Download - FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

Transcript
Page 1: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

1

BAGIAN I

FENOMENOLOGI

1.1. Pengantar

Fenomenologi secara umum adalah studi tentang

kenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran

manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari

kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang berarti

penampilan atau yang “tampak”, memperlihatkan diri

(phainein) dan logos (Yun) yang berarti: kata, ilmu,

ucapan, rasio, pertimbangan. Arti luas fenomenologi

adalah ilmu tentang fenomena-fenomena atau apa

saja yang tampak. Arti sempit: ilmu tentang

fenomena-fenomena yang menampakkan diri kepada

kesadaran kita.

Fenomenologi sebagai metode ilmu bermula

sejak G.W.F Hegel mendeklarasikan karyanya The

Phenomenology of Spirit, 1807.1 Sejak itu banyak 1 Hegel memakai istilah fenomenologi seperti yang diartikan oleh

Lambert dan Kant. Ia memperluas cakrawala pengertian fenomenologi sebagai ilmu mengenai pengalaman akan kesadaran, yakni suatu pemaparan yang dialektis perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya. Fenomenologi menunjukkan proses menjadi ilmu pengetahuan pada umumnya dan kemampuan mengetahui sebagai perjalanan jiwa lewat bentuk-bentuk atau gambaran kesadaran yang bertahap untuk sampai kepada pengetahuan mutlak (absolut). Menurut Hegel, fenomen tidak lain adalah penampakan atau kegejalaan dari pengetahuan inderawi: fenomen merupakan manifestasi

Page 2: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

2

pemikir menaruh minat serius untuk mempelajari

agama. Hanya saja metode studi terhadap agama

terlampau metafisik, sehingga persoalan agama lantas

menjadi objek kajian filsafat. Tidaklah mengherankan

bahwa para pemikir yang merujuk studi agama pada

karya Hegel itu lantas tergiring pada metode kerja

yang a priori dan metafisik. Mereka mengolah konsep-

konsep ketuhanan dan rumusan-rumusan ajaran

agama dalam rangka menangkap hakikat agama. Sejak

saat itu pula studi atas agama mendapat sambutan

kritis, yang bernuansa mencibir dan merendahkan

agama, dari kubu ilmu-ilmu positif (positivistik) yang

memang sedang naik daun pada masa itu juga. Kaum

positivistik, yang meyakini ilmunya adalah cermin dari

realitas (mirror of nature) dan dapat diverifikasi

kepastiannya, tanpa ragu menendang agama keluar

dari arena yang ilmiah. Di hadapan kaum positivistik,

agama adalah tanda kesia-siaan manusia (kemalasan

manusia) dalam mengoptimalkan potensi berpikir

kritisnya dalam menghadapi kenyataan hidup. Karl

Marx, yang begitu alergi terhadap agama,

memandang agama tidak lebih dari pada warisan

budaya manusia yang belum kritis, khayalan dunia

yang terasing dari dunianya, sublimasi dari keinginan-

konkret dan historis perkembangan pikiran manusia. Lih. Lorens Bagus, 1992. Diktat Fenomenologi Agama, hlm. 2.

Page 3: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

3

keinginan manusia yang tak akan pernah terwujud

dalam kenyataan. 2

Lantas, adakah pembelaan berarti terhadap

agama setelah dikritik oleh para pemikir positivistik

(ateistik)? Mungkinkah agama itu ilmiah (empirik)?

Rupanya kritik kaum positivistik itu tidak berhasil

mengakhiri (menyudahi) minat studi atas agama.

Kritik atas agama dari kubu ilmuan positivistik itu

diimbangi oleh studi agama di bidang ilmu-ilmu lain

seperti antropologi, arkeologi, sosiologi, dan filologi.

Ilmu-ilmu itu melakukan studi atas agama dengan

cara meneliti kehidupan dan tradisi suku-suku primitif

dan menemukan dasar-dasar ilmiah dari agama.

Penelusuran atas fakta-fakta agama berupa praktik

peribadatan, ritus, upacara-upacara yang konkret

sehingga tidak semata-mata konseptual, apriori atau

metafisik menjadikan agama sungguh realistis. Fakta-

fakta agama itu sungguh real dan tidak sebatas ajaran

konseptual. Ia adalah cermin pengalaman langsung

orang-orang primitif akan yang Absolut. Dalam

konteks kajian ini, fokus pencarian para ilmuan adalah

asal-usul agama dengan mengartikan aktivitas

keagamaan sebagai tindakan simbolis penuh arti.3 Dan

fenomena agama adalah fenomena sosio-kultural.

2 Bdk. A. Sudiarja, dalam buku Mariasusai Dhavamony, hlm. 5-6. 3 Loc Cit.

Page 4: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

4

Walaupun demikian, perkembangan ilmu

antropologi belakangan ini menunjukkan gelagat baru

bahwa para antropolog cenderung tidak lagi

menggunakan metode-metode antropologis untuk

menyelidiki masyarakat pra-tulis, tetapi menganalisis

kehidupan masyarakat-masyarakat yang modern dan

kompleks terutama berkaitan dengan simbolisme

dalam agama dan mitos, serta mengembangkan

metode baru yang tepat untuk studi agama dan

mitos.4

Dalam konteks perkembangan ilmu-ilmu lain

yang mempelajari agama, fenomenologi agama selalu

menempatkan diri sebagai mitra kerja ilmu-ilmu lain

tanpa harus kehilangan identitas diri (menyamakan

dirinya dengan yang lain). Artinya, meskipun

fenomenologi agama menggunakan hasil-hasil ilmu

lain untuk bahan risetnya, ia tidak seperti ilmu-ilmu

lain yang masing-masing merasa memiliki wilayah

kebenaran hakiki tersendiri di mana pihak lain harus

tunduk dan mengakuinya. Fenomenologi agama

mengajarkan mereka (ilmu-ilmu lain yang

mempelajari agama) untuk mengekang diri dan saling

menghormati batas-batas penelitian.5 Pentingnya

4 Mariasusai Dhavamony, hlm. 22. 5 Walaupun demikian, Fenomenologi Agama tetap membedakan

diri dari disiplin-disiplin ilmu lain yang mempelajari agama. Ia

Page 5: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

5

menghormati batas-batas yang dimaksud supaya apa

yang menjadi ciri khas (aspek keunikan) dan tekanan

masing-masing disiplin ilmu tidak menjadi sirna atau

kabur. Maka, sejauh fenomenologi agama

menggunakan hasil-hasil ilmu manusia lainnya seperti

psikologi religius, sosiologi dan antropologi religius

yang selalu berkembang sebagai bahan yang

mendukung aktifitas studinya, ia adalah ilmu empiris.6

Sebagai suatu mazhab dalam filsafat abad ke-20,

fenomenologi pun berkembang pesat dan muncul

dalam berbagai macam bentuknya, misalnya,

fenomenologi transendental (E. Husserl),

fenomenologi eksistensial (J.P. Sartre dan M. Merleau

Ponty), fenomenologi hermeneutik (M. Heidegger dan

P. Ricoeur).7 Luasnya medan kajian dan beragamnya

bentuk-bentuk fenomenologi sejatinya menjadi

kekayaan dalam berfilsafat secara fenomenologis.

Namun, dalam tulisan ini kami tidak hendak mengulas

semua bentuk-bentuk itu secara komprehensif.

bahkan berupaya mengajar mereka mengekang diri agar tidak angkuh satu terhadap yang lain. Artinya, masing-masing disiplin ilmu agama penting untuk tetap menjaga batas-batas penelitian supaya unsur hakiki yang menjadi identitas dirinya tidak menjadi kabur. Bdk. Fransiskus Borgias M, 1994-1996. Dikta Kapita Selektat Fenomenologi Agama, hlm. 15.

6 Ibid., hlm. 43. 7 Fransiskus Borgias M, 1994-1996. Diktat Kapita Selektat

Fenomenologi Agama, hlm. 8.

Page 6: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

6

Ulasan kami di sini lebih merupakan upaya membuat

peta fenomenologi E. Husserl secara sederhana.

1.2. Sekilas Sejarah Fenomenologi

Pengalaman akan yang Absolut, baik dalam

masyarakat primitif maupun masyarakat modern, di

hadapan fenomenologi dipandang sebagai data

pengalaman yang menawarkan diri pada subjek di

mana subjek dituntut untuk melepaskan diri dari

asumsi-asumsi sementara berkaitan dengan data

pengalaman tersebut. Sesuai dengan prinsip yang

dicanangkan oleh Edmund Husserl sebagai tokoh

besarnya,8 fenomenologi haruslah kembali kepada

data bukan pada pemikiran, yakni pada halnya sendiri

(fenomen) yang harus menampakan dirinya. Husserl

sepertinya berupaya memberi penjelasan kepada

tradisi berpikir filosofis sebelumnya dan sekaligus

memberi tanggapan atas kritik kubu positivistik 8 Dalam khazanah studi fenomenologi, Edmund Husserl seringkali

dirujuk sebagai tokoh besarnya. Ia dipandang sebagai orang yang paling berjasa dalam mengembangkan fenomenologi. Walaupun demikian, istilah fenomenologi dalam pengertian filosofis digunakan pertama kali bukan oleh Husserl melainkan oleh Johann Heinrich Lambert (1764). Lambert memasukan ajaran mengenai gejala (fenomenologia) ke dalam masalah kebenaran (aletheologia). Maksudnya ialah, bahwa dalam masalah kebenaran menurut Lambert terdapat sebab-sebab subjektif dan objektif dari ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomena). Lih. Lorens Bagus, Op.Ci, hlm.1.

Page 7: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

7

terhadap agama, bahwa pengetahuan hakiki adalah

kehadiran data dalam kesadaran murni subjek, dan

bukan konstruksi spekulatif daya pikiran dalam

membangun konsep-konsep abstrak. Artinya, ia

hendak menekankan pentingnya relasi-relasi

eksistensial untuk menghadirkan “eidos” dalam

kesadaran murni dan bukan dalam teori-teori.9

Gagasan Husserl itu jelas merupakan paradigma

baru dalam ilmu fenomenologi. Ia menebas tradisi

fenomenologi yang sudah dirintis sejak Descartes

hingga Hegel, di mana pengetahuan melulu dibangun

secara spekulatif di dalam akal budi. Imannuel Kant,

dalam suratnya kepada Johann Heinrich Lambert pada

tahun 1770, bahkan menegaskan bahwa “metafisika

perlu didahului dan diperkenalkan oleh sebuah ilmu

yang seutuhnya bersifat partikular”. Dalam ilmu itu

diharapkan agar ditemukan keabsahan dan batas-

batas prinsip penginderaan.10 9 E. Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisa

deskriptif-introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung: religius, moral, estetis, konseptual, serta inderawi. Dalam konteks itu, perhatian fenomenolog hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang lebenswelt (dunia kehidupan). Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris. Lih. Lorens Bagus, Ibid., hlm. 8.

10 Dalam karyanya Prinsip-Prinsip pertama Metafisika (1786) Kant memakai istilah fenomenologi untuk menjelaskan kaitan antara

Page 8: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

8

Dalam konteks fenomenologi Husserl, fakta-fakta

dan fenomena-fenomena agama adalah objek kajian

bagi kesadaran setelah keduanya membangun relasi-

relasi timbal balik (subjek mengarahkan diri pada

objek dan sebaliknya juga).11 Dalam relasi itu prinsip

epoche tetap berlaku bahwa yang bertindak sebagai

subjek tetap menyortir atau memilah-milah lapisan

demi lapisan setiap unsur sementara yang tidak hakiki

dari objek kesadaran agar hakikatnya (eidos) dapat

ditangkap oleh kesadaran murni. Perspektif ini jelas

memungkinkan kita berdialog dengan pengalaman

dan kesadaran murni (pra-reflektif). Artinya, di sana

tersedia ruang luas dimana kita tidak perlu terjebak

dalam tuntutan kepada yang hakiki atau “yang

esensial” semata.

Dengan demikian, yang harus dilakukan para

fenomenolog ketika mereka berhadapan dengan

setiap fenomena (kenyataan yang tampak) adalah

sebatas membuat deskripsi atas fenomena

sebagaimana ia hadir dan dialami dalam kesadaran.

konsep fisik gerakan dan kategori modalitas, dengan mempelajari ciri-ciri dalam relasi umum dari representasi, yakni fenomen indera-indera lahiriah. Ibid., hlm. 1-2.

11 Metode yang dikembangkan Husserl tampak menyajikan cara pandang dan kerangka berpikir (paradigma) refleksif-deskriptif secara timbal-balik (dialogal) dimana relasi-relasi antara subjek-objek, objek-objek, subjek-subjek dimungkinkan berlangsung setaraf.

Page 9: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

9

Deskripsi yang dimaksudkan itu dibuat berdasarkan

ketulusan dan kesadaran subjek. Maka deskripsi itu

sejatinya mencerminkan sisi eksistensial fenomena

secara utuh dan unik. Kondisi ini menunjukkan

kesetaraan antara fenomena dengan subjek yang

menganalisis dan mendeskripsikannya. Dalam relasi

yang dialogal itu tidak lagi aspek yang hakiki yang

hendak diburu, ditangkap dan ditunjukan subjek

dalam dan melalui kesadarannya, melainkan

kehadiran masing-masing pihak (subjek dan

fenomena) sebagai “subjek bebas”.

Oleh karena itu, fenomenologi Husserl akhirnya

tidak lagi berkutat pada perkara mencari yang

esensial, tapi justru mendeklarasikan fenomena

secara deskriptif dan “apa adanya”. Ia bertindak

sebagai metode studi dan sekaligus disiplin ilmu yang

ilmiah karena mendeskripsikan fenomena-fenomena

yang menyergap kesadaran subjek. Dalam konteks

studi agama, fenomenologi merupakan metode studi

yang paling berpengaruh karena berupaya

mendeskripsikan fenomena agama sebagaimana

fenomena tersebut dialami dalam kesadaran

eksistensial. Jadi, fenomena merupakan data

pengalaman yang dianalisis dan dideskripsi.

Dalam perspektif itu, Husserl akhirnya menyadari

bahwa ternyata tidaklah mungkin untuk menangkap

Page 10: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

10

apa yang hakiki dari fenomena. Sebab apa yang

disebut hakikat fenomena (yang esensial itu)

sebetulnya selalu merupakan “ia yang hadir dalam

dirinya sendiri” (thing in its self) secara utuh dan

unik.12 Kesadaran itu kelak menggiring Husserl

menjadi “anti-esensialisme” (anti eidos). Husserl

kemudian berpendirian teguh bahwa yang dapat

dilakukan para fenomenolog ketika berhadapan

dengan fenomena adalah memberikan deskripsi yang

perlu mengenai apa yang ada sebagaimana dialami

dalam kesadaran. Dalam tekanan yang terakhir ini

fenomenologi Husserl lebih tepat disebut

“fenomenologi transendental”.13

Berangkat dari uraian di muka, terobosan baru

fenomenologi dalam seni berpikir deskriptif-

introspektif, sejak Edmund Husserl, sebetulnya lebih

tepat dipandang sebagai ungkapan protes yang nyata

terhadap metode-metode filsafat barat yang

12 Immanuel Kant membedakan antara fenomena dan “noumena”

(benda dalam dirinya sendiri yang terlepas dari aktifitas kognitif pikiran).

13 Disebut fenomenologi transendental karena bidang telahaannya adalah kesadaran transendental, yakni kesadaran akan makna yang menjadi esensi benda. Kesadaran demikian jelas melampaui kategori kognitif, konsep terdalam dan dasariah matematika dan logika, serta kegiatan psikis real. Kesadaran transendental berangkat dari keterarahan (intensionalitas) pada obyek tertentu demi menguak makna universal yang menjadi esensinya .

Page 11: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

11

tradisional sejak J.H. Lambert dan Immanuel Kant

yang memuncak pada Hegel di satu sisi karena

terlampau abstrak, konseptual dan metafisik.

Sementara pada sisi lain, fenomenologi Husserl juga

dapat dipandang sebagai ungkapan pembelaan

terhadap agama dari serangan kaum positivistik yang

memandang agama sebagai wilayah yang non-

ilmiah.14 Munculnya bentuk-bentuk baru studi agama

secara fenomenologis dapat dipahami sebagai

berkembangnya minat ke arah studi agama secara

empiris.

1.3. Metode epoche Edmund Husserl

Epoche adalah metode yang dicanangkan oleh

Husserl ketika subjek berhadapan dengan fenomena

agar subjek mampu melepaskan diri dari asumsi-

asumsi yang non-ilmiah terhadap fenomena.

Tujuannya adalah agar subjek menghadapi fenomena

dengan kesadaran murni.

Bagi Husserl, ketika subjek berhadapan dengan

fenomena maka ia sebetulnya bergumul dengan

pengalaman akan yang lain (sebagai objek

kesadarannya). Pergumulan itu pada awalnya

dipahami atau dikira bersifat subjek-obyek (subjek

mencari tahu esensi objek). Tetapi kemudian Husserl 14 Harold H Titus, dkk., 1979. Living Issues in Philosophy, 7th Edition,

Page 12: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

12

menegaskan bahwa sesungguhnya yang terjadi dalam

pergumulan antara subjek dan fenomena adalah relasi

subyek-subyek (intersubyektif). Artinya, pergumulan

pengalaman tentang yang lain yang tertangkap oleh

kesadaran subjek.

Dalam pusaran pergumulan dengan fenomena,

subjek belumlah sampai menangkap hakikat

fenomena (belum memberi kepastian pengetahuan

akan fenomena). Untuk mencapai kepastian, kita

perlu mencarinya dalam ‘pengalaman yang sadar’,

yakni bermula dari aku murni yang mengatasi semua

pengalaman, dan bukan aku empiris.15 Bagaimana

caranya supaya aku bisa mencapai aku murni? Proses

pencapaian aku murni itu ditempuh dengan metode

epoche.

Proses pencarian hakekat fenomena melalui

metode epoche terjadi ketika subjek dengan sadar

mau memasukan ke dalam tanda kurung (epoche)

segala asumsinya terhadap fenomena (“aku-

empirisnya”) sehingga tinggallah subjek sebagai “aku

murni”. Proses demikian oleh Husserl disebut metode

epoche. Setelah proses epoche (pemurnian diri) ini

15 Aku empiris artinya aku yang tidak murni karena masih

dipengaruhi oleh pengalaman pergaulan dengan dunia benda. Kondisi ini perlu dimurnikan dengan cara memasukan seluruh pengalamanku itu ke dalam tanda kurung (epoche) sehingga kini tinggallah aku murni.

Page 13: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

13

ditempuh, kini pergaulan subjek dengan fenomena

sungguh-sungguh mandiri dalam artian tidak lagi

diintervensi oleh pengertian, pemahaman dan

praduga-praduga tertentu.

Pandangan Husserl dengan epoche membuatnya

sebidang dengan metode keragu-raguan (cogito ergo

sum) Descartes. Dalam hal ini, Husserl melihat bahwa

dalam ukuran tertentu, fislafat yang dibangun

Descartes sudah mengantisipasi fenomenologi. Ia

menekankan pula bahwa eksistensi dari diri dalam

pengertian sebagai substansi rohani/spiritual, atau

seperti dikatakan Descartes res cogitans mesti

dikurung supaya mencapai kepastian, yakni eksistensi

diri murni.

Perbedaan Husserl dari Descartes terletak pada

pemahaman mengenai kesadaran. Bidang kesadaran

transendental (kesadaran akan makna, yang menjadi

esensi benda), bukan dalam cogito (abstrak) seperti

yang ditemukan dalam filsafat Descartes.

1.4. Tiga Macam Reduksi

Berkaitan dengan metode epoche di atas, dalam

rangka menemukan hakikat fenomena, Husserl

membedakan tiga macam reduksi, yakni: reduksi

fenomenologis, reduksi eidetik dan reduksi

transendental. Itulah sebabnya fenomenologi yang

Page 14: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

14

dikembangkan Husserl kemudian lebih dikenal dengan

fenomenologi transendental karena memuncak pada

kesadaran murni, yakni kesadaran akan makna yang

menjadi esensi fenomena. Ketiga jenis reduksi ini

perlu dilakukan ketika berhadapan dengan fenomena

agar kita dapat menangkap esensinya (hakekatnya)

dengan intuisi.

a. Reduksi fenomenologis: ketika berhadapan

dengan fenomena kita perlu menyingkirkan

semua yang bersifat subyektif. Kita harus terbuka

terhadap fenomena (reflektif).

b. Reduksi eidetis: ketika berhadapan dengan

fenomena, kita perlu menyingkirkan semua

pengetahuan dan pengertian sebelumnya

mengenai fenomena (melalui metode epoche),

supaya kita sampai pada hakekat fenomena

(eidos).

c. Reduksi transendental. Ketika berhadapan

dengan fenomena kita harus berdiri sebagai

subjek yang memiliki kesadaran murni akan

fenomena. Kita sampai pada kesadaran murni

tentang fenomena ketika kita tidak lagi

dipengaruhi oleh pengetahuan lain tentang

fenomena. Dalam konteks itu, kita mampu

mengintuisi makna esensial fenomena.

Page 15: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

15

1.5. Fenomen

Fenomenologi seperti diuraikan di muka

merupakan ilmu yang mempelajari fenomen.

Fenomen ialah apa yang tampak. Dari pengertian ini

terdapat implikasi rangkap tiga. Pertama, mesti ada

sesuatu. Kedua, sesuatu itu menampak, mencuat

keluar. Ketiga, justru karena sesuatu menampak maka

menjadi fenomen.

Fenomen sendiri mempunyai dua segi: segi

obyektif dan segi subyektif. Segi obyektif

dimaksudkan, pefenomenan sesuatu mengacu pada

sesuatu yang tampak. Segi subyektif, proses

pefenomen itu ada karena sesuatu mesti menampak

pada seorang pribadi. Jadi, fenomen itu tidak murni

obyektif yang menyangkut realitas aktual, juga tidak

murni subyektif, sebagai gejala psikologis semata-

mata. Fenomen perlu dilihat sebagai hubungan antara

subyek dan obyek. Dalam fenomen mesti dipahami

obyek yang dihubungkan dengan subyek dan subyek

dihubungkan dengan obyek. Fenomen bukanlah

produk dari subyek. Hakekat dari fenomen justru

terdapat dalam penampilan, pencuatan itu sendiri.

Pencuatan itu tertuju pada seseorang dan kalau

seseorang mulai mendiskusikannya, muncullah

fenomenologi.

Page 16: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

16

Berkaitan dengan seseorang, yang kepadanya

fenomen menampak, terdapat tiga aras (inti)

fenomenalitas.16 Pertama, ada yang rahasia,

tersembunyi. Kerahasiaan dari sesuatu itu merupakan

sesuatu yang relatif saja. Sesuatu menjadi rahasia

karena belum mencuat keluar dan belum

menampakkan diri dan belum ditangkap oleh subyek.

Kedua, pelan-pelan membuka atau mewahyukan diri.

Ketiga, adanya kebeningan (transparansi). Dalam aras

yang ketiga kita menembus ke inti. Tiga aras ini dapat

dikaitkan, walaupun tidak sama dengan aras

kehidupan: pengalaman, pemahaman dan kesaksian.

“Pengalaman” bukanlah realitas hidup dalam arti

murni. Pengalaman dikonstruksi secara obyektif oleh

kondisi dan rangkaian peristiwa tertentu yang belum

tentu melewati proses negosiasi secara sadar. Ada

16 Terkait dengan tiga aras fenomen ini, kita bisa

mengilustrasikannya dengan buah durian. Ia mengeluarkan aroma yang harum seakan-akan menyampaikan pesan kepada kita bahwa ada sesuatu yang lezat di balik kulitnya yang tampak berbahaya itu (aspek rahasia, tersembunyi). Aroma yang harum itu secara pelan tapi pasti membuka rahasia tentang durian (menyatakan diri durian). Dari aroma yang harum itu ada kejelasan bahwa durian itu pasti enak kalau disantap (bagi orang tertentu lho). Tetapi, kita tidak pernah mengetahui secara pasti bagaimana enaknya rasa durian kalau kita tidak pernah berani membauinya, membukanya untuk kemudian menyantapnya. Bila kita melakukan itu, maka kita memiliki pengalaman tentang durian, memahami durian, dan memberi kesaksian bahwa durian itu enak.

Page 17: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

17

kalanya peristiwa yang kemudian menjadi

pengalaman terjadi di luar harapan kita dan

berlangsung begitu cepat tanpa permisi kepada

kesadaran dan akal sehat kita. Itulah sebabnya kita

mesti mengajukan sikap atas pengalaman kita berupa

interpretasi kritis atasnya sebagai pengalaman.

“Kehidupan” itu sendiri adalah rangkaian peristiwa

yang membentuk pengalaman, tetapi ia tidak dapat

dipahami seluruhnya. Apa yang dibuka, bukanlah

kehidupan tetapi bentuk-bentuk tertentu kehidupan.

Artinya, ada sisi-sisi tertentu kehidupan yang

membangun keutuhan kehidupan. Sisi-sisi kehidupan

itu sejauh bisa kita interpretasi (dan pahami secara

sadar maknanya), itulah pengalaman. Artinya, yang

disebut pengalaman itu selalu menuntut interpretasi,

pemahaman dan kemudian memberikan makna

(esensi) bagi kita. Itulah sebabnya pengalaman

disebut sebagai “guru yang baik”.

“Pengalaman pertama” yang sebenarnya tidak

dapat disebut pengalaman,17 merupakan dasar dari

pengalaman-pengalaman lain. Pengalaman pertama

selalu berlalu begitu saja. Misalnya, pengalaman saya

menulis dalam buku harian dua menit yang lalu,

17 Apakah ada yang disebut “pengalaman pertama” dalam arti yang

sesungguhnya? Rasanya sulit bagi kita untuk mengingat dan menyebutkan apa dan bagaimana “pengalaman pertama” kita.

Page 18: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

18

dimensi keberlaluannya sama dengan tulisan saya

setahun yang lalu. Mengapa? Karena pengalaman-

pengalaman tersebut tidak dapat saya “ulangi”.

Semuanya sudah berlalu. Pengalaman hanya sekali

terjadi dan sudah selesai. Ia selau terkait dengan

kondisi tertentu dalam rentang peristiwa, ruang,

waktu dan nuansa emosi tertentu. Pengalaman

menulis yang baru kubuat tidaklah lebih dekat padaku

daripada naskah tulisan peninggalan orang-orang

terdahulu, misalnya, tulisan orang Mesir empatribu

tahun yang lalu. Seorang Mesir dan saya merupakan

“yang lain” untuk sebuah tulisan yang sudah dibuat.

Artinya, antara tulisan dan penulisnya sudah berjarak.

Kehidupan itu menembus batas, selalu terlepas,

sulit dikurung.18 Kehidupan adalah sesuatu yang

berlangsung (berproses) tidak pernah muncul begitu

saja. Yang berlangsung itu selalu direkonstruksi

(dimaknai) dan bagi kita sendiri, kita tidak dapat

menemukan jalan masuk untuk bagian yang paling

18 Meskipun kehidupan itu terbatas oleh kenyataan fisik, tetapi ia

sesungguhnya menembus batas, sulit digenggam dan dikurung. Namun, kita mesti menjalani kehidupan yang menembus batas itu dalam batas-batas tertentu dalam konteks sosial (secara normatif) sehingga ekspresi kehidupan itu memberi makna bagi diri kita dan orang lain. Dalam konteks itu, kehidupan yang menembus batas itu mesti dijalani secara tahu batas dalam pengertian melakukan perubahan sehingga kehidupan menjadi unik dalam batasan tertentu.

Page 19: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

19

sublim. Kehidupan bukanlah ruang hampa atau

tertutup di mana kita tinggal bebas tanpa batas atau

aman tanpa gangguan. Kehidupan bukanlah sebatas

tubuh, yang dengan segala pesona kelebihan

potensinya memungkinkan kita menaklukan dunia.

Namun, tubuh kita pada kenyataannya tidak pernah

mampu menggenggam kehidupan menjadi milik kita

selamanya. Sebaliknya, di hadapan kehidupan,

keutuhan diri kita seolah-olah hadir sendiri

berhadapan dengan sesuatu yang lain tanpa bantuan.

Kita rupanya selalu terlambat untuk memahami esensi

kehidupan. Ringkasnya, kita itu rapuh, fana, terbatas

oleh ruang dan waktu.

Namun, seluruh kenyataan ini sebetulnya

merupakan hal yang “biasa”. Di antara yang aku dan

yang bukan aku, orang atau benda, dan seterusnya,

yang nampaknya memuat perbedaan mendasar

sesungguhnya adalah hal “biasa”. Eksistensi segala

sesuatu adalah perkara “biasa”. Jadi, perbedaan yang

tampak ada di antara saya dan yang lain, jarak dekat

dan jarak jauh, kemarin dan beribu-ribu tahun

lampau. Semuanya itu adalah hal “biasa”. Mengapa?

Karena eksistensi masing-masing sesuatu itu memuat

dimensi “biasa” pada dirinya sendiri, yang

sesungguhnya menjangkau kita pun mengalami

Page 20: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

20

dilema: antara segala yang ada itu berbeda atau

sama-sama “biasa” pada dirinya sendiri.

Kita menemukan diri kita sendiri kalau kita mau

mendekati kehidupan itu. Tetapi apa yang nampaknya

terdapat perbedaan yang besar antara saya dan yang

lain, sesama, baik yang dekat maupun yang jauh,

kemarin atau beribu-ribu tahun yang lalu, semuanya

merupakan hal yang sama-sama “biasa”. Seluruh yang

sama-sama biasa yang kita kira berbeda-beda itu

dipertemukan dan hadir secara serentak dalam diri

kita sendiri. Kita rupanya sibuk bergulat dengan diri

kita untuk meyakinkan diri kita bahwa ada perbedaan

di antara segala yang ada. Padahal, segala yang ada itu

sama-sama “biasa”, yakni sama-sama diadakan:

adanya segala yang ada karena ada yang

mengadakannya, sementara yang mengadakan segala

yang ada itu adanya tidak diadakan, adanya adalah

adanya. Interpretasi kita tentang perbedaan segala

yang ada bermuara pada pergulatan diri kita sendiri.

Kita bisa belajar dari pengalaman seorang sejarahwan.

Ia dapat memulai penelitiannya tentang sesuatu atau

seseorang dari mana saja dan terkait dengan apa dan

siapa saja. Akan tetapi, sehebat apa pun penelitiannya

itu, tidak bisa luput dari kenyataan bahwa sang

sejarawan itu pada akhirnya berjumpa dengan dirinya

sendiri. Dirinya adalah titik simpul pertemuan segala

Page 21: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

21

peristiwa yang direkamnya. Ia sesungguhnya

mengadakan rekonstruksi peristiwa yang sudah

berlalu dan tidak mungkin dipanggil kembali.

1.6. Tahap-Tahap Pemilahan Fenomena

Fenomenologi merupakan metode diskusi yang

sistematis dan ilmiah mengenai fenomena untuk

menyingkapkan esensinya. Selaras dengan itu,

fenomenologi menelaah fenomena dalam beberapa

tahap seperti dirunut di bawah ini:

a. Memberi nama

Sesuatu yang menampakkan diri pertama-tama

harus menerima nama. Semua tuturan pertama-tama

terdiri dari memberi nama: penggunaan nama penting

karena ia menjadi dasar untuk membangun suatu

bentuk berpikir yang bersifat antara memahami dan

membayangkan. Dengan memberi nama, kita

memisahkan fenomen-fenomen dan sekaligus

memilahnya. Dengan kata lain, kita mengadakan

klasifikasi. Kita menggabungkan fenomena-fenomena

atau menyeleksi dan menyortirnya. Upaya demikian

lebih tepat dinamakan sebagai pemurnian (purifikasi).

Sejak manusia memberi nama, sesungguhnya kita

menunjukkan diri kita dalam bahaya. Kita menjadi

limbung atau puas dengan nama. Untuk itu, kita atasi

Page 22: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

22

bahaya ini dengan tahap berikut, yakni menyisipkan

fenomena dalam hidup kita.

b. Fenomen masuk ke dalam hidupku

Kita menyisipkan fenomen dalam hidup kita.

Penyisipan ini bukan tindakan main-main. Realitas

adalah realitasku, sejarah adalah sejarahku. Kita mesti

sadar bahwa apa yang sedang kita buat bila kita mulai

mengatakan apa yang nampak kepada kita dan yang

kita namakan. Lebih lanjut perlu diingat bahwa apa

yang nampak pada kita, tidak tunduk pada kita secara

langsung, tuntas, tetapi hanya sebagai simbol suatu

makna untuk kita interpretasikan (pahami), sebagai

sesuatu yang menyerahkan diri kepada kita untuk

diinterpretasikan. Interpretasi ini menjadi mustahil

manakala kita tidak mengalami penampakan, dan

interpretasi ini dilakukan bukan dengan paksaan dan

setengah sadar, tetapi secara intensional (keterarahan

yang sadar) dan metodis.

d. Tidak Tuntas

Ketika fenomen masuk kedalam hidupku, pada

saat yang sama juga kesadaranku tak sampai pada

eksistensinya. Untuk itu, fenomenologi perlu

memperhatikan metode pengurungan (epoche) dan

pemahamannya mengenai peristiwa-peristiwa

Page 23: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

23

tergantung pada “pengurungan-pengurungan”. Dalam

konteks itu, fenomenologi berkutat hanya dengan

fenomen, yang menampakkan dirinya. Ia menggumuli

seluruh fenomen apa adanya, tidak semata-mata

yang ada “di belakang” fenomen. Metode

pengurungan ini bukan semata-mata alat untuk

bersikap terhadap realitas, tapi merupakan sebuah ciri

khas sikap seluruh manusia pada realitas. Tujuannya

adalah untuk mendapatkan “essenstia” fenomen

(yang hakiki dari fenomen). Dalam hal ini, seseorang

menjadi pasti hanya dengan memberi bentuk dan

makna pada benda-benda yang menampakan diri

pada kesadarannya. Maka fenomenologi sebenarnya

berdiri di samping dan memahami apa yang nampak

dalam pandangan, meski pemahamannya tidak

tuntas.

d. Klarifikasi

Memperhatikan apa yang nampak berarti

membuat klarifikasi mengenai apa yang diperhatikan.

Semua yang ada dalam satu tatanan mesti disatukan,

tetapi yang berbeda dalam tipe mesti dipisahkan.

Pembedaan ini, seharusnya tidak diputuskan dengan

mengacu pada hubungan kausal (A muncul dari B

sementara C mempunyai asalnya yang

menyatukannya dengan D), tetapi semata-mata

dengan memanfaatkan hubungan struktural, bagaikan

Page 24: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

24

pelukis yang melukiskan pemandangan dengan

menyatukan obyek-obyek kedalam kelompok atau

memisahkan mereka satu dengan yang lain. Ini berarti

kita mencari interrelasi tipikal ideal, dan berusaha

mengatur ini dengan keseluruhan yang lebih besar

makna dan sebagainya.

e. Pemahaman Lebih Murni

Semua aktivitas yang dialami bersama dan

serentak, menghasilkan suatu pemahaman sejati.

Realitas yang bersifat kaotik dan kasar menjadi sebuah

manifestasi, sebuah revalasi (penyingkapan). Fakta

empiris, metafisik menjadi sebuah data, obyek,

tuturan hidup, rigiditas, ekspresi. Ilmu-ilmu didasarkan

pada hubungan antara pengalaman, ekspresi dan

pemahaman. Dalam konteks itu, tampaknya

pengalaman yang tak dapat diraba dalam dirinya

sendiri, tak dapat ditangkap atau dikuasai, tetapi ia

menampilkan sesuatu kepada kita, pencuatan:

mengatakan sesuatu, perkataan/tuturan. Tujuan dari

ilmu tidak lain adalah memahami logos, secara hakiki

ilmu pengetahuan merupakan hermeneutik

(penafsiran atas realitas).

f. Koreksi terus menerus

Page 25: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

25

Kalau fenomenologi harus menyempurnakan

tugasnya, secara imperatif fenomenologi menuntut

suatu koreksi terus-menerus oleh penyelidikan

filologis (ilmu tentang manuskrip atau naskah kuno)

dan arkeologis secara sadar. Fenomenologi harus

selalu siap dikonfrontasikan dengan fakta-fakta

material, dan ini berlangsung dalam interpretasi;

berkutat dengan teks dan kemudian dengan fakta

yang secara konkret termuat di dalamnya: sesuatu

yang diterjemahkan dengan kata-kata lain.

g. Obyektivitas Murni

Prosedur yang seluruhnya dan kelihatannya rumit,

pada akhirnya mempunyai tujuan ke obyektivitas

murni. Fenomenologi berusaha untuk mencapai jalan

masuk pada fakta-fakta; untuk ini fenomenologi

membutuhkan makna, karena ia tidak dapat

mengalami fakta sesuai dengan kesenangannya.

Makna ini, murni obyektif. Artinya, semua reduksi,

baik empiris, logis maupun metafisik tidak dapat

dimasukkan. Fenomenologi memperlakukan semua

peristiwa dengan cara yang sama “dalam hubungan

langsung dan serentak dengan Allah” sehingga

hasilnya tidak tergantung pada hasil darinya, tetapi

pada eksistensinya sedemikian, pada dirinya sendiri.

Dalam konteks ini, hanya satu keinginan

Page 26: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

26

fenomenologi: memberi kesaksian pada apa yang

telah ditunjukkan padanya. Hal ini dapat dilaksanakan

dengan metode:

Tidak langsung

Pengalaman kedua mengenai peristiwa

Rekonstruksi yang cermat

Dalam konteks itu, fenomenologi dapat mengeluarkan

semua kalangan demi mencapai keinginannya, yakni:

memberi kesaksian. Melihat dari wajah ke wajah

ditolak. Tetapi melihat dalam cermin dan sesuatu

yang mungkin untuk berbicara mengenai benda yang

dilihat.

Page 27: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

27

BAGIAN II

AGAMA DAN FENOMENOLOGI AGAMA

2.1. Pengantar

Usia agama itu setua umur umat manusia. Dapat

dipastikan bahwa tidak ada komunitas manusia yang

hidup tanpa agama atau suatu kepercayaan tertentu

kepada adanya Yang Mahatinggi, yang oleh agama

monoteis disebut Allah atau Tuhan itu.

Telah banyak definisi yang diberikan kepada

agama. Ia dinalar baik dari segi etimologis, maupun

dari segi esensi. Penalaran atas agama dapat

dilakukan dengan dua pendekatan, yakni vertikal dan

horizontal. Semua definisi dan pendekatan dilihat

dalam konteks fenomenologis. Maka definisi atas

agama dapat beraneka ragam. Keanekaragaman

definisi atas agama menunjukkan bahwa agama

memang multi faset, sehingga cukup sulit dikemas

dalam sebuah definisi yang baku dan seragam. Maka,

apa pun definisi yang diberikan kepadanya,

sebetulnya bermaksud untuk melukiskan secara lain

tentang esensi yang sama dari agama-agama.

Page 28: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

28

2.2. Definisi Agama

Sebagai hal yang multi faset, agama (religio) cukup

sulit dikemas dalam sebuah definisi tunggal. Setiap

definisi atasnya menyajikan sebuah pemahaman

tertentu saja tentang esensi yang sama. Dalam

bahasa Latin, religio berarti perasaaan, yang

tersatukan dengan rasa takut dan ragu dalam

menjalankan kewajiban yang berhubungan dengan

dewa-dewi. Supaya kita terbantu dalam memahami

definisi agama, berikut akan diuraikan secara esensial

dan etimologis.

Secara esensial agama pada umumnya dipahami

sebagai kumpulan keyakinan atau tindakan

penyembahan yang menunjukkan hubungan dengan

yang kudus dan hubungan dengan keilahian.

Secara etimologis, definisi atas agama menjadi

bahan diskusi. Terkait dengan etimologi agama

terdapat dua kelompok yang berbeda pendapat

mengenai akar kata agama yang dalam bahasa Latin

disebut religio.

Agustinus, Lattansius dan Servius mengatakan

bahwa kata religio berasal dari kata RELIGARE

(mengikat) dan ‘reeligere’, yang berarti memilih lagi.19

Di sini agama dilihat sebagai suatu hubungan dengan 19 Heuken, A., ENSIKLOPEDI GEREJA, IA-G, hlm. 31.

