang menjadi sifatmu, adalah hijabmu atas kehendakmu?‖ Maka
disanalah anda memandang sifat dirimu, lalu anda mohon perlindungan kepada Allah Swt, dari sifat
itu. Lantas anda beristighfar dan kembali kepadaNya.
Istighfar itu berarti mencari tutup terhadap sifat-sifat burukmu dengan cara kembali kepada Sifat-
sifatNya.
Apabila anda mampu beristighfar dan kembali, akan muncul pula panggilan hakiki seketika,
―Tunduklah dengan aturan-aturanKu, dan tinggalkanlah penentangan terhadapKu, teguhlah dengan
kehendakKu dengan melawan kehendak dirimu. Karena kehendakmu adalah bentuk pengambil alihan
sifat Ketuhanan atas kehambaanmu. Maka jadilah engkau ―hamba yang benar-benar dikuasai, tidak
meliki kemampuan apa pun.‖ Sebab jika dirimu merasa mempunyai kemampuan, maka justru akan
dibebankan padamu, sedangkan Aku Maha Mengetahui segala sesuatu.‖
Sufi Road : Mencintai Dengan Bershalawat
Bila bicara, kata katanya bagaikan mutiara. Bila diam, dia menyimpan kesejukan. Bila berjalan,
matanya sangat terjaga. BIla berprilaku, dia laksana Al Quran berjalan. Dia bagaikan Malaikat,
memberikan cahaya. Cahaya iman. Jejaknya jadi teladan bagi setiap orang. BIla satu kali namanya di
sebutkan, beribu doa dan rahmat terlimpah atasnya. Atas wujudnyalah, lahir cinta sejati. Cinta suci
yang tak pernah ternodai.
Seorang pemuda mendapatkan surat dari kekasihnya. Sebelum surat itu dibuka, perangkonya di lepas
dan dijilatinya. Lalu dia membalas surat itu dan bercerita kalau perangkonya dia jilati. Karena si
pemuda yakin bahwa sewaktu menempel perangko itu pasti memakai ludah kekasihnya. Jadi hitung
hitung menelan ludah kekasihnya walaupun sudah kering.
Tak lama berslelang datanglah balasan dari si kekasih. Ia menyatakan terimakasih atas kemurnian
cintanya. Tetapi maaf, katanya, yang menempelkan perangko dahulu bukan dia sendiri tetapi tukang
becak yang dia titipi untuk mengeposnya. Keruan saja si pemuda nyengir kecut. Itulah orang yang
sedang dimabuk cinta.
DI tanah Arab, Majnun yang mencintai Layla, disebut gila. Karena dia datang ke rumah Layla dan
menciumi dinding rumah itu sepuas puasnya.
Terhadap cemoohan itu, Majnun menjawabnya dengan puisi:
Aku melewati rumah, rumah Layla
Kucium dinding ini, dinding ini
Tidaklah cinta rumah yang memenuhi hati
Tetapi cinta kepada dia yang tinggal di rumah ini
Sekali lagi, begitulah cinta. Menurut psikolog muslim klasik, Ibnu Qayyim, cinta ditandai dengan
perhatian yang aktif pada orang yang kita cintai dan ada kenikmatan menyebut namanya. Ketika
menyebut atau mendengar orang menyebut, nama kekasih kita, hati kita bergetar. Tiada yang lebih
menyenangkan hati daripada mengingatnya dan menghadirkan kebaikan kebaikannya. JIka ini
menguat dalam hati, lisan akan memuji dan menyanjungnya. Seperti itulah orang orang yang
mencintai Rasulullah.
Segera setelah Nabi wafat, Bilal tidak mau mengumandangkan azan. Akhirnya, setelah didesak oelh
para sahabat, Bilal mau juga. Tetapi masya Allah, ketika sampai pada kata ‗Wa asyhadu anna
Muhammad….‘ Dia berhenti. Suaranya tersekat di tenggorokan. Dia menangis keras. Nama
Muhammad, kekasih yang baru saja kembali ke Rabbul izzati, menggetarkan jantung Bilal. BIlal
bukan tidak mau menyebut nama Rasulullah. Baginya, nama Muhammad adalah nama insan yang
paling indah. Justru karena cintanya kepada Rasulullah, nama beliau sering diingat, disebut dan
dilantunkan.
Berbahagialah orang yang merasa nikmat saat bershalawat. Karena menurut Rasuullah, orang yang
paling dekat dengan beliau di hari kiamat adalah orang yang paling banyak bershalawat (HR
Tirmidzi).
Cukuplah kita simak nasihat Ibnu Athailah ini: Betapa indahnya hidup ini jika engkau isi dengan taat
kepada Allah. Yaitu dengan cara berzikir kepada Allah dan sibuk bershalawat atas Rasulullah pada
setiap waktu disertai oleh kalbu yang ikhlas, jiwa yang bening, niat yang baik dan perasaan cinta
kepada Rasulullah. ―Sesungguhnya Allah beserta para malaikatNya bershalawat atas Nabi. Wahai
orang yang beriman, ucapkanlah shalawat dan salam atasnya‖ (QS Al Azhab 33:56).
Ingin Mimpi bertemu Nabi
Siang itu, dengan wajah muram seorang murid bersimpuh di hadapan syaikhnya. Syaikh, dengan
suara berwibawa bertanya, ―Apa gerangan yang merisaukanmu?‖
―Wahai syaikh, sudah lama saya ingin melihat wajah Rasulullah walau hanya lewat mimpi. Tetapi
sampai sekarang keinginan itu belum terkabul juga‖ jelas is murid.
―Oo..rupanya itu yang engkau inginkan. Tunggu sebentar…‖ Setelah diam beberapa saat, berkatalah
Syaikh:
―Nanti malam, datanglah engkau kemari. Aku mengundangmu makan malam‖
Sang murid mengangguk kemudian pulang ke rumahnya. Setelah tiba saatnya, pergilah dia ke rumah
Syaikh untuk memenuhi undangannya. Dia merasa heran melihat Syaikh hanya menghidangkan ikan
asin.
