DISERTASI
STABILITAS SENYAWA ANTIOKSIDAN PADA JUS TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill)
SELAMA PEMANASAN OHMIK
Stability of Antioksidant Compounds on Tomato Juice (Lycopersicum esculentum Mill) During The Ohmic Heating
SUHARTIN DEWI ASTUTI P0100312403
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2018
DISERTASI
STABILITAS SENYAWA ANTIOKSIDAN PADA JUS TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill)
SELAMA PEMANASAN OHMIK
Stability of Antioksidant Compounds on Tomato Juice
(Lycopersicum esculentum Mill) During The Ohmic Heating
SUHARTIN DEWI ASTUTI P0100312403
TIM PEMBIMBING:
Prof.Dr.Ir.Salengke, M.Sc. Dr.Ir. Mariyati Bilang, DEA
Prof.Dr.Ir. Amran Laga, MS.
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2018
i
PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Suhartin Dewi Astuti
Nomor mahasiswa : P0100312403
Program Studi : Ilmu Pertanian
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa disertasi yang saya tulis ini benar-
benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan
tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat
dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan disertasi ini hasil karya orang lain,
saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, September 2018
Yang menyatakan,
Suhartin Dewi Astuti
ii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkah
dan RahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan
penulisan disertasi ini. Penelitian ini lahir dari gagasan mengenai pentingnya
pengembangan Teknologi di bidang pengolahan pangan. Indonesia yang
kaya dengan keberagaman hayati, terutama hortikultura dengan kandungan
senyawa-senyawa bioaktif yang terkandung didalamnya sehingga perlu
adanya upaya untuk mengeksplorasi kandungan bioaktif fungsional yang
terdapat dalam pangan tersebut yang tidak hanya bermanfaat dalam
pemenuhan gizi tetapi juga bermanfaat bagi kesehatan.
Banyak kendala yang penulis hadapi dalam penyusunan disertasi ini,
namun berbagai bantuan, dorongan dan arahan dari berbagai pihak akhirnya
disertasi ini dapat terselesaikan. Penulis dengan tulus menyampaikan rasa
terimakasih sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada Prof. Dr. Ir. Salengke, M.Sc. sebagai Promotor, Dr. Ir. Mariyati Bilang,
DEA sebagai Ko-Promotor, Prof. Dr. Ir. Amran Laga, MS sebagai Ko-
Promotor, atas kepakaran yang dimilikinya serta kearifan maha guru dan
kebijakan orang tua yang melandasi dalam proses pembimbingan mulai dari
proposal, penelitian hingga penulisan disertasi ini. Penulis juga mengucapkan
banyak terima kasih kepada Tim Penguji Prof. Dr. Ir. Mursalim, Prof. Dr. Ir.
Mulyati Thahir, MS., Prof. Dr. Ir. Abubakar Tawali, M.S. dan Dr. Hasnah
Natsir, M.Si, atas saran, perbaikan dan masukan yang konstruktif demi
kesempurnaan disertasi ini. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada
Direktur Teaching Industry atas keleluasaan fasilitas selama penelitian.
Terimakasih juga kepada Kepala Laboratorium Biofarmaka Prof.Dr. Elly
Wahyudin, DEA serta laboran Dewi. Kepala Laboratorium Kimia Pangan dan
Pengawasan Mutu Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas
Hasanuddin Prof.Dr.Ir. Meta Mahendradatta, M.Sc beserta seluruh staf
laboratorium.
Ucapan terimakasih kepada Depdikti atas Beasiswa Pendidikan Pasca
Sarjana (BPPS) Tahun 2013-2015. Rektor Universitas Hasanuddin, Dekan
iii
Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc.,
Ketua Program Studi S3 Ilmu Pertanian Prof.Dr.Ir.Darmawan Salman, MS.,
dan seluruh dosen dan staf tata usaha Sekolah Pasca Sarjana Universitas
Hasanuddin. Terimakasih kepada Kordinator Kopertis IX beserta seluruh staf
pegawai yang telah memberikan pelayanan terbaik selama pendidikan
berlangsung.
Terimakasih kepada Ketua Yayasan Sarikat Islam Sulawesi Selatan
Dr.H. Rahmat Hasanuddin, SE, MSi., Rektor Universitas Cokroaminoto
Makassar Prof. Dr. Muhammad Asdar, SE, MSi., yang telah memberikan izin
melanjutkan studi S3 di Universitas Hasanuddin.
Terimakasih juga disampaikan kepada teman-teman mahasiswa S3
seangkatan 2012, yang telah saling mendukung, memotivasi, memberi
inspirasi dan semangat dalam suka duka selama penelitian berlangsung.
Terimakasih juga disampaikan kepada teman-teman sejawat staf dosen
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Cokroaminoto atas dukungan,
semangat dan pengertiannya.
Secara khusus ucapan terimakasih disampaikan kepada suami
Ir.Wisnu Wibawa, putraku tercinta Fahmi Gibran Syahadat, ST, adik-adikku
tersayang Kun, Endang, Ony, Adi serta seluruh keluarga atas segala
pengertian, kasih sayang, pengorbanan, dan doa yang selalu mengiringi
penulis sehingga disertasi ini bisa terselesaikan dengan baik.
Akhirnya penulis menyadari bahwa masih banyak hal yang belum
tertuang dalam disertasi ini yang masih memerlukan kajian yang lebih
mendalam, namun penulis berharap semoga tulisan ini dapat menambah
kekayaan ilmu pengetahuan dan bermanfaat untuk pengembangan Teknologi
Pertanian terutama di bidang pangan masa depan yang lebih sehat.
Makassar, September 2018
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA .................................................................................................... ii
ABSTRAK ................................................................................................... iv
ABSTRACT .................................................................................................iii
DAFTAR ISI ................................................................................................ vi
DAFTAR TABEL ......................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang ....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................. 8
C. Tujuan Penelitian .................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian .................................................................. 9
E. Kebaruan Penelitian ............................................................. 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKa .................................................................. 11
A. Buah Tomat (Solanum lycopersicum Mill) ............................ 11
B. Komposisi Kimia Buah Tomat .............................................. 13
C. Pematangan dan Perubahan Warna Buah Tomat ............... 15
D. Produk Olahan Tomat............................................................19
E. Manfaat Tomat…………………………………………………..26
F. Kandungan Bioaktif pada Tomat……………………………....29
1. Vitamin C pada Tomat……………………………………...29
2. Karotenoid (Likopen) Tomat………………………………34
3. Fenol dan Flavonoid………………………………………37
G. Radikal Bebas ...................................................................... 41
H. Antioksidan ........................................................................... 45
I. Teknologi Pengolahan Yang Diterapkan di Industri .............. 50
1. Teknologi Aseptik ......................................................... 51
2. Pengolahan Tekanan Tinggi ........................................ 61
3. Pengolahan Medan Listrik Intensitas Tinggi ................ 65
vii
J. Potensi Teknologi Ohmik ...................................................... 69
1. Prinsip Pemanasan Ohmik ............................................ 72
2. Parameter Pemanasan Ohmik ...................................... 73
K. Kinetika Degradasi Thermal Vitamin C ................................. 82
1. Aplikasi Persamaan Arrhenius Pada Degradasi
Vitamin C ......................................................................... 83
2. Penentuan Thermal Reduction Time (D) ......................... 84
3 Penentuan Ketahanan Panas (z) .................................... 85
4. Penentuan Laju Reaksi (k) .............................................. 85
5. Penentuan Energi Aktivasi (Ea) ....................................... 86
BAB III METODE PENELITIAN .............................................................. 87
A. Waktu dan Lokasi Penelitian ................................................ 87
B. Alat dan Bahan ..................................................................... 87
C. Prosedur Penelitian .............................................................. 88
D. Desain Penelitian dan Parameter Analisis ............................ 89
E. Prosedur Analisis.................................................................. 90
1. Total Asam ...................................................................... 90
2. Pengukuran pH................................................................ 91
3. Total Padatan Terlarut ..................................................... 91
4. Analisis Vitamin C dengan 2,6-Diklorofenolindofenol ...... 91
5. Pengukutan Total Fenol dengan Metoda
Folin-Ciocalteau............................................................... 93
6. Penentuan Flavonoid (Kuersetin) .................................... 94
7. Penentuan Kadar Likopen ............................................... 94
8. Uji Aktivitas Antioksidan Metode DPPH ........................... 95
F. Pengolahan Data .................................................................. 96
G. Skema Proses Pemanasan Jus Tomat ................................ 97
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 98
A. Pemanasan Jus Tomat Ohmik ............................................. 98
B. Karakteristik Kimia ............................................................. 106
1. Total Asam .................................................................... 106
2. Derajat Keasman (pH) ................................................... 108
3. Total Padatan Terlarut ................................................... 116
viii
C. Kandungan Senyawa Bioaktif ............................................. 118
1. Kandungan Vitamin C .................................................... 118
2. Kandungan Polifenol (Total Fenol) ................................ 122
3. Kandungan Flavonoid (Kuersetin) ................................. 128
4. Kandungan Likopen ....................................................... 132
5. Aktivitas Antioksidan ...................................................... 141
D. Degradasi Asam Askorbat (Vitamin C) Jus Tomat ............. 152
1. Retensi Asam Askorbat (Vitamin C) Jus Tomat............. 153
2. Degradasi L-Asam Askorbat Jus Tomat ....................... 155
3. Penentuan Energi Aktivasi ………………………………158
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………162
A. KESIMPULAN .................................................................... 162
B. SARAN………………………………………………………… 163
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 164
LAMPIRAN .............................................................................................. 183
ix
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Teks
Tabel 1. Kandungan Nutrisi Tomat Segar ................................................. 14
Tabel 2 Perubahan Komposisi Buah Tomat pada Proses Pematangan..15
Tabel 3. Kandungan Likopen pada Berbagai Buah dan Sayuran……….37
Tabel 4. Penggolongan Pangan Berdasarkan Tingkat Resikonya ............ 52
Tabel 5. Konduktivitas Listrik dari Beberapa Bahan Pangan Pada ...............
Suhu 19ºC ................................................................................. 70
Tabel 6. Matriks Perlakuan Suhu dan Lama Pemanasan Ohmik ............. 89
Tabel 7. Pemanasan Ohmik pada Jus Tomat (Suhu Awal-Suhu
Pemanasan) ............................................................................. 101
Tabel 8. Kadar Asam L-Asam Askorbat (Vitamin C) pada Pemanasan
Ohmik………………………………………………………………..154
Tabel 9. Degradasi Vitamin C pada 70ºC, 90ºC, dan 110ºC dan
Lama Pemanasan 15, 30, dan 45 menit ................................. 156
Tabel 10. Energi Aktivasi Degradasi Vitamin C pada 70ºC, 90ºC,
dan 110ºC dan Lama Pemanasan 15, 30, dan 45 menit ...... 158
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
Teks
Gambar 1. Buah Tomat (Solanum lycopersicum L.) .................... ……….11
Gambar 2. Tahap Pematangan dan Tingkat Kematangan Buah Tomat....17
Gambar 3. Struktur Molekul Asam Askorbat………………………………...29
Gambar 4. Reaksi Asam Askorbat Menjadi Asam Dehidroaskorbat
dan Asam Diketogulonat………………………………………… 31
Gambar 5. Struktur Likopen...................................................................... 35
Gambar 6. Struktur Dasar Flavonoid ........................................................ 39
Gambar 7. Pengelompokan Flavonoid………………………………………39
Gambar 8. Struktur Kimia Kuersetin ....................................................... ..40
Gambar 9. Tahapan Reaksi Berantai Radikal Bebas ............................... 43
Gambar 10. Reaksi Penghambatan Antioksidan Primer terhadap
Radikal Lipid .......................................................................... 46
Gambar 11. Reaksi Antioksidan pada Konsentrasi Tinggi ......................... 47
Gambar 12. Perangkat Alat Pengolahan Tekanan Tinggi (HPP)………….63
Gambar 13. Komponen Peralatan Pulse Electric Field (PEF)……………...67
Gambar 14. Diagram Skematik dari Proses Pemanasan Ohmik Statis…...72
Gambar 15. Grafik ln (A) terhadap t untuk reaksi orde satu……………… 83
Gambar 16. Skema Proses Pemanasan Jus Tomat Ohmik………………..97
Gambar 17. Jus Tomat Ohmik…………………………………………………98
Gambar 18. Laju Pemanasan Ohmik 15 menit……………………………..102
Gambar 19. Laju Pemanasan Ohmik 30 menit……………………………..103
Gambar 20. Laju Pemanasan Ohmik 45 menit……………………………..103
Gambar 21. Hubungan Suhu dan Lama Pemanasan terhadap
Total Asam…………………………………………………….….107
Gambar 22. Hubungan Suhu dan Lama Pemanasan terhadap
pH Jus Tomat……………………………………………………..109
Gambar 23. Hubungan Suhu dan Lama Pemanasan terhadap
xi
Total Padatan Terlarut Jus Tomat……..……………………….116
Gambar 24. Hubungan Suhu dan Lama Pemanasan terhadap
Vitamin C Jus Tomat…………………………….……………....119
Gambar 25. Reaksi Asam Askorbat dengan 2,6-Diklorofenol
Indofenol.................................................................................121
Gambar 26. Hubungan Suhu dan Lama Pemanasan terhadap
Kandungan Total Fenol Jus Tomat…………………..………...123
Gambar 27. Reaksi Kompleks Molibdenum-Tungsten Blue………………..127
Gambar 28. Hubungan Suhu dan Lama Pemanasan terhadap
Kuersetin Jus Tomat………………………………………..……128
Gambar 29. Mekanisme Reaksi Uji Flavonoid……………………………….131
Gambar 30. Hubungan Suhu dan Lama Pemanasan terhadap Likopen
Jus Tomat…………………………………………………………132
Gambar 31. Struktur Isomer Trans dan Cis Likopen………………………..135
Gambar 32. Skema Degradasi All-trans-isomers dan Cis-isomer
pada Likopen………………………………………………..........138
Gambar 33. Perubahan Struktur Molekul dan Hasil Oksidasi
Likope Selama Pemanasan……………………………………..140
Gambar 34. Hubungan Suhu dan Lama Pemanasan terhadap
Antioksidan Jus Tomat………………………… ………………142
Gambar 35. Struktur Kimia DPPH…………………………………………….144
Gambar 36. Reaksi Radikal DPPH dengan Antioksidan……………………145
Gambar 37. Reaksi Radikal Bebas DPPH terhadap Antioksidan………...146
Gambar 38. Mekanisme Penangkapan Radikal Bebas oleh Polifenol........149
Gambar 39. Reaksi Vitamin C dengan Radikal Bebas……………………..150
Gambar 40. Mekanisme Reaksi Asam Askorbat dan Ion Superoksida
dan Hidrogen Peroksida…………………………………………151
Gambar 41. Degradasi Vitamin C pada Suhu 70°C………………………...157
Gambar 42. Degradasi Vitamin C pada Suhu 90°C………………………...157
Gambar 43. Degradasi Vitamin C pada Suhu 110°C……………………….157
Gambar 44. Energi Aktivasi Jus Tomat pada Lama Pemanasan
xii
15 Menit……………………………………………………………159
Gambar 45. Energi Aktivasi Jus Tomat pada Lama Pemanasan
30 Menit……………………………………………………………159
Gambar 46. Energi Aktivasi Jus Tomat pada Lama Pemanasan
45 Menit………...………………………………………...……….160
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
Teks
Lampiran 1. Notasi Rumus/Persamaan …………………………………….183
Lampiran 2. RAL Faktorial Total Asam Jus Tomat Ohmik………………...184
Lampiran 3. RAL Faktorial pH Jus Tomat Ohmik………………………….186
Lampiran 4. RAL Faktorial Total Padatan Terlarut Jus Tomat
Ohmik………………………………………………………….....188
Lampiran 5. RAL Faktorial Vitamin C Jus Tomat Ohmik…………….……190
Lampiran 6. RAL Faktorial Polifenol Jus Tomat Ohmik…………………...192
Lampiran 7. RAL Faktorial Kuersetin Jus Tomat Ohmik…………………..194
Lampiran 8. RAL Faktorial Likopen Jus Tomat Ohmik…………………….196
Lampiran 9. RAL Faktorial Antioksidan Jus Tomat Ohmik………….........198
Lampiran 10. Kurva Standar Polifenol Jus Tomat…………………………..200
Lampiran 11. Kurva Standar Kuersetin Jus Tomat………………………….202
Lampiran 12. Data Likopen Jus Tomat……………………………………….204
Lampiran 13. Data Antioksidan JusTomat……………………………………206
Lampiran 14. Sidik Ragam Energi Aktivasi Jus Tomat Ohmik Lama
Pemanasan 15, 30, dan 45 Menit……………………..…..….225
Lampiran 15. Data Laju Pemanasan Ohmik Jus Tomat per 2 Detik..……..228
Lampiran 16. Gambar Analisis Jus Tomat Ohmik…………………………..234
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tomat (Lycopersicum esculentum Mill.) merupakan salah satu tanaman
sayuran yang paling populer dikonsumsi dan diproduksi secara luas di dunia
(Grandillo et al., 1999). Tomat tergolong tanaman semusim berbentuk perdu
dan termasuk ke dalam famili Solanacea.Tomat adalah salah satu produk
hortikultura yang mempunyai beragam manfaat, baik dalam bentuk segar
sebagai sayur ataupun buah, maupun olahannya berupa makanan, minuman
yang berkhasiat sebagai obat. Buah tomat banyak mengandung zat-zat yang
berguna bagi tubuh manusia, oleh karena itu tomat menjadi komoditas sayur
yang utama.
Tomat merupakan sumber nutrisi dan senyawa bioaktif yang baik
(Friedman, 2002, 2013; Frusciante et al., 2007). Buah tomat kaya akan vitamin
C dan beberapa antioksidan, diantaranya vitamin E dan likopen Selain itu,
buah tomat mengandung serat makanan alami yang sangat baik bagi
pencernaan manusia dan juga adanya protein dalam buah tomat
menjadikannya buah yang sangat sarat gizi. Dalam 180 g buah tomat matang,
terkandung vitamin C sekitar 34,38 mg yang dapat memenuhi 57,3%
kebutuhan manusia dalam sehari. Kandungan seratnya mencapai 1,98 gram
dan protein sebesar 1,53 g. Pada tomat, likopen merupakan salah satu
komponen kimia yang paling banyak. Dalam 100 g tomat rata-rata berisi
sebanyak 3-5 mg likopen (Giovannucci, 1999).
2
Tomat memiliki berbagai vitamin dan senyawa anti penyakit yang baik
bagi kesehatan, terutama likopen (Thompson et al., 2003; Nelson et al., 2003).
Tomat mengandung lemak dan kalori dalam jumlah rendah, bebas kolesterol,
dan merupakan sumber serat dan protein yang baik. Selain itu, tomat kaya
akan vitamin A, Vitamin C, beta-karoten, dan mineral kalium. Satu buah tomat
ukuran sedang mengandung hampir setengah batas jumlah kebutuhan harian
(required daily allowance/RDA) vitamin C untuk orang dewasa (Thompson et
al., 2003).
Kandungan vitamin C yang cukup tinggi pada tomat berperan untuk
mencegah penyakit sariawan, memelihara kesehatan gigi dan gusi,
mempercepat penyembuhan luka serta mencegah kerusakan atau pendarahan
pada pembuluh darah halus (Komar, 2012).
Vitamin C atau asam askorbat adalah komponen berharga dalam
makanan karena berguna sebagai antioksidan dan mengandung khasiat
pengobatan (Sandra,1991). Vitamin C mudah diabsorpsi secara aktif, tubuh
dapat menyimpan hingga 1500 mg vitamin C bila di konsumsi mencapai 100
mg sehari. Jumlah ini dapat mencegah terjadinya skorbut selama tiga bulan.
Tanda-tanda skorbut akan terjadi bila persediaan di dalam tubuh tinggal 300
mg. Konsumsi melebihi taraf kejenuhan akan dikeluarkan melalui urin
(Almatsier, 2001).
Asam askorbat, adalah agen pereduksi, yang diperlukan untuk
mempertahankan enzim hidroksilase prolil dalam bentuk aktif, serta sangat
diperlukan untuk menjaga berkurangnya atom besi. Hidroksilasi prolin dan lisin
dalam prokolagen dilakukan oleh enzim hidroksilase prolil menggunakan asam
3
askorbat sebagai kofaktor. Asam askorbat juga memainkan peran penting
sebagai komponen enzim yang terlibat dalam sintesis kolagen dan karnitin.
Namun peran yang paling vital adalah sebagai vitamin yang larut dalam air
dalam tubuh manusia (Levine et al., 1995). Asam askorbat merupakan
antioksidan kuat karena dapat menyumbangkan atom hidrogen dan
membentuk askorbil yang relatif stabil, bersifat sebagai pemulung bagi oksigen
reaktif dan nitrogen oksida. Asam askorbat terbukti efektif melawan ion radikal
superoksida, hidrogen peroksida, oksigen radikal dan senyawa hidroksil,
melindungi reduktase asam folat, yang mengubah asam folat menjadi asam
folinat, dan dapat membantu melepaskan asam folat bebas dari konyugat
makanan dan juga memfasilitasi penyerapan zat besi (Manito, l981).
Likopen merupakan salah satu pigmen karotenoid yang penting
penyebab warna merah pada tomat (Di Mascio et al., 1989). Likopen bersifat
antioksidan dan dapat melindungi sel dari kerusakan reaksi oksidasi singlet
oksigen (singlet oxygen quenching) dan oksidator lain. Kemampuannya
mengendalikan radikal bebas 10 kali lebih efisien daripada vitamin E atau 2 kali
lebih efisien dari ß-karoten. Selain sebagai anti skin aging, likopen juga
memiliki manfaat untuk mencegah penyakit cardiovascular, diabetes,
osteoporosis, infertility, dan kanker terutama kanker prostat (Di Mascio et al.,
1989). Potensi likopen sebagai antioksidan dan penangkap radikal bebas
merupakan efek yang sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia. Likopen
juga dapat berinteraksi dengan Reactive Oxygen Species (ROS) seperti H2O2
dan NO2 (Lu, et al., 1995; Woodall, et al., 1997).