Page 29: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

29

kewajiban menjalankan praktik-praktik tertentu.

Cicero berpendapat bahwa agama berasal dari kata

dalam bahasa Latin ‘relegere’, (membaca kembali). Di

sini agama memberi peluang kepada umatnya untuk

melihat dengan penuh perhatian medan kehidupan

(dievaluasi) dalam kaitannya dengan yang ilahi.

Berdasarkan penelusuran secara etimologis di

atas kita dapat menalar makna agama dalam tiga

perspektif, yakni: mengikat, memilih dan membaca

kembali. Pertama, religi merupakan cara (jalan yang

selalu terbuka) untuk manusia “mengikat lagi” relasi

yang sempat terputus dengan Allah karena keegoisan

manusia. Manusia yang pernah melepaskan diri dari

Allah diberi kesempatan untuk senantiasa kembali

kepada-Nya melalui religi. Kedua, agama bisa juga

dimaknai sebagai wahana untuk manusia menentukan

pilihan hidup secara tepat dan benar dalam konteks

horizontal dalam rangka penghayatan relasi vertikal

(dengan yang ilahi). Ketiga, agama juga diyakini

sebagai institusi yang selalu memberikan ruang

evaluasi untuk mengkritisi kembali lembaran-

lembaran pengalaman hidup dan berdasarkan itu pula

dimungkinkan adanya rekonsiliasi untuk segala

kekeliruan (dosa). Berdasarkan itu pula, agama

bagaikan energi yang membebaskan manusia dari

belenggu akibat tiranik tuntutan diri yang egois,

Page 30: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

30

pongah, dan serakah. Manusia yang menyesali dosa-

dosanya dan bertobat mendapat pengampunan Allah.

Walaupun agama merupakan suatu institusi,

tetapi ia perlu dibedakan dari institusi sosial yang lain.

Pembedaan ini didasarkan pada ciri-ciri khusus yang

ada pada agama. Ciri-ciri agama dapat dikenali melalui

tiga hal, yakni:

Pertama, pengikutnya menjalankan secara

teratur “ritus-ritus” tertentu dan mengucapkan

rumus-rumus tertentu untuk mengekspresikan

keyakinan atas agama atau ajarannya. Kedua, iman

(ungkapan iman) pada suatu nilai absolut (mutlak).

Iman ini merupakan obyek yang dipertahankan oleh

komunitas beragama. Ketiga, adanya kemungkinan

(peluang) untuk individu (umat beriman) untuk

menjalin relasi dengan satu kekuatan spiritual (ilahi,

rohani) yang mengatasi manusia. Kekuatan spiritual

itu diterima sebagai sesuatu yang memancar dan

menyinari segala sudut semesta yang pada akhirnya

memuncak dan bersatu dengan Allah.

2.3. Dua Pendekatan Untuk Memahami Agama

Sebagai hal yang multi faset, agama perlu

dipahami melalui dua pendekatan, yakni pendekatan

horisontal (berlangsung mendatar dalam ranah

Page 31: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

31

kehidupan) dan pendekatan vertikal (berlangsung dari

atas ke bawah atau sebaliknya).

Kita bisa mencoba memahami agama dari suatu

bidang horisontal, yakni dari diri kita sendiri sebagai

pusat (pengalaman manusia sebagai pribadi: sebab

pengalaman agama tidak terlepas dengan

pengalaman masing-masing pribadi). Kendati

demikian, kita juga bisa memahami esensi agama

sebagai anugerah pengertian yang hanya datang dari

atas. Artinya berangkat dari inisiatif Allah kepada

manusia. Dengan kata lain, kita bisa mengerti agama

sebagai pengalaman yang bisa masuk akal karena

anugerah dari Allah. Berbeda dari hal ini, kita juga

dapat memandang agama dari perspektif wahyu

sebagai hal yang tidak bisa dipahami secara tuntas.

Secara relasi vertikal, pengalaman beragama

sebetulnya bisa dipahami bahwa wahyu turun kepada

manusia atas inisiatif Allah sendiri. Tetapi “refleksi

atas pengalaman tersebut sebagai sebuah tannggapan

iman mentransformasikannya menjadi sebuah

fenomen, meskipun wahyu pada dirinya sendiri

bukanlah sebuah fenomen. Jawaban manusia kepada

wahyu (pernyataan imannya) merupakan suatu

fenomen. Dari fenomen ini secara tidak manusia

langsung lantas menarik kesimpulan-kesimpulan atas

wahyu.

Page 32: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

32

a. Pendekatan Horizontal

Telaah atas agama berdasarkan pendekatan

horisontal dan vertikal menunjukkan bahwa agama

secara implisit hendak menggarisbawahi

kecenderungan manusia, yakni: manusia tidak begitu

saja menerima hidup yang diberikan kepadanya.

Seluas rentang hidup manusia ditandai oleh niat serius

untuk mencari sang Kuasa. Manusia telah selalu

berusaha menarik Sang Ilahi kepada hidupnya sendiri.

Ia berusaha mengangkat hidup, meningkatkan

nilainya, memberinya suatu makna lebih dalam dan

lebih luas dalam kerangka keyakinannya akan yang

Ilahi. Inilah yang disebut garis horisontal agama.

Dengan cara ini insan beragama mengalami

agama sebagai perluasan hidup kepada batasnya yang

paling jauh. Agama rupanya memotivasi manusia

untuk menggapai hidup yang lebih kaya, lebih dalam

serta lebih luas. Dalam konteks itu, agama menjadi

semacam instrumen suci untuk memenuhi hasrat

abadi manusia, yakni memiliki keutuhan diri dengan

Sang Daya (power) Ilahi yang kekal.

Lantas, manusia yang tidak begitu saja menerima

hidupnya apa adanya selalu berusaha mendekatkan

dirinya pada Sang Kuasa agar ia menemukan suatu

makna terdalam dari hidupnya. Dalam rangka itu,

Page 33: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

33

manusia pun menata hidup ke dalam suatu

keseluruhan yang bermakna. Proses demikian

berlangsung secara evolutif hingga bermuara pada

“kebudayaan”. Sebetulnya, upaya manusia yang abadi

adalah mengejar makna hidup. Dalam rangka itu pula,

manusia menebarkan gagasan dan kreasi yang

dirajutnya secara sistematis agar dapat merengkuh

hidup yang bermakna. Kreasi-kreasi manusia pun

tampil dalam pelbagai variasi desain: karya seni baik

yang bercorak religius dan non-religius, adat,

ekonomi, pertanian (patung dari batu batu dan kayu,

seperangkat perintah dan aturan sebagai rujukan

hidup bersama, tanah garapan dari hutan belantara).

Semuanya itu terjadi dalam rangka manusia

mengembangkan daya, yang kian lama kian dalam dan

luas. Maka agama menyiratkan kodrat manusia

sebagai makhluk yang tak pernah puas. Seluruh

rentang hidupnya diwarnai dengan pencarian akan

makna hidup yang sejati. Manusia selalu menanyakan,

mencari, dan berusaha menyimpulkan makna

teraklhir yang merupakan dasar yang paling dalam.20

20 Misalnya, meskipun manusia mengetahui bahwa sekuntum bunga

indah dan menghasilkan buah, ia selalu terdorong untuk mencari dan menanyakan makna bunga yang lebih dalam dari bunga tersebut, makna yang terakhir. Bila ia tahu bahwa istrinya cantik; terampil bekerja dan dapat melahirkan keturunan atau bila ia memahami bahwa ia harus menghargai istri orang lain,

Page 34: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

34

Oleh karena itu, makna religius dari segala

sesuatu di muka bumi inj merupakan makna terakhir.

Artinya, tidak ada lagi makna apa pun yang lebih

dalam setelah makna religius sebab makna religius

adalah makna dari suatu keseluruhan; makna terakhir.

Sayangnya, makna religius ini tak pernah dimengerti

secara tuntas. Ia merupakan suatu rahasia yang tak

henti-hentinya menyingkapkan dirinya, namun terus-

menerus lolos dari tangkapan inderawi manusia

secara tuntas. Makna religius menyiratkan adanya

suatu gerak maju ke arah batas terakhir, suatu batas

di mana seluruh pengertian manusia “dilampaui”

sehingga ia dengan sendirinya merupakan batas

makna.

Meskipun demikian, manusia beragama selalu

berupaya menempuh jalan menuju suatu yang

mahakuasa, yang kepadanya ia yakinkan dirinya untuk

memperoleh suatu pengertian yang penuh akan

makna terakhir. Manusia pun dengan senang hati

mencoba menangkap hidup, untuk menguasainya.

Oleh karena itu, manusia tak henti-hentinya mencari

sebagaimana ia menginginkan orang lain menghargai istrinya, ia lalu terus mencari dan menanyakan makna terakhir istrinya. Dengan begitu ia menemukan rahasia bunga dan rahasia istri (wanita). Dan dengan begitu pula ia menemukan makna religius. Makna itu berangkat dari makna yang ada, makna yang paling mendasar.

Page 35: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

35

keunggulan-keunggulan baru sebagai bukti bahwa ia

mampu menguasai hidup ini. Upaya demikian

berlangsung terus sampai pada akhirnya manusia

berdiri pada batas terakhir dan ia memahami bahwa

keunggulan terakhir tidak akan pernah ia gapai, tetapi

keungulan terakhir itu menjamahnya secara misterius

dan tak bisa dimengerti. Tuhan adalah keunggulan

final hidup manusia. Agama memberi peluang lebar

bagi manusia untuk terserap oleh keunggulan terakhir

itu.

b. Pendekatan Vertikal

Bila pendekatan horisontal memahami agama

bertolak dari pengalaman beragama manusia dalam

bidang datar, pendekatan vertikal berusaha

memahami agama dari bawah ke atas dan dari atas ke

bawah. Meski demikin, pendekatan ini tidak seperti

pendekatan horisontal yang bertolak dari suatu

pengalaman yang melintas di depan suatu batas.

Pendekatan vertikal merupakan suatu wahyu, yang

datang dari seberang batas itu. Pendekatan horisontal

merupakan pengalaman yang tentunya merupakan

suatu persiapan atau pratanda wahyu, tetapi tidak

pernah sampai pada wahyu. Di lain pihak, pendekatan

vertikal berangkat dari suatu wahyu, yang tidak

Page 36: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

36

pernah dimengerti sepenuhnya kendati ia mengambil

bagian dalam pengalaman.

Pendekatan horisontal memang bukan suatu

fenomen yang dapat di raba, tetapi lebih merupakan

suatu fenomen yang dalam batas tertentu dapat

dimengerti. Sementara pendekatan kedua (vertikal),

sama sekali bukanlah fenomen dan tidak pernah bisa

dicapai dan dimengerti. Maka, apa yang bisa kita

peroleh dari pendekatan kedua secara fenomenologis

hanyalah cerminannya dalam pengalaman. Tuhan

tidak pernah bisa pahami dengan kemampuan

intelektual belaka. Apa yang bisa kita pahami

tentangNya hanyalah sebatas jawaban yang kita

konsepsikan sendiri.Pengertian kita tentang Tuhan

hanyalah sebatas dunia yang kita alami saja.

Maka upaya manusia dalam mencari yang ilahi,

yang Kuasa dalam hidup tidak pernah mencapai

batas. Dalam rentang pencariannya, ia sebatas

menyadari bahwa dirinya bergerak menuju suatu

wilayah yang sama sekali berbeda, sama sekali asing.

Dalam pengertian ini, manusia yang sedang dalam

perjalanan pencarian akan sang Kuasa itu memang

berada dalam wilayah yang menawarkan suatu

prospek tersingkapnya jarak tak terbatas itu

kepadanya, tetapi ia juga serentak tahu bahwa

perjalannanya itu dikitari oleh hal-hal yang sangat

Page 37: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

37

mengagumkan dan jauh sekali. Ia menyadari

kehadirsan sang Kuasa dan digenggam olehNya.

Meskipun manusia sadar bahwa ia menuju wilayah

yang menakutkan karena merupakan “rumah Tuhan”

dan “gerbang Surga”, tetapi ia sungguh tahu pasti

bahwa sesuatu menemuinya di jalan itu. Mungkin

malaikat yang berjalan di depannya dan

membimbingnya dengan aman: mungkin malaikat

dengan pedang menyala yang melarangnya melewati

jalan itu. Akan tetapi, yang pasti ialah bahwa sesuatu

yang asing telah melintasi jalan itu dengan segala

Kuasanya sendiri.

Yang asing ini tidak mungkin di beri nama sebab

tidak dijumpai di sepanjang jalan manusia sendiri.

Rudolf Otto telah mengusulkan “Yang Numinous”,

mungkin sekali karena ungkapan ini tidak mengatakan

apa apa. Lagi-lagi unsur yang asing ini hanya bisa

didekati lewat jalan negatif (per viam negationis: jauh

lebih mudah untuk mengatakan Alah itu bukan ini-itu

ketimbang berusaha membahasakannya bahwa ia

adalah ...). Lantas Rudolf Otto kembali mengajukan

istilah yang tampaknya begitu netral, yakni: “the

wholly Other” (Yang Lain Sama Sekali). Namun

demikian, untuk yang asing ini agama-agama sendiri

telah menciptakan istilah “holy” (kudus). Istilah

Jermannya diambil dari Heil, “penuh Kuasa”; bahasa

Page 38: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

38

Latin, sanctus, dan ungkapan kuno, tabu punya arti

dasariah “terpisah”, “menyendiri”. Semua istilah tadi

adalah upaya untuk melukiskan pengalaman

beragama sebagai: suatu Yang Lain Sama Sekali, asing,

Sang Daya yang merasuki kehidupan. Sikap manusia

terhadapnya pertama-tama adalah kagum dan

bermuara pada pengakuan, penerimaan secara tulus

dan ikhlas, yakni: iman.

2.4. Perpaduan Dua Pendekatan

Kesimpulannya, batas keberdayaan manusia serta

mulainya yang ilahi bersama-sama merupakan tujuan

yang telah dicari dan ditemukan dalam agama segala

zaman: keselamatan. Keselamatan ini mungkin saja

peningkatan hidup, kemajuan, pengindahan,

pendalaman, serta perluasan hidup. Tetapi dengan

istilah “keselamatan” bisa juga dimaksudkan suatu

hidup baru sepenuhnya, suatu penciptaan kehidupan

baru yang telah diterima dari “tempat lain”. Akan

tetapi, bagaimanapun juga, agama selalu diarahkan

kepada keselamatan, tidak pernah kepada kehidupan

sendiri sebagaimana sudah diberikan. Dan, dalam hal

ini, semua agama tanpa kecuali merupakan agama

keselamatan (pembebasan).

2.5. Makna Konotatif Agama

Page 39: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

39

Dilihat dari aspek substantifnya, agama memiliki

makna konotatif, yakni: berisi seperangkat nilai dan

norma, perintah dan larangan, nasihat dan anjuran,

serta perumpamaan-perumpamaan didaktis.

Semuanya itu dicakupkan sebagai suatu ajaran suci

yang mampu mempertemukan manusia beriman

dengan Tuhan yang diimaninya.

Seperangkat ajaran suci itu membuka hati

manusia beriman untuk mampu melihat tanda-tanda

zaman dengan mata imannya secara teliti. Ia juga

merupakan wadah dan sarana untuk meningkatkan

rasa persatuan; solidaritas antar-ciptaan yang berskala

sosio-kosmik, yakni kesadaran manusia bahwa segala

sesuatu berakar di dalam dan dinaungi oleh satu

Realitas absolut dan Agung, yang oleh manusia

beriman disebut Allah. Religi juga menggugah

kesadaran manusia akan panggilan hakikinya sebagai

manusia, yakni menjadi sosok manusia yang

“humanum”, meminjam istilah Hans Küng, yakni

manusia yang merasa bahwa sesamanya adalah

tanggungjawabnya juga. Manusia yang bersatu secara

utuh dan penuh dengan Allah dan sesamanya dalam

suasana penghayatan iman, pengharapan, dan kasih.21

21 Küng, Hans, 1986, Christianity and the World Religions: Paths of

Dialogue with Islam, Hinduism and Buddhism. Trans. Peter Heinegg. New York: Doubleday, hlm. xvi.

Page 40: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

40

Dilihat dari aspek konotatifnya, istilah agama atau

religi memuat penalaran secara dualistik terhadap

realitas: ada tempat sakral dan ada tempat profan,

ada roh baik dan roh jahat, halal dan haram, ada

dunia nyata dan dunia gaib, ada surga dan ada neraka,

ada Tuhan sebagai penguasa Surga dan ada setan

sebagai penguasa neraka.

Konotasi lainnya adalah pemikiran tentang yang

suci, mistis, ilahi, tabu, pantang, puasa, berkat, dan

rahmat, dll. Pemahaman religi atau agama seperti itu

erat kaitannya dengan penghayatan iman seseorang

berdasarkan ajaran-ajaran agamanya.

Singkatnya, istilah religi atau agama tertuju pada

sikap percaya dan pasrah kepada realitas transenden

yang diyakini bisa hadir secara imanen dalam dan

melalui aktifitas-aktifitas spiritual. Adanya Wujud

Tertinggi dan kelompok manusia yang percaya

kepada-Nya sebagai penyangga kehidupan semua

makhluk di alam semesta ini.

Namun secara konotatif pula, istilah religi

menyiratkan adanya sosok pribadi yang figuratif untuk

diteladani karena taat dan saleh dalam mentaati

ajaran agama, yang disebut sebagai manusia religius.

Jadi, secara konotatif agama atau religi

menghantar seseorang ke arah “to be religious”. Tolok

ukurnya adalah mencintai Allah di atas segala-galanya

Page 41: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

41

dan mencintai sesama manusia melalui perbuatan

nyata: amal, bersedekah, pengampunan dan

penerimaan dalam persaudaraan, (toleran dan

solider), serta berkomitmen etis, aktif dan proaktif

dalam memelihara lingkungan alam dalam praksis

kehidupan.

2.6. Makna Kualitatif Agama

Sebagai sistem kepercayaan, agama memiliki

beberapa makna bagi kehidupan para penganutnya,

yakni mengarahkan manusia pada kondisi hidup

sanitas (kesehatan jiwa), integritas (keutuhan

psikologis), unitas (keutuhan diri secara lahir dan

batin, jasmani dan rohani), sosialitas (kebersamaan

secara bertanggungjawab), dan eskatologis

(keselamatan pada akhir jaman, akhirat). Berikut ini

adalah deskripsi singkat atas makna-makna di atas.

Pertama, Sanitas, dalam artian bahwa manusia

mengalami kesehatan jiwa tatkala ia menghayati

religinya. Jadi, bukan sebaliknya seperti yang

ditegaskan oleh Sigmund Freud bahwa religi itu

menyeret manusia ke arah sakit jiwa dan mental

kekanak-kanakan.

Kedua, Integritas, memuat makna bahwa berkat

penghayatan di dalam nilai dan norma religi, manusia

beriman dapat mengalami keutuhan psikis, tidak

Page 42: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

42

dirobek-robek oleh konflik psikis dan sosial. Manusia:

individu dengan individu, individu dengan kelompok,

dan kelompok dengan kelompok sanggup hidup

berdampingan secara damai, saling menghargai dan

mengasihi sehingga terciptalah persatuan dan

solidaritas atas dasar kesadaran kesamaan hak,

martabat, dan derajat antar manusia.

Ketiga, Unitas, memuat makna bahwa religi

adalah sumber kekuatan yang menyatukan. Manusia

bisa hidup dalam suasana penuh persatuan dan

kedamaian dalam penghayatan religi yang benar atas

dasar kesadaran bahwa poros dan sentral setiap religi

adalah satu, yakni Allah. Di sini perbedaan

pemahaman dan ajaran tentang Allah dipahami tidak

sebagai sumber pertentangan dan masalah,

melainkan sebagai kekayaan khazanah iman atau

cakrawala iman dan pemahaman akan Allah sebagai

sosok yang misterium. Aspek unitas ini merupakan

peluang bagi penghargaan terhadap hak, harkat, dan

martabat manusia secara sama. Pemahaman dalam

kadar seperti itu membuka peluang lebar bagi

suasana hidup yang diliputi oleh keadilan, kedamaian,

dan kerukunan.

Keempat, Sosialitas, artinya setiap manusia yang

menghayati religi atau agamanya dengan benar akan

memiliki kesadaran tinggi tentang keberadaan

Page 43: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

43

sesamanya sebagai bagian integral dari eksisntensi

dirinya sendiri. Kesadaran akan koeksistensi itu

membuat setiap manusia merasa bertanggungjawab

terhadap siapa pun dalam realitas sosial ini.

Kelima, eskatologis, mengandung makna bahwa

insan beriman, berkat penghayatan imannya secara

baik dan benar berdasarkan ajaran agamanya,

berkembang dalam keyakinan imannya sehingga ia

yakin dan percaya akan adanya kebangkitan jiwa dan

raga kelak di Surga. Dalam tataran ini, insan beriman

melihat akhir zaman atau kematian bukan sebagai

garis final eksistensi hidupnya di dunia, melainkan

sebagai langkah awal menuju hidup baru dalam

suasana hidup yang firdaus, di sisi Allah di Surga.22

Berdasarkan makna kualitatif agama di atas,

otentisitas kehidupan manusia beragama terletak

pada kesediaannya secara sadar, tahu, dan mau

menghayati dan mewujudkan ajaran agama yang ia

yakini dan imani secara bertanggungjawab terhadap

kehidupan dalam realitas sosialnya, dan alam semesta

ini, serta mau bersikap dan berperilaku toleransi

terhadap penganut agama lain. Akhirnya, setiap

manusia diharapkan mampu saling menerima satu

dengan yang lainnya sebagai ciptaan Allah; bahwa

22 Bdk. Agus Rachmat., Diktat Teologi Keselamatan I, Universitas

Katolik Parahyangan, Fakultas Filsafat, hlm. ii-iv.

Page 44: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

44

setiap manusia adalah ciptaan Allah yang bermartabat

luhur, sebab semua agama mengajarkan umatnya

untuk saling menghormati dan memelihara kehidupan

di bawah kolong langit dan di segenap alam semesta

ini.

Perspektif kualitatif agama seperti dideskripsikan

di atas menunjukkan eksistensi agama secara esensial

berpihak pada terciptanya kondisi hidup sosial yang

harmonis. Kondisi hidup yang harmonis itu identik

dengan kondisi hidup yang manusiawi secara utuh

dan penuh. Persoalannya adalah, bagaimanakah

mewujudkan kondisi hidup sosial yang harmonis dan

manusiawi dalam realitas sosial yang majemuk?

Bagaimana upaya memahami agama yang benar

sebab perjumpaan antara agama-agama yang

berbeda kerapkali diwarnai dengan sikap curiga, klaim

kebenaran sepihak sehingga agama dirasa sebagai

wilayah rentan konflik?

2.7. Fungsi Agama Bagi Manusia Dan Masyarakat

Manusia beragama bukan semata-mata karena ia ikut-

ikutan. Pada tataran kesadaran reflektifnya, manusia

tetap beragama karena ia menyadari bahwa agama

memberi fungsi tertentu baginya yang penting demi

kelangsungan dan pemaknaan hidupnya. Dalam

Page 45: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

45

bukunya Sosiologi Agama, D. Hendropuspito23

menampilkan 5 fungsi agama, yakni: Edukatif,

penyelamatan, pengawasan sosial, profetis atau kritis,

dan memupuk persaudaraan. Selain fungsi-fungsi itu,

agama juga memuat fungsi transformatif dan

penjelasan. Berikut adalah ulasan singkat terhadap

fungsi-funsi agama itu.

a. Fungsi Edukatif

Bagi umat beragama, ajaran-ajaran agama bersifat

didaktis. Maka tugas agama sebagai institusi, antara

lain, mengajar dan membimbing umatnya kea rah

yang benar. Agama dinilai sanggup memberikan

pengajaran yang otoritatif ; bahkan dalam hal-hal

yang sacral, tidak dapat salah. Bentuk-bentuk fungsi

edukatif agama itu, antara lain, khotbah, renungan,

meditasi, pendalaman rohani. Untuk menjalani

fungsinya ini, agama harus memiliki fungsionaris

seperti syaman, dukun, kyai, pedanda, pendeta,

pastor, imam, guru agama, bahkan seorang nabi.

Selain itu tugas bimbingan yang diberikan petugas-

petugas agama juga dibenarkan dan diterima

berdasarkan pertimbangan yang sama.

b. Fungsi Penyelamatan 23 Drs. D. Hendropuspito, op. cit., 38-56

Page 46: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

46

Setiap manusia mendambakan keselamatan. Salah

satu syarat untuk mencapai keselamatan adalah hidup

dalam kesucian dan kedamaian, lahir dan batin dalam

relasi vertikal dan horizontal. Agama memberi

jaminan bahwa keselamatan abadi yang bersyarat itu

dapat direngkuh manusia beriman melalui cara-cara

tertentu yang khas dan sakral, yakni berkomunikasi

dengan Yang Suci, sebagai penjamin keselamatan

abadi itu dalam dan melalui upacara-upacara

keagamaan dan tindakan nyata kepada sesama. Selain

itu, agama juga menunjukkan cara-cara untuk

“mendamaikan kembali” manusia yang salah dengan

Tuhannya melalui upacara rekonsiliasi (pemulihan dan

pendamaian kembali) dalam bentuk tobat.

c. Fungsi Pengawasan Sosial

Kebanyakan agama di dunia menyarankan kepada

kebaikan. Tuntutan agama kepada kebaikan adalah

mutlak. Setiap agama memuat kode etik perihal kehi-

dupan sosial, yang pada umumnya menuntut para

penganutnya untuk berperi-laku baik terhadap

sesama manusia, baik yang seagama maupun yang

berbeda agama. Dalam konteks itu, agama merasa

bertanggungjawab atas adanya norma-norma susila

yang baik yang diberlakukan atas masyarakat manusia

umumnya. Maka agama menyeleksi kaidah-kaidah

Page 47: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

47

susila yang ada dan mengukuhkan yang baik sebagai

larangan atau tabu. Agama memberi juga sangsi-

sangsi yang harus dijatuhkan kepada orang yang

melanggarnya dan mengadakan pengawasan yang

ketat atas pelaksanaannya.

d. Fungsi Profetis atau Kritis

Fungsi ini diperankan baik oleh tokoh agama maupun

oleh umat beragama bertolak dari keyakinan terdlam

atas ajaran agama yang telah terinternalisasi dalam

kehidupannya. Dalam praksis kehidupan fungsi

profetis ini berupa kritik dan penyadaran kepada

pihak-pihak yang sedang berkuasa atau pemegang

tampuk pemerintahan yang dalam kedudukannya

melakukan tindakan-tindakan yang melanggar kaidah-

kaidah susila sehingga menimbulkan kerugian dan

penderitaan baik moral maupun material kepada

rakyat bawahannya.

e. Fungsi Memupuk Persaudaraan

Secara ideal normatif agama memang menghantar

orang untuk saling mencintai dan mengasihi:

bersaudara. Tak satupun agama yang mengajarkan

dan membolehkan sifat permusuhan. Agama justru

terus-menerus menentang sifat-sifat destruktif yang

merenggangkan manusia satu terhadap yang lain, baik

Page 48: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

48

yang sama agamanya, etnisnya, bangsanya,

negaranya, alran politiknya, maupun yang berbeda.

Agama dengan segala aspek-aspek ajarannya

merangkul setiap manusia ke dalam persaudaraan.

Tapi pernyataan ini bisa segera ditampik sebagai

sebuah “kegombalan suci” mengingat catatan sejarah

menunjukkan bahwa hamper semua kekerasan dan

kejahatan terhadap manusia bertautan erat dengan

penghayatan ajaran-ajaran agama. Konflik

antaragama yang terjadi hamper diseluruh dunia

seakan-akan membantah fungsi agama sebagai “yang

memupuk persaudaraan”.

f. Fungsi Transformatif

Fungsi ini lebih bernuansa mengubah mentalitas

kehidupan insane beragama dari mentalitas yang

terbentuk oleh nilai-nilai tradisioal ke mentalitas baru

yang dibentuk berdasarkan nilai-nilai religiusitas.

Maka, fungsi transformative agama berarti juga

mengubah kesetiaan manusia kepada nilai-nilai adat

yang kuran manusiawi dan membentuk kepribadian

manusia yang ideal. Bersamaan dengan itu,

transformasi berarti pula membina dan

mengembangkan nilai-nilai social adapt yang pada

intinya baik dan dimanfaatkan untuk kepentingan

yang lebih luas.

Page 49: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

49

g. Fungsi Penjelasan

Fungsi penjelasan agama terletak pada

kemampuannya untuk memberi penjelasan mengenai

asal-usul dunia (sebagai satu keseluruhan) dan

kedudukan manusia di dalam dunia. Dalam konteks

ini, peranan filsafat sangat membantu. Contohnya,

agama-agama monoteisme menjelaskan kepada

manusia bahwa dunia beserta isinya diciptakan oleh

Tuhan dan setiap manusia harus menaati Tuhan.

Sementara itu, fungsi keterikatan terletak pada

ajarannya yang memberi rasa keterikatan kepada

suatu kelompok manusia. Adalah Emile Durkheim,

sosiolog kenamaan yang menegaskan fungsi agama

sebagai kohesi sosial. Kendati pandangannya itu

menuai kritik dari kalangan tokoh agama sebab

mengabaikan dimensi transendental agama, tapi

Durkheim punya alasan tertentu berkaitan dengan

sistem agama yang menimbulkan keseragaman sikap

dan iman (kepercayaan) dan tingkah laku, pandangan

dunia dan nilai yang sama.

2.8. Mengapa Manusia Beragama?

Seperti diutarakan di atas sebagian besar

penghuni planet bumi kita menganut salah satu

agama dan dengan berbagai cara berusaha

Page 50: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

50

mengungkapkan serta menghayatinya.

Pertanyaannya, mengapa manusia menganut agama?

Meski berbeda dalam agama dan bentuk serta cara

menganutnya. Ada berbagai macam alasan yang

mendorong atau yang memotivasi manusia beragama,

antara lain:

a. Mendapatkan Keamanan

Hidup manusia di dunia ini sungguh sangat

menarik, tapi tidak selalu aman. Alam tidak selalu

ramah pada manusia. Gempa bumi bisa kapan saja

terjadi. Gunung berapi bisa saja meletus tanpa

diketahui. Wabah penyakit bisa berkecamuk dan

menular begitu cepat. Peredaran musim bisa saja tak

menentu, berubah di luar musim. Kekereingan bisa

berkepanjangan, sementara curah hujan bisa saja

berlebihan sampai terjadi bencana banjir.

Mereka yang hidup di tepi pantai setiap kali bisa

diterjang gelombang pasang yang dahsyat dan

menghapus apa saja yang ada (tsutnami), sementara

di daratan bisa saja diporakporanda oleh angin taufan

sehingga rumah dan gedung serta pohon-pohon bisa

runtuh dan mematikan. Banyak hal yang bisa diatasi

manusia berkat kecanggihan ilmu pengetahuan dan

teknologi, tapi masih banyak juga yang tak terpahami

dan tak terdeteksi solusi alternatifnya demi keamanan

Page 51: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

51

hidup. Dalam situasi seperti itulah manusia berpaling

kepada Allah, memohon kepada-Nya agar mendapat

perlindungan dan dijauhkan dari segala marabahaya

dan malapetaka akibat bencana alam, penderitaan

berbagai penyakit, dan perbuatan jahat sesama

manusia.

b. Mencari Perlindungan

Hidup manusia penuh dengan ketidakpastian dan

ketidaktentuan. Manusia tidak menemukan sesuatu

yang dapat sungguh-sungguh diandalkan dalam

melindungi dirinya dari berbagai ketidakpastian dan

ketidaktentuan. Mereka yang bersandar pada

lingkungan, ternyata tak cukup membantu kalau

dibutuhkan. Mereka yang berlindung di balik harta,

pangkat dan jabatan ternyata mendapat ketentraman

semu belaka, sebab tidak semua persoalan hidup bisa

diselesaikan dengan harta kekayaan. Mereka yang

belindung pada orang-orang berkuasa ternyata sering

malah dimanfaatkan demi kekuasaan, atau hanya

merasa aman sewaktu yang berkuasa itu masih kuat

kekuasaannya. Mujur kalau orang berkuasa itu bisa

selalu mengatasi persoalan hidup mereka yang

berlindung kepadanya, tapi tidak jarang malahan

orang kuat dan kuasa itu tidak mampu atau tidak mau

turun tangan mengatasi masalah orang-orng yang

Page 52: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

52

berlindung kepadanya. Dalam situasi seperti itulah

manusia mencari perlindungan kepada Allah,

menyerahkan hidupnya kepada Allah, sebagai sumber

kepastian dan ketentuan hidup yang dapat dipercaya

dan diandalkan.

c. Misteri Kehidupan

Manusia lahir dan hadir ke dunia tanpa melalui

proses negosiasi; konsultasi, dan wawancara dengan

Sang Penciptanya. Dalam kehidupannya, manusia

menemukan dan menghadapi berbagai macam

persoalan hidup yang menimbulkan pertanyaan

seputar hidupnya dan menuntut jawaban segera.

Manusia mempertanyakan kehidupannya: dari mana

asal hidup ini? Untuk apa manusia hidup? Mengapa

manusia lahir-hidup-mati? Sesudah mati manusia ke

mana? Manusia juga ingin tahu tentang alam

semsesta. Apakah alam semesta itu? Berapa lama

alam ini akan berlangsung? Dsb..Pertanyaan-

pertanyaan itu menuntut jawaban. Namun, tidak ada

yang mampu memberi penjelasan atau jawaban yang

memuaskan. Dalam kepenasarannya itu, manusia

mencari agama karena bergerak di bidang

pertanyaan-pertanyaan fundamental itu. Agama

mengajarkan bahwa Allah adalah alasan di balik

semua misteri kehidupan ini. Allah adalah awal dan

Page 53: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

53

akhir dari semua yang ada (alfa dan omega). Oleh

karena itu, manusia mengacu pada ajaran agama

untuk mencari kejelasan atas makna hidup dan alam

raya yang dihuninya.

d. Memperoleh Pembenaran Praktik Hidup

Dalam masyarakat terdapat berbagai praktik hidup

yang baik dan berguna: rajin bekerja, sopan santun,

gotong royong, setia kawan, jujur dalam perkataan

dan perbuatan, dll. Semuanya itu memang menarik

dan berguna, tapi agar orang lebih terdorong untuk

melakukan praktik-praktik hidup tersebut maka

ditambahkanlah “motivasi agama”. Bekerja rajin

merupakan ibadah, turut menyempurnakan ciptaan

Allah; “sopan santun” terhadap sesama secara tidak

langsung adalah menghormati pencipta-Nya.

e. Meneguhkan Tata Nilai

Dalam masyarakat terdapat berbagai nilai kehidupan

etikal dan moral. Nilai-nilai itu (kehidupan, kejujuran,

keadilan, kebenaran, kesabaran dll) berhubungan

dengan kehidupan pribadi dan sesama dalam konteks

sosial. Namun, agar lebih terdorong menghayati nilai-

nilai itu manusia membutuhkan motivasi keagamaan:

contoh mencuri adalah jahat. Manusia terdorong

untuk tidak mencuri karena tindakan itu jahat, tapi

Page 54: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

54

supaya rasa terdorong untuk tidak mencuri

bertambah kuat, mencuri dijadikan larangan dalam

ajaran agama.

f. Memuaskan Kerinduan

Salah satu kecenderungan manusia adalah selalu

berupaya memuaskan kerinduannya (kebutuhannya)

akan sesuatu yang tidak semata-mata menyangkut

kodrat jasmaninya, tapi juga rohaninya. Itulah

sebabnya meskipun kebutuhan jasmani, biologis,

inderawi, duniawi, dan mentalnya terpenuhi, manusia

selalu merasa terjerat oleh kerinduan untuk

memuaskan kebutuhan pada aspek rohaninya.

Kebutuhan rohani yang paling sublime, paling luhur

adalah merasa dekat dengan Allah. Manusia tidak

merasa puas dengan nilai-nilai manusiawi seperti

kebebasan, keadilan, kejujuran, keadilan, cinta kasih,

tapi ingin juga nilai rohani dan adikoderati yang

mampu memuaskan hasratnya yang paling dalam,

yakni merasa dekat dengan yang ilahi; “menemukan”

Tuhan sendiri, dan merasakan kehadiran-Nya dalam

setiap ritme kehidupannya sehingga ia yakin bahwa

hidupnya yang fanna tidak bakal berakhir dengan sia-

sia, tapi memperoleh jaminan akan hidup yang baka

bersama Allah di surga. Oleh karena itulah manusia

beragama.

Page 55: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

55

g. Melepaskan Diri Dari Rasa Frustrasi

Pandangan ini diungkapkan oleh Sigmund Freud.

Menurut Freud, manusia beragama karena ia

mengalami frustrasi alam, sosial, moral dan maut.

Keempat ranah itu membuat manusia merasa

frustrasi sehingga dia memerlukan media untuk

mengalihkan rasa frustrasinya itu sekaligus

menemukan ketenangan hidup.24

h. Memperoleh Keselamatan

Tujuan semua agama pada umumnya adalah

keselamatan. Artikulasi keselamatan ini juga begitu

luas dan beranekaragam. Mariasusai Dhavamony

menguraikan tujuan agama ini sbb: Keselamatan dari

kondisi-kondisi manusia yang eksistensinya

terbelnggu; dari situasi keterikatan pada kemalangan

karena kelahiran kembali; dari semua kejahatan yang

merupakan semua dari jenis-jenis eksistensi diri;

keselamatan dari penderitaan dan hasrat atau nafsu

yang menjadi penyebab kesengsaraan dan

ketidakbahagiaan; keselamatan dari pembangkangan

terhadap kehendak Allah, yaitu dosa; keselamatan 24 Pandangan Freud ini perlu diberi catatan kritis menyangkut

kenyataan bahwa ada orang yang beragama kerana ia mengalami kebahagiaan dalam agama. Artinya, ia beragama sebagai ungkapan syukurnya kepada Allah.

Page 56: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

56

dari penyelewengan dari ketaatan terhadap hukum

dan perintah ilahi; keselamatan dari perbudakan

egoisme pribadi dan pementingan diri sendiri. Dalam

semua tujuan itu, struktur fundamental

keselamanatan tampaknya adalah pembebasan dari

kesia-siaan dan permainan nafsu serta hasrat manusia

yang tak pernah ada akhirnya, dan dari perbudakan

dosa.

Perspektif alasan dan tujuan manusia beragama

di atas memang dapat dikatakan bermuara pada

keselamatan. Hal itu menunjukkan bahwa agama

memberikan harapan akan perdamaian dan

pengutuhan kembali relasi manusia dengan Allah.

Semua ajaran agama dan usaha manusia beragama

untuk menyingkirkan yang jahat supaya manusia

menjadi satu dengan yang ilahi secara definitif

merupakan jalan-jalan keselamatan dan pencapaian

terakhir dari tujuan ini adalah keselamatan sendiri.

Tentu saja ada bermacam-macam jenis keselamatan,

tergantung pada gagasan-gagasan yang berbeda

tentang yang jahat dan pada sarana-sarana untuk

mengusir yang jahat itu. Hal itu mengandaikan juga

ada berbagai definisi tentang keselamatan. Tapi, di

sini kita dapat mengartikulasi keselamatan sebagai

kondisi eksistensi manusia secara utuh dan penuh di

Page 57: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

57

hadapan Allah sebagai konsekuensi penghayatan

imannya dan ketaatannya pada perintah Allah.

2.9. Fenomenologi Agama

Secara sederhana fenomenologi agama dapat

dipahami sebagai metode berpikir ilmiah yang

berlatarbelakang filsafat untuk memahami dan

menalar fenomena agama. Tekanan dalam penalaran

itu adalah bersandar dan berakar pada suatu

pengalaman yang berkaitan dengan kehidupan

beragama (secara terlepas dari asumsi, anggapan,

doktrin sebelumnya). Maka, fenomenologi agama

dapat pula dipahami sebagai telaah atau diskusi

sistematik tentang esensi agama yang tampak dalam

berbagai manifestasinya (melalui doa, ritus, kurba,

mitos. dll) yang berkaitan dengan sikap dan perilkau

manusia dalam setiap upayanya mengalami dan

menghadirkan Tuhan dalam kesadaran

eksistensialnya.25

2.9. Perbedaan Fenomenologi Agama Dengan

Pendekatan Lain

25 Lih. Fransiskus Borgias, 1994-1996. Diktat Kapita Selekta

Fenomenologi Agama (Bahan kuliah untuk Fenomenologi Agama di Lingkungan UNPAR), hlm.15.

