Download - Edi Suharto

Transcript
Page 1: Edi Suharto
Page 2: Edi Suharto

re"flka ADITAMA

Page 3: Edi Suharto

Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat

Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial

Page 4: Edi Suharto

RF.SP0.21.03.2009

Edi Suharto, Ph.D. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosia/ & Pekerjaan Sosia/

Editor : Aep Gunarsa, SH.

Desain Sampul lman Taufik Setting & Layout lsi : Creative Division

Diterbitkan & dicetak oleh PT Refika Aditama

)1. Mengger Girang t~o. 98, Bandung 40254 Telp. (022) 5205985, Fax. (022) 5205984 Website : www.refika-aditama.com e-mail : [email protected] & [email protected] Anggota lkapi

Cetakan Ketiga: Februari 2009

ISBN 979-3304-39-1

© 2005. Hak Cipta Dilindungi Undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini TANPA IZIN TERTULIS dari penerbit.

Page 5: Edi Suharto

Kupersembahkan untuk Kedua orang tua di Burujul Wetan, Jatiwangi: H. Dudi dan Hj. lnik Dahini yang mengajarkan doa dan usaha dalam setiap nafas pengharapan; yang memaknakan pengorbanan dan keberanian dalam segala denyut penghidupan.

Page 6: Edi Suharto

Satu tragedi dalam kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat (c9mmunity

empowerment) adalah bahwa pendekatan yang diterapkan seringkali terlalu

terkesima oleh, untuk tidak menyatakan sangat mengagungkan, konteks lokal. Sedangkan sistem sosial yang lebih luas yang menyangkut pembangunan sosial, kebijakan sosial, relasi kekuasaan, ketidakadilan gender, ekslusifisme, pembelaan hak-hak publik, dan kesetaraan sosial kurang mendapat perhatian.

Seakan-akan komunitas lokal .merupakan entitas sosiai yang vacuum dan terpisah dari dinamika dan pengaruh sistem sosial yang mengitarinya. Penyempit<;1n makna pernberdayaan masyarakat semacam ini, antara lain, bisa dilihat dari dominannya program-program pengembangan masyarakat

(community development) yang bermatra usaha ekonomi produktif berskala mikro, sep.erti '1warungisasi" (setiap kelompok sasaran atau warga binaan dilatih atau diberi modal agar dapat membuka warung) atau "kambingisasi"

(pemberian kambing kepada kelompok miskin untuk dikelola secara kelompok).

Tidak ada yang salah dengan pendekatan lokalisme seperti itu. Hanya saja, tanpa perspektif holistik yang memadukan kegiatan-kegiatan lokal dengan

analisis kelembagaan dan kebijakan sosial secara terintegrasi, pendekatan

pemberdayaan masyarakat bukan saja akan kurang efektif, melainkan pula tidak akan berkelanjutan. Diibaratkan dengan analogi "ikan dan pancing",

maka meskipun kelompok sasaran (target group) diberi ikan dan pancing sekaligus, mereka tidak akan berdaya jika seandainya kolam dan sungai

yang ada di seputar mereka telah dikuasai oleh elit atau kelompok kuat.

Berpijak pada perspektif pembangunan kesejahteraan sosial dan

pekerjaan sosial, buku ini berargumen bahwa gerakan membangun dan

memberdayakan masyarakat memerlukan pendekatan holistik yang

mempertimbangkan isu-isu lokal dan global. Karenanya, tema-tema pemberdayaan masyarakat dan pembangunan rakyat yang dibahas tidak

saja mencakup aras lokal, rnelainkan pula aras global. Setelah Bab 1 dan 2

menjelaskan konsepsi tentang pembangunan kesejahteraan sosial dan

vii

Page 7: Edi Suharto

pekerjaan sosial, bab-bab selanjutnya mengkaji isu-isu strategis mengenai bagaimana selayaknya membangun dan memberdayakan rakyat dilakukan secara partisipatis, dinamis dan sekaligus multidimensional.

Perlu dijelaskan bahwa istilah pembangunan kesejahteraan sosial yang

dimaksud dalam buku ini secara sektoral merupakan bagian dari konsep pembangunan sosial (social development) yang di Indonesia sering mencakup bidang pendidikan, kesehatan, perumahan dalam arti luas. Pembangunan kesejahteraan sosial (social welfare development) .didefinisikan sebagai

pendekatan pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui peningkatan modal ekonomi (economic capital), manusia (human capita/), kemasyarakatan (societal capital), dan perlindungan (secu­

rity capital) secara terintegrasi dan berkesinambungan. Kata kunci dari peningkatan modal ekonomi masyarakat adalah tumbuhnya mata pencaharian (livelihood) masyarakat yang memungkinkan mereka mampu memperoleh

dan mengelola aset-aset finansial dan material untuk memenuhi kebutuhan

dasarnya sesuai dengan standar kemanusiaan yang layak dan berkelanjutan. Kata kunci dari peningkatan modal manusia adalah berkembangnya kemampuan atau kapabilitas (capability) intelektual, emosional dan spiritual

manusia yang memungkinkan mereka mampu menjalankan peran-peran sosial secara adekwat dalam kehidupannya. Sementara itu, tujuan utama dari peningkatan modal kemasyarakatan (sering disebut social capitan adalah

tumbuh dan menyebarnya kepercayaan (trust) di antara berbagai elemen masyarakat. Sedangkan, terciptanya keamanan dan keterjaminan (security)

adalah tujuan utama dari proses peningkatan modal perlindungan.

Makna pekerjaan sosial yang menjadi ruh dan fokus dari buku ini juga bukanlah "pekerjaan sosial" sebagaimana sering diartikan oleh kalangan

kebanyakan sebagai kegiatan amal atau sukarela begitu saja, seperti

membagikan mie instant, beras atau baju bekas kepada kaum miskin.

Pekerjaan sosial yang dimaksud dalam buku ini menunjuk pada sebuah

disiplin dan pendekatan profesional. Pekerjaan sosial diartikulasikan sebagai profesi atau keahlian di bidang pertolongan kemanusiaan yang didasari oleh

pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai yang diajarkan melalui pendidikan

fa-mal dan pengalaman praktek aktual.

Pendidikan pekerjaan sosial di Indonesia telah dimulai sejak tahun

1960-an di STKS Bandung yang saat itu bernama Kursus Kejuruan Sosial

Tingkat Tinggi (KKST). Saat ini, perguruan tinggi negeri dan swasta di Tanah Air yang menyelenggarakan pendidikan pekerjaan sosial telah berjumlah lebih dari 20 sekolah. lni belum termasuk pendidikan pekerjaan sosial

VIII

Page 8: Edi Suharto

tingkat menengah kejuruan (SMK) di Sekolah Menengah Pekerjaan Sosial

(SMPS) yang tersebar di seluruh Indonesia.

Di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, lnggris, Australia, Selandia

Baru, Singapura maupun di negara berkembang, seperti Malaysia, India dan

Filipina, pendidikan pekerjaan sosial telah diajarkan hingga program doktoral.

Di Indonesia pendidikan pekerjaan sosial"baru" sampai tingkat magister (52),

yakni di Fakultas llmu Sosial dan llmu Politik Universitas Indonesia, Program

Magister Profesional Pengembangan Masyarakat (MPM), kerjasama lnstitut

Pertanian Bogor dan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung,

dan Program Pascasarjana Interdisciplinary Islamic Studies, Universitas Islam

Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Setara dengan pendidikan magister (52),

pada tahun 2006 nanti, STKS akan mempelopori program pendidikan spesialis

satu (SP1) di bidang pekerjaan sosial dengan dua konsentrasi utama: pekerjaan

sosial komunitas dan pekerjaan sosial klinis.

Seperti halnya wartawan (pelaku profesi di bidang jurnalistik), dokter

(di bidang kesehatan), guru (di bidang pendidikan) dan psikiater (di bidang

kesehatan psikis), para pekerja sosial (atau bisa pula disebut para sosiawan

atau sosiater), terlibat dalam menjalankan program-program pembangunan

nasional. Namun demikian, berbeda dengan para dokter atau guru yang

lebih concern di bidang pembangunan sosial, para pekerja kemanusiaan

(human worker) ini lebih memfokuskan diri kepada pembangunan

kesejahteraan sosial (PKS). Dalam mengemban tugas profesionalnya, para

pekerja sosial dibekali dengan ilmu dan metoda penyembuhan sosial (social

treatment) yang umumnya meliputi terapi individu (casework), terapi kelompok

(groupwork), terapi masyarakat (communit}1Work -populer dengan nama

"pengembangan masyarakat" atau community development), manajemen

pelayanan kemanusiaan (human service management -dapat pula disebut

terapi kelembagaan/organisasi atau institutional/organisational therapy) dan

anal isis kebijakan sosial (social policy analysis). Pendekatan holistik pekerjaan

sosial dibangun secara sistematik dari strategi dan metoda penyembuhan

sosial tersebut.

Sebagian besar bahan yang dihimpun dalam buku ini dikembangkan

dari makalah-makalah penulis yang disajikan dalam seminar, pelatihan dan

pertemuan ilmiah lainnya. Oleh karena itu, penulis sangat berhutang budi

dan menyampaikan penghargaan kepada para peserta pertemuan ilmiah

tersebut yang secara langsung maupun tidak langsung telah memperkaya

materi pad a buku ini. Kepada guru-guru penulis di STI<S Bandung, antara

lain Drs. Holil Soelaiman, MSW., APU, Ora. Miryam Sinaga, MSW., DR.

ix

Page 9: Edi Suharto

lrawan Soehartono, Prof. DR. Syarif Muhidin, M.Sc., Prof. DR. Jusman Iskandar, MS. dan DR. Caroliha Nitimaharja, penulis ingin menghaturkan penghargaan atas bimbingan dan pengajarannya yang masih berkesan hingga kini. Kepada Ketua STKS Bandung, DR. Marjuki, M.Sc., penulis mengucapkan terima kasih atas perhatian, kesempatan dan dorongan yang diber•kan hingga buku ini bisa dirampungkan. Tidak perlu cfiragukan lagi, istri saya, Oom Komariah Suharto beserta anak-anak kami tercinta, Febry Hizba Ahshaina Suharto, Fabiola Hazimah Zealandia Suharto dan Fadlih Syari'ati Augusta Suharto, adalah sumber inspirasi dan motivasi yang tiada henti-hentinya. Doa, nasi hat dan bimbingan dari orang tua penulis di Burujul Wetan, Jatiwangi adalah perlambang dari gugusan cinta kasihnya nan sejati.

Edi Suharto

X

Page 10: Edi Suharto

Prolog- vii

Daftar lsi - ix

Bab 1 Pembangunan Kesejahteraan Sosial - 1

• Kesejahteraan Sosial ................................................... . • Pembangunan Kesejahteraan Sosial .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4 • Pembangunan Nasional . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5 • · Fokus Pembangunan Kesejahteraah Sosial . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8 • Pendekatan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 0

Pendekatan Residual . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 0 Pendekatan lnstitusional.......................................... 11 Pendekatan Pengembangan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 3

• lsu-lsu Pembangunan Kesejahteraan Sosial . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 16 Lemahnya Visi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 16

~ Program Strategis................................................... 1 8 • Visi dan Misi Pembangunan Kesejahteraan Sosial . . . . . . . . . . . . . . 19

Bab 2 Pekerjaan Sosial- 23

• Pekerjaan Sosial . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 23 • Keberfungsian Sosial . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 26 • Model Pertolongan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . 29

Kerangka Kerja...................................................... 29 Model yang Berbasis Kekuatan Klien . . . . . . . . . . . . . . . . . ... . . ... 31 Analisis Jaringan Sumber ......................................... 33

Bab 3 Pengembangan Masyarakat- 37

• Konsep dan Cakupan . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . .. . . .. . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . 38 • Perspektif Teoritis........................................................ 40

XI

Page 11: Edi Suharto

• Model-model Pengembangan Masyarakat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 42 Pengembangan Masyarakat Lokal .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. 42 Perencanaan Sosial . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 44 Aksi Sosial . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 45

• Pengetahuan dan Keterampilan .. .... .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. 45 · Mempelajari Masyarakat .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. . .. .. 47 Pendidikan dan Pelatihan . .. .. . . . .. .. . .. . .. . .. . . . .. .. . . . .. . .. .. . . 49 Mempelajari Lembaga Pelayanan Kemanusiaan . . . . . . . . . . . . 50 Pemasaran Pelayanan Kemanusiaan........................... 51 Pengumpulan Dana Bagi Lembaga Pelayanan Kemanusiaan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 52 Membuat Proposal untuk Memperoleh Dana dari Lembaga Eksternal .. .. . .. .. . .. .. .. .. . .. .. .. .. .. .. . .. .. .. .. . .. 54

Bab 4 Pemberdayaan Masyarakat- 57

• Pemberdayaan.......................... .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 57 • Kelompok Lemah dan Ketidakberdayaan .. .. . .. . .. .. . .. .. .. .. . .. .. 60 • lndikator Keberdayaan............................. .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 63 • Strategi Pemberdayaan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 66

Prinsip .. .. . .. . . . .. . . ... . .......... ...... .... ... . ........ .. .. .. . ....... 68 • Tugas Pekerja Sosial .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. . .. .. . .. .. 69

Bab 5 Perencanaan Program - 71

• Hakekat Perencanaan................................................... 71 • Model Perencanaan . . . . .. . .. .. .. .. .. .. .. . .. .. .. .. . .. .. . . . . .. .. . . .. . . .. .. 73

Model Rasional Komprehensif.................................. 73 Modellnkremental...... ..... .......... ......... ..... .. ............ 74 Model Pengamatan Terpadu ............. ..... ..... .. .. .... ...... 74 Model Transaksi.................................................... 75

• Proses Perencanaan Program .. .. .. .. . .. .. .. .. . .. .. .. . .. .. .. .. .. .. .. .. 75 ldentifikasi Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 76 Penentuan Tujuan.................................................. 77

· Penyusunan dan Pengembangan Rencana Program . . . . . . . 78 Pelaksanaan Program . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 79 Evaluasi Program................................................... 79

XII

Page 12: Edi Suharto

Bab 6 Pemetaan Sosial - 81

• Apa ltu Pemetaan Sosial? .... .. ..... ... ......... ..... .. . ...... .. ....... 81 • Masalah Sosial . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 83 • Memahami Masyarakat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 85 • Pendekatan Pemetaan Sosial .. .. .. .. .. .. .. . . .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. 89

Survey Formal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 89 Pemantauan Cepat (Rapid Appraisal Methods) .. .. .. .. .. .. . 91 Metode Partisipatoris.............................................. 92

Bab 7 Pendampingan Sosial - 93

• Pendampingan Sosial .............................................. ·..... 93 • Bidang Tugas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 95

Pemungkinan atau Fasilitasi .. .. .. .. .. .... .... .. .... .. ........ ... 95 Penguatan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 96 Perlindungan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 96

~ Pendukungan........................................................ 97 • Peran Pekerja Sosial . . . . . . . . . . . . . .. . .. . . . .. .. . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 97

Fasi I ita tor............................................................. 98 Broker .. ...... .. ....................... ..... .. . . ..... .. . ... . . . . ....... 99 Mediator.............................................................. 1 01 Pembela . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 02 Pelindung . . .. .. .. .. . . . .. . . . . . .. .. . . . . .. .. .. .. .. . . . .. . .. . .. . .. .. .. . . .. 1 03

• Strategi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 03 • Kerangka Kerja . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 05

Bab 8 Anal isis Kebijakan Sosial - 107

• Batasan Kebijakan Sosial .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. 1 07 • Tujuan Kebijakan Sosial . . . .. . . . .. . .. . .. .. . . . . . . . . .. .. .. . .. . . . . . . .. .. . . 110 • Anal isis Kebijakan Sosi.al .. .... .. . .. .. .. . .... .. .. . .. .. .. . .. . ...... ... .. 112 • Model Anal isis Kebijakan .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. . .. .. .. .. .. .. .. .. .. 113 • Kerangka Analisis .... ·.................................................... 114

Bab 9 Monitoring dan Evaluasi Program - 117

• Apa ltu MONEV... ... . .... ................... .................. ... . . . . . . 117 Monitoring........................................................... 118 Evaluasi . . . . . .. .. .. . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . 119

xiii

Page 13: Edi Suharto

• Prinsip-prinsip MONEV . . . . .. . . . . . . . .. . . .. .. .. ... . . . .. . . . . . . . . . . . . .. .. 119 • PrDses MONEV ....... ............ ............ ... ........ .... .. . . . . . ..... 122 • Desain MONEV ............ ....... .. ........ .... ............... .. . ...... 125 • lndikator ............. .. ....... ....... ... ............ ....... .. . . . . .......... 126

Kriteria lndikator . .. . .. . . . . ...... .. . . .. . . .. .. . ... . . . . ............... 128

Bab 1 0 Kemiskinan - 131

• Definisi. dan Dime,nsi Keniiskinap......................... ... ....... 132 • Potret Kemiskinan di Indonesia ................. ·..................... 135 • Paradigma Kemiskinan .. .. . .. . . . . .. . . . .. . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . .. . . . 138

leori Neo-liberal................................... ... . . . . . . . . . . . . . . 138 Teori Demokrasi-sosial . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 140

• Peru bah an Paradigma ............................. .,. . . . . . . . .. . . . . . . . . . . 142 Paradigma Lama.................................................... 143 Paradigma Baru ....................... :............................. 145 Keberfungsian sosial............................................... 146

• Pekerjaan Sosial dan Kemiskinan . .. . . . .. . . . . . . . . . . . . . . .. . .. . . . . . . . . . 148 • Kemiskinan dan Perlindungan Sosial . . . . . . . .. . . .. .. .. . . . . . . . . . . . .. . 152

Potret P.embangunan Asia........................................ 154 Tanggungjawab Negara: Landasan Faktual . . . . . . . . . . . . . . . . . . 155 Tanggungjawab Negara: Landasan Konstitusional . . . . . . . . . 156

'Bab 11 Perlakuan Salah Terhadap Anak (Child Abuse) -159

• Permasalahan Anak . . . .. .. .. .. . . . . . . . . . .. . .. .. . . . .. . . . .. . . . . . . . .. .. .. . . . 160 • Hambatan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 163 • Model Pertolongan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 63 • Program Konseling .. .. .. . .. . . .. . . . . . . . . . . .. .. . .. . .. . .. .. . . . .. . . .. . . .. . .. 166 • System Abuse ............................ ........................................... 168

Bab 12 Aliansi Strategis dalam Pemberdayaan Keluarga - 169

• Pemberdayaan Keluarga . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 169 • Ali ansi Strategis . . . . . .. . . . . ... .. . . . . . . . . . . . .. . .. . . . ... . . . . . . . . . . .. . . .. . . . . 170 • Tugas Ali ansi . . ... . .. . . .. .. . . ... . . . . . . . . . . . .. . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . 171 • Prinsip ................. .. . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . 173

• Proses ........................................... , . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 7 4

• Waspada................................................................... 175

XIV

Page 14: Edi Suharto

Bab 13 Permasalahan Pekerja Migran - 177

• Pekerja Migran ...... ........... ... .. . .... ...... .......... ........ ........ 177 Urbanisasi dan Pekerja Migran Internal ....... ... ... .. ....... 178 Globalisasi dan Pekerja Migran Jnternasional .. ........ .. . . 179

• Penangan an ..................... , . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 83

Bab 14 Manajemen Lembaga Pelayanan Sosial - 185

• Total Quality Management............................................ 185 • Mengkaji Kualitas Pelayanan .. . ... ................... ...... .. .... ... . 186 • Tugas-tugas Manajemen . . . . . . . . . .. .. .. . .. .. .. . . . . . . . . . . . .. . . . . .. . . . . .. 189 • Strategi Pengembangan Pelayanan................................... 190

Bab 15 Pekerjaan Sosial di Dunia lndustri - 193

• Definisi Pekerjaan Sosial lnduStri.. .. ... . .. ..... ... . .. ........ ... .. .. 193 • Sejarah ..................................................................... 195 • Bentuk-·bentuk Program dan Lembaga Naungan . . .. .. . . . . . .. . . . . 201 • Tipologi Pelayanan Pekerjaan Sosial lndustri .. .. . ...... ...... ... . 203

Model Pelayanan Sosial bagi Pegawai . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 204 Model Pelayanan Sosial bagi Majikan atau Organisasi Perusahaan............................................ 207 Model Pelayanan Sosial bagi Konsumen . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 209 Model Tanggungjawab Sos1al Perusahaan atau Model lnvestasi Sosial Perusahaan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 209 Model Kebijakan Publik di bidang Kepegawaian . . . . . . . . . . 211

Bab 16 Dampak Sosial Komersialisasi Pendidikan - 213

• Komersialisas! Pendidikan ............................................. 213 • Mengapa Komersialisasi Pendidikan .. . . .. .. . . .. . .. .. .. . .. .. . .. .. . .. 214 • Sisi Posistif . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 21 7 • Dampak Sosial . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 218 • Ke Mana Kita Melangkah?.. ... .. .... .... .. . ... ..... .. .. .. .. .. . .. .. .. .. 219

Bab 17 Konflik Sosial, Masyarakat Multikultural dan Modal Kedamaian Sosial- 221

• Konflik Sosial dan Masyarakat Multikultural................ .. .. .. 222

XV

Page 15: Edi Suharto

• Penyebab Konflik Sosial . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 222 • Konflik Sosial dan Modal Kedamaian Sosial . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 224

Konsep Modal Kedamaian Sosial . . . . . .. . . . .. . .. .. . . . . .. . . . .. .. 226 • lndikator Modal Kedamaian Sosial .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. 228 ·

• Potensi dan Hambatan . .. .. . . . . .. .. . .. . . .. .. . .. . . .. . .. . . . .... . . . . . . .. . .. 230 • Pluralisme Budaya; Sebuah Kerangka Kerja .. .. . .. . . .. .. .. .... . .. 232 • Strategi Kebijakan .Publik ............ ·..... .. . . ...... .......... .. . ...... 233

Bab 18 Globalisasi, Permasalahan dan Penanganannya- 237

• Globalisasi dan Permasalahannya .................. ~................ 237 Kemakmuran versus Kesengsaraan .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. 239

~ Bahaya Globalisasi .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. 241 • Peran Pekerjaan Sosial . . .. .. .. . . . . . .. .. . .. .. . . .. . . . . . .. . . . . . . . . . . .. . . . . 243

Think Globally and Act Globally .. .. .... .. .. .. ........ ........ 244 Tugas Pekerja Sosial . .. . .. .. . .. . .. .. . . .. . . . . . . . . . . . .. . .. .. .. . . .. . .. 246

• Strategi Penanganan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 249 Hambatan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 249 Apa yang Mesti Dilakukan? ...... .... .................... ....... 250

• Refleksi .................................. ·................................... 253

Daftar Pustaka - 255

lndeks- 267

XVI

Page 16: Edi Suharto

Pembangunan Kesejahteraan Sosial

Pembangunan masyarakat dan pemberdayaan rakyat tidak mungkin

dipisahkan dari arena dan konteks di mana ia beroperasi. Pemberdayaan

masyarakat merupakan bagian dari strategi dan program pembangunan

kesejahteraan sosial (PKS). Untuk memperjeias proses dan dimensi

pemberdayaan masyarakat, bab permulaan ini mendiskusikan konsepsi

dan beberapa isu mendasar mengenai PKS yang akan dilanjutkan dengan

kajian mengenai pekerjaan sosial pada bab kedua.

Kesejahteraan Sosial

lstilah kesejahteraan sosial bukanlah hal baru, baik dalam wacana global

maupun nasional. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), misalnya, telah lama

mengatur masalah ini sebagai salah satu bidang kegiatan masyarakat

internasional (Suharto, 1997). PBB memberi batasan kesejahteraan sosial

sebagai kegiatan-kegiatan yang terorganisasi yang bertujuan untuk membantu

individu atau masyarakat guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya

dan meningkatkan kesejahteraan selaras dengan kepentingan keluarga dan

masyarakat. Definisi ini menekankan bahwa kesejahteraan sosial adalah

suatu institusi atau bidang kegiatan yang melibatkan aktivitas terorganisir

yang diselenggarakan baik oleh lembaga-lembaga pemerintah maupun

swasta yang bertujuan untuk mencegah, mengatasi atau memberikan

kontribusi terhadap pemecahan masalah sosial, dan peningkatan kualitas

hidup individu, kelompok dan masyarakat.

Di Indonesia, konsep kesejahteraan sosial juga telah lama dikenal. Ia

telah ada dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Undang-Undang Rl

1

Page 17: Edi Suharto

2 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

Nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan

Sosial, misalnya, merumuskan kesejahteraan sosial sebagai:

Suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spiri,­tual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebail<-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak a tau kewajiban man usia sesuai dengan Pancasila.

Di dalam UUD 1945, kesejahteraan sosial menjadi judul khusus

Bab XIV yang di dalamnya memuat Pasal 33 tentang sistem perekonomian

dan Pasal 34 tentang kepedulian negara terhadap kelompok lemah (fakir

miskin dan anak telantar) serta sistem jaminan sosial. lni berarti, kesejahteraan

sosial sebenarnya merupakan flatform sistem perekonomian dan sistem

sosial di Indonesia (Suharto, 2002; Swasono, 2004). Sehingga kalau mau

jujur, sejatinya Indonesia adalah negara yang menganut faham "Negara

Kesejahteraan" (welfare state) dengan model "Negara Kesejahteraan

Partisipatif" (participatory welfare state) yang dalam literatur pekerjaan

sosial dikenal dengan istilah Pluralisme Kesejahteraan atau welfare plural­ism. Model ini menekankan bahwa negara harus tetap ambil bagian dalam

penanganan masalah sosial dan penyelenggaraan jaminan sosial (social security), meskipun dalam operasionalisasinya tetap melibatkan masyarakat.

Dengan demikian, .kesejahteraan sosial memiliki beberapa makna

yang relatif berbeda, meskipun substansinya tetap sama. Kesejahteraan

sosial pada intinya mencakup tiga konsepsi, yaitu:

1 . Kondisi kehidupan atau keadaan sejahtera, yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial.

2. lnstitusi, arena atau bidang kegiatan yang melibatkan lembaga kesejahteraan sosial dan berbagai profesi kemanusiaan yang menyelenggarakan usaha kesejahteraan sosial dan pelayanan sosial.

3. Aktivitas, yakni suatu kegiatan-kegiatan atau usaha yang terorganisir untuk mencapai kondisi sejahtera.

Page 18: Edi Suharto

BAB 1 - PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL 3

Secara umum, istilah kesejahteraan sosial sering diartikan sebagai

kondisi sejahtera (konsepsi pertama), yaitu suatu keadaan terpenuhinya

segala bentuk kebutuhan hidup, khususnya yang bersifat mendasar seperti

makanan, pakaian, peru mahan, pendidikan dan perawatan kesehatan.

Pengertian seperti ini menempatkan kesejahteraan sosial sebagai tuju,;:l

(end) dari suatu kegiatan pembangunan. Misalnya, tujuan pembangunan

adalah untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosial masyarakat.

Kesejahteraan sosial dapat juga didefinisikan sebagai arena atau domain

utama tempat berkiprah pekerjaan sosial. Sebagai analogi, kesehatan adalah

arena tempat dokter berperan atau pendidikan adalah wilayah di mana

guru melaksanakan tugas-tugas profesionalnya. Pemaknaan kesejahteraan

sosial sebagai arena menempatkan kesejahteraan sosial sebagai sarana

atau wahana atau alat (means) untuk mencapai tujuan pembangunan

(Suharto, 2004).

Pengertian kesejahteraan sosial juga menunjuk pada segenap aktivitas

pengorganisasian dan pendistribusian pelayanan sosial bagi kelompok

masyarakat, terutama kelompok yang kurang beruntung (disadvantaged

groups). Penyelenggaraan berbagai skema perlindungan sosial (social pro­

tection) baik yang bersifat formal maupun informal adalah contoh aktivitas

kesejahteraan sosial. Perlindungan sosial yangbersifatformal adalah berbagai

skema jaminan sosial (social security) yang diselenggarakan oleh negara

yang umumnya berbentuk bantuan sosial (social assisstance) dan asuransi

sosial (social insurance), semisal tunjangan bagi orang cacat atau miskin

(social benefits atau doll), tunjangan pengangguran (unemployment ben­

efits), tunjangan keluarga (family assisstance yang di Amerika dikenal dengan

nama TANF atau Temporary Assisstance for Needy Families). Beberapa

skema yang dapat dikategorikan sebagai perlindungan sosial informal antara

lain usaha ekonomi produktif, kredit mikro, arisan, dan berbagai skema

jaring pengaman sosial (social safety nets) yang diselenggarakan oleh

masyarakat setempat, organisasi sosial lokal, atau lembaga swadaya

masyarakat (LSM).

Page 19: Edi Suharto

4 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

Pembangunan Kesejahteraan Sosial

Pengertian kesejahteraan sosial sebagai suatu aktivitas biasanya disebut

sebagai usaha kesejahteraan sosial (UKS). Dalam skala dan perspektif·

makro, UKS ini pada intinya menunjuk pada apa yang di. Tanah Air

dikenal dengan nama pembangunan kesejahteraan sosial (PKS). Perlu

dijelaskan di sini bahwa konsep mengenai pembangunan kesejahteraan

sosial merupakan istilah khas di Indonesia. Di negara-nega lain, seperti di

AS, Selandia Baru, lnggris atau Australia, konsep mengenai social welfare

development kurang dikenal. Dalam benak publik di negara-negara tersebut,

istilah welfare (kesejahteraan) sudah mencakup makna UKS atau PKS.

Pembangunan kesejahteraan sosial adalah usaha yang terencana dan

melembaga yang meliputi berbagai bentuk intervensi sosial dan pelayanan

sosial untuk memenuhi kebutuhan manusia, mencegah dan mengatasi

masalah sosial, serta memperkuat institusi-institusi sosial (Suharto, 1997).

Tujuan PKS adalah untuk meningkatkan kualitas hidup manusia secara

menyeluruh yang rnencakup:

1. Peningkatan standar hidup, melalui seperangkat pelayanan sosial dan jaminan sosial segenap lapisan masyarakat, terutama kelompok­kelompok masyarakat yang kurang beruntung dan rentan yang sangat memerlukan perlindungan sosial.

2. Peningkatan keberdayaan melalui penetapan sistem dan kelembagaan ekonomi, sosial dan politik yang menjunjung harga diri dan martabat kemanusiaan.

3. Penyempurnaan kebebasan melalui perluasan aksesibilitas dan pilihan­pilihan kesempatan sesuai dengan aspirasi, kemampuan dan standar kemanusiaan.

Ciri utama PKS adalah komprehensif dalam arti setiap pelayanan

sosial yang diberikan senantiasa menempatkan penerima pelayanan (ben­

eficiaries) sebagai manusia, baik dalam arti individu maupun kolektivitas,

yang tidak terlepas dari sistem lingkungan sosiokulturalnya. Sasaran

pe~bangunan kesejahteraan sosial adalah seluruh masyarakat dari berbagai

golongan dan kelas sosial. Namun, prioritas utama PKS adalah kelompok­

kelompok yang kurang beruntung (disadvantage groups), khususnya yang

Page 20: Edi Suharto

BAB 1 - PE~BANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL 5

terkait dengan masalah kemiskinan. Sasaran PKS yang biasanya dikenal

dengan nama Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) atau Pemerlu

Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) antara lain meliputi orang miskin,

penyandang cacat, anak jalanan, anak yang mengaiami perlakuan salah

(child abuse), pasangan yang mengalami perlakuan salah (spouse abuse),

anak yang d i perdagangkan a tau d i lacu rkan I komu n itas ad at terpenci I (KA n I serta kelompok-kelompok lain yang mengalami masalah psikososial,

disfungsi sosial atau ketunaan sosial.

Pembangunan Nasional

Apabila fungsi pembangunan nasional disederhanakan, maka ia dapat

dirumuskan ke dalam tiga tugas utama yang mesti dilakukan sebuah negara­

bangsa (nation-state), yakni pertumbuhan ekonomi (economi growth),

perawatan masyarakat (community care) dan pengembangan manusia (hu­

man development). Fungsi pertumbuhan ekonomi mengacu pada bagaimana

melakukan "wirausaha" (misalnya melalui industrialisasi, penarikan pajak)

guna memperoleh pendapatan finansial yang diperlukan untuk membiayai

kegiatan pembangunan. Fungsi perawatan masyarakat menunjuk pada

bagaimana merawat dan melindungi warga negara dari berbagai macam

risiko yang mengancam kehidupannya (misalnya menderita sakit, terje­

rembab kemiskinan atau tertimpa bencana alam dan sosial). Sedangkan

fungsi pengembangan manusia mengarah pada peningkatan kompetensi

Sumber Daya Manusia yang menjamin tersedianya angkatan kerja berkualitas

yang mendukung mesin pembangunan. Agar pembangunan nasional berjalan

optimal dan mampu bersaing di pasar global, ketiga aspek tersebut harus

dicakup secara seimbang.

Sebagaimana diilustrasikan Gambar 1 .1, pertumbuhan ekonomi

diperlukan untuk menjalankan perawatan masyarakat dan pengembangan

manusia. Namun demikian, fungsi perawatan masyarakat dan pengem­

bangan manusia juga memiliki posisi yang penting dalam konteks pem­

bangunan nasional. Kedua fungsi tersebut diperlukan guna mendukung

pertumbuhan ekonomi sehingga dapat berjalan secara berkelanjutan (sus­

tainable). Apabila pertumbuhan ekonomi diibaratkan kepala dalam tubuh

Page 21: Edi Suharto

6 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

Pengembangan Man usia

(Pendidikan)

Pertumbuhan Ekonomi

(Keuangan, lndustri)

Gambar 1.1: Pembangunan Kesejahteraan Sosial dalam Konteks Pembangunan Nasional

man usia, maka perawatan masyaraka.t (sektor kesehatan dan kesejahteraan

sosial), bersama pengembangan manusia (sektor pendidikan), merupakan

kaki yang menopang kepala itu.

Fungsi perawatan masyarakat dan pengembangan man usia inilah yang

sebenarnya merupakan substansi dari pembangunan sosial yang menopang

pembangunan ekonomi. Berbagai studi memberi pesan yang san gat jelas

bahwa negara yang kuat dan sejahtera adalah negara yang memperhatikan

pertumbuhan ekonomi dan sekaligus memiliki komitmen menjalankan

pembangunan sosial (Suharto, 2004). Laporan tahunan UNDP, Human

Development Report, yang kini menjadi acuan di berbagai negara di dunia,

secara konsisten menunjukkan bahwa pembangunan sosial mendorong

pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang tidak memper­

hatikan pembangunan sosial tidak akan bertahan lama (tidak berkelanjutan).

lni sejalan dengan ternuan pakar ekonomi pemenang Nobel1998, Amartya

Sen. Sen dengan sempurna membuktikan bahwa hubungan antara

pertumbuhan ekonomi dan kemajuan sosial tidaklah otomatis. Agar berjalan

positif dan berkelanjutan, pertumbuhan ekonomi harus ditunjang oleh

kebijakan sosial (social policy) pemerintah yang pro pembangunan sosial

(SuhJrto, 2005).

Page 22: Edi Suharto

BAB 1 - PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL 7

Ketiga fungsi negara-bangsa di atas juga sering dijadikan dasar dalam

menyusun portofolio departemen/kementerian negara dan lembaga

pemerintahan. Di hampir semua negara di dunia, struktur pemerintahan

selalu memiliki lembaga-lembaga yang mencakup sedikitnya ketiga fungsi

negara-bangsa ini. Misalnya, untuk menjalankan fungsi pertumbuhan

ekonomi dibentuk Departemen Keuangan dan Departemen Perindustrian.

Sementara itu, untuk menjalankan fungsi perawatan masyarakat dan

pengembangan manusia, dibentuk Departemen Kesehatan, Departemen

Kesejahteraan Sosial, dan Departemen Pendidikan.

Dalam struktur pemerintahan di Tanah Air, lembaga pemerintah yang

berperan dominan dalam PKS adalah Departemen Sosial, sebagaimana

Departemen Kesehatan lebih dominan dalam pembangunan kesehatan,

Departemen Pendidikan Nasional dalam pembangunan pendidikan, dan

Departemen Agama dalam pembangunan agama. Keempat departemen di

atas berada di bawah payung dan kendali langsung Menteri Koordinasi

Kesejahteraan Rakyat. Dengan demikian, karena arti kesejahteraan rakyat

di sini mengacu pada konsep pembangunan sosial yang mencakup arti

luas dan meliputi aspek kesehatan, pendidikan, dan agama, maka daiam

arti sempit, Departemen Sosial sesungguhnya adalah Departemen

Kesejahteraan Sosial. Bersama departemen-departemen lain, ia terlibat

dalam pembangunan sosial, namun konsentrasinya secara khusus

melaksanakan PKS (Gambar 1.2).

Sebagaimana dijelaskan dalam konsep welfare pluralism di atas, negara

bukanlah satu-satunya aktor dalam PKS. Masyarakat juga terlibat dalam

PKS, baik dalam pelaksanaan berbagai program maupun pendanaannya.

Lembaga non pemerintah yang menyelenggarakan PKS adalah masyarakat,

yang biasanya dilaksanakan melalui organisasi-organisasi sosial (Orsos)

dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang UKS

dalam skala lokal, nasional maupun internasional, seperti lembaga sosial

lokal (Karang Taruna, Pendidikan Kesejahteraan Keluarga/PKK), Yayasan

Kesejahteraan Anak Indonesia, Save the Children VVorld Vision, dan lain­

lain.

Page 23: Edi Suharto

8 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

Pembangunan Kesejahteraan

Sosial

Gambar 1.2: Pembangunan Kesejahteraan Sosial dalam Konteks Pembangunan Nasional

Fokus Pembangunan Kesejahteraan Sosial

Banyak arti yang diberikan pada istilah PKS (Suharto, 2005b). Karenanya,

tidak mudah merumuskan fokus PKS secara tegas. PKS seringkali menyentuh,

berkaitan, atau bahkan, selintas, bertumpang-tindih (over/aping) dengan

bidang lain yang umumnya dikategorikan sebagai pembangunan sosial,

semisal kesehatan, pendidikan, dan perumahan. Lebih dari itu, makna

sosial tidak jarang diartikan secara luas sebagai, misalnya, kegiatan

kesukarelawanan, hiburan, rekreasi, sesuatu yang bersifat non-fisik atau

non-ekonomi.

Merujuk pada definisi welfare dari Howard Jones (1990), tujuan utama

PKS yang pertama dan utama, adalah penanggulangan kemiskinan dalam

berbagai manifestasinya. "The achievement of social welfare means, first

and foremost, the alleviation of poverty in its many manifestations" Uones,

1990:281 ). Makna "kemiskinan dalam berbagai manifestasinya" menekankan

bahwa masalah kemiskinan di sini tidak hanya menunjuk pada "kemiskinan

fisik", seperti rendahnya pendapatan (income poverty) atau rumah tidak

layak huni, melainkan pula mencakup berbagai bentuk masalah sosiallain

Page 24: Edi Suharto

BAB 1 - PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SosiAL 9

yang terkait dengannya, seperti anak jalanan, pekerja anak, perdagangan

manusia, pelacuran, pengemisan, pekerja migran, termasuk di dalamnya

menyangkut masalah kebodohan, keterbelakangan, serta kapasitas dan

efektivitas lembaga-lembaga pelayanan sosial pemerintah dan swasta (LSM,

Orsos, institusi lokal) yang terlibat dalam penanggulangan kemiskinan.

Penjelasan Spieker (1995 :5) mengenai konsep welfare juga niembantu

mempertegas substansi PKS dengan menyatakan bahwa welfare

(kesejahteraan) dapat diartikan sebagai "well-being" atau "kondisi sejahtera".

Namun, welfare juga berarti 'The provision of social services provided by

the state' dan sebagai 'Certain types of benefits, especially means-tested

social security, aimed at poor people.' Artinya, PKS menunjuk pada

pemberian pelayanan sosial yang dilakukan oleh negara atau jenis-jenis

tunjangan tertentu, khususnya jaminan sosial yang ditujukan bagi orang

miskin. Seperti halnya pengalaman di negara lain, maka PKS memfokuskan

kegiatannya pada tiga bidang, yaitu: pelayanan sosial (social services/

provisions), perlindungan sosial (social protection), dan pemberdayaan

masyarakat (community/social empowerment). Ketiga fokus kegiatan tersebut

dilakukan dengan berdasar pada kebijakan atau strategi yang bermatra

pencegahan, penyembuhan dan pengembangan (Gambar 1.3).

Kebijakan/ Strategi 11 Pencegahan 11 Penyembuhan • Pengembangan

Pelayanan Sosial

Perlindungan Sosial

Pemberdayaan Masyarakat

Gambar 1.3: Fokus Pembangunan Kesejahteraan Sosial

Page 25: Edi Suharto

10 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

Pendekatan

Mengacu pada buku Charles Zastrow (2000), Introduction to Social Work

and Social Welfare, ada tiga pendekatan dalam PKS, yaitu perspektif re- ·

sidual, institusional, dan pengembangan. Ketiga perspektif tersebut sangat

berpengaruh dalam membentuk model welfare state (negara kesejahteraan)

yang merupakan basis pembangunan kesejahteraan sosial, khususnya

pemberantasan kemiskinan di negara-negara demokratis. Thoenes

mendefinisikan welfare state sebagai "a form of society characterised by a

system of democratic government-sponsored welfare placed on a new

footing and offering a guarantee of collective social care to its citizens,

concurrently with the maintenance of a capitalist system of production"

(Spieker, 1988:77). Meski dengan model yang berbeda, lnggris, Amerika

Serikat, Australia dan Selandia Baru serta negara-negara di Eropa Barat

termasuk penganut welfare state. Negara-negara di bekas Uni Soviet dan

Blok Timur umumnya tidak menganut welfare state, karena mereka bukan

negara demokratis maupun kapitalis (Spieker, 1978; 1995).

