GAMBARAN MASYARAKAT ERA DIGITAL DAN VISUAL
CULTURE PADA PUISI CYBER KARANGAN BERNARD
BATUBARA DI AKUN MEDIA SOSIAL STELLER BENZBARA_
Sebuah Pendekatan Sosiologi Sastra
Anggino Tambunan
Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Indonesia
Abstrak
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi memberi dampak besar di segala
aspek kehidupan, tidak terkecuali pada bidang kesusteraan. Puisi cyber atau puisi
internet, dewasa ini tampil dengan ciri khas masyarakat era digital dan masyarakat
yang lebih mengapresiasi tampilan ( visual culture). Karya sastra yang terdapat pada
media sosial Steller merupakan gambaran dunia kesusteraan dewasa ini yang tidak
lagi mengutamakan huruf-huruf melainkan tampilan foto dan video untuk
menguatkan citra teks. Steller memungkinkan seseorang untuk mengunggah teks,
foto,video sesuai keinginan penggunanya. Akun Steller milik penulis Bernard
Batubara tersegmentasi pada pembaca remaja yang merupakan kelompok pangguna
internet tertinggi. Data litbang Kominfo menunjukkan rentang usia 16-25 tahun
adalah pengguna internet dan media sosial terbanyak di Indonesia. Untuk
mengungkapkan relasi karya dengan zamannya; seperti realitas penulis, sasaran
pembaca, situasi pembaca, distribusi karya, publikasi karya, branding dan bentuk
apresiasi karya akan digunakan pendekatan sosiologi sastra. Makalah ini akan
memuat analisis unsur ekstrinsik puisi-puisi karya Bernard Batubara di akun Steller
BENZBARA_.
Kata kunci:
sosiologi sastra, sastra cyber, budaya visual, era digital, media sosial, remaja
Pendahuluan
Dewasa ini, perkembangan teknologi berdampak besar pada kehidupan manusia.
Jarak dan waktu tidak lagi membatasi seseorang dalam menyampaikan maupun
mendapatkan informasi di era digital dan keterbukaan informasi saat ini. Hadirnya
internet membuat setiap pribadi dapat membuat ruang-ruang tersendiri di dunia maya.
Setiap orang bebas mengunggah dan membaca apapun tanpa melalui proses tahap uji
sensor dan penyeleksian terlebih dahulu, termasuk munculnya karya sastra di internet.
Di dalam karya sastra interner (cyber), huruf bukanlah segala-galanya1. Unsur
tambahan seperti foto ataupun seni visual lainnya ditempelkan pada teks puisi untuk
menambahkan nilai baik. Asep Sambodja di dalam esainya pada buku Cyber Grafitti
menjelaskan lahirya sastra cyber di Indonesia diawali peluncuran laman
www.cybersastra.net dan kumpulan puisi Grafitti Gratitude yang disunting oleh
Cunong N.S., Medy Loekito, Nanang Suryadi, Sutan Iwan Soekri Munaf, dan Tulus
Wijanarko pada 9 Mei 20012.
Secara singkat di dalam perdebatan lahirnya sastra cyber, Asep Sambodja menilai
angkatan tua terlalu reaktif terhadap lahirnya sastra era baru (era digital). Saat itu
Sutardji menilai “taik yang dikemas secara menarik akan lebih laku ketimbang puisi
yang dikemas secara asal-asalan. Maman S. Mahayana menilai kata pengarang tidak
cocok melainkan penulis untuk mereka yang menulis sastra cyber. Adapun Ahmadun
Yosi Herfand mengatakan karya sastra internet merupakan tong sampah. Pendapat
ketiganya dianggap Asep Sambodja sebagai pelecehan generasi tua ke muda3.
Beralih dari perdebatan sastra cyber , dewasa ini setiap pribadi maupun kelompok
dapat dengan mudah mengunggah karya sastra mereka di mana pun dan kapan pun.
Laman dan blog pribadi menjadi sebuah media kreasi, kreatif dan publikasi massa.
1 Eka Budianta , Polemik Sastra Cyberpunk, halaman 193 2 Asep Sambodja , Polemik Sastra Cyberpunk, halaman 235 3 Ibid halaman 236-237
Pengunjung laman atau blog juga dapat memberikan apresiasi terhadap penulis.
