PENDAHULUAN
Pada dasarnya, gangguan tingkah laku adalah pola tingkah laku anak atau
remaja yang berulang dan menetap dimana terjadi pelanggaran norma-norma sosial
dan peraturan utama setempat. Gangguan tingkah laku tersebut mencakup perusakan
benda, pencurian, berbohong berulang-ulang, pelanggaran serius terhadap peraturan,
dan kekerasan terhadap hewan atau orang lain. Etiologi gangguan tingkah laku
meliputi psikodinamika, faktor sosial, dinamika keluarga,
pengelolaan jasmaniah yang tidak wajar dan biologis.1
Sebelum mengklasifikasikan adanya gangguan perilaku pada usia anak-anak
atau remaja, hal pertama yang harus kita lakukan adalah mengetahui apa yang
dianggap normal pada usia tersebut. Untuk menentukan apa yang normal dan apa
yang terganggu, khusus pada anak dan remaja yang perlu ditambahkan selain kriteria
umum yang telah kita ketahui adalah faktor usia anak dan latar belakang budaya.
Banyak masalah yang pertama kali teridentifikasi pada saat anak masuk sekolah.
Masalah tersebut mungkin sudah muncul lebih awal tetapi masih ditoleransi, atau
tidak dianggap sebagai masalah ketika di rumah. Kadang-kadang stres karena
pertama kali masuk sekolah ikut mempengaruhi kemunculannya (onset). Namun,
perlu diingat bahwa apa yang secara sosial dapat diterima pada usia tertentu, menjadi
tidak dapat diterima di usia yang lebih besar. Banyak pola perilaku yang mungkin
dianggap abnormal pada masa dewasa, dianggap normal pada usia tertentu.2
Gangguan pada anak-anak ini sering kali dikelompokkan dalam dua kelompok
yaitu eksternalisasi dan internalisasi. Gangguan eksternalisasi ditandai dengan
perilaku yang diarahkan ke luar diri, seperti agresivitas, ketidakpatuhan,
overaktivitas, dan impulsivitas. Gangguan internalisasi ditandai dengan pengalaman
dan perilaku yang lebih terfokus kedalam diri seperti depresi, menarik diri dari
pergaulan social, dan kecemasan, termasuk juga anxietas dan mood dimasa anak-
anak.2
Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis gangguan jiwa (PPDGJ)
– III, Gangguan Tingkah Laku (F.91) digolongkan dalam Gangguan Perilaku dan
Emosional dengan Onset Biasanya pada Masa Kanak dan Remaja, yang merupakan
salah satu gangguan yang dapat terjadi pada masa kanak, remaja, dan perkembangan.
Sedangkan berdasarkan DSM-IV, gangguan tingkah laku tergolongkan gangguan
eksternalisasi yang termasuk dalam kategori DSM-IV-TR bersama dengan Attention
Deficit and Hyperactivity Disorder (ADHD) dan gangguan sikap menentang (GSM).
DEFINISI
Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis gangguan jiwa (PPDGJ) –
III, gangguan perilaku pada masa anak dan remaja merupakan suatu golongan yang
disediakan untuk semua gangguan yang terjadi pada masa anak dan remaja yang
bersifat lebih menetap, mendalam, dan lebih sukar diatasi dibandingkan dengan
gangguan situasional sementara. Tetapi gangguan ini lebih ringan dari psikosa,
nerosa, dan gangguan kepribadian. Keadaan seperti ini disebabkan karena perilaku
pada usia tersebut masih berada dalam keadaan yang relatif mudah berubah-ubah.3
Perkembangan usia anak hingga dewasa dapat diklasifikasikan menjadi empat
yaitu :
a. Anak, seorang yang berusia di bawah 12 tahun
b. Remaja dini, seorang yang berusia 12 – 15 tahun
c. Remaja penuh, seorang yang berusia 15 – 17 tahun
d. Dewasa muda, seorang yang berusia 17-21 tahun
e. Dewasa, seorang berusia di atas 21 tahun.
