DUKUNGAN SOSIAL ORANG TUA TERHADAP ANAK
TUNAGANDA-NETRA DI YAYASAN MITRA NETRA
JAKARTA SELATAN
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana sosial
(S.Sos)
Oleh:
Siti Nur Rachimatun Sa’diyah
NIM: 11140541000030
PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H/2019 M
i
ABSTRAK
Siti Nur Rachimatun, NIM: 11140541000030, Dukungan Sosial Orang Tua
terhadap Anak Tunaganda-Netra di Yayasan Mitra Netra Jakarta Selatan,
di bawah bimbingan Drs. Helmi Rustandi, M.Ag.
Tunaganda-netra atau dikenal dengan Mutiple Disabilities and Visual
Impairment (MDVI) adalah salah satu kombinasi ketunaan berupa gangguan
penglihatan (tunanetra), singkatnya yaitu tunanetra yang memiliki ketunaan lain,
baik berupa fisik, kognitif, emosi, mental dll. Kompleksnya permasalahan yang
dimiliki oleh anak tunaganda-netra dalam menjalani kehidupan sehari-harinya
membutuhkan dukungan sosial terutama dari keluarga khususnya orang tua.
Karena orang tua merupakan lingkungan terdekat anak, dukungan orang tua dapat
membuat anak merasa senang, nyaman sehingga tercipta hubungan yang saling
percaya antara orang tua dan anak, selain itu dukungan orang tua dapat membantu
anak dalam mengatasi kedisabilitasannya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dukungan sosial orang tua
terhadap anak tunaganda-netra. Metode yang digunakan peneliti dalam skripsi ini
adalah pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Dimana
wawancara dan studi dokumentasi menjadi teknik pengumpulan data yang penulis
gunakan. Teknik pemilihan informan yang peneliti gunakan adalah purposive
sampling dimana penulis menunjuk Kepala Bagian Rehabilitasi dan Diklat untuk
dapat memberikan informasi yang peneliti butuhkan, lalu Kabag. Rehabilitasi dan
Diklat akan mengarahkan kepada terapis pada layanan tunaganda-netra lalu
terapis akan memilih orang tua sebagai informan sesuai dengan kriteria yang telah
penulis tetapkan.
Adapun hasil penelitian yang penulis dapatkan mengenai dukungan sosial
orang tua terhadap anak tunaganda-netra sesuai dengan teori House, yaitu
dukungan emosional dengan adanya dengan memberikan perhatian dan kasih
sayang; dukungan instrumental dari adanya waktu dan usaha yang diberikan orang
tua untuk membantu dan mendampingi kegiatan sehari-hari anak; dukungan
informasional dengan memberikan nasihat, saran, serta informasi kepada anak;
serta dukungan penilaian dan penghargaan dengan adanya ungkapan positif jika
anak dapat melakukan suatu hal dengan baik.
Kata Kunci : Dukungan Sosial, Orang Tua, Tunaganda-Netra
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji serta syukur penulis haturkan
kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Sehingga
pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya,
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana strata 1. Shalawat dan
salam tak lupa penulis panjatkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, beserta
keluarga, sahabat dan para umatnya.
Skripsi ini merupakan tugas akhir yang harus diselesaikan sebagai syarat
guna meraih gelar Sarjana Sosial Jurusan Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Penulis menyadari banyak pihak yang telah membantu dalam proses
penyelesaian skripsi ini. Oleh karena ini, dengan segala kerendahan hati penulis
ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
hingga selesainya penyusunan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak
langsung kepada:
1. Suparto, M.Ed., Ph.D, sebagai Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dr. Siti
Napsiyah Ariefuzzaman, MSW sebagai Wakil Dekan Bidang Akademik.
Dr. Sihabuddin Noor, MA sebagai Wakil Dekan Bidang Administrasi
Umum. Drs. Cecep Sastrawijaya, M.A sebagai Wakil Dekan Bidang
Kemahasiswaan.
2. Ahmad Zaky, M.Si., sebagai Ketua Program Studi Kesejahteraan Sosial
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Hj. Nunung Khairiyah, MA sebagai
Sekretaris Program Studi Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
3. Drs. Helmi Rustandi, M.Ag sebagai dosen pembimbing yang telah
membantu mengarahkan, membina dan selalu bersedia meluangkan
waktunya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
4. Budi Rahman Hakim, MSW sebagai dosen pembimbing akademik.
iii
5. Seluruh Dosen Program Studi Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan ilmu dan
pengalamannya kepada penulis.
6. Para Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan seluruh
Civitas Akademika yang telah memberikan sumbangan wawasan dan
keilmuan dan membimbing saya selama mengikuti perkuliahan di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terima kasih telah
membantu saya dalam memberikan referensi buku, jurnal maupun skripsi.
8. Kepada seluruh pihak Yayasan Mitra Netra Jakarta Selatan yang telah
mengizinkan peneliti untuk melakukan penelitian disana.
9. Untuk Bapak Muiz selaku Kepala Bagian Rehabilitasi dan Diklat Yayasan
Mitra Netra yang telah membantu peneliti dengan memberikan informasi
yang dibutuhkan.
10. Kepada Bu Lilis, dan Mas Galuh selaku terapis Yayasan Mitra Netra yang
telah meluangkan waktunya untuk membantu peneliti dengan memberikan
informasi yang dibutuhkan.
11. Kepada Mba Endah, dan Ka Evi selaku asisten terapis Yayasan Mitra
Netra yang telah meluangkan waktunya dengan memberikan informasi
tambahan yang dibutuhkan peneliti, terima kasih juga bisa menjadi teman
baru selama disana.
12. Kepada seluruh informan yang telah bersedia memberikan informasi dan
waktunya sehingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik dan
terima kasih juga untuk pengalaman yang diberikan yang membuat penulis
paham secara mendalam mengenai penelitian ini.
13. Kedua orang tua saya tercinta Abdurrohim Kholil dan Maryatun yang tak
henti memanjatkan doa dan memberikan dukungan apapun kepada penulis,
sehingga penulis selalu termotivasi dengan kasih sayang kalian yang amat
besar. Juga untuk satu-satunya kakakku Ryan Rachimatun Zain yang
iv
selalu menghibur dikala penulis sedang mengalami kesulitasn serta selalu
memberikan motivasi kepada penulis.
14. Sahabat saya Marsya Tarinawadani dan Sinta Saraswati yang telah
memberikan semangat, memberikan pemikiran positif, motivasi, waktu,
dukungan moral kepada penulis selama penyelesaian skripsi.
15. Teman-teman ku dari “Koplak Squad” Diah Farhana, Siti Sarah Agusti,
Mayanty Regita, Devi Marita, Novita Sari yang memberikan semangat,
motivasi selama mengerjakan skripsi ini, terima kasih sudah menemani
selama kurang lebih empat tahun ini.
16. Teman-teman Kesejahteraan Sosial 2014 yang telah mengisi hari-hari
penulis semasa duduk dibangku kuliah, terima kasih atas kisah klasik yang
kelak akan selalu dikenang hingga suatu hari nanti.
17. Teman-teman SMP saya seperti Diana Maria Tanod, Dini Haniastuti,
Tatyana Najmi Vivani, Astiya, Hegar, dll. Terima kasih kalian selalu
memberikan semangat serta selalu menghibur dikalah penulis sedang
gundah. Tak lupa terima kasih untuk teman SMA saya Sarah Angelia
Ibrohim.
18. Teman-teman penulis yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang
telah memberikan masukan, do’a, dan semangat disetiap perbincangan.
Semoga skripsi ini bermanfaat dan semoga Allah SWT senantiasa
meridhoi setiap langkah kita. Aamiin yaa Rabb al-alamin.
Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan, baik dari
segi isi maupun teknik penulisan. Oleh sebab itu, kritik saran yang bertujuan
untuk membangun dari berbagai pihak akan peneliti terima dengan terbuka.
Demikianlah skripsi ini peneliti persembahkan, peneliti berharap skripsi
ini dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya maupun bagi semua pembaca.
Jakarta, November 2019
Siti Nur Rachimatun Sa’diyah
v
ABSTRAK ................................................................................................................ i
KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. v
DAFTAR TABEL .................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ ix
DAFTAR BAGAN .................................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.......................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................... 7
D. Metode Penelitian .................................................................................... 7
E. Sistematika Penulisan .............................................................................. 11
BAB II KAJIAN TEORI
A. Tunaganda-Netra ..................................................................................... 13
1. Tunanetra.......................................................................................... 13
a. Definisi Tunanetra..................................................................... 13
b. Klasifikasi Tunenetra ................................................................ 14
c. Sebab terjadinya Ketunanetraan ................................................ 16
d. Karakteristik Tunanetra ............................................................. 16
e. Dampak ketunanetraan .............................................................. 18
2. Tunaganda ........................................................................................ 19
a. Definisi Tunaganda ................................................................... 19
b. Ciri-ciri Anak Tunaganda ......................................................... 20
3. Tunaganda-Netra .............................................................................. 21
a. Definisi Tunaganda-Netra ......................................................... 21
b. Perkembangan Anak Tunaganda-Netra .................................... 22
B. Dukungan Sosial ..................................................................................... 30
1. Pengertian Dukungan Sosial ............................................................ 30
vi
2. Bentuk Dukungan Sosial .................................................................. 32
3. Sebab-sebab Terbentuknya Dukungan Sosial .................................. 32
4. Aspek-aspek Dukungan Sosial ......................................................... 33
5. Dukungan Sosial Orang Tua ............................................................ 34
6. Dampak atau Efek Dukungan Sosial bagi Kesehatan Mental .......... 35
C. Kajian Pustaka ............................................................................................. 36
D. Kerangka Berpikir ........................................................................................ 37
BAB III GAMBARAN UMUM LEMBAGA
A. Latar Belakang berdirinya Yayasan Mira Netra ..................................... 41
B. Sejarah Singkat Yayasan Mitra Netra ..................................................... 42
C. Visi dan Misi Yayasan Mitra Netra......................................................... 43
D. Aspek Hukum dan Legalitas ................................................................... 44
E. Struktur Organisasi Yayasan Mitra Netra ............................................... 44
F. Program Layanan .................................................................................... 45
G. Prestasi .................................................................................................... 52
H. Jaringan Kerjasama ................................................................................. 52
I. Program Layanan bagi Tunaganda-Netra ............................................... 54
BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Dukungan Sosial Orang Tua pada Anak Tunaganda-Netra di Yayasan
Mitra ........................................................................................................ 57
1. Dukungan Emosional ....................................................................... 60
a. Empati ....................................................................................... 60
b. Perhatian.................................................................................... 61
c. Cinta dan Kasih Sayang ............................................................ 63
2. Dukungan Instrumental .................................................................... 65
a. Peluang Waktu .......................................................................... 66
b. Bantuan Langsung..................................................................... 71
c. Bantuan Materi/Biaya ............................................................... 72
3. Dukungan Penilaian/Penghargaan ................................................... 73
a. Penghargaan Diri....................................................................... 73
b. Umpan Balik ............................................................................. 74
vii
4. Dukungan Informasional .................................................................. 75
a. Pemberian Nasihat, Arahan dan Informasi ............................... 75
BAB V PEMBAHASAN
A. Dukungan Emosional .............................................................................. 79
B. Dukungan Instrumental ........................................................................... 83
C. Dukungan Infomasional .......................................................................... 87
D. Dukungan Penilaian/Penghargaan........................................................... 88
BAB VI SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan.............................................................................................. 91
B. Implikasi .................................................................................................. 92
C. Saran ........................................................................................................ 93
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 97
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Pedoman Wawancara ............................................................................................ 10
Tabel 4.1 Data Informan ....................................................................................................... 63
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Fisioterapi .......................................................................................................... 59
Gambar 3.2 Fisioterapi .......................................................................................................... 60
x
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Kerangka Berpikir Penelitian ............................................................................... 45
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Bimbingan Skripsi
Lampiran 2 Surat Izin Penelitian
Lampiran 3 Inform Consent
Lampiran 4 Pedoman Wawancara Kepala Bagian Rehabilitasi dan Diklat
Lampiran 5 Transkrip Wawancara Kepala Bagian Rehabilitasi dan Diklat
Lampiran 6 Pedoman Wawancara Terapis
Lampiran 7 Transkrip Wawancara Terapis
Lampiran 8 Pedoman Wawancara Orang Tua
Lampiran 9 Transkrip Wawancara Orang Tua
Lampiran 10 Basic Concept Terapi Kognitif dan Perilaku
Lampiran 11 Hasil Dokumentasi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam panduan penanganan anak berkebutuhan khusus yang
dikeluarkan (Kemenppa) atau Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak bahwa anak berkebutuhan khusus adalah anak yang
mengalami keterbatasan atau keluarbiasaan, baik fisik, mental-intelektual,
sosial maupun emosional yang berpengaruh secara signifikan dalam proses
pertumbuhan atau perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain
yang seusia dengannya (Kemenppa, 2013, bab 2, dok.). Menurut Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Hak-Hak Penyandang
Disabilitas yang diakses melalui (https://www.balitbangham.go.id)
mendefinisikan penyandang disabilitas adalah individu yang memiliki
keterbatasan baik secara fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam
jangka waktu lama yang dimana dalam berinteraksi dengan lingkungan
dan sikap masyarakatnya menemui hambatan sehingga menyulitkan untuk
berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak.
Para anak berkebutuhan khusus mungkin saja mengalami
gangguan atau ketunaan, seperti gangguan fisik (tunadaksa), emosional
atau perilaku, penglihatan (tunanetra), komunikasi, pendengaran
(tunarungu), kesulitan belajar (tunalaras), atau mengalami retardasi mental
(tunagrahita). Adapun beberapa anak mengalami lebih dari satu gangguan
atau ketunaan, dikenal sebagai anak tunaganda atau majemuk. Menurut
Mangunsong, dkk. (1998), anak tunaganda atau majemuk adalah anak
yang menderita kombinasi atau gabungan dari dua atau lebih kelainan atau
kecacatan dalam segi fisik, mental, emosi, dan sosial, sehingga
memerlukan pelayanan pendidikan, psikologi, medis, sosial vokasional
melebihi pelayanan yang sudah tersedia bagi anak yang berkelainan
tunggal, agar masih dapat mengembangkan kemampuannya seoptimal
2
mungkin untuk berpartisipasi dalam masyarakat (Mangunsong, dkk.,
1998).
Disabilitas atau anak berkebutuhan khusus ada beberapa jenis,
salah satunya adalah disabilitas penglihatan atau tunanetra. Menurut
Somantri (2007) mengatakan bahwa tunanetra adalah individu yang
kehilangan penglihatan karena kedua inderanya penglihatannya tidak
berfungsi seperti orang awas. Tunanetra sendiri dibagi menjadi dua, yaitu
buta (total blind) dan low vision. Pada umumnya individu tunanetra juga
memiliki hambatan dalam menerima informasi. Individu dengan tunanetra
tidak memiliki kendali yang sama terhadap lingkungan dan diri sendiri,
seperti halnya yang dilakukan oleh individu awas. Keterbatasan tersebut
memungkinkan menghambat tugas-tugas perkembangannya (Delphie,
2006 dalam Desy Santika Dewi, 2016, h. 567).
Menurut Graham (dalam Haring, 1974) mengatakan bahwa 40%
anak tunanetra mempunyai kecenderungan untuk memiliki ketunaan lain
yang menyertainya. Sejalan dengan Graham, Lowenfeld (dalam Hatlen,
1973) menemukan bahwa dalam beberapa kasus, jumlah anak penyandang
tunanetra dengan ketunaan lain dapat melebihi jumlah anak yang hanya
menyandang tunanetra. Tunanetra yang memiliki ketunaan lain dikenal
dengan tunaganda-netra atau Multiple Disabilities and Visual Impairment
(MDVI), yaitu anak tunaganda dengan salah satu kombinasi ketunaan
berupa gangguan penglihatan (tunanetra).
Penelitian tentang tunaganda-netra ini masih jarang ditemukan atau
dilakukan. Oleh sebab itu, literatur mengenai anak tunaganda-netra sangat
terbatas. Padahal ini penting untuk dilakukan mengingat jumlah anak yang
mengalami ketunaan, termasuk tunaganda-netra makin lama makin
bertambah. Belum ada data yang menunjukkan perkiraan mengenai jumlah
anak tunaganda-netra di Indonesia. Namun jumlah tersebut terus
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (Sari Rudiyati, 2015, h. 69)
Kombinasi ketunaan yang dialami anak tunganda-netra
menyebabkan masalah berat, yakni mereka tidak dapat menerima
pelayanan yang memadai dalam program pendidikan yang diterima
3
tunanetra atau orang yang hanya memiliki satu hambatan saja (Thawani,
2000:461 dalam Jurnal Pendidikan Khusus, 2018). Selain itu kondisi anak
dengan hambatan tunaganda-netra tentu saja akan berdampak pada
perkembangan anak (perkembangan motorik, perkembangan kognitif,
perkembangan komunikasi, dll) yang akan berkembang lebih lambat
dibandingkan dengan anak-anak dengan satu hambatan, bahkan beberapa
anak tunaganda-netra biasanya menunjukkan perilaku yang berbeda seperti
kurang komunikasi atau sama sekali tidak dapat berkomunikasi, sulit
dalam keterampilan menolong diri sendiri, sulit berperilaku dan
berinteraksi yang sifatnya konstruktif (Yudha Eko Suseno, 2018, h. 2).
Berbagai hambatan dalam perkembangan yang dialami anak
tunaganda-netra dapat teratasi, apabila mereka mendapatkan bantuan dari
orang dewasa di sekitarnya (Hallahan & Kauffman, 2006). Oleh karena
itu, butuh peran aktif orang-orang di sekitar anak untuk membantu mereka
melewati berbagai kesulitan tersebut agar anak dapat mengembangkan sisa
potensi yang dimiliki. Bagi anak, tidak ada sumber kekuatan (resource)
yang lebih penting selain orang tua. Orang tua merupakan figur utama dan
tetap bagi kehidupan anak. Orang tua harus memberikan dukungan yang
dibutuhkan anak secara konsisten, terus menerus dan sistematis (Smith,
2001 dalam Dwi Ajeng, 2009, h. 3).
Sebagian besar orang tua dengan anak yang memiliki ketunaan
berat, dalam hal ini tunaganda-netra atau MDVI, menghadapi dua krisis
utama (Kirk & Gallagher, 1989). Pertama, orang tua tentu memiliki
harapan-harapan mengenai masa depan dari anak yang akan lahir, seperti
harapan mengenai kesuksesan, pendidikan, hingga kondisi finansial anak
tersebut. Tidak dapat dielakkan lagi orang tua yang mengetahui bahwa
anak mereka menderita ketunaan akan kehilangan mimpi dan harapan
mereka. Beberapa dari orang tua mengalami depresi berat ketika
mengetahui kenyataan tersebut (Farber dalam Kirk & Gallagher, 1989).
Kedua, yaitu krisis yang dialami orang tua berhubungan dengan masalah
untuk memberikan pelayanan sehari-hari. Selain itu, memikirkan bahwa
4
anak tidak akan mengalami proses perkembangan normal menjadi individu
dewasa yang mandiri juga akan memberatkan orang tua.
Keluarga yang menerima keberadaan anak dengan kondisi
disabilitasnya, beberapa kajian dan kertas kerja dalam jurnal ilmiah
menunjukkan, bahwa anak dengan disabilitas yang mendapat dukungan
dari persekitarannya, tidak mengalami banyak masalah perilaku maupun
masalah dalam penyesuaian sosialnya. Dukungan dari pesekitaran
merupakan sistem dukungan yang dapat mengurangi resiko depresi dan
tekanan pada penyandang disabilitas fisik (Turner dan Noh, 1988).
Keadaan tersebut dapat dipahami karena persekitaran sosial yang memberi
dukungan kepada anak dengan disabilitas memberikan suasana kondusif,
bahwa anak merasa diterima dan dibantu, sehingga keadaan ini dapat
memotivasi anak untuk beraktivitas dan berkarya (Rini Hartini, 2018)
Memiliki anak berkebutuhan khusus merupakan tantangan yang
cukup berat. Orangtua banyak yang mengeluhkan bahwa merawat dan
mengasuh anak berkebutuhan khusus membutuhkan tenaga dan perhatian
yang ekstra dibandingkan dengan merawat anak yang normal (Wiwin,
2011). Orangtua merupakan caregiver bagi anak berkebutuhan khusus,
yaitu seseorang yang memberikan bantuan kepada orang yang mengalami
ketidakmampuan dan memerlukan bantuan karena keterbatasannya.
Dukungan keluarga sangat diperlukan oleh setiap individu di dalam siklus
kehidupannya.
Oleh karena itu, pemeliharaan anak dan pengasuhan yang baik akan
mengantarkan anak untuk tumbuh dengan baik. Dalam Islam pun
mengajarkan bagi orang tua untuk menyayangi anaknya dalam Al Qur‟an
surah Al Kahfi ayat 46:
ن يا المال والب نون زينة الي وة الد رعند ربك ث وابا لحت خي والبقيت الص
ر أمل ﴾٦٤﴿الكهف:وخي
5
Artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia
tetapi amal kebajikan yang terus menerus adalah lebih baik pahalanya di
sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”.
Dalam ayat tersebut mengatakan bahwa harta dan anak-anak
adalah perhiasan kehidupan dunia bagi orang tua. Dimana setiap orang tua
harus memelihara dan mengasuh anak dengan baik sesuai dengan amanah
yang diberikan Allah dalam kondisi apapun agar anaknya dapat tumbuh
dan berkembang dengan baik.
Yayasan Mitra Netra adalah salah satu lembaga pelayanan sosial
yang sudah berdiri sejak lama, dimana Yayasan Mitra Netra ini peduli
akan isu disabilitas khususnya disabilitas netra. Dimana Yayasan ini
didirikan oleh beberapa orang tunanetra. Yayasan ini memusatkan
programnya pada upaya meningkatkan kualitas dan partisipasi tunanetra di
bidang pendidikan dan lapangan kerja.
Lembaga Yayasan Mitra Netra membantu orang tua yang memiliki
anak dengan disabilitas netra agar anak tersebut dapat hidup mandiri,
cerdas, bermakna dan bahagia serta berfungsi di masyarakat sesuai dengan
visi Yayasan Mitra Netra ini sendiri. Yayasan Mitra Netra juga melayani
bagi anak disabilitas netra yang memiliki hambatan lain atau disebut
dengan Multiple Disabilities and Visual Impairment (MDVI). Dimana
MDVI ini sendiri merupakan program baru yang dijalankan oleh Yayasan
Mitra Netra, meski tergolong baru namun pelayanan yang diberikan tetap
memberikan yang terbaik. Di lembaga tersebut juga terdapat program bagi
keluarga yang memiliki anak disabilitas akan tetapi ada beberapa orang tua
yang kurang aktif mengikuti program tersebut. Padahal anak-anak dengan
disabilitas tersebut membutuhkan dukungan dari keluarga terutama orang
tua.
Dari uraian di atas jelas bahwa anak tunaganda-netra atau Multiple
Disabilities and Visual Impairment (MDVI) ini mengalami berbagai faktor
yang berpengaruh besar pada kondisi psikologi dan sosialnya. Orang tua
6
yang memiliki anak dengan disabilitas netra ini perlu memberikan
dukungan bagi anaknya agar dapat mengurangi resiko depresi dan tekanan
pada penyandang disabilitas, serta agar anak merasa aman, nyaman dan
merasa dihargai.
Salah satu faktor pendukung yang membuat anak tunaganda-netra
atau MDVI dapat berkembang dengan baik adalah keluarganya terutama
orang tua. Orang tua memiliki peran utama dalam mengasuh anaknya
dirumah, karena lembaga hanya memfasilitasi pelayanan yang dibutuhkan,
sisanya kembali pada keluarganya masing-masing.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka
membuat penulis terdorong untuk melakukan pembahasan dan penelitian
secara lebih mendalam mengenai “Dukungan Sosial Orang Tua
terhadap anak Tunaganda-Netra di Yayasan Mitra Netra Jakarta
Selatan.”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang dijabarkan diatas, untuk tidak
terjadi kesalahpahaman dan pelebaran pembahasan, maka penulis
mencoba memfokuskan permasalahan yang akan terfokus pada
Dukungan Sosial Orang Tua terhadap Anak Tunaganda-Netra di
Yayasan Mitra Netra Jakarta Selatan. Hal ini bertujuan untuk
menghindari terjadinya perluasan materi yang akan dibahas
selanjutnya.
2. Perumusan Masalah
Bagaimana dukungan sosial yang diberikan orang tua terhadap anak
Tunaganda-Netra di Yayasan Mitra Netra Jakarta Selatan?
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan di atas, maksud dan tujuan
dari penelitian ini, sebagai berikut, yaitu untuk mengetahui bagaimana
dukungan sosial orang tua terhadap anak Tunaganda-Netra di Yayasan
Mitra Netra Jakarta Selatan
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
1) Penulisan ini diharapkan dapat digunakan sebagai infomasi dan
dokumentasi ilmiah dan dapat memberikan sumbangan
pemikiran pada ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan studi
kesejahteraan sosial, khususnya yang berkaitan dengan
dukungan sosial orang tua terhadap anak Tunaganda-Netra
2) Penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan gambaran
untuk penelitian selanjutnya tentang masalah yang terkait.
b. Manfaat Praktis
1) Bagi keluarga dapat dijadikan sebagai masukan dalam
memberikan dukungan sosial bagi anak yang mengalami
tunaganda-netra.
2) Bagi masyarakat luas dapat dijadikan sebagai masukan untuk
memberikan dukungan sosial kepada anak yang mengalami
anak tunaganda-netra di lingkungan sekitarnya.
3) Bagi penulis dapat menambah wawasan yang luas terutama
dalam disabilitas ganda.
D. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif,
dimana pendekatan kualitatif ini bertujuan untuk mendeskripsikan atau
menggambarkan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai faktor-
faktor, sifat, serta hubungan antara fenomena yang diteliti, data yang
8
dikumpulkan dari metode deskriptif ini berupa kata-kata, gambar dan
bukan angka-angka (Moleong, 2007, h 9-10).
Pendekatan kualitatif dipilih karena peneliti ingin
mendeskripsikan, memperoleh gambaran nyata dan menggali
informasi yang jelas mengenai bagaimana
Dengan demikian, laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan
untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut
berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, catatan atau memo
dan dokumen resmi lainnya (Djunaedi, 2012)
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah metode deskriptif
yang ditujukan untuk mengumpulkan data aktual secara rinci yang
menggambarkan gejala yang ada, mengidentifikasi masalah atau
memeriksa kondisi atau praktik-praktik yang berlaku, juga menentukan
apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama
hingga belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana serta
keputusan pada masa yang akan datang (Jalaludin R., 2006)
Metode deskriptif yaitu metode yang dirancang untuk
mengumpulkan informasi tentang keadaan-keadaan yang sekarang
(sementara berlangsung). Tujuan utama menggunakan jenis penelitian
deskriptif ini untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang
sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan, dan memeriksa
sebab-sebab dari suatu gejala tertentu (Cunsuelo, 2006). Tujuan dari
penelitian deskriptif ini untuk mendeskripsikan, mencatat dan
menganalisis mengenai bagaimana dukungan sosial orang tua terhadap
anak tunaganda-netra di Yayasan Mitra Netra Jakarta Selatan.
3. Sumber Data
Kata-kata dan tindakan merupakan sumber data dalam sebuah
penelitian kualitatif. Sedangkam dokumen dan lain-lain merupakan data
9
tambahan. Data primer dan sekunder merupakan sumber data yang
diperoleh dalam penelitian kualitatif deskriptif.
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang langsung yang diperoleh melalui
wawancara dengan orang tua yang salah satu anggota keluarganya
mengalami tunganda-netra.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang dikumpulkan melalui sumber-
sumber informasi tidak langsung seperti dokumen-dokumen yang
ada di perpustakaan, departemen dan lain-lain. Data sekunder yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari
studi kepustakaan.
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Teknik
wawancara ini merupakan salah satu teknik untuk mengumpulkan
berbagai data dan informasi (Suharsimi, 1979). Dalam proses ini
peneliti akan melakukan wawancara terhadap staff lembaga,
maupun kepada klien yaitu orang tua dari anak tunaganda-netra.
b. Dokumentasi
Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data yang sudah
tersedia dalam catatan dokumen. Dalam penelitian sosial, fungsi
data yang berasal dari dokumentasi lebih banyak digunakan sebagai
data pendukung dan pelengkap data. Dokumentasi yang tersaji bisa
berupa foto-foto, brosur dan buku-buku yang ada kaitannya dengan
penelitian.
5. Tempat dan Waktu Penelitian
a. Lokasi Penelitian
Penelitian ini bertempat di Yayasan Mitra Netra di Jl. Gunung
Balong II No. 58, Lebak Bulus III Jakarta Selatan 12440.
10
b. Waktu Penelitian
Penelian ini dilaksanakan selama kurang lebih 4 bulan dari bulan
Oktober 2018 sampai Januari 2019.
6. Subjek, Informan dan Objek Penelitian
Peneliti melakukan observasi awal untuk menentukan siapa saja
yang dipilih sebagai sumber informasi. Sesuai dengan karakteristik
penelitian kualitatif, teknik pemilihan informan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teknik Purposive Sampling yaitu dengan memilih
informan yang dipilih peneliti karena ada pertimbangan untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu (Sugiyono, 2010). Adapun informan yang dipilih
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel 1.1 Pedoman Wawancara
No Informan Informasi yang dicari
1 Kepala bagian
rehabilitasi dan diklat
Yayasan Mitra Netra
Wawancara ke bagian rehabilitasi untuk
mengetahui pelayanan sosial apa saja
yang diberikan kepada anak tunaganda-
netra.
2 Terapis Wawancara ke terapis, untuk mengetahui
bagaimana terapi yang dilakukan pada
anak tunaganda-netra.
3 4 orang tua dari anak
dengan Tunaganda-
netra
Wawancara ke orang tua, untuk
mengetahui bagaimana pemberian
dukungan sosial kepada anak yang
mengalami tunaganda-netra.
7. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan salah satu langkah yang paling penting
untuk memperoleh temuan-temuan hasil penelitian. Analisis data adalah
proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh
dari hasil wawancara, dan dokumentasi, dengan cara
mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan kedalam unit-
11
unit, menyusun kedalam pola, memilih mana yang lebih penting dan
yang akan di pelajari, dan membuat kesimpulan sehingga dapat dengan
mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain (Sugiyono, 2011).
Setelah terkumpulnya data dan informasi yang dibutuhkan sesuai
dengan permasalahan penelitian, maka selanjutnya penulis melakukan
analisis terhadap data dan informasi tersebut. Dalam menulis data
tersebut penulis menggunakan analisis deskriptif, yaitu
mendeskripsikan hasil temuan penelitian secara sistematis, faktual dan
akurat yang disertai dengan petikan hasil wawancara.
Nasir mengemukakan analisa data merupakan bagian yang sangat
penting dalam metode ilmiah, karena dengan analisis data tersebut
dapat diberi data dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah
penelitian (Nasir, 1993). Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis
secara kualitatif. Data-data kualitatif dari hasil wawancara mendalam
yang berupa kalimat-kalimat atau pernyataan pendapat atau sikap
tersebut dianalisa dan diinterpretasikan untuk mengetahui makna yang
terkandung di dalamnya, untuk memahami keterikatan dengan
permasalahan yang sedang diteliti.
Data kualitatif dari hasil wawancara, observasi langsung dan
dokumentasi selanjutnya disusun dalam catatan lapangan, kemudian
diringkas dan dipilih hal-hal yang penting dan pokok, dikategorikan dan
disusun secara sistematis dengan mengacu pada perumusan masalah
dan tinjauan teoritis yang berkaitan dengan penelitian ini.
E. Sistematika Penulisan
Penulisan Skripsi ini berdasarkan sistematika penulisan, yaitu sebagai
berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metodologi Penelitian, dan
Sistematika Penulisan.
12
BAB II KAJIAN TEORI
Landasan Teori, Kajian Pustaka, Kerangka Berpikir, Tunaganda-Netra,
Pengertian Tunanetra, Klasifikasi Tunanetra, Sebab Terjadinya
Ketunanetraan, Dampak Ketunanetraan, Tunaganda, Definisi Tunaganda,
Ciri-ciri Anak Tunaganda, Pengertian Tunaganda-Netra, Perkembangan
Anak Tunaganda-Netra, Pengertian Dukungan Sosial, Bentuk Dukungan
Sosial, Sebab-sebab Terbentuknya Dukungan Sosial, Aspek-aspek
Dukungan Sosial, Sumber-sumber Dukungan Sosial, Dukungan Sosial
Orang Tua.
