ETIKA PERTAMBANGAN PADA INDUSTRI
MINERAL LOGAM
3 11 2010
ETIKA PERTAMBANGAN
PADA INDUSTRI MINERAL LOGAM
PENDAHULUAN
Industri mineral merupakan salah satu kepentingan ekonomi di seluruh
dunia, dimana di dalamnya termasuk usaha pertambangan yang
diharapkan berwawasan lingkungan sehingga dapat mengurangi potensi
terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Secara global,
ekonomi industri telah digunakan sebagai suatu sistem sumber daya
terbuka melalui pemanfaatan bahan baku mineral dan energi; dengan
pembuangan limbah berdampak pencemaran terhadap lingkungan.
Tantangan yang dihadapi oleh komunitas global saat ini adalah membuat
ekonomi industri lebih mengarah kepada sistem tertutup dengan sasaran:
penghematan energi, mengurangi limbah, mencegah pencemaran, dan
mengurangi biaya (UNO, 1995). Salah satu unsur penting yang diangkat
dalam topik kali ini adalah : Limbah industri harus dianggap sebagai
bahan baku berharga yang dapat diolah lebih lanjut atau dengan kata lain
didaur ulang.
LIMBAH / TAILING PERTAMBANGAN
Limbah pertambangan atau disebut sebagai tailing merupakan residu
yang berasal dari sisa pengolahan bijih setelah target mineral utama
dipisahkan dan biasanya terdiri atas beraneka ukuran butir, yaitu: fraksi
berukuran pasir, lanau, dan lempung. Secara umum pembuangan tailing
dilakukan di lingkungan darat yaitu pada depresi topografi atau
penampung buatan, sungai atau danau, dan laut. Secara mineralogi
tailing dapat terdiri atas beraneka mineral seperti silika, silikat besi,
magnesium, natrium, kalium, dan sulfida. Dari mineral-mineral tersebut,
sulfida mempunyai sifat aktif secara kimiawi, dan apabila bersentuhan
dengan udara akan mengalami oksidasi sehingga membentuk
garamgaram bersifat asam dan aliran asam mengandung sejumlah logam
beracun seperti As, Hg, Pb, dan Cd yang dapat mencemari atau merusak
lingkungan.
Ketika tailing dari suatu kegiatan pertambangan dibuang di dataran atau
badan air, limbah unsur pencemar kemungkinan tersebar di sekitar
wilayah tersebut dan dapat menyebabkan pencemaran lingkungan.
Bahaya pencemaran lingkungan oleh arsen (As), merkuri (Hg), timbal
(Pb), dan kadmium (Cd) mungkin terbentuk jika tailing mengandung
unsur-unsur tersebut tidak ditangani secara tepat. Terutama di wilayah-
wilayah tropis, tingginya tingkat pelapukan kimiawi dan aktivitas
biokimia akan menunjang percepatan mobilisasi unsur-unsur berpotensi
racun.
Salah satu akibat yang merugikan dari arsen bagi kehidupan manusia
adalah apabila air minum mengandung unsur tersebut melebihi nilai
ambang batas; dengan gejala keracunan kronis yang ditimbulkannya pada
tubuh manusia berupa iritasi usus, kerusakan syaraf dan sel.
Tailing yang berasal dari proses amalgamasi bijih emas memungkinkan
limbah merkuri tersebar di sekitar wilayah penambangan dan dapat
membentuk pencemaran lingkungan oleh merkuri organik atau
anorganik. Pencemaran akan semakin membahayakan kesehatan manusia
apabila unsur merkuri dalam badan air berubah secara biokimia menjadi
senyawa metil-merkuri. Terdapat beraneka jenis mekanisma oleh mikro-
organisma yang dapat membentuk spesies metil-merkuri bersifat racun,
terutama apabila dimakan oleh ikan. Pengaruh organik merkuri terhadap
kesehatan manusia termasuk hambatan jalan darah ke otak dan gangguan
metabolisma dari sistem syaraf. Sedangkan pengaruh racun merkuri
nonorganik adalah kerusakan fungsi ginjal dan hati di dalam tubuh
manusia.
DISKUSI
Bertolak dari diperolehnya informasi tentang bahaya limbah industri
mengandung unsur As, Hg, Pb, dan Cd yang dapat menimbulkan dampak
terhadap lingkungan dan kehidupan manusia; maka timbul pemikiran
tentang kemungkinan kejadian hal serupa pada kegiatan usaha
pertambangan bahan galian logam, terutama dalam kaitannya dengan
pembuangan tailing dari sisa pengolahannya. Secara alamiah, tailing
terdiri dari beraneka jenis dan biasanya dibuang dalam bentuk bubur
(slurry) dengan kandungan air tinggi. Tailing kemungkinan juga disusun
oleh bahan-bahan kering berbutir kasar berbentuk fraksi mengapung
yang berasal dari pabrik pengolahan. Pembuangan tailing merupakan
masalah besar bagi lingkungan, yang menjadi lebih serius apabila
keberadaannya berkaitan dengan peningkatan eksploitasi dan akibat
pengolahan bahan galian logam. Dampak terhadap ekologi terutama
berupa pencemaran air oleh bahan-bahan padat, logam berat, kimiawi,
senyawa belerang, dan lain-lain. Perkembangan penggunaan metoda
pembuangan terjadi karena timbulnya dampak terhadap lingkungan,
perubahan dalam proses pengolahan dan realisasi untuk mendapatkan
keuntungan produksi. Metode konvensional yang masih dilakukan oleh
pelaku usaha pertambangan hingga saat ini adalah pengaliran tailing ke
dalam badan sungai dan atau pembuangan di atas tanah setelah melalui
pengeringan. Teknik-teknik lain kemudian dikembangkan karena banyak
kerusakan yang ditimbulkan akibat penggunaan metode tersebut.
Semakin banyak diperlukannya bijih berbutir lebih halus, maka
diperlukan cara yang paling tepat dalam pengolahan ulang tailing untuk
dapat menciptakan nilai tambah produksi. Pada beberapa penambangan
bawah permukaan, tailing biasa digunakan untuk menimbun
daerahdaerah bekas penambangan. Tailing juga digunakan untuk back-
filling dalam suatu kegiatan pertambangan dengan terlebih dahulu
melalui pemisahan karena tidak semua jenis tailing dapat dimanfaatkan
sebagai bahan pengisi bukaan-bukaan. Tailing dapat saja mengalami
pemuaian atau pengerutan setelah digunakan untuk pengisi bukaan, dan
juga memiliki sifat sebagai perekat sehingga sangat bermanfaat untuk
kegiatan penyemenan pada penambangan bawah permukaan. Tailing
juga ditimbun sementara selama masa penambangan sedang berlangsung
dan kemudian ditampung dalam bendungan. Pembuatan tempat
penimbunan/bendungan harus dalam kondisi aman dan ekonomis untuk
menampung volume tailing serta berfungsi sebagai pengendali
pencemaran lingkungan. Masalah serius yang timbul dari pembuangan
tailing adalah terutama berkaitan dengan pembebasan air tercemar akibat
pelarutan logam-logam berat (diantaranya As, Hg, Pb, dan Cd),
keasaman (pH rendah), bahan kimia/reagen dari pabrik pengolahan dan
bahan-bahan suspensi yang dapat membentuk zat padat. Secara
mineralogi, mineral pengotor alkali dalam tailing sering berperan sebagai
pengendali pencemaran yang alamiah; dimana salah satunya adalah
peranan kalsium (Ca) dalam batugamping yang dapat mempermudah
pelarutan logam-logam dan menetralisir hasil oksidasi. Proses pemurnian
tailing juga sering dilakukan dengan cara pengapuran dengan tujuan
untuk menetralisir keasaman, sehingga mendorong terjadinya flokulasi
(penggumpalan) dan pengendapan logam-logam berat (berbentuk
hidroksida) sebelum dialirkan ke dalam bendungan. Penanganan tailing
melibatkan proses pengentalan dan pengaliran cairan serta pembebasan
logam-logam berat, kemudian dikembalikan ke pabrik pengolahan
sehingga mengurangi pasokan air dan bahan-bahan pencemar/polutan
dalam bendungan tailing.
KESIMPULAN
Tailing dari suatu usaha pertambangan logam menjadi pusat perhatian
ketika pembuangannya dilakukan tanpa memperhatikan dampak terhadap
lingkungan. Lebih jauh lagi apabila tailing tersebut mengandung unsur-
unsur berpotensi racun seperti arsen (As), merkuri (Hg), timbal (Pb), dan
kadmium (Cd), sehingga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan
dengan akibat yang merugikan bagi kesehatan manusia. Oleh karena itu
diperlukan penerapan program perlindungan terhadap lingkungan melalui
pengembangan: metode penambangan dan pengolahan; sistem
penanganan dan daur ulang tailing; rancangan konstruksi penampung
tailing dan pengawasan pembuangannya; serta pencegahan pencemaran
oleh unsur-unsur berpotensi racun dimaksud.
Kemudian perlu penindakan tegas atas kebijakan pemerintah yang telah
ditetapkan dalam kebijakan pertambangan dan etika pertambangan.
Diantaranya UU UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No.
26/2007 tentang Penataan Ruang, UU Pertambangan Mineral dan
Batubara, UU No. 11 Tahun 1967 Tentang Pertambangan Umum.
Dengan diberlakukannya secara tegas perundang-undangan yang telah
ada merupakan upaya preventif untuk mencegah kerusakan lingkungan
dan menciptakan etika pertambangan yang sesuai dengan aturan yang
berlaku.
UPAYA
1. Diperlukan upaya penegakan hukum terhadap
masyarakat/pengusaha yang tidak memiliki surat ijin kegiatan
penambangan. Upaya penegakan hukum ini diberlakukan sesuai
perundang-undangan yang berlaku dan bersifat tegas serta tidak
memihak. Sangsi yang diberikan kepada penambang liar
dimaksudkan untuk merelokasi aktivitas penambangan pada
daerah-daerah terlarang oleh kegiatan penambangan agar tidak
terjadi kerusakan lingkungan yang semakin parah dan diharapkan
pemberian sangsi akan menciptakan asumsi negatif terhadap upaya
penegakan hukum yang lemah.
2. Perlu dilakukan upaya pendekatan perencana program yang
mampu menciptakan keserasian dan kesesuaian antar tujuan-tujuan
program/kebijakan dengan kebutuhan kelompok sasaran. Dengan
dipenuhinya persyaratan-persyaratan ini maka akan dapat
dipastikan resiko kegagalan pelaksanaan program atau penolakan
dari kelompok sasaran dapat diminimalkan.
3. Perlunya dilakukan restrukturisasi dan revitalisasi kebijakan sektor
lainnya. Hal ini dilakukan karena kebijakan pertambangan bukan
merupakan sektor yang riil dan aktual.
4. Perlu dilakukan identifikasi ulang terhadap model program yang
tepat, riil dan faktual sesuai dengan prilaku/trend (kecenderungan)
ekonomi masyarakat Kabupaten Bangka saat ini dan pasca timah,
Hal ini dalam upaya pengembangan ekonomi alternatif dan upaya
mengalihkan pekerjaan masyarkat dari ketergantungan pada sektor
pertambangan ke sektor lainnya pasca ekonomi timah.
Comments : Leave a Comment »
Categories : Artikel Geologi
Penelitian Geologi Teknik dan Lingkungan
3 11 2010
Penelitian Geologi Teknik dan Lingkungan
Kecamatan Mojo dan Kecamatan Semen Kabupaten Kediri
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penyelidikan Geologi Teknik dan Lingkungan di
Kecamatan Mojo dan Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri di
lapangan dan pengolahan data-data yang ada dan yang diperoleh maka
dapat diambil beberapa kesimpulan mengenai rekomendasi yang akan
dianjurkan bagi pihak yang berkepentingan guna dapat dijadikan
pedoman untuk melakukan pengembangan wilayah berdasarkan pada
kondisi geologi.
1. Dari hasil penyelidikan lapangan dan kompilasi data yang telah
ada, wilayah penelitian memiliki potensi sumberdaya geologi
berupa Bahan Galian Golongan C (pasir dan batu) yang berlimpah.
Selain bahan galian, wilayah penyelidikan juga memiliki potensi
berupa objek wisata.
2. Berdasarkan hasil penyelidikan lapangan dan kompilasi data
sekunder, beberapa bencana geologi yang mengancam wilayah
penelitian diantaranya adalah : Erosi, Gerakan Tanah, Erupsi
Gunung Api, dan Banjir.
Secara khusus arahan rekomendasi pengembangan wilayah telah
dijelaskan pada masing-masing unit geologi lingkungannya diatas.