―Makan, makanlah semua ikan itu. Jangan sisakan sedikitpun!‖ kata Syaikh kepada muridnya.
Karena tergolong murid taat, dia habiskan seluruh ikan asin yang disuguhkan. Selesai makan, dia
merasa kehausan. Dia segera meraih segelas air dingin di hadapannya.
―Letakkan kembali gelas itu!‖ perintah Syaikh. ―Kau tidak boleh minum air itu hingga esok pagi, dan
malam ini kau tidur di rumahku!‖
Dengan penuh rasa heran, diturutinya perintah Syaikh. Malam itu dia tak bisa tidur. Lehernya serasa
tercekik karena kehausan. Dia membolak balikkan badannya hingga akhirnya tertidur karena
kelelahan. Apa yang terjadi? Malam itu dia bermimpi minum air sejuk dari sungai, mata air dan
sumur. Mimpi itu sangat nyata. Seakan akan benar terjadi padanya.
Begitu bangun paginya, dia langsung menghadap Syaikh.
―Wahai guru, bukannya menlihat Rasulullah, saya malah bermimpi minum air‖
Tersenyumlah Syaikh mendengar jawaban muridnya. Dengan bijaksana dia berkata, ―Begitulah,
makan ikan asin membuatmu amat kehausan sehingga kau hanya memimpikan air sepanjang malam.
JIka kau merasakan kehausan semacam itu akan Rasulullah, maka kau akan melihat ketampanannya‖
Terisaklah si murid. Dia sadar betapa cintanya kepada Rasulullah hanyalah sebatas kata. Kerinduan
sebatas pengakuan.
Kondisi si murid adalah kondisi hati kebanyakan kita semua. Cinta pada dunia menutupi cinta kita
pada Nabi. Jujur saja, hati ini tak merasa nikmat saat bershawlawat. Apalagi bergetar. Biasa biasa
saja.
Tetapi kita tak perlu berkecil hati. Yang kita ulas diatas adalah shalawat pecinta, sementara kita
adalah shalawat pemula. Bagi pemula, Syaikh Muzaffer Ozak (penutur cerita mimpi diatas) berpesan,
―Bila kau terus mengulang ulang shalawat dengan ikhlas, hampir pasti akan menjumpai Rasulullah
dan siapapu yang melihatnya hampir pasti akan mendapat syafaatnya‖
Jadi,melantunkan shalawat bagi pemula laksana menanam benih. Mula mula dalam ucapan, lalu
dalam pikiran. Bukankah segala tindakan selalu bermula dari pikiran? Apa yang sedang anda pikirkan
saat ini menciptakan kehidupan masa depan anda. Anda menciptakan hidup anda dengan pikirna
pikiran anda. Apa yang paling anda pikirkan dan fokuskan adalah apa yang akan muncul dalam hati
anda. Apapun yang anda tanam, itulah anda tuai.
―Kau adalah pikiranmu saudaraku! Sisanya adalah tulang dan otot. Jika engkau memikirkan bunga
mawar, engkau adalah taman mawar. Jika engkau memikirkan duri, engkau adalah kayu bakar‖
demikian senandung Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi (2:277-8)
Dengan memperbanyak shalawat, kita ingin pikiran kita jadi ‗taman cinta Rasulullah‘. Kita ingin
tindakan kita memancarkan keharuman akhlak Sang Teladan Segala Zaman.
Para psikolog pun belakangan membuktikan bahwa karakter manusia dapat diubah secara
menyeluruh dengan pengulangan kata kata tertentu. Dna hasil yang dicapai melalui kata kata itu
ternyata mengagumkan. RMP (repetitive magic power) istilah mereka. ―Segala sesuatu yang anda
pancarkan lewat pikiran, perasaan, citra mental dan tutur kata anda, akan didatangkan kembali ke
dalam kehidupan anda,‖ tegas Ponder, salah seorang pakar law of attraction.
Maka beruntunglah kita hidup di tanah air ini yagn didalamnya shalawat selalu menyertai tahap tahap
kehidupan kita. Saat dilahirkan, bahkan sejak dalam kandungan 7 bulan, dikhitan, dinikahkan, lulus
ujian dan ketika meninggal dunia, semua tahapan itu diisi dengan bacaaan shalawat Nabi. Itulah cara
orang tua kita dahulu menghidupkan kecintaan kepada Rasulullah dihati kita. Tiada hari tanpa
siraman shalawat, agar pohon kerinduan kepada Rasulullah terus tumbuh subur dan menakjudkan
orang yang menanamnya. ~~
Sufi Road : Karomah Bukan Derajat Luhur
Tidak setiap orang yang memiliki keistemewaan itu sempurna kebersihan batin dan keikhlasannya.‖
Saat ini publik ummat sering menilai derajat luhur seseorang dari kehebatan-kehebatan ilmu dan
karomahnya.
Syeikh Abu Yazid al-Bisthamy pernah didatangi muridnya, yang melaporkan karomah dan kehebatan
seseorang.
―Dia bisa menyelam di lautan dalam waktu cukup lama…‖
―Saya lebih kagum pada paus di lautan…‖
―Dia bisa terbang…!‖ kata muridnya.
―Saya lebih heran, burung kecil terbang seharian…karena kondisinya memang demikian,‖
jawabnya.―Lhah, dia ini bisa sekejap ke Mekkah…‖
―Saya lebih heran pada Iblis sekejap bisa mengelilingi dunia…Namun dilaknat oleh Allah.‖
Suatu ketika orang yang diceritakan itu datang ke masjid, tiba-tiba ia meludah ke arah kiblat.
―Bagaimana ia menjaga adab dengan Allah dalam hakikat, sedangkan adab syariatnya saja tidak
dijaga..‖ kata beliau.
Banyak orang yang mendalami ilmu pentetahuan, mampu membaca dan mengenal dalil, kitab-kitab,
bahkan memiliki keistemewaan, tetapi banyak pula diantara mereka tidak bersih hatinya, tidak ikhlas
dalam ubudiyahnya.
