Gagal Ginjal Kronis
1. Definisi
Penyakit Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan
pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu
keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel pada
suatu saat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau
transplantasi ginjal.4 Glomerulonefritis dalam beberapa bentuknya merupakan
penyebab paling banyak yang mengawali gagal ginjal kronik. Kemungkinan
disebabkan oleh terapi glomerulonefritis yang agresif dan disebabkan oleh perubahan
praktek program penyakit ginjal tahap akhir yang diterima pasien, diabetes mellitus
dan hipertensi sekarang adalah penyebab utama gagal ginjal kronik.1 Uremia adalah
suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan
fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik, penyajian dan hebatnya tanda dan gejala
uremia berbeda dari pasien yang satu dengan pasien yang lain, tergantung paling tidak
sebagian pada besarnya penurunan massa ginjal yang masih berfungsi dan kecepatan
hilangnya fungsi ginjal 6,9.
Kriteria Penyakit Ginjal Kronik antara lain4 :
1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan
struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus
(LFG), dengan manifestasi :
o kelainan patologis
o terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi
darah dan urin atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m² selama 3 bulan
dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan dan LFG sama atau
lebih dari 60 ml/menit/1,73m², tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.
2. Klasifikasi 9
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar derajat
(stage) penyakit dan dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit
dibuat atas dasar LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcorft-Gault
sebagai berikut:
LFG (ml/menit/1,73m²) = (140-umur)x berat badan / 72x kreatinin plasma (mg/dl)*)
*) pada perempuan dikalikan 0,85
Klasifikasi tersebut tampak pada tabel 1:
Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit
Derajat Penjelasan LFG(ml/mnt/1,73m²)
1
2
3
4
5
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑
Kerusakan ginjal dengan LFG↓ ringan
Kerusakan ginjal dengan LFG↓ sedang
Kerusakan ginjal dengan LFG↓ berat
Gagal ginjal
> 90
60-89
30-59
15- 29
< 15 atau dialisis
Klasifikasi atas dasar diagnosis tampak pada tabel 2 :
Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas dasar Diagnosis Etiologi
Penyakit Tipe mayor (contoh)
Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular (penyakit otoimun,
infeksi sistemik, obat, neoplasia)
Penyakit vascular (penyakit pembuluh
darah besar, hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis
kronik, batu, obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin /
takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy
3. Epidemiologi 6,9
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit
ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini
meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta
diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara-negara
berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk
pertahun 6.
4. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit
yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang
lebih sama. Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi sisa nefron secara
struktural dan fungsional sebagai upaya kompensasi. Hipertrofi “kompensatori” ini
akibat hiperfiltrasi adaptif yang diperantarai oleh penambahan tekanan kapiler dan
aliran glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat akhirnya diikuti oleh
proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya
iikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif walaupun penyakit dasarnya
sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensinaldosteron
intrarenal ikut memberikan konstribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan
progesifitas tersebut. Aktivitas jangka panjang aksis renin-angiotensinaldosteron,
sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor ß.
Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit
ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat
variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun
tubulointerstitial.
Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik terjadi kehilangan daya
cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau
malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi
nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin
serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan
(asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai
pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan
lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di
bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti
anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,
pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti
infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan
terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan
keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan
terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi
pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi
ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.
5. Pendekatan Diagnosis
Gambaran Klinis 7,8,9,10
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes malitus, infeksi traktus
urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritomatosus
Sistemik (LES),dll.
b. Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual,muntah, nokturia,
kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost,
perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,
khlorida).
Gambaran Laboratorium 7,8,9,10
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan
penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar
kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan
kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalemia, asidosis metabolic
d. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria
Gambaran Radiologis 7,8,9,10
Pemeriksaan radiologis penyakit GGK meliputi:
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati
filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras
terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
c. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks
yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.
6. Penatalaksanaan Medis
Perencanaan tatalaksana (action plan) penyakit GGK sesuai dengan derajatnya, dapat
dilihat pada tabel 3 9.
