i
GENJRING BONYOK DAN TARDUG DI SUBANG JAWA BARAT:
KAJIAN KONTINUITAS, PERUBAHAN, DAN STRUKTUR PERTUNJUKAN
TESIS
Oleh
ADE HERDIJAT NIM : 107037002
PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2012
ii
GENJRING BONYOK DAN TARDUG DI SUBANG JAWA BARAT:
KAJIAN KONTINUITAS, PERUBAHAN, DAN STRUKTUR PERTUNJUKAN
TESIS
Untuk memperoleh gelar Magister Seni (M.Sn.) dalam Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni
pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
Oleh
ADE HERDIJAT NIM : 107037002
PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2012
iii
Judul Tesis : GENJRING BONYOK DAN TARDUG DI SUBANG JAWA BARAT: KAJIAN KONTINUITAS, PERUBAHAN DAN STRUKTUR PERTUNJUKAN Nama : Ade Herdijat Nomor Pokok : 107037002 Program studi : Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni
Menyetujui
Komisi Pembimbing
Drs. M. Takari, M.Hum., Ph.D. Dr. Budi Agustono, S.U. NIP. 196512211991031001 NIP. 196008051987031001 __________________________ ______________________________ Ketua, Anggota, Program Studi Magister ( S2 ) Fakultas Ilmu Budaya Penciptaan Dan Pengkajian Seni Dekan, Ketua,
Drs. Irwansyah, M.A. Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP. 196212211997031001 NIP. 195110131976031001
Tanggal Lulus :
Telah diuji pada : Tanggal :
iv
PANITIA PENGUJI UJIAN TESIS
Ketua : Drs. Irwansyah, M.A. (..............................................)
Sekretaris : Drs. Torang Naiborhu, M.Hum. (..............................................)
Anggota I : Drs. M. Takari, M.Hum., Ph.D. (..............................................)
Anggota II : Dr. Budi Agustono, S.U. (.............................................)
Anggota III : Dra. Rithaony, M.A. (..............................................)
Telah diuji pada Tanggal... . . . . . . .. . . . . . . . .. . . . . .
v
ABSTRACT
This research aim to analyze of genjring bonyok and tardug continuities, changes, and
performing structure, in Sundanese ethnis cultural in West Java. To analyze of these two art genres I use continuities and changes theory. In the other hand, to analyze the performing art structure I use semiotic and weighted scale theories. Then, I use qualitative research in this study, based on field work method.
The tardug (genjring bonyok) art, exist in 2000-s. Before this art developing in the Subang society, they have some arts, which parts of continuities and changes of them. This arts genre are: genjring sholawat, rudat, adem ayem, and genjring bonyok.
When viewed from the aspects of development that include forms of presentation, art materials, tools, community support, and future growth, arts that seems to have a relationship historically. Art genjring gederan known since 1960, have similarities in terms of the use of instruments and techniques of the art rudat wasps. Both types of art does not have pitched instrument that plays the melody. Then after entering instrument tarompet, around 1969 as a carrier melodic songs, this art is known as genjring bruised. Not long after kawih elements come around 1987. In line with the wishes of the market, the next development, the songs in the arts genjring bruised dominated by songs dangdut style. But still limited to traditional dangdutan songs, which can be accompanied by musical instruments that exist as well as the technical ability kawih vocal interpreter. With the increasing demand of modern dangdut songs were applying diatonic scales, to accompany the songs needed musical instruments and singers in diatonic scales that can chant. Then in 2000 the guitar's entry into the art tardug. The structure of the show is to do with the opening stages, content, and closing. The structure of the melody based on the pentatonic Sundanese system and then developing into diatonic. Key words: continuity, change, genjring bonyok, tardug, dangdut.
vi
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kontinuitas, perubahan, dan struktur pertunjukan
genjring bonyok dan tardug, yang terdapat di dalam kebudayaan etnik Sunda di Subang Jawa Barat. Untuk mengkaji kontinuitas dan perubahan seni ini, penulis menggunakan teori kontinuitas dan perubahan. Di sisi lain, untuk mengkaji struktur pertunjukan (yang di dalmnya mencakup struktur musik) digunakan teori semiotik dan bobot tangga nada (weighted scale). Metode penelitian yang digunakan adalah melalui pendekatan kualitatif dengan fokus pada penelitian lapangan.
Kesenian tardug (genjring dangdut), muncul sekitar tahun 2000-an. Selain kesenian ini, masyarakat Subang sebelumnya telah mengenal beberapa kesenian yang merupakan bahagian dari kontinuitas dan perubahan dengan kesenian tardug seperti genjring sholawat, rudat, adem ayem, dan genjring bonyok. Apabila dilihat dari aspek perkembangannya yang meliputi-bentuk penyajian, materi seni, alat, masyarakat pendukung, dan masa pertumbuhannya, kesenian-kesenian itu nampaknya memiliki hubungan secara historis. Kesenian genjring gederan yang sudah dikenal sejak tahun 1960, memiliki persamaan dalam hal penggunaan alat musik serta teknik tabuhan dengan kesenian rudat. Kedua jenis kesenian ini tidak memiliki alat musik bernada yang memainkan melodi lagu. Kemudian setelah masuk alat musik tarompet, sekitar tahun 1969 sebagai pembawa melodi lagu, kesenian ini dikenal dengan nama genjring bonyok. Tidak lama kemudian masuklah unsur kawih sekitar tahun 1987. Sejalan dengan keinginan pasar, pada perkembangan selanjutnya, lagu-lagu dalam kesenian genjring bonyok didominasi oleh lagu-lagu yang bergaya dangdut. Namun masih terbatas pada lagu-lagu dangdutan tradisional, yang bisa diiringi oleh alat-alat musik yang ada serta kemampuan teknik vokal juru kawihnya. Dengan meningkatnya permintaan lagu dangdut modern yang bersistem tangga nada diatonis, maka untuk mengiringi lagu-lagunya diperlukan alat musik yang bertangga nada diatonis dan penyanyi yang mampu melantunkannya. Maka pada tahun 2000-an masuk instrumen gitar ke dalam kesenian tardug. Struktur pertunjukan dilakukan dengan melalui tahapan pembukaan, isi, dan penutup. Struktur melodinya berdasar kepada sistem pentatonik Sunda dan kemudian berkembang ke diatonik. Kata-kata kunci: kontinuitas, perubahan, genjring bonyok, tardug, dangdut.
vii
PRAKATA
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan baik. Shalawat dan
salam penulis haturkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW. yang telah membimbing kita ke jalan
yang di Ridhoi Allah SWT.
Pada kesempatan ini perkenankan saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc. (CTM), Sp.A(K)., selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara dan Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. sebagai Dekan Fakultas
Ilmu Budaya yang telah memfasilitasi dan memberi sarana pembelajaran sehingga penulis
dapat menuntut ilmu di kampus Universitas Sumatera Utara dalam kondisi yang nyaman.
2. Bapak Drs. Irwansyah, M.A., selaku Ketua Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan
Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Drs.Torang Naiborhu, M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Magister (S2)
Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Drs.Muhammad Takari., M.Hum., Ph.D., selaku pembimbing Ketua yang telah
memberikan arahan dan bimbingan dalam penulisan hingga selesainya tesis ini serta
membekali penulis dengan berbagai ilmu pengetahuan.
5. Bapak Dr. Budi Agustono. S.U., selaku pembimbing anggota yang telah memberikan
koreksi dan kontribusinya terhadap hasil penelitian ini.
viii
6. Bapak Drs. Ponisan selaku pegawai administrasi Program Studi Magister (S2) Penciptaan
dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah
membantu dan mendukung kelancaran administrasi.
7. Seluruh Dosen yang telah menyumbangkan pengetahuannya saat perkuliahan di Program
Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya universitas
Sumatera Utara.
8. Teman-teman seperjuangan Mahasiswa Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan
Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara angkatan ke 2 tahun
2010 yang telah memberi dorongan dan motivasi untuk menyelesaikan Tesis ini.
9. Bapak Sutarja, Bapak Edih AS, Bapak Ogut, Bapak Asep Nur Budi, Bapak Odo Wikanda
Warman, Bapak Ida Hidayat, Bapak Nandang Kusnandar selaku informan dan narasumber
yang telah banyak memberi informasi tentang sejarah dan perkembangan tardug di
Kabupaten Subang.
10. Ayahanda Bapak Odo Wikanda Warman, Ibunda E. Fatmawati, abangda Asep Ida Hidayat
S.Sn., serta adinda Iyar Rosliyah S.Psi., yang telah memberikan dukungan moril maupun
materil kepada penulis.
11. Istri Siti Wahyuni S.Sn., dan anak-anak tercinta Laras Nauna Izzati Daminiyart serta Dinda
Kania Artadinata yang telah memberikan doa dan motivasinya mulai dari awal sampai
terselesaikannya tesis ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kelemahan dan kekurangan, untuk itu
penulis mengharapkan saran dan kritiknya guna perbaikan selanjutnya.
ix
Semoga karya tulis ini dapat berguna bagi yang lainnya. Amin.
Medan, 2012
Penulis
x
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
IDENTITAS DIRI
1. N a m a : Ade Herdijat
2. Tempat / Tanggal Lahir : Subang, 2 September 1970
3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. A g a m a : Islam
5. Kewarganegaraan : Indonesia
6. Nomor Telepon : 081265579600 / 085361043900
7. A l a m a t : Jln Dermawan No 7 Teladan Barat Medan
8. P e k e r j a a n : Dosen Luar Biasa Jurusan Etnomusikologi Fakultas Imu Budaya Universitas Sumatera Utara PENDIDIKAN
1. Sekolah Dasar Negeri Salep Subang Lulus Tahun 1983 2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Subang Lulus Tahun 1986 3. Sekolah Menegah Atas Negeri 2 Subang Lulus Tahun 1989 4. Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung
Jurusan Karawitan Lulus Tahun 1991 5. Sarjana Seni Jurusan Etnomusikologi
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Lulus Tahun 1997 6. Pasca Sarjana dan Pengkajian Seni
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Lulus 2012
xi
PENGALAMAN KERJA Tahun 1993 – sekarang
Dosen Luar Biasa Musik Sunda Jurusan Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
Tahun 1997 s/d 1998
Aerowisata Catering Service
Tahun 1998 s/d 2002 Yayasan Amanah Bangsa Rumah Singgah Amanah Putra
Tahun 2002 s/d 2005
CV Serasi, Bandara Polonia Medan.
Tahun 2005 s/d 2007 Departemen Sosial Republik Indonesia Tsunami aceh – Banda Aceh Bekerja sama dengan Save The Children dan Unicef Proyek Children Centre dan pendataan anak korban DOM dan Tsunami
Tahun 2007 s/d saat ini
Perguruan Al Fakhri Yabsu – Sumut Allianz insurance
Tahun 2011 s/d saat ini
Yayasan Khairul Imam – mengajar bidang studi Seni Budaya & Keterampilan
xii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang
pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang
lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan di dalam daftar pustaka.
Medan, Ade Herdijat NIM 107037002
xiii
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ............................................................................. i HALAMAN PENGESAHAN ................................................................ ii ABSTRACT ............................................................................................ iv INTISARI ............................................................................................... v PRAKATA ............................................................................................... vi DAFTAR RIWAYAT HIDUP .............................................................. ix HALAMAN PERNYATAAN ................................................................ xi DAFTAR ISI............................................................................................ xii DAFTAR TABEL........................................................................... xvi DAFTAR GAMBAR........................................................................... xvii DAFTAR BAGAN........................................................................... xviii BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ....................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah .................................................................. 24 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 25
1.3.1 Tujuan .................. ........................................................ 25 1.3.2 Manfaat ......................................................................... 25 1.4 Tinjauan Pustaka .................................................................... 26 1.5 Konsep .................................................................................... 29 1.5.1 Genjring Bonyok ........................................................... 29 1.5.2 Tardug ........................................................................... 31 1.5.3 Kajian musik, manusia,teks dan konteks ................. 31 1.5.4 Kajian ........................................................................... 35 1.5.5 Kontinuitas ..................................................................... 35 1.5.6 Perubahan ...................................................................... 36 1.5.7 Struktur .......................................................................... 36 1.5.8 Pertunjukan dan seni pertunjukan tradisi .................... 37 1.5.9 Kajian musik tradisi .................................................... 40 1.5.10 Seni ............................................................................... 48 1.6 Landasan Teori ...................................................................... 54 1.6.1 Teori kontinuitas dan perubahan ................................. 54 1.6.2 Teori semiotik seni pertunjukan .................................. 60 1.6.3 Teori Weighted Scale .................................................... 66 1.7 Metode Penelitian .................................................................. 66 1.8 Sistematika Penulisan ............................................................ 70
xiv
BAB II. DESKRIPSI UMUM DAERAH PENELITIAN .......................... 72 2.1 Masyarakat Sunda Dan Kebudayaannya ................................ 73 2.2 Kabupaten Subang .................................................................. 86 2.2.1 Letak geografis kabupaten Subang ............................... 89 2.2.2 Demografi dan pemerintahan ........................................ 92 2.2.3 Sejarah singkat Kabupaten Subang .............................. 94 2.2.4 Pengaruh budaya Hindu, Budha, dan Peradaban Islam.. 96 2.2.4.1 Pengaruh budaya Hindu dan Budha .................. 96 2.2.4.2 Islam di daerah Subang .................................. .103
2.3 Masa Kolonialisme Belanda dan Inggris ............................ . 108 2.4 Kesenian Rakyat di Kabupaten Subang ................................ 115 2.5 Budaya Hajatan Pada Masyarakat Subang ........................... 117 2.6 Masyarakat Sunda di Desa Cidadap ..................................... 125
BAB III KONTINUITAS DAN PERUBAHAN GENJRING BONYOK DAN TARDUG ........................................................................ 135 3.1 Latar Belakang Kontinuitas dan Perubahan .. ...................... 135 3.2 Wali Songo di Tanah Jawa dan Tatar Sunda ....................... 136 3.3 Islam di Tatar Sunda ............................................................ 141 3.4 Sejarah Genjring Bonyok di Desa Cidadap ......................... 144 3.4.1 Perkembangan Genjring Sholawat menjadi Genjring Bonyok .............................................................. 148 3.4.2 Peranan Kelompok Sinar Pusaka dalam membentuk dan mengembangkan kesenian ........................................... .... 153 3.4.3 Ensambel ...................................................................... 162 3.4.3.1 Genjring .............................................................. 163 3.4.3.2 Bedug ................................................................. 165 3.4.3.3 Tarompet ............................................................. 168 3.4.3.4 Goong .................................................................. 169 3.4.3.5 Kecrek ................................................................. 172 3.5 Deskripsi Peranan Instrumen Musik Genjring Bonyok ......... 173 3.6 Seni Tardug ........................................................................... 175 3.6.1 Asal usul kesenian Tardug.......................................... 176 3.6.2 Pendukung kesenian Tardug ................................. 185 3.6.3 Perkembangan kesenian Tardug ................................. 186 3.6.4 Penyebaran kesenian Tardug ...................................... 195 3.6.5 Masyarakat pendukung ................................................ 197 3.7 Analisis Kontinuitas dan Perubahan yang Terjadi ................ 198 3.7.1 Kontinuitas ................................................................... 200 3.7.2 Perubahan ..................................................................... 201
xv
3.8 Guna dan Fungsi Genjring Bonyok dan Tardug..................... 205 3.8.1 Pengertian guna dan fungsi dalam disiplin Etnomusikologi ............................................................ 206 3.8.2 Penggunaan Genjring Bonyok dan Tardug ................... 210 3.8.2.1 Upacara pesta kawin......................................... 210 3.8.2.2 Upacara pesta khitan ....................................... 215 3.8.2.3 Ruwatan ........................................................... 216 3.8.2.4 Menyambut tetamu ................................ ......... 217 3.8.2.5 Peresmian ................................................ ......... 217 3.8.3 Fungsi .................................................................. ......... 218 3.8.3.1 Integrasi sosiobudaya ............................. ......... 218 3.8.3.2 Kelestarian budaya .......................................... 219 3.8.3.3 Hiburan ............................................................ 221 BAB IV STRUKTUR PERTUNJUKAN GENJRING BONYOK DAN TARDUG ..................................................................... 224 4.1 Organisasi Genjring Bonyok ........ ........................................ 224 4.1.1 Tugas kelompok pengurus .......................................... 224 4.1.2 Tugas anggota ............................................................. 233 4.1.3 Aktivitas pertunjukan ................................................... 234 4.2 Tempat pertunjukan, Waktu Pertunjukan, dan Teknik Pertunjukan ..................................................................... 235 4.2.1 Tempat pertunjukan ..................................................... 235 4.2.2 Waktu pertunjukan ............................................. ......... 236 4.2.3 Teknik pertunjukan....................................................... 237 4.3 Struktur Lagu Dalam Penyajian Genjring Bonyok dan Tardug............................................................................. 239 4.4 Deskripsi Pelaksanaan Pertunjukan ...................................... 243 4.4.1 Proses persiapan pertunjukan ...................................... 246 4.4.2 Proses pelaksanaan pertunjukan dudukan ......... ........ 248 4.4.3 Proses pelaksanaan pertunjukan arak-arakan .... ........ 250 4.5 Pertunjukan Tardug .............................................................. 252 4.5.1 Pertunjukan Helaran .................................................... 253 4.5.5 Pertunjukan panggung .................................................. 255 BAB V TRANSKRIPSI DAN ANALISIS MUSIK GENJRING BONYOK DAN TARDUG .......................................................................... 259 5.1 Transkripsi dan Analisis ....................................................... 260 5.2 Metode Transkripsi ............................................................... 261 5.3 Proses Transkripsi ................................................................ 267 5.4 Analisis Sampel Lagu Gederan dan Siuh ............................. 268
xvi
5.4.1 Meter dan Tempo .......................................................... 273 5.4.2 Tangga Nada, Wilayah Nada dan Nada Dasar............... 276 5.4.3 Pola Kadensa ................................................................. 279 5.4.4 Pola ritme instrumen musik dan non-melodis .......... 280 5.4.5 Formula melodi ............................................................ 282 5.4.6 Kontur ........................................................................... 288 5.5 Analisis Teks Lagu Pemuda Idaman ...................................... 293 BAB VI PENUTUP .............................................................................. 300 6.1 Kesimpulan ........................................................................... 300 6.2 Saran ...................................................................................... 305 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 307 LAMPIRAN 1 : DAFTAR INFORMAN ................................................. 314 LAMPIRAN 2 : LAGU GEDERAN, SIUH DAN PEMUDA IDAMAN ....................................................................... 318
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Pesta Kesenian Rakyat kabupaten Subang ............................................116
Tabel 2.2 Jenis Penggunaan Tanah Desa Cidadap .................................................125
Tabel 2.3 Mata Pencaharian Pokok Masyarakat Desa Cidadap ............................130
Tabel 3.1 Perbedaan Struktur Pertunjukan Genjring .............................................152
Tabel 3.2 Perbandingan jenis kesenian ..................................................................183
Tabel 3.3 Penyebaran Grup Kesenian Tardug di Kecamatan Pagaden ...............185
Tabel 3.4 Penyebaran Grup Kesenian Tardug di Kecamatan Pagaden ...............197
Tabel 4.5 Daftar Beberapa Judul Lagu Genjring Bonyok ....................................242
Tabel 4.6 Perbandingan Struktur Lagu Genjring Bonyok Dalam Dudukan dan
Arak-arakan ............................................................................................245
xviii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Lukisan Sunan Gunung Jati ..............................................................144
Gambar 3.2 Alat Musik Genjring (Rebana) ......................................................146
Gambar 3.3 Instrumen Genjring dan Posisi Memainkannya ..............................106
Gambar 3.4 Instrumen Bedug ................................................................................167
Gambar 3.5 Instrumen Bedug dan Posisi Memainkannya ...................................167
Gambar 3.6 Instrumen Tarompet dan Pemainnya ...............................................169
Gambar 3.7 Pemain Goong dalam Posisi dudukan ..............................................171
Gambar 3.8 Pemain Goong dalam Posisi arak-arakan .......................................171
Gambar 3.9 Pemain Kecrek dalam Posisi dudukan .............................................172
Gambar 3.10 Gitar Melodi dan Ritme pada Seni Tardug.....................................187
Gambar 3.11 Gitar Bas pada Seni Tardug .............................................................187
Gambar 3.12 Genjring ............................................................................................189
Gambar 3.13 Kendang ............................................................................................190
Gambar 3.14 Goong ................................................................................................191
Gambar 3.15 Simbal dan Kecrek ...........................................................................192
Gambar 3.16 Snare dan Drum ................................................................................193
Gambar 3.17 Bedug ................................................................................................194
Gambar 3.18 Bangsing ...........................................................................................195
Gambar 4.1 Sutarja, Pimpinan Genjring Bonyok Sinar Pusaka di
Desa Cidadap Subang Jawa Barat .....................................................225
Gambar 4.2 Struktur Organisasi Genjring Bonyok Sinar Pusaka ........................226
Gambar 4.3 Genjring Bonyok dalam Pertunjukan Arak-arakan ..........................239
Gambar 4.4 Genjring Bonyok dalam Pertunjukan Dudukan ................................239
Gambar 4.5 Pertunjukan Kesenian Tardug ...........................................................253
Gambar 4.6 Alat-alat Musik Tardug ......................................................................258
Gambar 4.7 Penyanyi Wanita pada Seni Pertunjukan Tardug .............................258
xix
DAFTAR BAGAN
Bagan 3.1 Kontinuitas dan Perubahan Genjring Bonyok ke Tardug dalam Budaya Sunda .............................................................................223 Bagan 4.1 Struktur Organisasi Genjring Bonyok Sinar Pusaka ............................229
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah sebuah negara yang terdiri dari berbagai kelompok etnik,
yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Di negara ini terdapat berbagai suku
seperti Aceh, Alas, Gayo, Melayu, Mandailing, Batak Toba, Simalungun,
Minangkabau, Ambon, Papua, Jawa, Sunda, dan lain-lainnya. Setiap kebudayaan
etnik ini biasanya memiliki bahasa dan keseniannya sendiri.
Kesenian etnik yang ada di Indonesia biasanya mengalami perubahan dan
kontinuitas sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sosial budaya yang terjadi di dalam
kebudayaan etnik bersangkutan. Misalnya dalam kebudayaan Batak terdapat tradisi
musik tiup, yang merupakan perubahan dan kontinuitas dari tradisi musik
tradisional gondang dan mengalami akulturasi dengan musik brass Eropa. Begitu
juga dengan genre musik campur sari dalam kebudayaan Jawa, yang meneruskan
tradisi musik gamelan yang dipadu dengan musik dangdut, populer, dan Eropa.
Dalam kebudayaan Sunda dikenal genre seni pertunjukan tardug (gitar bedug) yang
merupakan hasil dari perubahan dan kontinuitas dari genjring bonyok.
Perubahannya disebabkan oleh faktor fungsi seni pertunjukan yang berkembang di
dalam masyarakat Sunda. Seni ini berkembang di daerah Subang dan sekitarnya.
Genre ini menjadi fokus kajian penulis di dalam tesis ini.
Seni pertunjukan genjring bonyok dan tardug, sangat menarik untuk dikaji
berdasarkan perspektif sejarah. Secara umum, sejarah kesenian di Indonesia
2
memiliki periodisasi atau pembabakan yang hampir sama. Masyarakat di Nusantara
ini menapaki masa animisme dan dinamisme sampai abad pertama Masehi.
Kemudian mereka menjalani pengaruh kebudayaan Hindu dan Buddha dari abad
pertama sampai ke-13. Selanjutnya sejak abad ke-13 datanglah pengaruh Islam.
Kemudian sejak awal dekade abad ke-16 datanglah pengaruh budaya Barat melalui
Portugis, Belanda, dan Inggris. Kemudian di abad ke-20 pertengahan masuklah
masa kemerdekaan (lihat bandingannya dengan Holt, 1987). Dalam konteks ini
genjring bonyok dan tardug sangat kuat mengekspresikan peradaban Islam dalam
kebudayaan Sunda. Hal ini tercermin dari penggunaan teks yang temanya adalah
agama Islam, penggunaan genjring itu sendiri yaitu gendang rebana yang khas
peradaban musik Islam, serta konteks fungsionalnya untuk upacara yang berkaitan
dengan agama Islam, seperti khitanan, perkawinan, menyambut hari besar Islam,
dan kemudian berkembang sebagai hiburan.
Secara wilayah budaya, suku Sunda sebahagian besar bermukim di Jawa
Barat. Pada masa kini, Jawa Barat adalah salah satu provinsi yang memiliki
beraneka-ragam jenis kesenian. Jenis-jenis kesenian tersebut awalnya tumbuh dan
berkembang di dalam lingkungan masyarakat yang terdiri dari tripartit strata sosial,
yang disebut sebagai menak, somah, dan buruh.1 Ketiga strata sosial pada
1 Golongan elit bangsawan atau menak adalah golongan yang terdiri dari orang-orang
pribumi (orang Sunda) yang bekerja pada pemerintahan Belanda. Biasanya mereka adalah warga masyarakat yang mempunyai kedudukan sebagai bangsawan. Somah adalah rakyat biasa yang tidak bekerja untuk Belanda. Sedangkan buruh atau budak adalah warga masyarakat yang bekerja untuk pemerintah Belanda, dengan spesifikasi kerjanya pada pekerjaan kasar atau buruh kasar (lihat Edi S. Ekadjati, dalam bukunya yang bertajuk Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya, yang diterbitkan di Bandung oleh Girimukti Pasaka, tahun 1984). Sementara di dalam kebudayaan Jawa dikenal juga tripartit strata sosial yang disebut dengan: (a) santri atau kaum alim-ulama yang menguasai dan menghayati ajaran-ajaran Islam secara kaffah, (b) priyayi, yaitu orang Jawa yang merupakan golongan bangsawan atau para kaum ekonomi tingkat atas, dan (c) abangan, yaitu kelas bawahan yang tidak begitu kuat dalam menjalankan ajaran agama.
3
masyarakat Sunda inilah yang pada akhirnya memberikan sumbangan kesenian
yang beraneka ragam di Provinsi Jawa Barat, karena setiap strata sosial tersebut
mengembangkan jenis keseniannya masing-masing. Walaupun pada saat ini ketiga
strata sosial tersebut tidak sepenuhnya lagi dipergunakan dalam kehidupan
masyarakat Sunda, tetapi pengaruhnya masih dapat dilihat dalam berbagai genre
kesenian yang ada di Jawa Barat, termasuk genjring bonyok yang kemudian
berkembang menjadi tardug.
Kondisi kesenian di Jawa Barat pada saat ini semakin pesat berkembang
seiring dengan kebutuhan dan kreativitas masyarakat terhadap kesenian. Jika
dilihat secara kuantitatif, kondisi kesenian yang mengalami pertumbuhan dan
perkembangan yang pesat secara kuatitatif adalah jenis kesenian yang pada
awalnya berkembang dari kalangan rakyat biasa. Sementara itu pada kesenian yang
berasal dari kalangan somah perkembangan tersebut lebih bersifat kualitatif. Hal
ini antara lain disebabkan adanya kelompok masyarakat, yang masih
mempertahankan nilai-nilai tradisi kesenian yang berasal dari golongan tersebut.
Secara etimologi nama genjring bonyok berasal dari dua kata, yaitu
genjring dan bonyok. Genjring berarti sebuah alat musik frame drum
(rebana), baik yang memakai asesoris kecrek (lempengan logam) maupun tidak,
alat musik ini merupakan salah satu instrumen pendukung yang menjadi ciri khas
kesenian genjring bonyok.
Adapun istilah bonyok dalam bahasa Sunda tidak memiliki arti harfiah,
namun menurut informan (Sutarja), kata bonyok berasal dari nama sebuah dusun,
yaitu Dusun Bonyok yang berdampingan dengan Desa Cidadap, di Subang, Jawa
4
Barat. Asal-usul digunakan nama genjring bonyok muncul kira-kira pada tahun
1969, tepatnya setelah Sutarja mengajarkan kesenian genjring di dusun tersebut.
Walaupun begitu jika ditelusuri lebih dalam, istilah yang dekat dengan bonyok
dalam bahasa Sunda ronyok artinya adalah berkumpul. Menurutnya pula nama
ini berkonotasi bahwa Jika kesenian genjring ini dimainkan, maka banyak orang
berkumpul untuk menyaksikannya.
Meskipun pada mulanya kedua nama ini (genjring ronyok dan genjring
bonyok) digunakan untuk menamakan satu bentuk kesenian genjring, namun dalam
perkembangannya kesenian ini lebih populer dengan nama genjring bonyok. Seni
pertunjukan ini berlanjut terus hingga sekarang. Bagi masyarakat Sunda di
Kabupaten Subang, memaknai genre seni genjring bonyok sebagai suatu bentuk
kesenian musik genjring yang dipergunakan dalam konteks khitanan, perkawinan,
atau hari-hari nasional dengan tujuan untuk meramaikan dan menghibur.
Sebagai suatu bentuk kesenian, genjring bonyok dapat digolongkan sebagai
seni pertunjukkan yang berakar dari rakyat, dan memiliki arti suatu pengalaman
bersama dalam pertunjukkan musik karena penonton dan pemain langsung
berinteraksi, yang berlaku dalam waktu dan secara teknis mengikuti pola-pola yang
berulang. Namun dalam segi-segi tertentu mengalami perubahan (Sedyawati,
1981:60).
Pertunjukan genjring bonyok biasanya dilaksanakan dengan melibatkan
ekspresi penonton yang mereka hibur. Dalam arti penonton melibatkan diri dalam
pertunjukan dengan langsung meminta agar dimasukan lagu-lagu yang mereka
inginkan dan juga melakukan tarian secara bersama-sama. Tidak jarang pula
5
pertunjukan ini dapat membuat mereka mengalami trance. Oleh karena itu,
dalam pendekatan seni pertunjukan, genjring bonyok merupakan bentuk seni
pertunjukan yang melibatkan pengalaman bersama antara pemusik dan penonton.
Unsur-unsur musik, seperti komposisi lagu biasanya juga dimainkan dalam
bentuk kesenian lain seperti Kliningan, Ketuk Tilu, Sisingaan,
Gembyung, dan lain-lain. Dengan demikian tema-tema lagu yang disajikan
berangkat dari tema-tema yang telah dikenal luas oleh masyarakat Sunda.
Keberadaan unsur-unsur musik ini akan dijelaskan dengan pendekatan
musik rakyat (folk music), dimana secara alamiah genjring bonyok adalah
kesenian yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Sunda, oleh karenanya
kondisi masyarakat sangatlah besar artinya bagi perkembangan dan kelanjutan
kesenian ini. Fenomena ini pula yang menjadikan genjring bonyok setiap waktu
yang diinginkan masyarakat dapat mengalami perubahan baik dari segi konteks
penyajian, alat-alat musik maupun materi lagu-lagunya.
Jika dilihat dari proses perkembangannya, genjring bonyok merupakan
kesenian yang mengadopsi instrumen musik genjring dan bedug, yang telah
dipergunakan dalam kesenian genjring yang ada sebelumnya, seperti genre
genjring sholawat, genjring rudat, dan adem ayem.2 Ketiga jenis kesenian ini telah
2Yang dimaksud (1) genjring sholawat atau genjring umbul-umbul, adalah jenis kesenian
genjring yang digunakan untuk mengiringi arak-arakan pengantin atau anak yang akan disunat. Dalam penyajian musiknya, kesenian ini menggunakan instrumen musik genjring dan bedug dengan lagu-lagu yang bernafaskan agama Islam (pupujian). Istilah umbul-umbul dipergunakan karena selain menggunakan ensambel musik, arak-arakan tersebut juga diiringi dengan penggunaan umbul-umbul. (2) Rudat adalah jenis kesenian genjring yang dipagelarkan untuk mempertontonkan atraksi pencak silat, dengan iringan instrumen musik genjring dan bedug, serta lagu-lagu yang bernafaskan agama Islam {pupujian). (3) Adem Ayem adalah jenis kesenian yang mempagelarkan adegan-adegan akrobatik, dengan iringan genjring dan bedug, serta lagu-lagu yang bernafaskan agama Islam {pupujian).
6
lama dikenal masyarakat sebagai kesenian yang umumnya menggunakan instrumen
musik genjring dan bedug. Dan pada umumnya pula ketiga kesenian ini sama-sama
menyajikan materi-materi lagu pupujian (lagu-lagu yang bernafaskan agama
Islam).
Diawali dari proses pengadopsian instrumen genjring dan bedug, kesenian
genjring bonyok pun berkembang ditandai dengan penambahan sejumlah instrumen
musik lainnya. Seiring dengan itu kesenian ini pun tidak saja mengalami
perkembangan dalam penggunaan instrumen musiknya, tetapi juga dalam segi
teknik permainan, komposisi lagu, konteks penggunaan, dan teknik penyajiannnya.
Karakteristik kesenian genjring bonyok nampak pada penambahan
instrumennya, yang terdiri dari: empat buah genjring (frame drum), sebuah
bedug (conical single head drum), sebuah tarompet (double reed
aerophone), sebuah kecrek (stemped-idiophone), dan dua buah goong
(suspended gong). Penyajian dari seluruh ensambel ini hanya memainkan
jenis musik instrumental, dan ini sangat jelas berbeda dari jenis kesenian genjring
yang telah ada sebelumnya.
Dalam segi teknik permainan instrumen musik, genjring bonyok
mempunyai teknik dan gaya permainan yang berbeda dari jenis kesenian genjring
yang lain. Ciri khas ini terutama menonjol pada permainan bedug dan salah satu
genjringnya yang berfungsi mengisi pola-pola ritmis yang bervariasi.
Adapun dari segi komposisi musik, genjring bonyok menyajikan musik
instrumental yang komposisinya diadopsi dari lagu-lagu rakyat tradisional Sunda,
7
seperti yang terdapat pada kesenian adem ayem, kliningan, ketuk iilu, pencak silat,
dan sebagainya. 3 Keadaan ini sangat jelas meperlihatkan perbedaan karakter
genjring bonyok dengan kesenian genjring yang lain. Karena kesenian genjring
yang lain hanya memainkan lagu-lagu yang bertemakan ajaran Islam.
Dari segi konteks penggunaan dalam masyarakat, genjring bonyok juga
mengalami perkembangan yang berbeda dengan konteks penggunaan jenis
kesenian genjring yang telah disebutkan di atas. Genjring sholawat misalnya,
hanya khusus digunakan pada upacara khitanan, perkawinan, dan khataman Al-
Qur’an. Sedangkan genjring rudat dan adem ayem khusus digunakan dalam
hiburan massa yang bersifat tontonan, dan tidak berkaitan dengan konteks suatu
upacara keagamaan seperti fungsi genjring sholawat.
Adapun genjring bonyok tidak saja dipergunakan dalam konteks yang
berkaitan dengan suatu upacara, melainkan juga dalam konteks hiburan massa yang
bersifat tontonan. Oleh sebab itu di dalam masyarakat genjring bonyok tidak saja
dipergunakan pada acara nyunatan (khitanan) dan ngawinkeun
(pernikahan), dan ruwatan (upacara selamatan bumi), tetapi juga sebagai
hiburan dalam acara hari-hari nasional dan perayaan desa.
Fenomena perkembangan kesenian tradisi rakyat yang pesat ini dapat
dilihat di daerah Kabupaten Subang, Jawa Barat. Subang sangat kaya dengan
keanekaragaman jenis kesenian. Berdasarkan data pada peta kesenian Kabupaten
Subang, daerah ini tercatat memiliki lebih-kurang 54 jenis kesenian. Di antara 54
3Ketuk Tilu adalah jenia tari yang diiringi tiga buah Ketuk, Rebab, Kendang, Saron,
dan Gong. Kliningan adalah penyajian sekaran (vokal grup) yang diiringi Gamelan. Adapun Pencak Silat merupakan seni bela diri yang diiringi dengan genjring dan tarompet (pupujian).
8
jenis kesenian tersebut beberapa kesenian yang mengalami perkembangan pesat,
diantaranya adalah genjring bonyok.
Secara umum kesenian ini dikenal luas sebagai kesenian genjring yang
berasal dari wilayah Kabupaten Subang. Pada umumnya bagi masyarakat Subang,
genjring bonyok adalah suatu bentuk kesenian musik genjring yang sering
dipergunakan sebagai hiburan dalam acara khitanan, perkawinan, ruwatan
(selamatan), atau pada hari-hari nasional.
Pertunjukan genjring bonyok adalah satu genre musik Islam dalam
kebudayaan Sunda yang biasanya digunakan dan menyatu dengan budaya Sunda
yang didasari oleh peradaban Islam. Kesenian ini lazim digunakan dalam berbagai
kegiatan yang bercorak kebudayaan Islam, seperti untuk upacara maulid Nabi
Muhammad, upacara perkawinan, khitanan, tahun baru Islam, dan lainnya. Dalam
perkembangannya musik ini kemudian mendapat sentuhan budaya populer dan
melahirkan genre yang disebut tardug (kependekkan dari gitar dan bedug) sejak
tahun 2006 hingga sekarang ini, 2012. Sebagai pusat persebaran kesenian ini adalah
di kawasan Subang Jawa Barat.
Kemudian dalam perkembangan berikutnya genre musik ini berkembang
pula menjadi tardug (akronim dari gitar dan bedug). Genre ini menggunakan vokal
dan yang utama adalah gitar, dan tetap menggunakan instrumen gitar bas, kendang,
genjring, bedug, terompet, kercek, dan goong.
Perkembangan genjring bonyok ke tardug ini terjadi karena perubahan
keperluan estetis masyarakat Sunda di Subang. Perubahan yang terjadi adalah
memperluas peralatan musik juga memperluas cakupan lagu-lagu dan mengadopsi
berbagai genre seni lainnya. Bahkan di tahun 2012 ini, tardug ini lazim pula
9
digabungkan dengan jaipongan yang disebut dengan tardug jaipongan. Seperti
diketahui bahwa jaipongan adalah satu genre seni pertunjukan tradisional Sunda
lainnya yang muncul berabad-abad waktu yang lalu. Seni ini melibatkan penari
yang dibayar melalui saweran oleh penonton yang ikut menari bersama.
Genre tardug jaipongan juga melibatkan pemusik dan penari dalam jumlah
yang relatif besar yaitu sekitar 30 orang yang honorariumnya tergantung dari si
pengundang dan hasil saweran penonton. Honorarium mereka sekali manggung
menurut keterangan para informan rata-rata per orang adalah Rp 100.000 (seratus
ribu rupiah) lain dengan sawerannya. Jadi sekali pertunjukan mereka rata-rata
dibayar sekitar Rp 3.000.000 juta dalam satu grup dan lain dengan hasil pemberian
para penonton.
Perubahan yang terjadi dari genjring bonyok ke tardug adalah dari segi
fungsional. Kalau genjring bonyok awalnya lebih mengutamakan fungsi religius
yaitu keagamaan Islam, maka pada tardug ini yang terjadi adalah “desakralisasi”
genjring bonyok ke arah yang lebih profan dan lebih berfungsi hiburan dibanding
fungsi awalnya yang lebih menekankan religi. Inilah yang menarik dari proses
perubahan yang terjadi.
Selain perubahan, maka aspek yang tidak bisa dipungkiri adalah
kesinambungan atau kontinuitas dari genjring bonyok ke tardug. Di antara yang
terus berlanjut adalah lagu-lagu yang ada di genjring bonyok terus dilakukan di
tardug. Selain itu gaya penyajian dengan melibatkan penyanyi, pemusik, dan
penari. Alat-alat musik tetap digunakan namun diperluas lagi dengan tambahan-
tambahan alat-alat musik lain.
10
Adapun struktur pertunjukan mengalami kontinuitas dan perubahan juga.
Dalam tradisi genjring bonyok, struktur pertunjukan biasanya dimulai dengan
instrumentalia yang disebut Gederan. Selanjutnya dipertunjukkan lagu yang disebut
Kembang Gadung, sebagai lagu pembuka yang ditujukan kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa agar pertunjukan mendapat ridha-Nya. Kemudian pada pertunjukan
berikutnya adalah pertunjukan ketuk tilu yang dinyanyikan oleh penyanyi (sindhen)
dan juga penonton, yang juga melibatkan aspek tarian. Kemudian lagu-lagu
permintaan dari penonton. Biasanya adalah lagu tradisional Sunda. Setelah para
seniman, tuan rumah, dan penonton merasa cukup maka pertunjukan diberhentikan.
Demikian pola pertunjukan genjring bonyok dari tahun 1969 sampai sekarang.
Namun fungsi genjring bonyok ini sejak 2006 digantikan oleh tardug.
Sama dengan pertunjukan genjring bonyok, pola pertunjukan tardug juga
dimulai dari permaian pembukaan dengan pertunjukan Gederan yang disajikan
secara instrumentalia. Kemudian pertunjukan lagu Kembang Gadung yang
melibatkan pemusik dan penyanyi saja, belum melibatkan tarian, yang
dipersembahkan untuk Tuhan Yang Maha Kuasa, agar pertunjukan ini direstui dan
diridhai-Nya. Selepas itu adalh pertunjukan lagu-lagu dan tarian secara bebas sesuai
dengan permintaan penonton, bisa lagu tradisi Sunda, lagu dangdut, lagu populer
Sunda, lagu populer Indonesia, atau lagu etnik di luar Sunda seperti Jawa,
Minangkabau, Karo, dan lainnya. Barulah setelah mereka semuanya merasa puas,
pertunjukan pun ditutup.
Yang menarik dari proses perubahan dan kontinuitas genre-genre seni
tersebut adalah aspek mengikuti selera pasar (masyarakat) dan perkembangan
zaman atau globalisasi. Masyarakat Sunda khususnya di Subang menyadari
11
perlunya pengembangan-pengembangan seni supaya fungsional dalam kebudayaan.
Demikian juga terhadap seni di atas. Selain itu, masyarakat Sunda di Subang
menyadari perlunya mengadaptasuikan kebudayaan secara kewilayahan, nasional,
dan internasional. Perubahan-perubahan yang terjadi juga tidak meninggalkan
kontinuitasnya. Dalam konteks di atas, unsur budaya Islam, Sunda, dan Dunia
muncul sekali gus dalam genre ini. Yang menarik adalah bagaimana orang-orang
Sunda mengolah semua kebudayaan ini dalam genre tardug. Lihat proses
kontinuitas dan perubahan yang terjadi dalam kesenian ini pada uraian berikut ini.
(a) Masa animisme dan dinamisme, sejak adanya orang Sunda sampai abad
pertama Masehi; pada masa ini diperkirakan telah muncul tangga-tangga nada
pelog dan salendro, ritual ditujukan untuk menghormati roh-roh nenek moyang
dan roh-roh penghuni di berbagai tempat di alam ini;
(b) Masa Hindu dan Buddha dari abad pertama sampai ketiga belas; masa ini
meneruskan apa yang terjadi pada masa animisme dan dinamisme namun
kemudian diselaraskan dengan ajaran Hindu yang mengenal Tuhan dalam
bentuk Trimurti, yaitu Wisnu, Brahma, dan Syiwa. Pengaruh Buddha juga
wujud dalam ajaran sinkretik Tantraisme. Pada masa ini wujud tarian-tarian
yang bersifat dan berfungsi untuk pemujaan di rumah-rumah ibadah.
(c) Masa Islam dari abad ketiga belas. Pada masa inilah dimulainya seni-seni Islam
seperti sholawatan, adem ayam, rudat, dan lainnya. Ciri utama seni Islam ini
adalah pada penggunaan alat musik rebana (dalam bahasa Sunda genjring).
Begitu juga dengan alat musik bedug. Fungsi utama seni Islam adalah untuk
dakwah dan komunikasi ajaran Islam, juga untuk memperkuat nilai-nilai
keislaman di tengah-tengah masyarakat Sunda.
12
(d) Kemudian sejak abad ketujuh belas masuklah pengaruh Eropa melalui penjajah
Belanda dan Inggris. Di masa ini masyarakat Sunda sudah mulai mengenal
musik diatonis, gaya pakaian Eropa, dan lainnya, seperti yang dapat dilihat
pengaruhnya pada seni sisingaan.
(e) Berikutnya adalaha masa Indonesia merdeka yaitu sejak tahun 1945 sampai
sekarang. Masa ini terus terjadi kontinuitas adem ayem, rudatan, genjring
bonyok, sholawatan, kemudian terus berkembang menjadi tardug, tardug
dangdut, dan lain-lainnya. Istilah-istilah ini muncul sesuai dengan selera
masyarakat Sunda yang menapaki budayanta dari waktu ke waktu.
Semua proses perubahan dan kontinuitas (kesinambungan) seni-seni
pertunjukan yang terdapat di Indonesia ini tidak terlepas dari proses globalisasi,
yang menekankan kepada ekonomi dan mekanisme pasar. Era globalisasi adalah
era persaingan secara internasional. Di masa ini diperlukan juga jati diri selain
proses akulturasi dalam seni.
Era globalisasi, dengan penyebaran ideologi kapitalisme yang sedemikian
masif, telah menyebabkan terjadinya komodifikasi atas berbagai hal dalam
kehidupan manusia. Sebuah proses ketika setiap obyek, tanda-tanda, diubah
menjadi komoditas. Dalam kondisi demikian, benda-benda dalam masyarakat tidak
lagi dibeli untuk mendapatkan nilai guna, tetapi lebih sebagai tanda komoditas. Di
sini tidak ada benda yang punya nilai esensial. Nilai guna itu sendiri ditentukan
melalui proses pertukaran, yang menyebabkan makna kultural sesuatu lebih
berpengaruh daripada nilai kerja dan utilitasnya (Barker, 2005:145-146).
Dalam dunia seni pertunjukan, termasuk pertunjukan seni tradisi, bentuk-
bentuk komodifikasi secara nyata dapat ditemukan. Seni pertunjukan telah menjadi
13
komoditas layaknya benda yang nilai jualnya juga dinegosiasikan. Seorang pemilik
hajat khitanan atau perkawinan misalnya, menyewa sebuah grup pertunjukan tidak
semata-mata ingin memeriahkan atau menghibur pengunjung yang mendatangi
pestanya. Lebih dari itu, ada makna kultural dan sosial yang lebih penting, yakni
naiknya prestise dan status sosial. Sebagaimana Sutrisno (2007:42) yang
menyatakan bahwa karya-karya seni rupa tradisional banyak mengalami
komodifikasi, yakni suatu proses yang biasanya dikaitkan dengan kapitalisme di
mana objek-objek, kualitas-kualitas dan tanda-tanda dimanipulasi dan diubah
menjadi komoditas dengan tujuan untuk diperjualbelikan.
Saat ini, hampir tidak ada satu pun kesenian tradisi yang mampu
melepaskan diri dari kepentingan komoditas dan ekonomi, termasuk upacara-
upacara ritual yang berkembang menjadi obyek pariwisata, menjadi sebuah pseudo-
ritual (Endang Caturwati, 2004:57). Kesenian tradisional tumbuh dan berkembang
pada masyarakat pendukungnya. Akan tetapi pada perkembangannya saat ini,
sebagian besar masyarakat kurang peduli lagi terhadap kelangsungan hidupnya,
sehingga kesenian tradisional sebahagian besar mendekati ambang kepunahannya,
kecuali yang fungsional dalam masyarakatnya..
Sungguh tidak mudah untuk menjadi kesenian tradisi yang murni, ketika
ideologi kapitalisme telah memasuki desa-desa yang terpencil sekalipun. Ia harus
berhadapan, berlomba bahkan berjuang sedemikian keras melawan industri budaya,
yang secara dominan direpresentasikan oleh budaya populer. Sebagaimana
diungkap oleh Fiske, “… dalam masyarakat kapitalis tidak ada apa yang disebut
sebagai budaya rakyat yang otentik, yang bisa dipakai untuk menakar
14
“ketidakotentikan” budaya massa, sehingga meratapi hilangnya otentisitas adalah
nostalgia romantik yang tak ada gunanya” (Barker, 2005:87).
Seni pertunjukan di Indonesia berangkat dari suatu keadaaan di mana ia
tumbuh dalam lingkungan etnik yang berbeda satu sama lain. Dalam lingkungan
etnik ini, adat atau kesepakatan bersama yang turun temurun mengenai perilaku,
mempunyai pengaruh yang amat besar untuk menentukan bangkitnya seni
pertunjukan. Peristiwa keadatan merupakan landasan eksistensi yang utama bagi
pergelaran-pergelaran atau pelaksanaan-pelaksanaan seni pertunjukan. Seni
pertunjukan terutama yang berupa tari-tarian dengan iringan bunyi-bunyian sering
merupakan pengembangan dari kekuatan-kekuatan magis yang diharapkan hadir,
tetapi juga tidak jarang merupakan semata-mata tanda syukur pada terjadinya
peristiwa-peristiwa tertentu (Sedyawati, 1981:52-53).
Kesenian tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat, dan menjadi salah satu
bagian yang penting dari kebudayaan. Kesenian adalah ungkapan kreativitas dari
kebudayaan itu sendiri. Masyarakat yang menyangga kebudayaan dan dengan
demikian juga kesenian, mencipta, memberi peluang untuk bergerak, memelihara,
menularkan, mengembangkan untuk kemudian menciptakan kebudayaan baru lagi
(Umar Kayam, 1981:38-39)
Lebih lanjut Edi Sedyawati, mengemukakan tentang arti pengembangan
sebagai berikut ini.
Adapun yang dimaksud dengan pengembangan sebenarnya mempunyai dua arti yaitu pertama, pengembangan dalam arti pengolahan dan kedua pengembangan dalam arti penyebarluasan: (a) Pengembangan dalam arti pengolahan itu berdasarkan unsur-unsur tradisi yang diberi nafas baru sesuai dengan tingkat perkembangan masa, tanpa mengurangi atau menghilangkan nilai-nilai tradisi. (b) Pengembangan dalam arti penyebarluasan untuk dapat dinikmati
15
diresapi oleh lingkungan mengangkat yang lebih luas (Sedyawati, 1981:39).
Apa yang disebut “seni rakyat”, “lagu rakyat”, atau “tarian rakyat” yang
tidak pernah lagi dikenal penciptanya itu pada mulanya dimulai dari seorang
pencipta anggota masyarakat. Begitu musik atau tarian diciptakan, masyarakat
segera “mengklaim” sebagai miliknya. Termasuk bentuk-bentuk ritual yang telah
disakralkan oleh masyarakat, sebagai adat istiadat milik setempat.
Terkait dengan penciptaan karya seni, Saini (2001:49) menyatakan bahwa
karya seni adalah hasil pendekatan seniman terhadap realitas. Ia adalah hasil
persinggungan bahkan pergulatan kesadaran seniman berupa pemikiran, perasaan
dan khayalan seniman dengan realitas yang menjadi sasaran obsesinya. Terciptanya
sebuah karya seni tidak begitu saja terbentuk, melainkan membutuhkan pemikiran-
pemikiran, perasaan, dan imajinasi yang tinggi dan diproses menjadi sebuah karya.
Mengenai defenisi dan konsep tentang seni tradisional, Rohidi (2000:209)
mengungkapkan sebagai berikut.
Kesenian tradisional adalah kesenian yang bersifat lokal. Kesenian lokal adalah jenis kesenian yang hidup dominan dikalangan suku bangsa tertentu. Kesenian jenis ini sering kali menjadi bagian dari kehidupan secara menyeluruh (dalam upacara-upacara ritual kehidupan). Di antara sesama warga masyarakat yang terisolasi (atau mengisolasikan diri). Kesenian mereka sering kali juga disebut kesenian “primitif”. Kesenian lokal yang juga hidup pada masyarakat tertentu yang telah mengalami kontak dengan masyarakat dan kebudayaan lainnya (asing/tetangga), juga karena kemampuan masyarakat yang bersangkutan, mereka bisa menyerap nilai-nilai kebudayaan lain. Melalui perjalanan sejarah yang panjang dan nilai-nilai perpaduan itu terwujud dalam corak ekspresi kesenian yang khas, telah dialihwariskan dari generasi satu kegenerasi berikutnya, sehingga menjadi bagian dari kehidupan berkeseniannya. Kesenian lokal semacam ini secara umum dikenal sebagai kesenian tradisional.
16
Seperti apa yang dikemukakan dari kutipan di atas, bahwa kesenian
tradisional merupakan hasil buah cipta kebudayaan masyarakat sebagai ungkapan
kehidupan sosial di suatu daerah tertentu yang membutuhkan waktu cukup lama
baik dalam penciptaannya sampai penyebarannya hingga mengalami pewarisan
secara turun-temurun dari generasi ke generasi di bawahnya, sehingga kesenian
tersebut dapat dikatakan kesenian primitif. Demikian pula halnya dengan seni
genjring bonyok dan tardug yang berkembang di dalam masyarakat tradisional
Jawa Barat. Kesenian ini termasuk ke dalam seni tradisi seperti yang digambarkan
oleh Rohidi di atas.
Subang merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat yang kaya
dengan seni pertunjukan, antara lain tayub, doger kontrak, sisingaan, ajeng,
gembyung, belentuk ngapung, bajidor, beluk, toleat, genjring bonyok, dan topeng
jati merupakan contoh dari sekian banyak karya seni tradisional yang diciptakan
dan telah mengalami proses pewarisan secara turun temurun dalam suatu periode
tertentu oleh para leluhur di Kabupaten Subang.
Keberadaan tardug yang merupakan kontinuitas dari genjring bonyok,
sangatlah relevan dikaji dari disiplin etnomusikologi. Etnomusikologi sebagai
sebuah disiplin ilmu, merupakan fusi atau gabungan dari dua induk ilmu yaitu
etnologi (antropologi) dan musikologi. Penggabungan ini sendiri telah
menimbulkan dampak yang kompleks dalam perkembangan etnomusikologi. Jika
kemudian ia berfusi lagi dengan ilmu lain, katakanlah arkeologi, maka akan terjadi
sesuatu perkembangan yang menarik. Dalam konteks etnomusikologi, bidang
musikologi selalu dipergunakan dalam mendeskripsikan struktur musik yang
mempunyai hukum-hukum internalnya sendiri--sedangkan etnologi memandang
17
musik sebagai bagian dari fungsi kebudayaan manusia dan sebagai suatu bagian
yang menyatu dari suatu dunia yang lebih luas. Secara eksplisit dinyatakan oleh
Merriam sebagai berikut.
Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterizeGerman and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam, 1964:3-4). Dari kutipan paragraf di atas, menurut Merriam para pakar
etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembahagian
ilmu, untuk itu selalu dilakukan percampuran dua bagian keilmuan yang terpisah,
yaitu musikologi dan etnologi. Kemudian menimbulkan kemungkinan-
kemungkinan masalah besar dalam rangka mencampur kedua disiplin itu dengan
cara yang unik, dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap
mengandung kedua disiplin tersebut.
18
Sifat dualisme lapangan studi ini, dapat ditandai dari literatur-literatur
yang dihasilkannya--seorang sarjana menulis secara teknis tentang struktur suara
musik sebagai suatu sistem tersendiri, sedangkan sarjana lain memilih untuk
memperlakukan musik sebagai suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia,
dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan. Pada saat yang
sama, beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh para pakar antropologi
Amerika, yang cenderung untuk mengasumsikan kembali suatu aura reaksi
terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai
dengan melakukan studi musik dalam konteks etnologisnya. Di sini,
penekanan etnologis yang dilakukan para sarjana ini lebih luas dibanding dengan
kajian struktur komponen suara musik sebagai suatu bagian dari permainan musik
dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan
manusia yang lebih luas.
Hal tersebut telah disarankan secara tentatif oleh Nettl yaitu terdapat
kemungkinan karakteristik "aliran-aliran" etnomusikologi di Jerman dan
Amerika, yang sebenarnya tidak persis sama. Mereka melakukan studi
etnomusikologi ini, tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode,
pendekatan, atau penekanannya. Beberapa studi provokatif awalnya dilakukan
oleh para sarjana Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang bukan
hanya pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana
Amerika telah mempersembahkan teknik analisis suara musik. Dari kutipan di
atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi dibentuk dari dua disiplin
dasar yaitu etnologi dan musikologi, walau terdapat variasi penekanan bidang
19
yang berbeda dari masing-masing ahlinya. Namun terdapat persamaan bahwa
mereka sama-sama berangkat dari musik dalam konteks kebudayaannya.
Berbagai definisi tentang etnomusikologi telah dikemukakan dan dianalisis
oleh para pakar etnomusikologi. Dalam edisi berbahasa Indonesia, Rizaldi Siagian
dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan Santosa dari Sekolah Tinggi
Seni Indonesia (STSI) Surakarta, telah mengalihbahasakan berbagai definisi
etnomusikologi, yang terangkum dalam buku yang bertajuk Etnomusikologi, 1995,
yang disunting oleh Rahayu Supanggah, terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan
Indonesia, yang berkantor pusat di Surakarta. Dalam buku ini, Alan P. Merriam
mengemukakan 42 definisi etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut kronologi
sejarah dimulai oleh Guido Adler 1885 sampai Elizabeth Hesler tahun 1976.4
Dari 42 (empat puluh dua) definisi tentang etnomusikologi dapat diketahui
bahwa etnomusikologi adalah fusi dari dua disiplin utama yaitu musikologi dan
atropologi, pendekatannya cenderung multi disiplin dan interdisiplin.
Etnomusikologi masuk ke dalam bidang ilmu humaniora dan sosial sekali gus,
merupakan kajian musik dalam kebudayaan, dan tujuan akhirnya mengkaji manusia
4 R. Supanggah (ed.), 1995. Etnomusikologi. Surakarta: Yayasan bentang Budaya,
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan enam tulisan oleh empat pakar etnomusikologi (Barat) seperti: Barbara Krader, George List, Alan P. Merriam, dan K.A. Gourlay; yang dialihbahasakan oleh Santosa dan Rizaldi Siagian. Dalam buku ini Alan P. Merriam menulis tiga artikel, yaitu: (a) “Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi Komparatif’ dan ‘Etnomusikologi’: Sebuah Pandangan Historis-Teoretis,” (b) “Meninjau Kembali Disiplin Etnomusikologi,” (c) “Metode dan Teknik Penelitian dalam Etnomusikologi.” Sementara Barbara Krader menulis artikel yang bertajuk “Etnomusikologi.” Selanjutnya George List menulis artikel “Etnomusikologi: Definisi dalam Disiplinnya.” Pada akhir tulisan ini K.A. Gourlay menulis artikel yang berjudul “Perumusan Kembali Peran Etnomusikolog di dalam Penelitian.” Buku ini barulah sebagai alihbahasa terhadap tulisan-tulisan etnomusikolog (Barat). Ke depan, dalam konteks Indonesia diperlukan buku-buku panduan tentang etnomusikologi terutama yang ditulis oleh anak negeri, untuk kepentingan perkembangan disiplin ini. Dalam ilmu antropologi telah dilakukan penulisan buku seperti Pengantar Ilmu Antropologi yang ditulis antropolog Koentjaraningrat, diikuti oleh berbagai buku antropologi lainnya oleh para pakar generasi berikut seperti James Dananjaya, Topi Omas Ihromi, Parsudi Suparlan, Budi Santoso, dan lain-lainnya.
20
yang melakukan musik sedemikian rupa itu. Walau awalnya mengkaji budaya
musik non-Barat, namun sekarang ini semua jenis musik menjadi kajiannya namun
jangan lepas dari konteks budaya. Dengan demikian, masalah definisi dan lingkup
kajian etnomusikologi sendiri akan terus berkembang dan terus diwacanakan tanpa
berhenti.
Jaap Kunst menambahkan suatu dimensi lanjutan, yaitu kualifikasi terhadap
tipe-tipe musik yang dapat distudi dalam etnomusikologi, seperti yang ditulisnya
seperti berikut [terjemahan penulis].
Studi etnomusikologi, atau, yang pada awalnya disebut: musikologi komparatif, adalah musik dan alat musik tradisional dalam semua strata kebudayaan umat manusia, dari yang disebut masyarakat primitif sampai kepada bangsa yang berperadaban. Sains kita ini, selanjutnya, menyelidiki semua musik tribal dan folk dan setiap jenis musik seni non-Barat. Di samping itu, studinya juga mencakup aspek sosiologi musik, seperti fenomena akulturasi musik, mis. Pengaruh hibridasi dengan elemen-elemen musik asing. Musik seni dan musik populer (hiburan) Barat tidak termasuk ke dalam lapangan etnomusikologi (Kunst, 1969:1).
Mantle Hood mengajukan definisinya dari usul Masyarakat Musikologi
Amerika, tetapi dengan menyisipkan (memasukkan ke dalam tanda kurung) prefiks
“etno,” yang dalam usulannya menyatakan bahwa “[Etno]musikologi adalah suatu
lapangan ilmu pengetahuan, yang mempunyai objek penyelidikan terhadap seni
musik, sebagaimana pula fisika, psikologi, estetika, dan fenomena kebudayaan.
[Etno]musikolog adalah seorang ilmuwan-peneliti, dan dia mengarahkan dirinya
terutama untuk mencapai pengetahuan tentang musik (Hood, 1957:89). Akhirnya,
Gilbert Chase menunjukkan bahwa “penekanan pada masa kini adalah studi musik
kontemporer manusia, untuk masyarakat apa pun, ia dapat memasukkannya, apakah
masyarakat primitif atau kompleks, Timur atau Barat.” (Chase, 1958:7).
21
Untuk definisi yang bervariasi ini, mempunyai suatu yang perlu ditambahkan,
dalam menyatakan etnomusikologi, beliau mendefinisikannya sebagai “studi musik
di dalam kebudayaan” (Merriam, 1964:5) adalah suatu yang penting bahwa definisi
ini sesungguhnya dapat diterangkan jika ia benar-benar dipahami. Makna implisit
yang terkandung dalam asumsi bahwa etnomusikologi adalah dibentuk dari
musikologi dan etnologi, dan suara musik merupakan hasil dari proses tata tingkah
laku manusia, yang dibentuk oleh berbagai nilai, sikap, dan kepercayaan
masyarakatnya yang turut mengisi suatu kebudayaan. Suara musik tidak akan
tercipta, kecuali dari satu orang ke orang lainnya, dan meskipun kita tidak dapat
memisahkan dua aspek tersebut secara konseptual, tidak akan diperoleh kenyataan
yang lengkap tanpa mau mempelajarinya. Tata tingkah laku manusia menghasilkan
musik, tetapi prosesnya adalah suatu yang kontinu; tata tingkah laku itu sendiri
membentuk hasil suara musik, dan dengan demikian studi terhadap aspek yang satu
tentunya akan melibatkan aliran studi lainnya.
Khusus tentang kontinuitas dan perubahan di dalam etnomusikologi, maka
Merriam (1964:7) menyatakan pentingnya kajian ini sebagai berikut. Musik dalam
suatu masyarakat kadang-kadang memperlihatkan hal yang samar-samar, misalnya
pengenalan terhadap arah dalam “sejarah musik” dan yang lebih utama lagi satu
contoh pertanyaan apakah musik “primitif” itu, sesuaikah ia dengan skema deduktif
yang diorganisasikan berdasar konsep yang tak benar dalam evolusi kebudayaan.
Istilah itu juga kadang-kadang dipergunakan oleh para musikolog Barat yang
mendukung teori tentang asal-usul musik, dan dalam kesempatan itu mereka
menentukan dasarnya dari berbagai materi melodi atau ritme yang dipergunakan
22
dalam komposisi. Bahwa musik dalam kebudayaan manusia itu sebenarnya
mengalami kontinuitas dan perubahan dalam waktu dan ruang yang dilaluinya.
Untuk mengkaji genjring bonyok dan tardug sebagai sebuah seni
pertunjukan masyarakat Sunda di Jawa Barat, maka selain etnomusikologi, penulis
juga menggunakan disiplin seni pertunjukan atau lazim disebut pertunjukan
budaya. Kajian pertunjukan (performance study) adalah sebuah disiplin (ilmu)
yang relatif baru, yang dalam pendekatan saintifiknya berdasar kepada interdisiplin
atau multidisiplin ilmu, yaitu mempertemukan antara lain antropologi, kajian teater,
antropologi tari atau etnologi tari, etnomusikologi, folklor, semiotika, sejarah,
linguistik, koreografi, kritik sastra, dan lainnya. Dua orang tokoh terkernuka pada
disiplin ini adalah Victor Turner (antropolog) dan Richard Schechner (aktor,
sutradara teater, pakar pertunjukan, dan editor majalah The Drama Review).
Sasaran kajian pertunjukan tidak terbatas kepada pertunjukan yang
dilakukan di atas panggung saja, tetapi juga yang terjadi di luar panggung, seperti
olah raga, permainan, sirkus, karnaval, perjalanan ziarah, nyekar, dan upacara. Dia
menulis buku yang terkenal From Ritual to Theater On the Edge of the Bush:
Anthropology as Experience, The Anthropology of Performance, dan The
Anthropology of Experience. Buku yang terakhir ini, disuntingnya bersarna Victor
Turner dan Edward M. Bruner tahun 1982 setahun sebelum ia meninggal dunia.
Pada karya-karyanya tersebut secara saintifik Schechner dan Turner tampaknya
menawarkan pentingnya pendekatan pengalaman, pragmatik, praktik, dan
pertunjukan dalarn mengkaji kesenian. Tentunya pendekatan ini diperlukan
berdasarkan asumsi dasar bahwa pengalarnan yang kita alami tidak hanya dalam
bentuk verbal tetapi juga dalam bentuk imajinasi dan impresi (kesan). Keseluruhan
23
disiplin pertunjukan budaya di atas umumnya mendasarkan kajianya pada
pendekatan ilmiah dengan menggunakan teori-teori.
Melihat keberadaan genjring bonyok dan tardug dalam realitas budaya dan
sosial masyarakat Sunda di Subang Jawa Barat, maka kajian secara ilmiah akan
dilakukan pada penelitian ini dalam konteks multi disiplin ilmu, baik seperti yang
dilakukan melalui disiplin etnomusikologi atau disiplin seni pertunjukan. Hal ini
relevan juga didekati oleh penelitian kualitatif dalam rangka mengejar makna-
makna budaya dan sosial di sebalik pertunjukan genjring bonyok dan tardug.
