1
Guidelines Mediasi
Untuk Direktorat Jenderal
Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM RI
2
Daftar Isi
Ringkasan Eksekutif.................................................................................................3
1. Pengantar Alternatif Penyelesaian Sengketa.....................................................5
1.1. APS di Indonesia................................................................................................6
1.2. APS di WIPO....................................................................................................10
1.3. Keuntungan APS dalam Perselisihan Kekayaan Intelektual.............................11
2. Pusat Mediasi Nasional (PMN)...........................................................................15
2.1. Lembaga PMN.................................................................................................15
2.2. Pelatihan Mediasi di PMN................................................................................16
2.3. Materi Pelatihan...............................................................................................17
2.3.1. Mindset Keadilan Pancasila dalam Bernegosiasi dan Bermediasi..................17
2.3.2. Analisa Konflik..............................................................................................19
2.3.3. Negosiasi.......................................................................................................19
2.3.4. Mediasi..........................................................................................................20
2.3.5. Keterampilan Mediator..................................................................................20
2.3.6. Simulasi Mediasi...........................................................................................21
2.3.7. Masalah-Masalah Kritis................................................................................21
2.3.8. Ujian Tertulis................................................................................................21
3. Prosedur Mediasi................................................................................................22
3.1. Review Prosedur Mediasi di Ditjen HAKI.........................................................22
3.1.1. Peraturan Terkait..........................................................................................22
3.1.2. Referensi Manajemen Kasus Sengketa Merek Orchad...................................23
3.1.2.1. Temuan-temuan..........................................................................................23
3.1.3. Analisis Kebutuhan Petunjuk Pelaksaanan Mediasi Sengketa HAKI.............24
3.1.4. Beberapa Hal Kritis.......................................................................................25
3.1.5. Kesimpulan....................................................................................................28
3.2. Prosedur APS (Mediasi) di WIPO.....................................................................29
3.3. Prosedur Mediasi, Pusat Mediasi Nasional (PMN)...........................................34
3.3.1. Pendaftaran Mediasi......................................................................................34
3.3.2. Tahapan Mediasi...........................................................................................34
3
Ringkasan Eksekutif
Pada umumnya para pihak yang sedang menghadapi sengketa, baik secara mandiri
atau kelembagaan, selalu menginginkan agar permasalahan yang dihadapi dapat
diselesaikan dengan baik. Beberapa model penyelesaian sengketa dibuat dan dijalankan
seperti yang telah dipraktekkan pada badan peradilan. Badan peradilan
merupakan lembaga tertua yang dianggap dapat memberikan putusan yang mendekati
adil bagi para pencari keadilan. Peradilan menjadi tumpuan para pihak yang sedang
bersengketa guna mencari penyelesaian yang adil dengan meminta putusan tentang siapa
yang benar dan siapa yang salah dalam perkara mereka. Namun demikian, banyak dari
putusan hakim dirasa masih belum memenuhi rasa keadilan para pihak. Hal ini dapat
dilihat pada masih banyaknya pihak yang akhirnya mengajukan banding dan kasasi atas
putusan yang diterima dari pengadilan tingkat pert`ama. Ketidakpuasan tersebut
menyebabkan proses peradilan yang berkepanjangan dan menghabiskan banyak biaya.
Keadaan ini yang akhirnya mendorong pihak yudikatif (Mahkamah Agung) dan lembaga
serta instansi lainnya untuk mengedepankan dialog diantara para pihak yang
berkepentingan dalam menyelesaikan permasalahan mereka, seperti negosiasi (kembali)
dan mediasi.
Proses mediasi menjadi suatu cara untuk membantu para pihak menegosiasikan
(kembali) kepentingan-kepentingannya. Dalam mediasi, mediator berperan untuk
membantu merumuskan masalah berdasarkan harapan, kebutuhan, dan kekhawatiran
(interest) para pihak. Mediator mengajak para pihak untuk saling berempati, sehingga
para pihak bisa saling memahami interest pihak lainnya, dengan harapan dapat
menurunkan ego masing-masing. Mediator juga berperan memfasilitasi negosiasi serta
membantu para pihak mengkaji resiko atas keputusan yang akan diambil. Proses mediasi
dimulai dari itikad baik dan kesukarelaan para pihak untuk menyelesaikan
permasalahannya. Dalam perkembangannya, pemanfaatan mediasi bahkan dapat
digunakan sebagai upaya penghindaran sengketa, mencegah terjadinya atau
membesarnya suatu sengketa.
Pusat Mediasi Nasional mengkampanyekan pemanfaatan mediasi sebagai upaya
awal penyelesaian sengketa (setelah negosiasi tidak berhasil mencapai kesepakatan),
salah satunya, dengan mengadakan pelatihan-pelatihan mediasi. Pelatihan memberikan
4
perhatian pada keterampilan mendengar dan bertanya, sebagai soft-skill yang perlu
dikuasai oleh seorang mediator. Selain itu peserta akan dilatih untuk dapat memandu
jalannya negosiasi yang sistematis/terstruktur.
Dalam guidelines ini dipaparkan pandangan PMN mengenai mediasi dalam
kaitannya dengan Alternative Dispute Resolution (ADR). Selain itu, dipaparkan juga
mengenai ADR di WIPO (World Intellectual Property Organization) dan tahapan mediasi
yang diterapkan di PMN. Guidelines ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan
Kementerian Hukum dan HAM khususnya Direktorat Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual, dalam menyusun suatu sistem penyelesaian sengketa.
5
1. Pengantar Alternatif Penyelesaian Sengketa
Perselisihan (persengketaan atau konflik) merupakan keterberian manusia sebagai
mahluk sosial yang senantiasa hidup berdampingan dalam suatu kedinamisan. Berbagai
kepentingan dan kebutuhan dari subjek hukum baik perorangan maupun entitas seringkali
bersinggungan dengan kepentingan dan kebutuhan dari subjek hukum lainnya.
Persinggungan ini tentunya merupakan bagian dari kedinamisan hubungan manusia yang
lumrah dan wajar, bahkan bila sampai menimbulkan perselisihan.
Memang menjadi sangat tepat bila sedapat mungkin persinggungan karena
perbedaan kepentingan dan kebutuhan itu diminimalisasi. Namun, ketika upaya itu sudah
secara maksimal dilakukan, dan masih juga terjadi persinggungan yang menimbulkan
perselisihan, maka yang perlu menjadi perhatian kita semua adalah bagaimana
perselisihan atau persengketaan atau konflik itu diselesaikan dengan cara yang bijaksana
oleh para pihak yang berkepentingan.
Di dalam semua bidang kehidupan baik, perdagangan, bisnis, pemerintahan,
keluarga dan berbagai interaksi sosial lainnya, setiap manusia senantiasa dihadapkan
pada kesempatan untuk bernegosiasi. Aparatur Pemerintah dengan warga; perusahaan
dengan masyarakat; penjual dan pembeli; produsen dan konsumen; customer service
dengan pelanggan; divisi SDM dengan karyawan; bahkan dalam rumah tanggapun
antara orang-tua dan anak seringkali bernegosiasi. Semakin konstruktif proses negosiasi
dilakukan maka akan semakin efisien dan komprehensif kesepakatan yang dicapai dan
tentunya semakin minimal pula potensi perselisihan yang akan terjadi.
Dalam kenyataan di lapangan, proses negosiasi tidak selalu berjalan dengan baik.
Beberapa faktor seperti pemahaman tentang negosiasi, keterampilan dalam bernegosiasi,
sikap atau gaya para negosiator, serta masalah otoritas, untuk menyebut beberapa
diantaranya, sering dianggap sebagai penyebab tidak konstruktifnya suatu proses
negosiasi yang pada akhirnya menyebabkan para pihak tidak mendapatkan kesepakatan.
Dalam perkembangan penyelesaian sengketa, kegagalan negosiasi masih akan
mendapatkan peluang, atau pada beberapa kasus justru mendapatkan peluang lebih besar,
mencapai suatu kesepakatan atau penyelesaian dengan adanya bantuan mediator.
6
Mediator pada dasarnya memfasilitasi para pihak dalam bernegosiasi secara
konstruktif guna mencapai suatu kesepakatan. Seorang mediator sangat memahami
bagaimana cara yang efektif dan efisien dalam bernegosiasi.
Pemahaman dan kemampuan mediator dalam hal negosiasi selain berguna dalam
memandu negosiasi diantara para pihak yang berselisih umumnya juga meningkatkan
kapasitasnya untuk menjadi seorang negosiator yang handal.
