BAB I
PENDAHULUAN
1. PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Gastroesofageal reflux disease (GERD) merupakan suatu keadaan dimana terjadinya
refluks isi lambung ke dalam esofagus dengan akibat menimbulkan gejala klinik. Refluks
dapat terjadi dalam keadaan normal yang biasanya berhubungan dengan kondisi tertentu,
seperti posisi berbaring setelah makan, pada saat muntah. Bila terjadi refluks, esofagus
akan segera berkontraksi untuk membersihkan lumen dari refluksat tersebut sehingga
tidak terjadi suatu kontak yang lama antara refluksat dan mukosa esofagus.1
Penyakit refluks gastro esofageal (GERD) adalah penyakit organ esofagus yang banyak
ditemukan dinegara barat. Berbagai survei menunjukkan bahwa 20 – 40 % populasi
dewasa menderita heart burn (rasa panas membakar didaerah retrosternal), suatu keluhan
klasik GERD.2 Di Indonesia penyakit ini sepintas tidak banyak ditemukan, bahkan
mungkin tidak pernah dibuat diagnosisnya, oleh karena sering tidak terpikirkan. Lagi
pula hanya sebagian kecil pasien GERD datang berobat pada dokter karena pada
umumnya keluhannya ringan dan menghilang setelah diobati sendiri dengan antasida.
Dengan demikian hanya kasus yang berat dan disertai kelainan endoskopi berupa
esofagitis dan berbagai macam komplikasinya yang datang berobat pada dokter. 1
Dalam patogenesisnya dijumpai adanya gangguan mekanisme peristaltik, kompetensi
sfinkter, relaksasi sfinkter yang abnormal dan lain-lainnya dimana dimasukkan dalam
konteks gangguan motilitas. Dengan dasar hal tersebut diatas, pola pikir pengobatannya
tentu dikaitkan dengan perbaikan motilitas. Tetapi hasil klinik obat-obatan prokinetik
ternyata tidak memuaskan sehingga target pengobatan ditujukan pada penyebab langsung
gejala ataupun penyebab kerusakan mukosa esofagus yaitu asam lambung.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. ANATOMI DAN FISIOLOGI
2.1.1.ANATOMI ESOFAGUS
Esofagus merupakan salah satu organ silindris berongga dengan panjang sekitar
25 cm dan berdiameter 2 cm, terbentang dari hipofaring sampai cardia lambung,
kira-kira 2-3 cm di bawah diafragma. Esofagus terletak posterior terhadap jantung
dan trakea, anterior terhadap vertebra dan berjalan melalui lubang diafragma tepat
anterior terhadap aorta.1
Pada kedua ujung esofagus, terdapat otot-otot spingter, diantaranya :
1. Krikofaringeal
Membentuk sfingter esofagus bagian atas dan terdiri atas serabut-serabut otot
rangka. Dalam keadaan normal berada dalam keadaan tonik, atau kontraksi
kecuali waktu menelan.
2. Sfingter Esofagus bagian bawah
Bertindak sebagai sfingter dan berperan sebagai sawar terhadap refluks isi
lambung ke dalam esofagus. Dalam keadaan normal, sfingter ini menutup
kecuali bila makanan masuk ke dalam lambung atau waktu muntah.
Dinding esofagus terdiri dari 4 lapisan, yaitu :
1) Mukosa
Terbentuk dari epitel berlapis gepeng bertingkat yang berlanjut ke faring
bagian atas, dalam keadaan normal bersifat alkali dan tidak tahan terhadap isi
lambung yang sangat asam.
2) Sub Mukosa
Mengandung sel-sel sekretoris yang menghasilkan mukus yang dapat
mempermudah jalannya makanan sewaktu menelan dan melindungi mukosa
dari cedera akibat zat kimia.
3) Muskularis
Otot bagian esofagus, merupakan otot rangka. Sedangkan otot pada separuh
bagian bawah merupakan otot polos, bagian yang diantaranya terdiri dari
campuran antara otot rangka dan otot polos.