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneiliti tertarik untuk meneliti
kesenian tardug di Kabupaten Subang dengan judul: Genjring Bonyok dan Tardug
di Subang Jawa Barat: Kajian Kontinuitas, Perubahan, dan Struktur Pertunjukan.
Dari judul ini penulis ingin memfokuskan kajian pada aspek sejarah seni dan
struktural pertunjukan. Dengan demikian, dua hal ini akan menjadi tumpuan kajian
ini.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah penelitian ini adalah seni pertunjukkan tradisi, khususnya
pertunjukkan tardug di tengah masyarakat yang mengalami perubahan dari waktu
ke waktu dan masih bertahan di masyarakat. Agar bahasan terfokus, maka
permasalahannya akan dirumuskan dalam bentuk dua pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kontinuitas dan perubahan yang terjadi pada seni
pertunjukkan tradisi genjring bonyok yang kemudian menjadi tardug
dalam kebudayaan masyarakat Sunda di Kabupaten Subang?
24
2. Bagaimanakah struktur pertunjukan genjring bonyok dan tardug dalam
kebudayaan masyarakat Sunda di Subang Jawa Barat?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan penelitian
Sesuai dengan penentuan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian
yang penulis lakukan ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui kontinuitas dan perubahan yang terjadi dari genre seni
pertunjukan genjring bonyok ke tardug di dalam kebudayaan masyarakat
Sunda di Subang Jawa Barat.
2. Untuk mengetahui struktur pertnujukan genre seni pertunjukan genjring
bonyok dan tardug, yang mencakup aspek musik dan tarinya.
1.3.2 Manfaat penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat sebagai:
1. Menambah wawasan tentang kator-faktor sosial dan budaya yang
menyebabkan kontinuitas dan perubahan seni pertunjukkan tradisional
genjring bonyok dan tardug dalam perubahan peradaban masyarakat
Sunda di Subang Jawa Barat dalam rangka menempatkan dan
mengokohkan identitas diri.
2. Sebagai bahan referensi kajian sosiokultural dan sejarah tentang genjring
bonyok yang berubah menjadi tardug, untuk para seniman dan pemerhati
seni
25
3. Memberikan kontribusi terhadap pelaku seni dalam mengembangkan seni
tradisional tardug.
4. Bagi pemerintah sebagai bahan masukkan agar pemerintah lebih
memperhatikan keberadaan dan pertumbuhan yang fungsional grup-grup
kesenian di Kabupaten Subang khususnya musik tardug.
5. Pengembangan ilmu-ilmu seni seperti etnomusikologi, etnokoreologi,
dan pengkajian budaya, yang bertitik tolak dari hasil-hasil penelitian
lapangan sesuai dengan perkembangan zaman yang dilalui oleh ilmu-
ilmu pengetahuan seni ini.
6. Percontohan pendekatan multidisiplin dan interdisiplin ilmu di bidang
seni pertunjukan.
1.4 Tinjauan Pustaka
Dalam studi ini peneliti mempelajari sumber-sumber atau bahan tertulis
dengan tujuan untuk mencari kesesuaian antara teori yang akan digunakan dengan
permasalahan yang akan diteliti, serta untuk menjaga keorisinalitasan hasil
penelitian. Artinya bahwa kajian yang dilakukan peneliti bukanlah
plagiarisme/plagiat dari penelitian lain. Oleh sebab itu, peneliti mencantumkan
semua sumber yang digunakan sebagai bahan referensi dalam studi ini. Studi
literatur yang peneliti lakukan di antaranya mengkaji sumber data yang berupa
tulisan hasil karya ilmiah, hasil seminar, jurnal penelitian, laporan penelitian,
artikel.
26
Beberapa sumber bacaan terdahulu yang dikaji oleh peneliti, yang temanya
tentang genjring bonyok ataupun tardug di Jawa barat, antara lain adalah sebagai
berikut.
(1) Atik Supandi dkk., menulis buku yang bertajuk Ragam Cipta:
Mengenal Seni Pertunjukan Daerah Jawa Barat, diterbitkan di Bandung oleh
Sampurna. Di dalam buku yang berhalaman sebanyak 126 ini, dikaji tentang empat
kelompok seni dalam budaya Sunda, yaitu: musik, tari, teater, dan helaran.
Musiknya terdiri dari tembang Sunda Cianjuran, degung, kliningan, janaka Sunda,
tarling, calung, rampak kendang, dan bedug lojor. Kemudian seni tarinya terdiri
dari jaipongan, tari kreasi baru, tayub, pencak silat, dan topeng Cirebon.
Selanjutnya seni teaternya terdiri dari banyet, topeng Cisalak, longser, santren, dan
sandiwara. Buku ini menambah wawasan penulis tentang apa-apa saja seni
pertunjukan yang terdapat dalam kebudayaan Sunda.
(2) H. Hasan Mustapa, tang menulis buku yang berjudul Adat Istiadat
Sunda, yang diterbitkan oleh M. Maryati Sastrawijaya Bandung tahun 1985. Buku
ini berisikan deskripsi tentang upacara-upacara adat Sunda seperti adat orang
ngidam, adat menjaga orang hamil, adat khitanan, adat perkawinan, adat kematian,
dan lain-lainnya. Buku ini memberikan wawasan kepada penulis tentang upacara-
upacara adat Sunda, yang dilakukan oleh masyarakatnya dari waktu ke waktu.
Dalam konteks penelitian ini, tardug dan genjring bonyok umumnya dilakukan
untuk upacara yang berkaitan dengan ajaran agama Islam, seperti adat khitanan,
perkawinan, dan lainnya.
(3) Ade Herdiyat yaitu saya sendiri, menulis skripsi sarjana di Jurusan
Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara Medan, tahun 1997
27
yang bertajuk: Genjring Bonyok: Qseni Pertunjukan Musik Rakyat Sunda di Desa
Cidapdap, Kecamatan Pagaden, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Skripsi ini
diajukan dalam rangka sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi di Jurusan
Etnomusikologi FS USU. Skripsi yang penulis tulis ini, secara umum adalah
mendeskripsikan genjring bonyok sebagai seni pertunjukan masyarakat Sunda di
Subang. Skripsi ini ditulis dengan pendekatan fungsional dan struktural melalui
disiplin etnomusikologi. Bagaimana pun skripsi ini menjadi bahan utama dalam
melihat perkembangan genjring bonyok yang kini menjadi gitar bedug (tardug)
dalam kebudayaan masyarakat Sunda.
(4) Tim Departemen Kebudayan dan Pariwisata Kabupaten Subang
Jawa Barat menulis buku yang bertajuk Data Organisasi Kesenian dan jenis
Kesenian di Kabupaten Subang, yang ditulis tahun 2010. Buku ini berisi laporan
data kelompok kesenian yang ada di Kabupaten Subang sampai pada tahun 2010.
Data ini disajikan dalam bentuk tabel yang terdiri dari kolom nama grup, jenis
kesenian, nama pimpinan, alamat, dan nomor SIUK. Yang dapat digeneralisasi dari
data yang dipaparkan adalah bahwa di Kabupaten Subang memiliki jumlah 800
lebih kelompok kesenian. Di antara genre keseniannya adalah calung, sisingaan,
gembyung, jaipongan, jaipongan kombinasi, kacapi suling, dangdut, rock dangdut,
nasyid, degung, kacapi, tembang, organ, kacapi bola, genjring bonyok (tardug), dan
masih banyak yang lainnya. Buku data kelompok kesenian di Subang ini
memberikan wawasan kepada penulis bagaimana peta terkini kelompok kesenian di
Subang Jawa barat.
28
1.5 Konsep
1.5.1 Genjring Bonyok
Secara etimologi nama Genjring Bonyok berasal dari dua kata, yaitu genjring
dan bonyok. Genjring berarti sebuah alat musik frame drum (rebana) baik yang
memakai asesoris kecrek (lempengan logam) maupun tidak, alat musik ini merupakan
salah satu instrumen pendukung yang menjadi ciri khas kesenian genjring bonyok.
Adapun nama bonyok dalam bahasa Sunda tidak memiliki arti harfiah, namun
menurut informan (Sutarja), kata bonyok berasal dari nama sebuah dusun yang
berdampingan dengan desa Cidadap. Asal-usul digunakan nama bonyok muncul kira-kira
pada tahun 1977, tepatnya setelah Sutarja mengajarkan kesenian genjring di dusun
tersebut.
Namun demikian, Sutarja mengatakan bahwa sebelum nama itu populer di
masyarakat, kesenian ini memiliki nama lain yang pemakaiannya diakui lebih dulu muncul
dari nama genjring bonyok, yaitu genjring bonyok. Menurutnya nama ini berkonotasi
bahwa Jika kesenian genjring ini dimainkan, maka banyak orang berkumpul untuk
menyaksikannya.
Meskipun pada mulanya kedua nama ini (genjring ronyok dan genjring bonyok)
digunakan untuk menamakan satu bentuk kesenian genjring, namun pada masa sekarang
kesenian ini lebih populer dengan nama genjring bonyok. Selain itu, mengingat nama
genjring bonyok telah dikenal luas dalam masyarakat, maka penelitian terhadap kesenian
ini menggunakan nama genjring bonyok.
Bagi masyarakat Sunda di kabupaten Subang, genjring bonyok umumnya berarti
suatu bentuk kesenian musik genjring (rebana dengan atau tanpa asesoris kecrek) yang
dipergunakan dalam konteks khitanan, perkawinan atau hari-hari nasional dengan tujuan
untuk meramaikan dan menghibur.
29
Sebagai suatu bentuk kesenian, genjring bonyok dapat digolongkan sebagai seni
pertunjukkan musik yang berakar dari rakyat, dan memiliki arti suatu pengalaman bersama
dalam pertunjukkan musik karena penonton dan pemain langsung berinteraksi, yang
berlaku dalam waktu dan secara teknis mengikuti pola-pola yang berulang, namun dalam
segi-segi tertentu mengalami perubahan (Sedyawati, 1981:60).
Pertunjukan genjring bonyok biasanya dilaksanakan dengan melibatkan ekspresi
penonton yang mereka hibur. Dalam arti penonton melibatkan diri dalam pertunjukan
dengan langsung meminta agar dimasukan lagu-lagu yang mereka inginkan dan juga
melakukan tarian secara bersama-sama, dan tidak jarang pertunjukan ini dapat membuat
mereka mengalami trance. Oleh karena itu dalam pendekatan seni pertunjukan,
genjring bonyok merupakan bentuk seni pertunjukan yang melibatkan pengalaman
bersama antara pemusik dan penonton.
Unsur-unsur musik, seperti komposisi lagu biasanya juga dimainkan dalam bentuk
kesenian lain seperti kliningan, ketuk tilu, sisingaan,
gembyung, dan lain-lain. Dengan demikian tema-tema lagu yang disajikan berangkat
dari tema-tema yang telah dikenal luas oleh masyarakat Sunda.
Keberadaan unsur-unsur musik ini akan dijelaskan dengan pendekatan musik
rakyat (folk music), dimana secara alamiah genjring bonyok adalah kesenian yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Sunda, oleh karenanya kondisi masyarakat
sangatlah besar artinya bagi perkembangan dan kelanjutan kesenian ini. Fenomena ini pula
yang menjadikan genjring bonyok setiap waktu yang diinginkan masyarakat dapat
mengalami perubahan baik dari segi konteks penyajian, instrumen maupun materi lagu-
lagunya.
30
1.5.2 Tardug
Berdasarkan konsep masyarakatnya atau etnosains, tardug adalah salah satu
genre seni perttunjukan dalam kebudayaan masyarakat Sunda, yang berkembang
dari tradisi genjring bonyok. Penyebutan genre seni ini adalah masyarakat umum
yang merupakan akronim dari gabungan kata gitar dan bedug, karena di antara
sejumlah alat musik dalam kesenian ini terdapat instrumen gitar dan bedug, sebagai
instrumen pokok. Dengan demikian berarti bahwa tardug adalah nama sebuah jenis
kesenian yang menggunakan alat musik gitar dan alat musik bedug sebagai alat
musik utama, serta.lagu-lagu yang disajikan adalah lagu-lagu dangdutan yang
terdiri atas lagu dangdut modern dan lagu dangdutan tradisional. Kesenian tersebut
dalam pengajiannya bisa berbentuk helaran dan bisa pula berbentuk seni
pertunjukan yang dipentaskan di atas panggung.
1.5.3 Kajian musik: manusia, teks, dan konteks
Elliot (1995:87) mengemukakan bahwa secara esensial, musik merupakan
hasil dari aktivitas manusia yang dilakukan berdasarkan pada tujuan tertentu, yaitu
untuk didengarkan oleh pendengarnya. Oleh karena itu, musik akan selalu berkaitan
dengan aspek pelaku dan pendengar. Elliot menyatakan bahwa pada masing-masing
aspek melibatkan empat dimensi, yaitu:
a. Manusia, sebagai pelaku,
b. Aktivitas tertentu (memainkan, mengubah, menciptakan, mengembang-
kan musik).
c. Hasil aktivitas (musik tradisional maupun modern).
31
d. Konteks utuh yang mempengaruhi pengetahuan manusia, aktivitas yang
dilakukan manusia, dan musik yang dihasilkan.
Pada prosesnya, para pelaku musik dipengaruhi oleh konsekuensi-
konsekwensi musikal dari apa yang mereka lakukan dan mainkan, serta oleh
penilaian ahli musik dan rekan-rekan mereka tentang aktivitas para pelaku. Oleh
karena itu aktivitas musik selalu melibatkan aktivitas lain, yaitu mendengarkan
musik. Hal memperlihatkan bahwa setiap penciptaan musik berkaitan dengan
sekelompok orang yang berperan khusus sebagai pendengar. Contohnya, pada
pertunjukan paduan suara Barok, pasti ada pendengar panduan suara barok; pada
pertunjukan jazz, pasti ada penggemar jazz; dan pada pertunjukan musik tradisi,
pasti ada komunitas penggemar musik tradisi.
Berdasarkan konteks itu, pembuat musik dipengaruhi oleh mengapa dan
bagaimana pendengarnya (termasuk musisi sendiri) mendengarkan musik yang
mereka mainkan. Hal ini dapat kita lihat dalam pertunjukan musik, misalnya
tindakan pemain musik berkomunikasi dengan pendengarnya. Sebaliknya,
pendengar dipengaruhi oleh mengapa, apa, dan bagaimana musisi melakukan apa
yang mereka lakukan. Oleh karena itu, ditinjau dari konteks pendengar, terdapat
aktivitas manusia yang bertujuan yang membentuk hubungan empat dimensi,
seperti halnya pada konteks musisi.
Berdasarkan penjelasan yang telah diberikan maka dapat disimpulkan
bahwa musik merupakan suatu aktivitas manusia. Kesimpulan lain adalah bahwa
musik merupakan suatu fenomena manusia yang bersifat multidimensional, yang
melibatkan hubungan yang erat antara dua bentuk aktivitas manusia yang bertujuan,
yaitu: membuat musik (menciptakan, memainkan, dan seterusnya) dan mendengar
32
musik. Kenyataan pada manusia yang dibentuk oleh keterkaitan erat antara
membuat musik dan mendengar musik ini kita sebut sebagai aktivitas musik.
Kajian tentang musik tidak dapat terlepas dari sistem sosiokultural yang
ada. Sistem sosiokultural seringkali disebut dengan masyarakat oleh para sosiolog,
dan kebudayaan oleh para antropolog. Kebudayaan, dalam ilmu sosial, memiliki
makna yang luas, yaitu melibatkan seluruh teknik, nilai, dan simbol yang dipelajari
manusia dari masyarakatnya dan menggunakan apek-aspek tersebut untuk
beradaptasi dengan lingkungan yang dihadapi sebagai upaya yang memenuhi
kebutuhan hidupnya. Kebudayaan juga mengacu pada sekumpulan fenomena atau
gejala yang saling berkaitan. Sebagai sekumpulan fenomena atau gejala yang saling
berkaitan, apabila terjadi perubahan pada satu gejala maka akan terjadi perubahan
pula pada gejala yang lain.
Sistem sosiokultural umumnya merupakan suatu unit yang sangat
terintegrasi dan dipandang terdiri dari beberapa komponen, yaitu sebagai berikut:
a. Material, yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan kebutuhan biologis
manusia, misalnya makanan, tempat tinggal, dan peralatan penunjang.
b. Sosial, yaitu berkaitan dengan kebutuhan manusia dalam kehidupan
sosialnya. Komponen ini terdiri dari hubungan sosial dan institusi sosial.
Hubungan sosial adalah cara-cara manusia berinteraksi dengan manusia
yang lain, misalnya konflik, kecemburuan, dan lain-lain. Institusi sosial
merupakan cara-cara yang tersetandar yang dilakukan manusia untuk
berhubungan manusia lain, misalnya institusi pendidikan, kelompok
kekerabatan, dan lain-lain.
33
c. Ekspresif, yaitu berkaitan dengan kebutuhan kognitif dan emosional atau
perasaan manusia, misalnya seni musik. Secara lebih khusus komponen ini
mengacu pada kebutuhan seseorang untuk mengekspresikan diri dan
memperoleh reaksi positif dari orang lain.
Dapat dikatakan bahwa musik tradisional merupakan hasil dari praktik
manusia. Sebagai hasil praktik, setiap musik tradisional yang dimiliki oleh setiap
suku bangsa di Indonesia akan selalu memperlihatkan karakter-karakter tertentu
sesuai dengan nilai, keyakinan, dan pengetahuan yang dimiliki para musisi yang
memainkan atau menciptakannya. Karakter-karakter yang terdapat dalam suatu
jenis musik tradisional secara jelas memperlihatkan perbedaan dengan jenis
tradisional dari kelompok masyarakat yang lain.
Secara umum sudut pandang kajian musik akan meliputi : manusia, teks,
dan konteks musik di masyarakat. Mengetahui apa dan bagaimana bentuk musik,
perilaku apa yang ditunjukan dengan musik, dan bagaimana manusia
memperlakukan musik dalam komunitasnya.
1.5.4 Kajian
Dalam tulisan ini yang dimaksud dengan kajian adalah sama dengan
pengertian analisis. Konsep tentang analisis yang dimaksud dalam tulisan ini
adalah: (1) penyelidikan terhadap suatu peristiwa karangan, perbuatan dan lain
sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab, duduk
perkaranya, dan lain sebagainya), (2) penguraian suatu pokok atas berbagai
bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk
memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan, (3)
34
penyelidikan kimia dengan menguraikan sesuatu untuk mengetahui zat-zat
bagiannya dan sebagainya, (4) penjabaran sesuadah dikaji sebaik-baiknya, (5)
proses pemecahan persoalan yang dimulai dengan dugaan akan kebenarannya, (6)
penguaraian karya sastra atas unsur-unsurnya untuk memahami pertalian antara
unsur-unsur tersebut, (7) proses akal yang memecahkan masalah ke dalam bagian-
bagiannya menurut metode yang konsisten untuk mencapai pengertian tentang
prinsip-prinsip dasarnya (Poerwadarminta, 1990:32).
1.5.5 Kontinuitas
Kontinuitas merupakan perwujudan dari pelestarian dan regenerasi terhadap
masalah yang digarap untuk mencapai pengembangan yang diharapkan. Pada ranah
sosiologis, kontinuitas diwujudkan dalam bentuk kesepahaman komunitas untuk
melakukan pemberdayaan atas masalah yang diangkat ke dalam penetapan yang
diinginkan secara representatif menghasilkan perilaku budaya, respons internalisasi
pengembangan yang diharapkan dalam mencapai tujuan yang menjadi
komitmennya.
1.5.6 Perubahan
Perubahan dalam tulisan inrujuk kepada kebudayaan, bahwa erubahan
kebudayaan adalah perubahan yang terjadi dalam sistem ide yang dimiliki bersama
oleh sejumlah warga masyarakat yang terdapat dalam aturan-aturan atau nomra-
norma, nilai-nilai, teknologi, selera dan rasa keindahan atau kesenian dan bahasa.
Perubahan kebudayaan bisa mencakup salah satu unsurnya dan mempengaruhi
35
unsur-unsur kebudayaan lainnya, atau juga dapat merubah seluruh unsur-unsur
kebudayaan tersebut. (Suparlan, 2004:24).
1.5.7 Struktur
Struktur yang dimaksud dalam tulisan ini adalah sebagaimana yang
dikemukakan oleh Porwadarminta (1980) dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,
adalah suatu bentuk yang disusun oleh bahagian-bahagiannya. Dalam konteks
penelitian ini kata struktur merujuk kepada struktur pertunjukan genjring bonyok
dan tardug, sebagai satu bangunan pertunjukan. Struktur pertunjukan ini paling
tidak terdiri dari bahagian pembuka, isi, dan penutup. Struktur seni genjring bonyok
dan tardug juga terdiri dari aspek musikal dan tarian. Untuk musik terdiri dari
aspek melodi yang didukung oleh unsur-unsurnya seperti tangga nada, wilayah
nada, nada dasar, interval, formula melodi, pola-pola kadensa, dan kontur.
Sedangkan aspek tarian didukung oleh unsur gerak, motif gerak, pola lantai, tenaga,
komposisi tari, dan lainnya.
1.5.8 Pertunjukan dan seni pertunjukan tradisi
Yang dimaksud dengan pertunjukan dalam tulisan ini adalah kegiatan
budaya yang melibatkan seniman dan penonton, serta transmisi makna-makna
melalui pesan pertunjukan. Seni pertunjukan biasanya terdiri dari seni musik, tari,
dan teater, juga kajian pertunjukan tidak terbatas kepada pertunjukan yang
dilakukan di atas panggung saja, tetapi juga yang terjadi di luar panggung, seperti
olah raga, permainan, sirkus, karnaval, perjalanan ziarah, nyekar, dan upacara (lihat
Sal Murgiyanto, 1995).
36
Tradisi adalah kebiasaan turun-temurun sekelompok masyarakat
berdasarkan nilai-nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Tradisi
memperlihatkan bagaimana anggota masyarakat bertingkah laku, baik dalam
kehidupan yang bersifat duniawi maupun terhadap hal-hal yang bersifat gaib atau
keagamaan.
Di dalam tradisi diatur adanya hubungan, bagaimana manusia berhubungan
dengan manusia lain atau satu kelompok manusia dengan kelompok manusia yang
lain. Bagaimana manusia bertindak terhadap lingkungannya, dan bagaimana
manusia berlaku dengan alam lain secara komunikatif dapat oleh masyarakat
tradisi. la berkembang menjadi suatu sistem dengan pola-pola tertentu dan norma-
norma untuk mengatur penggunaan sanksi dan ancaman terhadap pelanggaran dan
penyimpangan.
Sebagai sistem budaya, tradisi menyediakan seperangkat model untuk
bertingkah laku yang bersumber dari sistem nilai dan gagasan utama. Sistem nilai
dan gagasan utama ini dapat tertuang dalam sistem ideologi, sistem sosial, dan
sistem teknologi (Soebadio, 1983, Mursal Esten, 1993:11).
Sistem ideologi meliputi etika, norma, dan adat istiadat yang berfungsi
memberikan dasar dan petunjuk terhadap sistem sosial yang meliputi hubungan dan
kegiatan sosial masyarakat yang bersangkutan (Esten, 1993: 11). Selaras dengan hal
di atas, Harsya Bachtiar mengemukakan bahwa tradisi sebagai sistem budaya
merupakan suatu sistem yang menyeluruh. Terdiri dari cara-cara dan aspek-aspek
pemberian arti terhadap laku ajaran, laku ritual, dan berbagai jenis laku lainnya dari
manusia atau sejumlah manusia yang mengadakan tindakan antara satu dengan
yang lain.
37
Unsur terkecil dari sistem itu adalah simbol. Simbol meliputi simbol-simbol
konstitutif (yang terbentuk sebagai kepercayaan-kepercayaan), simbol kognitif
(yang terbentuk sebagai ilmu pengetahuan), simbol-simbol penilaian moral, dan
simbol-simbol ekspresif atau simbol-simbol yang menyangkut pengungkapan
perasaan (Esten 1992 :15).
Kelangsungan sebuah tradisi sangat bergantung dari adanya inovasi yang
terus menerus dari para pendukungnya. Pengembangan keunikan terdiri dari unsur
perorangan, detail, kebiasaan, persepsi intern dan ekstern (Murgiyanto, 2004:3).
Tradisi berubah karena tidak pernah dapat memuaskan seluruh pendukungnya
(Shite, 1981:4). Sebuah tradisi bisa saja mengalami perubahan yang besar tetapi
pewarisnya menganggap tidak ada perubahan, karena ada kesinambungan yang
kuat antara bentuk inovasi yang baru dan bentuk tradisi sebelumnya (Murgiyanto,
2004:3).
Menurut Murgianto, kata seni pertunjukan (sepadan dengan
performing art) secara umum memiliki arti “tontonan” yang bernilai seni,
seperti drama, tari, dam musik, yang disajikan sebagai pertunjukan di depan
penonton (1996:153). Lebih lanjut Murgianto memberikan pengertian yang
mendasar sehubungan dengan kajian seni pertunjukan, yaitu:
Sebuah komunikasi dimana satu orang atau lebih pengirim pesan merasa bertanggung jawab kepada seseorang atau lebih penerima pesan, dan kepada sebuah tradisi seperti yang mereka pahami bersama melalui seperangkat tingkah laku yang khas (a subset of behavior)" (Murgiyanto, 1996:156).
Adapun seperangkat tingkah-laku yang khas tersebut menurutnya dapat
disampaikan melalui medium auditif, visual, atau gabungan keduanya, seperti
gerak laku, suara, rupa, multi media, dan sebagainya.
38
Berkaitan dengan konsep yang sama, Sedyawati (1980:60) juga
memberikan pengertian seni pertunjukan. Yaitu pengalaman bersama dimana
penonton dan penyaji saling berhubungan, yang berlaku dalam waktu dan secara
teknis mengikuti pola-pola yang berulang. Menurutnya pada segi-segi tertentu
pola-pola yang berulang tersebut mengalami perubahan.
Dari kedua pengertian seni pertunjukan di atas dapat diambil garis besar
persamaan konsep antara Murgianto dan Sedyawati, yaitu suatu hubungan antara
dua pihak (penyaji dan penonton) yang berinteraksi dengan seperangkat pola
tingkah-laku tradisi yang telah mereka pahami bersama.
Sebagai suatu pola tingkah-laku, seni pertunjukan menurut Sedyawati
(1980:60-61) dan Murgianto (1996:156-157) memiliki beberapa unsur yang
menjadi karakteristiknya. Di bawah ini unsur-unsur tersebut saya rangkum sebagai
berikut:
(1) Adanya kerja kelompok (komunikasi), antara penyaji yang mempunyai
maksud (intention) dan penonton yang memiliki perhatian
(attention).
(2) Adanya suatu proses imajinasi yang memerlukan waktu dan ruang.
(3) Adanya tema sajian yang dimainkan dalam kerangka (frame) yang
dikenal, dan memberikan kebebasan bagi penyajinya untuk menafsirkan
kerangka tersebut. (4) Adanya transformasi (pengalihan peran sementara) dari penyaji. Untuk itu ia
membutuhkan suatu kemampuan merangkum massa, rasa dan ketrampilan
teknis.
Adapun istilah seni pertunjukan rakyat menurut Murgianto merupakan
salah satu saja dari katagori kajian pertunjukan yang ada di masyarakat. Konsep
39
pertunjukan rakyat sebagai seni pertunjukan dimana perorangan dan kelompok
masyarakat dalam hidupnya sehari-hari memberikan bentuk terhadap nilai-nilai
yang dihayati menjadi bentuk- bentuk yang artistik dan bermakna (1996:155).
Contohnya pada tradisi pertunjukan lisan, percakapan jenaka, mendongeng,
pertunjukan spontan, permainan tradisional, pertandingan tari jalanan, perayaan
kampung, dan festival.
1.5.9 Kajian musik tradisi
Secara keilmuan, musik tradisi termasuk pada cabang ilmu humaniora, sifat
penelitiannya bisa kualitatif maupun kuantitatif, tergantung pada tujuan penelitian
yang hendak diungkap. Secara kualitatif, penelitiannya musik tradisi dapat
mengungkap antara lain: estetika seni, kesejarahan seni, biografi seniman, fungsi
seni, makna seni, atau tafsir tentang seni. Akibat kondisi seni tergantung pada
selera masyarakat, hasil penelitiannya tidak mengharuskan adanya standar atau
ketentuan yang mengikat melainkan sesuai dengan keadaan di lapangan.
Sebagaimana dengan sifat dasar dari keilmuan humaniora yakni sulit untuk
digeneralisasikan.
Kajian musik tradisi tidak dapat lepas dari konteks musik di masyarakat.
Oleh karena itu untuk mengungkapnya maka kita dapat melihat dari dua unsur
yakni: dimensi teks dan konteks. Dalam hal pengkajian seni Marco DeMarinis,
dalam bukunya yang berjudul Semiotics of Performance, menyimpulkan bahwa
seni itu bersifat entetis yang multi lapis. Untuk mengkajinya diperlukan
pemahaman mengenai lapis teks seninya (dalam hal ini musik) sendiri dan lapis
bagaimana konteksnya di masyakarat. Karena sifatnya teks dan konteks, maka
40
sangat dimungkinkan sebuah penelitian musik tradisi dilakukan pendekatan secara
multidisiplin. Dikaji dari disiplin etnomusikologi untuk teks musiknya dan juga dari
berbagai sudut pandang dengan meminjam disiplin ilmu lain untuk membedah
permasalahan yang terdapat dalam lapis konteks.
Beberapa disiplin ilmu yang dapat digunakan untuk analisis konteks antara
lain: (1) antropologi untuk menelaah stratifikasi sosial, proses enkulturasi dalam
masyarakat, serta guna dan fungsi musik dalam suatu kelompok masyarakat; (2)
sosiologi untuk menganalisis masyarakat pengguna musik tersebut (elit culture, folk
culture, mass culture); (3) sejarah untuk menganalisis bagaimana perkembangan
musik tersebut awalnya, kini, serta memprediksi masa depannya; (4) manajemen,
untuk menganalisis bagaimana manajemen kegiatan bermusik yang melibatkan
banyak orang dikelola; (5) psikologis untuk menganalisis bagaimana pengaruh
musik terhadap tingkah laku dan kepribadian manusia, dan lain-lain.
Keberadaan musik tradisi yang beraneka dapat dikaji dari berbagai aspek
antara lain berkaitan dengan budaya material musik, teks (gending dan lagu),
pelaku musik (seniman/musisi), dan konteks musik di masyarakat. Pengkajian
musik Tradisi akan sangat beragam akibat dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial
budaya yang mempengaruhi perkembangannya. Perkembangan musik tradisi juga
dapat diakibatkan oleh akulturasi budaya dan adanya perubahan-perubahan pada
pranata-pranata dalam kebudayaan, seperti agama, sosial-budaya, politik, ekonomi,
dan teknologi. Bentuk musik tradisi mengalami perubahan dari masa kemasa sesuai
dengan dinamika perubahan sosial budaya yang melingkupnya. Aspek-aspek
tersebut merupakan bagian kajian sosial budaya pada musik tradisi.
41
Musik tradisi dapat diamati berdasarkan bentuk material musiknya.
Pengelompokan jenis alat musik lazim disebut sistem klasifikasi. Banyak cara
mengelompokan jenis alat musik, di Cina pengklasifikasian dilakukan berdasarkan:
cara memainkan, cara menghasilkan bunyi. Pengklasifikasian musik tradisi
dilakukan atas dasar ensambelnya, peniruan bunyi, cara memainkan, bahan, dsb.
Fenomena ini menunjukan, bahwa cara mengelompokkan alat musik tidak hanya
satu cara, melainkan bermacam-macam. Salah satu kajian yang ditulis Supanggah
(2002) terdapat dalam Bothekan Karawitan 1 membahas masalah karawitan dari
sisi klasifikasi musik berdasarkan aspek instrument. Supanggah mengungkapkan
bahwa klasifikasi musik dapat ditinjau berdasarkan sudut bahan pembuatan
instrumen, perangkat instrument gamelan, penempatannyadalam sebuah ensambel,
laras, irama, dan gaya.
Pengklasifikasian alat musik pada dasarnya adalah untuk memperlihatkan
persamaan dan perbedaan masing-masing alat musik, struktur bangunan fisik alat
musik, serta karakteristik bunyi alat musik yang berhubungan dengan cara
memainkannya, bentuk instrumennya, dan lain-lain.
Musik tradisi pada akhir-akhir ini telah menjadi salah satu materi
pengamatan dalam penelitian ilmiah. Bentuk kajian musik tradisi dapat dilakukan
dengan mengambil fokus-fokus tertentu, misalnya: bagaimana musik dibuat,
bagaimana musik didokumentasikan, bagaimana musik difungsikan, bagaimana
musik dikembangkan, bagaimana peran dan sikap tokoh penting, bagaimana musik
ditranmisikan, bagaimana struktur dan teksnya. Kajian musik tradisi pada dasarnya
menyangkut tiga elemen penting yakni; seniman, karya, dan masyarakatnya.
42
Menurut Waridi dalam Karwati (2007:17) ruang lingkup kajian musik
Tradisi meliputi: kajian tekstual akan membahas masalah: struktur musik, cara
bermain dan mengolah musik, organisasi musikal, organologi, perubahan musik,
proses penciptaan musik, instrumentasi, hubungan musik dengan seni lainnya,
unsur-unsur musikal, linguistik dalam musik Tradisi, dan kasus kehidupan musisi.
Kajian konstektual akan membahas masalah: kajian konteks musik Tradisi
di masyarakat, fungsi musik Tradisi dalam kehidupan masyarakat, makna musik
Tradisi di tengah kehidupan masyarakat pendukungnya, musik Tradisi dan ritual
sosial, hubungan struktur musik Tradisi dengan struktur sosial masyarakat
pendukungnya, hubungan musik Tradisi dengan industri, hubungan musik tradisi
dengan pendidikan multikultural.
Kajian lain yakni mengenai seniman musik tradisi, sebagai fokus kajiannya
antara lain: latar belakang kehidupan keluarga dan lingkungan seniman, pendidikan
formal-nonformal serta informal seniman, pandangan seniman tentang musik tradisi
yang ditekuni, kreativitas individu seniman dan karya cipta yang dihasilkan,
konstribusi seniman dalam kehidupan musik Tardug, cara belajar seniman musik
Tradisi dan cara mewariskan kemampuan kepada generasi beikutnya. Aspek lain
dari kajian musik tradisi adalah ciri khas seniman dalam berkarya musik Tardug,
dibahas mengenai; spesialisasi dan gaya pribadi, tingkat popularitas dalam
komunitas musik tardug, penghargaan yang pernah diperoleh, persoalan spesifik
lain yang berkait dengan munculnya karakter karya musik yang khas. Sebagai
sebuah kajian teks musik, kajian terhadap Tardug, di dalamnya merupakan
perpaduan antara berbagai aspek penting yang saling menunjang.
43
Mengkaji musik tradisi Tardug menerapkan paradigma etnomusikologis,
menggunakan beberapa teori seperti: musikologi, akustika dan organologi. Secara
kontekstual dapat dibantu dengan menggunakan teori: sosiologi, anthropologi, atau
teori sosial lainnya. Penggunaan teori dalam analisisnya dapat dilakukan secara
silang antara teks dan konteks, menggunakan pendekatan berbagai disiplin ilmu
atau disebut pendekatan multidisiplin. Kendati demikian beragam aspek kajian
namun secara garis besar, paradigma penelitian seni baik kualitatif maupun
kuantitatif hal tersebut berada pada payung keilmuan etnomusikologi.
Paradigma yang dapat diaplikasikan dalam kajian musik tradisi dapat
berbentuk kualitatif maupun kuantitatif dengan pendekatan deskritif, atau
eksperimen. Pendekatan kualitatif dalam penelitian, dapat menjawab bentuk
pentanyaan yang sangat sederhana misalnya sekitar berapa jumlah atau prosentase
tertentu terkait dengan objek yang diteliti, sedangkan mengenai bentuk pertanyaan
mengapa atau bagaimana mengenai objek yang diteliti maka jawabannya tidak
cukup diperolah melalui penelitian kuantitatif, melainkan ditempuh dengan cara-
cara penelitian kualitatif (Soedarsono: 1999).
Pendekatan antropologis dalam musik tradisi, dapat mengkaji antara lain
terkait dengan masalah nilai dan kebermaknaan, fungsi musik tradisi pada suatu
komunitas masyarakat tertentu. Pendekatan sosiologis antara lain menggali
persoalan musik Tradisi dalam konteks perubahan sosial masyarakat. Pendekatan
lain yakni menguangkap liku-liku sejarah pertunjukan musik dari satu waktu ke
waktu tertentu. Pendekatan pedagogis musik tradisi misalnya mengkaji masalah
hakekat dan kebermaknaan musik tradisi dalam pendidikan, metode pembelajaran
musik tradisi.
44
Karena data-data masa lalu umumnya informatif maka dalam kajian musik
tradisi dapat dilakukan melaui rekonstruksi. Rekonstruksi data, menjadi salah satu
cara guna melengkapi data penelitian, disamping itu untuk mengungkap data-data
masa lalu musik Tradisi, maka data dapat diambil dari bentuk lain seperti
manuskrip atau artefak, dan informasi melalui informan yang dipandang
berkompeten. Penelitian musikologis dapat berbentuk kajian tekstual, sementara
penelitian musik terkait dengan budaya masyarakat, kajiannya disebut konstektual.
Kehidupan musik tradisi bukan entitas tunggal yang homogen melainkan
bervariasi/beragam, berubah dari waktu ke waktu bergulat dengan lapis sosial-
budaya yang hidup dalam konteks kebudayaan. Perubahan musik tradisi disebabkan
berbagai factor seperti: politik, sosial-budaya, ekonomi, seniman, bahkan sifat
perubahannya bisa secara eksternal atau internal. Perwujudan teks dan konteks
musik tradisi merupakan dua sisi yang saling kait mengkait.
Asumsinya adalah, ketika pandangan masyarakatnya terhadap kebiasaan-
kebiasaan yang telah lama berlaku kemudian berubah, maka secara kuat
berpengaruh pula terhadap perubahan pertunjukan karawitan, pendekatan
hermeneutic: pendekatan ini dimanfaatkan untuk mengungkap dan
menginterprestasi makna teks (linguistik) yang terdapat dalam karya-karya musik
kaitannya dengan ruang dan waktu. Konsep interpretatif Geertz tentang mencari
makna juga dapat digunakan untuk mengungkap permasalahan tersebut.
Mengenai perubahan dalam bentuk seni dinyatakan oleh Sedyawati (1981:2)
bahwa perubahan bentuk seni semata-mata tidak lahir sebagai cetusan yang benar-
benar baru, melainkan kalau dilihat dalam rentangan waktu yang panjang, hal yang
baru senantiasa bertolak dari yang sudah ada sebelumnya. Tiga hal metode sejarah
45
yang dapat diaplikasikan dalam penelitian musik tradisi yakni Heuristik:
menghimpun materi sebagai sumber informasi/bukti sejarah, kritik: menguji
sumber/bukti sejarah, pengujian secara heuristic yakni membandingkan data
tertulis, menguraikan pernyataan formal dan kritik. Garraghan (1957:34)
Model penelitian sejarah yang dapat diaplikasikan yakni: model sinkronis:
untuk mengetahui gambaran lingkungan sosial, historis, fungsi dan latar belakang
dan model diakronis: untuk menggambarkan bagaimana pertumbuhan tersebut dari
waktu-kewaktu, bagaimana ia tumbuh dari awal sebagai suatu gejala yang unik
mengingat detail yang berbeda (Kuntowijoyo, 1994:38). Sebagai karya penelitian
musik maka fakta kesejahteraannya diambil dengan cara pendeskripsian;
vokal/gaya vokal; gending, instrumen, garap, teknik, pendekatan karya (tradisi,
reinterprestasi). Pada kajian musik tradisi maka pengklasifikasian dilakukan
terhadap lagu-lagu, instrumen musik, dan data informatif, interpretatif data
didasarkan pada pengalaman dan pemahaman peneliti.
Bentuk lain dari konteks kajian seni yakni aspek psikologis musik, seperti
pernyataan Leonard B. Meyer dalam bukunya Emotion and Meaning in Music
(1956), sebagaimana dikutip oleh Elliot (1995), bahwa bunyi musik berpengaruh
pada pendengar-pendengarnya. Kebalikan dari Meyer, Susanne K. Langer
mengemukakan teorinya dalam philosophy in a New (1976), sebagaimana dikutip
oleh Elliot (1995), bahwa bunyi musik tidak memiliki pengaruh pada perasaan
manusia. Teori Langer tersebut banyak didkukung oleh para filsuf musik, seperti
Charles Leonhard dan Bennett Reimer serta pengikut-pengikut mereka. Bentuk lain
dari definisi definisi musik yakni menurut Allan P. Merriam (1964) menuliskan
bahwa terdapat perbedaan besar antara musik sebagai alat komunikasi dan musik
46
sebagai “bahasa yang universal”. Untuk itu, kita perlu memiliki pemahaman
tentang apa yang dimaksud dengan “komunikasi”. Pada tahap yang paling mudah,
musik mengkomunikasikan sesuatu dalam suatu komunikasi yang terjadi dalam
musik tertentu. Kemungkinan yang paling sering terjadi adalah bahwa komunikasi
dihasilkan melalui penerimaan musik dengan makna-makna simbolik yang telah
dipahami dengan baik oleh anggota komunitas.
Namun, sedikit sekali yang diketahui pendengar tentang makna-makna
simbolik yang dimiliki oleh masyarakat pendukung musik tradisional tersebut maka
akan sulit untuk menganggap musik sebagai alat komunikasi. Bentuk kajian secara
teks musik Tradisi dapat dikembangkan misalnya: mengkaji musik dari sudut ilmu
analisis musikal atau dikenal secara spesifik dengan istilah “garap” musik, antara
lain melihat: beberapa bagian secara umum lagu/gending dimainkan, bentuk vokal
yang disajikan, instrumen yang berperan dalam musik, garap gending,
jalannyalagu, perubahan-perubahan musik, fungsi dan garap instrument dalam
mewujudkan musik, akhir bagian gending, garap gending (rasa selesai, setengah
selesai, frasa, periode, kalimat, dll), teknis penyajian instrumen (unisono, ritmis,
bayangan nada, nada selesai, kesan selesai, nada kempyung, interloking, struktur
kenong, struktur gong), gambaran penyajian vokal, syair, tema syair, teknik
sajian/garap vokal dalam gending, perubahan syair, tempo vokal, selingan garap
dan vokal, peranan instrument terhadap vokal, dan lain-lain.
1.5.10 Seni
Definisi seni telah dimulai sejak Plato (427-347 SM) mengetengahkan teori
Mimesis(imitasi) yaitu segala kenyataan yang ada di dunia ini (termasuk seni)
47
merupakan tiruan dari yang asli (alam). Menurut Jakob Sumardjo (2000:51),
keberagaman pendapat tentang batasan pengertian seni disebabkan adanya
perbedaan dasar pandangan titik tolak pemikiran. Batasan pengertian seni yang
bertolak dari seniman, akan memunculkan masalah ekspresi, kreasi, intuisi dan
sebagainya. Batasan pengertian seni yang bertolak dari benda seni menekankan
pada pentingnya aspek bentuk, material, struktur, simbol. Sedangkan batasan
pengertian seni yang bertolak dari publik seni menekankan kepada masalah
apresiasi, interpretasi, evaluasi dan konteks dan sebagainya.
Salah satu teori yang dianut dalam tulisan ini adalah yang dikemukakan
oleh Tolstoi yaitu Emotionalist Theory. Teori ini juga menjadi pokok pikiran
Veron, Tolstoy dan Ducasse. Tolstoi memandang seni sebagai ungkapan perasaan
seniman yang disampaikan kepada orang lain agar mereka dapat merasakan apa
yang dirasakannya. Seni merupakan ekspresi dari emosi dengan medium indrawi.
Menurut Tolstoi, jenis perasaan yang diekspresikan itu beragam. Ada tiga syarat
utama ekspresi perasaan seniman atas pengalamannya. Pertama, nilai ekspresi
bergantung pada besar kecilnya kepribadian seniman (individualitas), makin
menonjol individualitasnya, makin kuatlah daya pengaruh pada penerimanya.
Kedua, nilai ekspresi bergantung pada besar kecilnya kejelasan, kejernihan
perasaan yang diungkapkannya. Seniman mendasarkan diri pada perasaan universal
manusia, sehingga penerima seni dapat menemukan kembali perasaan yang telah
dikenal, tetapi jarang dirasakan. Ketiga, nilai seni bergantung pada besar kecilnya
kejujuran seniman. Tolstoi memaparkan pula bahwa seni yang baik itu selalu
universal, karena mampu menyatukan perasaan seluruh umat manusia dan
mendekatkan manusia pada Tuhan (Weitz, 1967 dalam Soedarsono, 1977 : 17,
48
Dickie, 1971: 40, Pranjoto Setjoatmodjo, 1988 : 48 - 53, The Liang Gie,1996 : 15,
Sumardjo, 2000 : 62 - 65).
Secara filosofis untuk menguraikan apakah seni itu, ada enam pokok bahasan yaitu:
(1) Penghasil Seni (pencipta seni/seniman) . Adalah orang yang menghasilkan
karya seni. Persoalan seniman dalam seni menyangkut masalah kreativitas dan
ekspresi. Ekspresi dalam seni adalah mencurahkan perasaan tertentu dalam suasana
perasaan gembira (Sumardjo, 2004:74). Kualitas perasaan yang diekspresikan
dalam karya seni bukan perasaan individual, tetapi perasaan universal, yakni
perasaan yang dapat dihayati oleh manusia lain sekalipun jenis perasaan itu belum
pernah dialaminya. Sedangkan kreativitas dalam seni adalah menemukan sesuatu
yang baru atau hubungan-hubungan baru dari sesuatu yang telah ada (Sumardjo,
2004 : 84). Manusia menciptakan sesuatu dari sesuatu yang telah ada sebelumnya.
Setiap seniman menjadi kreatif dan besar karena bertolak dari bahan yang telah
tercipta sebelumnya. Persoalannya adalah apakah seniman mampu menciptakan
karya seni baru atau yang tidak serupa (tidak mirip) dengan karya seni yang telah
ada sebelumnya. Tingkat orisinalitas karya seni tergantung pada tingkat totalitas
pembaruan yang dilaksanakan.
(2) Karya Seni (benda seni). Karya Seni berwujud kongkret, terindera, dan
teralami oleh manusia. Seni (visual maupun audio) terwujud berdasarkan medium
tertentu. Setiap medium memiliki ciri khas, keterbatasan dan kelebihan rnasing-
masing. Karya seni merupakan perwujudan nilai yang terkandung dalam benda seni
tersebut dan juga titik pertemuan komunikasi antara seniman dan publiknya.
(3) Publik Seni. Publik Seni merupakan suatu masyarakat yang dapat
mengakui suatu ciptaan sebagai sebuah karya seni. Persoalan komunikasi nilai-nilai
49
seni oleh seniman kepada publik seni berkaitan dengan empati, jarak estetik,
apresiasi dan institust penentu nilai seni dalam masyarakat. Sedangkan persoalan
karakteristik masyarakat yang dapat menerima suatu produk seni. kajian dari
perspektif sosiologi, psikologi, dan antropologi seni sangat berperan.
(4) Nilai seni. Nilai adalah ukuran tinggi rendah atau kadar yang dapat
diperhatikan, diteliti atau dihayati dalam berbagai obyek yang bersifat ftsik
(kongkrit) maupun abstrak. Nilai seni merupakan suatu cita yang berkaitan dengan
bentuk visual dan auditif dari manusia, fauna, flora, dan alam, disamping bentuk
yang abstrak seperti gerak hati, ekspresi rasa dan citra (Dharsono, 2004 : 20).
Menurut Dharsono ada tiga nilai seni yaitu : Nilai intrinsik dan nilai ekstrinsik,
nilai musikal, dan nilai makna. (a) Nilai Intrinsik dan Nilai Ekstrinsik. Nilai
intrinsik adalah nilai yang hakiki dalam karya seni secara implisit. Sifatnya mutlak
dan hakiki. Macam dan fungsinya dalam berbagai cabang seni dan jenis seni
berlainan. Sedangkan nilai ekstrinsik adalah nilai yang tidak hakiki. Nilai ini tidak
langsung menentukan suatu karya seni, melainkan berfungsi mendukung,
memperkuat kehadiran atau penyelenggaraan karya seni dan bersifat melengkapi
kehadiran karya seni. Nilai intrinsik dan nilai ekstrinsik sama penting bagi
kehadiran karya seni, sebab pada umumnya keberhasilan penampilan dan
penyelenggaraan suatu karya seni akan banyak ditentukan oleh terpadunya kedua
nilai ini secara berimbang menurut kaidah dan norma tertentu.
(a) Nilai Musikal. Nilai musikan merupakan suatu kualitas 'musik'
murni yang tersamar dan sukar ditangkap oleh proses penghayatan karya seni,
memuaskan pencipta seni dengan perasaan senang yang disadari secara spontan.
Schopenhauer (1788-1860) menyatakan bahwa semua seni mengandung suasana
50
musik. Nilai musikal adalah suatu nilai yang murni dalam seni musik (dan seni-seni
lainnya).
(b) Nilai Makna. Ada dua makna pada penampilan seni, yaitu makna
yang terdapat pada bentuk luar atau 'kulit'dan makna isinya atau 'dalam'nya. Makna
'kuiit adalah makna sebenamya dan melambangkan makna yang terkandung dibalik
makna itu. Sedangkan makna 'dalam' adalah makna yang universal, yang
merupakan pelipat gandaan makna yang sebenarnya, atau suatu makna ibarat yang
dilambangi oleh makna yang sebenamya (Dharsono, 2000 : 21- 22).
(c) Pengalaman Seni adalah pengalaman manusia dengan benda seni,
pengalaman yang dialami oleh penikmat seni/penanggap seni/publik seni,
berlangsung dalam suatu proses yang berkaitan dengan waktu, ada waktu 'sebelum
seni', 'mengalami seni', dan 'sesudah seni'. Seni mengandung komunikasi yang tidak
biasa seperti penyampaian informasi. Komunikasi seni adalah komunikasi
pengalaman yang melibatkan kegiatan penginderaan, nalar, emosi, dan intuisi.
Pengalaman seni menyangkut hubungan antara karya seni, publik seni dan
pengalaman seni sang pencipta seni. Dalam pengalaman seni unsur perasaan
merupakan kekuatan utama yang menggerakan dan mendasari unsur-unsur potensi
manusia yang lain. Seorang penikmat seni/penanggap seni lebur dalam nilai-nilai
yang ditawarkan oleh benda seni. Penikmat seni/penanggap seni berempati atau
memproyeksikan perasaan ke dalam benda seni. Proyeksi parasaan itu bersifat
subyektif sekaligus obyektif. Bersifat subyektif karena penanggap menemukan
kesenangan pada bentuk karya seni dan bersifat obyektif karena proyeksi itu
berdasarkan nilai-nilai benda seni itu sendiri. Pengalaman seni selalu memiliki
suatu pola. Suatu pengalaman seni terdlri atas berbagai unsur pengalaman (visual,
51
audio, rabaan) yang satu sama lain tersusun dan terhubung sendiri. Hubungan antar
unsur inilah yang memberikan makna pada pengalaman seni. Pola hubungan antar
unsur pengalaman menunjukan adanya hubungan antara apa yang sekarang dialami
dengan apa yang diketahui sebelum pengalaman itu. Cara pandang orang-orang
terhadap sebuah karya seni berbeda kualitas dan maknanya tergantung pada
pengalaman seni dan pengetahuan yang diperoleh sebelumnya
(Sumardjo,2000:162).
(d) Konteks seni berkaitan dengan nilai-nilai seni. Seni menyangkut
nilai-nilai setempat dan sezaman. Analisis kontekstual sebuah seni pertunjukkan
lebih menempatkan seni pertunjukkan dalam konteks budaya masyarakat
pemiliknya (Sudarsono, 1999:65). Pendekatan kontekstual terhadap seni sering
digunakan oleh antropolog, hal ini selaras dengan salah satu ciri penting
antropologi yang bersifat holistik, yakni dalam memahami fenomena sosial budaya,
seorang antropolog akan berusaha untuk melihat keterkaitan fenomena tersebut
dengan fenomena-fenomena yang lain dalam kebudayaan yang bersangkutan. Cara
pandang seperti ini membuat pemahaman tentang seni menjadi lebih komprehensif
dan lebih utuh (Ahimsa-Putra, 2000 :413-414).
1.6 Landasan Teori
Untuk mengkaji dua pokok masalah di atas yaitu: yang pertama adalah
bagaimana kontinuitas dan perubahan yang terjadi dari genjring bonyok ke tardug
karena perubahan sosiokultural masyarakat Sunda di Subang Jawa Barat, penulis
menggunakan teori kontinuitas dan perubahan, yang lazim digunakan dalam
disiplin ilmu sejarah dan sosial budaya.
52
Di sisi lain, untuk mengkaji struktur pertunjukan genjring bonyok dan tardug,
penulsi menggunakan teori seni pertunjukan dan weighted scale (“bobot tangga
nada”). Adapun ulasannya secara rinci adalah sebagai berikut.
1.6.1 Teori kontinuitas dan perubahan
Kontinuitas merupakan perwujudan dari pelestarian dan regenerasi terhadap
masalah yang digarap untuk mencapai pengembangan yang diharapkan. Pada ranah
sosiologis, kontinuitas diwujudkan dalam bentuk kesepahaman komunitas untuk
melakukan pemberdayaan atas masalah yang diangkat ke dalam penetapan yang
diinginkan secara representatif menghasilkan perilaku budaya, respons internalisasi
pengembangan yang diharapkan dalam mencapai tujuan yang menjadi
komitmennya.
Secara teoretik kontinuitas memerlukan perilaku budaya dan internalisasi
pengembangan, dalam hal musik tardug kajian aspek kontinuitas tentang
bagaimana cara mewujudkannya. Oleh sebab itu, diperlukan adanya kesungguhan
tentang perilaku budaya dan internalisasi pengembangan.
Kontinuitas mengandung makna pelestarian dan regenerasi. Dalam
perwujudannya, dampak pengembangan yang harus dilakukan membawa
perubahan psikologis atas yang terjadi. Dengan demikian, konsep kontinuitas dan
pengembangan dalam masalah di sini diinginkan dapat membawa perubahan
terhadap struktur dan fungsi yang mengikutinya (Widya, 2000 dan Dudung K.
2000).
Secara kronologis orkes tardug direpresentasikan untuk secara kontinu
membutuhkan konsep kesatuan atas bagaimana perilaku pendukung budaya dalam
53
menetapkan inspirasi heuristik melakukan pencarian dan penyusunan bahan secara
sosiologis terhadap aksi peran masyarakat khususnya dalam pelestarian dan
regenerasikan. Oleh sebab itu, di sini dibutuhkan peran yang langsung dalam
menginternalisasikan perilaku ke dalam penghayatan sosial yang dilakukan.
Dengan demikian kontinuitas dan perkembangan jadi terwujud (Dudung, 2000: 25-
27).
Kontinuitas dalam menopang terwujudnya eksistensi pelestarian seperti apa
adanya sulit digapai, dalam konteksnya langkah tersebut membutuhkan
kesepahaman komunitas. Kesepahaman komunitas sangat rentan terhadap
konsekuensi perkembangan yang dilakukan. Oleh sebab itu, masalah pelestarian
yang diharapkan di sini akan banyak mengalami perubahan, selanjutnya dibutuhkan
adanya komitmen dalam merepresentasikan niatan untuk mewujudkan cita-cita
yang ingin diwujudkan.
Berdasarkan hal tersebut di atas dalam mengamati seni tardug dengan
pendekatan teori yang ada, diharapkan mampu mengungkap kontinuitas yang
terjadi dalam seni musik tardug serta bagaimana perkembangan yang terjadi pada
seni tersebut.
Merriam (1964:303) mengatakan bahwa perubahan bisa berdasar dari dalam
lingkungan kebudayaan atau internal, dan perubahan bisa juga berasal dari luar
kebudayaan atau eksternal. Perubahan secar ainternal merupakan perubahan yang
timbul dari dalam dan dilakukan oleh para pelaku kebudayaan itu sendiri yang juga
disebut inovasi. Di sisi lain perubahan eksternal merupakan perubahan yang timbul
akibat pengaruh yang dilakukan oleh orang-orang dari luar lingkup suatu
kebudayaan.
54
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kebudayaan luar dapat
mempengaruhi kebudayaan lain, hal ini dikemukakan oleh Dyson dalam Sujarwa
(1987:39) yang mengatakan bahwa sikap menerima dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu faktor kebutuhan, keuntungan langsung yang dapat
dinikmati, senang pada satu hal yang baru (novelty) dan sifat inovatif yang ingin
selalu berkreasi. Ada juga sikap menolak yang disebabkan oleh anggapan bahwa
hal-hal yang baru itu merugikan, atau bertentangan dengan tata nilai yang sudah
dianut sebelumnya. Selain itu ada pula yang menolak tanpa alasan.
Masyarakat Sunda hadirnya genjring bonyok sudah menjadi salah satu
kebutuhan yang memberi keuntungan dalam hal ekonomis dalam pelaksanaan
upacara adat atau hiburan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya upacara adat Sunda
yang diiringi oleh genre seni genjring bonyok.
Genjring bonyok merupakan seni musik rakyat (folk music) yang dipelajari
secara lisan oleh seniman Sunda dapat mengalami kesinambungan dan perubahan
dalam musiknya. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Nettl dan Behague
(1991:4) yang menyatakan sebagai berikut.
... in a folk or nonliterate culture... a song must be sung, remembered, and thought by one generation to the next. If this does not happen, it dies and is lost forever. There is another alternative: if it is not accepted by it’s audience, it may be change to fit the needs and desires of the people who perform and hear it. Nettl dan Behague mengatakan bahwa sebuah kebudayaan rakyat atau
kebudayaan tidak tertulis, sebuah musik vokal harus dinyanyikan, diingat, dan
diajarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Jika hal ini tidak terjadi, maka
musik itu akan hilang atau musnah. Namun demikian, ada alternatif lain, jika musik
itu tidak diterima oleh para penonton, hal ini mungkin dapat diubah untuk
55
disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan dari orang-orang yang
mempertunjukkan dan mendengarkannya. Berdasarkan pernyataan dari Bruno Nettl
dan dan Behague tersebut dapat penulis jadikan sebagai acuan bahwa perubahan
yang terjadi dalam seni genjring bonyok wajar terjadi dan perubahan tersebut
merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan musik tradisi Sunda agar tidak
musnah.
Pada suatu kebudayaan musik tradisi lisan sebuah perubahan dapat terjadi,
karena proses transmisi atau pengajarannya yang dilakukan secara lisan. Nettl
(1983:193) terdapat empat tipe sejarah perubahan yang terjadi di dalam transmisi
budaya musik: (1) menyatakan bahwa musik atau nyanyian yang diwariskan tidak
mengalami perubahan sama sekali. Dengan kata lain lagu tersebut dinyanyikan
saam persis, baik sebelum maupun setelah diwariskan; (2) menyatakan bahwa
musik atau nyanyian yang diwariskan, mengalami perubahan, tetapi hanya dalam
versi tunggal atau satu petunjuk, sehingga dari warisan itu berbeda dari aslinya
tanpa proliferasi dari unsur-unsurnya; (3) menyatakan bahwa musik yang
diwariskan menghasilkan banyak variasi atau perubahan, bahkan beberapa dari
musi itu difungsikan dan dilupakan dengan kata lain sebagai ide tetap stabil,
sedangkan selebihnya mengalami perubahan; dan (4) menyatakan perubahan benar-
benar total dari musik yang awal, sebahagian besar ide musik itu dirubah sama
sekali, bahkan ada yang cenderung menyimpang dari pengembangan ide aslinya.
(a) Perubahan kebudayaan, kebudayaan berada dalam kondisi yang
selalu berubah (Beals,1953:600). Menurut Suparlan, perubahan kebudayaan adalah
perubahan yang terjadi dalam sistem ide yang dimiliki bersama oleh sejumlah
warga masyarakat yang terdapat dalam aturan-aturan atau nomra-norma, nilai-nilai,
56
teknologi, selera dan rasa keindahan atau kesenian dan bahasa. Perubahan
kebudayaan bisa mencakup salah satu unsurnya dan mempengaruhi unsur-unsur
kebudayaan lainnya, atau juga dapat merubah seluruh unsur-unsur kebudayaan
tersebut. (Suparlan, 2004:24).
Sehubungan dengan persoalan tersebut Edi Sedyawati dalam Karwati
(2007:30) berpendapat bahwa “perubahan bentuk seni semata-mata tidak lahir
sebagai cetusan yang benar-benar baru, melainkan kalau dilihat dalam rentangan
waktu yang panjang, hal yang baru senantiasa bertolak dari yang sudah ada
sebelumnya.” Tardug sebagai hasil dari budaya masyarakat juga mengalami
perubahan. Gejala perobahan pada tardug dapat dimulai dari ide masyarakat
pendukungnya (seniman dan apresiator). Secara musikal perubahan itu dapat
diamati berdasarkan beberapa aspek, baik tekstual maupun kontekstual dan
perubahan tersebut dipengaruhi bebrapa kepentingan yang dapat diamati
berdasarkan norma-norma, nilai-nilai, teknologi, selera dan rasa keindahan atau
kesenian dan bahasa seni pertunjukkan tradisi Tardug, merupakan memiliki faktor
yang menyebabkan terjadinya kebudayaan. Faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya perubahan kebudayaan dapat digolongkan menjadi dua kelompok
berdasarkan sumbernya yakni yang terletak di dalam dan diluar masyarakat itu
sendiri. Faktor yang bersumber dari dalam masyarakat antara lain: (1) bertambah
atau berkurangnya penduduk, (2) penemuan-penemuan baru, (3) konflik
masyarakat, (4) terjadinya pemberontakan atau revolusi. Adapun faktor dari luar
masyarakat antara lain: (1) sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik
yang ada di sekitar manusia, (2) peperangan dengan negara lain, 3) Pengaruh
kebudayaan masyarakat lain (Soekanto, 1992:352-360).
57
1.6.2 Teori semiotik seni pertunjukan
Untuk mengkaji struktur pertujukan genjring bonyok dan tardug, penulis
mempergunakan teori semiotik khas untuk seni pertunjukan. Pendekatan untuk
mengkaji seni, salah satunya mengambil teori semiotika dalam rangka usaha untuk
memahami bagaimana makna diciptakan dan dikomunikasikan melalui sistem
simbol yang membangun sebuah peristiwa seni. Dua tokoh perintis semiotika
adalah Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders
Peirce, seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai
sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi (sound
image) atau signifier yang berhubungan dengan konsep (signified). Setiap bahasa
mempunyai lambang bunyi tersendiri.
Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi
terdiri dari tiga bagian yang saling berkaitan: (1) representatum, (2) pengamat
(interpretant), dan (3) objek. Dalam kajian kesenian berarti kita harus
memperhitungkan peranan seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari
lambang-lambang dan usaha kita untuk memahami proses pertunjukan atau proses
penciptaan. Peirce membedakan lambang-lambang ke dalam tiga kategori: ikon,
indeks, dan simbol. Apabila lambang itu menyerupai yang dilambangkan seperti
foto, maka disebut ikon. Jika larnbang itu menunjukkan akan adanya sesuatu seperti
tirnbulnya asap akan diikuti api, disebut indeks. Jika lambang tidak menyerupai
yang dilambangkan, seperti burung garuda melambangkan negara Republik
Indonesia, maka disebut dengan simbol.
58
Dengan mengikuti pendekatan semiotika, maka dua pakar pertunjukan
budaya, Tadeuz Kowzan dan Patrice Pavis dari Perancis, mengaplikasikannya
dalam pertunjukan. Kowzan menawarkan 13 sistern lambang dari sebuah
pertunjukan teater--8 berkaitan langsung dengan pemain dan 5 berada di luarnya.
Ketiga belas lambang itu adalah: kata-kata, nada bicara, mirnik, gestur, gerak,
make-up, gaya rarnbut, kosturn, properti, setting, lighting, musik, dan efek suara.
Pavis menyusun daftar pertanyaan yang lebih lugas dan detil untuk mengkaji
sebuah pertunjukan. Pertanyaan-pertanyaannya menekankan perlunya dijelaskan
bagaimana makna dibangun dan mengapa demikian. Pertanyaan ini menekankan
pentingnya sebuah proses pertunjukan. Adapun pertanyaan- pertanyaan itu adalah
yang mencakup: (1) diskusi umum tentang pertunjukan, yang meliputi: (a)
unsur-unsur apa yang mendukung pertunjukan, (b) hubungan antara sistem-sistem
pertunjukan, (c) koherensi dan inkoherensi, (d) prinsip-prinsip estetis produksi, (e)
kendala-kendala apa yang dijumpai tentang produksi seni, apakah momennya kuat,
lemah, atau membosankan; (2) skenografi, yang meliputi: (a) bentuk ruang
pertanjukan--mencakup: arsitektur, gestural, keindahan, imitasi tata ruang, (b)
hubungan. antara tempat penonton dengan panggung pertunjukan, (c) sistem
pewarnaan dan konotasinya., (d) prinsip-prinsip organisasi ruang yang meliputi
hubungan antara on-stage dan off-stage dan keterkaitan antara ruang yang
diperlukan dengan gambaran panggung pada teks drama; (3) sistern tata cahaya; (4)
properti panggung: tipe, fungsi, hubungan antara ruang dan para pemain.
Dilanjutkan (5) kostum: bagaimana mereka mengadakannya serta
bagaimana hubungan kostum antar pernain; (6) pertunjukan: (a) gaya. individu atau
konvensional, (b) hubungan antara pernain dan kelompok, (c) hubungan antara.