1.1. APS di Indonesia Di Indonesia, Alternative Dispute Resolution (ADR) yang padanannya dalam
Bahasa Indonesia ada yang menyebut Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau ada
juga yang mengartikan sebagai suatu pengelolaan konflik berdasarkan manajemen
kooperatif (cooperation conflict management). Perbedaan penyebutan tidak menjadi
permasalahan. Yang paling utama, adalah maksud bahwa APS atau APS adalah suatu
penyelesaian masalah atau konflik secara damai.1
Berikut pengertian proses APS:
Arbitrase
Apabila batasan APS yang digunakan adalah proses penyelesaian sengketa di luar
penyelesaian secara litigasi di Pengadilan, maka arbitrase bisa dianggap sebagai bagian
dari APS. Beberapa karakteristik arbitrase adalah:
- Adanya pihak ketiga yang netral (arbiter) yang akan membuat keputusan final dan
mengikat;
- Arbiter merupakan seorang ahli pada bidangnya dan dipilih oleh para pihak yang
bersengketa;
- Prosesnya lebih cepat, informal, dan fleksibel, dibandingkan proses litigasi.
Konsultasi
Konsultasi tidak dijelaskan dalam UU nomor 30/1999. Secara bahasa dan proses,
konsultasi merupakan suatu proses meminta pendapat dan diskusi kepada pihak yang
1 Nugroho, Susanti Adi. (2009). Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT. Telaga Ilmu
Indonesia; 2009
7
ahli (dalam hal teknis maupun best practice) ataupun berwenang (sebagai pembuat
aturan ataupun yang mengawasi penerapan peraturan).
Negosiasi
Proses komunikasi dua arah yang dilakukan untuk mencapai kesepakatan para pihak
yang memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun berbeda.2 Biasa disebut juga
sebagai tawar menawar.
Mediasi
Merupakan negosiasi yang mengikutsertakan pihak ketiga yang ahli dalam cara-cara
negosiasi yang efektif dan dapat membantu para pihak yang sedang dalam sengketa
dengan mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan, agar lebih efektif dalam bernegosiasi.3
Konsiliasi
- Proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan yang dipandu oleh
pihak ketiga independen (Konsiliator);
- Konsiliator diperankan oleh ahli atau orang yang memiliki keahlian dan
berpengalaman dalam subyek sengketa dan juga berkeahlian mediasi;
- Konsiliator aktif intervensi pada substansi, opsi-opsi, memberikan rekomendasi,
mempengaruhi pihak, mempengaruhi hasil;
- Konsiliator akan mengarahkan agar kesepakatan sesuai dengan aturan dan
prosedur yang berlaku, sehingga perannya tidak senetral mediator, hasil
kesepakatannya tidak sebebas mediasi;
- Biasanya dilakukan oleh atau merupakan fasilitas pada lembaga publik;
- Biasanya less voluntary. 4
Penilaian Ahli
2 ibid 3 Christopher W. Moore, The Mediation Process (1986)] 4 PMN, Penyelesaian Sengketa Yang Efektif dan Efisien, materi presentasi kepada LKPP, 2019.
8
Merupakan cara penyelesaian sengketa oleh para pihak dengan meminta pendapat
atau penilaian ahli terhadap perselisihan yang sedang terjadi. 5
Hasil dari penilaian ahli berupa keterangan tertulis yang merupakan hasil telaahan
ilmiah berdasarkan keahlian yang dimiliki untuk membuat terang pokok sengketa.
Penilaian ahli ini dapat diperoleh dari seseorang atau Tim ahli yang dipilih secara ad
hoc.6 Penilaian ahli ini bisa mengikat dan bisa juga tidak mengikat, tergantung pada
kesepakatan para pihak ataupun aturan yang berlaku.
Menurut Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, APS adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat
melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan
dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.7
Pada pasal 6 undang-undang tersebut, pemerintah telah menyediakan beberapa
pranata pilihan penyelesaian sengketa secara damai yang dapat ditempuh oleh para pihak
untuk menyelesaikan sengketa yang dialami dengan menggunakan proses konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.
Namun Undang-undang No. 30 Tahun 1999 hanya menitikberatkan pada arbitrase
saja, tidak begitu dijelaskan mengenai proses penyelesaian sengketa yang lain, sehingga
kurang bisa dijadikan rujukan.
Di Indonesia, peraturan mengenai APS dalam hal ini mediasi masih bersifat
sektoral, pada beberapa lembaga, peraturan sudah mulai diorientasikan untuk
mendahulukan upaya mediasi, seperti:
1. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 mengenai Prosedur Mediasi
di Pengadilan
Pasal 3
(1) Setiap Hakim, Mediator, Para Pihak dan/atau kuasa hukum wajib
mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi.
5 Takdir Rahmadi. 2011. Mediasi: Penyelesaian Sengketa melalui Pendekatan Mufakat. Jakarta: Rajawali Pers. 6 http://arsyadshawir.blogspot.com/2013/03/alternatif-penyelesaian-sengketa.html 7 UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa.
9
2. Undang Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
Pasal 95
(4) Selain pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait dalam bentuk Pembajakan, sepanjang para pihak yang bersengketa diketahui keberadaannya dan/atau berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus menempuh terlebih dahulu penyelesaian sengketa melalui mediasi sebelum melakukan tuntutan pidana.
3. Undang Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 76
(1) Untuk mencapai tujuannya, Komnas HAM melaksanakan fungsi
pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak
asasi manusia.
4. Peraturan Kepala Kepolisian No. 3 Tahun 2015 Tentang Pemolisian
Masyarakat
Tugas Pengemban Pemolisian Masyarakat:
Pasal 16
(a) Melaksanakan pembinaan masyarakat, deteksi dini, negosiasi/mediasi,
identifikasi, dan mendokumentasi data komunitas di tempat penugasannya
yang berkaitan dengan kondisi Kamtibmas.
Fungsi Bhabinkamtibmas:
Pasal 26
(1.h) Melaksanakan konsultasi, mediasi, negosiasi, fasilitasi, motivasi kepada
masyarakat dalam Harkamtibmas dan pemecahan masalah kejahatan dan
sosial.
5. Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 18
Tahun 2018 Tentang Layanan Penyelesaian Sengketa Kontrak Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah
Pasal 3
(1) Ruang lingkup Layanan Penyelesaian Sengketa Kontrak Pengadaan
adalah:
10
a. Mediasi;
b. Konsiliasi; dan
c. Arbitrase.
Kata “alternatif” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pilihan di antara
dua atau beberapa kemungkinan.8 Melihat perkembangan trend Mediasi sekarang ini
seperti yang telah disinggung diatas yaitu: proses mediasi yang wajib di lingkungan
peradilan perdata, proses mediasi wajib/harus ditempuh pada sengketa Hak Cipta, proses
mediasi yang mandatori untuk Komisi Nasional Hak Asasi, juga proses mediasi yang
terdapat di dalam tugas fungsi Polisi bersifat mandatori dan juga tugas dari sub direktorat
penanganan permasalahan kontrak barang dan jasa di LKPP, dapat disimpulkan bahwa
kecenderungan proses mediasi bukanlah merupakan suatu pilihan lagi namun untuk
didahulukan atau diutamakan, dibandingkan dengan pilihan proses penyelesaian sengketa
yang lain.
1.2. APS di WIPO Didirikan pada tahun 1967, World Intellectual Property Organization (WIPO)
adalah sebuah badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bertujuan untuk mempromosikan
perlindungan kekayaan intelektual melalui kerja sama antar negara. Dalam kerangka
kerja yang lebih besar ini, Kantor Pusat WIPO didirikan pada tahun 1994 sebagai
penyelesaian sengketa yang netral, independen dan nirlaba provider. Ini adalah satu-
satunya penyedia layanan APS internasional khusus untuk sengketa kekayaan intelektual,
dan merupakan lembaga terkemuka dalam administrasi sengketa nama domain Internet.
Sekretariat WIPO mengelola mediasi, arbitrase, arbitrase yang dipercepat dan
prosedur penentuan ahli yang dilakukan berdasarkan Peraturan WIPO. Pada 2018, lebih
dari 560 kasus dengan nilai mulai dari USD 20.000 hingga beberapa ratus juta USD telah
dikelola oleh WIPO. Layanan WIPO APS telah digunakan oleh bisnis dari semua ukuran
dan organisasi penelitian dari lebih dari 60 negara. Selain itu, Kantor Pusat WIPO bekerja
sama dengan IPO untuk meningkatkan kesadaran akan keuntungan yang ditawarkan oleh
APS untuk menyelesaikan sengketa kekayaan intelektual dan teknologi di luar
pengadilan. Kantor Pusat WIPO juga telah membantu pembentukan prosedur
8 https://kbbi.web.id/alternatif
11
penyelesaian perselisihan bersama oleh IPO, misalnya, di Kolombia, Filipina, Singapura,
Republik Korea dan Polandia untuk memfasilitasi penggunaan proses APS untuk
sengketa yang dikelola oleh IPO ini. WIPO juga telah mengembangkan prosedur
penyelesaian perselisihan yang dibuat khusus untuk industri tertentu, dan menyediakan
program pelatihan untuk mediator dan arbitrator. Dengan jaringan luas pakar kekayaan
intelektual dan APS, dan netralitas internasional WIPO, Kantor Pusat WIPO berada di
garis depan APS untuk sengketa kekayaan intelektual.