4
Tomat dapat mengobati ganguan pencernaan, diare, memulihkan fungsi
liver dan mencegah terjadinya serangan empedu. Selain itu juga ditemukan
bahwa gel berwarna kuning yang menyelubungi biji tomat dapat mencegah
penggumpalan dan pembekuan darah (penyebab stroke dan penyakit jantung).
Tomat juga mampu memulihkan lemah syahwat dan meningkatkan jumlah
maupun kegesitan sel sperma (Komar, 2012).
Tomat juga banyak dimanfaatkan dalam industri kecantikan, seperti
pembuatan masker dan pil anti penuaan yang berbahan dasar tomat. Hal ini
dikarenakan kandungan likopen pada tomat yang mampu memperbaiki dan
mempertahankan jaringan kolagen kulit. Zat lain seperti tomatin bersifat
sebagai antiinflamasi, yaitu dapat menyembuhkan luka dan jerawat. Beberapa
peneliti Inggris telah menemukan bahwa menambahkan tomat yang dimasak
ke dalam makanan setiap hari meningkatkan kemampuan kulit untuk
melindungi diri dari sinar ultra-violet yang berbahaya (Komar, 2012).
Senyawa lain yang terdapat dalam tomat antara lain adalah solanin,
saponin, asam folat, asam malat, asam sitrat, bioflavonoid (termasuk likopen, α
dan ß-karoten), protein, lemak, vitamin, mineral dan histamin (Canene-Adam et
al., 2005). Senyawa-senyawa fenolat yang terdapat dalam tomat meliputi:
kuersetin, naringenin, rutin dan asam klorogenat. Senyawa-senyawa fenolat
tersebut diantaranya, dapat menangkap radikal-radikal peroksida dan dapat
mengkhelat logam besi yang mengkatalisa peroksida lemak (Velioglo, 1998).
Asam organik yang paling dominan pada tomat adalah asam sitrat.
Selain asam sitrat, asam malat adalah asam organik yang paling berkontribusi
terhadap cita rasa buah tomat. Asam-asam lain yang telah terdeteksi adalah
5
asam asetat, format, trans-asonitat, laktat, galakturonat, dan α-okso.
Keasaman maksimum ditemukan pada tomat dengan kematangan kategori
“breaker” dan tahap berwarna “pink”. Keasaman buah tomat sangat penting
untuk rasa dan penting juga dalam proses pengolahan karena kandungan
butirat, mikroorganisme termofilik, dan pembusuk anaerobik tidak dapat
berkembang ketika pH di bawah 4,3. Namun ketika pH lebih dari 5, spora
mikroorganisme sulit untuk diinaktifkan (Salunkhe et al, 1974).
Pangan fungsional adalah pangan disamping untuk memenuhi
kebutuhan gizi juga mempunyai manfaat dalam memelihara kesehatan. Salah
satu permasalahan dalam pengembangan pangan fungsional bersumber dari
tanaman (tidak terkecuali tomat) adalah proses pengolahannya, karena dapat
mempengaruhi kandungan senyawa bioaktif yang terkandung dalam bahan
yang digunakan sebagai bahan baku pangan fungsional (Percival dan Turner,
2001).
Selama proses pengolahan pangan terjadi beberapa perubahan
kandungan gizi dari makanan, baik karena ikut terlarut ataupun karena
mengalami penguapan selama proses berlangsung terutama pada kandungan
senyawa yang mudah larut dalam air atau senyawa yang rentan terhadap
panas (pengolahan suhu termal).
Proses pemanasan pada bahan makanan dengan suhu tinggi dan
waktu pemanasan terlalu lama seperti pada pemanasan konvensional dapat
mengakibatkan besarnya kehilangan nutrisi dan vitamin serta komponen
bioaktif yang terkandung dalam buah-buahan. Di sisi lain, jika suhu
pemanasan terlalu rendah atau waktu pemanasan yang terlalu singkat,
6
dikhawatirkan jumlah mikroba yang terdapat dalam bahan masih cukup tinggi
(Muchtadi dan Ayustaningwarno, 2010).
Proses pemanasan ohmik dalam pengolahan pangan adalah suatu
proses dimana bahan pangan (cair, padatan, atau campuran antara keduanya)
dipanaskan secara simultan dengan mengalirkan arus listrik melalui bahan
tersebut. Bahan pangan yang dilewati arus listrik memberi respon berupa
pembangkitan panas secara internal akibat adanya tahanan listrik dalam bahan
(Salengke, 2000). Pembangkitan panas serentak yang dihasilkan memberikan
distribusi suhu yang seragam, terutama untuk makanan cair.
Keuntungan utama dari pengolahan ohmik adalah pemanasan
berlangsung cepat dan relatif seragam (Zareifard et al., 2003), mudah dalam
mengontrol proses, efisiensi energi tinggi (Ghnimi et al., 2008), dan biaya
modal yang lebih rendah (Marra et al., 2009), mempertahankan warna dan nilai
gizi makanan, serta waktu proses yang singkat dan hasil yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pemanasan konvensional (Castro et al., 2004; Icier et al.,
2005a; Leizerson dan Shimoni, 2005; Vikram et al., 2005; Wang dan Sastry,
2002; Yildiz, 2009). Selain itu pemanasan ohmik pengolahan pangan
memungkinkan penerapan pengolahan bersih, ramah lingkungan, dan hemat
energi dibandingkan metode konvensional.
Pemanasan ohmik dianggap sangat cocok untuk pengolahan termal
makanan cair. Jumlah panas yang dihasilkan secara langsung berhubungan
dengan arus yang disebabkan oleh gradien tegangan, medan listrik dan
konduktivitas listrik (Shirsat et al., 2004). Sebagian besar makanan
mengandung spesies ionik seperti garam dan asam, dan apabila arus listrik
7
dilewatkan pada makanan menghasilkan panas di dalam bahan (Palaniappan
dan Sastry, 1991). Pemanasan ohmik berlangsung secara volumetrik sehingga
berpotensi mengurangi pemanasan berlebih (overprocessing) dibandingkan
dengan pola pindah panas dari luar ke dalam bahan (Rahman, 1999).
Waktu pemanasan ohmik bergantung pada gradien tegangan yang
digunakan. Meningkatnya gradient tegangan, menyebabkan panas yang
dihasilkan per unit waktu meningkat, sehingga waktu pemanasan yang
diperlukan untuk mencapai suhu yang hendak dicapai menjadi berkurang.
Skala waktu dapat diatur dengan memilih parameter gradien tegangan (Icier,
2012). Konduktivitas listrik adalah ukuran dari seberapa baik suatu zat
mentransmisikan muatan listrik yang dinyatakan dalam Siemens per meter
(S/m). Konduktivitas listrik adalah rasio densitas substansi pada kekuatan
medan listrik dan dipengaruhi oleh komposisi kimia dari suatu zat. Dalam
terminologi pemanasan ohmik, konduktivitas adalah ukuran dari isi mineral
atau ion. Untuk bahan makanan, bahan ion yang paling umum garam (NaCl).
Semakin tinggi jumlah garam terlarut dalam zat, semakin tinggi konduktivitas
(Anderson, 2008).
Pemanas ohmik berbeda dengan pemanas microwave dari segi
penggunaan frekuensi. Pemanas Ohmik dioperasikan dengan frekuensi rendah
(50 sampai dengan 60 Hz). Pada pemanasan ohmik digunakan arus bolak
balik. Tegangan diatur sehingga mencapai suhu akhir yang dikehendaki (Kemp
dan Fryer, 2007).
8
B. Rumusan Masalah
Uraian pada latar belakang tersebut, dapat dirumuskan beberapa
masalah sebagai berikut:
1. bagaimana parameter suhu dan waktu yang diaplikasikan pada perangkat
pemanas ohmik terhadap karakteristik laju pemanasanjus tomat.
2. berapa besar perubahan karakteristik fisiko-kimia jus tomat yang
dipanaskan dengan pemanasan ohmik.
3. bagaimana perubahan kandungan senyawa bioaktif pada jus tomat yang
diberi perlakuan suhu dan waktu pemanasan yang berbeda dengan
menggunakan teknologi ohmik.
4. bagaimana pola degradasi asam askorbat (Vitamin C) pada jus tomat
dengan menggunakan teknologi ohmik.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. menentukan karakteristik laju pemanasan jus tomat dengan teknologi
pemanasan ohmik.
2. menentukan pengaruh suhu pemanasan dan lama pemanasan terhadap
karakteristik fisiko-kimia jus tomat antara lain: pH, Total Asam, dan Total
Padatan Terlarut yang dipanaskan dengan pemanasan ohmik.
3. menganalisis perubahan kandungan senyawa bioaktif pada jus tomat
meliputi kandungan Vitamin C, Polifenol, dan Flavonoid (Kuersetin),
9
Likopen, dan antioksidan yang diberi perlakuan suhu dan waktu pemanasan
dengan menggunakan teknologi ohmik.
4. menentukan laju degradasi asam askorbat (Vitamin C) pada jus tomat
dengan teknologi ohmik selama pemanasan.
D. Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. mendapatkan informasi tentang konduktifitas listrik jus tomat pada
pemanasan ohmik dalam kaitannya dengan pengembangan rancang
bangun perangkat teknologi ohmik jus tomat dengan skala yang lebih besar
(scale up).
2. memahami perubahan-perubahan secara fisik-kimia pada tomat yang
diolah menjadi jus, perubahan-perubahan kandungan senyawa bioaktif
pada jus tomat yang mendapat perlakuan pemanasan dengan pemanfaatan
teknologi ohmik.
3. industri berskala besar di masa yang akan datang tidak lagi menerima
bahan baku dalam bentuk bahan mentah seperti buah segar, tetapi disuplai
oleh industri menengah dan kecil dengan cara menerima bahan baku
setengah jadi dalam bentuk jus atau pure buah. Sehingga alternatif
penggunaan teknologi ohmik menjadi jembatan antara industri kecil,
menengah dengan industri berskala besar.
4. pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pada bidang Teknologi
Pangan.
10
E. Kebaruan Penelitian
Kebaruan penelitian ini adalah:
1. penerapanTeknologi Ohmik yang berbasis arus listrik yang dirubah menjadi
energi panas pada jus tomat sebagai alternatif pengolahan termal pada
produk tomat, dengan menggunakan perangkat pemanas ohmik berbahan
teflon.
2. penerapan Teknologi Ohmik pada pembuatan jus tomat pada temperatur
diatas titik didih yaitu 110°C yang dipertahankan sampai 45 menit
pemanasan.
3. penggunaan Teknologi Ohmik dalam mempertahankan stabilitas senyawa-
senyawa antioksidan pada jus tomat.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Buah Tomat (Lycopersicum esculentum Mill.)
Tomat (Solanum lycopersicum syn. Lycopersicum esculentum) adalah
tumbuhan keluarga Solanaceae, berasal dari Amerika Tengah dan Selatan,
dari Meksiko sampai Peru. Kata tomat berasal dari bahasa Aztek, salah satu
suku Indian yaitu xitomate atau xitotomate. Tanaman tomat menyebar ke
seluruh Amerika, terutama ke wilayah yang beriklim tropik, sebagai gulma.
Penyebaran tanaman tomat ini dilakukan oleh burung yang makan buah tomat
dan kotorannya tersebar kemana-mana. Penyebaran tomat ke Eropa dan Asia
dilakukan oleh orang Spanyol. Tomat ditanam di Indonesia sesudah
kedatangan orang Belanda. Dengan demikian, tanaman tomat sudah tersebar
ke seluruh dunia, baik di daerah tropik maupun subtropik (Pracaya, 2012).
Gambar 1. Buah Tomat (Solanum lycopersicum L.)
(Sumber: https://www.gardeningknowhow.com/edible/vegetables/tomato/-main
crop-tomato-plants.htm)
12
Dalam botani atau ilmu tumbuh-tumbuhan, tanaman tomat
diklasifikasikan sebagai berikut (Atherton dan Rudich, 1986) :
Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Sub divisi : Angiospermae (berbiji tertutup)
Kelas : Dicotyledoneae (berbiji keeping satu)
Ordo : Tubiflorae (Polemoniales)
Family : Solanaceae
Genus : Lycopersicum
Spesies : (Lycopersicum esculentum Mill.)
Buah tomat terdiri dari beberapa bagian yaitu perikarp, plasenta,
funikulus, dan biji. Anatomi buah tomat dapat dilihat pada Gambar 1. Perikarp
meliputi eksokarp, mesokarp, dan endocarp. Eksokarp adalah lapisan terluar
dari buah dan sering mengandung zat warna buah terdiri dari dinding pericarp
dan kulit buah. Perikarp meliputi dinding luar dan dinding radial (septa) yang
memisahkan rongga lokula. Mesokarp adalah lapisan yang paling dalam
berupa selaput terdiri dari parenkim dengan ikatan pembuluh (jaringan tertutup)
dan lapisan bersel tunggal yaitu lokula. Endokarp adalah lapisan paling dalam
terdiri dari biji, plasenta, dan columella (Rančić et al, 2010).
Buah tomat memiliki bentuk bervariasi, tergantung pada jenisnya. Ada
buah tomat yang berbentuk bulat, agak bulat, agak lonjong, bulat telur (oval),
dan bulat persegi. Ukuran buah tomat juga sangat bervariasi, yang berukuran
paling kecil memiliki berat 8 gram dan yang berukuran besar memiliki berat
sampai 180 gram.
13
Buah tomat yang masih muda berwarna hujau muda bila sudah matang
warnanya menjadi merah. Buah tomat yang masih muda memiliki rasa getir
dan aromanya tidak enak, sebab masih mengandung zat lycopersicin yang
berbentuk lendir. Aroma yang tidak sedap tersebut akan hilang dengan
sendirinya pada saat buah memasuki fase pematangan hingga matang.
Rasanya juga akan berubah menjadi manis agak masam yang menjadi ciri
khas kelezatan buah tomat.
B. Komposisi Kimia Buah Tomat
Tomat merupakan salah satu makanan yang bergizi tinggi, kandungan
gizi tomat masak dapat dilihat pada Varietas-varietas tomat memiliki jumlah zat
terlarut dalam air bervariasi dari 4,5-7% dengan fruktosa dan glukosa
merupakan zat paling dominan. Kandungan nutrisi buah tomat dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tomat mengandung komponen nutrisi terutama kaya akan vitamin dan
mineral. Dalam satu buah tomat segar ukuran sedang 100 g mengandung
sekitar 30 kalori, 40 mg vitamin C, 1500 SI vitamin A, 60 μg tiamin (vitamin
B1), zat besi, kalsium dan lain-lain (Kailaku et al., 2013). Komposisi zat gizi
yang terkandung di buah tomat cukup lengkap. Buah tomat terdiri dari 5-10%
berat kering tanpa air dan 1 persen kulit dan biji. Jika buah tomat dikeringkan,
sekitar 50% dari berat keringnya terdiri dari gula-gula pereduksi (terutama
glukosa dan fruktosa), sisanya asam-asam organik, mineral, pigmen, vitamin
dan lipid. Dalam 100 gram tomat memenuhi 20% atau lebih dari
kebutuhan vitamin C sehari (Astawan, 2008).
14
Tabel 1. Kandungan Nutrisi Tomat Segar. Nutrien Kandungan
per 100 g Nutrien Kandungan
per 100 g
Analisis Proksimat
Asam Amino
Air (g) 93,76 Triptofan (g) 0,006
Energi (kkal) 21 Treonin (g) 0,021
Protein (g) 0,85 Isoleusin (g) 0,020
Total lemak (g) 0,33 Leusin (g) 0,031
Karbohidrat (g) 4,64 Lisin (g) 0,031
Serat (g) 1,1 Metionin (g) 0,007
Abu (g) 0,42 Kistin (g) 0,011
Mineral Fenilalanin (g) 0,002 0,002
Kalsium (mg) 5 Tirosin (g) 0,015
Zat besi (mg) 0,45 Valin (g) 0,022
Magnesium (mg) 11 Arginin (g) 0,021
Fosfor (mg) 24 Histidin (g) 0,013
Kalium (mg) 222 Alanin (g) 0,024
Natrium (mg) 9 Asam aspartat (g) 0,118
Seng (mg) 0,09 Asam glutamat (g) 0,313
Tembaga (mg) 0,074 Glisin (g) 0,021
Mangan (mg) 0,105 Prolin (g) 0,016
Selenium (mg) 0,4 Serin (g) 0,023
Vitamin Asam Lemak
B1 (Tiamin) (mg) 0,059 Tak jenuh tunggal (g)
0,050
B2 (Riboflavin) (mg) 0,048 Tak jenuh ganda (g)
0,135
B3 (Niasin) (mg) 0,628
B5 (Asam pantotenat) (mg)
0,247
Vit. A (IU) 0,623
Vit E (Tokoferol) (mg) 0,34
(Sumber: Kailaku et al., 2013).
Komposisi kimia tomat segar tergantung pada beberapa faktor yaitu
kultivar, kedewasaan, cahaya, suhu, musim, iklim, kesuburan tanah, irigasi,
dan perlakuan petani. Konsentrasi relatif komponen-komponen kimia dari buah
tomat yang penting dalam menilai kualitas buah tomat adalah warna, tekstur,
penampilan, nilai gizi, dan aroma. Buah tomat Moscow memiliki kadar air 94%
pada tahap merah matang. Perubahan komposisi berhubungan dengan
pematangan buah tomat disajikan dalam Tabel 2.
15
Tabel 2. Perubahan Komposisi Buah Tomat pada Proses Pematangan
Komposisib
Tahap Kedewasaana
Hijau Breaker Pink Merah Merah Penuh
Bahan Kering (%) 6.40 6.20 5.81 5.80 6.20
Keasaman tertitrasi (%) 0.285 0.310 0.295 0.270 0.285
Asam Organik (%) 0.058 0.127 0.144 0.166 0.194
Asam Askorbat (%) 14.5 17.0 21.0 23.0 22.0
Klorofil (%) 45.0 25.0 9.0 0.0 0.0
ß-Karoten (%) 50.0 242.0 443.0 10.0 50.0
Likopen (%) 8.0 124.0 230.0 374.0 412.0
Turunan Gula (%) 2.40 2.90 3.10 3.45 3.65
Pektin (%) 2.34 2.20 1.90 1.74 1.62
Pati (%) 0.61 0.14 0.13 0.18 0.07
Volatiles (ppb) 17.0 17.9 22.3 24.6 31.2
Volatiles reducing subst. (μeq.%) 248 290 251 278 400
Asam amino (μ mole %) _c 2358 3259 2941 2723
Nitrogen Protein (rag N/g) 9.44 10.00 10.27 10.27 6.94
a kultivar Fireball, selain kultivar V. R. Moscow untuk kandungan asam amino. b Dinyatakan dalam basis berat segar. c Nilai tidak dilaporkan. (Sumber: Salunkhe et al, 1974).
Asam organik yang paling dominan pada tomat adalah asam sitrat.
Selain asam sitrat, asam malat adalah asam organik yang paling berkontribusi
terhadap cita rasa buah tomat. Asam-asam lain yang telah terdeteksi adalah
asam asetat, formiat, trans-asonitat, laktat, galakturonat, dan α-okso. Pada
keseluruhan kematangan buah mulai dari berwarna hijau tua hingga merah,
keasaman meningkat mencapai nilai maksimum dan kemudian menurun
(Salunkhe et al, 1974).
C. Pematangan dan Perubahan Warna Buah Tomat
Warna pada buah dan sayur ditentukan oleh kelompok pigmen yang
tedapat secara alami dalam buah dan sayur, yang dapat dikelompokkan atas:
klorofil, karotenoids, flavonoids (antosianin dan antoxantin). Penampilan buah
16
dan sayur segar maupun olahannya sangat ditentukan oleh warna. Persepsi
tentang kesegaran buah dan sayur berhubungan erat dengan kecerahan
warna. Memudarnya warna pada buah segar berhubungan dengan kestabilan
pigmen warna yang dikandungnya. Kesensitifan pigmen ini juga berhubungan
erat dengan warna produk olahan buah dan sayur (Wills et al., 1989).
Tomat termasuk sayuran berbentuk buah. Warna tomat merupakan
salah satu kriteria visual yang penting dalam penentuan kualitas tomat.
Menurut Ryall dan Lipton (1972), tomat dapat dipanen dan matang dengan
baik jika dipetik saat masih hijau (mature green). Selama pematangan,
perlahan-lahan buah tomat akan berubah warna dari hijau menjadi merah.
Pematangan diartikan sebagai perwujudan dari mulainya proses
kelayuan dimana organisasi antar sel menjadi terganggu. Gangguan ini
merupakan pelopor dari kegiatan hidrolisa substrat oleh campuran enzim-
enzim yang ada di dalam buah. Pematangan dapat pula diartikan sebagai
suatu fase akhir proses penguraian substrat dan merupakan suatu proses yang
dibutuhkan oleh bahan untuk mensistesis enzim-enzim yang spesifik yang
diantaranya akan digunakan dalam proses kelayuan (Muchtadi dkk., 2010).
Perubahan warna tomat menurut Ryall dan Lipton (1972), dibagi
menjadi enam tingkat yaitu tingkat pertama “Masak Hijau” (mature green), pada
keadaan ini setelah permukaan buah tomat masih berwarna hijau atau hijau
keputihan. Tingkat kedua yaitu “Breaker”, pada tingkat ini tidak lebih dari 10 %
permukaan buah tomat berwarna kuning kecoklatan, pink atau merah. Tingkat
keterangan ketiga yaitu “Turning”, pada tingkat ini 10-30% permukaan buah
tomat berwarna kuning kecoklatan, pink atau merah. Kemudian tingkat
17
keempat yaitu “Pink”, pada tingkat ini 30-60% permukaan buah tomat berwana
pink atau merah. Tingkat kelima yaitu “Light Red”, pada keadaan ini 60-90%
permukaan buah tomat berwarna merah kecoklatan atau merah. Dan yang
terakhir dinamakan “Red”, dimana pada tingkat ini lebih dari 90% permukaan
buah tomat sudah berwarna merah.Pematangan buah tomat dapat diketahui
dengan melihat perubahan warna kulit buah tomat. Warna kulit buah tomat
akan berubah dari hijau penuh (green) menjadi merah penuh (red). Klasifikasi
perubahan warna kulit tomat dijelaskan pada Gambar 2.