Page 58: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

58

Pokok bahasan dari setiap penyelidikan ilmiah

terhadap agama adalah fakta agama dan

pengungkapannya. Bahan-bahan ini diambil dari

pengamatan terhadap kehidupan dan kebiasaan

keagamaan manusia, tatkala mengungkapkan sikap-

sikap keagamaannya dalam tindakan-tindakan seperti

doa, upacara-upacara seperti kurban dan sakramen,

konsep-konsep religiusnya sebagaimana termuat

dalam mitos-mitos dan simbol-simbol, kepercayaan-

kepercayaannya berkenaan dengan yang suci,

makhluk-makhluk supernatural, dewa-dewa dsb.

Penyelidikan ilmiah terhadap fenomena agama ini

dilakukan oleh berbagai disiplin ilmu. Meskipun

membahas pokok pembicaraan yang sama, berbagai

disiplin tersebut memeriksanya dari aspek-aspek

khusus yang sesuai dengan jangkauan dan tujuannya.

a. Jangkauan Dari Berbagai Ilmu Agama

Sosiologi Agama : Studi tentang interrelasi dari

agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk interaksi

yang terjadi antar-mereka. Sosiolog menyelidiki

tentang bagaimana tata cara masyarakat, kebudayaan

dan pribadi-pribadi mempengaruhi agama,

sebagaimana agama itu sendiri mempengaruhi

mereka.

Page 59: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

59

Antropologi-sosiologi Agama: berkaitan dengan soal-

soal upacara, kepercayaan, tindakan dan kebiasaan

yang tetap dalam masyarakat sebelum mengenal

tulisan, yang menunjuk pada apa yang dianggap suci

dan supernatural. Kecenderungan akhir-akhir ini para

antropolog memanfaatkan metode-metode

antropologis untuk menyelidiki agama, tidak hanya

dalam masyarakat pra tulisan tapi juga dalam

masyarakat yang sudah kompleks dan maju. Mereka

menganalisis simbol-simbol dalam agama dan mitos,

serta mencoba mengembangkan metode baru yang

lebih tepat untuk studi agama dan mitos. Di sini

agama dipandang sebagai fenomena kultural yang

pengungkapannya beraneka ragam.

Psikologi Agama: Adalah studi mengenai aspek

psikologis dari agama. Artinya, penyelidikan mengenai

peran religius dari budi. Sebagian berkaitan dengan

peran budi individu dalam konteks religius, sebagian

lainnya berkaitan dengan pengaruh dari kehidupan

sosial religius terhadap anggota-anggotanya.

Anggapan dasar psikologi agama adalah bahwa motif-

motif psikologis dan tanggapan-tanggapanya bersifat

umumbagi semua bentuk agama yang dikenal, baik

yang primitif, sudah sangat berkembang, atau bersifat

historis.

Page 60: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

60

Filsafat Agama: refleksi filosofis mengenai agama

dengan mempergunakan metode filsafat secara

sistematis. Misalnya:

Dengan memeriksa secara kritis nilai kebenaran

bahan-bahan yang begitu luas dari mitos, simbol

dan upacara-upacara yang berasal dari sejarah,

filsafat agama menemukan makna mereka,

menyatakan hubungan mereka dan mengakui

dasar-dasarnya.

Dengan menganalisis isi pokok sejarah agama

seperti Yang Suci, Tuhan, Keselamatan, ibadah,

kurban, doa, upacara, dan simbol, filsafat agama

menentukan hakikat agama serta pengalaman

dan ungkapan religius.

Teologi Agama: suatu bidang studi baru, yang mulai

digemari pemikir-pemikir Kristen yang ingin

mengadakan dialog dengan agama-agama nonKristen.

Studi ini diharapkan akan menghasilkan banyak

manfaat dan menyumbangkan sesuatu untuk

pemahaman yang lebih baik mengenai dunia agama.

Bagaimanakah dunia agama lain dihubungkan

dengan Kristianitas

Masih dapatkah agama Kristen merasa diri

sebagai agama yang unik, padahal kenyataannya

Page 61: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

61

agama-agama lain pun menawarkan diri sebagai

sarana untuk keselamatan akhir manusia?

Apakah yang menjadi dasar teologis dari

hubungan Kristianitas dengan agama-agama

besar lainnya?

Dapatkah ia sekaligus bersifat Injili dan terbuka

terhadap apa yang oleh Karl Jasper disebut

sebagai “komunikasi tanpa batas” dengan

Hinduisme, Budhisme dan Islam, ?

Fenomenologi Historis Agama: adalah penyelidikan

secara sistematis terhadap sejarah agama. Sebagai

demikian, ia bertugas mengklasifikasi dan

mengelompokkan menurut cara tertentu sejumlah

data yang tersebar luas sehingga suatu pandangan

menyeluruh dapat diperoleh dari isi agama tersebut

dan makna religius yang dikandungnya. Jadi, langkah-

langkahnya adalah sbb:

Penyelidikan atas sejarah agama tertentu

Mengelompokkan, mengklasifikasikan data

(informasi, benda-benda religius, dll).

Menarik pandangan menyeluruh

Mendapatkan makna religius dari agama

Dalam fenomenologi historis agama, kesamaan sama

pentingnya dengan perbedaan antaragama, serta

sifat-sifat khusus dan khas dari setiap agama harus

Page 62: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

62

dipertahankan. Ia memperbandingkan agama-agama

hanya untuk memperdalam pengertian dari gejala-

gejala religius yang dipelajarinya. Dalam rangka itu,

fenomenologi historis agama bersifat empiris dan

tidak normatif, dalam arti bahwa dengan

memperbandingkan berbagai macam agama, dia tidak

mencoba memperlihatkan seolah satu agama lebih

baik atau lebih unggul dari yang lain. Apa yang kita

sebut fenomenologi historis agama kadang-kadang

disebut juga sejarah agama, atau fenomenologi

agama, tergantung pada sudut pandang dan

penekanan dari masing-masing pengarang.

Sejarah Agama Fenomenologi Agama

Hanya membawa pada

pengertian

kekhususannya berkaitan

dengan sejarah agama

Memperlihatkan

pandangan sistematik dari

fenomena-fenomena

agama (fenomena doa,

kurban, ritus, simbol,

mitos, dll).

Berkaitan dengan relasi antara sejarah agama dan

fenomenologi ini, Raffaele Pettazzoni dengan tepat

mengatakan:

“fenomenologi dan sejarah saling melengkapi satu

sama lain. Fenomenologi tak dapat bekerja tanpa

Page 63: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

63

etnologi, filologi dan disiplin sejarah lainnya.

Fenomenologi di lain pihak memberikan kepada ilmu

sejarah, pengertian keagamaan yang tak dapat

dicapai olehnya. Bila kita mengerti demikian, maka

fenomenologi agama adalah pemahaman religius

mengenai sejarah; adalah sejarah dalam dimensi

religiusnya. Fenomenologi agama dan sejarah

bukanlah dua ilmu melainkan dua aspek yang saling

melengkapi dari suatu ilmu yang menyeluruh

mengenai agama, dan ilmu agama yang demikian ini

mempunyai suatu ciri yang pas yang ditentukan

baginya oleh objek penyelidikannya yang khas”.

Jadi, masalahnya bukan memilih “antara

fenomenologi agama dan sejarah agama”, melainkan

menaruh keduanya dalam kerjasama, analogi dan

hubungan timbal balik.

2.10. Bidang Telaahan Fenomenologi Agama

Sebagaimana ditegaskan sebelumnya, yang harus

dilakukan fenomenologi agama dalam rangka

telaahannya adalah: pertama, fenomenolog harus

memberikan nama-nama pada suatu fenomena

agama, misalnya: kurban, doa, Sang Penyelamat,

mitos, ritus, simbol, dst. Dengan cara ini,

fenomenologi memerlukan apa yang tampak. Kedua,

ia harus menyisipkan apa saja yang tampak itu di

Page 64: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

64

dalam hidupnya sendiri dan mengalaminya secara

sistematis. Ketiga, ia harus menunggu dan berusaha

mengamati apa yang tampak sembari menunjukkan

sikap “penangguhan” intelektual (memasukan ke

dalam kurung segala yang bersifat konseptual).

Keempat, ia mencoba menjelaskan apa yang telah

dilihat secara apa adanya, dan lagi-lagi

(menggabungkan semua kegiatannya sebelumnya)

berusaha menangkap apa yang telah tampak.

Akhirnya, ia harus menghadapi kenyataan yang chaos,

serta tanda-tanda kenyataan yang belum ditafsirkan,

dan akhirnya memberikan kesaksian tentang apa yang

sudah ia mengerti. Kendati demikian semua jenis

masalah yang mungkin sangat menarik dalam dirinya

sendiri harus ditiadakan. Dengan begitu,

fenomenologi tidak tahu apa-apa tentang

“perkembangan” historis agama, apa lagi tentang

“asal-usul” agama. Tugas abadinya ialah

membebaskan dirinya dari setiap pendirian non-

fenomenologis dan mempertahankan

kemerdekaannya sendiri, sembari selalu berusaha

memperjuangkan agar posisi dirinya (nilai dirinya)

selalu baru.

2.11. Penutup

Page 65: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

65

Agama dan kepercayaan merupakan dua hal yang

sangat berkaitan. Tetapi Agama mempunyai makna

yang lebih luas, yakni merujuk pelembagaan sistem

kepercayaan berkaitan dengan fenomena Ilahi yang

diyakini. Kita menyebutnya sebagai fenomena

beragama. Dasar dari fenomena itu adalah ajaran

agama dan wahyu yang diwartakan para tokoh agama,

tapi bisa juga pengalaman iman yang diterima oleh

masing-masing insan beragama.

Agama adalah fenomena masyarakat yang boleh

dikesan melalui fenomena seperti:

1. perlakuan sembahyang, membuat sesajian untuk

perayaan dan upacara;

2. sikap sikap hormat, kasih ataupun takut kepada

kuasa yang luar biasa dan anggapan suci dan bersih

terhadap agama;

3. pernyataan kalimat suci, dan mantera; dan benda-

benda material seperti bangunan untuk ibadah.

Ciri umum pembentukan agama adalah muatan

ajaran. Dengan menerima ajaran dan menjalankan

ritual-ritual tertentu, orang yang percaya dapat

mengharapkan keabadian jiwa dan kehidupan yang

kekal. Suatu wawasan yang menyangkut hakikat sejati

alam semesta dapat menjadi sama pentingnya dengan

upacara agama untuk mendapatkan keselamatan.

Salah satu lagi ciri agama ialah ia berkaitan dengan

Page 66: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

66

tatasusila masyarakat. Makna agama bukan saja

merupakan soal hubungan antara manusia dengan

tuhan, malah merupakan soal hubungan manusia

dengan manusia. Ciri-ciri ini lebih menonjol di dalam

agama universal.

Page 67: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

67

BAGIAN III

AGAMA DAN TUHAN

3.1. Pengantar

Kepercayaan pada “yang adikodrati”, dengan

siapa manusia berhubungan dalam pengalaman

religiusnya, merupakan gambaran khas semua agama

dan dianggap sebagai yang umum dan merata (ada

dalam setiap agama). Kendati demikian, kepercayaan

pada Tuhan ada dalam banyak manifestasi yang

berbeda dalam hampir semua agama. Dalam bagian

ini akan dipaparkan beberapa ungkapan, konsepsi,

penghayatan, sumber pengetahuan dan tanggapan

tentang Tuhan yang berkembang dalam agama-agama

dewasa ini.

3.2. Beberapa Ungkapan Tentang Tuhan26

Sebagian besar manusia yang hidup di planet

bumi ini percaya kepada Yang Mahatinggi, sebagai

asal dan tujuan dari segala yang ada. Tetapi

bagaimana konsepsi dan ekspresi manusia tentang

Tuhan, terutama dalam ibadat dan hidup sehari-hari, 26 Mariasusai Dhavamony, op. cit., 129-134

Page 68: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

68

serta bagaimana penyebutan atas Sosok yang

dipercayai itu, adalah soal lain. Konsepsi setiap

komunitas manusia tentang Yang Mahatinggi pada

umumnya memang berbeda-beda, sebab terkait erat

dengan kondisi sosio-kultural masing-masing. Namun,

secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap

komunitas manusia memiliki keyakinan akan Yang

Mahatinggi. Berikut adalah beberapa upaya untuk

mendeskripsikan Sosok Yang Mahatinggi.

Pertama, Tuhan adalah pencipta dan pemberi

nafas hidup manusia. Dia menganugerahkan roh atau

hidup ini pada saat kelahiran manusia. Maka Tuhan

biasanya ditampilkan sebagai Sosok yang Mahamurah,

baik sebagai Ayah maupun Ibu, tempat bersandar

sehingga manusia tidak jatuh. Tuhan adalah Bapa,

sejauh Ia adalah pencipta dan penyelenggara. Ia

adalah Bapa segala nenek moyang manusia.

Komunitas manusia yang mempunyai sistem

kekerabatan matrilineal seperti Orang Nuba selatan

(Afrika), tentu saja menyebut Tuhan sebagai ‘Ibu yang

Agung’. Konsep ini menunjukkan bahwa orang Nuba

memahami Tuhan sebagai pengasuh, pencipta dan

pemberi kelahiran bagi dunia dan umat manusia. Ia

memelihara, mencukupi kebutuhan mereka di kala

perlu.27 27 John Mbiti, Concepts of God in Afrika, New York, 1970, hlm 91-3

Page 69: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

69

Kedua, Tuhan itu maha dahsyat. Kedahsyatan-

Nya tampak di alam, sebab Ia menciptakan segala

yang ada di alam semesta sejak awal mula. Ia hadir

dalam fenomena alam seperti badai dan pergantian

musim. Segala yang mempunyai ciri terbaik dari

kehidupan merupakan sesuatu yang mengandung

kuasa tertinggi dan keseimbangan.

Ketiga, Tuhan merupakan misteri. Pengakuan

pada kemisterian Yang Mahatinggi itu menunjukkan

bahwa: eksistensiNya tidak tergantung pada

penjelasan, pengakuan, dan penyangkalan manusia.

Dia melampaui segala syukur; tidak dapat dijelaskan;

tidak dapat dipuaskan dengan puji dan syukur;

mengatasi segalanya. Keluasan-Nya adalah satu-satu-

Nya yang tidak terbatas dan sekaligus mengisi

segenap ruang’; Ia melingkupi segalanya, di dalam

angin dan di langit.”28

Keempat, Tuhan adalah pemberi aturan moral

dan hakim atas tindakan-tindakan manusia. Bagi

Orang Abaluyia (Afrika), Tuhan adalah pemberi aturan

kehidupan komunitasnya. Maka setiap orang yang

melanggar atau menolak aturan tersebut dihukum

oleh-Nya. Orang Abaluyia percaya bahwa, roh-roh

berperan sebagai pelaksana dan penjaga hukum suku

dan membantu Tuhan dalam menjatuhkan hukuman 28 Op. cit., hlm. 12-6.

Page 70: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

70

kepada siapa pun yang melanggar hukum tersebut.

Kecuali itu, Tuhan juga diimani sebagai penganugerah

dan hakim terakhir. Ia juga adalah ‘pembagi’ karena ia

menganugerahkan bagian untung dan malang bagi

setiap orang. Itu misalnya tampak dalam kepercayaan

orang Azande (Afrika) bahwa mereka yang mencuri

akan dihukum dengan guntur oleh Tuhan. Mereka

menjuluki-Nya sebagai ‘yang menyelesaikan

persoalan-persoalan di antara manusia’.29

Kelima, Sosok Tuhan diyakini mewujud dalam

bulan dan matahari. Dalam kepercayaan Orang Fon

dari Dahome, misalnya, Tuhan mewujud sebagai

bulan (Mawu) yang memiliki sifat-sifat seperti ibu,

ramah dan bijaksana. Mawu kemudian menikah

dengan matahari (Lisa), yang memiliki sifat-sifat yang

kuat dan kasar. Dari pasangan ini muncul pasangan

lain, yaitu dewa, badai, bumi, besi dan air.30

3.3. Konsepsi Manusia Tentang Tuhan31

Setiap komunitas manusia meyakini adanya

Realitas Tertinggi yang menjadi basis semesta dan

asal-usul segala yang hidup. Kepercayaan pada 29 Ibid., hlm. 71 dst. 30 E.G. Parrinder, Religions of Illiterate Peoples: Africa, op. cit., hlm.

558-9 31 Mariasusai Dhavamony, op. cit., 121-142

Page 71: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

71

Realitas Tertinggi itu sudah ada sejak manusia ada di

bumi ini. Maka dimensi historis paham Ketuhanan

dalam religi adalah sama tuanya dengan dimensi

eksistensial manusia. Sejarah peradaban manusia

adalah juga sejarah evolutif pemahaman dan

penghayatan spiritualitas religi. Kiranya itulah yang

menimbulkan aneka macam konsep manusia tentang

Allah dalam suatu religi seperti, monoteisme,

politeisme, henotisme, monolatri, panteisme (di

Barat) pan-en-teisme (di Timur), monisme, dll.

Berikut adalah uraian sekilas tentang beberapa paham

Ketuhanan dalam religi.

3.4. Monoteisme32

Ketika satu Tuhan dipercayai dan disembah

sebagai Yang Mahatinggi, baik secara implisit maupun

ekplisit, tindakan itu meminggirkan keberadaan Yang

Mahatinggi yang lain. Itulah yang kita namakan

monoteisme. Secara historis dikatakan bahwa

monoteisme ekplisit, yaitu kepercayaan semata-mata

pada satu Tuhan, yang dengan terang-terangan 32 Monoteisme (Yunani, Monos berarti tunggal, sendiri, satu-

satunya, dan tak ada yang lain, theos berarti Allah, Tuhan). Aliran pemikiran ini dengan tegas mengatakan bahwa Realitas Tertinggi itu hanya satu. Tidak ada allah selain Allah. Tidak ada tuhan selain Tuhan. Dalam Islam, penegasan konsep monoteisme ini amat kentara pada paham dan penghayatan akan: tiada tuhan selain Allah. Lih. Mariasusai Dhavamony, ibid., 121-128.

Page 72: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

72

mengecualikan dewa-dewa lain, merupakan

pengakuan paling akhir, karena dalam konteks

politeisme, kepercayaan pada satu Tuhan selalu

dinyatakan.33

Pemujaan pada Matahari sebagai penguasa

tunggal oleh raja Mesir, Ikhnaton, merupakan wujud

monoteisme yang pertama secara historis, tegas dan

ekplisit (pertengahan abad ke-14 sebelum Masehi).

Hal ini berdasarkan kenyataan sejarah yang hingga

kini kita terima. Dalam himne-himne penghormatan

pada aten, dewa Matahari, mencolok bahwa semua

dewa yang lain ditolak dan disangkal, dan bentuk

kultus apa pun yang ditunjukan kepada mereka juga

ditinggalkan. Aten adalah satu-satunya Tuhan.

Pencipta dan pengatur dunia dan kehidupan di dunia.

Dialah kehidupan dalam semua yang hidup. Semua

yang di atas bumi muncul berkat kehidupan, cahaya

dana kehangatan sang matahari. Matahari adalah

sumber dari semua kehidupan di atas bumi; ia

menciptakan buah dalam kandungan ibu Pertiwi dan

menyebabkannya tumbuh: “Engkau berada jauh

(dalam surga), namun cahayamu bekerja di atas

bumi”,”Engkau pergi beristirahat, dan dunia pun

dalam kegelapan seperti kegelapan dalam kematian:

33 Lih R. Pettazoni, Essays on the History of Religions, Leiden, 1954,

hlm. 1-10

Page 73: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

73

engkau terbit, dan manusia terbangun: engkau telah

memanggil mereka dalam kehidupan”. Lagipula Aten

dipandang bukan hanya sebagai Tuhan bagi bangsa

Mesir, melainkan Tuhan bagi semua orang: “Bahasa

mereka, tubuh mereka, dan warna kulit mereka

berbeda”. Engkau telah menciptakan mereka semua

secara berbeda”. “Engkau berada dalam hatiku:

Engkaulah (tentu saja) yang telah menganugerahiku

kebijaksanaan, Engakaulah yang membuat rencana

dan Engakaulah kekuatan (dalam pelaksanaannya).

“Ikhnaton bukanlah seorang nabi, juga bukan seorang

tokoh religius”. Hal ini menjelaskan kenyataan

mengapa monoteismenya tidak pernah menjadi

populer. Akan tetapi, pentinglah unutk memperhatika

bahwa monoteisme semacam ini, merupakan

penolakan terhadap politeisme secara eksplisit dan

terang-terangan.34 Juga merupakan suatu hal yang

mencolok bahwa Aten tidak diidentikan dengan

realitas fisik matahari, karena Aten sang dewa

Matahari dianggap sebagai pencipta segala sesuatu,

termasuk matahari.

Dalam agama Israel, monoteisme yang tegas dan

eksplisit, dimaksud dan dipeluk hanya dalam konteks

34 Lih. W. Brede Kristensen, The Meaning of Religion, The Hague,

1960, hlm. 76-7. Kutipan-kutipan perkataan Ikhnaton diambil dari karya yang penting dan mempunyai kewibawaan ini.

Page 74: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

74

lingkungan politeisme. Yahwe mewahyukan dirinya

secara langsung sebagai Tuhan yang tidak dapat

diperbandingkan. Di hadapan-Nya, dewa-dewa yang

lain langsung tenggelam dan terlupakan. Kita baca

dalam kidung Laut Merah:

“Siapakah yang seperti Engkau, di anatar para

Allah, ya Tuhan;

Siapakah seperti Engkau, mulia karena

kekudusan-Mu,

Menakutkan karena perbuatan-Mu yang

masyhur, Engkau pembuat keajaiban “.35

Dengan suatu keyakinan bahwa Yahwe adalah

satu-satunya Tuhan seluruh bumi, orang-orang Israel

mengungkapkan kepercayaannya yang monoteis

dalam kata-kata berikut ini:

“Sebab Allah manakah di langit dan di bumi,

yang dapat melakukan perbuatan perkasa seperti

engkau ?... bangsa manakah yang mempunyaia

Allah yang demikian dekat kepadanya seperti

Tuhan, Allah kita setiap kali kita memanggil

kepada-Nya ?”36

35 Keluaran 15:11 36 Ulangan 3:24:4:7

Page 75: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

75

Pernyataan Yitro: “sekarang saya tahu bahwa

Tuhan lebih besar dari segala Allah”37 sama dengan

banyak pernyataan lain dalam Kitab Perjanjian Lama

yang mengungkapkan monoteisme eksplisit. Dalam

Kitab suci, ungkapan ini digunakan secar eksklusif

dalam pengertian monoteis. Hal yang sama berlaku

untuk ungkapan : “Yahwe, Tuhan dari segala allah”.38

Dalam hubungan ini, terutama dalam usaha

untuk menjelaskan pertumbuhan monoteisme Israel,

kita dapat membuat perbedaan antara tipe afektif

monoteisme dengan tipe rasional dan filosofis.

Monoteisme afektif berarti bahwa dewa yang berdiri di

pusat, kepada siapa si pemuja berdoa dan

mempersembahkan kurban serta kepada siapa ia

mengarahkan diri, pada kenyataannya juga dianggap

sebagai satu-satunya Tuhan.39 Tipe monoteisme yang

demikian adalah sifat khas dalam zaman Musa dan

zaman para bapa bangsa. Apa yang disebut

”monoteisme profetis” bukanlah ciptaan baru tetapi

sesuatu yang dapat dipandang sebagai perkembangan

sikap eksklusif yang merupakan unsur kuat dalam

gambaran tradisional tentang Tuhan di Israel.

37 Keluaran 18:11 38 Ul 10:17:Yos 22:22: Mzm 135: 2 dst; Dan 2:47 39 Ivan Engnell, 1970. Critical Essays on the Old Testament, London.

Page 76: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

76

Monoteisme rasional dan filosofis yang berdasarkan

akal tidak terdapat di dalam bidang pengalaman dan

pemikiran profetis. Monoteisme para nabi adalah

hasil dari pengalaman afektif mereka sendiri dengan

Tuhan Yahwe.

Dalam agama Islam, ajaran monoteisme yang

keras ditunjukan dengan jelas dalam Qur’an maupun

sesudahnya. Akan tetapi, ajaran monoteisme ini

hanya mempunyai arti dalam latar belakang

politeisme Arab sebelum Islam. Dalam Qur,an banyak

kutipan yang memperlihatkan Allah sebagi satu-

satunya Tuhan dan dibicarakan dalam bagian

tersendiri, terpisah dari semua bagian dewa yang

lain.40 Jelaslah bahwa suku-suku pra-Islam

menghormati dewa-dewa partikular seperti al-Uzza,

Manat, atau Manah.41 Dalam kesempatan-

kesempatan yang biasa mereka lebih memuja dewa-

dewa tersebut dari pada Allah; persembahan-

persembahan lebih ditujukan kepada mereka dari

pada kepada Allah, dan menurut Qur’an, Allah

dikelabuhi.42 Tetapi dalam kesempatan-kesempatan

istimewa, mereka kembali kepada Allah. Tentu saja

cukuplah bahwa nabi Muhammad memandang diri

40 Sura 6:109; 16:38, 35:42. Sura 6:136 41 Sura 53:19-20 42 Sura 6:136 dst.

Page 77: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

77

sebagai pembaru yang mengajarkan kebenaran iman

monoteisme. Ia merumuskan ajaran pokok dari iman

Islam sebagai berikut : “Tidak ada tuhan selain Allah.”

Bagi Muhammad dan penduduk Mekah, ini berarti

dari semua dewa yang mereka sembah, Allah adalah

satu-satunya Tuhan yang benar.

Dalam Hinduisme, ide Tuhan yang personal

berkembang perlahan-lahan. Pada permulaan periode

Vedis ada politeisme yang mencolok. Kendati

demikian, tampaklah gejala henoteisme dengan jelas.

Sering dilakukan permohonan kepada dewa-dewa

individual yang dianggap sebagai yang tertinggi dan

yang paling kuasa. Professor Max Muller

menyebutnya “Henoteisme” atau “Kathenoteisme”,

yang ia definisikan sebagai ‘kepercayaan akan dewa-

dewa individual’ satu sesudah yang lain yang dianggap

sebagai tertinggi’,43 dewa yang disembah pada saat

itu diperlakukan sebagai dewa tertinggi. Ungkapan

monoteisme murni dilihat terutama dalam

pengalaman cinta pada Tuhan secara konkret dan

mendalam (bhakti). Bhakti Hindu berarti cinta dan

penyerahan pada Tuhan, itu berarti Tuhan dibayangkan

sebagai Pribadi Mahatinggi. Dalam pengalaman bhakti,

kita menemukan perlunya pertobatan dan penyucian

hati berkat rahmat Allah yang menjadi nyata, 43 The Six System of Indian Philosophy, London, 1899, hlm.40.

Page 78: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

78

kebutuhan akan terwujudnya persahabatan dengan

Tuhan dalam kesatuan dengan-Nya, serta perasaan

takut dan hormat karena ketergantungan kepada-Nya

dan pengabdian yang setia dan penyerahan diri pada-

Nya. Monoteisme Hindu tampak berbeda dengan

monoteisme Yahudi atau Islam sebab monotesime

Hindu menekankan “kesadaran akan Tuhan” sebagai

ciri khas sifatnya, sedangkan yang lain didasarkan

“hasrat akan keadilan”. Motif utama teisme Hindu

adalah pengalaman religius akan ilahi, sedang aspek

etis dari pengalaman tersebut bersifat sekunder.

Teisme yang lain (Yahudi, Kristen, Islam) bersifat etis

seluruhnya, di samping aspek religius dan etis;

keduanya merupakan unsur yang pokok. Teisme

Hindu lebih mencurahkan perhatian utama pada

imanensi (kedekatan dan kehadiran) ilahi dalam jiwa

manusia daripada dalam alam semesta secara

keseluruhan.

3.5. Politeisme44

44 Politeisme (Yunani:Polys berarti beberapa atau banyak. Theos,

berarti Tuhan, Allah). Jadi, politeisme merupakan aliran kepercayaan yang meyakini adanya dan memuja banyak Tuhan, banyak dewa

Page 79: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

79

Kepercayaan pada pluralitas dewa disebut

politeisme. Artinya, mengakui adanya banyak (Yun:

poly) dewa (theos) dan dewi, yang jumlah, kedudukan

dan pemujaannya berubah-ubah.45 Fenomena

kepercayaan kepada berbagai dewa personal, yang

masing-masing memegang kekuasaan atas bidang

kehidupan yang berlainan, dapat diterangkan dari

berbagai sudut pandang.

Pertama, bagi kesadaran religius bahwa seluruh

jalan hidup eksistensi manusia berada dalam

hubungan dengan Tuhan. Kehidupan sehari-hari

mempunyai arti religius dan segala sesuatu dipandang

sebagai bagian dari keagungan Tuhan. Dari sini,

berkembang suatu praktik yang cenderung ke arah

politeisme dan henoteisme.

Kedua, pemahaman religius tentang alam,

terutama di antara masyarakat kuno, telah mengantar

pada pemikiran bahwa fenomena alam merupakan

manifestasi kekuatan ilahi. Politeisme mungkin

merupakan akibat dari pengalaman semacam itu

dalam diri mereka.

Ketiga, dalam agama-agama yang menganggap

kehidupan kosmos sebagai wilayah pokok pewahyuan

ilahi, kehidupan kosmik adalah kehidupan surga dan

45 Heuken, A. 1994, Ensiklopedi Gereja IV Ph – To, Cipta Loka Caraka,

Jakarta, hlm. 20.

Page 80: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

80

bumi, kuasa air dan api, serta berbagai macam

fenomena yang mempunyai peranan pasti dalam

kehidupan manusia. Jadi, manusia mengabdi para

dewa dengan mempersembahkan kurban dan

melakukan ritus, dimana ia mengakui dan menyatakan

ketergantungan dan kesatuannya dengan kosmos.

Keempat, kita memperoleh beberapa

pemahaman nilai religius politeisme kalau yang keluar

di sana bukannya refleksi mengenai misteri kehidupan

pada umumnya, melainkan suatu persepsi intuitif

mengenai berbagai bentuk dari misteri tersebut yang

berbeda satu sama lain. 46

3.6. Cara-Cara Manusia Menghayati Tuhan

Bila ditelusuri secara saksama, penghayatan

manusia akan Tuhan tampak dalam berbagai cara

(penghayatan asli, penghayatan Hinduisme,

penghayatan Budhisme, keagamaan Tionghoa, Agama

Abrahamistik, dll.). Di bawah ini akan dijelaskan tiga

cara untuk manusia berelasi dengan dan menghayati

Tuhan dalam konteks penghayatan imannya, yakni

monisme dan dualisme.47

46 D. Howard Smith op.cit., hlm. 209, 212, 237, 252. Dalam

Mariasusai Dhavamony, op. cit., 141. 47 Franz Magnis-Suseno, 2006. Menalar Tuhan, Kanisius. Yogyakarta,

hlm. 27-37.

Page 81: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

81

a. Monisme48

Secara etimologis monisme berasal dari kata

Monism (Yun. ‘satu’). Istilah yang diciptakan oleh

Christian Wolf (1679-1754) bagi setiap usaha untuk

menafsirkan realitas berdasarkan satu prinsip (satu

kenyataan) saja dengan menghilangkan keragaman

dan perbedaan. Kenyataan yang dimaksudkan dapat

bersifat roh sehingga segala-galanya dipandang

sebagai roh atau bersifat benda sehingga segala

sesuatu adalah benda. Monisme roh melahirkan

paham panteisme.

b. Panteisme49

Panteisme adalah ajaran yang menyatakan,

bahwa segala sesuatu merupakan (bagian dari)

Allah.50 Pandangan ini misalnya, diketengahkan

48 Monisme, suatu sikap batin/kepercayaan adalah disebut monisme

manakala meyakini, mengimani hanya satu kekuatan suci dan ilahi sebagai daya universal. Bertolak dari panteisme yang merupakan unsur tersembunyi dalam politeisme, monisme mencari yang satu di dalam yang banyak, atau juga memikirkan yang satu, yang sama sekali tidak punya batas-batas dan definisi, sampai menjadi tidak terkondisikan begitu saja.

49 Panteisme (di Barat), merupakan suatu kepercayaan, pandangan, ajaran, yang melihat di dalam segala sesuatu ada Tuhan. Artinya, Tuhan dipahami sebagai energi yang merasuki segala sesuatu.

50 Heuken, A. 1993, Ensiklopedi Gereja III Kons – Pe, Cipta Loka Caraka, Jakarta, hlm. 266.

Page 82: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

82

dengan mengumpamakan Allah itu identik dengan

satu kekuatan yang bagaikan udara merasuki segala

sesuatu. Kesadaran yang tajam mengenai hal ini

cenderung mengidentikkan Tuhan dengan segala

sesuatu, karena kehadirannya yang langsung dan aktif

di dunia ini mengenakan bentuk yang nyata. Di

samping itu, dalam sistem-sistem pewahyuan besar,

objek pewahyuan bisa meluas meliputi segala

Realitas. Tidak setiap objek dapat menjadi objek

pewahyuan, tetapi dapat menjadi demikian kalau

yang ilahi tinggal padanya.

Jadi, panteisme sebagai sebuah ajaran rupanya

merupakan hasil konsep pewahyuan yang seperti itu,

sebagaimana terjadi dalam beberapa ibadah misteri.

Tambahan pula banyak kaum religius menganggap

bahwa ada ‘kesadaran kosmik’ atau ‘ketidaksadaran’

kolektif di atas jiwa individu: yakni prinsip nonrasional

yang menjiwai alam semesta, seperti anima, prana,

pneuma. Pengalaman mistik, setidak-tidaknya

beberapa jenis tertentu, cenderung ditafsirkan dalam

pengertian panteistis, karena hidup mistik merupakan

pengalaman kesatuan dengan yang ilahi. Panteisme

Timur (misalnya dalam Hinduisme) berbeda dengan

panteisme Barat karena panteisme Timur tidak

mengatakan bahwa segala sesuatu adalah Tuhan,

tetapi segala sesuatu ada dalam Tuhan (pan-en-

Page 83: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

83

theism). Ini berarti bahwa Tuhan dan makhluk-

makhluk ciptaan disatukan seperti badan dan jiwa

dalam diri manusia, meskipun ciptaan bergantung dan

berbeda dengan Tuhan. Sementara Pan-en-theisme

(panteisme Timur), merupakan suatu kepercayaan,

sikap, pandangan, dan ajaran yang mengatakan

bahwa segala sesuatu ada dalam Tuhan.51

c. Dualisme

Dualisme adalah paham yang menegaskan bahwa

segala sesuatu dengan dua prinsip dasar yang tak

tergantung satu sama lain, melainkan saling

berlawanan (seperti Yin dan Yang).52 Dualisme adalah

kebalikan dari monisme. Monisme menghadapi

masalah bagaimana menjelaskan pluralitas.

Sebaliknya, dualisme dapat menjelaskan pluralitas

berdasarkan dua prinsip dasar yang saling

bertegangan/berlawanan.

3.7. Sumber Pengetahuan Manusia Tentang Tuhan

Darimana orang mendapat pengetahuannya akan

Tuhan? Sulit memang kita melacak sumber

pengetahuan setiap orang akan Tuhan. Namun, yang

bisa kita rujuk sebagai informasi awal secara

51 Mariasusai Dhavamony, op. cit., 141. 52 Franz Magnis-Suseno, Ibid., hlm. 36-37.

Page 84: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

84

horisontal adalah lingkungan (keluarga, sekolah,

masyarakat) dan pengalaman hidup (perjumpaan

dengan orang-orang lain), dan sikap hati (pengolahan

pengalaman hidup).53 Namun, secara vertikal, sumber

pengetahuan manusia akan Tuhan adalah wahyu

Tuhan, yakni inisiatif dari Tuhan untuk menyapa

manusia. Tanggapan manusia atas wahyu-Nya

biasanya disebut iman sebagai tanda keterbukaan

(hati, budi dan pikirannya) untuk setiap sapaan Tuhan.

Agar penalaran sumber pengetahuan vertikal dan

horisontal itu mudah dipahami, kita ringkaskan saja

bahwa secara vertikal sumbernya adalah wahyu

Tuhan dan secara horisontal adalah pengalaman

(hidup) yang sudah diolah dan direfleksikan sehingga

menjadi pengalaman Iman.

a. Wahyu

Wahyu atau penyingkapan oleh Allah mengenai

segala sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui.

Wahyu Allah pertama-tama disampaikan dengan kata-

kata (Yer 23:18.22) dan peristiwa-peristiwa dalam

sejarah (Kel: 15-21) dan kemudian lewat dunia

ciptaan (Mzm 19:2). Sebagai pengantara wahyu Allah

yang utama, para nabi juga berbicara mengenai

53 Konfrensi Wali Gereja Indonesia, 1996. Iman Katolik, Kanisius,

Yogyakarta, hlm. 121-122.

Page 85: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

85

pewahyuan yang akan datang. Dalam perspektif ini

wahyu adalah penyingkapan diri Allah kepada

manusia. Inisiatif pewahyuan itu berasal dari Allah

sendiri. Manusia hanya mungkin mengetahui rahasia-

rahasia yang Ilahi manakala Allah berkenan

mewahyukan diri.54

b. Akal budi

Rasionalitas atau akal budi memaninkan peranan

penting dalam segala ranah pengetahuan dan

pemahaman manusia. Bila wahyu dimengerti sebagai

tindakan yang bermula dari Allah untuk menyapa

manusia, akal budi merupakan anugerah istimewa

dari Allah kepada manusia yang bersifat terberi.

Melalui akal budinya, manusia mampu menganalisis

alasan-alasan mengapa ia percaya dan menyerahkan

dirinya kepada Allah sebagaimana Ia mewahyukan

diriNya kepada manusia. Dengan demikian,

rasionalitas atau akal budi menjadi kekuatan bagi

manusia untuk membangun sebuah prespektif

tentang Allah berdasarkan pengalaman-pengalaman

konkretnya.

b. Pengalaman Iman

54 Gerald O’Collins, Sj & Edward G Farrugia, Sj, 1996. Kamus Teologi,

Kanisius, Yogyakarta, hlm.350.

Page 86: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

86

Manusia juga dapat mengenal Allah lewat

pengalaman hidupnya. Itulah sebabnya mengapa

pengalaman hidup seringkali, dalam batas tertentu,

dipandang sebagai dasar penghayatan religiositas.

Pengalaman hidup yang dimaksudkan adalah

pengalaman hidup sehari-hari dalam berbagai

coraknya. Artinya, dapat berkaitan dengan alam

semesta (flora dan fauna) dan sesama manusia.

Pengalaman hidup tidak selalu positif atau negatif,

affirmatif atau kontras. Maka pengalaman hidup,

berkaitan dengan apa pun dan siapa pun juga, dapat

menimbulkan gejolak perasaan tertentu, misalnya,

senang (gembira), bangga, sedih, prihatin, dan

kecewa. Namun, satu hal yang pasti bahwa, setiap

pengalaman memuat makna tertentu untuk

kehidupan selanjutnya. Makna di balik pengalaman

hidup hanya bisa terkuak ketika ia direfleksikan

(direnungkan). Makna yang ditemukan itu menjadi

berdaya rohani ketika makna itu dihayati

(diinternalisasi, dibatinkan) dan diaktualkan

(diekspresikan dan diwujudkan) dalam semangat dan

terang iman berdasarkan ajaran agama yang diyakini.

Buah-buahnya adalah kearifan (prudensia) dan

kebahagiaan (eudaimonia).

Pengalaman iman dapat tumbuh juga dari

pengalaman hidup yang mengatasi batas-batas

Page 87: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

87

lingkup hidup manusia, misalnya pengalaman takut

atau tak berdaya menghadapi realita, yang bermuara

pada pengakuan akan Tuhan. Selain itu, pengalaman

iman juga dapat bermula dari refleksi terhadap aspek

misteri kehidupan yang terkadang menyergap

kehidupan kita, dengan alasan atau tanpa alasan yang

jelas: sepi, bahagia, cinta. Perenungan manusia akan

pengalaman ini secara serius dan mendasar disertai

kerendahan hati dapat bermuara pada pengetahuan

dan keyakinan akan adanya Tuhan.