Penggunaan APS untuk sengketa kekayaan intelektual sudah ada sejak abad ke-
19. Di Swedia, tahun 1834 peraturan kerajaan mengamanatkan arbitrase untuk menentang
pendaftaran paten, dan praktisi hukum di Inggris merekomendasikan arbitrase untuk
sengketa paten pada awal 1855. Di Amerika Serikat, arbitrase digunakan pada awal abad
ke-20 untuk klaim yang timbul dari pendaftaran desain, serta sengketa paten dalam
industri pesawat. Namun, terlepas dari contoh-contoh awal ini, APS tidak banyak
digunakan untuk sengketa kekayaan intelektual bahkan hingga akhir abad ke-20.9
1.3. Keuntungan APS dalam Perselisihan Kekayaan Intelektual • Otonomi Pihak
Para pihak dapat memilih proses APS yang paling sesuai dengan perselisihan mereka
seperti mediasi, arbitrase, dan penentuan ahli.
• Proses Tunggal dan Yurisdiksi yang Netral
Para pihak dalam perselisihan lintas batas juga menghargai netralitas yurisdiksi; tidak
ada yang mau sengketa diadili di negara pihak lawan mereka. Proses APS
memungkinkan netralitas yurisdiksi atas pengadilan domestik karena mereka
menyediakan forum netral untuk penyelesaian sengketa. Para pihak dapat memilih
proses yang tidak didasarkan pada yurisdiksi yang sama dengan para pihak,
menggunakan hukum netral untuk mengatur sengketa, dan menyepakati lokasi netral.
Aturan APS, seperti yang dibuat oleh WIPO, juga netral terhadap hukum, bahasa dan
9 WIPO Guide on Alternative Dispute Resolution (ADR) Options for Intellectual Property Offices and
Courts, 2018, https://www.wipo.int/edocs/pubdocs/en/wipo_pub_guide_APS.pdf
12
budaya para pihak. Netralitas yurisdiksi memberi proses APS keuntungan yang lebih
dibandingkan proses litigasi untuk sengketa kekayaan intelektual lintas batas.
• Berkeahlian Khusus dan Independen
Proses APS memungkinkan para pihak untuk memilih pengambil keputusan, atau
fasilitator yang netral dengan keahlian khusus.
• Sederhana dan Fleksibel
Proses APS secara prosedural sederhana dan fleksibel bila dibandingkan dengan
litigasi. APS memberi para pihak kebebasan untuk menyepakati pelaksanaan proses,
dan memilih aturan prosedural yang sesuai.
• Hemat Waktu
• Hemat Biaya
Penghematan waktu karena proses APS juga secara alami diterjemahkan menjadi
penghematan biaya.
• Kerahasiaan
Kerahasiaan adalah keuntungan utama APS karena memungkinkan para pihak untuk
secara efektif mengontrol pengungkapan dan akses ke informasi sensitif.
• Final
Secara umum, proses APS dapat memberikan hasil yang mengikat yang memberikan
resolusi tertentu dan konklusif untuk perselisihan. Proses APS lainnya dapat
mengambil manfaat dari finalitas putusan arbitrase. Misalnya, penyelesaian mediasi
13
biasanya mengatur kontrak yang dapat dibawa ke proses litigasi di masa depan. Untuk
menghindari masalah seperti itu, para pihak dapat menggunakan proses APS hybrid
seperti Med-Arb atau menunjuk mediator mereka sebagai arbiter, untuk merekam
penyelesaian mediasi mereka dalam pemberian persetujuan.
• Kekuatan Eksekutorial
Proses APS memberikan hasil yang dapat ditegakkan secara internasional yang
berguna untuk sengketa kekayaan intelektual lintas batas. Arbitrase sangat populer
untuk sengketa semacam itu karena Konvensi New York memungkinkan putusan
arbitrase diberlakukan di sebagian besar negara di dunia. Di banyak negara
mengkonfirmasi bahwa para pihak dapat secara sah mengajukan sengketa kekayaan
intelektual ke arbitrase yang berlaku di antara para pihak. Penyelesaian mediasi,
sebagai pengaturan kontrak, juga dapat mengikat pihak-pihak dari yurisdiksi yang
berbeda.
• Beragam Solusi
Mediasi memberikan pihak kesempatan untuk bernegosiasi win-win atau solusi
kreatif lainnya yang memenuhi kepentingan mereka. Dalam arbitrase, substansi
putusan arbitrase ditentukan oleh majelis arbitrase. Di luar putusan akhir, para pihak
dapat mengajukan petisi majelis arbitrase untuk meminta bantuan sementara dalam
bentuk perintah, atau keamanan untuk biaya.
• Keunggulan Khusus untuk IPO
APS memberikan banyak manfaat bagi Intellectual Property and Copyright Offices
(IPO) atau bisa diterjemahkan sebagai kantor layanan HKI, yang memilih untuk
menawarkan atau mempromosikannya sebagai bagian dari layanan mereka. Dengan
mengarahkan perselisihan yang tepat melalui APS, IPO dapat mengurangi tumpukan
kasus dan meningkatkan efisiensi administrasi. Selain itu, promosi proses APS akan
menempatkan IPO pada posisi yang lebih baik untuk melayani UKM atau individu
yang mungkin tidak memiliki sumber daya untuk menuntut atau mempertahankan
klaim kekayaan intelektualnya. APS dapat mendorong para penemu dan inovator
untuk mendapatkan pengakuan hukum atas kreasi mereka, yang ini akan membantu
mendorong penciptaan kekayaan intelektual. Karena proses APS juga sangat berguna
14
untuk perselisihan lintas batas, maka pilihan-pilihan penyelesaian sengketa ini juga
dapat membantu IPO memberikan dukungan yang lebih kuat untuk bisnis
internasional, yang akan memfasilitasi eksploitasi internasional atas hak kekayaan
intelektual.
Dengan demikian, menyediakan dan mempromosikan opsi APS untuk sengketa
kekayaan intelektual, kemampuan IPO untuk menciptakan lingkungan yang kondusif
untuk penciptaan, perlindungan, dan eksploitasi hak kekayaan intelektual akan
meningkat. Layanan APS semacam itu dapat membantu IPO menciptakan infrastruktur
kekayaan intelektual yang ramah bisnis dan inovatif, dan dengan demikian
memungkinkan mereka (IPO) menyediakan layanan terkait kekayaan intelektual yang
menyeluruh.10
10 ibid
15
2. Pusat Mediasi Nasional (PMN)
2.1. Lembaga PMN Pusat Mediasi Nasional adalah sebuah lembaga professional, independent dan
nirlaba yang bertujuan memajukan mediasi di Indonesia. Para anggota pendiri PMN
terdiri dari mediator alumni Satuan Tugas Prakarsa Jakarta (JITF)11 yang berpengalaman
dalam mempraktekkan mediasi baik pada tingkat nasional maupun internasional. Pada
akhir masa kerja Satuan Tugas Prakarsa Jakarta, Desember 2003, total kesepakatan
restrukturisasi utang korporasi yang dicapai melalui mediasi adalah sebesar US$20,5
miliar yang terdiri dari 96 grup perusahaan.
Setelah diresmikan oleh Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Koordinator
Bidang Perekonomian pada tanggal 4 September 2003, PMN memperoleh akreditasi dari
Mahkamah Agung RI, yang saat ini memasuki periode kelima, berdasarkan Surat
Keputusan Ketua Mahkamah Agung R.I. No. 95/KMA/SK/V/2018, tanggal 17 Mei 2018.
Dengan akreditasi ini, PMN dipercaya oleh Mahkamah Agung sebagai lembaga yang
dapat melakukan pelatihan dan menerbitkan Sertifikat Mediator di Indonesia. Mediator
yang memiliki Sertifikat Mediator yang diterbitkan oleh lembaga yang diakreditasi
Mahkamah Agung seperti PMN, dapat mendaftarkan diri pada setiap pengadilan di
Indonesia sebagai Mediator Tercatat di pengadilan tersebut. Selain itu, kasus yang
dimediasi di luar pengadilan dan mencapai kesepakatan dalam mediasi yang dipandu oleh
mediator bersertifikat, kesepakatannya dapat diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan
putusan perdamaian, yakni, kesepakatan yang mempunyai kekuatan memaksa
(eksekutorial).