4) Lapisan bagian luar (Serosa)
Terdiri dari jaringan ikat yang jarang menghubungkan esofagus dengan
struktur-struktur yang berdekatan, tidak adanya serosa mengakibatkan
penyebaran sel-sel tumor lebih cepat (bila ada kanker esofagus) dan
kemungkinan bocor setelah operasi lebih besar.
Persarafan utama esofagus dilakukan oleh serabut-serabut simpatis dan
parasimpatis dari sistem saraf otonom. Serabut-serabut parasimpatis dibawa oleh
nervus vagus yang dianggap merupakan saraf motorik. Selain persarafan
ekstrinsik tersebut, terdapat juga jala-jala longitudinal (Pleksus Allerbach) dan
berperan untuk mengatur peristaltik esofagus normal.1
Distribusi darah esofagus mengikuti pola segmental, bagian atas disuplai oleh
cabang-cabang arteria tiroide inferior dan subklavia. Bagian tengah disuplai oleh
cabang-cabang segmental aorta dan artetia bronkiales, sedangkan bagian sub
diafragmatika disuplai oleh arteria gastrika sinistra dan frenika inferior.5
Peranan esofagus adalah menghantarkan makanan dan minuman dari faring ke
lambung. Pada keadaan istirahat antara 2 proses menelan, esofagus tertutup kedua
ujungnya oleh sfingter esofagus atas dan bawah. Sfingter esofagus atas berguna
mencegah aliran balik cairan lambung ke esofagus (Refluks).3
2.1.2.ANATOMI LAMBUNG
Lambung merupakan bagian sistem gastrointestinal yang terletak antara esofagus
dan duodenum. Dari hubungan anatomi topografik lambung-duodenum dengan
hati, pankreas, dan limpa, dapat diperkirakan bahwa tukak peptik akan
mengalami perforasi ke rongga sekitarnya secara bebas atau penetrasi ke dalam
organ didekatnya, bergantung pada letak tukak.6
Berdasarkan faalnya, lambung dibagi dalam dua bagian. Tiga perempat proksimal
yang terdiri atas fundus dan korpus, berfungsi sebagai penampung makanan yang
ditelan serta tempat produksi asam lambung dan pepsin, sedangkan seperempat
distal atau antrum bekerja mencampur makanan dan mendorongnya ke duodenum
serta memproduksi gastrin.3
Ciri yang cukup menonjol pada anatomi lambung adalah peredaran darahnya
yang sangat kaya dan berasal dari empat jurusan dengan pembuluh nadi besar
dipinggir kurvatura mayor dan minor serta dalam dinding lambung. Dibelakang
dan tepi media duodenum, juga ditemukan arteri besar (a. gastroduodenalis).
Perdarahan hebat bisa terjadi karena erosi dinding arteri itu pada tukak peptik
lambung atau duodenum.4
Vena dari lambung dan duodenum bermuara ke vena porta. Peredaran vena ini
kaya sekali dengan hubungan kolateral ke organ yang ada hubungan embrional
dengan lambung dan duodenum. Pada hipertensi portal hampir selalu terjadi
varises esofagus, sedangkan varises lambung sering tidak menimbulkan masalah
sehingga tidak dibahas.7
Saluran limfe dari lambung juga cukup rumit. Semuanya akan berakhir di
kelenjar para aorta dan preaorta dipangkal mesentrium embrional. Antara
lambung dan pangkal embrional itu terdapat kelenjar limfe yang letaknya tersebar
dimana mana akibat putaran embrional. Oleh karena itu, anak sebar karsinoma
lambung mungkin menyebar ke kelenjar limfe di kurvatura mayor, kurvatura
minor, hilus limfa, ligamentum hepatoduodenale, pinggir atas pankreas, dan
berbagai tempat lain diretro peritoneal. Ini sangat mempersulit pengobatan kuratif
kangker lambung.2
Persarafan simpatis lambung seperti biasa melalui selaput saraf yang menyertai
arteri. Impuls nyeri dihantarkan melalui selaput eferen saraf simpatis. Serabut
para simpatis berasal dari n. vagus dan mengurus sel pariental di fundus dan
korpus lambung. Sel ini berfungsi menghasilkan asam lambung. N.vagus anterior
(sinister) memberikan cabang ke kandung empedu, hati, dan antrum sebagai saraf
Laterjet anterior, sedangkan n.vagus posterior ( dekster) memberikan cabang ke
ganglion seliakus untuk viceralain di perut dan ke antrum sebagai saraf Laterjet
posterior.9
2.1.3.FISIOLOGI
MOTILITAS ESOFAGUS
Menelan merupakan suatu aksi fisologi kompleks, dimana makanan atau cairan
berjalan dari mulut ke lambung. Juga merupakan rangkaian gerakan otot yang
sangat terkoordinasi, dimulai dari pergerakanvolunter lidah & diselesaikan refleks
dalam faring dan esofagus. Pada saat menelan, sfingter esofagus atas membuka
sesaat untuk memberi jalan kepada bolus makanan yang ditelan. Menelan
menimbulkan gelombang kontraksi yang bergerak ke bawah sampai ke lambung.