59
teks yang tertulis dengan yang dilakukan, antara pemain dan peran, (d) kualitas
gestur dan mimik, (e) bagaimana dialog dikembangkan; (7) fungsi musik dan efek
suara; (8) tahapan pertunjukan: (a) tahap keseluruhan, (b) tahap-tahap tertentu
sebagai sistem tanda seperti tata cahaya, kostum, gestur, dan lain-lain, tahap
pertunjukan yang tetap atau berubah tiba-tiba; (9) interpretasi cerita dalam
pertunjukan: (a) cerita apa yang akan dipentaskan, (b) jenis dramaturgi apa yang
dipilih, (c) apa yang menjadi ambiguitas dalam pertunjukan dan poin-poin apa yang
dijelaskan, (d) bagaimana struktur plot, (e) bagaimana cerita dikonstruksikan oleh
para pemain dan bagaimana pementasannya, (f) termasuk genre apakah teks
dramanya.
Seterusnya (10) teks dalam pertunjukan: (a) terjemahan skenario, (b) peran
yang diberikan. teks drama dalam produksi, (c) hubungan antara teks dan imaji;
(11) penonton: (a) di mana pertunjukan dilaksanakan, (b) prakiraan penonton
tentang apa yang akan terjadi dalam pertunjukan, (c) bagaimana reaksi penonton,
dan (d) peran penonton dalam konteks menginterpretasikan makna-makna; (12)
bagaimana mencatat produksi pertunjukan secara teknis, (b) imaji apa yang menjadi
fokus; (13) apa yang tidak dapat diuraikan dari tanda-tanda pertunjukan: (a) apa
yang tidak dapat diinterpretasikan dari sebuah pertunjukan, (b) apa yang tidak dapat
direduksi tentang tanda dan makna pertunjukan (dan mengapa), (14) apakah ada
masalah-masalah khusus yang perlu dijelaskan, serta berbagai komentar dan saran
lebih lanjut untuk melengkapi sejumlah pertanyaan dan memperbaiki produksi
pertunjukan.
Menurut Encylopedia Brittanica (2007) pengertian dari semiotika itu adalah
seperti yang dijabarkan berikut ini.
60
Semiotic also called Semiology, the study of sign and sign- using behaviour. It was defined by one of its founders, the Swiss linguist Ferdinand de Saussure, as the study of “the life of signs within society.” Although the word was used in this sense in the 17th century by the English philosopher John Locke, the idea of semiotics as an interdisciplinary mode for examining phenomena in different fields emerged only in the late 19th and early 20th centuries with the independent work of Saussure and of the American philosopher Charles Sanders Peirce.
Peirce's seminal work in the field was anchored in pragmatism and logic. He defined a sign as “something which stands to somebody for something,” and one of his major contributions to semiotics was the categorization of signs into three main types: (1) an icon, which resembles its referent (such as a road sign for falling rocks); (2) an index, which is associated with its referent (as smoke is a sign of fire); and (3) a symbol, which is related to its referent only by convention (as with words or traffic signals). Peirce also demonstrated that a sign can never have a definite meaning, for the meaning must be continuously qualified.
Saussure treated language as a sign-system, and his work in linguistics has supplied the concepts and methods that semioticians apply to sign-systems other than language. One such basic semiotic concept is Saussure's distinction between the two inseparable components of a sign: the signifier, which in language is a set of speech sounds or marks on a page, and the signified, which is the concept or idea behind the sign. Saussure also distinguished parole, or actual individual utterances, from langue, the underlying system of conventions that makes such utterances understandable; it is this underlying langue that most interests semioticians.
This interest in the structure behind the use of particular signs links semiotics with the methods of structulalism (q.v.), which seeks to analyze these relations. Saussure's theories are thus also considered fundamental to structuralism (especially structural linguistics) and to poststructuralism.
Modern semioticians have applied Peirce and Saussure's principles to a variety of fields, including aesthetics, anthropology, psychoana-lysis, communications, and semantics. Among the most influential of these thinkers are the French scholars Claude Lévi- Strauss, Jacques Lacan, Michel Foucault, Jacques Derrida, Roland Barthes, and Julia Kristeva.
Semiotika atau semiologi adalah kajian teradap tanda-tanda (sign) serta
tanda-tanda yang digunakan dalam perilaku manusia. Definisi yang sama pula
dikemukakan oleh salah seorang pendiri teori semiotika, yaitu pakar linguistik dari
61
Swiss Ferdinand de Sausurre. Menurutnya semiotika adalah kajian mengenai
“kehidupan tanda-tanda dengan masyarakat yang menggunakan tanda-tanda itu.”
Meskipun kata-kata ini telah dipergunakan oleh filosof Inggris abad ke-17 yaitu
John Locke, gagasan semiotika sebagai sebuah modus interdisiplin ilmu, dengan
berbagai contoh fenomena yang berbeda dalam berbagai lapangan studi, baru
muncul ke permukaan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika
munculnya karya-karya Sausurre dan karya-karya seorang filosof Amerika Serikat,
Charles Sanders Peirce.
Dalam karya awal Peirce di lapangan semiotika ini, ia menumpukan
perhatian kepada pragmatisme dan logika. Ia mendefinisikan tanda sebagai “sesuatu
yang mendukung seseorang untuk sesuatu yang lain.” Salah satu sumbangannya
yang besar bagi semiotika adalah pengkategoriannya mengenai tanda-tanda ke
dalam tiga tipe, yaitu: (a) ikon, yang disejajarkan dengan referennya (misalnya jalan
raya adalah tanda untuk jatuhnya bebatuan); (b) indeks, yang disamakan dengan
referennya (asap adalah tanda adanya api); dan (c) simbol, yang berkaitan dengan
referentnya dengan cara penemuan (seperti dengan kata-kata atau signal trafik).
Secara saintifik, istilah semiotika berasal dari perkataan Yunani semeion.
Panuti Sudjiman dan van Zoest (1992) menyatakan bahwa semiotika berarti tanda
atau isyarat dalam satu sistem lambang yang lebih besar. Manakala bidang
pragmatik mengkaji kesan penggunaan lambang terhadap proses komunikasi.
Dengan menggunakan pendekatan semiotika, seseorang boleh menganalisis makna
yang tersurat dan tersirat di balik penggunaan lambang dalam kehidupan manusia
sehari-hari. Semiotika dapat menjelaskan persoalan yang berkaitan dengan
lambang, termasuk: penggunaan lambang, isi pesan, dan cara penyampaiannya
62
(Berlo 1960:54). Dalam semiotika terdapat hubungan tiga segi antara lambang,
objek, dan makna (Eco 1979: 15; Littlejohn 1992:64; Manning 1987:26; Barthes
1967:79). Lambang itu mewakili objek yang dilambangkan. Penerima yang
menghubungkan lambang dengan objek dan makna, disebut interpretan, yang
berfungsi sebagai perantara antara lambang dengan objek yang dilambangkan.
Oleh karena itu, makna lambang hanya terwujud dalam pikiran interpretan, selepas
saja interpretan menghubungkaitkan lambang dengan objek.
Dalam konteks kajian musik, terdapat beberapa makna musik. Salah satu
yang fundamental adalah bahwa tanda dan objek menghadirkan sebuah
keterhubungan identitas. Bahwa tanda musikal adalah murni sebagai sebuah ikon.
Bagaimanapun, musik memiliki kapasistas tanda. Beberapa ahli estetika musik,
seperti Eduard Hanslick (1989:61) dan para komposer seperti Pierre Boulez
(1986:32), John Cage (1961:96), dan Kostelanetz 1988:200), mengemukakan
bahwa estetika musik itu sangat bergantung kepada modus signifikasi. Sehingga
ide musik murni atau musik absolut tak mungkin terwujud dalam membicarakan
musik dalam kebudayaan. Setiap tradisi musik di dunia ini memiliki asas dan
konsepsi estetika yang berlainan.
Pentingnya mengkaji berbagai tanda ikonik dalam musik juga penting.
Peirce membagi tanda-tanda ikonik dalam pelbagai imaji, diagram, dan metafora.
Imaji adalah ikon yang menghadirkan karakter objek. Contoh musikal ikonik
adalah mulai dari suara burung sampai kepada musik sesungguhnya. Dalam
analisis semiotika ini, purlu pula bagi para pengkajinya memperhatikan pada aspek
metafora. Musik adalah bidang semiotika yang kompleks, yang dapat dikaji
melalui berbagai titik pandang.
63
1.6.3 Teori Weighted Scale
Kemudian untuk mengkaji struktur musik yang digunakan dalam
pertunjukan genjring bonyok dan tardug ini, penulis menggunakan teori weighted
scale (bobot tangga nada), seperti yang ditawarkan oleh Wiliam P. Malm (1977).
Teori weighted scale adalah teori yang lazim digunakkan untuk menganalisis atau
mendeskripsikan melodi berdasarkan delapan unsur melodis yang terdiri dari
delapan unsur, yaitu sebagai berikut: (1) tangga nada; (2) wilayah nada (ambitus);
(3) nada dasar (tone center); (4) jumlah nada-nada, (5) distribusi interval, (6)
formula melodi, (7) pola-pola kadensa, dan (8) kontur.
1.7 Metode Penelitian
Penelitian yang berjudul Genjring Bonyok dan Tardug di Subang Jawa
Barat: Kajian Kontinuitas, Perubahan, dan Struktur Pertunjukan ini adalah sebagai
upaya mengkaji musik tradisi menerapkan payung penelitian etnomusikologi
dengan pendekatan metode sejarah. Secara kontekstual dapat dibantu dengan
menggunakan teori: sosiologi, anthropologi, atau teori sosial lainnya. Penggunaan
teori dalam analisisnya dapat dilakukan secara silang antara teks dan konteks.
menggunakan pendekatan berbagai disiplin ilmu atau disebut pendekatan
multidisiplin. Namun secara garis besar, metode penelitian musik tardug ini berada
di bawah payung keilmuan etnomusikologi.
Metode penelitian harus disiapkan untuk mencapai tujuan penelitian
(Alwasilah, 2006:85). Maka untuk mecapai tujuan penelitian ini, menggunakan
penelitian kualitatif. Dengan metode kualitatif ini peneliti menghasilkan data
64
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang
diamati. (Bogdan dan Taylor, 1975:5) Oleh karena itu dalam penelitian ini
pendeskripsian seni tardug dilakukan dengan cara antara lain: pemilihan dan
pengklasiflkasian lagu-lagu dan instrumen musik, dan terhadap informasi atau data-
data dari narasumber. Selanjutnya pencarian data dilakukan dengan meminjam cara
interpretatif yakni melalui pengalaman dan pemahaman.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan dan mengolah
data yang sifatnya deskriptif seperti transkrip wawancara, catatan lapangan,
gambar, foto, rekaman video. Selanjutnya lebih dijelaskan lagi bahwasanya, metode
penelitian, cara kerja, alat bantu dan pendekatan akan disesuaikan dengan tujuan
yang ingin dicapai. Jenis penelitian ini bersifat deskriptif analitis. yaitu data yang
dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, bukan angka-angka. (Moleong, 2006:3).
Metode yang dipergunakan dalam penelitian genjring bonyok dan tardug
adalah metode deskriptif kualitatif yang berarti, penelitian yang berdasarkan atas
tujuannya dalam menggambarkan dan menafsirkan data yang ada. Misalnya
tentang situasi yang dialami, hubungan, kegiatan, pandangan, sikap, atau proses
yang sedang berlangsung, dan lain-lain yang berlangsung pada masa sekarang, dan
pada masalah-masalah yang bersifat aktual (Surakhmad, 1990:189-190).
Hal ini didukung dengan pendapat dari Bogdan bahwa penelitian kualitatif
secara sistematis dilakukan melalui metode kualitatif, yaitu suatu prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau kata-kata lisan
dan tertulis dari orang-orang dan prilaku yang diamati, sehingga pendekatannya
diarahkan pada latar sosial dan budaya individu atau masyarakatnya (Bogdan,
65
1972:5). Pengumpulan data dilakukan dengan teknik: (a) studi kepustakaan, (b)
observasi, (c) wawancara, dan (d) perekaman.
Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data melalui sumber-
sumber sekunder. Yaitu sumber tertulis, berupa buku, laporan, atau dokumen yang
memuat informasi kesenian genjring bonyok dan tardug, masyarakat
pendukungnya, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan pembentukan kerangka
pemikiran.
Kerja lapangan (field work) adalah suatu teknik memperoleh data primer.
Teknik ini bertujuan untuk memperoleh sejumlah data tentang keberadaan
kesenian genjring bonyok dan tardug, latar belakang prilaku sosial masyarakat
yang mendukung keseniannya, dan materi rekaman audio dan visual dari genjring
bonyok dan tardug.
Dalam melakukan kerja lapangan, untuk memperoleh data tersebut di atas,
dipergunakan kerangka kerja (lihat Nettl (1964:29-30) meliputi:
(1) Wawancara mendalam, dengan tujuan agar informan dapat memberikan
pandangan-pandangan tentang kebudayaan secara luas dan ^terbuka.
(2) Observasi budaya, meliputi proses dokumentasi audio dan visual, data
statistik, dan sumber-sumber tertulis lainnya.
(3) pengamatan berperan-serta, yaitu pengamatan dimana peneliti berperan-serta
dalam aktifitas masyarakat.
Pelaksanaan kerja laboratorium disebut juga kerja analisis (desk work).
Pelaksanaan kerja analisis ini merupakan pengolahan data yang diperoleh dari kerja
lapangan dan dilengkapi dengan data yang berasal dari studi kepustakaan. Data
66
yang diperoleh dari hasil kerja lapangan diawali dengan analisis induktif, yaitu
dengan mengklasifikasikan data dari lapangan dalam tema atau ide-ide. Kemudian
ide-ide tersebut dimodifikasi dalam suatu bangunan pemikiran Selanjutnya pada
tahap ini kesimpulan atau hipotesa dari data mulai dibentuk. Dilengkapi dengan
data sekunder dari kepustakaan, dilakukanlah analisis induktif. Yaitu kerja
laboratorium yang mencari atau menemukan apakah teori-teori yang digunakan
dalam konsep penelitian didukung oleh kesimpulan-kesimpulan dari analisis
induktif. Pada tahap ini teori tersebut kemungkinan dapat dimodifikasi untuk
menjelaskan, meramalkan dan menafsirkan fenomena dalam kesenian genjring
bonyok dan tardug.
Adapun data audio (musik) secara khusus dianalisis secara etnomusikologis.
Untuk dapat mempelajari aspek-aspek dari gaya musik genjring bonyok dan
tardug, dilakukan transkripsi. Yaitu suatu usaha untuk memindahkan bunyi aural
ke dalam suatu notasi.
Dalam menganalisis data audio yang bersifat musikal, William P. Malm
(1977:7-8) mendeskripsikan penelitian terhadap aspek musikal ini dengan tiga
tahapan, yaitu:
(1) Pengamatan terhadap praktek pertunjukan yang ditulis sebagai deskripsi
praktik pertunjukan.
(2) Aspek waktu, yang terdiri dari tempo atau meter, dan ritme.
(3) Aspek melodi, yaitu tangga nada, nada dasar, jumlah, interval, pola kadensa,
bentuk, dan kontur.
Unsur-unsur penganalisis yang dikemukakan oleh Malm ini akan
dipergunakan dalam menganalisis data musikal. Dan untuk memperoleh analisis
67
yang lebih lengkap, akan dikombinasikan dengan prosedur analisis musik yang
dikemukakan oleh Nettl (1964).
1.8 Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri dari lima bab dengan rincian sebagai berikut. Bab I ini
merupakan Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pokok masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, konsep yang digunakan, teori yang
digunakan, metode penelitian, dan sistematika penelitian.
Dilanjutkan kepada Bab II yang merupakan deskripsi budaya masyarakat
Sunda di Subang Jawa Barat. Bab ini akan menguraikan tentang sistem religi,
bahasa, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, pendidikan, dan kesenian masyarakat
Sunda di Subang Jawa Barat.
Selanjutnya Bab III berisikan kajian tentang perubahan dan kontinuitas
genjring bonyok dan tardug. Bab III ini akan didukung oleh masa pertumbuhan
genjring bonyok, tokoh pendiri dan pengembang genjring bonyok, fungsi dan guna
genjring bonyok, zaman keemasan genjring bonyok. Kemudian dialnjutkan dengan
perubahan genjring bonyok menjadi tardug, yang diisi pula dengan bahagian-
bahagiannya seperti perkembangan awal tardug, munculnya istilah tardug, fungsi
dan guna tardug, tokoh pengembang tardug, kontinuitas genjring bonyok ke tardug,
dan seterusnya.
Bab IV adalah bab yang membahas tentang struktur pertunjukan genjring
bonyok dan tardug. Struktur pertunjukan ini dibagi menjadi bahagian pembuka, isi,
dan penutup. Bab ini juga akan berisikan perbandingan antara struktur pertunjukan
68
genjring bonyok dan tardug, kemudian melihat perubahan dan perubahannya di
dalam tardug.
Kemudian Bab V akan mengkaji struktur musik yang terdapat di dalam
tardug dan genjring bonyok. Bab ini akan membahas hal-hal seperti instrumentasi,
melodi yang terdiri dari tangga nada, wilayah nada, nada dasar, interval, distribusi
nada, formula melodi, kontur dan lainnya. Untuk tari akan dideskripsikan pola
lantai, gerak, motif gerak, komposisi, gaya, pakaian, dan lain-lainnya.
Tulisan penelitian ini akan ditutup oleh Bab IV yang isinya memuat
kesimpulan dan saran dari penelitian ini. Keimpulan yang diuraikan adalah
menjawab dua pokok masalah yang telah dikemukakan di dalam Bab I. Sedangkan
saran-saran akan diarahkan bagaimana pendekatan saintifik dan bagaimana yang
harus dilakukan oleh insan-insan terkait dalam konteks meneruskan eksistensi
kesenian sebagai bahagian dari jatidiri atau identitas masyarakat Sunda.
69
BAB II
DESKRIPSI UMUM DAERAH PENELITIAN
Genre seni pertunjukan tardug dalam kebudayaan Sunda muncul dan
berkembang di daerah Subang, Provinsi Jawa Barat. Kesenian ini dikembangkan
dari tradisi genjring bonyok. Kemudian, sebelum itu di dalam kebudayaan Sunda
ada pula genre kesenian yang disebut genjring sholawat, genjring rudat, dan adem
ayem. Ketiga genre yang disebutkan terakhir ini juga dipercayai masyarakatnya
sebagai asal-usul genjring bonyok. Baik genjring sholawat, genjring rudat, adem
ayem, genjring bonyok, dan tardug, sebenarnya adalah ekspresi seni Islam di dalam
kebudayaan Sunda. Namun yang menarik perubahan-perubahan genre seni ini
adalah karena perubahan fungsional dan orientasi masyarakat pendukungnya. Yang
penting untuk dicermati perubahan fungsional tersebut tidak dapat dilepaskan dari
perubahan sosial, peran media masa, orientasi ekonomi dan hidup, dan lain-
lainnya, yang semuanya didasari oleh perubahan dan kontinuitas budaya Sunda.
Berdasarkan perkembangan dan keberadaan tardug yang sekarang ini,
maka penulis pada Bab II ini akan menguraikan aspek etnografi daerah penelitian
dalam konteks kebudayaan Sunda yang lebih luas. Tujuannya adalah untuk melihat
faktor-faktor etnografis yang menyebabkan berubahnya fungsi dan struktur seni
tardug ini dari masa ke masa.
Proses pembentukan suatu kesenian tidak akan terlepas dari keadaan
lingkungan masyarakat pendukungnya. Semakin meningkat kehidupan masyarakat,
pengalaman estetis masyarakat, dan semakin bermunculannya pemahaman-
pemahaman baru tentang suatu kesenian, akan berpengaruh besar terhadap
70
kehidupan kesenian itu. Oleh sebab itu, untuk memahami kesenian tardug sebagai
hasil kontinuitas dari seni genjring bonyok, harus memahami pula keadaan
masyarakat pendukung kesenian tardug itu sendiri.
Berkaitan dengan itu, maka sebelum menguraikan lebih jauh mengenai
proses pembentukan kesenian tardug, pada bagian ini akan diuraikan terlebih
dahulu keadaan masyarakat Subang sebagai masyarakat pendukung kesenian
tardug dan tempat di mana kesenian ini terbentuk. Adapun pembahasannya
mencakup etnografi masyarakat Sunda, lebih kecil lagi masyarakat Subang sebagai
pemilik kesenian tardug yang dikaji ini. Lebih khusus lagi penulis akan
menguraikan aspek etnografi masyarakat Sunda di Desa Cidapdap, sebagai pusat
tumbuh dan berkembangnya kesenian-kesenian genjring bonyok, genjring
sholawatan, genjring rudat, dan adem ayem. Bagaimanapun kesemua wilayah di
dalam budaya Sunda inilah yang menghasilkan suatu kontinuitas dan perubahan
yang tercermin di dalam genre tardug.
2.1 Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya
Menurut Harsojo (1971:307) berdasarkan pendekatan antropologi budaya,
yang dimaksud suku bangsa Sunda adalah orang yang secara turun temurun
menggunakan bahasa ibu yaitu bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari. Mereka
ini berasal dan bertempat tinggal di daerah Jawa barat, daerah yang sering juga
disebut dengan Tanah Pasundan ataupun Tatar Sunda. Mereka ini menggunakan
kebudayaan Sunda. Wilayah budayanya meliputi sebahagian besar Jawa Barat, dan
beberapa daerah sekitarnya.
71
Berdasarkan kajian geomorfologi, daerah Sunda pada masa kini mencakup
sebagaian besar Provinsi Jawa Barat dan sekitarnya, yang secara budaya dibagi ke
dalam empat wilayah: (1) Jakarta, (2) Bogor, (3) Bandung, dan (4) Pegunungan.
Daerah Bandung merupakan bentangan gunung berapi yang diapit oleh daerah
Bogor dan Pegunungan. Daerah Bandung sebahagian dilapisi oleh endapan aluvial
dan vulkanik muda (kuarter), tetapi di beberapa tempat adalah campuran daripada
endapan tertier dan kuarter (Ekajati, 1984:11).
Secara geografis, Jawa Barat tempat kebudayaan Sunda lahir, tumbuh, dan
berkembang, terletak pada posisi antara 5 50’ dengan 7 50’ Lintang Selatan dan
antara 104 48’ dengan 108 48’ Bujur Timur, luas wilayahnya 46.890 km. Wilayah
Jawa Barat merupakan salah satu wilayah Indonesia yang secara geografis
umumnya berbentuk kepulauan. Kepulauan ini biasa disebut dengan Kepulauan
Nusantara, yang dipakai sejak abad ke-14 Masehi, zaman Majapahit.
Secara antropologi budaya dapat dikatakan sebagai suku bangsa Sunda
adalah orang-orang yang secara turun temurun menggunakan bahasa Sunda serta
dialek dalam kehidupan sehari-sehari, berasal serta bertempat tinggal di daerah
Jawa Barat. Di luar Jawa Barat terdapat pula kampung-kampung yang
menggunakan bahasa Sunda seperti di kabupaten Brebes, Tegal, dan Banyumas di
Jawa Tengah dan di daerah transmigrasi di Lampung dan Sumatera Selatan. Jika
diteliti di jawa Barat sendiri tidak seluruh masyarakat menggunakan bahasa Sunda,
misalnya di Pantai Utara dan daerah Banten digunakan bahasa Jawa di samping
bahasa Sunda. Di Cirebon bahasa Sunda lebih banyak dipergunakan orang.
Secara umum orang Sunda menggunakan bahasa Sunda dengan berbagai
dialek menurut wilayahnya. Namun demikian, pada daerah-daerah percampuran,
72
digunakan sekali gus bahasa Sunda dan bahasa jawa, ada kecenderungan pada
beberapa keluarga yang menggunakan bahasa Sunda untuk tidak menyebut dirinya
orang Sunda, akan tetapi menyebut dirinya misalnya orang Cirebon atau orang
Banten, dan menggunakan istilah orang Sunda bagi orang Sunda Priangan. Salah
satu keterangan yang didapat mengenai hal ini adalah dari sudut bahasa, yaitu
bahasa di Priangan dianggap “lebih halus” dibandingkan daerah lainnya. Akan
tetapi sebaliknya, bahwa orang Cirebon dan Banten mengkaitkannya dengan agama
Islam yang lebih “kaffah” mereka anut dan mereka lebih dahulu memeluk Islam.
Unsur Islam ini pun sangat kuat diekspresikan di dalam seni tardug dan genjring
bonyok yang menjadi perhatian penulis dalam tesis ini.
Orang Sunda memiliki sistem kekerabatan yang dipengaruhi oleh adat yang
diteruskan secara turun-temurun, dan masuknya ajaran Islam dalam adat. Karena
agama Islam telah lama dipeluk oleh orang Sunda, maka sulit memisahkan adat
dengan agama Islam, keduanya terjalin dengan erat. Perkawinan di Tatar Sunda
misalnya dilakukan baik secara adat maupun agama.
Istilah Sunda dan Jawa Barat dewasa ini telah memasuki kehidupan
masyarakat Indonesia yang menunjuk kepada pengertian kebudayaan, etnik,
geografis, wilayah administratif pemerintahan, dan sosial. Di samping itu, dua
istilah telah memasuki pula dunia ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu sosial dan
humaniora yang membahas tentang Indonesia.
Dalam perkembangan lain, istilah Sunda digunakan pula dalam konotasi
manusia atau kelompok manusia, yaitu dengan sebutan Urang Sunda. Orang Sunda
adalah orang yang mengaku dirinya dan diakui oleh orang lain sebagai orang
Sunda. Di dalam definisi itu tercakup pula kriteria berdasarkan keturunan atau
73
hubungan darah dan berdasarkan sosial budaya sekali gus. Menurut kriteria
pertama, seorang atau sekelompok orang bisa disebut orang Sunda jika kedua orang
tuanya, baik dari pihak ayah atau ibu atau keduanya orang Sunda, di mana pun ia
dilahirkan dan dibesarkan. Berdasarkan kriteria kedua, orang Sunda adalah orang
atau sekelompok orang yang dibesarkan dalam lingkungan sosial budaya Sunda dan
dalam hidupnya menggunakan dan menghayati kebudayaan Sunda. Bisa saja
seseorang atau sekelompok orang yangorang tua atau leluhurnya orang Sunda
menjadi bukan Sunda,karena ia tidak mengenal dan tidak menggunakan nilai-nilai
Sunda daalm kehidupan. Sebaliknya jika seseorang menggunakan nilai-nilai dan
norma-norma Sunda sedangkan ia bukan keturunan Sunda, ia dapat dikatakan
sebagai orang Sunda.
Menurut R.W. van Bemmelen, Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan
untuk menamai sebuah dataran tinggi bagian barat laut India Timur, sedangkan
dataran bagian tenggara dinamai Sahul. Dataran Sunda dikelilingi oleh rangakian
Gunung Sunda yang melingkar (circum Sunda Mountain System) yang panjangnya
sekitar 7.000 km. Dataran Sunda itu terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian
utara yang meliputi Kepulauan Filipina dan pulau-pulau karang sepanjang Lautan
Pasifik bagian barat serta bagian selatan yang terbentang dari timur ke barat mulai
Maluku bagian selatan hingga embah Brahmaputra di Assam, India.
Menurut data sejarah, istilah Sunda menunjukkan pengertian wilayah di
bagian barat Pulau Jawa dengan segala aktivitas kehidupan manusia di dalamnya.
Istilah ini muncul pertama kali abad ke-11 Masehi. Istilah tersebut tercatat dalam
prasasti yang ditemukan di Cibadak, Kabupaten Sukabumi. Istilah Sunda
sebagainama kerajaan atau paling tidak sebagai nama wilayah atau tempat, tercatat
74
pula dalam prasasti lain dan dalam empat buah naskah berbahasa Sunda kuno yang
dibuat akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 Masehi. Prasasti itu disebut Prasasti
Kabatentenan yang ditemukan di Bekasi. Di dalam prasasti itu dikemukakan bahwa
adanya tempat (dayeuhan) yang bernama Sunda Sembawa, di samping tempat lain
yang bernama Jayagiri. Kedua tempat ini berada di Kerajaan Sunda (Ekajati,
1984:34).
Agama yang dianut sebahagian besar orang Sunda adalah Islam. Selain
penganut agama Islam, terdapat juga penganut agama Hindu, Buddha, dan Kristen.
Walaupun semua orang Sunda sudah beraama, tetapi masih banyak dari mereka
yang pergi ke makam-makam suci, sebagai tanda kaul untuk menyampaikan
permohonan dan minta doa restu sebelum mengadakan usaha, pesta, atau
perhalatan. Penduduk di pedesaan, selain taat menjalankan ajaran agama Islam,
juga melakukan berbagai upacara yang tidak terdapat dalam ajaran Islam.
Dalam kebudayaan masyarakat Sunda, tahap kehidupan seseorang ditandai
dengan berbagai selamatan dan upacara. Selamatan diadakan mulai dari acara
melamar, perkawinan, memasuki rumah baru, masa kelahiran, turun tanah,
memotong rambut, tumbuh gigi pertama, sunatan, waktu sakit, sampai pada waktu
meninggal dunia. Dilihat dari sudut pelaksanaan kehidupan beragama, upacara
selamatan merupakan acara yang terpenting.
Berkenaan dengan upacara itu, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan.
Pertama aspek waktu. Di Priangan biasanya dilakukan pada hari Kamis sore,
malam Jumat. Kedua, aspek orang yang diundang. Biasanya yang diundang adalah
kaum tetangga. Mereka diundang secara lisan. Anggota keluarga kerabat laki-laki si
pengundang mendatangi rumah tetangga yang diundang. Si pengundang memakai
75
sarung dan kopiah. Selamatan biasanya berlangsung kalau ada orang yang dapat
menyampaikan doa. Untuk keperluan ini biasanya diapanggil seorang modin desa
atau seorang guru ngaji yang dianggap mengetahui tata cara menyampaikan doa.
Upacara dimulai dengan mengucap Al-Fatihah dan diakhiri dengan Al-Fatihah
juga. Isi doa menurut maksud diadakannya selamatan itu. Hidangan selamatan tak
jauh berbeda dengan upacara yang sama. Biasanya berupa tumpengan, yaitu
gundukan nasi seperti bentuk gunung yang diletakkan di atas baki yang terbuat dari
bambu dan kayu. Dalam selamatan orang tidak banyak bicara dan waktu makannya
tidak lama. Selesai makan, para undangan segera pulang.
Dalam sistem tatapolitis pada sebuah desa, orang Sunda mengenal unsur-
unsur sebagai berikut: (1) satu orang juru tulis yang bertuga mengurus administrasi
pemerintahan berupa pemeliharaan berbagai arsip, daftar hak milik rakyat,
pengurusan pajak, dan lainna; (2) tiga orang kokolot, yang merupakan penghubung
rakyat dan pamong desa, ia bertugas menyampaikan berbagai perintah atau
pemberitahuan pamong desa kepada warga dan menyampaikan pengaduan rakyat
kepada pamong desa; (3) satu orang kulisi yaitu petugas yang bertanggung jawab di
bidang keamanan desa, ia bekerjasama dengan hansip; (4) satu orang ulu-ulu yaitu
petugas yang mengatur pembagian air dan pemeliharaan selokan; (5) satu orang
amil yaitu orang yang bertugas mengurus masalah kematian, nikah, talak, rujuk,
pembacaan doa dalam selamatan, dan yang berkaitan dengan ritual agama Islam
lainnya; (6) tiga orang pembina desa, yang terdiri atas satu orang dari kepolisian
dan dua orang tentara angkatan darat.
Masyarakat Sunda memiliki sistem kekerabatan yang sampai kini masih
dapat dikaji keberadaannya. Pasangan suami-isteri membentuk keluarga kecil yang
76
disebut rumah tangga. Pada mulanya hanya terdiri atas sepasang suami-isteri.
Kemudian, dengan lahirnya anak-anak dari sepasang suami-isteri, maka anggota
keluarga menjadi lebih lengkap. Ayah berperan sebagai kepala rumah tangga, ibu
berperan sebagai pengurus rumah tangga.
Hubungan kekerabatan dalam masyarakat Sunda berdasar kepada silsilah
keturunan, sampai tujuh generasi: (1) anak, (2) incu, (3) buyut, (4) bao, (5)
janggawareng, (6) udeg-udeg, dan (7) gantung siwur. Umumnya, keturunan hanya
eksi sampai peringkat buyut.
Dalam kebudayaan masyarakat Sunda, isteri disebut oleh suaminya
pamajikan, dan sebaliknya suami disebut isterinya dengan salaki. Orang tua isteri
ataupun suami disebut mitoha (mertua) oleh pasangan suami isteri tersebut. Orang
tua isteri dan suami terhadap pasangan suami isteri, yang bukan anak kandungnya
disebut minantu. Orang tua isteri dan rang tua suami saling menyebut besan.
Seorang ayah oleh anak-anaknya biasa dipanggil abah. Ibu dipanggil ema oleh
anak-anaknya. Adik-adik ayah dan ibu yang laki-laki biasa disebut dengan emang
oleh anak-anak dari pasangan suami isteri. Sedangkan adik-adik perempuan
daripada ibu atau abah biasanya disebut bibi. Kakak-kakak ayah dan ibu, baik
lelaki maupun perempuan biasa dipanggil ua oleh anak-anak dari pasangan suami
isteri. Itulah sekilas keberadaan sistem kekerabatan masyarakat Sunda. Begitu juga
masyarakat Sunda di perantauan seperti di Sumatera Utara.5
5Masyarakat Sunda yang ada di Sumatera Utara, merupakan masyarakat pendatang yang
migrasu bersama dengan masyarakat Jawa, sejak abad kesembilan belas. Awalnya mereka adalah menjadi buruh-buruh di perkebunan-perkebunan Belanda. Sebahagian daripada mereka selepas habis masa kontraknya ada yang membentuk pemukiman baru di Sumatera Utara, dan hidup secara segregatif, dalam kebudayaan masyarakat Sumatera Utara yang heterogen.
77
Sistem kekerabatan sudah dipengaruhi oleh adat yang diteruskan secara
turun-temurun dan juga berlandas pada agama Islam. Karena agama Islam telah
lama dipeluk oleh orang Sunda, maka sulit kiranya memisahkan mana adat dan
mana agama, dan biasanya kedua unsur itu terjalin erat menjadi adat kebiasaan dan
kebudayaan orang Sunda. Perkawinan di Tanah Sunda misalnya dilakukan secara
adat ataupun secara agama Islam. Ketika upacara akad nikah atau ijab kabul
dilakukan, tampak sekali bahwa di dalarn upacara-upacara terpenting ini terdapat
unsur agama dan adat. Dalam menentukan jodoh, masyarakat Sunda tidak terikat
oleh sistem tertentu, tetapi perkawinan dalam keluarga batih dilarang. Di dalam,
masyarakat Sunda ada kecenderungan untuk memilih menantu berasal dari
kalangan keluarga sendiri. Untuk menentukan seorang yang akan di ambil sebagai
calon menantu, terlebih dahulu diadakan penyelidikan dari kedua belah pihak
Penyelidikan itu biasanya dilakukan secara rapi, bahkan sering secara tertutup, hal
ini dimaksudkan untuk memperoleh menantu yang baik. Ukuran dan kriteria
menantu yang baik sangat relatif.
Adapun mencari menantu dapat dilakukan oleh pihak kelaurga laki-laki
ataupun oleh keluarga perempuan. Cara mencarinya mula-mula tidak serius, tetapi
sambil bergurau antara orang tua kedua belah pihak. Tempat pernbicaraannya pun
tidak menentu, tergantung di mana mereka dapat sering bertemu, di pasar, di ladang
di dalmn perjalanan dan lain sebagainya.
Apabila anak gadis itu belum bertunangan dan orang tuanya setuju atas
usulan pihak orang tua pemuda, maka pembicaraan itu dinamakan neundeun
ornong, artinya menyepakati perkataan. Antara neundeun omong sampai
nyeureuhan atau melarnar terjadilah amat-mengamati, selidik-menyelidiki secara
78
baik. Setelah dilakukan pelamaran, maka dilakukan persiapan-persiapan untuk
melakukan upacara pernikahan. Setelah tersida keperluan itu, maka orang tua
laki-laki mengirirnkan kabar pada orang tua si gadis hari dan jam yang sudah
ditetapkan untuk diadakan seserahan anak laki-laki yang akan menjadi mempelai
itu. Perihal waktu perkawinan sudah mereka bicarakan. Biasanya penyerahan anak
laki-laki dilakukan tiga hari sebelum dilakukan upacara pernikahan. Setelah anak
laki-laki di serahkan pada prinsipnya segala sesuatu telah manjadi tanggung jawab
orng tua perernpuan. Upacara pernikahan dilakukan secara sederhana menurut
agama, tetapi upacara nyawer dan buka pintu adalah yang paling menarik sernua
orang gembira dan mengikuti dialog yang dilakukan dengan bahasa puisi dan lagu.
Pada masyarakat Sunda, bentuk keluarga yang terpenting adalah keluarga
batih. Keluarga. batih terdiri dari suarni, istri dan anak yang didapat dari
perkawinan atau adopsi. Adat sesudah nikah di Jawa Barat pada prinsipnya adalah
neolokal. Hubungan sosial diantara keluarga batih arnat erat keluarga batih
merupakan tempat yang paling aman bagi anggota masyarakat. Di dalam rumah
tangga keluarga batih sering juga terdapat keluarga lain seperti ibu mertua atau
kemenakan pihak laki-laki atau perempuan. Adakalanya bentuk keluarga menjadi
lebih besar karena, pihak laki-laki kawin lagi dan melakukan poligami.
Dalam hubungannya dengan kehalusan bahasa sering dikernukakan, bahwa
bahasa Sunda yang murni dan halus di daerah Priangan, seperti di Kabupaten
Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Bandung, Sumedang, Sukabumi, dan Cianjur. Sampai
sekarang dialek Cianjur masih dipandang sebagai bahasa Sunda yang terhalus.
Bahasa Sunda yang dianggap agak kurang halus adalah bahasa Sunda di dekat
pantai utara, misalnya terdapat di Banten selatan adalah bahasa Sunda kuno.
79
Bentuk sastra Sunda yang tertua adalah cerita-cerita pantun, yaitu cerita
pahlawan nenek moyang Sunda dalam bentuk puisi diselang-selingi oleh prosa
berirama seperti bentuk pelipur lara. Tukang-tukang pantun ini mendongengkan
cerita-cerita pantunnya dengan iringan bunyi kacapi Sunda. Cerita-cerita itu
mengetengahkan pahlawan-pahlawan dan raja-raja pada zaman Sunda kuno,
misalnya zaman Galuh dan Pajajaran, dan selalu menyebut nama raja Sunda yang
terkenal ialah Prabu Siliwangi. Bagi orang Sunda cerita-cerita pantun itu
menduduki tempat yang khas dalam hatinya. Permainan pantun dapat menggugah
perasaan kebesaran orang Sunda, yang melihat cerita sejarah di masa lampau
semakin jauh semakin terang, semakin lama semakin terkenang.
Seni bangunan dapat dilihat dari bangunan rumah adat Sunda, contohnya
bangunan Kekeratonan Kasepuhan Cirebon, yang memiliki empat ruangan: (a)
jinem atau pendopo, tempat duduk para punggawa atau penjaga keselamatan sultan;
(b) pringgondani, tempat sultan memberi perintah kepada para adipati; (c)
prabayasa, yaitu tempat sultan menerima tetamu istimewa; (d) panembahan, yaitu
ruang kerja dan istirahat sultan. Untuk rumah penduduk, bangunan disesuaikan
dengan keadaan tanah yang biasanya tidak rata. Banyak rumah dibangun di atas
tiang-tiang yang tidak begitu tinggi. Di bawah rumah seringkali dibuat kolam ikan.
Ini disebabkan karena tanah di Jawa Barat relatif banyak mengandung air.
Seni tari yang sangat populer dalam kebudayaan masyarakat Sunda adalah
jaipongan. Jaipongan adalah paduan antara tari ketuk tilu dengan tari gendang
pencak. Para penonton diajak menari bersama-sama dengan ronggeng. Tari
jaipongan mulai populer di paruh kedua bada ke-20 dan merupakan sebuah daya
tarik untuk para wisatawan yang datang ke daerah Parahiangan. Tari-tari Sunda
80
lainnya adalah: Tari Topeng Kuncaran, yaitu tari yang mengisahkan dendam
kesumat seorang raja karena cintanya ditolak. Berikutnya adalah Tari Kupu-kupu
yang merupakan imitasi alam yaitu kupu-kupu yang serba indah, menarik, dan
memukau yang melihatnya. Seterusnya adalah Tari Rumlang yaitu tari topeng khas
dari Cirebon, dan lain-lain.
Alat musik dari kawasan Sunda ini di antaranya adalah angklung, calung,
kacapi, suling, dan degung. Angklung dan calung terbuat dari bambu. Angklung
dimainkan dengan cara digoyangkan. Calung memainkannya dengan cara dipukul.
Alat-alat musik Sunda digunakan untuk mengiringi lagu-lagu vokal daerah Sunda
seperti tembang dan kawih. Tembang adalah lagu yang berbentuk bebas dan diiringi
angklung dan calung. Seni suara Sunda lainnya adalah sintren dan cincang keling.
Wayang dan wawacan. Wayang dalarn masyarakat Sunda adalah wayang
golek bukan wayang kulit. Wawacan adalah cerita yang berbentuk puisi biasanya
dinyanyikan ketika membacanya seperti wawacan Rengganis dan Purnama Alam.
Wayang dan Wawacan dalam kesusastraan Sunda terdapat bermacam-macam cerita
rakyat, seperti Sangkuriang yaitu cerita tentang terjadinya gunung Tangkuban
Perahu dan Danau Purba di dataran tinggi Bandung. Satu macam cerita rakyat di
Sunda adalah cerita Si Kabayan, suatu contoh sastra yang dilukiskan sebagai
seorang yang malas dan bodoh, akan tetapi tampak pula kecerdikannya.
Musik tradisional Sunda yang paling dikenal adalah gamelan seperti halnya
di Jawa Tengah. Gamelan ini terdiri dari alat-alat musik seperti saron, gender,
bonang, goong, rebab, kacapi, dan lainnya. Dalam satu set biasanya terdiri dari
dua ensambel, yang berlaras slendro dan pelog. Selain itu di Sunda juga dijumpai
81
ensambel gamelan degung yang merupakan percampuran antara gamelan laras
slendro dan pelog.
Gamelan degung termasuk ke dalam rumpun gamelan, yang dimainkan
secara ensambel. Terdiri dari empat sampai tujuh instrumen, sebelum seni degung
mengalami perkembangan, instrumen yang digunakan hanya berjumlah empat buah
yaitu bonang, saron, jengglong, dan goong. Kemudian sekitar tahun 1950-an,
gamelan degung mengalami perkembangan dengan salah satunya adalah dengan
menambah jumlah instrumennya dengan kendang, suling, dan saron peking.
Menurut bentuknya, selain jenis kendang dan suling, instrumen-instrumen dalam
gamelan degung dapat digolongkan ke dalam dua jenis yaitu bentuk pencu dan
bilahan. Instrumen yang berbentuk pencu adalah bonang, jengglong, dan goong.
Sedangkan yang berbentuk bilahan adalah saron dan saron panerus. Jumlah pencu
pada bonang terdiri dari 14 sampai 16 pencu yang tersusun dari nada paling rendah
(da) sejauh tiga gembyang (oktaf). Deretan pencu tersebut disusun di atas
penyangga yang disebut rancak yang terbagi menjadi dua bagian, rancak sebelah
kanan diisi dengan deretan pencu bernada tinggi yang dimulai dari nada tertinggi da
sampai nada na gembyang tengah dan rancak sebelah kiri diisi dengan deretan
pencu yang bernada rendah dimulai dari nada ti gembyang tengah sampai nada la
gembyang bawah.
Genre kesenian lain yang ada di kebudayaan Sunda adalah dungkol, satu
kesenian rakyat yang berkembang sejak dasawarsa 1940-an. Seni ini berupa
permainan untuk hiburan rakyat pedesaan di Sunda saat bulan purnama, yang
dilakukan di halaman rumah. Alat musik yang digunakan adalah bedug dan kohkol
(kentongan), ditambah dengan kendang batangan (kendang besar), dua kulanter
82
(gendang ketipung), satu kempul, satu gong besar, ditambah alat kosrek (tabung
bambu yang memainkannya digaruk). Adapula genre lainnya yaitu musik calung,
yang merupakan ensambel alat musik yang terbuat dari bambu. Calung ini terdiri
dari calung rantay, calung gamelan, dan calung jinjing. Demikian sekilas seni
musik atau karawitan Sunda. Demikian sekilas masyarakat Sunda dan
kebudayaannya.
2.2 Kabupaten Subang
Berdasarkan asal-usulnya, istilah Subang memiliki berbagai versi. Asal-usul
nama Subang dapat dicari melalui cerita rakyat atau folklor dan histografi
tradisional yang ada di dalam masyarakat Subang. Asal nama Subang ini
mempunyai bermacam-macam persepsi, sehingga harus ada pendekatan akurat
terhadap asal-usul kata Subang. Akan tetapi sampai saat ini belum menjadi suatu
kesimpulan untuk menjadi toponimi Subang sekarang.
Dari cerita rakyat berdasarkan historiografi tradisional, kata Subang berasal
dari nama seorang wanita, sebagaimana terdapat dalam Babad Siliwangi, yaitu
Subanglarang atau Subangkarancang. Hal itu dikuatkan pula oleh cerita yang
terdapat pada Babad Pajajaran. Dalam babad tersebut dikisahkan bahwa di daerah
Karawang ada sebuah Pesantren yang dipimpin oleh Syeh Datuk Quro, yang juga
menjadi tempat belajar dua wanita. Kedua wanita tersebut bernama Subanglarang
atau Subangkarancang yang merupakan putri dari Ki Jamajan Jati. Pada waktu itu
Subanglarang sedang belajar di pesantren Syeh Datuk Quro, hingga suatu saat
kelak dinikahi oleh Raden Pamanahrasa yang bergelar Prabu Siliwangi sebagai
83
Raja Pajajaran, dan mempunyai dua orang anak yaitu Raden Walangsungsang dan
Ratu Rarasantang.
Kata Subang juga berasal dari kata Subang yang merupakan suatu tempat di
daerah kuningan. Pada masa perusahaan P & T Land waktu itu dipimpin oleh PW.
Hofland. PW. Hofland merupakan orang Belanda yang menguasai perkebunan
karet, kopi, teh, tebu. yang sangat luas. Sehingga untuk pengelolaan perkebun-
annya itu memerlukan karyawan yang banyak. Karena kekurangan karyawan,
kemudian P.W. Hofland mendatangkan orang-orang untuk menjadi karyawannya.
Para pekerja itu didatangkan dari daerah Subang Kuningan. Penduduk Subang pada
waktu itu belum banyak seperti sekarang. Para pendatang tersebut kemudian
membuat perkampungan di sekitar pabrik yang disebutnya Kampung Babakan atau
Kampung Subang, sesuai dengan asal tempat tinggal mereka.
Dari cerita rakyat versi lain, ada yang mengatakan bahwa penamaan Kota
Subang berasal dari kata suweng. Dalam bahasa Sunda, kata suweng memiliki
makna perhiasan yang dipasang di telinga atau disebut juga anting. Subang juga
berasal dari kata kubang. Menurut folklor (cerita rakyat)6 bahwa di daerah Subang
tepatnya di Rawabadak terdapat kubangan atau rawa tempat mandi badak.
6 Pembentukan nama-nama daerah atau tempat dalam suatu kebudayaan masyarakat,
seringkali dihubungkan dengan sejarah, mitos, atau legenda. Di kawasan Sumatera misalnya istilah kata Sibolga berasal dari kata boga-boga (sejenis pohon), kata Kesultanan Deli berasal dari nama kata Delhi di India, asal-usul kata Medan ada yang mengaitkannya dengan mejan (patung) dalam bahasa Batak, atau arena dalam bahasa Melayu, istilah Danau Toba juga ada yang menghubungkannya dengan Surah Attaubah yang diambil dari Al-Qur’an. Pembuatan nama seperti ini adalah bahagian dari folklor (cerita rakyat). Dari bentuk atau genre folklor, yang paling banyak diteliti para ahli folklor adalah cerita prosa rakyat. Menurut William R. Bascom, cerita prosa rakyat dapat dibagi ke dalam tiga golongan besar, iaitu: (1) mite (myth), (2) legenda (legend) dan (3) dongeng (folktale). Mitos adalah cerita prosa rakyat yag dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau di dunia yang bukan seperti kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau. Legenda adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap pernah benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci—namun legenda ditokohi oleh
84
Kalaupun benar di Subang terdapat hewan badak mungkin hewan ini hidup
pada masa Subang Purba. Asumsi dari kedua kata suweng dan kubang merupakan
perbedaan lafal kata. Lafal kata tersebut bisa diakibatkan karena kurang jelasnya
dalam mendengar kata suweng dan kubang atau tidak biasa mengucapkan kedua
kata tersebut. Subang sebagai nama tempat atau daerah dan gunung baru dikenal
pada abad ke-17 dan ke-18 sebagaimana yang ditulis oleh De Haan (1912:296).
Berikut ini kutipannya: "Pada tanggal 6 Oktober 1692, Couper (Komandan Tentara
Kompeni) dapat memukul pasukan Surapati. Sebanyak 160 orang prajurit Surapati
melarikan diri ke Madura, 50 orang melarikan diri ke Banyumas dan Bagelen.
Sedangkan pasukan Van Happel dari Imbanegara menuju Dayeuhluhur melintasi
Cijolang terus melewati Subang kembali ke Cheirebon.”
Pada bagian lain halaman 336 De Haan pun menulis: “Pada perjanjian
tanggal 5 Oktober 1705 antara Mataram dengan Kompeni Belanda. Sunan
Kartasura menyerahkan kepada Gubernur Jenderal De Jonge daerah-daerah pesisir
pulau Jawa dari barat ke timur pegunungan Dayiloer (Dayeuhluhur) sampai
Gunung Sumana atau Subang."
2.2.1 Letak geografis Kabupaten Subang
Pembentukan Kabupaten Subang serta batas-batas daerahnya didasarkan
kepada Undang-undang Nomor 4 tahun 1968, yaitu Undang-undang tentang
pembentukan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang dengan mengubah
Undang-undang Nomor 14 tahun 1950 tentang pembentukan daerah kabupaten manusia, meski kadangkala memiliki sifat-sifat luar biasa, dan sering juga dibantu makhluk-makhluk ajaib. Tempat terjadinya adalah di dunia seperti yang kita kenal sekarang, waktu terjadinya belu begitu lama. Dogeng adalah prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya ceritera, tidak terikat oleh waktu dan ruang (lihat Bascom, 1965:3-20). Parafrase pengertian tiga bentuk ceritera rakyat ini lihat James Danandjaja (1984:50-51).
85
dalam lingkungan Propinsi Jawa Barat. Undang-undang Nomor 4 tahun 1968
diundangkan tanggal 29 Juni 1968 dan dimasukan ke dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia tahun 1968.
Kabupaten Subang secara geografis terletak di bagian utara Propinsi Jawa
Barat yaitu antara 103°1' - 107° 54' Bujur Timur dan 6° 11'- 6° 49' Lintang Selatan.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 4 tahun 1968 daerah Kabupaten Subang
mempunyai batas-batas sebagai berikut: (i) sebelah utara berbatasan dengan Laut
Jawa; (ii) sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Indramayu dan Kabupaten
Sumedang; (iii) sebelah selatan: berbatasan dengan Kabupten Bandung; dan (iv)
sebelah barat: berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta.dan Kabupaten Karawang.
Luas Daerah Kabupaten Subang mencapai 205 166.95 ha atau 1.888.79
km2, memiliki luas wilayah 4.64 % dan luas Propinsi Jawa Barat. Secara alamiah
dapat dikategorikan ke dalam tiga bagian wilayah antara lain:
1. Daerah pantai di bagian utara meliputi Kecamatan Pamanukan dengan luas
wilayah 81.71 km², Kecamatan Pusakanagara luas wilayah 103.52 km²,
Kecamatan Ciasem luas wilayah 117,19 km², Kecamatan Blanakan luas wilayah
97.15 km² , dan Kecamatan Legonkulon luas wilayah 85,22 km².
2. Daerah pedataran di bagian tengah meliputi Kecamatan Subang luas wilayah
54.67 km², Kecamatan Kalijati luas wilayah 129.14 km², Kecamatan Cikaum
luas wilayah 92.80 km², Kecamatan Cipeundeuy luas wilayah 111.14 km²,
Kecamatan Purwadadi luas wilayah 87.89 km², Kecamatan Pabuaran luas
wilayah 99,51 km², Kecamatan Patokbeusi luas wilayah 80,62 km², Kecamatan
Pagaden luas wilayah 82.94 km², Kecamatan Cipunagara luas wilayah 100.73
86
km², Kecamatan Compreng luas wilayah 68,66 km², Kecamatan Binong luas
wilayah 105,56 km², dan Kecamatan Cibogo luas wilayah 54.27 km².
3 Daerah pegunungan di bagian selatan meliputi Kecamatan Cijambe luas wilayah
108,25 km², Kecamatan Jalancagak luas wilayah 103.05 km², Kecamatan
Sagalaherang luas wilayah 102.24 km², Kecamatan Cisalak luas wilayah 102.81
km², dan Kecamatan Tanjungsiang luas wilayah 82.69 km².
Ketinggian daerah Kabupaten Subang dari permukaan laut terletak antara 0 sampai
1785 m dpi. dengan perincian sebagai berikut.
(a) Daerah pantai dengan ketinggian antara 0-50 m dpi dengan luas wilayah
92.939,7 hektar atau 45.15% dan seluruh luas wiilayah Kabupaten Subang.
(b) Daerah pedataran dengan ketinggian antara 50 - 500 m dpi dengan luas wilayah
71.502.16 hektar atau 38,85% dan seluruh luas wilayah Kabupaten Subang
(c) Daerah Pegunungan dengan ketinggian antara 500-1500 m dpi dengan luas
wilayah 41.035,09 hektar atau 20% dan selunih luas wilayah Kabupaten
Subang.
Dilihat dan keminngan tanah, maka tercatat 80,80% wilayah Kabupaten Subang
memiliki kemiringan 0° - 17°, sedangkan sisanya memiliki kemiringan 18°. Secara
umum wilayah Kabupaten Subang beriklim tropis dengan curah hujan rata-rata per
tahun 1.593 mm dengan rata-rata hujan 91 hari. Iklim yang demikian ditunjang
dengan lahan yang subur dan banyaknya aliran sungai menjadikan sebagian besar
luas tanah Kabupaten Subang digunakan untuk pertanian.
Wilayah Kabupaten Subang dibatasi oleh dua sungai, sebelah barat dibatasi
oleh Sungai Cilamaya sedangkan sebelah timur dibatasi oleh Sungai Cipunagara.
Kedua sungai tersebut langsung bermuara ke Laut Jawa. Laut Jawa yang terletak
87
disebelah utara Laut di wilayah Kabupaten Subang menyimpan potensi alam yang
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Subang.
Jarak teijauh antar ibukota kecamatan adalah 106 kilometer yaitu yang
menghubungkan antara ibu kota Kecamatan Patokbeusi di sebelah utara Kabupaten
Subang. Demikian juga jika Kecamatan Subang yang menjadi titik pusat untuk
menghitung jarak keseluruh kecamatan, maka Kecamatan Patokbeusi juga
merupakan kecamatan yang terjauh dari ibukota Kabupaten Subang yaitu berjarak
68 kilometer.
Kota Subang sebagai ibukota Kabupaten terletak di daerah pedataran. Jarak
dan ibukota kabupaten ke ibukota negara sekitar 150 km ke sebelah timur.
Sedangkan jarak dari ibukota Propinsi Jawa Barat berjarak 57 km ke sebelah utara.
2.2.2 Demografi dan pemerintahan
Dari tahun ke tahun jumlah penduduk Kabupaten Subang mengalami
peningkatan. Usaha untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk dilakukan
melalui program Keluarga Berencana dan Transmigrasi melalui kedua program
tersebut tingkat laju pertumbuhan penduduk dapat diturunkan dari 1.91%, laju
pertumbuhan rata-rata per tahun menjadi 1.25%. Hal yang demikian itu dapat
dilihat dari perbandingan jumlah penduduk per 10 tahun berikut ini: pada tahun
1970 jumlah penduduk mencapai 898.448 jiwa, tahun 1980 berjumlah 1.065.251
jiwa dan pada tahun 1990 menjadi 1.206.664 jiwa.
Dari jumlah penduduik itu, sebagian besar berdomisili di Kecamatan
Subang dengan kepadatan 1.780 jiwa per kilometer persegi dan yang terkecil
berdomisili di Kecamatan Cipeundeuy dengan kepadatan 320 jiwa per kilometer
88
persegi. Hal ini menandakan bahwa penyebaran penduduk di Kabupaten Subang
tidak merata.
Penyelenggaraan pemerintahan dan pengembangan pembangunan
Kabupaten Subang membagi wilayah daerahnya ke dalam 20 kecamatan, 2
perwakilan kecamatan, 242 desa, dan 8 kelurahan; yang termasuk ke dalam 4
wilayah kerja pembantu bupati.
Dalam rangka pembinaan wilayah dan rakyatnya, pada masa Orde Baru
atau sebelum masa Reformasi, pemerintah Kabupaten Subang mengelompokan
kesebelas kecamatan dalam lingkungan Kabupaten Subang ke dalam empat
Wilayah Pembantu Penghubung Bupati yaitu, sebagai berikut.
(1) Wilayah 1 Subang, yang membawahi Kecamatan Subang, Kecamatan
Pagaden, dan Kecamatan Kalijati.
(2) Wilayah II Pamanukan, yang membawahi Kecamatan Pamanukan,
Kecamatan Binong, dan Kecamatan Pusakanagara,
(3) Wilayah III Ciasem, yang membawahi Kecamatan Ciasem, Kecamatan
Pabuaran, dan Kecamatan Purwadadi.
(4) Wilayah IV Sagalaherang, yang membawahi Kecamatan Sagalaherang dan
Kecamatan Cisalak.
Untuk mensukseskan usaha-usaha pembangunan dan pembaruan,
Kabupaten Subang dibagi ke dalam tiga daerah pembangunan yang masing-masing
mempunyai corak dan sifat pengarahan tersendiri yaitu sebagai berikut.
(a) Daerah Pembangunan A, yang mencakup Kecamatan Cisalak,
Sagalaherang. Subang, dan Kalijati. Persiapan serta pengarahan daerah ini
ditujukan pada usaha-usaha perkebunan dan perikanan darat yang akhirnya
89
harus mengarah pada perkembangan industri yang menunjang pada usaha-
usaha perkebunan dan perikanan di daerah tersebut.
(b) Daerah Pembangunan B, yang mencakup Kecamatan Puwadadi, Pagaden,
Binong, dan Pabuaran. Pengarahannya dititikberatkan pada usaha-usaha
peningkatan produksi pangan, khususnya beras, palawija, dan hasil-hasil
ternak melalui intensifikasi areal pertanian.
(c) Daerah Pembangunan C, mencakup daerah-daerah Kecamatan
Pusakanagara. Pamanukan, dan Ciasem. Persiapan dan pengarahannya
dititikberatkan pada kegiatan-kegiatan industri, perdagangan, dan perikanan
(laut) dengan pusat kegiatannya di Pamanukan.
2.2.3 Sejarah singkat Kabupaten Subang
Keberadaan Subang yang kini menjadi salah satu kabupaten di keresidenan
Purwakarta pada dasarnya tidak terlepas dari pertumbuhan Kabupaten Karawang
dan Purwakarta. Secara historis ketiga kabupaten tadi mulanya merupakan satu
kesatuan kabupaten, yaitu kabupaten Karawang (lama), yang kemudian terpecah
menjadi tiga wilayah Daerah Tingkat II yaitu Kabupaten Karawang, Kabupaten
Purwakarta, dan Kabupaten Subang.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1954, Kota Subang menjadi
pusat Pemerintahan Sipil Karawang Timur yang berada di bawah pimpinan Patih.
Lalu berdasarkan surat Keputusan Presiden No. 12 tanggal 29 Januari 1949,
Kabupaten Karawang dibagi menjadi dua kabupaten yakni kabupaten Karawang
yang beribukota Karawang, dan kabupaten Purwakarta ibukotanya di Subang. Pada
tahun 1950 berdasarkan pasal 2 ayat 2 UU No. 14/1950 Subang ditetapkan sebagai
90
ibukota Kabupaten Purwakarta. Selanjutnya berdasarkan UU No. 4/1968 terjadi
perubahan status Kabupaten Purwakarta dibagi menjadi dua yaitu Kabupaten
Subang dengan ibukota di Subang dan Kabupaten Purwakarta dengan ibukota di
Purawakarta. Bupati pertama di Subang, ketika wilayah Subang masih termasuk ke
dalam kabupaten Purwakarta, adalah Danta Ganda Wikarma (1948-1949), dan
dilanjutkan berturut-turut oleh: R.S. Sunarya Ronggowaluyo, Rd. R. S.
Hadipranoto (1950-1957), R. Ganda Wijaya (1957-1959), Tb. Mh. Hasan
Sutawinangun (1959-1966), dan R.H. Atju Syamsudin (1967-1978).
Pada masa pemerintahan Rd. H. Atju Syamsuddin, status wilayah Subang
berkembang menjadi wilayah kabupaten, dengan demikian beliaulah bupati
pertama Kabupaten DT II Subang setelah berpisah dengan Kabupaten Purwakarta.
Kemudian diteruskan oleh Ir. Sukanda Kartasasmita (1978-1988), Drs. Oman
Sachroni (1988-1993), Drs. H Abdul Wachyan (1993-1998), Drs. Rohimat (1998-
2003), dan Drs. Eep Hidayat, M.Si (2003-sekarang).
Kabupaten Subang terletak di bagian utara Propinsi Jawa Barat, sebelah
selatan berbatasan dengan kabupaten Bandung, sebelah barat dengan kabupaten
Purwakarta dan Karawang, sebelah utara dibatasi oleh Laut Jawa, dan sebelah
timur berbatasan dengan Kabupaten Indramayu. Secara Geografis terletak di antara
107°31 - 107°54 Bujur Timur dan 6°11 - 6°49 Lintang Selatan.
Luas wilayah Kabupaten Subang ialah 205.176,95 hektar atau sejumlah
4,46% dari luas Jawa Barat, terbagi menjadi 4 wilayah pembangunan yaitu wilayah
I Subang, wilayah II Pamanukan, wilayah III Purwadadi, dan wilayah IV
Jalancagak. Secara administrasi Pemerintahan Kabupaten Subang mencakup 4
wilayah Pembantu Bupati yaitu Wilayah I Subang terdiri atas 4 kecamatan, dan 53
91
desa/kelurahan; Wilayah II Pamanukan terdiri atas 4 kecamatan, dan 94
desa/kelurahan; Wilayah III Purwadadi terdiri atas 8 kecamatan, dan 49
desa/kelurahan; dan Wilayah IV Jalancagak terdiri atas 4 kecamatan, dan 54
desa/kelurahan. Dari keempat wilayah tersebut daerah yang potensial adalah daerah
perkebunan (Bapeda Subang, 2010:5).
Secara fisik, wilayah kabupaten Subang memiliki tiga zone daerah dengan
ketinggian antara 0 - 1.500 meter di atas permukaan laut. Dengan demikian wilayah
Subang terdiri atas daerah pantai, pedataran, dan pegunungan. Yang termasuk ke
dalam daerah pantai, yaitu Kecamatan Pamanukan, Blanakan, Pusakanagara,
Compreng, dan Ciasem. Yang termasuk ke dalam daerah pedataran, yaitu
kecamatan Pabuaran, Patokbeusi, Purwadadi, Kalijati, Cipeundeuy, Subang,
Cijambe, Cibogo, Pagaden Cipunagara, dan Binong, sedangkan yang termasuk
daerah pegunungan, yaitu Jalancagak, Sagalaherang, Cisalak, dan Tanjungsiang
(Bapeda Subang, 2010:7). Secara umum daerah Subang beriklim tropis sejuk,
dengan Curah hujan daerah yang selatan paling tinggi (3000-4000 mm/tahun), di
daerah pedataran curah hujannya 2500 mm/tahun, sementara curah hujan paling
rendah adalah daerah utara.
Penduduk Kabupaten Subang pada tahun 2012 berjumlah 3.241.330 jiwa,
dengan penyebarannya daerah utara sebanyak 36%, daerah pedataran sebanyak
52%, dan daerah selatan sebanyak 12%. Mata pencaharian penduduk pada
umumnya petani, buruh tani, dagang/industri, pegawai negeri, perikanan darat/air
tawar, nelayan, dan lain-lain. Penduduk kabupaten Subang umumnya beragama
Islam, serta sebagian kecil beragama Kristen, Hindu, dan Buddha.
92
2.2.4 Pengaruh budaya Hindu, Buddha, dan Peradaban Islam
2.2.4.1 Pengaruh budaya Hindu dan Buddha
Perkembangan agama Hindu di Kabupaten Subang ditandai dengan
beberapa temuan benda arkeologi, antara lain dua buah patung nandi (sapi jantan),
mangkuk perunggu, cawan, batu pipisan, manik- manik, patung maitreya, dan
bokor. Benda-benda tersebut ditemukan di Sagalaherang dan dibeberapa tempat di
Kabupaten Subang. Dengan demikian wilayah Sagalaherang diduga sebagai pusat
penyebaran agama Hindu.
Dua buah patung nandi yang menjadi koleksi Museum Daerah Kabupaten
Subang merupakan replika patung nandi yang telah menjadi koleksi Museum
Negeri Sri Baduga Bandung. Dua buah patung tersebut terbuat dari batu andesit
atau batu kali. Sedangkan pembuatan patung tersebut masih sangat sederhana.
