Harta dalam Perspektif Islam
1. Harta
1.1. Pengertian harta
Pengertian harta (maal) dalam bahasa Arab ialah apa saja yang dimiliki
manusia. Kata maal itu sendiri berakar dari kata dan frase: مول
تمو� ، ملت ، تمو ، لت
sebagaimana Rasulullah bersabda dalam sebuah Hadits:" Sebaik-baik
maal ialah yang berada pada orang yang saleh." (Bukhari dan Muslim)
pengertian harta secara Istilah Madzhab Hanafiyah: Semua yang mungkin
dimiliki, disimpan dan dimanfaatkan. Dua unsur menurut madzhab: 1.
Dimiliki dan disimpan 2. Biasa dimanfaatkan dan menurut Jumhur
Fuqaha; Setiap yang berharga yang harus diganti apabila rusak, menurut
Hambali: apa-apa yang memiliki manfaat yang mubah untuk suatu
keperluan dan atau untuk kondisi darurat. Imam Syafii: barang-barang
yang mempunyai nilai untuk dijual dan nilai harta itu akan terus ada
kecuali kalau semua orang telah meninggalkannya (tidak berguna lagi
bagi manusia). Ibnu Abidin: segala yang disukai nafsu atau jiwa dan bisa
disimpan sampai waktu ia dibutuhkan. As Suyuti dinukil dari Imam Syafii:
tidak ada yang bisa disebut mal (harta) kecuali apa-apa yang memiliki
nilai penjualan dan diberi sanksi bagi orang yang merusaknya. Harta (nilai
harta).
1.2. Harta dalam Ekonomi Islam
Islam memandang harta dengan acuan akidah yang disarankan Al-Qur’an,
yakni dipertimbangkannya kesejahteraan manusia, alam, masyarakat dan
hak milik. Pandangan demikian, bermula dari landasan iman kepada
Allah, dan bahwa Dia-lah pengatur segala hal dan kuasa atas segalanya.
Manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya karena hikmah Ilahiah. Hubungan
manusia dengan lingkungannya diikat oleh berbagai kewajiban, sekaligus
manusia juga mendapatkan berbagai hak secara adil dan seimbang.
Kalau harta seluruhnya adalah milik Allah, maka tangan manusia
hanyalah tangan suruhan untuk jadi khalifah. Maksudnya manusia adalah
khalifah-khalifah Allah dalam mempergunakan dan mengatur harta itu.
Ada tiga asas pokok tentang harta dalam ekonomi Islam, yaitu:
1. Allah Maha Pencipta, bahwa kita yakin semua yang ada di bumi dan di langit
adalah ciptaan Allah.
2. Semua harta adalah milik Allah. Kita sebagai manusia hanya memperoleh
titipan dan hak pakai saja. Semuanya nanti akan kita tinggalkan, kita kembali
ke kampung akhirat.
3. Iman kepada hari Akhir. Hari Akhir adalah hari perhitungan, hari pembalasan
terhadap dosa dan pahala yang kita perbuat selama mengurus harta di dunia
ini. Kita akan ditanya darimana harta diperoleh dan untuk apa ia digunakan,
semua harus dipertanggungjawabkan.
1.3. Pengelolaan harta dalam islam
Ada 3 poin penting dalam pengelolaan harta kekayaan dalam Islam
(sesuai Al-Qur’an dan Hadits); yaitu:
1. Larangan mencampur-adukkan yang halal dan batil. Hal ini sesuai dengan
Q.S. Al-Fajr (89): 19; ”Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara
mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil)”
2. Larangan mencintai harta secara berlebihan Hal ini sesuai dengan Q.S. Al-
Fajr (89): 20; ”Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang
berlebihan”
3. ”Setiap muslim terhadap muslim lainnya haram darahnya, hartanya dan
kehormatannya” (hadits Muslim)
Memproduksi barang-barang yang baik dan memiliki harta adalah hak
sah menurut Islam. Namun pemilikan harta itu bukanlah tujuan tetapu
sarana untuk menikmati karunia Allah dan wasilah untuk mewujudkan
kemaslahatan umum. Dalam Al-Quran surat Al-Hadiid (57):7 disebutkan
tentang alokasi harta.
”Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu
’menguasainya’. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu akan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.”
Yang dimaksud dengan menguasai disini ialah penguasaan yang bukan
secara mutlak. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, hak milik pada
hakikatnya adalah milik Allah. Manusia menafkahkan hartanya itu
haruslah menurut hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah. Karena
itu tidak boleh kikir dan boros.