BAB III GAMBARAN UMUM LATAR PENELITIAN
Pada bab ini membahas mengenai deskripsi umum Yayasan Mitra Netra
yang di dalamnya menggambarkan dari sejarah singkat tentang berdirinya
yayasan ini, visi, misi motto, tujuannya, identitas lembaga, sarana dan
prasarana, struktur organisasi, pembiayaan operasional, dan kerja samanya
dengan pihak lain terkait pemberian dukungan sosial.
BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
Bab ini akan menjelaskan bagaimana dukungan sosial yang diberikan,
dengan menjelaskan hasil observasi, wawancara, dokumentasi lapangan
terkait dengan dukungan sosial.
BAB V PEMBAHASAN
Bab ini berisi uraian yang mengaitkan latar belakang, teori, dan rumusan
teori baru dari penelitian.
BAB VI SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
Bab ini berisi kesimpulan, implikasi dan saran dari hasil penelitian.
13
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Tunaganda-Netra
Tunaganda-netra atau Multiple Disabilities and Visual Impairment
(MDVI) merupakan salah satu bentuk kombinasi dari tunanetra dengan
ketunaan yang lain. Literatur mengenai tunaganda-netra masih terbatas, oleh
karena itu pada penelitian ini menggunakan literatur mengenai tunanetra dan
tunaganda.
1. Tunanetra
a. Definisi Tunanetra
Menurut Hatfield (dalam Mangunsong dkk, 1998), seseorang dinyatakan
tunanetra apabila setelah dilakukan berbagai upaya perbaikan terhadap
kemampuan visualnya, ternyata ketajaman visualnya tidak melebihi 20/200
atau setelah dilakukan berbagai upaya perbaikan kemampuan visualnya,
ternyata pandangannya tidak melebihi 20 derajat. Pengukuran ketajaman
visual dapat dilakukan dengan menggunakan Snellen Chart. Bila didapatkan
hasil 20/200, maka dapat disimpulkan bahwa individu hanya dapat melihat
pada jarak 20 kaki. Sementara itu, mata dengan penglihatan normal dapat
melihat dengan jarak 200 kaki (Hallahan & Kauffman, 2006).
Dilihat dari sudut pandang pendidikan, gangguan penglihatan dibedakan
menjadi dua (Mangunsong dkk, 1998), yaitu:
1) Siswa yang tergolong buta (dipandang dari segi akademis), mencakup
siswa yang tidak dapat lagi menggunakan penglihatannya untuk tujuan
belajar huruf awas/cetak.
2) Siswa yang melihat sebagian atau kurang awas, yang meliputi siswa
dengan penglihatan masih berfungsi secara cukup antara (20/70 –
20/200) atau mereka yang memiliki ketajaman penglihatan normal
tetapi memiliki sudut pandang kurang dari 20 derajat.
14
Sedangkan pendapat lain mengatakan tunanetra adalah salah satu jenis
hambatan fisik yang ditandai dengan ketidakmampuan seseorang untuk
melihat, baik secara menyeluruh (total blind) ataupun sebagian (low vision).
Dengan kata lain tunanetra adalah individu yang mengalami gangguan fungsi
penglihatan sedemikian rupa sehingga individu tersebut tidak dapat
menggunakan indera penglihatannya secara fungsional (Agustyawati &
Solicha, 2009, h. 5).
b. Klasifikasi Tunanetra
Secara garis besar menurut Agustyawati dan Solicha tunanetra
dikelompokkan menjadi dua macam, yakni buta (total blind) dan low vision
(Agustyawati & Solicha, 2009, h. 10-12).
1) Buta (total blind)
Dikatakan buta apabila sama sekali tidak mampu menerima rangsangan
cahaya dari luar
2) Low Vision
Seseorang yang memiliki keterbatasan dalam jarak pandang, tetapi
masih dapat melihat objek ketika mereka berada dalam jarak beberapa
inci atau maksimum dalam jarak dua kaki. Dengan kacamata, mereka
masih mampu membaca tulisan yang huruf-hurufnya berukuran besar.
Selain dua macam tersebut, tunanetra juga dapat dibagi menjadi empat,
yaitu:
1) Berdasarkan waktu terjadinya ketunanetraan terbagi menjadi lima,
yaitu;
a) Tunanetra sebelum dan sejak lahir; yakni mereka yang sebelum atau
sejak lahir sudah menjadi tunanetra, biasanya diakibatkan oleh virus
atau faktor lain saat persalinan, sehingga mereka tidak memiliki
pengalaman penglihatan sama sekali.
b) Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil; yakni individu yang
mengalami gangguan penglihatan sejak masih kecil, individu ini
telah memiliki kesan-kesan serta pengalaman visual namun belum
kuat sehingga mudah terlupakan.
15
c) Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja; pada masa ini,
individu telah memiliki kesan-kesan visual dan meninggalkan
pengaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan pribadi.
d) Tunanetra pada usia dewasa; pada umumnya individu yang dengan
segala kesadaran sudah mampu melakukan latihan-latihan
penyesuaian diri.
e) Tunanetra pada usia lanjut; sebagian besar pada masa ini individu
sudah sulit untuk mengikuti latihan-latihan penyesuaian diri.
2) Berdasarkan kemampuan daya penglihatan terbagi menjadi tiga, yaitu;
a) Tunanetra ringan (defective vision/low vision); yaitu mereka yang
memiliki hambatan dalam penglihatan akan tetapi mereka masih
dapat mengikuti program pendidikan dan mampu melakukan
pekerjaan/kegiatan yang menggunakan fungsi penglihatan.
b) Tunanetra setengah berat (partially sighted); yaitu mereka yang
kehilangan sebagian daya penglihatan, hanya dengan menggunakan
kaca pembesar mampu mengiktui pendidikan biasa atau membaca
tulisan yang bercetak tebal.
c) Tunanetra berat (totally blind); atau biasa dikenal buta, yaitu mereka
yang tidak dapat melihat sama sekali.
3) Berdasarkan kelainan-kelainan pada mata terbagi menjadi tiga;
a) Myopia atau rabun jauh adalah penglihatan jarak dekat, dimana
individu sulit untuk melihat obyek jauh dengan jelas, namun
penglihatan akan menjadi jelas kalau obyek didekatkan.
b) Hyperopia atau rabun dekat adalah penglihatan jarak jauh, dimana
individu sulit untuk melihat obyek dekat dengan jelas, namun
penglihatan akan menjadi jelas jika obyek dijauhkan.
c) Astigmatisme atau mata silinder adalah penglihatan kabur yang
disebabkan karena adanya ketidaksempurnaan pada kornea mata atau
pada permukaan lain pada bola mata sehingga bayangan benda baik
pada jarak jauh maupun dekat tidak terfokus jatuh pada retina.
16
c. Sebab Terjadinya Ketunanetraan
Dalam Garrison dan Force (1980) disebutkan beberapa penyebab utama dari
kebutaan antara lain karena infeksi penyakit, kecelakaan, keracunan, tumor,
penyakin umum, pengaruh masa kehamilan dan faktor etiologi lainnya.
Disebutkan pula berdasarkan hasil penelitian bahwa kebanyakan penderita
kebutaan bersumber dari masa prenatal, walaupun tidak selalu jelas faktor
spesifik apa yang mengakibatkan kondisi tersebut. Selain itu, disebutkan pula
ada dua faktor yang menyebabkan individu menderita tunanetra (Widjajatin
& Hitipeuw, 1995), yakni:
1) Faktor Endogen
Faktor endogen yaitu faktor yang erat hubungannya dengan masalah
keturunan atau pertumbuhan seorang anak dalam kandungan.
Ketunetraan pada faktor ini bisa dialami jika perkawinan antar keluarga
keluarga tunanetra atau terdapat gangguan pada masa kehamilan karena
unsur-unsur penyakit yang bersifat menahun seperti TBC, sehingga
dapat merusak sel-sel darah tertenu selama pertumbuhan janin.
2) Faktor Eksogen
Faktor eksogen yaitu faktor luar terjadi setelah dilahirkan. Faktor ini
berkairan dengan penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan
ketunanetraan, seperti xeropthalmia, yaitu penyakit yang disebabkan
karena kekurangan vitamin A; trachoma, yaitu gejala bintil-bintil pada
selaput putih dengan perubahan pada selaput bening, pada stadium
akhir selaput putih menjadi keras, sakit dan menjadi luka; katarak, yaitu
kekeruhan dan keburaman lensa yang menghalangi cahaya masuk ke
dalam mata; dan penyakit lainnya yang dapat menyebaabkan
ketunanetraan.
d. Karakteristik Tunanetra
1) Karakteristik Fisiologis
a) Buta (Totally Blind)
Seseorang dikatakan buta bila dilihat secara fisik yaitu apabila tidak
mampu melihat, tidak mampu mengenali orang pada jarak enam
17
meter, terdapat kerusakan nyata pada kedua bola mata, sering
meraba-raba hingga tersandung saat jalan, mengalami kesulitan saat
mengambil benda kecil di sekitarnya, bagian bola mata yang hitam
berwarna keruh, peradangan hebat pada kedua bola mata.
b) Low vision
Low vision berbeda dengan buta, penderita low vision hanya
kehilangan sebagian penglihatannya dan masih memiliki penglihatan
sebagian yang dapat ditingkatkan apabila difungsikan dengan baik.
Seseorang yang mengalami low vision masih dapat menulis dan
membaca dengan jarak yang sangat dekat, dengan bantuan alat,
namun hanya dapat membaca huruf yang berukuran besar, mata
tampak lain (terlihat putih di tengah mata/katarak atau kornea terlihat
berkabut, terlihat tidak menatap lurus kedepan, memicingkan mata
atau mengerutkan kening terutama di cahaya terang saat mencoba
melihat sesuatu.
2) Karaktertistik kognitif
Kecenderungan tunanetra mengganti indera penglihatan dengan indera
pendengaran sebagai saluran utama penerimaan informasi dari luar
mengakibatkan pembentukan pengertian atau konsep hanya berdasarkan
pada suara atau bahasa lisan. Beberapa konsep yang sangat sulit
dikenalnya seperti konsep warna, jarak, dan waktu. Namun demikian
secara psikologis mereka sering dicirikan dengan pemilikan indera
superior yaitu dalam hal perabaan, pendengaran dan daya ingat.
3) Karakteristik sosial
Perkembangan sosial tunanetra sangat bergantung pada bagaimana
perlakuan dan penerimaan lingkungan terutama lingkungan keluarga itu
sendiri. Penerimaan secara realistik dengan segala keterbatasannya
adalah yang paling utama dalam menumbuhkan rasa percaya dirinya.
18
e. Dampak Ketunanetraan
Menurut Lowenfeld (dalam Mangunsong dkk, 1998),
mengemukakan ada tiga hal yang dapat berpengaruh sebagai akibat dari
kerusakan dalam penglihatan, yaitu:
1) Perkembangan Kognitif dan Kemampuan Konseptual
Input visual memiliki peranan yang besar dalam suatu konsep,
dalam merangsang dan mengarahkan tingkah laku, dan secara umum
dalam ketepatan informasi yang diterima seseorang dari lingkungannya
yang dihubungkan dengan apa yang ada dalam pikirannya. Bila
dibandingkan dengan individu yang dapat melihat, mereka yang
mengalami tunanetra lebih bergantung pada informasi taktil dan auditif
untuk belajar mengenai dunia. Menurut Hallahan dan Kauffman (2006)
anak tunanetra akan mengalami kesulitan dalam hal kemampuan
konseptual. Biasanya anak tunanetra akan mengalami mengandalkan
sentuhan untuk mendapatkan konseptualisasi dari objek, sedangkan
sentuhan kurang efektif dibandingkan penglihatan. Menurut Kirk dan
Gallagher (1979 dalam Mangunsong dkk, 1998), anak-anak dengan
tunanetra memiliki tingkat kecerdasan yang berada pada taraf di bawah
rata-rata, bila diukur dengan test inteligensi. Tetapi, karena sulit
menemukan tes yang dapat membandingkan inteligensi antara individu
yang dapat melihat dengan individu tunanetra, penggunaan tes verbal
saja kurang memuaskan, dan mengingat bagian “performance” yang
juga penting menjadi diabaikan sehingga respon yang diberikan oleh
individu tunanetra menjadi terbatas. Oleh karena itu, tidak berarti
kebutaan mengakibatkan intelegensi seseorang menjadi lebih rendah.
2) Perkembangan Motorik
Untuk perkembangan motorik anak tunanetra cenderung lambat
karena kemampuan orientasi yang buruk, “body awareness” yang tidak
tepat serta tidak tepat dalam mengkoordinasikannya, dan kurang dapat
memperkirakan bagaimana bergerak secara aman/tepat pada situasi
yang baru. Hal tersebut terjadi pada anak tunanetra karena sebelum
melakukan gerakan yang sesuai dengan lingkungannya, maka seorang
19
anak harus mengetahui lebih dahulu bagian-bagian tubuhnya, arah,
posisi dalam ruang, serta keterampilan seperti duduk, berdiri, atau
berjalan.
3) Perkembangan Sosial
Masalah dalam bergerak, sikap orangtua yang terlalu melindungi
serta hubungannya dengan kelompok teman sebaya dan anak-anak yang
memiliki penglihatan normal menunjukkan bahwa anak tunanetra
memiliki masalah dalam penyesuaian dirinya ke dalam lingkungan
sosial, sehingga anak tunanetra tidak berdaya dan bergantung kepada
orang lain. Hal tersebut senada dengan pendapat Cutsforrth (dalam
Supena, 1999) mengatakan bahwa kekurangmampuan penyesuaian diri
pada anak tunanetra mungkin lebih disebabkan karena perlakukan-
perlakuan yang diberikan oleh masyarakat terhadap anak tunanetra.
Oleh karena itu, sikap orang tua dan lingkungan sosial memiliki peran
penting dalam menentukan gambaran penyandang tunenetra.
2. Tunaganda
a. Definisi Tunaganda
Tunaganda dan majemuk adalah anak yang menyandang kombinasi
atau gangguan dari dua atau lebih kelainan atau ketunaan dalam segi, fisik,
emosi, mental dan sosial, sehingga memerlukan pelayanan pendidikan,
psikologis, medis, sosial hingga vokasional melebihi pelyananan yang sudah
tersedia bagi anak berkelainan tunggal, agar dapat mengembangkan
kemampuannya seoptimal mungkin untuk mengembalikan fungsi sosialnya
dalam masyarakat (Mangunsong, dkk. 1998).
Lebih jauh lagi dikatakan bahwa anak-anak tunaganda apabila
dibandingkan dengan anak-anak berkebutuhan khusus yang menyandang
ketunaan tunggal memiliki kelainan yang lebih kompleks, baik dalam hal
fisik, dalam hal kemampuan sosialnya dan juga dalam hal mental ataupun
intelektualnya (Mangunsong, dkk., 1998).
Kombinasi ketunaan yang termasuk dalam tunaganda adalah,
tunanetra-tunadaksa, tunanetra-tunarungu, tunanetra-tunagrahita didik,
20
tunarungu-tunadaksa, tunadaksa-tunagrahita, dan masih banyak lagi.
Terlepas dari kombinasi tersebut, mereka memiliki karakteristik yang sama,
yaitu kesulitan dalam berkomunikasi, terhambat dalam aktivitas fisik dasar,
keterampulan generalisasi yang minim, dan membutuhkan ukungan dalam
menjalankan aktivitas kehidupan utama.
b. Ciri-Ciri Anak Tunaganda
Guess dan Muligan (Meyen 1982 dalam Rizki Farabi, 2008)
menjelaskan bahwa keberagaman antar anak tunaganda jauh lebih besar
diantara kesamaannya. Tidak ada satupun anak yang memiliki ciri yang
sama dengan anak tunaganda lainnya. Lebih jauh dijelaskan, pada umumnya
yang dialami oleh anak tunaganda adalah keterlambatan perkembangan
yang parah, dan juga perkembangan yang menyimpang, berikut adalah yang
dimaksud perkembangan tidak sama dengan anak normal pada umumnya:
Ciri-ciri anak tunganda, menurut Mangunsong, dkk. (1998) dan Guess
dan Mulligan (Meyen 1982 dalam Rizki Farabi 2008) adalah:
1) Ciri-ciri fisik. Memiliki kelainan lebih dari satu macam; bahkan ada
yang memiliki kelainan hingga 3-4 macam. Gangguan-gangguan yang
kerap dialami adalah gangguan refleks dan motorik, fungsi sensoris,
fungsi metabolisme, fungsi pernafasan, gangguan perasaan kulit, dan
gangguan ekskresi urine (Mangunsong, dkk., 1998). Kemampuan
motoriknya dapat dilatih, namun perkembangannya tidak bisa secepat
anak normal.
2) Ciri-ciri kognitif. Tingkat kecerdasasan sangat bervariasi, tergantung
pada kelainan-kelainan yang disandangnya. Gangguan yang dialami
dalam kemampuan intelektual, emosional dan sosial seperti hiperaktif,
gangguan pemusatan perhatian, mudah depresi, cemas, dan sangat
berpusat pada diri sendiri atau self-centered (Mangunsong, dkk., 1998).
Sulit mengenali bentuk, warna dan objek-objek lain. Walaupun ada
beberapa dari mereka yang cukup mampu melakukan hal-hal tersebut,
namun perkembangannya tidak bisa disamakan dengan anak yang
normal (Guess dan Mulligan, dalam Meyen 1982).
21
3) Ciri-ciri sosial. Pada umumnya tunaganda mengalami kesulitan dalam
melakukan keseharian, merasa rendah diri, isolatif, kurang percaya diri,
self-help yang rendah, dan hambatan dalam melakukan interaksi sosial.
Sebagian dari mereka dapat bergaul dengan lingkungan sosialnya
(Mangunsong, dkk., 1998). Mereka memiliki hambatan dalam tingkah
laku adaptif. Terkadang tindakan yang dilakukan tidak sesuai dengan
keadaan. Mereka juga sering melakukan stereotyped behaviour atau
mengulang-ulang tindakan yang tidak memiliki arti khusus. Salah satu
ciri anak tunaganda lainnya adalah tindakan yang melukai diri sendiri
(Guess dan Muliggan; Meyen 1982, dalam Rizki Farabi 2008).
4) Ciri kemampuan berbahasa. Perkembangan kemampuan berbicara dan
berbahasa anak tunaganda sangat lambat. Pada umumnya tunaganda
hanya mampu berbicara beberapa kata ataupun frase. Selain itu, mereka
juga sulit berbicara dengan jelas, bahkan seperti meracau dan berbicara
hal-hal yang tidak berhubungan dengan konteks. Oleh karena itu, sering
kali mereka kurang bisa mengungkapkan apa yang diinginkan, hingga
akhirnya menangis bertindak agresif, bahkan tantrum atau perpaduan
dari beberapa tindakan destruktif (Guess dan Mulligan; Meyen 1982,
dalam Rizki Farabi 2008).
3. Tunaganda-Netra
a. Definisi Tunaganda-Netra
Menurut Moor (1965 dalam Lowenfeld 1973) menggambarkan anak-
anak penyandang tunaganda-netra sebagai individu yang membutuhkan
bantuan khusus agar dapat berfungsi di dalam program pendidikan.
Sedangkan menurut Philip H. Hatlen (Lowenfeld, 1973), mengatakan bahwa
tingkat keparahan anak-anak tunanetra dengan ketunaan tambahan sangat
berat sehingga mereka tidak dapat dilayani secara memadai dengan
pelayanan yang diberikan untuk anak tunanetra. Dengan kata lain, anak-
anak tunaganda-netra membutuhkan pelayanan khusus yang berbeda dari
pelayanan untuk anak tunanetra. Selain itu, Elonen, Polzien dan
Zwarensteyn (1976; Lowenfeld, 1973), beranggapan bahwa anak
22
tunanganda-netra dapat digambarkan dengan akurat sebagai “deviant blind
children” (Dewi Rahmawati, 2009).
b. Perkembangan Anak Tunaganda-Netra
Perkembangan anak dengan ketunaanganda-netra dapat dilihat dari
beberapa aspek perkembangan kemampuan, antara lain aspek kognitif,
bahasa, sosial, motorik halus, motorik kasar, visual dan sensorimotor,
orientasi dan mobilitas, dan bina bantu-diri (Meyen, 1982; Snell 1983;
Heward & Orlansky, 1992; Hallahan & Kauffman, 2006 dalam Dewi
Rahmawati, 2009).
1) Aspek Kemampuan Kognitif
Ciri-ciri rohaniah/mental/intelektual anak-anak tunaganda dan
majemuk antara lain; mereka sering mengalami gangguan kemampuan
intelektual, kehidupan emosi dan sosialnya, seperti emotional disorder,
hiperaktif, gangguan pemusatan perhatian, toleransi terhadap
kekecewaan yang rendah, berpusat pada diri sendiri, depresi, cemas,
dan lain-lain. Kelainan yang dialami oleh anak tunaganda dan majemuk
sangatlah kompleks, hal tersebut akan membawa beban psikologis yang
berat bagi mereka (Mangunsong dkk., 1998).
Anak tunaganda-netra memiliki kemampuan kognitif yang berbeda-
beda atau beragam. Meskipun begitu, anak tunaganda-netra memiliki
potensi untuk menguasai tugas praakademis. Salah satu tugas
praakademis yang diajarkan pada anak tunaganda-netra adalah
mengikuti instruksi yang diberikan secara verbal oleh guru (Meyen,
1982). Dalam perkembangan selanjutnya, anak dapat diajarkan berbagai
kemampuan akademis yang berkaitan dengan kognitif, bahkan sampai
pada kemampuan untuk menulis, dan membaca, baik dengan huruf
awas maupun Braile (Meyen, 1982). Selain itu, anak juga dapat
diajarkan mengenai struktur keruangan, yang berkaitan dengan
kemampuan untuk menempatkan dan memindahkan benda di suatu
ruangan, membandingkan dua buah benda, serta mengelompokkan
benda-benda di suatu ruangan, membandingkan dua buah benda, serta
23
mengelompokkan benda-benda dengan fungsi yang sama (Robinson &
Robinson, 1983). Selain itu, anak juga diajarkan pengetahuan secara
khusus mempelajari seksualitas manusia melalui penglihatan mereka
(Heward & Orlansky, 1992).
2) Aspek Kemampuan Bahasa
Semua anak dengan ketunaanganda menunjukkan kekurangan
dalam kemampuan bahasa dan berbicara. Kekurangan ini dapat berupa
keterlambatan dalam berbicara, ketidakjelasan dalam berbicara dan
pembentukan pola bicara yang aneh (Meyen, 1982). Perkembangan
kemampuan berbahasa mereka sangat lambat. Pada umumnya mereka
hanya mampu berbicara beberapa kata ataupun frase. Selain itu mereka
juga sulit berbicara dengan jelas, bahkan mereka seperti meracau dan
berbicara tentang hal-hal yang tidak berhubungan konteks. Oleh karena
kemampuan berbicara dan berbahasa mereka sangat terbatas, seringkali
mereka kurang bisa mengungkapkan apa yang diinginkan, hingga
akhirnya mereka menangis, bertindak agresif, bahkan tantrum atau
perpaduan dari beberapa tindakan destruktif (Guess dan Mulligan
dalam Meyen 1982).
Meskipun begitu, anak tunaganda-netra masih memiliki potensi
untuk menguasai kemampuan bahasa. Anak dengan ketunaanganda-
netra dapat diajarkan untuk menguasai fungsi-fungsi semantik (arti
suku kata). Setelah menguasai fungsi semantik, anak dapat diajarkan
untuk berbicara dengan struktur kalimat yang benar (Subyek + Predikat
+ Obyek) (Miller & Yoder, 1974 dalam Meyen, 1982). Anak juga dapat
diajarkan untuk berbicara menggunakan kata kerja dan kata benda
secara bersamaan. Salah satu fungsinya adalah agar anak dapat
menyatakan keinginannya secara verbal, misalnya “ingin kue”. Selain
itu, anak diajarkan untuk menggunakan kata tanya, seperti „siapa‟,
„apa‟, dan „di mana‟. Anak juga diajarkan untuk menyatakan penolakan
bila tidak menginginkan sesuatu serta kepemilikan akan suatu benda
(Stremes & Waryas, 1974 dalam Meyen, 1982). Semua kemampuan itu
bertujuan agar anak dapat menggunakan bahasa yang telah ia miliki
24
untuk mengekspresikan dirinya secara verbal, misalnya siswa dapat
menceritakan perasaannya saat itu (Kent, 1974 dalam Meyen, 1982).
3) Aspek Kemampuan Sosial
Menurut Mangunson, dkk (1998), ciri-ciri sosial anak-anak
tunaganda dan majemuk: yaitu mereka memiliki hambatan fisik dalam
menjalankan kegiatan sehari-harinya, rasa rendah diri, hambatan dalam
keterampilan kerja dan dalam melaksanakan kegiatan sosial, isolatif,
kurang percaya diri, dan lain-lain. Walaupun demikian, sebagian dari
anak-anak tunaganda dan majemuk ini masih mampu bergaul dengan
teman guru mereka, bahkan dengan orang lain yang berkunjung ke
lembaga pendidikan yang menangani mereka. Akan tetapi, sebagian ada
yang tidak dapat bergaul maupun berkomunikasi dengan teman, guru,
atau orang lain.
Kemampuan anak tunaganda-netra untuk berinteraksi dengan
lingkungan sosialnya merupakan persyaratan yang penting agar anak
dapat meniru tingkah laku yang pantas dari lingkungan sekitarnya
(Meyen, 1982). Dalam interaksinya dengan orang lain, mereka sangat
jarang memulai suatu interaksi, juga untuk beraksi terhadap interaksi
yang dilakukan orang lain. Terkadang tindakan yang dilakukannya pun
tidak sesuai dengan keadaan. Mereka juga sering melakukan self-
simulation yang juga bisa disebut stereotyped behavior yaitu tingkah
laku yang berulang kali dilakukan yang sepertinya tidak memiliki arti
khusus, dimana tingkah laku itu akan menjadi masalah apabila dapat
melukai diri sendiri, juga dapat mengganggu proses pembelajaran
apabila sering dilakukan (Hallahan & Kauffman 2006). Tindakan
melukai diri sendiri menjadi salah satu ciri anak tunganda atau disebut
self-injury (Guess & Mulligan dalam Meyen, 1982). Self-injury
terkadang merupakan tindakan self-stimulation yang terlalu intens. Oleh
sebab itu, penting untuk mengajarkan interaksi dengan lingkungan
sosial pada anak. Kemampuan sosial dapat dikelompokkan menjadi
empat bagian, yaitu social decoding, komunikasi sosial, tingkah laku
non-verbal, dan kemandirian (Renzaglia & Bates, 1983).
25
Kemampuan sosial yang pertama adalah social decoding, yaitu
kemampuan anak untuk membedakan isyarat sosial dan memberikan
interpretasi yang tepat dari isyarat tersebut. Misalnya, ketika anak
disapa “Halo” oleh temannya, ia dapat membalas sapaan tersebut
dengan tepat.
Kemampuan sosial yang kedua adalah komunikasi sosial. Dengan
menguasai kemampuan ini, maka siswa dapat dikatakan telah memiliki
kemampuan verbal tingkat tinggi. Komunikasi sosial meliputi
penyampaian dan respon terhadap salam, pujian, informasi positif,
informasi netral, informasi negatif (kritik), permintaan dan pertanyaan.
Kemampuan sosial yang ketiga berkaitan dengan tingkah laku non-
verbal. Kemampuan sosial sering tampak dalam tingkah lalu non-verbal
anak. Hal ini dapat terlihat dari kontak mata, ekpresi wajah, postur
tubuh, gerakan tangan, jarak antar individu, dan penampilan fisik.
Untuk kontak mata, pada anak yang memiliki gangguan pada
penglihatan akan sulit atau bahkan mustahil untuk dilakukan. Tingkah
laku non-verbal yang juga penting adalah kontak fisik yang merupakan
bagian dari hubungan sosial antar individu. Kontak fisik dapat dilihat
dari bentuk respon yang terentang dari memegang tangan sampai
keterlibatan yang lebih dalam, seperti hubungan emosional.
Kemampuan sosial yang keempat adalah kemampuan sosial
mandiri. Kemampuan ini penting untuk dilatih agar anak dapat
berfungsi secara mandiri dalam berbagai konteks sosial tanpa menarik
perhatian yang tidak semestinya, misalnya anak dapat mendengarkan
radio tanpa menimbulkan respon negatif dari orang lain yang juga ikut
mendengarkan bersamanya.
Selain kemampuan-kemampuan tersebut, Heward dan Orlansky
(1992) juga menambahkan beberapa kemampuan sosial lain yang perlu
dikembangkan pada anak dengan gangguan penglihatan, yaitu
kemampuan untuk berurusan dengan orang asing, kemampuan untuk
menginterpretasikan dan menjelaskan keterbatasan penglihatan mereka
kepada orang lain, dan kemampuan untuk mengontrol gerak mereka
26
dalam percakapan sesuai dengan gerak yang dapat diterima di
masyarakat (gesture). Selain itu, anak dengan gangguan penglihatan
juga sebaiknya diajarkan untuk mengurangi dan menghentikan
perilaku-perilaku stereotipik, yaitu gerakan-gerakan yang sama dan
diulang-ulang seperti berayun-ayun, mencongkel atau menggaruk mata,
menggerak-gerakkan tangan, dan memutar-mutar kepala. Sampai saat
ini belum diketahui mengapa anak dengan gangguan penglihatan
melakukan perilaku-perilaku itu. Menurut Tooze (1981 dalam Heward
& Orlansky, 1992), perilaku-perilaku itu terjadi saat anak dengan
gangguan penglihatan berada dalam kondisi tertekan atau ketakutan.
Untuk mengurangi perilaku-perilaku tersebut, yang perlu dilakukan
adalah berusaha membuat anak tetap sibuk dan aktif.
Pengembangan kemampuan-kemampuan sosial ini menurut
Huebner (1986 dalam Heward & Orlansky, 1992), penting untuk
memfasilitasi kemandirian dan kepercayaan diri anak agar anak dapat
diterima oleh orang lain di sekolah, komunitas dan lingkungan kerja.
4) Aspek Kemampuan Motorik Halus
Kemampuan motorik halus memiliki hubungan yang erat dengan
penguasaan kemampuan bina-bantu diri, komunikasi dan akademis
anak-anak tunaganda-netra. Kemampuan untuk memegang,
menggenggam, melepaskan benda dari genggaman, menelan,
menggerakkan lidah, dan kemampuan dasar lainnya hanya akan
berguna apabila diterapkan pada saat anak makan, berpakaian,
berbicara, bekerja, bermain dan ketika berada di kamar mandi (Meyen,
1982). Oleh karena itu, kemampuan ini sangat penting untuk diajarkan
pada anak tunaganda-netra.
Untuk menguasai kemampuan ini, setiap individu membutuhkan
pengalaman-pengalaman menangani obyek yang berbeda-beda untuk
belajar bagaimana mengidentifikasi dan membedakan ukuran, bentuk,
tekstur, berat dan kekuatan dari obyek-obyek itu. Kemampuan motorik
halus ini berkembang secara bertahap dan tergantung dari bagaimana
kombinasi pengalaman-pengalaman, usia kronologis dan fisiologis,
27
kondisi ketunaan yang dimiliki, dan kecenderungan penggunaan tangan
kiri/kanan yang dikembangkan anak.
5) Aspek Kemampuan Motorik Kasar
Pengembangan kemampuan motorik bagi anak tunaganda-netra
penting dilakukan mengingat semua domain kemampuan melibatkan
penguasaan kemampuan motorik, baik motorik kasar maupun halus.
Kemampuan-kemampuan motorik kasar, menurut Bunker dan Moon
(1983), tergolong dalam dua jenis kemampuan yaitu locomotor skill dan
manipulative motor skill. Locomotor skill mencakup kemampuan-
kemampuan untuk mengkoordinasikan gerakan perseptual, sedangkan
manipulative locomotor skill mencakup kemampuan-kemampuan untuk
memanipulasi benda. Perbedaan utama locomotor skill dan
manipulative skill adalah kemampuan-kemampuan yang tergolong
locomotor skill memungkinkan kita untuk berinteraksi dengan
lingkungan, sedangkan kemampuan-kemampuan yang tergolong dalam
manipulative skill memunhkinkan kita untuk merespon terhadap
lingkungan.
