Download - Eko Agus Prawoto

Transcript
Page 1: Eko Agus Prawoto

Arsitektur Indonesia

BAB I

OTOBIOGRAFI

Eko Agus Prawoto

Lahir di Yogyakarta, Indonesia, 1959

Lulus dari UGM, Yogyakarta tahun 1982

Master of Architecture dari Berlage Institute, Belanda tahun 1993

Kerja di PT Prima Design di Yogyakarta dari tahun 1980 - 1985

Dekan Fakultas Teknik Sipil di Univesitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta

Hasil Karyanya :

Gereja Kristen Indonesia Sokaraja (1994-1995)

Mella Jaarsma & Nindityo House, Yogyakarta (1995)

Cemeti Art House, Yogyakarta (1997-1999)

Butet Ketarajasa House, Yogyakarta (2001-2002)

House for Ning, Yogyakarta (2002)

House for Jeanie dan Lantip (2003-2004)

Kafe dJendelo, Jl. Affandi Yogyakarta. dan Rumah Djaduk Ferryanto

Art Of Bamboo

Via-Via Cafe

Tutik Rahayu Ningsih1

Page 2: Eko Agus Prawoto

Arsitektur Indonesia

BAB II

PRINSIP BERARSITEKTUR

Ir. Eko Prawoto merupakan salah satu arsitek yang mempunyai ciri khusus pada desain bangunannya. Dengan gaya tektonikanya yang khas, Eko Prawoto telah memunculkan suatu tipologi bagi karya-karyanya, khususnya rumah-rumah seniman. Baik dari segi konfigurasi ruang, struktur, dan yang paling menonjol adalah elemen dekoratif yang sangat tektonis. Selain ketiga hal diatas, Eko Prawoto juga mencoba memberikan kekuatan komunikasi sebagai bahasa penterjemah dalam tipologi arsitektur pada karya-karyanya untuk dapat selaras dan harmoni dengan lingkungan sekitar tanpa mengurangi keunikan dan kekhasan bangunannya.

Berdasarkan konfigurasi ruang, tipologi bangunan tektonika karya Eko Prawoto kurang dapat dikenali karena dasar konfigurasi ruang cenderung digunakan untuk mengklasifikasikan tipologi bangunan berdasarkan fungsinya, seperti tipologi bangunan pendidikan, tipologi bangunan pertokoan, dan lain-lain. Adapun untuk mengklasifikasikan tipologi bangunan berdasarkan sifat arsitekturalnya, lebih terlihat pada fasad, struktur, material yang dipakai, dan elemen-elemen dekoratifnya. Akan tetapi, untuk karya Eko Prawoto berupa rumah seniman, pada konfigurasi ruang terlihat adanya pembagian ruang yang privat sebagai tempat para seniman menggali ide dan berkarya dan ada public space sebagai tempat para seniman memamerkan karya-karyanya.

Berdasarkan struktur, Eko Prawoto lebih senang menggunakan bahan-bahan yang bersifat alami, seperti kayu, bambu, batu alam, maupun recycle elements berupa batu bata bekas, pecahan keramik bekas, hingga kusen dan daun pintu jendela bekas pula. Untuk detil sambungan, Eko Prawoto juga merancang jenis-jenis sambungan yang khas, seperti detil sambungan antara kayu dan batu alam, detil sambungan kayu dengan perbedaan bentuk penampang.

Eko cenderung memandang bangunan sebagai sebuah kebutuhan. Bila kebutuhan membangun ada, maka Arsitek dapat membantu seseorang untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Eko tidak merancang pembangunan rumah berdasarkan kapling-kapling kembar yang siap dijual dalam brosur pemasaran, tapi membantu menemukan sosok kepribadian rumah yang cocok dengan penghuninya. Prosesnya terbalik. Saat ini, sering rumah dibangun sesuai keinginan developer dan dipasarkan. Penghuni harus mengikuti keinginan rumah tersebut. Bagi Eko, penghuni sendiri yang berhak merancang rumahnya, arsitek hanya membantu penghuni. Manusialah yang menentukan fungsi bangunan.

Tutik Rahayu Ningsih2

Page 3: Eko Agus Prawoto

Arsitektur Indonesia

Sekarang ini, Eko lebih melihat arsitektur sebagai media untuk melakukan transformasi kehidupan yang lebih baik. Mungkin lebih berbicara tentang impact dari karya dalam konteks yang lebih luas. Arsitektur bukan sebuah entitas lepas yang berawal dan berakhir dalam dirinya sendiri, namun lebih sebagai ‘platform’ untuk menganyam lagi aspek sosial, budaya dan lingkungan.