Remaja adalah masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa. Para ahli
sependapat bahwa remaja adalah mereka yang berusia antara 13 tahun sampai dengan
18 tahun.2 Secara lebih spesifik, gangguan tingkah laku merupakan suatu pola
perilaku yang berulang dan menetap dimana hak dasar orang lain, peraturan atau
norma sosial yang sesuai dengan usianya dilanggar, seperti perkelahian atau
pelecehan yang berlebihan, pencurian, perusakan, kebohongan berulang, yang
berlanjut selama 6 bulan atau lebih, yang sering ditemukan selama masa anak-anak
hingga remaja.4
EPIDEMIOLOGI
Banyak anak yang mengalami gangguan tingkah laku juga menunjukkan
gangguan lain. Ada tingkat komorbiditas yang tinggi antara gangguan tingkah laku
dan ADHD. Sekitar 40% anak-anak dengan ADHD juga mengalami gangguan
tingkah laku. Hal ini terjadi pada anak laki-laki, namun jauh lebih sedikit yang
diketahui mengenai komorbiditas gangguan tingkah laku dan ADHD pada anak
perempuan. Penyalahgunaan zat juga umum terjadi bersamaan dengan gangguan
tingkah laku dimana dua kondisi tersebut saling memperparah satu sama lain.5
Gangguan tingkah laku didapatkan pada 6 - 16 % anak laki-laki dan 2 - 9 % anak
perempuan, di bawah usia 18 tahun. Insiden pada usia sekolah adalah 0,9% dan 8,7%
pada remaja. Berdasarkan penelitian longitudinal, kurang lebih 4-75% di antaranya
akan berkembang menjadi Gangguan Kepribadian Antisosial pada masa
dewasanya.1,5
Terdapat bukti bahwa anak laki-laki yang mengalami gangguan tingkah laku
dan komorbid dengan hambatan behavioral memiliki kemungkinan lebih kecil untuk
melakukan kejahatan dibanding mereka yang mengalami gangguan tingkah laku yang
komorbid dengan penarikan diri dari pergaulan sosial. Bukti-bukti menunjukkan
bahwa anak-anak perempuan yang mengalami gangguan tingkah laku beresiko lebih
tinggi untuk mengalami berbagai gangguan komorbid, termasuk kecemasan, depresi,
penyalahgunaan zat, dan ADHD dibanding dengan anak laki-laki yang memiliki
gangguan tingkah laku.4
ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO GANGGUAN TINGKAH LAKU
a. Faktor-faktor biologis.
Dalam tiga studi adopsi berskala besar di Swedia, Denmark, dan Amerika
Serikat, mengindikasikan bahwa perilaku kriminal dan agresif dipengaruhi oleh
faktor genetik dan lingkungan dimana faktor lingkungan pengaruhnya sedikit lebih
besar. Beberapa sifat kepribadian yang umum dapat diturunkan dari orangtua kepada
anaknya. Dari studi terhadap orang kembar mengindikasikan bahwa perilaku agresif
(a.l kejam terhadap hewan, berkelahi, merusak kepemilikan) jelas diturunkan,
sedangkan perilaku kenakalan lainnya (a.l mencuri, lari dari rumah, membolos
sekolah) kemungkinan tidak demikian. Dalam studi terhadap 10 pasangan kembar,
angka kriminalitas pada saat dewasa mencapai 50% untuk kembar monozigot, dan
20% untuk kembar dizigot. Sebaliknya, tujuh penelitian pada anak dengan perilaku
antisosial pada remaja menunjukkan angka yang tinggi, namun seimbang antara
kembar monozigot dan dizigot.1,3,6
Kelemahan neurologis, tercakup dalam profil masa kanak-kanak dari anak-
anak yang mengalami gangguan tingkah laku. Kelemahan tersebut termasuk
keterampilan verbal yang rendah, masalah dalam fungsi pelaksanaan (kemampuan
mengantisipasi, merencanakan, menggunakan pengendalian diri, dan menyelesaikan
masalah) dan masalah memori.2
Telah lama diketahui bahwa gangguan otak sperti trauma kepala, ensefalitis,
neoplasma, dan lain-lain dapat mengakibatkan perubahan kepribadian. Anak dengan
sindroma otak organik ini mungkin menunjukkan hiperkinesa, kegelisahan,
kecenderungan untuk merusak dan kekejaman.3
b. Faktor-faktor psikologis.