Nandi merupakan hewan yang sangat disakralkan dalam agama Hindu. Menurut
keyakinan penganut agama Hindu, nandi merupakan tunggangan Dewa Siwa, dari
dunia menuju nirwana. Patung nandi biasanya disimpan di depan candi. Dengan
demikian bisa ditarik kesimpulan bahwa agama Hindu yang berkembang di
Sagalaherang atau di wilayah Subang berliran Sivaistik.
Di daerah Kasomalang ada temuan lukisan telapak kaki kanan pada sebuah
batu. Melihat kebiasaan yang terjadi pada Hinduisme, yang biasa digambarkan
adalah telapak kaki Dewa Wisnu. Di daerah Gunung Burangrang yaitu perbatasan
daerah Subang, Bandung, Purwakarta, pernah ditemukan peninggalan berupa
patung Ganesha dan Yoni yang terdapat pada Sivaisme dalam ajaran Hindu.
Peninggalan berbentuk sebuah patung Budhistis atau patung Maitreya
ditemukan di Batu Kapur Kecamatan Sagalaherang. Patung Maitreya dikenal
93
karena pada mahkotanya terdapat patung Amitabha. Baik Maitreya maupun
Amitabha adalah tokoh penting dalam kepercayaan Buddha Mahayana. Maitreya
dianggap sebagai manusia Buddha untuk dunia yang akan datang sebagai pengganti
dari manusia Buddha Cakyamuni.
Dari teori yang dikemukakan oleh para sarjana Belanda dan Indonesia
tentang masuknya pengaruh India ke Indonesia, ada satu persamaan pendapat
bahwa pengaruh India masuk melalui jalan pantai. Dalam hal ini pelabuhan
memegang peranan penting. Kemungkinan besar pengaruh Hinduisme dan
Budhisme yang masuk ke daerah Subang berasal dari pelabuhan, terutama
pelabuhan yang berada di bagian utara (Bapeda Subang, 2010:7).
Di Jawa Barat kita mengenal adanya tiga kerajaan besar yang telah
mendapat pengaruh Hindu. Kerajaan pertama ialah Kerajaan Tarumanegara. dari
prasasti yang ditinggalkan dapat ditarik kesimpulan bahwa kerajaan Tarumanegara
merupakan kerajaan yang sangat teratur. Artinya raja yang menguasai kerajaan
Tarumanegara berhasil menciptakan ketenteraman dan kedamaian dalam
kerajaannya. Kemudian abad ke-8 M muncul suatu kerajaan di daerah Kawali,
yaitu kerajaan Galuh. Pada masa itu kerajaan Tarumanegara sudah tidak ada lagi.
Besar kemungkinan wilayah Subang pada masa itu masuk daerah kekuasaan Galuh
(Bapeda Subang, 2010:8).
Dari data-data yang didapatkan tentang kerajaan Tarumanegara yang
berpusat di Bekasi dan kerajaan Galuh berpusat di Kawali, maka daerah Subang
terletak di antara kedua pusat kerajaan tersebut. Dengan demikian daerah Subang
Sudah dikenal pada waktu itu. Hal itu didasarkan pada bukti adanya jalan raya yang
menghubungkan Galuh-Pajajaran yang dikenal dengan highway. Highway pada
94
saat itu dari mulai Kawali Ciamis sampai ke Bogor, sedangkan jalan Sagalaherang
sampai ke Tanjungsiang dikenal dengan jalan padati.
Sagalaherang sebagai daerah yang telah mempunyai sejarah yang sudah tua,
terletak ditepi jalan raya dari ibukota Pakuan ke Kawali sebelah timur kerajaan
Highway dapat disamakan dengan jalan desa sekarang. Keadaannya cukup baik
untuk dilalui oleh pejalan kaki dan penunggang kuda. Kendaraan padati sudah
dipakai tetapi belum merupakan kendaraan untuk umum. Orang yang bepergian
belum bisa menggunakan kendaraan roda dua atau empat. Jembatan penyeberangan
yang melintasi sungai-sungai besar belum ada, maka penyebe- rangan dilakukan
dengan menggunakan rakit atau perahu.
Ke arah barat dari ibukota Pakuan, terbentang jalan sampai ke kota
pelabuhan Banten dengan melalui Jasinga dan Lebak Ke arah timur melalui
Cibarusa, Tanjungrasa, Karawang, Kosambi, Cikao, Purwakarta, Wanayasa.
Sagalaherang, Cisalak, Conggeang, Ujungjaya, Karangsembung, Sindangkasih,
Majalengka, Talaga, Panjalu, dan Kawali.
Pada masa pemerintahan Pajajaran, daerah Subang bagian selatan
mempunyai peranan penting dibandingkan dengan daerah Subang bagian utara
yang masih berawa-rawa. Jalan raya yang melalui Sagalaherang dan Cisalak itu
merupakan urat nadi lalu lintas antara daerah bagian barat dengan bagian timur
Pajajaran. Para padagang. pelancong, peziarah, dan petugas negara semuanya
melalui highway. sehingga penduduk di daerah pegunungan Subang bagian selatan
lebih banyak berhubungan dengan orang-orang dari luar daerah itu juga lebih
banyak dikunjungi oleh pendatang yang kemudian menetap, karena ia tertarik oleh
95
keadaan daerah itu yang berudara nyaman, pemandangan alam yang indah dan air
jernih yang selalu mengalir.
Situs Talun secara administratif termasuk wilayah Kampung Talun, Desa
Talagasari, Kecamatan Sagalaherang. Situs Talun berada di ujung selatan Dusun
Talun. Dengan mengamati lokasi situs mendapat gambaran bahwa situs Talun
merupakan lahan tanah datar di puncak bukit kecil. Kondisi lokasi situs berupa
lahan kering yang ditumbuhi rumput. Sehari-hari lahan itu dimanfaatkan untuk
menggembalakan ternak. Sedangkan sekeliling bukit berupa cekungan dan kolam
untuk memelihara ikan.
Menurut folklor lisan masyarakat setempat, lokasi tersebut merupakan
bekas alun-alun. Fakta arkeologis yang terdapat di situs tersebut berupa struktur
bata kuna dengan ukuran panjang 31 cm, lebar 22 cm, tebal 8 cm, dan fragmen bata
kuna yang ditemukan dalam keadaan berserakan. Tinggalan ini sudah diketahui
masyarakat sejak lama. Penggalian yang dilakukan oleh kelompok masyarakat pada
awal tahun 2006 telah menampakan struktur bangunan sisi barat, meliputi pula
sudut barat daya dan barat laut serta bagian sisi utara dan sisi selatan. Panjang
struktur sisi barat 7,80 meter terdiri dari dua bata.
Berdasarkan fakta tersebut dilakukan ekskavasi yang bertujuan untuk
penyelamatan data yang juga mencari gambaran tentang denah bangunan, jenis
bangunan, dan masa berdirinya bangunan. Salah satu kotak ekskavasi menemukan
konsentrasi bata yang sudah tidak tersetruktur, dan di sisi lain juga ditemukan
beberapa bata dalam keadaan tertata secara mendatar.
Temuan struktur bata yang paling utuh ditemukan di kotak ekskavasi yang
lain. Posisi bata dalam keadaan berdiri (rolak). Di kotak ekskavasi yang lainnya
96
ditemukan posisi bata dalam keadaan mendatar (lantai). Jejak struktur lantai
tersebut masih ditemukan di kotak yang lain tapi sudah tidak utuh.
Temuan penting lainnya berupa dua keping fragmen keramik asing.
Temuan pertama merupakan keramik Cina masa dinasti Ming (abad XIV - XVII)
berasal dari bentuk mangkuk. Keramik kedua ditemukan di kotak ekskavasi yang
lain, fragmen keramik ini berasal dari Cina masa dinasti Tang (abad VII-X) dari
bentuk buli-buli.
Berdasarkan data yang telah terkumpul melalui pengamatan permukaan dan
ekskavasi dapat disimpulkan bahwa bata yang telah tersingkap merupakan sisi
barat suatu bangunan. Bangunan tersebut berdenah bujur sangkar berukuran 7 m x
7 m, berbentuk semacam batur (pendapa). Sudut bangunan yang sudah tidak utuh
lagi hanya dibagian timur laut.
Di sebelah timur bangunan ini terdapat unit bangunan lagi. Bagian yang
telah berhasil ditemukan hanya sebagian pondasi sisi barat. Bentuk dan ukuran
denah bangunan belum dapat diketahui karena belum terlihat bagian-bagian
penting lainnya. Tata letak bangunan bila dikaitkan dengan batur (pendapa) yang
sudah tampak, agak bergeser ke selatan.
Artefak keramik yang telah ditemukan menunjukan bahwa bangunan
tersebut berasal dari kurun waktu antara abad VIII dan abad XVII. Di Jawa Barat
pada kurun waktu tersebut merupakan masa kerajaan Sunda. Apabila dikaitkan
dengan beberapa data arkeologis masa kerajaan Sunda, situs Talun merupakan
bekas pusat pemerintahan di bawah raja.
Situs Patenggeng secara administratif berada di Desa Margasari, Kecamatan
Kalijati, benda tinggalan dari situs Patenggeng banyak ditemukan berupa pecahan-
97
pecahan keramik Cina yang secara garis besar dapat digolongkan pada dua jenis
yaitu: (a) Keramik dari Dinasti Han (206 Sebelum Masehi - 220 Masehi), (b)
Keramik dari abad XIII sampai abad XVI. Di antara keramik Cina yang ditemukan
banyak sekali yang harganya mahal. Keramik-keramik jenis ini tidak bisa dimiliki
oleh rakyat biasa, tetapi merupakan barang kebanggaan para penguasa pada masa
itu.
Di bagian barat daerah ini terdapat sebuah makam yang dianggap keramat
oleh penduduk. Dalam laporan peneliti tim arkeologi dikatakan bahwa makam itu
adalah Makam Brajadikeling atau Raden Kalangsungging. Raden Kalangsungging
adalah penguasa wilayah Patenggeng.
Menurut penelitian tim Balai Arkeologi Bandung tahun 2004 kuat dugaan
situs Patenggeng telah berkembang sebagai sebuah situs pemukiman yang telah
dihuni sejak zaman prasejarah dan terus berlanjut sampai abad XVI. Secara
keseluruhan masing-masing temuan yang berhasil didapatkan selama kegiatan
penelitian pada bulan Nopember 2004.
Abad XV Masehi di dalam sejarah Indonesia merupakan zaman Kerajaan
Majapahit. Sedangkan kerajaan Sriwijaya sudah tidak berkuasa lagi. Hubungan
dagang pada waktu itu terjadi antara kerajaan Majapahit dengan kerajaan Cina.
Pada abad itu pula hubungan Majapahit dengan kerajaan Sunda terjadi keretakan
sebagai akibat Perang Bubat yang terjadi pada tahun 1357. Pada peristiwa tersebut
raja Sunda, Sri Maharaja dan pasukannya gugur, tentu saja kejadian tersebut akan
melemahkan kerajaan Sunda.
Kalau kita kaji peristiwa tersebut mungkin pada zaman dahulu Patenggeng
merupakan daerah kekuasaan kerajaan Galuh. Setelah Sri Maharaja meninggal,
98
kerajaan dipegang oleh Bunisora. Dalam keadaan lemah maka kerajaan tidak dapat
berhubungan dengan kerajaan Cina. Bersamaan dengan kejadian itu maka barang-
barang kerajaan Cina pun menjadi hilang dari peredaran di daerah kerajaan.
Setelah pusat kekuasaan politik dan kerajaan pindah dari Galuh ke Pakuan,
maka Patenggeng pun berada di bawah kekeuasaan Pakuan Pajajaran. Setelah
kerajaan Pajajaran berkembang lalu mengadakan hubungan dengan kerajaan Cina
pada abad XV. Seperti kerajaan lainya di Indonesia, Patenggeng juga diperkirakan
runtuh setelah agama Islam masuk. Islam mulai masuk pada akhir abad XVI
melalui daerah Subang selatan yang berpusat di Sagalaherang (Bapeda Subang,
2005:20).
2.2.4.2 Islam di daerah Subang
Pada umumnya penyebaran agama Islam di Indonesia berlangsung secara
damai (penetrasion pasifique). Jika proses masuknya Islam ke Jawa Barat
berlangsung damai, maka timbul pertanyaan "Mengapa agama Islam mudah
diterima oleh rakyat?" Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu mengetahui
secara singkat mengenai kepercayaan masyarakat pada waktu itu, terutama pada
masa menjelang berakhirnya kekuasaan Pajajaran. Gambaran mengenai hal ini
dapat kita lihat pada kepercayaan masyarakat Baduy sekarang, yang bisa dianggap
sebagai sisa masyarakat Pajajaran 400 tahun yang lalu.
Demikianlah keadaan kepercayaan rakyat Pajajaran dengan bercermin
kepada masyarakat Baduy sekarang pada masa mereka mulai berkenalan dengan
Islam. Dengan kepercayaan yang bersifat monotheistis, maka agama yang
99
diperkenalkan kepada mereka oleh para mubaligh Islam tidak dipandang lagi
sebagai suatu ajaran yang asing.
Pada pertengahan abad XVI ke Sagalaherang datang seorang pengelana
yang masih muda bersama beberapa orang pengikutnya, mereka berasal dari
Talaga. Pemuda itu memastikan untuk menetap di Sagalaherang di tengah-tengah
masyarakat yang berlainan kepercayaan. Mereka beragama Islam sedangkan
masyarakat setempat beragama Hindu yang merupakan warisan dari nenek
moyangnya. Kemudian mereka menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat di
tempat kediamannya yang baru itu.
Pemuda itu bernama Aria Wangsa Goparana yang merupakan putera dari
Sunan Wanapen. raja di Talaga. Menurut silsilah ia merupakan putera Sunan
Ciburuang putera Sunan Wana Wangsaperi (Ciburuang), Ciburangrang dari
Limbangan. Bagaimanapun juga Goparana adalah putera Talaga keturunan Ratu
Galuh dan Siliwangi (raja Pajajaran). Sebagai seorang pemuda yang suka
memikirkan soal hidup dan mati, ia tidak merasa puas terhadap agama yang
diwariskan oleh leluhurnya. Ia hidup semasa dengan Sunan Gunung Jati di
Cirebon.
Atas kegiatan Sunan Gunung Jati dan para pembantunya, agama Islam
menyebar di kalangan rakyat Jawa Barat bagian timur yaitu Kuningan, Talaga.
Majalengka, Sumedang, Garut, Galuh, di Talaga Ana. Wangsa Goparana
merupakan orang yang pertama kali memeluk Agama Islam. la melihat masa
depan kehidupannya penuh dengan kegiatan sesuai dengan semangat pengorbanan
untuk menyebarkan Agama Islam di tempat-tempat yang belum dikenalnya, la
ingin menyumbangkan tenaganya untuk membantu pekerjaan Sunan Gunung Jati,
100
menarik rakyat Jawa Barat ke dalam lingkungan masyarakat Islam. Ia mengetahui
bahwa bagian timur Jawa Barat dari Indramayu sampai Galuh sudah berangsur-
angsur menerima agama baru tersebut. Dengan demikian ia memutuskan untuk
memasuki daerah yang rakyatnya belum mengenal agama Islam. Ia menempuh
jalan raya dari Talaga menuju ke daerah pegunungan di sebelah utara Gunung
Tangkuban Parahu. Aria Wangsa Goparana mendekati daerah pusat kerajaan
Pajajaran. Perpindahannya ke Segalaherang itu dilakukannya sesudah tahun 1530
(Bapeda Subang, 2010:20).
Aria Wangsa Goparana memasuki tempat yang belum terisi antara
Karawang dan Sindangkasih (Majalengka), yang di kedua tempat tersebut telah ada
mubaligh Islam. Pemilihan tempat itu telah dilakukan dengan perhitungan yang
tepat sekali. Hal itu dibuktikan oleh kenyataan berhasilnya pelaksanaan penyebaran
Islam di daerah Subang, Pagaden. Purwakarta. Cianjur. Sukabumi, dan Limbangan.
Aria Wangsa menerima ajaran Islam dan Sunan Gunung Jati yang mulai dalang ke
Cirebon pada tahun 1470 (Bapeda Subang, 2010:20).
Sebagai pengikut ajaran Sunan Gunung Jati, Aria Wangsa Goparana
mempunyai bahan pengetahuan yang cukup luas mengenai Islam untuk bertindak
sebagai pelopor penyebar agama baru itu di Jawa Barat. Pada waktu itu daerah
Subang jumlah penduduknya belum banyak. Penduduk yang terbanyak terdapat di
bagian selatan, daerah pegunungan dengan jalan raya Pajajaran di sekitar
Segalaherang dan Cisalak.
Puluhan tahun lamanya Aria Wangsa Goparana memberikan bimbingan
dalam soal keagamaan kepada orang-orang yang datang untuk meminta
penerangan. Ia mengetahui isi kepercayaan iama sehingga ia dapat
101
membandingkannya dengan isi ajaran Islam. Ia selalu berusaha untuk mencari titik-
titik temu agar lebih dapat memberikan pengertian tentang suatu persoalan.
Pendidikan keagamaan putera-puteranya mendapat perhatian khusus dari Aria
Wangsa Goparana. Mereka akan dapat membantu pekeijaan ayah mereka dalam
melaksanakan dakwah Islam di berbagai tempat baik yang dekat maupun yang
jauh. Aria Wangsa Goparana memandang pekerjaannya sebagai suatu tugas suci
yang dipercayakan Tuhan kepadanya. Dalam menyebarkan agama Islam ia hanya
berdasarkan pada keimanan.
Kepercayaan kepada Sang Hyang Widi yang sudah dikenal masyarakat
setempat, oleh Aria Wangsa Goparana disalurkan kepada keimanan kepada Allah
dengan mengajarkan shalat yang lima waktu dalam sehari semalam. Kemudian
secara bertahap diajarkan pula rukun Islam lainnya. Setelah rasa keimanan mulai
menyinari kalbu para muslim baru di Segalaherang. ajaran-ajaran Islam lanjutan
dengan mudah dapat diterima dan dilaksanakan.
Aria Wangsa Goparana berputera lima orang, yaitu: Entol Wangsa
Goparana, Wiratanudatar, Yudanegara, Cakradiparana, dan Yudamanggala. Salah
seorang puteranya pindah ke Limbangan, menetap di sana menjadi cikal-bakal
keluarga Limbangan. Wiratanudatar juga meninggalkan Segalaherang. Bersama
keluarganya, seorang saudara dan tiga puluh orang kepala keluarga lainnya, ia
mencari tempat kediaman baru di seberang Sungai Citarum. Untuk sementara
waktu mereka tinggal di Cibalagung, tetapi kemudian mereka menetap di Cijegang
(Majalaya. Cikalongkulon) di sebelah selatan Sungai Cikundul. Kepindahan itu
merupakan tindakan lanjutan yang telah dirintis oleh ayahnya dengan
meninggalkan kota Talaga.
102
Daerah antara Sungai Citanim dan Gunung Gede pada waktu itu rnasih
kosong, hampir tidak berpenduduk, berhutan lebat yang belum terjamah tangan
manusia. Kepindahan itu dijiwai oleh semangat mengembara, semangat perintisan,
membuka daerah bani untuk selanjutnya membentuk masyarakat vang hidup atas
dasar keimanan.
Sagalaherang menjadi pangkalan titik tolak penyebaran tenaga
pembangunan masyarakat Jawa Barat sejak abad ke-XVI. Putera-putera Aria
Wangsa Goparana baik yang menetap di Sagalaherang maupun yang pindah ke
Limbangan dan Cikundul (Cianjur), melahirkan keturunan yang banyak menduduki
posisi-posisi penting dalam urusan kemasyarakatan di Jawa Barat, misalnya pada
bidang pemerintahan dan kerohanian. Sesudah Indonesia merdeka juga pada bidang
perusahaan dan pertahanan. Sagalaherang pada masa lalu pernah memegang
peranan dengan bukti historis terdapat di Segalaherang, yaitu adanya makam Aria
Wangsa Goparana di Nangkabeurit.
2.3 Masa Kolonialisme Belanda dan Inggris
Pada masa kebesaran kerajaan Pajajaran, daerah Subang termasuk wilayah
kerajaan tersebut. Sarana komunikasi di daerah Subang bagian utara yang penting
diantaranya berupa jalan yang melalui Pamanukan dan Ciasem yang akhirnya juga
bersambung dengan jalan raya Pajajaran di sebelah selatan di Karawang. Baik jalan
yang melalui Pamanukan ke Ciasem maupun jalan yang dikenal dengan nama jalan
raya Pajajaran, sebagai sarana perhubungan mempunyai arti penting bagi
perkembangan bidang politik, sosial, dan ekonomi daerah Subang yang terletak di
antara daerah Sumedang dan Karawang.
103
Peristiwa-peristiwa yang terjadi baik di Sumedang maupun di Karawang
mempunyai pengaruh besar terhadap proses perkembangan sejarah daerah Subang.
Karena itu dalam menelusuri sejarah Subang, kita tidak bisa terlepas dari tinjauan
terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di daerah tersebut, khususnya Sumedang
sebagai suatu pusat kekuasaan.
Seperti telah kita ketahui, kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579/1580
karena serangan tentara Banten. Waktu itu yang memerintah di Banten ialah
Maulana Yusuf. Setelah kerajaan Pajajaran runtuh, munculah kerajaan baru yaitu
Sumedang Larang. Kerajaan tersebut dianggap sebagai penerus Kerajaan Pajajaran.
Wilayah Sumedang Larang terbentang antara Sungai Cisadane di sebelah barat
sampai ke Cipamali di sebelah timur. Tetapi tidak termasuk dalam wilayah tersebut
ialah bekas ibukota Pakuan Pajajaran dan sekitarnya yang telah jatuh di bawah
kekuasaan Banten. Cirebon berada di bawah pemerintahan Panembahan Ratu
daerah Galuh. Dari keterangan tersebut, jelaslah bahwa daerah Subang, setelah
runtuhnya kerajaan Pajajaran merupakan salah satu daerah termasuk wilayah
Sumedang Larang. Yang memerintah Sumedang Larang antara kira-kira tahun
1580-1608 ialah Geusan Ulun.
Menurut Asikin Widjajakoesoema dan R.. Moehamad Saleh, salah seorang
putera Geusan Ulun dengan ratu Harisbaya yaitu Raden Rangga Nitinagara,
merupakan tokoh yang menurunkan keluarga Wangsatanu yang memerintah
sebagai bupati-bupati di Pagaden. Sedangkan menurut P. De Haan, pada tahun
1663 tersebutlah seorang tokoh namanya Kentol Wasentaka putera Kyai
Anggawangsa yang memerintah Pamanukan. Dalam Babon Sejarah Loeloehoer
Sumedang, Raden Anggawangsa tercatat sebagai putera Santoaan Wirakusuma dan
104
Santosaan Wirakusuma ini tiada lain adalah salah seorang adik dan Geusan Ulun.
Baik Geusan Ulun maupun Santosan Wirakusuma adalah putera Pangeran Santri
(1530-1579). Dengan demikian Anggawangsa dengan Nitingara saudara sepupu
(misan). Dari keterangan ini dapat diketahui bahwa bupati-bupati yang memerintah
di Pagaden dan Pamanukan mempunyai hubungan kekeluaigaan dengan para
bupati Sumedang Larang.
Pada tahun 1620 Sumedang Larang ada di bawah pengaruh Mataram. Pada
tahun 1628 dan 1629, Sultan Agung mengerahkan pasukan (angkatan) perangnya
untuk mengusir VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) dari Batavia.
Penyerangan terhadap Batavia ini melibatkan penduduk Priangan dalam
peperangan. Penduduk yang masih kuat memanggul senjata di bawah pimpinan
umbul (senapati) masing-masing, dikerahkan untuk memperkuat pasukan Mataram
Yang memimpin para umbul dari Priangan menyerang kedudukan VOC di Batavia
ialah Dipati Ukur. Mereka mula-mula berkumpul di Karawang dan dari sana
melanjutkan perjalanannya menuju Batavia untuk merebut kota tersebut dari tangan
VOC.
Pasukan Mataram yang hendak menyerang Batavia bertolak dengan kapal
dari pelabuhan Tegal, mereka menyusur pantai utara Pulau Jawa. Setelah sampai di
muara Sungai Cipunagara. sebagian dari pasukan Mataram mendarat di sana.
Mereka menempuh jalan darat melalui Pamanukan-Ciasem-Karawang menuju
Batavia.
Pada waktu itu persenjataan VOC lebih kuat. maka penyerangan pasukan
Mataram itu berakhir dengan kegagalan. Faktor lain yang menyebabkan lemahnya
pasukan Mataram yaitu karena kekurangan bahan makanan. Sehingga mereka
105
mengalami kelaparan. Lalu mereka terpaksa mengundurkan diri. tetapi kebanyakan
dari mereka itu tidak berani kembali ke Mataram karena kuatir dimurkai atau
mendapat hukuman dari Sultan Mataram. Mereka membubarkan diri dan terus
menetap di daerah Subang. Sungai tempat mereka menyeberang diberinya nama
Kali Sewu. Untuk menghilangkan identitas mereka sebagai pasukan Mataram,
pusaka mereka yang mungkin berupa panji kebesaran pasukan, dikuburkan di suatu
tempat yang diberi nama Pusakaratu.
Setelah penyerangan terhadap Batavia tahun 1629 mengalami kegagalan,
Sultan Agung menyadari akan pentingnya suatu daerah sebagai sumber bahan
makanan atau daerah penunjang untuk memperkuat perjuangan tentaranya dalam
menyerang Belanda di Batavia. Daerah yang terpilih untuk keperluan ini ialah
Karawang dan Subang. Tetapi daerah tersebut terutama Karawang harus
dibersihkan dahulu dan pengaruh Banten.
Yang diberi tugas oleh Sultan Agung untuk membersihkan daerah
Karawang dari pengaruh Banten ialah Aria Surenggono dari Wirasaba karena itu ia
dikenal sebagai Ana Wirasaba. Ia bertolak dengan kapal dari Tegal melalui Brebes,
Cirebon, Indramayu, dan sampailah di muara Sungai Cipunagara. Di tempat itu
bersama anak buahnya berlabuh, kemudian ia menempuh jalan darat menuju daerah
Karawang.
Dalam perjalanan itu ia sampai di suatu tempat yang banyak pohon
asemnya Tempat ini diberi nama Ciasem. Di Ciasem mereka beristirahat untuk
beberapa waktu. Di sini ditinggalkannya sebanyak 40 orang tentara Mataram.
Penempatan tentara di Ciasem ini dimaksudkan, untuk menjaga serangan musuh
dari belakang dan juga untuk cadangan jika sewaktu-waktu kedudukan mereka di
106
daerah Karawang membutuhkan bala bantuan. Pusat kekuasaan Ana Wirasaba di
Karawang ialah Waringinpitu Aria Wirasaba ini kemudian diangkat menjadi
Bupati. Yang ditugaskan oleh Sultan Agung untuk menobatkannya ialah Rangga
Gede. Penobatan tersebut terjadi pada tahun 1633.
Dengan demikian di daerah Subang sebelah utara khususnya Ciasem
terdapat tentara Mataram, yaitu sebagian dari anak buah Aria Wirasaba. Sedangkan
daerah Pagaden dan Pamanukan ada di bawah pemerintahan bupati-bupati
keturunan Sumedang menobatkannya ialah Rangga Gede. Penobatan tersebut
teijadi pada tahun 1633 Dengan demikian di daerah Subang sebelah utara
khususnya Ciasem terdapat tentara Mataram, yaitu sebagian dan anak buah Ana
Wirasaba. Sedangkan daerah Pagaden dan Pamanukan ada di bawah pemerintahan
bupati-bupati keturunan Sumedang.
Daerah Subang yang meliputi Pamanukan, Ciasem dan ke selatan antara
lain Segalaherang dan sekitarnya, termasuk ke dalam prefektur Karawang.
Penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan pertahanan yang dilakukan oleh
H.W. Daendels sudah tentu memerlukan biaya, padahal hubungan dengan negeri
Belanda terputus karena blokade Inggris. Hal ini mengakibatkan H.W. Daendels
tidak mungkin mengharapkan bantuan keuangan dan pemerintah di Negeri
Belanda. Karena itu H.W. Daendels dengan berbagai cara berusaha untuk
mendapatkan uang di antaranya dengan jalan menjual tanah kepada pihak swasta.
Di antara tanah yang telah dijual oleh H.W. Daendels ialah Jasinga, Basuki,
Panarukan, dan Probolinggo. Dengan demikian mulailah sejarah tanah-tanah
swasta di Jawa. Penduduk yang menempati daerah tersebut juga turut terjual. Nasib
mereka tergantung kepada para pemilik tanah. Kehidupan penduduk di sana
107
umumnya sangat menyedihkan, mereka diperlakukan secara sewenang-wenang
oleh pemilik tanah. Nasib buruk yang dialami oleh orang-orang yang menetap di
tanah swasta itu kemudian menimpa pula penduduk daerah Subang, pada masa
pemerintahan Thomas Stamford Raffles (1811-1816).
Gubernur Jenderal Jansens (1811), pengganti dari H.W. Daendels (1808-
1811), akhirnya pada Agustus 1811 terpaksa menandatangani kapitulasi tentang
sebagai akibat dari kekalahan-kekalahan yang diderita tentara Belanda melawan
Inggris. Dengan kapitulasi ini. Belanda menyerahkan kekuasaannya atas Jawa
(Indonesia) kepada Inggris.
Tanggal 29 Agustus 1811 Inggris mengeluarkan proklamasi pertama
tentang berdirinya kekuasaan Inggris di Indonesia. Kemudian tanggal 11
September dikeluarkan pernyataan bahwa Jawa dan semua daerah taklukannya
(Jawa en onderhoorightien) menjadi milik The East India Company (EIC), suatu
kongsi dagang Inggris.
Kongsi dagang EIC ini berpusat di Kalkuta dengan ptmpinannva yang
berpangkat Gubernur Jenderal Ketika itu yang menjadi Gubernur Jenderal ialah
Lord Mrnto. Untuk memerintah Indonesia diangkat Sir Thomas Stamford Raffles
dengan pangkat Letnan Gubernur. Pengangkatannya itu terjadi pada tanggal 11
September 1811.
Untuk mengatur kembali pemerintahan, maka pada tanggal 18 Oktober
1811 The Order of the 18th October 1811 mengenai konstitusi pemerintahan di
Jawa. Jawa dibagi atas 16 keresidenan dengan maksud untuk lebih
menyederhanakan dan memudahkan jalannya pemerintahan. Daerah Subang ketika
itu termasuk ke dalam administrasi Batavia dan Karawang (The Batavia Regencies
108
and Karawang). Batas daerah Karawang ketika itu antara Sungai Citarum dan
Sungai Cimanuk. Dalam Daerah Karawang ini. daerah Subang terdiri dari distrik-
distrik Pamanukan dan Ciasem. Kemudian distrik-distrik ini termasuk bukan saja
kota Pamanukan dan Ciasem sendiri, tetapi juga Subang, Pagaden, Segalaherang,
dan Batusirap. Semuanya ditempatkan di bawah Asissten Residen yang
berkedudukan di Indramayu. Pada instansi terakhir Asisten Residen ini
bertanggung jawab lagi kepada Residen William Ofifers di Karawang.
Pemerintahan Inggris mengalami banyak kesulitan, terutama dalam segi
keuangan. Raffles mempunyai bermacam-macam cara untuk mendapatkan sumber-
sumber pemasukan keuangan bagi cara untuk mendapatkan sumber-sumber
pemasukan keuangan bagi pemerintah. Di antaranya dengan monopoli penjualan
garam dan bermacam-macam pajak. Dari tanah-tanah saja Raffles mengadakan
landrente dan penjualan tanah-tanah. Khusus yang terakhir ini menyangkut antara
lain nasib daerah Subang.
Selama awal tahun 1812, krisis keuangan meningkat. Untuk mengatasi
krisis keuangan yang dihadapi perbendaharaan kolonial, Raffles memutuskan
melakukan usaha drastis yang dianggap tepat dengan menjual tanah-tanah.
Keputusan pemerintah untuk menjual tanah-tanah itu diadvertensikan dalam Java
Government Gazette berturut-turut tanggal 5, 7. 14. 21 dan 28 November tahun
1812. Dalam advertensi itu disebut bahwa penjualan itu rencananya dengan cara
lelang umum di Standhouse Batavia (Balai Kota yang sekarang menjadi Museum
Jakarta) tanggal 1 Januan tahun 1813. Khusus untuk tanah- tanah yang termasuk
daerah Karawang dibagi-bagi menjadi enam persil, di mana distrik Ciasem dan
Pamanukan masuk persil 3 dan 4.
109
Ternyata lelang tersebut baru dapat dilaksanakan pada tanggal 25 Januari
1813 dengan persil 3 dibeli oleh J. Sharpnell seharga 35.000 sp. drs (dollar
Spanyol) dan persil 4 dibeli oleh Muntinghe seharga 30.000 sp. drs. Akan tetapi
kemudian Muntinghe menjual persil 4 ini kepada J. Sharpnell dan Ph. Skelton
(kawan Sharpnell). Dengan demikian kedua orang inilah yang menjadi tuan tanah
pertama, yang kemudian dikenal dengan Pamanoekan en Tjiasem Landen. Setelah
J Shrapnell meninggal tahun 1815. pemilik tunggal tanah-tanah Pamanukan dan
Ciasem (daerah Subang) ialah Ph. Skelton. yang meninggal tahun 1821. Kemudian
pemilik tanah tersebut dipegang oleh orang-orang Inggris sampai tahun 1839, lalu
dibeli oleh orang-orang Belanda swasta.
2.4 Kesenian Rakyat di Kabupaten Subang
Penduduk asli Kabupaten Subang berasal dari suku Sunda dengan bahasa
ibu ialah bahasa Sunda begitu pula adat kebiasaan sehari-hari mencerminkan
kebudayaan Sunda. Namun apabila melihat kembali pada sejarah, daerah Subang
pernah dipengaruhi dan termasuk ke dalam wilayah kekuasaan Mataram (Islam),
maka tidaklah heran bila pada kenyataannya kehidupan masyarakat Subang,
terutama daerah Pantai Utaranya, terasa ada pengaruh "Jawanya" terutama dalam
bahasanya.
Daerah Subang memiliki berbagai ragam kesenian rakyat, antara lain:
wayang golek, wayang kulit, beluk, pantun, tarawangsa, kliningan, genjring
bonyok, sisingaan, tayuban, doger, belentuk ngapung, ketuk tilu, gembyung, tari
topeng (jati), pencaksilat, goong renteng, celempungan, rudat, tarling, sintren,
calung renteng, adem-ayem, banjet, ronggeng ketuk, kuda renggong, sampyong,
110
tanjidor, dan tardug. Kesenian tersebut tersebar di beberapa daerah kecamatan agar
lebih jelas dapat dilihat tabel di bawah ini.
Tabel 2.1. Peta Kesenian Rakyat Kabupaten Subang
Kecamatan Jenis Kesenian
Subang doger, belentuk ngapung, genjring bonyok, tayuban, sisingaan, wayang golek, ketuk tilu, pencaksilat, kliningan, pantun, gembyung, dan beluk
Cibogo gembyung, beluk, pencaksilat, reog, wayang golek, ketuk tilu, sisingaan, dan kliningan.
Pagaden genjring bonyok, tardug, ketuk tilu, gembyung, topeng sinar, beluk reog, calung rentang, sisingaan, wayang kulit, wayang golek, kliningan, dan pantun.
Cipunagara topeng jati, sintren, gemyung, beluk, ketuk tilu, kliningan, dan sisingaan.
Binong banjet, wayang golek, kliningan, sisingaan, tardug, dan genjring bonyok
Pamanukan sintren, tardug, tarling, dombret, sisingaan, wayang golek, adem ayem, dan wayang kulit.
Compreng sintren, adem ayem, tarling, tardug, dan sisingaan. Pusakanagara sintren, rudat, tardug, adem ayem, sandiwara, ronggeng,
pencaksilat, kliningan, dan wayang kulit. Blanakan dombret, sintren, tarling, dan adem ayem Ciasem sampyong, banjet, tarling, sintren, tayuban, adem ayem,
tanjidor, tardug, sisingaan, dan kliningan. Patokbeusi banjet, sintren, tardug, adem ayem, pencaksilat, dan sisingaan. Pabuaran banjet, tayuban, tardug, kliningan, ketuk tilu, dan sisingaan. Purwadadi ketuk tilu, doger, tayuban, tardug, tanjidor, pencaksilat,
kliningan, wayang golek, dan sisingaan. Cipeundeuy kliningan dan sisingaan Kalijati pencaksilat, wayang cepak, tardug, ketuk tilu, sisingaan,
kliningan, genjring bonyok, dan wayang golek. Cijambe tarawangsa, sisingaan, kliningan, dan wayang golek. Sagalaherang
celempungan, reog, sisingaan, beluk, wayang golek, tardug, dan genjring bonyok.
111
Jalancagak gembyung, rudat, pencaksilat, reog, sisingaan, kliningan, beluk, dan wayang golek.
Cisalak goong renteng, reog, wayang golek. sisingaan, kliningan, rengkong, dan pencaksilat.
Tanjungsiang wayang golek, tarawangsa, kuda renggong, beluk, rengkong, sisingaan, pencaksilat, gembyung, reog, dan kliningan.
Sumber: Data Kesenian Kasi Kebudayaan Depdiknas Kabupaten Subang Tahun 2010.
Dari data di atas dapat kita lihat bahwa secara kuantitatif daerah pedataran
memiliki angka lebih tinggi dibanding daerah pantai dalam hal keragaman kesenian
rakyat. Kemudian di antaranya memiliki kemiripan dengan jenis-jenis kesenian
yang ada di daerah Cirebon, Indramayu, dan Karawang. Selain dipengaruhi oleh
ketiga daerah itu, dipengaruhi pula oleh budaya Priangan Berdasarkan tabel di atas,
ternyata kesenian Tardug tersebar hampir di seluruh wilayah kecamatan.
2.5 Budaya Hajatan Pada Masyarakat Subang
Hajatan adalah ikatan sosial masyarakat desa yang didasarkan atas
kepercayaan akan adanya kekuatan gaib yang datang dari mahluk halus (setan)
yang dapat mengganggu kehidupan manusia (Ekajati, 1995:246). Menurut Kamus
Umum Basa Sunda hajatan ialah "Niat atawa kaperluan sideicah, salametan
(barangbere), minangka bayar denda, nebus dosa " Artinya: Niat atau keperluan
seseorang untuk mengadakan sedekah atau derma berdasarkan cinta kasih
kepada sesama manusia, dan merupakan wujud rasa syukur atas segala nikmat
dan rahmat yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa (1994: 159).
112
Hajatan itu sendiri merupakan upacara tradisional yang diikuti oleh
seluruh penduduk desa secara bersama-sama (seluruh desa/kampung) dan secara
berkelompok. Hajatan dimaksud untuk memohon berkah dan menjalin hubungan
baik dengan yang gaib sehingga tidak mengganggu manusia. Kegiatan hajat telah
menjadi tradisi, setiap anggota masyarakat merasa terikat untuk melaksanakannya,
seolah-oleh merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan.
Para pemeluk suatu religi atau agama memang ada yang menjalankan
kewajiban mereka untuk melakukan upacara itu secara sungguh-sungguh, tetapi
tidak sedikit yang hanya melakukannya setengah-setengah saja. Seperti yang
diungkapakan oleh Koentjaraningrat berikut ini:
... Motivasi mereka tidak terutama untuk berbakti kepada dewa atau Tuhannya, atau untuk mengalami kepuasan keagamaan secara pribadi, tetapi juga karena mereka manganggap melakukan upacara itu sebagai suatu kewajiban sosial..." (Koentjaraningrat, 1085:24) .
Dewasa ini, hajatan bagi masyarakat Subang tidak semata-mata berkaitan
dengan kepercayaan atau religi saja. Hajatan kadang-kadang juga digunakan untuk
mencapai tujuan tertentu di luar konteks kepercayaan dan religi. Sehingga
kewajiban seseorang untuk melaksanakan hajatan di sisi lain telah menjadi "hak"
orang itu untuk melaksanakan hajatan dan masyrakat berkewajiban membantu
penyelenggaraan hajatan itu. Fungsi sosial hajatan dalam konteks kedua kadang-
kadang tidak jelas untuk peristiwa apa hajatan itu diselenggarakan. Berkaitan
dengan hal tersebut di bawah ini akan dibagi dua macam hajatan yaitu hajatan
dalam konteks kepercayaan dan religi, dan hajatan dalam konteks lain.
Dalam konteks kepercayaan masyarakat Subang, pada dasarnya ada dua
jenis hajatan yaitu hajat untuk siklus alam dan hajat untuk siklus daur hidup. Hajat
113
unutuk siklus alam diselenggarakan oleh seluruh anggota masyarakat. Hajat ini
dikelola oleh desa, dan sebagai pelaksananya adalah pemangku adat atau dukun
(pawang), sedangkan hajat untuk siklus daur hidup dilaksanakan oleh perorangan
yang dibantu oleh anggota masyarakat yang ada di sekelilingnya.
(A) Hajat Untuk Siklus Alam. Di daerah Subang ada beberapa jenis hajat
siklus alam yaitu hajat laut pada masyarakat nelayan dan hajat bumi pada
masyarakat agraris yang terdiri dari Ngabengkat, ngalokat tanah nyalin, dan hajat
desa.
(1) Ngabengkat adalah upacara mapag cai kahuripan. Upacara ini
dilaksanakan saat musim penghujan tiba. Upacara ini dilakukan di hulu sungai,
yang pelaksanaannya dipimpin oleh para pemangku hajat, dukun (pawang) dan
disaksikan oleh beberapa tokoh masyarakat serta aparat desa. Kegiatan upacara
didahului dengan pembakaran kemenyan, pembacaan mantera, dan doa selamat
yang dilengkapi dengan hidangan sesajen (sesaji) dan penanaman kepala kerbau
atau kambing. Kegiatan upacara itu dialanjutkan dengan arak-arakan (mengarak
benda-benda yang digunakan untuk menggarap tanah seperti cangkul, bajak, garu
lalandak, dan sejenisnya). Kegiatan arak- arakan ini mengelilingi kampung dan
berakhir di halaman balai desa, yang dilanjutkan dengan syukuran. Dalam kegiatan
ini seluruh warga yang hadir dapat menikmati hidangan (memotong tumpeng).
Pada malam harinya dapat menyaksikan pertunjukan kesenian.
(2) Ngalokat tanah, ngalokat artinya membersihkan dari segala sifat jelek
yang dapat membawa malapetaka. Dengan ngalokat diharapkan dijauhkan dari
marabahaya. Pada hakekatnya adalah ngalokat tanah pertanian dari segala jenis
tanaman lir seperti rumput, gulma, dan sejenisnya. Ngalokat tanah juga meruoakan
114
upaya agar terhindar dari berbagai jenis hama dan bencana alam seperti kemarau
yang panjang. Upacara ini menandai dimulainya kegiatan bercocok tanam. Acara
syukuran atau selamatan ini pada pelaksanaannya tidak berbeda jauh dengan
ngabeungkat, termasuk pertunjukan keseniannya. Yang berbeda adalah isi mantera
dan tempat pelaksanaan. Kegiatan upacara ngalokat tanah biasanya dilaksanakan di
area pertanian yang sudah ditentukan oleh para pemangku adat atau aparat desa.
(3) Nyalin/Mitembeyan, upacara nyalin atau mitembeyan adalah upacara
panen perdana yang dilakukan sebelum dimulainya kegiatan menuai padi secara
umum. Yang melakukan nyalin ialah kuncen atau dukun atau juga ajengan.
Upacara ini didahului oleh doa selamat. Pemilik atau penggarap huma atau sawah
membuat ancak (sanggar) yang di dalamnya berisi berbagai macam sesajen, antara
lain: nasi tumpeng, telur, lauk pauk, sekapur sirih, tujuh macam ramuan rujak,
minyak kelapa, kaca, sisir kerep, sisir jarang, kembang rampe, dan param. Sanggar
tersebut diletakkan di sudut petak sawah di antara padi yang akan dituai pertama
kali. Padi yang dipotong pertama kali itu dijadikan Indung Pare (Dewi Sri).
Sanggar tersebut ditutupi dengan boeh rarang (kain putih) dan di dekatnya dipasang
pula bendera warna kuning dan putih dengan tiang bambu melengkung (umbul-
umbul), sapu lidi ditancapkan dengan api dan diberi kemenyan (Soeganda, 1982:5).
Setelah selesai doa selamat mulailah menyalin dengan memotong 10 atau
20 potong padi. Padi tersebut dibungkus dengan kain putih yang kemudian
diletakkan di atas sanggar. Setelah upacara nyalin kemudian panen dimulai.
Berkenaan dengan panen ini biasanya, di daerah Subang, dilanjutkan
dengan hajat bumi (ngaruat bumi) atau hajat desa. Kegiatan ini lebih meriah dari
upacara ngabeungkat.
115
(B) Hajat untuk siklus daur hidup. Hajat ini diselenggarakan oleh
perorangan dengan dibantu oleh organisasi kepanitiaan yang dibentuk sebelum hari
hajatan dilaksanakan, biasanya pada malam mamarung (semalam sebelum hajatan).
Hajatan dalam upacara adat masyarakat Sunda khususnya daerah Subang
dilukiskan pada tahap-tahap kehidupan seperti kelahiran, khitanan, perkawinan, dan
kematian.
(1) Upacara kelahiran secara umum memiliki tahap-tahap kegiatan sebagai
berikut: tingkeban, mandi kembang, pemeliharaan bayi, peringatan-peringatan
untuk sang suami, mudun lemah, dan mencukur bayi. Upacara tingkeban
dilaksanakan pada waktu bayi dalam kandungan berusia tujuh bulan (Soeganda,
1982:16). Sidekah tingkeb biasanya harus jatuh pada bulah Hijriah pada tanggal-
tanggal yang memiliki angtka 7 (tanggal 7,17,dan 27). Waktu pelaksanaannya
dilaksanakan pada jam tujuh pagi atau petang. Hal lain yang terkait dengan
kebutuhan upacara adalah rnrujakan yang dibuat dari tujuh macam buah-buahan,
samping kebat tujuh buah, elekan (ruas bambu kecil kira-kira berukuran sejengkal)
tujuh buah, ayakan bambu tujuh buah, dan ikan belut tujuh ekor.
Selamatan menurunkan dan mencukur bayi biasanya disaturagakan dengan
selamatan empat puluh hari. Bagi orang-orang yang mampu pada selamatan empat
puluh hari bayi mengadakan keramaian pertunjukan kesenian.
(2) Khitanan, telah menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk disunat atau
dikhitan. Sunatan atau khitanan dilakukan ketika anak laki-laki cukup kuat untuk
disunat, dan di beberapa daerah biasanya anak yang disunat itu telah khatam (tamat
mengaji Al-Qur'an). Disunat hukumnya wajib baik bagi anak laki-laki atau
perempuan.
116
Di daerah Subang sebelum anak disunat terlebih dahulu diadakan upacara
ngarak beas (ngarak Dewi Sri). Upacara ini didahului oleh tutunggulan (memukul
lesung). Anak diarak mengelilingi rumah tinggalnya yang dipandu oleh dukun dan
pembawa kelapa muda (kelapa muda diseret), kemudian disawer.
(3) Hajat pernikahan, hajat pada pernikahan dilakukan setelah ijab
kabul. Biasanya yang menyelenggarakan hajat adalah pihak pengantin wanita,
dengan biaya sendiri atau dibantu oleh pihak pengantin pria. Di Subang
penyelenggaraan hajat yakni pada saat pengantin perempuan menyelenggarakan
selamatan, atau pada saat pengantin pria nginngkeun (melepas anaknya untuk
berumahtangga). Pelaksanaan hajatan ini tak ubahnya hajat khitanan
(4) Kematian, hajat pada kematian disebut hajat papait atau kesusahan.
Pada hajat papait ini dikenal dengan sidekah nyususr tanah, yaitu sedekah orang
mati waktu ia dikubur. Pada acara kematian ini dilaksanakan ngamandikeun mayit
(memandikan mayat), nyolatkeun mayit (menshalatkan mayat), ngolongpasaran,
ngurebkeun, yang diakhiri oleh telekin.
Di daerah Subang apabila seseorang akan mengadakan hajatan tidak perlu
dalam konteks upacara ritus, seperti pada bahasan di atas saja, tetapi juga kadang-
kadang mengadakan hajatan dalam untuk tujuan komersial yaitu yang dikenal
dengan istilah arisan hajat, hajat syukuran karena telah mencapai kedudukan
tertentu, dan lain-lain. Sehingga dikenal istilah gintingan/gantangan. Apabila
seseorang yang menyelenggarakan hajat disumbang dengan sejumlah uang, beras,
bahan dan makanan dalam jumlah tertentu, maka ia harus mengembalikan
sumbangan tersebut dalam jumlah yang sama (minimal) apabila si penyumbang
mengadakan hajatan kelak Dalam susunan kepanitiaan hajatan seperti ini, harus ada
117
juru tulis dan juru tagih, yang akan mencatat sumbangan dan menagih utang
gintingannya.
Hajatan lain yang suka dilaksanakan orang Subang di luar konteks religi
adalah hajatan buka panggung. Hajatan ini diselenggarakan sebagai peresmian
berdirinya sebuah perkumpulan kesenian dalam bentuk pergelaran pertama
perkumpulan kesenian tersebut. Tempat hajatan dilaksanakan di rumah pimpinan
rombongan kesenian itu, dengan biaya ditanggung oleh pimpinan rombongan dan
sponsor.7
Pada hampir setiap peristiwa hajatan, terutama hajatan pernikahan dan
khitanan, selalu disertakan pertunjukan kesenian. Baik pertunjukan yang
berhubungan langsung dengan konteks upacara hajatan maupun pertunjukan
sebagai sarana hiburan. Jenis kesenian yang seringkah dipertunjukan dalam
konteks upacara tertentu, khususnya di daerah Subang ialah: pantun, wayang kulit,
wayang golek, gembyung, dan tarawangsa. Sementara itu hampir semua jenis
kesenian dapat ditampilkan dalam upacara hajatan sebagai acara pelengkap di awal
atau di akhir upacara. Misalnya pada upacara hajat bumi pertunjukan yang
dijadikan acara pokok adalah wayang golek atau wayang kulit, biasanya dengan
lakon Batara Kala. Sementara pada acara tambahannya, yaitu arak-arakan
mengambil buah sawen8 dipertunjukan kesenian helaran seperti kesenian genjring
bonyok atau tardug.
7 Sponsor ini terdiri dari donatur, simpatisan, dan sumbangan hajat dari tokoh dan
masyarakat yang diundang. Tujuan utama dari sponsor ini adalah mendanai pergelaran kesenian dengan uang yang sepenuhnya ia tanggung. Tujuan utamanya biasanya adalah untuk melestarikan seni dan budaya.
8 Buah sawen itu berupa bahan-bahan makanan dari hasil bumi yang diikat pada daun kelapa muda (janur). Buah sawen ini diletakkan di pintu masuk ha laman rumah.
118
Pada acara hajatan yang menyangkut siklus daur hidup semua kesenian di
atas bisa dijadikan media upacara. Penduduk Subang dikenal sebagai masyarakat
yang gemar melaksanakan hajatan. Pendapat ini berdasarkan pernyataan bahwa
untuk melaksanakan hajatan orang Subang kadang-kadang meminjam anak orang
lain (saudara, cucu, keponakan) untuk dijadikan pengantin dalam khitanan atau
pernikahan (Edih A.S., wawancara, Subang, 11 Juli 2012). Jenis hajatan inilah
yang paling sering dilaksanakan oleh masyarakat Subang. Sehingga jenis kesenian
yang tumbuh pesat di wilayah Subang adalah jenis kesenian yang tertuju untuk
sarana hajatan khitanan dan kesenian untuk sarana pernikahan serta jenis kesenian
hiburan. Seperti yang terlihat pada Tabel di atas bahwa hampir semua kecamatan di
wilayah kabupaten Subang memiliki perkumpulan-perkumpulan kesenian
sisingaan, kliningan, dan tardug.
2.6 Masyarakat Sunda di Desa Cidapdap
Genjring bonyok merupakan suatu bentuk kesenian musik rakyat yang
tumbuh, berkembang, dan tersebar di wilayah Kabupaten Subang Jawa Barat. Dari
sekian banyak tempat persebaran kesenian genjring bonyok di daerah Subang, yang
menjadi fokus utama dalam tulisan ini adalah Desa Cidadap kecamatan Pagaden.
Untuk kepentingan penulisan ini, maka tinjauan umum desa Cidadap diperlukan
sebagai gambaran daerah penelitian dimana kesenian genjring bonyok ini tumbuh
dan berkembang.
Wilayah desa Cidadap yang merupakan salah satu desa tertua di wilayah
kecamatan Pagaden Kabupaten Subang, luasnya 576.493 ha yang terdiri dari
119
sebagian besar tanah pesawahan (448.903 ha), tanah perumahan serta tanah
pekarangan (110.899 ha), kolam (3 ha) dan tanah desa.
Berdasarkan data yang tertulis di Kantor Balai Desa Cidadap, menurijukan
bahwa desa Cidadap telah berdiri sejak tahun 1895, dengan kepala desanya yang
pertama bernama Irtem. Keterangan ini didukung pula oleh catatan yang dimiliki
Sadurahman, salah seorang sesepuh desa Cidadap.
Tabel 2.2: Jenis Penggunaan Tanah Desa Cidadap
No Jenis Penggunaan Tanah Jumlah dalam Hektar 1 2 3 4
Perumahan dan Pekarangan Sawah Teknis Empang/ Kolam/ Tebu Tanah Desa
110.899 448.903 30 13.899
Sumber: Daftar Isian Potensi Desa Cidadap (2010:1).
Batas-batas wilayah desa Cidadap adalah sebagai berikut:
(1) Sebelah utara berbatasan dengan Desa Bendungan dan sebagian Desa
Margahayu.
(2) Sebelah barat berbatasan dengan Desa Balimbing.
(3) Sebelah timur berbatasan dengan Desa Pangsor.
(4) Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sumur Gintung.
Hasil sensus tahun 2010 menunjukan bahwa penduduk desa Cidadap berjumlah
8.625 jiwa dengan 3.551 kepala keluarga.
Jarak desa Cidadap dari ibu kota kecamatan sekitar 7 kilometer dapat
ditempuh 1/2 jam dengan kendaraan bermotor. Sedangkan jarak dari ibu kota
120
kabupaten ke desa Cidadap kurang lebih 12 kilometer dan dapat ditempuh 1 jam
dengan menggunakan sarana angkutan darat yaitu berupa mobil angkutan pedesaan
atau sepeda motor yang disewakan (ojeg), menuju desa tersebut merupakan jalan
hasil swadaya masyarakat.
Sepanjang jalan menuju lokasi penelitian desa Cidadap nampak
pesawahan-pesawahan yang sebagian masih digarap dengan cara-cara tradisional
dan ladang-ladang yang ditanami buah-buahan dan sebagian sayur-sayuran.
Keadaan alam (tanah) desa Cidadap, sama seperti daerah lainnya yang terdapat di
wilayah kabupaten Subang pada umumnya, yaitu cukup subur. Air cukup banyak
dari sungai- sungai di daerah ini pada umumnya merupakan sungai hujan, yang
artinya volume air tersebut ditentukan oleh ada atau tidaknya hujan. Air sungai
biasanya keruh, alirannya deras, serta banyak mengangkut pasir dan lumpur.
Sungai-sungai ini biasanya digunakan untuk mengairi persawahan dan kolam-
kolam yang terdapat disekitar desa Cidadap.
Untuk mencari informasi tentang sejarah desa Cidadap, penulis
melakukannya dengan dua bentuk pendekatan yaitu dengan melihat buku hasil
laporan Penilik Kebudayaan Kecamatan Pagaden mengenai sejarah desa-desa yang
ada di wilayah Kecamatan Pagaden (Sasmita, 2012:1), dan menggunakan teknik
wawancara dengan tokoh-tokoh atau pemuka desa yang mengerti tentang sejarah
Desa Cidadap.
Dari beberapa wawancara yang dilakukan saya meyimpulkan, bahwa
keterangan dari Sadurahman (mantan lurah Desa Cidadap periode 1963-1970)
merupakan keterangan yang cukup lengkap. Hal tersebut dimungkinkan karena
Sadurahman memiliki keterangan tertulis yang didapat secara langsung dari
121
orangtunya yaitu Sarkiyem yang merupakan mantan Kepala Cidadap periode 1920-
an.
Menurut yang tertulis dalam catatan Sarkiyem, sejarah Cidadap dimulai
dengan hadirnya Aki Mendung dan Nini Mendung. Mereka adalah orang pertama
yang membuka hutan, Kemudian dijadikan perkampungan yang sekarang disebut
Desa Cidadap.
Kehidupan Aki Mendung dan Mini Mendung sangat bahagia. Karena
ditempatnya yang baru ini tanahnya sangat subur dengan banyak aliran sungai
mengitari perkampungan mereka, hingga mereka dapat, menanam berbagai macam
sayuran, palawija, dan padi.
Setelah sekian lama Aki Mendung sekeluarga menetap di perkampungan
tersebut, maka datanglah beberapa orang yang mengaku dari Kerajaan Cirebon.
Kedatangan mereka disambut baik oleh Aki mendung sekeluarga, karena suatu
kehormatan tersendiri apalagi pada masa itu kawasan Subang termasuk dalam
kekuasaan kerajaan Cirebon (Ekadjati,1980:90). Di antara yang datang pada waktu
itu adalah Aki Gede, Nini Gede, Aki Bagus Taluk, Aki Wira Sandi, Aki Bagus
Rangin dan dengan beberapa orang pengawal kerajaan. Sebenarnya maksud
kedatangan mereka adalah untuk menghindari dari kejaran tentara Belanda yang
saat itu sudah menguasai sebagian wilayah Kabupaten Subang. Tetapi tujuan
mereka yang paling penting adalah menyebarkan dan memeperkenalkan agama
Islam kepada masyarakat Subang yang berada di pelosok-pelosok ataupun di
perkampungan-perkampungan, karena pada masa itu pada umumnya masyarakat
Subang masih menganut agama tradisional yang diturunkan dari orang tua mereka
terdahulu. Sebagai rasa hormat Aki Mendung sekeluarga terhadap kedatangan tamu
122
dari kerajaan Cirebon tersebut, mereka diperkenankan mengambil sebagian tanah
mereka untuk dijadikan areal perumahan, perladangan dan persawahan.
Sejak kedatangan mereka ke kampung itu suasana mulai berubah.
Perubahan tersebut antara lain dibentuknya pemerintahan desa sebagai wadah
pemerintahan terkecil, dan sebagai kepala desanya terpilih Aki Gede yang
merupakan salah seorang pendatang di kampung tersebut.
Selanjutnya desa tersebut diberi nama Cidadap. Nama ini diambil dari
nama pohon (dadap) yang banyak tumbuh di sekitarar desa tersebut,yang sebagian
berfungsi sebagai pembatas antara persawahan dengan perladangan dan antara ke
desa dan hutan. Alasan lain digunakannya nama pohon dadap sebagai nama desa
tersebut, disebabkan daun dari pohon persebut digunakan masyarakat Cidadap
sebagai campuran untuk makanan dan obat-obatan tradisional.
Selama Aki Gede menjadi kepala desa Cidadap, beliau tidak saja
memimpin dibidang pemerintahan desa namun juga beliau membimbing
masyarakat di desa tersebut dalam bidang agama Islam. Setelah beberapa lama di
desa Cidadap Aki Gede merasa bahwa masyarakat desa tersebut sudah mulai dapat
mandiri dalam hal kepemimpinan dan keagamaan. Oleh karena itu Aki Gede
menyerahkan pimpinan pemerintahan desa Cidadap kepada Aki Mendung yang
merupakan warga asli desa Cidadap.
Setelah pemindahan kepempinan desa, Aki Gede dan rombongan dari
keraton Cirebon meninggalkan desa tersebut, dan sejak saat itu pula masyarakat
merasakan kehilangan. lalu atas inisiatif Aki Mendung segala barang peninggalan
Aki Gede dikumpulkan dan disimpan di rumah kediaman Aki Gede yang telah
ditinggalkannya. Sejak saat itu pula masyarakat mulai mengkeramatkan barang-
123
barang peninggalan Aki Gede yang kini telah menjadi gundukan sarang rayap
(hunyuy), dan sumur yang pernah dimilikinya.
Sampai sekarang masyarakat desa Cidadap dalam mengkeramatkan barang-
barang tersebut masih berlangsung, warga masyarakat sering menyajikan sesajen di
sekitar sarang rayap tersebut, dan air sumur peninggalan Aki Gede digunakan
untuk memandikan anak yang akan disunat.
Umumnya masyarakat pedesaan di Kabupaten Subang mempunyai corak
budaya petani. Sebagian penduduknya hidup dari hasil pertanian yang dikerjakan
secara tradisional. Keberadaan tersebut menempatkan Kabupaten Subang sebagai
daerah lumbung padi ketiga terbesar di Jawa Barat.
Desa Cidadap yang luas tanahnya 576.493 hektar, 3/4 luas tanahnya
merupakan lahan pertanian. Pada umumnya, bertani yang mereka lakukan adalah
dengan bercocok tanam padi di sawah dan ladang yang dalam bahasa sunda disebut
huma. Penanaman padi di sawah menggunakan irigasi, dan padi huma tergantung
kepada air hujan. Lahan pada umumnya terdapat di bukit atau tempat dimana tidak
terdapat aliran air secara teratur.
Desa Cidadap merupakan daerah yang dilalui beberapa sungai besar,
sehingga padi sawah lebih banyak dibanding dengan padi huma. Rincian mata
pencaharian pokok masyarakat Desa Cidadap dapat dilihat pada tabel berikut ini.
124
Tabel 2.3:
Mata pencaharian Pokok Masyarakat Desa Cidadap
No Mata Pencaharian Pokok Jumlah Jiwa
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Petani penggarap Buruh Tani Dokter Bidan Mantri Kesehatan Guru Pegawai negeri Buruh Dukun Bayi/Paraji Tukang Cukur
3505 3045
5 20 20 81 85 50 2 8
Sumber: Daftar isian potensi desa Cidadap (2012:6)
Penduduk desa Cidadap yang berjumlah 8.625 orang seluruhnya menganut
agama Islam. Ada beberapa sarana peribadatan umat Islam yang terdapat di desa
Cidadap, yaitu: 5 Mesjid, 24 langgar, dan satu pesantren (Daftar Isian Potensi
Desa, 2012:24).
Dalam kehidupan sehari-hari sifat keislaman penduduk tercermin dari
prilaku, seperti: rajin bersembahyang, membaca Al Qur'an, melakukan puasa pada
bulan Ramadhan, merayakan hari-hari besar Islam, dan beberapa diantaranya telah
melaksanakan ibadah Haji.
Meskipun penduduk di desa Cidadap seluruhnya menganut agama Islam,
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat masih menganut unsur kepercayaan di
luar Islam, berupa kepercayaan kepada makhlus halus dan kekuatan magis.
Kepercayaan ini ternyata masih menyatu dalam kehidupan penduduk Desa
Cidadap. Misalnya upacara-upacara yang mengandung unsur kepercayaan yang
125
bukan Islam, dilakukan berhubungan dengan salah satu fase dalam lingkaran hidup.
Seperti kelahiran, atau yang berhubungan dengan hal-hal lain seperti, mendirikan
rumah, menempati rumah baru, dan menanam padi.
Tampaknya agak sukar memisahkan praktek agama Islam dengan unsur
kepercayaan yang bukan Islam. Sebab baik agama Maupun sistim kepercayaan
tersebut masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Desa Cidadap berfungsi
mengatur sikap dan sistim nilai.
Masyarakat desa Cidadap memiliki beberapa jenis kesenian yaitu genjring
bonyok, kliningan, sisingaan, dan gembyung. Di antara keempat jenis kesenian di
atas, kelompok kesenian genjring bonyok merupakan yang paling banyak
jumlahnya, yaitu terdiri lima kelompok yang tersebar dalam tiga dusun.
Kelima kelompok tersebut masing-masing ialah seperti yang diuraikan
berikut ini:
1. Kelompok Sinar Pusaka bertempat di dusun Suka Sari, yang dipimpin oleh
Sutarja, merupakan kelompok kesenian genjring yang pertama dan tertua di desa
Cidadap. Menurut Sutarja bahwa hampir sebagian grup kesenian yang ada di
wilayah kecamatan Subang dibimbing oleh bapak Sutarja. Oleh sebab itu
kelompok Sinar Pusaka menjadi barometer bagi kelompok Genjring Bonyok
yang lainnya, beberapa kelompok di bawah ini adalah binaan dari Sutarja.9
9Yang dimaksud: (a) kliningan adalah salah satu jenis seni pertunjukkan, dimana ensambel
pendukungnya terdiri atas beberapa perangkat instrumen antara lain: Saron, Rincik, Demung, Kenong, Gong, Kendhang, dan Rebab, perangkat yang disebut dengan gamelan ini dilengkapi pula dengan musik vokal yang disajikan oleh seorang sinden. (b) Sisingaan adalah salah satu jenis kesenian yang khas dari Kabupaten . Kesenian ini dikhususkan untuk mengarak anak yang akan disunat, dengan mempergunakan seperangkat patung singa yang diusung oleh empat, orang penari dan diiringi dengan alat musik. (c) Gembyung adalah jenis kesenian yang mempergunakan seperangkat alat frame drum untuk mengiringi lagu-lagu yang bernafaskan Islam, ya kesenian ini dipertunjukan dalam konteks khitanan dan ruwatan.
126
(2) Kelompok Alin bertempat di dusun Suka Sari, dipimpin oleh Alin.
(3) Kelompok Juhadi bertempat di dusun Suka Rahayu, dipimpin oleh
Juhadi.
(4) Kelompok Rasun bertempat di dusun Suka Rahayu, dipimpin oleh
Rasun.
(5) Kelompok Karno bertempat di dusun Tanjung, dipimpin oleh Karno.
Kesenian Kliningan yang terdapat di desa Cidadap terdiri atas tiga
kelompok, dua kelompok terdapat di dusun Suka Desa, dipimpin oleh Anyay dan
Apin (Mandala Grup). Satu kelompok terdapat di dusun Sukajaya dipimpin oleh
Durga.
