EFEKTIFITAS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG POLIS
ASURANSI SYARIAH DITINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN UU NO 8
TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
(Studi Kasus AJB Bumiputera 1912 Cabang Syariah)
Skripsi
Oleh
Mohamad Ihsan
NIM : 102046225379
KONSENTRASI ASURANSI SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAT(EKONOMI ISLAM)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H / 2008 M
EFEKTIFITAS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG POLIS
ASURANSI SYARIAH DITINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN UU NO 8
TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
(STUDI KASUS AJB BUMIPUTERA 1912 CABANG SYARIAH)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ekonomi Islam (SE.I)
Oleh :
Mohamad Ihsan
NIM : 102046225379
Dibawah Bimbingan
Pembimbing 1 Pembimbing 2
H. Sugiyarno, SE, MM, AAAI-J Drs. H. Hamid Farihi, M.A
NIP : 150.228.413
KONSENTRASI ASURANSI SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAT(EKONOMI ISLAM)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429/2008
ABSTRAK
Mohamad Ihsan (102046225379), Efektivitas Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang
Polis Asuransi Syariah ditinjau dari Hukum Islam dan UndangUndang No. 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, 81 hal.
Asuransi adalah suatu bentuk usaha jasa dalam bidang perlindungan terhadap
kemungkinan terjadinya peristiwa yang tidak diinginkan atau terjadi kerugian.
Mekanismenya adalah pihak yang ingin mendapatkan perlindungan membayar sejumlah
uang kepada pihak yang menyediakan perlindungan, perusahaan asuransi. Asuransi
bertujuan memperkecil resiko. Konsumen merasakan manfaat yaitu pihak keluarga
konsumen yang ditunjuk namanya dalam polis akan menerima pertanggungan, jika
tertanggung mengalami kerugian akibat kecelakaan sakit atau bahkan kematian, yang
bertujuan meringangankan beban. Keterkaitan hubungan konsumen (tetanggung/pemegang
polis) dengan pihak perusahaan muncul ketika sejak adanya kata sepakat dari konsumen
kepada pihak perusahaan asuransi. Pada dasarnya, perjanjian dibuat berdasarkan kesepakan
bebas antara dua pihak yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum yang tidak
bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, kepatutan, kesusilaan, ketertiban umum
serta kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat luas. Dalam praktek, pencatuman klausula
baku yang dilakukan asuransi menunjukan bahwa ada kedudukan yang tidak simbang. Hal
ini dapat dilihat dalam pembuatan perjanjian, utamanya dalam polis asuransi, yang
mengandung klausula baku dimana salah satu pihak lebih dominan dari pihak lainnya.
Seharusnya ketentuan dalam polis dibuat secara berimbang sehingga tidak merugikan
konsumen terutama dalam menyelesaikan klaim asuransi. Dalam tulisan ini, penulis
mencoba mengetahui hubungan antara asas kebebasan berkontrak, perjanjian baku dan
ketentuan Pasal 18 UUPK dengan Hukum Islam serta mengkaji dan menganalisa
bagaimana penerapannya ketentuan Pasal 18 UUPK dalam polis asuransi syariah. Dari
penelitian ini dapat ditarik kesimpulan, klausula baku yang bertentangan dengan dengan
UUPK, yang terdapat dalam polis asuransi syariah adalah yang esensinya secara mendasar
telah mengalihkan tanggung jawab pelaku usaha kepada tertanggung/pemengan polis
sebagai konsumen asuransi. Selanjutnya, klausula baku yang menyatakan tunduknya
konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau
pengubahan lanjuatan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dikemudian hari. Dengan
masih adanya klausula baku yang melanggar Pasal 18 UUPK dalam polis asuransi seperti
yang diuraikan diatas, maka konsumen berhak untuk menuntut agar klausula-klausula
tersebut dinyatakan batal demi hukum. Dengan demikian, menurut hemat penulis, pelaku
usaha perlu melakukan evaluasi terhadap polis asuransi yang beredar pada masyarakat dan
menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsuemen.
��� ا ا���� ا�����
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbi al-âlamîn, sujud syukur penulis haturkan ke Dzat yang Maha
Rahmân bagi semesta alam dan Rahîm bagi semua hamba yang selalu menjalankan
perintah-Nya, yang telah menciptakan rasa cinta dan kasih pada hati manusia.
Washalâtu wasalâm ‘alâ rasûlillah senantiasa tercurah kepada Rasulullah
Muhammad Saw (yang tak pernah lelah untuk selalu membimbing umatnya dengan penuh
kasih sayang), kepada keluarganya, sahabatnya serta ummatnya sepanjang zaman. Semoga
kita mendapat syafa’atnya di yaumu al-Ba’ats, amîn.
Penulis bersyukur, setelah proses yang cukup panjang yang syarat akan ganngguan dan
hambatan, akhirnya dengan limpahan kasih sayang-Nya, penulis mampu menyelesaikan
skripsi yang berjudul " EFEKTIFITAS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
PEMEGANG POLIS ASURANSI SYARIAH DITINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN
UNDANG-UNDANG NO 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
(Studi Kasus AJB Bumiputera 1912 Cabang Syariah)".
Penulis menyadari betapa sederhana karya tulis ini dan jauh dari sempurna. Namun
penulis juga tidak menutup mata akan peran berbagai pihak yang telah banyak membantu
dalam proses penyelesaian skripsi ini. Perkenankanlah penulis untuk mengucapkan kata
terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Bpk. Prof. DR. H. M. Amin Suma SH., MA., MM., sebagai Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Ibu. Euis Amalia M. Ag. dan Bpk. Ah. Azharudin Lathief, M.Ag., MH. sebagai
Ketua dan Sekretaris Jurusan Muamalat (Ekonomi Islam) Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syahid Jakarta.
3. Bapak H. Sugiayarno, SE, MM, AAAIJ dan Drs. H. Hamid Farihi, M. Ag. selaku
dosen pembimbing yang senantiasa membimbing penulis dan senantiasa
meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Dr. Dr. H. A. Juaini Syukri, M.Ag dan Drs. H. Burhanudin Yusuf, MM
selaku dewan penguji skripsi.
5. Seluruh staf dan karyawan AJB. Bumiputera 1912 Cabang Syariah, yang telah sudi
menerima penulis untuk melakukan riset dan mau membantu memberikan data yang
diperlukan guna penyelesaian skripsi ini.
6. Pimpinan dan staf Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syahid Jakarta, tempat penulis memperoleh berbagai informasi dan sumber-
sumber skripsi.
7. Para dosen yang telah mencurahkan ilmunya kepada penulis selama mengikuti
perkuliahan di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sekaligus membantu penulis dalam proses penulisan skripsi ini.
8. Yang tercinta Ayahanda (M. Sutikno) dan Ibunda (Siti Musriah), yang dengan
ikhlas selalu mengajarkan dan memberikan dorongan kepada penulis dalam
menjalankan kehidupan ini. Sebagai seorang anak, penulis belum bisa membalas
jasa keduanya kecuali berdo’a semoga Allah SWT memberikan hati yang sabar
serta balasan yang terbaik atas semua amal mereka dan selalu melimpahkan rahmat
dan Inayah-Nya.
9. Kakak tercinta, Siti Sholeha, Siti Salamah, M. Fauzi, M. Rifai, SE. M. Warham,
SH, M. Ainur R, M. Hari Fachreza, SH., Siti Komaerini, yang selalu memberikan
nasehat-nasehatnya agar penulis menjadi lebih baik. Kaulah kakak dan sahabat
terbaik penulis. Adiku Siti Nurul Mariana tersayang yang selalu menjadi motivasi
bagi penulis dalam menjalani hidup ini. Serta semua keponakanku, Semoga kalian
semua lebih baik dari penulis.
10. Mas Huda SH. MH, Mas Bahrul Muhtasib, SE.I, M.Si, Mbak Siti Kalimah S.Sos,
Matur suwun wejangane lan singgahane.
11. Sahabat-sahabat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Komisariat Fakultas
Syariah dan Hukum : Nur Sholah “Gus Beks” Ardiansyah “Buyung”, A. Hudori,
Imam Musthofa, Mustholeh, Hasby, Suhud, Reva Arbano, M. Budi Setiawan, Oenk,
Fais, Asep, Hamdi, Ozi, De2, Simon, (sahabat dan teman diskusi yang baik)
Semoga persahabatan kita tak akan lapuk oleh masa.
12. Buat teman-teman Asuransi Syariah angkatan 2002 : Dondi, Bidin, Hamdi, Ues,
Fuad, Edo, Mexi, Amsari, Muis, Harly, Rihlah, Ella, Iyom, Ainun, Yayah, Inay dan
yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, semoga tali silaturahmi kita tetap
tejalin.
13. Kepada pihak-pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terima kasih
semoga semua amalan yang telah anda lakukan dicatat sebagai amalan kebaikan
kelak di akhirat. Amin.
Akhir kata, penulis berharap kritik dan saran terhadap karya tulis ini yang jauh dari
sempurna. Dan semoga karya sederhana ini bermanfaat khususnya bagi pihak-pihak yang
peduli terhadap Asuransi Syariah dan umumnya untuk semua pihak pemerhati Ekonomi
Islam. Wassalam.
Depok, 22 September 2007
Ramadhan 1428 H
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 12
D. Metode Penelitian 13
E. Sistematika Penulisan. 15
BAB II TINJAUAN UMUM AKAD ASURANSI SYARIAH 16
A. Tinjauan Akad Asuransi Syariah 16
B. Pengertian Akad dalam Asuransi Syariah 17
C. Syarat Sahnya Akad Asuransi Syariah 19
D. Jenis-jenis Akad Asuransi Syariah 24
E. Polis Asuransi Syariah 28
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG AJB BUMI PUTERA 1912 35
A. Sejarah Berdirinya AJB Bumiputera 35
B. Latar Belakang Berdirinya Divisi Syariah 36
C. Falsafah Visi dan Misi 37
D. Landasan Operasional 39
E. Produk-produk dan Manfaatnya 42
F. Stuktur dan Keanggotaan AJB Bumiputera 1912 Cabang Syariah 49
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG POLIS DALAM
AKAD ASURANSI SYARIAH PADA AJB BUMIPUTERA 1912 CABANG
SYARIAH 52
A. Hubungan Akad Asuransi Syariah dengan Hukum Islam 52
B. Hubungan Antara Penerapan Akad Asuransi Syariah dengan
UUPK No 8 1999 55
C. Penerapan UUPK No 8 Tahun 1999 pada Akad Asuransi Syariah
62
D. Dampak Penerapan UUPK No 8 Tahun 1999 pada Akad Asuransi Syariah 68
BAB V PENUTUP 70
A. Kesimpulan 71
B. Saran 72
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada umumnya hampir semua kegiatan dalam kehidupan manusia tidak
dapat dihindarkan dari suatu risiko, dimana risiko yang terjadi salalu membawa
dampak yang kurang menguntungkan. Risiko tersebut dapat berupa sakit,
kecelakaan, kematian dalam usia muda, hilangnya harta benda proses ketuaan lebih
awal mengakibatkan kelemahan fisik, hilangnya pekerjaan sehingga pendapatan
keluarga terhenti, dan sebagainya. Oleh karenanya, manusia selalu berusaha keras
untuk mendapatkan pengamanan sejak mereka ada. Pada mulanya, rasa aman itu
ada apabila ada jaminan atas tersedianya makanan dan tempat tinggal.
Apabila kita membaca sejarah kerajaan Mesir kuno, kita dapat mengetahui
bagaimana rakyat Mesir meyisihkan sebagaian dari hasil panennya sewaktu
memperoleh hasil panen yang baik, guna mengamankan persediaan makanan
sewaktu mereka berada pada musim kering.1
Dalam menghadapi risiko kemungkinan kehilangan atau kerugian manusia
mengambil sikap:
1. Melakukan Antisipasi.
1 Agus Prawoto, Hukum Asuransi dan Kesehatan Asuransi ( Yogyakarta : BPFE,1995),
hal. 1
Cara yang paling jelas dan mudah adalah menghindari risiko. Kita dapat
menghindari kemungkinan risiko luka atau kematian akibat kecelakaan pesawat
terbang atau kita dapat menghindari risiko rugi pada bursa saham dengan tidak
membeli saham.
2. Menghindari risiko.
Kita dapat mengontrol risiko dengan cara pencegahan. Untuk mencegah
kemungkinan kehilangan mobil kita dapat menerapkan langkah-langkah
pencegahan seperti pemasangan kunci ekstra, alarm mobil.
3. Menerima kemungkinan terjadinya risiko.
Menerima risiko berarti menerima semua tanggung jawab finansial pada risiko
tersebut.
4. Mengalihkan kemungkinan kerugian atau kehilangan tersebut supaya tidak
terjadi.
Ketika seseorang mentransfer atau mengalihkan risiko ke pihak lain, orang itu
mengalihkan tanggung jawab finansialnya untuk suatu risiko kepada pihak lain
yang membayar jasa tersebut. Cara paling umum untuk individual, keluarga, dan
bisnis untuk metode ini biasanya melalui asuransi.
Sikap-sikap diatas dapat mengatasi risiko yang dihadapi, sehingga sejak
lama orang mencari cara lain untuk mengatasi risiko tersebut yang sekarang dikenal
sebagai lembaga asuransi.2
2 Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, (Jakarta: Sinar
Grafika,1992). hal 15
Dalam pandangan ekonomi, asuransi merupakan metode untuk mengurangi
risiko dengan jalan memindahkan dan mengkombinasikan ketidakpastian akan
adanya kerugian keuangan (financial).3 Dari sudut pandang hukum, asuransi
merupakan suatu kontrak (parjanjian) pertanggungan risiko antara tertanggung sama
penanggung. Penanggung berjanji akan membayar kerugian yang disebabkan
terjadinya risiko yang dipertanggungkan. Sedangkan tertanggung membayar premi
secara periodik kepada penanggung. Di dalam industri asuransi, secara operasional,
risiko itu diartikan sebagai kerugian yang tidak pasti. Artinya, risiko mempunyai
dua unsur, yaitu mungkin terjadi mungkin tidak.4
Ada beberapa macam resiko yang perlu di pertimbangkan:
1. Risiko Murni (pure risk)
Yaitu suatu risiko yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga sebelumnya.
Kalau ketidakpastian itu terjadi, maka yang ada hanya kerugian.
2. Risiko spekulasi (spekulatif risk)
Pada risiko ini, terdapat dua kemungkinan, yaitu kemungkinan untuk
memperoleh keuntungan atau kerugian. Contohnya seorang menderita kerugian
bila harga saham itu turun atau akan mendapatkan keuntungan bila harga saham
itu naik.
3 AM. Hasan Ali, AsuransDalam Pespektif Hukum Islam Suatu Tinjauan analisis Historis
Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Kencana, 2004) hal. 60 4 Soeisno Djojosoedarso, Prinsip-PrinsipManajemen Risiko dan Asuransi (Jakarta. Salemba
Empat) hal. 3
Tidak semua risiko dapat diasuransikan atau dipertanggungkan. Risiko yang
dapat diasuransikan sebenarnya risiko jenis murni yang tidak dapat dihindarkan.
Risiko jenis ini, seperti kebakaran, kematian, jatuh sakit, kecelakaan dan sebagainya
tidak dapat sepenuhnya dihindarkan kerena memang merupakan bagian dari
kehidupan manusia.
Dengan asuransi, risiko beralih dari pihak tertanggung kepada pihak
penanggung (perusahaan asuransi) sehingga bila risiko tersebut terjadi dapat
mengurangi beban kerugian yang harus ditanggungnya.