Hal ini dimungkinkan dengan adanya kerja sama antara kedua lapisan otot
esofagus yang berjalan sirkuler dan longitudinal (gelombang peristaltik primer)
dan adanya daya tarik gravitasi. Cairan yang diminum dalam posisi tegak akan
mencapai cardia lebih cepat darii gelombang peristaltik primer. Tapi pada posisi
berbaring (kepala di bawah), maka cairan akan berjalan sesuai dengan kecepatan
gelombang peristaltik primer.1
Fase Menelan :
1. Fase Oral
Makanan yang dikunyah oleh mulut (bolus) didorong ke belakang mengenai
dinding posterior faring oleh gerakan volunter lidah.
2. Fase Faringeal
Palatum mole & uvula menutup rongga hidung, laring terangkat dan menutup
glotis, mencegah makanan masuk trakea. Kemudian bolus melewati epiglotis
menuju faring bagian bawah dan memasuki esofagus.
3. Fase Esofageal
Terjadi gelombang peristaltik pada esofagus, mendorong bolus menuju sfingter
esofagus bagian distal, kemudian menuju lambung.
MOTILITAS LAMBUNG
Ketika makanan masuk kedalam lambung maka lambung berespons terhadap
gerakan peristaltik. Pada saat gelombang konstraksi mencapai ujung bawah
lambung yang disebut antrum, kontraksi semakin cepat untuk mencampur
makanan. Gelombang konstraksi ini juga menyebabkan penutupan taut antara
ujung distal di lambung dan bagian atas duodenum yang disebut spingter pilorik.
Spingter pilorik adalah spingter sejati dan normalnya bereaksasi saat makanan
tidak masuk ke lambung.1
Gelombang peristaltic terjadi sebagai akibat dari depolarisasi sel otot polos
lambung.Sel pemacu di otot polos lambung berdepolarisasi secara
berkesinambungan pada laju yang inheren,yang disebut dengan irama elektrik
dasar yang terlalu rendah untuk menyebabkan otot lambung mencapai ambang
dan oleh karenanya tidak menyebabkan kontraksi. Dengan meningkatnya
peregangan lambung atau dengan stimulasi saraf dan hormon, otot polos tidak
berdepolarisasi mencapai ambangnya dan kekuatan peristaltic lambung
meningkat.2
Pada saat gelombang peristaltic diteruskan ke lambung, sejumlah kecil materi
didorong melewati spingter pilorik kedalam duodenum. Makin banyak isi dalam
lambung, makin cepat laju pengosongan lambung. Pada akhirnya, semua isi
lambung dikosongkan masuk kedalam usus halus.2
2.2. DEFINISI
Penyakit refluks gastroesofageal (GERD) adalah suatu keadaan patologis sebagai
akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus, dengan berbagai gejala
yang timbul akibat keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran nafas. Refluks
Esofageal (GERD) adalah fenomena biasa yang dapat timbul pada setiap orang
sewaktu – waktu. Pada orang normal refluks ini terjadi pada posisi tegak sewaktu
habis makan. Karena sikap posisi tegak tadi dibantu oleh adanya kontraksi
peristaltik primer, isi lambung yang mengalir masuk ke esofagus segera
dikembalikan ke lambung. Refluks sejenak ini tidak merusak mukosa esofagus
dan tidak menimbulkan keluhan atau gejala dan oleh karena itu dinamakan
Refluks fisiologis.12 Keadaan ini baru dikatakan patologis dan disebut suatu
penyakit, yaitu penyakit refluks gastro esofageal (GERD), bila refluk terjadi
berulang – ulang yang menyebabkan esofagus distal terkena pengaruh isi
lambung untuk waktu yang lama. Istilah esofagitis refluks berarti kerusakan
esofagus akibat refluks cairan lambung, seperti erosi dan ulserasi epitel skuamus
esofagus.3
2.3. EPIDEMIOLOGI
Keadaan ini umum ditemukan pada populasi dinegara negara barat, namun
dilaporkan relatif rendah insidennya dinegara negara Asia Afrika. Di Amerika