Kemampuan-kemampuan yang tergolong dalam locomotor skill
antara lain, berjalan, berguling dan merangkak. Kemampuan-
kemampuan tersebut merupakan locomotor skills yang mendasar dan
menjadi dasar berkembangnya locomotor skills tingkat lanjut seperti
berlari, memanjat, melompat, naik dan turun tangga, berlari kencang,
mendorong benda, dan melompat tali. Sedangkan kemampuan-
kemampuan yang tergolong dalam manipulative motor skill antara lain,
melempar, memukul, menangkap melambungkan obyek, menendang,
mengendarai sepeda dan kegiatan-kegiatan lain yang terkait dengan
manipulasi benda.
6) Aspek Perkembangan Kemampuan Visual dan Sensorimotor
Anak-anak yang memiliki ketunaan ganda juga mengalami
keterbatasan dalam kemampuan perseptual dan sensoris. Keterbatasan
kemampuan sensoris adalah seperti kebutaan dan ketulian ataupun
hanya menyisakan sedikit kemampuan penglihatan dan pendengaran.
28
Kalaupun kemampuan sensoris mereka normal, mereka juga dapat
mengalami keterbatasan dalam hal perseptual, yaitu kesulitan dalam
mempersepsi dan menginterpretasikan lingkungannya (Guess &
Mulligan dalam Meyen, 1982). Kemampuan visual dan sensorimotor
ini berhubungan erat dengan kemampuan orientasi mobilitas pada anak
dengan ketunaannetra (Suterko dalam Lowenfeld, 1973). Kemampuan-
kemampuan yang dapat dilatih pada anak dengan ketunaannetra untuk
dapat mengoptimalkan fungsi penglihatannya antara lain kemampuan
untuk mengontrol gerakan-gerakan mata, beradaptasi secara visual
dengan lingkungan, memberikan perhatian pada stimulus visual, dan
memproses informasi visual secara cepat (Heward & Orlansky, 1992).
Alasan mendasar bagi pengembangan efisiensi penglihatan ini adalah
agar anak dapat „belajar melihat‟ dan secara aktif terlibat dalam
penggunaan penglihatan mereka sendiri.
Anak dengan ketunaannetra memperoleh sebagian besar informasi
dari lingkungan melalui indera pendengaran. Kemampuan mendengar
yang dapat diajarkan pada anak antara lain kemampuan untuk
memperhatikan dan menyadari adanya suara, membedakan suara, dan
menentukan makna dari suara. Kemampuan mendengar yang baik
cenderung dapat memperluas penggunaan kosakata dan mendukung
perkembangan kemampuan berbicara, membaca dan menulis anak.
Indera lain yang harus dioptimalkan dari anak dengan ketunaannetra
adalah perabaan. Dengan indera perabaannya, anak dengan
ketunaannetra dapat mengidentifikasi obyek-obyek di sekitarnya dan
mengeksplorasi lingkungan (Hallahan & Kauffman, 2006).
7) Aspek Kemampuan Orientasi dan Mobilitas
Orientasi didefinisikan sebagai kemampuan untuk menentukan
posisi seseorang dalam hubungannya dengan lingkungan dengan
menggunakan indera-indera yang ada (Heward & Orlansky, 1992).
Mobilitas merupakan kemampuan untuk bergerak secara aman dan
efisien dari satu titik ke titik lain. Sangat penting untuk mengajarkan
sejak awal anak dengan gangguan penglihatan mengenai tubuh mereka
29
dan lingkungan sekitar mereka. Kemampuan orientasi dan mobilitas
yang bagus memiliki beberapa dampak positif. Anak dengan gangguan
penglihatan yang dapat bergerak secara mandiri cenderung dapat
mengembangkan kemampuan fisik dan sosial, serta lebih percaya diri
daripada anak yang secara terus menerus bergantung pada orang lain
untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Selain itu, kemampuan
orientasi dan mobilitas yang bagus juga memperluas kesempatan anak
untuk mendapatkan pekerjaan dan hidup mandiri.
8) Aspek Kemampuan Bina-Bantu Diri
Kemampuan bina-bantu diri, menurut Hatlen (1976 dalam Heward
& Orlansky, 1992), merupakan kemampuan yang „paling penting untuk
diperhatikan‟ pada anak tunanetra, karena dapat memfasilitasi anak
untuk hidup mandiri ketika ia dewasa. Menurut Snell (1983),
kemampuan bina-bantu diri mencakup kemampuan makan dan minum,
berpakaian, dan menggunakan toilet. Pada umumnya kemampuan bina-
bantu mereka rendah, sehingga kurang bisa mandiri dalam menjalani
kehidupannya, seperti untuk menyikat gigi sendiri, menyuapi diri
sendiri dan sebagainya (Guess & Mulligan dalam Meyen, 1982).
Kemampuan-kemampuan yang tergolong dalam kemampuan
makan dan minum antara lain kemampuan menelan makanan,
kemampuan menggunakan jari untuk memegang makanan, kemampuan
menggunakan sendok untuk makan, kemampuan menggunakan garpu
untuk makan, dan kemampuan menggunakan gelas/cangkir untuk
minum.
Kemampuan berpakaian melibatkan koordinasi tangan-mata dan
ketangkasan jari yang tepat dengan mengontrol jari-jari dan ibu jari
(Snell, 1983). Baik pada anak normal maupun yang memiliki ketunaan
netra-ganda, kemampuan menggunakan pakaian dinilai lebih sulit
daripada kemampuan melepaskan pakaian. Kemampuan-kemampuan
yang tergolong dalam kemampuan berpakaian antara lain kemampuan
melepaskan celana panjang atau rok, menggunakan celana panjang atau
30
rok, melepaskan kaos kaki, menggunakan kaos kaki, melepaskan
sepatu, dan menggunakan sepatu, dan lain-lain.
Kemampuan menggunakan toilet sendiri dari kemampuan
mengidentifikasi keinginan untuk buang air kecil atau buang air besar,
mengontrol keinginan untuk buang air kecil atau buang besar, pergi ke
kamar mandi, melepaskan celana/rok, duduk di toilet, menyiram toilet,
mengenakan kembali celana/rok, dan meninggalkan kamar mandi.
Selain tiga kemampuan tersebut, (Hatlen 1973 dalam Heward &
Orlansky, 1992) menambahkan kemampuan-kemampuan lain seperti
kemampuan memasak, menyapu, berbelanja, mengatur keuangan,
mengambil keputusan dan kegiatan berekreasi.
B. Dukungan Sosial
1. Pengertian Dukungan Sosial
Menurut Cohen dan Smet (Harnilawati, 2013) menjelaskan bahwa
dukungan sosial merupakan suatu keadaan yang bermanfaat bagi individu
yang diperoleh dari individu lain yang dapat dipercaya, sehingga individu
tersebut akan tahu bahwa ada orang lain yang memperhatikan, menghargai,
dan mencintainya.
Pendapat lain mengatakan bahwa dukungan sosial itu adalah suatu peran
yang dimainkan oleh seseorang dan peran tersebut bisa dalam bentuk
memberikan nasihat, bantuan, menceritakan masalah-masalah yang
dialaminya (Lahey, 2007). Dikutip dari Smet (1994) menurut House
menjelaskan bahwa dukungan sosial sebagai kadar keberfungsian dari
hubungan yang dapat dikelompokkan dalam empat hal yaitu, dukungan
instrumental, dukungan penilaian, dukungan emosional, dan dukungan
informasi.
Sedangkan menurut Corsini (Jurnal Psikologi, 2010), dukungan sosial ini
berkenaan dengan keuntungan yang didapat oleh seorang individu dalam
hubungan dengan orang lain dia akan mampu mengelola dan meningkatkan
31
kemampuannya dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang
dihadapi.
Menurut Cobb (Gottlieb, 1983; dalam Jurnal Psikologi, 2011),
menyatakan setiap informasi apapun dari lingkungan sosial yang
menimbulkan persepsi individu bahwa individu menerima efek positif
penegasan atau bantuan yang menandakan suatu ungkapan dari adanya
dukungan sosial. Cobb juga mengatakan bahwa secara teoritis adanya
dukungan sosial dapat menurunkan kecenderungan munculnya kejadian yang
dapat mengakibatkan stress dan pemberian dukungan ini diperoleh dari
hubungan sosial yang akrab, yang membuat individu merasa diperhatikan,
bernilai dan dicintai. Sehingga dengan adanya dukungan tersebut, dapat
menguntungkan individu yang menerimanya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Gottlieb (Smet, 1994), yang
menyebutkan bahwa dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasihat baik
secara verbal maupun non verbal. Dimana bantuan atau tindakan nyata yang
diberikan kepada individu oleh orang lain didapat karena hubungan individu
tersebut dengan lingkungan yang mempunyai manfaat bagi emosional atau
efek perilaku bagi diri individu itu sendiri.
Berdasarkan uraian diatas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa dukungan
sosial adalah sumber-sumber inspiratif dalam pemberian dukungan serta
mampu memberikan rasa nyaman, ketenangan maupun suatu perubahan pada
diri seseorang tersebut adalah tak lain orang-orang terdekat, seperti orang tua,
keluarga, guru, sahabat, kekasih dan kelompok masyarakat. Karena setiap
individu memerlukan sebuah dukungan, baik secara moril, material, maupun
sosial untuk bisa memotivasi diri individu, menjadi lebih baik dari
sebelumnya. Terutama bagi anak berkebutuhan khusus seperti Tunaganda-
Netra ini. Meskipun dalam keterbatasan, mereka juga butuh dihargai, diterima
serta dicintai oleh lingkungannya.
32
2. Bentuk Dukungan Sosial
Menurut House, jenis Dukungan Sosial dibedakan menjadi empat macam
(Nursalam & Kurniawati, 2007), yaitu:
a. Dukungan Emosional, dukungan ini meliputi aspek empati, kepedulian,
perhatian dan cinta terhadap orang yang bersangkutan, serta dapat
membuat seseorang merasa dihargai, dicintai, dan diperhatikan.
b. Dukungan Instrumental, meliputi penyediaan dukungan jasmaniah seperti
pelayanan, bantuan finansial dan material berupa bantuan nyata
(instrumental support material support), seperti pemberian uang, peluang
waktu, termasuk di dalamnya bantuan langsung.
c. Dukungan informasional, meliputi pemberian informasi, nasehat,
petunjuk, termasuk di dalamnya memberikan solusi yang diperoleh dari
orang lain, sehingga individu dapat mencoba mencari jalan keluar untuk
memecahkan masalahnya.
d. Dukungan Penilaian, meliputi pengahargaan diri, dan umpan balik.
dukungan ini terjadi lewat ungkapan hormat/penghargaan positif untuk
orang tersebut, dorongan untuk maju atau persetujuan dengan gagasan atau
perasaan individu, dan perbandingan positif orang tersebut dengan orang
lain. Pemberian dukungan ini dapat membantu individu untuk melihat sisi
positif yang ada dalam dirinya, yang dapat membentuk kepercayaan diri
dan kemampuannya.
3. Sebab – Sebab Terbentuknya Dukungan Sosial
Myers (dalam Hobfoll, 1986), mengemukakan terdapat tiga faktor yang
paling utama penyebab yang mendorong seseorang untuk memberikan
dukungan sosial kepada orang lain, yaitu:
a. Empati
Seseorang individu yang memiliki kemampuan berempati dengan orang
lain, akan sangat mudah untuk merasakan perasaan orang disekelilingnya
dan mengalami sendiri beban emosional yang dirasakan orang lain.
33
Selain itu jiwa berempati dengan orang lain merupakan bentuk motivasi
yang utama dalam bersikap maupun berperilaku dalam hal menolong.
b. Norma – norma
Selama dalam fase pertumbuhan dan perkembangannya, seorang individu
sudah diterapkan dan ditanamkan suatu norma, nilai-nilai dalam proses
perkembangan kepribadiannya. Semua hal itu didapat dari keluarga,
lingkungan dan masyarakat. Karena dengan adanya norma ini bisa lebih
mengarahkan individu menjadi pribadi-pribadi yang mampu berinteraksi
dengan lingkungannya serta dapat mengembangkan kehidupan sosial.
c. Pertukaran sosial
Hubungan timbal balik perilaku sosial antara cinta, pelayanan, informasi.
Keseimbangan dalam pertukaran akan menghasilkan kondisi hubungan
interpersonal yang memuaskan. Pengalaman akan pertukaran secara
timbal balik ini membuat individu lebih percaya bahwa orang lain akan
menyediakan.
4. Aspek – aspek Dukungan Sosial
Menurut Weiss (dalam Cutrona, 1994), mengemukakan adanya enam
aspek dukungan sosial yang disebut dengan “The Social Provision Scale”,
yaitu:
a. Aspek kerekatan emosional (emotional attachment)
Kerekatan emosional ini biasanya ditimbulkan dengan adanya perasaan
nyaman/aman terhadap orang lain atau sumber yang mendapatkan
dukungan sosial. Dan hal semacam ini sering dialami dan diperoleh dari
pasangan hidup, keluarga, teman maupun guru yang memiliki hubungan
yang harmonis.
b. Aspek integrasi sosial (Social Integration)
Didalam aspek ini, individu dapat memperoleh perasaan bahwa dia
memiliki suatu kelompok dimana kelompok tersebut tempatnya untuk
berbagi minat, perhatian serta melakukan yang sifatnya rekreatif secara
bersama-sama. Dan aspek dukungan semacam ini memungkinkan
34
individu tersebut bisa mendapatkan rasa aman, dimiliki serta memiliki
dalam kelompok.
c. Adanya pengakuan
Individu yang memilki prestasi dan berhasil karena keahlian maupun
kemampuannya sendiri akan mendapatkan apresiasi atau penghargaan
dari orang lain. Biasanya dukungan semacam ini berasal dari keluarga
dan lingkungan tempat individu tersebut tinggal.
d. Ketergantungan yang dapat diandalkan
Dukungan sosial ini ada sebuah jaminan untuk seseorang yang sedang
bermasalah dan dia menganggap ada orang lain yang dapat diandalkan
untuk membantunya dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Dukungan seperti ini biasanya berasal dari keluarga.
e. Bimbingan (Guidance)
Aspek dukungan sosial jenis ini adalah suatu hubungan sosial yang
terjalin antara murid dengan guru. Dan memberikan dampak positif serta
memungkinkan individu itu mendapatkan informasi, saran atau nasihat
yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan mengatasi permasalahan
yang dihadapinya.
f. Kesempatan untuk mengasuh (Opportunity of nurturance)
Pengertian dari aspek ini adalah suatu aspek yang penting dalam
hubungan interpersonal individu dengan orang lain dan individu tersebut
memiliki perasaan dibutuhkan.
5. Dukungan Sosial Orang Tua
Menurut Rodin dan Sayless (dalam Jovita Anastasia, 2010), menjelaskan
bahwa dukungan keluarga merupakan elemen penting dalam dukungan sosial
karena keluarga merupakan tempat pertama dalam pertumbuhan dan
perkembangan seseorang, yang akan memenuhi kebutuhan awal fisik dan
psikologis individu.
Orang tua merupakan individu dewasa yang paling dekat dengan anak,
sehingga peran dan dukungan keluarga khususnya orang tua sangat
diperlukan oleh anak. Dukungan sosial orang tua akan berfungsi sebagai
35
faktor protektif bagi anak yaitu sebagai faktor yang melindungi, menyangga
dan meringankan anak. Anak yang mendapatkan dukungan sosial dari orang
tua cenderung akan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan (Dalton,
dalam Jovita Anastasia, 2010).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial
orang tua adalah bantuan yang diberikan oleh orang tua kepada anak yang
terdiri dari informasi baik verbal maupun nonverbal yang mencakup satu atau
lebih aspek informasi, intrumental, emosional dan penghargaan yang diterima
oleh anak, yang membuat anak merasa dicintai, diperhatikan, dihargai dan
menjadi bagian dari keluarga.
6. Dampak atau Efek Dukungan Sosial bagi Kesehatan Mental
Dukungan sosial dapat memberikan kenyamanan fisik dan psikologis
terhadap diri individu, serta mampu mengurangi tingkat stres pada diri
seseorang karena suatu permasalahan yang dihadapi dan belum teratasi.
Menurut Liebermen (1992), mengatakan bahwa secara teoritis dukungan
sosial dapat menurunkan kecenderungan munculnya kejadian yang dapat
mengakibatkan stres. Dan apabila kejadian tersebut munculm interaksi
dengan orang lain dapat memodifikasi atau mengubah persepsi individu. Oleh
karena itu perlu adanya dukungan sosial dari keluarga, sekolah, guru, teman,
masyarakat serta lingkungan sosialnya. Dengan tujuan untuk me-management
keadaan atau situasi yang terjadi pada diri individu.
Pemberian dukungan sosial ini juga dapat mempengaruhi kesehatan
mental seseorang (Dorman, Zaff, Orford, dan Gottlieb dalam Kartika, 1986,
24) antara lain:
a. The Dirrect Effect
Hipotesis ini mengatakan bahwa dukungan sosial bisa memberikan
pengaruh positif terhadap kesehatan dan kondisi individu tanpa
dipengaruhi oleh tingkat stres atau depresi yang dialaminya. Dan dari
dukungan sosial ini juga seorang individu bisa merasakan self esteem
36
yang lebih tinggi untuk dirinya dibandingkan individu yang tidak
mendapatkan dukungan atau kurang.
b. The Buffering Effect
Hipotesa ini menyebutkan, kalau dukungan sosial ini mampu melindungi
individu dari efek negatif yang disebabkan oleh stres. Dukungan sosial
ini juga bisa bekerja sebagai buffer atau penghalang bagi tubuh untuk
pengaruh buruk lingkungan maupun dari dalam diri individu itu sendiri.
Karena tanpa adanya dukungan sosial yang kuat akan memberikan
dampak bagi kesehatan mental atau jiwa.
C. Kajian Pustaka
Dalam menjalani penelitian ini penulis menggunakan berbagai kajian
pustaka yaitu:
Yang pertama adalah Jurnal Internasional yang ditulis oleh Anna C.
Friend, Jean Ann Summers and Ann P. Turnbull (2009) dalam Education and
Training in Developmental Disabilities yang berjudul “Impact of Family
Support in Early Childhood Intervention Research” penelitian ini
menjelaskan bahwa dalam memberikan intervensi pada anak usia dini juga
harus melibatkan keluarga dengan memberikan dukungan pada keluarga,
dimana untuk memberikan dukungan kepada keluarga, layanan harus bisa
membangun kemitraan dengan keluarga, layanan yang diberikan bisa berupa
pelatihan keluarga, konseling dan kunjungan rumah. Ada persamaan dengan
penelitian ini yaitu berfokus pada dukungan keluarga. Penelitian tersebut
melihat dampak dari pemberian dukungan keluarga dalam intervensi anak
usia dini dan penelitian peneliti ini melihat bagaimana orang tua memberikan
dukungan sosial kepada anaknya yang mengalami tunaganda-netra
Yang kedua adalah skripsi mahasiswa Kesejahteraan Sosial Universitas
Indonesia dengan judul “Dukungan Sosial oleh Perawat terhadap Anak
Penyandang Cacat Ganda di Wisma Tuna Ganda Palsigunung”. Dalam
skripsinya ia membahas bagaimana peran perawat serta bentuk dukungan
sosial yang dilakukan perawat kepada anak penyandang cacat ganda untuk
37
memenuhi kebutuhan dasar anak.. Perbedaan dengan penelitian ini adalah
peneliti memfokuskan pada bentuk dukungan sosial yang diberikan orang tua
kepada anaknya yang mengalami tunaganda-netra. Dalam skripsi tersebut
memilih objek yang luas yaitu Penyandang Cacat Ganda sedangkan penulis
hanya fokus pada anak yang mengalami tunaganda-netra.
Yang ketiga adalah skripsi mahasiswa Psikologi Universitas Indonesia
oleh Dewi Rahmawati dengan judul “Gambaran Peran Guru dan
Perkembangan Anak Tunaganda-netra”. Dalam skripsinya ia membahas
bahwa anak tunaganda-netra membutuhkan perhatian, pengasuhan dan
perawatan individual, termasuk didalamnya adalah pelayanan pendidikan
untuk anak berkebutuhan khusus, dimana guru harus berperan dalam
memberikan pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Anak
tunaganda-netra terkadang hanya sedikit bahkan tidak memberikan respons
yang nyata, sehingga guru harus sensitif terhadap perubahan kecil yang
terjadi pada tingkah laku siswanya. Sama halnya dengan penelitian ini bahwa
orang tua juga harus berperan aktif dalam memberikan dukungan sosial bagi
anaknya, sehingga saling bersinergi baik dirumah maupun di lembaga
pendidikan, hal ini diperlukan untuk tumbuh kembang anak menjadi lebih
baik.
D. Kerangka Berpikir
Individu penyandang hambatan majemuk adalah individu yang memiliki
hambatan lebih dari satu, seperti kombinasi hambatan penglihatan dan
hambatan pendengaran, hambatan penglihatan dan hambatan intelektual,
hambatan penglihatan dan motorik, dan lainnya. Pembagian dikategorikan
berdasarkan kelainan fisik, sensoris, intelektual, emosi dan sosialnya, yang
meliputi tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa dan tunalaras.
Seorang anak tunanetra mempunyai kecenderungan untuk memiliki
ketunaan lain yang menyertainya. Tunanetra yang memiliki ketunaan lain
dikenal dengan tunaganda-netra atau Multiple Disabilities and Visual
38
Impairment (MDVI), yaitu anak tunaganda dengan salah satu kombinasi
ketunaan berupa gangguan penglihatan (tunanetra).
Kondisi anak dengan hambatan tunanetra akan berdampak pada
perkembangan anak seperti perkembangan motorik, koginitif, komunikasi
dan lain-lainnya akan berkembang lebih lambat dibandingan dengan anak-
anak dengan satu hambatan, beberapa anak tuanganda-netra biasanya
menunjukkan perilaku yang berbeda seperti sulit berkomunikasi, sulit dalam
keterampilan menolong diri sendiri, sulit berperilaku dan berinteraksi yang
sifatnya konstruktif.
Orang tua merupakan individu dewasa yang paling dekat dengan anak,
sehingga peran dan dukungan keluarga khususnya orang tua sangat
diperlukan oleh anak. Dukungan sosial orang tua akan berfungsi sebagai
faktor protektif bagi anak yaitu sebagai faktor yang melindungi, menyangga
dan meringankan anak. Anak yang mendapatkan dukungan sosial dari orang
tua cenderung akan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan (Dalton,
dalam Jovita Anastasia, 2010).
Orang tua bertanggung jawab membantu anak dalam menyelesaikan tugas-
tugas perkembangan pada setiap tahap perkembangan yang dilalui. Setiap
orang tua memikul bermacam-macam peran dan tanggung jawab dalam
berhubungan dengan anak, seperti pemeliharaan, pengasuhan, pengajaran,
pembela, pendisiplin dan pemberi nasihat (Martin & Colbert, 1997). Brooks
(1991), juga mengungkapkan bahwa dalam mengasuh anak, orang tua
berkewajiban memberikan kehangatan, membangun hubungan emosional
dengan anak, dan menyediakan kesempatan untuk perkembangan kompetensi
dan jati diri anak. Selain itu, anak-anak tidak hanya memerlukan pemenuhan
kebutuhan material saja, tetapi juga perlunya kasih sayang, perhatian,
dukungan serta kehadiran orang tua di sisinya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial
orang tua adalah bantuan yang diberikan oleh orang tua kepada anak seperti
dukungan informasi baik verbal maupun nonverbal yang mencakup satu atau
lebih aspek informasi, instrumental, emosional dan penghargaan yang
39
diterima oleh anak, yang dimana akan membuat anak merasa dicintai,
dihargai, diperhatikan dan menjadi bagian dari keluarga. Anak dengan
hambatan Multiple Disabilities and Visual Impairment (MDVI) atau
tunaganda-netra membutuhkan penanganan khusus baik medis dan terapi
untuk memulihkan kondisi baik secara fisik, psikis, kognitif, sosial dan yang
lainnya. Sehingga perkembangannya bisa sama seperti anak-anak yang
lainnya. Anak juga membutuhkan dukungan dari lingkungan sekitarnya,
khususnya orang tua. Tanpa adanya dukungan dari orang tua, pelayanan bagi
anak tersebut tidak akan berdampak banyak.
40
Dari penjelasan di atas dapat dirangkum melalui gambar dibawah ini:
Dalam menangani anak dengan tunaganda-netra, orang tua tidak hanya
mengandalkan lembaga saja, selain anak mendapatkan pelayanan dilembaga,
orang tua juga harus membimbing anaknya dirumah maupun dilingkungan sosial
lainnya, sehingga anaknya dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Hal
ini berguna menunjang perkembangan anak tunaganda-netra menjadi lebih baik.
Bagan 2.1
Yayasan Mitra Netra
Dukungan Sosial Orang
Tua
- Dukungan Emosional
- Dukungan
Penghargaan
- Dukungan
Instrumental
- Dukungan Informasi
Dukungan Sosial Orang
Tua
- Dukungan Emosional
- Dukungan
Penghargaan
- Dukungan
Instrumental
- Dukungan Informasi
Multiple Disabilities and Visual
Impairment (MDVI)
- Memiliki hambatan lain
selain tunanetra (Fisik,
kognitif, sosial, dll)
- Perkembangannya
cenderung lambat
- Sulit berkomunikasi
- Sulit berperilaku dan
berinteraksi yang sifatnya
konstruktif.
Multiple Disabilities and
Visual Impairment (MDVI)
- Memiliki hambatan lain
selain tunanetra (Fisik,
kognitif, sosial, dll)
- Perkembangannya
cenderung lambat
- Sulit berkomunikasi
- Sulit berperilaku dan
berinteraksi yang sifatnya
konstruktif.
Program Yayasan Mitra
Netra
- Terapi Anak
- Parent Support Group
Program Yayasan Mitra
Netra
- Terapi Anak
- Parent Support Group
Yayasan Mitra Netra
Hasil yang diharapkan:
Anak bisa lebih fokus pada
keterampilan dasar dalam
bidang sosial, bina bantu diri
dan komunikasi
Hasil yang diharapkan:
Anak bisa lebih fokus pada
keterampilan dasar dalam
bidang sosial, bina bantu diri
dan komunikasi
41
BAB III
GAMBARAN UMUM LEMBAGA
A. Latar Belakang berdirinya Yayasan Mitra Netra
Yayasan Mitra Netra adalah organisasi nirlaba yang bergerak di dalam
bidang pendidikan, pengembangan, dan peningkatan kesejahteraan sosial para
tunanetra. Dikutip dari laman Yasayan Mitra Netra (http://mitranetra.or.id),
yayasan yang berdiri pada tanggal 14 Mei 1991 ini dilatarbelakangi keadaan
pada saat itu belum tersedianya layanan dan sarana yang khusus bagi tunanetra,
terutama dalam bidang pendidikan dan ketenagakerjaan. Hal ini menyebabkan
tidak adanya kesamaan kesempatan melalui kesetaraan perlakuan bagi
tunanetra di bidang tersebut. Yayasan ini didirikan oleh beberapa orang
tunanetra yaitu Lukman Nazir, Bambang Basuki, Nicoline N. Sulaiman,
Mariani Lusli yang berhasil menyelesaikan studinya di perguruan tinggi
bersama-sama dengan teman-teman mereka yang bukan tunanetra. Sedangkan
Sidarta Ilyas merupakan dokter spesialis ahli mata yang memiliki kepedulian
terhadap para pasien yang mengalami gangguan penglihatan permanen, Pak
Bambang dan Bu Mimi adalah pasiennya. Bu Mimi dan Bu Nicoline mengajak
Prof Sidarta Ilyas untuk mendirikan Mitra Netra. Mitra Netra sendiri diartikan
sebagai kerja sama antara tunanetra dengan mereka yang bukan tunanetra. Hal
ini juga terlihat dalam struktur organisasi yayasan ini yaitu hampir di setiap
organ organisasi senantiasa terdiri dari unsur tunanetra dan mereka yang bukan
tunanetra. Mitra Netra memiliki prinsip bahwa yang paling memahami masalah
dan kebutuhan para tunanetra adalah tunanetra itu sendiri. Akan tetapi untuk
mengatasi masalah serta memenuhi kebutuhan tersebut, tunanetra tidak dapat
melakukannya sendirian, tunanetra harus bermitra atau bekerja sama dengan
mereka yang bukan tunanetra.
Semangat kemitraan ini tidak hanya di dalam institusi Mitra Netra saja,
tetapi juga diaktualisasikan pada kiprah Yayasan ini di masyarakat. Dalam
menyelenggarakan dan mengembangkan untuk tunanetra, Mitra Netra
42
senantiasa bekerja sama dengan lembaga atau organisasi lain baik pemerintah
maupun swasta dengan maksud membangun sinergi.
B. Sejarah Singkat Yayasan Mitra Netra
Dalam laman web Mitra Netra (http://mitranetra.or.id) menjelaskan bahwa
Mitra Netra beroperasi di Jl. Gunung Balong pada 2002 yaitu setelah Yayasan
ini berumur 11 tahun. Sebelumnya, lembaga yang secara konsisten melayani
para tunanetra di negeri ini masih harus berpindah-pindah dari satu tempat ke
tempat lain. Saat awal didirikan, Mitra Netra berada di sebuah perusahaan
penerbit buku (Jambatan) yang terletak di jalan Keramat. Hanya kurang lebih
2 tahun berada disana, Mitra Netra harus pindah. Dari Keramat, Mitra Netra
kemudian melanjutkan perjalanan hidupnya ke Lenteng Agung.
Hanya kurang lebih satu tahun bertempat di Lenteng Agung, Yayasan ini
mendapatkan pinjaman tempat di salah satu ruangan milik Yayasan Pamentas
di kawasan Lebak Bulus Jakarta Selatan. Hal ini disebabkan karena prestasi
Mitra Netra dalam memproduksi bahan-bahan konferensi Disable People
International (DPI) dalam huruf Braille untuk peserta tunanetra, yang kala itu
diselenggarakan di Jakarta. Atas prestasi ini, ketua panitia konferensi yang
juga ketua Yayasan Pamentas mengijinkan Mitra Netra menempati salah satu
ruangan di lingkungan Yayasan ini.
Melalui pertemanan dengan DR. Sujudi yang kala itu menjabat sebagai
Menteri Kesehatan RI, Mitra Netra kemudian mendapakan pinjaman ruangan
di Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan yang berada di
jalan Percetakan Negara Jakarta Pusat. Ruangan tersebut dimanfaatkan untuk
kantor sekretariat dan layanan pendidikan bagi siswa tunanetra untuk wilayah
Jakarta Pusat, Jakarta Timur dan Jakarta Utara.
Dari sisi manajemen, organisasi sudah memiliki dua kantor secara terpisah
yang mana di saat kondisi organisasi masih relatif muda dan belum mapan ini
bukanlah hal yang mudah. Kondisi ini akan memperpanjang waktu koordinasi,
dan dari sisi biaya ini tentu tidak efisien. Akan tetapi, dari sisi pelaksanaan
layanan, keberadaan kantor Mitra Netra di Jakarta Pusat sangat memudahkan
tunanetra yang berada di sekitarnya untuk mengakses layanan Mitra Netra
43
meski tidak semuanya, sehingga tidak perlu datang ke pusat layanan yang ada
di Jakarta Selatan. Kala itu Mitra Netra dapat dikatakan tidak punya pilihan.
Dalam kondisi terus tumbuh di satu sisi dan keterbatasan fasilitas yang
dimiliki di sisi lain, kabar gembira datang dari Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan yang pada waktu itu dijabat oleh Wardiman. Setelah bertemu
dengan para pengurus dan mengetahui peran Mitra Netra dalam melayani
tunanetra, Pak Menteri memutuskan untuk memberikan pinjaman kantor
kepada Yayasan ini, dan tenpat yang dipilih adalah di lingkungan sekolah luar
biasa (SLB) untuk tunanetra di jalan Pertanian Raya Lebak Bulus Jakarta
Selatan. Keputusan itu adalah bahwa Mitra Netra diperbolehkan menggunakan
kantor tersebut selama Yayasan ini membutuhkannya.
Itulah yang Mitra Netra alami. Selalu dihadapkan dalam kondisi terdesak
yang mana harus berpindah-pindah dari kantor-kantor yang sifatnya hanya
pinjaman itu telah membuat Mitra Netra sejak tahun 2002 dapat terus bertahan
dan terus mengembangkan eksistensinya hingga kini sampai di tempat yang
sudah menjadi hak milik Mitra Netra sendiri yaitu tepatnya di jalan Gunung
Balong II nomor 58, Lebak Bulus III Jakarta Selatan.