Belanja dan konsumsi adalah tindakan yang mendorong masyarakat
berproduksi sehingga terpenuhinya segala kebutuhan hidupnya. Jika
tidak ada manusia yang bersedia menjadi konsumen, dan jika daya beli
masyarakat berkurang karena sifat kikir melampaui batas, maka cepat
atau lambat roda produksi niscaya akan terhenti, selanjutnya
perkembangan bangsa akan terhambat.
Islam mewajibkan setiap orang membelanjakan harta miliknya untuk
memenuhi kebutuhan diri pribadi dan keluarganya serta menafkahkan di
jalan Allah. Dengan kata lain Islam memerangi kekikiran dan kebakhilan.
Larangan kedua dalam masalah harta adalah tidak berbuat mubadzir
kepada harta karena Islam mengajarkan bersifat sederhana. Harta yang
mereka gunakan akan dipertanggungjawabkan di hari perhitungan.
Sebagaimana seorang muslim dilarang memperoleh harta dengan cara
haram, maka dalam membelanjakannya pun dilarang dengan cara yang
haram. Ia tidak dibenarkan membelanjakan uang di jalan halal dengan
melebihi batas kewajaran karena sikap boros bertentangan dengan
paham istikhlaf harta majikannya (Allah). Norma istikhlaf adalah norma
yang menyatakan bahwa apa yang dimiliki manusia hanya titipan Allah.
Adanya norma istikhlaf ini makin mengukuhkan norma ketuhanan dalam
ekonomi Islam. Dasar pemikiran istikhlaf adalah bahwa Allah-lah Yang
Maha Pemilik seluruh apa dan siapa yang ada di dunia ini: langit, bumi,
manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, batuan, dans ebagainya, baik benda
hidup ataupun mati, yang berpikir ataupun tidak bepikir, manusia atau
nonmanusia, benda yang terlihat ataupun tidak terlihat
Islam membenarkan pengikutnya menikmati kebaikan dunia. Prinsip ini
bertolak belakang dengan sistem kerahiban Kristen, Manuisme Parsi,
Sufisme Brahma, dan sistem lain yang memandang dunia secara sinis.
Sikap mubadzir akan menghilangkan kemaslahatan harta, baik
kemaslahatan pribadi dan orang lain. Lain halnya jika harta tersebut
dinafkahkan untuk kebaikan dan untuk memperoleh pahala, dengan tidak
mengabaikan tanggungan yang lebih penting. Sikap mubadzir ini akan
timbul jika kita merasa mempunyai harta berlebihan sehingga sering
membelanjakan harta tidak untuk kepentingan yang hakiki, tetapi hanya
menuruti hawa nafsunya belaka. Allah sangat keras mengancam orang
yang berbuat mubadzir dengan ancaman sebagai temannya setan.
Muhammad bin Ahmad As-Shalih mengemukakan jika Islam telah
melarang berlaku boros, maka Islam juga telah menetapkan balasan bagi
orang yang menghamburkan harta kekayaan, yaitu mencegahnya dari
membelanjakan harta tersebut. Inilah yang disebut hajr. Menurut para
fuqaha, hajr adalah mencegah seseorang dari bertindak secara utuh oleh
sebab-sebab tertentu. Di antara sebab-sebab itu adalah kecilnya usia
sehingga harta itu tidak musnah karena kecurangan, tipu muslihat, dan
tindakan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Ada beberapa ketentuan hak milik pribadi untuk sumber daya ekonomi
dalam Islam:
1. harta kekayaan harus dimanfaatkan untuk kegiatan produktif (melarang
penimbunan dan monopoli);
2. pembayaran zakat serta pendistribusian (produktif/konsumtif)
3. penggunaan yang berfaidah (untuk meningkatkan kemakmuran dan
kesejahteraan material-spiritual)
4. penggunaan yang tidak merugikan secara pribadi maupun secara
kemasyarakatan dalam aktivitas ekonomi maupun non ekonomi
5. kepemilikan yang sah sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah dalam aktifitas transaksi ekonomi.
1.4.Larangan dalam membelanjakan harta
Larangan dalam Pembelanjaan Harta
"Maka terbenamlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi, maka tidak ada
baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap azab Allah dan
tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya)." (Qs.28:81)
Ayat di atas merupakan salah satu bukti keserakahan akibat dari terlalu cinta
terhadap harta sehingga lupa bahwa harta merupakan amanat Allah dan dari
sebagian harta tersebut terdapat kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi.
Fenomena Karun, apabila dicermati lebih mendalam merupakan salah satu
contoh riil dari kecintaan secara berlebihan terhadap harta yang mengarahkan
pada suatu keyakinan bahwa hartanya dapat mengekalkan kehidupannya.