Pengalaman iman juga dapat berupa pengalaman

akan Yang Suci. Pengalaman demikian, meminjam

ungkapan Rudolf Otto, membuat manusia mengalami

situasi yang lain sama sekali, misterius,

menggetarkan/menakutkan (tremendum) dan

sekaligus mempesona (fascinosum). Pengalaman akan

Yang Suci ini begitu menyergap manusia sehingga

manusia merasa ciut, kecil, tak berdaya yang

membuatnya pasrah dan berserah diri untuk tersedot

oleh kuasa-Nya dan menyatu dengan-Nya.

3.8. Tanggapan Terhadap Tuhan

Walaupun setiap komunitas manusia diyakini

memiliki agamanya masing-masing dan menaruh sikap

percaya pada Tuhan, tetapi tanggapan manusia

terhadap konsep Ketuhanan dalam agama-agama

Page 88: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

88

tidak selalu sama atau dapat berbeda. Ada sementara

pihak yang percaya pada Tuhan, ada juga yang tidak

percaya dan bahkan ada yang merasa tidak mau sok

tahu tentang Tuhan. Uraian berikut akan membahas

tiga tanggapan manusia akan Tuhan, yakni deisme,

ateisme, dan agnostisisme.

a. Deisme

Secara etimologi istilah deisme berasal dari

bahasa Latin “deus”, yakni Allah. Deisme berkembang

pesat pada abad pencerahan. Semula deisme

mempunyai arti yang sama dengan teisme (Yun:

“theos” = Tuhan), dalam arti sebagai yang berlawanan

dengan politeisme.55 Sejak abad ke-18 deisme

dipandang sebagai paham yang meyakini bahwa pada

awalnya Tuhan memang menciptakan dunia beserta

isinya. Namun, sesudah penciptaan dunia, Tuhan tidak

lagi memperdulikannya atau membiarkannya berjalan

sendiri. Deisme mengakui Tuhan sebagai Pencipta

tetapi bukan sebagai penyelenggara dunia dan segala

isinya. Tuhan tidak lagi turut campur urusan dunia

beserta isinya setelah Ia menciptakannya. Jadi, dunia

dan manusia pasca penciptaan Tuhan terlepas dari

Tuhan.

55 A.M. Hardjana, Ibid., hlm. 34-35.

Page 89: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

89

Bagi penganut deisme, Tuhan diibaratkan sebagai

tukang pembuat jam yang canggih. Ia membuat jam,

menyetel irama waktunya dan membiarkan jam itu

bekerja sesuai dengan irama yang telah

ditentukannya. Jadi, jam itu bekerja tanpa campur

tangan pembuatnya. Dalam konteks pemikiran ini,

Tuhan tidak lagi bekerja mengurus dunia dan segala

isinya. Ia menjadi penganggur: Deus otiosus atau

useless God.

Deisme membuka jalan ke arah ateisme. Kalau

Tuhan hanya diperlukan untuk permulaan saja dan

dapat dilupakan maka Ia juga dapat dianggap tidak

perlu dipermulaan alias dapat ditiadakan. Jadi, deisme

dapat dianggap langkah pertama ke ateisme.56 Secara

praktis orang yang menganut paham deisme adalah

penganut ateisme karena menyangkal Tuhan dalam

hidupnya.

b. Atheisme

Menyingsingnya modernitas melahirkan

skeptisme tentang Allah. Maka dalam filsafat abad ke-

19 dan ke-20 muncul ateisme. Beberapa tokoh

terkemuka ateisme, yang tidak dibahas pandangannya

dalam tulisan ini, adalah Ludwig Feuerbach, Karl Marx,

Friedrich Nietzsche, Sigmund Freud, dan Jean-Paul 56 Franz Magnis-Suseno, Ibid., hlm.53-54.

Page 90: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

90

Sartre.57 Ateisme (Yun) a berarti tanpa dan theos yang

berarti Allah. Atheisme adalah paham yang

mengingkari adanya Allah.

Dipandang dari sifatnya, atheisme dapat

dibedakan secara negatif dan positif. Atheisme negatif

adalah paham yang menyangkal adanya Tuhan karena

tidak tahu, kurang tahu tentang adanya Allah, atau

mengakui ateis semata-mata karena ikut-ikutan

sehingga tanpa dasar yang jelas. Sementara atheisme

positif adalah paham yang secara sadar menyangkal

adanya Allah. Alasanya karena Tuhan tidak dapat

dibuktikan keberadaannya.

Dipandang dari coraknya atheisme dapat berupa

teoretis dan praktis. Atheisme teoretis

berargumentasi bahwa Tuhan tidak ada berdasarkan

teori-teori tertentu. Misalnya teori monisme kosmis

yang berpendapat bahwa dunia adalah satu-satunya

kenyataan. Atheisme praktis adalah paham yang tidak

menyangkal Tuhan secara teoretis, tetapi secara

praktis tidak mengakui keberadaan-Nya dan tidak

menyembah-Nya. Penganut atheisme praktis hidup

seolah-olah Tuhan itu tidak ada, bukan karena ia

menyangkal keberadaan-Nya melainkan karena tidak

perduli saja. Atheisme praktis inilah yang melanda

57 Ibid., hlm. 64-100.

Page 91: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

91

kehidupan orang-orang beragama.58 Mengakui

beragama tapi tidak mau atau malas menunaikan

tuntutan-tuntutan agama.

c. Agnostisisme59

Sebagai arus berpikir, ateisme-ateisme abad ke-

20 (dan juga abad ke 19) tidak lagi dianggap alias

berakhir karena bersifat ideologis dan bukan ilmiah.

Namun kenyataan ini tidak lantas berarti bahwa

filsafat kembali ke ketuhanan. Sebaliknya, sebagian

filsafat abad ke-20 (kecuali filsafat dalam kalangan

agama seperti Neo-Thomisme) mengesampingkan

Tuhan dalam ranah analisis dan refleksinya. Di

hadapan sebagian besar filosof abad ke-20, Tuhan

dipandang tak dapat diketahui secara filosofis atau

tepatnya tidak mau terlampau sok tahu tentang

Tuhan. Pandangan demikian disebut agnostisisme.

Agnostisisme sebetulnya bukanlah berhasrat

menyangkal Tuhan seperti ateisme. Agnostisisme

dapat dipandang sebagai cara pandang yang lebih

netral dan jujur perihal Tuhan, bahwa Tuhan itu bukan

wilayah yang dapat diketahui secara filosofis alias

nalar kritis. Di hadapan agnostisisme, menyangkal

58 A.M. Hardjana, Ibid., hlm. 36-37. 59 Untuk lebih memahami agnostisme lih. Franz Magnis-Suseno,

Ibid., hlm. 102-123.

Page 92: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

92

adanya Tuhan adalah sikap dan keputusan yang

ketinggalan jaman. Namun, agnostisisme juga tidak

mengakui rasionalitas wacana Tuhan, sebab baginya

Tuhan itu tidak dapat diketahui (dinalar secara

rasional). Agnostisisme lebih cenderung untuk

menunda keputusan untuk mengatakan Tuhan itu ada

atau tidak ada. Atau tidak mau terlalu sok tahu

tentang eksistensi Tuhan. Maka, di hadapan

agnostisisme, orang boleh saja percaya kepada Tuhan

sejauh sebagai selera pribadi dan bukan sebagai sikap

kolektif yang mengikat apalagi memaksa. Dalam

konteks itu, yang tidak diterima oleh agnostisme

adalah kecenderungan ke arah claim kebenaran

terkait dengan hal ketuhanan. Mengapa? Karena di

hadapan agnostisme kepercayaan kepada Tuhan

adalah urusan pribadi. Konsekuensinya, debat antar

agama-agama terkait dengan klaim kebenaran dan

semangat penyebarannya dipandang agnostisme

sebagai kemunduran taraf berpikir kritis atau

kampungan. Implikasi pandangan agnostisme

memang bisa mengarah pada kemerosotan minat

untuk mendalami ketuhanan, bahkan ia bisa

bermuara pada relativisme agama secara radikal dan

sekularisadi kehidupan secara total. Namun, terkait

dengan konsepsi tentang Tuhan, baik ateisme

maupun agnostisisme, kiranya tidak perlu sampai

Page 93: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

93

membuat kita khwatir, apalagi bersikap ikut-ikutan.

Sebab, yang harus kita yakini dan imani adalah bahwa

keberadaan Tuhan sungguh tidak tergantung pada

cara pandang dan sikap atau pengakuan manusia.

Tuhan sama sekali tidak ada hubungannya dengan

konsepsi ateisme dan agnostisisme.

3.9. Penutup

Demikian, aneka ragam tanggapan manusia

kepada Realitas Tertinggi begitu menarik untuk

dicermati. Dari sekian tanggapan di atas, monoteisme

dan politeisme merupakan konsep atau paham

Ketuhanan yang telah sering dipandang sebagai cikal-

bakal bagi lahirnya religi modern (religi dewasa ini).

Bahkan ada semacam pendapat umum yang

menempatkan politeisme sebagai indung semang bagi

monoteisme. Benarkah demikian? Adakah

pembuktian yang kurang lebih ilmiah, berdasarkan

penelitian atas data-data historis yang mendukung

pernyataan politeisme merupakan awal sebuah

keyakinan yang kelak melahirkan sebuah pemahaman

religi baru, yakni religi monoteistis? Apakah tidak

sebaliknya bahwa monoteismelah yang melahirkan

politeisme?

Berdasarkan studi agama mutakhir, terutama

oleh kelompok historiko-fenomenologis, monoteisme

Page 94: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

94

merupakan paham awal dan asli yang kemudian

berkembangan menjadi paham politeistis. Kelompok

historiko-fenomenologis menegaskan bahwa faktor

utama adanya pergeseran pemahaman tentang

Realitas Tertinggi itu, dari monoteisme ke politeisme,

adalah perubahan cara hidup dan budaya. Artinya,

ada pergeseran paradigma berpikir tentang Realitas

Tertinggi pada setiap perubahan cara hidup manusia.

Ketika cara dan budaya hidup berkembang dari

nomadis (pengembara) ke pastoral (penggembala),

maka peranan Allah sendiri turut berubah.

Dalam kebudayaan nomadis, Allah adalah sentral

kehidupan. Tetapi ketika kebudayaan nomadis itu

berubah menjadi kebudayaan pastoral, peranan Allah

terasa merosot. Dikatakan merosot karena kerap kali

masyarakat mengalami kedekatan justru dengan

kekuatan-kekuatan langit, yang disebut dewa-dewa.

Bahwa dewa-dewa yang mereka sembah justru dapat

memenuhi harapan mereka seperti, mengubah

musim, iklim, dan cuaca, dan mendatangkan hujan,

halilintar, petir, dan taufan, ketika mereka

membutuhkannya. Maka, dewa-dewa, sesuai dengan

nama dan peranannya masing-masing sebagaimana

diyakini manusia, disembah dan dipuja. Akan tetapi,

ketika dewa-dewa itu ternyata tidak mampu

membantu mereka, terutama pada saat-saat gawat,

Page 95: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

95

misalnya, ketika dilanda wabah penyakit menular baik

pada manusia, maupun pada ternak, juga tatkala

musim kering berkepanjangan atau musim hujan

kelewat batas sehingga menyebabkan bencana sosial,

atau peperangan antarsuku, mereka menyeru dan

berbalik kembali meminta pertolongan Allah. Dan

ketika mereka kembali menaruh kepercayaan kepada

Allah, bahwa Dialah Sang Penguasa yang menciptakan

segala-galanya dan mengatur dinamika semesta ini,

memberikan perdamaian, perlindungan, dan

keselamatan, di situlah spiritualitas monoteisme

dipertegas secara baru dan sekaligus melahirkan religi

monoteistis. Biasanya Kesadaran untuk kembali

kepada Allah dalam religi monoteistis selalu erat

kaitannya dengan tampilnya tokoh Spiritualitas baru,

yang diyakini suci dan punya relasi sangat mendalam

dengan Allah. Orang beriman menyebutnya sebagai

nabi. Artinya, Manusia terpilih dan suci yang

mendapat wahyu dan kemurahan Allah. Tugas

seorang nabi adalah menjadi “penyambung lidah”

Allah kepada manusia. Pada titik inilah sebuah religi

mengalami transformasi spiritualitas. Kehadiran Allah

coba dialami secara baru dan otentik, dengan sebuah

keyakinan bahwa Allah adalah alfa dan omega, bagi

segala yang ada di bumi ini. Sosok-Nya pun dialami

sebagai yang: misterium (tak terselami oleh daya

Page 96: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

96

nalar dan indera secara utuh), tremendum

(menggetarkan, menakutkan, penuh kuasa), tapi

sekaligus fascinosum (memikat, mempesona, dan

penuh kasih sayang).

Page 97: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

97

BAGIAN IV

PENGALAMAN DAN PENGALAMAN BERAGAMA

4.1. Pengantar

Salah satu alasan mengapa orang menjadi atheis

adalah karena ia belum pernah ada pengalaman

religiusnya atau belum pernah merefleksikan

pengalaman hidupnya sampai pada tataran religius. Di

sini menjadi jelas bahwa pengalaman (yang

direfleksikan) merupakan pilar penting untuk

membangun kehidupan religius. Bahkan, salah satu

alasan mengapa orang menganut agama tertentu

atau menjadi penganut agama tertentu adalah karena

ia memiliki pengalaman religius.60 Artinya,

pengalaman adalah dasar utama untuk pengetahuan,

pemahaman dan keyakinan akan esensi sesuatu.

Itulah sebabnya ilmuan begitu yakin bahwa,

pengalaman adalah dasar bagi pengetahuan

seseorang akan sesuatu. Pengalaman adalah pintu

masuk menuju pengetahuan akan sesuatu dan

selanjutnya membangun kesadaran seseorang akan

makna sesuatu.

60 Dr. Nico Syukur Dister Ofm, 1998, Pengalaman dan Motivasi

Beragama, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 21.

Page 98: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

98

4.2. Pengalaman

Apakah yang dimaksudkan dengan pengalaman?

Dr. Nico Syukur Dister mencatat pengalaman sebagai

“suatu pengetahuan yang timbul bukan pertama-tama

dari pikiran, melainkan terutama dari pergaulan

praktis dengan dunia”.61 Pergaulan tersebut bersifat

langsung, intuitif dan afektif. Dalam konteks

pengalaman religius, yang transenden menyingkapkan

dirinya kepada manusia sementara manusia

pasif/pasrah mengalami ketersingkapan itu. Artinya,

seseorang merasa terkena atau tertimpa oleh sesuatu

hal (yang diluar rencananya). Oleh karena itu,

keinderawian, afeksi, dan emosi memainkan peranan

untuk mengolah pengalaman macam itu.

Agama dalam arti tertentu merupakan salah satu

bentuk pengalaman. Sebagai pengalaman agama

memuat pula pertemuan antara saya sebagai subyek

dan yang lain sebagai obyek. Pertemuan itu

dijembatani oleh kesadaran ( tidak soal tingkat

kesadaran itu, apakah pra-refleksif atau refleksif ).

Agama sebagai pengalaman tidak dapat disamakan

dengan bentuk pengalaman yang lain: pengalaman

dalam melihat pohon, pengalaman dalam memelihara

binatang, pengalaman dalam mencintai seseorang.

61 Loc. Cit.

Page 99: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

99

Berikut ini diurutkan beberapa ciri khas pengalaman

beragama.

4.3. Pengalaman Akan Yang Misteri

Para pemikir (agamawan dan filsuf) memulai

analisa mereka atas pengalaman beragama dengan

menalar apa itu agama. Para pemikir itu bersepakat

bahwa obyek agama adalah sesuatu ‘yang sangat luar

biasa dan amat mengesankan’. Ciri pokok dari obyek

itu ialah bahwa Ia bukan saja satu hal di antara hal-hal

lain, melainkan sesuatu yang luar biasa, yang pada

hakekatnya meminta tempat sentral dalam

keberadaan manusia di dunia. Maka hakekat agama

biasanya dipahami sebagai Yang ‘Misteri’. Agama

menujukan kepada yang transenden, melampaui

kategori akal, pikiran dan perasaan manusiawi dan

mengatasi kerangka ‘normal’ eksistensi manusia.

Dalam perspektif itu, agama bisa dipahami terkait erat

dengan perasaan-perasaan, tindakan-tindakan, dan

pengalaman manusia perorangan dalam

kesendiriannya, sejauh mereka memahami dirinya

sendiri berada dalam hubungan dengan apa saja yang

mereka anggap Ilahi. Maka agama sebetulnya

mengandung suatu kesadaran yang hidup mengenai

hubungan manusia dengan yang Ilahi. Kesadaran ini

bukan berdasarkan penalaran intelektual, melainkan

Page 100: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

100

berdasarkan pengalaman yang istimewa dan luar

biasa.

Dalam karyanya The Idea of Holy, Rudolf Otto

berbicara mengenai sesuatu yang ‘tak bernama’ yang

terletak pada inti semua pengalaman beragama. Ia

menegaskan bahwa tidak ada agama di mana ‘sesuatu

yang tak bernama’ tidak ada sebagai intinya. Tanpa

‘sesuatu yang tidak bernama’ itu, tidak satu pun

agama boleh menyebut dirinya agama.

Dengan kata lain, agama adalah pengalaman

akan Yang Misteri. Yang Misteri itu dikenal, karena

tidak mungkin dapat mengalaminya kalau tidak

dikenal, tetapi tidak tuntas diuraikan. Ia dikenal dan

dialami dalam berbagai macam pengalaman

beragama.

4.4. Macam-Macam Pengalaman Beragama

Pengalaman religius, merupakan hubungan yang

langsung dan pribadi dengan Allah dan dengan hal-hal

yang berasal dari Allah. Menurut St. Ignatius dari

Loyola (1491-1556) doa akan membuat “kita

merasakan dan mencecap dalam-dalam” hal-hal yang

berasal dari Allah. Berkaitan dengan pengalaman

religius ini, tiga bentuk pengalaman religius yang

menjadi penopang gerakan dinamis penghayatan

Page 101: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

101

manusia atas ajaran agama dan eksistensi yang Ilahi,

yakni doa, meditasi dan mistisisme.

a. Doa

Doa merupakan gejala umum yang ditemukan

dalam semua agama. Dalam berbagai macam

bentuknya, doa muncul dari kecenderungan kodrati

manusia untuk memberikan ungkapan dari pikiran

dan rasa dalam hubungannya dengan yang Ilahi.

Sebagaimana manusia berkomunikasi secara kodrati

dengan manusia-manusia lain dengan berbicara,

demikian pula ia menyapa yang ilahi dengan cara yang

sama, sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya.

Doa merupakan bentuk pemujaan universal, dengan

diam ataupun dengan bersuara, pribadi maupun

umum, spontan maupun menurut aturan.

Doa merupakan suatu hubungan yang asimetris.

Dalam bentuk-bentuk doa yang berbeda, entah

seseorang dihubungkan dengan yang ilahi sebagai

Guru, Teman, Bapa atau Mempelai, selalu ada rasa

ketergantunangan. Inilah yang membedakan doa dari

rumus-rumus atau tindakan magis. Hubungan

asimetris ini merupakan suatu komunikasi, karena

betapapun yang kudus dipandang sebagai yang

transenden, suatu komunikasi masih dibuka dalam

doa. Jurang antara yang ilahi dan yang profan justru

Page 102: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

102

dijembatani dengan tindakan doa. Inilah pertemuan

antara yang ilahi dengan yang manusiawi, suatu

kehadiran ilahi yang dirasakan di antara manusia dan

oleh manusia. Selalu ada gerak dari hubungan

asimetris ke hubungan simetris, tetapi tidak pernah

mencapai yang simetris secara penuh.

Dalam doa permohonan untuk berkat dan

karunia jasmani maupun rohani, ada pengakuan

bahwa yang Ilahi merupakan Penguasa atas karunia-

karunia ini dan bahwa Ia maha Kuasa untuk

menganugrahkannya dan bebas untuk

menganugrahkannya atau tidak. Dengan kata lain,

dalam doa ada kepercayaan yang mendalam, bahwa

alam sendiri merupakan sumber rohani setiap

fenomena dalam kosmos dan masyarakat.

Keberadaan manusia dapat dirunut pada sumber

rohaninya kembali. Di sanalah keselamatan manusia

di temukan.

Dalam semua doa, sikap dasarnya adalah suatu

penyerahan kepada dan kepercayaan dalam

bimbingan Roh yang menciptakan serta mengatur

manusia dan kosmos. Bahkan dalam doa yang paling

sederhana pun, situasi-situasi saat ini dan kejadain-

kejadian yang akan datang dinilai sub specie

aeternitatis. Artinya, bergerak sebagaimana

diinginkan dan diarahkan oleh Roh yang mandiri.

Page 103: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

103

Orang yang berdoa telah mencapai kemenangan atas

dunia, dan telah mewujudkan ketergantungannya

pada Allah semata. Orang yang berdoa adalah yang

paling kuat di dunia karena ia dipindahkan ke alam

yang kudus, yang ialahi, yang paling kuat dan

partisipasinya pada yang ilahi membuat orang itu

turut ambil bagian dalam kekuatan yang ilahi.

Sesungguhnya, ketergantungan orang sebagai

makhluk yang terbatas dibawa oleh doa ke dalam

suatu dimensi yang baru: suatu ketergantungan pada

yang tak terbatas yang merangkumkan semua

keterbatasan manusia dan kosmos. Manusia menarik

diri sendiri ke dalam dasar rohaninya dan di situ

mencapai kebebasannya yang sejati, sementara dunia

telah kehilangan kuasa atasnya.

b. Meditasi

Pengalaman akan imanensi dan transendensi

Allah ditekankan melalui berbagai tingkat dalam

agama yang berbeda. Dalam agama-agama Timur,

imanensi Allah sangat menonjol, sementara dalam

tradisi-tradisi Islam dan Yahudi transedensi jelas lebih

tampak. Pengalaman doa tergantung pada aspek-

aspek ini dan mengambil bentuk perwujudan yang

mendalam akan keagungan dan kemahakuasaan

Allah, atau bentuk kekariban dan keakraban dengan

Page 104: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

104

Allah, sebagai hal yang mungkin. Ungkapan-ungkapan

doa nonteistis menekankan kesatuan dan hubungan

erat dengan yang ilahi atau yang kudus atau

pencapaian keadaan kebahagiaan, keabadian,

kekekalan yang intristik pada manusia sendiri, seperti

dalam nirvāna, persoalannya lebih dalam hal meditasi

daripada doa. Meditasi dalam Hindu dapat bersifat

teistis atau nondualistis. Dalam hal yang teistis,

meditasi mendukung kesatuan dengan Tuhan yang

pribadi dalam cinta, sebagaimana telah kita lihat.

Dalam hal nondualistis (tidak menduakan), meditasi

mencapai pengalaman lewat kesatuan pengetahuan

yang lebih tinggi dengan Yang Mutlak. Dalam kedua

hal di atas, meditasi merupakan perwujudan yang ilahi

dalam diri manusia, dengan ”yang ilahi” dimaksudkan

adalah Tuhan maupun Yang Mutlak.

Meditasi adalah salah satu model doa yang pada

awalnya diterapkan para pengikut ajaran Budha (dalam

berbagai alirannya) Satu-satunya doa yang dimiliki

orang-orang Theravada adalah meditasi, sedangkan

aliran Mahayana menambahkan juga doa-doa

permohonan, permintaan dan penyebutan nama

Buddha. Meditasi merupakan pendekatan Buddha

yang paling utama mengenai agama.

Tujuan tertinggi dari meditasi adalah penerangan.

Pada umumnya meditasi dimaksudkan untuk

Page 105: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

105

memperkembangkan kesempurnaan spiritual,

mengurangi akibat penderitaan, menenangkan pikiran

dan membuka kebenaran mengenai eksistensi dan

hidup bagi pikiran. Keramahan dan simpati bersama

dengan sikap yang terang atas fakta kematian dan arti

hidup adalah hasil-hasil meditasi. Meditasi membantu

untuk menyadari kefanaan segala sesuatu yang ada

dan mencegah keterlibatan dalam keberadaan

semacam itu.

c. Mistisisme

Mistisisme adalah pengalaman yang khusus dan

mendalam akan kesatuan dengan realitas ilahi dan

pemahaman mengenai realitas itu, yang

dianugerahkan secara bebas oleh Allah. Pengalaman-

pengalaman mistik yang mungkin disertai dengan

ekstase, penglihatan dan gejala-gejala semacam itu

biasanya diawali oleh kontemplasi dan askese yang

sungguh-sungguh. Mistisisme dapat ditemukan dalam

agama besar. Mistisisme yang sejati selalu

mengembangkan cinta yang semakin besar kepada

sesama dan rupanya sering dialami oleh orang-orang

beriman yang sangat memperhatikan doa dan peka

terhadap kehadiran Allah dalam hidup mereka.62

62 Gerald O,Collins, SJ & Edward G. Farrugia, SJ, op. cit, 202.

Page 106: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

106

Fenomenologi memungkinkan kita untuk melihat

pengalaman mistis, seperti yang ada dalam pelbagai

agama dan sebagaimana digambarkan oleh para

mistikus sendiri. Pengalaman mistik pertama-tama

merupakan sebuah fakta yang penuh dengan makna

bagi kehidupan religius para mistikus. Seorang

mistikus merasa bahwa dirinya memiliki persepsi yang

lebih mendalam dan penerangan yang lebih besar

dalam pengalamannya akan kenyataan yang agung,

misalnya Tuhan.

Pengalaman mistik merupakan pengamatan

langsung atas sesuatu yang kekal. Pengalaman mistis

ini bersifat suprarasional, meta-empiris, intuitif, dan

unitif (menyatu) terhadap sesuatu yang tak ber-ruang,

tak berwaktu, tak bisa mati, entah itu dipandang

sebagai Tuhan, yang mutlak, yang adi pribadi atau

sekadar keadaan kesadaran tertentu saja. Artinya,

artikulasi pengalaman mistik bertaut erat dengan

hilangnya rasa kepribadian atau kesadaran-ego dalam

suatu keseluruhan yang lebih besar. Mistikus akan

merasakan dirinya dipindahkan mengatasi dimensi

ruang dan waktu ke suatu “ke-kini-an” yang abadi, di

mana kematian tak akan dipersoalkan, dan keadaan

kodrati manusia tampak menjadi sesuatu yang tak

bisa binasa. Berkaitan dengan perspektif mistisisme

Page 107: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

107

yang umum ini, dapat kita bedakan tiga jenis

pengalaman mistik, yakni: ekstasis, enstatis, teistis.

Pertama, pengalaman ekstasis: Jiwa merasakan

dirinya disatukan dengan kehidupan segala sesuatu

yang tak terjamah oleh maut. Dalam pengalaman ini,

batas antara si “aku” dan “ yang bukan-aku”, subjek

yang mengalami dan dunia objektif lenyap, serta

segala sesuatu tampak sebagai yang satu dan yang

satu sebagai semua. Inti pengalaman ini ialah bahwa

individualitas sendiri tampaknya larut dan mengabur,

serta hal ini membawa kegembiraan dan kedamaian.

Pengalaman ini bisa dimiliki oleh orang-orang dari

semua agama dan bahkan mereka yang tak memiliki

agama sama sekali. Oleh karena itu, sering pula

disebut mistisisme alam. Sebagai ungkapan religius,

tampaknya hal itu berkaitan dengan pencerahan

dalam Zen.

Kedua, pengalaman enstatis, yakni: terserapnya

jiwa ke dalam kedalaman hakikatnya sendiri, dari

mana semua yang fenomenal, bersifat sementara,

yang terkondisikan melenyap, dan jiwa itu melihat

dirinya sebagai sesuatu yang satu utuh serta

mengatasi segala dualitas kehidupan duniawi. Inilah

pengalaman mengenai kesatuan mutlak atau hakikat

rohani yang paling mendasar dalam lubuk

keberadaannya. Pengalaman enstasis ini sama dengan

Page 108: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

108

yang ekstasis, dalam hal bahwa dalam keduanya

mengatasi dimensi ruang dan waktu. Namun,

sementara dalam pengalaman ekstasis jati diri

melebur ke dalam dunia dan dunia ke dalam jati diri,

dalam pengalaman enstasis semua keberagaman

hilang dan tiada yang lain kecuali kesatuan yang tak

terceraiberaikan. Dalam pengalam enstasis, kesatuan

yang ada dialami dalam jati diri, suatu pengalaman

akan hadirnya kebesaran yang ilahi di dalam jiwa.

Inilah pengalaman jati diri rohani dalam universalitas,

totalitas dan keluasannya.

Ketiga, pengalaman teistis, yakni: mistisisme cinta

akan Tuhan. Dalam pengalaman Hindu dari bhakti

(cinta akan Tuhan) yang mulia, kita temukan jenis

pengalaman dari partisipasi jiwa yang dapat dirasakan

dalam keberadaan Tuhan. Berkat bhakti, orang yang

dibebaskan menyadari atau mengalami Tuhan melalui

pengertian intuitif karena ia mengenal Tuhan

sebagaimana dia ada di dalam dirinya sendiri. Jati diri

yang terdalam berada di seberang pengalaman yang

(masih) berucap: “aku ingin”, “aku cinta”, “aku tahu”.

Ia memiliki caranya sendiri dalam mengetahui,

mencintai, dan mengalami yang merupakan cara yang

ilahi dan bukan cara manusiawi, suatu cara

persekutuan, kesatuan, ‘dukungan’, di mana tiada lagi

individualitas psikologis yang terpisah, yang menarik

Page 109: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

109

semua kebaikan dan semua kebenaran ke dalam

dirinya sendiri, sehingga dia mencintai dan mengerti

demi dirinya sendiri. Di sini tampaklah bahwa rahmat

adikodrati dari Tuhan berkarya karena jenis

pengalaman ini tak bisa diusahakan oleh kekuatan

manusia sendiri. Betapapun besar usaha manusia

dalam menggunakan segala sarana dan teknik, ia tak

akan pernah mencapai mistisisme cinta ini, yang

dialami sebagai rahmat Tuhan yang sungguh-sungguh

merupakan anugerah. Namun berkenaan dengan

jenis-jenis pengalaman yang lain, pengalaman

transendental ini dapatlah dibantu dengan teknik

tertentu, Yoga misalnya, dan juga sarana yang lain.

4.5. Sisi Paradoks Pengalaman Beragama

Meskipun pengalaman dikatakan berdimensi

kebertubuhan, tapi ia pada dasarnya memuat sisi

paradoks. Artinya, dalam pengalaman selalu ada sisi

yang dapat ditangkap indera dan ada sisi yang tidak

dapat ditangkap. Sebagai contoh, pengalaman kita

melihat pohon. Dalam pengalaman ini ada pohon

yang dapat kita lihat dan dapat kita sentuh. Tapi pada

saat melihat pohon, kesadaran diri kita bahwa kita

melihat pohon tidak dapat kita ungkapkan. Selain itu,

kita tidak tahu persis bagaimana pohon itu dalam

dirinya sendiri. Termasuk pada saat kita melihat

Page 110: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

110

pohon, kita tidak dapat melihat seluruh sisi dari

pohon; kita hanya melihat satu sisi pohon dari

totalitas pohon. Jadi, pengalaman kita melihat pohon

adalah pengalaman yang belum tuntas atau belum

utuh. Kita hanya melihat pohon pada sisi tertentu

saja.

Ilustrasi di atas juga berlaku untuk pengalaman

beragama. Apa yang kita sebut pengalaman beragama

selalu juga memuat sisi paradoks. Sebetulnya, sisi

paradoks dalam pengalaman beragama lebih rumit

karena bercorak misteri. Artinya, kita mengalami

sesuatu yang bersifat misteri (rahasia, tak terpahami),

tetapi sekaligus jelas; bersifat transenden, tapi juga

imanen (terasa menyentuh dan dekat dengan rasa

terdalam atau terasa begitu intim dengan diri kita

sehingga begitu personal tapi sekaligus menuntut

adanya komunitas), menakutkan tapi sekaligus

mempesona, menggetarkan tapi sekaligus

menaburkan rasa damai dan tentram.

a. Pengalaman Akan Sang Lain

Pengalaman beragama ditandai oleh sifat Sang

Lain, sosok yang misteri. Sebagai demikian,

pengalaman akan Sang Lain itu menuntut tanggapan

subjek pengalaman terhadap keberadaan-Nya. Oleh

Page 111: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

111

karena itu, pengalaman beragama senantiasa

bercorak misteri dan berorientasi terbuka keluar

kepada SANG LAIN. Dalam konteks itu, pengalaman

beragama bukan murni sebuah pengalaman psikologis

(meskipun ia dapat ditafsirkan secara psikologis),

tetapi secara esensial ia lebih merupakan pengalaman

akan Sang Lain yang menyergap sang subjek sehingga

ia mengalaminya sebagai Yang Agung, Mahakuasa.

Dalam konteks itu, Berkaitan dengan pengalaman

akan Sang Lain ini, peran Agama adalah

mengafirmasikan keberadaan Sang Lain sebagai

sesuatu Yang Agung atau Mahakuasa. Meskipun

demikian, Keberadaan Sang Laain Yang Agung itu

mendahului pengakuan dan peneguhan (afirmasi)

manusia (melalui dogma agama) dan sama sekali tidak

tergantung pada pengakuan dan peneguhan (afirmasi)

manusia. Singkatnya, Sang Lain (Yang Mahakuasa) itu

sama sekali tidak membutuhkan dogma agama untuk

menegaskan keberadaan diriNya.

Ketika manusia mengalami kehadiran Sang Lain,

ia diliputi oleh sisi-sisi paradoks Sang Lain. Di satu sisi

Sang Lain itu sama sekali berbeda dari manusia

(mengatasi manusia), tapi di sisi lain Ia bisa

berkomunikasi dengan manusia sebagai ciptaan-Nya

dan bahkan membuat manusia kagum padaNya;

menyadari kodrat dirinya sebagai citra-Nya. Manusia

Page 112: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

112

lantas menyadari kemiripan dirinya dengan Sang Lain

yang memungkinkan dirinya untuk untuk

berkomunikasi denganNya.

Berkaitan dengan pengalaman akan Sang Lain ini,

manusia dilanda oleh dua ekstrim pemikiran yang

berpotensi mereduksi keyakinannya akan Sang Lain.

Pertama, aspek pemikiran yang bercorak

antropomorfisme. Artinya, manusia berpikir bahwa

Sang Lain (Tuhan, Allah, God, Deus, Theos...itu)

seutuhnya memiliki kemiripan dengan manusia.

Pemikiran demikian tentu dapat membahayakan

keyakinan sebab memandang Sang Lain itu berakar

dalam pengalaman manusiawi semata-mata. Kedua,

aspek pemikiran yang bercorak pesimisme, yang

kemudian bermuara pada agnostisisme. Artinya,

ketika manusia berpikir bahwa Sang Lain itu sama

sekali berbeda dan tak terjangkau oleh manusia maka

ia lantas merasa tidak mungkin untuk menjalin

komunikasi denganNya (pesimistis).

b. Perasaan Ketergantungan Religius

Keyakinan manusia bahwa Sang Lain itu adalah

Pencipta dan dirinya adalah citraNya membuat para

pemikir berusaha memberi penjelasan deskriptif

perihal pengalaman Akan Sang Lain. Pemikir seperti

Schleimacher, misalnya, mengilustrasikan pengalaman

akan Sang Lain sebagai suatu perasaan

Page 113: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

113

ketergantungan. Sementara Hegel justru kurang

sepakat dengan apa yang dilontarkan Schleimacher itu

dan lantas mengkritiknya dengan ungkapan bahwa

“seekor anjing pun mempunyai rasa ketergantungan

pada tuannya, tapi perasaan ketergantungan itu tidak

dapat dijadikan bukti untuk menegaskan bahwa anjing

itu mempunyai pengalaman akan tuannya”. Meskipun

demikian, kedua pemikir itu sama-sama

mengutarakan hal yang memiliki makna. Kritik yang

dilontarkan Hegel memiliki makna secara horisontal

(menyangkut pengalaman yang menimbulkan

perasaan yang bersifat duniawi), sementara

pernyataan Schleimacher mempunyai makna vertikal

(pengalaman yang menimbulkan perasaan firdausi,

perasaan religius, keyakinan Ilahiyah). Perasaan

ketergantungan yang dimaksudkan Schleimacher lebih

bermakna religius untuk menunjukkan betapa agama

memainkan peranan penting dalam kehidupan

manusia dalam membahasakan pengalamannya akan

Sang Lain. Sementara kritik Hegel sebetulnya hendak

menyoroti perasaan ketergantungan sebagai

kenyataan yang belum memadai untuk mematok

alasan utama bagi relasi manusia dengan Sang Lain.

Rudolf Otto menampilkan secara gamblang di mana

letak kekurangan pernyataan Schleimacher. Bagi Otto,

kekurangan pandangan Scheleimacher terletak pada

Page 114: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

114

ketidakmampuannya untuk membedakan

ketergantungan religious dari ketergantungan–

ketergantungan yang bercorak duniawi ( misalnya

perasaan tergantung pada orang tua, kakak, adik,

teman, kekasih, atau ketergantungan pada hal-hal

tertentu seperti makanan, minuman, musik, mainan,

dst).

Perihal perasaan ketergantungan itu sebetulnya

menyelimuti setiap manusia sejak ia dilahirkan ke

dunia ini. Kodrat manusia sebagai makhluk individual

dan sosial dengan sendirinya menegaskan adanya

perasaan ketergantungan pada pihak lain. Sebagai

makhluk sosial, setiap manusia secara kodrati berada

dan bergantung pada pihak lain (orangtua, kerabat,

teman sejawat, dan alam). Kendati demikian,

ketergantungan pada pihak lain tidak pernah dalam

arti secara total. Ketergantungan itu selalu bersifat

parsial. Artinya, selalu ada kemungkinan bagi manusia

untuk menampilkan keunikan dirinya sebagai makhluk

individual. Aspek individual itu memampukan setiap

manusia untuk menyadari bahwa dirinya lebih tinggi

dari pada sesuatu di mana ia bergantung. Keyakinan

demikian tampaknya dibahasakan secara tepat oleh

Blaise Pascal bahwa, manusia akan tetap lebih luhur

dari pada alam yang membunuhnya. Sebab ia

mengetahui bahwa suatu saat ia pasti akan mati. Dan

Page 115: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

115

manusia masih lebih tinggi dari keuntungan atas

kematiannya yang dimiliki alam raya karena alam raya

tidak sadar sedikit pun tentang hal itu.

Meskipun secara kodrati manusia selalu

tergantung pada hal–hal yang tak terelakan demi

kebaradaan dan kelangsungan hidupnya, misalnya,

tergantung pada oksigen, pada orang lain, tapi

ketergantungan itu sama sekali berbeda dan tidak

setara dengan perasaan ketergantungan religius.

Perasaan ketergantungan religius itu berbeda secar

kualitatif dari perasaan ketergantungan yang non

religius. Mengapa? Karena ketergantungan religius itu

menyangkut totalitas keberadaan manusia dan

menyentuh eksistensi dirinya yang paling dalam. Untuk

mengilustrasi perasaan ketergantungan religius ini,

Rudolf Otto menyetir kembali kata–kata Abraham

dalam Kitab Perjanjian Lama : “lihatlah aku telah

berusaha bicara kepada Tuhan, aku yang hanya debu

dan abu ini.”

Ungkapan Abraham diatas menegaskan bahwa

makna kehidupan manusia hanya ada dan terletak

pada pengakuannya secara religius bahwa Sang Lain

adalah satu-satunya sumber keberartian dalam hidup.

Hidup manusia menjadi terasa memiliki makna,

memiliki kepastian dan arah yang jelas ketika ia

mengakui bahwa Sang Lain adalah alfa dan omega.