Gambar 2. Tahap Pematangan dan Tingkat Kematangan Buah Tomat
(Sumber: Ryall dan Lipton, 1972)
Menurut Thomson dan Kelly (1957), kematangan buah tomat dimulai
pada tingkat kematangan “Turning” yang ditandai dengan warna sedikit
kemerahan pada ujung buah. Buah tomat masak penuh (“Full Tipe”) berwarna
merah seluruhnya dan keadaan buah masih kurus, sedangkan buah tomat
18
yang sudah lewat masak (“Over Ripe”) berwarna merah, seluruhnya tetapi
sudah agak lunak bila dibandingkan dengan buah masak penuh (Thompson
dan Kelly, 1957). Sedangkan kriteria untuk matang petik buah tomat terbagi 4
tahap, yaitu: hijau matang (mature green), semburat/pecah (breaker), turning,
merah muda (pink), dan merah tua (red ripe) (Harijadi dan Sunarjono, 1990).
Berubahnya warna dapat disebabkan oleh 2 faktor yaitu proses
degradasi maupun proses sintesis dari pigmen yang terdapat dalam buah.
Salah satu perubahan yang akan terjadi pada buah setelah dipanen adalah
tingkat kelunakan buah. Kondisi ini terjadi karena adanya perombakan
protopektin yang tidak larut menjadi pektin yang larut maupun karena
terjadinya hidrolisis pati atau lemak, dan mungkin juga lignin. Jumlah zat-zat
pektat selama pematangan buah akan meningkat. Selama pematangan buah
kandungan pektat dan pektinat yang larut akan meningkat sehingga ketegaran
buah akan berkurang (Matto et al., 1989). Terjadinya reduksi galaktan, araban
dan poliurodin di dinding sel menyebabkan zat-zat yang ada pada dinding sel
terdegradasi dan buah tomat menjadi lunak (Hobson dan Grierson, 1993).
Pelunakan buah oleh pelarutan pektin selama pematangan mempengaruhi
sifat-sifat fisik dinding sel yang berdampak pada integrasi struktural buah.
Proses ini akan semakin cepat jika buah berada pada suhu yang tinggi
(Zulkarnain, 2010).
Selama proses pematangan, tomat akan mengalami berbagai
perubahan baik secara fisik maupun kimia. Perubahan secara fisik yang terjadi
diantaranya adalah perubahan warna kulit, ukuran, perubahan tekstur serta
kekerasan buah. Perubahan-perubahan tersebut akan menurunkan mutu,
19
kondisi dan penampakan buah tomat sehingga menurunkan harga jualnya.
Kandungan asam askorbat tertinggi pada buah tomat ialah selama
proses pembentukan atau pertumbuhan di pohon dan menurun selama
pematangan atau penyimpanan, yang berkaitan dengan proses respirasi.
Penurunan kandungan asam askorbat dapat menyebabkan turunnya kualitas
buah tomat tersebut (Muchtadi dkk., 1993). Keasaman maksimum ditemukan
pada breaker dan tahap berwarna pink.
Pematangan akan menyebabkan naiknya kadar gula sederhana untuk
memberikan rasa manis, penurunan kadar asam organik dan senyawa fenolik
untuk mengurangi rasa asam dan sepat serta kenaikan produksi zat volatil
untuk memberikan flavor karakteristik buah (Muchtadi et al., 2010). Selama
proses pematangan warna kulit tomat mengalami perubahan dari hijau gelap
menjadi berwarna kuning/merah (Simmonds, 1966). Hal tersebut terjadi karena
klorofil mengalami degradasi disertai menurunnya konsentrasi klorofil dari 50-
100 mg/kg pada kulit pisang hijau menjadi nol pada stadia matang penuh.
Hobson dan Grierson (1993) menjelaskan perubahan warna pada tomat terjadi
karena klorofil dalam jaringan menjadi rusak.
D. Produk Olahan Tomat
Berbagai jenis buah utama yang dihasilkan di Indonesia berpotensi
untuk dikembangkan menjadi produk olahan, seperti buah dalam kaleng,
minuman sari buah, manisan buah, selai dan produk olahan buah lainnya,
salah satunya adalah buah tomat (Anonim, 2009). Beberapa jenis produk
olahan berbasis tomat diantaranya selai, permen jelly, jelly drink, tomakur,
20
saus, pasta, sari buah, manisan kering maupun produk dalam bentuk bubuk
(Dewanti dkk., 2010).
Beberapa jenis produk olahan berbasis tomat diantaranya selai, permen
jelly, jelly drink, tomakur, saus, pasta, sari buah, manisan kering maupun
produk dalam bentuk bubuk. Pasta tomat adalah salah satu produk olahan
yang paling banyak dikembangkan pada industi kecil menengah (Dewanti dkk.,
2010).
Sari tomat merupakan produk olahan tomat yang menggunakan bahan
tambahan makanan seperti gula pasir, Na-benzoat dan CMC (Carboxy Methyl
Cellulose). Sari tomat dapat dibuat dengan mudah, cepat serta memerlukan
peralatan yang sederhana. Berikut ini daftar bahan, alat serta diagram
pembuatan sari tomat (Dewanti dkk., 2010).
Yoghurt merupakan produk minuman fermentasi yang berasa masam,
sedikit kental yang pada mulanya berbahan dasar susu. Akan tetapi seiring
dengan perkembangan zaman, pembuatan yoghurt berbasis bahan nabati
semakin diminati. Salah satu yoghurt berbasis nabati yaitu yoghurt tomat.
Yoghurt ini memiliki sifat fungsional berupa kandungan antioksidan tinggi,
senyawa antimikroba (asam laktat) dan vitamin C (Dewanti dkk., 2010).
Pure merupakan produk serupa bubur dengan viskositas atau
kekentalan sedang. Pure dibuat dengan cara memasak bubur atau slurry
daging buah tomat dengan gula hingga diperoleh kekentalan yang diinginkan.
Penelitian badan pangan dunia FAO/WHO menunjukan bahwa kandungan
likopen tidak rusak dan jumlahnya tidak jauh berubah selama pemanasan.
Bahkan kandungan likopen akan meningkat 10 kali lipat ketika tomat diolah
21
menjadi saus atau pasta tomat. Likopen merupakan bagian dari karotenoid
yang larut dalam lemak, namun likopen yang larut di dalam lemak justru sulit di
serap oleh tubuh. Karenanya, disarankan mengolah tomat dengan cara di
rebus atau dikukus (Dewanti dkk., 2010).
Beberapa jenis tomat dapat dibuat selai dengan menambahkan jenis
buah lain yang mempunyai aroma yang menarik. Selai adalah bahan dengan
konsistensi gel atau semi gel yang dibuat dari bubur buah. Selai digunakan
sebagai bahan pembuat roti dan kue. Konsistensi gel atau semi gel pada selai
diperoleh dari interaksi senyawa pektin yang berasal dari buah atau pektin
yang ditambahkan dari luar, gula sukrosa dan asam. Interaksi ini terjadi pada
suhu tinggi dan bersifat menetap setelah suhu diturunkan. Kekerasan gel
tergantung kepada konsentarsi gula, pektin dan asam pada bubur buah.
Kondisi optimum untuk kadar pektin adalah ± 1%, pH 3,3-3,4, dan gula ± 66%
(Dewanti dkk., 2010).
Kini dengan teknologi sederhana dan relatif mudah, tomat dapat
dijadikan sebuah makanan ringan yang disebut “Torakur” (TOmat RAsa
KURma) dengan bentuk dan rasa yang mirip dengan buah kurma. Jus buah
adalah minuman sari buah segar jenis jajanan dengan bahan dasar dari buah-
buahan yang banyak dikomsumsi oleh masyarakat luas. Menurut Hulme
(1971), sari buah didefinisikan sebagai cairan hasil pemerasan buah dengan
tekanan atau alat mekanis lainnya terhadap bagian buah yang dapat dimakan.
Biasanya sari buah ini keruh karena mengandung komponen seluler di dalam
suspensi koloid dengan jumlah pulp halus yang bervariasi (Dewanti dkk.,
2010).
22
Pengertian produk minuman sari buah (fruit juice) menurut SNI 01-3719-
1995 adalah minuman ringan yang dibuat dari sari buah dan air minum dengan
atau tanpa penambahan gula dan bahan tambahan makanan yang diizinkan.
Definisi sari buah menurut Keputusan Badan Pengawas Obat dan Makanan
Nomor HK. No. HK.00.05.52.4040 Tahun 2006 tentang Kategori Pangan
mengatur definisi dan karakteristik dasar sari buah, terkait ketentuan bahan
baku, proses pengolahan dan produk jadi, adalah cairan yang dari bagian
buah yang dapat dimakan yang dicuci, dihancurkan, dijernihkan (jika
dibutuhkan), dengan atau tanpa pasteurisasi dan dikemas untuk dapat
dikonsumsi langsung. Sari buah dapat berisi hancuran buah serta
berpenampakan keruh atau jernih. Produk sari buah dapat dibuat dari satu atau
campuran berbagai jenis buah. Pada sari buah hanya dapat ditambahkan
konsentrat jika berasal dari jenis buah yang sama.
Sari buah merupakan hasil pengepresan atau ekstraksi buah yang
sudah disaring.Pembuatan sari buah terutama ditujukan untuk meningkatkan
ketahanan simpan serta daya guna buah-buahan. Pembuatan sari buah dari
tiap-tiap jenis buah meskipun ada sedikit perbedaan, tetapi prinsipnya sama
(Kemenristek RI, 2010).
Gula ditambahkan dengan tujuan untuk mendapatkan rasa manis.
Pengawet berfungsi untuk memperpanjang daya simpan. Selanjutnya cairan
disaring, dibotolkan, kemudian dipasteurisasi agar tahan lama. Pemurnian sari
buah bertujuanuntuk menghilangkan sisa serat-serat dari buah dengan cara
penyaringan, pengendapan atau sentrifugasi dengan kecepatan tinggi yang
dapat memisahkan sari buah dari serat-serat berdasarkan perbedaan
23
kerapatannya. Sari buah yang tidak dimurnikan akan berakibat terjadinya
pengendapan di dasar botol. Hal tersebut tidak diinginkan karena akan
menurunkan penerimaan konsumen (Muchtadi 1977).
Jus dibuat dari buah segar yang kaya kandungan gizi, citarasa (flavour),
aroma dan warna yang disenangi (Koswara, 2009). Sebagian besar sari buah
dikehendaki berpenampakan keruh, misalnya sari buah jeruk, tomat, mangga,
dan sebagian lagi diinginkan dalam keadaan jernih, misalnya sari buah anggur
dan apel. Sari buah markisa mengandung asam (sebagai asam sitrat) dengan
pH antara 2,4-3,2. Markisa termasuk bahan pangan berkadar asam tinggi
dengan pH dibawah 3,7-4,0 (Buckle et al.,1987).
Menurut Ting dan Attaway (1971), komponen utama dari total padatan
terlarut dari sari buah jeruk adalah gula yang mencapai 75-85%. Jenis gula
yang terpenting adalah 2-monosakarida yakni D-glukosa dan D-fruktosa serta 1
disakarida yakni sukrosa. Setiap 100 ml sari buah jeruk siam mengandung
glukosa sebanyak 1.02-1.24 g, fruktosa 1.49-1.58 g, sukrosa 2.19-4.90 g
dengan total gula berkisar antara 4.93-7.57 g. Kandungan gula meningkat
dengan semakin matangnya buah sebanding dengan berkurangnya cadangan
pati (Berry dan Veldhuis, 1977). Beberapa penentu kualitas sari buah adalah
kekentalan, kekeruhan, dan kadar padatan terlarutnya (Dewanti dkk., 2010).
Jus buah merupakan sumber vitamin, mineral, karbohidrat, asam amino,
komponen flavonoid dan masih banyak lagi komponen-komponen yang masih
belum diketahui. Komposisi kimia jus buah terutama tergantung pada
pengaruh–pengaruh kombinasi dari mekanisme pengatur genetik dan
24
lingkungan fisik, kimia dan biologis yang dialami buah-buahan segar selama
pertumbuhan dan pasca panen (Luh, 1980).
Proses pengolahan sari buah melalui beberapa tahapan ekstraksi,
klarifikasi, deaerasi, pasteurisasi, pemekatan (jika dikehendaki peningkatan
padatan), pengemasan dan pasteurisasi. Proses ekstraksi sari buah dilakukan
dengan pengepresan menggunakan “juice extractor”, penghancuran dengan
“blender” atau “pulper” atau dengan perebusan. Metode ekstraksi yang dipilih
berdasarkan pada jenis buah dan karakteristik sari buah yang ingin dihasilkan.
Misalnya, untuk buah jeruk atau markisa yang banyak mengandung biji dan
sedikit serat, ekstraksi dilakukan dengan pengepresan. Pengepresan dapat
mencegah hancurnya biji, sehingga sari buah tidak pahit. Untuk buah jambu
yang banyak mempunyai padatan terlarut dan tersuspensi, ekstraksi dilakukan
dengan perebusan. Ekstraksi dengan perebusan akan menghasilkan sari buah
yang lebih jernih jika dibandingkan dengan ekstraksi dengan penghancuran.
Untuk nenas yang memiliki padatan yang tidak terlalu banyak, ekstraksi sari
buah dilakukan dengan cara penghancuran. Ekstrak sari buah selanjutnya
diklarifikasi. Cairan hasil ekstraksi masih mengandung padatan yang
tersuspensi, sehingga harus dipisahkan. Pemisahan atau klarifikasi dapat
dilakukan dengan pengendapan, penyaringan atau sentrifugasi. Proses
tersebut masih belum mampu memisahkan partikel halus seperti senyawa
pektat yang dapat menyebabkan kekeruhan pada sari buah (Apandi, 1984;
Kusnandar, 2010).
Sari buah mengandung sejumlah udara (oksigen) yang dapat
menyebabkan kerusakan vitamin C, warna, dan flavor, sehingga perlu
25
dilakukan proses deaerasi. Dearasi dilakukan dengan cara melewatkan sari
buah ke dalam vacum deaerator. Deaerasi dapat juga dilakukan dengan
pemanasan sari buah dalam tempat terbuka pada suhu (70-80oC). Dengan
proses pemanasan tersebut, oksigen dapat menguap, di samping juga dapat
mengurangi jumlah mikroba awal dan inaktivasi enzim (Apandi, 1984;
Kusnandar, 2010).
Sari buah dapat dikemas dalam kaleng, botol, cup atau tetra pack untuk
melindunginya dari segala kerusakan. Pengemasan dalam botol atau cup
plastik dapat menampilkan sari buah sehingga lebih terlihat menarik. Namun,
kemasan transparan dapat ditembus cahaya yang dapat menyebabkan
kerusakan vitamin C atau pigmen. Pada proses pengemasan, sari buah harus
diisikan dalam kondisi panas (hot filling). Uap panas yang keluar dari produk
selama pengisian akan mengusir udara pada permukaan kemasan dan
memanaskan kemasan. Kondisi ini akan mengurangi resiko kontaminasi oleh
mikroba, sehingga dapat mengurangi resiko kerusakan produk (Apandi, 1984;
Kusnandar, 2010).
Sari buah yang telah dikemas kemudian dipasteurisasi. Proses
pasteurisasi dapat dilakukan pada suhu di bawah 100oC dengan tujuan untuk
inaktivasi mikroba pembusuk dan enzim yang tidak diinginkan. Pasteurisasi
dilakukan karena sifat produk yang relatif asam (pH<4.5), dimana mikroba-
mikroba yang mungkin tumbuh lebih mudah dibunuh. Penggunaan suhu
pasteurisasi yang tidak terlalu tinggi dapat mengurangi kerusakan vitamin C.
26
E. Manfaat Tomat
Tomat (Solanum lycopersicum L) merupakan salah satu tanaman yang
sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia. Namun pemanfaatannya hanya
sebatas sebagai lalap dan bahan tambahan dalam masakan. Kandungan
senyawa dalam buah tomat di antaranya solanin (0,007 %), saponin, asam
folat, asam malat, asam sitrat, bioflavonoid (termasuk likopen, α dan ß-
karoten), protein, lemak, vitamin, mineral dan histamin (Canene-Adam et al.,
2005).
Pada tahun 1997, telah diketahui bahwa karotenoid yang utama di
dalam tomat adalah likopen, yang mempunyai efek menurunkan risiko kanker.
Likopen merupakan salah satu kandungan kimia paling banyak dalam tomat,
dalam 100 g tomat rata-rata mengandung likopen sebanyak 3-5 mg
(Giovannucci, 1999). Dalam beberapa penelitian menyebutkan bahwa tomat
dapat bermanfaat sebagai obat diare, serangan empedu, gangguan
pencernaan serta memulihkan fungsi liver (Fuhramn, 1997).
Likopen mampu menghambat pertumbuhan kanker endometrial, kanker
payudara dan kanker paru-paru pada kultur sel dengan aktivitas yang lebih
tinggi dibandingkan dengan α dan β-karoten. Likopen ditemukan mampu
menginaktifkan hidrogen peroksida dan nitrogen peroksida (Bohm et al., 1995).
Dengan penghambatan senyawa radikal bebas tersebut maka kemungkinan
terjadinya kanker dapat diturunkan.
Likopen yang dikonsumsi dari produk tomat dapat meningkatkan kadar
karotenoid dalam darah dan mencegah kerusakan Deoxyribonucleic Acid
(DNA) limfosit dengan meningkatkan mengasisteni terhadap tekanan oksidatif,
27
dan ini berarti mengurangi risiko kanker. Likopen adalah karotenoid yang paling
banyak ditemukan dalam kelenjar prostat. Kanker lain seperti kanker payudara,
saluran pencernaan, serviks, kantong kemih, dan kulit berbanding terbalik
dengan kadar likopen dalam serum dan jaringan.
Peningkatan penggunaan tomat untuk sumber antioksidan dan aktivitas
antioksidan secara keseluruhan sangat berpotensi dan bermanfaat bagi
peningkatan kualitas kesehatan manusia di banyak negara (Hanson et al.,
2004). Likopen adalah karotenoid utama dalam buah tomat yang merupakan
antioksidan kuat dan telah memperoleh banyak perhatian, karena berhubungan
dengan diet kaya likopen dan menurunkan risiko penyakit jantung, kanker dan
penyakit di usia tua (Bramley, 2000).
Studi in vitro telah membuktikan bahwa likopen dua kali lebih poten
daripada β-karoten dan 10 kali lebih poten dibandingkan α-tokoferol atau
vitamin E dalam hal kemampuan meredam oksigen reaktif. Likopen dapat
diabsorbsi secara langsung dari jus tomat, saus tomat dan suplemen. Kadar
likopen serum terbukti meningkat secara bermakna setelah konsumsi produk-
produk tomat dan suplemen, disertai penurunan biomarker oksidasi termasuk
oksidasi lipidserum, kolesterol LDL, protein serum dan DNA (Rao et al., 2003).
Likopen dalam tomat dapat melawan kanker dan telah terbukti sangat efektif
dalam memerangi kanker prostat, kanker serviks, kanker lambung dan rektum
serta kanker faring dan esofagus. Menurut penelitian yang diterbitkan oleh
Harvard School of Public Health, tomat juga melindungi terhadap kanker
payudara dan kanker mulut (Anonim, 2011).
28
Satu buah tomat dapat menyediakan sekitar 40% dari persyaratan
kebutuhan harian vitamin C. Vitamin C adalah antioksidan alami yang bertindak
sebagai penangkap radikal bebas dalam melawan penyebab kanker. Beberapa
vitamin dan mineral juga berlimpah dalam tomat seperti vitamin A, kalium serta
besi. Kalium memainkan peran penting dalam menjaga kesehatan saraf dan
zat besi sangat penting untuk menjaga tekanan normal darah. Vitamin K
penting dalam pembekuan darah dan kontrol perdarahan.
Dua komponen asam pada tomat yaitu asam kumarat dan asam
klorogenat, asam ini dapat melawan nitrosamine suatu karsinogen yang
diproduksi oleh asap rokok dan ditemukan terbawa masuk ke dalam tubuh.
Vitamin A, terdapat dalam tomat dan dapat membantu dalam
meningkatkan penglihatan, mencegah kebutaan malam dan degenerasi
makula.Tomat menjaga sistem pencernaan yang sehat dengan mencegah baik
sembelit maupun diare. Tomat juga mencegah penyakit kuning dan efektif
menghilangkan racun dari tubuh. Menkonsumsi tomat mengurangi risiko
terkena hipertensi. Sebuah studi yang dilakukan oleh Journal of American
Medical Association menunjukkan bahwa mengkonsumsi tomat dapat
mengurangi stres oksidatif pada penderita diabetes tipe 2. Tomat membantu
dalam menjaga kesehatan gigi, tulang, rambut dan kulit. Mengkonsumsi tomat
secara rutin juga melindungi kulit terhadap UV-induced erythema. Tomat
adalah produk yang memiliki peringkat tinggi dalam anti-penuaan dini. Asupan
Tomat juga mengurangi infeksi saluran kemih serta kanker kandung kemih.
Menkonsumsi tomat secara rutin juga bisa melarutkan batu empedu (Anonim,
2011).
29
F. Kandungan Bioaktif Penting Pada Tomat
Komposisi zat gizi yang terkandung di buah tomat cukup lengkap.