Bentuk apresiasi dapat berupa mengomentari karya ataupun mengklik tombol like
(suka). Fungsi penerbitan, distribusi dan apresiasi pembaca sudah tercukupi.
Hambatan yang paling utama datang dari ketersediaan teknologi pendukung dalam
bersastra.
Di dalam makalah ini penulis akan menunjukkan gambaran masyarakat digital dan
masyarakat yang lebih mengapresiasi visual pada akun media sosial Steller milik
Bernard Batubara. Makalah ini akan memuat analisis unsur ekstrinsik puisi-puisi
karya Bernard Batubara di akun Steller BENZBARA_. Untuk mengungkapkan relasi
karya dengan zamannya; seperti realitas penulis, sasaran pembaca, situasi pembaca,
distribusi karya, publikasi karya, branding dan bentuk apresiasi karya akan
digunakan pendekatan sosiologi sastra.
Pendekatan Sosiologi Sastra
Pendekatan sosiologi sastra dilandasi pada gagasan bahwa sastra merupakan cermin
zamannya. Peran sosiologi sastra adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh
khayali dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan
asal-usulnya. Warren dan Wellek menilai penilaian ini sempit jika dilihat dari
kacamata idiologi tertentu, dalam hal ini marxisme4.
Daiches (1956) berpendapat bahwa pendekatan sosiologi sastra pada hakikatnya
merupakan pendekatan genetik: pertimbangan karya sastra dari segi pandangan asal-
usulnya, baik bersifat individu maupun sosial. Ia berpendapat nilai sosial tidak dapat
dipindahkan ke dalam nilai sastra. Sebuah karya belum tentu bernilai buruk bila ia
diciptakan dari masyarakat yang buruk. Adapun Swingewood (1972) tidak
sependapat dengan pandangan bahwa sastra sekadar bahan sampingan saja. Ia menilai
sastra diciptakan pengarang dengan menggunakan seperangkat peralatan tertentu.
4 Sapardi Djoko D., Modul FIB UI: Pengantar Sosilogi Sastra Indonesia, hal 9-10
Dari berbagai pandangan di atas, penulis menyimpulkan sastra merupakan cerminan
sebuah masyarakat. Selain itu, sebuah karya sastra diciptakan pengarangnya oleh
seperangkat peralatan tertentu. Sesuai dengan yang dikemukakan Daiches,
pendekatan sosiologis sastra merupakan pendekatan genetik: mempertimbangkan
asal-usul sebuah karya sastra.
Di dalam bukunya Pengantar Teori Sastra, A. Teeuw menjelaskan hubungan antara
seni dan kenyataan bukanlah hubungan searah, sebelah atau sederhana. Hubungan itu
selalu merupakan interaksi yang kompleks dan tak langsung: ditentukan oleh tiga
macam: konvensi bahasa, sosial-budaya, dan kesan manusia terhadap kaya sastra.
Antar manusia saling memengaruhi. Setiap pribadi berkembang dengan pengaruh
lingkungannya, mulai dari keluarga, pergaulan, pendidikan, apa yang dilihatnya,
didengarnya, di bacanya dan pengalaman hidup5
Peter Berger dan Thomas Luckmann dalam bukunya: The Social Contruction of
Reality menjelaskan kenyataan bagi manusia dalam kehidupan sehari-hari adalah
kenyataan yang dialaminya secara subyektif sebagai dunia yang bermakna dan
koheran: “Everyday life present itself as a reality interpreted by men an subjectively
menaningful to them as a cohenrant world (1976:31)6.
Remaja, Sastra Cyber, dan Visual Culture
Bagaimana kaitan sastra cyber dengan realitas masyarakat, dalam kasus ini
masyarakat era digital. Era digital adalah keniscayaan ditengah kemajuan pesat
teknologi komunikasi. Teknologi berasal dari dua kata: teknos dan logos. Teknos
adalah cara sedangkan logos adalah ilmu. Adapun di dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, teknologi ialah ilmu pengetahuan terapan yang membuat suatu hal menjadi
5 Mochtar Lubis, Sastra dan Tekniknya, halaman 17 6 A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, halaman 226
efisien dan praktis. Menurut Soekanto (1985) teknologi adalah perangkat tindakan-
tindakan antara lain alat, teknik dan pengetahuan untuk mencapai suatu tujuan7.