Tabel 3. Rencana Tatalaksanaan Penyakit GGK sesuai dengan derajatnya
Derajat LFG(ml/mnt/1,73m²) Rencana tatalaksana
1 > 90 terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,
evaluasi pemburukan (progession)
fungsi ginjal, memperkecil resiko
kardiovaskuler
2 60-89 menghambat pemburukan (progession)
fungsi ginjal
3 30-59 evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 <15 terapi pengganti ginjal
Terapi Nonfarmakologis:9,10
a. Pengaturan asupan protein:
Tabel 4. Pembatasan Asupan Protein pada Penyakit GGK
LFG ml/menit Asupan protein g/kg/hari
>60 tidak dianjurkan
25-60 0,6-0,8/kg/hari
5-25 0,6-0,8/kg/hari atau tambahan 0,3 g
asam amino esensial atau asam keton
<60 0,8/kg/hari(=1 gr protein /g proteinuria
atau 0,3 g/kg tambahan asam amino
(sindrom nefrotik)
esensial atau asam keton.
b. Pengaturan asupan kalori: 35 kal/kgBB ideal/hari
c. Pengaturan asupan lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang
sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh
d. Pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dari kalori total
e. Garam (NaCl): 2-3 gram/hari
f. Kalium: 40-70 mEq/kgBB/hari
g. Fosfor:5-10 mg/kgBB/hari. Pasien HD :17 mg/hari
h. Kalsium: 1400-1600 mg/hari
i. Besi: 10-18mg/hari
j. Magnesium: 200-300 mg/hari
k. Asam folat pasien HD: 5mg
l. Air: jumlah urin 24 jam + 500ml (insensible water loss)
Terapi Farmakologis 6,7,8,9:
a. Kontrol tekanan darah
- Penghambat EKA atau antagonis reseptor Angiotensin II → evaluasi kreatinin dan
kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35%
atau timbul hiperkalemia harus dihentikan.
- Penghambat kalsium
- Diuretik
b. Pada pasien DM, kontrol gula darah → hindari pemakaian metformin dan obat-obat
sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM tipe 1 0,2 diatas
nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%
c. Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl
d. Kontrol hiperfosfatemia: polimer kationik (Renagel), Kalsitrol
e. Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l
f. Koreksi hiperkalemia
g. Kontrol dislipidemia dengan target LDL,100 mg/dl dianjurkan golongan statin
h. Terapi ginjal pengganti.
MANIFESTASI ORAL PADA PENYAKIT GINJAL KRONIS
Apabila aspek fungsional ginjal terganggu pada tahap terminal, maka fungsi ginjal
hampir tidak ada sehingga glomerulus filtration rate terus menurun dan retensi dari berbagai
produk buangan sistemik akan memberikan gambaran penyakit ginjal kronis pada rongga
mulut apabila kondisi tubuh dari azotemik menjadi uremik. Berikut merupakan manifestasi
penyakit ginjal kronis pada rongga mulut, yaitu :
(a). Oral Malodor / Bau Mulut Tak Sedap
Gejala yang paling sering muncul dan paling awal terjadi apabila ginjal gagal
berfungsi adalah oral malodor atau timbulnya rasa kecap logam akibat alterasi sensasi
pengecapan, terutama pada pagi hari. Rasa kecap logam ini berupa bau ammonia, dan kondisi
ini sering dialami oleh penderita yang menjalani hemodialisis. Uremic fetor atau ammoniacal
odor ini terjadi karena konsentrasi urea yang tinggi dalam rongga mulut, dan pecah menjadi
ammonia pada penderita dengan gejala uremia. 11
(b). Serostomia
Serostomia adalah kondisi mulut kering. Pada penderita ginjal kronis dan penderita
yang menjalani hemodialisis, gejala ini sangat sering dan signifikan. Hal ini sering terjadi
sebagai hasil dari manifestasi beberapa faktor seperti inflamasi kimia, dehidrasi, pernafasan
melalui mulut (Kussmaul’s respiration) dan keterlibatan langsung kelenjar salivarius,
restriksi konsumsi cairan, dan efek samping dari obat.11
Serostomia cenderung menambah kerentanan penderita terhadap karies dan inflamasi
gusi, kandidiasis, serta menyebabkan kesulitan berbicara, penurunan retensi gigi palsu,
kesulitan mastikasi, disfagia, dan gangguan penciuman. 11
(c). Plak, Kalkulus dan Karies.