Vitamin A dan C merupakan zat gizi yang jumlahnya cukup dominan dalam
buah tomat (Tonucci et al, 1995). Kandungan senyawa dalam buah tomat
diantaranya solanin (0,007 %), saponin, asam folat, asam malat, asam sitrat,
bioflavonoid (termasuk likopen, α dan ß-karoten), protein, lemak, vitamin,
mineral dan histamin (Canene-Adam et al., 2005).
1. Vitamin C Tomat
Vitamin C disebut juga asam askorbat, merupakan vitamin yang paling
sederhana, mudah berubah akibat oksidasi, dan amat berguna bagi
manusia.Vitamin ini merupakan fresh food vitamin karena sumber utamanya
adalah buah-buahan dan sayuran segar. Berbagai sumber vitamin ini adalah
jeruk, brokoli, brussel sprout, kubis, lobak dan stroberi (Linder, l992).
Gambar 3. Struktur Molekul Asam Askorbat (Buettner dan Fraye, 1993)
Vitamin C adalah mikronutrien yang paling banyak terkandung dalam
buah dan sayuan. Vitamin C terdiri dari 2 bentuk yaitu asam askorbat (AA, 2-
oxo-l-treo-hexono-1,4, lakton-2,3 enediol) dan asam dehidroaskorbat (DHAA,
treo-2, 3-hexodiulosonic asam γ-lakton) (Serpen et al., 2007).
30
Sejak ditemukan, banyak nama telah diberikan pada vitamin C. Nama-
nama tersebut dapat digolongkan menjadi nama umum, nama trivial, dan nama
kimia. Beberapa nama untuk vitamin C adalah vitamin C, asam askorbat, dan
asam ceritamat (ceritamic acid), asam heksuronat (hexuronic acid), anti-
scorbutin, dan L-asam askorbat.
Asam askorbat (vitamin C) adalah turunan heksosa dan diklasifikasikan
sebagai karbohidrat yang erat kaitannya dengan monosakarida. Vitamin C
dapat disintesis dari D-glukosa dan D-galaktosa dalam tumbuh-tumbuhan dan
sebagian besar hewan. Vitamin C terdapat dalam dua bentuk di alam, yaitu L-
asam askorbat (bentuk tereduksi) dan L-asam dehidro askorbat (bentuk
teroksidasi). Oksidasi bolak-balik L-asam askorbat menjadi L-asam dehidro
askorbat terjadi apabila bersentuhan dengan tembaga, panas, atau alkali
(Akhilender, 2003). Asam askorbat dapat dioksidasi secara in vivo oleh dua
elektron bebas dan menghasilkan L-askorbil radikal. L-askorbil radikal ini dapat
kembali menjadi asam askorbat bila mengalami reduksi, tetapi bila teroksidasi
lagi akan membentuk asam L-dehidroaskorbat, yang tidak dapat kembali ke
bentuk awal. Selanjutnya hidrolisis dehidroaskorbat menghasilkan asam 2,3-
diketo L-gulonat. Asam gulonat ini dapat mengalami dekarboksilasi
menghasilkan CO2 dan fragmen 5C (seperti xilosa dan asam xilonat) dan
mengalami oksidasi menghasilkan asam oksalat dan fragmen 4C (asam
threonat). Asam askorbat dapat dihasilkan kembali dari bentuk dehidroaskorbat
dengan bantuan enzim dehidroaskorbat reduktase (Combs, 1992).
Asam askorbat bersifat sangat sensitif terhadap pengaruh-pengaruh luar
yang menyebabkan kerusakan seperti suhu, konsentrasi gula dan garam, pH,
31
oksigen, enzim, katalisator logam, konsentrasi awal baik dalam larutan maupun
sistem model, dan rasio antara asam askorbat dan dehidro asam askorbat.
Asam askorbat sangat mudah teroksidasi menjadi asam L-
dehidroaskorbat. Asam askorbat dan asam L-dehidroaskorbat masih
mempunyai keaktifan sebagai vitamin C. Namun asam L-dehidroaskorbat
bersifat sangat labil dan dapat mengalami perubahan menjadi L-diketogulonat.
Bentuk L-diketogulonat sudah tidak lagi memiliki keaktifan sebagai vitamin C.
Gambar 4. Reaksi Asam Askorbat Menjadi Asam Dehidroaskorbat dan Asam
Diketogulonat (Prawirokusumo, 1991).
Asam askorbat, adalah agen pereduksi, yang diperlukan untuk
mempertahankan enzim hidroksilase prolil dalam bentuk aktif, serta sangat
diperlukan untuk menjaga penurunan zat besi. Hidroksilasi prolin dan lisin
dalam prokolagen dilakukan oleh enzim hidroksilase prolil menggunakan asam
askorbat sebagai kofaktor. Asam askorbat merupakan antioksidan kuat karena
dapat menyumbangkan atom hidrogen dan membentuk askorbil yang relatif
32
stabil. Asam askorbat juga bersifat sebagai pemulung bagi oksigen reaktif dan
nitrogen oksida. Asam askorbat telah terbukti efektif melawan ion radikal
superoksida, hidrogen peroksida, oksigen radikal dan senyawa hidroksil
(Weber et. al., 1996). Asam askorbat melindungi reduktase asam folat, yang
mengubah asam folat menjadi asam folinat, dan dapat membantu melepaskan
asam folat bebas dari konyugat makanan. Asam askorbat juga memfasilitasi
penyerapan zat besi.
Asam askorbat terdapat di semua jaringan tanaman, biasanya menjadi
lebih tinggi dalam sel-sel fotosintetik dan meristem dan beberapa buah-
buahan. Konsentrasi dilaporkan tertinggi di daun dewasa dengan kloroplas
berkembang sepenuhnya. Asam askorbat sebagian besar tetap tersedia dalam
bentuk yang lebih sedikit pada daun dan kloroplas kondisi fisiologis normal.
Sekitar 30-40% total asam askorbat (sebagai askorbat) adalah dalam kloroplas
dan stromal dengan konsentrasi setinggi 50 mM. (Mazid et al., 2011)
Bagi tumbuhan sendiri fungsi vitamin C belum diketahui. Tetapi dari
beberapa vitamin dapat diketahui dari kepentingannya dalam membantu
aktivitas berbagai enzim, misalnya banyak vitamin B-kompleks merupakan
koenzim beberapa enzim tertentu yang terdapat dalam sel hidup. Vitamin C
pada tumbuhan merupakan metabolit sekunder, karena terbentuk dari glukosa
melalui jalur asam D-glukoronat dan L-gulonat. Pada manusia, binatang
menyusui tingkat tinggi, dan marmot, biosintesis ini tidak terjadi, karena adanya
hambatan biosintetik yang sifatnya genetik antara L-golonolakton dan 2 keto-L-
gulonolakton sehingga untuk spesies tersebut vitamin C merupakan faktor
penting dalam makanan (Manito, l981).
33
Oksigen, suhu, sinar, katalis logam, pH dengan adanya asam askorbat
oksidase dalam sistem biologis dapat berinteraksi untuk menghasilkan
serangkaian interaksi yang kompleks yang berpengaruh pada stabilitas
oksidatif. Pembentukan warna coklat juga disebabkan oleh karena banyaknya
gugus karbonil pada asam L-askorbat yang bersifat reaktif sehingga dapat
terbentuk secara kompleks antara karbonil yang satu dengan asam 2,3-
diketogulonat, selain dapat pula bergabung dengan amino acid membentuk
pigmen berwarna coklat (Clegg, 1966).
Menurut Afrianti (2013) penggunaan suhu tinggi sudah diterapkan dalam
metode pengawetan makanan misalnya memasak, membakar, mengukus,
menggoreng, dan cara-cara lain yang menggunakan suhu panas. Suhu panas
digunakan dengan tujuan tertentu yaitu makanan menjadi lebih lunak, lebih
enak dan dengan adanya panas maka akan terjadi penonaktifan enzim-enzim
dan mematikan mikroba. Perlakuan pemanasan juga menimbulkan perubahan
pada tekstur, warna (pigmen alami, pembentukan pigmen akibat pencoklatan
enzimatis dan non enzimatis), cita rasa dan nilai gizi. Pemanasan
menyebabkan hilangnya vitamin C, vitamin yang larut dalam lemak yang
mempengaruhi nilai cerna protein dan zat pati. Vitamin C dalam bentuk asam
askorbat maupun asam dehidroaskorbat merupakan salah satu faktor ukuran
mutu bagi berbagai produk hortikultura dan mempengaruhi berbagai aktivitas
biologis pada tubuh manusia (Lee et al., 2000).
Pada proses pengolahan dan penyimpanan buah nanas terjadi
pengurangan kandungan vitamin C dalam buah. Vitamin C juga berkurang
dengan perlakuan pengolahan yang berbeda, contohnya pemasakan terlalu
34
lama dapat menyebabkan kehilangan vitamin C oleh karena adanya oksidasi
pada sumber asam askorbat (Passmore dan Eastwood, 1986).
Pada proses exhausting adanya panas dapat menyebabkan
peningkatan laju reaksi kimia sehingga dapat meningkatkan oksidasi vitamin C.
Proses ini menyebabkan kehilangan vitamin C yang paling tinggi karena jus
nanas kontak langsung dengan udara panas sehingga ada oksigen dan panas
memiliki efek merusak pada asam askorbat (Uckiah et al., 2009). Selain hal
diatas, selama proses penyimpanan juga terjadi degradasi vitamin C pada jus
nanas. Oksigen yang masih tersisa pada headspace botol dapat menyebabkan
terjadinya oksidasi vitamin C sehingga vitamin C yang terkandung dalam jus
menjadi menurun.
Vitamin C atau asam askorbat adalah komponen berharga dalam
makanan karena berguna sebagai antioksidan dan mengandung khasiat
pengobatan (Goodman,1995). Vitamin C mudah diabsorpsi secara aktif, tubuh
dapat menyimpan hingga 1500 mg vitamin C bila di konsumsi mencapai 100
mg sehari. Jumlah ini dapat mencegah terjadinya skorbut selama tiga bulan.
Tanda-tanda skorbut akan terjadi bila persediaan di dalam tubuh tinggal 300
mg. Konsumsi melebihi taraf kejenuhan akan dikeluarkan melalui urin
(Almatsier, 2001).
2. Karotenoid (Likopen) Tomat
Tanaman tomat merupakan salah satu sumber penghasil antioksidan,
sebagai metabolit sekunder yang dihasilkan oleh tanaman tomat untuk
melawan radikal bebas. Produksi metabolit sekunder ini dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan tempat tumbuh tanaman tersebut (Hanson et al., 2004).
35
Aktivitas antioksidan dalam tanaman tomat antara lain disebabkan oleh
likopen, β-karoten dan vitamin C yang terdapat pada tomat.
Pada tomat yang masih segar jumlah likopen sebesar 3,1-7,7 mg/100g.
Selain memberikan warna merah pada buah tomat, likopen terbukti berfungsi
sebagai antioksidan. Komponen tersebut menjadikan tomat bahan pangan
yang bergizi dan bersifat fungsional.
Gambar 5. Struktur Likopen (Sharma dan Le Maguer, 1996).
Likopen merupakan pigmen alami yang disintesis oleh tanaman dan
mikroorganisme, yang merupakan senyawa karotenoid, berbentuk isomer
asiklik dari β-karoten dan tidak memiliki aktivitas sebagai vitamin A (Rao dan
Agarwal, 1999). Likopen mempunyai rumus molekul C40H56 dengan berat
molekul 536,85 Da dan titik cair 172°C-175°C. Struktur kimia likopen
merupakan rantai tak jenuh dengan rantai lurus hidrokarbon terdiri dari tiga
belas ikatan rangkap, dua belas diantaranya ikatan rangkap terkonjugasi,
sementara dua ikatan rangkap sisanya tidak terkonjugasi (Agarwal dan Rao,
2000a).
Sifat kimia likopen lainnya adalah bentuk kristalnya yang seperti jarum,
panjang, dalam bentuk tepung berwarna kecoklatan. Likopen bersifat hidrofobik
kuat dan lebih mudah larut dalam kloroform, benzena, heksana, dan pelarut
organik lainnya. Degradasi likopen dapat melalui proses isomerisasi dan
36
oksidasi karena cahaya, oksigen, suhu tinggi, teknik pengeringan, proses
pengelupasan, penyimpanan dan asam.
Likopen terdapat melimpah pada buah tomat, dimana tomat itu sendiri
merupakan salah satu pangan yang sering dikonsumsi dan dapat
menghasilkan berbagai macam hasil olahan produk makanan. Likopen tidak
mengalami kerusakan akibat pemanasan, bahkan pemanasan akan
meningkatkan bioavailabilitas likopen, sehingga dapat diabsorpsi dengan baik
oleh tubuh (Rao dan Agarwal, 2002).
Likopen secara alami dalam tumbuhan berada dalam bentuk konfigurasi
trans yang secara thermodinamik adalah bentuk yang lebih stabil (Nguyen dan
Schwartz, 1999). Akan tetapi dalam plasma manusia likopen berada dalam
bentuk campuran isometrik dan 50% dari totalnya terdiri dari isomer cis.
Bentuk-bentuk isomer likopen yang sering teridentifikasi adalah all-trans, 5-cis,
9-cis, 13-cis, dan 15-cis. Isomer yang paling stabil yang sering dijumpai adalah
13-cis-likopen. Secara umum isomer cis bersifat lebih polar, mempunyai
kecenderungan yang lebih rendah untuk menjadi kristal, lebih larut dalam
minyak dan pelarut hidrokarbon, lebih mudah bergabung dengan lipoprotein
maupun struktur lipid selluler, lebih mudah masuk ke dalam sel serta bersifat
kurang stabil dibanding isomer trans (Clinton, 1998).
Kandungan likopen dalam tomat sangat dipengaruhi oleh proses
pematangan dan perbedaan varietas. Semakin merah warnanya, maka
kandungan likopen semakin tinggi (Davies, 2000). Kandungan likopen
beberapa buah sayur tertera pada Tabel 3.
37
Tomat memiliki kandungan likopen yang paling tinggi dibandingkan
dengan sayur atau buah-buahan lainnya. Bioavailabilitas likopen pada tomat
meningkat apabila dilakukan pengolahan pada tomat mentah (Agarwal dan
Rao, 2000a; Pohar et al., 2003).
Tabel 3. Kandungan Likopen pada Berbagai Buah dan Sayuran Jenis Makanan Kandungan Likopen (mg/100g)
Hasil pengolahan tomat Tomat mentah Tomat yang dimasak Saus Tomat Pasta Tomat Sup Tomat Jus Tomat Buah dan sayur lain Aprikot Semangka Pepaya segar Anggur Jambu biji Jus sayuran
Hasil pengolahan tomat
0,9-4,2 3,7-4.4
7,3-18.0 5,4-55.5 8,0-10,9 5,0-11,6
0,005
2,3-7,2 2,0-5,3 0,2-3,4 5,3-5,5 7,3-9.7
(Sumber; Pohar et al., 2003).
Kandungan likopen olahan buah tomat cenderung lebih besar daripada
kandungan likopen tomat segar. Buah tomat segar memiliki kandungan likopen
sekitar 12mg/100g. Pada produk olahan tomat, kandungan likopen cenderung
lebih besar seperti pada pasta tomat yakni sekitar 16mg/100g, saus tomat
17mg/100g dan saus spageti sekitar 16mg/100g (Alda et al., 2009). Studi lain
menyatakan bahwa bioavaibilitas likopen dipengaruhi dosis konsumsi dan
adanya karotenoid lain seperti misalnya β-karoten (Johnson et al.,1997).
3. Fenol dan Flavonoid
Fenol adalah senyawa dengan suatu gugus OH yang terikat pada cincin
aromatik (Fessenden dan Fessenden, 1986). Fenol merupakan metabolit
sekunder yang tersebar dalam tumbuhan. Senyawa fenolat dalam tumbuhan
38
dapat berupa fenol sederhana, antraquinon, asam fenolat, kumarin, flavonoid,
lignin dan tanin (Harborne, 1987). Senyawaan fenol biasanya terdapat dalam
berbagai jenis sayuran, buah-buahan dan tanaman. Turunan senyawaan fenol
merupakan metabolit sekunder terbesar yang diproduksi oleh tanaman.
Senyawaan ini diproduksi dalam tanaman melalui jalur sikimat dan
metabolisme fenil propanoat. Senyawa asam fenolat mempunyai peranan yang
penting pada tumbuhan yaitu sebagai bahan pendukung dinding sel (Wallace
dan Fry, 1994). Asam fenolat membentuk bagian integral pada struktur dinding
sel, umumnya dalam bentuk bahan polimer seperti lignin, membantu proses
mekanik, dan halangan bagi invasi mikroba. Lignin merupakan senyawa
organik yang paling banyak di bumi setelah selulosa (Wallace dan Fry, 1994).
Turunan asam fenolat terdiri dari dua jenis yaitu asam hidroksibenzoat dan
asam hidroksinamat. Perbedaan kedua turunan dari senyawa asam fenolat ini
terletak pada pola hidroksilasi dan metoksilasi cincin aromatiknya
Senyawa fenolik telah diketahui memiliki berbagai efek biologis seperti
aktivitas antioksidan melalui mekanisme sebagai pereduksi, penangkap radikal
bebas, pengkelat logam, peredam terbentuknya oksigen singlet serta pendonor
elektron (Karadeniz et al., 2005). Salah satu antioksidan alami yaitu asam galat
(Asam 3, 4, 5-trihidroksibensoat). Asam galat termasuk dalam senyawa fenolik
dan memiliki aktivitas antioksidan yang kuat (Lee et al., 2003).
Senyawaan fenol dapat memiliki aktivitas antioksidan, antitumor,
antiviral, dan antibiotik (Apak et al. 2007). Diantara senyawaan fenol alami
yang telah diketahui lebih dari seribu stuktur, flavonoid merupakan golongan
terbesar (Subeki, 1998).
39
Flavonoid adalah sekelompok besar senyawa polifenol tanaman
yang tersebar luas dalam berbagai bahan makanan dan dalam berbagai
konsentrasi. Komponen tersebut pada umumnya terdapat dalam keadaan
terikat atau terkonjugasi dengan senyawa gula. Lebih dari 4000 jenis flavonoid
telah diidentifikasi dan beberapa di antaranya berperan dalam pewarnaan
bunga, buah, dan daun (de Groot dan Rauen, 1998).
Gambar 6. Stuktur Dasar Flavonoid (Hoffmann, 2003)
Dalam tumbuhan, aglikon flavonoid (yaitu flavonoid tanpa gula terikat)
terdapat dalam berbagai bentuk struktur. Semua flavonoid mengandung 15
atom karbon dalam inti dasar yang tersusun dalam konfigurasi C6-C3-C6, yaitu
dua cincin aromatik (dua buah cincin benzena) yang dihubungkan dengan tiga
karbon yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga.
Gambar 7. Pengelompokan Flavonoid (Murphy et al., 2003).
40
Flavonoid terbagi menjadi 7 kelompok, yaitu flavonon, antosianin,
flavonol, proantosianin, flavanol, isoflavon dan flavon. Flavonoid memiliki
aktivitas antioksidan di dalam tubuh sehingga disebut bioflavonoid.
Beberapa flavonoid merupakan bentuk aglikon dari glikosida. Kuersetin
merupakan aglikon dari glikosida rutin serta flavonoid naringenin merupakan
aglikon dari glikosida naringin (Dewick, 2002). Kuersetin sendiri sebagai salah
satu flavonoid yang banyak ditemukan pada sayuran dan buah-buahan,
biasanya dalam bentuk glikosidanya. Sedangkan dalam bentuk bebasnya,
kuersetin paling umum ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi, seperti pada
Asteraceae, Passifloraceae, Rhamnaceae, dan tanaman Solanaceae
(Hoffmann, 2003). Dalam buah apel dan famili bawang-bawangan, kuersetin
banyak ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi.
Tomat mengandung senyawa-senyawa fenolat seperti: kuersetin,
naringenin, rutin dan asam klorogenat. Senyawa-senyawa fenolat, dapat
menangkap radikal-radikal peroksida dan dapat mengkhelat logam besi yang
mengkatalisa peroksida lemak (Velioglo, 1998).
Gambar 8. Struktur Kimia Kuersetin (Hoffmann, 2003)
41
Kuersetin (Quercetin) adalah salah satu zat aktif kelas flavonoid yang
secara biologis amat kuat. Bila vitamin C mempunai aktivitas antioksidan 1,
maka kuersetin memiliki aktivitas antioksidan 4,7. Nama lain kuersetin adalah
3,5,7,3’,4’-pentahidroksiflavon (IUPAC) dengan rumus formula C15H10O7 dan
bobot molekul 302.2.
Banyak khasiat yang dimiliki oleh kuersetin, antara lain memiliki aktivitas
biologi yaitu kemampuan kuersetin sebagai anti tumor dan mempunyai efek
anti proliferasi yang luas pada sel kanker manusia, mampu menghambat
glikolisis, sintesis makromolekul (Bonavida, 2008) dan juga kuersetin memiliki
aktivitas antivirus yang dapat melawan virus dari herpes simplex type 1,
parainfluenza tipe 3, polio virus tipe 1 (Hoffmann, 2003). Selain itu kuersetin
dapat mempengaruhi sistem enzim, antara lain enzim Lipoxygenase, Aldose
reductase, Hyaluronidase, dan lain sebagainya (Hoffmann, 2003). Dalam skala
industri kuersetin banyak digunakan dalam industri suplemen dan banyak
dipromosikan sebagai anti inflamasi dan antioksidan alami (Hoffmann, 2003).
G. Radikal Bebas
Definisi Radikal bebas (radicalis) adalah molekul yang mempunyai
sekelompok atom dengan elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas
adalah bentuk radikal yang sangat reaktif dan mempunyai waktu paruh yang
sangat pendek. Jika radikal bebas tidak diinaktivasi, reaktivitasnya dapat
merusak seluruh tipe makromolekul seluler, termasuk karbohidrat, protein, lipid
dan asam nukleat (Dawn, dkk., 2000).
