222
Prosiding Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial 2019
PSIKOLOGI SOSIAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0:
PELUANG & TANTANGAN
Fakultas pendidikan Psikologi, Aula C1, 4 Mei 2019
FRAME OF REFERENCE MASYARAKAT MADURA TENTANG KYAI:
PENELITIAN ETHNOGRAFI DI DESA X KABUPATEN SUMENEP
Patmawati Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Abstrak
Kyai merupakan sosok yang tidak hanya berperan sebagai pemuka/ahli agama, tapi juga
berpengaruh dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat. Pandangan tentang kyai, kepatuhan,
bentuk penghormatan, penilaian, perilaku yang ditunjukkan, adalah manifestasi dari frame of
reference tentang kyai. Perilaku ini dinilai khas, tidak nampak pada figur lainnya. Penelitian ini
untuk mendeskripsikan frame of reference tentang kyai melalui: a. Perilaku masyarakat terhadap
kyai, b. Pandangan tentang perilaku kyai, dan c. Penyebab timbulnya perilaku terhadap kyai.
Subyek penelitian ini adalah warga desa X, kabupaten Sumenep, Madura. Metode dalam
penelitian ini adalah etnografi, dengan teknik pengumpulan data melalui observasi dan wawancara
selama kurang lebih 3 bulan. Sumber data adalah sumber lisan, rekaman, dokumen, dan artefak.
Analisis data dilakukan sejak sebelum, selama, dan sesudah penelitian dengan teknik analisa
deskriptif kualitatif. Hasilnya, deskripsi frame of reference masyarakat tentang kyai adalah: a.
Perilaku yang hormat-sangat menghormati terhadap kyai, b. Kyai juga bisa salah, c. Diajari orang
tua dan dituntut lingkungan
Kata Kunci: frame of reference, kyai, Madura
Abstract
Kyai is a figure who does not only act as a religious leader/expert, but also influences various
sectors of people's lives. Views of kyai, obedience, forms of respect, judgment, behavior shown,
are manifestations of the frame of reference about kyai. This behavior is considered typical, not
visible to other figures. This study is to describe the frame of reference about kyai: a. Community
behavior towards kyai, b. Views on the behavior of kyai, and c. The cause of the behavior of the
kyai. The subjects of this study were residents of village X, Sumenep district, Madura. The
method in this study is ethnography, with techniques for collecting data through observation and
interviews for approximately 3 months. Data sources are oral sources, records, documents, and
artifacts. Data analysis was carried out before, during, and after research with qualitative
descriptive analysis techniques. The result, description of the frame of reference of the community
about clerics is: a. Respectful behavior - very respect for kyai, b. Kyai can also be wrong, c.
Parents are taught and demanded by the environment
Keyword: frame of reference, kyai, Madura
Madura terkenal sebagai suku yang
masyarakatnya agamis. Hampir 99 %
penduduknya memeluk agama islam; maka
tidak heran apabila kyai hampir selalu menjadi
rujukan dalam berbagai persoalan hidup.
Tradisi yang terkenal di kalangan masyarakat
Madura mengenai strata atau hirarki
penghormatan/kepatuhan seseorang terhadap
sosok-sosok yang berpengaruh dalam
kehidupannya, baik kehidupan pribadi maupun
kehidupan sosialnya, yaitu ada empat orang
yang harus dijadikan panutan oleh orang
madura, yaitu buppa’, babu’, ghuru, ratoh
(bapak, ibu, guru, dan raja). Artinya, orang tua
menempati level pertama sebagai orang yang
harus dihormati dan dipatuhi, kemudian
dilanjutkan dengan guru. Guru ini bisa berarti
ulama atau kyai, yang dipandang sebagai sosok
yang mempunyai ilmu agama yang lebih tinggi
dari masyarakat awam. Sedangkan raja, ini
yang aneh, tidak beralih kepada pemimpin
formal semacam camat, bupati, dan lain-lain;
tetapi hanya bergeser kepada para keturunan
raja dan para bangsawan. Menurut masyarakat
Madura, keempat pihak tersebut harus
dihormati dan dipatuhi secara mutlak. Tidak
223
Prosiding Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial 2019
PSIKOLOGI SOSIAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0:
PELUANG & TANTANGAN
Fakultas pendidikan Psikologi, Aula C1, 4 Mei 2019
menghormati, apalagi berkhianat, akan
menimbulkan celaka atau tola (kualat), baik
secara langsung maupun tidak langsung –menimpa anak cucu (Bisri, 1995). Tradisi ini
dilestarikan, diajarkan, secara terus-menerus
antar generasi. Proses pewarisan tradisi ini
dikenal dengan internalisasi –pembentukan
norma heteronom (dari luar –tradisi) menjadi
norma otonom –milik diri, sebagaimana yang
dijelaskan oleh para ahli yang mengikuti aliran
Baldwin (1864-1934).
Bagi masyarakat Madura, ulama atau kyai adalah
―kiblat‖ tempat mengembalikan segala persoalan agama maupun keduniaan untuk memperoleh
petunjuk dan persetujuannya –ini termasuk
pengembangan peran, di mana sebelumnya kyai
hanya dipandang sebagai orang ahli agama menjadi
semua permasalahan hidup. Masyarakat Madura
belum merasa pas dan yakin tentang hukum suatu
perbuatan jika belum mendapat fatwa, keterangan,
persetujuan, petunjuk, contoh, dan restu dari ulama
atau kyai; ini lebih karena mereka merasa bahwa
kyai mempunyai pengetahuan lebih yang berasal
dari Allah dan hasil belajar di pondok pesantren,
sedangkan mereka tidak demikian. Contoh nyata
dibutuhkannya fatwa kyai, adalah dalam hal
menerima program-program pemerintah seperti KB
(Bisri, 1990). Pun, jembatan Suramadu, sempat
mengalami kendala dalam pembangunannya karena
ulama/kyai yang tergabung dalam BASSRA
(Badan Silaturrahmi Ulama Pesantren Madura)
tidak menyetujui pembangunan jembatan tersebut.
(Usman, 2009). Kabar terbaru, presiden
menggratiskan tol jembatan Suramadu, karena
permintaan para ulama/kyai, dan tokoh masyarakat.
Fakta ini menunjukkan bahwa demikian sentralnya
peran ulama/kyai –dan pesantrennya sebagai basis
massa, dalam kehidupan masyarakat Madura.
Jumlah pesantren di Madura agak sulit untuk
diketahui secara pasti. Menurut data tahun 2003, di
Kabupaten Sumenep terdapat 261 lembaga
pesantren, 457 Madrasah Diniyah, 515 Madrasah
Ibtidaiyah, 142 Madrasah Tsanawiyah, dan 42
Madrasah Aliyah (dapat diperbandingkan bahwa di
Sumenep terdapat 737 Sekolah Dasar, 44 SMP, dan
23 SMU). Data ini menunjukkan bahwa jumlah
pendidikan keagamaan yang lazimnya mayoritas
berbasis pondok pesantren relatif lebih banyak.
Terkait dengan pola pendidikan pesantren ini, tak
ayal para santri tersebut cenderung menjadikan
kyai masing-masing sebagai panduan dalam
bersikap dan berperilaku.
Tidak hanya santri, kalangan awam juga
mempunyai rujukan kyai masing-masing. Mereka
mendatangi kyai untuk bertanya banyak hal, mulai
dari masalah keagamaan, memilih jodoh, bertanya
tanggal memulai bercocok tanam atau tanggal
panen, memilih partner kerja, kesembuhan, pilihan
politik, dan lain sebagainya. Hal ini pun dialami
oleh penulis sendiri yang memang berasal dari suku
Madura. Ketika belum bekerja, dan ketika akan
membuka usaha, diajaklah penulis oleh orang tua
penulis untuk nyabis kepada seorang kyai dengan
tujuan menanyakan tentang usaha yang akan
dijalankan dan meminta amalan untuk kelancaran
hajat/niatnya tersebut. Setiap kyai, memiliki cara
sendiri dalam memecahkan persoalan. Ada yang
dengan memberi jimat, rajah, perhiasan, ikat
pinggang berisi rajah/jimat, mendoakan/melalui
istikharah, amalan-amalan tertentu, meminta
bantuan jin, dan lain-lain.