Sampai saat ini (Februari 2019), PMN telah melakukan pelatihan mediasi 40-jam
bersertifikat sebanyak 116 angkatan di Jakarta untuk umum, termasuk diantaranya
sebanyak 12 kali untuk Bank Indonesia dan 9 kali untuk Otoritas Jasa Keuangan
(OJK). Selain untuk kelas umum, PMN dengan dukungan lembaga donor, juga
menyelenggarakan pelatihan mediasi 40-jam bersertifikat, sebanyak 5 kali, khusus untuk
hakim di Bogor, Semarang, Bandung dan Surabaya.
11 IMF Country Report No. 04/189, July 2004 at https://www.imf.org/
external/pubs/ft/scr/2004/cr04189.pdf
16
Pusat Mediasi Nasional, selain memiliki program untuk menyiapkan mediator -
mediator yang kompeten, juga melakukan pelatihan-pelatihan negosiasi dan pelatihan
singkat mediasi in-house bagi perusahaan dan institusi. Lembaga yang mengirimkan
peserta pada pelatihan di PMN diantaranya adalah dari Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Ombudsman RI, Kementerian Luar Negeri, KPPPA, Departemen
Perdagangan, Bank Indonesia, BNP2TKI, Komnas HAM, DepkumHAM, Kejaksaan,
Pusdiklat KNPK STAN, BPSK, LPMAK, LKPP, BPK RI, LAN, BPN, Sinar Mas Grup,
PT Holcim Indonesia serta OJK.
Selain aktif dalam penyelenggaraan pelatihan mediasi yang dilakukan oleh PMN
sendiri, para pengajar pada pelatihan PMN juga membantu mengajar dan menjadi nara-
sumber pada berbagai kesempatan, diantaranya pada acara workshop Badan Arbitrase
Pasar Modal Indonesia (BAPMI), LKPP, BNP2TKI, Dewan Pers, pelatihan mediasi di
Universitas Atmajaya Jakarta, Universitas Tarumanagara, Universitas Gadjah Mada,
Universitas Hasanuddin, pelatihan mediasi bagi hakim dan calon hakim di Diklat
Mahkamah Agung RI, dan juga membantu mahasiswa-mahasiswa S-1/S-2 dalam
pengerjaan tesis seputar mediasi. Sebelumnya, PMN juga menjadi anggota Kelompok
Kerja Mediasi di Mahkamah Agung RI (WG-1: PerMa 1/2008 dan WG-2: Monitoring
implementasi PerMA 1/2008).
Dalam hal pengembangan lebih lanjut profesi mediator, PMN bersama Singapore
Mediation Centre, Philippine Mediation Centre, Hong Kong Mediation Centre, dan
Malaysia Mediation Centre mendirikan Asian Mediation Association (AMA)12 pada 17
Agustus 2007.
2.2. Pelatihan Mediasi di PMN Pusat Mediasi Nasional (PMN), menyiapkan para profesional mediator yang
kompeten, yaitu sebagai pihak ketiga yang imparsial (tidak memihak) yang mampu
membimbing proses mediasi, dengan membantu dan mendorong Para Pihak berselisih
agar:
12 https://asian-mediationassociation.org/ama/
17
• Para Pihak berselisih dapat berkomunikasi secara berkesinambungan dan
bekerjasama untuk mencapai suatu penyelesaian dengan itikad baik;
• Para Pihak berselisih dapat menyampaikan permasalahan, kepentingan, kekhawatiran
dan harapan dari satu pihak ke pihak lainnya;
• Para Pihak berselisih dapat secara bersama-sama mengidentifikasi permasalahan-
permasalahan yang perlu dimusyawarahkan;
• Para Pihak berselisih dapat menciptakan, mengembangkan dan mempertimbangkan
berbagai bentuk alternatif penyelesaian;
• Para Pihak berselisih dapat mengkaji berbagai kemungkinan resiko dan implikasinya;
dan
• Para Pihak berselisih dapat menyelesaikan persengketaannya secara suka rela,
mencapai kesepakatan yang sukarela dan melaksanakan kesepakatan secara sukarela
pula.
Untuk dapat menjadi seorang mediator yang kompeten, maka para calon mediator
harus terlebih dahulu melalui beberapa proses yaitu mendapatkan pelatihan dengan
mengikuti suatu standar pelatihan yang terakreditasi, mengikuti tahapan pengujian dan
dinyatakan lulus sebagai mediator bersertifikat. Proses ini menjadi sangat penting dalam
rangka memastikan para calon mediator mampu berperan/bertugas membantu para pihak
bernegosiasi dalam proses mediasi secara optimal sesuai dengan standar tahapan mediasi
dan kode etik mediator.
2.3. Materi Pelatihan Penyelenggaraan Pelatihan Mediasi ini berdurasi 40-jam termasuk ujian praktek
untuk sertifikasi mediator. Materi pelatihan mengacu kepada silabus Pelatihan Mediasi
40-jam yang disusun bersama dengan Mahkamah Agung RI.
Pelatihan meliputi teori dan praktek mediasi, dengan memberikan penekanan
pada studi kasus dalam bentuk simulasi kelompok yang dipandu oleh mediator.
2.3.1. Mindset Keadilan Pancasila dalam Bernegosiasi dan Bermediasi Keberhasilan seorang Mediator melakukan perannya secara optimal membantu
dan memfasilitasi para pihak dalam bernegosiasi menuju kesepakatan yang dirasakan adil
18
oleh para pihak, selain sangat tergantung pada keahliannya juga sangat dipengaruhi oleh
mindset atau paradigma keadilannya. Seorang calon Mediator menjadi perlu terlebih
dahulu memahami secara mendalam bagaimana paradigma keadilan yang seyogyanya
dimiliki baik oleh Mediator maupun dimiliki oleh para pihak. Dengan masih dianutnya
sistem nilai ideologi Pancasila maka bagi bangsa Indonesia MEDIASI bukanlah sebuah
upaya alternatif dalam penyelesaian perselisihan. Secara rasional MEDIASI
merupakan upaya UTAMA yang wajib didahulukan sebelum ajudikasi (diputus oleh
pihak ketiga/hakim/arbiter).
Fokus:
• Mereorientasi makna keadilan yang lebih mendekati adil
• Memahami rasionalitas mediasi sebagai upaya yang seyogyanya diutamakan
dalam penyelesaian sengketa/konflik/perselisihan
• Memahami peran dan keberadaan mediasi di dalam sistem hukum Indonesia
• Memahami hakikat mediasi bagi bangsa Indonesia
Tujuan:
• Mediator dapat membantu Para Pihak agar tidak lagi berfokus pada konsepsi
legistik (siapa yang salah melanggar hukum/siapa yang benar sesuai hukum);
• Mediator dapat membantu Para Pihak agar lebih dapat menggali dan
mengidentifikasi permasalahan yang sesungguhnya;
• Mediator dapat membantu Para Pihak agar lebih saling berempati terhadap
keadaan masing-masing pihak;
• Mediator dapat membantu Para Pihak agar lebih dapat memahami
akibat/konsekuensi dari suatu perbuatan yang merusak hubungan para pihak yang
berkonflik;
• Mediator dapat membantu Para Pihak agar lebih dapat menaruh perhatian pada
kekhawatiran dan harapan dari masing-masing pihak;
• Mediator dapat membantu Para Pihak untuk memetakan tindakan apa saja yang
perlu dilakukan oleh para Pihak, yang dapat mengakomodir kekhawatiran dan
harapan para pihak;
19
• Mediator dapat mendorong para pihak untuk merajut kembali hubungan yang
rusak menjadi pulih, sehingga menutup potensi meluasnya kerusakan hubungan
lebih lanjut.
• Memberikan landasan kuat untuk mendorong dan mempromosikan mediasi
sebagai akses terhadap keadilan yang berdasarkan pada Pancasila,
• Menginternalisasikan nilai musyawarah mufakat yang diliputi suasana
kekeluargaan, kebersamaan dan gotong royong, sebagai kesatuan nilai yang
membangun unsur utama dalam MEDIASI yaitu itikad baik dan
kesukarelaan para pihak
2.3.2. Analisa Konflik Sebagai langkah awal dalam menyelesaikan suatu persengketaan, maka
diperlukan pemahaman atas berbagai bentuk, sumber, pendekatan dan langkah-langkah
yang diperlukan dalam mengidentifikasi asal-usul persengketaan kedalam suatu analisa
konflik.