Pendekatan Residual

Pandangan residual menyatakan bahwa pelayanan sosial baru perlu

diberikan hanya apabila kebutuhan individu tidak dapat dipenuhi dengan

baik oleh lembaga-lembaga yang ada di masyarakat, seperti institusi keluarga

dan ekonomi pasar. Bantuan finansial dan sosial sebaiknya diberikan dalam

jangka pendek, pada masa kedaruratan, dan harus dihentikan manakala

individu atau lembaga-lembaga kemasyarakatan tadi dapat berfungsi

kembali. Di Amerika Serikat, program-program Bantu an Publik (public

assistance), seperti Supplemental Security Income (SSI), General Assis­

tance, Medicaid, Food Stamps, Housing Assistance, dan Aid to Families

with Dependent Children (AFDC) -kini menjadi Temporary Assistance

f0r Needy Families (TANF) (Chambers, 2000), adalah beberapa contoh

program residual dalam penanggulangan kemiskinan.

Perspektif residual sangat clipengaruhi ideologi konservatif (berasal dari

kata kerja "to comerve", ''memelihara" atau "mempertahankan") yang

Page 26: Edi Suharto

BAs 1 - PEMBANGUNIIN KESEJAHTERAAN SosrAL 11

cenderung menolak perubahan (Parsons et.al., 1994; Zastrow, 2000). Menu rut

ideologi ini tradisi dan kepercayaan yang berubah cepat akan menghasilkan

dampak negatif, ketimbang positif. Dalarn konteks ekonomi, penganut

konservatif melihat bahwa pemerintah tidak perlu melakukan intervensi

terhadap bekerjanya pasar. Daripada mengatur bisnis dan industri, pemerintah

lebih baik mendukungnya melalui pemberian insentif pajak. Ekonomi pasar

bebas adalah cara paling baik untuk menjamin kemakmuran dan pemenuhan

kebutuhan individu. Welfare state yang berwajah rudimentary, selektivitas

dan melibatkan pendekatan means-tested kemudian diyakini oleh para

residualist sebagai model yang tepat dijalankan dalam sistem kesejahteraan

sosial suatu negara (lihat Spieker, 1995; Suharto, 2005c).

Perspektif residual sering disebut sebagai pendekatan yang "menyalahkan

korban" atau blaming the victim approach. Masalah sosial, termasuk

kemiskinan, disebabkan oleh kesalahan-kesalahan individu dan karenanya

menjadi tanggungjawab dirinya, bukan sistem sosial. Metoda pekerjaan

sosial dalam mengatasi masalah sosial melibatkan pendekatan klinis dan

pelayanan langsung yang ditujukan untuk membantu orang menyesuaikan

diri dengan lingkungannya. Program-program pengentasan kemiskinan yang

bergaya jaring Pengaman Sosial (JPS) atau subsidi BBM adalah "anak

kandung" faham residual. Penerima pelayanan sosial dianggap sebagai

klien, pasien, orang yang tidak mampu menyesuaikan diri atau bahkan

penyimpang (deviant) (Parsons et.al., 1994).

Pendekatan lnstitusional

Berbeda dengan perspektif residual yang memandang pelayanan sosial

sebagai charity for unfortunates, pendekatan institusional melihat sistem

dan usaha kesejahteraan sosial sebagai fungsi yang tepat dan sah dalam

masyarakat modern. Pelayanan sosial dipandang sebagai hak warga negara.

Program pengentasan kemiskinan eli AS yang berbentuk Asuransi Sosial

(social insurance), semisal Old Age, Survivors, Disability, and Health

Insurance (OASDHI); Medicare; Unemployment Insurance; clan Workers'

Compensation Insurance aclalah manifestasi clari pembangunan kesejahteraan

sosial yang berbasis penclekatan insitusional.

Page 27: Edi Suharto

12 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

Perspektif institusional dipengaruhi oleh ideologi liberal yang percaya

bahwa perubahan pada umumnya adalah baik dan senantiasa membawa

kemajuan (Parsons et.al., 1994; Zastrow, 2000). Masyarakat dan ekonomi .

pasar memerlukan pengaturan guna menjamin kompetisi yang adil dan

setara di antara berbagai kepentingan. Karena negara dipandang

merefleksikan kepentingan-kepentingan warganya melalui · perwakilan­

perwakilan kelompok, maka pemerintah dibenarkan untuk mengatur dan

memberikan pelayanan sosial. Perspektif ini sangat mendukung model

welfare state yang bersifat universal. Program-program pemerintah, termasuk

program kesejahteraan sosial dipandang penting untuk memenuhi kebutuhan

dasar kemanusiaan secara luas dan berkelanjutan. Seperti dinyatakan

Zastrow (2000:14), para penganut faham liberal meyakini bahwa " ...

government regulation and intervention are often required to safeguard

human rights, to control the excess of capitalism, and to provide equal

chances for success. They emphasize egalitarianism and the rights of mi­

norities." Menariknya, sikap seperti ini justru berbeda dengan faham para

ekonom pemuja neo-liberalisme yang cenderung niendukung pasar bebas,

globalisasi, dan laissez-faire policy sebagaimana dianut para politisi dari

kalangan konservatis.

Selain dipengaruhi ideologi liberal, perspektif institusional juga dekat

dengan ideologi radikal. Dalam konteks ini, perspektif institusional termasuk

dalam gugus pendekatan "yang menyalahkan sistem" (blaming the system

approach) (Parsons, et.al., 1994). lndividu dan kelompok dipandang sebagai

warga negara yang sehat, aktif dan partisipatif. Kemiskinan bukan disebabkan

oleh kesalahan individu. Melainkan, produk dari sistem sosial yang tidak

adil, menindas, sexist dan rasis yang kemudian membentuk sistem kapitalis.

Metoda pekerjaan sosial yang sering digunakan mencakup program-pro­

gram pencegahan, pendidikan, pemberdayaan dan penguatan struktur­

struktur kesempatan. Tiga bentuk program pemerintah yang umum

ditekankan oleh pendekatan institusional meliputi: penciptaan distribusi

pendapatan; stabilisasi mekanisme pasar swasta; dan penyediaan "barang­

barang publik" tertentu (pendidikan, kesehatan, peru mahan sosial, rekreasi),

yang tidak dapat disediakan oleh pasar secara efisien (Parsons et.al., 1994).

Page 28: Edi Suharto

BAB 1 - PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOS!AL 13

Pendekatan Pengembangan

Selama bertahun-tahun telah terjadi perdebatan seru antara penganut ideologi

liberal/institusional dengan penganut ideologi konservatif/residual. Kaum

institusional mengkritik pendekatan residual sebagai perspektif kesejahteraan

sosial yang tidak sejalan dengan prinsip kewajiban negara (state obliga­

tion). Negara wajib menyediakan bantuan jangka panjang dan terstruktur

kepada konstituen mereka, terutama kelompok lemah, miskin dan kurang

beruntung (disadvantegd groups) yang tidak mampumemenuhi kebutuhan

dasarnya secara mandiri dan adekuat. Skema bantuan sosial residual yang

mensyaratkan test penghasilan (means-tested approach) dikritik sebagai

sistem kesejahteraan sosial yang melahirkan stigma dan poverty trap kepada

para penerimanya.

Skema pelayanan sosial means-tested umumnya hanya diberikan kepada

orang miskin yang memiliki pendapatan tertentu atau di bawah garis

kemiskinan yang telah ditetapkan. Misalkan garis kemiskinan yang ditetapkan

adalah Rp.1 00.000 per bulan. Maka hanya orang yang berpendapatan di

bawah garis kemiskinan itulah yang berhak menerima pelayanan sosial.

Akibatnya, skema ini menimbulkan stigma, karena penerima pelayanan

sosial selalu diidentikan dengan orang miskin dan tidak mampu. Apabila

orang tersebut suatu ketika mendapat pekerjaan dengan upah, katakanlah

Rp.11 0.000 per bulan, secara otomatis dia harus melepaskan bantuan

sosial yang diterimanya. Kondisi ini sering memaksa para penerima

pelayanan untuk tetap tidak bekerja, terutama jika upahnya hanya lebih

sedikit dari standar kemiskinan. Situasi seperti inilah yang kemudian disebut

sebagai "jebakan kemiskinan", karena orang miskin terpaksa atau dipaksa

untuk terus hidup di bawah garis kemiskinan.

Sebaliknya, kelompok residual juga tidak henti-hentinya mengkritik

pendekatan institusional. Pendekatan ini dipandangtelah melahirkan model

welfare state yang boros, tidak ekonomis dan menciptakan ketergantungan

kepada pemerintah yang berkuasa. Para penerima pelayanan sosial menjadi

malas, manja dan tidak mau bekerja agar dapat memberi kontribusi bagi

kesejahteraan masyarakat.

Konsepsi pembangunan sosial yang diajukan Midgley (1995) dalam

Page 29: Edi Suharto

14 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

buku Social Development: The Developmental Perspective in Social Wel­

fare (1995) menawarkan pendekatan alternatif, yakni perspektif

pengembangan (developmental perspective) yang memadukan aspek-aspek,

positif dari pendekatan residual maupun institusional (Zastrow, 2000).

Perspektif pengernbangan ini sering disebut juga sebagai pendekatan

pembangunan sosial yang oleh Midgley (1995:25) didefinisikan sebagai "a

process of planned social change designed to promote the well-being of

population as a whole in conjunction with a dynamic process of eco­

nomic development."

Perspektif pengembangan sejalan dengan ideologi liberal dan pendekatan

institusional. Ia mendukung pengembangan program-program kesejahteraan

sosial, peran aktif pemerintah, serta peiibatan tenaga-tenaga profesional dalam

perencanaan sosial. Menurut Midgley (2005: 205):

Selain memfasilitasi dan mengarahkan pembangunan sosial, pemerintah

juga seharusnya memberikan kontribusi langsung pada pembangunan

sosiallewat bermacam kebijakan dan program sektor publik. Perspektif

institusional membutuhkan bentuk organisasi formal yang bertang­gungjawab untuk mengatur usaha pembangunan sosial dan menghar­

moniskan implementasi dari berbagai pendekatan strategis yang

berbeda. Organisasi seperti ini berada pada tingkat yang berbeda tetapi tetap harus dikoordinasikan pada tingkat nasion a I. Mereka juga mempekerjakan tenaga spesialis yangtelah terlatih dan terampil untuk

mendukung tercapainya tujuan pembangunan sosial.

Pendekatan pengembangan juga tidak menentang ideologi konservatif

dan pendekatan residual, karena menyatakan bahwa pengembangan pro­

gram-program kesejahteraan sosial tertentu akan memiliki dampak positif

terhadap ekonomi (di AS, politisi aliran konservatif umumnya menolak

program-program kesejahteraan sosial karena dipandang akan membawa

dampak negatifterhadap pembangunan ekonomi) (Zastrow, 2000:15). lni

sejalan dengan ide Tittmus (1974), "Mbahnya" kebijakan sosial dan pekerjaan

sosial lnggris, yang berpendapat bahwa kesejahteraan sosial adalah "the

handmaiden of the process of production." Agar terus hidup dan berjaya,

masyarakat harus memiliki beberapa piranti untuk memelihara keteraturan,

Page 30: Edi Suharto

BAB 1 - PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN 50SIAL 15

mempertahankan perubahan, menciptakan angkata:1 kerja yang kuat dan

terampil, serta mereproduksi dirinya sendiri untuk masa depan. Sistem

kesejahteraan sosial memiliki fungsi untuk mempromosikan investasi sosial

semacam ini (Spieker, 1988; 1995). Menurut Costa Esping-Andersen,

kebijakan sosial di Swedia telah mampu mendukung pertumbuhan ekonomi

dan tenaga kerja dan tidak hanya sekadar merespon kebutuhan sosial

(Midgley, 1995).

Dalam buku sebelumnya, The Social Dimensions of Development: Social Policy and Planning in the Third World, Hardiman dan Midgley

(1982) berpendapat bahwa penanganan masalah sosial di Dunia Ketiga

seharusnya lebih difokuskan kepada kemiskinan, karena merupakan masalah

dominan dan. mempengaruhi permasalahan sosial lainnya. Namun,

mengingat kemiskinan di negara berkembang memiliki karakteristik yang

berbeda dengan negara~negara industri maju, maka strategi yang digunakan

di negara maju tidak dapat begitu saja diadopsi negara berkembang. Oleh

karena itu, selain menyatukan dua perspektif dan ideologi kesejahteraan

sosial yang tadinya berlawanan, perspektif pengembangan juga muncul

sebagai reaksi terhadap tiga strategi peningkatan kesejahteraan sosial, yakni

filantropi sosial, pekerjaan sosial dan administrasi sosial, yang dianggap

Midgley terlalu didominasi oleh pendekatan residual dan program-pro­

gram sosial yang bersifat remedial dan kuratif.

Metoda pekerjaan sosial yang bermatra klinis, yang seringkali digunakan

para pekerja sosial di negara-negara maju, dipandang Midgley kurang

tepat jika digunakan dalam menangani kemiskinan. Sebagai ilustrasi,

kemiskinan di AS banyak disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat indi­

vidual, seperti kesehatan yang buruk, kecacatan fisik, kecacatan mental,

masalah emosional, alkoholisme, penyalahgunaan narkoba (Zastrow, 2000)

dan karenanya cocok jika ditangani dengan metode casework atau terapi

individu dan konseling. Sedangkan kemiskinan di Indonesia lebih disebabkan

oleh faktor-faktor struktural, semisal KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme)

atau sistem pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial yang kurang

memadai. Midgley mengusulkan bahwa selain memerlukan program-pro­

gram penguatan sosial dan ekonomi dalam skala masyarakat,

Page 31: Edi Suharto

16 MEMBANGUN MASYARAKAT ME~1BERDAYAKAN RAKYAT

penanggulangan kemiskinan perlu pula didukung o!eh kebijakan ekonomi

dan sosial pada skala nasional (Hardiman dan Midgley, 1982; Midgley,

1995; lihat Suharto, 2005b).

Isu-isu Pembangunan Kesejahteraan Sosiai

Di negara-negara yang kapitalis dan bahkan atheis sekalipun, selalu ada

perlindungan sosial dari pemerintah untuk mencegah kaum lemah

terpinggirkan oleh derap modernisasi dan industrialisasi. Di Indonesia,

selain PKS diamanatkan secara tegas oleh konstitusi, jumlah PMKS masih

san gat besar. Mereka umumriya merupakan "kelompok termiskin dari yang

miskin" (the poorest of the poor). Pada tahun 2002, prosentase penduduk

miskin dan fakir miskin terhadap total penduduk Indonesia adalah sekitar

17,6 persen dan 7,7 persen. lni berarti bahwa secara rata-rata jika ada

100 orang Indonesia berkumpul, 18 orang di antaranya adalah orang

miskin. Dan jika kelompok fakir miskin ini kita kategorikan sebagai PMKS,

maka dari 18 orang miskin tersebut, 8 orang di antaranya adalah PMKS

(BPS dan Depsos, 2002:9).

Lemahnya Visi

Meskipun demikian, terdapat kesan kuat bahwa para politisi dan pembuat

keputusan di Indonesia masih belum memiliki visi PKS yang tegas. Sebagai

contoh, anggaran pemerintah untuk PKS masih sangat kecil jika

dibandingkan dengan anggaran untuk pembangunan sosial lainnya.

Pertanyaannya, mengapa para politisi dan pembuat kebijakan di Indonesia

tidak memiliki visi yang jelas mengenai PKS? Jika dipetakan, sedikitnya

ada tiga isu yang menjelaskan kondisi ini.

Pertama, pandangan mengenai pentingnya PKS seringkali terjegal oleh

mainstream pemikiran ekonomi yang kapitalistik. lndikator-indikatorekonomi

makro seperti pertumbuhan GNP, investasi, dan perluasan kesempatan

kerja dijadikan parameter utama dan citra keberhasilan pembangunan.

Kondisi sejahtera kemudian direduksi menjadi sekadar kemakmuran

ekonomi. Kesejahteraan dianggap akan tercipta dengan sendirinya jika

Page 32: Edi Suharto

BAB 1 - PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SosiAL 17

pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi .mungkin. Mekanisme pasar bebas

dan "trickle down effects" diyakini sebagai "tangan-tangan tidak kelihatan"

yang akan mengatur beroperasinya pembangunan nasional secara opti­

mal, meskipun kenyataannya tidak terbukti. Pada saat pemerintahan SBY

baru terbentuk, para ekonom dan pemlkir kapitalisme "buru-buru"

mengangkat isu bahwa pemerintah harus ramah pasar. Padahal yang tepat,

pasarlah yang harus ramah pemerintah. Terlebih, pasar harus ramah rakyat.

Kedua, komitmen terhadap pembangunan seringkali masih bersifat

jangka pendek berdasarkan .kalkulasi ekonomi sederhana. Kegiatan

pembangunan hanya dilihat dari seberapa besar kontribusinya terhadap

APBN. Artinya, jika pemerintah mengeluarkan anggaran untuk pembangunan

sebesar satu miliar, maka pemerintah harus memperoleh return yang lebih

besar dari satu miliar. Karena PKS tidak dapat menghasilkan keuntungan

ekonomi bagi negara dalam waktu singkat, maka tidak mengherankan

kalau sebagian besar penguasa ogah-ogahan mengurusi masalah ini.

Sayangnya, pandangan seperti ini telah merasuk pula ke para politisi dan

pembuat keputusan di daerah. Dengan otonomi daerah, kini semakin

banyak Pemda yang mampu meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah).

Namun, kurang bersemangat mengatasi "PAD" (Permasalahan Asli Daerah).

Dana Pemda untuk PKS sebagian besar banyak yang mengandalkan kucuran

anggaran dari pemerintah pusat melalui dana dekonsentrasi. Pengelolaan

ekonomi "rabun jauh" (miopia) seperti ini mirip dengan ekonomi "kakilima"

yang sederhana. Pagi hari pergi ke pasar membawa dagangan senilai

Rp.1 00.000, sore hari pulang ke rumah dengan membawa uang

Rp.150.000. Padahal mengelola negara lebih kompleks, memerlukan

wawasan yang lebih luas dan berpandangan ke depan. lnvestasi tidak

mesti dalam bentuk ekonomi jangka pendek, melainkan pula investasi

sosial jangka panjang.

Ketiga, PMKS yang menjadi sasaran utama PKS adalah kelompok

masyarakat yang memiliki bargaining position yang rendah. Mereka tidak

memiliki sumber dan akses yang dapat menyuarakan aspirasi politiknya.

Walhasil, meskipun kitab suci, ajaran moral dan LJU menekankan

pentingnya pembelaan terhadap mereka, para penguasa lebih tertarik pada

Page 33: Edi Suharto

18 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

kelompok-kelompok kuat yang memililiki uang dan jaringan. Terlebih di

negeri yang penuh dengan KKN, para penguasa lebih berminat berhubungan

dengan orang yang memiliki uang melimpah guna menjalin deal-deal,

yang saling menguntungkan. Secara guyon, lagu heroik yang tadinya

berbunyi "maju tak gentar, membe/a yang benar" bisa diplesetkan menjadi

"maju tak gentar, membela yang besar".

Program Strategis

lsu lain yang hangat dibicarakan adalah menyangkut akuntabilitas

(accountabiity) program PKS (Suharto, 2005a). Sejalan dengan rnenguatnya

semangat kompetisi dan efisiensi, perencanaan program PKS baik pada

tingkat nasional maupun daerah semakin dituntut untuk lebih akuntabel

(accountable). Artinya, dampak PKS harus terukur secara jelas. Dalam

bahasa politik, wacana ini seringkali diungkapkan dengan pernyataan bahwa

"program PKS harus bersifat strategis". Sebagai suatu bidang atau sektor

pembangunan yang melibatkan program dan pelayanan sosial yang "tidak

kelihatan" (intangible services), PKS memerlukan parameter yang jelas

dalam menentukan apakah program PKS bersifat strategis, kurang strategis

atau tidak strategis. Secara konseptual, parameter untuk menentukan ke­

strategis-an PKS dapat diringkas dalam akronim "FIT-V" yang merupakan

kepanjangan dari Factor, Impact, Trend, dan Value (Gambar 1 .4):

1. Factor (faktor): Apakah program PKS causally accountable? Artinya, apakah program PKS merupakan faktor penentu yang mampu mengatasi masalah publik yang menyangkut orang banyak (key factor to pro­blem solving)?

2. Impact (dampak): Apakah program PKS socially and economically profitable? Apakah program PKS bermanfaat atau berdampak pada peningkatan kesejahteraan publik?

3. Trend (kecenderu ngan): Apakah program PKS globally and nationally visible? Apakah program PKS sejalan dengan kecenderungan global dan nasional?

4. Value (nilai): Apakah program PKS culturally acceptable? Apakah program PKS sesuai dengan nilai-nilai dan harapan-harapan kultural yang berkembang pada masyarakat?

Page 34: Edi Suharto

BAs 1 - PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SosiAL 19

Gambar 1.4: Parameter Program Strategis

Pemahaman mengenai program strategis ini selain akan membantu

memudahkan penentuan prioritas program PKS, juga dapat meningkatkan

daya saing program PKS dibandingkan dengan program pembangunan

lainnya. Para politisi dan pembuat keputusan lebih tertarik kepada pro­

gram PKS yang strategis.

Visi dan Misi Pembangunan Kesejahteraan Sosial

Pertanyaannya, apa saja yang perlu dilakukan agar PKS memenuhi kriteria

strategis di atas? Sedikitnya ada tiga agenda besar yang perlu dilakukan

(lihat Kotak 1 .1 tentang visi dan misi pembangunan kesejahteraan sosial

yang diusulkan penulis masuk ke dalam Rencana Strategis Depsos ke

depan):

Pertama, tugas PKS perlu direkonstruksi atau diluruskan kembali (re­

bounding) agar lebih jelas dan terukur. Sebagai langkah awal, reformulasi

visi PKS merupakan keharusan. Kita bisa berkaca pada visi lembaga bisnis

seperti Nokia yang dengan jelas menyatakan "connecting people" atau

maskapai penerbangan Lion Air yang dengan gagah berkata "we make

people fly". Sejalan dengan tiga fokus PKS, yakni pelayanan sosial,

perlindungan sosial, dan pemberdayaan masyarakat, visi PKS dapat mengacu

Page 35: Edi Suharto

20 M EM BAN GUN MASYARAKAT M EMBERDAYAKAN RAKYAT

pada tiga kegiatan pokok tersebut, katakanlah, menjadi "melayani,

melindungi, dan memberdayakan masyarakat". Dengan visi ini, PKS dapat

merumuskan core business-nya secara terukur sehingga memiliki "merek.

dagang" (trade-mark) yang mudah dikenal oleh masyarakat luas.

Kedua, mengarusutamakan disiplin dan profesi pekerjaan sosial ke

dalam kebijakan dan program PKS. Seperti halnya profesi keguruan yang

menjadi "tuan rurnah" di bidang pendidikan atau profesi kedokteran di

bidang kesehatan, maka PKS perlu pula menetapkan pekerjaan sosial sebagai

"tuan rumah" dan basis profesionalisme yang menerangi setiap konsep

dan strateginya. Sebagian besar kebijakan dan program PKS belum didasari

oleh konsep-konsep pekerjaan sosial. Melainkan hanya begitu saja dicomot

dari ilmu-ilmu sosiallain yang seringkali kurang relevan. Sejalan dengan

ini, PKS perlu mengedepankan pekerja sosial profesional sebagai profesi

utama di bidang kesejahteraan sosial. Seperti guru dan dokter, para pekerja

sosial profesional ini adalah lulusan perguruan tinggi jurusan kesejahteraan

sosial atau pekerjaan sosial yang dihasilkan Sekolah Tinggi Kesejahteraan

Sosial, Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, serta perguruan

tinggi negeri dan swasta lain yang tersebar di Indonesia. Tanpa ada kejelasan

profesionalisme seperti ini, PKS akan terus-menerus dipandang sebagai

lembaga "biasa-biasa saja" yang kegiatannya dapat dilakukan oleh siapa

saja, di mana saja dan kapan saja.

Ketiga, agar tidak sekadar dipandang sebagai sektor pembangunan

yang hanya menangani "sampah sosial" atau "piring kotor", PKS tidak

hanya terpusat pada kegiatan rowing (mendayung) dalam "perahu"

pembangunan nasional, melainkan harus pula terlibat dalam aktivitas "steer­

ing" (menyetir) "perahu" pembangunan nasional, dalam bentuk perumusan

kebijakan sosial di tingkat makro. PKS perlu menggeser sasaran tembaknya

dari sekadar menangani problema sosial di tingkat hilir menjadi menangani

problema sosial di tingkat hulu. Misalnya, lembaga-lembaga yang bergerak

di bidang PKS seperti ~epsos dapat memulainya dengan menjadi lembaga

audit sosial yang bertugas memberi peringatan dini kepada lembaga lain

yang memproduksi kebijakan dan program yang merugikan kesejahteraan

masyarakat. Kalau Kementerian Lingkungan Hidup dapat memberi alarm

Page 36: Edi Suharto

BAs 1 - PEMBt.NGUNAN KESEJAHTERAAN SosrAL 21

soal polusi dan kerusakan lingkungan, maka Depsos juga harus mampu

merancang parameter yang mampu memberi peringatan dini soal"polusi

sosial" dan "kerusakan sosial" akibat kegiatan industri atau pembangunan

yang dilakukan oleh pihak lain.

- -;-'

i I ikLk~rri~mpuc:m . . ' .

dasa:rnya ~esuai

Page 37: Edi Suharto

22 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

masya~akat.ya~g beruntung(ad6~At1~~dg~oups)_dan dunia u~~h~~} dalam · pembangunan kesejahtera~n;~osial ; . . {. ·•. < \/c• x·<~:lt~a·w

4. Mengembangkan sistem dan·rn8B~I ja;.hi~an ·~osia( b~ik '9~Wg~;·,·. dilakukansecara formal oleh pehlerintali, maupun dilakukan sec~r~:.·: informal oleh pranata-pranata sosial: • <<. . . .. .· .... ·· ...

5. Mend uku ng tersgle~lgg~[ariya dk{.eni~£'lisa~{.pembao'go~i~~t~!~ kese j ahteraan so sip I dengan. tetap !Tl~h1perhatikan p rins i p' keadi hiri.:·

:~:~k~~;::~h:1!a~!~~t~~~~~~!Qa~;::~a,~r:d;(', ... ' ,- ....... , :::.-·-··_,-.:·.; ·,··' -~:~·.:: :;=-> ·:- c ' -~-~:/_·-~~-- •• _·:-··:,' •• :- - -. •• • ···~)'

. StrategiL?~!·:··~··· .... ·•· ,.·.·.·· .. ·.··· ... :;,;······;:~.·~;'.· ... ~,:~•:.:c,·;;,;i···.•·.:•\·,\;W~~:}~,1~·l$~l:~~F~··.:.·:···;,;, ... ,:.·· 1. lnvestasi sosfai:··Pembarl.laYr'l<61111men"'r\~gara·'da:lammel'aksa · ... n;1;

kewajiban sosial (social ob/igatiori),t~rhadap warga n~egarayang:, menempatkan pembangunan'kesejahteraan sosial sebagai pil"adti~i

2. ~:::;:~:o:~::a~~~;:~:~:;n~~;;n~:~:;jJ,,o;i~l ~roi~~~fe': yakni yang memiliki lata:r belal<ahf(pendidikan dan keahlian'1\ pekerjaan sosial, dalam penyelenggaraan pembangunan kesejah:7.::~ teraan sosial. '·· ,. ·

3. Partisipasi sosial: Penguatan kepedulian:, i~isiatlf dan pe;~n,(ikiig!: masyarakat dalam merencanakan, melaksanakah dan mengawasif segenap proses pembangLinan kesejahteraan sosial beserta hasH-. hasil yang dicapainya.

40 Kemitraan sosial: Penurnbuhkembangan kerjasama antara pemerintah, masyarakat madani dan dunia usia dalam p~m-··:

qangunan kesejahteraan sosial secara setara dan dinamis. ; • · , ·

50 Advokasi sosial: Pembel~an dan pendahlpingah terhadap;hak-h~~r sosial (social rights) masyarakat yang mengalami eksploitasi dan peminggiran struktural oleh individu, kelornpok, maupun institusi.:, lain yang menindas. · · · ::; ·

6. Pemberdayaan sosial: Penguatan kapasitas (capacity building) para penerima pelayanan sosial sehingga memiliki kemampuan dan kepercayaan diri dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, men­jangkau pelayanan sosial, serta berpartisipasi dalam kehidupan :· masyarakat secara · mand i ri 0

Page 38: Edi Suharto

Pekerjaan Sosial

Pada bab terdahulu dikemukakan bahwa pekerjaan sosial sejatinya harus

merupakan profesi utama dalam pembangunan kesejahteraan sosial (PKS).

Agar sistem dan mekanisme PKS dapat memberikan kontribusi bagi

pembangunan nasional secara maksimal, PKS perlu dilaksanakan secara

profesional oleh para pekerja sosial (social worker) yang memiliki kompetensi

profesional atau keahlian khusus di bidangnya. Bab ini menjelaskan karakteristik

pekerjaan sosial sebagai sebuah profesi kemanusiaan yang berkiprah dalam

arena atau bidang kesejahteraan sosial, termasuk pemberdayaan masyarakat.

Di dalamnya dibahas pula mengenai konsep keberfungsian sosial yang

merupakan fokus perhatian intervensi pekerjaan sosial serta Perspektif Kekuatan

(Strengths Perspective) sebagai salah satu model pertolongan pekerjaan sosial.

Bab ini ditutup oleh sebuah pendekatan pekerjaan sosial dalam memobilisasi

lingkungan atau sumber yang berada di seputar klien, yaitu Anal isis Jaringan

Sumber (AJS).

Pekerjaan Sosial

Pekerjaan sosial adalah profesi kemanusiaan yang telah lahir cukup lama.

Sejak kelahirannya sekitar tahun 1800-an (Zastrow, 1999; Zastrow, 2000;

Shulman, 2000), pekerjaan sosial terus mengalami perkembangan sejalan

dengan tuntutan perubahan dan aspirasi masyarakat. Namun demikian,

seperti halnya profesi lain (misalnya kedokteran, keguruan), fondasi dan

prinsip dasar pekerjaan sosial tidak mengalami perubahan. Tan dan Er.vall

(2000:4) berujar, "while social work explores changes and adapts to various demands ... the basic ingredients of social work must remain in the

23

Page 39: Edi Suharto

24 MEMBANGUN MASYARAKAT MEM6ERDAYAKAN RAKYAT

changing tide."

Pekerja sosial berbeda dengan profesi lain, semisal psikolog, dokter

atau psikiater. Sebagai ilustrasi, pada saat mengobati pasien seorang dokter ·

hanya memfokuskan perhatian pada penyakit pasien saja. Saat menghadapi

klien, seorang pekerja sosial tidak hanya melihat klien sebagai target

perubahan, melainkan pula mempertimbangkan lingkungan atau sistuasi

sosial di mana klien berada, termasuk di dalamnya "orang-orang penting

lain" (significant others) (Suharto, 2005a; 2005b) yang mempengaruhi

klien. Mandat utama pekerja sosial adalah memberikan pelayanan sosial

baik kepada individu, keluarga, kelompok, maupun masyarakat yang

membutuhkannya sesuai dengan nilai-nilai, pengetahuan dan keterampilan

profesional pekerjaan sosial. Mengacu pada profesi di bidang jurnalistik

(yakni wartawan) dan bidang kesehatan-psikis (yakni psikiater), pekerja

sosial juga bisa diberi nama lain, yaitu sosiawan atau sosiater. Pemberian

nama yang pendek ini terutama untuk menghilangkan anggapan umum

yang seringkali melihat pekerja sosial sebagai orang yang bekerja di bidang

amal atau kegiatan sosial.

Pekerjaan sosial adalah aktivitas profesional untuk menolong individu,

kelompok dan masyarakat dalam meningkatkan atau memperbaiki kapasitas

mereka agar berfungsi sosial dan menciptakan kondisi~kondisi masyarakat

yang kondusif untuk mencapai tujuan tersebut (Zastrow, 1999). Sebagai

suatu aktivitas profesional, pekerjaan sosial didasari oleh tiga komponen

dasar yang secara integratif membentuk profil dan pendekatan pekerjaan

sosial: kerangka pengetahuan (body of knowledge), kerangka keahlian

(body of skills) dan kerangka nilai (body of values). Ketiga komponen

tersebut dibentuk dan dikembangkan secara ekletik dari beberapa ilmu

sosial seperti sosiologi, psikologi, antropologi, filsafat, politik dan ekonomi.

Nilai-nilai, pengetahuan dan keterampilan pekerjaan sosial dapat dilihat

dari definisi pekerjaan sosial terbaru. Dalam Konferensi Dunia di Montreal

Kanada, Juli tahun 2000, International Federation of Social Workers (IFSW)

(Tan dan Envall, 2000:5) mendefinisikan pekerjaan sosial sebagai berikut:

The social work profession promotes problem solving in human rela­

tionships, social change, empowerment and liberation of people, and

Page 40: Edi Suharto

BAs 2 - PEKERJAAN SosiAL 25

the enhancement of society. Utilizing theories of human behavior

and social systems, social work intervenes at the points where people

interact with their environments. Principles of human rights and so­cial justice are fundamental to social work.

(Profesi pekerjaan sosial mendorong pemecahan masalah dalam kaitannya

dengan relasi kemanusiaan, perubahan sosial, pemberdayaan dan pembebasan man usia, serta perbaikan masyarakat. Menggunakan teori­teori perilaku manusia dan sistem-sistem sosial, pekerjaan sosial

melakukan intervensi pada titik (atau situasi) di niana orang berinteraksi

dengan lingkungannya. Prinsip-prinsip hak azasi man usia dan keadilan

sosial sangat penting bagi pekerjaan sosial.)

Secara garis besar ilmu dan metoda penyembuhan sosial (social treat­

ment) pekerjaan sosial terdiri atas pendekatan mikro dan makro. Pendekatan

mikro merujuk pada berbagai keahlian pekerja sosial untuk mengatasi

masalah yang dihadapi oleh individu, keluarga dan kelompok. Masalah

sosial yang ditangani umumnya berkenaan dengan problema psikologis,

seperti stress dan depresi, hambatan relasi, penyesuaian diri, kurang percaya

diri, alienasi atau kesepian dan keterasingan, apatisme hingga gangguan

mental. Dua metoda utama yang biasa diterapkan oleh pekerja sosial

dalam setting mikro ini adalah terapi perseorangan (casework) dan terapi

kelompok (groupwork) yang di dalamnya melibatkan berbagai teknik

penyembuhan atau terapi psikososial seperti Terapi Berpusat pada Klien

(client-centered therapy), terapi perilaku (behavior therapy), terapi keluarga

(family therapy), terapi kelompok (group therapy). Pendekatan makro adalah

penerapan metoda dan teknik pekerjaan sosial dalam mengatasi masalah

yang dihadapi masyarakat dan lingkungannya (sistem sosial), seperti

kemiskinan, ketelantaran, ketidakadilan sosial, dan eksploitasi sosial. Tiga

metoda utama dalam pendekatan makro adalah terapi masyarakat

(communitywork -populer dengan nama "pengembangan masyarakat"

atau community development), manajemen pelayanan kemanusiaan (hu­

man service management -bisa pula disebut terapi kelembagaan atau

institutional therapy) dan analisis kebijakan sosial (social policy analysis).

Perbedaan mendasar antara communitywork, human service management

Page 41: Edi Suharto

26 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

dan social policy analysis adalah jika dua metoda yang disebut pertama

merupakan pendekatan pekerjaan sosial dalam praktik langsung (direct

practice) dengan kliennya, maka anal isis kebijakan sosial merupakan metoda

pekerjaan sosial dalam praktik tidak langsung (indirect practice) dengan

kliennya.

Pusat perhatian pengembangan masyarakat adalah orang-orang dan

sumber-sumber kemasyarakatan yang biasanya bermatra lokal. Program­

program peningkatan pendapatan masyarakat seperti usaha ekonomis

produktif, kelompok usaha bersama (KUBE), kredit mikro adalah contoh

konkrit penerapan metode pengembangan masyarakat. Sementara itu,

sasaran perubahan analisis kebijakan sosial lebih luas lagi, yaitu pada

keberfungsian sistem yang mempengaruhi masyarakat yang akan dibantunya.

Perumusan kebijakan dan peraturan yang berkaitan dengan perlindungan

sosial, jaminan sosial, pemerataan pendapatan adalah contoh kongkrit

pendekatan analisis kebijakan sosial.

Keberfungsian Sosial

PKS seringkali bersifat multidimensi. Program dan kegiatan yang berkaitan

dengan pelayanan sosial, perlindungan sosial dan pemberdayaan masyarakat

bisa terentang mulai dari kegiatan-kegiatan peningkatan pendapatan (aspek

ekonomi) hingga peningkatan kapasitas intelektual atau keterampilan sosial

(aspek pendidikan) dan kapasitas fisikal (aspek kesehatan). Oleh karena

itu, meskipun dominan, pekerja sosial atau sosiater bukanlah satu-satunya

profesi yang terlibat di dalam arena PKS. Dalam menangani korban bencana

tsunami di Aceh, umpamanya, program dan kegiatan PKS melibatkan

banyak sekali profesi pertolongan yang melaksanakan tugas sesuai dengan

fungsinya, seperti ekonom, dokter, guru, dan psikolog. Diantara profesi­

profesi tersebut, peran pekerja sosial lebih dominan dalam peningkatan

keberfungsian sosial klien. Sedangkan profesi lainnya, peranan dominannya

adalah dalam menjalankan fungsi khasnya. Tujuan seorang dokt:er menangani

pasien adalah untuk menyembuhkan penyakit yang diderita pasien sehingga

ia sehat. Seorang guru mendidik siswa tujuannya adalah agar siswa tersebut

Page 42: Edi Suharto

BAs 2 - PEKERJAAN SosiAL 27

terlepas dari kebodohan dan menjadi pintaratau terdidik. Secara sederhana,

hubungan dan fokus berbagai profesi dalam arena PKS dapat dilihat pada

Gambar 2.1.

AREA PEMBANGUNAN

KESEJAHTERAAN SOSIAL

Gambar 2.1: Fokus Berbagai Profesi dalam Arena Pembangunan Kesejahteraan Sosial

Dalam proses pertolongannya, peranan pekerja sosial sangat beragam

tergantung pada konteksnya. Secara umum pekerja sosial dapat berperan

sebagai mediator, fasilitator atau pendamping, pembimbing, perencana,

dan pemecah masalah. Kinerja pekerja sosial dalam melaksanakan

meningkatkan keberfungsian sosial dapat dilihat dari beberapa strategi

pekerjaan sosial sebagai berikut:

1. Meningkatkan kemampuan orang dalam menghadapi masalah yang dialaminya.

2. Menghubungkan orang dengan sistem dan jaringan sosial yang memungkinkan mereka menjangkau atau memperoler berbagai sumber, pelayanan dan kesempatan.

3. Meningkatkan kinerja lembaga-lembaga sosial sehingga mampu memberikan pelayanan sosial secara efektif, berkualitas dan

Page 43: Edi Suharto

28 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAI<:YAT

berperikemanusiaan.

4. Merumuskan dan mengembangkan perangkat hukum dan peraturan yang mampu menciptakan situasi yang kondusif bagi tercapainya kemerataan ekonomi dan keadilan sosial. '

Fokus utama pekerjaan sosial adalah meningkatkan keberfungsian sosial

(social functioning) melalui intervensi yang bertujuari atau bermakna.

Keberfungsian sosial merupakan konsepsi penting bagi pekerjaan sosial. Ia

merupakan pembeda antara pekerjaan sosial dan profesi lainnya. "Social

functioning to be a central purpose of social work and intervention was seen

as the enhancement of social functioning", begitu kata Skidmore, Thackeray

dan Farley (1991 :19). Keberfungsian sosial merupakan resultan dari interaksi

individu dengan berbagai sistem sosial di masyarakat, seperti sistem

pendidikan, sistem keagamaan, sistem keluarga, sistem politik, sistem

pelayanan sosial, dst. Berdasarkan penelitian di 17 propinsi yang kemudian

menjadi dua buku "Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial: Studi Kasus Rumah

Tangga Miskin di Indonesia (2003)" dan "Menerapkan Pemandu: Perlindungan

Masyarakat Miskin Terpadu (2004)", Suharto dkk mendefinisikan

keberfungsian sosial sebagai kemampuan orang (individu, keluarga, kelompok

atau masyarakat) dan sistem sosial (lembaga dan jaringan sosial) dalam

memenuhi!merespon kebutuhan dasar, menjalankan peranan sosial,.serta

menghadapi goncangan dan tekanan (shocks and stresses) (Gambar 2.2).