Pandangan tentang kyai, kepatuhan atau ketaatan,
bentuk penghormatan, penilaian, bentuk perilaku
yang ditunjukkan, adalah manifestasi dari frame of
reference masyarakat tentang kyai. Frame of
reference adalah kerangka pedoman, norma, dan
sikap yang diperoleh dari interaksi dengan sebuah
kelompok tertentu atau berdasarkan pengalaman
hidupnya yang dikumpulkan di luar kelompok itu.
Tinjauan Teoritis
a. Frame of reference
Frame of reference oleh Wasesa (1986)
disebut kerangka acuan diartikan sebagai
suatu istilah relasional atau hubungan timbal
balik, yang tidak menunjuk soal atau fungsi
psikologis itu sendiri (misalnya, berpikir,
mengingat, berperilaku, merasakan, dan lain-
lain). Sebaliknya, berpikir, merasakan,
mengingat, dan sebagainya terjadi dalam
suatu hubungan yakni dalam kerangka acuan
dimaksud yaang terdapat pada seseorang atau
sebagai hasil interaksi antara berbagai fungsi
tersebut, yang berasal dari internal dan
eksternal individu. Dengan kata lain, jika
dalam proses psikologis hanya ada salah satu
unsur yang mendorong timbulnya perilaku,
misal sikap terhadap aborsi, maka tidak bisa
dikatakan perilaku seseorang itu sebagai
manifestasi dari frame of reference yang
dimilikinya mengenai hal tersebut, karena
tidak adanya relasi atau belum jelasnya relasi
yang terbentuk dengan faktor lain yang
mencakup faktor eksternal dan internal,
misalnya pengalaman masa lalu, interaksi
224
Prosiding Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial 2019
PSIKOLOGI SOSIAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0:
PELUANG & TANTANGAN
Fakultas pendidikan Psikologi, Aula C1, 4 Mei 2019
dengan orang lain, dan lingkungan. Setelah
timbul relasi, maka akan terjadi proses
penilaian, manakah di antara kedua faktor
(eksternal dan internal) yang lebih dominan?.
Selanjutnya, individu akan berperilaku
menurut pola yang terjadi akibat hubungan
kedua faktor tersebut. Jika faktor stimulus
(eksternal) lebih kuat atau lebih dominan,
maka individu akan berperilaku sesuai dengan
tuntutan stimulus tersebut, dan sebaliknya jika
yang terjadi adalah faktor internal yang lebih
kuat/dominan, maka individu akan
mempertahankan sikap dan pandangannya
sendiri. Dengan pengertian ini, nampak bahwa
perilaku yang muncul pada seseorang,
bukanlah hal yang serta-merta, melainkan
melalui proses yang simultan. Tentunya, ada
masa atau fase, kapan mulai terbentuknya
frame of reference ini pada seseorang.
Demikian pula, kerangka acuan tidak sama
atau tidak dapat dicampur adukkan dengan
sikap/norma sosial, kelompok acuan
(reference group) mungkin merupakan faktor
di dalam kerangka acuan pada suatu waktu
tertentu atau pada kondisi tertentu, di mana
kelompok acuan ini bisa bermacam-macam
jenisnya. Kekinian sekarang, kelompok acuan
tidak sekedar dalam dunia nyata, tetapi bisa
juga dunia maya di mana para anggota
kelompoknya bahkan mungkin belum pernah
bertemu. Jadi, kelompok acuan adalah suatu
kelompok di mana individu
mengidentifikasikan dirinya, bahkan bisa
sebagai mirror, di mana individu ingin
melihat ―seperti apa‖ dirinya dan ―bagaimana‖ individu ingin orang lain dalam dan luar
kelompok memandangnya. Reference group
ini bisa saja menjadi faktor eksternal yang
penting dalam pembentukan frame of
reference seseorang, karena dengan
mengidentifikasikan dirinya berarti individu
menyetujui aturan atau norma-norma
kelompok, gaya hidup, dan pandangan-
pandangan kelompok; sehingga individu
menginternalisasikan hal tersebut dalam
dirinya dan bisa saja pada suatu saat
mempengaruhi frame of reference individu
apabila faktor internal tidak cukup kuat untuk
mendominasi dalam penilaian atau
pengevaluasian terhadap suatu masalah
(Atkinson, dkk., 1991).
Jadi, frame of reference adalah kerangka
acuan yang memandu individu dalam
bertingkah laku pada suatu waktu tertentu
yang merupakan hasil interaksi antara faktor
eksternal (lingkungan, objek, orang-orang)
dan faktor internal (motif, sikap, emosi,
konsep dan pengalaman masa lalu).
b. Proses terbentuknya frame of reference
Sherif dan Hovland, 1960 (dalam Wirawan,
1992), menyebutkan bahwa dasar teorinya
adalah individu membentuk situasi yang
penting buat dirinya, sehingga individu dalam
hal ini tidak dikendalikan oleh situasi;
melainkan dirinya sendirilah yang
mengendalikan situasi. Selanjutnya, individu
melakukan penilaian terhadap situasi dan ia
membuat keputusan apakah ia akan
bertingkah laku sesuai dengan situasi dan
kondisi yang dihadapi (faktor eksternal)
ataukah ia akan bertingkah laku sesuai dengan
pertimbangan dirinya yang didapatkan dari
pengalaman masa lalu, motif, emosi, dan
sebagainya. Pembentukan situasi ini
mencakup faktor-faktor internal (sikap, emosi,
motif, pengaruh pengalaman masa lalu, dan
sebagainya) maupun eksternal (objek, orang-
orang dan lingkungan fisik). Interaksi antara
faktor ekstern dan intern ini menjadi frame of
reference setiap perilaku. Dapat disimpulkan,
bahwa setiap keputusan yang diambil terkait
dengan penggunaan frame of reference ini,
terjadi bargaining terhadap faktor resiko
akibat penggunaan frame of reference
tersebut, baik secara disadati maupun tidak
disadari. Misal, sekelompok masyarakat desa
yang berdasarkan frame of reference-nya
memutuskan untuk tidak menyukai seorang
kyai yang dihormati oleh keluarganya, maka
ia harus siap dengan resiko pertengkaran,
dikucilkan, atau bahkan adanya pemahaman
dari keluarga.
Tradisi buppa’, babu’, ghuru, ratoh (bapak,
ibu, guru, dan raja), tuntutan agama –di mana
dalam salah satu hadist menyebutkan bahwa
kyai adalah waratsatul anbiya’ (pewaris nabi)
sehingga harus dihormati, cara pandang
lingkungan keluarga dan masyarakat terhadap
kyai, figur kyai itu sendiri –menunjukkan
kelebihan atau bahkan ―kenyelenehan‖ yang justru meneguhkan posisinya sebagai
waliyullah, nilai-nilai positif yang didapatkan
dalam hal berinteraksi dengan kyai, sikap dan
225
Prosiding Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial 2019
PSIKOLOGI SOSIAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0:
PELUANG & TANTANGAN
Fakultas pendidikan Psikologi, Aula C1, 4 Mei 2019
motif diri; disinyalir sebagai beberapa faktor
yang membentuk frame of reference tentang
kyai.
c. Kyai
Menurut Subky (1995), kyai adalah gelar yang
diperoleh karena pemberian dari masyarakat,
biasanya berlangsung spontan, bukan karena
settingan. Tolok ukurnya adalah kemampuan
pengetahuan agamanya. Namun, pada
perkembangannya, gelar kyai tidak hanya
diberikan kepada orang yang mumpuni ilmu
agamanya. Orang yang lulus dari pesantren
juga disebut kyai, orang yang mengajar ngaji,
orang yang memberikan khotbah/ceramah,
bahkan paranormal atau ―orang pintar‖ juga disebut sebagai kyai.