Fokus:
• Teknik pemetaan konflik
• Bentuk-bentuk intervensi
Tujuan:
Memahami dan menyiapkan bentuk intervensi yang tepat untuk suatu konflik yang telah
teridentifikasi.
2.3.3. Negosiasi Mengingat mediasi merupakan pengembangan proses negosiasi, maka sebagai
langkah awal diperlukan pemahaman dari sisi teori maupun praktek tentang negosiasi
yang tidak melibatkan pihak ketiga sebagai penengah.
Para peserta akan mendapat pemahaman 2 (dua) bentuk strategi negosiasi utama
dengan melihat dari sisi kelebihan dan kekurangan masing-masing, serta karakteristik
negosiator yang unggul.
20
Fokus:
• Negosiasi berdasar keinginan (positional based)
• Negosiasi berdasar kebutuhan (interest based)
• Trik dalam negosiasi
• Simulasi negosiasi
Tujuan:
Untuk dapat lebih memahami teknik, kecakapan dan strategi negosiasi.
2.3.4. Mediasi Pelatihan akan fokus kepada model mediasi fasilitatif yang telah terbukti dapat
diterapkan untuk berbagai jenis persengketaan. Ini disebabkan karena model fasilitatif
menekankan bentuk penyelesaian yang berasal dari para pihak yang bersengketa, bukan
atas dasar usulan ataupun desakan mediator.
Model mediasi tersebut diterapkan ke dalam suatu proses mediasi yang terbagi
menjadi 2 (dua) tahapan utama yaitu tahap indentifikasi dan tahap pemecahan masalah.
Tujuan:
Penguasaan dan pemahaman atas tahapan mediasi. Penguasaan ini sangat penting dalam
membangun kredibilitas mediator.
2.3.5. Keterampilan Mediator Dasar kompetensi seorang mediator adalah kemampuan serta kecakapan mediator
untuk membantu para pihak berkomunikasi secara jelas. Mengingat ketiadaan /
ketidakjelasan komunikasi merupakan penyebab utama kegagalan negosiasi.
Fokus:
Kecakapan / keahlian dasar dalam:
• Mendengar aktif dan mengidentifikasi permasalahan;
• Menggali kebutuhan dengan cara mengajukan pertanyaan dengan benar dan tepat
waktu;
• Reframing (menyusun ulang kalimat menjadi konstruktif);
• Menyiapkan rangkuman.
Para peserta juga akan mempraktekkan keterampilan ini pada simulasi kasus mediasi.
21
Tujuan :
Yang menjadi ciri keahlian seorang mediator/ negosiator adalah kemampuannya
memperoleh informasi penting tentang permasalahan dari para pihak. Para peserta
dituntut untuk dapat menunjukan penerapan dari keterampilan tersebut.
2.3.6. Simulasi Mediasi Akan dilakukan pengembangan kecakapan peserta melalui partisipasinya pada
berbagai bentuk simulasi. Para peserta pelatihan akan diberikan kesempatan untuk
menjadi pihak yang bersengketa dan menjadi mediator. Sesi ini akan diadakan tujuh kali.
Tujuan:
Peserta dapat menerapkan tahapan mediasi dan keterampilan mediator dalam
membimbing pihak yang sedang bersengketa guna mencapai mufakat. Peserta akan
mencoba memberi respon terhadap hal-hal yang mungkin terjadi dalam suatu proses
mediasi, seperti menghadapi pihak yang cerewet, mau menang sendiri, tidak sabar
dan lain-lain. Melatih peserta bila menghadapi keadaan negosiasi yang buntu ataupun
mendapati situasi dimana terjadi ketidakseimbangan kekuatan diantara para pihak,
termasuk menangani mediasi dengan lebih dari dua pihak (multi-parties).
2.3.7. Masalah-Masalah Kritis Sesi ini akan mendalami masalah-masalah kritis atau kasus-kasus khusus dalam mediasi.
Fokus:
• Menangani kebuntuan dan pihak yang mudah beremosi
• Berbagai bentuk intervensi mediator.
2.3.8. Ujian Tertulis Pelatihan ditutup dengan ujian tertulis bagi para peserta yang memenuhi syarat
kehadiran yang telah ditentukan. Peserta mengikuti ujian esai tutup buku (closed book)
dengan durasi selama satu jam. Sesi ini diharapkan dapat memberikan gambaran sejauh
mana peserta mampu mengikuti dan memahami materi yang telah disampaikan, diskusi
yang telah dilakukan dan roleplay yang diikutinya. Nilai ujian tertulis akan
diperhitungkan bilamana hasil ujian simulasi lulus, yaitu melampaui nilai minimum
kelulusan.
22
3. Prosedur Mediasi
3.1. Review Prosedur Mediasi di Ditjen HAKI Sampai dengan saat ini Ditjen HAKI belum mempunyai Pedoman Petunjuk
Teknis bagi Mediator. PMN dalam hal ini telah menelaah peraturan terkait mediasi dan
memberikan masukan sebagai persiapan penyusunan Pedoman Petunjuk Teknis/SOP
untuk pelaksanaan mediasi pada Ditjen HAKI, yaitu berupa pertanyaan-pertanyaan yang
perlu didiskusikan terlebih dahulu secara internal DJHKI. Adapun hasil telaah tersebut,
sebagai berikut:
3.1.1. Peraturan Terkait 1. Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.HH-Ol.Hl.07.02 Tahun 2015
Tentang Petunjuk Pelaksanaan Manajemen Penyidikan Tindak Pidana Di Bidang
Kekayaan Intelektual.
2. Pasal 154 Undang Undang No. 13 Tahu n 2016 Tentang Paten
Dalam hal terjadi tuntutan pidana terhadap pelanggaran Paten atau Paten sederhana para pihak harus terlebih dahulu menyelesaikan melalui jalur mediasi
3. Pasal 95 (4 ) Undang Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
Selain pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait dalam bentuk Pembajakan, sepanjang para pihak yang bersengketa diketahui keberadaannya dan/atau berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus menempuh terlebih dahulu penyelesaian sengketa melalui mediasi sebelum melakukan tuntutan pidana.
4. Pasal 93 Undang Undang No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis
Selain penyelesaian gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.
Pasal 83 Undang Undang No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis
Junto Pasal 103 Undang Undang No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 sampai dengan Pasal 102 merupakan delik aduan.
23
5. Pasal 54 (3) Undang Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan delik aduan.
6. Pasal 17 (2) Undang Undang No. 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan delik aduan.
7. Pasal 42 (3) Undang Undang No. 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit
Terpadu
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan delik aduan
3.1.2. Referensi Manajemen Kasus Sengketa Merek Orchad
3.1.2.1. Temuan-temuan
Prosedur Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi
1. Penyidik menerima pengaduan dari Pelapor pada tanggal 5 Januari 2018, mengenai
dugaan pelanggaran merek sebagaimana dimaksud dalam pasal 100 dan pasal 102
UU No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis yang dilakukan oleh
Terlapor.
2. Adanya permohonan mediasi oleh Pemohon (Terlapor) terhadap pihak Termohon
(Pelapor), melalui kuasa hukumnya kepada Direktur Penyidikan dan Penyelesaian
Sengketa. Kemudian diterbitkan disposisi oleh Direktur Penyidikan dan
Penyelesaian Sengketa kepada Kasubdit Pencegahan dan Penyelesaian Sengketa
untuk menindaklanjuti permohonan mediasi tersebut. Selanjutnya, proses mediasi
dilakukan dengan difasilitasi oleh 4 orang mediator dan mendapatkan hasil bahwa
mediasi gagal memperoleh kesepakatan.
3. Mediasi dianggap gagal karena pihak Pemohon tidak menanggapi tawaran
perdamaian Termohon secara tertulis dalam jangka waktu 10 hari sejak mediasi
selesai dilaksanakan, atas tawaran ganti rugi sebesar Rp. 1.000.000.000,- dan juga
permohonan maaf di koran.
4. Jangka waktu mediasi dalam kasus “Orchard”, sejak permohonan mediasi diajukan
(30 Juli 2018) sampai dengan diterbitkannya Nota Dinas mengenai laporan Mediasi
24
tersebut (29 November 2018) adalah selama 122 hari. Apabila dihitung sejak
pertama kali kasus masuk melalui pengaduan (5 Januari 2018), maka lamanya
menjadi 328 hari.
5. Pada saat proses mediasi berlangsung, mediasi dihadiri oleh Pemohon, kuasa
hukum dari Pemohon, kuasa hukum dari Termohon serta tim mediator. Jumlah
keseluruhan orang yang hadir dalam mediasi tersebut adalah 9 orang.