Secara bijaksana al-Qur'an telah menginformasikan suatu larangan berdimensi
sosial untuk kesejahteraan manusia agar harta tidak hanya dimiliki oleh
segelintir orang saja. Larangan dalam pembelanjaan harta melingkupi tiga (3)
macam, antara lain:
Pertama, larangan bersikap kikir/bakhil dan menumpuk harta. Kesadaran untuk
membantu penderitaan yang dialami orang-orang yang kekurangan sangat
mendapatkan porsi yang besar di dalam Islam. Keseimbangan yang diciptakan
Allah dalam bentuk aturan-aturan yang bersifat komprehensif dan universal
yaitu al-Qur'an dalam konteks hubungan sosial, apabila diimplementasikan
dengan mengambil suri teladan para Nabi dan Rasul dan orang-orang beriman
masa lalu membawa dampak terhadap distribusi pemerataan tingkat
kesejahteraan.
Sikap kikir sebagai salah satu sifat-sifat buruk manusia (lihat Qs.70:19) harus
dikikis dengan menumbuhkan kesadaran bahwa harta adalah amanah Allah swt
yang harus dibelanjakan sebahagian dari harta tersebut kepada orang-orang
yang berhak mendapatkannya.
Larangan kikir terhadap harta membuktikan kurangnya nilai kepekaan sosial,
padahal manusia sebagai makhluk sosial (homo_homini_lupus) tidak hanya
hidup sendiri tetapi membutuhkan pertolongan orang lain walaupun tidak
secara langsung terjadi interaksi.
Sikap kikir akan mengarahkan manusia pada kategori orang-orang yang
sombong dan membanggakan diri, dengan menganggap harta yang dimiliki
hasil dari jerih payah sendiri tanpa sedikitpun bantuan pihak lain, padahal Allah
swt sebagai Pemilik semesta alam beserta isinya termasuk harta yang dimiliki
manusia. Firman Allah swt di dalam surat al-Hadiid ayat 23-24: "....Dan Allah
tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri, (yaitu) orang-
orang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir...." (Qs.57:23-24).
Label sombong yang diberikan oleh Allah swt kepada orang-orang yang kikir,
kalau ditelaah lebih jauh lagi membawa paradigma baru (pelaksanaan nilai-nilai
Islami) menuju pemerataan kesejahteraan dengan meninggalkan paradigma
lama (sikap kikir). Selanjutnya lihat Qs. 4:36-37, 3:180, 9:34-35, 70:15-18, 92:8-
11, dan 47:36-38).
Sikap kikir tumbuh dari perilaku menumpuk-numpuk harta dan menghitung-
hitung harta tersebut serta mempunyai anggapan bahwa harta tersebut dapat
mengekalkan hidupnya. Ada sebuah peringatan dalam al-Qur'an yang berbunyi:
"Kecelakaan bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta
dan menghitung-hitungnya. Dia mengira hartanya itu dapat mengekalkannya.
Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam
huthanah." (Qs.104:1-4).
Kedua, larangan berlebih-lebihan dan bermewah-mewahan. "Hai anak Adam,
pakailah pakaianmu yang indah setiap (memasuki) mesjid, makan, minumlah,
dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berlebih-lebihan." (Qs.7:31)
"Bermegah-megahan telah melalaikan kamu sampai kamu masuk ke dalam
kubur." (Qs.102:1-2)
Kedua ayat di atas secara tegas memberikan arahan untuk menghindari sikap
berlebih-lebihan dan bermegah-megahan dalam hidup.
Fenomena zaman di tengah badai krisiS yang melanda bangsa Indonesia sangat
tepat untuk mengimplementasikan larangan berlebih-lebihan dan bermegah-
megahan. Paradigma sikap hidup berlebih-lebihan dan bermegah-megahan di
tengah kondisi sosial masyarakat yang serba kekurangan, membawa dampak
kecemburuan sosial dan terbentuknya pengkotak-kotakan struktur sosial
masyarakat.
Tanpa landasan aqidah yang kuat pada struktur sosial masyarakat,
menimbulkan dampak timbulnya kriminalitas disebabkan adanya kesenjangan
sosial yang kian menguat. Terjadinya pemborosan-pemborosan di satu sisi
sebagai salah satu pengaruh 'pola hidup konsumtif' dan di sisi lain tingkat
kemiskinan semakin bertambah besar. Secara realistis fenomena tersebut
menimbulkan dua struktur sosial yang saling kontradiktif, apabila tidak
dilakukan upaya-upaya penyelesaian akan mengarah pada kekecewaan sosial
yang merupakan bentuk lebih jauh dari kecemburuan sosial. Problematika
tersebut kian meruncing karena semakin menipisnya tingkat 'kepercayaan'
pada pemerintahan dan semua lini kehidupan akan terakumulasi menjadi
'revolusi sosial' yang membawa dampak terhadap kestabilan bangsa dan
negara.