Kyai menurut Ali (1999) dalam pengantar
buku ―Kyai Nyentrik Membela Pemerintah‖, menyebutkan bahwa sebutan kyai itu
dibedakan menjadi dua, pertama yang berasal
dari keturunan atau ascribed status, yaitu
seseorang bisa menjadi kyai karena ayahnya,
kakeknya, pamannya adalah kyai. Kedua,
sebutan kyai itu bisa diperoleh melalui
keandalan atau achieved status yang mana
sebutan kyai ini didapatkan karena potensi
keilmuan –banyaknya pengetahuan agama
yang dimilikinya, kearifan (ma‘rifat) dan kebijaksanaan dalam memecahkan persoalan-
persoalan kehidupan dalam masyarakat, yang
bahkan tidak bisa dipecahkan oleh pihak lain.
Kyai dalam penelitian ini mengacu pada
pengertian dari Ali (1999), dan di luar konteks
penyebutan kyai yang berarti sesuatu
obyek/subyek yang dianggap memiliki
kekuatan di luar ―kewajaran‖. d. Frame of reference tentang kyai
Frame of reference tentang kyai adalah
seperangkat kerangka acuan yang memandu
individu untuk berperilaku terhadap kyai yang
merupakan hasil dari interaksi antara faktor
eksternal (lingkungan –keluarga, obyek –kyai,
tradisi, orang-orang –pola interaksi) dan
faktor internal (motif individual dan sosial
dalam berperilaku terhadap kyai, sikap
terhadap kyai, emosi –sikap suka atau benci
terhadap kyai, konsep tentang kyai, dan
pengalaman masa lalu yang berkaitan dengan
kyai).
Frame of reference tersebut menghasilkan
perilaku, di antaranya: sangat menghormati
terhadap kyai, menunduk dengan sikap penuh
tawadhu’ ketika berbicara dengan kyai,
mempercayai bahwa kyai memiliki dan bisa
memberikan barokah, takut celaka bila
melanggar perkataan kyai, memuliakan kyai
dan menganggapnya sebagai sosok yang
nyaris tanpa cela, dan perilaku-perilaku yang
menunjukkan penghormatan lainnya.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, dan
bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengetahui
frame fo reference tentang kyai dan faktor
pembentuknya. Cara untuk mendalami masalah
dalam penelitian ini adalah menggunakan metode
etnografi, yaitu model penelitian kualitatif yang
bertujuan untuk mendapatkan gambaran atau
menggambarkan karakteristik budaya yang
terdapat dalam diri individu atau sekelompok
orang, sebagai anggota dari sebuah kelompok
masyarakat kultural (Hanurawan, 2016).
Spradley (1979) mengatakan bahwa inti etnografi
adalah sebuah usaha yang memfokuskan pada
makna-makna tindakan atau perilaku dari berbagai
peristiwa yang terjadi pada orang atau
sekelompok orang yang ingin kita pahami. Atau,
bagaimana individu dapat berperilaku sesuai
dengan kelompoknya (masyarakat). Sedangkan
Creswell (2014) menjelaskan etnografi adalah
suatu cara untuk mendesain sebuah penelitian
kualitatif, di mana penelitinya berfokus kepada
upaya-upaya untuk mendeskripsikan dan
menafsirkan kesamaan pola dari nilai, perilaku,
keyakinan, dan bahasa dari suatu kelompok
berkebudayaan sama.
Subyek penelitian diambil secara snow ball, di
mana dari satu orang subyek, berkembang hingga
30 subyek yang memenuhi ciri-ciri yang sudah
ditetapkan. Adapun pembatasan ciri-cirinya adalah
sebagai berikut:
a. Tinggal dan menetap di desa tersebut,
sekurang-kurangnya selama 15 tahun dari usia
0 tahun
b. Berusia di atas 17 tahun
c. Pernah mengenyam pendidikan formal (lulus
SD, SMP, SMU, dan PT)
d. Pernah bertamu/menemui kyai
Pada studi awal, dilakukan studi literatur dan
pemilihan setting. Studi literatur dilakukan untuk
melacak konstruk teori yang terkait dengan Frame
of reference tentang kyai sebagai bekal untuk
226
Prosiding Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial 2019
PSIKOLOGI SOSIAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0:
PELUANG & TANTANGAN
Fakultas pendidikan Psikologi, Aula C1, 4 Mei 2019
mendesain penelitian yang akan dikembangkan
lebih lanjut.
Menurut Bogdan dan Taylor, (1982), menentukan
setting penelitian berkaitan dengan tempat, pelaku,
serta kegiatan. Dalam hal ini, kriteria yang dapat
dijadikan pegangan seperti yang diajukan adalah
tempat yang dipilih harus dapat dipercayai sebagai
pengambilan data secara menyeluruh dan
mendukung tujuan penelitian yang hendak dicapai.
Selain itu, orang yang akan dijadikan subjek
penelitian juga harus benar-benar mendukung dan
bersedia berpartisipasi. Berkaitan dengan hal
tersebut, maka Bogdan dan Taylor (1982, p.67)
menganjurkan agar seorang peneliti juga menjaga
hubungan baik dengan informan dan tidak menjaga
jarak dengan informan sehingga tercipta suatu
situasi yang wajar. Situasi yang wajar, akan
menghasilkan respon yang alamiah, sehingga data
yang didapat mendekati situasi yang sebenarnya
dan dapat mengungkap masalah-masalah yang
sedang kita teliti.
Lokasi penelitian adalah desa X, kabupaten
Sumenep, Madura. Desa X dipilih karena
berdasarkan observasi peneliti, adalah desa yang
heterogen dalam hal sikap, pandangan, maupun
perilaku terhadap kyai. Desa X terbagi atas tiga
dusun, yaitu dusun A, dusun B, dan dusun C.
Dusun A, dihuni oleh orang-orang yang sebagian
besar rajin sholat berjamaah ke musholla –di mana
ketika penulis berkunjung ke dusun tersebut, baik
selama masa penelitian, sebelum maupun
sesudahnya, hampir seluruh orang tua dan anak-
anak penghuni dusun, berjamaah ke musholla pada
waktu maghrib; anak-anaknya kebanyakan
disekolahkan di pondok pesantren –hanya 3 anak
yang disekolahkan di sekolah umum, sementara
jumlah KK ada sekitar 30 KK dengan 2-3 anak
setiap KK, dan sering menghadiri acara-acara
kajian di pondok pesantren.
Dusun B, dihuni oleh orang-orang yang justru
kurang rajin sholat berjamaah –dalam amatan
penulis, setiap waktu sholat berjamaah tiba, jumlah
jamaahnya jarang mencapai 20 orang, dengan
jumlah KK sekitar 40 KK dengan anggota keluarga
rata-rata 3-4 orang; meskipun masjid besar desa ini
berada di dusun tersebut. Anak-anak warga yang
menghuni di dusun ini, mayoritas sekolah di
sekolah umum. Hanya ada 2 orang yang menimba
ilmu di pondok pesantren, itu pun terhitung
pendatang (bukan warga asli). Namun, beberapa
warga masih mempunyai hubungan yang dekat
dengan kyai –jika ada hajatan (contoh: acara
pernikahan), masih sering mengundang kyai.