3.1.3. Analisis Kebutuhan Petunjuk Pelaksaanan Mediasi Sengketa HAKI Bahwa selain pelanggaran berupa pembajakan, pada prinsipnya Pelanggaran
terhadap HAKI lainya adalah suatu bentuk pelanggaran pidana yang termasuk dalam
kategori delik aduan.
Bahwa delik aduan merupakan pengkategorian tindak pidana yang didasarkan
pada adanya suatu tuntutan dari pihak lain yang merasa dirugikan, atas suatu perbuatan
tertentu yang telah lebih dahulu diatur dalam peraturan perundangan sebagai suatu
perbuatan yang dapat dipidanakan.
Bahwa dengan didasarkan pada adanya pihak lain yang dirugikan, maka
sepanjang pihak lain tersebut tidak merasa dirugikan dan/atau telah tidak lagi merasa
dirugikan (telah diganti kerugiannya), maka penuntutan pidana tidak lagi diperlukan.
Bahwa dengan demikian peran Direktorat Jenderal HAKI, secara logis justru
perlu lebih mendahulukan dan/atau mengarusutamakan pada upaya-upaya yang
mendorong dan membantu para pihak untuk menemukan kesepakatan atas adanya
tuntutan ganti rugi tersebut.
Bahwa tuntutan ganti rugi —yang dapat berupa kerugian materiil (kerugian yang
secara obyektif memiliki dasar perhitungan (dapat dihitung)) dan kerugian immateriil
(kerugian yang bersifat subyektif dan tidak memiliki dasar perhitungan)— di lapangan
lebih sering menggunakan metoda penyelesaian melalui “negosiasi berdasarkan
keinginan” (positional based negotiation). Dimana pada model negosiasi tersebut, para
pihak akan melakukan tawar menawar dari posisi yang diinginkan. Berbeda dengan
model negosiasi yang biasanya terjadi dalam suatu mediasi. Mediator dapat memandu
proses negosiasi dan mengalihkan dari model negosiasi berdasar keinginan menjadi
“negosiasi berdasarkan kebutuhan” (interest based negotiation).
25
Bahwa “negosiasi berdasarkan kebutuhan” merupakan suatu proses perundingan
yang berupaya untuk saling mengakomodir harapan (suatu keadaan yang dikehendaki
terjadi di masa depan) dan mengantisipasi kekhawatiran (suatu keadaan yang tidak
dikehendaki terjadi di masa depan).
Keseluruhan kerangka berpikir tersebut di atas sudah nampak mulai
diimplementasikan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan diterbitkannya
beberapa undang undang dalam bidang HAKI yang mengharuskan para pihak untuk
terlebih dahulu menempuh proses mediasi sebelum melakukan tuntutan pidana.
Mediasi sebagai suatu proses sistematis dalam upaya menemukan kesepakatan
yang dapat diterima oleh para pihak dengan difasilitasi oleh mediator, merupakan upaya
yang paling tepat untuk ditempuh/diutamakan/didahulukan dalam menyelesaikan
sengketa HAKI. Tercapainya kesepakatan di antara para pihak ini, tentunya sangat
tergantung pada bagaimana proses mediasi itu dilakukan. Semakin baik proses mediasi
dilakukan maka akan semakin besar pula peluang para pihak menemukan kesepakatan
yang sukarela.
3.1.4. Beberapa Hal Kritis Ada beberapa hal kritis berkaitan dengan proses mediasi secara keseluruhan, termasuk diantaranya:
1. Bagaimana menentukan pintu masuk bagi masyarakat yang membutuhkan mediasi ?
Apakah masuk melalui “Permohonan Mediasi HAKI” atau masuk melalui
“Pelaporan Tindak Pidana HAKI” ? Bagaimana konsekuensi (efektifitas dan
efisiensi) perbedaan dari pintu masuk tersebut terhadap manajemen penyidikan dan
penyelesaian sengketa ?
Kedua hal tersebut menjadi sangat penting, mengingat sampai dengan saat ini
Kementerian Hukum dan HAM masih memberikan bobot lebih besar pada
manajemen penyidikan tindak pidana di bidang HAKI sebagaimana diatur dalam
Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.HH-Ol.Hl.07.02 Tahun 2015
Tentang Petunjuk Pelaksanaan Manajemen Penyidikan Tindak Pidana Di Bidang
Kekayaan Intelektual. Petunjuk ini hanya sedikit sekali mengatur tentang
penyelesaian sengketa melalui mediasi.
26
Bahwa pintu masuk perkara sengketa dalam studi kasus Orchard adalah Laporan
Kejadian ke Penyidik sebelum ke proses mediasi. Artinya belum dipisahkan antara
Permohonan Mediasi HAKI dan Pelaporan Tindak Pidana HAKI.
2. Apabila Kementerian Hukum dan HAM bermaksud mendorong agar penyelesaian
sengketa HAKI melalui mediasi lebih diutamakan/didahulukan, maka perlukah
penamaan (nomenklatur) Subdirektorat Penyidikan dan Penyelesaian sengketa
diubah dan/atau dipisahkan menjadi Subdirektorat tersendiri?
Misalnya menjadi dua subdirektorat yaitu Subdirektorat Penyidikan Tindak
Pidana Bidang HAKI dengan manajemen Penyidikan yang telah diatur dalam
Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.HH-Ol.Hl.07.02 Tahun 2015 dan
Subdirektorat Mediasi Sengketa HAKI yang petunjuk pelaksanaannya perlu segera
dibuat.
Pemisahan tersebut juga perlu dipertimbangkan mengingat mindset seorang penyidik
yang cenderung backward looking (mencari bukti-bukti, saksi-saksi, mencari
kebenaran dan kesalahan) sangat berbeda dengan mindset mediator yang cenderung
forward looking (berupaya memahami apa yang menjadi harapan dan kekhawatiran
para pihak).
3. Bagaimana menentukan Petunjuk Pelaksanaan Manajemen Mediasi di bidang
Sengketa HAKI? Hal-hal apa sajakah yang perlu diatur dalam Petunjuk Pelaksanaan?
Dalam mediasi kasus “Orchard” petunjuk pelaksanaan mediasi masih kurang jelas.
4. Bagaimana menentukan kriteria sengketa HAKI yang dapat dimediasi di
Subdirektorat Mediasi Sengketa HAKI? Apakah delik aduan pelanggaran HAKI juga
menjadi kriteria sengketa yang dapat dimediasikan? Apakah sengketa merek, desain
industri, rahasia dagang, dan sengketa desain tata letak sirkuit terpadu juga dapat
dimediasikan?
Semua sengketa HAKI selain pembajakan adalah Delik Aduan, menurut undang
undang, artinya kalau pun terjadi delik, maka selama pihak tidak merasa dirugikan
maka tidak akan ada kasus. Bila merasa dirugikan baru dapat mengajukan tuntutan
ganti rugi. Tuntutan ganti rugi jelas bukan merupakan ranah dan kewenangan dari
Subdit Penindakan bahkan dari Direktorat Jenderal HAKI. Besar kecilnya kerugian
27
yang harus dibayarkan kepada pihak yang merasa dirugikan sepenuhnya ada pada
ranah Hakim perdata atau ranah para pihak sendiri dalam proses mediasi.
5. Bagaimana menentukan kompetensi seorang Mediator di bidang HAKI? Siapa saja
yang dapat dikualifikasikan untuk terdaftar sebagai mediator di Subdirektorat Mediasi
Sengketa HAKI? Bagaimana menentukan peran, tugas, tanggungjawab, dan kode etik
dari Mediator HAKI?
Dalam kasus mediasi “Orchard”, dari dokumen yang kami dapatkan, kurang
dijelaskan bagaimana tim mediator tersebut dipilih menjadi mediator pada kasus
tersebut.
6. Bagaimana menentukan tempat dan jangka waktu proses mediasi ? Dimana saja
proses mediasi dapat dilakukan, mengingat wilayah NKRI yang luas tentunya proses
mediasi ini mesti efisien dan dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat.
Dalam kasus mediasi “Orchard”, jangka waktu penyelesaian sengketa apabila
dihitung dari awal mula kasus masuk ke proses penyidikan sampai dengan selesai
mediasi adalah total 328 hari. Waktu tersebut dirasa kurang efisien untuk
menyelesaikan satu kasus saja.