Secara tidak langsung al-Qur'an telah mengajak berdialog dalam sebuah ayat
antara lain: "Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara
syaithan dan syaithan itu ialah sangat ingkar kepada Tuhannya." (Qs.17:27)
Nasehat tersebut apabila direfleksikan dalam kehidupan modern dewasa ini
memberikan kontribusi yang sangat besar dalam upaya menciptakan
ketentraman dan keamanan berbangsa dan bernegara. Selanjutnya lihat Qs.
46:20, 3:14, 18:28, 28:77-78, 34:34-37, 57:20, 89:20, 3:10.
Pembahasan mengenai berlebih-lebihan dan bermewahan-mewahan dalam
penggunaan harta sangat terkait dengan konsumsi hidup yang mencakup
kebutuhan sandang, pangan, papan, secara spesifik al-Qur'an telah
memberikan suatu nasehat yang sangat berharga yaitu: "Maka makanlah yang
halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah
nikmat Allah jika hanya kepada-Nya saja kamu menyembah." (Qs.16:114)
Cakupan pembahasan di atas merupakan larangan mengkonsumsi makanan-
makanan yang diharamkan termasuk di dalamnya khamr (lihat Qs.5:90-93),
larangan mengkonsumsi bangkai, darah, babi, binatang yang disembelih
disebut selain nama Allah, hewan yang dicekik, dipukul, jatuh, ditanduk dan
jenis makanan lainnya yang telah ditetapkan syari'ah (selanjutnya lihat Qs.5:3-
4, 5:96, 2:168, 2:173, 7:32, 5:90).
Ketiga, larangan riba. "Orang yang makan (mengambil riba) tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaithan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,
padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-
orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya
dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-
penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya." (Qs.al-Baqarah:275)
Penegasan yang sangat jelas dari ayat di atas memberikan penjelasan
mengenai larangan riba dalam realisasi sistem perekonomian. Riba patut
mendapatkan porsi pembelanjaan harta karena sangat berkaitan dengan
praktek-praktek yang telah berjalan pada penggunaan harta dalam masyarakat.
Riba terdiri dari 2 (dua) macam yaitu nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah
pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan sedangkan
riba fadhl adalah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi
lebih banyak jumlahnya karena yang menukarkan mensyaratkan demikian,
seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi dan sebagainya. Riba
yang dimaksud dalam ayat ini adalah riba nasiah yang berlipat ganda dan
umum terjadi dalam masyarakat Arab jahiliyah.5 (Selanjutnya lihat Qs.2:276-
279, 3:130-131, 30:39, 4:161).
Keempat, yaitu larangan riya. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan
menyakiti (perasaan sipenerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya
karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada
tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak
bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka
usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir."
(Qs.2:264)
Ayat di atas merupakan peringatan dari al-Qur'an agar dalam beramal tidak
diiringi dengan riya. Riya merupakan penyakit yang harus segera diobati
dengan menghilangkan sikap riya tersebut. Amal orang-orang yang riya akan
membawa kerugian karena amalan-amalan tersebut tidak mendapatkan pahala
di sisi Allah.
Riya ialah melakukan suatu amalan perbuatan bukan untuk mencari keridhaan
Allah tetapi untuk mencari pujian dan kemashuran dalam masyarakat. Dalam
dataran pembelanjaan harta, riya sangat merusak keharmonisan hubungan
antar manusia (human relation) karena akan menyebabkan dua kerugian yaitu
kerugian terhadap penerima harta tersebut dan pemberi itu sendiri. Bagi
penerima kerugian yang diterima ialah perasaan 'sakit', sedangkan bagi
pemberi akan menyebabkan kerugian berupa hampanya amal dari pemberian
harta tersebut. (Selanjutnya lihat Qs.8:47, 4:38, 3:18, 107:6).
Daftar pustaka
Muhammad Yusuf, "Perspektif al-Qur'an tentang al-Qasas" (Yogyakarta: STIS, 1999), hal.1.
Untuk mengetahui metode ini lebih jauh bisa baca bukunya Noeng Muhadjir, "Metodologi Penelitian
Kualitatif" (Yogyakarta: Rakersorasin, 1996), hal.49-51. 3 - Afzoekir Rahman, "Doktrin Ekonomi Islam jilid I", penerjemah: Soenoyo (Yogyakarta: Dara Bakti
Wakaf, 1995), hal.83. 4 - Ibid. 5 - "Al-Qur'an dan Terjemahnya" (Jakarta, Departemen Agama, 1971), hal.69.
Top Related