TUGAS
HUKUM ADAT KELAUTAN
( PRAKTEK HAK ULAYAT LAUT DI IRIAN JAYA)
Oleh :
RIFAI USMAN (2006 – 21 – 066 )
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2009
PRAKTEK
HAK ULAYAT LAUT
DI IRIAN JAYA
A. PENDAHULUAN
Secara konsepsional kearifan lokal yang berkembang di Indonesia atau
yang lebih dikenal dengan Hak Ulayat Laut merupakan terjemahan dari bahasa
Inggeris, sea tenure. Seorang pakar kelautan, Laundsgaarde menyebutkan bahwa
istilah sea tenure mengacu kepada seperangkat hak dan kewajiban timbal balik
yang muncul dalam hubungannya dengan kepemilikan wilayah laut. Selanjutnya
Wahyono, mengutip Sudo (1983) mengatakan bahwa sea tanure merupakan suatu
sistem, dimana beberapa orang atau kelompok sosial memanfaatkan wilayah laut,
mengatur tingkat eksploitasinya termasuk melindunginya dari eksploitasi yang
berlebihan (over exploitation). Oleh karena itu melengkapi batasan Sudo,
Akimido (1991) mengatakan bahwa hak-hak kepemilikan (property right),
mempunyai konotasi sebagai memiliki (to own), memasuki (to acces), dan
memanfaatkan (to use).
Pengetahuan masyarakat lokal yang terakumulasi sepanjang sejarah hidup
mereka mempunyai peranan sangat besar. Pandangan bahwa manusia merupakan
bagian dari alam dan sistem kepercayaan yang menekankan penghormatan
terhadap lingkungan alam merupakan nilai yang sangat positif untuk
pembangunan berkelanjutan (Gadgil, et al., 1993). Konsep sistem pengetahuan
lokal berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional
(Mitcheli, 1997).
Hak ulayat laut (sea tenure) merupakan seperangkat aturan atau praktek
pengelolaan wilayah laut dan sumber daya yang terkandung di dalamnya, yang
menyangkut siapa yang memiliki hak atas suatu wilayah, jenis sumber daya yang
boleh ditangkap dan teknik mengeksploitasi sumber daya yang diperkenankan.
Hak ulayat laut mengacu pada seperangkat hak dan kewajiban timbal balik yang
muncul dalam institusi bersama. Konsep kepemilikan jika diterapkan pada sumber
daya mengandung arti sebagai suatu kelembagaan sosial primer yang memiliki
1
susunan dan fungsi untuk mengatur sumber daya yang lebih didasarkan pada
kebiasaan, larangan-larangan dan kekeluargaan.
Masyarakat Nelayan yang mendiami kawasan perairan pantai utara Irian
Jaya merupakan salah satu daerah yang mempunyai Hak ulayat Laut dalam
menjaga dan mengeksploitasi sumber daya laut. Suatu kesimpulan yang
membahas mengenai HUL mengatakan bahwa peubah-peubah pokok dalan kajian
HUL meliputi: wilayah, unit pemilik sosial, legalitas (legality) beserta
pelaksanaannya (enforcement).
Wilayah dalam konteks HUL tidak hanya terbatas pada pembatasan luas
wilayah, tetapi juga pada eksklusivitas wilayah. Ekskluvitas wilayah ini dapat
juga berlaku pada sumberdaya kelautan, teknologi yang digunakan, tingkat
eksploitasinya, dan batas-batas yang bersifat temporal (Satria, 2002).
B. PEMBAHASAN
2
1. Kepemilikan Wilayah
Masyarakat nelayan yang mendiami kawasan perairan pantai utara Irian
Jaya (Masyarakat Nelayan Tobat dan Engros (perairan teluk Yotefa), Nelayan
Demta (perairan Teluk Demta), nelayan indokisi dan Tablasafu (perairan teluk
tanah merah). ) umumnya mengenal praktek kepemilikan wilayah perairan pantai
sebagai tempat mencari ikan dan tempat melakukan eksploitasi sumber daya
kelautan.
Kepemilikan suatu kawasan wilayah laut bagi masyarakat perairan pantai
utara Irian Jaya didasarkan atas beberapa faktor diantaranya faktor ekonomi,
faktor perhubungan. Selain dari beberpa faktor tersebut faktor kepercayaan (aspek
kepercayaan) juga merupakan faktor dalam kepemilikan wilayah laut.
