Download - Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

Transcript
Page 1: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

CORAK PEMIKIR AN KALÂM TAFSÎR FATH AL-QADÎR: TELAAH ATAS PEMIKIRAN

AL-SYAUKÂNÎ DALAM TEOLOGI ISLAM

Tesis Diajukan kepada Sekolah Pasca Sarjana

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperolah Gelar M.A.

Oleh Hasani

NIM: O5.2.00.1.05.01.0011

KONSENTRASI TAFSIR HADITS SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1428 H./2007 M.

Page 2: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

Abstraksi Tesis

CORAK PEMIKIRAN KALÂM TAFSÎR FATH AL-QADÎR: TELAAH PEMIKIRAN AL-

SYAUKÂNÎ DALAM TEOLOGI ISLAM

Tesis Diajukan kepada Sekolah Pasca Sarjana

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperolah Gelar M.A.

Oleh Hasani

NIM: O5.2.00.1.05.01.0011

Dosen Pembimbing: Prof. Dr. H. Salman Harun

KONSENTRASI TAFSIR HADITS SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1428 H./2007 M.

Page 3: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

CORAK PEMIKIRAN KALÂM TAFSÎR FATH AL-QADÎR: TELAAH ATAS PEMIKIRAN

AL-SYAUKÂNÎ DALAM TEOLOGI ISLAM

Tesis Diajukan kepada Sekolah Pasca Sarjana

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperolah Gelar M.A.

Oleh Hasani

NIM: O5.2.00.1.05.01.0011

Pembimbing,

Prof. Dr. H. Salman Harun

KONSENTRASI TAFSIR HADITS SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1428 H./2007 M.

Page 4: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

1

CORAK PEMIKIRAN KALAM TAFSIR FATH AL-QADÎR:

TELAAH PEMIKIRAN AL-SYAUKÂNÎ DALAM TEOLOGI ISLAM

A. Latar Belakang Masalah

Islam sumber ajaran dasarnya adalah al-Qur’an dan Hadits1. Al-

Qur’an adalah cahaya (Q.S. 6: 174), petunjuk (Q.S. 1: 2), penyembuh

penyakit yang ada dalam dada (Q.S. 10: 57), pembela terhadap kitab dan

syari’at terdahulu (Q.S. 5: 48), yang diturunkan kepada Nabi Muhammad

Saw. sebagai undang-undang yang adil dan syariat yang kekal, sebagai pelita

yang bersinar terang dan petunjuk yang nyata. Orang yang berkata

berdasarkan al-Qur’an adalah benar; orang yang mengamalkannya akan

mendapat pahala; orang yang menghakimi dengannya adalah adil; dan siapa

yang mengajak orang lain untuk mengimaninya akan diberi petunjuk kejalan

yang lurus.2

Setiap muslim, wajib memahami ajaran-ajaran dasar itu. Oleh karena

itu, al-Qur’an dan Hadis perlu ditafsirkan.

Menelusuri sejarah penafsiran al-Qur’an, Muhammad Husain al-

Dzahabi membagi sejarah tafsir kedalam tiga fase/periode (marhalah), yaitu:

1 Penjelasan hal itu termaktub pada hadits Nabi yang artinya: “Aku tinggalkan dua

perkara, jika kalian berpegang kepada keduanya, maka kamu tidak akan sesat, hal tersebut adalah Kitabullah (al-Qur’ân) dan Sunnah Rasul (Hadîts). Lihat Imâm Mâlik, al-Muwatta’, (Mesir: Kitâb al-Sya’bab, t.th.), h. 560, lihat pula Imâm Ahmad Ibn Hanbal, Musnâd Ahmad ibn Hanbal, (Beirût: Dâr al-Sadîr, t.th.), jilid III, h. 26, dalam persepsi hadits lain ada juga yang menjelaskan bahwa ajaran pokok Islam hanya al-Qur’ân saja. Hal tersebut bisa di lihat antara lain pada Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, (Mesir, Mustafa al-Bâbî al-Halabî, 1952), jilid I, h. 442

2 Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdu’I, terj. Suryan A. Jamrah, (Jakarta: Rajawali Press, 1994), h.1-2

Page 5: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

2

Pertama adalah fase perkembangan tafsir pada masa Nabi dan para sahabat,

kedua yaitu fase perkembangan tafsir pada masa tabi’in, dan ketiga yaitu fase

perkembangan tafsir pada masa penyususnan dan pembukuan (kodifikasi),

yang dimulai dari zaman ‘Abbasiyah sampai zaman kontemporer (masa

hidup al-Dzahabi).3

Penafsir pertama adalah Rasulullah Saw. Nabi Muhammad senantiasa

menerangkan ayat-ayat yang bersifat global, menjelaskan arti yang samar-

samar, dan menafsirkan segala masalah yang dirasa sangat sulit dipahami,

sehingga tidak ada lagi kerancuan dan keraguan di benak sahabat.4 Sikap

Nabi tersebut adalah sesuai dengan firman Allah ”Dan Kami turunkan

kepadamu (Muhammad) al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada

manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (Q.S. al-Nahl (16): 44).

Dengan tindakan dan kedudukan ini, maka Nabi adalah mufassir pertama

dan utama.

Menurut Mustafa al-Maraghi, Nabi Muhammad dalam menafsirkan al-

Qur’an meggunakan sunnah qauliyah (perkataan), atau sunnah fi‘liyyah

(perbuatan).5 Menurut Ibn Taimiyah, Nabi Muhammad Saw telah

menafsirkan seluruh ayat al-Qur’an. Sekalipun seluruh penafsiran itu tidak

3 Muhammad Husain al-Dzahabi, Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah

Wahbah, 2000), cet. Ke 7, h. 13-14. 4 Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdu’I, terj. Suryan A. Jamrah, (Jakarta:

Rajawali Press, 1994), h. 2. 5 Ahmad Mustofa al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghî, (Bairut: Dâr Ihya’ al-Turâs al-‘Arabi,

t.th.), juz 1, h. 5.

Page 6: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

3

sampai kepada kita. 6 Dengan demikian, maka bisa dikatakan bahwa tafsir

sudah muncul pada masa Rasulullah Saw.

Menurut Muhammad Husain al-Dzahabi, para sahabat dalam

menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an menempuh beberapa langkah yaitu:

1. Meneliti kandungan ayat-ayat al-Qur’an sendiri;7

2. Merujuk kepada penafsiran Nabi Saw;8

3. Menggunakan ra’yu atau melakukan ijtihad berdasarkan

pengetahuan yang mereka miliki;9

4. Menanyakan kepada tokoh-tokoh ahl al-kitab yang telah masuk

Islam tentang masalah tertentu;10 dan

5. Bertumpu pada syair-syair.11

Kedua adalah fase perkembangan tafsir pada masa tabi’in. Mereka adalah

murid-murid para sahabat yang tersebar di Makkah, Madinah dan Irak.12

Dan ketiga adalah fase perkembangan tafsir pada masa penyususnan

dan pembukuan (kodifikasi). Fase ini merupakan fase perkembangan tafsir

pasca sahabat dan tabi’in, yang ketika itu juga telah mulai pentadwînan

(kodifikasi) hadis Rasulullah Saw.

6 Lihat Taqiyuddîn Ibn Taimiyah, Muqaddimah fî Usûl al-Tafsîr, (Kuwait: Dâr al-

Qur’ân al-Karîm, 1971), h. 35. 7 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 37-44 8 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 35-46 9 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 57-58 10 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 61-62. 11 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 74-76. 12 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 92.

Page 7: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

4

Generasi selanjutnya adalah mufassir yang muncul sesudah

berkembangnya berbagai ilmu pengetahuan dan kematangan mereka dalam

Islam, sesuai dengan spesialisasi dan ilmu yang dikuasainya.13

Di sini, ijtihad menyangkut ayat-ayat al-Qur’an benar-benar sudah

tidak dapat dielakkan lagi. Sejalan dengan lajunya perkembangan

masyarakat, berkembang pesat pula porsi peranan akal (ijtihad) dalam

penafisran ayat-ayat al-Qur’an. Dengan demikian, berkembanglah manhâj

(pendekatan) tafsir dari manhaj atsari ke manhaj ra’yi, dan berkembang pula

tarîqah (metode) tafsir. Itu semua kemudian melahirkan corak-corak tafsir.

Corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini yaitu: corak sastra

kebahasaan, corak penafsiran ilmiah, corak fiqih/hukum, corak tasawuf, corak

sastra budaya kemasyarakatan, dan corak filsafat dan teologi (kalam).14

Muhammad Husein al-Dzahabî dalam pendahuluan al-Tafsîr wa al-

Mufassirûn menyebutkan bahwa ada empat corak tafsîr yang berkembang,

secara ringkas diklasifikasikan menjadi: pertama, ”tafsir corak ilmi (al-laun al-

‘ilmî)” yaitu tafsir berdasarkan pada pendekatan ilmiah; kedua, ”tafsir corak

madzhab (al-laun al-‘madzhabî)”, yaitu tafsir berdasarkan madzhab teologi

atau fikih yang dianut oleh para mufassir; ketiga, adalah ”tafsir bercorak

ilhâdî (al-laun al-‘ilhâdî)”, yaitu tafsir yang mengunakan pendekatan

menyimpang dari kelaziman; dan keempat, ”tafsir corak sastra-sosial (al-laun

13 M. H. Tabâtabâ‘î, Mengungkap Rahasia al-Qur’an, terj. A. Malik Madany dan

Hamim Ilyas, (Bandung: Mizan, 1993), h. 63. 14 Lihat lebih lanjut, M. Quraish Shihab dalam pengantar bukunya M. Yunan Yusuf,

Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar Sebuah Telaah Atas Pemikiran Hamka Dalam Teologi Islam, (Jakarta: Penamadani, 2003), h. xxxiii-xxxiv

Page 8: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

5

al-adabî al-ijtimâ‘î)”, yaitu tafsir yang menggunakan pendekatan sastra dan

berpijak pada realitas sosial.15

Untuk mengetahui lebih jauh tentang tafsir Fath al-Qadîr karya Imam

al-Syaukânî, diperlukan suatu penelitian yang mendalam dengan fokus kajian

masalah pemikiran kalam. Ilmu kalam, sebagaimana didefinisikan oleh al-Ijli,

adalah ilmu yang memberi kemampuan untuk membuktikan kebenaran

akidah (Islam) dengan mengajukan hujjah guna melenyapkan keragu-

raguan.16 Dalam kaitan ini, ilmu kalam disamping membahas soal-soal

kerasulan, wahyu, kitab suci al-Qur’an, soal orang yang percaya kepada

ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad, yaitu soal mukmin dan muslim,

soal orang yang tidak percaya kepada ajaran itu, yakni orang kafir dan

musyrik, soal hubungan makhluk dan khalik, terutama manusia dan

penciptanya, soal akhir hidup manusia, yaitu soal surga dan neraka. 17

Ibnu Khaldun mendefinisikan bahwa ilmu kalam adalah sebagai ilmu

yang mengandung argumentasi rasional yang membela akidah-akidah

imaniah dan mengandung penolakan terhadap golongan bid’ah yang dalam

akidah-akidahnya menyimpang dari madzhab Salaf dan ahl al-Sunnah.18

Lain lagi dengan al-Ghazâlî yang dikutip oleh Mustafa ‘Abd al-Razik,

menurut al-Ghazali ilmu kalam bertujuan menjaga akidah ahl al-Sunnah dari

bisikan ahl al-bid’ah yang menyesatkan. Allah telah menyampaikan akidah

15 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 15 16 Lihat Mustafa Ábd al-Raziq, tamhîd li Tarîkh al-Falsafah al-islâmiyyah, (Kairo:

1959), h. 261 17 Lihat Harun Nasuition, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisi Perbandingan,

(Jakarta: UI Press, 1983), h. 30 18 Ibn Khaldun, Muqaddimah al-‘Allâmah Ibn Khaldun, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1981),

jilid 1, h. 580

Page 9: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

6

yang benar kepada hamba-Nya melalui risalah Rasul-Nya yang mengandung

kebaikan bagi agama dan dunia mereka. Selanjutnya ia mengatakan, bahwa

ilmu kalam membahas ma’rifat al-Qur’an beserta kabar berita lainnya.19

Muhammad ‘Abduh yang lebih suka menyebutnya ilmu tauhid

memberi batasan bahwa ilmu kalam/tauhid adalah sebagai ilmu yang

membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat wajib ditiadakan dari-Nya. Menurut

‘Abduh, ilmu tauhid juga membahas tentang Rasul-Rasul untuk membuktikan

kebenaran kerasulan mereka, apa yang wajib bagi mereka, apa yang boleh

dan tidak boleh dinisbahkan kepada mereka.20

‘Abd al-Mun‘im mengatakan, bahwa ilmu kalam mencakup akidah

imaniah dengan mengunakan argumentasi rasional. Ilmu itu muncul untuk

membela agama Islam dan menolak akidah-akidah yang masuk dari agama

lain. Ilmu itu disebut ilmu kalam karena masalah penting yang dibicarakan di

dalamnya adalah mengenai kalam Allah, yaitu al-Qur’an. Ilmu kalam

menyangkut persoalan akidah yang mendalam, seperti tauhid, hari akhirat,

hakikat sifat-sifat Tuhan, qada dan qadar, hakikat kenabian dan penciptaan

al-Qur’an.21

Tafsir Fath al-Qadîr al-Jâmi‘ Bain Fannaî al-Riwâyah wa al-Dirâyah

min ‘Ilm al-Tafsîr, karya al-Imâm Muhammad bin ‘Alî bin Muhammad al-

19 Mustafa ‘Abd al-Razik, Tamhîd li Tarikh al-Falsafat al-Islamiyyat, (Kairo: Matba’ah

Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamat wa al-Nasyr, 1959), h. 261. 20 Muhammad ‘Abduh, Risâlah al-Tauhîd, (Kaior: Dâr al-Manâ, 1366 H), h. 7. 21 ‘Abd al-Mun‘im, Tarikh al-Hadarat al-Islâmiyyah fî al ‘Usr al-Wusta, (Mesir:

Maktabah al-Anjlu al-Misriyyah, 1978), h. 180.

Page 10: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

7

Syaukânî, merupakan salah satu tafsir yang mengambil corak madzhab

dalam hal ini adalah madzhab syiah zaidiyah.22

Al-Dzahabi dalam al-Tafsîr wa al-Mufassirûn menyebut kurang lebih

13 kitab yang membahas tentang syiah imamiah,23 dan 1 kitab tafsir tentang

Syiah Zaidiyah yakni Fath al-Qadîr.24 Selain itu, al-Dzahabi juga menyebut 6

kitab yang bercorak madzhab dalam hal ini fikih.25 Salah satu dari sekian

banyak itu adalah karya Imam al-Syaukânî26 dari madzhab Syi’ah Zaidiyah.

Madzhab Zaidiyah memandang bahwa Ali adalah seorang yang paling

pantas menjadi imam pasca meninggalnya Rasulullah Saw. Karena beliaulah

orang yang paling dominan memiliki sifat-sifat, yang sebelumnya telah

disebut-sebut oleh Rasulullah Saw. dan imam sesudah Ali seharusnya dari

keturunan Fatimah. Itulah sifat-sifat terbaik bagi seorang imam (al-fdal). Akan

tetapi, sekalipun demikian, jika sifat-sifat itu tidak terpenuhi , maka bolehlah

yang lain sebagai pengganti posisi yang menduduki jabatan tersebut. Imam

dalam bentuk kedua inilah disebut dengan imam mafdul. Berangkat dari

sinilah, Syiah Zaidiyah dapat menerima Abu Bakar, ‘Umar bin Khatab, dan

22 Tafsir Fath al-Qadîr digolongkan oleh al-Dzahabî masuk dalam kategori tafsir yang

bercorak madzhab Syiah Zaidiyah. Lebih lanjut bisa dilihat dalam al-Dzahabî, Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz 2, h. 240-260.

23 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 34-35 24 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 2, h. 249. 25 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 2, h. 385, 389, 393, 401, 407, dan

411. 26 Nama lengkap al-Syaukânî adalah Muhammad ibn ‘Ali Muhammad bin Abdullah

al-Syaukânî al-San’anî. Beliau lahir di desa Hijrah Syaukân, Yaman, pada hari Senin tanggal 28 Dzul Qa‘dah tahun 1172 H. dan meninggal dunia pada hari selasa tanggal 27 Jumadil Akhir tahun 1259 H. dalam usia sekitar 78 tahun. Lihat, Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Tafsîr Fath al-Qadîr, (Mesir: Dâr al-Fikr, 1973), juz I, h. 4-8

Page 11: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

8

Utsman bin ‘Affan27, yang paling dekat dengan jamaah Islam (Suni-

Asy’ariyah) yang paling moderat, karena tidak mengangkat para imam ke

derajat kenabian.

Namun, Syiah Zaidiyah memandang imam sebagai manusia paling

utama setelah Nabi Muhammad Saw. Merekapun tidak mengkafirkan para

sahabat, khusunya mereka yang dibai’at oleh Sayyina ‘Ali bin Abî Tâlib, dan

mengakui kepemimpinan meraka.28 Di antara ajaran sekte ini juga adalah

Imâm afdal. Menurut pengikut sekte ini ‘Ali bin Abi Talib lebih afdal dari pada

Abû Bakar al-Siddîq. Namun demikian, dalam teologi Islam sekte Zaidiyah

tetap mengakui khalifah Abû Bakar al-Siddîq, ‘Umar bin Khattâb, dan

Utsmân bin ‘Affan. Akan tetapi yang afdal adalah ‘Ali ibn ’Abî Talib,

sedangkan tiga khalifah pendahulunya disebut oleh mereka sebagai imâm

Mafdûl.29

Al-Syaukânî (1172 H.-1250 H./1834 M.) dikenal sebagai ulama yang

lahir dari latar belakang lingkungan pembaharu dan berfikir maju dalam

tradisi keagamaan pada akhir abad ke-12 H.(18 M.) dan memasuki awal

27 Lihat, Imâm Abî al-Fath Muhammad bin ‘Abdul Karîm al-Syahrastanî, Ta’liq al-

Ustadz Ahmad Nahmi Muhammad, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), j. 1, h. 155

28 Tokoh aliran Syiah Zaidiyah adalah Zaid ibn ‘Ali ibn Husain. Ia menyatakan perang terhadap khalifah Hisyam ibn ‘Abdul Mâlik, dan akhirnya ia disalib di Kuffah. Penganut aliran Zaidiyah percaya bahwa orang melakukan dosa akan kekal dalam neraka, selama mereka belum bertobat dengan sebenarnya. Dalam hal ini mereka mengikuti paham Mu’tazilah. Ini disebabkan salah seorang tokoh Mu‘tazilah, Washil bin ’Atha’ mempunyai hubungan dengan Zaid. Oleh karena itu, secara umum paham Syiah dalam akidah sesuai dengan paham Mu’tazilah, tidak sesuai denagan paham Asy’ariyah dan Maturidiyah. Lihat, Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan ‘Aqidah Dalam Islam, (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), h. 65 dan 68

29 Lihat, Ahmad Syarasytânî, al-Milâl wa al-Nihl, (Beirut: Dâr al-Fikr, tth.), Juz I, h. 154

Page 12: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

9

abad ke 13 H. (19 M.). Dalam jarak waktu kurang lebih 78 tahun, al-

Syaukânî telah melahirkan banyak karya-karya brilian. Tafsir Fath al-Qadîr

adalah salah satu dari karya al-Syaukânî yang cukup monumental. Al-

Syaukânî adalah putra dari ‘Ali al-Syaukani (1130 – 1211 H.), salah seorang

ulama yang terkenal di Yaman.30

Ketekunan al-Syaukani dalam belajar dan membaca telah

mengantarkannya menjadi seorang ulama. Dari itu, dalam usia yang masih

relatif muda, kurang dari 20 tahun, ia telah diminta oleh masyarakat kota

San’a untuk memberikan fatwa dalam berbagai masalah keagamaan,

sementara pada waktu itu, guru-gurunya masih hidup.31 Lalu, pada usia

kurang tiga puluh tahun, ia telah mampu berupaya melakukan ijtihad sendiri

dalam mengungkapkan permasalahan-permasalahan pada masanya.32

Pada tesis ini, penulis mencoba mengangkat karya tafsir al-Syaukânî

yakni tafsir Fath al-Qadîr al-Jâmi‘ Baina Fannai al-Riwâyat wa al-Dirâyat min

‘Ilm al-Tafsîr kajian terhadap corak kalamnya. Kitab tafsir yang

diperbincangkan disini terdiri dari lima jilid, terbitan Dâr al-Hadis, Kairo-

Mesir, tahun 2007.

Ada beberapa alasan yang bisa dimunculkan mengapa tafsir Fath al-

Qadîr dan kenapa pula penulis mengangkat corak kalam? Pertama, al-

Syaukâni di dalam tafsir Fath al-Qadîr uraiannya menggabungkan antara

30 al-Syaukânî, al-Badr al-Tali‘ bi Mahâsin Man Ba‘d al-Qarn al-Sabi‘, (Beirut: Dâr al-

Ma‘rifah, t. th.), j. II, h. 215 31 Ibrahim Ibrahim Hilal, Walâyatullah wa al-Tarîq Ilaihâ, (Kairo: Dâr al-Kutub al-

Haditsah, t.th.), h. 30-33. 32 Ibrahim Ibrahim Hilal, Walâyatullah wa al-Tarîq Ilaihâ, (Kairo: Dâr al-Kutub al-

Haditsah, t.th.), h. 30-33.

Page 13: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

10

metode riwâyah dan dirâyah. Metode riwâyah adalah metode yang

menjelaskan maksud-maksud dari al-Qur’an menggunakan ayat-ayat al-

Qur’an, hadis-hadis Rasulullah, dan pendapat para sahabat. Dan metode

dirâyah adalah metode yang menggunkan kaidah-kaidah kebahasaan dalam

menganalisa ayat-ayat al-Qur’an.33

Alasan kedua ialah, al-Imâm al-Syaukânî adalah seorang ulama Syi’ah

Zaidiyah. Sekte ini disebut dengan Syi’ah Zaidiyah karena pengikut sekte ini

berpegang teguh kepada ajaran-ajaran yang ditimbulkan oleh al-Imâm Zaid

ibn ‘Ali ibn al-Husain RA.34 Madzhab Zaidiyah berasal dari Zaid ibn ‘Ali

Zainal Abidin ibn al-Husain ibn ‘Ali Alaih al-Salam ibn Abi Talib (80-122 H.).

Berdasarkan paparan di atas, maka penulis tertarik dan memandang perlu

melakukan penelitian tentang Corak Pemikiran Kalâm Tafsîr Fath Al-Qadîr:

Telaah Atas Pemikiran Al-Syaukânî Dalam Teologi Islam.

B. Permasalahan

Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, umumnya dikenal

adanya dua corak pemikiran kalam, yakni pemikiran kalam yang bercorak

rasional35 serta pemikiran kalam yang bercorak tradisional36.

33 Lihat, Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Mesir:

Maktabah Wahbah, 1985), Juz I, h. 152. 34 Mustafa al-Ghurâbi, al-Firâq al-Islamiyyah wa Nasy’ah ‘Ilm al -Kalâm ‘Inda al-

Muslimin, (Mesir: Muhammad ‘Ali Sahib, tt.), h. 289, lihat pula, Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000M./1421 H.), Juz 3, h. 6.

35 Pemikiran kalam yang bercorak rasional adalah pemikiran yang memberikan kebebasan berbuat dan berkehendak kepada manusia, daya yang kuat kepada akal, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang terbatas, tidak terikat kepada makna harfiyah, dan banyak memakai arti majâzi dalam memberikan interpretasi terhadap ayat-ayat al-

Page 14: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

11

Berkaitan dengan itu, penelitian ini akan memusatkan perhatian pada

corak pemikiran kalam apa sebenarnya yang dipakai al-Syaukânî dalam tafsir

Fath al-Qadîr itu? Apakah penafsiran-penafsiran yang terdapat dalam tafsir

Fath al-Qadîr bercorak rasional atau tradisional? Atau bahkan bukan kedua-

duanya, akan tetapi merupakan campuran dari keduanya?

Dengan demikian, masalah yang akan diteliti terfokus kepada

penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah-

masalah kalam dalam tafsir Fath al-Qadîr. Sistematika masalah kalam yang

dipakai dalam penelitian ini adalah mengacu pada buku yang ditulis oleh

Prof. Dr. Harun Nasution yang berjudul Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah

Analisi Perbandingan. Sistematika ini dipakai karena dipandang mampu

menampung masalah-masalah yang terdapat dalam problem kalam itu

sendiri.

Di samping itu, sistematika tersebut bertitik tolak dari sudut pandang

yang tidak terikat pada salah satu aliran kalam tertentu sehingga

memungkinkan adanya kelonggaran dalam menerapkan sistematika tersebut

dalam tafsir Tafh al-Qadîr. Sistematika masalah kalam yang penulis ambil

Qur’an. Pemikiran kalam ini akan melahirkan paham rasional tentang ajaran Islam serta menumbuhkan sikap hidup yang dinamis dalam diri manusia. Paham ini terdapat dalam aliran Mu’tazilah dan Maturidiyyah Samarkand. Lihat, Harun Nasuition, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisi Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1983), h. 120.

36 Pemikiran kalam yang bercorak tradisional adalah pemikiran kalam yang tidak memberikan kebebasan berkehendak dan berbuat kepada manusia, daya yang kecil bagi akal, kekuasaan kehendak Tuhan yang berlaku semutlak-mutlaknya, serta terikat pada makna harfiyah dalam memberikan interpretasi ayat-ayat al-Qur’an. Pemikiran kalam ini akan melahirkan paham tradisional tentang ajaran Islam serta akan menumbuhsuburkan sikap hidup Fatalistik dalam diri manusia. Paham ini terdapat dalam aliran Asy’ariyyah dan Maturidiyah Bukhara. Lihat, Harun Nasuition, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisi Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1983), h. 120.

Page 15: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

12

adalah a.) kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, b.) Keadilan Tuhan, c.)

Perbuatan-perbuatan Tuhan, d.) dan Sifat Tuhan.

1. Identifikasi Masalah

Penelitian yang diberi judul ”Corak Pemikiran Kalam Tafsir Fath al-

Qadîr: Telaah Atas Pemikiran Al-Syaukânî dalam Teologi Islam” bermula dari

keinginan untuk memperoleh jawaban secara konseptual mengenai

pemikiran-pemikiran al-Syaukânî terutama berkaitan dengan ilmu-ilmu

kalam. Dalam tesis ini sebagai sampel, penulis akan membahas tentang tafsr

Fath Al-Qadîr mengenai ayat-ayat kalam sebagai topik sentral dan masalah-

masalah penting lainnya sebagai pelengkap pembahasan ini.

Dari asumsi-asumsi yang muncul di atas, maka muncul pula sederetan

masalah dalam identifikasi masalah, antara lain sebagai berikut?

1. Bagaimana pendekatan dan metode penafsiran al-Syaukânî

terhadap ayat-ayat kalam?

2. Bagaiman corak kalam pemikiran al-Syaukânî dalam Tafsir Fath

al-Qadîr?

3. Apakah penafsiran-penafsiran dalam tafsir Fath al-Qadîr bercorak

rasioanal seperti corak pemikiran kalam Mu’tazilah dan

Maturidiyah Samarkand, ataukah bercorak tradisioanl seperti corak

pemikiran kalam Asy’ariyah dan Maturidiyah Bukahra, atau

merupakan campuran keduanya?

2. Pembatasan Masalah

Mengingat banyaknya ayat-ayat kalam dan luasnya ruang lingkup

pembahasannya, maka dalam tesis ini akan dibatasi pada masalah-masalah

Page 16: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

13

kekuasaan Tuhan dan kehendak mutlak Tuhan, keadilan Tuhan, perbuatan-

perbuatan Tuhan, dan sifat-sifat Tuhan.

3. Perumusan Masalah

al-Dzahabi menyebut bahwa Syi’ah Zaidiyah lebih dekat kepada

Jama’ah Islamiyah (Suni-Asy’ariyah), namun dalam masalah aqidah,

Zaidiyah sesuai dengan Mu’tazilah.37 Berdasarkan latar belakang masalah

yang dikemukakan di atas, dapat dirumuskan permasalahan pokok, yakni:

corak pemikiran kalam apa yang digunakan al-Syaukânî dalam tafsir Fath al-

Qadîr?

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Dimensi kalam dalam pemikiran al-Syaukânî ini dipilih, karena

sepengetahuan penulis belum ada yang mengangkat tema al-Syaukâni dalam

bidang kalam, padahal beliau dikenal sebagai tokoh Syi’ah Zaidiyah yang

lebih cenderung kepada Salaf (Asy’ariyah) dan al-Syaukânî memiliki karya

tafsir sebagai representasi dari pemikirannya.

Kajian tentang pemikiran al-Syaukânî secara utuh masih tergolong

sedikit dilakukan oleh para cendekiawan Muslim ataupun non Muslim.

Sepanjang pengetahuan penulis dengan merujuk kepada informasi penelitian

yang dilakuakan oleh Dr. Nasrun Rusli, kajian secara utuh dan serius tentang

pemikiran al-Syaukânî hanya baru dilakukan oleh sarjana Mesir. Yakni

Ibrâhîm Ibrâhîm Hilâl melalui tesis Magisternya di fakultas Dâr al-‘Ulûm

37 Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah

Wahbah, 2000 M./1421 H.), Juz 3, h. 6, lihat pula, Muhammad Abu Zahrah, al-Imâm Zaid, (Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1959, h. 96.

Page 17: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

14

Universitas Kairo, yang berjudul Walâyah Allah wa al-Tharîq Ilaihâ. Tesis

tersebut khusus membahas tentang pandangan kesufian al-Syaukânî,

terutama yang menyangkut wali Allah. Kajian kesufian yang dibimbing oleh

Mahmûd Qâsim, pakar falsafah Islam tersebut memusatkan kajian pada karya

al-Syaukânî yakni al-Qatr al-Walî ’Ala Hadits al-Qalî. Di dalam karya al-Qatr

al-Walî ’Ala Hadits al-Qalî tersebut dilampirkan pula karya al-Syaukânî yang

menjadi sumber kajian tersebut setebal 315 halaman, melebihi tebal

pembahasan Hilâl, yang hanya setebal 200 halaman.

Setelah itu, Hilâl juga melihat bagaimana pandangan al-Syaukânî

tentang ijtihad dan taqlid, yang dituangkan dalam satu karya ringkas berjudul:

al-Imâm al-Syaukânî wa al-Ijtihâd wa al-Taqlîd. Seperti karya terdahulu, Hilâl

juga melampirkan karya al-Syaukânî yang menjadi sumber kajian itu.38

Dalam karya orang Indonesia, Penulis menemukan beberapa kajian

tentang al-Syaukânî pertama, pada aspek fiqih yang ditulis oleh Dr. Nasrun

Rusli, M.A., yang berjudul ”Konsep Ijtihad al-Syaukânî dan Relevansinya

dengan Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia” karya ini merupakan

Disertasi di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1998 yang kemudian

menjadi sebuah buku dengan judul yang sama seperti Disertasinya, terbitan

Logos tahun 1999 . Karya ini memfokuskan pada kajian ushul fiqih yang

dilakukan al-Syaukânî secara kritis yang kemudian Nasrun Rusli mencoba

kaitkan dengan pembaharuan hukum di Indonesia, dan dari karya ini bisa

dilihat bahwa al-Syaukânî membangun sebuah metodologi ijtihad yang

memperlihatkan kemandiriannya dalam berfikir.

38 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukânî dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum di Indonesia, (Disertasi IAIN Syarif Hidayatullah Jakartah, 1998), h. 21-22.

Page 18: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

15

Kedua, pada aspek pemikiran politik yang ditulis oleh Dr. H. Ahmad

Fahmy Arief, dengan judul Pemikiran Politik Dalam Tafsir Fath al-Qadîr,

karya ini merupakan Disertasi pada IAIN Jakarta, tahun 1997. penelitian ini

menghasilkan beberapa kesimpulan yang sangat mendasar tentang

kepemimpinan, musyawarah, keadilan, hidup berserikat dan berkumpul yang

dipahami dari kitab tafsir Fath al-Qadîr karya al-Syaukânî.39

Dan yang ketiga, kajian tentang illat dalam konteks Usul Fiqh yang

ditulis oleh M. Syafi’i dengan judul Syarat-Syarat Illat menurut al-Syaukânî

Kajian Terhadap Kitab Irsyâd al-Fuhûl Pemikiran dan Praktek. Karya ini

merupakan Tesis pada IAIN Ar-Raniri Darussalam – Banda Aceh, tahun

1993. Tesis ini merupakan kajian ilmiah terhadap sebuah kitab Usul Fiqih

karya al-Syaukânî. Secara khusus Tesis ini mengangkat syarat-syarat illat

yang terdapat dalam kitab tersebut.40

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

1. Menjelaskan pendekatan (manhâj) dan metode (tarîqah) tafsir al-

Syaukânî dalam tafsir Fath al-Qâdir;

2. Menjelaskan dan memahami paradigma pemikiran kalam al-

Syaukânî;

3. Menjelaskan corak kalam al-Syaukânî dalam tafsir Fath al-Qadîr;

39 Ahmad Fahmy Arief, Pemikiran Politik Dalam Tafsîr Fath al-Qadîr, Disertasi IAIN

Jakarta, 1997. 40 M. Syafi’I, Syarat-Syarat Illat menurut al-Syaukânî Kajian Terhadap Kitab Irsyâd

al-Fuhûl Pemikiran dan Praktek. Tesis IAIN Ar-Raniri Darussalam – Banda Aceh, tahun 1993.

Page 19: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

16

4. Mengungkapkan kemungkinan adanya dua paham yang berbeda

yang terdapat pada pemikiran kalam al-Syaukânî dalam tafsir Fath a-

Qadîr.

E. Manfaat/Signifikansi Penelitian

Realisasi penelitian ini akan bermanfaat dan sinifikan paling tidak:

pertama, memperluas kajian penafsiran al-Qur’an tentang kalam secara

konseptual. Kedua, dengan adanya kajian ini, dapat menjadi kontribusi

ilmiah dalam disiplin ilmu-ilmu al-Qur’an. Karena ilmu al-Qur’an bukanlah

disiplin ilmu yang mati dan terbatas untuk jangkauan masa lampau saja, akan

tetapi juga mengakomodir perkembangan baru sesuai dengan pemahaman

manusia dalam setiap zamannya. ketiga Memberikan sumbangan kajian

pemikiran kalam al-Syaukânî kepada para pembaca agar tidak terlalu apriori

terhadap tafsir Fath al-Qadîr; Dan terakhir, kajian ini dapat memberikan arah

bagi penelitian-penelitian serupa yang lebih intensif di belakang hari.

Kesinambungan antara satu penelitian dengan penelitian yang lain, selain

dapat mengurangi tumpang tindihnya (overlapping) informasi, ia juga bisa

menjadi koreksi bagi penelitian terdahulu yang menawarkan pandangan baru

sebagai antisipasi atas persoalan-persoalan yang dihadapi zamannya.

F. Metodologi Penelitian

Penelitian tesis ini dilakuakn melalui riset kepustakaan (library

research), yaitu dengan membaca karya-karya al-Syaukânî sebagai data

primer dan meneliti karangan-karangan yang ditulis oleh orang lain tentang

Page 20: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

17

al-Syaukânî sebagai data sekunder.41 Dan kajiannya secara deskriptif dan

analitis, yakni penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahaman

masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subyek/obyek

penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain), pada saat

sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.42

Deskriptif43 analitis44 yakni analitis dalam pengertian historis dan

filosofis. Sebagai suatu analisa filosofis terhadap seorang tokoh yang hidup

pada suatu zaman yang lalu,45 maka secara metodologis menggunakan

pendekatan sejarah (historical approach),46 yang mengungkap hubungan

seorang tokoh dengan masyarakat, sifat, watak pemikiran dan ide seorang

tokoh.47

Sedangkan sumber yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah

berasal dari data primer (primary resources) dan skekunder (secondary

resources). Sumber primernya adalah karya al-Syaukâni sendiri yakni tafsir

41 Komaruddin, Kamus Riset, (Bandung: Angkasa, 1984), h. 145, lihat pula, Noeng

Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Yake Sarasin, 1996), h. 49. 42 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada

University Press, 2003), h. 63. 43 Deskriptif adalah bersifat menggambarkan apa adanya, lihat, Departemen

Pendidikan Nasioanal, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), cet. Ke 3, h. 258.

44 Analitis adalah penguraian Sesutu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan, atau juga mengandung pengertian penjabaran sesudah dikaji sebaik-baiknya. Lihat, Departemen Pendidikan Nasioanal, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), cet. Ke 3, h. 43.

45 Anton Bakker dan Achmad Charris Zubeir, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h. 61.

46 Syahrin Harahap, Penuntun Penulisan Karya Ilmiah Studi Tokoh Dalam Bidang Pemikiran Islam, (Medan: IAIN Press, 1995), h. 18.

47 M. Nizar, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), h. 62.

Page 21: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

18

Fath al-Qadîr al-Jâmi‘ Baina Fannai al-Riwâyat wa al-Dirâyat min ‘Ilm al-

Tafsîr.48

Sedangkan data sekundernya penulis mengunakan buku-buku yang

terkait dengan cakrawala pemikiran al-Syaukânî dan ilmu-ilmu yang terkait

dalam berbagai bidang ilmu, khusunya tentang kalam dari sisi rasional atau

tradisional. Selanjutnya, karena penelitian ini, ingin mengungkap apakah

corak kalam al-Syaukânî rasioanla atau tradisional, maka penulis merujuk

kepada dari aliran muktazilah misalnya Syarh al-Ushûl al-Khamsah karya

Qâdi al-Qudât Abu Hasan ‘Abd al-Jabbâr bin Ahmad bin al-Khalîl bin

‘Abdullah al-Hamdân al-Asad Abadî (w. 459 H.). Dan dari aliran Asy’ariyah

adalah al-Ibânât al-Ushûl al-Diyâna dan al-Luma‘ fî al-Radd ‘alâ Ahl al-Zaig

wa al-Bida‘ masing-masing karya al-Syaikh al-Imam Abî al-Hasan ‘Alî bin

‘Ismâ‘îl al-Asy’ari (w. 324 H.). Sedangkan dari aliran Maturidiyah Bukhara

adalah Kitab Ushûl al-Din, karya Abu Yusuf Muhammad al-Bazdawi. Selain

itu juga penulis menghadirkan karya lain yang masih ada keterkaitan dengan

pembahasan tesis ini diantaranya Konsep Ijtihâd al-Syaukânî karangan Dr.

Nasrun Rusli, Pemikiran Politik Dalam Tafsîr Fath al-Qadîr, karya ini

merupakan Disertasi pada IAIN Jakarta, tahun 1997 karya Dr. H. Ahmad

Fahmy Arief, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan

karya Prof. Dr. Harun Nasution, dan lain-lain.

48 Tafsir ini merupakan karya monumental al-Syaukânî yang menjadi objek

penelitian pada tesis ini. Pada tafsir ini mengurai secara terperinci tentang aspek bahasa al-Qur’an. Sebelum mengurai kandungan satu ayat, ia menjelaskan terlebih dahulu kata-kata yang dipergunkan al-Qur’an, kemudian menguraikan kandungan ayat itu lengkap dengan sebab turunnya dan perbedaan pendapat ulama tentang hukum yang dikandung ayat itu.

Page 22: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

19

Adapun teknis penulisan dalam tesis ini, penulis berpedoman pada

buku ”Pedoman Penulisan Karya Ilmiah; (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” yang

diterbitkan oleh CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, cetakan II, tahun

2007.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam membahas tesis ini, maka karya ilmiah ini

ditulis dalam lima bab yang masing-masing bab terdiri dari pasal-pasal yang

terkait antara satu dengan yang lainnya, dengan sistematika sebagai berikut:

Bab pertama adalah pendahuluan. Bab ini berisi tentang latar

belakang masalah, permasalahan, penelitian terdahulu yang relevan, tujuan

penelitian, manfaat/signifikansi penelitian, metodologi penelitian, dan

sistematika penulisan.

Bab kedua membahas biografi al-Syaukânî, meliputi biografi singkat

dan potret kehidupan awal, karya-karya, guru dan murid-muridnya, serta

hubungan al-Syaukânî dan Syiah Zaidiyah.

Bab ketiga membahas tentang pendekatan (manhâj) dan metode

(tarîqah) tafsir Fath al-Qâdîr karya al-Syaukânî, yang meliputi mengenal tafsir

Fath al-Qadîr, pendekatan (manhâj) tafsîr al-Syaukani dalam tafsir Fath al-

Qadîr, dan metode (tarîqah) tafsîr al-Syaukani dalam tafsir Fath al-Qadîr.

Bab keempat membahas Analisis corak kalam tafsir Fath Al-Qadîr

telaah atas pemikiran al-Syaukânî dalam teologi Islam. Bab ini menjadi inti

pembahasan dalam kajian ini, meliputi: kekuasaan Tuhan dan kehendak

mutlak Tuhan, keadilan Tuhan, perbuatan-perbuatan Tuhan, dan sifat-sifat

Page 23: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

20

Tuhan. Masing-masing butir, dibagi lagi menjadi dua sub tema: pertama,

ayat-ayat kalam dan pandangan Mu’tazilah, Maturidiyah Samarkand,

Asy’ariyah dan Maturidiyah Bukhara. Dan kedua adalah pandangan al-

Syaukani berkenaan dengan masalah-masalah kalam yang dibahas.

Bab kelima adalah bab penutup, yang berisi kesimpulan yang di tarik

dari pembahasan dari sub-sub sebelumnya, dalam rangka menjawab masalah

pokok yang telah dirumuskan di bagian pendahuluan dan juga memuat

saran-saran konstruktif.

Page 24: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

21

H. KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan dari bab terdahulu terutama dalam bab IV,

dapatlah disimpulkan bahwa pemikiran kalam yang terdapat dalam tafsir

Fath al-Qadîr adalah “bercorak tradisioanal, atau yang lebih tepat dikatakan

semi rasional (campuran antara rasional dan tradisional)”. Karena sejauh

penelitian dalam tesis ini, penafsiran al-Syaukani juga ditemukan penafsiran

tradisional, kadang pula terdapat penafsiran yang bercorak rasional.

Tergantung kepada ayat yang diteliti, seperti yang diungkapkan dimuka.

Campuran antara corak kalam rasional dan tradisioanalnya al-

Syaukani barangkali lebih kepada keterpengaruhan pemikiran Mu’tazilah

terhadap Syiah Zaidiyah yang ia anut.

Namun, perlu ditambahkan bahwa corak tradisional pemikiran kalam

yang terdapat dalam tafsir Fath al-Qadîr tersebut, tidaklah seluruhnya sejalan

dengan pemikiran kalam yang dibawa oleh Asy’ariyah dan Maturidiyah

Bukhara. Begitu juga dengan corak rasionalnya al-Syaukani tidak selalu

sejalan dengan Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand.

Secara umum, dari empat persoalan kalam yang dianalisis, yakni a)

kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, b) keadilan Tuhan, c) perbuatan-

perbuatan Tuhan yang dibagi menjadi tiga yakni antropomorfisme,

ru’yatullah dan penciptaan al-Qur’an, dan d) sifat-sifat Tuhan, yang dibagi

lagi menjadi tiga yaitu: memberi beban di luar kemampuan manusia,

pengiriman Rasul dan janji dan ancaman. Masalah pada poin a,

pemahaman al-Syaukani sejalan dengan Asy’ariyah. Sedangkan pada

masalah keadilan Tuhan pemahaman al-Syaukani sejalan dengan campuran

Page 25: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

22

atas keduanya rasional dan tradisional. Kemudian masalah perbuatan Tuhan,

pemahaman al-Syaukani sejalan dengan corak rasional dan tradisional. Hal

itu terlihat, ketika al-Syaukani membahas tantang permasalahan memberi

beban di luar kemampuan manusia, Al-syaukani lebih kepada pemikiran

Mu’tazilah. Sedang pengiriman Rasul, al-Syaukani lebih dekat memakai

pendekatan yang digunakan oleh Asyariyah dan ketika al-Syaukani

membahas tentang ayat janji dan ancaman pemahamannya sejalan dengan

corak rasional. Dan yang terakhir tentang masalah sifat-sifat Tuhan, al-

Syaukani menggunakan pemahaman tradisional. Pemahaman al-Syaukani

ketika membahas antropomorfisme menggunakan pemahaman campuran

antara rasional dan tradisional, tentang ru’yatullah lebih menggunakan

pemahaman rasional, dan tentang penciptaan al-Qur’an, al-Syaukani lebih

memilih tidak bersikap (tawaqquf).

Kemudian berkenaan dengan masalah kekuasaan dan kehendak

mutlak Tuhan, al-Syaukani berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak

mutlak Tuhan berlaku semutlak-mutlaknya. Artinya di tangan Allahlah semua

keputusan baik maupun buruknya. Namun, kekuasaan dan kehendak mutlak

Tuhan itu tidaklah berlaku sewenang-wenang. Semua takdir Allah

mempunyai jalannya sendiri, yakni sunnatullah.

Pemikiran al-Syaukani tentang kekuasaan mutlak dan kehendak

mutlak Tuhan yang dianut oleh al-Syaukani tidak sejalan dengan paham

yang dianut oleh Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand. Mu’tazilah dan

Maturidiyah Samarkand pemikiran bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak

Tuhan terbatas.

Page 26: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

23

Oleh sebab itu, dengan ungkapan bahwa kekuasaan dan kehendak

mutlak Tuhan, yang dalam pandangan al-Syaukani berlaku berdasarkan

kehendak-Nya secara mutlak, maka dapat disimpulkan pemahaman al-

Syaukani tersebut di atas, lebih dekat kepada pemahaman yang dibawa oleh

aliran Asy’ariyah.

Aliran al-Asy’ariyah menganut paham bahwa Tuhan tetap mempunyai

kehendak dan kekuasaan mutlak. Segala sesuatu kejahatan maupun

kebaikan terjadi menurut kehendak-Nya. Tidak seorangpun yang mampu

berbuat kalau tidak dengan kehendak Allah. Manusia dalam hal ini dianggap

lemah dan tidak bisa keluar dari ilmu Allah. Allah adalah satu-satunya

pencipta. Perbuatan manusia adalah ciptaan-Nya.

Kemudian, keadilan Tuhan. al-Syaukani nampaknya termasuk dalam

dua aliran corak kalam yakni corak tradisioanl dan rasional. Keadilan Tuhan

dalam fersi aliran tradisioanl menitik beratkan pada makna keadilan Tuhan

yang mempunyai kekuasaan mutlak terhadap apa yang dimiliki-Nya.

Sementara keadilan yang dipahami oleh aliran kalam rasioanal adalah yang

memberikan makna keadilan pada kepentingan manusia.

Semangat keadialan seperti yang dipahami oleh aliran kalam rasional

tergambar dengan jelas dalam penafsiran yang diberikan oleh al-Syaukani

terhadap ayat-ayat kalam tentang keadilan Tuhan. Namun itu semua belum

bisa di katakana bahwa paham keadilan al-Syaukani lebih cenderung kepada

aliran rasional. Justru penafsiran al-Syaukani tentang keadilan Tuhan lebih

bisa dikatakan juga masuk pada keduanya (rasional dan tradisioanl). Artinya

Page 27: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

24

al-Syaukani dalam menggunakan penafsiran terhadap ayat-ayat tentang

keadilan Tuhan sesuai dengan rasional dan tradisional.

Berkenaan dengan masalah beban di luar kemampuan manusia (taklîf

ma lâ yutaq), al-Syaukani kelihatannya sepaham dengan Mu’tazilah dan

Maturidiyah Samarkand yang menolak pandangan bahwa Tuhan tidak dapat

memberikan beban di luar kemampuan manusia untuk memikulnya. Dalam

kaitan ini, al-Syaukani mengatakan bahwa “Tuhan tidak mendatangkan

perintah kalau manusia itu tidak mampu melaksanakannya”.

Kemudian masalah pengiriman Rasul, penulis berhadapan dengan

pandangan yang kurang jelas dari al-Syaukani. Apakah al-Syaukani

menganut pandangan bahwa pengiriman Rasul itu wajib, ataukah pengiriman

Rasul itu tidak wajib, al-Syaukani nampaknya tidak mengungkapkan secara

gamblang. Kalau memang benar al-Syaukani menganut aliran salaf,

seharusnya pemikiran al-Syaukani berpandangan bahwa pengiriman Rasul

itu wajib. Namun, sayang penulis belum menemukan dari pemikiran al-

Syaukani tersebut.

Berkenaan dengan janji Tuhan, tergambar dalam penafsiran al-

Syaukani, bahwa Allah tidak akan mengingkari janji. Maka kalau demikian,

maka al-Syaukani menganut pemikiran kalam Mu’tzilah.

Tentang sifat-sifat Tuhan al-Syaukani sebenarnya lebih cenderung

kepada pandangan yang di anut di kalangan pemikir kalam rasional-

tradisioanl. Dikatakan rasional yakni al-Syaukani dalam memahami nash-

nash antrpomorfisme tersebut tidak dalam makna harfiahnya, tetapi dalam

makna metaforisnya.

Page 28: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

25

Pada penelitian ayat-ayat pada bab IV, disebut yakni: ‘alâ al-‘arsyi

istawâ, ‘ainî, wajh, biyamînih, dan jâ’a Rabbuka, dipahami al-Syaukani tidak

dalam makna harfiyahnya, tetapi ia mempergunakan makna metaforis.

Namun di sisi lain, ditemukan juga penafsiran al-Syaukani, yang cenderung

ke corak tradisional seperti pada surat al-A’raf yang dibahas pada bab IV

yang lalu. Jadi lebih tepat al-Syaukani di katakatan memiliki corak rasional-

tradisional.

Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa pada hakekatnya al-

Syaukani, bila berhadapan dengan nash-nash antropomorfisme tersebut,

cenderung menggunakan takwil dan kadang juga memaknai secara lahir.

Ru’yatullah dalam pandangan al-Syaukani adalah, Tuhan dapat

dilihat, akan tetapi tidak dengan mata kepala. Penafsiran al-Syaukani ini

jelas terlihat bahwa al-Syaukani memahami masalaha ru’yatullah ini sejalan

dengan kalam rasional, yakni Tuhan memang dapat dilihat, akan tetapi

bukan dengan mata kepala.

Dalam masalah penciptaan al-Qur’an, al-Syaukani tidak sependapat

dengan Mu’tazilah yang memandang bahwa al-Qur’an sebagai makhluk dan

bersifat baharu dan al-Asy’ariyah yang memandang al-Qur’an sebagai

Qadim. Menurut al-Syaukani, Nabi Saw., para sahabat dan tabi’in, dan

umumnya para ulama salaf tidak pernah membicarakan hal ini. Maka, jalan

yang diambil al-Syaukani adalah tawaqquf (tidak bersikap).

Dari tinjuan ulang yang tersaji di atas jelas terlihat bahwa al-Syaukani

dapat dimasukkan antara keduanya yakni corak rasional dan tradisional.

namun menurut penulis paham al-Syaukani terhadap kalam, nampak dari

Page 29: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

26

uraian di atas, lebih kuat kecenderungannya kepada madzhab salafiyah,

walaupun pada awalnya al-Syaukani penganut paham Zaidiyyah, di mana

paham tersebut pemikirannya cenderung dipengaruhi oleh paham Mu’tazilah,

sehingga dalam proses mencari dan menemukan kebenaran berfikir dari al-

Syaukani tidak mutlak pada pendirian sendiri.

Corak kalam al-Syaukani dalam tafsir Fath al-Qadîr menurut hemat

penulis kurang rasional, karena dari beberapa ayat tantang kekuasaan mutlak

Tuhan, keadilan Tuhan, perbuatan-perbuatan Tuhan, dan sifat-sifat Tuhan,

dalam paparan tafsirnya cenderung kepada ketentuan Allah Swt, di mana

manusia tidak memiliki kemutlakan dan kekuasaan. Bahkan semua

perbuatan dan gerak langkah yang dilakukan manusia dan lain sebagainya

dikendalikan dan ditakdirkan oleh Allah.

Page 30: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

27

Riwayat Hidup Penulis

Hasani Ahmad Syamsuri, lahir 21 Februari 1982 di Pabean, Pulomerak, Cilegon, Banten. Anak kesebelas dari 12 bersaudara dari pasangan ayah Ahmad Syamsuri dan Ibu Sunariyah. Setelah menyelesaikan Sekolah Dasar Negeri Pecinan (pagi) dan memperoleh Ijazah tamat belajar pada tahun 1995 serta Madrasah Ibtidaiyah (sore) pada tahun 1995, ia meneruskan pendidikannya ke Madrasah Tsanawiyah (MTs) al-Khairiyah Karang Tengah hingga tamat pada tahun1998. Selanjutnya melanjutkan ke Madrasah Aliyah (MA) al-Khairiyah, dan diselesaikan pada tahun 2001. dan pada waktu yang bersamaan antara MTs dan Aliyah belajar di Pondok Pesantren Ma’had Nurul Qamar yang sekarang berubah nama menjadi Banu al-Qamar di bawah asuhan K.H. Hasbullah Qamar dari tahun 1996-2001, semuanya dilewatkan di Cilegon, Banten. Pada tahun 2001 hijrah ke Jakarta, untuk melanjutkan studi ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah yang sekarang berubah nama menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, jurusan Tafsir Hadis, yang dapat diselesaikan dalam waktu 3,5 lulus tahun 2005 dengan judul Skripsi ”Hadîs Tentang Adzan Ditinju Dari Segi Sejarah; Kajian Masalah Adzan Subuh dan Jum’at ” di bawah bimbingan Dr. H. Ahmad Luthfi Fathullah, M.A. dan Drs. Bustamin, MBA. Pada tahun 2001 - sekarang mengikuti Program S-2 perguruan tinggi yang sama, di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Pendidikan ini sedang proses penyelesaian. Menulis Tesis dengan judul ”Corak Pemikiran Kalam Tafsir Fath al-Qadîr: Telaah Atas Pemikiran al-Syaukani dalam Teologi Islam” di bawah bimbingan Prof. Dr. H. Salman Harun. Di tahun yang sama (2001) ia mengikuti program Pendidikan Kader Ulama (PKU) angkatan ke VIII MUI DKI Jakarta setara dengan S-2 non Tesis dan diwisuda (lulus) pada tahun 2007 oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta Dr. H. Fauzi Bowo. Dalam dunia organisasi sosial kemasyarakatn dan keagamaan, aktif menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Banten (HMB), Keluarga Mahasiswa Serang-Cilegon, pengurus Himpunan Qari’ dan Qari’ah Mahasiswa (HIQMA) UIN Syahid Jakarta, dan sekarang menjadi pengajar tilawah dan anggota Dewan Penasihat Organisasi HIQMA, dari tahun 2001-sekarang, pengurus Lembaga Tahfidz dan Ta’lim al-Qur’an (LTTQ) Masjid Fathullah dari tahun 2002-sekarang, dan sekarang menduduki Direktur Public Relation. Selain itu juga, aktif di berbagai Musabaqah Tilawatil Qur’an

Page 31: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

28

dari tingkat Kabupaten sampai ke Nasional, dan tahun 2004 meraih juara I, MTQ tingkat Nasional Oxford dan Depag RI, hingga mengantarkan menuju tanah suci Baitullah (rumah Allah). Di dunia kerja kini menjadi staff Haji dan Umrah al-Tur Travel, lt. 2 Wisma Usaha UIN Jakarta. Pada tahun 2007 ini, sedang merintis dan mendirikan Travel dan Tour bergerak di bidang Umrah dan Haji, Ticketing, dan Touring. Di sela-sela rutinitas aktifitas tersebut, juga mengabdi sebagai pengajar di berbagai tempat, antara lain di SMP 87 Pondok Pinang Jakarta, Yayasan al-Khairiyah Kebon Jeruk Jakarta, dan Pondok Pesantren Nurul Iman, Tangerang, Banten, semuanya mengajar Tilawah al-Qur’an. Selain mengajar pengajar privat al-Quran di berbagai tempat. Selain itu, mengabdi sebagai Muadzin tetap Masjid Fathullah UIN Jakarta. Juga terlibat aktif dengan dunia dakwah melalui berbagai mimbar, imam, dan sebagai Qari’ (pembaca al-Qur’an) dari tingkat kampung, masjid, instansi pemerintah, hotel, Kampus (Wisuda, Seminar Nasional-Internasional, Pengukuhan Guru Besar dan Dr. H.C.) hingga menuju ke Istana Presiden dan Wakil Presiden.