Secara umum dapat kita bagi rekomendasi pengembangan wilayah di
wilayah Kecamatan Semen dan Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri,
diantaranya adalah: Hutan Kering Sekunder yaitu pada wilayah
morfologi satuan pegunungan sangat terjal; daerah perkebunan dan
ladang pada daerah dengan morfologi satuan pegunungan terjal dan
perbukitan agak terjal. Sedangkan untuk pemukiman wilayah dengan
morfologi dataran dan lereng gunungapi adalah yang paling baik.
SARAN
Saran yang dapat disampaikan berkenaan dengan hasil penyelidikan
Geologi Teknik dan Lingkungan di Wilayah kecamatan Mojo dan
Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri adalah:
1. Pelaksanaan kebijakan yang tegas dan tepat dari pemerintah daerah
terhadap kondisi penggalian-penggalian yang terdapat di wilayah
lereng, agar tidak mengalami kerusakan lingkungan, sehingga
dapat dimanfaatkan lebih optimal.
2. Diperlukan kerjasama dan penggabungan data dari berbagai pihak
serta instasi terkait untuk lebih menyempurnakan proses
penyusunan rencana pengembangan wilayah di wilayah
Kecamatan Mojo dan Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri.
Pemanfaatan data hasil penelitian ini sebagai bahan pertimbangan dalam
usaha penyusunan Rencana Tata Ruang Daerah, dalam hal ini yang
berhubungan dengan potensi wilayah (potensi sumberdaya geologi) dan
kerawanan bencana.
Comments : Leave a Comment »
Categories : Artikel Geologi
6th Stratigraphy Analysis
6 05 2010
Petrologi batuan Sedimen klastik untuk Analisa Stratigrafi
Debriadi Harset (30533)
Rizal Abiyudo (30718)
Bhima Suhardiyansyah (30747)
Mahasiswa Teknik Geologi FT UGM, Jl. Grafika 2, Yogyakarta 55281
Sari
Stratigrafi termasuk bagian dari disiplin ilmu geologi yang terfokus pada
bentuk, susunan, distribusi geografi, rangkaian kronologi, klasifikasi,
korelasi, dan hubungan dari lapisan batuan, khususnya sedimen, disebut
pula stratigrafi geologi (Sybil P. Parker, 1984).
Batuan sedimensecara umum terbentuk dari proses – proses yang
antara lain nya , Batuan sedimen dari proses mekanik, Batuan sedimen
dari proses biologi, Batuan sedimen dari proses kimiawi.
Batuan sedimen yang terbentuk dari proses mekanik sering disebut
dengan batuan sedimen klastik. Batuan ini terbentuk dari hasil rombakan
batuan yang sudah ada sebelumnya. Batuan tersebut dapat
diklasifikasikan dengan berdasarkan ukuran butirnya, mulai dari yang
berukuran halus dengan kasar, yang antara lain, lempung, lanau, pasir,
kerikil, kerakal, berangkal, dan bongkah.
Dengan mengetahui petrologi, baik tekstur maupun komposisi dari
batuan sedimen klastik tersebut, maka dapat digunakan untuk analisa
dari stratigrafi yang ada, hal tersebut menyangkut asal- mula jadi atau
originnya.
I. Pendahuluan
Batuan sedimen adalah batuan yang terbentuk oleh deposisi sedimen
yang terkonsolidasi dalam sebuah lapisan (Sybil P. Parker, 1984).
Sedimentary rocks are the product of the creation, transport, deposition,
and diagenesis of detritus and solutes derived from pre-existing rocks
(Kendall, Chris., ___).
Petrologi batuan sedimen adalah deskripsi dan klasifikasi batuan
sedimen. Disebut juga sedimentography (Sybil P. Parker, 1984).
Stratigrafi analisa adalah
Maksud dari stratigrafi ini adalah untuk :
Pemerian secara obyektif dan lengkap dari komponen penyusun
tubuh batuan, baik secara vertikal maupun secara lateral.
Penentuan jenis dan macam hubungan antar komponen.
Sedang tujuan dari pembelajaran ini adalah :
Rekonstruksi proses, pengaruh kondisi organis dan anorganis, tempat,
serta perkembangannya dalam:
- ruang : Paleogeografi
- waktu : Sejarah geologi
II. Petrologi Batuan Sedimen Klastik
Asal dari pemahaman petrologi ini
The origin of the
Tekstur yang menyangkut ukuran butir, bentuk butir, sortasi, kemas,
dapat mengetahui pengendapannya di dalam atau di luar cekungan serta
sejarah transportasinya. Tekstur batuan sedimen klastik dibentuk secara
primer oleh proses fisika sedimentasi dan dianggap menghasilkan ukuran
butir, bentuk ( kebundaran, tekstur permukaan) dan kemasan ( orientasi
butir dan hubungan butir ).
Ukuran butir partikel sedimen penting dalam beberapa hal. Ukuran butir
mencerminkan :
- Resistensi partikel terhadap pelapukan, erosi dan abrasi. Partikel
– partikel yang luak seperti batugamping dan fragmen – fragmen batuan
makin lama makin mengecil, bahkan partikel kuarsa yang besar dan
resistensi akan terabrasi dan berubah ukurannya.
- Proses transportasi dan deposisi seperti kemampuan air, angin
untuk menggerakkan dan mengendapkan partikel.
Pada skala geometri berkembang banyak skala ukuran butir atau skala
kelas, tetapi skala yang digunakan hampir universal oleh sedimentologis
adalah skala Udden Wenworth. Skala ini pertama kali diajukan oleh
Udden pada 1898 dan dimodifikasi dan ditambah oleh Wenworth pada
1922. Skala ini berkisar dari < 1/256 mm sampai >256 mm dan
dipisahkan ke dalam 5 kategori ukuran utama yaitu lempung, lanau, pasir
dan kerakal.
Komposisi penyusun berdasarkan kehadiran mineral – mineral tertentu,
bersama dengan tekstur dapat mengetahui diagenesa apajkah telah
terganti atau terubaha atau tidak.
Tekstur
Pada ukuran butir, mempunyai pengaruh terhadap energi
pengendapannya. Semakin besar ukuran butir, maka kemungkinan
batuan sedimen klastik tersebut terendapkan membutuhkan energi yang
besar, atau arus yang kuat, dapat juga tidak jauh dari sumber. Sebaliknya,
semakin kecil atau halus ukuran butir, maka kemungkinanan batuan
sedimen klastik tersebut terendapkan membutuhkan energi yang lemah,
atau arus yang kecil, dapat juga dekat dengan sumber. Secara teoritis
ukuran butir makin ke hilir akan semakin halus dengan catatab bahwa
batuan sumber dari sedimen tersebut adalah sama dan faktor lain yang
tetap konstan. Berkurangnya ukuran butir disebabkan adanya abrasi pada
butiran selama abrasi. Abrasi merupakan proses yang bekerja secara aktif
sehingga mengakibatkan ukuran partikel makin ke hilir makin kecil
( Pettijohn, 1975 h.45 ). Penurunan ukuran butir tidak semata – mata
disebabkan oleh abrasi tapi juga merupakan refleksi dari penurunan
kompetensi sungai dan yang diakibatkan oleh penurunan gradien sungai.
Tabel.Skala wenworth
Oleh Boggs (1987) dikatakan derajat kebundaraan (roundness) adalah
sifat bentuk partikel yang berhubungan dengan ketajaman atau
kelengkungan tepi dan pojok-pojoknya. Derajat kebundaraan (roundness)
sendiri dipengaruhi oleh ukuran material, komposisi, tipe transportasi dan
jarak transportasi. Mineral yang memiliki ketahanan fisik tinggi (kuarsa
dan zirkon) akan memiliki nilai roundness yang lebih besar dari pada
mineral yang memiliki daya tahan yang rendah (feldspar dan piroksen).
Material yang lebih besar (pebble dan cobble) cenderung memiliki harga
roundness yang lebih besar dari material yang lebih kecil (pasir)
(hal.127).
Tingkat kebolaan juga berpengaruh, sphericity adalah ukuran yang
menggambarkan kecenderungan suatu bentuk butir kearah bentuk
membola (Tucker, 1991).Sedang Boggs (1987) mengatakan derajat
kebolaan (sphericity) adalah ukuran yang menggambarkan
kecenderungan suatu butiran ke arah bentuk membola. Variabel yang
paling mengontrol sphericity adalah bentuk asal dari butiran tersebut
(hal. 125). Selama proses transportai ukuran butir dari partikel - partikel
mengecil dan bentuk permukaannya termodifikasi dengan dikontrol oleh
bentuk asal dan kekuatan dari abrasi arus yang mengangkutnya. Proses
transportasi ini berlangsung secara memilih, yaitu pengelompokan
partikel – partikel berdasarkan ukuran dan bentuk butirnya. Material
yang nonsperikal cenderung lebih lama berada dalam cairan dari pada
material yang lebih sperikal.
Untuk nilai roundness akan bertambah tinggi seiring dengan
pertambahan waktu (durasi) sedimentasi dan jarak transportasi, misalnya
dari hulu ke hilir. Nilai roundness juga dapat menentukan tingkat abrasi
yang terjadi, yang juga berhubungan dengan tingkat resistensi batuan.
Tingkat abrasi yang intensif akan menyebabkan nilai roundness semakin
tinggi. Sedang nilai sphericity akan bertambah tinggi apabila bentuk
butiran semakin menyerupai bola atau semakin well rounded. Tetapi
pada perhitungan sphericity ini, Boggs (1987) mengatakan bahwa hasil
perhitungan sphericity yang sama terkadang dapat diperoleh pada semua
bentuk butir.
Semakin bagus sortasi atau tingkat keseragaman ukuran butirnya tinggi ,
maka menandakan pengendapan batuan sedimen klastik tersebut dengan
energi homogen atau sama, sebaliknya bila sortasi buruk, dengan artian
ada keragaman ukuran butir, dengan adanya fragmen dan matriks,
menandakan energi pengendapan yang heterogen atau tidak sama.
Porositas batuan juga dapat dianalisa dari adanya sortasi ini. Semakin
bagus sortasinya, maka porositasnya semakin tinggi, begitu sebaliknya.
Hal ini dapat untuk aplikasi pada dunia perminyakan.
Kemas pada batuan sedimen klastik juga dapat menentukan asal mula
pengendapannya dengan didasarkan pada kondisi alirannya atau tipe arus
yang mengenainya. Pada kemas terbuka, dapat terbentuk pada proses
pengendapan yang cepat, dalam hal ini pada pengendapana dengan arus
turbit. Sedangkan pada kemas tertutup dapat terbentuk pada proses
pengendapan dengan kecepatan yang relatif rendah, bertahap, seperti
pada pengendapan dengan arus traksi.
Komposisi penyusun
Komposisi mineralogi pada batuan sedimen merupakan cerminan yang
dapat dijadikan untuk mengetahui keberadaan dan tipe batuan sumbernya
(studi provenance).
Tingkat maturity batuan sedimen klastik dapat dilihat dari adanya
kuarsa, mineral lempung, matriks
Semakin kecil kandungan lempungnya, maka tingkat kematangan batuan
sedimen itu semakin tinggi, begitu sebaliknya.
Kandungan kuarsa derngan dibandingkan mineral yang lain juga dapat
menentukan provenance (asal mula) serta tingkat pengendapannya
dengan sumber. Kuarsa paling atabil, sehingga bila masih ada ditemukan
mineral – mineral seperti olivin piroksen, felspar, ortoklas pada batuan
sedimen klastik maka kemungkinan terendapkan belum jauh dari sumber.
III. kesimpulan
Komposisi mineralogi pada batuan sedimen merupakan cerminan yang
dapat dijadikan untuk mengetahui keberadaan dan tipe batuan sumbernya
(studi provenance).
Comments : Leave a Comment »
Categories : Artikel Geologi
5th Stratigraphy Analysis
6 05 2010
Rekaman Stratigrafi untuk Analisis Geologi Suatu Daerah
Debriadi Harset (30533)
Rizal Abiyudo (30718)
Bhima Suhardiyansyah (30747)
Mahasiswa Teknik Geologi FT UGM, Jl. Grafika 2, Yogyakarta 55281
Sari
Stratigrafi termasuk bagian dari disiplin ilmu geologi yang terfokus pada
bentuk, susunan, distribusi geografi, rangkaian kronologi, klasifikasi,
korelasi, dan hubungan dari lapisan batuan, khususnya sedimen, disebut
pula stratigrafi geologi (Sybil P. Parker, 1984). Ilmu geologi terbagi
menjadi dua, yaitu geologi fisik dan geologi sejarah. Stratigrafi rekaman
adalah bagian dari disiplin ilmu geologi yang termasuk dalam cabang
geologi sejarah.