Pasal 1336 ayat 1 KUHP mengatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan adanya
perkataan “semua” dalam pasal tersebut berarti juga berlaku bagi perjanjian
asuransi.5
Melalui perjanjian asuransi, orang dapat mengalihkan berbagai risiko yang
dihadapi. Dengan demikian, manfaat asuransi adalah mengurangi ketidakpastian
karena risiko yang dapat menimbulkan kerugian. Seseorang membayar premi untuk
mengganti ketidakpastian disebabkan oleh kemungkinan kerugian. Artinya, risiko
itu dapat dikelola ataupun dialihkan pada pihak lain (perusahaan asuransi) yang satu
dengan yang lainnya dapat memiliki keterikatan yang saling menguntungkan.
Di dalam dunia bisnis tertentu, misalnya perdagangan, perbankan dan
perasuransian, terdapat kecenderungan untuk menggunakan apa yang dinamakan
5 Man Suparman Sastrawidjaja, Hukum Asuransi, Perlindungan Tertanggung. Asuransi
Deposito, Usaha Persauransian (Bandung PT Alumni 2004) Cet. 3 Hal 12
kontrak atau akad yang sebelumnya oleh pihak perusahaan telah menetapkan secara
sepihak yang isinya dapat digunakan secara berulang-ulang dengan berbagai
pihak/konsumen perusahaan tersebut. Dalam Akad tersebut sebagian besar isinya
sudah ditetapkan oleh pihak perusahaan yang tidak membuka kemungkinan untuk
dinegoisasikan lagi. Dapat difahami bagi pelaku usaha, pemberlakuan dokumen ini
adalah supaya pelaku usaha tidak berulang-ulang membuat perjanjian dengan
konsumen yang berbeda-beda, karena pelaku usaha mempunyai puluhan, ratusan
bahkan ribuan konsumen. Jika setiap konsumen diadakan pejanjian yang berbeda-
beda, tentunya ini akan membuang waktu tenaga dan bahkan biaya. Artinya bagi
pelaku usaha asuransi, pertimbangan utama digunakannya perjanjian baku adalah
pertimbangan efisiensi.
Perumusan kontrak baku atau perjanjian tertulis membutuhkan keterampilan
redaksional hukum yang hanya dimiliki oleh ahli hukum atau pengacara yang
tentunya membutuhkan biaya yang mahal. Atas dasar itu banyak orang
menggunakan perjanjian sejenis dibuat dan digunakan secara massal. 6
Perjanjian dibuat karena tidak memperlukan waktu yang lama untuk
melakukan negoisasi. Jadi Akad muncul dengan latar belakang sosial, ekonomi dan
praktis. Adanya Akad karena dunia bisnis memang membutuhkannya. Oleh karena
itu Akad diterima oleh masyarakat.
6 Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia.
(Jakarta, Kencana, 2004) hal. 186
Setiap orang mempunyai kebebasan untuk melakukan akad/perjanjian
dengan siapapun. Perjajian diantara satu pihak dengan pihak lain tersebut bersifat
privat, artinya hanya mengikat kedua belah pihak. Karena itu pihak lain tidak
mempunyai hak untuk ikut campur dalam perjanjian tersebut, tidak juga negara
(dalam bentuk undang-undang).7 Negara hanya bisa melakukan intervensi dalam
hubungan privat/ perdata apabila salah satu pihak yang melakukan perdata berada
dalam posisi yang lemah. Negara mempunyai tugas untuk melindungi pihak yang
lemah tersebut agar mempnyai posisi yang kuat. Misalnya pihak perjanjian itu harus
memenuhi syarat-syarat sah perjanjian, bahwa materi perjanjian tidak boleh
bertentangan dengan poeraturan perundang-undangan, keterlibatan dan kesusilaan
bahwa perjanjian tidak boleh timbul akibat dari adanya paksaan, kekhilafan ataupun
penipuan.8
Sedangkan apabila seseorang membuat perjanjian sewa-beli ataupun
macam-macam bentuk perjanjian lain, asalkan tidak bertentangan dengan hal-hal
tersebut diatas maka perjanjian tersebut tetap sah dan tidak ada otoritas manapun
yang berhak membatalkannya kecuali atas kesepakatan kedua belah pihak. Hal yang
mengikat perilaku atau keadaan demikian adalah apa yang disebut “Asas Kebebasan
Bersepakat”
7 Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia,
h 188 8 Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia,
hal 189
Pada dasarnya, hukum perikatan Islam juga menganut asas kebebasan
berkontrak yaitu suatu perikatan atau perjanjian akan sah dan mengikat kedua belah
pihak apabila ada kesepakatan suka sama suka (antaradhin) yang terwujud dalam
dua pilar yaitu ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan). Namun demikian
tentunya sangat berbeda dalam hal prinsip-prinsip dalam rangka pembatasan asas
kebebasan berkontrak tersebut. Karena pembatasan yang diberikan dalam asas
kebebasan berkontrak dalam KUHP adalah buatan manusia berupa undang-undang
kesusilaan dan ketertiban umum, sementara pembatasan dalam konsep syariah
adalah dari firman Allah dalam Al-Quran dan pernyataan Nabi Muhammad dalam
Hadist (as-sunnah).9
Dengan demikian tentu saja perbedaan sangat esensial dalam pembatasan-
pembatasan yang diberikan kedua konsep tersebut. Misalnya dalam konsep syariah
sebuah perjanjian atau akad tidak boleh memuat lima hal berikut;
a. Membuat dan menjual barang najis.
b. Mengandung barang-barang yang tidak bermanfaat dalam Islam.
c. Mengandung gharar (tidak jelas).
d. Mengandung riba.
e. Perjudian.
9 Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia.
hal 190
Suatu akad dalam hukum Islam harus dilandasi adanya kebebasan kehendak
dan kesukarelaan dari masing-masing pihak yang mengadakan transaksi. Allah
berfirman dalam surat an-Nisa’ ayat 29 :
��������� �� ������ ��������� �� ������� !�"# $�%"&'��(��)
*�+,�./ 01�2+(&��3/ 4�35 6�) �7��%"# 8,9:��� ;� <=�9"#
>$�%?�@� A ���� ������C(5"# >$�%DE�FG�) A H635 ���� 6�⌧J
>$�%3/ �K☺M�N�O . )��٤/٢٩ :ء ا��(
Artinya: “Hai orang-orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan cara bathil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah
kamu membunuh drimu sesungguhnya Allah maha penyayang
kepadamu”. (an-Nisa’- 29)
Hukum Islam memberikan kebebasan bersepakat pada setiap orang untuk
melakukan akad sesuai yang diinginkan, sebaliknya apabila ada unsur pemaksaaan
atau pemasungan kebebasan akan menyebabkan legalitas Akad yang dihasilkan
batal dan tidak sah. Firman Allah dalam Al-Qur'an surat al-Maidah ayat 1 :
��������� �� ������ ���������� ����!��)
�M��5��(&��3/ A P*���NQ) $�%"& �:�☺MS�T UV��GCW�� X�35 ��
AOY�C�� >$�%(ZY�[ �\>9⌧] ^_`#��a �b(Mcd&�� >$CG�)�� ]e�9�N % H635
���� �$�%("f �� b�_9�� . )�٥/١:��ة ا�(
Artinya :
Hai orang-orangorang yang beriman penuhilah aqad-aqad itu. Di halalkan
bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang
demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika sedang
mengerjkan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut
yang dikehendaki_Nya. (al-Maidah-1)
Asas ini menggambarkan adanya prinsip dasar muamalah yaitu kebolehan
(mubah) yang mengandung arti bahwa hukum Islam memberi kesempatan luas
perkembangan bentuk dan macam muamalah baru sesuai perkembangan kebutuhan
hidup manusia.10
Namun kebebasan berakad tersebut memiliki batasan terhadap hal-hal yang
sudah dilarang dalam syariat, Tujuan dari pembatasan tersebut adalah untuk
menjaga agar tidak terjadi penganiayaan terhadap sesama manusia.
Dalam industri asuransi khususnya asuransi jiwa (life insurance), hubungan
antara penanggung (perusahaan asuransi ) dengan tertanggung (konsumen yang
membeli asuransi) diikat oleh perjanjian baku yang dikenal dengan istilah polis.
Polis menurut pasal 255 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
merupakan bukti utama adanya perjanjian antara tertanggung/pemengang polis
dengan perusahaan asuransi sebagai penanggung, yang oleh Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen disebut Pelaku Usaha.
Dalam praktek sehari-hari, seringkali calon tertangung/pemegang polis
sebagai calon konsumen jarang bahkan ada yang sama sekali tidak membaca dan
atau mempelajari polis yang dibelinya. Hal itu biasanya terjadi karena perusahaan
asuransi menerbitkan polis dengan huruf yang berukuran kecil, sehingga sulit untuk
10 Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia,
hal. 192
memahami isi polis. Dengan tidak membaca apalagi memahami isi standar polis,
pada akhirnya menyebabkan tertanggung/pemengang polis tidak memahami hak
dan kewajibannya selaku konsumen asuransi, yang pada akhirnya seringkali
menimbulkan perselisihan di kemudian hari.
Hak-hak konsumen dalam praktek kehidupan sehari-sehari sering juga tidak
diterapkan. Hal ini karena ketidaktahuan atau keengganan dalam menerapkannya.
Di pihak lain masih banyak produsen yang sering bertindak semena-mena karena
ketidak tahuan dan ketidak berdayaan konsumen. Tentu saja itu sangat merugikan
masyarakat, karena setiap hari masyarakat selalu berperan sebagai konsumen barang
maupun jasa, dimana masyarkat pasti pernah merasakan adanya kecurangan yang
dilakukan oleh produsen yang akhirnya membuat konsumen kecewa, tidak puas dan
bahkan merasa tertipu.
Pasal 18 Undang – Undang No. 8 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
mengatur tentang beberapa klausul/ketentuan yang dilarang untuk
dimuat/dicantumkan dalam perjanjian berkontrak. Dengan demikian, ada kewajiban
bagi pelaku usaha untuk menyesuaikan perjanjian yang diterbitkannya dengan
ketentuan tersebut. Pasal 18 UUPK memberikan ancaman batalnya klausula dalam
perjanjian yang melanggar ketentuan tersebut. Permasalah tersebut akan penulis
tuangkan dalam skripsi yang berjudul : “Efektifitas Perlindungan Terhadap
Pemegang Polis Ditinjau dari Hukum Islam dan UU No 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen” (Studi Kasus AJB Bumiputera 1912 Cabang Syariah)
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Pembangunan dan perkembangan di bidang perindustrian dan
perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/ atau jasa
yang dapat dikonsumsi. Ditambah dengan globalisasi dan perdagangan bebas
yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi kiranya memperluas
ruang gerak arus transaksi barang dan/ atau jasa. Akibat barang dan/ atau jasa
yang ditawarkan bervareasi baik produk luar negeri maupun produk dalam
negeri.
Kondisi diatas disatu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena
segala kebutuhan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta
semakin terbuka lebar, karena adanya kebebasan untuk memilih aneka jenis dan
kualitas barang dan/ atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan
konsumen. Tetapi disisi lain dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha
tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah yang menjadi
obyek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh
pelaku usaha melalui berbagai promosi, cara penjualan, serta penerapan
perjanjian baku yang merugikan konsumen.
Mengingat masalah yang akan penulis bahas ini permasalahnya cukup
luas maka pembahasan dalam skripsi ini penulis batasi pada masalah klausula
baku yang dikeluarkan oleh perusahan asuransi syariah serta akibat hukumnya
di tinjau dari Undang-Undang No 8 Tahun 1999. tentang Perlindungan
Konsumen.
2. Perumusan Masalah.
Agar pembatasan dalam penelitian skripsi ini lebih terarah, maka penulis
akan merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
a. Bagaimanakah hubungan antara akad asuransi syariah dan ketentuan pasal
18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen
dalam perjanjian asuransi syariah?
b. Apakah pembuatan polis asuransi syariah telah sesuai dengan ketentuan
mengenai klausula baku dalam pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen dan Hukum Islam?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.
Tujuan penulisan penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh data dan
informasi yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap pemegang polis
asuransi syariah selaku konsumen dalam perusahaan asuransi syariah.
Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui apakah para pemegang polis asuransi syariah selaku konsumen
sudah dilindungi hak-haknya dalam ketentuan polis asuransi syariah maupun
dalam praktek pelaksanaan perjanjian asuransi syariah.
2. Mengetahui usaha-usaha apa saja yang harus dilakukan pemerintah Indonesia
dan Dewan Syariah Nasional pada usaha perasuransian di Indonesia agar
konsumen tidak dirugikan.
Sedangkan kegunaan penelitiaan ini adalah secara teoritis, diharapkan dapat
menjadi sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan secara umum
dan perjanjian asuransi syariah secara khusus. Selain itu, hasil penelitian ini juga
diharapakan dapat menjadi masukan bagi perusahaan asuransi syariah dalam
membuat polis asuransi syariah.
D. Kerangka Teori dan Konsepsi
Dengan lahirnya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, masyarakat sudah semakin memahami akan hak-hak dan kewajibannya
sebab tujuannya jelas yaitu untuk dapat mengangkat harkat dan martabat konsumen
melalui berbagai upaya dengan berusaha meningkatkan pengetahuan, kepedulian
dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun, mahluk hidup lainnya.
Konsumen menurut Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen adalah : “Setiap pemakai barang dan/ jasa yang tersedia
dalam masyarakat baik bagi keputusan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun
makhluq hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”
Menurut Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek
Monopoli dan persaingan Usaha Tidak Sehat, Konsumen adalah : “Setiap pemakai
dan atau pengguna barang dan tau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun
untuk kepentingan orang lain”.
Secara umum, hak-hak yang menjadi tujuan dibuatnya Undang-Undang
Perlindungan Konsumen dapat disimpulkan sebagi berikut:
1. Hak atas keselamatan.
2. Hak atas kejujuran.
3. Hak atas perjanjian yang adil.
4. Hak untuk mengetahui.
5. Hak untuk memilih.
6. Hak atas privasi.
7. Hak untuk membenarkan kesalahan.
8. Hak untuk bekerja secara aman.
9. Hak untuk didengan pendapatnya.
10. Hak untuk dapat berfikir untuk menentukan sesuatu.
Menurut ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
memiliki hak sebagia berikut :
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa.
2. Hak untuk memilih barang dan/jasa serta mendapatkan baran dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi jaminan
barang dan/atau jasa.
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan.
5. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/ atau jasa yang
digunakan.
6. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketapelindungan konsumen secara patut.
7. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
8. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
9. Hak untuk mendapatkan dispensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian, jika
barang dan/atau jasa jika barang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau
tidak sebagaimana mestinya.
10. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang lain.
Islam sangat menuntut kepada setiap umatnya agar diantara mereka selalu
saling menghormati/menghargai satu sama lain karena manusia derajatnya sama
dimata Allah SWT. Begitu juga dalam bisnis dimana para pengusaha harus
mengimplementasikan rasa hormat kepada partnernya agar timbul rasa saling
percaya diantara mereka terjadi suatu kontrak kerjasama.
Berdasarkan hal-hal diatas perlu adanya perlindungan terhadap konsumen
jasa asuransi khususnya terhadap pemegang polis asuransi syariah.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yang
berarti bahwa penelitian ini mengacu pada peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan masalah yang dibahas dengan pendekatan yang bersifat
komparatif dan kualiatatif
Penggunaan metode penelitian yuridis normatif bertujuan untuk menganalisa
norma-norma yang terdapat pada peraturan perundang-undangan di bidang asuransi,
khususnya norma-norma hukum di bidang pelindungan konsumen.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengunakan metode deskriptis
kualitatif yaitu pemecahan masalah dengan cara mengumpulkan informasi dan data
sebanyak-banyaknya dengan jalan mengklasifikasikannya serta menganalisisnya.
Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian kepustakaan
(library research) penelitian lapangan ( fieal research)
Penelitian kepustakaan yaitu mencari data-data yang diperoleh dari literatur-
literatur dan referensi yang berhubungan dengan judul skripsi di atas. Referensi
diambil dari al-Quran, kitab-kitab fiqh klasik dan kontemporer, Undang-Undang
dan peraturan pemerintah yang berlaku serta berhubungan dengan skripsi ini.
Kemudian Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
serta bahan-bahan lainya yang dapat mendukung judul skripsi diatas. Dalam
mengelola dan menganalisa data, kemudian menggunakan metode kualitatif, penulis
mendeskripsikan permasalahan yang akan dibahas dengan mengambil materi-matri
yang cukup relevan dengan permasalahan lalu dikomparasikan.
Penelitian lapangan yaitu melakukan pencarian data-data dan informasi
mengenai permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini. Melalui;
1. Interview atau wawancara kepada para pihak yang berkepentingan, sesuai
dengan obyek penelitian yang telah diambil.
2. Dokumentasi, yaitu mengumpulkan data-data lapangan di lokasi penelitian.
3. Analisa, yaitu melakukan analisa terhadap hasil-hasil yang telah diperoleh baik
dengan jalan wawancara ataupun dari sumber data yang telah di temukan.
Dalam jenis penelitian ini penulis mencoba langsung terjun kelapangan yaitu
penelitian langsung keperusahaan yang dijadikan objek penelitian di AJB
Bumiputera 1912 Cab. Syari’ah.
Adapun pedoman penulisan dalam skripsi ini, penulis menggunakan
pedoman penulisan skripsi, yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Jakarta Tahun 2007. dan untuk penulisan Ayat Al-Qur’an penulis merujuk pada al-
Qur’an terbitan Departemen Agama RI.
F. Sistematika Penulisan.
Untuk mempermudah penulisan skripsi ini, maka penulis membuat skripsi
ini menjadi beberapa bab dan setiap babnya terdiri atas sub bab dengan sistematika
penulisan sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan meliputi : Latar belakang masalah, Pembatasan dan
perumusan masalah, Tujuan dan manfaat penelitian, Metode
penelitian, Sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan Umum Akad Asuransi Syariah Bab ini terdiri dari :
Tinjauan akad asuransi syariah, Pengertian akad dalam asuransi
syariah, Syarat sahnya akad asuransi syariah, Jenis-jenis akad
asuransi syariah, Polis asuransi syariah
BAB III : Gambaran Umum Tentang AJB Bumiputera 1912 Bab ini terdiri
dari : Sejarah berdirinya AJB Bumiputera, latar belakang berdirinya
divisi syariah, Falsafah visi dan misi, Landasan operasional, Produk-
produk asuransi syariah dan manfaatnya, Stuktur dan keanggotaan
AJB Bumiputera 1912 Cabang Syariah, Jobdiskripsi.
BAB IV : Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Polis Dalam Akad
Asuransi Syariah Pada Ajb Bumiputera 1912 Cabang Syariah.
Bab ini terdiri dari : Hubungan akad asuransi syariah dengan hukum
Islam, Hubungan antara penerapan akad asuransi syariah dengan
UUPK No 8 1999, Penerapan UUPK No 8 Tahun 1999 pada akad
asuransi syariah, Dampak penerapan UUPK No 8 Tahun 1999 pada
akad Asuransi Syariah
BAB V : Penutup. Bab ini terdiri dari Kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN UMUM AKAD ASURANSI SYARIAH
A. Tinjauan Akad Asuransi Syariah
Akad dalam transaksi merupakan sesuatu yang sangat esensial. Sah atau
tidaknya suatu transaksi tergantung bagaimana bentuk akad yang telah disepaki
kedua belah pihak. Apakah telah memenuhi syarat dan rukunnya atau belum. Dalam
pembuatan klausul akad harus dibuat secara jelas agar tidak ada yang dirugikan
diantara kedua belah pihak. Asuransi adalah bentuk akad modern yang tidak dapat
terhindar dari akad yang membentukya. Hal ini disebabkan karena dalam
prakteknya, asuransi melibatkan dua orang yang terikat dalam perjanjian untuk
saling melaksanakan hak dan kewajiban, yaitu antara peserta asuransi dengan
perusahaan.11
Pada umumnya, sebuah akad merupakan cara yang paling efektif untuk
melakukan transaksi kepemilikan dan pemindahan harta. Akad merupakan
perpaduan dari penawaran dan penerimaan dan dinyatakan sebagai sumber
kewajiban perjanjian dari dua belah pihak yang mengadakan akad atas suatu hal
tertentu.12
11 AM. Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, Suatu Tinjauan Analisis,
Teoritis, dan Praktis (Jakarta, Prenada Kencana, 2004) hal. 136 12 Mohammad Muslihuddin, Menggugat Asuransi Moderen Jakarta,: PT. Lentera Baristama
1995. cet.2. hal. 110
Akad dalam asuransi syariah disebut polis. Salah satu dari kata polis
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “surat perjanjian antara orang yang
masuk asuransi dan perseroan asuransi”.13
Disamping pengertian tersebut ada pula
pengertian polis lainnya, yaitu perjanjian atau persetujuan tertulis antara perusahaan
asuransi dan pemilik polis. Polis termasuk semua kertas endorsement dan pengikat,
mengangkat perjanjian asuransi keseluruhan.14
Polis asuransi merupakan perjanjian yang sah, oleh karena itu polis asuransi
tunduk pada prinsip-prinsip hukum perjanjian, walaupun dalam hal perjanjiannya
telah disesuaikan dengan perjanjian asuransi.
B. Pengertian Akad dalam Asuransi Syariah
Pengertian akad dalam asuransi syariah jauh berbeda dengan praktek
asuransi konvensional. Dalam Undang-Undang Hukum Perdata Mesir pasal 747
mendefinisikan kontrak asuransi sebagai berikut:
Akad yang ketentuannya penanggung (pihak pertama) wajib memberikan
uang, atau imbalan lain yang bernilai uang kepada tertanggung (pihak kedua) atau
pihak ketiga yang mendapat kuasa untuk kebaikannya (mustafid), adanya kejadian
peristiwa yang dijelaskan dalam polis. Apa yang diberikan penanggung tersebut
sebagai pengganti dari premi atau pembayaran uang lainnya yang diberikan
tertanggung kepadanya.15
13Tim Penyususn Kamus Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa “Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka 1989 , cet ke.2 hal. 693 14 A. Hasymi Ali dkk, Kamus Asuransi (Jakarta, Bumi Aksara) 2002 cet.2 . hal. 69 15 Aisyul Muzakki, Asuransi Dalam Hukum Islam (Tinjauan Atas Riba, Maisyir dan
Gharar) Jakarta, CV. Firdaus, 1999, cet. 2 hal. 7
Dari pengertian tersebut, nampak bahwa yang membedakan pengertian
Akad asuransi syariah dengan konrak konvesional adalah tujuan dari dibuatnya akad
tersebut. Dalam akad asuransi syariah, tujuan utama dalam pembuatan akad adalah
“ta’awun” dan “tadhamun” saling bertanggung jawab, saling berkerja sama atau
bantu membantu dan saling melindungi penderitaan satu sama yang lain. Oleh
karena itu berasuransi diperbolehkan dalam syariat, karena prinsip-prinsip dasar
syariat mengajak kepada setiap orang dalam keeratan jalinan sesama manusia dan
sesuatu yang dapat meringankan bencana mereka.
Firman Allah SWT. Dalam Al-Quran surah Maidah ayat 2 :
...�G�����3 �#Y^ْا��#"h\U&(&�� %i��(5jk&���� � ���� ���G�����"#
^Y#� UV(V*l�� 06'��Pb��(&���� A ����5H#���� ���� � H635 ����
b��b⌧� Um�"5�� ) ٢/ ٥ :ة �� ا��( ��&)
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggran.
Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya”. (Maidah : 2)
Firman Allah dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 71 :
6��?��"☺(&���� �*,���"☺(&���� >$��n�/
o����M�&��) <p�/ A �7�oqr!�� s���9��☺(&��3/ 6>���?���
t;� _9"%?☺(&�� �7�☺MU5���� Y,A�Y�cd&�� �7��#"����
Y,A�⌧JHi&�� �7���M�2���� ���� Fu�)"��v�O�� A �wx�"&��Q) �$�4⌧�\y9�v z��� % H635 ����
]i��� nVMs%�N )� ) ١١/٧١ :� ا��
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman lelaki dan perempuan. Sebagian mereka
(adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh
mengerjakan yang ma’ruf, mencegah yang mungkar, mendirikan
sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-
Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah
Maha perkasa lagi maha bijaksana. (At-Taubah : 71)
Asuransi syariah juga mengarah kepada sebuah masyarakat yang tegak di
atas saling membantu dan saling menopang, karena setiap umat Islam terhadap umat
Islam lainya merupakan sebuah bangunan yang saling menguatkan sebagian kepada
sebagian lainnya. Dalam model asuransi syariah tidak ada perbuatan memakan
harta manusia dengan batil, karena apa yang telah diberikan adalah semata-semata
sedekah dari hasil harta yang dikumpulkan. Selain itu keberadaan asuransi syariah
akan membawa kemajuan dan kesejahteraan perekonomian umat.
Dengan demikian, keberadaan asuransi syariah, akan memberikan kententraman pada setiap peserta karena sedikit
meringankan beban yang dipikulnya di kemudian hari. Dan Allah SWT pun akan memberikan imbalan kepada setiap
hambaNya yang membantu meringankan beban saudaranya di hari kiamat nanti.
C. Syarat Sahnya Akad Asuransi Syariah
Terdapat beberapa solusi untuk menyiasati agar dalam melakukan akad
asuransi syariah terhindar dari unsur-unsur yang dilarang oleh agama dalam setiap
transaksinya. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:
1. Gharar (uncertainty) Ketidakpastian.16
16 Muhamad Syafi’i Antonio, Prinsip dasar Operasionl Asuransi Takaful’ (Jakarta, Badan
Arbitrasi Muamalat Indonesia, 1994) hal. 148
Gharar dalam pengertian bahasa adalah al-akhida’ (penipuan, yaitu
tindakan yang di dalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan.17
Para ulama
fiqih mememliki pendapat yang berbeda dalam memberikan pengertian gharar.
Namun pada dasarnya adalah satu pengertian, yaitu sesuatu yang belum dapat
dipastikan.
Rasullulah SAW. Bersabda tentang gharar dalam hadist yang
diriwayatkan oleh bukhori sebagai berikut:
ا��5ر ��2 "� وا��34ة ��2 "� وس.� ".�0 ا /.) ا رس+ل ن() '�ل ه�ی�ة ا�# "�
18)م�.� روا6(
Artinya: “Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah SAW. Melarang jual
beli hashab dan jual beli gharar”. (HR. Muslim)
?@ن0 ا��ء ?# ا��< ت>�� ; : وس.� ".�0 ا /.) '�ل "�0 ا ر:# م�9+د ا�� "�
)أ�� روا�A )6ر19
Artinya: ”Dari ibnu Mas’ud Ra Rasulullah Saw bersabda: Jangan membeli
ikan yang masih di dalam air karena gharar (tidak jelas). (HR.
Ahmad)
Jual beli gharar yang dimaksud adalah sebuah bentuk transaksi yang
menyadarkan pada suatu yang tidak pasti. Transaksi yang demikian itu diibaratkan
17 Hasan Ali. Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, Suatu Tinjauan Analisis, Teoritis,
dan Praktis. hal. 134 18
Muslim ibn al-Hajaj abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisyaburi, Shahih Muslim, tahqiq:
Muhammad Fuad Abdul Baqi, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-'Arabi, tt,) juz 3, hal. 1153. 19 Ahmad ibn Hanbal Abu Abdullah al-Sijistani, Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal,
Kairo: Muasasah Qurthubah, 1987, jilid 1, hal. 388, no hadis 3676.
seperti seseorang yang menjual kucing di dalam karung. Sehingga tidak diketahui
bagaiman bentuk kucing tersebut. Jual beli seperti di atas tidak saja mengandung
unsur gharar tetapi juga telah menipu pembeli. Allah SWT telah melarang jual beli
yang sedemikian itu dalam Al Quran surat al-Muthafifin ayat 1-3 :
1��� |}�F�~F"2☺!��`& . | ������ �"�35 ����&�k(J��
^Y#� H�H?&�� 6��!>�kE,� . �"�35�� >$����&�⌧J ��)
>$���G��H� 6�\s�(��f )ا��CDDE : ٣-٨٣/١( Artinya : “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, yaitu orang-orang
yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka meminta
dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain,
mereka mengurangi. ( al-Muthafifin : 1-3)
Ayat tersebut diatas menggambarkan bagaimana seorang penjual yang telah
mengurangi takaran kepada pembeli sehingga jelas penjual tersebut telah
melakukan tindakan penipuan terhadap pembeli. Dan ini merupakan salah satu
bentuk penipuan yang sering terjadi dalam masyarakat.
Syafii Antonio menyatakan bahwa kontrak/perjanjian dalam asuransi
konvensional dapat dikatagorikan sebagai akad tabaduli atau akad pertukaran, yaitu
pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan. Secara syariah dalam
akad pertukaran harus jelas berapa yang harus dibayarkan dan berapa yang harus
diterima.20
Keadaan ini akan rmenjadi rancu karena kita tahu berapa yang akan
diterima (uang pembayaran klaim) tetapi tidak tahu berapa yang akan dibayarkan
jumlah premi karena kita tidak tahu berapa yang akan dibayarkan karena hanya
20 Muhammad Syafii Antonio, Asuransi Dalan Prespektif Hukum Islam, (Jakarta : STI, 1994), hal. 1
Allah yang tahu kapan seseorang akan meninggal. Disinilah praktek gharar terjadi
pada asuransi konvensional.
Untuk menghindari praktek asuransi syariah dari unsur gharar, maka Akad
tersebut harus diubah menjadi akad tabarru’at (sukarela), karena menurut ulama
fiqh bahwa gharar hanya berpengaruh terhadap mu’awadah (tukar menukar) saja,
tidak terhadap tabarru’at , dan tabarru’-at ini tidak mencari keuntungan”.
2. Maisir (gambling, untung-untungan)
Allah SWT. Telah memberi penegasan terhadapkeharaman melakukan
aktivitas ekonomi yangmempunyai unsur judi (maisir).21
Firman Allah dalam al-Quran surat al-Maidah 90 :
�:S�b���� | ������ ���������� ��☺�G35 �9P☺"�(���
\s�(M�☺(&���� 2m�DdGCW���� �$"&(�CW���� ��P�O P;�@� 01�☺� t;"2(Z��&�� Y�w��kP���"!
>$�%z���"& 6�"3�(F� ) ٥/٩٥ :ة �� ا��( . .#
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamer, berjudi
(berkorban untuk) berhala, mengudi nasib dengan panah adalah perbuatan
keji termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keuntungan”. (al-Maidah : 90)
Ayat diatas mejelaskan bahwa Allah SWT memperintahkan kepada umat
manusia untuk tidak melakukan praktek judi dalam bentuk apapun. Larangan
21 AM. Hasan Ali Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, Suatu Tinjauan Analisis, Teoritis, dan
Praktis. hal. 133
tersebut terdapat sifat ketergantungan yang menyebabkan malas untuk melakukan
usaha guna mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Akad asuransi syariah termasuk akad tabarru’ (sukarela) yang berbeda
dengan judi (gambling) karena asuransi syariah tidak hanya bertujuan untuk
mengurangi risiko (risk) tetapi bersifat tolong menolong (sosial) serta membawa
kemaslahatan bersama bagi kedua belah pihak. Dalam konsep asuransi syariah,
apabila peserta mengalami kecelakaan atau musibah selama menjadi peserta, maka
ia tetap berhak mendapatkan santunan kebajikan. Sementara judi, justru
menciptakan risiko, tidak bersifat sosial dan membawa masalah dan petaka bagi
mereka yang melalukannya.