Gambar 2.2: Konsepsi tentang Keberfungsian Sosial

Page 44: Edi Suharto

BAs 2 - PEKERJAAN SosiAL 29

Sebagai contoh, kemampuan melaksanakan peranan sosial adalah

kapasitas seseorang dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya sesuai

dengan status sosialnya. Misalnya, status seorang ayah memiliki peranan

sebagai pencari nafkah, pelindung dan pembimbing segenap anggota

keluarga. Maka seorang ayah dikatakan berfungsi sosial apabila ia mampu

menjalankan peranan tersebut. Sebaliknya bila seorang ayah, yang karena

sesuatu sebab (umpamanya karena sakit, cacat, atau dipenjara) tidak mampu

menjalankan peranannya, ia dikatakan tidak berfungsi sosial atau mengalami

disfungsi sosial. Keluarga, organisasi sosial, dan masyarakat juga dapat

dikatakan berfungsi sosial, bila mereka mampu menjalankan peranan­

peranannya sesuai dengan status sosial, tugas-tugas dan tuntutan norma

lingkungan sosialnya.

Model Pertolongan

Selain melalui praktik, ilmu dan teknologi pekerjaan sosial berkembang

melalui pelatihan dan pendidikan formal. Di Indonesia pendidikan pekerjaan

sosial baru sampai program 52. Di universitas-universitas kelas dunia,

seperti di Amerika, lnggris, Perancis, Australia, New Zealand, Philippina,

Singapura, India, dan Malaysia, pekerjaan sosial diajarkan sampai tingkat

doktoral. Dibandingkan dengan profesi lain, harus diakui bahwa profesi

pekerjaan sosial di Indonesia masih tertinggal perkembangannya. Para

pekerja sosial menghadapi berbagai tantangan yang hingga kini masih

harus terus ditelisik solusinya. Tantangan tersebut terutama berkenaan dengan

kerangka kerja (framework) praktik pekerjaan sosial berdasarkan konsepsi

pekerjaan sosial yang genuine, asli dan khas.

Kerangka Kerja

Banyak yang berpendapat bahwa ketertinggaian pekerjaan sosial disebabkan

oleh kurangnya praktik dibandingkan dengan teori. Ketika di kelas atau

dalam seminarditerangkan mengenai konsep-konsep pekerjaan sosial, tidak

sedikit yang bersifat apriori sambil mengutip iklan shampo "ah ... teori".

Selain sikap ini merupakan kekeliruan dalam memandang dan "memper-

Page 45: Edi Suharto

3Q MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

lakukan" teori, penulis berargumen bahwa ketertinggalan pekerjaan sosial

bukan karena kekurangan aplikasi, melainkan kekurangan konsepsi dan

model teori. Secara paradigmatik, model pertolongan pekerjaan sosial

sangat tergantung atau dipengaruhi oleh beroperasinya SC, yaitu Concept,

Commitment, Capability, Connection, dan Communicationdalam proses

dan praktik pekerjaan sosial (Gambar 2.3):

1. Concept(konsep): menunjuk pada perumusan konsep-konsep pekerjaan sosial yang akan dijadikan focus of inquiry secara ringkas, menarik ("seksi"), dan jelas.

2. Commitment (komitmen): penerimaan secara konsisten terhadap konsep yang telah didefinisikan dan akan digunakan sebagai pisau analisis.

3. Capability (kapabilitas atau kemampuan): kemampuan atau keahlian dalam mengaplikasikan konsep.

4. Connection (koneksi atau jaringan): koneksi atau jaringan dengan mana praktik pekerjaan sosial beroperasi, baik dengan teman sejawat dalam bingkai asosiasi profesi atau dengan profesi lain secara teamwork.

5. Communication (komunikasi): mengkomunikasikan setiap hasil praktik dalam bentuk jurnal, buku. Bagi masyarakat modern, publikasi tertulis merupakan dinamika sentral (zeitgeists) dan pendefinisi kemajuan peradaban.

Kerangka kerja praktik pekerjaan sosial yang berserakan di literatur

Barat belum dikembangkan secara sungguh-sungguh menjadi konsepsi

praktik pekerjaan sosial gaya Indonesia. Bukankah pekerjaan sosial telah

sering dipraktikkan oleh ribuan mahasisiwa kesejahteraan/pekerjaan sosial

dan para pekerja sosial di panti-panti, lembaga sosial dan masyarakat?

Namun, karena kegiatan praktik tersebut tidak "dikonsepsikan" dan "di­

lndonesiakan", kita menyaksikan betapa domain pekerjaan sosial masih

saja pabaliut (campur aduk) dengan domain profesi lain. Akibatnya, tidak

sedikityang memandang pekerjaan sosial sebagai profesi "coca-cola" yang

bisa dilakukan oleh siapa saja, di mana saja dan kapan saja.

Page 46: Edi Suharto

BAs 2 - PEKERJAAN SosiAL 31

Gambar 2.3: Kerangka Kerja Praktik Pekerjaan Sosial

Model yang Berbasis Kekuatan Klien

Sebagai sebuah profesi, pekerjaan sosial, sesungguhnya memiliki model

dan pendekatan yang khas dalam menghadapi permasalahan sosial yang

ditanganinya. Bersandar pada kerangka pengetahuan (body of knowledge),

keterampilan (body of skills) dan nilai (body of value), ciri utama pendekatan

pekerjaan sosial adalah senantiasa menempatkan klien atau kelompok sasaran

(target group) dalam konteks situasi atau lingkungan yang mengitarinya.

Pendekatan person-in-situation atau person-in-environment ini kemudian

menjadi "cetak biru" (blue-print) pekerjaan sosial yang tidak melihat klien

sebagai orang atau sekelompok orang yang bermasalah. Melainkan, orang

yang memiliki kekuatan (strengths) yang sesungguhnya bisa dijadikan

"sumber" (resources) dalam proses pemecahan masa!ah atau pemenuhan

kebutuhan hidupnya. MenurutTan dan Envall (2000:5):

'The skillful social work professional is able to analyze complex

situations and to facilitate individual, organizational, social and cul­

tural changes. Social workers are the skilled deliverers of community

resources to those who need them most."

(Seorang pekerja sosial profesional yang terlatih mampu menganalisis

situasi-situasi komplek dan memfasilitasi perubahan-perubahan secara

individual, organisasional, sosial, dan kultural. Pekerja sosial adalah

para pengelola!pemberi sumber-sumber kemasyarakatan yang terlatih

terhadap mereka yang san gat membutuhkan .)

Page 47: Edi Suharto

32 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

Banyak sekali model praktik pekerjaan sosial yang bisa diterapkan

baik untuk setting individu, keluarga, kelompok maupun masyarakat.

Berdasarkan prosesnya saja, Sheafor, Horejsi dan Horejsi (2000), misalny\},

mencatat lebih dari 100 model. Oleh karena itu, untuk keperluan buku

ini, hanya akan dikemukakan satu model praktik yang disebut Model

Kekuatan (the Strengths Perspective/Mode/) (Zastrow, 1999:61-62; Sheafor,

Horejsi dan Horejsi, 2000:93-95).

Tujuan utama Model Kekuatan (Strengths Model) ini adalah untuk

menjamin bahwa pekerja sosial sangat memperhatikan kekuatan-kekuatan

klien selama proses assessment dan intervensi. Dengan demikian, fokus

model ini lebih ditekankan pada bagaimana menggali dan memobilisasi

sumber-sumber yang terkait dengan klien, baik sumber internal yang ada

pad a diri klien sendiri, maupun sumber eksternal yang berada di lingkungan

sekitar klien. Sebagaimana dinyatakan Malucio, banyak pekerja sosial yang

terlalu menekankan pada kelemahan klien ketimbang kekuatan yang

dimilikinya (Zastrow, 1999). Karenanya, Malucio menyarankan agarfokus

pendidikan dan praktik pekerjaan sosial diubah dari pendekatan masalah

atau patologi ke pendekatan yang berbasis kekuatan klien yang memper­

hatikan sumber, potensi kemanusiaan, dan lingkungan klien. "There is a need to shift the focus on social work education and practice from prob­lems or pat.ho/ogy to strengths, resources, and potentialities in human beings and their environments." (Zastrow, 1999:61 ).

Model ini dapat diaplikasikan dalam praktik pekerjaan sosial dengan

klien perseorangan, kelompok maupun masyarakat dalam setiap tahap

proses pertolongan, mulai dari assessment sampai evaluation. Dalam

bekerja dengan klien, pekerja sosial memfokuskan pada kemampuan

dan sumber-sumber klien untuk membantu memecahkan masalah yang

dihadapinya. Pendekatannya lebih diutamakan pada pengubahan

lingkungan klien terlebih dahulu ketimbang klien itu sendiri. Artinya,

jika model-model lain (misalnya the task-centered model, client-cen­tered theraphy, crisis intervention model) lebih menekankan pada

bagaimana membantu klien menyesuaikan dengan lingkungan, Model

Kekuatan memfokuskan pada bagaimana memobilisasi lingkungan dan

Page 48: Edi Suharto

BAB 2 - PEK=RJAAN SOSIAL 33

sumber terlebih dahulu sehingga sesuai dengan kebutuhan klien.

Model yang berbasis pada kekuataf1 klien sangat berkaitan dengan

konsep pemberdayaan (empowerment). pemberdayaan dapat didefinisikan

sebagai proses membantu individu, keluarga, kelompok dan masyarakat

dalam meningkatkan kekuatan personal, interpersonal, sosio-ekonomi dan

jXJiitik, serta mengembangkan pengaruh terhadap perbaikan lingkungan mereka

(Barker dalam Zastrow, 1999). Model ini berupaya untuk mengidentifikasi,

menggunakan, membangun, dan memperkuat kekuatan dan sumber-sumber

yangdimiliki atau berada di seputar klien. Pendekatan ini menekankan pada

kemampuan, nilai-nilai, perhatian, keyakinan, sumber-sumber, pencapaian­

pencapaian, dan aspirasi-aspirasi orang yang menjadi klien pekerja sosial.

Menurut Sallebey (Zastrow, 1999:61-'62; Sheafor, Horejsi dan Horejsi,

2oo0:93-94) terdapat lima asumsi yang mendasari model ini:

1. Setiap individu, kelompok, keluarga, dan masyarakat memiliki kekuatan­

kekuatan.

Trauma, perlakuan salah, penyakit, dan penderitaan bisa saja menjadi 2. . luka, namun dapat pula menjadi sumber tantangan dan kesempatan.

Tidak seorang pun yang mengetahui batas maksimal kemampuan 3. klien untuk tumbuh dan berubah.

Klien akan sangat terbantu jika dilayani melalui kerjasama dengannya 4. dan melalui penghargaan terhadap aspirasi dan harapannya secara

serius.

s. Lingkungan di mana klien berada dan berfungsi sesungguhnya memiliki

sumber-sumber yang lengkap.

Anal isis Jaringan Sumber

Salah satu teknik yang berporos pada Model Kekuatan adalah Analisis

jaringan Sumber (AJS) atau Resources Network Analysis (RNA) adalah

pernetaan dan pengukuran hubungan dan interaksi beragam sumber dalam

sebuah kesatuan atau entitas sosial (lingkungan keluarga, lembaga atau

masyarakat) yang melibatkan orang, kelompok masyarakat, informasi dan

beragam pelayanan sosial di dalamnya. Misalnya, lembaga-lembaga

Page 49: Edi Suharto

34 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

pelayanan sosial formal, seperti sekolah, rumah sakit, dan bank dapat

digambarkan dengan lingkaran-lingkaran, sedangkan garis-garis yang

menghubungkan lingkaran tersebut menunjukkan keterkaitan anta:a

lembaga-lembaga yang bersangkutan. Segenap jalinan interaksi beserta

dinamika dan keberfungsian di antara elemen-elemen tersebut dinamakan

jaringan (network). Pendekatan untuk menggambarkan dan mengidentifikasi

kualitas dari jaringan tersebut dapat menggunakan metode Asesmen Cepat

dan Partisipatif (ACP) atau Participatory Rapid Assessment (PARA). Tiga

teknik inti dalam ACP antara lain Diskusi Kelompok Terfokus (Focus Croup

Oiscussion!FGD), Pendiagraman Lembaga atau Ven (Institutional or Venn

Diagramming), dan Perbandingan Pasangan (Pairwise Comparison) (Cham­

bers, 1997; Suharto, 1997). Hasil AJS dapat divisualisasikan ke dalam

Peta AJS (Gambar 2.4) dan ditransformasikan ke dalam Matrik AJS (Tabel

2.1 ).

/

,~ .............................. ..

,,'' /

( \

Legenda:

Hubungan searah

-~ ~ Hubungan timbal balik

---- Kualitas hubungan kuat Sedang -------- Lemah ............ .

Gambar 2.4: Peta Analisis jaringan Sumber

Page 50: Edi Suharto

BAB 2 - PEKERJAAN SOSIAL 35

label 2.1: Matrik Anal isis Jaringan Sumber

)enis dan kualitas Aksesibilitas sumber lnteraksi sumber sumber

Orang tua Anggota keluarga lain Teman dekat Sekolah Tetangga Mesjid/Gereja Lembaga sosial

AJS pada hakekatnya dirancang untuk memetakan dinamika interaksi

antar sumber internal dan eksternal yang terkait dengan klien sehingga

dapat dibuat sebuah rencana intervensi guna meningkatkan keberfungsian

sosial klien tersebut. Beberapa tema yang dapat digali dalam AJS meliputi:

1) Jenis dan kualitas sumber yang ada dan terlibat dalam kehidupan klien. Misalnya, sumber-sumber apa saja yang dimiliki klien? Manfaat apa yang dapat diperoleh dari sumber tersebut dalam kaitannya dengan peningkatan standar hidup mereka?

2) Aksesibilitas klien terhadap sumber-sumber. Dalam kaitannya dengan sumber eksternal, umpamanya, lembaga sosial lokal mana yang pa­ling sering atau mudah diakses oleh klien? Kontribusi dan keterlibatan apa yang dapat diberikan klien terhadap lembaga-lembaga tersebut? Hambatan apa yang dialami klien dalam mengakses lembaga-lembaga

tersebut?

3) lnteraksi antar sumber. Bagaimana hubungan diantara sumber-sumber yang ada (kuat, sedang, lemah)? Dalam konteks makro kemasyarakatan, misalnya, bagaimana hubungan antara lembaga sosial lokal dengan lembaga pemerintah, LSM, dan lembaga donor? Dengan lembaga mana lembaga sosiallokal memiliki hubungan kuat? Lembaga mana yang dipandang klien dan warga setempat sebagai lembaga yang memiliki derajat/tingkat interaksi kuat? Bentuk interaksi seperti apa yangterjadi di antara mereka (kerjasama, persaingan)?

Page 51: Edi Suharto

36 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

Page 52: Edi Suharto

Pengembangan Masyarakat

If you have come to help me you can go home again.

But if you see my struggle as part of your own survival then perhaps we can work together

(Seorang Wanita Aborigin Australia)

Pengembangan Masyarakat (PM) adalah salah satu metode pekerjaan sosial

yang tujuan utamanya untuk memperbaiki kualitas hid up masyarakat melalui

pendayagunaan sumber-sumber yang ada pada mereka serta menekankan

pada prinsip partisipasi sosial. Sebagai sebuah metode pekerjaan sosial,

PM menunjuk pada interaksi aktif antara pekerja sosial dan masyarakat

dengan mana mereka terlibat dalam proses perencanaan, pelaksanaan,

pengawasan dan evaluasi suatu program pembangunan kesejahteraan sosial

(PKS) atau usaha kesejahteraan sosial (UKS). PM meliputi berbagai pelayanan

sosial yang berbasis masyarakat mulai dari pelayanan preventif untuk

mencegah anak-anak terlantar atau diperlakukan salah (abused} sampai

pelayanan kuratif dan pengembangan untuk keluarga yang berpendapatan

rendah agar mereka mampu memenuhi kebutuhan dasarnya (Suharto,

2002). Beberapa topik yang dibahas pada bagian ini meliputi konsep

pengembangan masyarakat, perspektif teoritis, model-model PM, serta

beberapa pengetahuan dan keterampilan dalam PM.

Konsep dan Cakupan

Pengembangan masyarakat (PM) memiliki sejarah panjang dalam literatur

dan praktik pekerjaan sosial (Payne, 1995; Suharto, 1997). Menurutjohnson

(1984), PM merupakan spesialisasi atau setting prakte'< pekerjaan sosial

37

Page 53: Edi Suharto

38 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

yang bersifat makro (macro practice). Meskipun PM memiliki peran penting

dalam pekerjaan sosial, PM tidak hanya dilakukan oleh para pekerja sosial.

PM juga menjadi bagian dari kegiatan profesi lain, seperti perencana kota,.

pengembang peru mahan, dan bahkan kini sangat populer diterapkan oleh

para industriawan di perusahaan-perusahaan besar, seperti Caltex, Rio

Tinto, Freeport, Pertamina melalui pendekatan yang dikenal dengan nama

corporate social responsibility maupun corporate social investment (dibahas

secara khusus pada Bab 15). PM juga sering dilakukan oleh para sukarelawan

dan aktivis pembangunan yang tidak dibayar.

Telah terjadi perdebatan panjang mengenai apakah PM dapat dan

harus didefinisikan sebagai kegiatan profesional dan ciri khas pekerjaan

sosial. Yang jelas, PM memi!iki tempat khusus dalam khazanah pendekatan

pekerjaan sosial, meskipun belum dapat dikategorikan secara tegas sebagai

satu-satunya metode milik pekerjaan sosial (Mayo, 1998). Dalam diskursus

akademis pekerjaan sosial, PM lebih dikenal sebagai community organiza­

tion atau community development (CO/CD) (Gilbert dan Specht, 1981)

atau Bimbingan Sosial Masyarakat (Soetarso, 1991 ). Di Australia, lnggris

dan beberapa negara Eropa, PM disebut sebagai pekerjaan kemasyarakatan

(community work), penyembuhan sosial (social treatment), perawatan sosial

(social care) atau perawatan masyarakat (community care) (Twelvetrees,

1993; Payne, 1986).

PM dapat didefinisikan sebagai metode yang memungkinkan orang

dapat meningkatkan kualitas hidupnya serta mampu memperbesar

pengaruhnya terhadap proses-proses yang mempengaruhi kehidupannya

(AMA, 1993). Menurut Twelvetrees (1991 :1) PM adalah "the process of

assisting ordinary people to improve their own communities by undertak­

ing collective actions." Secara khusus PM berkenaan dengan upaya

pemenuhan kebutuhan orang-orang yang tidak beruntung atau tertindas,

baik yang disebabkan oleh kemiskinan maupun oleh diskriminasi

berdasarkan kelas sosial, suku, gender, jenis kelamin, usia, dan kecacatan.

PM memiliki fokus terhadap upaya menolong anggota masyarakat

yang memiliki kesamaan minat untuk bekerja sama, mengidentifikasi

kebutuhan bersama dan kemudian melakukan kegiatan bersama untuk

Page 54: Edi Suharto

BAB 3 - PEMGEMBANGAN MASYARAKAT 39

memenuhi kebutuhan tersebut. PM seringkali diimplementasikan dalam bentuk (a) proyek-proyek PKS yang memungkinkan anggota masyarakat memperoleh dukungan dalam memenuhi kebutuhannya atau melalui (b)

kampanye dan aksi sosial yang memungkinkan kebutuhan-kebutuhan tersebutdapatdipenuhi oleh pihak-pihak lain yang bertanggungjawab (Payne, 1995:165).

Sebagaimana asal katanya, yakni pengembangan masyarakat, PM terdiri dari dua konsep, yaitu "pengembangan" dan "masyarakat". Secara singkat, pengembangan atau pembangunan merupakan usaha bersama dan terencana untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Bidang-bidang pembangunan biasanya meliputi beberapa sektor, yaitu ekonomi,

pendidikan, kesehatan dan sosial-budaya. Sementara itu, masyarakat dapat diartikan dalam dua konsep, yaitu (Mayo, 1998:162):

1 . Masyarakat sebagai sebuah "tempat bersama", yakni sebuah wi I ayah geografi yang sama. Sebagai contoh, sebuah rukun tetangga, peru mahan di daerah perkotaan atau sebuah kampung di wilayah pedesaan.

2. Masyarakat sebagai "kepentingan bersama", yakni kesamaan kepentingan berdasarkan kebudayaan dan identitas. Sebagai contoh, kepentingan bersama pada masyarakatetnis minoritas atau kepentingan bersama berdasarkan identifikasi kebutuhan te1tentu seperti halnya pada kasus para orang tua yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus (anak cacat fisik) atau bekas para pengguna pelayanan kesehatan mental.

lstilah masyarakat dalam PM biasanya diterapkan terhadap pelayanan­pelayanan sosial kemasyarakatan yang membedakannya dengan pelayanan­pelayanan sosial kelembagaan. Pelayanan perawatan manula yangdiberikan di rumah mereka dan/atau di pusat-pusat pelayanan yang terletak di suatu masyarakat merupakan contoh pelayanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan perawatan manula di sebuah rumah sakit khusus manula adalah contoh pelayanan sosial kelembagaan. lstilah masyarakatjuga sering dikontraskan dengan "negara". Misalnya, "sektor masyarakat" sering diasosiasikan dengan

bentuk-bentuk pemberian pelayanan sosial yang kecil, informal dan bersifat bottom-up. Sedangkan lawannya, yakni "sektor publik", kerap diartikan

Page 55: Edi Suharto

40 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAi<YAT

sebagai bentuk-bentuk pelayanan sosial yang relatif lebih besar dan lebih

birokratis. PM seringkali diartikan dengan pelayanan sosial gratis dan swadaya

yang biasanya muncul sebagai respon terhadap melebarnya kesenjangar-~

antara menurunnya jumlah pemberi pelayanan dengan meningkatnya jumlah

orang yang membutuhkan pelayanan. PM juga umumnya diartikan sebagai

pelayanan yang menggunakan pendekatan-pendekatan yang lebih bernuansa

pemberdayaan (empowerment) yang memperhatikan keragaman pengguna

dan pemberi pelayanan.

Perspektif Teoritis

Secara teoritis, PM dapat dikatakan sebagai sebuah pendekatan pekerjaan

sosial yang dikembangkan dari dua perspektif yang berlawanan, yakni

aliran kiri (sosialis-Marxis) dan kanan (kapitalis-demokratis) dalam spektrum

politik. Dewasa ini, terutama dalam konteks menguatnya sistem ekonomi

pasar bebas dan swastanisasi kesejahteraan sosial, PM semakin menekankan

pentingnya swadaya dan keterlibatan informal dalam mendukung strategi

penanganan kemiskinan dan penindasan, maupun dalam memfasilitasi

partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.

Twelvetrees (1991) membagi perspektif teoritis PM ke dalam dua

bingkai, yakni pendekatan profesional dan pendekatan radikal. Pendekatan

profesional menunjuk pada upaya untuk meningkatkan kemandirian dan

memperbaiki sistern pemberian pelayanan dalam kerangka relasi-relasi

sosial. Sementara itu, berpijak pada teori struktural neo-Marxis, feminisme

dan analisis anti-rasis, pendekatan radikal lebih terfokus pada upaya

mengubah ketidakseimbangan relasi-relasi sosial yang ada melalui

pemberdayaan kelompok-kelompok lemah, mencari sebab-sebab kelemahan

mereka, serta menganalisis sumber-sumber ketertindasannya. Sebagaimana

diungkapkan oleh Payne (1995:166), "This is the type of approach which supports minority ethnic communities, for example, in drawing attention to inequalities in service provision and in power which lie behind severe deprivation." Pendekatan profesional dapat diberi label sebagai pendekatan

yang bermatra tradisional, netral dan teknikal. Sedangkan pendekatan radikal

Page 56: Edi Suharto

BAB 3 - PEMGEMBANGAN MASYARAKAT 41

dapat diberi label sebagai pendekatan yang bermatra transformasional

label 3.1 : Dua Perspektif Pengembangan Masyarakat

Pendekatan Perspektif Tujuan/Asumsi

Profesional • Perawatan • Meningkatkan inisialif dan kemandirian (Tradisional, masyarakat masyarakat. Netral, Teknikal) • Pengorganisasian • Memperbaiki pemberian pelayanan sosial

masyarakat dalam kerangka relasi sosial yang ada. • Pembangunan

masvarakat Radikal • Aksi masyarakal • Meningkatkan kesadaran dan inisiatif (Transformasionai) berdasarkan masyarakat.

kelas • Memberdayakan masyarakat guna mencari • Aksi masyarakat akar penyebab ketertindasan dan diskriminasi.

berdasarkan • Mengembangkan strategi dan membangun jender kerjasama dalam melakukan perubahan sosial

• Aksi masyarakat sebagai bagian dari upaya mengubah relasi berdasarkan ras sosial yang menindas, diskriminatif, dan

eksploitatif.

Sumber: dikembangkan dari Mayo (1998:166)

Seperti digambarkan oleh Tabel 3.1, dua pendekatan tersebut dapat dipecah lagi ke dalam beberapa perspektif sesuai dengan beragam jenis dan tingkat praktek PM (Dominelli, 1990; Mayo, 1998) yang meliputi: perawatan masyarakat, pengorganisasian masyarakat dan pembangunan masyarakat pada gugus profesional; dan aksi masyarakat berdasarkan kelas sosial, aksi masyarakat berdasarkan gender dan aksi masyarakat berdasarkan ras (warna kulit) pada gugus radikal.

1. Perawatan masyarakat merupakan kegiatan volunter yang biasanya dilakukan oleh warga kelas menengah yang tidak dibayar. Tujuan utamanya adalah untuk mengurangi kesenjangan legalitas pemberian pelayanan.

2. Pengorganisasian masyarakat memiliki fokus pada perbaikan koordinasi antara berbagai lembaga kesejahteraan sosial.

3. Pembangunan masyarakat memiliki perhatian pada peningkatan keterampilan dan kemandirian masyarakat dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya.

4. Aksi masyarakat berdasarkan kelas bertujuan untuk membangkitkan

Page 57: Edi Suharto

42 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

kelompok-kelompok lemah untuk secara bersama-sama meningkatkan kemampuan melalui strategi konflik, tindakan langsungdan konfrontasi.

5. Aksi masyarakat berdasarkan gender bertujuan untuk mengubah relasi.­relasi sosial kapitalis-patriakal antara laki-laki dan perempuan, perempuan dan negara, serta orang dewasa dan anak-anak.

6. Aksi masyarakat berdasarkan ras (warna kulit) merupakan usaha untuk memperjuangkan kesamaan kesempatari dan menghilangkan diskriminasi rasial.

Model-model Pengembangan Masyarakat

jack Rothman dalam karya klasiknya yang terkenal, Three Models of Com­

munity Organization Practice (1968), mengembangkan tiga model yang

berguna dalam memahami konsepsi tentang PM: (1) Pengembangan

masyarakat lokal (locality development); (2) Perencanaan sosial (social plan­

ning); dan (3) Aksi sosial (social action) (lihat Suharto, 1997). Paradigma ini

merupakan format ideal yang dikembangkan terutama untuk tujuan anal isis

dan konseptualisasi. Dalam praktiknya, ketiga model tersebut saling

bersentuhan satu sama lain. Setiap komponennya dapat digunakan secara

kombinasi dan simultan sesuai dengan kebutuhan dan situasi yang ada.

Mengacu pada dua perspektif yang dikemukakan Mayo di atas, model pertama

dan kedua lebih sejalan dengan perspektif profesional, sedangkan model

ketiga lebih dekat dengan perspektif radikal. Dengan penyesuaian di sana

sini, ketiga model tersebut akan dijelaskan secara singkat di bawah ini dan

di tampilkan dalam Tabel3.2.

Pengembangan Masyarakat Lokal

Pengembangan masyarakat lokal adalah proses yang ditujukan untuk

menciptakan kemajuan sosial dan ekonomi bagi masyarakat melalui

partisipasi aktif serta inisiatif anggota masyarakat itu sendiri. Anggota

masyarakat dipandang bukan sebagai sistem klien yang bermasalah

melainkan sebagai masyarakat yang unik dan memiliki potensi, hanya saja

potensi tersebut belum sepenuhnya dikembangkan.

Page 58: Edi Suharto

8AB 3 - PEMGI:MBANGAN MASYARAKAT 43

Tabel3.2: Tiga Model Pengembangan Masyarakat

PARAMETER PENGEMBANGAN PERENCANAAN SOSIAL AKSI SOSIAL MASYARAKAT LOKAL

Orientasi tujuan Kemandirian, integrasi clan Pemecahan masalah sosial Perubahan struktur kemampuan masyarakat yang ada di masyarakat kekuasaan, lembaga dan (tujuan proses) (tujuan tugas/hasil) sumber (tujuan proses &

tugas) Asumsi mengenai Keseimbangan, kurang Masalah sosial nyata: Ketidakadilan, struktur kemampuan dalam relasi kemiskinan, pengang- kesengsaraan, masyarakat dan dan pemecahan masalah guran, kenakalan remaja keticlakmerataan, kondisi masalah ketidaksetaraan Asumsi mengenai Kepentingan umum atau Kepentingan yang dapat Konflik kepentingan yang kepentingan perbedaan-perbedaan yang diselaraskan atau konflik tidak dapat diselaraskan: masyarakat dapat diselaraskan keoentingan ketiadaan sumber Konsepsi Rationalist-unitary Idealist-unitary Realist-individualist mengenai kepentingan umum Orientasi Struktur kekuasaan sebagai Struktur kekuasaan Struktur kekuasaan sebagai terhadap struktur kolaborator, perwakilan sebagai pekerja dan sasaran aksi, dominasi etit kekuasaan sponsor kekuasaan harus

dihilangkan Sistem klien atau Masyarakat secara Seluruh atau sekelompok Sebagian atau sekelompok sistem perubahan keseluruhan. masyarakat, termasuk anggota masyarakat

masyarakat fungsional tertentu Konsepsi Warga masyarakat atau Konsumen Karban mengenai klien negara

atau penerima pelayanan Peranan Partisipan dalam proses Konsumen atau penerima Pelaku, elemen, anggota masyarakat pemecahan masalah pelayanan Peranan Pekerja Pemungkin, koordinator, Peneliti, analis, fasilitator, Aktivis advokasi: agitator, Sosial pembimbing pelaksanan program broker, negotiator Media perubahan Mobilisasi kelompok- Mobilisasi organisasi 'V\obilisasi organisasi masa

kelompok kecil formal dan oolitik Strategi Pel ibatan masyarakat Penentuan masa:ah dan Katalisasi dan perubahan dalam pemecahan masalah keputusan melalui pengorganisasi-an

tindakan rasional para ahli masyarakat untuk mengubah struktur kekuasaan

Teknik perubahan Konsensus dan diskusi Advokasi, andragogy, Konflik atau unjuk rasa, kelompok, partisipasi, perumusan kebijakan, konfrontasi atau tindakan brain storming, role perencanaan program langsung, mobilisasi playing, bimbingan dan massa, analisis kekuasaan, penyuluhan mediasi, agitasi,

negosiasi, oembelaan

Sumber: Suharto (1997)

Pengembangan masyarakat lokal pada dasarnya merupakan proses

interaksi antara anggota masyarakat setempat yang difasilitasi oleh pekerja

sosial. Pekerja sosial membantu meningkatkan kesadaran dan mengem­

bangkan kemampuan mereka dalam mencapai tujuan-tujuan yang

diharapkan. Pengembangan masyarakat lokallebih berorientasi pada "tujuan

proses" (process goal) daripada tujuan tugas atau tujuan hasil (task or

Page 59: Edi Suharto

44 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

product goa/). Setiap anggota masyarakat bertanggung jawab untuk

menentukan tujuan dan memilih strategi yang tepat untuk mencapai tujuan

tersebut. Pengembangan kepemimpinan lokal, peningkatan strategi·

kemandirian, peningkatan informasi, komunikasi, relasi dan keterlibatan

anggota masyarakat merupakan inti dari proses pengembangan masyarakat

lokal yang bernuansa bottom-up ini.

Perencanaan Sosial

Perencanaan sosial di sini menunjuk pada proses pragmatis untuk

menentukan keputusan dan menetapkan tindakan dalam memecahkan

masalah sosial tertentu seperti kemiskinan, pengangguran, kenakalan remaja,

kebodohan (buta huruf), kesehatan masyarakat yang buruk (rendahnya

usia harapan hidup, tingginya tingkat kematian bayi, kekurangan gizi) dll.

Berbeda dengan pengembangan masyarakat lokal, perencanaan sosiallebih

berorientasi pada "tujuan tugas" (task goa/). Sistem klien perencanaan

sosial umumnya adalah kelompok-kelompok yang kurang beruntung (dis­

advantaged groups) atau kelompok rawan sosial-ekonomi, seperti para

lanjut usia, orang cacat, janda, yatim piatu, wanita tuna sosial. Pekerja

sosial berperan sebagai perencana sosial yang memandang mereka sebagai

"konsumen" atau "penerima pelayanan" (beneficiaries). Keterlibatan para

penerima pelayanan da!am proses pembuatan kebijakan, penentuan tujuan,

dan pemecahan masalah bukan merupakan prioritas, karena pengambilan

keputusan dilakukan oleh para pekerja sosial di lembaga-lembaga formal,

semisal lembaga kesejahteraan sosial pemerintah (Depsos) atau swasta

(LSM). Para perencana sosial dipandang sebagai ahli (expert) dalam

melakukan penelitian, menganalisis masalah dan kebutuhan masyarakat,

serta dalam mengidentifikasi, melaksanakan dan mengevaluasi program­

program pelayanan kemanusiaan.

AksiSosial

Tujuan dan sasaran utama aksi sosial adalah perubahan-perubahan funda­

mental dalam kelembagaan dan struktur masyarakat melalui proses pendis-

Page 60: Edi Suharto

BAB 3 - PEMGEMBANGAN MASYARAKAT 45

tribusian kekuasaan (distribution of power), sumber (distribution of re­

sources) dan pengambilan keputusan (distribution of decision making).

Pendekatan aksi sosial didasari suatu pandangan bahwa masyarakat adalah

sistem klien yang seringkali menjadi 'korban' ketidakadilan struktur. Mereka

miskin karena dimiskinkan, mereka lemah karena dilemahkan, dan tidak

berdaya karena tidak diberdayakan, oleh kelompok elit masyarakat yang

menguasai sumber-sumber ekonomi, politik, dan kemasyarakatan. Aksi

sosial berorientasi baik pada tujuan proses dan tujuan hasil. Masyarakat

diorganisir melalui proses penyadaran, pemberdayaan dan tindakan-tindakan

aktual untuk mengubah struktur kekuasaan agar lebih memenuhi prinsip

demokrasi, kemerataan (equality) dan keadilan (equity).

Pengetahuan dan Keterampilan

PM sangat memperhatikan keterpaduan antara sistem klien dengan

lingkungannya. Sistem klien dapat bervariasi, mulai dari individu, keluarga,

kelompok kecil, organisasi, sampai masyarakat. Sementara itu sistem

lingkungan dapat berupa keluarga, rukun tetangga, tempat kerja, rumah

sakit dll. Dalam PM, pekerja sosial menempatkan masyarakat sebagai

sistem klien dan sistem lingkungan sekaligus. Karenanya, pengetahuan

dan keterampilan yang harus dikuasai oleh pekerja sosial yang terlibat

dalam PM meliputi pengetahuan tentang masyarakat, organisasi sosial,

perkembangan dan prilaku manusia, dinamika kelompok, program sosial,

dan pemasaran sosial (social marketing). Keterampilan yang perlu dikuasai

meliputi keterampilan interview, relasi sosial, studi sosial, pengumpulan

dan pengorganisasian dana, pengembangan dan evaluasi program, serta

identifikasi kebutuhan (needs assessment) Uohnson, 1984; Suharto, 1997).

Model-model PM perlu dibangun berdasarkan perspektif alternatif

(baik profesional maupun radikal) yang secara kritis mampu memberikan

landasan teoritis dan pragmatis bagi praktek pekerjaan sosial. Apapun

perspektif dan model yang digunakan, pekerja sosial perlu memiliki

perangkat pengetahuan dan keterampilan profesionalnya yang saling

melengkapi.

Page 61: Edi Suharto

46

II

II

II

II

li

MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

Engagement (cara melakukan kontak, kontrak dan pendekatan awal dengan beragam individu, kelompok, dan organisasi).

Assessment (cara memahami dan menganalisis masalah dan kebutuhan klien, termasuk assessment kebutuhan dan profil wilayah).

Penelitian (cara mengumpulkan dan mengidentifikasi data sehingga menjadi informasi yang dapat dijadikan dasar dalam merencanakan pemecahan masalah atau mengembangkan kualitas program).

Croupwork (bekerja dengan kelompok-kelompok yang dapat dijadikan sarana pemecahan masalah maupun dengan kelompok-kelompok kepentingan yang bisa menghambat atau mendukung pencapaian tujuan program pemecahan masalah).

Negosiasi (bernegosiasi secara konstruktif dalam situasi-situasi konflik) .

Komunikasi (dengan berbagai pihak dan lembaga) .

Konseling (melakukan bimbingan dan penyuluhan terhadap masyarakat dengan beragam latar kebudayaan).

Manajemen sumber (memobilisasi sumber-sumber yang ada di masyarakat, termasuk manajemen waktu dan aplikasi-aplikasi untuk memperoleh bantuan).

Pencatatan dan pelaporan terutama dalam kaitannya dengan pelaksanaan monitoring dan evaluasi program.

Pekerja sosial juga memerlukan pengetahuan mengenai kebijakan sosial,

sistem negara kesejahteraan (welfare state), dan hak-hak sosial masyarakat,

termasuk pengetahuan-pengetahuan khusus dalam bidang-bidang di mana

praktek pekerjaan sosial beroperasi, seperti: kebijakan kesejahteraan sosial

dan kesehatan, praktek perawatan masyarakat, peraturan dan perundang­

undangan perlindungan anak, serta perencanaan sosial termasuk peren­

canaan wilayah (perkotaan dan pedesaan) dan perumahan. Sebagai

tambahan, seperti diungkapkan oleh Mayo (1994:74), pekerja sosial perlu

memiliki pengetahuan mengenai:

The socio-economic and political backgrounds of the areas in which they are to work, including knowledge and understanding of political structures, and of relevant organisations and resources in the statu­tory, voluntary and community sectors. And they need to have know/-

Page 62: Edi Suharto

BAB 3 - PEMGEMBANGAN MASYARAKAT 47

edge and understanding of equal opportunities policies and practice, so that they can apply these effectively in every aspect of their work.

Mempelajari Masyarakat

Pekerja sosial perlu memiliki keahlian dalam memahami masyarakat. Tujuan

mempelajari masyarakat adalah agar dapat melakukan asesmen atau

penelitian mengenai masyarakat sehingga mampu. memahami konteks

dimana kegiatan PM akan dilaksanakan, mengevaluasi sistem pelayanan

kemanusiaan yang ada, dan mengerti struktur pengambilan keputusan

yang ada di wilayah tersebut. Masyarakat adalah sekelompok orang yang

memiliki perasaan sama atau menyatu satu-sama lain karena mereka saling

berbagi identitas, kepentingan-kepentingan yang sama, perasaan memiliki,

dan biasanya satu tempat yang sama. Ada beberapa fungsi masyarakat:

penyedia dan pendistribusi barang-barang dan ja5a, lokasi kegiatan bisnis

dan pekerjaan, keamanan publik, sosialisasi, wadah dukungan bersama

atau gotong royong, kontrol sosial, organisasi dan partisipasi politik. Beberapa

aspek di bawah ini penting diketahui dalam rnempelajari masyarakat:

• Nama dan batas wilayah serta jarak dari kota atau masyarakat lain.

• Demografis: jumlah penduduk, distribusi usia, kelompok minoritas, jumlah anggota keluarga, status keluarga.

• Sejarah wilayah: kapan, mengapa dan oleh siapa daerah tersebut dikembangkan, kejadian-kejadian penting yang mempengaruhi perkembangan wilayah, perubahan karakteristik penduduk, alasan­?.lasan mengapa pendatang baru datang ke wilayah tersebut dan mengapa orang-orang pergi meninggalkan wi!ayah tersebut.

• Geografi dan pengaruh-pengaruh lingkungan terhadap masyarakat: pengaruh cuaca, gunung, sungai, danau, pola-pola transportasi lokal, pembangunan ekonomi, pengaruh jalan to!, interaksi sosial, suplai air, listrik, jarak dari pasar.

• Kepercayaan dan sikap-sikap: nilai-nilai dominan, agama, sikap-sikap penduduk, jenis-jenis lembaga pelayanan kemanusiaan, rasa memiliki penduduk terhadap wilayahnya.

• Po!itik lokal: bentuk pemerintahan lokal, kekuasaan dan pengaruh

Page 63: Edi Suharto

48

"

MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

partai politik, tingkat partisipasi dalam pemilu, debat, isu dan kontroversi pada saat ini.

Ekonomi dan bisnis lokal: industri utama, bisnis, produksi wilayah, jenis pekerjaan yang ada, keterampilan kerja yang diperlukan oleh' perusahaan-perusahaan besar, persentasi pekerja dan penganggur, ramalan pertumbuhan ekonomi di masa depan.

Distribusi pendapatan: pendapatan rata-rata bagi pria dari wanita, kelompok minoritas, jumlah orang dan keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan, jumlah orang dan keluarga yang menerima bantuan sosial (program kemiskinan).

Peru mahan: tipe peru mahan umum, biaya dan ketersediaan peru mah­an, persentasi peru mahan yang disewa atau kosong, persentasi rumah yang padat atau kumuh.