Terdapat berbagai teori yang menentang hubungan antara efek dari penyakit ginjal
kronis terhadap pembentukan plak dan kalkulus. Dalam satu penelitian, serostomia akan
meningkatkan predisposisi penderita terhadap karies karena retensi produk urea serta
pengaliran dan produksi saliva yang sedikit. Proses dialisis dapat memperburukkan kondisi
rongga mulut di mana jumlah kalkulus meningkat, dan banyaknya dijumpai lesi karies.
Deposit kalkulus dapat bertambah akibat dari hemodialisis. 11
Namun menurut beberapa penelitian, hidrolisis urea akan menghasilkan konsentrasi
ammonia yang tinggi dan mengubah pH saliva menjadi basa pada penderita penyakit ginjal
kronis sehingga meningkatkan substansi fosfat dan ammonia dalam saliva dan hasilnya
kapasitas buffer yang tinggi disertai risiko karies menurun. Hal ini turut didukung oleh
peneliti, di mana hidrolisis urea mampu meningkatkan kapasitas antibakteri akibat
peningkatan urea nitrogen dalam saliva. Kebenaran teori ini terus diperkuat terutama pada
anak-anak walaupun konsumsi gula yang tinggi dan kurang penjagaan kesehatan rongga
mulut, risiko karies tetap rendah dan terkontrol. 11
Pembentukan kalkulus pada jaringan keras gigi berkaitan erat dengan gangguan
homeostasis kalsium-fosfor. Presipitasi kalsium dan fosfor yang didorong oleh pH yang
buruk pada penderita penyakit ginjal kronis karena hidrolisis urea saliva menjadi ammonia,
dimana ammonia berperan dalam menyebabkan pH menjadi basa. Secara langsung, retensi
urea akan menfasilitasi alkanisasi plak gigi, dan meningkatkan pembentukan kalkulus
terutama pada penderita yang menjalani hemodialisis. Selain itu, penderita yang menjalani
hemodialisis memiliki jumlah magnesium saliva yang sangat rendah. Pada kalkulus penderita
yang menjalani hemodialisis mengandung oksalat, dan pada kondisi uremia turut
menyebabkan retensi oksalat. 11
(d). Pembesaran Gusi
Pembesaran gusi skunder akibat penggunaan obat adalah manifestasi oral pada
penyakit ginjal yang paling sering dilaporkan. Hal ini dapat diakibatkan oleh cyclosporin
dan/atau calcium channel blockers. Prinsipnya mempengaruhi papila interdental labia,
walaupun kadang dapat menjali lebih luas, yaitu dengan melibatkan tepi gusi dan lidah serta
permukaan palatum. 11
(i) Pembesaran Gusi akibat Cyclosporin
Prevalensi pembesaran gusi pada orang yang mengkonsumsi cyclosporin masih belum
jelas, dan dilaporkan memiliki rentang yang luas dari 6 sampai 85%. Hal ini dapat terlihat
pada pemakaian cyclosporin dalam 3 bulan. Anak-anak dan remaja mungkin lebih rentan
terkena pembesaran gusi akibat cyclosporin dibandingkan dengan dewasa. Jika higienitas
mulut jelek, orang yang lebih tua juga rentan terkena pembesaran gusi. 11
Perbaikan pada higienitas mulut dan pembersihan secara profesional menghasilkan
pengurangan pembesaran gusi berhubungan dengan cyclosporin. Akan tetapi, ini mungkin
dikarenakan berkurangnya peradangan yang berhubungan dengan plak bukan karena
pembesaran gusi yang berhubungan dengan obat. 11
Gambar 1: Pembesaran Gusi akibat Cyclosporin. 11 (Sumber : Periodontology for the Dental Hygienist
3rd ed. 2007. Missouri:112)
(ii) Pembesaran Gusi akibat Calcium Channel-blocker
Prevalensi yang dilaporkan pembesaran gusi akibat penggunaan nifedipin bervariasi
dan terjadi pada 10 sampai 83% pada yang mengkonsumi obat ini. Tidak ada data penelitian
mengenai frekuensi pembesaran gusi yang diakibatkan oleh calcium channel-blocker lainnya.