3. Riba (ziyadah)
Islam menganggap riba sebagai salah satu unsur terburuk yang merusak
sendi-sendi kehidupan, baik secara ekonomi, sosial, maupun moral. Riba diartikan
sebagai kelebihan atau tambahan uang yang telah ditentukan terlebih dahalu dari
pinjaman pokok secara bersyarat dan dalam tempo tertentu. Allah SWT dengan
tegas melarang paktek riba dalam masyarakat, salah satu Firman-Nya dalam al-
Qur’an surat Ali Imran ayat 130 :
��������� �� ������ ��������� �� ������ !�"# ����/_h9&��
�?F��P��) ?:⌧F���n�� � ����5H#���� ���� >$�%z���"&
6�"3�(F� )٣/١٣٠ : ن ال "�ا ( . #
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu
mendapat keberuntungan. (Ali-Imran : 130)
Praktek riba ini rentan sekali terjadi dalam praktek muamalah. Unsur riba
tercermin dalam asuransi konvensional dimana praktek ribawi terjadi pada saat
melakukan investasi dimana meminjamkan dana premi yang terkumpul atas dasar
bunga. Dalam konsep asuransi syariah dana premi yang terkumpul di investasikan
dengan prinsip bagi hasil (profit and loss sharing) terutama mudharabah dan
musyarakah.
Untuk menghindari dari praktek ribawi, maka asuransi syariah mengelola
dana melalui investasi dengan prinsip-prinsip syar’i. Dalam hal ini perusahaan
asuransi berperan sebagai pengelola (mudharib) dan peserta asuransi sebagai pemilk
modal (shahibul mal), sehingga dana tersebut, merupakan amanah dan bukan milik
perusahaan, Oleh karenanya apabila terjadi surplus dari investasi akan dibagikan
kepada peserta dan perusahaan sesuai dengan ketentuan nisbah yang telah
disepakati oleh kedua belah pihak.
Islam menekankan aspek keadilan, suka sama suka dan kebersamaan
menghadapi risiko dalam setiap usaha dan investasi yang dirintis. Aspek inilah yang
menjadi tawaran konsep untuk menggantikan gharar, riba, maysir. yang selama ini
terjadi di lembaga keuangan konvensional
D. Jenis-Jenis Akad Asuransi Syariah
1. Akad Tabarru’
Akad tabarru’ digunakan untuk transaksi yang bersifat tolong menolong
tanpa mengharapkan adanya keuntungan meteriil dari pihak-pihak yang melakukan
perikatan, kecuali berharap mendapatkan balasan dari Allah SWT. Walaupun
demikian, dalam transaksi yang bersifat tabarru’ ini diperbolehkan untuk
memungut biaya yang akan digunakan dalam pengelolaan transaksi tabaru’ sehngga
tidak ada surplus atau keuntungan meteriil yang diperoleh.22
Rasulllah bersabda:
"َ� #C0 "� ا���" �م� آ��K أ�# ه�ی�ة ر:# اKم �K" MKDن �Kل م�K' �.0 وس�." /.) ا
وم�K یK�� K.") مK9�� یK�� ا ".�K? 0K# ا��Kن�� , ا��ن�� نMD ا "�0K آ��K م�K یK+م ا���NمK م�
23)روا6 م�.�(. وا�QRة
Artinya: Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, Nabi Muhammad SAW bersabda:
Barang siapa yang menghilangkan kesulitan dunianya seorang mukmin
maka Allah SWT akan menghilangkan kesulitannya pada hari kiamat.
Barang siapa mempermudah kesulitan seseorang maka Allah SWT. akan
mempermudah urusannya di dunia dan di akhirat (HR. Muslim).
Melalui hadis tersebut tersirat adanya anjuran untuk saling membantu antara
sesama manusia dengan menghilangkan kesulitan seseorang atau dengan
mempermudah urusan dunianya. Dalam asuransi kandungan hadis ini terlihat dalam
bentuk pembayaran dana sosial (tabarru’) dari anggota (nasabah) perusahaan
asuransi yang sejak awal mengikhlaskan dananya untuk kepentingan sosial, yaitu
22 Sٍlamet Wiyono Cara Mudah Memamhami Akuntansi Perbankan Syariah ( Jakarta :
Grasindo 2005) hal. 29 23 Muslim ibn al-Hajaj abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisyaburi, Shahih Muslim, tahqiq:
Muhammad Fuad Abdul Baqi, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-'Arabi, tt,) juz 4, hal. 2699. no hadist 2074
untuk membantu dan mempermudah urusan orang lain yang mendapat musibah atau
bencana.
Akad tabarru’ pada asuransi syariah adalah akad yang dilakukan dalam
bentuk hibah dengan tujuan sosial bukan tujuan komersial. Dalam akad tabarru’;
harus disebutkan sekurang- kurangnya :
1. Hak dan kewajiban masing-masing peserta secara individu
2. Hak dan kewajiban antara peserta secara indvidu dalam akun tabarru’ selama
peserta dalam arti badan/kelompok.
3. Cara dan waktu pembayaran premi dan klaim.
4. Syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang di akadkan.
Pengeloalan dana tabarru’ yaitu dengan cara :
1. Pembentukan dana tabarru’ harus dipisahkan dengan dana lainnya.
2. Hasil investasi dari dan tabarru’ menjadi hak kolektif peserta dan dibukukan
dalam akun tabarru’
Dari hasil investasi, perusahaan asuransi dapat memperoleh bagi hasil
berdasarkan akad mudharabah atau akad mudharabah musyarakah.
2. Akad Mudharabah
Mudharabah dalam pengertian terminologi adalah pemilik modal
menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan,
sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut
kesepakan bersama.24
Apabila terjadi kerugian dalam perdagangan itu, kerugian ini ditanggung
sepenuhnya oleh pemilik modal. Definisi ini menunjukkan bahwa yang diserahkan
kepada pekerja itu adalah modal, bukan manfaat seperti penyewaan rumah.25
Akad mudharabah boleh dilakukan oleh perusahaan asuransi karena
merupakan bagian dari mumalah dan juga dapat diterapkan pada produk asuransi
syariah yang mengandung unsur tabungan (saving) maupun non tabungan (non
saving) 26
Dalam akad ini, perusahaan asuransi bertindak sebagai mudharib
(pengelola) sedangkan peserta (pemegang polis) dalam produk saving, bertndak
sebagai shahibul mal (investor) sedangkan para peserta (pemegang polis) secara
kolektif dalam produk non saving, bertindak sebagai shahibul mal (investor).
Secara singkat dapat dikatakan ada dua akad yang membentuk Asuransi
Syariah, yaitu akad tabarru’ dan akad mudharabah. Akad tabarru’ terkumpul
dalam dana sosial yang tujuan utamanya digunakan untuk saling menanggung
peserta asuransi yang mengalami kerugian. Sedangkan akad mudharabah terwujud
tatkala dana yang terkumpul dalam perusahaan asuransi itu di investasikan dalam
wujud usaha yang diproyeksikan menghasilkan keuntungan karena landasan awal
24 Nasrun Harun, Fiqh Muamalah,(Jakarta: Gaya Pratama Medika) hal. 176 25 Nasrun Harun, Fiqh Muamalah, hal 177 26 Selengkapnya lihat di www.halalguide. Info/view/195/54.
dari akad mudharabah ini adalah bagi hasil. Maka dalam investasinya sesuai dengan
porsi nisbah yang disepakati. Sebalikya jika dalam investasinya mengalami
kerugian maka kerugian tersebut dipikul bersama peserta asuransi.
3. Polis Asuransi Syariah
Pasal 255 KUHD mengatakan bahwa suatu perjanjian pertanggungan harus
dilakukan secara tertulis dengan sebuah akta yang bernama polis. Memperhatikan
pasal 255 KUHD tersebut seolah-olah perjanjian pertanggungan itu baru sah bila
dibuat secara tertulis dengan suatu akta yang disebut polis. Sehingga dapat
dikatakan bahwa polis merupakan syarat untuk adanya perjanjian.27
Apabila diperhatikan pasal 257 KUHD, hal ini banyak tidak benar
disebabkan dalam pasal tersebut bahwa perjanjian asuransi diterbitkan seketika
setelah ditutup, hak dan kewajiban berbalik dari penanggung dan tertanggung mulai
berlaku sejak saat itu bahkan sebelum polisnya ditanda tangani. Artinya kendati
pasal 255 KUHD menegaskan bahwa selaku pertangungan harus dibuat secara
tertulis dalam suatu akta yang dikenal dengan polis, dan polis mutlak dibutuhkan
dalam perjanjian asuransi.
Sebab polis itu diterbitkan terlampir atau belum diterbitkan pada saat risiko
kerugian yang dipertanggungkan ditutup oleh tertanggung, tertanggung tetap dapat
mengklaim asuransi tersebut untuk menanggung kerugian yang di pertanggungkan
tersebut berdasarkan Akad asuransi yang sah.28
27 Emmy Pangaribuan, Hukum Pertanggugan, (Yogyakarta. Gramedia 1980) hal. 19 28 Majalah Bisnis Indonesia, Kajian Kasus Asuransi di Pengadilan Niaga” 27 Juni 2002
Polis asuransi diperlukan untuk kepastian hukum pasal 258 ayat 1 KUHD
menyatakan bahwa untuk membuktikan adanya perjanjian pertanggungan
diperlukan pembuktian dengan tulisan. Dengan demikian polis merupakan bukti
yang sempurna tentang apa yang mereka perjanjikan dalam polis itu.
Dalam polis asuransi konvensional memuat beberapa ketentuan antara lain :
a. Subyek asuransi
b. Obyek asuransi
c. Uang asuransi
d. Premi asuransi
e. Suatu peristiwa tertentu
f. Hari dimulai dan berakhirnya perjanjian
Untuk lebih jelasnya akan penulis uraikan satu persatu analisa hukum Islam
tentang akad asuransi konvensional.
a) Subyek dalam akad asuransi
Berdasarkan konsep yang melandasi asuransi syariah yaitu ta’awun (tolong-
menolong) seperti yang terdalam dalam surah al- Maidah ayat 2. Dalam hal ini
akad asuransi syariah dapat dibuat baik untuk tanggungan dirinya sendiri ataupun
untuk orang lain. Karena dalam ajaran Islam, konsep tolong menolong tidak hanya
berlaku untuk sesama muslim tapi juga berlaku untuk seluruh umat manusia, karena
tolong menolong merupakan suatu kewajiban bagi setiap insan, tanpa kecuali. Kita
boleh saja mengadakan perjanjian dengan orang non muslim, selama mereka tidak
melanggar isi perjanjian yang telah disepakati bersama, dan sesuai dengan aspek-
aspek keabsahan suatu perjanjian dalam Islam. Secara syariah akad atau pertukaran
harus jelas berapa yang dibayarkan dan berapa yang diterima.
b) Obyek yang diasuransikan
Mengenai obyek dalam asuransi syariah, obyeknya bukanlah dari berupa
barang (komoditi) melainkan berupa manfaat ataupun jasa, dimana perlindungan
terdahap dirinya dan harta yang dimilikinya dari kerugian yang berlebihan. Ini
berarti hidup dan mati manusia menjadi obyek bisnis.29
Dengan demikan perusahaan asuransi dapat memberi manfaat berupa:
a. Ketentraman
b. Kepercayaan
c. Tabungan
Dari uraian tersebut jelas bahwa sebenarnya di dalam asuransi syariah yang
menjadi obyek adalah jasa perlindungan yang memberikan rasa aman.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Qurais Ayat 3-4 :
���b+��Z!�"! Em�O �⌧Z�� �*(.w(&�� . }������� V��☺��P�)
;�@� ���� $�,������� P;�@� � �>��y )�Nا� M�:٤-١٠٩/٣(
Artinya: Maka hendaklah mereka menyembah tuhan pemilik rumah ini (ka’bah)
yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar
dan mengamankan mereka dalam ketakutan. (Al-Qurais : 3-4)
29 M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), cet ke-3
hal. 61
c) Uang Asuransi
Uang asuransi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak
perusahaan kepada peserta asuransi. Sebuah contoh misalnya si A mengikuti
asuransi dengan manfaat sebesar 20.000.000 dalam tempo 10 tahun. Kemudian pada
tahun ke-6, si A meninggal dan pihak perusahaan pun memberikan uang asuransi
sebesar 20.000.000.- lantas dari mana asal kelebihan sebesar Rp 8.000.000.-
tersebut? Hasil jual beli bukan shadaqoh juga bukan bantuan juga bukan yang jelas
pihak yang ditanggung menerima uang y ang bukan miliknya, menurut Islam.30
Dalam asuransi syariah, setiap premi yang masuk dibagi menjadi dua
bagian, yaitu bagian pertama dan bagian tabarru’ di mana pada bagian tabarru’ itu
peserta telah merelakan sebagian dari preminya untuk digunakan bantuan kepada
peserta lain yang tertimpa musibah. Jadi jelas perolehan atau tambahan uang
asuransi sebesar 8.000.000 tersebut berasal dari dana tabarru’ sehingga dalam hal
ini tidak terjadi riba dan gharar, karena sumber perolehan dana tersebut adalah
jelas.
d) Suatu Peristiwa Tertentu
Dalam pengertian yang luas “peristiwa” dalam bidang asuransi mencakup
semua peristiwa yang terjadi dalam kehidupan ini, baik yang dibenci maupun yang
disenangi, menimbulkan kerugian atau tidak.
30 Ibrahim K. Lubis, Ekonomi Islam Suatu Pengantar II ( Jakarta: Kalam mulia,1995) cet
ke-1. hal. 453.
Dalam akad asuransi syariah tidak boleh menganggap suatu peristiwa yang
serba kemungkinan dalam sebuah akad asuransi sebagai suatu yang esensial, didalam
asuarnsi dibandingkan dengan unsur lain(premi asuransi dan uang asuransi) 31
Bila melihat maksud peristiwa dalam kontrak asuransi tersebut, maka dapat
dipastikan bahwa kontrak asuransi adalah kontrak yang tidak sah, karena
meyandarkan kontrak pada sesuatu yang tidak pasti.
Oleh karena itu, asuransi syariah tidak mengangap peristiwa yang serba
kemungkinan dalam sebuah kontrak asuransi sebagai suatu yang esensial, karena itu
hal yang terjadi, maka tiada perbedaan antara asuaransi syariah dengan asuransi
konvensional. Maka dari itu, akad asuransi konvensional tidak terlepas dari gharar.
Dalam asuransi konvensional terdapat tiga macm gharar :
1. Gharar dalam perolehan pengganti, karena ketika berakad tertanggung tidak
mengetahui apakah akan memperoleh uang asuransi atau tidak
2. Gharar dalam jumlah pengganti, karena dalam asuransi kerugian tertanggung
pada waktu yang diperolehnya, jika ia ditakdirkan akan memperolehnya denagn
kejadian peristiwa yang diasuransikannya. Begitu juga perusahan asuransi pad
waktu berakad tidak mengetahui jumlah premi yang akan diperolehnya sebelum
kejadian peristiwa yang diasuransikan.