Asrama Masjid Fathullah UIN Ciputat, 01 Oktober 2007

Page 32: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

KATA PENGANTAR

تتاااااااااااانننMengawali kata pengantar tesis ini, tidak ada kalimat yang paling tepat

untuk menunaikan puji dan syukur, selain kepada Dzat yang maha terpuji yaitu

Allah Swt. Salawat dan salam, kita mohonkan kehadirat-Nya, semoga selalu

dipersembahkan kepada Nabi dan Rasul penutup, yaitu Muhammad Saw.

beserta segenap keluarga dan sahabtnya; bahkan umatnya hingga akhir zaman.

Atas karunia-Nya pula, penulisan tesis ini yang berjudul “Corak pemikiran

kalam tafsir Fath al-Qadîr: telaah atas pemikiran al-Syaukani dalam teologi

Islam” ini dapat diselesaikan. Sehubungan dengan terselesaikannya tesis ini,

sungguh pada tempatnyalah apabila penulis menyampaikan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada semua banyak pihak baik secara langsung maupun

tidak langsung ikut berpartisipasi membangun teori dan data. Sehingga, tesis ini

dapat selesaikan sebagaimana mestinya. Maka, penulis selayaknya mengabdikan

budi baik kepada para pihak yang telah membantu dengan ungkapan syukur al-

hamdulillah yang tidak terhingga.

Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada Dosen Pembimbing penulis, Bapak Prof. Dr. H. Salman Harun, atas

segala bimbingan, dorongan, bantuan serta nasehatnya selama proses penulisan

tesis.

Tidak lupa penulis haturkan terima kasih kepada kedua orang tua yang

paling penulis hormati dan banggakan, yakni Ahmad Syamsuri dan Sunariyah

yang tidak henti-hentinya memberikan dorongan motivasi serta doa yang tulus

bagi keberhasilan penulis dalam mengukir kehidupan yang berguna bagi nusa,

bangsa, dan agama. Serta kakak-kakak penulis diantaranya kang Tafriji,

Page 33: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

S.E.,M.M., kang Fuad, S. Pd., yang tidak henti-hentinya memberikan dukungan

baik moril maupun materil.

Penulis juga secara khusus mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr.

K.H. Moh. Ardani, Prof. Dr. H. Abdul Azis Dahlan dan Dr. Yusuf Rahman, yang

telah bersedia meluangkan waktu untuk berdiskusi dan konsultasi bahkan ngaji

kitab tafsîr Fath al-Qadîr. Beliau-beliau menjadi pembimbing lepas penulis,

sehingga penulis mendapat beberapa rujukan penting dalam rangka

merampungkan tesis ini.

Dan kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu di

sini, penulis ucapkan banyak terima kasih, karena tanpa bantuan mereka, tesis ini

tidak mungkin dapat terselesaikan.

Kiranya tesis ini tidak dapat dikatakan sempurna, karena tesis ini hanya

satu usaha dan upaya kecil dalam rangka menambah khazanah keilmuan Islam

khususnya kajian tafsir dengan corak kalam. Namun demikian, harapan penulis,

tesis ini dapat bermanfaat dan kontribusi yang baik bagi umat dan

perkembangan keilmuan. Amin.

Masjid Fathullah UIN Jakarta

Ciputat, Tangerang, Banten, 01 September 2007

Page 34: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

DAFTAR ISI

ABSTRAK ……………………………………………………………… i KATA PENGANTAR …………………………………………………. iii DAFTAR ISI …………………………………………………………… vi PEDOMAN TRANSLITERASI ……………………………………… viii LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………... xii LEMBAR PERNYATAAN …………………………………………… xiii LEMBAR PERSEMBAHAN ………………………………………… xiv BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ………………...………………….. 1 B. Permasalah …………………………………………………… 14 C. Penelitian Terdahulu Yang Relevan …………………...…... 17 D. Tujuan penelitian ……………….....………………………… 19 E. Manfaat/Signifikansi Penelitian ………………….…………. 20 F. Metodologi Penelitian ……………………………..……….. 21 G. Sistematika Penulisan ………………………………………. 23

BAB II BIOGRAFI AL-SYAUKÂNÎ

A. Biografi Singkat dan Potret Kehidupan Awal ..................... 25 B. Karya-Karyanya ................................................................. 33 C. Guru dan Murid-Muridnya ................................................. 37 D. Al-Syaukânî dan Syiah Zaidiyah ........................................ 44

BAB III MANHAJ DAN METODE TAFSIR FATH AL-QADÎR A. Mengenal Tafsir Fath al-Qadîr dan Metode Penyusunanya

.......................................................................................... 55 B. Pendekatan (manhâj) Tafsir al-Syaukâni dalam Tafsir Fath

al-Qâdîr ........................................................................... 62 C. Metode (tarîqah) Tafsir al-Syaukâni dalam Tafsir Fath al-

Qâdîr ................................................................................ 65

Page 35: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

BAB IV ANALISIS CORAK KALAM TAFSIR FATH AL-QADÎR: TELAAH ATAS PEMIKIRAN AL-SYAUKÂNÎ DALAM TEOLOGI ISLAM A. Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan ....................... 76

1. Ayat-ayat Kalam tentang Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan dan Pandangan Mu’tazilah, Maturidiyah Samarkand, Asy’ariyah dan Maturidiyah Bukhara ....... 77

2. Pandangan al-Syaukani terhadap Ayat-ayat Kalam tentang Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan ........ 84

B. Keadilan Tuhan ............................................................... 94 1. Ayat-ayat kalam tentang Keadilan Tuhan dan

Pandangan Mu’tazilah, Maturidiyah Samarkand, Asy’ariyah dan Maturidiyah Bukhara .......................... 96

2. Pandangan al-Syaukani terhadap Ayat-ayat Kalam tentang Keadilan Tuhan .............................................. 106

C. Perbuatan-perbuatan Tuhan ........................................... 116 1. Ayat-ayat kalam tentang Perbuatan-perbuatan Tuhan

dan Pandangan Mu’tazilah, Maturidiyah Samarkand, Asy’ariyah dan Maturidiyah Bukhara .......................... 118

2. Pandangan al-Syaukani terhadap Ayat-ayat Kalam tentang Perbuatan-perbuatan Tuhan ........................... 127

D. Sifat-sifat Tuhan …………………………………………… 133 1. Ayat-ayat kalam tentang Sifat-sifat Tuhan dan

Pandangan Mu’tazilah, Maturidiyah Samarkand, Asy’ariyah dan Maturidiyah Bukhara .......................... 133

2. Pandangan al-Syaukani terhadap Ayat-ayat Kalam tentang Sifat-sifat Tuhan ............................................. 154

BAB V Kesimpulan …………………………………………………. 175 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………….......... 177

Page 36: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

PEDOMAN TRANSLITRASI

1. Padanan Aksara

Berikut ini daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

tidak dilambangkan ا

B be ب

T te ت

Ts te dan es ث

J je ج

H h dengan garis bawah ح

Kh Ka dan ha خ

D de د

Dz de dan zet ذ

R er ر

Z zet ز

S es س

Sy es dan ye ش

S es dengan garis di bawah ص

D de dengan garis di bawah ض

T te dengan garis di bawah ط

Z zet dengan garis di bawah ظ

koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع

Gh ge dan ha غ

F ef ف

Q ki ق

Page 37: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

K ka ك

L el ل

M em م

N en ن

W we و

H ha ه

apostrof ‘ ء

Y ya ي

2. Vokal

Vocal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari

fokal tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau divtong.

a. Vokal tunggal

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

a Fathah ــــــَــــــ

i Kasrah ــــــِــــــ

ـــــــــــُ u Dammah

b. Vokal Rangkap

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ai a dan i ــــــَــــــ ي

au a dan u ـــــــَـــــ و

c. Vokal Panjang

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

â a dengan topi di atas ـــَــأ

î i dengan topi di atas ـــِـــي

û u dengan topi di atas ـــُـــو

Page 38: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

3. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam system aksara Arab di lambangkan dengan

huruf, yaitu (ال), dialihaksarakan menjali /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah

maupun qamariyyah. Contoh al-rijâl, al-diwân, bukan ad-diwân.

4. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau Tasydîd yang dalam bahasa Arab dilambangkan tanda ( ّ ),

dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan

huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi hal itu tidak berlaku jika huruf

yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata samdang yang diikuti oleh

huruf syamsiyyah. Misalnya, kata الضرورة tidak ditulis ad-darûrah melainkan al-

darûrah, demikian seterusnya.

5. Ta Marbûtah

Penulisan ta marbûtah jika berdiri sendiri atau ta marbûtah diikuti oleh

kata sifat (na‘t) maka dialihaksarakan menjadi huruf h. contoh: طریقة ditulis

tarîqah, الجامعة االسالمیة dialihaksarakan menjadi al-jâmi‘ah al-Islâmiyyah. Namun

jika ta marbûtah diikuti kata benda maka huruf tersebut diaksarakan menjadi t.

contoh وحدةالوجود menjadi wahdat al-wujûd.

Page 39: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Tesis yang berjudul CORAK PEMIKIRAN KALAM TAFSIR

FATH AL-QADÎR: TELAAH ATAS PEMIKIRAN AL-SYAUKANI

DALAM TEOLOGI ISLAM telah diujikan dalam sidang munaqasyah

Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

pada tanggal 23 Oktober 2007. Tesis ini telah diterima sebagai salah satu

syarat untuk memperoleh gelar M.A. pada konsentrasi Tafsir Hadits.

Jakarta, 23 Oktober 2007

Sidang Munaqasyah,

Ketua, Pembimbing,

Dr. Yusuf Rahman, M.A. Prof. Dr. H. Salman Harun Hari/tgl.: Hari/tgl.:

Penguji:

Prof. Dr. H. Abdul Azis Dahlan Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A. Hari/tgl.: Hari/tgl.:

Page 40: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam sumber ajaran dasarnya adalah al-Qur’an dan Hadits1. Allah

berfirman bahwa al-Qur’an adalah cahaya (Q.S. 6: 174), petunjuk (Q.S. 1:

2), penyembuh penyakit yang ada dalam dada (Q.S. 10: 57), pembela

terhadap kitab dan syari’at terdahulu (Q.S. 5: 48), yang diturunkan kepada

Nabi Muhammad Saw. sebagai undang-undang yang adil dan syariat yang

kekal, sebagai pelita yang bersinar terang dan petunjuk yang nyata. Orang

yang berkata berdasarkan al-Qur’an adalah benar; orang yang

mengamalkannya akan mendapat pahala; orang yang menghakimi

dengannya adalah adil; dan siapa yang mengajak orang lain untuk

mengimaninya akan diberi petunjuk kejalan yang lurus.2

Setiap muslim, wajib memahami ajaran-ajaran dasar itu. Oleh karena

itu, al-Qur’an dan Hadits perlu ditafsirkan. Kata tafsîr3 (exegesis) berasal dari

1 Penjelasan hal itu termaktub pada hadits Nabi yang artinya: “Aku tinggalkan dua

perkara, jika kalian berpegang kepada keduanya, maka kamu tidak akan sesat, hal tersebut adalah Kitabullah (al-Qur’ân) dan Sunnah Rasul (Hadîts). Lihat Imâm Mâlik, al-Muwatta’, (Mesir: Kitâb al-Sya’bab, t.th.), h. 560, lihat pula Imâm Ahmad Ibn Hanbal, Musnâd Ahmad ibn Hanbal, (Beirût: Dâr al-Sadîr, t.th.), jilid III, h. 26, dalam persepsi hadits lain ada juga yang menjelaskan bahwa ajaran pokok Islam hanya al-Qur’ân saja. Hal tersebut bisa di lihat antara lain pada Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, (Mesir, Mustafa al-Bâbî al-Halabî, 1952), jilid I, h. 442

2 Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdu’I, terj. Suryan A. Jamrah, (Jakarta: Rajawali Press, 1994), h.1-2

3 Uraian secara mendalam berkenaan dengan asal usul kata tafsir, dapat dibaca antara lain: Khalid Utsmân al-Tsabt, Qawâ’id al-Tafsîr Jam‘an wa Dirâsatan, (al-Mamlakah al-‘Arâbiyyah al-Su‘ûdiyyah: Dâr ibn ‘Affan, 1999), j. 1, h. 25-29, lihat pula, Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), j. 1, cet. Ke

Page 41: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

2

bahasa Arab, fassara-yufassiru-tafsîran. Derifasi ini mengandung pengertian

menyingkap (al-Kasyfu), memperjelas (izhâr) atau menjelaskan.4 Ibnu Manzûr

dalam kamus besar Lisân al-‘Arâb, beliau berkata: kata al-fasru berarti

menyingkap sesuatu yang tertutup, sedangkan al-tafsîr menyingkap sesuatu

lafaz yang susah dan pelik. 5 A. Warson memberikan pengertian kata tafsîr

merupakan bentuk masdar yang berarti menjelaskan, memberi komentar,

menterjemahkan atau mentakwilkan.6 Ibn Faris ibn Zakariya menjelaskan

bahwa secara harfiyah, kata tafsir yang berasal dari bahasa Arab dan

merupakan bentuk masdar dari kata fassara serta terdiri dari huruf fa, sin, dan

ra itu berarti keadaan jelas (nyata dan terang) dan memberikan penjelasan.7

Secara terminologis, tafsîr adalah ilmu yang membahas tentang apa

yang dimaksud oleh Allah dalam al-Qur’an sepanjang kemampuan manusia.8

Pengertian senada diberikan Muhammad Badruddîn al-Zarkâsyi (745-749

H./1344-1391 M.) yang mendefinisikan ilmu tafsir adalah ilmu untuk

memahami kitabullah (al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi-Nya

7, h. 12-13, lihat pula, Muhammad bin Abdullah al-Zarkâsyi, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Bairut-Libanon: ‘Isa al-Bab al-Halabi, t.th.), j. 2, h. 147-149

4 Lihat ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali al-Jurjani, al-Ta’rifât, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Arabi, 1405 H.), h. 87

5 Lihat pula Ibnu Manzûr al-Afrîqi, Lisân al-‘Arâb, (Beirut: Dâr al-Sadîr, tth.), j.5, h.55.

6 Lihat A.Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku PP al-Munawwir, 1984), h.1134.

7 Abi al-Husein ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Maqâyis al-Lughah, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1970), juz IV, h. 504

8 Lihat al-Zarqânî, Manâhil al-Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, tth.), Jilid II, h.3, bandingkan pula dengan Muhamad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Mesir: Maktabah Wahbah, 1985), jilid II, h. 15.

Page 42: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

3

Muhammad Saw serta menerangkan makna hukum dan hikmah (yang

terkandung di dalamnya).9

Kata tafsîr dalam al-Qur’an disebut satu kali, yaitu dalam Q.S. al-

Furqân (25): 33, sedang kata yang sering disepadankan dan disejajarkan

dengan tafsîr ialah ta’wîl disebut dalam al-Qur’an sebanyak 17 kali.10 Dan di

antara para ahli ada yang menyamakan pengertian antara keduanya, namun

ada juga yang membedakannya. Kontroversi ini disampaikan antara lain oleh

al-Zarqânî.11

Menelusuri sejarah penafsiran al-Qur’an, Muhammad Husain al-

Dzahabi membagi sejarah tafsir ke dalam tiga fase/periode (marhalah), yaitu:

Pertama adalah fase perkembangan tafsir pada masa Nabi dan para sahabat,

kedua yaitu fase perkembangan tafsir pada masa tabi’in, dan ketiga yaitu fase

perkembangan tafsir pada masa penyususnan dan pembukuan (kodifikasi),

yang dimulai dari zaman ‘Abbasiyah sampai zaman kontemporer (masa

hidup al-Dzahabi).12

Penafsir pertama adalah Rasulullah Saw. Nabi Muhammad senantiasa

menerangkan ayat-ayat yang bersifat global, menjelaskan arti yang samar-

samar, dan menafsirkan segala masalah yang dirasa sangat sulit dipahami,

9 Badruddîn Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân,

(Bairut-Libanon: Isa al-Bab al-Halabi, t.th.), j. 1, h. 13. 10 Lihat Muhammad Fu’ad ‘Abdul Bâqî, al-Mu’jâm al-Mufharas li al-Fâz al-Qur’ân,

(Beirut: Dâr al-Fikr, 1987), h. 97. 11 Al-Syaikh Muhammad ‘Abdul ‘Adim al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm al-

Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), Jilid II, h. 4-6, lihat pula Jalâl al-Dîn al-Suyûtî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an, (Beirut: Dâr al-Fikr: tt.), juz II, h173-174 .

12 Muhammad Husain al-Dzahabi, Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), cet. Ke 7, h. 13-14.

Page 43: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

4

sehingga tidak ada lagi kerancuan dan keraguan di benak sahabat.13 Sikap

Nabi tersebut adalah sesuai dengan firman Allah ”Dan Kami turunkan

kepadamu (Muhammad) al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada

manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (Q.S. al-Nahl (16): 44).

Dengan tindakan dan kedudukan ini, maka Nabi adalah mufassir pertama

dan utama.

Menurut Mustafa al-Maraghi, Nabi Muhammad dalam menafsirkan al-

Qur’an menggunakan sunnah qauliyah (perkataan), atau sunnah fi‘liyyah

(perbuatan).14 Menurut Ibn Taimiyah, Nabi Muhammad Saw telah

menafsirkan seluruh ayat al-Qur’an. Sekalipun seluruh penafsiran itu tidak

sampai kepada kita. 15 Dengan demikian, maka bisa dikatakan bahwa tafsir

sudah muncul pada masa Rasulullah Saw.

Rasulullah berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan) terhadap

maksud ayat-ayat al-Qur’an. Sepeninggal beliau (11 H.), kepeloporannya di

bidang tafsir dilanjutkan oleh para sahabat. Di antara sahabat-sahabat yang

ahli di bidang tafsir misalnya: Khulafâ’ al-Râsyidîn; Abu Bakar (w. 13 H.),

‘Umar bin Khattâb (w. 23 H.), Utsmân bin ‘Affân (w. 35 H.), dan ‘Ali bin Abî

Tâlib (w. 40 H.), Ibn ‘Abbâs (w. 68 H.), ‘Abdullah dan Zubair, Ubay bin Ka’b

(w. 20 H.), Zaid bin Tsâbit, dan Abû Mûsâ al-Asy’ârî (w. 44 H.).16 Di

13 Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdu’I, terj. Suryan A. Jamrah, (Jakarta:

Rajawali Press, 1994), h. 2. 14 Ahmad Mustofa al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghî, (Bairut: Dâr Ihya’ al-Turâs al-‘Arabi,

t.th.), juz 1, h. 5. 15 Lihat Taqiyuddîn Ibn Taimiyah, Muqaddimah fî Usûl al-Tafsîr, (Kuwait: Dâr al-

Qur’ân al-Karîm, 1971), h. 35. 16 lihat Jalâl al-Dîn al-Suyûtî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an, (Beirut: Dâr al-Fikr: tt.), juz

II, h 27-28

Page 44: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

5

samping sepuluh sahabat yang tergolong sebagai ahli tafsir dan pelanjut para

penafsiran yang dilakukan oleh Nabi, yaitu Abû Hurairah (w.58 H.), Anas bin

Mâlik, ‘Abdullah bin ‘Umar (w.73 H.), Jâbir bin Abdullah, A‘isyah (w.57 H.),

dan Amr bin As. Mereka dipandang sebagai generasi pertama mufasir.17

Menurut Muhammad Husain al-Dzahabi, para sahabat dalam

menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an menempuh beberapa langkah yaitu:

1. Meneliti kandungan ayat-ayat al-Qur’an sendiri;18

2. Merujuk kepada penafsiran Nabi Saw;19

3. Menggunakan ra’yu atau melakukan ijtihad berdasarkan

pengetahuan yang mereka miliki;20

4. Menanyakan kepada tokoh-tokoh ahlul kitab yang telah masuk

Islam tentang masalah tertentu;21 dan

5. Bertumpu pada syair-syair.22

Kedua adalah fase perkembangan tafsir pada masa tabi’in. Mereka

adalah murid-murid para sahabat yang tersebar di Makkah, Madinah dan

Irak.23 Di Makkah yang merupakan murid dari ‘Abdullah bin ‘Abbâs yaitu

Sa‘îd bin Jubaîr (w. 94 H.), Mujâhid (w. 100 H.), Ikrimah (w. 105 H.), Tâwus

bin Kaisân al-Yamânî (w. 105 H.), dan ‘Ata’ bin Abî Rabâh (w. 114).24

17 Lihat lebih lanjut, Mannâ‘ Khalîl al-Qattân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut:

Mansyûrât al-‘Asr al-Hadîts, 1393 H.), h. 343, lihat pula Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirûn, (Mesir: Maktabah Wahbah, 2000), juz I, h. 49.

18 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 37-44 19 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 35-46 20 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 57-58 21 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 61-62. 22 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 74-76. 23 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 92. 24 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 93.

Page 45: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

6

Sedangkan murid-murid sahabat yang terdapat di Madinah yang berguru

kepada Ubaî bin Ka‘b yaitu Zaid bin Aslam (w. 182 H.), Abu al-Aliyah (w. 90

H.), dan Muhammad bin Ka’b al-Qurdî.25 Dan murid-murid sahabat di Irak

yang berguru kepada Abdullah bin Mas‘ûd yaitu ‘Alqamah bin Qais, Masrûq,

Marah al-Hamdânî, ‘Âmir al-Syu‘bî, dan al-Hasan al-Basrî.26

Penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang bersumber dari salah satu di

antara ketiga sumber yang dikemukakan di atas, Rasulullah, Sahabat, dan

Tabi’in yang dikenal dengan tafsir bi al-Ma’tsur. Ali al-Sâbûni dan al-Zarqâni

mendefinisikan tafsîr bi al-Ma’tsur adalah sesuatu yang datang di dalam al-

Qur’an, sunnah, ataupun perkataan sahabat, yang menjadi penerang bagi

murâd (maksud) Allah terhadap kitab-Nya.27 Corak tafsir ini merupakan

periode pertama dari perkembangan tafsir dan berakhir dengan berakhirnya

masa tabi’in sekitar tahun 150 H.28

Dan ketiga adalah fase perkembangan tafsir pada masa penyususnan

dan pembukuan (kodifikasi). Fase ini merupakan fase perkembangan tafsir

pasca sahabat dan tabi’in, yang ketika itu juga telah mulai pentadwînan

(kodifikasi) hadis Rasulullah Saw. Mufasir-mufssir yang berkembang ketika itu

adalah Yazîd bin Hârûn al-Sulamî (w.117 H.), Syu‘bah al-Hajjâj (w. 160 H.),

Wakî‘ bin Jarâh (w. 197 H.), Sufyân bin ‘Uyaynah (w. 198 H.), Ruh bin

25 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 104. 26 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 106-107. 27 Lihat Muhammad Ali al-Sâbûnî, al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: ‘Âlim al-

Kutub, 1985), h. 67, lihat pula, Muhammad Abdul Azim al-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfân, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), j. II, h. 12

28 Lihat Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafîr wa al-Mufassirûn, (Mesir: Dâr al-Maktabah al-Hadîtsah, 1976), juz I, h. 141, lihat pula, Abd al-Hayy al-Farmawiy, Metode Tafsir Mawdu’i: Suatu Pengantar, Terj. Suryan A. Zamrah, (Jakarta: Rajawali Press, 1994), h. 13.

Page 46: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

7

‘Ibâdah al-Basrî (w. 205 H.), ‘Abdurrazzâq ibn Himâm (w. 211 H.), Âdam bin

Abî Iyâs (w. 220 H.), ‘Abd bin Hamîd (W. 249 H.), dan lain-lain.29

Generasi selanjutnya adalah mufassir yang muncul sesudah

berkembangnya berbagai ilmu pengetahuan dan kematangan mereka dalam

Islam, sesuai dengan spesialisasi dan ilmu yang dikuasainya.30 Di antara

mereka adalah al-Zamakhsyârî (w. 528 H.), al-Wahîdî (w. 468 H.), al-Tsa‘labî

(w. 427 H.), al-Qurtûbî (w. 671 H.), al-Râzî (w. 610 H.), dan al-Khâzin (w.

741 H.).31 di tangan merekalah muncul beberapa metode dan corak tafsir.

Maraknya hal ini sangat dipengaruhi latar belakang dan kecenderungan

keilmuan mereka dalam penulisan tafsir. 32 Pada fase ketiga, hadis-hadis dan

riwayat-riwayat menyangkut berbagai hal, termasuk tafsir telah beredar

sedemikian pesat. Di samping itu, kemajuan sudah semakin pesat, sekian

persoalan baru timbul di tengah-tengan masyarakat yang belum pernah

29 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 127-128. 30 M. H. Tabâtabâ‘î, Mengungkap Rahasia al-Qur’an, terj. A. Malik Madany dan

Hamim Ilyas, (Bandung: Mizan, 1993), h. 63. 31 Lihat, al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, h. 32-183, lihat pula al-Marâghi,

Tafsîr al-Marâghî, h. 10-13. 32 Adalah suatu kenyataan sejarah, bahwa pemahaman dan penafsiran terhadap al-

Qur’an memiliki kecenderungan dan corak yang berbeda-beda antara satu generasi kegenerasi berikutnya, antara satu kelompok satu dengan kelompok yang lainnya. Perbedaan corak penafsiran ini tidak bisa dilepaskan dari perbedaan madzhab, setting sosial, kemampuan intelektual dan juga niat atau tujuan mufasir dalam menulis kitab tafsirnya tersebut. Satu hal yang perlu diingat bahwa al-Qur’an tidak akan pernah habis di tafsirkan. Di sisi lain, keragaman penafsiran yang dihasilkan tiap generasi juga merupakan gambaran konsekwensi logis dari keyakinan bahwa al-Qur’an, sebagai kitab suci yang diturunkan terahkir, mampu berdialog dengan setiap generasi yang datang kemudian. Ajaran dan semangat yang dibawanya bersifat universal, rasional, dan necessary (suatu keniscayaan dan keharusan yang fitri). Lihat, Fazlur Rahmân, Islam and Modernity, (Chicago: Universitas of Chicago Press, 1982), h.11

Page 47: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

8

terjadi atau dipersoalkan di masa Nabi Muhammad Saw., sahabat, maupun

tabi’in.

Di sini, ijtihad menyangkut ayat-ayat al-Qur’an benar-benar sudah

tidak dapat dielakkan lagi. Sejalan dengan lajunya perkembangan

masyarakat, berkembang pesat pula porsi peranan akal (ijtihad) dalam

penafisran ayat-ayat al-Qur’an. Dengan demikian, berkembanglah manhâj

(pendekatan) tafsir dari manhâj atsari ke manhâj ra’yi, dan berkembang pula

tarîqah (metode) tafsir. Itu semua kemudian melahirkan corak-corak tafsir.

Corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini yaitu: corak sastra

kebahasaan, corak penafsiran ilmiah, corak fiqih/hukum, corak tasawuf, corak

sastra budaya kemasyarakatan, dan corak filsafat dan teologi (kalam).33

Muhammad Husein al-Dzahabî dalam pendahuluan al-Tafsîr wa al-

Mufassirûn menyebutkan bahwa ada empat corak tafsîr yang berkembang,

secara ringkas diklasifikasikan menjadi: pertama, ”tafsir corak ilmi (al-laun al-

‘ilmî)” yaitu tafsir berdasarkan pada pendekatan ilmiah; kedua, ”tafsir corak

madzhab (al-laun al-‘madzhabî)”, yaitu tafsir berdasarkan madzhab teologi

atau fikih yang dianut oleh para mufassir; ketiga, adalah ”tafsir bercorak

ilhâdî (al-laun al-‘ilhâdî)”, yaitu tafsir yang mengunakan pendekatan

menyimpang dari kelaziman; dan keempat, ”tafsir corak sastra-sosial (al-laun

al-adabî al-ijtimâ‘î)”, yaitu tafsir yang menggunakan pendekatan sastra dan

berpijak pada realitas sosial.34

33 Lihat lebih lanjut, M. Quraish Shihab dalam pengantar bukunya M. Yunan Yusuf,

Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar Sebuah Telaah Atas Pemikiran Hamka Dalam Teologi Islam, (Jakarta: Penamadani, 2003), h. xxxiii-xxxiv

34 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 15

Page 48: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

9

Untuk mengetahui lebih jauh tentang tafsir Fath al-Qadîr karya Imam

al-Syaukânî, diperlukan suatu penelitian yang mendalam dengan fokus kajian

masalah pemikiran kalam. Ilmu kalam, sebagaimana didefinisikan oleh al-Ijli,

adalah ilmu yang memberi kemampuan untuk membuktikan kebenaran

akidah (Islam) dengan mengajukan hujjah guna melenyapkan keragu-

raguan.35 Dalam kaitan ini, ilmu kalam di samping membahas soal-soal

kerasulan, wahyu, kitab suci al-Qur’an, soal orang yang percaya kepada

ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad, yaitu soal mukmin dan muslim,

soal orang yang tidak percaya kepada ajaran itu, yakni orang kafir dan

musyrik, soal hubungan makhluk dan khalik, terutama manusia dan

penciptanya, soal akhir hidup manusia, yaitu soal surga dan neraka. 36

Ibnu Khaldun mendefinisikan bahwa ilmu kalam adalah sebagai ilmu

yang mengandung argumentasi rasional yang membela akidah-akidah

imaniah dan mengandung penolakan terhadap golongan bid’ah yang dalam

akidah-akidahnya menyimpang dari madzhab Salaf dan ahl al-Sunnah.37

Lain lagi dengan al-Ghazâlî yang dikutip oleh Mustafa ‘Abd al-Razik,

menurut al-Ghazali ilmu kalam bertujuan menjaga akidah ahl al-Sunnah dari

bisikan ahl al-bid’ah yang menyesatkan. Allah telah menyampaikan akidah

yang benar kepada hamba-Nya melalui risalah Rasul-Nya yang mengandung

35 Lihat Mustafa ‘Abdurraziq, Tamhîd li Tarîkh al-Falsafah al-islâmiyyah, (Kairo:

1959), h. 261 36 Lihat Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,

(Jakarta: UI Press, 1983), h. 30 37 Ibn Khaldun, Muqaddimah al-‘Allâmah Ibn Khaldun, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1981),

jilid 1, h. 580

Page 49: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

10

kebaikan bagi agama dan dunia mereka. Selanjutnya ia mengatakan, bahwa

ilmu kalam membahas ma’rifat al-Qur’an beserta kabar berita lainnya.38

Muhammad ‘Abduh yang lebih suka menyebutnya ilmu tauhid

memberi batasan bahwa ilmu kalam/tauhid adalah sebagai ilmu yang

membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat wajib ditiadakan dari-Nya. Menurut

‘Abduh, ilmu tauhid juga membahas tentang Rasul-Rasul untuk membuktikan

kebenaran kerasulan mereka, apa yang wajib bagi mereka, apa yang boleh

dan tidak boleh dinisbahkan kepada mereka.39

‘Abd al-Mun‘im mengatakan, bahwa ilmu kalam mencakup akidah

imaniah dengan mengunakan argumentasi rasional. Ilmu itu muncul untuk

membela agama Islam dan menolak akidah-akidah yang masuk dari agama

lain. Ilmu itu disebut ilmu kalam karena masalah penting yang dibicarakan di

dalamnya adalah mengenai kalam Allah, yaitu al-Qur’an. Ilmu kalam

menyangkut persoalan akidah yang mendalam, seperti tauhid, hari akhirat,

hakikat sifat-sifat Tuhan, qada dan qadar, hakikat kenabian dan penciptaan

al-Qur’an.40

Tafsir Fath al-Qadîr al-Jâmi‘ Bain Fannaî al-Riwâyah wa al-Dirâyah

min ‘Ilm al-Tafsîr, karya al-Imâm Muhammad bin ‘Alî bin Muhammad al-

38 Mustafa ‘Abd al-Razik, Tamhîd li Tarikh al-Falsafat al-Islamiyyat, (Kairo: Matba’ah

Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamat wa al-Nasyr, 1959), h. 261. 39 Muhammad ‘Abduh, Risâlah al-Tauhîd, (Kaior: Dâr al-Manâ, 1366 H), h. 7. 40 ‘Abd al-Mun‘im, Tarikh al-Hadarat al-Islâmiyyah fî al ‘Usr al-Wusta, (Mesir:

Maktabah al-Anjlu al-Misriyyah, 1978), h. 180.

Page 50: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

11

Syaukânî, merupakan salah satu tafsir yang mengambil corak madzhab

dalam hal ini adalah madzhab Syiah Zaidiyah.41

Al-Dzahabi dalam al-Tafsîr wa al-Mufassirûn menyebut kurang lebih

13 kitab yang membahas tentang syiah imamiah,42 dan 1 kitab tafsir tentang

Syiah Zaidiyah yakni Fath al-Qadîr.43 Selain itu, al-Dzahabi juga menyebut 6

kitab yang bercorak madzhab dalam hal ini fikih.44 Salah satu dari sekian

banyak itu adalah karya Imam al-Syaukânî45 dari madzhab Syi’ah Zaidiyah.

Madzhab Zaidiyah memandang bahwa Ali adalah seorang yang paling

pantas menjadi imam pasca meninggalnya Rasulullah Saw. Karena beliaulah

orang yang paling dominan memiliki sifat-sifat, yang sebelumnya telah

disebut-sebut oleh Rasulullah Saw. dan imam sesudah Ali seharusnya dari

keturunan Fatimah. Itulah sifat-sifat terbaik bagi seorang imam (al-fdal). Akan

tetapi, sekalipun demikian, jika sifat-sifat itu tidak terpenuhi , maka bolehlah

yang lain sebagai pengganti posisi yang menduduki jabatan tersebut. Imam

dalam bentuk kedua inilah disebut dengan imam mafdul. Berangkat dari

sinilah, Syiah Zaidiyah dapat menerima Abu Bakar, ‘Umar bin Khatab, dan

41 Tafsir Fath al-Qadîr digolongkan oleh al-Dzahabî masuk dalam kategori tafsir yang

bercorak madzhab Syiah Zaidiyah. Lebih lanjut bisa dilihat dalam al-Dzahabî, Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz 2, h. 240-260.

42 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 34-35 43 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 2, h. 249. 44 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 2, h. 385, 389, 393, 401, 407, dan

411. 45 Nama lengkap al-Syaukânî adalah Muhammad ibn ‘Ali Muhammad bin Abdullah

al-Syaukânî al-San’anî. Beliau lahir di desa Hijrah Syaukân, Yaman, pada hari Senin tanggal 28 Dzul Qa‘dah tahun 1172 H. dan meninggal dunia pada hari selasa tanggal 27 Jumadil Akhir tahun 1259 H. dalam usia sekitar 78 tahun. Lihat, Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, (Mesir: Dâr al-Fikr, 1973), juz I, h. 4-8

Page 51: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

12

Utsman bin ‘Affan46, yang paling dekat dengan jamaah Islam (Suni-

Asy’ariyah) yang paling moderat, karena tidak mengangkat para imam ke

derajat kenabian.

Namun, Syiah Zaidiyah memandang imam sebagai manusia paling

utama setelah Nabi Muhammad Saw. Merekapun tidak mengkafirkan para

sahabat, khusunya mereka yang dibai’at oleh Sayyina ‘Ali bin Abî Tâlib, dan

mengakui kepemimpinan meraka.47 Di atara ajaran sekte ini juga adalah

Imâm afdal. Menurut pengikut sekte ini ‘Ali bin Abi Talib lebih afdal dari pada

Abû Bakar al-Siddîq. Namun demikian, dalam teologi Islam sekte Zaidiyah

tetap mengakui khalifah Abû Bakar al-Siddîq, ‘Umar bin Khattâb, dan

Utsmân bin ‘Affan. Akan tetapi yang afdal adalah ‘Ali ibn ’Abî Talib,

sedangkan tiga khalifah pendahulunya disebut oleh mereka sebagai imâm

Mafdûl.48

Al-Syaukânî (1172 H.-1250 H./1834 M.) dikenal sebagai ulama yang

lahir dari latar belakang lingkungan pembaharu dan berfikir maju dalam

tradisi keagamaan pada akhir abad ke-12 H.(18 M.) dan memasuki awal

46 Lihat, Imâm Abî al-Fath Muhammad bin ‘Abdul Karîm al-Syahrastanî, ta’liq al-

Ustadz Ahmad Nahmi Muhammad, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), j. 1, h. 155

47 Tokoh aliran Syiah Zaidiyah adalah Zaid ibn ‘Ali ibn Husain. Ia menyatakan perang terhadap khalifah Hisyam ibn ‘Abdul Mâlik, dan akhirnya ia disalib di Kuffah. Penganut aliran Zaidiyah percaya bahwa orang melakukan dosa akan kekal dalam neraka, selama mereka belum bertobat dengan sebenarnya. Dalam hal ini mereka mengikuti paham Mu’tazilah. Ini disebabkan salah seorang tokoh Mu‘tazilah, Washil bin ’Atha’ mempunyai hubungan dengan Zaid. Oleh karena itu, secara umum paham Syiah dalam akidah sesuai dengan paham Mu’tazilah, tidak sesuai denagan paham Asy’ariyah dan Maturidiyah. Lihat, Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan ‘Aqidah Dalam Islam, (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), h. 65 dan 68

48 Lihat, Ahmad Syahrastânî, al-Milâl wa al-Nihl, (Beirut: Dâr al-Fikr, tth.), Juz I, h. 154

Page 52: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

13

abad ke 13 H. (19 M.). Dalam jarak waktu kurang lebih 78 tahun, al-

Syaukânî telah melahirkan banyak karya-karya brilian. Tafsir Fath al-Qadîr

adalah salah satu dari karya al-Syaukânî yang cukup monumental. Al-

Syaukânî adalah putra dari ‘Ali al-Syaukani (1130 – 1211 H.), salah seorang

ulama yang terkenal di Yaman.49

Ketekunan al-Syaukani dalam belajar dan membaca telah

mengantarkannya menjadi seorang ulama. Dari itu, dalam usia yang masih

relatif muda, kurang dari 20 tahun, ia telah diminta oleh masyarakat kota

San’a untuk memberikan fatwa dalam berbagai masalah keagamaan,

sementara pada waktu itu, guru-gurunya masih hidup.50 Lalu, pada usia

kurang tiga puluh tahun, ia telah mampu berupaya melakukan ijtihad sendiri

dalam mengungkapkan permasalahan-permasalahan pada masanya.51

Dalam hal ini, al-Syaukani banyak menulis beberapa karya baik dalam

volume besar maupun kecil. al-Syaukani menulis beberapa kitab atau karya,

antara lain: al-Durr al-Nadid Fî Ikhlas Kalimat al-Tauhîd; al-Tuhaf fî Madzâhib

al-Salâf, Syarh al-Sudûr fî Tahrîm Raf‘ al-Qubûr, dan lain-lain.52 Adapun

karya-karyanya secara lengkap bisa dilihat pada pendahuluan kitab tafsirnya.

Pada tesis ini, penulis mencoba mengangkat karya tafsir al-Syaukânî

yakni tafsir Fath al-Qadîr al-Jâmi‘ Baina Fannai al-Riwâyah wa al-Dirâyah

min ‘Ilm al-Tafsîr kajian terhadap corak kalamnya. Kitab tafsir yang

49 al-Syaukânî, al-Badr al-Tali‘ bi Mahâsin Man Ba‘d al-Qarn al-Sabi‘, (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, t. th.), j. II, h. 215

50 Ibrahim Ibrahim Hilal, Walâyatullah wa al-Tarîq Ilaihâ, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Haditsah, t.th.), h. 30-33.

51 Hilal, Walâyatullah, h. 30-33. 52 lihat Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukânî dan Relevansinya dengan

Pembaharuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Logos, 1999), h. 9

Page 53: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

14

diperbincangkan disini terdiri dari lima jilid, terbitan Dâr al-Hadits, Kairo-

Mesir, tahun 2007.

Ada beberapa alasan yang bisa dimunculkan mengapa tafsir Fath al-

Qadîr dan kenapa pula penulis mengangkat corak kalam? Pertama, al-

Syaukâni di dalam tafsir Fath al-Qadîr uraiannya menggabungkan antara

metode riwâyah dan dirâyah. Metode riwâyah adalah metode yang

menjelaskan maksud-maksud dari al-Qur’an menggunakan ayat-ayat al-

Qur’an, hadis-hadis Rasulullah, dan pendapat para sahabat. Dan metode

dirâyah adalah metode yang menggunkan kaidah-kaidah kebahasaan dalam

menganalisa ayat-ayat al-Qur’an.53

Alasan kedua ialah, al-Imâm al-Syaukânî adalah seorang ulama Syi’ah

Zaidiyah. Sekte ini disebut dengan Syi’ah Zaidiyah karena pengikut sekte ini

berpegang teguh kepada ajaran-ajaran yang ditimbulkan oleh al-Imâm Zaid

ibn ‘Ali Zainal Abidin ibn al-Husain ibn ‘Ali Alaih al-Salam ibn Abi Talib (80-

122 H.).54

Berdasarkan paparan di atas, maka penulis tertarik dan memandang

perlu melakukan penelitian tentang Corak Pemikiran Kalâm Tafsîr Fath al-

Qadîr: Telaah Atas Pemikiran Al-Syaukânî Dalam Teologi Islam.

B. Permasalahan

53 Lihat, Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Mesir:

Maktabah Wahbah, 1985), Juz I, h. 152. 54 Mustafa al-Ghurâbi, al-Firâq al-Islamiyyah wa Nasy’ah ‘Ilm al -Kalâm ‘Inda al-

Muslimin, (Mesir: Muhammad ‘Ali Sahib, tt.), h. 289, lihat pula, Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000M./1421 H.), Juz 3, h. 6.

Page 54: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

15

Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, umumnya dikenal

adanya dua corak pemikiran kalam, yakni pemikiran kalam yang bercorak

rasional55 serta pemikiran kalam yang bercorak tradisional56.

Berkaitan dengan itu, penelitian ini akan memusatkan perhatian pada

corak pemikiran kalam apa sebenarnya yang dipakai al-Syaukânî dalam tafsir

Fath al-Qadîr itu? Apakah penafsiran-penafsiran yang terdapat dalam tafsir

Fath al-Qadîr bercorak rasional atau tradisional? Atau bahkan bukan kedua-

duanya, akan tetapi merupakan campuran dari keduanya?

Dengan demikian, masalah yang akan diteliti terfokus kepada

penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah-

masalah kalam dalam tafsir Fath al-Qadîr. Sistematika masalah kalam yang

dipakai dalam penelitian ini adalah mengacu pada buku yang ditulis oleh

Prof. Dr. Harun Nasution yang berjudul Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah

55 Pemikiran kalam yang bercorak rasional adalah pemikiran yang memberikan

kebebasan berbuat dan berkehendak kepada manusia, daya yang kuat kepada akal, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang terbatas, tidak terikat kepada makna harfiyah, dan banyak memakai arti majâzi dalam memberikan interpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Pemikiran kalam ini akan melahirkan paham rasional tentang ajaran Islam serta menumbuhkan sikap hidup yang dinamis dalam diri manusia. Paham ini terdapat dalam aliran Mu’tazilah dan Maturidiyyah Samarkand. Lihat, Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1983), h. 120.

56 Pemikiran kalam yang bercorak tradisional adalah pemikiran kalam yang tidak memberikan kebebasan berkehendak dan berbuat kepada manusia, daya yang kecil bagi akal, kekuasaan kehendak Tuhan yang berlaku semutlak-mutlaknya, serta terikat pada makna harfiyah dalam memberikan interpretasi ayat-ayat al-Qur’an. Pemikiran kalam ini akan melahirkan paham tradisional tentang ajaran Islam serta akan menumbuhsuburkan sikap hidup Fatalistik dalam diri manusia. Paham ini terdapat dalam aliran Asy’ariyyah dan Maturidiyah Bukhara. Lihat, Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1983), h. 120.

Page 55: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

16

Analisa Perbandingan. Sistematika ini dipakai karena dipandang mampu

menampung masalah-masalah yang terdapat dalam problem kalam itu

sendiri.

Di samping itu, sistematika tersebut bertitik tolak dari sudut pandang

yang tidak terikat pada salah satu aliran kalam tertentu sehingga

memungkinkan adanya kelonggaran dalam menerapkan sistematika tersebut

dalam tafsir Fafh al-Qadîr. Sistematika masalah kalam yang penulis ambil

adalah a.) kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, b.) Keadilan Tuhan, c.)

Perbuatan-perbuatan Tuhan, d.) dan Sifat Tuhan.

1. Identifikasi Masalah

Penelitian yang diberi judul ”Corak Pemikiran Kalam Tafsir Fath al-

Qadîr: Telaah Atas Pemikiran Al-Syaukânî dalam Teologi Islam” bermula dari

keinginan untuk memperoleh jawaban secara konseptual mengenai

pemikiran-pemikiran al-Syaukânî terutama berkaitan dengan ilmu-ilmu

kalam. Dalam tesis ini sebagai sampel, penulis akan membahas tentang

tafsir Fath Al-Qadîr mengenai ayat-ayat kalam sebagai topik sentral dan

masalah-masalah penting lainnya sebagai pelengkap pembahasan ini.

Dari asumsi-asumsi yang muncul di atas, maka muncul pula sederetan

masalah dalam identifikasi masalah, antara lain sebagai berikut?

1. Bagaimana pendekatan dan metode penafsiran al-Syaukânî

terhadap ayat-ayat kalam?

Page 56: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

17

2. Bagaiman corak kalam pemikiran al-Syaukânî dalam tafsir Fath al-

Qadîr?

3. Apakah penafsiran-penafsiran dalam tafsir Fath al-Qadîr bercorak

rasional seperti corak pemikiran kalam Mu’tazilah dan Maturidiyah

Samarkand, ataukah bercorak tradisioanl seperti corak pemikiran

kalam Asy’ariyah dan Maturidiyah Bukahra, atau merupakan

campuran keduanya?

2. Pembatasan Masalah

Mengingat banyaknya ayat-ayat kalam dan luasnya ruang lingkup

pembahasannya, maka dalam tesis ini akan dibatasi pada masalah-masalah

kekuasaan Tuhan dan kehendak mutlak Tuhan, keadilan Tuhan, perbuatan-

perbuatan Tuhan, dan sifat-sifat Tuhan.

3. Perumusan Masalah

al-Dzahabi menyebut bahwa Syi’ah Zaidiyah lebih dekat kepada

Jama’ah Islamiyah (Suni-Asy’ariyah), namun dalam masalah aqidah,

Zaidiyah sesuai dengan Mu’tazilah.57 Berdasarkan latar belakang masalah

yang dikemukakan di atas, dapat dirumuskan permasalahan pokok, yakni:

corak pemikiran kalam apa yang digunakan al-Syaukânî dalam tafsir Fath al-

Qadîr?

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan

57 Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah

Wahbah, 2000 M./1421 H.), Juz 3, h. 6, lihat pula, Muhammad Abu Zahrah, al-Imâm Zaid, (Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1959, h. 96.

Page 57: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

18

Dimensi kalam dalam pemikiran al-Syaukânî ini dipilih, karena

sepengetahuan penulis belum ada yang mengangkat tema al-Syaukâni dalam

bidang kalam, padahal beliau dikenal sebagai tokoh Syi’ah Zaidiyah yang

lebih cenderung kepada Salaf (Asy’ariyah) dan al-Syaukânî memiliki karya

tafsir sebagai representasi dari pemikirannya.

Kajian tentang pemikiran al-Syaukânî secara utuh masih tergolong

sedikit dilakukan oleh para cendekiawan Muslim ataupun non Muslim.

Sepanjang pengetahuan penulis dengan merujuk kepada informasi penelitian

yang dilakuakan oleh Dr. Nasrun Rusli, kajian secara utuh dan serius tentang

pemikiran al-Syaukânî hanya baru dilakukan oleh sarjana Mesir. Yakni

Ibrâhîm Ibrâhîm Hilâl melalui tesis Magisternya di fakultas Dâr al-‘Ulûm

Universitas Kairo, yang berjudul Walâyah Allah wa al-Tharîq Ilaihâ. Tesis

tersebut khusus membahas tentang pandangan kesufian al-Syaukânî,

terutama yang menyangkut wali Allah. Kajian kesufian yang dibimbing oleh

Mahmûd Qâsim, pakar falsafah Islam tersebut memusatkan kajian pada karya

al-Syaukânî yakni al-Qatr al-Walî ’Ala Hadits al-Qalî. Di dalam karya al-Qatr

al-Walî ’Ala Hadits al-Qalî tersebut dilampirkan pula karya al-Syaukânî yang

menjadi sumber kajian tersebut setebal 315 halaman, melebihi tebal

pembahasan Hilâl, yang hanya setebal 200 halaman.

Setelah itu, Hilâl juga melihat bagaimana pandangan al-Syaukânî

tentang ijtihad dan taqlid, yang dituangkan dalam satu karya ringkas berjudul:

Page 58: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

19

al-Imâm al-Syaukânî wa al-Ijtihâd wa al-Taqlîd. Seperti karya terdahulu, Hilâl

juga melampirkan karya al-Syaukânî yang menjadi sumber kajian itu.58

Dalam karya orang Indonesia, Penulis menemukan beberapa kajian

tentang al-Syaukânî pertama, pada aspek fiqih yang ditulis oleh Dr. Nasrun

Rusli, M.A., yang berjudul ”Konsep Ijtihad al-Syaukânî dan Relevansinya

dengan Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia” karya ini merupakan

Disertasi di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1998 yang kemudian

menjadi sebuah buku dengan judul yang sama seperti Disertasinya, terbitan

Logos tahun 1999 . Karya ini memfokuskan pada kajian ushul fiqih yang

dilakukan al-Syaukânî secara kritis yang kemudian Nasrun Rusli mencoba

kaitkan dengan pembaharuan hukum di Indonesia, dan dari karya ini bisa

dilihat bahwa al-Syaukânî membangun sebuah metodologi ijtihad yang

memperlihatkan kemandiriannya dalam berfikir.

Kedua, pada aspek pemikiran politik yang ditulis oleh Dr. H. Ahmad

Fahmy Arief, dengan judul Pemikiran Politik Dalam Tafsir Fath al-Qadîr,

karya ini merupakan Disertasi pada IAIN Jakarta, tahun 1997. penelitian ini

menghasilkan beberapa kesimpulan yang sangat mendasar tentang

kepemimpinan, musyawarah, keadilan, hidup berserikat dan berkumpul yang

dipahami dari kitab tafsir Fath al-Qadîr karya al-Syaukânî.59

Dan yang ketiga, kajian tentang illat dalam konteks Usul Fiqh yang

ditulis oleh M. Syafi’i dengan judul Syarat-Syarat Illat menurut al-Syaukânî

58 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukânî dan Relevansinya dengan Pembaharuan

Hukum di Indonesia, (Disertasi IAIN Syarif Hidayatullah Jakartah, 1998), h. 21-22. 59 Ahmad Fahmy Arief, Pemikiran Politik Dalam Tafsîr Fath al-Qadîr, Disertasi IAIN

Jakarta, 1997.

Page 59: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

20

Kajian Terhadap Kitab Irsyâd al-Fuhûl Pemikiran dan Praktek. Karya ini

merupakan Tesis pada IAIN Ar-Raniri Darussalam – Banda Aceh, tahun

1993. Tesis ini merupakan kajian ilmiah terhadap sebuah kitab usul fiqih

karya al-Syaukânî. Secara khusus Tesis ini mengangkat syarat-syarat illat

yang terdapat dalam kitab tersebut.60

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

1. Menjelaskan pendekatan (manhâj) dan metode (tarîqah) tafsir al-

Syaukânî dalam tafsir Fath al-Qâdir;

2. Menjelaskan dan memahami paradigma pemikiran kalam al-

Syaukânî;

3. Menjelaskan corak kalam al-Syaukânî dalam tafsir Fath al-Qadîr;

4. Mengungkapkan kemungkinan adanya dua paham yang berbeda yang

terdapat pada pemikiran kalam al-Syaukânî dalam tafsir Fath a-Qadîr.

E. Manfaat/Signifikansi Penelitian

Realisasi penelitian ini akan bermanfaat dan sinifikan paling tidak:

pertama, memperluas kajian penafsiran al-Qur’an tentang kalam secara

konseptual. Kedua, dengan adanya kajian ini, dapat menjadi kontribusi

ilmiah dalam disiplin ilmu-ilmu al-Qur’an. Karena ilmu al-Qur’an bukanlah

disiplin ilmu yang mati dan terbatas untuk jangkauan masa lampau saja, akan

tetapi juga mengakomodir perkembangan baru sesuai dengan pemahaman

60 M. Syafi’I, Syarat-Syarat Illat menurut al-Syaukânî Kajian Terhadap Kitab Irsyâd al-Fuhûl Pemikiran dan Praktek. Tesis IAIN Ar-Raniri Darussalam – Banda Aceh, tahun 1993.

Page 60: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

21

manusia dalam setiap zamannya. ketiga Memberikan sumbangan kajian

pemikiran kalam al-Syaukânî kepada para pembaca agar tidak terlalu apriori

terhadap tafsir Fath al-Qadîr; Dan terakhir, kajian ini dapat memberikan arah

bagi penelitian-penelitian serupa yang lebih intensif di belakang hari.

Kesinambungan antara satu penelitian dengan penelitian yang lain, selain

dapat mengurangi tumpang tindihnya (overlapping) informasi, ia juga bisa

menjadi koreksi bagi penelitian terdahulu yang menawarkan pandangan baru

sebagai antisipasi atas persoalan-persoalan yang dihadapi zamannya.

F. Metodologi Penelitian

Penelitian tesis ini dilakuakn melalui riset kepustakaan (library

research), yaitu dengan membaca karya-karya al-Syaukânî sebagai data

primer dan meneliti karangan-karangan yang ditulis oleh orang lain tentang

al-Syaukânî sebagai data sekunder.61 Dan kajiannya secara deskriptif dan

analitis, yakni penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahaman

masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subyek/obyek

penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain), pada saat

sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.62

61 Komaruddin, Kamus Riset, (Bandung: Angkasa, 1984), h. 145, lihat pula, Noeng

Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Yake Sarasin, 1996), h. 49. 62 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada

University Press, 2003), h. 63.