Tutik Rahayu Ningsih3

Page 4: Eko Agus Prawoto

Arsitektur Indonesia

BAB III

KARYA DAN PENETRAPAN PRINSIPNYA

III.1. Rumah Butet Kertaradjasa

Tutik Rahayu Ningsih4

Page 5: Eko Agus Prawoto

Arsitektur Indonesia

Gambar 3.1.1 : Tampak Depan

Rumah Butet Kertaradjasa seniman teater Indonesia yang berlokasi di Desa Kasihan, Bantul, selatan Yogyakarta, didesain oleh Eko Prawoto. Di dalam rumah ini kita dapat melihat bentukan massa yang tidak kaku. Mulai dari depan, pagar pintu masuk didesain dengan banyak bentuk kurva. Efek yang didapatkan adalah rumah terlihat dinamis dan akrab. Pagar halaman depan dibuat dengan bahan batu yang disusun ke atas membentuk garis. Gambar 3.1.2 : Pagar Depan

Di atasnya terdapat batang bambu yang disusun berjajar ke atas dengan rapi. Permainan bahan lokal ini (batu dan bambu) memberikan kesan ramah pada lingkungan dan kebudayaan.

Gambar 3.1.3 : Teras Depan Gambar 3.1.4 : Bagian Dalam

Disebut sebagai rumah tidak sombong. Pintu masuk utama rumah sengaja dipilih bahan kayu yang terlihat usang dan rustic. Di sebelah pintu utama dipasang lukisan bergambar malaikat. Di dalam rumah terdapat tangga yang terbuat dari kayu. Anak tangga dilubangi di bagian tengahnnya dan diisi dengan slip gaji ketika Butet pertama kali memulai kariernya sebagai seniman teater.

Tutik Rahayu Ningsih5

Page 6: Eko Agus Prawoto

Arsitektur Indonesia

Di bawah tangga terdapat kolam ikan. Di atas kolam ikan terdapat pot tanaman yang terbuat dari lumpang (kayu bekas tempat penumbuk padi). Semua ornamen interior rumah dibuat dengan motif lokal, terutama motif Jawa. Beberapa kaca juga menggunakan bahan kaca berwarna dan bermotif batik untuk memperkuat kesan lokal.

Penggunaan material-material juga layak dioptimalkan, seperti penggunaan kembali bahan-bahan alam atau material-material yang masih layak pakai. Sebagai contoh, pada rumah Butet Kertarajasa, Eko menggunakan pecahan-pecahan keramik bekas sebagai finishing salah satu sisi lantai, dan malah menjadi sebuah desain yang menarik. Hal ini dimaksudkan untuk mengolah kembali limbah yang dihasilkan dari produksi.

Gambar 3.1.5 : Selasar

Tak lupa Eko menciptakan citra rumah sesuai dengan karakter penghuninya. Dalam kasus rumah Butet, pada ruang makan tercipta suasana rumah yang sangat kental mengandung unsur etnik sesuai dengan Butet yang seniman. Hal ini mungkin Eko ingin menciptakan suasana seniman di rumah seorang seniman.

Gambar 3.1.6 : Ruang Makan

Di rumah Butet Kertaradjasa, tangga sekaligus jadi ruang pamer barang-barang koleksi. Tangga ini ada di ruang makan. Anak tangga atau pijakannya berukuran 90m x 30cm, yang disusun berjarak 13cm. Anak tangga ditopang oleh konsol dari plat besi 4cm dan besi beton 12mm, yang dibentuk lengkung. Papan kayu 8cm x 12cm sepanjang 2m menyangga konsol besi ini.

Tepat di bawah tangga ada kolam ikan dan tanaman dalam pot. Tangga dibuat tidak memblokir pandangan ke taman. Tangga harus jadi elemen yang menyatukan rumah dengan

Tutik Rahayu Ningsih6

Page 7: Eko Agus Prawoto

Arsitektur Indonesia

taman. Maka bentuk tangga dibuat tidak solid dan seolah-olah melayang

Gambar 3.1.7 : Tangga

Anak tangganya terbuat dari lumpang tua yaitu alat tradisional untuk menumbuk padi. Lumpang ini dibelah jadi papan setebal 4cm. Di bagian tengah papan masih ada lubang bekas alat tumbuk. Diameter lubang bervariasi, antara 11cm sampai 20cm. Lubang inilah yang dijadikan tempat menyimpan sekaligus memajang benda-benda kenangan Butet dan

istrinya.

