Download - Halmahera , the ghost

Transcript
Page 1: Halmahera , the ghost

HALMAHERA

Portal Masa Lalu

NOi EVERAIN

Bab 0Kaum Moro

Page 2: Halmahera , the ghost

Kelam telah menunggangi langit diantara bayang-bayang belantara.

Permainan kolosal saling bersiul dari sisi tersembunyi hutan yang bertaburan

di punggung pegunungan daratan tertua. Terdengar alat musik tiup suku purba

pedalaman yang tak ingin tertemukan.

Mereka mengisolasikan diri di rimba Halmahera. Dan membantah

dunia luar yang asing. Tampaknya segala ritual pemanggilan pemilik alam ruh

untuk melindungi mereka lebih mendominasi sikap bijaknya.

Beberapa orang meragukan keberadaan mereka, tak tersentuh dan ada

larangan telak untuk membicarakannya. Ruh hitam telah menganggap bangsa

itu dalam kesatuan mereka. Merekalah bangsa terdalam Moro.

“Tanah kita dirampas. Biri-biri itu akan memakan rumput kita!” Salah

satu dari mereka menyeruduk pemukiman yang berupa tenda akar liar.

Kaumnya mengikut sambil menghapus jejak kehidupannya.

Sekejap semuanya telah kosong. Perdu dan pohon pun bersekongkol

menyimpan rapat-rapat rahasia mereka. Mereka bersembunyi tak begitu jauh.

Bahkan hanya sehasta dari para “biri-biri” berkuda itu menghentikan

langkahnya dengan tiba-tiba.

Satu dari mereka melompat dari punggung kuda. Ia membuka kerudung

kebesarannya. Wanita itu menatap pilu seseorang yang masih saja tegak di atas

tunggangannya.

“Apa kau yakin meninggalkanku di sini?” suaranya mengiba.

“Geffon, tak ada pilihan lain. Koloni Van Wierk telah melewati batas

pelabuhan…”

“Al, tapi mereka tak akan merampas apapun dari kita.”

“Benar.” Pria di atas kuda itu melanjutkan. “Tapi Portugis yang akan

memotong lidah siapa saja yang berdamai dengan selain mereka.”

“Lalu apa yang kau pilih?”

“Kebebasan.”

“Hanya itu, Al?”

1

Page 3: Halmahera , the ghost

“Aku seorang Raja Halmahera. Dan pilihanku adalah kehidupan kalian

semua diatas jiwa yang utuh.” Jawaban itu terdengar seperti bisikan keras.

“Tak ada pilihan terbaik. Selain berperang.”

Pria itu memutar kudanya.

“Tunggu Al…” si wanita berusaha meraih kaki sang raja. “Sebentar

lagi kau akan memiliki…” Suaranya teredam derap kuda yang berlari dan ia

menelan kalimatnya yang belum berakhir.

Sebentar lagi kau akan memiliki anak, ia melanjutkan kata-kata itu

untuk dirinya sendiri. Geffon melihat ke sekitar hutan, angin kecil melewati

telinganya, seperti memberi bisikan yang menyuruhnya lari. Lari jauhlah,

segera menjauh…”

Dan bisikan itu berakhir. Bisikan itu benar, seharusnya ia berlari. Tapi

terlambat untuk sekarang. Para makhluk berkoteka mengepungnya. Entah dari

mana mereka muncul, tampaknya mereka meyusup begitu saja dari

penglihatan.

Tangannya pendek sebatas dada, sementara kakinya kurus melengkung

setinggi kuda. Dengan mata tanpa biji hitam, mereka menumpulkan tatapan

ketakutan mangsanya.

“Sebaiknya kita apakan biri-biri ini?” Salah satu dari mereka bertanya

pada yang berjanggut penuh.

Si janggut penuh mencabut pisau dari belitan kain di pinggang

menggunakan kakinya. “Biri-biri layak dibunuh.” Ia membidik sasarannya.

Dan seorang wanita dari kaum Moro mencegah pisau itu meluncur

mengoyak. Ia berbicara dengan bahasa isyarat bibir tanpa suara.

“Baiklah. Kita biarkan dia dan anaknya hidup sampai pada waktunya.”

Ia berbalik sambil meludah.

Si wanita Moro medekat kepadanya. Geffon mundur perlahan dengan

takut. “Beruntung kau sedang hamil. Mari ikut aku,” katanya tanpa bahasa

isyarat.

Geffon mengikuti wanita itu menyeruak diantara kaum Moro yang

menatapnya dengan kebencian.

2

Page 4: Halmahera , the ghost

“M-mengapa kau menolongku?”

“Aku tidak menolongmu.” Suaranya serak. “Aku hanya memberitahu

kebenaran. Ada aturan kuno bagi kami, salah satunya adalah larangan

membunuh biri-biri yang tidur di dalam gua.”

“Biri-biri?” Geffon mengerut.

“Engkau dan sebangsamu bagi kami adalah biri-biri.”

“Lalu sampai kapan aku dan anakku dibiarkan hidup?”

“Sampai pada masanya.”

“Masa?”

Wanita Moro itu mengangguk. “Kami menunggu biri-biri itu keluar

dari gua.”

“Tidak…!” Geffon tiba-tiba menjerit. Ia hendak berlari namun si

wanita Moro lebih dahulu menelikung tangannya dengan kaki. “Biarkan aku

pergi. Anakku harus tetap hidup…”

Wanita Moro itu menepis kata-kata Geffon. “Aku akan mengajarkanmu

ilmu ramal. Suatu saat yang kau miliki itulah yang menjadikan kalian hidup.”

3

Page 5: Halmahera , the ghost

Bab 1”Tak sangka, lelakilah yang keluar dari perempuan itu.” Si wanita

Moro memberikan bayi itu pada kepala tua.

”Jangan bunuh dia,” suara lemah Geffon menghentikan si kepala tua

yang nyaris membanting bayi laki-laki itu. ”Aku sudah menjadi bagian dari

kaum kalian. Aku bisa melihat masa depan kaum kita akan keluar dari

persembunyiannya dan hidup normal seperti manusia lainnya. Kita akan

menjadi raja diantara kaum mereka. Dan raja itu adalah bayi laki-laki

ditanganmu itu.”

Lima pasang mata di ruang itu melompat kepadanya lalu melihat sang

kepala tua dengan keterkejutan yang sama.

”Itu benar,” si wanita Moro menambahkan. ”Dia mewarisi ilmu

ramalanku dengan baik. Dia menjadi bagian kita.”

”Tapi bayi ini bukan kaum kita.”

”Suatu saat dia akan menjadi yang terbaik diantara kita,” kata Geffon.

”Aku berjanji.”

”Kenapa kita harus percaya padanya?” seorang Moro lain berteriak.

”Ada larangan besar bagi peramal untuk berdusta,” kata si wanita moro

mematahkan keraguan mereka. ”Lalu apa rencanamu, Geffon?”

”Aku akan membiarkan sungai membawanya kepada bapak yang telah

membuangnya.”

***

”Anak siapa ini?”

Seorang dayang datang tergopoh-gopoh memberitahukan pada

permaisuri yang mandi tak jauh darinya.

Sungai tiba-tiba meramai oleh dayang-dayang yang berkerumun ingin

melihat apa yang terjadi. Permaisuri menggendongnya membawa ke istana dan

ia merajuk pada raja untuk mengangkat bayi itu menjadi anak mereka.

4

Page 6: Halmahera , the ghost

”Al bayi ini tak ada berbahayanya sama sekali. Apa yang salah jika kita

mengangkatnya jadi anak?” Sang permaisuri berkata. “Toh engkau tak punya

keturunan yang akan meneruskan tahtamu.”

Sang raja menghela nafas dengan berat. “Beri dia nama Quarenci

Ghobadi.”

***

27 Tahun Berlalu. Bayi itu mendewasa, dan ia telah menemukan

kehidupannya. Tentang bagaimana ia dibuang dan kembali pada bapak yang

tak pernah tahu bahwa ia memiliki seorang anak kandung.

Begitulah hingga akhirnya Quarenci menjadi raja Halmahera

menggantikan Al. Ia berusaha keras mempersatukan kaum Moro dengan

kaumnya saat pergolakan diantara perbedaan mereka tak bisa berbaur. Kaum

Moro yang bersatu dengan manusia menamakan dirinya pengikut muslim.

Sementara mereka yang tak ingin bersekutu dengan manusia, memilih

tetap berada dalam belantara dan tak tertemukan. Hingga suatu masa, lahir

putra kedua Quarenci. Ketika itu menginjak tengah malam, dan Quarenci

memacu kudanya ke dalam hutan.

Raja itu menitipkan bayinya pada kaum Moro suku terdalam. Mereka

menyambut bayi itu dengan dendam tersembunyi.

“Kenapa kau memberikannya pada kami?”

“Jika aku memiliki dua anak maka kerajaanku harus dibelah menjadi

dua. Aku tak ingin semua itu terjadi.”

“Bagaimana jika kami membunuhnya?”

“Tak masalah bagiku. Tapi ramalan Geffon mengatakan bayi itu akan

mendewasa dan menjadi seorang pemimpin diantara kalian.”

Waktupun berlalu. Quarenci telah menginjak tua, dan anak pertamanya

Togu Ghobadi mewarisi tahta kerajaan seutuhnya. Ramalan Geffon

mengatakan kebenaran bahwa bayi yang terbuang itu akan menjadi pemimpin

bangsa Moro yang membelot dari kodratnya. Namun ramalan itu tak

mengatakan malapetaka besar yang akan terjadi.

5

Page 7: Halmahera , the ghost

Dendam masa lalu yang membuat Kaum Moro terpecah memicu

perang saudara demi merebut wilayah kekuasaan.

Quarenci terbunuh ketika ia sedang tertidur. Salah satu penyusup

menikamkan pisau bengkok ke lehernya. Sementara itu Togu dan Ona Ghobadi

melarikan dua anak mereka pada salah satu pedagang yang hendak berlayar ke

luar pulau.

“Nama bayi itu Eric Ghobadi,” kata Togu. “ Dan anak perempuan ini

Flori.” Ia melempar sekantong emas pada lelaki di atas kapal. “Aku akan

mengambilnya saat ia dewasa. Dan aku akan membayarmu dengan harta yang

lebih banyak lagi jika kau merawat mereka dengan baik. Aku berjanji”

“Bagaimana kau bisa menemukanku?”

“Aku Togu Ghobadi, keturunan Geffon.”

“G-geffon...?” lelaki itu memucat. “Dia peramal yang menyebar

kutukan pada kaum pendatang di sini.” Dengan segera ia melempar kantong

uangnya seperti membuang bara api dari telapak tangannya.

“Untuk tiga kantong emas?”

Pedagang itu tetap menggeleng. Ia menarik jangkarnya bersiap

meninggalkan daratan.

“Sepuluh kantong emas?” kata Togu dengan putus asa. “Penawaran

terakhir.”

Lelaki itu menoleh. “Untuk sepuluh kantong emas.”

***

6

Page 8: Halmahera , the ghost

2

Kematian yang terlupakanPagi ini sedingin es setelah hujan pertama di bulan Juli. Orang-orang

berlalu-lalang dengan mantel bulu domba besar-besar. Memasukkan kedua

telapak tangan dengan rapat pada saku mantel. Beserta kerudung kepala

kebesaran, mereka berjalan pelan, tertunduk dan gemetaran. Kelihatannya

mantel mereka tidak mampu menghalau hawa dingin yang terlampau parah.

Seorang wanita tua nyaris terjerembab karena menginjak mantelnya

sendiri yang menjumbai menyapu tanah. Tetapi ia beruntung telah menabrak

seorang anak laki-laki yang berjalan di depannya.

Anak itu terhuyung dengan kepala yang tetap tertunduk. Tampaknya ia

tidak ingin memperlihatkan wajahnya pada orang lain. Penampilannya tidak

seperti orang yang berniat keluar rumah. Ia mengenakan kaos tipis yang

bersembunyi di balik mantel lusuh, celana jins yang tidak menutup mata

kakinya, dan sepatu kets berlubang yang memperlihatkan ujung jarinya setiap

ia berjalan. Ia bersusah payah menahan dirinya agar tidak menggigil, tapi

tampaknya kerja keras itu sia-sia.

"Oh, maaf, nak!" kata wanita tua itu sambil membetulkan letak kaca

matanya yang merosot. Kelihatannya kaca mata itu terlalu besar untuk ukuran

wajahnya yang mungil. Sekilas wanita tua itu memperhatikan anak laki-laki

yang telah menyelamatkannya dari kecelakaan fatal bagi para manula yang

terjatuh.

Mata tua yang tampak letih itu menyusur ujung kaki hingga ujung

rambut lawan bicaranya. “Siapa namamu, nak?” tanyanya. “Kau sungguh

mirip dengan anakku. Sungguh.”

"Eric—Eric Ghobadi," jawabnya dengan sangat pelan hingga hanya

terdengar seperti sebuah dengkuran. lalu si wanita tua mendekatkan telinganya

ke mulut bocah itu.

“Apa? tidak dengar!”

Ia berteriak jengkel. "Nama saya Eric, — Eric Ghobadi."

7

Page 9: Halmahera , the ghost

"Kau menyakiti telinga. Aku belum tuli,” dengusnya. “Aku hanya ingin

memastikan kaulah Eric yang aku tunggu selama ini.”

Eric menelan air liur yang tertampung dimulut. Diam-diam diamatinya

perempuan tua itu, ternyata ia berukuran kecil tapi hentakan tenaganya sangat

kuat.

“Namaku Geffon, penghuni hutan Halmahera utara.” Ia membenarkan

letak kacamatanya lalu menatap Eric dengan menantang. Kelak kau akan

mencariku. Aku akan mengikat batinmu denganku.

Eric menarik nafas seakan ingin memegangnya erat-erat. Ia merasa

seperti baru saja terbangun dari kematian saat mata Geffon memperbudak

pikirannya.

“Aku ingin berpesan kepadamu," ia menarik telinga Eric kuat-kuat

sehingga mulutnya dapat menjangkaunya dengan baik. Berbisik. "Gunakan

pikiran jernihmu, lihatlah dengan menatap tajam matanya, masuklah ke alam

bawah sadar—tundukkanlah penghuni mata itu, pastikan dia berpihak padamu,

karena segala sesuatu yang tidak bisa kau lihat bukan berarti tidak ada.”

Ia berhenti sejenak, menjauhkan mulutnya dari telinga Eric lalu berbicara

dengan nada yang sangat mendalam, menguliti tatapan Eric bagai hendak

menundukkan penghuni matanya, “Kau akan mengingat ini—tak akan bisa

melupakannya. Meskipun kematian mejemput dan memori itu hilang..." Ia

melanjutkan dengan bisikan sangat pelan hingga terdengar seperti ular yang

mendesis, tetapi sanggup menyayat penghulu telinga, melesat cepat ke otak,

dan membuat jantung berhenti berdetak sedetik. "Mungkin sebentar lagi!"

Eric berjengit. Hatinya beku seketika. Bola matanya yang berwarna

coklat tua mengikuti punggung Geffon yang bergerak menjauh.

Menit berikutnya ia melanjutkan langkahnya dengan waspada. berjalan

terhuyung, otaknya terlalu berat untuk memikirkan kata-kata wanita tua tadi..

Perutnya melilit dan ia tersadar belum mengisi perutnya sejak kemarin malam.

Ia bersusah payah untuk tidak merintih namun tetap saja orang-orang

yang melewatinya merasa kasihan. Eric berpikir dialah satu-satunya anak laki-

laki berumur lima belas tahun paling menderita di seluruh dunia.

8

Page 10: Halmahera , the ghost

Dunia ini adil pada siapa saja tapi tak pernah adil padaku. Itu adalah

kata-kata yang selalu dia ucapkan. Sejak kecil ia hanya mendapati kisah

tentang orang tua kandungnya telah membuangnya.

Dan sesuatu yang paling membuatnya hancur adalah saudara

perempuannya menghilang meninggalkannya. Di saat ia tak memiliki siapapun

kecuali orang tua asuh yang menderita penyakit mental hingga tega

menyiksanya secara tak wajar.

Harapan Eric saat ini adalah bebas dari belenggu mereka. Lari sejauh

yang dapat ia tempuh, hingga mereka tak bisa menemukannya. Terkadang ia

menoleh ke belakang dengan cemas, ia selalu berhati-hati dan bersiap

melompat ke semak apabila mendengar deru mobil seperti milik bapak

asuhnya mengendap seakan hendak menyergapnya.

Dada Eric tiba-tiba saja terasa sesak dan batuk menyerangnya bertubi-

tubi. Seorang gadis menawarinya permen jahe. Eric menatap gadis yang

terlihat lebih tua darinya itu—hampir mirip dengan ibunya. Rambutnya yang

panjang berwarna hitam seperti miliknya melambai dipermainkan angin.

Gadis itu tersenyum, “Ini—ambillah!” katanya seraya melepaskan syal

dari lehernya. Ia mendekatkan wajah lawan bicaranya lalu mengalungkan

syalnya ke leher Eric. Liontin angsa biru yang mengepakkan sayap

menggantung di depan mata Eric.

“K-kalungmu bagus.” Eric berhasil menemukan keberanian untuk

berkata.

“Ini satu-satunya yang tersisa dari kepergian orang tuaku.”

“Kemana mereka?”

Ia mengangkat bahunya. “Mungkin disuatu tempat dimana mereka

sangat merindukanku.” Gadis itu merogoh saku celananya kemudian

membanjiri telapak tangan Eric dengan manisan jahe beku. “Aku membuatnya

sendiri.”

Eric memaksa dirinya untuk tersenyum. Hatinya bergejolak ingin

mengatakan sesuatu, Apa orang tuaku juga sedang berada disuatu tempat dan

mereka sangat merindukanku?

9

Page 11: Halmahera , the ghost

"Semoga kita bertemu lagi," kata gadis itu sambil melangkah menjauh

kemudian berbalik untuk melambaikan tangan.

Eric hanya membalasnya dengan senyum yang kering, tetapi inilah

pertama kali ia menemukan senyum tulusnya. Ia menatap manisan jahe beku

yang terbungkus plastik bening lalu mengulumnya, sisanya ia masukkan

dalam saku mantel.

Eric berharap tidak bertemu dengan orang ketiga yang mengajaknya

mengobrol tentang apa yang sama sekali tidak dimengertinya. Ia kemudian

melanjutkan langkahnya ke arah tebing Tallanga. Tempat yang dulu pernah

terjadi pembunuhan massal pada jaman Portugis.

Tebing Tallanga berjarak dua kilometer dari Halmahera Utara. Kata

banyak orang, Tallanga adalah tempat misterius yang menyimpan keindahan

pada puncaknya yang tak semua orang berhasil mencapainya. Jika kau

beruntung maka kau akan menemukan pemandu yang menunjukkan jalan

menuju ke puncak. Kau bisa mengintip surga dari atas sana, begitulah kata

orang-orang. Sayanganya para pemandu itu bukan menusia melainkan roh

yang bermain dadu dengan kehidupan, jika engkau tidak beruntung maka

mereka akan memakanmu.

***

Ini adalah kali pertamanya Eric menginjakkan kaki di atas tanah

Tallanga. Ia menyusuri jalan kecil yang menanjak dan berputar-putar seperti

sebuah skrup. Di samping kirinya terbentang jurang yang bebatuan sering

meluncur dari atas secara bergantian. Sementara itu kakinya tiba-tiba terasa

sangat berat dan letih. Ia mendapati jalan yang ia lalui semakin sempit seperti

kerucut. Jalan itu terpotong. Tidak ada jalur lain yang terhubung dengan

potongan jalan yang ia lewati.

Dia memutuskan memanjat dinding tebing yang batu-batunya mencuat

seperti tangga. Eric tersengal kepayahan saat berhasil memanjat lima belas

tingkat. Pada tingkat kesembilan belas, pegangannya terasa rapuh. Pandangan

matanya kabur. Sesuatu dengan kekuatan yang sangat berlebih seakan

mendorong dadanya.

10

Page 12: Halmahera , the ghost

Sesuatu itu menyusup dalam ketakutannya. Eric tak kuasa meraih

ranting yang mungkin dapat membuatnya sedikit bertahan hidup. Semuanya

tak bisa dikendalikan dengan baik. Berlangsung sangat cepat dan menyakitkan.

Dia tidak mampu berteriak, perasaannya serba berantakan. Kemeranaan

seolah berhambur menyelubungi kalbunya yang rapuh. Seluruh kehidupan

yang sama sekali tidak menyenangkan berputar-putar di dalam pikirannya.

“Dia anak sial. Andai ia ikut mati saja bersama orang tuanya, kenapa

harus kita yang mengasuhnya?” Ibu asuhnya, Tena, meneguk alkoholnya yang

tinggal satu tetes lalu ia melempar botolnya ke arah Eric namun hancur

berkeping-keping saat menabrak meja.

Eric tergugu dalam ketakutan. Tak ada yang bisa menolongnya. Ia

balik memandang Wartog, yang sedang menghabiskan batang rokoknya yang

baru saja diambil dari bungkusnya.

“Sang pengawas menitipkannya pada kita. Ingat, sayang, sang

pengawas menjanjikan seluruh harta Ghobadi pada kita…”

“Tapi kapan sang pengawasmu itu akan mengambil si idiot ini?”suara

wanita itu tiba-tiba meledak.

“Secepatnya. Segera…”

“Aku sudah tidak tahan! Rasanya anak sial ini memperpendek

umurku.”

Jantung Eric berdebar cepat. Apa kiranya adegan yang akan terjadi

berikutnya? Akan ditampar dengan ujung sepatu yang lancip itu, atau…Eric

tidak mampu membayangkan hukuman omong kosong apa lagi yang akan ia

terima. Ia berdoa agar salah satu dari mereka menusuknya dengan pisau atau

melepaskan pelatuk pistolnya untuk mengakhiri semua ini. Tapi itu hanya akan

terjadi jika ia membuat sedikit keonaran, “Yah, semoga mereka membunuhku

malam ini…”

Eric berlari ke arah pintu. Sial! Mereka menguncinya.

“Siapa yang menyuruhmu pergi dari tempatmu, heh?”

Eric menelan air liur banyak-banyak. Keringat ketakutan menghujani

ubun-ubunnya. “Semoga mereka membunuhku,” rintihnya pada Dewaa.

11

Page 13: Halmahera , the ghost

“Apa yang kau lakukan?” Tena mendesis di telinga Eric. Nafasnya

yang berbau alkohol menyeruak tak sedap. “Kau ingin kebebasan?”

Eric mengangguk kuat-kuat.

“Apa kau bosan hidup?”

“Ya!” Eric terkejut mendengar suaranya melompat menantang.

Wartog menggeram. Saat itu Eric segera menyadari, ia telah

melakukan kesalahan besar.

“Sang pengawas akan marah besar jika aku mempersembahkan mayat

untuknya. Jadi aku tidak akan membunuhmu, tapi menyiksamu adalah

kenikmatan tersendiri bagiku.”

Ia menjilat tengkuk Eric sebelum akhirnya tertawa keras-keras.

Semenit berikutnya, pada periode yang tak Eric sadari, ia berteriak tak wajar

saat si pria menyudutkan rokoknya ke tangan korbannya.

***

Masa lalu kelabu beterbangan menghimpit relungnya. Aku tak ingin

mengingatnya. Aku ingin mati dengan tenang. Eric merasakan seperti

dihantam benda keras pada kepala belakangnya. Kemudian kegelapan

mengambil alih kesadaran. Sesuatu mengejar jiwanya yang mencoba melawan.

Sepasukan kata-kata yang merangsek ketidakteraturan otaknya. “Gunakan

pikiran jernihmu, lihatlah dengan menatap tajam matanya, masuklah ke alam

bawah sadar—tundukkanlah penghuni mata itu, pastikan dia berpihak padamu,

karena yang tidak bisa kau lihat bukan berarti tidak ada, dan yang kau lihat

dengan mata tidak sejalan dengan hati.” Berkali-kali ia harus merelakan

pikirannya dikubangi kata-kata mengerikan itu.

Beberapa saat kemudian, tiga makhluk berkelebat membangunkannya.

Cahaya tubuh mereka serasa menusuk jantung Eric. Salah satu diantara mereka

menampakkan sesosok tubuh yang mirip manusia dengan kulitnya yang pucat

masam, bibirnya merah tebal. Bermata sipit dan bertelinga mungil.

12

Page 14: Halmahera , the ghost

Makluk yang satunya memiliki otot yang mencuat mengerikan.

telinganya lebar menyerupai gajah. Bermata besar tanpa bola mata. Rambutnya

keriting tak beraturan.

Sedangkan yang lainnya berlidah panjang yang terjulur hingga

dagunya. Ia memiliki tiga mata yang salah satunya terletak di dahinya yang

menonjol. Bibirnya lebar kehitaman. Ia juga memiliki kaki yang panjang

sebelah.

Si makhluk berotot menyambar lengan Eric dengan keji. Sementara

yang lainnya menatapnya tanpa ekspresi. Dimana aku? "Lepaskan aku!” Eric

mencoba memberontak. Akan tetapi semakin ia bersusah payah memberontak,

lengannya dipelintir hingga rasanya hampir putus.

“S-siapa kalian? Jangan paksa aku..."

tidak ada satupun yang menggubris lolongannya.

"Seret dia keluar!" kata salah satu dari mereka.

Arus liar merasuk di sela kulitnya, menampar tulangnya, membekukan

darah, dan menghisap kehidupannya. Eric merasakan dadanya sakit sekali

bagaikan ditusuk dengan pisau dan lehernya tersumbat bagai dijerat dengan

kawat bergerigi.

"Kasihan. Dia mati dengan tidak wajar—sungguh roh yang malang,”

kata salah satu dari tiga makhluk itu, sementara yang lainnya mengiyakan

tanpa berkespresi.

Eric terkesiap. Mulutnya seperti tersumbat bola golf. Ia segera tersadar.

Raga yang terkapar itu adalah miliknya. Ia membuang mukanya dengan cepat.

Kematian yang diluar dugaan.

"Kau hampir terlambat ke pengadilan!" lolong makhluk berotot seraya

menyambar lengan Eric. Mereka menghilang setelah menembus dinding batu

yang berlumut.

13

Page 15: Halmahera , the ghost

BAB 2

Pengadilan Pemutusan NasibEric menginjakkan kaki dengan perlahan di atas lantai batu. Tiga

makhluk mengerikan yang selalu mengawalnya dengan cermat melayang satu

inci dari permukaan tanah. Jubah gelap mereka menjumbai menyusur udara.

Mereka memasuki gerbang yang menjulang menggapai awan hitam.

Benda itu terbuka dengan hentakan dan menimbulkan suara yang

berdebam mengagetkan. Eric disambut oleh ruangan temaram yang riuh oleh

ocehan hantu-hantu yang duduk di atas kursi yang disusun mirip anak tangga.

Kira-kira ada seribu hantu yang sibuk mengawasinya.

Makhluk mata tiga seakan hendak melahap dengan matanya yang

nyaris meluncur ke arah Eric. Ingin rasanya melarikan diri dari tempat itu, tapi

ia membayangkan lengannya pasti kena pelintir si makhluk berotot itu lagi.

Eric berjalan perlahan menuju kursi yang terbuat dari tali berjalin. Ia

sangat terkejut, tiba-tiba saja kursi itu menyambar perutnya dan

mendudukkannya dengan paksa. Hantu yang berjubah elit seperti hakim

berkelebat sambil menenteng kitab tebal. Di belakangnya puluhan pengawal

mengikutinya, sementara tiga makhluk tadi menundukkan badan hingga

punggungnya membentuk 90 derajat sempurna pada sang hakim.

Hakim itu membenamkan diri di atas singgasana yang tak terlihat.

Diletakkannya kitab tebal di atas meja yang tak tampak pula. Eric terpesona

dengan segala sesuatu yang melayang sempurna. Walau hati kecilnya berharap

kejadian hari itu semuanya hanya ilusi. Bukan. Semoga semuanya mimpi di

siang bolong.

Namun tampaknya ia harus menerima kenyataan semua yang

dialaminya bukanlah mimpi. Ia melompat ketika ledakan meraung membenam

keributan.

14

Page 16: Halmahera , the ghost

"Sidang dimulai!" suara sang hakim menyeruak dibarengi lusinan lilin

menyala hijau zamrud pada Chandelier. Eric meyakini ada tangan tak tampak

yang mengukir batu prisma yang tergolek di depan makhluk itu. Hakim Ketua.

Para hantu terdiam seperti ada sesuatu yang memaksa mereka

menghentikan bisikan ribut yang tidak berguna itu.

"Terdakwa, err... siapa nama anda, eh?" tanya hakim ketua dengan

suara dingin. Eric bisa melihat urat-uratnya mencuat menabrak kulitnya yang

berbuku-buku.

Hantu itu sibuk membolak-balikkan kitab tebal tampak sedang mencari

sesuatu yang maha penting. Sementara tiga makhluk berwujud mengerikan

mendampingi di sampingnya.

Eric terdiam. Tiba-tiba perasaannya mencelos. Ia seperti kehilangan

sesuatu yang Maha besar. Tidak. Lebih tepatnya ia tidak tahu siapa namanya.

Rasa-rasanya otaknya hanya berisi rongga udara yang berdesing ketika

diterjang angin.

Dia mencoba mengira-ngira namanya sendiri. Lupa nama orang lain itu

biasa, tapi lupa nama sendiri kedengarannya sangat idiot.

Okelah, Lano, nama Lano tidak ada jeleknya. Tapi Eric mengurungkan

niat itu. “Saya, err ... saya tidak tahu, eh tidak, saya lupa,” jawabnya ragu-ragu

dengan penuh nada menyesal. “yah, seperti itulah lebih tepatnya.”

Eric benar-benar ingin menyerobot udara banyak-banyak lalu

mengehembuskannya supaya lebih lega. Tapi ia hanya mendapati irama

desingan merayap di kepalanya. Sejenak ia sadar. Ini kehidupan setelah

kematian. Tidak!

Para hantu melolong mencemooh, "Oh, kasus hilang ingatan lagi! "seru

salah satu di antara mereka yang mulai tidak sabar. Tangan-tangan panjang

yang menggelepar dari podium nyaris mencakar Eric jika saja si makhluk

berotot itu tidak sigap mematahkannya.

Dentuman mengagetkan meraung liar memaksa suasana kembali

senyap.

15

Page 17: Halmahera , the ghost

"Maaf, Yang Mulia, Nama saya Ona Ghobadi dan terdakwa tersebut

adalah anak saya," seorang wanita berdiri dengan tergopoh-gopoh.

Ibu? Eric tidak tahu dari mana datangnya wanita itu, tapi ia merasakan

ada sesuatu yang mengaduk-aduk perasaannya ketika mendengar suaranya

yang lembut. Ibu. Tiba-tiba saja ia sangat ingin memeluknya.

"Dia bernama Eric Ghobadi."

"Eric Ghobadi” Hakim ketua mengulang kata itu. Jemarinya dengan

lincah membalik lembaran kitab. Kacamata besar bergagang tanduk rusa

membenamkan matanya yang berkerut-kerut. “Lahir bulan April hari ke dua

belas tahun ke sembilan puluh. Anak kandung ke dua dari Togu Ghobadi.”

Hakim itu melecutkan pandangannya ke arah Eric. Kacamatanya nyaris

terjatuh karena hentakannya yang tak terduga. Ia berkata lagi dengan nada

yang tajam, “Aku telah mengetahui bagaimana kematianmu karena segalanya

telah tertulis. Semua keturunan Ghobadi telah disumpah tentang bagaimana dia

hidup dan bagaimana dia mati.”

Eric mual mendengarnya. Ingin rasanya ia menyusut menjadi kecil lalu

meringkuk dalam bola. Menurutnya ini adalah sebuah teori yang tidak masuk

akal. Ia ingin berinterupsi namun kerongkongannya serasa kering dan

tersumbat. Ia bersusah payah mengingat semua yang telah terjadi pada dirinya.

Kepalanya menjadi semakin berat dan rasanya seperti mau meledak.

"Hari ke sembilan bulan Juli tahun ke lima. Saudara Eric Ghobadi

dinyatakan meninggal di Tebing Tallanga, pukul enam lebih enam puluh tujuh

menit waktu pengadilan.”

Mata hakim ketua mengawasi Eric, menunggu jawabannya. Eric

mengangguk berpura-pura mengerti.

Hakim keriput menggerung kemudian menulis sesuatu pada halaman

tengah-tengah kitab tebal.

"Dia kehilangan memori - kematiannya begitu tragis, seperti hidupnya

yang merana," kata hakim keriput setelah selesai menulis. Mencelupkan bulu

elang hitam ke dalam tinta merah.

16

Page 18: Halmahera , the ghost

"Kau -er ... maksud kami, Saudara Eric Ghobadi. Berada dalam urutan

lingkaran abu-abu. Hantu yang kehilangan memori. Bukan begitu, Ghobadi?

Eric terkejut, dia sama sekali tidak memperhatikan hakim keriput

berbicara.

"Er ... maaf?"

"Saudara berada dalam urutan abu-abu, di bawah Taro Kohara yang

meninggal selang seperseributiga detik dari anda," jawab hakim keriput sambil

mengawasi Eric dengan jengkel.

Eric mengangguk seolah mengerti. Ia ingin semuanya cepat berakhir

dan ia sesegera mungkin pergi dari tempat aneh itu. Hakim ketua mengalihkan

perhatiannya pada pena bulu lalu menulis tak jelas pada kitabnya.

"Saudara terdakwa harus menentukan takdir hidupnya, kehidupan akan

terus berlanjut karena belum waktunya dunia tanpa batas menjemput anda.” Ia

berhenti sejenak memandang Eric yang balas memandangnya dengan tatapan

bosan. “Saudara bisa memilih menjadi golongan Satanic Mask, mereka

bergentayangan dan mengganggu manusia tetapi manusia tidak dapat

menyentuh mereka. Sanggup membuat manusia memekik setengah sadar

karena ketakutan. Kekuatan sihir standar. Hanya saja kelemahannya terletak

pada cahaya alam.

“Peri Ghaits, Si pemalas. Kehebatannya adalah dapat melakukan sihir

di atas standar. Namun ia tak tahan dengan sinar alam, beberapa diantaranya

lumpuh dan terbakar sia-sia karena ceroboh.

“Lucifer. Tinggal tenang di gunung api bawah laut. Mereka

menyebutnya api perairan. Lucifer merakit kendaraan berbeda dari hasil

jarahan pada saat bintang muda Lucifer berada pada arah jam tiga dari bumi.

Dan saat itulah api akan berhembus menembus perairan.

“Ocupant yang dapat bertransformasi menjadi hewan atau manusia,

sayangnya mereka sangat licik, tetapi diantaranya terlampau baik sehingga

mudah diperalat.

"Patred, golongan hati pendosa, mereka yang misterius, sulit dideteksi

dan roh para pengkhianat. Mereka bisa merubah diri menjadi wujud benda.

17

Page 19: Halmahera , the ghost

“Geogle, Merekalah golongan tertinggi, dan satu-satunya yang berhak

menjadi pewaris Emperor. Para roh yang memiliki hati ksatria, tangguh, dan

teguh. Dunia kelam menyebutnya ksatria langit.”

Hakim keriput menghentakkan palu batunya pada tatakan piringan

hitam. “Silahkan tentukan jalan hidup saudara dengan pertimbangan dan

konsekuensi yang anda hadapi.”

Eric terperanjat, ia yang sama sekali tidak mengerti apa yang dijelaskan

baru saja.

"Saya harap anda tidak membunuh waktu," kata hantu tua itu dengan

suara bergetar. Matanya sibuk bercengkerama bersama kitabnya namun Eric

merasa hakim itu sedang mengaduk otaknya.

Perlahan telinga Eric menangkap sebuah teriakan kecil berdengung di

telinganya. "Eric, anakku, jadilah Geogle! Ksatria langit adalah dirimu, takdir

itu memang benar adanya."

Eric membeku sejenak. Pikirannya bergejolak. Bergumam seakan

sedang berunding dengan dirinya sendiri. Ia memerlukan waktu untuk

mencerna suara wanita yang baru saja didengarnya. Suara seseorang yang

sepertinya sangat ia rindukan sejak lama namun tak ia dapatkan. Ibu.

Desiran udara yang tak hadir seolah sedang mencekik

kerongkongannya. Bibirnya membuka tanpa suara, pandangannya menyusur

ruangan sidang dan ia mendapati ratusan makhluk di sekelilingnya sedang

melotot tidak sabar.

“Geogle” geragapnya. Ia merinding mendengar kata-katanya sendiri.

Meskipun suaranya tidak terdengar jelas tapi tempat itu segera ramai dengan

komentar yang bagi Eric itu terdengar seperti kutukan.

"Geogle!" ulang Eric dengan hati-hati.

"Bocah itu? Geogle ? oh...memalukan," kata salah satu hantu disambut

hinaan hantu yang lain.

“Sombong sekali dia?”

“Menurunkan martabat Geogle sejati!”

18

Page 20: Halmahera , the ghost

Para hantu mencemooh dengan anarkis. Beberapa diantaranya mencoba

melempar kaleng bekas, botol soda, sepatu, hingga air comberan dalam bola

plastik, namun tiga ajudan hakim keriput terburu mengkisnya dengan

sempurna sehingga rongsokan itu mengenai si pelempar dengan serangan yang

lebih mengenaskan.

Mendadak Eric menyesal telah lancang menempatkan pilihan pada

Geogle. Tapi ia berusaha keras menyembunyikan ketidaknyamanannya itu. Ia

tetap duduk normal bersandar pada punggung kursi. Jarinya saling mengatup di

atas pangkuannya. Dan tatapannya berkilat seperti semburat matahari terbit.

"Geogle?" gumam hakim keriput lirih dengan nada keraguan dalam

ucapannya, "Maaf saudara baru saja kehilangan memori. Kehilangan dirinya

sendiri. Saudara Eric Ghobadi berhak memilih takdirnya, tetapi kami lebih

berhak menentukan," katanya sambil menggosok ujung palu dengan bimbang.

Kedua alisnya bertaut seolah sedang bersusah payah melucuti pikiran Eric.

“Maaf saya lancang Yang Mulia, nama saya Togu Ghobadi.” Suara

seorang Pria seolah membangunkan Eric dari beban kekhawatiran yang

membenamnya. Eric buru-buru melecutkan mata ke arahnya, wajah pria itu

tenggelam dalam kerudung jubahnya yang besar sehingga hanya janggut

lancipnya saja yang tampak. “Tidak ada Undang-Undang yang menyatakan

kehilangan memori adalah kesalahan fatal sebagai bangsa Geogle, Mohon

kebijaksanaan Yang Mulia.”

"Memori saya tidak sepenuhnya hilang, saya masih ingat sesuatu," seru

Eric saat hakim itu nyaris memukulkan palunya. "Saya masih ingat kata-kata

ini,” Ia berhenti sejenak, sungguh-sungguh angin disekitarnya serasa

membungkam mulutnya, ia menggigil seperti ada yang menghujani es di

kepalanya. “Gunakan pikiran jernihmu, lihatlah dengan menatap tajam

matanya, masuklah ke alam bawah sadar—tundukkanlah penghuni mata itu,

pastikan dia berpihak padamu, karena segala sesuatu yang tidak bisa kau lihat

bukan berarti tidak ada.”

Hakim keriput beranjak dari kursinya, menutup kitab keras-keras

sehingga tinta merahnya meluber membasahi meja yang tak tampak. Para

19

Page 21: Halmahera , the ghost

hantu membuat suara gaduh, beberapa diantaranya berteriak melengking

memuakkan seolah Eric telah melempar peledak di ruangan itu.

“I-itu kata yang diucapkan Master Quarenci saat sidang,” rintih salah

satu hantu dengan muka keterkejutan yang belum hilang. Satanic di

sampingnya menampar pipinya hingga membelesak ke dalam.

“Benar-benar pewaris Emperor, ia sama luar biasanya seperti Master

Quarenci,” desah salah satu hadirin sambil takhenti-hentinya mencucurkan air

mata. Ia berulangkali membersihkan ingusnya dengan lengan bajunya. “Sudah

kubilang anak itu tidak berdosa, dia tampan dan dia hebat dan dia luar biasa.”

Ia mencekik leher suaminya ketika laki-laki itu mencibir kata-katanya.

Hakim ketua memukul palunya berkali-kali tapi ocehan yang

meramaikan ruang itu tidak berhenti. Suasana senyap terjadi ketika dentuman

memekakkan telinga hampir merobohkan ruang itu.

Hakim ketua berjalan mendekat ke arah Eric sambil menenteng kitab

tebal di lengan kanannya. Jubah agungnya menyapu lantai batu yang

dilaluinya. Mata putihnya yang terlihat letih menatap Eric dengan kewibaan

yang tak terlukiskan.

"Dengan ini kami memutuskan," katanya sambil meletakkan kitab di

atas kepala Eric. Pernyataan ini tidak bisa diubah, meskipun yang

bersangkutan sendiri yang memohon dengan kesungguhan__Eric Ghobadi

dengan kehormatan penuh dinyatakan sebagai bangsa..." hakim keriput

berhenti sebentar membiarkan ketegangan itu tercipta beberapa saat kemudian

meneruskan, "Geogle!"

Eric beranjak dari kursi yang telah membuat pantatnya benar-benar

datar. Sang Hakim menjabat tangan Eric lalu memeluknya dengan erat

sebelum akhirnya menghilang diikuti oleh tiga ajudannya yang berwujud

mengerikan. Lilin pada Chandeleir meredup seperti tertiup angin meski

keberadaan udara pun sulit terdeteksi.

Eric terkejut ketika seorang wanita mengalungkan tangan ke lehernya.

“Eric, anakku...” Wanita itu terisak kemudian ia melapaskan ikatannya.

Dipandanginya wajah Eric dengan air mata yang tak berhenti mengalir.

20

Page 22: Halmahera , the ghost

Eric terhunyung sesaat menyadari wanita itu ibunya. Ia mencoba

mengingat masa lalunya namun sepertinya tak ada satupun yang tersisa di

kepalanya. Dia mencermati wajah cantik yang masih terisak di hadapannya.

Wanita itu mengelus lembut rambut Eric dan mendekap erat tubuhnya.

Hantu pria yang berjubah besar menghampiri Eric sambil menepuk

bahu anaknya berkali-kali. “Ayah bangga padamu, ayah sungguh bangga

padamu,” katanya berulang-ulang.

Eric tak mampu berkata apapun. Perasaannya terlalu kacau untuk

menemukan kata-kata yang tepat untuk sedikit bisa menghibur dirinya.

Kejadian yang tak terduga mengalir dalam kehidupannya, ia sama sekali tidak

tahu bagaimana kehidupannya sebelum berada di tempat aneh itu. Namun ia

benar-benar merasakan kehidupan yang bebas dan menyenangkan daripada

masa lalunya.

Sekejap ruangan itu serasa menyempit seperti ada kekuatan besar yang

melipatnya. Lilin yang padam secara tidak wajar menjadikan tempat itu gelap

sejadi-jadinya. Eric merasakan sesuatu menarik tangannya lalu membawanya

keluar dari ruangan itu.

21

Page 23: Halmahera , the ghost

BAB 3

SnowvusEric mendapati dirinya sedang berdiri diantara lorong kelam tak

berujung. Sementara itu di salah satu sisi dinding yang keropos pada beberapa

bagiannya, lima hantu laki-laki sedang berbincang sengit tentang hasil sidang

pengadilan.

"Tak ada yang menang dalam taruhan kali ini,” kata hantu yang

punggungnya ditumbuhi sayap kecil.

"Kupikir dia akan jadi Lucifer atau Ghaits," sahut hantu yang memakai

baju hijau berenda. Dia membuang topi kerucutnya kelantai.

"Tebakanku kurang jitu kali ini," hantu berambut keriting ikut

berkomentar. "Tak kusangka dia menjadi Geogle, padahal aku berani bertaruh

menampar muka Mame Granyo jika anak itu menjadi Geogle.”

“Mame Granyo?” Empat hantu lainnya menyeringai, “mengerikan.”

Lima hantu laki-laki tadi kemudian menghilang.

Sebuah suara merambat melewati tengkuk Eric. "Hei...ei...ei! Geogle

senang bertemu denganmu. Semoga kau mewarisi jejak kakekmu menjadi

Emperor.”

Pemilik suara itu tiba-tiba menampar punggung Eric, namun ia tak

segera menoleh. Ia masih menatap lorong itu dengan tersenyum-senyum,

membayangkan ingatannya yang normal dan ia dinobatkan sebagai Geogle

dengan riuh tepuk tangan. Tetapi semua itu memudar, ia menyadari

keadaannya yang memprihatinkan sebagai Geogle. Semua memori yang

hilang, kecuali...

"Haloooo....! Kau dengar tidak, sih?"

Eric benar-benar dibuat melompat oleh suara yang tiba-tiba mengamuk

ditelinganya. Ia menatap wajah hantu laki-laki sebayanya itu dan melototinya

dengan kemarahan yang meletup. Anak itu nyengir tanpa ada rasa berdosa

kemudian menyisir rambut coklat keritingnya yang berantakan dengan jari

tangan.

22

Page 24: Halmahera , the ghost

"Namaku Haiden Powi... peri Ghaits," katanya dengan tirai mata nyaris

tertutup. "Aku mati karena terpeleset di kamar mandi.”

Eric nyengir. Diamatinya hantu gemuk dengan tubuh berlipat-lipat

yang berdiri di depannya itu.

"Kalian harus kembali ke Snowvos," kata Togu seraya memeluk Eric.