31 Husen Hamid Ihsan, Asuransi dalam Hukum Islam Tinjaun Atas Riba dan Grarar
(Jakarta: CV; Virdaus , 1996), cet ke-1, hal. 8-9
3. Gharar dalam peristiwa perolehan (pada asuransi jiwa), pada waktu berakad
tetanggung tidak mengetahui kapan ahli warisnya akan memperoleh uang
asuransi, sebagi pengganti dari premi-premi yang dibayarnya.32
Untuk menghindari praktek asuransi dari unsure gharar, maka akad
(kontrak) tersebut harus sesuai harus diubah menjadi akad tabrru’at, karena
menurut ulama fiqh bahwa grarar hanya berpengaruh terhadap muawadhah,
tidak terhadap tabarru’at, dan akad tabarru’at ini tidak bertujuan mencari
keuntungan.33
e) Premi Asuransi
Premi asuransi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh peserta
asuransi untuk dikelola dan diivestasikan pada usaha usaha-usaha produktif yang
sesuai syariat. Dalam asuransi syariah, setiap peserta menyerahkan uang premi
sesuai dengan kemampuannya, tetapi tidak kurang dari batas minimal yang telah di
tetapkan perusahaan.
Premi tersebut kemudian dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu premi
tabungan dan tabarru’, kemudian pemi tabungan tersebut diinvestasikan ke
perusahaan-perusahaan yang memenuhi kriteria syariah. Kemudian dari hasil
investasi tersebut akan diberikakn kepada peserta dan perusahaan asuransi sesuai
dengan bagian nisbah yang telah disepakati sejak awal akad.
32 Husen Hamid Ihsan, Asuransi dalam Hukum Islam Tinjaun Atas Riba dan Grarar hal.
42-43 33 Husen Hamid Ihsan, Asuransi dalam Hukum Islam Tinjaun Atas Riba dan Gharar, hal.
80.
f) Waktu dimulai dan berakhirnya pertanggungan, keadaan-keadaan yang perlu
diketahui oleh penanggung dan syarat-syarat yang disepakati dalam akad asuransi.
Asuransi adalah termasuk transaksi yang dipenuhi yang dipengaruhi waktu,
maka harus ditentukan jangka waktunya. Jika jangka waktunya tidak ditentukan
(diketahui), maka transaksi asuransi itu batal, atau tidak sah.34
Akad asuransi merupakan akad yang didasarkan atas asas kepercayaan
sehingga antara peserta dan pihak perusahaan tidak boleh saling menutup-menutupi
tentang keadaan kedua belah pihak.
Pihak peserta hendaklah memberikan informasi atau keterangan-keterangan
yang jelas tentang keadaan-keadaan yang dibutuhkan oleh pihak perusahaan dengan
sebenar-benarnya, begitu pula pihak perusahaan harus bersikap transparan
mengenai hal-hal yang belum dipahami oleh pihak pertama. Selain itu, biasanya
dalam akad asuransi dicantumkan syarat-syarat khusus berkenaan dengan
kepentingan kedua belah pihak.
Pada umumnya, syarat-syarat tersebut telah ditetapkan oleh perusahaan
asuransi, sehingga pihak peserta menyatakan setuju atas syarat-syarat yang telah
diajukan atau tidak. Bila kedua belah pihak telah sepakat, maka polis tersebut harus
ditanda tangani.
34 Murtadha Mutahari, Pandangan Islam tentang Asuransi dan Riba ( Bandung : Pustaka Hidayah,
1995) cet ke- 1, hal. 281.
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG AJB BUMIPUTERA 1912
CABANG SYARI’AH
A. Sejarah dan Perkembanganya.35
Untuk megangkat kesejahteraan para anggota Persatoean Goeroe-goeroe
Hindia Belanda (PGHB), diprakarsai 3 guru anggota PHGB, yaitu Ngabei
Dwijosewojo, Mas Karto Hadi Soebroto dan Mas Adimidjodo, yang mendirikan
perkumpulan Asuransi Jiwa dengan nama Onderlinge Levensverzekering Maatscappij
Persatoean Goeroe-goeroe Hindia Belanda yang disingkat OLMij PGHB. Pada 12
Februari 1912 di Magelang, dengan Akte Notaris De Hondt. Namanya kemudian
berubah menjadi OLMij Boemi Poetera yang dalam perkembangnya kemudian berganti
menjadi Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912.
Filosofi berdirinya AJB Bumiputera 1912 adalah mengangkat harkat dan
martabat bangsa pribumi untuk menanggulangi risiko kerugian finansial yang dihadapi
anggotanya.
Unit Bisnis Syari’ah Bumiputera secara resmi dibentuk sejak
dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No. Kep.-268/KM.6/2002
35 Sumber Campany Profil AJB Bumiputera 1912
tanggal 7 November 2002 dalam bentuk Cabang Usaha Asuransi Jiwa Syari’ah dan
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 21/DSN-MUI/X/2001, tanggal 17 Oktober 2001.
dalam rangka menjaga kemurnian pelaksanaan prinsip-prisip Syari’ah, maka
berdasarkan keputusan Direksi No. SK 14/DIR/2001, tanggal 11 November 2002
dibentuk Divisi Syari’ah AJB Bumiputera dan Kantor Cabang Syari’ah Jakarta.
Pada awal pembentukanya, Divisi/Cabang Asuransi Syari’ah memiliki
sarana dan prasarana, SDM, perkantoran dan sistem yang sangat terbatas, namun
demikian, Divisi Asuransi Syari’ah tetap beroperasi, ditandai dengan limpahkanya
pengelolaan Asuransi kumpulan perjalanan haji dari Departemen Agama RI Januari
2003, dan selanjutnya, diluncurkan asuransi perorangan Syari’ah Mitra Mabrur dan
Mitra Iqra’ pada pertengahan April 2003, dan mitra Sakinah pada awal tahun 2004.
Seiring dengan perkembangan bisnis asuransi syariah diwilayah Jakarta
maka pada awal tahun 2007 dibentuklah 7 (tujuh) wilayah dan 49 (empat puluh
sembilan) kota cabang syariah yang tersebar diseluruh di 7 (tujuh) kota besar di
Indonesia untuk meberikan pelayanan masyarkat yang menghendaki asuransi dengan
basis syariah.
B. Latar Belakang Bediri Divisi Syari’ah.
Realitas perkembangan ekonomi bangsa ini memperlihatkan kecenderungan
positif dalam menanggapi sistem ekonomi syariah, terlihat antusiasme yang tinggi
dalam masyarakat yang berkembang dewasa ini.
Kemunculan sistem dan model ekonomi berbasis syariah ini bukan saja
menjanjikan prospektivitas yang baik dan kompetitif melainkan telah teruji di saat-saat
krisis ekonomi yang melanda negeri ini, satu persatu sentra-sentra ekonomi berbasis
konvensional mengalami tekanan bahkan tidak sedikit mengalami likuidasi. Karena
sistem ini bukan saja bukan menjadi alternatif diantara sistem ekonomi konvensional
akan tetapi juga diprediksi akan menjadi pilihan yang terbaik bagi bangsa ini dimasa
yang akan datang.
Untuk menangkap peluang ini AJB Bumiputera 1912 membuka Divisi
syariah guna memenuhi kebutuhan masyarakat dibidang asuransi jiwa. Adapun Faktor-
faktor lain yang menjadi pendorong berdirinya AJB Bumiputera 1912 Divisi syariah :
1. Potensi pasar yang relatif cukup besar
2. Jaringan distribusi AJB Bumiputera 1912 yang luas di selurh wilayah Indonesia
3. Jumlah penduduk Indonesia yang sebagian besar adalah umat Islam
4. Penerapan prinsip ekonomi yang berbasis Syari’ah saat ini dijadikan alternatif
sistem bisnis, karena diharapakan lebih adil dan lebih tahan dalam menghadapi
krisis.
5. Asuransi Syari’ah bersifat Universal.
6. Pasar Asuransi Syari’ah yang berhasil digarap saat ini relatif masih sangat sedikit
dibandingkan potensi pasarnya, begitu juga dengan perusahaan pesaingnya.
C. Falsafah, Visi dan Misi.
Dalam menjalankan roda perusahaan, manajemen dan karyawan AJB
Bumiputera mengacu pada falsafah perusahaan sebagai berikut :
1. Falsafah
a. Idealisme
Senatiasa memelihara nilai-nilai kejujuran dalam mengangkat kemartabatan
anak bangsa sesuai sejarah Bumiputra sebagai perusahaan perjuangan.
b. Mutualisme
Mengedepankan sistem kebersamaan dalam pengelola perusahaan dengan
memberdayakan potensi komunitas AJB Bumiputera dari, oleh dan untuk
komunitas Bumiputera sebagai Manisfestasi perusahaan rakyat.
c. Profesionalisme
Memiliki komitmen dalam pengelolaan perusahaan dengan mengedepankan
tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) dan senantiasa
berusaha meyesuaikan diri terhadap tuntutan perubahan lingkungan.
2. Visi
Menjadikan Bumiputera sebagai Asuransi Bangsa Indonesia di segmen
Asuransi Jiwa Syari’ah.
3. Misi
Menjadikan Bumiputera senantiasa berada di benak dan di hati masyarakat
Indonesia di segmen Asuransi Jiwa Syari’ah, dengan :
a. Memlihara keberadaan Bumiputera sebagai perusahaan perjuangan bangsa
Indonesia
b. Mengembangkan korporasi dan koperasi yang menerapkan prinsip dasar
gotong royong.
c. Menciptakan berbagai produk dan layanan yang memberikan manfaat optimal
bagi komunitas Bumiputera.
d. Mewujudkan perusahaan yang berhasil baik secara ekonomi dan social.
D. Prinsip atau Landasan Operasional.
1. Pemasaran Asuransi Jiwa Syari’ah harus berpedoman kepada :
Keputusan Menteri Keuangan RI No. 422/KMK.06/2003, tanggal 30
September 2003, yang isinya:
a. Setiap produk baru asuransi Syari’ah sebelum mendapat ijin dari Departemen
Keuangan RI terlebih dahulu harus mendapat pengesahan dari Dewan Syari’ah
Nasional (DSN)
b. Prinsip Syari’ah adalah prinsip perjanjian berdasarkan hukum Islam antara
perusahan asuransi dengan pihak lain dalam menerima amanah dengan
mengelola dana peserta melalui kegiatan investasi atau kegiatan lain yang di
selenggarakan sesuai dengan Syari’ah.
c. Perusahaan asuransi yang menjalankan usaha asuransi dengan prinsip Syari’ah,
laporan penghitungan tingkat solvabilitas harus di lengkapi dengan surat
pernyataan DPS bahwa pengelolaan kekayaan dan kewajiban telah dilakukan
sesuai dengan prinsip Syari’ah.
d. Perusahaan asuransi yang menyelenggarakan usaha asuransi dengan prinsip
Syari’ah harus melakukan pemisahan kekayaan dan kewajiban usaha asuransi
dengan prinsip Syari’ah dari kekayan dan kewajiban usaha asuransi dengan
prinsip konvensional.
2. Pemasaran Asuransi Jiwa Syari’ah juag harus berpedoman kepada :
a. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 21/DSN-MUI/X/2001, tanggal 17 Oktober
2001, tentang Pedoman UmumAsuransi Syari’ah..
1) Usaha saling melindungi dan tolong-menolong diantara orang/pihak melalui
investasi dalam bentuk asset dan/ atau tabarru’ yang memberikan pola
pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan)
yang sesuai Syari’ah.
2) Tidak mengandung gharar (penipuan) maysir (perjudian) riba
(melipatgandakan) zuhlum (penganiayaan) riswah (suap), barang haram dan
maksiat.
3) Pengelola Asuransi Syari’ah hanya boleh dilakukan oleh lembaga yang
berfungsi sebagai pemegang amanah dan wajib melakukan investasi dari
dana yag terkumpul sesuai dengan prinsip Syari’ah.
4) Perusahaan Asuransi Syari’ah memperoleh bagi hasil dari pengelolaan dana
atas dasar akad tijarah.
b. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 39/SN-MUI/X/2002 tanggal 23 Oktober
2002 tentang Asuransi Haji.
1) Asuransi Haji adalah akad tabarru’ (hibah) menurut Syari’ah tidak
dibenarkan mengunakan sistem konvensional.
2) Premi Asuransi Haji yang diterima oleh Asuransi Syari’ah harus dipisahkan
dari premi asuransi lainnya.
3) Asuransi Syari’ah berhak memperoleh Ujrah (fee) atas pengelolaan dana
tabarru’ yang besarnya ditentukan sesuai dengan prinsip adil dan wajar.
c. Izin Menteri Keuangan Kep-298/KM.6/2002
1) Bahwa Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 telah mengajukan
permohonan izin pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dengan
surat 272/DIR/BS/X/02 tanggal 14 Oktober 2002 dan Nomor
280/DIR/BS/X/2002
2) Bahwa AJB Bumiputera 1912 telah memenuhi persyaratan untuk membuka
cabang dengan prinsip syariah.
3) Bahwa oleh karena itu dipandang perlu untuk menetapkan Pemberian Izin
pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah.
4) Ketetapan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Tentang
Pemberian Izin Pembukaan Kantor Cabang dengan Prinsip Syariah.
5) Memberikan izin kantor Cabang izin pembukaan cabang dengan prinsip
syariah kepada :
Nama Perusahaan : Asuransi Jiwa Syariah Bumiputera 1912
NPWP : 01.308.537.8-018.000
Alamat Kantor : Jln. Worter Monginsidi No. 84-86
Kebayoran Baru Jakarta Selatan
E. Produk-Produk dan Manfaatnya
Produk-produk yang ditawarkan Bumiputera Divisi Syari’ah saat ini antara
lain:
1. Asuransi Jiwa Syari’ah Mitra Iqra:
Produk Mitra Iqra’ ini dirancang secara khusus dapat menjamin para
pemegang polis tersedianya sejumlah dana pendidikan putra-putrinya masuk taman
kanak-kanak sampai lulus perguruan tinggi, dari kemungkinan terjadinya resiko
yang tak terduga.
Mengapa namanya Iqra’?.Nama tersebut ada hubungannya dengan Nabi
Muahammad SAW. Ketika menerima wakyu dari malaikat Jibril Yaitu agar
Muhammad membaca/Iqra.
Diharapkan putra-putri pemegang polis Mitra Iqra’ kelak dapat mewarisi
sifat-sifat Rasulullah.
Firman Allah dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 9.
D��Z(&�� �� ������ >�"& ����J9"# P;�� V3��F!��y ?:j�hO�� �8F��s� ����!�"W >$3�(MY�[ ����5jk�Z!�"! ����
����&��5�Z(&�� ?�>�"� �xb��b�v )��ا�� )٤/٩:ء
Artinya:
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebeb itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar.( an-Nisa : 9)
Manfaat Produk Mitra Iqra’
a. Bila peserta dikaruniai panjang umur sampai dengan masa asuransinya berakhir
dan premi telah dibayar lunas, maka kepada anak yang di beasiswakan
diteserahkan dana pendidikan sebagai berikut:
1. Tingkat Taman Kanak-Kanak : 10% X MA.
2. Tingkat Sekolah Dasar : 10 % X MA.
3. Tingkat SLTP : 20 % X MA
4. Tingkat SLTA : 25 % X. MA
5. Tingkat I Perguruan Tinggi : 35 %X MA
6.Tingkat II Perguruan Tinggi : 25 %X MA
7.Tingkat I II Perguruan Tinggi : 35 %X MA
8.Tingkat VI Perguruan Tinggi : 50 %X MA
9.Tingkat V Perguruan Tinggi : 100 %X MA
b. Jika Peserta ditakdirkan meninggal dunia dalam masa asuransi, kepada ahli
waris peserta dibayarkan santunan berupa :
1. Santunan Kebajikan
2. Rekening Tabungan
3. Mudharabah/ Bagi Hasil
c. Selanjutnya premi menjadi bebas/tidak bayar premi, tapi yang ditunjuk tetap
menerima dana tahapan kontrak (TK,SD,SLTP,SLTA) dan Perguruan Tinggi
menerima Tahapan yang lebih besar :
1. Diperguruan Tinggi Tingkat II : 15 % MA.
2. Diperguruan Tinggi Tingkat III : 20% MA.
3. Diperguruan Tinggi Tingkat IV : 50% MA.
4. Diperguruan Tinggi Tingkat V : 100% MA.
Produk-produk yang didesign Divisi Syariah AJB Bumiputera 1912 adalah
produk yang halal. Menjadi Mitra Igra’ berarti ikut memerangi Musuh Islam yang
Kedua, Memerangi Kebodohan.