C. Visi dan Misi Yayasan Mitra Netra
Yayasan Mitra Netra mencita-citakan terwujudnya masyarakat yang
inklusif masyarakan yang dapat mengakomodasikan berbagai perbedaan,
bebas hambatan dan berdasarkan atas hak. Dalam masyarakat semacam ini,
tunanetra akan dapat hidup mandiri, cerdas, bermakna dan bahagia serta
berfungsi di masyarakat. Mitra Netra adalah lembaga yang terus tumbuh, dan
dalam perannya sebagai organisasi lokomotif yang mendorong kemajuan bagi
tunanetra di Indonesia, Yayasan ini juga melakukan upaya-upaya untuk
meningkatkan kapasitas lembaga lain, sehingga llembaga-lembaga tersebut
makin meningkat kemampuannya dalam melayani dan memberdayakan
tunanetra. Visi dan Misi Yayasan Mitra Netra, sebagai berikut:
44
1. Visi Yayasan Mitra Netra, adalah:
“Berfungsi Sebagai Pengembang dan Penyedia Layanan Guna
Terwujudnya Kehidupan Tunanetra yang Mandiri, Cerdas dan Bermakna
dalam Masyarakat yang Inklusif.”
2. Yayasan Mitra Netra hadir di tengah-tengah masyarakat dengan misi
untuk:
a. Mengurangi dampak ketunanetraan melalui rehabilitasi.
b. Mengembangkan potensi tunanetra melalui pendidikan dan pelatihan.
c. Memperluas peluang kerja tunanetra melalui upaya diversifikasi dan
penempatan kerja.
d. Mengembangkan keahlian dan sarana khusus yang dibutuhkan melalui
penelitian.
e. Meningkatkan kapasitas lembaga penyedia layanan bagi tunanetra
yang lain dengan menyebarluaskan keahlian serta mendistribusikan
produk yang dihasilkan.
f. Melakukan advokasi guna mendorong terwujudnya masyarakat inklusi
yang mengakomodir berbagai perbedaan.
D. Aspek Hukum dan Legalitas
1. Akte Notaris, No. 31/Notaris Agus Majid, Tgl 14 Mei 1991
2. Surat izin Dinas Sosial DKI Jakarta No. 387/ ORSOS/ 1992
3. Surat izin BKKKS DKI Jakarta No. 054/BKKKS/KU/SK/DU/IX/1996
4. Surat izin Kanwil Depsos DKI Jakarta No. 387/ ORSOS/ 1992
5. Telah terdaftar Dalam Lembaran Negara Republik Indonesia No. 100
pada tanggal 14 Desember 2001 sebagai Yayasan yang berbadan
hukum.
E. Struktur Organisasi Yayasan Mitra Netra
Untuk mempermudah dalam mencapai tujuan, visi dan misi lembaga,
Yayasan Mitra Netra memiliki struktur organisasi. Berikut ini adalah
gambaran struktur organisasi Yayasan Mitra Netra.
45
1. Pembina
Ketua : drg. Anita Ratnasari Tanjung, MARS
Wakil Ketua Pembina : Imas Fatimah, SH., MKn
Anggota : 1) Lusie Indrawati, SH., MBA
2) Ir. Ratna Iswayuhni
2. Pengurus
Ketua : Drs. Bambang Basuki
Sekretaris : Drs. Mohammad Ahyar
Bendahara : M. Nurizal, SE., Msi.
3. Kepala Bagian
Kabag. Personalia & Umum : Tri Winarsih
Kabag. Keuangan : Abdul Wahid, SEI
Kabag. Humas : Aria Indrawati, SH.
Kabag. Rehabilitasi & Diklat : Muizzudin Hilmi.
Kabag. Produksi Buku & Perpustakaan : Indah Lutfiah, SPd.
Kabag. Penelitian & Pengembangan : Nur Ichsan
F. Program Layanan
1. Layanan Perpustakaan
a. Tujuan
Sebagai lembaga yang berupaya meningkatkan kualitas dan
partisipasi tunanetra di bidang pendidikan dan ketenagakerjaan, adanya
layanan perpustakaan merupakan salah satu pilar utama layanan Mitra
Netra. Tujuan layanan perpustakaan Mitra Netra adalah:
1) Menyediakan layanan peminjaman buku yang dapat dibaca secara
mandiri oleh tunanetra, baik dalam bentuk buku Braille, buku
bicara digital (buku dalam bentuk CD audio), serta buku elektronik
(e-book).
2) Menjadi pusat layanan informasi bagi tunanetra.
46
3) Menjadi tempat belajar bersama (mini learning center) bagi
tunanetra.
4) Membangun masyarakat tunanetra yang gemar membaca dan
belajar.
5) Memberikan hak pada tunanetra untuk mendapatkan akses ke
informasi melalui literasi.
b. Jenis Layanan
1) Peminjaman buku dalam bentuk buku Braille maupun buku bicara
digital kepada anggota perpustakaan.
2) Mendistribusikan buku bicara kepada perpustakaan untuk tunanetra
lain yang telah berafiliasi dengan Mitra Netra.
3) Memberikan informasi yang dibutuhkan tunanetra.
4) Menyelenggarakan kegiatan belajar bersama dengan nama Mini
Learning Center (MLC), meliputi:
a) English Lesson : 2 kali dalam seminggu masing-masing 2 jam
b) English Conversation Club : 1 kali dalam seminggu dengan
durasi 2 jam
c) Diskusi rutin dengan tema-tema menarik untuk memperluas
wawasan serta mendukung kemandirian tunanetra : kurang
lebih 2 kali sebulan, dengan durasi minimal 2 jam
d) Menulis kreatif : sekali seminggu, dengan durasi 2 jam
5) Layanan pemesanan buku, baik pembuatan buku Braille maupun
buku bicara digital.
6) Layanan membaca buku diperpustakaan.
c. Fasilitas Layanan
1) Ruang perpustakaan
2) Alat untuk membaca (mendengarkan) buku bicara digital
3) Tempat untuk membaca/mendengarkan buku
4) Komputer dekstop yang dilengkapi perangkat lunak pembaca layar.
5) Buku braille koleksi perpustakaan Mitra Netra
47
6) Buku bicara digital
7) Loker penyimpanan barang
8) Gazebo untuk belajar bersama (MLC)
2. Layanan Rehabilitasi
a. Latar belakang
Gangguan penglihatan baik buta (totally blind) maupun lemah
penglihatan (low vision) yang dialami seseorang pada umumnya
memberikan dampak, baik secara fisik maupun secara psikolgis.
Dampak ketunanetraan ini harus dikurangi seminimal mungkin. Dan
layanan rehabilitasi yang disediakan Mitra Netra pada dasarnya
bertujuan untuk mengurangi dampak ketunanetraan yang dialami,
khususnya baik oleh tunanetra sendiri maupun keluarga mereka.
b. Jenis Layanan
1) Layanan konseling yang diberikan oleh konselor sesama tunanetra
2) Kelompok dukungan untuk orang tua yang memiliki anak tunanetra
(parent supporting group)
Parent Support Group (PSG) atau kelompok dukungan orang tua
adalah cara yang bagus untuk bertemu orang tua lain untuk
mendapatkan dukungan praktis dan emosional. Dengan adanya
kegiatan kelompok dukungan orang tua ini diharapkan orang tua
dapat lebih aktif dalam memberikan stimulasi serta dukungan
terrhadap anak pada saat dirumah maupun ditempat lain.
Parent Support Group (PSG) ini juga dapat memberikan
informasi mengenai hal-hal penting yang dimana dapat membantu
orang tua yang baru mengikuti layanan disini untuk mengetahui
apa yang harus dilakukan ketika memiliki anak disabilitas.
Kegiatan ini juga menjadi wadah bagi orang tua bertemu orang tua
lain yang juga memiliki anak disabilitas, para orang tua bisa saling
mengenal, bisa saling diskusi bertukar pikiran, sehingga bisa
mendapat informasi baru serta bisa saling mendukung satu sama
lain.
48
Pada dasarnya Yayasan Mitra Netra ini memang berharap
layanan yang diberikan baik kepada tunanetra maupun tunaganda-
netra harus melibatkan orang tua, dimana orang tua sendiri
memegang peranan penting dalam mengasuh dan mendidik anak.
Parent Support Group ini diadakan situasional dengan
mengundang pembicara seperti dari Universitas luar baik dari
Psikologi atau apapun, kemudian orang tua diundang untuk hadir.
Kegiatan ini seperti seminar, maupun diskusi dimana ada
brainstorming dalam kegiatan tersebut. Untuk itulah setiap orang
tua yang yang mengikuti layanan di Mitra Netra harus
berkomitmen untuk aktif terlibat dalam pelayanan yang diberikan.
Karena dengan melibatkan orang tua, pelayanan tidak hanya
diberikan di lembaga tetapi melanjutkan kembali dirumah,
sehingga hasil yang diharapkan akan maksimal.
3) Supporting group untuk tunanetra sesuai kategori usia mereka;
remaja, dewasa
4) Kunjungan rumah (home visit)
5) Bimbingan karir studi
6) Bimbingan karir pekerjaan tahap awal
c. Fasilitas Layanan
1) Ruang konseling pribadi
2) Gazebo untuk supporting group
3. Layanan Pendampingan Pendidikan
a. Latar Belakang
Tempat belajar yang terbaik bagi tunanetra adalah di sekolah umum
dan perguruan tinggi bersama teman-teman mereka yang tidak
tunanetra, yang dikenal dengan pendidikan inklusif. Oleh karenanya,
jika tidak memiliki disabilitas lainnya, Mitra Netra senantiasa
mendorong siswa tunanetra untuk menempuh pendidikan di sekolah
umum hingga ke perguruan tinggi, tunanetra memerlukan layanan
49
pendampingan, yang berupa penyediaan layanan dan fasilitas khusus
yang mereka butuhkan.
b. Jenis Layanan
1) Persiapan pendaftaran sekolah dan perguruan tinggi
2) Pendampingan pendaftaran sekolah dan perguruan tinggi
3) Advokasi jika terjadi penolakan dari sekolah maupun perguruan
tinggi
4) Pendampingan ujian memasuki perguruan tinggi
5) Orientasi lokasi sekolah dan perguruan tinggi
6) Pendampingan belajar dan tutorial
7) Pendampingan ujian
8) Pendampingan saat menyusun skripsi
9) Sosialisasi pendidikan inklusi untuk tunanetra di sekolah dan
perguruan tinggi, baik kepada guru, dosen, siswa dan mahasiswa
10) Supporting group (kelompok dukungan) untuk siswa dan
mahasiswa
c. Fasilitas Layanan
1) Ruang pendampingan belajar
2) Komputer dekstop yang dilengkapi perangkat lunak pembaca layer
untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah dan kuliah
3) Peminjaman komputer laptop untuk mahasiswa yang belum
memiliki saranan sendiri guna memperlancar studi mereka
4) Peminjaman alat tulis (riglet/slade dan stylus) serta alat bantu
mobilitas (tongkat) bagi yang belum memiliki sendiri
5) Peminjaman tape recorder untuk merekam proses belajar di kelas
bagi yang belum memiliki dan memerlukan
4. Layanan Kursus Komputer Bicara
a. Latar Belakang
Sebagai sumber daya manusia, tunanetra juga harus memiliki
keterampilan-keterampilan, baik keterampilan dasar maupun
50
keterampilan tambahan, yang diperlukan untuk kemandirian hidup
mereka, baik menjalani hidup sehari-hari, dalam menempuh pendidikan
maupun dalam bekerja. Untuk itu, Mitra Netra menyelenggarakan
pelatihan komputer bagi tunanetra.
b. Fasilitas Layanan
1) Materi kursus yang aksesibel untuk tunanetra
2) Ruang kursus ber-AC berikut sarana yang diperlukan
3) Komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak pembaca
layer
4) Scanner
5) Akses internet
6) Tempat kursus yang mudah dijangkau dan memiliki fasilitas
pendukung yang lengkap bagi tunanetra
5. Layanan Ketenagakerjaan
a. Latar Belakang
Sebagaimana manusia lainnya, setelah menyelesaikan pendidikan
tunanetra juga seharusnya bekerja, agar mereka dapat mandiri secara
ekonomi, menjadi manusia yang bermakna di masyarakat, dan tidak
lagi menjadi beban keluarga serta masyarakat. Melalui program
“diversifikasi peluang kerja bagi tunanetra”. Mitra Netra
menyediakan serangkaian layanan yang bertujuan:
1) Secara berkesinambungan mencari peluang kerja yang dapat atau
bahkan lebih produktif jika dilakukan tunanetra.
2) Mempersiapkan tunanetra baik dari sisi keterampilan fisik (hard
skill) maupun keterampilan halus (soft kill) untuk memasuki
peluang tersebut.
3) Membangun komunikasi dengan perusahaan maupun lembaga
pemerintah untuk membuka peluang bagi tunanetra.
4) Mengupayakan magang kerja bagi tunanetra agar memiliki
pengalaman kerja
51
5) Mempromosikan tunanetra ke masyarakat yang telah siap untuk
ditempatkan sebagai karyawan
6) Mempersiapkan tunanetra yang berminat untuk berwirausaha
agar dapar mulai merintis usaha sendiri.
b. Jenis Layanan
1) Memberikan bimbingan kepada generasi muda tunanetra yang
sedang menempuh pendidikan, untuk membantu menggali
potensi yang mereka miliki serta wawasan tentang
kemungkinan pilihan bagi masa.
2) Mengembangkan model peluang kerja alternatif bagi tunanetra,
yang berbasiskan keterampilan memanfaatkan teknologi
informasi
3) Bimbingan karir pekerjaan lanjutan
4) Pelatihan keterampilan halus sebagai persiapan bekerja (soft
skill pre employment training)
5) Magang kerja
6) Promosi tenaga kerja tunanetra ke masyarakat
7) Penempatan tenaga kerja tunanetra baik di perusahaan maupun
di instansi pemerintah
8) Memberikan pendampingan intensif di tiga bulan pertama
setelah penempatan kerja
9) Peminjaman alat kerja berupa komputer dan scanner jika
tunanetra memerlukan untuk magang kerja.
c. Fasilitas Layanan
1) Tempat pelatihan
2) Komputer laptop
3) Scanner
4) Bahan pelatihan kerja (job training) yang dapat dibaca secara
mandiri oleh tunanetra.
52
G. Prestasi
Berikut ini adalah beberapa penghargaan yang telah Mitra Netra raih
terakhir dalam beberapa tahun terakhir:
1. Index Award 2000
2. Penghargaan Menteri Sosial RI Tahun 2003
3. Samsung Digital Hope 2004
4. Asia Pasific Ngo Awards 2005
5. Samsung Digital Hope 2005
6. Penghargaan Museum Rekor Indonesia (MURI) tahun 2006
7. Penghargaan Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Jakarta tahun
2008.
H. Jaringan Kerjasama
1. Lembaga Internasional
a. AusAid ( The Australian Agency for International Development)
b. Abilis Foundation, Finlandia
c. APCD (Asia Pacific Development Center on Disability)
d. DAISY Consortium, Swiss
e. Force Foundation, Belanda
f. Foundation Dark & Light Blind Care (sekarang Light for The
World), Belanda
g. Helen Keller International (HKI) Indonesia
h. Inverso Baglivo Foundation, Amerika Serikat
i. ICEVI (International Council of Education for People Visual
Impairment)
j. Lilian Foundation, Belanda
k. ONNET (Overbrook Nippon Network on Educational Technology)
l. The Nippon Foundation, Jepang
m. VSO (Volunteer Service Overseas)
2. Lembaga Lokal dan Korporasi
a. Bank BCA
53
b. Bank Panin
c. Bank Permata
d. Citibank
e. Coca Cola Foundation
f. Diageo Foundation
g. Djarum Foundation
h. ExxonMobil Oil Indonesia
i. Federal International Finance
j. Hewlett-Packard (HP) Indonesia
k. IBM Indonesia
l. Kick Andy Foundation
m. Maverick Communication Counsultant
n. Medco Group
o. Microsoft Indonesia
p. Penebar Swadaya
q. Perusahaan Gas Negara (PT PGN)
r. Standard Chartered Bank
s. TIFA Foundation, Indonesia
t. Trubus Media Swadaya
u. UPS Cardig International
v. Yayasan Citra Mandiri
w. Zentha Hitawasana
3. Pemerintah
a. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
b. Bank Indonesia
c. Dinas Pendidikan DKI Jakarta
d. Kementerian Komunikasi dan Informasi RI
e. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI
f. Kementerian Negara Riset dan Teknologi RI
g. Kementerian Sosial RI
h. Mahkamah Konstitusi RI
54
4. Perguruan Tinggi
a. Universitas Bina Nusantara, Jakarta
b. Universitas Dian Nuswantoro, Semarang
c. Universitas Indonesia
d. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta
e. Universitas Negeri Jakarta
f. Universitas Negeri Surabaya
g. Universitas Tarumanegara, Jakarta
I. Program Layanan bagi Tunaganda-Netra
1. Fisioterapi
Fisioterapi adalah pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada
individu maupun kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan
memulihkan gerak-fungsi tubuh sepanjang rentang kehidupan dengan
menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak,
peralatan (physic, electrotherapeutic, mekanik, pelatihan fungsi, dan
komunikasi). Pelayanan fisioterapi di Yayasan Mitra Netra ini
mencakup bagaimana fisioterapi digunakan untuk melakukan aktivitas
fisik dan kemampuan fungsional anak setiap hari, dengan melatih
kemampuan motorik dan sensorik anak tersebut.
Gambar 3.1
Fisioterapi
Sumber: Hasil dokumentasi peneliti
55
Gambar 3.2
Fisioterapi
Sumber : Hasil dokumentasi peneliti
Kegiatan fisioterapi ini dilakukan setiap hari Sabtu, mulai pukul
07.00 pagi. Namun tidak semua dilakukan dalam satu hari, jadi dibagi
dua kelompok. Satu kelompok terdiri dari tujuh anak. Fisioterapi
dilakukan selama kurang lebih 1 jam, dimana fisioterapi dilakukan
selama 45 menit, dan 15 menit digunakan untuk konseling dengan
keluarga.
2. Terapi Kognitif dan Perilaku
Selain fisioterapi, layanan bagi tunaganda-netra atau MDVI yaitu
terapi kognitif dan perilaku. Kognisi adalah persepsi individu tentang
orang lain dan obyek-obyek yang diorganisasikannya secara selektif.
Setiap orang memiliki citra dunianya masing-masing karena citra
tersebut merupakan produk yang ditentukan oleh faktor-faktor berikut:
(1) lingkungan fisik dan sosialnya, (2) struktur fisiologisnya, (3)
keinginan dan tujuannya, dan (4) pengalaman-pengalaman masa
lalunya. Hambatan pada anak tunanetra dari keempat hal-hal tersebut
adalah kelainan pada struktur fisiologisnya, dan mereka harus
menggantikan fungsi indera penglihatan dengan indera-indera lainnya
untuk mempersepsi lingkungannya. Banyak diantara mereka tidak
pernah mempunyai pengalaman visual, sehingga konsepsi mereka
tentang dunia ini mungkin berbeda dari konsepsi orang awas pada
56
umumnya. Namun bukan berarti semua anak tunanetra memiliki
hambatan kognitif, karena kemampuan kognitif yang dimiliki setiap
anak akan berbeda. Sama halnya dengan perilaku, tidak semua anak
tunanetra berperilaku unacceptable. Terapi kognitif dan perilaku di
Yayasan Mitra Netra ini diberikan kepada anak-anak tunanetra yang
juga memiliki hambatan pada kognitif maupun perilakunya.
Pelayanan terapi kognitif yang dijalankan di Yayasan Mitra Netra
adalah bagaimana membantu anak untuk berpikir, untuk terapi
perilaku bagaimana membantu anak tersebut untuk berperilaku wajar
dan acceptable. Terapi kognitif dan perilaku sendiri melihat apa yang
“kurang” dari sisi kognitif dan sisi perilaku, maka terapi itu bisa
dilakukan.
Terapi kognitif dan perilaku atau Cognitive Behavior Therapy
(CBT) merupakan suatu treatment yang dapat membantu cara berfikir
individu agar menjadi lebih rasional dengan menggunakan prinsip dan
hukum perilaku. Hal ini bertujuan agar individu mempunyai
kemampuan untuk mengenali dan kemudian mengevaluasi atau
mengubah cara berfikir, keyakinan dan perasaannya (mengenai diri
sendiri dan lingkungan) yang salah sehingga inividu dapat mengubah
perilaku yang maladaptif menjadi adaptif dengan cara mempelajari
keterampilan pengendalian diri dan strategi pemecahan yang efektif.
Terapi kognitif dan perilaku ini dilakukan pada hari Senin dan
Selasa, dilakukan setelah anak-anak pulang sekolah dan dimulai pukul
11.00. Sama halnya dengan fisioterapi, terapi kognitif dan perilaku
setiap sesi terapi dilakukan selama kurang lebih 1 jam, dimana terapi
dilakukan selama 45 menit dan 15 menit digunakan untuk konsultasi
keluarga. Dalam layanan terapi kognitif dan perilaku di Yayasan Mitra
Netra, ada Basic Concept atau konsep dasar yang diberikan terapis
kepada anak tunaganda-netra (lihat lampiran 10). Konsep dasar ini
seperti kurikulum dalam sekolah, dalam konsep dasar yang diberikan
setidaknya terdapat sembilan hal yang dipelajari dalam terapi kognitif
dan perilaku.
57
BAB IV
DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
Berdasarkan hasil temuan lapangan, dukungan sosial orang tua terhadap
anak tunaganda-netra di Yayasan Mitra Netra dari November 2018 s.d Maret
2019, dapat diperoleh suatu informasi dukungan sosial orang tua terhadap
tunaganda-netra di Yayasan Mitra Netra.
A. Dukungan Sosial Orang Tua terhadap Anak Tunaganda-Netra di Yayasan
Mitra Netra.
Anak tunaganda seringkali disertai dengan keterbatasan yang sangat berat
ataupun memiliki kombinasi yang sangat kompleks dari berbagai keterbatasan
tersebut, beberapa kelemahan yang sangat berat diantaranya dalam hal fungsi
otak, perkembangan motorik, bicara dan bahasa, tingkah laku, penyesuaian diri,
fungsi penglihatan dan juga pendengaran. Saat ini tercatat jumlah anak yang
mengikuti layanan di lembaga ini ada 17 klien yang mengikuti layanan
fisioterapi, terapi kognitif & perilaku, dan terapi wicara. Dukungan sosial orang
tua diperoleh dari empat orang tua yang memiliki anak tunaganda-netra dengan
kondisi sebagai berikut:
Tabel 4.1 Data Informan
No Nama
Anak
(Inisal)
dan
Umur
Nama
Orang Tua
(Inisial)
dan
Pekerjaan
Hambatan
Fisik (Motorik
dan Sensorik)
Hambatan
Kognitif
1. S ( 10 Tahun) Ibu J (Ibu
Rumah
Tangga)
Protective
reaction
inadequate,
orientasi arah
inkonsisten,
Mental
retardation,
belum
menguasai
basic
58
koordinasi
gerakan kurang
baik
concept,
adanya
indikasi
kearah autis
ringan, self
stimulation
masih sering
muncul,
echolalia
(mengulang
kata) atau
“beo” masih
sering
muncul
2. N (15 tahun)
Bapak M
(Karyawan)
Berdiri
bertumpuan
pada medial
foot, vestibular
masih
inadequate,
ketegangan
pada otot paha
belakang
-
3. D (11 tahun) Gangguan
ambulasi
duduk-berdiri,
otot panggul
lemah, respon
taktil
inadequate,
pola jalan dan
berdiri medial
-
59
support (belum
ajeg), protective
reaction
inadequate,
kontrol postural
belum kuat.
4. AF (14 tahun) Ibu O.H
(Ibu Rumah
Tangga)
Sensori
integrasi
disorder, respon
taktil
inadequate,
koordinasi
inadequate,
festibular masih
inadequate
Mental
retardation, fokus
dan atensi harus
diarahkan, mudah
terdistract,
komunikasi
inkonsisten,
belum menguasai
basic concept,
artikulasi kurang
jelas, belum
mampu menyusun
kata dalam
kalimat.
5. F (11 tahun) Ibu N. B
(Ibu Rumah
Tangga)
Respon taktil
inadequate,
kontrol postural
inadiquate,
protective
reaction
inadequate,
propioceptive
inadequate,
sensori integrasi
disorder
Komunikasi dua
arah inadequate,
mental
retardation, basic
concept belum
menguasai, fokus
dan atensi harus
diarahkan, mudah
terdistract.
Sumber: Hasil olah data wawancara
60
1. Dukungan Emosional
Dukungan Emosional yang diberikan terbagi menjadi 3 aspek, diantaranya;
a. Empati
Dukungan emosional, dalam aspek empati, misalnya seperti
mendengarkan, bersikap terbuka, menunjukkan sikap percaya terhadap apa
yang dikeluhkan dan mau memahami apa yang dirasakan. Empati sendiri
merupakan suatu kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang
lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan permasalahan dari
perspektif orang lain. Adanya empati membuat orang lain ikut merasakan
apa yang dirasakan orang lain, baik itu suka, duka, sedih maupun susah.
Dalam memberikan dukungan emosional berupa empati Ibunda F yaitu Ibu
NB, ketika F sedih atau gelisah biasanya Ibu NB menanyakan terlebih
dahulu penyebab bersedih atau gelisahnya itu apa.
“Kita cari tahu dahulu bersedihnya karena apa, karena
komunikasinya kurang lancar jadi ketika menginginkan sesuatu
tetapi anak itu tidak bisa menyampaikan atau tidak diberikan apa
yang dia mau jadi dia mungkin sedih, kita penuhi apa mau dia”.
(Ibu NB, 2019)
Peneliti menemukan ketika sedang berbincang dengan asisten terapis saat
sesi terapi kognitif, bahwa F sulit untuk berbicara, dan hanya merengek
ketika menginginkan sesuatu, F akan berbicara hanya ketika dipaksa,
karena terbiasa dengan merengek dan menangis F mendapatkan apa yang
diinginkan, maka sulit membuat F untuk berbicara. Asisten terapi pun
merekomendasikan kepada orang tua untuk melatih F untuk berbicara
apabila F menginginkan sesuatu, sehingga menstimulus anaknya untuk
berusaha.
Mendengarkan, dan bersikap terbuka serta memahami apa yang dirasakan
merupakan bagian dari empati, dimana orang tua bisa menstimulus anak
untuk berekspresi menceritakan semua yang dirasakan anak tersebut.
Dengan begitu, anak akan merasa bahwa dirinya dicintai dan disayangi
61
oleh keluarga, seperti yang dilakukan Ibu S dan suami ketika anaknya
bersedih atau ketika emosinya sedang meledak.
“Kita dengarkan anak ini sedihnya kenapa, coba pahami mau dia
apa, lalu kami hibur, disayang-sayang lagi, dikasih sesuatu yang
anak ini mau supaya tenang. S ini kalau emosinya lagi meledak
bisa sampai kejang, jadi sebisa mungkin kita menjaga anaknya
supaya emosinya tidak sampai meledak” (Ibu J, 2019)
Sejalan dengan pernyataan yang disampaikan Ibu NB dan Ibu J bahwa
mendengarkan dan bersifat terbuka terhadap apa yang dirasakan anak
adalah suatu hal yang penting dalam memberikan dukungan sosial kepada
anak. Memiliki anak berkebutuhan khusus, seperti tunaganda-netra ini,
bukanlah perkara mudah dalam mengasuhnya, anak yang normal saja
terkadang memiliki emosi yang naik turun begitu pula dengan anak
berkebutuhan khusus, beberapa diantaranya terkadang emosinya meledak,
diperlukan cara yang tepat untuk mengatasi hal tersebut. Seperti Ny. OH
yang memiliki anak MDVI mengatakan apabila anak nya mengalami
tantrum.
“Iya ditenangin aja, dia ini kan ada sedikit autisnya tapi autisnya itu
ringan. Terkadang emosinya saja yang suka meledak. Kalo yang
AF ini moodnya suka naik turun, kita lebih sabar untuk memahami
anaknya, kadang AF ini suka tantrum, pernah saat naik motor tiba-
tiba dia tantrum, ya kita coba tenangin aja itu sih”. (Ibu OH, 2019)
Keluarga terutama orang tua bisa menjadi tempat yang memberikan
ketenangan ketika seseorang berada dalam suasana yang tidak nyaman,
atau sedang merasakan hal-hal yang rumit. Dari pemaparan diatas, dapat
dikatakan bahwa dengan memiliki jiwa berempati dengan orang lain
merupakan bentuk motivasi yang utama dalam bersikap maupun
berperilaku dalam hal menolong.
b. Perhatian
Keluarga merupakan lingkungan yang paling dekat dengan anak, keluarga
terutama orang tua memiliki tugas untuk memberikan perlindungan serta
perhatian terhadap anak. Keluarga mempunyai pengaruh yang besar dalam
62
pengasuhan kepada anak dengan disabilitas dengan tujuan anak dengan
disabilitas dapat memenuhi kebutuhan mereka secara mandiri. Orang tua
wajib mendampingi, mengasuh dan memberikan hak-hak yang seharusnya
anak miliki. Seperti memberikan perhatian kepada anak, perhatian kepada
anak tidak hanya berlaku pada anak yang normal saja, pada anak
disabilitas pun orang tua harus memberikan perhatian. Perhatian yang
diberikan orang tua kepada anak ini bisa memberikan dampak positif pada
anak. Perhatian orang tua pada anak disabilitas seperti tunaganda-netra,
keterbatasan visual membuat Ibu J beserta suami selalu mempermudah
mobilitas anaknya ketika berjalan dengan memindahkan benda-benda
supaya tidak tertendang atau tertabrak. Selain itu dengan keterbatasan
visual, Ibu J dan suami tetap mengajarkan mengaji, serta hafalan-hafalan
kecil.
“Kami memberikan perhatian khusus, karena S memang istimewa,
mobilitasnya terbatas jangan sampai ketika berjalan ada benda-
benda yang menghalangi didepan seperti gelas dipindahkan supaya
tidak tertendang. Perhatian lainnya seperti tetap mengajarkan S
mengaji, hafalan-hafalan kecil”. (Ibu J, 2019)
Keterbatasan visual juga mempersulit individu untuk bergerak bebas,
sehingga sulit untuk beradaptasi dengan lingungan sekitar untuk menuju
suatu tempat. Melatih anak untuk mengenal lingkungan sekitar bisa
menjadikan anak tersebut untuk mengetahui arah serta tempat yang ingin
mereka tuju. Seperti perhatian yang dilakukan oleh Bapak M kepada dua
anaknya yang memiliki hambatan visual untuk beradaptasi dengan
lingkungan dengan mengajarkan koordinasi arah, selain itu Bapak M tidak
melupakan bahwa setiap anak berhak akan pendidikan sehingga tetap
memberikan hak untuk sekolah, hingga mengikuti les tambahan, selain itu
juga tetap mengajarkan mengaji menggunakan Al-Qur‟an digital atau Al
Qur‟an braile.
“Kalau di rumah itu pokoknya jangan sampai ada barang ditempat
yang biasa anak-anak lewatin karena pasti ditabrak sama dia,
karena penglihatannya terbatas kita biasanya mengambarkan situasi
rumah, melatih koordinasi supaya anaknya bisa adaptasi dengan
63
lingkungan, selain itu tetap kita didik kita sekolahin, ikut les tetap
diajarkan mengaji pakai Al-Qur‟an digital atau Al-Qur‟an braile
terus hafalan setor ke saya”. (Bapak M, 2019)
Anak tunaganda-netra menunjukkan kekurangan dalam kemampuan
bahasa dan berbicara. Kekurangan ini dapat berupa keterlambatan dalam
berbicara, ketidakjelasan dalam berbicara dan pembentukan pola bicara
yang aneh. Bukan berarti anak tunaganda-netra tidak memiliki potensi
untuk menguasai kemampuan bahasa untuk berkomunikasi.
Berkomunikasi dengan anak merupakan bentuk perhatian yang diberikan
orang tua pada anak. Dengan seringnya berkomunikasi antara orang tua
dan anak akan melatih kemampuan bahasa dan berbicara anak tunganda-
netra yang memiliki kekurangan dalam berbicara. Seperti yang dilakukan
oleh Ibu OH pada anaknya bahwa beliau selalu mengajak anaknya untuk
berkomunikasi. Selain berkomunikasi, hal penting yang dilakukan adalah
memahami kondisi anaknya seperti apa juga merupakan salah satu bentuk
perhatian orang tua kepada anak.