Begitu pula ketika karomah dan tanda-tanda yang hebat itu disodorkan pada Sahl bin Abdullah at-
Tustary, ra, beliau balik bertanya, ―Apa itu tanda-tanda? Apa itu karomah? Itu semua akan sirna
dengan waktunya. Bagiku orang yang diberi pertolongan Allah swt untuk merubah dari perilakunya
yang tercela menjadi perilaku yang terpuji, lebih utama dibanding orang yang punya karomah seperti
itu.‖
Sebagian Sufi mengatakan, ―Yang mengagumkan bukannya orang yang memasukkan tangan ke
kantong sakunya, lalu menafkahkan apa saja dari kantong itu. Yang mengagumkan adalah orang
yang memasukkan tangannya ke kantong sakunya karena merasa ada sesuatu yang disimpan di
sana. Begitu ia masukkan tangannya ke sakunya, sesuatu itu tidak ada, namun dirinya tidak berubah
(terkejut) sama sekali.‖
Jadi karomah itu sesungguhnya hanyalah cara Allah memberikan pelajaran kepada yang diberi
karomah agar perjalanan ruhaninya tidak berhenti, sehingga semakin menajak, semakin naik, bukan
untuk menunjukkan keistemewaanya.
Yang istimewaan adalah Istiqomah. Karena itu para Sufi menegaskan, ―Jangan mencari karomah,
tetapi carilah Istiqomah.‖ Sebab istiqomah itu lebih hebat dibanding seribu karomah. Dan memang,
hakikat kartomah adalah Istiqomah itu sendiri.
Bahkan Imam Al-Junayd
al-Baghdady pernah mengi-ngatkan, betapa banyak para Wali yang terpleset derajatnya hanya
karena karomah.
Syeikh Abdul Jalil Mustaqim pernah mengatakan, ketika anda diludahi seseorang dan anda sama
sekali tidak marah, itulah karomah, yang lebih hebat dibanding karomah yang lainnya.
Ketika dalam sebuah perkumpulan Thariqat Sufi, tiba-tiba ada seseorang datang, dan langsung
membicarakan kehebatan ilmu ini dan itu, karomah si ini dan si itu. Lalu seseorang diantara mereka
menegur,
―Mas, kalau di sini, ilmu-ilmu seperti yang anda sampaikan tadi hanya dinilai sampah. Jadi percuma
sampean bicara sampah di sini…‖
Ada seseorang disebut-sebut sebagai Wali:
―Wah dia itu wali, bisa baca pikiran orang, dan kejadian-kejadian yang pernah kita lakukan walau pun
sudah bertahun-tahun lamanya…‖
―Lhah, orang yang punya khadam Jin juga bisa diberi informasi oleh Jinnya tentang kejadian yang
lalu maupun yang akan datang… Jadi hati-hati…‖
―Beliau itu keturunan seorang Ulama besar..‖
―Tidak ada jaminan nasab itu, nasibnya luhur di hadapan Allah…‖
Dan panjang sekali kajian soal karomah dan kewalian ini, yang butuh ratusan halaman. Tetapi
kesimpulannya, seseorang jangan sampai mengagumi kehebatan lalu mengklaim bahwa kehebatan
itu menunjukkan derajat di depan Allah. Tidak tentu sama sekali.
Karamah Wali Allah
Karamah Awliya Allah
Melihat dalil-dalil karomah para wali
Keberadaan karamah para wali telah ditetapkan dalam Al Qur‘an, Sunnah Rasulullah Saw, serta atsar
sahabat dan orang-orang setelah mereka, sampai zaman sekarang ini. Keberadaannya juga diakui
oleh mayoritas ulama ahli sunnah yang terdiri dari para ahli fikih, para ahli hadits, para ahli ushul dan
para syaikh tasawuf yang karangan-karangan mereka banyak berbicara tentangnya. Selain itu,
keberadaannya juga telah dibuktikan dengan kejadian-kejadian nyata di berbagai masa. Dengan
demikian, karamah tetap (terbukti) secara mutawatir maknawi, meskipun rinciannya diriwayatkan
secara ahad (sendiri-sendiri). Karamah tidak di ingkari, kecuali oleh ahli bid‘ah dan kesesatan yang
imannya kepada Allah, sifat-sifat-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya lemah.
1. Sumber Al Qur‘an
a. Ashabul Kahfi, cerita Ashabul Kahfi yang tertidur panjang dalam keadaan hidup dan selamat dari
bencana selama 309 tahun, dan Allah menjaga mereka dari panasnya matahari. Allah berfirman, ―Dan
engkau akan melihat ketika matahari terbit, dia condong dari gua mereka ke sebelah kanan. Dan
ketika matahari itu terbenam, dia menjauhi mereka ke sebelah kiri.‖ (QS. al Kahfi: 17)
―Dan engkau mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur. Dan kami balik-balikkan mereka ke
kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka menjulurkan kedua lengannya di muka pintu gua.‖ (QS. al
Kahfi: 18)
b. Kisah Maryam, yang menggoyang pohon kurma yang kering. Seketika itu juga pohon tersebut
menjadi rindang dan berjatuhanlah kurma yang sudah masak di luar musimnya. ―Dan goyanglah
pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak
kepadamu.‖ (QS. Maryam: 25). Apa yang diceritakan Allah dalam Al Qur‘an kepada kita bahwa setiap
kali Zakaria masuk ke mihrab Maryam, dia menemukan rezeki di dalamnya, padahal tidak ada yang
masuk ke situ selain dia. Lalu dia berkata, ―Wahai Maryam, dari manakah engkau memperoleh ini?‖
Maryam menjawab, ―Ini semua dari Allah.‖ Setiap kali Zakaria masuk untuk menemui Maryam di
mihrab, dia temukan makanan di sisinya. Lalu dia berkata, ―Hai Maryam, dari mana engkau
memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab, ―Makanan ini dari sisi Allah.‖ (QS. Ali Imran: 37).
c. Asif bin Barkhiya, bersama Nabi Sulaiman as, sebagaimana dikatakan oleh mayoritas mufassirin,
―Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari kitab, Aku akan membawa singgasana itu kepadamu
sebelum matamu berkedip.‖ (QS. an Nahl: 40). Maka dia pun membawa singgasana Ratu Bilqis dari
Yaman ke Palestina sebelum mata berkedip.