Teori pembelajaran yang melibatkan modelling dan pengondisian operant
memberikan penjelasan yang bermanfaat mengenai perkembangan dan berlanjutnya
masalah tingkah laku. Anak-anak dapat mempelajari agresivitas orang tua yang
berperilaku agresif. Anak juga dapat meniriu tindakan agresif dari berbagai sumber
lain seperti televisi. Karena agresi merupakan cara mencapai tujuan yang efektif,
meskipun tidak menyenangkan, kemungkinan hal tersebut dikuatkan. Oleh karena itu
setelah ditiru, tindakan agresif kemungkinan akan dipertahankan. Berbagai
karakteristik pola asuh seperti disiplin keras dan tidak konsisten dan kurangnya
pengawasan secara konsisten dihubungkan dengan perilaku antisosial pada anak-
anak.3,6
c. Pengaruh lingkungan
1. Orangtua: sikap orangtua terhadap anak mereka merupakan faktor yang sangat
penting bagi kepribadian anak itu. Perkawinan yang tidak bahagia atau perceraian
dapat menimbulkan kebingungan pada anak. Bila orangtua tidak rukun, maka sering
mereka tidak konsekuen dalam mengatur kedisiplinan dan sering mereka bertengkar
di depan anak. Sebaliknya, disiplin yang dipertahankan secara kaku dapat
menimbulkan frustasi yang hebat. Kepribadian orangtua sendiri juga sangat penting.3
2. Saudara-saudara: rasa iri hati terhadap saudara adalah normal, biasanya lebih nyata
pada anak pertama dan lebih besar antara anak-anak dengan jenis kelamin yang sama.
Perasaan ini akan bertambah keras bila orangtua memperlakukan anak-anak tidak
sama. Untuk menarik perhatian dan simpati orangtuanya, anak-anak tersebut bisa
menunjukkan perilaku yang agresif atau negativistik.3
3. Orang-orang lain di dalam rumah, seperti nenek, saudara orangtua atau peayan,
juga dapat memengaruhi perkembangan kepribadian anak.3
4. Teman-teman seusia. Penelitian mengenai pengaruh teman seusia terhadap agresi
dan antisocial anak-anak memfokuskan pada dua bidang besar, yaitu:
1) Penerimaan atau penolakan dari teman-teman seusia. Penolakan menunjukkan
hubungan yang kausal dengan perilaku agresif, bahkan dengan tindakan pengendalian
perilaku agresif yang terdahulu (Coie & Dodge, 1998).
2) Afiliasi dengan teman-teman seusia yang berperilaku menyimpang. Pergaulan
dengan teman seusia yang nakal juga dapat meningkatkan kemungkinan perilaku
nakal pada anak (Capaldi & Patterson, 1994).2,4
d. Faktor-faktor sosiologis. Tingkat pengangguran tinggi, fasilitas pendidikan yang
rendah, kehidupan keluarga yang terganggu, dan subkultur yang menganggap
perilaku kriminal sebagai suatu hal yang dapat diterima terungkap sebagai faktor-
faktor yang berkontribusi (Lahey dkk, 1999; Loeber & Farrington, 1998). Kombinasi
perilaku antisosial anak yang timbul di usia dini dan rendahnya status sosioekonomi
keluarga memprediksikan terjadinya penangkapan di usia muda karena tindakan
criminal (Patterson, Crosby, & Vuchinich, 1992).2,4
Gangguan perilaku lebih sering didapati pada anak-anak dari golongan sosio-ekonomi
tinggi atau rendah. Hal ini mungkin terjadi karena orangtua mereka terlalu sibuk
dengan kegiatan sosial (pada kalangan atas) atau sibuk dengan mencari nafkah (pada
kalangan bawah) sehingga lupa menyediakan waktu untuk berkomunikasi dengan
baik dengan anak-anak mereka.3
KRITERIA DIAGNOSIS
Berdasarkan DSM-IV-TR
Definisi gangguan tingkah laku pada DSM-IV-TR memfokuskan pada perilaku yang
melanggar hak-hak dasar orang lain dan norma-norma sosial utama. Tipe perilaku
yang dianggap sebagai simtom gangguan tingkah laku mencakup agresi dan kekejian
terhadap orang lain atau hewan, merusakkan kepemilikan, berbohong, dan mencuri.