Page 61: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

22

Deskriptif63 analitis64 yakni analitis dalam pengertian historis dan

filosofis. Sebagai suatu analisa filosofis terhadap seorang tokoh yang hidup

pada suatu zaman yang lalu,65 maka secara metodologis menggunakan

pendekatan sejarah (historical approach),66 yang mengungkap hubungan

seorang tokoh dengan masyarakat, sifat, watak pemikiran dan ide seorang

tokoh.67

Sedangkan sumber yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah

berasal dari data primer (primary resources) dan skekunder (secondary

resources). Sumber primernya adalah karya al-Syaukâni sendiri yakni tafsir

Fath al-Qadîr al-Jâmi‘ Baina Fannai al-Riwâyat wa al-Dirâyat min ‘Ilm al-

Tafsîr.68

Sedangkan data sekundernya penulis mengunakan buku-buku yang

terkait dengan cakrawala pemikiran al-Syaukânî dan ilmu-ilmu yang terkait

dalam berbagai bidang ilmu, khusunya tentang kalam dari sisi rasional atau

63 Deskriptif adalah bersifat menggambarkan apa adanya, lihat, Departemen Pendidikan Nasioanal, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), cet. Ke 3, h. 258.

64 Analitis adalah penguraian Sesutu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan, atau juga mengandung pengertian penjabaran sesudah dikaji sebaik-baiknya. Lihat, Departemen Pendidikan Nasioanal, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), cet. Ke 3, h. 43.

65 Anton Bakker dan Achmad Charris Zubeir, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h. 61.

66 Syahrin Harahap, Penuntun Penulisan Karya Ilmiah Studi Tokoh Dalam Bidang Pemikiran Islam, (Medan: IAIN Press, 1995), h. 18.

67 M. Nizar, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), h. 62. 68 Tafsir ini merupakan karya monumental al-Syaukânî yang menjadi objek

penelitian pada tesis ini. Pada tafsir ini mengurai secara terperinci tentang aspek bahasa al-Qur’an. Sebelum mengurai kandungan satu ayat, ia menjelaskan terlebih dahulu kata-kata yang dipergunkan al-Qur’an, kemudian menguraikan kandungan ayat itu lengkap dengan sebab turunnya dan perbedaan pendapat ulama tentang hukum yang dikandung ayat itu.

Page 62: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

23

tradisional. Selanjutnya, karena penelitian ini, ingin mengungkap apakah

corak kalam al-Syaukânî rasional atau tradisional, maka penulis merujuk

kepada dari aliran Mu’tazilah misalnya Syarh al-Ushûl al-Khamsah karya

Qâdi al-Qudât Abu Hasan ‘Abd al-Jabbâr bin Ahmad bin al-Khalîl bin

‘Abdullah al-Hamdân al-Asad Abadî (w. 459 H.). Dan dari aliran Asy’ariyah

adalah al-Ibânât al-Ushûl al-Diyâna dan al-Luma‘ fî al-Radd ‘alâ Ahl al-Zaig

wa al-Bida‘ masing-masing karya al-Syaikh al-Imam Abî al-Hasan ‘Alî bin

‘Ismâ‘îl al-Asy’ari (w. 324 H.). Sedangkan dari aliran Maturidiyah Bukhara

adalah Kitab Ushûl al-Din, karya Abu Yusuf Muhammad al-Bazdawi. Selain

itu juga penulis menghadirkan karya lain yang masih ada keterkaitan dengan

pembahasan tesis ini diantaranya Konsep Ijtihâd al-Syaukânî karangan Dr.

Nasrun Rusli, Pemikiran Politik Dalam Tafsîr Fath al-Qadîr, karya ini

merupakan Disertasi pada IAIN Jakarta, tahun 1997 karya Dr. H. Ahmad

Fahmy Arief, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan

karya Prof. Dr. Harun Nasution, dan lain-lain.

Adapun teknis penulisan dalam tesis ini, penulis berpedoman pada

buku ”Pedoman Penulisan Karya Ilmiah; (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” yang

diterbitkan oleh CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, cetakan II, tahun

2007.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam membahas tesis ini, maka karya ilmiah ini

ditulis dalam lima bab yang masing-masing bab terdiri dari pasal-pasal yang

terkait antara satu dengan yang lainnya, dengan sistematika sebagai berikut:

Page 63: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

24

Bab pertama adalah pendahuluan. Bab ini berisi tentang latar

belakang masalah, permasalahan, penelitian terdahulu yang relevan, tujuan

penelitian, manfaat/signifikansi penelitian, metodologi penelitian, dan

sistematika penulisan.

Bab kedua membahas biografi al-Syaukânî, meliputi biografi singkat

dan potret kehidupan awal, karya-karya, guru dan murid-muridnya, serta

hubungan al-Syaukânî dan Syiah Zaidiyah.

Bab ketiga membahas tentang pendekatan (manhâj) dan metode

(tarîqah) tafsir Fath al-Qâdîr karya al-Syaukânî, yang meliputi mengenal tafsir

Fath al-Qadîr, pendekatan (manhâj) tafsîr al-Syaukani dalam tafsir Fath al-

Qadîr, dan metode (tarîqah) tafsîr al-Syaukani dalam tafsir Fath al-Qadîr.

Bab keempat membahas Analisis corak kalam tafsir Fath al-Qadîr

telaah atas pemikiran al-Syaukânî dalam teologi Islam. Bab ini menjadi inti

pembahasan dalam kajian ini, meliputi: kekuasaan Tuhan dan kehendak

mutlak Tuhan, keadilan Tuhan, perbuatan-perbuatan Tuhan, dan sifat-sifat

Tuhan. Masing-masing butir, dibagi lagi menjadi dua sub tema: pertama,

ayat-ayat kalam dan pandangan Mu’tazilah, Maturidiyah Samarkand,

Asy’ariyah dan Maturidiyah Bukhara. Dan kedua adalah pandangan al-

Syaukani berkenaan dengan masalah-masalah kalam yang dibahas.

Bab kelima adalah bab penutup, yang berisi kesimpulan yang di tarik

dari pembahasan dari sub-sub sebelumnya, dalam rangka menjawab masalah

pokok yang telah dirumuskan di bagian pendahuluan dan juga memuat

saran-saran konstruktif.

Page 64: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

25

BAB II

AL-SYAUKÂNÎ (1172 - 1250 H.) DAN TAFSIR FATH AL-QÂDÎR

A. Biografi Singkat dan Potret Kehidupan Awal

Prof. Dr. Harun Nasution dalam buku Teologi Islam: Aliran-Aliran

Sejarah Analisa Perbandingan membagi sejarah Islam dalam tiga periode

besar, yaitu: pertama klasik69, kedua pertengahan70, dan ketiga moderen71.

69 Periode klasik (650 – 1250 M.) merupakan zaman kemajuan dan dibagi menjadi

dua fase. Pertama, fase ekspansi, intergrasi dan puncak kemajuan (650 – 1000 M.) pada zaman ini daerah Islam meluas melalui Afrika Utara sampai ke India Timur. Dan pada zaman ini pula pula menghasilkan ulama-ulama kenamaan. Misalnya, Imâm Mâlik, Imâm Abû Hanifah, Imâm Syâfi‘i, dan Imâm Ahmad bin Hanbal dalam bidang hukum, Imam Asy‘arî, Imâm al-Maturidi, pemuka-pemuka Mu’taziah seperti Wasil bin Ata’ dalam bidang teologi, Zunûn al-Misri, al-Hallaj dalam mistisisme dan tasawuf, al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina dalam bidang falsafah, Ibnu Hayyan, al-Khawarizmi, dan al-Râzî dalam bidang ilmu pengetahuan. Dan pada tahun 1000 – 1250 M. disebut fase disintegrasi. Masa ini umat Islam dalam bidang politik mulai pecah, dan imbasnya Baghdad sebagai pusat peradaban dirampas dan dihancurkan oleh Hulagu pada tahun 1258. Lihat, Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1983), h. 13.

70 Periode pertengahan (1250 – 1800 M.) juga dibagi menjadi dua fase. Pertama fase kemunduran (1250 – 1500 M.). di zaman ini desentralisasi dan disintegrasi bertambah meningkat. Perbedaan Sunni dan Syi’ah dan demikian juga dengan Arab dan Persia. Pendapat bahwa pintu ijtihad tertutup makin meluas di kalangan umat Islam. Demikian pula dengan tarekat dengan pengaruh negatifnya. Perhatian terhadap ilmu pengetahuan melemah. Umat Islam di Spanyol dipaksa masuk Kristen atau keluar dari daerah itu. Kedua fase tiga kerajaan besar (1500 – 1800 M.) yang dimulai zaman kemajuan (1500 – 1700 M.) dan zaman kemunduran (1700 – 1800 M.) tiga kerajaan besar yang dimaksud adalah Kerajaan Turki Usmani (Ottoman Empire) di Turki, Kerajaan Safawi di Persia, dan Kerajaan Mughal di India. Lihat, Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1983), h. 13-14.

71 Periode Moderen (1800 M. – dan seteterusnya) merupakan masa kebangkitan Islam. Jatuhnya Mesir menyadarkan dan menginsafkan akan umat Islam bahwa di Barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi umat Islam. Di periode moderen inilah timbulnya ide-ide pembaharuan dalam Islam. Lihat Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1983), h. 14.

Page 65: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

26

Melihat pembagian yang diuraikan oleh Prof. Dr. Harun Nasution di

atas, Imâm al-Syaukânî (1173 H. / 1760 M. – 1250 H. / 1837 M. ) termasuk

dalam periode pertengahan dalam zaman kemunduran (1700 – 1800 M.) dan

masa modern (1800 M. - dan seterusnya).

Sejak permulaan abad ke-12 H. (18 M.) dunia Islam telah memasuki

fase kemunduran, pada waktu itu, tiga kerajaan besar: Turki Usmani, Safawi,

dan Mughal telah mulai mengalami masa surutnya masa kejayaannya.

Sehabis masa pemerintahan Sulaiman al-Qanuni (1566 M.), kerajaan Turki

Usmani telah memasuki masa kemundurannya, sultan-sultan yang

memerintah tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan kerajaan yang

luas itu, bahkan mereka banyak dipengaruhi oleh para putri di istana,

sementara di berbagai wilayah dalam kerajaan muncul berbagai

pemberontakan, seperti di Suriyah timbul pemberontakan Kurdi Jumbulat, di

Mesir terjadi pemberontakan ‘Ali Bek al-Kabir yang diteruskan oleh

Muhammad ‘Ali, di Libanon terjadi pemberontakan di bawah pimpinan

Druze Amir Fakhruddin dan kemudian muncul pula gerakan al-Syihabiyah,

di Palestina gerakan pemberontakan dipimpin oleh Damir al-Amr. Janissary,

tentara Usman sendiri, juga berontak terhadap kerajaan. 72

Pada masa itu pula, beberapa peperangan dengan negara-negara

tetanggapun terjadi, sehingga mengakibatkan kerajaan Turki Usmani semakin

terpojok. Yunani memperoleh kemerdekaannya kembali pada tahun 1829

M., Rumania lepas pada tahun 1856, begitu pula dengan Bulgaria pada

72 Lihat, A. Syalabi, Mausu’ah al-Tarîkh wa al-Hadarah al-Islamiyah, (Mesir: al-

Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 1979), j. V, h. 675-677.

Page 66: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

27

tahun 1878 M., Albania, dan Macedonia.73 Dalam pada itu, kerajaan Syafawi

di Persia yang menganut paham Syi’ah, mulai mengalami kemunduran.

Penyebabnya adalah penyerangan yang dilakukan oleh Afghan yang

menganut paham Sunni, di bawah pimpinan Mir Ways pada tahun 1709 M.

setelah itu, terjadilah pemberontakan besar-besaran yang dilakukan oleh

Afghan. Dengan demikian, tamatlah kerajaan Syafawi di Persia.74

Sementara itu, di India, kerajaan Mughal yang berada di bawah

kekuasaan Aurangzeb sedang mengalami tantangan dari golongan Hindu

yang merupakan mayoritas penduduk India. Dalam kondisi demikian, Inggris

turut campur dalam konflik politik di India, dan akhirnya India dapat dikuasai

pada tahun 1857 M.75

Hal di atas, gambaran kondisi dunia Islam ketika al-Syaukani hidup.

Melihat kondisi dunia Islam yang semakin tidak menentu, Yaman adalah

salah satu bagian dari kerajaan Turki Usmani, di bawah kepemimpinan al-

Qasim ibn Muhammad, memberontak melawan Turki Utsmani, pada tahun

1598 M. dan mendirikan dinasti Qasimiyah. Setelah al-Qasim meninggal

(1009 H.), ia diganti oleh putranya, al-Mu’ayyad Muhammad ibn al-Qasim

(1009-1054 H.), yang telah sanggup mempertahankan Yaman dari serangan

bangsa Turki.76

73 Lihat, Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press,

1979), h. 87 74 Lihat, C. Brockelmen, History of The Islamic Peoples, (London: Routledge dan

Kegan Paul, h. 337-378. 75 Lihat, Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press,

1979), h. 87-88. 76 Lihat, A. Syalabi, Mausu’ah al-Tarîkh wa al-Hadarah al-Islamiyah, (Mesir: al-

Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 1979), j. VII, h. 484.

Page 67: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

28

Setelah itu, berkali-kali serangan bangsa Turki di arahkan ke Yaman,

namun tidak menggoyahkan sendi-sendi pemerintahan para imam Zaidiyah

di Yaman. Al-Syaukani sendiri merekam cerita tentang kepahlawanan

kakeknya, yaitu Abdullah al-Syaukani, yang ketika usianya telah mencapai

110 tahun masih mampu dengan gagah perkasa berjuang bersama para

putra Yaman melawan bangsa Turki dan mengusir mereka dari tanah

Yaman.77

Sekalipun demikian, para sultan Turki Utsmani tetap memandang

Yaman sebagai bagian dari wilayah mereka , yang membangkang terhadap

pemerintah pusat. Oleh sebab itu, selama pemerintahan Dinasti Qasimiyah

senantiasa terjadi konfrontasi antara Yaman dan Turki Utsmani.78

Sebagaimana di wilayah dunia Islam lainnya, perkembangan ilmu

pengetahuan di Yaman, sekalipun tidak seburuk di wilyah lain, tidak dapat

dikatakan telah mencapai kemajuan yang berarti.79 Diakui oleh al-Syaukani

bahwa kebekuan dan taklid yang melanda kaum muslim sejak abad ke-4

yang mempengaruhi akidah mereka, mereka telah banyak dibuai oleh bid’ah

dan khurafat, sehingga terjauh dari tuntunan Islam yang sebenarnya.80

Dalam situasi dan kondisi seperti itulah al-Syaukani di lahirkan.

Kondisi demikian, tidak dapat dipungkiri, bahwa sering seorang tokoh muncul

77 al-Syaukânî, al-Badr al-Tali‘ bi Mahâsin Man Ba‘d al-Qarn al-Sabi‘, (Beirut: Dâr al-

Ma‘rifah, t. th.), j. I, h. 482. 78 A. Syalabi, Mausu’ah al-tarikh wa al-Hadarah al-Islamiyah, h. 485. 79 Lihat, al-‘Amiri, Mi‘ah ‘Am min Tarikh al-Yaman al-Hadits, (Damaskus, Dâr al-

Fikr, t.th.), h. 12. 80 Al-Syaukânî, al-Rasâ’il al-Dawa’ al-‘ajil fî Daf al-‘Aduw al-Sail dalam al-Rasa’il al-

Rasa’il al-Salafiyyah fi Ihya Sunnah Khair al-Bariyyah Sallallah ‘Aliah wa Sallam, (Beirut: Matba’ah al-Sunnah al-Muhammadiyah, 1347 H.), h. 40-42.

Page 68: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

29

ketika keadaan suatu umat sedang dilanda krisis. Nabi Muhammad saw.

Sendiri muncul di tengah-tengah masa jahiliyah, Ibnu Taimiyah (w. 728

H./1327 M.) muncul ketika dunia Islam sedang dalam kebekuan berfikir, yang

kemudian disusul oleh muridnya, Ibn al-Qayyim (w. 751 H./1356 M.).81

demikianlah pula, agaknya al-Syaukani.

Nama lengkap al-Syaukânî adalah Muhammad bin Ali bin

Muhammad bin Abdullah al-Syaukânî al-San’anî82 al-Yamanî. Beliau lahir83

di Syaukan,84 Yaman Utara, pada hari Senin tanggal 28 Dzu al-Qa’dah tahun

1172 H. dan meninggal dunia pada hari Selasa tanggal 27 Jumâd al-Akhîr

tahun 1250 H. dalam usia sekitar 78 tahun.85 Al-Syaukânî dimakamkan di

pemakaman Khuzaimah San‘a. sebelum kelahirannya, orang tuanya tinggal

81 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukânî Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum

Islâm di Indonesia, (Jakarta: Logos, 1999), cet. 1, h. 52. 82 Lihat lebih lanjut, al-Syaukânî, al-Badr al-Tali‘ bi Mahâsin Man Ba‘d al-Qarn al-

Sabi‘, (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, t. th.), j. II, h. 214. 83 Berkenaan dengan tahun kelahiran al-Syaukânî tidak ada kesepakatan pendapat

para ahli sejarah, ada yang mengatakan dia lahir pada tahun 1173 H./1760 M. lihat lebih lanjut, Luis Ma‘luf, al-Munjid, (Beirut: Dâr al-Masyrîq, tt), h. 395-396. lebih lanjut mengenai tahun kelahiran al-Syaukâni, bisa dirujuk pada beberap kitab berikut ini: al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), juz 3, h. 211., lihat pula Salâh ‘Abdul Fattâh al-Khâlidî, Ta‘rîf al-Dârisîn Bimanâhij al-Mufassirîn, (Damsyik, Dâr al-Qalam, tt.), h. 337, lihat pula, Syaikh al-Imâm Muhammad bin ‘Ali al-Syaukani, Kitâb al-Sail al-Jarâr al-Mutadaffiq ‘alâ Hadâiq al-Azhâr, (Kairo: tp. 1982), cet. Ke-2, h. 16.

84 Syaukân adalah sebuah desa yang jaraknya dengan kota San’a sejauh perjalanan satu hari, dengan berjalan kaki. Desa tersebut dihuni oleh suku Suhamiyyah, termasuk rumpun kabilah Khaulan. Lihat, al-Syaukânî, al-Badr al-Tali‘ bi Mahâsin Man Ba‘d al-Qarn al-Sabi‘, (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, t. th.), j. I, h. 480. desa tersebut biasa disebut Hijrah Syaukan. Lihat pula, al-Syaukânî, al-Badr al-Tali‘ bi Mahâsin Man Ba‘d al-Qarn al-Sabi‘, (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, t. th.), j. II, h. 251. bahkan, ada juga yang menyebutnya dengan nama desa ‘Adna Syaukan. al-Syaukânî, al-Badr al-Tali, j. I, h. 481.

85 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Tafsîr Fath al-Qadîr, (Mesir: Dâr al-Fikr, 1973), juz I, h. 4-8, lihat pula, al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), juz 3, h. 211., lihat pula Salâh ‘Abdul Fattâh al-Khâlidî, Ta‘rîf al-Dârisîn Bimanâhij al-Mufassirîn, (Damsyik, Dâr al-Qalam, tt.), h. 337.

Page 69: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

30

di San’a86. ketika musim gugur, mereka pulang ke Syaukan, kampung

asalnya dan pada waktu itulah al-Syaukani lahir. Tidak berapa lama setelah

itu, ia dibawa oleh orang tuanya kembali ke San’a.87

Ayahnya, Ali al-Syaukânî (1130-1211 H.), adalah seorang ulama yang

terkenal di Yaman, yang bertahun-tahun dipercaya oleh pemerintahan imam-

imam Qasimiyah, sebuah dinasti Zaidiyah di Yaman, untuk memegang

jabatan Qâdi (hakim). Ia mengundurkan diri dari jabatan tersebut dua tahun

menjelang ajalnya. Dalam lingkungan keluarga inilah al-Syaukani dibesarkan.

Pada masa kecilnya, ia belajar al-Qur’an pada beberapa guru, yang

diselesaikannya pada al-Faqih Hasan ibn Abdullah al-Habi. Kemudian, ia

meneruskan pelajarannya dengan mempelajari ilmu tajwid pada beberapa

guru (masyayikh) di San’a. Sehingga ia menguasai bacaan al-Qur’an dengan

baik.88

86 Kota San’a dianggap sebagai kota yang tertua di dunia yang dibangun oleh putra

Nabi Nuh AS., yang bernama Syam. Di kota tua ini terdapat istana Gamadan yang didirikan oleh raja bernama al-Jasrah Jahsab. Pada masa khalifah Utsman berkuasa (6 H.), istana tersebut rusak kemudian dibangun kembali oleh Abraham al-Habsyi, demikian pula dengan gereja Qalis., sebagai salah satu rumah ibadah untuk menandingi umat Islam yang pergi melakukan ibadah haji ke Makkah. Lihat, Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Nail al-Autâr, Syarah Muntaqa al-Akhbâr, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1961), juz I, cet. 3, h. 3. Istana Gamadan secara turun temurun ditempati oleh raja-raja dari keturunan Bani Ziyad, Bani Ja’far di abad ke- 3 H., dan oleh Bani Raus di tahun 322 H. / 933 M., Selanjutnya kota San’a dijadikan sebagai ibu kota Yaman oleh kaum Syi’ah Zaidiyah sejak tahun 1000 H. / 1592 M.. Kemudia pada tahun revolusi Zaidiyah tahun 1948 M., kota tersebut direbut kembali oleh Ahmad bin Yahya, dan ibu kota dipindahkan ke Taiz. Setelah pembentukan Republic Yaman tahun 1962, barulah ibu kota Yaman dipindahkan dari Taiz ke San’a. lihat, Ahmad Atiyatullah, al-Qâmus al-Islâmî, (Kairo: al-Nahdah al-Misriyyah, 1976), jilid 4, h. 342-344.

87 Lihat, Umar Muhammad Rida Kahhalah, Mu‘jam al-Mu’allifîn, (Beirut: Maktabah al-Musanna, t.th.), j. XI, h. 53.

88 al-Syaukânî, al-Badr al-Tali‘ bi Mahâsin Man Ba‘d al-Qarn al-Sabi‘, (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, t. th.), j. II, h. 215.

Page 70: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

31

Dalam Majalah Al-Furqon Edisi 12 tahun V / Rajab 1427/ Agustus

2006, yang merupakan Tarjamah al-Imam al-Syaukani oleh Syaikh Husain

bin Muhsin al-Ansari al-Yamani. Dikatakan bahwa Beliau tumbuh di bawah

asuhan ayahandanya dalam lingkungan yang penuh dengan keluhuran budi

dan kesucian jiwa. Beliau belajar al-Qur'an di bawah asuhan beberapa guru

dan dikhatamkan di hadapan al-Faqih Hasan bin Abdullah al-Habi dan

beliau perdalam kepada para masyâyikh al-Qur'an di San'a. Kemudian beliau

menghafal berbagai matan dalam berbagai disiplin ilmu, seperti: al-Azhar

oleh al Imâm al-Mahdi, Mukhtasar Faraidh oleh al-Usaifiri, Malhah al-Harm,

al-Kafiyah al-Syafiyah oleh Ibn al-Hajib, at-Tahdzîb oleh at-Tifazani, al-

Talkhis fi ‘Ulum al-Balâghah oleh al Qazwaini, al-Ghayah oleh Ibn al-Imam,

Mamhumah al-Jazâri fi al-Qira'ah, Mamhumah al-Jazzar fi al-'Arud, Adâb al-

Bahs wa al-Munazarah oleh al-Imâm al-' Adud. 89

Pada awal belajarnya beliau banyak menelaah kitab-kitab tarikh dan

adab. Kemudian beliau menempuh perjalanan mencari riwayat hadits

dengan sama’ (mendengar) dan talaqqi (bertemu langsung) kepada para

masyâyikh hadis hingga beliau mencapai derajat imamah dalam ilmu hadits.

Beliau senantiasa menggeluti ilmu hingga berpisah dari dunia dan bertemu

Rabbnya.90

89 Lihat, Majalah al-Furqon Edisi 12 tahun V / Rajab 1427/ Agustus 2006, yang

merupakan Tarjamah al-Imâm al-Syaukani oleh Syaikh Husain bin Muhsin al-Anshari al-Yamani.

90 Tarjamah al-Imam al-Syaukani oleh Syaikh Husain bin Muhsin al-Ansari al-Yamani, disadur dalam Majalah al-Furqon Edisi 12 tahun V / Rajab 1427/ Agustus 2006.

Page 71: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

32

Pada tahun 1209 H. meninggallah Qadi Yaman, Syaikh Yahya bin

Salih al-Syajari al-Sahuli. Maka Khalifah al-Mansur meminta kepada al-Imâm

al-Syaukani agar menggantikan Syaikh Yahya sebagai qadi negeri Yaman.

Pada awalnya beliau menolak jabatan tersebut karena takut akan disibukkan

dengan jabatan tersebut dari ilmu. Maka datanglah para ulama San'a kepada

beliau meminta agar beliau menerima jabatan tersebut, karena jabatan,

tersebut adalah rujukan syar'i bagi para penduduk negeri Yaman yang

dikhawatirkan akan diduduki oleh seseorang yang tidak amanah dalam

agama dan keilmuannya. Akhirnya beliau menerima jabatan tersebut. Beliau

menjabat sebagai Qadi Yaman hingga beliau wafat pada masa pemerintahan

tiga khalifah: al-Mansur, al-Mutawakkil, dan al-Mahdi. Ketika beliau menjabat

sebagai qadi maka keadilan ditegakkan, kezaliman diberi pelajaran,

penyuapan dijauhkan, fanatik buta dihilangkan, dan beliau selalu mengajak

umat kepada ittiba' terhadap Kitabullah dan Sunnah.91

Berkenaan jabatan al-Syaukani sebagai hakim, Ahmad Atiyatullah

dalam kitab al-Qâmus al-Islâmî menegaskan bahwa al-Syaukânî menjabat

sebagai hakim, ketika berusia kira-kira 45 tahun. Tugas sebagai hakim

dijabatnya pada tahun 1299 H. di San’a. rupanya jabatan sebagai hakim ini,

dipegangnya sampai akhir hayatnya. Kemudian, jabatan sebagai hakim

dilimpahkan kepada anaknya yakni Ahmad Muhammad ‘Ali (1229 H. / 1813

91http://kisahislam.com/index.php?option=com_content&task=view&id=88&Itemid=4

Page 72: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

33

M.), yang ketika ayahnya wafat, Ahmad Ali berusia 21 tahun dan meninggal

dunia tahun tahun 1281 H. / 1864 M.92

Kiprah intelektual al-Syaukânî dalam pengembangan ilmu keagamaan

dimulai sejak ia masih dalam bimbingan guru-gurunya. Disebutkan bahwa

setiap hari ia dapat menekuni tiga belas mata pelajaran, yang kemudian di

ajarkannya lagi pada hari yang sama kepada murid-muridnya.

Disebutkannya bahwa setiap hari ia dapat mengajarkannya sepuluh mata

pelajaran kepada murid-muridnya, dalam berbagai cabang ilmu, antara lain

adalah tafsir, hadits, usul fikih, nahwu, sorof, ma’ani, bayan, mantiq, fikih,

jidal (metode berdiskusi), arud (seni mengarang puisi), dan lain-lain.93

Di samping al-Syaukânî mendampingi guru-gurunya, ia juga tekun

belajar sendiri, membaca buku-buku sejarah, sastra dan sebagainya. Dia

seringkali mengikuti ceramah-ceramah tokoh-tokoh ilmuan, yang pada

gilirannya dapat membentuk watak serta kepribadiannya sehingga beliau

memperoleh predikat ulama.

B. Karya-karya al-Syaukânî

Dalam muqaddimah tafsir Fath al-Qâdîr, bahwa tercatat sebanyak 36

karya yang diterbitkan dalam bentuk buku dan 14 buah karya tulisnya dalam

92 Ahmad Atiyatullah, al-Qâmus al-Islâmî, (Kairo: al-Nahdah al-Misriyyah, 1976), jilid 4, h. 186-187.

93 Dari aktifitas sehari-hari al-Syaukânî ini, dikemudian hari, banyak dari murid-muridnya yang berhasil dan memainkan peranan penting di tengah-tengah masyarakat secara luas. Sebagian kecil tercatat kurang lebih 11 orang dari murid-murid al-Syaukânî yang mewarisi ilmunya dan mengembangkan ilmu yang di ajarkan al-Syaukânî tersebar di berbagai daerah di Yaman dan sekitarnya. Lebih lanjut lihat, Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukânî Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum Islâm di Indonesia, (Jakarta: Logos, 1999), cet. 1, h. 58.

Page 73: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

34

bentuk manuskrip. Semua karya tulisnya itu, diselesaikan oleh al-Syaukânî

dalam usia 36 tahun. Kemudian, produktifitasnya mulai menurun ketika pada

usia 36 tahun pasca diangkatnya al-Syaukani menjadi hakim di San’a pada

masa pemerintahan al-Imâm al-Mansûr Ali ibn Abbâs (1775-1809 M.) dan

pada masa pemerintahan al-Mahdi Abdullah (1815-1835 M.).94

Imam al-Syaukânî dikenal sebagai ulama yang menguasai beberapa

cabang ilmu pengetahuan agama, seperti tafsîr, hadîts, fiqh, usul fiqh, sejarah,

ilmu kalâm, filsafat, balaghah, mantiq, dan lain sebagainya. al-Syaukânî tidak

saja mengaplikasikan ilmu-ilmunya dalam bentuk mengajar, akan tetapi ia

juga menuangkannya ke dalam bentuk tulisan.

Dari keluasan ilmu pengetahuan dan kedalaman wawasannya, Imâm

al-syaukânî dijuluki orang pada zamannya sebagai lautan ilmu yang tak

bertepi, matahari pengetahuan, Syaikh Islam, Qâdi al-Qudat dan lain

sebagainya. Karangan-karangan Imam Syaukânî melingkupi berbagai ilmu

pengetahuan agama, seperti yang tertulis dalam pendahulaun kitabnya ”Fath

al-Qadîr” sebagai berikut:95

94 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Tafsîr Fath al-Qadîr, Tahqîq dan

takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid I, h. 22-26. 95 Lebih lanjut, lihat Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr,

Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), juz I, h. 23-26. bisa dilihat pula pada pendahuluan Fath al-Qadir cetakan Mesir, Dâr al-Fikr, tahun 1973 bahwa karangan-karangan Imam Syaukânî melingkupi berbagai ilmu pengetahuan agama, seperti kitab tafsir Fath Al-Qadîr, kitab Nail al-autar, kitab Tuhfat Al-Dzakirin, kitab Irsyâd Al-Siqat ’Ilâ Ittifâq Al-Syara’i, ‘Ala Al-Tauhîd Wa Al-Ma’ad Wa Al-Nubuwwah, kitab Al-Tawd Al-Munîf Fî Al-Intisâf, Li Al-Sa’d Min Al-Syarîf, kitab Tayyib Al-Nasyr Fî Al-Masâ’il Al-Asyr, kitab Fî Ikhtilâf Al-‘Ulama’ Fî Taqdîr Muttat Al-Nifâs, kitab Fî Hadd Al-Safar, Alladzi Yajibu Ma’ahu Qasr Al-Salat, kitab Mukammilah Fî Al-Basmalah, kitab Fî Anna Al-Talaq La Yatba’u Al-Talaq, kitab Fî Ibtal Da’wa Al-Ijma’ ‘Ala Tahrîm Al-Sima’, kitab Al-Bughyah Fî Mas’alah al-Ru’yah, kitab Irsyâd Al-Ghabi ’Ila Madzhâb Ahli Bait Fî Sahbi Al-Nabi, kitab Irsyâd al-Mustafid ’ilâ Daf’i Kalâm Ibn Daqîq al-‘Id fî al-Ittilaq wa al-taqyîd, kitab Al-Dawa’ Al-’Ajil Lî

Page 74: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

35

- Hadis dan ulum al-hadis (al-Hadis wa ‘ulûmuh)

1. Ithâf al-akâbir bi isnâd al-Dafâir;

2. al-Fawâid al-Majmû‘ah fi al-ahâdits al-maudû‘ah, wa ghairuhâ

- Karangan yang berbentuk manuskrip (mu’allafâtuh al-makhtûtah)

1. Ithâf al-mahrah ‘alâ hadîts ”lâ ‘aduw walâ tairah”

2. al-Qaul al-maqbûl fî radd khabar al-majhûl min ghair sahâbah al-

Rasûl

3. Bulûgh al-Sâ’il amâniah bi al-takallum ‘alâ atrâf al-samâniyah

4. Bahts fî al-hadîts ”Fadainullâh ahaqqu ’an yuqdâ”

- ‘Aqîdah (‘Aqîdah)

1. Irsyâd al-siqât ilâ ittifâq al-syarâ’i‘ ‘alâ tauhîd wa al-ma‘âd wa al-

nubuwwât;

2. Qatr al-walî ‘alâ hadîts al-walî;

3. Bahs anna ijâbah al-du‘â’ lâ yunâfî sabaq al-qadâ’;

- Karangan yang berbentuk manuskrip (mu’allafâtuh al-makhtûtah)

1. al-Taudîh fî tawâtir mâ jâ’a fî al-muntaûzir al-masîh;

2. Irsyâd al-ghabî ilâ madzhab ahl al-bait fî sahab al-nabî;

3. al-Mukhtasar al-badî‘ fî al-khalq al-wasî‘;

- Fikih (Fiqh)

Daf’i al-‘Aduw al-Sâ’il, kitab al-‘Ajiban fî Raf’i al-Mazâlim wa al-Ma’âsim, kitab al-Dur al-Nadlîd fî Ikhlâs Kalimat Tauhîd, kitab fî Wujûb Tauhid Allah ‘Azza Wajalla, kitab al-Maqâlah al-Fâkhirah, kitab Nuzhah al-Ahdâq fi ‘Ilm al-Isytiqâq, kitab Raf’u al-Raiba Fîma Yajûzu wama La yajûzu min al-Ghîbah, kitab Kasyfu al-Atsar ‘an Hukm al-Syaf’ah bi al-Jiwâr, kitab al-Wasyisyu al-Marqûm fî Tahrîm al-Tahalli bi al-Zanab li al-Rijâl ‘alâ al-Umûm, kitan Fî Hukmi al-Tas’îr, kitab Nasru al-Jauhâr fî Syarh Hadîts Abî Dzâr, kitab Tanbîh al-Amtsâl ‘alâ Jawâz min Khâlis al-Mâl, dan lain sebagainya. Lihat lebih lanjut, Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, (Mesir: Dâr al-Fikr, 1973), juz I, h. 4-8

Page 75: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

36

1. al-Dur al-nadîd fî ikhlâs kalimat al-tauhîd;

2. al-Dur al-bahiyyah fî al-masâ’il al-fiqhiyyah;

3. al-Dur al-‘âjil fî daf‘ al-‘adad al-sâ’il;

4. al-Sail al-jarâj al-mutadaffiq ‘alâ hadâ’iq al-azhâr;

5. Irsyâd al-sâ’il ilâ dalâ’il al-masâil;

6. al-Misk al-fâtih fî hat al-jawâ’ih;

7. Ibtâl da‘wâ al-ijmâ‘ ‘alâ mutlâq al-sumâ‘, dan lain-lain.

- Karangan yang berbentuk manuskrip (mu’allafâtuh al-makhtûtah)

1. al-Sawârim al-hindiyah al-maslûlah ‘alâ al-riyâd al-nadiyah;

2. al-‘Adzb al-munîr fî jawâb masâ’il bilâd ‘asîr;

3. al-Mabâhits al-duriyah fî al-mas’alah al-himâriyyah (mawâris);

- Usul Fikih (Usûl al-Fiqh)

1. Irsyâd al-fuhûl ’ilâ tahqîq al-haqq fî ‘ulûm al-usûl

2. Tanbîh al-a‘lâ ‘alâ tafsîr al-musytabihât bain al-halâl wa al-harâm;

3. al-Qaul al-mufîd fî adillah al-ijtihâd wa al-taqlîd;

4. Adâb al-talab wa muntahî al-’arib;

- Tafsir (Tafsîr)

1. Isykâl al-sâ’il ’ilâ tafsîr ”wa al-qamara qaddarnâhu manâzil”;

2. Fath al-qadîr, al-jâmi‘ bain fannai al-dirâyah wa al-riwâyah min

‘ilm al-tafsîr;

- Kitab kecil/tipis (Riqâq)

1. Tuhfah al-Dzâkirîn bu‘dah al-hisn al-hasîn min kalâm sayid al-

mursalîn;

2. al-’Îdâh li ma‘nâ al-taubah wa al-îdâh;

Page 76: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

37

3. Jawâb su’âl ‘an al-sabr wa al-hil, hal humâ mutalâzimân am lâ?;

4. Bahts fî syarh qaulih Sallâhu ‘aliah wasallam ” wa al-dunyâ

ma’lûnah mal‘ûnah ma fîhâ”.

- Sastra (Adâb)

1. Bahts fî al-nahî ‘an mudah ikhwân al-sû’;

2. Bahts fî mâ isytahara ‘alâ al-sunnah al-nâs biannahu lâ ‘ahd

lidâlim;

3. Bahts fî al-salâh ‘alâ al-nabî Muhammad Saw.;

- Ilmu Bahasa dan Balaghah (‘ulûm lughawiyah wa balâghah)

1. al-Raud al-wasî‘ fî al-dalîl ‘alâ ‘adam inhisâr ‘ilm al-badî‘;

2. Bahs fî al-rad ‘alâ al-Zamakhsyârî fî istihsân bait al-Rabbah;

3. Nuzhah al-ihdâq fî ‘ilm al-isytiqâq

- Ilmu Pengetahuan (Ma‘ârif)

1. Bahts fî ‘ilm bi al Khat bi majmû‘;

2. Bahts fî wujûd al-Jinn;

3. Risâlah fî al-kusûf hal yakûn fî waqt mu‘ayyun ilâ al-qata‘ am dzâlik

yakhtalif;

- Sejarah (Târîkh)

1. al-Qaul al-hasan fî fadâ’il ahl al-yumn;

2. al-Qaul al-maqbûl fî faidân al-guyûl wa al-suyûl.

- Mantik (al-Mantiq)

1. Bahts fî al-had al-tâm wa al-had al-nâqis

2. Fath al-Khilâf fî jawâb masâ’il ‘Âbdurrazzâq al-Hind fî ‘ilm al-

mantiq

Page 77: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

38

- Terjemah (Tarâjum)

1. al-Badr al-tâli‘ bi mahâsin min ba’d al-Qur’ân al-sâbi‘.

C. Guru-Guru dan Murid al-Syaukânî

1. Guru-gurunya96

Al-Syaukânî menimba ilmu pengetahuan agama pertama-tama

dengan ayahnya sendiri, yakni Ali al-Syaukânî.97 Kemudian ia juga berguru

96 Lihat, Muhammad ibn ‘Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan

takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), juz I,, h. 22-23, lihat pula Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukânî Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum Islâm di Indonesia, (Jakarta: Logos, 1999), cet. 1, h. 54

97 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Nail al-Autâr, Syarah Muntaqa al-Akhbâr, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1983), juz I, h. 4. Selain itu bisa dilihat pula pada Tarjamah al-Imam al-Syaukani oleh Syaikh Husain bin Muhsin al Ansari al-Yamani, disadur dalam Majalah al-Furqon Edisi 12 tahun V/ Rajab 1427/Agustus 2006, atau di http://kisahislam.com/index.php?option=com_content&task=view&id=88&Itemid=4. Di antara guru-gurunya adalah : Ayahanda beliau yang kepadanya beliau belajar Syarah al-Azhar dan Syarah Mukhtashar al-Hariri. Al-Sayyid al-Allamah Abdurrahman bin Qasim al Madaini, beliau belajar kepadanya Syarah al-Azhar. Al-Allamah Ahmad bin Amir al-Hadai, beliau belajar kepadanya Syarah al-Azhar. Al-Allamah Ahmad bin Muhammad al-Harazi, beliau berguru kepadanya selama 13 tahun, mengambil ilmu fiqih, mengulang-ulang Syarah al-Azhar dan hasyiyahnya, serta belajar bayan Ibnu Muzaffar dan Syarah an-Nazhiri dan hasyiyahnya. As Sayyid al-Allamah Isma'il bin Hasan, beliau belajar kepadanya al-Malhah dan Syarahnya. Al-‘Allamah Abdullah bin Isma'il as-Sahmi, beliau belajar kepadanya Qawaid al-I'rab dan Syarahnya serta Syarah al-Khubaishi 'alâ al-Kâfiyah dan Syarahnya. Al-‘Allamah al-Qasim bin Yahya al-Khaulani, beliau belajar kepadanya Syarh as Sayyid al-Mufti 'alal Kafiyah, Syarah asy-Syafiyah li Luthfillah al Dhiyats, dan Syarah ar-Ridha 'alal Kafiyah. Al-Sayyid al Allamah Abdullah bin Husain, beliau belajar kepadanya Syarah al fami 'alal Kafiyah. Al-‘Allamah Hasan bin Isma'il al-Maghribi, beliau belajar kepadanya Syarah asy- Syamsiyyah oleh al-Qutb dan Syarah al-'Adhud 'alâ al-Mukhtasar serta mendengarkan darinya Sunan Abu Dawud dan Ma'alimus Sunan. Al-Sayyid al-Imam ‘Abd al-Qadir bin Ahmad, beliau belajar kepadanya Syarah Jam' al-Jawami' li al-Muhalli dan Bahruz Zakhkhar serta mendengarkan darinya Sahih Muslim, Sunan Tirmidzi, Sunan Nasa'i, Sunan Ibnu Majah, Muwatta’ Malik, dan Syifa' Qadi 'lyadh. Al-‘Allamah Hadi bin Husain al-Qarani, beliau belajar kepadanya Syarah al-Jazariyyah. Al-‘Allamah Abdurrahman bin Hasan al-

Page 78: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

39

kepada ulama-ulama kenamaan di San’a dan sekitar pada masanya. Di

antara ulama-ulama yang menjadi gurunya adalah:

1. al-Sayyid al-‘Allâmah ‘Abdurrahmân ibn Qâsim al-Madani (1121-

1211 H.) yang membimbing mempelajari fiqih;

2. al-Allâmah Ahmad ibn Amîr al-Hadâ’I (1127-1197 H.);

3. al-‘Allâmah Ahmad ibn Muhammad al-Harâzî yang mengajarkan

fiqih dan usul fiqih hampir selama 13 tahun;

4. al-Sayyid al-‘Allâmah Isma‘il ibn Hasan ibn al-Imâm al-Qâsim ibn

Muhammad (1120-1206 H.) yang mengajarkan ilmu nahwu;

5. ‘Ali ibn Hadi Urbah, yang mengajarkan usûl fiqih;

6. Abdullah ibn Ismaîl al-Nahwi (w. 1228 H.) yang mengajarkan

berbagai bidang ilmu seperti nahwu, mantiq, fiqih, usul fiqih,

hadits, mustalah al-hadits, dan tafsîr;

7. al-Qâsim ibn Yahya al-Khaulânî (1162-1209 H.), yang

mengajarkan berbagai bidang ilmu seperti fiqih, usul fiqih, hadits,

mustalah al-hadits, tafsîr, mantiq, adâb al-bahts wa al-munazarah

(metodologi penalaran dan diskusi);

8. al-Sayyid al-‘Allâmah ‘Abdullah bin al-Husain ibn Ali bin al-Imâm

al-Mutawakkil alallâh

9. al-‘Allâmah al-Hasan ibn Ismâ‘il al-Maghribî (1140-1207 H.), yang

menjadi guru dibidang ilmu mantiq, usul fiqh, hadîts, mustalah al-

hadîts, dan tafsîr;

Akwa, beliau belajar kepadanya Syifa al-Amir Husain. Al-‘Allamah ‘Ali bin Ibrahim bin Ahmad bin Amir, beliau mendengarkan darinya Shahih Bukhâri dari awal hingga akhir.

Page 79: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

40

10. al-Sayyid al-Imâm Abdul Qâdir ibn Ahmad al-Kaukabânî (1135-

1207 H.) yang mengajari al-Syaukânî dibidang ilmu kalam, fiqih,

ussul fiqih, hadits, bahasa dan sastra Arab, dan lain

sebagainyanya;

11. al-‘Allâmah Hadî ibn Husein al-Qârinî yang membimbngnya

membaca Syarâh al-Jazariyyah (kitab tentang macam-macam

bacaan al-Quran);

12. al-‘Allâmah Abdurrahmân ibn Hasan al-Akwa (1135-1206 H.), ia

mengajarkan membaca bagian awal dari kitab al-Syifa karya al-

Amir al-Husain;

13. al-Sayyid al-‘Allâmah ‘Ali ibn Ibrâhîm ibn Ahmad ibn Amir (1143-

1207 H.), yang membimbingnya membaca beberapa kitab hadits

seperti Sahih Muslim, Sunan al-Tirmidzi, al-Muwatta’, dan lain-lain;

14. al-Sayyid al-Arif Yahya ibn Muhammad al-Hautsi (1116-1247 H.),

yang mengajarkan fara’id, ilmu hitung dan ilmu ukur; dan lain-

lain.

Selain dari yang disebutkan di atas, secara khusus banyak orang-orang

yang mempunyai otoritas serta kapasitas dalam berbagai bidang yang

mempunyai andil besar terhadap al-Syaukânî. Misalnya, dalam bidang ilmu

al-Qur’an, antara lain Hasan bin Abdullah al-Hilb, ilmu fikih di pelajarinya

dari Imam Mahdi, ilmu fara’id dari al-Husaifurî, al-malhamah (sastra) dari

Imam al-Harîrî, al-Kâfiyah dan al-Safiah “Qawâ’id arabiyah” dari Ibnu Hajib,

dari al-Tafzani ia mempelajari al-Tahdzib, sedangkan ilmu balaghah dari al-

Qazwinî, rangkuman al-Muntaha yang berisikan seluk beluk usûl fiqh dari Ibn

Page 80: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

41

al-Hajib. Ilmu qiraat ia pelajari al-Jâzirî, sedangkan ilmu ‘arud pada al-Jazzar.

Teknik diskusi dan logika diperolehnya melalui bimbingan Imam al-Udad.

Kitab Syarh al-Azhar dipelajarinya langsung pada al-‘Allâmah Abdurrahman

bin Qâsim al-Madâ’in dan Syarh Jami al-Jawâmi karanga al-Mahalli serta

hasyiah oleh Ibn Abi Syarîf dipelajarinya pada Syaikh al-Sayyid al-Imâm

Abdul Qâdir bin Ahmad.98

Sedangkan dalam mempelajari hadits-hadits Nabi, al-Syaukânî belajar

dari ulama-ulama hadits terkenal pada masa itu. Seperti hadits Sahîh al-

Bukhârî dipelajarinya pada Sayyid al-Allâmah Ali bin Ibrâhim ibn Ahmad bin

Amir, demikian juga Sahih Muslim, Sunan al-Tirmidzi, Sunan Ibn Majah,

Sunan Abu Dâwud serta al-Muwatta’ Imâm Malik. Sedangkan Sunan al-

Nasâ’I diperolehnya dari al-Allâmah Hasan bin Ismaîl al-Maghribî. Al-

Muntaqa dan Syarh Bulûgh al-Marâm ia pelajari juga pada al-Maghribî.99

Dari sekian dan pengetahuan yang diterima oleh al-Syaukani yang

telah disebutkan di atas, dapat dipahami bahwa al-Syaukânî adalah seorang

yang tekun dan memiliki minat besar terhadap ilmu. Apa yang dilakukan al-

Syaukani ini merupakan hal yang wajar bagi seorang pelajar yang tekun

untuk mendapatkan ilmu yang sebanyak-banyaknya.

98 Lihat lebih lanjut, Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Tafsîr Fath al-

Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), juz I,, h. 22-23, lihat pula Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukânî Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum Islâm di Indonesia, (Jakarta: Logos, 1999), cet. 1, h. 55.

99 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Nail al-Autâr, Syarah Muntaqa al-Akhbâr, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1983), juz I, h. 4.

Page 81: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

42

Menurut Nasrun Rusli, bahwa al-Syaukânî tidak pernah belajar di luar

kota San’â.100 Alasannya ialah bahwa orang tuanya tidak mengizinkan belajar

di luar kota San’a. kendati demikian, tentu ada alasan lain kenapa al-

Syaukânî tidak boleh belajar di luar kota San’a. kota San’a sudah dipandang

memadai karena kondisi perkembangan pendidikan di sana ketika itu tidak

lebih tertingal dari kota-kota lain di dunia Islam. Selain itu, Ali al-Syaukani

(ayah al-Syaukânî) adalah seorang ulam Syiah Zaidiyah yang mempunyai

reputasi yang besar dan popular dalam kerajaan, yang ketika itu menjabat

sebagai Qadi. Oleh karena itu, ia ingin agar putranya dapat menempati

kedudukan sebagai ulama Zaidiyah yang besar. untuk itu, al-Syaukânî

dikerahkan untuk mempelajari madzhab Syiah Zaidiyah kepada ulama

Zaidiyah yang ketika itu bermukim di San’a.

Demikianlah sebagian dari guru-guru yang pernah mendidik serta

mengajarkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan kepada al-Syaukânî, dan

masih banyak lagi guru-gurunya.

2. Murid-Murid al-Syaukânî

Di antara sekian banyak muridnya tercatat nama anaknya sendiri yang

bernama al-Allâmah Ali ibn Muhammad al-Syaukânî. Anaknya yang masih

muda ini dikenal sebagai anak yang salih dan banyak menguasai berbagai

macam cabang ilmu pengetahuan. Muridnya yang lain adalah al-Allâmah

Husein ibn Muhsin al-SabI Ansârî al-Yamînî, Muhammad ibn Hasan al-

100 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukânî Relevansinya Bagi Pembaharuan

Hukum Islâm di Indonesia, (Jakarta: Logos, 1999), cet. 1, h. 56

Page 82: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

43

Syajanî, al-Allâmah al-Syaikh Abdul Haqq ibn Fadal al-Hindî, al-Syarîf al-

Imâm Muhammad ibn Nâsir al-Hâzimî, dan lain sebagainya.101

Di antara murid-murid al-Syaukani adalah:

1. al-Sayyid Muhammad ibn Muhammad Zabarah al-Hasani al-Yamanai

al-San’ani (w. 1381 H./1962 M.), yang menulis biografi para tokoh

Yaman abad ke 13 H., yang berjudul Nail al-Watar min Tarâjim Rijal

al-Yaman fi al-Qarn al-Tsalis ‘Asyr. Murid al-Syaukani yang satu ini

adalah termasuk generasi kedua, dan turut berperan menyebarkan

karya-karya al-Syaukani di Mesir.

2. Muhammad ibn Ahmad al-Saudi (1178 – 1226 H.), yang mendapat

pujian dari al-Syaukani sebagai salah seorang muridnya yang

cemerlang.

3. Muhammad ibn Ahmad Musyim al-Sa‘di al-San‘ani (1186 – 1223 H.),

adalah murid al-Syaukani yang pernah memegang jabatan Qadi di

San’a dan sering dipuji oleh gurunya.

4. al-Sayyid Ahmad ibn Ali Muhsin ibn al-Imam al-Mutawakkil ‘ala Allah

Ismail ibn al-Qasim (1150 – 1223 H.), yang belajar pada al-Syaukani

ketika usianya hampir mencapai lima puluh tahun dan menyertai

gurunya selama hampir sepuluh tahun.

5. al-Sayyid Muhammad ibn Muhammad Hasyim ibn Yahya al-Syami

(1178 – 1251 H.).

101 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), juz I, h. 23

Page 83: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

44

6. Abdurrahman ibn Ahmad al-Bahkali al-Damdi (1180 – 1227 H.),

adalah termasuk murid al-Syaukani yang lama belajar dengannya,

sampai ia diangkat sebagai Qadi.

7. Ahmad ibn Abdullah al-Damdi (1174 – 1222 H.), yang kemudian hari

menjadi marja’ (tempat meminta fatwa) bagi penduduk Damd dan

sekitarnya.

8. Ali Ahmad Hajir al-San’abi (1180 – 1335 H.), yang mendalami mantiq

pada al-Syaukani, sehingga benar-benar mahir dalam ilmu tersebut,

yang diakui oleh al-Syaukani tidak ada murid lain yang

menandinginya.

9. Abdullah ibn Muhsin al-Haimi (1170 – 1240 H.), ia adalah salah

seorang murid yang dicintai oleh al-Syaukani, karena sangat banyak

menimba ilmu dari guru itu.

10. al-Qadi Muhammad ibn Hasan al-Syajni al-Zammari (1200 – 1286

H.), yang mendapat ijazah dari al-Syaukani pada tahun 1239 H.)

dialah orang yang pertama menulis biografi gurunya, yang berjudul al-

Tiqsar fî Jayyid Zaman ‘Alamah al-Aqalim wa al-Amsar.

11. al-Qadi Ahmad ibn Muhammad al-Syaukani (1229 – 1281 H.), ia

adalah putra al-Syaukani sendiri dan dipandang sebagai ulama

Yaman terbesar sesudah ayahnya. Seperti ayahnya, ia juga perna

memegang jabatan qadi di San’a.102

102 Lihat, Ibrahim Ibrahim Hilal, Walâyatullah wa al-Tarîq Ilaihâ, (Kairo: Dâr al-Kutub

al-Haditsah, t.th.), h. 30-33, lihat pula, Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, h. 23, Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukânî Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum Islâm di Indonesia, (Jakarta: Logos, 1999), cet. 1, h. 57-58.

Page 84: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

45

Itulah sebagian kecil murid-murid al-Syaukani yang mewarisi ilmunya

dan mengembangkan ilmu tersebut ke berbagai daerah Yaman dan

sekitarnya. Dengan demikian, apa yang dihimbau oleh al-Syaukani di dalam

karya-karyanya, disebarkan oleh para murid tersebut.

`

D. Al-Syaukânî dan Syi’ah Zaidiyah

1. Syiah Zaidiyah

Disebut Zaidiyah karena sekte ini mengakui Zaid bin ‘Ali sebagai imam

kelima, putra imam keempat, ‘Ali Zainal ‘Abidin. Kelompok ini berbeda

dengan sekte Syiah lain yang mengakui Muhammad al-Baqir, putra Zainal

‘Abidin yang lainnya, sebagai imam kelima. Dari nama Zaid bin ‘Ali inilah,

nama Zaidiyah diambil.103 Zaidiyah berasal dari Zaid ibn ‘Ali Zainal Abidin

ibn al-Husain ibn ‘Ali ‘Alaih al-Salam ibn ‘Abi Talib (80-122 H.) dan

kemudian dikembangkan oleh beberapa mujtahid dari kalangan anak

cucunya sendiri, atau keturunan ‘Ali dan Fatimah pada umumnya, dan yang

paling populer adalah: al-Qasim ibn Ibrâhim al-Rass (w. 170-242 H.), yang

kemudian terkenal dengan pendiri kelompok al-Qasimiyyah, yang

merupakan salah satu dari cabang madzhab Zaidi; al-Nasir al-Utrusyi (w. 230-

304 H.), ia adalah pengembang Syiah Zaidiyah di wilayah Dailam, Jabal, dan

Khurasan; al-Hadi ila al-Haqq Yahya ibn al-Husain ibn al-Qasim al-Rass

(245-298 H.), yang kemudian dikenal sebagai pendiri dari cabang Zaidiah

103 Ignaz Golziher, Pengantar Teologi dan Hukum Islam, terj. Heri Setiawan,

(Jakarta: INIS, 1991), h. 121.