Tangga tampak antik karena memakai kayu-kayu tua. Selain anak tangga, railing juga dari kayu bekas tangkai bajak. Bordes, yang berukuran 168cm x 168cm, diberi pagar kayu madura antik. Bordes ini jadi tempat favorit Ruliyani untuk beristirahat.

Gambar 3.1.8 : Anak Tangga

Penyediaan ruang terbuka hijau harus benar-benar diperhatikan guna menyeimbangi tanah yang ditutup oleh beton, yang dipadukan dengan konsep tidak tersekatnya antara ruang dalam dan ruang terbuka hijau tersebut, sehingga menimbulkan suasana yang menyatu dengan alam sekitar untuk menjaga keharmonisan dengan alam. Selain guna menjaga keharmonisan, rancangan tanpa sekat tersebut atau perbanyak bukaan juga sangat menguntungkan bagi sebuah hunian di iklim tropis untuk sirkulasi udara dan cahaya.

Gambar 3.1.9 : Ruang Terbuka Hijau

III.2. Rumah Seni Cemeti

Tutik Rahayu Ningsih7

Page 8: Eko Agus Prawoto

Arsitektur Indonesia

Gambar 3.2.1 : Tampak Depan

Rumah seni cemeti adalah salah satu ruang bagi para seniman Indonesia maupun mancanegara untuk mengekspresikan karya-karyanya dalam berbagai medium. Sejak tahun 1988, rumah seni yang berada di Jl. D.I. Panjaitan No.41 Yogyakarta itu telah secara aktif memamerkan dan mengkomunikasikan berbagai karya dari para seniman kontemporer.

Gambar 3.2.2 : Denah

Bangunan rumah seni yang didesain oleh arsitek Eko Agus Prawoto itu berusaha mencerminkan berbagai pandangan serba paradoks yang hidup di

Tutik Rahayu Ningsih8

Page 9: Eko Agus Prawoto

Arsitektur Indonesia

masyarakat kita seperti tradisional-modern, seni-bukan seni, individual-kolektif ataupun konvensional-inovatif. Setiap tahun, sedikitnya diselenggarakan sebelas proyek pameran, baik pameran tunggal dan pameran kelompok. Selain itu, ditampilkan pula performans, site-spesific dan art happening, diskusi, presentasi dan perbincangan seniman. Bekerja sama dengan lembaga-lembaga seni budaya lainnya, Rumah Seni Cemeti juga menyelenggarakan proyek pameran di tempat lain di Indonesia maupun di luar negeri.

III.3. Leng Lung

Tutik Rahayu Ningsih9

Page 10: Eko Agus Prawoto

Arsitektur Indonesia

telah menjadi perjalanan panjang untuk Prawoto sejak studinya dengan YB Mangunwijaya, seorang arsitek Indonesia yang dianugerahi dengan Penghargaan Aga Khan. Sekarang ia melemparkan dirinya pada seni visual. Sebagai seorang arsitek, ia sudah terbiasa bekerja dengan ruang dan dimensi, sebagai perpanjangan kebutuhan manusia. Sekarang dia menggunakan konsep-konsep ini dengan cara, lebih intim pribadi.

Leng dan Paru merupakan jawaban untuk perjuangannya. Leng berarti "kedalaman hati seseorang s 'dalam bahasa Jawa. Paru berarti 'ekstensi dari awal'. Dalam kasus Eko Leng berarti keinginan untuk mencampur seni visual dan arsitektur. "Lung adalah tampilan dalam arsitek, pada kreativitas sendiri", katanya.

Prawoto menggunakan bambu dalam karya patung nya sejak tahun 2000. "Ini tidak digunakan lagi dalam arsitektur, karena tidak cukup bergengsi estetis dan teknis Hal ini sederhana dan murah.." Para seniman lain yang berpartisipasi dalam pameran menggunakannya sebagai wel: Syahrizal Koto, Hedi Hariyanto, Mella Jaarsma, Nindityo Adipurnomo, dan Iskandar. Konsep mereka adalah sama seperti Eko: dialog lucu dengan alam tanpa tujuan atau tanggung jawab. "Ini adalah pertama kalinya artis tesis mereka menggunakan bambu Ini sulit, tetapi juga menyenangkan pekerja Bambu telah mengajarkan para seniman.."