Dusun C, hampir tak ada bedanya dengan dusun B,
dan hanya sekitar 3 orang saja dari seluruh
penghuni dusun (kurang lebih 600 orang) yang
pernah mengenyam pendidikan di pondok
pesantren. Selain itu, juga terdapat basecamp
kesenian khas Madura di dusun ini, yaitu Ludruk.
Sebuah pentas drama semacam topeng orang, yang
semua pemainnya adalah laki-laki. Pun yang
memerankan tokoh perempuan.
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah
masyarakat yang tersebar pada tiga dusun tersebut
dan tokoh masyarakat (Kepala Desa). Data
dikumpulkan dengan teknik observasi dan
wawancara mendalam (depth interview) dan
gabungan keduanya. Selain itu, juga digunakan
dokumen, dan artefak. Artefak ini di antaranya
berupa benda-benda yang dipercayai mempunyai
kekuatan magis dan gambar/lukisan orang alim-
ulama (kyai) di rumah warga yang menjadi sumber
penelitian.
Data dalam penelitian ini berupa deskripsi
mendalam atas aktivitas subjek berdasarkan
perspektif subjek, bukan peneliti. Peneliti
melakukan refleksi dengan informan terhadap sikap
terhadap kyai, ucapan tentang kyai, dan tindakan-
tindakan yang menunjukkan kyai sebagai acuannya
dalam bersikap, bertingkah laku, dan mengambil
keputusan. Data dibandingkan antara satu subyek
dengan subyek lainnya, sehingga terjadi penafsiran
inter-subyek. Hasil penafsiran ini selanjutnya
dihubungkan dengan kerangka teori yang telah
dibangun untuk mendapatkan jawaban dari
permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini.
Untuk mengungkap permasalahn yang ada, penulis
menggunakan teknik analisis kualitatif etnografi.
Proses analisis data dilakukan terus-menerus, baik
di lapangan maupun setelah dari lapangan. Analisis
data dilakukan dengan cara mengatur, membuat
urutan data, mengelompokkan data, melakukan
coding, dan mengkategorikan data. Setelah itu,
baru dicari tema budaya yang kemungkinan
menjadi fokus atau tujuan penelitian. Fokus dan
tujuan penelitian ini diperdalam melalui
pengamatan dan wawancara berikutnya. Dalam
analisis ini, yang berbicara adalah data dan peneliti
tidak melakukan penafsiran. Jika terdapat
penafsiran, hal tersebut merupakan hasil
pengamatan dan interpretasi informan.
Dalam penelitian ini proses analisis data dilakukan
sejak sebelum memasuki lapangan, selama di
227
Prosiding Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial 2019
PSIKOLOGI SOSIAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0:
PELUANG & TANTANGAN
Fakultas pendidikan Psikologi, Aula C1, 4 Mei 2019
lapangan dan setelah selesai di lapangan. Sugiyono
(2006), berpendapat ―In qualitative research is an
ongonging activity that occurs throught out the
investigativeprocess rather than after process‖. Jadi, analisis data kualitatif berlangsung selama
proses pengumpulan data, bukan setelah
pengumpulan data. Sebelum memasuki lapangan,
dilakukan oleh penulis sendiri yang notabene
adalah warga setempat, namun pada usia 14 tahun
telah pindah tempat tinggal ke kabupaten lain.
Proses analisis dapat dijelaskan bahwa analisis
kualitatif ini terdiri dari tiga alur kegiatan yang
terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data (data
reduction), penyajian data (data display), dan
penarikan kesimpulan/conclution. Komponen
analisis data model interaktif ini merupakan upaya
berlanjut, berulang, dan terus-menerus. Reduksi
data, penyajian data, dan konklusi sebagai
rangkaian kegiatan analisis yang saling susul-
menyusul.
Reduksi data adalah proses memilih, memusatkan
perhatian, dan transformasi data kasar dari catatan-
catatan lapangan. Mereduksi data berarti
merangkum, memilih hal-hal pokok, memusatkan
perhatian pada hal yang penting, dan mencari tema
dan pola. Melalui proses reduksi ini,
penyederhanaan data dilakukan, kemudian
ditransformasikan melalui seleksi, ringkasan
ataupun uraian singkat, meringkas, dan seterusnya.
Setelah data direduksi, alur selanjut-nya adalah
penyajian data (data display) (Miles dan
Huberman, 2007).
Reduksi data adalah bagian dari analisis. Reduksi
data merupakan suatu bentuk analisis yang
mempertajam, membagi data dalam golongan-
golongan tertentu, mengarahkan data sesuai
tujuan/maksud penelitian, membuang data yang
tidak relevan, dan mengorganisasi data dengan cara
sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan
finalnya dapat ditarik dan diverifikasi. Dengan
―reduksi data‖, data kualitatif dapat disederhanakan dan transformasikan dalam aneka macam cara,
yakni: melalui seleksi yang ketat, melalui ringkasan
atau uraian singkat, menggolongkan-nya dalam
satu pola yang lebih luas, dan sebagainya.
Men-display atau menyajikan data merupakan
kegiatan mengumpulkan informasi serta
menyusunnya sehingga dapat memberikan
gambaran pola hubungan antardata. Hal ini
memungkinkan peneliti untuk penarikan
kesimpulan dan pengambilan tindakan berdasarkan
hasil penyusunan data tersebut. Dalam penelitian
kualitatif, penyajian data dapat disajikan dalam
bentuk uraian singkat, gambar, hubungan
antarkategori, dan sebagainya.
Setelah reduksi data, langkah berikutnya dalam
analisis kualitatif adalah penarikan kesimpulan dan
verifikasi (Miles dan Huberman, 2007), atau
disebut juga conclusing/drawing, yaitu kesimpulan
dalam penelitian kualitatif yang masih bersifat
sementara, dan akan sangat tergantung kepada data
yang ditemukan di lapangan. Apabila tidak
ditemukan data-data yang mendukung kesimpulan
sementara tersebut, maka tidak akan berubah dan
dinilai sebagai kesimpulan yang tepat.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Desa X adalah sebuah desa yang terletak di
kabupaten Sumenep, tepatnya di wilayah di mana
pintu masuk ke kota Sumenep berada. Bisa
dikatakan, bahwa desa X ini termasuk pinggiran
kota. Luas desa X sekitar 1200 m2, terdiri dari tiga
dusun (A, B, C), dengan batas-batasnya adalah
sebagai berikut:
a. Dusun A dan dusun B, dibatasi oleh sebuah
sungai
b. Dusun B dan dusun C, dibatasi oleh tambak
ikan dan tambak garam yang cukup luas
Dari gambaran perbatasan wilayah dusun tersebut,
dapat disimpulkan bahwa jarak antara satu dusun
ke dusun lain terhitung cukup jauh. Sedangkan
perbatasan dengan wilayah lain adalah sebagai
berikut:
a. Sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan
Saronggi
b. Sebelah utara berbatasan dengan desa Patean
dan desa Gung-gung (masuk wilayah kota
Sumenep)
c. Sebelah barast berbatasan dengan desa Sendir,
d. Sebelah timur berbatasan dengan desa Karang
Anyar
Lokasi geografis desa X yang berada di wilayah
pertengahan antara kota kecamatan dan kota
kabupaten, membuat desa X memiliki ciri-ciri
masyarakat pinggiran kota atau urban fringe yang
terjadi sebagai akibat penetrasi kota ke desa, yaitu
masuknya produk, nilai kekotaan, perilaku, gaya
hidup, dan lain-lain yang berasal dari kota.