42
Radikal bebas adalah suatu molekul atau atom yang mempunyai 1 atau
lebih elektron tidak berpasangan. Radikal ini dapat berasal dari atom hidrogen,
molekul oksigen, atau ion logam transisi. Senyawa radikal bebas sangat reaktif
dan selalu berusaha mencari pasangan elektron agar kondisinya stabil (Subeki,
1998).
Mekanisme kerja terbentuknya radikal bebas dapat dimulai oleh banyak
hal, baik yang bersifat endogen maupun eksogen. Reaksi selanjutnya adalah
peroksidasi lipid membran dan sitosol yang mengakibatkan terjadinya
serangkaian reduksi asam lemak sehingga terjadi kerusakan membran dan
organel sel (Dawn, dkk., 2000).
Pada lemak, peroksidasi (otooksidasi) lipid bertanggung jawab tidak
hanya pada kerusakan makanan, tapi juga menyebabkan kerusakan jaringan in
vivo karena dapat menyebabkan penyakit kanker, inflamasi, aterosklerosis, dan
penuaan. Efek merusak tersebut akibat produksi radikal bebas (ROO•, RO•,
OH•) pada proses pembentukan peroksida dari asam lemak. Peroksidasi lipid
merupakan reaksi berantai yang memberikan pasokan radikal bebas secara
terus-menerus yang menginisiasi peroksidasi lebih lanjut. Proses secara
keseluruhan dapat digambarkan sebagai berikut (Anonim, 2009).
Peroksida adalah suatu gugus fungsional dari sebuah molekul organik
yang mengandung ikatan tunggal oksigen-oksigen (R-O-O-R'). Jika salah satu
dari R atau R' merupakan atom hidrogen, maka senyawa itu disebut
hidroperoksida (R-O-O-H) (Esti, 2002).
43
Gambar 9. Tahapan Reaksi Berantai Radikal Bebas (Anonim, 2009)
Prekursor molekuler dari proses inisiasi adalah produk hidroksiperoksida
(ROOH), maka peroksidasi lipid merupakan reaksi berantai yang sangat
berpotensi memiliki efek menghancurkan. Untuk mengontrol dan mengurangi
peroksidasi lipid, digunakan senyawa yang bersifat antioksidan (Anonim,
2009).
Radikal bebas dapat dibentuk dari dalam sel oleh absorpsi tenaga
radiasi (misalnya sinar ultra violet, sinar X) atau dalam reaksi reduksi oksidasi
yang selama proses fisiologi normal atau mungkin berasal dari metabolisme
enzimatik bahan-bahan kimia eksogen. Energi radiasi dapat melisis H2O (air)
dan melepaskan radikal seperti ion hidroksil OH– dan H+. Radikal bebas lain
ialah superoksida yang berasal dari reduksi molekul oksigen. Oksigen secara
normal direduksi menjadi air, tetapi pada beberapa reaksi terutama yang
menyangkut xantin oksidase, O2- dapat terbentuk (Dawn, et al., 2000).
44
Tubuh manusia mempunyai beberapa mekanisme untuk bertahan
terhadap radikal bebas. Pertahanan yang bervariasi saling melengkapi satu
dengan yang lain karena bekerja pada oksidan yang berbeda atau dalam
bagian seluler yang berbeda. Suatu garis pertahanan yang penting adalah
sistem enzim yang bersifat protektif atas radikal bebas seperti superoksida
dismutase R (SOD), katalase, glutation sintetase, glukosa-6-fosfat
dehidrogenase dan glutasion peroksidase (Dawn, et al., 2000).
Dengan demikian secara umum dapat disimpulkan tahapan reaksi jejas
sel oleh radikal bebas adalah inisiasi (permulaan terbentuknya radikal bebas),
propagasi (serangkaian reaksi yang berkembang atas timbulnya radikal bebas-
transfer atau penambahan atom, dan terminasi (inaktivasi radikal bebas oleh
antioksidan endogen atau eksogen maupun enzim superoksida dismutase )
(Dawn, at al., 2000).
Radikal dapat terbentuk secara endogen dan eksogen. Radikal endogen
terbentuk dalam tubuh melalui proses metabolisme normal di dalam tubuh.
Sementara radikal eksogen berasal dari bahan pencemar yang masuk ke
dalam tubuh melalui pernafasan, pencernaan, dan penyerapan kulit (Miller,
1996). Radikal bebas dalam jumlah normal bermanfaat bagi kesehatan
misalnya, memerangi peradangan, membunuh bakteri, dan mengendalikan
tonus otot polos, pembuluh darah, serta organ-organ dalam tubuh (Yuwono,
2009). Sementara dalam jumlah berlebih mengakibatkan stress oksidatif.
Keadaan tersebut dapat menyebabkan kerusakan oksidatif mulai dari tingkat
sel, jaringan, hingga ke organ tubuh yang mempercepat terjadinya proses
penuaan dan munculnya penyakit (Yuwono, 2009). Oleh karena itu,
45
antioksidan dibutuhkan untuk dapat menunda atau menghambat reaksi
oksidasi oleh radikal bebas.
H. Antioksidan
Antioksidan adalah substansi yang diperlukan tubuh untuk menetralisir
radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas
terhadap sel normal, protein, dan lemak. Antioksidan menstabilkan radikal
bebas dengan melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas dan
menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas yang
dapat menimbulkan stress oksidatif (Robert, 2003).
Senyawa kimia dan reaksi yang dapat menghasilkan spesies oksigen
yang potensial bersifat toksik dapat dinamakan pro-oksidan. Sebaliknya,
senyawa dan reaksi yang mengeluarkan spesies oksigen tersebut, menekan
pembentukannya atau melawan kerjanya disebut antioksidan. Dalam sebuah
sel normal terdapat keseimbangan oksidan dan antioksidan yang tepat.
Meskipun demikian, keseimbangan ini dapat bergeser ke arah pro-oksidan
ketika produksi spesies oksigen tersebut sangat meningkat atau ketika kadar
antioksidan menurun. Keadaan ini dinamakan ”stress oksidatif” dan dapat
mengakibatkan kerusakan sel yang berat jika stress tersebut masif atau
berlangsung lama (Tuminah, 2007).
Enzim yang bersifat antioksidan mengeluarkan atau menyingkirkan
superoksidan dan hidrogen peroksida. Vitamin E, vitamin C, dan mungkin
karoteinoid, biasanya disebut sebagai vitamin antioksidan, dapat menghentikan
reaksi berantai radikal bebas (Tuminah, 2007).
46
Antioksidan memiliki dua fungsi. Fungsi pertama merupakan fungsi
utama yaitu sebagai pemberi atom hidrogen. Antioksidan (AH) yang
mempunyai fungsi utama tersebut sering disebut sebagai antioksidan primer.
Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen secara cepat ke radikal lipid (R•,
ROO•) atau mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara turunan radikal
antioksidan (A•) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal lipid
(Gordon, 1990).Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder antioksidan, yaitu
memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme di luar
mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal lipid ke
bentuk lebih stabil (Gerster, 1997).
Gambar 10. Reaksi Penghambatan Antioksidan Primer terhadap Radikal Lipid (Gerster, 1997).
Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah pada
lipid dapat menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi lemak dan
minyak. Penambahan tersebut dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tahap
inisiasi maupun propagasi. Radikal-radikal antioksidan (A•) yang terbentuk
pada reaksi tersebut relatif stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk
dapat bereaksi dengan molekul lipid lain membentuk radikal lipid baru (Gerster,
1997).
47
Besar konsentrasi antioksidan yang ditambahkan berpengaruh pada laju
oksidasi. Pada konsentrasi tinggi, aktivitas antioksidan grup fenolik sering
lenyap bahkan antioksidan tersebut menjadi prooksidan. Pengaruh jumlah
konsentrasi pada laju oksidasi tergantung pada struktur antioksidan, kondisi
dan sampel yang akan diuji (Gordon, 1990). Antioksidan bertindak sebagai
prooksidan pada konsentrasi tinggi seperti Gambar 11 (Gerster, 1997).
Gambar 11. Reaksi Antioksidan (Prooksidan) pada Konsentrasi Tinggi (Gerster, 1997).
Jenis-jenis antioksidan dapat dikelompokkan berdasarkan: sumber,
cara kerja dan fungsi antioksidan. Berdasarkan sumber atau keberadaannya,
terdapat tiga macam antioksidan yaitu: 1). Antioksidan yang dibuat oleh tubuh
kita sendiri yang berupa enzim antara lain superoksida dismutase, glutation
peroksidase, peroksidase dan katalase. 2). Antioksidan alami yang dapat
diperoleh dari tanaman atau hewan yaitu tokoferol, vitamin C, betakaroten,
flavonoid dan senyawa fenolik. 3). Antioksidan sintetik, yang dibuat dari bahan-
bahan kimia yaitu Butylated Hidroxyanisole (BHA), Butylated Hidroxy Toluen
(BHT), Tersier Butyl Hidro Quinon (TBHQ), Propyl Gallate (PG) dan
Nordihidroquairetic Acid (NDGA) yang ditambahkan dalam makanan untuk
mencegah kerusakan lemak.
a. Antioksidan Alami.
Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari (a) senyawa
antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan, (b)
AH + O2 Aº + HOO·
AH + ROOH ROº + H2O + A· ….(8)
48
senyawa antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses
pengolahan, (c) senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan
ditambahkan ke makanan sebagai bahan tambahan pangan. Senyawa
antioksidan alami tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik
yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin,
tokoferol dan asam-asam organik polifungsional. Golongan flavonoid yang
memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, kateksin,
flavonol dan kalkon. Sementara turunan asam sinamat meliputi asam kafeat,
asam ferulat, asam klorogenat, dan lain-lain.
b. Antioksidan Sintetik
Beberapa contoh antioksidan sintetik yang diijinkan penggunaanya
untuk makanan dan penggunaannya telah sering digunakan, yaitu butil hidroksi
anisol (BHA), butil hidroksi toluen (BHT), propil galat, tert-butil hidro quinon
(TBHQ) dan tokoferol. Antioksidan-antioksidan tersebut merupakan antioksidan
alami yang telah diproduksi secara sintetis untuk tujuan komersial.
Berdasarkan mekanisme kerjanya antioksidan dibedakan atas tiga
golongan, yaitu:
a. Antioksidan Primer.
Antioksidan golongan ini bekerja dengan cara mencegah terbentuknya
radikal bebas yang baru dan merubah radikal bebas yang ada menjadi molekul
yang tidak berbahaya. Antioksidan primer disebut juga antioksidan enzimatis
atau endogen. Yang ternasuk golongan ini adalah enzim superoksidase
dismutase (SOD) yang merubah anion superoksida (O2-) menjadi hidrogen
49
peroksida; glutation peroksidase (GPx) yang mengubah hidrogen peroksida
dan lipid peroksida menjadi molekul yang kurang berbahaya sebelum terbentuk
radikal bebas; serta protein pengikat metal seperti feritin dan ceruloplasmin
yang mencegah terbentuknya ion ferro (Fe2+) yang dapat membentuk radikal
hidroksil (Dalimartha,1999). Enzim ini sangat penting sekali karena dapat
melindungi hancurnya sel-sel dalam tubuh akibat serangan radikal bebas.
Bekerjanya enzim ini sangat dipengaruhi oleh mineral-mineral seperti mangan,
seng, tembaga dan selenium yang harus terdapat dalam makanan dan
minuman.
b. Antioksidan sekunder
Antioksidan sekunder merupakan senyawa yang berfungsi menangkap
radikal bebas serta mencegah terjadinya reaksi berantai sehingga tidak terjadi
keursakan yang lebih besar. Golongan ini termasuk antioksidan ekstraseluler
atau non enzimatis yang kebanyakan berasal dari makanan, seperti vitamin E,
vitamin C, dan betakaroten yang dapat diperoleh dari buah-buahan, serta asam
urat, bilirubin, dan albumin.
c. Antioksidan tersier
Antioksidan tersier merupakan senyawa yang memperbaiki sel-sel dan
jaringan yang rusak karena serangan radikal bebas. Antioksidan golongan ini
berguna untuk memperbaiki kerusakan biomolekuler yang disebabkan oleh
radikal bebas.Biasanya yang termasuk kelompok ini adalah jenis enzim
misalnya metionin sulfoksidan reduktase yang dapat memperbaiki DNA dalam
50
inti sel. Enzim tersebut bermanfaat untuk perbaikan DNA pada penderita
kanker (Dalimartha, 1999).
Berdasarkan sumbernya, antioksidan juga dapat dibedakan menjadi
antioksidan endogen dan eksogen. Antioksidan endogen terdapat secara
alamiah dari dalam tubuh sedangkan antiosidan eksogen dari luar tubuh
Percival (1998). Antioksidan yang berasal dari makanan disebut antioksidan
eksogen (Hamid et al., 2010). Antioksidan eksogen sendiri dibedakan menjadi
antioksidan alami dan sintetik (Miller, 1996).
I. Teknologi Pengolahan Yang Diterapkan Di Industri
Proses termal (thermal process) termasuk ke dalam proses pengawetan
yang menggunakan energi panas. Tujuan utama proses termal adalah
mematikan mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit dan
menimbulkan kebusukan pada produk yang dikemas dengan kemasan yang
hermetis, seperti kaleng, retort pouch, atau gelas jar. Proses termal merupakan
salah satu proses penting dalam pengawetan pangan untuk mendapatkan
produk dengan umur simpan yang panjang.
Pengolahan dengan suhu tinggi juga mempengaruhi mutu produk,
seperti memperbaiki mutu sensori, melunakkan produk sehingga mudah
dikonsumsi, dan menghancurkan komponen-komponen yang tidak diperlukan
(seperti komponen tripsin inhibitor dalam biji-bijian). Namun demikian, bila
proses pemanasan dilakukan secara berlebihan, maka dapat menyebabkan
kerusakan komponen gizi (seperti vitamin dan protein) dan penurunan mutu
sensori seperti rasa, warna, dan tekstur (Kusnandar, 2010).
51
1. Teknologi Aseptik
Pengolahan dengan suhu tinggi melibatkan proses pemanasan pada
berbagai variasi suhu dan waktu. Prosesnya sendiri dapat dilakukan dalam
sistem batch (in-container sterilization) atau dengan sistem kontinyu (aseptic
processing). Proses pengolahan dengan suhu tinggi telah diaplikasikan dalam
makanan kaleng dan dapat mempertahankan daya awet produk pangan hingga
6 bulan atau lebih (Hariyadi, 2014).
a. Penggolongan Bahan Pangan Untuk Proses Termal
Faktor jenis bahan pangan yang akan diproses sangat penting dalam
memilih dan menetapkan proses termal yang akan digunakan mengawetkan
bahan pangan. Beberapa faktor pada bahan pangan mempengaruhi
ketahanan panas dan pertumbuhan mikroba, namun faktor yang paling penting
adalah sifat keasamannya yang dinyatakan dengan pH (Muchtadi dan
Ayustingwarno, 2010).
Kenaikan keasaman atau kebasaan mempercepat pertumbuhan
mikroba, akan tetapi perubahan pH ke arah asam lebih efektif daripada
perubahan pH ke basa. Sel atau spora yang paling tahan panas pada bahan
pangan umumnya berada pada pH dekat netral (Muchtadi dan Ayustingwarno,
2010). Bahan pangan digolongkan berdasarkan tingkat dibagi menjadi bahan
pangan beresiko tinggi, sedang, dan rendah. Penggolongan bahan pangan
berdasarkan tingkat resikonya tertera pada Tabel 4.
52
Tabel 4. Penggolongan Pangan Berdasarkan Tingkat Resikonya
Resiko
Kriteria
Contoh Bahan
Pangan
Proses Termal yang
diperlukan
Resiko Tinggi
pH>4,5; Aw>0,85
susu, daging, sayuran, unggas
Sterilisasi Komersial
Resiko Sedang
pH<4,5;Aw>0,85
buah-buahan segar (nenas,
jeruk)
Pasteurisasi
pH>4,5; Aw<0,85
bahan pangan yang lebih
kering
Resiko Rendah
pH<4,5; Aw<0,85
permen asam
Pasteurisasi
Sumber: (Muchtadi dan Ayustingwarno, 2010).
Pengolahan pangan merupakan teknik pengolahan yang paling populer
diaplikasikan di industri pangan. Tujuan utama proses panas adalah
tercapainya tingkat keamanan pangan yang dikehendaki, atau sesuai dengan
standar keamanan pangan yang ada. Target tingkat keamanan pangan ini
dalam literatur modern dikenal dengan istilah “food safety objectives”
(Mursalim, 2013).
Terdapat beberapa jenis proses pemanasan yang umum diterapkan
dalam proses pengalengan pangan, seperti blansir, pasteurisasi, sterilisasi dan
hot-filling. Dari keempat proses pemanasan tersebut, blansir biasanya bagian
dari proses pengalengan sebelum dilakukan proses termal dan bertujuan
bukan untuk proses pengawetan (Kusnandar, 2010).
Proses ini mengharuskan produk steril secara komersial pada saat
pengemasan. Untuk setiap produk, proses sterilisasi komersial harus
ditentukan dan diverifikasi oleh suatu otoritas proses yang berwewenang.
53
Selain itu, paket itu sendiri harus bebas dari mikroorganisme apapun pada saat
mengisi, dan, terakhir, proses pengisian dan penyegelan harus dilakukan agar
tidak ada rekontaminasi.
Penggunaan suhu tinggi pada dengan proses yang kontinyu bisa
menghasilkan produk steril dengan pengaruh terhadap kualitas produk yang
minimal. Hal ini karena organisme pembusuk lebih sensitif terhadap
peningkatan suhu. Bahan kemasan untuk pengolahan aseptik umumnya lebih
murah daripada yang digunakan dalam operasi hot-fill tradisional. Paket
prosedur sterilisasi termasuk proses panas, bahan kimia (seperti hidrogen
peroksida), radiasi berenergi tinggi, atau kombinasi perlakuan tersebut (Gavin
dan Weddig, 1995).
b. Blansir
Blansir adalah perlakuan panas pendahuluan yang sering dilakukan
dalam proses pengalengan makanan buah dan sayuran dengan tujuan untuk
memperbaiki mutunya sebelum dikenai proses lanjutan. Dengan demikian,
proses blansir bukan ditujukan untuk proses pengawetan. Tujuan perlakuan
blansir terutama adalah untuk (i) menginaktifasi enzim, (ii) mengurangi jumlah
mikroba awal (terutama mikroba pada permukaan bahan pangan, buah dan
sayuran), (iii) melunakkan tekstur buah dan sayuran sehingga mempermudah
proses pengisian buah/sayuran dalam wadah, dan (iv) mengeluarkan udara
yang terperangkap pada jaringan buah/sayuran yang akan mengurangi
kerusakan oksidasi dan membantu proses pengalengan dengan terbentuknya
head space yang baik.
54
Buah dan sayuran segar mengandung enzim yang sering kali
mengganggu selama penyimpanan produk. Selama penyimpanan produk
buah/sayur, beberapa enzim, seperti lipoksigenase, polifenolase,
poligalakturonase dan klorofilase, akan menurunkan mutu sensori dan gizi
produk. Dengan adanya proses blansir yang dilanjutkan dengan proses
pasteurisasi/sterilisasi makanan kaleng, maka enzim pun akan inaktif dan tidak
mempengaruhi perubahan mutu produk selama penyimpanan.
Di dalam proses blansir buah dan sayuran, terdapat dua jenis enzim
yang tahan panas, yaitu enzim katalase dan peroksidase. Kedua enzim ini
memerlukan pemanasan yang lebih tinggi untuk menginaktifkannya
dibandingkan enzim-enzim lain yang tersebut di atas. Baik enzim katalase
maupun peroksidase tidak menyebabkan kerusakan pada buah dan sayuran.
Namun karena sifat ketahanan panasnya yang tinggi, enzim katalase dan
peroksidase sering digunakan sebagai enzim indikator bagi kecukupan proses
blansir. Artinya, apabila tidak ada lagi aktivitas enzim katalase atau
peroksidase pada buah dan sayuran yang telah diblansir, maka enzim-enzim
lain yang tidak diinginkan pun telah terinaktivasi dengan baik (Kusnandar,
2010).
c. Pasteurisasi
Proses pemanasan dengan pasteurisasi diberi nama dari nama ahli
mikrobiologi Perancis, yaitu Louis Pasteur. Pada awalnya proses ini
dikembangkan sebagai upaya untuk mencari metode pengawetan minuman
anggur (wine). Pasteur menunjukkan bahwa proses pembusukan pada
minuman anggur dapat dicegah jika anggur tersebut dipanaskan pada suhu
55
60ºC selama beberapa waktu. Namun demikian, dalam perkembangannya,
proses pasteurisasi lebih banyak diaplikasikan untuk proses pengolahan susu.
Secara umum proses pasteurisasi adalah suatu proses pemanasan
yang relatif cukup rendah (umumnya dilakukan pada suhu di bawah 100ºC)
dengan tujuan untuk mengurangi populasi mikroorganisme pembusuk
sehingga bahan pangan yang dipasteurisasi tersebut akan mempunyai daya
awet beberapa hari (seperti produk susu pasteurisasi) sampai beberapa bulan
(seperti produk sari buah pasteurisasi).
Walaupun proses ini hanya mampu membunuh sebagian populasi
mikroorganisme, namun pasteurisasi ini sering diaplikasikan terutama jika: (a).
Dikhawatirkan bahwa penggunaan panas yang lebih tinggi akan menyebabkan
terjadinya kerusakan mutu (misalnya pada susu), (b). Tujuan utama proses
pemanasan hanyalah untuk membunuh mikroorganisme patogen (penyebab
penyakit, misalnya pada susu) atau inaktivasi enzim-enzim yang dapat
merusak mutu (misalnya pada saribuah, (c). Diketahui bahwa mikroorganisme
penyebab kebusukan yang utama adalah mikroorganisme yang sensitif
terhadap panas (misalnya khamir/ragi pada sari buah), (d). Akan digunakan
cara atau metode pengawetan lainnya yang dikombinasikan dengan proses
pasteurisasi, sehingga sisa mikroorganisme yang masih ada setelah proses
pasteurisasi dapat dikendalikan dengan metode pengawetan tersebut
(misalnya pasteurisasi dikombinasikan dengan pendinginan, pengemasan yang
rapat tertutup, penambahan gula dan/atau asam, dan lain-lain).