Alvin Toffler menjelaskan bahwa setiap jenis teknologi melahirkan lingkungan
teknologi—teknoser—yang khas. Teknologi informasi, sebagai bagian dari teknoser,
akan mewarnai infosfer—yakni, budaya pertukaran informasi di antara warga
masyarakat. Infosfer, pada gilirannya, akan membentuk dan merubah sosiosfer—
yakni norma-norma sosial, pola-pola interaksi, dan organisasi-organisasi
kemasyaraatan. Karena manusia adalah makhluk sosial, perubahan sosiofer akan
merubah cara berpikir, cara merasa dan cara berprilaku mereka –yakni, merubah
psikofer mereka8
Di era digital seseorang dipaksa untuk mulai menggunakan teknologi dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya dan lingkungannya sehingga teknologi pun menjadi
komoditi itu sendiri. Teknologi menjadi benda yang dekat dengan kehidupan sehari-
hari terutama teknologi komunikasi. Memasuki eradigital dan keterbukaan informasi,
teknologi komunikasi diproduksi secara besar-besaran.
Berdasarkan data kementrian Komunikasi dan Informasi pada periode 2009-2013,
akses internet oleh individu mengalami peningkatan dari 10,92% pada tahun 2010
menjadi 15,09% pada tahun 2013. Adapun data rumah tangga yang menggunakan
telepon kabel pada periode 2007—2013 mengalami penurunan dari 12,96% pada
7 Gumilar Soemantri dan Asep Suryana, Modul Sosiologi dan Alih Teknologi, halaman 12 8 Jallaludin rakhmat, Psikologi Komunikasi, halaman 197
tahun 2007 menjadi 15,09% pada tahun 20139.
Dari tabel di atas kita dapat mengetahui rentang pengguna 16—25 tahun adalah
pengguna internet terbanyak. Berdasarkan data di atas pasar remaja sangat
menjanjikan. Sasaran pasar ini akan memengaruhi bagaimana karya sastra cyber
disajikan dan disampaikan. Selain itu dapat pula memengaruhi tema yang ada pada
karya sastra cyber. Penggarapan tema disesuaikan dengan kehidupan remaja.
Produk kebudayaan popular tak akan pernah keluar dari kerangka selera massa.
Kondisi masyarakatlah yang akan membentuk produk kebudayaan popular, ini berarti
sosok remaja merupakan “komoditas” yang gampang dijual, sementara jumlah
kalangan remaja: besar dan potensial sebagai pembeli. Kebudayaan popular semacam
9 Diambil dari data BPS, Statistik 70 tahun Indonesia ;2015, halaman 195
film, musik, novel telah mengisi mekanisme pasar, tidak sekadar menyampaikan
pesan (massage) kesenian10.
Kemajuan teknologi pada kamera, desain, serta teknologi visual lainnya memberikan
kemudahan bagi siapapun untuk berkreasi. Visual Culture tumbuh kembang bersama
kebudayaan pupuler. Hadirnya aplikasi media sosial seperti youtube dan instagram
menjadi gambaran masyarakat visual. Pada awal tahun 2016 muncul aplikasi popular,
snapchat memungkinkan penggunanya dapat mengkreasikan wajahnya dengan
template unik yang ada di ponsel pintar. Hal ini membuktikan masyarakat kita
cenderung menyukai hal-hal yang visual.
For Nicholas Mirzoeff, visual culture is at once postmodern media and an increasing and intense
visuality of everyday life is the late twentieth century, as well as the analysis of those phenomena with
their extencesive global reach. But such assertions have been rebutted, as much by view that
contemporary culture is more textual than visual, and perceptions of ‘information culture’ as
invisible11.
Menurut Nicholas Mirzoeff budaya visual muncul pada era postmodern serta
merupakan peningkatan dan penggambaran yang inten dari gaya abad 20 akhir. Hal
ini sesuai dengan analisis dari fenomena global. Akan tetapi ada pandangan yang
membantah pandangan Nicholas Mirzoeff sebab ada anggapan bahwa budaya
kontemporer lebih tekstual ketimbang visual.