7. Bagaimana menentukan kriteria keberhasilan suatu proses mediasi? Mengingat bisa
terjadi suatu kondisi bahwa Proses mediasi berhasil dilaksanakan dan Para Pihaknya
mencapai kesepakatan; atau kondisi lainnya Proses mediasi berhasil dilaksanakan
namun Para Pihaknya belum mencapai kesepakatan; atau kondisi lainnya lagi bahwa
Proses mediasi belum berhasil dilaksanakan.
Dalam kasus mediasi Orchard, tidak terukur apakah mediasi berhasil dilaksanakan
atau tidak. Yang pasti diketahui adalah bahwa para pihak tidak mencapai kesepakatan.
Dan ini tidak menjadi ukuran bahwa mediasi tidak berhasil. Karena dalam proses
mediasi tersebut tidak diketahui apakah proses telah dilakukan dengan benar.
8. Bagaimana menentukan dokumen-dokumen yang diperlukan dalam manajemen
mediasi sengketa HAKI? Bagaimana menentukan template (format baku) seperti
dokumen kesepakatan mediasi, dokumen penunjukan mediator, dokumen berita acara
mediasi, dokumen kesepakatan perdamaian serta dokumen lainnya yang diperlukan
dalam proses mediasi? Siapa yang harus bertanggungjawab terhadap dokumentasi
28
dokumen tersebut dan siapa pula yang harus bertanggung jawab sebagai pengelola
kasus?
Dalam kasus mediasi “Orchard”, belum terdapat format baku yang mencakup
dokumen kesepakatan mediasi, dokumen penunjukan mediator, dokumen berita acara
mediasi dan dokumen kesepakatan perdamaian.
3.1.5. Kesimpulan 1. Perlu segera dibentuk Tim Pembaharuan manajemen penyelesaian sengketa HAKI
melalui Mediasi yang tugasnya melakukan pengkajian lebih mendalam serta
melakukan FGD dalam rangka menampung pemikiran para ahli mediasi, sekaligus
sebagai upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas.
2. Perlu segera dilakukan pelatihan guna peningkatan kapasitas sumber daya manusia di
Kemenkumham pusat maupun kanwil khususnya terkait pemahaman dan
keterampilan mediasi;
Perlu segera dibuat peraturan teknis mengenai petunjuk pelaksanaan mediasi HAKI
yang komprehensif.
Sehingga antara satu dengan yang lainnya ada perbedaan. Perbedaan prinsip adalah
peran mediator di Kemenaker, bila kesepakatan tidak tercapai maka mediator dapat
memberikan anjuran kepada pihak, hal tersebut berbeda dengan peran seorang
mediator yang mestinya tidak memberikan usul atau anjuran. Proses penyelesaian
dimana pihak ketiga memberikan usul lebih tepat disebut sebagai Konsiliator.
29
Harapan PMN ke depan dalam upaya memajukan mediasi adalah dapat menyamakan
persepsi mengenai bagaimana cara bermediasi yang baik dan lebih terstruktur kepada
semua sektor baik pemerintah maupun swasta dengan cara mengkaji secara
menyeluruh peraturan dan tata cara bermediasi yang diberlakukan pada suatu
direktorat atau badan untuk menyiapkan kondisi agar direktorat atau badan tersebut
siap menjalankan mediasi dengan baik yang selaras dengan peraturan yang berlaku.
3.2. Prosedur APS (Mediasi) di WIPO Mediasi adalah proses di mana pihak yang berselisih meminta pihak ketiga netral
mediator - untuk membantu mereka dalam menegosiasikan solusi yang saling
menguntungkan pada perselisihan mereka. Mediator bertujuan untuk membantu dan
membimbing para pihak yang sedang bersengketa menuju kepada pemahaman atas
kepentingan dan kebutuhan mereka bersama. Mediasi adalah proses sukarela, dan
mediator tidak memiliki kekuatan untuk memaksakan hasil yang mengikat pada para
pihak.
Mediasi khususnya, sesuai untuk perselisihan di mana para pihak dapat
mengambil manfaat dari berbagi hak kekayaan intelektual, dan ingin mempertahankan
hubungan bisnis yang ada.
30
a. Perjanjian Sebelum Mediasi
Biasanya, perjanjian sebelum mediasi menetapkan hal-hal berikut:
• Persetujuan untuk menyerahkan sengketa yang disebutkan ke mediasi
• Deskripsi sengketa yang akan diajukan ke mediasi
• Lokasi mediasi
• Bahasa yang akan digunakan dalam mediasi
• Aturan mediasi yang berlaku untuk ketentuan dan proses mediasi
Untuk memfasilitasi pengajuan sengketa ke mediasi dengan tidak adanya
perjanjian mediasi antara para pihak, WIPO menawarkan opsi bagi suatu pihak untuk
mengajukan Permintaan Mediasi secara sepihak kepada WIPO. WIPO kemudian
dapat membantu para pihak untuk mempertimbangkan permintaan atau, atas
permintaan, dapat menunjuk pihak ketiga yang netral dari eksternal untuk dapat
memberikan bantuan yang diperlukan. Proses ini telah berhasil digunakan oleh pihak-
pihak dalam sejumlah kasus WIPO, terutama dalam sengketa pelanggaran atau dalam
kasus-kasus yang tertunda di pengadilan.
Aturan mediasi biasanya membahas masalah berikut:
• Cara penunjukan mediator
• Peran mediator
• Pelaksanaan sesi mediasi, termasuk hal-hal seperti kesempatan untuk
penyampaian informasi dan materi oleh para pihak untuk digunakan dalam
mediasi
• Kerahasiaan, terutama yang berkaitan dengan keberadaan mediasi, setiap
informasi yang diungkapkan selama mediasi dan hasil mediasi
• Alasan di mana mediasi dapat diakhiri
• Biaya dibayarkan kepada mediator dan lembaga / penyedia layanan APS (jika
berlaku)
• Pengecualian tanggung jawab mediator, dan lembaga / penyedia layanan APS
(jika berlaku)
b. Penunjukan dan Peran Mediator
Setiap mediator harus berusaha untuk:
• tidak memihak, adil dan kredibel
31
• membangun kepercayaan antara para pihak dan dengan mediator
• menyediakan lingkungan yang aman bagi para pihak untuk melakukan diskusi
• memfasilitasi komunikasi dan mencegah atau mengatasi kesalahpahaman antara
para pihak
• melibatkan para pihak dalam pemecahan masalah
• mematuhi aturan mediasi dan menghormati kerahasiaan
c. Pelaksanaan Mediasi Setelah penunjukannya, mediator dapat menghubungi para pihak untuk
membahas hal-hal pendahuluan, seperti jadwal mediasi dan dokumen-dokumen yang
akan dibuat, termasuk pernyataan dari masing-masing pihak yang menguraikan
perspektif perselisihannya. Ini dapat membantu mediator untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih baik tentang kasus ini, dalam mempersiapkan mediasi.
Pada awal mediasi, mediator biasanya akan memperkenalkan dirinya dan
menjelaskan proses mediasi. Mediator dan para pihak kemudian dapat melanjutkan
untuk menetapkan aturan dasar untuk mediasi dan menunjukkan bahwa mediator
dapat bertemu secara pribadi dengan masing-masing pihak dalam kaukus.
Poin utama yang harus ditetapkan adalah bahwa individu yang menghadiri
mediasi memiliki otoritas penuh untuk menawarkan atau menerima keputusan atas
nama masing-masing pihak yang berselisih. Jika ini tidak memungkinkan, maka
individu harus memastikan bahwa mereka akan dapat berkomunikasi dengan orang
yang memiliki wewenang tersebut selama mediasi.
Bergantung pada ukuran dan kerumitan sengketa, mediasi dapat diselesaikan
dalam satu hari, atau melibatkan beberapa sesi. Secara umum, proses mediasi akan
melibatkan tahapan-tahapan berikut:
• Mengumpulkan informasi - masing-masing pihak menceritakan kisahnya dan menyajikan pernyataan yang disiapkan untuk hal ini
• Identifikasi masalah - mediator membantu para pihak untuk mengidentifikasi masalah yang sedang dipersengketakan
• Menggali kebutuhan - mediator dan para pihak mengeksplorasi alasan yang mendasari permintaan “posisi” para pihak, dan kebutuhan mereka dalam perselisihan tersebut.