Secara umum tujuan utama pasteurisasi adalah untuk memusnahkan
sel-sel vegetatif dari mikroba patogen, pembentuk toksin dan pembusuk.
56
Beberapa mikroba yang dapat dimusnahkan dengan perlakuan pasteurisasi
adalah bakteri penyebab penyakit, seperti Mycobacterium tuberculosis
(penyebab penyakit TBC), Salmonella (penyebab kolera dan tifus) serta
Shigella dysenteriae (penyebab disentri). Disamping itu, pasteurisasi juga
dapat memusnahkan bakteri pembusuk yang tidak berspora, seperti
Pseudomonas, Achromobater, Lactobacillus, Leuconostoc, Proteus,
Micrococcus dan Aerobacter serta kapang dan khamir (Kusnandar, 2010).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bawa proses pasteurisasi secara
umum dapat mengawetkan produk pangan dengan adanya inaktivasi enzim
dan pembunuhan mikroorganisme yang sensitif terhadap panas (terutama
khamir, kapang dan beberapa bakteri yang tidak membentuk spora), tetapi
hanya sedikit menyebabkan perubahan atau penurunan mutu gizi dan
organoleptik. Keampuhan proses pemanasan dan peningkatan daya awet yang
dihasilkan dari proses pasteurisasi ini dipengaruhi oleh karakteristik bahan
pangan, terutama nilai pH. Kondisi dan tujuan pasteurisasi dari beberapa
produk pangan dapat berbeda-beda, tergantung dari pH produk.
Proses pasteurisasi dapat dilakukan pada kombinasi suhu dan waktu
yang berbeda. Sebagai contoh, pasteurisasi susu dapat dilakukan dengan
menggunakan metode sebagai berikut:a). Long time pasteurization atau 'holder
process', yaitu pada suhu 62.8oC-65.6oC selama 30 menit, b). High
temperature short time (HTST) pasteurization, yaitu pada suhu 73oC selama 15
detik, c). Flash pasteurization, yaitu pada suhu 85oC-95oC selama 2-3 detik.
57
d. Sterilisasi Komersial
Pengertian steril absolut menunjukkan suatu kondisi yang suci hama,
yaitu kondisi yang bebas dari mikroorganisme. Pada proses sterilisasi produk
pangan, kondisi steril absolut sulit dicapai, karena itulah digunakan istilah
sterilisasi komersial atau sterilisasi praktikal. Sterilisasi komersial yaitu suatu
kondisi yang diperoleh dari pengolahan pangan dengan menggunakan suhu
tinggi dalam periode waktu yang cukup lama sehingga tidak ada lagi terdapat
mikroorganisme hidup.
Pengertian sterilisasi komersial ini menunjukkan bahwa bahan pangan
yang telah mengalami proses sterilisasi mungkin masih mengandung spora
bakteri (terutama bakteri non-patogen), namun setelah proses pemanasan
tersebut spora bakteri non-patogen tersebut bersifat dorman (tidak dalam
kondisi aktif bereproduksi), sehingga keberadaannya tidak membahayakan
kalau produk tersebut disimpan pada kondisi normal. Dengan demikian, produk
pangan yang telah mengalami sterilisasi komersial akan mempunyai daya awet
yang tinggi, yaitu beberapa bulan sampai beberapa tahun. Sterilitas komersial
(menurut FDA) atau stabilitas penyimpanan (menurut USDA) adalah kondisi
bebas dari mikroba yang dapat berkembang biak dalam makanan pada kondisi
penyimpanan atau distribusi yang normal tanpa bantuan pendingin
(Kusnandar, 2010).
Pada produk steril komersial yang berasam rendah, terdapat resiko
keamanan pangan yang cukup tinggi. Pada kondisi penyimpanan normal tanpa
pendinginan, pangan berasam rendah yang belum mencapai kecukupan
proses steril komersial akan beresiko ditumbuhi mikroba. Selain itu spora yang
58
tertinggal di dalam makanan tersebut dapat bergerminasi kembali dan
menyebabkan kebusukan atau kerusakan makanan. Di lain pihak penggunaan
suhu yang tinggi pada proses sterilisasi produk pangan secara berlebihan,
memungkinkan terjadinya kerusakan nilai gizi maupun organoleptik produk
pangan tersebut, sehingga proses sterilisasi komersial perlu dikontrol dengan
baik.
Produksi pangan steril komersial mencakup dua operasi yang esensial;
yaitu: (a). Bahan pangan harus dipanaskan secara cukup (pada suhu yang
cukup tinggi dan waktu yang cukup lama) untuk memastikan bahwa kondisi
steril komersial telah tercapai, dan (b). Pangan yang telah disterilisasi
komersial harus dikemas dan ditutup dengan menggunakan wadah yang
hermetik atau kedap udara (seperti kaleng, gelas, alumnium foil, retort pouch,
dll), sehingga mampu mencegah timbulnya rekontaminasi setelah produk
tersebut disterilkan.
Spora bakteri umumnya mempunyai ketahanan panas yang lebih tinggi
daripada sel vegetatifnya. Karena itulah, proses pemanasan pada sterilisasi
komersial bertujuan untuk menginaktifkan spora bakteri, terutama spora bakteri
patogen yang tahan panas. Kondisi proses sterilisasi komersial tersebut sangat
tergantung pada berbagai faktor, antara lain kondisi produk pangan yang
disterilisasikan (nilai pH, jumlah mikroorganisme awal, dll), jenis dan ketahanan
panas mikroorganisme yang ada dalam bahan pangan, karakteristik pindah
panas pada bahan pangan dan wadah (kaleng), medium pemanas, dan kondisi
penyimpanan setelah sterilisasi.
59
Proses sterilisasi komersial dilakukan melalui pemanasan pada suhu
tinggi. Karena tujuan sterilisasi adalah untuk membunuh semua sel vegetatif
dan semua spora bakteri, maka bahan pangan berasam rendah yang
disteriisasil komersial membutuhkan suhu proses yang tinggi. Untuk itu perlu
dikendalikan dengan baik karena bila tidak terkontrol dengan baik, pemanasan
yang berlebihan dapat merusak mutu organoleptik dan gizi produk pangan
tersebut (Kusnandar, 2010). Produk pangan yang telah mengalami sterilisasi
seharusnya dikemas dengan kemasan yang kedap udara untuk mencegah
terjadinya rekontaminasi. Kondisi pengemasan kedap udara ini menyebabkan
terbatasnya jumlah udara (oksigen) yang rendah, sehingga mikroorganisme
yang bersifat obligat aerob tidak akan mampu tumbuh pada produk pangan
tersebut. Namun yang perlu diperhatikan adalah mikroorganisme (terutama
spora) yang bersifat fakultatif atau obligat anaerob yang jika tidak diperhatikan
dengan seksama akan mampu menyebabkan terjadinya kebusukan. Dengan
demikian, suatu produk pangan dikatakan sudah steril komersial apabila: (a)
produk telah mengalami proses pemanasan lebih dari 100oC; (b) bebas dari
mikroba patogen dan pembentuk racun; (c) bebas mikroba yang dalam kondisi
penyimpanan dan penanganan normal dapat menyebabkan kebusukan; dan
(d) awet (dapat disimpan pada kondisi normal tanpa refrigerasi).
Umumnya, proses pengemasan untuk bahan pangan yang telah
diproses dengan sterilisasi komersial akan menyebabkan kondisi anaerobik.
Kondisi ini memberikan beberapa keuntungan, antara lain (i) spora bakteri
pembusuk umumnya tidak tahan panas sehingga lebih mudah dimusnahkan
pada proses pemanasan, dan (ii) dapat mengurangi reaksi oksidasi yang
60
mungkin terjadi baik selama pemanasan maupun selama penyimpanan setelah
diproses. Untuk mempertahankan kondisi anaerobik ini, bahan pangan perlu
dikemas dalam kemasan kedap udara (hermetis) seperti kaleng, gelas,
kantong plastik atau alumunium foil (Kusnandar, 2010).
Berdasarkan prosesnya, sterilisasi dapat dilakukan dengan metode
sebagai berikut: (a). Proses pengalengan konvensional, dimana produk
dimasukkan dalam kaleng, lalu ditutup secara hermetis, dan setelah itu produk
dalam kaleng dipanaskan/disterilisasikan dengan menggunakan retort. Setelah
kecukupan panas yang diperlukan tercapai, produk dalam kaleng tersebut
didinginkan dan (b). Proses aseptis, yaitu suatu proses dimana produk dan
kemasan disterilisasi secara terpisah, kemudian produk steril tersebut diisikan
ke dalam wadah steril pada suatu ruangan yang steril.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka produk pangan steril komersial
dapat didefinisikan sebagai produk pangan berasam rendah (low acid foods)
yang telah mengalami proses pemanasan, sehingga bisa dipastikan bahwa
produk tersebut telah bebas dari mikroba yang dapat berkembang biak dalam
makanan pada kondisi penyimpanan atau distribusi yang normal tanpa bantuan
pendingin. Istilah pangan steril komersial selama ini sering pula dikenal
sebagai makanan dalam kaleng (Kusnandar, 2010).
e. Hot-filling
Hot-filling adalah teknik proses termal yang banyak diterapkan untuk
produk pangan berbentuk cair, seperti saus, jam, dan sambal. Dari segi tujuan
proses, hot-filling banyak dilakukan untuk produk pangan yang memiliki pH
rendah (pangan asam/diasamkan) untuk tujuan pasteurisasi. Pengertian hot-
61
filling adalah melakukan pengemasan bahan dalam kondisi panas setelah
proses pasteurisasi ke dalam kemasan steril (misalnya botol atau gelas jar),
lalu ditutup rapat (hermetis) dan didinginkan. Biasanya proses hot-filling
dikombinasikan dengan teknik pengawetan lain, misalnya penambahan gula,
garam, bahan pengawet atau pendinginan. Di antara produk pangan yang
dapat diproses dengan hot-filling adalah saus, sambal, dan jem (Kusnandar,
2010).
Proses termal dirancang untuk menghasilkan produk yang steril secata
komersial. Karena itu perlu pemanasan yang cukup, tetapi harus sesingkat
mungkin untuk mempertahankan mutu produk dan juga meminimumkan biaya.
2. Pengolahan Tekanan Tinggi (High Pressure Processing = HPP)
Pengawetan produk pangan telah lama dilakukan dalam upaya
memperpanjang umur simpan produk. Target utama dalam pengawetan
makanan adalah menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dan
patogen yang dapat menyebabkan kerusakan pangan. Penggunaan panas
merupakan cara yang paling efektif dalam menurunkan jumlah dan
pertumbuhan mikroorganisme. Akan tetapi penggunaan panas tersebut akan
berdampak pada terjadinya penurunan kualitas terutama dari penerimaan
organoleptik (warna, aroma, rasa, tekstur) dan kandungan nutrisi produk.
Produk yang diolah menggunakan panas akan jauh dari sifat segar (fresh like)
dari bahan baku yang digunakan. Untuk memenuhi keinginan konsumen
terhadap produk pangan yang masih menunjukkan sifat-sifat kesegaran bahan
baku (terutama buah-buahan dan sayuran), maka berkembang teknologi
62
pengawetan non termal dimana aplikasi panas seminimal mungkin (Muhtadi
dan Ayustaningwarno, 2010).
Pengolahan Tekanan Tinggi dikenal juga sebagai Pengolahan"High
Hydrostatic Pressure" atau "Ultra High Pressure". HPP menggunakan takanan
hingga 900MPa untuk membunuh mikroorganisme yang banyak ditemukan
dalam makanan, bahkan pada suhu kamar, tanpa menurunkan vitamin, rasa
dan molekul warna dalam prosesnya. Ketika tekanan tinggi hingga 1000MPa
diterapkan untuk paket makanan yang terendam dalam cairan, tekanan
didistribusikan langsung secara merata di seluruh bagian makanan (isostatik).
Tekanan yang biasa diterapkan adalah 350 MPa selama 30 menit atau
400MPa selama 5 menit akan menyebabkan penurunan sepuluh kali lipat
dalam sel vegetatif bakteri, ragi atau jamur (Hoover et al., 1989). Pengolahan
tekanan tinggi tidak memiliki periode "pemanasan atau pendinginan" dan
terdapat siklus "tekanan udara yang cepat/depresurisasi", sehingga
mengurangi waktu proses dibandingkan dengan pengolahan termal. Enzim
yang berhubungan dengan kualitas makanan bervariasi dalam sensitivitasnya
terhadap tekanan (Cano et al., 1979).
Unit HPP terdiri dari bejana tekanan dan perangkat pembangkit tekanan.
Paket makanan diletakkan ke badan alat dan bagian atasnya ditutup. Media
tekanan berupa air dipompa ke badan alat dari bawah. Setelah tekanan yang
diinginkan tercapai, pompa dihentikan, katup ditutup, tekanan dapat
dipertahankan tanpa perlu lagi untuk menginput energi. Prinsip yang mendasari
HPP adalah bahwa tekanan tinggi diaplikasikan dalam "isostatic" sedemikian
rupa sehingga seluruh bagian makanan mendapat tekanan yang seragam,
63
berbeda dengan pengolahan dengan panas dimana gradien suhu yang
ditetapkan.
Komponen utama dari sistem tekanan tinggi terdiri dari: seperangkat
badan alat bertekanan dan tertutup, seperangkat sistem pembangkit tekanan,
perangkat kontrol suhu, dan sistem penanganan/pengoperasian alat (Mathavi
et al., 2013).
Gambar 12. Perangkat Alat Pengolahan Tekanan Tinggi (HPP)
Pada pengolahan keju Cheddar diterapkan tekanan HPP 50 MPa pada
25°C selama 3 hari, kondisi ini memiliki potensi mempercepat pematangan keju
Cheddar komersial. Perlakuan 400 MPa pada 20 °C menghasilkan
penghambatan yang signifikan terhadap mikroorganisme, terjadi pengurangan
3 log dalam kasus spesies bakteri dan 6 log dalam kasus Penicillium, seperti
pada gram positif S. aureus yang merupakan spesies lebih tahan terhadap
tekanan daripada negatif spesies gram E. coli. Spesies jamur pada tekanan
rendah (<300 MPa) lebih tahan dari bakteri, jamur juga jauh lebih sensitif pada
tekanan yang lebih tinggi. Diperlukan tekanan lebih dari 400 MPa untuk
mendenaturasi lebih dari 50% whey protein (Beresford et al., 1998).
64
Terdapat dua pengolahan makanan bertekanan tinggi yaitu: pengolahan
dalam wadah dan pengolahan secara curah. Pada pengolahan dengan wadah
keuntungannya adalah: dapat diterapkan untuk semua makanan padat dan
cair, resiko kontaminasi minimal pasca pengolahan, tidak ada inovasi yang
besar yang diperlukan untuk pengembangan perangkat HPP, mudah
dibersihkan.Kelemahannya, penanganan material kompleks, kurang fleksibel
dalam pilihan wadah, waktu pemberhentian bejana tekan lebih lama.
Sedangkan pengolahan secara curah: penanganan material sederhana,
fleksibel dalam pilihan wadah, maksimum dalam penggunaan volume badan
alat, waktu pemberhentian minimal (tidak memerlukan penutupan/pembukaan).
Kelemahannya,hanya cocok untuk makanan yang punya kemampuan
dipompa, berpotensi terkontaminasi pasca pengolahan, semua komponen
yang kontak dengan makanan harus memiliki desain aseptik.
Digunakan pada pasteurisasi dan sterilisasi buah-buahan dan produk
buah-buahan, saus, acar, yogurt, pasteurisasi daging dan sayuran, dan juga
untuk produk yang berisiko tinggi terdekontaminasi, produk bernilai tinggi, serta
sterilisasi pada bahan sensitif panas seperti kerang, bahan perasa, dan vitamin
(Mathavi et al., 2013).
HPP membunuh bakteri vegetatif dan spora; tidak terdapat bukti
toksisitas, dan mengurangi waktu proses. Kesegaran, rasa, nutrisi, warna, dan
rasa dapat dipertahankan. Keseragaman perlakuan pada seluruh makanan
dapat dicapai dan dapat menghapus penggunaan bahan pengawet kimia.
Pengolahan secara paket memungkinkan konsumsi energi yang rendah
(Mathavi et al., 2013).
65
Perkembangan teknologi telah memungkinkan dilakukan proses
pasteurisasi tanpa menggunakan panas (non-thermal process) yang dapat
meminimalisir menurunnya kualitas flavor, salah satunya adalah dengan High
Pressure Processing. Keunggulan unik HPP adalah proses ini dapat
mematikan mikroba seperti bakteri, yeast, dan kapang, dan dapat
memperpanjang daya simpan pangan tanpa memberikan pengaruh merugikan
terhadap nilai gizi, kualitas flavor, dan warnanya.
3. Pengolahan Medan Listrik Intensitas Tinggi (High Intensity Pulsed Electric Field = PEF)
Metode non-termal Pulsed Electric Field (PEF) adalah salah satu
metode perlakuan non termal untuk pengawetan makanan, PEF berpotensi
dalam menginaktivasi mikroba tanpa mengubah cita rasa dan kekayaan nutrisi
pada makanan. Proses Pulsed Electric Field intensitas tinggi didasarkan pada
aplikasi denyut pendek tegangan tinggi (20-80 kV/cm) dengan waktu yang
sangat singkat (kurang lebih 1 detik) pada makanan cair yang ditempatkan
diantara dua elektroda (Barbosa-Cánovas et al., 1999). Teknologi PEF lebih
dipertimbangkan daripada perlakuan panas terhadap makanan, karena PEF
dapat membunuh mikroba lebih banyak, menghindari atau mengurangi
kerusakan citarasa, sifat fisik makanan dan kerusakan organoleptik (Quass,
1997 dalam Cueva, 2003). Metode ini lebih dipertimbangkan dimasa datang
karena tidak menggunakan panas, pasteurisasi dengan HIPEF dapat
memperpanjang daya simpan pangan tanpa merusak zat-zat gizi dan kualitas
flavor (Oms-Oliu et al., 2009).
66
PEF adalah teknologi pengawetan makanan non termal melibatkan
pelepasan tegangan tinggi pulsa listrik (hingga 70 kV/ cm) ke dalam produk
pangan, yang ditempatkan di antara dua elektroda untuk beberapa mikrodetik
(Angersbach, et al., 2000). Teknologi ini muncul dan merupakan pergantian
yang posisinya berada antara proses pasteurisasi termal tradisional dan proses
non-termal. Teknologi inipada akhirnya berkombinasi dengan mikroinfiltrasi,
dan merupakan bagian dari suatu perlakuan panas moderat (Heinz et al., 2002:
Picart, 2003: Sensoy et al., 1997).
Medan listrik eksternal sebesar satu volt digunakan untuk melewati
potensi kritis antar membran. Hasilnya berupa gangguan listrik yang cepat dan
perubahan konformasi dari membran sel, sehingga menyebabkan pelepasan
cairan intraseluler, dan kematian sel (Jeyamkondan et al., 2008). Namun, suhu
pengolahan harus dijaga serendah mungkin untuk menghindari kerusakan
panas pada produk dan untuk mencegah kehilangan citarasa.
Komponen peralatan pengolahan PEF adalah sebuah power supply:
power supply biasa arus searah atau kapasitor pengisian listrik (opsi terakhir ini
dapat memberikan tingkat pengulangan yang lebih tinggi). Sebuah elemen
penyimpan energi: baik listrik (kapasitif) atau magnet (induktif).
Seperangkat switch yang berupa penutup atau pembuka. Perangkat
yang cocok untuk digunakan sebagai saklar debit termasuk celah merkuri
ignitron spark, celah percikan gas, tiaratron sebuah, serangkaian SCRs, saklar
magnetik atau rotary switch mekanik.
67
Suatu alat pembentuk pulsa dan pemicu sirkuit. Sebuah ruang
perawatan. Sebuah pompa untuk memasok bahan ke ruangan.Sebuah sistem
pendingin untuk mengontrol suhu bahan pangan dan atau suhu luaran/produk.
Gambar 13. Komponen Peralatan Pulse Electric Field (PEF)
Elektroporasi adalah fenomena di mana sel terkena pulsa tegangan
tinggi medan listrik sementara yang mendestabilisasi lapisan lemak dan lapisan
protein dari membran sel. Membran plasma sel menjadi permeabel terhadap
molekul kecil setelah terkena medan listrik, dan kemudian terjadi perembesan
yang menyebabkan pembengkakan sel dan akhirnya membran sel pecah. Efek
utama dari suatu perlakuan medan listrik pada sel mikroorganisme adalah
untuk meningkatkan permeabilitas membran karena kompresi membran dan
porasi (pembentukan pori).
Inaktivasi mikroba yang dilakukan dengan PEF berhubungan dengan
ketidakstabilan membran sel secara elektro-mekanik. Membran sel melindungi
mikroba dari kondisi lingkungan sekitar dengan cara bekerja sebagai dinding
semipermeabel, contohnya membran tersebut mengatur masuknya nutrisi
kedalam sel dan mengatur keluarnya produk akhir dari aktivitas metabolisme
sel (Jeyamkondan et al., 2008). Jika membran sel mengalami pemecahan,
68
maka terjadi pengeluaran cairan dari dalam sel dan kehilangan aktivitas
metabolisme sel. Ada dua teori yang menjelaskan tentang proses pemecahan
membrane sel akibat pengaruh dari PEF bertegangan tinggi yaitu “dielectric
rupture” dan “electroporation” (Jeyamkondan et al., 2008).
Teknologi PEF digunakan dalam pengolahan jus apel, jus jeruk,
pengolahan susu, telur utuh cair, aplikasi kue dan pengolahan sup kacang
hijau.