Keberadaan plak gigi mungkin merupakan predisposisi terjadinya pembesaran gusi akibat
nifedipine. Tetapi itu tidak sangat berpengaruh dalam perkembangannya. Dosis dan durasi
pengobatan tidak berkaitan dengn prevalensi terjadinya pembesaran gusi. Beberapa penelitian
telah melaporkan penurunan pembesaran gusi setelah penggantian nifedipin dengan calcium
channel-bocker lain, tetapi obat-obat ini juga sebagian masih dapat menyebabkan pembesaran
gusi. 11
(e). Lesi Mukosa
Spektrum lesi mukosa yang luas dapat timbul pada rongga mulut tetapi lebih
cenderung terjadi plak atau ulserasi keputih-putihan, yang sering didapat pada penderita yang
menjalani transplantasi dan hemodialisis (Tabel 1). Plak ini disebut uremic frost (Gambar.2),
dan terjadi apabila sisa kristal urea terdeposit pada permukaan epitel dari evaporasi respirasi,
juga karena aliran saliva yang berkurang. Penyakit lichenoid juga dapat terjadi akibat efek
dari terapi obat, dan oral hairy leukoplakia yang juga dapat bermanifestasi sekunder dari efek
imunosupresi obat. 11
Tabel 1. Laporan lesi mukosa oral pada penyakit ginjal kronis.11
Stomatitis uremik perlu diperhatikan dan dapat muncul sebagai daerah berpigmentasi
putih, merah maupun keabuan pada mukosa oral. Pada stomatitis uremik tipe eritematous,
suatu lapisan pseudomembran keabuan yang akan melapisi lesi eritema dan lesi ini selalu
menyakitkan. Stomatitis uremik tipe ulseratif memiliki gambaran merah dan ditutupi lapisan
yang pultaceous. Secara umumnya, gambaran stomatitis uremik amat luas tetapi unik dan
tidak paralel secara klinis. Manifestasi klinis ini dapat terjadi akibat peningkatan nitrogen
yang membentuk trauma kimia secara langsung akibat gagal ginjal. 11
Gambar 2 : Uremic Frost pada penderita penyakit ginjal kronis pada sublingual. 11 (Sumber : Burket’s
Oral Medicine 11th ed. 2008. Hamilton:374)
(f). Perubahan Warna Mukosa
Mukosa rongga mulut penderita gagal ginjal sering terlihat lebih pucat. Hal ini
disebabkan karena pengaruh anemia dari penderita tersebut dan kondisi ini disebut pallor.
Gejala lain yang sering terlihat adalah warna kemerahan pada mukosa akibat deposit beta-
karotin. 11
(g). Keganasan Rongga Mulut
Risiko karsinoma sel skuamosa pada mulut pada pasien yang menerima hemodialisis
adalah sama dengan risiko pada populasi orang yang sehat, walaupun telah ada laporan yang
menunjukkan bahwa terapi yang menyertai tranplantasi ginjal merupakan predisposisi
kejadian displasia epitelial dan karsinoma pada bibir. Mungkin, Sarkoma Kaposi dapat
muncul pada mulut resipien transplantasi ginjal yang mengalami imunosupresi. Ada beberapa
laporan kejadian karsinoma sel skuamosa di daerah pembengkakan gusi yang disebabkan
penggunaan siklosporin. Tiap peningkatan risiko keganasan mulut pada pasien gagal ginjal
kronis mungkin menunjukkan efek imunosupresan iatrogenik, yang meningkatkan kejadian
tumor yang berhubungan dengan virus seperti sarkoma Kaposi atau limfoma Non Hodgkin.