Fasilitas dan program-program pendidikan: lokasi dan jenis sekolah, ketersediaan sekolah bagi anak-anak khusus, tingkat drop-out, ketersediaan pendidikan tinggi, pendidikan orang dewasa, program­program kejuruan dan pelatihan kerja.

Sistem kesehatan dan kesejahteraan: nama dan lokasi pemberi pelayanan kesehatan, pemberi pelayanan kemanusiaan, kelengkapan dan keterjangkauan pelayanan, jaringan-jaringan informal.

Keamanan publik dan sistem peradilan: kelengkapan polisi dan pemadam kebakaran, sikap penduduk terhadap polisi lokal, pengadilan dan pogram-program koreksional, jumlah orang dewasa dan remaja yang dipenjara.

Sumber informasi dan opini publik: Stasiun TV, radio dan surat kabar yang paling berpengaruh, pemimpin kunci dan pembicara-pembicara utama dari berbagai kelompok masyarakat.

Masalah utama dan perhatian-perhatian masyarakat: jenis dan penyebaran masalah (perumahan kumuh, transportasi yang tidak memadai, keterbatasan kesempatan kerja), usaha-usaha yang tengah dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut, kesenjangan yang ada pada berbagai pelayanan pendidikan, kesehatan dan sosial.

Page 64: Edi Suharto

BAB 3 - PEMGEMBANGAN MASYARAKAT 49

Pendidikan dan Pelatihan

Salah satu program yang seringkali dilakukan oleh pekerja sosial dalam

PM adalah peningkatan kapasitas klien (capacity building). Pendidikan dan

pelatihan merupakan keahlian yang sangat penting dimiliki oleh pekerja

sosial. Tujuan program ini adalah untuk membimbing dan membantu

klien dalam memperoleh informasi, pengetahuan atau keterampilan yang

berguna bagi kehidupannya. Pekerja sosial umumnya memberikan pelajaran

mengenai keterampilan-keterampilan yang berkaitan dengan pengasuhan

anak, komunikasi interpersonal, manajemen stress, pencarian kerja, hidup

mandiri. Pengajaran mereka diberikan kepada kl_ien, tenaga sukarela, ternan

sejawat atau peserta biasa. Pengajaran dilakukan dalam konteks relasi

personal, lokakarya atau kelas formal. Beberapa pedoman di bawah ini

dapat membantu pekerja sosial menjadi pelatih yang baik:

• Mengajar dan belajar berbeda. Kegiatan mengajar direncanakan dan dikontrol oleh guru, tetapi belajaitidak. Belajartergantung pada individu yang bersangkutan, khususnya motivasi, kemampuan, dan kesiapannya.

• Apa yang kita ajarkan dan pelajari menyangkut tiga kategori besar: pengetahuan, keyakinan dan nilai-nilai, serta keterampilan.

• Orang yang benar-benarterpelajar adalah orang yang bela jar bagaimana bela jar.

• ldentifikasi dan ajarkan terminologi dan konsep-konsep yang paling penting.

• Bantulah orang belajar dengan mengembangkan keterampilan­keterampilan dan teknik-teknik yang dapat menjembatani proses belajar. Keterampilan dan teknik tersebut meliputi: membaca, menulis, komunikasi verbal, mendengarkan, manajemen waktu, pemecahan masalah, perumusan tujuan, pembuatan keputusan dan lain-lain.

• Ketika merencanakan suatu pelajaran atau pelatihan di kelas, mulailah dengan menganalisis karakteristik peserta (tahap perkembangan, pendidikan formal, pengalaman kerja, pengalaman hidup dan lain­lain) dan mengidentifikasi pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan­keterampilan yang diharapkan atau ingin dipelajari. Kemudian pi!ih atau rancang metode yang paling tepat a tau disukai.

• Review dan kenali kurikulum dan bahan-bahan ajar yang sudah ada,

Page 65: Edi Suharto

50

"'

..

MEMBANGUN FvJASYARAKAT MEMeERDAYAKAN RAI(YAT

namun yakini bahwa materi tersebut perlu dimodifikasi. Materi dan metoda yang mungkin tepat bagi kelompok tertentu mungkin tidak sesuai untuk kelompok lainnya.

Sampai tingkat tertentu, gunakanlah pendekatan pengajaran yang dinamakan "learning by doing" atau belajar sambil berbuat. Teknik ini secara aktif melibatkan pikiran dan tubuh peserta didik (permainan peran, latihan simulasi, debat, dan diskusi). Kurangi seminimal mungkin presentasi yang bersifat formal.

Ketika mengajarkan suatu keterampilan, gunakan model yang dikenal dengan istilah "lihatlah satu, lakukan satu, ajarkan satu".

Beri penekanan untuk membantu peserta didik menggunakan segera informasi, pengetahuan atau keterampilan yang baru diajarkan.

Evaluasi secara kritis pengajaran yang dilakukan oleh kita. Bisa secara sederhana bertanya kepada peserta didik, apakah mereka menyukainya. Kita bisa menilai apakah peserta didik belajar sesuatu yang baru atau apakah mereka menggunakan pengetahuan dan keterampilan setelah kelas usai. Kita juga bisa menilai apakah pengetahuan dan keterampilan yang baru berdampak positif bagi kehidupan dan pekerjaannya.

Mempelajari lembaga Pelayanan Kemanusiaan

Kegiatan PM seringkali melibatkan lembaga pelayanan kemanusiaan dalam

pelaksanaan kegiatannya. Tujuan rnempelajari lembaga ini adalah untuk

mengetahui tujuan, struktur dan prosedur-prosedur lembaga pelayanan

kemanusiaan sehingga lembaga tersebutdapat memberikan pelayanan dan

program-program sosial secara efektif. Pekerja sosial perlu mengetahui

visi, misi, struktur, pendanaan, kebijakan dan prosedur-prosedur lembaga.

Beberapa hal di bawah ini dapat membantu pekerja sosial memahami

lembaga pelayanan kemanusiaan:

• Pelajari bagan lembaga dan tentukan bagaimana bagian-bagian atau seksi-seksi lembaga selaras dengan struktur organisasi.

• Pelajari perundang-undangan dan peraturan-peraturan setempat yang mempengaruhi kebijakan dan pelaksanaan program lembaga.

• Pelajari kebijakan dan pedoman kerja lembaga. Beri perhatian khusus pada petunjuk-petunjuk etis atau pedoman perilaku pegawai.

Page 66: Edi Suharto

BAB 3 - PEMGEMBAr\GAN MASYARAKAT 51

• Bacalah dokumen yang menjelaskan sejarah, visi, dan misi lembaga.

• Pelajari kebijakan kepegawaian lembaga.

• Pelajari sistem pendanaan lembaga: sumber dana, alokasi dana, laporan-laporan pengeluaran lembaga.

• Pelajari laporan tahunan lembaga dan ketahui program-program lembaga mana yang paling sering atau paling jarang dimanfaatkan oleh klien.

• Pelajari prosedur yang digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan lembaga dan kualitas pelayanan yang diberikan.

• ldentifikasi organisasi-organisasi lain dengan mana lembaga sering berhubungan.

• Pelajari peran, tugas, dan kegiatan khusus yang diberikan kepada para pekerja sosial.

• Berbicaralah kepada tokoh-tokoh masyarakat dan kaum profesional lain mengenai lembaga tersebut untuk mengetahui bagaimana pro­gram-program lembaga tersebut dilihat oleh pihak lain.

Pemasaran Pelayanan Kemanusiaan

Sebagian besar pekerja sosial tidak terbiasa untuk berpikir bahwa program

PM adalah sebuah produk yang harus dipasarkan, ditampilkan dan dijual.

Prinsip pemasaran dapat membantu pekerja sosial untuk memahami secara

lebih baik tindakan-tindakan yang perlu dilakukan untuk meningkatkan

pendanaan, menarik klien yang memerlukan pelayanan, tenaga sukarela

dan para profesional. Agar dapat menarik minat publik berpartisipasi atau

mendukung pelaksanaan kegiatan PM, ada 5 P yang perlu diperhatikan dalam

melakukan strategi pemasaran sosial.

• Product (produk): produk harus baik dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat di mana program akan di !aksanakan.

• Potential Buyer or consumer (pembeli atau pelanggan potensial): kenalilah siapa pembeli atau pelanggan potensial yang paling mungkin membeli atau menggunakan produk kita.

"' Place (tempat): pilihlah lokasi yang paling mudah dijangkau oleh para pengguna pelayanan.

Page 67: Edi Suharto

52

MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

Price (harga): harga produk PM tidak selalu diukur dalam rupiah, melainkan juga dari atensi, partisipasi atau kepuasan klien.

Promotion (promosi): gunakanlah selalu berbagai bentuk atau mediq. promosi yang sesuai untuk memasarkan produk. Media bisa berupa TV; surat kabar, radio atau "words of mouth" atau pemasaran "dari mulut ke mulut".

Pengumpulan Dana Bagi Lembaga Pelayanan Kemanusiaan

Lembaga pelayanan sosial adalah lembaga nirlaba yang tidak mencari keuntungan. Lembaga pelayanan sosial sangattergantung pada pihak ketiga, seperti lembaga donor, lembaga pemerintah atau publik. Untuk menjaga agar tetap hidup (survive), lembaga tersebut perlu memiliki program-pro­gram yang didukung oleh dana yang memadai dan berkelanjutan. Keahlian pekerja sosial dalam melakukan fund raising (pengumpulan dana) atau

fund development (pengembangan dana) dapat membantu meningkatkan keberhasilan PM. Tujuannya adalah agar lembaga yang terlibat dalam PM memperoleh dana dari masyarakat dan lembaga lain yang dapat mendukung proyek tertentu atau program PM yang sedang berlangsung. Terdapat

beberapa petunjuk dan prinsip yang dapat membantu para pekerja sosial dalarn melakukan pengumpulan dana:

• Sadari bahwa meskipun dalam kondisi yang paling baik sekalipun, mengumpulkan uang bagi kegiatan PM bukanlah hal yang mudah.

• Pengumpulan dana bagi kegiatan yang sedang berjalan harus menerapkan metode-metode yang dapatdiulangi setiap tahun.

• Prasyarat utama keberhasilan pengumpulan dana adalah program pemasaran yang baik yang membuat publik tetap memiliki informasi mengena! lembaga atau kegiatan PM.

• Hal terpenting dalam pengumpulan dana adalah membuat perencanaan. Sediakan waktu yang cukup (sekitar 12 sampai 18 bulan) dan ingatlah bahwa waktu yang tersulit untuk memperoleh dana adalah manakala kita memerlukan sekali dana pada saat itu.

" Lihatlah sumber keuangan pada tingkat lokal terlebih dahulu. Orang­orang di wilayah lokal adalah mereka yang paling mungkin memiliki kepentingan tertentu dengan keberhasilan program yang diusulkan.

Page 68: Edi Suharto

BAs 3 - PEMGEMBANGAN MASYARAKAT 53

Pengumpulan dana adalah kegiatan yang sangat bersifat personal. Dalam kenyataannya, orang memberi uang kepada orang lain yang ia kenai atau sukai dan bukan terhadap lembaganya. Bangunlah jaringan dan ketahuiJah orang-orang kunci pada lembaga-lembaga yang dapat memberikan akses dalam memperoleh dana.

Adalah memerlukan uang untuk memperoleh uang. Pastikan bahwa kegiatan pengumpulan dana memiliki anggaran tersendiri.

Libatkan tenaga sukarela dan dewan direksi lembaga. Mereka memiliki kredibilitas dalam masyarakat dan keterlibatan mereka meningkatkan rasa memiliki terhadap program.

Adalah penting untuk melakukan penelitian mengenai prioritas sumber­sumber dana yang potensial dan sesuaikan prioritas tersebut dengan rencana kita.

Pengumpulan dana melibatkan permintaan kepada orang untuk memberikan atau menyumbangkan uangnya. Jika tidak memintanya, maka kita tidak akan memperoleh uang.

Hubungi ahli jika kita belum mengetahui secara pasti bagaimana melakukan kampanye pengumpulan dana. Kita akan merusak usaha­usaha di masa depan jika melakukan pengumpulan dana dengan perencanaan yang buruk.

Terdapat beberapa langkah dalam merancang kegiatan pengumpulan

dana:

• Merumuskan tujuan pengumpulan dana.

• Melakukan konsultasi dengan ahli di bidang yang terkait dengan pengumpulan dana. Misalnya, jika pengumpulan dana akan melibatkan penyelenggaraan hiburan musik, maka pekerja sosial perlu melakukan konsultasi dengan orang yang memiliki keahlian di bidang hiburan ini.

• Membuat rencana kegiatan.

• Memilih seorang ketua pelaksana.

• Membentuk struktur organisasi.

• Melakukan seleksi dan latihlah para petugas, khususnya dalam melakukan kampanye dan pengelolaan pengumpulan dana.

Page 69: Edi Suharto

54

MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

Melakukan persiapkan materi informasi yang terkait dengan program yang akan dilaksanakan.

Membuat dan menyebarkan laporan-laporan kepada para donatwr apabila kegiatan telah selesai dilaksanakan. Selain sebagai bentuk pertanggungjawaban moral kepada orang yang telah mendukung pro­gram, kegiatan ini juga dapat membuat donatur tertarik untuk terus menyumbangkan dananya.

Membuat Proposal untuk Memperoleh Dana dari Lembaga Eksternal

Selain dana yang berasal dari anggaran internal, kegiatan PM dapatdidanai

oleh lembaga-lembaga eksternal. Kita dapat mengajukan proposal kepada

lembaga-lembaga eksternal untuk mendanai proyek sosial yang akan maupun

sedang dilakukan. Tujuan kegiatan ini adalah untuk memperoleh dana

dari lembaga pemerintah, yayasan-yayasan swasta alau lembaga donor

internasional. Sebelum pekerja sosial atau tim memutuskan untuk

mengajukan permohonan dana ke pihak luar ada tiga prasyarat yang harus

d i perti mbangkan:

• Gagasan atau inovasi program yang akan diajukan harus dirumuskan secara cermat dan jelas.

• Selain orang-orang atau panitia yang mengembangkan program, administrasi lembaga dan badan pelaksana harus memiliki komitmen terhadap program yang akan diusulkan.

• Harus dilakukan asesmen terhadap kompetensi dan kapasitas individu dan lembaga yang menunjukkan bahwa proyek dapat dilaksanakan secara baik dan terukur.

Terdapat enam petunjuk dalam mengembangkan sebuah proposal

pengajuan dana:

• Lakukan pekerjaan rumah untuk meneliti sumber potensial pemberi dana sebelum proposal dibuat. Pelajari prioritas-prioritas pendanaan yang diberikan oleh lembaga yang akan dilamar, sejarah pemberian dana terdahulu, kriteria kelayakan, batasan geografis, jenis dan jumlah dana yang tersedia, proses seleksi. Simpan nama, alamat dan nomor

Page 70: Edi Suharto

BAB 3 - PcMGEMBANGAN MASYARAKAT 55

telepon orang yang dapat dihubungi (contact person).

• Carilah informasi dan kontak secara informal dengan lembaga maupun contact person yang akan ditawari proposal.

• Buatlah proposal. Dalam membuat proposal, jawablah pertanyaan berikut: Apa yang ingin kita lakukan, berapa biaya dan waktu yang diperlukan? Apakah proyek yang diusulkan sesuai dengan bidang dan prioritas lembaga pemberi dana? Apakah ada proyek lain yang mirip dengan proyek yang kita usulkan, bagaimana persamaan dan perbedaannya? Bagaimana kita akan melaksanakan proyek tersebut, apakah pelaksana proyek memiliki pelatihan dan pengalaman yang memadai, mengapa mesti kita atau lembaga kita yang melakukan proyek tersebut dan bukannya pihak lain? Siapa yang akan diuntungkan oleh proyek tersebut, apa dampak yang akan ditimbulkan terhadap lembaga, klien, bidang ilmu, masyarakat, negara atau bangsa? Bagaimana kita akan mengukur, mengevaluasi dan melaporkan dampak tersebut? Apakah proyek dapat berlanjut setelah dana yang diberikan berakhir?

• Jadilah salesman yang baik terhadap proyek kita. Proposal yang ditulis harus dapat dipresentasikan dengan menarik yang merefleksikan pengetahuan, antusiasme, dan komitmen.

• Terukur. Persiapkan untuk melaksanakan proyek sesuai dengan rencana tertulis dan dana yang diajukan.

lsi proposal sebaiknya mencakup:

• Jilid (halaman muka) yang memuat judul proyek, peneliti utama, nama lembaga, tanggal pelaksanaan, total dana yang diperlukan, dan tanda tangan pengurus lembaga yang berwenang.

• Abstraksi yang memuat pernyataan ringkas mengenai tujuan dan prosedur proyek, metode evaluasi, dan rencana penyajian hasil.

• Pernyataan masalah dan tujuan proyek yang menunjukkan rationale (alasan-alasan utama) perlunya proyek dan buatlah tujuan dalam bahasa yang terukur.

"' Metodologi, prosedur dan kegiatan yang akan dilakukan.

" Metode evaluasi yang menjelaskan bagaimana hasil-hasil proyek yang akan dicapai dapat diukur.

Page 71: Edi Suharto

56

MEMBANGUN fvJASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

Tenaga pelaksana dan fasilitas yang akan dilibatkan dalam pelaksanaan proyek.

Anggaran. Gambaran secara detail mengenai biaya-biaya yang mungkil'l akan dikeluarkan dalam melaksanakan proyek.

Penyajian atau penyebarluasan hasil yang menjelaskan bagaimana hasil proyek akan dilaporkan dan disebarluaskan sehingga pihak lain dapat memperoleh manfaat dari proyek tersebut.

Page 72: Edi Suharto

Pemberdayaan Masyarakat

Pekerjaan sosial adalah aktivitas kemanusiaan yang sejak kelahirannya

sekian abad lalu telah memiliki perhatian yang mendalam pada

pemberdayaan masyarakat, khususnya masyarakat yang lemah dan kurang

beruntung (disadvantaged groups), seperti orang miskin, orang dengan

kecacatan (ODK), komunitas adatterpencil (KAT). Prinsip-prinsip pekerjaan

sosial, seperti 'menolong orang agar mampu menolong dirinya sendiri' (to

help people to help themselves), 'penentuan nasib sendiri' (self determina­

tion), 'bekerja dengan masyarakat' (working with people) dan bukan 'bekerja

untuk masyarakat' (working for people), menunjukkan betapa pekerjaan

sosial memiliki komitmen yang kuat terhadap pemberdayaan masyarakat.

Pekerjaan sosial adalah profesi yang populis dan tidak elitis. Bab ini

membahas beberapa terna yang mencakup konsep pemberdayaan, kelompok

lemah dan ketidakberdayaan, indikator keberdayaan, strategi pemberdayaan,

serta tugas-tugas yang dapat dilakukan pekerja sosial dalam pemberdayaan

masyarakat.

Pemberdayaan

Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment),

berasal dari kata 'power' (kekuasaan atau keberdayaan). Karenanya, ide

utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan.

Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita untuk membuat

orang lain melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan

minat mereka. llmu sosial tradisional menekankan bahwa kekuasaan

57

Page 73: Edi Suharto

58 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

berkaitan dengan pengaruh dan kontrol. Pengertian ini mengasumsikan bahwa kekuasaan sebagai sesuatu yang tidak berubah atau tidak dapat dirubah. Kekuasaan sesungguhnya tidak terbatas pada pengertian di atas, Kekuasaan tidak vakum dan terisolasi. Kekuasaan senantiasa hadir dalam konteks relasi sosial antar manusia. Kekuasaan tercipta dalam relasi sosial. Karena itu, kekuasaan dan hubungan kekuasaan dapat berubah. Dengan pemahaman kekuasaan seperti ini, pemberdayaan sebagai sebuah proses perubahan kemudian memiliki konsep yang bermakna. Dengan kata lain, kemungkinan terjadinya proses pemberdayaan sangattergantung pada dua hal:

1. Bahwa kekuasaan dapat berubah. jika kekuasaan tidak dapat berubah, pemberdayaan tidak mungkin terjadi dengan cara apapun.

2. Bahwa kekuasaan dapat diperluas. Konsep ini menekankan pada pengertian kekuasaan yang tidak statis, melainkan dinamis.

Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam (a) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom), dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan; (b) menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan; dan (c)

berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka. Beberapa ahli di bawah ini mengemukakan definisi pemberdayaan dilihat dari tujuan, proses, dan cara-cara pemberdayaan (Suharto, 1997:21 0-224):

" Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung (lfe, 1995).

• Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa

Page 74: Edi Suharto

BAB 4 - PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 59

orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parsons, eta/., 1994).

• Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial (Swift dan Levin, 1987).

• Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (atau berkuasa atas) kehidupannya (Rappaport, 1984).

Menurut lfe (1995:61-64), pemberdayaan memuat dua pengertian

kunci, yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan di sini diartikan

bukan hanya menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit, melainkan

kekuasaan atau penguasaan klien atas:

• Pilihan-pilihan personal dan kesempatan-kesempatan hidup: kemam­puan dalam membuat keputusan-keputusan mengenai gaya hidup, tempat tinggal, pekerjaan.

• Pendefinisian kebutuhan: kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan aspirasi dan keinginannya.

• Ide atau gagasan: kemampuan mengekspresikan dan menyumbang­kan gagasan dalam suatu forum atau diskusi secara bebas dan tanpa tekanan.

• Lembaga-lembaga: kemampuan menjangkau, menggunakan dan mempengaruhi pranata-pranata masyarakat, seperti lembaga kesejah­teraan sosial, pendidikan, kesehatan.

• Sumber-sumber: kemampuan memobilisasi sumber-sumber formal, informal dan kemasyarakatan.

• Aktivitas ekonomi: kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi, dan pertukaran barang serta jasa.

• Reproduksi: kemampuan dalam kaitannya dengan proses kelahiran, perawatan anak, pendidikan dan sosialisasi.

Dengan demikian, pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan.

Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk

memperkuat kekuasaan atau keberdayaan keiornpok lemah dalam

Page 75: Edi Suharto

60 MEMBANGUN MASYARAKAT ~~EM~ERDAYAKAN RAKYAT

masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah

kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan

atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyaraka~

yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan

kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat

fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu

menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam

kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya.

Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai

indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses.

Kelompok Lemah dan Ketidakberdayaan

Tujuan utama pemberdayaan adalah memperkuat kekuasaan masyarakat,

khususnya kelompok lemah yang memiliki ketidakberdayaan, baik karena

kondisi internal (misalnya persepsi mereka sendiri), maupun karena kondisi

eksternal (misalnya ditindas oleh struktur sosial yang tidak adil). Guna

melengkapi pemahaman mengenai pemberdayaan perlu diketahui konsep

mengenai kelompok lemah dan ketidakberdayaan yang dialaminya.

Beberapa kelompok yang dapat dikategorikan sebagai kelompok lemah

atau tidak berdaya meliputi:

1 . Kelompok lemah secara struktural, baik lemah secara kelas, gender, maupun etnis.

2. Kelompok lemah khusus, seperti manula, anak-anak dan rernaja, penyandang cacat, gay dan lesbian, masyarakat terasing.

3. Kelompok lemah secara personal, yakni mereka yang mengalami masalah pribadi dan/atau keluarga.

Kelompok-kelompok tertentu yang mengalami diskriminasi dalam suatu

masyarakat, seperti masyarakat kelas sosial ekonomi rendah, kelompok

minoritas etnis, wan ita, populasi lanjut usia, serta para penyandang cacat,

adalah orang-orang yang mengalami ketidakberdayaan. Keadaan dan peri laku

mereka yang berbeda dari 'keumuman' kerapkali dipandang sebagai 'de­viant' (penyimpang). Mereka seringkali kurang dihargai dan bahkan dicap

Page 76: Edi Suharto

BAB 4 - PEMBERDI•YAAN MASYARAKAT 61

sebagai orang yang malas, lemah, yang disebabkan oleh dirinya sendiri.

Padahal ketidakberdayaan mereka seringkali merupakan akibat dari adanya

kekurangadilan dan diskriminasi dalam aspek-aspek kehidupan tertentu.

Menurut Berger dan Nenhaus dan Nisbet (Suharto, 1997), 'struktur­

struktur penghubung' (mediating structures) yang memungkinkan kelompok­

kelompok lemah mengekspresikan aspirasi dan menunjukkan kemam­

puannya terhadap lingkungan sosial yang lebih luas, kini cenderung

melemah. Munculnya industrialisasi yang melahirkan spesialisasi kerja

dan pekerjaan mobile telah melemahkan iembaga-lembaga yang dapat

berperan sebagai struktur penghubung antara kelompok masyarakat lemah

dengan masyarakat luas. Organisasi-organisasi sosial, lembaga-lembaga

keagamaan (mesjid, gereja), dan lembaga keiuarga yang secara tradisional

merupakan lembaga alamiah yang dapat memberi dukungan dan bantuan

informal, pemecahan masalah dan pemenuhan kebutuhan para anggotanya,

cenderung semakin melemah peranannya. Oleh karena itu, seringkali sistem

ekonomi yang diwujudkan dalam berbagai bentuk pembangunan proyek­

proyek fisik, selain di satu pihak mampu meningkatkan kualitas hidup

sekelompok orang, juga tidak jarang malah semakin meminggirkan

kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat.

Sennet dan Cabb (1972) dan Conway (1979) menyatakan bahwa

ketidakberdayaan ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti: ketiadaan

jaminan ekonomi, ketiadaan pengalaman dalam arena politik, ketiadaan

akses terhadap informasi, ketiadaan dukungan finansial, ketiadaan pelatihan­

pelatihan, dan adanya ketegangan fisik maupun emosional (Suharto, 1997).

Para teoritisi, seperti Seeman (1985), Seligman (1972), dan Learner (1986)

meyakini bahwa ketidakberdayaan yang dialami oleh sekelompok masyarakat

merupakan akibat dari proses internalisasi yang dihasilkan dari interaksi

mereka dengan masyarakat. Mereka menganggap diri mereka sebagai lemah,

dan tidak berdaya, karena masyarakat memang menganggapnya demikian.

Seeman menyebut keadaan in i dengan isti lah 'al ienasi'. Sementara Sei igman

menyebutnya sebagai 'ketidakberdayaan yang dipelajari' (learned helpless­

ness), dan Learner menamakannya dengan istilah 'ketidakberdayaan sur­

plus' (surplus powerlessness) (Suharto, 1997:212-213).

Page 77: Edi Suharto

62 MEMBANGUN MASYARAKAT Mt:MBERDAYAKAN RAKYAT

Learner lebih jauh menjelaskan konsep 'pentidakberdayaan' ini sebagai

proses dengan mana orang merasa tidak berdaya melalui pembentukan

seperangkat pikiran emosional, intelektual dan spiritual yang mencegahny.a

dari pengaktualisasian kemungkinan-kemungkinan yang sebenarnya ada.

Sebagai contoh, para penerima Bantuan Sosial Keluarga (AFDC/Aid for

Families with Dependent Children) merasa tidak berdaya untuk merubah

program dan bentuk-bentuk pelayanan AFDC. Mereka memiliki persepsi

bahwa dirinya tidak mampu, tidak berdaya, .atau bahkan tidak berhak

untuk merubah program-program tersebut. Menurut Kieffer (1984:9),

ketidakberdayaan yang dipersepsi ini merupakan hasil dari pembentukan

interaksi terus-menerus antara individu dan lingkungannya yang meliputi

kombinasi antara sikap penyalahan-diri sendiri, perasaan tidak dipercaya,

keterasingan dari sumber-sumber sosial dengan perasaan tidak mampu

dalam perjuangan politik. Solomon (1979) melihat bahwa ketidakberdayaan

dapat bersumber dari faktor internal maupun eksternal. Menurutnya, ketidak­

berdayaan dapat berasal dari penilaian diri yang negatif; interaksi negatif

dengan lingkungan, atau berasal dari blokade dan hambatan yang berasal

dari lingkungan yang lebih besar (Suharto, 1997:213-214):

• Penilaian diri yang negatif. Ketidakberdayaan dapat berasal dari adanya sikap penilaian negatif yang ada pada diri seseorang yang terbentuk akibat adanya penilaian negatif dari orang lain. Misalnya wanita atau kelompok minoritas merasa tidak berdaya karena mereka telah disosialisasikan untuk melihat diri mereka sendiri sebagai orang yang tidak memiliki kekuasaan setara dalam masyarakat.

• lnteraksi negatif dengan orang lain. Ketidakberdayaan dapat bersumber dari pengalaman negatif dalam interaksi antara korban yang tertindas dengan sistem di luar mereka yang menindasnya. Sebagai contoh, wanita atau kelompok minoritas seringkali mengalami pengalaman negatif dengan masyarakat di sekitarnya. Pengalaman pahit ini kemudian menimbulkan perasaan tidak berdaya, misalnya rendah diri, merasa tidak mampu, merasa tidak patut bergabung dengan organisasi sosial di mana mereka berada.

" Lingkungan yang lebih luas. Lingkungan luas dapat menghambat peran dan tindakan kelompok tertentu. Situasi ini dapat mengakibatkan tidak berdayanya kelompok yang tertindas tersebut dalam mengekpresikan

Page 78: Edi Suharto

BAB 4 - PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 63

atau menjangkau kesempatan-kesempatan yang ada di masyarakat. Misalnya kebijakan yang diskriminatif terhadap kelompok gay atau lesbian dalam memperoleh pekerjaan dan pendidikan.

Indikator Keberdayaan

Menu rut Kieffer (1981 ), pemberdayaan mencakup tiga dimensi yang meliputi

kompetensi kerakyatan, kemampuan sosiopolitik, dan kompetensi partisipatif

(Suharto, 1997:215). Parsons et.a/. (1994:1 06) juga mengajukan tiga dimensi

pemberdayaan yang merujuk pada:

• Sebuah proses pembangunan yang bermula dari pertumbuhan indi­vidual yang kemudian berkembang menjadi sebuah perubahan sosial yang lebih besar.

• Sebuah keadaan psikologis yang ditandai oleh rasa percaya diri, berguna dan mampu mengendalikan diri dan orang lain.

• Pembebasan yang dihasilkan dari sebuah gerakan sosial, yang dimulai dari pendidikan dan politisasi orang-orang lemah dan kemudian melibatkan upaya-upaya kolektif dari orang-orang lemah tersebut untuk memperoleh kekuasaan dan mengubah struktur-struktur yang masih menekan (Parsons et.a/., 1994:1 06).

Untuk mengetahui fokus dan tujuan pemberdayaan secara operasional,

maka perlu diketahui berbagai indikator keberdayaan yang dapat

menunjukkan seseorang itu berdaya atau tidak. Sehingga ketika sebuah

program pemberdayaan sosia! diberikan, segenap upaya dapat dikon­

sentrasikan pada aspek-aspek apa saja dari sasaran perubahan (misalnya

keluarga miskin) yang perlu dioptimalkan. Schuler, Hashemi dan Riley

mengembangkan delapan indikator pemberdayaan, yang mereka sebut

sebagai empowerment index atau indeks pemberdayaan (Suharto, 2004).

Keberhasilan pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari keberdayaan

mereka yang menyangkut kemampuan ekonomi, kemampuan mengakses

manfaat kesejahteraan, dan kemampuan kultural dan politis. Ketiga aspek

tersebut dikaitkan dengan empat dimensi kekuasaan, yaitu: 'kekuasaan di

dalam' (power within), 'kekuasaan untuk' (power to), 'kekuasaan atas'

Page 79: Edi Suharto

64 MEMBANGUN fvlASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

(power over), dan 'kekuasaan dengan' (power with). Tabel4.1 merangkum

indikator pemberdayaan.

1. Kebebasan mobilitas: kemampuan individu untuk pergi ke luar rump.h atau wilayah tempat tinggalnya, seperti ke pasar, fasilitas medis, bioskop, rumah ibadah, ke rumah tetangga. Tingkat mobilitas ini dianggap tinggi jika individu mampu pergi sendirian.

2. Kemampuan membeli komoditas kecil: kemampuan individu untuk membeli barang-barang kebutuhan keluarga sehari-hari (beras, minyak tanah, minyak goreng, bumbu); kebutuhan dirinya (minyak rambut, sabun mandi, rokok, bedak, sampo). lndividu dianggap mampu melakukan kegiatan ini terutama jika ia dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya; terlebih jika ia dapat membeli barang-barang tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri.

3. Kemampuan membeli komoditas besar: kemampuan individu untuk membeli barang-barang sekunder atau tersier, seperti lemari pakaian, TV, radio, koran, majalah, pakaian keluarga. Seperti halnya indikator di atas, poin tinggi diberikan terhadap individu yang dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya; terlebih jika ia dapat membeli barang-barang tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri.

4. Terlibat dalam pembuatan keputusan-keputuan rumah tangga: mampu membuat keputusan secara sendiri maupun bersama suami/istri mengenai keputusan-keputusan keluarga, misalnya mengenai renovasi rumah, pembelian kambing untuk diternak, memperoleh kredit usaha.

5. Kebebasan relatif dari dominasi keluarga: responden ditanya mengenai apakah dalam satu tahun terakhir ada seseorang (suami, istri, anak­anak, mertua) yang mengambil uang, tanah, perhiasan dari dia tanpa ijinnya; yang melarang mempunyai anak; atau melarang bekerja di luar rumah.

6. Kesadaran hukum dan politik: mengetahui nama salah seorang pegawai pemerintah desa/kelurahan; seorang anggota DPRD setempat; nama presiden; mengetahui pentingnya memiliki surat nikah dan hukum­hukum waris.

7. Keterlibatan dalam kampanye dan protes-protes: seseorang dianggap 'berdaya' jika ia pernah terlibat dalam kampanye atau bersama orang lain melakukan prates, misalnya, terhadap suami yang memukul istri;

Page 80: Edi Suharto

BAB 4- PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 65

Tabel 4.1: lndikator Keberdayaan

Jenis Hubungan Kemampuan Ekonomi Kemampuan Mengakses Kemampuan Kekuasaan Manfaat Keseiahteraan Kultural dan Politis

Kekuasaan di . Evaluasi positif terhadap . Kepercayaan diri dan . Assertiveness dan dalam: kontribusi ekonomi kebahagiaan otonomi Meningkatkan dirinya . Keinginan memiliki . Keinginan untuk kesadaran dan . Keinginan memiliki kesejahteraan yang menghadapi keinginan untuk kesempatan ekonomi setara subordinasi. gender

berubah yang setara . Keinginan membuat termasuk tradisi . Keinginan memiliki keputusan mengenai budaya, diskriminasi kesamaan hak terhadap diri dan orang lain hukum dan pengucilan sumber yang ada pada . Keinginan untuk politik rumahtangga dan mengontrol jumlah . Keinginan terlibat masyarakat anak dalam proses-proses

budaya, hukum dan politik

Kekuasaan . Akses terhadap . Keterampilan, termasuk . Mobilitas dan akses

untuk: pelayanan keuangan kemelekan hurup terhadap dunia di luar

Meningkatkan mikro . Status kesehatan dan rumah kemampuan . Akses terhadap gizi . Pengetahuan mengenai individu untuk pendapatan . Kesadaran mengenai proses hukum, politik

berubah; . Akses terhadap aset-aset dan akses terhadap dan kebudayaan Meningkatkan produktif dan pelayanan kesehatan . Kemampuan kesempatan kepemilikan rumahtangga reproduksi menghilangkan

untuk . Akses terhadap pasar . Ketersediaan pelayanan hambatan formal yang

memperoleh . Penurunan beban dalam kesejahteraan publik merintangi akses

akses pekerjaan domestik, terhadap proses termasuk perawatan anak hukum, politik dan

kebudayaan

Kekuasaan atas: . Kontrol atas penggunaan . Kontrol atas ukuran . Aksi individu dalam Perubahan pada pinjaman dan tabungan konsumsi keluarga dan menghadapi dan hambatan- serta keuntungan yang aspek bernilai lainnya mengubah persepsi

hambatan dihasilkannya. dari pembuatan budaya kapasitas dan sumber dan . Kontrol atas pendapatan keputusan keluarga hak wanita pada kekuasaan pada aktivitas produktif iermasuk. keputusan tingkat keluarga dan tingkat keluarga yang lainnya. keluarga berencana. masyarakat rumahtangga, . Kontrol atas aset . Aksi individu untuk . Keterlibatan individu masyarakat dan produktif dan mempertahankan diri dan pengambilan peran makro; kepemilikan keluarga. dari kekerasan keluarga dalam proses budaya, Kekuasaan atau . Kontrol atas alokasi dan masyarakat hukum dan politik. tindakan tenaga kerja keluarga individu untuk . Tindakan individu menghadapi menghadapi diskriminasi

hambatan- atas akses terhadap

hambatan sumber dan pasar

terse but

Kekuasaan . Bertindak sebagai model . Penghargaan tinggi . Peningkatan jaringan

dengan: peranan bagi orang lain lerhadap dan untuk memperoleh

Meningkatnya terutama dalam peningkatan dukungan pada saal

solidaritas atau pekerjaan publik dan pengeluaran untuk krisis. tindakan modern. anggota keluarga. . Ti ndakan bersa rna bersama dengan . Mampu memberi gaji . Tindakan bersama untuk membela orang orang lain untuk terhadap orang lain untuk menmgkatkan lain menghadapi menghadapi . Tindakan bersama kesejahleraan publik. perlakuan salah dalam

hambatan- menghadapi diskriminasi keluarga dan hambatan pada akses terhadap masyarakat. sumber dan sumber (termasuk hak . Partisipasi dalam kekuasaan pada atas tanah), pasar dan gerakan-gerakan tingkat diskriminasi gender pada menghadapi subordi-rumahtangga, konteks ekonomi makro. nasi gender yang masyarakat d1n bersifat kultural, politis, makro hukum pada tingkat

masyarakat dan makro.

Page 81: Edi Suharto

66 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

istri yang mengabaikan suami dan keluarganya; gaji yang tidak adil; penyalahgunaan bantuan sosial; atau penyalahgunaan kekuasaan polisi dan pegawai pemerintah.

8. Jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga: memiliki rumah, tanah, asset produktif, tabungan. Seseorang dianggap memiliki poin tinggi jika ia memiliki aspek-aspek tersebut secara sendiri atau terpisah dari pasangannya.

Strategi Pemberdayaan

Parsons et.a/. (1994:112-113) menyatakan bahwa proses pemberdayaan

umumnya dilakukan secara kolektif. Menurutnya, tidak ada literatur yang

menyatakan bahwa proses pemberdayaan terjadi dalam relasi satu-lawan­

satu antara pekerja sosial dan klien dalam setting pertolongan perseorangan.

Meskipun pemberdayaan seperti ini dapat meningkatkan rasa percaya diri

dan kemampuan diri klien, hal ini bukanlah strategi utama pemberdayaan.

Namun demikian, tidak semua intervensi pekerjaan sosial dapat dilakukan

melalui kolektivitas. Dalam beberapa situasi, strategi pemberdayaan dapat

saja dilakukan secara individual; meskipun pada gilirannya strategi ini pun

tetap berkaitan dengan kolektivitas, dalam arti mengkaitkan klien dengan

sumber atau sistem lain di luar dirinya. Dalam konteks pekerjaan sosial,

pemberdayaan dapat di lakukan melalui tiga aras a tau matra pemberdayaan

(empowerment setting): mikro, mezzo, dan makro.

1 . Aras Mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan, konseling, stress management, crisis interven­tion. Tujuan utamanya adalah rnembimbing atau melatih klien dalam rnenjalankan tugas-tugas kehidupannya. Model ini sering disebut sebagai Pendekatan yang Berpusat pada Tugas (task centered ap­proach).

2. Aras Mezzo. Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien. Pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi. Pendid1kan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetafiuan, keterarnpilan dan sikap-sikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapinya.

Page 82: Edi Suharto

BAB 4 - PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 67

3. Aras Makro. Pendekatan ini disebutjuga sebagai Strategi Sistem Besar (large-system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat, manajemen konflik, adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini. Strategi Sistem Besar memandang klien sebagai orang yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi-situasi mereka sendiri, dan untuk memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk bertindak .•

Pendekatan

Pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan di atas dicapai

melalui penerapan pendekatan pemberdayaan yang dapat disingkat menjadi

SP, yaitu: Pemungkinan, Penguatan, Perlindungan, Penyokongan dan

Pemeliharaan (Suharto, 1997:218-219):

1. Pemungkinan: menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang secara optimal. Pemberdayaan harus mampu membebaskan masyarakat dari sekat-sekat kultural dan struktural yang menghambat.

2. Penguatan: memperkuatpengetahuan dan kemampuan yangdimiliki masyarakat dalam memecahkan rnasalah dan memenuhi keoutuhan­kebutuhannya. Pemberdayaan harus mampu menumbuh-kembangkan segenap kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat yang menunjang kemandirian mereka.

3. Perlindungan: melindungi masyarakatterutama kelompok-kelompok lemah agar tidak tertindas oleh kelompok kuat, menghindari terjadinya persaingan yang tidak seimbang (apalagi tidak sehat) antara yang kuat dan lemah, dan mencegah terjadinya eksploitasi kelompok kuatterhadap kelompok lemah. Pemberdayaan harus diarahkan pada penghapusan segala jenis diskriminasi dan dominasi yang tidak menguntungkan rakyat keci I.