Gangguan tingkah laku merujuk pada berbagai tindakan yang kasar dan sering
dilakukan yang jauh melampaui kenakalan dan tipuan praktis yang umum dilakukan
anak-anak dan remaja. Seringnya, perilaku ini ditandai dengan kesewenang-
wenangan, kekejian dan kurang penyesalan.6,7
Kriteria gangguan tingkah laku dalam DSM-IV-TR :
1. Pola perilaku yang berulang dan tetap yang melanggar hak-hak dasar orang lain
atau norma-norma sosial konvensional yang terwujud dalam bentuk tiga atau lebih
perilaku dibawah ini dalam 12 bulan terakhir dan minimal satu diantaranya dalam
enam bulan terakhir :
a. Agresi terhadap orang lain dan hewan, contohnya mengintimidasi, memulai
perkelahian fisik, melakukan kekejaman fisik kepada orang lain atau hewan,
memaksa seseorang melakukan aktivitas seksual
b. Menghancurkan kepemilikan (properti), contohnya membakar, vandalism
c. Berbohong atau mencuri, contohnya, masuk dengan paksa ke rumah atau mobil
milik orang lain, menipu, mengutil
d. Pelanggaran aturan yang serius, contohnya tidak pulang ke rumah hingga larut
malam sebelum usia 13 tahun karena sengaja melanggar peraturan orang tua, sering
membolos sekolah sebelum berusia 13 tahun
2. Disabilitas signifikan dalam fungsi sosial, akademik atau pekerjaan
3. Jika orang yang bersangkutan berusia lebih dari 18 tahun, kriteria yang ada tidak
memenuhi gangguan kepribadian anti sosial6,7
Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ)
– III. Berdasarkan PPDGJ-III, gangguan tingkah laku (F.91) dapat didiagnosis
berdasarkan beberapa pedoman.8
• Gangguan tingkah laku berciri khas dengan adanya suatu pola tingkah laku
dissosial, agresif atau menentang, yang berulang dan menetap.
• Penilaian tentang adanya gangguan tingkah laku perlu memperhitungkan tingkat
perkembangan anak. Temper tantrums, merupakan gejala normal pada perkembangan
anak berusia 3 tahun, dan adanya gejala ini bukan merupakan dasar diagnosis ini.
Begitu pula, pelanggaran terhadap hak orang lain (seperti tindak pidana dengan
kekerasan) tidak termasuk kemampuan anak berusia 7 tahun dan dengan demikian
bukan merupakan kriteria diagnostik bagi anak kelompok usia tersebut. Contoh-
contoh perilaku yang dapat menjadi dasar diagnosis mencakup hal-hal berikut:
perkelahian atau menggertak pada tingkat berlebihan; kejam terhadap hewan atau
sesama manusia; perusakan yang hebat atas barang milik orang; membolos dari
sekolah dan lari dari rumah; sangat sering meluapkan temper tantrum yang hebat dan
tidak biasa; perilaku provokatif yang menyimpang; dan sikap menentang yang berat
serta menetap. Masing-masing dari kategori ini, apabila ditemukan, adalah cukup
untuk menjadi alasan bagi diagnosis ini, namun demikian perbuatan dissosial yang
terisolasi bukan merupakan alasan yang kuat.
• Diagnosis ini tidak dianjurkan kecuali bila tingkah laku seperti yang diuraikan di
atas berlanjut selama 6 bulan atau lebih.8
Gangguan tingkah laku dapat digolongkan secara lebih spesifik lagi ke dalam
beberapa subtipe, antara lain:
F91.0 Gangguan Tingkah Laku yang Terbatas pada Lingkungan Keluarga
Pedoman Diagnostik
• Memenuhi kriteria F91 secara menyeluruh.
• Tidak ada gangguan tingkah laku yang signifikan di luar lingkungan keluarga dan
juga hubungan sosial anak di luar lingkungan keluarga masih berada dalam batas-
batas normal.8
F91.1 Gangguan Tingkah Laku Tak Berkelompok
Pedoman Diagnostik
• Ciri khas dari gangguan tingkah laku tak berkelompok ialah adanya kombinasi
mengenai perilaku dissosial dan agresif berkelanjutan (yang memenuhi seluruh
kriteria F91 dan tidak terbatas hanya pada perilaku membangkang, menentang, dan
merusak), dengan sifat kelainan yang pervasif dan bermakna dalam hubungan anak
yang bersangkutan dengan anak-anak lainnya.