“Saya selalu berkomunikasi kepada anak saya, ajak ngobrol, A ini
memang anaknya sedikit pendiam tapi kalau diajak berbicara dia
akan bicara, kalau dia berbuat salah ya kita kasih nasihat pelan-
pelan, karena anaknya juga moodnya suka naik turun kita lebih
sabar aja untuk memahami anaknya”. (Ibu OH, 2019)
Pentingnya perhatian yang diberikan oleh orang tua kepada anak akan
memberikan dampak positif pada psikologis anak. Sebaliknya, jika anak
kurang mendapatkan perhatian, anak akan merasa bahwa dirinya tidak
penting sehingga perlahan akan timbul kekecewaan pada dirinya.
Kedekatan secara psikolgis antara anak dan orang tua akan membuat anak
merasa nyaman, merasa dirinya berharga, psikisnya juga stabil dan
emosinya terkendali. Sekecil apapun perhatian yang diberikan orang tua
terhadap anak, menjadi penting bagi tumbuh kembang anak.
c. Cinta dan Kasih Sayang
Selain rasa empati dan rasa diperhatikan, aspek lain yang tak kalah penting
didalam dukungan emosional bagi anak tunaganda-netra yaitu cinta dan
64
kasih sayang yang diberikan oleh orang tua, maupun orang-orang
disekitarnya. Hal ini akan membuat anak semakin merasa percaya diri,
menumbuhkan rasa aman didalam dirinya. Sebagai orang tua, tentu
seharusnya memberikan cinta dan kasih sayangnya kepada anak-anaknya
tanpa membeda-bedakan, termasuk ketika orang tua memiliki anak
disabilitas seperti tunganda-netra. Karena setiap anak berhak mendapatkan
cinta dan kasih sayang dari orang tua maupun dari orang sekitarnya. Salah
satu bentuk cinta dan kasih sayang orang tua seperti menerima keadaan
anaknya dalam kondisi apapun, tetap optimis anaknya bisa seperti anak-
anak lainnya. Seperti halnya yang dilakukan Ibu J kepada anaknya S.
“Kita didik, disekolahkan seperti anak seusianya, mengikutkan S
untuk terapi, kami ingin anak kami (S) bisa seperti anak-anak
lainnya, meskipun dalam kondisi seperti ini. Karena kami yakin
suatu saat anak ini bisa, meskipun harus melalu proses yang tidak
cepat”. (Ibu J, 2019)
Sebagai orang tua yang memiliki anak, tentu orang tua harus menerima
dan menyayangi bagaimanapun kondisi anak tersebut, sama halnya dengan
Bapak M, yang memiliki anak berkebutuhan khusus bahwa beliau
menerima dan menyayangi anak-anaknya dalam kondisi bagaimanapun
dan selalu memberikan dukungan kepada anak-anaknya.
“Saya menyayangi anak-anak saya dalam kondisi bagaimanapun,
karena anak merupakan titipan Tuhan, yang bisa kita lakukan
hanya sabar serahin semua sama Tuhan. Menerima apa adanya
tetap kasih support ke anak-anak”. (Bapak M, 2019)
Orang tua memiliki banyak cara untuk menyampaikan rasa cinta dan kasih
sayang, tidak hanya menggunakan lisan tapi bisa dengan perlakuan serta
perhatian yang baik kepada anak. Seperti yang dilakukan ibu O.H kepada
anaknya AF, beliau memiliki anak kembar yang dimana keduanya
memiliki keterbatasan pada visualnya, namun salah satu anaknya AF ini
selain memiliki keterbatasan pada visualnya, juga memiliki keterbatasan
lain pada motorik serta kognitifnya. Ibu OH juga memiliki anak yang
65
kondisinya normal, dimana beliau memperlakukannya sama tidak berbeda,
yaitu tetap menyayangi semua anaknya.
“Menyampaikan rasa sayang kan tidak hanya dengan lisan tapi bisa
juga dengan perlakuan, perlakuan yang baik kepada anak setiap
hari, sering berkomunikasi sama anak. Cara memperlakukannya
pun tidak berbeda jauh dengan anak yang normal, kalau untuk anak
saya yang berkebutuhan khusus ya kita lebih sabar aja untuk
mendidik dan mengajarkannya, lebih memahami anaknya saja”.
(Ibu O.H, 2019)
Dari penjelasan di atas dapat penulis ketahui bahwa rasa cinta dan kasih
sayang yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya memang tidak
membeda-bedakan satu sama lain, hanya saja untuk anak yang memiliki
keterbatasan, orang tua lebih sabar untuk mendidik dan mengajarkannya
serta orang tua harus lebih memahami kondisi anaknya.
Cinta dan kasih sayang merupakan kebutuhan psikis yang paling mendasar
dalam hidup dan kehidupan manusia. Kebutuhan akan kasih sayang
sangatlah penting bagi perkembangan mental seseorang terutama seorang
anak yang masih sangat membutuhkannya untuk perkembangan dan
pertumbuhan selanjutnya. Cinta dan kasih sayang mampu membuat anak
bersifat optimis, merasa nyaman dan tentu dengan adanya kasih sayang
akan terciptanya hubungan yang harmonis antara orang tua dengan anak,
yang akan menciptakan suasana yang hangat dan menyenangkan.
2. Dukungan Instrumental
Dukungan instrumental, meliputi penyediaan dukungan jasmaniah seperti
pelayanan, bantuan finansial dan material berupa bantuan nyata (instrumental
support material support), suatu kondisi dimana benda atau jasa akan
membantu memecahkan masalah praktis, termasuk di dalamnya bantuan
langsung. Dukungan instrumental terbagi menjadi 3 aspek, yaitu peluang
waktu, bantuan langsung, bantuan materi
66
a. Peluang Waktu
Peluang waktu bisa dikatakan sebagai cara mengalokasikan usaha dan
waktu dalam melaksanakan terapi tersebut. Dimana orang tua
mengalokasikan usaha dan waktu untuk melaksanakan terapi anaknya, bisa
dalam mengantar anaknya untuk melakukan terapi, tidak hanya mengantar
tetapi ikut mendampingi anaknya terapi hingga melanjutkan kembali terapi
tersebut dirumah. Itulah yang dikatakan peluang waktu, atau waktu luang
yang harus diberikan oleh orang tua kepada anaknya. Seperti Bapak M
yang sering mengantar kedua anaknya untuk terapi, ditengah
kesibukkannya, beliau tetap meluangkan waktunya untuk mengantar
terapi. Tidak hanya Bapak M, Ibu N.B, dan Ibu O.H juga selalu mengantar
anaknya untuk terapi.
“Iya sering, terkadang saya sendiri yang antar kadang bareng
mamanya, sekarang saya yang antar, karena mamanya hari ini
masuk kerja. Kalau N sm D lagi mau sama neneknya ya sama
neneknya dianterin” (Bapak M, 2019)
“Iya sering saya mengantar sama bapaknya, bapak kan kerja jadi
terkadang saya sendiri yang antar, biasanya bapak yang menjemput
yang mengantar kakanya yang nomor 2”. (Ibu NB, 2019)
“Iya sering saya sama bapak yang mengantar anak ke lembaga”.
(Ibu O.H, 2019)
Peneliti menemukan ketika sedang berbincang dengan asisten terapis,
bahwa orang tua dari AF yakni Ibu O.H ini sering absen untuk mengikuti
terapi, namun tidak diketahui alasan mengapa absen. Didapati bahwa
dalam kurun waktu sekitar 6 bulan saja, hanya mengikuti sekitar 1-2 kali
terapi. Tentu ini menjadi perhatian bagi pihak Mitra Netra, karena
ketidakkonsistenan orang tua untuk mengikuti kegiatan di Mitra Netra.
Selain itu perkembangan dari AF pun turut menjadi perhatian. Terapis
fisioterapi juga mengatakan bahwa AF ini dikategorikan memiliki kondisi
yang berat sehingga penanganannya harus intensif, sejauh ini
perkembangannya belum terlalu banyak.
67
“AF ini dikategorikan berat, karena dari segi atensi, kognitif,
sensorik, motoriknya bermasalah semua, untuk perkembangannya
belum terlalu banyak. Dibandingkan dengan sebelumnya untuk
tantrum sudah mulai berkurang” (Galuh, 2019)
Tidak hanya mengantar, mendampingi ketika anak sedang melakukan
terapi juga merupakan salah satu peluang waktu yang diberikan orang tua
pada anak. Pentingnya mendampingi anak ketika melakukan terapi adalah
orang tua melihat dan mengetahui apa saja yang dilakukan anak ketika
terapi, dan menjadi modal orang tua untuk melanjutkan terapi dirumah.
Seperti yang dilakukan Ibu N.B, bapak M serta Ibu J yang mendampingi
anaknya ketika sedang melakukan terapi.
“Iya kita dampingi sambil melihat bagaimana terapi yang
dilakukan, sudah sejauh mana anak tersebut bisa melakukannya”.
(Ibu NB, 2019)
“Iya didampingi jadi kita tau ya terapinya gimana aja, terapinya
untuk apa ke anaknya”. (Bapak M, 2019)
“Iya kami dampingi sekaligus melihat bagaimana terapi yang
dilakukan syifa, karena setelah terapi ada konsultasi dengan terapis
mengenai terapi yang dilakukan, serta bagaimana perkembangan S
setelah terapi. Waktu awal masuk, S ini belum bisa berbicara,
sekarang sudah mulai bisa sedikit-sedikit tapi kadang masih suka
diulang kata-katanya, itu “beo” disebutnya”. (Ibu J, 2019)
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, syarat untuk melakukan terapi
di Mitra Netra adalah integrasi antara orang tua dan pengajar (terapis).
Seperti yang dikatakan Kepala Bagian Rehabilitasi dan Diklat Yayasan
Mitra Netra yaitu Bapak Muiz, dimana orang tua diharapkan untuk
berpartisipasi secara aktif, dengan melakukan terapi lanjutan dirumah pada
anak. Buku penghubung menjadi alat integrasi antara pengajar (terapis)
dengan orang tua.
“Kita berharap layanan terhadap tunaganda-netra ini melibatkan
orang tua. Ketika si anak melakukan terapi, kan ada buku
penghubung, diterapi oleh terapisnya nanti akan ditulis di buku
penghubung mengenai terapi yang dilakukan. Ada beberapa hal
yang harus dilakukan orang tua kepada anaknya dirumah, kalau
68
hanya mengandalkan mitra netra saja, tidak akan maksimal
perkembangan anak tersebut. Pada pertemuan berikutnya akan di
tes kembali apakah anak tersebut melanjutkan terapi dirumah oleh
orang tuanya atau tidak, akan keliatan mana yang melanjutkan
mana yang tidak.” (Muiz, 2019)
Dengan keterlibatan orang tua akan memberikan peluang untuk
keberhasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang tua yang
kurang terlibat dalam proses pelayanan terapi, seperti yang dikatakan oleh
Bu Lilis selaku terapis terapi kognitif dan perilaku.
“Pasti ada dampak positifnya, sebagai orang tua yang memiliki
anak berkebutuhan khusus akan mencari cara untuk membantu
anaknya. Dengan adanya konsultasi bagi orang tua, maka orang tua
akan mendapatkan informasi bagaimana cara untuk membantu
anaknya, tentu ini memberikan dampak positif bagi orang tua anak
tersebut, sehingga orang tua apa yang harus dilakukan, karena
kontinuitas terapi memberikan peluang untuk keberhasilan yang
lebih tinggi, dibandingkan dengan yang tidak terintegrasi”. (Lilis,
2019)
Senada dengan Bu Lilis, terapis dari fisioterapis juga mengatakan bahwa
pentingnya konseling keluarga dilakukan bahwa ada beberapa latihan yang
harus dilakukan dirumah oleh orang tua, agar anak dapat terstimulus, serta
dapat meningkatkan respon mengingat pada anak.
“Untuk membuat suatu kebiasaan atau habbit itu harus dilakukan
secara berulang. Tidak cukup hanya 45 menit anak tersebut hanya
fisio disini saja, ketika dia hanya fisio disini dan dirumah tidak
dilakukan percuma saja, karena nanti respon untuk mengingatnya
akan berkurang juga. Pentingnya konseling ke orang tua itu
bahwa ada beberapa latihan yang harus dilakukan dirumah juga,
agar anak itu terstimulasi, lalu akan menciptakan habbit yang
seharusnya atau aktivitas sehari-harinya. Karena disini
fisioterapinya 2 minggu sekali, bisa dibilang itu kurang efektif,
jadi yang kita dorong orang tuanya, dimana orang tua harus
mengulang kembali latihan-latihan yang ada disini dengan ada
buku penghubung, jadi kita terintegrasi antara fisioterapi, dan
orang tua. Sehingga anaknya juga bisa kembali ke lingkungan
sosialnya” (Galuh, 2019)
69
Melanjutkan terapi dirumah bukan semata-mata semua yang dilakukan
pada terapi harus dilakukan juga dirumah, hanya beberapa hal yang
dilanjutkan dirumah yang sifatnya mudah dilakukan oleh orang tua, tidak
harus dengan alat yang sama, bisa menggunakan alat-alat yang lain yang
ada dirumah dengan fungsi yang sama. Seperti halnya Ibu J, Bapak M
serta Ibu O.H, ketiga orang tua ini menerapkan kembali terapi dirumah
dengan alat-alat yang ada.
“Iya kami lanjutkan kembali dirumah, karena di rumah alatnya
tidak lengkap, kami menggunakan alat-alat yang lain yang ada di
rumah seperti balok, gelas mapun manik-manik”. (Ibu J, 2019)
“Iya diterapkan kembali dirumah, iya menggunakan alat seadanya
aja dirumah yang bisa digunakan, lalu saya sampai beli alatnya
yang bola itu untuk terapi dirumah, tapi kalau kakaknya (N) agak
susah dia tidak mau, maunya dilembaga, tapi kalau adeknya mau
bahkan inistaif sendiri”. (Bapak M, 2019)
“Iya diterapkan kembali dirumah kalau ada alatnya, biasanya sih
yang ringan-ringan seperti penentuan arah kanan kiri depan
belakang. Juga tergantung dari mood anaknya aja, kalau moodnya
lagi enak ya diterapkan, kalau moodnya sedang tidak enak ya tidak
bisa dipaksakan juga. Semampunya saya, apa yang diajarkan disini
saya terapkan dirumah”. (Ibu O.H, 2019)
Dari pemaparan diatas, bahwa peluang waktu yang diberikan orang
tua pada anak sangatlah penting. Dengan mengalokasikan waktu seperti
mengantar anak terapi, mendampingi anak terapi, hingga menerapkan
kembali terapi dirumah, bisa menjadikan peluang keberhasilan proses terapi
pada anak akan semakin besar. Dapat dilihat pada anak dari Bapak M yaitu
DF bahkan memiliki inisiatif untuk melakukan terapi dirumah. DF yang
sebelumnya belum bisa berdiri, namun saat ini sudah bisa berdiri secara
mandiri. Terapis Fisioterapi mengatakan bahwa DF ini perkembangannya
cepat dibanding dengan anak-anak lain. Kakak dari DF yaitu N, juga
menunjukkan kemajuan perkembangannya, dilihat dari kemampuan
keseimbangan kini mulai seimbang.
70
“DF ini kemampuan motorik nya yang tadinya belum bisa berdiri
sekarang sudah bisa berdiri secara mandiri. Kalo untuk sekarang
DF lebih ke meningkatkan kemampuan baca tulis braile. DF ini
perkembangannya cepat dibanding anak-anak lainnya”. (Galuh,
2019)
“N ini kemampuan baca tulisnya sudah bagus, tapi keluhan N
adalah ada gangguan pada betisnya itu terkait pada pola jalannya
saat menapak itu lebih condong ke arah sisi bagian dalam.
Kemampuan keseimbangannya juga sebelumnya takut atau belum
seimbang ketika berdiri diatas balance board, sekarang sudah
mulai seimbang”. (Galuh, 2019)
Bagi orang tua yang tidak melanjutkan terapi dirumah, tentu akan
memberikan dampak bagi perkembangan anaknya menjadi tidak optimal.
Lain hal nya dengan orang tua yang melanjutkan terapi dirumah, akan
terlihat perbedaannya dengan yang tidak melanjutkan dirumah. Seperti yang
dikatakan terapis fisio bahwa setiap pertemuan akan ada evaluasi sejauh
mana anak tersebut bisa melakukan hal yang diajarkan pada pertemuan
selanjutnya.
“Sangat jelas terlihat perbedaannya, disetiap pertemuan biasanya
akan dievaluasi sejauh mana anak tersebut sudah bisa melakukan
suatu hal yang diajarkan sebelumnya. Kalau sudah bisa berarti
orang tua anak tersebut melanjutkan latihan-latihan fisio dirumah.
Tapi ketika anak dites kembali belum bisa dalam beberapa waktu,
kita control ke orang tua nya apakah latihan tersebut dilakukan
dirumah atau tidak? Kalau tidak ataupun jarang dilakukan, kita
coba beritahu kembali kepada orang tua” (Galuh, 2019).
Senada dengan yang dikatakan terapis fisio, Bu Lilis selaku terapis juga
mengatakan demikian, bahwa ada empat faktor yang mempengaruhi
perkembangan anak berkebutuhan khusus, yang salah satunya adalah faktor
lingkungan, terutama lingkungan terdekat yaitu orang tua. Maka tentu
perbedaannya akan jelas terlihat
“Anak berkebutuhan khusus perkembangannya dipengaruhi oleh
4 faktor, yang pertama yaitu kondisi anak itu sendiri, seberapa
ringan atau beratnya kebutuhan khususnya, yang kedua adalah
lingkungannya, lingkungannya itu adalah bisa orang tuanya,
71
keluarganya, sampai dengan lingkungan sekitar rumah maupun
sekolah, yang ketiga adalah program terapinya yang membantu
anak tersebut untuk belajar, dan yang keempat adalah
pelaksanannya, pelaksanaan adalah seberapa banyak usaha dan
waktu yang dialokasikan dalam melaksanakan terapi tersebut.
Sehingga apakah anak tersebut bisa berkembang cepat atau
lambat tergantung dari 4 hal ini ini. Saya disini sedikit bagian dari
pelaksanaan, karena pelaksaan utama ada pada keluarga, karena
saya disini hanya 45 menit dan available time anak tersebut
dirumah lebih banyak. Kalau tidak diulangi dirumah, bandingkan
dengan anak yang kondisinya sama tapi mengulangi dirumah,
tentu ada perbedaannya” (Lilis, 2019).
b. Bantuan Langsung
Didalam dukungan instrumental mencakup aspek lainnya yaitu bantuan
langsung yang diberikan ataupun bantuan langsung yang bertujuan
meringankan beban anak tunaganda-netra. Dengan keterbatasan visual,
anak tunaganda-netra terkadang kesulitan untuk melakukan hal-hal dalam
kesehariannya baik dirumah maupun diluar rumah, kegiatan-kegiatan
didalam rumah seperti makan, minum, berpakaian dan menggunakan
toilet. Tidak sedikit anak-anak tunaganda-netra harus dibantu orang
tuanya, untuk bisa melakukan hal-hal tersebut. Untuk kegiatan-kegiatan
diluar seperti pergi ke sekolah, atau main diluar bersama teman-temannya.
Seperti Bapak M, yang selalu mendampingi kegiatan anak-anaknya
dirumah maupun diluar rumah.
“Iya pasti didampingi misalnya jalan-jalan keluar ke mall atau
kemana atau saya ajak kondangan atau ngumpul bareng temen saya
ajak, mereka seneng. Sekolahpun dianter, ditungguin sama
neneknya. Kalau dirumah mandi masih dimandiin karena belum
bisa sendiri”. (Bapak M, 2019)
Memberikan bantuan langsung bukan hanya membantu tetapi didalamnya
ada suatu pengajaran yang terselip, seperti membantu untuk mandi, tetapi
anak juga dilatih untuk bisa melakukan secara mandiri dengan
memperkenalkan anak dengan hal-hal yang berkaitan dengan mandi.
Seperti yang dilakukan Ibu J, saat ini anaknya S sudah mulai bisa mandi
72
sendiri, sebelumnya S masih harus dibantu untuk menggunakan kamar
mandi. Meskipun dalam hal berpakaian masih dibantu, tetapi ada hal lain
yang sudah bisa dilakukan sendiri. Berbeda dengan Ibu NB, anaknya F
untuk mandi dan makan masih dibantu, tetapi untuk orientasi mobilitasnya
sudah mandiri.
“Kami dampingi misal syifa main diluar ataupun pergi ke sekolah.
Untuk kegiatan dirumah misalnya mandi, syifa sudah mulai bisa
mandi sendiri tapi untuk berpakaian masih dibantu”. (Ibu J, 2019)
“Iya, untuk mandi dan makan masih dibantu, tapi untuk orientasi
mobilitasnya sudah mengenal lingkungan sendiri jadi hafal dan
sudah mandiri, begitu pula kalau saya pergi saya ajak anaknya
karena memang tidak bisa di tinggal. Kalau untuk main keluar
rumah tidak sih, mainnya hanya dirumah. Kalau sekolah tetap
diantar dan ditungguin”. (Ibu NB, 2019)
Dengan memberikan bantuan yang bertujuan meringankan beban anak
tunaganda-netra, bukan tidak mungkin anak tersebut menjadi
ketergantungan akan bantuan orang lain. Dalam memberikan bantuan
langsung, harus diselipkan ajaran bagaimana dalam melakukan hal-hal
yang berkaitan dengan bantuan yang diberikan, seperti makan dan minum,
anak harus diajarkan terlebih dahulu hal-hal apa saja yang berkaitan
dengan makan dan minum. Sehingga bantuan yang diberikan bukan
sekedar membantu tetapi ada ajaran yang dimana anak tersebut nantinya
akan mampu melakukan secara mandiri.
c. Bantuan Materi/Biaya
Orang tua memiliki peran utama yang dimana orang tua memfasilitasi
perkembangan anak sehingga dapat memenuhi kebutuhan emosional,
biologis, sosial, ekonomi dan psikologis. Orang tua yang memiliki anak
berkebutuhan khusus juga memiliki peran yang sama, dimana
perkembangan anak menjadi hal yang utama. Meskipun memiliki
berkebutuhan khusus, orang tua tetap memberikan dukungan, dimana anak
tunaganda-netra memerlukan pelayanan untuk mengatasi
kedisabilitasannya, baik layanan kesehatan maupun layanan pendidikan
73
serta layanan-layanan lain seperti layanan pengembangan diri. Mayoritas
orang tua di Yayasan Mitra Netra tetap memberikan layanan pendidikan
kepada anak-anaknya untuk bersekolah seperti anak-anak lainnya, tidak
hanya di Sekolah Luar Biasa (SLB) ada juga di sekolah reguler lainnya.
Selain tetap memberikan layanan pendidikan, orang tua juga
mengikutsertakan anaknya untuk menjalani layanan kesehatan seperti
terapi untuk mengatasi kedisabilitasannya. Ada pula yang
mengikutsertakan anaknya untuk les, ataupun kegiatan lainnya seperti
pesantren tunanetra untuk belajar tahfidz Qur‟an.
3. Dukungan Penilaian/Penghargaan
Dukungan penilaian/penghargaan yang diberikan terbagi beberapa aspek,
yaitu:
a. Penghargaan Diri
Aspek penghargaan diri ialah bentuk dukungan yang diberikan dalam
bentuk ungkapan positif terhadap anak tunaganda-netra. Dalam aspek ini
ketika anak tunaganda-netra dapat melakukan suatu hal dengan baik dan
benar akan mendapat penghargaan bisa melalui ucapan yang positif
ataupun hal lainnya. Terkadang anak tunaganda-netra memiliki hambatan
dalam menjalankan kegiatan sehari-harinya, kurang percaya diri, dan lain-
lain. Perlunya sedikit motivasi agar anak mampu mengatasi hambatannya,
melalui hadiah atau ucapan positif kepada anak akan membuat anak
merasa senang sehingga terbangun kepercayaan dalam dirinya. Seperti
yang dilakukan terapis mengajarkan ketika anak masuk kedalam ruang
terapi mengucapkan salam dan ketika anak bisa mengucapkan salam ada
penghargaan positif yang diberikan terapis kepada anak. Sama halnya yang
dilakukan oleh Ibu J memberikan pujian ketika anaknya tidak membuang
air kecil di celana (ngompol). Ucapan positif juga diberikan oleh Ibu NB
kepada anaknya ketika anaknya dapat melakukan hal dengan benar, dan
terciptanya rasa senang pada anaknya ketika mendapatkan pujian tersebut.
74
“Iya, kami berikan pujian “syifa pinter nih” seperti contoh saat bisa
melakukan dengan benar seperti tidak membuang air kecil
dicelana, lalu memindahkan gelas ke tempat yang seharusnya.
Kadang juga kami berkata “horree” sambil tepuk tangan”. (Ibu J,
2019)
“Ada, misalnya ketika saya meminta anak tersebut mengambil
botol, ketika dia bisa melakukan hal tersebut saya kasih pujian
“Hebatt, pinter”, anaknya pun senang ketika mendapat pujian
seperti itu”. (Ibu NB, 2019)
Penghargaan atau reward bisa dijadikan alat untuk mendidik anak-anak,
agar anak-anak dapat merasa senang karena hal-hal yang dilakukannya
mendapatkan penghargaan. Dengan memberikan penghargaan anak akan
merasa dihargai, selain itu penghargaan juga dapat digunakan untuk
menumbuhkan, membangkitkan, dan meningkatkan motivasi anak agar
mereka terdorong untuk melakukan usaha lebih lanjut.
b. Umpan Balik
Dalam hal ini bentuk dukungan penilaian berupa umpan balik yaitu
pemberian sanksi/hukuman atau disebut punishment. Sanksi/hukuman
diberikan terhadap anak tunaganda-netra yang belum dapat menjalankan
suatu hal dengan baik. Dengan adanya sanksi/hukuman, diharapkan anak
bisa memperbaiki kesalahannya, agar suatu saat tidak mengulangi
kesahalannya. Tujuan dari punishment adalah menghentikan anak untuk
melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang
berlaku. Tidak dibenarkan sanksi/hukuman yang diberikan sifatnya keras
seperti memukul dan sebagainya. Salah satu orang tua yaitu Ibu J
memberikan respon ketika anaknya belum dapat melakukan hal-hal
dengan benar dengan memberikan arahan.
“Kami arahin, misal saat syifa mengompol kami bilang lain kali
kalau mau pipis, bilang ya syifa supaya tidak mengulangi
dikemudian hari. Kalau misal sudah keterlaluan agak sedikit kami
marahi tapi tidak terlalu keras”. (Informan J)
75
Memberikan sanksi/hukuman tidak harus selalu dengan memarahi anak,
bisa dengan sedikit arahan bahwa yang dilakukan salah dan memberikan
arahan yang benar seperti apa, sehingg anak tahu bahwa yang dilakukan
salah dan akan melakukan hal yang benar nantinya. Seperti Bapak M, dan
Ibu NB ketika anak melakukan kesalahan, mereka memberitahu bahwa
yang dilakukan anak salah dan bagaimana yang benar.
“Dimarahin sih tidak ya, paling di kasih tau kalau itu salah dikasih
tahu juga yang benar itu bagaimana, diarahinnya pelan-pelan dan
berulang-ulang pengucapannya biar anaknya paham”. (Bapak M,
2019)
“Iya pasti diberi tahu bahwa itu salah dan menjelaskan yang benar
itu seperti apa, supaya dia paham apa yang dilakukan”. (Ibu NB,
2019)
Punishment juga diperlukan dalam proses pendidikan, karena berfungsi
menekan, mengurangi, bahkan menghilangkan perilaku-perilaku yang
menyimpang. Hukuman lebih efektif juga dikombinasikan dengan
penguatan positif. Anak akan belajar berperilaku lebih sesuai jika ia
menerima penguat positif baik dari teman-temannya maupun dari guru.
4. Dukungan Informasional
Orang tua berfungsi sebagai sebuah kolektor (pengumpul) dan diseminator
(penyebar) informasi tentang berbagai hal. Menjelaskan tentang pemberian
saran, sugesti, informasi yang dapat untuk digunakan mengungkapkan dan
menyelesaikan suatu masalah. Manfaat dari dukungan ini adalah dapat
menekan munculnya suatu pemahaman karena informasi yang diberikan dan
dapat menyumbangkan sugesti pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan
ini adalah nasihat, usulan, saran, petunjuk, dan pemberian informasi.
a. Pemberian Nasihat, Arahan dan Pemberian Informasi
Bentuk dukungan sosial lain dalam aspek informatif yaitu dengan
pemberian nasihat, arahan dan pemberian informasi kepada anak
tunaganda-netra yang dilakukan oleh orang tua. Anak tunganda-netra
terkadang bertindak agresif ataupun tindakan desktruktif cenderung sulit
76
beperilaku dan berinteraksi yang sifatnya konstruktif, dimana orang tua
memberikan nasihat maupun arahan agar perilaku maupun dalam
berinteraksi bisa disesuaikan pada lingkungan sosialnya. Seperti yang
dilakukan Ibu J, dan Bapak M ketika anaknya melakukan kesalahan
diberikan teguran bahwa yang dilakukan salah dan memberitahu
bagaimana yang benar.
“Kami jelaskan bahwa yang dilakukan salah, dan memberikan
bagaimana yang benar”. (Ibu J, 2019)
“Iya biasa sih dikasih nasihat, misal dia belum bisa buang sampah
ditempatnya diarahin kalau buang sampah ditempatnya jangan
sembarangan”. (Bapak M, 2019)
“Iya sama seperti anak lainnya, kalau dia melakukan kesalahan ya
ditegur tapi pelan-pelan, dikasih tau bahwa yang dilakukan itu
salah”. (Ibu OH, 2019)
“Iya pasti diberi tahu bahwa itu salah dan menjelaskan yang benar
itu seperti apa, supaya dia paham apa yang dilakukan”. (Ibu NB,
2019)
Pemberian nasihat, arahan maupun pemberian informasi diberikan oleh
orang tua dengan kata-kata yang mudah dipahami anak, serta dengan
intonasi yang lembut tidak keras supaya anak mudah mengerti. Dengan
begitu, nasihat, arahan maupun pemberian informasi dapat diterima
dengan baik oleh anak. Dari hasil wawancara yang dilakukan, Ibu J dan
suami memberi nasihat dan arahan secara pelan-pelan agar anaknya mudah
mengerti dan tidak menggunakan emosi, karena mereka tahu apabila
menggunakan emosi akan mengganggu psikis anak.
“Kami nasihati, memberi arahan pelan-pelan agar anak mudah
mengerti, tidak dengan emosi, karena apabila dengan emosi akan
mengganggu psikis anak. Kami sebagai orang tua harus sabar,
harus telaten. Misal kasih tau ke syifa kalau lagi terapi itu fokus
jangan suka ketawa-ketawa. Kalau masuk ataupun pamit selalu
mengucapkan salam”. (Ibu J, 2019)
Pemberian nasihat, arahahan maupun informasi dengan intonasi yang
lembut tentu memberikan hal positif pada psikis anak sehingga tidak
77
mempengaruhi emosi anaknya. Seperti yang dikatakan terapis fisio, S ini
mulai menunjukkan kearah yang lebih tenang.
“S ini masih belum banyak perkembangan, kalau dari segi atensi
dan fokus sudah menunjukkan kearah lebih tenang”. (Galuh, 2019)
Senada dengan Ibu J, Bapak M dan Ibu NB juga enggan menggunakan
intonasi yang keras ketika sedang menasihati anak-anaknya, Bapak M dan
Ibu NB lebih memilih untuk menggunakan intonasi yang pelan serta
dimengerti anaknya.
“Iya dikasih tau pelan-pelan, tidak marah-marah biar anaknya juga
ngerti. Iya misal, kasih tau buat rajin belajar, rajin ngaji biar pinter.
Terus kalo buang sampah ditempat sampah jangan sembarangan,
gitu aja sih”. (Bapak M, 2019)
“Iya sama seperti anak-anak lainnya, hanya caranya pelan-pelan
ketika diberikan nasihat maupun arahan kepada anaknya, agar
anaknya juga ngerti sama apa yang kita kasih tahu. Misalnya F ini
kan susah ngomong ya, jadi misal kalau dia mau apa-apa itu bilang
atau ngomong harus dibiasain berbicara, dia kan biasanya
ngerengek doang jadi saya latih dia buat bicara kalau dia mau
sesuatu. Terus saya kasih tau untuk fokus selama terapi, soalnya
kalo terapi itu anaknya suka ga fokus, kepalanya tidak bisa diam”.
