Tinjauan Pustaka
Definisi
Infeksi Herpes Simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh virus
herpes simpleks tipe I atau tipe II yang ditandai oleh adanya vesikel yang
berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa pada daerah dekat
mukokutan. Infeksi dapat berlangsung baik primer maupun rekuren.
Sinonim
Fever blister, cold sore, herpes febrilis, herpes labialis, herpes
genitalis.
Epidemiologi
Penyakit ini tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria maupun
wanita dengan frekuensi yang tidak berbeda. Infeksi primer oleh virus
Herpes Simpleks (HSV) tipe I , yang sering menyebabkan herpes labialis
rekuren, biasanya menyerang pada usia anak-anak. Inokulasi dapat terjadi
secara kebetulan, misalnya kontak kulit pada perawat, dokter gigi, atau pada
orang yang sering menggigit jari (herpetic Whitlow). Virus ini juga dapat
menjadi penyebab herpes ensefalitis.
Infeksi HSV tipe II , yang sering menyebabkan herpes genitalis,
biasanya dihubungkan dengan aktivitas seksual yang sering berganti-ganti
pasangan, sehingga infeksi HSV tipe II ini akan banyak terjadi pada golongan
umur yang tinggi aktivitas seksual, yaitu pada golongan umur 20-30 tahun.
Etiologi
HSV tipe I dan tipe II merupakan virus herpes hominis yang merupakan
virus DNA. Pembagian tipe I dan II berdasarkan karakteristik pertumbuhan
pada media kultur, antigenic marker, dan lokasi klinis (predileksi).
HSV tipe I biasanya menjadi penyebab herpes labialis yang menyerang
daerah pinggang ke atas, terutama daerah mulut dan hidung, sedangkan
HSV tipe II biasanya menjadi penyebab herpes genitalis yang menyerang
daerah pinggang ke bawah, terutama daerah genital.
Daerah predileksi ini sering kacau karena adanya perubahan cara
hubungan seksual, sehingga herpes labialis yang biasanya disebabkan oleh
HSV tipe I, dapat ditemukan HSV tipe II. Begitu juga pada herpes genitalis
yang biasanya disebabkan oleh HSV tipe II, dapat ditemukan HSV tipe I.
Gejala Klinis
Infeksi HSV ini berlangsung dalam 3 tingkat:
1. Infeksi Primer
2. Fase Laten
3. Infeksi Rekuren
Infeksi Primer
Infeksi primer berlangsung lebih lama dan lebih berat, kira-kira 3
minggu dan sering disertai gejala sistemik, misalnya demam, malaise, dan
anoreksia. Dapat pula ditemukan pembengkakan dari kelenjar getah bening
regional. Masa inkubasi rata-rata 5 hari.
Kelainan klinis yang dijumpai berupa vesikel di atas kulit yang sembab
dan eritematosa, berisi cairan jernih dan kemudian menjadi seropurulen. Lesi
dapat menjadi krusta dan kadang-kadang mengalami ulserasi yang dangkal.
Saat sembuh biasanya lesi akan menghilang tanpa meninggalkan sikatriks.
Pada perabaan tidak terdapat indurasi. Kadang-kadang dapat timbul infeksi
sekunder sehingga memberikan gambaran yang tidak jelas. Umumnya
didapatkan pada orang yang kekurangan antibodi virus herpes simpleks.
Pada wanita ada laporan mengatakan bahwa 80% infeksi HSV pada genitalia
eksterna dapat disertai infeksi pada serviks.
Fase Laten
Pada fase ini berarti pada penderita tidak ditemukan gejala klinis,
tetapi HSV dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada ganglion
dorsalis.
Infeksi Rekuren
Infeksi ini berarti HSV pada ganglion dorsalis dalam keadaan tidak
aktif, dengan mekanisme pacu menjadi aktif dan mencapai kulit, sehingga
menimbulkan gejala klinis. Mekanisme pacu tersebut dapat berupa trauma
fisik (demam, infeksi, kurang tidur, hubungan seksual, dan sebagainya),
trauma psikis (gangguan emosional, menstruasi), dan dapat pula timbul
akibat jenis makanan dan minuman yang merangsang.
Gejala klinis infeksi rekuren timbul lebih ringan daripada infeksi primer
dan berlangsung kira-kira 7-10 hari. Sering ditemukan gejala prodromal lokal
sebelum timbul vesikel berupa rasa panas, gatal, dan nyeri. Infeksi rekuren
ini dapat timbul pada tempat yang sama (loco) ataupun tempat lain atau
sekitarnya (non loco).
Gambar 1 – Perbedaan infeksi primer (A), laten (B), dan rekuren (C) pada ganglion saraf
Infeksi Orofacial
Biasanya berkaitan dengan infeksi primer HSV-1. Gejala infeksi herpes
oral mirip dengan stomatitis aphtosa. Lesi ulserasi mengenai palatum, lidah,
mukosa, dan juga area wajah. Gejala lain dapat berupa demam, malaise,
myalgia, nyeri telan, dan gelisah. Reaktivasi dari infeksi primer dapat
mengenai area perioral, terutama bibir.
Gambar 2 – Infeksi primer herpes labialis
Faktor predisposisi berulangnya herpes oral adalah faktor emosional,
daya tahan tubuh, terpapar matahari, trauma, menstruasi, bibir kering,
musim, dll.
Infeksi orofacial pada umur dewasa biasanya terjadi bukan disebabkan
oleh HSV-1, tetapi disebabkan oleh HSV-2. Hal ini terjadi karena perubahan
perilaku seksual seiring perkembangan jaman. Awalnya hubungan seksual
terjadi secara genito-genital, tetapi lama-kelamaan berkembang cara-cara
mano-genital, oro-genital, dan juga ano-genital yang dapat menyebabkan
berpindahnya virus HSV-2 yang berasal dari genital ke daerah wajah. Infeksi
HSV-2 pada wajah ini 120 kali lebih jarang rekuren dibandingkan yang
disebabkan oleh HSV-1.
Gambar 3 – Infeksi rekuren herpes labialis
Infeksi Genital
Penyebab utama dari infeksi herpes pada genitalia adalah HSV-2,
tetapi 10% dari kasus juga ditemukan infeksi HSV-1 yang disebabkan oleh
hubungan seksual secara oro-genital.
Gejala yang disebabkan HSV-1 dan HSV-2 mirip. Gejala lesi genital
yang terlihat biasanya berupa evolusi dari vesikel, pustul, dan kemudian
ukus eritematosa yang mungkin dapat membutuhkan waktu 2-3 minggu
untuk resolusi. Pada pria lesi biasanya muncul pada glans penis; pada wanita
lesi dapat mengenai vagina, vulva, perineum, anus, dan cervix. Gejala dapat
disertai rasa nyeri, gatal, disuria, keluarnya cairan dari vagina ataupun
uretra, limfadenopati ringan. Gejala sitemik yang menyertai dapat berupa
demam, sakit kepala, malaise, dan myalgia. Lebih dari 80% wanita dengan
infeksi primer, infeksinya berupa herpes cervix.
Gambar 4 - Infeksi primer genitalia dengan vesikel (A) dan Primary Herpetic Vulvitis (B)
Laju rekurensi pada infeksi HSV-2 genital sangat bervariasi pada setiap
orang. Rata-rata infeksi akan berulang 3-4 kali per tahun. Rekurensi biasanya
lebih sering pada tahun pertama setelah infeksi primer. Gejala klinis infeksi
rekuren HSV-2 adalah lesi vesikel multipel berkelompok pada area genital,
lesi dapat timbul pada lokasi yang sama ataupun berbeda dengan lesi
sebelumnya. Gejala prodromal infeksi rekuren dapat berupa gata, nyeri,
ataupun panas, tetapi lebih ringan daripada gejala pada saat infeksi primer.
Gambar 5 - Infeksi rekuren pada genitalia dengan vesikel berkelompok pada penis (A) dan vulva (B)
Pemeriksaan Pembantu Diagnosa
Pilihan metode untuk diagnosa infeksi HSV tergantung dari gejala
klinis. Pada beberapa keadaan anamnesa dan gejala klinis mungkin cukup
untuk menegakkan diagnosa, tetapi pada beberapa keadaan diagnosa
tersebut perlu diperkuat dengan pemeriksaan laboratorium.
Pada pasien dengan lesi, isolasi virus dengan kultur sel dapat menjadi
pilihan yang baik. Hasil kultur akan terlihat dalam 48-96 jam setelah
inokulasi. Sensitivitas kultur bergantung pada jumlah virus yang terdapat
dalam spesimen. Isolasi virus paling mudah dilakukan pada lesi vesikel.
PCR lebih sensitiv dari isolasi virus dan banyak dilakukan untuk
diagnosa infeksi SSP dan herpes neonatorum. PCR juga dapat berguna untuk
mendeteksi HSV pada fase laten dengan ulserasi.
Tes Serologi antibodi HSV juga dapat membantu, tetapi hasilnya sering
salah diinterpretasikan. Fungsi utama dari tes serologi ini adalah untuk
membedakan infeksi primer dari infeksi rekuren. Hasil serologi positif dapat
berguna pada pasien infeksi rekuren, lesi genital tidak terlihat, atau
pemeriksaan kultur tidak dapat dilakukan.
Tabel 1 – Tabel klasifikasi herpes simpleks virus berdasarkan tes serologi
Diagnosis Banding
Herpes simpleks di daerah sekitar mulut dan hidung harus dibedakan
dengan impetigo vesikobulosa. Pada genitalia harus dibedakan dengan sifilis
primer, ulkus durum, ulkus mole, dan ulkus mikstum, maupun ulkus yang
mendahului penyakit limfogranuloma venereum.
Penatalaksanaan
Sampai saat ini belum ada terapi yang memberikan penyembuhan
radikal, artinya tidak ada pengobatan yang dapat mencegah episode rekuren
secara tuntas. Pada lesi yang dini dapat digunakan obat topikal berupa salep
atau krim yang mengandung preparat idosuridin (stoxil, viruguent,
viruguent-P) dengan cara aplikasi yang dibaerikan interval beberapa jam.
Preparat asiklovir (zovirax) yang dipakai secara topikal tampaknya
memberikan hasil yang memuaskan. Asiklovir ini berkerja dengan
mengganggu replikasi DNA virus. Klinis hanya bermanfaat bila penyakit
sedang aktif. Jika timbul ulserasi dapat dilakukan kompres. Pengobatan oral
asiklovir juga memberikan hasil yang baik, penyakit berlangsung lebih
singkat dan jeda rekurensinya menjadi lebih panjang. Dosisnya 5x200mg per
hari selama 5-7 hari. Pengobatan parenteral asiklovir terutama ditujukan
kepada penyakit yang lebih berat atau jika timbul komplikasi pada alat
dalam. Begitu pula dengan preparat adenin arabinosid (vitarabin). Interferon
juga dapat menghambat reproduksi viruks dan dapat dipakai parenteral.
Untuk mencegah rekurensi macam-macam usaha yang dilakukan
dengan tujuan meningkatkan imunitas seluler, misalnya pemberian preparat
Lupidon H (untuk HSV-1) dan lupidon G (untuk HSV-2) dalam satu seri
pengobatan. Pemberian levamisol dan isoprinosin atau asiklovir secara
berkala menurut beberapa penyelidik memberikan hasil yang baik. Efek
levamisol dan isoprinosin adalah sebagain imunostimulator. Dulu pernah
dilakukan pencegahan dengan pemberian vaksin cacar, tetapi sekarang
sudah tidak dianut lagi.
Prognosis
Selama pencegahan rekuren masih menjadi masalah, hal tersebut
akan memberatkan penderita secara psikologik. Pengobatan secara dini dan
tepat memberikan prognosis yang lebih baik, masa penyakit berlangsung
lebih singkat dan rekurensi lebih jarang.
Daftar Pustaka
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. (2007). Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Fitzpatrick, T.B., Freedberg, I.M., Wolff, K., Goldsmith, L.A., Katz, S.I,
Gilschrest, B.A., Paller, A.S., Leffell, D.J. (2008). Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine Seventh Edition. New York: Mc Graw
Hill Medical.
3. Wolff, K., Johnson, R.A. (2009). Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology Sixth Edition. New York: Mc Graw Hill Medical
4. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. (2006). Andrews’ Disease of The
Skin: Clinical Dermatology Tenth Edition. Canada: Saunders Elseveir.