4. Penyokongan: memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat mampu menjalankan peranan dan tugas-tugas kehidupannya. Pemberdayaan harus mampu menyokong masyarakat agar tidak terjatuh ke dalam keadaan dan posisi yang semakin lemah dan terpinggirkan.

5. Pemeliharaan: memelihara kondisi yang kondusif agar tetap terjadi

Page 83: Edi Suharto

68 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Pemberdayaan harus mampu menjamin keselarasan dan keseimbangan yang memungkinkan setiap orang memperoleh kesempatan berusaha. ·

Dubois dan Miley (1992:211) memberi beberapa cara atau teknik

yang lebih spesifik yang dapat di lakukan dalam pemberdayaan masyarakat:

1. Membangun relasi pertolongan yang: (a) merefleksikan respon empati; (b) menghargai pilihan dan hak klien menentukan nasibnya sendiri (self-determination); (c) menghargai perbedaan dan keunikan individu; (d) menekankan kerjasama klien (client partnerships).

2. Membangun komunikasi yang: (a) menghormati martabatdan harga diri klien; (b) mempertimbangkan keragaman individu; (c) berfokus pada klien; (d) menjaga kerahasiaan klien.

3. Terlibat dalam pemecahan masalah yang: (a) memperkuat partisipasi klien dalam semua aspek proses pemecahan masalah; (b) menghargai hak-hak klien; (c) merangkai tantangan-tantangan sebagai kesempatan belajar; (d) melibatkan klien dalam pembuatan keputusan dan evaluasi.

4. Merefleksikan sikap dan nilai profesi pekerjaan sosial melalui: (a)

ketaatan terhadap kode etik profesi; (b) keterlibatan dalam pengem­bangan profesional, riset, dan perumusan kebijakan; (c) penerjemahan kesulitan-kesulitan pribadi ke dalam isu-isu publik; (d) penghapusan segala bentuk diskriminasi dan ketidaksetaraan kesempatan.

Prinsip

Pelaksanaan pendekatan di atas berpijak pada pedoman dan pnns1p

pekerjaan sosial. Menurut beberapa penulis, seperti Solomon (1976),

Rappaport (1981, 1984), Pinderhughes (1983), Swift (1984), Swift dan

Levin (1987), Weick, Rapp, Sui ivan dan Kisthardt (1989), terdapat beberapa

prinsip pemberdayaan menurut perspektif pekerjaan sosial (Suharto,

1997:216-217).

"' Pemberdayaan adalah proses kolaboratif. Karenanya pekerja sosial dan masyarakat harus bekerjasama sebagai partner.

Page 84: Edi Suharto

BAB 4 - PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 69

• Proses pemberdayaan menempatkan masyarakat sebagai aktor atau subjek yang kompeten dan mampu menjangkau sumber-sumberdan kesempatan-kesempatan.

• Masyarakat harus melihat diri mereka sendiri sebagai agen penting yang dapat mempengaruhi perubahan.

• Kompetensi diperoleh atau dipertajam melalui pengalaman hidup, khususnya pengalaman yang memberikan perasaan mampu pada masyarakat.

• Solusi-solusi, yang berasal dari situasi khusus, harus beragam dan menghargai keberagaman yang berasal dari faktor-faktor yang berada pada situasi masalah tersebut.

• jaringan-jaringan sosial informal merupakan sumber dukungan yang penting bagi penurunan ketegangan dan meningkatkan kompetensi serta kemampuan mengendalikan seseorang.

• Masyarakat harus berpartisipasi dalam pemberdayaan mereka sendiri: tujuan, cara dan hasil harus dirumuskan oleh mereka sendiri.

• Tingkat kesadaran merupakan kunci dalam pemberdayaan, karena pengetahuan dapat memobilisasi tindakan bagi perubahan.

• Pemberdayaan melibatkan akses terhadap sumber-sumber dan kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber tersebut secara efektif.

• Proses pemberdayaan besifat dinamis, sinergis, berubah terus, evolutif; permasalahan selalu memiliki beragam solusi.

• Pemberdayaan dicapai melalui struktur-struktur personal dan pembangunan ekonomi secara paralel.

Tugas Pekerja Sosial

Schwartz (1961:157-158), mengemukakan 5 (lima) tugas yang dapat

dilaksanakan oleh pekerja sosial:

1 . Mencari persamaan mendasar antara persepsi masyarakat mengenai kebutuhan mereka sendiri dan aspek-aspek tuntutan sosial yang dihadapi mereka.

2. Mendeteksi dan menghadapi kesulitan-kesulitan yang menghambat

Page 85: Edi Suharto

70 MEMBANGUN MptSYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKY'AT

banyak orang dan membuat frustrasi usaha-usaha orang untuk mengidentifikasi kepentingan mereka dan kepentingan orang-orang yang berpengaruh (significant others) terhadap mereka.

3. Memberi kontribusi data mengenai ide-ide, fakta, nilai, konsep yang tidak dimiliki masyarakat, tetapi bermanfaat bagi mereka dalam menghadapi realitas sosial dan masalah yang dihadapi mereka.

4. Membagi visi kepada masyarakat; harapan dan aspirasi pekerja sosial merupakan investasi bagi interaksi antara orang dan masyarakat dan bagi kesejahteraan individu dan sosial.

5. Mendefinisikan syarat-syaratdan batasan-batasan situasi dengan mana sistem relasi antara pekerja sosial dan masyarakat dibentuk. Aturan­aturan tersebut membentuk konteks bagi 'kontrak kerja' yangmehgikat masyarakat dan lembaga. Batasan-batasan tersebut juga mampu menciptakan kondisi yang dapat membuat masyarakat dan pekerja sosial menjalankan fungsinya masing-masing.

Page 86: Edi Suharto

Perencanaan Program

Pengembangan dan pemberdayaan masyarakat seringkali melibatkan

perencanaan, pengkoordinasian dan pengembangan berbagai aktivitas

pembuatan program atau proyek kemasyarakatan yang bertujuan untuk

meningkatkan taraf hidup atau kesejahteraan sosial (social well-being)

masyarakat. Sebagai suatu kegiatan kolektif, pemberdayaan masyarakat

melibatkan beberapa aktor, seperti pekerja sosial, masyarakat setempat,

lembaga donor serta instansi terkait, yang saling bekerjasama mulai dari

perancangan, pelaksanaan, sampai evaluasi terhadap program atau proyek

tersebut. Membangun masyarakat dan memberdayakan rakyat dapat

dilakukan melalui penetapan sebuah program atau proyek pembangunan

yang perumusannya dilakukan melalui perencanaan program. Hakekat

perencanaan sosial, model perencanaan, dan proses perencanaan pro­

gram adalah tiga tema yang dibahas dalam bab ini.

Hakekat Perencanaan

Ketika menjadi Analis Kebijakan lnternasional di Central European Uni­

versity, Hongaria dari tahun 2003 sampai dengan 2004, penulis bertemu

dengan Nicholas White, direktur Crisis Croup International, sebuah NGO

yang berpusat di Belgia. Dalam sebuah pertemuan ilmiah di jantung

Budapest, dia menyatakan: 'if we fail to plan, we plan to fail.' Nicholas

benar. jika kita gagal merencanakan, kita merencanakan gagal. Perencanaan

adalah sebuah proses yang penting dan menentukan keberhasilan suatu

tindakan. Perencanaan pada hakekatnya merupakan usaha secara sadar,

71

Page 87: Edi Suharto

72 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

terorganisir dan terus menerus dilakukan guna memilih alternatif yang

terbaik darisejumlah alternatif yang ada untuk mencapai tujuan tertentu.

Perencanaan juga dapatdiartikan sebagai kegiatan ilmiah yang melibatkan

pengolahan fakta dan situasi sebagaimana adanya yang ditujukan untuk

mencari jalan keluar dan memecahkan masalah. Perencanaan sosial mula

pertama digunakan di negara-negara maju seperti di Eropa Barat dan Amerika

Utara. Menu rut pengertian yang diberikan oleh PBB, pengertian perencanaan

sosial meliputi (Suharto, 1997):

1 . Perencanaan sosial sebagai perencanaan pada sektor-sektor sosial, seperti sektor kesejahteraan sosial, pendidikan, kesehatan, perumahan, kependudukan dan keluarga berencana.

2. Perencanaan sosial sebagai perencanaan lintas sektoral. Pengertian ini sifatnya lebih menyeluruh dalam arti perencanaan yang lebih dari sekedar perencanaan ekonomi saja.

3. Perencanaan sosial sebagai perencanaan pada aspek-aspek sosial dari perencanaan ekonomi. Dalam pengertian ini, perencanaan sosial memiliki dua dimensi. Pertama, perencanaan sosial dipandang sebagai perencanaan input sosial bagi perencanaan ekonomi. Kedua, perencanaan sosial dipandang sebagai perencanaan yang ditujukkan untuk menghindari atau mencegah berbagai akibat sosial yang tidak diharapkan dari adanya pembangunan ekonomi, seperti keretakan keluarga, kenakalan remaja, polusi, pelacuran dan sebagainya.

Perencanaan sosial memiliki kaitan yang erat dengan perencanaan

pelayanan kesejahteraan sosial. Dengan demikian, meskipun perencanaan

sosial masih sering diartikan secara luas (menyangkut pendidikan, kesehatan,

perumahan), perencanaan sosial pada hakekatnya menunjuk pada

perencanaan mengenai program pelayanan kesejahteraan sosial (Conyers,

1992). Mengacu pada pengertian yang dirumuskan PBB pada tahun 1970,

maka bidang kesejahteraan sosial dalam konteks ini merujuk pada suatu

rangkaian kegiatan yang terorganisasi yang ditujukkan untuk memungkinkan

individu, kelompok serta masyarakat dapat memperbaiki keadaan mereka

sendiri, menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada, serta dapat ber­

partisipasi dalam tugas-tugas pembangunan.

.. '\1

Page 88: Edi Suharto

BAB 5 - PERENCANAAN PROGRAM 73

Dengan demikian, perencanaan program pelayanan sosial pada

dasarnya menunjuk pada kegiatan-kegiatan pelayanan kesejahteraan sosial

yang umumnya mencakup: bimbingan keluarga, pendidikan orang tua,

perawatan sehari-hari, kesejahteraan anak, perawatan manusia lanjut usia,

rehabilitasi penyandang cacat dan narapidana, pelayanan bagi pengungsi,

kegiatan kelompok remaja, pelayanan kesehatan, kegiatan persekolahan,

dan perumahan (Marjuki dan Suharto, 1996).

Model Perencanaan

Prinsip-prinsip dalam perencanaan program san gat tergantung pada asumsi

dan tujuan dari perencanaan sosial itu sendiri. Asumsi dan tujuan

perencanaan sosial tidak ada yang seragam, melainkan tergantung pada

model perencanaan yang dipilih. Oleh karena itu untuk memahami prinsip­

prinsip dalam perencanaan sosial dapat dilakukan melalui penelaahan

terhadap model-model perencanaan sosial. Sedikitnya ada empat model

perencanaan sosial yang memuat prinsip-prinsip perencanaan secara

tersendiri (lihat Gilbert dan Specht, 1977).

Model Rasional Komprehensif

Model perencanaan ini merupakan model yang paling terkenal dan luas

diterima oleh para pembuat keputusan. Prinsip utama dalam model ini

adalah bahwa perencanaan merupakan suatu proses yang teratur dan logis

sejak dari diagnosis masalah sampai pada pelaksanaan kegiatan atau

penerapan program. Model ini sangat menekankan pada aspek teknis

metodologis yang didasarkan atas fakta-fakta, teori-teori dan nilai-nilai

tertentu yang relevan. Dalam model ini, masalah yang ditemukan harus

didiagnosis, ditentukan pemecahannya melalui perancangan program yang

komprehensif, kemudian diuji efektivitasnya sehingga diperoleh cara

pemecahan masalah dan pencapaian tujuan yang paling baik.

Namun demikian, beberapa ahli menunjukkan beberapa kelemahan

yang melekat pada model ini (lihat Winarno, 2002):

Page 89: Edi Suharto

74 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

1. Karena masalah dan alternatif yang diusulkan oleh model ini bersifat kompehensif, luas dan mencakup berbagai sektor pembangunan, pro­gram yang diusulkan oleh para pembuat keputusan seringkali tidak mampu merespon masalah yang spesifik dan kongkrit.

2. Teori rasional komprehensif seringkali tidak realistis karena informasi mengenai masalah-masalah yang dikaji dan alternatif-alternatif yang diajukan seringkali menghadapi hambatan, misalnya dalam hal waktu dan biaya.

3. Para pembuat keputusan biasanya berhadapan dengan situasi konflik antar berbagai kelompok kepentingan.

Modellnkremental

Kekurangan yang ada pada model rasional komprehensif melahirkan model

inkremental atau model penambahan (incremental). Prinsip utama model

ini mensyaratkan bahwa perubahan-perubahan yang diharapkan dari

perencanaan tidak bersifat radikal, melainkan hanya perubahan-perubahan

kecil saja atau penambahan-penambahan pada aspek-aspek program yang

sudah ada. Prinsip ini berbeda dengan model pertama yang menekankan

perubahan-perubahan fundamental. Model ini menyarankan bahwa

perencanaan tidak perlu menentukan tujuan-tujuan dan kemudian

menetapkan kebijakan-kebijakan untuk mencapainya. Yang diperlukan

adalah menentukan pili han terhadap kebijakan yang berbeda secara mar­

ginal saja. Misalnya ada dua kebijakan A dan B yang sama-sama akan

menghasilkan a, b, dan c dalam ukuran yang sama. Namund demikian, A

dapat menghasilkan d yang lebih besar atau lebih banyak daripada B.

Sedangkan B menghasilkan e yang lebih besar daripada A. Maka untuk

memilih kebijakan A atau B caranya adalah dengan membandingkan

perbedaan antara d dan e saja, serta menentukan yang mana yang harus

dikorbankan.

Model Pengamatan Terpadu

Model pengamatan terpadu atau penyelidikan campuran (mixedscanning

model) dikembangkan oleh Arnitai Etzioni melalui karyanya Mixed Scan-

Page 90: Edi Suharto

BAB 5 - PERENCANAAN PROGRAM 75

ning: A Thord Approach to Decision Making yang dimuat dalam jurnal

Administration Review, XXVII pada Desember 1967. Model ini merupakan

jalan tengah dari model pertama dan kedua yang memadukan unsur-unsur

yang terdapat pada kedua pendekatan di atas, yakni mengenai keputusan

fundamental dan inkremental. Keputusan yang fundamental dilakukan

dengan menjajagi alternatif-alternatif utama dihubungkan dengan tujuan.

Tetapi tidak seperti pendekatan rasional, hal-hal yang det;::dl dan spesifikasi

diabaikan sehingga pandangan yang menyeluruh dapat.diperoleh. Sementara

itu, keputusan-keputusan yang bersifat tambahan atau inkremental dibuat

di dalam konteks yang ditentukan oleh keputusan-keputusan fundamental.

Dengan demikian, masing-masing unsur dapat mengurangi kekurangan­

kekurangan yang terdapat pada unsur lainnya.

Model Transaksi

Prinsip utama model ini menekankan bahwa perencanaan melibatkan proses

interaksi dan komunikasi antara perencana dan para penerima pelayanan.

Oleh karena itu, model ini menyarankan bahwa perencanaan harus dapat

menutup jurang komunikasi antara perencana dan penerima pelayanan

yang membutuhkan rencana program. Caranya dapat dilakukan dengan

mengadakan transaksi yang bersifat pribadi, baik lisan maupun tulisan

secara terus menerus di antara mereka yang terlibat.

Proses Perencanaan Program

Setiap perencanaan sosial dibuat dengan mengikuti tahapan atau siklus

tertentu. Tahapan tersebut biasanya berbeda-beda tergantung pada jenis

perencanaan, tujuan perencanaan dan konteks perencanaan. Namun

demikian, dalam garis besar perencanaan sosial dapat dirumuskan menjadi

lima tahapan sebagai berikut (lihat Carey, 1980; Marjuki dan Suharto,

1996; Suharto, 1997): (a) ldentifikasi masalah; (b) Penentuan tujuan; (c)

Penyusunan dan pengembangan rencana program; (d) Pelaksanaan pro­

gram; dan (e) Evaluasi program.

Page 91: Edi Suharto

76 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

ldentifikasi Masalah

Mengidentifikasi masalah-masalah sosial yang akan direspon oleh suatu

program. ldentifikasi masalah perlu dilakukan secara komprehensif dengan ·

menggunakan teknik-teknik dan indikatoryang tepat. Misalnya, jika masalah

kemiskinan dirumuskan sebagai orang-orang yang memiliki pendapatan di

bawah garis kemiskinan, maka alternatif-altenatif yang dapat dirancang

menjadi sempit. Pemecahan masalah kemiskinan menjadi hanya sekadar

meningkatkan pendapatan orang-orang miskin. Namun demikian, mungkin

saja masalah kemiskinan yang sebenarnya berhubungan dengan

keterpencilan suatu wilayah atau tidak tersedianya sarana ekonomi

masyarakat. Karenanya, pemecahannya dapat melalui kegiatan lain, seperti

peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap fasilitas perkreditan dan

pemasaran, selain meningkatkan pendapatan orang-orang miskin saja.

ldentifikasi masalah san gat erat kaitannya dengan asesmen kebutuhan

(need assessment). Kebutuhan dapat didefinisikan sebagai kekurangan yang

mendorong masyarakat untuk mengatasinya. Asesmen kebutuhan dapat

diartikan sebagai penentuan besarnya atau luasnya suatu kondisi dalam

suatu populasi yang ingin diperbaiki atau penentuan kekurangan dalam

kondisi yang ingin direalisasikan.

Dalam kaitan ini ada lima jenis kebutuhan, yaitu kebutuh,an absolut,

kebutuhan normatif, kebutuhan yang dirasakan, kebutuhan yang dinyatakan,

dan kebutuhan komparatif.

1. Kebutuhan absolut (absolute need) adalah kebutuhan minimal atau kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh manusia agar dapat mempertahankan kehidupannya (survive). Misalnya, manusia Indo­nesia membutuhan makanan sekitar tiga kali sehari yang biasanya ditentukan oleh nilai kecukupan kalori. Nilai kalori ini oleh para ahli kemudian disetarakan dengan nilai uang agar mudah dijadikan standar pengukurannya. Garis kemiskinan (poverty line) yang dirumuskan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) adalah contoh garis kemiskinan yang bepijak pada konsep kebutuhan absolut.

2. Kebutuhan normatif (normative need) adalah kebutuhan yang didefinisikan oleh ahli atau tenaga profesional. Kebutuhan ini biasanya didasarkan standar tertentu. Misalnya: Penentuan kebutuhan gizi

Page 92: Edi Suharto

BAB 5 - PERENCANAAN PROGRAM 77

masyarakat tidak bisa di lakukan sembarangan oleh masyarakat awam. Untuk menentukan kebutuhan masyarakat akan gizi, maka para ahli menentukan jumlah dan asupan makanan yang seharusnya dikonsumsi oleh manusia sesuai dengan golongan usia.

3. Kebutuhan yang dirasakan (felt need) adalah sesuatu yang dianggap atau dirasakan orang sebagai kebutuhannya. Kebutuhan ini merupakan petunjuk tentang kebutuhan yang nyata (real need). Akan tetapi, kebutuhan ini berbeda dari satu orang ke orang lainnya, karena sangat tergantung pada persepsi orang yang bersangkutan mengenai sesuatu yang dinginkannya pada suatu waktu tertentu.

4. Kebutuhan yang dinyatakan (stated need) adalah kebutuhan yang dirasakan yang diubah menjadi kebutuhan berdasarkan banyaknya permintaan. Besarnya kebutuhan ini tergantung pada seberapa orang yang memerlukan pelayanan sosial.

5. Kebutuhan komparatif (comparative need) adalah kesenjangan (gap) antara tingkat pelayanan yang ada di wilayah-wilayah yang berbeda untuk kelompok orang yang memiliki karakteristik sama.

Penentuan Tujuan

Tujuan dapatdidefiniskan sebagai kondisi di masa depan yang ingin dicapai.

Maksud utama penentuan tujuan adalah untuk membimbing program ke

arah pemecahan masalah. Tujuan dapat menjadi target yang menjadi dasar

bagi pencapaian keberhasilan program. Ada dua jenis atau tingkat tujuan,

yaitu tujuan umum (goa/) dan tujuan khusus (objective). Tujuan umum

drrumuskan secara luas sehingga pencapaiannya tidak dapat diukur.

Sedangkan tujuan khusus merupakan pernyataan yang spesifik dan terukur

mengenai jumlah yang menun_iukkan kemajuan ke arah pencapaian tujuan

umum. Rumusan tujuan khusus yang baik memiliki beberapa ciri:

1. Berorientasi pada keluaran (output) bukan pada proses atau masukan (input).

2. Dinyatakan dalam istilah yang terukur.

3. Tidak hanya menunjukkan arah perubahan (misalnya meningkatkan), tetapi juga tingkat perubahan yang diharapkan (misalnya 10 persen).

4. Menunjukkan jumlah populasi secara terbatas.

Page 93: Edi Suharto

78 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYIIKAN RAKYAT

5. Menunjukkan pembatasan waktu.

6. Realistis dalam arti dapat dicapai dan menunjukkan usaha untuk mencapainya.

7. Relevan dengan kebutuhan dan tujuan umum.

Ciri-ciri tersebut dapat dirumuskan dalarn akronim SMART (dalam

Bahasa lnggris 'smart' dapat diartikan cerdas) yang merupakan singkatan

dari Specific (spesifik atau khusus), Measurable (dapat diukur), Achievable (dapat dicapai), Realistic (realistik atau masuk aka I), dan Time-Bound (terikat

waktu).

Penyusunan dan Pengembangan Rencana Program

Dalam proses perencanaan sosial, para perencana dan pihak-pihak terkait

atau para pemangku kepentingan (stakeholders) selayaknya bersama-sama

menyusun pola rencana intervensi yang komprehensif. Pola tersebut

menyangkut tujuan-tujuan khusus, strategi-strategi, tugas-tugas dan prosedur­

prosedur yang ditujukkan untuk membantu pemenuhan kebutuhan­

kebutuhan dan pemecahan masalah. Suatu rencana biasanya dikembangkan

dalam suatu pola yang sistematis dan pragmatis di mana bentuk-bentuk

kegiatan dijadwalkan dengan jelas. Program dapat dirumuskan sebagai

suatu perangkat kegiatan yang saling tergantung dan diarahkan pada

pencapaian satu atau beberapa tujuan khusus (objectives). Penyusunan

program dalam proses perencanaan sosial mencakup keputusan tentang

apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Ada beberapa

hal yang perlu dipertimbangkan dalam proses perumusan program:

1 . ldentifikasi program alternatif. Penyusunan program merupakan tahap yang membutuhkan kreativitas. Karenanya sebelum satu program dipilih ada baiknya jika diidentifikasi beberapa program alternatif.

2. Penentuan hasil program. Bagian dari identifikasi program alternatif adalah penentuan hasil apa yang akan diperoleh dari setiap program alternatif. Hasil tersebut menunjuk pada keluaran atau outputs yang terukur. Hasil ini dapat dinyatakan dalam tiga tingkatan, yaitu: pelaksanaan tugas, unit pelayanan dan jumlah konsumen.

Page 94: Edi Suharto

BAB 5 - PEP.ENCANAAN PROGRAM 79

3. Penentuan biaya. lnformasi tentang biaya mencakup keseluruhan biaya program maupun biaya per hasil. Ada beberapa macam biaya, antara lain: biaya tetap (fixed cost), biaya variabel, biaya marginal, biaya rata-rata dan sunk cost. Biaya tetap adalah biaya yang dikeluarkan hanya satu kali saja dalam satu program, tetapi bisa berulang kali jika program berikutnya dilanjutkan atau dikembangkan. Misalnya, biaya untuk pembangunan jalan di desa tertinggal. Biaya variabel adalah biaya yang dikeluarkan setiap kurun waktu tertentu (misalnya setiap bulan) sehingga jumlahnya dapat berbeda-beda sesuai dengan tingkat kebutuhan atau produksi pada tahapan program. Biaya marginal adalah biaya yang dikeluarkan untuk tambahan pelayanan. Biaya rata-rata adalah biaya yang dikeluarkan untuk jumlah seluruh unit pelayanan. Sunk cost adalah biaya yang sudah dikeluarkan sebelumnya.

4. Kriteria pemilihan program. Setelah program-program alternatif diidentifikasi, maka harusdilakukan pilihan di antara mereka. Pemilihan dapat dilakukan atas dasar rasional, yakni bersandar pada kriteria tertentu. Kriteria yang tergolong rasional adalah menyangkut pentingnya, efisiensi, efektivitas, fisibilitas (feasibility), keadilan dan hasil-hasil tertentu. Misalnya, mana yang lebin penting antara penurunan jumlah orang miskin atau jumlah pengangguran?

Pelaksanaan Program

Tahap implementasi program intinya menunjuk pada perubahan proses

perencanaan pada tingkat abstraksi yang lebih rendah. Penerapan kebijakan

atau pemberian pelayanan merupakan tujuan, sedangkan operasi atau kegiatan­

kegiatan untuk mencapainya adalah alat pencapaian tujuan. Ada dua prosedur

dalam melaksanakan program, yaitu:

a. Merinci prosedur operasional untuk melaksanakan program.

b. Merinci prosedur agar kegiatan-kegiatan sesuai dengan rencana.

Evaluasi Program

Dalam tahap evaluasi program, anal isis kembali kepada permulaan proses

perencanaan untuk menentukan apakah tujuan yang telah ditetapkan dapat

dicapai. Evaluasi menjadikan perencanaan sebagai suatu proses yang

Page 95: Edi Suharto

80 MEMBANGUN MASYARAKAT MEM'BERDAYAKAN RAKYAT

berkesinambungan. Evaluasi baru dapatdilaksanakan kalau rencana sudah dilaksanakan. Namun demikian, perencanaan yang baik harus sudah dapat menggambarkan proses evaluasi yang akan dilaksanakan. Ada beberapa, pertanyaan pokok yang biasanya diajukan pada tahap evaluasi:

a) Apakah rencana sudah dilaksanakan?

b) Apakah tujuan sudah tercapai?

c) Apakah kebijakan atau program sudah berjalan secara efektif?

d) Apakah kebijakan atau program sudah berjalan secara efisien?

Secara lebih mendalam, pokok bahasan mengenai evaluasi dapat dilihat pada Bab 9 mengenai Monitoring dan Evaluasi Program.

Page 96: Edi Suharto

Pemetaan Sosial

Successful problem solving requires

finding the right solution to the right problem.

We fail more often because we solve the wrong problem

than because we get the wrong solution to the right problem.

Russell L. Ackoff (1974)

Pernyataan Ackoff (1974) memberi pesan jelas bahwa keberhasilan

pemecahan masalah memerlukan solusi yang tepat atas masalah yang tepat pula. Namun demikian, kegagalan pemecahan masalah seringkali disebabkan oleh kesalahan dalam merumuskan masalah daripada karena perumusan solusi yang sa!ah. lni menunjukkan bahwa menggali dan menganalisis masalah merupakan aspek penting, jika bukan yang terpenting, dalam proses pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Betapapun

baiknya suatu metode dan strategi penanganan masalah, apabila tidak sesuai dengan kondisi faktual masyarakat, maka metode tersebut tidak akan mampu memecahkan masalah tersebut secara efektif. Ada empat topik yang disajikan pada bab ini, yaitu masalah sosial, memahami masyarakat, dan pendekatan pemetaan sosial.

Apa Itu Pemetaan Sosial?

Pemetaan sosial dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan dalam penanganan masalah sosial. Pemetaan sosial (social mapping) adalah proses penggambaran masyarakat yang sistematik serta melibatkan pengumpulan data dan informasi mengenai masyarakat termasuk di dalamnya profile

dan masalah sosial yang ada pada masyarakat tersebut. Merujuk pada

81

Page 97: Edi Suharto

82 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

Netting, Kettner dan McMurtry (1993), pemetaan sosial dapat disebutjuga sebagai social profiling atau pembuatan profil suatu masyarakat.

Sebagai sebuah pendekatan, pemetaan sosial sangat dipengaruhi oleh. ilmu penelitian sosial dan geography. Salah satu bentuk atau hasil akhir pemetaan sosial biasanya berupa suatu peta wilayah yang sudah diformat sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu image mengenai pemusatan

karakteristik masyarakat atau masalah sosiat misalnya jumlah orang miskin,

rumah kumuh, anak terlantar, yang ditandai dengim warna tertentu sesuai

dengan tingkatan pemusatannya. Dengan demikian, fungsi utama pemetaan

sosial adalah memasok data dan informasi bagi pelaksanaan program PM.

Perlu dicatat bahwa tidak ada aturan dan bahkan metoda tunggal yang secara sistematik dianggap paling unggul dalam melakukan pemetaan sosial.

Prinsip utama bagi para praktisi pekerjaan sosial dalam melakukan pemetaan sosial adalah bahwa ia dapat mengumpulkan informasi sebanyak mungkin

dalam suatu wilayah tertentu secara spesifik yang dapat digunakan sebagai bahan membuat suatu keputusan terbaik dalam proses pertolongannya. Mengacu pada Netting, Kettner dan McMurtry (1993:68) ada tiga alasan

utama mengapa para praktisi pekerjaan sosial memerlukan sebuah

pendekatan sistematik dalam melakukan pemetaan sosial:

1 . Pandangan mengenai "manusia dalam lingkungannya" (the person­in-environment) merupakan faktor penting dalam praktik pekerjaan sosial, khususnya dalam praktek tingkat makro atau praktek pengem­bangan masyarakat. Masyarakat di mana seseorang tinggal sangat penting dalam menggambarkan siapa gerangan dia, masalah apa yang dihadapinya, serta sumber-sumber apa yang tersedia untuk menangani masalah tersebut. Pengembangan masyarakat tidak akan berjalan baik tanpa pemahaman mengenai pengaruh-pengaruh masyarakat tersebut.

2. Pengembangan masyarakat rnemerlukan pemahaman mengenai sejarah dan perkembangan suatu masyarakat serta analisis mengenai status masyarakat saat ini. Tanpa pengetahuan ini, para praktisi akan mengalami hambatan dalam menerapkan nilai-nilai, sikap-sikap dan tradisi-tradisi pekerjaan sosial maupun dalam memelihara kemapanan dan mengupayakan perubahan.

3. Masyarakat secara konstan berubah. lndividu-individu dan kelompok­kelompok bergerak ke dalam perubahan kekuasaan, struktur ekonomi,

Page 98: Edi Suharto

BAs 6 - PEMETAAN SosrAL 83

sumber pendanaan dan peranan penducluk. Pemetaan sosial dapat membantu dalam memahami clan menginterpretasikan perubahan­perubahan tersebut.

Masalah Sosial

Pernahkah kita menemukan suatu masyarakat yang ticlak pe~nah berhadapan clengan masalah sosial? Masyarakat cJi mana seluruh anggotanya mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan hiclupnya. Masyarakat eli mana seluruh incliviclu eli clalamnya berfungsi sosial secara adekuat. Masyarakat eli mana seluruh kelompok-kelompok sosial di dalamnya memi liki akses clan

kesempatan yang sama untuk menjangkau sumber-sumber ekonomi, pencliclikan, kesehatan dan pelayanan sosial secara adil dan merata. Jawabannya: tentu tidak ada masyarakat yang sedemikian itu. Tidak ada masyarakat manusia yang sempurna. Masalah sosial datang silih berganti. Beragam kebutuhan manusia senantiasa hadir setiap saat. Masalah sosial membutuhkan pemecahan. Kebutuhan sosiai memerlukan pemenuhan.

Meskipun masalah dan kebutuhan memiliki pengertian yang berbeda, namun dalam konteks pengembangan clan pemberdayaan masyarakat kedua istilah tersebut seringkali dipertukarkan. Masalah pada hakekatnya merupakan kebutuhan, karena masalah mencerminkan adanya kebutuhan dan sebaliknya kebutuhan apabila tidak dipenuhi akan menimbulkan masalah. Masalah pada dasarnya merupakan pernyataan suatu kondisi secara 'negatif' sedangkan kebutuhan menyatakan secara 'positif'. 'Masyarakat mengalami kelaparan' adalah suatu pernyataan masalah, tetapi 'masyarakat memerlukan bantuan makanan' adalah pernyataan kebutuhan.

Secara luas masalah dapat didefinisikan sebagai perbedaan antara harapan dan kenyataan atau sebagai kesenjangan antara situasi yang ada dengan situasi yang seharusnya (Jenssen, 1992:42). Dalam diskusi ini, pengertian masalah akan lebih difokuskan pada masalah sosial. Menurut Horton dan Leslie (1982) masalah sosial adalah suatu kondisi yang dirasakan banyak orang tidak menyenangkan serta menuntut pemecahan melalui aksi sosial secara kolektif. Dari definisi ini dapatdisimpulkan bahwa masalah sosial memiliki karakteristik sebagai berikut:

Page 99: Edi Suharto

84 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

1. Kondisi yang dirasakan banyak orang. Suatu masalah baru dapat dikatakan sebagai masalah sog;jal apabila kondisinya dirasakan oleh banyak orang. Namun demikian, tidak ada batasan mengenai berapa jumlah orang yang harus merasakan masalah tersebut. Jika suat'u masalah mendapat perhatian dan menjadi pembicaraan lebih dari satu orang, masalah tersebut adalah masalah sosial. Peran media massa sangat menentukan apakah masalah tertentu menjadi pembicaraan khalayak umum. Jika sejumlah artikel atau berita yang membahas suatu masalah muncul di media massa, masalah tersebut akan segera menarik perhatian orang. Kasus kriminalitas akhir-akhir ini sangat rarnai diberitakan di koran maupun televisi. Kriminalitas adalah masalah sosial.

2. Kondisi yang dinilai tidak menyenangkan. Menurutfaham hedonisme, orang cenderung mengulang sesuatu yang menyenangkan dan menghindari sesuatu yang tidak mengenakan. Orang senantiasa menghindari masalah, karena masalah selalu tidak menyenangkan. Penilaian masyarakat sangat penting dalam menentukan suatu kondisi sebagai masalah sosial. Suatu kondisi dapat dianggap sebagai masalah sosial oleh masyarakat tertentu tetapi tidak oleh masyarakat lainnya. Ukuran 'baik' atau 'buruk' sangat bergantung pada nilai atau norma yang dianut masyarakat. Penggunaan narkotika, minuman keras, homoseksual, bahkan bunuh diri adalah masalah sosial, apabila nilai atau norma masyarakat menganggapnya sebagai sesuatu yang buruk atau bertentangan dengan aturan-aturan umum. Tetapi pada masyarakat yang memandang penggunaan minuman keras, misalnya, sebagai sesuatu yang 'wajar' dan 'biasa', penggunaan whisky, johny walker atau sampagne bukanlah masalah sosial, meskipun dilakukan banyak orang.

3. Kondisi yang menuntut pemecahan. Suatu kondisi yang tidak menye­nangkan senantiasa menuntut pemecahan. Bila seseorang merasa lapar, akan segera dicarinya rumah makan. Bila sakit kepala, ia akan segera pergi ke dokter atau membeli Paramex atau Bod rex. Umumnya, suatu kondisi dianggap perlu dipecahkan jika masyarakat merasa bahwa kondisitersebut memang dapat dipecahkan. Pada waktu lalu, masalah kemiskinan tidak dikategorikan sebagai masalah sosial, karena waktu itu masyarakat menganggap kemiskinan sebagai sesuatu yang alamiah dan masyarakatbelum memiliki kemampuan untuk memecahkannya. Sekarang, setelah masyarakat memiliki pengetahuan dan keterampilan

Page 100: Edi Suharto

BAS 6 - PEMETAAN SOSIAL 85

untuk menanggulangi kemiskinan, kemiskinan ramai diperbincangkan dan diseminarkan, karena dianggap sebagai masalah sosial.

4. Pemecahan tersebut harus dilakukan melalui aksi sosial secara kolektif. Masalah sosial berbeda dengan masalah individual. Masalah individual dapat diatasi secara individual, tetapi masalah sosial hanya dapat diatasi melalui rekayasa sosial seperti aksi sosial, kebijakan sosial atau perencanaan sosial, karena penyebab dan akibatnya bersifat multidi­mensional dan menyangkut banyak orang.

Setiap masyarakat di mana pun berada senantiasa memiliki masalah

dan kebutuhan. Agar mencapai tujuan yang diharapkan, penanganan

masalah harus dimulai dari perumusan masalah sosial. Penanganan masalah

sosial harus mampu merespon masalah dan kebutuhan manusia dalam

masyarakat yang senantiasa berubah, meningkatkan keadilan dan hak azasi

man usia, serta mengubah struktur masyarakat yang menghambat pencapaian

usaha dan tujuan kesejahteraan sosial. Oleh karena itulah dalam prakteknya,

penanganan masalah sosial kerap diimplementasikan ke dalam program­

program kegiatan dari, bagi dan bersama individu, keluarga, kelompok

sosial, organisasi sosial dalam mencapai tujuan sosial dan menciptakan

kondisi yang kondusif untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.

Memahami Masyarakat

Pemetaan sosial memerlukan pemahaman mengenai kerangka konsep­

tualisasi masyarakat yang dapat membantu dalam membandingkan elemen­

elemen masyarakat antara wilayah satu dengan wilayah lainnya. Misalnya,

beberapa masyarakat memiliki wilayah (luas-sempit), komposisi etnik

(heterogen-homogen) dan status sosial-ekonomi (kaya-miskin atau maju­

tertinggal) yang berbeda satu sama lain. Kerangka untuk memahami

masyarakat akan berpijak pada karya klasik Warren (1978), The Commu­

nity in America, yang dikembangkan kemudian oleh Netting, Kettner dan

McMurtry (1993:68-92). Sebagaimana digambarkan Tabel5.1, kerangka

pemahaman masyarakat dan masalah sosial terdiri dari 4 fokus atau variabel

dan 9 tugas.

Page 101: Edi Suharto

86 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

Tabel 5.1 : Kerangka Pemahaman Masyarakat dan Masalah Sosial

Fokus Tugas

A. Pengidentifikasian Populasi Sasaran 1. Memahami karakteristik anggota populasi sasaran.

B. Penentuan Karakteristik Masyarakat 2. Mengidentifi kasi batas-batas masyarakat.

3. Menggambarkan masalah-masalah social.

4. Memahami nilai-nilai dominan.

c. Pengakuan Perbedaan-perbedaan 5. Mengidentifikasi mekanisme-mekanisme penindasan yang tampak dan formal.

6. Mengidentifikasi bukti-bukti diskriminasi.

D. Pengidentifi kasian Stru ktu r 7. Memahami lokasi-lokasi kekuasaan.

8. Menentukan ketersediaan sumber. 9. Mengidentifikasi pola-pola

pengawasan sumber dan pemberian pelayanan.

Sumber: Netting, Kettner dan McMurtry (1993 :69)

Fokus A: Pengidentifikasian Populasi Sasaran

Tugas 1: Memahami karakteristik anggota populasi sasaran.

• Apa yang diketahui mengenai sejarah populasi sasaran pada masyarakat ini?

" Berapa orang jumlah populasi sasaran dan bagaimana karakteristik mereka?

• Bagaimana orang-orang clalam populasi sasaran memanclang kebutu han-kebutu han nya?

., Bagaimana orang-orang dalam populasi sasaran memandang

Page 102: Edi Suharto

BAB 6 - PEMETAAN 50SIAL 87

masyarakat dan kepekaannya dalam merespon kebutuhan-kebutuhan mereka?

Fokus B: Penentuan Karakteristik Masyarakat

Tugas 2: Mengidentifikasi batas-batas masyarakat.

• Apa batas wilayah geografis di mana intervensi terhadap populasi sasaran akan dilaksanakan?

• Di mana anggota-anggota populasi sasaran berlokasi dalam batas wilayah geografis?

• Apa hambatan fisik yang ada dalam populasi sasaran?

• Bagaimana kesesuaian batas-batas kewenangan program-program kesehatan dan pelayanan kemanusiaan yang melayani populasi sasaran?

Tugas 3: Menggambarkan masalah-masalah sosial.

• Apa permasalahan sosial utama yang mempengaruhi populasi sasaran pada masyarakat ini?

• Adakah sub-sub kelompok dari populasi sasaran yang mengalami permasalahan sosial utama?

• Data apa yang tersedia rnengenai permasalahan sosial yang teridentifikasi dan bagaimana data tersebut digunakan di dalam

masyarakat?

• Siapa yang mengumpulkan data, dan apakah ini merupakan proses

yang berkelanjutan?

Tugas 4: Memahami nilai-nilai dominan.

• Apa nilai-nilai budaya, tradisi, atau keyakinan-keyakinan yang penting bagi popu lasi sasaran?

• Apa nilai-nilai dominan yang mempenga1·uhi populasi sasaran dalam

masyarakat?

• Kelompok-kelompok dan individu-individu manakah yang menganut nilai-n i lai tersebut dan siapa yang menentangnya?

• Apa konflik-konflik nilai yang terjadi pada populasi sasaran?

Page 103: Edi Suharto

88 MEMBANGUN MASYARAKAT t'IEMBERDAYAKAN RAKYAT

Fokus C: Pengakuan Perbedaan-perbedaan

Tugas 5: Mengidentifikasi mekanisme-mekanisme penindasan yang tampak dan formal.

Apa perbedaan-perbedaan yang terlihat di antara anggota-anggota populasi sasaran?