Apresiasi lebih pada visual membentuk puisi jenis yang lain, Eka Budianta dalam
esainya, menjelaskan puisi cyber tidak hanya mengandalkan huruf melainkan
tambahan visual agar memberikan kesan baik. Ambil contoh, Puisi Hujan Bulan Juni
cenderung disisipi foto pemandangan hujan yang sebenarnya. Selain itu, ada juga
penggalan puisi yang diunggah dengan menyertakan foto pengarangnya.
10 Ashdi Siregar, Kebudayaan Pop dalam Komoditas Indonesia, halaman 207 11 Deborah Cherry, Art: Histori: Visual: Culture, halaman 3
Salah satu media sosial yang dapat dimanfaatkan untuk menulis, berbagi, dan
membaca cerita dengan teks, foto dan video adalah Steller. Aplikasi ini pertama kali
diluncurkan pada 2014. Aplikasi ini dibuat oleh Karen Poole dan Brian McAniff. Di
Indonesia aplikasi ini baru populer setelah peluncurannya di Indonesia pada April
2016. Pengunduh aplikasi ini di Play Store hingga tanggal 30 September 2016 telah
mencapai angka lima puluh ribuan.
Steller dikembangkan oleh Mambo Labs Inc. Pihak pengembang mulai
mengembangkan pasar dengan menjangkau pasar di Indonesia. Di Indonesia terdapat
kanal khusus dengan tagar #StellerID. Acara #StellerID meet-up tersebut berlangsung
di Jakarta pada 23 Juli 2016. Setelah mendapat animo lebih di Indonesia, Steller
terus mengembangkan fitur teranyar untuk penggunanya12.
Penulis muda Bernard Batubara menggunakan aplikasi Steller sebagai media
publikasi puisi serta membranding diri untuk menjawab tuntutan eksistensi di era
digital. Di penerbit konvensional, Bernard Batubara telah menerbitkan novel antara
lain Milana (2013), Cinta (2013), Surat Untuk Ruth (2014), Jatuh Cinta Adalah Cara
Terbaik untuk Bunuh Diri (2014) Jika Aku Milikmu (2015) dan Metafora Padma
(2016).
Bernard Batubara lahir di Pontianak, 9 Juli 1989. Ia mulai menulis fiksi dan puisi
mulai pertengahan 2007. Beberapa puisi dan cerpen miliknya pernah dimuat di
majalah seni GONG, harian Kompas, Batam Pos, Koran Tempo, Suara Merdeka,
Jurnal Nasional, dan beberapa antologi bersama; Teka-teki tentang Tubuh dan
Kematian (puisi), Pedas Lada Pasir Kuarsa (puisi, Temu Sastrawan Indonesia II),
dan Mata (cerpen, Jurnal Cerpen Indonesia edisi 12).
12
http://tekno.kompas.com/read/2016/07/23/13330077/dapat.animo.tinggi.ini.rencana.steller.di.indonesia
di akses pada 28 September pukul 14.35
Berdasarkan data yang terdapat di akun Steller pribadinya, Bernard telah mengungah
karya puisi cyber sebanyak tiga belas puisi. Rata-rata jumlah tayangan (slide) pada
sebuah puisi cyber sebanyak lima belas tayangan. Adapun jumlah variasi kata yang
digunakan 737 kata.
Untuk membuktikan bahwa karya sastra yang terdapat di media sosial Steller Bernard
Batubara cerminan budaya visual dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Jumlah
terbanyak merupakan kategori teks puisi cyber yang disandingkan dengan foto atau
gambar. Di urutan kedua ialah kategori teks saja dan urutan terakhir ialah kategori
foto atau teks.