dilaporkan bahwa satu dari lima orang dewasa mengalami gejala refluk (heart
burn dan atau regurgitasi) skali dalam seminggu serta lebih dari 40% mengalami
gejala tersebut sekali dalam sebulan. Prevalensi esofagitis di Amerika serikat
mendekati 7%, sementara dinegara-negara non-westen prevalensinya lebih rendah
(1,5% di Cina dan 2,7% di Korea).
Di Indonesia belum ada data epidemiologi mengenai penyakit ini, namun di Difisi
Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8% dari semua
pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi dispepsia.4 Tingginya
gejala refluks pada populasi di negara-negara barat diduga disebabkan karena
faktor diet dan meningkatnya obesitas.5
2.3. PATOFISIOLOGI
Kondisi penyakit refluks gastroesofagus atau GERD (gastroesophageal reflux
disease) disebabkan aliran balik (refluks) isi lambung ke dalam esophagus.
GERD seringkali disebut nyeri ulu hati (heartburn) karena nyeri yang terjadi
ketika asam yang normalnya ada dilambung, masuk dan mengiritasi atau
menimbulkan rasa seperti terbakar di esophagus.3
Refluks gastroesofagus biasanya terjadi setelah makan dan disebabkan
melemahnya tonus spingter esophagus atau tekanan di dalam lambung yang lebih
tinggi dari esophagus. Dengan kedua mekanisme ini, isi lambung yang bersifat
asam bergerak masuk ke dalam esophagus.3
Isi lambung dalam keadaan normal tidak dapat masuk ke esophagus karena
adanya kontraksi sfingter esophagus (mengingatkan kembali bahwa spingter
esophagus bukan spingter sejati, tetapi suatu area yang tonus ototnya
meningkat).Spingter ini normalnya terbuka hanya jika gelombang peristaltic
menyalurkan bolus makanan ke bawah esofagus. Apabila hal ini terjadi, otot
polos sfingter melemas dan makanan masuk ke dalam lambung. Spingter
esofagus seharusnya tetap dalam keadaan tertutup kecuali pada saat ini, karena
banyak organ yang berbeda didalam rongga abdomen, menyebabkan tekanan
abdomen lebih besar dari pada tekanan toraks. Dengan demikian, ada
kecendrungan isi lambung terdorong ke dalam esofagus. Akan tetapi, jika sfingter
melemah atau inkopeten, sfingter tidak dapat menutup lambung. Refluks akan
terjadi dari daerah bertekanan tinggi (lambung) ke daerah bertekanan rendah
(esofagus). Episode refluks yang berulang dapat memperburuk kondisi karena
menyebabkan inflamasi dan jaringan parut di area bawah esofagus.6
Pada beberapa keadaan, meskipun tonus sfingter dalam keadaan normal, refluks
dapat terjadi jika terdapat gradien tekanan yang sangat tinggi di sfingter. Sebagai
contoh, jika isi lambung berlebihan, tekanan abdomen dapat meningkat secara
bermakna. Kondisi ini dapat disebabkan porsi makanan yang besar, kehamilan,
atau obesitas. Tekanan abdomen yang sangat tinggi cenderung mendorong
sfingter esofagus kerongga toraks; hal ini memperbesar gradien tekanan antara
esofagus dan rongga abdomen. Posisi berbaring terutama setelah makan juga
dapat mengakibatkan refluks.6
Hernia hiatus juga dapat
menyebabkan refluks. Hernia hiatus adalah penonjolan sebagian lambung melalui
lubang di diagfragma. Apabila hal ini terjadi, tekanan yang tinggi dibagian
lambung tersebut akan mendorong isi lambung ke dalam esofagus. Refluks isi
lambung mengiritasi esofagus karena tingginya kandungan asam dalam isi
lambung. Walaupun esofagus memiliki sel penghasil mukus, namun sel – sel
tersebut tidak sebanyak atau seaktif sel yang ada di lambung.3
Gejala-gejalanya dapat mencakup prosis (sensasi terbakar pada esofagus),