"Kastil hantu, di bawah awan kebiru kelabu."

"Kalian juga ikut kesana, kan?"

Togu menggeleng sempurna, "Ayah Lucifer tinggal api perairan.”

Eric beralih menatap ibunya dengan berharap.

"Satanic, muncul dan menghilang di antara kehidupan manusia," kata

Ona dengan mengelus rambut hitam Eric yang tebal.

Haiden menyambar lengan Eric dan menariknya cepat, "Kita harus

segera sampai ke Snowvus!"

"Eric!" panggil Togu sebelum benar-benar berpisah dengan anaknya.

"Temukan dirimu dan jadilah Geogle yang sebenarnya.”

Eric tersenyum, meskipun dia tidak mengerti makna kata-kata itu tetapi

dalam hati dia berjanji akan menemukan bagian dari dirinya yang hilang.

“Ayah, ibu…” ia berhenti bermaksud mengucapkan selamat tinggal tapi

diurungkannya. “Jika aku telah menemukan diriku yang hilang, apakah aku

bisa ikut bersama kalian?”

“Tidak, anakku,” Ona memeluk Eric dengan air mata mengalir. Eric

merasakan punggungnya serasa nyaris basah kuyup. “Hiduplah dengan

memerankan dirimu sendiri. Kita berbeda dan suatu saat semua tidak akan

sama dengan apa yang kau pikirkan. Ketika masa itu tiba, kelak engkau harus

siap, apapun yang terjadi. Bersiaplah!”

Perlahan wanita itu melepas pelukannya. Eric melihat sebuah tatapan

tanpa isi yang bisa tertebak.

“Kelak aku akan mengerti,” Eric berkata tanpa ia sadari.

Togu dan Ona melambaikan tangan ke arah Eric dan Haiden. Ia melihat

ayahnya mengenakan kerudung kebesaran sehingga hanya tampak dagunya

yang runcing. Sementara Ona berubah mengerikan, rambutnya memutih dan

23

Page 25: Halmahera , the ghost

memanjang tak beraturan sehingga menutupi seluruh wajahnya, kecuali

matanya yang membesar.

Haiden menarik lengan Eric, mereka menembus dinding lorong.

meluncur melawan awan mendung berdebu. Sesekali kilat menyambar

mengiringi mereka. Eric merasakan seperti disiram air es dan tiba-tiba disiram

dengan air hangat. Sungguh tak enak. Dia memeras lengan Haiden yang makin

cepat meluncur. Tidak ada kata yang dapat diucapkan, sementara lolongan tak

sanggup mengubah segalanya.

***

Saat awan mulai menghilang diganti kabut tipis yang menyebar, Eric

mendapati pulau besar ditengah laut tenang dan kastil tua dengan menara

tinggi yang mencuat. Pada puncaknya yang tertinggi terdapat arca barong

wanita terhormat bergaun bunga karang sedang memegangi tongkat bola

bermata zamrud.

“Lolongan si barong Mapoti, dapat membuat bulu kuduk tercabut,

bahkan burung Poppo terbelesak nyawanya. Konon Mapoti hanya bangkit saat

dipanggil.”

“Burung Poppo?…” Eric mengernyit pada Hayden.

“Poppo, burung alam baka. Makhluk pencabik roh pendosa. Jangan…

jangan bicarakan itu lagi. Kepalaku berkunang-kunang memikirkannya. Tapi

dia cantik…yah lumayan, deh.”

“Hla? Mamapopoti seperti itu dibilang cantik?” Eric menganga.

“Bukan Mamapopoti, tapi Mapoti!” Katanya senewen. “Mapoti.”

Tambahnya lagi.

Eric menyeringai jijik. “Patung itu cantik?”

“Kelak jika dia bangkit, kau akan mencium kakinya untuk

mendapatkan cintanya,” kata Hayden sambil mempraktekkan menciumi

punggung tangan Eric.

“Kau menjijikkan, Heidi…”

24

Page 26: Halmahera , the ghost

Eric merampas tangannya dari genggaman Hayden lalu mengelap

dengan bajunya sebelum mencium aroma air liur yang menempel.

“Jangan panggil aku Heidi. Itu kan nama cewek!”

“Yaiya aku mengerti. Hay apa itu?”

Hayden melecutkan matanya ke arah laut suram yang dipenuhi tangan-

tangan lemah menggapai seolah memohon pertolongan yang sia-sia.

“Laut kematian. Tapi sering disebut laut hitam. Seperti makam untuk

para pendosa, Mereka jemaah pembesar kegelapan yang berhasil dieksekusi.”

“jemaah pembesar kegelapan?”

“Yeah. Mereka sangat keji. Hei, itu Snowvus..." kata Hayden,

menunjuk ke arah kastil tua berpelindung separo bola bening. Eric berjalan

dibelakang mengikuti Hayden. "Kau harus mengetahui tata cara hantu baru

memasuki bola pelindung. Ulurkan tanganmu seperti ini, er...bukan begitu -

sentuh atmosfernya, maksudku bola pelindungnya. kemudian katakan “Wahai

penanda kehidupan. Dengan ini saya yang bernama....” Hayden berpaling pada

Eric. “Ayo ikuti aku!”

“Wahai...” Eric mengulurkan tangannya. Dia merasa telapak tangannya

seperti dipaksa menyentuh balok es yang berasap bagaikan sedang mendidih.

“Penanda kehidupan..”

“Stop...stop! Matamu musti merem dan lehermu harus tegak.” Eric

menurut saja karena ia tak punya banyak wacana untuk berinterupsi. “Sekali

lagi ikuti aku. Wahai Penanda kehidupan...”

“Wahai penanda kehidupan...”

“Dengan ini saya yang bernama Eric Ghobadi...”

“Dengan ini saya yang bernama Eric Ghobadi...”

“Salam kenal...”

“Apa?”

“Kau ikuti saja.”

Oke. “Salam kenal.” Sambung Eric dengan alis terangkat.

“Nah, sekarang kau sudah boleh masuk.”

25

Page 27: Halmahera , the ghost

Eric merasa ada kekuatan yang mendorongnya memasuki wilayah

Snowvus di bawah awan kebiru kelabu. Awan yang benar-benar biru seperti

dasar air laut.

"Menakjubkan...” kata Eric. "Tapi aku kan hantu, er maksudku, bisa

menembus kapan saja tanpa jampi-jampi macam itu.

Hayden mendesis, "Itu tata cara hantu baru masuk ke sini. Istilahnya

ritual buat jadi member...”

“Member?”

“Kau bisa lenyap terbakar jika tak mematuhi aturan mainnya. Bola

pelindung melindungi kami dari serangan makhluk hitam pengikut pembesar

kegelapan, dan…" katanya pelan sambil berjalan cepat. "Berhati-hatilah

dengan pawang hantu, mereka punya tambahan indra, mereka licik dan...”

Hayden berhenti dan berbalik tiba-tiba. “Penjilat."

"Tapi bagaimana kita tahu dia pawang hantu?"

"Gimana, sih? kau kan Geogle. Kau mengucapkan sesuatu yang luar

biasa di pengadilan. Kau membuat hantu lainnya iri tapi juga mendukungmu."

"Yah...itu satu-satunya pesan yang bisa kuingat," kata Eric saat menaiki

undakan ke dua puluh tiga, di depan gerbang yang sangat besar dengan ukiran

Tampagolo Lau Panangan.

Eric menembus pintu itu, seperti yang dilakukan Hayden dengan

sempurna, tanpa jampi-jampi.

Mereka berada dalam sebuah ruangan remang-remang berhias sarang

laba-laba yang sengaja dipelihara. Chandeleir yang dipenuhi lilin kecil yang

menyala redup menggantung di atap. Tidak banyak perabot di dalamnya hanya

meja besar berdebu diletakkan di tengah ruangan luas, cermin-cermin gelap,

serta patung kucing dan harimau petarung yang saling terikat dalam satu rantai.

Eric melihat beberapa hantu berseliweran, melayang dengan

menundukkan kepala kemudian menghilang saat menabrak sebuah cermin

yang pernah dilihatnya ketika berada di pengadilan.

Gerombolan hantu anak-anak berjalan beriringan sambil

mememandang Eric dengan ekspresi ingin tahu. Hayden melambaikan tangan,

26

Page 28: Halmahera , the ghost

tetapi mereka tak membalasnya simpati. Para hantu menaiki tangga spiral yang

tinggi. Hayden menyambar lengan Eric dan mengikuti mereka, menaiki tangga

spiral tanpa lengan dan selalu melengkung tiap tiga belas anak tangga kecil.

27

Page 29: Halmahera , the ghost

BAB 4

Hantu Otak MelesetGerombolan hantu melayang terburu menuju lantai atas. Sesekali

mereka menengok ke belakang dengan tanpa ekspresi seolah mereka tidak

setuju jika Hayden dan Eric membuntutinya.

"Selamat datang sang Geogle di rumah baru," seru pria setengah tua

yang memakai piyama hijau dengan aksesoris tanduk kerbau menempel di

tengah piyama. Tepuk tangan dan hura-hura kecil seolah mengiringi Eric saat

memasuki aula penuh hiasan kuno berkarat, sarang laba-laba, serta banyak

sekali baju zirah yang dirawat mengkilap. "Geogle yang kehilangan memori,

tapi sungguh menakjubkan, Ghobadi."

Hayden menghilang begitu saja dan muncul di tengah-tengah para

hantu yang sedang berhura-hura. Mereka bermain terompet yang setiap kali

ditiup akan menghamburkan makhluk kecil yang menaburkan bubuk cahaya.

Mereka memukul tinjunya ke udara secara berjemaah sambil berhura, "Hidup

Ghobadi...hip hip hip Geogle!"

Eric terkejut. Ia menatap pria setengah tua yang selalu tersenyum

padanya.

“Hei….Kau suka sambutannya?” kata hantu laki-laki yang lebih tua

lima tahun darinya sambil memeluk lalu menepuk punggung Eric.

"Perkenalkan, namaku Victor Kapele, Patred."

"Aku, Ami Tobuwa, peri Ghaits."

"Diano Saloh, peri Ghaits."

"Payambono, Ocupant."

Para hantu berebut memperkenalkan diri hingga Eric hanya bisa

mengingat selusin nama dari dua lusin nama yang disebutkan.

Eric merasakan kehidupan paling bahagia muncul untuk pertama kali.

Seolah-olah dia selalu merana disela-sela masa hidupnya dahulu yang

dianggap lebih menyenangkan. Kepalanya berdenyut, bertanya pada ketidak

tahuannya, Apakah hidupku dulu menyenangkan seperti ini? Mengapa

28

Page 30: Halmahera , the ghost

kematian cepat sekali menjemput? Oh aku ingin hidup lagi menjadi manusia

normal. Ini tempat yang suram.

Eric mencuri pandang kearah hantu pria yang terus mengawasinya

dengan tersenyum. Hingga akhirnya pria itu menghampirinya.

"Kakek selalu menunggumu, Eric. Dan…Ouh aku hampir saja

melupakannya, jangan sentuh sanubariku dengan nama Ghobadi. Omong-

omong di sini aku biasa dipanggil Master Quarenci," katanya sambil mengetuk

dada Eric.

“Mengapa engkau tak ingin memakai nama Ghobadi?” Suara Eric

melompat begitu saja.

Senyum wibawanya tersungging diantara tuturan lembut. "Mengapa?

Oh tidak pemuda tangguhku. Jangan bertanya mengapa, karena hanya akan

menambah satu masalah lagi dalam hidupmu." Ia menepuk bahu Eric, dengan

sedikit menunduk ia mensejajarkan kepalanya dengan lawan bicaranya.

“Nikmati pestanya.”

Eric hanya mengangguk meski tak tahu apa maksud ucapan tadi. Walau

begitu rasanya dia tiba-tiba telah menjadi penghuni penting yang dikagumi.

Master Quarenci berjalan meninggalkan aula, menuruni anak tangga tanpa

lengan sambil membetulkan topi tidur kebesaran yang selalu merosot.

Hayden memukul punggung Eric keras-keras saat ia sedang akan

berbicara pada Victor Kapele. "Bagaimanapun kau adalah pewaris Emperor

suatu saat nanti." katanya nyengir sambil memperkirakan Eric akan

membalasnya dengan pukulan bertubi-tubi.

Tetapi Eric hanya memandang mata Hayden kebingungan, "Apa?

Emperor katamu tadi?”

“Pemimpin kerajaan dengan kehidupan yang paling besar, bahkan

lebih agung dari kastil para Lucifer. Kau juga akan diberkati dengan mata

emperor yang dapat menguliti pikiran lawan bicaramu.”

“Oh, itu terlalu berlebihan...” katanya sambil memperhatikan salah satu

baju zirah yang berguncang dan mengeluarkan suara berisik.

29

Page 31: Halmahera , the ghost

"Oh yaeh! Ingat, dunia ini begitu sempit, Eric. Semua bisa saling

berhubungan tanpa terduga," kata Ami Tobuwa. "Master Quarenci adalah

pemimpin agung, berwibawa dan sangat dihormati. Jika aku jadi kau, aku akan

sangat bangga."

Hantu bergaun putih gading keluar dari baju zirah yang berkelontangan.

Ia menghampiri Eric dengan terisak, "Hik... Akhirnya aku ... hik... bisa ...

hik ...bertemu dengan...hik.. hik... Ghobadi ....” lolongnya. Diusapnya air mata

yang berebut meluncur dengan segelondong tissu besar yang selalu dibawanya

kemana-mana. Ingusnya melumer tanpa bisa ditahan. Dia menatap Eric dan

hantu lainnya disertai bisik rintihan lalu melayang dan menghilang masuk ke

dalam baju zirah.

Ami memungut tissu yang dijatuhkan gadis itu sambil bersungut-

sungut.

"Dia Classy Phinisi- Satanic Mask. Seharusnya dia bergentayangan di

dunia manusia, bukan di dalam Snowvus,” ujar Hayden ketika Eric melihatnya

dengan pandangan bingung. “Jangan kaget dia seperti itu karena otaknya

sedikit meleset.”

Victor Kapele menyeringai kecil, “Master Quarenci seharusnya

mengusir Closet, atau siapalah itu namanya." Suaranya tiba-tiba melengking

mengagetkan. Victor menyambar tissu yang digenggam Ami dan melemparnya

keras-keras kearah baju zirah Classy.

Classy menjerit dan melolong marah, balas melempar tissu yang

diremas ke sembarang arah. Baju zirah yang ditempatinya berkelontangan

"Berhenti, Victor!" lolong Ami. “Kau kekanak-kanakan...”

"TAPI OTAKKU TIDAK MELESET SEPERTI DIA.”

Eric menyambar lengan Hayden, membawanya menjauh dari Ami dan

Victor yang berdebat sengit. Para hantu yang tadi berhura-hura mulai

menghilang satu persatu.

"Kau tahukan dia Satanic Mask dan dia bisa tinggal di Snowvus?" kata

Eric berharap. Hayden mengangguk dan mengangkat kedua alisnya tinggi-

tinggi. “Berarti, ibuku ..."

30

Page 32: Halmahera , the ghost

"Jangan samakan ibumu dengan hantu otak meleset itu, mengerti!"

hardik Hayden cepat, setengah berbisik.

Dia menarik lengan Eric, membawanya melayang di atas patung

Malango, patung babi bertanduk gading. Mereka duduk di atas tanduk

Malango yang dibuat mengkilap.

"Dia mengalami sesuatu yang sangat tidak menyenangkan sepanjang

hidupnya. Tapi aku tidak tahu apa itu. Pekerjaannya sehari-hari hanya

membaca buku tebal dan menulis berlembar-lembar kertas sebelum dia

mengakhirinya dengan tangisan yang meledak-ledak.”

"Apa yang dia tulis?" kata Eric, sambil berayun di atas tanduk,

membenahi posisi duduknya.

"Aku tidak tahu, tapi yakinlah segala sesuatu yang dituliskan oleh

makhluk sinting dengan otak agak sedikit meleset dari syarafnya itu tidak

penting. Dia telah merusak rumahku...lihat! Tanduknya bukan tanduk asli

pedalaman__berbuku-buku, keropos, usang, pokoknya keren, deh."

"Tapi yang ini mengkilap dan luar biasa."

"Tapi aku suka yang biasa.” Hayden memberengut.

Eric merasa lengannya nyaris putus saat Hayden tiba-tiba menariknya

masuk ke dalam hidung Malango yang berbulu halus. “Mame Granyo

datang...Cepat sembunyi!” Eric menerobos dan meluncur melewati ladang bulu

hidung yang membuatnya geli terpingkal-pingkal.

31

Page 33: Halmahera , the ghost

BAB 5

KeributanEric mendapati dirinya seperti sedang berada dalam sangkar mulut

babi. Atapnya berlendir hijau menjijikan sedangkan lantainya licin mengkilap

ditaburi kotoran lalat mirip kismis. Dindingnya berlubang dan keropos. Tidak

ada chandeleir dengan lilin menyala, tetapi hanya gerombolan kunang-kunang

bercahaya yang dikurung dalam kaca lentur.

"Ini rumahku dan kau boleh tinggal disini, yah...seandainya kau mau,”

kata Hayden dengan berlari menuju lubang yang keropos, dia setengah

berteriak pada Eric, "Hei...Kemari, cepat!"

Eric tidak terlalu antusias untuk tinggal di tempat yang dipenuhi segala

jenis lendir. Tetapi dia lebih memilih tinggal dengan Hayden yang tergila-gila

pada lendir dari pada bersama Classy yang setiap waktu selalu melempar tisu

dan berteriak mengagetkan.

"CLASSY PHINISI!” sebuah lolongan meluncur menghentakkan

seperempat isi kastil. Beberapa hantu mengintip dari balik persembunyian

mereka dengan tanpa suara. “Kembalikan topi bulu kudaku sebelum kau

kupecat dari sini!”

Mereka mengintip hati-hati melalui celah Malango.

Dilihatnya sesosok perempuan gemuk, berambut keriting gimbal dan

berbaju kebesaran dipenuhi renda-renda, kerahnya hampir menutupi bagian

belakang kepala.

"CLASSY PHINISI KAU DENGAR ITU?” Mame Granyo berteriak

hingga lehernya nyaris terpental menjauh darinya. Bibir coklat tebalnya

manyun seperti ada yang menariknya dari depan. Ia melempar kerikil senjata

kaum Ocupant yang dapat menimbulkan ledakkan mengejutkan. “KELUAR

KATAKU!"

Eric menyeringai. Membayangkan dirinya menjadi Classy. Ia pasti

telah menonjoknya dengan pot besi yang digunakan untuk menanam bunga

32

Page 34: Halmahera , the ghost

troll mulut buaya, kemudian menyemprotnya dengan lendir babi, sampai

wanita malang itu mengibarkan bendera putih.

"Rasanya aku ingin membelesakkan giginya jika sampai berani

mengutak-atik rumahku,” kata Hayden berapi-api.

Eric menyeringai sambil mencibir. "Aukh ...!" dia memekik kaget. Ada

yang melempar batu hingga mengenai pelipisnya. "Kau melempariku dengan

batu ini, ya?" katanya jengkel pada Hayden yang sedang menyaksikan Mame

Granyo berlelah-lelah memukul baju zirah Classy.

Hayden memberengut sambil menyambar benda yang diacungkan Eric,

"Batu berambut merah!! Ini pasti ulah Setan Ocupant..."

Hayden melempar batu itu keras-keras hingga menembus dinding yang

dilewatinya. "Batu berambut merah adalah batu ghaib bangsa Ocupant, mereka

menggunakannya sekedar untuk berbuat jahil."

"Aukh...KURANG AJAAR!" suara Mame Granyo melengking tinggi.

"Dasar anak-anak brengsek! siapa yang melempariku dengan Batu berambut

merah?” sengatnya sambil melecutkan mata ke arah Malango, patung tempat

tinggal Hayden.

Eric melihat wajah Hayden yang merah pucat, sepucat kertas yang

diremas-remas. Pipinya yang gembul semakin menggelembung akibat

menahan ketakutannya.

"Apa yang harus kita lakukan?" ujar Eric dengan datar.

"Apa yang harus kita lakukan?” Hayden mengulang dengan meringis.

“KITA HARUS KABUR, BOY!”

"Anak-anak brengsek--turun kalian!" Ia memergoki Eric dan Hayden

lalu membentangkan lengannya. Dan seekor anjing hutan melesat diantara

bentangan tangan. Taringnya menyembul bersiap memangsa.

“Hey itu tadi sulap?”

“ITU SIHIR!” Hayden hampir menangis putus asa. “Eric. Berpegang

padaku. Aku harus menyelamatkanmu…”

"T-tunggu lihat itu...!" kata Eric dengan bersusah payah melepas

pegangan Hayden akibatnya dia hampir terjatuh kebawah karena belum

33

Page 35: Halmahera , the ghost

terbiasa melayang terlalu tinggi. Pandangannya menangkap kejadian ajaib

yang belum pernah dilihatnya.

Serigala betina bertarung menghabisi anjing yang balas menggigitnya.

Mereka tak saling lebih kuat sampai salah satu diantara keduanya menggelepar

lalu lenyap begitu saja. Serigala jantan memenangkannya.

Mame Granyo menjerit bagaikan baru saja disengat listrik. “SIAPA

YANG BERANI MENANTANGKU?”

“Aku.”

Mame Granyo melongok ke atas. Ia mendapati Classy sedang melayang

di kepalanya bersama seember lendir menjijikkan yang ditumpahkannya

dengan sengaja.

"Uuupss…” Hayden dan Eric tak bisa menahan tawanya. Sementara

Classy cepat-cepat menjatuhkan embernya tanpa hati-hati sehingga

menimbulkan suara berkelontangan." Ayo! kita harus segera kabur ..." Hayden

memburu tangan Eric dan menariknya. sementara Mame Granyo melolong

meratapi nasibnya.

"AAARRGGHHTT…”

Eric merinding mendengar jeritan menyayat Mame Granyo, sehingga

dia hanya diam dan tidak mau memprotes saat Hayden menarik lengannya

kuat-kuat.

34

Page 36: Halmahera , the ghost

Bab 6

NaydelinEric dan Hayden melesat cepat, menabrak lalu menembus cermin yang

dipasang hampir di seluruh ruangan. Tanpa disadari mereka mendapati dirinya

berada di ladang jagung yang tak berbatas ujung, "Kau tahu ini dimana ?"

Hayden menggeleng, tetapi segera menjawab, "Aku sendiri tidak tahu

tujuanku.”

Eric terdiam. Ia berjalan dibalik punggung Hayden sambil sesekali

menyibak jagung dalam gelapnya malam yang hanya diterangi bulan yang

terhalang awan pekat.

“Apa kau tahu siapa yang melempari kepalaku dengan benda...batu

berambut pirang?" Eric membuka percakapan.

"Batu berambut merah! " kata Hayden membenarkan, ia terbatuk-batuk

tetapi Eric tahu sahabatnya itu hanya menahan tawa yang hampir meledak. "Itu

hal yang biasa, para Ocupant memainkan batu gaibnya untuk iseng. Bahkan

yang paling menyebalkan, mereka sering melempari Malango dengan lusinan

Batu berambut merah saat aku tidur," Hayden mengepalkan jemarinya dan

menabrakkan dengan telapak tangan satunya. "Akibatnya aku harus bersih-

bersih Malango setiap hari."

Mereka berjalan menyusuri ladang jagung. Sebuah orang-orangan yang

berwajah serabut dipenuhi rambut jerami dan topi kerucut lusuh

membungkukkan badan sambil mengucapkan kalimat basa-basi.

"Saat purnama datang bersama angin dingin menggerogoti seluruh

tubuhku dan aku hanya sendirian disini dan hanya dibalut pakain bekas

manusia. Malam yang sempurna karena tak ada bintang yang muncul, angin

membuatku kedinginan di saat semua merasakan hangatnya malam ini," kata

salah satu orang-orangan pengusir burung, kondisinya memang tidak lebih

baik dari Mame Granyo yang terkena tumpahan lumpur berlendir menjijikan.

“Maukah? Maukah engkau membantuku, sobat?"

35

Page 37: Halmahera , the ghost

Orang-orangan itu melirik syal yang bertengger di leher Eric. Dia mulai

bergerak-gerak dan berusaha memberontak dari ikatan yang digunakan untuk

mengikatnya kuat-kuat pada kayu bersilang.

Rambut jeraminya rontok perlahan sementara tiangnya nyaris roboh.

"Aku menginginkan benda di lehermu itu!" rintihnya.

Eric menjauh kemana saja ia sanggup melakukannya. Orang-orangan

ladang itu mencondongkan kepalanya, mendekati Eric. Tali penyalipnya putus.

Tangannya yang berupa dahan bercabang bersikeras merampas syal.

"Tolonglah. Berikan syalmu, aku ingin benda itu, aku

membutuhkannya,” katanya memelas dengan wajah culas.

Eric berusaha menjauh menghidari sambaran tangan makhluk itu.

"TERBANTING!" Eric mendengar Hayden berteriak di balik

kerumunan tanaman jagung dengan tersengal-sengal.

Tiba-tiba angin bergulung menghajar orang-orangan ladang hingga

terpelanting meluluh lantakkan tanaman yang dilewatinya.

"LARI!" Hayden berteriak pada Eric yang sedang tercengang. Mereka

menembus lorong diantara tanaman jagung. Awan kelam menutupi sebagian

cahaya bulan yang sepertinya berpihak pada kegelapan.

“Itu tadi sihir?”

“Sulap,” ujar Hayden dengan tidak sabar. “Yaiyalah SIHIR…”

“Super sekali!”

Hayden menepuk dadanya dengan bangga. “Ah cuma sihir kecil-

kecilan.”

“Classy bisa memunculkan rubah betina, itu juga hebat, kan?”

“Biasa.” Eric melihat wajah Hayden tanpa ekspresi.

Mereka berhenti bersamaan ketika mendengar nyanyian mengalun

lembut diantara lolongan serigala yang berlomba memamerkan suara

perkasanya.

Eric dan Hayden berpandangan, "Apa mungkin manusia menyanyi di

ladang jagung tengah malam?" celetuk Hayden.

36

Page 38: Halmahera , the ghost

“Ini dunia manusia?" Eric tidak melanjutkan ucapannya, dia melonjak

kaget setelah suara kecil menjawab pertanyaannya.

"Ya, ini dunia manusia. Kau hantu baru yang hilang ingatan itu, kan ?"

Eric dan Hayden melongok ke belakang secara bersamaan dengan ragu-

ragu. Mereka melompat terkejut melihat gadis berambut perak panjang, dengan

bola mata berwarna coklat mengkilat sama seperti mata Eric.

"Hai, aku Naydelin...” Eric dan Hayden terdiam, mereka tidak tahu apa

yang seharusnya dikatakan. Gadis itu kembali melanjutkan sambil

menggumam, "Umh...aku Satanic, tetapi aku mencoba berjalan-jalan di ladang

jagung, ditemani para hantu ladang."

Eric mengangguk. Hayden masih terbengong-bengong.

"Kau cucu Master Quarenci, eh?" katanya sambil menunjuk kearah

Eric, sementara Eric hanya menjawabnya dengan mengangguk kecil. "Sudah

kuduga tetapi jangan khawatir kau akan menemukan memorimu kembali."

"Aku bertaruh keadaanmu sekarang adalah yang paling baik daripada

hidupmu dulu. Yah, kalau kau percaya.”

"Sok tahu banget, sih!" bisik Hayden. Bibirnya hampir menyentuh

telinga Eric.

"Tapi bagaimana aku bisa tahu keadaanku dulu jika memoriku hilang?"

Naydelin tersenyum sinis, dia duduk di atas batu pipih disampingnya,

"benda itu adalah kenangan dari seorang gadis tepat sebelum kau kehilangan

nyawamu," katanya sambil melirik syal Eric.

"Sok tehe!" sengat Hayden.

"Apa kalian tidak ingat?" sela Naydelin cepat, dia berdiri dan

mendekati Hayden. "Kata-kata yang membuat Eric lolos menjadi Geogle,

bahkan seluruh hantu dibuatnya terkejut. Kata-kata yang didapatnya saat

sebuah keputusasaan menggerogoti batinnya, saat dia begitu menderita dan...,

ah sudahlah!" Naydelin terlihat begitu jengkel pada Hayden.

"Sok tehe...”

"Oh, yeah! Kau sendiri Ghaits yang terlalu lama memikirkan mantra

untuk melakukan sihir sederhana!" serang Naydelin bertubi-tubi.

37

Page 39: Halmahera , the ghost

Eric tidak mendengarkan Hayden dan Naydelin berdebat, ia mendapati

pikirannya melayang jauh dan saling berkelebat. Seorang perempuan tua

berbisik di telinganya, kemudian gadis berambut panjang yang hampir mirip

ibunya sedang mengalungkan syal kelehernya. Mendadak perasaannya seakan

mengambil alih kesadarannya. Ia menemukan dorongan kuat untuk

mengungkap semua yang ada di balik bayang-bayang pikirannya. Siapa

mereka? Apa mereka begitu penting bagiku? Ingatan itu bagaikan sepotong

kue yang pertama ditemukannya.

“Aku ingin menyanyi untuk mengisi malam ini,” kata Naydelin sambil

mengerling ke arah Eric kemudian meninggalkan dua hantu itu, melayang

diantara tanaman jagung yang tumbuh berdekatan. Kemudian bernyanyi

mengalunkan lagu merdu mengiringi hembusan angin yang bertiup lembut.

Aku merindukan sesuatu

Sesuatu yang tak aku tahu

Hanya bermimpi di bawah lintas dahulu

Menanti keadilan menunggu waktu

Di saat semua pergi tanpa berpaling lagi

Aku tetap menunggu semua berlalu

"Lagu konyol," kata Hayden dengan mendengus.

“Aku harus berusaha menemukan sesuatu yang hilang dan..." Eric

terdiam sesaat. “Aku harus bisa membantu diriku sendiri...”

Hayden terkesiap. "Oh, kurasa kita harus kembali ke Snowvus. Lagi

pula kupikir ini hampir subuh." Ia menggandengnya lengan Eric, berjalan lima

langkah ditengah rerimbunan tanaman jagung dan menghilang.

38

Page 40: Halmahera , the ghost

Bab 7

Ramalan Sean YingEric dan Hayden muncul kembali ditempat mereka semula menghilang,

di depan cermin kemana saja.

"Kita pasti dihabisi seandainya Mame Granyo tiba-tiba memergoki

kita," bisik Hayden sangat pelan. Eric hanya bergumam dan Hayden menduga

Eric tidak mendengarkannya berbicara.

Hayden melayang lalu masuk ke dalam Malango melalui lubang hidung

yang penuh bulu diikuti Eric dibelakangnya.

"Kau tidur saja diranjangku sampai malam menjelang," kata Hayden

dengan menggaruk kepalanya. Dia menunjuk ranjangnya yang mungkin cukup

untuk berdua.

"Lendirmu sudah hilang, eh ...? "Eric bertanya hati-hati, dia khawatir

Hayden akan tersinggung,

Hayden tertawa tetapi wajahnya tampak serius lagi. "Lendir itu hanya

untuk pengkilap ruangan dan pengusir kotoran, jika sudah setengah hari

lendirnya akan hilang dengan sendirinya. Sama sekali tidak lucu kalau aku

memakainya untuk hiasan rumah, asal tahu saja sebenarnya aku tidak suka

lendir, yah hanya kebiasaan saja."

Eric begitu lega di dalam hatinya. Ia duduk di pojok ruangan sambil

memainkan lampu yang berisi kunang-kunang.

Hayden menenggelamkan diri di ranjangnya yang empuk dan tampak

nyaman kemudian menutup separuh matanya dan berujar kepada Eric,

"Bangunkan aku saat yang disana itu..."dia menunjuk bunga kuning

bermahkota besar yang sedang tertidur di atas pot kecil. "...Berubah warna

menjadi hitam─ itu tandanya malam telah menjelang."

Eric melecutkan pendangan ke arah bunga yang sedang mendengkur.

Ia berpikir seandainya bisa ikut tidur tentu pikirannya tidak akan serumit ini.

39

Page 41: Halmahera , the ghost

Bayangan tentang seorang wanita selalu membuat perasaannya kalut.

Tiba-tiba hantu itu teringat sesuatu. Master Quarenci, kakeknya, tempat ia

bertanya tentang segala hal.

Eric menembus dinding Malango dengan tidak sabar, meringankan

beban tubuhnya agar tidak terlalu cepat meluncur ke bawah. Ia melayang dua

senti dari lantai untuk menghindari hatu lain yang akan memergokinya sedang

mengendap-endap.

Snowvus menjadi sangat sepi, tidak ada hantu yang berterbangan dan

berseliweran seperti ketika ia pertama kali memasukinya.

Eric menuruni anak tangga lengkung tanpa lengan menuju ruang utama.

Cermin-cermin yang waktu itu hanya menampakkan bayangan hitam tanpa

ekspresi, sekarang bersinar terang seolah memperlihatkan cahaya alam yang

menerangi seluruh kehidupan manusia

Cahaya yang menyeruak berbondong-bondong dari cermin tidak

mampu mengalahkan kegelapan Snowvus. Kastil itu akan selalu gelap secara

abadi sebagai tempat tinggal para hantu.

Eric berhenti sejenak. Matanya menerawang di setiap sudut. Ia

mendapati banyak sekali cermin yang bisa membawanya kemana-mana dan

sebuah pintu kecil seukuran setengah tubuhnya. Ia kebingunan mencari arah,

ingin rasanya berteriak memanggil nama kakeknya tetapi terbayang dalam

tayangan pikirannya hantu-hantu yang menjerit dan menghujam dengan marah

karena tidurnya telah terganggu.

Terdengar langkah kaki yang berjalan ringan di belakang Eric. Sebuah

ketukan langkah kaki misterius. Ia menduga Mame Granyo ingin membalas

dendam dengan cara yang tidak fair.

Eric berbalik dengan cepat dan dia mendapati Master Quarenci tertawa

kecil padanya, "Aku sudah menduga cucuku ini adalah Geogle yang sempurna,

kau memiliki Garizah yang setara denganku."

"Garizah...?”

"Keberanian yang tidak terbatas, kehebatan dan kekuatan yang tidak

perlu dipelajari."

40

Page 42: Halmahera , the ghost

Eric mendekap hantu yang selalu tersenyum bijak itu. kemudian

berkata lirih. "Apa benar keadaanku yang sekarang lebih baik daripada saat

aku hidup?” Ia merasakan sesuatu yang berbeda saat itu, sebuah dorongan dan

bayangan masa lalu yang sangat jelas.

Master Quarenci melepaskan dekapan Eric tanpa berkata apa-apa, lalu

membawanya masuk ke sebuah cermin yang masih terkontaminasi oleh

kegelapan.

Ruangan yang terlalu gelap. Eric hampir saja tidak bisa melihat

tubuhnya sendiri bila sebuah bola kristal kecil tidak memancarkan cahaya biru

misterius.

Eric menduga dibelakang bola kristal itu ada sesosok berjubah gelap

tanpa terlihat seluruh anggota tubuhnya kecuali telapak tangan yang berada di

kedua sisi bola yang melayang tanpa disentuh.

"Sean Ying, aku mengunjungimu bersama Eric, cucu yang selalu aku

nanti kedatangannya," kata Master Quarenci sambil membetulkan letak topi

besarnya yang melorot ke samping.

“Tentu saja aku sudah mengetahinya. Ghobadi kecil itu, kan?” kata

sosok itu dengan dibarengi tawa yang melengking. “Baiklah, jika kalian

bersedia duduk itu lebih baik bagiku.”

Master Quarenci terkekeh-kekeh, “kau selalu menyuruhku duduk pada

kursi yang tidak tampak." katanya sambil merebahkan pantat pada kursi

misterius diikuti Eric yang merasa sangat takjub. Mereka seolah duduk

melayang tanpa kursi.

"Lama tak terlihat. Kupikir kau tidak akan kemari lagi, Quarenci," kata

Yean tanpa membuka kerudung penutup kepalanya.

"Benarkah? Aku selalu sibuk mengurus para hantu di Snowvus.

Yean terkekeh melengking, sementara Master Quarenci angkat bicara.

"Bagaimana dengan cucuku ini – apa kelak ia akan menjadi penerusku?"

Yean terkekeh lagi, tapi kemudian berhenti tiba-tiba, serius

memperhatikan bola kristalnya yang menyala semakin redup, terang,

kemudian redup lagi.

41

Page 43: Halmahera , the ghost

Hantu yang berjanggut lancip itu tampak tenang menunggu ramalan

Yean.

"Aku tidak dapat melihat semuanya, hanya masa lalunya saja yang

tampak jelas, penuh kesuraman dalam hidupnya. Dan harinya selalu rumit,

tidak akan pernah terang, jiwanya terbelenggu di saat kebahagiaan datang

menghampirinya..."

"Bola ramalan anda sedang terbalik, agak meleset seperti…?" Eric

teringat otak Classy yang meleset dan ia nyaris keceplosan. “Maaf.”

Yean tersenyum sama sekali tidak tersinggung. “Aneh sekali. Aku

hanya bisa melihat masa lalumu. Masa depanmu tersegel.” Ia berkata dengan

menyesal.

Aku berhasil menyegelnya, hanya Quarenci yang dapat mendengar

ucapannya sendiri.

42

Page 44: Halmahera , the ghost

Bab 8

Pencarian"Aku harap bola kristalnya sedang bermasalah sehingga ramalannya

meleset sedikit, eh, bukan, maksudku meleset banyak,” kata Eric saat keluar

dari ruang Sean Ying. “Apa maksudnya masa depanku tersegel? Bukankah

ramalan untuk mengetahui masa depan, bukan masa lalu?”

Master Quarenci terkekeh sambil mengacak-acak rambut Eric,

menunduk dan memandang tajam mata bulatnya, "Karena belum saatnya kau

berada di sini. Perbaikilah masa lalumu sebelum engkau menuju masa depan."

Dia mengantar Eric menuju sebuah cermin di samping tangga.

"Masuklah ke dalam cermin ini maka kau akan tiba di tebing Tallanga,

tempatmu terakhir kali dipanggil ke dunia ini. Kemudian turunilah tebing itu

hingga tiba di pedesaan yang bernama Halmahera."

Eric mengangguk. Menatap Master Quarenci penuh harap.

"Pakailah kalung ini." katanya sambil mengalungkan benda itu ke leher

Eric.

Eric mengamati kalung yang berantai panjang dan menggosok

permukaan liontin yang berbentuk angsa biru yang mengepakkan sayap.

Rasanya ia pernah melihatnya, hanya saja pikirannya tak sangup menjangkau

jawabannya.

"Carilah saudara perempuanmu yang hilang, ia yang akan membuat

hidupmu berubah. Ia memiliki kalung yang sama seperti ini karena hanya ada

dua pemilik berlainan. Satu di tanganmu dan yang lain dimiliki oleh seorang

gadis yang harus kau cari.” Quarenci mengerling cucunya agar cepat-cepat

menembus cermin yang berpendar itu. “Omong-omong gadis itu bernama

Flori.”

Dia saudara perempuanku?” Eric berbalik menatap kakeknya. “Flori

Ghobadi?”

Pria tua itu tak bereaksi. "kau cukup mencari gadis itu, selebihnya

kembali ke Snowvus."

43

Page 45: Halmahera , the ghost

Eric mengangguk paham untuk kesekian kali. “Aku berjanji akan

kembali ke sini setelah menemukan saudara perempuanku yang hilang.”

Namun dalam hati ia tetap berkeras kemauan mencari dirinya yang hilang. Ia

menembus perlahan ke dalam cermin itu. Tiada perjalanan panjang seperti

yang dibayangkannya. Secepat cahaya ia tiba di tebing Tallanga.

Hantu itu tidak tahu secara pasti sudah hari keberapa dia meninggal.

Menurutnya waktu manusia dan hantu berselisih jauh dan sebetulnya hanya

dibatasi oleh benang tipis yang membuat siapapun tak menyadarinya telah

berdiri diantara perbedaan masa itu.

Eric menatap sebentar liontin angsanya lalu memasukkannya kedalam

balik mantel yang terlalu lebar untuk ukurannya. Menuruni tebing dengan

berjalan cepat. Aku tidak sabar bertemu dengan Flori. Apa dia merindukanku

juga?

***

Matahari yang menyengat, orang-orang berlalu lalang sibuk beserta

urusan masing-masing. Cuaca dingin yang aneh telah berlalu dan semua

kembali normal.

Toko-toko kelontong riuh berjajar di sepanjang jalan di perkampungan

itu. Eric berada dalam penyamarannya sebagai manusia. Ia tersenyum puas

saat melihat papan besar bertuliskan,

SEDIA BERBAGAI MACAM :

ONDERDIL RITUAL PENYUCIAN

(DI JUAL TERPISAH)

Ia menghampiri pria yang berdiri di depan toko itu. Tatapannya tidak

bersahabat tapi pria itu membuka pembicaraan. “Apa kau memerlukan

jambang dan perkakas penyucian?” Eric menatap manusia itu sejenak dan pria

itu kembali melanjutkan. “Aku tidak menjualnya secara utuh tetapi menjualnya

dengan terpisah.”

“Tidak... aku tidak beli apa-apa, pak.”

44

Page 46: Halmahera , the ghost

Si manusia mendengus lalu masuk ke dalam tokonya dan membanting

pintu dengan kasar.

Eric melompat mundur selangkah memastikan pintunya tidak jatuh

menimpa dirinya. Ia melihat sekeliling. Beberapa orang memandangnya

dengan tatapan aneh. Mereka bahkan rela berjalan mundur untuk mengamati

penampilannya yang ganjil.

Mantelnya yang kusut dan sangat longgar juga sepatu yang berlubang

mirip mulut buaya itulah yang mengundang perhatian manusia. Eric tidak

begitu menghiraukan lalu memutuskan menyusuri tempat itu meski tanpa tahu

arah. Disekelilingnya beberapa anak mengatainya orang gila dan anak idiot

sambil bersiap kabur jika Eric tiba-tiba hendak mengejar mereka.

Tanpa sadar Hantu itu memelototi mereka hingga salah satu matanya

lepas, menggelinding ke sembarang arah. Anak-anak tadi menjerit ketakutan,

kemudian kabur kemana saja yang dianggapnya sebagai tempat paling aman.

Sementara Eric sibuk mengejar mata yang sangat berbahaya bila dilihat oleh

lebih banyak kaum manusia. Ia kemudian memasangnya kembali dengan

normal.

Eric serasa sangat merindukan malam yang tenang sebab manusia akan

berpikir seratus kali untuk melalukan perjalanan di waktu yang tidak

menyenangkan bagi mereka. Ia berjalan lagi sambil mengamati manusia yang

sibuk dengan aktivitas mereka. Kios yang seharusnya menjajakan makanan

kecil tertutup rapat, sedangkan kios koran dan toko bunga tetap buka dalam

sepi.

Eric tiba-tiba merasa pedih menjalar menusuk setiap sendi dan

rusuknya saat melihat kebahagiaan yang mungkin tidak didapatkannya. Dia

membayangkan berkumpul kembali dengan orang tuanya dan Flori yang

sedang dicarinya. Tetapi perasaannya selalu mendebat impiannya. Sangat

mustahil bagi keluarga yang berbeda kehidupan untuk disatukan.

Kata-kata ibunya kembali melayang-layang memenuhi kepalanya,

Hiduplah dengan memerankan dirimu sendiri. Kita berbeda dan suatu saat

semua tidak akan sama dengan apa yang kau pikirkan. Ketika masa itu tiba,

45

Page 47: Halmahera , the ghost

kelak engkau harus siap, apapun yang terjadi. Bersiaplah! Eric mengangkat

bahu dengan putus asa. Mau tidak mau ia mamaksa dirinya berkata, Kurasa

aku harus bersiap.

46

Page 48: Halmahera , the ghost

9

Hutan Jalur UtaraMalam akhirnya kunjung datang mempertegas senja. Eric merasa

sangat nyaman berada pada malam yang hanya diterangi cahaya lampu redup.

Satanic dengan muka masam muncul sekonyong-konyong dari dalam tanah.

Serombongan hantu minum teh sambil bersandar di pohon mengobrolkan

sesuatu.

Beberapa diantaranya mengisi kesibukan dengan menyendiri tanpa ada

hantu lain yang iseng menyapanya. Para Ghaits lebih senang terbang

bergerombol mengikuti arus angin malam menyeret mereka. Eric dikejutkan

oleh anjing ceking nyaris tanpa bulu yang sibuk mendengking-dengking saat

Eric lewat di depannya, kemudian sekonyong-konyong hewan itu

bertransformasi menjadi hantu. Ocupant, dengusnya.

Semua ini adalah dunia yang tak pernah dibayangkannya. Mungkinkah

orang-orang yang masih hidup itu membayangkan kehidupan lain ini? Tidak!

Ini bukan urusan para manusia, sekali lagi, kita berbeda.

Rumah-rumah manusia mulai tertutup rapat, jendela yang berjajar

terhalang gorden yang agak tebal. Beberapa rumah masih menyalakan lampu

utama yang sangat terang sementara rumah yang lain hanya menyalakan

beberapa lampu kecil dengan nyala redup.

Eric yang sedang bertransformasi dalam wujud manusia sengaja

memainkan ayunan di taman yang dipenuhi desiran angin yang membawa

kabur dedaunan yang rapuh. Bunyi besi berkarat yang bergesekan membuat

orang penasaran sekaligus merinding. Gerombolan anak-anak berandalan

menghampirinya.