Dari hasil observasi penulis di lapangan,
didapatkan hasil untuk mata pencaharian penduduk
desa X, sebagian besar (sekitar 60 %) adalah
sebagai petani, baik di sawah milik sendiri maupun
menggarap sawah milik orang lain. 20 % sebagai
pemilik dan penggarap tambak ikan (udang) dan
garam, dan sisanya adalah pedagang, peternak,
228
Prosiding Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial 2019
PSIKOLOGI SOSIAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0:
PELUANG & TANTANGAN
Fakultas pendidikan Psikologi, Aula C1, 4 Mei 2019
pegawai negeri, tukang ojek, dan ragam pekerjaan
lainnya. Seorang petani, bisa juga ia adalah pemilik
tambak, dan sekaligus pedagang. Peningkatan
pendapatan terjadi apabila musim tambak ikan tiba.
Orang tua dan anak muda, banyak yang bekerja di
tambak; sehingga hampir tidak ada orang usia
produktif yang menggangur di desa ini.
Jumlah penduduk desa X pada saat penelitian ini
dilakukan adalah sekitar 1.400 orang, dengan
pendapatan rata-rata sebesar Rp. 250.000,- per
bulan, sebagaimana diungkapkan oleh Bapak MJ,
Kepala Desa X. Tingkat pendidikan rata-rata
adalah SR (Sekolah Rakyat –setingkat SD pada
jaman dahulu), dengan perincian:
a. Aktif sekolah SD = + 150 orang
b. Aktif sekolah SMP = + 50 orang
c. Aktif sekolah SMU = + 50 orang
d. Aktif kuliah di PT = + 5 orang
e. Lulusan SR/SD = + 300 orang
f. Lulusan SMP = + 25 orang
g. Lulusan SMU = + 50 orang
h. Lulusan PT = + 5 orang
i. Sisanya adalah tidak sekolah, lulusan pondok
pesantren (nyantri), dan balita.
Data ini didapatkan dari penuturan lisan Kepala
Desa X, dalam proses wawancara.
Pelaksanaan penelitian dilakukan dalam dua tahap:
1. Wawancara kepada 28 orang subyek penelitian,
mulai tanggal 2 Agustus – 30 September 2002.
2. Observasi, mulai Juli – Agustus 2002
Salah satu hasil interview yang cukup menarik
dengan bapak AS, ketika ditanya apa
pandangannya tentang kyai dan bagaimana
perilakunya terhadap kyai tersebut, adalah sebagai
berikut:
―Kyai bagi saya adalah panutan. Tempat bertanya
banyak hal, tetapi sebelum nyabis kepada kyai,
terlebih dahulu saya bicarakan masalahnya dengan
istri. Apapun keputusan kami berdua, ketika itu
tidak sejalan atau tidak sesuai dengan petunjuk
kyai, maka akan kami abaikan. Kami akan lakukan
sebagaimana petuah kyai, karena petuah itu
diperoleh berkat kedekatan kyai dengan gusti
Allah. Namun, tidak semua kyai itu baik. Kyai
sudah mulai terjun ke dunia politik, dan itu
membuat wibawanya berkurang. Menurut saya,
politik dekat dengan hal-hal duniawi dan kurang
tepat kalau kyai berkecimpung di dalamnya.
Alhamdulillah, kyai panutan saya tidak terjun ke
politik. Itu kyai yang benar dan saya sangat
menghormati kyai yang demikian. Setiap bertemu
dengan kyai, saya akan bersalaman sambil
mencium tangannya karena saya percaya kyai itu
mempunyai barokah‖. Bapak AS adalah salah seorang warga desa X yang
berdiam di dusun A.
Lain lagi pernyataan dari bapak K, beliau adalah
warga desa X yang bermukim di dusun B. Berikut
kutipannya:
―Saya menghormati kyai sebagaimana mestinya,
karena secara adat, kyai memang harus dihormati.
Dihormati karena ilmunya lebih dari saya yang
orang awam. Saya tidak pandang usia, bagi saya
kyai muda atau yang sudah sepuh sama saja. Saya
menghormati keduanya. Kalau bersalaman pun
mencium tangan. Namun, kyai tetap manusia biasa
yang bisa kuga berbuat salah; hanya mungkin
salahnya tidak berat seperti kita-kita yang awam
ini, karena ya itu tadi ... ilmunya banyak‖. Sedangkan ibu S yang bermukim di dusun A desa
X mengungkapkan hal ini:
―Kyai itu orang pilihan, dia pasti tidak pernah
berbuat salah. Semacam ada perlindungan. Beda
dengan kita yang orang biasa. Kalaupun di mata
kita salah, itu sesungguhnya tidak. Pasti ada tujuan
dari perbuatan salahnya. Kalau kita yang salah kan
ya memang beneran salah. Saya biasanya nyabis ke
dalemma (rumah –bahasa Madura halus, untuk
menunjukkan penghormatakyai, tapi bertemu
dengan n) nyai (sebutan untuk istri kyai)‖. Berbeda dengan Sdr. R, yang adalah lulusan sebuah
perguruan tinggi dan bermukim di dusun B.
menurut R, kyai adalah manusia biasa yang
mungkin lebih berilmu dari orang pada umumnya.
Ia menghormati kyai, sebagaimana penghormatan
pada orang yang lebih tua. Tidak ada yang
istimewa. Jika petunjuk kyai menurutnya salah,
maka ia memilih untuk mengabaikan dan
mengikuti keyakinannya sendiri.
Sedangkan Sdr. SJ, yang bermukin di dusun C,
mengungkapkan pernyataan yang tidak jauh
berbeda dengan Sdr. R. Kyai dihormati sebagai
perilakunya benar. Apalagi sekarang gampang
menjadi kyai. Cukup pernah mondok, jadi guru
ngaji, sudah dipanggil kyai. Kyai tidak lagi
―keramat‖ seperti dulu yang memang dipercaya punya kesaktian yang membuatnya disegani, selain
ilmu agamanya yang tinggi. Bertemu dengan kyai
yang sepuh, Sdr. SJ mengaku akan mencium
tangannya, namun jika kyai tersebut masih
seusianya atau lebih tua sedikit, ia akan bersalaman
biasa saja (tanpa cium tangan).
Hasil reduksi data dari interview yang dilakukan
dan penyajiannya, adalah sebagai berikut:
229
Prosiding Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial 2019
PSIKOLOGI SOSIAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0:
PELUANG & TANTANGAN
Fakultas pendidikan Psikologi, Aula C1, 4 Mei 2019
Tabel 1. Gambaran tentang frame of reference
subyek penelitian mengenai kyai
Definisi Kyai Jml Penilaian
terhadap kyai
Jml
Kyai adalah panutan 9 Semua kyai baik 13
Kyai adalah orang
yang pandai agama
16 Tidak semua
kyai adalah baik
15
Kyai adalah orang
yang ―berilmu‖
3
TOTAL 28 28
Alasan 46% subyek menganggap semua kyai baik
adalah karena tidak pernah mendengar kyai berbuat
salah dan kyai itu selalu menyebarkan pertolongan
dan kebaikan. Sedangkan 54% subyek lainnya
menilai tidak semua kyai baik adalah karena
sekarang banyak kyai yang terjun ke dunia politik,
kyai sama dengan manusia biasa, dan pernah
mendengar bahwa ada kyai sesat.
Rentang pendidikan 46 % subyek tersebut rata-rata
adalah pernah sekolah atau lulusan SR/SD, dan
SMP. Sedangkan 54 % subyek, tingkat
pendidikannya adalah SMP, SMU, dan PT.
Tabel 2. Gambaran tentang frame of reference
masyarakat desa X mengenai kyai
Tanggapan terhadap
kyai Jml
Sikap terhadap
kyai Jml
Kyai tidak pernah
salah 9 Menghormati 12
Kyai bisa saja berbuat
salah 19 Biasa-biasa saja 11
Sangat
menghormati 5
TOTAL 28 28
Alasan 32% subyek penelitian menilai kyai tidak
pernah salah adalah karena meyakini bahwa apapun
yang dilakukan kyai pasti untuk kebaikan.