Perkembangan tumor juga bisa berkaitan erat dengan penderita AIDS yang menderita
penyakit ginjal kronis, sebagai faktor risiko primer maupun sekunder. 11
(h). Infeksi Rongga Mulut
Infeksi rongga mulut pada penyakit ginjal kronis biasa lebih banyak terjadi pada
pasien yang menjalani transplantasi ginjal akibat menurunnya imunitas tubuh oleh obat-
obatan imunosupresan, juga pada beberapa pasien hemodialisis. Infeksi yang sering terjadi
adalah infeksi jamur dan virus. Angular cheilitis merupakan salah satu manifestasi infeksi
jamur dan terjadi 4% pada pada pasien yang menjalani transplantasi ginjal dan hemodialisis
yang dilaporkan pada suatu penelitian, dan juga lesi jamur lainnya pada rongga mulut, seperi
pseudomembranous (1.9%), erythemoatous (3.8%), dan chronic atrophic candidiosis (3.8%).
Sedangkan Infeksi virus pada penyakit ginjal kronis biasannya berupa infeksi hepres yang
pernah dilaporkan pada pasien yang menerima transplantasi ginjal, tetapi sekarang ini
penggunaan rejimen anti herpes telah mengurangi frekwensi kejadian tersebut. 11
Gambar 3 : a. Angular chelitis. b. Pseudomembranous. c. Erythematous. d. Chronic atrophic
candidosis. 11 (Sumber :Medscape)
(i). Kelainan Gigi
Beberapa kelainan struktur gigi seperti hipoplasia enamel, erosi gigi, peningkatan
mobiliti gigi, dan maloklusi dapat terjadi pada penderita penyakit ginjal kronis. Gigi lambat
tumbuh dilaporkan pada anak-anak dengan gagal ginjal kronis. Hipoplasi enamel pada gigi
susu maupun permanen dengan atau tanpa warnanya berubah menjadi coklat juga dapat
timbut akibat dari perubahan metabolisme kalsium dan fosfor. Selain itu, pada gigi penderita
tampak juga adanya erosi. Menurut beberapa penelitian, erosi yang parah pada gigi tersebut
merupakan hasil mual dan muntah setelah menjalani perawatan dialisis.11
Manifestasi klinis lain termasuk mobiliti gigi, maloklusi, dan kalsifikasi jaringan
lunak. Peningkatan mobiliti dan drifting pada gigi tanpa pembentukan kantung periodontal
yang patologis bisa terjadi dan dapat mengakibatkan pelebaran pada ligamen periodontal.
Apabila keadaan ini semakin berlanjut maka dapat terjadi maloklusi. 11
(j). Lesi Tulang Alveolar
Beragam jenis kelainan tulang dapat dijumpai pada penyakit ginjal kronis. Ini
menunjukkan bermacam jenis kelainan metabolisme kalsium, termasuk hidroksilasi dari 1-
hidroksikolekalsiferol menjadi vitamin D aktif, penurunan ekskresi ion hidrogen (dan 7
Gambar 3 : a. Angular chelitis. b. Pseudomembranous. c. Erythematous d. Chronic atrophic
candidosis. (Sumber :Medscape) asidosis yang diakibatkannya), hiperpospatemia,
hipokalsemia,dan hiperparatiroidisme sekunder yang diakibatkan, dan terakhir gangguan
biokimiawi pospat oleh proses dialisis. Hiperparatiroidisme sekunder mempengaruhi 92%
pasien yang menerima hemodialisis. Hiperparatiroidisme dapat berakibat antara lain menjadi
tumor coklat maksila, pembesaran tulang basis skeletal dan mempengaruhi mobilitas gigi.
Beberapa kelainan pada tulang yang lain antara lain adalah demineralisasi tulang, fraktur
rahang, lesi fibrokistik radiolusen, penurunan ketebalan korteks tulang, dan lain-lain. Sedang
pada gigi dan jaringan periodonsium antara lain, terlambat tumbuh, hipoplasi enamel,
kalsifikasi pulpa, penyempitan pulpa, dan lain-lain.11
PENATALAKSANAAN GIGI PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIS
Pasien yang menderita penyakit ginjal kronis memerlukan perawatan gigi yang
khusus, bukan hanya karena adanya hubungan antara sistemik dan rongga mulut tetapi karena
efek samping dan karasteristik dari perawatan yang diterima harus diperhatikan agar tidak
menambah beban dan rasa sakit pada penderita.11
Perawatan secara klinis yang teratur sangat penting untuk identifikasi dini dari
komplikasi rongga mulut dari penyakit ginjal. Perawatan yang diindikasikan adalah
perawatan periodontal yang teratur, dan non-bedah. Selain itu, meskipun memiliti tingkat
kebutuhan untuk perawtan gigi yang tinggi, kehadiran pasien ketempat perawatan gigi tidak
lebih baik dibandingkan mereka yang tanpa penyakit ginjal. 11
Dokter gigi harus membentuk komunikasi dengan dokter penyakit dalam, terutama
konsultasi dengan nefrologis untuk memberikan informasi mengenai status penyakit, jenis
pengobatan, dan waktu yang tepat untuk perawatan gigi, ataupun mengenai komplikasi
kesehatan apabila terjadi. Setiap adanya perubahan pengobatan yang digunakan oleh pasien
atau aspek lain dari pengobatan mereka harus dikonsultasikan terlebih dahulu dengan
nefrologis. 11
Kondisi hematologik yang paling membutuhkan perhatian adalah perdarahan yang
berlebihan dan anemia pada penyakit ginjal kronis sehingga disarankan agar tes hematologi
seperti darah rutin dan tes koagulasi dilakukan sebelum perawatan invasif dilakukan. Infeksi
rongga mulut harus dieliminasi dan profilaksis antibiotik harus dipertimbangkan apabila
risiko endokarditis infektif (pada penderita yang menjalani hemodialisis) dan septimia
meningkat. Contohnya, pada saat pencabutan gigi, perawatan periodontal dan bedah. Demi
mengurangi risiko perdarahan, perawatan dapat dijadwalkan pada hari setelah hemodialisis
supaya heparin dalam darah berada pada tingkat paling minimal. Sebelum perawatan dimulai,
tekanan darah penderita harus diperhatikan dan disaran untuk mengurangi perasaan cemas
pada penderita dengan sedasi. 11
Kebersihan mulut yang teliti dapat menurunkan plak yang berhubungan dengan
penyakit gusi, tetapi mungkin masih ada beberapa penyakit pembesaran gusi yang
diakibatkan oleh obat. Penatalaksanakan pembesaran gusi akibat efek obat idealnya adalah
dengan mengganti dengan obat lain, tetapi ini tidak selamanya dapat dilakukan, satu
penelitian melaporkan penggunakan obat kumur antimikrobial seperti metronidazole untuk
mengurangi pembesaran gusi, tetapi metronidazole juga dapat meningkatkan konsentrasi
siklosporin dan berpotensial untuk nefrotoksik. Rekurensi sering terjadi sehingga disarankan
agar melakukan kontrol plak yang efektif dan dapat dibantu dengan pemberian klorheksidin
glukonat topikal atau triklosan. 11
Daftar Pustaka :
1. Proctor R, Kumar N, Stein A, Moles D, Porter S. Oral and dental aspect of
chronic renal failure. Journal of Dental Research.2005; 84(3): 199-208.
4. Bhatsange A, Patil SR. Assessment of periodontal health status in patients
undergoing renal dialysis: a descriptive, cross-sectional study. Journal of Indian
Society of Periodontology.2012; 16(1): 41
6. Brenner BM, Lazarus JM. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 3 Edisi
13. Jakarta: EGC, 2000.1435-1443.
7. Mansjoer A, et al.Gagal ginjal Kronik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi 3.
Jakarta: Media Aesculapius FKUI, 2002.
8. Suhardjono, Lydia A, Kapojos EJ, Sidabutar RP. Gagal Ginjal Kronik. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta: FKUI, 2001.427-434.
9. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi
IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006.581-
584.
10. Tierney LM, et al. Gagal Ginjal Kronik. Diagnosis dan Terapi
KedokteranPenyakit Dalam Buku 1. Jakarta: Salemba Medika.2003.
11. Ginting, Andi Raga. 2010. Manifestasi Oral pada Penyakit Ginjal Kronis. Divisi
Nefrologi & Hipertensi - Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU.
Top Related