Apa perbedaan-perbedaan yang terlihat antara anggota populasi sasaran dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat?

Bagaimana perbedaan-perbedaan populasi sasaran dipandang oleh masyarakat yang lebih besar?

Dalam cara apa populasi sasaran tertindas berkenaan dengan perbedaan-perbedaan tersebut?

Apa kekuatan-kekuatan populasi sasaran yang dapat diidentifikasi dan bagaimana agar kekuatan-kekuatan tersebut mendukung pember­dayaan?

Tugas 6: Mengidentifikasi bukti-bukti diskriminasi.

• Adakah hambatan-hambatan yang merintangi populasi sasaran dalam berintegrasi dengan masyarakat secara penuh?

• Apa bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami oleh populasi sasaran dalam masyarakat?

Fokus 0: Pengidentifikasian Struktur

Tugas 7: Memahami lokasi-lokasi kekuasaan.

• Apa sumber-sumber utama pendanaan (baik lokal maupun dari luar masyarakat) bagi pelayanan kesehatan dan kemanusiaan yang dirancang bagi populasi sasaran dalam masyarakat?

• Adakah pemimpin-pemimpin kuatdalam segmen pelayanan kesehatan dan kemanusiaan yang melayani populasi sasaran?

• Apa tipe struktur kekuasaan yang mempengaruhi jaringan pemberian pelayanan yang dirancang bagi populasi sasaran?

Page 104: Edi Suharto

BAB 6 - P~METAAN SOS!AL 89

Tugas 8: Menentukan ketersediaan sumber.

• Apa lembaga-lembaga dan kelompok-kelompok masyarakat yang ada pada saat ini yang dipandang sebagai pemberi pelayanan bagi populasi sasaran?

Apa sumber utama pendanaan pelayanan-pelayanan bagi populasi sasaran?

Apa sumber-sumber non-finansial yang diperlukan dantersedia?

Tugas 9: Mengidentifikasi pola-pola pengawasan sumber dan pemberian

pelayanan.

• Apa kelompok-kelompok dan asosiasi-asosiasi yang mendukung dan memberikan bantuan terhadap populasi sasaran?

• Bagaimana distribusi sumber bagi populasi sasaran dipengaruhi oleh interaksi di dalam masyarakat?

• Bagaimana distribusi sumber bagi populasi sasaran dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan masyarakat ekstra?

Pendekatan Pemetaan Sosial

Metode dan teknik pemetaan sosial yang akan dibahas pada makalah ini

meliputi survey formal, pemantauan cepat (rapid appraisal) dan metode

partisipatoris (participatory method) (LCC, 1977; Suharto, 1997; World

Bank, 2002). Dalam wacana penelitian sosial, metode survey formal

termasuk dalam pendekatan penelitian makro-kuantitatif, sedangkan metode

pemantauan cepat dan partisipatoris termasuk dalam penelitian mikro­

kualitatif (Suharto, 1997).

Survey Formal

Survey formal dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi standar

dari sam pel orang atau rumahtangga yang diseleksi secara hati-hati. Sur­

vey biasanya mengumpulkan informasi yang dapat dibandingkan mengenai

sejumlah orang yang relatif ban yak pad a kelompok sasaran tertentu.

Page 105: Edi Suharto

90 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMB~RDAYAKAN RAK\'AT

Beberapa metode survey formal antara lain:

1. Survey Rumahtangga Beragam-Topik (Multi-Topic Household Sur­vey). Metode ini sering disebut sebagai Survey Pengukuran Standar, Hidup atau Living Standards Measurement Survey (LSMS). Survey ini merupakan suatu cara pengumpul~m data mengenai berbagai aspek standar hidup secara terintegrasi, seperti pengeluaran, komposisi rumah tangga, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, fertilitas, gizi, tabungan, kegiatan pertanian dan sumber-sumber pendapatan lainnya.

2. Kuesioner lndikator Kesejahteraan Inti (Core Welfare Indicators Ques­

tionnaire atau CWIQ). Metode ini merupakan sebuah survey rumah tangga yang meneliti perubahan-perubahan indikator sosial, seperti akses, penggunaan, dan kepuasan terhadap pelayanan sosial dan ekonomi. Metode ini merupakan alat yang cepat dan efektif untuk mengetahui rancangan kegiatan pelayanan bagi orang-orang miskin. Jika alat ini diulang setiap tahun, maka ia dapat digunakan untuk memonitor keberhasilan suatu kegiatan. Sebuah hasil awal dari sur­vey ini umumnya dapat diperoleh dalam waktu 30 hari.

3. Survey Kepuasan Klien (Client Satisfaction Survey). Survey ini digunakan untuk meneliti efektivitas atau keberhasilan pelayanan pemerintah berdasarkan pengalaman atau aspirasi klien (penerima pelayanan). Metode yang sering disebut sebagai service delivery survey ini mencakup penelitian mengenai hambatan-hambatan yang dihadapi penerima pelayanan dalam memperoleh pelayanan publik, pandangan mereka mengenai kualitas pelayanan, serta kepekaan petugas-petugas pemeri ntah.

4. Kartu Laporan Penduduk (Citizen Report Cards). Teknik ini sering digunakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Mirip dengan Survey Kepuasan Klien, penelitian difokuskan pada tingkat korupsi yang ditemukan oleh penduduk biasa. Penemuan ini kemudian dipublikasikan secara luas dan dipetakan sesuai dengan tingkat dan wilayah geografis.

5. Laporan Statistik. Pekerja. sosial dapat pula melakukan pemetaan sosial berdasarkan laporan statistik yang sudah ada. Laporan statistik mengenai permasalahan sosial seperti jumlah orang miskin, desa tertinggal, status gizi, tingkat buta huruf, dan lain-lain. biasanya dilakukan dan dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) berdasarkan data sensus.

Page 106: Edi Suharto

BAB 6 - PEMETAAN SOSIAL 91

Pemantauan Cepat (Rapid Appraisal Methods)

Metode ini merupakan cara yang cepat dan murah untuk mengumpulkan

informasi mengenai pandangan dan masukan dari populasi sasaran dan

stakeholders lainnya mengenai kondisi geografis dan sosial-ekonomi.

Metode Pemantauan Cepat meliputi:

1. Wawancara lnforman Kunci (Key Informant Interview). Wawancara ini terdiri serangkaian pertanyaan terbuka yang dilakukan terhadap individu-individu tertentu yang sudah diseleksi karena dianggap memiliki pengetahuan dan pengalaman mengenai topik atau keadaan di wilayahnya. Wawancara bersifat kualitatif, mendalam dan semi­terstruktur.

2. Diskusi Kelompok Fokus (Focus Croup Discussion). Diskusi kelompok dapat melibatkan 8-12 anggota yang telah dipilih berdasarkan kesamaan latarbelakang. Peserta diskusi bisa para penerima pelayanan, penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), atau para ketua Rukun Tetangga. Fasilitator menggunakan petunjuk diskusi, mencatat proses diskusi dan kemudian memberikan komentar mengenai hasil pengamatannya.

3. Wawancara Kelompok Masyarakat (Community Croup Interview). Wawancara difasilitasi oleh serangkaian pertanyaan yang diajukan kepada semua anggota masyarakat dalam suatu pertemuan terbuka. Pewawancara melakukan wawancara secara hati-hati berdasarkan pedoman wawancara yang sudah disiapkan sebelumnya.

4. Pengamatan Langsung (Direct Observation). Melakukan kunjungan lapangan atau pengamatan langsung terhadap masyarakat setempat. Data yang dikumpulkan dapat berupa informasi mengenai kondisi geografis, sosial-ekonomi, sumber-sumber yang tersedia, kegiatan program yang sedang berlangsung, interaksi sosial, dan lain-lain.

5. Survey Kecil (Mini-Survey). Penerapan kuesioner terstruktur (daftar pertanyaan tertutup) terhadap sejumlah kecil sample (antara 50-75 orang). Pemilihan responden dapat menggunakan teknik acak (ran­dom sampling) ataupun sampel bertujuan (purposive sampling). Wawancara dilakukan pada lokasi-lokasi survey yang terbatas seperti sekitar klinik, sekolah, balai desa.

Page 107: Edi Suharto

92 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAI<YAT

Metode Partisipatoris

Metode partisipatoris merupakan proses pengumpulan data yang melibatkan

kerjasama aktif antara pengumpul data dan responden. Pertanyaan~

pertanyaan umumnya tidak dirancang secara baku, melainkan hanya garis­

garis besarnya saja. Topik-topik pertanyaan bahkan dapat muncul dan

berkembang berdasarkan proses tanya-jawab dengan responden. Terdapat

banyak teknik pengumpulan data partisipatoris. Empat di bawah ini cukup

penting diketahui:

1. Penelitian dan Aksi Partisipatoris (Participatory Research and Action). Metode yang terkenal dengan istilah PRA (dulu disebut Participatory Rural Appraisal) ini merupakan alat pengumpulan data yang sangat berkembang dewasa ini. PRA terfokus pada proses pertukaran informasi dan pembelajaran antara pengumpul data dan responden. Metode ini biasanya menggunakan teknik-teknik visual (penggunaan tanaman, biji-bijian, tongkat) sebagai alat penunjuk pendataan sehingga memudahkan masyarakat biasa (bahkan yang buta hurut) berpartisipasi. PRA memiliki banyak sekali teknik, antara lain Lintas Kawasan, jenjang Pili han dan Penilaian, jenjang Matrik Langsung, Diagram Venn, jenjang Perbandingan Pasangan (Suharto, 1997; 2002; Hikmat, 2001 ).

2. Stakeholder Analysis. Analisis terhadap para peserta atau pengurus dan anggota suatu program, proyek pembangunan atau organisasi sosial tertentu mengenai isu-isu yang terjadi di lingkungannya, seperti relasi kekuasaan, pengaruh, dan kepentingan-kepentingan berbagai pihak yang terlibat dalam suatu kegiatan. Metode ini digunakan terutama untuk menentukan apa masalah dan kebutuhan suatu organisasi, kelompok, atau masyarakat setempat.

3. Beneficiary Assessment. Pengidentifikasian masalah sosial yang meli­batkan konsultasi secara sistematis dengan para penerima pelayanan sosial. Tujuan utama pendekatan ini adalah untuk mengidentifikasi hambatan-hambatan partisipasi, merancang inisiatif-inisiatif pembangunan, dan menerima masukan-masukan guna memperbaharui sistem dan kualitas pelayanan dan kegiatan pembangunan.

4. Monitoring dan Evaluasi Partisipatoris (Participatory Monitoring and Evaluation). Metode ini melibatkan anggota masyarakat dari berbagai tingkatan yang bekerjasama mengumpulkan informasi, mengidentifikasi dan menganalisis masalah, serta melahirkan rekomendasi-rekomendasi.

Page 108: Edi Suharto

Pendampingan Sosial

Pendampingan sosial merupakan satu strategi yang sangat menentukan keberhasilan program pemberdayaan masyarakat. Sesuai dengan prinsip pekerjaan sosial, yakni "membantu orang agar mampu membantu dirinya sendiri", pemberdayaan masyarakat sangat memperhatikan pentingnya partisipasi publik yang kuat. Dalam konteks ini, peranan seorang pekerja sosial seringkali diwujudkan dalam kapasitasnya sebagai pendamping, bukan sebagai penyembuh atau pemecah masalah (problem solver) secara langsung. Setelah membahas secara singkat mengenai konsep pendampingan sosial, secara bertutut-turut bab ini mendiskusikan bidang tugas atau fungsi-fungsi pendampingan sosial, peran pekerja sosial dalam pendampingan sosial, strategi pendampingan sosial dan kerangka kerja melakukan pendampingan sosial.

Pendampingan Sosial

Membangun dan memberdayakan masyarakat melibatkan proses dan tindakan sosial di mana penduduk sebuah komunitas mengorganisasikan diri dalam rnembuat perencanaan dan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah sosial atau memenuhi kebutuhan sosial sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya yang dimilikinya. Proses tersebut tidak muncul secara otomatis, melainkan tumbuh dan berkembang berdasarkan interaksi masyarakat setempat dengan pihak luar atau para pekerja sosial baik yang bekerja berdasarkan dorongan karitatif maupun perspektif profesional. Dalam

93

Page 109: Edi Suharto

94 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBcRDAYAKAN RP.KYAT

program penanganan masalah kemiskinan, misalnya, masyarakat miskin

yang dibantu seringkali merupakan kelompok yang tidak berdaya baik

karena hambatan internal dari dalam dirinya maupun tekanan eksternal

dari lingkungannya. Pendamping sosial kemudian hadir sebagai agen

peru bah yang turut terlibat membantu memecahkan persoalan yang dihadapi

mereka. Dengan demikian, pendampingan sosial dapat diartikan sebagai

interaksi dinamis antara kelompok miskin dan pekerja sosial untuk secara

bersama-sama menghadapi beragam tantangan sepetti:

• Merancang program perbaikan kehidupan sosial ekonomi.

• Memobilisasi sumber daya setempat.

• Memecahkan masalah sosial.

• Menciptakan atau membuka akses bagi pemenuhan kebutuhan.

• Menjalin kerjasama dengan berbagai pihak yang relevan dengan konteks pemberdayaan masyarakat.

Merujuk pada Payne (1986), prinsip utama pendampingan sosial adalah

"making the best of the client's resources". Sejalan dengan perspektif

kekuatan (strengths perspective) sebagaimana dijelaskan pada Bab 2, pekerja

sosial tidak memandang klien dan lingkungannya sebagai sistem yang

pasif dan tidak memiliki potensi apa-apa. Melainkan mereka dipandang

sebagai sistem sosial yang memiliki kekuatan positif dan bermanfaat bagi

proses pemecahan masalah. Bagian dari pendekatan pekerjaan sosial adalah

menemukan sesuatu yang baik dan membantu klien memanfaatkan hal

itu. Sebagaimana dinyatakan oleh Payne (1986:26):

Whenever a social worker tries to help someone, he or she is starting from a position in which there are some useful, positive things in the client's life and surroundings which will help them move forward, as well as the problems or blocks which they are trying to overcome. Part of social work is finding the good things, and helping the client to take advantage of them.

Page 110: Edi Suharto

BIIB 7 - PENDAMPINGAN SOSIAL 9 5

Bidang Tugas

Pendampingan sosial berpusat pada empat bidang tugas atau fungsi yang

dapat disingkat dalam akronim 4P, yakni: pemungkinan (enabling) atau

fasilitasi, penguatan (empowering), perlindungan (protecting), dan

pendukungan (supporting):

Pemungkinan atau Fasilitasi

Merupakan fungsi yang berkaitan dengan pemberian motivasi dan

kesempatan bagi masyarakat. Beberapa tugas pekerja sosial yangberkaitan

dengan fungsi ini antara lain menjadi model (contoh), melakukan mediasi

dan negosiasi, membangun konsensus bersama, serta melakukan

manajemen sumber. Program penanganan masalah sosial pada umumnya

diberikan kepada anggota masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap

sumber-sumber, baik karena sumber tersebut tidak ada di sekitar

lingkungannya, maupun karena sumber-sumber tersebut sulit dijangkau

karena alasan ekonomi maupun birokrasi. Pekerja sosial terpanggil untuk

mampu memobilisasi dan mengkoordinasi sumber-sumber tersebut agar

dapat dijangkau oleh klien.

Sumber adalah segala sesuatu yang dapat digunakan klien dan pekerja

sosial dalam proses pemecahan masalah. Sumber dapat berupa sumber

personal (pengetahuan, motivasi, pengalaman hidup, motivasi), sumber

interpersonal (sistem pendukung yang lahir baik dari jaringan pertolongan

alamiah maupun interaksi formal dengan orang lain), dan sumber sosial

(respon kelembagaan yang mendukung kesejahteraan klien maupun

masyarakat pada umumnya). Pengertian manajemen di sini mencakup

pengkoordinasian, pensistematisasian, dan pengintegrasian -bukan

pengawasan (controlling) dan penunjukkan (directing). Pengertian

manajemen juga meliputi pembimbingan, kepemimpinan, dan kolaborasi

dengan pengguna atau penerima program PM. Dengan demikian, tugas

utama pekerja sosial dalam manajemen sumber adalah menghubungkan

klien dengan sumber-sumber sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan

kepercayaan diri klien maupun kapasitas pemecahan masalahnya.

Page 111: Edi Suharto

96 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKMJ RAKYAT

Penguatan

Fungsi ini berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan guna memperkuat

kapasitas masyarakat (capacity building). Pendamping berperan aktif sebagai

agen yang memberi masukan positif dan direktif berdasarkan pengetahuan

dan pengalamannya serta bertukar gagasan dengan pengetahuan dan

pengalaman masyarakat yang didampinginya. Membangkitkan kesadaran

masyarakat, menyampaikan informasi, melakukan konfrontasi, menye­

lenggarakan pelatihan bagi masyarakat adalah beberapa tugas yang berkaitan

dengan fungsi penguatan. Semua pertukaran informasi pada dasarnya

merupakan bentuk pendidikan. Sebagai fungsi dalam pendampingan sosial,

pendidikan lebih menunjuk pada sebuah proses kegiatan, ketimbang sebagai

sebuah hasil dari suatu kegiatan. Pendidikan sangatterkait dengan pence­

gahan berbagai kondisi yang dapat menghambat kepercayaan diri individu

serta kapasitas individu dan masyarakat. Dalam pendampingan sosial,

pendidikan beranjak dari kapasitas orang yang belajar (peserta didik).

Pendidikan adalah bentuk kerjasama antara pekerja sosial (sebagai guru

dan pendamping) dengan klien (sebagai murid dan peserta didik).

Pengalaman adalah inti "pelajaran pemberdayaan". Peserta didik adalah

partner yang memiliki potensi dan sumber yang dapat digunakan dalam

proses belajar mengajar. Pembelajaran merupakan proses saling

ketergantungan dan saling membutuhkan satu sama lain. Pekerja sosial

dan klien pada hakikatnya dapat menjadi pendidik dan peserta didik

sekaligus.

Perlindungan

Fungsi ini berkaitan dengan interaksi antara pendamping dengan lembaga­

lembaga eksternal atas nama dan demi kepentingan masyarakat

dampingannya. Pekerja sosial dapat bertugas mencari sumber-sumber,

melakukan pembel2.an, menggunakan media, meningkatkan hubungan

masyarakat, dan membangun jaringan kerja. Fungsi perlindungan juga

menyangkut tugas pekerja sosial sebagai konsultan, orang yang bisa diajak

berkonsultasi dalam proses pemecahan masalah. Konsultasi pemecahan

Page 112: Edi Suharto

BAB 7 - PENDAMPINGAN .SOSIAL 9 7

masalah tidak hanya berupa pernberian dan penerimaan saran-saran,

melainkan merupakan proses yang ditujukan untuk memp~roleh pemahaman

yang lebih baik mengenai pilihan-pilihan dan mengide~tifikasi prosedur­

prosedur bagi tindakan-tindakan yang diperlukan.

Konsultasi dilakukan sebagai bagian dari kerjasama yang saling

melengkapi antara sistem klien dan pekerja sosial dalam proses pemecahan

masalah. Pekerja sosial membagi secara formal pengetahuan dan

keterampilan yang dimilikinya, sedangkan klien membagi pengalaman per­

sonal, organisasi atau kemasyarakatan yang pernah diperoleh semasa

hidupnya. Dalam proses pemecahan masalah, pendampingan sosial dapat

dilakukan melalui serangkaian tahapan yang biasa dilakukan dalam praktek

pekerjaan sosial pada umumnya, yaitu: pemahaman kebutuhan,

perencanaan dan penyeleksian program, penerapan program, evaluasi dan

pengakh iran.

Pendukungan

Mengacu pada aplikasi keterampilan yang bersifat praktis yang dapat

mendukung terjadinya perubahan positif pada masyarakat. Pendamping

dituntuttidak hanya mampu menjadi manajer perubahan yang mengorganisasi

kelompok, melainkan pula mampu melaksanakan tugas-tugas teknis sesuai

dengan berbagai keterampilan dasar, seperti melakukan analisis sosial,

mengelola dinamika kelompok, menjalin relasi, bernegosiasi, berkomunikasi,

dan mencari serta mengatur surnber dana.

Peran Pekerja Sosial

Mengacu pada Parsons, jorgensen dan Hernandez (1994), ada beberapa

peran pekerjaan sosial dalam pembimbingan sosial. Lima peran di bawah

ini sangat relevan diketahui oleh para pekerja sosial yang akan melakukan

pendampingan sosial.

Page 113: Edi Suharto

98 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

Fasilitator

Dalam literatur pekerjaan sosial, peranan "fasilitator" sering disebut sebagai

"pemungkin" (enabler). Keduanya bahkan sering dipertukarkan satu-sama.

lain. Seperti dinyatakan Parsons, jorgensen dan Hernandez (1994:188),

"The traditional role of enabler in social work implies education, facilita­

tion, and promotion of interaction and action." Selanjutnya Barker (1987)

memberi definisi pemungkin atau fasilitator sebagai tanggungjawab untuk

membantu klien menjadi mampu menangani tekanan situasional atau

transisional. Strategi-strategi khusus untuk mencapai tujuan tersebut meliputi:

pemberian harapan, pengurangan penolakan dan ambivalensi, pengakuan

dan pengaturan perasaan-perasaan, pengidentifikasian dan pendorongan

kekuatan-kekuatan personal dan asset-asset sosial, pemilahan masalah

menjadi beberapa bagian sehingga lebih mudah dipecahkan, dan

pemeliharaan sebuah fokus pada tujuan dan cara-cara pencapaiannya

(Barker, 1987:49). Pengertian ini didasari oleh visi pekerjaan sosial bahwa

"setiap perubahan terjadi pada dasarnya dikarenakan oleh adanya usaha­

usaha klien sendiri, dan peranan pekerja sosial adalah memfasilitasi atau

memungkinkan klien mampu melakukan perubahan yang telah ditetapkan

dan disepakati bersama (Parsons, jorgensen dan Hernandez, 1994). Par­

sons, jorgensen dan Hernandez (1994:190-203) memberikan kerangka

acuan mengenai tugas-tugas yang dapat dilakukan oleh pekerja sosial:

• Mendefinisikan keanggotaan atau siapa yang akan dilibatkan dalam pelaksanaan kegiatan.

• Mendefinisikan tujuan keterlibatan.

• Mendorong komunikasi dan relasi, serta menghargai pengalaman dan perbedaan-perbedaan.

"' Memfasilitasi keterikatan dan kualitas sinergi sebuah sistem: menemukan kesamaan dan perbedaan.

• Memfasilitasi pendidikan: membangun pengetahuan dan keterampilan.

• Memberikan model atau contoh dan memfasilitasi pemecahan masalah bersama: mendorong kegiatan kolektif.

• Mengidentifikasi masalah-masalah yang akan dipecahkan.

.. Memfasilitasi penetapan tujuan.

Page 114: Edi Suharto

BAB 7- PENDAMPINGAN SOSIAL 99

• Merancang solusi-solusi alternatif.

• Mendorong pelaksanaan tugas.

• Memelihara relasi sistem.

• Memecahkan konflik.

Broker

Dalam pengertian umum, seorang broker membeli dan menjual saham

dan surat berharga lainnya di pasar modal. Seorang beroker berusaha

untuk memaksimalkan keuntungan dari transaksi tersebut sehingga klien

dapat memperoleh keuntungan sebesar mungkin. Pada saat klien menyewa

seorang broker, klien meyakini bahwa brokertersebut memiliki pengetahuan

mengenai pasar modal, pengetahuan yang diperoleh terutama berdasarkan

pengalamannya sehari-hari.

Dalam konteks pendampingan sosial, peran pekerja sosial sebagai

broker tidak jauh berbeda dengan peran broker di pasar modal. Seperti

halnya di pasar modal, terdapat klien atau konsumen. Namun demikian,

pekerja sosial melakukan transaksi dalam pasar lain, yakni jaringan pelayanan

sosial. Pemahaman pekerja sosial. yang menjadi broker mengenai kualitas

pelayanan sosial di sekitar lingkungannya menjadi sangat penting dalam

memenuhi keinginan kliennya memperoleh "keuntungan" maksimal.

Dalam proses pendampingan sosial, ada tiga prinsip utama dalam

melakukan peranan sebagai broker:

• Mampu mengidentifikasi dan melokalisir sumber-sumber kema­

syarakatan yang tepat.

• Mampu menghubungkan konsumen atau klien dengan sumber secara konsisten.

• Mampu mengevaluasi efektivitas sumber dalam kaitannya dengan kebutuhan-kebutuhan klien.

Prinsip-prinsip tersebut sesuai dengan makna broker seperti telah

dijelaskan di muka. Peranan sebagai broker mencakup "menghubungkan

klien dengan barang-barang dan pelayanan dan mengontrol kualitas barang

Page 115: Edi Suharto

100 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

dan pelayanan tersebut. Dengan demikian ada tiga kata kunci dalam

pelaksanaan peran sebagai broker, yaitu: menghubungkan (/inking), barang­

barang dan pelayanan (goods and services) dan pengontrolan kualita~

(quality control). Parsons, Jorgensen dan Hernandez (1994:226-227)

rnenerangkan ketiga konsep di atas satu per satu:

• Linking adalah proses rnenghubungkan orang dengan lernbaga-lembaga atau pihak-pihak lainnya yang rnerniliki surnber-surnber yang diperlukan. Linking juga tidak sebatas hanya rnernberi petunjuk kepada orang rnengenai surnber-sumber yang ada. Lebih dari itu, ia juga rneliputi rnernperkenalkan klien dan surnber referal, tindak lanjut, pendistribusian surnber, dan rnenjarnin bahwa barang-barang dan jasa dapat diterirna oleh klien.

• Goods adalah barang-barang yang nyata, seperti rnakanan, uang, pakaian, perurnahan, obat-obatan. Sedangkan services rnencakup keluaran pelayanan lernbaga yang dirancang untuk rnernenuhi kebutuhan hidup klien, semisal perawatan kesehatan, pendidikan, pelatihan, konseling, pengasuhan anak.

• Quality Control adalah proses pengawasan yang dapat menjamin bahwa produk-produk yang dihasilkan lembaga memenuhi standar kualitas yang telah ditetapkan. Proses ini memerlukan monitoring yang terus menerus terhadap lembaga dan semua jaringan pelayanan untuk menjamin bahwa pelayanan memiliki mutu yang dapat dipertanggungjawabkan setiap saat.

Dalam melaksanakan peran sebagai broker, ada dua pengetahuan

dan keterampilan yang harus dimiliki pekerja sosial:

• Pengetahuan dan keterampilan melakukan asesmen kebutuhan masyarakat (community needs assessment), yang meliputi: (a) jenis dan tipe kebutuhan, (b) distribusi kebutuhan, (c) kebutuhan akan pelayanan, (d) pola-pola penggunaan pelayanan, dan (e) hambatan­hambatan dalam menjangkau pelayanan.

• Pengetahuan dan keterarnpilan membangun konsorsium dan jaringan antar organisasi. Kegiatan ini bertujuan untuk: (a) memperjelas kebijakan-kebijakan setiap lembaga, (b) rnendefinisikan peranan lembaga-lernbaga, (c) rnendefinisikan potensi dan hambatan setiap

Page 116: Edi Suharto

BAB 7 ·· PENDAMPINGAN SoSIAL 101

lembaga, (d) memilih metode guna menentukan partisipasi setiap lembaga dalam memecahkan masalah sosial masyarakat, (e)

mengembangkan prosedur guna menghindari duplikasi pelayanan, dan (f) mengembangkan prosedur guna mengidentifikasi dan memenuhi kekurangan pelayanan sosial.

Mediator

Pekerja sosial sering melakukan peran mediator dalam berbagai kegiatan

pertolongannya. Peran ini sangat penting dalam paradigma generalis. Peran

mediator diperlukan terutama pada saatterdapat perbedaan yang mencolok

dan mengarah pada konflik antara berbagai pihak. Lee dan Swenson (1986)

memberikan contoh bahwa pekerja sosial dapat memerankan sebagai "fungsi

kekuatan ketiga" untuk menjembatani antara anggota kelompok dan sistem

lingkungan yang menghambatnya.

Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam melakukan peran me­

diator meliputi kontrak perilaku, negosiasi, pendamai pihak ketiga, serta

berbagai macam resolusi konflik. Dalam mediasi, upaya-upaya yang

dilakukan pada hakekatnya diarahkan untuk mencapai "solusi menang­

menang" (win-win solution). Hal ini berbeda dengan peran sebagai pembela

di mana bantuan pekerja sosial diarahkan untuk memenangkan kasus

klien atau membantu klien memenangkan dirinya sendiri.

Compton dan Calaway (1989:511) memberikan beberapa teknik dan

keterampilan yang dapat digunakan dalam melakukan peran mediator:

• Mencari persamaan nilai dari pihak-pihak yang terlibat konflik.

• Membantu setiap pihak agar mengakui legitimasi kepentingan pihak

lain.

• Membantu pihak-pihak yang bertikai dalam mengidentifikasi kepentingan bersama.

• Hindari situasi yang mengarah pada munculnya kondisi menang dan

kalah.

• Berupaya untuk melokalisir konflik ke dalam isu, waktu dan tempat

yang spesifik.

Page 117: Edi Suharto

10 2 MEMBANGUN MASYARAKAT M EMBERDAYAKAN RAKYAT

II

Membagi konflik kedalam beberapa isu .

Membantu pihak-pihak yang bertikai untuk mengakui bahwa mereka lebih memiliki manfaatjika melanjutkan sebuah hubungan ketimbang. terlibat terus dalam konflik.

Memfasilitasi komunikasi dengan cara mendukung mereka agar mau berbicara satu sama lain.

Gunakan prosedur-prosedur persuasi.

Pembela

Seringkali pekerja sosial harus berhadapan sistem politik dalam rangka

menjamin kebutuhan dan sumber yang diperlukan oleh klien atau dalam

melaksanakan tujuan-tujuan pendampingan sosial. Manakala pelayanan

dan sumber-sumber sulit dijangkau oleh klien, pekerja sosial haru

memainkan peranan sebagai pembela (advokat). Peran pembelaan atau

advokasi merupakan salah satu praktek pekerjaan sosial yang bersentuhan

dengan kegiatan politik. Peran pembelaan dapat dibagi dua: advokasi

kasus (case advocacy) dan advokasi kausal (cause advocacy) (DuBois dan

Miley, 1992; Parsons, Jorgensen dan Hernandez, 1994). Apabila pekerja

sosial melakukan pembelaan atas nama seorang klien secara individual,

maka ia berperan sebagai pembela kasus. Pembelaan kausal terjadi manakala

klien yang dibela pekerja sosial bukanlah individu melainkan sekelompok

anggota masyarakat.

Roth blatt (1978) memberikan beberapa model yang dapat dijadikan

acuan dalam melakukan peran pembela dalam pendampingan sosial:

• Keterbukaan: membiarkan berbagai pandangan untuk didengar.

• Perwakilan luas: mewakili semua pelaku yang memiliki kepentingan dalam pembuatan keputusan.

" Keadilan: memperjuangkan sebuah sistem kesetaraan atau kesamaan sehingga posisi-posisi yang berbeda dapat diketahui sebagai bahan perbandingan.

• Pengurangan permusuhan: mengembangkan sebuah keputusan yang mampu mengurangi permusuhan dan keterasingan.

Page 118: Edi Suharto

BAs 7- PENDAMPnJGA"l SosiAL 103

• lnformasi: menyajikan masing-masing pandangan secara bersarna dengan dukungan dokumen dan analisis.

• Pendukungan: mendukung partisipasi secara luas.

• Kepekaan: mendorong para pembuat keputusan untuk benar-benar mendengar, mempe1timbangkan dan peka terhadap minat-minat dan posisi-posisi orang lain.

Pelindung

Tanggungjawab pekerja sosial terhadap masyarakat didukung oleh hukum.

Hukum tersebut memberikan legitimasi kepada pekerja sosial untuk menjadi

pelindung (protector) terhadap orang-orang yang lemah dan rentan. Dalam

melakukan peran sebagai pelindung (guardian role), pekerja sosial bertindak

berdasarkan kepentingan korban, calon korban, dan populasi yang berisiko

lainnya. Peranan sebagai pelindung mencakup penerapan berbagai

kemampuan yang menyangkut: (a) kekuasaan, (b) pengaruh, (c) otoritas,

dan (d) pengawasan sosial. Tugas-tugas peran pelindung meliputi:

• Menentukan siapa klien pekerja sosial yang paling utama.

• Menjamin bahwa tindakan dilakukan sesuai dengan proses perlindungan.

• Berkomunikasi dengan semua pihak yang terpengaruh oleh tindakan sesuai dengan tanggungjawab etis, legal dan rasional praktek pekerjaan sosial.

Strategi

Berdasarkan pengalaman di lapangan, kegiatan pendampingan sosial

seringkali dilakukan atau melibatkan dua strategi utama, yakni pelatihan

dan advokasi atau pembelaan masyarakat. Pelatihan dilakukan terutama

untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan kemampuan masyarakat

mengenai hak dan kewajibannya serta meningkatkan keterampilan keluarga

dalam mengatasi masalah dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan

advokasi adalah bentuk keberpihakan pekerja sosial terhadap kehidupan

masyarakat yang diekspresikan melalui serangkaian tindakan politis yang

Page 119: Edi Suharto

104 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

dilakukan secara terorganisir untuk mentransformasikan hubungan-hubungan

kekuasaan. Tujuan advokasi adalah untuk mencapai perubahan kebijakan

tertentu yang bermanfaat bagi penduduk yang terlibat dalam proses tersebut.

Advokasi yang efektif dilakukan sesuai dengan rencana stategis dan dalam

kerangka waktu yang masuk akal. Terdapat lima aspek penting yang dapat

dilakukan dalam melakukan pendampingan sosial, khususnya melalui

pelatihan dan advokasi terhadap masyarakat.

1. Motivasi. Masyarakat didorong agar dapat memahami nilai kebersamaan, interaksi sosial dan kekuasaan melalui pemahaman akan haknya sebagai warga negara dan anggota masyarakat. Misalnya, keluarga-keluarga miskin didorong untuk membentuk kelompok yang merupakan mekanisme kelembagaan penting untuk mengorganisir dan melaksanakan kegiatan pengembangan masyarakat di desa atau kelurahannya. Kelompok ini kemudian dimotivasi untuk terlibat dalam kegiatan peningkatan pendapatan dengan menggunakan sumber-sumber dan kemampuan-kemampuan mereka sendiri.

2. Peningkatan kesadaran dan pelatihan kemampuan. Peningkatan kesadaran masyarakat, misalnya, dicapai melalui pendidikan dasar, pemasyarakatan imunisasi dan sanitasi. Sedangkan keterampilan­keterampilan vokasional dikembangkan melalui. cara-cara partisipatif. Pengetahuan lokal yang biasanya diperoleh melalui pengalaman dapat dikombinasikan dengan pengetahuan dari luar. Pelatihan semacam ini dapat membantu masyarakat untuk menciptakan mata pencaharian sendiri atau membantu meningkatkan keahlian mereka untuk mencari pekerjaan di luar wilayahnya.

3. Manajemen diri. Kelompok harus mampu memilih pemimpin mereka sendiri dan mengatur kegiatan mereka sendiri, seperti melaksanakan pertemuan-pertemuan, melakukan pencatatan dan pelaporan, mengoperasikan tabungan dan kredit, resolusi konflik dan manajemen kepemilikan masyaiakat. Pada tahap awal, pendamping dari luar dapat membantu mereka dalam mengembangkan sebuah sistem. Kelompok kemudian dapat diberi wewenang penuh untuk rnelaksanakan dan mengatur sistem tersebut.

4. Mobilisasi sumber. Merupakan sebuah metode untuk menghimpun sumber-sumber individual melalui tabungan reguler dan sumbangan sukarela dengan tujuan menciptakan modal sosial. Ide ini didasari

Page 120: Edi Suharto

BAB 7 - PENDAMPINGAN 50SIAL 105

pandangan bahwa setiap orang memiliki sumbernya sendiri yang, jika dihimpun, dapat meningkatkan kehidupan sosial ekonomi secara substansial. Pengembangan sistem penghimpunan, pengalokasian dan penggunaan sumber perlu dilakukan secara cermat sehingga semua anggota memiliki kesempatan yang sama. Hal ini dapat menjamin kepemilikan dan pengelolaan secara berkelanjutan.

5. Pembangunan dan pengembangan jaringan. Pengorganisasian kelompok-kelompok swadaya masyarakat perlu disertai dengan peningkatan kemampuan para anggotanya membangun dan mempertahankan jaringan dengan berbagai sistem sosial di sekitarnya. Jaringan ini san gat penting dalam menyediakan dan mengembangkan berbagai akses terhadap sumber dan kesempatan bagi peningkatan keberdayaan masyarakat miskin.

Kerangka Kerja

Salah satu kerangka kerja pemberdayaan masyarakat yang dapat diterapkan dalam proses pendampingan sosial adalah Teknik PPM (Programme Plan­ning Model) yang juga dikenal dengan sebutan Proses Kelompok Nominal (PKN) (Delbecq dan Van de Ven, 1977: 333-348). PPM bukanlah teknik

ekonomi-rasionalistik dalam sistem perencanaan sosia!. Melainkan sebuah model sosial logis yang menyarankan urutan perencanaan berdasarkan proses penstrukturan pembuatan keputusan dalam berbagai phase perencanaan. Dalam mengembangkan model ini, perencanaan sangat memperhatikan proses dan situasi di mana berbagai kelompok yang terbagi berdasarkan keahlian, kepentingan, konsep-konsep retoris dan ideologis dilibatkan bersama dalam merancang sebuah program atau perubahan sosial. Secara ringkas, proses PPM meliputi:

Phase 1: Eksplorasi Masalah

• Pelibatan kelompok-kelompok klien atau konsumen.

• Pelibatan pendamping sebagai supervisor garis depan.

Phase 2: Eksplorasi Pengetahuan

• Pelibatan ilmuwan luar (bukan dari masyarakat setempat).

Page 121: Edi Suharto

106 MEMBANGUN MASYARAI<AT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

• Pelibatan ahli organisasi dalam dan luar.

• Pelibatan pendamping sebagai penghubung antara pihak luar dan masyarakat setempat.

Phase 3: Pengembangan Prioritas

• Pelibatan para pengawas sumber.

• Pelibatan administrator-administrator kunci.

• Pelibatan pendamping sebagai pemberi masukan terhadap keputusan.

Phase 4: Pengembangan Program

• Pelibatan administrator-administrator lini.

• Pelibatan ahii teknis.

• Pelibatan pendamping sebagai pemberi masukan.

Phase 5: Evaluasi Program

• Pelibatan kelompok-kelompok klien atau konsumen.

• Pelibatan staf dan petugas administrasi.

• Pelibatan pendamping sebagai pemberi masukan.

Page 122: Edi Suharto

Anal isis Kebijakan Sosial

Analisis Kebijakan Sosial (AKS) adalah salah satu keahlian yang penting

dimiliki oleh para pekerja sosial, terutama yang akan bekerja pada setting

makro, seperti dalam pengembangan dan pemberdayaan masyarakat.

lntervensi makro bukan hanya melibatkan seperangkat keahlian dalam

melakukan pemberdayaan masyarakat dalam arti sempit, seperti pemberian

modal usaha, pelatihan usaha ekonomis produktif dan program bantuan­

bantuan sosiallangsung lainnya. Pendekatan makro mencakup pula inter­

vensi tidak langsung (indirect intervention) dalam bentuk AKS. AKS

mencakup keahlian merumuskan kebijakan sosial dan menganalisis

implikasi-implikasi yang ditimbulkannya dalam konteks sistem sosial yang

lebih luas secara holistik (lihat Suharto, 2005a). Lima topik yang dibahas

pada bab ini meliputi batasan kebijakan sosial, tujuan kebijakan sosial,

AKS, Model-model AKS, dan kerangka kerja melakukan AKS.

Batasan Kebijakan Sosial

Kebijakan sosial adalah seperangkat tindakan (course of action), kerangka

kerja (framework), petunjuk (guideline), rencana (plan), peta (map) atau strategi

yang dirancang untuk menterjemahkan visi politis pemerintah atau lembaga

pemerintah ke dalam program dan tindakan untuk mencapai tujuan tertentu di

bidang kesejahteraan sosial (social welfare). Karena urusan kesejahteraan sosial

senantiasa menyangkut orang banyak, maka kebijakan sosial seringkali

diidentikan dengan kebijakan publik (Suharto, 2005a).

107

Page 123: Edi Suharto

108 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

Di negara-negara Barat, kebijakan sosial sebagian besar menjadi

tanggungjawab pemerintah. lni dikarenakan sebagian besar dana untuk

kebijakan sosial dihimpun dari masyarakat (publik) melalui pajak. Di negara­

negara Skandinavia seperti Denmark, Swedia, dan Norwegia serta negara~

negara Eropa Barat seperti Belanda, Jerman, lnggris, dan Prancis, pelayanan­

pelayanan sosial menjadi bagian integral dari sistem 'negara kesejahteraan'

(welfare stale) yang berfungsi dalam memenuhi kebutuhan dasar di bidang

sosial dan medis untuk segala kelompok usia (anak-anak, remaja, lanjut

usia) dan status sosial ekonomi (orang kaya maupun miskin).