Sedangkan 68% subyek penelitian menganggap
kyai bisa saja berbuat salah adalah walaupun
seorang kyai, harus melihat situasi dan kondisi
serta menghargai hak asasi manusia. Sebagai
contoh adalah ketika warga nyabis bersama-sama,
ada kyai yang tiba-tiba mengungkapkan aib salah
seorang di antara mereka. Mungkin tujuan kyai itu
baik, supaya malu dan jera; tetapi tetap saja itu
melanggar hak karena tanpa ijin orang yang aibnya
dibuka.
Ditelisik lebih jauh, dari 68% subyek yang menilai
kyai juga bisa berbuat salah, rentang tingkat
pendidikannya adalah SD/SR – PT, namun dari
32% subyek yang tidak meyalahkan kyai,
semuanya berpendidikan SR/SD.
Untuk sikap terhadap kyai, 60.7% dari subyek
penelitian berada pada rentang menghormati dan
sangat menghormati, sedangkan sisanya bersikap
biasa-biasa saja terhadap kyai. 60.7% subyek
penelitian tersebut, menghormati dan sangat
menghormati kyai karena beberapa alasan, yaitu
karena menghormati kyai adalah kewajiban, kyai
secara adat memang harus dihormati, kyai adalah
guru, agar dapat barokah dari kyai, dan karena kyai
derajatnya lebih tinggi dari manusia biasa.
Sedangkan yang biasa-biasa saja terhadap kyai,
mengungkapkan alasannya bersikap demikian
adalah karena kyai sama saja dengan manusia pada
umumnya, kecewa karena kyai banyak yang terjun
di dunia politik, dan jarang bertemu dengan kyai
sehingga merasa tidak telalu kenal bagaimana
perilaku kyai tersebut.
Tabel 3. Proses terbentuknya frame of reference
subyek penelitian tentang kyai
Faktor Keterangan Jml Ttl
Lingkungan
Sangat menghormati
kyai
14
28
Biasa-biasa saja 14
Keluarga
Sangat menghormati
kyai
14
28 Biasa-biasa saja 7
Heterogen/campuran 7
Faktor ajar
Diajari untuk bersikap
hormat pada kyai
20
28 Tidak diajari untuk
bersikap hormat pada
kyai
8
Contoh orang
tua
Sangat menghormati
kyai
20
28
Biasa-biasa saja 8
Menarik untuk dicermati dari paparan data pada
Tabel 3 di atas, bahwa mulai dari orang tua,
keluarga, dan lingkungan berada dalam rerata 61%
dalam hal mengajari dan memberikan contoh
kepada subyek penelitian untuk menghormati kyai.
230
Prosiding Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial 2019
PSIKOLOGI SOSIAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0:
PELUANG & TANTANGAN
Fakultas pendidikan Psikologi, Aula C1, 4 Mei 2019
Tabel 4. Bentuk Perilaku Subyek sebagai Manifestasi
Frame of Reference tentang Kyai
Bentuk
Perilaku
Keterangan Jml Ttl
Intensitas dalam
meminta
petunjuk kyai
Selalu meminta
petunjuk
10
28 Jarang meminta
petunjuk
4
Tidak pernah meminta
petunjuk
14
Ketika
menghadapi
masalah
Konsultasi pada kyai 7
28
Konsultasi kepada
keluarga, lalu kepada
kyai
10
Konsultasi ke keluarga
saja
3
Konsultasi kepada
teman
6
Konsultasi ke orang lain 1
Minta petunjuk kepada
Allah
1
Mencium
tangan ketika
bersalaman
Karena kyai lebih tua
(adat-istiadat)
9
28
Agar mendapat barokah 11
Kyainya berwibawa 2
Tanda hormat 2
Tanda bakti, karena
agama
2
Jarang cium tangan 2
Pembelaan
terhadap kyai
Menyadari hak orang
lain untuk tidak
menyukai kyai
22
28 Marah dan membela
kyai yang tidak disukai
oleh orang lain
6
Tabel 4 memetakan beberapa bentuk perilaku nyata
yang ditujukan kepada kyai, dalam kehidupan
keseharian subyek penelitian. 50% dari subyek
penelitian berada dalam rentang intensi jarang
sampai dengan selalu meminta petunjuk kyai,
dengan 25% di antaranya melibatkan keluarga
terlebih dahulu sebelum konsultasi kepada kyai.
Sedangkan untuk perilaku mencium tangan, yang
merupakan salah satu bentuk perilaku
penghormatan dan tanda bakti, dilakukan oleh 93%
subyek penelitian, dengan alasan ingin
mendapatkan barokah sebagai alasan terbanyak,
yaitu 42%. Untuk perilaku membela kyai yang
tidak disukai oleh orang lain, hanya dilakukan oleh
26% dari keseluruhan subyek penelitian yang
berjumlah 28 orang, selebihnya menyadari bahwa
sudah mennjadi hak orang lain untuk tidak
menyukai kyai yang kita sukai.
Conclusing/drawing dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
Tabel 5. Conclusing/Drawing Frame of Reference
Masyarakat Desa X tentang Kyai
No
Dugaan
Faktor
Pembentuk
Hasil Perilaku Jml Sekolah
1 Nilai-nilai
orang tua a. Sangat
menghormati
kyai
b. Hormat
terhadap kyai
c. Kyai sama saja
dengan
manusia pada
umumnya
5 SD/SR
a. Hormat 3 SMP
b. Biasa saja
2 Nilai-nilai
Keluarga
a. Hormat 5 SD/SR
b. Biasa saja 2 SMP
c. Heterogen 2 SMU
3 Nilai-nilai
lingkungan
1 PT
a. Hormat
b. Biasa saja 1 SD/SR
4 Faktor ajar
orang tua
4 SMU
a. Diajari 5 PT
b. Tidak
diajari
Total 28
Tabel 5 didapatkan dari hasil reduksi data yang
bersumber dari wawancara mendalam (depth
interview) oleh penulis. Tabulasi tersebut
menyimpulkan bahwa:
a. Nilai-nilai orang tua terpetakan menjadi orang
tua yang menunjukkan sikap hormat terhadap
kyai dan sikap yang biasa-biasa saja terhadap
kyai.
b. Nilai-nilai keluarga terpetakan menjadi
keluarga yang menghormati kyai, keluarga yang
biasa-biasa saja terhadap kyai, dan keluarga
yang heterogen; yaitu keluarga yang
menghormati kyai dan keluarga yang biasa saja
terhadap kyai. Keluarga dimaksud ini adalah
keluarga besar (orang tua, saudara, kakek,
nenek, paman, bibi, sepupu, dll) yang masih
terhitung kerabat.
c. Nilai-nilai lingkungan, terpetakan menjadi
lingkungan yang hormat terhadap kyai dan
biasa saja. Tidak terdapat lingkungan yang
menunjukkan sikap negatif terhadap kyai.
d. Faktor ajar, faktor ajar ini adalah pembelajaran
dengan contoh atau perilaku dari orang tua.
Dipetakan menjadi dua, yaitu diajari dan tidak
diajari.
231
Prosiding Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial 2019
PSIKOLOGI SOSIAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0:
PELUANG & TANTANGAN
Fakultas pendidikan Psikologi, Aula C1, 4 Mei 2019
Ramuan berbagai faktor eksternal yang membentuk
frame of reference terhadap kyai tersebut
menghasilkan sikap yang sangat menghormati
terhadap kyai, hormat terhadap kyai, dan
menganggap kyai tidak ada bedanya dengan
manusia lainnya dan tidak perlu menghormati
secara berlebihan.