Kelompok kesenian Sisingaan di desa Cidadap terdapat di dua dusun, yaitu
di dusun Suka Sari yang dipimpin oleh Sutarja dan dusun Suka Jaya yang dipimpin
oleh Dari.
Kelompok kesenian Gembyung yang ada di desa Cidadap merupakan
kelompok kesenian yang sudah cukup tua. Menurut pak Dulhatim dan pak Sumin,
kelompok kesenian ini telah hadir sejak tahun 1930 yang dipimpin oleh almarhum
Ki Jaski. Namun diantara lima jenis kesenian di desa ini, kesenian Gembyung
adalah kesenian yang mulai mengalami penurunan dalam frekwensi
pertunjukkannya. Saat ini di desa Cidadap hanya terdapat satu kelompok
Gembyung yang bernama Pusaka Wangi dibawah pimpinan Dulhatim.
Dari uraian-uraian etnografis di atas, maka tergambar dengan jelas kepada
kita, bahwa seni tardug yang berkembang dari genjring bonyok, adalah beradasr
kepada eksistensi kebudayaan Sunda secara umum. Kesenian ini adalah ekspresi
127
peradaban masyarakat Sunda. Seni tardug tumbuh dan berkembang di kawasan
Subang Jawa Barat. Sedangkan seni genjring bonyok, kawasan asalnya adalah Desa
Cidadap.
Baik seni genjring bonyok maupun tardug adalah mengekspresikan seni
Islam. Masyarakat Sunda menyatukan ajaran Islam dengan kebudayaannya.
Dengan demikian mengkaji seni tardug tidak dapat dipisahkan dengan mengkaji
Islam dan sejarah bertapaknya Islam di Tatar Sunda. Seni tardug berkembang pula
dengan mengambil berbagai alat musik Barat, terutam alat musik gitar. Dengan
demikian selain Islam, unsur budaya Barat pun diadopsi dalam instrumen seni
pertunjukan tardug ini. Jadi memahami seni tardug mestilah dilihat dalam konteks
kebudayaan atau etnografi masyarakat Sunda.
Peta 2.1
Subang dalam Provinsi Jawa Barat
128
Peta 2.1
Provinsi Jawa Barat
129
BAB III
KONTINUITAS DAN PERUBAHAN
GENJRING BONYOK DAN TARDUG
3.1 Latar Belakang Kontinuitas dan Perubahan
Seni genjring bonyok, yang kemudian berubah secara lambat laun menjadi
seni gitar bedug di dalam kebudayaan masyarakat Sunda di Subang Jawa Barat,
adalah mengekspresikan dan dilatarbelakangi oleh peradaban Islam di Tatar Sunda.
Islam yang datang ini bahkan disebarkan melalui media seni. Sebagai contoh Sunan
Bonang menyiarkan Islam melalui gamelan Jawa, dan istilah bonang itu yang
kemudian menjadi gelaran namanya adalah satu alat musik gong kecil berpencu
yang terdapat dalam ensambel gamelan. Selain itu, Sunan Kalijaga juga
menciptakan lagu-lagu yang khas seperti Tombo Ati yang terus kontinu hingga ke
hari ini. Lagu ini dijadikan media dakwah Islam di Tanah Jawa.
Tidak ketinggalan juga di Tanah Pasundan atau Tatar Sunda, pendekatan
seni budaya dalam menarik minat warganya untuk masuk Islam juga dilakukan
oleh penyebar agama Islam. Khususnya melalui Sunan Gunung Jati dan para
muridnya, termasuk di Subang Jawa Barat. Dengan demikian dalam melihat
perkembangan genjring bonyok menjadi tardug tidak dapat dipisahkan dari sejarah
masuknya Islam ke Tatar Sunda. Berikut ini akan diuraikan tentang Walisongo
yang ada di Tanah Jawa, yang menyebarkan agama Islam.
130
3.2 Wali Songo di Tanah Jawa dan Tatar10 Sunda
Ketika Mehmed I Celeby memerintah Kesultanan Turki, beliau menanyakan
perkembangan agama Islam kepada para pedagang dari Gujarat. Dari mereka
Sultan mendapat kabar berita bahwa di Pulau Jawa ada dua kerajaan Hindu yaitu
Majapahit dan Pajajaran. Di antara rakyatnya ada yang beragama Islam tetapi hanya
terbatas pada keluarga pedagang Gujarat yang kawin dengan para penduduk
pribumi yaitu di kota-kota pelabuhan. Sang Sultan kemudian mengirim surat
kepada pembesar Islam di Afrika Utara dan Timur Tengah. Isinya meminta para
ulama yang mempunyai karomah untuk dikirim ke pulau Jawa. Maka terkumpullah
sembilan ulama berilmu tinggi serta memiliki karomah.11 Pada tahun 808 Hijrah
atau 1404 Masehi para ulama itu berangkat ke Pulau Jawa.
Mereka adalah: (1) Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik, berasal dari
Turki ahli mengatur negara. Berdakwah di Jawa bagian timur. Wafat di Gresik pada
tahun 1419 M. Makamnya terletak satu kilometer dari sebelah utara pabrik Semen
Gresik sekarang. (2) Maulana Ishaq berasal dari Samarkand dekat Bukhara
(Uzbekistan) Rusia. Beliau ahli pengobatan. Setelah tugasnya di Jawa selesai
Maulana Ishak pindah ke Samudra Pasai dan wafat di sana. (3) Syekh Jumadil
Qubro, berasal dari Mesir. Beliau berdakwah keliling. Makamnya di Troloyo
Trowulan, Mojokerto Jawa Timur. (4) Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal
10 Tatar ialah penamaan untuk daerah yang keadaan tanahnya berbukit-bukit.
11Karomah adalah kelebihan-kelebihan manusia yang dikasihi oleh Allah yang bertaraf aulia (wali). Karomah ini umumnya ditujukan untuk menjaga dan mengembangkan ajaran-ajaran Allah. Para aulia yang memperoleh karomah ini adalah manusia-manusia pilihan Allah yang selalu mendekatkan diri kepada-Nya, melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah, dan juga senantiasa mengabdi untuk kepentingan agama Allah. Di peringkat Rasul dan Nabi Allah, Tuhan memberikan wahyu, kepada mereka ini diberikan karomah.
131
dari Maroko, beliau berdakwah keliling. Wafat tahun 1465 M. Makamnya di
Jatinom Klaten, Jawa Tengah. (5) Maulana Malik Isroil berasal dari Turki, ahli
mengatur negara. Wafat tahun 1435 M. Makamnya di Gunung Santri. (6) Maulana
Muhammad Ali Akbar, berasal dari Persia Iran. Ahli pengobatan. Wafat 1435 M.
Makamnya di Gunung Santri. (7) Maulana Hasanuddin berasal dari Palestina,
berdakwah keliling, wafat pada tahun 1462 M. Makamnya di samping masjid
Banten Lama. (8) Maulana Alayuddin berasal dari Palestina, berdakwah keliling,
wafat pada tahun 1462 M. Makamnya di samping masjid Banten Lama. (9) Syekh
Subakir, berasal dari Persia, ahli menumbali (metode rukyah) tanah angker yang
dihuni jin-jin jahat yang menyesatkan manusia. Setelah para jin tadi menyingkir
lalu tanah yang telah dibersihkan dari jin jahat tersebut dijadikan pesantren. Setelah
banyak tempat yang ditumbali (dengan rajah asma suci). Maka Syekh Subakir
kembali ke Persia pada tahun 1462 M dan wafat di sana. Salah seorang pengikut
atau sahabat Syekh Subakir tersebut ada di sebelah utara Pemandian Blitar, Jawa
Timur. Di sana terdapat peninggalan Syekh Subakir berupa sajadah yang terbuat
dari batu kuno (Mohamad Dahlan, 1979:84).
Kemudian masuklah periode wali songo kedua. Pada periode kedua ini
masuklah tiga orang wali menggantikan tiga wali yang wafat. Ketiganya adalah: (1)
Raden Ahmad Ali Rahmatullah, datang ke Jawa pada tahun 1421 M menggantikan
Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M. Raden Rahmat atau Sunan Ampel
berasal dari Muangthai Selatan (Thailand Selatan). (2) Sayyid Ja’far Shodiq berasal
dari Palestina, datang di Jawa tahun 1436 menggantikan Malik Isro’il yang wafat
pada tahun 1435 M. Beliau tinggal di Kudus sehingga dikenal dengan Sunan
Kudus. (3) Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, berasal dari Palestina.
132
Datang di Jawa pada tahun 1436 M, menggantikan Maulana Ali Akbar yang wafat
tahun 1435 M. Sidang walisongo yang kedua ini diadakan di Ampel Surabaya.
Para wali kemudian membagi tugas. Sunan Ampel, Maulana Ishaq, dan
Maulana Jumadil Kubro bertugas di Jawa Timur. Sunan Kudus, Syekh Subakir dan
Maulana Al-Maghrobi bertugas di Jawa Tengah. Syarif Hidayatullah, Maulana
Hasanuddin, dan Maulana Aliyuddin di Jawa Barat. Dengan adanya pembagian
tugas ini maka masing-masing wali telah mempunyai wilayah dakwah sendiri-
sendiri, mereka bertugas sesuai keahlian masing-masing.
Kemudian masuk periodesasi walisongo periode ketiga, Pada tahun 1463
M, masuklah menjadi anggota walisongo yaitu: (1) Sunan Giri kelahiran
Blambangan Jawa Timur, putra dari Syekh Maulana Ishak dengan putri Kerajaan
Blambangan bernama Dewi Sekardadu atau Dewi Kasiyan. Raden Paku ini
menggantikan kedudukan ayahnya yang telah pindah ke negeri Pasai. Karena
Raden Paku tinggal di Giri maka beliau lebih terkenal dengan sebutan Sunan Giri.
Makamnya terletak di Gresik Jawa Timur. (2) Raden Said, atau Sunan Kalijaga,
kelahiran Tuban Jawa Timur. Beliau adalah putra Adipati Wilatikta yang
berkedudukan di Tuban. Sunan Kalijaga menggantikan Syekh Subakir yang
kembali ke Persia. (3) Raden Makdum Ibrahim, atau Sunan Bonang, lahir di Ampel
Surabaya. Beliau adalah putra Sunan Ampel, Sunan Bonang menggantikan
kedudukan Maulana Hasanuddin yang wafat pada tahun 1462. Sidang Walisongo
yang ketiga ini juga berlangsung di Ampel Surabaya.
Kemudian masuk lagi walisongo periode ;keempat, Pada tahun 1466
diangkat dua wali menggantikan dua yang telah wafat yaitu Maulana Ahmad
Jumadil Kubro dan Maulana Muhammad Maghrobi. Dua wali yang
133
menggantikannya ialah: (1) Raden Patah adalah murid Sunan Ampel, beliau adalah
putra Raja Brawijaya Majapahit. Beliau diangkat sebagai Adipati Bintoro pada
tahun 1462 M. Kemudian membangun Masjid Demak pada tahun 1465 dan
dinobatkan sebagai Sultan Demak pada tahun 1468. (2) Setelah itu Fathullah Khan,
putra Sunan Gunungjati, beliau dipilih sebagai anggota walisongo menggantikan
ayahnya yang telah berusia lanjut.
Walisongo periode kelima, dalam periode ini masuk Sunan Muria atau
Raden Umar Said, putra Sunan Kalijaga menggantikan wali yang wafat. Konon
Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang itu adalah salah satu anggota walisongo,
namun karena Siti Jenar di kemudian hari mengajarkan ajaran yang menimbulkan
keresahan umat dan mengabaikan syariat agama, maka Siti Jenar dihukum mati.
Selanjutnya kedudukan Siti Jenar digantikan oleh Sunan Bayat, bekas Adipati
Semarang (Ki Pandanarang) yang telah menjadi murid Sunan Kalijaga.
Walisongo atau walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah
Jawa pada abad ke 14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau
Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di
Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
Era walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Buddha dalam
budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah
simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain
yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan
Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara
luas serta dakwah secara langsung, membuat para walisongo ini lebih banyak
disebut dibanding yang lain.
134
Ada beberapa pendapat mengenai arti walisongo. Pertama adalah wali yang
sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam
bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata
tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata
sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.
Pendapat lain yang mengatakan bahwa walisongo adalah sebuah majelis
dakwah yang pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah). Saat itu, majelis dakwah walisongo
beranggotakan Maulana Malik Ibrahim sendiri, Maulana Ishaq (Sunan Wali
Lanang), Maulana Ahmad Jumadil Kubro (Sunan Kubrawi); Maulana Muhammad
Al-Maghrabi (Sunan Maghribi); Maulana Malik Isra'il (dari Champa), Maulana
Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin, Maulana Aliyuddin, dan Syekh
Subakir.
Dari nama para walisongo tersebut, pada umumnya terdapat sembilan nama
yang dikenal sebagai anggota walisongo yang paling terkenal, yaitu: (1) Sunan
Gresik atau Maulana Malik Ibrahim, (2) Sunan Ampel atau Raden Rahmat, (3)
Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim, (4) Sunan Drajat atau Raden Qasim,
(5) Sunan Kudus atau Ja'far Shadiq, (6) Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul
Yaqin, (7) Sunan Kalijaga atau Raden Said, (8) Sunan Muria atau Raden Umar
Said, dan (9) Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah.
3.3 Islam di Tatar Sunda
Seperti sudah diuraikan pada Bab II, bahwa agama Islam masuk ke dalam
kehidupan orang-orang Sunda dengan damai dan masif sejak pertengahan abad
135
XVI. Dimulai dari dari kaawasan Sagalaherang, yaitu datangnya seorang pengelana
Islam yang berusia muda bersama beberapa orang pengikutnya. Mereka berasal
dari Talaga. Pada saat itu di Sagalaherang ini masyarakatnya masih beragama
Hindu. Kemudian mereka menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat di
tempat kediamannya yang baru itu.
Pemuda itu adalah Aria Wangsa Goparana yang merupakan putera dari
Sunan Wanapen, yaitu seorang raja yang beragama Islam di daerah Talaga.
Menurut silsilahnya Sunan Wanapen ini merupakan putera Sunan Ciburuang putera
Sunan Wana Wangsaperi (Ciburuang), Ciburangrang dari Limbangan. Selain itu,
dari pihak ibunya Goparana adalah putera Talaga keturunan Ratu Galuh dan
Siliwangi (raja Pajajaran). Ia adalah seorang pemuda yang selalu memiliki
keinginan untuk mendalami dan menghayati ilmu agama Islam. Beliau ini hidup
pada waktu yang sama dengan Sunan Gunung Jati di Cirebon. Seperti diketahui
bahwa Sunan Gunung Jati adalah salah seorang Sunan dalam Wali Songo
(Sembilan Aulia) yang menyebarkan Islam di Tanah Jawa, termasuk ke Sunda.
Atas kegiatan Sunan Gunung Jati dan para pembantunya, agama Islam
menyebar di kalangan rakyat Jawa Barat bagian timur yaitu Kuningan, Talaga.
Majalengka, Sumedang, Garut, Galuh, di Talaga Ana. Wangsa Goparana
merupakan orang yang pertama kali memeluk Agama Islam. la melihat masa
depan kehidupannya penuh dengan kegiatan sesuai dengan semangat pengorbanan
untuk menyebarkan Agama Islam di tempat-tempat yang belum dikenalnya, la
ingin menyumbangkan tenaganya untuk membantu pekerjaan Sunan Gunung Jati,
menarik rakyat Jawa Barat ke dalam lingkungan masyarakat Islam. Ia mengetahui
bahwa bagian timur Jawa Barat dari Indramayu sampai Galuh sudah berangsur-
136
angsur menerima agama baru tersebut. Dengan demikian ia memutuskan untuk
memasuki daerah yang rakyatnya belum mengenal agama Islam. Ia menempuh
jalan raya dari Talaga menuju ke daerah pegunungan di sebelah utara Gunung
Tangkuban Parahu. Aria Wangsa Goparana mendekati daerah pusat kerajaan
Pajajaran. Proses hijrah beliau ke Segalaherang itu dilakukannya sesudah tahun
1530 (Bapeda Subang, 2010:20).
Sejak saat itu proses pengislaman masyarakat Sunda di Jawa Barat kian
meluas. Islam diterima dengan damai dan tanpa paksaan. Proses penyebaran Islam
ke Tatar Sunda ini adalah melalui para bangsawan atau penguasa kerajaan-kerajaan
di Tanah Sunda. Hingga di abad ke-21 ini mayoritas suku Sunda adalah beragama
Islam. Mengkaji budaya Sunda sekali gus mengkaji Islam yang telah “dibumikan”
di Tanah Sunda.
Menurut penjelasan Ahwi (wawancara 3 November 2011), para mubaligh
Islam dalam mengembangkan ajaran Islam selain ceramah secara verbal, mereka
ini juga menggunakan seni-seni pertunjukan Islam. Ini terjadi sejak awal
perkembangan Islam di Tanah Sunda yaitu pertengahan abad ke-16. Yang paling
menonjol adalah kesenian yang menggunakan alat musik rebana yang disebut
dengan genjring. Namun demikian unsur musikal Sunda disertakan dalam seni-
seni Islam ini. Para pengembang agama Islam tidak menggunakan media maqamat
(tangga-tangga nada) yang berasal dari Timur Tengah. Mereka menggunakan
sistem tangga nada modus salendro dan pelog di dalam menggarap komposisi seni
musik Islam ini. Hal yang sama terjadi juga di dalam kebudayaan Jawa. Bagaimana
pun sesama sunan yang sembilan itu di Tanah Jawa selalu berkomunikasi dalam
rangka melakukan strategi pengembangan Islam di Pulau Jawa dan sekitarnya.
137
Seni genjring bonyok dan tardug adalah hasil dari kebudayaan Sunda yang
berdasar kepada peradaban Islam. Seni ini mengalami perkembangan dan
kontinuitas sesuai dengan perkembangan zaman yang dilaluinya. Pada prinsipnya
selain seni Islam, di Tanah Sunda juga berkembang seni-seni yang telah ada
sebelumnya seperti ketuk tilu dan tayub, namun disesuaikan juga dengan peradaban
Sunda Islam. Berikut diuraikan sejarah (kontinuitas dan perubahan) genjring
bonyok khususnya yang terdapat di Desa Cidadap sebagai pusat kesenian ini yang
tumbuh dan berkembang di seputar dekade 1950-an.
Gambar 3.1: Lukisan Sunan Gunung Jati Membawa
Kesenian Islam di Tanah Sunda (sumber: http://id.wikipedia.org).
3.4 Sejarah Genjring Bonyok di Desa Cidadap
Dalam kebudayaan Sunda terutama di kawasan Subang, kesenian Islam
yang umum dijumpai umumnya adalah memakai istilah genjring. Dalam bahasa
138
Indonesia genjring ini adalah alat musik rebana, yaitu alat musik frame drum satu
sisi, yang dimainkan dengan salah satu telapak tangan pemainnya.
Adapun seni pertunjukan Islam yang mengguanakan nama genjring adalah
genjring sholawatan12 (genjring umbul-umbul), genjring rudat, genjring adem
ayem, genjring bonyok (genjring ronyok), dan lain-lainya. Dengan demikian alat
musik genjringini mendapat peran penting dalam seni Islam di Subang Jawa
Barat.13
Munculnya genjring bonyok sebagai suatu kesenian di dalam masyarakat
Sunda, agaknya tidak terlepas dari keberadaan kesenian rakyat Sunda lainnya yang
telah lebih dahulu dikenal masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari pertunjukannya
yang menggunakan instrumen musik genjring dan bedug, seperti yang juga
dipergunakan oleh kesenian genjring sholawat, rudat, dan adem ayem. Beberapa
pendapat warga masyarakat di desa Cidadap maupun di Kecamatan Pagaden,
mengindikasikan bahwa munculnya genjring bonyok memiliki hubungan erat
khususnya dengan keberadaan genjring sholawat atau genjring umbul-umbul di
daerah mereka.
12Sholawat, selawat, atau shalawat (bahasa Arab: لوات adalah bentuk jamak dari kata (صsalat yang berarti doa atau seruan kepada Allah. Membaca selawat untuk Nabi, memiliki maksud mendoakan atau memohonkan berkah kepada Allah SWT untuk Nabi Muhammad dengan ucapan, pernyataan, serta pengharapan, semoga beliau (Nabi Muhammad) sejahtera (beruntung, tidak kurang suatu apapun, keadaannya tetap baik dan sehat). Salam berarti damai, sejahtera, aman sentosa dan selamat. Jadi saat seorang muslim membaca selawat untuk Nabi, dimaksudkan mendoakan beliau semoga tetap damai, sejahtera, aman sentosa, dan selalu mendapatkan keselamatan.
13Dalam konteks Nusantara, munculnya nama seni berdasarkan alat musik ini juga terjadi di dalam beberapa seni etnik di Indonesia. Dalam kebudayaan Jawa dikenal dengan seni terbangan, dengan berbagai versinya seperti tebangan kuntulan, terbangan hadrah, terbang Jawan, terbangan rodat, dan lain-lainnya. Di dalam kebudayaan masyarakat Aceh rebana ini lazim disebut dengan alat musik rapa’i, yang berakasal dari penyebutan Tarekat Rifaiyah. Genre musik yang berdasar kepada rebana rapa’i ini terdiri dari berbagai jenis menurut pengembangannya di dalam masyarakat. Adapun jenis-jenis rapa’i itu adalah: rapa’i geuleung, rapa’i pulot, rapa’i laghee, rapa’i geurimpeng, rapa’i Passe, dan lain-lain. Di dalam budaya Melayu ada juga jenis-jenis rebana yaitu: rebana ubi, rebana joget (ronggeng), rebana zapin, rebana Medan, rebana kompang yang merujuk kepada jenis dan ukuran gendang rebana dalam kebudayaan Melayu.
139
Gambar 3.2: Alat Musik Genjring (Rebana)
Menurut pengakuan Dulhatim dan Ahwi, 14 sejak tahun 1930-an, yaitu
masih dalam masa penjajahan Belanda, masyarakat di Desa Cidadap telah
mengenal kesenian genjring sholawat atau genjring umbul-umbul. Kemudian di
tahubn 1940-an muncul satu lagi genre yang mirip yaitu genjring bonyok.
Pada masa dekade 1930-an itu kesenian genjring sholawat ini dikenal
masyarakat sebagai "kesenian untuk ngarak," khususnya untuk pengantin (dari
rumah ke Kantor Urusan Agama/ KUA dan sebaliknya). Begitu juga untuk anak
yang akan disunat (dari rumah ke mesjid dan sebaliknya), atau seorang anak yang
telah menyelasaikan seluruh pengajian kitab Al-Qur’an yang lazim disebut upacara
14Dulhatim dan Ahwi adalah warga masyarakat Desa Cidadap. Dulhatim dikenal sebagai
salah seorang seniman gembyung di Desa Cidadap, sedangkan Ahwi adalah salah seorang tokoh yang dituakan di Desa Cidadap. Kedua orang ini dalam penelitian yang penulis lakukan adalah berkapasitas sebagai informan pangkal.
140
khataman. Keterangan ini dipertegas lagi oleh Dede15 yang menyebutkan bahwa
genjring sholawat pada masa itu telah dikenal luas oleh masyarakat, sebagai salah
satu kesenian vang dipergunakan dalam konteks perkawinan, khitanan atau
khataman.
Selama beberapa tahun kesenian ini berkembang, menjelang tahun 1950-an
masyarakat pun mulai jarang menggunakannya. Hal tersebut dikarenakan mereka
lebih menggemari kesenian-kesenian tradisi, seperti: ketuk tilu, sisingaan, pencak
silat, jaipongan, dan lain-lain.
Kemudian pada tahun 1969 warga masyarakat di desa Cidadap dan
sekitarnya, kembali menyaksikan pertunjukan genjring. Tepatnya di desa Sumur
Gintung (sebelah selatan Cidadap), dalam suatu arak-arakan khitanan. Sejak saat
itu. pula. masyarakat diperkenalkan dengan bentuk kesenian genjring yang relatif
baru. Meskipun secara musikal kesenian ini berbeda dengan kesenian genjring
sholawat sebelumnya, namun masyarakat menyambut baik kehadiran kesenian
yang kemudian disebut genjring bonyok ini. Sambutan dan dukungan yang baik ini
diperlihatkan dengan seringnya masyarakat mengundangnya dalam acara khitanan,
perkawinan, maupun ruwatan.
15Deden atau Raden Deden Komassasmita, adalah seorang pengamat seni yang saat ini
aktif sebagai penilik kebudayaan di Kecamatan Pagaden, Kabupaten Subang -Jawa Barat. Beliau juga selalu memberikan ceramah-ceramah dan penyuluhan tentang kebudayaan Sunda pada umumnya, juga kesenian Islam seperti genjring bonyok, genjring rudat, genjring sholawat, dan juga tardug, kepada masyarakat Sunda yang memerlukannya.
141
3.4.1 Perkembangan Genjring Sholawat menjadi Genjring Bonyok
Dari pendapat yang dikemukakan oleh beberapa warga masyarakat Cidadap
tersebut, memperlihatkan adanya hubungan antara genjring sholawat dengan
Genjring Bonyok. Dan hubungan di antara kedua kesenian ini, juga terlihat dari
persamaan unsur instrumen musik (genjring dan bedug) dan konteks
pengunaannya.
Dari tulisan-tulisan yang telah membicarakan keberadaan genjring bonyok
di kecamatan Pagaden, secara khusus tidak terdapat pendapat yang membicarakan
hubungan antara genjring sholawat dengan genjring bonyok. Namun di bawah ini
saya akan memaparkan dua versi pendapat yang membicarakan asal-usul
perkembangan genjring sholawat menjadi genjring bonyok, yaitu oleh Sutarja dan
Edih, A.S. Sebagai seorang seniman benjring bonyok, Sutarja berpendapat bahwa
berkembangnya genjring sholawat menjadi genjring bonyok sebelumnya diawali
dengan beberapa perubahan bentuk kesenian.
Pada mulanya istilah genjring dikenal sebagai istilah kesenian yang
bernafaskan Islam, yaitu genjring sholawat atau genjring umbul-umbul. Pemakaian
istilah genjring ini mungkin didasarkan atas penggunaan instrumen genjring serta
bedug untuk mengiringi lagu-lagu sholawatan (pupujian), atau lagu-lagu yang
berasal dari kitab Barzanji. Di samping itu penggunaan kesenian ini pun tidak
terlepas dari konteks dimana agama Islam turut berperan, yaitu ketika
melaksanakan akad-nikah, khitanan, atau khataman Al-Qur’an.
Setelah kelompok-kelompok kesenian ini tidak lagi mengadakan
pertunjukkan, muncullah kesenian rudatan yang mengadopsi instrumen genjring
sholawat dan komposisi lagunya yang bernafaskan Islam. Kemudian setelah
142
rudatan tidak lagi memperlihatkan kelanjutannya, kesenian genjring kembali
berkembang dalam bentuk kesenian adem ayem. Dari segi instrumen musik dan
jenis komposisi lagu, kesenian adem ayem tidak berbeda dengan kesenian rudatan.
Akhirnya setelah kelompok-kelompok adem ayem tidak lagi mengadakan
pertunjukan, muncullah kesenian genjring bonyok namun dengari penambahan-
instrumen musik, konteks penggunaannya, dan perubahan pada komposisi lagunya.
Berbeda dengan pendapat Sutarja, Edih A.S. mengemukakan bahwa
perkembangan genjring sholawat menjadi genjring bonyok tanpa didahului dengan
bentuk kesenian lain. Genjring bonyok langsung saja dikembangkan dari genjring
sholawat.
Menurut beliau adalah terlalu dini apabila melihat munculnya genjring
bonyok berasal dari kesenian rudat atau adem ayem. Hal tersebut dikarenakan
dalam segi teknik dan konteks penggunaan, kesenian rudat maupun adem ayem
sangat berbeda dengan genjring sholawat maupun genjring bonyok. Adapun bila
ada unsur lagu genjring bonyok yang berasal dari rudatan atau adem ayem,
menurutnya merupakan hal yang wajar. Keadaan tersebut dapat terjadi karena
genjring bonyok tumbuh dan dibentuk di dalam lingkungan yang memiliki beragam
jenis kesenian, maka pengaruh dari kesenian lain (seperti rudatan atau adem
ayem) dapat saja terjadi.
Beranjak dari kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa Sutarja
memandang perubahan genjring sholawat menjadi genjring bonyok tidak terjadi
secara langsung. Melainkan didahului dengan terjadinya perubahan bentuk
kesenian lain. Namun berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dalam penelitian,
143
pendapatnya ini tidak dapat sepenuhnya menjelaskan hubungan diantara kesenian-
kesenian tersebut.
Hal ini dikarenakan hubungan antara rudatan dan adem ayem dengan
genjring sholawat hanya terlihat dari persamaan unsur instrumen musik dan
komposisi lagunya. Sedangkan dari unsur teknik pertunjukan dan konteks
penggunaan, rudatan maupun adem ayem tidak berkaitan dengan proses
pengarakan dalam konteks perkawinan, khitanan, atau khataman. Melainkan
keduanya merupakan pertunjukan tontonan massa yang dipergunakan untuk
mengiringi atraksi pencak silat (rudatan) atau adegan akrobatik (adem ayem), yang
disajikan dari suatu tempat ke tempat lainnya. Dengan demikian keadaan kedua
kesenian ini juga berbeda dengan teknik dan konteks penyajian genjring bonyok
yang berkembang saat ini.
Meskipun Sutarja merupakan seniman genjring bonyok yang memiliki
peranan dalam pembentukan kesenian ini, namun pemahamannya mengenai proses
perubahan genjring sholawat menjadi genjring bonyok, agaknya dipengaruhi oleh
dua hal. Pertama, oleh karena latar belakang Sutarja sebagai seorang seniman.
maka ia melihat perubahan kesenian genjring dari satu bentuk ke bentuk lainnya
didasarkan atas keterlibatannya dalam kesenian-kesenian yang telah disebutkannya
di atas.
Kedua, karena Ia melihat perubahan tersebut dari periodisasi waktu
berkembangnya jenis-jenis kesenian yang berbeda, namun menggunakan beberapa
unsur yang sama. Dan hubungan diantara kesenian-kesenian tersebut hanya
terbatas pada penggunaan instrumen musik dan kompisisi lagu yang sama.
144
Berbeda dengan Sutarja, Edih A.S. berpendapat bahwa genjring sholawat
mengalami perubahan bentuk menjadi genjring bonyok tanpa didahului dengan
bentuk kesenian lain. Hal ini diperlihatkan dengan teknik pertunjukan dan konteks
penggunaan genjring bonyok, yang tidak jauh berbeda dengan genjring sholawat.
Pada lain segi, keadaan tersebut diperkuat lagi oleh adanya pola permainan
instrumen musik genjring bonyok yang mengadopsi pola permainan genjring
sholawat. Yaitu pengadopsian pola pukulan tabeuhan genjring sholawat yang
sangat sederhana, kedalam pola pukulan genjring bonyok (seperti Gederan). Pola
pukulan yang sederhana ini tidak terdapat dalam pola pukulan genjring pada
kesenian rudat maupun adem ayem yang sangat bervariasi.
Untuk melihat perbandingan yang jelas dari kedua Pendapat tersebut di
atas. dapat dilihat pada tabel berikut ini.
145
Tabel 3.1 Perbedaan Struktur Pertunjukan dan Konteks genjring Sholawatan,
Rudatan, Adem Ayem, dan Genjring Bonyok.
No
Unsur Pertunjukan
Genjring Sholawat
Rudatan Adem Ayem Genjring Bonyok
Tardug
1.
Jenis Penyajian
Vokal dan instrumental
Pencak silat dengan iringan vokal dan instrumental
Akrobatik dengan iringan vokal dan instrumental
Instrumental Vokal dan Instrumental
2.
Instrumentasi (musik/peralatan pendukung)
a. Genjring 4 buah
b. Bedug sebuah
a. Genjring 4 buah b. Bedug
sebuah c. Tongkat d. Parang
(golok)
a.Genjring 4 buah b. Bedug
sebuah c.Tali tambang d. Tangga e.Bambu f. Sepeda
a. Genjring 4 buah
b. Bedug sebuah
c. Tarompet sebuah
d. Kecrek sebuah
e. Goong sebuah
a. Genjring 4 buah
b. Bedug sebuah
c. Gitar d. Keyboar
d
3.
Perbendaharaan lagu-lagu
Lagu-lagu sholawatan (pupujian)
Lagu-lagu sholawatan (pupujian)
Lagu-lagu sholawatan (pupujian)
Lagu-lagu tradisi dari: kliningan, ketuk tilu, jaipongan, pencak silat, geiribyung, adem ayem, dsb.
Lagu-lagu tradisi dan dangdutan, pop Sunda dan Indonesia
4.
Teknik pertunjukan
Arak-arakan Arak-arakan atau di atas panggung
Pagelaran diadakan di tempat yang luas
Arak-arakan dan dudukan
Arak-arakan dan pentas
5.
Konteks penggunaan
a. Khitanan b. Per
kawinan c. Khataman
Berdasarkan undangan dari masyarakat (tidak terikat pada konteks tertentu)
Berdasarkan undangan dari masyarakat (tidak terikat pada konteks tertentu)
a. Khitanan b. Perkawinan c. Selamatan d. Acara-acara
nasional e. Perayaan
Desa
a. Khitanan
b. Perkawinan
c. Selamatan
d. Acara-acara nasional
e. Perayaan Desa
146
3.4.2 Peranan kelompok Sinar Pusaka dalam membentuk dan
mengembangkan kesenian
Hubungan yang terjadi antara genjring bonyok dan genjring sholawat di
Desa Cidadap sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa pendapat di atas,
diperjelas dengan sejarah berdirinya kelompok kesenian genjring bonyok yang
pertama sekali di desa Cidadap. Dalam hal ini pendapat yang dikemukakan oleh
Edih A.S. merupakan asumsi yang mendekati penjelasan tentang terjadinya proses
perubahan kesenian genjring menjadi genjring bonyok. Untuk melihat proses
terbentuknya kesenian genjring bonyok, di bawah ini saya akan memaparkan
proses pembaharuan kesenian yang dilakukan Kelompok Sinar Pusaka.
Sinar Pusaka pada awalnya adalah sebuah kelompok kesenian genjring
sholawat yang bernama Sinar Harapan. Kelompok ini awalnya berada di Dusun
Bunut, Desa Pangsor (berbatasan dengan sebelah timur Cidadap). Pada awal
kelompok kesenian ini berdiri, pertama sekalinya dipimpin oleh Sajem (1960-
1968). Setelah beliau memimpin selama delapan tahun, mulai tahun 1968-1975
kepemimpinan Sinar Harapan diserahkan kepada Talam.
Pada masa kepemimpinan Talam, yaitu sekitar tahun 1969, kelompok
kesenian genjring ini mulai sangat jarang digunakan dalam hajatan-hajatan yang
diadakan warga masyarakat. Berlangsungnya keadaan tersebut semakin lama
menjadikan kelompok ini tidak pernah lagi mengadakan pertunjukan .
Bergerak dari kondisi yang dialami kelompok Sinar Harapan, Sutarja
sebagai salah satu anggotanya membuat inisiatif untuk menggunakan instrumen
genjring dan bedug dalam suatu bentuk kesenian yang berbeda dari bentuk
kesenian sebelumnya (genjring sholawat). Berbekal dengan instrumen musik yang
147
dimiliki Sinar Harapan, Sutarja yang memperoleh dukungan dari Sajem dan Talam,
mulai menciptakan bentuk kesenian genjring yang relatif baru.
Menurut Sutarja, proses pembentukan genjring bonyok tersebut dimulai
dengan pengadopsian instrumen musik tarompet yang telah umum dipergunakan
dalam kesenian tradisi Sunda di Kabupaten Subang. Hal ini ditandai dengan
bergabungnya Taslim (mantan seniman Sisingaan) ke dalam kelompok Sinar
Harapan.
Pengadopsi instrumen musik tarompet ini bertujuan untuk mendapatkan
komposisi lagu yang lebih beragam, dan telah dikenal masyarakat dari kesenian
tradisi Sunda yang lain. Dengan demikian dalam penyajiannya, ia dapat mengikuti
perkembangan lagu-lagu yang dimiliki oleh kesenian-kesenian tradisi Sunda yang
sedangkan berkembang pada masa itu.
Dengan masuknya instrumen tarompet ini secara langsung menandai pula
berubahnya dua unsur pertunjukannya. Yaitu berubahnya peranan pembawa melodi
yang semula dibawakan oleh suara vokal manusia, dan berubahnya komposisi
lagu-lagunya menjadi komposisi lagu-lagu kesenian tradisi Sunda yang berasal dari
jenis keseruan lain.
Untuk menyesuaikan pola permainan instrumen musik dengan komposisi
lagu yang baru pula, secara bidak langsung terjadi perubahan dalam pola
permainan instrumen musiknya. Khususnya pada instrumen musik genjring dan
bedug, yang mengadopsi pola pukulan (tebeuhan) dari instrumen musik kendang
(conical drum-doblehead).
Pertunjukan pertama kelompok Sinar Harapan dengan bentuk kesenian
genjring yang relatif baru ini, dilakukan pada acara khitanan keluarga Rusmin, di
148
Desa Sumur Gintung (sebelah Selatan Cidadap) pada tahun 1969. Sesuai dengan
pola berkesenian masyarakat setempat pada masa itu, pertunjukan kesenian
Genjring Sinar Harapan tersebut ditampilkan bersama-sama dengan kesenian
gembyung, pencak silat, sisingaan, dan reog.
Pada tahun 1973, kelompok kesenian Sinar Harapan pindah ke Desa
Cidadap. Hal ini disebabkan pindahnya Sutarja setelah ia menikahi gadis dari desa
tersebut. Sejak kepindahannya itu pula kelompok Sinar Harapan yang semula
dipimpin oleh Talam diserahkan kepada Sutarja. Pada saat pergantian
kepemimpinan kelompok Sinar Harapan pun secara resmi menjadi kelompok
kesenian Genjring Bonyok dengan nama Sinar Pusaka.
Dalam perkembangan selanjutnya, setelah instrumen musik tarompet
menjadi bagian dari pertunjukan genjring bonyok. Tahun 1975 kelompok ini
kembali mengadopsi instrumen musik goong dan kecrek. Menurut Sutarja
penambahan kedua instrumen musik ini disebabkan agar dalam penyajian
musiknya terasa lebih enak didengar).
Sejak masuknya kedua instrumen ini ditandai pula dengan terjadinya
penambahan dari unsur teknik pertunjukan, yaitu mulai dilakukannya pertunjukan
dudukan dan terjadinya pemisahan pertunjukan arak-arakan antara sisingaan
dengan genjring bonyok. Menurut Sutarja, munculnya teknik pertunjukan dudukan
dan pemisahan pertunjukan dengan sisingaan, dipengaruhi oleh kebutuhan
masyarakat untuk melihatnya dalam suatu tempat atau panggung tertentu. Keadaan
ini dilakukan sejak genjring bonyok digunakan dalam konteks perkawinan. Namun
sejak tahun 1985 genjring bonyok dan sisingaan kembali bergabung dalam
pertunjukan arak-arakan.
149
Pada tahun 1980-an, konteks penggunaan genjring bonyok mulai
bertambah. Yaitu adanya permintaan masyarakat agar kesenian ini menghibur pada
acara ruwatan (syukuran). Kemudian pada tahun 1983, ia mulai digunakan untuk
mengisi hiburan dalam menyambut hari-hari Nasional, perayaan desa, maupun
dalam rangka menyambut tamu di Desa Cidadap dan Kecamatan Pagaden.
Pada awal genjring bonyok muncul dengan bentuk kesenian genjring yang
relatif baru, minat masyarakat Cidadap terhadap kesenian ini sangat besar. Menurut
Sutarja fenomena tersebut dikarenakan bentuk pertunjukan genjring baru ini dapat
menyesuaikan keinginan masyarakat terhadap materi-materi lagu yang terdapat
dalam kesenian tradisi yang lain, tanpa meninggalkan karakteristik permainan
genjring dan bedugnya. Dengan kondisi yang demikian menyebabkan masyarakat
tidak sungkan untuk menggunakan kesenian ini dalam konteks-konteks tradisi
maupun nasional.
Dikenalnya kesenian genjring bonyok secara luas di Desa Cidadap maupun
desa-desa sekitarnya, menyebabkan kelompok Sinar Harapan sejak tahun 1977-
1990 sering diundang untuk mengadakan pertunjukan-pertunjukan ke luar daerah
Subang, seperti: Bogor, Cirebon, Bandung, Bekasi, Purwakarta, Sumedang,
Jakarta, dan lain-lain. Bahkan dalam peristiwa- peristiwa yang bersifat nasional,
seperti: festival kesenian seluruh Kabupaten Jawa Barat (1985), mengsisi acara di
Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dan Televisi Republik Indonesia (TVRI)
(1985), pada Hari Jadi Kota Bandung, dan dalam menyambut tamu negara dari
Nepal.
Dikarenakan minat dan permintaan masyarakat yang cukup besar pada
kesenian genjring bonyok, maka Sutarja pun mulai mengajarkan kesenian ini dari
150
desa Cidadap. Usaha mengembangkan kesenian ini diawali dengan menyarankan
kepada para anggota Sinar Pusaka untuk membentuk kelompok genjring yang baru
di dusun-dusun mereka. Usaha tersebut ditambah lagi dengan peranan Sutarja
dalam melatih sepuluh orang seniman yang berasal dari berbagai dusun dan desa di
Kabupaten Subang.
Dari sepuluh orang seniman yang dilatih Sutarja, adalah seniman yang
berasal dari dusun Bonyok, Desa Pangsor (Rasita), yang memper1ihatkan
kemampuan dalam mempertunjukan kesenian genjring bonyok ini. Me1a1ui
ke1ompok genjring bonyok yang dipimpin oleh Rasita dari Dusun Bonyok,
kesenian ini pun mulai berkembang pesat dan dikenai masyarakat di luar dari
Kecamatan Pagaden. Dengan demikian selain dari kelompok Sinar Pusaka,
masyarakat pun mulai mengakui kemampuan kelompok genjring bonyok yang
dipimpin Rasita.
Seiring dengan dikenalnya bentuk kesenian genjring ini, istilah-isti1ah
yang ditujukan kepadanya pun mu1ai berkembang di masyarakat. Pada awalnya
kesenian ini disebut dengan nama genjring ronyok. Menurut Sutarja istilah ini
diberikan karena jika kesenian genjring tersebut disajikan, hampir seluruh arena
penyajiannya dipenuhi oleh penonton yang menari dan mengikutinya. Sehingga
fenomena kesenian tersebut memberi kesan meriah, yang dalam bahasa Sunda
disebut dengan ronyok (ngaronyok).
Kemudian mu1ai tahun 1977, istilah genjring ronyok mengalami perubahan
menjadi genjring bonyok. Menurut Sutarja istilah ini muncul disebabkan kelompok
genjring pimpinan Rasita dari Dusun Bonyok, lebih .sering melakukan pertunjukan
di dalam maupun di luar Kecamatan Pagaden. Sehingga melalui kelompok Rasita
151
dari Desa Bonyok inilah, masyarakat luas lebih mengenal kesenian ini dengan
sebutan genjring bonyok.
Fenomena perkembangan yang pesat dari kesenian genjring bonyok dapat
dilihat dari data statistik kesenian Kabupaten Subang tahun 1996-1997, yang
menunjukkan adanya 1ebih dari 50 kelompok kesenian genjring bonyok yang
tersebar di berbagai tempat di Kabupaten Subang.
Dari data-data yang telah di paparkan di depan, dapat simpulkan bahwa
terbentuknya kesenian genjring bonyok merupakan kelanjutan dari proses
perubahan kesenian yang telah ada sebelumnya. Proses perubahan kesenian ini
berupa pembaharuan unsur-unsur kesenian menjadi suatu bentuk kesenian yang
relatif berbeda dengan kesenian yang telah ada sebelumnya. Fenomena ini menurut
Sedyawati (1980) merupakan Proses yang sering ditemukan pada suatu bentuk
kesenian yang baru, dimana unsur-unsur kesenian yang baru tersebut selalu
bertolak dari kesenian-kesenian yang telah ada sebelumnya.
Dilihat dari konsep rakyat: dalam konteks seni pertunjukan, maka genjring
bonyok dapat dikatagorikan sebagai seni pertunjukan musik rakyat. Yaitu suatu
seni pertunjukan yang awalnya tumbuh dan berkembang dalam rangka memenuhi
tuntutan kebutuhan masyarakat pedesaan, dalam mengekspresikan rasa syukur dan
gembira sehubungan dengan peristiwa-peristiwa yang mereka hadapi dalam
kehidupan.
Oleh karena ia tumbuh dan berkembang dalam rangka memenuhi
kebutuhan semua golongan masyarakat, maka di dalam perkembangannya genjring
sholawat maupun genjring bonyok tidak mengenal dominasi golongan tertentu.
Oleh karena karena ia merupakan bagian dari ekspresi masyarakat, maka proses
152
perubahan genjring sholawat menjadi bentuk genjring bonyok banyak ditentukan
oleh perubahan kebutuhan masyarakatnya.
Dalam studi etnomusikologi perubahan musik dari suatu bentuk menjadi
bentuk lainnya, merupakan salah satu fenomena yang umumnya terjadi pada
kebudayaan musik yang dikatagorikan sebagai musik rakyat (folk music) (Nettl,
1973). Dalam mengindentifikasikan faktor-faktor yang melatarbelakangi
terbentuknya kesenian genjring bonyok. Penelitian ini mengacu kepada asumsi
Nettl (1973) terhadap perubahan yang terjadi dalam musik rakyat, serta kreteria-
kreteria yang ia gunakan dalam mengkatagorikan musik tersebut.
Dari hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas, terbentuknya kesenian
genjring bonyok dilatarbelakangi oleh beberapa faktor yang berperan dalam
merubah kesenian genjring sholawat, yaitu:
Pertama, dalam tradisi musik rakyat sebagaimana halnya genjring sholawat,
dikembangkan dan dipraktekkan da1am masyarakat melalui tradisi oral. Kenyataan
ini menyebabkan dalam proses perkembangan dan regenerasinya, gaya, komposisi,
dan repertoar musiknya dapat berkembang ataupun mengalami perubahan.
Menurut Nettl dalam tradisi seperti ini, perubahan musik rakyat diijinkan dan
bahkan diharapkan terjadi oleh masyarakatnya. Dari kenyataan inilah Nettl
(1971:177) berpendapat, bahwa dalam tradisi musik rakyat perubahan merupakan
bagian dari sistim musiknya.
Dengan memahami sifat musik yang disebutkan di atas, dapat diperkirakan
bahwa kesenian genjring sholawat yang berkembang di sekitar desa Cidadap sejak
tahun 1930-an, telah mengalami perubahan seiring dengan perubahan kebutuhan
masyarakatnya. Sehingga apabila terjadi suatu kondisi dimana masyarakat tidak
153
lagi membutuhkan kesenian genjring sholawat, kelangsungan hidup kesenian
tersebut akan sangat tergantung kepada faktor-faktor lain dalam masyarakat.
Kedua, adanya faktor kondisi yang merangsang munculnya gagasan-
gagasan baru (kreativitas). Pada kasus perubahan genjring sholawat menjadi
genjring bonyok kondisi yang melatarbelakangi perubahan tersebut adalah
keadaan, di mana pandangan sosial-budaya masyarakat mengalami perubahan.
Perubahan tersebut agaknya memberi pengaruh kepada masyarakat untuk
mengekspresikan rasa musikal mereka dalam kesenian. Hal ini jelas terlihat dari
kurangnya minat masyarakat terhadap kesenian genjring sholawat. Sebaliknya
memberikan perhatian (minat) yang besar terhadap kesenian-kesenian seperti:
jaipongan, ketuk tilu, gembyung, sisingaan, dan lain-lain.
Kondisi ini pada satu pihak menekan keberadaan para seniman genjring
sholawat untuk ikut berpartisipasi da1am berkesenian. Namun di lain pihak hal ini
menawarkan kepada para seniman genjring sholawat untuk melakukan perubahan.
Fenomena perubahan pandangan sosial-budaya masyarakat, sebagaimana
dikemukakan oleh Nettl (1973:5-6) merupakan salah satu faktor yang ikut
menentukan perubahan musik rakyat. Menurutnya, meskipun suatu bentuk musik
rakyat telah cukup lama hidup dalam masyarakat dan memiliki akar dalam
kehidupan mereka, terdapat suatu kemungkinan mengalami perubahan yang besar.
Perubahan tersebut dapat terjadi apabila masyarakat telah lupa atau tidak
lagi meminatinya. Dalam hal ini adalah para seniman musiknya yang memiliki
peran untuk menciptakan suatu bentuk musik yang baru, yang dapat memenuhi
perubahan ekspresi musikal masyarakat.
154
Oleh karena itu sebagai faktor ketiga dalam menentukan perubahan
kesenian genjring sholawat, adalah kemampuan para seniman dalam melahirkan
gagasan-gagasan baru (kreativitas), yang relatif berbeda dengan kesenian yang ada
sebelumnya (inovasi). Kemampuan berkreativitas ini diperlihatkan dari usaha
Sutarja memperbaharui kesenian genjring sholawat yang mulai di1upakan
masyarakat.
Seperti yang telah dikemukakan di depan, perubahan yang dilakukan
Sutarja adalah memperbaharui jenis komposisi lagu, dengan mengadopsi
instrumen-instrumen musik lainnya kedalam ensambel genjring sholawat. Hal
tersebut merupakan suatu usaha yang menjadikan bentuk genjring sholawat
mengalami perubahan besar. Yaitu perubahan dari suatu bentuk kesenian genjring
yang bertema agama Islam, menjadi bentuk kesenian genjring yang menyajikan
komposisi-komposisi lagu kesenian tradisional Sunda.
Hasil dari kreatifitas Sutarja ini pun tidak akan dapat berjalan, tanpa adanya
dukungan dan kerjasama dari sesama anggota Sinar Harapan. Oleh karenanya
kemampuan berkreativitas ini berkaitan erat pula dengan upaya kerjasama dan
dukungan dari sesama seniman genjring sholawat.
Faktor keempat, adalah adanya sambutan dan dukungan yang baik dari
masyarakat atas perubahan yang dilakukan pada genjring sholawat. Faktor ini
merupakan hak sosial masyarakat dalam menentukan berlanjut atau tidaknya
kesenian tersebut. Karena apabi1a genjring bonyok (sebagai kelanjutan bentuk dari
genjring sholawat) dapat menjadi sarana ekspresi musikal masyarakat, maka berarti
kesenian tersebut telah menjadi bagian yang bermakna dalam kehidupan mereka.
155
Dan hal ini berarti pula bahwa kesenian tersebut diakui dan dipergunakan didalam
konteks kehidupan sosial-budaya mereka (1ihat Nettl, 197 3:15) .
3.4.3 Ensambel
Sejak Sutarja dan para anggota Sinar Harapan melakukan pembaharuan
terhadap Genjring Sholawat, usaha pertama yang dilakukan adalah mengadopsi
instrumen musik lain ke dalam ensambel genjring sholawat. Dari sejumlah
penambahan instrumen musik yang dilakukan sejak tahun 1969 hingga saat ini,
ensambel genjring bonyok terdiri dari lima jenis instrumen musik. Kelima jenis
instrumen tersebut adalah: empat buah genjring, sebuah bedug, sebuah tarompet,
sepasang goong, dan sebuah kecrek.
Berikut ini akan dijelaskan instrumen-instrumen musik yang digunakan
dalam ensambel genjring bonyok, beserta klasifikasi dan sub divisinya masing-
masing (berdasarkan Sachs dan Hornbostel, terjemahan Takari dan Fadlin)
3.4.3.1 Genjring
Genjring pada ensambel genjring bonyok ada1ah instrumen musik jenis
drum berbentuk lingkaran yang pada satu sisinya ditutup dengan kulit (membran).
Dalam tradisi musik Sunda instrumen musik ini juga disebut dengan rebana (lihat
Soepandi.1985) atau genjring rudat. Berdasarkan sistem klasifikasi Sachs dan
Hornbostel, genjring merupakan kelas membranofon dalam subdivisi framedrum
satu permukaan kulit (membran).
Instrumen genjring terbuat dari kayu mangga atau kayu sawo, dengan
membran yang berasal dari kulit kerbau (munding). Jumlah genjring yang
156
digunakan dalam ensambel genjring bonyok ada empat buah, dengan ukuran yang
berbeda-beda. Genjring yang paling besar disebut dengan kendang (genjring
nomor satu). Ukuran diameternya 38 cm dengan tinggi 10 cm.16
Peranan genjring kendang dalam penyajian ensambel musik adalah
membawakan pola-pola pukulan yang bervariasi, yang dimainkan berdasarkan pola
permainan instrumen musik kendang. Disebabkan pola permainannya yang
menirukan permainan instrumen musik kendang, genjring nomor satu ini disebut
kendang.17
Genjring yang lebih kecil dari kendang disebut kempring atau genjring
nomor dua, ukuran diameternya 36 cm dan tinggi badan 9 cm. Penyebutan
kempring pada genjring nomor dua ini didasarkan suara dominan yang
dihasilkannya, yaitu bunyi "pring".
Genjring nomor tiga disebut kemprang oleh karena suara dominan yang
dihasilkannya berbunyi "prang". Ukuran dimaternya 34 cm dan tinggi badan 7 cm.
Genjring nomor empat adalah genjring yang paling kecil dari seluruh genjring
pada ensambel genjring bonyok. Genjring ini disebut dengan pan empasan (saling
16Dalam pertunjukan kesenian-kesenian genjring di Kabupaten Subang dikenal dua jenis instrumen genjring, yaitu genjring tagoni dan genjring rudat. Genjring tagoni adalah jenis genjring yang dipergunakan dalam pertunjukan Kasidahan dilingkungan pesantren, madrasah, mesjid-mesjid, atau dalam konteks memperingati hari-hari besar Islam di masyarakat. Jenis genjring tagoni ini ukuran dan keratnya relatif kecil dari genjring rudat. Selain perbedaan dari segi ukuran dan berat genjring tagoni dibedakan dengan genjring rudat atas penggunaan lempengan-lempengan logam (barlen) yang disisipkan di tiga tempat pada badan genjringnya. Sedangkan genjring rudat, dari segi ukuran dan kerat relatif lebih besar dari genjring tagoni, tanpa menggunakan lempengan-lempengan logam (barlen). Dalam ensambel genjring bonyok, jenis genjring yang dipergunakan adalah jenis genjring rudat. Namun dalam beberapa kasus pertunjukan genjring bonyok di Kabupaten Subang, adakalanya jenis genjring yang digunakan adalah genjring tagoni dengan lempengan-lempengan logam yang telah dilepaskan.
17Kendang adalah jenis instrumen musik terbentuk barrel, yang diklasifikasikan sebagai baneldnm-douhlehead. Pada musik Sunda instrumen musik ini dapat ditemukan dalam suatu perangkat kendang dengan bentuk dan ukuran yang berbeda-beda. Biasanya kendang digunakan dalam kesenian-kesenian jaipongan, ketuk tilu, degung, pencak silat, dan lain- lain.
157
bersantan), dikarenakan fungsinya mengisi suara yang dihasilkan oleh kempring.
Ukuran diameternya 32 cm dengan tinggi badan 6 cm.
Dalam penyajian musik genjring bonyok, suara alat musik ini dihasilkan
dengan memukulkan jari-jari tangan ke permukaan membrannya. Secara umum
pemukulan genjring dilakukan pada tiga posisi. Untuk menghasilkan bunyi "pak"
(bagian tengah dengan jari-jari tangan merapat), "pang" (bagian tengah dengan jari-
jari tangan yang langsung dilepas), dan “ping" (bagian pinggir membran dengan
jari- jari tangan langsung dilepas). Lihat gambar berikut ini
Gambar 3.3: Intrumen Genjring dan posisi memainkannya
158
2.4.3.2 Bedug
Bedug 18 yang digunakan dalam ensambel genjring bonyok adalah
instrumen musik yang terbuat dari kayu kelapa berbentuk conis (konikal). Sisi
permukaan bedug dengan lingkaran yang luas, dan terbuka ditutup oleh kulit
(tangkis) kerbau. Sedangkan sisi permukaannya dengan lingkaran yang kecil,
merupakan bagian bawah bedug yang dibiarkan terbuka. Berdasarkan sistem
klasifikasi Sachs dan Hornbostel, bedug merupakan kelas membranofon dengan
subdivisi conls drum dengan satu membran (conical single-headed drum).
Dalam penyajian ensambel genjring bonyok, bedug merupakan instrumen
musik yang banyak memberikan warna bunyi, yang berperan sebagai instrumen
pengatur irama atau tempo lagu. Dengan ukuran diameter membran 57 cm dan
tinggi badan 72 cm, instrumen ini menghasilkan suara yang besar.
Bedug dimainkan dengan cara memukulkan membran dan badannya
dengan dua kayu pemukul. Salah satu ujung dari kayu pemukul tersebut dibalut
dengan kain, Alat pemukul dengan balutan kain ini dipegang oleh tangan kanan
atau kiri, untuk memukul bagian membran bedug. Sedangkan alat pemukul kayu
lainnya dipegang oleh salah satu tangan, untuk memukul bagian kerangka badan
bedug. Dalam permainan bedug, pemukulan bagian tengah kerangka badan ini
disebut dengan kethuk.
Secara umum bunyi yang dihasilkan instrumen bedug terdiri atas empat
jenis, yaitu "dut" (pemukulan membran bagian tengah tanpa langsung dilepas),
18Dalam tradisi musik Sunda, bedug dikenal dalam dua jenis. Yaitu bedug yang berbentuk
barrel dengan dua sisi membran, dan bedug berbentuk conls dengan satu sisi membran.
159
"dung" (pemukulan membran tengah langsung dilepas), "ding" (pemukulan bagian
pinggir membran langsung dilepas), dan "tak" (dihasilkan dari memukul bagian
tengah kerangka badan) dimainkan oleh tangan kiri. Lihat gambar berikut ini.
Gambar 3.4: Instrumen Bedug
160
Gambar 3.5: Instrumen Bedug dan posisi memainkannya
3.4.3.3 Tarompet
Tarompet19 yang digunakan dalam ensambel genjring bonyok, adalah jenis
tarompet sisingaan yang terbuat dari sebatang kayu memanjang, yang bagian
tengahnya terdiri dari lubang-lubang udara (liang sora) yang kecil. Bagian pangkal
atas (berdasarkan sudut pemain) adalah lubang tempat meniupkan udara yang
mempergunakan reed (empet) dan terbuat dari batang ayam yang dijepit dengan
potongan daun kelapa. Lubang tempat meniupkan udara ini diberi alat penyanggah
atau penahan mulut dari kayu berbentuk lingkaran, yang disebut kaluwung.
19 Dalam tradisi musik Sunda instrumen tarompet terdiri dari dua jenis, yaitu tarompet
bulan sapasi dan tarompet sisingaan. Kedua tarompet ini dibedakan atas bentuk alat penyanggah mulut (kaluwung) pemain yang terdapat pada bagian alat peniupnya.
161
Bagian bawah tarompet berupa lubang tempat udara dikeluarkan yang
berbentuk lingkaran yang membesar bagian bawahnya. Berdasarkan sistim
klasifikasi Sachs dan Hornbostel, tarompet termasuk dalam kelas aerofon dengan
subdivisi pipa-pipa berreed (an aerophone double reed) .
Tarompet dimainkan dalam posisi vertikal, dengan mempergunakan jari-
jari kedua telapak tangan untuk menutup lubang-lubang udara yang berjumlah
tujuh buah. Teknik tiupan dan letak-jari-jari tangan pada liang sora sangat
menentukan hasil bunyi yang diharapkan.
Dalam ensambel genjring bonyok, tarompet berperan sebagai pembawa
melodi yang menghasilkan tiga laras (susunan nada), yaitu salendro, pelog, dan
madenda. Salendro, pelog, dan madenda adalah tiga dari empat jenis tangga nada
(laras, sunipan) yang umum dipergunakan dalam tradisi musik Sunda. Dalam
praktiknya, empat jenis laras ini, yaitu: salendro, pelog, madenda, dan degung
terdiri dari jenis-jenis yang berbeda.
Salendro terdiri dari dua jenis, yaitu padantara dan bedantara. Pelog
terdiri dari jenis pancanada, saptanada, nawanada, dan dasanada. Madenda dan
degung merupakan laras yang berasal dari penurunan nada-nada laras salendro
(lihat Soepandi dkk., 1976, dan Soepandi, 1986).
162
Gambar 3.6:.
Instrumen Tarompet dan pemainnya
3.4.3.4 Goong
Dalam ensambel genjring bonyok, goong20 yang digunakan merupakan dua
buah instrumen musik logam berbentuk bulat, dan memiliki pencu (penclon) di
tengahnya. Bahan instrumen goong terbuat dari campuran perunggu dan besi.
Berdasarkan sistim klasifikasi Sachs dan Hornbostel, goong merupakan kelas
xilofon dengan subdivisi vesel perkusi yang digantung.
Sepasang goong yang digunakan ini dibedakan atas ukuran, berat dan
sebutannya. goong yang paling besar disebut goong, dan yang paling kecil disebut
kempul. Namun dalam permainannya kedua instrumen ini disebut goong.
20Di dalam kebudayaan Sunda, penyebutan alat musik gong memang dengan menggunakan
dua vokal o yaitu menjadi goong. Di dalam kebudayaan masyarakat Nusantara pun, penyebutan gong dan sejenisnya ini juga bermacam-macam. Di dalam kebudayaan Batak Toba disebut dengan ogung (oloan, ihutan, panggora, dan doal), di dalam kebudayaan Mandailing disebut ogung dada boru dan ogung jantan. Kemudian di dalam kebudayaan Melayu selain digunakan istilah gong juga digunakan istilah tetawak atau tawak-tawak. Alat gong yang lebih kecil disebut dengan mongmongan di Mandailing, talempong di Minangkabau, atau bonang di dalam gamelan Jawa. Di dalam kebudayaan masyarakat Nusantara gong adalah alat yang banyak digunakan untuk membawa fungtuasi ritme atau siklius dimensi waktu.
163
Pada pertunjukan genjring bonyok yang bersifat arak-arakan goong ini
diusung oleh dua orang pemain, dimana salah satunya berperan sebagai
pemukulnya. Sedangkan pada pertunjukan dudukan, instrumen musik ini digantung
pada sebatang kayu horisontal yang kedua ujungnya diberi penyangga.
Bunyi goong dihasilkan dengan memukul bagian pencu dengan alat
pemukul kayu. Bagian ujung alat pemukulnya dibalut dengan kain atau kulit,
sehingga berbentuk bandul. Dalam penyajian musik genjring bonyok, goong
berfungsi sebagai pengatur periode struktural (wiletan)21 dalam komposisi musik.
Gambar 3.7:
21 Wiletan atau bar mempunyai pengertian periode struktural yang berdasarkan pada
aksentuasi melodi yang diletakkan dalam bagian-bagian garapan melodi. Biasa ditandai dengan nada pancer (nada transisi).nada kenong (nada akhir kalimat lagu), atau hanya ditandai penempatan nada pancer dan nada gong.
164
Pemain Goong dalam posisi dudukan
Gambar 3.8: Pemain Goong dalam posisi arak-arakan
3.4.3.5 Kecrek
Kecrek dalam ensambel genjring bonyok adalah instrumen musik yang
terdiri atas bilahan-bilahan logam, disusun bertumpuk pada suatu badan yang
terbuat dari kayu. Berdasarkan sistem klasifikasi Sachs dan Hornbostel, kecrek
merupakan kelas idiofon dengan subdivisi perkusi.
Bahan logam dari instrumen kecrek ini biasanya terbuat dari kuningan,
perunggu, atau besi. Untuk menghasilkan bunyi "crek", alat musik ini dipukul
dengan pemukul kayu. Dalam pertunjukan arak-arakan, pemukul kayu ini
berjumlah satu buah yang dimainkan dengan tangan kanan, sedangkan tangan
165
kirinya memegang badan kecrek. Pada pertunjukkan dudukan instrumen kecrek
dimainkan dengan dua buah pemukul
Gambar 3.9:
Pemain kecrek dalam posisi dudukan
3.5 Deskripsi Peranan Instrumen Musik Genjring Bonyok
Masing-masing instrumen musik yang tergabung ke dalam ensambel
genjring bonyok memainkan pola permainan musik yang berbeda. Secara musikal
seluruh instrumen musik yang berjenis perkusi membentuk organisasi musik yang
saling mengisi. Sedangkan instrumen tarompet merupakan satu-satunya instrumen
musik yang membangun seluruh organisasi melodi yang dimainkan dengan tangan
kanan dan kiri.
Secara umum semua permainan alat musik non-melodi yaitu, genjring.
bedug, goong, dan kecrek mengikuti pola permainan tarompet yang dimainkan oleh
seorang pemain. Pola permainan tarompet yang diikuti tersebut meliputi karakter
166
lagu (watak), ataupun bagian-bagian tertentu dari pola permainan tarompet yang
harus direspon secara serentak oleh instrumen lain. Hal ini tidak lain karena
tarornpet adalah satu-satunya instrumen musik pembawa melodi utama, sehingga
seluruh komposisi lagu ditentukan oleh permainannya. Dalam pertunjukan
dudukan dan arak-arakan, pemain tarornpet biasanya ditempatkan di tengah-tengah
para pemain lainnya. Menurut Sutarja, hal tersebut dilakukan agar seluruh pemain
musik mendengar secara jelas permainan tarompet.
Adapun instrumen musik yang lainnya memainkan pola-pola ritmik yang
berbeda-beda. Secara umum seluruhnya memainkan pola repetitif, yang
disesuaikan dengan tempo, karakter, dan pola permainan yang ditentukan oleh
permainan tarompet.