32
• Mengembangkan opsi - mediator dan para pihak mengembangkan opsi yang memuaskan kepentingan para pihak dan mengatasi masalah yang sedang dipersengketakan
• Mengevaluasi opsi - pihak mengidentifikasi kemungkinan bidang kesepakatan dengan mengevaluasi opsi mereka berdasarkan kriteria obyektif
• Mencapai penyelesaian - jika para pihak dapat menyepakati suatu penyelesaian, itu dapat dicatat dalam suatu perjanjian selama mediasi
d. Penegakan Terhadap Kesepakatan Mediasi
Biasanya, kesepakatan mediasi mengambil bentuk perjanjian yang mengikat
secara hukum, sehingga penegakannya secara efektif akan menjadi penegakan
kewajiban kontraktual para pihak, dan pelanggaran kewajiban semacam itu mungkin
akan dilanjutkan ke pengadilan. Karena itu, perlu dicatat bahwa para pihak umumnya
bersedia untuk menegakkan kewajiban penyelesaian mereka karena mereka percaya
bahwa perjanjian tersebut sesuai dengan kepentingan mereka.
Pada beberapa yurisdiksi, penyelesaian mediasi dapat ditegakkan sebagai putusan
pengadilan, yang memberikan ukuran finalitas lebih lanjut.
e. Administrasi Mediasi Proses mediasi yang tidak dikelola oleh lembaga mana pun dianggap sebagai
mediasi ad hoc. Dalam kasus seperti itu, para pihak harus menentukan ketentuan
perjanjian untuk menengahi aturan yang akan berlaku dan pemilihan mediator sendiri.
Ini bisa menjadi lebih beresiko, terutama jika para pihak tidak memiliki pengetahuan
yang cukup mengenai mediasi.
Sebagai perbandingan, mediasi yang dilembagakan dapat berguna bagi pihak-
pihak yang menginginkan jalan yang nyaman, aman dan efisien secara administratif
untuk terlibat dalam mediasi. Institusi APS umumnya akan memberikan contoh
perjanjian untuk menengahi para pihak, seperangkat aturan mediasi dan bantuan dalam
memilih seorang mediator yang tepat.
Kantor Pusat WIPO adalah opsi yang menarik bagi pihak-pihak yang terlibat
dalam sengketa kekayaan intelektual karena menyediakan bantuan administratif dan
aturan prosedural yang dirancang untuk sengketa tersebut. Secara khusus, Kantor
33
Pusat WIPO menawarkan dan mampu memberikan layanan umum berikut
sehubungan dengan proses APS yang dikelola, termasuk kasus mediasi:
• bantuan dalam pemilihan fasilitator yang netral dari lebih 1.500 ahli dengan pengalaman dalam hal sengketa kekayaan intelektual
• penghubung antara pihak dan fasilitator yang netral untuk memastikan komunikasi yang optimal dan prosedur yang efisien
• administrasi aspek keuangan mulai dari biaya persidangan, termasuk menyediakan biaya fasilitator selama berkonsultasi dengan para pihak.
• layanan manajemen kasus dan akses ke WIPO Electronic Case Facility (WIPO ECAF), yang memungkinkan para pihak dan pihak lain dalam kasus yang dikelola oleh Kantor Pusat WIPO untuk melihat status kasus tersebut, mengirimkan komunikasi kasus secara elektronik, dan mengakses informasi kontak para pihak melalui sistem online. WIPO ECAF sebagian besar digunakan dalam arbitrase yang melibatkan beberapa pertukaran dokumen.
• penyediaan ruang pertemuan gratis bertempat di Jenewa, dan layanan logistic di tempat lain dimana tempat proses APS berlangsung.
• layanan pendukung lain yang mungkin diperlukan, termasuk yang terkait dengan layanan terjemahan, interpretasi, atau kesekretariatan
• panduan tentang penerapan Mediasi WIPO, Penentuan Ahli, Arbitrase dan Aturan Arbitrase yang Dipercepat
Pihak-pihak yang memilih untuk mengajukan sengketa mereka ke Pusat Mediasi
WIPO dapat memilih untuk mengadopsi Aturan Mediasi WIPO yang dirancang untuk
memaksimalkan kontrol para pihak atas proses mediasi, dan dapat diadaptasi oleh para
pihak untuk menangani kebutuhan spesifik dari perselisihan mereka. Peraturan
Mediasi WIPO secara khusus dirancang untuk kekayaan intelektual, teknologi, dan
perselisihan komersial, dan berisi ketentuan kerahasiaan untuk melindungi informasi
sensitif yang dapat diungkapkan selama mediasi.
Biaya yang dikenakan untuk kasus mediasi yang dikelola oleh Kantor Pusat
WIPO ditentukan berdasarkan nirlaba, dan dikonsultasikan kepada para pihak dan
mediator. Peraturan Mediasi WIPO menetapkan bahwa biaya untuk mediasi akan
ditanggung bersama oleh para pihak kecuali mereka setuju sebaliknya.
34
3.3. Prosedur Mediasi, Pusat Mediasi Nasional (PMN)
3.3.1. Pendaftaran Mediasi - Salah satu pihak mendaftar ke sekretariat PMN dengan disertai berkas: surat
permohonan mediasi yang juga dikirimkan kepada termohon, bukti pembayaran
administrasi, kronologis kasus, data pemohon dan termohon mediasi.
- Sekretariat akan mereview kasus tersebut apakah dapat dilanjutkan melalui
mediasi atau tidak.
- Apabila dapat dilakukan mediasi maka sekretariat akan merekomendasikan
mediator yang berlatar belakang pekerjaan yang sesuai dengan kasus tersebut,
untuk kemudian disampaikan kepada para pihak.
- Setelah para pihak memilih mediatornya, maka mediator akan berkonsultasi
dengan para pihak tentang tempat dan waktu mediasi, identitas pihak yang akan
hadir, biaya, aturan tempat duduk, pemilihan mediator, pemahaman atas proses
mediasi dan sebagainya, setelah semua setuju maka hasil konsultasi tersebut dapat
dituangkan kedalam “kesepakatan untuk bermediasi”.
- Kemudian proses selanjutnya adalah menjadwalkan pertemuan mediasi.
3.3.2. Tahapan Mediasi Adapun tahapan mediasi yang berlaku di PMN adalah sebagai berikut:
O
Daftar Mediator
Sekretariat
Daftar
Ditolak
Pihak ke-n
Ditolak
Pihak 1
35
a. Sambutan Mediator
• Apresiasi
• Perkenalan Mediator dan para pihak
• Otoritas para pihak
- Memastikan pihak yang bermediasi adalah yang dapat mengambil keputusan
• Pengertian Mediasi
• Peran mediator dan pihak
- Peran mediator memfasilitasi para pihak untuk membangun komunikasi yang konstruktif
- Peran mediator tidak memutus karena keputusan akhir berada sepenuhnya para para pihak
• Kode etik mediator
- Kerahasiaan - Netral/imparsial - Tidak ada Conflict of Interest dengan para pihak
• Tahapan mediasi (segitiga mediasi)
• Tata tertib
• Memberikan kesempatan untuk bertanya apabila ada yang kurang jelas
b. Presentasi Para Pihak
©PMN® 2019 2
Segitiga MediasiTahap Pendefinisian Masalah
Tahap Pemecahan Masalah
Boulle, Mediation: Principles, Process, Practice (Butterworths 1996)
PendahuluanSambutan Mediator
Presentasi para pihakIdentifikasi kesepahamanMendefinisikan masalah
Tawar menawar
Pengambilan keputusan akhirPenyusunan kesepakatan
Kata penutup
Kegiatan Paska Mediasi
Persiapan
Pertemuan terpisah
36
• Mendengar untuk memahami
• Mengulang Pernyataan
1. Restating
2. Reflecting
3. Paraphrasing
4. Reframing
• Bertanya
c. Identifikasi Kesepahaman
• Harapan para pihak yang sama
d. Mendefinisikan dan Mengurutkan Permasalahan
• Mendefinisikan permasalahan yang bersumber dari kebutuhan para pihak
• Mengkonfirmasikan masalah kepada para pihak
• Memastikan semua masalah penting sudah terdefinisikan
• Mengurutkan permasalahan
e. Tawar Menawar
• Mendorong para pihak untuk menciptakan opsi kreatif
• Memfasilitasi proses tawar menawar secara konstruktif
• Memfasilitasi tawar menawar lanjutan paska pertemuan terpisah
f. Pertemuan Terpisah
• Menggali kembali kebutuhan para pihak
• Membantu pihak mengkaji resiko/kerugian dari alternatif-alternatif tersebut
g. Pengambilan Keputusan Akhir dan Penyusunan Kesepakatan
• Memperjelas term-term yang menjadi keputusan akhir masing-masing, dan
menjadi kesepakatan para pihak
• Merumuskan hasil kesepakatan dalam draft kesepakatan
• Meminta para pihak untuk menandatangani dokumen kesepakatan
h. Penutup
• Apresiasi kepada para pihak
• Menyebutkan bahwa kesepakatan ini bukan dari mediator namun dari para
pihak
Top Related