Penguasaan suatu kawasan perairan tertentu yang berhubungan dengan sistem
kepercayaan masyarakat pada umumnya berlaku di semua masyarakat nelayan
kecuali masyarakat nelayan di desa Bindusi Kecamatan Biak timur, Kabupaten
Biak Numfor, yang penguasaan wilayah laut semata-mata karena faktor ekonomi.
Bromley dan Cernea (1989) menyatakan bahwa pemilikan dan penguasaan
sumber daya alam merupakan suatu hak, kewenangan dan tanggung jawab pribadi
pemilik dalam hubungannya dengan pribadi pihak lain terhadap pemanfaatan
suatu sumber daya alam. Selanjutnya Wahyono, mengutip Sudo (1983)
mengatakan bahwa sea tanure merupakan suatu sistem, dimana beberapa orang
atau kelompok sosial memanfaatkan wilayah laut, mengatur tingkat eksploitasinya
termasuk melindunginya dari eksploitasi yang berlebihan (over exploitation).
Oleh karena itu melengkapi batasan Sudo, Akimido (1991) mengatakan bahwa
hak-hak kepemilikan (property right), mempunyai konotasi sebagai memiliki (to
own), memasuki (to acces), dan memanfaatkan (to use).Konotasi semacam ini
tidak hanya mengacu pada wilayah penangkapan (fishing ground), tetapi juga
mengacu pada tehnik-tehnik penangkapan, peralatan penangkapan, teknologi yang
digunakan bahkan sumberdaya yang ditangkap dan dikumpulkan.
Berhubungan dengan hal tersebut praktek kepemilikan wilayah perairan
laut oleh kelompok-kelompok masyarakat suku yang mendiami wilayah perairan
pantai utara Irian Jaya dalam perkembangannya semakin diperkuat oleh kehadiran
3
nelayan pendatang yang mengoperasikan teknologi penangkapan ikan modern,
dengan kemampuan tingkat eksploitasi yang lebih tinggi bila dibandingkan
dengan alat penangkapan ikan yang digunakan masyarakat setempat (kasus
masyarakat nelayan Tobati, Enggros dan Bindusi).
Pola pemilikan dan penguasaan wilayah perairan laut pada masyarakat
nelayan yang mendiami wilayah perairan pantai utara irian jaya adalah Milik
Masyarakat atau Komunal (common property) yaitu suku yang disebut sebagai
suku laut. Kelompok masyarakat ini yang telah melembaga, dengan ikatan norma-
norma atau hukum adat yang mengatur pemanfaatan Sumer Daya Laut tersebut
dan merupakan cikal bakal pendiri desa atau orang yang pertama kali mendiami
suatu kawasan perairan tertentu (suku Tiert Urpiji di Kampung Ambora (Demta),
Suku Muris Kecil (Demta).
Penguasaan wilayah perairan laut tertentu oleh kampung atau desa,
didorong oleh adanya kepentingan pemerintah setempaat untuk melindungi
nelayan setempat dari persaingan yang tidak seimbang dalam mengeksploitasi
sumber daya laut antara nelayan pendatang dan nelayan setempat, kecuali itu,
tindakan ini juga didorong oleh semakin meningkatnya kesadaran masyarakat
akan arti penting upaya pelestarian lingkungan untuk menjaga kelangsungan
hidup masyarakat.
Berdasarkan kajian Wahyono dkk (2000) tentang HUL di kawasan timur
Indonesia ternyata menunjukkan adanya persamaan dan perbedaan. Persamaan
yang mencolok yakni klaim terhadap wilayah HUL hanya meliputi wilayah
penangkapan (fishing ground) yang secara tradisional dieksploitasi oleh
kelompok-kelompok masyarakat nelayan setempat. Secara umum diilustrasikan
bahwa batas-batas wilayah HUL dihubungkan dengan kondisi darat dan laut yang
paling berdekatan dari wilayah laut yang diklaim misalnya teluk, tanjung, gunung,
bukit, terumbu karang, pulau-pulau, garis pasang surut air laut (meti), perairan
dangkal, laut dengan jarak tertentu dari garis pantai. Di samping batasan yang
sifatnya alamiah ini, di Maluku sistem pembatasan juga dilakukan dengan cara
pemberian patok.