• Tiadanya keterpaduan yang efektif dengan kelompok sebaya merupakan perbedaan
penting dengan gangguan tingkah laku yang “berkelompok” (socialized) dan ini
diutamakan di atas segala perbedaan lainnya.
• Rusaknya hubungan dengan kelompok sebaya terutama dibuktikan oleh
keterkucilan dari dan/atau penolakan ooleh, atau kurang disenanginya oleh anak-anak
ebayanya, dan karena ia tidak mempunyai sahabat karib atau hubungan empatik,
hubungan timbal balik yang langgeng dengan anak kelompok usianya. Hubungan
dengan orang dewasa pun ditandai dengan oleh perseisihan, rasa bermusuhan, dan
dendam. Hubungan baik dengan orang dewasa dapat terjalin (sekalipun biasanya
kurang bersifat akrab dan percaya); dan seandainya ada, tidak menyisihkan
kemungkinan diagnosis ini.
• Tindak kejahatan lazim (namun tidak mutlak) dilakukan sendirian. Perilaku yang
khas terdiri dari: tingkah lku menggertak, sangat sering berkelahi, dan (pada anak
yang lebih besar) pemerasan atau tidank kekerasan; sikap membangkang secara
berlebihan, perbuatan kasar, sikap tidak mau kerja sama, dan melawan otoritas;
mengadat berlebihan dan amarah yang tidak terkendali; merusak barang orang lain,
sengaja membakar, perlakuan kejam terhadap hewan dan terhadap sesama anak.
Namun ada pula anak yang terisolasi, juga terlibat dalam tindak kejahatan
berkelompok. Maka jenis kejahatan yang dilakukan tidaklah penting dalam
menegakkan diagnosis, yang lebih penting adalah soal kualitas hubungan personal-
nya.8
F91.2 Gangguan Tingkah Laku Berkelompok
Pedoman Diagnostik
• Kategori ini berlaku terhadap gangguan tingkah laku yang ditandai oleh perilaku
dissosial atau agresif berkelanjutan (memenuhi kriteria untuk F91 dan tidak hanya
terbatas pada perilaku menentang, membangkang, merusak) terjadi pada anak yang
pada umumnya cukup terintegrasi dalam kelompok sebayanya.
• Kunci perbedaan terpenting adalah adanya ikatan persahabatan langgeng dengan
anak yang seusia. Sering kali, namun tidak selalu, kelompok sebaya itu terdiri atas
anak-anak yang juga terlibat dalam kegiatan kejahatan atau dissosial (tingkah laku
yang tidak dibenarkan masyarakat justru dibenarkan oleh kelompok sebayanya itu
dan diatur oleh subkultur yang menymbutnya dengan baik). Namun hal ini bukan
merupakan syarat mutlak untuk diagnosisnya; bisa saja anak itu menjadi warga
kelompok sebaya yang tidak terlibat dalam tindak kejahatan sementara perilaku
dissosial dilakukannya di luar lingkungan kelompok itu. Bila perilaku dissosial itu
pada khususnya, merupakan penggertakan terhadap anak lain, boleh jadi hubungan
dengan korbannya atau beberapa anak lain terganggu. Perlu ditegaskan lagi, hal itu
tidak membatalkan diagnosisnya, asal saja anak itu memang termasuk dalam
kelompok sebaya dan ia merupakan anggota yang setia dan mengadakan ikatan
persahabatan yang langgeng.8
F91.3 Gangguan Sikap Menentang (Membangkang)
• Ciri khas dari jenis gangguan tingkah laku ini adalah berawal dari anak di bawah
usia 9 dan 10 tahun. Ditandai oleh adanya perilaku menentang, ketidak-patuhan,
perilaku provokatif dan tidak adanya tindakan dissosial dan agresif yang lebih berat
yang melanggar hukum ataupun melanggar hak asasi orang lain.