Namun demikian, seperti ditunjukkan oleh Tabel 8.1, terjadinya

pergeseran paradigma dalam ketatanegaraan dan kebijakan publik dari

government (pemerintah) ke governance (tatakelola pemerintahan), kebijakan

sosial dipandang bukan lagi sebagai dominasi pemerintah. Makna publik

juga bergeser dari 'penguasa orang banyak' yang diidentikkan dengan

pemerintah, ke 'bagi kepentingan orang banyak' yang identik dengan istilah

stakeholder atau pemangku kepentingan. Para analis kebijakan dan

kelompok pemikir yang independent kemudian muncul sebagai profesi

baru yang banyak berperan mengkritisi beroperasinya kebijakan sosial dan

kemudian mengajukan saran-saran perbaikannya demi terwujudnya good

governance sejalan dengan menguatnya semangat demokratisasi, civil so­

ciety dan transparansi.

Tabel8.1: Pergesearan Paradigma dalam Kebijakan Publik

ASPEK GOVERNMENT GOVERNANCE PROSES Pemerintah • Pemerintah PERUMUSAN • Stakeholder KEBIJAKAN • Ana/is Kebijakan

• Independent ThinkThank

PENETAPAN Pemerintah Pemerintah

KEBIJAKAN ANALISIS • Pemerintah • Stakeholder KEBIJAKAN • Public Contractor • Analis kebijakan

• Government • Independent ThinkThank ThinkThank

Sumber: Suharto (2005a:13)

Page 124: Edi Suharto

BAs 8 - ANALisrs KE!liJAKAN SosrAL 109

Karen a memuat kata 'sosial', kebijakan sosial mencakup bidang-bidang

kemasyarakatan yang umumnya dikategorikan sebagai 'bidang sosial' yang

luas yang mencakup kesehatan, pendidikan, perumahan, atau bahkan

makanan. Namun demikian, kebijakan sosial memiliki makna dan bidang

garapannya sendiri yang relatif berbeda dengan bidang kemasyarakatan

pada umumnya. Spieker (1995 :5) membantu mempertegas substansi

kebijakan sosial dengan menyajikan tiga karakteristik atau aras pendefinisi

kebijakan sosial.

1. Social policy is about policy. Kebijakan sosial adalah tentang 'kebijakan'. Artinya, meskipun kebijakan sosial bersentuhan dengan bidang makanan, pendidikan, dan kesehatan, ia memiliki fokus dan urusannya sendiri, yakni menyangkut urusan 'kebijakan'. Elemen utama 'kebijakan' adalah tujuan, proses implementasi dan pencapaian hasil suatu inisiatif atau keputusan kolektif yang dibuat oleh, misalnya, departemen-departemen pemerintah (pada tingkat makro) atau lembaga­lmbaga pelayanan sosial (pada skala mikro). Karenanya, meskipun kebijakan sosial tidak jarang berhubungan dengan 'makanan', ia tidak mempelajari atau mengurusi soal makanan itu sendiri; melainkan dengan regulasi dan distribusi makanan tersebut. Kebijakan sosial tidak secara langsung berhubungan dengan perkembangan anak (child development), tetapi dengan pendidikan dan pelayanan sosial untuk membantu mengatasi kesulitan anak-anak tumbuh dan berkembang. Kebijakan sosial juga tidak mengurusi persoalan kesehatan fisik -karena merupakan domain kedokteran, tetapi ia sangat berkaitan dengan kebijakan-kebijakan untuk mempromosikan kesehatan dan pemberian perawatan kesehatan, khususnya yang menyangkut jaminan sosial kesehatan (di AS disebut Medicare dan Medicaid).

2. Social policy is concerned with issues that are social. Kebijakan sosial berurusan dengan isu-isu yang bersifat sosial. Namun, seperti dijelaskan di muka, arti sosial di sini tidak bersifat luas. Melainkan merujuk pada beragam respon kolektif yang dibuat guna mengatasi masalah sosial yang dirasakan oleh publik. lsti!ah sosial menunjuk pada " ... some kind of collective social response made to perceived problems," demikian kata Spieker.

3. Social policy is about welfare. Secara luas, welfare dapat diartikan sebagai 'well-being' atau 'kondisi sejahtera". Namun, welfare juga

Page 125: Edi Suharto

110 M EMBANGUN MA.SYARAKAT MEM~ERDAYAKAN RAKYAT

berarti "The provision of social services provided by the state" dan sebagai "Certain types of benefit, especially means-tested social secu­rity, aimed at poor people".

Tujuan Kebijakan Sosial

Dalam konteks pembangunan sosial, kebijakan sosial merupakan suatu

perangkat, mekanisme, dan sistem yang dapat mengarahkan dan

menterjemahkan tujuan-tujuan pembangunan. Kebijakan sosial senantiasa

berorientasi kepada pencapaian tujuan sosial. Tujuan sosial ini mengandung

dua pengertian yang sa ling terkait, yakni: memecahkan masalah sosial dan

memenuhi kebutuhan sosial (Gambar 8.1 ).

· Memecahkan , Masalah Sosial

Memenuhi Kebutuhan

Sosial

Gambar 8.1: Tujuan Kebijakan Sosial

Tujuan pemecahan masalah sosial mengandung arti mengusahakan

atau mengadakan perbaikan karena ada sesuatu keadaan yang tidak

diharapkan (misalnya kemiskinan) atau kejadian yang bersifat destruktif

atau patologis yang mengganggu dan merusak tatanan masyarakat (misalnya

kenakalan remaja). Tujuan pemenuhan kebutuhan mengandung arti

menyediakan pelayanan-pelayanan sosial yang diperlukan, baik dikarenakan

adanya masalah maupun tidak ada masalah, dalam arti bersifat pencegahan

(mencegah terjadinya masalah, mencegah tidak terulang atau timbullagi

Page 126: Edi Suharto

BAB 8 - ANALISis KEBIJAKAN SosiAL 111

masalah, atau mencegah meluasnya masalah) atau pengembangan (meningkatkan kualitas suatu kondisi agar lebih baik dari keadaan sebelumnya). Secara lebih luas, tujuan-tujuan kebijakan sosial adalah:

1. Mengantisipasi, mengurangi, atau mengatasi masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat.

2. Memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu, keluarga, kelompok atau masyarakat yang tidak dapat mereka penuhi secara sendiri-sendiri melainkan harus melalui tindakan kolektif.

3. Meningkatkan hubungan intrasosial manusia dengan mengurangi kedisfungsian sosial individu atau kelompok yang disebabkan oleh faktor-faktor internal-personal maupun eksternal-struktural.

4. Meningkatkan situasi dan lingkungan sosial-ekonomi yang kondusif bagi upaya pelaksanaan peranan-peranan sosial dan pencapaian kebutuhan masyarakat sesuai dengan hak, harkat dan martabat kemanusiaan.

5. Menggali, mengalokasikan dan mengembangkan sumber-sumber kemasyarakatan demi tercapainya kesejahteraan sosial dan keadilan sosial.

Menurut David Gil (1973), untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan sosial, terdapat perangkat dan mekanisme kemasyarakatan yang perlu diubah, yaitu yang menyangkut pengembangan sumber-sumber, pengalokasian status dan pendistribusian hak. Ketiga aspek tersebut merupakan kerangka acuan dalam menentukan tujuan kebijakan sosial. Di samping itu, kebijakan sosial harus memperhatikan distribusi barang dan pelayanan, kesempatan, dan kekuasaan yang lebih luas, adil dan merata bagi segenap warga

masyarakat.

1. Pengembangan sumber-sumber. Meliputi pembuatan keputusan­keputusan masyarakat dan penentuan pilihan-pilihan tindakan berkenaan dengan jenis, kualitas, dan kuantitas semua barang-barang dan pelayanan··pelayanan yang ada dalam masyarakat.

2. Pengalokasian status. Menyangkut peningkatan dan perluasan akses serta keterbukaan kriteria dalam menentukan akses tersebut bagi selu­ruh anggota masyarakat. Kebijakan sosial harus memiliki efek pada

Page 127: Edi Suharto

112 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

penghilangan segala bentuk diskriminasi. Kebijakan sosial harus mendorong bahwa semua anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan, pekerjaan yang layak, berserikat dan berkumpul dalam organisasi sosial, tanpa mem­pertimbangkan usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, ras, suku bangsa dan agama.

3. Pendistribusian hak. Menun_iuk pada perluasan kesempatan individu dan kelompok dalam mengontrol sumber-sumber material dan non material. Apakah semua anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama dalam berpartisipasi dan mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang menyangkut kehidupan mereka? Sejauhmana individu dan kelompok dapat mengontrol distribusi dan kesempatan dalam pengambilan keputusan-keputusan penting dalam kehidupannya? Dengan kata lain, pendistribusian hak berkaitan dengan pendistribusian kekuasaan atau penguasaan sumber-sumber yang lebih adil. Selain itu, pendistribusian hak juga menunjuk pada usaha-usaha pemerataan sumber-sumber dari golongan kaya ke golongan miskin.

Analisis Kebijakan Sosial

Mengacu pada definisi kebijakan publik dari Dunn (1991 ), AKS adalah

ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan

argumentasi untuk menghasilkan informasi yang relevan dalam menganalisis

masalah-masalah sosial yang mungkin timbul akibat diterapkannnya suatu

kebijakan. Ruang lingkup dan metoda analisis kebijakan umumnya bersifat

deskriptif dan faktual mengenai sebab-sebab dan akibat-akibat suatu

kebijakan. AKS, merujuk Quade (1995), adalah suatu jenis penelaahan

yang menghasilkan informasi sedemikian rupa yang dapat dijadikan dasar­

dasar pertimbangan para pembuat kebijakan dalam memberikan penilaian­

penilaian terhadap penerapan kebijakan sehingga diperoleh alternatif­

alternatif perbaikannya. Kegiatan penganalisisan kebijakan dapat bersifat

formal dan hati-hati yang melibatkan penelitian mendalam terhadap isu­

isu atau masalah-masalah yang berkaitan dengan evaluasi suatu program

yang akan maupun telah dilaksanakan. Namun demikian, beberapa kegiatan

analisis kebijakan dapat pula bersifat informal yang melibatkan tidak lebih

Page 128: Edi Suharto

BAB 8 - ANALISIS KEBIJAKAN SOSIAL 113

dari sekadar kegiatan berfikir secara cermat dan hati-hati mengenai dampak­

dampak kebijakan terhadap kehidupan masyarakat.

Dengan demikian, AKS dapat diartikan sebagai usaha yang terencana

dan sistematis dalam membuat analisis atau asesmen akurat mengenai

konsekuensi-konsekuensi kebijakan sosial, baik sebelum maupun sesudah

kebijakan tersebutdiimplementasikan (Suharto, 2004a; lihatSheafor, Horejsi

dan Horejsi, 2000).

Model Analisis Kebijakan

Menurut Dunn (1991: 51-54), ada tiga bentuk atau model analisis kebijakan,

yaitu model prospektif, model retrospektif dan model integratif. Gambar

4.2 memvisualkan model analisis kebijakan.

Gambar 4.2: Model Analisis Kebijakan

KONSEKUENSI-KONSEKUENSI KEBIJAKAN

Model Prospektif

Model lntegratif

Sumber: Suharto (2005a:86)

Model Retrospekt

1 . Model prospektif adalah bentuk analisis kebijakan yang mer:tgarahkan kajiannya pada konsekuensi-konsekuensi kebijakan 'sebelum' suatu kebijakan diterapkan. Model ini dapatdisebutsebagai model prediktif, karena seringkali melibatkan teknik-teknik peramalan (forecasting) untuk memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang akan tirnbul dari suatu kebijakan yang akan diusulkan. ·

Page 129: Edi Suharto

114 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

2. Model retrospektif adalah anal isis kebijakan yang dilakukan terhadap akibat-akibat kebijakan 'setelah' suatu kebijakan diimplementasikan. Model ini biasanya disebut sebagai model evaluatif, karena banyak melibatkan pendekatan evaluasi terhadap dampak-dampak kebijakan yang sedang atau telah diterapkan.

3. Model integratif adalah model perpaduan antara kedua model di atas. Model ini kerap disebut sebagai model komprehensif atau model holistik, karena analisis dilakukan terhadap konsekuansi-konsekuensi kebijakan yang mungkin timbul, baik 'sebelum' maupun 'sesudah' suatu kebijakan dioperasikan. Model analisis kebijakan ini biasanya melibatkan teknik-teknik peramalan dan evaluasi secara terintegrasi.

Kerangka Analisis

Penelaahan terhadap kebijakan sosial, baik menggunakan model prospektif,

retrospektif, maupun integratif, didasari oleh oleh prinsip-prinsip atau

patokan-patokan umum yang membentuk kerangka analisis. Kerangka

anal isis tersebut secara umum berpijak pada dua pedoman, yaitu 'fokus'

dan 'parameter' analisis. Analisis kebijakan dapat difokuskan ke dalam

berbagai aras. Namun, tiga fokus utama yang umumnya dipilih dalam

anal isis kebijakan sosial meliputi:

1. Definisi masalah sosial. Perumusan atau penyataan masalah sosial yang akan direspon atau ingin ditanggulangi oleh kebijakan.

2. lmplementasi kebijakan sosial. Pernyataan mengenai cara atau metoda dengan mana kebijakan sosial tersebut diimplementasikan atau diterapkan. lmplementasi kebijakan juga mencakup pengoperasian alternatif kebijakan yang dipilih melalui beberapa program atau kegiatan.

3. Akibat-akibat kebijakan sosial. Berbagai pertimbangan mengenai konsekuensi-konsekuensi kebijakan atau akibat-akibat yang mungkin timbul sebagai dampak diterapkannya suatu kebijakan sosial. Konsekuensi atau dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan bisa bersifat positif (manfaat), maupun negatif (biaya). Akibat kebijakan bisa diprediksi sebelt.;m kebijakan diimplementasikan (model prospektif), sesudah diimplementasikan (model retrospektif), ataupun sebelum dan sesudah diimplementasikan (model integratif).

Page 130: Edi Suharto

BAB 8 - ANALISIS KEBIJAKAN SOSIAL 115

Dalam menganalisis ketiga fokus tersebut, diperlukan pendekatan atau

parameter anal isis yang dapat dijadikan basis bagi pengambilan keputusan

atas pilihan-pilihan kebijakan.

1. Penelitian dan rasionalisasi yangdilakukan untuk menjamin keilmiahan dari anal isis yang dilakukan. Penelitian dan rasionalisasi merupakan dua aspek yang berbeda, namun saling terkait. Penelitian menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh melalui observasi dan eksperimen yang dapat membantu membuat pilihan-pi!ihan kebijakan. Rasionalisasi menunjuk pada logika dan konsistensi internal. Misalnya, apakah berbagai bagian kebijakan b~rkaitan secara rasional? Apakah kebijakan sudah bersifat konsisten secara logis dan internal?

2. Orientasi nilai yang dijadikan patokan atau kriteria untuk menilai kebijakan sosial tersebut berdasarkan nilai baik dan buruk. Nilai-nilai merupakan keyakinan dan opini masyarakat mengenai baik dan buruk. Nilai juga merupakan sesuatu yang diharapkan atau kriteria untuk membuat keputusan mengenai sesuatu yang diharapkan.

3. Pertimbangan politik yang umumnya dijadikan landasan untuk menjamin keamanan dan stabilitas. Politik berkenaan dengan suatu cara bagaimana kebijakan-kebijakan dirumuskan, dikembangkan dan diubah dalam konteks demokrasi. Lebih khusus lagi, politik menunjuk pada individu-individu dan kelompok-kelompok kepentingan yang berpartisipasi atau berusaha mempengaruhi proses perumusan dan pengembangan kebijakan.

Kerangka analisis dari Quade (1 995:172-173) yang disajikan Tabel

8.2 memberikan pedoman dalam menelisik pendefinisian masalah sosial,

implementasi kebijakan sosial dan akibat-akibat kebijakan dilihat dari tiga

parameter: penelitian, nilai dan politik.

Page 131: Edi Suharto

116 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

label 8.2: Kerangka Analisis Kebijakan Sosial

Parameter Fokus Penelitian & Nilai-Nilai Politik Rasionalisasi

DEFINISI . Apakah definisi . Apakah ini . Apakah definisi KEBI)AKAN SOSIAL masalah sudah merupakan masalah masalah secara • Apa masalah rasional dan sosial yang pentingl politik dapal

sosialnyal konsisten dengan . Nilai-nilai apa yang diterimal • Faktor apa yang penelitian yang ada I penting dalam . lndividu alau

mempengaruhi . Apakah definisi melakukan seleksi kelompok mana masalah tersebut kelompok sasaran kelompok sasaranl yang mendukung

• Siapa yang pada tingkal Apakah nilai-nilai dan menentang terpengaruh generalisasi tertentu tersebut sudah pendefinisian secara langsung sudah sesuai dengan sesuailtepatl kelompok sasaranl oleh masalah penelitianl . Nilai-nilai apa yang Apa akibatnya tersebutl . Apakah kriteria yang penting dalam lerhadap

digunakan untuk menentukan pendefinisian menyeleksi kelompok penyebab masalahl masalah sosial? sasaran didukung Apakah nilai-nilai . Apa akibal oleh rasionalisasi dan tersebut sudah tepatl penentuan penelitianl penyebab masalah . Apakah penelitian lersebut terhadap yang ada mendukung individu atau penyebab masalah? kelompok sasaran?

IMPLEMENT AS! . Apakah tujuan . Nilai-nilai apa yang . Seberapa besar KEBI)AKAN SOSIAL kebijakan konsislen mempengaruhi tingkal kekuasaan • Apa tujuan dengan penelitian tujuan kebijakanl yang menentang

kebijakan sosial? dan pendefinisian Apakah nilai-nilai kebijakanl • Program dan masalahl lersebul sudah lepat? Bagaimana hal ini

pelayanan sosial . Apa bentuk . Apakah kebijakan mempengaruhi apa yang pelayanan sosial yang memperlakukan klien kebijakanl diberikan? diberikan? Apakah secara tepal sesuai . Adakah dukungan

• Bagaimana pene!itian dengan kesamaan, yang memadai slruklur mendukung kesetaraan, yang dapal organisasinyal pelayanan sosial yang kelayakan dan memungkinkan

• Bagaimana dipilihl. penentuan nasib kebijakan kebijakan tersebut . Apakah struktur sendiri klienl dilerapkan? didanail organisasi sudah . Apakah struktur . lndividu dan

sesuai dengan organisasi kelompok mana kebijakannya? mendukung efektifitas yang akan . Apakah pendanaan dan efisiensi diuntungkan oleh memadai, pemberian kebijakan inil Apa teramalkan, dan pelayananl dampaknya bagi lersedia sesuai . Apakah pendanaan implementasi dengan penelilian memadai, kebijakanl dan rasionalisasil teramalkan, dan . Apakah pendanaan

tersedia sejalan memadai, dengan nilail teramalkan, dan

tersedia sejalan den~an polilikl

KONSEKUENSI . Apakah keuntungan . Apakah keuntungan . Apakah KEBI)AKAN SOSIAL dan kerugian sejalan dan kerugian sejalan keuntungan dan • Apa keuntungan dengan penelitian dengan nilai-nilail. kerugian sejalan

dan kerugian dan rasionalisasil . Apa konsekuensi dengan politikl kebijakanl . Apa konsekuensi yang diharapkan dan . Bagaimana

• Apa konsekuensi yang diharapkan dan tidak diharapkan dari dukungan dan kebijakan bagi tidak diharapkan dari kebijakan dalam penentangan

• klien, sistem kebijakan dalam kaitannya dengan terhadap kebijakan sosial, dan sistem kaitannya dengan niiJi? pada lingkal pelayanan sosial? penelilian dan masyarakat

rasionalisasi? mempengaruhi pemberian pelayanan?

Sumber: dikembangkan dari Quade (1995: 172-173)

Page 132: Edi Suharto

Monitoring dan Evaluasi Program

Monitoring dan evaluasi (monev) adalah kegiatan yang sangat penting dalam proses pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Dengan adanya monev, maka akan diketahui sejauh mana efektivitas dan efisiensi program sosial yang diberikan. Apa itu monev, prinsip-prinsip monev, proses monev, desain monev, dan indikator monev adalah beberapa tema

yang disajikan bab ini.

Apa Itu MONEV?

Monev dalam konteks pembangunan kesejahteraan sosial (PKS) mencakup pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: Apakah program sosial sudah mencapai tujuan yang diharapkan? Apakah cakupan program sosial sudah mampu menjangkau sasaran pelayanan (target groups) secara maksimal? Apakah metode atau cara-cara pemberian pelayanan sosial dapat diterapkan

sesuai dengan pendekatan yang dipi lih? Apakah surnber-sumber pelayanan sosial, termasuk tenaga pelaksana, dapat diperoleh dan dipergunakan sesuai dengan sasaran pelayanan? Apakah indikator-indikator keberhasilan pelayanan sosial dapat disusun dan diterapkan dalam proses monev? Apa saja kekuatan dan kelemahan pelayanan sosial yang diberikan dan apa saja rekomendasi yangdapatdiusulkan bagi perbaikan-perbaikan pelayanan sosial di masa yang akan datang?

Monev merupakan dua istilah yang senantiasa dipadukan dan bahkan pengertian keduanya sering dipertukarkan. Bank Dunia (2002) dan Owen dan Rogers (1999) misalnya, menyamakan pengertian monitoring dan

117

Page 133: Edi Suharto

118 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMilERDAYAKAN RAKYAT

evaluasi. Sekurang-kurangnya ban yak ahli yang tidak melihat monev sebagai

dua kegiatan yang terpisah satu sama lain. Namun demikian, kita dapat

membedakan pengertian monitoring dan evaluasi.

Monitoring

Monitoring adalah pemantauan secara terus menerus proses perencanaan

dan pelaksanaan kegiatan. Monitoring dapat dilakukan dengan cara

mengikuti langsung kegiatan atau membaca hasillaporan dari pelaksanaan

kegiatan (Marjuki dan Suharto, 1996). Evaluasi adalah mengukur berhasil

tidaknya program yang dilaksanakan, apa sebabnya berhasil dan apa

sebabnya gaga!, serta bagaimana tindak lanjutnya. Kegiatan evaluasi

senantiasa didasarkan atas hasil dari monitoring (Marjuki dan Suharto,

1996). Monitoring adalah proses pengumpulan informasi mengenai apa

yang sebenarnya terjadi selama proses implementasi atau penerapan pro­

gram. Tujuan monitoring adalah untuk:

1. Mengetahui bagaimana masukan (inputs) sumber-sumber dalam rencana digunakan.

2. Bagaimana kegiatan-kegiatan dalam implementasi dilaksanakan.

3. Apakah rentang waktu implementasi terpenuhi secara tepat atau tidak.

4. Apakah setiap aspek dalam perencanaan dan implementasi berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

Monitoring sering dipandang sebagai pengukuran kuantitas yang

berkaitan dengan bagaimana pencapaian keselarasan antara sumber-sumber

yang digunakan dan waktu yang ditetapkan. Monitoring merupakan aktivitas

yang berkelanjutan yang terutama dimaksudkan untuk memberikan informasi . .

terhadap per~ncana dalam mengidentifikasi perubahan-perubahan ~ang

terjadi dalam tahap implementasi. Monitoring merupakan m~kanisme yang

. digunakan untuk mengoreksi penyimpangan-penyimpangan (deviations)yang ' .... -1 .•

~ungkin tinibul dalam suatu kegiatan dengan m~mbandingkan antara apa

yang diharapkan dan apa yang dilakukan.

Page 134: Edi Suharto

BAB 9 - MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM 119

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa monitoring pada dasarnya

merupakan pemantauan suatu kegiatan proyek atau program sosial yang

dilaksanakan pada saat kegiatan tersebut sedang berlangsung. Sedangkan

evaluasi adalah pemantauan suatu kegiatan proyek atau program sosial

yang dilakukan pada saat kegiatan tersebut telah berakhir atau dilakukan

sekurang-kurangnya setelah program tersebut telah berjalan beberapa saat

(misalnya tiga bulan, satu semester atau enam bulan, satu tahun).

Evaluasi

Evaluasi adalah pengidentifikasian keberhasilan dan/atau kegagalan suatu

rencana kegiatan atau program. Secara umum dikenal dua tipe evaluasi,

yaitu: on-going evaluation atau evaluasi terus-menerus dan ex-post evalu­

ation atau evaluasi akhir. Tipe evaluasi yang pertama dilaksanakan pada

interval periode waktu tertentu, misalnya per tri wulan atau per semester

selama proses implementasi (biasanya pada akhir phase atau tahap suatu

rencana). Tipe evaluasi yang kedua dilakukan setelah implementasi suatu

program atau rencana. Berbeda dengan monitoring, evaluasi biasanya

lebih difokuskan pada pengidentifikasian kualitas prcgram. Evaluasi berusaha

mengidentifikasi mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada pelaksanaan

atau penerapan program. Evaluasi bertujuan untuk:

1. · Mengidentifikasi tingkat pencapaian tujuan.

2. Mengukur dampak langsung yang terjadi pada kelompok sasaran.

3. Mengetahui dan menganalisis konsekuensi-konsekuensi lain yang mungkin terjadi di luar rencana (externalities).

Prinsip-prinsip MONEV

Hal yang paling mendasar dalam melakukan monev adalah mengetahui

terlebih dahulu kegiatan dan objek apa saja yang dapat dijadikan bahan

atau sasaran monev. Menurut Owen dan Rogers (1999) ada 5 objek atau

sasaran yang dapat dijadikan bahan monev:

Page 135: Edi Suharto

120 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

1. Program. Program adalah seperangkat aktivitas atau kegiatan yang ditujukan untuk mencapai suatu perubahan tertentu terhadap kelompok sasaran tertentu.

2. Kebijakan. Kebijakan adalah ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu (Suharto, 1997:1 08).

3. Organisasi. Organisasi adalah sekumpulan dua orang atau lebih yang bersepakat untuk melakukan kegiatan tertentu demi mencapai tujuan­tujuan yang telah ditetapkan. Perusahaan, departemen pemerintahan atau lembaga swadaya masyarakat adalah beberapa contoh organisasi.

4. Produk atau hasil. Produk adalah keluaran atau output yang dihasilkan dari suatu proses kegiatan tertentu. Misalnya, buku atau pedoman pelatihan, barang-barang, makanan, sapi atau kambing yang diberikan kepada klien dalam suatu pelayanan sosial.

5. lndividu. lndividu yang dimaksud dalam hal ini adalah orang atau man usia yang ada dalam suatu organisasi atau masyarakat. Umumnya, monev terhadap individu difokuskan kepada kemampuan atau r)erforma yang dimiliki oleh orang yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas-tugas tertentu dalam organisasi atau masyarakat.

Monev yang berkaitan dengan program sosial pada hakekatnya menekankan bahwa prinsip utama monev adalah untuk meningkatkan kualitas pembuatan keputusan. Misalnya, keputusan yang menyangkut jenis pelayanan sosial yang akan diberikan, sasaran yang akan menerima pelayanan sosial, serta metode pendistribusian pelayanan sosial tersebut.

Oleh karena itu, kegunaan utama dari data monev adalah sebagai input

atau masukan bagi proses pembuatan keputusan. Dalam konteks ini maka monev dapat diartikan sebagai proses penilaian terhadap pentingnya suatu pelayanan sosial. Penilaian ini dibuatdengan cara membandingkan berbagai bukti (evidence) yang berkaitan dengan apakah program telah sesuai dengan kriteria (criteria) yang ditetapkan dan bagaimana seharusnya program tersebut harus dibuat dan diimplementasikan (Boyle, 1981 ). Berdasarkan konsepsi ini, maka monev pada prinsipnya menunjuk pada sebuah proses pembuatan keputusan yang melibatkan kriteria, bukti dan penilaian. Secara sederhana,

Page 136: Edi Suharto

BAB 9 - MONITORING DM EVALUASI PROGRAM 121

prinsip-prinsip di atas dapat diilustrasikan ke dalam Gambar 9.1 di bawah

ini (lihat Boyle, 1981 :226-228).

I Kriteria ,;1 ~ r-1 :--:-11:M'i-e'-,-fr1,_b.· -,-a. h-d-in .. -:-. 9-.k--,-a n--,·.· H · P · ·1 '' '' · ·1 ~ . . em a1a[l ·.

r--s-u-,-kt,----i __,~, 1 /

Gambar 9.1: Prinsi-prinsip MONEY

1. Penetapan kriteria (criteria), yakni standar-standar tertentu yang akan dijadikan patokan dalam melakukan penilaian. Orang yang akan melakukan monev harus memiliki gambaran yang jelas mengenai apa yang "seharusnya" (what should be). Mereka harus mengetahui standar­standar, norma-norma atau pernyataan-pernyataan deskriptif yang dinamakan kriteria. Kriteria harus diseleksi sesuai dengan jenis keputusan-keputusan yang harus dibuat oleh pelaku monev. Kriteria adalah ukuran-ukuran untuk menilai sesuatu. Kriteria dapat berbentuk aturan-aturan, standar-standar, norma-norma, objek-objek, atau kondisi-kondisi perilaku yang dianggap "baik" atau "ideal". Kriteria memberikan keterangan atau gambaran mengenai seperti apakah sebuah program itu dianggap baik, karenanya menunjukan sebuah nilai terhadap sebuah fenomena yang berkaitan dengan program (Boyle, 1981 :226).

2. Pengurnpulan bukti (evidence). Bukti adalah indikasi atau tanda penunjuk. Dalam konteks monev, bukti terdiri dari: (a) tindakan­tindakan, kata-kata, angka-angka atau benda-benda yang memberikan petunjuk atau indikasi; (b) sesuatu yang dapat dijadikan "saksi" mengenai tingkat kualitas program; dan (c) sesuatu yang dapat dibuat sebuah pola atau model yang kemudian dapat memberikan gambaran atau patokan untuk menilai tingkatan kriteria yang akan dicapai.

3. Penilaian (judgement) mengenai perbandingan (comparison) antara bukti dan kriteria. Penilaian adalah bagian dari proses monev dengan mana kesimpulan-kesimpulan alternatif dapat diajukan, keputusan dapat dibuat, dan nilai dapat ditunjukkan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Penilaian program pada hakekatnya menyangkut

Page 137: Edi Suharto

122 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

keputusan-keputusan mengenai seberapa jauh atau seberapa baik sebuah program telah memenuhi kriteria dan karenanya dapat diketahui

. seberapa tinggi nilai dari program tersebut. Penilaian dibuat oleh orang dan karenanya sangat bergantung pada orang-orang yang ' melakukannya. Penilaian juga dipengaruhi oleh pengalaman~ pengalaman masa lalu serta keyakinan-keyakinan individu yang melakukannya. Penilaian dapat bersifat terperc:aya (reliable), sahih (valid) dan objektif, namun dapat pula bersifat sangat bias atau subjektif. Penilaian sangat tergantung pada. seberapa jauh individu­individu yang melakukd.nnya dapat mengontrol kegiatan penilaian dan menyaring faktor-faktor yang dapat menimbulkan bias atau subjektivitas. Sebuah peni laian program yang akurat san gat tergantung kepada kriteria yang jelas dan bukti yang terpercaya. Namun demikian, selalu ada saja kemungkinan di mana beberapa alternatif kesimpulan dapat dibuat. Seorang penilai yang melakukan monev harus mempertimbangkan alternatif-alternatif tersebut sebelum mencapai sebuah keputusan atau kesimpulan akhir.

Proses MONEV

Mengapa pengetahuan mengenai proses monev sangat penting? Proses

monev yang baik dapat memberikan kerangka kerja (blueprint) yang jelas

bagi tim monev dalam menjalankan tugasnya. Pengalaman menunjukkan

bahwa proses monev sangat menentukan kualitas, relevansi dan kegunaan

hasil monev(World Bank, 2002). Monevdapatdilakukan melalui beberapa

langkah kegiatan. Langkah-langkah kegiatan ini tidak bersifat kaku, namun

dapat disesuikan dengan keadaan dan kebutuhan. Sebagai acuan, ada 10

langkah pelaksanaan monev (lihat USAID, 1996).

1. Menentukan jenis-jenis dan skope atau ruang lingkup kegiatan yang akan dinilai. Pada tahap ini harus ditentukan apakah kegiatan yang akan dievaluasi bersifat tunggal atau terdiri dari berbagai kegiatan yang saling terkait satu sama lain. Jelaskan nama, judul atau yang berwenang dalam kegiatan yang akan dievaluasi. ldentifikasi pula jumlah, tingkat dan sumber dana, tanggal awal dan akhir kegiatan dan penjelasan ringkas mengenai aspek-aspek apa saja dari kegiatan tersebut yang akan dievaluasi.

Page 138: Edi Suharto

BAB 9 - MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM 123

2. Menjelaskan secara ringkas latar belakang dan sejarah kegiatan atau program yang akan dievaluasi. Dalam latar belakang ini dapat pula dijelaskan nama-nama lembaga pelaksana dan organisasi-organisasi yang terlibat serta informasi lain yang dapat membantu tim monev memahami konteks kegiatan yang akan dinilai. Beberapa hal yang perlu diperhatikan menyangkut pertanyaan berikut ini: Siapa yang menginginkan informasi dari hasil monev ini? Apa yang mereka ingin ketahui? Untuk apa informasi monev ini akan digunakan? Kapan informasi tersebut diperlukan? Seberapa akurat informasi tersebut harus dibuat?

3. Mengidentifikasi sumber-sumber informasi mengenai kinerja kegiatan yang telah berlangsung. Data sekunder ini dimaksudkan untuk mengetahui sistem-sistem monev atau laporan-laporan monev terdahulu. Sebuah ringkasan mengenai jenis-jenis data yang sudah tersedia, kerangka waktu, dan indikasi mengenai kualitas suatu kegiatan dapat membantu tim monev dalam mengidentifikasi informasi apa saja yang telah ada dan apa yang telah terjadi pada kegiatan yang akan dievaluasi.

4. Menentukan tujuan Monev. Sebuah monev dapat dilakukan dengan baik jika memiliki tujuan yang je!as mengenai apa yang ingin dicapai oleh kegiatan monev tersebut. Secara garis besar tujuan monev dalam kaitannya dengan kegiatan pelayanan sosial menyangkut beberapa aspek sebagai berikut: (a) penentuan hasil-hasil yang telah dicapai oleh suatu program sesuai dengan kriteria; (b) pengujian validitas asumsi-asumsi dan hipotesisi-hipotesis yang rnendasari kerangka kerja monev; (c) penentuan seberapa jauh kepuasan klien telah terpenuhi; (d) pengidentifikasian dampak-dampak tidak langsung yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan; (e) pengujian keberlangsungan program dan hasil­hasilnya; (f) pengujian efektivitas strategi-strategi lembaga dalam mengimplementasikan program-program kegiatannya.

5. Merumuskan pertanyaan-pertaoyaan monev. Pertanyaan harus jelas dan terfokus. Pertanyaan yang mengambang dapat menimbulkan jawaban yang mengambang pula. Batasi jumlah pertanyaan sesuai dengan parameter atau variabel yang perlu diukur. Terlalu banyak pertanyaan dapat menimbulkan tidal~ terf<2kusnya informasi yang dikumpu lkan. Hindari pula pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya sudah dan mudah d.iketahui secara umum.

Page 139: Edi Suharto

124 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

6. Menentukan metode atau teknik-teknik monev. Beberapa hal yang perlu diketahui adalah: (a) desain strategi secara umum yang akan diterapkan dan bagaimana strategi tersebut sejalan dengan pertanyaan-. pertanyaan monev yang telah disusun (pada point 5); (b) Dari siapa data akan dikumpulkan; (c) Bagaimana data tersebut diperoleh; dan (d) Bagaimana data tersebut akan dianalisis.

7. Menentukan komposisi dan partisipasi tim pelaksana. ldentifikasi jumlah tim, kualifikasi dan keterampilan para anggota tim, termasuk partisipasi yang diharapkan dari mereka. Monev yang baik biasanya sangat tergantung dari komposisi tim. Tim monev yang berasal dari berbagai latar-belakang pendidikan dan pengalaman sangatdianjurkan, termasuk seorang spesilias teknis dan sekurang-kurangnya seorang spesialis monev.

8. Menentukan prosedur, jadwal dan logistik. Kaji berbagai prasyarat prosedural sebuah monev, termasuk jadwal dan logistik yang diperlukan. Aspek-aspek yang perlu diperhatikan meliputi: (a) jadwal umum pelaksanaan monev seperti lamanya pelaksanaan monev dan waktu penyerahan laporan monev; (b) jam kerja, hari-hari libur; (c)

dokumen-dokumen perjalanan yang diper!ukan, seperti tiket bus, KA atau pesawat udara, booking dan tiket penginapan; (d) kondisi-kondisi cuaca, perjalanan, sosial-budaya yang mungkin mempengaruhi pengumpulan data; (e) ketersediaan petugas pembantu atau pendamping, seperti penunjuk jalan, penterjemah, asisten pengumpul data, pengolah data, supir dan lain-lain; (f) ketersediaan fasilitas dan alat-alat penunjang, seperti mobil, handphone, komputer laptop, tape recorder, kalkulator dan sarana yang diperlukan lainnya; (g) prosedur­prosedur untuk merancang pertemuan, wawancara, seminar.

9. Anggaran. Dalam rencana anggaran dapat dirancang dari mana sumber pendanaan akan diperoleh dan untuk apa saja dana tersebut akan digunakan. Perkirakan biaya yang diperlukan untuk kegiatan monev, termasuk biaya-biaya untuk konsultan, pembuatan laporan, biaya perjalanan, hotel dan sebagainya.

1 0. Melakukan pengumpulan data dan menyiapkan sistem pelaporannya. Setelah semua persiapan dianggap matang maka monev dapat dilakukan. Hal ini terutama menyangkut lpelaksanaan pengumpulan data di lapangan sesuai dengan metode dan teknik-teknik monev yang dipilih. Selanjutnya, semua kegiatan monev tersebut harus

r':!l,

Page 140: Edi Suharto

BAs 9- MoNITORING OAN EvALUASI PROGRAM 125

dihimpun dan disusun ke dalam sebuah laporan yang memaparkan hasil-hasil temuan, kesimpulan dan rekomendasi. Hal-hal yang perlu .diperhatikan adalah: (a) kapan dan berapa lama proses pengumpulan data akan dilakukan; (b) kapan laporan awal harus sudah disusun, berapa buah laporan harus disiapkan, dan kapan seminar hasil pelaporan tersebut akan dilakukan.

Desain MONEV

Format monev dapat diklasifikasikan ke dalam tiga aspek penting yang

harus dicakup dalam monev, yaitu; (a) tujuan dan orientasi monev; (b)

isu-isu penting yang sejalan dengan masing-masing tujuan; dan (c)

pen~ekatan-pendekatan umum dalam melaksanakan monev. Format monev

dal~m materi ini akan difokuskan pada pengevaluasian dampak yang oleh

Owen dan Rogers (1999) dinamakan Impact Evaluation.

1. Tujuan atau orientasi monev. Monev dilakukan untuk menaksir dampak dari suatu pelayanan sosial. Misalnya, untuk mengetahui dampak yang dihasilkan dari program pendidikan orang dewasa dalam hal kemampuan membaca dan menu lis. Tujuan dari monev difokuskan pada tingkat kernampuan membaca dan menulis peserta program; berapa banyak peserta yang kini meningkat kemampuan membaca dan menulis, termasuk pengaruh-pengaruh tidak langsung dari pro­gram yang diberikan (kepercayaan diri peserta program, peningkatan kemampuan berelasi sosial dengan tetangga dan lain-lain).

2. lsu-isu penting yang perlu diperhatikan dalam kegiatan monev ini, meliputi: (a) apakah program telah diimplementasikan sesuai dengan rencana?,(b) apakah tujuan program telah dicapai? (c) apakah kebutuhan­kebutuhan klien yang ingin dipenuhi oleh program ini telah tercapai? (d) apa saja pengaruh-pengaruh tidak langsung dari program ini? (e)

.apakah startegi yang diterapkan telah mengarah pada hasil-hasil yang ingin dicapai? (f) bagaimanakah perbedaan-perbedaan dalam implementasi telah berpengaruh terhadap hasil-hasil program? (g)

apakah program teleh memenuhi kriteria efektivitas biaya (cost effec­tive)?

3. Pendekatan-pendekatan yang sesuai dengan format ini, meliputi: (a)

Evaluasi Berbasis Tujuan (objective-based evaluation), yaitu penilaian

Page 141: Edi Suharto

126 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

program berdasarkan tujuan yang dinyatakan; (b) Studi Proses-Hasil (process-outcomes studies), mengevaluasi bukan hanya hasil-hasil program, melainkan pula proses atau tingkat penerapan dari program tersebut; (c) Evaluasi Berbasis Kebutuhan (need-based evaluation) adalah · penilaian program berdasarkan tingkat pemenuhan kebutuhan klien yang mampu dicapai oleh suatu program; (d) Evaluasi Tujuan Bebas (goal-free evaluation) adalah pengevaluasian dampak tidak langsung dari suatu program; di mana evaluasi diarahkan bukan pada tujuan­tujuan program yang dinyatakan, melainkan pada hasil-hasil pro­gram; (e) Audit Kinerja (performance audit)

Indikator

Dalam realitasnya, pengukuran keefektifan suatu program sosial sangat

ditentukan oleh kualitas masukan data. Karenanya monev terhadap pro­

gram sosial tidak dapat dilepaskan dari metode statistik dan prosedur

penelitian sosial, seperti teknik pengumpulan data, analisis, presentasi

data serta metodologi survey sosial. Satu hal yang sangat penting dalam

kaitannya dengan pelaksanaan monev ini adalah penentuan indikator dan

variabel sosial yang akan dijadikan tolok ukur terutama dalam menganalisis

dampak implementasi suatu program sosial.