No. Judul Jumlah
Slide
Teks Gambar
/Foto
Teks dan
Gambar/Foto
Like Komentar
Pembaca
Balasan
Penulis
1. Belajar Melepaskan Cinta 17 8 3 6 241 8 0
2. Untuk Seorang Gadis yang
Ingin Bahagia
22 9 5 8 470 29 3
3. Untuk Seseorang yang
kuharap Kembali
23 6 4 13 493 6 1
4. Untuk seseorang perempuan
yang pergi
17 7 2 8 526 16 1
5. Kota Hujan Kota Senja 20 4 8 8 113 5 2
6. Untuk seorang Gadis yang
Patah Hati
16 6 2 8 364 10 2
7. Percakapan 20 10 0 10 230 5 2
8. Aku ingin mencintaimu dan
melupakanmu dengan
sederhana
17 4 0 13 450 16 10
Dari data di atas kita dapat juga menyimpulkan bahwa masyarakat umum dan para
remaja khususnya dewasa ini mengapresiasi hal-hal yang berkaitan visual. Perjalanan
sejarah, penemuan kamera dan teknologi visual membentuk sebuah entitas remaja
yang lebih mengapresiasi sesuatu yang berkenaan dengan visual seperti fotografi,
film, musik dan lainnya, termasuk karya sastra. Tampilan puisi dengan topografi unik
dianggap tidak lagi memberi kesan lebih suatu karya pada dewasa ini. Penambahan
foto ataupun karya gambar dapat memberi nuansa dan kesan kepada teks puisi.
Keseluruhan puisi milik Bernard Batubara bersifat komunikatif. Pesan yang hendak
disampaikan segera tersampaikan kepada pembacanya. Tidak banyak ditemukan
penundaan makna. Temuan ini mengindikasi karya sastra era digital harus ringkas
dan komunikatif sesuai dengan terminologi teknologi yang dijelaskan di awal
pembahasan. Hal ini dibuktikan dengan kata yang kerap muncul pada keseluruhan
teks puisi.
Kata yang Paling Banyak Muncul
No Kata Kemunculan Persentase kemunculan
9. Rencana 15 1 0 14 148 3 2
10. Jatuh ke Dalam langit 13 8 0 5 134 2 0
11. You Deserve not less than a
great love
14 7 3 4 110 1 0
12. Narasi Kecil di Pagi Hari 13 9 1 3 202 10 5
13. untuk seorang perempuan
yang memintaku menulis puisi
tentang bagaimana andai aku
adalah hujan
9 6 3 1 277 2 11
Jumlah 206 85 31 97 3758 112 38
1. aku 112 4.97%
2. yang 86 3.96%
3. kamu 63 2.80%
4. tidak 61 2.49%
5. dan 55 2.44 %
6. di 39 1.73%
7. ingin 30 1.33%
8. itu 30 1.33%
9. dengan 27 1.28%
10. cinta 24 1.06%
Jumlah keseluruan kata: 2554
Jumlah penggunaan kata: 737
‘Aku’ dan ‘kamu’ merupakan kata yang paling sering muncul. Pengarang memberi
kesan bahwa ‘Aku’ lirik sedang berkomunikasi dengan ‘kamu’ yang dapat bebas
diinterpretasikann pembaca; pembaca menjadi tokoh ‘kamu’ atau orang ketiga di luar
cerita. Penggunaan aku dan kamu membuat komunikasi menjadi lebih intim. Penutur
dalam hal ini pengarang diandaikan sedang berinteraksi dengan si mitra tutur yang
memiliki status usainya sebaya.
Tema keseluruhan puisi menyoal tentang hubungan percintaan. Hal ini dibuktikan
dari isi, penamaan dan judul puisi. Kata ‘cinta’ pun berada di urutan sepuluh kata
yang kerap digunakan Bernard Batubara. Hal ini membuktikan Steller memiliki
pangsa pasar remaja dan Bernard Batubara menyesuaikan karyanya. Ia membuat puisi
ringkas, lebih visual, dan tema yang dekat dengan remaja yaitu percintaan.
Pengunggahan karya di Steller sangat berbeda dengan mencetak buku di penerbit.
Penulis karya tidak mendapat royalti dari karyanya. Keuntungan yang didapat penulis
ialah untuk menaikkan popularitas dan meningkatkan eksistensi penulis tersebut di
dunia maya. Penulis dapat eksis di kalangan remaja yang merupakan kelompok
pengguna internet tertinggi. Hal ini dimanfaatkan Bernard Batubara untuk menarik
perhatian pembaca dan calon pembaca karya cetaknya.
Di akun twitternya, Bernard Batubara kerap membagikan tautan karya puisinya di
Steller. Pengikut akun twitternya dapat merespon kemudian respon tersebut akan
direspon balik oleh Bernard Batubara melalui komentar ataupun memfavoritkan
komentar pengikutnya. Hal sama juga dilalukan olehnya di media sosial Steller (lihat
kolom komentar dan like pada table di atas).