2. Sumber As Sunnah
1) Kisah Juraij al Abid yang berbicara dengan bayi yang masih dalam buaian. Ini adalah hadits shahih
yang dikeluakan oleh Bukhari dan Muslim dalam Ash Shahihain.
2) Kisah seorang anak laki-laki yang berbicara ketika masih dalam buaian.
3) Kisah tiga orang laki-laki yang masuk ke dalam gua dan bergesernya batu besar yang sebelumnya
menutupi pintu gua tersebut. Hadits ini yang disepakati keshahihannya.
4) Kisah lembu yang berbicara dengan pemiliknya. Hadits ini adalah hadits shahih yang masyhur.
3. Sumber Atsar Para Shahabat
1) Kisah Abu Bakar ra bersama para tamunya tentang bertambah banyaknya makanan. Sampai
setelah mereka selesai makan, makanan tersebut menjadi lebih banyak dari sebelumnya. Ini adalah
hadits shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari.
2) Kisah Umar ra ketika dia berada di atas mimbar di Madinah dan dia memanggil panglima yang
sedang berada di Persia, ―Wahai Sariah, naik gunung, naik gunung!‖ ini adalah hadits hasan.
3) Kisah Utsman ra bersama seorang laki-laki yang datang kepadanya, lalu Utsman ra memberi tahu
tentang apa yang terjadi ketika dia sedang dalam perjalanan melihat seorang perempuan asing.
4) Kisah Ali ibn Abi Thalib ra yang mampu mendengarkan pembicaraan orang-orang yang sudah mati,
sebagaimana yang dikeluarkan oleh Baihaqi.
5) Kisah Abbad ibn Basyar ra dan Asid ibn Hadhir ra ketika tongkat salah seorang di antara mereka
mengeluarkan cahaya sewaktu mereka keluar dari kediaman Rasulullah Saw pada malam yang gelap.
Ini adalah hadits shahih yang dikeluarkan oleh Bukhari.
6) Kisah Khabib ra dan syetan dan anggur yang ada di tangannya. Dia memakannya di luar
musimnya. Ini adalah hadits shahih.
7) Kisah Sa‘ad ra dan Said ra ketika masing-masing dari keduanya memohon azab atas orang yang
telah berdusta atasnya. Doa tersebut lalu dikabulkan. Hadits ini dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim.
8) Kisah Abur al Alla‘ ibn al Hadhrami yang membelah laut di atas kudanya, dan air muncul berkat
doanya. Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Sa‘ad dalam ath Thabaqat al Qubra.
9) Kisah Khalid ibn Walid ra ketika meminum racun. Kisah ini dikeluarkan oleh Baihaqi, Abu Nuaim,
Thabrani dan Ibnu Sa‘ad dengan sanad yang shahih.
10) Jari-jari tangan Hamzah al Aslami yang bercahaya ketika malam gelap gulita. Hadits ini
dikeluarkan oleh Bukhari.
11) Kisah Ummu Aiman dan bagaimana dia kehausan ketika hijrah, lalu turun kepadanya ember dari
langit, dan dia pun minum. Kisah ini diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam al Hilyah.
12) Kisah seorang sahabat yang bisa mendengarkan suara orang yang membaca surah al Mulk dari
kuburan setelah tenda dipasang di atasnya. Kisah ini diriwayatkan oleh Tirmidzi.
13) Bertasbihnya piring pesar yang dipakai untuk makan oleh Salman al Farisi ra dan Abu Darda ra.
Dan mereka berdua mendengar tasbih tersebut. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu'aim.
14) Kisah Safinah ra, budak laki-laki Rasulullah Saw dan seekor singa. Kisah ini diriwayatkan oleh
Hakim dalam al Mustadrak dan Abu Nu'aim dalam al Hilyah.
Ini hanyalah sebagian kecil dari banyak kejadian tentang karamah para sahabat Rasulullah Saw,
kemudian karamah juga banyak terjadi pada para wali di masa tabi'in dan para pengikut tabi'in
sampai saat sekarang ini, sehingga sangat sulit untuk dihitung jumlahnya.
Sebagian orang barangkali bertanya, ―Kenapa karamah yang ada pada sahabat lebih sedikit daripada
karamah yang ada pada para wali yang muncul setelah mereka?‖ Dalam ath Thabaqat, Tajuddin
dalam as Subki menjawab pertanyaan ini dengan berkata, jawabannya adalah jawaban Ahmad ibn
Hambal ketika ditanya tentang hal tersebut. Dia berkata, para sahabat adalah orang-orang yang telah
kuat imannya. Oleh karena itu, mereka tidak memerlukan sesuatu untuk menguatkan iman mereka.