Secara umum, indikator dapat didefinisikan sebagai suatu alat ukur

untuk menunjukkan atau menggambarkan suatu keadaan dari suatu hal

yang menjadi pokok perhatian. lndikator dapat menyangkut suatu fenomena

sosial, ekonomi, penelitian, proses suatu usaha peningkatann kualitas .

. lndikator dapat berbentuk ukuran, angka, atribut atau pendapat yang dapat

menunjukkan suatu keadaan. lndikator seringkali dirumuskan dalam bentuk

variabel yang dapat digunakan untuk mengevaluasi keadaan atau status

dan memungkinkan dilakukannya pengukuran terhadap perubahan­

perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu (Depkes, 2001 :1 0). Misalnya:

'kecantikan' dapat diukur oleh tiga variabel, yakni 38; Brain (kecerdasan),

Behavior (perilaku) dan Beauty (penampilan fisik) (Suharto, 2005d).

lndikator digunakan apabila aspek yang akan dinilai perubahannya

tidak dapat secara langsung dilihat seperti halnya tinggi badan, berat badan

Page 142: Edi Suharto

BAB 9 ·· MoNITORING DAN EvA~UASr PROGRAM 127

atau harga suatu barang yang secara kuantitatif mudah diukur (Surbakti,

1996 dalam Suharto, 1997).

lndikator sosial pada dasarnya menunjuk pada definisi operasional

atau bagian dari definisi operasional dari suatu konsep utama yang

memberikan gambaran sistem informasi tentang suatu sistem sosial. Konsep­

konsep pokok yang menggambarkan kedudukan indikator dalam suatu

sistem sosial dapat digolongkan sebagai berikut (Suharto, 1997):

1. Komponen sistem yang terdiri atas subsistem yang saling berkaitan dan membentuk struktur sistem. Untuk sub-sub sistem tersebut diharapkan dapatdioperasionalkan dengan menggunakan istilah terukur dalam bentuk indikator-indikator.

2. Tujuan sistem, yaitu suatu keadaan yang dikehendaki oleh anggota­anggota sistem dengan kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan sistem.

3. Bidang-bidang masalah yang dioperasionalkan dalam bentuk data pada suatu waktu tertentu dan segera memerlukan penanganan.

4. Tujuan kebijakan, yakni kondisi sosial yang dikehendaki oleh pembuat kebijakan.

Sesuai dengan penggolongan tersebut, maka indikator sosial dalam

monev dapat digunakan menu rut fungsinya, yaitu:

1. lndikator informatif. lndikator yang digunakan untuk memberikan gambaran tentang kondisi kesejahteraan masyarakat, sejauh mana kesejahteraan masyarakat telah tercapai, dan kebutuhan apalagi yang masih belum terpenuhi yang mungkin dapat dikembangkan melalui program sosial yang diperlukan.

3. lndikator prediktif. lndikator yang digunakan untuk merancang pro­gram apa saja yang dapat dilaksanakan untuk mencapai tujuan tertentu.

4. lndikator yang berorientasi masalah. lndikator yang digunakan untuk menggambarkan seberapa besar masalah yang masih dihadapi dalam suatu masyarakat.

5. lndikator evaluasi kebijakan. lndikator yang digunakan untuk mengevaluasi suatu kebijakan tertentu, sejauhmana tujuan tercapai , sejauhmana suatu kebijakan itu efektif, dan sejauh mana kebijakan di laksanakan secara efisien.

Page 143: Edi Suharto

128 MEMBANGUN MASYARAI<AT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

Selain itu, indikator juga bisa dikelompokkan ke dalam dua kategori,

yaitu indikator kinerja dan indikator hasil atau keluaran (Suharto, 2005d):

1. lndikator Kinerja: mengindikasikan keadaan masukan dan proses pelayanan sosial yang dilakukan oleh lembaga dan aktor-aktor yang terkait.

2. lndikator Keluaran: menunjukkan hasillangsung (output) maupun tidak langsung atau dampak (outcome) dari suatu kegiatan pelayanan

Kriteria lndikator

Karena fenomena sosial bersifat multidimensional, kita tidak selalu mudah

untuk membuat indikator secara tepat dan objektif. lni dikarenakan yang

kita hadapi tidak hanya cara mengukur masing-masing dimensi, tetapi

juga bagaimana keseluruhan dimensi dapat direpresentasikan dalam satu

ukuran. Banyak kriteria tentang pemilihan indikator yang dikemukakan

oleh para ahli, namun demikian beberapa kriteria dasar yang digunakan

umumnya tidak berbeda. Seperti namanya, indikator (artinya: 'penunjuk')

harus dapat menunjukkan seluruh aspek atau sisi dari hal yang akan dilihat,

digambarkan, dipanta.u atau dievaluasi secara jelas.

Dalam menguraikan masalah kesejahteraan Anak, Hananto dan Sigit

(1985 dalam Suharto, 1997) menyatakan bahwa indikator harus dapat

menu n ju kkan permasalahan-permasa lahan yang d i hadapi, su mber -su mber

yang dimiliki, kendala yang dihadapi dalam melaksanakan program, serta

tingkat keberhasilan yang telah dicapai. Budi Utomo (1985 dalam Suharto,

1997) menyatakan bahwa indikator harus memiliki relevansi dengan

perubahan permasalahan yang akan dinilai dan memiliki kelayakan data

yang akan dikumpulkan. lni berarti bahwa indikator memiliki kelayakan

dilihat dari segi cara memperoleh informasi, teknis pengumpulan, biaya

dan manajerial. Selain itu, indikator harus senantiasa mempertimbangkan

kemudahan niemperoleh, mengolah dan menginterpretasikan data yang

dikumpulkan (Surbakti, 1996 dalam Suharto, 1997).

Agar indikator dapat mewakili fenomena yang akan digambarkan,

secara lebih rinci terdapat 4 persyaratan yang harus dipenuhi yang sebagian

Page 144: Edi Suharto

BAB 9- MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM 129

telah dijelaskan di atas (Suharto, 2005d):

1. · Valid: menggambarkan secara tepat kondisi yang akan diukur.

2. Reliable: bersifat konsisten atau ajeg. Nilai indikator selalu menun­jukkan hasil yang relatif sama meskipun diukur oleh orang yang berbeda dalam waktu dan tempat yang berbeda.

3. Sedikit dan Sensitif: indikator tidak terlalu banyak dan sebaiknya hanya indikator kunci yang dianggap paling mampu menggambarkan kondisi yang akan diukur.

4. Kuantitatif dan Komparatif: dapat diukur dengan angka dan dapat diperbandingkan.

Page 145: Edi Suharto

130 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

Page 146: Edi Suharto

Kemiskinan

While humanity shares one planet,

it is a planet on which there are two worlds,

the world of the rich and the world of the poor.

Raanan Weitz

Kemiskinan merupakan masalah sosial yang senantiasa hadir di tengah­

tengah masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang. Kemiskinan

senantiasa menarik perhatian berbagai kalangan, baik para akademisi

maupun para praktisi. Berbagai teori, konsep dan pendekatan pun terus

menerus dikembangkan untuk menyibak tirai dan "misteri" kemiskinan

ini. Di Indonesia, masalah kemiskinan merupakan masalah sosial yang

senantiasa relevan untuk dikaji terus menerus. lni bukan saja karena masalah

kemiskinan telah ada sejak lama dan masih hadir di tengah-tengah kita

saat ini, melainkan pula karena kini gejalanya semakin meningkat sejalan

dengan krisis multidimensional yang masih dihadapi oleh Bangsa Indone­

sia. Bab ini mendiskusikan pendekatan pekerjaan sosial dalam menangani

kemiskinan sebagai salah satu bentuk masalah sosial yang serius dan

krusial dalam konteks pemberdayaan masyarakat di Indonesia. Di dalamnya

disajikan beberapa topik mengenai definisi dan dimensi kemiskinan, potret

kemiskinan di Indonesia, paradigma kemiskinan, dan perlunya perubahan

paradigma dalam mempelajari dan menangani kemiskinan. Setelah

membahas topik mengenai bagaimana pekerjaan sosial memandang dan

menangani kemiskinan, bab ini ditutup oleh tema mengenai perlindungan

sosial sebagai salah satu pendekatan penanggulangan kemiskinan menurut

perspektif pekerjaan sosial.

131

Page 147: Edi Suharto

132 ~IJEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

Definisi dan Dimensi Kemiskinan

Kemiskinan merupakan konsep dan fenomena yang berwayuh wajah,

bermatra multidimensional. SMERU, misalnya, menunjukkan bahwa.

kemiskinan memiliki beberapa ciri (Suharto et.a/., 2004:7-8):

1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang dan papan).

2. Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi).

3. Ketiadaan jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga).

4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun mas sal.

5. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumber a lam.

6. Ketidakterlibatan dalam.kegiatan sosial masyarakat.

7. Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan.

8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.

9. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anaktelantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil).

Dengan menggunakan perspektif yang lebih luas lagi, David Cox

(2004: 1-6) membagi kemiskinan ke dalam beberapa dimensi:

1. Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi. Globalisasi menghasilkan pemenang dan yang kalah. Pemenang umumnya adalah negara-negara maju. Sedangkan negara-negara berkembang seringkali semakin terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas yang merupakan prasyarat globalisasi.

2. Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan subsisten (kerniskinan akibat rendahnya pembangunan), kemiskinan pedesaan (kemiskinan akibat peminggiran pedesaan dalam proses pembangunan), kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang sebabkan oleh

Page 148: Edi Suharto

:r·.

BAB 10 - KEMISKINAN 133

hakekat dan kecepatan pertumbuhan perkotaan).

3. Kemiskinan sosial. Kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak­anak, dan kelompok minoritas.

4. Kemiskinan konsekuensial. Kemiskinan yang terjadi akibat kejadian­kejadian lain atau faktor-faktor eksternal di luar si miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan, dan tingginya jumlah penduduk.

Konsepsi kemiskinan yang bersifat multidimensional ini kiranya lebih

tepat jika digunakan sebagai pisau anal isis dalam mendefinisikan kemiskinan

dan merumuskan kebijakan penanganan kemiskinan di Indonesia.

Sebagaimana akan dikemukakan pada pembahasan berikutnya, konsepsi

kemiskinan ini juga sangat dekat dengan perspektif pekerjaan sosial yang

memfokuskan pada konsep keberfungsian sosial dan senantiasa melihat

manusia dalam konteks lingkungan dan situasi sosialnya.

Ellis (1984:242-245) menyatakan bahwa dimensi kemiskinan

menyangkut aspek ekonomi, politik dan sosial-psikologis. Secara ekonomi,

kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat

digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejah­

teraan sekelompok orang. Sumberdaya dalam konteks ini menyangkut

tidak hanya aspek finansial, melainkan pula semua jenis kekayaan (wealth) yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas.

Berdasarkan konsepsi ini, maka kemiskinan dapat diukur secara langsung

dengan menetapkan persediaan sumberdaya yang dimiliki melalui

penggunaan standar baku yang dikenal dengan garis kemiskinan (poverty line). Cara seperti ini sering disebut dengan metode pengukuran kemiskinan

absolut. Garis kemiskinan yang digunakan BPS sebesar 2,1 00 kalori per

orang per hari yang disetarakan dengan pendapatan tertentu atau pendekatan

Bank Dunia yang menggunakan 1 dolar AS per orang per hari adalah

contoh pengukuran kemiskinan absolut.

Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untulc makanan dan non makanan, yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas

Page 149: Edi Suharto

134 MEMBANGUN MASYARAKAT f'v1EMBERDAYAKAN RAKYAT

kemiskinan (poverty threshold). Caris kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian: kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya. (BPS dan Depsos, 2002:4)

Kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi ekonomi, khususnya

pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntunan

non-material yang diterima oleh seseorang. Namun demikian, secara luas

kemiskinan juga kerap didefinisikan sebagai kondisi yang ditandai oleh serba

kekurangan: kekurangan pendidikan, keadaan kesehatan yang buruk, dan

kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat (SMERU dalam

Suharto et.al., 2004). Definisi kemiskinan dengan menggunakan pendekatan

kebutuhan dasar seperti ini diterapkan oleh Depsos, terutama dalam

mendefinisikan fakir miskin. Kemiskinan adalah ketidakmampuan individu

dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak (BPS dan

Depsos, 2002:3). Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai

kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan

atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak memenuhi

kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan (Depsos, 2001 ). Yang

dimaksud dengan kebutuhan pokok dalam definisi ini meliputi kebutuhan

akan makanan, pakaian, perumahan, perawatan kesehatan, dan pendidikan.

Secara politik, kemiskinan dapat dilihat dari tingkat akses terhadap

kekuasaan (power). Kekuasaan dalam pengertian ini mencakup tatanan

sistem politik yang dapat menentukan kemampuan sekelompok orang dalam

menjangkau dan menggunakan sumberdaya. Ada tiga pertanyaan mendasar

yang bekaitan dengan akses terhadap kekuasaan ini, yaitu (a) bagaimana

orang dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada dalam masyarakat, (b)

bagaimana orang dapat turut ambil bagian dalam pembuatan keputusan

penggunaan symberdaya yang tersedia, dan (c) bagaimana kemampuan

untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Dalam konteks

politik ini Fri~dman mendefinisikan kemiskinan daiam kaitannya dengan

ketidaksamaan kesempatan dalam mengakumulasikan basis kekuasaan sosial

Page 150: Edi Suharto

BAB 10 - KEMISKINAN 13'5

yang meliputi: (a) modal produktif atau asset (tanah, perumahan, alat

produksi, kesehatan), (b) sumber keuangan (pekerjaan, kredit), (c) organisasi

sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama

(koperasi, partai politik, organisasi sosial), (d) jaringan sosial untuk

memperoleh pekerjaan, barang, dan jasa, (e) pengetahuan dan keterampilan,

dan (f) informasi yang berguna untuk kemajuan hidup (Friedman dalam

Suharto eta/., 2004).

Kemiskinan secara sosial-psikologis menunjuk pada kekurangan

jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan

kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Dimensi kemiskinan

ini juga dapat diartikan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh adanya

faktor-faktor penghambat yang mencegah atau merintangi seseorang dalam

memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada di masyarakat. Faktor­

faktor penghambat tersebut secara umum meliputi faktor internal dan

eksternal. Faktor internal datang dari dalam diri si miskin itu sendiri,

seperti rendahnya pendidikan atau adanya hambatan budaya. Teori

"kemiskinan budaya" (cultural poverty) yang dikemukakan Oscar Lewis,

misalnya, menyatakan bahwa kemiskinan dapat muncul sebagai akibat

adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin,

seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etas kerja

dan sebagainya. Faktor eksternal datang dari luar kemampuan orang yang

bersangkutan, seperti birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang dapat

menghambat seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya. Kemiskinan

model ini seringkali diistilahkan dengan kerniskinan struktural. Menurut

pandangan ini, kemiskinan terjadi bukan dikarenakan "ketidakmauan" si

misikin untuk bekerja (malas), melainkan karena "ketidakmampuan" sistem

dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang

memungkinkan si miskin dapat bekerja.

Potret Kemiskinan di Indonesia

Masalah kemiskinan merupakan isu sentral di Tanah Air, terutama setelah

Indonesia dilanda krisis multidimensional yang memuncak pada periode

Page 151: Edi Suharto

136 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

1997-1999. Setelah dalam kurun waktu 1976-1996 tingkat kemiskinan

menurun secara spektakuler dari 40,1 persen menjadi 11 ,3 persen, jumlah

orang miskin meningkat kembali dengan tajam, terutama selama krisis

ekonomi. Studi yang dilakukan BPS, UNDP dan UNSFIR menunjukkan

bahwa jumlah penduduk miskin pada periode 1996-1998, meningkat

dengan tajam dari 22,5 juta jiwa (11 ,3%) menjadi 49,5 juta jiwa (24,2%)

atau bertambah sebanyak 27,0 juta jiwa (BPS, 1999). Sementara itu, Inter­

national Labour Organisation (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin

di Indonesia pada akhir tahun 1999 mencapai 129,6 juta atau sekitar 66,3

persen dari seluruh jumlah penduduk (BPS; 1999).

Data dari BPS (1999) juga memperlihatkan bahwa selama periode

1996-1998, telah terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin secara hampir

sama di wilayah pedesaan dan perkotaan, yaitu menjadi sebesar 62,72%

untuk wilayah pedesaan dan 61,1% untuk wilayah perkotaan. Secara

agregat, presentasi peningkatan penduduk miskin terhadap total populasi

memang lebih besar di wilayah pedesaan (7,78%) dibandingkan dengan

di perkotaan (4,72%). Akan tetapi, selama dua tahun terakhir ini secara

absolut jumlah orang miskin meningkat sekitar 140% atau 10,4 juta jiwa

di wilayah perkotaan, sedangkan di pedesaan sekitar 105% atau 16,6 juta

jiwa (lihat Remi dan Tjiptoherijanto, 2002).

Berdasarkan definisi kemiskinan dan fakir miskin dari BPS dan Depsos

(2002), jumlah penduduk miskin pada tahun 2002 mencapai 35,7 juta

jiwa dan 15,6 juta jiwa (43%) di antaranya masuk kategori fakir miskin.

Secara keseluruhan, prosentase penduduk miskin dan fakir miskin terhadap

total penduduk Indonesia adalah sekira 17,6 persen dan 7,7 persen. lni

berart(bahwa secara rata-rata jika ada 100 orang Indonesia berkumpul,

sebanyak 18 orang diantaranya adalah orang miskin, yang terdiri dari 10

orang bukan fakir miskin dan 8 orang fakir miskin (Suharto, 2004:3).

Selain kelompok di atas, terdapatjuga kecenderungan di mana krisis

ekonomi telah meningkatkan jumlah orang yang bekerja di sektor infor­

mal. Merosotnya pertumbuhan ekonomi, dilikuidasinya sejumlah kantor

swasta dan pemerintah, dan dirampingkannya struktur industri formal telah

mendorong orang untuk memasuki sektor informal yang lebih fleksibel.

Page 152: Edi Suharto

1::.:

('.

BAB 10 - KEMISKINAN 137

Studi ILO (1998) memperkirakan bahwa selama periode krisis antara tahun

1997 dan 1998, pemutusan hubungan kerja terhadap 5,4 juta pekerja

pada sektor industri modern telah menurunkan jumlah pekerja formal dari

35 persen menjadi 30 persen. Menurut Tambunan (2000), sedikitnya

setengah dari para penganggur baru tersebut diserap oleh sektor informal

dan industri kecil dan rumah-tangga lainnya. Pada sektor informal perkotaan,

khususnya yang menyangkut kasus pedagang kaki lima, peningkatannya

bahkan lebih drarnatis lagi. Di Jakarta dan Bandung, misalnya, pada periode

akhir 1996-1999 pertumbuhan pedagang kaki lima mencapai 300 persen

(Kompas, 23 November 1998; Pikiran Rakyat, 11 Oktober 1999). Dilihat

dari jumlah dan potensinya, pekerja sektor informal ini saligat besar.

Namun demikian, seperti halnya dua kelompok masyarakat di atas, kondisi

sosial ekonomi pekerja sektor informal masih berada dalam kondisi miskin

dan rentan.

Data di atas mengindikasikan bahwa krisis telah membuat penderitaan

penduduk perkotaan lebih parah ketimbang penduduk pedesan. Menurut

Thorbecke (1999) setidaknya ada dua penjelasan atas hal ini:

1 . Krisis cenderung memberi pengaruh lebih buruk pada beberapa sektor ekonomi utama di perkotaan, seperti perdagangan, perbankan dan konstruksi. Sektor-sektor ini membawa dampak negatif dan memperparah pengangguran di perkotaan.

2. Pertambahan harga bahan makanan kurang berpengaruh terhadap penduduk pedesaan, karena mereka masih dapat memenuhi kebutuhan dasarnya melalui sistem produksi subsisten yang dihasilkan dan dikonsumsi sendiri. Hal ini tidak terjadi pada masyarakat perkotaan di mana sistem produksi subsisten, khususnya yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan makanan, tidak terlalu dominan pada masyarakat perkotaan.

Angka kemiskinan ini akan lebih besar lagi jika dalam kategori

kemiskinan dimasukan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS)

yang kini jumlahnya mencapai lebih dari 21 juta orang. PMKS meliputi

gelandangan, pengemis, anak jalanan, yatim piatu, jompo terlantar, dan

penyandang cacat yang tidak memiliki pekerjaan atau memiliki pekerjaan

Page 153: Edi Suharto

138 MEMBANGUN MASYARAKAT rvlEMBERDAYAKAN RAKYAT

namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara umum

kondisi PMKS lebih memprihatinkan ketimbang orang miskin. Selain

rnemiliki kekurangan pangan, sandang dan papan, kelompok rentan (vul­

nerable group) ini mengalami pula ketelantaran psikologis, sosial dan politik.

Paradigma Kemiskinan

Kemiskinan pada hakekatnya merupakan persoali:m klasik yang telah ada

sejak umat man usia ada. Hingga saat ini belum ditemukan suatu rumusan

maupun formula penanganan kemiskinan yang dianggap paling jitu dan

sempurna. Tidak ada konsep tunggal tentang kemiskinan. Strategi penanganan

kemiskinan masih harus terus menerus dikembangkan. Terdapat banyak

sekali teori dalam memahami kemiskinan. Bila dipetakan, literatur mengenai

kebijakan sosial dan pekerjaan sosial menunjukkan dua paradigma atau

teori besar (grand theory) mengenai kemiskinan: yakni paradigma neo­

liberal dan demokrasi-sosial (social-democracy). Dua paradigma atau

pandangan ini kemudian menjadi cetak biru (blueprint) dalam menganalisis

kemiskinan maupun merumuskan kebijakan dan program-program anti

kemiskinan (lihat Tabel1 0.1).

Teori Neo-liberal

Teori neo-liberal berakar pada karya politik klasik yang ditulis oleh Tho­

mas Hobbes, john Lock dan John Stuart Mill. lntinya menyerukan bahwa

komponen penting dari sebuah rnasyarakat adalah kebebasan individu.

Dalam bidang ekonomi, karya monumental Adam Smith, The Wealth of

Nation (1776), dan Frederick Hayek, The Road to Serfdom (1944),

dipandang sebagai rujukan kaum neo-liberal yang mengedepankan azas

laissez faire, yang oleh Cheyne, O'Brien dan Belgrave (1998:72) disebut

sebagai ide yang mengunggulkan "mekanisme pasar bebas" dan

mengusulkan "the almost complete absence of state's intervention in the

economy".

Page 154: Edi Suharto

BAB 10- KEM!SKINAN 139

label 10.1: Teori Neo-liberal dan Demokrasi-Sosial tentang Kemiskinan

PARADIGMA Neo-Liberal Demokrasi-sosial

Landasan Teoretis Individual Struktural Konsepsi dan Kemiskinan Absolut Kemiskinan Relatif lndikator Kemiskinan Penyebab Kemiskinan Kelemahan dan pilihan- Ketimpangan struktur ekonomi

pilihan individu; lemahnya dan politik; ketidakadilan sosial pengaturan pendapatan; lemahnya kepribadian (malas, pasrah, bodoh).

Strategi . Penyaluran pendapatan . Penyaluran pendapatan dasar Penanggulangan terhadap orang miskin secara universal Kemiskinan secara selektif. . Perubahan fundamental . Memberi pelatihan dalam pola-pola

keterampilan pengelolaan pendistribusian pendapatan keuangan melalui inisiatif melalui intervensi negara masyarilkat dan LSM. dan kebiiakan sosial

Sumber: dikembangkan dari Cheyne, O'Brien dan Belgrave (1998:176).

Para pendukung neo-liberal berargumen bahwa kemiskinan merupakan

persoalan individual yang disebabkan oleh kelemahan-kelemahan dan/

atau pilihan-pilihan individu yang bersangkutan. Kemiskinan akan hi lang

dengan sendirinya jika kekuatan-kekuatan pasar diperluas sebesar-besarnya

dan pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya. Secara langsung,

strategi penanggulangan kemiskinan harus bersifat "residual", sementara,

dan hanya melibatkan keluarga, kelompok-kelompok swadaya atau lembaga­

lembaga keagamaan. Peran negara hanyalah sebagai "penjaga malam"

yang baru boleh ikut campur manakala lembaga-lembaga di atas tidak

mampu lagi menjalankan tugasnya (Shannon, 1991; Spieker, 1995; Cheyne,

O'Brien dan Belgrave, 1998). Penerapan program-program structural ad­justment, seperti program jaringan pengaman sosial (JPS) di negara-negara

berkembang, termasuk Indonesia, sesungguhnya merupakan contoh kongkrit

dari pengaruh neo-liberal dalam bidang penanggulangan kemiskinan ini.

Page 155: Edi Suharto

140 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

Teori DemokrasiMsosial

Keyakinan yang berlebihan tehadap keunggulan mekanisme pasar dan

pertumbuhan ekonomi yang secara alamiah dianggap akan mampu

mengatasi kemiskinan dan ketidakdilan sosial mendapat kritik dari kaum

demokrasi-sosial. Berpijak pada analisis Karl Marx dan Frederick Engels,

pendukung demokrasi-sosial menyatakan bahwa "a free market did not

lead to greater social wealth, but to greater poverty and exploitation ... a

society is just when people's needs are met, arid when inequality and

exploitation in economic and social relations are eliminated" (Cheyne,

O'Brien dan Belgrave, 1998: 91 dan 97).

Teori demokrasi-sosial memandang bahwa kemiskinan bukanlah

persoalan individual, melainkan struktural. Kemiskinan disebabkan oleh

adanya ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat

tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap berbagai sumber­

sumber kemasyarakatan. Teori ini berporos pada prinsip-prinsip ekonomi

campuran (mixed economy) dan "ekonomi manajemen-permintaan" (de­

mand-management economics) gaya Keynesian yang muncul sebagai

jawaban terhadap depresi ekonomi yang terjadi pada tahun 1920-an dan

awal1930-an.

Sistem negara kesejahteraan (welfare state) yang menekankan pentingnya

manajemen dan pendanaan negara dalam pemberian pelayanan sosial dasar

(pendidikan, kesehatan, perumahan dan jaminan sosial) bagi seluruh warga

negara dipengaruhi oleh pendekatan ekonomi Keynesian. Meskipun kaum

demokrasi-sosial mengkritik sistem pasar bebas, mereka tidak memandang

sistem ekonomi kapitalis sebagai evil yang harus dimusuhi dan dibuang

jauh. Sistem kapitalis masih dipandang sebagai bentuk pengorganisasian

ekonomi yang paling efektif. Hanya saja, kapitalisme perlu dilengkapi dengan

sistem negara kesejc.hteraan agar lebih berwajah manusiawi. "The welfare

state acts as the human face of capitalism," demikian menurut Cheyne,

O'Brien dan Belgrave, (1998:79).

Pendukung demokrasi-sosial berpendapat bahwa kesetaraan merupakan

prasyarat penting dalam memperoleh kemandirian dan kebebasan.

.,~

Page 156: Edi Suharto

BAB 10 - KEMISKINAN 141

Pencapaian kebebasan hanya dimungkinkan jika setiap orang memiliki

atau mampu menjangkau sumber-sumber, seperti pendidikian, kesehatan

yang baik dan pendapatan yang cukup. Kebebasan lebih dari sekadar

bebas dari pengaruh luar; melainkan pula bebas dalam menentukan pilihan-

pilihan (choices). Dengan kata lain kebebasan berarti memiliki kemampuan

(capabilities) untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Misalnya,

kemampuan memenuhi kebutuhan dasarnya, kemampuan menghindari

t kematian dini, kemampuan menghindari kekurangan gizi, kemampuan

membaca, menulis dan berkomunikasi. Negara karenanya memiliki peranan

dalam menjamin bahwa setiap orang dapat berpartisipasi dalam transaksi­

transaksi kemasyarakatan yang memungkinkan mereka menentukan pilihan­

pilihannya dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Menyerahkan

sepenuhnya penanganan kemiskinan kepada masyarakat dan LSM bukan

saja tidak akan efektif, melainkan pula mengingkari kewajiban negara

dalam melindungi warganya.

Menurut pandangan demokrasi-sosial, strategi kemiskinan haruslah

bersifat institusional (melembaga). Program-program jaminan sosial dan

bantuan sosial yang dianut di AS, Eropa Barat, dan Jepang, merupakan

contoh strategi anti kemiskinan yang diwarnai oleh teori demokrasi-sosial.

jaminan sosial yang berbentuk pemberian tunjangan pendapatan atau dana

pensiun, misalnya, dapat meningkatkan kebebasan karena dapat

menyediakan penghasilan dasar dengan mana orang akan memiliki

kemampuan (capabilities) untuk memenuhi kebutuhan dan menentukan

pilihan-pilihannya (choices). Sebaliknya, ketiadaan pelayanan dasartersebut

dapat menyebabkan ketergantungan (dependency) karen a dapat membuat

orang tidak memiliki kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dan

menentukan pilihan-pilihannya.

Dirumuskan secara tajam, maka dapat dikatakan bahwa kaum neo­

liberal memandang strategi penanganan kemiskinan yang melembaga

merupakan tindakan yang tidak ekonomis dan menyebabkan ketergantungan.

Sebaliknya, pendukung demokrasi-sosial meyakini bahwa penangananan

kemiskinan yang bersifat residual, beorientasi proyek jangka pendek, justru

merupakan strategi yang hanya menghabiskan dana saja karena efeknya

Page 157: Edi Suharto

142 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

juga singkat, terbatas dan tidak berwawasan pemberdayaan dan

keberlanjutan. Apabila kaum neo-liberal melihat bahwa jaminan sosial

dapat menghambat "kebebasan", kaum demokrasi-sosial justru meyakini .

bahwa ketiadaan sumber-sumber finansial yang mapan itulah yang justru

dapat menghilangkan "kebebasan", karena membatasi dan bahkan

menghilangkan kemampuan individu dalam menentukan pilihan-pilihannya

(choices).

Perubahan Paradigma

Sadar bahwa isu kemiskinan merupakan masalah yang senantiasa aktual,

pengkajian konsep kemiskinan merupakan upaya positif guna menghasilkan

pendekatan dan strategi yang tepat dalam menanggulangi masalah krusial

yang dihadapi Bangsa Indonesia dewasa ini. Meskipun pembahasan

kemiskinan pernah mengalami tahap kejenuhan pada pertengahan 1980-

an, upaya peogentasan kemiskinan kini semakin mendesak kembali untuk

dikaji ulang. Beberapa alasan yang mendasari pendapat ini antara lain

adalab:

1 . Konsep kemiskinan masih didominasi oleh perspektif tunggal, yakni "kemiskinan pendapatan" atau "income-poverty" (Chambers, 1997). Pendekatan ini banyak dikritik oleh para pakar ilmu sosial sebagai pendekatan yang kurang bisa menggambarkan potret kemiskinan secara lengkap. Kemiskinan seakan-akan hanyalah masalah ekonomi yang ditunjukkan oleh rendahnya pendapatan seseorang atau keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

2. Jumlah orang miskin di Indonesia senantiasa menunjukkan angka yang tinggi, baik secara absolut maupun relatif, di pedesaan maupun perkotaan. Meskipun Indonesia pernah dicatatsebagai salah satu negara berkembang yang sukses dalam mengentaskan kemiskinan, ternyata masalah kemiskinan kembali menjadi isu sentral di Tanah Air karena bukan saja jumlahnya yang kembali meningkat, melainkan dimensinya pun semakin· kompleks seiring dengan menurunnya kualitas hidup masyarakat akibat terpaan krisis ekonomi sejak tahun 1997.

3. Kemiskinan mempunyai dampak negatif yang bersifat menyebar (mul­

tiplier effects) terhadap tatanan kemasyarakatan secara menyeluruh.

Page 158: Edi Suharto

BAB 10 - KEMISKINAN 143

Berbagai peristiwa konflik di Tanah Air yang terjadi sepanjang krisis ekonomi, misalnya, menunjukkan bahwa ternyata persoalan kemiskinan bukanlah semata-mata mempengaruhi ketahanan ekonomi yang ditampilkan oleh rendahnya daya beli masyarakat, melainkan pula mempengaruhi ketahanan sosial masyarakat dan ketahanan nasional. Banyak studi menunjukkan bahwa kemiskinan juga merupakan muara dari maslah sosial lainnya. Masalah anak jalanan, perlakuakn salah terhadap anak (child abuse), kekerasan dalam rurriah tangga, rumah kumuh, kejahatan, alkoholisme, kebodohan, danpengangguran terkait dengan masalah kemisikinan.

Menurut Hardiman dan Midgley (1982) dan Jones (1990), pekerjaan

sosial di Dunia Ketiga seharusnya lebih memfokuskan pada penanganan

masalah sosial yang bersifat makro, seperti kemiskinan. Karena merupakan

masalah dominan yang dihadapi oleh negara-negara berkembang.

Sayangnya, dalam perancangan kebijakan dan program anti kemiskinan

para pekerja sosial di Indonesia masih belum mampu memberikan

kontribusi. Khususnya dalam merumuskan konsep dan indikator kemiskinan

yang genuine dan sesuai dengan paradigma pekerjaan sosial. Penyebabnya

adalah karena para teoritisi dan praktisi pekerjaan sosial di Tanah Air

belum mampu memformulasikan kemiskinan sejalan dengan konsep

keberfungsian sosial (social functioning), fokus pertolongan profesi ini.

Hingga sekarang konsep ini masih belum dikembangkan lebih jauh untuk

menganalisis masalah kemiskinan. Ketika mengukur kemiskinan, para

pekerja sosiallebih confident jika memakai konsep-konsep "milik" profesi

lain. Padahal konsep keberfungsian sosial merupakan "harta terpendam"

yang dapat digali untuk mendekati dan mengukur kemiskinan.

Paradigma Lama

Hampir semua pendekatan dalam mengkaji kemiskinan masih berporos

pada paradigma neo-liberal yang dimotori oleh Bank Dunia dan didasari

oleh teori-teori modernisasi yang sangat mengagungkan pertumbuhan

ekonomi dan produksi (the production-centred model) (SLiharto, 2002).

Sejak pendapatan nasional (GNP) mulai dijadikan indikator pembangunan

Page 159: Edi Suharto

144 MEMBANGUN MASYARAKAT MEMBERDAYAKAN RAKYAT

tahun 1950-an, para ilmu sosial selalu merujuk pada pendekatan tersebut

manakala berbicara masalah kemiskinan satu negara. Pengukuran kemiskinan

kemudian sangat dipengaruhi oleh perspektif income poverty yang

menggunakan pendapatan sebagai satu-satunya indikator "garis kemiskinan".

Meskipun GNP dapat dijadikan ukuran untuk menelaah performa

pembangunan suatu negara, banyak ahli menunjukkan kelemahan

pendekatan ini. Haq (1995), misalnya, menyatakan bahwa GNP

merefleksikan harga-harga pasar dalam bentuk nilai uang. Harga-harga

tersebut mampu mencatat kekuatan ekonomi dan daya beli dalam sistem

tersebut. Namun demikian, harga-harga dan nilai uang tidak dapat mencatat

distribusi, karakter atau kualitas pertumbuhan ekonomi. GNP juga

mengesampingkan segala aktivitas yang tidak dapat dinilai dengan uang,

seperti pekerjaan rumah tangga, pertanian subsisten, atau pelayanan­

pelayanan yang tidak dibayar. Dan yang lebih serius lagi, GNP memiliki

dimensi-tunggal dan karenanya ia gagal menangkap aspek budaya, sosial,

politik dan pilihan-pilihan yang dilakukan manusia. Haq (1995:46)

menyatakan:

GNP reflects market prices in monetary terms. Those prices quietly register the prevailing economic and purchasing power in the system­but they are silent about the distribution, character or quality of eco­nomic growth. GNP also leaves out all activities that are not monetised­household work, subsistence agriculture, unpaid services. And what is more serious, GNP is one-dimensional: it fails to capture the cultural, social, political and many other choices that people make.

Seperti halnya GNP, pendekatan income poverty juga memiliki beberapa

kekurangan. Menurut Satterthwaite (1997) sedikitnya ada tiga kelemahan

pendekatan income poverty:

1. Kurang memberi perhatian pada dimensi sosial dan bentuk-bentuk esengsaraan orang miskin.

2. Tidak mempertimbangkan keterlibatan orang miskin dalam menghadapi kemiskinannya.

3. Tidak menerangkan faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan.

Page 160: Edi Suharto

BAB 10 - KEMJSKINAN 145

Karena pendekatan GNP dan income poverty memiliki kelemahan

dalam memotret kemiskinan, sejak tahun 1970-an telah dikembangkan

berbagai pendekatan alternatif. Di antaranya adalah kombinasi garis

kemiskinan dan distribusi pendapatan yang dikembangkan Sen (1973);

Social Accounting Matrix (SAM) oleh Pyatt dan Round (1977), dan Physi­

cal Quality of Life Index (PQLI) oleh Morris (1977). Di bawah kepemimpinan

ekonom asal Pakistan, Mahbub Ul Haq, pada tahun 1990an UNDP

memperkenalkan pendekatan Human Development yang diformulasikan

dalam bentuk lndeks Pembangunan Manusia (Human Development In­

dex) dan lndeks Kemiskinan Manusia (Human Poverty Index). Pendekatan

ini relatif lebih komprehensif dan mencakup faktor ekonomi, sosial dan

budaya si miskin. Berporos pada ide-ide heterodox dari paradigma popu­

lar development, pendekatan ini memadukan model kebutuhan dasar (ba­

sic needs model) yang digagas Paul Streeten dan konsep kapabilitas (capa­

bility) yang dikembangkan Pemenang Nobel Ekonomi 1998, Amartya Sen.

Paradigma Baru

Bila dicermati, semua paradigma kemiskinan terdahulu masih tetap

menyimpan kelemahan. Konsepsinya masih melihat kemiskinan sebagai

kemiskinan individu dan kurang memperhatikan kemiskinan struktural.

Akibatnya, aspek aktor atau pelaku kemiskinan serta sebab-sebab yang

mempengaruhinya belum tersentuh secara memadai. Sistem pengukuran

dan indikator yang digunakannya terfokus pada "kondisi" atau "keadaan"

kemiskinan berdasarkan faktor-faktor ekonomi yang dominan. Orang miskin

hanya dipandang sebagai "orang yang serba tidak memiliki'': tidak memiliki

pendapatan tinggi, tidak terdidik, tidak sehat, dan sebagainya. Metodanya

masih berpijak pada outcome indicators sehingga belum menjangkau

variabel-variabel yang menunjukkan dinamika kemiskinan. Si miskin dilihat

hanya sebagai "korban pasif" dan objek penelitian. Bukan sebagai "manusia"

(human being) yang memiliki "sesuatu" yang dapat digunakannya baik

dalam mengidentifikasi kondisi kehidupannya maupun usaha-usaha

perbaikan yang dilakukan mereka sendiri.

Page 161: Edi Suharto

146 MEMBANGUN MASYARAKAT MfMBERDAYAKAN RAKYAT

Kelemahan paradigma lama di atas menuntut perubahan pada fokus

pengkajian kemiskinan, khususnya menyangkut kerangka konseptual dan

metodologi pengukuran kemiskinan. Paradigma demokrasi-sosial dapat.

dijadikan dasar dalam rnerumuskan kembali konsep keberfungsian sosial

sebagai paradigma baru yang lebih sejalan dengan misi dan prinsip

pekerjaan sosial.

Keberfungsian Sosial

Keberfungsian sosial mengacu pada cara yang dilakukan individu-individu

atau kelompok dalam melaksanakan tugas kehidupan dan memenuhi

kebutuhannya. Konsep ini pada intinya menunjuk pada "kapabilitas" (capa­

bilities) individu, keluarga atau masyarakatdalam menjalankan peran-peran

sosial di lingkungannya. Baker, Dubois dan Miley (1992) menyatakan bahwa

keberfungsian sosial berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam

memenuhi kebutuhan dasar diri dan keluarganya, serta dalam memberikan

kontribusi positifbagi masyarakat. Konsepsi ini mengedepankan nilai bahwa

manusia adalah subjek dari segenap proses dan aktivitas kehidupannya.

Bahwa manusia memi!iki kernampuan dan potensi yangdapatdikembangkan

dalam proses pertolongan. Bahwa manusia memiliki dan/atau dapat

menjangkau, memanfaatkan, dan memobilisasi asset dan sumber-sumber

yang ada di sekitar dirinya.

Pendekatan keberfungsian sosial dapat menggambarkan karakteristik

dan dinamika kemiskinan yang lebih realistis dan komprehensif. Ia dapat

menjelaskan bagaimana keluarga miskin merespon dan mengatasi

permasalahan sosial-ekonomi yang tekait dengan situasi kemiskinannya.

Selaras dengan adagium pekerjaan sosial, yakni 'to help people to help

themselves', pendekatan ini memandang orang miskin bukan sebagai objek

pasif yang hanya dicirikan oleh kondisi dan karakteristik kemiskinan.

Melainkan orang yang memiliki seperangkat pengetahuan dan keterampilan

yang sering digunakannya dalam mengatasi berbagai permasalahan seputar

kemiskinannya. Ada empat poin yang diajukan pendekatan keberfungsian

sosial dalam studi kemiskinan: