EFEKTIVITAS ASAS MEMPERSULIT TERJADINYA PERCERAIAN
DI PENGADILAN AGAMA DEPOK
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
AHMAD ROYANI
NIM: 105044101397
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1429 H/2008 M
EFEKTIVITAS ASAS MEMPERSULIT TERJADIYA PERCERAIAN
DI PENGADILAN AGAMA DEPOK
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
Ahmad Royani
NIM: 105044101397
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing II Pembimbing I
Dewi Sukarti, M.A Dedy Nursamsi, S.H., M.Hum NIP. 150318443 NIP. 150264001
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1430 H/2009 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, Juni 2009
Ahmad Royani
KATA PENGANTAR �� ا� ا��� ا�����
Tiada kata yang paling pantas penulis sampaikan selain mengucapkan � �ا��
Syukur kepada Dia yang Maha Ghafûr. Segala puji hanya bagi Allah . نيملارب ا��
Tuhan sekalian alam, yang telah memberikan begitu banyak cinta dan kasih sayang
kepada semua makhluk yang meyakini keberadaanNya. Katakanlah “Jika sekiranya
lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah
lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami
datangkan tambahan sebanyak itu pula”. KarenaNya dan bersamaNya, penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Salawat dan salam sejahtera semoga tetap terlimpahkan kepada dia seorang
manusia pilihan. Manusia yang tidak hanya popular di bumi namun juga popular di
langit. Manusia yang paling khusyu’ dalam shalatnya, manusia yang paling jujur
dalam perkataan dan perbuatannya, manusia yang paling bijaksana dalam mengambil
keputusannya, manusia yang paling kasih terhadap orang yang miskin dan anak yatim
serta manusia yang paling sayang terhadap isterinya. Rujukan para Sahabat, sandaran
para Syuhada, junjungan kita semua Nabi Muhammad SAW, pembawa syariatNya
bagi seluruh hambaNya dalam setiap ruang dan waktu sampai akhir zaman.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan penulis temui. Namun
syukur Alhamdulillah karenaNya dan bersamaNya, serta karena dukungan dari
berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung, baik moril maupun materil,
segala kesulitan akhirnya dapat teratasi dengan sebaik-baiknya sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan.
Selanjutnya teristimewa penulis persembahkan ”segalanya” kepada Ayahanda
Allahumagfirlah Dahlan (Rohimahullah) dan Ibunda Farida tercinta, yang tiada
pernah akan terputus kasih sayangnya, tiada pernah letih mengangkat kedua
tangannya, meneteskan air matanya, dalam setiap lantunan do’a-do’anya, untuk
kebaikan putra terakhirnya ini. Penulis sampaikan pula kepada saudara-saudariku
tercinta, Farid Hidayat, Manzila, Nena Aryani dan Sofia Mawardi.
Atas bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak dalam menyelesaikan skripsi
ini, penulis secara khusus mempersembahkan ungkapan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M. Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., MA. Ketua Program Studi Ahwal Al-
Syakhshiyyah Konsentrasi Peradilan Agama.
3. Kamarusdiana, S.Ag., M.H. Sekretaris Prodi Ahwal Al-Syakhshiyyah
Konsentrasi Peradilan Agama yang telah sabar dalam membantu proses
transkip nilai, semoga Allah membalasnya.
4. Dedy Nursamsi, S.H., M.Hum. dan Dewi Sukarti M.A. selaku dosen
pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran selama
membimbing penulis.
5. Segenap Bapak/Ibu dosen dan staf pengajar di lingkungan Program Studi Al
Ahwâl Al Syakhshiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menjadi jalan ilmu bagi
penulis selama duduk di bangku kuliah.
6. Segenap jajaran staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan
Hukum dan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta serta sahabat-sahabat Dot.net yang telah banyak
memfasilitasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Kepada Ketua Pengadilan Agama Depok Drs. Yasardin., S.H, M.A. beserta
staf, dan para Hakim yang telah bersedia untuk wawancara langsung. Penulis
ucapkan banyak terima kasih atas partisipasi dan bantuannya.
8. Sahabat-sahabat penulis di keluarga besar Syariah dan Hukum Konsentrasi
Peradilan Agama angkatan 2005/2006, yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu, terima kasih atas kebersamaannya selama penulis belajar di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, semoga persahabatan
kita terjalin hingga rambut memutih.
Penulis menyadari bahwa segala bantuan dan dukungan serta doa yang
penulis terima tidak akan dapat terbayar oleh apa pun. Hanya do’a yang dapat penulis
panjatkan, semoga balasan kebaikan berlipat ganda dilimpahkan oleh Allah SWT
kepada kita semua. Âmîn
Jakarta,20 Juni 2009
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah 6
2. Pembatasan Masalah 7
3. Perumusan Masalah 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 9
D. Metode Penelitian 10
E. Tinjauan Kajian Terdahulu 14
F. Kerangka Teori 16
G. Metode dan Sistematika Penulisan 21
BAB II TINJAUAN TENTANG PERKAWINAN DAN ASAS
MEMPERSULIT TERJADINYA PERCERAIAN
A. Pengertian dan Tujuan Perkawinan 23
B. Putusnya Perkawinan 30
C. Asas Mempersulit Terjadinya Perceraian 38
BAB III PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA DEPOK
A. Gambaran Pengadilan Agama Depok 43
B. Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Depok
1. Prosedur Perceraian dan Penyelesaian Perkara Perceraian 47
2. Tingkat Perceraian di Pengadilan Agama Depok 52
BAB IV EFEKTIVITAS PELAKSANAAN ASAS MEMPERSULIT
TERJADINYA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA
DEPOK
A. Pelaksanaan Asas Mempersulit Terjadinya Perceraian 60
B. Analisis Efektivitas Pelaksanaan Asas Mempersulit Terjadinya
Perceraian di Pengadilan Agama Depok 75
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 83
B. Saran 85
DAFTAR PUSTAKA 86
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah Swt telah memuliakan manusia, dengan menjadikan bagi mereka
pasangan dari diri mereka sendiri supaya cenderung serta merasa tenteram
dengannya. Kemudian Allah Swt juga mensyariatkan perkawinan serta
menjadikan di antara pasangan suami istri rasa cinta dan kasih sayang untuk
membangun keluarga yang sakinah.
Perkawinan merupakan salah satu ketentuan dari berbagai macam
ketentuan Allah Swt. dalam menjadikan dan menciptakan alam ini.1 Tujuan dari
perkawinan yaitu untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan
keluarga yang harmonis, sejahtera, dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan
hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahtera artinya terciptanya ketenangan
lahir batin yang disebabkan terpenuhinya keperluan lahir batinnya, sehingga
timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang antar anggota keluarga.2
Kendati demikian, tidak jarang tujuan yang mulia tersebut tidak sesuai
dengan yang diharapkan, karena sering munculnya percekcokan suami istri dalam
membina rumah tangganya dengan alasan beraneka ragam yang berdampak pada
1 As-sayid sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr: 1983), Cet. Ke-4. Jilid II. Hal. 5. 2 Abd. Rahman Ghazaly, Fikih Munakahat, (Bogor; Kencana, 2003), hal. 22.
lepasnya sebuah tali pernikahan. Walaupun lepasnya sebuah ikatan pernikahan ini
telah dibenarkan oleh agama Islam, tetapi ini merupakan perbuatan yang tidak
disukai Allah SWT. Nabi SAW bersabda:
� م$�ف وا! ، � م��رب ،���% �&�(�� ��)'� م� ��)'� آ*��
� ا�'&(12 !-&0 ا� �-�/ و س-&� ,�ل �� أ :9 ا�ـ7�ل إ0� ا� �5& : د)�ر،� ا
3 )رواA ا @ داود و ا م�=ـ/ و !��/ ا���آ�(ق و = & ا�>&ـ7
Artinya: Dari Ibnu Umar, Nabi saw. Bersabda: “Perbuatan halal yang
dibenci oleh Allah SWT adalah talak.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan
dishahihkan oleh al-Hakim).
Pada dasarnya setiap pasangan suami istri sangat menginginkan
terciptanya suatu keluarga yang sejahtera, saling menyayangi, abadi sampai akhir
hayat mereka. Namun pada kenyataannya, banyak pasangan yang gagal dalam
menggapai cita-cita tersebut, karena ketidakmampuannya dalam menjaga dan
merawat hubungan cinta dan kasih sayang serta kepercayaan antara mereka,
sehingga rasa cinta dan kasih sayang yang tengah dibangun, sedikit demi sedikit
terkikis serta memudar, dan yang tersisa hanya aroma kebencian di antara
keduanya.
Begitu kuat dan indahnya hubungan antara suami istri, tidak sepantasnya
apabila hubungan tersebut tidak dijaga, terlebih lagi sampai di rusak hanya
dengan hal-hal yang sepele. Oleh karena itu, sedapatnya hal-hal yang menjurus
3 Abu Daud Sulaiman Sajastani, Sunan Abu Daud, (Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1952),
Juz I, hal. 503.
kepada hal yang dapat merusak dan melemahkan hubungan antara keduanya
dihindarkan sejauh mungkin. Jangan pernah sampai menghampiri kehidupan
rumah tangga yang tengah dibangun.
Langgengnya kehidupan dalam ikatan perkawinan merupakan suatu tujuan
yang sangat diutamakan dalam islam4, namun tidak dapat dipungkiri pada
kenyataannya bahwa tidak semua perkawinan berjalan sesuai dengan tujuan yang
ingin dicapai, hal ini dapat dilihat dengan banyaknya pasangan suami istri yang
dalam perkawinannya “terpaksa” harus berakhir di tengah jalan.5
Seharusnya perceraian adalah solusi terakhir yang diambil dalam
menghadapi permasalahan rumah tangga, karena akibat yang ditimbulkan dari
perceraian itu sangat besar, terlebih jika pasangan tersebut telah memiliki anak.
Ini akan sangat mempengaruhi psikologis dan mental anak mereka. Belum lagi
jalinan persaudaraan antara masing-masing keluarga yang tengah dibangun akan
menjadi rusak pula akibat terjadinya perceraian tersebut.
Berawal dari permasalahan di atas, yakni sering terjadinya perselisihan
dalam sebuah rumah tangga yang berujung pada perceraian, maka sangat
dibutuhkan suatu badan hukum atau lembaga yang dapat mendamaikan atau
menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut agar dapat mencegah atau
mengurangi terjadinya perceraian di masyarakat.
4 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 8. (Bandung: PT Alma’afrif, 1980), hal. 7. 5 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga islam di Dunia Islam. (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004) Cet. Ke-1, h. 101.
Pengadilan Agama yang berstatus sebagai wadah bagi para pencari
keadilan memiliki wewenang penuh dalam memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara-perkara sebagaimana telah diatur dalam pasal 49 (1) UU
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo. UU No. 3 Tahun 2006 tentang
perubahan UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yaitu:
“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama islam dibidang: Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat,
Infaq, Shadaqah dan Ekonomi Syariah”.6
Dalam pasal tersebut jelas sekali bahwa Pengadilan Agama merupakan
suatu lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan permasalahan perdata bagi
orang Islam. Khususnya perkawinan, dalam hal ini yaitu masalah perceraian,
Pengadilan Agama memiliki peran vital dalam menyelesaikan masalah ini.
Dengan kewenangannya tersebut, Pengadilan Agama memiliki hak dan/atau
untuk mengupayakan pencegahan terhadap terjadinya perceraian.
Sejalan dengan hal tersebut, maka Undang-undang Perkawinan menganut
asas atau prinsip mempersulit terjadinya perceraian, hal ini termaktub dalam
penjelasan umum Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan angka 4
huruf (e), yaitu “karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga
yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip
6 Amandemen Undang-Undang Peradilan Agama No. 3 Tahun 2006 Perubahan atas Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.18.
untuk mempersulit terjadinya perceraian untuk memungkinkan perceraian harus
ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan.”
Asas mempersulit terjadinya perceraian dalam undang-undang ini
bukanlah berarti menutup atau mengunci mati terjadinya perceraian, jika
permasalahan antara suami istri memang sudah tidak bisa didamaikan lagi, maka
Pengadilan akan tetap memutuskan cerai terhadap keduanya. Namun demikian,
Pengadilan harus tetap berupaya semaksimal mungkin mendamaikan para pihak
agar perceraian tersebut tidak terjadi, Hal ini harus dilakukan sebagai wujud dari
upaya mempersulit terjadinya perceraian agar tingkat perceraian yang terjadi di
masyarakat tidak semakin tinggi.
Tetapi pada kenyataannya asas tersebut kurang efektif penerapannya di
Pengadilan Agama, karena masih tingginya perkara yang diputus cerai
dibandingkan dengan perkara yang berhasil didamaikan. Dalam penelitian ini,
penyusun akan meneliti salah satu lembaga peradilan tingkat pertama, yakni
Pengadilan Agama Depok. Pengadilan yang baru dibentuk pada tanggal 28
Agustus 2002 dan resmi beroperasi sejak tanggal 1 Juli 2003 ini, termasuk
Pengadilan yang tergolong muda, namun jumlah perkara yang diterimanya
cukup banyak. Hal ini terlihat bahwa untuk 6 (enam) bulan pertama saja, yakni
sejak juli s/d Desember 2003 menerima perkara sejulah 410 perkara, dan pada
tahun 2004 sejumlah 926 perkara.7 Sampai dengan akhir tahun 2008, perkara
yang diterima Pengadilan Agama Depok terus meningkat secara signifikan,
7 Selayang Pandang Pengadilan Agama Depok, 2005.
bahkan pada tahun 2008 perkara yang diterimanya meningkat tajam mencapai
lebih dari 300 perkara dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Selain dari
pada itu, berdasarkan Laporan Perkara Tahunan Pengadilan Agama Depok,
perkara yang berhasil didamaikan atau dicabut jauh lebih kecil dibandingkan
dengan perkara yang diputus cerai.
Berdasarkan hal tersebut, penyusun merasa perlu mengkaji dan meneliti
sejauhmana penerapan dan pelaksanaan asas mempersulit terjadinya perceraian di
Pengadilan Agama Depok, serta bagaimana pula efektivitasnya dalam menekan
angka perceraian. Dan penyusun akan membahasnya dalam suatu karya ilmiah
yang dituangkan dalam bentuk skripsi, dengan judul, “Efektivitas Asas
Mempersulit Terjadinya Perceraian Di Pengadilan Agama Depok”.
B. Permasalahan
1. Identifikasi masalah
Tema yang di angkat dalam penelitian ini adalah mengenai asas
mempersulit terjadinya perceraian yang terkandung dalam Undang-Undang
Perkawinan. Namun dari tema tersebut dimungkinkan muncul masalah-masalah
lain dan setidaknya dapat dikelompokkan kepada dua persoalan pokok yaitu:
Pertama, Efektifitas asas mempersulit terjadinya perceraian secara umum dalam
menekan tingkat perceraian di masyarakat. Kedua, efektivitas asas mempersulit
terjadinya perceraian dalam pelaksanaannya di Pengadilan.
Identifikasi masalahnya sebagai berikut:
a. Asas mempersulit terjadinya perceraian dalam menekan tingkat perceraian
di masyarakat.
1. Bagaimana perspektif hukum Islam tentang asas mempersulit terjadinya
perceraian?
2. Sejauh mana asas mempersulit terjadinya perceraian mempengaruhi
masyarakat untuk tidak melakukan perceraian?
b. Efektivitas pelaksanaan asas mempersulit terjadinya perceraian di
Pengadilan
1. Sejauh mana penerapan asas mempersulit terjadinya perceraian di
Pengadilan?
2. Bagaimana efektivitas penerapan asas mempersulit terjadinya
perceraian di Pengadilan?
3. Faktor apa yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan asas
mempersulit terjadinya perceraian di Pengadilan?
2. Pembatasan Masalah
Melihat dari tema di atas terdapat beberapa masalah pokok, maka fokus
studi ini dibatasi pada point kedua, yaitu efektifitas pelaksanaan asas mempersulit
terjadinya perceraian di Pengadilan. Dalam penelitian ini, penyusun meneliti
salah satu lembaga peradilan tingkat pertama, yakni Pengadilan Agama Depok.
Sebagai salah satu lembaga yang memegang peranan penting dalam upaya
pencegahan terhadap terjadinya perceraian, maka sejalan dengan asas
mempersulit terjadinya perceraian yang terkandung dalam Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, diharapkan Pengadilan Agama Depok dapat
meminimalisir tingkat perceraian yang terjadi.
Tema yang penyusun angkat di sini adalah mengenai asas mempersulit
terjadinya perceraian. Oleh karena itu, jenis perkara yang menjadi fokus dalam
penelitian ini adalah perkara perceraian yang diterima Pengadilan Agama Depok,
tidak termasuk perkara lainnya seperti waris, poligami, harta gono gini, istbat
nikah, dll.