• Pola perilaku negativistik, bermusuhan, menentang, provokatif dan merusak
tersebut berlangsung secara berkelanjutan, yang jelas sekali melampaui rentang
perilaku normal bagi anak kelompok usia yang sama dalam lingkungan sosial-budaya
yang serupa, dan tidak mencakup pelanggaran yang lebih serius terhadap hak orang
lain seperti dalam kategori F91.0 dan F91.2. Anak dengan gangguan ini cenderung
sering kali dan secara aktif membangkang terhadap permintaan atau peraturan dari
orang dewasa serta dengan sengaja mengusik orang lain. Lazimnya mereka bersikap
marah, benci dan mudah terganggu oleh orang lain yang dipersalahkan atas
kekeliruan dan keulitan yang mereka lakukan sendiri. Mereka umumnya mempunyai
daya toleransi terhadap frustasi yang rendah dan cepat hilang kesabarannya.
Lazimnya sikap menentangnya itu bersikap provokatif, sehingga mereka mengawali
konfrontasi dan sering kali menunjukkan sifat kasar, kurang suka kerjasama,
menentang otoritas.8
F91.8 Gangguan Tingkah Laku Lainnya8
F91.9 Gangguan Tingkah Laku YTT
• Hanya digunakan untuk gangguan yang memenuhi kriteria umum untuk F91, namun
tidakmemenuhi kriteria untuk salah satu subtipe lainnya.8
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan fungsi kognitif, tingkat edukasi, dan pemeriksaan neuropsikologis,
sekalipun tidak menolong dalam mengkategorikan diagnosis, dapat memberikan
informasi penting mengenai fungsi linguistik, kognitif, motorik, dan edukasi dari
pasien. Data tersebut penting untuk merancang rencana terapi yang kmprehensif.6
DIAGNOSA BANDING
1. Gangguan aktivitas dan perhatian (ADHD)
ADHD dapat dikonsepkan sebagai gangguan kognitif/perkembangan, dengan onset
usia lebih muda dari gangguan tingkah laku. Anak dengan ADHD lebih menunjukkan
defisit pada perhatian dan fungsi kognitif, dan memiliki aktivitas motorik yang
meningkat, dengan abnormalitas perkkembangan neurologis yang lebih hebat.
Sedangkan anak dengan gangguan tingkah laku cenderung memiliki karakteristik
sifat agresi yang tinggi dan disfungi keluarga yang lebih hebat.5
2. Gangguan campuran tingkah laku dan emosi
3. Gangguan emosional dengan onset khas pada anak dan remaja
PENANGANAN GANGGUAN TINGKAH LAKU
Hal penting bagi keberhasilan dalam penanganan adalah upaya mempengaruhi
banyak sistem dalam kehidupan seorang remaja (keluarga, teman-teman sebaya,
sekolah, lingkungan tempat tinggal). Salah satu masalah yang dihadapi masyarakat
adalah bagaimana menghadapai orang-orang yang nurani sosialnya tampak kurang
berkembang.2
1. Intervensi keluarga, beberapa pendekatan yang paling menjanjikan untuk
menangani gangguan tingkah laku mencakup intervensi bagi orang tua atau keluarga
dari si anak antisosial. Gerald Patterson dan kolegannya mengembangkan dan
menguji sebuah program behavioral, yaitu Pelatihan Manajemen Pola Asuh (PMP),
dimana orang tua diajari untuk mengubah berbagai respon untuk anak-anak mereka
sehingga perilaku prososial dan bukannya perilaku antisosial yang dihargai secara
konsisten.6
2. Penanganan multisistemik (PMS). Intervensi ini memandang masalah tingkah laku
sebagai suatu hal yang dipengaruhi oleh berbagai konteks dalam keluarga dan antara
keluarga dan berbagai sistem sosial lainnya. Teknik yang dipergunakan bervariasai
meliputi Cognitive Behavioural Therapy (CBT), home-based interventions/sistem
keluarga, classroom-based behaviour modifications, dan manajemen kasus.2,5,6
3. Pendekatan kognitif, terapi dengan intervensi bagi orang tua dan keluarga
merupakan komponen keberhasilan yang penting, tetapi penangana semacam itu
banyak memakan biaya dan waktu. Oleh kerena itu, penanganan dengan terapi
kognitif individual bagi anak-anak yang mengalami gangguan tingkah laku dapat
memperbaiki tingkah laku mereka, meski tanpa melibatkan keluarga. Contoh:
mengajarkan keterampilan kognitif pada anak-anak untuk mengendalikan kemarahan
mereka menunjukan manfaat yang nyata dalam membantu mereks mengurangi
perilaku agresif. 2
4. Pengobatan Berbasis Rumah Sakit dan Rehabilitasi
Unit khusus untuk mengobati anak-anak dan remaja, terdapat di rumah sakit jiwa.