Kemudian, dari hasil tabulasi data tersebut (Tabel
5), penulis mengaitkan dengan tingkat pendidikan
subyek penelitian dan didapatkan hasil, bahwa 35.7
% subyek penelitian dengan tingkat pendidikan
SD/SR, 17.8% subyek penelitian dengan tingkat
pendidikan SMP, 7.1 % subyek penelitian dengan
tingkat pendidikan SMU, dan 3.5% subyek
penelitian dengan tingkat pendidikan PT; berada
pada level sangat menghormati dan hormat
terhadap kyai. Total subyek penelitian dengan level
tersebut adalah 64.3 %. Mayoritas subyek
penelitian pada kelompok ini, terutama yang
lulusan SD/SR dan SMP, adalah individu yang
berusia rata-rata 40 tahunan.
Sedangkan, 3.5% subyek penelitian dengan tingkat
pendidikan SD/SR, 14.3 % subyek penelitian
dengan tingkat pendidikan SMU, dan 17.8%
subyek penelitian dengan tingkat pendidikan PT;
menganggap kyai tidak berbeda dengan manusia
biasa lainnya. Total subyek penelitian yang
menyimpulkan demikian adalah 35.7%.
Menariknya, hanya 1 orang dari 28 subyek
penelitian yang berpendapat demikian, tingkat
pendidikannya adalah SD/SR.
Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan rangkaian
analisis data (reduksi sampai dengan
conclusing/drawing) tersebut, maka didapatkan
hasil sebagai berikut:
a. Masyarakat desa X adalah masyarakat yang
tergolong sangat menghormati dan
menghormati kyai.
b. Perilaku yang nampak pada hasil interview
adalah mereka cenderung berkonsultasi kepada
kyai ketika menghadapi permasalahan hidup,
mencium tangan ketika bersalaman dengan
tujuan mendapatkan barokah dan tuntutan adat-
istiadat.
c. Mereka memahami bahwa kyai pun bisa
berbuat salah, sehingga hanya sebagian kecil
dari mereka yang akan membela secara
membabi-buta jika kyai yang menjadi
panutannya disalahkan oleh orang lain.
d. Mereka menghormati kyai karena memang
orang tua, keluarga, dan lingkungan yang
mencontohkan demikian; dan tentunya juga
diajari oleh orang tua bagaimana cara
menghormati kyai.
Menarik untuk dibahas adalah temuan hasil
penelitan yang terpapar di Tabel 5 di atas, bahwa
secara kasat mata terdapat perbedaan sikap
terhadap kyai antara kelompok subyek penelitian
yang berpendidikan SD/SR dan SMP dengan
kelompok penelitian yang berpendidikan SMU dan
PT, di mana kelompok pendidikan SD/SR dan
SMP hasilnya adalah sangat menghormati dan
menghormati kyai, dan kelompok pendidikan SMU
dan PT, cenderung menganggap kyai sama saja
dengan manusia pada umumnya. Sehingga, timbul
hipotesis baru, apakah faktor pendidikan
berpengaruh dalam perbedaan frame of reference
tentang kyai?. Untuk ini, akan dibedah dalam
pembahasan di bawah ini.
Pembahasan
Frame of reference, atau kerangka pikir adalah
sebuah acuan atau panduan atas perilaku kita
terhadap sesuatu hal, dalam peneilitian ini adalah
kyai. Frame of reference tidak terbentuk seketika,
melainkan terbentuk secara simultan. Frame of
reference bersifat dinamis, ia bisa berubah dari
positif menjadi negatif, dan sebaliknya. Tergantung
pada faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Frame of reference tentang kyai pada masyarakat
desa X, pada umumnya adalah sangat menghormati
dan menghormati kyai, yanng mana dibentuk oleh
faktor internal dan eksternal. Internal adalah:
a. Motif, dalam penelitian ini tentunya adalah
motif berperilaku terhadap kyai. Sherif (dalam
Ahmadi, 1991), motif yang membentuk adalah
motif individu –seperti ingin mendapat barokah
dari kyai, motif sociogenic –seperti,
menghormati kyai karena melihat semua orang
di lingkungannya hormat, dan motif teogenic –seperti, ingin mendapatkan pahala dan barokah.
b. Sikap. Sikap terhadap kyai sebagai sikap
individual. Masing-masing subyek penelitian
memiliki ketidaksukaaan dan kesukaan
terhadap kyai yang berbeda-beda. Sedangkan,
sikap terhadap kyai yang termasuk sikap sosial
adalah adanya perilaku yang sama dan
berulang-ulang pada subyek penelitian, terkait
dengan sikap terhadap kyai, yaitu
kecenderungan untuk nyabis kepada kyai bila
mempunyai masalah hidup; dan perilaku
bersalaman sambil mencium tangan kyai.
c. Emosi, reaksi terhadap kyai memberi
sumbangan dalam pembentukan frame of
reference tentang kyai. Reaksi subyek terhadap
232
Prosiding Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial 2019
PSIKOLOGI SOSIAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0:
PELUANG & TANTANGAN
Fakultas pendidikan Psikologi, Aula C1, 4 Mei 2019
kyai, dalam penelitian ini; mayoritas bereaksi
positif, yaitu hormat terhadai kyai.. Mereka
menghormati kyai adalah karena ingin
mendapatkan barokah dan juga karena tradisi
yang mengajarkan bahwa mereka harus tunduk
kepada bhupak, bhabuk, guruh, rato. Di mana,
kyai menduduki strata ketiga untuk dihormati,
sebelum menghormati pemimpin.
d. Konsep. Konsep adalah hasil dari proses
berpikir, baik yang diperoleh secara sengaja
maupun tidak sengaja. Tidak sengaja biasanya
karena pengalaman dalam kehidupan sehari-
hari, dan inilah yang paling berperan dalam
pembentukan konsep. Menurut subyek
penelitian, mayoritas dari mereka, hidup
bersama orang tua, keluarga, dan lingkungan
yang memang menghormati kyai; sehingga
mereka pun tumbuh menjadi pribadi yang
kurang lebih sama karena demikianlah orang
tua, keluarga, dan lingkungan membentuk
konsep yang nyaris seragam tentang kyai
(Walgito, 1997).
e. Pengalaman masa lalu. Subyek penelitian
memiliki pengalaman masa lalu dengan kyai.
Pengalaman yang rata-rata postitif, membuat
subyek penelitian tumbuh menjadi pribadi yang
menghormati kyai. Pengalaman positif ini di
antaranya, subyek merasa mendapatkan
ketenangan hati setelah bertemu dengan kyai,
subyek merasa mendapat jalan keluar dari
masalah-masalahnya.
Eksternal adalah:
a. Lingkungan. Lingkungan sosial, dengan
keluarga sebagai lingkungan sosial primer.
Ditemukan fakta, bahwa orang tua, keluarga,
dan lingkungan mengajarkan, memberi contoh,
memberi konsep, bagaiman bersikap terhadap
kyai, seperti mencium tangan ketika bersalaman
dengan kyai dengan harapan agar mendapatkan
barokah dan adat istiadat. Perilaku ini terjadi
pada
b. Obyek. Obyek dalam hal ini adalah kyai itu
sendiri. Kyai dengan segala tingkah lakunya
yang mengundang decak kagum, derajat
kesalehannya yang dinilai lebih tinggi dari
orang lain pada umumnya, dan kyai yang
menunjukkan kelebihannya –meramal nasib,
jodoh, peruntungan, dan lain-lain; semakin
mengukuhkan anggapan bahwa kyai harus
dihormati.
c. Interaksi dengan orang lain. Interaksi dengan
orang lain yang pada umumnya berdiam di
tempat yang sama dan dengan pemahaman yang
hampir sama pula, menghasilkan frame of
reference yang nyaris homogen. Mungkin akan
berbeda cerita jika subyek penelitian pernah
bermukim di tempat lain dengan acuan yang
berbeda tentang kyai.