Mengingat terdapat banyak sekali perkara perceraian yang telah diproses
di Pengadilan Agama Depok, maka penyusun merasa perlu membatasi penelitian
ini yakni perkara perceraian pada tahun 2006-2008 saja. Ini disebabkan karena
pada tahun 2006-2008 ini, perkara yang diterima di Pengadilan Agama Depok
terus mengalami peningkatan, bahkan pada tahun 2008 perkara perceraian yang
diterima meningkat tajam, yakni hampir mencapai 300 perkara dibandingkan
dengan tahun-tahun sebelumnya.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, dapat dilihat yang menjadi
persoalan adalah mengenai tingginya perkara yang berakhir dengan perceraian.
Sebenarnya apa yang menjadi faktor tingginya tingkat perceraian di Pengadilan
Agama tersebut, padahal UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menganut
asas mempersulit terjadinya perceraian, dan Pengadilan Agama sebagai lembaga
yang berwenang dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara
perceraian memiliki hak untuk menjalankan asas tersebut dalam rangka mencegah
terjadinya perceraian.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka penyusun perlu merumuskan
masalah pokok yang menjadi objek kajian dalam skripsi ini:
1. Sejauh mana penerapan asas mempersulit terjadinya perceraian di
Pengadilan Agama Depok?
2. Bagaimana efektivitas penerapan asas mempersulit terjadinya perceraian di
Pengadilan Agama Depok?
3. Faktor apa yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan asas mempersulit
terjadinya perceraian di Pengadilan Agama Depok?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dengan menunjuk pada pembahasan di atas, maka tujuan dari penelitian
ini yaitu:
1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan asas mempersulit terjadinya
perceraian di Pengadilan Agama Depok.
2. Untuk mengetahui bagaimana efektivitasnya di Pengadilan Agama
Depok.
3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keefektivitasan
asas mempersulit perceraian dalam rangka mencegah terjadinya
perceraian di Pengadilan Agama Depok.
2. Manfaat Penelitian
Dari penelitian yang dilakukan sesuai dengan permasalahan dan tujuan
yang ditetapkan, maka diharapkan penelitian ini selain berguna sebagai
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum pada umumnya dan tugas
serta wewenang Pengadilan Agama pada khususnya, diharapkan penelitian ini
juga dapat digunakan untuk pengembangan praktek di Pengadilan Agama,
khususnya ketentuan tentang Hakim dalam mengusahakan perdamaian, sebagai
upaya meminimalisir tingginya tingkat perceraian.
D. Metode Penelitian
Dalam pengumpulan bahan/data penyusunan skripsi ini agar mengandung
suatu kebenaran yang objektif, penyusun menggunakan metode penelitian ilmiah
sebagai berikut :
1. Jenis penelitian dan pendekatannya.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang berlokasi pada kantor
Pengadilan Agama Depok. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-
undangan (statute aprroach) yang mana dikaji dalam interpretasi harfiah yakni
interpretasi menurut kata-kata dalam undang-undang beranjak dari makna kata-
kata yang tertuang di dalam undang-undang tersebut. Undang-Undang yang
dimaksud disini adalah Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang No. 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama, Undang-undang No.3 tahun 2006 tentang perubahan
atas UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Peraturan mengenai mediasi
yakni Peraturan Mahkamah Agung No.2 tahun 2003, Surat Edaran Mahkamah
Agung No.1 tahun 2002, Undang-Undang lainnya yang terkait dalam upaya
mempersulit terjadinya perceraian.
2. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah terdiri dari data
primer dan data sekunder, yakni :
a. Data Primer
Data primer adalah data-data yang didapat langsung dari lapangan
yakni berupa laporan buku tahunan Pengadilan Agama Depok maupun
informasi-informasi yang didapat dari hasil wawancara dan observasi
penyusun dengan subjek penelitian yang dituju.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang didapat secara langsung dari bahan-
bahan pustaka. Data sekunder dapat dikelompokkan pada tiga bahan hukum
yakni:
1) Bahan Hukum Primer
Dalam Penelitian hukum, bahan hukum primer adalah yang bersifat
autoritatif yang artinya mempunyai otoritas.8 Sebagai sumber bahan hukum
primer diantaranya adalah Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974
tentang perkawinan, Undang-Undang 7 tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, Undang-Undang No.3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No.7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Peraturan Mahkamah Agung No.1
tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan. Selain perundang-
undangan yang terkait dengan subjek yang akan dibahas, bahan hukum
primer lainnya adalah Al-Qur’an dan Hadist yang dapat dijadikan penguat
bahwa upaya perdamaian adalah wajib dilakukan.
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang menjelaskan
bahan hukum primer,9 yakni berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.10 Publikasi tentang hukum
meliputi buku-buku teks, atrikel-artikel, jurnal-jurnal hukum, dll.
8 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), h.141. 9 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press,1982), h. 52. 10 Marzuki, Penelitian Hukum, h.141.
3) Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tertier11 adalah bahan hukum yang menjelaskan bahan
hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer dapat berupa kamus-
kamus, ensiklopedia, dsb. Sumber bahan hukum tertier sementara adalah
berupa kamus politik dan kamus bahasa Indonesia, dan kamus bahasa
Arab.
3. Teknik Analisis dan Pengumpulan Data
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
metode deskriptif analitis, yakni mengkaji secara teoritis pelaksanaan
pemeriksaan perkara perceraian di Pengadilan dalam rangka menerapkan asas
mempersulit terjadinya perceraian kemudian menganalisanya dengan berbagai
pendekatan.
Untuk memperoleh data yang diperlukan, maka penyusun menggunakan
beberapa metode pengumpulan yaitu observasi12 berupa pengamatan yang terlibat
langsung dan berkecimpung pada objek penelitian yang akan diteliti. Kemudian
penyusun juga memakai metode wawancara13 dengan melakukan tanya jawab
dengan beberapa narasumber, seperti Ketua Pengadilan Agama Depok dan
Hakim di Pengadilan Agama Depok.
11 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif , h.15. 12 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Offset, 2000), Jilid I, h.151. 13 Ibid. h.218.
Metode pengumpulan data dokumentasi14, juga membantu penyusun
dalam menemukan angka-angka jumlah perkara yang masuk, yang diputus, yang
ditolak, atau yang dicabut karena perdamaian serta data mengenai faktor-faktor
penyebab terjadinya perceraian. Data ini dapat di ambil dari Laporan Tahunan
Pengadilan Agama Depok. Sedangkan dokumen lainnya dapat berupa catatan,
transkrip, buku, surat kabar, majalah, agenda dan sebagainya.
E. Tinjauan Kajian Terdahulu
Dalam proses penulisan skripsi ini, penyusun telah melakukan studi
kajian terdahulu. Sampai sejauh ini, penyusun belum menemukan skripsi yang
membahas tentang mediasi secara utuh, tetapi penyusun menemukan beberapa
skripsi yang sedikit terkait dengan pembahasan dalam skripsi ini, di antaranya
adalah:
1. “Upaya Hakim Dalam Mendamaikan Perceraian (Cerai Gugat Di Pengadilan
Cibinong Bogor: Studi Kasus Di Pengadilan Agama Cibinong Bogor), tahun
2004. Disusun oleh Ahmad Fauzan, di bawah bimbingan Bapak H. Odjo
Kusnara N. Pembahasan skripsi ini - sama saja seperti judulnya - hanya
mengangkat tentang kiat-kiat hakim dalam upaya mendamaikan perselisihan
pasangan suami isteri yang difokuskan dalam kasus-kasus cerai gugat.
14 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1998), h. 236.
2. “Efektifitas Prinsip Mempersulit Terjadinya Perceraian di Pengadilan Agama
Jakarta Timur” yang ditulis oleh Satria dari Program Studi SJAS tahun 2006.
dalam skripsinya hal yang diangkat yaitu: Bagaimana efektifitas prinsip
mempersulit perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Timur. Dalam skripsinya
disimpulkan bahwa penerapan asas mempersulit terjadinya perceraian di
Pengadilan Agama Jakarta Timur tidak efektif, karena dilihat dari perkara yang
diputus cerai oleh Pengadilan masih sangat tinggi dibandingkan dengan perkara
yang dicabut atau didamaikan dari keseluruhan perkara yang diajukan tiap
tahunnya. Namun dalam penelitiannya tidak disebutkan apa yang menjadi
faktor ketidakefetivitasannya dan bagaimana pelaksanaannya di Pengadilan
Agama tersebut.
3. “Upaya Hakim Dalam Dalam Mendamaikan Pihak-Pihak Terhadap Perkara
Perceraian” (Studi Kasus di Pengadilan Agama Depok) tahun 2007, yang
disusun oleh Musliman di bawah bimbingan Bapak H. Hamid Farihi. Sama
seperti skripsi sebelumnya, pembahasan skripsi ini mengangkat upaya atau kiat-
kiat hakim dalam menyelesaikan perkara tapi tidak difokuskan pada perkara
tertentu saja seperti skripsi sebelumnya.
4. “Efektivitas Asas Wajib Mendamaikan Pada Perkara Perceraian Dalam Hukum
Acara Pengadilan Agama” (Studi Kasus di Pengadilan Agama Jakarta Barat)
tahun 2007, yang disusun oleh Nurlaela dari Program Studi SJAS. Masalah
yang diangkat dalam skripsi ini yaitu tentang efektivitas asas wajib
mendamaikan pada perkara perceraian, yakni tentang bagaimana proses
perdamaian yang dilakukan dan upaya-upaya apa saja yang dilakukan oleh para
Hakim dalam mendamaikan para pihak yang berperkara. Dalam skripsinya
disimpulkan bahwa pada pelaksanaanya dalam mengupayakan perdamaian
kurang optimal, hal ini disebabkan karena waktu yang ditempuh oleh majelis
hakim dalam mengupayakan perdamaian relatif terlalu singkat sehingga sulit
untuk mencapai hasil yang diinginkan yakni perdamian.
Adapun perbedaan pembahasaan skripsi ini dengan skripsi-skripsi di atas,
selain dari lokasi penelitiannya itu sendiri, penyusun juga mencoba mengkaji
secara mendalam mengenai pelaksanaan asas mempersulit terjadinya perceraian
di Pengadilan Agama Depok, dan meneliti keefektifannya dalam menekan angka
perceraian, serta faktor yang mendukung dan menghambat pelaksanaannya.
F. Kerangka Teori
Pada dasarnya pernikahan dilangsungkan untuk membentuk rumah tangga
yang sakinah, mawaddah warahmah dengan jangka waktu yang tak terbatas
hingga salah satu dari suami atau istri dipanggil menghadap Allah SWT, dan
sesungguhnya inilah hakikat perkawinan yang hendak dicapai. Dalam pasal 1 UU
No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutkan tujuan perkawinan adalah
membentuk keluarga yang bahagia, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa, atau yang dalam bahasa Kompilasi Hukum Islam disebut dengan mitsaqan
ghaliza (ikatan yang kuat).
Sejalan dengan itu, maka Undang-undang Perkawinan di Indonesia
mengandung beberapa asas yang intinya untuk mencapai tujuan tersebut, dan
salah satunya adalah mempersulit terjadinya perceraian. Seperti yang tercantum
dalam penjelasan umum Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
angka 4 huruf (e), yaitu “karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk
keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut
prinsip untuk mempersulit terjadinya perceraian untuk memungkinkan perceraian
harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang
Pengadilan.” Mengenai penerapannya diatur dalam Pasal 60 Undang-Undang No.
3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama jo. Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam,
yang menyebutkan perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan,
setelah Pengadilan yang bersangkutan telah berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
Perceraian dinyatakan sah apabila dilakukan di depan sidang Pengadilan,
ini merupakan salah satu wujud dari asas yang terkandung dalam Undang-undang
perkawinan yaitu asas mempersulit terjadinya perceraian. Karena di sini
wewenang suami untuk menjatuhkan talak tidak lagi bisa dipergunakan
semauanya, namun harus ada alasan yang benar-benar bisa dipertanggung
jawabkan, pun dengan seorang istri yang ingin bercerai dengan suaminya, harus
juga cukup alasan untuk memohonkan perceraian di Pengadilan, dan wewenang
untuk memutuskan hal tersebut ada di tangan Pengadilan.
Selain itu, di Pengadilan ada kewajiban untuk mendamaikan kedua belah
pihak. Pengadilan juga memeriksa terlebih dahulu perkara yang diajukan,
sehingga jika memang terjadi perceraian itu memang merupakan suatu keharusan
bukan karena kekhilafan para pihak.
Upaya mendamaikan para pihak yang bersangkutan dapat dilakukan
selama proses pemeriksaan berlangsung, yang berarti selama perkara belum
diputus tetap melekat upaya mendamaikan para pihak, misalnya dalam perkara
perceraian atas alasan perselisihan dan pertengkaran, selama dalam persidangan
dan perkaranya belum diputus, maka hakim wajib untuk mengusahakan
perdamaian setiap kali perkara diperiksa selama persidangan. Bahkan pada saat
terakhir persidangan sebelum hakim menjatuhkan putusan, masih melekat pada
dirinya fungsi hakim dalam usaha mendamaikan.15
Selanjutnya untuk melihat bagaimana efektivitas dari penerapan asas
tersebut dapat diketahui dari seberapa besar hasil yang dicapai, apakah sudah
sesuai dengan tujuan dari Undang-undang atau belum, karena salah satu konsep
dalam mengukur prestasi kerja (performance) adalah efektivitas. Secara etimologi
kata efektivitas berasal dari kata efektif dalam bahasa Inggris “effective” yang
telah mengintervensi ke dalam bahas Indonesia dan memiliki makna “berhasil”.
15 Halimah Ismail, “Usaha Hakim Dalam Mendamaikan Pihak Yang Bersengketa di
Pengadilan Menurut Hukum Islam”, Laporan Penelitian Individual, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 1995), h. 11. t.d.
Menurut ahli manajemen Peter Brucker, efektivitas adalah pekerjaan yang benar
(doing the right things). Efektivitas adalah kemampuan memiliki tujuan yang
tepat atau peralatan yang tepat untuk pencapaian tujuan.7 Dalam ensiklopedi
umum, efektivitas diartikan dengan menunjukkan taraf tercapainya suatu tujuan.
Maksudnya adalah suatu usaha dapat dikatakan efektif jika usaha tersebut
mencapai tujuannya.8
Sedangkan efektivitas hukum secara tata bahasa dapat diartikan sebagai
keberhasilgunaan hukum, dalam hal ini berkenaan dengan keberhasilan
pelaksanaan hukum itu sendiri. Keefektivitasan hukum adalah situasi dimana
hukum yang berlaku dapat dilaksanakan, ditaati dan berdaya guna sebagai alat
kontrol sosial atau sesuai tujuan dibuatnya hukum tersebut.
Efektivitas hukum dalam masyarakat berarti menilai daya kerja hukum itu
dalam mengatur dan/atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Agar
hukum dan peraturan benar-benar berfungsi secara efektif, senantiasa
dikembalikan pada penegakan hukumnya, dan untuk itu sedikitnya
memperhatikan empat faktor penegakan hukum (law enforcement), yaitu:18
1. Hukum atau peraturan itu sendiri, agar hukum atau sebuah peraturan berfungsi
bahkan hidup dalam tatanan kehidupan masyarakat, maka kaidah
7 T. Hani Handoko, Manajemen, (Yogyakarta: BPFE, 1998), Cet. Ke-2, h.7.
8 Kanisius, Ensiklopedi Umum, (Jakarta: Kanisius, 1973), h. 361. 18 Buletin Narhasem, “Sekilas Efektivitas Penegakan Hukum di Indonesia”, artikel diakses
pada 3 Januari 2009 dari http://buletin-narhasem.blogspot.com/2009/01/sekilas-efektivitas-penegakan-hukum.html
hukum/peraturan tersebut harus memenuhi tiga unsur, yaitu berlaku secara
yuridis, berlaku secara sosiologis dan berlaku secara filosofis.
2. Penegak hukum yang dapat diandalkan, dalam hal ini penegak hukum yang
dimaksud adalah para pegawai hukum di lingkungan Peradilan Agama, baik
pada strata atas, menengah, maupun bawah. Di antaranya yaitu Hakim,
Panitera, Jurusita, dan Pegawai non-justisial lainnya. Sejauh mana para
penegak hukum tersebut terikat oleh peraturan yang ada, mentaati dan
melaksanakannya.
3. Fasilitas yang mendukung pelaksanaan penegakan hukum, dalam hal ini yaitu
seluruh sarana dan prasarana baik fisik atuupun non-fisik yang berfungsi
sebagai pendukung proses penegakkan hukum (keadilan di Pengadilan).
Sehingga para petugas penegak hukum dapat bekerja dengan maksimal.
4. Masyarakat, dalam hal ini adalah menyangkut masalah derajat kesadaran dan
kepatuhan masyarakat terhadap hukum. Bagaimana masyarakat sadar, rela
dan mengerti tujuan dari pada hukum tersebut. Standarisasi efektivitas warga
masyarakat secara sempit bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap
hukum merupakan salah satu indikator berfungsi atau tidaknya hukum yang
bersangkutan.