dispepsia, regurgitasi, disfagia, atau osinofagia (kesulitan menelan / nyeri saat menelan),
hipersalivasi, atau esofagitis. Gejala-gejala ini dapat menyerupai serangan jantung.8
3. DIAGNOSIS
Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapa pemeriksaan
penunjang dapat dilakukan untuk menegakkann diagnosis GERD, yaitu :
Pemeriksaan endoskopi
Endoskopi adalah proses memaksukkan teropong tipis, kaku atau flesibel kedalam
saluran gastrointestinal untuk memvisualisasikan esofagus (esofaguscopi), usus halus atas
(duodenoskopi), lambung (gastroskopi), atau kolon sigmoid (sigmoidoskopi).11
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku untuk
diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis refluks).11
Dengan melakukan pemeriksaan endoskop
3.3. MANIFESTASI KLINIS
i dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa esofagus serta dapat
menyingkirkan keadaan patologios lain yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika tidak
ditemukan mucosal break pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada
pasien dengan gejala khas GERD. Keadaan ini disebut sebagai non erosive reflux disease
(NERD).12
Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang dipastikan
dengan pemeriksaan histopatologi (biopsi), dapat mengkonfirmasikan bahwa gejala heart
burn atau regurgitasi tersebut disebabkan oleh GERD.11
Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barett’s Esophagus,
displasia atau keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung perlunya pemeriksaan
histopatologi / biopsi pada NERD.
TABEL KLASIFIKASI LOS ANGELES
Derajat Kerusakan Gambaran Endoskopi
A Erosi kecil – kecil pada mukosa
esofagus dengan diameter < 5mm
B Erosi pada mukosa / lipatan mukosa
dengan diameter > 5 mm tanpa saling
berhubungan
C Lesi yang konfluen tetapi tidak
mengenai / mengelilingi seluruh lumen
D Lesi Mukosa esofagus yang bersifat
sirkumferensial (mengelilingi seluruh
lumen esofagus)
Terdapat beberapa klasifikasi kelaianan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi dari
pasien GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan klasifikasi Savarry – Miller.12
Esofagografi dengan Barium
Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak
menunjukkan kelaianan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang lebih
berat gambar radiologi dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus atau
penyempitan lumen. Walaupun pemeriksaan ini tidak sangat tidak sensitif untuk diagnosis
GERD, namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari endoskopi,
yaitu pada 1). Stenosis esofagus derajat ringan akibat esofagitis peptik dengan gejala disfagia,
2). Hiatus hernia.11
Pemantauan pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esofagus.
Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikro elektroda pH pada
bagian distal esofagus. Pengukuran pH pada esofagus bagian distal dapat memastikan ada
tidaknya refluks gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm diatas LES dianggap
diagnostik untuk refluks gastroesofageal.12
Pemeriksaan Bernstein
Tes ini mengukur sensitifitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan
melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCL 0,1 M dalam waktu kurang dari 1 jam.
Tes ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam pada pasien – pasien dengan gejala
yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang biasanya dialami
pasien, sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan rasa nyeri, maka tes ini dianggap positif.