(Ibu NB, 2019)
Dalam pemberian nasihat maupun arahan tidak membeda-bedakan anak
yang satu dengan anak lainnya, ketika melakukan kesalahan akan
mendapatkan teguran yang sama. Dengan memiliki anak berkebutuhan
khusus nasihat yang diberikan juga diarahkan pelan-pelan harus
memahami karakter anaknya seperti yang dilakukan Ibu OH yang
memiliki 4 anak, 2 anak normal dan 2 anak lainnya yaitu kembar dan
memiliki hambatan secara visual, 1 diantaranya memiliki hambatan
lainnya selain visual atau MDVI.
“Sama aja sih kaya anak-anak lainnya, saya punya anak 4, dua
normal, dua lagi kan kembar ini yg ada gangguan visual. Kalau
memberikan nasihat arahan ya sama saja, karena ada yang
berkebutuhan khusus ya dikasih tau diarahkan pelan-pelan, kalau
salah ya ditegur diberi tahu bahwa yang yang dilakukan itu salah
78
seharusnya itu seperti ini, memberi tahunya pun harus sabar harus
memahami anaknya juga gimana, harus paham karakter anak. AF
ini kadang tantrum saat terapi, iya saya bilangin kalau terapi itu
fokus ikutin kata Mas Galuh, Bu Lilis gitu-gitu”. (Ibu OH, 2019)
Dari pemaparan diatas, dapat dilihat bahwa dukungan informasional
sangat diperlukan, dimana orang-orang yang berada di sekitar individu
akan memberikan informasi dengan cara menyarankan beberapa pilihan
tindakan yang dapat dilakukan individu untuk mengatasi masalah.
Sehingga individu dapat mengerti apa yang harus dilakukan.
Berdasarkan temuan lapangan, setiap anak memiliki kondisi yang
berbeda-beda, ada yang kondisinya ringan ada pula yang kondisinya
berat, sehingga cepat atau lambatnya perkembangan tiap anak akan
berbeda. Dan hal itu ditentukan oleh empat faktor yang dijelaskan
sebelumnya. Menurut terapis terapi kognitif Bu Lilis, bahwa grafik
perkembangan anak tunaganda-netra belum stabil, ada beberapa anak
yang grafiknya masih naik turun.
“Secara grafik ada yang maju, ada juga yang naik lalu turun, ada
juga yang naik perlahan lalu sempat turun, ada juga yang
berulang-ulang disitu terus tetapi bukan stuck ditempat, ada naik
sedikit slopnya tidak tinggi, tapi ada yang slopnya besar/tinggi
hanya karena mungkin kurang maintenance sehingga grafiknya
turun lagi”. (Lilis, 2019)
Namun dengan intensitas terapi yang dilakukan secara makimal
serta dukungan orang tua yang positif tentu akan mendapatkan hasil
yang diharapkan.
79
BAB V
PEMBAHASAN
Pada bab 5 ini akan diuraikan hasil temuan yang dikaitkan dengan latar
belakang dan teori-teori yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya. Dalam
menganalisa hasil temuan peneliti menggunakan teori Dukungan Sosial House.
Dukungan sosial orang tua terhadap anak tunaganda-netra di Yayasan
Mitra Netra merupakan bantuan yang diberikan oleh orang tua kepada anak yang
memiliki hambatan tunaganda-netra, dimana dukungan itu terdiri dari informasi
baik verbal maupun nonverbal, dukungan emosional, instrumental dan dukungan
penghargaan seperti yang dijelaskan pada bab 2 (h. 41). Pada dasarnya Yayasan
Mitra Netra ini memang menginginkan layanan yang diberikan kepada tunanetra
maupun tunaganda-netra ini harus melibatkan orang tua, dimana orang tua
memegang peranan penting dalam mengasuh dan mendidik anak. Sehingga, setiap
orang tua yang mengikuti layanan di Mitra Netra harus berkomitmen untuk aktif
terlibat dalam pelayanan yang diberikan. Dalam hal ini yaitu pemberian dukungan
sosial kepada anak. Hal ini dilakukan agar si penerima dukungan sosial (anak)
tidak mengalami kegoncangan jiwa, seperti perasaan tidak dihargai dan kesepian.
Selain itu, dengan melibatkan orang tua, pelayanan tidak hanya diberikan di
lembaga saja, tetapi secara kontinu bisa dilanjutkan dirumah sehingga hasil yang
diharapkan akan maksimal. Maka dalam hal ini, penulis menggunakan teori
menurut House seperti yang dijelaskan bahwa dukungan sosial adalah kadar
keberfungsian dari hubungan yang dapat dikategorikan dalam empat bentuk yaitu,
dukungan emosional, dukungan intrumental, dukungan penghargaan dan
dukungan informasional seperti yang dijelaskan pada bab 2 (h. 36). Dari beberapa
dukungan sosial orang tua terhadap anak tunaganda-netra dapat dianalisa bahwa:
A. Dukungan Emosional
Berdasarkan hasil temuan, dukungan emosional yang diberikan terbagi
menjadi 3 aspek, yaitu empati, perhatian, cinta dan kasih sayang.
80
1. Empati
Mendengarkan, bersikap terbuka serta memahami apa yang dirasakan
merupakan bagian dari aspek empati. Anak tunaganda-netra sering
mengalami gangguan pada emosi dan sosialnya seperti sedih, hiperaktif,
cemas dan lain-lain. Kelainan yang dialami anak tunaganda sangat kompleks,
sehingga akan membawa beban psikologis bagi anak, dalam hal ini
diperlukan dukungan emosional dari lingkungan sekitarnya.
Pada temuan penelitian yang telah dijabarkan pada bab 4. Ketika anak
tunaganda-netra merasakan sedih atau hal lainnya, orang tua bersikap terbuka
dengan menanyakan terlebih dahulu apa penyebab anak bersedih, biasanya
anak bersedih karena tidak mendapatkan apa yang anak mau. Seperti yang
dilakukan Ibu NB kepada anaknya F, Ibu NB bersikap terbuka dengan
menanyakan mengapa F bersedih, mendengarkan apa yang anak mau. Namun
diketahui bahwa F memang kesulitan berbicara, F hanya merengek dan
menangis ketika menginginkan sesuatu, F akan bicara hanya ketika dipaksa
bicara, karena terbiasa dengan perilaku tersebut, F jarang mengatakan
sesuatu. Sehingga hingga usia nya yang sudah menginjak 11 tahun, F masih
kesulitan untuk berbicara. Dengan bersikap terbuka dengan mendengarkan,
orang tua bisa menstimulus anak untuk bisa berbicara menceritakan apa yang
dirasakan anak tersebut. Dengan begitu anak akan merasa dirinya dihargai
oleh keluarganya.
Selain mendengarkan dan bersikap terbuka, memahami apa yang dirasakan
anak juga merupakan bagian dari aspek empati, terkadang anak tunaganda-
netra bisa meluapkan emosinya, emosinya sendiri bisa bermula dari
kesedihan yang dialami, orang tua juga harus mengontrol perlakuan kepada
anak dengan menjaga anaknya agar tidak emosi, karena ada beberapa anak
tunaganda-netra yang terkadang emosinya bisa meledak hingga kejang,
bahkan hingga tantrum. Seperti yang dilakukan Ibu J kepada anaknya S,
ketika anaknya bersedih, S ini terkadang emosinya bisa meledak hingga
kejang, sehingga Ibu J dan suami sebisa mungkin menjaga anaknya agar
emosinya tidak sampai meledak (dapat dilihat pada bab 4 h. 66).
81
2. Perhatian
Perhatian juga merupakan bagian dari dukungan emosional, keluarga
terutama orang tua merupakan lingkungan terdekat anak, orang tua memiliki
tugas untuk memberikan perlindungan dan perhatian pada anak. Sebagai
orang tua wajib memberikan hak-hak yang seharusnya anak dapatkan. Seperti
memberikan perhatian kepada anak, memberikan perhatian pada anak tidak
hanya berlaku pada anak yang normal saja, namun pada anak berkebutuhan
khusus seperti tunaganda-netra pun orang tua harus memberikan perhatian
yang sama. Keterbatasan visual dapat mempersulit anak tunaganda-netra
untuk bergerak sehingga sulit dalam melakukan orientasi dan mobilitas,
sehingga untuk beradaptasi dengan lingkungan maupun menuju suatu tempat
akan sulit. Dari hasil wawancara pada bab 4, dapat dilihat untuk
mempermudah mobilitas anak tunaganda-netra, beberapa orang tua seperti
Ibu J yang memberikan perhatian kepada anaknya S untuk mempermudah
mobilitasnya dengan menyingkirkan benda-benda yang menghalangi ketika S
berjalan. Begitu pula dengan yang dilakukan Bapak M pada anaknya DF dan
N dengan melatih anaknya untuk mengenal lingkungan rumah, dengan
catatan jangan sampai ada barang yang menghalangi mobilitas anaknya untuk
berjalan, dengan begitu anak akan mudah untuk beradaptasi dengan
lingkungan (dapat dilihat pada bab 4 h. 67).
Meskipun anak tunaganda-netra memiliki keterbatasan visual, bukan
berarti, anak tidak mampu untuk mempelajari ilmu agama. Seperti pada
temuan bab 4, beberapa orang tua juga mengajarkan ilmu agama, seperti Ibu J
dan Bapak M tetap mengajarkan anaknya untuk mengaji meskipun secara
visual anak tidak dapat melihat, namun bukan menjadi penghalang untuk
mempelajari Al Qur‟ran, Al Qur‟an kini tidak hanya diperuntukan untuk
orang-orang yang memiliki mata awas, tetapi Al Qur‟an kini ada versi digital
maupun braile, dimana dapat digunakan bagi anak-anak yang mengalami
keterbatasan visual.
82
3. Cinta dan kasih sayang.
Orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus, bukanlah hal yang
mudah untuk mengasuh dan mendidiknya, memang sulit tapi bukan berarti
tidak mampu, cinta dan kasih sayang orang tua merupakan hal yang amat
penting bagi tumbuh kembang anak, tidak hanya pada anak yang normal saja,
anak berkebutuhan khusus juga memerlukan cinta dan kasih sayang dari
orang tuanya. Seperti temuan pada bab 4, menerima kenyataan bukanlah hal
yang mudah bagi orang tua yang memiliki anak disabilitas, pada awalnya
mungkin sulit, namun dengan keyakinan yang kuat bahwa dengan ikhlas
menerima dan tetap mendukung serta memberikan support pada anak, orang
tua yakin anaknya bisa seperti anak-anak yang lain meskipun harus melalui
proses yang panjang. Seperti yang dilakukan oleh Ibu J dan suami yang tetap
mendidik, menyekolahkan, serta mengikutksertakan anaknya (S) untuk terapi,
karena Ibu J dan suami yakin bahwa nantinya anaknya (S) akan bisa seperti
yang lainnya meskipun prosesnya tidak cepat. Begitu pula yang dilakukan
oleh Bapak M kepada kedua anaknya N dan DF, menyayangi kedua anaknya
dalam kondisi bagaimanapun, dan tetap memberikan support kepada anak-
anaknya.
Bentuk cinta dan kasih sayang orang tua itu beragam, menyampaikan rasa
cinta dan kasih sayang tidak hanya melalui lisan, tapi bisa dilakukan dengan
tindakan. Perilaku baik kepada anak juga merupakan bentuk kasih sayang
orang tua pada anak, memang sudah seharusnya sebagai orang tua untuk
berperilaku baik kepada anak dalam kondisi apapun baik itu kepada anak
yang normal maupun anak yang berkebutuhan khusus, karena bagi anak
berkebutuhan khusus yang dibutuhkan adalah cinta dan kasih sayang dari
orang tuanya. Seperti temuan pada bab 4, berperilaku baik adalah salah satu
cara menyampaikan rasa cinta dan kasih sayang kepada orang tua, mendidik
serta mengajarkannya dengan penuh kesabaran serta lebih memahami anak
mereka, seperti yang dilakukan Ibu OH kepada anaknya AF yang
memperlakukan anaknya dengan baik, dengan sering berkomunikasi,
mendidik dan mengajarkannya dengan baik, serta lebih memahami anaknya.
83
Dari penjelasan tersebut, dapat penulis ketahui bahwa rasa empati,
perhatian serta cinta dan kasih sayang yang diberikan oleh orang tua kepada
anak tunaganda-netra sangat berpengaruh pada emosional anak dalam
mengatasi kedisabilitasannya. Dengan adanya dukungan emosional, akan ada
keterbukaan antara anak dan orang tua sehingga akan menciptakan suasana
yang hangat, akrab dan menyenangkan.
B. Dukungan Instrumental
Hasil temuan lapangan yang diperoleh penulis, dukungan instrumental terbagi
menjadi 3 aspek, yaitu peluang waktu, bantuan langsung dan bantuan materi.
1. Peluang Waktu
Mengalokasikan usaha dan waktu merupakan bagian dari dukungan
instrumental, anak tunaganda-netra memerlukan berbagai pelayanan untuk
mengatasi kedisabilitasannya dengan salah satunya mengikuti terapi. dengan
keterbatasan yang dimiliki. Tidak memungkinkan bagi anak tunaganda-netra
pergi sendiri untuk melakukan terapi, sudah tentu harus didampingi orang tua,
baik mengantar maupun mendampingi ketika melakukan terapi.
Dari hasil wawancara pada bab 4, para orang tua mengantarkan anaknya
untuk melakukan terapi, meskipun ditengah kesibukan pekerjaan, orang tua
tetap mengantarkan anaknya untuk melakukan terapi, bahkan terkadang
bergantian untuk mengantar terapi. Seperti Bapak M yang selalu bergantian
mengantar anaknya, karena Bapak M dan istri sama-sama bekerja, apabila DF
dan N sedang ingin diantar neneknya, maka yang mengantar adalah
neneknya. Tidak hanya Bapak M, Ibu OH dan Ibu NB juga selalu mengantar
anaknya untuk terapi bersama suami, kalaupun suami sedang bekerja, Ibu OH
dan Ibu NB sendiri yang mengantar anaknya untuk terapi (dapat dilihat pada
bab 4 h. 71). Namun diketahui bahwa Ibu OH orang tua dari AF ini sering
absen mengikuti terapi. Pelaksanaan terapi yang kurang intensif, dapat
mempengaruhi perkembangan AF.
Tidak hanya mengantar, mendampingi anak ketika sedang melakukan
terapi juga merupakan peluang waktu. Dengan mendampingi, orang tua akan
84
melihat dan mengetahui terapi apa saja yang dilakukan serta fungsi dari terapi
yang dilakukan. Seperti temuan pada bab 4, para orang tua juga mendampingi
anaknya ketika melakukan terapi, beberapa orang tua juga bergantian untuk
mendampingi anaknya, seperti Ibu NB yang mendampingi F dan Bapak M
yang mendampingi anaknya DF dan N ketika terapi, melihat bagaimana
terapinya, serta fungsi terapi pada anak seperti apa, selain itu karena para
orang tua tahu bahwa setelah terapi akan ada sesi konsultasi orang tua dengan
terapis, Ibu J dan suami selalu mendampingi dengan melihat bagaimana
terapi yang dilakukan anaknya S, setelah itu Ibu J menanyakan bagaimana
perkembangan anaknya, konsultasi ini penting untuk mengevaluasi
perkembangan anak.
Dengan keaktifan orang tua untuk melanjutkan terapi dirumah secara
kontinu tentu akan memberikan peluang keberhasilan yang tinggi. Tidak
semua terapi yang dilakukan di Yayasan Mitra Netra harus dilanjutkan
dirumah, hanya beberapa hal saja yang dilakukan dirumah yang sifatnya
mudah dilakukan dengan menggunakan alat-alat yang sederhana. Karena
pada dasarnya tidak bisa hanya mengandalkan lembaga atau yayasan guna
mengatasi kedisabilitasan individu, untuk menciptakan kebiasaan itu maka
harus dilakukan secara berulang dirumah oleh orang tua.
Dari temuan pada bab 4, mayoritas orang tua melanjutkan dirumah dengan
menggunakan alat seadanya yang ada di rumah, meskipun ada beberapa anak
yang sulit atau bahkan tidak mau melanjutkan terapi dirumah, diperlukan
ketegasan orang tua untuk anak agar bisa disiplin. Seperti yang dilakukan
Bapak M, dengan melanjutkan terapi dirumah sampai membeli bola
gymnastic yang sama, anaknya DF ini memiliki inisiatif sendiri dengan
meminta ayahnya untuk melanjutkan terapi dirumah. DF kini kemampuan
motoriknya cukup berkembang yang semula belum bisa berdiri, kini bisa
berdiri secara mandiri. Ibu J juga menerapkan kembali dirumah dengan
menggunakan alat sederhana yang ada dirumahnya seperti balok, gelas dan
lain-lain. Tidak hanya pada anak normal, pada anak tunaganda-netra pun
terkadang mood nya naik turun, sehingga tidak bisa dipaksakan, Ibu OH juga
85
demikian tidak memaksakan anaknya jika mood anaknya sedang tidak enak,
Ibu OH melakukan dengan semampunya apa yang diajarkan di lembaga
diterapkan kembali dirumah.
Orang tua yang melanjutkan terapinya dirumah, akan terlihat
perbedaannya dengan yang tidak melanjutkan dirumah, setiap pertemuan
akan dievaluasi sejauh mana anak tersebut melakukan yang sudah diajarkan
sebelumnya. Akan terlihat anak mana yang melanjutkan terapi dirumah.
Setiap sesi terapi memakan waktu 45 menit, sedangkan available time anak
lebih banyak di rumah, kalau tidak diulangi bandingan dengan anak yang
kondisinya sama tapi mengulang terapinya dirumah, tentu akan terlihat
perbedaannya.
2. Bantuan Langsung
Pada anak tunaganda-netra ini terkadang kesulitan untuk melakukan aktivitas-
aktivitas kesehariannya baik di rumah maupun di luar rumah, aktivitas seperti
makan, minum, berpakaian, menggunakan toilet hingga main diluar maupun
pergi sekolah. Beberapa anak harus dibantu orang tuanya untuk bisa
melakukan hal tersebut. Dapat dikatakan bahwa kemampuan bina-bantu diri
mereka rendah, sehingga belum bisa mandiri dalam menjalani kehidupannya.
Dari hasil wawancara pada bab 4, peneliti melihat beberapa anak masih harus
dibantu dan orang tua pun membantu baik kegiatan dirumah seperti makan,
minum, mandi, berpakaian, menggunakan toilet, hingga aktivitas diluar
seperti main di luar hingga pergi ke sekolah. Seperti yang dilakukan Ibu J
yang selalu mendampingi kegiatan anaknya S baik di rumah seperti makan,
berpakaian, maupun di luar rumah seperti sekolah tetap diantar, dan
ditungguin. Ibu NB dan Bapak M juga mendampingi anaknya seperti makan,
mandi karena memang anak-anaknya belum bisa melakukan hal itu secara
mandiri dan juga mengajak anaknya untuk pergi keluar, baik itu ke mall,
maupun kondangan hingga kumpul dengan teman-teman. Dengan
memberikan bantuan guna meringankan beban anak tunaganda-netra, bukan
tidak mungkin anak tunaganda-netra menjadi ketergantungan akan bantuan
dari orang lain.
86
Pada bab 2 (h. 29) dijelaskan bahwa kemampuan motorik halus memiliki
hubungan erat dengan penguasaan kemampuan bina bantu diri. Bagi anak
tunaganda-netra penting untuk memiliki kemampuan tersebut, dengan begitu
anak tunaganda-netra bisa melakukan bina bantu diri secara mandiri, namun
anak tunaganda-netra membutuhkan untuk mengenal, dan mengani obyek-
obyek di sekitar mereka yang berkaitan dengan aktivitas-aktivitas
kesehariannya, seperti belajar mengidentifikasi perbedaan ukuran, bentuk,
tekstur, berat dan kekuatan dari obyek-obyek tersebut, serta melatih
memegang, menggenggam, melepaskan benda dari genggaman, menelan dan
kemampuan dasar lainnya. Dengan demikian, orang tua lah yang beperan
untuk mengenalkan obyek-obyek pada anak serta melatihnya. Pada temuan
bab 4, orang tua juga mengajarkan anak untuk mengenal obyek-obyek
tersebut, dan terlihat sudah ada anak yang mulai bisa mandi secara mandiri
yaitu anak dari Ibu J meskipun tetap dalam pengawasan orang tuanya (dapat
dilihat pada bab 4 h. 76). Dengan mengajarkan anak untuk mengenal obyek-
obyek tersebut, dimana nantinya anak akan mampu melakukannya secara
mandiri sehingga tidak bergantung dengan bantuan orang lain.
3. Bantuan Materi/biaya
Anak tunaganda-netra juga membutuhkan bantuan materi untuk mengatasi
kedisabilitasannya, seperti layanan kesehatan maupun layanan pendidikan
serta pelayanan lain seperti layanan pengembangan diri. Layanan kesehatan
sendiri berupa dokter, terapis, psikolog, layanan pendidikan seperti tetap
menyekolahkan anaknya baik di Sekolah Luar Biasa, maupun sekolah
reguler, layanan pengembangan diri lainnya dengan mengikutsertakan
les/kursus ataupun kegiatan lainnya.
Dari hasil wawancara, peneliti melihat bahwa orang tua mulai dari Ibu J,
Bapak M, Ibu O.H dan Ibu N.B memberikan bantuan materi dengan
mengalokasikannya memberikan anaknya untuk mendapat akses layanan
kesehatan seperti mengikutsertakan anak-anaknya terapi baik itu fisioterapi
maupun terapi kognitif dan perilaku untuk mengatasi kedisabilitasannya,
selain mengikutsertakan terapi, orang tua memasukkan anak-anak mereka ke
87
sekolah guna menunjang kemampuan akademis anak, serta mengikutsertakan
les tambahan untuk anaknya. Dengan bantuan materi diharapkan dapat
mengatasi permasalahan kedisabilitasan pada anak.
C. Dukungan Informasional
Orang tua berfungsi sebagai kolektor (pengumpul) dan diseminator
(penyebar). Pelayanan bagi anak tunaganda-netra tidak hanya berfokus pada
anaknya saja tetapi orang tua juga diberikan pelayanan seperti Parent Support
Group, dimana orang tua mengikuti kegiatan seperti seminar atau diskusi,
pada kegiatan tersebut orang tua mengumpulkan informasi yang berkaitan
dengan tentang anak berkebutuhan khusus, lalu bisa memberikan informasi
kepada anak. Kegiatan ini juga menjadi wadah bagi orang tua bertemu orang
tua lain yang juga memiliki anak disabilitas, para orang tua bisa saling
mengenal, bisa saling diskusi bertukar pikiran, sehingga bisa mendapat
informasi baru serta bisa saling mendukung satu sama lain.
Disamping itu, dalam kegiatan terapi terdapat sesi konsultasi antara orang
tua dengan terapis, orang tua pun dapat mengumpulkan informasi tentang
bagaimana perkembangan anaknya dan apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Setelah pemberian informasi oleh pihak lembaga, selanjutnya adalah
pemberian informasi oleh orang tua kepada anak. Aspek lain dalam dukungan
informasional adalah pemberian nasihat dan arahan. Anak tunaganda-netra
terkadang bertindak agresif, cenderung sulit berperilaku dan berinteraksi yang
sifatnya konstruktif. Pada temuan bab 4, peneliti melihat bahwa orang tua
memberikan nasihat bagaimana seharusnya berperilaku maupun berinteraksi,
misal ketika melakukan terapi anak harus fokus mengikuti terapi yang
dilakukan, tidak bercanda maupun melakukan hal-hal yang lain yang dapat
mengganggu proses terapi. Seperti Ibu J yang selalu memberikan arahan
kepada anaknya S untuk fokus dalam melakukan terapi dan menasehati untuk
tidak melakukan tingkah laku yang berulang-ulang. Sehingga sejauh ini atensi
dan fokus S sudah mulai tenang. Tidak hanya itu ketika melakukan kesalahan
anak diberikan informasi bagaimana seharusnya sehingga anaknya mengerti.
Seperti yang dilakukan Bapak J kepada anaknya DF maupun N, dan Ibu NB.
88
Pemberian nasihat, arahan maupun pemberian informasi yang diberikan oleh
orang tua pun menggunakan kata-kata yang mudah dipahami anak dan
dengan intonasi yang lembut, supaya nasihat, arahan maupun pemberian
informasi dapat diserap dengan baik oleh anak. Seperti Ibu OH yang
memberikan nasihat, arahan maupun informasi dengan nada yang lembut.
Begitu pula Bapak M, yang memberikan arahan nasihat dengan lembut tidak
dengan emosi kepada anaknya DF dan N.
Anak tunaganda-netra juga terkadang sulit untuk berkomunikasi untuk
mengungkapkan apa yang diinginkan, anak tersebut hanya merengek dan
menangis, peneliti melihat bahwa orang tua juga memberikan nasihat kepada
anaknya bahwa ketika ingin sesuatu itu untuk membiasakan dengan berbicara
apa yang diinginkan. Dilatih untuk berbicara upaya anak tersebut terbiasa
untuk mengungkapkan apa yang diinginkan seperti Ibu NB yang dimana
anaknya F ini masih kesulitan berbicara dan hanya merengek jika
menginginkan sesuatu, Ibu NB membiasakan F untuk bicara ketika ingin
sesuatu sehingga anak terlatih untuk mengatakan sesuatu (dapat dilihat pada
bab 4 h. 82).
Dari pemaparan diatas, dapat peneliti lihat bahwa dukungan informasional
ini sangat diperlukan khususnya bagi anak berkebutuhan khusus, dimana
orang-orang yang berada disekitar anak tersebut terutama orang tua akan
memberikan informasi dengan memberikan beberapa pilihan tindakan yang
dapat dilakukan anak untuk mengatasi masalah, sehingga anak pun dapat
mengerti apa yang harus dilakukan.
D. Dukungan Penghargaan/Penilaian
Dukungan terakhir yang dikemukakan oleh House sebagaimana yang
dijelaskan dalam teori dukungan sosial pada bab 2 (h. 36) yaitu dukungan
penghargaan atau dukungan penilaian. Dukungan penghargaan/penilaian
merupakan suatu bentuk penghargaan yang diberikan seseorang kepada orang
lain. Berkaitan dengan dukungan sosial orang tua, maka penghargaan atau
penilaian yang sangat membantu adalah penilaian yang positif. Dukungan
penghargaan terbagi menjadi 2 aspek, yaitu afirmasi dan umpan balik.
89
1. Penghargaan Diri
Bagi anak tunaganda-netra dengan keterbatasannya, terkadang memiliki
hambatan dalam menjalankan kegiatan sehari-harinya seperti kurang percaya
diri, dan lain-lain. Diperlukan sedikit motivasi agar anak mampu mengatasi
hambatannya, melalui hadiah atau ucapan positif kepada anak, dimana hal itu
akan membuat anak merasa senang atas apa yang dilakukan hingga terbangun
kepercayaan pada dirinya. Dalam hal ini, dukungan yang berbentuk
penghargaan atau reward yang diberikan orang tua kepada anak.
Berdasarkan hasil wawancara pada bab 4, orang tua memberikan ungkapan
positif kepada anaknya ketika anaknya bisa melakukan sesuatu dengan baik
dan benar, seperti perlakuan Ibu J dan suami kepada anaknya S ketika S dapat
melakukan sesuatu dengan benar tidak hanya ungkapan positif melalui lisan
tapi dibarengi dengan gerakan ekspresif seperti tepuk tangan. Tentu dengan
memberikan ungkapan positif, anak pun akan merasa senang, merasa
dihargai, seperti F yang senang ketika mendapatkan pujian dari Ibu NB ketika
F bisa mengambil botol yang diminta Ibunya. Penghargaan berupa reward
tersebut dapat menumbuhkan, membangkitkan dan meningkatkan motivasi
anak agar mereka terdorong untuk melakukan usaha lebih lanjut lagi.
2. Umpan balik
Selain afirmasi atau penghargaan, aspek lain dari dukungan instrumental
adalah umpan balik. Umpan balik dalam hal ini adalah pemberian
sanksi/hukuman atau disebut punishment. Diharapkan dengan adanya
sanksi/hukuman anak bisa memperbaiki kesalahannya sehingga tidak
mengulangi apa yang dilakukannya dikemudian hari. Pemberian
sanksi/hukuman bukan berarti dilakukan dengan sesuatu yang keras, karena
tujuan pemberian sanksi/hukuman adalah untuk menghentikan anak
melakukan sesuatu yang tidak sesuai sebagaimana mestinya.
Anak tunaganda-netra terkadang berperilaku tidak semestinya, seperti saat
terapi menggeleng-gelengkan kepala, memutar-mutar kepala, bahkan tertawa
sendiri dan perilaku tersebut sering diulang-ulang. Dari temuan pada bab 4,
ketika anak melakukan hal yang tidak semestinya, orang tua lebih memilih
90
untuk memberi tahu terlebih dahulu bahwa yang dilakukan itu salah, seperti
Ibu NB kepada anaknya F ketika F berperilaku atau melakukan hal yang salah
Ibu NB memberikan penjelasan bahwa yang dilakukan salah, begitu pula
bapak M tidak memarahi hanya memberitahukan kepada anaknya DF maupun
N yang dilakukan salah, lalu baik Ibu NB dan Bapak M mengarahkan seperti
apa yang seharusnya dilakukan sehingga anaknya paham dan bisa mengerti.
Dan apabila sudah anak sudah keterlaluan orang tua sedikit memberikan
penjelasan dengan nada yang tegas seperti marah tapi tidak keras, hanya
seperti penegasan. Ibu J dan suami memberikan penjelasan dengan nada tegas
ketika anaknya S melakukan hal yang tidak benar dan sudah keterlaluan.
Punishment tidak hanya sekedar memberikan sanksi dan hukuman saja, tetapi
didalamnya harus ada ajaran yang diterapkan sehingga dapat mengurangi
hingga menghilangkan perilaku-perilaku yang tidak sesuai.
Dari penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa penghargaan atau penilaian
yang diberikan merupakan bentuk dari kepedulian, saling tolong menolong
saling menghargai juga mengasihi, dimana hal tersebut menjadi landasan bagi
setiap manusia untuk lebih baik di masa mendatang.
Maka dari itu, berdasarkan dukungan sosial yang dikemukakan oleh
House dijelaskan bahwa dukungan yang diberikan orang tua terhadap anak
tunaganda-netra terdapat empat bentuk dukungan sosial, yaitu dukungan
emosional, dukungan instrumental, dukungan infomatif, dan dukungan
penghargaan. Dari keempat bentuk dukungan sosial yang diberikan, semua
dukungan efektif dalam memberikan dampak atau pengaruh bagi
perkembangan anak. Pada dasarnya seorang individu terutama anak,
khususnya anak berkebutuhan khusus sangat memerlukan dukungan sosial
orang tua, yang dimana orang tua merupakan lingkungan pertama yang dekat
dengan anak.
91
BAB VI
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah peneliti lakukan
mengenai Dukungan Sosial Orang Tua terhadap Anak Tunaganda-Netra
melalui teknik wawancara, dan studi dokumentasi, maka peneliti dapat
menyimpulkan bahwa terdapat empat bentuk dukungan sosial orang tua yang
diberikan pada anak tunaganda-netra.
Pertama, dukungan emosional yang meliputi tiga aspek meliputi
pemberian empati dengan cara bersikap terbuka kepada anak, hingga
mendengarkan keluh kesah anak. Dengan begitu anak akan terbuka untuk
bercerita mengungkapkan apa yang dirasakan. Anak dengan disabilitas
membutuhkan perhatian lebih agar anak mampu mengatasi
kedisabilitasannya, aspek lainnya yaitu cinta dan kasih sayang. Dengan
pemberian dukungan emosional dari orang tua kepada anak dapat mengurangi
rasa sedih, rasa takut, anak akan merasa senang, merasa dicintai dan dihargai.
Kedua, dukungan instrumental yang meliputi tiga aspek; yaitu peluang
waktu, bantuan langsung, dan bantuan biaya. Dengan memberikan dukungan
instrumental dari orang tua kepada anak, orang tua memastikan anak dapat
beraktifitas sehari-harinya, selain itu mendampingi kegiatan anak yang belum
bisa dilakukan secara mandiri, lalu memberikan bantuan materi/biaya dengan
mengalokasikannya memberikan akses kesehatan, untuk mengatasi
kedisabilitasannya, selain itu mengalokasikan pada akses pendidikan guna
menunjang kemampuan akademis anak, dan layanan pengembangan diri
seperti mengikutsertakan les/kursus sehingga anak dapat mengasah bakat dan
keterampilannya.