Berkaitan dengan efektivitas pelaksanaan asas mempersulit terjadinya
perceraian, yang menjadi indikator keefektifannya yaitu menurunnya tingkat
perceraian, atau banyaknya perkara yang dicabut, baik itu karena inisiatif sendiri
maupun karena upaya perdamaian yang dilakukan oleh Hakim. Namun hal itu
bergantung pada bagaimana penerapan pelaksanaan asas tersebut oleh Hakim di
Pengadilan.
G. Metode dan Sistematika Penulisan
1. Metode Penulisan
Untuk penulisan Skripsi ini, penulis menggunakan Buku Pedoman
Penulisan Skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas
Syariah dan Hukum, Cet. I yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum
tahun 2007. Dengan pengecualian ayat-ayat Al-Quran dan terjemahnya ditulis
satu spasi yang penulis kutip dari Al-Quran dan terjemahnya terbitan Departemen
Agama RI.
2. Sistematika Penulisan
Adapun untuk sistematika dalam penulisan ini, terdiri dari 5 (lima) bab
yang terdiri dari sub-sub yang dirinci sebagai berikut:
Bab I adalah Pendahuluan yang berisi tentang Latar belakang masalah,
batasan dan perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Tinjauan Kepustakaan,
Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
Bab II menyajikan Tinjauan tentang Perkawinan dan Asas Mempersulit
Terjadinya Perceraian, yang mencakup Pengertian, Tujuan Perkawinan, dan Asas
mempersulit terjadinya perceraian.
Bab III membahas mengenai perceraian di Pengadilan Agama Depok,
dimulai dengan Gambaran Pengadilan Agama Depok, kemudian bagaimana
tentang perkara perceraian di Pengadilan Agama Depok.
Bab IV yaitu Analisis Pelaksanaan Asas Mempersulit Terjadinya
Perceraian di Pengadilan Agama Depok, Bab ini berisi tentang bagaimana
pelaksanaan asas mempersulit terjadinya perceraian, serta analisis efektivitas
pelaksanaannya di Pengadilan Agama Depok.
Bab V adalah Penutup yang di dalamnya memuat kesimpulan dari
masalah yang diteliti dan saran-saran.
BAB II
TINJAUAN TENTANG PERKAWINAN DAN ASAS MEMPERSULIT
TERJADINYA PERCERAIAN
A. Pengertian dan Tujuan Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Dalam bahasa Indonesia Perkawinan berasal dari kata “kawin” dengan
mendapat awalan “per” dan akhiran “an” yang menurut bahasa artinya
membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau
bersetubuh. Perkawinan menurut istilah Ilmu Fiqih dipakai perkataan “nikah” dan
perkataan “zawaj”.19 Secara bahasa nikah berarti menghimpun atau
mengumpulkan.20 Sedangkan menurut syariat, nikah berarti akad antara pihak
laki-laki dan wali perempuan yang karenanya hubungan badan menjadi halal.21
Ulama madzhab berbeda dalam mendefinisikan pengertian tentang nikah:
Menurut Imam Abu Hanifah:
�ح�C'ا E&ن/� G�ی J��م -K�ا L$M, N�22ا
“Nikah adalah akad yang memberi faedah untuk melakukan mut’ah
dengan sengaja”.
19 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1987), Cet.1., h. 3. 20 “Nikah” dalam Dewan Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hove, 1994), Cet.2., Jil. 4., h. 32. 21 Syekh Hosen Ayyub, Fiqh Keluarga, Pent. M. Abdul Ghaffar E.M., (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2001) Cet.1., h. 3. 22 Abdurrahman al-Jaziri, Kitab ‘ala Madzahib al-Arba’ah, (Mihr: Maktabah al-
Tijariyah, 1979), Juz. 4, h. 2-4.
Artinya kehalalan untuk seorang laki-laki beristimta’ dengan seorang
perempuan selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya perkawinan tersebut
secara syar’i.23
Menurut imam Malik:
��حCا�' G��M24�نEد ةQا� L$M مد�&0P م-
“Nikah adalah suatu akad untuk menikmati sendiri kelezatan dengan
wanita”.
Menurut Imam Syafi’i:
�حCا�'1 E&ن/� G�ی LS ءط وK- م -JV1'ا� Cیو5 تو أ�حXه'$مو ا��25
“Nikah adalah suatu akad yang mengandung pemilikan wath’i dengan
menggunakan kata-kata menikahkan atau mengawinkan atau kata lain
yang menjadi sinonimnya”.
Menurut Imam Hambali:
�@ ه�حCا�'1 G� -JV'ا� Cیو5 تو أ�حX�Lس اJ$/Z'0 م- L�26ع
“Nikah adalah suatu akad yang menggunakan lafaz nikah yang
mengandung makana tazwij dengan maksud mengambil manfaat untuk
bersenang-senang”.
Definisi yang diberikan oleh para ulama di atas tampak sangat sederhana,
hanya melihat dari satu segi saja dengan hanya mengemukakan hakikat utama
23 Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1 Tahun 1974
sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 39. 24 Al-Jaziri, Kitab ‘ala Madzahib al-Arba’ah, h. 2-4. 25 Ibid., h. 2-4. 26 Ibid., h. 2-4.
dari suatu perkawinan, yaitu kebolehan hukum dalam hubungan antara seorang
laki-laki dengan seorang wanita yang semula dilarang menjadi dibolehkan.
Padahal perkawinan adalah suatu perbuatan hukum yang memiliki efek yang
sangat luas terhadap kehidupan seseorang, sehingga sepatutnya diperlukan adanya
penegasan dalam pendefinisian tentang perkawinan tersebut, bukan hanya dilihat
dari segi kebolehan hubungan seksual saja, tetapi juga harus mencakup dari segi
tujuan dan akibat hukumnya.
Ulama kontemporer memperluas definisi yang telah diberikan para ulama
terdahulu, diantaranya yaitu Ahmad Ghandur dalam bukunya al-Ahwal al-
Syakhsiyah fi al-Tasyri’ al-Islamy, ia menyatakan, “Akad yang menimbulkan
kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri
kemanusiaan dalam kehidupan, dan menjadikan untuk kedua pihak secara timbal
balik hak-hak dan kewajiban-kewajiban”.
Sedangkan Tahir Mahmood dalam bukunya Personal Law in Islamic
Countries, Ia mendefinisikan perkawinan sebagai sebuah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan wanita masing-masing menjadi suami dan istri dalam rangka
memperoleh kebahagiaan hidup dan membangun keluarga dalam sinaran Ilahi.
Lebih jelas dalam redaksi lengkapnya ia menyatakan, “Marriage is a relationship
of body and soul between a man and woman as husband and wife for the purpose
of establishing a happy and lasting family founded on belief in God Almighty”.27
27 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, (New Delhi: Academy of
Law and Religion, 1987), h.209.
Dari dua definisi terakhir di atas terlihat lebih luas dalam memberikan
definisi perkawinan, bukan hanya sebuah ikatan fisik ke arah ikatan yang lebih
bersifat batiniah, namun lebih dari itu, secara eksplisit definisi di atas juga
menjelaskan tujuan dari perkawinan.
Kemudian dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 seperti yang termuat
dalam pasal 1 ayat (2), perkawinan didefinisikan sebagai, “Ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan
membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, seperti yang tercantum dalam pasal 2
dinyatakan bahwa:
“Pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau Mitsaqan Ghalizhan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.”
Definisi perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum
Islam di atas tidak hanya sebatas dalam konteks hubungan biologis atau hubungan
jasmani saja seperti yang telah didefinisikan oleh para ulama madzhab, tetapi
lebih luas dari itu, karena di sana dicantumkan kata bahagia dan kekal yang
merupakan tujuan dari perkawinan, bahkan dalam Kompilasi Hukum Islam
dikatakan Mitsaqan Ghalizhan yakni akad atau janji yang sangat kuat antara
suami atau istri untuk membina rumah tangga yang bahagia. Untuk mencapai
tujuan tersebut, maka dalam perumusan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan mengandung beberapa prinsip yaitu:28
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
2. Sahnya perkawinan sangat tergantung pada ketentuan hukum agama dan
kepercayaan masing-masing.
3. Asas monogami
4. Calon suami dan istri telah dewasa jiwa dan raganya
5. Mempersulit terjadinya perceraian
6. Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang.
Prinsip-prinsip di atas bermuara pada satu prinsip dasar yang merupakan
tujuan dari perkawinan, yaitu membentuk keluarga yang bahagia atau yang dalam
bahasa Islam disebut dengan keluarga sakinah. Pembuat Undang-undang
menyadari betapa pentingnya kerukunan rumah tangga dalam rangka membangun
masyarakat yang lebih baik. Banyak sosiologi mengemukakan bahwa berhasil
atau tidaknya membina suatu masyarakat sangat ditentukan oleh masalah
perkawinan yang merupakan salah satu faktor di antara beberapa faktor yang lain.
Kegagalan dalam membina rumah tangga bukan saja membahayakan rumah
tangga itu sendiri, tetapi juga sangat berpengaruh kepada kehidupan masyarakat.
Hampir separuh dari kenakalan remaja yang terjadi di beberapa negara
diakibatkan oleh keluarga yang berantakan, bahkan kondisi suatu masyarakat
28 Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 54.
dapat diukur dari banyak dikitnya perceraian yang terjadi di masyarakat
tersebut.29
2. Tujuan Perkawinan
Segala sesuatu yang disyariatkan Islam mempunyai tujuan, sekurang-
kurangnya mengandung hikmah tertentu, tak terkecuali perkawinan.30 Secara
umum tujuan yang diinginkan oleh semua orang yang melakukan perkawinan
yaitu untuk memperoleh kebahagiaan lahir dan batin menuju kebahagiaan dan
kesejahteraan dunia dan akhirat.
Adapun secara lebih rinci tujuan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:31
1. Menyalurkan nafsu seksual.
Dengan perkawinan, seorang laki-laki dapat menyalurkan nafsu
seksualnya kepada seorang perempuan dengan sah begitu pula sebaliknya.
Firman Allah Swt dalam Surah al-Baqarah ayat 223:
���������� � ���� ������ ��������� ���������� �� !�" #$�%#&'� �
���)'*+�,-� )3/221/ا�(�Gة ( 012$3/��.� ...
Artinya: “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok
tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana
saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu…”
(QS. Al Baqarah/2:223)
29 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2006), Ed.1 Cet.1., h.8. 30 Chuzaimah T. Yanggo dan H.A. Hafiz Anshary A.Z, Problematika Hukum
Islam Kontemporer (II), (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2002), h. 114. 31 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung: CV. Pustaka
Setia, 1999), Cet. Ke-1, h. 12.
2. Untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah Swt.
Tujuan yang kedua adalah untuk menenangkan pandangan mata dan
menjaga kehormatan diri, sebagaimana dinyatakan dalam hadist:
ة ء�( اC��' م�ع>L اس م�ب( ا�_&�_$� می -�L5جو . c&أ/ن de9� -)N��أ وN �-J�م وجی� � �L<� $-�/ &Nم@�ا� c&ء= و/ �/نf) �-�رى وم�h)ا� Aروا(
“Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, telah berkata kepada kami
Rasulullah SAW : “hai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu
yang telah sanggup kawin, maka hendaklah kawin. Maka sesungguhnya
kawin itu menghalangi pandangan (terhadap yang dilarang oleh agama)
dan memelihara faraj. Dan barang siapa yang tidak mampu hendaklah
berpuasa. Karena berpuasa itu adalah perisai baginya”. (HR. Bukhori
dan Muslim)
3. Melestarikan keturunan.
Selain dari dua hal tersebut di atas maka tujuan yang ketiga adalah untuk
mendapatkan keturunan yang sah, yang kuat iman, kuat ilmu dan kuat amal
sehingga mereka itu akan dapat membangun hari depannya yang lebih baik, bagi
dirinya, keluarganya, dan masyarakat serta bangsa dan negaranya.
4. Untuk menenteramkan jiwa.
Dengan adanya pernikahan, maka akan timbul rasa cinta antara suami dan
istri, serta menimbulkan rasa kasih sayang antara sesama anggota keluarga, rasa
cinta dan kasih sayang ini akan dirasakan pula oleh masyarakat, sehingga
terbentuklah masyarakat yang diliputi oleh cinta dan kasih sayang.
Firman Allah Swt dalam Surah ar-Ruum ayat 21:
45')-� 16'�'78�9�-� #:�" �;<=�3 .���� 45'>) ����/012�" ,☯5-�AB�"
��C�D���F'G� ��HAI��J KL���M-� �0N-D#O�. DPQI-�Q) R�☺4�-T-� � Q:J �U �V'��W XY8�9Z� [\���J'G� �:����⌧1�7�9
)30/21/ ا��وم (
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Al
Ruum/30: 21)
5. Mengikuti sunnah Nabi
Nabi SAW menyuruh umatnya untuk menikah sebagaimana disebutkan dalam sebuah Hadist:
)رواA ا�(�hرى وم�-�(رkd س'j�-` 2L م'2 � ا�'�Cح س'2L و م
“Aisyah berkata, Rasulullah SAW bersabda: “nikah itu adalah sunahku,
maka barangsiapa yang tidak mau mengikuti sunahku, dia bukan
umatku…”.(HR. Bukhori dan Muslim)
B. Putusnya Perkawinan
Jarang sekali kehidupan rumah tangga berlangsung tanpa gangguan atau
kesusahan yang menodai kesuciannya, sehingga membuat kondisinya bergeser
dari tempatnya semula. Walaupun pada prinsipnya tujuan perkawinan adalah
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Tidak sedikit gangguan dan
kesusahan tersebut menjadi penyebab putusnya hubungan perkawinan.
Putusnya perkawinan atau perceraian adalah suatu keadaan dimana antara
seorang suami dan seorang istri telah terjadi ketidakcocokan batin yang berakibat
pada putusnya perkawinan, melalui putusan Pengadilan setelah tidak berhasil
didamaikan.32
Putusnya perkawinan atau perceraian serta akibat-akibatnya, diatur dalam
pasal 38 sampai dengan Pasal 41 Undang-undang Perkawinan, namun tata
caranya diatur dalam Pasal 14 sampai dengan 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 dan teknisnya diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3
Tahun 1975.
Dalam Pasal 38 Undang-undang Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan dapat
putus karena:
a. Kematian;
b. Perceraian; dan
c. Atas keputusan Pengadilan.
Dari pasal ini dapat dimengerti bahwa hal yang mutlak dapat menentukan
putusnya perkawinan tentunya didasari oleh sebab-sebab yang telah disebutkan
dalam pasal tersebut, yakni kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan.
Untuk sebab kematian adalah merupakan suatu sebab yang bersifat
kodrati, hal ini berbeda dengan putusnya perkawinan karena perceraian atau
karena putusan Pengadilan Agama. Untuk sebab putusnya perkawinan karena
perceraian dan atas putusan pengadilan penulis akan paparkan sebagai berikut:
1. Perceraian
32 Sahlani, Hensyah, Penemuan dan Pemecahan Masalah Hukum Dalam
Pengadilan Agama, (Jakarta: 1992), h. 53
Ada 2 hal yang menjadi faktor penyebab timbulnya keinginan suami istri
untuk melakukan perceraian, yaitu:
1.1 Terjadinya Nusyuz
Nusyuz berasal dari kata 5_ی'_5-ن yang berarti tinggi dan dapat pula
berarti durhaka.33 Maksudnya adalah seorang istri melakukan perbuatan yang
bertujuan menentang suami tanpa alasan yang dapat diterima syara’, sebenarnya
kemungkinan nusyuz ini tidak hanya datang dari pihak istri, tetapi dapat juga
datang dari pihak suami. Namun dalam hal ini nusyuznya suami yaitu dalam
artian suami mengabaikan kewajibannya sebagai seorang suami atau sebagai
seorang kepala keluarga.
Dampak yang akan terjadi jika terjadi nusyuz antara suami dan istri adalah
mereka akan saling meninggalkan kewajibannya masing-masing, dan lambat laun
keadaan ini pun akan menghilangkan keharmonisan dalam hubungan rumah
tangga yang akan berujung pada perceraian. Untuk lebih jelasnya penulis akan
membahas nusyuz dalam dua kategori, yaitu:
a. Terjadinya nusyuz dari pihak istri.
Nusyuz dari pihak istri adalah bentuk kedurhakaan yang dilakukan oleh
seorang istri terhadap suaminya hal ini bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran
perintah, penyelewengan, dan hal-hal yang dapat mengganggu keharmonisan
rumah tangga.
33 M. Abd. Mujib, Kamus Istilah, (Jakarta: Gema Insani Pers, 1989), h. 125.
Selain itu menurut pendapat para Imam madzhab nusyuz dari pihak istri
adalah:34
a. Imam Hanafi, menurutnya nusyuz dari pihak istri terjadi apabila istri
keluar rumah tanpa seizin suamidan tidak mau melayani suaminya.
b. Imam Maliki, beliau mengatakan bahwa nusyuz dari pihak istri yaiu
tidak taatnyaseorang istri kepada suaminya dan menolak untuk digauli
dan juga apbila istri mendatangi suatu tempat ia tidak memintaizin
terlebih dahulu kepada suaminya serta mengabaikan kewajibannya.
c. Imam Syafi’i, menurut beliau yaitu istri tidak mematuhi suaminya dan
tidak menjalankan ketentuan agamanya yang berkaitan dengan hak-
hak suaminya dan juga tidak menunaikan kewajiban agamanya.
d. Imam Hambali, menurutnya nusyuzdari pihak istri adalah tindakan
istri yang tidak memberikan hak-hak suaminya yang wajib diterima
karena pernikahan.
Dalam Pasal 84 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam disebutkan, Istri dapat
dianggap Nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1), kecuali dengan alasan yang sah.
Pasal 83 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan Kewajiban utama bagi
seorang istri ialah berbakti lahir batin kepada suami di dalam batas-batas yang
dibenarkan dalam hukum Islam.
34 Daleh Ghamim, Jika Suami Istri Berselisih, (Jakarta: Gema Insani Pers, 1989),
h.26.
Di antara beberpa kewajiban istri terhadap suami adalah sebagai berikut:35
1. Taat dan patuh kepada suami.
2. Mengatur rumah dengan baik
3. Menghormati keluarga suami.
4. Bersikap sopan, penuh senyum kepada suami.
5. Ridha dan syukur terhadap apa yang diberikan suami.
6. Selalu berhias, bersolek untuk atau di hadapan suami.
7. Jangan selalu cemburu buta.
b. Terjadinya nusyuz dari pihak suami
Nusyuz tidak hanya terjadi dari pihak istri saja, tetapi juga bisa terjadi
dari pihak suami. Bentuk nusyuz dari pihak suami yaitu berupa kelalaian dalam
memenuhi kewajibannya kepada istri, baik nafkah lahir maupun nafkah batin.
Dalam Kompilasi Hukum Islam,36 kewajiban suami terhadap istri dijelaskan
secara rinci bahwa kewajiban suami adalah sebagai berikut:
Pasal 80
1. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi
mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh
suami istri bersama.
2. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala segala sesuatu
keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
35 Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 163. 36 Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam, h. 132-133.
3. Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya dan memberikan
kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama
dan bangsa.
4. Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung:
a. Nafka, kiswah dan tempat kediaman bagi istri;
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan
anak;
c. Biaya pendidikan bagi anak.
5. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b
di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari keduanya.
6. Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya
sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
7. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (2) gugur apabila istri nusyuz.
Jika seorang suami lalai dalam melaksanakan kewajibannya seperti yang
disebtkan di atas, maka inilah yang disebut dengan nusyuznya suami. Sedangkan
menurut para imam madzhab yang dimaksud dengan nusyuz dari pihak suami
adalah sebagai berikut:37
a. Imam Hanafi, Nusyuz dari pihak suami adalah tindakan suami yang
membenci dan menyakiti istrinya.
37 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Pers,
1999), Cet. III, h. 94.
b. Imam Maliki, Nusyuz dari pihak suami adalah perlakuan seorang suami
yang melampaui batas terhadap istrinya yang dapat mendatangkan atau
menimbulkan bahaya, seperti memukul, menelantarkan, dan mencela istri.
c. Imam Syafi’i, mengatakan nusyuz dari pihak suami adalah tindakan suami
dengan memukul dan mencela keluarga istri.
d. Imam Hambali, Nusyuz dari pihak suami adalah tindakan suami yang
membehayakan istrinya, seperti memukul dan menekan mental istri.
Dalam hal ketentuan nusyuz dari pihak suami telah tercantum dalam ta’lik
talak yang dibacakan oleh suami ketika melangsungkan pernikahan. Jika seorang
suami telah melanggar ketentuan dalam ta’lik talak tersebut berkaitan dengan
nusyuznya suami terhadap istri, maka sang istri dapat mengajukan gugatan cerai
atas dasar suami telah melanggar ta’lik talak.
1.2 Terjadinya Syiqaq
Secara bahasa syiqaq adalah perpecahan, perselisihan atau
percekcokkan.38 Sedangkan secara terminologi syiqaq yaitu perpecahan atau
perselisihan antara suami istri yang penyelesaiannya diserahkan kepada kedua
belah pihak atau dengan menunjuk hakam.39 Dalam penjelasan UU No. 7 Tahun
1989 dinyatakan bahwa syiqaq adalah perselisihan yang tajam dan terus menerus
antara suami istri.40
38 M. Abd. Mujib, Kamus Istilah, (Jakarta: Gema Insani Pers, 1989), h. 347. 39 Ibid., h. 347. 40 Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 212.
Tampaknya alasan terjadinya perceraian lebih disebabkan karena
terjadinya syiqaq. Syiqaq merupakan sesuatu hal yang sering terjadi dalam
kehidupan berumah tangga bahkan sering berujung pada terjadinya perceraian.
Namun untuk sampai pada kesimpulan bahwa pasangan suami istri tidak dapat
lagi didamaikan karena terjadinya syiqaq, harus dilalui beberapa proses. Oleh
karena itu Allah menjelaskan dalam Al Quran surat an Nisa ayat 35 :
#:J-� �FA1/_ �`��J'� �-acde#O�. ����f���.���� �g☺���� 45'>)
6'"�#*�" �g☺����-� 45'>) ���H=#*�" :J ���+9h�9 �☯�8<=4iJ d;'G�-�9
j��� ���☺kc�eAI�. � Q:J ���� �:,⌧� �l☺I=� �Dm�V�_ )ءf�'4/35/ا�(
Artinya: ”Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara
keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan
seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada
suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (QS. An Nisa/4:35)
2. Atas Putusan Pengadilan
Selain kematian dan perceraian yang menjadi sebab putusnya perkawinan,
ada satu sebab lagi yakni putusnya perkawinan atas keputusan pengadilan.
Adapun putusnya perkawinan dengan keputusan pengadilan adalah diputuskannya
hubungan perkawinan suami istri oleh hakim karena sebab kepergian salah satu
pihak tanpa kabar berita dalam jangka waktu yang lama. Sehingga Pengadilan
berpendapat bahwa orang tersebut telah meninggal dunia.
Maka atas permintaan pihak yang berkepentingan, Pengadilan akan
melakukan pemanggilan orang yang hilang tersebut melalui selebaran umum
untuk menghadap dalam waktu tiga bulan. Pemanggilan tersebut akan diulangi
sampai 3 kali jika memang pemanggilan pertama dan kedua masih belum ada
sambutan. Setelah itu barulah Pengadilan akan membuat ketetapan tentang telah
dianggapnya meninggal orang itu dan hubungan perkawinan antara keduanya pun
telah putus .41
Seandainya setelah adanya Putusan Pengadilan bahwa orang tersebut telah
dinyatakan meninggal dunia kemudian ia kembali, maka ia sudah tidak
mempunyai hak terhadap istrinya tersebut.
C. Asas Mempersulit Terjadinya Perceraian
Perceraian atau talak bukanlah merupakan sesuatu yang baru dalam Islam,
hal ini sudah ada jauh sebelum Islam datang. Namun sampai pada masa jahiliyah
dan bersambung pada masa awal Islam, masalah perceraian ini masih sangat
merugikan pihak wanita. Dalam sebuah hadist diriwayatkan:
Umm al-Mu’minin, ‘Aisyah menceritakan: “Seorang suami menjatuhkan
talak kepada istrinya berulang-ulang kali, sekehendaknya. Apabila suami rujuk
semasa masih dalam iddah maka perempuan itu adalah istrinya, tetapi setiap kali
ia rujuk justru dijatuhkan talak lagi, demikian dikerjakan berkali-kali. Pada suatu
ketika, seorang laki-laki dari golongan Anshar –karena marah kepada istrinya--
41 Ibid., h. 218.
bersumpah: ‘demi Allah aku tidak mau satu tempat lagi dengan kamu dan aku
juga tidak mau mentalak kamu selama-lamanya’. Istrinya bertanya: “Apakah
mungkin demikian itu?”, jawabnya: “Aku talak kamu dan apabila masa iddahmu
hampir habis, aku rujuk kepadamu, kemudian aku talak kamu lagi. Kemudian aku
rujuk, sesudah itu aku talak kamu dan begitulah seterusnya. Mendengar laporan
itu ‘Aisyah terdiam –karena prihatinnya-- dan sejurus kemudian datanglah
Rasulullah. Dengan segera ‘Aisyah melaporkan kepada Rasulullah apa yang
didengarnya dari perempuan itu. Rasulullah diam, dan pada ketika itu turunlah
ayat: “Talak yang boleh dirujuk hanyalah dua kali”42
Hadist di atas menggambarkan betapa berkuasanya seorang laki-laki
terhadap wanita dan pihak wanitalah yang selalu dirugikan. Sampai pada saatnya
ditegaskan bahwa talak yang boleh dirujuk hanyalah dua kali. Firman Allah
dalam surat Al Baqarah ayat 229:
;8<=�o��� d:���pq�r � ss��A)t�� u��vO#�P1'� #��" V⌧9m4w�� �58�4�t )2/229/ا�(�G ة(... .
Artinya: ”Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk
lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”
(QS. Al Baqarah/2:229)
Dalam doktrin fiqh, hanya lelakilah yang memiliki hak mutlak dalam
menjatuhkan talak. Ia berhak menceraikan istrinya dengan atau tanpa alasan
42 Hadist di atas diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi dan Imam al-Hakim dan
lainnya, diriwayatkan dari Aisyah. Imam al-Tirmidzi, menilai hadis ini sebagai hadist
shahih, lihat al-Jami al-Shahih, (Beirut: Dar al-Kitab al-Araby, 2005), h. 261. lihat juga
Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir, (Beirut: Dar al Fikr, 1991), Juz. II., h. 331.
sekalipun, dimanapun dan kapanpun dan dalam keadaan apapun. Dan istri tidak
memiliki hak pembelaan terhadap dirinya seperti menolak kehendak suaminya
atau hak lain, ia harus menerima apa yang dikehendaki suaminya, suka maupun
tidak suka.43 Penggunaan hak cerai sewenang-wenang dengan dalih bahwa
perceraian itu hak mutlak seorang suami ini, harus diperbaiki dan dihilangkan
dalam pemikiran masyarakat, karena akan mengakibatkan terjadinya perceraian
dimana-mana yang sangat merugikan kaum perempuan.
Kasus perceraian di luar Pengadilan sering sekali terjadi dan ditemukan
hampir dimana-mana, hal ini tentu saja menyisakan persoalan hukum. Persoalan
muncul ketika seorang yang telah bercerai di luar pengadilan tersebut
memerlukan bukti otentik yang dikeluarkan oleh Pengadilan. Diantara akibat
yang ditimbulkan apabila perceraian itu dilakukan di luar Pengadilan yaitu:44
1. Secara hukum, kedua belah pihak (suami maupun istri) tidak mempunyai
status yang jelas apakah berstatus duda atau janda, yang akan berpengaruh
kepada keabsahan pernikahannya dengan yang lain.
2. Mudah bagi laki-laki yang tidak bertanggung jawab untuk menghindarkan diri
dari kewajibannya baik kepada istrinya seperti memberikan nafkah dan tempat
tinggal selama masa iddah serta mut’ah, serta dari kewajibannya memberikan
43 Yayan Sopyan, Transformasi Hukum Islam ke Dalam Sistem Hukum Nasional:
Studi Tentang Masuknya Hukum Perkawinan Islam ke Dalam UU No. 1 Tentang
Perkawinan, (Jakarta, Fakultas Syariah & Hukum UIN Jakarta, 2007), h. 367-368. 44 Ibid., h. 375.
nafkah kepada anaknya karena tidak ada keharusan hukum yang mengikat,
kecuali keharusan moral/kesusilaan saja.
3. Masalah harta bersama, jika salah satu pihak merasa dirugikan dalam hal
pembagian harta bersama, maka hal tersebut tidak dapat diajukan ke
Pengadilan, karena di mata hukum status mereka masih sah sebagai pasangan
suami istri, oleh karena itu maka tidak ada istilah harta bersama untuk mereka.
Perceraian adalah suatu tindakan yang menentukan nasib sebuah rumah
tangga, nasib anak-anak, serta hubungan keluarga pihak suami dan istri yang
selama ini sudah terjalin erat berkat adanya perkawinan. Hal ini tentulah tidak
dapat diputuskan dengan begitu saja. Tetapi harus diperhitungkan masak-masak,
baik buruknya segala segi, sehingga bulat keyakinan hatinya bahwa jalan talak
itulah yang harus ditempuh, yang seperti demikian inilah dapat dikatakan sah
talaknya.
Berdasarkan hal itu, salah satu asas yang terkandung di dalam Undang-
undang Perkawinan di Indonesia adalah asas mempersulit terjadinya perceraian,
yakni dimana perceraian itu harus dilakukan di depan Pengadilan yang disertai
dengan alasan-alasan yang telah ditentukan. Hal ini bertujuan untuk membantu
para pihak mencari jalan keluar dari permasalahan keluarga yang dihadapinya,
jangan sampai ia mengambil langkah yang salah yaitu perceraian.
Selain itu dengan melihat pengaruh negatif yang cukup besar akibat
perceraian, dengan adanya asas tersebut, semaksimal mungkin dapat
mengendalikan dan menekan angka perceraian ke titik yang paling rendah.
Asas mempersulit terjadinya perceraian bukanlah berarti menutup rapat
pintu perceraian, tetapi hanya mempersulit pelaksanaannya, artinya tetap
dimungkinkan terjadinya perceraian jika seandainya memang benar-benar tidak
dapat dihindarkan. Wujud dari penerapan asas ini diatur dalam pasal 39 Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan
perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat
hidup rukun sebagai suami istri. Kemudian mengenai tata cara pelaksanaannya di
persidangan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
Sebagaimana dirumuskan oleh Undang-undang Perkawinan bahwa
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka dari rumusan tersebut jelaslah
bahwa keinginan bangsa dan negara RI yang dituangkan ke dalam Undang-
undang Perkawinan menghendaki agar setiap perkawinan dapat membentuk
keluarga yang bahagia artinya tidak akan mengalami penderitaan lahir batin
terlebih lagi sampai mengalami perceraian.
BAB III
PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA DEPOK
A. Gambaran Pengadilan Agama Depok
1. Dasar Pembentukan
Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan Kota Depok yang
berawal dari satu wilayah Kecamatan Depok berkembang menjadi Kota
Administratif sebagai bagian dari Kabupaten Bogor kemudian menjadi Kota
Madya, yang pada saat ini menjadi sebuah pemerintahan Kota Depok, dibentuk
pula Pengadilan Agama Depok berdasarkan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 62 Tahun 2002 tanggal 28 Agustus 2002. Pengadilan Agama
Depok diresmikan pada tanggal 25 Juni 2003 oleh Walikota Depok di Balai
Kota Depok dan mulai menjalankan fungsinya sejak tanggal 1 Juli 2003. Selain
itu yang menjadi dasar pertimbangan perlunya dibentuk Pengadilan Agama
Depok adalah antara lain:45
a. Depok telah menjadi sebuah Pemerintahan Kota, yang berdiri sendiri lepas
dari Pemkab. Bogor yang perlu dibentuk /adanya sebuah Pengadilan Agama
sesuai Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989.
b. Perkara-perkara yang harus diselesaikan oleh PA Cibinong, 55% nya berasal
dari penduduk yang berdomisili di Depok, sesuai hasil studi kelayakan.
45 Selayang Pandang Pengadilan Agama Depok, 2005.
c. Untuk melaksanakan asas cepat dalam penyelesaian perkara, karena
Pemerintah Kota Depok harus menempuh jarak yang jauh ke PA Cibinong.
d. Jumlah penduduk yang beragama Islam di Depok telah mencapai …. (…%)
dari jumlah penduduk Kota Depok.
2. Yurisdiksi
Wilayah hukum (yurisdiksi) Pengadilan Agama Depok semula tunduk
dan menjadi kewenangan relatif Pengadilan Agama Cibinong. Namun setelah
berdiri sendiri berdasarkan keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62
Tahun 2002 tentang Pembentukan Pengadilan Agama Depok dan diresmikan
operasionalnya oleh Bapak Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan Haji Departemen Agama Republik Indonesia pada tanggal 25
Juni 2003 M, bertepatan dengan tanggal 24 Rabiul Awal 1424 H, maka wilayah
Pemerintahan Kota Depok juga merupakan wilayah hukum di Pengadilan
Agama Depok.46
Selama tiga tahun beroperasi, Pengadilan Agama Depok berkantor di Jl.
Bahagia Raya No. 11 dengan mengontrak rumah penduduk, kemudian Pada
tanggal 20 Februari 2007, Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Prof.
Dr. Bagir Manan, S.H., MCL., meresmikan kantor Pengadilan Agama Depok
yang baru di Bandung bersamaan dengan peresmian kantor Pengadilan Tinggi
Agama Bandung. Kantor Pengadilan Agama Depok yang baru tersebut, berdiri
46 Jejen Nursalim, “Sejarah Peradilan Agama Depok”, artikel diakses pada 3
Maret 2009 dari http://padepok.pta-bandung.net.
di atas tanah hibah Pemerintah Daerah Kota Depok seluas 1.417 m² dengan luas
bangunan 600 m² yang beralamat di Jl. Boulevard Sektor Anggrek Grand
Depok City (d.h. Kota Kembang), Depok, dan sejak tanggal 1 Maret 2007
seluruh aktivitas pelayanan dipindahkan dari kantor Pengadilan Agama yang
lama ke kantor Pengadilan Agama yang baru tersebut.47
Berdasarkan Surat Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung Republik
Indonesia, nomor 039/SEK/SK/IX/2008, tentang Peningkatan Kelas Pada 19
(sembilan belas) Pengadilan agama Kelas II Menjadi Kelas IB, tertanggal 17
September 2008, Pengadilan Agama Depok yang semula Kelas II kemudian
menjadi Kelas IB.48
3. Struktur Organisasi Pengadilan
Struktur organisasi Pengadilan Agama Depok adalah sebagai berikut:49
1. Pimpinan:
Ketua : Drs. Yasardin, S.H.,M.H.
Wakil Ketua : Drs. H. Fachruddin, S.H., M.H.
Panitera Sekretaris : Drs. Asop Ridwan
2. Tenaga Fungsional:
Para Hakim yaitu:
1. Drs. Agus Yunih, SH.M.HI
2. Drs. Azid Izuddin, M.H.
47 Ibid. 48 Ibid. 49 Observasi, di Pengadilan Agama Depok, Depok, 27-30 April 2009.
3. Dra. Taslimah, M.H.
4. Drs. Bustanuddin Jamal, M.Hum.
5. Drs. Sarnoto, M.H.
6. Drs. Andi Akram, S.H.,MH.
7. Dra. Sulkha Harwiyanti, S.H.
8. Drs. Agus Abdulah.
9. Dra. Hj.Siti Nadirah
10. Drs. H.A.Baidhowi
3. Kepaniteraan/Kesekretariatan:
a. Panitera Sekretaris dibantu oleh:
Wakil Panitera : Endang Ridwan, S.Ag
Panitera Muda Permohonan : Mumu, S.H.,M.H.
Panitera Muda Gugatan : Drs. A.Djudairi Rawiyan, S.H.
Panitera Muda Hukum : Drs.A.Wachyu Abikusna
Serta beberapa orang Panitera Pengganti dan Jurusita Pengganti, sesuai
dengan Pasal 26 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989.
b. Sekretaris dibantu oleh:
Wakil Sekretaris : Pepen, S.Ag.
Kepala Urusan Kepegawaian : Indra Ari Setiawan, S.H.
Kepala Urusan Keuangan : H. Supjadin, S.Ag.
Kepala Urusan Umum : Mataris, S.H.
B. Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Depok
1. Prosedur dan Penyelesaian Perkara Perceraian
Pengadilan Agama adalah salah satu badan peradilan yang melaksanakan
kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi orang-orang
yang beragama islam yang tugas pokoknya, sebagaimana diatur dalam pasal 49
(1) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo. UU No. 3 Tahun 2006
tentang perubahan UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang berbunyi:
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam dibidang: Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat,
Infaq, Shadaqah dan Ekonomi Syariah.50
Dalam pasal tersebut jelas sekali bahwa Pengadilan Agama merupakan
institusi pemerintah yang khusus menyelesaikan permasalahan perdata bagi orang
Islam. Khususnya perkawinan, dalam hal ini yaitu masalah perceraian, Pengadilan
Agama memiliki peran vital dalam menyelesaikan masalah ini. Dengan
kewenangannya tersebut, Pengadilan Agama memiliki hak untuk mengupayakan
pencegahan terhadap terjadinya perceraian.
Sejalan dengan asas yang terkandung dalam Undang-undang Perkawinan
untuk mempersulit terjadinya perceraian, maka sesuai dengan Pasal 60 Undang-
Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama jo. Pasal 115 Kompilasi
50 Amandemen Undang-Undang Peradilan Agama No. 3 Tahun 2006
Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. h.18.
Hukum Islam, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan,
setelah Pengadilan yang bersangkutan telah berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
Adapun mengenai tata cara perceraian di Pengadilan Agama dibedakan ke
dalam 2 (dua) macam:
a. Cerai Talak
Tata cara pelaksanaan cerai talak diatur dalam pasal 66 sampai dengan
pasal 72 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, yakni bahwa seorang suami yang
bermaksud menceraikan istrinya mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama
yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon. Permohonan
tersebut berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai
dengan alasan-alasan serta meminta kepada Pengadilan Agama agar membuka
sidang untuk keperluan tersebut. Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi
surat yang dimaksud dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
memanggil suami istri untuk didengar keterangannya dalam persidangan majelis
hakim, apakah permohonan talak itu beralasan atau tidak.
Adapun tahap-tahap pemeriksaan perkara cerai talak sejak ia terdaftar di
kepaniteraan pengadilan sampai ia diputus, adalah sebagai berikut:
Setelah perkara terdaftar di kepaniteraan, panitera melakukan penelitian
terhadap kelengkapan berkas perkara (penelitian terhadap bentuk dan isi surat
gugatan atau permohonan sudah dilakukan sebelum perkara didaftarkan dan ia
merupakan prasyarat untuk bolehnya perkara didaftarkan).
Penelitian oleh panitera tersebut disertai dengan membuat resume tentang
kelengkapan berkas perkara, lalu berkas perkara tersebut disampaikan kepada
ketua pengadilan. Berdasarkan resume tersebut ketua Pengadilan Agama
mengeluarkan Penetapan Majelis Hakim (PMH) yang menunjuk Hakim Ketua
dan anggota majelis yang akan memeriksa perkara tersebut.
Selanjutnya berkas perkara beserta penetapan PMH diserahkan kepada
Hakim Ketua majelis yang ditunjuk (sebaiknya dengan buku ekspedisi lokal juga)
untuk dipelajarinya. Berdasarkan PMH tersebut, ketua majelis mengeluarkan
Penetapan Hari Sidang (PHS) yakni menetapkan kapan hari, tanggal, dan waktu
sidang pertama akan dimulai.
Penyelesaian perkara cerai talak di Pengadilan Agama Depok:51
1. Pemohon mendaftarkan perkaranya ke Pengadilan Agama.
2. Pemohon dan Termohon dipanggil untuk menghadiri persidangan.
3. Tahapan-tahapan persidangan:
a. Pada sidang pertama Hakim berusaha mendamaikan para pihak dan para
pihak diwajibkan hadir secara pribadi (Pasal 82 Undang-undang No.7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama)
b. Jika upaya perdamaian pada sidang oleh Hakim tidak berhasil, maka
Hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh proses mediasi (Pasal 3
ayat 1 PERMA No. 2 Tahun 2003).
51 Observasi, Prosedur Penyelesaian Perkara Cerai Talak di Pengadilan
Agama Depok, Depok, 27-30 April 2009.
c. Jika proses mediasi juga tidak berhasil, maka sidang akan dilanjutkan
dengan Pembacaan Gugatan, Jawaban, Replik, Duplik, Pembuktian dan
Kesimpulan. Dalam proses Replik-Duplik sebelum Pembuktian,
Termohon dapat mengajukan Rekonvensi (Gugatan balik) (Pasal 132a
HIR, 158 R.Bg.)
4. Putusan Pengadilan Agama adalah sebagai berikut:
a. Dikabulkan, dalam putusan ini, jika Tergugat merasa tidak puas dapat
mengajukan Banding.
b. Ditolak, jika Pemohon merasa tidak puas dapat mengajukan Banding.
c. Tidak diterima, Pemohon dapat mengajukan gugatan baru.
5. Jika putusan tersebut dikabulkan dan telah memiliki kekuatan hukum tetap:
a. Pengadilan Agama akan menetapkan hari sidang untuk penyaksian ikrar
talak.
b. Pengadilan Agama memanggil para pihak untuk melaksanakan ikrar talak.
c. Jika dalam waktu 6 bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar
talak suami tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim
wakilnya, meskipun telah dipanggil secara sah atau patut maka gugurlah
kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan lagi
berdasarkan alasan yang sama.
6. Jika ikrar talak sudah diucapkan, maka Panitera berkewajiban membuat akta
cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 hari
setelah penetapan ikrar talak (Pasal 84 ayat 4 Undang-undang No. 7 Tahun
1989).
Dalam hal ini Pengadilan Agama hanya memutuskan untuk memberi
izin ikrar talak jika alasan-alasan yang diajukan oleh suami terbukti secara nyata
dalam persidangan. Itupun setelah majelis hakim sudah berusaha secara maksimal
untuk merukunkan kembali dan majelis hakim berpendapat bahwa antara suami
istri tersebut tidak mungkin lagi didamaikan untuk rukun kembali dalam suatu
rumah tangga.
b. Cerai gugat
Cerai gugat adalah gugatan yang diajukan oleh istri atau kuasanya kepada
Pengadilan Agama untuk meminta diputuskan cerai terhadap suaminya. Hak
memohon memutuskan ikatan perkawinan ini dalam hukum Islam disebut khulu,
yaitu perceraian atas keinginan pihak istri, sedang suami tidak
menginginkannya.52
Tata cara pelaksanaan cerai gugat diatur dalam pasal 20 sampai dengan
pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dan pasal 113 sampai dengan
pasal 148 Kompilasi Hukum Islam.
Adapun untuk tahap-tahap pemeriksaan cerai gugat sejak ia terdaftar di
kepaniteraan pengadilan sampai ia diputus sama dengan pemeriksaan dalam
perkara pada cerai talak.
52 Bahder Johan Nasution dan Sri Warjiyati, Hukum Perdata Islam, (Bandung:
Mandar Maju, 1997), h. 33.
Penyelesaian perkara cerai gugat di Pengadilan Agama Depok:53
1. Penggugat mendaftarkan perkaranya ke Pengadilan Agama.
2. Penggugat dan Tergugat dipanggil untuk menghadiri persidangan.
3. Tahapan-tahapan persidangan:
a. Pada sidang pertama Hakim berusaha mendamaikan para pihak dan para
pihak diwajibkan hadir secara pribadi (Pasal 82 UU No.7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama)
b. Jika upaya perdamaian oleh Hakim tidak berhasil, maka Hakim
mewajibkan para pihak untuk menempuh proses mediasi (Pasal 3 ayat 1
PERMA No. 2 Tahun 2003).
c. Jika proses mediasi juga tidak berhasil, maka sidang akan dilanjutkan
dengan Pembacaan Gugatan, Jawaban, Replik, Duplik, Pembuktian dan
Kesimpulan. Dalam proses Replik-Duplik sebelum Pembuktian,
Termohon dapat mengajukan Rekonvensi (Gugatan balik) (Pasal 132a
HIR, 158 R.Bg.)
4. Putusan Pengadilan Agama adalah sebagai berikut:
a. Dikabulkan, dalam putusan ini, jika Tergugat tidak merasa puas dapat
mengajukan Banding.
b. Ditolak, jika Pemohon merasa tidak puas dapat mengajukan Banding.
c. Tidak diterima, Pemohon dapat mengajukan gugatan baru.
53 Observasi, Prosedur Penyelesaian Perkara Cerai Gugat di Pengadilan
Agama Depok, Depok 27-30 April 2009.
5. Perceraian dianggap terjadi beserta akibat hukumnya terhitung sejak putusan
Pengadilan yang mengabulkan gugatan cerai itu memperoleh kekuatan hukum
tetap (Pasal 82 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974)
Kemudian selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap itu diberitahukan kepada kedua
belah pihak, panitera berkewajiban untuk memberikan akta cerai sebagai bukti
bahwa kedua belah pihak telah bercerai.
2. Tingkat Perceraian di Pengadilan Agama Depok
Penerimaan perkara di Pengadilan Agama Depok cukup banyak, rata-rata
mencapai 1.200 perkara pertahun atau kurang lebih 100 perkara tiap bulannya.
Namun, yang menjadi perhatian dalam penelitian ini hanyalah mengenai data
perkara perceraian yang diterima dan diputus di Pengadilan Agama Depok pada
tahun 2006 sampai dengan tahun 2008, tidak termasuk di dalamnya perkara-
perkara lain seperti perkara waris, izin poligami, istbat nikah, pembagian harta
bersama, dll. Karena dalam penelitian ini yang akan dianalisis adalah bagaimana
efektivitas asas mempersulit terjadinya perceraian di Pengadilan Agama Depok,
sehingga data yang diperlukan adalah mengenai perkara perceraian saja yang
telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Pengadilan Agama Depok yang dibentuk sejak tanggal 28 Agustus 2002
berdasarkan Kepres No. 62 Tahun 2002 dan beroperasi sejak tanggal 1 Juli 2003
termasuk Pengadilan Agama kelas II yang tinggi perkaranya. Hal ini terlihat sejak
6 (enam) bulan pertama saja yakni terhitung sejak Juli s/d Desember 2003
Pengadilan Agama Depok telah menerima sejumlah 410 perkara, dan pada tahun
2004 sejumlah 927 perkara.54 Sedangkan untuk tahun 2005 yaitu sebanyak 1.067
perkara. Berarti dalam kurun waktu dua setengah tahun atau selama 30 bulan,
Pengadilan Agama Depok telah menerima sebanyak 2.404 perkara, bila diambil
angka rata-rata, maka PA Depok menerima 80 perkara lebih tiap bulannya.
Tingkat perceraian di Pengadilan Agama Depok terbilang cukup tinggi, ini
dapat dilihat dari banyaknya perkara yang masuk ke Pengadilan Agama Depok.
Untuk mengetahui seberapa banyak kasus perceraian yang diterima Pengadilan
Agama Depok tahun 2006 sampai dengan tahun 2008, maka dapat dilihat dari
data Laporan Perkara Tahunan Pengadilan Agama Depok seperti yang telah
tercantum dalam tabel di bawah ini:
Tabel.1
Perkara diterima Pengadilan Agama Depok
Tahun 2006-2008
Perkara diterima No Tahun
Cerai Talak Cerai Gugat Jumlah
1. 2. 3.
2006 2007 2008
332 386 490
694 670 844
1026 1056 1334
Jumlah 1208 2208 3416
Sumber: Laporan Perkara Tahunan Pengadilan Agama Depok
Dari data di atas dapat dilihat mengenai banyaknya perkara perceraian
yang diterima di Pengadilan Agama Depok. Pada tahun 2006, jumlah perkara
54 Selayang Pandang Pengadilan Agama Depok, 2005.
yang diterima adalah sebanyak 1.026 perkara, dengan 332 perkara cerai talak dan
694 perkara cerai gugat. Kemudian pada tahun 2007, jumlah perkara yang
diterima meningkat menjadi 1.056 perkara, dengan 386 perkara cerai talak dan
670 perkara cerai gugat. Sedangkan pada tahun 2008, perkara yang diterima
Pengadilan Agama Depok meningkat tajam, seperti yang terlihat dalam tabel 1 di
atas yaitu mencapai 1.334 perkara, dengan 490 perkara cerai talak dan 844
perkara cerai gugat. Berarti dalam waktu 3 tahun, yakni tahun 2006, 2007 dan
2008, Pengadilan Agama Depok telah menerima sebanyak 3.416 perkara
perceraian atau bila diambil rata-rata maka sekitar kurang lebih 94 perkara tiap
bulannya.
Namun dari sekian perkara yang diterima di Pengadilan Agama Depok,
tidaklah semua perkara tersebut dikabulkan. Tetapi sesuai dengan asas
mempersulit terjadinya perceraian, maka perkara yang telah diterima tersebut
harus terlebih dahulu diproses di persidangan, sehingga outputnya pun berbeda,
ada perkara yang dikabulkan oleh Pengadilan, karena memang para pihak sudah
tidak dapat dirukunkan kembali. Ada perkara yang dicabut, baik itu karena
perdamaian yang dilakukan oleh hakim di persidangan maupun atas inisiatif para
pihak karena berbagai pertimbangan yang telah mereka lakukan. Dan juga ada
beberapa perkara yang ditolak serta digugurkan, baik karena sebab ketidaktepatan
kewenangan relatif, tidak memenuhi persyaratan atau karena sebab yang datang
dari para pihak, yakni tidak pernah hadir ke muka persidangan walaupun sudah
dilakukan pemanggilan secara patut.
Untuk mengetahui berapa banyak perkara yang telah diputus dan perkara
yang berhasil didamaikan oleh hakim atau dicabut, maka dapat dilihat dari tabel
di bawah ini:
Tabel. 2
Perkara Diputus Pengadilan Agama Depok Tahun 2006-2008
Perkara diputus No Tahun
Perkara diterima Cerai
Talak Cerai Gugat
Jumlah Dicabut Dll. Sisa
1. 2. 3.
2006 2007 2008
1026 1056 1334
279 294 326
577 598 702
856 892
1028
94 104 139
47 64 116
29 25 76
Jumlah 2776 337 227 76
Sumber: Laporan Perkara Tahunan Pengadilan Agama Depok
Pada tahun 2006 perkara perceraian yang diterima Pengadilan Agama
Depok sebanyak 1.026 perkara, dari jumlah tersebut perkara yang diputus cerai
oleh Hakim sebanyak 856 perkara, 94 perkara dicabut dan 47 perkara lainnya
ditolak atau digugurkan dan sebanyak 29 perkara masih diproses. Dari data
tersebut dapat dilihat dari 1.026 perkara hanya 94 perkara atau sekitar 9,1%
perkara yang dicabut, hasil ini sangat jauh dibandingkan perkara yang dikabulkan
yang mencapai 856 perkara atau sekitar 83,4 % dari perkara yang diterima.
Pada tahun 2007 perkara perceraian yang diterima Pengadilan Agama
Depok sebanyak 1.056 perkara, dari jumlah tersebut dan ditambah sisa perkara
pada tahun 2006, perkara yang diputus cerai oleh Hakim sebanyak 892 perkara,
104 perkara dicabut dan 64 perkara lainnya ditolak atau digugurkan dan sebanyak
25 perkara masih dalam proses. Dari hasil tersebut dapat dilihat walaupun
penerimaan perkara pada tahun 2007 ini dan perkara yang diputus cerai
meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, tapi perkara yang berhasil
didamaikan atau dicabut oleh para pihak juga meningkat, sehingga jika dirata-
rata, perkara yang diputus cerai pada tahun ini yaitu hanya sekitar 82,2 % dari
perkara yang diterima Pengadilan Agama Depok.
Jika dibandingkan dengan perkara pada tahun 2006, maka persentase
perceraian yang terjadi pada tahun 2007 ini mengalami penurunan walaupun
hanya sebesar 1,2 %. Hal ini tidak lepas dari meningkatnya perkara yang dicabut
dan perkara yang ditolak atau digugurkan oleh Pengadilan Agama Depok. Pada
tahun 2006 perkara yang dicabut hanya mencapai 4,6 % dari perkara yang
diajukan, namun pada tahun ini perkara yang dicabut mencapai 5,9 % atau selisih
1,3 % dengan tahun 2006.
Tahun 2008 penerimaan perkara di Pengadilan Agama Depok meningkat
cukup tajam yakni mencapai 1.334 perkara. Dari jumlah tersebut dan ditambah
dengan sisa perkara pada tahun 2007, perkara yang diputus cerai oleh Hakim
sebanyak 1.028 perkara, 139 perkara dicabut dan 116 perkara ditolak atau
digugurkan, sedangkan sebanyak 76 perkara lainnya masih dalam proses.
Hal yang menarik dari data di atas selain meningkatnya perkara yang
diterima Pengadilan Agama Depok tiap tahunnya, adalah mengenai lebih
besarnya pengajuan gugatan perceraian oleh istri (cerai gugat) dibandingkan
dengan permohonan talak oleh suami. Pada tahun 2006 perkara cerai talak yang
diterima Pengadilan Agama Depok sebanyak 279 sedangkan perkara cerai gugat
sebanyak 577 yang berarti berbanding dua kali lipatnya, pun yang terjadi pada
tahun-tahun berikutnya yakni pada tahun 2007 dan tahun 2008. Tahun 2007
perkara cerai talak sebanyak 294 dan cerai gugat sebanyak 594, sedangkan pada
tahun 2008 perkara cerai talak sebanyak 326 dan cerai gugat sebanyak 702
perkara.
Tingginya tingkat pengajuan perceraian di Pengadilan Agama Depok tidak
lepas dari berbagai faktor yang menjadi pemicu pengajuan permohonan/gugatan
perceraian tersebut. Berikut penulis akan menampilkan faktor-faktor yang
menjadi penyebab perceraian di Pengadilan Agama Depok yang diambil dari data
Laporan Perkara Tahunan Pengadilan Agama Depok.
Tabel. 3
Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Perceraian
Pengadilan Agama Depok Tahun 2006-2008
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN
Moral Meninggalkan Kewajiban Terus-menerus Berselisih Tahun
Poligami tidak sehat
Krisis akhlak
Cemburu Ekonomi Tidak ada tanggung
jawab
Gangguan pihak ketiga
Tidak ada keharmonisan
2006 54 49 69 168 214 50 242
2007 46 43 69 175 166 67 236
2008 22 45 50 219 189 36 360
Jumlah 122 137 188 552 569 153 838
Sumber: Diolah sendiri dari Laporan Perkara Tahunan Pengadilan Agama
Depok
Dari data di atas dapat diketahui faktor ketidakharmonisan dalam rumah
tangga tetap mendominasi sebagai faktor utama dalam kehancuran rumah tangga,
yang diikuti oleh faktor tidak adanya tanggung jawab, faktor ekonomi, dll.
Sebenarnya ada beberapa faktor lain yang menjadi penyebab perceraian di
Pengadilan Agama Depok seperti penganiayaan, kawin di bawah umur, cemburu,
serta yang lainnya, namun jumlahnya tidak banyak sehingga penulis memilih
untuk tidak mencantumkannya.
Menurut Drs. Sarnoto, M.H., faktor-faktor penyebab terjadinya perceraian
di atas bermuara pada satu masalah utama yaitu ketidaksiapan atau kurang
matangnya para pihak untuk menjalani kehidupan berumah tangga yang
menyebabkan mereka tidak siap untuk menghadapi tantangan hidup dalam
berumah tangga. Dari sekian perceraian yang telah diputus, lebih banyak terjadi
pada pasangan yang masih berusia 20–40 tahun dengan rata-rata usia perkawinan
di bawah 10 tahun. Dengan usia perkawinan yangrelatif belum terlalu lama,
tampak sekali para pihak belum siap menjalani kehidupan berumah tangga sesuai
dengan yang diharapkan.55
Memang dalam menjalani kehidupan berumah tangga sangat dibutuhkan
kesiapan para pihak baik itu kesiapan lahir maupun batin. Seperti yang telah
terkandung dalam salah satu asas Undang-undang Perkawinan yaitu calon suami
dan istri harus telah dewasa jiwa dan raganya, yang berarti kematangan para calon
sangat diutamakan demi tercapainya tujuan perkawinan yaitu bahagia dunia dan
akhirat.
55 Sarnoto, Hakim Pengadilan Agama Depok, Wawancara Pribadi, Depok, 27
April 2009.
BAB IV
EFEKTIVITAS PELAKSANAAN ASAS MEMPERSULIT TERJADINYA
PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA DEPOK
A. Pelaksanaan Asas Mempersulit Terjadinya Perceraian
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa
“Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum
Islam sebagaimana yang tercantum dalam pasal (2) dijelaskan bahwa pengertian
Perkawinan adalah; “Akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.
Sejalan dengan hal itu, maka untuk mewujudkan tujuan tersebut Undang-
undang Perkawinan mengandung beberapa asas yang salah satunya adalah asas
mempersulit terjadinya perceraian. Asas mempersulit terjadinya perceraian ini
bukanlah berarti menutup rapat pintu perceraian, tetapi hanya mempersulit
pelaksanaannya saja, artinya tetap dimungkinkan terjadinya perceraian jika
seandainya memang benar-benar tidak dapat dihindarkan.
Wujud dari penerapan asas ini diatur dalam pasal 39 Undang-undang No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yakni perceraian hanya dapat dilakukan di
depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan
tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian
harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun
sebagai suami istri. Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam
peraturan perundang-undangan tersendiri.
1. Perceraian Harus di Pengadilan Agama
Hukum fiqh tidak menentukan di mana perceraian itu harus dilakukan dan
apa prasyarat yang harus dipenuhi. Berkenaan dengan waktu, hanya menyatakan
tidak boleh menceraikan istri ketika dalam keadaan haid atau dalam masa suci
yang telah digauli, dan selain itu boleh. Hal ini dapat berarti perceraian dapat
dilakukan di mana saja, kapan saja, dan dengan alasan apapun. Bahkan dalam
keadaan mabuk pun jumhur ulama memandang sah talaknya.1 Selain itu
berdasarkan hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah
dan Tirmidz, talak bisa jatuh ketika diucapkan dalam keadaan bercanda,
sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnahnya:
1 Adapun alasan yang menjadi pertimbangan ulama karena orang itu
dengan kemauannya sendiri merusak akalnya dengan meminum arak. Tetapi Abu
Hanifah membedakannya, apabila rang itu mabuk karena minum araknya
disengaja, maka jatuhlah talak itu, akan tetapi jika mabuknya karena sesuatu yang
dibolehkan, seperti minum obat yang diberikan dokter dan mengakibatkan mabuk
baginya, maka tidaklah jatuh talaknya.
Sedangkan imam Maliki, Syafi’i, dan Ahmad mengatakan talak orang yang
sedang mabuk tidak sah meskipun mabuknya dengan sengaja untuk berbuat
maksiat. Lebih lanjut lihat Peunoh Daly. Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi
Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam. (Jakarta: PT
Bulan Bintang, 1988), h. 261.
ا�'�C1ح وا�>&7ق : )7 ث =�e ه& =�p وهq� 5p�= &: ,�ل. م. ن& رس@ل ا� ص� ا 2 ه�ی�ة ا
M$=eى ( وا��Qوت�م M=م� 2)رواA أ�� وأ @ داود و إ
“Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tiga perkara
kesungguhannya dipandang benar dan main-mainnya dipandang benar
pula, yaitu; nikah, talak dan rujuk”. (HR. Ahmad, Abu daud, Ibnu Majah
dan tirmidzi).
Dalam doktrin fiqh, hanya lelakilah yang memiliki hak mutlak dalam
menjatuhkan talak. Ia berhak menceraikan istrinya dengan atau tanpa alasan
sekalipun, dimanapun dan kapanpun dan dalam keadaan apapun. Dan istri tidak
memiliki hak pembelaan terhadap dirinya seperti menolak kehendak suaminya
atau hak lain, ia harus menerima apa yang dikehendaki suaminya, suka maupun
tidak suka. Kalaupun memaksa untuk minta diceraikan, si istri harus membayar
penebus kepada suaminya sebagai alat pembujuk supaya suaminya mau
menceraikannya atau yang disebut dengan iwadh.3 Oleh karena itu, kini Undang-
undang mengatur soal perceraian tidak demikian sederhana lagi, ada tahapan-
tahapan yang harus dilakukan oleh para pihak, yakni sebagaimana yang telah
diatur dalam pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
2. Harus Terdapat Alasan
2 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah. Penerjemah Mohammad Tholib, (Bandung; PT. Al
Ma’arif, 1987), cet.I, jilid ke-8, h.21-22. 3 Yayan, Transformasi Hukum Islam ke Dalam Sistem Hukum Nasional: Studi
Tentang Masuknya Hukum Perkawinan Islam ke Dalam UU No. 1 Tentang Perkawinan,
h. 367-368.
Selain ada tahapan-tahapan yang harus dilakukan oleh para pihak yang
akan melakukan perceraian sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 39 UU
No. 1 tahun 1974, para pihak juga harus memiliki cukup alasan untuk melakukan
perceraian. Alasan-alasan yang dapat digunakan sebagai dasar untuk perceraian
disebutkan dalam pasal 19 peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo. Pasal
116 Kompilasi Hukum Islam , yaitu:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.
f. Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g. Suami melanggar taklik talak
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.
3. Tata Cara Perceraian Serta Pelaksanaannya di Pengadilan Agama Depok
Dalam pelaksanaannya perceraian dibedakan menjadi dua yaitu cerai
gugat dan cerai talak. Cerai gugat diajukan ke Pengadilan oleh pihak istri,
sedangkan cerai talak diajukan oleh pihak suami ke Pengadilan dengan memohon
agar diberi izin untuk mengucapkan ikrar talak kepada istrinya dengan alasan
seperti yang telah disebutkan di atas. Sedangkan untuk tata caranya untuk cerai
talak dan cerai gugat diatur dalam Pasal 66 sampai dengan Pasal 86 Undang-
undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Dalam proses penyelesaian perkara perceraian, baik cerai talak maupun
cerai gugat, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan. Tahapan-tahapan yang
dimaksud yaitu mulai tahapan ketika perkara terdaftar di kepaniteraan dan
tahapan ketika perkara itu disidangkan.
Adapun tahap-tahap pemeriksaan tentang suatu perkara sejak ia terdaftar
di Kepaniteraan Pengadilan Agama sampai dengan perkara itu disidangkan,
adalah sebagai berikut:4
4 Observasi di Pengadilan Agama Depok, 27 - 30 April 2009.
Setelah perkara terdaftar di Kepaniteraan, panitera melakukan penelitian
terhadap kelengkapan berkas perkara, penelitian tersebut disertai dengan
membuat resume tentang kelengkapan berkas perkara, lalu berkas perkara serta
resume tersebut disampaikan kepada Ketua Pengadilan (dengan buku ekspedisi
lokal sebenarnya) dengan disertai “saran tindak”, misalnya berbunyi “syarat-
syarat lengkap dan siap untuk disidangkan”.
Berdasarkan resume dan saran tindak tersebut, Ketua Pengadilan Agama
mengeluarkan Penetapan Majelis Hakim (PMH) untuk memeriksa perkara
tersebut, terkadang sekaligus dengan panitera sidangnya, atau jika panitera sidang
ini tidak sekaligus ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama dalam PMH, nantinya
dapat ditunjuk oleh ketua majelis.
Selanjutnya berkas perkara beserta penetapan PMH diserahkan kepada
Hakim ketua majelis yang ditunjuk (sebaiknya dengan buku ekspedisi lokal juga)
untuk dipelajarinya. Berdasarkan PMH tersebut, ketua majelis mengeluarkan
Penetapan Hari Sidang (PHS) yakni menetapkan kapan hari, tanggal, dan waktu
sidang pertama akan dimulai.
Kemudian setelah ditetapkan PHS, maka petugas panggil yaitu juru sita
atau juru sita pengganti atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan
agama akan memanggil pihak-pihak ke muka sidang menurut hari, tanggal, jam
dan tempat yang telah ditentukan PHS.5
5 Dr. H. Roihan A. Rasyid. SH. MH., Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persda, 2002), Cet.Ke-9, h.129.
Sedangkan tahap-tahap pemeriksaan suatu perkara dipersidangan di
Pengadilan Agama Depok, berdasarkan hasil wawancara dan observasi penulis di
Pengadilan Agama Depok adalah sebagai berikut:6
Pertama, setelah membuka persidangan dan terbuka untuk umum, Hakim
menanyakan identitas kedua belah pihak, kemudian sesuai dengan Pasal 82 ayat
(1) Undang-undang No. 7 Tahun 1989, maka Hakim mengupayakan perdamaian
kepada para pihak yang bersengketa. Dalam upaya perdamaian yang pertama ini,
Hakim menasehati para pihak menggunakan pendekatan keagamaan terlebih
dahulu, atau psikologis anak (jika kedua belah pihak telah memiliki anak), serta
mengingatkan akibat yang akan dialami oleh para pihak apabila perceraian itu
benar terjadi.
Upaya perdamaian yang dilakukan oleh Hakim tidak hanya dilakukan
pada sidang pertama saja, namun harus tetap dilakukan pada setiap persidangan.
Pada pelaksanaanya, hal ini memang dilakukan oleh para Hakim, namun tampak
hanya memenuhi ketentuan formal saja.60 Yaitu pada sidang-sidang selanjutnya
upaya perdamaian yang dilakukan Hakim hanya sekedar menanyakan apakah ada
hasil perdamaian atau tidak, yakni setelah para pihak menempuh mediasi atau
setelah penundaan persidangan. Jika ternyata tidak ada hasil perdamaian, maka
Hakim pun segera melanjutkan persidangan.
6 Observasi di Pengadilan Agama Depok, 27 - 30 April 2009.
60 Ibid.
Berkaitan dengan hal di atas, Yasardin menyatakan, hal ini dilakukan
karena terlalu banyak perkara yang ditangani oleh Hakim di Pengadilan Agama
Depok pada tiap harinya dengan waktu yang terbatas pula, sehingga proses
perdamaian hanya dapat dilakukan sebentar saja yaitu untuk memenuhi syarat
formal yang telah ditentukan, yang kemudian akan lebih banyak diserahkan
kepada mediator dalam proses mediasi.61
Kedua, jika dalam upaya perdamaian pada sidang pertama tidak berhasil,
maka sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) PERMA No. 2 Tahun 2003 tentang Mediasi,
maka Hakim Ketua memerintahkan para pihak untuk menempuh jalur mediasi
terlebih dahulu dan hal ini harus dilakukan oleh para pihak sebelum perkaranya
dilanjutkan. Untuk mediatornya dipilih oleh Hakim Ketua dengan menunjuk salah
satu Hakim di Pengadilan Agama Depok atau boleh dipilih oleh para pihak.