Page 116: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

116

c. Kesadaran Sebagai Makhluk Yang “Terciptakan”

Perasaan ketergantungan pada Sang Lain seperti

diulas di atas berakar pada kenyataan bahwa manusia

diliputi oleh perasaan ke-fana-an. Hidup manusia itu

terbatas, sementara, dan fana. Perasaan demikian

berangkat dari kenyataan bahwa manusia itu dari

tiada menjadi ada. Perasaan ketergantungan

sebetulnya mengungkapkan proses ke-ada-an

manusia: Bahwa manusia itu dari tiada menjadi ada

karena “terciptakan”. Eksistensi dan kesadaran

manusia akan realitas berangkat dari kesadaran

sebagai makhluk yang “terciptakan”. Kesadaran

demikian begitu memintal erat dan mendasar dalam

totalitas keber-ada-an manusia sehingga

memungkinkan dirinya untuk memiliki pengalaman

religius yang penting untuk membangun kesadaran

religius. Artinya, kesadaran sebagai makhluk yang

terciptakan adalah dasar penting bagi pengalaman

dan kesadaran reigius. Berkaitan dengan hal itu,

Rudolf Otto menegaskan bahwa, ‘keasadaran manusia

sebagai makhluk yang terciptakan’ ini merupakan

suatu fenomen yang menyertai pengalaman religius.

Dengan demikian, esensi pengalaman religius adalah

kesadaran manusia akan ke-fana-an dirinya (sebagai

makhluk yang terciptakan) di hadapan SESUATU yang

Page 117: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

117

mempunyai kekuatan atau tenaga yang sangat kuat

dan mutlak. Sementara itu segala sesuatu mengakui

sifat kekuatan yang luar biasa ini, dan menyadari

dirinya sebagai makhluk yang terciptakan.

Kesadaran diri sebagai makhluk yang terciptakan

merupakan kesadaran religius sehingga tidak bisa

dipahami sebatas kesadaran biasa. Itulah sebabnya

kesadaran itu hanya dialami oleh orang-orang yang

membuka dirinya dengan rendah hati untuk Sang Lain

(Tuhan) dan memahaminya sebagai anugerah yang

istimewa dariNya. Orang-orang yang memandang

kesadaran sebagai makhluk terciptakan identik

dengan perendahan diri sendiri tidak akan pernah

mendapat anugerah istimewa dari Tuhan berupa

pengalaman religius.

d. Tidak Tuntas Terkatakan

Aspek misteri yang melekat pada pengalaman

beragama sebab menyangkut Sang Lain membuatnya

tidak mungkin terrekam secara utuh. Kenyataan ini

membuat pengalaman beragama selalu bersifat

paradoks dalam arti bahwa ia bisa dialami tapi tidak

bisa diuraikan atau diungkapkan secara tuntas.

Pengalaman akan kehadiran Sang Lain itu memang

disadari dan dirasakan dalam keadaan sadar, tetapi

ketika kita hendak membahasakan atau

mengkomunikasikannya dalam untaian kalimat,

Page 118: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

118

ternyata manusia berhadapan dengan kenyataan

bahwa bahasa/kata-kata manusia selalu terbatas dan

bahkan selalu tidak tuntas dalam mengungkapkan

pengalaman yang paling berharga itu.

Ambisi manusia untuk membahasakan

pengalamannya secara tuntas justru berbahaya sebab

mereduksi keutuhan pengalaman sehingga terbuka

peluang ke arah penjelasan yang keliru atau

menyesatkan sebab pengalaman religius selalu utuh

dalam dirinya sendiri, dan akan selalu parsial dalam

penjelasan melalui kata-kata. Penjelasan dalam dan

melalui bahasa berupa untaian kata-kata dalam

kalimat memang bisa membantu manusia untuk

sekadar menghadirkan kembali pengalaman itu dalam

rangka memenuhi kebutuhan dialogal dan horisontal

subjek yang mengalaminya. Sebagai demikian, ia

bermanfaat sejauh dimaksudkan untuk

“memperdalam” perenungan dan “meneguhkan”

iman pihak lain yang terlibat dalam dimensi dialogal

tersebut.

4.6. Aspek Intensionalitas Dalam Pengalaman Akan

Yang Numinous

Penjelasan di atas menunjukkan sisi misteri atau

aspek kerahasiaan pengalaman beragama sehingga ia

tidak mungkin dapat dijabarkan secara tuntas.

Page 119: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

119

Meskipun demikian, seperti yang diyakini oleh Rudolf

Otto, pengalaman beragama itu selalu berdimensi

kesadaran akan dan keterarahan pada Sesuatu Yang

Lain. Berangkat dari keyakinan itu, Rudolf Otto lantas

menyimpulkan bahwa pengalaman beragama itu

selalu bercorak intensionalitas, yakni: menimbulkan

kesadaran akan sesuatu yang lain. Berdasarkan

keyakinan itu, Otto lantas meyakini bahwa, perasaan

religius muncul ketika subjek menanggapi tawaran

Numen (obyek pengalaman religius). Tanggapan subjek

selalu ditandai oleh kenyataan bahwa tanggapannya

itu ditujukan kepada pihak luar dirinya. Artinya,

manusia mengarahkan totalitas dirinya untuk

mengalami Numen yakni obyek pengalaman religius.

Dalam interaksi yang sadar itu, manusia menyadari

sisi-sisi temporal dirinya sebagai makhluk yang fana

(kefanaannya. Namun, kesadaran akan kefanaan itu

hanyalah sebuah fenomen penyerta dan bukan

tempat pengalaman di mana pengalaman itu bergulir.

Keyakinan Rudolf Otto itu senada dengan

pandangan Edmund Husserl. Menurut Husserl

perasaan religius itu selalu merupakan suatu

kesadaran mengenai obyek. Obyek itu perlu agar

suatu pengalaman terjadi. Perasaan religius tidak

dapat disamakan dengan dorongan kebutuhan

biologis berupa rasa lapar dan haus. Perasaan yang

Page 120: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

120

muncul dari dorongan biologis dapat dipisahkan dari

apa yang menyebabkannya sehingga perasaan itu

tidak bersifat internasional. Namun berbeda dengan

perasaan yang mendalam, misalnya, perasaan cinta

yang pasti tidak dapat dialami tanpa suatu kesadaran

akan sesuatu atau seseorang yang dicintai. Artinya,

pengalaman cinta selalu bersifat intensional sebab

terarah kepada sesuatu yang lain. Demikian pun

pengalaman religius.

Jadi, Rudolf Otto hendak menegaskan bahwa hal

utama dalam konteks pengalaman beragama adalah

menyadari pertemuan dengan Sesuatu yang Indah,

misteri yang menggetarkan, dan misteri yang

mepesona (Pengalaman yang bercorak Mirum,

misterium tremendum et fascinosum). Sifat

pengalaman ini di luar yang diperkirakan sehingga

tidak bisa dibandingkan dengan pengalaman–

pengalaman murni manusia. Tidak ada pengalaman–

pengalaman murni manusia yang sebanding

kualitasnya dengan keindahan, kegentaran, dan

kekaguman yang dialami manusia ketika ia dilingkupi

oleh sang numinous (yang Ilahi). Perasaan yang

menyergap manusia meskipun menggentarkan tapi

tidak membuat manusia lantas menjauh. Bahkan

setelah mengalami pengalaman yang misteri itu,

manusia ingin agar perasaan tersebut terus

Page 121: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

121

terpelihara dan menghiasi hidupnya. Keinginan itu

membuat manusia terdorong untuk semakin

mendekatkan diri dan berada pada lingkup yang

Numinous (Ilahi). Dalam keadaan seperti itu jiwa

manusia masuk ke dalam inti keberadaan yang

terdalam sebab ia begitu terpikat dan terpesona oleh-

Nya. Rudolf Otto menyebutnya sebagai Mysterium et

Fascinosum.

Deskripsi Otto bahwa yang Numinous itu

bercorak Mysterium et Fascinosum sebetulnya

merupakan upayanya untuk menunjukkan aspek

paradoks pada pengalaman beragama bila

dibandingkan dengan pegalaman biasa. Istilah

tersebut serentak pula menggarisbawahi adanya daya

tarik yang kuat yang hanya menjadi ciri khas

pengalaman beragama. Kecuali itu, melalui istilah

misterium fascinosum, Otto sepertinya hendak

menegaskan bahwa obyek rasa tertarik itu di luar (tak

terjangkau oleh) pemahaman manusia. Artinya, yang

Numinous itu mengatasi pemahaman manusia.

Interpretasi manusia atasNya selalu tidak tuntas dan

kurang memuaskan.

4.7. Ruang dan Waktu Suci

Meskipun konsep ruang dan waktu menurut

Aristoteles memiliki dimensi kontinuitas (tidak

Page 122: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

122

merupakan fakta yang dibatasi), tapi dalam konteks

pengalaman beragama kita perlu memberi batasan

kepada konsep ruang dan waktu menjadi menjadi

ruang sakral dan waktu sakral. Artinya, manakala

suatu ruang tertentu diberi batasan sehingga menjadi

ruang sakral (atau karena ia merupakan wahyu, atau

karena disucikan, atau karena beberapa alasan lain),

hukum kontinuitas menjadi tidak berlaku. Dengan

demikian, ketika kita masuk ke dalam wilayah ruang

sakral, kita seakan-akan masuk ke dalam dunia yang

lain (dunia khusus), kita bagaikan masuk kedalam

peralihan wilayah: dari ruang profan (biasa) ke ruang

sakral. Ketika kita berada dalam ruang sakral, kita

sesungguhnya berada dalam kenyataan lain yang di

luar lingkup kenyataan sehari–hari.

Oleh Karena itu, kita tidak boleh memasuki ruang

sakral secara serampangan. Perlu adanya persiapan

batin, pikiran, dan perasaan sebelum kita memasuki

ruang sakral. Misalnya, persiapan hati nampak dalam

hal lahiriah seperti: memakai penutup kepala,

pakaian – pakaian tertentu, menundukan kepala,

merebahkan diri, membuka kasut, menyucikan diri

dengan air. Persiapan ini mempunyai nilai simbolis,

nilai kesucian, dan penting untuk membangun

hubugan yang utuh dan total dengan yang ilahi.

Page 123: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

123

Berkaitan dengan ruang dan waktu sakral ini, kita

perlu menyadari bahwa setiap agama memiliki tempat

ziarah, tempat doa, kenisah dan memiliki waktu-

waktu suci yang dijadikan saat doa, saat merenung,

saat meditasi.. Ruang sakral itu bukan semata-mata

indah, tapi memikat dan mengagumkan. Itulah

sebabnya, misalnya, orang Yunani memilih untuk

membangun kuil – kuil di tempat yang begitu

mengagumkan. Biasanya, pembangunan tempat suci

dilandasi oleh kesadaran akan pentingnya

keharmonisan dengan lingkungan alam. Misalnya,

menunjukkan hubungan khusus dengan fenomena

alam: matahari terbit atau terbenam. Fenomena ini

menunjukkan bahwa sejak dahulu umat beragama

meyakini bahwa, keharmonisan dengan alam penting.

Alam adalah arsitek utama yang penting diteladani

dan diikuti dalam pembangunan kuil – kuil. Fenomena

ini dapat kita jumpai kini bahwa tempat – tempat

ibadat agama-agama terdahulu pada umumnya

diliputi oleh keserasian dengan alam sehingga

memancarkan keanggunan, kekokohan, keindahan,

keagungan, keluhuran, dan ketenangan. Sayangnya,

spiritualitas pembangunan tempat ibadah terdahulu

yang mesti berguru pada alam itu tampaknya tidak

diteruskan dalam proyek-proyek pembangunan

rumah ibadah pada jaman sekarang. Dewasa ini

Page 124: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

124

pembangunan tempat ibadah tidak lagi berorientasi

pada keharmonisan dengan alam dan tidak berguru

pada alam.

Senada dengan konsep ruang suci di atas adalah

konsep mengenai waktu yang suci. Menurut

Aristoteles, waktu adalah rangkaian gerakan dalam

hubungan dengan masa sebelum dan masa sesudah.

Konsepsi Aristoteles mengenai waktu menunujukkan

adanya pengulangan yang berkesinambungan dari

realitas yang sama. Jadi, berkaitan dengan waktu

sebetulnya tidak ada suatu penilaian dalam skala

kualitatif. Namun, ketika waktu diberi batasan

menjadi “waktu suci” maka hukum kontinuitas

menyangkut waktu seperti dikonsepsikan oleh

Aristoteles menjadi tidak berlaku.

Ketika kita memberikan pembatasan terhadap

waktu menjadi waktu suci maka kita pun lantas

membuat suatu penilaian yang berifat kualitatif

terhadap waktu. Dalam waktu yang suci, realitas

menjadi tercirikan dengan nama dan menjadi sesuatu

tertentu yang berbeda secara radikal dari waktu yang

sebelum dan sesudahnya.

Dalam perspektif waktu suci, upacara-upacara

keagamaan (hari raya, pesta, peringatan) tidak

dimasukan dalam waktu, tetapi mengenai waktu.

Misalnya, ketika orang Yahudi merayakan Paskah,

Page 125: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

125

orang Kristen merayakan Natal maka perayaan yang

dilakukan mereka tersebut bukan semata-mata untuk

mengenang peristiwa historis, yang terjadi dulu dan

kini dikenang kembali, tapi lebih darin itu adalah

upaya mereka dalam menghidupkan kembali waktu

yang sebelumnya dalam dimensi waktu kekinian

sehingga batas–batas waktu dihapus. Batas-batas

waktu biasa diatasi dalam peristiwa pengulangan

dalam upacara-upacara keagamaan dimana para

penganutnya mengambil bagian dalam peristiwa

tersebut. Dalam keyakinan dan konsepsi umat

beragama pada umumnya, keabadian tidak ditarik ke

dalam dimensi waktu, tetapi waktu menyentuhnya.

4.8. Penutup

Uraian di atas menunjukkan bahwa

pengalaman beragama adalah pengalaman

perjumpaan dengan yang Ilahi. Suatu perjumpaan

yang luar biasa sebab melampaui kategori inderawi,

tapi sekaligus memberi arti secara mendalam kepada

hal-hal yang dialami secara inderawi. Keistimewaan

pengalaman rohani justru terletak pada nilainya itu,

yang mampu merangkai antara rasio dengan intuisi,

antara yang imanen dan yang transenden. Bahkan

salah satu alasan mengapa manusia tetap beragama

adalah karena ia memiliki pengalaman beragama.

Page 126: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

126

Tanpa pengalaman rohani hampir dapat dipastikan

bahwa seseorang sulit mencapai kedewasaan iman.

Jadi, pengalaman beragama selain merupakan salah

satu alasan kuat yang mendorong manusia tetap

beragama, juga memungkinkan orang untuk mencapai

kematangan penghayatan dan perwujudan imannya.

Pengalaman beragama merupakan energi yang

mendorong atau memotivasi manusia tetap beragama

dan menghayati agamanya dalam seluruh ritme

kehidupannya.

BAGIAN V

SAKRAL DAN PROFAN

5.1. Pengantar

Konsepsi mengenai yang sakral (suci, kudus)

ditemukan dalam setiap agama. Pembagian dunia ke

dalam dua bidang, yang sakral dan yang profan,

merupakan ciri khas pemikiran religius. Ciri nyata dari

fenomena religius ialah bahwa fenomen-fenomen itu

selalu mengandaikan suatu pembagian seluruh alam

raya atas dua bagian, yang dikenal dan yang tidak

dikenal, kedalam dua kelompok yang merangkumi

segala sesuatu yang ada, tetapi saling meniadakan

secara radikal. Hal-hal yang sakral adalah hal-hal yang

dillindungi dan dipisahkan oleh larangan-larangan.

Page 127: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

127

Sementara hal-hal yang profan adalah hal-hal yang

padanya larangan-larangan ini diterapkan dan harus

tetap jauh dari hal-hal sakral. Keyakinan-keyakinan

religius merupakan gambaran-gambaran yang

mengungkapkan sifat hal-hal dengan yang lain atau

dengan hal-hal profan.

Pada dasarnya yang sakral itu bersifat hakiki bagi

setiap agama. Sebagai demikian, kesakralan menjadi

begitu penting bagi kelangsungan agama. Tanpa

kesakralan, agama dapat dipastikan tidak bakal

bertahan. Artinya, kesakralan adalah nilai yang

mengukuhkan agama sebagai sesuatu yang berdiri

sendiri. Meskipun ciri hakiki agama itu membuatnya

terpisah dari atau berbeda sama sekali dari aspek

kehidupan yang lain, tapi hal itu tidak merintangi

agama untuk berelasi dengan bidang kehidupan lain

yang nota bene non-agama.

Dalam perspektif yang lebih luas, hal yang sakral

adalah hal yang dijaga, dilindungi supaya luput dari

pelanggaran dan pencemaran. Hal yang sakral adalah

hal yang dihargai, dimuliakan, dan tidak dapat

diganggu gugat. Dalam pengertian ini, kesakralan

tidak hanya menjadi milik agama saja. Di luar agama

dapat ditemukan pula yang sakral: benda-benda,

praktek-praktek, tempat-tempat, adat-istiadat,

gagasan religius, dan non-religius.

Page 128: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

128

Kesakralan dalam arti khusus adalah semua yang

dilindungi secara khusus oleh agama terhadap

pelanggaran, gangguan atau pencemaran. Sesutu

yang sakral adalah yang kudus, sudi. Oleh karena itu,

sesuatu yang sakral adalah lawan dari yang sesuatu

yang profan. Sesuatu yang profan merupakan sesuatu

yang biasa, umum, tidak disucikan, sementara, atau

wilayahnya berada di luar yang religius.

Berdasarkan pandangan di atas, apa yang kita

sebut sebagai sesuau yang sakral adalah sesuatu yang

hendaknya tidak dapat disentuh oleh yang profan.

Dalam khasanah agama, perilaku religius ditandai oleh

kompleks-kompleks lain dengan sikap istimewa

tertentu dari para penganutnya. Berkaitan dengan itu,

pertanyaannya adlah: apakah yang menjadi ciri khas

agama atau perilaku manusia terhadap yang sakral?

Apakah secara apriori (konsepsi abstrak,pengertian

abstrak) kita mengenakan kategori yang sakral kepada

seperangkat keyakinan dan praktek tertentu sehingga

hal-hal itu menjadi religius?

Dalam pembahasan di muka, elaborasi atas

kesakralan dikaitkan dengan istilah Mysterium

tremendum et fascinosum. Sumber kesakralan bukan

dari hal-hal yang fana, melainkan dari Yang Baka, yang

Transenden. Oleh karena itu, kesakralan hanya dpat

dipahami dalam dan melalui pengalaman akan yang

Page 129: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

129

Transenden. Orang yang tidak memiliki pengalaman

akan yang Sakral pastilah sukar memahami kesakralan

secara mendalam.

Dalam rangka memahami kesakralan, pertama-

pertama kita terlebih dahulu menyadari bahwa yang

sakral itu bercorak mirum, misterium tremendum et

fascinosum. Artinya, objek sakral itu indah,

menimbulkan perasaan “gentar”, dan sekaligus

perasaan yang “kagum”. Perasaan demikian memberi

kesadaran baru berupa sikap hormat yang tiada

taranya terhadap objek sakral; mendesak manusia

beragama untuk sujud dan menyembah dan

bersimpuh di hadapan-Nya.

Penghayatan terhadap yang sakral selain

berkaitan dengan Allah, juga dapat diekspresikan pada

sesuatu yang bercorak adikodrati misalnya malaikat

yang begitu sering disebut dalam Kitab Suci. Kecuali

itu, aspek kesakralan pun diyakini melekat erat dalam

diri para nabi dan Orang suci, karena mereka diyakini

dapat menjadi saluran rahmat Allah kepada manusia

beragama. Tanda-tanda kehadiran yang sakral dapat

berupa mukjizat-mukjizat sebab Allah bekerja

melaluinya.

5.2. Sekilas Tentang Pengalaman Mengenai Yang Sakral

Page 130: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

130

Pengalaman akan Yang Sakral dalam kehidupan

beragama mempunyai struktur yang unik. Dalam

konteks kehidupan beragama, struktur dasar

pengalaman akan yang Sakral tampak dalam ungkapan

iman, misalnya,: Saya mengalami Yang Lain sebagai

hal yang transenden, hal yang misteri dan

pengalaman itu sungguh menyergap totalitas diri

sehingga tidak mungkin dapat saya ungkapkan secara

tuntas. Struktur pengalaman akan yang sakral itu

memperoleh bentuknya dalam agama-agama.

a. Dalam Agama Tradisional

Dalam agama tradisional, unsur yang

menunjukan arti yang sakral, misalnya: Bahwa yang

sakral itu tidak dapat diraba, kehadiranNya

menimbulkan perasaan was-was dan hati-hati, menyita

perhatian lebih besar daripada perhatian kepada yang

profan. Kehadiran yang Sakral itu menimbulkan rasa

kagum dan hormat, diam dan gemetar. Dalam

suasana seperti itu, manusia biasanya mengucapkan

kata-kata sakral, pujian dan hormat kepadaNya.

Dengan kata lain, orang-orang tradisional

menyadari yang sakral sebagai Sosok yang lain sama

sekali dari hal-hal yang biasa, lain dari pengalaman

mengenai hidup sehari-hari. Pengalaman akan yang

Sakral adalah pengalaman pribadi tapi sekaligus

Page 131: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

131

pengalaman bersama. Dikatakan sebagai pengalaman

pribadi karena pengalaman tersebut mendorong

manusia untuk mencoba menjalin relasi denganNya.

Dikatakan sebagai pengalaman bersama karena

kehadirannNya sama sekali berbeda dari tatanan alam

sehingga meliputi masyarakat manusia dan wakil-

wakil kolektifnya. Sejarah masyarakat (sejarah

komunitas beragama) sudah selalu dilingkupi Yang

Ilahi. Itulah sebabnya Mircea Eliade mengatakan

bahwa, seluruh sejarah agama – sejak yang paling

terdahulu hingga yang terkini, ditentukan oleh

perwujudan-perwujudan dari yang sakral dalam

berbagai manifestasinya (hierofani), mulai dari yang

terendah hingga yang paling tinggi, yakni penjelmaan

Allah dalam diri seorang pribadi manusia.

b. Dalam Agama Hindu

Perspektif mengenai yang sakral memang tidak

seragam dalam setiap agama. Dalam agama Hindu,

misalnya, yang sakral dihayati sebagai yang ilahi (Allah

atau Yang Mutlak), Sementara Yang ilahi itu

merupakan sesuatu Yang Terang, Abadi, Kekal, Imanen

dalam dunia dan manusia dan merupakan kodrat

tertinggi dari segala sesuatu yang ada dan diri yang

paling dalam dari alam raya yang obyektif dan

subyektif. Artinya, ia menjadi dasar terdalam bagi

Page 132: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

132

sesuatu yang ada. Yang ilahi adalah ‘yang nyata dari

yang nyata’, ‘pengendali batin’, diri yang terdalam’. Ia

melihat tetapi ia sendiri tidak kelihatan, Ia mendengar

tetapi tidak didengar, memikirkan tetapi tidak

difahami, Ia lain daripada dunia, tetapi mengendalikan

dunia dari dalam.

Singkatnya, yang ilahi adalah sekaligus Sang Ada

yang kekal dan sumber segala peristiwa, awal dari

yang hidup dan yang mati. Ia merupakan inti diri

manusia atau inti diri individual. Dalam tradisi

Upanishad yang paling tua, dimana tidak ada dualism,

masalah ini diatasi dengan menekankan adanya Allah

yang Maha Tinggi yang pribadi sebagai Tuhan bagi

dunia yang dicita-citakan dan bagi dunia nyata

sekarang ini. Maka Sang Ada Ilahi itu bersifat

transenden dan imanen. Atribut yang diberikan sang

ilahi ini diambil dari kualitas-kualitas pribadi dan

kesempurnaan-kesempurnaan moral.

Dalam Upanishad ditemukan ajaran yang

bercorak teistis: bahwa Allah yang berdiam selama-

lamanya dalam kekekalanNya tetap berkarya dalam

dunia kita ini. Allah yang diam itu tetap Allah yang aktif

untuk kita. Dalam Bhagawadgita arah teistis ini,

menjadi teisme yang diterima secara penuh.

Perubahan itu terletak pada sikap manusia bahwa ia

tidak berbalik kedalam dirinya sendiri secara eksklusif

Page 133: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

133

dalam usaha mencari dasar yang kekal dari jiwanya

melainkan berpaling keluar untuk menemukan

Tuhannya yang transenden dalam cinta dan

kepercayaan dan ia mendapatkan jawaban cinta dan

kepercayaan di pihak Allah. Tujuan ideal

kehidupanmanusia tidak lagi untuk

mengidentifikasikan diri individual dengan Diri Yang

mutlak. Keilahian yang Maha Tinggi, melainkan

mencari kesatuan dan penyerahan total individual

kepada Tuhan yang mencintai dan maha kuasa.

Teisme Hindu memiliki dua pandangan yang semakin

berkembang hingga sekarang: pertama, Yang Mutlak

atau Sang Ilahi yang disebut Brahman. Ini ditemukan

dalam trend Hindu yang non-dualistis. Kedua, ialah

Allah personal yang disebut Bhagawan atau Iswara.

Dalam konteks Hindu, yang profan adalah

sesuatu yang ditentukan oleh waktu, ruang,

perubahan dan kematian (termasuk yang bersifat

empiris, yang terus menerus bergulat dengan

bermacam-macam eksistensi dan kelahiran). Supaya

lolos dari perangkap yang profan, manusia harus

masuk ke dalam dunia untuk bekerja di dalamnya

berdasarkan kehendak dan bekerjasama dengan yang

Ilahiuntuk menghancurkan yang jahat dan menolak

pengaruh yang tidak benar.

Page 134: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

134

c. Dalam Agama Buddha

Struktur yang sakral menurut agama Buddha,

tidak ada hubungannya dengan Allah atau dengan

yang mutlak. Inti ajaran Budha mengenai hidup

manusia tersimpul dalam CATUR ARYA SATYA (empat

kesunyataan atau kebenaran mulia), yaitu: (1) Dukha-

Satya (hidup dalam segala bentuk adalah

penderitaan); (2) Samudaya-Satya (sebab penderitaan

adalah karena manusia memiliki keinginan dan nafsu);

(3) Nirodha-Satya (penderitaan itu dapat dilenyapkan

(moksha) dan orang mencapai Nirvana ); (4) Marga-

satya (jalan untuk mencapai pelenyapan penderitaan

sehingga dapat masuk ke dalam Nirvana adalah

depalan jalan utama (asta-arya-marga), yakni:

keyakinan yang benar, pikiran yang benar, perkataan

yang benar, perbuatan yang benar, penghidupan yang

benar, daya upaya yang benar, perhatian yang benar,

dan semedi yang benar.63

Penganut agama Buddha mengalihkan struktur

sakral kepada pembebasan dari kematian dan

penderitaan. Hal ini lazim disebut keadaan

nirvana.Yang profan merupakan alam yang

diperbudak oleh kelahiran kembali. Penderitaan

disebabkan oleh adanya keinginan, nafsu dan hasrat.

63 Konfrensi Waligereja Indonesia, 1996. Iman Katolik, Buku

informasid an Refrensi, Kanisius, Yogyakarta. hal.177.

Page 135: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

135

Keberadaan yang profan bersifat sementara, tidak

permanen, dan penuh dengan penderitaan dan

sengsara. Dalam Budhisme Mahayana yang sakral

adalah Kebudhaan. Artinya, keadaan di mana ada

pencerahan, kebijaksanaan dan kasih bagi yang

merasakannya. Semuanya itu dicapai karena adanya

pemahaman atau pengertian terhadap eksistensi

profan dan sadar akan mencapai kenyataan terakhir

yang berada di atas eksistensi profan.

d. Dalam Kepercayaan Cina64

Struktur yang sakral menurut orang Cina

merupakan kekuatan adikodrati yang merupakan dasar

kemuliaan T’ien. Kekuatan adikodrati itu dipercayai

sebagai sesuatu yang dimiliki oleh para raja dan

orang-orang penting. Sementara Dewa tertinggi Ti’en

adalah Tuhan personal yang ada di puncak pimpinan

dari struktur hierarkis dunia supranatural dan suci.

Kekuatan adikodrati yang menjadi dasar

kemuliaan T’ien itu dipercayai sebagai sesuatu yang

dimiliki oleh para raja dan orang-orang penting. Yang

sakral seiring dengan kesalehan seorang anak.

Akhirnya, yang sakral merupakan jalan surga, aturan-

aturan surgawi yang harus ditaati dalam kehidupan

seseorang. T’ien adalah kekuatan adikodrati para raja, 64 Mariasusai Dhavamony, 1995., hal. 95-96.

Page 136: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

136

orang-orang terpandang dan berpengaruh,

kesalehan/ketaatan anak-anak dan aturan-aturan

surgawi merupakan ungkapan dan perwujudan T’ien

sendiri. Raja-raja dahulu menerima dan memegang

perintah T’ien lewat Tê (kualitas suci, kekuatan

kepribadian yang perlu dimiliki para dewa dan orang-

orang yang memperolehnya dengan caya yang

istimewa).

Tao merupakan prinsip lain dalam kepercayaan

Cina. Tao adalah tatanan yang kekal dari alam raya.

Prinsip demikian adalah prinsip kosmos dan jalan

kehidupan dalam alam raya.Tao bertindak dalam

pikiran dan materi jasmani. Tao merupakan prinsip

yang telah menjadikan alam raya, memelihara dan

mengaturnya. Tao merupakan jalan, cara bagaimana

segala sesuatu dilakukan. Tao, misalnya, merupakan

jalan yang dipakai raja untuk memerintah menuju

keadaan surgawi. Tao merupakan prinsip tertinggi

mengatur sesuatu dan menentukan seluruh

perjalanan proses dunia, maka manusia harus

menyesuaikan diri dengan hukum ini dan meniru sifat-

sifat Tao. Sebagaimana Tao, manusia hendaknya

diliputi kebaikan, kesederhanaan, kemurahan dan

kedamaian.

e. Dalam Agama Yahudi

Page 137: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

137

Struktur yang sakral menurut orang Yahudi

didasarkan atas pandangan bahwa Yahwe adalah

Tuhan yang berkuasa dan pandangan manusia sebagai

hamba Yahwe. Manusia wajib menyembah dan

mencintai Allah, yang dialami manusia, meminjam

istilah R. Otto, sebagai sosok yang tremendum et

fascinosum. Karena itu, dalam diri manusia terdapat

dua sikap yang saling melengkapi: takut akan Allah

dan sekaligus mencintainya.

Dalam kesatuan antara ketakutan dan cinta

kepada Allah itu terungkap sifat hakiki keyakinan

Perjanjian Lama mengenai Allah. Dapat dikatakan

pula, bahwa takut dan cinta merupakan dua kutub

yang diantaranya bergerak reaksi manusia yang tepat.

Sikap ini memuat pengertian ketakutan yang

mendalam mengenai kekudusan Allah. Yang Kudus

adalah gagasan religius yang mendalam yang

menunjukan apa yang termasuk bidang Ilahi dan

karenanya tidak dapat diganggu-gugat.

Jadi, kesakralan dalam kepercayaann orang

Yahua dalah kualitas, yang karena strukturnya itu juga,

berakar dalam keilahian. Kalau dilihat dari segi positif,

kekudusan berarti kemurnian dan berkah. Dari segi

negatif kekudusan merupakan kutukan. Berhadapan

dengan kekudusan Allah tidak ada jalan tengah.

Page 138: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

138

f. Dalam Agama Islam

Dalam agama Islam, struktur sakral diungkapkan

dalam kesadaran iman yang mendalam bahwa

manusia tergantung pada Allah. Pengakuan iman ini

membuat manusia harus takluk kepada perintah

Allah. Artinya, manusia harus menyembah Allah.

Meskipun dalam ajaran agama Islam menegaskan

pentingnya pengakuan iman bahwa Allah adalah

sosok yang suci, Maha Besar dan memikat manusia,

tapi pengertian “penghambaan” kepadaNya sebagai

sikap taat merupakan unsur hakiki. Aspek

“penghambaan” (menjadi hamba yang Ilahi)

memainkan peranan penting dalam pengalaman dan

ungkapan religius Islam.

Setiap penganut Islam mengimani Allah sebagai

Allah yang hidup, maharahim secara nyata kepada

kita. Ia transenden sekaligus memperhatikan sejarah

hidup manusia dan dunia. Allah adalah kelihatan dan

sekaligus tersembunyi. Kendatipun Allah mempunyai

kekuatan, kemuliaan, dan menghakimi secara keras,

namun di pihak lain, Allah adalah sabar, pemurah,

belas kasih dan Maha Rahim. Bila dibandingkan

dengan pengalaman keagamaan orang Israel

mengenai yang sakral, kekudusan Allah, yang dominan

ialah hubungan timbal balik, dimama terdapat

kesetiaan dan cinta disertai rasa takut dan hormat.

Page 139: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

139

Dalam pengalaman Islam, hubungan manusia dengan

Allah ditandai oleh sikap tunduknya kepada Kehendak

Suci Allah. Penganut Islam harus taat kepada

Kehendak dan Perintah Allah dan beriman kepadaNya

dan pada Sabda-Nya yang termuat di dalam Qur’an.

5.3. Gagasan Mengenai Yang Numinous (Yang Ilahi,

Yang Suci)

Pengalaman beragama adalah pengalaman yang

sakral. Maka Rudolf Otto menyebutnya dengan istilah

pengalaman mengenai yang numinous. Ia mengulas

konsep numinous itu dalam bukunya Das Heilige ( The

Idea of Holy). Melalui buku tersebut Rudolf Otto

memaparkan unsur rasional sekaligus non-rasional

dari agama.

Namun, penting diingat bahwa apa yang

dikatakan oleh Rudolf Otto bukanlah hal baru. Inti

persoalannya tetap sama, yakni: pengalaman akan

yang misteri, yang bersifat paradoksal. Hal yang

membedakan Rudolf Otto dari tokoh-tokoh yang lain

ialah pendekatan terhadap persoalan yang sama ini.

Dalam kerangka yang numinous, Rudolf Otto

melihat yang sakral (suci) sebagai unsur khas (unik)

dari agama-agama. Unsur ini memberi ciri dasar

pengalaman religius bagi masing-masing penganut

agama. Unsur unik inilah yang mewarnai pengertian

Page 140: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

140

dan perasaan yang berubah-ubah dalam pengalaman

agama. Pengalaman religius yang unik ini adalah

pengalaman akan yang ‘numinous’ sehingga

menimbulkan perasaan akan yang ‘numinous’, yang

non-rasional menjadi unsur hakiki dalam setiap

agama. Yang ‘numinous’ itu merupakan mysterium

tremendum et fascinosum. Ketika seseorang

berhadapan dengan yang numinous, dapat dipastikan

bahwa orang tersebut merasa ciut, takut, kagum,

merasakan sesuatu yang mulia, kuat dan sekaligus

memikat.

Di pihak lain, obyek numinous (yang Ilahi) bukan

hanya melingkupi atau menyelimuti kita dengan rasa

kagum, takut, melainkan juga menarik dan

mempesona. Pengalaman akan yang nimunous itu

juga mengasyikan, yang menggejala dalam perasaan

bersemangat, gembira tak terkira hingga kadang-

kadang mengalami kondisi tak sadarkan diri. Rasa

tertarik ini juga membuat orang merasa heran dan

takjub, serta terpesona.

Konsepsi mengenai yang numinous juga memuat

makna ‘Yang Lain sama sekali’. Maksudnya yang

numinous itu melampaui yang biasa, mengatasi yang

lumrah, berbeda total dari yang profan. Pengalaman

manusia akan yang numinous membuatnya lantas

menjadi gagap, gentar dan seolah-olah mati rasa. Bila

Page 141: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

141

kita hanya menekankan segi takut ketika berhadapan

dengan yang ilahi, maka agama itu mengajarkan atau

menekankan segi penebusan dan kerahiman. Tetapi

bila kita hanya menekankan segi tertarik dan

mempesona dari sang Ilahi, maka agama itu

menekankan segi penyerahan diri, cinta dan kesatuan

dengan yang ilahi. Tetapi dalam agama-agama

terdapat dua segi ini yang saling mengisi dan

membangun suatu pengalaman mengenai yang

misteri dalam diri manusia .

Rudolf Otto menekankan bahwa perasaan-

perasaan religius tidak semata-mata suatu reaksi

psikologis, tetapi memandang perasaan-perasaan ini

sebagai cara memahami yang Ilahi. Ketakutan dalam

pengalaman beragama bersifat eksistensial, ketakutan

yang menyentuh seluruh eksistensi saya. Pengalaman

itu menyangkut segi psikologis, pikiran, dan kehendak.

Yang numinous sekaligus rasional dan non-

rasional. Kondisi-kondisi psikologis masuk dalam

pengalaman religius dan yang numinous sebagai yang

non-rasional diungkapkan dengan gagasan-gagasan

rasional. Selain itu, yang numinous merupakan

sesuatu yang sakral dalam arti kekudusan non-moral

sebagai kategori nilai, dan suatu keadaan pikiran dan

pengalaman rohani yang khas segi pengalaman

religius. Harus diyakini bahwa yang sakral termasuk

Page 142: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

142

bidang Ilahi dan tidak dapat diganggu gugat sehingga

menjadi tabu.

5.4. Penutup

Pengalaman religius adalah pengalaman tentang

yang numinous, pengalaman akan yang sakral,

pengalaman yang menimbulkan ketakutan dan cinta

secara serentak dalam diri seseorang. Pandangan ini

sesuai dengan agama Yahudi, Islam dan juga agama

tradisional.

Yang numinous mengatasi yang rasional semata-

mata. Ia tidak dapat difahami secara penuh oleh

pikiran manusia, tidak juga dapat diungkapkan secara

penuh dengan kata-kata atau cara-cara manusia. Oleh

karena itu, yang numinous itu disebut ‘Yang Rahasia’;

‘Yang Tidak Terungkapkan’; ‘Yang sama sekali lain’;

‘Yang Melampaui’.

Pengalaman akan yang ilahi itu dapat

dibahasakan dan dipahami sejauh diungkapkan dalam

simbol-simbol yang berada dalam bidang profan, yang

dengannya yang ilahi dicapai. Dengan simbol-simbol

yang kita angkat dari tatanan yang bukan religius, kita

mengungkapkan pengalaman religius kita kepada

orang lain dan mengarahkan diri kita pada yang

numinous.

Page 143: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

143

BAGIAN VI

MITOS, SIMBOL, DAN RITUS

6.1. Pengantar

Berkaitan dengan konsepsi manusia tentang

Tuhan, ada beberapa bentuk pengungkapan intuisi

religius manusia untuk mengalami dan menghadirkan

yang Ilahi itu ke dalam kesadaran dan pengalaman

rohani, yakni: simbol, mitos, ritus, dan upacara

kurban.

6.2. Mitos65

Secara etimologi, mitos berasal dari bahasa

Yunani muthos, yang secara harafiah diartikan sebagai

cerita atau sesuatu yang dikatakan seseorang. Mitos

sebagaimana dimaksudkan Prof. Dr. C. A. Van Peursen

merupakan ungkapan bakat manusiawi, yakni bakat

bercerita demi memberi pedoman atau arah kepada

sekelompok orang.66 Sementara dalam bahasa Inggris,

kata mythology menunjuk pada pengertian, baik

sebagai studi atas mitos atau isi mitos, maupun bagian

tertentu dari sebuah mitos.

65 Ibid., 71-105 66 C.A. Van Peursen, 1976, Strategi Kebudayaan, Kanisius,

Yogyakarta, hlm. 34.

Page 144: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

144

Dalam pengertian yang lebih luas, mitos berarti

suatu pernyataan, sebuah cerita, ataupun alur suatu

drama. Kecuali itu, mitos juga dipahami sebagai kisah

simbolis mengenai realitas-realitas asali (asal mula

dari yang ada). Seringkali juga mitos dimengerti

sebagai cerita mengenai pribadi, peristiwa atau hal-

hal yang “tidak sungguh-sungguh ada” ( mitos

khayali), misalnya, mengenai tindakan dewa-dewi

yang buruk, meskipun kadang-kadang menyenangkan

sebenarnya palsu.67 Sementara logos menyajikan kisah

yang rasional dan benar mengenai realitas dan sebab-

sebabnya. Berkaitan dengan perbedaan antara mitos,

legenda, dan cerita lihat tabel di bawah.