Instrumen musik genjring dimainkan oleh empat orang pemain. Pola
permainan instrumen genjring pertama dengan genjring kedua, ketiga dan keempat
saling mengisi (patembalan), sehingga keempatnya membangun pola ritmik
interloking.
Dalam pertunjukan keempat pemain genjring selalu berdekatan. Pada
pertunjukan dudukan para pemain instrumen genjring ditempatkan di sebelah
kanan panggung (berdasarkan sudut pemain). Sedangkan pada pertunjukan arak-
arakan mereka ditempatkan di depan sel;uruh para pemain musik. Posisi pemain
yang saling berdekatan ini bertujuan untuk mempermudah komunikasi di antara
sesama pemain genjring, mengingat keempat intrumen saling memainkan pola
rirntik yang saling mengisi (Komasasmita, 1990)
Pemain bedug terdiri dari satu orang. Instrumen bedug merupakan salah
satu instrumen pembawa pola ritmik utama dalam dalam pertunjukan genjring
167
bonyok. Hal ini disebabkan instrumen bedug memainkan warna-warna bunyi yang
bervariasi, dan yang menentukan dinamika seluruh penyajian musiknya. Karena
peranannya inilah maka seorang pemain bedug harus mampu mengiringi pola-pola
tari, mengetahui jenis-jenis dan karakter lagu. terutama untuk membawa suasana
pemain musik dan penonton bersemangat.
Pemain goong terdiri dari satu orang. Instrumen goong berperan membawa
tempo (embat) lagu dari keseluruhan permainan instrumen musik. Instrumen goong
terdiri dua buah ini, secara kuantitas goong yang kecil lebih banyak dimainkan
daripada goong besar. Sedangkan gong yang besar dimainkan atau dipukul pada
waktu akhir wiletan.
Pada pertunjukan dudukan pemain gong ditempatkan di belakang para
pemain musik, sejajar dengan garis tengah pemain tarompet. Sedangkan pada
pertunjukan arak-arakan, pemain goong di tempatkan dibelakang pemain lainnya
tanpa harus sejajar dengan pemain tarompet.
Pemain kecrek terdiri dari satu orang. Secara musikal instrumen kecrek
mengisi kekosongan permainan ritmik musik secara keseluruhan. Namun pada
bagian-bagian tertentu, pola permainan kecrek sama dengan pola dasar permainan
bedug. Menurut Sutarja, hal ini disebabkan kecrek juga berperan memberikan
tekanan pada pola permainan bedug, sehingga menambah kedinamisan permainan
musik secara keseluruhan.
3.6 Seni Tardug
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, seni tardug bertasal dari seni genjring
bonyok. Sejak paruh kedua dekade 1990-an, muncul seni tardug di Kabupaten
168
Subang. Istilah seni ini pun berasal dari usulan para penonton bukan dari seniman
di kawasan Kabupaten Subang. Untuk mengetahui proses terbentuknya kesenian
tardug di Kabupaten Subang, serta sejauh mana peranan lingkungan sosial di dalam
proses pembentukan ini, maka perlu diketahui bagaimanakah asal-usul kesenian
tardug.
Apakah kesenian ini muncul sebagai suatu kretivitas baru dari seseorang
atau sekelompok masyarakat, ataukah kesenian ini berupa penjelmaan dari satu
jenis kesenian lain yang sudah ada lalu kemudian berubah atau berkembang karena
pengaruh kesenian lain, seiring perubahan masyarakatnya? Selain itu dalam bagian
ini, juga akan dibahas aspek-aspek pertunjukannya. Adapun pembahasannya
disusun meliputi: asal usul kesenian tardug yang terdiri dari pembahasan tentang
sekelumit mengenai kesenian genjring bonyok, perkembangan kesenian tardug,
penyebaran kesenian tardug; masyarakat pendukung; teknik dan bentuk
pertunjukan yang terdiri dari pertunjukan helaran, dan pertunjukan di atas
panggung.
3.6.1 Asal-usul kesenian Tardug
Ketika penulis pertama kali menyaksikan pertunjukan kesenian tardug
(sekitar tahun 1995), sekilas penulis beranggapan bahwa kesenian ini merupakan
bentuk pengembangan dari kesenian genjring bonyok, yang ditambah instrumen
gitar. Memang apabila ditinjau dari fungsi pertunjukan serta alat musik yang
digunakan saat itu, terdapat banyak kesamaan Kecuali fungsi tarompet yang
digantikan oleh gitar.
169
Pendapat ini tidak disangkal oleh umumnya masyarakat Subang di
antaranya adalah pendapat seorang tokoh seni pertunjukan di Subang yakni Edih
AS, yang mengemukakan bahwa kesenian ini muncul ketika seniman genjring
bonyok ingin meraih masyarakat kalangan tertentu melalui lagu-lagu dangdut,
maka kemudian dikenal dengan genjring dangdut. Sementara itu salah seorang
penggarap kesenian genjring bonyok yang juga pimpinan rombongan seni genjring
Darman Group, yaitu Darman, mengatakan sebagai berikut/
...bapa mah teu langkung anu nyebat bae. Bade disebat seni genjring bonyok atawa ronyok, bade tardug, atawa genjring dangdut oge, nu penting keur bapa mah bisa 'ngaladangan ' kahayang anu ngarigel...
Artinya: ...bapak itu terserah yang menyebut saja. Mau disebut seni genjring bonyok atau ronyok, mau tardug, atau genjring dangdut juga, yang penting bagi bapak bisa 'melayani' kemauan yang menari... Berkaitan dengan hal itu maka sangat penting untuk membahas secara
ringkas mengenai perkembangan kesenian genjring bonyok. Kesenian genjring
bonyok mulai tumbuh di kampung Bonyok desa Pangsor, Kecamatan Pagaden
Kabupaten Subang. Lahirnya kesenian genjring bonyok erat kaitannya dengan
perjalanan hidup Sutarja dalam berkesenian.
Menurut Sutarja, kesenian genjring bonyok berasal dari genjring tagoni atau
rudat dari Indramayu. Pada waktu itu belum menggunakan waditra tarompet, gong,
kecrek, dan kenong, tetapi masih menggunakan waditra yang terdiri dari sebuah
bedug dan 4 buah genjring atau rebana. Berikut ini kutipan dari tulisan Sutarja
mengenai genjring bonyok, yang menyatakan sebagai berikut.
Pada tahun 1963 kami (Sutarja) mulai (me)pegang genjring (yang) disebut
genjring gedera' asal dari kesenian adem ayem. Asal muasal dari Bapak Sajem
170
tahun 1960. Tahun 1963 dipegang oleh Bapak Talam, tempat lahirnya dari
Compreng, sampai tahun 1968. Tahun 1969 kami punya rencana (me)pakai
(instrumen/waditra) tarompet. Kami terus (me)ngadakan latihan. Dapat 3 bulan
tahun 1970-1971 seru kami beredar ke tiap-tiap desa. Dikarenakan anehnya
genjring pakai tarompet. Pada waktu harita (itu) kami punya panggilan (pentas)
hanya cuma Rp 1.500, untuk menghibur anak sunat. Pada (waktu) harita seni kami
disebut genjring ronyok. Apa sebabnya? Karena si pengibing banyak, 50 orang ke
atas. Maka genjring kami, karena si pengibin ngaronyok (bergerombol), disebut
genjring ronyok. Pada tahun 1975 berebutan (tentang penggunaan istilah) ronyok
dengan bonyok. Terus menerus berebutan sampai tahun 1978. Ronyok kalah oleh
bonyok, apa sebabnya, karena dari desa kami (desa Pangsor) ada kampung (yang
bernama) Bonyok, karena kami lahir dari kampung Bunut desa Pangsor (Sutarja,
1980).
Dari uraian dalam tulisan Sutarja di atas, berikut ini penulis mencoba
mengurutkan tahapan-tahapan perkembangan kesenian genjring bonyok. Pada
tahun 1963, Sutarja mulai memainkan genjring pada grup kesenian genjring yang
dipimpin oleh pamannya yaitu Sajem. Sutarja sendiri lahir pada tahun 1952, yang
berarti usianya pada waktu itu ialah 11 tahun. Dalam grup kesenian itu, kemudian
Sutarja menjadi pemain inti karena memegang genjring nomor satu yang
berkedudukan sebagai pemberi komando bagi alat musik lainnya. Kesenian
genjring yang dipimpin Sajem ini telah ada sejak tahun 1960, pada waktu itu belum
bernama genjring bonyok tetapi masih disebut genjring gederan karena suka
memainkan lagu gederan. Pada kurun waktu dari tahun 1963 sampai 1968,
kesenian genjring ini dipimpin oleh Talam yang berasal dari kecamatan Compreng.
171
Nama jenis kesenian ini masih genjring gederan dengan nayaga berjumlah 5 orang
terdiri dari:
(1) Sutarja sebagai pemain genjring I,
(2) Talam sebagai pemain genjring II,
(3) Nurkalim sebagai pemain genjring III,
(4) Warsan sebagai pemain genjring IV, dan
(5) Karnawi sebagai pemain bedug.
Pada tahun 1968 motif-motif tepak genjring dikembangkan lagi. Dalam hal
ini Sutarja mencoba menyusun motif-motif tabuhan yang mirip dengan tabuhan
genjring adem ayem. Lagu-lagu yang tadinya berupa lagu gederan dikembangkan
dengan memakai lagi-lagu adem ayem dan lagu-lagu ketuk tilu sepertu lagu gotrok,
awi nyarambat, siuh, dan kangsreng. Dengan masuknya lagu-lagu ketuk tilu, maka
dibutuhkan suatu alat musik yang berfungsi sebagai pembawa melodi. Karena
alasan tersebut, kemudian alat musik ditambah dengan tarompet yang dipegang
oleh seorang pemain tarompet yaitu Nesram. Dengan ditambahkannya waditra
tarompet ke dalam kesenian genjring gederan, kesenian genjring ini mulai
digemari oleh banyak penggemar atau penonton serta banyaknya undangan untuk
pentas dari yang akan melaksanakan kenduri.
Tidak lama setelah masuknya alat musik tarompet dan disajikannya lagu-
lagu ketuk tiluan, kemudian muncul istilah genjring ronyok pada tahun 1969
Karena banyaknya penonton yang ikut menari, dan apabila dilihat dari jauh mereka
seperti orang yang sedang bergerombol (Sunda: ngaronyok). Di samping itu pada
tepakan genjringnya ada istilah tepakan ronyok sebagai tepakan khas kesenian
172
genjring ini. Istilah tepakan ronyok diambil dari nama keseniannya yaitu genjring
ronyok.
Polemik sekitar penggunaan kata bonyok atau ronyok pada kesenian
genjring ini terjadi dalam rentang waktu 1975-1978. Namun bagi masyarakat
Subang itu bukan suatu persoalan yang menjadi hambatan bagi keberadaan
kesenian genjring ini. Kedua nama tersebut terus dipergunakan oleh masyarakat,
sampai akhirnya ada penetapan nama yang resmi dari kalangan pemerintahan,
dalam hal ini Kasi Kebudayaan Depdikbud Kabupaten Subang pada tahun 1978,
yaitu genjring bonyok. Penetapan nama genjring bonyok tersebut disertai beberapa
alasan, di antaranya karena di Desa Pangsor ada Kampung Bonyok. Walaupun
hubungan Kampung Bonyok dengan istilah bonyok yang digunakan sebagai nama
kesenian genjring ini tidak begitu jelas. Akhirnya secara resmi kesenian tersebut
dinamakan genjring bonyok, meskipun masih ada masyarakat yang menyebutnya
kesenian genjring ronyok.
Memang di Jawa Barat banyak nama kesenian tradisional yang memakai
nama daerah di mana kesenian tersebut lahir dan berkembang di belakang nama
jenis keseniannya. Seperti dalam kesenian topeng terdapat istilah Topeng Cirebon,
Topeng Jati, dan Topeng Cisalak, Topeng Cirebon berarti kesenian topeng yang
lahir dan berkembang di daerah Cirebon, Topeng Jati berarti kesenian topeng yang
lahir dan berkembang di daerah Jati (Pagaden, Subang), dan Topeng Cisalak berarti
kesenian topeng yang lahir dan berkembang di daerah Cisalak (Bogor). Begitu pula
dengan genjring bonyok yang hidup dan berkembang di daerah Bonyok. Namun
demikian, kalau pemberian nama seni tersebut konsisten terhadap nama daerah
tempat kesenian itu diciptakan, seharusnya bernama genjring bunut. Sebab
173
kesenian tersebut diciptakan oleh orang di Kampung Bunut, meskipun masih satu
desa dengan Kampung Bonyok yaitu Desa Pangsor.
Pada tahun 1982 terjadi lagi penambahan waditra yaitu ketuk, kecrek,
kendang, kempul, dan gong. Pada Tahun 1987 kesenian genjring bonyok
melengkapi pemain dengan kehadiran juru kawih atau pesinden, dengan tetap
membawakan lagu-lagu ketuk tilu.
Kesenian genjring bonyok pada setiap tampil, baik di panggung maupun
dalam pergelaran arak-arakan, selalu membawakan lagu-lagu ketuk tiluan. Lagu-
lagu ketuk tiluan inilah yang menjadi ciri khas kesenian genjring bonyok. Dengan
lagu ketuk tiluan ini penonton atau undangan diperbolehkan ikut serta- menari
tanda turut bersuka cita kepada yang sedang melaksanakan hajatan. Adapun lagu
yang khas kesenian genjring bonyok ada 5 lagu pokok, ditambah satu lagu tataluan.
Lagu-lagu tersebut antara lain:
(a) Gederan, merupakan lagu instrumental untuk tatalu.
(b) Gotrok, lagu ini menggambarkan gejolak kehidupan awal.
(c) Awi Ngarambat, lagu ini menggambarkan kehidupan masyarakat yang
tidak lepas dari gotong royong.
(d) Buah Kawung, mengisahkan gejolak dan sikap para pemuda dalam
membela negara.
(e) Kangsreng, melukiskan pergaulan bermasyarakat dengan tidak lepas
dari pengaruh luar, sehingga timbul gerak tari pergaulan atau pasangan.
(f) Torondol, yang menggambarkan manusia kembali kepada kiprah-
Nya/llahi.
174
Selain lagu pokok di atas masih banyak lagu-lagu ketuk tilu yang sering
ditampilkan di dalam kesenian genjring bonyok di antaranya, Gondang, Gaplek,
Rayak- rayak, Polostomo, Geboy, Jisamsu/Japlin, Siuh, Bardin, Catrik, Engkang
Gaya, Mojang Priangan, Manuk Dadali, dan lain-lain. Dilihat dari waditranya,
Sutarja membedakan kesenian genjring menjadi dua yaitu: kesenian genjring
bonyok yang memakai alat/waditra genjring (4 buah), sebuah bedug, dan sebuah
tarompet. Di sisi lain, kesenian genjring gederan hanya mengunakan waditra
genjring (4 buah), dan sebuah bedug. Dalam perkembangannya kemudian kesenian
genjring bonyok terdiri dari 4 buah genjring, kecrek, bedug, kentung (kulanter),
kendang, dan goong, serta dilengkapi oleh seorang atau lebih juru kawih
(pesinden).
Sebelum kesenian tardug dikenal masyarakat, yang lebih dahulu muncul
adalah istilah genjring dangdut pada sekitar tahun 1990. Suatu istilah yang
diberikan masyarakat terhadap kesenian genjring bonyok yang suka menyajikan
lagu-lagu dangdutan seperti: Manuk Dadali, Pemuda Idaman, Mojang Priangan,
Jisamsu, dan masih banyak lagi.
Munculnya lagu-lagu dangdut dalam kesenian genjring bonyok sangat erat
kaitannya dengan kegandrungan masyarakat pendukungnya terhadap lagu-lagu
dangdut. Seperti yang diungkapkan Sutarja: ...apa sebabnya? Karena melihat si
pengibing (penari) hobi dangdut dan meminta dimainkan irama dangdut, maka
kami memainkan lagu dangdut..." (wawancara, Subang, 5 Agustus 2000).
Alasan lainnya dekemukakan oleh Edih AS bahwa para pemuda lebih
menyukai lagu-lagu dangdutan ialah karena ketika mereka menari dalam irama
dangdutan ternyata menari dangdutan relatif lebih gampang dibanding menari pada
175
irama ketuk tiluan pada kesenian Genjring Bonyok (Wawancara, Subang, 11
Oktober 2010).
Apabila dilihat dari aspek pemain, alat musik yang dipakai, dan cara
penyajiannya, genjring dangdut tidak jauh berbeda dengan kesenian genjring
bonyok. Alat musik yang digunakan pada penyajian genjring dangdut adalah alat
musik genjring bonyok yang terdiri dari: empat buah genjring, bedug, kecrek,
tarompet, kentung (kulanter), dan seorang juru kawih (penyanyi). Begitu pula
dengan para pemain (nayaga) genjring bonyok yang dituntut untuk mampu
memainkan irama dangdutan serta juru kawih yang juga berperan sebagai penyanyi
pada lagu-lagu dangdutan.
Perbedaan utama di antara keduanya terletak pada garapan musikalnya saja.
Oleh karena itu istilah genjring dangdut bukan merupakan nama bagi sebuah jenis
kesenian, tetapi hanya satu bagian garapan dalam konteks pertunjukan kesenian
genjring bonyok dengan maksud untuk meraih selera konsumennya. Untuk lebih
jelasnya lihat tabel perbandingan alat musik/waditra dan jenis lagu kesenian
genjring di bawah ini.
Tabel 3.2: Perbandingan Jenis Kesenian dari Segi Waditra/Instrumen
Dan Jenis Lagu yang Ditampilkan
No Jenis Kesenian Jenis Lagu Instrumen (Waditra)
1. Genjring Gederan Gederan 4 buah genjring dan sebuah bedug
2. Genjring bonyok Ketuk tiluan 4 buah genjring, bedug, tarompet, kecrek, kentung (kulanter), kempul, goong, seorang juru kawih, dan kadang- adang dilengkapi oleh seperangkat kendang.
3. Genjring dangdut dangdutan 4 buah genjring, bedug, tarompet, kecrek, kentung (kulanter), kempul, goong, seorang juru kawih/penyanyi, dan kadang-kadang dilengkapi oleh seperangkat kendang.
176
4. Genjring tardug dangdutan genjring, bedug , gitar, kentung/kuianter, kecrek, kempul, gong, dan dua orang atau lebih penyanyi.
Dengan ditampilkannya lagu-lagu dangdutan, kesenian genjring dangdut
memiliki dua sistem tangga nada, yaitu tangga nada diatonis dan tangga nada
pentatonis. Sementara itu satu-satunya alat musik yang bernada dalam kesenian
genjring dangdut yaitu tarompet, dituntut untuk mampu mengiringi lagu-lagu yang
terdiri dari dua sistem nada tersebut. Kemampuan tarompet dalam mengiringi dan
memainkan lagu-lagu dangdutan amat terbatas, terutama pada lagu-lagu yang
bertangga nada diatonis. Hal ini telah mendorong para penggarap kesenian genjring
dangdut memasukan instrumen baru ke dalam kesenian ini, yaitu instrumen gitar
elektrik.
Tidak jelas siapakah yang pertama kali menghadirkan gitar ke dalam
kesenian Genjring Dangdut. Namun menurut Sutarja, instrumen gitar digunakan
dalam kesenian ini tidak lama sejak munculnya lagu-lagu dangdut dalam kesenian
genjring bonyok, yaitu sekitar tahun 1990 Pemain gitar yang pertama kali
bergabung dengan kesenian genjring Sinar Pusaka pimpinan Sutarja, adalah Yasin
yang berasal dari Kananga, Desa Pangsor. Sutarja sendiri sebelum bertempat
tinggal di Cidadap berasal dari Desa Pangsor yang berjarak sekitar 6 kilometer dari
Desa Cidadap. Kemudian setelah berkeluarga ia pindah karena ia menikah dengan
Kerti yang berasal dari Kampung Sukasari, Desa Cidadap, Kecamatan Pagaden.
Menurut data dari Kepala Seksi Kebudayaan Depdiknas Subang sekarang ini Desa
Cidadap memiliki perkumpulan kesenian tardug terbanyak dibanding desa-desa
177
lain di kecamatan Pagaden, yaitu sebanyak 5 grup. Untuk lebih jelas dapat dilihat
pada tabel di bawah.
Tabel 3.3: Penyebaran Grup Kesenian Tardug di Kecamatan Pagaden
No Nama Grup Pimpinan Grup Tempat
1 Karisma Jaya Saji Suryadi Kp Sakola, Ds. Cidadap
2 Mekar Arum Rastim Gendut Kp Sukarahayu, Ds. Cidadap
3 Radia A. Rasun Kp Sukarahayu, Ds. Cidadap
4 Sinar Pusaka Sutarja Kp Sukasari, Ds Cidadap
5 Primadona Sukelim Kp Cidadap, Ds. Cidadap
6 Gentra Panineungan Rohan Kp. Cerelek, Ds. Gunung Sembung
7 Ajum Group Ajum Kp Gunung Sembung, Ds Gunung Sembung
8.
Mutiara Group Sukmane Kp. Bendungan, Ds. Bendungan
9 Mekar Rahayu Muda
A Odo S. Kp Pangsor, Ds Pangsor
10 Mangkat Mekar A. Nana Gala Kp Gala. Ds. Gunun« San
3.6.2 Pendukung kesenian Tardug
Setelah masuknya gitar ke dalam kesenian genjring dangdut, kemudian
masyarakat Subang menamakan kesenian ini dengan sebutan genjring tardug
(akronim dari gitar dan bedug) karena di antara sejumlah alat musik dalam
kesenian ini terdapat instrumen gitar dan bedug, sebagai instrumen pokok. Dengan
demikian berarti bahwa tardug adalah nama sebuah jenis kesenian yang
menggunakan alat musik gitar dan alat musik bedug sebagai alat musik utama,
178
serta.lagu-lagu yang disajikan adalah lagu-lagu dangdutan yang terdiri atas lagu
dangdut modern dan lagu dangdutan tradisional. Kesenian tersebut dalam
pengajiannya bisa berbentuk helaran dan bisa pula berbentuk seni pertunjukan
yang dipentaskan di atas panggung.
3.6.3 Perkembangan kesenian Tardug
Seiring dengan proses perubahan masyarakat pendukungnya, kesenian
tardug mau tidak mau harus mengikuti arus perubahan itu demi kelangsungan
hidupnya Salah satu upaya ke arah tersebut umpamanya dengan merubah atau
menambah alat musik serta lagu-lagunya. Banyak hal yang menjadi penyebab
perubahan dan pergeseran kesenian tardug seperti yang dialami pula oleh kesenian
tradisional lainnya. Salah satu di antaranya adalah faktor lingkungan, seperti yang
dikemukakan oleh van Peursen dalam Strategi Kebudayaan, bahwa musik sebagai
hasil budaya dapat mengalami pergeseran-pergeseran dan perubahan-perubahan
secara alami dan dinamis. Sementara hasil budaya juga dapat diupayakan bagi
tujuan atau kepentingan tertentu sesuai perkembangan masyarakatnya (1988:54).
Di awal pertumbuhannya kesenian tardug masih mempertahankan unsur-
unsur tradisional. Baik dari segi alat musik (lihat Tabel 3.2) maupun dalam teknik
tabuhan iringannya. Misalnya instrumen gitar membawakan lagu-lagu seperti pada
kesenian tarling. Namun dalam rentang waktu yang cukup singkat bagi
perkembangan sebuah jenis kesenian, yakni dari tahun 1990-2000, kesenian tardug
telah mengalami banyak perubahan terutama berupa penambahan dan
pengurangan beberapa instumen. Penambahan dan pengurangan instrumen yang
terjadi pada kesenian tardug meliputi alat-alat musik berikut ini.
179
Gambar 3.10: Gitar Melodi dan Ritme pada Seni Tardug
Gambar 3.11: Gitar Bas pada Seni Tardug
(a) Gitar adalah alat musik petik dengan enam dawai. Gitar yang
dipakai dalam kesenian Tardug adalah jenis gitar elektrik yang berfungsi sebagai
pembawa melodi sekaligus membawakan ritme kemprangan dalam mengiringi
180
lagu-lagu dangdutan. Seiring kebutuhan untuk pemenuhan rasa musikal dalam
mengiringi lagu-lagu dangdut, kemudian dihadirkan gitar bas. Gitar bas ialah gitar
bernada rendah (bass) dengan empat dawai yang berfungsi sebagai pengarah
gendang dan juga berfungsi sebagai panganteb wiletan. Yaitu mengikuti rangka
melodi (kontur) lagu pada nada rendah. Dengan hadirnya gitar bas ini, maka
kempul dan goong yang berfungsi sebagai anggeran wiletan dan panganteb wiletan
tergeser. Dalam perkembangan selanjutnya masuklah instrumen gitar ritme. Secara
bentuk fisik gitar ini sama dengan gitar melodi namun secara fungsi musikal
berbeda. Gitar ritme berfungsi sebagai kemprangan. Namun untuk menghemat
biaya pengeluaran, gitar ritme jarang ditampilkan.
(b) Genjring adalah waditra berkulit yang memakai semacam anting-
anting yang terbuat dari besi atau perunggu sebagai penghias irama, sejenis rebana.
Pada saat kesenian tardug muncul, jumlah genjring sebanyak tiga buah. Jumlah
genjring yang dipakai pada kesenian genjring bonyok tadinya 4 buah kemudian
berkurang satu menjadi tiga buah. Pengurangan ini terjadi sekitar tahun 1972.
Kemudian setelah itu masuknya waditra kendang kesenian ini hanya
mempergunakan dua buah genjring.
Sampai akhirnya sekarang waditra genjring sudah jarang ditabuh lagi dalam
pertunjukan kesenian tardug. Karena fungsinya sebagai penghias irama sudah
tergantikan oleh waditra kendang dan snare drum.
181
Gambar 3.12: Genjring
(c) Kendang yang dipergunakan dalam kesenian tardug ada dua
macam, disesuaikan dengan bentuk pertunjukannya. Pada bentuk
pertunjukan helaran kendang yang digunakan adalah jenis kendang yang
disandang seperti kendang pada pertunjukan kesenian sisingaan. Sedangkan
pada pertunjukan di atas panggung kendang yang digunakan adalah jenis
kendang duduk lengkap dengan kulanter. Waditra kendang dan kulanter
ditambahkan sekitar tahun 1993, yang pertama kali memasukkan kendang
dalam kesenian tardug adalah Kelompok Saan Group dari Kelurahan Soklat,
Kecamatan Subang. Peranan kendang dalam pergelaran kesenian tardug tidak
begitu dominan sebagaimana pada pertunjukan genjring bonyok, kliningan, atau
wayang. Mengingat fungsi pengatur irama pada lagu-lagu dangdutan dipegang oleh
waditra bedug dan drum.
182
Gambar 3.13: Kendang
(c) Goong adalah waditra berpenclon yang besar, mempunyai garis
tengah antara 59 cm sampai dengan 105 cm, dibuat dari perunggu atau besi.
Dipukul dengan alat pemukul yang empuk, bunyinya sangat rendah dan
bergelombang suara, digantung dengan mempergunakan tali (digayor). Goong
merupakan salah satu waditra yang biasanya terdapat dalam perangkat gamelan
yang berfungsi sebagai anggeran (pengatur wiletan) lagu.
183
Gambar 3.14: Goong
Setelah dimasukkannya gitar bas, maka fungsi goong sebagai pegatur
wiletan tergeser. Namun apabila disimak lebih teliti, sebenarnya gitar bas tidak
menggantikan fungsi pengatur wiletan pada goong, sebab pada dasarnya fungsi di
antara keduanya tidak sama, tetapi karena ada kemiripan warna suara (timbre)
sehingga waditra goong jarang ditampilkan lagi. Sebab dalam lagu-lagu dangdut
sistem wiletannya berlainan dengan sistem wiletan lagu-lagu tradisional. Namun
goong ini acapkali dipakai apabila pertunjukan Tardug tidak dilengkapi dengan
gitar bas.
(e) Simbal dan kecrek, masuknya alat musik simbal dimaksudkan oleh
para penggarap kesenian Tardug untuk mengganti fungsi kecrek, yang menuri
mereka sudah kurang cocok untuk mengiringi lagu-lagu dangdutan. Sedangkan
simbal dianggap lebih fleksibel, selain bisa j digunakan untuk mengiringi lagu-
lagu dangdutan, juga bisa dipakai untuk menghiasi irama ketuk tilu atau kliningan.
Terutama jenis simbal yang ditempeli paku payung yang dilonggarkan sehingga
184
bila mukanya dipukul, paku payung tersebut akan bergetar dan menimbulkan
bunyi.
Gambar 3.15: Simbal dan Kecrek
(f) Drum yang dipakai dalam kesenian tardug tidak dalam jumlah satu
set drum, tetapi hanya diambil bagian snar drumnya saja. Yaitu sebuah drum kecil
yang berupa bagian dari seperangkat drum, yang pada membran bagian bawah
terdapat beberapa I dawai dari kawat yang melintang pada membrannya. Sehingga
apabila dipukul muka atasnya, maka membran bagian bawahnya akan bergetar dan
membentur dawai di bawahnya hingga berbenturan satu sama lain yang kemudian
menghasilkan bunyi.
185
Gambar 3.16: Snare Drum
(g) Bedug yang digunakan dalam kesenian tardug berbeda dengan jenis
bedug yang dipasang di mesjid yang dibunyikan sebagai tanda waktu untuk
menunaikan shalat. Perbedaannya terdapat pada ukuran, bentuk, dan bahan. Ukuran
bedug pada kesenian tardug berkisar antara 60 cm - 65 cm untuk diameter
lingkaran bagian mukanya, panjang sekitar 70 cm, ketebalan kuluwung (tabung)
kayunya setebal 4 - 5 cm, dan diameter lingkar belakangnya sekitar 30 cm. Bahan
yang sering dipakai untuk tabungnya (kuluwung) diambil dari bodogol pohon
kelapa, yaitu pangkal pohon kelapa bagian bawah yang terletak di atas akarnya.
Bentuk bedug tardug mirip dengan dogdog besar yang biasa dipakai pada kesenian
reog.
Bunyi yang dihasilkan bedug pada dasarnya ada tiga macam, yaitu bunyi
dong, dung, dan bunyi dut. Bunyi dung dihasilkan dengan cara memukul bagian
pinggir bedug dengan menggunakan alat pemukul. Bunyi dong dihasilkan dengan
cara memukul bagian tengan bedug dengan menggunakan pemukul, dan
memukulnya dilepas. Sedangkan bunyi dut dihasilkan dengan cara memukul
bagian tengah bedug dengan menggunakan pangkal telapak tangan yang
186
dikepalkan. Jumlah bedug yang dipakai dalam kesenian tardug sejak awal
pertumbuhannya yaitu sebanyak 1 buah.
Gambar 3.17: Bedug
(h) Bangsing ialah alat tiup yang terbuat dari bambu dengan enam lubang
nada dan sebuah lubang untuk meniupnya. Bangsing ini biasa dipakai sebagai
penghias melodi dan pada lagu-lagu dangdut Alat musik bangsing terbuat dan
bahan bambu lamang.
187
Gambar 3.18: Bangsing
Pada kesenian tarduk, alat musik bangsing berfungsi sebagai penghias
melodi yang memberi varasi-variasi pada kekosongan saat tidak ada vokal. Selain
itu juga berfungsi sebagai pembawa melodi lagu pada sajian musik instrumental
yaitu pada tataluan. Sejenis bambu kecil vang tumbuh di semak-semak dan hutan
dengan ruas yang panjang dan tipis. Selain dibuat bangsing tainiang juga dibuat
sumpit dan suling.
3.6.4 Penyebaran kesenian Tardug
Setelah satu dasawarsa sejak terbentuknya kesenian tardug di Desa Cidadap
Kecamatan Pagaden, Kabupaten Subang. Kesenian ini telah mengalami
perkembangan yang cukup pesat. Perkembangan yang dimaksud artinya perluasan
penyebaran kesenian tardug ke daerah lain terutama dalam wilayah kabupaten
Subang. Hampir seluruh kecamatan di wilayah Kabupaten Subang memiliki
perkumpulan kesenian tardug seperti kecamatan Subang memiliki 8 grup, Pagaden
10 grup, Binong 7 grup, Pamanukan 3 grup, Compreng 2 grup, Sagalaherang 3
188
grup, Jalancagak 5 grup, Cibogo 5 grup, Tanjungsiang 1 grup, Patokbeusi 2 grup,
Cijambe 9 grup, Kalijati 3 grup, Purwadadi 4 grup, Pabuaran 2 grup, Ciasem 1
grup, dan Pusakanagara 2 grup (Sumber: Data Organisasi Kesenian Kandepdiknas
Kabupaten Subang 1999/2000).
Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa penyebaran kesenian tardug
telah meluas ke pelosok kabupaten. Yaitu mulai dari Kecamatan Pamanukan di
ujung utara sampai Kecamatan Sagalaherang di ujung selatan Kabupaten Subang.
Secara kuantitas dapat dilihat bahwa penyebaran kesenian terkonsentrasi pada
empat kecamatan yang cukup berdekatan yaitu Kecamatan Cijambe, Subang,
Pagaden, dan Binong. Secara geografis keempat kecamatan ini terletak membujur
dari utara ke selatan. Di mana keempatnya memiliki kesamaan yaitu sama-sama
terbelah oleh salah satu jalan utama di Subang, yakni Jalan Bandung ke
Pamanukan.
Sementara itu Kecamatan Pagaden sebagai lokasi tempat terbentuknya
kesenian Tardug, penyebarannya terkonsentrasi di daerah Cidadap, Gunung
Sembung. Pangsor, dan Gunung Sari. Keempat daerah ini secara geografis terletak
di bagian baratdaya Kecamatan Pagaden. Untuk lebih jelasnya, lihatlah Peta
Wilayah Kecamatan Pagaden pada lampiran tulisan ini.
Desa Cidadap memiliki sedikitnya lima perkumpulan kesenian tardug yaitu
setengah dari jumlah kesenian tardug di Pagaden Hal ini erat kaitannya dengan
pendapat yang menyatakan bahwa kesenian Tardug lahir di Desa Cidadap.
189
Tabel 3.4: Penyebaran Grup Kesenian Tardug di Kecamatan Pagaden
3.6.5 Masyarakat pendukung
Masyarakat pendukung kesenian tardug adalah masyarakat Subang dan
sekitarnya yang berkepentingan terhadap keberadaan kesenian tardug. Sebagai
kesenian yang terbentuk akibat selera massa, kesenian tardug memiliki cukup
banyak pendukungnya terutama di kalangan tertentu dengan latar belakang yang
beragam pula Salah satunya adalah seperti yang diungkapkan oleh tokoh kesenian
yang berdomisili di Subang yaitu Edih AS.
Kesenian genjring dangdut atau tardug diciptakan, salah satu tujuannya adalah untuk melayani kebutuhan akan kesenian bagi masyarakat kalangan bawah Memang apabila dilihat dari segi tarif, kesenian tardug relatif lebih murah dibandingkan kesenian lainnya yang berkisar di atas satu juta untuk sekali pentas (siang malam). Harga satu kali panggilan pentas kesenian tardug berkisar antara Rp 400.000,- sampai Rp. 600.000,- untuk pentas arak-arakan dan Rp. 750.000,- sampai Rp. 1 200.000,- untuk pentas arak-arakan dan pentas siang malam (Sutaija, wawancara, Subang, 5 Austus 2010).
No.
Nama Grup Pimpinan Grup Tempat
1. Karisma Jaya Saji Suryadi Kampung Sakola, Desa Cidadap 2. Mekar Arum Rastim Gendut Kampung Sukarahayu, Desa Cidadap 3. Radia A. Rasun Kampung Sukarahayu, Desa Cidadap 4. Sinar Pusaka Sutarja Kampung Sukasari, Desa Cidadap 5.: Primadona Sukelim Kampung Cidadap, Desa Cidadap 6. Gentra Panineungan Rohan Kampung Cerelek, Desa Gunung
Sembung 7. Ajum Group Ajum Kampung Gunung Sembung, Desa
Gunung Sembung
8. Mutiara Group Sukman E Kampung Bendungan, Desa Bendungan 9 Mekar Rahayu Muda A Odo S Kampung Pangsor, Desa Pangsor 10. Mangkat Mekar A. Nana Gala Kampung Gala. Desa Gunung San
Sumber: Kandepdiknas Kecamatan Pagaden
190
Sementara itu sistem pembagian honor para pemain terdiri dari dua macam,
sesuai dengan statusnya di dalam perkumpulan itu. Bagi pemain tetap biasanya
dibayar dengan sistem prosentase, dengan prioritas bayaran terbesar yaitu
pimpinan rombungan, pemain bedug, penyanyi, dan pemain gitar melodi.
Sedangkan bagi pemain dengan status pemain tidak tetap (pemain sewaan/bonan)
dibayar berdasarkan tarif tertentu Sebagai pemain bayaran seorang penvanyi biasa
dibayar dengan jumlah Rp. 20.000,-, sama dengan tarif pemain gitar melodi, dan
pemain bedug* untuk acara arak-arakan. Untuk pentas panggung siang malam
bayarannya bisa lebih besar lagi. Sementara sistem pembagian uang jabati, adalah
40 % untuk penyanyi, dan sisanya dibagi rata untuk para pemain musik (nayaga).
Tentu saja pendukung kesenian ini tidak terbatas pada masyarakat kalangan
bawah saja. Sebuah perkumpulan selain memiliki pimpinan rombongan, juga
memiliki pelindung dalam perkumpulannya. Pelindung kesenian ini biasanya
dipilih dari kalangan masyarakat yang berpengaruh seperti lurah, camat, perwira
polisi, tentara, dan lain-lain. Jelas golongan ini tidak termasuk kalangan bawah
Namun demikian mereka bukanlah pendukung kesenian tardug yang aktif dan
potensial. Dilihat dari keterlibatannya dengan kesenian tardug, pendukung
potensial kesenian tardug justru adalah pemuda dan remaja.
3.7 Analisis Kontinuitas dan Perubahan yang Terjadi
Seperti sudah diuraikan pada sub-sub bab di bahagian Bab III ini, maka
jelas tergambar terjadinya kontinuitas dan perubahan dari genjring bonyok ke
tardug. Kontinuitas dan perubahan ini juga mengembang dan berasal dari berbagai
ragam seni pertunjukan sejenis seperti genjring sholawatan, genjring rudatan, adem
191
ayem, genjring gederan, menjadi genjring bonyok. Kemudian menjadi tardug, yang
juga disertai dengan genre-genre baru lainnya seperti genring dangdutan.
Ada faktor-faktor yang kontinu atau sinambung dari awal munculnya
genjring, yang selaras dengan peneyebaran Islam di Tatar Sunda. Ini tercermin di
dalam penggunaan instrumen yang khas yaitu genjring. Di samping itu,
kesinambungan terjadi pula pada lagu-lagu yang digunakan, terutama yang
bertemakan ajaran Islam. Yang terpenting semua genre yang melibatkan genjring
ini adalah mengekspresikan peradaban Islam yang dibumikan dalam konteks bumi
Sunda.
Setiap genre yang hampir sama bentuknya ini saling mempengarhui, namun
yang kuat adalah dua genre saja yaitu genjring bonyok dan tardug. Dalam realitas
sosial, perubahan terjadi karena perubahan fungsi sosial di dalam masyarakat,
terutama perubahan fungsi kebutuhan hiburan pada masanya. Perubahan yang
terjadi berasal dari dalam kebudayaan Sunda di Subang sendiri maupun
dipengaruhi oleh perubahan-perubahan eksternal, baik dari lingkungan di luar
budaya Sunda, budaya asing, maupun yang terutama adalah budaya yang disajikan
emlalui media masa.
3.7.1 Kontinuitas
Dilihat dari aspek sejarah, bahwa agama Islam masuk ke Tatar Sunda sejak
tahun 1530, yaitu di paruh pertama abad ke-16, yang dibawa oleh Sunan Gunung
Jati, serta Aria Wangsa Goparna. Dalam masa ini penyebaran Islam menggunakan
media kebudayaan, termasuk di antaranya melalui lagu-lagu yang bertema Islam
dan berbahas Sunda serta alat musik khas Islam yaitu rebana, yang dalam
192
penyebutan orang Sunda disebut genjring. Seni genjring ini memang khas
bersuasana dan mengekspresikan peradaban Islam. Dari abad ke-16 sampai abad
ke-20, seni genjring ini diperkirakan tumbuh dan berkembang di dalam kebudayaan
masyarakat Sunda, khususnya di kawasan Subang Jawa Barat.
Kemudian dari data yang merupakan keterangan para informan di kawasan
penelitian, tahun 1930-an mereka selalu menyaksikan perttunjukan genjring
sholawat, atau juga genjring rudat, dan adem ayem. Kesemuanya menggunakan
genjring sebagai instrumen utama dalam pertunjukannya. Kemudian pada
dasawarsa 1940-an di Desa Cidadap muncul genre yang “baru” yang merupakan
hasil olahan kreativitas seni pertunjukan dari genjring sholawatan tersebut. Dari
tahun 1940 sampai 1990-an genjring bonyok ini mengalami masa-masa
perkembangan baik secara fungsional maupun struktural. Sama seperti seni-seni
lainnya di Tatar Sunda, maka selepas era 1990-an genjring bonyok mengalami
perubahan, dan perlahan-lahan menjadi seni tardug atau genjring tardug.
Pada era-1990-an sampai sekarang genre tardug ini begitu fungsioanl dalam
kebudayaan masyarakat Sunda di Subang khususnya. Kesenian ini memasukkan
unsur-unsur budaya kontemporer nusantara dan dunia di dalam pertunjukannya.
Yang paling ketara adalah seni dangdut dan musik populer Indonesia. Ini terjadi
karena arus media massa yang ditonton masyarakat dan para seniman di kawasan
ini.
Kontinuitas yang terjadi adalah semua genre seni pertunjukan tersebut di
atas, khususnya genjring bonyok ke tardug ada hal-hal yang sinambung. Yang
paling menonjol adalah identitas Islam di Tatar Sunda dan budaya kontemporer
saat ia hidup. Yang menonjol dari segi alat musik adalah penggunaan genjring dan
193
bedug. Kedua alat ini dipandang sebagai simbol atau lambang peradaban Islam.
Alat-alat musik lain yang diadopsi dari seni-seni tradisi Sunda dan Eropa berubah-
ubah dari masa ke masa dan dari satu genre ke genre lain. Alat-alat musik yang
berubah-ubah penggunaannya adalah tarompet, gitar, goong, kecrek, bahkan
sampai keyboard dan drum.
Dalam melakukan kontinuitas ini, para seniman dan masyarakat Sunda
memahami bahwa simbol-simbol dan ikon keislaman harus terus dipelihara dalam
merubah satu genre seni ke genre seni lainnya. Terutama genre seni yang sifatnya
adalah turunan (derivat). Selian itu tentu saja terjadi perubahan-perubahan.
3.7.2 Perubahan
Pada prinsipnya manusia dan kebudayaan secara umum pastilah berubah
dari waktu ke waktu. Perubahan yang terjadi ada yang lambat laun ada pula yang
cepat. Perubahan yang lambat ini disebut dengan perubahan evolusi, yang cepat
adalah revolusi. Perubahan-perubahan yangh terjadi di dalam sebuah kebudayaan
manusia ada yang berasal dari dorongan perubahan dan pembaharuan dari manusia
atau kelompok manusia itu sendiri. Namun tidak jarang pula perubahan-perubahan
kebudayaan diakibatkan oleh berbagai pengaruh yang datangnya dari luar
kelompok manusia yang melaksanakan kebudayaannya. Perubahan yang berasal
dari dalam disebut dengan inovasi, sedangkan perubahan yang berasal dari luar
disebut dengan akulturasi.
Melihat keberadaan seni genjring bonyok yang berubah ke tardug ini,
kedua-dua faktor tersebut menjadi dasar dari perubahan. Perubahan yang terjadi
umumnya adalah untuk memenuhi sistem estetika yang berlaku di dalam
194
masyarakat Sunda. Artinya perubahan didorong oleh keinginan untuk terus
berkreativitas dan melakukan penemuan-penemuan baru di dalam seni pertunjukan.
Setiap ada unsut yang baru atau mendaur ulang unsur seni lama menjadi baru,
maka masyarakatnya memberikan respons balik yang baik terhadap para seniman,
Selain itu, perubahan-perubahan yang terjadi dari berbagai genre seni Islam
di Tanah Sunda ini, adalah diakibatkan oleh perubahan budaya dari masa ke masa.
Perubahan dari genjring bonyok ke tardug, tidak bisa dilepaskan dari perubahan
sosial masyarakat Sunda di Subang Jawa Barat ini. Masyarakat Sunda adalah
bahagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang juga apa yang terjadi
secara nasional akan berakibat secara kedaerahan.
Sebagai bukti adanya hubungan perubahan sosial dan seni dalam
masyarakat Sunda ini dapat dilihat dari perubahan genre-genre seni yang
menggunakan genjring dan bedug sebagai intrumen (waditra) utamanya. Genjring
itu sendiri ekspresi peradaban Islam di abad 16 sampai awal abad ke-20. Dalam
periode ini masyarakat Sunda masih dalam suasana kerajaan yang baru berubah
dari peradaban Hindu menuju budaya Islam, jadi ekspresi kesenian genjring pun
pastilah memperlihatkan proses perubahan dan kemantapan dalam keimanan dan
berkesenian. Kemudian disusul munculnya genjring sholawat atau umbul-umbul di
tahun 1930-an di masa Nusantara ini menyiapkan diri menuju Indonesia merdeka,
maka ekspresi kemerdekaan juga dilakukan di dalam genjring sholawat. Kemudian
mendekati Indonesia merdeka muncullah genjring bonyok dari Desa Cidadap, yang
juga kuat mengekspresikan ajaran-ajaran Islam dan seni ini sangat fungsional
dalam tradisi upacara keislaman, bahkan bentuk perarakan menjadi begitu
195
menonjol. Bentuk pertunjukan ini adalah simbol dari kekuatan Islam dalam
menghadapi peperangan melawan Belanda.
Genjring bonyok ini begitu berkembang dari masa kemerdekaan sampai
dasawarsa 1990-an di mana masyarakat Indonesia merdeka dan mengisi
pembangunannya. Saat ini kontinuitas genjring bonyok sebagai seni Islamnya
masyarakat Sunda terus dipelihara.
Namun sesuai dengan perkembangan zaman, maka sejak 1998 Indonesia
berubah dari zaman Orde Lama ke Era Reformasi yang lebih demokratis dan
terbuka dalam mengelola kebudayaan. Saat ini pun kritik kepada siapa saja lebih
terbuka, kesenian-kesenian yang ditampilakan juga lebih “merdeka” tema dan
topiknya. Seniman lebih merdeka dibanding zaman Orde Baru. Maka kemerdekaan
berekspresi dan kebebasan yang lebih luas dalam berkreativitas ini turut
mempengaruhi perkembangan seni di Indonesia, termasuk juga di dalam seni-seni
Islam di Tatar Sunda. Tardug atau genjring tardug dan juga tardug dangdutan
adalah sebagai bukti terjadinya perubahan sosial kemasyarakatan dan juga
terjadinya perubahan pada genre-genre seni.
Di dalam genre tardug, maka unsur budaya pun selain menggunakan unsur
budaya Islam (diwakili genjring dan bedug) juga menggunakan unsur-unsur Sunda
pra-Islam seperti: tarompet, kecrek, goong, dan lainnya. Juga menggunakan alat-
alat musik Eropa seperti: keyboard, dan seperangkat drum. Lagu-lagu yang
digunakan, selain lagu-lagu khas tradisi Sunda, dan juga lagu Islam dalam konteks
budaya Sunda, juga menggunakan lagu-lagu dangdut, dan juga lagu-lagu populer
Indoensia, dan kalau diminta lagu pop dunia juga mereka bisa memainkannya.
196
Bagi masyarakat Sunda, musik dangdut juga dipandang sebagai milik
mereka yang dikembangkan dari Orkes Melayu (O.M.). Orang Sunda juga sadar
bahwa orkes dangdut ini dipelopori perkembangnnya oleh para seniman Sunda
seperti Raden Haji Oma Irama (Rhoma Irama). Begitu juga dengan tokoh-tokoh
dangdut yang lain yang berlatar belakang budaya Sunda seperti Elvi Sukaesih, Evi
Tamala, Cici Paramida, dan lain-lainnya. Dengan demikian, perubahan yang terjadi
di dalam masyarakat Sunda diekspresikan juga dalam perubahan-perubahan
kesenian. Termasuk perubahan di dalam seni-seni Sunda yang melibatkan genjring
dan tardug sebagai simbol keislaman mereka. Bagaimanapun perubahan mestilah
terjadi dan tidak dapat dihempang, tetapi perubahan yang mengakar pada kebijakan
tradisilah yang kuat pengaruh dan perkembangannya di dalam masyarakat. Untuk
itu diperlukan juga para pemikir dan penganalis kebudayaan.
3.8 Guna dan Fungsi Genjring Bonyok dan Tardug
Kontinuitas dan perubahan yang terjadi dari genjring bonyok ke tardug
tidak dapat pula dipisahkan dari guna dan fungsi genre kesenian ini di dalam
kebudayaan masyarakat Sunda, khususnya yang berada di Subang Jawa Barat.
Kontinuitas dan perubahan yang terjadi sejalan juga dengan guna dan fungsi
kesenian ini di dalam masyarakat. Sebagai seni yang sarat dengan ajaran Islam
maka kesenian ini juga memiliki guna dan fungsinya secara tersendiri. Guna dan
fungsi genjring bonyok dan tardug ada persamaan dan ada pula perbedaannya.
Fungsi tardug menurut penulis lebih bersifat profan dan sekuler, sedangkan
genjring bonyok lebih bersifat ritual dan religius.
197
Sebelum menguraikan bagaimana guna dan fungsi genjring bonyok dan
genjring tardug di dalam kebudayaan masyarakat Sunda di Subang Jawa barat ini,
terlebih dahulu diuraikan pengertian guna dan fungsi yang dirujuk dalam tulisan
ini. Adapun yang dimaksud guna (uses) dan fungsi (functions) di dalam tesis ini
adalah merujuk pengertian yang dikemukakan oleh seorang etnomusikolog ternama
yang beraliran fungsionalisme, Merriam (1964) seperti kutipan parafrase berikut
ini.
3.8.1 Pengertian Guna dan Fungsi dalam Disiplin Etnomusikologi
Menurut ilmuwan antropologi Bronislaw Malinowski, yang dimaksud
fungsi itu intinya adalah bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya
bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah keinginan naluri makhluk
manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kesenian sebagai contoh
darip salah satu unsur kebudayaan, terjadi karena mula-mula manusia ingin
memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul
karana keinginan naluri manusia untuk tahu. Teknologi muncul dalam kehidupan
manusia untuk mempermudah manusia dalam menggunakan perangkat atau
peralatan hidupnya. Bahasa muncul dalam kehidupan sebagai anugerah Tuhan,
dalam rangka manusia berkomunikasi secara verbal antar sesamanya. Namun
demikian, banyak pula aktivitas kebudayaan yang terjadi karena kombinasi dari
berbagai macam human need itu. Dengan paham ini seorang peneliti budaya bisa
198
menganalisis dan menerangkan banyak masalah dalam kehidupan masyarakat dan
kebudayaan manusia.22
Selaras dengan pendapat Malinowski, genre seni genjring bonyok dan
tardug timbul dan berkembang karena diperlukan untuk memuaskan suatu
rangkaian keinginan naluri masyarakat Sunda di Jawa Barat pada umumnya.
Genjring bonyok dan tardug timbul, karena masyarakat pengamalnya ingin
memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan. Namun lebih jauh dari itu,
fungsi estetika ini akan disertai dengan fungsi-fungsi lainnya, seperti integrasi
masyarakat, hiburan, kontinuitas budaya, dan lainnya.
Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat dengan
struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan
individu-individu dapat berganti setiap masa. Dengan demikian, Radcliffe-Brown
yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat,
mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada
keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah
untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti yang
dijabarkannya berikut ini.
By the definition here offered ‘function’ is the contribution which a partial activity makes of the total activity of which it is a part. The function of a perticular social usage is the contribution of it makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such a view implies that a social system ... has a certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may define
22Lihat Koentjaraningrat (ed.) Sejarah Teori Antropologi I (1987:171). Abstraksi tentang
fungssi yang ditawarkan oleh Malinowski berkaitan erat dengan usaha kajian etnografi dalam antropologi. Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berintegrasi secara fungsional yang dikembangkan dalam kuliah-kuliahnya tentang metode-metode penelitian lapangan dalam masa penulisan buku etnografi mengenai kebudayaan masyarakat Trobiands, selanjutnya menyebabkan bahwa konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia dan institusi-institusi sosial menjadi mantap (Koentjaraningrat, 1987:67).
199
it as a condition in which all parts of the social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent conflicts can neither be resolved not regulated (1952:181).
Selaras dengan pandangan Radcliffe-Brown, genjring bonyok dan tardug
boleh dianggap sebagai bahagian dari struktur sosial masyarakat Sunda. Seni
pertunjukan ini adalah salah satu bahagian aktivitas yang bisa menyumbang kepada
keseluruhan aktivitas, yang pada masanya akan berfungsi bagi kelangsungan
kehidupan budaya masyarakat pengamalnya. Fungsinya lebih jauh adalah untuk
mencapai tingkat harmoni dan konsistensi internal. Pencapaian kondisi itu,
dilatarbelakangi oleh berbagai kondisi sosial dan budaya dalam masyarakat Sunda,
jati diri, perubahan sosial, sistem akulturasi, kumpulan etnik Sunda, dan masalah-
masalah lainnya.
Soedarsono yang melihat fungsi seni, terutama dari hubungan praktis dan
integratifnya, mereduksi tiga fungsi utama seni pertunjukan, yaitu: (1) untuk kepentingan
sosial atau sarana upacara; (2) sebagai ungkapan perasaan pribadi yang dapat menghibur
diri, dan (3) sebagai penyajian estetik (1995). Selaras dengan pendapat Soedarsono seni
genjring bonyok dan tardug dalam kebudayaan Sunda mempunyai fungsi sosial, ungkapan
perasaan pribadi yang dapat menghibur diri, dan penyajian estetika.
Dengan tetap bertolak dari teori fungsi, yang kemudian mencoba menerapkannya
dalam etnomusikologi, lebih lanjut secara tegas Merriam membedakan pengertian fungsi
ini dalam dua istilah, yaitu penggunaan dan fungsi. Menurutnya, membedakan pengertian
penggunaan dan fungsi adalah sangat penting. Para pakar etnomusikologi pada masa
lampau tidak begitu teliti terhadap perbedaan ini. Jika kita berbicara tentang penggunaan
musik, maka kita menunjuk kepada kebiasaan (the ways) musik dipergunakan dalam
masyarakat, sebagai praktik yang biasa dilakukan, atau sebagai bahagian daripada
200
pelaksanaan adat istiadat, baik ditinjau dari aktivitas itu sendiri maupun kaitannya dengan
aktivitas-aktivitas lain (1964:210). Lebih jauh Merriam menjelaskan perbedaan pengertian
antara penggunaan dan fungsi sebagai berikut.
Music is used in certain situations and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper function. If the lover uses song to w[h]o his love, the function of such music may be analyzed as the continuity and perpetuation of the biological group. When the supplicant uses music to the approach his god, he is employing a particular mechanism in conjunction with other mechanism as such as dance, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function of music, on the other hand, is enseparable here from the function of religion which may perhaps be interpreted as the establishment of a sense of security vis-á-vis the universe. “Use” them, refers to the situation in which music is employed in human action; “function” concerns the reason for its employment and perticularly the broader purpose which it serves. (1964:210).
Dari kutipan langsung paragraf di atas, terlihat bahwa Merriam
membedakan pengertian penggunaan dan fungsi musik berdasarkan kepada tahap
dan pengaruhnya dalam sebuah masyarakat. Musik dipergunakan dalam situasi
tertentu dan menjadi bahagiannya. Penggunaan bisa atau tidak bisa menjadi fungsi
yang lebih dalam. Dia memberikan contoh, jika seeorang menggunakan nyanyian
yang ditujukan untuk kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu bisa dianalisis
sebagai perwujudan dari kontinuitas dan kesinambungan keturunan manusia—
[yaitu untuk memenuhi kehendak biologis bercinta, kawin dan berumah tangga dan
pada akhirnya menjaga kesinambungan keturunan manusia]. Jika seseorang
menggunakan musik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka mekanisme
tersebut behubungan dengan mekanisme lain, seperti menari, berdoa,
mengorganisasikan ritual, dan kegiatan-kegiatan upacara. “Penggunaan”
menunjukkan situasi musik yang dipakai dalam kegiatan manusia; sedangkan
201
“fungsi” berkaitan dengan alasan mengapa si pemakai melakukan, dan terutama
tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekedar apa yang dapat dilayaninya. Dengan
demikian, selaras dengan Merriam, menurut penulis penggunaan lebih berkaitan
dengan sisi praktis, sedangkan fungsi lebih berkaitan dengan sisi integrasi dan
konsistensi internal budaya.
Berkaitan dengan guna dan fungsi genjring bonyok dan tardug dalam kehidupan
sosial masyarakat Sunda di Subang Jawa Barat, memiliki berbagai guna dan fungsi. Guna
langsung bisa dirasakan dari pengamatan awal dan situasi di mana ia digunakan,
sedangkan fungsinya lebih bersifat abstrak dan hanya dapat dipahami melalui pendekatan
kebudayaan dan mencari makna-makna di sebalik kegiatan sosial dan budaya
penggunaanya. Lihat uraikan berikut ini.
3.8.2 Penggunaan Genjring Bonyok dan Tardug
Penggunaan genjring bonyok dan tardug dalam kebudayaan Sunda mencakup
berbagai aktivitas, seperti: memeriahkan suasana pesta perkawinan, memeriahkan suasana
pesta khitanan, meruwat bumi (memohon agar Tuhan menghindarkan bahaya suatu
daerah), menyambut tetamu, untuk festival-festival budaya, untuk mengiringi acara-acara
peresmian, untuk kepentingan pariwisata, dan lain-lain.
3.8.2.1 Upacara pesta kawin
Dalam kebudayaan Sunda pada umumnya, pernikahan merupakan kegiatan
yang bersifat keagamaan dan adat sekaligus. Pernikahan secara konseptual, adalah
penyatuan jasmani dan rohani antara laki-laki dan perempuan yang diabsahkan baik
oleh agama maupun norma-norma sosial. Dalam kebudayaan masyarakat Sunda di
Jawa Barat, upacara perkawinan ini terdapat beberapa tahapan.
202
Di beberapa tempat di Banten jodoh seseorang sudah ditentukan oleh orang
tuanya sejak masih anak-anak. Di daerah pedesaan lainnya masih berlaku pula
jodoh ditentukan oleh orang tua ketika anak sudah dianggap dewasa (baleg). Pada
keluarga petani yang kaya, seriang kali jodoh ditentukan oleh orang tua yaitu sama-
sama orang yang kaya juga. Kalau perlu dengan kerabat besarnya. Hal ini
dimaksudkan untuk memelihara kekayaan. Perkawinan seperti ini, menurut istilah
Buah Batu Bandung, yaitu ngadu galeng (mengadu pematang). Akan tetapi pada
umumnya dewasa ini para pemuda dan pemudi bebas memilih jodohnya masing-
masing. Berikut adalah adat perkawinan yang masih dipegang oleh sebilangan
orang Sunda.
Jika seorang pemuda sudah menentukan pilihannya, maka kedua orang
tuanya melakukan neundeun omong (menaruh kata) kepada orang tua si gadis.
Setelah itu terjadilah proses amat-mengamati, penelitian, atau pengkajian atas dasar
prinsip: babat, bibit, dan bobot. Periode ini disebut dengan bene beureuh (kekasih
laki-laki dan kekasih perempuan). Babad artinya apakah calon itu sebanding apa
tidak. Jika tidak sebanding strata sosialnya mungkin bisa diurungkan. Namun ini
tergantung dari pihak keluarga masing-masing. Yang dimaksud bibit adalah faktor
keturunan, apakah orang baik-baik atau tidak. Sedangkan bobot berkaitan dengan
pribadi dan tingkat sosial ekonomi si calon pendamping hidup. Jika pengkajian tiga
hal di atas tidak sesuai maka ini digambarkan seperti pada pantun Sunda berikut ini.
Lain pandan lain pancing,
Lain cempaka kuduna,
Lain babad lain tanding,
Lain ka dina kuduna.
203
(Bukan pandan bukan pancing,
Bukan cempaka mestinya,
Bukan babad bukan tanding,
Bukan kepada dia mestinya).
Di samping prinsip di atas juga ada prinsip lainnya. Kepada seorang pemuda
yang telah berkeinginan untuk berkeluarga, para sanak dan sahabatnya selalu
menasihatkan agar memeiliki terlebih dahulu sarat, sirit, sorot. Sarat artinya si
pemuda sudah memiliki penghasilan dan hal-hal materi lain untuk keluarganya.
Sirit pula adalah kemampuan berhubungan seksual. Selanjutnya sorot adalah
berupa kedudukan, jabatan, dan pangkat yang secara sosial memang diperlukan.
Jika dalam periode bene beureuh tadi ternyata menemukan kecocokan,
maka periode selanjutnya adalah dilanjutkan lamaran oleh keluarga si pernuda.
Biasanya untuk melamar itu diserahkan kepada orang yang binekas pinter nyarita,
yaitu orang yang pandai mengungkapkan maksud hati dengan kata-kata berirama,
bersajak, indah, dan halus. Tentu saja pihak pemuda membawa barang-barang dan
uang sebagai ciri asih tanda cinta, meneuhkeun tineung ka jungjunan pupunden
hate (ciri kasih, tanda cinta, mengokohkan rindu dendam kepada pujaan hati).
Biasanya pada waktu melamar ini ditentukan pula hari baik bulan baik bagi
pernikahan. Setelah itu sering terjadi hubungan antara kedua keluarga tersebut.
Sehari sebelum pernikahan diadakan upacara seserahan (serah terima) yang
kalau dahulu lalu dilanjutkan dengan ngeuyeuk seueuh (mengolah sirih). Bila
pernikahan itu bukan besok harinya, seserahan dilakukan sore hari atau malam hari
sebelumnya. Atau bila si pemuda tempat tinggalnya jauh, sering terjadi seserahan
dilakukan sebelum saat walimah (pernikahan). Bagi keluarga marnpu penghuru
204
atau petugas jawatan agama setempat diundang datang, tetapi bagi yang tidak
mampu mempelai dan keluarganya datang ke Kantor Urusan Agama.
Selesai pernikahan diadakan upacara adat yaitu nyawer, nincak endog,
(menginiak terur), buka pintu, dan huap ringkung (suap lingkung). Nyawer
berupa nasihat-nasihat kepada mempelai yang dibawakan dengan tembang atau
puisi. Nyawer merupakan acara paling meriah dimana hadirin berebutan uang, gula-
gula, yang dicampur dengan beras kuning, beras putih dan kuning (turmeric), yang
semuanya itu disemburkan oleh penyawer kepada hadirin pada akhir setiap bait
tembangnya.
Uang dan beras melambangkan dunya barana (harta benda) yang pokok
dalam kehidupan. Beras kuning dan kuning (kunyit), turmeric melarnbangkan
keagungan, itu bisa berupa wibawa yang merupakan pengaruh dari pangkat atau
jabatan. Warna kuning dan putih (beras putih) mengisyaratkan kepada emas dan
perak. Sedangkan gula-guti adalah unsur baru yang mulai masuk cada dekade
enampuluhan.
Upacara nyawer ini lebih berintikan nasihat dan doa dari si Denyawer yang
bertindak atas nama orang tua dan kedua mernpelai. Juga ajakan kepada hadirin
untuk ikut mendoakan. Makna yang dikandung benda-benda simbolis tu biasanya
secara vokal disenandungkan si penyawer (biasanya wanita cantik): "luhur kuta
gede dunya, luhur oangkai gede darajat, dan seterusnya."
Upacara nyawer ini biasanya dilakukan di halaman repan rumah mempelai
wanita, sebab biasanya pernikahan itu selalu dilakukan di rumah pengantin wanita.
Selama nyawer itu kedua mempelai dipayungi payung kebesaran. Seusai nyawer
kedua mempetai berjalan berdampingan ke depan pintu. Pengantin pria bertugas
205
menginjak telur dan elekan (salah satu alat tenun tradisional) hingga kedua benda
itu pecah. Hal ini melambangkan pria yang kotor karena telui pecah itu dibasuh
oleh mempelai wanita dengan mernpergunakan air dari sebuah kendi tanah.
Setelah itu harupat (semacam duri dari pohon enau) dinyalakan dan harus
ditiup hingga padam oleh mempelai wanita. Hal ini melambangkan jika suami
sedang marah, si istri harus dapat meredakan kemarahannya itu dengan cara yang
tepat. Kernudran kendi yang masih berisi air itu dijatuhkan oleh mempelai wanita
hingga pecah dan airnya bercipratan. Keadaan ini mengisyaratkan suasana rumah
tangga mereka harus tiis dingin paripurna, tata tentrem kertaraharja, tenang dan
tenteram. Upacara ini disebut upacara nincak endog (memijak telur).
Berikutnya adalah upacara buka pintu. Mempelai wanita masuk ke dalam
rumah dan berdiri di balik atau di samping pintu. Mempelai pria yang berdiri di luar
mengetuk pintu, sehingga terjadilah dialog dalam tembang, yang tentu saja
disenandungkan penembang pria dan wanita. Dalam dialog itu biasanya mempelai
wanita mengajukan permintaan sebagai syarat untuk mempelai pria bisa masuk
rumah. Permintaan itu bisa macam-macam, tetapi biasanya berupa pembacaan
syahadat oleh mempelai pria. Setelah selesai membaca syahadat, pintu dibuka oleh
mempelai wanita. Keduanya bersalaman menurut tata cara adat Sunda.
Kedua mempelai ini lalu berjalan berdampingan diiringi oleh sanak
keluarga menuju kamar pengantin. Di sini sudah disiapkan hidangan lengkap.