"Apa kabar bocah?" tanya berandalan yang bertubuh besar dan

berambut keriting tergerai gimbal.

"Kabar buruk karena kalian telah menggangguku!" Jawab Eric sembil

mengkontraksikan otot matanya.

47

Page 49: Halmahera , the ghost

Berandalan bertubuh kerempeng mendengus kesal. Tangannya

mengacak rambut Eric dengan kasar. Lusinan gelangnya saling bertabrakan

kemudian bersuara nyaring ditengah kesunyian malam. "Ini markas kami,

bodoh!"

"Dan kau harus membayar denda," lanjut berandalan yang memakai

tindik pada hidungnya serta banyak kalung panjang dilehernya.

"Ouch…bagaimana kalau aku tiba-tiba mengatakan aku bukan manusia

seperti kalian?" sahut Eric datar, seolah tidak peduli pada tiga berandalan itu.

"maksudmu anak setan?” kata berandalan bertubuh kerempeng

disambut tawa anak yang lainnya.

Tetapi sebentar kemudian ketiganya berhenti dan menampakkan wajah

keterkejutan luar biasa saat Eric ikut mengikik bersamanya.

"Kau menantang kami, eh?" dengus yang bertubuh paling besar sambil

menghentikan ayunan Eric.

"Tenang, Jim, anak itu tidak punya kekuatan apa-apa," kata berandaan

yang ditindik hidungnya pada kawannya yang bertubuh besar yang tampaknya

menyembunyikan kegelisahannya. Ia membidik dengan jari tengahnya.

Mendadak angin bertiup begitu kencang, sampai - sampai semua

mainan di taman itu bergerak dengan sendirinya. Bunyi besi yang berdencit

terdengar bersahutan.

Eric melayang di atas kepala para berandalan itu dan menjambak

berandalan yang berambut panjang dan bertubuh besar. Sementara dua

berandalan yang lainnya terbirit-birit menerjang semak dan menabrak tembok

hingga giginya patah.

Hantu itu terkikik melengking. Ia melayang pergi menembus malam

bersamaan dengan semua mainan di taman yang berhenti berderak.

Malam semakin larut dan Eric dapat melihat banyak hantu yang

berkeliaran. Terkadang mereka muncul, tetapi sebentar kemudian tiba-tiba

menghilang. Dia tetap menyamar sebagai manusia meskipun hantu lain

menatapnya sinis.

48

Page 50: Halmahera , the ghost

Ia menghabiskan waktu dengan berjalan menembus malam di bawah

sinar lampu jalan yang kadang-kadang mulai meredup. Sampai akhirnya tiba

ditempat yang jarang ditemukan rumah manusia. Hanya pohon oak

disekelilingnya dan semak yang tumbuh liar.

Tetapi dibalik rerimbunan pohon oak dan semak, Eric samar-samar

mendengar senandung besi yang dipukul berirama dan jeritan wanita yang

melengking kemudian tiba-tiba letupan api pelan yang mengakhiri semuanya.

Eric tidak memedulikan suara itu, dia berpikir itu adalah ulah kaum

Ocupant yang jahil berlebihan. Tetapi ketika akan melangkah menjauh,

ledakan begitu keras terdengar mengerikan. Burung-burung yang sedang tidur

seolah terlonjak kaget dan beterbangan saling mendahului.

Eric terhenyak mendengar nama keluarganya disebut-sebut. "Ghobadi...

aku merindukan kalian." Suaranya terseret–seret seakan tenaga telah terkuras.

"Ghobadi, bila kau berada disini, masuklah diantara semak-semak ke arah jalur

utara, berjalanlah lurus ke utara kemudian carilah pondok tua dengan dua

pohon cemara yang dulu pernah aku janjikan padamu."

Eric melamun, menatap rerimbunan pohon oak, memikirkan sesuatu

yang tidak jelas. Dia baru tersadar ada Satanic yang melayang cepat

didepannya, kemudian menempeleng kepalanya tanpa ampun.

Satanic itu menghilang sebelum Eric sempat melihat wajahnya. Eric

merasa tubuhnya berdesir seakan pikirannya kembali teringat dengan ibunya.

Satanic berkelebat diantara pohon oak, malayang menembus semak-

semak. Ia mengambil jalan pintas dengan menabrak semua pohon sementara

Eric serasa sengaja dijadikannya berambisi mengejarnya dalam motif abu-abu.

***

Eric tiba-tiba kehilangan Satanic yang melayang liar seperti elang yang

buta matanya. "Hantu yang menyebalkan!” dengusnya.

Suara yang sama sekali tidak merdu membantunya memahami

kesadaran pada sekitarnya. Dia sedang dikelilingi ratusan katak yang

berloncatan setinggi kepalanya.

49

Page 51: Halmahera , the ghost

Geogle itu merapatkan kedua kakinya, kemudian melayang menjauh.

Eric merasakan mata kodok-kodok itu terus mengawasinya.

"Turunlah Ghobadi ! Kelakuanmu tidak sopan!" hardik sebuah suara

yang tampaknya berasal dari dalam pondok tua itu. Eric mematung sejenak

memahami suara itu.

Ia kemudian mendengus kesal. Aku hantu jadi tak perlu takut siapapun.

Ia mendekati pondokan itu kemudian berdiri di depan pintu yang terbuat dari

akar-akaran. "Sekali lagi kuperingatkan. Berlakulah yang sopan!" Suara itu

terdengar lebih kejam dari sebelumnya. “Bertatakramalah seperti manusia.”

Tetapi Eric terlanjur menembus pintu dan mendapati tempat yang

begitu berantakan dan jorok. Ia melecutkan pandangan ke arah tungku

perapian, dan dijumpainya seorang perempuan tua duduk di atas kursi yang

dilapisi tiga buku tebal. Seekor kucing persia tidur di atas pangkuannya.

"Ghobadi aku selalu menunggumu. Kau adalah keturunan terakhir.

Yang paling akhir.”

Si kucing melompat terkejut saat makhluk tua itu beranjak dari

kursinya. Ia berjalan dengan tongkat yang tingginya hampir menyamai atap

pondoknya. Ukuran tubuhnya tidak melampaui separuh dari tinggi tubuh Eric.

Perlahan ia mendekati hantu yang sedang diliputi perasaan tidak nyaman dan

begidik.

"Aku bukan hantu sepertimu," katanya dengan cepat membaca pikiran

Eric. "Aku peramal dari bangsa Moro yang berpihak dengan dunia manusia,

disaat yang lain selalu bersembunyi."

"Apa anda tinggal sendiri, maksud s-saya selain dengan k-kodok?"

tanya Eric menyembunyikan rasa frustasi. Ia jijik dikelilingi ratusan kodok

yang bermata besar dan menonjol.

Peramal itu mengikik ganjil lalu berdeham dan berhenti sejenak,

“Angan-anganmu terlalu tinggi, nak. sementara kau tidak pernah memikirkan

resikonya," katanya dengan tajam. “Kau mudah dijebak. Kau datang kemari

bukan karena hatimu, tapi emosi dalam jiwa.”

50

Page 52: Halmahera , the ghost

Eric serasa ingin muntah saat wanita renta itu mengambil kodok lalu

menjilatinya. "Aku bisa membaca pikiranmu".

"Tentang kucing anda yang sedikit aneh dan kodok-kodok anda yang

sepertinya tidak senang saya di sini. Enng... ya itu yang sedang saya pikirkan,"

kata Eric sekenanya.

"TIDAK!" hardiknya. Eric terlonjak, terkejut. "Bukan itu. Tapi kau

berpikir bahwa aku ini siluman kodok!”

Eric tak bisa berbohong, tetapi dia tidak mau mengiyakan. Ia

menggeleng tegas meskipun ia sadar peramal itu mengetahui pernyataan

palsunya. Nenek itu kembali duduk di kursinya yang selalu berdencit. Mata

kodoknya terus mengawasi Eric, membuatnya canggung. Dia memilin-milin

taplak meja yang dianyam dari tumbuhan lalu tiba-tiba saja matanya tertuju

pada sebuah kotak tua tertutup.

“M-maaf, sepertinya saya pernah bertemu dengan,” ujarnya. “Anda.”

“Ya. Namaku Geffon, penghuni hutan jalur utara.”

Eric berpikir keras. Ada bagian dari isi kepalanya yang masuk berjejal

tapi ia tak bisa meraih ingatannya. Rasanya sesak seakan ada yang melucuti

dosanya satu per satu lalu menghukumnya bertubi-tubi.

Bayangan kelabu perempuan tua yang menabraknya berputar kuat di

kepalanya. Aku mendapatkannya, aku pernah bertemu dengan orang tua ini…

"Sudah saatnya kau pergi, Ghobadi!"

Eric terhenyak. Pergi? Hei dia mengusirku setelah mengundangku

dengan paksa. “T-tapi s-saya masih ingin bertanya pada anda. Bagaimana

anda…”

wanita tua itu mengetukkan tongkatnya kelantai. Eric terhempas angin

kencang yang seolah dihasilkan oleh getaran tongkat itu.

Hantu itu hendak berpegangan pada meja namun hanya sempat meraih

taplaknya saja. Ia terhempas mengikuti arus angin yang liar. Dunia terasa

berputar dan terbalik cepat sekali seolah teori grafitasi bumi sudah tidak

berlaku lagi.

51

Page 53: Halmahera , the ghost

Eric mendarat payah di jalanan yang sepi. Ia seperti baru saja

dijatuhkan dari langit sementara kotak sebesar dua buah apel itu terpental

beberapa meter dari tangannya.

52

Page 54: Halmahera , the ghost

10

PAWANG HANTUEric mendengus kesal ia bersusah payah menarik kakinya yang

terperosok menembus aspal kering. “sialan!”. Hantu itu mengumpat setelah

berhasil menyelamatkan kakinya. Ia memungut kotak usang yang tak berdebu

(sepertinya setiap hari di bersihkan), mengamatinya dengan mata terpicing.

Benda itu memiliki banyak ukiran rumit. Berwarna emas kusam dengan

rantai kecil yang mengelilingi tutupnya. Eric berusaha membaca huruf yang

terangkai melingkar pada alas kotak itu. "HE-LLUVA-GLOW.” Kotak itu

tiba-tiba membuka sedikit namun sedetik kemudian menutup kembali.

Eric berdecak sebal—memasukkan Helluvaglow ke dalam saku mantel

dalamnya sambil bersiap melangkah pergi. Secara bersamaan ia merasa ada

sesuatu yang memukul punggungnya dengan sangat keras dan bertenaga

sampai-sampai ia hampir terjerembab.

"Kau meninggalkanku diam-diam," sembur Hayden marah-marah.

Matanya yang sipit melotot sejadi-jadinya. "Ini dunia manusia— hati-hati

dengan segala sesuatunya."

"Maksudmu?" tanya Eric dengan kesal.

Sebuah Land Cruiser hitam melaju dengan kecepatan tinggi menabrak

dua makhluk itu dari belakang. Hayden melolong tertahan, suaranya seperti

tercekik. Benda itu berhasil menembus awaknya.

“S-seharusnya kita pura-pura mati saja.” Kukunya yang panjang

menggaruki kepalanya dengan frustasi.

“Kita kan memang sudah mati. Ngapain masih pura-pura?”

“Ya dewaaa... kenapa kau nggak pernah bisa mengerti dengan sekali

penjelasan?”

“Oh, kau sedang menjelaskan?” sahut Eric datar. “Kalau begitu

bicaralah intinya saja.”

Land Cruiser berdencit membelok kembali ke arah Eric dan Hayden.

53

Page 55: Halmahera , the ghost

“P-pawang hantu itu...” kata Hayden dengan suara gemetar. "M-

mungkin sebaiknya kita segera pergi dari tempat ini...”

"Kenapa?" protes Eric keras kepala. "Kita ini hantu dan dia manusia.

Kau bisa sihir. Jadi nggak usah takut.”

"T-tapi ppepedang itu di tangannya— s-sekarang..."

Eric terdiam sambil berpikir keras. Ia beradu pandang dengan pawang

hantu itu dan perasaannya sangat tidak menyenangkan. “Auranya seperti

hendak mencabik.”

"I-itu Bisolgedhi," teriak Hayden seraya menyambar lengan Eric sekuat

tenaga. “Pawang hantu!”

"Kurasa dia berbahaya," celetuk Eric semenit berikutnya. "Aku bisa

melihat dari matanya."

"Oh, Dewaaa!" Kata Hayden dengan dongkol. "Kurasa itu yang aku

katakan dari tadi. Apa kau bisa melayang sendiri tanpa bantuanku?"

Eric nyengir tapi kemudian memasang wajah serius. Mereka melesat

kabur. Bisolgedhi, si pawang hantu, mengejarnya bersama Land Cruiser yang

berlari sekencang kuda menerobos apa saja yang menghalangi jalannya.

Termasuk pagar taman.

Hayden begitu sangat menderita melayang dengan kecepatan melebihi

kemampuan maksimalnya. Kondisi badannya yang sangat gemuk membuatnya

terseok-seok. Sementara Bisolgedhi mengejarnya dengan beringas seolah dia

mendapatkan mangsa yang diharapkan.

"Kita kembali ke Snowvus sebelum semua terlambat," raung Hayden.

“Kau tahu di mana letak cermin ke mana saja diletakkan?”

Eric menyambar lengan Hayden. Mereka bersembunyi di balik semak-

semak. "Aku bersumpah tidak akan kembali ke snowvus sebelum menemukan

ingatanku lagi," desah Eric dengan nada tajam.

"Tapi hanya di sana kita bisa aman!" protesnya dengan tak sabar.

"Aku tidak peduli," kata Eric keras kepala sambil mengibaskan tangan

ke arah Hayden. "Aku tahu tempat yang bagus untuk bersembunyi. Percaya

padaku!"

54

Page 56: Halmahera , the ghost

Kali ini Hayden menyerah, ia rela berhenti mengomel untuk sementara.

Mereka menggeliat di antara kapiler besi. Menjatuhkan diri di gorong-gorong

yang sempit.

"Bersiaplah ...kita akan jatuh," kata Eric secara mendadak.

"AAARRGGHHH...!!!

Mereka memekik tertahan. Hayden dan Eric terperosok diantara pipa

saluran, meluncur liar mengikuti arus.

Hayden mengerang. Pantatnya terperosok ke dalam tanah sementara

pakaiannya terkena cipratan comberan yang menjijikkan. "tempat yang jorok,

ini seperti dunia tikus, kalau aku benar menebak, di sini adalah comberan

bawah tanah—tempat kotoran... Ouh..."

Eric nyengir sambil pura-pura batuk untuk menahan tawanya. "Aku tadi

kan menyuruhmu untuk bersiap jatuh! Tapi sudahlah, Bisolgedhi tidak

mungkin menyusul kemari."

Hayden mendengus. Dia berusaha menghindari kerumunan tikus yang

bersusah payah menggerayangi tubuhnya. Tikus-tikus itu sepertinya putus asa,

mereka seperti hanya menggigit angin kosong.

“tampaknya kau menjadi daging yang paling lezat untuk ukuran

mereka,” kata Eric sambil membantu Hayden menarik pantatnya yang

tenggelam di tanah.

Setiap hewan diprediksi mampu merasakan bahkan melihat kehadiran

hantu di sekelilingnya. Tetapi disisi lain mereka ragu untuk menyerangnya atau

mengajak berteman tanpa komunikasi yang jelas—hanya dengan sedikit

koneksi yang sama untuk menyamakan frekuaensi dengan alam lain.

“Kenapa tidak memakai jampi tembus batas yang dimiliki setiap hantu,

aku kan juga hantu...” omel Hayden setelah ia berhasil menyelamatkan

pantatnya.

“Bersyukurlah saja, pantatmu tidak gepeng.”

"Omong-omong kehilangan pantat jauh kebih baik dari pada dikurung

dalam Naigan - pedang perak yang paling mengerikan milik Bisolgedhi." kata

Hayden. “Aku terperangkap di sana dan luar biasa menderita?”

55

Page 57: Halmahera , the ghost

"Naigan? kau pernah dikurung di dalamnya? Jadi pedang itu bisa

memakanmu?"

Hayden bergumam. "Dia menghisap bukan memakan,” kata Hayden

dengan mata yang dipaksa melotot. "Aku disiksa habis-habisan tanpa henti.

kau tahu ? tanpa henti! sampai aku bersedia menjadi anak buahnya untuk

melaksanakan semua perintah pawang bedebah itu."

Eric diam seakan sedang mendengarkan setiap suara Hayden dengan

detil, tapi sebenarnya ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Seberapa bahayakah

dia? Dia tak berarti apa-apa tanpa pedang penghisapnya.

"Sebuah keberuntungan menyertai! Master Quarenci datang untuk

menolongku dan berkat kehebatan kakekmu, aku selamat. Sebelumnya aku tak

pernah berharap untuk melihat kastil Snowvus tercinta lagi setelah pawang itu

menangkapku."

Eric hanya bergumam, membiarkan Hayden meneruskan ceritanya

sambil berjalan menghabiskan malam itu.

"Setelah bersumpah menjadi anak buahnya, otakmu akan dicuci lalu

dimodifikasi agar mampu membantu menciptakan kesenangan pribadi dan

hura-hura manusia."

"Hura-hura, eh?" Eric mengernyit.

"Hem! manusia membutuhkan makhluk gaib untuk mengejar

keberuntungan. Pada pertandingan sepak bola, Bisolgedhi menggunakan

kelemahan hantu tawanannya untuk membantu klub Persabu selama

pertandingan itu. Akibatnya klub Persabu menang tidak wajar." kata Hayden,

bersemangat.

“Tunggu sebentar!” Eric bergaya memegang kepalanya. “Aku ingat!

Aku ingat. Aku bisa mengingatnya!”

Hayden berbinar. “Ingatanmu sudah ingat?!”

Eric mengangguk kuat-kuat sambil memeluk Hayden. “Aku bisa

mengingat tim sepak bola andalanku! Persabu yang hebat itu berkat menjual

nama Callisto Treton…”

56

Page 58: Halmahera , the ghost

Sebelum meninggal Eric benar-benar penggemar Persabu dan pada

setiap penampilannya selalu disertai ritual untuk menciptakan gol. Ia terlalu

mengelu-elukan Callisto Treton, pemain andalan Persabu yang memiliki

tendangan di atas standar normal.

“Ingatan yang lain?”

“Yang lain tidak ada,” ujar Eric dengan muram.

“AARRGGHH…Itu namanya bukan berhasil mengingat,” sahut

Hayden sambil menggaruk lehernya yang tak gatal. “Itu memori sekunder yang

tidak akan hilang meskipun kepalamu hilang.”

Mereka terdiam sesaat, suara air kotor yang menetes terdengar nyaring

ketika bersenDewaa dengan pipa besi.

Eric tertunduk.

“Sudahlah, sobat. Kelak kau pasti berhasil menemukan dirimu yang

sebenarnya.”

"Hey omong-omong, dari mana kau tahu aku menyelinap ke dunia

manusia?" tanya Eric dengan cepat.

Hayden melirik Eric. "Tentu saja kakekmu yang memberitahuku. Kau

pikir Mame Granyo yang memberitahuku?"

Eric menatap Hayden terkejut. "Kakek bercerita banyak tentangku,

eh?"

"yah - bahkan semua tentangmu. Katanya semua keturunan Ghobadi

tidak bisa bersatu."

"APA?” sembur Eric dengan murka.

"Tapi Master Quarenci berusaha membuat perhubungan jiwa lewat

aliran darah keturunan. Peramal Geffon - kau tahu dia? bangsa manusia yang

dikutuk menjadi peramal oleh kaum Moro akibat kesalahan luar biasa yang

dilakukannya.”

“Kakek bilang begitu?”

“Eeng... bukan. Itu gosipnya,” sambung Hayden cengar-cengir. “Tapi

memang Geffon itu....ber-ba-ha-ya!”

57

Page 59: Halmahera , the ghost

Eric melongo, dia pernah mendengar nama itu." Nenek Geffon? Yang

kamu maksud dia peramal yang tinggal di hutan jalur utara?"

"Tahu juga kau," lanjut Hayden. "Aku tidak sengaja mendengar

perbincangan Master Quarenci dengan peramal itu. Sepertinya mereka saling

mengenal dan - "

"Jadi kau menguping ?”

Hayden nyengir lagi, "Yeah - habis kakekmu terlalu pelit waktu

kumintai informasi. Jadi aku buntuti saja dia."

Eric terhenyak. Ia mendapatkan secara detil sedikit memorinya sebelum

meninggal. Nenek yang ada di dalam bayangannya itu - Geffon, tidak lain

adalah peramal bermata kodok yang pernah ditemuinya. kemunculannya

sebelum dia meninggal dan meninggalkan pesan aneh itu.

"Aku menduga Geffon kenal baik denganmu, mereka kelihatannya

membicarakan dirimu dan sempat berdebat sengit," kata Hayden.

"Apa yang mereka bicarakan?" desak Eric, sambil menggoyang-

goyangkan bahu Hayden.

Hayden menjauh dari Eric, kemudian mengangkat bahunya tinggi-

tinggi. Terlihat takut sekali melihat tindakan Eric yang agresif. "Aku tak

sempat mendengarnya, karena aku ingin segera pergi ke dunia manusia,"

katanya.

"Bodoh!"dengus Eric, sebal. "Apa kau bisa bertindak pandai sedikit

saja? Berpikir bung!" katanya dengan menunjuk lututnya berulang kali.

"Ouch!suruh saja tikus-tikus itu yang mikir, "balas Hayden. Ia berjalan

mendahului Eric. “Seandainya aku bisa melakukan blasxing...”

“blassing?”

“blasxing dengan huruf x, kamu tahu jika kita menguasai ilmu blasxing

kita tidak perlu lari-lari seperi hantu bodoh.” sembur Hayden dengan mata

yang dipaksa melotot agar lebih meyakinkan.

“Aku lebih suka lari-lari,” celetuk Eric. “kamu bisa menguruskan perut,

bung.”

58

Page 60: Halmahera , the ghost

Hayden mengelus perutnya yang buncit tapi ia menepis dengan cepat.

“Ini bukan masalah perut, tapi blasxing yang mengagumkan. Kau mengelabui

musuh dengan menghilang lalu muncul di suatu tempat yang kau pikirkan.

Musuhmu akan terus mencari keberadaanmu sampai-sampai kau gila

memikirkan tempat yang tidak akan pernah dipikirkan oleh makhluk lain.

Kecuali engkau sendiri. ”

Eric memutar tubuh Hayden seperti memelintir sekrup. “Lalu?”

“Aku pernah mencobanya...”

“Lalu?”

“aku kapok. Aku menyerah untuk melakukannya lagi. Kau ingin tahu?”

Hayden menunggu Eric menganggukan kepala. Kemudian ia meneruskan.

“Aku terperosok di peti jenazah Mame Granyo. Dia mengejarku dan hampir

saja menggunduli hidungku...”

“Lalu?”

“Aku akan melanjutkan jika kau berhenti berkata lalu. Satu yang perlu

kau ingat, konsentrasi dalam melakukan blasxing sangat diperlukan, jika tidak

kau akan tersesat atau terbuang atau terdampar dan sejenisnya yang lebih parah

dari itu.” Hayden berhenti sejenak. “Blasxing hanya digunakan jika perlu saja,

kalau tidak akan menimbulkan efek ketagihan yang sangat fatal. Musuh akan

mudah membaca keberadaanmu karena dalam pikiranmu tak bisa membedakan

antara Blasxing ataukah menghilang secara normal dengan cermin ke mana

saja. blasxing secara sempurna hanya dimiliki hantu tertentu, terutama

geogle.”

“Bagaimana cara melakukan blasxing tadi?” Eric menciap antusias.

“Aku geogle, bukan?”

“Kau lebih suka lari-lari untuk meratakan perut” sahut Hayden sambil

nyengir. Eric mengikik seraya menepuk perut Hayden.

“Aku akan berpikir dua kali jika aku tahu blasxing benar-benar

mengagumkan. Apa ada jampi blasxing? Mantra? Kode? Password? Pin?”

59

Page 61: Halmahera , the ghost

Hayden memonyongkan bibir. “Kau cerewet sekali seperti anak

perempuan. Blasxing berhak dimiliki setiap hantu, tapi sebagian dari mereka

tidak ingin memiliki ilmunya.”

“mengapa?”

“karena tidak penting. Blasxing berbahaya untuk hantu pelupa, kadang

dia sadar melakukan blasxing ke suatu tempat yang dibayangkannya tetapi dia

tidak ingat dari mana tempat asalnya. Blasxing membuat otak berguncang. Oh,

satu lagi...bagi hantu yang meninggal tanpa membawa otaknya tidak mungkin

melakukan blasxing. Blasxing dikendalikan oleh otak, bung.”

Eric tertegun. Pikirannya menerawang berbaur dengan kegalauan atas

memorinya yang hilang. “memoriku hilang tetapi aku masih punya otak

dikepalaku,” celetuknya. “Aku pasti bisa melakukannya, eh? Bukankah aku ini

geogle?”

“Ya ya aku tahu kau Geogle. Kau tak perlu mengulang-ngulangnya.”

Hayden mengangkat alisnya tinggi-tinggi. “Balsxing yang paling sulit

dilakukan saat bersama dua hantu atau lebih dari golongan yang berbeda

karena kalian harus menyamakan pikiran dan membagi konsentrasi supaya

salah satu diantara kalian tidak tercecer di jalan.”

“sepertinya menarik...” Eric melayang mendahului Hayden. Ia

memasukkan tangannya di saku mantel sebelah kiri. Tangannya mengelus

Helluvaglow yang disembunyikan di dalamnya. “Aku pasti bisa melakukan

Blasxing bersama tujuh hantu sekaligus...”

“Benarkah?” Hayden pura-pura terbelalak. “Kau pernah belajar

Balsxing?”

Eric menggeleng. “Aku punya Garizah setara dengan kakek. Jadi

mungkin aku bisa melakukan segala sesuatu tanpa perlu mempelajarinya

terlebih dahulu.”

“Itu pengecualian…” Hayden menyahut bosan.

60

Page 62: Halmahera , the ghost

11

Kegemparan Eric dan Hayden menghabiskan malam menyusuri gorong-gorong yang

sebagian digenangi air dan sebagian berupa tanah lembek. Air tumpah setetes

demi setes dari atap bergemericik perlahan bergema disela-sela kesunyian.

Sinar pagi perlahan menyeruak melalui celah besi yang berlubang.

Hayden menyusut dan menjadi bentuk peri kecil dan menghindari sinar alam

yang mencoba menyentuh tubuhnya secara halus.

Ia mendekati Eric, "Aku paling alergi dengan sinar matahari." katanya.

"Kau tahu kenapa? Aku bisa lumpuh selamanya gara-gara cahaya alam.”

"Ufh - kalau begitu kau disini saja sampai nanti malam dan aku akan

menyamar menjadi manusia lalu naik ke sana," kata Eric.

"Jadi kau ingin meninggalkanku disini? sendirian ? bersama tikus-tikus

menjijikkan ini, heh?" raung Hayden sambil mengangkat alisnya tinggi-tinggi

tanda penolakan secara mentah-mentah. ”Tidak bisa — kau harus

membawaku!”

Peri ghaits akan selau ditakdirkan anti terhadap sinar matahari sehingga

mereka hanya tidur pada siang hari dan bermain di malam hari, seperti Satanic

yang lebih memilih bergentayangan di saat matahari terlelap.

Hayden menyusutkan tubuhnya hingga menjadi sebesar buah anggur. Ia

mengepakkan sayapnya, "Aku bersembunyi di dalam saku mantelmu saja.

Ingat jangan menggencetku." Ia menyeringai menampakkan giginya yang

besar lalu cepat-cepat masuk ke saku mantel yang sudah usang itu. “Jika aku

bisa bernafas aku yakin di dalam sini baunya seperti telur busuk.”

Eric menembus aspal. Sebentar kemudian ia mendapati dirinya berada

di tengah lalu lintas manusia yang sibuk dengan kepentingannya masing-

masing. Ia menghalangi sinar matahari yang mengenai matanya dengan

punggung tangan.

"Apa kau masih bertahan di sana?" kata Eric sambil berjalan mengikuti

gerak langkah kakinya.

61

Page 63: Halmahera , the ghost

"Aku lebih memilih disini daripada kau titipkan bersama tikus -tikus

menjiikkan itu," sahut Hayden.

Eric mendesis sambil menepuk kantongnya yang berisi Helluvaglow,

lalu beralih pada kantong lain yang ditempati Hayden.

“Hei, bisakah kau berjalan dengan pelan-pelan?” ia mencubit perut

Eric. “Kau membuat di dalam sini berguncang seperti gempa bumi.”

“Aku sudah berjalan sangat pelan,” gerutunya. Eric merasa canggung

seakan ada yang sedang mengawasinya dari segala penjuru. Ia tak merasa takut

haya saja ia tak mampu memahami rasa cemas yang tiba-tiba menyergapnya.

Aku harus bergegas! Hei, ada apa denganku? Kenapa aku lari seperti sedang

ketakutan?

“Eric…” Hayden melolong putus asa. “Kau membuatku terguling-

guling…”

“M-maaf, sobat!” Eric tak menyadari semakin lama langkahnya

semakin cepat. Buru-buru ia berhenti dengan terkesiap. Seakan ada seseorang

mengejarku dan aku dalam ketakutan luar biasa. Tapi siapa yang mengejarku.

Aku ingin lari, lari dari mereka! Hei, ada apa denganku?

“Apa kau baik-baik saja?” Hayden melolong dengan cemas.

Tidak. Ada seseorang yang mengejarku. “Ya, aku baik-baik saja.”

Seorang pria gemuk menguping pembicaraan mereka. "Aku mendengar

seseorang sedang berteriak di dekatmu tadi,” katanya. "Siapa dia?”

Eric tersenyum kecut, seraya berlalu meninggalkan pria gemuk tadi.

Tetapi tampaknya pria itu berhasil mengejarnya dengan mudah. Ia lalu

memutar bahu Eric dengan satu lengannya.

"Kau belum menjawab pertanyaanku, heh! kurasa kau kecil-kecil sudah

sinting," cemooh pria itu sambil menepuk saku mentel hantu itu dan tepat

mengenai Hayden yang sedang bersembunyi di dalamnya. Hayden mengomel.

"Kau harus ikut denganku ke kantor polisi sebagai dugaan orang yang pantas

dicurigai. Jangan-jangan kau menyembunyikan sesuatu di balik mantelmu.

Atau kau seorang teroris kecil?"

62

Page 64: Halmahera , the ghost

Eric berusaha menjauhinya, tetapi pria tadi semakin mendekat dan terus

mendesaknya."Jangan paksa aku untuk mengantakannya."

"Aku tidak memaksamu, nak. Kupikir kegilaanmu memakai syal dan

mantel tebal dimusim kemarau berkerak seperti ini adalah kecurigaan bagiku,"

ujarnya pelan, namun dengan nada mendesah, "Kau baru saja mencuri di toko

coklat kemudian menyembunyikannya di dalam mantel butut ini!"

Eric terdiam sesaat, tapi buru-buru berujar. "Seharusnya saya yang

curiga dengan anda, dasar pencuri bodoh."

"Hei-a-apa maksudmu anak kecil?" tanya laki-laki dengan terkejut

sangat.

"Pengutil... pengutilnya di sini,” kata Eric keras-keras. Sengaja

mengundang perhatian orang-orang di toko coklat itu dan beberapa petugas

penjaganya yang terlihat sedang menginterogasi si pelayan toko. "Yeah, aku

bisa melihatnya di saku celana anda yang ukurannya seperti karung beras."

Pria itu tampak sangat putus asa, tetapi dia berusaha tenang dan tidak

mencoba kabur meski di belakangnya beberapa petugas keamanan

mendekatinya. "Apa buktimu, heh? Maksudmu aku yang mencuri, sementara

kau sendiri yang jelas-jelas mengutil...”

"Aku bisa melihat segala sesuatunya, hingga menembus saku celanamu,

karena...." Eric berhenti sejenak dan memilih tidak meneruskan perkataannya.

Ia tidak ingin manusia mengetahui ada hantu berjalan-jalan di pagi hari.

Hantu itu berjalan memutar hendak meninggalkan pria itu, tetapi lagi-

lagi manusia itu mencengkeram dan memilin bahunya. Eric menatap tajam

orang itu, ia memelototinya hingga matanya membesar, besar, dan makin

besar. Pria itu ketakutan dibuatnya - kakinya gemetaran dan tubuhnya hampir

ambruk jika tidak ada tembok di belakangnya. Biar begitu dia sempat kabur

dengan coklat dan permen berjatuhan dari sakunya yang berlubang.

Laki-laki gemuk tadi nyaris menabrak mobil yang melintas didepannya.

Hingga akhirnya dia pingsan begitu saja. Eric segera pergi dan tidak ingin

berurusan dengan orang-orang yang berkerumun selalu ingin tahu.

63

Page 65: Halmahera , the ghost

Aku cemas karena manusia itu mengejarku. Dari tadi ia mengawasiku.

Bukan! Bukan karena itu. Aku masih merasa khawatir. Aku takut tertangkap.

"Jangan katakan kalau kau mengkontraksikan Garizah pada manusia

tadi," ujar Hayden dengan menandak-nandak. Ia mengaburkan pikiran Eric.

"Aku tidak sengaja, aku juga tidak tahu tiba-tiba aku bisa melihat

sesuatu yang tersembunyi - hanya dengan menatap matanya saja." Eric

membela diri tanpa ekspresi. “Itu luar biasa bukan?”

"Kau bisa menggunakan Garizah kapan saja, tapi sayang sekali, kau

belum bisa mengendalikannya dengan baik, "kata Hayden. "Hal itu sangat

berbahaya apabila musuh mengenali kelemahanmu - dan Bisolgedhi akan

segera mengetahui getaran mencurigakan."

Eric hanya diam, namun dalam pikirannya dia membenarkan omelan

Hayden yang terus meluncur seperti kembang api. Kejadian petualangannya di

dunia manusia yang sempat membuat kegemparan manusia. Dia tidak sengaja

menjatuhkan salah satu bola matanya saat emosinya meluap tak terkontrol.

Hantu yang hanya bewujud protoplasma memiliki kelebihan sekaligus

kelemahan masing - masing. Geogle mampu memproses protoplasmanya

sehingga mereka dapat bertransformasi menjadi manusia, sementara Ocupant

cenderung bertransformasi menjadi hewan. Dan Patred berubah dalam wujud

benda.

"Hei, ada pertandingan khusus kesebelasan Persabu melawan Wenage,

"kata Eric sambil memungut kertas berwarna merah yang banyak berceceran di

jalan dan membacanya. “Di Stodi Stadion nanti malam.”

Eric berhenti sejenak, memandang keadaan sekelilingnya dipenuhi

orang yang memungut selebaran yang berceceran dan yang tidak sengaja

menabrak wajah mereka karena terkena tiupan angin. “Aku ingin bertemu

dengan Callisto Treton!” Ia tiba-tiba bersorak dan beberapa orang menoleh ke

arahnya.

"Tunggu! ini sangat aneh, Eric," omel Hayden seraya menandak-

nandak. "Disana sangat berhaya dan aku bertaruh Bisolgedhi terlibat di

64

Page 66: Halmahera , the ghost

dalamnya. Di dunia manusia ia menjadi penyandang dana klub Persabu,

bahkan Stodi Stadion menjadi markas pribadi mereka."

“Tapi aku berwujud manusia dan kau tetap bersembunyi dalam

mantelku. Kupikir tak seorangpun mengira kita ini hantu…”

“Apa katamu?” Hayden menyerobot dengan meletup. “Kau pikir si

Bisolgedhi itu tolol?” Hayden mengacak rambutnya dengan frustasi. “Eric

percayalah, ini jebakan…”

Eric pura-pura tak mendengarnya. Ia berjalan menyusuri trotoar kota.

Membiarkan Hayden ribut di dalam sakunya mantelnya.

12

65

Page 67: Halmahera , the ghost

PenguntitMalam menjelang, Hayden cepat-cepat keluar dari saku mantel Eric

yang membuatnya sangat menderita lalu bertransformasi ke wujud semula.

Sejenak menggeliat melenturkan plasmanya yang mengerut.

"Hei - dimana kita? sepertinya aku kenal..."

Hayden memandang berkeliling, sepertinya hutan jalur utara, pohon-

pohonnya tumbuh lebat dan saling berdekatan sampai-sampai tanahnya

lembab.

"Astaga! Celaka kutu maut!" rengek Hayden dengan hampir menangis.

Ia meremas lengan Eric. "Ini tempat peramal Geffon??"

Eric mengangguk kuat-kuat tanpa kata. Ia tak ingin ada protes lagi.

Angin bertiup kencang, pepohonan bergoyang mengikuti irama arah

angin berhembus. Seekor gagak terbang rendah dan bertengger di salah satu

dahan pohon kemudian mengawasi dua hantu itu dengan matanya yang besar

dan bulat.

"Kutunjukkan sesuatu padamu," kata Eric sembari berjalan mengendap-

ngendap diikuti Hayden yang masih mencekeram erat lengannya. "ppsssttt ...!"

kata Eric sambil mendesis, menyuruh Hayden berhenti merengek.

"Aku masih takut padanya. Dia sempat menggertak gara-gara aku

terlalu ngotot bertanya dimana keberadaanmu kepada master Quarenci."

Hayden memelankan suaranya. "Geffon kemudian mengacungkan tongkatnya,

mengucapkan mantra yang bisa membuat rambutku separuh beruban dan

separuhnya lagi gundul mengkilap."

Eric tersenyum, namun dalam hatinya dia bisa tertawa meledak-ledak.

"Lalu - ?

"Master Quarenci tertawa dan mereka meninggalkanku begitu saja.

Karena dendam akhirnya kuputuskan membututi mereka dan menguping

pembicaraannya," katanya dengan mendengus.

Eric memelototi Hayden. "Ya, kau memang jempolan untuk masalah

kuping menguping. Tapi yang ini penting, ikut aku !" dia bersandar pada salah

66

Page 68: Halmahera , the ghost

satu pohon, melanjutkan ucapannya, "Aku sedikit menemukan memoriku, dan

aku bertaruh pasti kau tidak akan percaya - Geffon pernah menemuiku,

sebelum aku meninggal. Bahkan beberapa kejadian sesaat sebelum waktunya

menjadi Geogle."

Hayden mengangkat bahunya, “bicaralah yang jelas.”

“Begini – Yeah, walau hanya sepotong-sepotong yang bisa kuingat,

tetapi aku masih ingat peristiwa saat nenek berkaca mata besar itu

menabrakku, Eric berhenti sebentar kemudian melanjutkan. "Dia mengaku

bernama Geffon dan tinggal di hutan jalur utara, dia memiliki hewan

peliharaan, err namanya...arrow poison,”

“Kau tahu sesuatu?”

Hayden menggeleng lemah.

Kesunyian hinggap diantara mereka, tidak ada yang angkat bicara,

hanya nyanyian para katak yang terdengar menggema.

"Arrow poison berarti katak yang beracun," bisik Eric, sangat pelan di

dekat telinga Hayden. “Kita akan bertamu ke rumahnya”

“Ke rumah arrow poison?”

“Bukan arrow poison,” sahut Eric dengan jengkel. "Tapi Geffon. Dan

aku sangat yakin, Geffon yang memegang jawaban dari pertanyaan yang

kucari."

Angin yang bertiup halus seolah mengusik ketenangan manusia untuk

berpikir tujuh kali sebelum memutuskan keluar rumah sendirian dalam suasana

yang mencekam saat para Satanic bergentayangan di dunia mereka.

“Kau sudah memikirkan kesimpulan itu berapa kali?”

"Aku masih belum mengetahui kepastiannya," kata Eric, sementara

Hayden menunjuk syal Eric. Eric menggeleng. "Orang itu tak begitu jelas

muncul dalam ingatanku. Tapi aku tahu, dia seorang gadis berambut panjang,

dan kalung liontin miliknya, aku suka itu - yeah, bentuknya sama bagusnya

seperti yang menguping pembicaraan kita." Eric mengurungkan niatnya untuk

memperlihatkan pada Hayden kalung berliontin angsa biru yang diberikan

Master Quarenci padanya.

67

Page 69: Halmahera , the ghost

Dia memasukkannya kembali dibalik mantelnya yang usang. Dan buru-

buru tanggap, ada yang sengaja menguping pembicaraan mereka.

"Mungkin Geffon -" gumam Hayden sembari merekatkan tubuhnya

rapat-rapat disamping Eric.

"Kurasa tidak mungkin," sahut Eric. Waspada.

“Jangan-jangan si pawang hantu itu…"

"Entahlah, tapi itu mustahil. Dia kehilangan jejak kita terlalu jauh."

Mereka terdiam dan burung-burung terbang kesembarang arah tidak

karuan tanpa ada suara yang begitu mengejutkan.

"AHOHEY ...!"

Dari balik batang pepohonan yang tumbuh lebat, kemudian muncul tiga

hantu yang nyengir tanpa dosa.

"Naydelin?” kata Eric dan Hayden hampir bersamaan.

"Segala sesuatu bisa saja hilang - tetapi kenangan tidak akan bisa dicuri

oleh siapapun," kata Naydelin, si hantu Satanic, sambil melayang mendekat ke

arah Eric dan Hayden diikuti dua hantu dibelakangnya. “Karena kenangan

bersemayam dalam hati.”

“Sok tahu lagi,” celoteh Hayden tanpa bermaksud menghina.

"Ouch, maaf aku lupa, omong-omong ini Pedro dan Coda," kata

Naydelin. "Dan mereka...” Ia merangkul Eric dan Hayden. ”Hayden dan Eric."

"Hai – aku Pedro Videl, Ocupant," kata hantu yang bertubuh semampai.

Rambutnya jatuh lurus hingga bawah telinga. Dahinya lebar dan bersinar

seolah ia menyimpan segala pengetahuan dunia ini di kepalanya.

"Hayden Powi," sahut Hayden saat bersalaman dengan Pedro. "peri

Ghaits."

"Eric Ghobadi, Geogle."

"Coda Gerhana, Patred,” kata hantu yang sangat pucat, tetapi

tampaknya dia selalu bersemangat. Dia begitu tampan dan Hayden

mengakuinya sambil memandanginya tak berkedip meskipun memiliki jenis

kelamin yang sama.

68

Page 70: Halmahera , the ghost

"Kami bersusah payah mengikuti kalian, hingga akhirnya berhenti di

hutan jalur utara."

"Kupikir Satanic yang menjebakku sampai kemari itu kau," kata Eric

pada Naydelin. “Tapi kupikir aku telah salah menuduh.”

"Aku tahu," ujar Naydelin beberapa saat. "Tidak mungkin kau bisa

mengetahui jalan masuk hutan jalur utara ini, kecuali ada yang sengaja

menunjukkan jalannya padamu."

"Yeah, jelas-jelas aku bertemu dengan Satanic, dia mengerikan, sangat

mengerikan, lebih menakutkan dari pada kau," kata Eric sambil melirik

Naydelin. "Kau Cantik."

"Bodoh! Manusia bisa mati terkejut melihat wajah asliku," ujar

Naydelin sambil memutar tiga ratus enam puluh derajat kepalanya. Tiba-tiba

rambut peraknya menjadi acak-acakan seperti baru saja tersambar badai lalu

memanjang melampaui batas mata kaki.

Plasma satanic itu meleleh digantikan kulit yang kering dan bersisik.

Semuanya menjadi sangat mengerikan. Bahkan Eric mengakui Naydelin lebih

menyeramkan dari pada Ona, ibunya yang sama-sama bangsa Satanic.

Ketika di pengadilan pemutusan nasib, Eric sempat menyaksikan orang

tuanya berubah menjadi identitas asli masing-masing sebelum berpisah, dan

Eric ingin mengulang peristiwa tersebut.

13

Kembali ke Pondok

69

Page 71: Halmahera , the ghost

"Kau percaya,kan? Satanic itu bukan aku!" ujar Naydelin sembari

kembali ke bentuk yang sewajarnya, dalam keadaan yang cantik.

Eric mengangguk buru-buru.

"Aku tidak ingin menjebakmu sendirian di hutan ini," lanjut Naydelin.

"Aku tahu," jawabnya pendek.

Mereka melayang berhati-hati melewati berbagai macam pohon yang

tumbuh berdekatan. Dari kejauhan, cahaya dari lampu badai tampak

bergerombol mengelilingi sebuah pondok kecil dengan dua pohon cemara biru

yang tumbuh mendampinginya.

"Jadi kedua kalinya kau kemari?" tanya Hayden setengah berbisik dekat

telinga Eric.

"Ya, semoga saja ini untuk yang kedua kalinya aku tidak mau rencana

untuk memasuki rumah peramal itu gagal," kata Eric, balas berbisik dekat

telinga Hayden yang kecil.

"Omong-ngomong kenapa disini tidak ada hantu berseliweran," kata

Pedro si ocupant. “Dimana hantu yang lain?"

"Tidak ada! selain hantu dan manusia yang ingin berbisnis dengan

peramal itu kurasa tidak akan berminat kemari,” ujar Hayden mencoba

berkomentar. "Dan rasa-rasanya hutan ini sudah dibooking oleh Geffon.

"Tunggu! aku pernah melihat Geffon duduk berdampingan dengan

master Quarenci di pengadilan nasib para hantu, yeah, mereka bercengkrama

hangat seperti tidak memperhatikan suasana ramainya sidang itu," kata

Naydelin tiba-tiba.

Eric mengernyit, "hantu siapa yang diadili?"

"Kau,” jawabnya lemah.