Rekaman stratigrafi adalah suatu data, tampilan dari urutan-urutan
lapisan yang berisikan informasi mengenai litologi batuan, struktur
sedimen, tekstur, fosil-fosil yang terkandung, fasies pengendapan,
ulangan batuan dan kontak antar tiap lapisan batuan yang dapat
menceritakan sejarah geologinya.
Rekaman stratigrafi memiliki kegunaan – kegunaan dalam analisa
geologi suatu daerah, yang antara lain untuk mengekspresikan fasies
pengendapan; menunjukkan non depositional surface, ketidakselarasan
atau bidang erosi; menggambarkan rock cycle; enunjukkan suatu
lingkungan pengendapan, Menunjukkan adanya perubahan lingkungan
pengendapan.
I. Pendahuluan
Stratigrafi adalah suatu cabang geologi yang mempelajari tentang bentuk,
susunan, distribusi geografi, rangkaian kronologi, klasifikasi, korelasi,
dan hubungan dari lapisan batuan, khususnya sedimen, disebut pula
stratigrafi geologi (Sybil P. Parker, 1984). Selain itu pengertian lainnya
stratigrafi adalah ilmu yang mempelajari lapisan batuan yang diendapkan
di bumi. Stratigrafi termasuk bagian dari disiplin ilmu geologi, yang tiap
lapisannya dapat menceritakan sejarah geologinya berdasarkan waktu
masing – masing.
Ilmu geologi terbagi menjadi dua, yaitu geologi fisik dan geologi sejarah.
Geologi fisik adalah cabang dari geologi yang terfokus pada pengertian
komposisi – komposisi bumi dan perubahan fisik yang terjadi
berdasarkan pembelajaran tentang batuan, mineral – mineral, dan
endapan – endapan, struktur serta formasi – formasinya (Sybil P. Parker,
1984).
Geologi sejarah merupakan integrasi dari urutan perkembangan proses
dan tempat pembentukan batuan yang ada, perkembangan tektonik yang
terjadi serta proses eksogenik yang menjadikan kenampakannya seperti
yang terlihat pada masa kini pada suatu daerah tertentu (Wartono, 2001).
Selain itu geologi sejarah berarti cabang dari geologi yang terfokus pada
pembelajaran secara sistematis pada lapisan – lapisan batuan dan
hubungannya dalam suatu waktu serta pembelajaran fosil dalam suatu
sekuen lapisan batuan tersebut (Sybil P. Parker, 1984).
Stratigrafi rekaman adalah bagian dari disiplin ilmu geologi yang
termasuk dalam cabang geologi sejarah. Pengertiannya adalah suatu data,
tampilan dari urutan-urutan lapisan yang berisikan informasi mengenai
litologi batuan, struktur sedimen, tekstur, fosil-fosil yang terkandung,
fasies pengendapan, ulangan batuan dan kontak antar tiap lapisan batuan
yang dapat menceritakan sejarah geologinya. Yang terpenting dalam
rekaman stratigrafi ini adalah dapat mengekspresikan 5 hal, yaitu :
1. Fasies pengendapan
2. Non depositional surface, ketidakselarasan atau bidang erosi
3. Rock cycle
4. Suatu lingkungan pengendapan
5. Adanya perubahan lingkungan pengendapan
II. Lingkungan Pengendapan
Ekspresi suatu lingkungan pengendapan dapat terlihat dalam stratigrafi
rekaman seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Interpretasi dari rekaman stratigrafi dalam penentuan lingkungan
pengendapan memerlukan beberapa unsur yang saling dikombinasikan
satu sama lain yaitu :
- Struktur sedimen
- Analisa ukuran butir
- Fosil (fosil utuh dan fosil jejak)
- Sekuen vertikal , hubungan lateral
- Geometri, penyebaran dari litologinya
Secara umum lingkungan pengendapan terbagi menjadi 3 tempat yaitu :
1. Lingkungan pengendapan transisi
2. Lingkungan pengendapan laut
3. Lingkungan pengendapan darat
Lingkungan pengendapan darat
Gambar disamping merupakan contoh gambar urutan litologi pada
lingkungan pengendapan darat, yaitu lingkungan sungai (braided
stream). Braided stream umumnya mempunyai kedalaman yang dangkal
dengan suplai sedimen yang besar (cenderung overloaded). Braided
stream mempunyai ciri-ciri yaitu tubuh airnya terbagi-bagi oleh endapan
sungai. Mekanisme transportasi adalah bedload dan suspended load.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pola braided stream antara lain :
jumlah suplai sedimen; bentuk channel; kecepatan arus; tekstur dasar
sungai; serta iklim (Stepeld & Welman, 1975 dalam Davis, 1983).
Struktur sedimen yang terbentuk pada lingkungan pengendapan ini
cukup beraneka ragam. Secara garis besar (Miall,1977 dalam Davis
1883) membagi menjadi 3 kelompok, yaitu : planar cross stratified,
trough cross stratified, & masif.
Menurut Miall, bentuk endapan sungai ini bisa berupa :
- longitudinal bars
- linguoid bars
- transverse bars
Masih menurut Miall, terdapat 4 peristiwa pengendapan pada lingkungan
ini, yaitu :
- flooding
- akresi lateral (pelebaran tubuh batuan)
- channel agradation
- reoccupation of channel (terjadinya arus yang memotong endapan
sungai)
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses pengendapan di
lingkugan darat, antara lain :
1. Faktor fisik
Faktor fisik yang dimaksud adalah kecepatan fluida (media transportasi)
atau kecepatan aliran sedimen. Kecepatan transportasi ini akan
berpengaruh terhadap ukuran butir sedimen yang terangkut, tingkat
sortai, struktur sedimen serta bentuk sedimen bodies. Selain itu ada
faktor-faktor lain, yaitu :
- jenis gerakan fluida : laminar flow dan turbulent flow
- jenis mekanisme pengendapan : gravity , bedload, atau suspension
load
- banyak sedikitnya suplai sedimen
2. Faktor kimia, meliputi :
- pH dari media transportasi
- salinitas
- temperatur
Selain faktor fisik dan kimia yang berasal dari fluida dan material yang
tertransport ada beberapa faktor lain yang berpengaruh yaitu faktor
cekungan. Faktor cekungan sedimen tersebut meliputi :
1. Dimensi
Besar kecilnya cekungan sedimen
2. Sifat Cekungan
Cekungan bersifat reduktif atau oksidatif. Sifat tersebut tergantung
kepada ada tidaknya pergerakan fluida. Jika sirkulasi fluida naik, maka
sirkulasi oksigen akan naik juga. Jika sirkulasi oksigen baik, maka
lingkungan pengendapan bersifat oksidatif, sebaliknya akan bersifat
reduktif. Sifat cekungan ini akan mempengaruhi jenis material sedimen /
mineral-mineral yang terbentuk / terendapkan.
3. Morfologi cekungan sedimen
Morfologi ini akan mempengaruhi mekanisme transportasi nantinya .
misalnya pada cekungan sedimen yang mempunyai lereng yang miring /
curam. Aliran sedimen akan terpengaruh oleh gaya gravitasi.
4. Tektonik yang bekerja pada saat sedimentasi berlangsung
Jika cekungan sedimentasi memiliki tektonik yang aktif, maka akan
merubah ruang akomodasi. Hal ini tentunya dapat menyebabkan
perubahan dimensi cekungan sedimentasi. Misalkan pada cekungan
sedimentasi yang bagian dasarnya mengalami penurunan (subsidence),
serta diiringi dengan suplai sedimen yang cukup maka nantinya endapan
sedimen yang terbentuk akan menjadi tebal. Perubahan cekungan
tersebut juga akan mempengaruhi bentuk / morfologi endapan sedimen.
Mekanisme pengendapan juga mempunyai peranan yang penting karena
berhubungan dengan proses transportasi yang terjadi. Mekanisme
pengendapan darat yang terjadi meliputi :
1. Sediment gravity flow
Kadar air / fluida sedikit, jadi material padat lebih berperan, meliputi :
- liquified sediment flows
- grain flows
- debris flows
- slump
2. Traction flow
Pada mekanisme ini kadar air yang berpengaruh tinggi, fluida lebih
berperan daripada material padat. Pada traction flow, material sedimen
bersinggungan dengan dasar sungai / cekungan. Meliputi :
- sliding
- rolling
- saltation
3. Suspension flow
Material sedimen berukuran halus bercampur dengan air membentuk
suspensi. Sedimen mengendap secara perlahan-lahan oleh pengaruh gaya
gravitasi. Suspension flow terjadi pada daerah dengan arus yang tenang,
misal : danau
III. Kegunaan Stratigrafi Rekaman
Kegunaan rekaman stratigrafi untuk analisis geologi suatu daerah
adalah :
1. Mengekspresikan fasies pengendapan
Fasies adalah seluruh aspek dari suatu bagian permukaan bumi sepanjang
interval yang pasti dari waktu geologi (Teichert, 1958 dalam facies
models Walker, 1984). Pendapat lain mengatakan fasies adalah jangka
waktu yang mengandung jumlah total dari aspek-aspek litologi dan
paleontologi pada sebuah unit stratigrafi (Gressly, 1838 dalam facies
models Walker, 1984).
Analisa fasies pengendapan diperoleh dari observasi geometri, litologi,
fosil dan struktur sedimen yang dapat memberikan informasi tentang
paleocurrent. Setelah itu dilakukan interpretasi tentang lingkungan
pengendapan dan paleogeografi. Dari interpretasi kedua hal tersebut
dapat menunjukan suatu fasies model. Sehingga dapat ditarik kesimpulan
tentang lokasi, geometri dan aspek ekonomi.
Fasies pengendapan yang didapatkan dari rekaman stratigrafi, antara lain
fasies (Walker, 1984) :
1. glasial
2. volkaniklastik
3. alluvial
4. fluvial
5. eolian
6. deltas
7. g. barrier island
8. shelf dan shallow marine
9. i. turbidite
10.trace fossil
11.karbonat
12.terumbu
13.evaporit
2. Menunjukkan non depositional surface, ketidakselarasan atau bidang
erosi
Kebanyakan lapisan – lapisan di permukaan menunjukkan waktu jeda
yang sebentar. Jika waktu jedanya lama, maka disebut dengan
unconformity. Hiatus merupakan waktu jeda yang hadir pada bidang
unconformity. Terminologinya adalah indikasi adanya sesuatu yang
hilang. Semua unconformity dan hiatus mempunyai minimum time gap
pada beberapa cekungan. Umur dari minimum time gap ini menunjukkan
umur yang tepat / cocok dari unconformity (Blackwelder, 1910).
Sedimen di antara bidang discontinous tidak selalu ada di setiap tempat
pada kisaran waktu yang sama, tetapi dapat membatasi antara umur
dengan bidang ketidakmenerusan.
3. Menggambarkan rock cycle
Proses ini merupakan proses di mana beragam variasi dari sedimen
terendapkan dalam sekuen umum yang berulang. Gambaran rock cycle
ini kemudian berhubungan dengan lingkungan pengendapan serta arus
pengendapan.
4. Menunjukkan suatu
lingkungan pengendapan
Lingkungan pengendapan merupakan suatu tempat di muka bumi yang
berupa cekungan yang dapat digunakan sebagai tempat teronggoknya
material – material sedimen yang dipengaruhi oleh kondisi fisik, kimia,
biologi.
5. Menunjukkan adanya perubahan lingkungan pengendapan
Ada 2 hal yang berperan utama terhadap keadaan ini, yaitu accomodation
space (ruang akomodasi) dan suplai sedimen. Adapun ruang akomodasi
ini dapat terpengaruhi oleh tektonik dan perubahan muka air laut. Adanya
kenaikan muka air laut terhadap daratan, sedimen akan diendapkan jauh
ke arah daratan. Pola ini disebut Coastal onlap. Kenampakan secara
vertikal, disebut coastal aggradation, merupakan jumlah kenaikan
relatifnya. Mengesampingkan faktor dari pengaruh yang lain. Dengan
kata lain sea level stand.
Bila pada rekaman stratigrafi memperlihatkan kenampakan coarsening
upward, maka diinterpretasi telah terjadi regresi, yaitu endapan yang
terbentuk relatif ke arah laut. Dengan kata lain , disebut juga progradasi.