Selama dua tahun ke depan proyek Lung akan tetap di lokasi, sampai alam mendaur ulang itu. Selama pembukaan pameran Teater Garasi menanggapi proyek dengan tari kontemporer. Beberapa desa di sekitar lokasi proyek terlibat dalam tarian tradisional, jathilan, dan upacara Jawa, kenduren a. Proyek ini merupakan bagian dari lingkungan dan lingkungan alam. "Manusia hanya seorang

Tutik Rahayu Ningsih10

Page 11: Eko Agus Prawoto

Arsitektur Indonesia

pejalan kaki di alam", kata Eko. Bambu yang digunakannya melambangkan bahwa kesementaraan. Ia berencana untuk menggunakan materi dalam arsitektur di masa depan. Saya akan harus bekerja sama dengan pekerja bambu dan petani bambu. Leng dan Paru merupakan bagian dari rencana yang lebih besar. "

Lung berlangsung dari 7 7 Agustus sampai 7 September 2008 di Kelurahan Bangunjiwo (Kasihan Bantul). Pameran ini diselenggarakan oleh Rumah Seni Cemeti. Prince Claus Fund dan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta dukungan Cemeti Art House, Hivos dan Belanda kedutaan dukungan Teater Garasi.

III.4. Djendelo Cafe

Tutik Rahayu Ningsih11

Page 12: Eko Agus Prawoto

Arsitektur Indonesia

Gambar 3.4.1 : Djendelo Cafe

Djendelo Cafe adalah kedai kopi 'Jogja banget' yang dibuka pada bulan Februari 2005 di jalan H. Affandi – Gejayan, Yogyakarta di lantai dua toko Buku Toga Mas. Sebuah toko buku dengan arsitektur kayu yang menarik. Ini adalah salah satu karya sang arsitek terkenal Eko Prawoto.

Djendelo cafe menempati lantai dua, dari depan kita bisa melihat suasana di dalam kafe melalui jendela kayu berwarna natural yang berjejer, kurang lebih 80% dinding depan lantai dua adalah deretan jendela kayu berukuran besar, mungkin inilah kenapa kafe ini diberi nama Djendelo.

Gambar 3.4.1 : Jendela Kayu

Gambar 3.4.2 : Interior Cafe

Gambar 3.4.3 : Interior Cafe

Tutik Rahayu Ningsih12

Page 13: Eko Agus Prawoto

Arsitektur Indonesia

Terdiri dari kursi tua yang terbuat dari rotan dan lantai kayu khas yang akan memberikan suasana yang berbeda sambil menikmati beberapa makanan dan minuman di tempat ini. Tempat ini tempat yang sempurna bagi Anda yang membutuhkan tempat hanya untuk hang out atau melakukan percakapan dengan teman-teman. Nuansa khas dapat ditemukan pada accesories klasik di sekitar tempat.

Di lantai 2 bangunan kayu ini memang di penuhi jendela berukuran besar, oleh karena itu dinamakan Djendelo Cafe. Konsepnya pun menarik, pasalnya dari lantai atas bisa kita amati hiruk pikuk orang yang sedang membaca dan belanja buku di lantai bawah, dan tak jarang Djendelo Cafe menjadi sasaran dari pelanggan toko Buku Toga mas yang ingin membaca buku barunya sambil ngobrol dan minum kopi.

Gambar 3.4.4 : Jendela Kayu

Berlantai kayu, dengan sekat terbuka, serta furniture antik dari kayu jati, bahkan tikar untuk duduk lesehan namun tak lupa teknologi akses internet nirkabel yang diberikan gratis.

Tutik Rahayu Ningsih13

Page 14: Eko Agus Prawoto

Arsitektur Indonesia

III.5. The Temple

Tutik Rahayu Ningsih14

Page 15: Eko Agus Prawoto

Arsitektur Indonesia

Tutik Rahayu Ningsih15

Page 16: Eko Agus Prawoto

Arsitektur Indonesia

BAB IV

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

New: Directions in Tropical Asian Architecture

Ariadina, Artha. 2009. Bedah Rumah Orang Beken. Jakarta : KANISIUS (Anggota IKAPI)

iDEA/ Richard Salampessy

Tutik Rahayu Ningsih16