Hidangan utama dalam upacara huap lingkung (suap lingkung) ini adalah bakakak
hayam (ayam panggang) dan nasinya. Kedua mempelai saling menarik bakakak itu
hingga terbagi dua. Mempelai yang memperoleh bahagian terbesar dianggp bakal
memperoleh rezeki yang besar.
206
Setelah selesai upacara huap lingkung ini, kedua mempelai lalu duduk di
kursi kebesaran, kursi gading gelang kencana. Keduanya menerima ucapan selamat
dari handai taulan ataupun undangan lainnya. Pada saat inilah genjring bonyok atau
tardug dipertunjukkan kepada semua yang hadir dalam pesta perkawinan adat
Sunda tersebut.
3.8.2.2 Upacara Pesta Khitan
Acara berkhitan (sunat Rasul atau sirkumsisi) merupakan salah satu
aktivitas dalam peradaban Islam. Berdasarkan hukum Islam, berkhitan adalah wajib
‘ain—wajib dilakukan oleh setiap individu muslim, sesuai ajaran Nabi Muhammad
SAW. Usia untuk berkhatan tidak ada ketentuannya, tetapi biasanya untuk anak
perempuan dilakukan setelah berusia lebih setahun, anak laki-laki lebih dari tujuh
tahun menjelang akil baligh (usia remaja).
Biasanya pada saat anak dikhitan, disertai acara yang berhubungan dengan
adat-istiadat, yaitu kenduri sebagai rasa syukur dan mohon keselamatan kepada
Allah. Dalam budaya Sunda, acara khitan ini dilaksanakan menurut hari baik dan
bulan baik, biasanya Sya’ban, Syawal, Zulhijjah, atau Zulkaidah. Sesuai dengan
penanggalan Islam, berdasarkan pada siklus tahun qamariah (siklus bulan
mengedari bumi),23 dimulai dari tahun awal kali Nabi Muhammad dan pengikutnya
hijrah (migrasi sementara) dari Mekah ke Medinah.
23Di dunia ini ada pelbagai sistem kalender yang digunakan oleh manusia. Ada yang
mengikut sistem bumi mengedari matahari seeperti kalender Masihi. Ada pula yang mengikut bulan mengelilingi bumi seperti kalender Islam dan Jawa. Ada juga kalender-kalender lain seperti China, Thailand, Batak Toba, Karo, Simalungun dan lainnya.
207
Pada hari yang ditentukan, anak tersebut dikhatan. Setelah selesai dikhatan
ditidurkan di sebuh ranjang. Beberapa masa kemudian, didudukkan di pelaminan.
Di depan pelaminan disediakan tumpengan (nasi dan lauk pauk). Saat anak
didudukkan di pelaminan inilah biasanya dipertunjukkan genjring bonyok, atau
tardug, keyboard tunggal, atau seni Sunda yang lainnya.
3.8.2.3 Ruwatan
Ruwatan adalah salah satu upacara yang lazim dilakukan oleh masyarakat
Sunda. Ruwatan adalah upacara yang bertujuan untuk menolak bala atau
menghindarkan malapetaka yang akan dilakukan oleh Tuhan Yang maha Kuasa
karena murka kepada manusia atau segelintir manusia yang berakibat kepada
manusia lainnya. Malapetaka itu adalah seperti datangnya penyakit, panen yang
tidak berhasil, bencana alam,. Kemarau, gempa bumi, dan lain-lainnya.
Ruwatan ini dilakukan dengan cara musyawarah para pemuka adat Sunda
dan juga tokoh agama, serta tokoh-tokoh pemerintahan. Waktu dan tempat
pelaksanaan ditentukan berdasarkan musyawarah tersebut. Setelah disepakati
bersama maka pesta ruwatan ini dilakukan menurut tempatnya. Tetapi pesta
ruwatan bisa juga dilakukan oleh keluarga tertentu yang ingin terbebas dari
malapetaka tersebut.
Seni genjring bonyok dan tardug biasanya diselenggarakan setelah upacara
secara agama di suatu perhelatan ruwatan. Seni genjring bonyok atau tardug ini
bisa dilakukan di lapangan, atau juga pentas, atau juga secara berkeliling memakai
mobil pick up. Dahulu kala dilakukan dengan menggunakan sepeda dan berjalan
208
berarak. Dengan demikian, guna kesenian ini masih berkait dengan upacara yang
berdasar kepada ajaran Islam dan meneruskan nilai-nilai budaya Sunda.
3.8.2.4 Menyambut Tetamu
Selain itu, sesuai dengan perkembangan zaman, musik genjring bonyok dan
tardug pada masa-masa akhir ini digunakan untuk menyambut tetamu-tetamu
kehormatan dari kepala desa, camat, atau bupati Kabupaten Subang. Biasanya
tamu-tamu diundang untuk mengikuti upacara-upacar resmi yang dilakukan oleh
pihak eksekutif. Adapun upacara itu di antaranya adalah emrsmikan digunakannya
gedung-gedung pemerintah, meresmikan dibukanya acara festival budaya,
meresmikan pasar malam, meresmikan pameran, dan lain-lainnya.
3.8.2.5 Peresmian
Seni genjring bonyok dan tardug juga digunakan dalam upacara-upcara
peresmian yang biasanya dilakukan juga oleh pihak pemerintahan di Kabupaten
Subang, baik dari tingkat bupati, camat, kepala desa, dan yang lainnya. Adapun
peresmian-peresmian yang lazim dilakukan oleh pihak eksekutif ini adalah seperti
persemian penggunaan gedung baru, peresmian pameran hasil pertanian, peresmian
festival dan lomba budaya, peresmian upacara ulang tahun kemerdekaan Republik
Indonesia di bulan Agustus, peresmian perlombaan olah raga, dan persemian-
persemian lainnya. Kesenian ini digunakan untuk memeriahkan suasana upacara
tersebut, yang dinikmati oleh masyarakat umum. Juga menjadi sarana komunikasi
sosial antara pemerintah dengan rakyatnya.
209
3.8.3 Fungsi
3.8.3.1 Integrasi Sosiobudaya
Fungsi seni genjring bonyok dan tardug lainnya dalam kebudayaan Sunda
adalah untuk integrasi masyarakat Sunda di Subang atau yang lebih luas
masyarakat Jawa Barat yang majemuk, Indonesia yang mendasarkan konsep biar
berbeda tetap satu juga. Berkenaan dengan fungsi seni sebagai sumbangan untuk
integrasi masyarakat, Merriam menjelaskannya seperti uraian berikut ini.
Music, then, provides a rallying point around which the members of society gather to engage in activities which require the cooperation and coordination of the group. Not all music is thus performed, of course, but every society has occasions signalled by music which draw its members together and reminds them of their unity (Merriam, 1964:227).
Menurut Merriam, salah satu fungsi musik adalah sebagai wahana untuk
berkumpul para anggota masyarakatnya. Musik yang seperti ini biasanya mengajak
para warga masyarakatnya untuk turut serta beraktivitas. Dalam konteks itu,
mereka saling memerlukan kerjasama dan koordinasi kelompok. Walaupun
demikian, Merriam juga tidak menyatakan bahwa semua musik berfungsi sebagai
kontribusi untuk integrasi sosial, tetapi setiap kelompok masyarakat, termasuk
masyarakat Sunda di Subang Jawa Barat, mempunyai musik seperti yang
digambarkannya itu. Melalui musik ini para anggota masyarakatnya diajak untuk
beraktivitas bersama, dan mengingatkan akan pentingnya mereka sebagai satu
kesatuan kelompok.
Konsep yang dikemukakan Merriam tersebut sangat tepat dalam
menggambarkan salah satu fungsi yang terjadi dalam genre genjring bonyok dan
tardug di Subang. Dari serangkaian fungsi kesenian ini dalam masyarakat Sunda,
210
menurut penulis, fungsinya yang utama adalah memberi sumbangan kepada
integrasi masyarakat. Masyarakat di Subang Jawa Barat, terdiri dari berbagai
kelompok golongan sosial, yang bisa mengakibatkan friksi. Mereka juga
menyadari akan bahaya yang diakibatkan apabila konflik-konflik sosial tersebut
tidak diselesaikan hingga pada tahapan harmoni sosial. Oleh itu, mereka perlu
berintegrasi, yang dilandasi oleh semangat sosial, berbeda-beda dalam satu
kesatuan, yang didasari oleh persamaan budaya yaitu budaya Sunda. Perlunya
integrasi itu didukung pula dengan kondisi mereka yang berada dalam satu negara
bangsa, provinsi, yang menginginkan kerjasama sosial dalam berbagai kegiatan,
termasuk kesenian Sunda, seperti pada genjring bonyok dan tardug.
3.8.3.2 Kelestarian Budaya
Berkenaan dengan fungsi sumbangan musik untuk kelestarian dan stabilitas
kebudayaan, Merriam menjelaskan bahwa tidak semua unsur kebudayaan
memberikan tempat untuk meluahkan emosi, hiburan, komunikasi, dan seterusnya.
Musik adalah perwujudan kegiatan untuk mengekspresikan nilai-nilai. Dengan
demikian fungsi musik ini menjadi bahagian daripada berbagai ragam pengetahuan
manusia lainnya, seperti sejarah, mite dan legenda. Berfungsi menyumbang
kesinambungan kebudayaan, yang diperoleh melalui pendidikan, pengawasan
terhadap perilaku yang salah, menekankan kepada kebenaran, dan akhirnya
menyumbangkan stabilitas kebudayaan (Merriam, 1964:225).
Genre seni pertunjukan genjring bonyok dan tardug di Sumatera Utara
berfungsi pula memberikan sumbangan untuk kelestarian dan stabilitas kebudayaan
Sunda di daerah Subang. Di dalam genre seni inu terkandung unsur-unsur sejarah,
211
mite, dan legenda, yang pada saatnya mampu memberikan sumbangan untuk
kelestarian kebudayaan. Melalui genre seni p0ertunjukan ini boleh dipelajari
perilaku-perilaku yang dipandang benar dan salah oleh masyarakat pendukungnya.
Di dalamnya terkandung nilai-nilai moral. Usaha untuk mewujudkan kelestarian
dan stabilitas kebudayaan Sunda melalui seni pertunjukan ini.
Fungsi seni pertunjukan ini lainnya adalah sebagai sarana untuk kelestarian
budaya. Bahwa seperti dicontohkan di dalam ajaran agama, kebudayaan manusia
itu boleh saja mati, dan ada juga yang lestari. Contoh berbagai kebudayaan yang
musnah itu adalah: Ad, Tsamud, Madyan, Ur, dan lainnya—dan yang lestari adalah
beberapa umat Nabi Nuh, dan tentu saja umat Islam, sejak Nabi Adam Alaihissalam
hingga kini. Melalui seni budaya genjring bonyok dan tardug ini, ajaran-ajaran
Islam akan terus lestari mengikuti rentak dimensi ruang dan waktu. Bahwa
kebudayaan Islam itu harus diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya agar
tidak pupus ditelan zaman. Seni budaya Islam ini diajarkan melalui berbagai
institusi sosial, misalnya pesantren, sekolah umum, kumpulan remaja mesjid, dan
lain-lainnya. Generasi muda haruslah dikawal dan dipandu agar mereka
meneruskan dan melestarikan kebudayaan Islam ini ke generasi-generasi
mendatang.
3.8.3.3 Hiburan
Berkaitan dengan fungsi seni untuk hiburan, Merriam membicangkannya
seperti yang diturunkan berikut ini.
Music provides an entertainment function in all societies. It needs only to be pointed out that a distinction must be probably be drawn between “pure” entertainment, which seems to be a particular
212
feature of music in Western society, and entertainment combined with other functions. The latter may well be a more prevalent feature of nonliterate societies (Merriam, 1964:223).
Genjring bonyok dan tardug salah satu fungsinya adalah untuk hiburan. Di
Jawa Barat genre seni ini hidup karena salah satunya adalah berfungsi untuk
hiburan. Kumpulan-kumpulan pertunjukan biasanya melakukan kegiatannya di
pentas atau berarak. Fungsi utamanya dalam konteks ini adalah menghibur
pengunjung. Bentuk hiburan ini di antaranya adalah pengunjung ikut menanyi atau
menari secara bersama. Biasanya pihak penyelenggara mengemukakan bahwa
tujuan diselenggarakannya pertunjukan seni Sunda ini bukan untuk bisnis tetapi
adalah untuk melestarikan salah satu warisan tradisi Sunda. Namun demikian,
menurut penulis, faktor ekonomi juga menjadi hidup dan berkembangnya kesenian
ini di dalam kebudayaan Sunda.
Fungsi genre seni budaya Sunda genjring bonyok dan tardug lainnya adalah
sebagai sebagai hiburan. Istilah hiburan di sini, bukanlah bermakna hiburan yang
terlepas dari ajaran Islam. Justeru hiburan di sini adalah untuk memenuhi keinginan
asas manusia akan rasa keindahan menerusi berbagai dimensinya. Bahwa manusia
secara alamiah, menyukai keindahan. Sesudah menikmati keindahan ia akan
terhibur, dan jiwanya terisi oleh aspek-aspek ruhiyah dan pencerahan (aufklärung).
Berbagai contoh keinginan manusia akan hiburan, dapat kita lihat pada kebudayaan
masyarakat modern. Dengan demikian seni budaya Islam di Tatar Sunda ini juga
mengandung fungsi sebagai hiburan, yang berdasar kepada fitrahnya dan sebagai
salah satu anugerah dan nikmat yang diberikan oleh Allah.
213
Bagan 3.1
Kontinuitas dan Perubahan Genjring Bonyok ke Tardug dalam Budaya Sunda
214
BAB IV
STRUKTUR PERTUNJUKAN GENJRING
BONYOK DAN TARDUG
Pada Bab IV ini, penulis akan mengkaji s truktur pertujukan
genjr ing bonyok dan tardug yang terjadi di dalam kebudayaan
masyarakat Sunda di Subang Jawa Barat . Adapun sebagai kelompok
genjring Bonyok yang akan dikaji s truktur pertunjukannya adalah
Sinar Pusaka yang ada d i Desa Cidadap, Subang, Jawa Barat. Di l ain s is i, seperti sudah diuraikan sebe lumnya, seni genjr ing
bonyok in i kemudian berkembang menjadi satu genre lagu yang
disebut tardug atau genjr ing tardug , kadangkala disebut juga tardug
dangdutan , atau tardug jaipongan . Untuk mengkaji struktur
pertunjukan tardug in i penulis memilih kelompok tardug Karisma
Jaya di Kampung Cidadap juga. Namun sebelum mengurai struktur
pertunjukan te rlebih dahulu dideskrips ikan s truktur o rganisasi , dan
manajemen seni yang terjadi di dalam kelompok seni pertunjukan
genjring bonyok Sinar Pusaka pimpinan Bapak Sutarja.
4.1 Organisasi Genjring Bonyok
Kelompok genjr ing bonyok pada umumnya seperti juga Sinar
Pusaka, pada mulanya merupakan sebuah kelompok kesenian
215
genjring sholawat yang bernama Sinar Harapan. Namun sejak tahun
1973 ke tika ke lompok in i berubah menjadi kelompok genjr ing
bonyok , Sinar Harapan berubah nama menjadi Sinar Pusaka. Pada
saat yang sama pu la, kepemimpinan kelompok in i diserahkan kepada
Sutarja, berlokasi d i Desa Cidadap , Kecamatan Pagaden , Kabupaten
Subang, Provinsi Jawa Barat .
Gambar 4.1 : Sutarja, Pimpinan Genjring Bonyok Sinar Pusaka
Di Desa Cidadap Subang Jawa Barat
216
Gambar 4.2 : Struktu r Organisasi Genjr ing Bonyok Sinar Pusaka
Kelompok gen jr ing bonyok Sinar Pusaka, adalah salah satu
dari sekian banyak perkumpulan genjring bonyok yang pada saat ini
terdapat d i Kabupaten Subang. Umumnya setiap ke lompok genjr ing
bonyok di Kabupaten Subang berada dalam suatu organ isasi sen i.
217
Setiap keorganisas ian seni umumnya pula memiliki ketua sebagai
pimpinan kelompok, dan dua orang pembantu umum yang masing-
masing berperan mengawasi anggotanya, yaitu terd iri dari para
pemain musik (nayaga) dan pe tugas sound sys tem.
Kelompok genjring bonyok Sinar Pusaka te rdaftar sebagai
salah satu kelompok kesenian Sunda, pada Dinas Pend idikan dan
Kebudayaan Kabupaten Subang. Sampai saat ini (2012), kelompok
Sinar Pusaka masih akti f dalam berbagai pertun jukan gen jr ing
bonyok , dan mempertahankan eksistensinya sebagai salah satu seni
pertunjukan genjr ing bonyok .
Sebagai salah satu organ isasi sen i pertunjukan d i daerah
Kabupaten Subang, ke lompok genjring bonyok Sinar Pusaka adalah
salah satu kelompok yang diakui kemampuannya oleh masyarakat.
Hal ini d ilatarbelakangi oleh ketrampilan para pemainnya dalam
memainkan alat musik, dan kemampuannya dalam memuaskan
kebutuhan pemangku hajat (nuboga hajat). Yaitu kemampuannya
menghibur para tamu undangan , dalam acara yang d ise lenggarakan
oleh salah seorang warga masyarakat.
Kedua faktor in i merupakan hal yang penting dimiliki oleh
setiap kelompok genjr ing bonyok . Karena selain kemampuan teknis
yang harus d ikuasai o leh para senimannya, setiap kelompok harus
pu la dapat memenuhi permintaan (lagu) penonton, yang adakalanya
dilakukan dengan memberikan mereka uang beberapa rupiah.
Dengan demikian setiap seniman genjr ing bonyok harus dapat
218
menguasai perbendaharaan lagu-lagu yang menjadi minat
penontonnya (tamu undangan dan pemangku hajat).
Untuk mempertahankan keberadaannya sebagai ke lompok
kesen ian , secara organ isasi , kelompok genjr ing bonyok Sinar Pusaka
melakukan regenerasi . Hal ini ter lihat dari keberadaan sebagian
pemainnya yang berusia relati f muda (20 -30 tahun). Biasanya
pemain genjring yang berusia muda bertindak sebagai "pemain
magang," yang bermain pada waktu -waktu yang telah ditentukan,
dan memainkan lagu -lagu yang sudah mereka pelajari pada masa-
masa sebe lumnya.
Dalam kelompok genjring bonyok Sinar Pusaka, biaya untuk
keperluan pertunjukan dan anggotanya, diperoleh dari pembayaran
yang diberikan pemesan pertunjukan genjring bonyok . Adapun
penghasilan tambahan mereka peroleh, dari para penonton yang
meminta lagu ketika pertunjukan dudukan maupun dalam arak -
arakan.
Hasil dari pembayaran yang mereka peroleh, b iasanya
sebagian disimpan di kas ke lompok. Uang tersebut d ipergunakan
un tuk membeli keperluan alat -a lat pertunjukan apabila alat te rsebut
harus digan ti ; membeli pakaian seragam anggota (te rdiri dari kaos
dan pakaian pertunjukan pangsi); dan un tuk kese jah teraan bagi
pemainnya yang sakit atau mendapat musibah.
Menurut Sutarja, keorganisas ian kelompok genjring bonyok Sinar Pusaka , d idukung oleh dua ke lompok yang te rdiri dari : (1 ) Kelompok pengurus terdiri dari : sa tu o rang Ketua atau pemimpin
219
kelompok, satu orang Pembantu Umum I (PU I) dan satu oran g Pembantu Umum II (PU II). (2) Kelompok anggota te rdiri dari : pemain musik (nayaga) dan pe tugas sound system (SS).
Untuk lebih jelasnya struktur organ isasi genjr ing bonyok Sinar
Pusaka dapat d il ihat pada bagan 4.1 di bawah ini :
Bagan 4.1: Struktu r Organisasi Genjr ing Bonyok Sinar Pusaka
4 .1.1 Tugas Kelompok Pengurus
Kelompok pengurus berfungsi sebagai penanggung jawab
langsung pelaksanaan pertunjukan. Di samping i tu, mereka juga
bertugas dalam mengurusi segala sesuatu yang berkaitan dengan
administras i dan keuangan. Kelompok pengurus terdiri dar i seorang
ke tua dan dua orang pembantu umum (PU 1 dan PU 2), di mana
ke tiga jabatan tersebu t mempunyai tugas dan tanggung jawab
masing-masing.
Ketua ke lompok genjring bonyok Sinar Pusaka dipegang oleh
Sutarja. Ia adalah seorang penduduk dari Desa Cidadap, yang sehar i-
hari bekerja sebagai petani. Di dalam organisasi genjr ing bonyok
Sinar Pusaka, Sutarja sebagai ketua mempunyai tugas
mengkoordinasi se tiap pesanan pertunjukan, mulai dari
memutuskan masalah biaya pertunjukan, memberi in formasi pada
nayaga ten tang pertunjukan yang akan dilaksanakan, sampai
mengkoordinasi jalannya pertun jukan.
220
Pada umumnya, dalam ke lompok genjring bonyok ke tua
d isebut juga pemimpin, dalam arti selain sebagai orang yang
mengatur kendali organisas i. Dia juga merangkap sebagai oran g yang
memiliki selu ruh alat musik dan perlengkapannya.
Sebelum menjadi ketua kelompok genjring bonyok Sinar
Pusaka, Sutarja sudah dapat memainkan setiap alat musik genjr ing
bonyok . Ia juga dianggap ahli dalam memainkan alat musik tersebu t.
Dikarenakan keahliannya inilah, Sutarja dipercaya masyarakat untuk
mengajarkan cara memainkan alat musik gen jr ing bonyok .
Dalam melaksanakan tugasnya sebagai ketua, Sutarja dibantu
dua orang pembantu umum, yang keduanya me rupakan kalangan
keluarga Sutarja sendiri. Pe ranan pembantu umum sangat
berpengaruh d idalam membantu kelancaran pertunjukan genjr ing
bonyok Sinar Pusaka. Di bawah ini akan dije laskan mengenai peran
dari t iap-tiap pembantu umum.
Pembantu Umum I d ipegang oleh Ibu Sutarja (is teri beliau),
tugas dari Pembantu Umum I adalah sebagai berikut :
(1) Mengkoordinas i nayaga yang akan mendukung
pelaksanaan pertunjukan genjring bonyok Sinar Pusaka.
(2) Memberitahukan anggo ta tentang pelaksanaan latihan.
(3) Mempers iapkan kostum yang akan digunakan , dan
(4 ) Memberikan honor kepada pemain (nayaga) .
Tugas lain dari pembantu umum I adalah sebagai wakil ketua,
apabila Sutarja tidak ada di tempat, maka Pembantu Umum I dapat
221
menentukan biaya untuk pertunjukan dan t idak terlepas dari b iaya
umum yang sudah d isepakati bersama.
Pada pertun jukan yang d ilaksanakan oleh warga masyarakat
Desa Cidadap, Kelompok Sina Pusaka t idak meminta bayaran kepada
pihak pemangku hajat . Karena dalam kehidupan masyarakat seperti
di Desa Cidadap, pertunjukan yang dilaksanakan Sinar Pusaka
merupakan suatu ben tuk partisipas i (go tong-royong) sebagai sesama
warga masyarakat . Pihak pemangku hajat akan mengeluarkan biaya,
apabila Sinar Pusaka menggunakan seniman yang bukan anggota
genjr ing bonyok . Secara umum honor yang dite rima setiap anggota
pemain genjr ing bonyok di desa Cidadap dan sekitarnya, sebesar Rp
15 .000,- (apabila genjring bonyok disajikan dalam salah satu teknik
pertunjukan saja) sampai Rp 25 .000,- (apabila genjring bonyok
disajikan dalam dua teknik pertunjukan).
Standar honorarium untuk pementasan genjring bonyok Sinar
Pusaka, terbagi atas t iga bagian : (1) Standar honorarium untuk
masyarakat di sekitar Desa Cidadap. Biasanya honorarium yang
dikeluarkan ini cukup ringan ( Rp 35.000), karena pemangku hajat
hanya membayar untuk anggota nayaga yang bukan anggota te tap
genjr ing bonyok Sinar Pusaka (pemain cabutan) .
(2) Standar honorarium untuk pertunjukan diluar Desa Cidadap
tetapi masih d i lingkungan kabupaten Suban g. Pembiayaan seluruh
pertunjukan d ibebankan kepada pemangku hajat, berupa uang
honorarium semua nayaga, transportas i dan sound system (bisa juga
222
disediakan oleh ke lompok genjr ing bonyok Sinar Pusaka). Jumlah
honorarium untuk arak-arakan biasanya antara Rp 300.000,- dan
un tuk dudukan Rp 1.000 .000.
(3) Biaya untuk pertunjukan di luar Kabupaten Subang,
d iperkirakan Rp 400.000 ,- untuk arak-arakan, dan Rp 500 .000,-
untuk dudukan. Sedangkan beban yang harus disediakan oleh
pemangku hajat adalah : transportas i, dan sound system. Apabila tempat
tujuan tersebut jauh, b iasanya dised iakan penginapan un tuk para
nayaga berist irahat.
Pembantu Umum II membidangi masalah penyed iaan sound
system dan hal yang menunjang kelancaran pementasan , baik dari segi
keamanan alat , nayaga , maupun pengaturan seting perlengkapan
pementasan. Pada ke lompok genjring bonyok Sinar Pusaka, jabatan
ini dipegang oleh Carmin (ad ik kandung
Ibu Sutarja ).
Pembantu Umum II juga mengerjakan hal -hal yang bersi fat
ekstern (d i luar dari aktivitas pertun jukan). Artinya ia bertindak
juga sebagai humas (hubungan masyarakat), yang si fatnya
memerlukan pemain dari luar, atau meminjam peralatan dari
ke lompok lain.
4.1.2 Tugas anggota
Kelompok anggota terdiri dari para pemain musik (nayaga)
dan petugas sound eystem. Tugas yang paling penting dari ke lompok
223
anggota adalah bermain sebaik mungkin dan melaksanakan
tugasnya sesuai yang d iperintahkan ke tua.
Dalam kelompok genjring bonyok Sinar Pusaka, syarat u tama
menjad i pemain musik adalah trampil dan mampu bermain - alat
musik (t idak terbatas pada satu alat saja) . Selu ruh pemain musik
dalam kelompok genjring bonyok Sinar Pusaka, berjen is kelamin
laki-laki . Semuanya berasal dari daerah Cidadap dan sekitarnya serta
mempunyai ikatan keluarga dengan Sutarja. Pada saat penelit ian ini
dilakukan, anggota kelompok Sinar Pusaka berjumlah delapan orang
yang seluruhnya berlatar belakang etnik Sunda.
Dalam keanggotaan Sinar Pusaka, syarat yang harus dimiliki
setiap anggotanya adalah ketrampilan memainkan satu alat musik
pada waktu pertunjukan. Namun demikian bukan berart i mereka tidak
dapat memainkan alat musik ensambel genjring bonyok yang lain.
Menurut pengakuan mereka, se tiap anggota harus mempunyai
spesialisasi dalam memainkan alat musik tertentu , hal in i bertujuan
agar mereka menjadi ahli dalam memainkannya.
Se lain sebagai seniman Genjring bonyok, selu ruh pemain
musik memiliki pekerjaan pokoknya masing-masing. Antara lain
sebagai panyawah (pe tan i), dan tukang ojeg (pengantar orang dengan
mempergunakan sepeda motor dan mendapat imbalan dari
penumpangnya). Biasanya pemain yang berusia relati f leb ih muda,
mempunyai pekerjaan sebagai tukang ojeg .
224
4.1.3 Aktivitas pertunjukan
Pada awal Sinar Pusaka berdiri menjadi ke lompok genjr ing
bonyok , pertun jukan yang mereka lakukan hanya berlokasi di Desa
Cidadap dan sekitarnya. Setelah Sinar Pusaka dikenal luas sebagai
ke lompok genjring bonyok , dan banyak menarik perhatian
masyarakat karena mampu menampung aspirasi penonton, ke lompok
ini mulai se ring dipanggil ke tempat-tempat lain di lingkungan
Kabupaten Subang, maupun d i luar Kabupaten Subang. Adapun
daerah di luar kabupaten Subang yang pernah menjad i tempat
berlangsungnya pertunjukan genjr ing bonyok Sinar Pusaka di
antaranya adalah daerah : Bogor, Cirebon, Karawang, Bekasi,
Bandung, Purwakarta , Cikampek, Sumedang, dan Jakarta.
Dalam hal pengalaman pementasan , kelompok Sinar Pusaka
pernah mengikuti berbagai fes tival maupun acara memperingati hari-
hari besar (hari jad i kabupaten maupun ko ta), antara lain : di Taman
Min i Indonesia Indah (TMII) Jakarta dalam rangka mengisi acara di
anjungan Jawa Barat (HUT TMII); mengiku ti Festival Kesenian
Rakyat se -Propinsi Jawa Barat di Bandung, tahun 2005: mengisi
acara di TVRI Statsiun Pusat Jakarta dalam paket kesenian
tradis ional, tahun 2008; mengis i acara di Pendopo Kabupaten
Subang dalam rangka menyambut tamu dari Nepal, t ahun 1990; dan
dari tahun 1991 sampai tahun 1996 kelompok Sinar Pusaka sebagai
pengisi acara te tap di Anjungan Depertemen Pendidikan dan
225
Kebudayaan, dalam rangka memperingati hari j adi Kabupaten
Subang dan Pameran Produksi Kabupaten Subang.24
4 .2 Tempat Pertunjukan, Waktu Pertunjukan, dan Teknik
Pertunjukan
4 .2.1 Tempat pertunjukan
Secara umum tempat pertunjukan genjr ing bonyok terbagi
kedalam dua bagian, yaitu di jalan raya dan di atas panggung.
Pertunjukan di jalan raya, dilakukan apab ila genjr ing bonyok
disajikan dalam suatu arak-arakan. Dalam pertunjukan ini para
pemain musiknya berjalan kaki mengikuti ru te perjalanan yang
telah ditentukan. Biasanya rute perjalanannya tidak jauh dari
tempat pemangku hajat.
Pertunjukan dudukan dilakukan di atas panggung. Panggung
ini bisanya dibuat d i depan rumah, di lapangan ataupun tempat
tertentu yang sudah disediakan.
4.2.2 Waktu pertunjukan
24 Wawancar a d eng an Bapak S utar ja, 2 N ovember 2006 . Wawancar a
d ilakukan d i rumah Bapak Sutarja Di kampung Sukasar i desa Cidadap , Kecamatan Pagaden , Kabupaten Subang. P ada k esempa tan p ementasan ters ebut, p ihak dar i kelomp ok Genjr ing bonyok Sinar P usaka diperca yakan mewaki li Kabupaten S ubang dalam misi kesenian ter sebut .
226
Waktu pertun jukan disesuaikan dengan konteks penggunaan
pertunjukan genjr ing bonyok . Yang terd iri dari :
2. Pada pesta khitanan, waktu pertunjukan sekitar puku l 15.00 s/d
17.00 WIB.
3. Pada pes ta perkawinan , waktu pertunjukan sekitar pukul 11 .00 s/d
15.00 WIB, ataupun d ilanjutkan pada malam hari sekitar pukul
20.00 s/d 24 .00 WIB, dan t idak jarang d ilakukan sampai dengan
menje lang waktu shubuh .
4. Pada acara ruwatan (pesta panen padi), waktu pertunjukan sekitar
pukul 11.00 s/d 15.00 WIB.
5. Pada acara hari-hari besar, waktu pertunjukan hampir sama
dengan waktu pe laksanaan pada acara pes ta perkawinan.
6. Pada acara menyambut tamu, waktu pertunjukan genjring relatif
s ingkat, sekitar 5-10 menit saja.
4.2.3 Teknik pertunjukan Genjr ing Bonyok
Pertunjukan Genjring bonyok dapat, dilakukan dalam dua
bentuk penyajian, yaitu penyajian dengan arak-arakan (helaran) dan
dudukan. Pertun jukan yang berben tuk helaran, merupakan pertunjukan
dimana para pemain musik gen jring bonyok bermain musik dengan
berjalan kaki keli ling kampung, mengikuti rute yang te lah
ditentukan. Biasanya arak-arakan kesenian ini t idak d ilakukan oleh
genjr ing bonyok sendiri , melainkan bersama-sama dengan kesenian
Sisingaan yang disajikan dalam suatu iring-i ringan .
227
Tujuannya pertun jukan arak-arakan in i adalah untuk
memperlihatkan suatu keramaian pesta kh itanan , ruwatan, atau
perayaan hari-hari Nasional. Oleh karenanya pada bentuk
pertunjukan helaran kesenian ini d isajikan sebagaimana halnya
sebuah pawai kesenian, maka para partisipannya te rdiri dari o rang-
orang muda yang ikut menyatu dalam arakan -arakan tersebu t.
Biasanya rute perjalanan dilakukan di sekitar pemangku hajat.
Teknik pertun jukan ini d ilakukan hanya dalam konteks upacara
kh itanan, ruwatan dan pada acara menyambut hari -hari besar. Dalam
konteks ruwatan, arak-arakan dilakukan dengan mengeli lingi lahan
persawahan di desa yang bersangkutan. Penempatan sound eystem
di le takkan di depan para pemain musik (te ru tama toa-nya) dan di
sekitar para pemain musik (kotak-kotak suara yang lainnya) dengan
mempergunakan sepeda atau beca.
Pertunjukan dudukan d ilakukan oleh para pemain musik
genjr ing bonyok dengan duduk di panggung di hadapan para
penonton. Penempatan sound system d iletakkan di sekitar pan ggung
dengan teknis i berada di dekat pemain musik. Pada bentuk ini
genjr ing bonyok dikhususkan sebagai hiburan musik, yang
mengundang spontanitas masyarakat untuk menari bersama-sama.
Dalam konteks ini pertunjukan kesenian memiliki fo rmalitas yang
lebih t inggi. Dalam arti segala sesuatu yang berhubungan dengan
jalannya pertunjukan memiliki aturan -atu ran yang harus dituruti o leh
penontonnya. Misalnya, permintaan lagu akan dikabulkan penyaji
228
(sen iman) apabila penon ton menuliskan lagu tersebu t dalam selembar
kertas, atau dalam melakukan tarian para penon ton secara khusus
memiliki gili ran yang diatu r oleh o rang yang dituakan di dalam pesta
tersebu t. Partisipan pertunjukan dudukan ini terd iri dari o rang-orang
tua, sampai kepada kalangan anak-anak muda.
Gambar 4.3 : Genjring Bonyok Dalam Pertunjukan Arak-arakan
229
Gambar 4.4 : Genjring Bonyok Dalam Pertunjukan Dudukan
4 .3 Struktur Lagu dalam Penyajian Musik Genjr ing Bonyok
Secara musikal genjr ing bonyok adalah suatu bentuk penyajian
musik instrumental , yang berasal dari paduan permainan Tarompet
(doublereed aerophone), empat buah Genjring ( frame drum), Bedug
(conlsdrum-single head), Kecrek {perkusi), dan Goong (vesel). Bentuk
penyajian musik instrumental yang dihasilkan dari organisasi bunyi
kelima jen is instrumen ini, merupakan salah satu karakteristik musik
genjring bonyok , yang dapat disaksikan dalam pertunjukan yang
berbentuk helaran maupun dudukan.
Terbentuknya kesenian ini d ilatarbelakangi t idak saja oleh
proses pengadopsian ins trumen musik. Tetapi juga secara t idak
langsung oleh p roses pengadopsian lagu -lagu tradisi dari kesenian
lain. Dengan demikian perbendaharaan lagu -lagu yang disajikan,
merupakan suatu komposis i yang secara luas juga ditemukan dalam
genre kesen ian lainnya di Jawa Barat.
230
Menurut Sutarja, pengadosian lagu-lagu genjr ing bonyok ,
secara tidak langsung diawali dari p roses pengadopsian instrumen
musik tarompet . Instrumen musik ini merupakan ins trumen pembawa
melodi yang umumnya d ipergunakan dalam kesenian-kesenian rakyat
Sunda lainnya. Dengan masuknya tarompet dalam ensambel
genjring, memberikan pengaruh besar terhadap perubahan maupun
penambahan komposis i-komposis i lagunya . Hal ini tepatnya
berlangsung ketika Pak Taslim (mantan seniman Sisingaan) menjadi
anggota Sinar Harapan pada tahun 1969.
Dengan bergantinya peranan pembawa melodi dalam kesenian
genjring tersebut, dapat diidentifikasikan bahwa se iring dengan itu
pula kesen ian ini mengalami dua fenomena perubahan. Pertama, yaitu
terjadinya perubahan peranan pembawa melod i. yang awalnya
d ibawakan oleh suara vokal manusia, digantikan oleh permainan
ins trumen tarompet . Kedua, te rjadinya perubahan dalam jenis
komposisi lagu, yaitu dari jenis lagu yang bernafaskan Is lam,
menjadi lagu- lagu tradisi musik rakyat Sunda.
Sejak masuknya ta rompet dalam ensambel gen jring ,
perkembangan yang pesat dari kesenian ini pun mulai te rl ihat. Hal
ini mungkin dilatarbelakangi oleh kemampuan gen jr ing bonyok
dalam menyajikan materi lagu-lagu tradisi rakyat yang disajikan
genre kesenian Sunda lainnya, tanpa meninggalkan karakteris tik
permainan genjringnya.
231
Pada dasarnya perbendaharaan lagu -lagu yang disajikan
Genjring bonyok dapat, dibedakan atas dua katagori , yaitu lagu buhun
dan lagu baru. Yang dimaksud dengan lagu buhun adalah materi lagu-
lagu rakyat Sunda yang telah berkembang pada tahun 1950 -an.
Materi l agu ini berasal dari berbagai jenis kesen ian tradisional
Sunda yang telah ada sebelumnya. Sedangkan lagu baru adalah materi
lagu-lagu yang muncul pada tahun 1970-an. Biasanya materi lagu ini
berasal dari lagu- lagu pop musik Sunda atau jenis kesenian sunda
lainnya.
Untuk lebih jelasnya, daftar lagu-lagu yang umumnya
disajikan ensambel Genjring bonyok Sinar Pusaka, dapat d il ihat pada
tabe l beriku t ini:
232
Tabel 4.5:
Daftar beberapa Judul Lagu Genjr ing Bonyok
Mo. Judul Lagu Kesenian asal lagu :
Katagori
1. Gederan Genjring Sholawat buhun 2. Kangsreng Ketuk Tilu buhun 3 . Bardin Ketuk Tilu buhun 4 . Awi Ngarambat Ketuk Tilu buhun 5. Torondol Ketuk Tilu buhun 6 . Polos Ketuk Tilu buhun 7 . Bendrong Ketuk Tilu buhun 8. Gotrok Ketuk Tilu buhun 9. Kidung Kliningan baru
10. Kembang Gadung Kliningan buhun 11. Daun Pu lue Jaipongan buhun 12. Keeer Bojong Jaipongan buhun 13 . Banda Orang Jaipongan buhun 14. Senggot Kaleran Jaipongan buhun 15. Sinden Beken Jaipongan buhun 16. Aduh Manis Jaipongan buhun 17 . Buah Kawung Pencak Silat buhun 18 . Kembang Beureum Pencak Silat buhun 19. 20.
Siuh Adem Ayem
Gembyung Adem Ayem
buhun buhun
21. Dj i Sam Soe Pop Sunda baru 22. Tong Tolang Nangka Pop Sunda baru 23. Mojang Priangan Pop Sunda baru 24 . Rindu Pop Sunda baru 25. Manuk Dadali, dan
lainnya Pop Sunda baru
Penyajian lagu-lagu yang dapat dimainkan gen jring bonyok in i,
t idak terbatas pada lagu-lagu yang te rdapat dalam tabel di atas.
Karena dalam pertun jukannya sen iman kesenian ini tidak saja
menyajikan lagu-lagu te rsebut, melainkan mereka juga harus mampu
menyajikan lagu-lagu lainnya yang diinginkan oleh penontonnya.
233
Dalam penyajian komposis i musik, kesenian genjr ing bonyok
memiliki stuktu r. Kemudian dalam bentuk pertun jukan arak-arakan
(helaran) dan dudukan struktur penyajian lagunya memiliki perbedaan.
Adapun perbedaan tersebut disebabkan berbedanya teknik, tujuan ,
dan konteks penyan jiannya.
Meskipun struktur penyajian lagu dalam kedua bentuk
pertunjukan berbeda, secara umum keduanya memiliki persamaan,
yaitu adanya bagian lagu yang disebut pembuka, is i, dan penutup.
Tabel tersebu t in i akan memperlihatkan perbedaan sekaligus
persamaan yang dimaksud.
4 .4 Deskripsi Pe laksanaan Pertunjukan
Deskrips i pe laksanaan pertun jukan genjr ing bonyok dalam
tulisan ini , diambil dari pertunjukan Genjring bonyok Sinar Pusaka
yang diselenggarakan d i Desa Belendung, Kecamatan Subang,
Kabupaten Subang. Pertunjukan kesenian ini dilaksanakan pada
tanggal 27 November 2006, di rumah keluarga Suhadi, dalam
rangka upacara perkawinan anak perempuannya yang bernama Eti ,
dan khitanan anak laki - lakinya yang bernama Cardi.
Sehari setelah lamaran tersebut d ilakukan, Sutarja meminta
kesed iaan pembantu umum 1 dan pembantu umum 2 untuk
melaksanakan tugasnya masing-masing. Yaitu memberitahukan
selu ruh anggota gen jring bonyok Sinar Pusaka mengenai: tanggal
pertunjukan , waktu pertunjukan, tempat pertunjukan, teknik
234
pertunjukan , jadwal lat ihan, se rta menginformasikan iden ti tas
pemangku hajat.
Persiapan yang paling awal dilakukan adalah menentukan
jadwal latihan. Biasanya latihan dilaksanakan 3 hari menjelang
waktu pertun jukan, tujuan diadakannya l atihan adalah agar
pe laksanaan pertunjukan genjr ing bonyok pada harinya lancar dan
sukses. Selain itu lat ihan diperlukan untuk mempelajari lagu -lagu
baru yang belum mereka kuasai, dan membicarakan hal -hal yang
dianggap pen ting.
Tanggal 20 November 2006 adalah tanggal dimulainya latihan
genjr ing bonyok , tempat latihan seperti biasa diadakan di bale-bale25
rumah Sutarja. Latihan dilaksanakan pada malam hari (puku l 20.00
wib sampai dengan pukul 22.00 wib). Hal in i d ilakukan mengingat
pada siang harinya banyak d i antara pemain genjring bonyok Sinar
Pusaka bekerja di sawah dan ladang.
25 Bale-bale adalah bagian rumah yang memiliki ruang yang luas. Biasanya bale-bale
digunakan untuk tempat pertemuan diantara penduduk desa Cidadap. Dalam kesempatan lain bisa juga digunakan untuk latihan genjring bonyok.
235
Tabel 4.6:
Perbandingan Struktur Lagu Genjring Bonyok Dalam Dudukan dan Arak -arakan
No. Penggolongan Helaran Dudukan Keterangan
1 . Lokasi Keliling kampung Panggung
2. Tingkat usia anak-anak dan muda- Seluruh tingkat partisipan Mudi usia
3. Struktur lagu i. Sederan (pembuka) 1. TataJuaistt) 1. Yang dimaksud dengan lagu- 2. Lagu-lagu bebasi ) 2. Lagu pembuka: bebas, adalah lagu-lagu pili J. Gederan (penutup) a. Kembang han dari penonton, maupun Gadung penyajinya. b. Kidung c. Sala* Sono 2. TafaJuar; adalah suatu bentuk 3. Lagu-lagu bebas penyajian musik dengan meng 4. lagu penutup: gabungkan beberapa bagian Gederan perbendaharaan lagu-lagu
yang disajikan secara medley. Biasanya didahului dengan Gederan. Adapun tujuan dari penyajian tataluan ini, untuk memberi tahukan kepada masyarakat bahwa pertunjukan Genjring Bonyok akan dimulai.
Dalam latihan tersebut, lagu-lagu baru yang mereka pelajari
adalah lagu-lagu Jaipongan atau lagu-lagu lainnya yang sedang
populer di masyarakat. Dalam menerapkan lagu - lagu baru ini ,
terlebih dahulu para anggota Genjring bonyok memperdengarkan lagu
tersebut melalui radio tape. Se lan jutnya mempelajari apa-apa yang
terdapat dalam lagu i tu tersebut. Proses lat ihan dan mempelajari lagu
baru hanya membutuhkan waktu 2 sampai 3 jam.
236
4 .4.1 Proses persiapan pertunjukan
Dua minggu sebelum pelaksanaan upacara perkawinan dan
kh itanan dilaksanakan, Suhadi dan is tri melakukan lamaran
pertunjukan kepada Su tarja. Dalam hal ini Suhadi sebagai pemangku
hajat meminta kesediaan Sutarja dan rombongan untuk mengadakan
pertunjukan dirumahnya. Sete lah dicapai kesepakatan harga
pertunjukan dan waktu pe laksanaan pertunjukan, Suhadi memberikan
biaya panjar atau biaya ngajadkeun yang diberikan kepada Sutarja.
Biaya pan jar tersebut dimaksudkan sebagai tanda persetujuan atau
kesepakatan an tara kedua belah pihak.
Se telah latihan se lesai , Sutarja dan anggotanya membicarakan
mengenai pers iapan pertunjukan di rumahnya Suhadi. Pertunjukan
yang akan dilaksanakan adalah dudukan dan arak -arakan. Dalam hal
ini tugas Sutarja adalah membagi ke lompok dalam dua bagian, yaitu
ke lompok dudukan dan kelompok arak -arakan. Walaupun demikian
ada juga anggo ta yang merangkap kedalam kedua ke lompok tersebut,
dengan tujuan untuk kelancaran pertunjukan. Biasanya pemain yang
dianggap ahli lah yang merangkap kedua pertunjukan terseb ut.
Se telah pembagian kelompok, selanjutnya d ibicarakan
mengenai perlengkapan properti pertunjukan yang akan dibawa pada
pe laksanaan pertunjukan . Adapun peralatan yang dipersiapkan
adalah sebagai berikut :
237
a. Alat musik berupa 4 buah genj ring,sebuah bedug, sebuah
tarompet , dua buah goong dan sebuah kecrek.
b. Pakaian nayaga (pemusik), te rdiri atas dua macam pakaian, yang
pertama adalah kaos dan yang kedua adalah pakaian pangsi
(pakaian khas trad is ional Sunda, yang digunakan oleh para
petani). Untuk acara di dalam lingkungan Kecamatan Pagaden
digunakan kaos . Sedangkan pangsi d ipergunakan un tuk acara di
luar l ingkungan Kecamatan Pagaden . Khusus dalam hajatan
Suhadi jen is kedua pakaian tersebut digunakan dalam
pertun jukan. Yaitu kaos un tuk pertunjukan arak -arakan , dan
pansi untuk pertunjukan dudukan.
c. Sound system yang dipergunakan untuk pertunjukan arak - arakan
adalah milik pribadi Sutarja, dan pertunjukan dudukan
mempergunakan milik Suhadi (pemangku hajat), untuk arak -
arakan dan sound syetem Siamet untuk dudukan.
d. Panggung yang dipergunakan pada acara ini , berukuran 5x6
meter persegi dengan t inggi 1 meter. Bagian atas panggung
ditutupi te rpal, alas panggung mempergunakan tikar. Di depan
panggung dipangpang spanduk kelompok genjr ing bonyok Sinar
Fusaka.
Tepat tanggal 27 November 2006, pukul 8.10 wib upacara
perkawinan dan khitanan di rumah Suhadi dimulai . Upacara pertama
yang d ilaksanakn adalah upacara perkawinan. Pada konteks ini
upacara diawal i dengan akad nikah (perjanjian pernikahan) antara
238
pasangan Suheti dengari Hursid. Se telah itu dilan jutkan dengan serah
terima (seret, sumeren) antara pihak laki -laki dengan pihak perempuan.
Pada acara terakh ir adalah sungkeman (permintaan ij in /maaf) antara
pasangan pengan tin dengan orang tua mereka.
4.4.2 Proses pelaksanaan pertunjukan dudukan
Pada puku l 10.15 wib, sete lah acara i jab kabul sampai dengan
sungkeman selesai, pertun jukan genjring bonyok pun dimulai.
Biasanya 30 menit sebelum pertunjukan genjring bonyok dimulai,
Su tarja mengadakan acara pembakaran kemenyan yang dilakukan di
sebelah depan panggung pertunjukan .
Kemenyan dan sesajen tersebut disediakan oleh pemangku
hajat. Isi dari sesajen tersebu t antara lain berupa makanan ringan,
minuman berupa kopi pahit dan ai r putih, bunga-bunga 7 warna,
kelapa muda, te lor ayam kampung, dan dupa (ruhay) tempat
pembakaran kemenyan. Sambil membakar kemenyan Sutarja
membaca doa-doa yang tujuannya adalah meminta perlindungan
kepada Allah SWT, agar selama pertunjukan t idak terdapat gangguan
apa pun.
Pertunjukan dudukan dimulai dengan lagu pembuka pertun jukan,
yaitu sebuah penyajian suatu bentuk tataluan.26 Penyajian komposisi
lagu ini menggunakan tempo cepat, dimaksudkan untuk menarik
26Tataluan adalah suatu bentuk penyajian musik meddley (beberapa lagu disajikan secara berterusan tanpa istirahat atau jeda), yaitu gabungan beberapa bagian lagu. Biasanya dalam tataluan bagian lagu Gederan adalah judul lagu pertama yang dimainkan.
239
perhatian penonton, sekaligus menandakan bahwa pertunjukan
genjring bonyok akan segera dimulai .
Penyajian tataluan dianggap selesai apabila t amu undangan dan
penon ton yang menyaksikan pertunjukan genjring bonyok sudah
banyak dan memenuhi kursi -kurs i yang disediakan pemangku hajat .
Sebelum memasuki pertunjukan se lanjutnya, Sutarja sebagai
p impinan gen jring bonyok memperkenalkan satu persatu pendukung
pertunjukan, sekaligus mengucapkan kata sambutan berkenaan
dengan acara tersebut. Selanjutnya genjring bonyok memainkan lagu-
lagu persembahan kepada Allah SWT, yaitu lagu Kembang Gadung dan
Kidung, serta Salam Sono sebagai lagu persembahan untuk para tamu
undangan dan penonton. Lalu dilanju tkan dengan memainkan lagu -
lagu atas permintaan para undangan dan penonton, maupun lagu -lagu
yang sudah dipersiapkan oleh para nayaga (pemusik) gen jring bonyok .
Untuk pertun jukan dudukan, lagu-lagu yang banyak diminati
adalah lagu-lagu Ketuk Tllu, mengingat pada pertunjukan dudukan para
orang tua merupakan penon ton yang paling dominan . Sering pula
dalam suatu acara dudukan genjring bonyok , para orang tua yang
spontanitas menari mengalami trance (kesurupan atau kasarumahan).
Dalam pertunjukan dudukan d i rumah Suhadi, lagu -lagu yang
disajikan seringkali diulang. Hal ini terjadi un tuk memenuhi
permintaan dari tamu undangan atau penonton yang menyaksikan
pertunjukan genjr ing bonyok tersebut.
240
Di akhir pertunjukan gen jr ing bonyok , Sutarja kembali
menyampaikan kata-kata yang merupakan kalimat permintaan maaf
kepada pemangku hajat berkenaan dengan pertun jukan yang sudah
berlangsung. Sebagai lagu penu tup , dan me rupakan lagu perpisahan
d iperdengarkan kembali lagu Gederan. Setelah pertunjukan dudukan
selesai pada puku l 15.00 WIB, pertunjukan arak-arakan pun mulai
d ipers iapkan. Biasanya sambil menunggu pelaksanaan arak -arak yang
akan dimulai puku l 16 .30 wib, sebagian dari nayaga melakukan
ist irahat atau sebagian lagi mempersiapkan pertunjukan arak -arakan
4.4.3 Proses Pelaksanaan Pertunjukan Arak-arakan
Dalam pertunjukan arak -arakan di rumahnya Suhadi, genjring
bonyok Sinar Pusaka tampil bersama-sama dengan pertunjukan
Sieingaan. Pertunjukan genjr ing bonyok dan Sisingaan ditujukan
un tuk menghibur partis ipan (penonton yang mengiringi
pertunjukan). Partisipan pertunjukan ini adalah orang-orang yang
secara spontan ikut dalam iring-iringan pertunjukan. Biasanya
mereka adalah kalangan keluarga pemangku hajat , ataupun para
tetangga dekatnya. Aktifitas yang me reka lakukan adalah menari
sambil berjalan mengikuti pertunjukan genjr ing bonyok dan
Sisingaan.
Pertunjukan arak -arakan dimulai dengan memainkan
komposisi lagu Gederan dan selanjutnya lagu-lagu dari permin taan
peserta arak-arakan. Lagu-lagu yang d imainkan dalam pertunjukan
241
arak-arakan lebih sedikit dibanding dengari pertunjukan dudukan,
mengingat waktu yang tersedia un tuk acara arak -arakan tersebut
hanya 2 sampai 3 jam saja.
Lagu-lagu yang sering d iminta partisipan dalam arak -arakan
adalah lagu -lagu Jaipongan yang memiliki tempo dinamis, seperti
lagu-lagu Daun Fulus, Keser Bojong , Banda Urang , dari sebagainya.
Peserta arak-arakan paling banyak adalah anak-anak muda. Pada
bagian penutup, komposisi yang dimainkan adalah sama dengan
komposisi yang dimainkan pada bagian pembuka. Penyajian lagu
Gederan pada akhir pertunjukan digunakan untuk memberitahukan
penonton bahwa pertun jukan te lah usai , dan t idak menerima
permintaan lagu lagi.
Se telah selesai melakukan pertunjukan dengan berkeli ling.
maka peserta pertunjukan kembali ke tempat (rumah) pemangku
hajat. Di depan rumah (halaman) pemangku hajat diadakan
pertunjukan kesenian yang terakhir, yaitu kesenian Sisingaan.
Sedangkan kelompok genjr ing bonyok , setelah sampai di rumah
pemangku hajat kembali memainkan komposisi Gederan un tuk
menutup pertunjukan.
Se telah berakhirnya pertunjukan te rsebut, Sutarja d ibantu
dengan anggota lainnya membereskan alat-alat musik yang te lah
digunakan . Setelah semuanya selesai dibereskan bersama-sama
dengan yang lainnya memberikan ucapan se lamat kepada yang
dikhitan sekaligus makan bersama. Sebagai tanda rasa berterima
242
kasih pemangku hajat, para anggota genjr ing bonyok diberi kak aren.
Pada p roses terakhir, ke tua rombongan (Bapak Sutarja) mengatur
pembagian uang honor bagi keseluruhan pendukung pertun jukan.
Pada tahap akhir, pemangku hajat memberikan imbalan dan
makanan secukupnya sebagai bayaran te rhadap peserta pertunjukan
secara kese luruhan. Orang yang menerima imbalan te rsebut adalah
ke tua masing-masing ke lompok pertunjukan . Setelah d icapai
kesepakatan dan t idak ada lagi sangkut pau t antara pemangku hajat
dengan peserta pertunjukan, mereka (peserta pertun jukan) pu lang ke
tempatnya masing-masing.
4.5 Pertunjukan Tardug
Bentuk pertunjukan kesenian tardug terdiri dari dua macam yaitu:
pertunjukan di atas panggung dan pertunjukan helaran. Pertunjukan di atas
panggung meliputi pertunjukan untuk hiburan pada hajat khitananan, hajat
pernikahan, dan perayaan pada peringatan Hari Kemerdekaan. Sedangkan
pertunjukan helaran meliputi pertunjukan arak-arakan dalam pawai hajat bumi,
khitanan, dan helaran untuk penyambutan tamu kehormatan.
4.5.1 Pertunjukan Helaran
Pada pertunjukan helaran kesenian tardug biasanya ditampilkan bersama
kesenian lain seperti kesenian sisingaan, genjring bonyok, kuda renggong, dan
jenis kesenian helaran lainnya. Selain pada helaran untuk arak-arakan khitanan,
243
kesenian tardug dipertunjukkan pada acara arak-arakan hajat bumi, arak-arakan
perayaan hari besar nasional, dan helaran dalam penyambutan tamu khusus.
Gambar 4.5 : Pertunjukan Kesenian Tardug
Di antara beberapa jenis helaran di atas, yang paling sering melibatkan
kesenian tardug adalah acara arak-arakan untuk khitanan. Pada musim hajatan,
yaitu bulan Rayagung dan Syawal, dalam satu bulan pernah mencapai lebih dari 20
kali panggilan pentas Dalam sehari kadang-kadang menerima tiga panggilan untuk
pentas. Waktu pentasnya diatur berdasarkan kesepakatan dengan yang akan
melaksanakan hajatan yaitu pagi pada pukul 9.00 - 11.00, siang pukul 13.00 -
15.00, dan sore mulai pukul 15.30 - 17.30. Dengan catatan lokasi dari ketiganya
tidak terlalu berjauhan. Di daerah tertentu, seperti di Desa Ciruluk, Kecamatan
Purwadadi, kesenian Tardug bersama kesenian Sisingaan, kerap kali dipentaskan
pada arak-arakan khitanan di malam hari dengan penerangan lampu neon.
244
Waktu pementasan sore hari adalah waktu yang ideal buat pementasan
kesenian helaran terutama arak-arakan di jalanan. Karena selain cuacanya tidak
terlalu terik, juga pada waktu sore hari adalah saat di mana orang-orang sedang
santai melepaskan lelah sepulang dari tempat bekerja atau petani pulang dari
sawahnya.
Pada arakan khitanan di waktu sore hari, arak-arakan dimulai pukul 15.00
diawali oleh atraksi pembukaan oleh kesenian Sisingaan. Setelah selesai lalu
dimulailah arak-arakan sambil berjalan beriringan mengikuti arah yang ditentukan
oleh orang yang ditunjuk sebagai pimpinan arak-arakan. Adapun urutan iring-
iringan tersebut yaitu: didahului oleh pembawa tiang yang di atasnya pengeras
suara dan vandel yang bertuliskan nama rombongan Sisingaan yang sedang
mentas. Diikuti berturut-turut oleh pangrawit sisingaan, penari pada Sisingaan
yang terdiri dari anak-anak dan orang sua, usungan sisingaan, penar pada kesenian
tardug yang terdiri dari pemuda dan emaja baik laki-laki atau perempuan yang
merupakan anggota keluarga, sanak saudara, handai taulan, dan keluarga, serta
yang terakhir dari iring-iringan tersebut dalah rombongan pemain kesenian tardug.
4.5.2 Pertunjukan panggung
Pada bentuk pertunjukan panggung, kesenian tardug dalam satu kali
panggilan dipentaskan dalam dua kali (siang dan malam hari), tetapi ada pula yang
dipentaskannya dalam satu kali pertunjukan (siang atau malam hari saja).
Tergantung pada kesepakatan antara pimpinan rombongan kesenian dengan pihak
yang melaksanakan. Hajatan pertunjukan siang hari biasanya dilaksanakan dari
245
pukul 09.00 - 15.00 waktu setempat. Sedangkan malam hari dari pukul 20.00 -
02.00 dini hari waktu setempat.
Ukuran panggung untuk pementasan kesenian tardug berkisar antara 3 X 4
meter sampai 4X5 meter dengan tinggi antara 0,75 - 1 meter. Ukuran panggung ini
lebih kecil apabila dibandingkan dengan ukuran panggung untuk pertunjukan
kesenian
Sesuai dengan peraturan Seksi Kebudayaan Depdiknas Kabupaten Subang,
bahwa ijin ngadakan keramaian (pementasan kesenian) pada siang hari tidak boleh
melewati waktu sembahyang Ashar. Waktu akhir pertunjukan pada malam hari
biasanya sangat tergantung kepada situasi penonton. “Kalau penonton dan
pengibingnya rame dan situasinya aman (tidak terjadi keributan), sampai subuh
pun akan saya layani, yang penting bagi saya uang jabannya saja. Tapi kalau
tontonnya sepi atau teijadi perkelahian atau keributan, jam sebelas (malam) pun
akan saya tutup" (wawancara dengan pihak keamanan Subang, 3 Oktober 2007).
Wayang atau kliningan yang mencapai ukuran rata-rata 6x8 meter dengan
tinggi di atas 1 meter. Bentuknya adalah panggung terbuka yang terletak di buruan
(halaman depan) atau di jalan umum di depan rumah orang yang melaksanakan
hajatan Biasanya jalan ini ditutup untuk sementara dengan seijin aparat desa
setempat Khusus untuk panggung di halaman rumah, letak panggung tidak boleh
berposisi nenjrag bumi (posisi menendang ke arah rumah tinggal yang
melaksanakan hajatan), di mana letak rumah berada tepat di sebelah kiri panggung.
Susunan acara pada pergelaran kesenian tardug, baik pertunjukan siang hari
atau malam hari, pada dasarnya sama saja. Pada tahap persiapan pertunjukan baik
siang maupun malam hari biasanya didahului oleh pengecekan alat-alat dan sarana
246
pendukung pergelaran seperti mempersiapkan sound system (sistem penyuaraan),
penye teman alat musik, sistem lampu, penataan posisi alat musik di atas panggung,
dan sebagainya. Kemudian tahap selanjutnya adalah memasuki pertunjukan awal.
Kecuali penyanyi, seluruh nayaga (pemain musik) harus berada di panggung
dengan perlengkapannya masing-masing untuk selanjutnya menyajikan lagu-lagu
tataluan. Tataluan ini terdiri dari dua tahap. Pada tataluan pertama lagu yang
disajikan adalah lagu-lagu tarlingan dengan instrumen bangsing sebagai pembawa
melodinya. Sementara pada tataluan tahap kedua lagu yang dibawakan adalah
lagu-lagu rancagan (Darrnan, wawancara, Subang, 12 Oktober 2000).
Pada pertunjukan malam hari, setelah tatalu acara dilanjutkan dengan
sambutan penerimaan tamu dari pihak yang melaksanakan hajatan dan sambutan
dari aparat setempat. Selesai sambutan-sambutan barulah dimulai acara hiburan
kesenian. Pada awal pertumbuhannya kesenian tardug biasanya dibuka dengan
lagu Kembang Gadung, sebagai lagu khusus untuk persembahan kepada Tuhan dan
karuhun (leluhur) Kemudian setelah itu barulah dilantunkan lagu-lagu dangdutan.
Pertunjukan kesenian Tardug sekarang tidak lagi terpaku kepada lagu Kembang
Gadung saja sebagai lagu bubuka. Sebagaimana lazimnya pertunjukan kesenian
dangdut, kesenian Tardug tidak memiliki lagu khusus sebagai lagu bubuka
Posisi alat musik dan pemain di panggung kesenian tardug tak
ubahnya seperti pertunjukan musik dangdut. Semua pemain dalam
keadaan berdiri kecuali pemain bedug duduk di sebuah kursi di atas
panggung serta pemain kendang yang duduk bersila. Namun apabila
ukuran panggung kec il , kadang-kadang ada pemain yang bermain di
luar area panggung, dibelakang atau dipinggir panggung. Kecuali
247
bedug dan kendang yang harus selalu duduk di atas panggung. Pos isi
bedug di panggung harus selalu menghadap ke arah depan, yaitu
muka bedug yang berkulit berada d i bibir depan panggung. Biasanya
d iletakkan di sis i kiri bagian depan panggung, berseberangan dengan
pemain kendang.
Gambar 4.6: Alat-alat Musik Tardug
248
Gambar 4.7: Penyanyi Wanita pada Seni Pertunjukan Tardug
249
BAB V
TRANSKRIPSI DAN ANALISIS MUSIK
GENJRING BONYOK DAN TARDUG
Sebagai sebuah seni pertunjukan atau pertunjukan budaya, genjring bonyok
dan tardug didukung peranannya oleh dimensi estetika musik yang mencakup
melodi, ritme, dan lirik lagi atau teks. Struktur musik genjring bonyok dan tardug ini
mendukung struktur pertunjukan secara umum. Artinya melalui pertunjukan musik
inilah terjadi komunikasi budaya antara seniman dengan penonton yang sama-sama
merasa memiliki kesenian ini.
Musik adalah salah satu cabang kesenian, sementara kesenian sendiri adalah
sebagai salah satu unsur dan ekspresi kebudayaan secara umum. Dengan demikian,
membahas tentang aspek struktur pertunjukan musik dan tari tidak bisa dilepaskan
dari aspek struktur musik dan tari tersebut. Lebih jauh lagi, untuk mengetahui seperti
apa struktur musik itu, diperlukan pula transkripsi dan analisis musik baik yang
mencakup dimensi waktu atau ruang (nada dan turunannya).
Dalam rangka penelitian ini, untuk dapat mengetahui struktur musik genjring
bonyok dan tardug penulis memilih tiga lagu. Yang pertama adalah transkripsi dan
analisis dua lagu yaitu Gederan dan Siuh, yang digunakan dalam kedua genre seni
pertunjukan ini yaitu genjring bonyok dan tardug. Kemudian untuk mengetahui
struktur musik tardug, khusus dipilih satu lagu dangdutan yang menjadi ciri
utamanya yaitu lagu Pemuda Idaman. Ketiga lagu ini dalam tahapan awal adalah
ditranskripsi baik dengan notasi balok mapun notasi Sunda. Kemudian ketiga lagu
250
ini dianalisis dengan menggunakan teori weighted scale (bobot tangga nada). Selain
itu, khusus untuk lagu Pemuda Idaman pada genre tardug dianalisis juga teks atau
liriknya dengan menggunakan teori semiotika. Dengan cara kerja ilmiah yang
sedemikian rupa, diharapkan dalam penelitian ini akan didapatkan hukum-hukum
internal musik yang terjadi di dalam pertunjukan genjring bonyok dan tardug.