Pengobatan di unit-unit ini biasanya diberikan untuk klien yang tidak sembuh dengan
metode alternatif yang kurang restriktif, atau bagi klien yang beresiko tinggi
melakukankekerasan terhadap dirinya sendiri ataupun orang lain.2
Farmakoterapi
Gangguan tingkah laku dahulu dianggap resisten terhadap terapi farmakologis. Saat
ini, tiga penelitian telah selesai dilaksanakan. Satu menunjukkan efektivitas
penggunaan methylphenidate dalam menurunkan tingkat perlawanan,
pembangkangan, agresi, dan perubahan mood pada pasien dengan usia 5-8 tahun
yang didiagnosis dengan gangguan tingkah laku, dengan atau tanpa ADHD. Peneitian
lainnya menunjukkan efektivitas dari divalproat dalam menurunkan kemarahan dan
agresivitas pada usia remaja. Divalproat secara khusus efektif pada agresivitas yang
dipicu oleh stres post traumatik. Penelitian ketiga menunjukkan efektivitas dari
lithium dalam menurunkan agresivitas pada pasien usia remaja dengan gangguan
tingkah laku.6
PROGNOSIS
Gangguan tingkah laku di masa kanak-kanak tidak dengan sendirinya berlanjut
menjadi perilaku antisosial di masa dewasa, meskipun memang menjadi faktor yang
mempredisposisi. Studi baru-baru ini, menunjukkan bahwa meskipun sekitar separuh
anak laki-laki yang mengalami gangguan tingkah laku tidak memenuhi kriteria
lengkap bagi diagnosis tersebut pada pengukuran terkemudian (1-4 tahun kemudian),
hampir semuanya tetap menunjukkan beberapa masalah tingkah laku (Lahey
dkk.,1995). Beberapa individu tampaknya menunjukkan pola perilaku anti sosial
yang “tetap sepanjang hidup”, dengan masalah tingkah laku yang bermula di usia 3
tahun dan berlanjut menjadi kesalahan perilaku yang serius di masa dewasa.
Sementara itu, yang lain “terbatas di usia remaja”. Orang-orang tersebut mengalami
masa kanak-kanak yang normal, terlibat dalam perilaku antisosial dengan tingkat
yang tinggi selama masa renaja, dan kembali ke gaya hidup tidak bermasalah di masa
dewasa.1,5,6
Lahey, dkk (1995) menemukan bahwa anak laki-laki dengan gangguan tingkah laku
perilaku antisosialnya jauh lebih mungkin untuk berlanjut jika memiliki salah satu
orang tua yang mengalami gangguan kepribadian antisosial atau jika mereka memilki
kecerdasan verbal rendah. Interaksi beberapa faktor individual, seperti temperamen,
psikopatologi yang dialami orang tua, dan interaksi orang tua-anak yang
disfungsional, dan faktor-faktor sosiokultural, seperti kemiskinan, dan dukungan
sosial rendah, berkontribusi terhadap lebih banyaknya kemungkinan timbulnya
perilaku agresif di usia dini dengan sifat tetap.1,5,6
KESIMPULAN
Gangguan tingkah laku merupakan suatu pola perilaku yang berulang dan menetap
dimana hak dasar orang lain, peraturan atau norma sosial yang sesuai dengan usianya
dilanggar, seperti perkelahian atau pelecehan yang berlebihan, pencurian, perusakan,
kebohongan berulang, yang berlanjut selama 6 bulan atau lebih, yang sering
ditemukan selama masa anak-anak hingga remaja. Berdasarkan PPDGJ-III, gangguan
tingkah laku (F.91) digolongkan dalam Gangguan Perilaku dan Emosional dengan
Onset Biasanya pada Masa Kanak dan Remaja, yang merupakan salah satu gangguan
yang dapat terjadi pada masa kanak, remaja, dan perkembangan.