Sementara orang-orang selain sahabat, iman mereka masih lemah dan belum sampai pada tingkat
iman para sahabat. Oleh karena itu, iman mereka dikuatkan dengan karamah yang diberikan kepada
mereka. (Yusuf an Nabhani, Jami‘u Karamat al Auliya‘
Keteduhan hati di dalam hidup kadang hadir kala orang sehat namun keteduhan hati yang sesungguhnya akan terlihat justru ketika kita sakit. Sakit melatih kesabaran seseorang menjadi
meningkat. Sakit membuat keteduhan dirasakan oleh orang-orang disekelilingnya. Wajahnya terlihat lebih tabah, tutur katanya lembut dan tidak mengeluhkan sakitnya. 'Sejak bapak sakit, beliau menjadi begitu sangat sabar. bahkan kalo saya ngomel sama anak-anak, sekarang bapak bisa nasehatin
saya..sabar bu..sabar.' Tutur seorang Ibu yang mendampingi Pak haji disaat saya membezuknya. Pak haji yang saya kenal beliau salah satu pengurus Yayasan Pendidikan. beliau menderita
'Verkalking', yakni sakit disebabkan pengapuran pada persendian kaki sehingga kalau digerakkan kakinya terasa sangat sakit. Menurut dokter ahli tulang tempat dimana beliau berobat mengatakan
jalan satu-satunya untuk menyembuhkan sakit adalah dengan operasi. Beliau tidak malah langsung melaksanakan saran dokter namun malah bersama anak dan istrinya
malah bershodaqoh untuk anak-anak Amalia dan orang-orang tidak mampu disekeliling rumahnya. Keyakinannya bahwa 'Obatilah orang-orang sakit dengan shodaqoh dan betengilah harta kalian dengan zakat dan tolaklah bala' dengan doa' 'itulah satu-satunya cara kami memohon pertolongan
Allah Subhanahu Wa Ta'ala,' begitu tutur Pak haji. Anehnya, begitu bangun untuk menunaikan sholat subuh, beliau tidak lagi merasakan sakit pada
persendian kakinya. begitu siangnya pak haji segera mendatangi dokter langgananannya untuk memeriksakan kesehatan kakinya. Setelah dipoto, ternyata pengapuran pada sendi kakinya telah hilang. Dokternya bertanya, apakah dia telah menjalani operasi?' Pak Haji menjawab, saya tak pernah
operasi, hanya meminta kepada Allah agar disembuhkan. Sang dokter itu mengakui bahwa kalau Allah Subhanahu Wa Ta'ala berkehendak, semua pasti terjadi.
Dari berbagai peristiwa yang telah beliau alami, perubahan sifat yang dulunya pemarah sekarang menjadi lebih sabar. Keteduhan pada diri Pak haji semakin dirasakan oleh keluarganya sejak sakitnya parah. Begitu luar biasanya Allah memberikan pelajaran kemudian juga menyembuhkan pada
persendian yang dideritanya namun juga sekaligus menyembuhkan penyakit hatinya.
---- 'Obatilah orang yang sakit dengan shodaqoh, bentengilah harta kalian dengan zakat dan tolaklah bencana dengan berdoa (HR. Baihaqi).
Keberkahan
Ada salah satu kerabat dekat, beliau seorang hafidz (penghapal al-Quran 30 Juz) karena sakit kemudian menderita kebutaan. Sampai pada suatu hari saya bertemu dengan beliau dan sempat
bertanya, kenapa tidak berobat? bukankah sekarang teknologi sudah canggih bisa menyembuhkan kebutaannya?' Beliau hanya menjawab dengan senyuman dan berkata, 'Jika saya bisa melihat, nanti malah kebanyakan nonton maksiat, disyukuri aja..semua ini keberkahan agar hapalan saya terjaga.'
Pesan beliau yang saya tangkap adalah kekurangan yang ada pada dirinya bukanlah dianggap
sebagai musibah atau bencana melainkan sebuah keberkahan yang patut disyukuri karena dengan tidak melihat berarti beliau bisa menjaga hapalan al-Qurannya selama 24 jam. Untuk sekedar menghapal al-Quran sangatlah mudah namun menjaga hapalan tidaklah mudah. Bahkan menurut
salah satu riwayat, Imam Syafii pernah hapalan al-Qurannya hilang karena tanpa sengaja melihat betis seorang perempuan. Barangkali alasan itulah saya bisa mengerti gangguan penglihatan bagi beliau justru dianggapnya sebagai suatu berkah yang membuatnya mampu memaksimalkan
waktunya dan lebih berkonsentrasi pada hapalan al-Qurannya. Sejarah juga mencatat, banyak orang yang memiliki kekurangan fisik namun malah menjadikan
keberkahan dalam hidupnya seperti Stephen Hawking menderita penyakit ALS atau degenerative disease yaitu sebuah penyakit langka yag muncul akibat kerusakan sel-sel syaraf pengontrol otot-otot tubuh, seharusnya istirahat total tetapi Stephen Hawking malah memilih tetap berkarya dan meraih
sejumlah penghargaan. Stephen Hawking mengatakan selalu berusaha hidup senormal mungkin, tidak memikirkan rasa sakit maupun keterbatasan fisiknya.
Tentunya banyak diantara kita secara fisik, kecerdasan, bakat yang mengagumkan namun seringkali mudah menyerah dalam kehidupan karena hanya sebagian kecil dari kita yang bersedia
memanfaatkan segala potensi yang ada dengan penuh kegigihan. Sementara beliau yang seorang hafidz ataupun Stephen Hawking merupakan teladan orang-orang yang penuh semangat yang luar biasa memanfaatkan kekurangan dan keistimewaannya untuk terus berkarya. Barangkali itulah yang
disebut sebagai keberkahan. ---
Melimpahnya keberkahan dari sisi Alloh Yang di tangan-Nya lah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.‖ (QS. Al Mulk: 1-2)
esiapan Menerima Pancaran Cahaya
Datangnya anugerah itu menurut kadar kesiapan jiwa, sedangkan pancaran cahaya-Nya menurut
kadar kebeningan rahasia jiwa. Anugerah, berupa pahala dan ma‘rifat serta yang lainnya,
sesungguhnya tergantung kesiapan para hamba Allah. Rasulullah Saw bersabda:
―Allah SWT berfirman di hari kiamat (kelak): ―Masuklah kalian ke dalam syurga dengan rahmat-Ku
dan saling menerima bagianlah kalian pada syurga itu melalui amal-amalmu.‖ Lalu Rasulullah Saw,
membaca firman Allah Ta‘ala: ―Dan syurga yang kalian mewarisinya adalah dengan apa yang kalian
amalkan.‖ (QS. Az-Zukhruf: 72)
Adapan pancaran cahaya-cahaya-Nya berupa cahaya yaqin dan iman menurut kadar bersih dan
beningnya hati dan rahasia hati. Beningnya rahasia hati diukur menurut kualitas wirid dan dzikir
seseorang.