Tes Bernstein yang negaif tidak menyingkirkan adanya nyeri yang berasal dari esofagus.10
Pemeriksaan manometri
Tes manometri akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien – pasien dengan
gejala nyeri epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi barium dan
endoskopi yang normal.12
Tes Gastro esofageal Scintigraphy
Tes ini menggunakan bahan radio isotop untuk penilaian pengosongan esofagus dan
sifatnya non invasif.12
4. PENATALAKSANAAN
Walau keadaan ini jarang menyebabkan kematian, mengingat kemungkinan
timbulnya komplikasi jangka panjang berupa ulserasi, striktur esofagus ataupun esofagus
Barett’s yang merupakan keadaan premalignan, maka seyogyanya penyakit ini mendapat
penatalaksaan yang adekuat.5
Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi hidup, terapi
medikamentosa, terapi bedah serta akhir – akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik.11
Target penatalaksanaan GERD adalah : a). menyembuhkan lesi esofagus b).
menghilangkan gejala / keluhan, c). mencegah kekambuhan, d). memperbaiki kualitas
hidup, e). mencegah timbulnya komplikasi10
1. Modifikasi Gaya Hidup
Modifikasi gaya adalah salah satu bagian penatalaksanaan namun bukan merupakan
pengobatan primer. Usaha ini didasarkan pada tujuan untuk mengurangi frekuensi refluks
serta mengurangi kekambuhan.9
Hal – hal yang dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah sebagai berikut :
1. Posisi kepala / tempat tidur ditinggikan 6-8 inch serta menghindari makan sebelum
tidur dengan tujuan meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah
refluks asam dari lambung ke esofagus.
2. Berhenti merokok dan menkonsumsi alkohol karena keduanya dapat menurunkan
tonus dari LES.
3. Mengurangi konsumsi lemak serta jumlah makanan yang dimakan karena dapat
menimbulkan distensi lambung.
4. Menurunkan berat badan
5. Menghindari makanan dan minuman yang dapat mempengaruhi sekresi asam
6. Menghindari obat yang dapat menurunkan tonus LES seperti anti kolinergik,
teofilin, diazepam, opiat, antagonis kalsium, agonist beta adrenergik, progesteron.
2. Terapi Medikamentosa
Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa yaitu step up dan step
down. Pendekatan step up dimulai dengan obat – obatan yang tergolong kurang kuat
dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik, bila gagal
diberikan obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi yang
lebih lama (penghambat pompa proton / PPI).8 Sedangkan pada pendekatan step down,
pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dilanjutkan dengan terapi
pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H2
atau prokinetik atau bahkan antasid.9
Menurut Genval Statement (1999) disepakati untuk terapi lini pertama
terhadap GERD adalah golongan PPI dengan pendekatan terapi step down.
Berikut adalah obat – obatan yang dapat digunakan dalam terapi GERD10 :
1. Antasid
Obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala GERD tetapi tidak
menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer HCl, obat ini memperkuat
tekanan sfingter esofagus bagian bawah (LES).
Dosis : 4 x 1 sendok makan
2. Antagonis reseptor H2
Sebagai penekan sekresi asam obat ini efektif bila diberikan dosis 2 kali lebih
tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Hanya efektif pada pengobatan esofagitis
derajat ringan sampai sedang tanpa komplikasi
Dosis pemberian :
Simetidin : 2 x 800 mg atau 4 x 400 mg
Ranitidin : 4 x 150 mg
Famotidin : 2 x 20 mg
Nizatidin : 2 x 150 mg
3. Obat – obatan prokinetik
Secara teoritis obat ini paling sesuai untuk GERD .
Dosis pemberian :
Metoklopramid : 3 x 10 mg
Domperidon : 3 x 10 – 20 mg
Cisapride : 3 x 10 mg
4. Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Obat ini tidak memiliki efek langsung terhadap asam lambung dan aman karena
bekerja secara topikal
Dosis : 4 x 1 gram
5. Penghambat pompa proton (Proton pump inhibitor / PPI)
Obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD, efektif
menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi esofagitis.