Dalam proses mediasi ini para pihak diharuskan datang secara pribadi atau
boleh didampingi oleh kuasanya. Namun jika dianggap perlu, maka mediator bisa
memintakan kepada kuasa hukum masing-masing untuk tidak mengikuti proses
mediasi.62 Kemudian jika dalam proses mediasi ada salah satu pihak yang tidak
hadir, maka upaya mediasi tersebut tidak dilakukan dan ditunda sampai kedua
belah pihak yang bersengketa hadir. Hal ini dilakukan agar upaya mediasi
mendapatkan hasil yang maksimal.
61 Yasardin, Ketua Pengadilan Agama Depok, Pembekalan Praktikum
Pengadilan Agama, lt. 2 Fakultas Syariah & Hukum UIN Syarief Hidatullah Jakarta, 29
Januari 2009. 62 Sarnoto, Wawancara Pribadi.
Ketiga, jika upaya mediasi yang telah ditempuh tidak berhasil juga, maka
persidangan dilanjutkan dengan agenda Pembacaan permohonan/gugatan,
Jawaban, Replik, Duplik, Pembuktian dan Kesimpulan. Dan dalam proses replik-
duplik sebelum pembuktian, Termohon dapat mengajukan Rekonvensi (Gugatan
balik) (Pasal 132a HIR, 158 R.Bg.)
Keempat, musyawarah majelis hakim. Musyawarah majelis hakim ini
dilakukan secara rahasia dan tertutup untuk umum. Semua pihak maupun hadirin
disuruh meninggalkan ruangan sidang. Panitera sendiri, kehadirannya dalam
musyawarah majelis adalah atas izin majelis. Hasil musyawarah majelis
ditandatangani oleh semua Hakim dan ini merupakan lampiran berita acara sidang
yang nanti akan dituangkan ke dalam diktum keputusan.
Kelima, Pengucapan keputusan. Pengucapan keputusan selalu dilakukan
dalam sidang terbuka untuk umum. Setelah selesai keputusan diucapkan, ketua
majelis bertanya kepada pihak penggugat atau tergugat, apakah keputusan
tersebut diterima atau tidak. Bagi pihak yang menerima, maka baginya tertutup
upaya untuk melakukan banding. Sedangkan bagi pihak yang merasa tidak puas,
maka baginya masih terbuka untuk melakukan upaya hukum.
Berdasarkan pengamatan penulis, semua langkah-langkah yang telah
ditentukan dalam hukum acara sudah dilakukan dengan baik oleh para Hakim di
Pengadilan Agama Depok, mulai dari proses penerimaan perkara, kemudian tata
cara persidangan serta upaya pendamaian yang dilakukan oleh para Hakim.
Namun demikian, penulis melihat para pihak yang berperkara terlihat tetap
bersikeras untuk mempertahankan pendiriannya sehingga banyak perkara yang
tetap berakhir dengan perceraian.
Proses perdamaian yang dilaksanakan oleh Hakim memang bersifat tidak
ada paksaan, para pihak dapat melakukan perdamaian atas dasar kesepakatan
antara keduanya dan juga atas dasar suka rela “mau sama mau”.63 Jika memang
para pihak tetap bersikeras untuk tetap pada pendiriannya, maka Hakim tidak
dapat memaksakannya untuk melakukan perdamaian. Namun, upaya
mendamaikan tetap harus dilakukan selama proses pemeriksaan berlangsung,
karena selama perkara belum diputus tetap melekat kewajiban kepada para Hakim
untuk mendamaikan. Bahkan pada saat terakhir persidangan sebelum Hakim
menjatuhkan putusan, masih melekat pada dirinya fungsi Hakim dalam usaha
mendamaikan.
Drs. Sarnoto, M.H., selaku Hakim Pengadilan Agama Depok,
mengatakan,64 salah satu kendala yang dihadapi oleh para hakim Pengadilan
Agama Depok dalam upaya mendamaikan para pihak adalah kerasnya kemauan
para pihak atau salah satu pihak untuk melakukan perceraian. Sehingga para
Hakim akan sangat sulit untuk mengupayakan perdamaian kepada mereka.
Mengingat jika pasangan suami istri itu tetap dipaksakan untuk mempertahankan
hubungan perkawinannya, maka akan lebih berdampak negatif bagi keduanya.
63 Halimah, ”Usaha Hakim Untuk Mendamaikan Pihak Yang Bersengketa di
Pengadilan Menurut Hukum Islam” , Laporan Penelitian Individual, h. 10, t.d. 64 Sarnoto, Wawancara Pribadi.
Apabila memang kedua belah pihak sudah sangat sulit untuk disatukan,
dan upaya yang dilakukan pun selalu menemui kebuntuan, maka Hakim akan
menjadikan perceraian sebagai solusi yang terbaik untuk mereka. Meskipun Islam
mewajibkan para penganutnya untuk menjaga dan memelihara keutuhan dan
kelanggengan akad nikah, tapi jika kondisi rumah tangga tidak dapat
dipertahankan lagi keutuhan dan keseimbangannya, maka Islam membolehkan
terjadinya perceraian.
Namun untuk mencapai kesimpulan tersebut, yaitu rumah tangga mereka
tidak dapat dipertahankan lagi keutuhan dan keseimbangannya, maka terlebih
dahulu harus dilakukan pemeriksaan serta pembuktian, dan di sinilah salah satu
fungsi dari Pengadilan Agama khususnya Hakim yaitu untuk memeriksa dan
membuktikan bahwa seandainya perceraian itu terjadi adalah memang merupakan
keharusan, bukan dilakukan karena kehendak nafsu semata.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan salah satu Hakim
Pengadilan Agama Depok, yaitu bapak Drs. Sarnoto, M.H. beliau mengatakan
alasan-alasan para pihak yang merupakan faktor pengajuannya gugatan cerai
adalah perselisihan terus-menerus, tidak adanya tanggung jawab, karena tekanan
ekonomi, cemburu, adanya pihak ketiga, dll. Kemudian beliau menambahkan dari
beberapa faktor tersebut, yang menjadi masalah utamanya adalah ketidaksiapan
atau kurang matangnya para pihak untuk menjalani kehidupan berumah tangga,
yang membuat mereka tidak siap dalam menghadapi tantangan hidup berumah
tangga.65
Berdasarkan Laporan Perkara Tahunan tentang faktor-faktor penyebab
terjadinya perceraian di Pengadilan Agama Depok (lihat Tabel.3), terlihat bahwa
perceraian karena faktor ketidakharmonisan dalam rumah tangga tetap menjadi
faktor dominan tiap tahunnya diikuti dengan faktor tidak adanya tanggung jawab
dan faktor ekonomi. Namun selain ketiga faktor di atas, masih ada beberapa
faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya perceraian, seperti gangguan pihak
ketiga, penganiyaan, dsb. namun jumlahnya tidak terlalu banyak.66
Dan pada kesempatan ini penulis akan memaparkan alasan yang menjadi
faktor paling dominan dalam terjadinya pereceraian di Pengadilan Agama Depok
yaitu faktor ketidakharmonisan, tidak adanya tanggung jawab dan faktor ekonomi.
Di Pengadilan Agama Depok pada tahun 2006-2008, yang menjadi faktor
paling tinggi penyebab terjadinya perceraian adalah disebabkan karena
ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Dari data Laporan Perkara Tahunan
tersebut dapat dilihat pada tahun 2006 perkara yang diputus karena faktor
ketidakharmonisan sebanyak 242 perkara, tahun 2007 sebanyak 236 perkara dan
pada tahun 2008 menigkat menjadi 360 perkara. Jumlah tersebut menunjukkan
bahwa data perceraian yang disebabkan oleh ketidakharmonisan pada kelompok
masyarakat di wilayah hukum Pengadilan Agama Depok cukup besar. Faktor
65 Ibid.
66 Laporan Perkara Tahunan Pengadilan Agama Depok Tahun 2006-2008.
ketidakharmonisan ini, sebagian besar adalah berlatar belakang pasangan yang
belum siap dan matang secara mental maupun psikologis, sehingga setiap
masalah-masalah keluarga dihadapi secara emosional. Selain itu kurangnya upaya
dari keduanya untuk mengambil dan melakukan langkah-langkah khusus untuk
memelihara dan mempertahankan kelangsungan hidup rumah tangga yang telah
mereka sepakati berdua ketika terjadi perselisihan, sehingga membuat kondisi
rumah tangga mereka semakin memburuk.
Faktor selanjutnya yang menjadi penyebab perceraian di Pengadilan
Agama Depok adalah karena faktor tidak adanya tanggung jawab. Pada tahun
2006 perceraian yang disebabkan karena faktor tidak adanya tanggung jawab
sebanyak 214 perkara, kemudian pada tahun 2007 sebanyak 166 perkara dan pada
tahun 2008 sebanyak 189 perkara. Masalah tanggung jawab ini sangat berkaitan
dengan hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pihak.
Agar kehidupan rumah tangga berjalan harmonis, maka setiap pasangan suami
istri harus mengerti tentang hak dan kewajibannya masing-masing, dan hal ini
telah diatur dalam Pasal 77-84 Kompilasi Hukum Islam.
Namun tidak sedikit dari mereka yang tidak mau berupaya keras untuk
melaksanakan kewajibannya secara maksimal, ditambah dengan tidak adanya rasa
saling membantu untuk menutupi kekurangan pasangannya itu membuat kondisi
keluarga semakin jauh dari keharmonisan. Jika hal ini terus terjadi, maka akan
dapat berujung pada keinginan salah satu pihak untuk melakukan perceraian.
Faktor lain yang menjadi penyebab tingginya perceraian di Pengadilan
Agama Depok adalah karena faktor ekonomi. Pada tahun 2006 perceraian yang
disebabkan karena faktor ekonomi sebanyak 168 perkara, kemudian pada tahun
2007 sebanyak 175 perkara kemudian pada tahun 2008 sebanyak 218 perkara.
Dari data tersebut dapat kita lihat perceraian yang terjadi karena faktor ekonomi
terus meningkat, bahkan pada tahun 2008 meningkat cukup tajam.
Pada zaman sekarang ini memang kebutuhan hidup sangat tinggi, dan
untuk memenuhi kebutuhan itu pun sangat sulit, kondisi seperti ini
memungkinkan berefek kepada keharmonisan keluarga. Bahkan tidak sedikit
kondisi ini malah menjadi penyebab atau pemicu terjadinya perceraian. Gugatan
perceraian yang terjadi karena faktor ekonomi bukan hanya terjadi pada
masyarakat yang termasuk ke dalam golongan ekonomi rendah, namun banyak
juga terjadi pada masyarakat yang ekonominya berkecukupan yang dikarenakan
kedua pasangan tersebut bekerja sehingga memiliki penghasilan yang cukup.
Pada masyarakat yang tergolong ke dalam ekonomi rendah, penyebab
terjadinya gugatan perceraian biasanya terjadi karena ketidaksanggupan mereka
menjalani kehidupan serba kekurangan. Dan berawal dari hal itulah sering terjadi
perselisihan anara keduanya. Namun, seandainya mereka saling mengerti akan
kondisi masing-masing pihak dan mau bekerjasama untuk memenuhi segala
kebutuhan, maka perselisihan yang disebabkan karena faktor ekonomi sangat
mungkin dapat dihindarkan.
Kemudian pada masyarakat yang tergolong cukup perekonomiannya, juga
tidak menutup kemungkinan terjadi perselisihan yang disebabkan faktor ekonomi
yang berujung pada keinginan untuk menggugat pasangannya. Hal ini biasanya
terjadi karena para pihak sibuk dengan kegiatan atau pekerjaannya masing-
masing, sehingga komunikasi pun jarang terjadi. Berawal dari hal inilah maka
perselisihan akan sangat mudah terjadi. Selain itu, jika masing-masing dari
keduanya memiliki penghasilan yang cukup, maka akan timbul perasaan tidak
takut jikalau memang hubungan mereka harus berakhir, karena masing-masing
merasa mampu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri jika mereka berpisah.
Dari hal itu tampak masih ada keegoisan dari masing-masing pihak, hal ini
menunjukkan masih kurangnya kedewasaan mereka dalam berumah tangga.
Dijelaskan dalam al-Quran bahwa Allah telah mengibaratkan setiap pasangan
suami istri seperti pakaian, dimana yang satu akan menutupi kekurangan yang
lain, seperti yang tercantum dalam Surat al Baqarah ayat 187:
QL'�x" ��0N�� ����Ay�� '\�-I/Mz��� e��p���� ��<{J ����|���� � w5�* �Q��N'� ������ ��F2�"-� �Q��N'� w5H�� _
Artinya :”Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa
bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah Pakaian bagimu,
dan kamupun adalah Pakaian bagi mereka.”(QS. Al Baqarah/2:187)
Dalam kondisi perekonomian yang sangat sulit, peran istri sangat
dibutuhkan untuk membantu peran suami dalam memenuhi kebutuhan rumah
tangga, sehingga segala sesuatunya tidak dibebankan hanya kepada suami saja.
Dengan demikian rasa saling membantu, saling menghargai dan saling menutipi
kekurangan akan menjadikan hubungan keluarga berjalan dengan harmonis.
B. Analisis Efektivitas Pelaksanaan Asas Mempersulit Terjadinya Perceraian di
Pengadilan Agama Depok.
Efektivitas hukum secara tata bahasa dapat diartikan sebagai
keberhasilgunaan hukum, dalam hal ini berkenaan dengan keberhasilan
pelaksanaan hukum itu sendiri. Keefektivitasan hukum adalah situasi dimana
hukum yang berlaku dapat dilaksanakan, ditaati dan berdaya guna sebagai alat
kontrol sosial atau sesuai tujuan dibuatnya hukum tersebut.
Efektivitas hukum dalam masyarakat berarti menilai daya kerja hukum itu
dalam mengatur dan/atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum.
Namun, agar hukum dan peraturan benar-benar berfungsi secara efektif,
senantiasa dikembalikan pada penegakan hukumnya, dan untuk itu sedikitnya
memperhatikan empat faktor penegakan hukum (law enforcement), yaitu :
1. Hukum atau aturan itu sendiri;
2. Petugas yang menegakkan;
3. Fasilitas yang mendukung pelaksanaan penegakan hukum; dan,
4. Masyarakat.
Kemudian efektivitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
pencapaian tujuan dari usaha yang telah dilakukan berkaitan dengan pelaksanaan
asas mempersulit terjadinya percerain di Pengadilan Agama Depok, apakah sudah
mencapai hasil yang sesuai dengan tujuan dari perkawinan atau belum dengan
memperhatikan berbagai macam aturan yang ada, baik itu aturan yang berasal
dari pemerintah maupun aturan yang berasal dari agama.
Menurut penulis yang menjadi indikator efektivitas asas mempersulit
terjadinya perceraian secara umum adalah sedikitnya tingkat perceraian yang
terjadi di masyarakat. Namun jika sudah masuk ke wilayah Pengadilan, maka
yang menjadi indikator utamanya adalah sedikitnya perkara yang diputus cerai
dan banyaknya perkara perceraian yang dicabut dari daftar perkara atau berhasil
didamaikan.
Jika kita melihat laporan perkara tahunan Pengadilan Agama Depok,
tahun 2006 sampai dengan tahun 2008 (lihat tabel.1 dan tabel.2), bila diambil
rata-rata perkara perceraian yang diterima mencapai 1.100 perkara per tahun dan
perkara yang diputus cerai mencapai 81% dari jumlah perkara yang diterima tiap
tahunnya. Walaupun masih tergolong cukup tinggi, namun ada trend positif yang
dihasilkan yakni pada tahun 2006 perkara yang diputus di Pengadilan Agama
Depok mencapai 83,4 %, tahun 2007 mencapai 82,2 % dan pada tahun 2008
menjadi 75,6%, persentase tersebut menunjukkan adanya penurunan tingkat
perceraian pada tiap tahunnya.
Hal ini tidak lepas dari meningkatnya pula perkara yang berhasil
didamaikan atau dicabut serta perkara yang ditolak dan digugurkan. Pada tahun
2006 perkara yang dicabut hanya sekitar 9,1 %, pada tahun 2007 meningkat
menjadi 9,2 % dan pada tahun 2008 mencapai 10,2 % sedangkan perkara yang
ditolak dan digugurkan juga meningkat dari 4,6 % pada tahun 2006, menjadi
5,9% pada tahun 2007 dan 8,5 % pada tahun 2008.