Bila pada rekaman stratigrafi memperlihatkan kenampakan fining
upward, maka diinterpretasi telah terjadi transgresi, yaitu endapan yang
terbentuk relatif ke arah darat. Dengan kata lain, disebut juga
retrogradasi.
III. Kesimpulan
Stratigrafi rekaman adalah bagian dari disiplin ilmu geologi yang
termasuk dalam cabang geologi sejarah.
Rekaman Stratigrafi merupakan suatu data, tampilan dari urutan-
urutan lapisan yang berisikan informasi mengenai litologi batuan,
struktur sedimen, tekstur, fosil-fosil yang terkandung, fasies
pengendapan, ulangan batuan dan kontak antar tiap lapisan batuan
yang dapat menceritakan sejarah geologinya.
Rekaman stratigrafi sangat berguna dalam analisa geologi suatu
daerah, yang antara lain untuk :
- Mengekspresikan fasies pengendapan
- Menunjukkan non depositional surface, ketidakselarasan atau
bidang erosi
- Menggambarkan rock cycle
- Menunjukkan suatu lingkungan pengendapan
- Menunjukkan adanya perubahan lingkungan pengendapan
Fasies pengendapan yang didapatkan dari rekaman stratigrafi,
antara lain fasies (Walker,1984) glasial; volkaniklastik; alluvial;
fluvial eolian; deltas; barrier island; shelf dan shallow marine;
turbidite; trace fossil; karbonat; terumbu;evaporit.
Secara umum lingkungan pengendapan terbagi menjadi 3 tempat,
yaitu lingkungan pengendapan transisi; lingkungan pengendapan
laut; lingkungan pengendapan darat.
Perubahan lingkungan pengendapan meliputi transgresi
(increasing accomodation space) yang sebanding dengan
retrogradasi dan regresi (decreasing accomodation space) yang
sebanding dengan progradasi.
Comments : Leave a Comment »
Categories : Artikel Geologi
Stratigrafi #2
6 05 2010
Formasi dan Setting Tektoniknya.
1. 1. Apa yang disebut dengan formasi ?
2. 2. Bagaimana formasi ditentukan ?
3. 3. Bagaimana kaitannya dengan locality type ?
4. 4. Cari informasi mengenai nama formasi yang berbeda tapi
identik dalam umur/karakter/…… !!
5. 5. Bagaimana parameter yang dipakai, yang membedakan
namanya ?
6. 6. Mengapa batas formasi dan batas umur dibedakan ?
7. 7. Mengapa nama formasi yang berbeda namun sama dalam hal
karakter dapat dihubungkan berdasarkan setting tektoniknya ?
Yang disebut dengan Formasi adalah satuan dasar dalam pembagian
satuan litostratigrafi (Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996). Sedangkan
dalam buku berjudul : Principles Of Sedimentology And Stratigraphy
(Sam Boggs, 1987), formasi didefinisikan sebagai suatu tubuh batuan
yang dapat dikenali/diidentifikasi melalui karakter dan posisi
stratigrafinya, lazimnya, tapi tidak selalu, tubuh batuannya berbentuk
tabular, dan dapat dipetakan pada permukaan bumi dan dapat dilacak
keberadaannya di permukaan. Formasi dapat terdiri atas satu tipe batuan,
perulangan dari dua atau lebih tipe batuan, atau berupa percampuran
beberapa jenis batuan yang sangat heterogen.
Urutan tingkat satuan litostratigrafi resmi, masing-masing dari besar
sampai kecil ialah : Kelompok, formasi dan anggota.
Beberapa penjelasan mengenai penentuan formasi :
Formasi harus memiliki keseragaman atau ciri-ciri litologi yang
nyata, baik terdiri dari satu macam jenis batuan, perulangan dari
dua jenis batuan atau lebih
Formasi dapat tersingkap dipermukaan, berkelanjutan ke bawah
permukaan atau seluruhnya di bawah permukaan
Formasi haruslah mempunyai nilai stratigrafi yang meliputi daerah
cukup luas dan lazimnya dapat dipetakan pada skala 1 : 25.000
Tebal suatu formasi berkisar antara kurang dari satu meter sampai
beberapa ribu meter : oleh karena itu ketebalan bukanlah suatu
syarat pembatasan formasi
Suatu lokasi tipe merupakan letak geografi suatu stratotipe atau tempat
mula-mula ditentukannya satuan stratigrafi. Type locality ini
berhubungan erat dalam penentuan nama formasi, artinya letak geografis
atau nama daerah dimana singkapan (batuan) ditemukan dapat menjadi
dasar utama dalam penamaan formasi yang dapat dibedakan dengan
keterdapatan singkapan (batuan) lain pada lokasi yang lain. Misalnya :
Formasi Nanggulan yang berumur Eosen, mempunyai type locality dan
sebaran geografis di desa Kalisongo dekat Nanggulan, sekitar 20 km
sebelah barat Jogjakarta. Maksudnya bahwa singkapan (batuan) yang
mewakili formasi Nanggulan secara spesifik dapat kita temukan di desa
Kalisongo.
Untuk contoh, dapat diambil dari beberapa formasi yang terdapat di
Cekungan Sumatra Utara dan dibandingkan dengan formasi yang
terdapat di Jawa Timur Utara (lihat tabel korelasi stratigrafi Cekungan
Sumatra Utara-Jawa Timur Utara). Misalnya Formasi Baong yang
terdapat di Cekungan Sumatra Utara, formasi ini tersusun oleh batupasir
dan batulempung yang diendapkan dibawahnya, dari tabel dapat dilihat
bahwa formasi ini berumur Miosen Tengah-Atas. Padanan dari formasi
ini adalah Formasi Ngrayong pada Jawa Timur Utara yang juga tersusun
oleh batupasir dan batulempung, formasi ini juga mempunyai umur
Miosen Tengah-Atas. Kedua formasi ini memiliki susunan litologi dan
umur batuan yang identik, tetapi berbeda dalam penamaan. Perbedaan
nama kedua formasi ini hanya didasarkan pada lokasi dimana formasi
tersebut ditemukan, atau dengan kata lain hanya dibedakan berdasarkan
tempat dan tipe cekungan.
Hubungan dengan setting tektonik
Kesamaan dalam umur dan karakter batuan pada kedua formasi ini dapat
dihubungkan dengan setting tektonik yang bekerja pada kedua cekungan
tersebut. Secara Regional Indonesia, merupakan zona penunjaman antara
lempeng kontinen Eurasia dengan lempeng Samudera Hindia, sehingga
secara tektonik kedua cekungan ini merupakan back arc basin,
sedangkan berdasarkan teori geosinklin maka kedua cekungan ini
merupakan miogeosinklin yang merupakan zona yang dekat dengan
craton dan bebas aktivitas vulkanik. Krumblein & Sloss (1963)
menyatakan bahwa miogeosinklin adalah daerah tidak aktif dan tidak
terdapat gunung api. Indikasi lain yang mendukung bahwa kedua
cekungan ini merupakan miogeosinklin adalah terdapatnya batupasir
yang bagus sebagai reservoar, karena mengalami preservasi yang baik
Barlian Yulianto dan Laksmi Sriwahyuni dalam makalahnya
(Proceedings Diskusi Ilmiah VII, Lemigas, 1995) mengatakan bahwa
Cekungan Sumatra Utara dan Jawa Timur Utara dapat dikelompokkan ke
dalam sistem cekungan busur-belakang Sumatera – Jawa, yang dibatasi
sebelah barat atau selatannya oleh busur magmatik berumur Kuarter dan
paparan Sunda di sebelah Utara.
Batas formasi dan batas umur dibedakan karena batas umur ditentukan
oleh keterdapatan fosil pada batuan, sehingga dapat saja pada satu
formasi terdapat 2 macam fosil atau lebih yang berbeda sehingga harus
dibedakan batasnya, untuk peraturan batas ini nantinya berhubungan
dengan geokronologi. Selain itu penentuan batas umur juga ditentukan
dengan cara menghitung waktu peluruhan dari unsur radioaktif yang
terkandung dalam batuan.
Contoh nama formasi yang berbeda
tapi identik dalam karakter/umur
batuan serta hubungan dengan
setting tektoniknya
Comments : Leave a Comment »
Categories : Artikel Geologi
Stratigrafi #1
6 05 2010
PETROLOGI BATUPASIR
dan
TEKTONIK SEDIMENTASI
Pengertian Batupasir
Batupasir adalah salah satu jenis material atau batuan sedimen klastik
yang secara dominan tersusun atas material yang berukuran pasir (1/16 –
2 mm; Pettijohn, 1987). Menurut Picard, 1971 dalam Sam Boggs, 1992,
dikatakan batupasir, bila batuan tersebut sedikitnya mengandung 75 %
material berukuran pasir sedangkan sisanya berupa material berukuran
lempung atau lanau atau campuran keduanya.
Pengenalan terhadap sifat fisik batupasir akan mempermudah dalam
menginterpretasi bagaimana tektonik sedimentasinya. Sifat fisik utama
dalam batupasir adalah komposisi mineral, tekstur dan struktur.
Komposisi mineral dalam batupasir berpengaruh terhadap penamaan
batupasir yang selanjutnya digunakan untuk menginterpretasi provenance
dan tektonik sedimentasinya. Komposisi yang menyusun batupasir cukup
bervariasi, namun hanya mineral-mineral tertentu saja yang umum dan
banyak dijumpai pada batupasir yaitu mineral kuarsa, feldspar dan
fragmen batuan. Kelimpahannya dalam batupasir akan tergantung pada
ketiga faktor utama, yaitu satu pada faktor ketersediaan suatu mineral
dalam batuan asalnya, yang kedua pada ketahanan mineral terhadap
proses mekanik, dan yang ketiga pada ketahanan mineral terhadap proses
kimia.
Komposisi batupasir menurut Dickinson & Suczek, 1979 dipengaruhi
oleh karakteristik lingkungan asal sedimentasi, proses-proses sedimentasi
yang berlangsung secara alami dalam cekungan pengendapan dan proses-
proses yang berlangsung dari provenance menuju basin. Hubungan
provenance dan basin ditentukan oleh plate tektonic yang akan
mengontrol penyebaran tipe batupasir yang berbeda.
Petrologi Batupasir dan Tektonik Sedimentasi
Hubungan antara komponen batupasir dengan provenance dan tektonik
sedimentasi dapat dilihat pada diagram triangular yang dibuat oleh
Dickinson & Suczek, 1979. Dickinson & Suczek membagi provenance
batupasir kedalam tiga kelompok utama, yaitu continental block,
magmatic arc, dan recycled orogen. Setiap provenance dibagi menjadi
subprovenance yang dibedakan berdasarkan asal detritus yang dihasilkan
serta cekungan tempat detritus diendapkan. Ketiga provenance itu adalah
:
1. Continental Block
Lingkungan ini menghasilkan detritus yang berasal dari daerah non
orogenic atau dari craton yang stabil dan dari daerah yang mengalami
pengangkatan secara lokal, umumnya basement yang tersesarkan.
Continental block ini dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu craton
interior dan uplifted basement yang masing-masing mencirikan batupasir
yang berbeda-beda.
Secara umum batupasir yang dihasilkan pada continental block ini adalah
jenis batupasir kuarsa (quartz arenit). Adanya fragmen batuan pada
daerah ini dapat mencerminkan bahwa basement batuan bukan saja dari
granit/gneiss tetapi mungkin juga dari batuan metamorf.
1. Craton interior
Batupasir pada daerah ini berasal dari shield yang terekspos dan hasil
siklus ulang (recycled) dari pergantian plateform yang terakumulasi ke
plateform itu sendiri disepanjang batas kontinental yang terangkat pada
shelf atau slope. Material craton yang stabil berasal dari basement
gneiss/granite yang tersingkap (mineral kuarsa dan potasium feldspar
cukup melimpah dibandingkan fledspar plagioklas). Karena relief pada
craton relatif landai sehingga proses sedimentasi (transportasi dan abrasi)
ditempat itu menuju cekungan pengendapan berlangsung relatif lama,
sehingga memungkinkan terjadinya seleksi komposisi butiran.
Pada kondisi ini hanya material yang resisten yang banyak hadir pada
tempat pengendapan terakhir, misalnya kuarsa. Akibat abrasi yang relatif
lama dihasilkan kuarsa dengan butiran yang memiliki sortasi baik,
ukuran butir relatif seragam, rounded, serta kandungan lempung sedikit.
Sementara itu feldspar dijumpai lebih sedikit dibandingkan kuarsa.
Dengan kata lain batupasir pada daerah ini memiliki tingkat maturity dari
mature – supermature.
1. Uplift basement
Pada daerah ini batupasir yang dihasilkan berasal dari kontinental
basement rock yang tersesarkan, terangkat, tererosi dan terakumulasi
dekat cekungan. Dimana proses transportasi ditempat itu tidak intensif.
Karena adanya pengakatan basement dihasilkan relief yang cukup tinggi
sehingga proses transportasi dan abrasi berlangsung lebih cepat dari
cratonic interior, maka proses pemilahan kurang berlangsung dengan
baik, oleh sebab itu feldspar dan kuarsa dapat dijumpai dalam jumlah
yang sama dan bercampur dengan fragmen batuan dengan butiran tidak
membulat baik, sortasi jelek, dijumpai matrik dari pelapukan feldspar.
Batupasir pada daerah ini mempunyai tingkat maturity dari submature –
mature.
Continental block provenance
1. Magmatic Arc
Daerah ini berasosiasi dengan zona tumbukan. Detritus yang dihasilkan
berasal dari arc orogen yang terserosi membentuk tipe batupasir volkanik
yang kaya lithik dan menghasilkan banyak detritus feldspar/kuarsa yang
berasal dari plutonik. Di beberapa tempat detritus-detritus dari magmatic
arc ini bercampur pada daerah forearc basin dengan debris dari komplek
subduksi.
Penyebaran sedimen dari magmatic arc
1. Recycled Orogen
Batuan sumber merupakan daratan yang terangkat akibat pensesaran dan
perlipatan lapisan sedimen/metasedimen yang telah mengalami siklus
ulang. Daerah ini berasosiasi dengan zona lempeng konvergen yang
mengasilkan tektonik aktif yaitu collision dan subduction. Recycled
orogen dibagi menjadi tiga bagian utama, yaitu subduction compleks,
collision orogen, dan foreland uplift.
1. Subduction compleks
Subduction compleks tersusun dari ophiolit yang terubah dan material
oceanic lainnya membentuk struktur yang tinggi sepanjang trench-slope
break, chert melimpah bersama-sama dengan butiran kuarsa dan feldspar.
Struktur yang tinggi ini muncul sebagai sumber sediment arc yang
menghasilkan batuan bervariasi dari greenschist, chert, argilit,
graywacke, dan beberapa batugamping. Sedimen yang berasal dari
sturktur yang tinggi ini kemudian terangkut menuju forearc basin atau ke
dalam palung yang nantinya akan tergabung ke dalam komplek subduksi.
Batupasir yang mungkin dihasilkan adalah jenis subarkose.
1. Collision orogen
Orogen ini terbentuk akibat tumbukan kerak benua dengan kerak benua
yang dicirikan oleh fragmen batuan sedimen dan metasedimen. Batupasir
yang terbentuk tersusun dari batuan intermediet, perbandingan kuarsa
dengan feldspar cukup tinggi, lithik fragmen dari sedimen dan
metasedimen melimpah. Beberapa jenis batupasir kuarsa menunjukkan
debris craton yang mengalami siklus ulang. Batupasir dengan kandungan
feldspar tinggi kemungkinan berasal dari terranes batuan beku yang
terangkat (terranes uplift). Batupasir dengan kandungan chert yang tinggi
mungkin berasal dari melange terranes.
Recycled orogen provenance
1. Foreland uplift
Foreland fault – thrust belt membentuk highland dimana sedimen
langsung berbatasan dengan foreland basin. Pasir yang ada dicirikan oleh
asosiasi kuarsa, chert, fragmen batuan sedimen yang diendapkan di
foreland basin. Beberapa batupasir di foreland basin mengandung
butiran detritus karbonat yang cukup tinggi hasil dari dolostone atau
batugamping yang tersingkap.
Contoh Kasus
Salah satu contoh kasus yang akan dibahas mengenai komposisi
batupasir dan hubungannya dengan provenance dan tektonic setting
adalah Batupasir Nias. Batupasir Nias menunjukkan indikasi asal hasil
siklus ulang tektonik daratan dari asal busur magmatik. Secara petrologi
maupun tektonik, geologi Pulau Nias dapat menerangkan kondisi geologi
daerah subduksi. Di Pulau Nias sendiri zona subduksi adalah berupa
prisma akresi yang tersingkap diatas permukaan laut dan berlokasi pada
posisi outer arc ridge (trench slope break) dari sistem arc sunda.
Singkapan di Nias menampakan perselang-selingan slab-slab dan
endapan slope basin. Urutan startigrafi satuan ini unik, lapisan diatas
lebih tua daripada lapisan dibawahnya. Fenomena ini terjadi secara
normal oleh tektonik subduksi, bukan karena lipatan membalik atau
overturned. Selain itu, tersingkap pula satuan batuan khas melange,
sehingga dengan melihat Nias bed bias terlihat bentuk prisma akresi
secara lengkap.
Pulau Nias dari waktu ke waktu mengalami pengangkatan. Hal ini terjadi
karena adanya desakan lempeng samudera. Slab prisma akresi yang
terbentuk berada dibawah slap yang sudah terbentuk sebelumnya,
sehingga diperoleh urutan stratigrafi yang semakin muda ke arah bawah.
Selama pengangkatan, terjadi pergeseran antar slab membentuk slope
baru. Jaraknya semakin jauh dari garis penunjaman dan semakin besar
ukurannya.
Di sebelah barat sumatera, bukti-bukti zona subduksi itu terlihat di Nias.
Secara stratigrafi, batuan di pulau ini dipisahkan menjadi dua satuan.
Pertama endapan lereng trench (trench slope) yang tersusun oleh
batupasir yang berasal dari siklus ulang tektonik daratan. Kedua endapan
trench (melange tektonic atau batupasir melange) yang disusun oleh blok-
blok tektonik yang bercampur dan terjebakdalam matriks dalam ukuran
halus yang tergerus.
Cross section yang menunjukkan hubungan trench dengan arc
pada Sunda Trench sepanjang Pulau Nias hingga Sumatra
Penjelasan
Batupasir pada endapan lereng trench mempunyai sortasi menegah
sampai baik, menunjukan poroitas yang tinggi. Butiran kuarsa dan
feldspar umumnya subangular sampai subrounded. Semen berupa
spary kalsit, dengan kelimpahan semen silika dan phyllosilicate
sedikit. Komposisi terdiri dari butiran karbonat dan fargmen
cangkang, sponge spikule dan radiolaria yang berlaku sebagai
miscellaneous. Butiran quartoze adalah komponen yang utama
pada batupasir slope. Kuarsa polikristalin menyusun kira-kira 6,5
% dari total butiran quartoze. Fragmen sedimen melimpah
sedangkan fragmen metamorf umumnya sedikit. Potasium feldpsar
dominan pada batupasir ini.
Batupasir melange (kompleks oyo) mempunyai sortasi yang jelek,
dengan jumlah butiran ( >0,03 mm) rata-rata 91,5 % dan matriks
semen rata-rata 8,5 %. Butiran kuarsa dan feldspar berbentuk
angular sampai subangular, tetapi ada sejumlah kuarsa berbentuk
subrounded sampai rounded. Fragmen litiknya subangular sampai
subrounded. Matriksnya berupa bahan rombakan yang
terkristalisasi. Antara matriks dan butiran seringkali sulit
dibedakan karena tidak ada perbedaan yang mencolok dalam
ukuran butiran dan karena butiran litik yang terdeformasi.
Batupasir melange mempunyai semen berupa intergrowth antara
serisit dan klorit. Semen silika kadang-kadang hadir tetapi semen
karbonat tidak ada sama sekali.
Comments : 5 Comments »
Categories : Artikel Geologi
Hidrogeologi #2
6 05 2010
Kualitas Airtanah (Pulau Kecil)
Kualitas airtanah di alam dapat berupa airtanah dangkal dan airtanah
dalam (Rozi, 1995). Airtanah dangkal berada pada kedalaman di bawah
20 meter, sumber inilah yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat
sebagai sumber air bersih.
Kualitas airtanah dangkal menurut Rozi (1995) sangat dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan disekitarnya, antara lain :
1. Bila jarak antara sumur dan septik tank kurang dari 10 meter untuk
tanah biasa dan 15 meter untuk tanah porous atau gembur.
2. Bila lokasi sumur tersebut sebelumnya merupakan lokasi sumber
limbah rumah tangga, dekat pembuangan limbah industri atau
bekas lokasi sampah (TPA).
3. Masuknya atau merembesnya air permukaan yang telah tercemar
kedalam sumur.
4. Masuknya debu atau bahan pencemar lainnya kedalam sumur
terbuka atau yang terbawa pada saat hujan.
Untuk airtanah di pulau kecil yang berbatasan dengan laut, Saefudin
(2000) mengungkapkan bahwa kualitasnya akan dipengaruhi oleh kontak
air tawar dari daratan dengan air asin dari lautan. Indikator yang dapat
dipakai secara cepat terutama dilapangan ialah besarnya Daya Hantar
Listrik (DHL) dimana pengukuran dilakukan secara ”insitu”
menggunakan alat portable EC meter. Makin tawar air makin sedikit ion
yang terlarut, sehingga makin rendah kualitas air dari segi estetika, yaitu
rasa asin.
Komite bersama antara LIPI, DPMA, GTL dan Departemen PU membuat
panitia Ad Hoc Intrusi Air Asin (Sihwanto, 1990 dalam Saefudin, 2000)
telah berhasil membuat kriteria air berdasarkan DHL, kandungan Cl-, dan
TDS sebagai berikut :
Tabel 1. Klasifikasi tingkat keasinan airtanah (Sihwanto, 1990 dalam
Saefudin, 2000).
Kualitas TDS (mg/l) DHL (mmho/cm) Cl- (mg/l)
Tawar < 1000 < 1500 < 500
Agak Payau > 1000 – < 3000 > 1500 – <5000 > 500 – < 2000
Payau > 3000 – <10000 > 5000 – < 15000 > 2000 – < 5000
Asin > 10000 – < 35000 > 15000 – < 50000 > 5000 – < 19000
Brine > 35000 > 50000 > 19000
Tabel 2. Klasifikasi air berdasarkan DHL (Mandel, 1981 dalam
Syahwan, 2007)
DHL (mmho/cm) pada Suhu 250 C Macam Air
< 0,5 Air murni
0,5 – 5 Air suling
5 – 30 Air hujan
30 – 2000 Airtanah
35000 – 45000 Air laut
> 100000 Air garam
Tabel 3. Klasifikasi air berdasarkan jumlah garam terlarut (Davis dan
De wiest dalam Syahwan, 2007)
DHL (mmho/cm) pada Suhu 250 C Macam Air
< 0,5 Air murni
0,5 – 5 Air suling
5 – 30 Air hujan
30 – 2000 Airtanah
35000 – 45000 Air laut
> 100000 Air garam
Menurut Saefudin (2000), karena letaknya yang sebagian besar
berbatasan dengan laut, maka keadaan airtanah di pulau kecil akan
tergantung kepada kondisi air tawar di darat berupa aliran airtanah serta
besarnya gradien hidrolik dan tekanan air asin dari laut yang berkaitan
dengan pasang-surut. Masih menurut Saefudin (2000), ada dua fenomena
yang berpengaruh terhadap penurunan kualitas airtanah di pulau kecil
yaitu terjadinya penyusupan air laut (salt water intrusion), dan gangguan
air laut (salt water encroachment).
Menurut Fetter (1994) dalam Saefudin (2000), sumber air asin yang
dapat menyusup kedalam airtawar atau terjadinya air asin di daerah
pantai bisa berupa air tertekan yang sudah ada sejak jaman purba
(connate water), air di batas pertemuan air laut dan tawar (mixing zone),
air permukaan dari laut yang menyusup melalui sungai atau saluran air
sampai jauh ke arah darat saat pasang naik airlaut, atau air asin bawah
permukaan di bawah air tawar (sub-surface salt water).
Fetter (1994) dalam Saefudin (2000) juga menyebutkan bahwa kualitas
airtanah di pulau kecil akhirnya akan tergantung kepada kekuatannya
apakah akan terjadi pencucian air asin oleh air tawar (flushing) sehingga
kualitasnya menjadi lebih baik ataukah sebaliknya terjadi penyusupan air
asin ke dalam air tawar ke arah daratan sehingga kualitas airtanahnya
menjadi lebih buruk.
Adanya pengaruh air asin terhadap air tawar, selain dapat dilihat dari
nilai DHL, bisa juga secara lebih rinci dilihat dari kandungan ion – ion
utama dalam air. Secara umum air tawar termasuk tipe Ca-HCO3 yang
intinya mempunyai ion dominan kalsium dan bikarbonat, sedangkan air
laut mempunyai tipe Na-Cl artinya didominasi oleh ion natrium dan
klorida. Diantara kedua tipe tadi bisa terdapat tipe Ca-Cl atau Na-HCO3,
disamping tipe lain yang dipengaruhi oleh kejadian setempat misalnya
adanya sulfat di daerah bekas rawa. Karena proses pertukaran ion,
apabila terjadi pencucian air asin oleh air tawar maka akan muncul air
dengan tipe Na-HCO3, sebaliknya apabila terjadi gangguan atau
penyusupan air laut akan terjadi tipe Ca-Cl (Appello, 1991 dalam dalam
Saefudin, 2000).
Sumberdaya airtanah di pulau kecil dapat mengalami pencucian
(flushing) oleh air tawar sebagai imbuhan dari arah daratan sehingga
kualitasnya menjadi semakin baik, atau sebaliknya mengalami penurunan
kualitas sebagai akibat intrusi oleh air laut (Anonim, 1997 dalam
Saefudin, 2000).
Menurut Falkland (1990) pengelolaan kualitas air di pulau kecil memiliki
kealamian yang terfokus dalam area dekat pantai seperti muara, teluk,
dan lagoon. Area ini memiliki populasi tinggi dan ekologi yang sensitif.
Penggangguan airlaut merupakan masalah serius dan paling utama untuk
mutu/kualitas airtanah di pulau kecil. Tidak dapat dipungkiri bahwasanya
pulau kecil sebagian besar wilayahnya merupakan wilayah pesisir.
Selain penggangguan dari airlaut, penggangguan lain dapat berasal dari
polusi sumur – sumur dan sungai – sungai yang ada. Polusi ini
disebabkan karena tidak terkontrolnya penggunaan pupuk herbisida, dan
pestisida. Hal ini terutama sekali mudah terjadi pada wilayah formasi
batukarang.
Masih menurut Falkland (1990) pulau kecil pada daerah tropis atau
lembab disaat hujan lebat dikombinasikan dengan faktor lokal seperti
topografi yang curam, saluran air sungai yang pendek, penebangan hutan,
dan tanah yang mudah terkikis akan mengakibatkan pengendapan pada
tempat penyimpanan air (water storages) sehingga kapasitas atau daya
tampungnya berkurang.
Oleh karena itu untuk pemenuhan kebutuhan akan air di pulau kecil
dengan kualitas yang cukup baik, diperlukan pengembangan sumber daya
air tidak konvensional seperti desalinisasi air laut, atau impor air dengan
tongkang dan tangki/tank mencukupi permintaan untuk air.
Comments : Leave a Comment »
Categories : Artikel Geologi
Hidrogeologi #1
6 05 2010
Cekungan Airtanah Yogyakarta
Cekungan airtanah Yogyakarta berada di bagian selatan lereng
Gunungapi Merapi yang dibatasi oleh dua sungai utama yaitu Sungai
Opak di bagian timur dan Sungai Progo di bagian barat. Di bagian selatan
cekungan ini dibatasi oleh Samudera Hindia. Secara morfologis
rangkaian perbukitan Kulon Progo di bagian barat laut dan rangkaian
Perbukitan Baturagung di bagian tenggara juga membatasi cekungan
Yogyakarta. Secara geologis, cekungan Yogyakarta dibatasi oleh sesar
utama yaitu, sesar sepanjang Kali Opak di bagian timur dan sepanjang
Kali Progo di bagian barat. Selain itu, di dalam cekungan Yogyakarta
terdapat juga beberapa sesar turun yang berpasangan, antara lain yang
membentuk Graben Bantul dan Graben Yogyakarta (Sir M. Mac Donald
and Partner, 1984).
Sistem hidrogeologi yang dibentuk oleh Formasi Yogyakarta dan
Formasi Sleman dalam cekungan Yogyakarta membentuk tatanan akuifer
yang disebut Sistem Akuifer Merapi (SAM). SAM secara hidrologis
membentuk satu sistem akuifer, terdiri atas akuifer berlapis banyak
(multilayer aquifer) yang memiliki sifat-sifat hidrolika relatif sama dan
saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya.
Secara umum, air bawah tanah mengalir dari utara ke selatan dengan
landaian hidrolika yang secara bergradrasi semakin kecil. Morfologi air
bawah tanah menyerupai bentuk kerucut dan menyebar secara radial.
Bentuk ini merupakan ciri khas morfologi air bawah tanah daerah
gunungapi. Daerah imbuhan (recharge area) berada di bagian lereng atau
tubuh gunungapi. Air bawah tanah berasal dari peresapan air hujan dan
secara tidak langsung juga dari peresapan air sungai dan air irigasi di
daerah pertanian. Daerah pelepasan (discharge area) berada mulai sekitar
Saluran Mataram sampai daerah Bantul selatan. Di daerah selatan, air
bawah tanah pada Formasi Sleman memiliki energi potensial yang relatif
besar dan mengalir pada litologi yang memiliki sifat fisik relatif sama
dengan Formasi Yogyakarta sehingga terjadi aliran bawah tanah secara
vertikal dari Formasi Sleman ke Formasi Yogyakarta.
Ketebalan SAM sangat beragam, secara umum ketebalannya bertambah
besar kea rah selatan. Di daerah Graben Yogyakarta, yaitu daerah
Ngaglik, ketebalan SAM mencapai 80 meter, di daerah Bedog dan
Karanggayam sekitar 140 meter, dan di daerah Kota Yogyakarta
mencapai 150 meter. Ketebalan ini berkurang kembali di luar Graben
Yogyakarta yatu sekitar 45 meter di selatan Yogyakarta. Di daerah
Graben Bantul yaitu di sekitar Kota Bantul ketebaln SAM meningkat
kembali menjadi 125 meter.
Litologi utama penyusun Cekungan Yogyakarta adalah Formasi
Yogyakarta di bagian atas dan Formasi Sleman di bagian bawahnya yang
merupakan endapan volkaniklastik dari Gunung Merapi.
Comments : 1 Comment »
Categories : Artikel Geologi
2nd English Sector
2 04 2010
The Most Dangerous Disasters in Indonesia
Introduction
Disaster, bad enough or no is always identical with a serious bad
situation. Disasters are events that threaten and disrupt community life
caused by natural factors or unnatural factors and human factors that lead
to the emergence of the human casualties, environmental damage,
property loss, and psychological impact
(http://en.wikipedia.org/wiki/Disaster). In this case, the disaster meant
here is a natural disaster. A natural disaster is a physical event that occurs
due to natural events like earthquakes, volcanic eruptions and landslides.
Humans can’t manage an emergency situation so that a human loses of
property and infrastructure, even until death. Losses due to natural
disasters depend on the ability of humans to prevent or avoid disasters.
Many natural disasters that occur in Indonesia because the position of
Indonesia is very complex based on the point of view of geologist.
Disasters that occur in Indonesia are something like earthquakes,
tsunamis, volcano eruption, landslide, floods, storms, forest fires, etc.
From various kinds of natural disasters, earthquakes, volcano eruptions,
and landslides are dangerous disasters that often happen in Indonesia.
There are many reasons that earthquake, volcanic eruption, and landslide
are dangerous disasters that often happened in Indonesia.
I. Indonesia Has a Rock Basement That Always Moves Every Year
Earth is made up of several layers of rock. The outermost layer of rock is
the crust. The crust is divided into several sections and then the crust
moves known as plate tectonic movement. Plate tectonics is each plate
move or less independently and grinds against the others, concentrating
most deformation, volcanism, and seismic activity along the periphery
(Parker, 1984). On the other hand, plate tectonics is a scientific theory
which describes the large scale motions of Earth’s lithosphere
(http://en.wikipedia.org/wiki/Plate_tectonic).
Plate tectonic is called a plate because the thickness reaches only about
100 kilometers while the length can reach thousands of kilometers. On
earth there are seven major tectonic plates and several small tectonic
plates. They move relative into each other at plate boundaries, divergent
(spreading), convergent (collision), or transform. Earthquakes, volcanic
activity, mountain formation, and oceanic trench formation generally
occurs in areas along plate boundaries.
A. the Area is Among Three Plate Tectonics
In Indonesia there are also large tectonic plates that cause the rock
basically to move every year. This is because Indonesia becomes an
archipelagic state. Plate tectonics is located along the southern coast of
Sumatra Island, the southern coast of Java Island, the southern coast of
Bali Island, the southern coast of Southeast Nusa Island, and West Papua
Island also the eastern of Sulawesi Island. Tectonic plates that move in
the territory of Indonesia, namely: Eurasian plate, Indo-Australian plate,
and Pacific plate.
- Eurasian plate
The Eurasian Plate is a tectonic plate which includes most of the
continent of Eurasia (a landmass consisting of the traditional continents
of Europe and Asia), with the notable exceptions of the Indian
subcontinent, the Arabian subcontinent, and the area east of the Chersky
Range in East Siberia (http://en.wikipedia.org/wiki/Eurasian_plate)
- Indo-Australian plate
The Indo-Australian Plate is a major tectonic plate that includes the
continent of Australia and surrounding ocean, and extends northwest to
include the Indian subcontinent and adjacent waters
(http://en.wikipedia.org/wiki/Indo-Australian_Plate).
- Pacific plate
The Pacific Plate is an oceanic tectonic plate beneath the Pacific Ocean
(http://en.wikipedia.org/wiki/Pacific_plate). In the other hand, the Pacific
Plate is a continental margin typified by that of the western Pacific where
oceanic lithosphere descends beneath an adjacent continent and produces
an intervening island arc system (Parker, 1984).
B. the Area is on Subduction Zone
Each tectonic plates moves relative to each other to achieve a dynamic
balance. The meeting of tectonic plates is called a subduction zone.
Result from collisions between tectonic plates is an earthquake which is
referred to as tectonic earthquakes. This is the answer to the question of
why earthquakes frequently occur in Indonesia.
In geology, subduction is the process that takes place at convergent
boundaries by which one tectonic plate moves under another tectonic
plate, sinking into the Earth’s mantle, as the plates converge
(http://en.wikipedia.org/wiki/Subduction). According to Parker (1984),
subduction is the process by which one crustal block descends beneath
another, such as the descent of the Pacific plate beneath the Eurasian
plate along the Sumatra Trench. A subduction zone is an area on Earth
where two tectonic plates move towards one another and subduction
occurs (http://en.wikipedia.org/wiki/Subduction). Still according to
wikipedia.com, rates of subduction are typically measured in centimeters
per year, with the average rate of convergence being approximately 2 to 8
centimeters per year (about the rate a fingernail grows).
II. Indonesia Has a Volcanic Arc from West until East
In the territory of Indonesia there are many volcanoes ranging from Aceh
on the Sumatra Island to the west of the Papua Island. This is known as
volcanic arc. This is the reason that volcanic eruptions are dangerous
disasters that often happened in Indonesia.
A. Melting of Rock Basement Because of Subduction Process
Many volcanoes in Indonesia are due to subduction processes that occur
in the basement rocks of Indonesian territory. Because the subduction
process is thaw the bedrock so that the molten rock rose into the surface
and form volcano morphology on the surface of the earth. This is
evidenced by the formation of a volcanic arc relatively parallel to the
subduction zone.
B. Magmatic Activity
Magmatic activity is the movement of magma within the bowels of the
earth because of pressure differences and temperature differences.
As a result of magma movement is could be an earthquake and it called
volcanic earthquakes. Then if the movement of magma is very large and
able to reach the surface there will be a volcanic eruption. Magmatic
activity is caused by two main things, namely:
- Pressure difference
- Temperature difference
Conclusion
Natural disasters are a natural phenomenon that cannot be avoided. These
phenomena occur in almost any area. Wherever we live, natural disasters
will always be around us because we live in nature. Natural disasters are
caused by natural disasters on our control or natural disasters beyond our
control. Natural disasters may be the changes the earth’s surface, climate
change, and various natural phenomena that can lead to other natural
disasters. Indonesia is a large country with large natural disasters and
non-natural disasters. Either volcanic earthquakes or tectonic
earthquakes, landslides or scientifically called mass movements, and
volcanic eruptions is natural disasters of the greatest and most often
occur in Indonesia and we really need to aware of it.