2. Asuransi Jiwa Syari’ah Mitra Mabrur.
Jutaan manusia memimpikan mngunjungi baitullah. Salah satu diantaranya,
mugkin anda. Menunaikan perjalannan spitual ibadah haji melaksankan Rukun
Islam yang kelima, nyaris menjadi ikhtiyar dan impian kita semua. Sayang sekali
bahwa dengan jumlah keterbatasan-terutama dalam hal biaya itu kerap hanya
berakhir dalam bentuk doa-doa panjang di ujung ibadah kita.
Produk Mitra Mabrur hadir untuk mewujudkan impian anda. Dengan Mitra
Mabrur. Bumiputera tidak hanya membantu anda menyisihkan dana tabungan haji
secara teratur, lebih dari itu, perusahaan juga menawarkan dana mudharabah (bagi
hasil) dan terutama perlindungan (asuransi). Dengan Mitra Mabrur, anda dapat
melaksankan ibadah haji dengan hati tentram, tanpa kuwatir meninggalkan keluarga
di tanah air.
Kini impian menjadi tamu Allah tidak lagi harus berhenti pada doa, anda
dapat mewujudkan melalui rencana matang, melalui produk Mitra Mabrur.
Firman Allah dalam al-Qur’an surat Ali Imran : 97
���� ^Y#� H�H?&�� qS�N �*(.w(&�� t;� �"2kv��
�N(Z"&35 �⌧Z3+�v A ;��� 9⌧F⌧J
H63�"! ���� ���⌧] t;� |}�☺Y��� )٣/٩٧ :ال "�ا ن( ��&)
Artinya: “Dan Allah mewajibkan manusia mengerjakan ibadah haji, yaitu bagi
yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah”. (Ali Imran : 97)
Manfaat Mitra Mabrur sebagai berikut :
a. Jika peserta ditakdirkan meninggal dunia dalam masa asuransi kepada ahli
warisnya Yang Ditunjuk dalam polis dibayarkan:
1) Santunan Kebajikan
2) Mudharabah Bagi Hasil Investasi
3) Premi Tabungan/Rekening Tabungan
Jumlah Santunan tersebut Insya Allah Dapat dipergunkan Ahli Warisnya
untuk menuaikan ibdah haji.
b. Jika dikarunai umur panjang sampai dengan masa asuransi berakhir dan premi
dibayar sampai S.D. HK, kepada peserta yang dibayar:
1) Produk ini dapat dipakai sebagi sarana investasi bebas pajak apabila
preminya dibayar secara tahunan/sekaligus untuk masa asuransi diatas 3
tahun.
2) Jika premi dibayar secara sekaligus dan masa asuransi 10 tahun, maka bagi
hasilnya lebih besar dibandingkan suku bunga di Bank
Umum/Konvensional.
3) Bila premi dibayar secara tahunan, dan tahun-tahun berikutnya peserta tidak
dapat membayar premi lanjutan, maka peserta dapat menggunakan Cuti
Premi.
4) Selama peserta cuti premi/tidak bayar premi, polis tetap berjalan/diproteksi
selama nilai tunai polis masih cukup untuk membayar premi tabarru’.
5) Produk ini produk yang halal dan sesuai dengan syariat Islam yang bebas
dari unsur gharar, maisir, dan riba.
6) Dengan mengambil produk mitra mabrur berarti sudah ikut
bertabarru’/berhibah/berderma, untuk ikut menyelamtkan penderitaan
ekonomi umat yang tergabung dalam ekonomi syariah AJB Bumiputera
1912 yang mendapatkan musibah/ujian dari Allah SWT.
7) Dalam kondisi ekonomi yang mendesak, peserta dapat mengambil sebagian
nilai tunai yang besarnya maksimum 50 % dari Nilai Tunai.
8) Produk ini syariah, toyib, dan bersih, Insya Allah dapat memberi
keberkahan hidup bagi peserta dan keluarganya.
9) Menjadi peserta Mitra Mabrur berarti sudah berusaha ketika usia
tertentu/Tua sudah mempunyai sejumlah dana yang memadai, Sehingga Ikut
Memerangi Musuh Islam Yang Utama Yakni: Kemiskinan.
10) Menjadi umat Islam diharapkan menjadi umat yang kaya, sehingga mampu
menunaikan haji, umrah, berkorban, dan sodakoh demi kemasalahatan umat.
Islam pada hakekatnya mengajak umatnya terus maju, berprestasi
berkompetisi sehat dan mampu memberi rahmat untuk semsta alam.
Firman Allah dalam Al-Quran Surat Al Jumu’ah ayat 10
�"�3�"! �*�Msn�� �,A�Y�cd&�� ����9��CG��"! ^3| t=>OCW�� ����k>/���� ;�� 01Pn"! ���� ����9�J(����� ����
�?\9��⌧J >/�%�����& 6�"3�(F�# ) 9T٦٢/١٠ : ا�(
Artinya: “Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu
di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (Al Jumu’ah : 10)
3. Asuransi Jiwa Syari’ah Mitra Sakinah.
Keluarga sakinah merupakan dambaan semua keluarga. Meskipun upaya
kearah itu tidak selalu mudah. Selain berikhtiyar dan ibadah, anda tidak perlu
melakukan upaya riil, produk Mitra Sakinah bisa membantu mewujudkan cita-cita
tersebut salah satunya adalah dengan mepersiapkan aspek finansial yang bisa
menopang kehidupan keluarga Indonesia secara berencana.
Perusahaan menghadirkan Mitra Sakinah, untuk membatu sebagai
perencana finansial anda. Khususnya dalam mempersiapkan hari tua, melalui
program ini, perusahaan berharap keluarga Indonesia tidak tergangu oleh
persoalan-persoalan ekonomi, meskipun tulang punggung keluarga, tidak lagi
produktif, atau tidak lagi berada di tengah mereka. Dengan Mitra Sakinah, Anda
dapat membahagiakan keluarga dan melewatkan hari tua dengan tenang.
Mitra Sakinah merupakan gabungan antara unsur tabungan, perlindungan
asuransi dan investasi. Dengan manfaat yang dapat dinikmati antara lain :
a. Bila Bapak/Ibu ditakdirkan panjag umur sampai perjanjian asuransi berakhir
akan menerima dana :
1) Pada akhir masa pembayaran premi, sebesar 50 % manfaat awal dibayarkan
akhir tahun.
2) Akhir tahun 1 setelah masa pembayaran premi berakhir, sebesar 30% sisa
Nilai Tunai.
3) Akhir tahun 2 setelah masa pembayaran premi berakhir, sebesar 50% sisa
Nilai Tunai.
4) Akhir tahun 3 setelah masa pembayaran premi berakhir, sebesar 100% sisa
Nilai Tunai.
b. Bila bapak/ibu/sdr ditakdirkan meninggal dunia dalam Masa Asuransi misal
dalam tahun ke 2, ahli waris yang ditunjuk akan menerima dana :
1) Sisa nilai tunai pada saat itu.
2) Manfaat Awal Asuransi.
c. Bila bapak/Ibu ditakdirkan meninggal dunia dalam Masa Pembayaran Tahapan
(MPT) di tahun ke 9, maka ahli waris yang ditunjuk akan menerima dana dan
tidak ada lagi pembayaran sisa tahapan:
1) Dana tabungan yang telah disetor.
2) Bagian keuntungan (mudharabh) atas hasil investai tabungan.
3) Santunan Kebajikan.
F. Stuktur Orgnaisasi
1. AJB Bumiputera 1912 (Bagan terlampir)
KOMISARIS
Ir. H. Muchayat Komisaris Utama
Prof. Dr, Ir. Sri Hardjko Wirjomartono, SE., ME Komisaris
Drs. H. Amir Hasan. MS., MM., Ak Komisaris
H. Abdul Wahab Dalimunthe, SH Komisaris
Indomen Saragih, MA Komisaris
DIREKSI
Madjdi Ali Direktur Utama
Ridwan Sadjadi Direktur
Maryoso Sumaryono Direktur
Mawarto Direktur
Hadi Priyamoro Direktur
Suseno Hario Saputro Direktur
2. Stuktur Organisasi Asuransi Jiwa Syari’ah Bumiputera Bagan Terlampir)
Dewan Pengawas Syari’ah: 1. Hc. KH. Sahal Mahfudh
2. Prof. Dr. H Qodri Azizi, MA
3. Drs. H. Fattah Wibisono, MA
Kadiv : Widiyatno Maryono.
Ass. Kadiv. Bid. Pemasaran : H. Sugiyarno, SE. MM. AAIJ
Ass. Kadiv. Bid. SDM : H. Djamhuru Dallah, SH
Ass. Kadiv. Bid. Akuntansi : Drs. H. Rawijo, M.Si
Ass. Kadiv. Bid.Keu&Inves : Suranto, SE, MM
Kepala Bagian Pelayanan : Hj. Rachmaidah, SE, AAIJ
Kepala Bagian Akuntansi : Suwito, SE
3. Program kerja AJB Bumiputra36
:
Visi Asuransi Syariah dipimpin oleh kepala divisi yang mempunyai fungsi
mengelola kegiatan pemasaran asuransi syariah jiwa dan investasi sesuai dengan
prinsip syariah serta bertanggung jawab kepada direktur pemasaran atas
peningkatan pangsa pasar asuransi jiwa syariah dan penvcapaian surplus
operasional.
Divisi Syariah membawahi :
1. Wakil Kepala Divisi Bidang Operasional
Wakil Kepala Divisi Bidang Operasinal mempunyai fungsi utama
merancang dan menyusun pengelolaan kegiatan operasional pemasaran asuransi
Jiwa sesuai dengan prinsip syariah, pengembangan organisasi / sumber daya
manusiai serta teknik dan underwriting.
Wakil Kepala Divisi Bidang Operasinal membawahi :
a) Bagian Pemasaran
36 SK Divisi Syariah AJB Bumiputera 1912
Bagian pemasaran dipimpin oleh kepala bagian yang mempunyai fungsi
utama merancang dan menyusun program pemasaran asuransi jiwa sesuai
prinsip syariah serta melakukan evaluasi atas implementasinya.
b) Bagian Pemberdaya Organisasi
Bagian pemberdaya organisasi dipimpin oleh bagian yang mempunyai
fungsi utama merancang dan menyusun program pengembangan dan
pemberdayaan SDM pemasaran, baik dinas dalam maupun dinas luar serta
melakukan evaluasi dan implentasinya.
c) Bagian Teknik dan Underwriting
Bagian teknik dan Underwriting dipimpin oleh Kepala Bagian yang
mempunyai fungsi utama merancang dan menyusun program pengembangan
produk dan teknik underwriting asuransi jiwa sesuai prinsip syariah serta
melakukan evaluasi dan implentasinya.
2. Wakil Kepala Divisi Administrasi, Investasi, Keuangan dan Umum.
Wakil Kepala Divisi Bidang Administrasi, Investasi, Keuangan dan
Umum mempunyai fungsi utama merancang dan menyusun pengelolaan
kegiatan Adminsitrasi, Investasi, keuangan dan Umum sesuai dengan prinsip
syariah.
Wakil Kepala Divisi Administrasi, Investasi, Keuangan dan Umum
membawahi :
a. Bagian Pelayanan Pemegang Polis
Bagian pelyanan Pemegang Polis dipimpin kepala bagian yang mempunyai
fungsi utama memberikan informasi kepada pemegang polis asuransi jiwa
sesuai prinsip syariah, khususnya yang terkait dengan hak dan kewajiban
pemegang polis kepada perusahaan dan sebaliknya.
b. Bagian Akuntansi dan Umum
Bagian Akuntansi dan Umum dipimpin oleh kepala bagian yang mempunyai
fungsi utama melakukan kegiatanAkuntansi dan melayani kebutuhan sarana
dan prasarana operasional asuransi jiwa syariah serta melakukan evaluasi
dan implementasi.
c. Bagian Keuangan dan Investasi
Bagian keuangan dan investasi dipimpin oleh Kepala Bagian yang
mempunyai fungsi utama merancang dan menyusun program keuangan dan
investasi sesuai prinsip syariah serta melakukan evaluasi dan
implementasinya.
3. Kantor Cabang Asuransi Jiwa Syariah
Dalam pelaksanan operasional pemasaran, divisi Asuransi Jiwa Syariah,
membawahi kantor wilayah Asuransi Jiwa Syariah sedangkan kantor wilayah
Asuransi Jiwa Syariah membawahi cabang. Kantor cabang membawahi yang
belum ada kantor wilayah Asuransi Jiwa Syariah, langsung dibawah
pengawasan Divisi Asuransi Jiwa Syariah.
BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG POLIS
ASURANSI SYARIAH PADA AJB BUMIPUTERA 1912 CABANG SYARIAH
Hubungan Akad Asuransi Syariah dengan Hukum Islam
Konsep hukum dalam Islam berbeda dengan hukum lainnya. Hukum Islam
tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lain dan benda dalam
masyarakat (Hukum Muamalah), seperti yang diatur dalam hukum barat. Namun
hukum Islam juga mengatur hubungan antara manusia dengan Allah SWT (Hukum
Ibadat) yang tidak diatur dalam hukum lainnya.37
Hukum dalam Islam berdasarkan atas maslahat dunia dan kemaslahatan
akhirat. Penetapan hukum muamalah dalam Islam tidak bersifat lahiriyah atau duniawi
saja. Meskipun hukum muamalat mengatur hubungan manusia dengan manusia lain,
benda dalam masyarakat dan alam semesta, hukum ini juga bersifat spiritual atau
akhirat.38
Sebagai contoh jual beli. Jual beli adalah hal yang tidak dilarang dalam Islam.
Secara lahiriyah, jual beli merupakan pertukaran hak milik atas suatu benda dengan
harga atas benda tersebut. Secara batiniyah, jual beli dapat menjadi wajib hukumnya
apabila dalam keadaan terpaksa, misalnya wali yang menjual harta anak yatim, atau
kadi yang menjual harta muflis ( orang yang lebih banyak hutangnya dari pada
37 Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia ( Jakarta. Kencana, 2006) hal.
26 38 Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia. hal. 36
hartanya) jual beli dapat menjadi haram hukumnya apabila obyeknya adalah barang
najis, seperti minuman keras, bangkai, dan babi.
Dalam Hal ini akad asuransi syariah sebagai suatu perjanjian harus sesuai
kepada landasan hukum syariat yang berkaitan dengan urusan perniagaan Islam. Karena
itu akad asuransi berdasarkan konsep bagi hasil mudharabah dan tabarru. Prinsip
tersebut yang menjadi dasar perniagaan Islam pada asuransi syariah.