Ketiga, dukungan informasional yang meliputi pemberian informasi,
nasihat dan saran, baik dilakukan pihak lembaga kepada orang tua melalui
parent support group, atau dalam konsultasi keluarga setelah sesi terapi
dengan begitu orang tua dapat mengumpulkan informasi, lalu orang tua dapat
92
memberikan informasi, nasehat maupun arahan kepada anak tunaganda-netra
dengan memberikan pilihan tindakan yang dapat dilakukan anak tunaganda-
netra untuk mengatasi masalah kedisabilitasannya, sehingga anak dapat
mengerti apa yang harus dilakukan kedepannya.
Keempat, dukungan Penilaian/penghargaan yang meliputi dua aspek;
pertama, penghargaan diri melalui hadiah atau ungkapan positif pada anak,
setelah saya meneliti empat sampel dapat diungkapkan bahwa setelah anak
mendapatkan dukungan penilaian anak merasa senang, selain itu dapat
memberikan motivasi pada anak untuk melakukan usaha lebih lanjut lagi.
Kedua, adalah umpan balik yaitu pemberian sanksi/hukuman atau
punishment, umpan balik diberikan untuk memberikan sedikit pelajaran
maupun arahan yang nantinya membuat anak tidak mengulangi hal-hal
tersebut, sehingga anak akan paham apa yang dilakukan setelah pemberian
umpan balik dari orang tua.
B. Implikasi
Melakukan penelitian ini jika tidak memiliki manfaat untuk orang lain
tentu merupakan hal yang sia-sia. Dari penelitian ini, peniliti berharap yang
telah dilakukan dapat bermanfaat baik dari segi teoritis maupun praktis.
Adapun implikasi dari penelitian ini yang dapat bermanfaat untuk
kedepannya adalah
1. Teoritis
Dari segi teoritis, peneliti mengharapkan bahwa penelitian ini dapat
bermanfaat bagi akademisi maupun orang tua yang memiliki anak tunaganda-
netra yang membaca penelitian ini. Adapun implikasi dari segi teoritis dari
penelitian ini adalah:
a. Berdasarkan teori dukungan sosial, maka permasalahan anak tunaganda-
netra dapat teratasi apabila anak tunaganda-netra mendapatkan dukungan
dari lingkungan sekitar terutama orang tua.
b. Menjadi panduan orang tua untuk memberikan dukungan sosial terhadap
anak tunaganda-netra.
93
2. Praktis
Dari segi praktis, peneliti mengharapkan bahwa penelitian ini dapat
bermanfaat bagi praktisi, caregiver, komunitas dan lembaga yang bergerak di
bidang disabilitas, khususnya yang menangani tunaganda dan majemuk.
Adapun implikasi dari segi praktis adalah:
a. Yayasan Mitra Netra dapat mendorong orang tua untuk lebih aktif dalam
memberikan dukungan sosial terhadap anak, baik tunanetra maupun
tunaganda-netra.
b. Lebih banyak praktisi yang peduli terhadap disabilitas, khususnya
tunaganda-netra.
C. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, maka peneliti
ingin menyampaikan beberapa saran, yaitu:
1. Bagi Orang tua yang memiliki Anak Tunaganda-netra
Sebagai bahan masukan bagi orang tua yang memiliki anak tunaganda-netra,
agar mengetahui bentuk dukungan yang harus dilakukan sehingga mampu
membuat tumbuh kembang anak tunaganda-netra menjadi optimal, dan anak
tunaganda-netra mampu melakukan aktifitas sehari-hari secara mandiri.
a. Dukungan emosional, dengan adanya dukungan emosional yang diberikan
orang tua kepada anak tunaganda-netra, peneliti menyarankan kepada
orang tua bahwa meskipun dukungan emosional sudah diberikan, maka
dukungan ini harus diberikan secara berkelanjutan agar anak tunaganda-
netra merasa aman, nyaman serta merasa dicintai, sehingga hubungan
antara anak dan orang tua akan erat.
b. Dukungan Instrumental, dengan adanya dukungan instrumental yang
diberikan kepada anak tunaganda-netra, peneliti menyarankan kepada
orang tua tetap melanjutkan untuk meluangkan waktu dengan
mendampingi kegiatan anak, namun perlunya anak juga dilatih untuk bisa
melakukan aktifitas secara mandiri, sehingga tidak ketergantungan
dengan bantuan orang lain.
94
c. Dukungan Informasional, dengan adanya dukungan instrumental yang
diberikan kepada anak tunaganda-netra, peneliti menyarankan kepada
orang tua bahwa meskipun dukungan informasional sudah diberikan,
maka dukungan ini harus diberikan secara berkelanjutan, karena orang tua
pengumpul informasi dan pemberi informasi, sehingga baik orang tua
maupun anak tunaganda-netra memiliki banyak informasi dan menambah
wawasan.
d. Dukungan Penilaian, dengan adanya dukungan penilaian yang diberikan
orang tua kepada anak tunaganda-netra, peneliti menyarankan kepada
orang tua bahwa meskipun dukungan penilaian sudah diberikan, maka
dukungan ini harus diberikan secara berkelanjutan, karena dengan
memberikan dukungan penilaian adanya bentuk apresiasi yang diberikan
setiap anak melakukan suatu hal dengan baik, begitu pula dengan
memberikan umpan balik, anak akan mengerti apabila anak melakukan
kesalahan, sehingga anak tidak mengulangi kesalahannya.
2. Bagi Yayasan Mitra Netra
Untuk Program Parent Support Group agar dilaksanakan secara berkala dan
terjadwal agar para orang tua yang memiliki anak tunanetra maupun
tunaganda-netra dapat menambah informasi serta dapat berperan aktif dan
konsisten dalam memberikan dukungan sosial kepada anaknya. Perlu adanya
tenaga ahli tambahan, seperti pekerja sosial maupun terapis tambahan karena
untuk program tunaganda-netra ini khususnya pada fisioterapi, partisipan
anaknya sudah banyak dan waktu yang digunakan yaitu 2 minggu sekali
dirasa kurang efektif. Selain itu, perlunya tindakan tegas untuk orang tua
yang tidak disipilin seperti sering absen kegiatan terapi, dan memberikan
kesempatan kepada orang tua lain yang benar-benar ingin mengikutsertakan
anak untuk terapi.
3. Kepada Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini menjelaskan bagaimana pemberian dukungan sosial kepada
anak tunaganda-netra dalam lingkup orang tua, maka peneliti selanjutnya
95
sebaiknya dapat meneliti mengenai bagaimana dukungan sosial dalam
lingkup yang lebih luas lagi seperti masyarakat. Penelitian mengenai
dukungan sosial ini dilakukan pada orang tua yang memiliki anak tunaganda-
netra yang mengikuti kegiatan di Yayasan Mitra Netra, maka peneliti
selanjutnya sebaiknya dapat meneliti pada lembaga lain.
97
DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Buku
Agustyawati, dan Solicha. 2009. Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan
Khusus. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta.
Arikunto, Suharsimi. 1979. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Bart, Smet. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Brooks, J. B. 1991. The Process of Parenting (3rd ed.). Mountain View:
Mayfield Publishing.
Bunker, L. K., & Moon, S. 1983. Motor Skills. In M. E. Snell (Ed.).
Systematic Instruction of The Moderate and Severely Handicapped
(2nd
ed.). (pp. 203-226). Columbus: Charles E. Merril Publishing Co.
Ghoni, M. Djunaedi, dkk. 2012. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media.
Gottlieb, B. H. 1983. Social Support Strategie: Guideliness for Mental
Health Practice. London: Sage Publication.
Hallahan, D. P., & Kauffman, J. M. 2006. Exceptional Learnes: An
Introduction to Special Education (10th
ed.). Boston: Pearson.
Haring, Norris G. (Ed.). 1974. Behavior of Exceptional Children. An
Introduction to Special Education. Ohio: Charles E. Merril
Publishing Company.
Harnilawati. 2013. Konsep & Proses Keperawatan Keluarga. Sulawesi
Selatan: Pustaka As Salam.
Hatlen, P. H. 1973. Visually Handicapped Children with Additional
Problems. In Lowenfeld, B. (Ed.). The Visually Handicapped Child
in School. New York: The John Day Company.
Heward, W. L., & Orlansky, M. D. 1992. Exceptional Children: An
Introductory Survey of Special Education (4th
ed.). New York:
Macmilan Publishing Company.
98
Hobfoll, S. E. 1986. Stress, Social Support and Women: The Series in
Clinical and Community Psychology. Washington, DC: Hemisphere
Publishing Corp.
Kirk, S. A., & Gallagher, J. J. 1979. Educating Exceptional Children.
Boston: Houghton Mifflin Company.
Lahey, B. B. 2007. Psychology: An Introduction (9th ed.). New York: The
McGraw-Hill Companies.
Lowenfeld, Berthold. (Ed.). 1973. The Visually Handicapped Child In
School. New York: The John Day Company.
Mangunsong, F., dkk. 1998. Psikologi dan Pendidikan Anak Luar Biasa.
Depok: LPSP3 UI.
Martin, C. A., & Colbert, K. K. 1997. Parenting: A Life Span Perspective.
New York: McGraw Hill.
Meyen, E. L. 1982. Excpetional Children and Youth: An Introduction (2nd
edition). Denver: Love Publishing.
Moloeng, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Revisi.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nasir, Moh. 1993. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Nursalam, M., & Kurniawati, N. D. 2007. Asuhan Keperawatan pada
Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika.
Rakhmat, Jalaludin. 2006. Metode Penelitian Kualitatif (edisi ke-12).
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Renzaglia, A., & Bates, P. 1983. Socially Appropriate Behavior. In Snell,
M. E. (Ed.). Systematic Instruction of The Moderate and Severely
Handicapped (2nd
ed.) (pp. 314-352). Columbus: Charles E. Merril
Publishing Co.
Robinson, C.C., & Robinson, J.H. 1983. Sensorimotor Functions and
Cognitive Development. In Snell, M. E. (Ed.). Systematic Instruction
of The Moderate and Severely Handicapped (2nd
ed.) (pp. 227-266).
Columbus: Charles E. Merril Publishing Co.
Sarafino, E. P. 1997. Health Psychology: Biopsychological Interactions
(4rd ed.). New York: John Wiley & Sons, Inc.
99
Sevilla, Cunsuelo. G., dkk. 2006. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta.
UI Press.
Smith, D. D. 2001. Introduction to Special Education Teaching in Age
Opportunity (4th ed.). Boston: Allyn & Bacon.
Snell, M. E. (Ed.). Systematic Instruction of The Moderate and Severely
Handicapped (2nd
ed.) (pp. 358-409). Columbus: Charles E. Merril
Publishing Co.
Somantri, S. 2007. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT Refika
Aditama.
Sugiyono. 2010. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta
Sugiyono, 2011. Metode Penelitian Kualitatif, dan R & D (edisi ke-13).
Bandung: IKAPI.
Supena, A. 1999. Gangguan Penglihatan: Sebuah Pengantar. Jakarta:
Jurusan Pendidikan Luar Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas
Negeri Jakarta.
Thawami, Vimal B. 2000. Visual Impairment Handbook: Visually
Impaired Children with Multiple Disabilities. Ahmedabad: Blind
People‟s Association.
Widjajanti, A. & Hitipeuw. 1995. Ortopedagonik Tunanetra 1. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi..
B. Sumber Jurnal
Cutrona, C. E, et al. 1994. Perceived Parental Social Support and
Academic Achievment: An Attachment Theory Perspective. Journal
of Personality and Social Psychology. 66, 2, 369-378.
Dewi, Desy Santika. 2016. Kajian tentang Psychological Well Being pada
Anak Tunanetra di Sekolah Menengah Atas Luar Biasa dalam
Seminar Asean. http://mpsi.umm.ac.id./files/file/pdf
Friend, Anna C., dkk. 2009. Impact of Family Support in Early Childhood
Intervention Research. Vol. 44, No. 4, pp (453-470).
http://www.jstor.org/stable/24234255
100
Hartini, Rini. 2018. Enhancing Role of Family and Social Worker for
Children with Disability dalam Child Poverty and Social Protection
Conference.
http://smeru.or.id/sites/default/file/publication/cpsp_1pdf
Kumalasari, F., & Latifah N. 2012. Hubungan Antara Dukungan Sosial
dengan Penyesuaian Diri Remaja di Pantu Asuhan. Jurnal Psikologi
Vol 1, No. 1.
Rensi., & Rini, Lucia. 2010. Dukungan Sosial, Konsep Diri, dan Prestasi
Belajar Siswa SMP Kristen YSKI Semarang. Jurnal Psikologi
Volume 3, No. 2.
Rudiyati, Sari., dkk. 2015. Identifikasi Pembelajaran bagi Anak Multiple
Disability and Visual Impairment (MDVI) secara Terpadu. Jurnal
Ilmu Pendidikan.
Suseno, Yudha Eko. 2018. Studi Kasus Pelaksanaan Toilet Training anak
MDVI di SLB-A YPAB Surabaya. Jurnal Pendidikan Khusus.
Turner, R. J., & Noh, S. 1988. Physical Disability and Depression: A
Longitudinal Analysis. Journal of Health and Social Behavior, 29
(1), 23-27.
C. Sumber Internet
Analisa Dukungan Keluarga dengan Beban Orangtua dalam Merawat
Anak Penyandang Cacat Tingkat SD di SLB Negeri Semarang
diakses melalui https://media.neliti.com/media/publications/171883-
ID-analisa-dukungan-keluarga-dengan-beban-o.pdf pada 2 Mei
2018.
Panduan Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus bagi Pendamping
(Orang Tua, Keluarga, Masyarakat) diakses melalui
https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/b3401-panduan-
penanganan-abk-bagi-pendamping-_orang-tua-keluarga-dan-
masyarakat.pdf pada 20 Februari 2018.
Latar belakang Yayasan Mitra Netra diakses melalui
https://mitranetra.or.id/profil/latar-belakang/ pada 7 Januari 2019.
101
Undang-Undang No 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on
The Right of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-
Hak Penyandang Disabilitas diakses melalui
https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/17346/UU0192011.pdf pada 20
Februari 2018.
Visi dan Misi Yayasan Mitra Netra diakses melalui
https://mitranetra.or.id/profil/visi-misi/ pada 7 Januari 2019.
Legalitas Yayasan Mitra Netra diakses melalui
https://mitranetra.or.id/profil/legalitas/ 7 Januari 2019.
Penghargaan dan Prestasi Yayasan Mitra Netra diakses melalui
https://mitranetra.or.id/profil/penghargaan-dan-prestasi/ pada 7
Januari 2019.
Struktur Orgnisasi Yayasan Mitra Netra diakses melalui
https://mitranetra.or.id/profil/struktur-organisasi/ pada 7 Januari
2019.
Jaringan Kerjasama Yayasan Mitra Netra diakses melalui
https://mitranetra.or.id/profil/jaringan-kerjasama/ pada 7 Januari
2019.
Program Layanan Perpustakaan Yayasan Mitra Netra diakses melalui
https://mitranetra.or.id/program-layanan/perpustakaan/ pada 7
Januari 2019
Program Layanan Rehabilitasi Yayasan Mitra Netra diakses melalui
https://mitranetra.or.id/program-layanan/rehabilitasi/ pada 7 Januari
2019.
Program Layanan Pendampingan Belajar Yayasan Mitra Netra diakses
melalui https://mitranetra.or.id/program-layanan/pendampingan-
belajar/ pada 7 Januari 2019.
Program Layanan Kursus Komputer Yayasan Mitra Netra diakses melalui
https://mitranetra.or.id/program-layanan/kursus-komputer-bicara/
pada 7 Januari 2019.
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
PEDOMAN WAWANCARA
Informan : Kepala Bagian Rehabilitasi dan Diklat Yayasan Mitra Netra
A. Tempat dan Waktu Wawancara
1. Tempat Wawancara :
2. Hari, Tanggal Wawancara :
3. Waktu Wawancara :
B. Identitas Informan
1. Nama :
2. Usia :
3. Jabatan/Profesi :
Daftar Pertanyaan
1. Sejak kapan layanan bagi Tunaganda-Netra mulai dilakukan?
2. Program apa saja yang diberikan bagi penyandang tunaganda-netra?
3. Bagaimana alur penerimaan klien yang ingin mengikuti program-program
tersebut?
4. Berapa jumlah klien yang mengikuti pelayanan bagi tunaganda-netra ini?
5. Untuk orang tua, program apa saja yang diberikan terkait dukungan sosial?
6. Bagaimana pandangan lembaga terkait dukungan sosial orang tua terhadap
anak tunaganda-netra disini?
Lampiran 5
TRANSKIP WAWANCARA
Informan : Kepala Bagian Rehabilitasi dan Diklat
A. Tempat dan Waktu Wawancara
1. Tempat Wawancara : Yayasan Mitra Netra
2. Hari, Tanggal Wawancara : Kamis, 31 Januari 2019
3. Waktu Wawancara : Pukul 11.26
B. Identitas Informan
1. Nama : Muizzudin Hilmi
2. Usia : 44 Tahun
3. Jabatan/Profesi : Kepala Bagian Rehabilitasi dan
Diklat Yayasan Mitra Netra
No Pertanyaan Jawaban
1 Sejak kapan layanan bagi
Tunaganda-Netra mulai
dilakukan?
Sekitar 2 tahun yang lalu, iya sekitar
tahun 2016. Awal mula kita tidak
memiliki sumber daya untuk
tunaganda-netra. Karena awalnya
Mitra Netra hanya melayani tunanetra
dengan satu ketunaan saja. Namun
banyak orang tua yang memiliki anak
tunaganda-netra atau MDVI meminta
kami untuk mengadakan layanan bagi
anak tunaganda-netra. Kami pun mulai
mengadakan layanan bagi tunaganda-
netra atau MDVI. Kemudian ada
beberapa teman-teman maupun
relawan yang membantu untuk
memberikan pelayanan bagi
tunaganda-netra.
2 Program apa saja yang diberikan Untuk tunaganda-netra sendiri, ada
bagi penyandang Tunaganda-
Netra?
pelayanan fisioterapi, terapi kognitif
dan terapi perilaku, serta terapi wicara.
Namun tidak menutup kemungkinan
untuk mengikuti kegiatan yang lain,
seperti musik atau komputer bicara.
Untuk musik sendiri disini tidak
mematok anak tersebut untuk bisa
bermain musik, ini bisa juga sebagai
latihan untuk melatih anak
melenturkan tangannya agar tidak
kaku, lalu untuk komputer bicara
sendiri bisa memberikan stimulasi, ada
proses yang sifatnya logika, tidak apa-
apa mengikuti kegiatan komputer
meskipun tertatih-tatih.
3 Bagaimana alur penerimaan klien
yang ingin mengikuti program-
program tersebut?
Ketika ada tunanetra baru ini, kita
assessment, permasalahannya apa,
kebutuhannya itu apa, dan kegiatannya
apa saja yang nanti akan diikuti untuk
menghilangkan permasalahan-
permasalahannya itu. Dalam proses
tersebut konselor akan berkomunikasi
dengan orang tua anak tersebut,
diidentifikasi ada formnya yang harus
diisi mengenai biodata dan kegiatan-
kegiatan apa saja yang akan diikuti
sesuai dengan hasil assessment.
Biasanya untuk tunanetra baru akan
mengikuti dua kegiatan wajib yaitu
orientasi dan mobiltas, baca tulis
braile. Tapi tidak menutup
kemungkinan untuk mengikuti
kegiatan yang lain. Lalu biasanya
diajak untuk berkeliling mulai
mengenalkan kegiatan-kegiatan yang
ada di mitra netra, juga mengenalkan
ke sesama tunanetra. Setelah
mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut,
ada proses evaluasi sudah sejauh mana
perkembangannya, apakah sudah siap
kembali ke lingkungan sosial atau
belum. Misal ada tunanetra usia
sekolah mengikuti rehabilitasi di mitra
netra, ketika sudah selesai melakukan
rehabilitasi dan siap kembali ke
sekolah maka pihak mitra netra
advokasi ke pihak sekolah, ikut
mendampingi ketika proses
pendaftaran hingga mulai bersekolah,
anak tersebut tetap dalam
pendampingan mitra netra, itupun
ketika pihak sekolah meminta jaminan
bahwa anak tersebut tetap didampingi
oleh mitra netra. Ketika nanti sudah
mandiri ya akan dilepas. Tapi ketika
nanti ada permasalahan misal di
sekolah atau ditempat kerja dan mitra
netra diperlukan sebagai mediator ya
kita akan bantu.
4 Berapa jumlah klien yang
mengikuti pelayanan bagi
Tunaganda-Netra ini?
Ganda ya? Kemarin hasil Raker itu
ada 23 anak MDVI, 17 klien
mengikuti layanan fisioterapi, terapi
kognitif & terapi perilaku, dan terapi
wicara.
5 Untuk orang tua, program apa saja
yang diberikan terkait dengan
dukungan sosial orang tua?
Ada parent support group (PSG), jadi
dukungan untuk orang tua, bukan
hanya anaknya yang diberikan
pelayanan, tetapi orang tua nya juga
diberikan layanan, ketika psikolog
melakukan observasi dan assessment
orang tuanya dilibatkan, bisa juga
sesekali mengundang universitas dari
luar entah itu psikologi atau apapun,
orang tua kita undang akan
mengadakan seperti event seminar ,
diskusi, ada brainstorming disitu.
6 Bagaimana pandangan lembaga
terkait dukungan sosial orang tua
terhadap anak tunaganda-netra
disini?
Kita berharap layanan terhadap
tunaganda-netra ini melibatkan orang
tua. Ketika si anak melakukan terapi,
kan ada buku penghubung, diterapi
oleh terapisnya nanti akan ditulis di
buku penghubung mengenai terapi
yang dilakukan. Ada beberapa hal
yang harus dilakukan orang tua kepada
anaknya dirumah, kalau hanya
mengandalkan mitra netra saja, tidak
akan maksimal perkembangan anak
tersebut. Pada pertemuan berikutnya
akan di tes kembali apakah anak
tersebut melanjutkan terapi dirumah
oleh orang tuanya atau tidak, akan
keliatan mana yang melanjutkan mana
yang tidak. Orang tua yang tidak
terlibat dalam pelayanan bagi anak
tunaganda-netra ini sebaiknya dicoret
saja dan digantikan dengan anak-anak
yang lain yang lebih membutuhkan
terapi tersebut. Karena banyak daftar
tunggu orang tua yang ingin
mendapatkan pelayanan MDVI bagi
anaknya. Karena sumber daya yang
terbatas, kita tidak bisa menampung
semua anak, untuk fisioterapi saja
dilakukan 2 minggu sekali, jadi misal
anak mengikuti fisioterapi pada sabtu
ini, dan akan mengikuti fisioterapi
bukan sabtu depan, tapi sabtu
depannya lagi. Idealnya memang
seminggu sekali, tetapi karena sumber
daya yang terbatas jadi hanya bisa
dilakukan 2 minggu sekali. Kalau
orang tua tidak bisa diajak kerjasama,
mendingan mundur saja dan
digantikan dengan anak yang lain.
Lampiran 6
PEDOMAN WAWANCARA
Informan : Terapis
A. Tempat dan Waktu Wawancara
1. Tempat Wawancara :
2. Hari, Tanggal Wawancara :
3. Waktu Wawancara :
B. Identitas Informan
1. Nama :
2. Usia :
3. Jabatan/Profesi :
Daftar Pertanyaan
1. Apa saja pelayanan yang diberikan kepada anak tunaganda-netra(
khususnya pada fisioterapi/terapi kognitif perilaku) ?
2. Bagaimana proses terapi itu dilakukan?
3. Kapan waktu kegiatan terapi ini dilakukan?
4. Berapa lama waktu yang digunakan untuk melakukan terapi?
5. Apakah ada orang tua yang ikut mendampingi anak ketika melakukan
terapi?
6. Ketika terapi selesai, apakah ada evaluasi maupun masukkan bagi orang
tua untuk melanjutkan terapi dirumah? Bagaimana evaluasi tersebut?
7. Apakah ada dampak positif dari evaluasi maupun masukkan bagi orang tua
untuk melanjutkan terapi dirumah? Seperti apa dampak tersebut bagi
orang tua?
8. Apa saja indikator yang digunakan untuk mengukur perkembangan anak
tunaganda-netra?
9. Apakah ada perbedaan antara orang tua yang melanjutkan terapi pada anak
dirumah dan orang tua yang tidak melanjutkan terapi dirumah bagi
perkembangan anak tunaganda-netra? Bagaimana perberdaannya?
10. Bagaimana perkembangan anak tunaganda-netra dari sebelum melakukan
terapi hingga saat ini?
Lampiran 7
TRANSKIP WAWANCARA
Informan : Terapis (Fisioterapi)
A. Tempat dan Waktu Wawancara
1. Tempat Wawancara : Yayasan Mitra Netra
2. Hari, Tanggal Wawancara : Sabtu, 13 April 2019
3. Waktu Wawancara : Pukul 08:50
B. Identitas Informan
1. Nama : Raden Galuh Gumadi
2. Usia : 26 Tahun
3. Jabatan/Profesi : Fisioterapi
No Pertanyaan Jawaban
1 Apa saja pelayanan yang
diberikan kepada anak tunaganda-
netra atau MDVI, khususnya pada
fisioterapi?
Pelayanan fisioterapi itu mencakup
bagaimana fisioterapi untuk
melakukan aktivitas fisik dan
kemampuan fungsional anak tersebut
sehari-hari. Jenis latihannya disini itu,
mengembalikan ke bentuk aktivitas
sehari-harinya, melatih kemampuan
motorik dan sensorik anak tersebut.
2 Bagaimana proses terapi itu
dilakukan?
Prosesnya itu, pertama misal ada anak
yang baru itu kita assessment terlebih
dahulu, kita lihat dulu kemampuan
motorik dan sensoriknya yang anak
tersebut miliki, potensi apa yang anak
tersebut punya, nah lalu kita bisa
membuat planning untuk
fisioterapinya seperti apa.
3 Kapan waktu kegiatan terapi ini
dilakukan?
Fisioterapi ini dilakukan setiap hari
Sabtu, dikarenakan jumlah anak yang
mengikuti fisioterapi ini cukup
banyak sekitar 14 anak. Jadi dibagi
per minggu nya, misal minggu
pertama itu 7 anak, dan minggu kedua
7 anak lainnya. Karena kalau 14 anak
dalam 1 hari, tidak akan kondusif.
4 Berapa lama waktu yang
digunakan untuk melakukan
terapi?
Fisioterapi ini sendiri dilakukan
selama 45 menit, itu waktu yang
efektif untuk melakukan fisioterapi,
dan 15 menit untuk konseling
keluarga.
5 Apakah ada orang tua yang ikut
mendampingi anak ketika
melakukan terapi?
Boleh, tapi dengan catatan tidak
mengganggu saat terapi dilakukan.
6 Ketika terapi selesai, apakah ada
masukan maupun konsultasi bagi
orang tua untuk melanjutkan
terapi dirumah? Bagaimana
konsultasi tersebut?
Ada, satu anak itu mendapatkan
waktu 1 jam setelah terapi selama 45
menit, 15 menit nya digunakan untuk
konsultasi orang tua. Setelah anak
tersebut selesai terapi, kita panggil
orang tuanya, kita jelaskan tadi kita
melakukan terapi apa saja,
kegunaannya apa saja dari kegiatan-
kegiatan tadi, lalu kita juga
mendorong orang tua supaya kegiatan
tersebut bisa dilanjutkan dirumah.
7 Apakah ada dampak positif dari
konsultasi bagi orang tua untuk
melanjutkan terapi dirumah?
Seperti apa dampak tersebut bagi
orang tua?
Untuk membuat suatu kebiasaan atau
habbit itu harus dilakukan secara
berulang. Tidak cukup hanya 45 menit
anak tersebut hanya fisio disini saja,
ketika dia hanya fisio disini dan
dirumah tidak dilakukan percuma
saja, karena nanti respon untuk
mengingatnya akan berkurang juga.
Pentingnya konseling ke orang tua itu
bahwa ada beberapa latihan yang
harus dilakukan dirumah juga, agar
anak itu terstimulasi, lalu akan
menciptakan habbit yang seharusnya
atau aktivitas sehari-harinya. Karena
disini fisioterapinya 2 minggu sekali,
bisa dibilang itu kurang efektif, jadi
yang kita dorong orang tuanya,
dimana orang tua harus mengulang
kembali latihan-latihan yang ada
disini dengan ada buku penghubung,
jadi kita terintegrasi antara fisioterapi,
dan orang tua. Sehingga anaknya juga
bisa kembali ke lingkungan sosialnya.
8 Apa saja indikator yang
digunakan untuk mengukur
perkembangan anak tunaganda-
netra?
Kalau untuk indikator sebenernya
banyak ya dari fisioterapi itu, seperti
indikator motorik anak, misal 2 bulan,
3 bulan, 6 bulan itu anak sudah harus
seperti apa, lalu dari fungsi
kognitifnya juga di usia sekian anak
sudah harus bisa menghitung angka
dan sebagainya.
9 Apakah ada perbedaan antara
orang tua yang melanjutkan terapi
pada anak dirumah dengan orang
tua yang tidak melanjutkan terapi
bagi perkembangan anak
tunaganda-netra? Bagaimana
perbedaannya?
Sangat jelas terlihat perbedaannya,
disetiap pertemuan biasanya akan
dievaluasi sejauh mana anak tersebut
sudah bisa melakukan suatu hal yang
diajarkan sebelumnya. Saya ambil
contoh si D, sebelumnya si D ini bisa
dikatakan belum bisa berdiri secara
mandiri, nah ketika di fisio anak
tersebut latihan berdiri secara mandiri
menggunakan lutut, ketika di tes
kembali dilihat apakah sudah bisa
berdiri secara mandiri. Kalau sudah
bisa berarti orang tua anak tersebut
melanjutkan latihan-latihan fisio
dirumah. Tapi ketika anak dites
kembali belum bisa dalam beberapa
waktu, kita control ke orang tua nya
apakah latihan tersebut dilakukan
dirumah atau tidak? Kalau tidak
ataupun jarang dilakukan, kita coba
beritahu kembali kepada orang tua.
10 Bagaimana perkembangan anak
tunaganda-netra dari sebelum
melakukan terapi hingga saat ini?
(sampel: S, DF, N dan A)
S: masih belum banyak
perkembangan, kalau segi atensi dan
fokus sudah menunjukkan kearah
lebih tenang, untuk DF: kemampuan
motorik nya yang tadinya belum bisa
berdiri sekarang sudah bisa berdiri
secara mandiri. Kalo untuk sekarang
DF lebih ke meningkatkan
kemampuan baca tulis braile. DF ini
perkembangannya cepat dibanding
anak-anak lainnya. N: kemampuan
baca tulisnya sudah bagus, tapi
keluhan N adalah ada gangguan pada
betisnya itu terkait pada pola jalannya
saat menapak itu lebih condong ke
arah sisi bagian dalam. Kemampuan
keseimbangannya juga sebelumnya
takut atau belum seimbang ketika
berdiri diatas balance board, sekarang
sudah mulai seimbang. A:
dikategorikan berat, karena dari segi
atensi, kognitif, sensorik, motoriknya
bermasalah semua, untuk
perkembangannya belum terlalu
banyak. Dibandingkan dengan
sebelumnya untuk tantrum sudah
mulai berkurang.
TRANSKIP WAWANCARA
Informan : Terapis (Terapi Kognitif&Perilaku)
A. Tempat dan Waktu Wawancara
1. Tempat Wawancara : Yayasan Mitra Netra
2. Hari, Tanggal Wawancara : Rabu, 8 Mei 2019
3. Waktu Wawancara : Pukul 11.30
B. Identitas Informan
1. Nama : Lilis Alis
2. Usia : 53 Tahun
3. Jabatan/Profesi : Terapis
No Pertanyaan Jawaban
1 Apa saja pelayanan yang
diberikan kepada anak tunaganda-
netra khususnya pada terapi
kognitif dan terapi perilaku?
Pelayanan terapi kognitif yang
dijalankan adalah bagaimana
membantu anak tersebut untuk
berpikir, kemudian terapi perilaku
bagaimana membantu anak tersebut
bisa berperilaku wajar dan acceptable.