Page 85: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

46

yakni al-Hadawiyyah. Selain itu, masih ada beberapa mujtahid yang tumbuh

dalam kalangan Zaidiyah.104

Syiah Zaidiyah merupakan sekte Syiah yang moderat, Abu Zahrah

menyatakan bahwa kelompok ini merupakan sekte yang paling dekat dengan

Sunni. Lengkapnya Abu Zuhrah memberikan keterangan:

وهي لم , هذه الفرقه هي أقرب فرق الشیعة إلى الجماعة اإلسالمیة وأكثر إعتداال

. بل إعبتروهم كسا ئر الناس, بقاربهابل لم ترفعهم إلى مرتبة , ترفع األئمة إلى مرتبة النبوة

ولم یكفر أحدا من أصحاب رسو ل . زلكنهم أفضل الناس بعد رسول ااهللا صلى اهللا علیه وسلم

.وخصوصا من بیعهم على رضي اهللا عنه و عرف بإمامهم, اهللا صلى اهللا علیه وسلم

Artinya: Syiah Zaidiyah ini adalah firqah Syiah yang paling

dekat (tidak banyak menyimpang) kepada Ahlussunnah dan yang paling lurus. Ia tidak mengangkat imam-imamnya sampai kepada martabat kenabian, bahkan juga tidak mengangkatnya kepada martabat yang mendekatinya, tetapi mereka menganggap imam-imam mereka seperti manusia pada umumnya. Hanya saja mereka adalah seutama-utama orang sesudah Rasulullah Saw. Mereka tidak mengkafirkan seorangpun di antara sahabat-sahabat Nabi dan terutama orang (Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Ustman) yang dibai’at oleh ‘Ali dan mengakui keimanannya.105

104 Imâm Abî al-Fath Muhammad bin ‘Abdul Karîm al-Syahrastanî, Ta’liq al-Ustadz Ahmad Nahmi Muhammad, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), j. 1, h. 155

105 Muhammad Abu Zahrah, al-Madzâhib al-Islamiyyah, (Mesir: Maktabah al-Adab, tt.), juz 1, h. 42. bisa dilihat pula dalam terj Abdurrahman Dahlan dan Ahamd Qarib, h. 45

Page 86: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

47

2. Pandangan Kalam Syiah Zaidiyah

a. Pandangan Zaidiyah tentang Imamah

Imamah106 merupakan doktrin fundamental dalam Syiah secara

umum. Berbeda dengan doktrin imamah yang dikembangkan Syiah lainnya,

Syiah Zaidiyah mengembangkan doktrin imamah yang tipikal. Syiah Zaidiyah

menolak pandangan yang menyatakan bahwa seorang imam yang mewarisi

kepemimpinan Nabi Saw. telah ditentukan nama dan orangnya oleh Nabi,

akan tetapi hanya ditentukan sifat-sifatnya saja. Ini jelas berbeda dengan

Syiah lain yang percaya bahwa Nabi Muhammad telah menunjuk ‘Ali sebagai

orang yang pantas menjabat menjadi imam setelah wafatnya. Karena ‘Ali

memiliki sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh orang lain, seperti keturunan Bani

Hasyim, wara’ (saleh, menjauhkan diri dari segala dosa), bertakwa, baik, dan

106 Secara etimologi imamah berarti tampil kemuka, seperti kamu berkata: “kamu

mengimami suatu kaum”, artinya kamu maju ke depan atau berada di depan mereka. Kata imamah tidak terdapat dalam al-Qur’an al-Karim, tetapi kata yang disebutkan dalam al-Qur’an adalah kata “imam” dan “a’immah” pada Q.S. al-Baqarah / 2 : 124, al-Anbiyâ’ / 21 : 73, al-Taubah / 9 : 12, dan al-Qasas / 28 : 41. Imam adalah suatu yang diikuti oleh manusia seperti seorang pemimpin atau kepala, atau lainnya, baik yang benar ataupun yang sesat. Kata imam kadangkala disinonimkan dengan kata khilafah yang berarti penguasa/pemimpin tertinggi dan pemimpin rakyat. Saya menjadi imam bagi suatu kaum di dalam salat, yang berarti diikuti. Kata imam dipakai juga untuk sebutan al-Qur’an al-Karim, sebab al-Qur’an merupakan imam bagi kaum muslimin. Begitu juga kata imam juga dipakai untuk predikat Rasulullah Saw. Karena ia adalah imam bagi seluruh umat. Dalam kapasitas keimamahannya, manusia wajib mengikuti Rasulullah Saw. Yang telah ditegaskan di dalam hadits. Kata imam kadangkala dipakai untuk mengindikasikan norma-norma perintah yang transformative, juga kata imam dapat disematkan bagi seorang panglima tentara, serta kata imam digunakan untuk arti selain yang disebutkan di atas. lihat, Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah – Syiah Studi Perbandingan Aqidah dan Tafsir, diterjemahkan dari kitab aslinya yang berjudul Ma‘a al-Syi‘ah al-Itsnâ ‘Asyariyah fî al-Usûl wa al-Furû‘ (Mausû‘ahnSyâmâh) Dirâsah Muqâranah fî al-Hadîts wa ‘Ulûmih wa Kutubih, terj. Bisri Abdussomad, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), cet. 1, h. 9.

Page 87: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

48

membaur dengan rakyat untuk mengajak mereka hingga mengakuinya

sebagai imam.107

Selanjutnya, dalam Ensiklopedi Islam Indonesia dijelaskan bahwa

seorang imam paling tidak harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut: pertama, ia

merupakan keturunan ahl al-bait, baik melalui garis keturunan Hasan

maupun Husein. Kedua, memiliki kemampuan mengangkat senjata sebagai

upaya mempertahankan diri atau menyerang. Atas dasar ini, mereka

menolak mahdiisme yang merupakan salah satu ciri syiah lainnya. Ketiga,

memiliki kecenderungan intelektualisme yang dapat dibuktikan melalui ide

dan karya dalam bidang keagamaan. Mereka menolak kemaksuman imam,

bahkan mengembangkan doktrin imamah al-mafdûlah. Artinya, seseorang

dapat dipilih menjadi imam meskipun ia mafdul (bukan yang terbaik) dan

pada saat yang sama ada yang afdal.108

Zaidiyah memandang bahwa ‘Ali adalah seorang yang paling pantas

menjadi imam pasca meninggalnya Rasulullah Saw. Karena dialah orang

yang paling dominan memiliki sifat-sifat, yang sebelumnya telah disebut-sebut

oleh Rasulullah Saw. Dan imam sesudah ‘Ali seharusnya dari keturunan

Fatimah. Itulah sifat-sifat terbaik bagi seorang imam (al-fdal). Akan tetapi,

sekalipun demikian, jika sifat-sifat itu tidak terpenuhi , maka bolehlah yang

lain sebagai pengganti posisi yang menduduki jabatan tersebut. Imam dalam

bentuk kedua inilah disebut dengan imam mafdul. Berangkat dari sinilah,

107 Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, terj.

Abdurrahman Dahlan dan Ahmad Qarib, (Jakarta: Logos, 1996), h. 47. 108 Harun Nasution, (ed.), Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Penerbit

Djambatan, 1992), h. 998.

Page 88: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

49

Syiah Zaidiyah dapat menerima Abu Bakar, ‘Umar bin Khatab, dan ‘Utsman

bin Affan.109

Bertolak dari doktrin tentang al-imamah al-mafdulah. Syi’ah Zaidiyah

berpendapat bahwa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab adalah

sah dari sudut pandang Islam. Mereka tidak merampas kekuasaan dari

tangan ‘Ali bin Abi Talib. Dalam pandangan mereka, jika ahl al-hall wa al-aqd

telah memilih seorang imam dari kalangan umat muslim, meskipun ia tidak

memenuhi sifat keimanan yang ditetapkan oleh Zaidiyah dan telah di baiat

oleh mereka, keimanan menjadi sah dan rakyat wajib berbaiat kepadanya.110

Selain itu, mereka juga tidak mengkafirkan seorangpun dari sahabat.

Menurut Abu Zahrah salah satu implikasi yang menyebabkan banyak

orang keluar dari Syi’ah Zaidiyah adalah berkurangnya dukungan terhadap

Zaid ketika ia berperang melawan pasukan Hisyam bin Abdul Malik. Hal ini

wajar mengingat salah satu doktrin Syi’ah yang cukup mendasar adalah

menolak kekhalifahan Abu Bakar dan Umar serta menuduh mereka sebagai

perampas hak kekhalifahan dari tangan Ali.111

Salah satu prinsip, keyakinan dan ajaran pokok Zaidiyah yang

diungkapkan dalam beberapa pendekatan atau cara adalah : sekalipun fakta

menunjukkan bahwa ahl al-bait memilki keunggulan dibanding yang lainnya,

dan Imam Ali, Imam Hasan dan Husein telah ditunjuk Allah untuk menjadi

109 Imâm Abî al-Fath Muhammad bin ‘Abdul Karîm al-Syahrastanî, Ta’liq al-Ustadz

Ahmad Nahmi Muhammad, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), j. 1, h. 155.

110 Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, terj. Abdurrahman Dahlan dan Ahmad Qarib, (Jakarta: Logos, 1996), h. 47.

111 Muhammad Abu Zahrah, h. 48.

Page 89: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

50

Imam, tetap saja kaum Zaidiyah berpendapat bahwa siapa saja dari kalangan

ahl al-bait, bila dia bangkit melawan kekejaman, maka dia memiliki kualitas

untuk menjadi imam. Sikap seperti ini menunjukkan bahwa pandanagn

Zaidiyah tentang imamah beda dengan pandangan kaum muslim Syi’ah

imamiah. Zaidiyah melihat imamiyah bukan menjadi masalah yang penting.

Zaidiyah bahkan bisa menerima sikap Abu Bakar dan Umar tidak

menghendaki ‘Ali untuk menjadi Khalifah.

b. Pandangan Zaidiyah tentang Pelaku Dosa Besar

Di samping hal di atas, penganut Syiah Zaidiyah percaya bahwa orang

yang melakukan dosa besar akan kekal dalam neraka jika dia belum bertobat

dengan pertobatan yang sesungguhnya. Dalam hal ini Zaidiyah lebih dekat

dengan Mu’tazilah. Hal ini bisa dipahami karena Zaid adalah salah seorang

murid Wasil ibn ‘Ata’ (80-131 H.), pendiri aliran Mu’tazilah. Abu Zahrah

mengatakan bahwa dalam teologi Syi’ah Zaidiyah hampir sepenuhnya

mengikuti Mu’tazilah. Selain itu, secara etis mereka boleh dikatakan anti

Murji’ah, dan berpendirian puritan dalam menyikapi tarekat.112

c. Pandangan Zaidiyah tentang Nikah Mut’ah dan Taqiyah

Ajaran Syi’ah Zaidiyah yang lain adalah Zaidiyah menolak taqiyah

dan nikah mut’ah. Sebagaimana disampaikan oleh Wj. Hamblin dan Daniel

C. Pettersen mengatakan:

112 Harun Nasution, (ed.), Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Penerbit

Djambatan, 1992), h. 999.

Page 90: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

51

“…They reject practices of taqiyah (prudential concealment), and temporary marriage.”113

“…Mereka menolak praktik-praktik taqiyah dalam Syiah serta perkawinan mut’ah”.

Tampaknya ini merupakan implikasi dari pengakuan mereka atas

kekhalifahan ‘Umar bin Khattab. Seperti diketahui, nikah mut’ah merupakan

salah satu jenis pernikahan yang dihapuskan pada masa Nabi Saw. Pada

perkembangannya, jenis pernikahan di hapus oleh khalifah Umar bin

Khattab.114 Penghapusan ini jelas ditolak oleh Syi’ah selain Zaidiyah. Oleh

karena itu, hingga sekarang kecuali kalangan Zaidiyah, ajaran Syi’ah tetap

mempraktekkan nikah mut’ah.115 Selanjutnya, Syi’ah Zaidiyah juga menolak

doktrin taqiyah116. Padahal menurut Taba’taba’I taqiyyah merupakan salah

satu ajaran penting dalam syi’ah. 117

d. Pandangan Zaidiyah Tentang Ibadah

Dalam bidang ibadah, Zaidiyah tetap cenderung menunjukkan simbol

dan amalan Syi’ah pada umumnya. Dalam adzan misalnya, mereka memberi

selingan ungkapan hayya ‘ala khair al-‘amal, takbir sebanyak lima kali dalam

113 Wj. Hamblin, dan Daniel C. Petterson, “Zaidiyah” dalam John L. Esposito (ed.),

The Oxford Enscylopedia of The Muslim Modern Islamic World, (Oxford: Oxford University Press, 1995), jilid IV, h. 374.

114 Thaba’thaba’I, Muhammad Husain, Shi’a, terj. Husein Nasr dan Ansariyah, (Iran: Qum, 1981), h. 263-265.

115 Sahla Heri, Perkawinan Mut’ah dan Improvisasi Budaya, dalam jurnal Ulumul Qur’an, (Jakarta: LSAF, 1995), Vol. IV, h. 46-85.

116 Taqiyah dari segi bahasa berasal dari kata taqiya atau ittaqâ yang artinya takut. Taqiyah adalah sikap berhati-hati demi menjaga keselamatan jiwa karena khawatir akan bahaya yang dapat menimpa dirinya. Dalam kehati-hatian ini, terkadang sikap menyembunyikan identitas dan ketidakterusterangan. Lihat, Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), cet IV, h. 12-13.

117 Thaba’thaba’I, Muhammad Husain, Shi’a, h. 263-265.

Page 91: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

52

salat janazah, menolak sahnya mengusap kaki (maskh al-khuffain), menolak

imam salat yang tidak saleh dan menolak binatang sembelihan bukan

muslim.118

3. Hubungan al-Syaukani dengan Syiah Zaidiyah

Membincangkan al-Syaukânî erat kaitannya dengan Syi’ah Zaidiyah.

Al-Syaukani tumbuh dan terdidik dalam tradisi Syi’ah Zaidiyah. Ayahnya

sendiri merupakan pembesar dan tokoh yang di segani di kalangan Syi’ah

Zaidiyah. Bahkan disebutkannya sendiri dalam kitab al-Badr al-Tali bi

Mahâsin Man Ba’d al-Qarn al-Sabi‘, sebagaimana di kutip oleh Nasrun Rusli

bahwa ia telah hafal kitab al-Azhar, kitab fikih yang popular dalam madzhab

Zaidiyah.119

Meski demikian, al-Syaukani juga mempelajari beberapa buku di luar

tradisi Zaidiyah. Misalnya, ia mempelajari kitab usul fikih Syafi’I, Syarh Jam‘

al-Jawâmi‘ karya Jalâluddîn al-Mahalli (w. 864 H.) di bawah bimbingan al-

Hasan ibn Ismail al-Maghribi, juga mempelajari kitab hadits hukum, Bulûgh

al-Marâm karya al-Imâm Ibn Hajar al-Asqâlânî (w. 852 H.) pada al-Maghribi,

kitab komentar al-Asqâlânî atas Sahîh al-Bukhârî, yang berjudul Fath al-Bârî,

yang banyak menyinggung fikih secara luas, dipelajarinya dari al-

Kaukabani.120 Oleh karena itu, tidak heran kalau pendapat al-Syaukani

terlihat lebih luas. Meskipun ia dibesarkan dalam kultur Zaidiyah, ia tidak

118 Harun Nasution, (ed.), h. 999. 119 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukânî Relevansinya Bagi Pembaharuan

Hukum Islâm di Indonesia, (Jakarta: Logos, 1999), cet. 1, h. 56 120 al-Syaukânî, al-Badr al-Tali‘…, h. 215-217.

Page 92: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

53

merasa terikat dengan madzhab tersebut, terutama setelah ia telah mampu

melakukan ijtihad secara mandiri.

Dalam bidang fikih, madzhab Zaidiyah lebih dekat kepada madzhab-

madzhab Ahl al-sunnah121 dari pada madzhab fikih Syi’ah. Tegasnya bahwa

diakui bahwa fikih Zaidi sebagai bentuk fikih yang memiliki corak tersendiri,

namun tidak jauh berbeda dengan fikih madzhab yang empat.

Dalam usul fikih, Syi’ah Zaidiyah juga tidak banyak berbeda dengan

madzhab-madzhab Sunni. Dalil hukum yang menjadi dasar Zaidiyah ada

empat, yakni: al-Qur’an, sunnah, maslahah al-mursalah, dan istihsan. Namun

ketika tidak ada dalil syara’ sebagai landasan dalam menetapkan suatu

hukum, maka mereka menggunakan dalil akal, dengan mengerahkan

penalaran kepada illah hukum dan maqâsid al-‘ammah li al-Syara‘ (tujuan

umum syariat).122

Dari keterangan tentang hubungan al-Syaukani dengan Syi’ah

Zaidiyah di atas, bisa diketahui dan dipahami bahwa al-Syaukani menganut

121 Penyebutan Ahlussunnah sudah dipakai sejak sebelum al-Asy’ari, yaitu terhadap

mereka yang apabila menghadapi sesuatu peristiwa, maka dicari hukumnya dari bunyi al-Qur’an dan hadits, dan apabila tidak diketemukan, maka dia dia saja, karena tidak dapat melampauinya. Mereka lebih terkenal dengan dengan sebutan Ahlul Hadis yang sudah dimulai sejak zaman sahabat, kemudian dilanjutkan samapai masa tabiin. Sedangkan kebalikan dari mereka adalah “ahl al-ra’yi”, yang ketika tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan hadits, kelompok ini tidaklah berhenti samapai disitu, akan tetapi ia lebih berusaha dengan akal pikirannyauntuk menemukan hukum peristiwa yang didapati dengan jalan qiyas atau istihsan dan sebagainya. Dan dari penggabungan kedua metode aliran tersebut, maka timbullah aliran tengah-tengah yang dicetuskan oleh Imâm Syafi’i. meskipun sudah ada orang yang merasa selalu terikat dengan hadis dalam lapangan fikih, namun mereka tidak dikenal dengan sebutan “ahlussunnah”. Lihat, A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, (Jakarta: PT. al-Husna Zikra, 1995), cet. Ke-6, h. 125

122 Lihat, Muhammad Abu Zahrah, al-Imâm Zaid Hayâtuhu wa Ara’uh wa Fiqhuh, (Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1974), h. 447

Page 93: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

54

paham Zaidiyah. Dengan demikian, hubungan al-Syaukani dengan ajaran-

ajaran dalam Syi’ah Zaidiyah sangat erat. Sebagaimana dipaparkan di atas,

ajaran-ajaran Syi’ah Zaidiyah sangat dekat dengan ajaran yang dianut oleh

Ahl al-Sunnah. Maka ajaran yang dianut oleh al-Syaukani juga tidak jauh

dengan apa yang diajarkan Ahl al-Sunnah. Selanjutnya, hubungan al-

Syaukani dengan Syi’ah Zaidiyah yang lain adalah bahwa ketika al-Syaukani

terlahir di Yaman, paham yang berkembang ketika itu adalah paham

Zaidiyah. Bahkan, ayahnya sendiri merupakan tokoh besar penganut paham

Zaidiyah. Hal ini artinya bahwa al-Syaukani semenjak kecil sudah

bersentuhan dengan paham dan ajaran Syi’ah Zadiyah. Sehingga tidak

diragukan lagi ketokohan dan hubungan al-Syaukani dengan Syi’ah

Zaidiyah.

Dari uraian di atas tentang hubungan al-Syaukani dengan Syiah

Zaidiyah, bisa di tarik kesimpulan sebagai berikut:

1. al-Syaukani adalah dilahirkan dan di besarkan dalam tradisi Zaidiyah;

2. Bapak dari al-Syaukani adalah tokoh besar Zaidiyah;

3. Sejak kecil al-Syaukani sudah mempelajari dengan kitab-kitab yang

menjadi pegangan madzhab Zaidiyah;

4. dan al-Syaukani banyak belajar kepada ulama-ulama Syiah Zaidiyah,

terutama kepada bapaknya sendiri yang selaku tokoh Syi’ah Zaidiyah.

Dari poin di atas, kiranya sudah menjadi titik terang bahwa al-

Syaukani sangat erat hubungannya dengan madzhab Syiah Zaidiyah.

Page 94: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

55

BAB III

MANHAJ DAN METODE TAFSIR FATH AL-QADÎR

A. Mengenal Tafsir Fath al-Qadîr dan Metode Penyusunannya

Tafsir Fath al-Qadîr merupakan sumber utama dalam bidang tafsir dan

referensi penting. Karena tafsir ini menggabungkan antara dirâyah dan

riwâyah, membahas secara komprehensip masalah-masalah dirâyah dan

riwâyah. Sebagaimana diterangkan pada pendahuluan tafsir ini, bahwa tafsir

Fath al-Qadîr disusun pada bulan Rabiul Awal tahun 1223 H.. Dalam

penyusunannya beliau merujuk kepada Abu Ja’far al-Nuhas, Atiyyah al-

Dimasyqi, Ibnu Atiyyah al-Andalusi, Qurtubi, Jamakhsyari dan ulama-ulama

lainnya.123

Mengenal sosok al-Syaukani tidak bisa terluput dari perhatian kita

terhadap kitab tafsîr Fath al-Qadîr al-Jâmi‘ Baina Fannai al-Riwâyat wa al-

Dirâyat min ‘Ilm al-Tafsîr sebagai karya terbesarnya dalam bidang tafsir. Kitab

tafsîr Fath Al-Qadîr al-Jâmi Bain Fannai al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm

al-Tafsîr adalah kitab tafsir yang dikarang oleh ulama besar bernama al-Imâm

Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Syaukânî al-San‘any (W. 1250 H.).

Al-Syaukânî termasuk salah seorang ulama Yaman yang banyak

menulis dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti seperti tafsîr,

hadîts, fiqh, usul fiqh, sejarah, ilmu kalâm, filsafat, balaghah, mantiq, dan lain

sebagainya.

123 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Tafsîr Fath al-Qadîr, Tahqîq dan

takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid I, h. 31

Page 95: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

56

Selanjutnya penulis mencoba mengenal kitab tersebut lebih jauh, dan

sebagai langkah awal kita harus harus mengingat pendapat al-Syaukani

sendiri tentang kitabnya.

Menurut keterangan al-Syaukani, penulisan tafsîr Fath al-Qâdîr ini

dilatarbelakangi oleh keinginan al-Syaukânî untuk menjadikan al-Qur’an

sebagai jawaban bagi penentang, menjadi penjelas bagi yang ragu, dan

menjelaskan dan sesuatu yang halal dan haram. hal ini seperti yang

diungkapkan al-Syaukânî sendiri dalam kata pengantar tafsîr Fath al-Qadîr

sebagai berikut:

شامال لما شرعه لعباده من , الحمد هللا الذي جعل كتابه المبین كافال ببیان اآلحكامقاطعا , تفاوت اآلفهام وتباین اآلقدام وتخالف الكالمعند مرجعا لآلعالم , الحالل والحرام

فهو العروةالوثقى التي من تمسك بها فازبدرك , للخضام شافیا للسقام مرهما لآلوهام 124 ...ادةالواضحه التي من سلكها فقد هدى الى الصراط المستقیموالج, الحق القویم

”Segala puji bagi Allah yang menjadikan al-Qur’an sebagai penjelas bagi hukum-hukum yang mencakup tentang hal yang haram dan halal, yang menjadi rujukan bagi para cendikiawan ketika terjadi perbedaan pendapat diantara mereka, dan menjadi jawaban bagi penentang, obat bagi orang sakit, sekaligus penjelas bagi yang ragu. Kitab ini merupakan pegangan hidup yang kokoh, siapa yang bepegang teguh kepada kitab ini, maka dia akan mencapai kebenaran, dan siapa yang mengikuti tuntunannya, maka ia akan ditunjukkan kepada jalan yang lurus...”

Berdasarkan data di atas, nampaknya al-Syaukânî cukup bersemangat

dalam menuangkan pemikirannya melalui tafsirnya. Karena melihat

124 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, (Mesir: Dâr al-Hadits,

2007), juz 1, h. 29

Page 96: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

57

kemuliaan dan keagungan akan al-Qur’an sebagai firman Allah. Al-Syaukani

mengandalkan kitabnya sebagai muara kebenaran, sehingga wajar jika beliau

senantiasa memberi himbauan kepada para pemikir dan peneliti untuk

mempergunakan kitab tersebut sebagai acuan dalam rangka mencari

kebenaran dan kepastian hukum.

Di antara kelebihan kitab ini, sebagaimana disebutkan oleh al-

Syaukani sendiri yaitu ditemukan penyebutan sahih, hasan, daif, bahkan

ditemukan kritik, komparasi dan penunjukkan pendapat yang paling kuat.

Kitab tafsir ini karena besar dan banyak, sudah pasti banyak sekali ilmu yang

yang terkandung di dalamnya, telah sampai kepada kebenaran yang

dimaksud, mengandung sekian banyak manfaat. Jika hendak membuktikan

kebenaran itu, coba perhatikan tafsir-tafsir yang menggunakan metodologi

dirâyah (kontekstual), kemudian perhatikan kitab ini, jelas sekali bahwa kitab

ini merupakan sumber inspirasi, yang merupakan keajaiaban dan rujukan

para pencari ilmu. Sehingga, kitab ini diberi nama Kitab tafsîr Fath Al-Qadîr

al-Jâmi Bain Fanny al-Riwâyah wa al-Dirâyah min Ilm al-Tafsîr.125

Nama tafsir al-Syaukanî adalah tafsîr Fath Al-Qadîr al-Jâmi Bain

Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr. Berdasarkan dari nama

tafsir karya al-Syaukânî ini, bisa diketahui bahwa pendekatan (manhaj) yang

dipakai oleh al-Syaukânî dalam tafsirnya adalah menggunakan pendekatan bi

al-riwayah126 dan bi al-dirayah127.

125 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, (Mesir: Dâr al-Hadits, 2007), j. I, h. 31

126 Tafsîr al-riwâyah atau dalam sebutan lain bi al-Ma’tsur, atau al-manqûl ialah tafsir yang terdapat dalam al-Qur’an, atau sunnah atau pendapat sahabat, dalam rangka menerangkan apa yang dikehendaki Allah Swt. Tentang penafsiran al-Qur’an berdasarkan al-

Page 97: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

58

Tafsir Fath Al-Qadîr merupakan salah satu tafsir yang cukup penting

dan tafsir ini juga salah satu kitab yang mu’tabar di abad moderen, bukan

hanya dikalangan Syi’ah Zaidiyah, namun juga dikalangan Ahlussunnah wa

al-jama’ah. Meskipun al-Syaukânî menganut Zaidiyah, namun buku-bukunya

dijadikan rujukan oleh para penulis modern Suni, khususnya dibidang tafsir,

hadits, dan usul fikih.128

Kandungannya mencakup banyak hal yang berusaha menjawab

problem-problem kontemporer dengan sebuah kesinambungan pemikiran

yang cemerlang dari penulisnya. Penerapan tafsir berusaha diletakkan sesuai

dengan kaidah tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an yakni sebuah metode tafsir

moderen, dimana pencarian maknanya dilakukan lewat bantuan ayat lain

Sunnah nabawiyyah. Dengan demikian tafsir bi al-ma’tsur adakalanya menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, atau menafsirkan al-Qur’an dengan sunnah Nabawiyah, atau menafsirkan al-Qur’an dengan yang dikutip dari pendapat sahabat. Lihat, Muhammad Ali al-Sabûnî, al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Damsyîk: Maktabah al-Ghazali, 1981), h. 63

127 Sedangkan tafsîr bi al-dirâyah atau dalam istilah lain bi al-ma’qul, bi al-ra’yi, dan bii al-ijtihad ialah penafsirn yang dilakukan berdasarkan ijtihad mufassir setelah mengenali lebih dahulu bahasa Arab dari segi argumentasinya yang dibangun dengan menggunakan syai’r-sya’ir jahili serta mempertimbangkan sebab nuzul dan lain-lain yang dibutuhkan oleh mufassir. Lihat, Muhammad Husein al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), juz 1, h. 295

128 Di antara sekian karya-karya al-Syaukânî, yaitu Fath al-Qadîr (tafsir), Nail al-Autâr Syarh Muntaqâ al-Akhbâr (hadis), dan Irsyâd al-Fuhûl (usul fikih). Hal yang menarik dari uraian ketiga bukunya ini adalah bahwa ia menguraikan suatu persoalan secara objektif tanpa dibarengi subjektifitas madzhabnya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika para penulis kumpulan biografi tokoh, seperti al-Marâghi (188-1945), ahli usul fikih dari Mesir dan penulis buku al-Fath al-Mubîn fi Tabaqât al-Usûliyyîn (kumpulan biografi tokoh usul fikih), mengemukakan bahwa unsur Zaidiyah dalam kitab-kitab al-Syaukânî tidak terlihat sama sekali. Lihat lebih lanjut, Hasan Mu’arif Ambary… (et al.), pembaca ahli, Taufik Abdullah (ed.), Abdul Aziz Dahlan..(et al.), Suplemen Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), cet. 1, h. 189-190.

Page 98: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

59

yang dinilai relevan, karena berpedoman kepada kaidah bahwa

“sesungguhnya al-Qur’an itu saling menafsirkan terhadap sebagiannya”.129

Kitab tafsir Fath Al-Qadîr yang diteliti penulis berjumlah 5 jilid besar,

yang dicetak oleh penerbit Dâr al-Hadîs, Kairo, tahun 2007. Kitab ini disusun

berdasarkan sistematika sebagai berikut:

Pada jilid 1, dimulai dengan muqaddimah, kemudian dilanjutkan

dengan penjelaskan surat al-Fâtihah, kemudian dimulai dengan tafsir al-

Basmalah dan dilanjutkan dengan tafsir ayat 2-7. Selanjutnya dilanjutkan

dengan tafsir surat al-Baqarah yang dimulai dengan tafsir ayat pertama,

selanjutnya ayat 2, 3 sampai akhir ayat 286. Setelah itu, Penafsirkan surat Âli

‘Imran yang dimulai dengan penafsirkan ayat ayat 1-6, kemudian dilanjutkan

penafsirannya dari ayat 7-9, dan seterusnya, dan dilanjutkan surat al-Nisâ.

Pada jilid 2, penafsiran al-Syaukani dimulai dari surat al-Mâ’idah, al-

An‘âm, al-A’râf, al-Anfâl, al-Taubah, Yûnus dan surat Hûd.

Jilid 3, penafsiran al-Syaukani dimulai dengan tafsir surat Yûsuf, al-

Ra‘d, Ibrâhîm, al-Hijr, al-Nahl, al-Isrâ’, al-Kahf, Maryam, Tâhâ, al-Anbiyâ’, al-

Hajj,dan surat al-Mu’minûn.

Jilid 4, penulisan al-Syaukani dimulai dari tafsir surat al-Nûr, al-

Furqân, al-Syu‘arâ’, al-Naml, al-Qasas, al-Ank‘abût, al-Rûm, Luqmân, al-

Sajdah, al-Ahzâb, Saba’, Fâtir, Yâsîn, al-Sâfât, Sâd, al-Zumar, Ghâfir, Fusilat,

al-Syûrâ, al-Zukhruf, dan surat al-Dukhân.

129 al-Sayyid Muhammad ali Iyazi, al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhâjuhum,

(Teheran: Mu’assasah al-Tab’ah wa al-Nasyr Wazarah al-Tsaqafah wa al-Irsyâd al-Islâmî, tt.), cet. 1, h. 705

Page 99: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

60

Dan pada bagian terakhir Jilid 5, penulisan al-Syaukani dimulai dari

surat al-Jâtsiah, al-Ahqâf, Muhammad, al-Fath, al-Hujurat, Qâf, al-Dzuriyât,

al-Tur, al-Najm, al-Qamar, al-Rahmân, al-Wâqi’ah, al-Hadid, al-Mujâdalah,

al-Hasyr, al-Mumtahanah, al-Saf, al-Jumu’ah, al-Munâfiqun, al-Taghâbun, al-

Talaq, al-Tahrîm, al-Mulk, al-Qalam, al-Hâqah, al-Ma’arij, Nuh, al-Jin, al-

Muzammil, al-Mudatsir, al-Qiyâmah, al-Insân, al-Mursalât, al-Naba’, al-

Nâzi’ât, ‘Abasa, al-Takwîr, al-Infitar, al-Mutaffifîn, al-Insyiqâq, al-Burûj, al-

Tariq, al-A’lâ, al-Fajr, al-Balad, al-Syams, al-Laîl, al-Duha, al-Insyirah, al-Tîn,

al-‘Alaq, al-Qadr, al-Bayyinah, al-Zalzalah, al-‘Âdiyât, al-Qâri‘ah, al-Takâtsur,

al-‘Asr, al-Humazah, al-Fîl, Quraisy, al-Mâ‘ûn, al-Kautsar, al-Kâfirûn, al-Nasr,

al-Masad, al-Ikhlâs, al-Falaq, dan surat al-Nâs. Dan pada jilid ini, al-Syaukani

memberikan kata penutup menandakan selesainya penulisannya dari surat

al-Fâtihah sampai surat al-Nâs.

Memperhatikan sitematika yang digunakan oleh al-Syaukani dalam

kitab tafsir Fath Al-Qadîr al-Jâmi Bain Fannai al-Riwâyah wa al-Dirâyah min

‘Ilm al-Tafsîr tampaknya tidak jauh berbeda dengan sistematika ulama-ulama

tafsir pada umumnya. Al-Syaukani sebelum masuk ke ayat, ia menyebutkan

jumlah ayat dan tempat turunnya ayat, atau kategori Madaniah atau

Makiyah. Setelah itu, al-Syaukani menjelaskan nama surat disertai dengan

pendapat mufassir, yang kemudian diikuti dengan dalil baik dari hadis

maupun al-Qur’an. Setelah itu, kemudian masuk pada penafsiran ayat 1.

al-Syaukani dalam menafsirkan dari susunan surat, ia mengawali

dengan pengelompokkan ayat, baru kemudian masuk pada penafsiran. Pada

penafsiran yang dilakuakn al-Syaukani, ditemukan penafsiran ayat dengan

Page 100: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

61

ayat, ayat dengan hadis, kemudian sebagain besar juga dilengkapi dengan

analisis bahasa, pendapat mufassir, ilmu qiraat dan syair.

Dalam tafsir Fath al-Qadîr al-Jâmi’ Bain Fannai al-Riwâyah wa al-

Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr akan dipaparkan berbagai macam penafsiran yang

bertentangan, pendapat yang paling kuat maknanya tanpa begitu jelas, akan

dijelaskan maknanya secara panjang lebar dalam tinjauan bahasa, gramatika

dan sastra, memperhatikan secara seksama pendapat-pendapat tentang tafsir

tang dilakukan oleh Rasulullah, para sahabat, tabi’in, tabi’it-tabi’in, dan para

imam yang terkenal.

Kadang al-Syaukani meyebutkan sebuah hadis daif, hal itu dilakukan

baik dalam rangka memperkuat pendapat saja atau karena keserasiannya

dengan makna secara bahasa. Kadang-kadang disebutkan sebuah hadis

tanpa menyertakan sanadnya, hal ini dilakukan karena demikian yang

ditemukan dalam sumber aslinya, kasus seperti ini juga dalam Tafsîr Jarîr, al-

Qurtûby, Ibnu Katsîr, al-Suyûty dan yang lainnya. Hal ini seperti diungkap al-

Syaukani sebagai berikut:

, او لموافقته للمعنى العربي, اما لكون في المقام ما یقوي, وقد أذكر مافي اسناده ضعیف...كما یقع في تفسیر ابن ... غیر بیان حال االسنادوقد أذكر الحدیث معزوا الى روایه من

١٣٠...الجریر والقرطوبي وابن كثیر وغیرهم

Yang jelas mereka tidak memasukkan hadis daif kecuali menjelaskan

dan menerangkan kedudukannya, sekalipun demikian tidak berarti ketika

mereka meyebutkan hadis sahih lantas tidak meyebutkan sanadnya, bahkan

130 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, (Mesir: Dâr al-Hadits,

2007), j. I, h. 31

Page 101: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

62

kadang-kadang hadis sahih itu mereka perkuat lagi dengan hadits sahih yang

lain atau dengan hadits hasan.131

Dalam kitab tafsir ini, al-Syaukânî banyak menulis hadits-hadits yang

menerangkan keutamaan al-Qur’an, dan ahli-ahli al-Qur’an tidak akan

mendapatkan sesuatu yang dicari dari hadits-hadits sahih sebelum

memahami makananya, karena sebuah pemahaman merupakan buah dari

bacaan.132

Demikian selintas tentang tafsir Fath al-Qadîr, karya Imam al-

Syaukani.

B. Pendekatan (manhâj) Tafsir Imam al-Syaukâni dalam Tafsir Fath

Al-Qâdîr

Dilihat dari sumber pengambilan atau orientasi penafsirannya, tafsir

dapat dibedakan ke dalam tiga aliran besar yakni tafsîr bi al-riwâyah, tafsîr al-

dirâyah, dan tafsîr bi al-isyârah. Ketiga pendekatan tafsir ini timbul dan

berkembang seiring dengan kebutuhan umat dan tuntunan zaman.

Pada mulanya lahir tafsîr al-riwâyah, kemudian diikuti dengan tafsîr al-

dirâyah dan akhirnya tafsîr bi al-isyârah. Kelahiran tafsîr al-dirâyah selain

karena kebutuhan mendesak pada zamannya, juga sebagai kritik terhadap

aliran tafsîr al- al-riwâyah yang dianggap terlalu sedidkit. Demikian pula

dengan tafsîr bi al-isyârah, lahir sebagai reaksi atas aliran tafsir bi al-dirâyah

131 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, (Mesir: Dâr al-Hadits,

2007), j. I, h. 31 132 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, (Mesir: Dâr al-Hadits,

2007), j. I, h. 32

Page 102: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

63

yang dianggap terlalu mendewakan akal dengan mengabaikan peranan

intuisi.

Nama tafsir al-Syaukanî adalah tafsir Fath Al-Qadîr al-Jâmi‘ Bain

Fannai al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr. Berdasarkan dari nama

tafsir karya al-Syaukânî ini, bisa diketahui bahwa pendekatan (manhaj) yang

dipakai oleh al-Syaukânî dalam tafsirnya al-Syaukani menggunakan dua

pendekatan yaitu bi al-riwayah dan bi al-dirayah.

Tafsîr al-riwâyah atau dalam sebutan lain bi al-ma’tsur, atau al-manqul

ialah tafsir yang terdapat dalam al-Qur’an, atau sunnah atau pendapat

sahabat, dalam rangka menerangkan apa yang dikehendaki Allah Swt.

Tentang penafsiran al-Qur’an berdasarkan al-Sunnah Nabawiyyah. Dengan

demikian tafsir bi al-ma’tsur adakalanya menafsirkan al-Qur’an dengan al-

Qur’an, atau menafsirkan al-Qur’an dengan sunnah Nabawiyah, atau

menafsirkan al-Qur’an dengan yang dikutip dari pendapat sahabat.133

Sedangkan tafsir bi al-dirayah atau dalam istilah lain bi al-ma’qul, bi

al-ra’yi, dan bi al-ijtihad ialah penafsiran yang dilakukan berdasarkan ijtihad

mufassir setelah mengenali lebih dahulu bahasa Arab dari segi

argumentasinya yang dibangun dengan menggunakan syai’r-sya’ir jahili serta

mempertimbangkan sabab al-nuzûl dan lain-lain yang dibutuhkan oleh

mufassir.134

133 Muhammad ‘Ali al-Sabûnî, al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Damsyik: Maktabah al-

Ghazali, 1981), h. 63 134 Muhammad Husein al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah

Wahbah, 2000), juz 1, h. 295

Page 103: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

64

Secara selintas tafsir dengan menggunakan pendekatan al-dirâyah

lebih berorientasi kepada penalaran yang bersifat aqli (rasional) dengan

menggunakan pendekatan kebahasaan yang menjadi dasar penjelasannya.

Itulah sebabnya mengapa para ulama berbeda-beda pendapat dalam menilai

tafsir bi alra’yi. Begitu juga halnya dengan ijtihad dan tafsir bi al-ra’yi yang

memungkinkan hasilnya akan benar atau salah.

Dalam kaitan pembahasa ini, al-Syaukani menggunakan dua

pendekatan ini, sehingga bertambah mapan akan kajian yang dilakukan al-

Syaukânî.

Untuk mengenal manhâj yang dipakai al-Syaukani dalam tafsirnya kita

dapat mengetahuinya dari pendahuluan kitab tersebut sebagai berikut:

الفریق اآلول اقتصروا في : وسلكوا طریقین, ان غالب المفسرین تفرقوا فریقینوالفریق اآلخر جردوا أنظارهم الى , وقنعوا برفع هذه الرایة, تفاسیرهم على مجرد الروایة

وان جاءوا بها , ولم یرفعوا الى الروایة رأسا, وما تفیدهم العلوم اآللیة, تقتدیه اللغة العربیةما وان رفع عماد بیت , وأطال وأطاب, وكال الفریقین قد اأصاب, لم یصححوا لها أسا سا

١٣٥...وترك منها ما ال یتم بدونه كمال ااالنتصاب, تصنیفه على تعض اآلطناب

“Pada dasarnya para mufassir berbeda pendapat pada dua masalah, mereka mengambil jalan atas dua cara: golongan yang pertama adalah para mufasir yang memakai pendekatan riwayah, kedua adalah ulama yang memakai pendekatan dirayah yang membahas hanya sebatas telaah bahasa dan kandungan isinya tanpa melirik segi periwayatannya dan kalaupun mereka mencamtukan hanya sebatas pelengkap, masing-masing kelompok, yang menganggap pendekatan yang mereka gunakan adalah benar, padahal menurut hemat saya (al-Syaukani) kedua metode di atas bisa saling melengkapi satu sama lain…”

135 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid I, h. 30.

Page 104: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

65

Oleh karena itu, lanjut al-Syaukani hendaklah ada usaha untuk

menyatukan dua pendekatan (manhaj) di atas tanpa membeda-bedakan

antara keduanya. Bahkan harus menjadikan keduanya saling melengkapi

satu sama lain, harapan itulah yang al-Syaukani pakai selama ini yakni

dengan cara meneliti buku-buku tafsir yang bertentangan satu sama lain

mulai dari segi makna, i’rab dan balaghahnya. Selain itu berusaha untuk

menunjukkan penafsiran-penafsiran yang telah ditetapkan oleh Rasulullah,

sahabat, tabiin, tabi’ tabi’in dan imam-imam yang dapat dipercaya.

Dalam menyusun tafsir ini, di satu sisi terkadang al-Syaukani

menyebutkan kedaifan sanadnya karena ada sanad yang lebih kuat dari

padanya atau bertentangan dengan kaidah bahasa arab dan di sisi lain al-

Syaukani hanya menyebutkan perawi tanpa menerangkan lebih jauh kualitas

sanadnya sesuai dengan sumber yang al-Syaukani kutip seperti dalam tafsir

Ibnu Jarir, Qurtubi, Ibnu Kasir, Suyuti dan yang lainnya karena mustahil bagi

mereka untuk menukil hadis daif tanpa menjelaskan kedaifannya.

Tafsir al-Syaukani tebal dan banyak ilmu yang kita dapat dari

padanya, aktual, dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, memenuhi

standar penafsiran, mempunyai keunggulan dan sistematika yang memadai.

Setelah melakukan penafsiran secara riwayah, al-Syaukani melakukannya

dengan metode dirayah dengan rujukan tafsir-tafsir ulama-ulama terpercaya

sehingga kitab ini menjadi lengkap, sempurna dan mengagumkan, serta

menjadi referensi bagi orang-orang cerdas. Sehingga al-Syaukani kemudian

Page 105: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

66

menamakan tafsirnya dengan “Fath al-Qadîr” yaitu tafsir yang memadukan

dua metode dirayah dan riwayah.136

C. Metode (Tarîqah) Syaukani dalam Tafsirnya

Seiring perjalan waktu, ilmu tafsir terus berkembang dan jumlah kitab

tafsir terus bertambah dalam beraneka corak. Para ulama tafsir belakangan

memilih kitab-kitab itu berdasarkan metode penulisannya ke dalam empat

bentuk tafsir, yaitu metode tahlili, ijmâli, muqarin, dan maudû’î.137

Sebagaimana disebutkan di atas, al-Farmawi, membagi metode

(tarîqah) tafsir yang selama ini dipakai ulama menjadi empat, yakni: tahlili,

ijmali, muqaran, dan maudu'i. Kemudian dari empat metode tersebut,

metode tahlili diperinci kembali menjadi tujuh corak, yakni: al-tafsir as-Sufi,

fiqhi, falsafi, ‘ilmi dan tafsir al-adab al-Ijtima’i.138

Dalam menafsirkan al-Qur'an, al-Syaukânî menggunakan metode

tahlili139 sebuah metode yang mendominasi tafsir-tafsir klasik baik yang

dengan penekatan bi al-ma’tsur seperti al-Durr al-Mansur fi al-Tafsîr bi al-

Ma’tsur karya Jalaluddin al-Suyuti (849-911 H), Jami’ al-Bayân ‘an Ta’wil

ayat al-Qur’an, karya Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir al-Tabari (224 H-310

H), dan Tafsîr al-Qur’an al-Azîm karya Imaduddîn Abu al-Fida’ al-Quraisy al-

136 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, h. 31. 137 Abd. Al-Hayy al-Farmawi, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudû‘I, (Dirâsah

Manhajiyyah Mauduiyyah, 1977), h. 23. 138 Abd. Al-Hayy al-Farmawi, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudû‘I, h. 25.. 139 Tafsir Tahlili biasa juga tafsir analitis, menafsirkan al-Qur’an secara tahlili berarti

menafsirkan al-Qur’an sesuai urutan mushaf dengan memaparkan berbagai aspek yang terkandung di dalamnya seperti makna lafaz, sabab al-nuzul, munasabat, riwayat-riwayat yang terkait dan lain-lain, lihat Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 2.

Page 106: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

67

Dimasyqy Ibnu Katsir (700-774 H), ataupun yang bercorak bi al-ma’qul

seperti Tafsir Jalalain karya Jalal al-din al-Mahalli dan Jalal al-din al-Suyuti.

Dibanding dengan metode yang lainnya, metode tahlili atau tajzi’I140

adalah paling tua. Untuk mengatakan Al-Syaukani memakai metode tahlili

paling tidak ada beberapa kriteria penilaian bahwa dalam melakukan

penafsirannya, al-Syaukani memberikan perhatian penuh kepada semua

aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkan, dengan tujuan

menghasilkan makna yang benar dari setiap bagian ayat. Dalam menafsirkan

al-Qur’an, ada empat metode penafsiran yang dapat dipilih oleh calon

mufassir untuk menyusun tafsir. Berikut ini perincian tentang langkah-langkah

yang dilakukan mufassir. Metode tahlili biasa melakukannya sebagai

berikut:141

1. Menerangkan hubungan (munasabah) baik anatara satu ayat dengan

ayat yang lainnya, maupun satu surat dengan surat yang lainnya;

2. Menjelaskan sebab turunnya ayat (asbâb al-nuzûl);

3. Menganalisis mufradat dan lafal dari sudut pandang bahasa Arab;

4. Memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya;

5. Menjelaskan hukum yang ditarik dari ayat yang dibahas.

Selain dari kriteria di atas, yang menjadi ciri khusus dari metode tahlili

adalah menafsirkan seluruh ayat al-Qur’an dari surat al-Fatihah sampai surat

140 Tajzi’I adalah istilah lain tahlili, yang dipopulerkan oleh Muhammad Baqir Sadr,

lihat tulisannya dalam al-Madrasah al-Qur’aniyyah: al-Tafsîr al-Maudu’I wa al-Tafsîr al-Tajzi’I fî al-Qur’ân al-Karîm, (Beirut: Dâr al-Ta’âruf li al-Matbu’ah, t.t.), h. 7-10

141 Quraish Shihab, et. All, dalam Azyumardi Azra, Sejarah Ulum al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 173-174.

Page 107: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

68

al-Nâs. Dan hal itu telah dilakukan oleh al-Syaukani melalui tafsirnya yang

berjumlah 5 jilid, atau dalam cetakan lain 6 dan 8 jilid.

Dalam rangka mencari kebenaran, metode (tarîqah) dan pendekatan

(manhâj) apa yang sebenarnya di pakai oleh al-Syaukani? Baiklah akan

penulis kemukakan contoh-contoh yang penulis ambil dari penafsiran al-

Syaukani tentang keadilan Tuhan sebagai berikut:

al-Syaukani dalam menafsirkan surat al-Anbiyâ‛ (21) ayat 47 sebagai

berikut:

الموازين جمع ميزان، وهو يدل على أن هناك " ونضع الموازين القسط ليوم القيامة"موازين، ويمكن أن يراد ميزان واحد، عبر عنه بلفظ الجمع، وقد ورد في السنة في صفة

اإلعادة، الميزان ما فيه كفاية، وقد مضى في األعراف، وفي الكهف في هذا ما يغني عن أي كفى بنا محصين، والحسب في األصل " وكفى بنا حاسبين."والقسط صفة للموازين

معناه العد، وقيل كفى بنا عالمين، ألن من حسب شيئاً علمه وحفظه، وقيل كفى بنا ١٤٢.مجازين على ما قدموه من خير وشر

Bila dilihat lebih jauh penafsiran al-Syaukani di atas, ketika

menafsirkan surat al-Anbiya‛ (21) ayat 47, al-Syaukani menggunakan corak

bahasa yaitu al-Syaukani berusaha mengurai lafaz al-mawâzîn, beliau

mengatakan bahwa kata al-mawâzîn adalah bentuk jama’ dari mîzân, juga

kata al-qistu diartikan hâsibîn, dan muhsîn. Hal ini menandakan al-Syaukani

menggunakan pendekatan dirayah, karena menggunakan bahasa. kemudian

memasukkan pula munâsabah dengan mengkaitkan surat al-Anbiyâ’ ayat 47

142 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid III, h. 513.

Page 108: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

69

dengan surat al-A’raf dan al-Kahfi. Hal ini mengindikasikan bahwa al-

Syaukani dalam hal metode (tarîqah), beliau menggunakan tahlili. Karena di

antara metode tahlili, yaitu dengan menggunakan munasabah ayat maupun

surat.

Kemudian, al-Syaukani dalam menafsirkan surat al-Yâsîn (36) ayat 54

sebagai berikut:

أي ال ينقص من ثواب عملها شيئاً : مما تستحقه" شيئاً"من النفوس " فاليوم ال تظلم نفس"أي إال " وال تجزون إال ما كنتم تعملون"من النقص، وال تظلم فيه بنوع من أنواع الظلم

١٤٣.أي بسببه، أو في مقابلته: جزاء ما كنتم تعملونه في الدنيا، أو إال بما كنتم تعملونه

Tafsiran surat Yasin ayat 54 di atas, al-Syaukani dalam menafsirakan

ayat tersebut menggunakan penguraian bahasa yakni menjelaskan kata

nafsun adalah bentuk jama’ dari nufûs, selain itu al-Syaukani menggunakan

penafsiran secara global. Dengan demikian al-Syaukani mengunakan

pendekatan dirayah.

al-Syaukani dalam menafsirkan surat Fusilat (41) ayat 46 sebagai

berikut:

أي من أطاع اهللا وآمن برسوله ولم يكذبهم فثواب ذلك راجع إليه " من عمل صالحاً فلنفسه"وما ربك بظالم "أي عقاب إساءته عليه ال على غيره " ومن أساء فعليها"ونفعه خاص به

143 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid IV, h. 447.

Page 109: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

70

إن اهللا ال : "فال يعذب أحداً إال بذنبه، وال يقع منه الظلم ألحد كما في قوله سبحانه" للعبيد ١٤٤".ناس شيئاًيظلم ال

Pada penafsiran surat Fusilat ayat 46 di atas, al-Syaukani tidak

melakukan tinjauan bahasa, juga tidak melakukan munasabah dan asbâb al-

nuzûl, al-Syaukani dalam ayat ini hanya memaparkan penafsiran dari ayat 46

surat Fusilat secara global.

Selanjutnya al-Syaukani ketika menafsirkan surat al-Nisâ’ (4) ayat 40:

أي ال : والمراد من الكالم أن اهللا ال يظلم كثيراً وال قليالً" إن اهللا ال يظلم مثقال ذرة": قوله. يبخسهم من ثواب أعمالهم وال يزيد في عقاب ذنوبهم وزن ذرة فضالً عما فوقها

وقد تقدم الكالم في " ويؤت من لدنه أجراً عظيماً" لقوله "وإن تك حسنة يضاعفها" ١٤٥.المضاعفة والمراد مضاعفة ثواب الحسنة

Lain halnya dengan penafsiran al-Syaukani terhadap surat al-Nisa

ayat 40, terlihat al-Syaukani menggunakan munasah ayat. Dengan

menampilakn ayat bandingan yang tanpa menyebutkan nama suratnya. Hal

ini dalam rangka menafsrkan ayat 40 surat al-Nisa. Berarti di sini al-Syaukani

menggunakan pendekatan riwayat. Dikatakan menggunakan pendekata

riwayat, karena al-Syaukani menafsirkan ayat dengan ayat yang lain.

Kemudian dalam surat al-Kahfi (18) : 49 al-Syaukani menafsirkan

sebagai berikut:

144 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid IV, h. 619. 145 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid I, h. 623-624.

Page 110: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

71

السعيد في : والوضع إما حسي بأن يوضع صحيفة كل واحد في يده" ووضع الكتاب"أي أظهر عمل كل واحد من خير : وإما عقلي. يمينه، والشقي في شماله، أو في الميزان

أي خائفين وجلين " فترى المجرمين مشفقين مما فيه"وشر بالحساب الكائن في ذلك اليوم ب ذلك من االفتضاح في ذلك الجمع، والمجازاة بالعذاب مما في الكتاب الموضوع لما يتعق

يدعون على أنفسهم بالويل لوقوعهم في الهالك، ومعنى هذا " ويقولون يا ويلتنا"األليم " مال هذا الكتاب ال يغادر صغيرة وال كبيرة إال أحصاها"النداء قد تقدم تحقيقه في المائدة

ية كبيرة إال حواها وضبطها وأثبتها أي أي شيء له ال يترك معصية صغيرة وال معصفي الدنيا من المعاصي الموجبة للعقوبة، أو وجدوا جزاء ما عملوا " ووجدوا ما عملوا"أي ال يعاقب أحداً من عباده بغير ذنب، وال " وال يظلم ربك أحداً"مكتوباً مثبتاً " حاضراً"

١٤٦.ينقص فاعل الطاعة من أجره الذي يستحقه

Pada surat al-Kahfi ayat 49, al-Syaukani menggunakan pendekatan

bahasa dengan mencoba mengartikan al-wad‘, dimaknai secara eksplisitnya

yaitu “Seseorang meletakkan kertas di atas tangannya”. Selain itu, al-

Syaukani juga menafsirkan dengan surat lain yakni surat al-Mâidah. Maka

jelas di sini, al-Syaukani menggunakan dua pendekatan riwayat dan dirayat.

Dikatakan riwayat karena al-Syaukani mencoba menafsirkan ayat dengan

ayat yang lain, dan dikatakan dirayah karena al-Syaukani menggunakan

pendekatan bahasa.

al-Syaukani dalam menafsirkan surat al-An‛âm (6) ayat 160 sebagai

berikut:

لما توعد سبحانه المخالفين له بما توعد بين عقب ذلك " من جاء بالحسنة فله عشر أمثالها"

مقدار جزاء العاملين بما أمرهم به الممتثلين لما شرعه لهم بأن من جاء بحسنة واحدة من فال يجزى "من األعمال السيئة " من جاء بالسيئةو" الحسنات فله من الجزاء عشر حسنات

146 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid I, h. 366-369.