Perbedaan antara mitos, legenda dan dongeng menurut

pandangan B. Malinowski

Mitos Legenda Dongeng

Merupakan

pernyataan

atas suatu

kebenaran

yang lebih

tinggi dan

lebih penting

Cerita yang diyakini

seolah-olah

merupakan

kenyataan sejarah,

meskipun sang

pencerita

menggunakannya

mengisahkan

peristiwa-

peristiwa ajaib

tanpa dikaitkan

dengan ritus.

Dongeng juga

tidak diyakini

67 Gerald O,Collins, SJ & Edward G. Farrugia, SJ, op. cit, 202.

Page 145: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

145

tentang

realitas asali,

yang masih

dimengerti

sebagai pola

dan fondasi

dari

kehidupan

primitif

untuk mendukung

kepercayaan-

kepercayaan dari

komunitasnya.

NB: sebatas

berfungsi untuk

menggugah rasa

terdalam agar setia

pada nilai-nilai yang

diajarkan oleh

komunitas.

sebagai peristiwa

yang sungguh-

sunguh terjadi. Ia

lebih menjadi

bagian dari dunia

hiburan.

NB: berfungsi

untuk menghibur

tapi muatannya

juga pesan-pesan

didaktis

Mitos menceritakan bagaimana suatu keadaan

menjadi sesuatu yang lain: Misalnya, ia menceritakan

bagaimana dunia yang kosong menjadi berpenghuni;

bagaimana situasi yang kacau menjadi teratur;

bagaimana yang tak dapat mati menjadi mati;

bagaimana manusia yang semula hanya sepasang

menjadi beranekaragam suku dan bangsa; bagaimana

makhluk-makhluk tak berkelamin menjadi berjenis

kelamin lelaki dan perempuan; dsb. Singkatnya, mitos

tidak hanya menceritakan asal mula dunia, binatang,

tumbuhan, dan manusia, tapi juga kejaidan-kejadian

yang menyebabkan manusia menemukan dirinya ada

seperti ia temukan sekarang ini.

Page 146: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

146

Berkaitan dengan mitos, Mircea Eliade meyakini

bahwa mitos mengungkapkan cara beradanya dunia.

Mitos merupakan realitas kultural yang kompleks dan

karena itu sulit untuk memberikan batasan-batasan

yang definitif terhadapnya. Eliade memandang mitos

sebagai usaha manusia arkhais untuk melukiskan

lintasan yang supra natural ke dalam dunia.68

6.3. Tipe-Tipe Mitos69

Mitos dapat dibedakan menjadi beberapa tipe,

yaitu mitos kosmogoni, mitos asal-usul, mitos

mengenai dewa-dewa dan makhluk-makhluk Ilahi,

mitos androgini dan mitos akhir dunia. Berikut adalah

ulasan sekilas tentang tipe-tipe tersebut.

a. Mitos-Mitos Kosmogoni

Mitos kosmogoni mengisahkan proses penciptaan

alam semseta secara keseluruhan. Mitos kosmogoni ini

diyakini sebagai model paling utama dari segala

macam penciptaan dan pembangunan. Ada dua

macam mitos kosmogoni. Pertama, mitos-mitos yang

mengisahkan penciptaan alam semesta yang tidak

bereksistensi dalam bentuk apa pun juga sebelum 68 John A Saliba 1976, ‘Homo Religious’ In Mircea Eliade, An

Anthropological Evaluation, Leiden, E. J. Brill, hlm 155. Dalam tulisan ini dikutip dari P.S. Harry Susanto, op. cit, 74.

69 P.S. Hary Susanto, op. cit., 74-90

Page 147: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

147

penciptaan itu. Mitos-mitos ini mengisahkan

penciptaan dunia melalui buah pikiran, perkataan,

atau tenaga panas dari sang surya. Contohnya, mitos

kosmogoni di Polynesia yang mengisahkan bagaimana

dewa tertinggi yang disebut Io menciptakan alam

semesta, surga dan bumi melalui perkataannya

(sabdanya). Kedua, Mitos kosmogoni yang

mengisahkan penciptaan alam semesta dengan pra-

eksistensi bahan dasar dan membutuhkan

pertolongan si pelaku yang melaksanakan penciptaan

itu.

b. Mitos-Mitos Asal-Usul

Mitos-mitos asal-usul ini mengisahkan asal mula

segala sesuatu. Artinya, ia mengisahkan bagaimana

suatu realitas itu muncul dan bereksistensi;

bagaimana kosmos mula-mula dibentuk; bagaimana

asal-mula adanya takdir kematian bagi manusia;

bagaimana manusia mempunyai jenis seks tertentu;

dsb. Peristiwa-peristiwa model itu memberikan ciri

tertentu kepada keadaan masyarakat dan kehidupan

manusia.

Contoh mitos asal-usul manusia: Pada suku

Yoruba di Nigeria, manusia diciptakan dari lumpur;

dalam mitos-mitos Indonesai dan Melanesia: manusia

diciptakan dari batu; pada suku-suku Oceania:

Page 148: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

148

manusia diciptakan dari tanah atau juga dari telur;

pada suku-suku di Asia Tenggara: manusia diciptakan

dari seekor binatang. Sementara menurut tradisi

mesopotamia, manusia diciptakan dari UZU (daging),

SAR (ikatan), dan KI (tempat, bumi). Pendududuk asli

Taiwan, suku tagalog di Filipina, suku Ya-Lang di Yunan

dan suku di Jepang memuja pohon bambu yang

dianggap sebagai nenek moyang mereka. Suku-suku

asli Australia di sekitar Melbourne meyakini bahwa

manusia pertma dilahirkan dari tanaman kumis

kucing. Suku Antaivandrika di Madagaskar

menganggap bahwa mereka berasal dari pohon

pisang.70

c. Mitos-Mitos tentang Dewa-Dewa dan Makhluk-

Makhluk Ilahi

Mitos-mitos ini mengisahkan pergeseran/

penggantian kekuasaan dan jabatan dari dewa

tertinggi ke dewa-dewa lainnya. Pergantian itu

disebabkan terjadinya penurunan kekuatan/daya

kekuasaan dewa tertinggi setelah ia menciptakan

dunia dan kehidupan manusia. Karena itu, jabatannya

diserahkan kepada makhluk-makhluk ilahi yang lain,

yaitu anak-anaknya atau wakil-wakilnya. Misalnya, 70 Mariasusai Dhavamony, op.cit.,

Page 149: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

149

pada suku Indo-Arya kuno, dewa surga Dyaus

digantikan oleh dewa varuna dan dewa Parjanya,

dewa topan. Di Mesopotamia, dewa Anu digantikan

oleh anak-anaknya yaitu, dewa Enlil atau Bêl, dewa

topan dan kesuburan serta suami dari dewi ibu

pertiwi. Pada suku Asli di Bank, Melanesia, makhluk

tertinggi langit digantikan oleh dewa matahari. Di

Yunani kedudukan dewa Quranos digantikan oleh

Zeus, yang mendapat julukan dewa tertinggi dan

dewa topan. Di Indonesia, dewa tertinggi langit

tercampur dengan atau digantikan oleh dewa

matahari, misalnya, dewa I-lai di Sulawesi

digabungkan dengan dewa matahari.

Pengunduran diri dewa tertinggi itu, di beberapa

tempat, diikuti oleh putusnya hubungan antara langit

dan bumi atau adanya garis pemisah antara surga dan

bumi. Kedekatan orisinal dengan langit, persahabatan

dan hubungan yang erat antara dewa dengan manusia

merupakan kebahagiaan tertinggi dan keabadian bagi

manusia.

d. Mitos-Mitos Androgini

Androgini merupakan suatu rumusan arkhais dan

universal untuk mengungkapkan suatu keseluruhan,

ko-eksistensi dari hal-hal yang bertentangan. Ada dua

macam mitos andorgini, yaitu mitos androgini ilahi

Page 150: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

150

dan mitos androgini manusiawi. Dalam mitos

androgini ilahi dilukiskan bahwa para dewa

mempunyai dua jenis seks sekaligus (biseksualitas).

Misalnya dewa Attis, dewa Adonis, Dionysos (mereka

adalah dewa-dewa tumbuh-tumbuhan). Dewa atau

dewi yang mempunyai seks tunggal juga termasuk

androginis, mempunyai dua jenis seks.

Sementara itu, dalam mitos androgini manusiawi

lebih mengisahkan tentang sifat para leluhur mitis,

manusia primordial, raksasa-raksasa kosmis.

e. Mitos-Mitos Akhir Dunia

Mitos-mitos Akhir dunia mewarnai kepercayaan

manusia arkhais. Pada umumnya, mitos-mitos ini

mengisahkan peristiwa dahsyat yang menghancurkan

kehidupan di dunia ini, misalnya, air bah, gempa bumi,

kebakaran besar, runtuhnya gunung-gunung, wabah

penyakit, dll. Indikasi mitos ini adalah berakhirnya

suatu periode kehidupan dan munculnya periode baru

sebagai pengganti. Kehancuran dunia diikuti oleh

munculnya dunia yang baru.

Pada dasarnya, semua mitos tentang akhir dunia

itu mengandung suatu ide bahwa dunia ini mengalami

suatu degradasi progresif dan karena itu perlu diakhiri

agar dengan demikian dapat diciptakan kembali.

Penghancuran dan penciptaan dunia kembali ini juga

Page 151: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

151

mengikuti pola kosmogoni, yaitu kembali pada

keadaan khaos dan kemudian diikuti dengan

penciptaan kembali. Dunia baru yang terjadi sesudah

malapetaka itu merupakan dunia yang murni, segar

dan penuh daya (seperti dunia yang diciptakan untuk

pertamakalinya).

6.4. Fungsi Mitos

Mitos bertaut erat dengan sistem kepercayaan

baik yang bersifat ilahi maupun manusiawi. Dalam

kontesk mitos ini, tujuan mitos adalah menghadirkan

kembali dimensi terdahulu dalam realitas kehidupan

kembali ke dalam realitas kehidupan terkini, berkaitan

dengan pengetahuan perihal bagaimana menggapai

kedamaian, keselamatan, dan kebahagiaan abadi.

Maka, fungsi mitos adalah:

1. Memberikan pedoman atau arah kepada

sekelompok orang.

2. Memberi jaminan bagi masa kini

3. Memberi arah dan orientasi spiritual dan mental

untuk berhubungan dengan yang ilahi.

4. Menyingkapkan tindakan kreatif para dewa atau

makhluk supra natural dan mewahyukan

kekudusan karya-karya mereka.

5. Menetapkan contoh model bagi semua tindakan

manusia, baik dalam upacara-upacara maupun

Page 152: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

152

dalam kegiatan sehari-hari yang bermakna,

misalnya makan, seksualitas, pekerjaan,

pendidikan, dsb.

Fungsi-fungsi di atas dapat diringkas sebabagi berikut:

mitos berfungsi untuk menampakkan kekuatan-

kekuatan, menjamin hari ini, memberi pengetahuan

tentang dunia.71

6.5. Simbol72

Secara etimologi (asal kata), kata simbol berasal

dari akar kata kerja symbollein dalam bahasa Yunani,

yang berarti mencocokkan, “materai persetujuan”

atau “pengakuan”. Dalam pengertian itu, simbol

dapat kita maknai sebagai ikatan yang menandai

persetujuan di antara keduabelah pihak untuk sesuatu

yang mereka sepakati bersama. Dalam konteks itu,

simbol menjadi sarana yang dapat dikatakan sebagai

alat bukti bagi keteguhan komitmen atau persetujuan

di antara kedua belah pihak.

Dalam masyarakat Yunani kuno, simbol bisa

berwujud kepingan tembikar yang dibagi dua atau

pasangan cincin yang bentuk dan ukurannya sama.

Misalnya, apabila dua orang membuat persetujuan

71 C. A. Van Peursen, op. cit. 41-42 72 P.S. Hary Susanto, 1987, Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade,

Kanisius, yogyakarta, 61-64

Page 153: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

153

untuk sesuatu hal, maka mereka membuat simbol

kesepakatan dengan meterai berupa cincin ( dua buah

cincin persis sama) atau kepingan tembikar. Masing

masing pihak yang bersepakat itu menyimpan

sekeping simbol. Apabila kedua belah pihak

menginginkan untuk persetujuan dihormati, maka ia

atau wakilnya mengidentifikasikan dirinya dengan

cara “mencocokan” kepingan simbol yang ia simpan

dengan kepingan simbol lainnya yang disimpan oleh

pihak lain.

‘Mencocokan’ dalam bahasa yunani disebut

symbollein dan dua keping itu disebut symbola. Kata

itu lambat laun akhirnya berarti tanda pengakuan

dalam arti luas. Jadi, simbol pada mulanya merupakan

sesuatu benda, tanda yang digunakan bagi pengakuan

timbal balik dan mempunyai arti yang dimengerti dan

disetujui bersama. Karena itu, simbol dapat

berperanan untuk menghubungkan atau menyatukan

dua identitas atau lebih atau untuk menarik makna

dari relasi di antara kedua belah pihak.

6.6. Simbol Dalam Konteks Religiositas

Dalam konteks kehidupan beragama, simbol

dibutuhkan oleh manusia karena yang Ilahi itu bersifat

misteri dan transenden. Artinya, manusia tidak dapat

secara langsung mengenal Yang Ilahi. Oleh karena itu,

Page 154: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

154

simbol memainkan peranan penting untuk manusia

mengilustrasikan pengalamannya akan Yang Ilahi.

Dalam konteks itu, Yang Ilahi dapat dikenal sejauh ada

upaya manusia untuk mengenalnya melalui simbol

atau sejauh disimbolkan. Namun, perlu dicatat pula

bahwa manusia dapat juga mengenal Yang Ilahi

melalui peristiwa pewahyuan diri Yang Ilahi (peristiwa

hierofani). Peristiwa perwahyuan merupakan

pernyataan diri Yang Ilahi kepada manusia dalam

bahasa simbol. Dan melalui simbol itu Yang Ilahi, Yang

Transenden itu dimanifestasikan kepada manusia.

Simbol merupakan suatu cara untuk manusia

mengenal Yang Ilahi. Karena hal itu pula, Mircea

Eliade menegaskan bahwa simbol merupakan cara

pengenalan yang bersifat khas religius.

Beberapa contoh tindakan simbolisme dalam

religiositas adalah menyembah batu, pohon karena

dipandang sebagai hierofani dari Yang Ilahi. Dalam

konteks penyembahan itu, batu dan pohon berubah

menjadi suatu kenyataan yang supra-natural. Jadi,

simbol mengubah suatu benda atau tindakan menjadi

sesuatu yang lain dari benda atau tindakan yang

nampak bagi pengalaman profan.

Simbol menjadi begitu penting dalam religiositas

karena simbol berbicara lebih banyak daripada yang

bisa diungkapkan dengan kata-kata dan pengetahuan

Page 155: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

155

biasa. Simbol memberikan informasi yang sering

sangat sulit untuk diungkapkan. Simbol merupakan

tanda yang berupaya menghadirkan realitas

transenden dan memberikan suatu pandangan yang

jernih tentang cara berada Yang Ilahi.

Simbolisme religius memberikan makna-makna

yang trans-obyektif kepada manusia. Fungsi simbol

secara dasariah adalah bersifat religius: menghadirkan

Yang Ilahi ke dalam kesadaran dan pengalaman rohani

manusia. Tuhan yang transenden dialami sebagai

realitas imanen (dekat) berkat simbol religius yang

dihayati sebagai sarana perjumpaan dengan Yang Ilahi

itu. Maka bagi manusia arkhais, simbol selalu bersifat

religius karena menunjuk pada sesuatu yang nyata

atau pada model dunia. Simbol mewahyukan realitas

Yang Ilahi agar menghasilkan suatu kesatuan erat yang

kekal antara manusia dengan-Nya. Contoh simbol

dalam agama Kristen adalah salib. Berdasarkan

penalaran di atas, simbol dapat dianggap sebagai :

1. Kata atau obyek atau benda atau tindakan atau

peristiwa atau pola atau pribadi atau hal

partikular tertentu.

2. Tanda yang menghadirkan di dalam dirinya,

menghidupkan kembali, atau berkaitan dengan

Yang Lain/Ilahi.

Page 156: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

156

3. Sesuatu yang lebih besar, Yang transeden atau

Yang tertingg

6.7. Simbol dan Tanda

Perlu diakuai bahwa, terdapat banyak pendapat

mengenai simbol. Agar lebih jelas, kita perlu

membandingkan simbol dengan tanda. Tanda

memiliki suatu arti, pengertian. Tanda merupakan

hasil patokan akal budi, tanda tidak mengambil bagian

dalam kenyataan yang lain, karena tanda hanya

menunjukan proses akal budi. Misalnya, tanda lalu

lintas atau lampu lalu lintas. Orang memahami tanda

ini dan bentuknya mudah dimengerti. Syarat agar

sesuatu dapat menjadi tanda yang baik, ialah harus

jelas dan hanya mempunyai satu arti, maksudnya

supaya tidak ada kesalahan faham dan dengan

demikian seperti dalam tanda lalu lintas, tidak terjadi

kecelakaan. Tanda dipakai untuk melancarkan

hubungan dan itu berarti jika ia tidak berlaku lagi,

maka harus dibuang.

Simbol tidak dapat dibuang semuanya. Simbol itu

dengan satu dan lain cara memiliki kenyataan yang

mau ditunjukannya. Simbol-simbol memang tidak

dirancang oleh seorang arsitek di belakang meja.

Simbol diperoleh dan ditentukan. Atau menurut

Fawcett, simbol tidak diciptakan tetapi lahir dari

Page 157: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

157

kehidupan. Simbol tidak seperti tanda dihasilkan dari

kemampuan kreatif imajinasi kepada manusia.

Pengalaman manusia menangkapnya dengan satu

cara dan manusia tidak dapat berpura pura tidak tahu

simbol-simbol ini merupakan daya yang begitu kuat

menerpa keberadaan manusia. Manusia tidak mampu

mengelak kehadiran simbol, ia menerimanya (suka

atau tidak suka).

Simbol kuat, bersifat universal. Manusia berusaha

mencpai realitas melalui unsur unsur yang ada dalam

pengalaman. Unsur-unsur itu menjadi perantara.

Tetapi bagi simbol simbol kuat, kesepakatan sosial

memainkan peranan sekunder. Misalnya, matahari

dipahami sebagai simbol kekuatan kreatif yang dapat

ditemukan dalam masyarakat mesir, Yunani dan

Amerika. Sifat universal dari simbol ditekankan pula

oleh psikolog, khususnya C.G.Jung bahwa universalitas

motif simbol dapat ditemukan dalam masyarakat

kuno dan juga modern. Memang sifat universal dari

simbol tidak jelas bersama menjawab pengalaman itu.

6.8. Kategori Simbol

Simbol simbol terdiri dari dua kelompok utama,

yakni kognitif dan non kognitif. Kedua kelompok ini

masing-masing memiliki fungsi fungsi khusus dan

mempunyai cara kerja yang sangat berbeda.

Page 158: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

158

Simbol simbol kognitif berfungsi dengan berbagai

cara dalam proses pengetahuan, dalam penelitian,

simbol simbol itu meliputi simbol matematis dan logis,

yang menurut kata kata Dewey, dilembagakan secara

artifisial dan dapat dimanipulasi secara bebas simbol

simbol kognitif semacam ini bekerja dalam kegiatan

kegiatan yang sendiri bersifat kognitif dan yang

menghasilkan pengetahuan dan kebenaran. Tubuh

konsep konsep ilmiah hipotesis, dan teori teori penuh

dengan simbol simbol yang non representatif tetapi

kognitif semacam ini, misalnya gagasan mengenai

kecepatan sesaat.

Sedangkan simbol simbol non kognitif, termasuk

simbol simbol yang berperan dalam proses proses

sosial, dalam seni, dan dalam agama, tidak berfungsi

untuk berpartisipasi dalam kegiatan kegiatan yang

menghasilkan pengetahuan dan kebenaran. Simbol

simbol ini berfungsi menghasilkan jenis konsekuensi

lain dari pada pengetahuan, bukan menyimbolkan hal

lahiriah, bukan juga evidensi. Simbol simbol tersebut

menyimbolkan apa yang mereka perbuat, fungsi

fungsi yang pantas. Contoh simbol non-kognitif adalah

simbol-simbol social yang mencangkup sistem sistem

legal, kode kode moral, dan ideal ideal, simbol simbol

artistik semacam ini sering ditarik dari bidang bidang

lain. Simbol simbol religius merupakan simbol simbol

Page 159: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

159

yang berfungsi secara khusus sebagai sarana dalam

situasi religious atau dalam mengekspresi religiusitas.

Peranan dari simbol simbol non kognitif (simbol

sosial, artistik, religius) dapat dikatakan sebagai

berikut. Pertama, membangkitkan sesuatu tanggapan

emosional di dalam manusia dan merangsang

kegiatan-kegiatan manusia yang pantas. Kedua,

membangkitkan di tanggapan bersama dalam

masyarakat dimana simbol simbol itu berguna

(merangsang kegiatan bersama atau umum). Ketiga,

mengkomunikasikan pengalaman kualitatif atau

pengalaman bersama pengalaman yang sulit

digambarkan dengan kata kata atau pertanyaan

pertanyaan yang tepat.

6.9. Ritus

Arti kata ritus dapat ditelusuri secara etimologis,

secara umum, secara metaforis dan secara teknis.

Secara etimologi ritus dapat diartikan sebagai jumlah,

seri. Sedangkan secara umum ritus dapat dimaknai

sebagai setiap tindakan atau gabungan tindakan yang

pelaksanaannya diatur oleh norma-norma yang sudah

disusun dan disetujui. Sementara secara metaforis,

ritus merujuk pada tindakan dalam sebuah upacara

Page 160: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

160

seperti wisuda, pelantikan pejabat publik, upacara-

upacara seremonial lainnya. Sedangkan, secara teknis,

istilah ritus dimengerti sebagai tindakan yang

berkaitan dengan agama. Yang terakhir itu merupakan

pengertian paling awal dan asali dari kata ritus.

Ritus juga acapkali dikaitkan dengan mitos dan

Yang Kudus berdasarkan norma-norma yang sudah

ditentukan. Melalui ritus terjadi aktualisasi kembali

segala upacara-upacara pesta, peristiwa, kata-kata

dan mitos-mitos yang berasal dari tradisi agama

sehingga bermakna dan menjadi sesuatu yang

normatif bagi umat. Misalnya, ritus untuk menghadapi

kelahiran, perkawinan, perang dan kematian.

Dalam konteks pengertian teknisnya, ritus juga

dimaknai sebagai tindakan simbolik religious. Artinya,

ritus adalah sebuah tindakan primordial orang

beragama yang menjadi awal bagi sebuah refleksi

mendalam atas makna agama yang dianut dan

diyakininya, yang kemudian melahirkan ide-ide

mengenai agama itu sendiri. Dalam pengertian itu

pula, ritus yang dapat dikatakan “berdaya cipta”

adalah ritus yang diciptakan secara langsung,

primordial dari orang-orang yang berefleksi dan

berpikiran religius di mana mereka telah secara aktif

merealisasikan kaitan diri mereka dengan yang ilahi.

Akhirnya, pemaknaan ritus sebagai tindakan simbolik

Page 161: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

161

religius ini bermuara pada suatu keyakinan bahwa

pada setiap waktu dan pada setiap tempat, upacara-

upacara ritual adalah pekerjaan para dewa. Ritus

diterima keberadaannya sebagai rangkaian tindakan

yang terlembagakan, sah, dan wajib dirayakan karena

telah dilembagakan oleh para dewa yang merupakan

pelaku-pelaku nyata dari ritus-ritus tersebut. Jadi,

dalam upacara-upacara ritual para dewalah yang

bekerja melalui para imam dan sekaligus melampaui

tindakan para imam.

Oleh karena itu, setiap upacara ritual keagamaan

hendaknya disertai dengan keyakinan ex opera

operato. Artinya, suatu keyakinan bahwa yang Ilahi

tetap merupakan pembawa sesungguhnya upacara

ritual tersebut. Bila keyakinan ini tidak disertakan

dalam upacara ritual maka upacara ritual menjadi

tindakan hampa makna atau sirna substansinya.

a. Dua Tipe Ritus

Menurut Gerardus van der Leeuw, seorang

fenomenolog, ada dua tipe pokok ritus dalam semua

agama. Pertama, tindakan-tindakan ritus-ritus adalah

tindakan yang khas menghadirkan Yang Ilahi

sedemikian rupa sehingga kaum beriman dapat turut

serta di dalamnya. Kedua, adalah tindakan-tindakan

Page 162: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

162

biasa dalam kehidupan manusia yang seakan-akan

telah dibawa ke dalam lingkungan sakral.

Dasar pembedaan ini adalah dua reaksi yang

terpisah tetapi saling melengkapi yang diberikan

manusia terhadap apa yang dianggap sakral. Reaksi

yang pertama berfokus pada aspek “mysterium

tremendum” dari Yang Ilahi, sebagaimana

dikonsepsikan oleh Rudolf Otto. Di sini Yang Ilahi

dimengerti dan diterima sebagai sosok Yang Berdaulat

dan Yang Lain sama sekali, sehingga seseorang

mengalamin orientasi mistis.73 Sebaliknya, reaksi yang

kedua menggambarkan yang mysterium sebagai yang

fascinosum. Artinya, Yang Ilahi itu memang misteri

tetapi sekaligus memikat, memiliki daya tarik sehingga

manusia terdorong untuk mendekati dan bersatu

dengan-Nya.

b. Upacara Kurban Sebagai Tindakan Ritual

73 Meminjam istilah Friedrich Heiler, orientasi mistis adalah ketika

seseorang yang menarik seorang manusia keluar dari dunianya sendiri dan terus menerus mendorongnya untuk mengintegrasikan dirinya dengan suatu dunia yang melebihi kemampuan-kemampuannya yang alami dan yang mengasingkannya dari tempat tinggalnya yang terdahulu, suatu dunia yang bukan saja tempat Allah memerintah sebagai yang mahatinggi tetapi juga merupakan tempat yang hanya didiami oleh Allah saja.

Page 163: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

163

Upacara kurban dapat digambarkan sebagai

persembahan ritual berupa makanan atau minuman

atau binatang sebagai konsumsi bagi suatu makhluk

supernatural. Ini berbeda dengan persembahan ritual

kepada penguasa-penguasa manusiawi dan juga

dengan persembahan-persembahan lain kepada

makhluk supernatural yang bukan berupa makanan,

misalnya pembaktian pekerjaan seseorang bagi

pelayanan Tuhan, penyucian hewan secara

sederhana.

Dalam konteks tindakan ritual-religius, upacara

kurban merupakan suatu bentuk komunikasi

nonverbal yang religius karena pada saat yang sama

terjadi pertukaran barang dan jasa pada taraf religius.

Melalui upacara kurban manusia memberikan barang-

barangnya kepada Yang Ilahi sebagai tanda iman

kepadaNya dan sekaligus sebagai silih atas dosa-

dosanya. Kecuali itu, upacara kurban juga menjadi

tanda ungkapan syukur kepada Yang Ilahi atas

anugerah keselamatan.

Dalam konteks yang sama, upacara kurban juga

dimaksudkan untuk memelihara hubungan yang baik

dengan Yang Ilahi. Dalam konteks itu, pandangan H.

Hubert dam M. Mauss tentang upacara kurban

sungguh mendasar, bahwa upacara kurban adalah

“suatu tindakan religius yang, melalui penyucian

Page 164: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

164

kurban, mengubah keadaan moral orang-orang yang

melaksanakannya ataupun keadaan benda-benda

tertentu yang ia maksudkan”. Upacara Kurban

membuka ruang bagi Yang Kudus dan Yang Profan

untuk berkomunikasi.

6.10. Penutup

Ritus merupakan sarana bagi manusia religius

untuk bisa beralih dari waktu profan ke waktu kudus.

Di dalam ritus, manusia meniru tindakan yang kudus

yang melampaui kondisi manusiawinya, ia keluar dari

waktu kronologisnya dan masuk ke dalam dimensi

waktu awal-mula yang kudus. Ritus juga membawa

manusia religius ke dalam tempat kudus yang menjadi

pusat dunia.74 Menurut Whitehead, ritus adalah

“pelaksanaan yang sudah membiasa dari sejumlah

tindakan yang tidak mempunyai hubungan langsung

dengan kelangsungan hidup fisis pelakunya”. Ritus

adalah sebuah kebiasaan yang tidak langsung

berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan fisis

manusia. Ritus berasal dari dan dilakukan untuk

memenuhi sebuah kebutuhan lain, misalnya berkaitan

dengan perasaan tertentu.

74 Ibid., 56

Page 165: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

165

Perasaan-perasaan yang ditimbulkan dan

dialami secara baru di dalam ritus secara istimewa

mengungkapkan keanggotaan satu individu di dalam

masyarakat. Ritus merupakan pula bentuk

pengungkapan rasa religius dan pengalaman rohani.

Dapat pula dikatakan bahwa, ritus adalah penilaian

perasaan atas pengalaman rohani dan perumusannya

yang diteruskan dari pendiri agama kepada pemeluk-

pemeluknya sehingga menimbulkan perasaan

tertentu pada para pemeluk agama tersebut.75

Beberapa contoh ritus:

1. Ritus-ritus pembersihan, penyucian, pengakuan

dosa-dosa, pengusiran setan, pengusiran si jahat

keluar dari desa, dsb.

2. Ritus kelahiran, permandian, perkawinan,

3. Ritus pertanian: menanam, memanen hasil

pertanian

4. Ritus pelantikan pejabat publik

5. Ritus penerimaan seseorang ke dalam kelompok

atau komunitas tertentu.

Masih banyak ritus-ritus lainnya yang digunakan

manusia untuk menumbuhkan keyakinan akan suatu

peristiwa yang menguntungkan baginya. Misalnya,

ritus perang, ritus menyelamatkan hasil panen, ritus

ketika hendak berlayar, dll. 75 Budi Kleden, Paulus. op. cit,. 137-138

Page 166: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

166

Page 167: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

167

BABGIAN VII

PLURALISME AGAMA DAN TANTANGANNYA

7.1. Pengantar

Sejak masa agama-agama arkhaik (terdahulu) dan

dinamika perkembangannya sampai pada eksistensi

agama-agama yang dipandang modern dan universal

pada masa kini, nuansa religiusitas manusia dan

model-model pengungkapannya sudah dalam

keadaan pluralistik. Hal itu berarti bahwa, pluralitas

agama adalah fakta sejarah kehidupan dan peradaban

manusia religius. Maka, kondisi itu membawa serta

tuntutan baru pada setiap manusia religius yakni

kesadaran akan pentingnya bersikap terbuka pada

pluralisme agama. Kesadaran demikian menuntut

semua pihak untuk menghargai eksistensi pihak lain,

bersikap terbuka serta berani menjalin interaksi

secara setaraf dengan pihak lain.

Kesadaran akan pluralisme agama itu sendiri

sebetulnya bukanlah peristiwa yang datang secara

tiba-tiba. Ia berproses sedemikian rupa dalam hidup

manusia melalui perkembangan pengetahuan dan

peradaban bangsa-bangsa. Ia juga bertumbuh melalui,

rentetan sejarah kelam dalam relasi antar-agama

pada masa lampau seperti banyaknya perang dan

perebutan kekuasaan atau pengaruh antar-agama.

Page 168: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

168

Itulah sebabnya kesadaran akan pluralisme agama

senantiasa perlu dikembangkan dan dipelihara.

7.2. Beberapa Dasar Pluralitas Agama76

Salah satu tantangan yang dihadapi manusia

adalah kenyataan pluralitas agama. Sejarah

perjumpaan agama-agama yang juga diwarnai konflik

senantiasa melontarkan pertanyaan mendasar

mengenai sebab adanya pluralitas agama itu. Upaya

demikian mengisyaratkan pentingnya semua pihak

untuk mengkritisi kenyataan sejarah. Tujuannya

adalah untuk mencari dasarnya agar orang

memperoleh sumbangan untuk memahami pluralitas

agama dan mampu menjalin hubungan yang dialogis

dan berdayaguna antara agama-agama. Berikut

adalah beberapa dasar untuk memahami pluralitas

agama.

Pertama, bila ditelusuri secara historis

rupanya semua tradisi religius bermula dari konteks

pluralisme. Dapat dipastikan bahwa setiap tradisi

religius berkembang dalam upaya menanggapi

pluralisme itu. Jadi, masing-masing tradisi religius

sebetulnya adalah produk dari konfrontasi dengan

76 Bdk. Paulus Budi Kleden, 2002, Dialog Antar Agama Dalam terang

Filsafat Proses Alfred North Whitehead, hlm. 155-158

Page 169: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

169

pluralisme. Aspek universal dari ajaran tradisi-tradisi

religius tersebut ditegaskan dan diperkokoh dalam

kodifikasi dogma, tata cara ritual, dan hukum-hukum

yang baku melalui konfrontasi itu pula. Dengan

demikian, pluralisme dapat dikatakan sebagai fakta

yang memang sudah ada dan telah menghidupi

tradisi-tradisi religius dengan pelbagai muatan

maknanya.77

Kedua, setiap agama bertolak pengalaman

spiritual seorang manusia yang istimewa, seorang

pendiri agama (seorang nabi). Corak dasar

pengalaman spiritual kenabiannya adalah wahyu

Allah. Itulah sebabnya, muatan pengalaman spiritual

seorang nabi menjadi semacam karakter semesta,

sebagai penjamin keharmonisan dan keselarasan

bersama umat manusia.78 Ketiga, keterkaitan

77 Walaupun demikian adanya, pluralisme agama tetap menimbulkan

reaksi-reaksi baik positif maupun negatif dalam konteks kehidupan beragama. Hal itu terjadi karena aneka cara pandang dan tafsiran atas ajaran agama. Keadaan demikian dapat menimbulkan ketegangan manakala semua pihak menutup diri untuk berkontak dengan pihak lain. Dalam konteks itulah kiranya dialog antar umat beragama menjadi perlu dan berguna untuk redefinisi agama tanpa meninggalkan esensi ajarannya yang unik satu terhadap yang lain.

78 Meskipun Pengalaman spiritual para nabi adalah pengalaman akan Allah, tapi Allah sendiri tidak dapat dialami sebagai satu keseluruhan yang utuh, sebab Dia sendiri begitu transenden bagi manusia. Sebab itu, pengalaman akan Allah selalu merupakan,

Page 170: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

170

duniawi dari pengalaman spiritual setiap pendiri

agama dan dari agama itu sendiri. Walaupun memiliki

pengalaman spiritual yang istimewa, seorang pendiri

agama tidak akan pernah terlepas dari lingkungannya.

Dia mengalami pengalaman imannya dalam

lingkungan tertentu yang mempengaruhinya secara

positif atau negatif. Sebab itu pengalaman konkret

akan dunia sekitar memberi warna tersendiri kepada

cara bagaimana dia menginterpretasikan pengalaman

spiritualnya.

Selanjutnya, lingkungan sekitar tidak hanya

merupakan awal, tetapi juga tujuan pertama, ke mana

seorang pendiri utama menerjemahkan pengalaman

spiritualnya. Dia akan menggunakan pengertian,

perumpamaan, dan sarana-sarana bantu lainnya

untuk merumuskan apa yang telah dialaminya.

Berkaitan dengan itu, lingkungan sekitar akan menjadi

panggung pertama bagi proses penjadian agama.

Khususnya tuntutan-tuntutan moral dari sebuah

agama akan sangat mencerminkan dan dipengaruhi

oleh lingkungan konkret pendiri agama itu. Sang

pendiri mengamati di dalam lingkungannya, apa dan

tindakan mana yang menopang terwujudnya

keharmonisan dan solidaritas dan mana yang tidak.

meminjam istilah Rudolf Otto, pengalaman yang bersifat misterium, tremendum et fascinosum.

Page 171: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

171

Apabila di dalam agama tertentu Allah digambarkan

sebagai Sosok yang bebas dan mandiri, maka

penggambaran tersebut adalah sebuah kesimpulan

rasional manusia atas pengalaman sebuah

masyarakat, bahwa pribadi manusia yang bebas dan

mandiri adalah kondisi ideal yang perlu dihadapi.

Keempat, perbedaan Pengalaman Spiritual

masing-masing pendiri agama menjadi salah satu

alasan adanya perbedaan dalam menyapa atau

menyebut sosok Yang ILAHI.79 Pengalaman yang

terbatas dari sosok yang terbatas terhadap Realitas

Ilahi yang tak terbatas juga menjadi alasan penting

bagi adanya perbedaan dalam menyebut atau

menamai Yang ILAHI.80 Pluralitas pengalaman Spiritual

pendiri agama akan Allah dan perbedaan lingkungan

yang menentukan pengalaman rohaninya terungkap 79 Pengalaman Spiritual pendiri agama menjadi alasan kuat bagi

penamaan Allah atau Realitas Tertingi pada sebuah agama. Lantas pula, melalui pengalaman sang pendiri itu agama-agama menggambarkan Allah dengan menggunakan berbagai model: Allah sebagai wujud keteraturan semesta yang tak berpribadi, Allah sebagai satu pribadi yang telah menciptakan dan akan menyelamatkan dunia, Allah sebagai yang Esa, di mana segala sesuatu melebur, Allah sebagai instansi yang menjamin kekekalan individualitas masing-masing, Allah sebagai kasih yang merangkul dan menyelamatkan, atau Allah sebagai penjaga keteraturan yang mempertahankan keteraturan itu dengan segala cara.

80 John Hick. 1980, God Has Many Names, The Westminster Press Philadelphia, Pennsylvania. Terj. Amin Ma’aruf dan Taufik Aminudin, DIAN/Interfidei, Yogyakarta, hlm. 105-115

Page 172: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

172

secara jelas di dalam berbagai gambaran tentang

Allah, dan aneka sebutan untuk Allah. Contoh, nama-

nama yang merujuk pada esensi yang sama dalam

tradisi dan literatur India (Rudra, Agni, Mitra, Indra,

Varuna), dari Timur Dekat (Osiris, Isis, Horus, Ra,

Yahweh), dan dari Eropa Selatan (Jupiter, Apollo,

Dionysius, Poseidon), Dari Eropa Utara (Odin, Thor,

Balder, Vali, Woden), dari Afrika (Nabongo, Luhanga,

Nyame, Lesa, Ruhanga), dan aneka macam nama lagi

dari belahan dunia lain.81

Kelima, Pluralitas agama mesti juga kita yakini

sebagai fakta yang terkait dengan keharusan

metafisis, bahwa setiap pandangan akan Allah hanya

bersifat sepihak, dan tergantung pada lingkungan

konkret. Keyakinan ini menjadi landasan bagi agama-

agama untuk tidak saling menjauhkan diri, sebab

pandangan yang sepihak dan perspektif yang

berbeda-beda itu selalu merupakan pandangan 81 Walaupun ada sekian banyak perbedaan di dalam pandangan

manusia tentang Allah, tapi Allah itu sendiri adalah Allah yang satu dan universal yang keberadaan dirinya diserap oleh intuisi dan pengalaman manusia. Allah semacam ini merupakan elemen perekat dalam dunia, yang sanggup dan bersedia mengubah dan mengangkat partikularitas kita ke dalam universalitas, yang memadukan keunikan dan keberadaan kita ke dalam harmoni yang sempurna, yang menyempurnakan cinta kita yang parsial menjadi cinta yang merangkul kepadanya. Allah yang universal ini hanya akan mewujudkan diriNya bersama dengan dunia. Lih. Ibid., 113.

Page 173: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

173

tentang Allah yang sama. Setiap agama, melalui

pendirinya, memang menangkap kemungkinan murni

yang ditawarkan oleh obyek abadi yang diserapnya

itu. Oleh sebab itu, aneka pandangan akan Allah di

dalam agama-agama mesti dibaca sebagai kekayaan

Allah yang universal, sekaligus menjadi alasan bagi

agama-agama untuk merasa saling bergantung dan

melengkapi sebagai perwujudan konkret dari satu

Allah. Dalam perspektif itu pula, dalam upaya kita

memahami persoalan pluralitas agama ini kita dapat

belajar dari pandangan Claude Goldsmid Montefiore

bahwa, “Banyak jalan menuju Tuhan, dan dunia ini

telah sangat kaya dengan berbagai jalan tersebut,

sesuatu yang bukan hal baru lagi”.82

7.3. Makna Pluralisme Agama

Terminologi Pluralisme agama merujuk pada

pengakuan atas keberadaan agama-agama lain

sebagai cara unik dan berbeda untuk menuju pada

Realitas Tunggal yang sama atau Tuhan. Perspektif

demikian mengisyaratkan bahwa pluralisme agama

adalah paham yang merujuk pada pengakuan akan

Sunatullah.83 Oleh karena itu, fakta pluralitas agama

82 Ibid., 39. 83 H. Sudarto, 1999, Konflik Islam-Kristen, hlm. 1

Page 174: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

174

harus dihargai dan diterima, dan bukan dihindari

apalagi diperlawankan satu terhadap yang lain.