Comments : Leave a Comment »
Categories : Artikel Geologi
Geologi Struktur Indonesia
29 03 2010
Evolusi Morfotektonik Zona Rembang
BAB I. STRATIGRAFI
Mandala Rembang termasuk dalam cekungan Jawa Timur utara. Secara
historis penggunaan nama-nama satuan stratigrafis pada zona ini semula
hanya digunakan secara terbatas, tak terpublikasikan, pada dilingkungan
perusahaan minyak Belanda BPM (Batafsche Petroleum Maatschapij),
yaitu pendahulu perusahaan Shell, yang dulu memegang konsesi daerah
Cepu. Nama-nama formasi secara resmi baru mulai digunakan oleh Van
Bemmelen (1949) dan Stratigraphic Lexicon of Indonesia oleh Marks
(1957). Harsono (1983) melakukan perubahan dari nama-nama tak resmi
seperti globigerina marl atau Orbitoiden-Kalk dengan memberikan nama
yang baru, menetapkan lokasi tipe, sesuai dengan Sandi Stratigrafi
Indonesia. Penentuan umur secara teliti dari setiap formasi dengan
menggunakan pertolongan fosil foraminifera plangtonik telah dilakukan
oleh Harsono (1983).
Zona rembang dimulai dari ujung barat perbukitan di selatan Demak,
memanjang ke arah timur dan timur laut memasuki wilayah Jawa Timur,
memanjang melewati Pulau Madura, terus ke arah timur hingga ke Pulau
Kangean. Arah memanjang perbukitan tersebut mengikuti sumbu-sumbu
lipatan, yang pada umumnya berarah barat-timur. Di beberapa tempat
sumbu-sumbu ini mengikuti pola en echelon yang menandakan adanya
sesar geser lateral kiri (left lateral wrenching faulting).
Bagian utara dari antiklinorium rembang yang mengandung formasi
batuan berumur miosen awal, telah mengalami pengangkatan dan erosi.
Suatu kelompok antiklin yang terdapat di bagian selatan dikenal sebagai
zona rembang tengah dan selatan, juga sering disebut sebagai Cepu
Trend. Batuan tertua yang tersingkap di bagian ini berumur miosen akhir,
yang kebanyakan mengandung minyak. Batuan yang berfungsi sebagai
reservoar hidrokarbon yang utama di daerah rembang adalah batupasir
ngrayong (miosen tengah) sedangkan penyumbat atau (seal)nya adalah
batulempung wonocolo yang berumur miosen akhir.
Pada zona rembang bagian utara terdapat 2 gunung api pleistosen, yaitu
Gunung Muria dan Lasem. Gunung api yang telah padam ini mempunyai
komposisi batuan yang lain apabila dibandingkan dengan gunung api
yang lain. Komposisinya bukan andesit tetapi berupa batuan beku yang
kaya akan leucite (feldspatoid), mirip dengan batuan yang tergolong pada
kelompok gunung api mediteranian suite, seperti yang dijumpai di
Atlantika.
Zona Rembang terbentang sejajar dengan zona Kendeng dan dipisahkan
oleh depresi Randublatung, suatu dataran tinggi terdiri dari antiklinorium
yang berarah barat-timur sebagai hasil gejala tektonik Tersier Akhir
membentuk perbukitan dengan elevasi yang tidak begitu tinggi, rata-rata
kurang dari 500 m. Beberapa antiklin tersebut merupakan pegunungan
antiklin yang muda dan belum mengalami erosi lanjut dan nampak
sebagai punggungan bukit. Zona Rembang merupakan zona patahan
antara paparan karbonat di utara (Laut Jawa) dengan cekungan yang
lebih dalam di selatan (cekungan Kendeng). Litologi penyusunnya
campuran antara karbonat laut dangkal dengan klastika, serta lempung
dan napal laut dalam.
Stratigrafi Zona Rembang tersusun atas Formasi Ngimbang, F. Kujung,
F. Prupuh, F. Tuban, F. Tawun, F. Ngrayong, F. Bulu, F. Wonocolo, F.
Ledok, F. Mundu, F. Selorejo, dan F. Lidah.
Formasi Kujung
Tersusun oleh serpih dengan sisipan lempung dan secara setempat berupa
batugamping baik klastik maupun terumbu. Diendapkan pada lingkungan
laut dalam sampai dangkal pada kala Oligosen Akhir sampai Miosen
Awal.
Formasi Tuban
Tersusun oleh lapisan batulempung dengan sisipan batugamping.
Semakin ke selatan berubah menjadi fasies serpih dan batulempung
(Soejono, 1981, dalam Panduan Fieldtrip GMB 2006). Diendapkan pada
lingkungan neritik sedang-neritik dalam.
Formasi Tawun
Tersusun oleh serpih lanauan dengan sisipan batugamping. Pada bagian
atas formasi ini didominasi oleh batupasir yang terkadang lempungan dan
secara setempat terdapat batugamping. Satuan di bagian atas ini sering
disebut sebagai Anggota Ngrayong. Diendapkan pada laut terbuka agak
dalam sampai laut dangkal di bagian atas pada Miosen Tengah (N9-N13)
(Rahardjo & Wiyono, 1993, dalam Panduan Fieldtrip GMB 2006).
Formasi Tawun dimasa lalu disebut sebagai Lower Orbitoiden-Kalk
(Lower OK) dan dimasukkan dalam apa yang disebut Rembang beds
(Van Bemmelen, 1949). Selanjutnya Koesoemadinata (1978)
menamakannya sebagai Anggota Tawun dari Formasi Tuban. Pada tahun
1983, Harsono menaikkan status anggota ini menjadi Formasi (tabel
III.1). Menurut Harsono Formasi Tawun ini tersusun oleh perselingan
antara gypsiferous carbonaceous shale dengan struktur gelembur arus,
serta batugamping yang kaya akan foraminifera besar golongan
Orbitoidae seperi Lepidocyclina. Singkapan yang dijumpai merupakan
bagian teratas dari Formasi ini, tersusun oleh batulempung abu-abu
kehijauan dengan sisipan batugamping dan batupasir. Didaerah sekitar
desa Ngampel terdapat singkapan dari Formasi ini setebal 30 m.
Perlapisannya mengandung fosil foraminifera plangtonik yang
menunjukkan umur N 8 (Akhir Miosen Awal) berupa kumpulan spesies :
Globigerinoides diminutus, Pareorbulina transtoria dan Globigerinoides
sicanus. Sedangkan kandungan foraminifera bentoniknya menunjukkan
bahwa Formasi ini diendapkan pada kondisi laut sangat dangkal pada
kondisi penguapan yang sangat tinggi. Ke arah atas litologi ini ditumpuki
oleh batupasir merah hingga merah jambu, dengan gejala struktur silang
siur yang menjadi ciri dari batupasir Ngrayong.
Formasi Ngrayong
Anggota ini juga disebut “Upper Orbitoiden-Kalak” oleh Trooster
(1937), Van Bemmelen (1949) menamakan Upper Rembang beds. Nama
batupasir anggota Ngrayong telah diperkenalkan Brouwer (1957), yang
mengajukan tipe local pada desa Ngrayong, Jatirogo, dimana susunan
utamanya batupasir dengan intercalation batubara dan sandy clay.
Harsono (1983), mendeskripsi Ngrayong sebagai anggota formasi
Tawun, terdiri dari orbitoid limestone dan shale dalam bagian bawah dan
batupasir dengan intercalation batugamping dan lignit di bagian atas.
Umur dari unit ini Miosen Tengah, pada area N9-N12. Lingkungan
pengendapan dari anggota ini fluvial atau submarine dalam singkapan di
sebelah utara (Jatirogo, Tawun) dan menjadi lingkungan laut pada bagian
selatan. Di dekat Ngampel sekuen pasir endapan laut yang mendangkal
ke atas dari shore face ke pantai akan terlihat anggota ini mungkin
berhubungan dengan haitus di atas area mulut laut jawa. Anggota ini
merupakan reservoar utama dari lapangan minyak Cepu, tetapi terlihat
adanya shale yang hadir di bagian selatan dan timur dari lapangan ini.
Ketebalan dari unit ini bervarian (lebih dari 300 m).
Formasi Bulu
Semula formasi ini disebut sebagai Platen–Complex oleh Trooster
(1937). Tersusun oleh batugamping pasiran yang keras, berlapis baik,
berwarna putih abu-abu, dengan sisipan napal pasiran. Pada
batugampingnya dijumpai banyak foraminifera yang berukuran sangat
besar dari spesies Cycloclypeus (Katacycloclypeus) annulatus berasosiasi
dengan fragmen koral dan alga serta foramnifera kecil. Harsono (1983)
menggunakan nama Formasi Bulu sebagai nama Resmi, dengan
memasang lokasi tipe di Sungai Besek, dekat desa Bulu, Kabupaten
Rembang. Posisi stratigrafi, umur dan litologinya dapat dilihat pada tabel
III.1.
Pada peta geologi lembar Rembang (1 : 100.000), formasi ini melampar
luas terutama di wilayah antiklonorium Rembang Utara. Satuan ini
menebal ke arah barat, mencapai ketebalan hingga 360 m di sungai
Larangan. Dibagian timur di sungai Besek dekat desa Bulu ketebalannya
hanya 80 meter. Kondisi litologi dan kandungan fosilnya menunjukkan
bahwa Formasi ini diendapkan pada laut dangkal, terbuka pada Kala
Miosen Tengah – Awal Miosen Akhir (N 13 – N 15).
Formasi Wonocolo
Tersusun dari napal kuning-coklat, mengandung glaukonit, terdapat
sisipan kalkarenit dan batulempung. Menurut Purwati (1987, dalam
Panduan Fieldtrip GMB 2006) lingkungan pengendapan formasi ini
adalah neritik dalam hingga bathyal tengah pada Miosen Tengah-Miosen
Atas (N14-N16).
Formasi Wonocolo semula disebut sebagai anggota bawah dari Formasi
Globigerina oleh Trooster (1937). Formasi ini menumpang secara selaras
di atas formasi bulu dan ditumpangi oleh Formasi Ledok. Pada umumnya
tersusun oleh napal dan napal lempungan yang tidak berlapis, kaya akan
kandungan foraminifera plangtonik. Pada bagian bawahnya dijumpai
sisipan batugamping pasiran dan batupasir gampingan dengan ketebalan
bervariasi antara 5–20 cm. Urutan ini menunjukkan bahwa selama
pengendapannya terjadi kondisi transgresif. Marks (1957) dan Harsono
(1983) menyimpulkan bahwa umur dari formasi ini adalah Miosen
Tengah – Miosen Akhir kisaran umur N 14 – N 16. (lihat tabel III.1).
Singkapan dari Formasi Wonocolo dijumpai mulai dari daerah Sukolilo,
barat daya Pati. Ketebalan dari Formasi ini sangat bervariasi. Ke arah
utara formasi ini berubah fasies menjadi batugamping dari Formasi
Paciran. Melimpahnya fauna plangtonik pada batuan penyusun formasi
ini menunjukkan bahwa pengendapannya berlangsung pada laut yang
relatif dalam, wilayah ambang luar hingga batial atas.
Formasi Ledok
Secara selaras di atas Formasi Wonocolo terdapat Formasi Ledok.
Trooster (1937) menganggap satuan ini sebagai anggota dari Formasi
Globigerina, namun para peneliti sesudahnya menganggap berstatus
formasi (Marks, 1957; Harsono, 1983). Formasi Ledok secara umum
tersusun oleh batupasir glaukonitan dengan sisipan kalkarenit yang
berlapis bagus serta batulempung yang berumur Miosen Akhir (N 16–N
17). Posisi stratigrafi, umur dan litologinya dapat dilihat pada tabel III.1.
Ketebalan dari Formasi Ledok ini sangat bervariasi. Pada lokasi tipenya,
yaitu daerah antiklin Ledok, ketebalannya mencapai 230 m. Di daerah
sungai Panowan mencapai 160 m, sedangkan di sungai Cegrok tinggal 50
m. Batupasirnya kaya akan kandungan glaukonit dengan kenampakan
struktur silang siur. Di beberapa tempat batupasir tersebut terutama
tersusun oleh hanya oleh test foraminifera plangtonik dengan sedikit
mineral kuarsa. Secara keseluruhan bagian bawah dari formasi ini
cenderung tersusun oleh batuan yang berbutir lebih halus dari bagian
atas, menunjukkan kecendrungan kondisi pengendapan laut yang
semakin mendangkal (shallowing-upward sequence). Ke arah utara,
seperti halnya Formasi Wonocolo, Formasi Ledok ini juga mengalami
perubahan fasies menjadi batugamping dari formasi Paciran.