Page 111: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

72

من دون زيادة عليها على قدرها في الخفة والعظم، فالمشرك يجازى على سيئة " إال مثلهاالشرك بخلوده في النار، وفاعل المعصية من المسلمين يجازى عليها بمثلها مما ورد

بأن من عمل كذا فعليه تقديره من العقوبات كما ورد بذلك كثير من األحاديث المصرحةيجازيه اهللا بمثله وإن لم نقف : كذا، وما لم يرد لعقوبته تقدير من الذنوب فعلينا أن نقول

على حقيقة ما يجازى به، وهذا إن لم يتب، أما إذا تاب أو غلبت حسناته سيئاته أو تغمده ة بهذا تصريحاً اهللا برحمته وتفضل عليه بمغفرته فال مجازاة، وأدلة الكتاب والسنة مصرح

" ال يظلمون"أي من جاء بالحسنة ومن جاء بالسيئة " وهم"ال يبقى بعده ريب لمرتاب، ١٤٧.بنقص ثواب حسنات المحسنين وال بزيادة عقوبات المسيئين

Selanjutnya surat al-An‛âm (6) ayat 160 al-Syaukani juga melakukan

penafsiran ayat dengan hadits, yang hadis tersebut tidak di di takhrij

sedikitpun atau dalam bahasa lain, hadis tersebut dibiarkan saja tanpa

dilakukan takhrij al-hadîts. Walupun tidak ditakhrij, penafsiran demikian bisa

dikatakan penafsiran dengan menggunakan pendekatan riwayat.

Dan contoh penafsiran terakhir pada ayat-ayat tentang keadilan

Tuhan adalah ‘Âli Imrân (3) ayat 9 sebagai berikut:

أي أن الوفاء بالوعد شأن اإلله سبحانه : للتعليل لمضمون ما قبلها" إن اهللا ال يخلف الميعاد" ١٤٨.وخلفه يخالف األلوهية كما أنها تنافيه وتباينه

al-Syaukani pada ayat ini tidak menafsirkan dengan ayat lain, atau

bahkan al-Syaukani hanya menafsirkan begitu saja secara global. Pada ayat

147 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo - Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid II, h. 233-234. 148 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid I, h. 332.

Page 112: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

73

ini tidak ditemukan pendekatan bahasa, sabab al-nuzul, juga munasabah

ayat.

Dari beberapa ayat yang dijadikan sampel, maka sesuailah kiranya

membuktikan dua pendekatan yang dipakai oleh al-Syaukani yakni dirayah

dan riwayah. Jadi, bisa dikatakan bahwa ternyata al-Syaukani menggunakan

dua pendekatan (manhaj), yakni riwayah dan dirayah seperti yang tertulis

dalam nama tafsirnya. Sedangkan metode yang bisa dipahami dari

penafsiran al-Syaukani di atas, adalah lebih kepada metode tahlîlî. Dikatakan

tahlili karena al-Syaukani melakukan penafsiran dari awal surat, sampai surat

terakhir, indikasi lain adalah karena al-Syaukani menggunakan penelaahan

secara bahasa, munasabah ayat atau surat, dan asbâb al-nuzul. Seperti pada

kriteria pembahasan tahlili di atas.

Selain hal di atas, bisa dikatakan pula al-Syaukani adalah seorang

mufassir yang tidak murni menggunakan pendekatan riwâyat atau dirâyah

semata atau murni riwâyat atau dirâyah. Akan tetapi al-Syaukani

menggunakan pendekatan atas keduanya. Hal ini sesuai dengan nama kitab

tafsirnya yakni “Fath al-Qadîr al-Jâmi‘ Bain Fannai al-Riwâyah wa al-Dirâyah

min ‘Ilm al-Tafsîr”.

Maka jelaslah pendekatan yang dipakai dalam tafsir ini, yakni

penggabungan antara keduanya riwâyat dan dirâyah.

Page 113: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

74

BAB IV

ANALISIS CORAK KALAM TAFSIR FATH AL-QADÎR: TELAAH

ATAS PEMIKIRAN AL-SYAUKÂNÎ DALAM TEOLOGI ISLAM

Sebagaimana diketahui, munculnya pemikiran kalam dalam Islam,

pada hakekatnya merupakan upaya sungguh-sungguh para pakar

memikirkan dan memahami dengan tepat dan benar kandungan al-Qur’an.

Hal ini berarti, pemikiran dalam Islam selalu bertitik tolak atau mendapat

topangan dari al-Qur’an. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di dalam

al-Qur’an terdapat ayat-ayat kalam, yakni ayat-ayat yang dipergunakan oleh

para mutakallimîn sebagai dalil bagi pendapat-pendapat yang mereka ajukan

dalam bidang kalam.

Page 114: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

75

Untuk penelitian lebih lanjut tentang corak pemikiran kalam tafsîr Fath

al-Qadîr, maka upaya yang penulis lakukan adalah: pertama,

pengelompokan ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan dalil oleh mutakallimîn

dalam membicarakan masalah kalam. Arti penting pengelompokan ayat-ayat

tersebut untuk memberikan kemudahan bagi penulis untuk meneliti masalah-

masalah kalam dalam tafsîr Fath al-Qadîr. Kedua, penulis kemukakan

pendangan-pandangan aliran kalam dalam hal ini corak rasional yang

diwakili oleh Mu’tazilah149 dan Maturidiyah Samarkand150, dan corak

tradisioanal diwakili oleh Asy’ariyah151 dan Maturidiyah Bukhara, dan ketiga,

penulis kemukakan penafsiran al-Syaukani berkenaan dengan pandangannya

mengenai ayat-ayat kalam, yang kemudian penulis lakukan analisa dari segi

corak kalam al-Syaukani.

Uraian berikut akan mencoba menyajikan suatu studi jelajahan

terhadap ayat-ayat mana saja yang dijadikan dalil oleh para mutakallimîn.

149 Aliran Mu’tazilah merupakan aliran tertua dan terbesar. Aliran Mu’tazilah lahir

kurang lebih pada permulaan abad pertama Hijrah di kota Basrah (Irak). Dan dinamakan Mu’tazilah karena Wasil bin Ata’ dan Amr bin Ubaid menjauhkan diri (I’tizal dari pengajian Hasan Basri di masjid Basrah. Lihat, A. Hanafi, Pengantar Theologi Islam, (Jakarta: PT. al-Husna Zikra, 1995) cet ke-6, h. 64-65.

150 Nama aliran Maturidiyah diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad, kelahiran Maturid, kota kecil di daerah Samarkand (termasuk daerah Uzbekistan, Sovyet sekarang) kurang lebih pada pertengahan abad ketiga Hijrah dan ia meninggal di kota Samarkand pada tahun 333 H. lihat pula, H. A.R. Gibb, et.all. The Enciclopedy of Islam, Leiden: Ej. Brill, 1960), vol. V, h. 414, lihat pula, A. Hanafi, Pengantar Theologi Islam, (Jakarta: PT. al-Husna Zikra, 1995) cet ke-6, h. 133.

151 Nama lengkap Asy’ari adalah Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Ishak bin Salim bin Ismail bin ‘Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa al-Asy’ari. Menurut beberapa riwayat al-Asy’ari lahir di Basrah pada tahun 260 H./875 M. ketika usia 40 tahun, ia hijrah ke Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H./935 M. lihat, Muhammad Imarah, Tayarrat al-Fikr al-Islâmî, (Beirut: Dâr al-Syuruq, 1911), h. 163, lihat pula, Abdurrahman Bawadi, Mazhab al-Islâmiyyin, ((Dâr al-‘Ilm al-Malayyin, 1984), 497.

Page 115: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

76

Kemudian ayat-ayat tersebut dikelompokan ke dalam masalah-masalah

kalam yang telah disistematiskan sebelumnya, yakni kekuasaan dan

kehendak mutlak Tuhan, keadilan Tuhan, perbuatan-perbuatan Tuhan, dan

sifat-sifat Tuhan.

Karena belum tersedianya literatur yang secara khusus dalam

menyajikan dan mengeompokkan ayat-ayat kalam, maka dalam penulisan

ini, akan mencoba menjaring semua ayat-ayat al-Qur’an yang berkenaan

dengan ayat-ayat kalam yang digunakan oleh para mutakallimîn sesuai

dengan sistematika yang di paparkan di awal.

A. Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan

Tuhan sebagai pencipta alam semesta harus mengatasi segala yang

ada, bahkan harus melampaui segala aspek yang ada itu. Ia adalah eksistensi

yang mempunyai kehendak dan kekuasaan yang tidak terbatas, sebab tidak

ada eksistensi lain yang mengatasi dan melampaui eksistensi-Nya. Dengan

demikian, Tuhan haruslah dipahami sebagai eksistensi yang Esa dan unik.

Inilah makna umum yang dianut dalam memahami apa yang dimaksud

dengan kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan.152

Harun Nasution memberikan keterangan berkenaan dengan

kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan sebagai berikut:

“…Keyakinan pada kesanggupan akal dan pada kebebasan manusia mempunyai pengaruh terhadap konsep kehendak mutlak

152 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam, (Jakarta: Perkasa, 1990),

h. 79

Page 116: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

77

Tuhan. Jika keyakinan pada kebebasan dan kesanggupan manusia membawa kepada ketidakabsolutan kehendak Tuhan, keyakinan pada ketergantungan manusia sepenuhnya pada Tuhan membawa kepada keyakinan akan kemutlakan kehendak Tuhan”.153

Namun dalam sejarah perkembangan ilmu kalam, menurut Yunan

Yusuf, bahwa terdapat perbedaan konsep tentang kekuasaan dan kehendak

mutlak Tuhan ini. Didasari oleh perbedaan pemahaman terhadap kekuatan

akal, fungsi wahyu, kebebasan serta kekuasaan manusia dalam mewujudkan

kehendak dan perbuatannya, konsep tentang kekuasaan dan kehendak

mutlak Tuhan pun turut berbeda pula.154

Secara lebih jelas, akan dipaparkan di bawah ini ayat-ayat tentang

kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, pandangan masing-masing aliran-

aliran kalam dan pandangan al-Syaukani.

1. Ayat-ayat tentang Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan

dan Pandangan Aliran Kalam

Di dalam al-Qur’an banyak ayat yang menerangkan adanya kehendak

dan kekuasaan mutlak Tuhan. Di antaranya:

Mu’tazilah menggunakan atat 62 surat al-Ahzâb155 sebagai berikut:

Artinya: “…Dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati peubahan

pada shunnah Allah”. (Q.S. surat al-Ahzâb (33): 62).

153 Lihat, Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI Press, 1987), cet. I, h. 75.

154 Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, Sebuah Telaah atas Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, (Jakarta: Penamadani, 2003), cet. 2, h. 89.

155 Lebih lanjut lihat, Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisi Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. 5, h. 120

Page 117: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

78

Pada surat al-Ahzab di atas, secara gamblang memberikan

penjelaskan bahwa tidak akan dijumpai perubahan dalam hukum alam

tersebut. Aliran Mu’tazilah sangat menekankan adanya hukum alam ciptaan

Tuhan. Al-Jahiz, salah seorang tokoh Mu’tazilah mengatakan bahwa tiap-tiap

benda mempunyai hukum alam sendiri yang menimbulkan efek tertentu

menurut naturnya masing-masing. Benda dengan naturnya tersebut tidak

dapat menghasilkan kecuali efek yang ditimbulkan oleh naturenya itu, dan es

tidak menghasilkan apa-apa kecuali dingin.156 Sunnatullah tersebut tidak

mengalami perubahan atas kehendak Tuhan sendiri, dan dengan demikian

merupakan batasan bagi kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.157

Menurut aliran Mu’tazilah, kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan

terbatas. Keterbatasan itu oleh karena adanya pembatasan yang diciptakan-

Nya sendiri, yaitu dengan memberi kebebasan berbuat bagi manusia,

menciptakan hukum alam atau sunnatullah, menciptakan norma-norma

keadilan dan kewajiban-Nya sendiri terhadap manusia.158

Paham tentang kebebasan berkemauan dan berbuat dalam

pandangan Mu’tazilah bertitik tolak dari pemahaman bahwa perbuatan

manusia tidaklah diciptakan oleh Tuhan, sebab manusia sendiri yang

menciptakannya.159 Pemberian kebebasan kepada manusia membatasi

kehendak dan kemutlakan Tuhan sendiri. Apabila dilanggar-Nya akan

bertentangan dengan keadilan-Nya.

156 Harun Nasuition, Teologi Islam, h. 120 157 Harun Nasuition, Teologi Islam, h. 121 158 Harun Nasuition, Teologi Islam, h. 119 159 Al-Qadi Abdul Jabbar, Syarh al-Usûl al-Khamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah,

1960), h. 323.

Page 118: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

79

Berdasarkan kebebasannya, maka manusia merdeka di dalam

menentukan nasibnya sendiri. Kewajibannya itu membawa kepada tanggung

jawab pribadi. Dengan kata lain, segala perbuatan manusia baik yang

mendatangkan dosa maupun yang mendatangkan pahala secara penuh

merupakan tanggung jawab manusia itu sendiri.

Di samping itu, kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dibatasi-Nya

sendiri melalui sunnatullah atau hukum alam buatan-Nya yang tidak

mengalami perubahan, sebagaimana dinyatakan Allah bahwa “kamu sekali-

kali tidak akan mendapati perubahan pada sunnatullah (Q.S. 33 : 62).

Sesuai dengan ayat ini, tampaknya aliran Mu’tazilah berpendirian

Tuhan tidak menghendaki untuk berbuat di luar ketetapan sesuai di ciptakan-

Nya sendiri. Di samping itu, kekuasaan Tuhan tidak mutlak lagi karena

menghadapi dzat yang terbatas, yaitu makhluk-Nya. Oleh Karen itu, Ia sendiri

membatasi kekuasaan-Nya terhadap dzat yang terbatas itu. Sekiranya Ia tidak

membatasi kehendak dan kekuasaan-Nya, dzat yang terbatas itu tidak

mampu untuk menerimanya. Jika yang mutlak dihadapkan kepada yang

terbatas, yang terbatas akan hancur karena tidak mampu menerima

kemutlakan itu. Paling tidak itulah yang bisa ditangkap dari pemahaman

Mu’tazilah sebagaimana di uraikan di atas.

Sementara Maturidiyah Samarkand karena memberikan penghargaan

tinggi kepada akal, maka pendapatnya lebih dekat kepada Mu’tazilah.

Menurut mereka yang membatasi kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan

adalah kebebasan yang diberikannya kepada manusia. Selanjutnya ia tidak

Page 119: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

80

sewenang-wenang dalam menjatuhkan hukuman.160 Untuk memperkuat

pandangannya di atas, Maturidiyah Samarkand mengemukakan dalil ayat-

ayat al-Qur’an161 berikut ini: Q.S. al-Mâ’idah (5) : 48, al-‘An‛âm (6) : 149,

Yûnus (10) : 99 sebagai berikut:

Artinya: …sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan…( Q.S. al-Mâ’idah (5) : 48)

Artinya: Katakanlah: "Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat;

Maka jika dia menghendaki, pasti dia memberi petunjuk kepada kamu

semuanya". (Q.S. al-‘An‛âm (6) : 149)

Artinya: Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua

orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak)

memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman

semuanya ? (Q.S. Yûnus (10) : 99)

160 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 112 161 Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidy, Fathullah

Khalifah (ed.), Kitâb al-Tauhîd, (Istambul, Turki: al-Maktabah al-Islâmiyyah, 1979), h. 287-289.

Page 120: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

81

Ayat-ayat yang dikemukakan al-Maturidi di atas, dipahami oleh al-

Maturidi bahwa Tuhan sebenarnya berkuasa membuat manusia yang ada di

bumi menjadi berimam, namun Ia tidak melakukannya karena kemerdekaan

berkehendak dan berbuat yang ada dalam diri manusia.

Berbeda dengan paham Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand, al-

Asy’ari (w. 324 H.) berpendapat, bahwa Tuhan tetap mempunyai kehendak

dan kekuasaan mutlak. Segala sesuatu kejahatan maupun kebaikan di muka

bumi terjadi menurut kehendak-Nya. Tidak seorangpun yang mampu berbuat

kalau tidak dengan kehendak Allah. Manusia lemah dan tidak bisa keluar dari

ilmu Allah. Allah adalah satu-satunya pencipta. Perbuatan manusia adalah

ciptaan-Nya. Argumen yang dikemukakan berkaitan dengan itu adalah

“Allahlah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. (Q.S. 37

: 96). Lengkapnya al-Asy’ari menuturkan sebagai berikut:

وإن ألشیاء تكون , وإنه الیكون فى األرض شیئ من خیر وشر إال ماشاء اهللاوال , وال یستغنى عن اهللا, وإن أحدا الیستطیع أن یفعل شیئا قبل أن یفعله, یمشیئةاهللا عزوجل

وإن أعمال العبد مخلوقة هللا , وإنه الخالق إال اهللا. یقدر على الخروج عن علم اهللا عزوجل ).162 ٩٦: الصافات: خلقكم وما تعلمون (: مقدرة كما قال

Al-Ghazâlî di dalam membicarakan masalah di atas, mengatakan

bahwa Allah kuasa atas segala sesuatu. Karena itu tidak ada sesuatupun yang

merupakan kewajiban bagi-Nya. Penciptaan alam adalah yang jâ’iz bagi

Allah, bukan wajib. Begitupun dengan perbuatan-perbuatan Tuhan yang

berkenaan dengan yang ada di alam, adalah jâiz bagi-Nya. Dengan kata lain,

162 Abû al-Hasan ‘Ali ibn Ismail al-‘Asy’ary, al-Ibânat ‘an Usûl al-Diyânat, ta‘lîq

‘Abdullah Mahmûd dan Muhammad ‘Umar, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), h. 16.

Page 121: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

82

Tuhan tidak memberi upah atau pahala kepada orang taat, atau menghukum

orang yang durhaka. Pahala dan siksa bukan hak yang mesti diterima

manusia. Pahala adalah karunia-Nya, sedangkan siksa adalah keadilan-

Nya.163

Berkaitan dengan ini, aliran asy’ariyah memandang bahwa kehendak

Allah meliputi semua yang terjadi, dan kekuasaan-Nya meliputi segala yang

diciptakan-Nya, baik atau buruk.164

Untuk memperkuat pendapat di atas, Asy’ariyah mengemukakan

beberapa ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan kehendak dan kekuasaan

mutlak Tuhan, yaitu: Q.S. al-Insân (76) : 30, al-Kahfi (18) : 23-24, Hûd (11) :

107.165

Artinya: Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila

dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha

Bijaksana. (Q.S. al-Insân (76) : 30)

Artinya: Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya Aku akan mengerjakan Ini besok pagi, Kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah"...(Q.S. al-Kahfi (18) : 23-24)

163 al-Ghazâlî, al-Iqtisâd fî al-I‘qtiqâl, (Kairo: Maktabah al-Husain al-Tijariyah, t.th.),

h. 81. 164 Muhammad Yusuf Musa, al-Qur’an wa al-Falsafah, (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, t.th.),

h. iii. 165 Abdurrahman al-Bawadi, Madzâhib al-Islâmiyyîn, (Beirut: Dâr al-Ilmi lî al-

Malayyyîn, 1983), h. 556.

Page 122: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

83

Artinya: … Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang dia kehendaki. (Q.S. Hûd (11) : 107)

Ayat-ayat tersebut di atas, dipahami oleh Asy’ari sebagai pernyataan

tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Kehendak Tuhan mesti

berlaku. Bila kehendak Tuhan tidak berlaku, itu berarti Tuhan lupa, lalai dan

lemah untuk melaksanakan kehendak-Nya itu. Sedangkan sifat lalai, lupa,

apalagi lemah, adalah sifat-sifat mustahil bagi Allah.166

Aliran Asy’ariyah mencontohkan kehendak dan kekuasaan mutlak

Tuhan dengan mengatakan, bahwa kekafiran itu jahat, rusak dan batil. Begitu

juga dengan iman itu baik. Bagaimanapun orang berusaha agar iman di

pandang buruk atau batil, tidak bisa sebab Allah telah menetapkan sebagai

sesuatu yang baik. Kalau manusia sendiri yang menentukan sendiri

perbuatannya sudah tentu menjadikan kekafiran itu bisa terlaksana. Tetapi

kenyataannya tidak demikian. Oleh karena itu, terdapat penentu yang

sesungguhnya terhadap sesuatunya, yaitu Allah Swt.167

إنا وجدنا الكفر قبیحا فا سدا : تدالال عقلیا أوال فیقولویستدل األشعاري على ذالك إس

ووجدنا الكافر یقصد ویجهد . ووجدنا اإلیمان حسنا متعبا مؤلما, باطال متناقظا خالفا لما خلقووجدنا اإلیمان لوشاء المؤمن ان , فیكون بخالف قصده, نفسه إلى ان یكون الكفر حسنا حقا

. یكن ذالك كائنا على حسب مشیئته وإرادتهالیكون متعبا مؤ لما وال مرمضا لم

Berbeda dengan Maturidi Bukhara yang mengemukakan konsep

masyi’at dan rida, yaitu bahwa manusia melakukan perbuatan adalah benar

atas kehendak Allah. Namun, tidak semua perbuatan baik adalah kehendak

166 Al-Asy’ary, Al-Luma’, h. 47. 167 Abdurrahman al-Bazdawi, Madzâhib al-Islâmiyyîn, (Beirut: Dâr al-Ilmi lî al-

Malayyîn, 1983), h. 555.

Page 123: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

84

dan rida Allah, tetapi manusia melakukan perbuatan yang jahat meskipun

atas kehendak-Nya perbuatan itu terjadi, namun bukan atas rida-Nya.168

Di samping itu, al-Bazdawi memandang paham taklîf mâlâ yûtak

dapat diterima. Sebab tidak mustahil bagi Tuhan meletakkan kewajiban

kewajiban yang tidak dapat dipikul oleh manusia.169

Adapun dalil yang digunakan oleh aliran Maturidiyah Bukhara, sama

dengan yang digunakan oleh aliran As’ariyah.

Sejalan dengan pandangan al-Asy’ari di atas, aliran Maturidiyah

Bukhara juga menekankan berlakunya kehendak dan kekuasaan Tuhan

semutlak-mutlaknya. Tuhan berbuat sekehendak dan tidak ada suatu

larangan pun bagi Tuhan. Ia membuat apa saja yang dikehendaki-Nya. Tidak

ada yang dapat menentang dan memaksa Tuhan.170

Dengan demikian, Maturidiyah Bukhara berpandangan bahwa Tuhan

mempunyai kekuasaan mutlak dalam menentukan sesuatu, dan tidak ada

satupun yang menghalangi-Nya. Tuhan menciptakan kosmos ini bukan

karena ada tujuan tertentu. Ia berbuat sekehendak-Nya.171 Berdasarkan

pandangan demikian, dapat dikatakan bahwa Maturidiyah Bukhara sepaham

dengan Asy’ariyah.

168 al-Dawwani, Syarh al-Aqâid al-Adudiyyah, (Kairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1958), h.

42. 169 Abu Yusr Muhammad al-Bazdawi, Usûl al-Dîn, (Kairo: Dâr al-Ihya’ al-Kutub al-

‘Arabiyyah, 1963), h. 130. 170 Abu al-yusuf Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim al-Bazdawi, Kitâb

Usûl al-Dîn¸(Kairo: Dâr al-Ihyâ’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1963), h. 130. 171 Abu Yusuf Muhammad al-Bazdawi, Kitâb Usûl al-Dîn, (Kairo: Dâr al-Ihya’ al-

Kutub al-‘Arabiyyah, 1963), h. 130.

Page 124: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

85

2. Pandangan al-Syaukani terhadap Ayat-ayat Kalam tentang

kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan

Bagi aliran kalam yang berpandangan bahwa manusia mempunyai

kebebasan dalam berkehendak dan berbuat, seperti yang dianut oleh

Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand, kekuasaan dan kehendak mutlak

Tuhan tidak lagi mutlak sepenuhnya. Sebaliknya, bagi aliran kalam yang

berpandangan bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dalam

berkehendak dan berbuat, seperti yang dianut oleh Asy’ariyah dan

Maturidiyah Bukhara, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan memang

mutlak sepenuh-peniuhnya.

Baagaiman pandangan al-Syaukani tentang kekuasaan dan kehendak

mutlak Tuhan ini? Apakah kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan mesti

berlaku sepenuh-penuhnya, sehingga boleh timbul kesan bahwa Tuhan dapat

berbuat apa saja berdasarkan kehendak-Nya. Ataukah kekuasaan dan

kehendak mutlak Tuhan tersebut tidak layak berlaku sepenuh-penuhnya,

Karena Tuhan mempunyai janji-janji yang harus di tepati.

Dalam pandangan al-Syaukani, kekuasaan dan kehendak mutlak

Tuhan berlaku dalam koridor sesuai dengan sunnatullah. Itulah sebabnya,

dalam pandangan al-Syaukani, kemutlakan Tuhan menjadi terbatas. Hal ini

sesuai dengan pendapat al-Syaukani dalam menafsirkan ayat 62 surat al-

Ahzâb sebagai berikut:

Page 125: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

86

أي تحويالً وتغييراً، بل هي ثابتة دائمة في أمثال هؤالء في " ولن تجد لسنة اهللا تبديالً" ١٧٢.الخلف والسلف

“Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunah Allah” yaitu pemindahan dan perubahan, bahkan sunnah Allah akan tetap selamanya pada koridornya apakah itu menurut ulama khalaf ataupun salaf.

`Secara jelas al-Syaukani dalam ayat di atas, menjelaskan bahwa

sunnatulah akan selamanya pada koridornya, ia tidak akan dapat dijumpai

perubahan, baik dalam pandangan ulama khalaf maupun salaf. Penafsiran

ini, nampaknya lebih mendekati pandangan rasional.

Kemudian, ketika al-Syaukani menafsirkan Q.S. al-Insân (76) : 30, al-

Syaukani mengatakan bahwa segala keputusan, kehendak itu akan

disandarkan pada Allah. Begitu juga dengan kebaikan dan kejelekan itu ada

di tangan Allah sebagaimana penafsiran al-Syaukani berikut ini:

أي وما تشاءون أن تتخذوا إلى اهللا سبيالً إال أن يشاء اهللا، " وما تشاؤون إال أن يشاء اهللا " فاألمر إليه سبحانه ليس إليهم، والخير والشر بيده، ال مانع لما أعطى، وال معطي لما

١٧٣.منع Artinya: “Dan tiadalah apa yang kamu kehendaki kecuali atas

kehendak Allah” Dan tiadalah kamu menghendaki untuk menuju jalan kepada Allah kecuali sesuai dengan kehendak Allah. Maka keputusan itu disandarkan kepada Allah Swt, bukan disandarkan kepada mereka (manusia), adapun kebaikan dan kejelekan itu di tangan Allah, tidak ada

172 Lebih lanjut, lihat Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr,

Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid IV, h. 366. 173 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid V, h. 419.

Page 126: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

87

yang mampu mencegah terhadap apa yang Allah beri, dan tiada yang bisa memberi terhadap apa yang Allah cegah.

Dari penafsiran al-Syaukani di atas, dapat dipahami bahwa ada dua

kehendak. pertama adalah kehendak manusia dan kedua kehendak Allah.

Sehingga kuranglah tepat paham kaum Mu’tazilah yang menjadikan manusia

memiliki kebebasan memiliki apa yang dinamai al-Qur’an kasb (usaha), tetapi

usaha itu sama sekali tidak mengurangi kuasa dan kehendak Allah. Sesuatu

baru dapat terjadi bila Allah menghendaki. Semua orang mempunyai

kehendia, anda berkehendak, aku pun berkehendak dan dia serta mereka

pun berkehendak, tetapi hanya Allah yang terlaksana kehendak-Nya. Namun

demikian harus diingat bahwa kehendak Allah itu bukan tanpa dasar atau

terjadi semena-mena. Demikian pemahaman dari penafsiran al-Syaukani di

atas.

Dalam memperkuat pendapat kehendak manusia dan kehendak

Tuhan, al-Syaukani mengutip hadis sebagai berikut:

١٧٤".كل امرئ ما نوىإنما األعمال بالنيات، وإنما ل"

174 Lebih lengkapnya lihat, Muhammad bin Ismail Abû Abdullah al-Bukhari (194-

256), Sahîh al-Jami’, (Beirut: Dâr Ibn Katsir, 1987), tahqîq Dr. Mustafa al-Bagha, juz, 1, h. 3, Muslim al-Hajjâj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi (206-261) Sahih Muslim, (Beirut: Dâr al-Turas al-‘Araby, tt.), juz. 3, h. 1515, Abu Dawud al-Asy’ats al-Sijastani al-Azdy (202-275), Sunan Abî Dâwûd, (Dâr al-Fikr, tt.), tahqiq Muhyiddin ‘Abdul Hamid, juz. 2. h. 262. Muhammad bin ‘Isa bin Abu ‘Isa al-Turmudzi al-Sulami (209-279), Sunân al-Turmudzi, (Beirut: Dâr al-Ihyâ al-Turâs al-‘Araby, tt.), tahqiq Ahmad Muhammad Syakir wa Arkanuh, juz. 4, h. 179., lihat pula CD Mausu’ah Program Hadis, tahun 2003. 1. Shahih Bukhari juz 1 hal 3

كتاب بدء الوحي قال الشیخ اإلمام الحافظ أبو عبد اهللا محمد بن إسماعیل بن إبراهیم بن المغیرة باب كیف كان بدء الوحي إلى رسول اهللا صلى اهللا علیه وسلم وقول ١البخاري رحمه اهللا تعالى آمین

حدثنا الحمیدي عبد اهللا بن الزبیر ١ اهللا جل ذكره إنا أوحینا إلیك كما أوحینا إلى نوح والنبیین من بعده

Page 127: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

88

“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan tiap-

tiap perbuatan seseorang itu, tergantung pada apa yang ia niatkan”.

Bagi kaum ahl al-sunnah wa al-jama’ah, menurut salah seorang tokoh

aliran Maturidiyah,175 menunjukkan bahwa segala yang dikehendaki hamba

قال حدثنا سفیان قال حدثنا یحیى بن سعید األنصاري قال أخبرني محمد بن إبراهیم التیمي أنه سمع علقمة بن وقاص اللیثي یقول سمعت عمر بن الخطاب رضي اهللا عنه على المنبر قال سمعت رسول اهللا صلى اهللا

بالنیات وإنما لكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى دنیا یصیبها أو علیه وسلم یقول ثم إنما األعمال إلى امرأة ینكحها فهجرته إلى ما هاجر إلیه

2. Shahih Ibn Hibban juz 2 hal 113 باب اإلخالص وأعمال السر

أخبرنا علي بن محمد القباني حدثنا عبد اهللا بن هاشم الطوسي حدثنا یحیى بن سعید القطان عن ٣٨٨یى بن سعید األنصاري عن محمد بن إبراهیم التیمي عن علقمة بن وقاص عن عمر بن الخطاب رضي یح

اهللا عنه قال قال رسول اهللا صلى اهللا علیه وسلم ثم األعمال بالنیات ولكل امرئ ما نوى فمن كانت و امرأة یتزوجها هجرته إلى اهللا ورسوله فهجرته إلى اهللا ورسوله ومن كانت هجرته إلى دنیا یصیبها أ

فهجرته إلى ما هاجر إلیه3. Sunan Ibn Majah Juz 2 hal 1413

باب النیة حدثنا أبو بكر بن أبي شیبة ثنا یزید بن هارون ح وحدثنا محمد بن رمح أنبأنا اللیث بن سعد قاال ٤٢٢٧

مع عمر بن أنبأنا یحیى بن سعید أن محمد بن إبراهیم التیمي أخبره أنه سمع علقمة بن وقاص أنه سالخطاب وهو یخطب الناس فقال سمعت رسول اهللا صلى اهللا علیه وسلم یقول ثم إنما األعمال بالنیات ولكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى اهللا وإلى رسوله فهجرته إلى اهللا وإلى رسوله ومن كانت هجرته

لدنیا یصیبها أو امرأة یتزوجها فهجرته إلى ما هاجر إلیه4. Sunan Abi Daud juz 2 hal 262

باب فیما عني به الطالق والنیات حدثنا محمد بن كثیر أخبرنا سفیان حدثني یحیى بن سعید عن محمد بن إبراهیم التیمي عن علقمة ٢٢٠١

بن وقاص اللیثي قال سمعت عمر بن الخطاب یقول قال رسول اهللا صلى اهللا علیه وسلم ثم إنما األعمال نما لكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى اهللا ورسوله فهجرته إلى اهللا ورسوله ومن كانت بالنیات وإ

هجرته لدنیا یصیبها أو امرأة یتزوجها فهجرته إلى ما هاجر إلیه5. sunan al-baihaqi kubra juz 1 hal 41

باب النیة في الطهارة الحكمیة أنا أبو طاهر محمد بن الحسین المجد آبادي أنا أخبرنا أبو طاهر محمد بن محمد بن محمش الفقیه١٨١

عثمان بن سعید أنا محمد بن كثیر ثنا سفیان هو الثوري ثنا یحیى بن سعید بن محمد بن إبراهیم التیمي عن علقمة بن وقاس اللیثي قال سمعت عمر بن الخطاب رضي اهللا عنه یقول سمعت رسول اهللا صلى اهللا

ألعمال بالنیات وإنما المرىء ما نوى فمن كانت هجرته إلى اهللا ورسوله علیه وسلم یقول ثم إنما ا فهجرته إلى اهللا ورسوله ومن كانت هجرته لدنیا یصیبها أو المرأة یتزوجها فهجرته إلى ما هاجر إلیه

175 Yakni Abu Mansur Muhammad bin Abdul Karim al-Bazdawi (421-493 H.). ia merupakan tokoh cabang Bukhara dari aliran Maturidiyah yang mempunyai paham-paham tertentu yang berbeda dengan pendapat al-Maturidi sendiri. Lihat, Harun Nasution, Teologi Islam, h. 77-78.

Page 128: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

89

pasti dikehendaki Allah, baik itu berupa kebaikan maupun keburukan.176

Kalau sesuatu perbuatan manusia sudah dikehendaki Allah, sementara

kehendak Allah qadim, maka hal itu berarti bahwa tidak ada lagi

kemungkinan pilihan pada perbuaatan itu.

Ayat yang serupa banyak dibahas. Misalnya surat al-Kahfi (18) : 23-24

yang melarang memastikan diri untuk melakukan pekerjaan tertentu pada

hari yang akan datang, melainkan menyandarkannya kepada kehendak

Allah. Al-Syaukani menafsirkan ayat ini sebagai berikut:

أي ألجل شيء تعزم عليه فيما يستقبل من الزمان، " وال تقولن لشيء إني فاعل ذلك غداً"وما يكون لنا أن نعود ." فعبر عنه بالغد، ولم يرد الغد بعينه، فيدخل فيه الغد دخوالً أولياً

" واذكر ربك إذا نسيت" ألن عودهم في ملتهم مما ال يشاءه اهللا" فيها إال أن يشاء اهللا ١٧٧.أي فقل إن شاء اهللا، سواء كانت المدة قليلة أو كثيرة: االستثناء بمشيئة اهللا

“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu”

“sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi” yaitu waktu yang ditentukan pada masa akan datang, disebut besok tetapi belum tentu pada hakikatnya besok, yang termasuk besok adalah masuknya terlebih dahulu, “dan tidak ada bagi kami yang bisa mendahuluinya kecuali dengan menyebut Insya Allah” karena kembalinya mereka ke tempat mereka itu, sesuatu yang tidak dikehendaki Allah., “dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa” pengecualian dengan kalimat “insya Allah” (baik perbuatan itu dilakukan) dalam jangka pendek ataupun jangka panjang.

176 Al-Bazdawi, Kitâb Usûl al-Dîn, ed. Hans Peter Linss, (Kairo: ‘Isâ al-Bâbî al-Halabî

wa al-Syurakh, 1963), h. 45. 177 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid III, h. 351.

Page 129: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

90

Ayat di atas mendukung bahwa segala perbuatan hamba tidak terjadi

melainkan dengan kehendak Allah. Ayat tersebut jelas-jelas merupakan

tuntutan Allah kepada Nabi-Nya untuk tidak memastikan sesuatu yang akan

dilakukannya. Apa yang akan dilakukannya itu bisa jadi nanti tidak dapat

benar-benar dilakukannya sehingga dengan itu, kalau ia memastikan

sebelumnya, maka ia telah berdusta atau dituduh dengan tuduhan-tuduhan

yang serupa dengan itu. Betapapun kuatnya tekad dan besarnya

kemampuanmu bahwa: “sesungguhnya aku akan mengerjakan besok pagi”

pekerjaan yang remah atau penting itu, besok, yakni waktu mendatang,

kecuali dengan mengaitkan kehendak dan tekadmu itu dengan kehendak dan

izin Allah atau kecuali dengan mengucapkan insyâ Allâh/jika Allah

menghendaki.

Dapat pula diambil contoh ayat-ayat yang digunakan oleh

Maturidiyah Samarkand misalnya Q.S. al-Mâ’idah (5) : 48. ayat ini kata al-

Syaukani, dipahami sebagai menunjukkan bahwa Allah tidak menghendaki

seluruh mukallaf untuk beriman. Ada yang dikehendaki-Nya untuk beriman

dan ada yang dikehendaki-Nya untuk menjadi kafir. Kalau sekiranya Ia

menghendaki mereka semua untuk menjadi beriman, maka pastilah Ia telah

berkemauan membuat mereka satu umat saja. Namun semua itu,

sesungguhnya Allah hanya hendak menguji manusia. Sebagaimana

penafsiran al-Syaukani:

" ولكن ليبلوكم"بشريعة واحدة وكتاب واحد ورسول واحد " مة واحدةولو شاء اهللا لجعلكم أ"" ليبلوكم " أي ولكن لم يشأ ذلك االتحاد ، بل شاء اإلبتالء لكم باختالف الشرائع ، فيكون

Page 130: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

91

فيما أنزله " في ما آتاكم " متعلقاً بمحفوظ دل عليه سياق الكالم وهو ما ذكرنا، ومعنى أي " فاستبقوا الخيرات: "قوله. تالف األوقات واألشخاصعليكم من الشرائع المختلفة باخ

إذا كان المشيئة قد قضت باختالف الشرائع فاستبقوا إلى فعل ما أمرتم بفعله وترك ما ١٧٨.أمرتم بتركه

Artinya: “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya

satu umat (saja)” dengan satu syariat, satu kitab dan satu Rasul, “tetapi Allah hendak menguji kamu” yakni Allah belum menghendaki satu umat itu, tetapi Dia menghendaki untuk mengujimu dalam hal bermacam-macam syariat, maka kata “untuk mengujimu” dikaitkan dengan indikasi konteks kalimat yang telah kita sebutkan sebelumnya, adapun makna “terhadap pemberiannya kepadamu” yaitu terhadap sesuatu yang diturunkan kepadamu dari beberapa syariat yang berbeda dengan waktu dan orang-orang yang berbeda pula. Firman Allah “maka berlomba-lombalah dalam kebaikan” yakni jika kehendak itu telah ditetapkan dengan berbeda-bedanya syariat maka berlomba-lombalah untuk mengerjakan apa yang telah diperintahkan kepadamu untuk mengerjakannya dan meninggalkan apa yang diperintahkan kepadamu untuk meninggalkannya.

Potongan ayat di atas, konteksnya berbicara tentang kitab Taurat yang

diturunkan kepada Nabi Musa, dan kitab Injjil yang ditunkan kepada Nabi

‘Isa, dan al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.

Kemudian, dalam tafsiran al-Syaukani “sekiranya Allah menghendaki,

niscaya Dia menjadikan kamu, wahai Musa, ‘Isa, umat Muhammad dan

umat-umat lain sebelum itu, satu umat. Al-Syaukani menambah satu kitab,

dan satu Rasul. Yaitu dengan jalan dengan meyatukan secara naluriah

pendapat kamu serta tidak menganugrahkan kamu kemampuan memilih,

178 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid II, h. 65.

Page 131: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

92

akan tetapi Allah tidak menghendaki itu. Alasannya karena, Allah hendak

menguji kamu.

Maka karena itu, melalui satu syariat, satu kitab, dan satu Rasul itu,

hendaknya kamu berlomba-lomba berbuat kebajikan dengan menjalankan

perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Maka sekiranya Allah mau, pasti

Ia telah memaksa mereka menjadi satu syariat, satu kitab, dan datu Rasul.

Akan tetapi, Allah tidak menghendaki hal itu. Demikian al-Syaukani.

Pernyataan seperti ini memang hanya untuk menunjukkan bahwa

Allah mampu melakukan pemaksaan kepada hamba dalam masalah

keimanan. Namun dalam kenyataannya, tidak Allah lakukan kekuasaan-Nya

itu. Penunjukkan kemampuan atau kekuasaan itu dimaksudkan agar Rasul-

Nya, Muhammad Saw, tidak terlalu susah dengan adanya orang-orang yang

tidak mau menerima kebenaran risalah yang dibawa-Nya. Karena

sesungguhnya petunjuk itu datangnya dari Allah.

Kemudian, dalam surat al-‘An‛âm (6) : 149, dipahami bahwa beriman

atau tidaknya seseorang itu bergantung pada hidayah akan kehendak mutlak

Tuhan. Sebagaimana al-Syaukani menafsirakn:

ولو شاء : "ولكنه لم يشأ ذلك، ومثله قوله تعالى" لهداكم أجمعين"هدايتكم جميعاً " فلو شاء" ١٧٩.وما كانوا ليؤمنوا إال أن يشاء اهللا" اهللا ما أشركوا

Artinya: “Maka jika Dia menghendaki” petunjukmu semuanya

“pasti dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya” dan tetapi jika dia belum menghendakinya, dan firman Allah “dan jika Allah

179 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Tafsîr Fath al-Qadîr, Tahqîq dan

takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid II, h. 225.

Page 132: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

93

menghendaki terhadap apa yang mereka sekutukan” dan mereka beriman kecuali dengan kehendak Allah.

Jadi, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan di jelaskan oleh al-

Syaukani mempunyai peranan yang sangat dominant, yang menentukan

seseorang beriman atau tidak.

Ayat yang senada dengan penjelasan ini, yakni surat Yûnus (10) : 99

sebagaimana al-Syaukani menafsirkan:

مجتمعين " جميعاً"بحيث ال يخرج عنهم أحد " ولو شاء ربك آلمن من في األرض كلهم"على اإليمان ال يتفرقون فيه ويختلفون، ولكنه لم يشأ ذلك لكونه مخالفاً للمصلحة التي

أفأنت تكره الناس حتى " أرادها اهللا سبحانه، وانتصاب جميعاً على الحال كما قال سيبويه ذلك ليس في وسعك يا محمد وال داخل تحت قدرتك، وفي هذا تسلية فإن" يكونوا مؤمنين

له صلى اهللا عليه وسلم ودفع لما يضيق به صدره من طلب صالح الكل، الذي لو كان لم ١٨٠.يكن صالحاً محققاً بل يكون إلى الفساد أقرب، وهللا الحكمة البالغة

“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua

orang yang di muka bumi seluruhnya” sehingga tidak satupun mereka yang keluar, semuanya pasti beriman tidak ada yang berpisah dan berbeda-beda, tetapi Allah tidak menghendaki hal itu, karena itu berbeda dengan kemaslahatan yang Allah Swt. kehendaki. Kata “jamî‘an” dinasabkan sebagai hal. Sebagaimana Imam Sibawaih berkomentar “Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? Itu semua bukan berarti keleluasaanmu wahai Muhammad dan tidak pula termasuk kategori kekuasaanmu, tetapi ini merupakan hiburan Nabi Saw. dan penolakan terhadap apa yang menyempitkan dada beliau dalam mencari kebaikan untuk semuanya, yang jika belum tewujud

180 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Tafsîr Fath al-Qadîr, Tahqîq dan

takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid II, h. 597-599.

Page 133: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

94

kebaikan yang diupayakan tapi justru yang terjadi lebih dekat kepada kerusakan maka itulah hikmah yang jelas dari Allah.

Menurut al-Syaukani bahwa jika Allah berkehendak Dia pasti

menjadikan semua manusia beriman atau kufur atau sesat. Penafsiran al-

Syaukani ini jelas, bahwa Allahlah yang mempunyai kekuasaan penuh akan

beriman atau tidaknya seseorang. Maka di sini, bukanlah hak Nabi

menjadikan manusia beriman atau tidak. Semua yang terjadi di alam ini

adalah atas kehendak dan kekuasaan Tuhan. Orang mukmin tidak akan

beriman kecuali atas kehendak-Nya. Pada dasarnya al-Syaukani telah

mengisyaratkan bahwa manusia diberi kebebasan untuk percaya atau tidak.

Akan tetapi jangan duga bahwa kebebasan itu bersumber dari kekuatan

manusia. Tidak! Itu adalah kehendak dan anugrah Allah. Dengan demikian,

ia berbeda pendapat dengan Mu’tazilah yang memandang Allah hanya

menghendaki ketaatan dan keimanan, sementara kufur dan maksiat terjadi

bukan atas kehendak-Nya.181

Dari apa yang dipaparkan di atas, baiklah disimpulkan sementara

bahwa dalam pemikiran al-Syaukani, Tuhan memang berkuasa dan

berkehendak mutlak. Namun, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan itu

semuanya adalah atas izin-Nya, bukan kehendak manusia.

Bila diperbandingkan pemikiran al-Syaukani tentang kekuasaan

mutlak dan kehendak mutlak Tuhan di atas dengan pemikiran yang terdapat

di kalangan pemikir kalam yang ada, maka jelas terlihat bahwa kekuasaan

dan kehendak mutlak Tuhan yang dianut oleh al-Syaukani tidak sejalan

181 Abdul Jabbar, Syarh, h. 10

Page 134: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

95

dengan paham yang dianut oleh Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand.

Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand pemikiran bahwa kekuasaan dan

kehendak mutlak Tuhan terbatas. Keterbatasan itu oleh karena adanya

pembatasan yang diciptakan-Nya sendiri, yaitu dengan memberi kebebasan

berbuat bagi manusia, menciptakan hukum alam atau sunnatullah,

menciptakan norma-norma keadilan dan kewajiban-Nya sendiri terhadap

manusia.182

Oleh sebab itu, dengan ungkapan bahwa kekuasaan dan kehendak

mutlak Tuhan, yang dalam pandangan al-Syaukani berlaku berdasarkan

kehendak-Nya secara mutlak, maka dapat disimpulkan pemahaman al-

Syaukani tersebut di atas, lebih dekat kepada pemahaman yang dibawa oleh

aliran Asy’ariyah.

Sebagaimana diketahui, al-Asy’ariyah menganut paham bahwa Tuhan

tetap mempunyai kehendak dan kekuasaan mutlak. Segala sesuatu kejahatan

maupun kebaikan terjadi menurut kehendak-Nya. Tidak seorangpun yang

mampu berbuat kalau tidak dengan kehendak Allah. Manusia lemah dan

tidak bisa keluar dari ilmu Allah. Allah adalah satu-satunya pencipta.

Perbuatan manusia adalah ciptaan-Nya.183

B. Keadilan Tuhan

182 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 119 183 Abû al-Hasan ‘Ali ibn Ismâ‘îl al-Asy’ary, al-Ibânat ‘an Usûl al-Diyânat, (Beirut:

Dâr al-Kitâb al-‘Araâbî, 1985), h. 107-111.

Page 135: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

96

Kata keadilan berasal dari bahasa ‘Arab yakni al-‘adl. kata al-‘adl

adalah masdar dari ‘adala, ya‘dilu, ‘adlan. Sebagaimana Abdul Jabbar

mengungkapkan:

"ان العدل مصدر عدل یعدل عدال“

Sementara bila ditinjau dari segi bahasa secara murni, kata al-‘adl

(keadilan) relative dengan pandangan Mu’tazilah dari pada Asy’ariyah.

Dalam Lisân al-‘Arâb disebutkan sebagai berikut:

العدل هوالذي الیمیل : هللا سبحانه اوفي أسماء, میما قام في النفوس أنه مستق: العدل

١٨٤...به الهوى فیجوزالحكم

“keadilan adalah sesuatu yang terpatri di dalam jiwa yang

lurus. Adil juga merupakan sifat Allah yang berarti Allah tidak

cenderung kepada hawa nafsu yang berakibat keputusan-keputusan-

Nya berkesan curang…

Persoalan keadilan Tuhan muncul ke permukaan karena aliran

Mu’tazilah menjadikannya sebagai salah satu ajarannya.185 Mereka menyebut

golongan mereka sebagai ahl al-‘adl, yaitu golongan yang mempertahankan

keadilan Tuhan, dan ahl al-tawhîd wa al-‘Adl, yaitu golongan yang

mempertahankan ke-Esaan murni dan keadilan Tuhan. Sebagaimana Harun

Nasution berpendapat sebagai berikut:

184 Ibnu Manzûr, Lisân al-‘Arâb, (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, tt.), tahqîq ‘Abdullah ‘Ali al-

Kabîr, Muhammad Ahmad Hasbullah, dan Hasyim Muhammad al-Syâdzilî, juz, 4, h. 2838. 185 Al-Qâdi Abdul Jabbar, Syarh al-Usûl al-Khamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah,

1960), h. 301.

Page 136: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

97

...dengan demikian, mereka tidak memandang nama Mu’tazilah itu sebagai ejekan. Selain dengan nama Mu’tazilah golongan ini juga dikenal dengan nama-nama lain. Mereka sendiri selalu menyebut golongan mereka sebagai Ahl al-‘adl, dan ahl al-Taqwa wa al-‘Adl. 186

Masalah keadilan Tuhan dalam pemikiran kalam banyak bergantung kepada

pandangan apakah manusia itu mempunyai kebebasan dan berkehendak

dalam perbuatannya, ataukah manusia itu hanya dalam keadaan terpaksa

saja. Perbedaan pandangan terhadap bebas atau tidaknya menusia ini,

menyebabkan penerapan makna keadilan Tuhan menjadi berbeda.

Di bawah ini, akan penulis paparkan pertama-tama dimulai dari ayat-

ayat tentang keadilan Tuhan, selanjutnya penulis akan coba paparkan

pendapat atau pandangan aliran kalam dan kemudian diurai juga penafsiran

al-Syaukani dalam menjawab permasalahan tentang keadilan Tuhan

berdasarkan ayat-ayat yang akan dikemukakan.

1. Ayat-ayat tentang Keadilan Tuhan dan Pandangan Aliran

Kalam

Di dalam al-Qur’an banyak ayat yang menerangkan tentang keadilan

Tuhan di antaranya:

Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan sandaran dalam memperkuat

pendapat Mu’tazilah adalah adalah Q.S. al-Anbiyâ’ (21) : 47187, Yâsîn (36) :

54188, Fusilat (41) : 46, al-Nisâ’ (4) : 40, al-Kahfi (18) : 49189.

186 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisi Perbandingan,

(Jakarta: UI Press, 1986), cet. 5, h. 42. 187 Al-Qâdi Abdul Jabbâr bin Ahmad al-Hamazani, Mutasyâbih al-Qur’ân, Adnan

Muhammad Zarzawar (ed.) (Kairo: Dâr al-Turâs, 1969), h. 500 188 Al-Qâdi Abdul Jabbâr bin Ahmad al-Hamazani, Mutasyâbih al-Qur’ân, h. 576

Page 137: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

98

Artinya: Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari

kiamat, Maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. dan jika (amalan itu) Hanya seberat biji sawipun pasti kami mendatangkan (pahala)nya. dan cukuplah kami sebagai pembuat perhitungan. (Q.S. al-Anbiyâ’ (21) : 47).

Pandangan Mu’tazilah sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Jabbar,

mengandung makna keadilan Tuhan. Demikianlah, ayat 47 surat al-Anbiyâ’

ditafsirkan oleh Mu’tazilah bahwa Tuhan tidak akan menganiaya seseorang

sedikitpun, dan Ia mempergunakan timbangan dengan adil untuk melakukan

perhitungan dengan cermat.190

Artinya: Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan

sedikitpun dan kamu tidak dibalasi, kecuali dengan apa yang Telah

kamu kerjakan. (Q.S. Yâsîn (36) : 54).

Tuhan bersifat adil, dengan demikian kata Abdul Jabbar dalam

manafsirkan ayat 54 surat Yâsîn, sebab di akhirat seseorang tidak diminta

189 Al-Qadi Abdul Jabbar, Syarh al-Usûl al-Khamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah,

1960), h. 315. 190 Al-Qâdi Abdul Jabbar, al-Mutasyâbih, h. 500-501.

Page 138: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

99

pertanggungjawaban atas dosa orang lain, akan tetapi ia hanya bertanggunga

jawab atas dosanya sendiri.191

Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka

(pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya. (Q.S. Fusilat (41) : 46)

Artinya: Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. (Q.S. al-Nisâ’ (4) : 40).

Artinya: Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat

orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: "Aduhai celaka kami, Kitab apakah Ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang Telah

191 Al-Qâdi Abdul Jabbar, al-Mutasyâbih, h. 576.

Page 139: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

100

mereka kerjakan ada (tertulis). dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun". (Q.S. al-Kahfi (18) : 49)

Abdul Jabbar dalam memberikan komentar terhadap tiga ayat di atas,

Tuhan di puji dengan penafian sifat zalim dari diri-Nya. Sebagaimana

uraiannya: ..."أن یتمدح بنفى ألظالم على نفسه"...

Dalam teologi Islam, persoalan keadilan Tuhan berkaitan dengan

perbuatan-Nya. Aliran Mu’tazilah berpendapat, bahwa Tuhan dikatan adil

karena semua perbuatan-Nya baik. Ia wajib berbuat baik. Ia wajib berbuat

yang baik, tidak berbuat yang buruk. Sebagaimana Abdul Jabbar

memberikan keterangan sebagai berikut:

وانه الیفعل القبیح وال یخل بما هو , فالمراد أن افعاله كلها حسنة, قاذا قیل لهم أنه تعالى عدل

192 .واجب علیه

Abdul Jabbar menegaskan sebagaimana dikutip Harun Nasution

sebagai berikut:

Kata-kata “Tuhan adil” mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya bersifat baik. bahwa Ia tidak dapat berbuat yang buruk, dan bahwa Ia tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia.193

Berkaitan dengan pendapat di atas, aliran Mu’tazilah berpandangan

bahwa semua perbuatan yang timbul dari Allah dan berhubungan dengan

insan mukallaf ditentukan berdasarkan kemaslahatan manusia. Sementara

192 Al-Qadi Abdul Jabbar, Syarh al-Usûl al-Khamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1960), h. 132, 301.

193 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 132.

Page 140: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

101

Asy’ariyah cenderung memahami keadilan Tuhan dari segi Tuhan sebagai

pemilik dan penguasa alam semesta, mengatur kerajaan yang dimiliki-Nya

menurut kehendak-Nya.194 Dengan demikian, Tuhan yang adil menurut

mereka adalah Ia berkuasa mutlak di dalam menghisab hamba-hamba-Nya.

Dalam membicarakan masalah keadilan Tuhan, aliran Mu’tazilah

mengatakan bahwa semua perbuatan Tuhan berdasarkan atas hikmah dan

tujuan. Sesuatu perbuatan tanpa tujuan adalah bodoh dan main-main.

Semua perbuatan Tuhan mengandung manfaat bagi makhluk-Nya. Ia tidak

berbuat untuk kepentingan diri-Nya.195 Oleh karena itulah manusia dapat

mengambil manfaat dari perbuatan-Nya.

Sama dengan sikap dasar terhadap kebebasan manusia dalam

kehendak dan perbuatan yang dipahami oleh Mu’azilah, aliran Maturidiyah

Samarkand menggarisbawahi makna keadilan Tuhan sebagai lawan dari

perbuatan zalim Tuhan terhadap manusia. Tuhan tidak akan membalas

kejahatan, kecuali seimbang dengan kejahatan yang ia buat. Tuhan tidak

akan menganiaya hamba-hambanya, dan juga tidak akan mengingkari janji-

janji-Nya yang telah disampaikan kepada manusia. Sebagaimana Abu Zuhra

menuturkan sebagai berikut:

194 Ahmad Mahmud Subhi, Filsafat Etika, terj. Yunan Askaruzzaman Ahmad,

(Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2001), cet. 1, diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul al-Falsafah al-Akhlâqiyyah fî al-Fikr al-Islâmî, (Kairo: t.p., t.th.), h. 47.

195 Al-Syahrastânî, Kitâb Nihâyah al-Iqdâm fî ‘ilm al-Kalâm, Alfred Guillaume (ed.), (London: Oxford University Press, 1934), h. 397.

Page 141: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

102

واهللا الیظلم العباد ...انله تعالىقد بین في القران الكریم انه الیجزي على السیئة اال بمثلها...

196.والیخلق الوعد

Abu Mansur al-Maturidi, sebagai tokoh aliran Maturidiyah

mengemukakan ayat-ayat al-Qur’an berkenaan dengan keadilan Tuhan yaitu

surat al-An‛âm (6) : 160, ‘Âli Imrân (3) : 9 sebagai berikut197:

Artinya: Barangsiapa membawa amal yang baik, Maka baginya

(pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat Maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan). (Q.S. al-An‛âm (6) : 160).

Artinya: …Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji. (Q.S. ‘Âli Imrân

(3) : 9).

Ayat pertama tersebut di atas, dipahami oleh al-Maturidi bahwa Allah

tidak membalas perbuatan jahat seorang hamba kecuali dengan balasan yang

196 Muhammad Abû Zuhrah, al-Madzâhib al-Islâmiyyah, (Kairo: Maktabah al-Adab,

t.th.), h. 308. 197 Muhammad Abu Zahrah, al-Madzâhib al-Islamiyyah, (Kairo: Maktabah al-Adab,

tt.), h. 300.

Page 142: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

103

setimpal dengan apa yang ia perbuat.198 Dan yang selanjutnya dipahami

bahwa Allah tidak akan menyalahi janji-Nya serta menganiaya hamba-Nya.199

Asy’ariyah sebagai aliran kalam tradisioanl mengemukakan beberapa

ayat berkenaan dengan keadilan Tuhan yaitu: ayat 107 surat Hûd (11)200,

ayat 56 surat al-Dzâriyât (51), dan Q.S. Hûd (11) : 20.

Artinya: Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi,

kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya

Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang dia kehendaki. (Q.S.

Hûd (11) : 107)201

Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia

melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Q.S. al-Dzâriyât

(51) : 56)202

198 Muhammad Abu Zuhra, al-Madzâhib al-Islâmiyyîn, (Maktabah al-Adab, t.th., h.

308. 199 Muhammad Abu Zuhra, al-Madzâhib al-Islâmiyyîn, (Maktabah al-Adab, t.th., h.

308. 200 Abû al-Hasan ‘Ali ibn Ismâ‘îl al-Asy’ary, al-Ibânat ‘an Usûl al-Diyânat, (Beirut:

Dâr al-Kitâb al-‘Araâbî, 1985), h. 107. 201 Depag RI, al-Quran dan Terjemahnya, h. 314. 202 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-

Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 756.

Page 143: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

104

Artinya: Mereka selalu tidak dapat mendengar (kebenaran) dan

mereka selalu tidak dapat melihat(nya). (Q.S. Hûd (11) : 20).203

Asy’ariyah sebagai aliran kalam tradisioanl, karena berpegang pada

konsep kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, yang berpandangan, bahwa

Allah yang menjadikan orang-orang yang berbuat baik maupun jahat,

beriman atau kafir. Dengan kata lain Allah berbuat apa saja yang

dikehendaki-Nya. Paling tidak itulah yang terkandung dalam pengertian adil

menurut al-Asy’ari. Dengan kata lain Allah berbuat apa saja yang

dikehendaki-Nya sesuai dengan ayat di atas Q.S. Hûd (11): 107,

“Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia

kehendaki.”204

Sejalan dengan pendapat di atas, al-Asy’ari selanjutnya mengatakan

sebagaimana yang dikutip oleh Ilhamuddin dalam “Pemikiran Kalam al-

Baqillani Studi Persamaan dan Perbedaannya dengan al-Asy’ari”, sebagai

berikut:

bahwa Allah menetapkan kesenangan dan rahmat-Nya khusus bagi orang mukmin, tidak bagi orang kafir. Ia juga mengatakan bahwa orang kafir tidak mempunyai qudrat beriman. Allah menetapkan qudrat beriman khusus untuk orang mukmin. Ia berpandangan bahwa satu qudrat tidak bisa untuk dua perbuatan atau lebih. Satu qudrat hanya untuk satu perbuatan. Oleh karena itu, kudrat kufur tidak untuk

203 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-

Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 300. 204 Abû al-Hasan ‘Ali ibn Ismâ‘îl al-Asy’ary, al-Ibânat ‘an Usûl al-Diyânat, (Beirut:

Dâr al-Kitâb al-‘Araâbî, 1985), h. 107.

Page 144: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

105

kudrat beriman sekaligus. Menurut qudrat tidak tetap karena kadang-kadang manusia mampu kadang-kadang lemah. Manusia adakalanya bergerak adakalanya tidak. Istitâ’at kemampuan manusia bukanlah diri manusia itu sendiri tetapi lain dari itu yakni Allah.205

Bagi Asy’ari lanjut Ilhamuddin, kudrat beriman itu merupakan

pemberian Allah. orang yang diperintahkan untuk beriman, akan tetapi tidak

diberi-Nya kudrat untuk beriman berarti orang tersebut tidak mendapat

pertolongan-Nya.206

Di samping itu, Allah hanya memelihata orang-orang mukmin, bukan

orang kafir sesuai dengan ayat di atas Q.S. al-Dzâriyât (51): 56, “ Dan Aku

tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-

Ku”. Karena Allah menjadikan kebanyakaan dari ciptaan-Nya sebagai pengisi

neraka. Dalam masalah taklîf ia berpendapat bahwa Allah membebani orang-

orang kafir untuk mendengarkan dan menerima al-Qur’an serta beriman

kepada Allah meskipun Allah juga mengatakan "mereka tidak sanggup

beriman kepada Allah". Sebagaimana al-Asy’âri dalam keterangannya

sebagai berikut:

...هأنه ذرأ لجهنم كثیرا من خلق... ینأن اهللا عز وجل انما عني المئمنین دون الكا فر

الیس قد كلف ااهللا عز وجل الكافرین ان یستمعون الحق ویقبلوه ویومنون باهللا؟ فقد قال

207"ما كا نو یستمعون السمع"عزوجل

205 Ilhamuddin, Pemikiran Kalam al-Baqillani Studi Persamaan dan Perbedaannya

dengan al-Asy’ari, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), cet. 1, h. 61. 206 Ilhamuddin, Pemikiran Kalam al-Baqillani, h. 61. 207 Abû al-Hasan ‘Ali ibn Ismail al-Asy’ary, al-Ibânat ‘an Usûl al-Diyânat, h. 80.

Page 145: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

106

Al-Asy’ari mengatakan, semua perbuatan Tuhan adalah adil. Ia adil

dalam menjadikan orang beriman dan tetap adil walaupun ia juga

menjadikan orang kafir. Ia juga adil jika menyiksa mereka di akhirat.208

Menurutnya, Allah juga adil jika menyiksa orang mukmin dan memasukkan

orang kafir dalam surga. Namun, menurutnya Allah tidak berbuat demikian

karena ia akan menyiksa orang kafir. Allah tidak berbohong terhadap apa

yang disampaikan-Nya.209

Menurutnya Allah tidak bersifat lalim meskipun ia menciptakan

kelaliman karena ia menciptakannya bukan untuk diri-Nya. Ia mengatakan

bahwa perbuatan jahat terjadi berdasarkan qada dari Allah karena Allahlah

yang menciptakannya. Tetapi Allah tidaklag bersifat jahat karena ia

menciptakan bukan untuk diri-Nya.210

Pandangan yang demikian tampaknya merupakan konsekuensi dari

ketidakmampuannya lari dari konsep kehendak dan kekuasaan mutlak

Tuhan. Itulah tampaknya yang membuat Asy’ari memahami keadilan Tuhan

sebagai Allah pemilik yang berkuasa mutlak terhadap sesuatu yang dimiliki-

Nya dan menggunakannya sesuai dengan pengetahuan dan kehendak-Nya.

Sementara aliran kalam Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa

keadilan Tuhan haruslah dipahami dalam konteks kekuasaan dan kehendak

mutlak Tuhan. Secara jelas al-Bazdawi, demikian Yunan Yusuf menyebut

bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai unsur

208 Abû al-Hasan ‘Ali ibn Ismail al-Asy’ary, al-Ibânat ‘an Usûl al-Diyânat, h. 80-81. 209 Abû al-Hasan ‘Ali ibn Ismail al-Asy’ary, al-Luma’ fî al-Radd ‘alâ Ahl al-Zaig wa al-

Bida’, h. 116-117. 210 Abû al-Hasan ‘Ali ibn Ismail al-Asy’ary, Kitâb al-Luma’ fî al-Radd ‘alâ Ahl al-Zaig

wa al-Bida’, h. 79-81.

Page 146: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

107

pendorong untuk menciptakan kosmos, Tuhan berbuat sekehendak-Nya

sendiri.211 Ini berarti demikian Harun Nasution, al-Bazdawi berpendapat

bahwa alam tidak diciptakan oleh Tuhan untuk kepentingan manusia.212 Atau

dengan kata lain, konsep keadilan Tuhan bukan diletakkan pada kepentingan

manusia, tetapi pada Tuhan sebagai pemilik mutlak.

Akan tetapi, Maturidiyah Samarkand yang memandang manusia

mempunyai kebebasan di dalam berkehendak dan berbuat, pendapat mereka

tentang keadilan Tuhan lebih dekat kepada Mu’tazilah. Tetapi kecenderungan

mereka untuk meninjau permasalahan dari sudut kepentingan manusia lebih

kecil dari Mu’tazilah. Kecenderungan itu erat kaitannya dengan pandangan

masing-masing terhadap masalah kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan.

Mu’tazilah tidak tidak terikat pada paham kehendak dan kekuasaan mutlak

Tuhan. Maturidiyah Samarkand masih terikat pada paham tersebut.213

2. Penafsiran al-Syaukani terhadap Ayat-ayat Kalam tentang

keadilan Tuhan

Faham keadilan Tuhan banyak tergantung pada faham kebebasan

manusia dan faham sebaliknya, yaitu kekuasaan mutlak Tuhan.214

Sebagaimana pandangan al-Syaukani tentang kekuasaan dan kehendak

mutlak Tuhan, telah disinggung secara sepintas bahwa Tuhan berkuasa dan

211 Muhammad Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam, h. 96. 212 Harun Nasuition, Teologi Islam, h. 124. 213 Harun Nasuition, Teologi Islam, h. 124. 214 Harun Nasuition, Teologi Islam, h. 123.

Page 147: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

108

berkehendak secara mutlak. Maka manusia dalam hal ini, seumpama wayang

yang dimainkan dalangnya.

Konsep keadilan Tuhan yang dianut al-Syaukani nampaknya masuk

dalam pengertian yang dibawa oleh kedua corak aliran kalam yakni

tradisioanl dan rasional. Aliran tradisioanl menitik beratkan pada makna

keadilan Tuhan yang mempunyai kekuasaan mutlak terhadap apa yang

dimiliki-Nya. Sementara keadilan yang dipahami oleh aliran kalam rasioanal

adalah yang memberikan makna keadilan pada kepentingan manusia.

Semangat keadialan seperti yang dipahami oleh aliran kalam rasional

tergambar dengan jelas dalam penafsiran yang diberikan oleh al-Syaukani

terhadap ayat-ayat kalam tentang keadilan Tuhan. Namun itu semua belum

bisa di katakana bahwa paham keadilan al-Syaukani lebih cenderung kepada

aliran rasional. Justru penafsiran al-Syaukani tentang keadilan Tuhan lebih

bisa dikatakan masuk pada keduanya (rasional dan tradisioanl).

Katika al-Syaukani menafsirkan ayat 47 surat al-Anbiya’. Menurut al-

Syaukani dalam penafsirannya:

الموازين جمع ميزان، وهو يدل على أن هناك " ونضع الموازين القسط ليوم القيامة"موازين، ويمكن أن يراد ميزان واحد، عبر عنه بلفظ الجمع، وقد ورد في السنة في صفة الميزان ما فيه كفاية، وقد مضى في األعراف، وفي الكهف في هذا ما يغني عن اإلعادة،

أي كفى بنا محصين، والحسب في األصل " ى بنا حاسبينوكف."والقسط صفة للموازينمعناه العد، وقيل كفى بنا عالمين، ألن من حسب شيئاً علمه وحفظه، وقيل كفى بنا

٢١٥.مجازين على ما قدموه من خير وشر

215 Muhammad ibn ‘Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid III, h. 513.

Page 148: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

109

“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari

kiamat” kata “al-mawazin” itu adalah bentuk jama dari kata “mîzan” itu mengindikasikan bahwa di hari kiamat itu ada beberapa timbangan, dan mungkin juga yang dimaksud adalah satu timbangan, diungkapkan dengan bentuk jama', sedikit banyaknya telah dielaborasi dalam Sunnah dalam pembahasan karakteristik pertimbangan dan juga telah banyak dikenal dan dalam surat Al-Kahfi kata-kata ini banyak diulang-ulang, dan sifat keadilan itu adalah sifat utama dalam pertimbangan. “dan cukuplah kami sebagai pembuat perhitungan” yakni dan cukuplah kami yang menguasai”, dan kata “al-hasbu/hitungan” itu makna leterleknya adalah “al-‘udd/ menghitung” dan ada juga yang mengatakan “dan cukuplah kami yang mengetahui” karena orang yang menghitung sesuatu itu adalah orang yang telah mengetahui dan menguasainya, dan juga ada yang mengatakan “dan cukuplah kami yang membalas terhadap apa yang mereka lakukan baik dan buruknya.

Penafsiran al-Syaukani di atas, mengungkap kata wawâzîn adalah

bentuk jamak dari kata mîzân. Hal ini agaknya mengisyaratkan, bahwa setiap

amal yang lahir maupun batin, kelak akan ditimbang atau mempunyai tolok

ukur masing-masing, sehingga semua amal benar-benar menghasilkan

ketepatan timbangan.

Jangan duga bahwa siksa yang mereka peroleh itu sewenang-wenang,

atau tanpa tolok ukur yang adil. Sehingga mereka teraniaya. Tidak! Kami

akan memasang timbangan yang adil pada hari kiamat, untuk menjadi tolok

ukur kebaikan dan keburukan amal serta kualitasnya, maka di sana tiadalah

dirugikan seseorang walu sedikitpun dengan penambahan keburukannya

atau pengurangan kebaikannya. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat

perhitungan.

Page 149: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

110

Sementara itu, ayat 54 surat Yâsîn (36) dalam tafsiran al-Syaukani

mengandung arti bahwa Allah akan menghukum sesuai dengan perbuatanya,

dan membalas sesuai dengan apa yang dikerjakannya tanpa dirugikan

sedikitpun. Sebagaimana penafsiran al-Syaukani sebagai berikut:

أي ال ينقص من ثواب عملها شيئاً : مما تستحقه" شيئاً"من النفوس " فاليوم ال تظلم نفس"أي إال " وال تجزون إال ما كنتم تعملون"من النقص، وال تظلم فيه بنوع من أنواع الظلم

٢١٦.أي بسببه، أو في مقابلته: جزاء ما كنتم تعملونه في الدنيا، أو إال بما كنتم تعملونه

“Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun” kata “nafsun” itu adalah bentuk jama dari kata “nufuus”, kata “sedikitpun” yakni terhadap haknya, tidak seorangpun bisa mengurangi perbuatan/amalnya sedikitpun, dan “dan kamu tidak dibalas, kecuali dengan apa yang Telah kamu kerjakan” yakni balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan di dunia, atau tidak akan dibalas kecuali karena kamu telah melakukannya” yakni karena telah berbuat. Ayat di atas, mengandung makna baik orang taat maupun seseorang

yang durhaka, maka ia tidak akan dirugikan sedikitpun akan ganjarannya

sesuai dengan apa yang telah dikerjakan. Jika yang dilakukan keburukan,

maka balasannya adil dan setimpal, dan jika kebajikan maka ganjaran yang

akan diperoleh merupakan anugerah Allah yang berlipat ganda dari nilai

amal kita.

Adapun ayat 46 surat Fusilat (41) ditafsirkan al-Syaukani dengan

menonjolkan kebebasan manusia dalam memilih perbuatan baik ataupun

216 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid IV, h. 447.

Page 150: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

111

buruk. Kondisi memilih mana yang baik dan yang buruk bagi manusia,

kemudian diganjar dengan pahala dan siksa menurut pilihannya tersebut. Hal

ini menunjukkan paham keadilan al-Syaukani adalah faham keadilan bagi

kepentingan manusia. Kepentingan manusia dalam hal memilih berbuat baik

ataupun buruk. Secara lebih jelas al-Syaukani menafsirkannya sebagai

berikut:

أي من أطاع اهللا وآمن برسوله ولم يكذبهم فثواب ذلك راجع إليه " من عمل صالحاً فلنفسه"وما ربك بظالم "أي عقاب إساءته عليه ال على غيره " ومن أساء فعليها"ونفعه خاص به

إن اهللا ال : "فال يعذب أحداً إال بذنبه، وال يقع منه الظلم ألحد كما في قوله سبحانه" للعبيد ٢١٧".ناس شيئاًيظلم ال

“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh, maka

(pahalanya) untuk dirinya sendiri “ yakni barangsiapa yang taat kepada Allah dan beriman kepada Rasul-Nya serta tidak berbuat bohong maka pahalanya untuk dirinya sendiri, dan akan merasakan manfaatnya “dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri” yakni pembalasannya akan dirasakan olehnya juga bukan oleh orang lain, “dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya” Maka Dia tidak akan menganiaya seseorang kecuali karena dosanya, dan tidak pula menganiaya seseorang sebagaimana yang dimaksud dalam firmannya “Sesungguhnya Allah tidak akan menganiaya seseorang sedikitpun”.

Ayat di atas, memberikan pemahaman bahwa Allah tidak akan

menyia-nyiakan amal baik tanpa ganjaran dan juga tidak membiarkan satu

dosa tanpa tanpa perhitungan. Dan barang siapa yang berbuat jahat dalam

217 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid IV, h. 619.

Page 151: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

112

amalnya maka keburukan dan dosa amalnya atas dirinya sendiri. Dia yang

akan memikulnya, bukan orang lain. Dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu Maha

penganiaya hamba-hamba-Nya yang berdosa.

Keadaan Tuhan tidak melakukan aniaya terhadap hamba-Nya

walaupun sebesar zarrah sekalipun, menurut al-Syaukani, memberikan

jaminan bahwa Tuhan selamanya akan berlaku adil kepada hamba-bamba-

Nya. Oleh sebab itu, tidaklah perlu khawatir, bahwa kebaikan yang diperbuat

selama hidup di dunia ini tidak akan mendapat ganjaran dari Tuhan, bahkan

seberat zarrahpun tidaklah manusia akan dirugikan. Secara lebih jelas al-

Syaukani mengatakan hal itu ketika menafsirkan surat al-Nisâ’ (4) ayat 40,

surat al-Kahfi (18) ayat 49 dan al-An‛âm (6) ayat 160, sebagai berikut:

أي ال : والمراد من الكالم أن اهللا ال يظلم كثيراً وال قليالً" إن اهللا ال يظلم مثقال ذرة": قوله. يبخسهم من ثواب أعمالهم وال يزيد في عقاب ذنوبهم وزن ذرة فضالً عما فوقها

وقد تقدم الكالم في "ويؤت من لدنه أجراً عظيماً"لقوله " وإن تك حسنة يضاعفها" ٢١٨المضاعفة والمراد مضاعفة ثواب الحسنة

“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun

sebesar zarrah” maksud ayat ini adalah bahwa Allah tidak menganiaya seseorang, besar ataupun kecil, yakni Allah tidak akan mengurangi pahala kebaikan seseorang dan tidak pula menambahkan siksa kejahatan seseorang walaupun sebesar zarrah. Firman Allah “dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya” dan firman Allah juga “dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar” dan telah dijelaskan terlebih dahulu

218 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid I, h. 623-624.

Page 152: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

113

tentang melipatgandakan, yang dimaksud ayat ini adalah melipatgandakan pahala kebaikan seseorang.

Penafsiran al-Syaukani memberikan isyarat bahwa Allah tidak

menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, yakni sekecil apapun.

Betapa Dia menganiaya, padahal Dia Maha Kuasa, dan yang ada di alam

raya ini adalah ciptaan dan milik-Nya. Bahkan Allah memberikan ganjaran,

jika ada kebajikan sebesar dzarrahpun, Allah pasti melipatgandakan yang

tidak tergambar sebelumnya dalam benak siapapun.

Kemudian dalam surat al-Kahfi (18) : 49 al-Syaukani menafsirkan

sebagai berikut:

السعيد في : والوضع إما حسي بأن يوضع صحيفة كل واحد في يده" ووضع الكتاب"أي أظهر عمل كل واحد من خير : وإما عقلي. يمينه، والشقي في شماله، أو في الميزان

أي خائفين وجلين " فترى المجرمين مشفقين مما فيه"وشر بالحساب الكائن في ذلك اليوم ب ذلك من االفتضاح في ذلك الجمع، والمجازاة بالعذاب مما في الكتاب الموضوع لما يتعق

يدعون على أنفسهم بالويل لوقوعهم في الهالك، ومعنى هذا " ويقولون يا ويلتنا"األليم " مال هذا الكتاب ال يغادر صغيرة وال كبيرة إال أحصاها"النداء قد تقدم تحقيقه في المائدة

ية كبيرة إال حواها وضبطها وأثبتها أي أي شيء له ال يترك معصية صغيرة وال معصفي الدنيا من المعاصي الموجبة للعقوبة، أو وجدوا جزاء ما عملوا " ووجدوا ما عملوا"أي ال يعاقب أحداً من عباده بغير ذنب، وال " وال يظلم ربك أحداً"مكتوباً مثبتاً " حاضراً"

٢١٩.ينقص فاعل الطاعة من أجره الذي يستحقه “Dan diletakkanlah kitab” kata “meletakan” makna implisitnya

adalah seseorang meletakan kertas diatas tangannya. Kebahagiaan itu berada pada tangan kanannya dan kecelakaan berada pada tangan

219 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid 1, h. 366-369.

Page 153: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

114

kirinya, atau dalam timbangannya. Sementara makna ekplisitnya adalah memperlihatkan perbuatan seseorang, baik itu perbuatan baik ataupun perbuatan jahat dengan penuh perhitungan pada hari kebangkitan, “lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya” yakni mereka ketakutan terhadap apa yang tertulis karena kesalahannya yang telah dilakukan pada masa itu, dan akan memberikan pembalasan dengan siksa yang pedih, “dan mereka berkata: "Aduhai celaka kami” mereka mengajak-ngajak terhadap yang lainnya kepada neraka wail untuk menempati tempat yang tragis, tempat orang-orang celaka, adapun makna panggilan ini adalah telah dijelaskan pada surat Al-Maidah “Kitab apakah Ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya” kitab apakah ini yang tidak meninggalkan pebuatan dosa yang kecil tidak pula yang besar melainkan dia menjaganya, menghapalkannya, menetapkannya “dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis)” di dunia karena berbuat maksiat yang pasti akan mendapatkan siksaanya atau mereka menemukan pembalasan terhadap apa yang mereka kerjakan secara terang-terangan tertulis, dan ditetapkan “dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun” yakni Allah tidak akan menganiaya hambanya yang tidak berdosa dan tidak pula mengurangi pahala kebaikan seseorang yang sudah menjadi haknya.

Tafsiran al-Syaukani dapat dipahami bahwa setelah semua berkumpul

di padang mahsyâr tempat melakukan perhitungan bagi semua manusia

diletakkan, yakni diberikan kitab yang merinci amal-amal masing-masing.

Ada dua tipe orang yang dikemukan dalam ayat tersebut, pertama orang

yang beriman dan beramal saleh yang merasa gembira ketika melihat catatan

amal-amalnya, sedangkan tipe yang kedua adalah para pendurhaka baik

musyrik maupun muslim tetapi bergelimang dosa, tipe orang yang kedua ini

merasa ketakutan seraya mereka berulang-ulang berkata: “Hai kecelakaan

kami hadirlah”. Dan di akhir ayat ditutup dengan “Dan Tuhanmu tidak

Page 154: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

115

menganiaya seorang juapun”, hal ini menandakan amalan yang kecil

maupun besar tidak lupu sedikitpun dari buku catatan tersebut.

Selanjutnya al-Syaukani dalam menafsirkan surat al-An‛âm (6) ayat

160 sebagai berikut:

لما توعد سبحانه المخالفين له بما توعد بين عقب ذلك " من جاء بالحسنة فله عشر أمثالها"

مقدار جزاء العاملين بما أمرهم به الممتثلين لما شرعه لهم بأن من جاء بحسنة واحدة من فال يجزى "عمال السيئة من األ" ومن جاء بالسيئة" الحسنات فله من الجزاء عشر حسنات

من دون زيادة عليها على قدرها في الخفة والعظم، فالمشرك يجازى على سيئة " إال مثلهاالشرك بخلوده في النار، وفاعل المعصية من المسلمين يجازى عليها بمثلها مما ورد تقديره من العقوبات كما ورد بذلك كثير من األحاديث المصرحة بأن من عمل كذا فعليه

يجازيه اهللا بمثله وإن لم نقف : كذا، وما لم يرد لعقوبته تقدير من الذنوب فعلينا أن نقولعلى حقيقة ما يجازى به، وهذا إن لم يتب، أما إذا تاب أو غلبت حسناته سيئاته أو تغمده اهللا برحمته وتفضل عليه بمغفرته فال مجازاة، وأدلة الكتاب والسنة مصرحة بهذا تصريحاً

" ال يظلمون"أي من جاء بالحسنة ومن جاء بالسيئة " وهم" بعده ريب لمرتاب، ال يبقى ٢٢٠.بنقص ثواب حسنات المحسنين وال بزيادة عقوبات المسيئين

“Barangsiapa membawa amal yang baik, Maka baginya

(pahala) sepuluh kali lipat amalnya” sebagaimana Allah telah janjikan kepada orang-orang yang telah berbuat baik sesuai ukuran orang yang melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka dan melakukan apa yang disyariatkan kepada mereka karena orang yang melakukan kebaikan satu kali saja maka pahalanya sepuluh kali lipat “dan barangsiapa yang melakukan kejahatan” yakni perbuatan-perbuatan yang jahat “Maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang” tanpa ada tambahan sesuai dengan apa yang dia lakukan, baik itu dosa ringan ataupun dosa besar. Adapun orang musyrik akan dibalas perbuatan syiriknya kekal di dalam neraka. Sementara orang yang

220 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid II, h. 233-234.

Page 155: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

116

maksiat dari kalangan orang-orang muslim maka akan di balas seimbang dengan perbuatan kejahatannya sebagaimana telah banyak disinggung dalam hadits-hadits yang shohih “bahwa orang yang melakukakan kejahatan maka sisksaannya akan seimbang, dan apabila tidak diketahui ukuran siksaannya maka kita seharusnya mengatakan”semoga Allah membalas seimbang dengan dosanya, dan apabila tidak diketahui juga hakikat balasan dari Allah berarti dia belum bertaubat, dan jika sudah bertaubat atau perbuatan baiknya lebih banyak dari pada perbuatannya jahatnya atau Allah memberikan rahmat-Nya dan mengaruniai ampunannya maka tidak ada siksaan dari Allah, dalil Al-Qur’an dan Sunnah Nabi sudah jelas tidak bisa diragukan lagi “dan mereka” yakni orang yang melakukan kebaikan dan orang yang melakukan kejahatan. “Tidak akan dianiaya” dengan mengurangi pahala orang-orang yang melakukan kebaikan dan tidak pula menambah siksaan orang-orang yang melakukan kejahatan.

Ayat di atas, menunjukkan pembalasan Allah sungguh adil. Menarik

dari paparan penafsiran ayat dia atas, jika diperhatikan dengan seksama,

ketika Allah berfirman “Barang siapa yang membawa amal yang baik, maka

baginya sepuluh kali lipat”, sedangkan sebaliknya “barang siapa membawa

perbuatan yang buruk, maka dia tidak diberi pembalasan melainkan

seimbang dengannya”. Hal ini menunjukkan ketika seseorang melakukan

satu amal kebajikan saja, maka Allah membalasnya dengan sepuluh kali lipat,

dan itulah karunia Allah, tapi tidak dengan kejahatan, Allah tidak

mengganjarnya sepuluh kali, namun disini Allah menjatuhkan sangsi atasnya,

selain itu, tidak sedikit keburukan hamba dimaafkan-Nya.

Dalam pandangan aliran kalam rasional, keadaan Tuhan berkaitan

erat dengan janji-janji Tuhan yang mestinya ditepati oleh Tuhan sendiri.

Sedangkan janji-janji Tuhan itu sendiri erat kaitannya dengan kebaikan

manusia. Oleh sebab itu, bila Tuhan tidak menepati janji-Nya, itu berarti

Page 156: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

117

terjadi tindakan sewenang-wenang dari Tuhan. Namun, perlu ditegaskan di

sini, kewajiban Tuhan bukan dalam arti kewajiban yang datang dari luar diri

Tuhan. Tetapi kewajiban yang Dia letakkan sendiri pada diri-Nya dengan

kemauan dan pilihan-Nya sendiri.

Yang ditekankan di sini adalah sisi keadilan Tuhan. Berbeda dengan

penggalan yang lalu, di sana yang ingin ditekankan adalah sisi kemurahan-

Nya. Perlu dicatat bahwa kemurahan Allah akan diperoleh juga jika

kejahatan yang telah direncanakan dibatalkan oleh kesadaran perencanaan,

karena kesadaran dan pembatalan itu dinilai sebagai satu kebajikan.

Sejalan dengan itu, al-Syaukani berpendapat bahwa Tuhan tidak akan

menyalahi janji-Nya yang telah dibuat sendiri. Demikian penjelasan al-

Syaukani ketika menafsirkan surat ‘Âli Imrân (3) ayat 9 sebagai berikut:

أي أن الوفاء بالوعد شأن اإلله سبحانه : للتعليل لمضمون ما قبلها" إن اهللا ال يخلف الميعاد" ٢٢١.وخلفه يخالف األلوهية كما أنها تنافيه وتباينه

“Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji” sebagai alasan adanya jaminan terhadap orang yang memegang janji pada sebelumnya, yaitu bahwa memegang janji adalah memberikan keputusan dihadapan Allah dan janjinya yang menyalahi Allah seolah-olah dia meniadakan Allah. Sejalan dengan pemikiran kalam rasional, pemikiran al-Syauakani di

atas, juga mengandung konsep adanya kewajiban Tuhan sendiri yang dibuat-

Nya. Jadi, masalah keadilan Tuhan dalam pandangan al-Syaukani sejalan

dengan paham keadilan Tuhan menurut pemikiran kalam rasional.

221 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid I, h. 332.

Page 157: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

118

Pemahaman keadilan Tuhan menurut al-Syaukani mengandung makna

keadilan yang diletakkan pada kepentingan dan kemaslahatan manusia.

Tuhan dikatakan adil, apabila Dia tidak berbuat berdasarkan kehendak dan

kekuasaan mutlak-Nya. Bahkan, al-Syaukani tegas di akhir penafsiran ayat di

atas, bahwa memegang janji adalah memberikan keputusan dihadapan Allah

dan janjinya yang menyalahi Allah seolah-olah dia meniadakan Allah. Maka

janganlah bermain-main dengan janji, karena menyalahi janji, berarti

meniadakan Allah. Demikian penafsiran al-Syaukani.

C. Perbuatan-perbuatan Tuhan

Semua aliran dalam pemikiran sepakat bahwa Allah juga melakukan

aktifitas atau perbuatan. Aktifitas atau perbuatan itu dipandang sebagai

konsekuensi logis dari dzat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya.

Namun demikian, yang menjadi inti polemik di kalangan mutakallimin dari

permaslahan ini adalah apakah aktifitas atau perbuatan Allah itu mempunyai

tujuan ataukah hanya sekedar beraktifitas atau berbuat sekehendak hati-Nya

tanpa adanya maksud dan tujuan yang jelas?

Persoalan kalam lain yang menjadi bahan perdebatan di antara aliran-

aliran kalam adalah masalah perbuatan Tuhan. Masalah ini muncul sebagai

buntut dari perdebatan ulama kalam mengenai iman. Ketika sibuk menyoroti

siapa yang masih dianggap beriman dan siapa yang kafir diantara pelaku

tahkim, para ulama kalam kemudian mencari jawaban atas pertanyaan siapa

sebenarnya yang mengeluarkan perbuatan manusia, apakah Allah sendiri?

Atau manusia sendiri? Atau kerjasama antara keduanya? Masalah ini

Page 158: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

119

kemudian memunculkan aliran kalam fatalis (predestination) yang diwakili

oleh Qadariyah dan free will dan Maturidiyah mengambil sikap pertengahan.

Persoalan ini kemudian meluas lagi dengan mempermasalahkan apakah

Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu atau tidak? Apakah perbuatan

Tuhan itu terbatas pada hal-hal yang baik-baik saja, tetapi juga mencakup

kepada hal-hal yang buruk?

Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa Tuhan

melakukan perbuatan.222 Perbuatan disini dipandang sebagai konsekuensi

logis dari dzat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya. Baiklah

penulis akan coba paparkan ayat-ayat tentang perbuatan-perbuatan Tuhan,

pandangan kalam dan mengurai penafsirkan al-Syaukani.

1. Ayat-ayat tentang Perbuatan-perbuatan Tuhan dan

Pandangan Aliran Kalam

Aliran Mu’tazilah, sebagai aliran yang bercorak rasioanal, berpendapat

bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik.

Namun, ini berarti bahwa Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk,

karena Ia mengetahui keburukan dari perbutan buruk itu. Di dalam al-

Qur’anpun jelas dikatakan bahwa Tuhan tidak berbuat zalim.223

222 Mu’tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia berperan

sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah bentunya. Lihat, Muhammad Imarah, al-Mu’tazilah wa Musykilah al-Hurriyyah al-Insâniyyah, (Kairo: Dâr al-Syura, 1998), h. 80-81, meskipun berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan manusia dan tidak pula menentukannya, kalangan Mu’tazilah tidak mengingkari ilmu azali Allah yang mengetahui segala apa yang akan terjadi dan diperbuat manusia. Lihat, ‘Irfan Abdul Hamid, Dirasat fi al-Firaq wa al-Aqâ’id al-Islamiyyah, (Baghdad: Matba’ah As’ad, t.th.), h. 278

223 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Manusia: Pemikiran Kalam, (Jakarta: Pustaka, 1990), h. 89.

Page 159: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

120

Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan dalil oleh Mu’tazilah adalah surat

al-Anbiya’ (21) : 23 dan surat al-Rûm (30) : 8 sebagai berikut:224

Artinya: Dan (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan

tetapi merekalah yang akan ditanya. (Q.S. al-Anbiya’ (21) : 23)225

Qadi Abdul Jabbâr mengatakan sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr.

Yunan Yusuf mengatakan bahwa firman Allah pada surat al-Anbiya’ (21)

ayat 23 yang dipahami oleh Mu’tazilah bahwa Tuhan tidak ditanya tentang

apa yang Dia perbuat, karena seluruh perbuatan Tuhan adalah baik, tidak

pernah ada yang jahat.226

Selanjutnya dalam manafsirkan ayat 8 surat al-Rûm (30) yang

dipahami oleh Mu’tazilah adalah bahwa semua ciptaan Tuhan adalah haq,

yang mengandung arti bahwa semua perbuatan Tuhan adalah baik dan

Tuhan tidak mempunyai sifat jahat.

224 Al-Qâdi Abdul Jabbâr bin Ahmad al-Hamazani, Mutasyâbih al-Qur’ân, Adnan

Muhammad Zarzawar (ed.) (Kairo: Dâr al-Turâs, 1969), h. 552. 225 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-

Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 450. 226 M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam, h. 98.

Page 160: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

121

Atinya: Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang

ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar (Q.S.

al-Rûm (30) : 8)227

Qadi Abdul Jabbar, seorang tokoh Mu’tazilah mengatakan

sebagaiman dikutip oleh M. Yunan Yusuf bahwa ayat-ayat tersebut di atas,

menyatakan bahwa Tuhan hanya berbuat yang baik dan mahasuci dari

perbuatan buruk. Dengan demikian, Tuhan tidak perlu ditanya. Ia

menambahkan bahwa seseorang yang dikenal baik, apabila secara nyata

berbuat baik, tidak perlu ditanya mengapa ia melakukan perbuatan baik

itu?228 Adapun ayat yang kedua, menurut al-Jabbar, mengandung petunjuk

bahwa Tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan

buruk. Andaikata melakukan perbuatan buruk, pernyataan bahwa Ia

menciptakan langit dan bumi serta isinya yang hak, tentunya tidak benar atau

merupakan berita bohong.229

Dasar pemikiran tersebut serta konsep tentang keadilan Tuhan yang

berjalan sejajar dengan faham adanya batasan-batasan bagi dan kehendak

mutlak Tuhan, mendorong kelompok Mu’tazilah untuk berpendapat bahwa

Tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia. Kewajiban-kewajiabn itu

dapat disimpulkan dalam satu hal, yaitu kewajiban berbuat baik bagi

manusia.230 Faham kewajban Tuhan berbuat baik, bahkan yang terbaik (al-

227 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-

Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 571. 228 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Manusia, h. 90. 229 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Manusia, h. 90. 230 Dalam istilah Arab, berbuat baik dan terbaik bagi manusia disebut al-salah wa al-

aslah. Term ini dalam golongan teologi Islam dikenal dengan term Mu’tazilah, dan yang

Page 161: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

122

salah wa al-islah) mengkonsekuensikan aliran Mu’tazilah memunculkan

paham kewajiban Allah berikut ini:

a. Kewajiban tidak memberikan beban di luar kemampuan manusia.

Memberi beban di luar kemampuan manusia (taklîf wa lâ yûtaq)

adalah pertentangan dengan faham berbuat baik dan terbaik. Hal ini

bertentangan dengan faham mereka tentang keadilan Tuhan. Tuhan akan

bersifat tidak adil kalau ia memberi beban yang terlalu berat kepada

manusia.231

b. Kewajiaban mengirim Rasul

Bagi aliran Mu’tazilah, dengan kepercayaan bahwa akal dapat

mengetahui hal-hal gaib,232 pengiriman Rasul kepada umat manusia menjadi

salah satu kewajiban Tuhan. Argumentasi mereka adalah kondisi akal yang

tidak dapat mengetahui setiap apa yang harus diketahui manusia tentang

Tuhan dan alam gaib. Oleh karena itu, Tuhan berkewajiabn untuk berbuat

yang baik dan terbaik bagi manusia dengan cara mengirim Rasul. Tanpa

Rasul, manusia tidak akan memperoleh kehidupan yang baik dan terbaik di

dunia dan di akhirat nanti.233

c. Kewajiban menepati janji (al-wa‛d) dan ancaman (al-wa‛id) dimaksud adalah kewajiabn Tuhan berbuat baik, bahkan yang terbaik bagi manusia. Hal ini memang merupakan salah satu keyakinan yang penting bagi alairan Mu’tazilah. Lebih lanjut lihat, Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisi Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. 5, h. 129.

231 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisi Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. 5, h. 129.

232 Sebagaimana telah dilihat dalam pembahasan wahyu, fungsi wahyu bagi aliran Mu’tazilah lebih banyak bersifat memperkuat dan menyempurnakan apa yang telah diketahui manusia melaui akal.

233 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisi Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. 5, h. 131

Page 162: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

123

Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan

aliran Mu’tazilah. Hal ini erat hubungannya dengan dasar keduanya, yakni

keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil apabila tidak menepati janji untuk

memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan menjalankan ancaman

bagi orang-orang yang berbuat jahat. Selanjutnya keadaan tidak menepati

janji dan tidak menjalankan ancaman bertentangan dengan maslahat dan

kepentingan manusia. Oleh karena itu, menepati janji dan menjalankan

ancaman adalah wajib bagi Tuhan.234

Faham kewajiaban Tuhan berbuat baik dan terbaik bagi manusia (al-

salah wa al-islah) menurut Asy’ariyah, sebagaimana dikatakan aliran

Mu’tazilah, tidak dapat diterima karena bertentangan dengan faham

kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Hal ini ditegaskan oleh al-Ghazâlî

sebagaimana dikutip oleh Harun Nasution sebagai berikut:

“…ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Dengan demikian, aliran Asy’ariyah tidak menerima faham Tuhan mempunyai kewajiban, Tuhan dapat berbuat sekehendak hati-Nya terhadapt makhluk. Sebagaimana dikatakan al-Ghazâlî, perbuatan-perbuatan Tuhan bersifat tidak wajib (jâiz) dan tidak satupun darinya yang mempunyai sifat wajib.”235

Karena percaya pada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat

bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa, aliran asy’ariyah

menerima faham pemberian beban di luar kemampuan manusia. Al-Asy’ari

234 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisi Perbandingan,

(Jakarta: UI Press, 1986), cet. 5, h. 132-133. 235 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 129-130.

Page 163: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

124

sendiri, dengan tegas mengatakan dalam al-Luma’ yang dikutip oleh Harun

Nasution, sebagai berikut bahwa Tuhan dapat meletakkan beban pada

manusia yang tidak dapat dipikul. Al-Ghâzâlîpun mengatakan hal ini dalam

al-Iqtisâd.236

Walaupun pengiriman Rasul mempunyai arti penting dalam teologi,237

aliran Asy’ariyah menolak sebagai kewajiban Tuhan. Hal itu bertentangan

dengan keyakinan mereka bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-

apa terhadap manusia. Faham ini dapat membawa akibat yang tidak baik.

Sekiranya Allah tidak mengutus Rasul kepada umat manusia, maka hidup

manusia akan mengalami kekacauan. Tanpa wahyu, manusia tidak mampu

membedakan perbuatan baik dari perbuatan buruk. Ia akan berbuat apa saja

yang ia kehendaki. Namun, sesuai dengan faham Asy’ariyah tentang

kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, hal ini tidak menjadi permasalahan

bagi teologi mereka. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya. Kalau

Tuhan menghendaki hidup dalam masyarakat kacau, Tuhan dalam faham

aliran ini tidak berbuat untuk kepentingan manusia.

Karena tidak mengetahui kewajiban Tuhan, aliran Asy’ariyah

berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan

236 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 129. menurut faham asy’ariyah, perbuatan

manusia pada hakikatnya adalah perbuatan Tuhan dan diwujudkan dengan daya Tuhan dan bukan dengan daya manusia. Ditinjau dari sudut pandang faham ini, pemberian beban yang tak dapat dipikul tidaklah menimbulkan persoalan bagi aliran asy’ariyah. Manusia dapat melaksanakan beban yang tidak dapat terpikul karena yang mewujudkan perbuatan manusia bukanlah daya manusia yang terbatas, tetapi daya Tuhan yang terbatas

237 Pengiriman Rasul-rasul mempunyai yang besar bagi aliran asy’ariyah karena mereka banyak bergantung pada wahyu untuk mengetahui Tuhan dan alam gaib, bahkan juga untuk mengetahui hal-hal yang bersangkutan dengan hidup keduniawian. Untuk mereka, seharusnya pengiriman Rasul-rasul mempunyai sifat wajib

Page 164: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

125

menjalankan ancaman yang tersebut dalam al-Qur’an dan hadits. Di sini

timbul persoalan bagi Asy’ariyah karena dikatakan dalam al-Qur’an secara

tegas bahwa siapa yang berbuat jahat akan masuk neraka. Untuk mengatasi

ini, kata-kata arab man, alladzîna dan sebagainya yang menggambarkan arti

siapa, diberi interpretasi oleh Asy’ari sebagaimana dikutip Harun Nasution,

bukan setiap orang, akan tetapi hanya sebagian.238

Dengan demikian lanjut Harun Nasution, kata siapa dalam ayat

“Barang siapa menelan harta anak yatim piatu dengan cara tidak adil, maka

ia sebenarnya ia menelan api masuk ke dalam perutnya.239 Ayat ini

mengandung arti bahwa bukan seluruhnya, tetapi sebagian orang yang

berbuat demikian. Dengan kata lain, yang diancam hukuman bukanlah

semua orang, tetapi sebagian orang yang menelan harta anak yatim piatu.

Adapun yang sebagian lagi, akan terlepas dari ancaman atas dasar kekuasaan

dan kehendak mutlak Tuhan. Dengan interpretasi demikianlah, al-Asy’ari

mengatasi persoalan kewajiban Tuhan menepati janji dan menjalankan

ancaman.240

238 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 133. 239 Ayat ini bisa dilihat pada surat al-Nisâ’ (4) : 10 yang berbunyi

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). Lihat terjemah Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 101. 240 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 133

Page 165: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

126

Mengenai perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan pendapat antara

Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara.241 Aliran Maturidiyah

Samarkand, yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak

mutlak Tuhan, berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan,

berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang

baik saja. Dengan demikian, Tuhan mempunyai kewajiban melakukan yang

baik bagi manusia. Demikian juga pengiriman Rasul di pandang Maturidiyah

Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.242

Sedangkan aliran kalam lainnya, seperti Maturidiyah Samarkand,

Asy’ariyah, dan Maturidiyah Bukhara, tidak diperoleh informasi ayat-ayat al-

Qur’an secara khusus yang di jadikan dalil dalam menopang pendapat

mereka. Golongan Samarkand dalam hal ini mempunyai pendapat yang

sama dengan kaum Mu’tazilah bahwa upah dan hukuman Tuhan pasti terjadi

kelak. Demikian ungkapan Harun Nasution.243

Masih mengutip Harun Nasution, bahwa aliran Maturidiyah Bukhara

memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai faham bahwa

Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh

Bazdawi, Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti memberi upah kepada

241 Dalam sejarah pertumbuhan aliran-aliran kalam, dikenal dua sub sekte aliran maturidiyah, yaitu maturidiyah samarkand dan maturidiyah bukhara. Sub sekte pertama tumbuh di Samarkand dengan pendirinya Abu Mansûr Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidy. Adapun sub sekte yang ke dua, lahir di Bukhara dengan pendirinya adalah Abu Yasir Muhammad al-Bazdawi yang lahir pada tahun 421 H. dan meninggal pada tahun 493 H. lebih lanjut bisa dilihat, Abu al-Yusuf Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim al-Bazdawi, Kitâb Usûl al-Dîn¸(Kairo: Dâr al-Ihyâ’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1963), h. 11.

242 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Manusia: Pemikiran Kalam, (Jakarta: Pustaka, 1990), h. 91.

243 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 134

Page 166: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

127

orang yang berbuat baik., walaupun Tuhan mungkin saja membatalkan

ancaman bagi orang-orang yang berdosa besar. Adapun pandangan

Maturidiyah Bukhara tentang pengiriman Rasul, sesuai dengan pandangan

mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tidaklah bersifat

wajib dan hanya bersifat mungkin saja.244

Mengenai memberi beban kepada manusia di luar batas kemampuan

(taklîf ma lâ yûtaq), aliran Maturidiyah Buhkara menerimanya. Tuhan, kata

al-Bazdawi, tidaklah mustahil meletakkan kewajiban-kewajiban yang tak

dapat dipikulnya atas diri manusia. Sebaliknya, aliran Maturidiyah

Samarkand mengambil posisi yang dekat dengan Mu’tazilah. Menurut Syarh

al-Fiqh al-Akhbar yang dikutip oleh Harun Nasution, al-Maturidi tidak setuju

dengan pendapat aliran Asy’ariyah, dalam hal ini karena al-Qur’an

mengatakan bahwa Tuhan tidak membebani manusia dengan kewajiban-

kewajiban yang terpikul. Pemberian yang terpikul memang dapat sejalan

dengan faham golongan Samarkand bahwa manusialah sebenarnya yang

mewujudkan perbuatan-perbuatannya dan bukan Tuhan.245

Adapun mengenai pengiriman Rasul, aliran Maturidiyah golongan

Bukhara, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak

mutlak Tuhan, mempunyai faham yang sama dengan aliran Asy’ariyah.

Pengiriman Rasul menurut mereka, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat

mungkin. Sementara itu, pendapat aliran Maturidiyah Samarkand tentang

persoalan ini dapat diketahui dari keterangan al-Bayadi. Dalam Isyarat al-

Maram, al-Bayadi yang di rujuk oleh Harun Nasution menjelaskan bahwa

244 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 128, 132, 133 245 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 130

Page 167: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

128

keumuman Maturidiyah sefaham dengan Mu’tazilah mengenai wajibnya

pengiriman Rasul.246

Sedangkan mengenai kewajiban Tuhan memenuhi janji dan

ancaman-Nya, aliran Maturidiyah Bukhara, tidak sefaham dengan aliran

Asy’ariyah. Sebagaimana Harun Nasution mengutipnya sebagai berikut:

“…Menurut mereka, sebagaimana dijelaskan oleh al-Bazdawi, tidak mungkin Tuhan melanggar janjinya untuk memberi upah kepada orang yang berbuat baik. Akan tetapi, bisa saja Tuhan membatalkan ancaman untuk memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat. Nasib orang yang berdosa besar ditentukan oleh kehendak mutlak Tuhan. Jika Tuhan berkenan memberikan maaf padanya, Tuhan akan memasukkan ia dalam surga-Nya, dan jika ia ingin memberikan hukuman kepadanya, Tuhan memasukkan untuk sementara atau selama-lamanya. Bahkan tidak mungkin bila Tuhan memberi ampunan kepada seseorang. Akan tetapi memberi ampunan kepada orang lain sungguhpun dosanya sama”.247

Uraian al-Bazdawi ini mengandung arti bahwa Tuhan wajib menepati

janji untuk memberi upah kepada yang berbuat baik. Dengan demikian,

Tuhan mempunyai kewajiabn terhadap manusia. Pendapat ini berlawanan

dengan pendapat yang dijelaskan sebelumnya bahwa sekali-kali Tuhan tidak

mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia. Menurut aliran

Asy’ariyah, sebagaiman diketahui, Tuhan boleh saja melanggar janji-Nya.

sebaliknya menurut maturidiyah golongan Bukhara, Tuhan tidak mungkin

melanggar janji untuk memberi upah kepada orang yang berbuat baik. 248

246 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 132. 247 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 133-134. 248 Kontradiksi yang terdapat dalam pandangan al-Bazdawi ini mungkin timbul dari

keinginannya untuk mempertahankan kekuasaannya dan kehendak mutlah Tuhan, tetapi

Page 168: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

129

3. Penafsiran al-Syaukani terhadap Ayat-ayat Kalam tentang

Perbuatan Tuhan

Aliran Mu’tazilah, sebagai aliran yang bercorak rasioanal, berpendapat

bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik.

Namun, ini bukan berarti bahwa Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan

buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena ia mengetahui

keburukan dari perbutan buruk itu.249

Demikian pula dengan aliran Maturidiyah Samarkand, yang juga

memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan,

berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. 250

Adapun Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan

Asy’ariyah mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban.

Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Bazdawi, Tuhan pasti menepati janji-

Nya, seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baik., walaupun

Tuhan mungkin saja membatalkan ancaman bagi orang-orang yang berdosa

besar.251

Apa yang dijelaskan dalam membicarakan perbuatan Tuhan di atas,

seolah-olah menggambarkan bahwa perbuatan Tuhan bukanlah terbatas

pada hal-hal yang baik saja, seperti yang dianut oleh aliran kalam rasional, daripada itu ingin pula untuk mempertahan keadilan Tuhan. Mengatakan bahwa Allah memasukkan orang yang yang berbuat baik ke dalam neraka, adalah bertentangan sekali dengan rasa keadilan, tetapi mengatakan bahwa Tuhan dapat memasukkan orang yang jahat dalam surga, tidaklah bertentangan dengan rahmat Tuhan.

249 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Manusia: Pemikiran Kalam, (Jakarta: Pustaka, 1990), h. 89.

250 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Manusia: Pemikiran Kalam, (Jakarta: Pustaka, 1990), h. 91

251 Harun Nasuition, Teologi Islam, h. 128, 132, 133

Page 169: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

130

tetapi juga mencakup pada hal-hal yang buruk, seperti yang dianut oleh

pemikiran kalam tradisional. Benarkah kesan itu? Baiklah ditelusuri

penafsiran al-Syaukani terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan dalil

aliran kalam dalam menopang pendapat mereka tentang perbuatan-

perbuatan Tuhan.

Firman Allah surat al-Anbiya’ (21) ayat 23, di tafsirkan oleh al-

Syaukani dengan penjelasan Allah akan hebatnya kekuasaan serta

keperkasaan-Nya, sehingga tidak ada seorangpun dari hamba-Nya yang

bertanya tentang qada dan qadar-Nya. Sebagaimana dalam penafsirannya

sebagai berikut:

هذه الجملة مستأنفة مبينة أنه سبحانه لقوة سلطانه وعظيم " ال يسأل عما يفعل"عما " يسألون"أي العباد " وهم"جالله ال يسأله أحد من خلقه عن شيء من قضائه وقدره

٢٥٢.يفعلون أي يسألهم اهللا عن ذلك ألنهم عبيده

“Dan (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan” kalimat ini dimulai dengan penjelasan Allah akan hebatnya kekuasaan-Nya serta keperkasaan-Nya tidak ada seorangpun dari hamba-Nya yang bertanya tentang qada dan qadar-Nya “dan mereka” yakni para hamba-Nya “bertanya-tanya” tentang apa yang mereka kerjakan” yakni Allah bertanya kepada hamba-Nya tentang qada dan qadar karena mereka adalah hamba Allah.

Ayat di atas, berbicara tentang bukti-bukti keesaan Allah dan kuasa-

Nya, yang mengisyaratkan Kepemilikan, Kuasa, serta Ilmu Allah yang Maha

Mutlak, sekaligus mengisyaratkan kedudukan manusia sebagai makhluk

252 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid III, h. 503.

Page 170: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

131

bertanggung jawab. Allah Maha Pemilik mutlak lagi maha Kuasa, serta segala

perbuatan-Nya sesuai hikmah dan kemaslahatan, karena itu apapun yang

dilakukan-Nya tidak perlu Dia pertanggungjawabkan, tidak wajar pula di

kecam atau dikritik. Berbeda dengan manusia, yang memang diciptakan

Allah sebagai hamba yang sudah seharusnya taat pada Tuhannya.

Selanjutnya dalam manafsirkan ayat 8 surat al-Rûm (30) al-Syaukani

mengatakan bahwa langit dan bumi diciptakan Tuhan dengan kebenaran,

yakni kenyataan yang teratur. Sebagaimana penafsirannya sebagai berikut:

أن أسباب : والمعنى" أولم يتفكروا في أنفسهم ما خلق اهللا السماوات واألرض وما بينهما " هم لو تفكروا فيها كما ينبغي لعلموا وحدانية اهللا وصدق التفكر حاصلة لهم، وهي أنفس

أي ملتبسة : إما للسببية، أو هي ومجرورها في محل نصب على الحال" إال بالحق"أنبيائه ٢٥٣.بالحق

“Mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri

mereka, Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya.” (Potongan ayat ini) memiliki makna bahwa diri mereka kalaupun saja mereka berpikir tentang dirinya sendiri tentu mereka akan mengetahuinya akan keesaan Allah serta kebenaran nabi-Nya. “kecuali dengan tujuan yang benar” dengan adanya beberapa penjelasan. Kedudukan “al-haq” dimajrurkan menempati pada posisi yang nasab karena sebagai hal. Memiliki makna yakni dengan cara yang benar.

Penafsiran al-Syaukani di atas, menunjukkan kecenderungan

pemahaman bahwa Tuhan menciptakan yang buruk dan yang baik, tetapi

Tuhan tidak ada berbuat yang buruk. Dalam pandangan al-Syaukani, kendati

253 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid IV, h. 257.

Page 171: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

132

tidak ada kekuatan yang meminta pertanggung jawaban perbuatan-

perbuatan Tuhan, namun tidaklah berarti Tuhan berbuat sewenang-wenang

atas ciptaan dan milik-Nya.

Walaupun ungkapan-ungkapan al-Syaukani di atas, secara eksplisit

menyatakan Tuhan juga mempunyai kewajiban melakukan yang baik,

namun dengan menyebut penekanan pada Tuhan tidak akan melakukukan

yang batil, dapatlah dipahami bahwa keengganan al-Syaukani dalam

memakai kata “kewajiban Tuhan”. Karena kewajiban mengandung konotasi

bahwa ada sesuatu yang memberikan kewajiban itu. Oleh sebab itu, kata

kewajiban tidak layak diberikan kepada Tuhan. Akan tetapi bila hal itu

dikaitkan dengan pemahaman al-Syaukani tentang adanya janji-jani Tuhan

kepada manusia yang tidak akan dilanggar serta adanya sunnatullah yang

berjalan dengan teratur tanpa adanya perubahan, mengandung arti bahwa

Tuhan mempunyai kewajiban. Namun, perlu ditekankan bahwa kewajiban

Tuhan di sini, bukanlah kewajiban yang di letakkan Tuhan sendiri buat diri-

Nya.

Berkenaan dengan masalah beban di luar kemampuan manusia (taklîf

ma lâ yutaq), al-Syaukani kelihatannya sepaham dengan Mu’tazilah dan

Maturidiyah Samarkand yang menolak pandangan bahwa Tuhan tidak dapat

memberikan beban di luar kemampuan manusia untuk memikulnya. Dalam

kaitan ini, al-Syaukani mengatakan bahwa “Tuhan tidak mendatangkan

Page 172: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

133

perintah kalau manusia itu tidak mampu melaksanakannya”, penjelasan ini,

merupakan tafsiran al-Syaukani terhadap ayat 286 surat al-Baqarah.254

Kemudian masalah pengiriman Rasul, penulis berhadapan dengan

pandangan yang kurang jelas dari al-Syaukani. Apakah al-Syaukani

menganut pandangan bahwa pengiriman Rasul itu wajib, ataukah pengiriman

Rasul itu tidak wajib, al-Syaukani nampaknya tidak mengungkapkan secara

jelas.

Untuk menjelaskan bagaimana sebenarnya pemahaman al-Syaukani

tentang hal ini, perlu dilihat kembali pandangannya tentang fungsi wahyu.

Wahyu menurut al-Syaukani memang penting sekali bagi kehidupan

manusia. Pentingnya wahyu tersebut ditunjukkan oleh al-Syaukani pada

tuntutan dan peringatan yang dibawa oleh wahyu itu sendiri. Tanpa tuntunan

wahyu, manusia tidak tahu secara benar, Tuhan mana yang patut di sembah

oleh manusia. Tanpa peringatan wahyu, manusia tidak tahu secara pasti,

mana perbuatan yang mendapat ganjaran pahala dan mana yang mendapat

siksa. Lewat pengiriman Rasul yang dilengkapi wahyu itulah, Tuhan tidak lagi

dikatakan berbuat zalim. Pengiriman Rasul juga sebagai pertanda bahwa

Tuhan tidak sewenang-wenang terhadap hamba-Nya.

Akhirnya, tentang janji dan ancaman Tuhan kepada manusia.

Bagaimana sebenarnya pandangan al-Syaukani tentang hal ini? Telah

disinggung di awal dalam pembicaraan tentang kekuasaan dan kehendak

mutlak Tuhan itu berlaku dalam hikmat dan kebijaksanaan yang Mahatinggi.

254 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid I, h. 418.

Page 173: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

134

Dengan demikian, menurut al-Syaukani akal sehat manusia tidak akan

menerima Tuhan melakukan kezaliman dengan menyiksa orang yang taat

dan memberi pahala kepada orang yang durhaka.

Janji Tuhan tehadap orang yang disediakan masuk surga, demikian al-

Syaukani dalam penafsiran ayat 20 surat al-Zumar, tidak akan dipungkiri oleh

Tuhan.

Dari apa yang dipaparkan di atas, tidaklah terlalu sulit untuk menarik

kesimpulan bahwa al-Syaukani berpendapat bahwa Tuhan juga berkewajiban

pula untuk memenuhi janji dan melaksanakan ancaman-Nya, sebagaimana

yang Dia janjikan dalam al-Qur’an. Sebab, bila Tuhan tidak mempunyai

kewajiban menepati janji dan ancaman tersebut, berarti Tuhan melakukan

kesewenang-wenangan. Dan hal ini jelas bertentangan dengan dengan sifat

keadilan Tuhan serta hikmah kebijaksanaan yang Mahatinggi.

D. Sifat-sifat Tuhan

Persoalan lain yang menjadi bahan perdebatan di antara aliran-aliran

kalam adalah masalah sifat-sifat Tuhan. Tarik menarik diantara aliran-aliran

kalam dalam menyelesaikan persoalan ini, tampaknya lebih dipicu oleh truth

claim yang dibangun atas kerangka berfikir masing-masing dan klaim

mentauhidkan Allah. Tiap-tiap aliran mengaku bahwa fahamnya dapat

menyucikan dan memelihara keesaan Allah.

Perdebatan antara kalam tentang sifat-sifat Allah terbatas pada

persoalan apakah Allah memiliki sifat atau tidak, tetapi pada persoalan-

Page 174: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

135

persoalan cabang sifat-sifat Allah, seperti antropomorphisme, melihat Tuhan

(ru’yat Allâh), dan esensi al-Quran.

1. Ayat-ayat tentang Sifat-sifat Tuhan dan Pandangan Aliran

Kalam

a. Anthropomorphisme.

Masalah Anthropomorphisme dalam ilmu kalam adalah masalah

pendiskusian tentang ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan bahwa

Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani.

Pertentangan antara kaum Mu’tazilah dengan kaum Asy’ariyah

berkisar sekitar persoalan apakah Tuhan mempunyai sifat atau tidak? Jika

Tuhan mempunyai sifat, sifat itu mestilah kekal seperti halnya dengan dzat

Tuhan. Sifat-sifat itu kekal, yang bersifat kekal bukan hanya satu sifat, tetapi

banyak. Tegasnya, kekalnya sifat-sifat membawa pada faham banyak yang

kekal (ta’ddud al-Qudama’ atau multiplicity of eternals). Suatu hal yang dapat

diterima dalam teologi.255

Aliran Mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan

mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Definisi mereka tentang

Tuhan, sebagaiman yang telah dijelaskan oleh Asy’ari, bersifat negative.

Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, kekuasaan, hajat, dan sebagainya.256

255 Harun Nasuition, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisi Perbandingan,

(Jakarta: UI Press, 1986), cet. 5, h. 135 256 Abu Musa al-As’ari, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Teologi Islam, terj. Rosihon

Anwar dan Taufiq Rahman, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 200

Page 175: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

136

Ini tidak berarti bahwa Tuhan bagi mereka tidak mengetahui, tidak berkuasa,

tidak hidup, dan sebagainya. Tuhan bagi mereka tetap mengetahui, berkuasa

dan sebagainya. Akan tetapi bukan dengan sifat, dalam arti kata yang

sebenarnya. Artinya, Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan

pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri.257 Dengan demikian, pengetahuan

Tuhan, sebagaimana dijelaskan Abu al-Hudzail yang dikemukakan al-

Syahrastani,258 adalah Tuhan sendiri, yaitu dzat esensi Tuhan.259

ه ذاتهان الباري تعالى عالم بعلم وعلمه ذاته قادر بقدرة وقدرته ذاته حي بحیاة وحیات Artinya: Sesungguhnya Allah Maha mengetahui dengan

pengetahuan-Nya; Maha kuasa dengan kekuasaan-Nya; Maha hidup dengan kehidupan-Nya, dan pengetahuan, kekuasaan, dan kehidupan-Nya itu adalah dzat-Nya sendiri.260

Arti “Tuhan mengetahui esensi-Nya” kata al-Juba’I sebagaimana

dikutip oleh Harun Nasution Sebagai berikut:261

257 Abu Musa al-Asy’ari, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Teologi Islam, terj. Rosihon

Anwar dan Taufiq Rahman, h. 200 258 Ia adalah salah seorang tokoh Mu’tazilah terkemuka. Nama lengkapnya adalah

Muhammad al-Hudzail bin Abdullah al-Basri al-Allaf, Hudzail merupakan salah seorang murid Abû Utsmân al-Ja‘farâni (salah seorang murid Wasil bin ‘Ata’). Sebutan al-Allâf diperolehnya karena tempat tinggalnya di Basrah dan wafat pada tahun 235 H. di Samarra. Lihat, Abdullatif Muhammad al-Abr, al-Usûl al-Fikriyyah lî al-Madzhab ahl al-Sunnah, (Kairo: Dâr al-Nahdah, t.th.), h. 102.

259 Abdullatif Muhammad al-Abr, al-Usûl al-Fikriyyah lî al-Madzhab ahl al-Sunnah, (Kairo: Dâr al-Nahdah, t.th.), h. 102.

260 Imâm Abî al-Fath Muhammad bin ‘Abdul Karîm al-Syahrastanî, Ta’liq al-Ustadz Ahmad Nahmi Muhammad, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), h. 49-50.

261 Ia adalah salah seorang tokoh Mu’tazilah terkemuka. Nama lengkapnya adalah Abû Muhammad bin Abdul Wahab bin Salam bin Khalid bin Imran al-Juba’i. ia lahir di Jubba’I (suatu daerah di Kazakhtan) pada tahun 235 H. dan wafat tahun 303 H. Ia

Page 176: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

137

Ialah untuk mengetaui sesuatu, Tuhan tidak berhajat kepada sesuatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui. Abu Hasyim lanjut Harun Nasution, sebaliknya berpendapat bahwa arti “Tuhan mengetahui melalui esensi-Nya” adalah Tuhan mempunyai keadaan mengetahui.262

Aliran Mu’tazilah yang memberikan daya yang besar kepada akal

berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat dikatakan mempunyai sifat-sifat

jasmani. Bila Tuhan dikatakan mempunyai jasmani, tentulah Tuhan

mempunyai ukuran panjang, lebar dan dalam, atau Tuhan diciptakan sebagai

kemestian dari sesuatu yang bersifat jasmani. Oleh sebab itu, Mu’tazilah

menafsirkan ayat-ayat yang memberikan kesan bahwa Tuhan bersifat jasmani

secara metaforis.

Ayat-ayat tersebut antara lain ayat 5 dan 39 surat Tâhâ, ayat 88 surat

al-Qasas, ayat 75 surat Sâd, ayat 67 surat al-Zumar, dan ayat 22 surat al-

Fajr.263

Artinya: (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam

di atas 'Arsy (Q.S. Tâhâ (20): 5)

merupakan pemuka Mu’tazilah di wilayah Basrah bersama anaknya yang bernama Abu Hasyim yang juga merupakan pemuka Mu’tazilah yang cukup terkenal. Lihat, Abdul Qahir bin Tahir bin Muhammad al-Baghdâdî, al-Farâq bain al-Firâq, ((Kairo: Maktabah Muhammad ‘Ali Subaih wa Autâtuh, t.th.), h. 138.

262 Harun Nasuition, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisi Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. 5, h. 135

263 Al-Qadi Abdul Jabbar, Syarh al-Usûl al-Khamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1960), h. 226-228.

Page 177: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

138

Artinya: Dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku. (Q.S. Tâhâ (20): 39)

Artinya: Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. (Q.S. surat al-Qasas (28): 88)

Artinya: Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang Telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. (Q.S. surat Sâd (38): 75)

Artinya: Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. (Q.S. al-Zumar (39): 67)

Artinya: Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris. (Q.S. al-Fajr (89): 22)

Ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan bahwa Tuhan bersifat

jasmani di atas, diberi ta’wîl oleh Mu’tazilah dengan pengertian yang layak

bagi kebesaran dan keagungan Allah. Misalkan kata istawa dalam surat Tâhâ

ayat 5 ditakwilkan dengan al-istila wa al-ghalabah (menguasai dan

mengalahkan) "االستوى ههنا بمعنى االستیالء والغلبه" 264; kata ‛ainî dalam surat Tâhâ

ayat 39 ditakwilkan dengan ‛ilmî265 (pengetahuan-Ku) "والعین تورد بمعني العلم " ;

kata wajhah dalam surat Qasas ayat 88 ditakwilkan dengan dzâtuhu ay

264 Al-Qadi Abdul Jabbar, Syarh al-Usûl al-Khamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah,

1960), h. 226. Lihat pula, M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Manusia: Pemikiran Kalam, (Jakarta: Pustaka, 1990), h. 92-93.

265 Al-Qadi Abdul Jabbar, Syarh, h. 227.

Page 178: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

139

nafsuhu266 (dzat-Nya yakni diri-Nya) kata yad ; "ئ اال ذاته أي نفسهأن المراد به كل شی "

dalam surat Sad ayat 75 ditakwilkan dengan al-Quwwah267 (kekuatan) أن الید "

"بمعنى االقوه , kata yamîn dalam surat al-Zumar ayat 67 ditafsirkan dengan al-

Quwwah268 (kekuatan) "أن الیمین بمعنى االقوه " , dan kata jâ’a Rabbuka269 dalam

surat al-Fajr ayat 22 diartikan dengan jâ’a amru Rabbika270 (telah datang

urusan Tuhanmu).

Sementara itu, menurut al-Baghdadi seperti dikutip Harun Nasution

sebagai berikut:

“Melihat konsensus di kalangan Asy’ariyah bahwa daya, pengetahuan, hayat, kemauan, pendengaran, penglihatan, dan sabda Tuhan adalah kekal. Sifat-sifat ini, kata al-Ghazali, tidaklah sama dengan esensi Tuhan, malahan lain dari esensi Tuhan, tetapi berwujud dalam esensi tersebut. Uraian-uraian ini juga membawa faham banyak yang kekal. Untuk mengatasinya, kaum Asy’ariyah mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak pula lain dari Tuhan. Karena sifat-sifat lain dari Tuhan, adanya sifat-sifat tidak membawa kepada faham banyak kekal”.271

Kelihatannya faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhanlah yang

mendorong Asy’ariyah memilih perselisihan di atas, sifat mengandung arti

tetap dan kekal. Sedangkan keadaan mengandung arti berubah. Sifat

mengandung arti kuat, sedangkan keadaan mengandung arti lemah. Oleh

Karen itu, perkataan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, tetapi hanya

266 Al-Qadi Abdul Jabbar, Syarh , h. 227. 267 Al-Qadi Abdul Jabbar, Syarh , h. 228. 268 Al-Qadi Abdul Jabbar, Syarh, h. 228. 269 Al-Qadi Abdul Jabbar, Syarh , h. 229ز 270 Al-Qadi Abdul Jabbar, Syarh , h. 229. 271 lebih lanjut lihat, Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisi

Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. 5, h. 136.

Page 179: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

140

mempunyai keadaan, tidaklah segaris dengan kekuasaan dan kehendak

mutlak Tuhan. Untuk mempertahankan kekuasaan dan kehendak mutlak

Tuhan, Tuhan mestilah mempunyai sifat-sifat yang kekal. demikian Harun

Nasution dalam mengomentari pendapat di atas.272

Asy’ariyah sebagai aliran kalam tradisioanal memberikan daya yang

kecil kepada akal. Juga menolak faham Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani.

Bila sifat jasmani dipandang sama dengan sifat manusia. Namun, ayat al-

Qur’an kendatipun menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani,

tidak boleh di takwilkan dan harus diterima sebagaimana makna harfiyahnya.

Oleh sebab itu, Asy’ariyah berpendapat yang dikutip oleh Yunan Yusuf

mengatakan bahwa Tuhan mempunyai mata, wajah, tangan, serta

bersemayam di singgasana. Namun, semua itu dikatakan tanpa diketahui

bagaimana cara dan batasnya.273

Bertentangan dengan pendapat Mu’tazilah di atas, aliran Asy’ariah

mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat kelak dengan mata kepala.

Asy’ari menjelaskan bahwa sesuatu yang dapat dilihat adalah sesuatu yang

mempunyai wujud. Karena Tuhan mempunyai wujud, maka Tuhan dapat

dilihat. Lebih jauh dikatakan bahwa Tuhan melihat apa yang ada. Dengan

demikian, Dia juga melihat diri-Nya. Bila Tuhan melihat diri-Nya, tentulah Ia

sendiri membuat manusia mempunyai kemampuan melihat diri-Nya

sendiri.274

272 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 136. 273 lihat, M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Manusia: Pemikiran Kalam, (Jakarta:

Pustaka, 1990), h. 93-94. 274 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Manusia: Pemikiran Kalam, (Jakarta: Pustaka,

1990), h. 96-67.

Page 180: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

141

Berkaitan dengan sifat Tuhan, dapat ditemukan persamaan pemikiran

antara Maturidiyah dan Asy’ariyah, seperti dalam pendapat bahwa Tuhan

mempunyai sifat-sifat seperti sama’, basar, dan sebagainya.275 Walaupun

begitu pengertian Maturidiyah tentang sifat Tuhan berbeda dengan

Asy’ariyah, Asy’ariyah mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan

dzat, melainkan melekat pada dzat itu sendiri. Sedangkan menurut Maturidi

sifat tidak dikatakan sebagai esensinya dan bukan pula dari esensi-Nya. Sifat-

sifat Tuhan itu ada bersama (muladamah) dzat tanpa terpisah. Menetapkan

sifat bagi Allah tidak harus membawa kepada pengertian antropomorphisme,

Karena sifat tidaklah berwujud yang tersendiri dari dzat, sehingga berbilang

sifat tidak akan membawa pada berbilangnya qadim (ta’addud al-qudama).

Tampaknya faham Maturidiyah tentang makna sifat Tuhan cenderung

mendekati faham Mu’tazilah. Perbedaannya, Maturidiyah mengakui adanya

sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.

Sementara itu, Maturidiyah Bukhara, yang juga mempertahankan

kekuasaan mutlak Tuhan, bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Mereka

mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapat

dalam esensi Tuhan dan bukan melalui kekekalan sifa-sifat itu sendiri, juga

dengan mengatakan bahwa bersama-sama sifat-Nya adalah kekal, tetapi sifat-

sifat itu sendiri tidaklah kekal.276

275 Muhammad Abû Zahrah, Tarikh al-Madzhab al-Islâmiyyah, (kairo: Dâr al-Fikr,

t.th.), h. 181-182, lihat pula, Mahmûd Qasim, Dirâsat al-Falsafah al-Islâmiyyah, (Mesir: Dâr al-Ma‘ârif, 1973), h. 171.

276 lihat, Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisi Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. 5, h. 137.

Page 181: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

142

Dalam pembahasan hal sifat-sifat Tuhan, aliran Maturidiyah Bukhara

berbeda dengan Asy’ariyah. Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa

Tuhan tidaklah memiliki sifat-sifat jasmani. Ayat-ayat al-Qur’an yang

menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani haruslah diberi takwil.

Menurut al-Bazdawi sebagaimana dikutip oleh Yunan Yusuf bahwa kata

istawa haruslah dipahami dengan arti istila ala al-syai’I wa al-qahr alihi

(menguasai sesuatu dan memaksakannya). Demikian juga, ayat yang

menggambarkan Tuhan mempunyai dua mata dan dua tangan, bukanlah

Tuhan mempunyai anggota badan.277

Aliran Maturidiyah Samarkand dalam hal ini kelihatannya tidak

sefaham dengan Mu’tazilah karena maturidiyah mengatakan bahwa sifat

bukanlah Tuhan, tetapi tidak lain dari Tuhan.278 Maturidiyah Samarkand

sependapat dengan Mu’tazilah dalam hal menghadapi ayat-ayat yang

memberikan gambaran Tuhan bersifat dengan menghadapi jasmani ini.

Maturidiyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tangan, muka, mata,

dan kaki adalah kekuasaan Tuhan.279 Maturidiyah Samarkand sejalan dengan

Asy’ariyah dalam hal Tuhan dapat dilihat. Sebagaimana yang dijelaskan

Maturidiyah bahwa melihat Tuhan itu sesuatu yang pasti dan benar, akan

tetapi tidak bisa dijelaskan bagaimana cara melihatnya.

277 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Manusia: Pemikiran Kalam, (Jakarta: Pustaka,

1990), h. 94. 278 Lihat, Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisi Perbandingan,

(Jakarta: UI Press, 1986), cet. 5, h. 137. 279 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Manusia: Pemikiran Kalam, (Jakarta: Pustaka,

1990), h. 93.

Page 182: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

143

Ayat 103 surat al-An‛âm (6) yang dijadikan dalil oleh Maturidi dalam

mendukung pendapatnya tentang Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala,

diberi tafsiran dengan mengatakan, bahwa Tuhan dapat dilihat maka

penafsiran al-idrak (pengungkapan dengan cara-cara yang jelas) tidaklah ada

artinya. Hal ini karena bila selain Tuhan dapat penafian tersebut menjadi

tidak bermakna. Oleh seba itu, Tuhan dapat dilihat oleh mata.280

Demikian pula dengan Maturidiyah Bukhara juga sependapat dengan

Asy’ariyah dan Maturidiyah Samarkand bahwa Tuhan dapat dilihat dengan

mata kepala. Sebagaimana kata Al-Bazdawi bahwa kelak Tuhan akan

memperlihatkan diri-Nya untuk kita lihat dengan mata kepada, menurut apa

yang kehendaki.

b. Ru’yatullah.

Masalah melihat Tuhan (Ru’yatullah) diperbincangkan dalam kaitan

apakah Tuhan itu dapat dilihat dengan mata kepala atau tidak di akhirat.

Dengan kata lain, apakah melihat Tuhan di akhirat kelak dengan mata

jasmani atau mata rohani?

Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan sandaran oleh Mu’tazilah adalah

ayat 103 surat al-An‛âm (6), sebagai berikut:

280 Lihat lebih lanjut, M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Manusia: Pemikiran Kalam,

(Jakarta: Pustaka, 1990), h. 93.

Page 183: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

144

Artinya: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang

dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha halus

lagi Maha Mengetahui. (Q.S. surat al-An‛âm (6) : 103).281

Surat al-Qiyâmah (75) ayat 22- 23 sebagai berikut:

Artinya: Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu

berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka Melihat. (Q.S. al-Qiyâmah

(75) : 22- 23).282

Surat al-A‛râf (7) ayat 143 sebagai berikut:

Artinya: …Berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar Aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan…(Q.S. al-A‛râf (7) : 143).283 Surat al-Kahfi (18) ayat 110 sebagai berikut:

281 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-

Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 190. 282 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-

Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 854. 283 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-

Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 224.

Page 184: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

145

Artinya: …Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan

Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh… (Q.S.

al-Kahfi (18) : 110).284

Dan ayat 51 surat al-Syûra (42) sebagiberikut:

Artinya: Dan tidak patut bagi seorang manusia bahwa Allah

berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau

dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat)…

(Q.S. surat al-Syûra (42) : 51).285

Pada surat al-An‘âm ayat 103 di atas, Mu’tazilah memahami sebagai

penjelasan bahwa Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala. Lafadz al-

absâr yang terdapat pada ayat tersebut, berlaku umum, tidak terkait pada

waktu dan tempat tertentu, baik di dunia maupun akhirat. demikian kata

abdul Jabbar. ٢٨٦"عام في دار الدنیا ودار اآلخرة". Kemudian Abdul Jabbar

dalam menjelaskan Surat al-Qiyâmah (75) ayat 22- 23 ayat ini dipahami

284 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-

Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 418. 285 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-

Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 701. 286 Abdul Jabbâr, Syarh al-Usûl al-Khamsah, h. 242.

Page 185: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

146

oleh Mu’tazilah, bukan berarti memandang Tuhan, tetapi menunggu-nunggu

balasan pahala yang akan diberikan oleh Tuhan.287

Selanjutnya, ada beberapa pendapat Mu’tazilah kenapa Tuhan tidak

dapat dilihat. Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan, karena bersifat

immateri, tidak dapat dilihat dengan mata kepala karena pertama, Tuhan

tidak mengambil tempat, sehingga Tuhan tidak dapat dilihat dan kedua, bila

Tuhan dapat dilihat oleh mata kepala, itu berarti Tuhan dapat dilihat

sekarang di dunia ini, sedangkan pada kenyataannya tidak seorangpun yang

melihat Tuhan di alam ini. Berkenaan dengan penafsiran ayat-ayat tentang

ru’yatullah di atas, Surat al-A‘râf (7) ayat 143, ayat ini ditafsirkan oleh

Mu’tazilah bahwa permintaan untuk melihat Tuhan itu bukan datang dari

Musa sendiri tapi dari pengikutnya. Permintaan tersebut kemudian diajukan

oleh Musa untuk mematahkan kebangkangan dan kedurhakaan mereka.288

Sekali lagi dikatakan bahwa jawaban Tuhan adalah lan tarânî, menurut

Abdul Jabbâr, mengandung pengetian Aku sekali-kali tidak dapat dilihat.289

Lalu ayat istaqarra makânahû (tempat tinggal ditempatnya), dipahami oleh

Mu’tazilah sebagai penegasan Tuhan bahwa ia tidak dapat dilihat, sebab

gunung itu sendiri tidak tetap di tempatnya dan Musa sendiri sendiri tidak

dapat melihat Tuhan.290

287 Abdul Jabbâr, Syarh al-Usûl al-Khamsah, h. 264. 288 Abdul Jabbâr, Syarh al-Usûl al-Khamsah, h. 265. 289 Abdul Jabbâr, Syarh al-Usûl al-Khamsah, h. 265. 290 Al-Asy’ari, al-Ibânah, h. 16.

Page 186: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

147

Asya’ari menggunakan sandaran ayat-ayat al-Qur’an sebagai berikut:

Q.S. al-Qiyâmah (75) : 22- 23, Q.S. al-A‛râf (7) : 143, surat Yûnus ayat 26

dan ayat 103 surat al-An‛âm (6).

Surat al-Qiyâmah (75) ayat 22- 23 sebagai berikut:

Artinya: Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu

berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka Melihat. (Q.S. al-Qiyâmah

(75) : 22- 23).291

Surat al-A‛râf (7) ayat 143 sebagai berikut:

Artinya: …Berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar Aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi Lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan…(Q.S. al-A‛râf (7) : 143).292 Surat Yûnus ayat 26

291 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-

Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 854 292 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-

Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 224

Page 187: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

148

Artinya: Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya… (Q.S. Yûnus (10) : 26)

ayat 103 surat al-An‛âm (6), sebagai berikut:

Artinya: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang

dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan dialah yang Maha halus

lagi Maha Mengetahui. (Q.S. surat al-An‛âm (6) : 103).293

Ayat 22-23 surat al-Qiyamah di pahami oleh Asy’ari melihat dengan

mata kepala. Kata nadirah, demikian Asy’ari, tidak bermakna I’tibar

(memperhatikan) atau intidar (menunggu), sebab kata tersebut bila dituturkan

dengan kata wajh, maka mengandung arti melihat dengan mata yang

terdapat di wajah.294 Selanjutnya ayat 143 surat al-A’râf ditafsirkan oleh

Asy’ari dengan menjelaskan bahwa permintaan Musa itu bukan sesuatu yang

mustahil, tapi bisa mengandung kemungkinan.295

Adapun ayat 26 surat Yunus, menurut Asy’ari pemahaman bahwa

orang-orang mukmin mendapat tambahan (ziyadah) dari Tuhan, yakni

melihat Tuhan dengan mata kepala, di samping mendapat ganjaran surga.296

Sementara ayat 103 surat al-An‘âm dipahami oleh Asy’ari, yakni Tuhan tidak

293 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-

Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 190 294 Al-Asy’ari, al-Ibânah, h. 13-14. 295 Al-Asy’ari, al-Ibânah, h. 14. 296 Al-Asy’ari, al-Ibânah, h. 15.

Page 188: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

149

dapat dilihat dengan mata kepala di dunia, namun bisa dilihat di akhirat oleh

mukmin, tapi tidak oleh orang kafir.

c. Khalq al-Qur’ân.

Ayat-ayat lain yang digunakan oleh Mu’tazilah sebagai dalil adalah

surat al-Anbiya’ (21) : 2, al-Hijr (15) : 9, Hûd (11) : 1, dan al-Zumar (39) : 23

sebagai berikut:

Artinya: Tidak datang kepada mereka suatu ayat al-Qur’an pun

yang baru dari Tuhan mereka… (Q.S. al-Anbiya’ (21) : 2).297

Artinya: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran,

dan pasti kami (pula) yang memeliharanya (Q.S. al-Hijr (15) : 9).298

Artinya: Alif lâm râ, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya

disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, (yang

297 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-

Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 448 298Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-

Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 355

Page 189: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

150

diturunkan) dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana, meneliti. (Q.S. Hûd

(11) : 1).299

Artinya: Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik

(yaitu) Al-Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-

ulang… (Q.S. al-Zumar (39) : 23).300

Mengenai hakikat al-Qur’an, aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa al-

Qur’an adalah makhluk sehingga tidak kekal. Mereka berargumen bahwa al-

Qur’an itu sendiri tersusun dari kata-kata dan kata-kata itu sendiri tersusun

dari huruf-huruf.

Aliran Mu’tazilah mengemukakan ayat-ayat tentang khalq al-Qur’an di

atas sebagai berikut: surat al-Anbiya’ (21) ayat 2, Qadi Abdul Jabbar

mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan bahwa al-Qur’an (al-Dzikr) disifati

dengan baru. Sebagaimana ungkapannya301 Al-Hijr (15) " فقد وصفه بأنه محدت"...

: 9 ayat ini mensifati dengan sesuatu yang diturunkan, menurut Abdul Jabbar

mestilah baharu. Apalagi hal ini dihubungkan dengan pernyataan Allah wa

innahû lahâfidûn (dan kamilah yang memeliharanya) berarti al-Quran itu

baru. Sebab, bila al-Qur’an itu sesuatu yang qadim tentulah tidak

memerlukan pemeliharan.302

299 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-

Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 297 300 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-

Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 662 301 Abdul Jabbâr, Syarh al-Usûl al-Khamsah, h. 531-532. 302 Abdul Jabbâr, Syarh al-Usûl al-Khamsah, h. 532.

Page 190: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

151

Hûd (11) : 1, ayat ini menurut Abdul Jabbar, memperlihatkan dengan

jelas bahwa al-Qur’an itu baru. Keadaan al-Qur’an tersusun dari huruf-huruf

serta terkumpul dalam bentuk tulisan tidak dapat dikatakan qadim, sebab

yang qadim tidak tersusun dan terkumpul menjadi satu.303

al-Zumar (39) : 23, Ayat ini menyebutkan bahwa al-Qur’an itu turun

secara berulang-ulang, merupakan berita sebaik-baiknya, dan juga dikatakan

sebagai kitab yang tertulis. Semua sifat-sifat tersebut demikian kata Abdul

Jabbar menunjukkan sifat baru bukan menunjukkan sifat qadim.304

Sedangkan pendapat aliran Asy’ariyah berbeda pendapat dengan

faham Mu’tazilah di atas, mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan

mempunyai sifat. Menurut al-Asy’ari, tidak dapat dipungkiri bahwa Tuhan

mempunyai sifat karena perbuatan-perbuatannya. Ia juga juga mengatakan

bahwa Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa, dan sebagainya. Di

samping mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya. Ia lebih jauh

berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat dan bahwa sifat-sifat

itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, tidak boleh diartikan secara harfiyah

melainkan secara simbolis. Selanjutnya, Asy’ariyah berpendapat bahwa sifat-

sifat Allah itu unik. Karenanya, tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat

manusia. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi menyangkut

realitasnya (hakikatnya) tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian

tidak berbeda dengan-Nya.305

303 Abdul Jabbâr, Syarh al-Usûl al-Khamsah, h. 532. 304 Abdul Jabbâr, Syarh al-Usûl al-Khamsah, h. 532. 305 Lihat, C.A., Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor,

1991), h. 67-68.

Page 191: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

152

Ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh Asy’ariyah adalah : surat al-Rûm

(30) : 25, al-A’raf (7) : 54, Yâsîn (36) : 82, al-Kahfi (18) : 109, dan al-Mu’min

(40) : 16.

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah

berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya… (Q.S. al-Rûm (30) :

25).306

Kata biamrihi di atas, ditafsirkan Asy’ari dengan kalâmullâh, dan

kalamullah itu bukan makhluk.. ٣٠٧"أن أن امراهللا غیرمخلوق... الدلیل على ذالك هو كالمه "

Artinya: … Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah

hak Allah… (Q.S. al-A’raf (7) : 54).308

Selanjutnya ayat 54 surat al-A‘râf di pahami oleh Asy’ari, bahwa al-

Qur’an bukan makhluk. Sebab, demikian Ast’ari, ayat tersebut memisahkan

antara perintah dan dan ciptaan. Perintah tidaklah mencakup apa yang

dicipta. Dengan demikian, perintah Tuhan bukanlah ciptaan Tuhan, ketika

bukan ciptaan berarti al-Qur’an itu qadim.309

306 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-

Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 573 307 Al-Asy’ari, al-Ibânah, h. 31. 308 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-

Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 211 309 Al-Asy’ari, al-Ibânah, h. 31.

Page 192: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

153

Artinya: Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki

sesuatu hanyalah Berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia.

(Q.S. Yâsîn (36) : 82).310

Ayat 82 surat Yâsîn di atas, ditafsirkan oleh Asy’ari dengan

mengatakan sebagagai berikut:

ولوكان اهللا عز وجل قائال , فیكون" كن: "لو كان القران مخلوقا لوجب ان یكون مقوال لهف" قول اهللا"اما ان یئول اآلمر الى أن : وهذا یوجب أحد أمرین, كان القول قوال" كن"للقول واذا استحال ذالك , وذالك محال, الالى غایة" بقول"واقعا " قول"أو یكون كل , مخلوقغیر

٣١١. غیر مخلوق" قوال"اهللا عز وجل صح وثبت أن

“Seandainya al-Qur’an itu makhluk, tentu ia memiliki kata-kata yang dipergunakan untuk menciprakannya, yaitu kun. Dan seandainya Allah bermaksud mencipta kata kun tersebut, maka setiap kali Allah hendak berfirman haruslah didahului firman yang pertama, dan begitu seterusnya tanpa akhir. Hal ini jelas mustahil. Oleh sebab itu, al-Qur’an pasti bukan makhluk.”

Artinya: Katakanlah: sekiranya lautan menjadi tinta untuk

(menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu

sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku… (Q.S. al-Kahfi (18) :

109).312

310 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-

Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 633 311 Al-Asy’ari, al-Ibânah, h. 32. 312 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-

Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 417

Page 193: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

154

Sekalipun semua lautan dijadikan tinta untuk menuliskan kalimat-

kalimat Allah, demikian Asy’ari ketika menafsirkan ayat 109 surat al-Kahfi,

niscaya kalimat itu tidak akan habis tertulis. Oleh sebab itu, bila kalimat-

kalimat Allah itu habis berarti kalamullah akan habis. Maka, Allah akan mati,

tidak berfirman lagi, dan ini adalah mustahil.313

Artinya: … "Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?"

kepunyaan Allah yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. (Q.S. al-

Mu’min (40) : 16).314

Akhirnya ayat 16 surat al-Mu’minun, al-Asy’ari mengatakan bahwa

firman Allah tersebut, karena tidak dijawab oleh siapapun, lalu dijawab oleh

Allah sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa ketika Allah berfirman itu belum

ada ciptaan. Oleh sebab itu, kalamullah tidak termasuk dalam kategori

makhluk.

Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa al-Qur’an itu kekal tidak

diciptakan. Asy’ariyah berpegang teguh pada pernyataan bahwa al-Qur’an itu

bukanlah makhluk sebab segala sesuatu itu tercipta, setelah Allah berfirman

kun (jadilah), maka segala sesuatupun terjadi. Penjelasan ini mengisyaratkan

bahwa al-Qur’an dalam faham mereka bukanlah yang tersusun dari huruf

dan suara, tetapi yang terdapat di balik yang tersusun dari suara itu.

313 Al-Asy’ari, al-Ibânah, h. 32. 314 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-

Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 673

Page 194: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

155

Selanjutnya tentang penciptaan al-Qur’an, bagi aliran Maturidiyah

Bukhara dan Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa al-Qur’an itu kekal

dan tidak diciptakan. Maturidiyah Bukhara berpendapat sebagaimana

dijelaskan al-Bazdawi bahwa kalâmullâh (al-Qur’an) adalah sesuatu yang

berdiri dengan dzatnya, sedangkan yang tersusun dalam bentuk surat yang

mempunyai akhir dan awal, jumlah dan bagian, bukanlah kalamullah secara

hakikat, akan tetapi disebut al-Qur’an dalam pengertian kiasan (majaz).

Maturidiyah Samarkand mengatakan bahwa al-Qur’an adalah

kalamullah yang bersifat kekal dari Tuhan, sifat yang berhubungan dengan

dzat Tuhan dan juga qadim. Kalamullah tidak tersusun dari huruf dan kalimat

sebab huruf dan kalimat itu diciptakan.

3. Penafsiran al-Syaukani terhadap Ayat-ayat Kalam tentang

Sifat-sifat Tuhan

Al-Syaukani dalam tafsirnya membicarakan masalah-masalah yang

diperdebatkan dalam sifat-sifat Tuhan, yakni: tasybih (antrpomorfisme),

ru’yatullah (melihat Tuhan), dan khalq al-Qur’ân (al-Qur’ân qadîm atau

baharu).

1. Anthropomorphisme.

Sebagaimana diketahui, masalah Anthropomorphisme dalam ilmu

kalam diperdebatkan dalam kaitan apakah nash-nash agama yang

menggambarkan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani, cukup

dipahami dalam makna harfiahnya, ataukah harus dipahami dalam makna

Page 195: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

156

metaforanya? Kemudian, bagaimana pandangan al-Syaukani mengenai hal

ini?

Dalam bidang teologi Islam, al-Syaukani nampaknya tidak sepaham

dengan Mu’tazilah yang dipegang oleh madzhab Zaidiyah, tetapi ia lebih

dekat aliran salaf. Hal ini terlihat pada beberapa pandangannya lebih dekat

kepada paham salaf. Misalnya, ketika manafsirkan ayat-ayat mutasyabihat,

dalam hal ini al-Syaukani cenderung memegang makna lahir dari ayat, tanpa

menakwilkannya. Ini terlihat ketika al-Syaukani menafsirkan Q.S. al-A’Raf (7)

ayat 54:

Al-Syaukani menafsirkan ayat ini sebagai berikut:

قد اختلف العلماء في معنى هذا على أربعة عشر قوالً، وأحقها ": ثم استوى على العرش: "ى الوجه وأوالها بالصواب مذهب السلف الصالح أنه استوى سبحانه عليه بال كيف بل عل

. الذي يليق به مع تنزهه عما ال يجوز عليه Artinya: Sesungguhnya para ulama telah berbeda pendapat

tentang makna ini “Tuhan bersemayam di atas ‘arasy” atas empat belas pendapat, yang paling benar dan paling dekat dengan yang seharusnya adalah paham salaf yang saleh, yaitu Allah Swt. bersemayam, tanpa (diketahui) caranya, tetapi dalam proporsi yang layak dengan-Nya serta (dalam) ketransendenan-Nya dari segala yang tidak boleh atas (diri)-Nya.315 Ayat di atas menjelaskan bahwa Tuhan adalah pembimbing dan

pemelihara, dan yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, setelah

itu, Tuhan bersemayam di atas Arsy. Dia berkuasa dan mengatur segala yang

315 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid II, h. 269.

Page 196: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

157

diciptakan-Nya, sehingga berfungsi sebagaimana yang Dia kehendaki. Al-

Syaukani dalam menafsirkan bersemayamnya Allah di atas Arsy, dengan

tanpa diketahui caranya (bila kaifa).

Kemudian, dalam menafsirkan penggalan ayat “‘alâ al-‘arsyi istawâ”

yang terdapat dalam surat Tâhâ ayat 5, al-Syaukani yang menjelaskan

tentang sifat-sifat Tuhan dengan tahrif dan ta’wil, dengan mengatakan:

االستواء اإلقبال على : قال ثعلب: قال أحمد بن يحيى". على العرش استوى" "الرحمن"والذي ذهب إليه وقيل هو كناية عن الملك والسلطان، . الشيء، وكذا قال الزجاج والفراء

أبو الحسن األشعري أنه سبحانه مستو على عرشه بغير حد وال كيف، وإلى هذا القول الصالح الذي يروون الصفات كما وردت من دون تحريف وال سبقه الجماهير من السلف

٣١٦.تأويل

Artinya: “Arrahmân ‘alâ al-arsy istawâ” Ahmad bin Yahya berkata: Sa’lab berkata: bersemayam atas sesuatu sebagaiaman al-Zujaz dan al-Farra berkata. Dan menurut satu pendapat, istawa adalah kinayah atas raja dan penguasa. Yang sependapat dengannya adalah Abu Hasan Al-Asy’ari karena Allah SWT menduduki arsy’-Nya tanpa batas dan sekendak-Nya, sesuai dengan pendapat ini adalah imam Al-Jamahir dari kalangan ulama salaf yang menjelaskan tentang sifat-sifat Tuhan dengan tanpa tahrif dan ta’wil.

Ayat di atas, membicarakan sifat Allah yaitu al-Rahmân Tuhan Yang

Maha Pemurah, yang Bersemayam, yakni berkuasa penuh di atas arasy,

yakni pada seluruh kerajaan-Nya. Selanjutnya, al-Syaukani berpendapat,

bahwa kata istawa dikinayahkan dengan raja. Jadi bisa dipahami bahwa

316 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid III, h. 448

Page 197: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

158

istawa ‘ala al-‘arsy yakni Allah mempunyai singgasana. Yang jelas, hakikat

makna tersebut pada ayat ini tidak diketahui manusia.

Lalu bagaimana kecenderungan al-Syaukani sebenarnya? Di ayat lain,

yakni Ayat 39 surat Tâhâ, al-Syaukani mengurai kata ‘ainî dinisbahkan

kepada Allah dalam ayat-ayat al-Qur’an, dipahami oleh al-Syaukani sebagai

di bawah pangkuanku, sebagaimana penafsiran al-Syaukani sebagai berikut:

إذا : أي ولتربى وتغذى بمرأى مني، يقال صنع الرجل جاريته" ولتصنع على عيني"إذا داوم على علفه والقيام عليه، وتفسير على عيني بمرأى مني : رباها، وصنع فرسه

٣١٧.صحيح

“Dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku” yakni agar kamu dididik dibawah pangkuanku, dikatakan seseorang mengasuh tetangganya, ketika mendidik dan menggembala kudanya, serta memberi makan kudanya, penafsiran kata “aini” dengan dibawah pangkuanku itu adalah riwayat yang shohih.

Ayat di atas, secara umum memberikan gambaran akan sambutan

Allah atas permohonan Nabi Musa As yang tulus itu. Yakni diilhamkan

sehingga Musa selamat dari rencana Fir’aun. Ilham itu adalah perintah

meletakkan dan menghanyutkan Musa ke sungai Nil, dan atas kasih sayang

Allah, sehingga siapapun yang memandangnya akan merasa tertarik dan

menaruh kasih dan cinta kepada Musa. “dan supaya engkau diasuh” secara

terhormat “di bawah pengawasan-Ku.

317 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid III, h. 458.

Page 198: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

159

Al-Syaukani menafsirkan ‘aini dengan di bawah pangkuan-Ku. Artinya

Nabi Musa diasuh oleh Istri Firaun laksana mengasuh anaknya sendiri.

Di samping pendapat di atas, al-Syaukani juga mengartikan wajah

wajh (wajah) dengan Allah. Sebagaimana penafsiran al-Syaukani dalam ayat

88 surat al-Qasas (28):

هلك أهل : قالت المالئكة" كل من عليها فان"وأخرج ابن مردويه عنه قالك لما نزلت كل "هلك كل نفس، فلما نزلت : قالت المالئكة" كل نفس ذائقة الموت"األرض، فلما نزلت وأخرج عبد بن حميد . هلك أهل السماء واألرض: قالت المالئكة" شيء هالك إال وجهه

٣١٨.إال ما أريد به وجهه: قال" ال وجههكل شيء هالك إ"عن ابن عباس Imam Mardaweh ikut mentakhrij ketika turun ayat “semua yang

ada di muka bumi ini akan binasa”. Malaikat berkata: celakalah penduduk bumi, maka ketika turun ayat “setiap orang akan merasakan kematian” malaikatpun berkata celakalah setiap orang, dan ketika turun ayat “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah” Malaikat berkata lagi celakalah penduduk langit dan penghuni bumi. Dan Imam Abd bin Hamid dari Ibnu Abbas mentakhrij “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah” dia mentafsirkan dengan “kecuali sesuatu apa yang Allah kehendaki”. Dari penafsiran al-Syaukani di atas, memberikan titik terang bahwa

ayat ini melukiskan bahwa segala sesuatu akan binasa, harta, kedudukan,

kekuasaan, dunia, dan bahkan segala penghuninya bahkan alam raya dan

segala isinya, penduduk langit dan bumi. Baik yang kita ketahui atau tidak.

Dan yang tinggal hanya Allah. Kepada-Nya segala sesuatu akan kembali dan

tiada tempat berlindung kecuali Allah semata. Dan al-Syaukani mengakhiri

318 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid IV, h. 228.

Page 199: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

160

penafsirannya, “tiap-tiap sesuatu pasti binasa” dengan kecuali sesuatu yang

Allah kehendaki.

Sedang dalam menafsirkan ayat 75 surat Sâd (38) yang di dalamnya

terdapat kata bi yaday, al-Syaukani mengatakan dalam penafsirannya yaitu:

أي ما صرفك وصدك عن السجود لما " قال يا إبليس ما منعك أن تسجد لما خلقت بيدي"توليت خلقه من غير واسطة، وأضاف خلقه إلى نفسه تكريماً له وتشريفاً، مع أنه سبحانه

319 .خالق كل شيء أضاف إلى نفسه الروح، والبيت، والناقة، والمساجد

“Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku” yakni apa yang membuat kamu enggan dan membangkan untuk berusujud terhadap hamba yang kuciptkan dengan tanpa adanya perantara, dan kami bubuhi penuh dengan nilai-nilai kemulyaan, sebagaimana Allah adalah sang Pencipta segala sesuatu, baik itu menciptakan nyawa, rumah, onta serta masjid-masjid.” Setelah ayat yang sebelumnya yang mengurai keengganan Iblis untuk

sujud kepada Nabi Adam as., ayat di atas mengurai kecaman Allah kepada

Iblis. Ayat di atas menyatakan bahwa Allah berfirman : "Hai iblis, apakah

yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua

tangan-Ku”. Kata “yadai” (dengan kedua tangan) menurut Quraish Shihab,

sebagai berikut:

“Kalimat khalaqtu bi yadai, diperbincangkan oleh para ulama Ada yang mengambil jalan pintas, lantas berkata ada sifat khusus yang disandang Allah dengan nama itu sambil menegaskan bahwa Allah Maha Suci dari segala sifat kebendaan dan keserupaan makhluk. Ada

319 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid IV, h. 528.

Page 200: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

161

juga yang memahami kata tangan dengan arti kekuasaan, dan penggunaan bentuk dual sekedar untuk menginformasikan betapa besar kekuasaan-Nya itu. Ada lagi yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kedua tangan adalah anugerah duniawi dan ukhrawi yang dilimpahkan-Nya kepada manusia, atau menjadi isyarat tentang kejadian manusia dari dua unsur utama yakni debu, tanah, dan juga ruh Ilahi.320”

Al-Syaukani dalam keterangannya di atas, memahami kata yadayya

nampaknya lebih kepada isyarat tentang betapa manusia memperoleh

pengangan khusus dan penghormatan dari Allah Swt. Dari sini pula sehingga

ayat di atas, tidak menggunakan kata tunggal untuk kata yadai/tangan tetapi

bentuk dual yakni yadayya/kedua tangan-Ku.

Kemudian dalam menafsirkan ayat 67 surat al-Zumar (39) yang

didalamnya terdapat kata biyamînih, al-Syaukani mengatakan bahwa Allah

bertangan kanan, maksud utamanya ialah mendekatkan pahamnya kepada

kita. Namun hakikat sebenarnya, demikian kata al-Syaukani yaitu bersangkut

paut dengan qudrat Ilahi yang mutlak, yang tidak terikat oleh bentuk dan

tidak terbatas. Sebagaimana al-Syaukani menafsirkannya sebagai berikut:

فإن ذكر اليمين للمبالغة في كمال القدرة كما يطوي الواحد منا " والسموات مطويات بيمينه" ٣٢١.الشيء المقدور له طيه بيمينه، واليمين في كالم العرب قد تكون بمعنى القدرة والملك

“Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya” penyebutan

tangan kanan yaitu untuk mencapai proses sempurna dalam

320 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. V, vol. 12, h. 170.

321 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid IV, h. 546.

Page 201: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

162

kekuasaanya, sebagaimana seseorang menggulungkan sesuatu dengan tangan kanannya. Dan tangan kirinya dalam bahasa Arab bermakna kekuasaan dan kerajaan.

Ayat di atas, mengecam kaum musyrikin dengan menyatakan

sesungguhnya mereka telah melakukan kedurhakaan yang besar yakni

mempersekutukan Allah padahal bumi dan beserta isisnya adalah dalam

genggaman tangan-Nya. Al-Syaukani memahami yamînih nampaknya secara

metafora dalam arti kekuasaan atau kerajaan. Agaknya yang dimaksud di sini

adalah kekuasaan Allah Swt. Penggalan ayat di atas, adalah salah satu di

antara, yang menggambarkan sebagian dari hakikat kuasa Allah yang mutlak,

yang tidak terikat oleh satu bentuk, tidak juga memerlukan tempat atau

dibatasi oleh batas-batas apapun. Demikian al-Syaukani

Dan akhirnya kata jâ’a Rabbuka (telah datang Tuhanmu) dalam ayat

22 surat al-Fajr (89), juga diberi ta’wil oleh al-Syaukani dengan ketentuan

Tuhan. Al-Syaukani menulis sebagai berikut:

أنها زالت الشبه في ذلك : أي جاء أمره وقضاؤه وظهرت آياته، وقيل المعنى" وجاء ربك"اليوم وظهرت المعارف وصارت ضرورية كما يزول الشك عند مجيء الشيء الذي كان

جعل إلى أحد يشك فيه، وقيل جاء قهر بك وسلطانه وانفراده باألمر والتدبير من دون أن يأي مصطفين، : انتصاب صفاً صفاً على الحال" والملك صفاً صفاً"من عباده شيئاً من ذلك

٣٢٢أو ذي صفوف

“Dan datang “Tuhanmu” yakni datang perintah dan ketentuannya dan jelaslah tanda-tandanya, ada juga yang

322 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid V, h. 522.

Page 202: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

163

mengartikan “bahwasannya hilanglah keragu-raguan pada hari itu dan jelaslah keterangan-keterangan itu sebagaimana hilangngnya keragu-raguan itu ketika datang sesuatu yang membuat dia ragu, dan ada juga yang menafsirkan datanglah yang memaksamu atas perintahnya “dan sedang malaikat berbaris-baris” kata “ saf safa” dinasabkan karena sebagai hal posisinya. Memiliki makna yaitu berbaris-baris.

Ayat di atas merupakan kecamana terhadap ayat sebelumnya yang

mengaku memberikan kemuliaan dan memberi makan anak yatim, al-

Syaukani memberikan keterangan bahwa “dan datang Tuhanmu, yakni

datang dalam bentuk yang sesuai dengan keagungan dan kesucian-Nya atau

hadirlah ketetapannya, serta nampak dengan jelas kuasa dan keagungan-

Nya.

Uraian di atas, menunjukkan bahwa secara kuantitatif al-Syaukani

sebenarnya lebih cenderung kepada pandangan yang di anut di kalangan

pemikir kalam rasional-tradisioanl. Dikatakan rasional yakni memahami nash-

nash antrpomorfisme tersebut tidak dalam makna harfiahnya, tetapi dalam

makna metaforisnya. Dari lima kasus yang disebut di atas, yakni: ‘alâ al-‘arsyi

istawâ, ‘ainî, wajh, biyamînih, dan jâ’a Rabbuka, dipahami al-Syaukani tidak

dalam makna harfiyahnya, tetapi ia mempergunakan makna metaforis.

Namun di sisi lain, ditemukan juga penafsiran al-Syaukani, yang cenderung

ke corak tradisional seperti pada surat al-A’raf di atas.

Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa pada hakekatnya al-

Syaukani, bila berhadapan dengan nash-nash antropomorfisme tersebut,

cenderung menggunakan takwil dan kadang juga memaknai secara lahir.

2.Ru’yatullah.

Page 203: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

164

Dalam menghadapi masalah ru’yatullah (melihat Tuhan), al-Syaukani

adalah penganut faham akidah Salafiyah, oleh karena itu setiap kali al-

Syaukani menemukan ayat-ayat mutasyâbih selalu membawanya kepada

makna dzahir.323

Sebagaimana diketahui bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang

dipergunakan sebagai dalil dalam membicarakan masalah melihat Tuhan ini,

dalam ilmu kalam adalah ayat 103 surat al-An‘Âm, ayat 143 surat al-A‘râf,

ayat 26 surat Yûnus, dan ayat 23-24 surat al-Qiyâmah.

Ayat 103 surat al-An‛âm (6), ditafsirkan oleh al-Syaukani dengan

penjelasan sebagai berikut:

جمع بصر، وهو الحاسة، وإدراك الشيء عبارة عن : األبصار" ال تدركه األبصار"أي يحيط بها ويبلغ كنهها ال تخفى عليه منها خافية، " وهو يدرك األبصار."اإلحاطة به

: يقال لطف فالن بفالن: أي الرفيق بعباده" اللطيفوهو."وخص األبصار ليجانس ما قبلهأي رفق به، واللطف في العمل الرفق فيه، واللطف من اهللا التوفيق والعصمة، وألطفه

المختبر " الخبير"المبارة، هكذا قال الجوهري وابن فارس، و : والمالطفة: إذا أبره: بكذا ٣٢٤.بكل شيء بحيث ال يخفى عليه شيء

“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata,” kata “al-

abshar” adalah bentuk jama dari kata ”bashar” artinya penglihatan, yakni mengetahui sesuatu yang diperlihatkan. “sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan” yakni mengetahuinya segala sesuatu dan tidak bisa disembunyi-bunyikan, mengkhususkan dengan menggunakan kata “al-Abshar” untuk kesesuaian dengan kalimat sebelumnya. “dan Dialah yang Maha halus” yakni maha lembut

323 Lihat, Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan

takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid I, h. 371. 324 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid II, h. 190.

Page 204: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

165

terhadap hamba-hambanya, dikatakan seseorang berbuat lembut terhadap sesamanya, yakni berbuat halus, kata “halus” dalam amal adalah berbuat lembut, sementara halus dalam dalam pandangan Allah adalah taufiq dan perlindungan, dia berbuat halus jika berbuat baik kepadanya, Sementara kata “Saling berbuat halus” artinya adalah “saling berbuat baik”, ini pendapat Imam Jauhari dan Ibnu Faris. “lagi Maha Mengetahui” maha mengetahui terhadap segala sesuatu yang tidak bisa seseorangpun menyembunyikannya.

Kata al-absâr dalam penafsiran al-Syaukani di atas, adalah bentuk

jama’ dari kata basar yang menyatakan bahwa Dia, yakni Allah tidak dapat

dijangkau dalam bentuk apapun oleh penglihatan mata makhluk, sedang Dia

dapat dapat menjangkau, yakni melihat dan menguasai segala apa yang

dapat terlihat. Jika demikian, ketidakmampuan makhluk melihat Allah

dengan mata kepala disebabkan oleh kelemahan potensi penglihatan

makhluk itu sendiri. Kemudian lanjut al-Syaukani, kata al-latîf yang

mengandung arti lembut, halus, mengindikasikan tentang penyucian Allah

dari persamaannya dengan mahluk serta uraian tentang ketidakmampuan

indera dan akal manusia untuk menjangkau Dzat dan sifat-Nya. Atas dasar

itulah kata al-Latîf di sini lebih baik dipahami dalam arti Maha Tersembunyi.

Lebih jauh al-Syaukani mengatakan, bahwa jangankan melihat Tuhan

yang Mahagaib, alam raya sekalipun banyak yang tidak mampu di capai oleh

mata, baik itu yang berada di luar diri manusia, ataupun yang berada di

dalam diri manusia. Namun lebih dari itu, bahwa sesungguhnya Allah

mampu mengetahui segala sesuatu dan tidak seorangpun mampu

menyembunyikan dari rekaman Allah.

Page 205: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

166

Tafsir yang diberikan oleh al-Syaukani terhadap Surat al-A‛râf (7) ayat

143 adalah sebagai berikut:

أي أرني نفسك " أرني أنظر إليك: "قوله. أي اسمعه كالمه من غير واسطة" وكلمه ربه" وسؤال موسى للرؤية .أي سأله النظر إليه اشتياقاً إلى رؤيته لما أسمعه كالمه: أنظر إليك

: يدل على أنها جائزة عنده في الجملة، ولو كانت مستحيلة عنده لما سألها، والجواب بقولهيفيد أنه ال يراه هذا الوقت الذي طلب رؤيته فيه، أو أنه ال يرى ما دام الرائي " لن تراني"

ة تواتراً ال يخفى وأما رؤيته في اآلخرة فقد ثبتت باألحاديث المتواتر. حياً في دار الدنياعلى من يعرف السنة المطهرة، والجدال في مثل هذا والمراوغة ال تأتي بفائدة، ومنهج الحق واضح، ولكن االعتقاد لمذهب نشأ اإلنسان عليه وأدرك عليه آباءه وأهل بلده مع . عدم التنبه لما هو المطلوب من العباد من هذه الشريعة المطهرة يوقع في التعصب

وأذنه عن سماع الحق صماء، يدفع . ب وإن كان بصره صحيحاً فبصيرته عمياءوالمتعصالحق وهو يظن أنه ما دفع غير الباطل ويحسب أن ما نشأ عليه هو الحق غفلة منه وجهالً . بما أوجبه اهللا عليه من النظر الصحيح وتلقي ما جاء به الكتاب والسنة باإلذعان والتسليم

ره هذه المذاهب في األصول والفروع فإنه صار بها باب وما أقل المنصفين بعد ظهويأبى الفتى : الحق مرتجاً، وطريق اإلنصاف مستوعرة، واألمر هللا سبحانه، والهداية منه

مستأنفة لكونها جواباً لسؤال " قال لن تراني"إال اتباع الهوى ومنهج الحق له واضح وجملة ولكن انظر إلى الجبل فإن استقر مكانه : " بقولهفما قال اهللا له؟ واالستدراك: مقدر كأنه قيلمعناه أنك ال تثبت لرؤيتي وال يثبت لها ما هو أعظم منك جرماً وصالبة " فسوف تراني

" فسوف تراني"ولم يتزلزل عند رؤيتي له " فإن استقر مكانه"وقوة، وهو الجبل فانظر إليه ب المثل لموسى عليه وإن ضعف عن ذلك فأنت منه أضعف، فهذا الكالم بمنزلة ضر

هو من باب التعليق بالمحال، وعلى تسليم هذا فهو في الرؤية في : السالم الجبل، وقيلفالمعتزلة استدلوا : وقد تمسك بهذه اآلية كال طائفتي المعتزلة واألشعرية. الدنيا لما قدمنا

الرؤية إن تعليق: ، وبأمره بأن ينظر إلى الجبل، واألشعرية قالوا"لن تراني: "بقولهباستقرار الجبل يدل على أنها جائزة غير ممتنعة، وال يخفاك أن الرؤية األخروية هي بمعزل عن هذا كله، والخالف بينهم هو فيها ال في الرؤية في الدنيا فقد كان الخالف فيها

تجلى " فلما تجلى ربه للجبل جعله دكاً: "قوله. في زمن الصحابة وكالمهم فيها معروف

Page 206: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

167

أخلصته من الصدأ، : أي أبرزتها، وجلوت السيف: ر، من قولك جلوت العروسظه: معناهفلما ظهر ربه للجبل جعله دكاً، وقيل المتجلي هو أمره : والمعنى. انكشف: وتجلى الشيء

أي جعله مدكوكاً مدقوقاً فصار : وقدرته، قاله قطرب وغيره والدك مصدر بمعنى المفعولاً بالمصدر، وهم أهل المدينة وأهل البصرة، وأما على تراباً، هذا على قراءة من قرأ دك

على التأنيث، والجمع دكاوات كحمراء وحمراوات، وهي " جعله دكاء"قراءة أهل الكوفة أن الجبل صار صغيراً : اسم للرابية الناشزة من األرض أو لألرض المستوية، فالمعنى

العراض واحدها أدك، والدكاوات الجبال : الدك: قال الكسائي. كالرابية أو أرضاً مستويةما التبد من األرض فلم : جمع دكاء، وهي رواب من طين ليست بالغالظ، والدكادك

: أي مغشياً عليه مأخوذاً من الصاعقة"وخر موسى صعقاً"ال سنام لها : يرتفع، وناقة دكاء ٣٢٥.هأنه صار حاله لما غشي عليه كحال من يغشى عليه عند إصابة الصاعقة ل: والمعنى

“Dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya” yakni

Allah mendengarkan pembicaraan Musa tanpa ada hijab dan fiman-Nya “Ya Tuhanku nampakkanlah (diri Engkau) agar aku dapat melihat kepada Engkau” yakni nampakkanlah bentuk diri Engkau agar aku dapat melihat langsung kepada Engkau, yakni memohon kepada Tuhan untuk memperlihatkan diri-Nya karena Musa rindu ingin melihat apa yang didengar dalam isi pembicaraanya. Dan permohonan Musa untuk melihat ini, mengindikasikan adanya kebolehan baginya untuk melihat diri Tuhan, walaupun, itu adalah hal yang mustahil baginya untuk melihat sesuai apa yang dia minta. Sementara jawaban atas pertanyaan itu adalah firman-Nya “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku” ini menunjukan bahwa Musa tidak bisa melihat apa yang di mohon pada saat itu, ataupun dia tidak bisa melihat selagi yang melihat itu hidup di muka bumi. Adapun penglihatannya kepada Tuhannya nanti pada hari kiamat sudah ditetapkan pada hadits mutawatir yang tidak bisa diragukan lagi bagi orang yang mengetahui hadits yang agung, dan bagi orang mempermasalahkanya atau orang yang menghindarinya yang sudah tahu kebenarannya, tetapi keyakinan itu berlaku bagi madzhab yang

325 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid V, h. 308-309.

Page 207: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

168

diikuti oleh orang banyak, serta sudah dikenal oleh nenek moyangnya, serta penduduk kampungnya tanpa adanya perhatian khusus terhadap apa yang diharapkan dari hambanya atas syariah yang agung yang akan mengakibatkan fanatisme. Dan orang yang fanatic walaupun penglihatannya itu sehat padahal penglihatannya itu adalah tuli, dan telinganya untuk mendengarkan kebaikan adalah gagap, menolak kebenaran dia mengira bahwa apa yang dia tolak itu adalah tidak salah, juga memperkirakan yang terjadi selama ini adalah benar, padahal dia itu adalah bodoh dan tidak mengetahui akan apa yang telah Allah wajibkan kepadanya untuk melihat yang benar serta menerima apa yang telah dijelaskan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah dengan penuh ketundukan dan kepasrahan. Adapun untuk meminimalisir perbedaan setelah lahirnya beberapa madzhab ini baik dalam masalah ushuliyyah maupun furu’iyyah, maka sudah dikategorikan dalam pembahasan tentang kebenaran secara absolut, dan cara pemisahannya dengan cara akurat. Perintah Allah SWT serta petunjuk-Nya: ditelantarkan oleh sebuah kaum. Karena mereka mengikuti hawa nafsu walaupun sudah tau bahwa itu adalah benar “Tuhan berfirman: Kamu sekali-sekali tidak akan sanggup melihatku” diawali dengan adanya jawaban atas pertanyaan kurang lebih seperti ini: Maka apa yang Allah katakan kepadanya? Sesuai dengan firman-Nya ”tetapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihatku” maknanya adalah bahwa kamu tetap tidak bisa melihatku, maka lihatlah!”maka jika ia tetap di tempatnya (Sebagai sediakala)” tidak berpindah-pindah “maka niscaya kamu akan melihatku” jika susah juga, maka kamu tidak akan bisa, inilah perumpamaan dialog Musa AS di atas bukit.

Ayat ini sudah menjadi pegangan aliran Mu’tazilah dan Asya’riyyah. Aliran Mu’tazillah berdalil dengan firman Allah “kamu tetap tidak akan bisa melihat-Ku” dan beserta perintahnya untuk melihat ke bukit. Sementara Asy’ariyah mereka berargumen bahwa kaitannya melihat Tuhan dengan bukit, itu mengindikasikan bisa melihat Tuhan tanpa ada halangan, perbedaan mereka bukan terletak pada masalah melihat Tuhan di dunia, tetapi terletak pada perbedaan yang terjadi pada masa sahabat, dan masalah ini sudah terkenal di antara mereka.

Page 208: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

169

“Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh”, kata “tajalla” artinya menampakkan/memperlihatkan, seperti kutampakkan pedang, dan kata “menampakkan sesuatu” berarti membukanya, jadi maknanya sama dengan “takala Tuhanmu memperlihatkan diri kepada gunung itu” sementara kata “al-dakk” adalah bentuk masdar tetapi memiliki makna maf’ul, yakni “dijadikannnya hancur luluh” dan akhirnya menjadi “tanah” pendapat ini bagi mereka yang membaca kata “ad-dakk” sebagai bentuk “mashdar”, diantaranya orang-orang Madinah dan Bashrah. Permintaan Musa untuk melihat wajah Tuhan itu disambut oleh Allah

dengan cinta kasih. Pada ayat di atas, Allah menyatakan bahwa sekali-kali

(Dia) Allah tidak dapat dilihat. Hal ini tidak dapat diterangkan. Lihat saja ke

bukit Tursina. Jika nanti bukit itu tetap tempatnya, maka Musa nanti akan

melihat wajah Allah di sana. Namun, apa yang terjadi, tatkala Tuhan

menampakkan diri pada gunung itu, maka hancurlah ia, dan tersungkurlah

Musa. Dialog di atas antara Musa dan Allah mengindikasikan bahwa Tuhan

memang tidak bisa dilihat dengan mata kepala.

Ayat di atas, menjadi bahasan panjang lebar, khususny di kalangan

para teolog tentang bisa tidaknya Tuhan dilihat manusia di dunia atau di

ahirat nanti. Dalam penafsiran al-Syaukani juga dikatakan, bahwa ayat di

atas menjadi pegangan dan perdebatan antara As’ariyah dan Mu’tazilah

dengan alasan masing-masing. Sebagaimana al-Syaukani memaparkan:

Ayat ini sudah menjadi pegangan aliran Mu’tazilah dan Asya’riyyah. Aliran Mu’tazillah berdalil dengan firman Allah “kamu tetap tidak akan bisa melihat-Ku” dan beserta perintahnya untuk melihat ke bukit. Sementara Asy’ariyyah mereka berargumen bahwa kaitannya melihat Tuhan dengan bukit, itu mengindikasikan bisa melihat Tuhan tanpa ada halangan, perbedaan mereka bukan terletak

Page 209: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

170

pada masalah melihat Tuhan di dunia, tetapi terletak pada perbedaan yang terjadi pada masa sahabat, dan masalah ini sudah terkenal diantara mereka.326

Sementara itu, kata ziyadah dalam Surat Yûnus (10) ayat 26 di

tafsirkan oleh al-Syaukani dengan Allah akan memberi tambahan pahala

dengan keutamaan atau bertemu langsung dengan hadirat Allah. Untuk lebih

jelasnya penafsiran tersebut sebagai berikut:

أي الذين أحسنوا بالقيام بما أوجبه اهللا عليهم من األعمال " للذين أحسنوا الحسنى وزيادة"المراد : وقيل. والكف عما نهاهم عنه من المعاصي، والمراد بالحسنى المثوبة الحسنى

: بالحسنى الجنة، وأما الزيادة فقيل المراد بها ما يزيد على المثوبة من التفضل كقوله ٣٢٧الزيادة النظر إلى وجهه الكريم: وقيل" هم ويزيدهم من فضلهليوفيهم أجور"

“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik

(surga) dan tambahannya” yaitu orang-orang yang berbuat baik dengan cara melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepada mereka serta menjauhi segala seuatu yang berbau maksiat, yang dimaksud dengan kata “al-husna” adalah pahala yang terbaik, atau ada yang mengatakan adalah “surga” sementara yang dimaksud dengan “ziyadah” adalah Allah akan memberi tambahan pahala dengan keutamaan seperti dalam firman-Nya “Allah akan mencukupi pahala mereka dan menambahkannya dengan keutamaan” dan ada juga yang mengatakan bahwa “al-ziyadah” adalah bertemu langsung dengan hadirat Allah.

326 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid V, h. 309. 327 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid II, h. 554.

Page 210: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

171

Penafsiran di atas, di akhiri oleh al-Syaukani dengan mengatakan

“bahwa “al-ziyadah” adalah bertemu langsung dengan hadirat Allah.”.328

Agaknya tidak terlalu berlebihan kalau dikatakan bahwa, walaupun al-

Syaukani secara tidak tegas menyebut melihat dengan mata kepala,

memberikan pemahaman bahwa dalam penafsiran al-Syaukani yakni, Tuhan

dapat dilihat, akan tetapi tidak dengan mata kepala.

Selanjutnya surat al-Qiyâmah (75) ayat 22- 23 di tafsirkan oleh al-

Syaukani sebagai berikut:

أي حسن : شجر ناضر وروض ناضر: أي ناعمة غضة حسنة، يقال" وجوه يومئذ ناضرة" .ناعم، ونضارة العيش حسنه وبهجته

أي تنظر إليه، هكذا : أي إلى خالقها ومالك أمرها ناظرة: هذا من النظر" إلى ربها ناظرة"عباد قال جمهور أهل العلم، والمراد به ما تواترت به األحاديث الصحيحة من أن ال

٣٢٩.ينظرون ربهم يوم القيامة كما ينظرون إلى القمر ليلة البدر

“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri” yakni mendapatkan kenikmatan yang indah, dikatakan pepohonan terlihat indah laksana rumput terlihat indah, yakni begitu indah dan penglihatan terhadap alam kehidupan begitu indah dan menyenangkan.

“Kepada Tuhannyalah mereka Melihat” ini termasuk pandangan mata, yaitu merasa melihat terhadap sang pencipta dan terhadap sang pemilik penglihatan, inilah pendapat mayoritas ulama, dan pendapat ini sesuai dengan masksud hadits sahih bahwa hamba-hamba Allah yang akan melihat Rabbnya di hari kiamat nanti laksana mereka melihat bulan di malam bulan purnama.

328 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, h. 554. 329 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid V, h. 401.

Page 211: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

172

Ayat di atas, menjelaskan bahwa ada wajah-wajah pada hari akhirat

itu berseri-seri, yakni wajah orang-orang yang tidak lengah akan kehidupan

akhirat dan mempersiapkan diri menghadapnya. Kemudian ilâ

Rabbihâ/kepada Tuhan-Nya bertujuan membatasi penglihatan itu hanya

kepada Allah. Seakan-akan mereka tidak melihat kepada selain-Nya.

Nampaknya al-Syaukani ketika menafsirkan kata nâdirah dalam arti melihat

dengan mata kepala, walau dalam konteks ayat ini banyak di antara mereka

yang menggarisbawahi bahwa melihat yang dimaksud itu adalah dengan

pandangan khusus.

Selanjutnya dalam menafsirkan surat al-Kahfi (18) ayat 110, al-

Syaukani menafsirkan ayat ini dengan memberikan hukum sebab akibat,

dengan mengatakan barang siapa yang mengharap perjumpaan dengan

Allah maka hendaknya ia beriman dan beramal salih, maka buah dari iman

dan amal salih akan memberikan pahala bagi yang mengerjakannya.

Jelasnya sebagai berikut:

من كان له : الرجاء توقع وصول الخير في المستقبل، والمعنى" فمن كان يرجو لقاء ربه"وهو ما دل الشرع على أنه " فليعمل عمالً صالحاً"هذا الرجاء الذي هو شأن المؤمنين

٣٣٠عمل خير يثاب عليه فاعله

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya” harapan itu akan menghasilkan kebaikan pada masa akan datang, maknanya adalah barang siapa yang mengharap apa yang dikehendaki orang-orang beriman “maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh” kalimat ini mengindikasikan segala sesuatu yang

330 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid III, h. 400.

Page 212: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

173

menurut syariat itu adalah perbuatan baik maka akan mendapatkan pahala bagi orang yang mengerjakannya

Penafsiran dari ayat di atas, menggambarkan bahwa siapa yang

hendak bertemu dengan Allah, maka hendaknya beramal yang baik. Hal ini

menjadikan amal yang dimaksud sebagai natîjah (hasil) dari keimanan

kepada Allah. Dan ayat di atas, menyatakan harapan akan pertemuan

dengan Allah, yakni walaupun belum sampai kepada tingkat keyakinan,

sudah cukup dengan melakukan kebajikan. Memang dengan harapanpun

seseorang sudah terdorong untuk beramal saleh, apalagi kalau dia

sepenuhnya yakin.

Dari beberapa penafsiran al-Syaukani di atas, jelas terlihat bahwa al-

Syaukani memahami masalaha ru’yatullah ini sejalan dengan kalam rasional,

yakni Tuhan memang dapat dilihat, akan tetapi bukan dengan mata kepala.

3. Khalq al-Qur’ân.

Masalah yang mengemuka adalah, apakah al-Qur’an itu makhluq

(diciptakan), ataukah qadîm (abadi), al-Syaukani mencoba menghindarkan

diri dari perdebatan yang hebat dan sangat tajam berkenaan dengan masalah

ini. Hal ini bisa di pahami dari pendapatnya yang menyatakana bahwa:

Al-Syaukani tidak menyenangi sikap ahli sunnah, dan juga sikap Mu’tazilah tentang masalah penciptaan al-Qur’an, dia bersikap koperatif terhadap ulama yang memilih diam (tawaqquf) dalam masalah ini. Dia mengecam orang yang memutuskan bahwa al-Quran itu qodim dan Makhluk331

331 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid III, h. 497.

Page 213: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

174

Dalam rangka memperoleh pemahaman terhadap pemikiran al-

Syaukani, untuk lebih jelasnya baiklah akan di kemukakan penafsiran al-

Syaukani berkenaan dengan penciptaan al-Qur’an.

Sikap tawaqqufnya al-Syaukani bisa dilihat melalui penafsiran Surat

al-Anbiya’ (21) : 2 sebagai berikut:

من البتداء الغاية، وقد استدل بوصف الذكر لكونه " ما يأتيهم من ذكر من ربهم محدث"وأجيب بأنه ال نزاع في حدوث . محدثاً على أن القرآن محدث، ألن الذكر هنا هو القرآن

فالمعنى محدث تنزيله، وإنما . المركب من األصوات والحروف، ألنه متجدد في النزولأعني قدم القرآن وحدوثه قد ابتلي بها كثير من : ، وهذه المسألةالنزاع في الكالم النفسي

أهل العلم والفضل في الدولة المأمونية والمعتصمية والواثقية، وجرى لإلمام أحمد بن حنبل ما جرى من الضرب الشديد والحبس الطويل، وضرب بسببها عنق محمد بن نصر

ه، والقصة أشهر من أن تذكر، الخزاعي، وصارت فتنة عظيمة في ذلك الوقت وما بعدومن أحب الوقوف على حقيقتها طالع ترجمة اإلمام أحمد بن حنبل في كتاب النبالء

ولقد أصاب أئمة السنة بامتناعهم من اإلجابة إلى القول بخلق . لمؤرخ اإلسالم الذهبيلك إلى القرآن وحدوثه وحفظ اهللا بهم أمة نبيه عن االبتداع، ولكنهم رحمهم اهللا جاوزوا ذ

تكفير من قال لفظي بالقرآن مخلوق، بل جاوزوا ذلك إلى تكفير من وقف، وليتهم لم يجاوزوا حد الوقف وإرجاع العلم إلى عالم الغيوب، فإنه لم يسمع من السلف الصالح من الصحابة والتابعين ومن بعدهم إلى وقت قيام المحنة وظهور القول في هذه المسألة شيء

قل عنهم كلمة في ذلك، فكان االمتناع من اإلجابة إلى ما دعوا إليه، من الكالم، وال نوالتمسك بأذيال الوقف، وإرجاع علم ذلك إلى عالمه هو الطريقة المثلى، وفيه السالمة

332 .والخلوص من تكفير طوائف من عباد اهللا، واألمر هللا سبحانه

“Tidak datang kepada mereka suatu ayat al-Qur’an pun yang baru dari Tuhan mereka” ini mengindikasikan sifat Al-Qur’an adalah baru, dan yang dimaksud “al Dzikr” di sini adalah Al-Qur’an.

332 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid III, h. 497.

Page 214: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

175

Terjawab bahwa tidak ada yang membantah bahwa susunan al-Qur’an adalah baru baik suara maupun huruf-hurufnya, karena turunnya al-Qur’an juga adalah baru. Dan yang menjadi perdebatan adalah mengenai firman-Nya itu sendiri, permasalahan ini mengemuka: bahwa lama barunya Al-Qur’an itu telah menjadi perhatian para ulama pada masa daulah Ma’muniyah, Muktasimiyyah serta pada masa Watsiqiyyah. Dan ini terjadi pada imam Ahmad Bin Hanbal yang mendapatkan hukuman berat serta lama dipenjara, juga mengakibatkan di hukum gantungnya imam Muhammad bin Nashr al-Khoza’I sehingga pada masa itu dan masa setelah itu menjadi fitnah yang dahsyat, dan sejarah yang monumental adalah dengan munculnya terjemahan Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab “An-Nubla” karangan sejarawan muslim Imam Al-Dzahaby. Dan telah terdengar oleh Imam-imam Ahli Sunnah dengan melarangnya mereka dengan menjawab perkataan orang yang menganggap bahwa al-Qur’an itu adalah makhluq serta al-Qur’an itu adalah baru. Mereka juga membolehkan kepada orang yang mengatakan bahwa lafadz al-Qur’an itu adalah makhluq, bahkan mereka juga sangat menghargai kepada orang yang tidak mengeluarkan pendapat (tawaquf). Tetapi mereka juga melarang untuk membatasi lamanya berdiam/tawaquf, karena tidak ditemukan pendapat dari ulama shalih, baik kalangan sahabat, tabiin maupun orang-orang setelah mereka sampai waktu terjadinya fitnah yang dahsyat serta mencuatnya masalah ini ke permukaan, maka larangan itu muncul lagi sebagai jawaban terhadap apa yang mereka hadapi, dan tetap berpegang untuk tidak mengeluarkan pendapat/diam dan kembalinya ilmu itu kepada orangnya adalah cara yang ideal, dan itu adalah cara yang damai serta pamrih sesuai dengan perintah Allah.

Dari penjelasan di atas, nampaknya al-Syaukani juga tidak sependapat

dengan paham Mu’tazilah yang memandang bahwa al-Qur’an sebagai

makhluk dan bersifat baharu. Sementara pendapat al-Asy’ariyah yang

memandang al-Qur’an sebagai Qadim juga ditolaknya. Menurut al-Syauknai,

Nabi Saw., para sahabat dan tabi’in, dan umumnya para ulama salaf tidak

Page 215: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

176

pernah membicarakan hal ini. Maka, jalan yang paling selamat di sini ialah

bersifat tawaqquf (berdiam diri).

Menurut al-Syaukani, jika masalah kebaharuan atau keqadiman al-

Qur’an dibicarakan, ada dua bahaya yang muncul. Pertama, karena masalah

ini tidak pernah dibicarakan oleh Nabi Saw, dan para ulam salaf, maka

membicarakannya adalah bid’ah. Melakukan bid’ah adalah perbuatan

terkutuk dan pelakunya masuk neraka. Kedua, jika masalah ini dibicarakan,

maka tidak terelakkan akan muncul pertentangan, yang berjuang pada saling

mengkafirkan. Kalau sudah saling mengkafirkan, maka akan terjadi keretakan

dalam tubuh umat Islam.333

Dari penafsiran al-Syaukani di atas, menggambarkan betapa

permaslahan al-Qur’an qadim atau makhluq, mengakibatkan ulam besar

Imam Ahmad bin Hanbal di penjara, dan Imam Muhammad bin Nasr al-

Khaza’I harus di hukum gantung karena memperdebatkan al-Qur’an qadim

atau makhluq.

Inilah pembahasan penting yang terdapat di dalam tafsir Fath al-Qadîr

yang telah memberikan kepada diri al-Syaukani kebebasan yang luas dalam

mengkritisi pendapat-pendapat umum, ajaran-ajaran Mu’tazilah dan sikap

diamnya Ahlussunnah. penulis kira setiap orang mempunyai potensi untuk

mencela menghakimi suatu golongan, tinggal bagaimana menyikapi dengan

arif tentunya dengan dalil-dalil yang kuat.

333 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid II, h. 384.

Page 216: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

177

BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan dari bab terdahulu terutama dalam bab IV,

dapatlah disimpulkan bahwa pemikiran kalam yang terdapat dalam tafsir

Fath al-Qadîr adalah “bercorak tradisioanal, atau yang lebih tepat dikatakan

semi rasional (campuran antara rasional dan tradisional)”. Karena sejauh

penelitian dalam tesis ini, penafsiran al-Syaukani juga ditemukan penafsiran

tradisional, kadang pula terdapat penafsiran yang bercorak rasional.

Tergantung kepada ayat yang diteliti, seperti yang diungkapkan dimuka.

Campuran antara corak kalam dan tradisioanalnya al-Syaukani

barangkali lebih kepada keterpengaruhan pemikiran Mu’tazilah terhadap

Syiah Zaidiyah yang ia anut.

Namun, perlu ditambahkan bahwa corak tradisional pemikiran kalam

yang terdapat dalam tafsir Fath al-Qadîr tersebut, tidaklah seluruhnya sejalan

dengan dengan pemikiran kalam yang dibawa oleh Asy’ariyah dan

Maturidiyah Bukhara. Begitu juga dengan corak rasionalnya al-Syaukani

tidak selalu sejalan dengan Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand.

Secara umum, dari empat persoalan kalam yang dianalisis, yakni a)

kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, b) keadilan Tuhan, c) perbuatan-

Page 217: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

178

perbuatan Tuhan yang dibagi menjadi tiga yakni antropomorfisme,

ru’yatullah dan penciptaan al-Qur’an, dan d) sifat-sifat Tuhan, yang dibagi

lagi menjadi tiga yaitu: memberi beban di luar kemampuan manusia,

pengiriman Rasul dan janji dan ancaman. Masalah pada poin a,

pemahaman al-Syaukani sejalan dengan Asy’ariyah. Sedangkan pada

masalah keadilan Tuhan pemahaman al-Syaukani sejalan dengan campuran

atas keduanya rasional dan tradisional. Kemudian masalah perbuatan Tuhan,

pemahaman al-Syaukani sejalan dengan corak rasional dan tradisional. Hal

itu terlihat, ketika al-Syaukani membahas tantang permasalahan memberi

beban di luar kemampuan manusia, Al-syaukani lebih kepada pemikiran

Mu’tazilah. Sedang pengiriman Rasul, al-Syaukani lebih dekat memakai

pendekatan yang digunakan oleh Asyariyah dan ketika al-Syaukani

membahas tentang ayat janji dan ancaman pemahamannya sejalan dengan

corak rasional. Dan yang terakhir tentang masalah sifat-sifat Tuhan, al-

Syaukani menggunakan pemahaman tradisional. Pemahaman al-Syaukani

ketika membahas antropomorfisme menggunakan pemahaman campuran

antara rasional dan tradisional, tentang ru’yatullah lebih menggunakan

pemahaman rasional, dan tentang penciptaan al-Qur’an, al-Syaukani lebih

memilih tidak bersikap (tawaqquf).

Uraian berikut ini akan mengedepankan suatu tinjauan ulang atas

pandangan-pandangan al-Syaukani yang disimpulkan di atas, sebagai

pengukuhan.

Kesan secara umum, al-Syaukani dalam tafsirnya menggunakan dua

pendekatan yang kemudian menjadi judul besar dari tafsirnya yakni “Fath al-

Page 218: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

179

Qadîr al-Jâmi‘ Bain Fannai al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr”.

Menurut hemat penulis, ketika mufassir melakukan pendekatan dengan

menggunakan bi al-ma‘sur atau dikenal pula dengan istilah bi al-riwâyah,

maka bisa diterka pisau analisis yang mufassir gunakan adalah penafsiran

ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, penafsiran ayat al-Qur’an dengan

hadis Nabi Saw., penafsiran ayat al-Qur’an dengan pendapat para sahabat,

dan penafsiran al-Qur’an dengan pendapat tabi’in. Maka pada sisi ini, bisa

dikatakan bahwa penafsiran yang dilakukan oleh al-Syaukani tidak lepas dari

koridor yang di garis besarkan oleh al-Qur’an dan Hadits. Maka porsi wahyu

pada penafsiran al-Syaukani lebih dominant dibanding akal. Kemudian,

perkemangan pendekatan tafsir bi al-riwayah, ini muncul pada generasi awal-

awal yang diwakili oleh Ibnu Jarir al-Tobari (w. 310 H/923 M.), al-Baghawai

(w.516 H.), Ibnu Kasir (w.774 H.), dan al-Suyuti (w. 911 H.). Sehingga

nampaknya, pemikirannya masih dalam rangka mencari format penafsiran

yang tepat dan baik.

Bukan hanya itu, selanjutnya, al-Syaukani juga menggunakan

pendekatan bi al-dirayah atau dalam istilah lain bi al-ma’qul, bi al-ra’yi, dan

bi al-ijtihad. Secara selintas, tafsir dengan menggunakan pendekatan al-

dirayah lebih berorientasi kepada penalaran yang bersifat aqli (rasional),

namun perlu juga dijelaskan, meskipun mufassir dalam corak ini melakukan

penafsiran berdasarkan akal, namun ia tidak bebas mutlak. Karena mufassir

harus bertolak dari pemahaman yang dikandung al-Qur’an dan Hadits.

Karena diperlukan alat bantu dan kaidah-kaidah yang lain untuk

menjalankan penafsiran bi al-ra’yi. Yang perlu dicermati di sini adalah bahwa

Page 219: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

180

al-Syaukani sudah melakukan fondasi membangun jaringan lewat

penggabungan antara riwayat dan dirayat.

Kemudian berkenaan dengan masalah kekuasaan dan kehendak

mutlak Tuhan, al-Syaukani berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak

mutlak Tuhan berlaku semutlak-mutlaknya. Artinya di tangan Allahlah semua

keputusan baik maupun buruknya. Namun, kekuasaan dan kehendak mutlak

Tuhan itu tidaklah berlaku sewenang-wenang. Semua takdir Allah

mempunyai jalannya sendiri, yakni sunnatullah.

Pemikiran al-Syaukani tentang kekuasaan mutlak dan kehendak

mutlak Tuhan yang dianut oleh al-Syaukani tidak sejalan dengan paham

yang dianut oleh Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand. Mu’tazilah dan

Maturidiyah Samarkand pemikiran bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak

Tuhan terbatas.

Oleh sebab itu, dengan ungkapan bahwa kekuasaan dan kehendak

mutlak Tuhan, yang dalam pandangan al-Syaukani berlaku berdasarkan

kehendak-Nya secara mutlak, maka dapat disimpulkan pemahaman al-

Syaukani tersebut di atas, lebih dekat kepada pemahaman yang dibawa oleh

aliran Asy’ariyah.

Aliran al-Asy’ariyah menganut paham bahwa Tuhan tetap mempunyai

kehendak dan kekuasaan mutlak. Segala sesuatu kejahatan maupun

kebaikan terjadi menurut kehendak-Nya. Tidak seorangpun yang mampu

berbuat kalau tidak dengan kehendak Allah. Manusia dalam hal ini dianggap

lemah dan tidak bisa keluar dari ilmu Allah. Allah adalah satu-satunya

pencipta. Perbuatan manusia adalah ciptaan-Nya.

Page 220: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

181

Kemudian, keadilan Tuhan. al-Syaukani nampaknya termasuk dalam

dua aliran corak kalam yakni corak tradisioanl dan rasional. Keadilan Tuhan

dalam fersi aliran tradisioanl menitik beratkan pada makna keadilan Tuhan

yang mempunyai kekuasaan mutlak terhadap apa yang dimiliki-Nya.

Sementara keadilan yang dipahami oleh aliran kalam rasioanal adalah yang

memberikan makna keadilan pada kepentingan manusia.

Semangat keadialan seperti yang dipahami oleh aliran kalam rasional

tergambar dengan jelas dalam penafsiran yang diberikan oleh al-Syaukani

terhadap ayat-ayat kalam tentang keadilan Tuhan. Namun itu semua belum

bisa di katakana bahwa paham keadilan al-Syaukani lebih cenderung kepada

aliran rasional. Justru penafsiran al-Syaukani tentang keadilan Tuhan lebih

bisa dikatakan juga masuk pada keduanya (rasional dan tradisioanl). Artinya

al-Syaukani dalam menggunakan penafsiran terhadap ayat-ayat tentang

keadilan Tuhan sesuai dengan rasional dan tradisional.

Keadaan Tuhan tidak melakukan aniaya terhadap hamba-Nya

walaupun sebesar zarrah sekalipun, menurut al-Syaukani, memberikan

jaminan bahwa Tuhan selamanya akan berlaku adil kepada hamba-bamba-

Nya. Oleh sebab itu, tidaklah perlu khawatir, bahwa kebaikan yang diperbuat

selama hidup di dunia ini tidak akan mendapat ganjaran dari Tuhan, bahkan

seberat zarrahpun tidaklah manusia akan dirugikan. Sejalan dengan itu, al-

Syaukani berpendapat bahwa Tuhan tidak akan menyalahi janji-Nya yang

telah dibuat sendiri.

Berkenaan dengan masalah beban di luar kemampuan manusia (taklîf

ma lâ yutaq), al-Syaukani kelihatannya sepaham dengan Mu’tazilah dan

Page 221: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

182

Maturidiyah Samarkand yang menolak pandangan bahwa Tuhan tidak dapat

memberikan beban di luar kemampuan manusia untuk memikulnya. Dalam

kaitan ini, al-Syaukani mengatakan bahwa “Tuhan tidak mendatangkan

perintah kalau manusia itu tidak mampu melaksanakannya”.

Kemudian masalah pengiriman Rasul, penulis berhadapan dengan

pandangan yang kurang jelas dari al-Syaukani. Apakah al-Syaukani

menganut pandangan bahwa pengiriman Rasul itu wajib, ataukah pengiriman

Rasul itu tidak wajib, al-Syaukani nampaknya tidak mengungkapkan secara

gamblang. Kalau memang benar al-Syaukani menganut aliran salaf,

seharusnya pemikiran al-Syaukani berpandangan bahwa pengiriman Rasul

itu wajib. Namun, sayang penulis belum menemukan dari pemikiran al-

Syaukani tersebut.

Berkenaan dengan janji Tuhan, tergambar dalam penafsiran al-

Syaukani, bahwa Allah tidak akan mengingkari janji. Maka kalau demikian,

maka al-Syaukani menganut pemikiran kalam Mu’tzilah.

Tentang sifat-sifat Tuhan al-Syaukani sebenarnya lebih cenderung

kepada pandangan yang di anut di kalangan pemikir kalam rasional-

tradisioanl. Dikatakan rasional yakni al-Syaukani dalam memahami nash-

nash antrpomorfisme tersebut tidak dalam makna harfiahnya, tetapi dalam

makna metaforisnya.

Pada penelitian ayat-ayat pada bab IV, disebut yakni: ‘alâ al-‘arsyi

istawâ, ‘ainî, wajh, biyamînih, dan jâ’a Rabbuka, dipahami al-Syaukani tidak

dalam makna harfiyahnya, tetapi ia mempergunakan makna metaforis.

Namun di sisi lain, ditemukan juga penafsiran al-Syaukani, yang cenderung

Page 222: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

183

ke corak tradisional seperti pada surat al-A’raf yang dibahas pada bab IV

yang lalu. Jadi lebih tepat al-Syaukani di katakatan memiliki corak rasional-

tradisional.

Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa pada hakekatnya al-

Syaukani, bila berhadapan dengan nash-nash antropomorfisme tersebut,

cenderung menggunakan takwil dan kadang juga memaknai secara lahir.

Ru’yatullah dalam pandangan al-Syaukani adalah, Tuhan dapat

dilihat, akan tetapi tidak dengan mata kepala. Penafsiran al-Syaukani ini

jelas terlihat bahwa al-Syaukani memahami masalaha ru’yatullah ini sejalan

dengan kalam rasional, yakni Tuhan memang dapat dilihat, akan tetapi

bukan dengan mata kepala.

Dalam masalah penciptaan al-Qur’an, al-Syaukani tidak sependapat

dengan Mu’tazilah yang memandang bahwa al-Qur’an sebagai makhluk dan

bersifat baharu dan al-Asy’ariyah yang memandang al-Qur’an sebagai

Qadim. Menurut al-Syaukani, Nabi Saw., para sahabat dan tabi’in, dan

umumnya para ulama salaf tidak pernah membicarakan hal ini. Maka, jalan

yang diambil al-Syaukani adalah tawaqquf (tidak bersikap).

Dari tinjuan ulang yang tersaji di atas jelas terlihat bahwa al-Syaukani

dapat dimasukkan antara keduanya yakni corak rasional dan tradisional.

namun menurut penulis paham al-Syaukani terhadap kalam, nampak dari

uraian di atas, lebih kuat kecenderungannya kepada madzhab salafiyah,

walaupun pada awalnya al-Syaukani penganut paham Zaidiyyah, di mana

paham tersebut pemikirannya cenderung dipengaruhi oleh paham Mu’tazilah,

Page 223: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

184

sehingga dalam proses mencari dan menemukan kebenaran berfikir dari al-

Syaukani tidak mutlak pada pendirian sendiri.

al-Syaukani dikenal mampu membangun dan membentuk metode

sendiri yang dikenal dengan ijtihad dalam melakukan penafsiran atas

masalah-masalah yang berhubungan dengan kalam. Di sisi lain, al-Syaukani

merupakan sosok ulama kalam modern yang dapat menerima perbedaan

dan senantiasa dapat bergandengan tangan dengan lintas madzhab. Hal ini

untuk membuktikan bahwa al-Syaukani benar-benar penganut paham

salafiyah. Yang dicermati dari pola berfikirnya yaitu ketika menafsirkan suatu

persoalan yang muncul pada tataran kalam, al-Syaukani tidak mutlak berfikir

dengan menggunakan akal fikiran saja, melainkan cara berfikir yang

dilakukan oleh al-Syaukani adalah dengan menggunakan dalil aqli dan naqli,

artinya semua permasalahan diputuskan melalui pendekatan akal, al-Qur’an

dan hadits.

Corak kalam al-Syaukani dalam tafsir Fath al-Qadîr menurut hemat

penulis kurang rasional, karena dari beberapa ayat tantang kekuasaan mutlak

Tuhan, keadilan Tuhan, perbuatan-perbuatan Tuhan, dan sifat-sifat Tuhan,

dalam paparan tafsirnya cenderung kepada ketentuan Allah Swt, di mana

manusia tidak memiliki kemutlakan dan kekuasaan. Bahkan semua

perbuatan dan gerak langkah yang dilakukan manusia dan lain sebagainya

dikendalikan dan ditakdirkan oleh Allah.

Pada prinsipnya al-Syaukani dalam menafirkan ayat yang

berhubungan dengan kalam, memahami pendekatan metode ijtihad yang

tidak terlepas dari penggunaan dalil aqli dan naqli. Sehingga tergambar

Page 224: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

185

bahwa di dalam kalam al-Syaukani lebih menitik beratkan kepada bagaimana

Allah mengatur dan menentukan terhadap apa yang ada pada kehidupan

manusia baik di dunia maupun di akhirat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrazik, Mustafa, Tamhîd li Tarikh al-Falsafat al-Islamiyyat, Kairo:

Matba’ah Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamat wa al-Nasyr, 1959 Abduh, Muhammad, Risâlah al-Tauhîd, Kaior: Dâr al-Manâ, 1366 H. Abdul Bâqî, Muhammad Fu’ad, al-Mu’jâm al-Mufharas li al-Fâz al-Qur’ân,

Beirut: Dâr al-Fikr, 1987. Abdullah, Taufik, (ed.), Abdul Aziz Dahlan..(et al.), Suplemen Ensiklopedi

Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996. Abdul Hamid, Irfan, Dirasat fi al-Firaq wa al-Aqâ’id al-Islamiyyah, Baghdad:

Matba’ah As’ad, t.th. ‘Abdul Jabbar, Al-Qadi, Syarh al-Usûl al-Khamsah, Kairo: Maktabah

Wahbah, 1960. _______, Mutasyâbih al-Qur’ân, Adnan Muhammad Zarzawar (ed.), Kairo:

Dâr al-Turâs, 1969. al-Abr, Abdullatif Muhammad, al-Usûl al-Fikriyyah lî al-Madzhâb ahl al-

Sunnah, Kairo: Dâr al-Nahdah, t.th. Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Mesir, Mustafa al-Bâbî al-Halabî, 1952. Abu Zahrah, Muhammad, al-Imâm Zaid Hayâtuhu wa Ara’uh wa Fiqhuh, Dâr

al-Fikr al-‘Arabi, 1974.

Page 225: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

186

_______, Tarikh al-Madzhab al-Islâmiyyah, kairo: Dâr al-Fikr, t.th. _______, al-Madzâhib al-Islâmiyyah, Kairo: Maktabah al-Adab, t.th. _______, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, terj. Abdurrahman Dahlan

dan Ahmad Qarib, Jakarta: Logos, 1996. al-Afriqi, Ibnu Manzûr, Lisân al-‘Arab, Beirut: Dâr al-Sadîr, tth. al-‘Amiri, Mi‘ah ‘Am min Tarikh al-Yaman al-Hadîts, Damaskus, Dâr al-Fikr,

t.th. Amîn, Ahmad, Duha al-Islâm, Kairo: Nahdah al-Misriyah, t.th. Arief, Ahmad Fahmy, Pemikiran Politik Dalam Tafsîr Fath al-Qadîr, Disertasi

IAIN Jakarta, 1997. al-Asy’ary, Abû al-Hasan ‘Ali ibn Ismail, Kitâb al-Luma’ fî al-Radd ‘alâ Ahl al-

Zaig wa al-Bida’, Mesir: Matba’ah Munîr, 1955. _______ , al-Ibânat ‘an Usûl al-Diyânat, Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Araâbî, 1985. _______ , Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Teologi Islam, terj. Rosihon Anwar dan

Taufiq Rahman, Bandung: Pustaka Setia, 2000. Atiyatullah, Ahmad, al-Qâmus al-Islâmî, Kairo: al-Nahdah al-Misriyyah, 1976. al-Baghdâdî, Abdul Qahir bin Tahir bin Muhammad, al-Farq bain al-Firâq,

Kairo: Maktabah Muhammad ‘Ali Subaih wa Autâtuh, t.th. Bakker, Anton dan Achmad Charris Zubeir, Metodologi Penelitian Filsafat,

Yogyakarta: Kanisius, 1990. Baidan, Nasruddin, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2000.

Page 226: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

187

Baqir, Muhammad, Madrasah al-Qur’aniyyah: al-Tafsîr al-Maudu’i wa al-

Tafsîr al-Tajzi’I fî al-Qur’ân al-Karîm, Beirut: Dâr al-Ta’âruf li al-Matbu’ah, t.t.

al-Bazdawi, Abu al-Yusuf Muhammad bin Muhammad bin ‘Abdul Karim,

Kitâb Usûl al-Dîn¸Kairo: Dâr al-Ihyâ’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1963. Brockelmen, C., History of The Islamic Peoples, London: Routledge dan

Kegan Paul, t.th. al-Dawwani, Syarh al-Aqâid al-Adudiyyah, Kairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1958. Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an,

al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta: CV. Katoda, 2005. al-Dzahabî, Muhammad Husein, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Kairo: Maktabah

Wahbah, 2005. al-Farmawi, Abd. Al-Hayy, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudû‘I, (Dirâsah

Manhajiyyah Mauduiyyah, 1977. _______, Metode Tafsir Mawdu’i: Suatu Pengantar, Terj. Suryan A. Zamrah,

(Jakarta: Rajawali Press, 1994. al-Ghazâlî, al-Iqtisâd fî al-I‘tiqâd, Kairo: Maktabah al-Husain al-Tijariyah, t.th. al-Ghurâbi, Mustafa, al-Firâq al-Islamiyyah wa Nasy’ah ‘Ilm al -Kalâm ‘Inda

al-Muslimin, Mesir: Muhammad ‘Ali Sahib, tt. Goldziher, Ignaz, Pengantar Teologi dan Hukum Islam, terj. Heri Setiawan,

Jakarta: INIS, 1991. Gibb, H. A.R., et.all. The Enciclopedy of Islam, Leiden: Ej. Brill, 1960.

Page 227: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

188

Hamblin, Wj., dan Petterson, Daniel C., John L. Esposito (ed.), The Oxford Enscylopedia of The Muslim Modern Islamic World, Oxford: Oxford University Press, 1995

Hanafi, A., Pengantar Theologi Islam, Jakarta: PT. al-Husna Zikra, 1995. Harahap, Syahrin, Penuntun Penulisan Karya Ilmiah Studi Tokoh Dalam

Bidang Pemikiran Islam, Medan: IAIN Press, 1995. Hilal, Ibrahim Ibrahim, Walâyatullah wa al-Tarîq Ilaihâ, Kairo: Dâr al-Kutub

al-Haditsah, t.th.

http://kisahislam.com/index.php?option=com_content&task=view&id=88&Itemid=4.

Ibn Hanbal, Imâm Ahmad, Musnâd Ahmad ibn Hanbal, Beirût: Dâr al-Sadîr, t.th.

Ibn Khaldun, Muqaddimah al-‘Allâmah Ibn Khaldun, Beirut: Dâr al-Fikr,

1981. Ibn Taimiyah, Taqiyuddîn, Muqaddimah fî Usûl al-Tafsîr, Kuwait: Dâr al-

Qur’ân al-Karîm, 1971. Ibn Zakariya, Abî al-Husein Ahmad ibn Faris, Maqâyis al-Lughah, Mesir:

Mustafa al-Babi al-Halabi, 1970. Ilhamuddin, Pemikiran Kalam al-Baqillani Studi Persamaan dan

Perbedaannya dengan al-Asy’ari, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997

Iyazi, al-Sayyid Muhammad ‘Ali, al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manâhijuhum,

Teheran: Mu’assasah al-Tab’ah wa al-Nasyr Wazarah al-Tsaqafah wa al-Irsyâd al-Islâmî, tt.

Page 228: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

189

Imarah, Muhammad, al-Mu’tazilah wa Musykilah al-Hurriyyah al-Insâniyyah, Kairo: Dâr al-Syura, 1998.

al-Jurjani, ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali, al-Ta’rifât, Beirut: Dâr al-Kutub al-

‘Arabi, 1405 H. al-Maturidy, Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud,

Fathullah Khalifah (ed.), Kitâb al-Tauhîd, Istambul, Turki: al-Maktabah al-Islâmiyyah, 1979

Kahhalah, Umar Muhammad Rida, Mu’jam al-Mu’allifîn, Beirut: Maktabah al-

Musanna, t.th. al-Khatib, Muhammad Âjaj, Usûl al-Hadîts, Beirut, Libanon: Dâr al-Hadîts,

t.th. al-Khâlidî, Salâh ‘Abdul Fattâh, Ta‘rîf al-Dârisîn Bimanâhij al-Mufassirîn,

Damsyik, Dâr al-Qalam, tt. Komaruddin, Kamus Riset, Bandung: Angkasa, 1984. al-Marâghi, Ahmad Mustofa, Tafsîr al-Marâghî, Bairut: Dâr Ihya’ al-Turâs al-

‘Arabi, t.th. Mâlik, Imâm, al-Muwatta’, Mesir: Kitâb al-Sya’bab, t.th. Ma‘luf, Luis, al-Munjid, Beirut: Dâr al-Masyrîq, tt. Muhajir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Yake Sarasin,

1996. Mûsa, Muhammad Yûsuf, al-Qur’an wa al-Falsafah, Kairo: Dâr al-Ma‘ârif,

t.th. Munawwir, A. Warson, Kamus al-Munawwir, Yogyakarta: Unit Pengadaan

Buku PP al-Munawwir, 1984.

Page 229: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

190

Mun‘im, Abdul, Tarikh al-Hadarat al-Islâmiyyah fî al ‘Usr al-Wusta, Mesir:

Maktabah al-Anjlu al-Misriyyah, 1978. Majalah Al Furqon Edisi 12 tahun V/ Rajab 1427/Agustus 2006 Nader, Albert N., Falsafah al-Mu‘tazilah, Alexandria: Matba‘ah Nasyr al-

Tsaqafah, 1950. Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,

Jakarta: UI Press, 1983 _______, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1979. _______, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta: UI

Press, 1987. Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada

University Press, 2003. Nizar, M., Metodologi Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988. Qasim, Mahmûd, Dirâsat al-Falsafah al-Islâmiyyah, Mesir: Dâr al-Ma‘ârif,

1973. al-Qattân, Mannâ‘ Khalîl, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Mansyûrât al-

‘Asr al-Hadîts, 1393 H. Rahmân, Fazlur, Islam and Modernity, Chicago: Universitas of Chicago Press,

1982. Rusli, Nasrun, Konsep Ijtihad al-Syaukânî Relevansinya Bagi Pembaharuan

Hukum Islâm di Indonesia, Jakarta: Logos, 1999

Page 230: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

191

_______, Konsep Ijtihad al-Syaukânî dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum di Indonesia, Disertasi IAIN Syarif Hidayatullah Jakartah, 1998.

al-Sâbûnî, Muhammad ‘Ali, al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Âlim al-

Kutub, 1985. al-Salus, Ali Ahmad, Ensiklopedi Sunnah – Syiah Studi Perbandingan Aqidah

dan Tafsir, Ma‘a al-Syi‘ah al-Itsnâ ‘Asyariyah fî al-Usûl wa al-Furû‘ (Mausû‘ah Syâmâh) Dirâsah Muqâranah fî al-Hadîts wa ‘Ulûmih wa Kutubih, terj. Bisri Abdussomad, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001.

Salih, Subhi, Ulûm al-Hadis wa Mustalahuhu, Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malayîn,

1977. Shihab, M. Quraish, pengantar bukunya M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran

Kalam Tafsir al-Azhar Sebuah Telaah Atas Pemikiran Hamka Dalam Teologi Islam, (Jakarta: Penamadani, 2003.

_______, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta:

Lentera Hati, 2002 Subhi, Ahmad Mahmud, al-Falsafah al-Akhlâqiyyah fî al-Fikr al-Islâmî, Kairo:

t.p., t.th. al-Suyûtî, Jalâl al-Dîn, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an, Beirut: Dâr al-Fikr: tt. Syafi’I, M., Syarat-Syarat Illat menurut al-Syaukânî Kajian Terhadap Kitab

Irsyâd al-Fuhûl Pemikiran dan Praktek. Tesis IAIN Ar-Raniri Darussalam – Banda Aceh, 1993.

al-Syahrastanî, Imâm Abî al-Fath Muhammad bin ‘Abdul Karîm, ta’liq al-Ustadz Ahmad Nahmi Muhammad, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.

_______ , Kitâb Nihâyah al-Iqdâm fî ‘ilm al-Kalâm, Alfred Guillaume (ed.),

London: Oxford University Press, 1934.

Page 231: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

192

Syalabi, A., Mausu’ah al-tarîkh wa al-Hadarah al-Islâmiyyah, al-Maktabah al-

Nahdah al-Misriyyah, 1979 al-Syaukânî, Muhammad ibn Ali Muhammad, Fath al-Qadîr, tahqîq dan

takhrîj Sayyid Ibrâhîm, Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007. _______ , al-Rasâ’il al-Dawa’ al-‘ajil fî Daf al-‘Aduw al-Sail dalam al-Rasa’il al-

Rasa’il al-Salafiyyah fi Ihya Sunnah Khair al-Bariyyah Sallallah ‘Aliah wa Sallam, Beirut: Matba’ah al-Sunnah al-Muhammadiyah, 1347 H.

_______ , Syaikh al-Imâm Muhammad bin ‘Ali, Kitâb al-Sail al-Jarâr al-

Mutadaffiq ‘alâ Hadâiq al-Azhâr, Kairo: tp. 1982.

_______ , al-Badr al-Tali bi Mahâsin Man Ba‘d al-Qarn al-Sabi‘, Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, t. th.

_______ , Nail al-Autâr, Syarah Muntaqa al-Akhbâr, Beirut: Dâr al-Fikr, 1983 Taba’taba’I, Muhammad Husain, Shi’a, terj. Husein Nasr dan Ansariyah,

Iran: Qum, 1981. _______ , Mengungkap Rahasia al-Qur’an, terj. A. Malik Madany dan Hamim

Ilyas, Bandung: Mizan, 1993. al-Tsabt, Khalid Utsmân, Qawâ’id al-Tafsîr Jam’an wa Dirâsatan, al-

Mamlakah al-‘Arâbiyyah al-Su‘ûdiyyah: Dâr ibn Affan, 1999. Yusuf, M. Yunan, Alam Pikiran Manusia: Pemikiran Kalam, Jakarta: Pustaka,

1990. _______, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar Sebuah Telaah Atas

Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, Jakarta: Penamadani, 2003 al-Zarkasyi, Badruddîn Muhammad bin Abdullah, al-Burhân fî ‘Ulûm al-

Qur’ân, Bairut-Libanon: Isa al-Bab al-Halabi, t.th. .

Page 232: Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN 2007

193

al-Zarqânî, al-Syaikh Muhammad ‘Abdul ‘Adim, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm al-

Qur’ân, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.