Gangguan tingkah laku dapat disebabkan oleh berbagai etiologi dan faktor resiko,
antara lain faktor biologis, faktor psikologis, pengaruh lingkungan yang mencakup
orangtua, saudara-saudara, dan teman-teman seusia, serta faktor sosiologis seperti
tingkat pendidikan dan keadaan sosio-ekonomi keluarga.
Gangguan tingkah laku didiagnosis berdasarkan PPDGJ III dengan gejala khas suatu
pola tingkah laku dissosial, agresif atau menentang, yang berulang dan menetap.
Contoh-contoh perilaku yang dapat menjadi dasar diagnosis mencakup hal-hal
berikut: perkelahian atau menggertak pada tingkat berlebihan; kejam terhadap hewan
atau sesama manusia; perusakan yang hebat atas barang milik orang; membolos dari
sekolah dan lari dari rumah; sangat sering meluapkan temper tantrum yang hebat dan
tidak biasa; perilaku provokatif yang menyimpang; dan sikap menentang yang berat
serta menetap. Perilaku seperti di atas harus sudah berlangsung selama minimal 6
bulan.
Penanganan gangguan tingkah laku meliputi intervensi keluarga, penanganan muti-
sistem yang meliputi meliputi Cognitive Behavioural Therapy (CBT), home-based
interventions/sistem keluarga, classroom-based behaviour modifications, dan
manajemen kasus, dan pendekatan kognitif. Pada beberapa kasus dibutuhkan
penanganan lebih jauh melalui unit khusus untuk mengobati anak-anak dan remaja
yang terdapat di rumah sakit jiwa. Pengobatan di unit-unit ini biasanya diberikan
untuk klien yang tidak sembuh dengan metode alternatif yang kurang restriktif, atau
bagi klien yang beresiko tinggi melakukankekerasan terhadap dirinya sendiri ataupun
orang lain. Farmakoterapi jarang digunakan untuk penanganan gangguan tingkah
laku, namun beberapa penelitian menunjukkan efektivitas penggunaan
methylphenidate divalproat, dan lithium dalam menurunkan agresivitas dan tingkat
perlawanan.
Beberapa individu akan berlanjut menjadi perilaku antisosial di masa dewasa,
sementara yang lain “terbatas di usia remaja”.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim. Childhood disorders: attention-deficit and disruptive behaviour disorders.
In: Kay J, Tasman A,eds. Essentials of psychiatry. England: John Wiley & Sons Ltd;
2006. p.321-6.
2. Nevid, Jeffrey S, dkk. Psikologi abnormal. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2006.
3. Maramis, WF. Gangguan perilaku anak. Dalam: Catatan ilmu kedokteran jiwa.
Cetakan ketujuh. Surabaya: Airlangga University Press; 1998. h.516-528.
4. Anonim. What is an emotional or behavioral disorder. Minneapolis: Pacer Centre.
2006. [serial online]. [cited 2010 June 17th]. Available from:
http://www.pacer.org/parent/php/PHP-c81.pdf
5. Anonim. Childhood disorders: attention-deficit and disruptive behaviour disorders.
In: First MB, Tasman A,eds. Clinical guide to the diagnosis and treatment of mental
disorders. England: John Wiley & Sons Ltd; 2006. p.49-56.
6. Nurcombe B, Baumgaertel A, Wolraich ML. Disorders usually presenting in
middle childhood (6–11 Years) or adolescence (12–18 Years). In: Ebert MH, Loosen
PT, Nucombe B,eds. Current diagnosis and treatment in psychiatry. USA: McGraw
Hill’s Company; 2007.
7. Anonim. Disruptive behaviour disorders. In: Sadock, James B, Alcott V,eds.
Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioural Sciences/Clinical
Psychiatry. 10th edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins Company; 2007
8. Maslim, R. Gangguan perilaku dan emosional dengan onset biasanya pada masa
anak dan remaja. Dalam: Buku saku diagnosis gangguan jiwa. Jakarta: PT Nuh Jaya;
2004. h.136-40.