Hadits tentang perjanjian:
وا��.+ن ".) ش�وX(� إ; ش��X ��م �Wل أو أ�V ��ام: وس.� ".�0 ا /.) ا��C# '�ل
روا6 ا���م\ى(39
(
Artinya: “Orang-orang muslim itu terikad dengan syarat yang mereka sepakti,
kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram”. (H.R Turmudzi)
Hadits diatas menjelaskan tentang prinsip umum dalam melakukan akad
atau transaksi. Orang muslim dalam melakukan transaksinya bergantung oleh syarat
yang mereka sepakati bersama antara kedua belah pihak, kecuali syarat yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Dengan perusahaan asuransi
akad atau transaksi antara anggota (nasabah) dengan pengelola asuransi harus
berdasrkan syarat-syarat yang mereka tetapkan bersama. Jika syarat-syarat tersebut
telah disepakati, maka kedua belah pihak (nasabah dan perusahaan) terikat dalam suatu
39
Muhammad ibn Isa Abu Isa al-Tirmidzi al-Sulami, al-Jami' al-Shahih Sunan al-
Tirmidzi, Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir, Beirut: Dar al-Ihya al-Turats al-Arabi, tt, jilid 3, hal.
634, no hadis 1352.
ikatan (al-aqdu) yang harus disepakati bersama, kecuali syarat-syarat yang tidak sesuai
dengan ketentuan syariah.
Hubungan Undang-Undang Perlindungan Konsumen No 8 Tahun 1999 dengan Akad
Asuransi Syariah.
`Salah satu tujuan dari pembentukan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen adalah untuk mengangkat harkat martabat kehidupan konsumen dengan
menghindari akibat negatif, selain dari pemakaian barang juga manfaat jasa. Upaya
melindungi yang dilakukan melalui Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8
tahun 1999 diharapkan mampu menegakkan norma hukum perlindungan konsumen dan
sisi lain memberikan rasa tanggung jawab dunia usaha.
Dari beberapa materi muatan Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
salah satunya ketentuan mengenai klausula baku didasari atas pemikiran bahwa dasar
praktek bisnis, klausula baku sangat dibutuhkan keberadaanya terutama bagi pelaku
usaha yang mengelola kegiatan jasa seperti; perbankan, asuransi, transportasi, dan lain-
lain yang memiliki transaksi cepat, murah, efektif, dan efisien.
Dapat difahami pemberlakuan klausula bakud dalam formulir maupun
dokumen perjanjian standar memberikan kemudahan kepada pelaku usaha agar tidak
berulang-ulang membuat perjanjian dengan konsumen yang berbeda-beda, jumlah
banyak, dan tentunya membuang tenaga, waktu dan biaya. Namun yang menjadi
masalah, seringkali klusula standard ini diadakan hanya untuk memberikan legitimasi
kepada pelaku usaha untuk memberikan hak tawar (bargaining position) kepada
konsumen.
Pengaturan kontrak menurut Pasal 1 butir 10 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen No 8 tahun 1999 adalah sebagai berikut: “Setiap aturan atau ketentuan dan
syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh
pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjan yang mengikat
dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.
Dengan perkataan lain akad merupakan suatu ketentuan yang menjadi tolok
ukur yang memuat hak dan kewajiban para pihak dalam suatu transaksi baik barang
dan/atau jasa yang dibuat secara tertulis dan materi telah ditentukan sebelumnya secara
sepihak.40
Klausula baku menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, diatur dalam Bab V dengan judul “ketentuan pencatuman
klausula baku”, yang dimuat di dalam pasal 18 ayat (1) sampai dengan ayat (4), yang
pada dasarnya melarang klausula baku di dalam perjanjian standar yang memenuhi
kriteria seperti yang disebut dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen .
Untuk menjunjung tinggi dan memberikan kepastian hukum, pengaturan
klausula baku dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen menggunakan cara
40
Pedoman Klausula Baku Di Bidang Asuransi. Direktorat Perlindungan Konsumen,
Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, departemen Perindutrian dan Perdagangan, 2001. hal. 8
penyusunan daftar negatif, dengan delapan materi dilarang yaitu apabila klausula
baku:41
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang
telah dibeli oleh konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik secara
langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan segala tindakan sepihak yang
berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa
yang dibeli oleh konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi
harta kekayaan konsumen memanfaatkan yang dibelinya.
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau
pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan yang dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang
dibeli oleh konsumen secara angsuran;
41 UUPK No 8 tahun 1999
Sebagai kelengkapan materi tersebut, Undang-Undang Perlindungan
Konsumen juga melarang pencatuman klausula baku yang letak atau pengungkapannya
mengakibatkan konsumen tidak dapat mengerti atau sulit melihat dan atau membaca
secara jelas (pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen).
Dalam penjelasan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, tidak
disebutkan klausula baku seperti apakah yang dapat dinyatakan sebagai klausula baku
yang sulit terlihat, tidak dapat dibaca secara jelas serta pengungkapan sulit dimengerti,
padahal demi kepastian hukum perlu ada suatu kriteria atau acuan mengenai klausula
baku seperti apa yang dapat dinyatakan sebagai klausula baku yang bentuknya sulit
terlihat, tidak dapat dibaca secara jelas serta pengungkapannya sulit dimengerti.
Pada dasarnya transaksi dalam hukum Islam bersifat mengikat. Apabila
transaksi tersebut telah sempurna dengan adanya ijab dan qobul yang dilakukan oleh
kedua pihak, setelah “pembuatan akad” maka transaksi tersebut mengikat dan wajib
dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Hanya permasalahanya, ketika transaksi
muamalah itu harus sempurna dengan cara yang bisa menghilangkan perselisihan antar
individu, maka hukum Islam telah mengharamkan individu tersebut untuk melakukan
penipuan (tadlis) transaski tersebut.42
Bahkan, hukum Islam telah menjadikan penipuan
sebagai suatu dosa, baik penipuan tersebut berasal dari penjual maupun pembeli barang.
Setiap melakukan transaksi senantiasa harus dilandasi oleh aturan hukum-
hukum Islam (syariah), karena transaksi adalah manisfestasi amal manusia yang
42 Taqyudin Annabani, Membangun Ekonomi Alternatif Perspektif Islam (Surabaya,
Risalah Gusti 1996) hal. 205
bernilai ibadah dihadapan Allah SWT, sehingga dalam Islam dapat dikategorikan
menjadi dua bagianYakni transaksi yang halal dan transaksi yang haram. Halal dan
haramnya suatu transaksi tergantung beberapa kreteria yaitu:
a). Obyek yang dijadikan transaksi apakah obyek halal atau obyek haram.
b). Cara bertransaksi apakah cara bertransaksi halal atau transaksi haram.
Disamping ketentuan diatas, Hukum Islam sebagai bagian dari muamalah
harus pula memperhatikan prinsip-prinsip bidang muamalah dalam bertransaksi.
Prinsip-prinsip tersebut sabagai berikut43
:
f. Prinsip antaradhain (saling rela dalam akad);
g. Prinsip al-I’timad ‘ al-nafs (kewirausahaan);
h. Prinsip al-ta’awun ( saling tolong menolong);
i. Prinsip al-mas-uliyah ( tanggung jawab );
j. Prinsip al-taysir (kemudahan), karena segala prinsip muamalah diperbolehkan
sepanjang tidak ada larangan
k. Prinsip al-idariyah (administrasi keuangan yang benar dan transparan);
l. Prinsip al-takaful al-ijmali (tanggung jawab sosial);
m. Prinsip al-ikhtiyat (kehati-hatian).
Hukum Islam memberikan kemudahan atau kebebasan pada setiap orang
untuk melakukan akad sesuai yang diinginkan, sebaliknya apabila ada unsur pemaksaan
43 Djazuli, Fikih Siyasah (Implementasi Kemaslahaan Umat Dalam Rambu-rambu Syariah (
Jakarta: Prenada Media, 2003) hal 412.
atau pemasungan kebebasan akan menyebabkan legalitas kontrak yang dihasilkan batal
dan tidak sah. Ketentuan ini menggambarkan prinsip dasar muamalah yaitu kebolehan
(mubah) yang mengandung arti bahwa hukum Islam memberi kesempatan luas
perkembangan bentuk dan macam muamalah baru sesuai dengan perkembangan
kebutuhan hidup masyarakat.
Namun, kebebasan berakad tersebut memiliki batasan terhadap hal-hal yang
sudah dilarang dalam syariat. Tujuan dari pembatasan tersebut adalah untuk menjaga
agar tidak terjadi penganiayaan terhadap sesama manusia melalui kontrak yang
dibuatnya.
Dengan demikian Hukum Islam dan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen sama-sama memberikan kepastian hukum kepada setiap pihak yang
melakukan akad, agar masing-masing pihak tidak ada yang dirugikan, khususnya para
nasabah. Bila masing-masing tidak melaksanakan hak dan kewajiban, maka dapat
membatalkan akad yang telah dibuat, dan mendapatkan sangsi sesuai ketentuan yang
berlaku..
Penerapan Undang-Undang Perlindungan Konsumen No 8 Tahun
1999 Pada Akad Asuransi Syariah.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba mengkaji dan mengalisa bagaimana
penerapan ketentuan pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam polis
asuransi syariah studi kasus pada AJB Bumiputera 1912 Divisi Syariah. Untuk
mendukung Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, digunakan juga
ketentuan-ketentuan hukum lainnya yang berhubungan dengan bidang asuransi seperti
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP), Kitab Undang-Undang dagang
(KUHD) Undang-Undang No 2 Tahun 1992 tentang penyelenggaraan Usaha, Peraturan
Pemerintah No 63 tahun 1999 tentang perubahan atas PP No 73/1992 dan beberapa
peraturan pelaksana seperti keputusan menteri keuangan No.225 KMK. 017/2003
tentang penyelenggaaan Usaha Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
Adapun ketidaksesuaian tehadap ketentuan Pasal 18 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen yang dijumpai dalam polis AJB Bumiputera 1912 Cabang
Syariah sebagai berikut :
1. Pengalihan Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Klausula yang berisikan pengalihan tanggung jawab ini dikenal dengan
istilah klausula eksonerasi. Dari ketentuan pasal 18 ayat (1) butir a Undang-Undang
Perlindungan Konsumen diatas, dapat disimpulkan bahwa setiap pelaku usaha
(barang dan/atau jasa) dilarang mencantumkan klausula yang substansinya berisikan
pengalihan atau peniadaan tanggung jawab pelaku usaha. Jenis ketentuan ini
terdapat pada
Polis AJB Bumiputera Pasal 11 ayat (2) :
"Dalam hal peserta ditakdirkan meninggal dunia jangka waktu pengajuan santunan
beserta bukti-bukti pendukungnya selambat-lambatnya 1 (satu) sejak peserta
ditakdirkan meninggal dunia, diluar jangka waktu tersebut badan berhak menolak
permintaan santunan"
Pasal 16 ayat (2) Keputusan menteri Keuangan No.225/KMK.017/2003
menyatakan: “Dalam polis asuransi dilarang pencantumkan suatu ketentuan yang
dapat ditafsirkan bahwa, Tertanggung tidak harus menerima penolakan pembayaran
klaim”.
Pasal 1976 KUHP berbunyi bahwa: “segala tuntutan hukum, baik yang
bersifat perbendaan maupun yang bersifat perorangan, hapus karena dasaluarsa
dengan leawatnya waktu tiga puluh tahun.
Pasal 1946 KUHP mengatakan bahwa: “Daluarsa adalah suatu alat untuk
memperoleh suatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya
suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang”.
Pasal 1952 KUHP, mengatakan bahwa: “Orang-orang berpiutang dan lain-
lain orang yang berkepentingan dapat melawan pelepasan dasaluarsa yang
dilakukan oleh si berutang dengan maksud mengurangi hak-hak mereka secara
curang”.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan diatas, maka uang pertanggungan yang
belum dibayarkan oleh penanggung adalah piutang yang ditunjuk, yang wajib
dilunasi oleh Penanggung. Utang piutang adalah termasuk dalam tuntutan hukum
yang bersifat kebendaan. Oleh karena itu, maka piutang Yang Ditunjuk daluarsanya
adalah 30 tahun. Dengan demikian, penetapan dasaluarsa harus dilakukan dengan
mengikuti acuan yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Apabila oleh undang-
undang telah ditetapkan 30 tahun sebagai waktu daluarsanya, sehingga
menyebabkan timbulnya kerugian bagi yang Ditunjuk, maka yang Ditunjuk untuk
menuntut haknya.
2. Mengatur Prihal Pembuktian Atas Hilangnya Kegunaan Barang Atau
Pemanfaatan Jasa Yang Dibeli Konsumen
Ketentuan Pasal 18 ayat (1) butir e Undang-Undang Perlindungan
Konsumen diatas, ditunjukan bagi pelaku usaha yang menawarkan barang
dan/atau jasa untuk diperdagangkan. Ketentuan dalam butir ini melarang pelaku
usaha tersebut mencantumkan klausula baku dalam dokumen atau perjanjian
dimana substansi dari klausula tersebut menyatakan keharusan bagi konsumen
untuk membuktikan hilangnya atau kurangnya keguanaan suatu barang atau jasa
yang telah dibeli konsumen. Contoh kalusula diatas terdapat pada :
Polis AJB Bumiputera pasal 11 (1.2)
“Surat bukti mengenai kecelakaan diri dari yang berwajib termasuk surat
keterangan dari Dokter dalam hal peserta meninggal dunia karena kecelakaan”.
Merujuk Pasal 28 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang berbunyi,
“Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, Pasal 23 Pasal 23 yang berbunyi
merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha”.
Adapun bunyi pasal 19 pasal 22 dan pasal 23 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen sebagai berikut :
a) Pasal 19 Berbunyi :
1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang
dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan yang bersangkutan.
2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang atau pergantian barang dan/atau jasa sejenis atau setara
nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santuanan yang
sesuai dengan ketentuan peratuaran perundang-undangan yang berlaku.
3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu (7 tujuh) hari
setlah tanggal transaksi.
4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan
pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
5) Ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku
apabila pelaku konsumen dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut
merupakan kesalahan konsumen.
b) Pasal 22 yang berbunyi :
“Pembuktian terhadap ada dan tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana
sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (4) pasal 20, pasal 21 dan
tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk
melakukan pembuktian”.
c) Sedangkan gkan Pasal 23 berbunyi :
“Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberikan tanggapan dan/atau
tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud
dalam pasal 19 ayat (1), ayat (2) ayat (3) dan ayat (4), dapat digugat melalui
badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan kebadan pengadialn
di tempat kedudukan konsumen”.
Dengan demikian, prinsip pembuktian dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen adalah terbalik, sehigga bila terjadi sengketa antara pelaku dan usaha
konsumen/pihak yang secara sah mewakili konsumen, yang harus membuktikan
terjadi/tidak terjadinya kesalahan adalah pelaku usaha dan bukan konsumen/pihak
yang secara sah mewakili konsumen.
3. Memberikan Hak Kepada Pelaku Usaha Untuk Mengurangi Manfaat Jasa Atau
Mengurangi Harta Kekayaan Konsumen Yang Menjadi Objek Jual Beli Jasa;
Ketentuan Pasal 18 ayat (1) butir e Undang-Undang Perlindungan
Konsumen diatas, ditunujukan bagi pelaku usaha yang menawarkan barang
dan/atau jasa diperdagangkan. Ketentuan tersebut melarang pelaku usaha
mencantumkan klausula tersebut menyatakan pemberian hak kepeda pelaku usaha
(secara sepihak) mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan
konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.
Klausula baku yang dimaksud diatas, terdapat pada polis-polis asuransi jiwa
dibawah ini :
Polis AJB Bumiputera Pasal 11 ayat 3
“Badan berhak untuk meminta dokumen yang diaggap perlu dalam pengajuan
klaim”.