Penelitian menunjukkan bahwa sari buah semangka yang dipasteurisasi
dengan HIPEF menggunakan aliran listrik 35kV/cm selama 1727μs
menghasilkan produk yang lebih awet dan lebih kuat mempertahankan
senyawa-senyawa volatil pembentuk aroma asli. Sari buah semangka yang
diberi perlakuan HIPEF dengan kekuatan medan listrik 30–35 kV/cm, frekuensi
denyut 50–250 Hz, selama 50–2050 μs juga dapat mempertahankan aktivitas
antioksidannya (Oms-Oliu et al., 2009).
Penggunaan PEF pada 50 kV/cm selama 2000 detik menginaktifasi 45%
enzim papain. Hilangnya aktivitas katalitik dihitung berdasarkan perubahan
hilangnya α-helix dalam struktur sekunder papain (Yeom et al.,1999). Dalam
jus jeruk pengawetan PEF pada 35 kV/cm selama 59 detik cukup baik bila
dibandingkan dengan pasteurisasi panas pada 94.6 oC selama 30 detik (Yeom
et al., 2000).
Keuntungan Pulsed Electric Fields Ini membunuh sel vegetatif,
mengawetkan warna, rasa dan kandungan nutrisi. Tidak ada bukti toksisitas
dan waktu perawatan juga cukup singkat. Mengawetkan makanan cair secara
69
perlahan dengan peningkatan suhu yang sama atau sedikit meningkat (Mathavi
et al., 2013).
J. Potensi Teknologi Ohmik
Pemanasan Ohmik (I2R) terjadi jika arus listrik I dialirkan melalui bahan
pangan yang tahanannya R, menghasilkan energi yang menyebabkan suhu
naik seperti halnya panas yang timbul pada setrika listrik. Konsep pemanasan
ohmik pada bahan pangan sesungguhnya bukan hal baru, karena di abad ke
20, pasteurisasi susu dapat dilakukan dengan melewatkan susu diantara dua
pelat yang diberi tegangan listrik berbeda. Meskipun proses termal ini sempat
diaplikasikan secara komersial, teknologi terus menghilang terutama karena
tidak adanya elektroda inert yang sesuai dan tersedia, serta tidak adanya
pengendalian proses yang memadai (Sastry dan Palaniappan, 1992). Dalam
lima belas tahun terakhir ini, pemanasan ohmik dengan bahan dan desain yang
lebih baru dan lebih baik terus dikembangkan. Sekarang cara pemanasan ini
telah diaplikasikan di berbagai institusi pelayanan makanan di USA serta
digunakan untuk kebutuhan tentara dan perjalanan pesawat berawak ke ruang
angkasa (Fardiaz, 1996).
Pada awalnya pengaruh mematikan dari pemanasan ohmik terhadap
mikroba dikaitkan dengan tenaga listrik yang diberikan. Ternyata pengaruh
mematikan ini bukan disebabkan karena adanya tenaga listrik tetapi terutama
lebih disebabkan karena pengaruh panasnya (Palaniappan et al., 1990, 1992).
Kecepatan pemanas ohmik sangat tergantung pada konduktiitas listrik
bahan pangan yang sedang diolah. Karena bahan pangan pada umumnya
70
mengandung sejumlah air bebas yang melarutkan garam-garam ionik atau
asam-asam, maka bahan pangan yang bersangkutan memiliki sifat
konduktivitas listrik. Sebaliknya bahan-bahan seperti lemak dan minyak adalah
bahan yang tidak konduktif, oleh karena itu, bahan-bahan seperti itu tidak akan
menjadi panas jika diberi listrik. Tabel 5 menunjukkan nilai konduktivitas listrik
dari beberapa bahan pangan pada suhu 19°C, dinyatakan dalam
Siemens/meter (s/m) (Fardiaz, 1996).
Tabel 5. Konduktiitas Listrik dari Beberapa Bahan Pangan pada Suhu 19°C
Bahan Pangan
Konduktivitas Listrik (s/m)
Kentang Wortel Kacang Kapri Daging Sapi Larutan Pati 5,5% + garam 0,2% + garam 0,55% + garam 2%
0,037 0,041 0,17 0,42
0,34 1,3 4,3
(Sumber: Kim et al., 1996. Sebagai pembanding konduktiitas listrik air murni 5,7 x 10-6 s/m, asam sulfat 1,0 s/m, pada suhu 25°C)
Pada umumnya konduktivitas listrik dari bahan pangan cair lebih tinggi
daripada padatan. Jika diambil contoh suatu produk saus atau grafy yang
mengandung potongan kecil daging sapi dengan kadar garam 0,6 – 1%, maka
cairan saus seperti ini identik dengan larutan pati 5 5% dengan kadar garam
0,5% dan mempunyai konduktivitas listrik 1,3 s/m. Sedangkan konduktivitas
listrik dari potongan daging sapi tersebut adalah 0,42 s/m. Angka ini
menunjukkan bahwa potongan daging sapi mempunyai konduktivitas listrik
lebih kecil daripada sausnya sendiri, artinya jika dipanaskan dengan sistem
ohmik, maka potongan daging akan lebih cepat menerima panas daripada
sausnya (Fardiaz, 1996).
71
Sehubungan dengan hal tersebut, maka jika saus yang mengandung
potongan daging sapi ini dipanaskan dengan sistem ohmik, maka panas akan
mengalir dari dalam potongan daging sapi keluar ke cairan saus, dan bukan
sebaliknya seperti pada proses aseptik konvensional. Karakteristik ini sangat
menguntungkan karena dengan pemanasan ohmik dimungkinkan untuk
melakukan proses pengemasan aseptik pada bahan cair yang mengandung
partikel-partikel padatan, misalnya sop cair yang mengandung partikel daging
(Fardiaz, 1996). Berbagai pengembangan masih dilakukan untuk
memantapkan aplikasi pemanasan ohmik dalam proses pengemasan aseptik
produk pangan berasam rendah agar proses termal yang diberikan menjamin
keamanan dari produk yang dihasilkan (Fardiaz, 1996).
Pemanasan ohmik adalah metode pengolahan termal canggih dimana
arus listrik dilewatkan pada makanan untuk memanaskan dengan energi
internal, tanpa memanaskan medium atau perpindahan panas permukaan
(Castro et al., 2003). Energi listrik didisipasikan menjadi panas, menghasilkan
pemanasan cepat dan seragam. Pemanasan ohmik juga disebut pemanas
listrik resistensi, pemanasan Joule, atau pemanasan-elektrik, dan dapat
digunakan untuk berbagai aplikasi dalam industri makanan (Wang dan Sastry,
2002; Shirsat et al., 2004). Dalam pemanasan konvensional, perpindahan
panas terjadi dari permukaan bahan sampai bagian dalam produk dengan cara
konveksi dan konduksi dan memakan waktu, karena lebih lama melalui jalur
konduksi atau konveksi yang mungkin terjadi dalam proses pemanasan.
Pemanasan elektroresistif atau ohmik berlangsung volumetrik dengan demikian
72
berpotensi mengurangi overprocessing oleh perpindahan panas dari dalam ke
luar bahan (Rahman, 1999).
Gambar 14. Diagram Skematik dari Proses Pemanasan Ohmik Statis
Alat pemanas ohmik merupakan rangkaian yang terdiri dari elektroda,
power supplay, dan sarana pembatas sampel makanan (misalnya, tabung).
Juga beberapa instrumen penunjang, seperti fitur pengaman, dan koneksi ke
proses lainnya dalam unit operasi (misalnya: pompa, penukar panas, dan
tabung).
1. Prinsip Pemanasan Ohmik
Prinsip pemanasan ohmik sangat sederhana. Pemanasan ohmik
didasarkan pada arus listrik bolak-balik (AC) yang dilewatkan pada makanan.
Bahan makanan berfungsi sebagai hambatan listrik dimana panas dihasilkan.
Tegangan AC diterapkan pada elektroda di kedua ujung badan produk.
Kekuatan medan listrik dapat bervariasi dengan menyesuaikan celah elektroda
atau tegangan yang diberikan. Namun faktor yang paling penting adalah
konduktivitas listrik dari produk serta ketergantungannya pada suhu.
Pemanas ohmik dapat berlangsung statis (batch) ataupun kontinyu.
Pertimbangan desain penting terhadap konfigurasi elektroda (arus mengalir di
73
aliran produk beredar atau sejajar dengan jalur aliran produk), jarak antara
elektroda, elektrolisis (elektroda logam, terutama pada frekuensi rendah),
pemanas geometri, frekuensi arus bolak-balik (AC), kebutuhan daya,
kepadatan arus, tegangan yang diberikan, dan kecepatan produk dan profil
kecepatan. Faktor tambahan lain mengenai sistem yang digunakan dalam
pemanas ohmik diantaranya jenis produk dan sifat-sifatnya, khususnya
konduktivitas listrik dan laju pemanasan, yang meliputi: persen padatan,
keasaman, viskositas produk, panas spesifik, kepadatan, dan ukuran partikel
padat, bentuk, dan orientasi medan listrik (Rahman, 1999).
Keunggulan utama dari pemanasan ohmik adalah cepat dan sistem
pemanasannya yang relatif seragam dan merata, termasuk untuk produk yang
mengandung partikulat. Hal tersebut mengurangi jumlah total panas yang
kontak dengan produk dibandingkan dengan pemanaan konvensional yang
memerlukan waktu untuk terjadinya penetrasi panas ke bagian pusat bahan
dan pemanasan partikulat lebih lambat dari fluida. Dalam pemanasan ohmik,
partikel dapat memepercepat pindah panas dengan melakukan formulasi pada
kandungan senyawa ionik yang tepat di dalam fase fluida dan fase partikulat
untuk meyakinkan level konduktivitas listrik yang tepat (Muchtadi dan
Ayustaningwarno, 2010).
2. Parameter Pemanasan Ohmik
Pemanasan elektrik makanan (ohmik) mempengaruhi sifat transfer
massa. Rahman (1999), merangkumkan, beberapa parameter dalam
pemanasan ohmik antara lain yang menyangkut:
74
a. Karakteristik Pemanasan Ohmik
Parameter yang paling penting dalam pemanasan ohmik adalah
konduktivitas listrik dari makanan. Hal ini penting karena konduktivitas listrik
berkaitan dengan laju perpindahan panas dan distribusi temperatur.
Pemanasan ohmik mengambil nama dari hukum Ohm yang dikenal
sebagai hubungan antara arus, tegangan, dan hambatan. Bahan makanan
terhubung antara elektroda memiliki resistansi peran dalam rangkaian.
Persamaannya adalah sebagai berikut:
Tahanan dari bahan makanan untuk melewatkan arus listrik
menyebabkan panas yang dihasilkan dalam makanan. Dengan kata lain,
energi listrik dikonversi menjadi energi panas (Sastry dan Salengke, 1998).
Waktu pemanasan ohmik bergantung pada gradien tegangan yang digunakan.
Gradien tegangan meningkat, panas yang dihasilkan per unit waktu meningkat,
dan karena itu waktu pemanasan yang diperlukan untuk mencapai temperatur
berkurang. Skala waktu dapat diatur dengan memilih parameter gradien
tegangan (Icier, 2012). Konduktivitas listrik adalah ukuran dari seberapa baik
suatu zat mentransmisikan muatan listrik yang dinyatakan dalam Siemens per
meter (S/m).
Konduktivitas listrik adalah rasio densitas substansi pada kekuatan
medan listrik dan dipengaruhi oleh komposisi kimia dari suatu zat. Dalam
terminologi pemanasan ohmik, konduktivitas adalah ukuran dari isi mineral
atau ion. Untuk bahan makanan, bahan ion yang paling umum garam (NaCl).
I = V/R …….(1)
75
Semakin tinggi jumlah garam terlarut dalam zat, semakin tinggi konduktivitas
listriknya (Anderson, 2008).
Pada bahan pangan solid, konduktivitas listrik tergantung pada suhu dan
gradient voltage. Konduktivitas listrik mengalami kenaikan signifikan pada 70
oC ke atas. Jika jaringan sayuran dikenakan pemanasan konvensional,
konduktivitas listrik akan meningkat tajam pada suhu 60 oC, akibat pecahnya
dinding sel. Ketika jaringan selular dipanaskan secara ohmik, suhu
konduktivitas listrik menjadi lebih meningkat, akibat karena terjadinya elektro-
osmosis tergantung dari besarnya medan voltase yang digunakan. Pada
voltage tinggi, elektro-osmosis mendorong ion-ion melewati membran dinding
sel bahkan pada suhu lebih rendah. Pada kekuatan medan yang cukup, dapat
digunakan hubungan linear Ϭ antara T (Muchtadi dan Ayustaningwarno, 2010):
Dimana ϬT adalah konduktivitas listrik pada suhu T, Ϭref konduktivitas
listrik pada suhu reference (Tref) dan m adalah koefiesien suhu. Peningkatan
konduktivitas berarti bahwa pemanasan ohmik menjadi relatif lebih efektif pada
suhu lebih tinggi. Karena konduktivitas listrik tergantung pada konsentrasi ion,
maka memungkinkan untuk mengubahnya menggunakan perlakuan sederhana
seperti penambahan garam pada bahan pangan. Menurunnya konduktivitas
listrik pada bahan pangan yang direndam disebabkan hilangnya senyawa ionik
dalam air.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan (Sastry dan
Salengke, 1998) konduktivitas listrik bahan pangan meningkat secara linier
ϬT= Ϭref [1 + m(T-Tref)…(2)
76
dengan peningkatan suhu sehingga proses pemanasan menjadi semakin
efektif dengan semakin meningkatnya suhu selama proses pemanasan ohmik
berlangsung.
Konduktivitas listrik cenderung meningkat ketika ukuran partikel
menurun, walaupun kesimpulan secara general tidak dapat dilakukan tanpa
memperhitungkan bentuk dan orientasi partikel (Muchtadi dan
Ayustaningwarno, 2010).
Di atas kekuatan medan listrik tertentu, atau jika materi telah diolah
secara termal, kurva konduktivitas listrik-suhu sering menjadi linear. Seperti
terlihat pada Persamaan (3) (Sastry et al., 2001 ):
Jika produk memiliki lebih dari satu fase seperti dalam kasus campuran
cairan dan partikulat, konduktivitas listrik semua tahap harus dipertimbangkan.
Konduktivitas listrik meningkat dengan kenaikan suhu, menunjukkan bahwa
pemanasan ohmik menjadi lebih efektif dalam meningkatkan suhu, yang
secara teoritis dapat mengakibatkan pemanasan runaway. Perbedaan dalam
hambatan listrik dan ketergantungan suhu antara dua fase dapat membuat
karakteristik pemanasan sistem yang sangat rumit (Delgado et al., 2012).
Konduktivitas listrik padatan dan cairan selama pemanasan ohmik pada
campuran multifase juga penting. Dalam keadaan ideal, pada dasarnya fase
cair dan padat memiliki konduktivitas listrik yang sama dengan laju
pemanasan. Ketika terdapat perbedaan dalam konduktivitas listrik antara
partikel fluida dan solid, maka pemanasan partikel-partikel lebih cepat dari
σ = σ0 1 + mT …. (3)
77
cairan ketika konduktivitasnya lebih rendah dari cairan. Demikian pula pada
partikulat padat, panas lebih lambat dari cairan ketika konduktivitas listrik dari
padat lebih tinggi dari cairan. Gerakan fluida (perpindahan panas konvektif)
juga merupakan pertimbangan penting ketika terdapat perbedaan konduktivitas
listrik antara cairan dan partikel (padatan).
Sifat produk lain yang mempengaruhi distribusi temperatur adalah
kepadatan dan panas spesifik dari produk makanan. Ketika partikel padat dan
medium fluida memiliki konduktivitas listrik yang sama, maka komponen
dengan kapasitas panas yang lebih rendah akan cenderung lebih cepat panas.
Pada kepadatan tinggi dan pemanasan kondusif, maka proses pemanasan
dapat berlangsung lebih lambat. Viskositas fluida juga mempengaruhi
pemanasan ohmik; viskositas cairan yang lebih tinggi cenderung
mengakibatkan pemanasan ohmik lebih cepat dari cairan yang viskositasnya
rendah .
Beberapa penelitian awal pada pemanasan ohmik telah dilakukan,
misalnya pada sterilisasi partikel cair pada pindah panas. Pemanasan bit
dengan pemanasan ohmik mengakibatkan peningkatan difusi betanin dari
jaringan bit ketika dibandingkan dengan pemanasan konvensional (Halden et
al., 1990).
Dalam banyak studi, konduktivitas listrik adalah fungsi dari komponen
makanan : seperti adanya komponen ionik (garam), asam, dan kelembaban
berpengaruh meningkatkan mobilitas konduktivitas listrik, sedangkan lemak,
lipid, dan alkohol menguranginya. Konduktivitas listrik linier berkorelasi dengan
suhu ketika medan listrik cukup tinggi (setidaknya 60 V/cm). Menurut Lima et
78
al. (1999); Palaniappan dan Sastry, (1991) menjelaskan bahwa kekuatan
medan listrik yang lebih rendah pada kurva nonlinier (kurva sigmoidal) terjadi
oleh: (a) meningkatnya konduktivitas listrik bila suhu dan tegangan yang
diberikan meningkat, dan menurun dengan meningkatnya kandungan padatan,
(b) frekuensi AC menurun selama pemanasan ohmik dengan meningkatnya
konduktivitas listrik, (c) gelombang dapat mempengaruhi konduktivitas listrik,
meskipun AC biasanya meneruskan sebagai gelombang sinus, gelombang
persegi tiga runcing yang meningkatkan konduktivitas listrik pada beberapa
kasus, sementara dapat terjadi penurunan pada gelombang persegi (Lima et
al.,1999). (d) siklus pemanasan meningkatkan konduktivitas listrik; pada
sampel yang dipanaskan, terjadi peningkatan konduktivitas listrik dibandingkan
dengan sampel mentah ketika keduanya kemudian mengalami pemanasan
ohmik (Wang dan Sastry, 1997).
Difusi pewarna dari bit ke dalam larutan meningkat sebanyak 40%
selama pemanasan dari suhu 20°C sampai 80°C dengan penyebaran
konsentrasi dye, yang sebanding dengan luas permukaan partikel dengan
fungsi linear dari kekuatan medan listrik (Schreier et al.,1993). Lobak putih
Jepang yang dipanaskan secara ohmik memperlihatkan bahwa laju
pemanasan ohmik dipengaruhi oleh frekuensi, pada frekuensi AC yang
menurun, maka laju pemanasan meningkat (Imai et al., 1995). Pada frekuensi
rendah (50 Hz), kecepatan pemanasan disebabkan oleh elektroporasi
membran jaringan lobak, hal ini mengakibatkan penurunan dari impedansi
listrik (Kulshrestha dan Sastry, 2003; Sastry dan Barach, 2000), yang
79
menyimpulkan bahwa elektroporasi adalah mekanisme yang paling mungkin
untuk meningkatkan efek transfer massa selama pemanasan ohmik.
b. Pengaruh Terhadap Tekstur Makanan
Pemanasan ohmik digunakan untuk berbagai situasi dimana perlakuan
panas konvensional sulit untuk diterapkan. Fouling adalah masalah utama
ketika bahan pangan berprotein terekspos oleh perlakuan teransfer panas
permukaan. Proses ohmik dapat dipergunakan dengan beberapa keuntungan
karena pemanasan terjadi secara internal energy generation dan tidak
memerlukan pemanasan permukaan. Dengan menggunakan perlakuan ohmik
yang tepat dapat diperoleh peningkatan kualitas tekstur pada produk akhir.
Pemanasan ohmik juga memiliki proses yang cukup baik dalam sterilisasi
komersial dari campuran solid-liquid (Muchtadi dan Ayustaningwarno, 2010).
Evaluasi sensori sangat penting untuk setiap proses makanan yang
layak. Kualitas produk yang unggul dapat diperoleh melalui penurunan waktu
proses, meskipun beberapa penelitian mengukur gangguan sensoris dan
tekstur secara khusus. Ozkan et al. (2004) menjelaskan bahwa kualitas dan
sifat mekanik hamburger yang dimasak dengan kombinasi pemanasan ohmik
tidak berbeda dari hamburger yang dimasak dengan pemanasan konvensional.
c. Gelatinisasi
Gelatinisasi pati merupakan parameter penting dalam pengolahan
makanan dan dapat bersifat menguntungkan atau merugikan tergantung pada
formulasi produk yang diinginkan. Konduktivitas listrik dari produk makanan
dipengaruhi secara signifikan oleh gelatinisasi pati (Wang dan Sastry, 1997).
80
Selanjutnya (Wang dan Sastry, 1997) menemukan bahwa konduktivitas listrik
menurun dengan tingkat gelatinisasi dan menyarankan bahwa pemanasan
ohmik dapat digunakan dalam pengembangan sensor untuk mendeteksi
gelatinisasi pati. Pemanasan ohmik digunakan untuk memaksimalkan fungsi
gel dari produk seafood (Yongsawatdigulet al., 1995). Proses pemanasan
ohmik lebih unggul daripada proses pemanasan konvensional karena
pemanasan berlangsung cepat dan menonaktifkan enzim, yang pada gilirannya
memungkinkan pembentukan gel yang kuat.
d. Pembangkitan Panas
Panas yang dihasilkan secara internal selama pemanasan ohmik tidak
selalu seragam. Dengan demikian, persamaan diprediksi untuk dapat
memperkirakan perambatan panas yang cukup dalam pemanasan ohmik agar
dapat menuju titik dingin (paling lambat menerima panas) dari medium, dengan
perambatan panas yang cukup pada titik paling lambat menerima panas, serta
cukup untuk mematikan mikroba (Larkin dan Spinak, 1996).
e. Mekanisme Inaktivasi Mikroba
Dalam hal kinetika kematian mikroba dalam pemanasan ohmik pada
dasarnya sama dengan inaktivasi menggunakan panas konvensional.