Meski demikian, terhadap kyai yang menjadi
panutan mereka, subyek penelitian masih
menganggap bahwa kyai bisa saja berbuat salah
dengan alasan kyai jaman sekarang banyak yang
terjun di politik. Politik, oleh subyek penelitian
dianggap sebagai urusan duniawi dan tidak
sepantasnya kyai, sebagai pemuka agama,
mengurusi politik yang pada umumnya berurusan
dengan harta dan tahta.
Temuan data di lapangan, dari hasil reduksi hingga
konklusi mendapat informasi menarik, di mana ada
perbedaan perlakuan dan perilaku terhadap kyai,
pada subyek penelitian dengan tingkat pendidikan
SD/SR–SMP dengan subyek penelitian dengan
tingkat pendidikan SMU-PT. Bahwa, subyek
dengan pendidikan rendah–menengah, tergolong
sebagai individu yang hormat–sangat menghormati
kyai, sementara subyek dengan pendidikan
menengah-atas; bergerak antara hormat-bersikap
biasa saja ketika bertemu kyai.
Ahli sosiologi (dalam Ahmadi, 1992) berpendapat
bahwa pendidikan adalah proses perubahan
perilaku, yang terjadi di dalam diri individu (dari
tidak tahu menjadi tahu –menitikberatkan pada
koginitif dan keterampilan teknis) dan di
masyarakat (dari tidak paham aturan menjadi
paham aturan). Jadi, semakin lama individu
mengenyam pendidikan –dalam hal ini adalah
bangku sekolah, maka semakin banyak menemukan
dan mendapatkan pengalaman baru. Kognitif,
afektif, dan kemampuan-kemampuan sosial, dapat
berkembang.
Berdasarkan penelitian Siti Rahayu Haditono yang
dilakukan pada tahun 1983, menemukan hasil
bahwa orang tua dengan frame of reference yang
sederhana, cenderung untuk mendorong anaknya
bekerja, alih-alih menempuh pendidikan lanjut
(dalam Haditono, dkk., 2001).
Terbentuknya sikap kritis, kemampuan pemecahan
masalah yang lebih tinggi, interaksi sosial dengan
banyak orang di luar lingkungan asalnya yang
terjadi pada saat menempuh pendidikan formal,
mengakibatkan individu mempunyai wilayah ruang
hidup yang lebih kompleks dari pada individu yang
tidak menempuh pendidikan tinggi –Teori Medan
233
Prosiding Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial 2019
PSIKOLOGI SOSIAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0:
PELUANG & TANTANGAN
Fakultas pendidikan Psikologi, Aula C1, 4 Mei 2019
(Kurt Lewin), sehingga faktor pembentuk frame of
reference individu juga lebih beragam sumbernya.
Interaksi antara faktor internal dan eksternal yang
membentuk frame of reference tentang kyai, maka:
pada saat individu memutuskan untuk mengikuti
apa yang dilakukan orang lain, dapat disimpulkan
bahwa faktor eksternallah yang lebih dominan.
Begitu pula, sebaliknya.
PENUTUP
Simpulan
Menghormati kyai bukan hanya tuntutan agama,
melainkan juga oleh diajarkan secara turun temurun
melalui tradisi suku Madura. Jika pada orang
Madura produk jaman dahulu (nampak pada usia
subyek penelitian yang sudah di atas 40 tahun,
pendidikan SD/SR – SMP), menghormati kyai
adalah demi hal-hal yang bersifat tradisi dan sakral
(mendapat barokah, mengikuti adat-istiadat), maka
pada subyek penelitian dengan rentang usia di
bawahnya yang berpendidikan SMU – PT,
menghormati kyai adalah hal logis yang perlu
dilakukan karena kyai lebih tua dan memiliki ilmu.
Jadi, mereka menghargainya. Nampak di sini,
mulai ada perbedaan frame of reference tentang
kyai pada kelompok subyek penelitian.
Namun demikian, rata-rata seluruh subyek
penelitian menganggap kyai adalah manusia biasa
yang walau pun punya kelebihan, jjuga bisa berbuat
salah. Hal ini disebabkan kyai jaman sekarang
sudah berbeda dari kyai pada jaman dahulu. Kyai
jaman sekarang banyak yang terjun ke dunia
politik, dan ini menyebabkan wibawa kyai
menurun.
Saran
Dari penelitian ini, penulis menyarankan
pentingnya pemahaman mempelajari frame of
reference untuk memahami latar belakang perilaku
seseorang, sehingga kita terhindar dari judgeing
atau prasangka yang pada akhirnya akan membuat
kita salah dalam memahami suatu peristiwa. Selain
itu pula, penghormatan terhadap perilaku etnis
tertentu mutlak diperlukan, demi menjaga
keragaman dalam kebhinekaan. Orang Madura
dengan frame of reference yang demikian tentang
kyai, hendaklah jangan dimanfaatkan untuk
kepentingan-kepentingan pribadi maupun
sekelompok orang dalam ranah negatif.
Untuk penelitian selanjutnya, penulis menyarankan
untuk lebih membedah persoalan bagaimana
pendidikan dapat membentuk frame of reference
seseorang yang tentunya diharapkan, sehingga
menghasilkan output perilaku yang sesuai dengan
kaidah kebaikan dan kebenaran dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Bisri, Effendy. 1990. An Nuqayah: Gerak
Transformasi Sosial di Madura. Jakarta: P3M
(Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan
Masyarakat)
Usman, Ali. 2009. Madura Pasca Jembatan
Suramadu. Dapat diakses pada
http://kabarmadura07.blogspot.com/2009/03/ma
dura-pasca-jembatan-suramadu.html
Musthafa, M. 2016. Budaya Madura. Dapat diakses
pada
http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/wp-
content/uploads/2016/10/2-39.
Wasesa, M.G. 1986. Dimensi-dimensi Psikologi
Sosial. Cetakan I. Yogyakarta: PT. Hanindika
Atkinson, Atkinson, dan Hilgard. 1991. Pengantar
Psikologi. Edisi ke-delapan. Jakarta: Erlangga
Ali, Fachry. 1999. Kyai Nyentrik Membela
Pemerintah. Bandung: Mizan.
Subky, Baharuddin H. 1995. Dilema Ulama dalam
Perkembangan Zaman. Jakarta: Gema Insani
Press.
Spradley, James P. 1979. The etnographic
interview. New York : Harcourt Brace
Javanovich College Publishers.
Hanurawan, F. 2016. Metode penelitian kualitatif
dalam ilmu psikologi. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Creswell, John W. 2014. Penelitian kualitatif dan
desai riset: memilih di antara lima pendekatan
(edisi 3), Jakarta: Pustaka Pelajar
Bogdan, Robert C. & Biklen, Sari Knopp. 1982.
Qualitative research for education: An
intoduction to theory and methods. Boston,
Massachusetts: Allyn and Bacon.
Sugiyono. 2006. Metode penelitian pendidikan:
Pendekatan kuantitatif, kualitatif dan R & J.
Bandung: Alfabeta
Miles, M. B, & Huberman, A. Michael. 2000.
Analisis data kualitatif. Terjemahan Tjetjep
Rohendi Rohidi. Jakarta: UI Press
Walgito, Bimo. 1997. Pengantar Psikologi Umum,
Yogyakarta: Andi Offset
234
Prosiding Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial 2019
PSIKOLOGI SOSIAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0:
PELUANG & TANTANGAN
Fakultas pendidikan Psikologi, Aula C1, 4 Mei 2019
Ahmadi, Abu dan Widodo Supriyono. 1991.
Psikologi Belajar, Jakarta: Rineka Cipta
Haditono, Sri Rahayu, Monks, F.J., dan Knoers,
A.M.P. 2001. Psikologi Perkembangan:
Pengantar dalam Berbagai Bagiannya.
Yogyakarta: Gajah Mada University
Top Related