Pasal 14 (a) Keputusan Menteri Keuangan No. 225/KMK.017/1993
menyatakan : “Tindakan yang dapat dikategorikan sebagai memperlambat
penyelesaian klaim sebagaimana dimaksud pasal 23 ayat (1) PP 73 Tahun 1992
adalah tindakan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang tidak
secepatnya melakukan penyelesaian klaim tidak wajar, antara lain:
Memperpanjang proses penyelesaiaan klaim dengan meminta penyerahan
dokumen tertentu yang kemudian diikuti dokumen lain yang pada dasarnya berisi
hal yang sama”.
Pasal 15 Keputusan Menteri Keuangan No. 225/KMK.017/1993 menyatakan
: “Perusahaan Asuransi harus telah menyelesaikan pembayaran klaim paling lama
30 (tiga puluh) hari sejak adanya kesepakatan atau kepastian mengenai jumlah
klaim yang harus dibayar”.
Dengan demikain, bila sudah ditentukan dokumen-dokumen apa saja yang
harus diserahkan oleh pemegang polis /tertanggung untuk mengajukan klaim
untuk apa lagi menyerahkan keterangan-keterangan lain/dokumen-dokumen lain?
Perlu dingat, bahwa bila alasan belum diserahkannya keterangan-
keterangan/dokumen-dokumen lain kemudian klaim tidak diberikan kepada
Pemegang Polis/Tertanggung lebih dari 30 hari setelah adanya kesepakatan
mengenai jumlah klaim yang harus dibayar, maka Penanggung telah mengurangi
manfaat jasa yang tenjadi objek pertanggungan. Karena dengan depresiasi yang
terjadi dari waktu ke waktu, keterlambatan tersebut mengurangi nilai dari klaim
tersebut.
Dampak Penerapan Hukum Pelindungan Konsumen dan Hukum
Islam
Dalam perkembangan teori hukum perjanjian yang modern ini, dimana asas
itikad baik harus sudah ada sejak pada tahap pra perjanjian/kontrak atau tahap
perundingan, Indonesia sendiri pada dasarnya telah memberlakukan teori modern ini,
yakni dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, dimana secara implisit menurut Pasal 9 ayat (1) bahwa :
"Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang
dan/atau jasa secara tidak benar".
Setiap transaksi jual beli barang dan/atau jasa yang mencantumkan klausula
baku yang tidak memenuhi ketentuan yang berlaku, konsumen dapat menggugat pelaku
usaha yang mencantumkan klausula baku yang dilarang dan pelaku usaha tersebut dan
dapat dijatuhi sanksi pidana denda atau pidana penjara.
Pencantuman klausula baku yang benar adalah yang tidak mengandung
unsur atau pernyataan yang dilarang dalam undang-undang, bentuk dan
pencantumannya mudah terlihat dan dipahami.
Dengan diberlakukanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, maka
setiap pencatuman klausula baku yang memenuhi ketentuan larangan sebagaimana
dimaksud pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, dinyatakan batal demi hukum, dan
bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan tersebut dapat dikenakan sanksi sebagai
berikut44
:
a. Sanksi Perdata
1) Perjanjian standar yang dibuat oleh pelaku usaha jika digugat didepan
pengadilan oleh konsumen, akan menyebabkan hakim harus membuat putusan
bahwa perjanjian standar batal demi hukum
2) Pelaku usaha yang saat ini telah mencantumkan klausula baku dalam dokumen
atau perjanjian standar yang digunakan wajib merevisi perjanjan standar yang
digunakannya sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.45
44 Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen. 45 Pasal 18 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
b. Sanksi Pidana
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal
18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dipidana dengan pidana penjara 5
(lima) tahun atau pidana denda Rp. 2.000. 000.000.- (dua miliar rupiah).46
Selanjutnya beberapa hukuman tambahan dapat berupa (Pasal 63 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen ):
1) Perampasan barang tertentu;
2) Pengumuman keputusan hakim;
3) Pembayaran ganti rugi;
4) Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian
konsumen;
5) Kewajiban penarikan barang dari persedaran; atau
6) Pencabutan izin usaha;
Dari Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen ini, dapat
disimpulkan bahwa asas itikad baik harus sudah ada sejak pra perjanjian/kontrak
dan janji-janji pra kontrak/perjanjian akan berdampak hukum.
Dalam prakteknya, Asas itikad baik yang baru diterapkan setelah perjanjian
ditandatangani sebagaimana ketentuan yang tercantum didalam KUHPerdata Pasal
1338 ayat (3), untuk saat ini penerapannya sudah tidak sesuai lagi karena
seharusnya asas itikad baik sudah harus diterapkan sejak saat perundingan atau pra
46 Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
kontrak.
Dari apa yang telah diuraikan diatas, karena di Indonesia, selain Undang-
Undang Tentang Perlindungan Konsumen, belum ada pengaturan yang khusus
mengenai "dampak hukum dari janji-janji pra kontrak", sehingga kekosongan
hukum ini diharapkan dapat diisi dari pertimbangan-pertimbangan dan putusan-
putusan pengadilan, Pengadilan/Hakim didalam memeriksa perkara dapat
menggunakan metode penafsiran untuk dapat mengisi kekosongan hukum,
Dengan demikian setiap pelaku usaha tindak pidana tertentu yang
disebutkan dalam pasal 62 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat pula
dijatuhi hukuman tambahan sebagaiman diatur dalam pasal 63 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen tersebut.
Pelaku usaha tidak boleh melakukan berbagai cara yang dilarang syari’at,
mengingat pelaku usaha kerap kali mencari kesempatan dari kekayaan atau
profesinya untuk memperdaya konsumen. Bahkan, pelaku usaha tidak segan-segan
melakukan pendekatan pengadilan melalui penyogokan terhadap hakim atau pejabat
pengadilan untuk memenangkan kasusnya, sehingga konsumen semakin menderita.
Salah satu firman Allah Swt., dalam surat al-Baqarah : 188 :
���� �������J!�"# $�%"&'��(��) $�%,�./ 01�2+(&��3/
����&Pb�#�� ����3/ ^Y<35 ����+(��� ������ !�k�&
�?5�_9"! P;�@� U�'��(��) H�H�&�� UV(V*l��3/ VCG�)�� 6�☺Y�� )٢/١٨٨ :ا��NCة ( .#"
Artinya:
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian
daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal
kamu Mengetahui. (al-Baqarah : 188)
Ayat di atas, melarang untuk memperoleh harta orang lain secara tidak adil
kepada orang lain dengan mengemukakan bukti-bukti tidak benar. Perbuatan tidak
adil dan salah dapat merusak sistem ekonomi yang akhirnya akan menghancurkan
keseluruhan sistem sosial, termasuk orang yang melakukan tindak kekerasan.
Seseorang dilarang melanggar dan merampas hak orang lain serta diberikan
kebebasan dalam mengumpulkan harta dengan cara halal. Haram menggunakan
pihak berkuasa (kekuasaan) agar ia memihak kepada seseorang untuk
mengumpulkan harta (kekayaan), karena merupakan “pelanggaran ekonomi”.
Dalam menegakkan keadilan, kesenjangan masyarakat harus dihapuskan melalui
pemberian hak-hak konsumen secara adil dan merata. Transaksi jual beli tidak boleh
disimpangkan di dalam hukum dengan menghindari keadilan.
BAB V
PENUTUP
Bab ini merupakan bab yang terakhir dari ragkaian penulisan skripsi ini.
Dengan demikian pada bab kali ini, penulis mencoba mmberikan atau menarik
beberapa kesimpulan dari apa yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya.
Sehubungan dengan hal itu juga penulis kemukakan saran-saran yang berkaitan
dengan permasalahan yang akan dihadapi oleh AJB Bumiputera 1912 Cabang
Syari’ah berkenaan dengan penerbitan polis asuransi syariah, dengan harapan
sekiranya saran-saran tersebut dapat membantu perusahaan ini dalam mengabil
keputusan guna perkembangan dan dan kemajuan AJB Bumiputera 1912 dimasa
yang akan datang.
A. Kesimpulan
1. Isi dari suatu perjanjian/akad, tidak hanya mencerminkan aspirasi pelaku
usaha, tatapi juga harus mengakomodir pula kepentingan konsumen, harus
memperhatikan unsur kelayakan, kepatutan, dan kepantasan. Hukum Islam
dan Pasal 18 Undang-Undang No 8 Tentang Perlindungan Konsumen,
berusaha untuk mengurangi atau mengantisipasi sisi negatif dari suatu
perjanjian/akad. Sehingga pada saat konsumen menandatangani suatu
perjanjian harus diciptakan adanya keseimbangan atau kesederajatan posisi
dengan pelaku usaha dalam menentukan perjanjian, berdasarkan asaz
kebebasan berkontrak.
2. Pelaku usaha tidak boleh melakukan berbagai cara yang dilarang syari’at,
mengingat pelaku usaha kerap kali mencari kesempatan dari kekayaan atau
profesinya untuk memperdaya konsumen.
3. Pada tahun 1999 telah diundangkan undang-undang perlindugan konsumen
No. 8 tahun1999 tetag perlindungan konsumen (UUPK). Undang-Undang
ini telah lama dinantikan kehadirannya terutama agar dapat memberikan
dasar hukum dan kepastian hukum bagi pelaksana perlindungan konsumen
di Indonesia. Sebagai undang-undang payung bagi pelaksana perlindungan
konsumen di Indonesia.
4. Setelah mempelajari isi polis AJB Bumiputera 1912 terdapat beberapa
klausula standar tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 18 UUPK antara lain
adalah klausula standar yang esensinya secara mendasar telah mengalihkan
tanggung jawab pelaku usaha kepada tertanggung/pemegang polis asuransi.
5. Klausula baku yang dicantumkan adalah aturan yang menetapkan bahwa
pemegang polis/konsumen tunduk pada ketentuan atau peraturan yang
berupa tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan, aturaran tambahan
yang dibuat secara sepihak oleh perusahaan asuransi/pelaku usaha
dikemudian hari. Tentu saja ini menciptkan ketidakpastian hukum bagi
pemegang polis selaku konsumen dan tidak ada kesejajaran hak dan
kewajiban antara pelaku usaha dan konsumen. Konsumen sangat dirugikan
karena setiap waktu dapat diterapkan ketentuan-ketentuan baru yang
konsumen tidak tahu sebelumnya dan sangat besar kemungkinannya dan
sangat besar kemungkinan ketentuan-ketentuan baru tersebut tidak
menguntungkan konsumen. Maka konsumen berhak menuntut klausula-
klausula tersebut dinyatakan batal demi hukum.
B. Saran.
Dari uraian yang telah penulis terangkan diatas, maka penulis ingin
memberikan beberapa saran, yaitu:
1. Pelaku Usaha perlu segera meningkatkan pemahamannya terhadap Undang
Undang Perlindungan Konsumen agar tidak lagi Perusahaan Asuransi yang
menolak untuk memberi kesempatan kepada calon pemegang polis untuk
lebih dahulu mempelajari isi polis.
2. Pelaku Usaha perlu melakukan evaluasi terhadap polis asuransi yang selama
ini beredar pada masyarakat agar ketentuan polis asuransi tidak bertentangan
dengan delapan daftar negatif klausula standar pada Undang-Undang
Perlindungan Konsumen.
3. Agar ketentuan Pasal 18 Undang Undang Perlindungan Konsumen dapat
berjalan baik, perlu dilakukan pengawasan dari Pemerintah, Dewan Syariah
Nasional, tidak hanya oleh Direktorat Asuransi, Departemen Keuangan,
tetapi juga melibatkan dan memberi wewenang kepada Direktorat
Perlindunagn Konsumen, Departemen Perindustrian dan Perdagangan untuk
melindungi konsumen khususnya pemegang polis asuransi.
4. Perlu menambah badan/komisi kalusula standar dibawah Departemen
Kehakiman bekerja sama dengan Dewan Syariah Nasional yang bertugas
memberi persetujuan kepada setiap klausula standar yang akan dipasarkan
kepada masyarakat luas, juga melakukan pengawasan terhadap semua
klausula standar yang beredar dipasaran agar sesuai dengan ketentuan
syariat Islam.
5. Konsumen dan juga calon Nasabah Asuransi Syariah diharapkan dapat
bersikap kritis dan berani menolak terhadap isi polis yang dianggap
merugikan dirinya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Departemen Agama Republik Indonesia, Semarang, CV
Toha Putra, 1989
Abdullah, Anwar, Kamus Umum Asuransi, Jakarta Kesain blanc, 1996, cet. Ke-3.
Ali, AM Hasan, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Suatu Tinjauan Analisis Historis,
Teoritis & Praktis, Jakarta, Kencana, 2004
Ash-Shidiqi, Hasbi, TM. Pengantar Fikih Muamalah, Semarang , PT Pustaka rikzi Putra,
1999.
Ali M. Hasan, Masail FiqhiyahI (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000)
A. Mas’adi, Gufran, Fiqh Muamalah Kontektual, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002)
Dewi, Gemala,, Aspek-aspek Hukum Perbankan & Perasuransian Syariah di Indonesia,
Jakarta, Kencana, 2000
Darmawi, Herman, manajemen Asuransi, Jakarta, PT Bumi Aksara 2001, cet. Ke-2.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam , Ensiklopedi Hukum Islam “ Akad dan
Asuransi” Jakarta PT. Ichtiar Baru van Hoeva, 1996, cet. Ke-1.
Djojosoedarso, Soeisno Prinsip-Prinsip Manajemen Risiko dan Asuransi, Jakarta. Salemba
Empat.
Draf Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Draf Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Gerson, F Richard, Mengukur Kepuasan Pelanggan, Jakarta, PPM, 2004
Hamid, Husen, Ihsan, Asuransi dalam Hukum Islam Tinjaun Atas Riba dan Gharar
(Jakarta: CV. Virdaus, 1996)
Harahap, Syafri, Sofyan, Akuntansi Islam, Bumi Aksara, 1997, cet. Ke-1
Harun,Nasroen Fiqh Muamlah, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2000
K, Lubis,Ibrahim. Ekonomi Islam Suatu Pengantar II, Jakarta: Kalamulia, 1995
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta, Kalam Mulia, 1995 cet. Ke1
....Modul Asuransi Syari’ah Jakarta : Kantor Pusat PT Asuransi Umum Bumiputera 1912
Cab. Syari’ah
Murtadha Mutahari, Pandangan Islam tengtang Asuransi dan Riba, Bandung : Pustaka
Hidayah, 1995
Nawawi, Imam. Terjemah Riyadhus Shalihin, Pustaka Amani, Jakarta, cet.IV, Rabiul Awal
1420/ Juli 1999 M edisi revisi
Nabani, Taqyudin, Membangun Sistem Ekonomi Perspektif Islam, Surabaya, Gusti, 1996
Prihartoro, M Wahyu, Manajemen Pemasaran Dan Tata Usaha Asuransi, Yogyakarta,
Kanisius, 2001
Pangaribuan, Emmy, Hukum Pertanggugan, Yogyakarta. Gramedia 1980
Qardawi, Yusuf Halal dan Haram, Jakarta Rabbani press, 2000, cet Ke-1
Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Isla, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1994
Jilid IV, cet.Ke-2.
Rejeki, Sri Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Jakarta: Sinar
Grafika,1992
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT Intermasa, 1992
Suparman, Man, Sastrawidjaja, Hukum Asuransi, Perlindungan Tertanggung, Asuransi
Deposito, Usaha Persauransian, Bandung PT Alumni 2004)
Sendra, Ketut, Panduan Sukses Menjual Asuransi, Jakarta, PPM, 2002
Sula, Muhamad Syakir, Asuransi Syari’ah (Life And General) Konsep Dan Sistem
Oprational, Jakarta, Gema Insani, 2004
www.Depku.com
www.Hukum online.com
Yasin, Sulchan, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya, Amanah, 1997
Top Related