Dalam kitabnya Latha'iful Minan, Syaikh Ibnu Atha'illah as-Sakandari menegaskan, ―Ketahuilah bahwa
Allah Ta‘ala menanamkan cahaya tersembunyi dalam berbagai ragam taat. Siapa yang kehilangan
taat satu macam ibadah saja dan terkaburkan dari keselarasan Ilahiyah satu macam saja, maka ia
telah kehilangan nur menurut kadarnya masing-masing. Karenanya jangan mengabaikan sedikit pun
atas ketaatan kalian. Jangan pula merasa cukup wirid anda, hanya karena anugerah yang tiba.
Jangan pula rela pada nafsu anda, sebagaimana diklaim oleh mereka yang merasa dirinya telah
meraih hakikat dalam ungkapannya, sedangkan hatinya kosong…‖ Jangan keblinger dengan Cahaya
atau bentuk Cahaya sebagaimana tergambar dalam pengalaman mengenai Cahaya lahiriyah, baik
yang berwarna warni atau satu warna. Cahaya batin sangat berhubungan erat dengan kebeningan
batin, tidak ada rupa dan warna yang tercetak. Melainkan pancaran Cahaya keyakinan total kepada-
Nya.
Dalam kitab Al-Hikam dijelaskan: ―Bagaimana hati bisa cemerlang jika wajah semesta tercetak di
hatinya? Bagaimana bisa berjalan menuju Allah sedangkan punggungnya dipenuhi beban
syahwatnya? Bagaimana berharap memasuki hadhirat Ilahi sedangkan ia belum bersuci dari jinabat
kealpaannya? Atau bagaimana ia faham detil rahasia-rahasia-Nya, sedangkan ia tidak taubat dari
kelengahannya?‖
Semesta kemakhlukan adalah awal dari hijab Cahaya, dan ikonnya ada pada nafsu syahwat dan
kealpaannya. ―Siapa yang cemerlang di awal penempuhannya akan cemerlang pula di akhir
perjalanannya.‖ Kecemerlangan ruhani dengan niat suci bersama Allah dalam awal perjalanan hamba,
adalah wujud pantulan Cahaya yang diterima hamba-Nya, karena yang bersama Allah awalnya akan
bersama Allah di akhirnya.
―Orang-orang yang sedang menempuh perjalanan menuju kepada Allah menggunakan petunjuk
Cahaya Tawajjuh (menghadap Allah) dan orang-orang yang sudah sampai kepada Allah, baginya
mendapatkan Cahaya Muwajahah (limpahan Cahaya). Kelompok yang pertama demi meraih Cahaya,
sedangkan yang kedua, justru Cahaya-cahaya itu bagi-Nya. Karena mereka hanya bagi Allah semata,
bukan untuk lain-Nya. Sebagaimana dalam Al Qur‘an, ―Katakan, Allah‖ lalu tinggalkan mereka (selain
Allah) terjun dalam permainan.‖ Itulah hubungan Cahaya dengan para penempuh dan para ‗arifun,
begitu jauh berbeda.
―Cahaya adalah medan qalbu dan rahasia qalbu. Cahaya adalah pasukan qalbu, sebagaimana
kegelapan adalah pasukan nafsu. Bila Allah hendak menolong hamba-Nya, maka Allah melimpahkan
padanya pasukan-pasukan Cahaya, dan memutus lapisan kegelapan dan tipu daya.‖
Wilayah Cahaya adalah qalbu, ruh dan sirr. Cahaya akan memancar sebagai instrument, wujud
adalah hakikat yaqin yang memancar melalui instrumen pengetahuan yang dalam tentang Allah.
―Allah mencahayai alam lahiriyah melalui Cahaya-cahaya makhluk-Nya. Dan Allah mencahayai rahasia
batin (sirr) melalui Cahaya-cahaya Sifat-Nya. Karena itulah cahaya semesta lahiriyah bisa sirna, dan
Cahaya qalbu dan sirr tidak pernah sirna.‖
Pencerahan Cahaya menurut kebeningan rahasia batin jiwa
―Shalat merupakan tempat munajat dan sumber penjernihan dimana medan-medan rahasia batin
terbentang, dan di dalamnya Cahaya-cahaya memancarkan pencerahan.‖ Karena itu cita dan hasrat
anda, hendaknya pada penegakan shalat, bukan wujud shalatnya.
―Apabila cahaya yaqin memancar padamu, pasti anda lebih dekat pada akhirat dibanding jarak anda
menempuh akhirat itu sendiri. Dan bila anda tahu kebaikan dunia, pasti menampakkan gerhana
kefanaan pada dunia itu sendiri.‖ Maksudnya, nuansa ukhrowi menjadi lapisan baju anda, yang
melapisi Nuansa Ilahi. Segalanya terasa dekat tanpa jarak padamu.
―Tempat munculnya Cahaya adalah hati dan rahasia jiwa. Cahaya yang ditanamkan dalam hati adalah
limpahan dari Cahaya yang menganugerah dari khazanah rahasia yang tersembunyi. Ada Cahaya
yang tersingkapkan melalui makhluk-makhluk semesta, dan ada Cahaya yang tersingkapkan dari
Sifat-sifat-Nya. Terkadang hati sejenak terhenti dengan Cahaya-cahaya, sebagaimana nafsu tertirai
oleh alam kasar dunia.‖ Itulah ragam Cahaya, ada Cahaya muncul dari kemakhlukan ada pula Cahaya
Sifat-Nya. Tetapi, jangan sampai Cahaya jadi tujuan, agar tidak terhijabi hati kita dari Sang Pemberi
Cahaya, sebagaimana terhijabinya nafsu oleh alam kasar dunia.