Dosis yang diberikan yaitu dosis penuh :
Omeprazole : 2 x 20 mg
Lansoprazole : 2 x 30 mg
Pantoprazole : 2 x 40 mg
Rabeprazole : 2 x 10 mg
Esomeprazole : 2 x 40 mg
Umumnya pengobatan diberikan selama 6 – 8 minggu (terapi inisial) yang dapat
dilanjutkan dengan terapi pemeliharaaan selama 4 bulan atau on demand teraphy .
Efektifitas golongan obat ini semakin bertambah jika digabung dengan golongan
prokinetik.
3. Terapi Bedah
Beberapa keadaan dapat menyebabkan gagalnya terapi medikamentosa, yaitu :
1). Diagnosis tidak benar; 2). Pasien GERD sering disertai gejala – gejala lain seperti
rasa kembung, cepat kenyang dan mual – mual yang sering tidak memberikan respon
denganpengobatan PPI serta menutupi perbaikan gejala refluksnya; 3). Pada beberapa
pasien memerlukan waktu lama untuk penyembuhan esofagitisnya; 4). Kadang
Barret’s Esofagus tidak memberikan respon terhadap terapi PPI; 5). Terdapat stiktur;
6). Terdapat stasis lambung dan disfungsi LES1
Terapi bedah merupakan terapi alternatif bila medikamentosa gagal atau pada
GERD dengan striktur berulang. Umumnya pembedahan yang dilakukan adalah
fundoplikasi.5
5. KOMPLIKASI
Komplikasi dari GERD dapat berupa :
Syok
Koma
Edema laring
Perforasi esofagus
Aspirasi pneumonia
Peradangan
Pembentukan tukak
Perdarahan
Striktur
Pembentukan jaringan parut.
Bareett’s
BAB III
KESIMPULAN
Penyakit refluks gastroesofageal (GERD) adalah suatu keadaan patologis sebagai
akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus, dengan berbagai gejala yang timbul
akibat keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran nafas.
Di Indonesia belum ada data epidemiologi mengenai penyakit ini, namun di Difisi
Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo
Jakarta didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8% dari semua pasien yang menjalani
pemeriksaan endoskopi atas indikasi dispepsia.
Kondisi penyakit refluks gastroesofagus atau GERD (gastroesophageal reflux disease)
disebabkan aliran balik (refluks) isi lambung ke dalam esophagus. GERD seringkali disebut
nyeri ulu hati (heartburn) karena nyeri yang terjadi ketika asam yang normalnya ada
dilambung, masuk dan mengiritasi atau menimbulkan rasa seperti terbakar di esophagus
Gejala-gejalanya dapat mencakup prosis (sensasi terbakar pada esofagus), dispepsia,
regurgitasi, disfagia, atau osinofagia (kesulitan menelan / nyeri saat menelan), hipersalivasi,
atau esofagitis. Gejala-gejala ini dapat menyerupai serangan jantung.
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku untuk
diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis refluks).
DAFTAR PUSTAKA
1. Aru, Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah Jilid I Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia.
2. Asroel, Harry. 2002. Penyakit Refluks Gastroesofagus. Universitas Sumatera Utara :
Fakultas Kedoketeran Bagian Tenggorokan Hidung dan Telinga.
3. Bestari, Muhammad Begawan. 2011. Penatalaksanaan Gastroesofageal Reflux
Disease (GERD). Divisi Gastroentero-Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran / RS Dr. Hasan Sadikin
Bandung CDK 188 / vol. 38 no. 7 / November 2011.
4. Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. EGC. : Jakarta
5. Djajapranata, Indrawan. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga.
Jakarta : FKUI.
6. Mubin, A. Halim. 2008. Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam. EGC : Jakarta
7. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam.
8. Pusat Penerbitan Departemen IPD, FKUI : Jakarta
9. Sjamsuhidajat & Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta
10. Sujono, Hadi. 2002. Gastroenterologi Edisi VII. Bandung: Penerbit PT Alumni.
11. Susanto, Agus dkk. 2002. Gambaran Klinis dan Endoskopi Penyakit Refluks
Gastroesofagus. Jakarta : FKUI.
12. Yusuf, Ismail. 2009. Diagnosis Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) Secara
Klinis.PPDS Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM Vol. 22, No.3, Edition September -
November 2009.