5.1 Transkripsi dan Analis is
Transkripsi adalah suatu proses memvisualisasikan bunyi
musikal ke dalam suatu notas i (Netll , 1964:98). Kerja analisis
merupakan rangkaian kerja yang lebih lanjut dalam mengolah has il
transkrips i, yaitu suatu kerja memilah atau menguraikan bagian -
bagian dari hasil transkrips i, yang kemudian mendeskrips ikan
hubungan d ian tara ti ap-tiap bagiannya (Nettl, 1964 :131).
Dalam studi etnomusiko logi, transkripsi dan analis is
dipergunakan sebagai media untuk mengkomunikasikan pengetahuan
musik kepada orang lain, yaitu dengan menggambarkan ke d alam
suatu pola visual (Nettl , 1964 :103). Berdasarkan tujuan transkripsi
dan analisa te rsebut, maka bab in i bertujuan mendeskrips ikan
karakteris tik bunyi musikal gen jring bonyok dan tardug , sekaligus
pula mendeskrips ikan struktur komposisi lagu -lagunya.
5.2 Metode Transkripsi
Sampai saat ini be lum ada suatu metode yang d ianggap ideal
untuk dijadikan acuan dalam pentranskrips ian musik, dan ini masih
251
menjadi masalah di bidang Etnomusiko logi (l ihat Nett l, 1964: 31 dan
Hood , 1971 :61-63). Menurut Nettl (1964 :132-134) masalah ini terjadi
an tara lain dikarenakan pada umumnya para ahli t idak menjad ikan
metodenya untuk menuntun kepada prins ip -prinsip dan prosedur yang
dipergunakan dalam t ranskripsi. Persoalan lain pun muncul
disebabkan oleh ke tiadaan usaha dari para ahli untuk menyusun
metode yang ideal. Ditambah pula oleh adanya keterbatasan parame ter
au ral , kurang berkembangnya s is tim penotasian musik (Seeger,
1977:168); terbatasnya daya pendengaran terhadap segmen -segmen
musikal yang persis sama (May, 1981); dan be rbedanya karakter
bunyi dari setiap instrumen; serta berbedanya se tiap ind ividu dalam
tujuan dan kepen tingan mentranskrips i, adalah kendala-kendala lain
yang agaknya tu rut menen tukan suli tnya ditemukan metode yang
ideal.
Dari pendapat di atas dapat dikatakan bahwa transkripsi
mempunyai kemampuan terbatas dalam menyampaikan pendeskrips ian
musik. Selain itu, notasi yang digunakan untuk transkrips i suatu
musik belum ten tu dapat digunakan un tuk musik yang lain.
Sehubungan dengan persoalan di atas , maka dalam me tode
mentranskripsikan Tardug sesuai dengan karakter musikal tardug .
Peno tasian musik yang dibuat bersifa t deskriptif (Seeger,
1977:168-181) 27 yang berart i s ifat notasi yang dibuat merupakan
27Is t i lah notasi deskrip t if d an preskr ip t i f te lah d ikemuk akan o leh Seeger
se jak tahun 1958, yai tu dalam da la m art ik eln ya " Pr escr ip tive and Descr lp tlv e
252
bentuk laporan ten tang bagaimana suatu pertun jukan musik
berlangsung. Dengari kata lain, si fatnya memberikan tuntunan kepada
para pembaca yang sebelumnya t idak mengetahui tentang karakterist ik
dan deti l dari komposisi yang dimaksudkan.
Dalam menotas ikan lagu-lagu yang dijadikan materi sampel
pada skripsi ini, saya berorientasi pada dua bentuk sist irn no tas i,
yaitu sist im notasi balok yang te rdapat pada musik Barat (Western
standard no tation), dan no tasi yang dikenal dalam karawitan Sunda
yaitu t it i laras Damina. 28 Kedua bentuk no tas i ini dipadukan pula
dengan simbol-s imbol ritem yang dibuat dalam suatu garis horisontal,
yang d igunakan untuk menotasikan bunyi non-melodis dari instrumen
musik lainnya.
Pemilihan notas i Barat (not Balok) d idasari oleh s ifatnya yang
sangat umum dipergunakan dalam dis iplin etnomusikologi. Se lain i tu,
melalui penggunaan no tas i barat diharapkan pembaca dapat melihat
langsung pergeseran nada- nada yang terdapat dalam suatu komposisi
Music Wr it ing" da lam Musica l Ouater ly , 44 :1984-195 . Keduan ya d ibedakan a tas tujuan dar i no tas i terseha t d ibuat. Notasi p reskr ip tif d itu jukan bagi para pen ya j i un tuk memb er ikan pedoman b aga iman seharusnya suatu ko mposis i musik disa jikan. S edangkan notasi deskr ip ti f d itu jukan untuk lap oran ten tan g bagaimana su atu per tun jukan musik berlangsung. 28Tit i laras a tau d is ebut jug a sera t kanayagan adalah jen is no tasi musik yang berkembang pemakaiann ya d alam seni ka ra witan Sunda. Di ka langan pendidikan musik tr ad is ional S unda d ik enal t iga jen is t it i lara s , yaitu t i t i la ras buhun , t i t i laras a nca k, dan ti t i laras da mina . Adapun t i t i l ar as damina sangat populer penggun aann ya di seko lah-sekolah konservator i ka ra witan . T iti la ras Dam ina diperkena lk an o leh Raden Ah yar Ang ga Kusumad ir ia ta pada sek itar tahun 1925 (lih at At ik S oep and i, dkk . , 1 976 ).
253
musik. Sedangkan pemilihan no tas i damina didasari o leh pentingnya
memandang konsep-konsep etnosains dari kebudayaan musik Sunda.
Walaupun penulisan musik dengan notasi Barat dapat mewakili
sebagian besar bunyi musik yang dihasilkan, namun t idak semua
aspek bunyi musik gen jr ing bonyok dan tardug dapat d igambarkan
oleh s imbol-s imbol yang terdapat pada bentuk no tas i tersebut. Oleh
karenanya dalam pengaplikasian notasi in i, saya memakai beberapa
simbol visual tambahan , yaitu sebagai beriku t:
1. Kunci (clef) yang dipergunakan dalam notas i Balok adalah kunci
G ( ) karena wilayah nada (ambitus) yang disajikan Gitar dan
Bangsing adalah berkisar pada tanda kunci ini. Pemakaian kunci G
dalam penulisannya diberi tanda kurung. Hal ini berkaitan dengan
penulisan not maupun simbol- simbol lainnya yang t idak
mengikuti aturan yang konvensional. Di samping i tu mengandung
arti bahwa nada- nada yang tercantum dalam kunci tersebut
merupakan suatu perbandingan atau pendekatan , yang mana nilai
kebenarannya tidaklah mutlak.
2. Untuk mengefekti fkan penulisan tanda mula (# ) dan memudahkan
pembacaaan notasi , di lakukan transposis i interval sekuride minor
ke bawah dengan lambang 2 m ( ). Contohnya sebagai berikut.
254
Menjadi
3. Bunyi ins trumen musik yang tidak membawakan melodi, yaitu
genjir ing , bedug, dan kecrek , t idak ditulis dalam garis paranada,
melainkan garis horizontal . Penulisarmnya diletakkan d i bawah
notasi melod i, dengari tujuan untuk mense jajarkan hubungan
antara melodi dan pola ri tem dari instrumen musik tersebut d i
atas.
4. Transkrips i yang ditulis berdasarkan tentatif waktu pengulangan
ri tme pada instrumen pembawa ritem, ditulis :
255
5. Untuk penotasian laras Damina mempergunakan simbol angka 1 –
5. Nilai set iap no t d itandai dengan penambahan tanda ti t ik d i
belakang not, atau tanda garis di atas not. Fungsi dan penggunaan
tanda-tanda tersebut, sama dengan yang terdapat pada no tas i angka
konvensional. Perbedaan notasi Damina dengan notasi
konvensional terle tak pada penu lisan tanda t inggi rendahnya nada.
Contoh:
6. Simbol not maupun ritem setiap ins trumen dilambangkan sebagai
berikut:
a. Gitar mempergunakan notasi balok dalam garis paranada.
b. Bedug d ibedakan atas dua warna bunyi, yaitu suara bedug
menggunakan notasi balok dengan tiang ke atas ( ), dan
256
suara ke thuk yang menggunakan notasi balok dengan t iang
ke bawah ( ).
c. Seluruh permainan genjr ing (nomor 1-4 ) dan kecrek,
menggunakan notasi balok dengan t iang ke atas ( ) .
d. Suara goong yang terd iri atas dua buah ins trumen musik
ditulis dalam satu garis horizon tal . Goong besar di tu lis
dengan simbol
= 1/4, kempul (goong kecil) ditulis dengan simbol:
= 1/4 dan
= 1/8.
7. Penomoran bar diletakkan pada bahagian bawah notasi , dengan
simbol (1) dan sete rusnya.
8. Penulisan notasi yang lengkap dapat dilihat seperti contoh
cuplikan notas i beriku t ini .
9 .Pendeskrips ian kan tur melodi, disajikan pada dua bidang tegak
lurus. Garis tegak/vertikal mewakili nada-nada yang digunakan
257
dan jaraknya, sedangkan garis lurus/horizontal mewakili pulsa
setiap bar (4 pulsa= 1 bar), contoh:
5.3 Proses Transkripsi
Untuk merekam tiga sampel lagu genjr ing bonyok dan ta rdug ,
saya menggunakan Sony Recorder model HS-JX609. Hasil rekaman
te rsebut saya rekam kembali ke dalam hard disc exte rnal. Tujuannya
adalah untuk menjaga agar maste r rekaman tetap baik kuali tasnya,
sebagai sumber utama yang berharga . Apabila terjadi kerusakan pada
rekaman yang digunakan , dapat dilakukan perekaman u lang dari hard
disc external tersebut.
Dalam pelaksanan perekaman musik, saya menggabungkan
secara keseluruhan permainan alat musik dalam ensambel genjring
bonyok dan tardug . Namun sebelumnya, saya meminta kepada
258
beberapa pemain genjr ing dan Bedug untuk memainkan bentuk po la-
pola permainan gen jr ing dan bedug , untuk mempermudah
pentranskripsian se lan jutnya.
Untuk menentukan tempo lagu, saya menggunakan perangkat
penghitung tempo yang terdapat pada keyboard dan s iklus goong
yang terdapat dalam musik. Untuk menentukan nada dasar se tiap lagu
saya menggunakan keyboard merek KN 2600 dan garpu tala yang
berfrekwensi nada A. Se telah saya benar - benar memahami bunyi
yang d ihasilkan, maka pada tahap akhir, bunyi te rsebut ditu liskan ke
dalam notasi balok.
Dalam mengerjakan transkripsi ini, saya dibantu oleh
Sitiwahyuni dan Saidul Irfan Hutabarat . Bantuan ini bertu juan untuk
menghasilkan transkripsi yang lebih akurat, j ika d ibandingkan dengan
hasil transkripsi yang dilakukan oleh seorang saja.
5.4 Analisis Sampel Lagu Gederan, Siuh dan Pemuda Idaman
Sampel lagu yang dipergunakan dalam analisis ini adalah lagu
Gederan , Siuh, dan lagu Pemuda Idaman. Dua lagu pertama ini
dimainkan dalam ensambel genjring bonyok dan juga tardug .
Pemilihan dua lagu ini didasarkan atas beberapa pertimbangan.
Lagu Gederan dipilih menjadi sampel karena lagu ini berasal
dari kesenian genjr ing sholawat , yang merupakan cikal -bakal
terbentuknya kesen ian genjr ing bonyok dan tardug . Gederan
merupakan jenis lagu buhun, yang dalam setiap pertunjukan
259
dipergunakan sebagai lagu bagian pe mbuka dan penutup pertunjukan
genjr ing bonyok dan tardug.
Adapun Siuh dipilih karena lagu ini merupakan salah satu jenis
lagu yang diadopsi oleh genjr ing bonyok dan tardug dari kesenian
gembyung . Siuh merupakan jen is lagu buhun yang dikenal luas
masyarakat sebagai lagu klasik dari musik t radis ional rakyat Sunda di
Kabupaten Subang. Dalam penyajian genjring bonyok dan tardug ,
Siuh merupakan lagu yang sering ditemukan pada bagian isi
pertunjukan.
Penyajian komposisi lagu Siuh ini tidak te rbatas pu la hanya
pada kesenian gembyung dan genjr ing bonyok , melainkan juga
ditemukan pada kesenian-kesenian rakyat Sunda lainnya. Hal yang
paling menarik dari komposisi lagu Siuh ini , adalah bahwa dalam
penyajiannya di genjr ing bonyok dan tardug para partis ipannya
(umumnya orang tua) yang menari sering mengalami trance
(kasarumahan). Dalam kesenian gembyung , keadaan trance in i juga
sering terjadi.
Sesuai dengan judul tulisan ini, tu juan dari analis is musik
genjr ing bonyok (tardug ) adalah untuk melihat karakter -karakter
musiknya. Untuk keperluan tersebu t maka aspek musikal yang akan
diuraikan meliputi : meter, tempo, nada dasar, tangga nada, wilayah
nada, pola kadensa, pola ri tem ins trumen musik non -melodi, dan
fo rmula melod i serta kontu r melodi
260
Untuk lebih je lasnya terminologi dan acuan yang dipergunakan
tersebut, akan diu raikan sebagai berikut:
(1) Meter adalah skema waktu dalam musik yang menentukan
pulsa dasar. Pulsa dasar ini diorganisas ikan dalam un it -un it
untuk memberikan kesan ke tukan pertama atau ketukan
beraksen lainnya (Malm, 1987 :3).
(2) Tempo adalah cepat lambatnya suatu lagu disajikan. Tempo
dihitung dengan satuan waktu, yang d iberi tanda M.M.
(Metronom Metsel). Dengan indikas i satu jen is not mewakili
satu ketukan dasar (pulsa) lagu tersebu t. Contoh M.M. ׀ =
50, artinya setiap satu menit terdapat 50 kali not yang
bernilai 1/4. Tanda tempo dituliskan disamping kiri pada
awal lagu.
(3) Nada dasar atau tonali tas adalah suatu ist ilah yang berakar
dari kata 'tonal ', yaitu pendeskrips ian suatu musik dimana
semua nada berhubungan erat dengan satu nada sentral yang
dinamakan nada dasar atau tonalitas . Dalam menentukan
nada dasar pada analisis ini, d ipergunakan teori nada dasar
yang dikemukakan oleh Nettl (1964 :147) yaitu : (a) nada
yang pal ing sering muncul dan nada yang paling jarang
digunakan; (b) nada yang memiliki nilai ritmis yang besar;
(c ) nada yang dipakai pada awal dan akhir lagu, atau pada
bagian „ tengah lagu yang mempunyai fungsi dalam
komposisi tersebut; (d) nada yang menduduki posis i yang
261
paling rendah; (e) in terval -interval yang te rdapat diantara
nada. Misalnya adanya nada dalam suatu komposisi yang
dipergunakan dengan oktafnya; (f) nada yang memperoleh
tekanan ritmis te rtentu; dan (g ) s is tem tonali tas yang tidak
dapat dideskripsikan dengan kriteria di atas . Untuk
mendeskripsikan nada dasar pada sis tim ini dapat dilakukan
dengan pengenalan akrab terhadap gaya musiknya.
(4) Tangga nada adalah susunan nada-nada yang diu rut dari
nada yang te rendah sampai kepada nada yang tertinggi.
Dalam pendeskripsi -annya, tangga nada disertai dengan
frekuensi pemakaian nada-nada yang dimaksud (weighted
scale ).
(5) Wi layan nada diperoleh dengan cara melihat rentang jarak
antara nada terendah sampai nada tert inggi dalam suatu
komposisi.
(6) Formula melodi meliputi tiga unsur, yaitu : bentuk, frase,
dan motif. Bentuk adalah suatu aspek musik yang
menguraikan organisas i musikal (Manoff, 1991 :49).
Selanjutnya Jones menjelaskan bahwa bentuk merupakan dua
atau lebih frase yang saling berhubungan, dan biasanya
diakhiri oleh suatu kadensa (1974:102). Frase adalah suatu
pernyataan musikal yang menunjukkan pada suatu saat yang
disebut kadensa. Frase merupakan suatau ide musikal yang
komplit , dan umumnya te rdiri atas dua atau empat birama
262
(ibid , 102). Sedangkan motif adalah bahagian terkecil dari
melodi, yang dibentuk oleh beberapa nada dan ritme (ib id.)
(7 ) Kontur melod i, merupakan pendeskrips ian garis alur melodi
yang disajikan dalam dua bidang tegak lurus . Secara umum
kontur melodi dapat d ibagi atas delapan bentuk (Hood,
1982:302), yaitu :
1 . busur atau elips
2 . kebalikan busur
3. naik (ascending )
4 . turun (discend ing )
5 . gerigi (sawtooth)
6 . diagonal
7 . gelombang (pendulations )
8 . Gabungan dari bentuk-bentik di atas
5 .4.1 Meter dan Tempo
Keseluruhan lagu Gederan yang berdurasi waktu 48 de tik,
memiliki meter yang bersi fat iso ri tem, yaitu empat. Dari awal sampai
akh ir lagu tempo lagu Gederan bers ifat cepat dan konstan, yaitu
M.M. = 120 .
Berbeda dengan Gederan lagu Siuh diawali dengan suatu
bagian in troduksi yang memiliki meter bebas. Dalam konsep musik
Sunda, bagian in troduksi ini disebut dengan Bawa Sekar atau
pangkat , yaitu bagian lagu yang menyajikan pola- pola melod i yang
263
akan digarap pada lagu tersebu t. Lagu Siuh berdurasi waktu 2 menit
19 de tik, dengan meter yang juga bers ifat isori tem, yaitu empat. Lagu
Siuh juga dimainkan dalam tempo yang cepat, yaitu M.M.
= 110, namun tidak bers ifat konstan karena mulai bar ke -59 tempo
lagu semakin lambat.
Dalam teori musik karawitan Sunda, meter dan tempo suatu
sajian musik dapat d lihat dalam konsep wiletan yang digunakan .
Wiletan mempunyai pengertian periode s truktural melodi yang
berdasarkan pada aksen tuasi bunyi ins trumen musik goong. Menuru t
Cook (1992:108), wiletan merupakan tingkatan ritmik dari suatu
siklus goong .
Dalam musik Sunda wiletan dipergunakan dalam berbagai jenis,
yang prinsip-p rinsip perh itungannya diantara kesenian -kesenian
Sunda t idaklah baku (berbeda) (bandingkan Seopandi:1978 dengan
Cook:1992). Adapun jenis-jen is tersebut meliputi: sawile t (tempo
lagu cepat), dua wile t (tempo lagu sedang), dan opa wilet ( tempo lagu
lambat).
Misalnya, menurut Soepandi (1978) sawilet secara kese luruhan
merupakan suatu siklus permainan musik terdiri dari 16 ketukan yang
diakhiri dengan satu pukulan goong besar, dimana dalam se tiap empat
ke tukannya dibatasi oleh garis birama. Sedangkan menuru t Cook
(1992) sawilet memiliki pengertian yang sama, namun terdiri atas 8
ke tukan yang diakhiri dengan satu pukulan goong besar . Se lanjutnya
264
dua wilet , dan opat wilet merupakan ke lipatan-kelipatan ketukan
sawilet yang diakhiri dengan satu pukulan goong besar . Contoh:
sa wilet versi Soepand i: | . p . . | . p . . | . p . p | . p . G |
sa wilet versi Cook: | p . | p . | p p | p G |
Di luar dari konsep wiletan dalam teori karawitan Sunda
tersebut, dalam masyarakat Sunda juga dikenal ist ilah kering , yaitu
suatu wiletan yang pengertiannya mendekati prinsip-prinsip
perhitungan yang dikemukakan Cook tentang sawile t.
Jika lagu Gederan dianalisis berdasarkan konsep wiletan ,
maka siklus goong besar te rletak pada ketukan instrumen goong
yang ke delapan . Hal in i berart i lagu Gederan menggunakan sawilet
atau k e r ing , yang dimainkan dalam tempo cepat.
Namun perlu ditambahkan, bahwa dalam penyajian sebagian
lagu-lagu genjr ing bonyok te rdapat pu la pola tabuhan goong yang
dikenal masyarakat Subang, dengari is ti lah wiletan dangdutan.
Konsep perh itungan wiletan dangdutan ini membagi satu siklus
permainan goong dc ilam empat ketukan, d itandai dengan
penempatan dua pukulan goong kecil dan satu pukulan goong besar.
Konsep wile ten ini dapat d il ihat dari analisis lagu Siuh ,
konsep wiletan dangdutan ini juga mengind ikasikan bahwa lagu
Siuh dimainkan dalam tempo yang cepat.
265
5.4.2 Tangga Nada, Wilayah Nada , dan Nada Dasar
Tangga nada sebagai susunan nada-nada yang digunakan dalam
komposis i Gederan dan Siuh diklasifikas ikan sebagai tangga nada
pen tatonis (l ima nada). Pada lagu Gederan nada-nada yang digunakan
meliputi nada d, f, g, dan c, dengan pengulangan oktaf yang lebih
tinggi pada nada d dan f. Sedangkan pada lagu Siuh nada yang
digunakan meliputi nada: c, d, f, dan g dengan pengulangan oktaf yang
lebih t inggi pada nada c, d , dan f.
Susunan tangga nada dari kedua lagu tersebut, dapat dil ihat pada
analisis weighted scale berikut ini .
Pengertian tangga nada dalam konsep musik Sunda disebut
surupan atau laras , yaitu susunan nada yang dipergunakan suatu
komposis i dari yang terendah sampai yang te rtinggi (Soepandi, 1988).
Dalam praktiknya surupan-surupan yang berkembang terdiri dari
266
beberapa jen is, yaitu salendro, pelog, sorog , laras degung , dan laras
madenda .
Dari keempat jen is surupan tersebut , salendro te rbagi lagi atas
jenis padantara dan bedantara . Sedangkan pelog terdiri dari jenis
pancanada, saptanada, dan dasanada (lihat Soepandi, 1988 dan 1978).
Berdasarkan pendekatan cent, surupan yang dipergunakan pada
lagu Gederan dan Siuh adalah jen is surupan salendro bedantara .
Prins ip surupan bedantara adalah apabila d i antara interval -in terval
nadanya terdapat dua jarak interval nada yang lebih besar dari j arak
in terval nada yang lainnya. Berdasarkan pendekatan Soepandi (1988)
prins ip sa lendro bedantara adalah sebagai berikut.
267
Perlu pula ditegaskan bahwa secara teoretis prins ip salendro
bedantara tersebut dapat ditentukan dengan pengukuran yang akurat
melalui n ilai cen t. Namun dalam kenyataannya di masyarakat Sunda,
jenis surupan ini relati f dapat d iap likasikan . Dengan demikian
pendekatan salendro bedantara yang dapat dikemukakan pada lagu
Gederan dan Siuh adalah seperti pada konsep berikut ini.
Wilayah nada pada lagu Gederan adalah ten th minor (d – f’) .
Sedangkan lagu adalah eleventh minor (c – f’) . Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada keterangan notasi berikut in i.
Dalam mengaplikasikan penentuan nada dasar yang dikemukakan Nettl
(1964), dapat d is impulkan bahwa lagu Gederan danm Siuh
menggunakan nada dasar fis . Namun dalam peno tas ian, nada t ersebut
diturunkan sekunde minor menjad i f. Untuk lebih jelasnya lihat tabel
berikut ini .
268
Tabel 5.1: Tu juh Krite ria Tonalitas pada Lagu Gederan dan Siuh
Keterangan:
K1: Nada yang paling sering digunakan
K2: Nada dengan harga ritmis besar
K3: Nada awal, tengah, dan akhir
K4: nada dalam posisi terendah
K5: Nada dengan duplikasi oktaf
K6: Nada yang mendapat tekanan ri tmis
K7: Nada berdasarkan pengalaman terhadap gaya musik
H: Hipotesis atau hasil akh ir
5 .4.3 Pola Kadensa
Pada analisis lagu Gederan dan Siuh , po la kadensa yang
dimaksud hanya berhubungan dengan gerakan melodi, bukan akord,
sebagaimana dalam pengertian musikologi Barat . Pola penyelesaian
269
atau akhir untaian nada pada lagu Gederan dan Siuh, secara umum
diperhatikan pada se tiap akh ir bentuk melodinya.
Contoh kadensa pada ben tuk melodi A dan B pada lagu
Gederan :
Contoh kadensa pada ben tuk melodi A, B, dan C pada lagu Siuh .
5.4.4 Po la Ritme Instrumen Musik dan Non-melodis
Empat dari lima ins trumen musik yang tergabung ke dalam
ensambel genjring bonyok memiliki peranan sebagai pembawa aksen
ri tme musiknya, yai tu : bedug , 4 gen jring, kecrek , dan goong . Dalam
permainannya, keempat ins trumen ini ada yang menghasilkan lebih
dari satu warna bunyi, yaitu bedug gen jring , dan goong . Namun dalam
analisis gaya musik genjring bonyok ini , warna bunyi dari instrumen-
instrumen tersebut tidak menjadi fokus pembahasan .
270
Satu catatan yang dapat dil ihat pada kedua sampel lagu tersebut,
adalah bahwa suara bunyi ins trumen bedug (bedug dan ketuk) dan
goong (goong kecil dan goong besar ) dip isahkan penotasiannya. Hal
ini d isebabkan bedug merupakan instrumen musik yang menjadi
karakteristik, dalam permainan ensambel genjring bonyok. Sedangkan
goong dalam hal in i sangat berperan dalam mendeskripsikan pola
wile tannya.
Secara umum pola ri tme yang disajikan o leh se lu ruh instrumen
non-melodis dalam lagu Gederan dan Siuh memiliki persamaan,
khususnya pada instrumen genjring 1, genjring 4 , dan kecrek.
Perbedaan po la ri tme dari kedua lagu tersebu t terlihat pada instrumen
bedug, genjr ing 2 , genjr ing 3 , dan goong . Namun dalam permainan
setiap lagu , instrumen genjring 1 sampai 4, kecrek, dan goong
membawakan pole ritme yang konstan. Sedangkan bedug berperan
dalam menghasilkan pola ri tme yang bervariasi .
Jenis no t yang dipergunakan pada lagu Gederan dan Siuh ini
umumnya dupel dan kuadrupel. Untuk lebih je lasnya dapat dilihat pada
beberapa con toh dari kedua lagu te rsebut. Pola permainan instrumen
non melod is lagu Gederan bar 3 sampai 5 .
271
5 .4.5 Formula Melodi
Bentuk, frase, dan motif adalah t iga unsur yang dipergunakan
dalam menganalis is formula melod i lagu Gederan dan Siuh.
(1 ) Lagu Gederan
Struktur komposisi lagu Gederan d ibagi ke dalam 28 bar . Secara
umum bentuk lagu Gederan dapat dibedakan atas dua jenis . Jen is
pertama diidentifikasikan dengan bentuk A yang terletak pada
272
bagian awal lagu. Jenis kedua diidentifikasikan dengan bentuk B
yang mendominasi seluruh komposisi melod i lagu Gederan . Ben tuk
B terulang sebanyak enam kali dengan pengembangan bentuk yang
diidentifikasikan dengan bentuk B1 dan B2. Lihat tabe l di bawah
ini.
Tabel 5.2 : Bentuk Lagu Gederan Berdasarkan Pembagian Bar dan Ketukan
No Bar Awal
(Ketukan)
Bar Akhir
(Ketukan)
Keterangan Ben tuk
1.
2
3
4
5
6
7
1 ke tukan 4
5 ke tukan 3
9 ke tukan 2
13 ketukan 2
17 ketukan 2
21 ketukan 2
25 ketukan 2
5 ketukan 2
9 ketukan 1
13 ke tukan 1
17 ke tukan 1
21 ke tukan 1
25 ke tukan 1
28 ke tukan 4
A
B
B1
B1
B1
B1
B2
Secara umum penen tuan frase dibagi berdasarkan pola kadensa
atau perpanjangan nada. F rase yang te rdapat pada lagu Gederan
di identifikasikan sebanyak 3 jenis , yaitu frasse A, B (dengan
pengembangannya) , dan C (dengan pengembangannya) . Contohnya
adalah sebagai berikut.
273
Pembentukan motif secara umum didasarkan atas gerakan nada,
keadaan ri tmis, dan jumlah relati f nada yang d igunakan . Motif-moti f
melodi yang terdapat pada lagu Gederan sebanyak delapan jenis, yaitu
sebagai berikut.
274
(2) Lagu Siuh
Struktur komposisi lagu Siuh dibagi ke dalam 64 bar. Berbeda
dengan Gederan, analisis ben tuk, frase, dan moti f Siuh dimulai
dengan bahagian melodi yang memiliki meter tetap. Dengan
demikian penyajian bentuk introduksi (bawa Sekar atau Pangkat)
tidak dianalis is . Hal in i dikarenakan penyajian melod i pada bagian
introduksi, t idak jauh berbeda dengan bentuk melodi yang
memiliki meter tetap.
Ben tuk lagu Siuh dapat dibedakan atas tiga jenis. Pertama,
diiden tifikasikan dengan bentuk A, dengan empat kali
pengulangan . Kedua diidentifikasikan dengan bentuk B dengan
delapan kali pengulangan, ben tuk B ini merupakan bentuk melodi
lagu Siuh yang paling panjang. Ketiga, disebut bentuk C dengan
empat kali pengulangan. Untuk lebih jelasnya, ben tuk A, B, C , dan
C lagu Siuh dapat dil ihat pada tabel berikut ini .
275
Tabel 5.3 : Bentuk Lagu Siuh berdasarkan Pembagian Bar dan ketukan
No Bar Awal
(Ketukan) Bar Akhir (Ketukan)
Keterangan Bentuk
1.
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1 ke tukan 3
5 ke tukan 3
13 ketukan 3
17 ketukan 3
21 ketukan 3
29 ketukan 3
33 ketukan 3
37 ketukan 3
45 ketukan 3
49 ketukan 3
53 ketukan 3
61 ketukan 3
5 ketukan 2
13 ke tukan 2
17 ke tukan 2
21 ke tukan 2
29 ke tukan 2
33 ke tukan 2
37 ke tukan 2
45 ke tukan 2
49 ke tukan 2
53 ke tukan 2
61 ke tukan 2
64 ke tukan 4
A
B
C
A
B
C
A
B
C
A
B
C
Pengulangan bentuk-bentuk melodi pada lagu Siuh cenderung
sama. Persamaan in i juga te rlihat dalam frase dan motif t iap -tiap
bentuknya.
Frase yang terdapat pada lagu Siuh diidentifikas ikan sebanyak
de lapan jenis. Bentuk A terdiri dari dua frase, bentuk B te rdiri atas
empat frase , dan bentuk C te rdiri atas dua frase , sebagai berikut.
276
Penentuan motif secara umum didasarkan atas gerakan nada,
keadaan ri tmis, dan jumlah relati f nada yang d igunakan . Motif-moti f
melodi yang terdapat pada lagu Siuh sebanyak enam jenis yaitu
sebagai berikut.
277
5.4.6 Kontur
Dalam menganalisis kantur melodi lagu Gederan dan Siuh, saya
hanya mendeskripsikan satu sampel saja pada setiap bentuk melod i
dari kedua lagu te rsebut. Hal ini disebabkan secara umum gerakan
kan tur dari t iap-t iap pengulangan bentuk melodi memiliki persamaan.
Pada lagu Gederan , kontur melod i d isajikan masing- masing
mewakili bentuk melod i A, B, BI, dan B2. Pada bentuk melodi A lagu
Gederan, kantur melodi umumnya merupakan gabungan an tara
gerakan melodi yang melengkung ke bawah dan gerakan melod i
gerigi. Sedangkan pada bentuk B, BI, dan B2 merupakan gerakan
melodi gerigi dengan garis ascending maupun descending yang
bergerak secara d ras tis maupun bertahap .
278
Dari deskripsi kantur melodi Gederan ada beberapa hal hal
yang dapat menjadi catatan . Kontur melod i pada lagu Gederan
memperlihatkan gerakan- gerakan nada yang rapat dengan nilai nada
yang dominan antara 1/4, 1 /3, dan 1/16. Nada -nada pada setiap bentuk
melodi Gederan umunya bergerak ke atas mulai dari nada f, g, dan a.
Sering muncul jarak interval yang luas (meskipun bertahap) baik yang
bergerak turun maupun bergerak naik, yaitu interval prima sampai
oktaf murni. Kecendrungan nada yang berdurasi rapat terletak pada
akhir nada yang membentuk pola kadensa. pada ben tuk A dari B, pola
kadensa tersebu t bergerak lurus pada nada g. Sedangkan bentuk BI
dan B2 pola kadensa tersebut memperlihatkan gerakan variatif yang
akhirnya berhenti pada nada
Pada lagu Siuh, kantur melodi disajikan dalam tiga jen is bentuk
melodi, masing-masing mewakili ben tuk melodi A, D, dan C. Secara
umum gerakan melodi lagu Siuh membentuk pola gerigi , dengan garis
lurus , ascend ing, dan descending.
Pada bentuk melod i A kecendrungan nada yang bergerak lurus
adalah pada awal dan akhir melod i yang membentuk pola kadensa
(nada c) . Demikian pula pada bentuk C, awal melod i (f) dan akhir
melodi (d) membentuk gerakan garis lurus .
Inte rval nada yang luas baik naik maupun turun secara bertahap
atau drastis , dapat d il ihat pada kantur melodi bentuk A dan C, yaitu
dari inte rval prima sampai 10 mayor. Sedangkan Ben tuk B merupakan
kantu r melodi yang paling panjang dengan variasi bentuk gerigi dan
279
garis lurus. Kantur melod i bentuk C memperlihatkan wilayah nada
yang d isajikan berkisar antara nada c dan d '. Inte rval nada yang naik
maupun turun pada bentuk C adalah antara p rima sampai kuart murni.
280
281
282
5.5 Analisis Teks Lagu Pemuda Idaman
Dalam pertunjukan tardug, ciri khas yang membedakannya dengan genjring
bonyok adalah masuknya lagu-lagu populer Sunda, pop Indonesia, dan juga lagu-lagu
dangdut atau dangdutan. Lagu-lagu ini masuk ke dalam genre tardug karena tuntutan
masyarakat, yang kemudian direspons oleh para seniman tardug. Dengan demikian,
lagu-lagu dangdut mendapat peran penting di dalam pertunjukan seni tardug.
Berikut ini adalah salah satu contoh lagu dangdut yang sangat populer di
dalam penyajian tardug, yaitu Pemuda Idaman. Selengkapnya lirik atau teks lagu
Pemuda Idaman ini adalah sebagai berikut.
Pemuda Idaman
(1) Pemuda pujaan dadi impian
(2) Pemuda pujaan dadi bayangan
(3) Duh kelingan ning matane
(4) Duh kelingan ning meseme
(5) Pemuda pujaan dadi bayangan
(6) Pemuda pujaan semanis madu
(7) Pemuda pujaan manis gemuyu
(8) Duh kelingan ning matane
(9) Duh kelingan ning meseme
(10) Pemuda pujaan dadi rebutan
Reffrein:
(11) Yen bli ketemu seminggu hatiku rindu
(12) Perasaan gemeter seluruh tubuh
283
(13) Yen bli ketemu seminggu hatiku rindu
(14) Perasaan gemeter seluruh tubuh
(15) Haha..., Yaya..., Haha..., Yaya..
Teks lagu tersebut di atas terdiri dari lima belas baris. Selanjutnya kelima
belas baris ini dikelompokkan ke dalam tiga bait. Bait pertama dan kedua
menggunakan bentuk melodi yang sama (strofik). Bait pertama terdiri dari lima
larik yaitu 1 – 5, dan bait kedua juga lima larik yaitu baris 6 – 10. Bait ketiga
merupakan reffrein lagu ini yang diisi oleh baris 11 sampai 15. Melihat struktur teks
lagu ini, maka setiap barisnya umum menggunakan empat kata, yang didukung oleh
delapan sampai sebelas suku kata. Ini adalah unsur pantun yang umum terdapat
dalam sastra Sunda atau juga Indonesia.
Dalam pertnjukan tardug ini, agak berbeda dengan lirik sebenarnya di dalam
bahasa Indonesia, maka dalam kenyataannya para seniman Sunda ini merubahnya
dengan menggunakan bahasa Sunda. Tujuannya adalah agar lebih dapat diterima
penonton yang memang umumnya berkebudayaan Sunda. Ini bertujuan untuk
merekatkan komunikasi yang terjadi selama berjalannya pertunjukan tardug di
Subang dan sekitarnya.
Dilihat dari kata-kata yang disampaikan, maka lagu ini sebenarnya ekspresi
dari seorang gadis atau wanita yang merindukan hadirnya jodoh seorang pemuda
(lelaki) di dalam kehidupannya. Bagaimanapun gadis tersebut membayangkan
seorang pemuda yang menjadi impian dan bayangan di dalam kehidupannya.
Teks lagu ini juga bercerita tentang hubungan sosial antara dirinya dengan
pemuda yang diidamkannya tersebut melalui komunikasi sosial asamara. Keadaan ini
284
digambarkan dengan jelas melalui kerlingan mata pemuda itu kepada dirinya.
Seterusnya ditambah lagi dengan sunggingan senyumnya (meseme) yang membuat si
wanita tersebut jatuh cinta melalui pandangan fisik. Bagaimanapun pemuda yang
diidamkannya tersebut selalu mengisi ilusinya yang terus membayangi setiap detak
nadi dan nafasnya. Hal ini tercermin di dalam teks lagu sebagai berikut.
Pemuda pujaan dadi impian
Pemuda pujaan dadi bayangan
Duh kelingan ning matane
Duh kelingan ning meseme
Pemuda pujaan dadi bayangan
Artinya:
Pemuda idaman menjadi impian
Pemuda pujaan menjadi bayangan
Aduhai kerlingan di matanya
Aduhai sunggingan di senyumnya
Pemuda pujaan menjadi bayangan
Dalam bait selanjutnya, terjadi pengulangan beberapa kata yang berasal dari
bait pertama, tepatnya baris 3 dan 4 bait pertama diulangi secara sama pada baris 8
dan 9 pada bait kedua. Bait kedua ini maknanya menguatkan bait pertama, tentang
berbagai kelebihan pemuda yang diidamkan wanita tersebut. Dalam budaya Sunda,
pemuda ganteng itu diibaratkan sebagai semanis madu. Bahwa seorang pemuda
idaman bagi seorang wanita adalah seorang pemuda yang manis baik dalam fisik
mapun perilakunya, bak manisnya madu. Begitu pula pemuda tersebut selalu ramah
285
tamah, mudah tersenyum kepada siapa pun, terutama kepada seorang pujaan hati.
Senyum adalah salah satu bentuk sedekah dalam pergaulan sosial.
Di dalam bait kedua ini, yang sedikit membedakannya dengan bait pertama
adalah bahwa pemuda tersebut menjadi rebutan bagi para gadis atau wanita. Dengan
demikian, pemuda tersebut pastilah memiliki berbagai kelebihan-kelebihan sosial
dan budaya, seperti yang digambarkan oleh lagu ini. Pemuda tersebut pastilah
ganteng secara fisik. Kemudian pemuda tersebut adalah mudah senyum dan
peramah, pemuda tersebut juga kemungkinan besar mapan ekonominya. Begitu juga
dengan moralitas dan peringkat penghayatan agamanya pastilah melebihi emuda-
pemuda lain di sekitarnya, sehingga ia menjadi rebutan di antara wanita-wanita yang
mengenalnya. Biasanya secara universal yang menjadi daya unggulan laki-laki atau
perempuan dalam konteks mencari jodoh adalah faktor: agama, ekonomi, dan fisik.
Namun dalam ajaran Islam, yang dianut oleh mayoritas warga Sunda yang
diutamakan adalah faktor agamanya. Keadaan ini diekspresikan melalui bait kedua
lagu Pemuda Idaman ini.
Pemuda pujaan semanis madu
Pemuda pujaan manis gemuyu
Duh kelingan ning matane
Duh kelingan ning meseme
Pemuda pujaan dadi rebutan
Artinya:
Pemuda pujaan semanis madu
Pemuda idaman manis tertawanya
286
Aduahai kerlingan di matanya
Aduahai sunggingan di senyumnya
Pemuda pujaan jadi rebutan
Se lan jutnya bait ke tiga sebagai bait re ffrein yang biasanya
adalah menuju klimaks dalam pertunjukan nyanyian, maka bait ini
memberikan makna tersurat bahwa s i wanita te rsebut telah jatuh cinta
kepada pemuda idamannya. Rasa cinta yang mendalam ini
mengakibatkan perasaan lebih jauh yaitu dalam kata kun ci rindu
menerpa dirinya. Karena cinta maka muncul kerinduan . Bahkan waktu
yang relati f singkat yaitu seminggu saja t idak bertemu muka maka
terjad inlah rindu yang kian membara. Karena rasa cinta tersebut pula
maka kerinduan selalu menyeruak dalam kehidupan wanita yang lagi
jatuh c inta kepada pemuda idaman te rsebut. Kerinduan ini
terekspres ikan dalam kata -kata sebagai beriku t ini .
en bli ketemu seminggu hatiku rindu
Perasaan gemeter seluruh tubuh
Yen bli ketemu seminggu hatiku rindu
Perasaan gemeter seluruh tubuh
Haha..., Yaya..., Haha..., Yaya..
Artinya:
J ika t idak bertemu seminggu hatiku rindu
Perasaan gemetar seluruh tubuh
J ika t idak bertemu seminggu hatiku rindu
287
Perasaan gemetar seluruh tubuh
Haha... , Yaya.. ., Haha... , Yaya.. .
Pada bait di atas tergambar dengan jelas adanya dampak-dampak
berun tun , yaitu d imulai dari pandangan, kemudian jatuh cinta, dan
sete rusnya rindu. Dalam kerinduan ini s i wanita merasa gemetar
selu ruh tubuhnya ingin berjumpa segera dengan pemuda idaman.
Kesemua faktor-faktor te rsebut yaitu : pandangan, jatuh cin ta, rindu,
dan gemetaran adalah indeks -indeks dari rasa mencintai seorang
wanita kepada lelaki pujaan hatinya. Bagaimanapun cinta adalah tema
utama dari teks lagu in i.
Dilihat dari makna-makna yang disampaikan, lagu ini
menggunakan diksi yang mudah dicerna o leh komunikan (penikmat
lagu). Kata-kata yang digunakan langsung mengarah kepada apa yang
hendak disampaikan . Tidak banyak menggunakan kata-kata yang
memiliki makna rahasia, s imbolis, atau ambiguitas. Jadi lagu ini
memang relati f mudah diapresiasi oleh para penikmatnya. Demikian
kira -ki ra analisis semiotik terhadap lagu Pemuda Idaman ini yang
sangat populer dalam pertunjukan tardug (dangdutan ) di daerah
Subang Jawa Barat dalam konteks kebudayaan Sunda.
288
BAB VI
PENUTUP
6 . 1 Kesimpulan
Beranjak dari dua pokok permasalahan yang telah dikemukakan pada Bab I,
yaitu: (a) bagaimana proses kontinuitas dan perubahan yang terjadi dalam seni
pertunjukan genjring bonyok dan tardug, serta (b) bagaiman struktur
pertunjukannya, maka dalam Bab VI ini penulis akan menyimpulkan hasil penelitian
ini.
(A) Mengenai kontinuitas dan perubahan di dalam seni genjring bonyok
dan tardug, adalah menjadi bahagian dari tumbuh dan berkembangnya Islam di
dalam kebudayaan Sunda, yang dibawa oleh para wali songo di Tanah Jawa dan
Tatar Sunda, khusus di Tanah Sunda dibawa oleh Sunan Gunung Jati atau Syarif
Hidayatullah. Kemudian Islam juga disebarkan oleh para tokoh Islam di Tanah
Sunda, dan yang tercatat dalam sejarah adalah Aria Wangsa Goparana yang
melakukan syiar Islam di Segalaherang tahun 1530 dan sesudahnya.
Dalam proses pengislaman orang Sunda ini, para wali dan tokoh Islam di
Tanah Sunda menggunakan sarana media dakwah seni pertunjukan. Dalam
kebudayaan Sunda dimasukkan seni yang menggunakan genjring (rebana) dan juga
bedug. Alat musik ini menjadi simbol dari peradaban Islam, termasuk yang masuk
ke Tanah Sunda. Namun demikian, melodi dan sistem tangga nada yang diterapkan
dalam seni Islam di Tanah Sunda adalah menggunakan sistem laras yang ada di
tanah Sunda seperti salendro, pelog, madenda, dan degung. Para penyebar Islam ini
289
tidak memaksakan sistem tangga nada Timur Tengah kepada masyarakat Sunda.
Akhirnya sejak abad ke-16 ini muncullah seni genjring dan derivat-derivatnya, yang
memunculkan alat musik genjring dan bedug ditambah secara situasional dengan
alat-alat musik tradisi Sunda lainnya. Genre seni yang menggunakan genjring dan
bedug terus kontinu di dlaam kebudayaan Sunda. Di awal abad ke-20 sebagaimana
disaksikan oleh para seniman Sunda terdapat genre seni pertunjukan genjring
sholawatan, yang menurut namanya jelas mengutamakan lagu-lagu yang merupakan
selawat dan salam untuk Nabi Muhammad SAW. Begitu juga genjring ini kemudian
berkembang menjadi genjring bonyok di era 1970-an. Selanjutnya di era 1990-an
dikenal genre seni tardug. Kedua genre ini hidup sampai sekarang. Namun genre
tardug lebih berkembang karena lebih mengakomodasikan selera pasar seni kekinian
(kontemporer). Tokoh utama dalam mengadakan perubahan dari genjring bonyok ke
tardug adalah Sutarja, seniman ternama dari Desa Cidadap.
Kontinuitas yang terjadi adalah bahwa genre-genre seni yang menggunakan
alat musik genjring dan bedug, adalah mengabsahkan bahwa seni ini adalah seni
Sunda yang mengandung nilai-nilai Islam. Namun dalam perkembangannya selalu
melihat selera seni semasa di masa perkembangan itu terjadi. Menurut penulis
perkembangan dan kontinuitas ini melihat aspek-aspek akar seni budaya, agama, dan
ekonomi.
Lebih khusus lagi di Subang Jawa Barat, faktor-faktor yang melatarbelakangi
terbentuknya tardug khususnya di Desa Cidadap, dan di Kabupaten Subang pada
umumnya, adalah: (a) adanya suatu kategori musik (musik rakyat), dimana proses
perubahan yang dialami musik tersebut, merupakan bagian dari sistim musiknya
(lihat Nettl 1983:177). Dalam hal ini kesenian yang mengalami proses perubahan
290
tersebut, adalah genjring bonyok menjadi tardug. (b) Perubahan kondisi sosial-
budaya masyarakat yang merangsang tumbuhnya kreatifitas musikal warga
masyarakatnya (seniman). (c) Kemampuan dari seniman-seniman genjring bonyok
dalam menciptakan gagasan-gagasan baru (kreativitas), yang relatif berbeda dengan
kesenian sebelumnya. Kreativitas tersebut dapat dijalankan pula dengan adanya
dukungan dan kerjasama diantara sesama seniman genjring bonyok. (d) Sambutan
dan dukungan sosial dari masyarakat Kabupaten Subang terhadap keberadaan
kesenian tardug yang relatif baru dari kesenian yang ada sebelumnya.
Dari fenomena terbentuknya kesenian genjring bonyok dan tardug yang
telah dipaparkan di atas, dapat simpulkan pula bahwa terbentuknya kesenian tardug
merupakan kelanjutan dari proses perubahan kesenian yang telah ada sebelumnya.
Proses perubahan kesenian ini berupa pembaharuan unsur-unsur kesenian menjadi
suatu bentuk kesenian yang relatif berbeda dengan kesenian yang telah ada
sebelumnya. Fenomena ini menurut Sedyawati (1980:34) merupakan proses yang
sering ditemukan pada suatu bentuk kesenian yang baru, dimana unsur-unsur
kesenian yang baru tersebut selalu bertolak dari kesenian-kesenian yang telah ada
sebelumnya.
Dilihat dari konsep rakyat dalam konteks seni pertunjukan, maka genjring
bonyok dan tardug dapat dikatagorikan sebagai seni pertunjukan musik rakyat.
Yaitu suatu seni pertunjukkan yang awalnya tumbuh dan berkembang dalam rangka
memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat pedesaan, dalam mengekspresikan rasa
syukur dan gembira sehubungan dengan peristiwa-peristiwa yang mereka hadapi
dalam kehidupan.
291
Oleh karena seni pertunjukan ini tumbuh dan berkembang dalam rangka
memenuhi kebutuhan semua golongan masyarakat, maka di dalam
perkembangannya genjring bonyok maupun tardug tidak mengenal dominasi
golongan tertentu. Karena seni ini merupakan bagian dari ekspresi masyarakat,
maka proses perubahan genjring bonyok berkembang menjadi bentuk kesenian
tardug banyak ditentukan oleh perubahan kebutuhan masyarakatnya.
(B) Struktur pertunjukan genjring bonyok dan tardug adalah hampir sama
yaitu adanya organisasi yang terstruktur seperti ketua, bendahara, sekretaris,
seniman, yang juga tetap melibatkan faktor keluarga dan kekeluargaan. Bentuk
pertunjukan ada yang dilakukan secara arak-arakan (prosesi) dan juga di atas pentas
atau lazim disebut dudukan. Adapun waktu pertunjukan dilakukan siang sampai
sore hari. Lagu-lagu yang dipergunakan ada yang berasal dari sholawatan, ketuk tilu,
jaipongan, pencak silat, sampai dangdut, dan lainnya. Struktur pertunjukan genjring
bonyok dan tardug biasanya mengikuti apa yang diminta oleh pengundang dan
penonton yang meminta lagu dan pertunjukan. Struktru pertunjukan ini didukung
pula oleh unsur-unsur musikal seperti struktur melodi lagu, dengan contoh dua lagu
yang telah dianalisis pada Bab V, dengan simpulan sebagai berikut.
Secara struktural lagu-lagu yang disajikan pada genjring bonyok dan tardug
juga mengandung unsur musik Sunda dan populer. Dari dua sampel lagu yang
dipergunakan dalam analisis musik, dapat disimpulkan beberapa karakter musik
genjring bonyok dan tardug, yaitu:
(2) Kedua sampel lagu, yaitu Gederan dan Siuh disajikan dalam meter
empat (isoritem). Kadaan ini mencerminkan sifat umum dari meter
lagu-lagu yang dibawakan ensambel genjring bonyok dan tardug.
292
(2) Tempo kedua lagu dimainkan cepat, mengindikasikan sifat dari
sampel lagunya. Pada lagu Gederan (M.M. = 120) tempo
dimainkan rata-rata cepat dari lagu-lagu tardug lainnya, karena lagu
Gederan diperuntukkan sebagai tanda pembuka dan penutup
pertunjukan.
(2) Tangga nada yang digunakan dalam kedua sampel lagu adalah tangga
nada pentatonis, yang dalam konsep musik Sunda berjenis salendro
bedantara.
(2) Wilayah nada yang luas serta kantur melodi yang berbentuk gerigi
pada kedua lagu ini, mengindikasikan bahwa lagu- lagu tersebut
menggunakan interval-interval yang berjarak antara sekunde mayor
sampai pada oktaf murni. Dengan demikian perpindahan nada yang
diperlihatkan pada kantur
pun mencerminkan lompatan interval nada yang luas baik terjadi secara
langsung maupun bertahap.
(2) Salah satu karakter musik genjring bonyok dan tardug yang menonjol
adalah permainan instrumen-instrumen non-melodis, yang berperan
memberikan nuansa ritmis yang variatif. Pola-pola ritem yang
dihasilkan dari gabungan instrumen tersebut saling mengisi dan
menguatkan sehingga membentuk pola interlocking.
(2) Deskripsi formula melodi pada kedua sampel lagu, memperlihatkan
bahwa bentuk-bentuk melodi lagu genjring bonyok dan tardug
umumnya sedikit dan pendek, namun dalam seluruh garapan
melodinya bentuk-bentuk tersebut terus diulang. Menurut Malm gaya
293
lagu seperti ini memiliki kecendrungan reverting. Fenomena dari
formula melodi ini pula sangat lajim ditemukan pada budaya musik
rakyat yang bersifat oral. Sebagaimana dikemukakan Sedyawati
(1980:60), bahwa seni tradisi adalah sesuatu yang berlaku dalam
waktu, secara teknik mengikuti pola-pola yang berulang, namun dari
segi-segi tertentu mengalami perubahan.
6.2 Saran
Selama proses penelitian dan penulisan Tardug dikerjakan, menurut hemat
saya perlu disampaikan beberapa saran. Bahwa penelitian terhadap Tardug ini
masih perlu dilanjutkan, mengingat tulisan ini relatif masih belum sempurna untuk
menginformasikan keberadaan tardug di Kabupaten Subang. Disamping itu
perkembangannya yang pesat saat ini adalah bahan kajian yang menarik serta
merupakan mata rantai penelitian dan tulisan ini.
Perlu pula menjadi perhatian dari kalangan pemerintah dan tokoh-tokoh
seniman Kabupaten Subang, untuk memperluas apresiasi dan aspirasi masyarakat
terhadap kesenian tradisi yang mereka miliki. Di lain pihak pemerintah dan
seniman, maupun tokoh-tokoh masyarakat harus pula dapat mencermati pengaruh
positif dan negatif dari perkembangan teknologi dari sosial-budaya, terhadap
keberadaan kesenian-keseniari tradisi, seperti halnya Tardug.
Pembinaan terhadap kesenian tradisional ini, juga bukan hanya terbatas pada
lingkungan seniman dan aparat-aparat pemerintahan yang berkaitan terhadapnya.
Tetapi juga kepada kalangan intelektual untuk mengkajinya sebagai bahan
penelitian ilmiah.
294
Sebagai saran terakhir, saya sangat mengharapkan khususnya kepada
masyarakat Subang dan secara umum kepada masyarakat luas, untuk memperluas
wawasan dan apresiasi terhadap kekayaan-kekayaan tradisional yang menjadi
identitas nilai-nilai sosial dan budaya kita bersama.
314
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa-Putra, Heddy Sri, 2000. Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya
Sastra. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.
Alwasilah, A. Chaedar, 2007. Pokoknya Kualitatif. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Asdi, A.H.S. Armiri, 1980. Hari Jadi Kabupaten Subang - 5 Aprii 1948.
Pemerintah Daerah Tingkat II: Subang.
Barker, 2005. Cultutal Change. Chicago: North Western University Press.
Berlo, D.K. 1960. The process of Communication. San Francisco: Rinenart Press.
Bogdan, Bobert, 1975. Participant Observation in Organlzational Settings. New
York: Synraeuse University.
Cage, John, 1961. Silence. Middletown: Wesleyan University Press.
Cassier, Ernest, 1944. An Essay on Man, New Heaven.
Caturwati, Endang, 2004. History and Development of Sundanese Traditional
Dance in Indonesia. Bandung: Sunan Ambu Press.
Cook, Simon, 1992. Guide to Sundanese Music: A Practical Introductlon to
Gamelan Sa1endro/Pelog, Gamelan Degung, Penambih Tembang
Sunda. Bandung: Simon Cook.
Danandjaja, James, 1994. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (eds.). 1995. Handbook of Qualitative
Research. Thousand Oaks, London, dan New Delhi: Sage Publications.
Dharsono, Sony Kartika, 2004. Memahami Seni dan Estetika. Bandung:
Rekayasa Sains.
315
Ekadjati, Edi S., 1984. Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Jakarta: Giri
Mukti Pasaka.
Elliot, 1995. Read Music Matter: A New Philosophy of Music Education. New
York.
Encyclopedia Britaanica (versi elektronik), 2007.
Esten, Mursal, 1993. Struktur Sastra Lisan Kerinci. Pandang Panjang.
Garraghan, Gilbert J., S.J. 1957. A Guide to Historical Method. East Fordham
Road, New York: Fordham University Press.
Hanna, Judith Lynne, 1992. "Dance," Ethnomusicologv: An Introduction, Helen
Myers (ed.), W.W. Norton and Company, New York dan London."
Hanslick, Eduard. 1957. The Beautiful in Music. Edited and translated by Gustave
Cohen. New York: Liberal Arts.
Harsojo, 1971. Pengantar Antropologi. Jakarta: Bina Cipta.
Hendarsyah, M. Khadar, 2008. Ragam Budaya Kabupaten Subang:
Pendokumentasian Seni dan Budaya. Subang: Dinas Kebudayaan
Pariwisata,Pemuda, dan Olah Raga.
Holt, Claire, 1967. Art in Indonesia: Continuities and Changes. New York:
Cornell University Press.
Hood, Mantle, 1971.The Ethnomusicologist. New York: McGraw-Hill.
Kantor Pembangunan Desa, 1993-1994. Daftar Isian Potensi Desa. Pemerintah
Daerah Tingkat II Kabupaten Subang, Subang: Kantor Pembanguna
Desa.
316
Komasasmita, Deden, 1990. Kesenian Genjring Bonyok. Subang: Depdikbud
Kabupaten Subang, Kantor Kecamatan Pagaden.
Kubarsah, Ubun, 1995. Waditra. Bandung: CV Beringin Sakti.
Littlejohn, Stephen W., 2002. Theories of Human Communication. USA:
Wadsworth Group
___________________., 1989. Theories of Human Communication. Third
Edition. Belmont, California: Wadsworth Publishing Company.
Manoff, Tom, 1994. Music Kit. Terjemahan Mauly Purba. Medan: Jurusan
Etnomusikologi USU.
Murgiyanto, Sal, 1996. “Mengkaji Batas Kajian Seni Pertunjukan.” dalam
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Surakarta: Yayasan Bentang.
Hood, Mantle, 1957. “Training and Research Method in Ethnomusicology,”
dalam Ethnomusicology Newsletter Nomor 11.
Irawan, Endah, 1992. Analisis Tabeuhan Kendang pada Fenyajian Kesenian
Sisingaan di Kabupaten Subang Jawa Barat. Skrpsi Kesarjanaan Strata
1. Medan: Jurusan Etnomusikologi FS. USU.
Kayam, Umar, 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.
Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Antroplogi. Jakarta: Balai Pustaka.
Kostelanetz, Richard, 1988. Conversing with John Cage. New York: Limelight.
Kuntowijoyo, 1994. Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia. Yogyakarta: UGM
Press.
Lerner, Daniel, 1978. Memudarnya Masyarakat Tradisional. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada Press.
317
Malrn, Williari P.,1977. Music Culture of the Pacific, the Near East and Asia.
New Jersey: Prentice Ha.ll Inc. Englewood Cliffs.
______________., 1993. Kebudayaan Musik Pasifik, Timur Tengah, dan Asia.
Terjemahan M. Takari. Medan: Jurusan Etnomuskologi USU.
Meinsma, J.J., 1903. Serat Babad Tanah Jawi, Wiwit Saking Nabi Adam Dumugi
ing Tahun 1647. S'Gravenhage.
Moleong, Lexy J., 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung Rosdakarya.
Murgianto, Sal, 1996. "Cakrawala Pertunjukan Budaya:Mengkaji Batas dan Arti
Pertunjukan." dalam Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia th. VII.
Yogyakarta: MSPI dan Yayasan Benteng Budaya.
Merriam, Alan P., 1964. The Anthropology of Music. Chicago: North Western
Universit.y Press.
Muljana, Slamet, 2005. Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-
negara Islam di Nusantara. Jakarta: LKIS
Mustapa, Hasan, 2010. Adat Istiadat Sunda. Bandung: Alumni.
Nettl, Bruno, 1964. Theory and Methode ln Ethnomuslkology. New York:
McMillan Publishing, Co.Inc.
___________., 1973. Folk and Tradltional Music of Western Continent. New
Jersey: Prentice Hall.
___________., 1979. The Study of Ethnomuslcology: Twenty nlne Issues and
Concepts. Urbana and Chicago: Universit.y of Illionis Press.
Nuraeni, Neni, 1996. Pertumbuhan dan Perkembangan Kesenian Genjring
Bonvok di Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang. Bandung: STSI.
318
Peirce, Charles S., 1982. Writings of Charles Peirce: A Chronological Edition.
M.H. Fisch, E.C. More, C.J.W. Kloesel (eds.). Bloomington: Indiana
University Press.
_____________.,1956. The Collected Papers, 8 vols., Charles Hartshorne, Paul
Weiss, and Arthur W. Burks (eds.). Cambridge: Harvard University
Press.
Pelto, Pretti J.,1984, Anthropology Research: The Structure of Inquiry. New
York: Cambridge University Press.
Poerwadarminta, W.J.S. (ed.), 1990. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Rohidi, Tjetjep Rohendi, 2000. Kesenian dalam Pendekatan Kebudayaan.
Bandung: STSI.
Sachs, Curth dan Eric von Hornbostel, 1993. Klasifikasi Alat-Alat Musik.
Terjemahan Muhammad Takari dan Fadlin. Medan: Etno¬musikologi
USU.
Saini, K.M., 2001. Sastrawan Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Sedyawati, Edi, 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukkan. Jakarta: Sinar Harapan.
____________, 1980. Tari: Tinjauan dari Berbagai Segi. Jakarta: Pustaka Jaya.
____________, 1984. “Aspek-aspek Komunikasi Budaya yang Diekspresikan
dalam Tari.” Analisis Kebudayaan. (Tahun II) Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
319
____________,. 1993. Ke-Islaman dalam tari Indonesia. dalam Wan Abdul Kadir
& Zainal Abidin Borhan (pngr.) Fenomena 2. 60-80. Universiti Malaya:
Jabatan Pengajian Melayu.
Soedarsono, 1999. “Pendidikan Seni dalam Kaitannya dengan
Kepariwisataan."" Makalah Seminar dalam Rangka Penringatan Hari
Jadi Jurusan pendidikan Sendratasik ke-10 FPBS IKIP Yogyakarta, 12
Pebruari 1995)."
____________, 1972. Jawa dan Bali: Dua Pusat Perkembangan Drama Tari
Tradisional di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
____________, 1974. Dances in Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.
_____________, 1986. “Notasi Laban: Suatu Kemungkinan Sistem Notasi Tari
bagi Indonesia.” Pengetahuan Elementer Tari dan Beberapa Masalah
Tari. F.X. Sutopo Cokrohamijoyo (ed.). Jakarta: Direktorat Kesenian
Proyek Pengembangan Kesenian Jakarta, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Soepandi, Atik, dkk., 1993. Ragam Cipta: Mengenal Seni Pertunjukan Daerah
Jawa Barat. Bandung: Sempurna.
________________, 1976. Teori Dasar Karawitan. Bandung: PT Pelita Mas.
Soepandi, Atik, 1988. Kamus Karawitan Sunda. Bandung: Pustaka Buana.
Sudjiman, Panuti dan Aart Van Zoest (peny.) 1992. Serba-serbi Semiotik.
Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Sulendraningrat, P.S., 1981. Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon. Cirebon: t.
penerbit
320
Sumarjo, Jacob, 2000. Estetitka Paradoks. Bandung: ITB Press.
Supanggah, R. (ed.), 1995. Etnomusikologi. Surakarta: Yayasan Bentang Budaya,
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Suparlan, Parsudi, 2004. Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural.
Jakarta: UI Press.
Surakhmad, Winarno, 1990. Pengantar Penelitian Ilmiah. Jakarta: Tarsito.
Surjadi, 2010. Masyarakat Sunda: Budaya dan Problema. Bandung: Alumni.
Sutrisno, 2007. Manajemen Keuangan: Teori, Konsep, dan Aplikasi. Yogyakarta:
Penerbit ekonisia.
Tim Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Subang, 2010. Data
Organisasi Kesenian dan Jenis Kesenian di Kabupaten Subang. Subang
Jawa Barat.
Wahyudi, Asnan dan Abu Khalid M.A. tt. Kisah Wali Songo. Surabaya: Karya
Ilmu.
Waridi, 2001. Martopangrawit Empu Karawitan Gaya Surakarta. Surakarta:
Penerbit Mahavhira.
van den Berg, Lodewijk Willem Christiaan, 1886. Le Hadhramout et les colonies
arabes dans l'archipel Indien. Batavia: Impr. du Gouvernement.
321
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : Asep Nur Budi Umur : 42 Pekerjaan : Staff Disbudparpora Kab Subang Alamat : Komplek RSS Sidodadi Blok A no 76 Subang
2. Nama : Sutarja Umur : 66 Pekerjaan : Tani dan Seniman Alamat : Dusun Suka Sari Desa Cidadap-Subang
3. Nama : O. Wikanda Warman
Umur : 82 Pekerjaan : Pensiunan Penilik Kebudayaan Kab Subang Alamat : Jln Oto Iskandar Dinata Gg Rasidi No 25 Subang
4. Nama : Ogut
Umur : 42 Pekerjaan : Seniman Alamat : Desa Belendung kec cibogo kab Subang
5. Nama : Edih A.S
Umur : 80 Pekerjaan : Pensiunan Penilik Kabupaten Subang Alamat : Jl Panji No 56 Subang
6. Nama : Asep Ida Hidayat
Umur : 43 Pekerjaan : Staff Pengajar SMP IV Subang Alamat : Jln Otista Gg Rasidi No 25 Subang
7. Nama : Dulhatim
Umur : 72 Pekerjaan : Tani Alamat : Dusun Wajuh Desa Cidadap – Subang
8. Nama : Ahwi
Umur : 68
322
Pekerjaan : Tani dan Seniman Alamat : Desa Suka Sari desa Cidadap – Subang
9. Nama : Raden Deden Koma Sasmita Umur : 60 Pekerjaan : Penilik Kebudayaan Kec Pagaden kab. Subang Alamat : Pagaden
10. Nama : Robert
Umur : 25 tahun Pekerjaan : Seniman Alamat : Dusun Suka Sari Desa Cidadap - Subang
323
Bagan 4.2 Struktur Pertunjukan Genjring Bonyok
324
Bagan 4 .3 Struktur Pertunjukan Tardug
325
PEMUDA IDAMAN
Kelompok Tardug Ogut Transkripsi; Ade Herdiyat Saidul Irfan Hutabarat
326
327
328
329
330
331
332
333
334
335
336
337
338
339
340
341
342
343
344
345
346
347
348
349
350
Top Related