―Cahaya-cahaya rahasia jiwa ditutupi oleh Allah melalui wujud kasarnya alam semesta lahiriyah, demi
mengagungkan Cahaya itu sendiri, sehingga Cahaya tidak terobralkan dalam wujud popularitas
penampakan.‖ Itulah Cahaya yang melimpahi para ‗arifin, auliya‘ dan para sufi, yang dikemas oleh
cover tampilan manusia biasa. Sebagaimana Rasulullah Saw, disebutkan , ―Bukanlah Rasul itu
melainkan manusia seperti kalian, makan sebagaimana kalian makan, minum sebagaimana kalian
minum.‖ Ini semua untuk menjaga agar para hamba tidak berambisi popularitas, dan merasa bahwa
Cahaya itu muncul karena upayanya.
Cahaya-cahaya para Sufi mendahului wacananya. Ketika Cahaya muncul maka muncullah wacana
Para Sufi dan arifun berbicara dan berwacana, bukan karena aksioma logika, tetapi karena limpahan
Cahaya, baru muncul menjadi mutiara kata. Sementara para Ulama, wacananya mendahului
cahayanya.
―Ada Cahaya yang diizinkan untuk terbiaskan, ada pula Cahaya yang diizinkan masuk di dalam jiwa.‖
Ada Cahaya yang hanya sampai di lapis luar hati, tidak masuk ke dalam hati, sebagaimana orang
yang menasehati tentang hakikat tetapi dia sendiri belum sampai ke sana. Ada Cahaya yang
menghujam dalam jiwa, dan dada menjadi meluas, dengan ditandainya sikap merasa hampa pada
negeri dunia penuh tipu daya, dan menuju negeri keabadian, serta menyiapkan diri menjemput maut.
―Janganlah anda menginginkan agar warid menetap terus menerus setelah Cahaya-cahayanya
membias dan rahasia-rahasia-Nya tersembunyi.‖ Itulah perilaku para pemula, biasanya ingin agar
Cahaya-cahaya warid itu menetap terus menerus. Padahal suatu kebodohan tersendiri, karena
penempuh akan lupa pada Sang Pencahaya.
―Sesungguhnya suasana keistemewaan itu ibarat pancaran matahari di siang hari yang muncul di
cakrawala, tetapi Cahaya itu tidak dari cakrawala itu sendiri, dan kadang muncul dari matahari Sifat-
sifat-Nya di malam wujudmu. Dan kadang hal itu tergenggam darimu lalu kembali pada batas-batas
dirimu. Siang (Cahaya) bukanlah darimu untukmu. Tetapi limpahan anugerah padamu.‖
―Cahaya qalbu dan rahasia jiwa tidak diketahui melainkan di dalam keghaiban alam malakut.
Sebagaimana Cahaya langit tidak akan tampak melainkan dalam alam nyata semesta‖ Orang yang
mampu memasuki alam malakut adalah yang dibukakan Cahaya qalbu dan jiwanya. Begitu juga
nuansa pencerahan Cahaya qalbu dan rahasia qalbu itu, merupakan rahasia tersembunyi di alam
Malakut.
Dan lain sebagainya, yang menggambarkan soal pencahayaan ini. Karena berbagai ragam, bisa
memberikan sentuhan Cahaya, apakah Cahaya qalbu, Cahaya ruh dan Cahaya Sirr yang memiliki
karakteristik berbeda-beda dalam kondisi ruhani para hamba Allah.
Keajaiban Hati / Qalbi
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang....
Bila kita membicarakan berkaitan tasawuf,maka kita tidak boleh lari dari membicarakan berkenaan
dengan hati atau qalbi yang merupakan alat atau instrumen terpenting dalam menghidupkan jiwa
tasawuf.Ramai yang terkeliru dengan makna dan istilah hati atau qalbi ini.Sesungguhnya Allah tidak
memandang kepada rupa paras kita,tapi Allah memandang hati kita.Bukankah hati itu istana
Allah?oleh itu,mengapa kita tidak mahu mengkaji misteri hati atau jantung kita sendiri secara fizikal
dahulu sebelum kita menggunakannya menjadi alat untuk menyampaikan kita pada mengenali diri
kita dan seterusnya mengenal Allah.
Sabda Nabi SAW bermaksud ; ― Didalam tubuh manusia itu,ada seketul darah,jika darah itu
baik,maka baiklah manusia tersebut dan jika darah itu kotor maka kotorlah manusia
itu.Sesungguhnya ketulan darah itu ialah hati (qalbi)‖.
Kata Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i dalam kitabnya Tanbihut Thullab fi Ma‘rifati Malikil wahhab : ―
maka Qalbi(hati),tatkala sempurna penyiapannya dan kuat cahayanya dengan sebab berkekalan
melakukan zikir yang maha tinggi bagi muraqabah yang siap sedia bagi musyahadah menjadilah ia
sebagai cermin tajalli ketuhanan.adalah dia menghimpunkan antara kedua lautan muraqabah dan
musyahadah.Dia tempat pertemuan bagi sekalian alam.Yang demikian itu ialah ‗Arsyullah ( Kerajaan
Allah) sebagaimana yang telah diceritakan dalam hadis ―hati(qalbi) orang beriman itu adalah istana
Allah‖[ al-ma‘rifah- jld 2-Hj Wan Mohd Shagir,m/s 59]
Hati atau Qalbi adalah tempat jatuhnya tilikan Allah,bila hati bersih ia ibarat cermin,kata Al-Ghazali.Ia
juga tempat hambanya yang terpilih beroleh ilmu berupa ilmu Laduni atau ilmu batin seperti sabda
Rasul yang bermaksud ―ilmu itu ada dua macam.Pertama;ilmu lisan,sebagai hujjah Allah dan
hambanya.Kedua;ilmu batin yang bersumber di lubuk hati,ilmu inilah yang berguna untuk mencapai
tujuan pokok dalam ibadat‖(Buku Sirrul-Asrar- Syeikh Abdul Qadir Al-jailani,m/s 19).Kata Sheikh
Abdul Qadir lagi dalam kitabnya Sirrul-Asrar: ―mula-mula manusia memerlukan ilmu syariat agar
badannya mempunyai kegiatan dalam mencari makrifat pada makrifat sifat,iaitu ‗darajat‘.kemudian
manusia menginginkan ilmu batin agar ruhnya mempunyai kegiatan untuk mencapai makrifat pada
makrifat zat.Untuk tujuan ini manusia harus meninggalkan segala sesuatu yang menyalahi syariat dan
tariqat.Hal ini akan dapat dicapai dengan melatih diri meninggalkan keinginan nafsu walaupun terasa
pahit dan melakukan ruhaniyyah dengan tujuan mencapai redha Allah serta bersih dari riya‘(ingin
dipuji orang lain) dan sum‘ah(mencari kemasyhuran).