Formasi Mundu
Satuan stratigrafi ini semula disebut sebagai Mundu stage oleh Trosster
(1937). Selanjutnya oleh Van Bemmelen (1949) disebut sebagai
Globigerina Marls. Oleh Marks (1957) satuan ini diresmikan sebagai
Formasi. Formasi ini tersusun oleh napal masif berwarna putih abu-abu,
kaya akan fosil foraminifera plangtonik. Secara stratigrafis Formasi
Mundu terletak tidak selaras di atas formasi ledok, penyebarannya luas,
dengan ketebalan 200 m–300 m di daerah antiklin Cepu area, ke arah
selatan menebal menjadi sekitar 700 m. Formasi ini terbentuk antara
Miosen Akhir hingga Pliosen (N 17–N 21), pada lingkungan laut dalam
(bathyial).
Formasi Selorejo
Unit ini pembentukannya disebut Selorejo Beds oleh Trooster, 1937,
yang telah diklasifikasikan sebagai anggota dair Formasi Lidah oleh Udin
Adinegoro (1972) dan Koesoemadinata (1978). Sejak Harsono (1983)
tidak melakukan pengamatan ketidakselarasan antara Formasi Lidah dan
Mundu. Dia memasukkan anggota Selorejo dalam Formasi Mundu. Tipe
lokalnya dari Desa Selorejo dekat Cepu dan terdiri lebih keras dan lebih
lunak antar lapisan, menyisakan kebanyakan glaukonit. Dari foraminifera
dianggap lingkungan laut dalam.
Satuan batuan ini semula oleh Trooster (1937) disebut sebagai Selorejo
beds. Selanjutnya Udin Adinegoro (1972) dan Koesoemadinata (1978)
menyebutnya sebagai anggota dari Formasi Lidah. Harsono (1983)
menyimpulkan bahwa Selorejo ini merupakan anggota dari Formasi
Mundu. Lokasi tipenya terletak di desa Selorejo dekat kota Cepu.
Anggota Selorejo ini tersusun oleh perselingan antara batugamping keras
dan lunak, kaya akan foraminifera palngtonik serta mineral glaukonit.
Penyebaran dari Anggota Selorejo ini tidak terlalu luas, terutama
meliputi daerah sekitar Blora, sebelah utara Cepu (desa Gadu) dan di
selatan Pati. Ketebalannya berkisar antara 0 hingga 100 meter.
Berdasarkan kandungan foraminifera palngtonik, umur dari Anggota
Selorejo adalah Pliosen ( N 21).
Formasi Lidah
Formasi ini terdiri atas batulempung kebiruan, napal berlapis dengan
sisipan batupasir dengan lensa-lensa coquina. Dahulu Trooster (1937)
menyebutnya sebagai Mergetton, yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu
Tambakromo dan Turi–Domas. Harsono (1983) kemudian meresmikan
satuan ini menjadi berstatus formasi, yaitu Formasi Lidah (tabel III.1).
Bagian terbawah dari formasi ini diduga merupakan endapan neritik
tengah hingga neritik luar, yang tercirikan oleh banyaknya fauna
plangtonik tetapi masih mengandung foraminifera bentonik yang
mencirikan air relatif dangkal seperti pseudorotalia sp. dan Asterorotalia
sp. Ke arah atas, terjadi urutan yang mendangkal ke atas (shallowing
upward sequence), yang dicirikan oleh lapisan-lapisan yang kaya akan
moluska.
I.1.7 Formasi Paciran
Satuan ini semula oleh Van Bemmelen (1949) disebut sebagai Karren
Limestone. Secara umum penyusunnya terdiri atas batugamping pejal,
dengan permukaan singkapan-singkapannya mengalami erosi
membentuk apa yang disebut sebagai karren surface. Harsono (1983)
secara resmi menggunakan nama Paciran dan menempatkannya pada
status formasi, dengan lokasi tipenya berada di daerah bukit piramid di
sekitar Paciran, kabupaten Tuban. Formasi ini dijumpai hanya dibagian
utara dari Zona Rembang. Posisi stratigrafi, umur dan litologinya dapat
dilihat pada tabel III.1. Umur dari Formasi ini masih memicu terjadinya
perbedaan. Harsono (1983) menempatkannya pada Kala Pliosen–Awal
Pleistosen, yang secara lateral setara dengan Formasi Mundu dan Lidah.
Namun di beberapa tempat terdapat bukti umur yang menunjukkan
bahwa Formasi Paciran telah berkembang pada saat pembentukan
Formasi Ledok dan Wonocolo.
BAB II STRUKTUR GEOLOGI
Pulau jawa mempunyai dua macam konfigurasi struktur (structural
grains) yang berbeda. Di bagian utara tercirikan oleh kecendrungan
mengikuti arah timur-barat. Pola timurlaut–baratdaya diduga mengikuti
konfigurasi basement. Basement-nya sendiri diduga merupakan bagian
dari kerak benua yang berumur Pre Tersier, tersusun oleh mélange,
ofiolit dan bagian dari jenis kerak benua lain. Pola struktur yang berarah
timur–barat ini sesuai dengan busur volkanik Tersier yang juga berarah
timur–barat (Hamilton, 1978). Cekungan Jawa Timur, dimana Kendeng
dan Rembang terletak, kemungkinan terletak pada kerak perantara
(intermediate crust) dari kelompok mélange yang berangsur berubah
menjadi kerak samudra, yang mungkin terdapat pada penghujung timur
dari cekungan ini.
Pada bagian barat cekungan Jawa Timur nampak adanya kecendrungan
arah morfologi dan struktur timur–barat (gambar IV.1). Hal ini dapat
dibandingkan dengan cekungan selatan (Southern Basin). Daratan
tersebut mencakup zona Rembang dan Zona Kendeng serta
kelanjutannya, yang dibagian utara dibatasi oleh tinggian Kujung-
Kangean–Madura–Sepanjang yang terbentuk sebagai akibat sesar geser
(wrench related). Ke arah selatan zona ini dibatasi oleh jalur gunung api
kuarter. Cekungan ini kemungkinan terbentuk sejak Eosen hingga akhir
Oligosen oleh suatu tektonik ekstensional, yang kemudian diikuti oleh
fase tektonik inverse sejak awal Miosen hingga Holosen. Pada fase
inversi ini dibagian utara dari cekungan ini mengalami pengangkatan
(zona Rembang) sedangkan pada bagian selatannya masih berupa
cekungan laut dalam (zona Kendeng).
Dalam kerangka tektonik regional maka proses pembentukan struktur
Tersier di Pulau Jawa dapat dibagi menjadi 3 periode :
1. Paleogen Extension Rifting
2. Neogen Compressional Wrenching
3. Plio – Pleistocene Compressing Thrust – Folding
Fase ekstensional Paleogene menghasilkan graben / half graben dan
sesar-sesar yang mempunyai arah pemanjangan timur–barat. Selanjutnya
pada fase kompresi pada Awal Miosen terjadi reaktivasi dari sesar
ekstensional yang sebelumnya telah ada, yang menunjukkan adanya
kontrol tektonik terhadap pembentukan awal cekungan.
Periode Neogen Compressional Wrenching ditandai oleh pembentukan
sesar-sesar geser, yang terutama terjadi akibat gaya kompresif dari
tumbukan lempeng Hindia. Sesar geser yang terjadi membentuk orientasi
tertentu, yang berhubungan dengan kompresi utama. Sebagian besar
pergeseran sesar merupakan reaktivasi dari sesar-sesar normal yang
terbentuk pada periode Paleogen.
Periode Plio – Pleistocene Compressional Thrust – Folding ditandai oleh
pembentukan lipatan yang berlanjut pada pembentukan sesar-sesar naik.
Antiklinorium dan thrust belt yang terjadi memiliki orientasi tertentu
yang berhubungan dengan arah kompresi dan kinematika
pembentukannya. Pada zaman Neogen cekungan Jawa Timur bagian
utara mengalami rezim kompresi yang menyebabkan reaktivasi sesar-
sesar normal tersebut dan menghasilkan sesar-sesar naik.
Pada jaman Pre-Tersier lempeng Jawa Timur mengalami penunjaman
dibawah lempeng Sunda, mengkuti arah memanjang zona penunjaman
kurang lebih N 600 E, penunjaman ini berakibat pemendekan lempeng
pada arah tegaklurus arah penunjaman. Pada saat itu cekungan Jawa
Timur barangkali masih berupa cekungan muka busur (fore arc basin).
Pada Awal Miosen atau lebih tua, tektonik ekstensi bekerja di zona
Rembang. Ekstensi ini kemudian diikuti oleh serangkaian tegasan
kompresif yang menjadi aktif sejak Akhir Miosen hingga Holosen
dengan arah yang bergeser dari arah timur laut. Kompresi ini juga
bekerja pada zona Kendeng sejak Akhir Miosen dan seterusnya. Namun
rekaman stratigrafis dari peristiwa ini hanya dapat diamati pada bagian
bawah dari Formasi Kerek. Kompresi ini juga menjadi semakin lemah
selama pembentukan sedimen yang lebih muda.
BAB III. MORFOTEKTONIK
Evolusi Morfotektonik zona rembang berdasarkan data stratigrafi dan
struktur geologinya dapat dibagi menjadi 4 fase:
1. Fase Tektonik pertama yang terjadi selama tersier sampai awal
Oligocene yang mengendapkan formasi Ngimbang dan Kujung
yang diendapkan diatas basement yang berupa mélange dan ofiolit.
Formasi Ngimbang yang tersusun oleh batupasir dan batulanau
yang terdapat sisipan batugamping mengindikasikan bahwa
pengendapannya merupakan syn-rift – post rift sehingga terbentuk
cekungan laut dangkal. Cekungan ini mulai stabil pada saat
terendapkannya formasi Kujung yang berupa batugamping. Pada
fase ini gaya yang bekerja dominannya adalah gaya ekstensional.
Cekungan ini berupa fore arc basin
2. Fase yang kedua terjadi pada oligocen tengah sampai miosen
akhir. Pada waktu ini penunjaman lempeng hidia ke pulau Jawa
yang oblique. Penunjaman yang oblique ini membentuk struktur
lipatan dan sesar yang berarah timur laut – barat daya (pola
meratus). Pada fase ini rembang masih berupa fore arc basin dan
telah memasuki fase sagging – inverse. Pada waktu inilah
terendapkan formasi Prupuh, Tawun, Ngrayong, Bulu, Wonocolo,
dan Ledok. Kedudukan muka air laut pada kala ini relative regresi
sehingga menyebabkan pola progadasional yang menyebabkan
perebahan facies secara lateral kearah darat ke arah utara. Hal ini
dibuktikan dengan adanya perubahan facies dari batugamping
(formasi Prupuh) ke batupasir, batulempung yang kaya mineral
Glaukonit (formasi Ngrayong dan ledok). Batupasir ini
kemungkinan diendapkan di lingkungan delta.
3. Fase yang ketiga terjadi pada Miosen akhir sampai pleistocen
awal. Pada fase ini terjadi transgresi air laut yang menyebabkan
kenaikan muka air laut secara relative yang mengendapkan formasi
Mundu, Paciran, Selorejo, dan Lidah. Pada fase ini rembang masih
berupa fore arc basin. Memasuki pengendapan formasi Pacerain
dan selorejo terjadi regresi muka air laut sehingga terjadi
perubahan lingkungan pengendapan lagi dari laut dalam (bathial)
ke laut dangkal (neritik tengah).
4. Fase yang keempat terjadi pada Pleistocene akhir – Holosen. Pada
fase ini penunjaman lempeng Hindia sudah tegak lurus dengan
pulau jawa sehingga terbentuklah lipatan, sesar, dan struktur-
struktur geologinya lainnya yang berarah timur-barat. Penunjaman
ini juga menyebabkan terjadinya partial melting, sehingga terjadi
vulkanisme di sebelah selatan zona rembang. Sehingga zona
rembang berubah menjadi back arc basin. Vulkanis me ini juga
menyebabkan terendapkan batuan batuan gunung api seperti tuff,
breksi andesit, aglomerat. Dan juga terjadi intrusi-intrusi andesit.
Peristiwa ini menyebabkan zona rembang menjadi daerah yang
prospek dalam eksplorasi hidrokarbon. Dimana formasi Ngimbang
merupakan source rock yang poetensial. Pematangan source rock
ini disebabkan karena naiknya astenosfer yang diakibatkan
penunjaman ini. Daerah back arc basin lebih potensial terjadi
pematangan source rock daripada fore arc basin. Sedangkan batuan
penutup dan reservoir banyak ditemui di formasi Tawun dan
Tuban dimana banyak mengandung batulanau-batulempung
sedangkan reservoarnya bayak ditemui pada formasi Ngrayong,
dan Ledok yang mengendapkan batupasir. Reservoir lainnya yang
berupa batugamping juga ditemukan.
Top Related