“Aku?” Eric mengulang. "Apa maksud semua ini?"

Eric tertunduk sebal, ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya.

Sesuatu yang penuh emosi diantara kekalutannya, seolah pikirannya selalu di

bawah pengaruh mars, si dewa perang.

"Aku tahu!" seru Hayden agak pelan dan delapan mata langsung

mengawasinya aneh. "Mungkin Master Quarenci naksir sama Geffon."

70

Page 72: Halmahera , the ghost

"APA!" Coda dan Pedro cepat-cepat menutup mulut Eric.

Naydelin memilin tangannya. Ingin rasanya dia menonjok kepala

Hayden hingga bengkak, "Tidak mungkin!" sengatnya dengan marah-marah.

"OK! Sudahlah," Eric bangkit dan kembali memata-matai pondok

Geffon. "Sekarang kita mendekat dan kalian jangan memekik melihat

kenyataan yang akan kita temui."

Lima hantu itu menerobos menembus semak belukar dan beberapa

pohon besar berakar gantung sampai akhirnya mereka berada pada jarak dekat

dari rumah peramal. Langit malam yang cerah tampak kelam tertutup

rimbunnya dedaunan pohon yang tumbuh terlalu rimbun.

Naydelin memekik ketika kodok-kodok itu hampir meraih kakinya.

Dengan segera dia berhasil membungkam mulutnya sendiri, "ya, aku ingat,

jangan berteriak! "serunya pada diri sendiri.

"Ppssstttt!" Eric memperingatkan untuk diam dan tidak bosan-bosannya

dia menengok kebelakang untuk memastikan Geffon tidak memberi kejutan

muncul tiba-tiba dari balik punggungnya.

"Bagaimana cara kita masuk?" tanya Coda dalam sebuah raut wajah

keputusasaan sementara Naydelin nyaris menanyakan kalimat yang sama.

"Entahlah!" jawab Eric sambil menyibakkan semak yang menghalangi

pandangannya. "kemarin aku masuk seperti biasa, maksudku lewat pintu

utama."

Hayden membelalakkan mata, "Gila ! Kita pasti akan tertangkap basah

dan habislah riwayat kita!”

"Aku dengar, awal-mulanya dia hanya manusia lemah, tapi dia lumayan

cantik, kemudian atas suatu kesalahan, dia dikutuk menjadi peramal

mengerikan hingga saat ini. Entah apa kesalahannya itu - tak ada yang tahu."

cuap Naydelin seperti asap kereta yang terus keluar selama bahan bakarnya

belum habis. "Kemudian kabarnya dia membantu Bisolgedhi untuk mencari

hantu terbaik untuk menjadi budak pembesar kegelapan. Meski tidak secara

terang-terangan, tetapi berita ini sudah tersebar dan untuk meredamnya ia

kemudian menjadi pengacara terdakwa dalam pengadilan pemutusan nasib

71

Page 73: Halmahera , the ghost

hantu. Jadi roh-roh yang nantinya menjadi hantu yang merasa diadili secara

tidak adil akan terbantu dengan kehadiran Geffon sebagai pengacaranya.”

"Tapi tetap saja dia punya rencana jahat dibalik kebaikannya, aku yakin

itu," kata Coda.

“Dan Master Quarenci percaya begitu saja padanya?” Naydelin tak

sepakat.

"Yang akan kita ingat dari orang jahat adalah kebaikannya. Yang kita

ingat dari orang baik adalah keburukannya, tidak adil, ” ujar Pedro prihatin.

“Geffon pernah membelaku saat tiga makhluk bercahaya aneh itu akan

menjebloskanku ke dunia tanpa batas.”

Dunia tanpa batas adalah dunia untuk roh-roh yang sudah tenang dan

tidak memiliki urusan penting lainnya. Tetapi sering terjadi kesalahan fatal

disebabkan oleh tindakan para hantu yang anarkis dan kesalahan sang hakim

keriput untuk meramalkan kepentingan roh tersebut karena tidak ada bukti kuat

untuk mengizinkannya menjadi hantu.

Sehingga bukannya tidak mungkin, roh yang diabaikan kepentingannya

mendengus kesal pada hakim keriput. Roh yang masuk ke dunia tanpa batas

tidak dapat menjadi hantu dan tidak bisa mengulang kesempatan. Mereka

dianggap sudah bersih untuk urusan lainnya. Namun tidak sedikit roh yang

memang sengaja memilih terjun ke dunia tersebut, mungkin dikarenakan

mereka sudah rela dan tidak ingin menambah rumit kehidupannya.

"Aku juga, Geffon - yeah, dia juga menolongku," kata Eric, sangat lirih

sehingga nyaris tidak kedengaran meski suasana senyap. "Walaupun hanya

pesan yang rumit dan konyol, tapi itulah satu-satunya yang bisa aku ingat dan

aku merasa beruntung saat mengingat dan mengucapkannya di pengadilan

pemutusan nasib."

"Ppssttttsss ....!" desis Naydelin dan Pedro.

Mereka tiarap dengan hampir bersamaan di balik semak lalu

menyibakkaannya dengan sangat pelan. Mereka menyaksikan peramal itu

keluar dari gubuknya ditemani Satanic yang pernah menjebak Eric waktu itu.

72

Page 74: Halmahera , the ghost

"Tuan besar Bisolgedhi bisa sangat marah apabila anda tidak datang ke

pesta jamuan makan malam," kata Satanic dengan wajah suram.

"Dan aku bertambah marah jika kau terus memaksaku," sembur Geffon

sambil menutup pintunya begitu saja. Hantu dan peramal itu menghilang

diujung timur, ditelan gelapnya malam dan rerimbunan pohon berakar gantung.

Obrolan mereka sudah tidak terdengar dan lima kawanan hantu keluar

dari tempat mereka bersembunyi. Para katak yang terdiam saat majikannya

pergi, kini mengoceh berisik seolah memberitahu datangnya penyusup.

Misteri ini sedikit demi sedikit terbuka tetapi Eric masih tidak percaya

apabila Geffon bersekutu dengan Bisolgedhi dan itu berarti seluruh usahanya

untuk memasuki dunia hantu secara perlahan-lahan dengan menutupi identitas

sesatnya berhasil dengan sukses.

Malam yang kelam tiada cahaya melainkan hanya berasal dari lusinan

lampu badai yang melayang tak teratur di sekitar pondok Geffon. Lima hantu

itu melayang di atas lautan kodok yang saling berlompatan, sepertinya mereka

sedang bersusah payah meraih kaki para hantu.

Mereka menembus pintu kecil yang sudah sangat tua dan memasuki

ruangan yang disinari api yang berasal dari tungku perapian. Kucing Persia

milik Geffon tertidur pulas pada jarak yang terlalu dekat dengan perapian.

Meski sebelah kupingnya bergerak-gerak, menyadari akan datangnya

para hantu penyusup, tetapi seperti dia lebih memilih diam dan berpura-pura

melanjutkan mimpinya.

"PUMP!"

Sebuah ledakan fatal terjadi ketika Hayden yang ceroboh menyenggol

tiga bola kaca bening berbeda ukuran yang menancap pada tongkat bergigi

garpu. Bersamaan dengan itu terdengar gemuruh berulang kali, Hayden

berteriak dalam keputusasaan. Lantai tempatnya berpijak menghilang dan

kakinya serasa ditarik dari bawah. Ia meluncur cepat ke bawah, melewati

lorong sempit dan pengap.

"HAYDEN!" Eric, Naydelin, dan Pedro melolong panik.

73

Page 75: Halmahera , the ghost

"HAYDEN!" teriak Coda sambil menjulurkan kepalanya pada mulut

lubang. "Kau dengar kami?"

'Yeah, dan pantatku sakit sekali!" raungnya dengan suara lemas.

Naydelin meringis, "Hantu ceroboh ! Kau kan bisa melayang."

'Tempat ini aneh. Coba kalian kesini!" dengus Hayden sebal.

Naydelin mengangkat bahu, "Kau duluan!" katanya memerintah Eric.

Eric menjadi gusar dan balik memerintah Coda untuk meluncur lebih dulu.

Coda mengernyit dan memeloti Eric secara tidak wajar. Mereka

berdebat sengit dan tidak mau mengalah. Sementara Pedro hanya melihat tiga

temannya yang menurutnya sangat aneh dan kekanak-kanakkan.

Pedro menggeleng kemudian tertawa ganjil dengan tiba-tiba. "Biar aku

yang mencoba."

“Hey, Tunggu!” Eric hendak mencegah Pedro.

Namun Pedro telah menghilang dan menyisakan teriakan panjang yang

menggaung.

Eric, Naydelin, dan Coda saling pandang menyesal sekaligus

mengkhawatirkan nasib Pedro dan Hayden. Apabila Geffon menggunakan

mantra pemusnah sebagai penyempurna jebakannya maka kedua sahabatnya

dalam bahaya besar.

"Hei...kalian dengar kami?" teriak Pedro dengan susah payah." Disini

ada banyak sekali benda-benda antik! Kalian dengar?"

"Kau tidak celaka?" tanya Eric tanpa ada rasa berdosa. Naydelin

menjitak kepalanya keras sekali. "Au ... sakit, tau! Kau ingin mengajak

perang?”

Naydelin mengepalkan kedua tangannya sebagai bukti siap berperang.

Coda mendengus menyuruh Naydelin dan Eric diam. Dia menjatuhkan

kedua kakinya dan meluncur masuk. Ke dalam lubang seperti yang dilakukan

Pedro dan Hayden dengan sukses.

"Baiklah, hanya tinggal berdua," keluh Naydelin.

"Yeah, aku tahu."

Naydelin berjalan merambat disamping Eric.

74

Page 76: Halmahera , the ghost

Tiba-tiba, "KEJUTAN!" bersamaan dengan itu dia mendorong Eric

hingga jatuh ke dalam lubang, tetapi Eric berhasil menyambar kaki Naydelin

dan mereka terjatuh dalam lorong panjang yang sempit.

Seperti ada gaya grafitasi sangat besar di bawah sana. Eric merasakan

kakinya memang sengaja di tarik oleh tangan-tangan besar yang kuat.

Sedangkan Naydelin menjerit ketakutan.

Dalam keremangan ruangan Geffon yang penuh jebakan, diam-diam

dari balik bola kaca gelap yang menggelinding tersembul wajah Geffon dengan

garis keriput yang tak bisa disembunyikan. Ia menyungging senyum yang tak

sampai ke garis matanya. Si kucing Persia menatap kosong benda itu. Sebuah

tatapan kosong tanpa bola mata.

14

Ramalan Poinsettia

75

Page 77: Halmahera , the ghost

Naydelin terjerambab dengan posisi terseret lantai berair. Eric

menubruk peti tua yang tertutup rapat.

Coda bergegas menolong Naydelin yang meringis kesakitan, “Kau

tidak apa-apa?" tanyanya dengan cemas. “Aku juga merasakan sakit yang sama

saat kau merintih seperti itu.”

Eric mendengus memperhatikan Coda dan Naydelin. Dia menganggap

Coda terlalu mahir menggombal. Sampai-sampai dia tidak memperhatikan

Pedro disampingnya yang ingin menolongnya berdiri.

"Aku baik-baik aja," kata Eric dengan nada kesal.

Pedro hanya bergumam, kemudian berkata, "Coda, kau bilang mau

bantu aku membuka peti ini.” Namun tak ada yang menggubrisnya.

Eric terhenyak. Ia baru menyadari badannya menjadi begitu berat

sehingga dia tidak bisa melayang normal. lantai tempatnya berpijak digenangi

air hingga menyentuh mata kakinya. Eric berkesimpulan ada sumber air di

dekatnya karena terdengar gerimis yang menetes dari tempat yang tinggi.

Tempat itu sangat pengap dan setiap benda hanya tampak remang-

remang. Dinding-dindingnya terbuat dari batu cadas sedangkan atapnya ada

stalagtit raksasa yang terletak pada sisi yang sangat tinggi.

Pedro menyeret peti itu sendirian dengan susah payah.

"Biar kubantu," kata Eric dengan berusaha menjaga nada bicaranya.

"Aku sangat kecewa degan Geffon, kupikir dia berniat baik, ternyata dia

bersekongkol dengan Bisolgedhi. Tapi aku masih tak mengerti tujuan

sebenarnya dia membantuku selama ini, aku merasa Geffon selalu

dibelakangku - yeah, menguntit kita tanpa izin.”

"Yang namanya menguntit itu pasti tanpa izin," sela Hayden sambil

mengutak atik bunga yang berkelopak kecil dengan serbuk bunga yang banyak.

Dia menciumi bunga berwarna ungu itu dengan tidak wajar.

Coda mendengus, tetapi tetap melanjutkan usahanya mencongkel peti

perunggu itu dibantu Pedro, Naydelin dan Eric.

"Kalian tarik yang itu!" kata Eric pada Coda dan Naydelin, sementara

dirinya sibuk mencongkel bersama Pedro.

76

Page 78: Halmahera , the ghost

Mereka tampak berusaha dengan susah payah memaksa benda itu dapat

segera terbuka. "Un, dos - tres - !"- TARIK SEKARANG!!!" seru Coda

bersemangat.

"Pump ...!"

Peti terbuka dengan sendirinya saat Coda tidak sengaja menekan salah

satu relief bunga magnolia.

"Ouh, menyebalkan," dengus Eric dan Naydelin hampir bersamaan.

"Kalau tahu begini kita ngga perlu bersusah payah," kata Coda.

Pedro mendekat dan mengamati sebuah anak panah yang tergeletak di

dalam peti. Ia mengerut kening. Matanya menyusuri ukiran di tubuh anak

panah. “Huruf-huruf itu sepertinya…Aku tahu!" Katanya tiba-tiba. "Ini bahasa

Nahuatl."

"Nahwaht?" Eric mengulangi.

"Nahuatl - bahasa Indian kuno. Sayangnya aku tidak bisa

menterjemahkan,” kata Pedro menyesal. Ia memasukkan kembali tangannya ke

dalam peti yang ternyata berisi air bening yang nyaris tak tampak kemudian

meraih papirus dari dalamnya.

Perjanjian Pengabdian.

Naydelin, Coda dan Eric berdesakan untuk membaca tulisan yang

digores dengan darah.

Pedro membacanya dengan agak keras,

Perjanjian Pengabdian.

Kami berada dalam satu aliran raga yang terbelah,

Kami adalah Ghobadi yang melepas dari takdirnya.

77

Page 79: Halmahera , the ghost

D.G.A Bisolgedhi Sukmary L.R.

Geffon Ghobadi

"Ghobadi?" Naydelin mendesah, dia memandang Eric sesaat. “Eric,

ini..."

Eric menyambar perkamen itu, "MUSTAHIL!"

Naydelin mengiyakan dengan setengah bergumam.

Coda memandang Naildelyn sekejap kemudian memandang Eric yang

tampak putus asa.

"Apa maksudnya dia?" Eric memekik, tampak sekali kalau dia nyaris

gila. "Siapa sebenarnya dia? Apa yang diinginkannya?" Eric terus meratap

sementara Naydelin tak tega melihatnya.

Sementara itu Hayden sibuk melempar benda-benda rongsokan hingga

meluncur kesegala arah dan sebuah kitab melesat tepat menghantam kepala

Coda.

"SIAL!” Coda meringis. Sementara Eric memungut kitab berdebu itu.

Ramalan Poinsettia

“Poinsettia?”

Naydelin mendekat ke arah Eric kemudian membuka halaman pertama

yang kosong. Lalu beralih ke lembar berikutnya.

Tampak olehnya garis-garis dan tulisan dengan tinta yang hampir

pudar.

Eric menunjuk huruf demi huruf yang tidak jelas. "Sepertinya - ini

silsilah keluarga besar."

Eric membelalak dan mengibaskan telunjuk Coda yang menghalangi

pandangannya.

Geffon Ghobadi X AL Ghobadi

78

Page 80: Halmahera , the ghost

(Permaisuri dibuang demi tahta Raja) Raja V

Permaisuri

Quarenci Ghobadi T Helena

A

Ona T Togu Ghobadi (Telah terbuang)

Flori Ghobadi Tak tertemukan

Eric Ghobadi

Warthog & Tena

“Ternyata Geffon nenek buyutmu. Geffon Ghobadi,” seru Naydelin..

“Tapi kenapa dia seolah ingin menikam dari belakang, dia berpihak pada

Bisolgedhi dan memutuskan menjadi peramal. Lalu siapa Warthog dan Tena

yang ditulis dalam silsilah ini?”

Eric menyahut dengan suara tertahan, nyaris tak terdengar. “M-mereka

keluarga kerajaan?”

“Mereka?” Naydelin menyambung. “Kau juga!”

“Aku tidak bisa membaca apa-apa,” keluh Coda.

“Yeah, huruf dan garisnya saling berjungkir balik.” Pedro

menambahkan.

"Hey, apa maksudnya simbol ini ?" kata Naydelin sambil menunjuk

huruf x,v,t,a yang terbakar di samping nama garis silsilah. Eric menyambar

kitab itu.

79

Page 81: Halmahera , the ghost

Coda dan Pedro saling mengernyit tidak mengerti simbol apa yang

dimaksudkan oleh Naydelin. "Kalian bisa menebak apa maksudnya?”

Hening lama.

Bab 15

Terjebak

80

Page 82: Halmahera , the ghost

"B-bagaimana dengan yang itu?" kata Coda terbata-bata sambil

menepuki jidatnya. Hayden menjerit histeris bagai orang gila. Ia muncul dari

balik gua sambil lari terpelanting dikejar serigala jantan.

Eric dan Naydelin saling berpandangan.

"LARI!!!"

Mereka melesat melewati lorong yang panjang dan gelap. Sampai

akhirnya mereka tiba disebuah tempat dengan rawa dan dipenuhi beberapa

pohon plasma yang memiliki tentakel seperti gurita.

Suara gerimis air yang deras semakin terdengar jelas. Mereka berlari

melewati pohon-pohon plasma yang tumbuh di tengah-tengah rawa. Ajaibnya

tanpa sinar matahari tumbuhan itu bisa hidup dengan subur dan tenang. Akar-

akarnya yang besar selalu bergerak dan mencipratkan air kemana-mana.

Hayden berada di urutan paling akhir. Ia melesat dengan tersengal

sementara si serigala berada satu hasta di belakangnya. Eric berhenti di tengah

lorong panjang yang gelap sementara air terus mengalir melewati kaki mereka.

"Hayden pegang tanganku!"

Labirin kedua hantu itu seakan mengencang tiga belas kali lipat,

sementara keputusasaan menyelimuti mereka. Dalam keputusasaan tersebut

Hayden menurut dan mampu bergerak secepat kilat nyaris seperti tanpa

berfikir, karena semua bagai gerakan refleks yang terkontaminiasi oleh

ketegangan.

Mereka berlari cepat menerobos terowongan yang dipenuhi stalagtit

yang beruku-buku saling bertindih. Sebuah tempat yang sangat tenang, namun

tiba-tiba menyeramkan. Itulah dunia dimana manusia tidak akan pernah

membayangkan dan menemuinya, kecuali rohClassyh sendiri yang

berpetualang ke dalamnya.

"Kau tahu?" Hayden tersengal. "Harus berapa lama lagi kita berlari?"

"Entahlah!"

"Hati-hati batu karang ini licin, jadi Whoooaa...." Hayden terpeleset

sebelum menyelesaikan kata-katanya.

"Seharusnya aku yang mengatakannya padamu," tukas Eric cepat.

81

Page 83: Halmahera , the ghost

Hayden mendengus. Eric menarik ketiak Hayden, bersusah payah

membuatnya berdiri.

Eric sangat cemas terpisah dengan Naydelin, Coda juga Pedro. Ia

menduga tiga hantu itu pasti sudah keluar dari tempat yang mengerikan ini,

atau jangan-jangan mereka sedang menghadapi bahaya lain.

"Hayden!" seru Eric keras-keras seakan Hayden sedang berada sangat

jauh darinya." Apakah kau mendengar aliran air yang sangat deras turun dari

tempat yang sangat tinggi?"

Makhluk yang diajak berbicara itu tidak segera menyahut. Berpikir

sangat lama sambil memicingkan telinganya. "Kurasa memang ada air terjun di

dekat kita."

Eric menarik kesimpulan, jelas bahwa Naydelin dan yang lain pasti

melewati lorong seperti yang dilaluinya. Karena di sana mereka menemukan

dua gua berbeda, tetapi berpotongan melalui satu titik jalur lorong sempit.

"Mereka pasti sedang menunggu kita!" katanya mantap.

"Kau tahu, -?"

"Tidak !" sambar Eric. Memotong omongan Hayden

"Aku belum selesai," katanya jengkel dengan mata berbinar. "Kalau

riwayatku harus berakhir dimakan serigala itu, aku ingin mengatakan sesuatu.”

"Pesan terakhir?”

“Yeah, semoga saja tidak! Maksudku untuk berjaga-jaga kalau-kalau

hari ini aku celaka dan tidak ada kesempatan ke tiga untuk hidup. Kau mirip

dengan Naydelin, mungkin dia jodohmu.” Hayden berkata dengan tersengal.

“”Dia cantik, boy! Tapi sedikit berbahaya.”

“Beauty but dangerous.” Eric menambahkan dengan geli. “Ayolah kau

jangan putus asa seperti itu!”

“Kau takut kutinggalkan untuk selamanya, ya?” Hayden menggoda

dengan kemayu.

“Apaan kau ini...” Eric memukul lengan Hayden.

Semakin lama lorong yang mereka lewati menyempit dan dengan

sangat terpaksa mereka berjalan satu persatu. Hayden berada di depan.

82

Page 84: Halmahera , the ghost

Semakin jauh jarak yang mereka tempuh, semakin panas, semakin gelap yang

harus dihadapinya. Eric merasakan energi kekuatannya perlahan - lahan

menipis. Hanya bayangan kabur tak jelas yang terlihat dihadapannya.

"Mataku sepertinya sudah tidak normal, apa kau juga begitu, eh?"

tanya Hayden memperlambat kecepatan larinya, hingga nyaris seperti kura-

kura sedang berjalan. Eric menjawab dengan gumaman tak begitu jelas. Tetapi

sebenarnya dia juga sedang merasakan sensasi sangat aneh.

"Apakah ada senter atau lilin, juga boleh?" Hayden berbicara lagi lebih

keras karena suaranya nyaris teredam gemuruh air terjun.

Eric berdecak, "Mungkin si serigala punya selusin lilin di gudangnya, -

dan mungkin kau boleh…Hoi, jalannya yang cepat dong!” gerutu Eric yang

berulang kali menabrak punggung Hayden.

"Disini gelap, bung!” salaknya. "Apa kau tidak merasakannya? Aku

nyaris saja tidak bisa melihat jalan. Bola mata berpijarpun kurasa tak ada

gunanya disini.”

Eric mendengus dan sekali lagi dia tak pernah lupa menabrak punggung

Hayden yang nyaris tidak terlihat.

"Kurasa kita sedang berada di atas air terjun."

"eh?” Hayden mengerjap.

Eric terdiam. Hayden ikut diam. Hanya tetesan air yang terdengar

nyaring. Hayden merasa Eric ada benarnya juga, getarannya sangat terasa,

seolah jauh di bawah sana ada aliran air dengan gelombang yang besar. Tetapi

akankah dasar tanah berbatu tempat mereka berpijak benar-benar tersembunyi

air terjun.

"Kau ternyata pintar juga," puji Hayden.

Mata Eric berbinar sambil memelankan langkahnya karena Hayden

memang berjalan lebih lambat dari langkahnya yang sangat pelan sebelumnya.

"Mungkin sebentar lagi kita akan menemukan air terjunnya. Kurasa

tidak jauh dari sini. Mungkin di sana ada jalan keluarnya," tambah Hayden

dengan harapan mendapat pujian balik. Tetapi dia harus kecewa karena Eric

malah menyuruhnya berjalan lebih cepat.

83

Page 85: Halmahera , the ghost

“Aku tidak pernah menyangka Geffon Ghobadi menjebak kita hingga

sejauh ini.”

“Hei, sejak kapan namanya berubah menjadi Geffon Ghobadi?" tuding

Hayden tepat mengenai pelipis Eric.

Eric menepisnya jengkel, "Kau belum tahu, ya?”

“Nama lengkapnya Sukmary L.R. Geffon Ghobadi."

“Hey ada banyak nama Ghobadi di dunia ini, boy!” tukas Hayden.

“Tadinya aku pikir begitu. Tapi kenyataannya dia adalah buyutku.”

Hayden melolong. “Konyol.”

"SIAL!" gerutu Eric. "Bodoh cepat lari! Aku merasa ada serigala dekat

sini.”

Tanpa sengaja sebuah kitab lusuh terjatuh dari dalam mantelnya.

Cahaya terang berkilauan memancar dari rentetan huruf POINSETTIA. Lorong

dipenuhi pancaran cahaya keberanian.

"BODOH, CEPAT LARI!" Hayden menyambar lengan Eric lalu

menariknya sangat cepat melewati terusan lorong yang tampaknya sudah

disediakan.

Eric berdiri gugup. Cepat-cepat disambarnya ramalan Poinsettia lau ia

mendekapnya erat. Ia membiarkan Hayden terus menerus menyeretnya.

"Sensasi menyedihkan," dengus Hayden tanpa berhenti berlari.

Eric membiarkan begitu saja lengannya ditarik bahkan nyaris seperti

diseret melewati tempat yang becek hingga sempat merasakan tarikan kuat

lumpur hidup sebagai jalan satu-satunya. Dia sendiri terheran-heran saat

Hayden mendadak menjadi pahlawan penyelamat yang gesit dan cepat dalam

bertindak.

Sampai akhirnya mereka menginjakkan kaki di atas bebatuan berlumut.

Hayden nyaris terpeleset, namun seolah-olah semangatnya yang lebih besar

puluhan kali dari pada tubuhnya membuatnya selamat dari kecelakaan fatal

dan mampu menegakkan kembali badannya. Kekuatan misterius sepertinya

menyelubungi seluruh batinnya. Semangat yang berkobar-kobar sanggup

84

Page 86: Halmahera , the ghost

membuat seluruh pikirannya dan tingkah lakunya terkontrol sempurna. Bukan

Hayden yang biasa. Hayden yang tulalit, sok berani tapi nihil.

"Ada sesuatu di depan sana," kata Hayden dengan suara

berwibawa."Air terjun yang deras, sementara kita berada di atasnya."

Eric terdiam saking herannya dengan perubahan yang terjadi pada

Hayden. Tetapi tidak ada desahan apapun yang keluar dari mulutnya, suaranya

seolah tersangkut ditenggorokan.

“Eric!” Suara Naydelin bergaung memenuhi lorong. “Haidi…”

Hayden berlari bersemangat dan penuh keberanian menuju sumber

suara. Ia menarik lengan Eric hingga rasanya nyaris putus.

“Hayden, bisakah kau berlari dengan perhitungan?” kata Eric jengkel.

Hayden semakin menambah kecepatan dan mereka hampir terperosok

ke dalam lubang.

“Haidi! SETOPSETOPP!!!” Naydelin melolong frustasi namun semua

itu tak membantu apa-apa. Keadaan semakin kacau. Insiden buruk terjadi.

Hayden terjungkal dan menjatuhkan Naydelin yang menabrak Coda

dan Pedro di depannya. Mereka terpelanting mengikuti arah jatuhnya air terjun

yang mengalir deras. Eric terguling menabrak batuan. Segala sesuatu serasa

berputar kembali dalam kepalanya.

Sekilas Eric merasa pernah terjatuh dari ketinggian yang sama.

Ingatannya bagai tersentak, kejadian itu seolah kembali terulang di tempat dan

waktu yang berbeda. Keputusasaan seperti ini yang pernah ia alami.

Kekecewaan muncul tiba-tiba membaur bersama ketakutan.

Gelombang air yang beringas menelannya. Ia bersusah payah memeluk

Poinsettia dan kotak Helluvaglow yang disembunyikannya dibalik mantel. Eric

terhempas. Tubuhnya yang seperti protoplasma menarik perhatian gerombolan

ubur-ubur.

Eric tiba-tiba mendapati puluhan pasang mata ular memelototinya.

beberapa diantaranya bekerja keras mengoyak kepala Eric tetapi taringya

hanya menerjang air laut yang hampa. Menembus protoplasma secara sia-sia.

85

Page 87: Halmahera , the ghost

“OH, SIAL!” Para ular mengumpat dan Eric dapat mendengarnya

sangat jelas. “HANTU BODOH!”

“Aku harap bukan kita yang bodoh.”

“Jangan hina bangsa kita!”

“Oh ... Brumosa, kau ini kadang-kadang juga bodoh. Benar, kan,

Azotar?

“KALIAN SEMUA ‘B-O-D-O-H’.” Azotar membentak lalu

menyerang Brumoso.

ular-ular mendesis lalu menjauh satu per satu, sementara arus menyeret

Eric dengan culas.

Air kembali tenang dan Eric mendapati seorang wanita berkaki selaput

menyeringai padanya. Gigi peraknya yang besar tampak berdesakan di sela

mulutnya. Rambut hijau panjang berantakan hampir menutupi sebagian wajah

kemudian jemarinya yang panjang dan berlumut menepisnya.

“Hai – dungu!”

Eric terdiam. Ia sama sekali tidak bernafsu membalas sapaan itu.

“Hai, Xanteppia!” katanya dengan tidak sabar. ”Aku adalah Xanteppia

– makhluk yang paling baik hati dan tidak pernah lupa akulah yang paling

cantik di laut ini. Banyak makhluk laut yang tergila-gila padaku.”

Eric nyengir untuk menyembunyikan hasrat ingin muntah.

“Tapi aku tidak ingin hantu dungu seperti kau ini jatuh cinta kepadaku,

eh?”

Eric cepat-cepat menggeleng.

“Bagus! Karena kau telah bersusah payah ke sini, aku bisa

mengabulkan satu permintaanmu. HANYA SATU!” hardiknya. Giginya

berubah menjadi taring tajam yang siap menggigit “CEPAT KATAKAN!”

“Eh ...oh.” Eric gelagapan.

Xanteppia menyambar seekor ubur-ubur dan menaruh di atas

kepalanya. Ia melecutkan mata ke arah Poinsettia yang menyembul dari dalam

mantel Eric.

86

Page 88: Halmahera , the ghost

“Ghobadi?” Xanteppia berkata gusar. Ubur-ubur di atas kepalanya

pergi begitu saja, sementara ular laut yang melilit tongkatnya mendesis. Gusar.

“Ada ramalan dari bangsa kami. Suatu saat ada Ghobadi yang datang, ia

mencuri Poinsettia. Ia adalah Emperor. Seorang pewaris Periopollux. Kelak.”

“A-APA MAKSUDMU?” Suara Eric meluncur begitu saja. “Pewaris

Periopollux?”

Xanteppia mengikik ganjil. Ia berbicara dengan agak sopan.

“Periopollux adalah pedang agung yang dapat mengendalikan waktu. Ia raja

dari dua pedang lainnya Naisopollux dan Naigan. Sebutkan permintaanmu tuan

Ghobadi muda!”

“Kuharap...” Tapi aku tak peduli dengan itu saat ini. Eric tidak

melanjutkan ucapannya. Dia begitu bingung pilihan mana yang terbaik. Ia

ingin bergegas bertemu dengan Flori, tetapi –“kuharap ingatanku kembali

pulih…”

Xanteppia terkesiap tapi kemudian dia tertawa sadis. “Aku tidak tahu

apakah kekuatanku sanggup melakukannya. Ingatanmu memang telah sengaja

dihapus oleh kemauanmu sendiri. Jika aku bisa memulihkannya, mungkin

hanya sebagian kecil.”

Apa? Kemauanku sendiri? Eric hendak berinterupsi namun arus telah

menyapu protoplasmanya. Ia terguling liar dan rasanya kepalanya menjadi

sangat berat. Ingatan masa lalu yang amat mengerikan terbayang di otaknya.

Rumah sangat luas dengan halaman seperti bekas ladang, seorang wanita

penggusar, dan seorang pria bermata tajam bertubuh kurus sedang menyeret

seorang anak ke loteng yang pengap. Tidak salah lagi anak laki-laki itu adalah

dirinya, sementara wanita dan pria yang menyiksanya adalah Tena para

pengasuhnya yang culas. Setidaknya itulah yang ia tahu tentang mereka.

“Mau kau jual berapa anak itu?” kata Tena sambil mendorong Eric

hingga jatuh dari beberapa anak tangga di loteng. Mereka membanting

pintunya dengan keras lalu menguncinya.

87

Page 89: Halmahera , the ghost

“Beri dia makan, Sayem.” Sayem si pelayan lugu terdengar

mengiyakan. “Aku tidak ingin saat, sang pengawas kita, tuan Bisolgedhi

mengambil anak itu, ia dalam keadaan kering tak bergizi.”

Langkah mereka menjauh dan semakin tidak terdengar. Eric tertidur

dan hampir melupakan semua yang terjadi hari itu. Sebuah ketukan dari pintu

membangunkannya.

“Tuan Eric apakah anda baik-baik saja?” tanya Sayem dengan berbisik.

Tangannya yang hangat mengguncang Eric yang tidur melingkar kedinginan.

“Maaf saya tidak bisa banyak membantu, tapi tuan bisa kabur lewat jendela

dan turun melalui tangga yang sudah saya siapkan. Ini saya membawa mantel

usang dan sepatu kets yang agak berlubang. Cepatlah sedikit! Jangan sampai

Tuan dan Nyonya tau.”

Eric buru-buru memakainya. “Tapi kemana aku harus pergi, Sayem?”

“Kemana saja hati berkata.”

Eric berusaha protes pada Sayem tapi tampaknya tak ada jalan lain

kecuali pergi dari tempat itu.

Sayem bergegas kembali saat suara Tena berteriak memanggilnya. Ia

mengunci pintu loteng dan meninggalkan Eric begitu saja.

Eric menengadah dan melihat jendela kecil yang ditutupi papan lapuk.

Ia bersusah payah memanjat beberapa perkakas untuk menjangkaunya.

Dihancurkannya papan penutup jendela dengan sebatang tongkat besi yang

runcing lalu cepat-cepat melompat melewati tangga yang telah dipersiapkan

Sayem. Dengan hati-hati disingkirkannya tangga itu ke dalam semak berduri.

Ia berlari menuju suatu tempat, namun pandangannya kabur.

Eric terhenyak. Matanya terbeliak begitu saja. Pikirannya seakan telah

tersentak secara tidak sadar. Memori yang tidak menyenangkan bangkit

mengisi otaknya. Sebuah peristiwa sebelum dia meninggal di tebing Tallanga.

Sesuatu telah menghempaskannya dan sesuatu yang lain berebut

menelannya. Eric tak sanggup mengelak. Ia muncul tiba-tiba dari dalam

bebatang pohon besar yang berlubang. Rasanya tak dapat dibayangkan.

88

Page 90: Halmahera , the ghost

“Eric, kau baik-baik saja, kan?” Naydelin menggoncang wajah Eric

dengan cemas. Hayden, Coda dan Pedro mengelilinginya.

“Kau tidak apa-apa?” Hayden ganti bertanya.

Eric menggeleng frustasi.

“Kau tidak apa-apa, Eric?” tanya Coda memastikan

“Yeah,”

“Benarkah tidak apa-apa?” ulang Pedro

“Luar biasa tidak apa-apa!” jawabnya jengkel seraya berusaha bangkit.

“Aku sudah menemukan sebagian memoriku. Si wanita berkaki

selaput, berambut hijau, bergigi kuda, dan penggusar itu yang telah

menolongku.”

“Xanteppia?” Suara Hayden melompat begitu saja. ”Dia sempat

menciumku setelah, - setelah aku memintanya agar memberiku jodoh...”

Hayden menjulurkan lidah pada Naydelin. ”Dan aku bertaruh kau juga

meminta sesuatu yang sama sepertiku.”

“Tidak!” Naydelin menyangkal. “Kekuatan Xanteppia kadang-kadang

meleset.”

Hayden menyeringai dan Naydelin balas menyeringai.

“Tapi aku berhasil menemukan memori…”

“Hanya sedikit dari seluruh memori yang harus kau temukan,”

Naydelin buru-buru menambahkan. “Percayalah. Dia makhluk dungu!”

“Tapi dalam memori itu, sebelum aku meninggal, Bisolgedhi telah

lebih dahulu memburuku,” kata Eric sarkastik.

“Bisolgedhi tidak membutuhkanmu. Dia mencari Flori.” Naydelin

menyahut dengan tidak kalah sarkastik. “Dia membutuhkan keturunan

perempuan Ghobadi yang terakhir masih hidup. Flori!”

“Apa? Kau pikir itu lucu?”

“Dengar, aku sedang tidak melucu. Pembesar kegelapan membutuhkan

keturunan perempuan Ghobadi yang terakhir untuk menguasai Periopollux.

Dia adalah calon pewarisnya.”

89

Page 91: Halmahera , the ghost

“Hey pewarisnya kan aku!” kata Eric meradang. “Xanteppia yang

mengatakannya.”

“Kau?” Suara Nade melengking. “Xanteppia otaknya sudah meleset!”

16

90

Page 92: Halmahera , the ghost

Pertemuan MenegangkanEric meraba mantelnya dengan cemas namun sedetik berikutnya ia

merasa sangat lega. Helluvaglow dan Poinsettia masih bersamanya.

“Malam ini ada pertandingan Persabu. Aku nyaris melupakannya.”

Hayden merampas lengan Eric sebelum ia mencoba melangkah.

“Jangan katakan kalau kau ingin ke Stodi Stadion!” Naydelin

menatapnya galak. “Bisolgedhi pasti berada di sana.”

“Dan aku memang ingin bertemu dengannya!” Eric menanggapinya

dengan sengit.

Gigi Hayden bergemeletuk. “Temanku sudah sinting.”

“Kau membahayakan teman-temanmu jika nekat ke sana!” Coda

menanggapi tak kalah sengit.

“Aku tidak menyuruh kalian untuk ikut!”

“Dasar keras kepala!” Naydelin menanggapinya pasrah. Ia berjalan di

belakang Eric.

“Kenapa kau ikuti aku?”

“Hey, aku juga ingin ikut denganmu,” Pedro tiba-tiba menyeruak

diantara emosi Eric dan Naydelin.

“Aku tidak ingin kau celaka,” sahut Naydelin dingin. “Itu saja.”

“Aku juga ikut!” Coda mensejajarkan langkah di samping Naydelin.

Hayden menyambar leher Eric. “Aku tidak akan pergi tanpamu. Dua

batang bambu kecil jauh lebih kuat dari pada sebatang pohon mahoni.”

Eric tergelak lantas balas menyambar leher Hyden dan berpura-pura

memelintirnya. Mereka kemudian melesat beriringan menembus pepohonan

raksasa yang sudah sangat tua. Tak ada yang bersuara. Masing-masing sibuk

dengan pikiran dan dugaannya.

Separuh cahaya bulan tertutup awan hitam. Angin malam membuat

daun kering berkeresak seresah perasaan Eric. Lolongan serigala terdengar

nyaring di tengah kesunyian.

91

Page 93: Halmahera , the ghost

“Aku menduga Flori menghilang bukan karena kematian orang tuamu.

Tapi karena Bisolgedhi. Ia mengincar Flori!”

Eric menghentikan langkahnya. Syarafnya seakan menegang

mendengar kata-kata Naydelin. “Tunggu! Kenapa kau seperti mengenal dekat

Flori? Bahkan aku merasa tidak pernah bercerita apa-apa padamu.”

Gadis itu menanggapinya dengan tenang namun belum sempat ia

membela diri, Eric terlebih dahulu mengkonfrontasinya.

“Kau juga pernah mengatakan bahwa syal ini pemberian seorang gadis

yang sedang menungguku. Darimana kau tahu? Atau jangan-jangan kau...”

“Dan kau sama sekali tidak pernah menyadari bahwa Ghobadi adalah

nama besar yang selalu menarik minat siapapun untuk mencari tahu. Siapapun

mengenal Ghobadi, tapi kau? Tidak,” katanya dengan tak kalah ngotot.

Eric merasa plasmanya seakan mendidih. Ia memunggungi Naydelin

lalu melesat melayang keluar dari hutan. Pedro dan Hayden mengejarnya. Ia

merasa menjadi pecundang dan Naydelin telah memergoki sifat

memalukannya itu.

“Hey, aku tak tahu apa-apa tentang Ghobadi sebelumnya dan tidak

pernah berpikir untuk mencari tahu.” Hayden berbicara rapat-rapat di dekat

telinga Eric. “Apa Ghobadi terdengar sangat melegenda?”

“Bahkan buku-buku di dunia ini tidak pernah menyebut nama

Ghobadi.”

Hayden menatap Pedro sambil mengangkat bahu. “Dasar cewek aneh!”

Sepuluh hasta di depan mereka berdiri fondasi semen yang belum utuh.

Stodi Stadion. Mereka mendekat masuk dengan menembus tembok

pembatasnya. Tak terdengar hura-hura dan gemuruh penonton yang biasanya

nyaris merobohkan stadion. Semua seakan lenyap begitu saja ditelan kabut

malam.

“Hei, dimana orang-orang?”

“Maksudmu dimana Bisolgedhi?” Naydelin mencoba berkomentar.

92

Page 94: Halmahera , the ghost

“Hey jangan bercanda!” Hayden semakin memucat. Suaranya gemetar

kalut. “Aku harap pertandingannya belum dimulai. Kita datang terlalu awal,

begitu kan?” Ia tak sengaja menyodok rusuk Coda.

“ERIC…”

Naydelin menubruk Eric tanpa pemberitahuan. Mereka terguling

ditanah. Batu runcing bermulut api meluncur melewati kepala Eric kemudian

meletup dan lenyap. Secara bersamaan sesosok pria berwajah mengerikan

dengan luka parut dan bekas cakaran serigala muncul dari balik tribun. Jarinya

menggengam erat Pedang panjang bertahtakan permata yang suram.

Bisolgedhi tertawa sangar layaknya narapidana pembantaian yang lepas dari

jeratan hukum.

“Ternyata Ghobadi benar-benar dungu!” cercanya dengan suara

monoton. “Tak kusangka kalian dapat menyadari segala sesuatunya dengan

sangat cepat. Rasa keingintahuan yang membawa celaka.”

“Bukankah kau mengincar Flori, keturunan perempuan terakhir

Ghobadi?” Naydelin bangkit lalu berdiri di depan Eric dan Hayden. “Untuk

apa kau mengejar Ghobadi yang tak tahu apa-apa, dungu, dan bodoh ini?”

“Apa katanya?” dengus Eric.

“Otaknya tidak bisa direplika kembali untuk umpan,” bisik Hayden

rapat-rapat.

“Dia juga tidak punya otak!” tambah gadis itu. “Dia hilang ingatan…”

Coda dan Pedro menyambar bahu Eric. Mereka menyeretnya menjauh.

“Dia cerdas mengulur waktu.”

“Tapi tidak pintar mengatur waktu…” Hayden melesat tersengal di

samping Coda.

“Apapun yang terjadi, tolong jaga Eric!” kata-katanya menghilang

begitu saja. Naydelin tersedot ke dalam pedang. Plasmanya terurai seperti

butiran debu yang melayang di bawah sinar tipis.

Stadion berubah kelabu. Bisolgedhi mendengus, “bukan ini hantu yang

kuharapkan!”

Coda terhenyak. “Persetan!” Ia menyerbu ke arah Bisolgedhi. “

93

Page 95: Halmahera , the ghost

“CODA ...” Hayden tidak sempat memperingatkan. Plasma hantu

malang itu telah robek terkoyak pedang. Hayden mendengking seakan ia yang

merasa kesakitan.

Bisolgedhi melecutkan pedangnya kesembarang arah dengan jengkel.

Udara seperti dihantam sesuatu yang tak tampak. Tanah berkeretak tanpa ada

yang menyentuhnya.

“Dua hantu yang sama sekali tidak kuharapkan!” dengusnya sebal.

Bisolgedhi menurunkan pedangnya kemudian mengacungkan ke arah

tiga hantu itu dengan lecutan. Ratusan makhluk hitam berhambur dari

dalamnya disertai teriakan melengking merayakan kebebasannya. “Tangkap

mereka!”

Pedro dan Eric menyambar lengan Hayden.

“KABUR...” lolong Pedro.

“Hey, kau bisa sihir, kan?” Eric bersuara diantara kekalutannya.

“Sihirku tak ada apa-apanya untuk mereka. Sensasinya hanya seperti

dicubit saja.”

Anak panah meluncur bergantian di atas kepala. Para makhluk hitam

bongkok melesat bergerombol bagaikan prajurit lanjut usia. Beberapa dari

mereka terpaksa mencari kepala tak permanennya yang menggelinding

sementara di belakang berpuluh-puluh prajurit menabraknya bergantian.

“Rasanya aku ingin menghilang ke Snowvus,” rintih Hayden. “Kalian

pikir enak meluncur dengan kecepatan luar biasa gila seperti ini. Pokoknya aku

tidak ingin menjadi tawanannya untuk yang kedua kali. Terlalu merana!”

“Kita sudah kehilangan Coda dan Naydelin,” sahut Eric. “Dan cara kita

melarikan diri sangat tidak ksatria.”

“Apa kau akan menghadapi sekutu culas itu? Usaha yang sia-sia,

bung!”

“Aku setuju dengan Hayden.” Pedro tiba-tiba berpendapat. “Bukan

saatnya menjadi ksatria. Sekarang saatnya menjadi pecundang!”

Hayden mendesah. “Aku tidak suka kata-katanya yang terakhir.” Dan

Eric mengiyakan.

94

Page 96: Halmahera , the ghost

Mereka melewati taman bermain yang sepi kemudian melintasi jalanan

yang terang terkena sinar lampu merkuri. Gerombolan hantu culas jauh di

belakang mereka. Namun suara dengkingan mereka terdengar masih jelas.

“Lebih baik kita bersembunyi disini,” seru Eric sambil menunjuk sebuh

audi kuning yang diparkir melintang memenuhi jalan.

“Terlalu beresiko.” Pedro dan Hayden berkomentar hampir bersamaan.

“Kuharap tidak.” Eric menembus bagian kemudi mobil, diikuti Pedro

dan Hayden yang tampak pasrah. “Kau bisa sihir yang bisa menggerakkan

mobil?”

“Apa?” Hayden pura-pura tidak mendengar omongan Eric.

Mereka terdiam bersamaan. Seorang gadis tiba-tiba masuk ke dalam

mobil. Ia menduduki Eric begitu saja.

“Sampai jumpa, Deet,“ katanya sambil melambaikan tangan kepada

gadis yang bernama Deet.

“Hati-hati, Flori!” balas Deet dari balik kaca mobil

“Hei! Namanya Flori,” Eric terdengar setengah memekik.

Hayden buru-buru menutup mulutnya, “Dia bisa mati terkejut kalau

memang sangat takut pada hantu.”

“Kurasa ada yang meniup leherku.” Ia mengeluh pada Deet. “Ada yang

aneh disini. Aku harus cepat pulang!”

Ia melambai kearah perempuan itu lalu menginjak gas kuat-kuat

meninggalkan asap putih terurai bersama abu-abu malam. Pedro melongok ke

belakang. Pasukan Bisolgedhi tak terlihat lagi namun suara mendengking yang

berderit seperti pintu tua yang bergeser terdengar bersahutan.

“Oh, Tuhan! Tolonglah aku.” Perempuan itu berkata pada dirinya

sendiri.

Mobil melaju semakin kencang melewati jalan peternakan yang sepi.

Dua jam berlalu dan mobil berhenti dengan tegang di sebuah lahan kosong.

Gadis itu sesegera mungkin keluar dari mobilnya sambil membanting pintu

kemudian berlari masuk ke dalam sebuah rumah yang dirambati banyak

tumbuhan bunga pada dindingnya.

95

Page 97: Halmahera , the ghost

Eric, Hayden, dan Coda menghambur keluar.

“Aku pernah melihat perempuan itu.” Eric teduduk di tanah. Pikirannya

berdenyut. “Dia gadis yang memberiku syal ini!” Eric tertawa lega sambil

menonjok perut Hayden. “Aku sudah menemukan Flori.”

“Kau yakin?” Pedro mendesah.

“Tinggal membuktikan satu hal.” Ia merogoh lehernya lalu

menunjukkan benda mungil yang bertengger di sana. “Kalung pemberian

kakek yang sama persis dengan milik Flori.”

Mereka melecutkan mata ke arah satanic yang berseliweran di depan

rumah yang gadis itu. “Kalian mengenalnya?” Eric melontarkan pertanyaan

pada Coda dan Hayden. Mereka menyambutnya dengan gelengan kepala

serempak.

Sesosok hantu tua kerdil memukulkan tongkatnya yang bisa

memanjang otomatis hingga mengenai kepala Eric.

“Apa itu tadi?” Eric memutar kepalanya dan mendapati si hantu kerdil

tertawa terbahak-bahak. Kakinya tak mampu menjuntai ke bawah ketika dia

duduk di kursi malas. “Apa dia terlihat berbahaya?”

“Terlihat sangat tua dan rapuh.” Hayden mengoreksinya.

Eric mendekatinya diikuti Hayden dan Pedro. “Siapa kau?”

“Namaku Elfgog, geogle, dan mati pada usia seratus tiga belas tahun.”

“Saya Eric Ghobadi, dan dia Hayden Powi, dia Pedro Videl.”

Ia berdeham lalu beranjak dari kursinya. “Geogle, Ghaits, dan

Ocupant…” Ia memanjat tongkatnya agar bisa menjangkau tiga pemuda itu.

“B-bagaimana anda tau?” Pedro tampak kagum.

“Dia main tebak-tebakan,” sela Hayden tak peduli. “Auukh…”

Elfgog memukulkan tongkatnya ke kepala Hayden hingga ia melolong

kesakitan.

Hayden buru-buru bersembunyi di balik punggung Eric saat Elfgog

berpura-pura hendak menerkamnya.

“Aku tinggal disini, sekitar...yah, aku lupa, pokoknya sudah sangat

lama.” Kata-kata Elfgog mengalir begitu saja. “Aku sengaja memilih tinggal di

96

Page 98: Halmahera , the ghost

sini karena aku merasa bosan terkurung di Snowvus yang penuh tipu muslihat.

Aku tidak bisa mempercayai pemerintahan yang sekarang. Ada agen ganda

yang merasuk di dalamnya…”

“Geffon…” Suara Eric melompat begitu saja.

“Kehidupan di luar Snowvus jauh lebih menentramkan. Dulu aku

memegang jabatan penting di Snowvus. Aku pernah menjadi pewaris Naigan,

namun pedang itu dicuri oleh mereka, sekutu pembesar kegelapan….”

“Bisolgedhi…” Suara Hyden ikut menyeruak.

“Tidak. Tidak. Pedang itu dicuri di dalam Snowvus. Tidak mungkin

mereka bisa masuk. Kecuali ada yang membawa mereka masuk. Kalau kalian

mau percaya padaku dan mendengar nasehatku, jangan kembali ke sana.”

“Omongkosong!” Eric berteriak sarkastik. “Kakek pasti bisa

memegang kendali di sana. Dia tidak akan membiarkan sekutu pembesar

kegelapan memasuki Snow…”

Hayden tiba-tiba menyodok perut Eric. “Aku melihat Master Quarenci

berbincang-bincang bersama Geffon.”

Eric melotot kepada Hayden. Tapi omongan sahabatnya itu bisa

membungkam mulutnya. “Geffon berhasil menyusup ke Snowvus,” katanya

muram.

Hayden menatapnya menyesal. “Hey, Master Quarenci menjadi

penyelamat saat aku ditawan di dalam Naigan. Ketika itu otakku hampir

direplika dan bila itu sampai terjadi mungkin kita tidak akan pernah bertemu,

Eric.”

“Lalu menurut anda bagaimana Naigan bisa jatuh ke tangan

Bisolgedhi?” Pedro tiba-tiba seperti terbangun dari tidur. Suaranya terdengar

seperti dengkuran. “Jika Geffon yang mengambil kenapa dia tidak ingin

memiliki pedang itu secara pribadi?”

“Nak, dia luar biasa pandai mengatur siasat. Baginya tak ada gunanya

memiliki Naigan. Sebagai mantan pemilik aku telah melepaskannya dan saat

ini pedang itu sedang mencari pewarisnya yang baru.”

97

Page 99: Halmahera , the ghost

“Bagaimana dengan Periopollux?” tanya Eric tak sabar. “Kata

Xanteppia aku akan menjadi pewarisnya.”

Elfgog mengangkat bahunya tinggi-tinggi. Tampaknya ia terlalu hati-

hati untuk merespon. “Hanya jika kau percaya. Segala sesuatu terjadi hanya

bila kau percaya.” Tampaknya ia ingin membatasi dirinya agar tidak banyak

bicara. Mata putih yang bertengger dibalik kantung mata keriput menatap Eric.

“Namun sepertinya pembesar kegelapan mengincar keturunan perempuan

Ghobadi yang terakhir. Mungkin dia yang akan menjadi pewaris Periopollux.

Aku tak tahu.”

“Bukankah Master Quarenci masih menjadi pewarisnya, kenapa

pembesar kegelapan tidak mengambil pedang itu darinya saja kalau mau.”

“Dia bukan pewaris! Dia hanya menyimpan lebih tepatnya memiliki

secara sepihak. Tapi bagaimanapun dia memilikinya hanya pewarisnya yang

memiliki kekuatan tak terkalahkan,” Elfgog berkata gusar namun tenang

sedetik berikutnya. “Kalaupun engkau adalah pewaris, jangan menganggap

dirimu berharga dengan memiliki pedang itu. Tapi jadikanlah pedang itu

berharga karena engkau yang memiliki. Sekarang masuklah.”

17

Tiga Sahabat Kecil

98

Page 100: Halmahera , the ghost

Eric mengangguk mengerti. Ia lantas menembus pintu yang berhias

lonceng di depannya. Hayden dan Pedro menyusul di belakang. Bagian dalam

rumah itu terlampau rapi, hingga segala sesuatunya dipasang dari ukuran

terkecil, sedang, kemudian yang terbesar. Tetapi, ada bagian mengerikan yang

tidak mampu dilihat oleh manusia biasa, yaitu perabotan para hantu yang

berserakan di lantai, perahu karet yang hancur total dan berlubang memenuhi

ruangan, dan bendera hantu berkebangsaan Spanyol berkibar tanpa ada tiang

peyangga. Semua itu adalah hasil jerih payah hantu perasa yang membawa

benda paling berharga untuk dibawa ke alam setelah kehidupan.

“Pertanyaanmu terlalu intim,” bisik Hayden. “Apa kau yakin dia bisa

dipercaya? Atau jangan-jangan dia sekutu si pawang hantu, maksudku

pembesar kegelapan.”

“Bagus.” Sahutannya terdengar tak peduli. “Aku justru ingin

Bisolgedhi tahu bahwa aku pewaris Periopollux.”

“Keras kepala. Kenapa kau tidak menulis surat pada mereka lalu

mengatakan kau adalah pewaris Periopollux?”

“Itu terlalu keras kepala,” sahutnya dengan serius. “Kucing yang bijak

selalu menyembunyikan kukunya.”

“Ya, Dewaa! Jadi menyembunyikan kuku adalah sikap bijak?” Hayden

meololong tak percaya.

Eric tak begitu memedulikannya. Ia berlalik lalu memperhatikan foto di

dinding yang memperlihatkan tiga anak perempuan. Eric merasakan dadanya

seperti berdenyut kembali.

“Hei! Itu kan Classy, Naydelin, dan...”

“Flori,” Eric menambahkan kata-kata Hayden nyaris tanpa suara.

“kalung yang dia pakai di foto ini persis seperti milikku.” Mereka teman masa

kecil.

Hayden memukul udara, “kau menemukan Flori! Oh dunia

akhirnya...!!”

99

Page 101: Halmahera , the ghost

Kehebohannya sirna seketika mendapati Eric melewatinya begitu saja.

Wajahnya berubah cengo.

Eric melayang dan meluncur memasuki dapur. Tertunduk di watafel

dengan tatapan kosong seperti pikirannya. Rusuknya serasa diiris. Sesuatu

yang tidak bisa ia terima begitu saja.

“Hantu baru yang disana. Yas, yas benar…kau!”

Eric berbalik. Matanya menemukan sesosok hantu yang dipenuhi cacar

air bertengger di atas perkakas dapur. Ia berperawakan seperti wanita namun

suaranya terdengar berat. Dia lelaki nyaris perempuan.

“Siapa kau?” tanya Eric tanpa ekspresi terkejut.

“Seharusnya Ike yang bertanya, bego!” lolongnya menekan kata bego

dengan kemayunya.

“Hack, peri Ghaits yang sering berada di dapur. Dia selalu mencela

masakan yang dianggapnya tidak berkesan lalu dengan sengaja menaburi

garam banyak-banyak supaya tambah tidak enak,” kata Elfgog yang tiba-tiba

muncul di depan mata Eric. Eric mengambil jarak menjauh untuk menutupi

rasa kagetnya.

Eric sama sekali tidak kagum dengan jawaban itu. Ia kembali sibuk

dengan perasaannya. Baginya ia seperi ditusuk dari belakang, bukan, lebih

tepatnya ia dibiarkan berada di situasi yang salah. Mengapa Naydelin sama

sekali tak bercerita apapun tentang Flori. Ia membiarkan dirinya menduga-

duga keberadaan Flori dan satanic itu pasti tertawa diam-diam jika dugaannya

salah. Andai Naydelin menceritakan semua sejak awal maka ia tidak akan

berputa-putar sia-sia untuk mencari Flori. Mereka sengaja melakukannya.

Elfgog memukulkan tongkatnya ke kepala Eric. “Buang jauh-jauh

pikiran sempit seperti itu.” Eric berjengit. Ia baru menyadari Elfgog sedang

menyelam ke dalam pikirannya dengan mata emperornya. “Itu takdir, nak,”

sela Elfgog sebelum Eric berinterupsi. “Bagaimanapun takdir pasti terjadi.

Jangan menempatkan diri sebagai korban situasi.”

100

Page 102: Halmahera , the ghost

“Dan kalian merancangnya. Kalian ingin melihat bagaimana aku ini

sangat memalukan, pecundang…” Eric kehabisan kata-kata untuk memperolok

dirinya sendiri.

“Kalian?” Suara Hayden meloncat begitu saja.

“Tentu saja bukan kita.” Pedro buru-buru menambahkan.

“Si Satanic Nade itu sering menemani Flori yang kesepian namun tak

sampai hati untuk menampakkan diri. Nade selalu menangis ketika Flori telah

lelap. Diam-diam ia membelainya meskipun tangannya menembus sia-sia.”

Elfgog berhenti sejenak lalu memanjat tongkatnya dengan lincah. Ia bergegas

melanjutkan sebelum Eric sempat bertanya. “Classy Phinisi tewas bunuh diri

setelah tiga hari kematian Nade. Jiwanya terguncang…”

“Dan sampai sekarang otaknya ikut terguncang…”

Pedro menyodok perut Hayden.

“Bagaimana Nayde…”

“Diracun.” Lagi-lagi Elfgog mendahului Eric. “Ada yang memasukkan

racun ke dalam masakan yang diolah Classy. Meskipun mereka bertiga

memakannya namun hanya Nade yang meninggal begitu saja.”

“Jadi Classy menyalahkan dirinya sendiri atas kasus Nade, kemudian

dia memutuskan mengakhiri hidupnya, dan meskipun mereka sama-sama

Satanic tapi ia tidak ingin menemui Nade karena terlalu merasa bersalah?”

“Atau dia bunuh diri karena takut dijerat hukum?” Hayden menduga.

“Mereka masih dibawah umur, bung!” Pedro menyahut bosan.

Elfgog terbatuk-batuk lalu memelototi Eric. Mirip seperti mata kodok

Geffon. “Aku suka pendapatmu, tapi sayang, kau salah besar, nak. Seandainya

ini ujian aku takut kau akan mendapat nilai di bawah nol.”

Hayden dan Pedro saling berpandangan sejenak lalu mengangkat bahu

bersama.

“Tapi aku masih tidak mengerti…”

“Kenapa Flori meninggalkanmu begitu saja?” Elfgog kembali

menyahut.

“Saya tidak mengerti kenapa anda selalu…”

101

Page 103: Halmahera , the ghost

“Mengetahui semua yang akan kau tanyakan? Karena kau mudah

ditebak.”

Eric menahan diri untuk tidak melayangkan tinjunya ke mulut hantu tua

itu dan membuat giginya rontok. Ia benar-benar nyaris meledak namun ia

memutuskan untuk tidak berbuat apa-apa.

“Semua harus sesuai ramalan.”

“Ramalan?” Eric tertawa yang dipaksakan. “Bagus sekali karangan

anda.”

“Itu tidak realistis.”

“Hidup memang tidak pernah realistis,” Elfgog menatap tajam Eric.

“Terkadang yang menyenangkan belum tentu membahagiakan.”

Elfgog berbalik memunggungi Eric, Hayden dan Pedro. Ia hendak

meninggalkan dapur namun Eric bergegas menghalanginya. “Dari mana anda

tahu kehidupan Flori, kehidupan saya...”

“Apapun tentang Ghobadi selalu menarik siapapun untuk mencari

tahu.”

Hayden menyodok perut Pedro. “Itu kan kata-kata Naydelin.”

“Baiklah kalau begitu. Aku akan menculik Naydelin dari Bisolgedhi…”

Apa menculik? “Otakmu sudah meleset, ya?” kata Hayden berang.

“Aku yang menyebabkan Naydelin dan Coda berada dalam situasi ini.

Ini semua tanggung jawabku.” Eric ikut meradang.

“Tidak perlu terlalu dramatis. Nade akan kembali tanpa perlu

dijemput.”

Eric, Hayden, dan Pedro melecutkan mata kepada Elfgoog namun

sedetik berikutnya hantu itu telah menghilang. Blasxing.

“Kedengarannya ganjil.” Pedro melayang di atas kepala Hayden lalu

duduk di lemari makanan. “Dia hanya sedikit menyinggung tentang Flori.” Ia

buru-buru menambahkan ketika Eric dan hayden memelototinya. “Maksudku

dia tidak terlalu banyak tahu tentang Flori. Kalian tadi mendengar sendiri,

Elfgog banyak bercerita tentang Naydelin…”

102

Page 104: Halmahera , the ghost

“Mungkin dia sangat dekat dengan Naydelin sampai-sampai…” Eric

tak melanjutkan kata-katanya. Pikirannya terlalu lelah untuk menebak.

“Apa menurut kalian Elfgog bisa kita percaya?” Hayden mendesah.

“Dia seperti sedang membual cerita anak-anak saja.”

“Elfgog pernah menjadi pewaris Naigan.” Hack si hantu dapur tiba-tiba

menimbrung. “Ike percaya sama dia.”

“Apa kau sendiri bisa dipercaya?”

Hack mendekat pada Hayden dengan nafsu pencabik. Suaranya yang

besar terdengar menakutkan tetapi ia melenggang seperti perempuan membuat

Hayden tertawa terpingkal-pingkal nyaris tak bisa berhenti.

“Hatsyiuu…” Hack bersin keras-keras hingga ledakannya membuat

cacar air di mukanya berpindah ke muka Hayden. “Hahaha…” ia terpingkal-

pingkal sampai berjungkir balik di udara.

Pedro bersusah payah menahan tawanya ditenggorokan. Ia meraih

segagang panci lalu melemparnya pada Hayden. “Lihat bayangan mukamu.”

Hayden memelototi tampangnya sendiri dengan tolol. Bintik-bintik

menjijikkan Hack telah berpindah ke wajahnya yang mulus. Ia melolong

dengan nafsu pembunuh.

“Cabut kutilmu dari wajahku!!!”

Hack melesat kabur menghindari Hayden yang mengejarnya membabi

buta. “Itu cacar bukan kutil. Cacar itu menyehatkan…” Ia mencoba membela

diri seraya menerabas seluruh isi dapur menjauhi Hayden.

“Menyehatkan kepalamu!” ujarnya dengan nada mengamuk.

Pedro tertawa meledak namun ia bergegas diam saat mendapati Eric

berjalan tertunduk meninggalkan dapur dengan jiwa yang sepertinya tidak

sedang berada di dalam dirinya.

Eric kembali menatap dalam-dalam foto Flori, Naydelin, dan Classy. Ia

menoleh pada seseorang yang menepuk bahunya dari belakang.

“Menurutmu Flori masih ingat padaku?”

“Pasti.” Pedro berdiri di samping Eric untuk mengimbanginya.

103

Page 105: Halmahera , the ghost

Eric menggeleng lemah dengan kepala yang rasanya berdenyut.

Sesuatu kembali berkelebat kacau dalam otaknya.

“Geffon hadir di saat terakhir aku hidup. Dan gadis itu, Flori, aku

bertemu dengannya lalu dia memberiku syal, permen jahe, dan dia sama sekali

tidak kenal siapa aku. Dia hanya kasihan melihatku. Itu saja.”

Pedro mendesah. “Dia sedang terguncang, Eric. Mungkin ada memori

yang tenggelam dalam otaknya. Dan dia tidak ingin…”

Pedro terdiam. Ia kehabisan kata-kata lalu Eric melanjutkan.

“Mengingatnya, eh? Dia sama sekali tak peduli padaku. Dia tak melakukan

usaha apapun bahkan sekedar untuk mencariku.”

Eric terduduk beku di pojok. Suaranya terdengar acak. “Kenapa kakek

menginginkanku untuk mencarinya? Jika semua ini berhubungan dengan takdir

Ghobadi, dan kakek menempatkanku sebagai penyelamat Flori untuk

melindunginya dari pembesar kegelapan, semua terdengar lucu. Seakan aku

ditakdirkan mati demi melindungi Flori.”

“Kenapa ia tidak mencari Flori sendiri lalu menyerahkan pedang itu

padanya?” Pedro ikut menyelidik.

Hantu perempuan muda tanpa kepala muncul diantara mereka seraya

meratap menabrak seluruh benda yang dilaluinya. Tangan kirinya

mencengkeram kain lusuh yang penuh tulisan dengan darah.

Eric menyeriangai membaca tulisan terseret-seret itu.

TIDAK MENERIMA SUMBANGAN APAPUN

SELAIN KEPALA SIAP PAKAI

“ERRIIIC…” Lengkingan Hayden terdengar mengejutkan. “Aku

menemukan sesuatu!”

Eric dan Pedro beradu pandang. Hayden muncul dari dinding di

belakang mereka. Wajahnya masih dipenuhi cacar namun tampaknya ia tak

mempedulikannya lagi. “Eric aku telah mengelilingi semua isi rumah ini gara-

104

Page 106: Halmahera , the ghost

gara si Hack brengsek itu. Aku sama sekali tidak melihat foto orang tua Flori,

maksudku foto orang tuamu. Tapi aku menemukan ini..”

Hayden mengulurkan pigura kecil berisi foto seorang laki-laki tua dan tiga

anak perempuan. “Elfgog, Flori, Naydelin, dan Classy.”

“Jadi ia yang mengasuh Classy dan Naydelin saat masih hidup?” Eric

merosot dari posisi duduknya. “Bersama Flori, tentu saja.”

“Jadi siapa dia sebenarnya?” Hayden menatap Pedro penuh harap

seakan sahabatnya itu memberikan contekan jawaban yang benar.

Eric balik menatap kedua sahabatnya tanpa ekspresi. Sesaat ia

melongok ke belakang. Seekor kucing persia mengeong lembut tanpa tekanan.

Ia hadir begitu saja seolah muncul tiba-tiba dari balik punggung Eric.

Si kucing memandang tiga hantu dengan mata hijaunya yang hampa

lalu mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Telinganya bergeming normal,

kumisnya bergerak kaku tak anggun. Setelah bosan ia menuruni tangga,

meninggalkan tempat itu.

“Fuih...syukurlah dia segera pergi,” keluh Pedro sembari mengibaskan

telapak tangannya. “Asal tahu saja, aku ngeri melihat kucing berbulu lebat.”

“Aku justru terkejut dengan kucing yang sama sekali tak berbulu,” cicit

Hayden.

“Sepertinya aku pernah melihat kucing itu…” Eric bergumam pada

dirinya sendiri. Pedro dan hayden menoleh padanya. “Tidak. Bukan apa-apa.”

Eric bergegas bangkit dari posisi duduknya semula. “Aku akan pergi sebentar.”

Pedro dan Hayden berdiri bersamaan.

“Mau kemana kau?” Hayden menahan lengan Eric saat ia hendak

melesat meninggalkannya. “Jangan bilang kau akan menculik Naydelin dari

tangan si pawang hantu itu!”

“Aku tahu, sobat,” sahut Eric. “Aku lebih tahu apa yang harus aku

lakukan.”

“Dan kau tidak tahu bahwa kau sangat keras kepala!” Hayden berkata

dengan brutal. “Apa yang harus aku katakan pada Master Quarenci jika kau

sampai celaka? Lalu apa berharganya pengorbanan Naydelin di otakmu jika

105

Page 107: Halmahera , the ghost

kemudian kau menyerahkan diri pada pembesar kegelapan? Apa kau bisa

menangkap ucapanku?”

“Eric…” Pedro menahan bahu Eric sambil menggeleng. “Jika kau

harus pergi, kami ikut denganmu.”

“Apapun yang kalian katakan itu tak masalah, aku hanya melakukan

keputusan yang aku pilih. Aku ingin membuktikan pada diriku, untuk hidupku,

dan segala sesuatu yang aku perjuangkan. Aku akan berjalan pada sebuah

lintasan yang tak tersentuh, tanpa ada yang dapat melihatnya. Tapi aku

melihatnya. Aku hanya ingin kalian mengerti. Aku akan kembali. Aku selalu

bersama kalian. “Eric menepis tangan Pedro dari bahunya. “Aku berjanji.

Percayalah.”

106

Page 108: Halmahera , the ghost

Bab 18

TerselubungHayden menyerah untuk mendebatnya. Ia hanya memelototinya dengan

putus asa.

“Tolong jaga Flori,” ujar Eric dengan nada yang menekan. Hayden tak

sempat berkomentar. Ia nyaris melesat menembus jendela bersama Eric saat ia

menahan lengannya namun Pedro berhasil menyambar kaki Hayden.

“Hei, kau!” omelnya pada Pedro. “Aku ingin ikut bersama Eric.”

“Kurasa, biarkan dia sendirian,” kata Pedro dengan tenang. “Disini kita

bisa memantau Flori”

“K-kau memihaknya?”

“Itu telah jadi pilihannya, dan begitupun aku dan kau, masing-masing

berhak untuk memilih.”

Hayden mengomelinya dengan murka tetapi Pedro tampak tak peduli.

Mereka kemudian menembus pintu ruang selanjutnya. Tak ada sesuatu yang

istimewa, hanya seorang gadis yang tertidur meringkuk dengan segala

kepedihan yang terselubung.

Sementara itu, Eric meluncur menembus malam dengan keraguan tak

terkendali, pikirnya tak dapat membayangkan dimana tempatnya letak

Snowvus apabila ditempuh dengan jalur manusia. Yah – terlalu rumit untuk

dibayangkan karena Snowvus memang berada pada ekosistem hantu secara

alami tanpa ada campuran sedikitpun dari pihak manusia.

Perlu diketahui tentang peraturan kuno tentang dua alam berbeda

bahwa manusia akan mati gila pada saat dia tersesat pada dunia hantu secara

keseluruhan, sementara hantu dengan segala kebebasannya mampu menembus

segala sudut alam manusia tanpa berbagai kekhawatiran luar biasa.

Eric menembus cermin ke mana saja yang bersembunyi di balik awan

kelabu yang ditemukannya setelah berputar-putar dalam lingkaran langit tanpa

107

Page 109: Halmahera , the ghost

peta. Satu kedipan mata selanjutnya telah membawanya pada posisi di ambang

laut hitam.

Ia menatap ngeri laut hitam di bawahnya. Tenang tak menerkam namun

membahayakan. Ratusan tangan berkulit lumpur mengacung lunglai

dipermukaan air seakan sedang mengharap pertolongan tanpa dengkingan.

Tangan-tangan itu menghilang ketika ombak menyapu kasar tangan mereka

tetapi sebentar kemudian bermunculan satu per satu. Melambai meratap tanpa

suara.

Eric mengabaikan pemandangan itu. Ia melayang pelan menuju

Snowvus. Ia mendapati ujung kastil yang menjulang ke langit dan berhenti

pada sisi tertinggi setelah menabrak awan hitam tipis. Patung Mapoti yang

membawa tongkat bermata Zamrud mengacung ke langit seolah

mengagungkan penghuni langit.

Eric memepercepat diri menembus bola pelindung tanpa jampi-jampi.

Ia meluncur tak sabar masuk ke dalam Snowvus dengan menembusnya lalu

cepat-cepat menuju gerbang bertuliskan Tampagolo Lau Panangan.

Kaca segala arah memancarkan cahaya lembut tetapi tak sanggup

mengalahkan kegelapan abadi di Snowvus. Itu memberi arti bahwa fajar telah

menjelang di bagian timur dunia manusia. Sementara kaca segala arah yang

memanjang di sebelah barat sangat amat gelap hingga tampaknya hanya seperti

cermin hitam tak berguna.

Ia mengurungkan niatnya menembus pintu yang membawanya ke

ruang lain. Kakinya tak sengaja mengenai wajah Ghaits yang berjalan ngesot

dengan satu kakinya yang terlalu kecil tumbuh tidak normal. Rambutnya yang

panjang dikucir dengan pita merah pada ujungnya. Melolong merana sambil

menyeret meja hingga menimbulkan suara berderit memilukan.

Beberapa hantu anak-anak berlarian dengan bunyi bergedebuk ramai.

Menggelindingkan kepala baju zirah dari hantu satu ke hantu lainnya. Victor

Kapele melambai girang pada Eric yang membalasnya antusias.

108

Page 110: Halmahera , the ghost

Hantu gembul yang pendek meluncur tergopoh-gopoh sambil

memegangi rambutnya yang keriting luar biasa lebat seolah takut rambutnya

itu mendadak tergelincir dari kepalanya.

“Berhenti atau kuhajar kalian anak-anak brengsek,“ Mame Granyo

melolong menakutkan. “Kembalikan kepalanya. Kalian tak akan begitu mudah

memperdayaku.”

Victor mendelik kepadanya lalu mengoper kepala itu pada Ami

Tobuwa yang kemudian memberikannya pada Heine Manare.

Mame Granyo mengacungkan tinjunya dengan emosi meledak. Eric

dapat melihat hidung wanita itu meletup memercikkan bunga api.

“BERHENTI !” Dengkingan itu terdengar seperti ratapan.

Heine Manare tertawa meledak lalu melambungkan kepala itu hingga

mengenai jidat si hantu ngesot. Mame Granyo menggigit bibirnya dengan

kemarahan yang meletup-letup.

“Tunggu apa lagi?” teriak Victor Kapele. “LARI BEGO...”

Mereka berlari tunggang langgang meluncur kalang kabut kemudian

menghilang setelah menabrak kaca segala arah yang hitam kelabu seperti

serpihan malam.

Eric berjingkat lalu menyelinap di belakang patung kuda putih tanpa

kepala kemudian merasuk ke dalamnya. Bersusah payah menghindari tatapan

Mame Granyo dan si ngesot.

Hantu ngesot itu melengking dalam-dalam. Mengumpat dengan

mengutuk tak normal. Membanting kepala baju zirah hingga permukaannya

melengkung ke dalam bergelombang tidak rata.

Eric berusaha keras menyembunyikan dengkur cemasnya. Ia tidak ingin

riwayatnya tamat dikeroyok dua hantu sinting itu. Meskipun ia tidak ikut

terlibat konspirasi bodoh Victor Kapele dan kawan-kawannya namun

reputasinya sudah buruk di mata Mame Granyo sejak insiden Classy.

“Dasar idiot pangkat sepuluh!” Kali ini percikan api benar-benar

berhamburan dari dalam hidung wanita itu. Si Ngesot terlihat mendelik

padanya. “Itu rumahku, bego!”

109

Page 111: Halmahera , the ghost

Eric tak dapat membayangkan apa jadinya apabila ia menjadi hantu

ngesot itu, pastilah ia sudah berteriak sekeras-kerasnya meminta pertolongan

semua hantu untuk menghajar hantu gembul itu beramai-ramai.

Kedengarannya memang terlalu sadis, tapi siapapun akan tega mengeroyok

Mame Granyo karena ia memiliki muka yang tampaknya membuat siapapun

merasa gatal untuk meninjunya.

Si ngesot menatap culas hantu di depannya itu kemudian melempar

kepala besi hingga meluncur tepat mengenai hidung Mame Granyo. Wanita itu

berteriak melengking mendapati hidungnya membelesak seperti baru saja

dicukur.

Eric meringis. Bekerja keras menahan tawanya yang sudah berada di

ujung lidah. Ia teringat Hayden. Andai Hayden berada di sini pasti ia tidak bisa

berhenti tertawa seumur hidup. Atau malah mereka berdua tertawa keras-keras

di depan Mame Granyo. Eric tiba-tiba merindukan Hayden yang cerewet,

Hayden yang selalu merepotkan, Hayden yang membuatnya tertawa di saat

kesepian. Ia teman ajaib yang membuat serpihan kelabu menjadi magenta.

Ghaits itu mengesot berkelebat menembus cermin kemana saja ketika

Mame Granyo mendatanginya dengan menandak-nandak untuk membuat

perhitungan merugikan. Wanita itu melepas kepergiannya dengan dengkingan

emosi yang tak bisa terlampiaskan.

Eric tiba-tiba merasakan desisan tak bersahabat menggelitik lehernya.

Ia menengok kebelakang namun sesuatu yang tak diketahuinya itu telah

mendorongnya secara sepihak. Eric terhempas dari tempat persembunyiannya

lalu menabrak Mame Granyo. Mereka terguling di lantai lalu berhenti setelah

menabrak tangga putar tanpa lengan.

Sepertinya kematian ke dua telah menghampirinya. Eric tak ingin

membuka mata sekedar untuk melihat ekspresi Mame Granyo. Namun wanita

itu telah lebih dahulu memaksanya untuk menyaksikan prosesi eksekusi nyawa

secara langsung.

110

Page 112: Halmahera , the ghost

“Jangan mentang-mentang cucu Master Quarenci kau berani kurang

ajar padaku.” Air liurnya berhamburan membasahi wajah Eric. “Lihat saja aku

akan membuatmu menyesal…”

“Sepertinya ada yang memanggil namaku,” sebuah suara merubah

wajah iblis Mame Granyo menjadi tampang tolol. “Siapa yang menyesal?”

Master Quarenci melayang tegak di atas anak tangga sambil

membetulkan posisi aksesoris tanduk kerbau yang menggantung di bajunya.

Tanpa sepengetahuan Mame Granyo, ia mengedipkan mata ke arah Eric.

Perempuan itu berdiri menjauhi Eric dalam waktu tiga detik. Senyum

kecutnya bertebaran di seluruh wajah. Tangannya mengulur hendak membantu

Eric bangun. Tapi Eric dapat bangkit tanpa memerlukan tangan perempuan itu.

“Cucu anda tadi terjatuh.” Suaranya gemetaran. Seluruh tubuhnya juga

ikut bergetar. “Dan menjatuhi saya.”

“Benar begitu, Eric?”

Eric mendengus kesal lalu mengangguk malas. Ia enggan membela diri

dari penjilat. Perempuan sialan itu tersenyum penuh kemenangan kemudian

berlalu setelah membungkuk hormat pada Master Quarenci.

“Jika kau tak membela dia mungkin saat ini aku sudah menyuruh

Dokter Omicron untuk menyetrumnya sampai kutu rambut dikepalanya mati,”

katanya penuh kesan datar. “Bagaimana kabarmu, ksatriaku?”

Eric memeluk kakeknya yang membalasnya dengan mengacak

rambutnya penuh kasih sayang. Rasanya ia ingin buru-buru bercerita tentang

semua yang dialaminya di dunia manusia. Begitu meluap-luap hingga ia tidak

tahu harus mulai dari mana.

“Apa kau sudah bertemu dengan Flori, eh?” Master Quarenci

mendahuluinya berbicara.

Eric tidak lantas menjawab karena pertanyaan itulah yang ingin

ditanyakan pada kakeknya. “Apa kakek menyuruhku mencari Flori demi

pedang Periopollux? Karena dia pewarisnya?”

“Kelak dia adalah pewarisnya.” Quarenci berdeham tanpa ekspresi. “Ia

yang akan menjadi pengendali pedang itu. Pembesar kegelapan mengincarnya

111

Page 113: Halmahera , the ghost

untuk dimusnahkan lalu merampas Periopollux untuk mencapai kesempurnaan

abadi yang tak terkalahkan.”

“Jadi Flori disembunyikan? Atau dia sengaja bersembunyi?” Eric

merasakan tubuhnya meradang. “Naydelin dan Classy sahabat kecil Flori, tapi

mereka tak mengatakan apapun padaku. Semua menyembunyikan kenyataan di

belakang punggungku lalu menyuruhku berputar-putar untuk mencarinya.” Ia

menyeringai membayangkan sikap emosinya sudah melebihi Mame Granyo.

Tapi ia tak peduli. Ia mendapati kakeknya tak merespon apa-apa. Eric

menduga pria itu sedang berpikir bagaimana cara membuatnya berhenti

mengomel. “Aku sudah bisa menemukan memoriku. Aku dapat mengingat

dengan baik. Bisolgedhi sudah mengincarku sejak aku masih hidup. Tena dan

Warthog hampir menjualku padanya. Kemudian aku berhasil melarikan diri

lebih tepatnya aku mati seperti bunuh diri. Akhir yang dramatis. Bukankah

semua ini seperti skenario film?”

Eric memperhatikan pria tua di depannya. Ia berharap mendengar

jawaban luar biasa atas pertanyaannya yang rumit.

“Ikuti aku,” katanya. “Akan kutunjukkan sesuatu.”

Eric terbengong-bengong. Sepertinya tenaganya sudah terkuras untuk

bersabar. Dengan terpaksa kakinya melangkah mengikuti Master Quarenci

yang melayang melewati lorong gelap luar biasa kotor tanpa udara dan banyak

hantu patred dan ghaits yang melayang di atas mereka sambil mengeluarkan

lolongan meratap.

“Egomu terlalu tinggi, kstaria kecilku.” Pria itu berbicara sambil

menambah kecepatan meluncurnya. Eric mengejarnya hingga mereka berdua

berdiri sejajar. “Dan jangan kau kira aku buta Eric, Aku melihat semua yang

kau lakukan di dunia manusia melalui bola kaca Sean Ying. Kau telah

menyakiti perasaan Nade dan membuat celaka dirimu sendiri, pawang itu

nyaris menangkap dan menyerahkanmu pada pembesar kegelapan.” Eric

hendak mengatakan sesuatu namun pria itu lebih cepat satu detik untuk

mencegahnya berbicara. “Satu hal yang harus kau ingat, Eric. Fungsikan

Garizah untuk membaca emosi yang tak bisa kau sentuh. Jangan biarkan kau

112

Page 114: Halmahera , the ghost

menyesal hanya karena ego memperdaya emosi hingga mencelakakan dirimu

sendiri.”

Dia memanggilnya Nade? “Tolong jangan ungkit itu lagi, kek!” raung

Eric memohon.

“Aku sengaja mengungkitnya untuk kebaikanmu sendiri!” katanya

tajam hingga kedengaran seperti menghujat “Seharusnya kau lebih pandai

dalam mengenali bahaya. Kesenangan dan emosi yang meletup membuatmu

sangat mudah dijadikan sasaran untuk dijebak, terutama karena faktor

perasaanmu yang labil sebagai akibat memorimu yang pulih secara tak

sempurna dalam waktu yang bersamaan. Aku tahu memang sangat sulit untuk

menata pikiran yang beberapa waktu lenyap kemudian tiba-tiba muncul

membawa gambaran masa lalu yang menyedihkan tanpa melibatkan perasaan

negatif atas segala sesuatunya. Kurasa kau juga perlu mengetahui sedikit

tentang masa laluku dan buyutmu. Sesungguhnya takdir mengerikan

menyelubungi keluargamu terdahulu, tak akan pernah ada yang lolos dari

kutukan Helluvaglaw. Benda pembawa malapetaka tak terbayangkan…”

“Apakah ini yang dimaksud...” kata Eric dengan tangan sibuk merogoh

saku mantelnya.

“Kukira...ASTAGA!” Quarenci berjengit lalu mundur selangkah tatkala

Eric menyodorkan kotak emas kusam dengan ukiran rumit yang

mengelilingnya. Sementara tulisan Helluvaglow melingkar di penutupnya.

“Helluvaglow?” lanjut Eric. Ukiran kata Helluvaglow sekali lagi

membuat hantu tua itu berjengit. “Sepertinya benda ini tak bisa dibuka.”

“D – darimana k – kau…b – bagaimana mungkin...?”

Querency berjalan melesat menginjak bazh (tanaman abadi mengkilap

kekeunguan yang tampak sama sekali tak hidup tetapi menimbulkan bunyi

berkeretekan saat diinjak) – pikirannya menjadi lebih mengerikan dari benang

kusut sekalipun – Dia berbalik kemudian mengebor tatapan Eric.

“Ugh...” Eric menggigit bibirnya, seolah dia sangat berharap selapis

dinding tebal membenamkan tubuhnya.

113

Page 115: Halmahera , the ghost

“Helluvaglow telah menemukan mangsanya,” kata Quarenci dengan

suara berat, kemudian berjalan pelan berirama seolah dia sengaja

menghitungnya. “Dia datang sendiri kepadamu, eh?”

“Bukan!” sahut Eric demi menghindari tatapan yang ditumpahkan

padanya. “Aku yang menyambarnya sendiri dari atas meja Geffon.”

Quarenci melecutkan pandangan lebih dalam.

“Aku sama sekali tak tahu apapun tentang itu dan aku mustahil

mengawasimu sepanjang waktu.”

“Sebuah suara telah mendorongku memasuki hutan itu lebih dalam.”

balas Eric defensif. Ia memasukkan kembali benda itu ke kantong mantelnya.

Eric membeberkan semua petualangannya yang mengerikan hingga

pertemuaannya dengan Elfgog. Master Quarenci tampak menyimak tetapi

terkadang melamun menatap bazh yang melingkar dijalanan yang mereka

lewati dengan ekspresi ketegangan luar biasa.

Rombongan hantu berkelebat lalu menghilang tanpa memperhatikan

mereka. Sementara Eric harus berbicara dengan setengah berteriak ketika

melewati sepasukan hantu tentara yang berbaris rapi menakjubkan dengan

menghentakkan kakinya bersemangat dan memberi aba-aba dengan hitungan.

“Elfgog mengatakan ada agen ganda di Snowvus?” kata Quarenci yang

tampaknya sedikit tersedak.

“Dan aku menduga agen ganda itu adalah Geffon.” Eric

melanjutkannya dengan sarkastik. “Hayden melihat Geffon sedang berbincang

denganmu di Snowvus. Dan aku mendengarnya sendiri saat ia menyatakan

telah bersekutu dengan Bisolgedhi.”

“Kau tak memiliki bukti?”

“Teman-temanku dan kami mendengarnya sendiri!”

Quarenci berbalik dengan tiba-tiba akibatnya Eric menabrak aksesoris

tanduk kerbau di dadanya.

“Dia lebih tahu atas apa yang harus dikerjakannya.”

114

Page 116: Halmahera , the ghost

“Dan kita tidak tahu apapun tentang pekerjaannya,” sembur Eric

dengan meradang. Quarenci menatapnya terkejut. “Maaf aku tidak

bermaksud ...”

“Sudahlah...” sahut Quarenci sambil melayang. “Berhati-hatilah

terhadap Hoyerdup...”

Terlambat. Eric telah menginjaknya. Lolongan merana serumpun bunga

Hoyerdup mengamuk mengiris telinga. Eric menutup telinganya rapat-rapat

namun tetap saja suaranya masih membuat kepalanya serasa ditusuk dengan

paku.

Seorang perempuan jangkung berlari tergopoh-gopoh ke arahnya. Ia

mengomel pada Eric yang menyakiti bunga kesayangannya. Ia menepuk benda

penjerit itu satu per satu dengan lembut hingga mereka diam.

“Mereka seperti bayi monster jika terbangun namun terdiam begitu

pantatnya ditepuk.” Quarenci menjelaskan sambil tersenyum pada hantu

perempuan itu.

“Pantat? Jadi bunga ini punya pantat?” Eric berusaha keras tidak

terbahak-bahak

“Dia cucuku, Eric Ghobadi,” kata Quarenci membuat hantu wanita itu

tampak malu.

“Maaf Master tapi dia melukai Hoyerdup,” rintihnya sembari mendelik

pada Eric.

“Maaf…” Eric merasa tak enak hati pada wanita itu. Tampaknya

bunga-bunga cerewet itu telah dianggap seperti anaknya sendiri.

Wajah perempuan itu melunak kemudian melayang menjauh tetapi dia

tampak mencerucutkan bibirnya seperti sedang merapalkan mantra celaka

untuk Eric.

Lima langkah meninggalkan padang Hoyerdup, para peri Ghaits kecil

beterbangan berdengung berisik di atas kepala Eric. sayapnya yang mungil

bergerak anggun. Eric bercanda dengan mereka sambil sesekali berpura-pura

hendak menangkapnya. Ia teringat Hayden yang bertransformasi menjadi peri

lalu bersembunyi dalam sakunya.

115

Page 117: Halmahera , the ghost

Master Quarenci mendesis dengan irama khusus, tampaknya sedang

menyuruh para ghaits tenang sejenak dan mereka sangat mematuhinya hingga

Eric dan Quarenci menjauh dari kawasan itu.

Eric mengais saku mantelnya seperti teringat sesuatu dengan tiba-tiba.

“Ia mengacungkan Poinsettia yang sama sekali tidak hancur ketika terbenam

dalam air. Pria itu sama sekali tidak terkejut seperti saat ia melihat

Helluvaglow.

Dengan datar ia mengatakan, “Ramalan Poinsettia sepantasnya disebut

mimpi buruk Ghobadi, halaman tiga menyebutkan mereka bagaikan pohon di

daerah tropis kadang menggugurkan daunnya dan bersemi bila saatnya secara

periodik tetapi segalanya berkesudahan ketika sepercik api membakarnya.

Seperti setetes tinta yang bisa menghitamkan satu bejana air.”

Eric mengernyit tidak paham. Namun ia menyimpan ketidaktahuan itu

untuk dirinya sendiri. Mereka melewati pepohonan yang bening seperti

protoplasma dengan tentakel yang selalu berjumlah ganjil. Sesekali mereka

harus menunduk saat pepohonan menyambarkan tentakelnya dengan beringas.

“Setidaknya beritahu aku semua yang harus aku ketahui.” Ia

menghindari nada merengek.

“Kurasa sudah saatnya aku membuka misteri ini untukmu. Semua

tentang takdir Ghobadi sudah sangat jelas. Masing-masing hidup mereka sudah

terikat kontrak dengan Poinsettia. Kecuali…” Quarenci berkata dengan gerik

cemas. “kecuali jika ia telah hidup dengan nyawa lain, tanpa darah Ghobadi.

Aku tahu kamu tidak akan cepat paham dengan apa yang baru saja aku

ucapkan, tetapi kau akan cukup mengerti setelah mengalaminya.”

Eric merasa linglung membayangkan bagaimana cara keluar dari darah

Ghobadi dan hidup dengan nyawa lain. Lalu nyawa siapa yang digunakan?

“Apa yang kaumaksud hidup dengan nyawa lain itu Flori?”

Terdengar tawa tersedak keluar dari mulut pria itu. “Tidak. Tidak,

bukan dia. Flori adalah pewaris Periopollux. Ia keturunan perempuan Ghobadi

terakhir yang masih hidup.”

“Jadi pembesar kegelapan mencarinya hanya demi Periopollux?”

116

Page 118: Halmahera , the ghost

“Hanya?” Quarenci menekan kata itu dengan tajam. “Satu-satunya

yang ditakuti pembesar kegelapan adalah kematian. Dan satu-satunya yang

bisa mengakhiri hidupnya adalah pedang itu. Lebih tepatnya Periopollux

memanggil pedang lain untuk bangkit.”

“Pedang lain itu Naigan?”

Quarenci mengangguk. Dan Eric tidak mengetahuinya jika ia tak

menengok pada pria tua itu. “Pedang yang ditangan Bisolgedhi dan satu lagi,

Naisopollux. Arturus adalah pengendalinya saat ini. Emperor.”

“Emperor adalah pengendali pedang?”

“Lebih dari yang dapat kau bayangkan.”

Dua hantu itu berbelok ke arah sebuah aliran air yang berbentuk seperti

jembatan lengkung yang dibawahnya dipenuhi kabut kelam. Mereka melayang

diatasnya sampai tak berselang lama Eric dapat melihat patung burung elang

yang agung menyambut mereka. Kupu-kupu yang berkulit protoplasma bening

beterbangan disekelilingnya sambil menebarkan serbuk emas yang berkelip

diantara serpihan kelabu.

Mereka memasuki mulut patung elang. Eric mendapati beberapa

lukisan besar seukuran tubuh manusia memenuhi ruang berdinding batu cadas.

Tumbuhan hitam merambat diantara kolong bingkai. Kunang-kunang

beterbangan membentuk formasi lampu badai yang menerangi tempat itu.

Eric terbeliak mendapati gambar dirinya berada dalam deretan lukisan

itu. Sebuah penggambaran yang nyaris sempurna, lekuk wajahnya seakan

dibuat sangat detail, raut wajah yang merindukan kedamaian. Di sebelahnya,

lukisan ibu dan ayahnya menggantung dengan sama sempurnanya seperti yang

lain. Pelukis yang luar biasa.

Quarenci memerintah pada Eric membuka Poinsettia pada lembar

pertama. Sebuah gambar acak tertulis tanpa arti. Eric melarutkan jarinya dalam

tinta kering yang tergores di kitab. Gambar itu berlarian menempati posisinya

masing-masing lalu membentuk jelujur pohon keluarga Ghobadi.

Ia memelototinya dengan terkesan namun akal pikirannya kepayahan

membuat analisis logis untuk menerjemahkannya.

117

Page 119: Halmahera , the ghost

“Mereka adalah Al Ghobadi dan Ibu tiriku.” katanya sambil

memunggungi Eric. Ia sibuk mengagumi lukisan yang begitu suram. Ia

menggosokkan kedua tangannya dengan pandangan kosong menatap gambar

pria yang berjanggut runcing dan telinga lebar sebelah kemudian beralih

memandang lukisan wanita yang ia panggil ibu tiri yang tampak anggun

dengan rambutnya yang keriting tergerai menyentuh bahu. “Mereka lebih

memilih untuk memasuki dunia tanpa batas. Bukan begitu... tampaknya ada

yang memaksa mereka. Entahlah.”

“L-lalu kemana Geffon Ghobadi? Maksudku kenapa disini tertulis...”

Eric melirik tulisannya seperti orang mencontek.

“Permaisuri dibuang demi tahta raja.”

“Ya,” sahut Eric. Dia hafal.

Al Ghobadi, ayahku, membuangnya ke hutan...”

“Hutan jalur utara?”

“Ia meninggalkan Geffon yang sedang mengandung. Seharusnya ia

sadari perempuan itu mengandung anak lelakinya. Dan bahkan sampai matipun

ia tak tahu aku anak kandungnya,” suara datar itu terdengar berguncang.

“Sekembalinya ia ke istana, Al mengumumkan bahwa permaisuri meninggal

atas penyebab serangan kaum Moro dalam perjalanan...”

“Culas.”

“Dengan begitu seorang bangsawan dari penjajah itu dijadikannya

permaisuri dan Al berhasil mempertahankan kejayaannya. Sebelum bayinya

lahir Geffon disumpah bersatu dengan kaum Moro. Dan setelah bayi itu lahir,

dengan persetujuan bangsa Moro, bayi yang terlahir itu diberikan pada sungai

dan sungai mengembalikannya pada bapak yang telah membuangnya.”

“Bayi itu kau?” Eric terbelalak. “Lalu kenapa Geffon memberikannya

pada sungai?”

“Sungai selalu mengembalikan apapun yang diberikan padanya.”

Eric memperhatikan lukisan yang ditunjuk si pria tua. “Apakah lukisan

ini hasil karyamu sendiri?”

118

Page 120: Halmahera , the ghost

“Oh – tentu saja bukan,” ujarnya dengan tanpa ekspresi. “Geffon yang

melukisnya”

Apa? Geffon? Suara Eric nyaris melompat mengagetkan. Namun ia

berhasil menguasainya.

Quarenci bergeser memandang lukisan wanita yang berbeda ras

dengannya. Ada sinar kerinduan bersilau di pelupuk matanya.

“Apakah kau tahu siapa wanita ini, Eric?” Quarenci bertanya tetapi ia

menjawabnya sendiri sebelum Eric sempat membuka mulut. “Dia Helena. Istri

yang terlalu kucinta.”

“Kemana dia sekarang? Menjadi Satanic?”

“Entahlah, kudengar dia telah berada di dunia tanpa batas.”

“Dan anak ke dua kalian? Maksudku bisa dibilang dia pamanku?”

Quarenci terperanjat kemudian memandang Eric dengan tajam seakan

sedang berusaha menelanjangi tanpa menyentuhnya. “Dia... Aku tak tahu.”

“Apakah dia sudah di dunia ajal juga?”

“Dia tidak mati. Dia juga tidak hidup.”

Ada senyap antar kata.

“Seperti Geffon, ibumu itu?”

Quarenci menoleh dengan tak senang. “Dia hidup sebenar-benarnya

manusia.”

“benar?” Eric menekan dengan aksen sarkastik. “Aku tidak

menyukainya. Dia pembohong besar. Dia perumus celaka kehidupan...”

“Cukup, Eric! Aku tidak ingin kau menghakiminya dengan tudingan

ilusimu itu.”

“Ilusi?” Eric meradang. Andai ia tidak ingat pria di depannya itu adalah

kakeknya ia sudah menonjok mulutnya. “Geffon kaki tangan Bisolgedhi, kami

melihatnya sendiri. Ia berpihak pada pembesar kegelapan. Dia penjilat. Dia

memiliki kepentingan ganda di sini. Apa aku tidak cukup untuk bisa

dipercaya?”

Hening senyap tanpa jalinan udara yang bersendawa di antara mereka.

119

Page 121: Halmahera , the ghost

Eric merasa bersalah telah berkata terlalu kasar. Ia kehabisan suara

lembut untuk menyatakan sesuatu yang tak dipercaya. Namun ia urung untuk

meminta maaf dan mengoreksi kesalahannya.

Quarenci akhirnya berbicara membuat perasaan Eric lega. “Tapi ia

tidak hidup dengan darah Ghobadi. Seperti yang aku bilang tadi, hidup dengan

nyawa lain.”

“Aku tidak peduli ia hidup dengan nyawa lain atau nyawa sapi

sekalipun. Geffon tetaplah Geffon dan dia mengikat kontrak kehidupan dengan

Bisolgedhi. Aku melihat isi perjanjian…”

“Cukup, Eric!” Kali ini lengkingan suara pria itu seperti menampar

siapapun yang mendengarnya. “Aku percaya padanya. Dan itu cukup bagiku.”

Eric kehabisan cara untuk meyakinkan kakeknya. Ia kecewa dengan

semua rasa dongkol yang menguasai kepalanya. Ia berlalu meninggalkan si

hantu pria yang sedang memunggunginya tanpa kata.

“Aku pergi, kek,” kata Eric pendek seraya meluncur meninggalkan

ambang jalan keluar lalu menembus kabut kelam.

120

Page 122: Halmahera , the ghost

Bab 19

Sebuah AwalVictor Kapele menyentil telinga Eric ketika ia hendak meninggalkan

Snowvus. Kakinya menginjak jalan keluar dengan tubuh setengah menembus

gerbang kastil. Ia berbalik dengan emosi yang masih membudak pikirannya.

“Kami ingin menunjukkan sesuatu padamu,” katanya dengan

mengedipkan sebelah matanya pada Eric.

“Kami?” Eric menyahut bosan hampir tanpa suara seakan ia berbisik

untuk dirinya sendiri.

Namun bagi Victor tampaknya suaranya terdengar mengamuk di

seluruh kastil. Ia buru-buru mengacungkan telunjuknya. “Jangan keras-keras,

ini rahasia!” Hantu itu melongok ke setiap sudut kastil yang terlihat

mencurigakan kemudian ia mensejajarkan kepalanya dengan kepala Eric,

melototkan matanya, lalu berbicara dengan meledak-ledak seakan ia tak ingat

bahwa yang dia ucapkan adalah sebuah rahasia. “Kami berhasil membuat

penemuan hebat! Terhebat di dunia. Tapi belum kami patenkan. Pasti kau tidak

akan percaya jika suatu saat kami benar-benar terkenal dan menandatangani

satu juta paten. Hei tunggu…” Victor menyambar bahu Eric. “Jangan tergesa-

gesa, bung! Kita-kita belum selesai…”

“Kita-kita?” Kali ini Eric melemparkan suara tingginya.

“Jangan keras-keras!”

“Suaramu jauh lebih keras, bung!” sahut Eric dengan jengkel.

“Ini hanya permainan iseng tetapi sangat canggih. Banyak hantu sama

sekali tidak menyadarinya mereka sedang dimata-matai. Kalau biasanya

manusia tak bisa melihat hantu, sekarang hantu tak bisa melihat hantu.

Bukankah ini…, Hey tunggu!”

Victor menyabet lengan Eric hinggga membuatnya berbalik dengan

agak limbung.

“KYAA! Kau menginjak jempol tanganku!”

121

Page 123: Halmahera , the ghost

Eric melompat terkejut. Ia melecutkan mata ke arah kakinya dengan

bingung.

“Heine Manare...?” pekik Eric “sejak kapan kau menempel di kakiku?”

Heine nyengir. Ia bertransformasi menjadi Patred. Dan ia marah-marah

karena mendapati tubuhnya menghitam seperti baru saja dilumuri kecap yang

terkena tumpahan oli.

Eric tertawa terbahak-bahak seperti orang gila hingga ia tak sanggup

mengatakan sesuatu.

“Ini adalah permainan ilusi yang pertama kali kami ciptakan –

permainan rahasia bayangan ninja –” Victor menjelaskan dengan perasaan

bangga yang tidak bisa ia sembunyikan. “Tapi kau selalu membuka rahasia di

luar kesepakatan, Heine!”

“Aku tidak sengaja!” dengkingnya jengkel. “Omong-omong

formulamu bikin gatal. Seperti dikeroyok semut yang menginjak-injak

wajahku. Mungkin ada resep yang salah…” Heine menggaruk mukanya

dengan putus asa.

“Kan tadi sudah aku bilang air liur ubur-ubur aku ganti dengan lendir

laba-laba.”

Haine melengking tanpa suara. Matanya melotot sejadi-jadinya seakan

sedang berteriak menyayat pilu. Victor semakin terbelalak saat bulu-bulu

serabut tumbuh di seluruh muka Heine. Eric mendekati Heine mencoba

mengamati apa yang terjadi.

“WAJAH TAMPAAANKUU…” Eric dan Victor mundur menjauh

bersamaan. “AARRGGHTT…”

Heine berlari tunggang langgang menabrak semua perabot kastil yang

ia lewati sambil meraung meratap. Sepertinya ia tidak percaya pada apa yang

baru saja menimpanya.

“Kenapa jadi dia yang sinting?” Victor memandang Eric dengan muka

bersalah. Ia mengejar Heine dan meninggalkan Eric begitu saja tanpa salam

perpisahan.

122

Page 124: Halmahera , the ghost

Eric mendengus lalu menembus gerbang kastil dan kali ini ia berharap

tak ada siapapun yang mengganggunya untuk hal-hal yang tidak penting. Ia

menghentikan langkah pertamanya. Puluhan pasukan berkuda lewat di

depannya tanpa menyadari keberadaan Eric.

“Luar biasa!” Matanya mengikuti langkah kuda itu berlalu kemudian

mengikutinya dari belakang. Sepasang batu besar yang tampaknya tak

memiliki fungsi apa-apa saling menjauh tanpa tersentuh lalu salah satunya

memunggungi yang lain hingga terbuka lubang bawah tanah. Master Quarenci

keluar dari dalamnya diikuti Mame Granyo dan lima hantu lain yang tak

dikenal Eric.

“Lama tak berjumpa, Arturus?” Quarenci menepuk punggung pria

bertubuh kekar yang dibalut pakaian perang kebesarannya. “Gagah sekali kau

hari ini.”

“Dan kau selalu terlihat lebih muda sepuluh tahun dari umur

kematianmu.”

Mereka terkekeh bersamaan diiringi Mame Granyo yang mencoba larut

dalam perbincangan mereka namun gagal mendapat perhatian.

Mereka membiarkan kudanya menjauh kemudian menghilang diantaran

serpihan kabut kelabu. Hantu-hantu itu berjalan beriringan memasuki lubang

bawah tanah. Pasukan Arturus melangkah dengan kaki besi terseret-seret

hingga menimbulkan suara berderit memilukan.

Eric mengejar pasukan itu dengan mengendap namun sepasang batu

segera menutup ke tempat semula seakan dua benda itu menjadi pengawal

pintu masuk. Ia berusaha keras menembusnya namun sepertinya ada

penghalang tak terlihat yang tidak bisa ditembus. Sedikit usaha bodoh yang ia

coba lakukan adalah mencongkel batu itu dengan cangkul berkarat yang

tergeletak di dekat taman hoyerdup. Tapi Eric mendapati cangkulnya segera

patah saat baru saja disentuhkan.

“Sial!” Ia menggeram seraya membuang cangkulnya ke sembarang

arah. Eric terkaget-kaget saat cangkul itu terbang mengenai kepalanya.

Matanya menyapu ke segala sudut hendak membuat perhitungan namun ia

123

Page 125: Halmahera , the ghost

mendapati sepasang mata seakan benar-benar menancap di matanya saat ia

berbalik ke tempatnya semula.

“Classy…” Eric menyeimbangkan tubuhnya agar tidak limbung. Ia

menyembunyikan keterkejutannya dengan usaha keras. “S-sejak kapan kau di

sini?”

“Sejak kau di sini.”

Eric mendengar suaranya begitu menggemaskan. Sangat berbeda

dengan pertemuan pertamanya dengan hantu otak meleset itu. Tak ada tangisan

melolong atau tissue penuh ingus yang beterbangan. Rambutnya yang semula

berdiri seperti bulu singa yang mengamuk sekarang dipilin rapi dengan pita

merah jambu panjang.

“Ada tamu penting di Snowvus, pejabat besar Arturus dan pasukannya.

Sepertinya mereka sedang membicarakan sebuah urusan yang sangat penting.

Jika para Emperor berkumpul biasanya ada masalah rumit yang luar biasa

rahasia. Tak ada siapapun berhasil menguping. Termasuk kau. Usahamu boleh

juga tapi sangat bodoh.” Classy seakan menjawab pertanyaan Eric yang belum

sempat ia katakan. “Kupikir Sean Ying juga datang. Tapi aku tak menjumpai

hidungnya tadi. Tapi tak biasanya asisten pribadi Master Quarenci tidak

diikutsertakan dalam pertemuan tertutup mereka.

Classy mengangkat bahunya tinggi-tinggi sementara Eric meresponnya

tanpa ekspresi.

124

Page 126: Halmahera , the ghost

Bab 20

Tragedi tanggal 26Plasma Sean Ying berpendar setelah menerobos cermin kemana saja

yang paling kelam. Dia tiba di jalanan sempit dengan rumah-rumah yang

berderet-deret. Angin bertiup kencang malam itu seperti ada sesuatu yang tidak

normal menguasainya.

Ia melayang sambil bersungut-sungut. Aku asisten pribadi Quarenci,

tapi kenapa harus aku yang jadi anjing pelacak? Ia menyusuri jalan yang

tampak lengang. Tak ada hantu yang berkeliaran di sekitarnya. Tampaknya

sudah ada yang membersihkan jalan ini lebih dahulu, gumamnya.

Tidak ada manusia yang tertidur lelap. Semua terjaga meskipun

penerangan telah padam. Bibir mereka berkontraksi mengucapkan berbagai

macam rapalan rumit yang hanya didengar oleh pembicaranya sendiri.

“Tutup kepalamu dengan selimut, Jove!” bisik seorang perempuan

dengan nada dalam. Dia berjalan terhuyung-huyung kemudian memutar kunci

berkaratnya hingga lacinya terbuka lalu ia mengaduk segala isinya. Setelah

berhasil menemukannya, ia menyalakan batangan lilin terkecil dengan Classy

yang paling redup. “Sebenarnya aku tidak suka hal ini.”

Perempuan itu berbalik menetap Jove. “Tutup kepalamu, kataku!”

Jove mendelik terkejut. “Kau masih percaya mitos sembarangan itu,

Bunde Gaea?”

Perawan tua itu balik mendelik. Rambut putih dengan dahi berkerut-

kerut, dan mata yang memandang hampa terlihat samar-samar. Dia menyambar

tongkat dengan ukiran gambar-gambar aneh lalu melompat ke atas tempat tidur

di samping Jove.

125

Page 127: Halmahera , the ghost

Jove adalah pemuda tampan berumur enam belas tahun dengan kulit

sepucat lilin, rambutnya berantakan dan alisnya tebal dengan biji mata hitam

legam.

“Jangan ucapkan kalimat serampangan itu. Sebenarnya aku benci untuk

mengatakannya. Tanggal dua puluh enam. Aneh! Sungguh aneh! Bapakmu

mati pada tanggal ini, dan kau sendiri lahir tanggal dua puluh enam, akankah

kematianmu juga ...? tidak-tidak, tetapi ... ya! Angka keramat – 26...bencana

selalu melanda pada tanggal ini. Di sini!”

“Ada-ada saja. Kukira semuanya cuma kebetulan,” gumam Jove

dengan tak terkesan. “Sampai sebegitunya penduduk di sini mempercayai

legenda menyesatkan itu.”

Bunde Gaea menahan nafasnya beberapa saat kemudian

menghembuskannya dengan menggebu seperti air mendidih yang asapnya

mengepul.

“Jangan katakan lagi!” katanya dengan gusar.

Jove tak membantah. Ia sangat menyayangi perempuan tua itu dan telah

menganggapnya sebagai ibunya sendiri. Tetapi Bunde Gaea menolak untuk

mendapat gelar berharga itu.

“Sejak bapakmu mengajal, asrama itu mulai dirubuhkan.” Dia berhenti

sejenak lalu melompat dari tempat tidur. Dengan kalut dan gemetar ia

menyibakkan gorden menggunakan tongkat anehnya. Mata liarnya membabi

buta menyaksikan bangunan-bangunan tua yang tinggal puing-puing tak

berharga, kecuali sebuah bangunan yang suram yang dirambati semak belukar.

“kuperingatkan untuk jangan tidur malam ini – bisa saja hantu itu mencekikmu

hingga tewas,” gonggongnya membahayakan. “Sembunyikan kepalamu!”

Jove menggigit bibirnya kuat-kuat untuk menghindari tawanya yang

meledak-ledak. Ia tahu Bunde Gaea yang baik tidak akan senang pada anak

muda yang tertawa saat ia berpidato.

“Apa itu?” suara Jove melompat begitu saja. Matanya berkilau saat

melihat benda yang menyembul dari dalam laci yang terbuka.

“JANGAN!”

126

Page 128: Halmahera , the ghost

Bunde Gaea bersusah payah mencegahnya dengan berlari – tertatih

tatih – berhuyung-huyung. Tetapi Jove lebih dahulu bangkit lalu meloncat

seperti katak dan menyambar cincin hijau yang terbuat dari batu zamrud.

“Wow! fantastik ...!” serunya girang sambil menimang-nimang benda

asing itu. “Rupanya kau menyembunyikan barang yang sangat indah di dalam

laci misteriusmu...”

Jove berhenti berkicau, suaranya serasa hilang seperti sedang dicekik.

Sementara Bunde Gaea berhenti di tempat dengan muka yang sama pucatnya

seperti hantu.

“Tanda ini sama seperti yang ada di telapak tanganku ...” Jove

mengamati ukiran yang tergores dicincin itu dan memang sama persis dengan

yang tergambar di telapak tangannya. Lambang yang cukup aneh seperti suatu

simbol yang di cap kuat sebagai identitas suatu kaum.

“Apa ini milikmu?”

“Itu milikmu,” kata Bunde Gaea putus asa. “Gouduge hanya

meninggalkan itu untukmu.”

“Gouduge?”

“Nankai Gouduge, ayahmu.”

“Bahkan aku tak pernah tahu siapa orang tuaku.” Jove hampir menjerit

dalam kalutnya. “Siapa aku sebenarnya?”

Bunde Gaea menggeleng putus asa. Air mata perlahan bergulir di kulit

keriputnya. Kakinya tak mampu lagi bertahan cukup lama, ia ambruk

sementara tongkatnya menggelinding menyentuh ujung kaki Jove.

“Maafkan aku, Jove. Kau benar, selama bertahun-tahun aku berusaha

menyembunyikan fakta ini. Tetapi penyakit tuaku tak mampu mengingat masa

lalu dengan sempurna.” Perempuan tua itu mencoba tersenyum semanis-

manisnya. “Karena aku telah bersumpah demi nyawaku. Tetapi itu semua tidak

berarti lagi. Dari pada aku mati sia-sia lebih baik aku mengatakannya. Ayahmu

– siapapun namanya – adalah pembesar kegelapan. Ia takut mati hingga ia

mencari kehidupan abadi yang semu. Sebuah kenyataan yang mengagumkan,

bukan?”

127

Page 129: Halmahera , the ghost

Bunde Gaea terkekeh ganjil seperti telah dirasuki setan. Jove

memandang liar pada perempuan itu, perutnya bergolak bagaikan sedang

dihantam tinju tak tampak.

“Pada malam tanggal dua puluh enam Gouduge mengetuk pintu

rumahku sambil membawa boneka kecil bernyawa. Benar-benar seperti

boneka, matanya selalu terbenam dan detak jantungnya nyaris tak terbaca

tetapi aku yakin dia sedang terjaga. Dan laki-laki itu berpesan ‘Aku menitipkan

Jove padamu’.”

Sekali lagi perempuan tua itu terkekeh menakutkan.

Jove mundur beberapa langkah. Ia sangat berharap Bunde Gaea tiba-

tiba melompat dan berteriak “APRIL MOP”. Tetapi kenyataannya perempuan

itu melanjutkan dengan suara mendesah.

“Sambil menggendongmu, aku mengendap-endap mengikuti laki-laki

tadi. Aku sama sekali tidak membayangkan dia akan masuk ke dalam aula

asrama, bangunan yang masih berdiri tegap diantara bangunan asrama lain

yang telah menjadi puing-puing tak berharga...”

“Apakah maksudmu aula asrama yang selalu kau sebut-sebut sebagai

runtuhan pencipta kegelapan abadi?”

Gaea mengangguk lemah seakan tanpa nyawa. “Aku tidak dapat

mempercayai penglihatanku a-ayahmu ditikam dengan pedang oleh laki-laki

itu.”

Jove seperti disihir untuk percaya dengan dongeng itu. Kepalanya

terasa berputar-putar ditempat yang sama.

“Apa maksudmu dengan laki-laki itu?”

“Tentu saja ayahmu.”

“Aku tidak mengerti. Apakah dia bunuh diri dengan menikam dirinya

sendiri”

“Hanya manusia rendahan yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh

diri,” sahutnya gusar. “Laki-laki itu muncul dari tubuh ayahmu kemudian

memaksanya untuk bersumpah setia. Selanjutnya aku tidak bisa mengerti

ucapan mereka karena bahasanya di luar akalku. S–setelah itu ayahmu

128

Page 130: Halmahera , the ghost

memberikan sebilah pedang pada makhluk di depannya untuk membunuh

dirinya sendiri.”

“Jadi makhluk itu yang membunuh dirinya sendiri?

“Seperti yang aku lihat.”

“T-tapi b-bagaimana mungkin?” Jove terperanjat mendengarnya.

“Siapa membunuh siapa?

Bunde Gaea membisu sesaat menahan rasa sakitnya. Dadanya serasa

sesak, ia menggigit bibirnya hingga berdarah.

“A-Anda baik-baik saja?”

Jove mendekati perempuan tua itu bermaksud ingin menolongnya

tetapi pemuda itu terpental hingga menghantam perapian yang padam seakan

ada magnet penolak diantara mereka. Ia menyibakkan jari tangannya yang

terkepal, terdengar tarikan nafas lega ketika ia mendapati cincin itu masih

bersinar lembut di telapak tangannya.

Hei, kekuatan apa tadi?

“Terkadang di dalam tubuh manusia terdapat manusia lain yang saling

berpengaruh. Itulah yang terjadi dengan ayahmu. Serpihan kegelapan yang

bersemayam dalam tubuhnya terbangun dan membunuh dirinya sendiri,”

lanjutnya dengan pandangan hampa. “Sementara ayahmu yang harus

menggantikan kematiannya. Aku tahu, sesungguhnya dia orang baik. Hanya

nasibnya saja yang buruk.”

Bunde Gaea memaksa tubuhnya bangkit namun ia roboh detik

berikutnya. “Ketika aku mendekati mayatnya, A-aku hampir membanting di

bayi Jove seketika, laki-laki itu bergerak dan berbicara padaku tanpa membuka

mulutnya. Suaranya terdengar terseret kesakitan dan aku merasakan telingaku

seakan sedang disayat. Tangannya tiba-tiba bergerak hingga menimbulkan

suara yang berkeretekan. Jari-jarinya yang terkepal, dipaksanya membuka dan

aku melompat karena suaranya seperti lempengan besi yang dipatahkan. Dia

menyerahkan cincin itu padaku dan berpesan...”

“’Aku menitipkan anakku padamu dan juga cincin ini. Kelak saat

cincin itu jatuh ketangannya maka waktu itu telah datang, aku akan mengambil

129

Page 131: Halmahera , the ghost

Jove darimu. Aku akan membunuhnya agar dia berdamai denganku. Ia akan

menjadi putra mahkota pembesar kegelapan. Simpan baik-baik cincin ini

sampai ia kembali pada pemiliknya. Jove.”

“B-bukankah kau sudah m-mati? Tanyaku dan dia menjawab dengan

murka, ‘Aku tidak akan mati! Keabadian adalah diriku. Kau dapat mendengar

suaraku – berarti aku masih ada untuk dunia ini. Karena sebagai Pembesar

Kegelapan akulah yang ditakdirkan hidup abadi. Aku membuang sisi rapuhku,

membunuh relung kematian dalam jiwaku.’ Ia mendekatkan wajahnya hingga

mengenai telingaku. Sekelebat aku melihat symbol hitam yang dicap sangat

kuat dilehernya, Aleph dengan tanda Phi diatasnya.

‘Bersumpahlah untuk tidak menceritakan apapun tentangku pada Jove.

Jangan katakan apapun karena hanya aku yang boleh memberitahu semua

tentang takdirnya. Bila kau mengingkari maka kematian mengerikan segera

menjemputmu.

“Sekarang kau mengerti, kan, Jove? Mengapa aku tak pernah

memberitahu semua tentangmu? Karena aku menunggu waktu ini datang.

Enam belas tahun telah lewat namun serasa hanya enambelas detik bagiku…”

Wajahnya berubah menjadi sepucat kertas. Tidak mungkin. Semua ini

hanya dongeng. Aku pasti sedang bermimpi.

“T-tapi bukankah kau bisa membuang jauh-jauh cincin ini?” Suara Jove

melompat brutal. “Kau bisa membunuhku! Atau jika kau mengatakan semua

lebih cepat aku bisa membunuh diriku sendiri…”

“Meskipun aku menelannya sekalipun cincin itu tetap akan kembali

pada pemiliknya. Dengar Jove, aku menyayangimu dan sudah saatnya cincin

itu berada ditempatmu. Gouduge bisa mengikat hidupku dengan sumpah, tapi

dia tidak bisa mencegah keberanianku. Begitupun dirimu, keputusanmulah

yang menentukan menjadi apa dirimu. Jangan pernah kecewakan aku. Selamat

tinggal Jove, urusanku di dunia ini sudah selesai.”

Aku ingin menghapus hari ini. Jove menjerit frustasi, namun tak ada

suara yang ia hadirkan. Ia menyeret tubuhnya mendekati perempuan tua itu.

Beserta seluruh tenaga yang tersisa, ia berusaha keras menggapainya.

130

Page 132: Halmahera , the ghost

Sesaat setelah ia menyentuhnya, tubuh perempuan itu hancur menjadi

serpihan abu-abu. Suara Jove terdengar melengking memanggil namanya. Ia

berusaha keras menangkapi sisa serpihan yang beterbangan namun ia

terpelanting seakan ada tangan tak terlihat yang menghantamnya bertubi-tubi.

Aku menyesali semua ini. Dan ia tak sadarkan diri.

131

Page 133: Halmahera , the ghost

Bab 21

SidangJove terbangun ketika mendengar langkah derap kuda mengamuk di

telinganya. Dia terperanjat menemukan dirinya berada diantara bangunan yang

telah berbentuk puing rapuh. Ia menyusuri tempat itu dengan rasa kehilangan

yang berkecamuk. Kesedihan seakan mencabik-cabik tenaganya. Tak ada

siapapun di dunia ini yang dimilikinya lagi. Semua berakhir tragis gara-gara

cincin konyol yang membeku di genggaman tangannya.

Pemuda itu membanting cincinnya dengan emosi menandak-nandak.

Benda itu terpelanting lalu lenyap seakan tanah telah menelannya. Ia buru-buru

menjauh dari tempat itu namun lima langkah berikutnya tangan kanannya

terasa terbakar. Ia melonjak kesakitan sambil berguling-guling di tanah tapi

sia-sia. Rasa sakit semakin menghabisinya. Cincin hijau telah tersemat kembali

di telunjuk tanpa permisi. Pedro mendengking tak berdaya. Rasanya bagaikan

hampir mati. Dia menyerah dengan nafas yang tersengal-sengal.

Jove mengamati telapak tangannya. Simbol itu membesar dan semakin

terlihat jelas, berwarna hitam pucat. Cincin hijaunya yang memiliki simbol

yang sama seolah bereteriak sudah saatnya!

Dia tidak mengira tanda lahir di telapak kanannya sangat berpengaruh

dalam hidupnya. Mungkin simbol itu adalah tiket baginya untuk mengikuti

jejak ayahnya yang menjadi pembesar kegelapan.

Suara langkah sepasukan kuda yang sedang berlari mengaduk

telinganya. Bersama sisa tenaganya, Jove merapat menuju semak-semak. Pada

ksatria hantu dari berbagai dinasti berdatangan. Mereka berjalan angkuh

tampak seperti patung tanpa perasaan. Para hantu perang memamerkan panah,

trisula dan tombak mereka yang selalu dibanggakannya.

132

Page 134: Halmahera , the ghost

Sekelompok pasukan Nias bertopi besi beramai-ramai mengacungkan

tombak dengan berseru keras atas nama kelompoknya. Sementara itu satu

peleton pasukan tiongkok berpartisipasi bersama militer bersenapan kocok.

Lalu batalion wanita petempur mengalihkan segala perhatian dengan kereta

perang yang berkilau karena terawat dengan baik. (tampaknya mereka dari

suatu tempat tak bernama).

Ada pula serdadu pembajak sedang bersusah payah mendorong kapal

perang mereka yang merepotkan. Bagi mereka tak ada ekspedisi tanpa kapal

perang bersamanya.

Mereka semua saling berdesakan untuk memasuki sebuah pintu yang

luar biasa luas. Sampai-sampai hantu yang tidak sopan memilih menembus

dinding dan atap. Lemparan lolongan memuakkan memenuhi ruangan.

Masing-masing berteriak dengan bahasa ibunya menyanjung bangsa mereka

yang mulia.

“Sidang dibuka.”

Quarenci bersuara dengan gelombang datar nyaris tanpa ekspresi

namun sanggup membuat para hantu terlonjak dan diam seketika.

“Terima kasih,” lanjutnya. “Para ksatria yang saya hormati. Pada

sidang singkat waktu berikut, setelah menunggu puluhan tahun, hingga periode

ini datang. Penyerangan besar akan segera dimulai. Pembesar kegelapan

berhasil menguasai pewaris Periopollux. Mereka telah menemukan keturunan

perempuan Ghobadi yang terakhir yang masih hidup. Kita harus menyatukan

pertahanan untuk melindungi pedang mulia ini sampai akhir.”

Para hadirin sidang mengangkat senjatanya saling bersamaan melempar

lolongan keperkasaan. Gouduge tersenyum tipis dengan sebelah bibir terangkat

ke atas dibalik syal yang hampir membenamkan kepalanya.

Arturus mencabut Naisopollux dari sarung pedangnya. Pedang yang

bertahtakan giok dan batu safir tampak gagah mengacung beku di

genggamannya.

Mame Granyo mengepalkan tangan kosongnya. Meskipun tak memiliki

senjata untuk dipamerkan namun ia merasa pantas berbangga diri karena

133

Page 135: Halmahera , the ghost

mendapat kesempatan emas duduk di singgasana utama bersama Master

Quarenci, Nankai Gouduge, dan Arturus – rambut keritingnya seakan

bertambah lebat tiga puluh senti sementara kepalanya serasa hampir meledak.

Senyum berbahagia tidak pernah musnah dari bibirnya sejak Master Quarenci

merekomendasikannya agar mengisi kursi kosong di samping Gouduge. Dia

membayangkan telah menjadi hantu penting – semua mata memandanganya

dengan terkagum-kagum tapi kenyataan tragisnya tak ada satu hantu pun yang

menyadari keberadaannya di sana.

“Saya akan mengerahkan sebanyak lima belas bendera dari masing-

masing bendera terdiri dari seribu empat ratus pasukan tempur!” seru

Mansliever (si hantu panglima perang bertubuh biru seperti Kresna) sambil

mengacungkan busur dan panahnya yang bersepuh intan.

Hantu-hantu lain diam sesaat kemudian bersorak bersemangat

menyambut teriakan Master Quarenci dan Arturus. “DEMI KEBAIKAN DI

TANAH KEMATIAN – UNTUK LELUHUR – KEPADA SNOWVUS!”

“Dengar, Quarenci!” kata Sean Ying setelah perkumpulan selesai dan

sebagian besar hantu telah menghilang. Ia berdiri di pintu sepanjang jalannya

sidang menunggu Quarenci melewatinya. “Ini tentang Gouduge. D-dia ... kau

yakin mempercayainya? Quarenci – kumohon dengarkan aku! Gouduge-lah

yang menyarankan tempat ini sebagai tempat sidang. Pada kenyataannya

tempat ini adalah simbol keabadian kegelapan – maksudku dia sangat

mencurigakan...”

Sean Ying menyimpan ucapannya saat matanya menangkap sosok

Gouduge sedang merayap menaiki kuda hitamnya lalu masuk ke dalam semak-

semak diantara puing-puing bangunan.

“Master – Master!” Mame Granyo berteriak sambil berlari tergopoh-

gopoh. “Mungkinkah hantu yang gugur dalam perang akan mati untuk yang

kedua kalinya?”

Sean terkekeh sehingga membuat Mame Granyo salah tingkah dan

tersipu malu. Tetapi dia sangat lega ketika Master Quarenci menyambutnya

dengan tanggapan serius.

134

Page 136: Halmahera , the ghost

“Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini –,” lanjut Quarenci sambil

mengalihkan pandangannya pada puing-puing bangunan. “Bukankah kita ini

termasuk roh yang masih mencintai dunia. Tetapi roh merupakan sebutan bagi

makhluk yang sangat lemah – dia belum memiliki kekuatan khusus sebelum

menjadi hantu. Seharusnya para roh langsung dikirim pada alam yang sudah

terputus dari dunia manusia. Tetapi pada kenyataannya mereka masih

mencintai dunia dan memutuskan untuk tetap bisa hidup berdampingan

bersama manusia dengan menjadi hantu.”

Mame Granyo memilin ujung bajunya dan berkata dalam hati dengan

dongkol “Kalau itu sih, aku juga tahu!” tetapi dia hanya bisa tersenyum dengan

terpaksa.

“Kukira perang kali ini adalah perang terbesar untuk yang kedua

kalinya dalam sejarah hantu. Pintu dunia tanpa batas akan terbuka dan meraup

seluruh hantu yang kekuatannya melemah tanpa kemauan mereka dan

meninggalkan sesuatu yang mereka cintai. Semua ksatria mengetahui

konsekuensinya. Seandainya kau takut, maka kau boleh mengungsi bersama

hantu pengecut lainnya.”

Mame Granyo menunduk kemalu-maluan. Dia sungguh-sungguh

menyesal telah bertanya dengan menggunakan pertanyaan yang memalukan.

Saat dia menegakkan kepalanya, Master Quarenci telah melayang

meninggalkan tempat itu disusul Sean Ying di belakangnya.

***

Jove merayap kebelakang, jantungnya berderap cepat. Di depannya

Nankai Gouduge mengacungkan pedang seakan hendak mengebor dadanya.

Mata Gouduge menancap mengenai tatapan pasrah Jove.

“Selamat hadir, wahai putra Gouduge!” Jove mendelik dengan

ketakutan luar biasa. “Engkaulah yang akan mewarisi tahta keabadianku.

Engkau yang terpilih sebagai penunggang kegelapan. Cepat atau lambat

135

Page 137: Halmahera , the ghost

setelah kematian, kau akan datang padaku. Kita akan bersama memimpin

kehidupan sebagai sang pencelaka.”

Pemuda malang itu bagaikan terhipnotis. Dia menyambar pedang

Gouduge, menikam rusuknya lalu mencabutnya dengan beringas.

Bab 22

RantaiClassy tersenyum. Eric melihat pipi gadis itu merona kemerahan saat ia

menatapnya tanpa berkedip. Sebenarnya Eric tak berniat berlama-lama

bersamanya namun ada sesuatu yang mencegahnya beranjak.

“Ada sesuatu yang kau sengaja sembunyikan dariku? Err maksudku…”

Eric menyadari kata-katanya terdengar berantakan tapi ia tak sempat

mengoreksinya Classy telah lebih dahulu mengambil alih. Entah kenapa

dadanya serasa berdenyut kembali dan kepalanya serasa gugup untuk berpikir.

“Ya. Setelah lama memikirkannya ternyata kau tampan juga…”

“Bukan-bukan-bukan begitu. Ya aku memang tampan tapi maksudku

kenapa kau tidak bilang…aduh susah ngomongnya!”

“Aku menyukaimu.” Suara Classy melompat begitu saja membuat dada

Eric semakin berdenyut-denyut. Eric tak dapat melawan saat gadis itu

mencondongkan wajahnya hingga bibir mereka saling menjajah.

Eric merasakan Snowvus bertambah panas puluhan derajat. Sementara

itu tubuhnya serasa basah seperti baru saja diguyur seember air dari sumur.

Classy tiba-tiba menjauhkan diri. “Sekarang pergilah...” katanya

dengan muram. Hening sesaat. Mereka didera oleh pikiran masing-masing.

“Pergi, kataku!” Ia berteriak dengan meledak-ledak. “Kau tidak dengar apa?

PERGI?”

“Kau ...?” Eric bersusah payah menahan diri. “Apa otakmu sedang

meleset?”

136

Page 138: Halmahera , the ghost

Classy berpikir sejenak untuk mendebatnya. “PERGI DASAR

TELINGA SAPI!” Ia mendaratkan lusinan Batu berambut merah di kepala

Eric.

Geogle itu melindungi kepalanya. Mau tidak mau ia harus pergi sambil

bersungut-sungut. Ia melayang di atas hoyerdup yang sedang tertidur.

Melewati hutan pohon plasma yang memiliki tentakel berjumlah ganjil dan

selalu bergerak seperti gurita.

Snowvus tampak suram seperti kepingan kabut yang menyatu. Para

hantu melayang sambil mendengking. Mereka menembus dinding kastil lalu

keluar dari dunianya menuju kawasan manusia.

Dari kejauhan Eric melihat hantu yang memiliki otot menonjol seperti

perahu terbalik sedang menusukkan golok ke dadanya berulang kali. Hantu

pria itu berbalik menatap Eric dengan tatapan seculas wajahnya. Dia

menyeringai kemudian memenggal kepalanya sendiri dengan goloknya.

Eric menyentuh bola pelindung dengan telapak tangannya tanpa jampi

mantra yang ganjil. Lima langkah setelah meninggalkan bola pelindung, Eric

merasakan telinganya seperti ditarik dengan capit kepiting. Ia menoleh ke

belakang dan mendapati seorang anak laki-laki nyengir padanya.

“Hantu?” tanya anak laki-laki asing itu.

“eh?” Eric mengerut dahi.

“Hantu?” ulangnya.

“Hantu,” Eric membebek tanpa intonasi.

Pemuda itu menggesek giginya dengan gemas. “Aku tidak tahu apa

yang terjadi padaku. Sebuah sidang pengadilan yang menurut perasaanku

sangat mencemaskan, eh... orang-orang itu menyebutnya – pengadilan pe –

apa?

“pemutusan nasib”

“Yeah! Itu dia ...”

“Mungkin yang kau maksud orang-orang itu lebih tepatnya kau sebut

hantu.”

137

Page 139: Halmahera , the ghost

“Jadi benar mereka hantu?” tanya si anak laki-laki asing dengan

ekspresi terkejut. “Jadi aku juga...Aku sudah…”

“sudah bangkit dari kubur,” sahut Eric tak acuh.

“Hei! Aku sedang tidak becanda,” kata pemuda itu dengan tak sabar.

“Omong-omong namaku Jove, yeah ... cukup panggil Jove.”

Eric menatap hantu itu cukup lama. “Namaku Eric Ghobadi.”

“Maukah kau mengajariku cara menembus benda ini, seperti yang kau

lakukan tadi,” katanya tanpa malu-malu sambil berulang-ulang meninju bola

pelindung yang alot.

“Perlu sedikit proses usaha untuk memahami segala seluk beluk dunia

hantu,” kata Eric dengan wajah berbinar-binar. Saat ini dia merasa menjadi

melaikat penyelamat Jove. Seperti yang diajarkan Hayden padanya. Tidak

terlalu buruk, pikirnya.

“Kau cuma sedikit ritual!” lanjut Eric. “Kamu harus mendaftar jadi

member di sini. Oh! Kau juga harus menyentuhnya. Lalu katakan seperti

ini...”

“....”

“Wahai Penanda kehidupan...”

“Ya?”

“Ayo ikuti aku!” sahut Eric.

“Baiklah. Wahai penanda kehidupan...”

“Eeeng...” Eric berpikir keras mengingat mantra selanjutnya. “Dengan

ini saya yang bernama Jove...”

“Eeeeng...dengan ini saya yang bernama Jove...” sambung Jove.

“Salam kenal...”

“Apa?”

“Kau ikuti saja,” kata Eric tak sabar.

“Kau ikuti saja,” Jove membebek ucapannya.

“Aduuh bukan begitu...! Seharusnya kau itu bilang...”

Hwaaxaxaxa....

Eric dan Jove menoleh ke sumber suara dengan bersamaan.”

138

Page 140: Halmahera , the ghost

“Sudah seribu tujuh puluh dua hantu memakai mantra buatanku.

Hanganganganga...” dia tertawa keras sampai-sampai memukul tanah dengan

gila.

Eric melempar pandangan bosan. “Victor Kapele?” Dia lagi.

“Kalian kena tipu berlapis. Game ini aku yang bikin. Hasilnya diatas

seribu dari kalian tertipu tradisi.”

“Apa? Jadi nggak perlu ritual bodoh ini? Dan tidak perlu daftar jadi

member Snowvus?”

“Nehe. Nehe. Aku bilang ini rahasia antara kita sesama cowok hebat...”

Aku tidak percaya padanya. LAGI! Pikir Eric.

“Ini namanya MLM, Multi Level Menipu. Jadi kalian yang sudah

terjebak jika tidak ingin menanggung malu dalam kesendirian, aku sarankan

kalian mencari korban lain. Tiap satu orang yang berhasil kalian bina, itu

artinya level kalian naik satu tingkat. Semakin banyak hantu baru yang di bina,

maka...”

“Dibina?” Eric berujar dengan malas. Ia mengambil jarak untuk pergi.

“Yay... dibina.”

“Dibinasakan.” Eric menyambung dengan berlalu.

Hei kau mau kemana?” Jove meneriaki Eric yang telah jauh darinya.

“Pergi!”

“Pergi?” ulang Jove seraya menoleh pada Eric. “tapi ...”

“Kau sudah bisa keluar masuk Snowvus dengan sebebas-bebasnya

tanpa rapalan bodoh. Di dalam sana kau bisa menemukan banyak teman

sekaligus hantu aneh dan menyebalkan.”

“Aku tidak terlalu tertarik. Aku ingin menemanimu.”

“Apa?” Eric menoleh cepat pada Jove.

“Eh ...ouh, maksudnya aku ingin ikut denganmu!”

Eric membuka mulutnya seperti terkejut tapi sebenarnya tidak ada

kekagetan meluap-luap.

“Bagaimana?” Jove memandangnya dengan mata berkilat penuh

harapan sampai-sampai Eric berjengit melihatnya

139

Page 141: Halmahera , the ghost

“Urusanku tak ada hubungannya denganmu.”

“Segala urusan menjadi lebih ringan jika dipikul dua orang, eh dua

hantu,” kata Jove menggagalkan penolakan Eric.

“Merepotkan juga makhluk ini,” dengus Eric.

Jove menyeringai. “Apa katamu?”

“Aku sungguh-sungguh mau pergi sekarang.” Eric berbalik

memunggungi Jove. Ia menjauh dua puluh langkah sebelum akhirnya menoleh

lalu berteriak, “Kau jadi mau ikut tidak?”

Jove bersalto sambil meninju bahu Eric. “Aku sudah menduga kau

tidak akan tega padaku, sobat.”

Eric mendengus. “Bukan begitu. Aku merasa bersalah padamu soal

yang tadi. Aku tak bermaksud menipu.”

“Hahaha...” Jove menepuk punggung Eric. “Berarti kita impas.”

Mereka berada di ambang laut hitam. Sepuluh hantu sedang bersiap

menanti sampan yang dikayuh oleh laki-laki tua bercaping besar yang

membenamkan wajahnya. Masing-masing sampan kecil itu dimuati oleh tiga

hantu yang berdesakan.

“hai! Anak muda!” teriak kakek yang masih bertahan di atas

sampannya. Dia mengacungkan dayung, memberi tanda “Apa kalian

membutuhkan transportasi penyeberangan? Kalau ya, lekas kemari!”

“Berapa biaya untuk menyeberang?” tanya Eric saat berada di dekat

kakek itu

“Kalian lekas naik saja,” katanya dingin.

“Sejujurnya aku merasa ngeri disini.” gumam Jove tak jelas ketika

sampan itu melaju perlahan. Benda yang mereka tumpangi melayang tanpa

pemberitahuan. “Huwee...apa itu yang menonjol dipermukaan air?”

“Tangan,” sahut Eric tanpa intonasi.

“IYA! AKU JUGA TAHU KALAU ITU TANGAN!”

“Kalau sudah tahu, kenapa masih tanya? Dasar aneh!”

“Jangan berisik!” gonggong sang pendayung dengan wajah yang masih

terbenam di dalam capingnya.“ Eric dan Jove melompat kaget. Sampan itu

140

Page 142: Halmahera , the ghost

melintas di atas tangan-tangan yang berlambaian. Bola api kecil terbang pelan

mengiringi perjalanan mereka. “Dasar kampungan,” kata hantu tua tadi tanpa

menoleh pada Eric dan Jove. Ia tetap bertahan mengayuh agar sampannya

dapat melaju. “Aku harus mengambil jalan memutar agar tidak tersangkut

pusaran hukuman hidup.”

“Sebenarnya apa yang ada di dalam laut hitam ini?” Jove berseru

dengan tegang.

“Mungkin tak lama lagi, organ laut ini bergejolak. Itulah kengerian

yang paling mengerikan,” katanya lagi, sambil menghentakkan dayung pada

batu karang.

“Apa maksudmu tak lama lagi?”

“Tanda-tanda yang tersirat”

“Aku tidak paham,” keluh Eric

Sang pendayung mencibir. Tampak sekali bahwa ia merendahkan

kemampuan lawan bicaranya, namun ia tetap melanjutkan alkisahnya.

“Laut hitam ini sesak dengan roh pesakitan. Manusia yang masa

hidupnya diselubungi oleh kegelapan hati. Mereka adalah perusak kedamaian

dan perakit kebencian. Tetapi sayang sekali para sipir penghianat itu benar-

benar busuk, mereka bersekutu dengan pembesar kegelapan dan mebebaskan

tawanan secara diam-diam.”

Sang pendayung terdiam sejenak. Bola apinya meletup dan berkobar

bagaikan dikejutkan oleh sesuatu. Lalu dia memutar balik sampannya

memasuki gua. Kali ini tidak ada tangan-tangan mengerikan yang menggapai-

ngapai hingga menyembul di atas permukaan air. Sampan kembali ke

permukaan air dan sesekali dayungnya membuat air berkecipak.

“Jika masa itu datang, laut hitam ini akan menggelegak dan

memuntahkan segala isinya. Para narapidana terkutuk akan menghirup

kebebasannya lalu membuat segalanya untuk membalas dendam. Kawanan

burung Poppo akan menyerang satu sama lain untuk berebut mangsa.”

Jove berteriak seakan baru saja bangun dalam kengerian. “Dia benar-

benar ada? Oh, aku tak pernah menebaknya. Makhluk khayalan karangan

141

Page 143: Halmahera , the ghost

Bunde Gaea,” dia berhenti sejenak menegakkan kepala kemudian melanjutkan,

“Burung jalang pemakan manusia, cakar emasnya yang tajam siap mencabik

siapa pun, seperti itu, kan, pak pendayung?”

Sang pendayung tak menoleh padanya untuk mengangguk namun ia

mendengkur mengiyakan.

“Apa semua roh akan diadili?” kata Eric.

“Tidak. Tidak. Sebagian besar dari mereka dijebloskan ke dunia tanpa

batas tanpa pengadilan,” sahutnya. “Apa kalian tahu, pengadilan pemutusan

nasib bisa ditunggangi oleh para mafia pemerintah.”

“Apa maksudnya?”

Suara sang pendayung terdengar samar. “Kelak kau akan mengerti.”

Mereka semakin mendekati gerbang agung yang bergelambir

kegelapan. Kerumunan hantu memasuki pintu yang akan menghantarkan

mereka kedimensi lain, seluruhnya terlihat cemas dan terburu-buru. Jove dan

Eric bersiap angkat kaki dari sampan. Sang pendayung merapat ke dermaga

diantara sampan-sampan lain yang berdesakan. Eric melambai sambil

mengucapkan terimakasih pada sang pendayung yang telah lebih dahulu

memunggunginya.

Eric dan Jove terseret arus gerombolan hantu yang serba sibuk.

Beberapa hantu yang hilir mudik menenggelamkan sosok sang pendayung.

Mereka merintih riuh. Dengungannya mengguyur kemelut senyap dalam

kegelapan.

“Jangan bergeming disini,” raung pria yang sangat tinggi. Matanya

melongok ke bawah dan kepalanya seperti hampir meluncur. “Atau kalian akan

membuatku terjerembab.”

Eric menyambar bahu Jove merapatkannya menepi dari lalu lintas tak

beraturan. Mereka bersusah payah melawan arus para hantu yang tumpah ruah

sampai-sampai harus menyikut hantu lain agar bisa berjalan.

“Aku harus mencatat,” kata Eric. “Lain kali lebih baik kita lewat

cermin ke mana saja.”

“Cermin ke mana saja?”

142

Page 144: Halmahera , the ghost

“Tepat! Cermin tempat hantu berteleport ke mana saja. Atau Blasxing

mungkin lebih baik.”

Mereka kemudian memasuki gerbang dengan menyelinap diantara

celah terbengkalai yang lebih mirip koridor yang dibatasi oleh dua dinding

batu bata yang hangus.

Pandangan mereka saling melekat. “Seperti bekas gedung yang

terbakar, eh?” tanya Jove sambil sesekali mengintip sebuah ruangan dari balik

kaca.”

Eric bergumam tak jelas. Bergumam tentang sesuatu sosok yang

merintih di salah satu ruangan itu.

“Roh yang terbelenggu,” bisik Jove. “Jiwa yang terpenjara di tempat ia

terakhir hidup.”

Eric termenung, “Dari mana kamu tahu?” Ia menatap nanar roh

perempuan yang meratap dengan mengais dinding ia mengacak rambutnya

berulang-ulang, mencabutnya dengan bersamaan, lalu menancapkannya lagi

“Bunde Gaea selalu menceritakan hal aneh-aneh padaku. Dan baru kali

ini aku sadar semua ceritanya bukan omong kosong.”

“Bunde Gaea?”

Jove mengangguk lemah. “Seseorang yang sangat berarti untukku. Dia

lebih dari sekedar orang tua bagiku. Bahkan aku tidak pernah merasakan

bagaimana rasanya memiliki orang tua.”

Eric menepuk bahunya. “Kau bukan satu-satunya di dunia ini....”

Suara Eric teredam lolongan hantu yang sedang meratap. Mereka

mundur beberapa langkah sambil menutup telinga rapat-rapat kemudian

meninggalkan tempat itu memasuki ruang demi ruang mencari tangga yang

bisa membawanya keluar dari tempat itu.

“Sepertinya tempat ini dulunya rumah sakit,” gumam Eric.

Ia menduduki ranjang salah satu bangsal. Suara berdencit mengamuk

memenuhi ruangan. Benda itu melesat tanpa pemberitahuan.

143

Page 145: Halmahera , the ghost

“TIDDAAK...” Eric melolong dengan suara tertahan. Ranjang itu

membawanya menabrak pintu-pintu secara paksa. Jove mengejar Eric dengan

susah payah.

“Hei! Turun dari sana, bodoh!”

“Aku tak bisa bergerak. Seperti ada yang memegangiku.” Eric meraung

panik.

Benda itu terus meluncur dengan kencang tanpa bisa dikendalikan

“Hati-hati tikungan!” desah Jove berulang-ulang dari belakang.

“A-Aku tidak bisa mengendalikannya...”

Eric menutup mata. Belokan sembilan puluh derajat dilaluinya tanpa

mengurangi kecepatan. Ada hentakan yang sangat keras, tampaknya ranjang

itu menghantamkan dinding sejenak lalu melesat lagi dengan sangat kencang.

Benda itu berdencit memilukan. Berhenti seketika seperti ada tenaga

sangat kuat yang mengerem dengan sekonyong-konyong. Eric terpelanting

menabrak dinding yang terbelah dengan cepat. Jove menyongsong tergopoh-

gopoh hendak menolongnya bangkit namun mereka tersedot menuju sebuah

ruang yang berlanjut di dalam dinding.

“Ada yang sesuatu yang tidak beres disini” Eric berkata dengan panik.

Ia menyerbu dinding yang akan tertutup sepenuhnya. Tapi ia tidak mampu

mencegahnya.

“Ada hantu di sini.”

“Hei, yang benar saja. Kita ini hantu!” sahutnya cepat. Tampaknya Eric

dapat mencium ketakutannya sendiri.

“Apa mungkin hantu tidak dapat melihat hantu?”

Eric terkesiap. Ia teringat penemuan Victor dan Heine yang diberi nama

rahasia bayangan ninja. Bah, itu hanya permainan anak-anak, dengusnya. Tapi

Eric mendengar dirinya berkata, “Sangat mungkin.”

Tempat kosong itu tiba-tiba bergetar dan berdenyut seperti jantung

yang di gerakkan oleh mesin. Rantai berderak cepat, ruang itu meluncur ke

bawah tanpa terkendali.

144

Page 146: Halmahera , the ghost

“Kali ini kereta luncur atau...” Jove memekik sambil berpegang teguh

pada dinding yang menyisakan bekas cakaran manusia.

“Ini lift, eh bukan tapi kamar yang bisa meluncur berpindah tempat,

atau apalah namanya...”

Benda itu meluncur dengan kecepatan tinggi, semua berat serasa

bertumpu di bawah. Jove dan Eric berdengung putus asa. Suara rantai

terdengar berderak semakin cepat saling bergesekan dengan mesin yang

berdesing memilukan.

“Tetap bertahan disudut!” desah Eric.

“Hatiku serasa kelabu.”

Suara berkeretak kembali meraung. Eric dan Jove saling melecutkan

pandangan. Mereka melayang perlahan hingga kepalanya menyentuh langit-

langit. Sekonyong-konyong benda itu berhenti dengan kasar. Eric dan Jove

terpelanting keluar setelah dinding yang merekat, membelah secara tiba-tiba

dan sangat cepat. Mereka membentur pintu kaca yang retak dengan setengah

tubuhnya menembus benda itu. Mengerang.

“Payah!” rintih Eric dengan suara berat. Ia bangkit dengan terhunyung-

hunyung dan mendapati dinding tempatnya terhempas tadi telah merapat

normal. “Aku harus cepat kembali...”

“Kau ingin meninggalkanku begitu saja?” protes Jove sambil meraih

lengan Eric. “Aku tidak akan membiarkanmu keluar dari sini hidup-hidup

kalau begitu.”

Eric tertawa. Secara bersamaan makhluk yang berada pada lintas yang

berbeda turut terbahak puas.

145

Page 147: Halmahera , the ghost

Bab 23

Jemaah kegelapanHanya sebuah bayangan kelam duduk melingkar seperti ular

disinggasananya yang menjulang tanpa batas. Ia terbahak dengan suara yang

bisa membuat manusia terkena serangan jantung tanpa negosiasi.

Sementara ratusan makhluk hitam berkerut hampir memenuhi separuh

ruangan yang sangat luas hingga sudutnya tak terlihat. Mereka berkelebat dan

mendengung seperti bercengkerama dan menyerukan sesuatu dengan tergopoh-

gopoh.

Puluhan lonceng bergemerincing lalu tempat itu bergetar seiring

dengan suara ratusan besi yang dipukul bertalu-talu. Sembilan bola api

berkobar dahsyat secara bersamaan kemudian meredup lagi sehingga ruangan

itu menjadi kelabu.

Seseorang menyeruak ditengah kerumunan makhluk hitam. Tongkatnya

menggesek lantai hingga muncul bunga api naga yang malahap siapapun yang

berada di dekatnya. Geffon menunduk patuh pada pembesar kegelapan.

“Oh, Geffon akhirnya mereka menemukan pewaris Periopollux!” kata-

kata Gouduge disambut riuh seluruh makhluk hitam yang ada di tempat itu.

“Selanjutnya kita harus mengambil alih pedang itu. Aku ingin kau menyeret

sang keturunan terakhir Ghobadi ke hadapanku dan aku akan mengajarinya

cara menghancurkan Periopollux sekaligus memusnahkan dirinya sendiri.”

146

Page 148: Halmahera , the ghost

Geffon tersenyum sinis. Ia menaiki tangga yang menjulang, mendekati

Gouduge. Percikan bunga api yang berwujud naga mengitarinya dengan sangat

waspada. “Telah dilaksanakan, Yang Mulia.”

“Putra mahkota pembesar kegelapan juga telah bangkit. Hari ini kita

benar-benar menang.” Para makhluk hitam saling bersuka cita sambil

memukul genderang, beberapa diantaranya menggesekkan kukunya ke lantai

dengan suara sungguh memilukan.

“Putraku akan datang padaku. Persiapkan semua penyambutan karena

tak lama lagi ia akan berdiri di sampingku.”

Sesosok yang bertubuh besar menyelinap cepat dengan pakaiannya

yang serba kaku dan berat. Ia mencabut pedang yang menempel di sela-sela

kantong kulitnya. Ia mengacungkan Naigan diiringi cipratan darah yang

berasal dari kulit pahanya yang mengelupas.

“Bisolgedhi!” sapa Gouduge nada mengejek. “Keabadianku mencapai

sempurna. Tak lama lagi Periopollux akan musnah termasuk pewarisnya.

Kejayaan datang bagi kita cepat atau lambat pada masanya.”

Bisolgedhi menunduk patuh lalu memunggungi sang pembesar

kegelapan sambil mengibaskan pedangnya seperti membelah udara yang

hambar. Dua hantu terhempas dari pedang yang menghunus di hadapan

Geffon. Mereka terpelanting dan terseret beberapa meter dengan protoplasma

redup.

“Apa ini yang kau sebut-sebut sebagai kunci terakhir?” Nankai

Gouduge mengitari dua hantu tak berdaya itu. “Tawanan yang manis,” celanya.

Bisolgedhi terbahak. ”Mohon maaf Yang Mulia, hanya tawanan ini

yang bisa dipersembahkan.”

“Mereka bisa menjadi alat untuk menguasai Snowvus. Aku akan

mengambil alih kekuasaannya. Bukankah kudeta itu sangat menyenangkan?”

Gouduge terbahak dengan suara melengking. “Hantu ini sudah tidak memiliki

pikiran. Aku telah menguasai elemen kesadarannya.”

147

Page 149: Halmahera , the ghost

“Apa kau akan menyerahkan tugas selanjutnya padaku?” kata

Bisolgedhi seraya menancapkan pedangnya ke bumi. Ia berlutut dengan wajah

sangat menunduk hingga dagunya hampir menyentuh dada.

“Akulah kekuatan terbesar, maka perintahku adalah keharusan

untukmu,” jawab Gouduge dengan nada mencela.

Geffon berjalan cepat mendekati Coda. Ia tidak berkata apa-apa dengan

mulutnya. Namun hantu itu mendengar getaran yang perlahan menyentuh

gendang telinganya.

“Gadis ini akan baik-baik saja jika kau mengikuti setiap petunjukku.

Aku akan menjadikanmu emperor dan mengalihkan kuasa atas Periopollux

padamu. Bersiaplah.”

Coda tak sanggup berkata, sesuatu mencengkeram lehernya. Angannya

terbenam begitu cepat, kekalutan menyerap serdadu di otaknya dan segalanya

serasa berputar seperti ada yang menyedot dengan beringas.

148

Page 150: Halmahera , the ghost

Bab 24

Setetes Tinta Yang Mengeruhkan AirNaydelin dan Coda terhempas diluar kendali mereka. Dua hantu

lainnya saling melongok, ingin mengetahui apa yang baru saja terjadi.

“Aku tidak yakin jika mereka benar-benar jatuh dari langit.” Hayden

mendesah.

“Tapi gaya tarik bumi sangat kuat, Hayden,” sela Pedro.

“Bukan itu maksudku, dasar bodoh,” omelnya dengan menyeringai.

“Pedro...P-Pedro hentikan ...”

“Bodoh adalah musuh terbesarku!” Pedro meremas bahu Hayden.

“Lalu mengapa kau sebut aku bodoh?”

Hayden nyengir berharap Pedro hanya bermain-main dengannya. Tapi

ia mendapati mata hantu itu membesar dengan alis terangkat tinggi. Pedro

meraung seperti singa betina yang anaknya dirampas.

Hayden melolong saat Pedro menghempaskannya seperti tehnik

melepas anak panah dari busurnya. Ia terpental menembus dinding, menabrak

meja tanpa bunyi berdebam, lalu mendarat di bawah gorong-gorong kompor.

Si hantu dapur, Hack, menyalak ke arah Hayden. Ia memukuli Hayden

dengan kulitnya yang penuh angus.

“Kau menghancurkan istana Ike!” raungnya. Ia menyeret Hayden

dengan susah payah lalu menaruhnya di atas trolly miliknya.

149

Page 151: Halmahera , the ghost

“H-Hei, Aku bersumpah ini bukan salahku ...” Hayden sibuk

memprotes, tapi Hack telah mendorong trolly itu. “Aakuu akan membalassmuu

...”

Hayden melolong di atas trolly. Ia meluncur menembus semua benda

yang menghalangi jalannya. Tubuhnya yang gemuk tidak dapat memperlambat

laju benda itu.

“Hayden, maaf aku tidak bermaksud...” Pedro berkata menyesal.

Otaknya serasa kaku, ia hanya berdengung saat Elfgog nyaris tertabrak trolly

yang meluncur kesetanan.

Si kucing Persia melenggang dengan ekor tegak. Hewan itu mengeong

galak, matanya terbeliak melecut ke arah Hayden yang nyaris menabraknya.

Suara berdencit merobek kesunyian malam itu. Trollynya berhenti tanpa

negosiasi. Bergeming. Hayden terpelanting lalu menggelinding menembus

pintu keluar.

Pada masa yang bersamaan Eric dan Jove muncul dari balik jendela

yang tertutup. Mereka terheran-heran menyaksikan Hayden yang berguling

dengan histeris.

“Ouh, kuharap dia baik-baik saja,” keluh Pedro putus asa.

Elfgog melompat dari langit-langit lalu duduk di atas tongkatnya agar

dapat menggapai telinga Pedro. “Tenang saja mungkin dia hanya mendarat di

kandang ternak sebelah.”

“Omong-omong siapa kau nak?” kata Elfgog dengan hati-hati.

“Jove.”

“Hanya Jove?” tanya Pedro.

Jove mengangguk.

“Boleh aku tahu dari klan mana kau berasal?” Elfgog memicingkan

matanya. Tongkatnya berkeretak ketika hantu itu melompat mendekati Jove.

Kantung matanya yang menjumbai kebawah seakan turut berharap.

Jove menggeleng. “Aku tidak tahu siapa keluargaku.”

“Aku seperti mengenalmu.” Elfgog berkata hambar nyaris tanpa

intonasi.

150

Page 152: Halmahera , the ghost

“Apa yang terjadi disini?”

Eric melompat mendengar suara itu. Matanya menyusur setiap sudut

ruangan. “Naydelin...Aku tidak salah dengar...” Ia menyongsong gadis itu dan

memeluknya.

“Aku selamat karena Coda...” kata Naydelin seraya berbisik.

Lengannya melingkar erat pada leher Eric. “Dia yang selamatkan aku.”

Eric melecutkan pandangan pada Coda. Pemuda itu balas mengangguk

pada Eric. Sebuah lemari jam yang sangat kuno berkeretak. Pendulumnya

bergerak perlahan. Ketika jarum pendeknya berhenti tepat pada angka tiga,

bunyi lonceng bergaung tiga kali. Dalam detik yang bersamaan Eric berjengit.

“Seperti ada sinergi magis,” katanya setelah menatap tajam mata Coda. “Ada

yang tersembunyi dibalik pintu yang bersegel.”

Segalanya terdiam dengan pikiran masing-masing. Jove memicingkan

mata ke arah Naydelin. Dahinya berkerut tegang, sementara mulutnya

bergeming tanpa ada suara yang muncul berbondong-bondong.

Seorang gadis berambut coklat yang mengenakan piyama menuruni

tangga dengan cepat lalu berhambur ke dapur dan keluar dengan segenggam

serbuk putih. Mulutnya bergetar seakan sedang merapalkan sebuah mantra. Ia

mondar-mandir di depan pintu dengan kecemasan membingkai wajahnya.

Buru-buru dia membuat simbol lingkaran bersiku yang saling berhimpit

dengan serbuk putihnya.

Naydelin menggeleng. Ia bangkit memunggungi Eric dengan plasma

yang meredup. “Aku pikir sudah saatnya.”

“Nade, k-kau ...Apa yang akan kau lakukan? Kau ingin menakuti

Flori?” Eric berusaha menghalaunya namun terlambat.

Hayden muncul dengan terhunyung-hunyung dari balik dinding. Ia

terbeliak mendapati Naydelin telah bertransformasi dalam wujud satanic yang

sebenarnya.

“Hei, Flori bisa jantungan melihat wajahmu...” Hayden hendak

menyambar bahu Naydelin tapi Coda mencegahnya. “Apa yang kau lakukan?”

“Apa-apaan ini?” protes Eric.

151

Page 153: Halmahera , the ghost

“Ia akan menampakkan diri di depan Flori...” gonggong Hayden sambil

bersusah payah melepas cengkeraman Coda.

Elfgog memukulkan tongkatnya ke lantai hingga tempat itu

berguncang. Hack, si hantu dapur, terpelanting menembus dinding lalu

berhenti setelah membentur perabot kapal selamnya. Hayden, Pedro, Coda dan

Jove membungkuk sambil melindungi kepalanya masing-masing dengan

tangan ketika seluruh perabot Hack meluncur brutal dan berjatuhan menimpa

si hantu dapur itu. Flori memekik ketakutan, ia menutup wajahnya dengan

kedua telapak tangan yang gemetaran.

Naydelin melecutkan pandangan ke arah Elfgog. Tiba-tiba dia tertawa

melengking. Diam lalu kembali berucap dengan meledak-ledak. “Aku tidak

tahan lagi dengan sandiwara ini. Semuanya...kau (menunjuk Elfgog), kau

(menunjuk Flori), dan...kau (matanya memburu Eric).”

“DIAM!”

Elfgog menggertak dengan suara melengking yang mampu membuat

Hayden meloncat panik.

“Flori...” bisik Eric sambil bertransformasi menjadi manusia. Ia

mendekap gadis itu dan merasakan detak jantungnya yang berdegup bertubi-

tubi. “Tenanglah. Aku Eric Ghobadi dan kau adalah satu-satunya saudara yang

masih kumiliki. Aku bersumpah akan melindungimu, kau adalah Ghobadi

terakhir yang masih hidup. Aku tidak percaya ramalan, tapi aku tidak akan

membiarkan…”

“Dusta! Dia bukan…”

Elfgog cepat-cepat menyumbat mulut Hack dengan tongkatnya. Eric

melecutkan mata pada si hantu dapur yang membalasnya dengan gelengan

bertubi-tubi.

Sebuah kitab lusuh berukir simbol yang rumit meluncur dari saku

mantel Eric kemudian menjeblak seolah ada yang membuka dan membalikkan

halamannya dengan kasar.

Eric melompat mundur satu hasta. Hayden merapat pada Pedro. Setelah

segalanya tenang Eric mendekat dengan kaki berjingkat diikuti Jove dan Coda

152

Page 154: Halmahera , the ghost

dibelakangnya. Elfgog yang bertubuh mungil turut menyeruak sambil

bergumam. “Demi pencipta langit, yang tertulis di Poinsettia ini adalah benar.”

Coda mengernyitkan dahi. Ia bersusah payah membaca simbol acak

yang terbalik dan tak beraturan. “Tulisan apa ini, eh?” Ia menyikut rusuk

Pedro.

Pedro menggeleng dengan enggan. “Rumus kimia molekul tidak

serumit ini.”

“Hanya yang diizinkan Poinsettia yang bisa membacanya,” kata Elfgog

sambil menutup matanya. “Ayolah Ghobadi, aku ingin mendengarnya apa

yang dikatakan Poinsettia.”

Eric menyahut dengan gusar. ”Aku sama sekali tidak merasa hebat

menjadi yang terpilih yang bisa membaca benda brengsek itu.”

“Luar biasa emosional,” hardik Elfgog sambil melecutkan matanya

pada Eric. “Kau memang belum pantas untuk menjadi hebat.”

Eric tampaknya tidak peduli dengan ceramah yang dilontarkan Elfgog.

Ia hanya menatap mata Flori yang juga menatap dirinya dengan ketakutan.

“Butuh waktu lama untuk mencarimu dan kini aku menemukanmu, meski

dalam keadaan yang berbeda. Aku bukan lagi manusia sepertimu. Tapi tak

masalah.” ujar Eric dengan lirih. Ia menggenggam tangan Flori lalu

meletakkannya dilehernya. “Kau masih ingat syal ini? Kau yang

memberikannya padaku sesaat sebelum aku meninggal. Dan kita memiliki

kalung angsa biru yang sama. Orang tua kita pasti akan senang jika mereka

tahu aku sudah menemukanmu, kita akan bersama-sama lagi.”

“Eric seharusnya kau tahu...” Naydelin terisak. Air matanya bergulir

hingga membasahi lehernya. “Sebenarnya aku…” Ia tak sanggup

menyelesaikan kalimatnya.

Elfgog membanting tongkatnya ke lantai. Naydelin menunduk putus

asa di depan Poinsettia.

“Aku yang akan membaca ramalan poinsettia.”

“Kau?” Hayden melecutkan mata pada Naydelin. “Hanya Eric yang

bisa membacanya, kau paham itu?”

153

Page 155: Halmahera , the ghost

“Yang benar hanya mereka yang diizinkan yang bisa membacanya.”

Elfgog mengoreksinya. “Mereka yang terpilih.”

Hayden menyeringai putus asa.

“Saat bulan bersembunyi dalam serpihan keabuan mereka akan datang

dengan bersekutu untuk melakukan perlawanan dengan mengendalikan waktu.

Siapapun pada saat itu berdalih pengecut adalah lebih terhormat dari pada

lenyap sia-sia ke dunia tanpa batas. Ghobadi baru akan bangkit sebagai

pewaris Periopollux yang Agung. Ketika pemberontakan tersingkap,

penyesalan berkobar dan kaum yang lenyap berjatuhan meski tidak sia-sia.

Kebenaran laksana racun sementara dusta laksana madu yang memberkahi.

Harapan adalah pengabdian terakhir yang merengkuh siapa saja yang mencari

perlindungan kebenaran.” Naydelin berhenti sejenak. Ia menatap tajam Eric.

Semenit kemudian gadis itu kembali sibuk dengan Poinsettia. Bibirnya

bergerak, sambil bersuara parau, matanya menyusur setiap huruf dalam kitab

itu. “Ghobadi yang terakhir yang masih hidup akan memberikan kekuasaannya

pada ia yang telah diberikan janji padanya. Dan mereka pun tercerai satu sama

lain untuk saling melawan.”

Naydelin tak sanggup menahan air mata yang perlahan meleleh

melewati sela-sela kantung matanya. Ia melontarkan tubuh pada dinding kokoh

dibelakangnya. Hantu itu terisak sambil mencengkeram rambutnya dengan

emosi meletup.

Coda mendekap Naydelin. Tampak sekali ia berusaha keras

mendamaikan perasaan gadis itu. “Tenangkan dirimu. Ramalan itu terlalu

kacau untuk dimengerti.”

“Semua sudah jelas. Masa itu telah datang. Mantra penyembunyi tak

lagi berfungsi. Sekutu pembesar kegelapan mendekat.”

Elfgog mengerut kening mendengar setiap jengkal kata Naydelin

namun sedetik kemudian dia terbeliak lalu melesat menuju jendela dengan

panik.

“PERGI! BERGEGASLAH…” Elfgog menghentakkan tongkatnya

berkali-kali namun semua bergeming.

154

Page 156: Halmahera , the ghost

“Ada apa sebenarnya?” Eric dan Pedro melolong bersamaan.

“Ada yang tidak beres di sini.” Jove menyahut tanpa bermaksud

menjawab pertanyaan Eric dan Pedro.

“INI MUSTAHIL. SEGEL PENYEMBUNYI TELAH DIBUKA.

JEMAAH KEGELAPAN MENEMUKAN PERSEMBUNYIAN GADIS INI!”

Bab 25

TerjebakTempat itu hampir roboh diterpa angin liar yang meliuk bagaikan

bomerang tajam. Langit meredup lalu berubah gelap seperti ada yang

melempar kain pekat yang lusuh di atasnya. Beberapa pohon merapuh tercabut

dari akarnya dan seluruh hewan di peternakan sebelah beterbangan seperti

bulu.

Derap ribuan kaki kuda terdengar diantara gemuruh yang bersahutan.

Udara berkelebat serasa mendesis pilu dengan lolongan keresahan yang

melengking memuakkan.

Seluruh kaca pecah berkeping-keping seolah ada yang memberi

tekanan luar biasa. Eric mendekap Flori yang nyaris terseret angin, sementara

kakinya dicengkeram oleh Hayden. Naydelin dan Coda bekerja keras saling

memegangi kaki Hayden yang besar.

“Jemaah kegelapan datang!” lolong Hack sambil mendekap panci

gosong kesayangannya. Ia bertahan dengan kaki yang melilit pada peti besi

miliknya.

Jove dan Pedro berpegang erat pada tiang kayu yang masih berdiri

kokoh dengan kaki yang berkibar seperti bendera. Elfgog lebih memilih

bertahan dengan tongkat yang menancap pada lantai.

Sang kucing persia meloncat seperti hendak menerkam mangsa yang

lebih besar darinya. Hewan itu bertransformasi menjadi kuda perak yang

155

Page 157: Halmahera , the ghost

sungguh-sungguh cantik. Sayapnya terbentang molek dengan bulu-bulu halus

yang bercahaya.

“Dia Ocupant!” Pedro memekik tidak percaya. “Luar biasa. Bahkan

aku belum pernah bertransformasi sekalipun.”

Naydelin berujar dengan susah payah sambil menahan Hayden. “Kau

juga harus bertransformasi, Pedro...”

Kuda itu melesat lantas menyambar dada Eric sementara Flori

menggantung lunglai dalam dekapannya. Hayden kehilangan

keseimbangannya, ia terpelanting dan nyaris hilang jika tongkat Elfgog tidak

benar-benar gesit melingkari perutnya.

Elfgogh melompat lincah ke punggung hewan itu. Ia berdiri sambil

menyeimbangkan diri di belakang Hayden yang sedang merangsek Eric

dengan gemetaran. Flori merebahkan tubuhnya yang lemah ke dada Eric

sementara lengannya melingkari leher hantu itu.

Coda meloncat cepat meraih Nade yang nyaris terpelanting. Mereka

berguling setengah senti diatas lantai. Angin yang sangat ganas nyaris

memisahkan mereka. Setengah detik dalam waktu yang sangat berharga, Pedro

bertransformasi menjadi elang berwarna hitam sepekat malam. Ia menyambar

Coda dan Naydelin dengan cakarnya.

Jemaah kegelapan menghantam malam, melayang dan membumbung

bagai asap yang bergerak liar menyerang apapun di sekelilingnya. Tanah yang

mengatup tenang bersama rumput yang tertidur tiba-tiba retak seperti ada yang

membelahnya dengan culas.

Pedro menukik lalu menyumbat Hack dengan mulutnya. Si hantu dapur

itu mendengus dengan berurai air mata. Panci gosong kesayangannya lenyap

diserbu angin ganas. Tangannya melambai kepayahan seperti hendak

menggapai kekasihnya.

Jove terseok. Ia bersusah payah menahan diri melawan arus yang

seolah ingin memberangusnya dari bumi. Pedro melesat lalu memutar

tubuhnya dengan serta merta Jove merangsek diantara bulu-bulu yang tertanam

kuat dipermukaan kulit. Ia berusaha mendaki perlahan hingga mencapai leher

156

Page 158: Halmahera , the ghost

Pedro. “Sebelumnya aku pernah ditimpa bencana seperti ini. Tapi yang ini jauh

lebih mengerikan,” kata Jove dengan berteriak agar Pedro bisa mendengarnya.

Pedro terperanjat ketika matanya yang tajam melihat tanah dibawahnya

digempur membabi buta oleh sekutu pembesar kegelapan. Si kuda perak yang

melesat mendahului Pedro mendadak berhenti lalu berbalik arah dengan

kecemasan yang berkecamuk.

“Berputar ke arah jam tiga,” serunya pada Pedro dengan panik.

“Celaka! Mereka mengepung kita!”

Asap gelap yang berpilin datang berarak dengan disertai suara yang

bergemuruh. Elfgog mengayunkan tongkatnya yang memanjang dalam sekejap

dan membelah asap yang menyerbu liar. Tongkat itu berputar sangat cepat

melawan arus angin dari timur. Ia menggeleng seakan sedang memberitahu

dirinya sendiri. “Jemaah kegelapan telah menguasai semua akses wilayah di

bumi ini. Dan kita telah terperangkap dalam wilayah kekuasaan mereka.”

“Kau salah satu utusan dewan keamanan, pak tua,” omel kuda itu

dengan tidak sabar. “Dan ini adalah wilayah kendalimu.”

“Aku hanya bertanggung jawab mengawasi seorang manusia,” bantah

Elfgog dengan meletup.

Eric menggigit bibir menahan dadanya yang tiba-tiba sakit seperti

dihujam dengan pedang berkarat bertubi-tubi. Telinganya berdengung seolah

ada makhluk yang berteriak di dalamnya. Sementara kepalanya serasa mau

pecah. Sesuatu membayangi pikirannya dengan kekalutan pertempuran yang

membabi buta.

“Ada seratus ribu dewan keamanan dan prajurit tangguh di

Snowvus...dan, eh kenapa kita tidak menyelamatkan diri ke Snowvus? Dasar

bodoh,” lagi-lagi kuda itu mengomel sambil menghentakkan kakinya di udara.

“Akses cermin kemana saja telah disegel,” protes Elfgog. Ia tampak

sangat kelelahan menghalau asap gelap yang selalu ingin menerkam mereka.

“Hanya Blasxing satu-satunya cara meloloskan diri...” desak Eric

dengan tak sabar.

“Blasxing?”

157

Page 159: Halmahera , the ghost

“Terlalu beresiko,” raung Elfgog. Ia hendak mencegah Eric lebih cepat

tapi ia terlalu letih untuk melakukannya. Hantu itu berhasil melakukan

Blasxingnya yang pertama. Blasxing standart kasar, demikian mereka

menyebut Blasxing spontan yang tidak terkontrol. Serabut-serabut mencuat

menyambar Eric beserta si kuda perak dan seluruh penunggangnya, serta Pedro

dan hantu lain yang menyertainya.

Eric mendesah, “bawa kami semua ke Snowvus, sekarang”

Eric merasakan tarikan kuat dan sangat cepat menyelubungi tubuhnya.

Ia mendekap Flori dengan kepayahan akibat tekanan dahsyat yang

menyebabkan ia terpelanting.

Teriakan, hujatan, dan gesekan pedang yang dibentur-benturkan ke

dinding membangunkan Eric dalam sekejap. Ia mendapati dirinya berada di

belakang pasukan hantu siap tempur yang jumlahnya ratusan ribu.

Flori mencengkeram lengan Eric dengan ketakutan. “Apa aku sudah

mati?”

Eric menggeleng. “Dunia ini menantimu, semua yang kau butuhkan ada

disini. Aku akan melindungimu...”

Gadis itu menangis dengan peluh yang perlahan mengalir melewati

relung matanya. Ia menerawang dengan segala pikiran yang mengikatnya.

Dengan terbata-bata ia mengatakan, “S-sebenarnya aku bukan…” Flori tiba-

tiba terkesiap seakan teringat sesuatu yang menakutkan. Keringat dingin

perlahan menyembul dari dahinya. “Ada kebenaran yang disembunyikan

dibalik punggung dan semua itu membuatku terlibat di dalamnya.”

“Semua sudah jelas!” bantah Eric “Kau Flori keturunan Ghobadi.”

“Aku akan menyatakan yang tersembunyi dibalik semua ini ...”

Flori menjerit. Sebongkah bola api mendarat di depan mereka. Eric

cepat-cepat mengawal Flori pergi dari tempat itu.

“Hei!” sebuah suara meraung mengagetkan. “Setelah duduk di atas

perutku, sekarang kalian meninggalkanku tanpa daya ...”

“Hayden, sejak kapan kau disini?”

158

Page 160: Halmahera , the ghost

Hayden menggeliat kepayahan. Eric menolong menarik perutnya yang

tergencet hingga hampir sama rata dengan tanah.

Flori menjerit. Kali ini anak panah api yang berwujud ular telah

menerkamnya jika Elfgog tidak menangkis dengan tongkatnya.

“Cepat menyingkir dari tempat ini!” perintah Elfgog berulang-ulang. Ia

memukul balik anak panah ular itu seperti sedang bermain Baseball.

Eric, Flori dan Hayden berlari kepayahan di tengah hiruk pikuk ksatria

berkuda. Hewan itu meringkik liar sambil menghantamkan kakinya ke bumi

menghindari air yang datang bergulung-gulung dan siap mencengkeram

apapun yang menghalanginya. Teriakan melengking mengiringi suara ledakan

yang datang dalam sekejap. Bola pelindung yang mengelilingi Snowvus pecah

berkeping-keping.

Langit gelap terbelah menampakkan gerbang kelam yang agung

membuka dengan menghembuskan hawa ketakutan hingga hati hampir terlepas

dari tempatnya. Rumput plasma yang teduh, kering kerontang melihat

kenyataan ini. Pepohonan berlari tunggang langgang beserta seluruh serabut-

serabutnya yang menjalar bermeter-meter.

Tanah bergemuruh seperti hendak mengeluarkan benda yang sangat

berat dari perutnya. Laut hitam surut bagaikan ada yang menyedotnya dengan

rakus lalu secara mengejutkan perairan itu menumpahkan makhluk-makhluk

hitam berbadan pendek, rambutnya hanya berjumlah lima helai, dan tangannya

lebih panjang dari tubuhnya, kulitnya bersisik menjijikkan, sementara jari-

jarinya runcing seperti pisau.

“CELAKA!” rengek Hayden sambil menggapai lengan Eric yang

berlari terlampau cepat di depannya. “Makhluk pendosa yang dikubur

diperairan itu bangkit. Mereka sekutu pembesar kegelapan.”

Eric menoleh ke arah timur laut dan ia mendapati cahaya putih

menampar sudut-sudut kegelapan. Sayap putih seakan menaungi Snowvus.

Bulu-bulu kecil berjatuhan menembus plasma lalu menghidupkan rumput dan

bunga yang sebelumya mati ketakutan. Makhluk-makhluk hitam melolong

murka, kakinya yang mungil meleleh dan matanya menjadi buta.

159

Page 161: Halmahera , the ghost

“Pedang yang agung,” kata Eric dengan kekaguman yang tampak sekali

menyembul pada wajahnya.

Ribuan pedang itu saling menangkis. Hayden terlonjak kaget, ia

memekik histeris “Emperor! Para Emperor menyatukan kekuatannya.

Periopollux akan bangkit!”

Beberapa masa selanjutnya terdengar suara bergemuruh. Laut hitam

yang surut tiba-tiba menyemburkan airnya dengan satu kali terjangan diiringi

munculnya para burung raksasa yang berbulu hijau lebat. Makhluk itu

berparuh dan bercakar emas menyilaukan, matanya mengkilat kejam,

sementara hidungnya menyedot kuat-kuat mangsa di depannya.

“LINDUNGI WANITA ITU!” Elfgog meraung mengejutkan Eric

Dalam waktu yang sangat singkat, burung culas itu menyambar Flori

menggunakan cakarnya. Eric melesat dengan panik mengejar Flori, tangannya

meraup tanah lalu disemburkannya ke arah makhluk itu.

“Poppo tidak akan melepaskan mangsanya...” kata Hayden sambil

melempar sebilah pedang pada Eric. Ia buru-buru pergi sebelum ksatria prajurit

yang sangat senang menggantungkan puluhan pedang di atas punggung kuda

itu menyadari benda kesayangannya itu lenyap secara tak wajar.

Eric mendapati Pedro yang bertransformasi menjadi elang lalu

bergegas melompat ke punggung Pedro.

“Apa aku terlihat keren?” tanya Pedro dengan bangga

“Yiah ... tapi bukan saatnya untuk menanyakan hal itu”

“Aku tahu.” Pedro melesat menyelusur kaki-kaki langit, sementara Eric

menebas Poppo dengan pedang yang ternyata sangat berat saat diayunkan.

Makhluk buas itu mengerang ketika Pedro menorehkan banyak luka di

punggung hewan itu dengan cakarnya.

Eric melompat bersama pedang perak yang mengacung ke bawah.

“Hati-hati dia bisa mengamuk ...” belum sempat Pedro menelan kata-

katanya, Eric telah membenamkan pedangnya diantara daging punggung

makhluk itu.

160

Page 162: Halmahera , the ghost

Eric mengira Poppo akan melepaskan Flori dari cengkeramannya. Alih-

alih burung ganas itu memekik memuakkan lalu gerombolan lainnya datang

dari segala penjuru dengan tergopoh-gopoh.

“Aku harus menyelamatkan Flori,” protes Eric pada Pedro yang

menyuruhnya menyingkir. Ia mencabut pedangnya dengan susah payah.

Burung ganas itu kesakitan dibuatnya, ia meraung dan memberontak dengan

liar hingga menerjang kastil dengan membabi buta.

Poppo meruntuhkan dinding dan pilar yang menjulang dalam sekali

terjangan. Para prajurit yang bernyali kecil berhamburan menyelamatkan diri.

Elfgog melecutkan tongkatnya ke arah gerombolan Poppo lain yang bekerja

keras memburu Pedro. Mereka menyerang balik dengan mengibaskan sayap

yang melontarkan hawa panas.

“BENCANA TELAH TIBA!” Jerit melengking menyeruak di tengah

desah kekhawatiran. Langit tersobek tidak pada diagonalnya, porosnya

mengerut seperti ada sesuatu yang meremasnya, benda berat meluncur

membabi buta dari dalamnya lalu membakar tanah.

“KUMPULKAN KEBERANIAN KITA, LINDUNGI TANAH

KEHIDUPAN INI SELAMANYA, RUNTUHKAN JEMAAH KEGELAPAN

DAN PENGUASANYA.”

Eric terperanjat mendengar suara kakeknya yang penuh ambisi

meluncur di tengah huru-hura kepanikan. Laut hitam terangkat ke langit hingga

menyisakan makhluk-makhluk hitam pendek dengan tangannya yang panjang.

Rambutnya hanya lima helai, telinganya mengatup rapat seperti kerang, ia

tidak memiliki lubang hidung, sementara bibirnya terbentang sangat lebar di

wajahnya.

Laut hitam yang mengering membelah perlahan bagaikan serabut yang

rumit. jaringan jemaah kegelapan berhasil menembus Snowvus melalui media

yang tak diketahui. Makhluk kelam berkerut dengan kepala nyaris berbentuk

segitiga berhamburan melesat secara brutal.

“SERANG!” Quarenci melecutkan kedua tangannya ke depan. Pasukan

dengan kereta kuda melesat sambil mengacungkan pedangnya secara membabi

161

Page 163: Halmahera , the ghost

buta ke arah jemaah kegelapan. Para serigala jelmaan Ocupant menerabas liar

sambil menerkam mangsanya lalu mencabik tanpa perasaan. Ksatria berkuda

mencari celah meruntuhkan musuhnya dengan strategi perang yang

mengesankan.

Hayden menerobos kumpulan hantu yang berkelebat menyelamatkan

diri. Api yang meletup dan anak panah yang terbakar mendarat mulus

dipinggir jempol kakinya membuatnya memekik terkaget-kaget.

Snowvus memuntahkan rantai api yang menyalak, membelit air laut

yang mengental di langit. Perlahan cairan sangat dingin menetes dari langit

semenit kemudian jatuh beramai-ramai menghujam tanah. Para makhluk hitam

panik menyelamatkan diri dari kepungan air yang menerkamnya dan

membuangnya ke tempat pesakitan.

“Eric...” Hayden melolong panik. Ia terguling dihantam cairan dingin

yang datang bergulung-gulung. “Eric...” Ia mendesah lagi.

Hayden meronta saat perutnya disambar sesuatu. “Lepaskan aku, ooh,

kumohon aku masih ingin hidup. TIDAAK! TOLOONG…”

“Kau bisa diam sebentar saja?” kata Pedro dengan sengit “Atau kau

kujatuhkan sekarang?” Ia meregangkan cakarnya dan Hayden merosot

beberapa meter ke bawah. Hayden mengiba. “Oh, jangan siksa aku sobat.”

Pedro tergelak tapi hanya lengkingan panjang yang terdengar. Ia

berkonsentrasi menghindari ksatria Ocupant setengah elang yang banyak

berkelebat diangkasa untuk menaklukkan para Poppo yang semakin ganas

setelah salah satu diantaranya terbunuh ditangan Eric.

Langit semakin mengerut. Para makhluk hitam melolong menyambut

sosok yang sedang mencengkeram pedang perak yang membuat para hantu

berjengit tanpa henti.

“BISOLGEDHI ...” raung Hayden disambut kericuhan yang

menggelegak. Para hantu berkelebat tunggang langgang menyelamatkan diri.

“Eric ... dimana Eric?”

“Aku sedang mencarinya,” desah Pedro.

“Bukankah dia tadi bersamamu?”

162

Page 164: Halmahera , the ghost

“Ia menghilang begitu saja.” Pedro membela diri.

Hayden membungkam mulutnya rapat-rapat. Matanya yang luar biasa

sipit terbeliak seperti gorden. “Di bawah terlalu ricuh, aku tidak bisa

melihatnya dengan baik.”

“Bersiap mendarat...” kata Pedro sambil menukikkan kakinya

“APA?”

Hayden terkaget-kaget tapi belum sempat ia memprotes Pedro telah

melepas pegangannya. Ia terlempar, terseok, menggelinding seperti bola,

kemudian menabrak kaki yang sangat kaku tak indah.

Ia memberanikan matanya menyelusur ke atas dengan perlahan.

Kematiannya serasa akan terjadi lagi. Ia mendapati Mame Granyo berdiri

mematung terlihat sedang luar biasa ketakutan melihat sesuatu. Sepertinya dia

tidak terkejut saat Hayden menabrak kakinya, tapi tampaknya ada sesuatu yang

membuat raganya tak ada tanda kehidupan.

Sesuatu menyambar bahu Hayden dengan tiba-tiba. Ia lalu berdiri

dengan terhuyung. Pedro mendesis.

“P-Pedro situa tengil ini ...” Hayden berkata dengan terbata. Meskipun

ia telah bertransformasi menjadi hantu normal, Hayden masih merasakan sinar

kebuasan dari matanya. “Apa dia baik-baik saja?.”

Pedro menggeleng lemah. “Aku pikir yang di sana jauh lebih

dramatis.”

Hayden menoleh ke arah mata tajam Pedro memandang. Ia nyaris

memekik tanpa suara.

Geffon membelit leher Flori dengan tongkatnya yang menggeliat

seperti ular. Gadis itu nyaris sesak nafas, mulutnya membuka, sementara

lidahnya terjulur keluar. Eric terpental ketika melewati ambang zona lingkaran

yang mengelilingi Geffon dan Flori. Ia meraung marah, menyambar pedangnya

yang tersungkur di tanah, bersama gejolak emosi yang meletup ia menerjang

dan menghujamkan pedangnya ke arah peramal itu. Lagi-lagi dia harus terima

tubuhnya terpelanting dengan luka bakar dibahunya. Ia bangkit dengan

163

Page 165: Halmahera , the ghost

bersandar pada pedangnya. Matanya bergetar ikut merasakan gejolak amarah

yang berkecamuk luar biasa.

“Aku tidak terima dengan semua ini,” Eric memutar pedangnya lalu

bersiap mengayunkannya seperti teknik melempar tombak ke arah hewan

buruan. “Kau yang pertama kali pantas untuk kubunuh!”

“ERIC…”

Naydelin menubruknya sebelum Eric sempat melempar pedangnya.

Mereka tersungkur menghujam tanah yang terbakar.

“Dasar Bodoh! Apa yang akan terjadi jika pedangnya melompat balik

ke arahmu. Kau bisa musnah terbakar...”

“Apa pedulimu,” sembur Eric dengan suara yang bergetar. “Aku tidak

akan bisa memaafkan diriku jika Flori harus mati terhina di tangan peramal

itu.”

Naydelin menampar Eric. tampaknya ia sedang menahan berliter-liter

air dimatanya. “Kau salah. Selama ini kau salah mengerti. Tapi aku tidak

pernah menyesal mengorbankan segalanya demi kau!”

“Kau naksir aku?” suara Eric melompat dengan sinis.

Naydelin tak berkomentar apapun. Ia menyambar pedang yang

tergeletak di samping lengan Eric.

“Hei, apa yang kau lakukan?” teriak Eric tidak sabar “Biar aku yang

melakukannya sendiri. Dia kakakku.”

Eric hendak merebut pedang itu tapi Nade menggunakan sihir untuk

mendorongnya hingga terjatuh.

“Kau tidak tahu apa-apa tentang siapa yang kau perjuangkan,” Nade

mengacungkan mata pedangnya keleher Eric. “Seharusnya aku menyadari dari

awal dan menolak konspirasi ini karena kau terlalu bodoh untuk memahami

semua yang terjadi.”

“Aku tidak punya banyak waktu mendengar pidatomu. Apa kau ingin

melihat orang yang kau sayangi dibunuh peramal tak berperasaan itu? Apa kau

tahu, eh? Dialah yang merencanakan kematianku. Dan kini giliran Flori ...”

“CUKUP”

164

Page 166: Halmahera , the ghost

Naydelin mendorong Eric dengan sihirnya lagi hingga tersungkur di

tanah lalu dilemparnya pedang itu ke arah Geffon dengan membabi buta.

Benda itu berdesing seperti menabrak logam yang tak terlihat, kemudian dalam

sekejab terpelanting kembali ke arah pelemparnya.

“NAYDELIN ...”

Coda menubruk tubuh Naydelin, pedang itu melesat nyaris mengenai

kepala Coda (beberapa helai ujung rambutnya terbakar). Mereka berdua jatuh

di atas tanah diiringi percikan api yang berasal dari pedang perak yang

menancap di tanah.

“Seharusnya kau berkorban untuk dia yang dapat mengukur nilai

pengorbananmu.” Coda mendesis sambil menatap tajam ke arah Eric. Eric

menduga mata Coda bisa meloncat menancap ke arahnya kapan saja.

Getaran tiba-tiba merantakkan tanah, dentingan pedang dan ledakan

kesakitan saling berkejaran dan semakin menyayat hati. “Perang tidak

seimbang ...” Arturus melecutkan pedang Naisopollux-nya. Ratusan percikan

api yang menyerupai serigala menerkam makhluk hitam yang bertanduk

lengkung.

Sesosok Satanic melangkah kecil dengan irama yang sangat cepat, ia

melontarkan anak panah dengan busur emasnya yang kokoh. Sebuah anak

panahnya melesat seperti api yang menyerupai burung elang lalu menerkam

puluhan makhluk hitam yang mendesis kepadanya.

Nade menyambar pedang perak yang terpekur di dekatnya

“Eric...” Nade melempar pedang ke arah Geogle itu. Ia tertawa ganjil

ketika Eric menerimanya dengan gugup. Ia bernyanyi kecil dengan suara

dalam yang menghentak di dalam dada Eric.

Karena ia telah tahu semuanya,

Ia menolak yang lain, meski

Aku telah melampaui sedikit waktu untuknya

Dibalik itu ia tetap tidak tahu

Sebenarnya aku merintih, tapi

165

Page 167: Halmahera , the ghost

Ia membiarkanku memahami

Arti pengorbanan dan bersamamu adalah

Harapanku, harapanku, harapanku ...

“Jadi Naydelin naksir Eric?” Hayden berbisik pada Pedro.

Pedro membalasnya dengan gumaman tak jelas.

Hayden mengumpat tak berujung. “Hei, kenapa kau pukul kepalaku?”

“Eh?” Pedro terbengong.

“Kau memukul kepalaku...”

“Aku yang memukulmu,” suara itu membuat Hayden melompat kaget.

Ia menoleh dengan sangat cepat

“K-Kau?”

Classy mengikik penuh kemenangan. “Hati-hati kalau bicara, Eric

adalah kekasihku.”

“Apa?” Hayden dan Pedro memekik bersamaan. Mereka terbengong

beberapa saat seperti orang tolol.

“Aku membawakan ini untuk kalian” Classy meraih tangan Pedro

“Samurai untuk ksatria Ocupant”

Pedro menerimanya tanpa suara, digenggamnya benda itu sambil

sesekali dikibaskan ke udara. Percikan bunga api meletup mengejutkan.

Classy tersenyum puas melihatnya. “Dan ini untukmu”

“Cemeti?” Hayden menyeringai jengkel. “Hei, kau pikir aku pawang

kuda?”

“Kau mau terima atau tidak?” Classy masih mengulurkan tangannya

pada Hayden

“Aku mau pedang yang itu”

“Tidak bisa, ini punyaku!” Sekali lagi ia tersenyum penuh kemenangan

sambil memamerkan pedang perak yang mirip dengan pedang Eric. “Kalau kau

pakai ini bisa mencemarkan nama baik dunia perpedangan.”

“Apa katamu…”

166

Page 168: Halmahera , the ghost

Lolongan membabi buta merusak konsentrasi yang susah payah

diciptakan. Hayden tersedak karena tiba-tiba harus menelan lagi sepasukan

kata-katanya untuk Classy.

“Peramal kaparat!“ Eric menerjang para makhluk hitam yang

mendengking-dengking. Amarah telah menguasai ubun-ubunnya. Segala

penghalang dihajarnya dengan pedang hingga tubuhnya terbakar dan saling

tercerai.

Geffon melarikan Flori yang tak berdaya berada di cengkeramannya.

Mereka melesat menyeruak di tengah pertempuran. Eric mengejarnya tanpa

peduli apapun yang berada di hadapannya. Ia menjadi lebih gila daripada

Poppo yang kelaparan.

“Eric...”

Suara itu terdengar kecil diantara kegaduhan yang saling memberontak.

Eric mendengarnya samar-samar dan ia sangat terkejut ketika sesuatu

mendorongnya dengan sangat emosional. Ia tersungkur, terguling di atas tanah

yang hitam terbakar. Dengan kemarahan yang masih menandak-nandak di

dahinya, ia menoleh dan mendapati tubuh Naydelin menjatuhinya dengan tak

berdaya.

Coda melolong panik meneriakkan nama Satanic itu dari kejauhan.

“Dia terkena ranjau setan,” raungnya. “Hanya ada satu pemilik ranjau setan di

dunia ini ...”

Ia melesat menerjang segala yang menyusahkan jalannya. Makhluk

hitam yang bertanduk itu terpelanting ketika Coda menubruknya dengan semua

tenaga kecemasan.

Eric merasa bagai ditikam pedang bertubi-tubi. Nade melindunginya. Ia

mengorbankan dirinya lagi. Kenapa ia tidak menggunakan sihirnya untuk

membuatnya terjatuh, terpelanting, atau terhempas. Ia selalu melibatkan diri

dalam bahaya untuknya. Pikirannya menjadi benar-benar rumit. Bagaimanapun

tidak ada makhluk bodoh di dunia ini yang mengorbankan dirinya untuk

makhluk lain tanpa ada kepentingan. Tanda-tanda bodoh ataukah sudah sangat

167

Page 169: Halmahera , the ghost

bodoh, gumamnya putus asa. Tapi perasaannya beradu, antara benar dan salah,

Naydelin pasti sedang tergila-gila padanya.

Ranjau setan seolah telah menggerogotinya dengan perlahan. Tubuh

Nade menjadi samar, lalu menghilang seperti ditelan sesuatu yang tak terlihat.

Coda menjerit sejadi-jadinya. Jemarinya merayap gemetaran di tempat Nade

lenyap. Setelah puas memastikan Naydelin tak muncul lagi, ia kemudian

menghampiri Eric dengan kepala menandak-nandak.

Eric memilih tidak melakukan perlawanan ketika Coda menyambar

lehernya. Ia dapat merasakan dengkur amarah sahabatnya itu.

Pedro memenggal kepala makhluk hitam berkerut yang mencuri

kesempatan menusuk Coda dari belakang. Sementara itu Classy dan Hayden

sibuk menenangkan Coda yang bertambah buas.

“Hei, Master Quarenci pasti akan berhasil menyelamatkan Naydelin.

Bisolgedhi bukan apa-apa baginya. Kau tenanglah sedikit,” ujar Hayden

dengan khawatir. Ia dan Classy bersusah payah menjauhkan mereka namun

lengan Coda sangat keras seperti kayu.

“D-dia kesakitan ...” Classy merintih

“Nade merasakan sakit yang lebih parah dari pada ini!” teriakan Coda

melontar beringas. Jakunnya seolah turut meloncat ke wajah Eric. Ia semakin

merapatkan cengkeramannya hingga kuku panjangnya yang tajam menembus

plasma korbannya secara perlahan. “Mengapa Nade harus selalu melindungi

dia? Mengapa ia berkorban apapun untuknya? Apa pentingnya dia untuk

Nade?”

Eric menyeringai. “K-kau cemburu.” suaranya terdengar patah.

Cengkeraman Coda semakin brutal menyerangnya.

“Karena Eric adalah adik Naydelin yang sebenarnya,” Classy menjerit

dengan berurai air mata. “Maafkan aku...”

Seulas tangan menyentuh lengan Coda dengan lembut. Patred itu

segera terjatuh lemas di tanah. wajahnya tertunduk pasrah.

“Ibu,” Eric terbeliak hingga bola matanya nyaris menggelinding, “Aku

sulit percaya jika Naydelin...”

168

Page 170: Halmahera , the ghost

Wanita itu mendekap Eric dengan sangat erat. Ia merasakan kehangatan

yang menentramkan segala-galanya.

“Benar. Semua itu benar.” Wanita itu terisak. “Kami melakukannya

demi kau.”

“Apa maksudnya demi aku?”

“Maaf, maafkan aku,” ujarnya dengan suara parau. “Kami tak bisa

menceritakannya. Percayalah semua ini terbaik untuk kita.”

“Tapi mengapa semuanya diam, kalian menyembunyikannya dariku.

Kalian membiarkan aku mengambil tindakan yang salah.”

Eric merasakan dadanya bagai dihantam benda berat.

“Kelak kau akan mengerti dengan sendirinya. Jangan menempatkan diri

sebagai korban situasi, anakku.” Wanita itu menegakkan kepala putranya. Eric

dapat melihat wajahnya dengan jelas, wajah yang sama sekali tidak berbeda

dengan sosok wanita yang mempesona ketika di pengadilan pemutusan nasib.

Ia menatap Eric dengan sangat dalam seolah mampu menembus hatinya.

Eric terdiam sejenak. Tanpa berkata apapun ia menyambar pedang

perak yang tergolek di tanah. Jemarinya meremas dengan angkuh dan kakinya

menghentak dengan beringas. Ia tersenyum dibalik matanya yang lama-lama

menjadi merah mengkilat.

169

Page 171: Halmahera , the ghost

Bab 26

Mata EmperorClassy dan Hayden memekik nyaris tanpa suara. Pedro berdiri

mematung bagai melihat Einstein bangkit dari kubur di hadapannya.

Sementara Coda menatapnya tanpa ekspresi. Para makhluk hitam berlarian

menyelamatkan diri ketika melihat mata merah itu.

Eric memutar pedangnya ke arah langit. Sinar merah matanya

dipantulkan oleh pedang perak ke penjuru timur. Seperdetik kemudian ia

berkelebat ke arah timur. Tidak ada musuh yang lepas dari sambaran

pedangnya. Segala yang didepannya dihabisi dengan strategi perang yang

menakjubkan.

Bisolgedhi menangkis serangan Eric, kedua pedang mereka beradu

hingga menimbulkan letupan bunga api. Untuk beberapa saat mereka tak bisa

saling menumbangkan. Eric berhasil menusukkan pedangnya ke lengan sang

pawang hantu itu, namun satu masa selanjutnya Bisolgedhi mengunci gerakan

lawannya. Ia menghunuskan pedangnya nyaris merobek leher Eric.

“Ghobadi junior, sungguh sangat susah menangkap makhluk

sepertimu.” Sang pawang hantu tertawa mengerikan. “Mata emperormu

membuatku semakin ingin memilikimu.”

“Lepaskan Naydelin dan aku akan ikut denganmu,” ujar Eric sambil

meremas pedangnya. Ia bersiap menerjang Bisolgedhi saat lawannya itu

lengah. Namun tampaknya momentum itu tidak mungkin terjadi karena

Bisolgedhi sangat mewaspadai setiap gerakan Eric.

“Tawaran yang menarik…”

170

Page 172: Halmahera , the ghost

Coda tiba-tiba menikam sang pawang hantu dari belakang. Hatinya

sangat gemetaran ketika melakukannya. Namun perbuatannya membuat

Bisolgedhi roboh begitu saja di tanah.

“Aku berhutang hidup padamu,” seru Eric seraya meraih Naigan yang

terkapar di tanah. Ratusan hantu tiba-tiba berebut keluar darinya, seekor

beruang jelmaan Ocupant menunduk berterima kasih, kemudian ia menghilang

begitu saja. Beberapa Satanic muncul bersamaan, mereka mengikik

melengking merayakan kebebasannya.

“Aku tidak bermaksud menyelamatkanmu” Coda menyeruak di tengah

kumpulan Satanic itu. Ia mulai gusar. Naydelin tak ditemukan diantara

gerombolan itu. Bibirnya bergetar. “Semula aku tidak bisa terima jika Nade

berkorban karena mencintaimu, tapi aku lebih tidak bisa menerima jika

ternyata pengorbanannya sia-sia. Mengapa kau tidak mencari tahu siapa orang

yang seharusnya kau cari? Dan kenapa kau tidak pernah menyadari jika dia

yang harus kau lindungi ada didekatmu? Kau tidak pantas menjadi Emperor.”

Gerombolan kata-kata itu menghujam perasaan Eric. Kekacauan

meruap di otaknya. “Seharusnya kau mengatakan bahwa aku tidak pantas

menjadi adiknya.”

Coda mencemooh dengan roman muka merendahkan. “Seharusnya kau

bisa menyadarinya lebih awal. Dia terlalu rapuh untuk menyimpan semua

masalahnya sendiri. Dan berulang kali kau membuatnya celaka…” Coda

hampir-hampir kehilangan suaranya.

“Aku memang bersalah. Tapi kau harus tahu, kami sama-sama

terluka…”

Classy mendekap punggung Eric. Ia merasakan kehangatan

menyelubungi tubuhnya. “Seharusnya kalian bertanya mengapa dia tidak

menceritakan semuanya dari awal?”

“Lepaskan...” kata Eric pada Classy. “Aku tidak suka pada siapapun

yang menyalahkannya.” Ia melepaskan belitan Classy dengan paksa.

“Aku tidak bermaksud menyalahkan dia atau siapapun.” Classy

membela diri

171

Page 173: Halmahera , the ghost

“Tapi kau diam saja padaku sejak semula. Kau sengaja membiarkanku

terjebak pada kesalahan yang tidak bisa diampuni.

“Itu karena ...”

“Karena apa?” Eric membentak

Classy terdiam. Mulutnya terasa ngilu untuk mengatakan sesuatu. Ia

menengadah langit agar air matanya tidak meluncur deras. “Takdir Ghobadi.”

“Apa?” sepotong kata melesat dari kerongkongannya. Eric mendesah

frustasi. Mimpi buruk seolah telah memanggilnya dengan paksa. Tragedi

menjelang kematiannya berputar di otaknya. Ketika ia benar-benar merasakan,

sesuatu telah mendorongnya hingga ia terjatuh. Semua seperti takdir yang telah

direncanakan.

Beberapa saat kemudian Eric baru menyadari, Jove berteriak sambil

mengguncang bahunya. “Eric, keadaan semakin tidak memungkinkan untuk

bertahan.”

Eric menyapukan mata ke sekelilingnya. Ia mendapati tanah tempatnya

berpijak membelah perlahan memisahkan kedua kakinya. Ia mengalihkan

pandangannya ke langit yang berputar bagaikan sedang dihisap oleh sesuatu

yang maha rakus. Laut hitam merayap dalam sela tanah, mereguk ketidak

berdayaan.

Rintihan keterkejutan menyeruak bersamaan dengan ledakan cahaya

yang merontokkan nyali. Poppo terguling di udara lalu menghantam Snowvus

hingga salah satu menaranya hancur dengan remah-remah yang berjatuhan ke

tanah.

Eric mendekap Classy dengan sangat erat seolah ia sangat ingin

menenangkannya ketakutannya. Perasaannya berdebam tidak karuan,

sementara gadis itu terisak dalam pelukannya.

“Aku benar-benar mencintaimu”

Eric tak menyahut. Jantungnya seolah kembali berdetak membuat

plasmanya bergejolak tak tenang. Tapi ia segera tersadar waktunya tidak

banyak lagi. Perlahan dilepaskannya tangan Classy yang mengikat lehernya.

Disekeliling tanah berkeretak sedikit demi sedikit.

172

Page 174: Halmahera , the ghost

Jove menyambar lengan Eric.

“Bukan waktunya bercinta sobat,” dengusnya “Jemaah kegelapan

berhasil menduduki Snowvus.” Pedangnya mengacung, bergetar. Kulit

lengannya robek tiga senti. Luka bakar yang sangat menyakitkan.

Eric meraih lengan Jove lalu menatapnya seolah hendak melahap lawan

bicaranya.

“Darah hitam,” Suaranya meninggi melengking. “Siapa kau

sebenarnya?”

Jove menarik kembali tangannya, “Aku ... aku tidak tahu.”

Eric menyambar tangan Jove lagi. Ia mendapati simbol kutukan pada

telapak kanannya beserta cincin kecil menyala menantang diantara jarinya

yang besar. “Aku baru melihatnya. Siapa kau?”

“Aku tidak tahu ...” ulang Jove dengan suara bergetar

“Katakan sebelum aku melenyapkanmu.” Eric mengacungkan Naigan

ke leher Jove. “Kau mata-mata suruhan Bisolgedhi, heh?”

“Harus berapa kali kukatakan?” katanya dengan nada meledak. “Aku

tidak tahu. Aku tak tahu siapa aku. Aku tak mengenal diriku sendiri.”

Eric menurunkan pedangnya. Ia sungguh merasakan penderitaan yang

luar biasa saat harus menjawab pertanyaan tentang siapa dirinya, tapi ia tidak

tahu.

“Aku juga tidak tahu siapa diriku.”

“Tapi kau lebih beruntung,” timpal Jove

Eric menyambar tatapan Jove. Mata mereka beradu seolah saling

menerkam. Seperti ada sesuatu yang menarik penglihatan dan perasaan

mereka. Eric mendapati siluet Jove sesaat sebelum kematiannya. Kisah-kisah

yang berjempalitan menuntut rasionalitas hingga Jove tertekan dalam batinnya.

Bunde Gaea yang lenyap begitu saja. Selimut kutukan seolah menyelubungi

hidup Jove.

Eric segera mencabut mata Emperornya. Sebuah penglihatan yang

mengerikan. Bibirnya bergetar, tangannya mengepal meremas pegangan

Naigan dengan kalut.

173

Page 175: Halmahera , the ghost

“Nankai Gouduge yang membunuhmu?” Eric bergeming. “Ia membuat

kau menikam dirimu sendiri.”

“Nankai Gouduge?” tanya Classy dengan terkejut hingga kedua alisnya

saling beradu.

“Kau Putra Gouduge dan Gouduge telah membuatmu membunuh

dirimu sendiri berharap kau kelak akan berpihak padanya?” Eric tetap

bergeming. Ada banyak pikiran yang mengendap dalam kepalanya.

“Hei, Gouduge adalah dewan pertahanan di Snowvus. Ia kawan baik

Master Quarenci.” Classy hendak mengoreksi Eric.

“Dia pembesar kegelapan.” Eric berteriak melengking. “Aku bisa

melihatnya dari mata Jove.”

“Mustahil…”

“Sekarang aku mengerti siapa agen ganda di Snowvus. Oh, Sial!

Lolongan Eric terkubur bersamaan dengan gemuruh runtuhnya

atmosfer feifer. Langit seperti diremas hingga lapisannya berkerut-kerut. Ada

sisi tak terbatas di sepanjang batas pandangan mereka, disanalah hantu

menjerit bersahutan. Mereka lenyap selama-lamanya di dunia tanpa batas.

174

Page 176: Halmahera , the ghost

Bab 27

KudetaEric menyelinap dari pandangan Classy. Ia menerobos kolong kastil

yang dindingnya kusam tersepuh plasma yang terbakar. Pikirannya berderit

membayangkan keadaann Flori dan Naydelin.

Ia melesat di atas Hoyerdup yang telah mengering. Pohon plasma

tercabik bersama tentakel liarnya. RerunDewaa batu kecil menimpa kepalanya

dengan bergantian. Eric menerngadah, matanya menyempit menyaksikan

jembatan dengan pemberat batu mengeropos perlahan.

“ERIC ...”

Teriakan yang sangat mengejutkan namun belum sempat Eric menoleh,

lehernya telah disambar oleh sesuatu. Sejenak kemudian ia sadar, Hayden

sedang menjinjing lehernya sementara Pedro yang bertransformasi menjadi

elang melesat menyeimbangkan sayapnya diantara dinding yang berjatuhan.

Eric bergegas memanjat punggung Pedro.

“Lehermu sangat altetis, sobat,” kata Hayden sambil menoleh ke arah

Eric di belakangnya.

“Yeah, setidaknya kau tadi tidak menyambar kepalaku... Hei, awas

kepala!”

Eric menunduk sambil berusaha membenamkan kepala Hayden, tapi

tampaknya penyelamatan itu tidak berhasil. Kepala bundarnya menghantam

atap lorong yang tidak terlalu tinggi.

Hayden meringis. Menyeringai sambil mengelus kepalanya yang

menjadi setengah datar.

“Oh, maaf Haydi,” kata Pedro dengan menyesal. “Kita tidak memiliki

banyak waktu lagi.”

175

Page 177: Halmahera , the ghost

“Hey, kalian hendak membawaku kemana?”

“Jemaah kegelapan telah berhasil menduduki Snowvus”. Suara Hayden

melengking ketakutan. “Aku tidak mau jadi budak pembesar kegelapan.”

“Bukan itu saja masalahnya,” timpal Pedro dengan menambah

kecepatan terbangnya lalu tiba-tiba menukik dan bertengger diantara teralis

jendela di salah satu menara kastil. “Master Quarenci ...”

Eric mengernyitkan dahinya. Pedro bertranformasi normal kemudian ia

memanjat Hoyerdup kering yang menempel pada dinding kastil diikuti Eric

dan Hayden di belakangnya. Mereka mendarat di balkon yang telah rapuh.

Diantara kerangka pintu yang kacanya telah pecah, Eric mendapati

beberapa sosok berjubah hitam berdiri mengelilingi perapian yang

menyemburkan api hijau. Eric terbeliak saat matanya menangkap bayangan

kakeknya menyembul di tengah mereka.

“Posisimu telah terpojok, Quarenci,” kata salah satu jubah hitam yang

bersuara berat. Ia bertubuh agak mungil dibanding yang lain. Eric menduga ia

adalah Geffon.

Pria tua itu tertawa ganjil. Sepertinya ia berusaha menutupi

kecemasannya. “Aku tak pernah menyadari jika kalian menusukku dari

belakang menggunakan reinkarnasi waktu.”

Si jubah hitam yang berdiri di depan gerbang melecutkan pedang yang

mirip Naigan hingga membentur lantai. Eric menduga sosok itu adalah

Bisolgedhi. Bukan. Itu bukan Naigan atau dia bukan Bisolgedhi. Eric

memperhatikan Naigan hasil rampasannya dari tangan Bisolgedhi sedang

berada di genggamannya. Kepalanya serasa berderik. Pedang si makhluk jubah

hitam sama seperti Naigan tapi mustahil ada dua Naigan di dunia ini.

“SIMPAN OMONG KOSONGMU!” si jubah hitam melontarkan

pedangnya ke arah Quarenci. Pada waktu yang hampir bersamaan pedang itu

kembali ke tangan pemiliknya setelah meninggalkan luka bakar pada wajah

korbannya.

Pedro dan Hayden cepat-cepat menahan bahu Eric ketika ia nyaris

melompat di tengah para jemaah itu.

176

Page 178: Halmahera , the ghost

“Hei, kau waraslah sedikit,” tuntut Hayden. Ia buru-buru menyambar

kata-kata Eric. “Master Quarenci selalu bisa melindungi dirinya sendiri. Dia

tahu kapan harus melawan atau bertahan.”

Pada arah yang tak terduga, sebongkah kekuatan mendorong pintu batu

hingga permukaannya retak. Segala mata melecut ke arah sumber keributan.

Eric merasakan tarikan keterkejutan yang luar biasa. Lima makhluk

berkerudung besar sekonyong-konyong memasuki ruang itu.

“Maaf agak sedikit terlambat, jaringan penghubungnya terputus.”

“Ayah ...” desah Eric. Ia hendak melompat ke tengah jemaah tapi Pedro

dan Hayden buru-buru menahannya lagi.

“Jangan mencelakakan diri sendiri,” kata Pedro.

Eric mendengus. Ia merasa berhak berada diantara mereka, bertarung

sebagai ksatria yang sebenarnya.

“Hei, lihat...” Pedro menunjuk langit. Jemaah makhluk berkerudung

besar berkelebat menunggangi cahaya. Beberapa cahaya tidak berproporsi

normal sehingga arusnya berkelok-kelok tak terkontrol. “Lucifer.”

Hayden melongok ke atas dengan tatapan terpesona. “Kelak aku ingin

pindah kebangsaan menjadi Lucifer.”

Eric menggunakan kesempatan itu untuk merangsek ke tengah jemaah.

Pikirannya yang kacau seolah mengendalikan tindakannya secara spontan. Ia

tiba-tiba merasa sangat menyesal melakukan perbuata bodoh itu. Keadaan

berbalik tidak menguntungkan.

Sekejap salah satu jemaah jubah hitam melecutkan tangannya ke arah

Eric. Ia tak sanggup menghindar dan terhempas melewati balkon. Ingatan masa

lalu berkelebat menolehkan luka yang lebih perih.

Ia serasa terbuang pada memori yang terlupakan. Disekelilingnya

orang-orang berstelan hitam hilir mudik menepuk bahunya dan beberapa

memandangnya dengan kasihan. Sesaat Eric menyadari, ia berada diambang

waktu pemakaman ayahnya. Ketika ia merasakan sebatang kara di dunia,

terombang-ambing dalam kepedihan, sebuah suara menyergap kesadarannya.

177

Page 179: Halmahera , the ghost

Gadis itu berambut ikal yang dikucir tinggi, ia melambai kearah Eric

dari atas Bentley hitam dengan jendela terbuka. “Eric jaga diri baik-baik” Ia

buru-buru mengusap air mata dengan punggung tanggannya.

Eric melihat seorang nenek berjalan dengan gesit lalau masuk kebagian

kemudi. Eric hendak mengejarnya, namun seseorang menerkam bahunya.

“Ayo kita pulang,” kata laki-laki yang menahannya

“Tidak, apa yang akan dilakukan Geffon...”

“Jangan jadi pembantah”

Eric ingin memberontak namun ia merasa tenaga yang dimilikinya

amat kecil. Beberapa saat ia mulai menyadari telah berada dalam tubuh

mungilnya ketika berumur dua belas tahun.

Bahunya kembali dipelintir oleh tenaga yang berat. “Dengar baik-

baik,” Sekarang Eric dapat melihat pria dengan janggut lancip di depannya.

Mata orang itu seakan menggeliat mencari jalan untuk menikamnya dalam

ketakutan. “Kau ahli waris Ghobadi. Dengan terpaksa aku memeliharamu

karena harta orang tuamu sangat banyak. Bukan ...bukan karena itu lebih

tepatnya ... orang tua kerdil itu mengancam akan membunuh kita ...”

“Kenapa kau takut dengan seorang perempuan tua?”

“Panggil aku Tuan Warthog,” kata-kata pria itu meledak sampai-

sampai air liurnya mendarat di wajah Eric. “Kau tak paham sopan santun

rupanya.” Ia langsung berhenti berucap beberapa saat sebelum ia melanjutkan

dengan suara bergetar. “Darimana kau tahu peramal itu adalah seorang

perempuan?”

“Karena Flori tadi bersama dia dan kau membiarkannya,” Ia buru-buru

menambahkan. “Tuan Warthog.”

Pria itu nyaris memukulnya namun si wanita buru-buru menahan

lengan pria itu. “Jangan disini, sayang. Apa kata orang jika kita menganiaya

bocah yatim piatu ini. Bukankah kita bisa menghajar dia sepuasnya di rumah?”

Eric menelan air liur yang banyak tertampung dari mulutnya

“Dia perlu diberi sedikit pelajaran, Tena,” kata si pria dengan wajah

merah menyala. Tangannya siap terayun lagi.

178

Page 180: Halmahera , the ghost

“Kau mungkin bisa menghindari apa yang akan terjadi tapi kau tak bisa

mengkhianati takdir.”

Wanita bernama Tena itu mendesis lalu menyerbu telinga Eric. “Kau

harus membayar mahal ucapanmu. Lihat saja nanti, tak ada makan malam

gratis.”

Eric merasa jiwanya terpelanting dan menyisakan perih yang dalam.

Telinganya serasa mau pecah mendengar jeritan atau lebih tepatnya lolongan

kengerian. Ia memaksa diri menguasai keadaan. Didapati tangannya

mencengkeram Naigan yang beringas. Situasi tak terkendali, kekacauan

berkecamuk seolah tak pernah ada kedamaian sebelumnya.

“Eric,” suara Hayden dan Pedro saling bersahutan bersama kengerian

yang menyelubungi.

Pedang itu memercikkan api biru lalu bertransformasi menjadi singa.

“Naigan telah menemukan pewarisnya,” kata pria besar yang duduk

sama rendah dihadapan Eric. Diperhatikannya Naigan yang meronta-ronta di

tangan geogle itu.

“Pewaris Naigan? B-bukan Periopollux?”

Arturus tersenyum, “Kau yang memilihnya.”

“Elfgog telah melepasnya. Pedang ini yang memilihku.”

“Bukan. Percayalah. Hidup bukan pilihan tapi memilih, nak.” Pria itu

terkekeh bijak. “Bisolgedhi telah membuat kesalahan besar. Ia memangsa

pewaris pedang rampasan itu sendiri. Ia telah membangkitkan dua pedang yang

lain untuk melawan.”

Arturus merentangkan tangannya ke udara lalu mengibaskannya ke

timur. Singa berwujud api biru menerjang budak pembesar kegelapan tanpa

ampun. Terkamannya membakar, taringnya mengoyak menyakitkan,

sementara raungnya merobek telinga.

“Lepas cengkeramanmu, Eric”

Naigan melesat bertransformasi menjadi elang emas. Sayapnya lebih

lebar dari Poppo, dalam setiap kepakannya bulu-bulu bertebaran menerkam

makhluk hitam.

179

Page 181: Halmahera , the ghost

Eric terkagum-kagum. Ia melihat ke arah Arturus yang mengendalikan

Naisopollux dengan gagah. Ekor singa melibas leher Bisolgedhi lalu

menghempaskannya hingga merobohkan puluhan prajurit pembesar kegelapan.

Ia melihat Bisolgedhi merajam kemarahan, uratnya menggelepar

disepanjang kulit. Raungannya tampak mengerikan disusul serbuan bayangan

gelap yang membakar tanah.

Jove menghunuskan pedang hendak disabetkannya pada Bisolgedhi

namun sesuatu tiba-tiba menyambar perut Jove sebelum seutas anak panah

nyaris mengoyak kepalanya. Anak panah itu terbakar diudara setelah mendesis

galak karena korbannya berhasil meloloskan diri.

“Hati-hati, nak,” kata Elfgog tanpa melihat Jove.

“Aku berhutang hidup padamu.” Ia menyambar pedang yang

menggelepar beberapa inchi dari tangannya.

Eric melesat mengejar Naigan yang melesat tanpa bisa dikontrol.

Pedang itu menghilang lalu muncul lagi diantara peperangan yang sedang

berkecamuk. Waktu seakan berhenti sejenak membiarkan Eric menguasainya

beberapa saat.

Perang kembali berkecamuk saat Eric berada di seberang setelah

berhasil menerobos sekumpulan keganasan yang menyatu. Ia merobohkan

tubuhnya begitu saja di tanah. Ia memandang beku dibalik rimbunan semak

hayerdup yang hangus terbakar. Matanya seakan sedang mengupas sesuatu

yang membuat hatinya kebas.

Quarenci terpasung dengan tatapan kosong. Gouduge bertransformasi

dalam bentuk ular lalu melilit tubuh tak berdaya itu. Coda menebas leher

Quarenci dengan pedang perak yang dilemparkan Geffon padanya. Plasma pria

tua itu terbakar dan terurai bersama rongga udara yang tak tampak.

Segala sesuatunya berlangsung sangat cepat. Eric tak mampu berbuat

apa-apa seakan kakinya tetanam di tanah selamanya. Ia membenci dirinya

sendiri. Pecundang yang tidak berguna.

180

Page 182: Halmahera , the ghost

“Semua telah selesai.” Coda melempar pedang penjagalnya pada

Geffon. Ia lalu berlutut di depan Gouduge diikuti Naydelin di balik

punggungnya.

Gouduge tertawa melengking disambung tepuk tangan Bisolgedhi. Ia

bertransformasi normal lalu menghisap semua makhluk budak hitamnya

hingga membuat laut hitam mengamuk.

“Kau akan mewarisi Periopollux,” kata Geffon pada Coda nyaris tanpa

suara setelah Nankai Gouduge dan Bisolgedhi meninggalkannya. “Tetaplah di

sini, engkau adalah penguasa selanjutnya.”

Suasana semakin kacau ketika pasukan hantu menyerbu tempat itu.

Eric melompat begitu saja dari persembunyiannya. Tenggorokannya serasa

mau meledak untuk mengatakan bahwa ia telah memergoki pengkhianat keji

yang menjijikkan. DIA YANG MEMUSNAHKAN PEMIMPIN KALIAN. DIA

MENJAGALNYA…

“Geffon yang melakukan ini semua, peramal itu!” Sebuah suara

mendahului Eric. “Dia memenggal Master Quarenci.”

Naydelin. Eric terguncang. Akal sehatnya tidak bisa mempercayai hal

bodoh ini. Bahkan Naydelin pun berpihak pada penghianat. Lidahnya serasa

dicengkeram sesuatu yang tak tampak. Teriakannya tersangkut ditenggorokan.

Hayden menepuk pundak Eric sementara Pedro mencengkeram

lengannya yang membeku.

“Aku pernah mengalami tragedi mengerikan seperti ini.”

Eric berbalik. Ia menemukan mata Jove menatap tegas padanya

“Mereka berkhianat...”

“Aku mengerti!”

Eric terperangah dalam jeda.

“Aku bisa melihatnya dari matamu,” kata Jove lagi

Hayden menjerit tertahan. Tangannya mengerat pundak Eric. “C-coda

menggantikan posisi Master Quarenci...”

Eric melecutkan mata di tempat Coda berdiri. Keseluruhan pasukan

hantu berlutut pada penguasa mereka yang baru. Meski tidak bisa melihat

181

Page 183: Halmahera , the ghost

dengan jelas, Eric menduga cahaya yang melesat berkali-kali ke langit adalah

pertanda kebangkitan Periopollux yang menemukan pengendalinya yang baru.

“Dia menghabisi kakek hanya demi Periopollux? Dan Nade...mereka

semua berkhianat untuk...”

Eric tak menyelesaikan kata-katanya. Ia menerjang ke tengah jemaah.

Disambarnya Naigan yang menancap di atas bumi. Ia hendak menikam Coda

dari belakang, namun jeritan dramatis sesosok perempuan terburu

menggagalkannya.

Jove dan Pedro menarik paksa tubuh Eric meskipun ia menggelinjang

penuh penolakan. Hayden menyambar lengan Classy yang mematung seperti

makhluk idiot. Mereka berlarian menerabas jemaah hantu yang saling ingin

mengetahui keadaan yang baru terjadi. Situasi semakin mengancam saat satu

lusin prajurit bertubuh kuda mengejar mereka sambil memutar-mutar rantai

baja.

“A-aku tidak percaya semua ini...”

Classy tidak meneruskan kata-katanya. Ia melesat dengan kecepatan

yang luar biasa hingga suaranya terdengar patah-patah.

“Hei, lihat itu!” Hayden mengacung ke arah timur laut. Cahaya berekor

bermunculan berbondong-bondong. Hayden dan Classy berhenti lalu berbalik,

melihat apa yang sedang terjadi di belakangnya.

Para prajurit berkuda tumbang satu demi satu seakan ada makhluk

raksasa tak tampak yang menghantam mereka. “Itu para Lucifer!” teriak

Hayden seperti sedang menang taruhan. “Lucifer memang keren fatal. Aku

ingin menjadi Lucifer.”

“Lebih mudah mudah ganti kelamin daripada pindah kebangsaan.”

Hayden mendengus mendengar respon Classy yang sangat tidak

mengenakkan telinga.

Classy melambaikan tangannya lalu sebuah pesawat yang berkerangka

cahaya menghampiri mereka.

“Eric-Jove-Pedro!” kata Hayden dan Classy dengan spontan saat

mendapati keduanya telah berada di badan pesawat.

182

Page 184: Halmahera , the ghost

“Hei sejak kapan kalian disini?” Hayden menumpahkan serangan

protes sambil membenamkan dirinya dalam kabin pesawat berkerangka

cahaya.

Tidak ada bunyi mesin yang mengamuk di telinga. Mereka seperti

sedang mengendarai seutas benang yang terbuat dari butiran cahaya sangat

lembut.

“Hei apa ini mimpi? Sudah lama aku ingin naik Excous 81.”

“Dan sekarang kau sedang berada di dalamnya, nak,” kata pria yang

memegang kemudi.

Hayden manggut-manggut girang. Wajah cemas, ngeri dan takut lenyap

begitu saja seolah ia baru saja berjalan-jalan ditaman bunga sepanjang hari.

“Pakai sabuk pengaman kalian, aku tidak ingin salah satu dari kalian

ada yang terjatuh.”

“Ayah...” Eric menatap kosong sesuatu dihadapannya. Nada bicaranya

terdengar menekan. “Aku ingin tetap disini. Aku tidak ingin lari dari semua ini.

Aku bukan pecundang.”

“Kau tidak perlu berpura-pura menjadi pecundang untuk benar-benar

menjadi pecundang, nak,” kata Togu

“Tapi aku harus merebut Snowvus kembali...” Aku tidak ingin

membiarkan semua ini terjadi. Menempatkanku dalam posisi bersalah. Aku

bosan hidup dalam kegelapan, dalam kebohongan. Setidaknya beritahu aku

apa yang sebenarnya terjadi. Aku harus tahu. “Meski aku kehilangan memori,

kehilangan diriku sendiri dan aku telah kalah namun aku harus…”

“Kau sudah menemukannya, anakku.”

“Apa?”

“Kau telah menemukan dirimu. Kekalahanlah yang memberitahu siapa

dirimu yang sebenarnya.”

Apa? Eric terkesiap. Ia bersusah payah memikirkannya dalam-dalam

meskipun pada akhirnya ia tak mengerti.

“Suatu saat kau akan tahu.”

183

Page 185: Halmahera , the ghost

Eric meremas Naigan dengan emosi yang masih berkecamuk dalam

batinnya. Sulit baginya menerima kenyataan ini namun ia bekerja keras

menenangkan keonaran yang mengobrak-abrik kepalanya.

Pesawat merayap dalam gelap, sebelum sedetik berikutnya membawa

mereka lepas landas menerjang kepingan kabut dua dunia.

Api di dalam perairan menyambut mereka.

184