Selain Steller dan Twitter, Bernard Batubara juga memiliki laman pribadi yang bisa
diakses bebas sebagai jembatan dirinya dengan pembacanya. Bernard Batubara
merupakan penulis yang mampu melihat peluang masyarakat digital dan masyarakat
budaya visual sebagai sasaran pembaca karya novel cetaknya, terutama kalangan
remaja. Penulis sastra cyber pun harus menyesuaikan budaya dan membentuk kesan
yang ingin ditangkap orang lain.
Hal di atas sesuai pendapat Erving Goffman menyebut proses persona stimuli
berusaha menampilkan petunjuk-petunjuk tertentu untuk menimbulkan kesan tertentu
kepada penanggap sebagai impression management (pengolahaan kesan). Alat yang
digunakan untuk menampilkan diri ini di sebut front. Front terdiri dari latar,
penampilan dan gaya bertingkah laku13. Bernard Batubara di twitter mampu menjadi
penulis yang interaktif dan luwes berkomunikasi dengan pembacanya.
Kesimpulan
13 Jallaludin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, hal 96
Berdasarkan pembahasan di atas penulis dapat menyimpulkan dewasa ini karya sastra
cyber merupakan keniscayaan di era digital. Tidak ubahnya data, masyarakat
tenggelam dalam karya cyber. Sastra cyber tidak melalui tahap penyeleksian dan uji
sensor. Peran kritikus tidak ada melainkan muncul apresiasi berupa komentar atau
menyukai karya dengan mengklik tombol suka (like).
Kemajuan teknologi visual membentuk masyarakat cendrung mengapresiasi visual.
Tampilan visual mampu memberi kesan lebih kepada sebagian masyarakat. Steller
mampu mengakomodir kebutuhan dalam bercerita.. Karya yang ada pada akun Stelle
Bernard Batubara bersifat ringkas dan banyak memanfaatkan media visual berupa
foto dan gambar.
Pengguna internet tertinggi di Indonesia merupakan kelompok remaja yaitu rentang
usia 16—25 tahun. Kenyataan ini dimanfaatkan Bernard Batubara dalam membentuk
pasar pembaca. Puisi cyber Bernard Batubara di akun Steller miliknya berbicara
tentang percintaan. Adapun penyampaikan keseluruhan puisi cyber bersifat
komunikatif. Hal ini dibuktikan dengan kata yang paling sering muncul yaitu ‘aku’,
‘kamu’, ‘ingin’…, dan’cinta’.
Di era keterbukaan informasi dan era digital, penulis dituntut dapat menjadi
seseorang yang interaktif dengan pembacanya. Alur komunikasi antara penulis dan
pembaca tidak satu arah. Penulis dan pembaca dapat berkomunikasi secara interaktif.
Di dalam media Steller komunikasi penulis dan pembaca karya dapat malalui kolom
komentar yang disediakan. Pembaca juga bisa menilai karya baik atau tidak dengan
mengklik tombol suka (like).
Di dalam mendistribusikan karya penulis sastra cyber dapat memanfaatkan kanal
media sosial yang terhubung satu sama lain. Intensitas kemunculan penulis di dunia
digital menunjukkan eksistensi penulis di dunia nyata. Tingkah laku dan gaya
pembawaan seorang penulis di dunia maya memberikan kesan atau nilai branding di
dunia nyata.
Daftar Pustaka:
Cherry, Deborah. 2005. Art: Histori: Visual: Culture. London: Blackwell Publishing
ltd.
Hodkinson, Paul. 2011. Media, Culture and Society. London: Sage Publications ltd.
Ibrahim Idi Subandy. 2005. Lifestyle Ectasy Kebudayaan Pop Dalam
Masyarakat Komoditas Indonesia. Yogyakarta : Jalasutra
Rakhmat, Jalalludin. 2001. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Situmorang, Saut. 2004. Cyber Graffiti: Polemik Sastra Cyberpunk.
Yogyakarta: Penerbit Jendela
Somantri, Gumilar dan Asep Suryana. 2001. Modul Sosiologi Alih Teknologi.
Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
Wasono, Sunu, Sri Muniarti, dan Asep S. Sambodja. Pengantar Sosiologi
Sastra Indonesia. Depok: Program Studi Indonesia FIB UI.
Lampiran
Top Related