Jika yang menjadi indikator efektivitasnya adalah sedikitnya perkara yang
diputus cerai, maka hasil tersebut belum dapat dikatakan efektif karena sekitar
81% dari perkara yang diterima berakhir dengan perceraian. Tapi secara
keseluruhan ada perkembangan kemajuan yang dihasilkan, yaitu menurunnya
persentase perceraian dari perkara yang diterima tiap tahunnya. Pada tahun 2006
persentase perkara yang diputus cerai sebesar 83,4 %, kemudian pada tahun 2007
menurun menjadi 82,2 % dan pada tahun 2008 kembali menurun menjadi 75,6 %.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam pelaksanaannya sudah
mulai efektif. Hal ini dapat diketahui dari menurunnya persentase perkara yang
diputus cerai dan meningkatnya persentase perkara yang dicabut pada tiap
tahunnya. Jika hal ini terus berlanjut pada tahun-tahun berikutnya, tidak menutup
kemungkinan kefektivitasan asas mempersulit terjadinya perceraian ini akan
tercapai.
Kemudian seperti yang telah dipaparkan di atas, agar pelaksanaan asas
mempersulit terjadinya perceraian benar-benar berfungsi secara efektif,
senantiasa dikembalikan pada penegakan hukumnya. Sedikitnya
memperhatikan 4 (empat) faktor penegakan hukum (Enforcement of Law), yaitu,
Hukum atau aturan itu sendiri, petugas yang menegakkan, fasilitas yang
mendukung pelaksanaan penegakan hukum, dan yang terakhir adalah masyarakat
dan dalam hal ini lebih dikhususkan kepada suami istri.
Berkaitan dengan asas mempersulit terjadinya perceraian yang terkandung
dalam Undang-undang Perkawinan, faktor pertama yang harus diperhatikan untuk
mencapai efektivitas suatu hukum adalah hukum atau aturan atau asas yang
terkandung dalam aturan tersebut. Secara yuridis, sosiologis dan filosofis asas
mempersulit terjadinya perceraian yang terkandung dalam Undang-undang
Perkawinan sudah tepat dan sesuai dengan tujuan daripada Undang-undang
Perkawinan, yakni membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pembuat undang-undang
menyadari betapa pentingnya kerukunan rumah tangga dalam rangka
membangun masyarakat yang lebih baik. Untuk itu sebisa mungkin perselisihan
rumah tangga yang berujung pada terjadinya perceraian dapat dicegah dan ditekan
sampai dengan ke titik yang paling rendah.
Selanjutnya adalah penegak hukumnya, dalam hal ini penegak hukum
yang dimaksud adalah para pegawai hukum di lingkungan Peradilan Agama, baik
pada strata atas, menengah, maupun bawah. Di antaranya yaitu Hakim, Panitera,
Jurusita, dan pegawai non-justisial lainnya. Berkaitan dengan pelaksanaan asas
mempersulit terjadinya perceraian, maka Hakimlah yang merupakan aktor utama
yang menjadi ujung tombak dari pelaksanaan asas tersebut. Di Pengadilan Agama
Depok sudah terdapat 10 Hakim yang biasa menyelesaikan perkara-perkara yang
telah diterima. Hakim-hakim tersebut adalah para Hakim yang sudah
berpengalaman dalam menangani setiap kasus perceraian. Namun belum ada
Hakim yang benar-benar dikhususkan sebagai Hakim mediator, sehingga dalam
proses mediasi yang menjadi mediatornya adalah para Hakim yang ada di
Pengadilan Agama Depok. Menurut penulis di Pengadilan Agama Depok
seharusnya ada petugas tersendiri yang bertugas sebagai Hakim mediator yang
telah dibekali dengan pendidikan khusus, agar upaya perdamaian yang dilakukan
dalam mediasi mendapatkan hasil yang lebih maksimal.
Faktor selanjutnya adalah fasilitas yang mendukung pelaksanaan
penegakan hukum, fasilitas tersebut yaitu seluruh sarana dan prasarana baik fisik
atau pun non-fisik yang berfungsi sebagai pendukung proses penegakkan hukum
(keadilan di Pengadilan), sehingga para petugas penegak hukum dapat bekerja
dengan maksimal. Untuk mendukung palaksanaan penegakan hukum, Pengadilan
Agama Depok sudah memiliki sarana dan prasarana yang baik untuk menunjang
kinerja para penegak hukumnya. Seperti ruang dan perangkat persidangan yang
cukup nyaman untuk melakukan persidangan, kemudian ruang khusus untuk
melakukan mediasi dengan para pihak, ruang untuk para pegawai, serta
perlengkapan lainnya yang masih dapat berfungsi dengan baik seperti komputer,
kendaraan, dll.
Faktor terakhir yang menjadi faktor penting dari keefektivitasan asas
mempersulit terjadinya perceraian adalah kesadaran warga masyarakat, dalam hal
ini yaitu dikhususkan kepada pasangan suami istri, di mana mereka merupakan
objek utama dari penerapan asas ini, setiap pasangan harus memahami dan
mengerti hakikat serta tujuan disyariatkannya pernikahan, agar benar-benar
menjaga hubungan perkawinan dengan baik walaupun pasti akan ada kendala
yang akan dihadapi.
Mengenai kesadaran pasangan suami istri dalam upaya untuk menghindari
perceraian, para Hakim telah berupaya memberikan pengertian kepada pasangan
suami istri untuk terus berupaya menghindari terjadinya perceraian, dengan
memberikan nasihat-nasihat kepada keduanya, ataupun meminta kepada kedua
belah pihak yang berperkara untuk terus hadir secara pribadi ke muka persidangan
jika memang upaya mediasi yang telah dilakukan tidak berhasil. Namun pada
kenyataannya, kesadaran para pihak untuk selalu hadir secara pribadi ke muka
persidangan masih kurang, ini terlihat dari masih banyaknya persidangan yang
dilakukan tanpa kehadiran salah satu pihak atau hanya diwakili kepada kuasa
hukumnya saja. Hal ini akan membuat upaya perdamaian yang dilakukan Hakim
akan sangat sulit dilakukan. Menurut penulis untuk melakukan upaya perdamaian,
maka akan lebih efektif jika dilakukan secara langsung dengan para pihak karena
nasihat-nasihat yang diberikan oleh Hakim akan lebih mengena dibandingkan jika
mereka tidak hadir atau hanya disampaikan melalui kuasanya.
Dari berbagai macam komponen di atas yang merupakan unsur dari
keefektifan penegakkan hukum, kesemuanya itu akan bermuara pada satu titik
yaitu pada Pengadilan Agama. Pengadilan Agama sebagai lembaga penegak
hukum akan menjadi faktor penting dalam menjalankan kaidah hukum yang telah
ditetapkan. Asas mempersulit terjadinya perceraian yang terkandung dalam
Undang-undang Perkawinan merupakan suatu hal yang penerapannya merupakan
wewenang dari Pengadilan Agama. Jika asas ini dilaksanakan dengan baik oleh
para penegak hukum yang dapat diandalkan dengan fasilitas yang cukup
memadai, maka kefektifan dari asas mempersulit terjadinya perceraian yakni
menurunnya taingkat perceraian akan terwujud. Namun hal terpenting adalah
kesadaran dari pasangan suami istri tentang arti dari sebuah perkawinan dan juga
keluarga, karena berawal dari merekalah akan terwujud tujuan dari perkawinan itu
sendiri.
Meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh para Hakim di Pengadilan
Agama Depok untuk mendamaikan para pihak yang tengah berselisih, namun
tidak semuanya berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Ada saja kendala-
kendala yang dihadapi dalam upaya mendamaikan, karena kurangnya kesadaran
para pihak untuk melakukan perdamaian, di antaranya yaitu ketidakhadirannya
salah satu atau keduanya ketika persidangan berlangsung. Upaya pendamaian
akan kurang efektif jika para pihak yang berperkara ada yang tidak hadir atau
hanya diwakili oleh kuasa hukumnya, karena bagaimana pun juga upaya
pendamaian yang dilakukan secara langsung pasti akan lebih efektif dibandingkan
dengan pendamaian yang dilakukan dengan ketidakhadiran para pihak walaupun
sudah diwakilkan kepada kuasanya. Selain itu kerasnya kemauan para pihak
menjadi kendala utama bagi para Hakim dalam upaya mendamaikan, karena
bagaimana pun juga hakim tidak berhak untuk memaksakan para pihak untuk
melakukan perdamaian.
Dari penjelasan dan keterangan di atas, penulis berkesimpulan bahwa
pelaksanaan asas mempersulit terjadinya perceraian di Pengadilan Agama Depok
sudah berjalan dengan baik dan mulai menunjukkan trend positif yaitu
menurunnya persentase perceraian, walaupun secara keseluruhan hasilnya masih
belum dapat dikatakan efektif. Kemudian melihat faktor-faktor yang menjadi
penyebab terjadinya perceraian, dapat disimpulkan yang menjadi masalah
utamanya adalah kstidaksiapan dan kurang matangnya para pihak untuk berumah
tangga, hal ini harus mendapat perhatian lebih dari pemerintah untuk lebih
memberikan penyuluhan atau pembinaan kepada masyarakat mengenai masalah
membangun keluarga yang bahagia.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan perumusan dan uraian panjang di atas, maka penulis
menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Penerapan asas mempersulit terjadinya perceraian yang dilakukan di
Pengadilan Agama Depok telah sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dan
diatur dalam Undang-undang maupun Hukum acara, yaitu mulai dari tata cara
penerimaan perkara, sampai dengan penyelesaiannya di persidangan.
Terhadap semua perkara yang diperiksa, maka dalam rangka menerapkan asas
tersebut para Hakim melakukan upaya perdamaian pada setiap awal
persidangan, baik itu sidang pertama, kedua, dan seterusnya sampai dengan
pembacaan putusan. Namun upaya perdamaian yang dilakukan pada setiap
persidangan tersebut tidak dapat dilakukan secara maksimal, mengingat
banyaknya perkara yang harus diperiksa dan waktunya pun terbatas.
Meskipun demikian, hal itu sudah memenuhi syarat formal yang sesuai
dengan ketentuan dalam Undang-undang maupun Hukum acara. Upaya
perdamaian baru dapat dilakukan secara maksimal oleh para Hakim Mediator
di Pengadilan Agama Depok yakni pada tahap mediasi.
2. Perkara perceraian yang diajukan di Pengadilan Agama Depok baik itu cerai
talak ataupun cerai gugat dapat tergolong cukup tinggi, bila diambil rata-rata,
maka mulai tahun 2006-2008 mencapai 1.100 perkara per tahun dan perkara
yang diputus cerai rata-rata sekitar 81% tiap tahunnya. Walaupun masih
tergolong cukup tinggi, namun di sini ada trend positif yang dihasilkan, yakni
menurunnya persentase perkara yang berakhir dengan perceraian dan
meningkatnya perkara yang dicabut pada tiap tahunnya. Walaupun
kenaikannya tidak terlalu tinggi, namun apabila trend ini bisa lebih
ditingkatkan bukan hal yang tidak mungkin akan tercapai tujuan dari asas
mempersulit terjadinya perceraian yaitu menurunnya tingkat perceraian
sampai ke titik yang paling rendah.
3. Kerasnya kemauan dari para pihak untuk melakukan perceraian membuat para
Hakim sulit untuk mengupayakan perdamaian. Hal inilah yang merupakan
faktor penyebab masih kurang efektifnya pelaksanaan asas mempersulit
terjadinya perceraian di Pengadilan Agama Depok. Kerasnya kemauan para
pihak tersebut berlatar belakang karena ketidaksiapan atau kurang matangnya
baik secara mental maupun psikologis dari para pihak untuk menjalani
kehidupan berumah tangga, yang membuat mereka tidak dapat mengimbangi
persoalan-persoalan dan tantangan yang datang menghampiri. Dari tiga faktor
utama yang menjadi alasan perceraian di Pengadilan Agama Depok, yaitu
faktor ketidakharmonisan, tidak adanya tanggung jawab dan faktor ekonomi,
menunjukkan adanya friksi dalam konteks keluarga yang pada prinsipnya
dipengaruhi oleh lemahnya kesiapan mental dan kematangan dari kedua belah
pihak. Inilah yang menyebabkan setiap masalah-masalah keluarga yang
datang selalu dihadapi secara emosionil.
B. Saran
1. Diadakannya pendidikan khusus untuk para Hakim mediator tentang
bagaimana cara untuk menyelesaikan atau mendamaikan para pihak yang
berperkara. Agar proses mediasi yang dilakukan berjalan dengan optimal
karena ditangani oleh para mediator yang lebih kompeten.
2. Bekerja sama dengan Pemerintah Daerah yakni dengan membentuk berbagai
program untuk memberikan penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat
Namun sasarannya tidak hanya bagi pasangan yang akan melakukan
pernikahan, tetapi juga bagi anak-anak remaja agar mereka mengetahui peran
mereka masing-masing ketika mereka menikah nanti. Dengan demikian,
diharapkan dengan bekal ilmu pengetahuan yang telah diberikan tersebut,
mereka akan lebih siap dan matang untuk menjalani hidup berumah tangga.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo,
2004.
Abidin, Slamet dan H. Aminuddin. Fiqh Munakahat 2. Bandung: CV Pustaka Setia,
1999.
Abubakar, Al Yasa. Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam (Pendukung Qanun
Pelaksanaan Syariat Islam). Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi NAD,
2005.
Alam, Andi Syamsu, Usia Ideal Untuk Kawin. Jakarta: Kencana Mas Publishing
House, 2006, Cet. Ke-II.
Ali, Zainuddun, Sosiologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Al-Hamdani, H.S.A. Risalah Nikah. Jakarta: Pustaka Amani, 2002.
Amandemen Undang-Undang Peradilan Agama No. 7 tahun 1989
menjadi Undang-Undang No. 3 Tahun 2006. Jakarta, Sinar
Grafika, 2006.
Amiur Nurudin dan Azhari Akmal. Hukum Islam di Indonesia: Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari UU No. 1 Tahun 1974 sampai
KHI. Jakarta: Kencana, 2004.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka
Cipta, 1998.
Arto, Mukti. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996.
Bisri, Cik Hasan. Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004.
Daly, Peunoh. Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan
Dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam.
Jakarta: PT Bulan Bintang, 1988.
Departemen Agama RI, Pedoman Konselor Keluarga Sakinah, 2001.
Djalil, A. Basiq. Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik
Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat) Dalam
Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan
Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Aceh. Jakarta:
Kencana, 2006.
Ghazaly,Abd. Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana, 2006.
Hadi, Sutrisno. Metodologi Research. Yogyakarta: Andi Offset, 2000, Jilid I.
Harahap, M. Yahya. Kedudukan, Kewenangan dan Acara Pengadilan
Agama. Ed. II. Jakarta: Sinar Grafika, 2007, Cet. Ke-4.
Hamid, Andi Tahir. Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama dan Bidangnya.
Jakarta: Sinar Grafika, 1996.
Ibrahim, Johnny. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Bayumedia Publishing, 2007.
Ismail, Halimah. “Usaha Hakim Dalam Mendamaikan Pihak Yang
Bersengketa di Pengadilan Menurut Hukum Islam”, Laporan
Penelitian Individual. Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Jakarta, 1995.
Latif, Djamil. Aneka Hukum Perceraian di Indonesia. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1985, Cet. II.
Lubis, Sulaikin. dkk. Gemala Dewi. Ed. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di
Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006.
Majmu Fatawa tentang Nikah. Jakarta: Pustaka Azzam, 2002.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2008.
Mas’ud, Ibn, dan Zainal Abidin. Fiqh Madzhab Syafi’i Edisi Lengkap Muamalat,
Munakahat, Jinayat,. Bandung: CV Pustaka Setia, 2000, Cet. Ke-1.
Qadir Jaelani, Abd. Keluarga Sakinah. Surabaya: Bina Ilmu, 1995.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah 8. Bandung: PT Alma’arif, 1980.
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah Jilid 2. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006.
Sajastani, Abu Daud Sulaiman. Sunan Abu Daud. Cairo: Mustafa al-
Babi al-Halabi, 1952, Juz I.
Selayang Pandang Pengadilan Agama Depok. 2005.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas
Indonesia (UI-Press), 1986. Cet. Ke-3.
Soemiyati. Hukum Perkawinan dan UU Perkawinan. Yogyakarta: Liberty, 1986.
Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004.
Tri Rahayu, Iin. dan Tristiadi Ardi Ardani. Observasi dan Wawancara. Malang:
Bayumedia Publishing, 2004.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Wawancara Pribadi dengan Drs. Sarnoto. MH. Depok, 27 April 2009.
Website: http://buletin-narhasem.blogspot.com.
http://padepok.pta-bandung.net.
Yanggo, Chuzaimah T. dan Hafiz Anshary A.Z. Problematika Hukum Islam
Kontemporer I. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.
Yusuf al-Qardawi. al-Halal wa‘l-Haram fi‘l-Islam. Maktabah Wahbah. Misr, al-
Qahirah, 1975.
Zuhaily, Wahbah. Al-Fiqh Al- Islamy wa Adillatuhu. Beirut: Daar Al-Fikr.
Top Related