Pemaknaan atas pluralisme agama tentu tidak

diterima begitu saja oleh semua pihak baik dalam

tataran konseptual teoretis, maupun dalam tataran

praksis hidup umat beragama sebab ia bersentuhan

dengan perkara teologis. Artinya, tidak semua

penganut agama sepakat mengakui bahwa ada

kebenaran lain di luar agamanya. Ajaran Kitab Suci

masing-masing agama memiliki keunikan dan

pengaruh besar dalam mengarahkan pemeluknya

untuk mengimani hanya agama yang paling benar,

atau paling tidak hanya Kitab Suci yang diimaninyalah

yang merupakan jalan menuju Kebenaran (Tuhan).

Keyakinan itu misalnya yang melatarbelakangi Majelis

Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang

mengharamkan paham pluralisme agama (termasuk

sekularilsme dan liberalisme).84 Padahal, seperti 84 Berkaitan dengan pluralisme agama ini, dari sisi teologis pun

sebetulnya terdapat kontroversi dan silang pendapat. Pada Islam, misalnya, ada beberapa ayat Al-quran yang secara tekstual menyatakan pluralisme merupakan sesuatu yang sah di satu sisi dan tidak sah di sisi lain. Perhatikan kutipan ayat Quran berikut ini: “Sesungguhnya, orang-orang yang beriman, Yahudi, Nasrani, dan Shabiun, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat dan beramal baik, maka pahalanya ada pada sisi Allah. Tidak ada ketakutan dan tidak ada kesedihan pada diri mereka” (Qs. Al-Baqarah *2+: 62). Ayat lainnya adalah, “Siapa yang mencari selain Islam sebagai agamanya maka agama itu tidak akan diterima oleh

Page 175: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

175

ditegaskan oleh H. Sudarto, Islam menghormati

kemajemukan. Islam memang tidak membedakan

umat manusia dengan dasar perbedaan etnis,

kebangsaan, warna kulit, bahasa, adat istiadat,

ataupun agama.85

Selain karena bersentuhan dengan perkara

teologis, aneka macam pemahaman akan Tuhan juga

memang berpotensi menimbulkan diskursus yang

panjang seputar pluralisme agama. Berkaitan dengan

itu, ada baiknya kita belajar secara arif dari

pernyataan Ibnu Arabi. Menurut Ibnu Arabi, ada tiga

cara memahami Tuhan. Pertama, Tuhan yang mutlak

Allah. Di akhirat ia termasuk ke dalam golongan orang-orang yang merugi” (Qs. Alu Imran *3+: 85) Paham pluralisme agama tampak tercakup dan terakomodasi dalam dan melalui kedua ayat Al-Quran itu. Tapi hal itu juga lantas dibantah pada ayat lainnya, “Sesungguhnya, agama yang paling diridhai di sisi Allah hanyalah agama Islam” (Qs. Alu Imran *3+: 19). Dalam ayat ini tampak bahwa pluralisme tak diakui sebab kebenaran hanya ada pada Islam, tidak ada kebenaran di luar Islam. Ketiga kutipan ayat Al-Quran itu menurut masing-masing pihak yang pro dan kontra terhadap pluralisme agama, menjadi justifikasi teologis. Dengan kata lain, baik yang pro maupun yang kontra terhadap pluralisme agama memiliki landasan konkret dalam kitab suci yang diimaninya. Konsekuensinya, kedudukan paham pluralisme agama adalah sama sahnya dengan paham anti-pluralisme agama. Dengan demikian, paham pluralisme sendiri sebetulnya tidak perlu dipersoalkan, apalagi dilarang. Pluralisme sebetulnya adalah hasil dari membaca dan mengkritisi teks-teks suci dalam kitab suci yang diimani.

85 H. Sudarto, op.cit., 17

Page 176: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

176

dalam ‘kesendirian’ (Aku adalah Aku). Tuhan dalam

tingkatan ini tak terjangkau oleh siapa pun juga.

Hanya Dia sendiri yang tahu akan diri-Nya sendiri.

Kedua, Tuhan yang sudah tersifati. Misalnya, ada sifat

al-rahman, al-rahim, dan lain-lainnya. Sifat-sifat Tuhan

membantu manusia dalam mengenal dan

mengimaniNya. Ketiga, Tuhan yang telah

‘bersemayam di dalam akal pikiran manusia’.

Sesungguhnya setiap manusia dianugerahi semacam

kemampuan kodrati untuk berbicara tentang Tuhan.

Akal budi manusia menuntun dirinya untuk berbicara

tentang dan mengakui keberadaan Tuhan. Potensi

kodrati akal budi inilah yang melahirkan aneka ragam

bentuk dan pola penafsiran, perspektif dan

pendekatan untuk memahami Tuhan. Dengan

demikian, kita bisa memaklumi bahwa Tuhan yang

dipahami oleh kalangan filsuf bisa jadi sangat berbeda

dengan Tuhan yang dipahami oleh kalangan sufi

ataupun ahli fikih. Sementara setiap pembicaraan

tentang Tuhan merupakan hasil dari pergulatan

pemikiran dan refleksi yang mendalam ketika dan

setelah orang membaca teks-teks suci.

Pada hakekatnya, tak seorang pun yang mampu

memahami Tuhan dalam ‘realitasNya’ yang konkret

dan hakiki secara utuh. Manusia hanya dapat

mendekati Tuhan, dan tidak akan mampu

Page 177: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

177

menjangkau-Nya secara utuh. Ungkapan Al-Ghazali

benar bahwa, “semakin aku mencoba mendekat untuk

memahami Tuhan, semakin aku sadar kalau aku tidak

mampu untuk memahamiNya”. Oleh sebab itu, yang

pantas kita yakini bersama adalah bahwa, setiap

manusia sejatinya sedang menuju Tuhan. Tidak ada

manusia yang dapat mengklaim bahwa dirinya dapat

menunjukkan jalan ke kebenaran yang pasti dan

mutlak untuk menuju Tuhan.

7.4. Pandangan Tokoh Tentang Pluralisme Agama

Konsepsi Pluralisme Agama di atas jelas bukan

dimaksudkan untuk menjadikannya sebagai suatu

metode atau upaya sistematik ke arah penyeragaman

pola pikiran tentang Tuhan. Ia justru menawarkan

ruang bagi sebuah refleksi mendalam tentang fakta

yang ada berkaitan dengan agama-agama. Sebagai

demikian, ia membuka peluang bagi setiap intensi

manusia beragama untuk merawat keberbedaan yang

kondisinya kian terdesak karena tuntutan ke arah

penyeragaman. Maka pluralisme agama sebagai

sebuah kerangka pikiran layak dipahami sebagai “kran

emosi rohani” atau sebagai corong baru bagi

penyaluran hasrat spiritual yang terhambat oleh pola-

pola dogmatik agama yang monolitik. Pernyataan ini

setidaknya benar berkaitan dengan keyakinan bahwa

Page 178: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

178

defenisi pluralisme agama itu sendiri tidaklah bersifat

tunggal (monolotik). Banyak ahli agama yang

menjelaskan pengertian pluralisme agama secara

masuk akal dan inklusif. Berkaitan dengan perspektif

pluralisme agama di atas, berikut dipaparkan secara

sekilas pandang tokoh-tokoh yang memberi perhatian

pada pluralisme agama.

Pertama, Karl Rahner, yang oleh banyak kalangan

disebut sebagai teolog terbesar agama Katolik di abad

20, yang pemikirannya memiliki pengaruh yang sangat

signifikan terhadap Kosili Vatikan II (1962-1965), telah

menuntun Gereja Katolik Roma keluar dari pandangan

lamanya dan berani membuka lembaran baru seputar

doktrin dan liturgi. Proses modernisasi Gereja Katolik

yang oleh Paus Yohanes XXIII disebut sebagai

aggiornamento secara eksplisit memasukkan unsur

penilaian terhadap pandangan Gereja kepada agama

lain, selain Katolik. Pemikiran Rahner mempengaruhi

pernyataan Konsili Vatikan II, di antaranya, tentang

kehadiran karunia Tuhan di luar Gereja, suatu kerangka

pandang yang justru bertolak belakang dengan

rumusan Konsili Vatikan I yang begitu ekstrim

mengatakan bahwa, extra eclessiam nulla salus (di luar

Gereja tidak ada keselamatan). Lebih dari itu,

pemikiran teologis Rahner berpengaruh lebih jauh

melalui artikulasinya secara pasti dalam tafsiran-

Page 179: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

179

tafsirannya terhadap doktrin Kristen. Dalam

pandangan Rahner, penganut agama lain mungkin

menemukan Karunia Yesus melalui agama mereka

sendiri tanpa harus masuk menjadi penganut Kristen.

Perspektif itulah yang oleh Rahner selanjutnya

disebut sebagai orang Kristen Anonim (anonymous

Christian). Yesus Kristus dalam pandangan Rahner

tetap menjadi norma di mana kebenaran berada dan

di mana jalan keselamatan diperoleh. Akan tetapi,

orang tidak harus secara eksplisit masuk menjadi

penganut agama Kristen agar mendapatkan

kebenaran dan memperoleh keselamatan itu. Rahner

memandang agama lain di luar Kristianitas adalah

bentuk implisit dari agama Kristen. Pandangan Rahner

ini setidaknya bisa diterima manakala kita meyakini

bahwa Tuhan sebagi sumber kebenaran dan

keselamatan yang bersifat imanen dan transenden.

Pada dimensi transendenNya itulah pandangan

Rahner ini terasa mengena sekali.

Kedua, John Harwood Hick, filsuf agama

kontemporer yang peduli pada masalah hubungan

antaragama. Mengenai definisi pluralisme agama,

Hick menghindari klaim kebenaran satu agama atas

agama lain secara normatif dan menghindari

menggunakan istilah tertentu untuk membedakan diri

dari penganut agama lain. Maka dalam perspektif

Page 180: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

180

teologis Hick, tidak ada yang disebut sebagai orang

orang Kristen anonim, seperti yang dipahami Kar

Rahner. Menurut Hick, cara yang arif untuk

memahami kebenaran agama lain dalam konteks

pluralitas agama adalah dengan menerima bahwa

semua agama mempresentasikan jalan tersendiri

menuju ke suatu Realitas Tunggal (Tuhan). Dalam

perspektif itu, benar bahwa agama-agama menuntun

manusia pada kebenaran dan keselamatan. Maka,

tidak ada satu agama pun yang dapat diklaim sebagai

lebih benar daripada yang lain. Setiap agama sama

dekat dan sama jauhnya dari Tuhan sebagai Realitas

Tunggal tersebut.86 Perbedaan konsep tentang

Realitas Tunggal itu terjadi karena keterbatasan

manusia dan faktor-faktor budaya. Itulah yang

membuat manusia akhirnya mewujudkan the Real in-

it-self (Realitas Tunggal) itu pada gambaran the Real

as humanly thought-and-experienced (sebagaimana

86 Konsep Hick bahwa Tuhan adalah Realitas Tunggal berangkat dari

penalarannya atas dualisme Immanuel Kant tentang the Real in-it-self (an sich) dan the Real as humanly thought-and-experienced. The Real in it self sesungguhnya adalah realitas tunggal yang dituju oleh semua agama. Namun, realitas tunggal yang dimaksudkan itu bersifat maha baik, maha besar, maha luas, maha agung, maha tak terbatas, maha misteri, maha suci, maha tinggi, dll. Sifat-sifat itulah yang membuat manusia (yang fana dan terbatas) mengalami kesulitan untuk mengenal dan memahamiNya secara utuh dan penuh.

Page 181: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

181

dipikirkan dan dialami manusia). Persoalannya adalah

bagaimana menjembatani antara kedua realitas itu?

Menurut Hick, semua agama menuju Realitas Tunggal

itu asalkan tetap menampilkan dan menghadirkan

fungsi soteriologis (keselamatan) yang dikandungnya

ke dalam praksis kehidupan. Implikasinya, agama-

agama harus mampu mempengaruhi penganutnya

secara moral dan etik agar pengaruh keselamatan

yang diembannya terwujud dalam praksis kehidupan.

Itulah sebabnya Hick meyakini bahwa setiap agama

adalah jalan yang sah untuk menuju pada kebenaran

dan keselamatan yang bersumber dari the Real in-it-

self itu.

Ketiga, John Coob Jr, yang melalui

keterlibatannya dalam dialog Kristen dan Budha

sampai pada pemahaman yang berbeda dengan Hick.

Menurutnya, seseorang tidak dapat mengklaim bahwa

agama Kristen, Budha, Islam, Hindu dan sebagainya

adalah berbicara tentang atau menuju kepada realitas

tunggal yang sama. Pandangan Cobb itu jelas bertolak

belakang dengan pandangan John Hick dan juga Karl

Rahner. Coob justru menenolak gagasan kesamaan

validitas kebenaran di antara agama-agama. Menurut

Coob, jika kita mau memahami dan menilai dengan

sungguh-sungguh agama lain maka kita harus

mendengarkan apa yang mereka katakan dan

Page 182: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

182

mengevaluasinya tanpa berasumsi bahwa apa yang

dibicarakan itu adalah benar-benar tentang Realitas

Tunggal yang sama. Konsekuensinya, harus ada

keterbukaan dalam agama-agama dan keberanian

untuk menerima kemungkinan adanya aneka ragam

gambaran tentang Tuhan seperti yang diyakini

politeisme. Sampai di sini pandangan Karl Rahner

bahwa setiap agama yang satu adalah bentuk implisit

dari agama yang lain tidak cocok dengan pandangan

Coob. Demikianpun, pandangan Hick yang

mengatakan bahwa setiap agama sama dekat dan

sama jauhnya dari Tuhan sebagai Realitas Tunggal.

Dengan cara demikian, menurut Coob, ketika

beberapa agama berdialog maka mereka masing-

masing akan saling memperkaya khasana pengetahuan

tentang agama-agama lain. Dalam konteks itulah

semua pihak dituntut untuk rendah hati dalam

menerima kenyataan akan pluralisme agama, belajar

satu dari yang lain yang memang berbeda tanpa

meninggalkan kenyataan bahwa terdapat keunikan

masing-masing di antara mereka.

Keempat, Raimundo Pannikar, yang menegaskan

bahwa, “kita harus bekerja keras untuk memahami

setiap agama dalam bahasanya dan konsep-

konsepnya masing-masing yang berbeda-beda.

Baginya, ungkapan “semua agama-agama

Page 183: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

183

mengandung hal-hal esensial yang sama” tidak dapat

diterima sebab justru mereduksi konsep pluralisme

agama.87 Berangkat dari pandangan tersebut, ia

menegaskan bahwa seorang penganut agama

tertentu tidak dapat mengatasi ataupun

menjembatani perbedaan-perbedaan antar agama-

agama tersebut dengan sebuah kesimpulan yang

semata untuk menjaga perasaan pihak lain semisal

“semua agama adalah sama atau satu”. Kesimpulan

demikian, menurut Pannikar, selain mereduksi hakikat

pluralisme agama sebab tidak menjelaskan pluralisme

itu sendiri, juga mengabaikan ungkapan agama lain

tentang kelainannya atau keunikannya. Menurut

Pannikar, pluralisme agama mengisyaratkan adanya

kesediaan semua pihak untuk menyadari bahwa

“masing-masing agama mengekspresi sebuah bagian

penting dari kebenaran. Ekspersi itu bisa refleksi,

koreksi, pelengkap, tantangan antar-agama yang

berbeda-beda itu. Oleh karena itu, perlu dialog antar-

umat beragama.

87 Raimundo Pannikar adalah seorang imam Katolik. Ia dilahirkan

dalam keluarga dimana ayahnya beragama Hindu dan ibunya beragama Katolik Roma. Kepeduliannya pada pluralitas agama diungkapkannya dalam tulisan sebagai berikut “ saya meninggalkan ke-Kristen-an saya, menemukan diri saya sebagai penganut Hindu, dan kembali menjadi seorang penganut Budha tanpa berhenti menjadi seorang penganut Kristen. Pluralitas agama baginya adalah media untuk setia pada iman.

Page 184: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

184

Kelima, Wilfred Cantwell Smith, yang

memandang sikap eksklusif sebagai penghalang untuk

memahami pluralisme agama, mengawali pernyataan

teologisnya tentang pluralisme agama dengan

menjelaskan adanya implikasi moral dan konseptual

pemahaman atas wahyu. Pada tataran moral, wahyu

Tuhan mestilah menghendaki rekonsiliasi dan rasa

kebersamaan yang mendalam. Sementara pada

tataran konseptual, wahyu Tuhan, yang berkaitan

dengan rumusan iman suatu agama, harus pula

meliputi doktrin tertentu tentang agama lain.

Pendirian teologisnya itu secara lebih jauh dipaparnya

dalam karyanya The Meaning and End of Religion,

menyangkut cara kita menggunakan istilah agama dan

memandang agama lain. Di situ Smith menjelaskan

bahwa penggunaan teologi yang eksklusif

mengakibatkan agama orang lain dipandang sebagai

penyembah berhala dan menyamakan Tuhan mereka

dengan dewa. Sebagai contoh, Smith mengutip

pernyataan teolog Kristen bernama Emil Brunner yang

menyatakan bahwa Tuhan dari agama-agama lain

senantiasa merupakan suatu berhala. Demikian juga

beberapa kaum Muslim yang memandang, Yesus

sebagai Kristus adalah suatu berhala. Contoh-contoh

sikap eksklusif seperti itu adalah wujud dari

keangkuhan agama yang mereduksi fakta pluralitas

Page 185: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

185

agama sehingga tidak dapat kita terima. Padahal,

menurut Smith, semua agama mengarah pada tujuan

akhir yakni Tuhan. Maka Smith memahami semua

agama (Hindu, budha Islam Kristen dan sebagainya)

merupakan perjumpaan yang penting dan berubah-

ubah antara yang Ilahi dengan manusia. Dengan

pernyataan itu, Smith sebetulnya menegaskan

pentingnya toleransi antarumat beragama yang

berbeda-beda.

Bertolak dari uraian atas pluralisme agama di

atas, kita dapat memetik empat penegasan penting.

Pertama, kenyataan bahwa dalam dunia dan

masyarakat terdapat beranekaragam agama. Kedua,

kenyataan bahwa masing-masing orang dalam salah

satu tradisi keagamaan tertentu mempunyai persepsi

personal tentang agama. Ketiga, kenyataan bahwa

terdapat aliran-aliran rohani dan spiritualitas dalam

agama-agama atau dalam suatu agama. Keempat,

pentingnya bersikap terbuka dan berani mengakui

dan menerima keberadaan pihak lain yang memang

berbeda-beda dan memiliki keunikan.

7.5. Beberapa Kemungkinan Ekses dari Pluralisme

Agama

Pluralisme agama memberi ruang bagi agama-

agama yang hidup dan berkembang dalam suatu

Page 186: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

186

wilayah tertentu, atau di seluruh wilayah di dunia. Di

Indonesia, misalnya, sampai saat ini terhitung ada

enam agama yang diterima dan diakui negara, yakni

Hindu, Budha, Islam, Kristen Protestan, Katolik, dan

Konghucu. Selain keenam agama resmi negara itu, ada

juga penghayat kepercayaan (penghayat agama asli)

yang turut memperkaya khasanah pemahaman dan

penalaran spiritualitas tentang Tuhan. Dalam konteks

itu, baik penganut agama-agama maupun penghayat

kepercayaan masing-masing memiliki reaksi atau sikap

tertentu atas keberadaan pihak lain. Berikut adalah

beberapa ekses yang mungkin terkait dengan

pluralisme agama.

a. Sinkretisme

Istilah sinkretisme berasal dari kata dalam bahasa

Yunani synkretismos, yang berarti penggabungan

ajaran dan praktik hidup. Dalam aspek keagamaan,

sinkretisme ini merupakan upaya mencampuradukan

aneka pemikiran/ajaran/praktik keaagamaan, yang

berbeda dan bahkan kadang-kadang bertolak

belakang asal-usul dan maknanya.88 Proses

sinkretisme dalam konteks pluralitas agama terjadi

ketika pertemuan agama-agama menghasilkan

88 Heuken, A, 1994, Ensiklopedi Gereja IV Ph – To, Cipta Loka Caraka,

Jakarta, hlm. 242.

Page 187: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

187

percampuran isi iman, ajaran, ibadat dan praktik-

praktik keagamaan yang baru dan merelatifkan

bentuk yang aslinya. Sinkretisme yang terjadi dalam

konteks pluralitas agama memang lebih bersifat

inklusif dan kerukunan antar-agama pun berkembang.

Namun, perkembangan yang terjadi justru ke arah

yang relatif dan tidak jelas karena identitas agama lain

dicampur-adukkan. Artinya, sinkretisme itu

berdekatan dengan relativisme.89

Dalam proses sinkretisme agama-agama yang

bertemu saling mengambil alih unsur-unsur penting

dalam agama mereka, seperti nama Tuhan, ajaran-

ajaran pokok, bentuk ibadat, adat kebiasaan dan

praktik keagamaan. Hasil sinkretisme adalah agama

baru, dan bisa jadi juga nama baru untuk menyebut

Tuhan. Agama yang lahir dari proses sinkretis ini tidak

memiliki identitas aslinya lagi sebab melebur kedalam

bentuk agama yang baru. Proses sinkretisme bukan

saling memperkembangkan agama-agama yang

bertemu. Sebaliknya malah mengaburkan identitas

orisinilnya. Tapi, terlepas dari sisi negatif yang

diidapnya, harus diakui bahwa sifat sinkretisme

membawa ke situasi yang lebih akur dan menghindari

konflik.

89 H. Sudarto, Ibid., 180-181

Page 188: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

188

b. Adaptasi

Adaptasi berasal dari kata adaptare yang berarti

menyesuaikan. Dalam konteks pluralitas agama, istilah

adaptasi menunjuk pada proses penyesuaian agama

dengan kebudayaan masyarakat di mana agama itu

hidup dan berkembang. Penyesuaian yang

dimaksudkan itu bisa jadi berkaitan dengan agama

tradisional (agama suku) masyarakat tertentu. Proses

penyesuaian itu bisa dengan menyampaikan isi ajaran,

cara beribadat dan praktik-praktik keagamaannya

secara selarasi dengan situasi dan kondisi sosial,

budaya, dan cara hidup di tempat agama itu

berkembang. Proses adaptasi merupakan cara untuk

mempermudah dan memperlancar masuknya suatu

agama ke dalam budaya atau agama lain. Jadi,

adaptasi merupakan penyesuaian agama terhadap

segi-segi dan hal-hal tertentu dari budaya masyarakat

tertentu tanpa mengubah unsur-unsur yang hakiki

(dari agama itu sendiri).90

Proses adaptasi ini selalu ditandai tiga hal berikut

ini. Pertama, isi ajaran agama dirumuskan dalam kata

dan istilah yang khas dari kebudayaan masyarakat di

tempat agama itu beradaptasi. Kedua, ritus

peribadatan (ibadat dan tindakan ritual) dilakukan

90 Heuken, A, 1991, Ensiklopedi Gereja I A – G, Cipta Loka Caraka,

Jakarta, hlm. 23.

Page 189: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

189

sesuai dengan bahasa, gerak-gerik, dan pakaian yang

ada dalam budaya setempat. Ketiga, moral agama

dipraktikkan sesuai dengan cara dan gaya hidup serta

latar belakang budaya yang ada di tempat itu atau

untuk mendukung kesuksesan penghayatan dan

penerapan aturan-aturan budaya setempat.

Ringkasnya, semua tindakan keagamaan sesuai

dengan kondisi, situasi dan budaya setempat.

Kelemahan adaptasi adalah bahwa proses

penyesuaian yang dilakukan agama terhadap budaya

atau agama tradisional masih bersifat lahiriah dan

sebatas kulit saja. Artinya, besar kemungkinan upaya

adaptasi yang dilakukan agama tertentu gagal masuk

ke dalam agama yang lain secara terintegrasi.

c. Akulturasi

Akulturasi berasal dari kata Latin acculturare yang

berarti tumbuh dan berkembang bersama. Akulturasi

akan terjadi manakala dua agama yang bertemu saling

mempengaruhi dan saling tukar-menukar nilai-nilai

religius yang dimiliki masing-masing, tapi tidak

melahirkan agama yang baru. Selanjutnya, nilai-nilai

religius yang sudah ditukar itu saling dimasukan ke

Page 190: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

190

dalam tubuh agama-agama tersebut untuk

memperkaya diri masing-masing.

Walaupun demikian, masing-masing agama tetap

berpegang pada inti atau esensi kepercayaan dan isi

ajarannya. Nilai positif dari akulturasi adalah bahwa,

masing-masing agama yang bertemu dan saling

mempengaruhi itu kian diperkaya entah dalam sisi inti

ajaran, ibadat, praktik keagamaan lain, atau

pengamalannya dalam masyarakat. Ini jelas berbeda

dengan sinkretisme yang menghasilkan agama baru.

d. Inkulturasi

Inkulturasi berasal dari kata Latin inculturare,

yang berarti tumbuh dan berkembang di dalam.

Inkulturasi agama adalah proses penyebaran agama

kepada masyarakat tertentu yang belum menganut

agama tersebut dengan memasukan nilai-nilai budaya

sebagai bagian integral ibadah dan tata cara

keagamaan itu. Dalam prosesnya, nilai-nilai budaya

dimasukkan ke dalam proses beragama. Tujuannya

adalah agar para penganutnya dapat menerima dan

menghayati imannya dengan gembira karena merasa

nilai-nilai budayanya tetap diakomodasi di dalam ritus

keagamaan dan tidak adanya pemaksaan, perusakan

dan penjajahan atas nama agama terhadap budaya

setempat. Dalam konteks inkulturasi ini, nilai-nilai

Page 191: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

191

budaya setempat dalam batasan tertentu mengalami

integrasi di dalam ritual-ritual agama.

Dalam konteks misi Kristen, istilah inkulturasi

dimaknai sebagai kehrusan untuk

mengkontekstualisasikan warta dan hidup Kristiani

dalam pelbagai kebudayaan manusia yang berbeda-

beda. Santo Paulus dan para pewarta Injil yang lain

pada masa Gereja perdana (awal) berhadapan dengan

tantangan untuk melakukan penyesuaian dengan

kebutuhan orang-orang beriman yang berasal dari

lingkungan bukan Yahudi (Kis 15: 1-29; 17: 16-34; Gal

2:1-10). Setelah berakar kuat di Eropa, Kristianitas lalu

diidentifikasikan dengan kebudayaan Eropa. Gereja

Katolik, misalnya, melalui Konsili Vatikan II (1962-

1965) mengajarkan bahwa Injil tidak menjadikan salah

satu kebudayaan normatif, melainkan harus

dijelmakan dalam setiap kebudayaan demi

penyelamatan seluruh umat manusia (Lumen

Gentium 13; 17; 23).91

7.6. Beberapa Tantangan Pluralisme Agama

Dalam konteks pluralitas agama, relasi antar

agama-agama tidak selalu dalam kondisi saling

menghargai. Secara ideal normatif, masing-masing

agama menunjukkan sikap menghargai dan 91 Gerald O’Collins SJ dan Edward G. Farrugia, SJ, op. cit., 119

Page 192: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

192

menghormati agama lain. Namun, perjumpaan antar

agama-agama dalam konteks pluralitas bisa muncul

dalam berbagai sikap yang menjadi tantangan

pluralisme agama sebab berpotensi memudarkan

cahaya keluhuran agama atau bahkan memundurkan

intensitas penghayatan dan perwujudan nilai-nilai

agama. Misalnya, indiferentisme, relativisme, dan

radikalisme dan fanatisme sempit.

a. Indiferentisme

Secara umum istilah indiferentisme dipahami

sebagai pendirian yang mengatakan bahwa “ada atau

tidak adanya agama tidak banyak arti dan manfaat

bagi manusia”. Agama tidak dipandang memberi

sumbangan bagi kehidupan manusia dan juga tidak

merugikan kehidupan manusia. Jadi, beragama dan

tidak beragama tidak ada perbedaannya.

Dalam konteks pluralitas agama, sikap

indiferentisme muncul ke permukaan ketika penganut

agama tertentu tidak peduli pada kehadiran agama

lain (tidak menolak dan tidak menerima juga). Sikap

indiferentisme tampak dalam prinsip ada atau tidak

adanya “agama lain” sama sekali tidak memberikan

perbedaan bagi agama yang dihayatinya (agama lain

tidak merugikan dan tidak juga menguntungkan).

Page 193: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

193

Dalam praksis kehidupan sehari-hari, sikap ini

tampak pada perilaku yang tidak berupaya membatasi

keberadaan agama lain.92 Bahkan, sikap ini justru

memberi peluang kepada dan membiarkan penganut

agama lain untuk berbeda dalam cara menjalankan

ajaran agamanya asal tidak mengganggu ketertiban

umum.

Sikap indiferentisme ini tentu tidak lepas dari

kelemahan, sebab tidak peduli dan sekaligus tidak

mengakomodasi kemajuan dan perkembangan agama

lain. Sikap ini lebih bernuansa cuek atas keberadaan

agama lain. Namun, terlepas dari perspektif itu, yang

menarik dari sikap indiferentisme ini adalah tidak

melihat kehadiran agama lain sebagai tandingan atau

saingan dalam berbagai segi kehidupan beragama. Ini

bisa dibaca sebagai segi positif sikap indiferentisme,

sebab memberi keleluasaan kepada agama lain, meski

tidak mengetahui alasan-alasan sikap seperti itu.

b. Relativisme93

Relativisme adalah istilah yang menunjukkan

sikap yakin atas tidak adanya kebenaran atau nilai

mutlak. Secara etimologis, terminologi relativisme

berasal dari kata Latin relativismus, yang berarti

92 A.M. Hardjana, op., cit., 106 93 Ibid., 107

Page 194: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

194

dibandingkan atau dalam perbandingan dengan, atau

ditempatkan bersama yang lain. Dalam perspektif itu,

relativisme dalam agama dapat dipahami sebagai

pemikiran tentang kebenaran dan nilai itu ditentukan

oleh zaman, kebudayaan, masyarakat dan pribadi

tertentu.94 Dalam konteks pluralisme agama, sikap

relativisme dipandangn negatif karena menunjukkan

inkonsistensi iman.

Relativisme murni (bahwa segala kebenaran

klaim kebenaran selalu relatif) sebenarnya

bertentangan dengan dirinya sendiri. Bentuk

relativisme yang lebih halus (dalam konteks agama)

menekankan bahwa pandangan yang dicanangkan

oleh agama tentang kebenaran dan nilai memiliki latar

belakan kebudayaan, masyarakat, pengalaman

personal. Itulah sebabnya, Ernst Troeltsch, penggarap

teori relativisme agama secara sistematis,

berpandangan bahwa iman Kristen relatif bagi agama-

agama lain. Troeltsch mengajukan tantangan besar

kepada teologi untuk menjelaskan kedudukan Kristus

yang mutlak bagi orang Kristen sebagai kepenuhan

wahyu Ilahi bagi semua orang dari segala zaman. Di

hadapan teori relativismenya, Troeltsch menegaskan

bahwa semua agama sama saja. Agama apapun juga

tidak pernah menjadi mutlak agama yang lain. Sebab 94 Ibid., hal. 277

Page 195: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

195

kemunculan semua agama adalah proses evolutif dari

kerinduan manusia akan kesempurnaan. Di haddapan

teori relativisme Troeltsch tidak ada tempat bagi

eksklusivisme. Artinya, di hadapan relativisme paham

eksklusivisme ditolak.95

Bertolak dari uraian di atas, fakta bahwa agama

yang satu berbeda dari agama yang lainnya dilihat

sebagai proses yang manusiawi. Proses demikian bisa

jadi berkaitan dengan perbedaan latar belakang iklim,

sejarah, adat-kebiasaan, dan lembaga-lembaga

kemasyarakatan. Bagi pembela paham relativisme,

Agama adalah suatu medium atau metoda untuk

menuju ke Kebenaran Abadi atau Tuhan. Orang bisa

berbeda-beda jalan atau medium, tapi tujuannya

sama dan satu jalan menuju Tuhan.96 Paham demikian

bisa berkembang dalam masyarakat manapun juga.

Tapi, perlu disadari bahwa paham relativis ini tidak

bermaksud meragukan kemutlakan Tuhan, tapi

menegaskan bahwa kemutlakan Tuhan itu bukan

karena pengaruh ajaran agama tertentu juga bukan

milik satu agama tertentu. Kemutlakan Tuhan adalah

abadi, dan agama agama berperan menjembatani

95 Ernest Troeltsch, The Place of Christianity among the World

Religions”, dalam E. Armada Riyanto, Dialog Interreligius: Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah, Kanisius, Yogyakarta, 2010, hal. 269-270.

96 H. Sudarto, op.cit., hal. 178-179

Page 196: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

196

manusia untuk mengambil bagian secara utuh dan

penuh dalam kemutlakan Tuhan itu. Dengan

demikian, kaum relativis tidak bisa disebut sebagai

kelompok yang mengacaukan paham keagamaan atas

Tuhan, apa lagi mengaburkan kemutlakan Tuhan itu

sendiri.

c. Radikalisme dan Fanatisme Sempit

Secara etimologi fanatisme berakar dalam kata

Latin, fanum, yang berarti tempat suci. Maka secara

harafiah, orang fanatik adalah orang yang rajin

mengunjungi tempat ibadat dari agama yang

dianutnya. Namun, pemaknaan kata fanatisme itu

dewasa ini berkonotasi negatif. Ia ditafsirkan sebagai

sumber dari sikap sektarian yang hendak memisahkan

diri dari yang lain dan eksklusif mau sibuk dan

perhatian hanya pada diri sendiri. Fanatisme model

itu adalah fanatisme sempit yang bisa jadi bermula

dari radikalisme dalam kehidupan beragama.

Radikalisme agama yang melahirkan fanatisme

sempit kerapkali bermuara pada kekerasan atas nama

agama. Kecuali tiu, wajah fanatisme juga tergurat

dalam kecenderungan untuk menutup diri pada pihak

lain sembari memperalat agama untuk mendapatkan

identitas diri dan sosial. Keeratan identitas dengan

bentuk agama itu membuat orang menjadi fanatik

Page 197: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

197

sempit.97 Sikap fanatisme model itulah yang

mendorong penganut agama tertentu menganggap

agamanya paling benar sembari menolak adanya

kebenaran pada agama lain. Maka ia pun melawan

segala hal yang mengancam eksistensi kebenaran

agamanya dengan berbagai cara, termasuk dengan

kekerasan atas nama agama. Ketika penganut agama

diterpa angin fanatisme destruktif, maka agama bisa

saja menjadi ajang kekerasan atau kejahatan,

peperangan, tirani dan penindasan, sebab kehadiran

agama lain dipandang sebagai ancaman dan

menganggu rasa aman.

Dalam sejarah agama-agama besar di dunia,

hampir tidak ada agama yang luput dari sikap fanatik

ini. Marx menggambarkan agama sebagai candu

rakyat, tapi fenomena fanatisme dalam agama yang

menimbulkan perilaku destruktif itu menunjukkan

bahwa agama jauh lebih berbahaya dari pada candu.

Penghayatan iman yang infantil dan destruktif

(ditandai kekerasan) sebagai akibat dari fanatisme

telah mencoreng keluhuran agama. Radikalisme

agama dalam berbagai coraknya (yang seringkali

97 Agama dapat dipergunakan sebagai alat untuk mendapatkan

kemapanan diri dan social. Dengan label agama, orang dapat merasa mendapatkan ketegasan diri dan tempat dalam masyarakat. Ibid., hal. 109

Page 198: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

198

mengatasnamakan Tuhan) adalah muara dari sikap

fanatis.

Dalam sejarah relasi antara Kristen dengan Islam,

misalnya, fanatisme agama itu ditandai dengan

Perang Salib. Peristiwa Perang Salib mengisyaratkan

adanya penolakan terhadap fakta pluralitas agama

sebagai akibat dari fanatisme radikal. Peristiwa Perang

Salib bukan semata bertautan dengan perkara politis

Gereja, tapi juga kerangka teologis (yang polemis) dan

paradigma misi agama tertentu yang merugikan pihak

lain (koersif). Singkatnya, fanatisme agama dapat

bermuara pada kekerasan atas nama agama.

Menurut Charles Kimball tanda utama fanatisme

agama yang potensial menyebabkan “agama bisa

menjadi jahat” atau menjurus pada tindak kekerasan

adalah, antara lain: Pertama, adanya klaim-klaim

kebenaran (truth claim),98 yang bisa dalam bentuk

pengakuan secara sepihak bahwa “Tuhan hanya milik

agama saya saja”. Truth claim ini tidak bisa dipisahkan

dari kaum radikal berkaitan dengan persepsi mereka

terhadap Tuhan. Truth claim menjadi semacam trade

mark kaum radikal dalam mengimani Tuhan.

Munculnya truth claim diduga di samping karena

worldview kaum radikal yang berbeda dengan kaum

98 Kimball, Charles, 2003, Kala Agama Jadi Bencana, Mizan,

Bandung, 84-119.

Page 199: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

199

non radikal, juga karena cara beragama mereka yang

sangat tekstual-skriptual. Worldview sangat

menentukan bagaimana kaum radikal bersikap dan

bertindak dalam beragama. Kaum radikal

beranggapan bahwa keberagamaan yang paling benar

dan sempurna adalah yang sesuai dengan

keberagamaan tekstual pada zaman para nabi dan

rasul dulu kala, bukan melakukan kontekstualisasi

alias beragama secara kontekstual: terbuka pada fakta

pluralitas agama. Kontektualisasi agama dipandang

sebagai rekayasa manusia yang tidak lagi menghargai

keagungan Tuhan dan para nabi yang telah diturunkan

ke muka bumi oleh Allah. Kontekstualisasi inilah yang

paling ditentang oleh kaum radikal. Mereka

berpedoman hendak mengembalikan ajaran agama ke

ajaran para nabi dan rasul seperti semula jadi. Klaim

kebenaran atas dasar worldview yang bersifat mutlak

ini menjadi fondasi iman di mana struktur keagamaan

berdiri. Bersamaan dengan itu, klaim kebenaran ini

menuntut kesetiaan dan kesamaan interpretasi.

Perbedaan penafsiran, apalagi perbedaan dalam

pemahaman keimanan, mengakibatkan agama tidak

toleran. Maka muncul istilah-istilah bida’ah, kafir,

heterodoks, dan sebagainya untuk

mengekskomunikasi mereka yang menyimpang.

Menurut Kimball, ketika penafsiran-penafsiran

Page 200: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

200

tertentu terhadap klaim-klaim kebenaran itu

dipandang dan dipahami secara rigid dan literal, dan

sebagai satu-satunya kebenaran yang menuntut

keseragaman maka inilah awal dari bahaya yang

merusak agama, membuat agama (ekspresi iman)

menjadi jahat, dan akhirnya merusak kehidupan

manusia. Kedua, berkaitan dengan klaim kebenaran

yang mutlak itu, ada semangat misionarisme yang

militan (koersif), dengan menggunakan segala macam

cara untuk “menyelamatkan orang-orang yang

berdosa”, baik di lingkungan sendiri maupun (apalagi)

agama lain. Tujuan ini bisa membenarkan cara apa

pun, termasuk kekerasan atas nama agama. Untuk

maksudk ini sering disertai dengan declaration of holly

war (seruan perang suci), yang jelas bertentangan

dengan maksud suci agama yang mau membawa

kedamaian dan keselamatan. Ketiga, penerbitan

tulisan-tulisan oleh agama tertentu tentang agama

lain, yang dipandang tidak sesuai dengan apa yang

mereka imani. Karena itu, agama lain dipandang

mencemarkan agama mereka; termasuk di sini

penyebaran pamflet mengenai rencana penyebaran

agama. Apalagi kalau hal itu sudah menjadi usaha

penyebaran agama secara agresif, penggunaan rumah

sebagai tempat ritual secara bersama-sama, atau

Page 201: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

201

pembangunan rumah ibadah di lingkungan penganut

agama tertentu.