Yang dimaksudkan dengan alam makrifat adalah alam Lahut,yaitu negeri asal tempat diciptakan Ruh
Al-Qudsi(Ruh Termurni) dari Nur Muhammad dalam wujud terbaik.Yang dimaksudkan Ruh Al-Qudsi
ialah hakikat manusia yang disimpan di lubuk hati,kemudian bila hatinya sudah hidup maka ruh Al-
Qudsi itu dinamakan Tiflul Ma‘ani(bayi ma‘nawi).Ia lahir dari hati,seperti lahirnya bayi dari rahim
seorang ibu.Bayi ini bersih dari segala kotoran dosa seperti syirik(menyekutukan Allah) dan
‗gaflah(lupa kepada Allah)[ Sirrul-Asrar m/s 20- 22].Maka beruntunglah orang yang boleh
menghidupkan hati dengan cahaya tauhid dan dengan lisan sirri tanpa huruf dan suara lalu
tersingkaplah segala rahsia.firman Allah didalam Hadis Qudsi : ―manusia adalah rahsia-Ku dan Aku
adalah rahsia manusia‖.Allah berfirman lagi dalam hadis Qudsi iaitu : ―Ilmu batin adalah rahsia di
antara rahsia-Ku.Aku jadikan di dalam hati hamba-hamba-Ku dan tidak ada yang menempatinya
kecuali Aku‖
―Orang-orang yang merindukan Allah hatinya mempunyai mata.Mata hatinya melihat segala sesuatu
yang tidak di lihat oleh penglihatan biasa.Hati mereka mempunyai sayap yang terbang tanpa
bulu,terbang ke malakut Rabbul A‘lamin‖[ Sirrul-Asrar, m/s 28]
Hati juga dikatakan tempat Ruh Ruhani.Alatnya adalah Tariqat.Tempat Ruh Sulthoni pula adalah
‗Fuad‘ iaitu mata hati.Alatnya adalah makrifat.Hati mestilah dihidupkan selalu melalui zikir dan ingatan
yang berkekalan pada Yang Maha Pencipta.Hati yang suci bersih tempatnya di bawah Arasy Allah
sebagaimana dengan sabda Nabi SAW ― Sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba yang
jasadnya di bumi dan hatinya di bawah Arasy Allah‖.Kata Sheikh Abdul Qadir al-Jailani dalam kitabnya
Sirrul Asrar : [Melihat kepada Allah di dunia tidak akan berhasil.Yang dapat dilihat di dunia adalah
sifat-sifat Allah pada cermin hati.Saidina Umar berkata ―hatiku melihat Tuhanku dengan cahaya
Tuhanku‖.manusia akan melihat pantulan ‗jamalullah‘ pada cermin hatinya‖]. Imam Al-ghazali juga
berkata ―Hidupnya hati adalah ilmu,galilah ia.Matinya hati adalah bodoh,maka jauhilah ia.‖.Hidupnya
hati membuahkan iman dan takwa yang mantap ,itulah sebabnya orang yang benar-benar
beriman,bila disebutkan nama Allah kepada mereka,maka gementarlah hati mereka.Firman Allah di
dalam surah Al-Anfal,ayat 2 bermaksud : ―Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah
mereka yang apabila disebut nama Allah gementarlah hati mereka‖ kerana ―hatinya tidak
mendustakan apa yang dilihatnya‖(An-Najm:11). Kata saidina Ali pula "Aku tidak beribadah kepada
Tuhan yang tidak aku lihat‖.Lihat disini bagi Saidina Ali ialah melihat dengan mata hatinya bukan
dengan matanya.
Alangkah ruginya orang yang buta hatinya dan tersesat dari jalan yang benar.Firman Allah dalam
surah Al-Isra‘ ayat 72 bermaksud : ― dan barang siapa yang buta(hatinya) di dunia ini,nescaya di
akhirat(nanti) ia akan lebih buta pula dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)".Apa yang
dimaksudkan buta dalam ayat diatas ialah buta hati seperti firman Allah dalam surah Al-hajj ayat 46
yang bermaksud ; ―Kerana sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta,ialah hati yang di dalam
dada‖
Menurut Sheikh Abdul Qadir al-Jailani lagi ― Penyebab utama kebutaan hati adalah kerana lupa yang
menutupi hati setelah manusia berjanji di alam Arwah.Yang menjadi penyebab lupa adalah bodoh
terhadap hakikat urusan ketuhanan.Kebodohan ini timbul kerana hati terselubung oleh sifat sifat
zalim seperti; sombong,dendam,dengki,kikir,ujub,ghibah(mengumpat), namimah(mengadu
domba),bohong dan sifat sifat tercela yang lain.Sifat-sifat inilah yang menyebabkan manusia jatuh ke
jurang yang terendah.Adapun cara menghilangkan sifat-sifat yang tercela tadi adalah dengan
membersihkan cermin hati dengan alat pembersih tauhid dan dengan ilmu serta amal;dan berjuang
dengan sekuat tenaga secara lahir batin sehingga ia menghasilkan hidupnya hati dengan cahaya
tauhid dan sifat-sifatNya‖ [ Sirrul Asrar, m/s 88)
Top Related