Melihat dari apa yang “kurang” dari
sisi kognitif, dan yang “kurang” dari
sisi perilaku, disitulah kita masuk, kita
terapi berdasarkan “kekurangan” di
sisi kognitif dan perilaku.
2 Bagaimana proses terapi itu
dilakukan?
Pertama dilakukan assessment, dari
assessment itu akan diketahui apa
yang anak tersebut belum mampu pada
kognitifnya. Kalau perilaku saya tidak
melakukan assessment, perilaku itu
biasanya kita lihat pada saat proses
terapinya, apakah tampak ada perilaku
yang unacceptable, maka kita
langsung intervensi disitu, atau apabila
orang tuanya memberikan informasi
bahwa anaknya masih berperilaku
unacceptable, maka kita memberikan
usulan ataupun cara-cara melakukan
terapi perilaku anak tersebut.
3 Kapan waktu kegiatan terapi ini
dilakukan?
Kegiatan terapi ini dilakukan di Mitra
Netra, pada saat setelah anak-anak
pulang dari sekolah, 1 kali dalam
seminggu.
4 Berapa lama waktu yang
digunakan untuk melakukan
terapi?
Terapi ini dilakukan selama 45 menit,
dan 15 menit dilakukan untuk
konsultasi keluarga.
5 Apakah ada orang tua yang ikut
mendampingi anak ketika
melakukan terapi?
Iya seharusnya ada orang tua atau
orang yang bertanggung jawab
ataupun yang akan melaksanakan
lanjutan terapinya itu dirumah.
Sebenarnya syaratnya dalam
melakukan terapi adalah integrasi
antara pihak pengajar dengan keluarga
dirumah, karena kontinuitas terapi
memberikan peluang untuk
keberhasilan yang lebih tinggi,
dibandingkan dengan yang tidak
terintegrasi.
6 Ketika terapi selesai, apakah ada
masukan atau konsultasi bagi
orang tua untuk melanjutkan
terapi dirumah? Bagaimana
konsultasi tersebut?
Selesai terapi itu ada buku
penghubung atau buku komunikasi,
buku komunikasi terapi itu berisi hal-
hal yang dipelajari anak tersebut saat
ini, dengan informasi tersebut, maka
itu yang akan jadi lanjutan terapi yang
harus dilakukan dirumah.
7 Apakah ada dampak positif dari
masukan atau konsultasi bagi
orang tua untuk melanjutkan
terapu dirumah? Seperti apa
dampak tersebut bagi orang tua?
Pasti ada, sebagai orang tua yang
memiliki anak berkebutuhan khusus
mencari cara untuk membantu
anaknya. Dengan adanya konsultasi
bagi orang tua, maka orang tua akan
mendapatkan informasi bagaimana
cara untuk membantu anaknya, tentu
ini memberikan dampak positif bagi
orang tua anak tersebut, sehingga
orang tua apa yang harus dilakukan.
8 Apa saja indikator yang
digunakan untuk mengukur
perkembangan anak tunaganda-
netra
Indikator yang digunakan untuk
mengukur perkembangan anak
tunaganda-netra dalam terapi kognitif
dan perilaku, yaitu bila anak tersebut
mampu per item konsep, berarti anak
tersebut berhasil, sama dengan
perilakunya, bila awal perilakunya
negatif lalu setelah diterapi anak
tersebut menjadi positif maka itulah
indikator keberhasilannya. Misal
contoh mulanya anak tersebut sering
tantrum setelah diterapi tidak tantrum
lagi itu indikator, dan berapa lama
anak tersebut tahan, itu tergantung lagi
seperti apa jenisnya, lalu maintenance
terapinya, bila tidak di maintance bisa
terjadi lagi perilaku yang tidak
diharapkan lagi.
9 Apakah ada perbedaan antara
orang tua yang melanjutkan terapi
pada anak dirumah dengan orang
tua yang tidak melanjutkan terapi
Pasti ada perbedaan, anak
berkebutuhan khusus
perkembangannya dipengaruhi oleh 4
faktor, yang pertama yaitu kondisi
bagi perkembangan anak
tunaganda-netra? Bagaimana
perbedaannya?
anak itu sendiri, seberapa ringan atau
beratnya kebutuhan khususnya, yang
kedua adalah lingkungannya,
lingkungannya itu adalah bisa orang
tuanya, keluarganya, sampai dengan
lingkungan sekitar rumah maupun
sekolah, yang ketiga adalah program
terapinya yang membantu anak
tersebut untuk belajar, dan yang
keempat adalah pelaksanannya,
pelaksanaan adalah seberapa banyak
usaha dan waktu yang dialokasikan
dalam melaksanakan terapi tersebut.
Sehingga apakah anak tersebut bisa
berkembang cepat atau lambat
tergantung dari 4 hal ini ini. Misal, ada
anak dengan kondisi masuk katagori
berat maka dengan semua dukungan
yang positif dari 3 hal tadi akan
berbeda hasilnya dengan anak yang
kondisinya ringan juga semua
dukungannya positif. Jadi seperti ini,
anaknya kondisinya berat, dukungan
lingkungannya positif, program
terapinya sesuai, pelaksaannya juga
intensif perkembangannya tidak bisa
secepat anak yang kondisinya ringan,
keluarganya mendukung, terapinya
sesuai dan pelaksanaannya intensif.
Tetapi apabila anak tersebut
kondisinya berat, keluarga kurang
mendukung, program terapinya sesuai,
pelaksanaannya kurang, maka
perkembangannya pun cenderung
lambat. Saya disini sedikit bagian dari
pelaksanaan, karena pelaksaan utama
ada pada keluarga, karena saya disini
hanya 45 menit dan available time
anak tersebut dirumah lebih banyak.
Kalau tidak diulangi dirumah,
bandingkan dengan anak yang
kondisinya sama tapi mengulangi
dirumah, tentu ada perbedaannya.
10 Bagaimana perkembangan anak
tunaganda-netra dari sebelum
melakukan terapi hingga saat ini?
(sampel: S, A, F,)
Secara grafik ada yang maju, ada juga
yang naik lalu turun, ada juga yang
naik perlahan lalu sempat turun, ada
juga yang berulang-ulang disitu terus
tetapi bukan stuck ditempat, ada naik
sedikit slopnya tidak tinggi, tapi ada
yang slopnya besar/tinggi hanya
karena mungkin kurang maintenance
sehingga grafiknya turun lagi.
Lampiran 8
PEDOMAN WAWANCARA ORANG TUA
DUKUNGAN SOSIAL ORANG TUA TERHADAP ANAK TUNAGANDA-
NETRA DI YAYASAN MITRA NETRA JAKARTA SELATAN
No Sub Variabel Indikator Deskriptor Pertanyaan
1. Dukungan Sosial Orang
Tua
a. Emosional: mencakup
ungkapan empati,
perhatian, cinta dan
kasih sayang
1. Bagaimana orang
tua
menyampaikan
rasa sayang
kepada anak?
2. Bagaimana
respon orang tua
ketika melihat
anaknya bersedih
ataupun gelisah?
3. Bagaimana
bentuk perhatian
yang anda
berikan kepada
anak?
b. Penghargaan: terjadi
melalui ungkapan
hormat atau
penghargaan positif
1. Adakah ada
sistem reward
and punishment
yang diberikan
orang tua kepada
anak? Misal
ketika anak dapat
melakukan hal-
hal dengan benar,
apakah orang tua
memberikan
pujian?
2. Bagimana respon
orang tua apabila
anak belum dapat
melakukan hal-
hal dengan
benar?
c. Instrumental: meliputi
bantuan langsung
(uang, tenaga atau
tindakan, waktu)
1. Apakah orang tua
sering mengantar
anak ke lembaga?
2. Apakah orang tua
mendampingi
atau membantu
kegiatan anak
dirumah maupun
diluar rumah?
3. Apakah orang tua
mendampingi
anak ketika
melakukan terapi
di lembaga?
4. Ketika anak
selesai
melakukan terapi,
apakah orang tua
menerapkan
kembali terapi
tersebut di rumah
sesuai dengan
yang dilakukan
oleh lembaga?
d. Informasi: mencakup
pemberian nasihat,
pengarahan, pemberian
informasi
1. Ketika anak
melakukan
kesalahan, apa
yang ada lakukan
sebagai orang
tua?
2. Bagaimana cara
orang tua
memberikan
nasihat, arahan
maupun
informasi kepada
anak?
Lampiran 9
TRANSKIP WAWANCARA
Informan : Orang Tua Anak Tunaganda-Netra
A. Tempat dan Waktu Wawancara
1. Tempat Wawancara : Yayasan Mitra Netra
2. Hari, Tanggal Wawancara : Sabtu, 30 Maret 2019
3. Waktu Wawancara : Pukul 10:54
B. Identitas Informan
1. Nama Orang Tua : Ny. J dan Suami
2. Nama Anak : S (10 Tahun)
3. Usia : 47 Tahun
4. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
No Pertanyaan Jawaban
1 Bagaimana orang tua
menyampaikan rasa sayang
kepada anak?
Kita didik, disekolahkan seperti anak
seusianya, mengikutkan syifa untuk
terapi, kami ingin anak kami (S) bisa
seperti anak-anak lainnya, meskipun
dalam kondisi seperti ini. Karena
kami yakin suatu saat anak ini bisa,
meskipun harus melalu proses yang
tidak cepat.
2 Bagaimana respon orang tua
ketika melihat anaknya bersedih
ataupun gelisah?
Kita dengarkan anak ini sedihnya
kenapa, coba pahami mau dia apa,
lalu kami hibur, disayang-sayang lagi,
dikasih sesuatu yang anak ini mau
supaya tenang.
3 Bagaimana bentuk perhatian yang
orang tua berikan kepada anak?
Kami memberikan perhatian khusus,
karena syifa memang istimewa,
mobilitasnya terbatas jangan sampai
ketika berjalan ada benda-benda yang
menghalangi didepan seperti gelas
dipindahkan supaya tidak tertendang.
Perhatian lainnya seperti tetap
mengajarkan syifa mengaji, hafalan-
hafalan kecil.
4 Adakah sistem reward and
punishment yang diberikan orang
tua kepada anak? Misal ketika
anak dapat melakukan hal-hal
dengan benar, apakah orang tua
memberikan pujian?
Iya, kami berikan pujian “syifa pinter
nih” seperti contoh saat bisa
melakukan dengan benar seperti tidak
membuang air kecil dicelana, lalu
memindahkan gelas ke tempat yang
seharusnya. Kadang juga kami beri
tepuk tangan “horree”.
5 Bagimana respon orang tua
apabila anak belum dapat
melakukan hal-hal dengan benar?
Kami arahin, misal saat syifa
mengompol kami bilang lain kali
kalau mau pipis, bilang ya syifa
supaya tidak mengulangi dikemudian
hari. Kalau misal sudah keterlaluan
agak sedikit kami marahi tapi tidak
terlalu keras.
6 Apakah orang tua sering
mengantar anak ke lembaga?
Iya sering setiap terapi, karena bapak
sudah pensiun jadi yang mengantar
kami berdua.
7 Apakah orang tua mendampingi
atau membantu kegiatan anak
dirumah maupun diluar rumah?
Kami dampingi misal syifa main
diluar ataupun pergi ke sekolah.
Untuk kegiatan dirumah misalnya
mandi, syifa sudah mulai bisa mandi
sendiri tapi untuk berpakaian masih
dibantu.
8 Apakah orang tua mendampingi
anak ketika melakukan terapi
dilembaga?
Iya kami dampingi sekaligus melihat
bagaimana terapi yang dilakukan
syifa, karena setelah terapi ada
konsultasi dengan terapis mengenai
terapi yang dilakukan, serta
bagaimana perkembangan S setelah
terapi. Waktu awal masuk, S ini
belum bisa berbicara, sekarang sudah
mulai bisa sedikit-sedikit tapi kadang
masih suka diulang kata-katanya, itu
“beo” disebutnya.
9 Ketika anak selesai melalukan
terapi, apakah orang tua
menerapkan kembali terapi
tersebut di rumah sesuai dengan
yang dilakukan oleh lembaga?
Iya kami lanjutkan kembali dirumah,
karena di rumah alatnya tidak
lengkap, kami menggunakan alat-alat
yang lain yang ada di rumah seperti
balok, gelas mapun manik-manik.
10 Ketika anak melakukan
kesalahan, apa yang dilakukan
sebagai orang tua?
Kami jelaskan bahwa yang dilakukan
salah, dan memberikan arahan yang
benar.
11 Bagaimana cara orang tua
memberikan nasihat, arahan
maupun pemberian informasi
kepada anak?
Kami nasihati, memberi arahan pelan-
pelan agar anak mudah mengerti,
tidak dengan emosi, karena apabila
dengan emosi akan mengganggu
psikis anak. Kami sebagai orang tua
harus sabar, harus telaten. Misal kasih
tau ke syifa kalau lagi terapi itu fokus
jangan suka ketawa-ketawa. Kalau
masuk ataupun pamit selalu
mengucapkan salam.
TRANSKIP WAWANCARA
Informan : Orang Tua Anak Tunaganda-Netra
A. Tempat dan Waktu Wawancara
1. Tempat Wawancara : Yayasan Mitra Netra
2. Hari, Tanggal Wawancara : Sabtu, 30 Maret 2019
3. Waktu Wawancara : Pukul 12:29
B. Identitas Informan
1. Nama Orang Tua : Tn. M. I
2. Nama Anak : N (15 tahun) dan D (11 tahun)
3. Usia : 44 Tahun
4. Pekerjaan : Karyawan
No Pertanyaan Jawaban
1 Bagaimana orang tua
menyampaikan rasa sayang
kepada anak?
Saya menyayangi anak-anak saya
dalam kondisi bagaimanapun, karena
anak merupakan titipan Tuhan, yang
bisa kita lakukan hanya sabar serahin
semua sama Tuhan. Menerima apa
adanya tetap kasih support ke anak-
anak.
2 Bagaimana respon orang tua
ketika melihat anaknya bersedih
ataupun gelisah?
Iya paling dihibur sih, biar seneng lagi
kasih sesuatu yang dia mau.
3 Bagaimana bentuk perhatian yang
orang tua berikan kepada anak?
Kalau dirumah itu pokoknya jangan
sampai ada barang ditempat yang
biasa anak-anak lewatin karena pasti
ditabrak sama dia, karena
penglihatannya terbatas kita biasanya
mengambarkan situasi rumah, melatih
koordinasi supaya anaknya bisa
adaptasi dengan lingkungan, selain itu
tetap kita didik kita sekolahin, ikut les
tetap diajarkan mengaji pakai Al-
Qur’an digital atau Al-Qur’an braile
terus hafalan setor ke saya
4 Adakah ada sistem reward and
punishment yang diberikan orang
tua kepada anak? Misal ketika
anak dapat melakukan hal-hal
dengan benar, apakah orang tua
memberikan pujian?
Iya ada misal dia buang sampah pada
tempatnya dikasih pujian seperti
pinter lah udah bisa buang sampah
ditempatnya.
5 Bagaimana respon orang tua
apabila anak belum dapat
melakukan hal-hal dengan benar?
Dimarahin sih tidak ya, paling di
kasih tau kalau itu salah dikasih tahu
juga yang benar itu bagaimana,
diarahinnya pelan-pelan dan berulang-
ulang pengucapannya biar anaknya
paham.
6 Apakah orang tua sering
mengantar anak ke lembaga?
Iya sering, terkadang saya sendiri
yang antar kadang bareng mamanya,
kalau naufal sm daffa lagi mau sama
neneknya ya sama neneknya dianterin.
7 Apakah orang tua mendampingi
atau membantu kegiatan anak
dirumah maupun diluar rumah?
Iya pasti didampingi misalnya jalan-
jalan keluar ke mall atau kemana atau
saya ajak kondangan atau ngumpul
bareng temen saya ajak, mereka
seneng. Sekolahpun dianter,
ditungguin sama neneknya. Kalau
dirumah mandi masih dimandiin
karena belum bisa sendiri.
8 Apakah orang tua mendampingi
anak ketika melakukan terapi
dilembaga?
Iya didampingi jadi kita tau ya
terapinya gimana aja, terapinya untuk
apa ke anaknya.
9 Ketika anak selesai melakukan Iya diterapkan kembali dirumah, iya
terapi, apakah orang tua
menerapkan kembali terapi
tersebut di rumah sesuai dengan
yang dilakukan oleh lembaga?
menggunakan alat seadanya aja
dirumah yang bisa digunakan, lalu
saya sampai beli alatnya yang bola itu
untuk terapi dirumah, tapi kalau
kakaknya (Naufal) agak susah dia
tidak mau, maunya dilembaga, tapi
kalau adeknya mau bahkan inistaif
sendiri.
10 Ketika anak melakukan
kesalahan, apa yang dilakukan
sebagai orang tua?
Iya biasa sih dikasih nasihat arahan,
misal dia belum bisa buang sampah
ditempatnya diarahin kalau buang
sampah ditempatnya jangan
sembarangan.
11 Bagaimana cara orang tua
memberikan nasihat, arahan
maupun pemberian informasi
kepada anak?
Iya dikasih tau pelan-pelan, tidak
marah-marah biar anaknya juga
ngerti. Iya misal, kasih tau buat rajin
belajar, rajin ngaji biar pinter. Terus
kalo buang sampah ditempat sampah
jangan sembarangan, gitu aja sih.
TRANSKIP WAWANCARA
Informan : Orang Tua Anak Tunaganda-Netra
A. Tempat dan Waktu Wawancara
1. Tempat Wawancara : Yayasan Mitra Netra
2. Hari, Tanggal Wawancara : Sabtu, 6 April 2019
3. Waktu Wawancara : Pukul 10.02
B. Identitas Informan
1. Nama Orang Tua : Ny. O. H
2. Nama Anak : A. F
3. Usia : 54 Tahun
4. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
No Pertanyaan Jawaban
1 Bagaimana orang tua
menyampaikan rasa sayang
kepada anak?
Menyampaikan rasa sayang kan tidak
hanya dengan lisan tapi bisa juga
dengan perlakuan, perlakuan yang
baik kepada anak setiap hari, sering
berkomunikasi sama anak. Cara
memperlakukannya pun tidak berbeda
jauh dengan anak yang normal, kalau
untuk anak saya yang berkebutuhan
khusus ya kita lebih sabar aja untuk
mendidik dan mengajarkannya, lebih
memahami anaknya saja.
2 Bagaimana respon orang tua
ketika melihat anaknya bersedih
ataupun gelisah?
Iya ditenangin aja, dia ini kan ada
sedikit autisnya tapi autisnya itu
ringan. Terkadang emosinya saja yang
suka meledak. Kalo yang aya ini
moodnya suka naik turun, kita lebih
sabar untuk memahami anaknya,
kadang aya ini suka tantrum, pernah
saat naik motor tiba-tiba dia tantrum,
ya kita tenangin aja itu sih.
3 Bagaimana bentuk perhatian yang
orang tua berikan kepada anak?
Selalu berkomunikasi kepada anak
saya, ajak ngobrol, A ini memang
anaknya sedikit pendiam tapi kalau
diajak berbicara dia akan bicara kalau
dia berbuat salah ya kita kasih nasihat
pelan-pelan, karena anaknya juga
moodnya suka naik turun kita lebih
sabar aja untuk memahami anaknya.
4 Adakah ada sistem reward and
punishment yang diberikan orang
tua kepada anak? Misal ketika
anak dapat melakukan hal-hal
dengan benar, apakah orang tua
memberikan pujian?
Iya diberi pujian ketika anaknya dapat
melakukan hal dengan benar, kalau
salah ya ditegur diberi tahu bahwa ini
tuh salah seharusnya begini.
5 Bagaimana respon orang tua
apabila anak belum dapat
melakukan hal-hal dengan benar?
Iya diarahkan bagaimana melakukan
hal-hal dengan benar, seperti angkat
tangan, memindahkan barang dan
lain-lain.
6 Apakah orang tua sering
mengantar anak ke lembaga?
Iya sering saya sama bapak yang
mengantar anak ke lembaga.
7 Apakah orang tua mendampingi
atau membantu kegiatan anak
dirumah maupun diluar rumah?
Iya tentu saya dampingi, kalau untuk
dirumah masih dibantu seperti mandi,
makan, berpakaian, karena belum bisa
melakukan sendiri.
8 Apakah orang tua mendampingi
anak ketika melakukan terapi
dilembaga?
Iya kami dampingi, anak saya terapi
hari sabtu dan senin, kalau sabtu saya
sama bapak dampingi tapi kalau hari
kerja, kan bapak kerja jadi saya yang
mendampingi.
9 Ketika anak selesai melakukan Iya diterapkan kembali dirumah kalau
terapi, apakah orang tua
menerapkan kembali terapi
tersebut di rumah sesuai dengan
yang dilakukan oleh lembaga?
ada alatnya, biasanya sih yang ringan-
ringan seperti penentuan arah kanan
kiri depan belakang. Juga tergantung
dari mood anaknya aja, kalau
moodnya lagi enak ya diterapkan,
kalau moodnya sedang tidak enak ya
tidak bisa dipaksakan juga.
Semampunya saya, apa yang
diajarkan disini saya terapkan
dirumah.
10 Ketika anak melakukan
kesalahan, apa yang dilakukan
sebagai orang tua?
Iya sama seperti anak lainnya, kalau
dia melakukan kesalahan ya ditegur
tapi pelan-pelan, dikasih tau bahwa
yang dilakukan itu salah.
11 Bagaimana cara orang tua
memberikan nasihat, arahan
maupun pemberian informasi
kepada anak?
Sama aja sih kaya anak-anak lainnya,
saya punya anak 4, dua normal, dua
lagi kan kembar ini yg ada gangguan
visual. Kalau memberikan nasihat
arahan ya sama saja, karena ada yang
berkebutuhan khusus ya dikasih tau
diarahkan pelan-pelan, kalau salah ya
ditegur diberi tahu bahwa yang yang
dilakukan itu salah seharusnya itu
seperti ini, memberi tahunya pun
harus sabar harus memahami anaknya
juga gimana, harus paham karakter
anak. AF ini kadang tantrum saat
terapi, iya saya bilangin kalau terapi
itu fokus ikutin kata Mas Galuh, Bu
Lilis gitu-gitu.
TRANSKIP WAWANCARA
Informan : Orang Tua Anak Tunaganda-Netra
A. Tempat dan Waktu Wawancara
1. Tempat Wawancara : Yayasan Mitra Netra
2. Hari, Tanggal Wawancara : Selasa, 30 April 2019
3. Waktu Wawancara : Pukul 11.13
B. Identitas Informan
1. Nama Orang Tua : Ny. N.B
2. Nama Anak : F.
3. Usia : 49 Tahun
4. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
No Pertanyaan Jawaban
1 Bagaimana cara orang tua
menyampaikan rasa kasih sayang
kepada anak?
Iya sama seperti orang tua lainnya,
mendidiknya segala macem, tidak
membeda-bedakan, hanya kitanya
lebih sabar menghadapi anak
berkebutuhan khusus.
2 Bagaimana respon orang tua
ketika melihat anaknya bersedih
ataupun gelisah?
Kita cari tahu dahulu bersedihnya
karena apa, karena komunikasinya
kurang lancar jadi ketika
menginginkan sesuatu tetapi anak itu
tidak bisa menyampaikan atau tidak
diberikan apa yang dia mau jadi dia
mungkin sedih, kita penuhi apa mau
dia.
3 Bagaimana bentuk perhatian yang
orang tua berikan kepada anak?
Karena dia berkebutuhan khusus, tentu
ada perhatian lebih, lebih sabar, lebih
mengerti, lebih memahami anaknya.
4 Adakah ada sistem reward and
punishment yang diberikan orang
tua kepada anak? Misal ketika
Ada, misalnya ketika saya meminta
anak tersebut mengambil botol, ketika
dia bisa melakukan hal tersebut saya
anak dapat melakukan hal-hal
dengan benar, apakah orang tua
memberikan pujian?
kasih pujian “Hebatt, pinter”, anaknya
pun senang ketika mendapat pujian
seperti itu.
5 Bagaimana respon orang tua
apabila anak belum dapat
melakukan hal-hal dengan benar?
Iya kita beritahu yang benar seperti
apa dan bagaimana, beritahunya pun
pelan-pelan tidak marah-marah kepada
anaknya.
6 Apakah orang tua sering
mengantar anak ke lembaga?
Iya sering saya mengantar sama
bapaknya, biasanya bapak yang
menjemput yang mengantar kakanya
yang nomor 2.
7 Apakah orang tua mendampingi
atau membantu kegiatan anak
dirumah maupun diluar rumah?
Iya, untuk mandi dan makan masih
dibantu, tapi untuk orientasi
mobilitasnya sudah mengenal
lingkungan sendiri jadi hafal dan
sudah mandiri, begitu pula kalau saya
pergi saya ajak anaknya karena
memang tidak bisa di tinggal. Kalau
untuk main keluar rumah tidak sih,
mainnya hanya dirumah. Kalau
sekolah tetap diantar dan ditungguin.
8 Apakah orang tua mendampingi
anak ketika melakukan terapi
dilembaga?
Iya, kita dampingi sambil melihat
bagaimana terapi yang dilakukan,
sudah sejauh mana anak tersebut bisa
melakukannya.
9 Ketika anak selesai melakukan
terapi, apakah orang tua
menerapkan kembali terapi
tersebut di rumah sesuai dengan
yang dilakukan oleh lembaga?
Iya, kan ada buku penghubung, kita
terapkan lagi dirumah.
10 Ketika anak melakukan Iya pasti diberi tahu bahwa itu salah
kesalahan, apa yang dilakukan
sebagai orang tua?
dan menjelaskan yang benar itu seperti
apa, supaya dia paham apa yang
dilakukan. Menjelaskannya juga pelan.
11 Bagaimana cara orang tua
memberikan nasihat, arahan
maupun pemberian informasi
kepada anak?
Iya sama seperti anak-anak lainnya,
hanya caranya pelan-pelan ketika
diberikan nasihat maupun arahan
kepada anaknya, agar anaknya juga
ngerti sama apa yang kita kasih tahu.
Misalnya F ini kan susah ngomong ya,
jadi misal kalau dia mau apa-apa itu
bilang atau ngomong harus dibiasain
berbicara, dia kan biasanya ngerengek
doang jadi saya latih dia buat bicara
kalau dia mau sesuatu. Terus saya
kasih tau untuk fokus selama terapi,
soalnya kalo terapi itu anaknya suka
ga fokus, kepalanya tidak bisa diam.
Lampiran 10
Konsep-konsep Dasar dan Penggunaannya:
1. Warna:
Sama – Berbeda
Berlawanan
Nama-nama warna – merah, kuning, dll.
Warna, corak
Kilau, terang
Cahaya, gelap
Warna-warna dasar pelangi
Warna dasar
Warna-warna hangat, dingin
2. Bentuk:
Lingkaran, bulat
Kotak
Sama, berbeda
Segitiga
Empat persegi panjang
Setengah lingkaran
Bintang, silang
Segi enam, segi delapan, berlian
Bentuk
Garis: tegak lurus – mendatar
Lurus, melengkung, terjepit
Sudut-menyudut
Sisi
Sudut, sudut
Terbalik
Puncak, ujung
3. Ukuran
Besar, besar – kecil, kecil
Sangat besar – sangat kecil
Lebih besar (lebih) – lebih kecil
Sama, berbeda, serupa
Terbesar (paling) – terkecil
Hamper, hamper
Tinggi, panjang – pendek
Besar, besar – mungil
Tebal – tipis
Gemuk – kurus
Sedang
Berat – ringan
Lansia, tua – muda
Tebal
Lebar
Panjang
Isi
Bobot
4. Orientasi (pedoman) di ruangan:
Dimana
Dalam, di dalam – luar, di luar
Atas – bawah
Di atas – di bawah
Atas, atas – bawah, bawah
Di depan – belakang
Di sini, di sana
Di samping, di sebelah
Dekat, dekat – jauh
Maju – mundur
Pertama – terakhir
Tinggi – rendah
Tengah
Antara
Kedua, kedua terakhir
Pada awalnya – pada akhirnya
Kanan – kiri diri sendiri
Kanan – kiri orang lain
Berlawanan
Arah
Urutan
Satu di samping yang lain
Satu demi satu
5. Jumlah dan kuantitas:
Lebih banyak lagi, tidak lebih
Salah satu yang bertentangan dengan apa-apa
Salah satu yang bertentangan dengan yang banyak
Penuh – kosong
Banyak, semua
Banyak – sedikit, beberapa, sedikit
Berapa banyak : satu lawan satu yang cocok dengan jumlah dan
kuantitas (objek) sampai empat atau lebih
Menghitung (termasuk nol dalam penghitungan mundur)
Kurang – lebih
Sama
Berapa banyak lagi, berapa banyak yang kurang
Pertama, kedua, terakhir, satu sebelum yang terakhir (nomor urut)
Antara (jumlah dan angka)
Usia
Bagian: membagi menjadi dua bagian (sangat berbeda satu sama
lain)
Setengah: terbagi menjadi dua bagian (sama atau serupa)
Jumlah, jumlah, ukuran
Sama
Mahal, murah
Pasangan
Ganjil dan genap
Jumlah
6. Waktu:
Cepat, cepat, perlahan
Kapan
Sekarang, sesudah
Sebelum, kemudian
Bagian hari: siang – malam
Pagi, siang, sore
Awal – terlambat
Hari ini, kemarin, besok, lusa
Dulu, sudah lama sekali
Dalam satu hari, dalam dua hari, dalam waktu seminggu
Hari hari dalam seminggu
Perayaan dan hari-hari suci
Umur: muda (kecil), dewasa, tua
Waktu: jam, menit, detik, dan bagian jam
Menceritakan waktu
Musim-musim dalam setahun
Bulan-bulan dalam setahun
Ingat, ingatan
Masa lalu, sekarang, masa depan
Pengurutan waktu
7. Hubungan sebab dan akibat
Mengapa, untuk apa
Sebab, sejak itu
Agar supaya
Jika.....kemudian
8. Perasaan dan suasana hati:
Emosi:
i. Pemalu
ii. Menarik – membosankan
iii. Sabar – tidak sabar
iv. Marah, gila
v. Cemburu
vi. Kesal
vii. Cemas
viii. Menyenangkan – tidak menyenangkan
ix. Bahagia, gembira – tidak bahagia, sedih, maaf
x. Lucu, sedih
xi. Cinta, suka, menyukai – benci, tidak suka
xii. Malu – bangga, pamer
xiii. Menyenangkan – tenang
xiv. Sukses
xv. Untuk memilih
xvi. Keras kepala
xvii. Puas – tidak puas
Fisik:
i. Menyakitkan, sakit
ii. Lelah
iii. Lapar, haus
iv. Dingin, dingin – hangat, panas
v. Kering – basar
vi. Stabil – tidak stabil
vii. Merasa sakit – merasa baik
9. Tubuh manusia (bagian tubuh dan fungsinya)
Bagian tubuh:
i. Kepala
ii. Badan
iii. Lengan
iv. Tangan
v. Kaki
vi. Telapak kaki
vii. Jari-jari, jempol
viii. Kuku
ix. Leher
x. Bahu
xi. Perut
xii. Punggung
xiii. Dada
xiv. Lutut
xv. Siku
xvi. Pergelangan kaki
xvii. Pergelangan tangan
xviii. Tenggorokan
xix. Jantung
xx. Paru-paru
xxi. Wajah
xxii. Mata
xxiii. Alis
xxiv. Bulu mata
xxv. Hidung, lubang hidung
xxvi. Mulut
xxvii. Bibir
xxviii. Lidah
xxix. Gigi
xxx. Telinga
xxxi. Dahi
xxxii. Pipi
xxxiii. Dagu
xxxiv. Rambut
xxxv. Kumis
xxxvi. Jenggot
xxxvii. Lesung pipi
xxxviii. Bintik-bintik
Fungsi
i. Lihat, lihat
ii. Dengar, dengarkan
iii. Makan, bicara, bicara, rasa, menjilat, meludah, batuk,
menguap, menelan
iv. Bicara, berbisik, bernyanyi, menjerit, bersiul
v. Bau, nafas, sentuhan, rasakan
Lampiran 11
HASIL DOKUMENTASI
Hasil Dokumentasi Fisioterapi menggunakan Tabung dan Bola Gymnastic
Hasil dokumentasi fisioterapi menggunakan Balance Board dan Trampolin
Hasil dokumentasi terapi kognitif dan perilaku
Hasil dokumentasi dengan Kabag. Rehabilitasi & Diklat, serta dengan terapis (fisio) dan asisten
terapis
Top Related