7.7. Penutup

Pluralisme agama sebagai sebuah paham

mengenai hakikat agama dan keberadaanya di dunia

ini sejatinya tidak menimbulkan persoalan sebab ia

merupakan hasil dari kegiatan membaca teks-teks suci

itu sendiri untuk mengkontekstualisasikannya. Sebagai

demikian, pluralisme agama sebetulnya menjadi tanda

bagi kekayaan potensi suci yang diidap oleh setiap

agama. Potensi suci agama-agama justru terkuak

dalam daya tawar relevansinya untuk menyikapi dan

mengatasi pelbagai persoalan kehidupan manusia

dalam kondisi dan tuntutan zaman yang terus

berubah ini.

Perspektif atas pluralisme agama di atas

setidaknya menyatakan bahwa ia adalah keniscayaan

sejarah eksistensi agama. Ia bukanlah upaya

penyeragaman pola pikir tentang Tuhan, melainkan

tawaran bagi keleluasaan kerangka pikiran untuk

memaknai setiap ayat-ayat suci tentang Tuhan.

Sebagai demikian, pluralisme agama adalah bagian

dari peradaban manusia untuk memaknai esensi

Tuhan melalui agama sehingga tidak perlu disanggah

dengan metode berpikir apa pun.

Page 202: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

202

Page 203: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

203

BAGIAN VIII

KEBEBASAN BERAGAMA DAN PEROSALANNYA

8.1. Pengantar

Salah satu tuntutan terhadap fakta pluralitas

agama adalah pentingnya menghormati kebebasan

beragama masing-masing pihak. Tanpa sikap hormat

terhadap agama lain niscaya relasi antar agama-

agama diwarnai sikap merasa paling benar sendiri.

Sikap demikian justru menjadi momok yang

menakutkan sebab bukan hanya menghambat

perwujudan kebebasan beragama dalam praksis

kehidupan, tapi juga berpotensi memunculkan

kekerasan atas nama agama. Akibatnya, praksis

beragama menimbulkan persoalan yang mendera

kemanusiaan umat beragama.

Kebebasan beragama sejatinya bernuansa

imperatif bahwa, perjumpaan antar agama agama

mestilah dimaksudkan untuk mewujudkan kondisi

hidup yang harmonis dan manusiawi. Oleh karena itu,

salah satu tuntutan kebebasan beragama adalah

keberanian untuk berdialog dengan pihak lain. Dalam

perspektif itu, dialog antarumat beragama menjadi

kebutuhan untuk semakin mematangkan religiusitas

masing-masing. Dengan demikian, kebebasan

Page 204: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

204

beragama adalah kenyataan hidup beragama yang

diwarnai oleh sikap, penghayatan, dan perwujudan

iman yang proaktif dalam mewujudkan kondisi huidup

yang humanum (manusiawi).

8.2. Perspektif Kebebasan Beragama

Istilah kebebasan beragama mengandung makna

tidak adanya tekanan dalam menentukan pilihan

beragama, bahkan juga untuk tidak beragama.

Setidaknya itu yang dipersepsi oleh masyarakat Eropa

dan Amerika pada umumnya, yang biasanya dicap

sebagai masyarakat sekuler itu. Artinya, untuk

mereka kebebasan beragama adalah hak seseorang

untuk memilih beragama atau tidak beragama. Tapi

perspektif itu tampaknya tidak cocok diterapkan di

Indonesia. Kebebasan beragama untuk konteks

Indonesia bukanlah berarti bahwa orang bebas untuk

beragama atau tidak beragama. Konsep kebebasan

beragama di Indonesai mengandung makna kewajiban

bagi masyarakat Indonesia untuk memilih menganut

salah satu agama yang diterima dan diakui secara

hukum dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam konteks perspektif kebabasan beragama di

Indonesia itu, makna kebebasan beragama jadinya

bahwa setiap orang berhak dan bebas untuk memilih,

mengganti dan menjalankan tuntutan/kewajiban

Page 205: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

205

agamanya sejauh ungkapan kebebasanya itu tidak

melanggar hak beragama orang lain. Maka, batas yang

wajar dan manusiawi bagi kebebasan beragama

adalah hak dan kebebasan orang lain, yang tuntutan

praksisnya dibatasi juga oleh norma moral dalam

realitas sosial.

8.3. Dasar-Dasar Kebebasan Beragama

Berkaitan dengan perspektif kebebasan

beragama untuk konteks Indonesia di atas, terdapat

dua dasar yang menjadi landasan bagi praksis

kebebasan beragama di Indonesia, yakni martabat

pribadi dan hakekat iman sejati.

Pertama, martabat pribadi adalah nilai-nilai

mendasar dan luhur yang menyatu erat dalam diri

seseorang sebagai ciptaan Tuhan, sehingga

eksistensinya di dunia ini merupakan karunia Tuhan.

Oleh karena itu, tak seorang pun boleh dipaksa untuk

bertindak secara bertentangan dengan

kepercayaannya sebab jika dipaksa berarti

merendahkan martabat pribadinya. Hal yang sama

juga, msalnya, tak seorang pun boleh dihalang-halangi

secara paksa untuk bertindak sesuai dengan

kepercayaannya.

Kedua, hakekat iman sejati yang menuntut setiap

manusia religius tidak hanya beragama dalam batasan

Page 206: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

206

ritual saja, tapi sampai kepada penyerahan diri secara

total dan ikhlas kepada Allah.

8.4. Beberapa Persoalan Kebebasan Beragama

Perspektif kebebasan beragama di atas

menyiratkan makna bahwa agama itu sejatinya

menghantar umatnya kepada kedamaian dan

kebahagiaan. Namun, dalam praksis kehidupan

beragama kerapkali muncul ketegangan yang bisa

bermuara pada konflik. Artinya, kebebasan beragama

ternyata memuat persoalan dalam praksis kehidupan.

Hal itu bisa berakar dalam kecenderungan tertentu

masing-masing penganut agama, misalnya: paradigma

misi yang koersif, klaim kebenaran, sikap saling curiga,

kompetisi yang tidak sehat, proselitisme dan

fundamentalisme.

pertama, adanya paradigma misi yang koersif,

yang dalam praksisnya berupa penyebaran agama

dengan kekerasan atau pemaksaan kepada orang-

orang yang telah memeluk agama tertentu.

Penyebaran agama dengan tindak kekerasan bukan

hanya melanggar Undang-Undang Kerukunan Hidup

Beragama, tapi juga tidak selaras dengan nilai-nilai

yang terkandung di dalam agama tersebut.

Kedua, klaim kebenaran agama secara sepihak

(agamaku adalah yang paling benar) merupakan

Page 207: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

207

persoalan kebebasan beragama sebab menyangkal

keberadaan pihak lain, agama lain. Penyangkalan pada

pihak lain dapat melahirkan persoalan kebebasan

beragama yang mengancam keluhuran agama dan

keharmonisan hidup beragama. Turunan dari sikap

demikian adalah eksklusivisme dan kekerasan atas

nama agama dan Tuhan. Sikap yakin akan kebenaran

agama yang dianut adalah baik dan sewajarnya

demikian, tapi menimbulkan persoalan manakala

sikap itu disertai dengan penyangkalan atas nilai-nilai

kebaikan dan kebenaran yang ada pada agama lain.

Ketiga, sikap saling curiga dan prasangka

terhadap agama lain. Sikap ini bisa jadi merupakan

akibat dari adanya paradigma misi yang bercorak

pemaksaan dengan berbagai cara (kasar dan halus,

eksplisit dan implisit). Muara dari sikap ini adalah

menyerang agama lain dengan berbagai cara untuk

menjatuhkannya atau untuk mengalahkannya.

Keempat, pertemuan antar-umat beragama

menimbulkan persaingan keagamaan (religious

competition). Bentuk persaingan dapat tertutup

ataupun terbuka. Persaingan tertutup apabila terjadi

secara diam-diam, misalnya, para penganut agama

menyusun rencana dan strategi untuk saling

mengalahkan. Mereka saling berebutan posisi-posisi

strategis dalam masyarakat, baik di dalam maupun di

Page 208: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

208

luar pemerintah. Mereka saling berlomba

mendapatkan pengaruh dan ketenaran dalam

masyarakat lewat gerakan ilmiah, seni dan budaya,

dan penggunaan segala media tertulis, audio, audio

visual. Mereka saling mengamati apa yang dibuat atau

kira-kira dibuat pihak lain yang tentunya untuk

disaingi atau dikalahkan. Persaingan tertutup itu

dengan mudah memicu persaingan terbuka dan

kekerasan keagamaan. Bila persaingan antar-umat

beragama itu sudah menjurus ke persaingan terbuka,

di situlah muncul persoalan kebebasan beragama,

yakni masing-masing pihak berlomba-lomba

menunjukkan kebaikan agamanya. Secara beramai-

ramai mereka mencari dan menarik simpati masa

dengan berbagai cara. Misalnya, dengan program

pelayanan misi yang bercorak sosial atas nama

agama.99

Persaingan tertutup dan terbuka itu pada saatnya

dapat meletus menjadi kekerasan keagamaan

(terbuka ataupun tertutup). Kekerasan tertutup

terjadi bila para penganut agama saling menghambat

99 Misi yang dimaksudkan ditandai dengan berbagai pelayanan sosial

atas nama agama yang ditujukan kepada penganut agama lain. Pelayanan-pelayanan yang diberikan itu pada umumnya bersifat gratis atau super murah.Misalnya, sekolah gratis, pengobatan gratis atau bantuan sosial lainnya yang meringankan beban hidup secara ekonomis yang ditujukan kepada penganut agama lain.

Page 209: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

209

kehidupan dan perkembangan agama masing-masing.

Para penganut agama saling memaksa isi iman, ajaran

agama, ibadat dan praktik keagamaan agar diterima

dan dilaksanakan. Kekerasan terbuka terjadi bila para

penganut agama saling menyerang secara fisik,

membunuh dan merusak harta benda milik para

penganut agama masing-masing.

Persaingan dan kekerasan keagamaan itu muncul

bila para penganut agama bersifat fanatik dan

membuat agamanya menjadi mutlak, absolut. Sifat

fanatik, seperti ditegaskan di atas, bersumber pada

sikap fanatis, fanatisme. Bila agama dijadikan

absolute, para pengikutnya terkena sikap absolutis,

absolutisme. Sikap ini muncul bila para pengikut

agama sampai pada keyakinan bahwa agama mereka

merupakan satu-satunya agama yang paling benar

dan menjadi satu-satunya ajaran untuk mengartikan,

menjelaskan dan menghadapi kenyataan hidup.

Dengan sikap itu, para penganut agama terdorong

untuk mengatur hidup, masyarakat dan dunia

berdasarkan agama mereka.

Sikap kompetitif yang didorong oleh

kecenderungan fanatis itu tentu dapat bermuara pada

kekerasan. Sikap demikian akan mendorong agama

menjadi otoriter yang berciri utama kekuasaan dan

kontrol. Penganut agama pun lantas sibuk

Page 210: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

210

memperkarakan agama sebagai aturan dan tidak

melihatnya lagi sebagai sarana perjumpaan dengan

Tuhan dan sumber semangat serta inspirasi untuk

pengabdian kepada sesama dan masyarakat. Agama

akhirnya menjadi ideologi yang memegang monopoli

kebenaran. Umat harus membenarkan hidup dan

perilakunya berdasarkan ajaran, kaidah, hukum dan

peraturan agama saja. Hebatnya lagi, segala ajaran

dan peraturan agama itu dianggap berlaku tetap

untuk semua orang di segala jaman, situasi dan

kondisi.

Kelima, proselitsme (proselytism), yakni tindakan

memaksa pihak lain untuk berpindah agama atau

meninggalkan agamanya dan memeluk agama baru.

Tindakan proselit ini terjadi dalam perjumpaan

dengan agama-agama lain di mana agama seseorang

‘dipaksa’ atau ‘terpaksa’ berpindah pada keagamaan

yang ditemuinya atau sebaliknya. Agama sendiri

ditinggalkan dan mengikuti sepenuhnya agama pihak

lain karena dipaksa atau terpaksa oleh dorongan pihak

lain tersebut.100

Keenam, fundamentalisme. Istilah

fundamentalisme agama sebagai suatu aliran 100 Gerald O’Collins SJ dan Edward G. Farrugia, SJ, 1991, A

CONCISE DICTIONARY OF THEOLOGY, Paulist Press, New Jersey. Alih bahasa, I. Suharyo, Pr, 2005, Kamus Teologi, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 266

Page 211: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

211

pemikiran dalam menghayati ajaran agama bisa

dipandang dari dua sisi. Pertama, dari sisi positif,

misalnya, penghayatan seseorang atas ajaran

agamanya secara mendasar dan tanpa melupakan

sedikitpun penghayatan dan perwujudan imannya

dalam praksis kehidupannya, tapi tanpa pernah

menghakimi dan menyalahi praktik keagamaan orang

lain, baik yang seagama dengannya maupun yang

berbeda agama. Kedua, fundamentalisme negatif

(destruktif) adalah yang menjadi sorotan dan citra

istilah itu dalam praksis hidup beragama dewasa ini.

Fundamentalisme jenis ini persis kebalikan dari yang

pertama. Dalam konteks yang kedua ini, seseorang

yang menganut aliran atau paham fundamental

menganggap kemurnian ajaran agama yang

diimaninya dapat terjaga dengan cara menolak untuk

berhubungan dengan pihak lain atau dikaitkan dengan

setiap gerakan keagamaan yang bersifat ekstrem.

Bahkan, menyalahi praktik keagamaan orang lain,

terlebih yang tidak seagama dengannya.

Namun, menurut Karen Armstrong, pandangan

bahwa fundamentalisme itu seakan-akan negatif

melulu bisa menyesatkan, sebab ketika orang-orang

Kristen mengunakan istilah “fundamentalisme”,

mereka merujuk pada sebuah gerakan yang kembali

kepada dasar-dasar keimanan serta apa yang mereka

Page 212: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

212

lihat sebagai semangat Injil. Memang gerakan Kristiani

seperti itu cenderung berpikiran sangat literal dan

agresif dalam menafsirkan Alkitab. Pemikiran literal-

agresif seperti ini tentunya bisa bermuara pada

tindakan atau gerakan ekstrem seperti dalam

beberapa gerakan Yahudi saat ini.101

Gerakan fundamentalisme dalam Protestantisme

pada abad keduapuluh di Amerika Serikat, misalnya,

pada umumnya membela keyakinan-keyakinan dasar

seperti Keilahian Kristus dan kebangkitan tubuh-Nya.

Gerakan ini juga menafsirkan Kitab Suci tanpa

memberikan perhatian cukup pada sejarah

terbentuknya Kitab Suci, berbagai jenis sastra yang

ada di dalamnya, dan maksudnya yang asli. Hal itu

dapat menimbulkan masalah-masalah yang

sebenarnya tidak perlu.

8.5. Mengatasi Persoalan Kebebasan Beragama

Berkaitan dengan persoalan kebebasan

beragama di atas, perlu adanya dilog antarumat

beragama. Dalam konteks kebebasan beragama,

dialog antarumat beragama adalah suatu keharusan.

Dialog secara lintas agama itu penting karena Allah 101 Karen Armstrong, 2001, Holly War: The Crusades and Their

Impact on Today’s World, Anchor Books, New York. Alih bahasa, Hikmat Darmawan, 2003, Perang Suci: Dari Perang Salib Hingga Perang Teluk, SERAMBI, Jakarta, hlm. 834.

Page 213: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

213

mewahyukan diri-Nya tidak hanya untuk golongan

tertentu, tapi untuk umat manusia pada umumnya.

Keharusan dialog antar-umat beragama dapat

dijelaskan pula dari hubungan yang dinamis di antara

agama-agama. Sebuah agama selalu didasarkan pada

intuisi pendirinya dan pengungkapan intuisi itu.

Sebagai satu kenyataan duniawi, agama sudah

selalu merupakan sebuah perpaduan antara yang ilahi

dan manusiawi, yang baka dan yang fana, yang kekal

dan yang berubah. Alasan perlunya dialog juga

berkaitan dengan agama itu sendiri yang bersifat

perspektival dan relatif. Sifat itulah yang mendasari

pentingnya dialog antarumat beragama demi

mewartakan Allah universal yang mengungkapkan diri

kepada masing-masing pendiri agama.

8.6. Bingkai Dialog Antar-umat Beragama

Dialog antar-umat beragama, sesuai dengan

makna katanya dialogos (Yunani: pembicaraan atau

perbincangan) hendaknya dipahami sebagai tukar

menukar pengalaman dan pemahaman akan Allah,

yang bermanfaat bagi peningkatan intensitas

pencerapan dan pemakluman ajaran agama itu

sendiri.102 Dalam dialog para penganut agama yang 102 Budi Kleden, Paulus, op.cit., 181.

Page 214: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

214

berbeda bertemu dan mengadakan pembahasan

bersama untuk saling mencari pengertian dan

pemahaman. Karena kedua belah pihak sadar bahwa

Tuhan yang diimani adalah maha besar. Tuhan tak

mungkin dapat seluruhnya ditangkap dan dipahami

oleh satu agama. Pengertian tentang Dia tak mungkin

termuat seluruhnya dalam kumpulan ajaran salah satu

agama. Tuhan tak mungkin disembah secara

sempurna dalam bentuk-bentuk ibadah satu agama.

Perintah dan kehendakNya di dunia tak mungkin

terpenuhi oleh pelaksanaan hukum dan peraturan

satu agama. Artinya, setiap agama selalu mengandung

“kekurangan” baik dalam pemahaman, perumusan

pengertian tentang Tuhan dalam ajaran-ajaranNya,

dalam praktik ibadah maupun pengamalannya dalam

masyarakat. Maka perlu berdialog untuk memperkaya

pengalaman dan pemahaman akan Allah yang

mahabesar itu.

Berkaitan dengan itu pula, menurut Harold

Coward,103 ada enam praanggapan yang harus

membingkai dialog atau yang juga membuat dialog itu

perlu diadakan, yakni:

Pertama, bahwa dalam semua agama ada

pengalaman mengenai suatu realitas yang mengatasi

103 Coward, Harold, 1989. Pluralisme: Tantangan Bagi Agama-

Agama, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 185

Page 215: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

215

konsepsi manusia. Kedua, bahwa realitas itu dipahami

dengan berbagai cara baik dalam masing-masing

agama maupun di kalangan semua agama dan bahwa

pengakuan terhadap pluralitas diperlukan baik untuk

melindungi kebebasan beragama maupun untuk

menghormati keterbatasan manusiawi. Ketiga, bahwa

bentuk-bentuk pluralistis agama berfungsi sebagai

alat. Keempat, pentingnya pengakuan akan

keterbatasan itu dan sekaligus kebutuhan kita akan

komitmen terhadap suatu pengalaman partikular

mengenai realitas yang transenden, maka

pengalaman partikular kita, meskipun terbatas, akan

berfungsi dalam arti yang sepenuhnya sebagai kriteria

yang mengabsahkan pengalaman keagamaan pribadi

kita sendiri. Kelima, bahwa ajaran Budha mengenai

toleransi kritis dan keharusan moral harus selalu

diperhatikan. Keenam, bahwa melalui dialog yang

kritis terhadap diri sendiri kita harus menerobos lebih

jauh ke dalam pengalaman partikular kita sendiri

mengenai realitas transenden (dan mungkin ke dalam

realitas transenden orang lain).

Demikianlah dialog antaragama mestinya

dipahami satu agama terhadap agama yang lain dan

hubungan antarpara penganut agama yang berbeda-

beda dapat terwujud dalam berbagai bentuknya

dalam praksis kehidupan.

Page 216: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

216

8.7. Mengapa Berdialog Penting?

Idealnya, agama-agama tidak perlu mengadakan

dialog sebab intensi setiap tradisi agama-agama besar

di dunia ini sama, yakni menghadirkan perdamaian

dan mewartakan keselamatan. Tetapi dalam

praksisnya, perjumpaan antar agama-agama kerapkali

menunjukkan ketegangan interaktif satu terhadap

yang lain. Dialog antar-umat beragama perlu diadakan

secara intensif selain karena kenyataan adanya

persoalan-persoalan kebebasan beragama di atas,

juga karena kecenderungan apologetis dan polemis

dari setiap agama.

a. Apologetis104

Apologetis berasal dari bahasa Yunani apo, yang

berarti dari, jauh dari, dan logos yang berarti kata,

pikiran, alasan. Apologos berarti pembelaan. Sikap

apologetis adalah sikap membela agama yang dianut.

Dalam pergaulan antar-umat beragama tidak jarang

terjadi bahwa para penganut agama yang satu

menyerang isi iman dan ajaran agama yang dianut

oleh penganut agama lainnya (berpolemik). 104 Hardjana,A.M. op., cit., 110-111

Page 217: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

217

Dalam membela agama sendiri, para penganut

agama yang diserang itu mengambil sikap apologetis:

membela isi iman dan ajaran agama yang diserang

oleh penganut agama lain. Dalam sejarah agama,

sikap saling menyerang dan saling membela isi iman

dan ajaran agama pernah menjadi ciri dominan relasi

pergaulan dan perjumpaan antar-umat beragama di

dunia. Oleh karena itu, dalam lingkungan agama-

agama tertentu sikap membela ajaran agama sendiri

karena diserang, berkembang menjadi ilmu khusus,

disebut ilmu apologetik. Dalam ilmu itu, dibahas

metode dan teknik untuk membela dan menjelaskan

isi iman dan ajaran agama secara ilmiah, guna

menangkis serangan penganut agama lain. Jadi,

apologetik adalah pembelaan iman secara ilmiah atas

keyakinan iman kepada Tuhan.

b. Polemis

Polemis berasal dari kata Yunani polemos yang

berarti perang. Sikap polemis menciptakan “senjata”

untuk mengalahkan para penganut agama lain dan

melumpuhkan kegiatan mereka. Senjata itu dapat

berupa media tertulis (edaran, buletin, majalah, surat

kabar) dan audio (radio, pita kaset) serta audio-visual

(tv, film) di mana isi iman dan ajaran agama yang

dianut orang lain dibeberkan untuk dicari

Page 218: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

218

kelemahannya dan kemudian diserang. Tindakan

polemis dapat berupa pengacauan, sabotase, dan

serangan untuk mengganggu, melawan dan

menggagalkan kegiatan yang diadakan oleh para

penganut agama lain, entah kegiatan keagamaan

seperti ibadat dan pendirian rumah ibadat maupun

kegiatan kegiatan pengamalan agama seperti

pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat.

Jika digabungkan dengan sikap apologetis, sikap

polemis ini dapat begitu ampuh untuk merusak

hubungan antar-umat beragama. Dalam kedua sikap

itu, para penganut agama bertahan dalam lingkungan

sendiri dan tidak keluar utnuk menjumpai penganut

agama lain.

8.8. Syarat-Syarat Dialog

Paul F. Kniter, seperti dipaparkan I. Bambang

Sugiharto,105 menekankan tiga syarat dialog

antarumat beragama (dialog agama agama), yakni:

Pertama, dialog itu haruslah berdasarkan

pengalaman religius personal dan klaim yang kokoh

tentang kebenaran. Maksudnya, dialog baru positif

bila pesertanya sungguh-sungguh orang yang

105 I. Bambang Sugiharto & Agus Rachmat W, 2000. Wajah Baru

Etika & Agama, hlm. 164-167

Page 219: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

219

beriman. Tentu tanpa mengabaikan sikap intelektual

akademis pula.

Kedua, dialog harus didasarkan pada keyakinan

bahwa religi lain sangat mungkin memiliki kebenaran

pula. Maka peserta dialog harus pula memiliki taraf

pendidikan dan penguasaan yang cukup atas ajaran

agama masing-masing.

Ketiga, dialog harus didasari keterbukaan pada

kemungkinan perubahan yang tulus. Perubahan yang

dimaksud terutama adalah perubahan pemahaman.

Maka keterbukaan di sini berarti keberanian untuk

melepas anggapan-anggapan semula, baik tentang

tradisi religius kita sendiri, maupun tentang tradisi

lain. Keterbukaan pada pihak lain tentu tanpa

bermaksud ke arah peleburan atau sinkretisme.

Keterbukaan ini bisa dipahami juga sebagai kemauan

untuk menghargai kekhasan masing-masing agama.

Dalam konteks keterbukaan ini, peserta dialog harus

setia pada intuisi awal pendiri agamanya dan juga

kesediaan mengubah diri, membiarkan diri ditentukan

dan ditempa oleh agama yang lain. Tuntutan ke arah

itu menunjukkan pentingnya sikap saling percaya dan

kehendak baik untuk mencari bersama kehendak

Tuhan bagi dunia dan berusaha melaksanakannya

lewat agama dan kelompok agama masing-masing. 106 106 Budi Kleden, Paulus op. cit., 182-189

Page 220: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

220

8.9. Fokus Dialog

Dialog yang berlangsung berdasarkan syarat-

syarat di atas akan berhasil baik bagi masing-masing

pesertanya manakala memiliki fokus yang jelas,

inklusif dan relevan dengan tantangan agama-agama

masa kini. Maka fokus dialog, seperti ditegaskan I.

Bambang Sugiharto,107 hendaknya untuk mengatasi

pelbagai persoalan konkret yang menjadi tantangan

real semua tradisi religius, yakni:

pertama, bagaimana menghadapi ‘berhala-

berhala’ baru (idols) dan distorsi-distorsi atas

kebenaran yang telah diyakini sebagai ‘wahyu’.

Kedua, bagaimana merumuskan kebenaran dari

tradisi-tradisi agama itu ke dalam kategori-kategori

zaman ini. Artinya, bagaimana nilai-nilai agama itu

bisa menjawab tantangan-tantangan jaman,

menjawab kebutuhan manusia modern. Dalam

konteks itu, tafsir atas agama yang bertanggungjawab

dan dapat dipertanggungjawabkan senantiasa

dibutuhkan.

Ketiga, bagaimana memecahkan masalah-

masalah kemanusiaan global yang diakibatkan oleh

struktur-struktur yang tidak manusiawi saat ini.

107 Ibid., 166

Page 221: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

221

8.10. Tema-Tema Dialog108

Dialog dalam konteks kebebasan beragama perlu

fokus agar sasaran dialog tercapi. Manakala dialog

antar-umat beragama dimaksudkan untuk, antara lain,

mewujudkan keharmonisan hidup beragama dalam

konteks pluralitas agama atas keyakinan hak dan

kebebasan beragama, maka tema-tema dialog yang

tepat adalah menyangkut manusia dan lingkungan

dan gambaran tentang Allah, antara lain:

Pertama, manusia bukanlah sebuah monade

tanpa jendela (bukan dunia yang tertutup). Pada

hakikatnya manusia mempunyai hubungan yang erat

dengan segala yang membentuknya dan dibentuknya,

yakni sesama dan lingkungannya. Termasuk kedalam

lingkungan ini adalah bidang-bidang kehidupan politik,

sosial dan ekonomi di mana agama menawarkan

bantuan bagi perwujudan diri manusia secara

manusiawi dan menghargai kemanusiaan sesamanya.

Dalam konteks itu pula, dialog harus mempromosikan

penghargaan terhadap subyek manusia sebagai

instansi yang bebas dalam menentukan dirinya. Itu

berarti dialog menjadi kekuatan untuk menolak dan

melawan segala macam upaya untuk memanipulasi

manusia, untuk memaksa dan menipunya, untuk

membuatnya tetap kerdil dan tak berdaya. 108 Ibid., 189-192

Page 222: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

222

Kedua, Dialog antar-umat beragama hendaknya

pula mengangkat tema seputar gambaran tentang

Allah. Dalam konteks itu, dialog dipahami sebagai

pertukaran pengalaman akan Allah secara jujur, dapat

memperkaya gambaran dan pemahaman tentang

Allah yang ada di dalam sebuah agama.

8.11. Jenis-Jenis Dialog109

Dalam rangka dialog antar-umat beragama ini,

ada tiga jenis dialog yang dapat dilakukan sebagai

ajang untuk memahami disposisi batin pihak lain dan

belajar memahaminya, yakni:

Pertama, dialog tematis, yakni dialog yang

berpretensi untuk memahami bersama suatu konsep

tertentu yang diyakini dalam konteks agama tertentu.

Dialog ini biasanya dilaksanakan dalam tingkat

lembaga tertentu dan melibatkan ahli keagamaan

dalam bidang tertentu pula (teolog, ahli tafsir,

sejarawan agama, dll). Kecenderungan dasar dialog ini

adalah teoretis-konseptual.

Kedua, adalah dialog karya, yaitu kerjasama

dalam bidang sosio-ekonomis dan sosio-kultural.

Dalam konteks dialog ini, harus dijelaskan juga fungsi-

109 Fransiskus Borgias, 1994-1996. Diktat Kapita Selekta

Fenomenologi Agama (Bahan kuliah Fenomenologi Agama di lingkungan UNPAR), hlm. 73-74

Page 223: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

223

fungsi sosial agama, relevansi agama-agama dengan

masalah keadilan sosial, dengan masalah

kesejahteraan umum, dengan cita-cita keadilan dan

kemakmuran, dengan cita-cita perdamaian, serta

pembangunan dan perkembangan yang manusiawi.

Ketiga, dialog batin, yaitu upaya memahami dan

mendalami pengalaman rohani orang-orang yang

beragama atau berkeyakinan lain. Dialog yang satu ini

tidak bisa dijalankan pada tingkat lembaga atau

organisasi dan sistem, melainkan berjalan pada

tingkat kesadaran dan penghayatan hidup individual

sehari-hari. Oleh karena itu, dialog jenis ini bersifat

terselubung. Ia mewujudkan diri dalam sikap hormat

pada pihak lain berdasarkan kesadaran dan refleksi

pribadi atas penghayatan dan perwujudan ajaran

agamanya.

8.12. Tujuan Dialog

Dialog adalah ajang komunikasi iman

antarpenganut agama-agama. Berkaitan dengan itu,

tujuannya adalah:

Pertama, untuk menemukan bersama pola

kehidupan beragama yang mengakomodasi semua

pihak untuk semakin dewasa dalam iman.

Kedua, untuk mencari bersama kekuatan-

kekuatan pada masing-masing agama, bukan mencari

Page 224: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

224

kelemahan yang dimanfaatkan di luar dialog,

misalnya, untuk saling berebut orang untuk dijadikan

penganut agamanya.110 Berkaitan dengan tujuan itu,

setiap orang yang terlibat aktif dalam dialog harus

berusaha untuk saling memahami dan bersama-sama

mencapai suatu pengertian yang lebih sempurna

mengenai satu sama lain; memahami pihak lain apa

adanya.

Ketiga, untuk membangun kesadaran akan

pentingnya bersikap toleransi, yakni hormat terhadap

kebebasan beragama. Khusus untuk tujuan yang

ketiga, kita patut memuji tindakan pemerintah yang

berhasil membuat beberapa kemajuan dalam

meningkatkan sikap hormat terhadap kebebasan

beragama pasca konflik di beberapa wilayah di

Indonesia111.

8.13. Praksis Iman Pasca Dialog

Sikap toleransi yang tumbuh berkat dialog antar-

umat beragama tampak dalam praksis iman, sebagai

berikut:

Pertama, sikap iman yang tepat adalah percaya

bahwa Allah adalah asal-usul kehidupan dan hormat

110 Hardjana, A.M. op. cit., 115-116 111 Ibid., hlm. , 7

Page 225: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

225

penuh kepada manusia dan keluhuran martabatnya

sebagai makhluk ciptaan Allah yang mulia.

Kedua, penghayatan iman yang benar terekspresi

dalam ketulusan doa, pantang, dan puasa yang

dilakukan dalam suasana penuh khidmat.

Ketiga, perwujudan iman yang proaktif pada

kehidupan; hidup dalam suasana kasih persaudaraan,

cinta damai, menolak kelaliman dan kemaksiatan,

suka menolong, memberi sedekah, zakat, derma, dan

lain-lain bentuk kemurahan hati terhadap sesama

yang malang, miskin, dan tak berdaya dalam

kehidupan ini.

Demikian, tujuan dialog hendaknya dipahami

sebagai upaya bersama-sama untuk mencari

kebenaran universal yang terdapat dalam agama

masing-masing. Hasil dialog adalah hubungan yang

erat, sikap saling menghargai, saling percaya dan

saling membantu dalam penghayatan agama. Dialog

menjadi medium pertemuan antara pendekatan dan

penyembahan Tuhan dengan cara yang berbeda, tapi

pro kehidupan, memanusiawikan dan berpihak

kepada kelestarian alam semesta.

8.14. Penutup

Perlindungan, pemenuhan dan penegakan hak

atas kebebasan beragama di mana pun juga

Page 226: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

226

merupakan tuntutan yang urgen di segala jaman.

Implementasi hak atas kebebasan beragama

menuntut kesadaran semua pihak akan pentingnya

hormat kepada pihak lain yang berbeda dengan diri

sendiri. Maka perlu menempatkannya sebagai skala

prioritas tindakan dalam praksis kehidupan beragama.

Kiranya, apapun bentuk aturan yang mengatur

pemenuhan dan perlindungan kebebasan beragama,

ia hanyalah sarana semata yang akan menjadi

fungsional manakala ada niat dan komitmen semua

manusia beragama yang hidup dalam wilayah

pluralitas agama untuk menghargai iman dan

kepercayaan orang lain. Undang-Undang Kebebasan

Beragama, misalnya, dengan kedudukannya sebagai

fungsi kontrol bagi praksis kehidupan keagamaan di

Indonesia, akan tampak mandul jika setiap manusia

beragama tidak secara eksplisit dan proaktif menaati

dan melaksanakannya dalam praksis kehidupan

sehari-hari.

Page 227: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

227

Page 228: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

228

DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens, 1996. Diktat Fenomenologi Agama,

Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

Borgias, Fransiskus, 1994-1996, Diktat Kapita Selekta

Fenomenologi Agama (Bahan kuliah

Fenomenologi Agama di lingkungan

UNPAR).

Caputo, John D. 2001. On Religion., Alih Bahasa:

Martin Lukito Sinaga, “Agama Cinta

Agama Masa Depan”, 2003. Mizan,

Bandung.

Chaudhuri, M. K. De. 1969, God in Indian Religion,

Calcutta.

Collins, Gary R. 1999. The Soul Search, Alih Bahasa:

Dra Connie Item Corputty, “Mencari Jiwa

Kita”, Interaksara, Batam.

Coward, Harold, 1989. Pluralisme: Tantangan Bagi

Agama-Agama, Kanisius, Yogyakarta,

Daradjat, Zakiah.,1970, Ilmu Jiwa Agama, Bulan

Bintang, Jakarta.

Dhvamony, Mariasusuai. 1995. Fenomenologi Agama,

Kanisius, Yogyakarta

Dister, Nico Syukur. 1994. Pengalaman dan Motivasi

Beragama, Kanisius Yogyakarta

Page 229: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

229

Dunlop, Knight. 1946. Religion, Its Function In Human

Life, New York, Paulist Press

Eliade, Mircea ,1962, The Two and the One, London.

Heuken, A, 1994, Ensiklopedi Gereja IV Ph – To, Cipta

Loka Caraka, Jakarta.

James, E. O.19962, The Concept of Deity, London.

-------------------, 1959, The Cult of the Mother Goddes,

New York.

Fairchid, H.P., et al. 1964. Dictionary of Sociology and

Related Sciences, New Jersey,

Littlefield, Adam & Co

Gerald O’ Collins & Edward G. Farugia. 1991. A

Concise Dictionary of Theology, Paulist

Press, New Jersey. Alih Bahasa: I. Suharyo,

Kanisius, Yokyakarta, 2002.

Harjana, A.M. 1993. Penghayatan Religi Yang Otentik

dan Tidak Otentik, Kanisius, Yogyakarta

Hendropuspito, D. 1983. Sosiologi Agama, Kanisius,

Yogyakarta.

Heuken, Adlof. 1991, 1993, 1994. Ensiklopedi Gereja I,

III, dan IV, Jakarta: Cipta Loka Caraka.

Hick, John. 1980, God Has Many Names, The

Westminster Press Philadelphia,

Pennsylvania. Terj. Amin Ma’aruf dan

Page 230: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

230

Taufik Aminudin, DIAN/Interfidei,

Yogyakarta.

John S. Mbiti, 1970, Conceps of God in Africa, London.

Kaufman, Gordon D. 1976, In Face of Mistery: A

Constructive Theology, Cambridge, Mass.:

Harvard University Press.

Kimball, Charles. 2002. When Religion Becomes Evil.,

Alih Bahasa: Nurhadi, “Kala Agama Jadi

Bencana”, 2003. Mizan, Bandung.

Kleden, Paulus Budi, 2002, Dialog Antaragama Dalam

Terang Filsafat Proses Alfred North

Whithead, Ledalero, Maumere.

Koentjaraningrat. 1971. Manusia dan Kebudayaan Di

Indonesia, Djambatan, Jakarta.

Komprensi Waligereja Indonesia, 1996. Iman Katolik,

Kanisius, Yogyakarta

Krech, Crutchfield, Ballachey. 1982. Individual In

Society, McGraw Hill, Kogakusha, Ltd.

Tokyo

Küng, Hans, Christianity and the World Religions:

Paths of Dialogue with Islam, Hinduism and

Buddhism. Trans. Peter Heinegg. New York:

Doubleday, 1986, hlm. xvi.

Magnis-Suseno, Franz, 2006. Menalar Tuhan, Kanisius,

Yogyakarta.

Page 231: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

231

Montemayor, Felix M. 1994. Ethics: The Philosophy of

Life. Manila: National Book

Store Inc

O’DEA, Thomas F. 1961. The Sosiology of Religion,

Prentice-Hall Inc., Englewood Cliffs, New

Jersey

Panikkar, Raimundo. 1978. The Interreligious

Dialogue. Alih Bahasa: Dr. A. Sudiarja,

1994, Kanisius, Yokyakarta.

Pettazzoni, R. “The Supreme Being:

Phenomenological Structure and Historical

Development”, dalam The History of

Religions, editing oleh Mircea Eliadi dan

Joseph Kitagawa, Chicago, 1959, hlm. 59-

66.

-----------------------, Essays in the History of Religions,

Leiden, 1954, hlm. 1-10

-----------------------, L’Essere Supremo nelle Religioni

Primitive, Torino, 1957.

-----------------------, L’Onniscienza di Dio, Torino, 1955.

------------------------, “Monotheismus und

Polytheismus”, dalam Die Religion in

Geschichte und Gegenward, IV (1930).

Page 232: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

232

Peursen, C. A. Van, Prof. Dr, 1976, Strategi

Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta,

Rahmat, Agustinus. Diktat Teologi Keselamatan I,

Universitas Katolik Parahyangan: Fakultas

Filsafat.

Schmidt, Wilhelm. 1970, “Der Monotheismus der

Primitiven”, dalam Anthropos, XXV hlm.

703-709.

-------------------, 1926-35, Der Ursprung der Gottesidee,

6 volume, Munster.

-------------------, “L’Origine de l’idée de Dieu”, dalam

Anthropos, III, IV.

Shih, J. 1969, “The Notions of God in the ancient

Chinese religion”, dalam Numen, Calcutta.

Smith, Edwin M. (ed.), 1950, African Ideas of God,

London.

Thouless, Robert H. 1992. Pengantar Psikologi Agama,

terj. Machnun Husein, Rajawali, Jakarta.

Tillich, Paul. 1967. Dynamics of Faith, New York:

Harper & Row

Whitehead, Alfred North. 1967. Science and the

Modern World, New York: The Free Press.

Nathan, Soderblom, 1962, The Living God, Boston.

Page 233: FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang

233

J. E. Carpenter, 1921, Theism in Medieval India,

London.

Paul Radin, 1924, Monotheism among the Primitive

Peoples, London

Varii, “La Réalité Suprême dans les Religions non-

chrétiennes”, 1968, dalam Studio

Missionalia, XVII, Roma.

Vicente Hernández Catalá, 1972, La Realidad Suprema

como “ Coincidentia Oppositorum” en la

Historia de las Religioners, Madrid.

www.usembassyjakarta.org/press_rel/kebebasan_ber

agama2.html