Tabel tanda-tanda batas Wilayah Hak Ulayat Laut (HUL) di Irian Jaya
4
Tanda Batas Keterangan
Teluk, tanjung, gunung, pantai, sungai,
batas desa/kampung, terumbu karang,
pohon besar, dan pasir pantai
Tanda-tanda HUL ini dipakai oleh
masyarakat nelayan Endokisi, kampung
Tobati dan Enggros, Demta dan
Tablasufa serta kampung Kayu Batu,
Kayu Pulo
Disamping penguasaan wilayah perairan oleh suku-suku kecil (suku
keret), suku-suku besar dan kampung atau desa, dikenal pula pemilikan laut pada
lokasi tertentu, yaitu tempat dilangsungkannya upacara adat kelautan, seperti
upacara adat memanggil ikan dan upacara Pele karang. Pele karang adalalah
tempat dilangsungkannya upacara adat laut, yakni pelanggaran pengambilan ikan
pada tempat tertentu selama kurun waktu tertentu (enam sampai satu tahun).
Upacara adat ini biasanya dilakukan untuk menghadapi upacara-upacara adat yang
memerlukan jumlah ikan yang banyak, seperti pelantikan Ondoafi. Wilayah
perairan tempat dilangsungkan upacara adat pele karang ini adalah milik suku
laut.
2. Unit Sosial Pemegang Hak
Unit sosial pemegang hak ulayat laut adalah suku-suku laut terbesar,
kemudian sebagian dialihkan hak kepemilikannya kepada suku-suku kecil (keret),
dan pada perkembangannya selanjutnya, desa atau kampung juga mengklaim
wilayah perairan laut dengan pertimbangan untuk melindungi penduduk setempat
dari tekanan-tekanan nelayan pendatang serta pertimbangan pelestarian
lingkungan dari eksploitasi yang berlebihan maupun penggunaan alat tangkap
ikan yang merusak lingkungan.
Pemahaman mengenai pemegang hak wilayah laut pada kawasan perairan
menjadi penting terutama dalam hal melakukan eksploitasi laut dengan
menggunkan alat tangkap yang modern atau alat tangkap masyarakat setempat.
Pemahaman mengenai unit pemegang hak ini dilakukan juga untuk menghindari
5
konflik yang terjadi antara nelayan-nelayan pendatang dengan nelayan setempat
serta untuk perizinan dalam melakukan eksploitasi laut.
Sistem Pengelolaan Hak Ulayat Laut di wilayah perairan pantai Utara Irian Jaya
Organisai
pelaksana
Unit pemegang
hak
Eksluvisitas Aturan Pengelolaan
Dewan Adat Ondoafi Jenis sumberdaya, alat tangkap, pelaksana
penangkapan dan pelestarian lingkungan
laut
1. Peralihan Hak Kepemilikan wilayah Laut
Prose peralihan hak kepemilikan wilayah laut yang dilakukan masyarakat
nelayan perairan pantai Utara Irian Jaya pada umumnya dilakukan dengan cara
proses kawin yang dilakukan antara suku laut dan suku darat. Terjadinya proses
kawin antara suku darat dan suku laut bermula dari adanya pertukaran barang
(barter). Suku-suku darat yang menghasilkan produk-produk pertanian (sagu,
talas, ubi jalar (betatas), dan sayur-sayuran, sedangkan suku laut menghasilkan
ikan. Untuk saling memenuhi kebutuhan masing-masing maka terjadilah
pertukaran barang tersebut. Intensitas inilah yang menyebabkan terjadinya
perkawinan antara suku darat dan suku laut. Selain proses kawin adapun tindakan
penekanan yang dilakukan kepada suku Demena melalui hobatan atau kekuatan
magis.
Dari proses peralihan inilah maka suku laut yang awalnya tidak memiliki
wilayah darat kini sudah memiliki wilayah darat dan begitu sebaliknya suku darat
yang pada awalnya tidak memiliki wilayah laut kini sudah memiliki wilayah laut.
2. Dampak dari Peralihan Kepemilikan Wilayah Laut
Implikasi dari proses kawin antara suku darat dan suku laut ini menjadikan
identitas mereka menjadi tidak jelas. Contohnya, suku-suku yang tinggal di
perairan Teluk Yotefa dalam kondisi sekarang ini sulit diketahui identitasnya,
apakah termasuk suku darat atau suku laut. Pada masyarakat Tobati dan Enggros
misalnya, terdapat nama-nama kepala suku babi (suku darat) seperti suku Hai,
6
Mano dan Merauje, tetapi mereka tinggal di laut. Kepala suku ikan yakni Sanyi,
dan kepala suku jaring yakni Drunyi, mereka tinggal di darat dan menguasai tanah
darat yang luas, dan bahkan mereka pun terlibat dalam proses transaksi jual-beli
tanah adat dengan kaum pendatang. Suku dawir yang menyatakan dirinya suku
darat berkuasa atas darat dan hutan bakau disekitar kampung Tobati, meskipun
mereka tinggal di laut.
3. Legalitas Hak Ulayat Laut
Legalitas hak ulayat laut adalah tingkat keabsahan dari hukum adat laut.
Keabsahan hukum adat kelautan sangat ditentukan oleh ada atau tidaknya
pengakuan aturan-aturan, norma-norma dan pranata sosial yang menyangkut
segala aspek pengelolaan wilayah laut oleh masyarakat setempat. Berbicara
mengenai aspek legalitas hak ulayat laut juga menyangkut soal bagaimana aturan-
aturan adat itu di buat, siapa yang memiliki kewenangan untuk memutuskan
aturan tersebut, dan bagaimana aturan-aturan itu dilaksanakan..
Aturan-aturan hukum adat tentang hak ulayat laut akan dilaksanakan
apabila ada konflik-konflik yang terjadi antara nelayan pendatang dan nelayan
setempat terkait dengan masalah izin dalam melakukan eksploitasi laut atau
karena ada upacara-upacara adat perkawinan atau upacara kematian.
Dalam kaitanya dengan praktik hak ulayat laut, hukum adat ini diberikan
kepada tempat-tempat yang sedang dilindungi. Fungsi adat ini, dahulunya tampak
bukan semata-mata untuk mengumpulkan ikan dengan cara melarang seseorang
untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan ditempat yang dilindungi, tetapi juga
berkaitan dengan sistem kepercayaan, yakni untuk menjaga kesucian dan
kekeramatan tempat tinggal leluhur suku-suku besar penguasa laut.
Dalam perkembangannya sehubungan dengan semakin meningkatnya
komersialisasi terhadap produk sumberdaya laut, maka aturan-aturan adat pun
berubah, demikian juga bentuk-bentuk pelanggaran yang terjadi, umumnya
menyangkut soal pelanggaran wilayah penangkapan, atau soal perizinan untuk
mengoperasikan alat tangkap ikan baru yang akan dioperasikan.
7
KESIMPULAN :
Variabel-variabel pokok dalam kajian Praktek Hak Ulayat Laut di Irian
Jaya adalah menyangkut :
o Kepemilikan wilayah
o Unit social pemegang hak
o Legalitas (legalitiy) hak ulayat laut beserta pelaksanaannya
(enforcement)
Wilayah HUL hanya meliputi wilayah penangkapan (fishing ground) yang
secara tradisional dieksploitasi oleh kelompok-kelompok masyarakat
nelayan setempat. Secara umum diilustrasikan bahwa batas-batas wilayah
HUL dihubungkan dengan kondisi darat dan laut yang paling berdekatan
dari wilayah laut yang diklaim misalnya teluk, tanjung, gunung, bukit,
terumbu karang, pulau-pulau, garis pasang surut air laut (meti), perairan
dangkal, laut dengan jarak tertentu dari garis pantai.
Unit social pemegang hak Di Irian Jaya, yang dilibatkan adalah ondoafi
(kepala suku), kepala desa dan gereja. Keputusan-keputusan terpenting
mengenai aturan kelautan dan perikanan terletak di tangan Ondoafi.
Kewenangan dari ondoafi dalam pengelolaan sumberdaya laut adalah jenis
sumberdaya laut yang boleh dan tidak boleh di tangkap, jenis alat tangkap
yang digunakan, pihak-pihak yang diizinkan dan tidak diizinkan dalam
penangkapan sumberdaya laut dan pengaturan waktu-waktu yang dapat
dan tidak dapat dimanfaatkan untuk penangkapan serta perlindungan laut.
Legalitas hak ulayat laut adalah tingkat keabsahan dari hukum adat laut.
Keabsahan hukum adat kelautan sangat ditentukan oleh ada atau tidaknya
pengakuan aturan-aturan, norma-norma dan pranata sosial yang
menyangkut segala aspek pengelolaan wilayah laut oleh masyarakat
setempat
8
DAFTAR PUSTAKA
Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, M.J.Sitepu, 1996. Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta
Satria, Arif.. 2002b. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: Penerbit
Cidesindo
Saad S. 2000. Hak pemeliharaan dan penangkapan ikan (eksistensi dan prospek
pengaturannya di Indonesia). [Disertasi] Program Pascasarjana
UGM, Yogyakarta
Wahyono, Ary., A. Rahman Patji., D.S. Laksono., Ratna, Indrawasih., Sudiyono.,
dan Sumiati, Ali. 2000. Hak Ulayat Laut di Kawasan Timur Indonesia.
Yogyakarta: Penerbit Media Pressindo.
.
9
Top Related