Biasanya pemanasan ohmik menggunakan suhu yang tidak terlalu tinggi,
seperti pasteurisasi. Mekanisme elektroporasi terjadi selama proses
pemanasan ohmik. Perlakuan pemanasan ohmik berhubungan dengan
gelombang frekwensi rendah yang menyebabkan dinding sel menjadi
81
bermuatan dan membentuk pori serta menyebabkan kebocoran sel (Muchtadi,
2010).
Elektroporasi didefinisikan sebagai pembentukan lubang di membran sel
yang dihasilkan dari tekanan lokal ion, yang awalnya tidak dapat menyerap dari
membran sel, tetapi dipaksa melawan dengan medan listrik (Weaver, 1996).
Penggunaan frekwensi balik yang relatif rendah selama pemanasan ohmik
menyebabkan terjadi penumpukan di dinding sel, sehingga terbentuk pori-pori.
Hal ini juga menunjukkan bahwa semakin rendah frekuensi pemanasan ohmik,
maka perpindahan massa semakin jelas (Kulshrestha dan Sastry, 2003;
Lakkakula et al., 2004; Lima dan Sastry, 1999).
Cho et al. (1999) melaporkan bahwa waktu penurunan desimal (Decimal
Reduction Time) dari spora Bacillus subtilis berkurang secara signifikan bila
menggunakan pemanas ohmik. Listrik memiliki efek membunuh terhadap spora
bakteri. Nilai z dan energi aktivasi (Ea) tidak secara signifikan berpengaruh, ini
menunjukkan bahwa listrik mempengaruhi tingkat kematian mikroba tetapi tidak
tergantung suhu proses inaktivasi spora (Cho et al., 1999).
Pemanasan ohmik digunakan dalam berbagai aplikasi seperti sebagai
pemanasan awal, blanching, pasteurisasi, sterilisasi, ekstraksi produk makanan
(Leizerson & Shimoni, 2005; Salengke, 2000; Lima dan Sastry, 1999; Mizrahi,
1996).
82
K. Kinetika Degradasi Termal Vitamin C
Reaksi-reaksi kimia yang terjadi dalam sistem pangan berlangsung
dengan laju yang berbeda-beda. Perubahan konsentrasi dari suatu komponen
kimia dipengaruhi oleh waktu. Laju reaksi sebagai akibat perubahan
konsentrasi (dC) terhadap perubahan waktu (dt), dinyatakan sebagai:
Laju reaksi menyatakan besarnya perubahan konsentrasi pereaksi
(reaktan) atau hasil reaksi (produk) dalam satuan waktu. Atau laju
pengurangan konsentrasi molar salah satu pereaksi atau pertambahan
konsentrasi molar salah satu produk per satuan waktu.
Dalam kinetika, suatu reaksi dapat berlangsung melalui beberapa tahap.
Diawali dengan tumbukan antar partikel reaktan. Setelah reaktan bertumbukan,
maka akan terjadi penyusunan ulang ikatan dalam senyawa reaktan menjadi
susunan ikatan yang berbeda (membentuk senyawa produk). Sampai tercapai
suatu keadaan dimana dalam sistem terdapat sejumlah reaktan dan produk
dan keadaan ini disebut sebagai transisi kompleks (Vogel, 1994).
Reaksi kimia bahan dapat mengikuti orde reaksi 0, 1, 2 dan seterusnya.
Pada reaksi orde satu, kecepatan reaksi berbanding lurus dengan konsentrasi
reaktan. Menurut Walstra (2003), pada reaksi orde satu, maka kecepatan
reaksi dapat dinyatakan dengan persamaan:
𝑘𝑐𝒅(𝑪)
𝒅𝒕...........(4)
dC/dt = - k [C]n ......…(5)
83
Kecepatan reaksi degradasi kinetika termal vitaminC secara teoritis
dinyatakan dengan model dasar persamaan tersebut, dalam hal ini dC/dt
adalah laju reaksi C, k adalah konstanta laju reaksi, [C] konsentrasi A, dan n
orde reaksi. Laju reaksi dC/dt merupakan fungsi dari berbagai variabel reaksi,
seperti jumlah molekul yang bereaksi, suhu, dan katalis (Kusnandar, 2010).
Gambar 15. Grafik ln (A) terhadap t untuk reaksi orde satu
1. Aplikasi Persamaan Arrhenius Pada Degradasi Vitamin C
Pada tahun 1889 Arrhenius mengusulkan suatu persamaan yang
menjelaskan pengaruh suhu terhadap k yang dinyatakan sebagai berikut:
Konstanta Kecepatan reaksi dinyatakan dalam simbol (k), A adalah
faktor frekuensi, energi aktivasi (Ea) yang pada kisaran suhu tertentu Ea
mempunyai nilai tetap, T Suhu (oK) dan R merupakan Konstanta gas (8,3145
J mol-1 K-1).
Pada dasarnya diketahui bahwa laju reaksi sangat dipengaruhi oleh
suhu. Dalam model Arrhenius suhu merupakan faktor yang sangat
k = Ae –Ea/RT............. (6)
84
berpengaruh terhadap penurunan mutu produk pangan. Semakin tinggi suhu,
maka akan semakin tinggi pula laju reaksi, dengan kata lain semakin tinggi T
maka akan semakin tinggi pula nilai k. Hubungan ini berdasarkan pada teori
aktivasi, bahwa suatu reaksi perubahan akan mulai berlangsung jika diberikan
sejumlah energi minimum yang disebut sebagai energi aktivasi (Ea) (Hariyadi,
2004).
Oleh karena Ct adalah jumlah C pada waktu t, C0 adalah jumlah awal
C, sehingga untuk menentukan jumlah kehilangan vitamin C, berdasarkan
rumus Arrhenius maka persamaan tersebut dalam bentuk logaritma menjadi:
Model Arrhenius banyak dipakai untuk mempelajari perubahan-
perubahan mutu pada produk pangan selama pengolahan maupun
penyimpanan (Hariyadi, 2004).
Pemodelan kinetika degradasi L-asam askorbat biasanya diasumsikan
mengikuti kinetika orde satu dalam bahan biologis sistem makanan (Johnson et
al., 1995). Persamaan orde satu adalah:
2. Penentuan Thermal Reduction Time
Decimal reduction time atau nilai D adalah waktu yang diperlukan untuk
menurunkan kadar L-asam askorbat sebesar satu siklus log atau 90% dari
kadar awal. Penentuan nilai D dapat menggunakan dilakukan dengan
membuat plot antara waktu pasteurisasi (sumbu x) dengan log kadar L-asam
Ln C = Ln Co – kt ……(8)
ln k = ln k0 - Ea/R . 1/T .........(7)
85
askorbat (sumbu y). Nilai D merupakan [-1/slope] dari kurva persamaan
tersebut (Sukasih dkk., 2005).
D = decimal reduction time (menit), t = waktu proses (menit), Co = konsentrasi
awal (mg), C = konsentrasi setelah proses (mg).
3. Penentuan Ketahanan Panas (Thermal Resistance Constant)
Ketahanan Panas atau Thermal Resistance Constant atau nilai z adalah
perubahan suhu yang diperlukan untuk menurunkan nilai D sebesar satu siklus
log atau 90% dari nilai awal. Penentan nilai z mengikuti (Persamaan 10) atau
dengan plot antara suhu pasteurisasi (sumbu x) dengan log nilai D (sumbu y)
pada kurva linier. Nilai z merupakan [- 1/slope] dari kurva persamaan tersebut
(Sukasih dkk, 2005).
z = thermal resistance constant (K), D2 = nilai D pada suhu T2 (menit). D1 =
nilai D pada suhu T1 (menit), D2 = nilai D pada suhu T2 (menit), k = konstanta
laju reaksi (menit-1).
4. Penentuan Laju Reaksi
Reaction rate constant atau nilai konstanta k adalah penggambaran
kecepatan reaksi perubahan asam askorbat. Nilai k dapat ditentukan
ditentukan dengan membuat kurva dengan plot antara waktu (t) dan ln kadar L-
Z =T2−T1
log D1−log D2…….(10)
D = t
log Co−log C………(9)
D =
t
log Co−log C
86
asam askorbat (ln C) dimana nilai k merupakan |-slope| dari kurva tersebut.
Nilai k juga dapat ditentukan dengan (Persamaan 11) (Sun, 2006).
5. Penentuan Energi Aktivasi
Energi aktivasi atau nilai Ea adalah energi minimum yang dibutuhkan
untuk memulai reaksi degradasi L-asam askorbat. Penentuan nilai Ea
menggunakan (Persamaan 12) dengan membuat plot antara 1/suhu (sumbu x)
dengan ln konstanta laju reaksi (sumbu y).
Nilai Ea merupakan hasil perkalian [-slope] dari kurva persamaan
tersebut dengan tetapan R (8,314 J/mol.K atau 1,987 kal/mol.K), ko adalah
faktor preeksponensial (menit-1), (Sukasih dkk, 2005).
k = 2,303
D…….(11)
Ln k = ln ko - 𝐸𝑎
𝑅 .
1
𝑇 …. (12)
87
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini berlangsung pada bulan Nopember2014 sampai dengan
bulan Apri 2017 di Teaching Industry Unhas, Laboratorium Biofarmaka pada
Pusat Kegiatan Penelitian Unhas, dan dilanjutkan pada bulan Juni sampai
Oktober 2017 di Laboratorium Analisa Bahan Makanan Jurusan Teknologi
Pertanian, Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian
Universitas Hasanuddin Makassar.
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain reaktor ohmik
berbahan dasar Teflon, elektroda, sistem akusisi (data logger), timer,
timbangan analitik, termometer, termokopel, desikator, kamera digital, stirer
magnetic, komputer (PC). Alat analisis lainnya adalah Spektrofotometer UV-
Vis, ELISA, Hand Refraktometer, alat-alat gelas, timbangan analitik, pH meter,
Cold Box, Juicer, Waskom Stainless Steel, pisau, botol/jars kecil, vial,
aluminium foil, kertas label, kain saring, kemasan plastik, kotak plastik, dan
kertas saring.
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah tomat. Bahan lainnya
yaitu: Air suling, metanol p.a (Merck), asam galat p.a (Merck), Reagen Folin –
Ciocalteu, natrium karbonat p.a (Merck), 2,2-difenil-1-pikrilhidrazil (DPPH) p.a
(Merck), heksan p.a (Merck), aseton (Merck), etanol p.a (Merck), aquades,
88
aquabides, 0,25 M NaH2PO4, 0,25 M Na2HPO4, 2,6–diklorofenolindofenol
(Merck), asam askorbat (Merck), asam asetat glasial (Merck), asam
metaphospat (Merck), natrium bikarbonat pekat (APS Ajax Finecham).
Semua bahan yang digunakan berderajat proanalisis.
C. Prosedur Penelitian
Penelitian ini terbagi atas beberapa tahap kegiatan utama yaitu: tahap
pertama yaitu pembuatan perangkat pemanas ohmik dan tahap kedua
running dan analisis.
Pada tahap pertama, dibuat perangkat pemanas ohmik yang terdiri dari
tabung/reaktor berbahan Teflon (volume 100 ml), elektroda pada sisi ujung
kiri-kanannya dan thermocouple pada bagian tengah tabung/reaktor yang
berfungsi mengatur arus listrik dari power supplay.
Tahap kedua (Running dan Analisis). Tahap ini dimulai dengan
menyiapkan buah tomat, buah tomat dipilih yang berwarna merah penuh.
Tomat lalu dicuci, diiris, diblender, disaring, dan diambil cairan/jus murni sari
tomat tanpa penambahan gula ataupun air. Selanjutnya adalah running,
adalah tahap pengoperasian/menjalankan alat dengan memanaskan jus
tomat yang ditempatkan dalam tabung pada alat pemanas ohmik. Jus tomat
yang diperoleh dianalisis sifat fisikokimianya meliputi: total asam, pH, total
padatan terlarut dan kandungan senyawa bioaktif jus antara lain: vitamin C,
polifenol, flavonoid (kuersetin), likopen, dan antioksidan dari jus tomat
tersebut.
89
D. Desain Penelitian dan Parameter Analisis
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Pola
Faktorial dengan 2 Faktor yaitu: Suhu Pemanasan dan Lama Pemanasan
dengan 3 kali ulangan. Pada penelitian ini perlakuan yang diterapkan pada alat
ohmik adalah Suhu Pemanasan yang terdiri dari 3 taraf yaitu: 70°C, 90°C, dan
110°C dan Lama Pemanasan: 15 menit, 30 menit, dan 45 menit, dengan model
matematika:
Keterangan:
Yijk = Nilai pengamatan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan
suhu pemanasan dan lama pemanasan ke-j
µ = Rata-rata nilai pengamatan sesungguhnya
α1 = Pengaruh Perlakuan Suhu Pemanasan ke-i
ß1 = Pengaruh Perlakuan Lama Pemanasan ke-j
(αß)ij = Pengaruh interaksi perlakuan ke-i dan ke-j
€ijk = Pengaruh galat perlakuan ke-i dan ke-j pada satuan percobaan ke-k
i = 1, 2, dan 3 j = 1, 2, dan 3 k = 1, 2, 3
Matriks perlakuan suhu dan lama pemanasan jus tomat dengan
pemanasan ohmik disusun dalam Tabel 6.
Tabel 6. Matriks Perlakuan Suhu Pemanasan dan Lama Pemanasan Ohmik
Perlakuan
Lama Pemanasan (15, 30, 45) menit
Suhu Pemanasan
(70, 90,110)° C
A
(70°C, 15 Menit)
B
(70°C, 30 Menit)
C
(70°C, 45 Menit)
D (90°C, 15 Menit)
E (90°C, 30 Menit)
F (90°C, 45 Menit)
G
(110°C, 15 Menit)
H
(110°C, 30 Menit)
I
(110°C, 45 Menit)
Yijk = µ + α1 + ßj + (αß)ij + €ijk…(13)
90
Keterangan:
A = pemanasan 70oC, 15 menit E = pemanasan 90oC, 30 menit
B = pemanasan 70oC, 30 menit G = pemanasan 110oC, 15 menit
C = pemanasan 70oC, 45 menit H = pemanasan 110oC, 30 menit
D = pemanasan 90oC, 15 menit I = pemanasan 110oC, 45 menit
F = pemanasan 90oC, 45 menit O = sebelum pemanasan (kontrol)
E. Prosedur Analisis
Jus tomat yang dihasilkan pada pemanasan ohmik dilakukan analisis
meliputi: pengukuran total asam, pH, total padatan terlarut, vitamin C,polifenol
(total fenol),flavonoid (kuersetin),likopen dan antioksidan. Adapun prosedur
analisisnya sebagai berikut:
1.Total Asam (AOAC, 2000).
Sebanyak 10 g jus buah ditambahkan dengan 100 ml aquades.
Kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 250 ml, diencerkan sampai tanda
tera dengan aquades yang digunakan sebagai pembilas mortal. Contoh
disaring, ambil 100 ml filtrat yang diperoleh dan dimasukkan ke dalam
erlenmeyer. Contoh tersebut ditambahkan 3 tetes phenolptalein dan dititrasi
dengan NaOH 0,1 N sampai timbul warna merah jambu. Perhitungan total
asam dilakukan dengan rumus:
Keterangan:
a = jumlah NaOH 0.1 N untuk titrasi (ml)
b = 100 gram bahan
Total Asam = 𝒃
𝒂………..(14)
91
2. Pengukuran pH (AOAC, 2000)
Pengukuran pH menggunakan alat pH meter. Prosedur pengukuran pH
ialah sebagai berikut: pH meter yang akan digunakan distandarkan terlebih
dahulu dengan larutan buffer 4,01 dan pH 9,18 masing-masing pada suhu
25oC. Sebelum dan sesudah pemakaian, elektroda dibilas dengan akuades.
Larutan diukur pHnya menggunakan elektroda yang telah dikalibrasi.
3. Total Padatan Terlarut (Norman, 1998)
Total Padatan Terlarut merepresentasikan kadar gula atau kadar
padatan yang terlarut dalam bahan tersebut (Winarno dan Aman 1979). Uji
total padatan terlarut dilakukan untuk mengetahui kadar gula pada jus.
Pengukuran ini dilakukan dengan cara meneteskan larutan jus pada kaca
sensor yang ada pada hand refraktometer dan angka derajat brix segera dapat
dibaca.
4. Analisis Vitamin C dengan 2,6-Diklorofenol Indofenol (AOAC, 2006).
a. Pembuatan Larutan Pereaksi
1. Larutan Asam Asetat Metafosfat
Melarutkan15 g asam metafosfat dalam 40 ml asam asetat glasial
pekat dan 200 ml aquadest dalam labu takar 500 ml kemudian dikocok
kuat-kuatdan diencerkan sampai dengan 500 ml. Larutan disaring
kemudian dimasukkan ke dalam botol gelap tertutup di simpan dalam
lemari pendingin, larutan dapat bertahan 7-10 hari.
92
2. Larutan Standar Asam Askorbat (5 mg /100 ml)
Melarutkan 5 mg Vitamin C dalam metafosfat kemudian di
masukkan dalam labu takar 100 ml diencerkan sampai tanda.
3. Larutan 2,6–Diklorofenol Indofenol 10 mg%
Melarutkan 50 mg Na-2,6-diklorofenolindofenol yang telah
disimpan dalam desikator, kemudian di tambahkan 50 ml air yang
megandung 40 mg Na bikarbonat pekat apabila sudah larut di tambahkan
air sampai 200 ml, pipet 40 ml 2,6 diklorofenol indofenol yang telah
dibuat tadi, encerkan100 ml sampai tanda. Kemudian disaring ke dalam
botol bersumbat kaca berwarna coklat. Larutan baku 2,6-
diklorofenolindofenol digunakan dalam waktu 3 hari dan distandarisasi
sebelum digunakan.
b. AnalisisSampel
1. Titrasi sampel
Diambil 5 ml jus tomat ohmik dimasukkan dalam erlenmeyer 100
ml ditambahkan 2 ml asam metafosfat dan dikocok kuat kemudian
larutan titrasi dengan 2,6 diklorofenolindofenol dan titrasi dihentikan
sampai larutan merah muda. Banyaknya titran dicatat (SP).
2. Titrasi Blanko
Diambil 5 ml aquades dimasukan dalam Erlenmeyer 100 ml
kemudian ditambahkan asam metafosfat dan kocok kuat kemudian
93
larutan dititrasi dengan 2,6-diklorofenolindofenoltitrasi dihentikan sampai
larutan merah muda. Banyak titran dicatat (BL).
3. Titrasi Standar Asam Askorbat
Diambil 5 ml asam askorbat standar masukan ke dalam
erlenmeyer 100 ml kemudian ditambahkan asam metafosfat dan kocok
kuat kemudian larutan dititrasi dengan 2,6-diklorofenol indofenol titrasi
dihentikan sampai larutan merah muda.Banyak titran dicatat (ST).
Setiap perlakuan diulang 3 kali.Dari hasil percobaan diatas dapat
dihitung kandungan vitamin C dalam setiap 100 ml jus tomat yang
diteliti. Berat jus tomat (n gram), sehingga kandungan vitamin C dapat
dihitung dengan rumus berikut:
Keterangan:
n = jumlah sampel (ml)
SP = jumlah titran sampel l(ml)
BL = jumlah titran blanko (ml)
ST = jumlah titran standar asam askorbat (ml)
1. Pengukuran Total Fenol dengan Metoda Folin-Ciocalteau (Orak, 2006).
Masing-masing sampel jus ditimbang sebanyak 10 mg lalu dilarutkan
dengan etanol 96% sebanyak 10 ml. Masing-masing sampel dipipet 100 µl lalu
dimasukkan ke dalam labu takar 5 ml.
K = 100
𝑛𝑥
𝑆𝑃−𝐵𝐿
𝑆𝑇−𝐵𝐿 𝑥 𝑆𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 𝑥 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛…….(15)
94
Dilakukan penambahan reagen Folin-Ciocalteau sebanyak 500 µl dan
aquadest hingga tanda tera. Dilakukan pengocokan hingga homogen dan
didiamkan selama beberapa menit.
Dilakukan pengukuran absorbansi dengan panjang gelombang 724 nm.
Masing-masing sampel ditentukan total fenolnya melalui persamaan regresi
dari kurva kalibrasi asam galat.
2. Penentuan Flavonoid (Kuersetin) (Chang et al., 2002).
Penentuan kadar flavonoid (total fenol) dilakukan dengan memodifikasi
mengikuti prosedur Chang et al. (2002). Sebanyak larutan sampel (5.000
µg/mL) dicampur dengan 1,5 ml etanol 96%, 0,1 ml aluminium klorida (AlCl3)
10%, 0,1 mL natrium asetat 1 M, dan 2,8 mL air destilasi. Setelah diinkubasi
dalam temperatur ruang selama 30 menit, diukur absorbansi dari campuran
reaksi pada panjang gelombang 431 nm dengan spektrofotometer UV-vis.
Sejumlah aluminium klorida 10% digantikan dengan sejumlah akuades sebagai
blanko. Untuk membuat kurva kalibrasi digunakan standar kuersetin dengan
variasi konsentrasi 2 µg/ml, 4 µg/ml, 6 µg/ml, 8 µg/ml, dan 10 µg/ml. Untuk
standar dilakukan prosedur yang sama seperti dengan sampel.
3. Penentuan Kadar Likopen (Sharma dan Le Meguer, 1996)
Jus tomat ditimbang 5 gram, masukkan ke dalam Erlenmeyer bertutup
yang dilapisi dengan kertas aluminium foil pada bagian luar & terlindungi dari
cahaya tambahkan 50 ml larutan (heksana : aseton : etanol = 2:1:1) v /v,
dikocok selama 30 menit dengan magnetik stirer, pindahkan ke corong pisah
kemudian tambahkan 10 ml air suling kemudian dikocok lagi selama 15 menit.
95
Pisahkan lapisan polar dan lapisan non polar, ambil semua lapisan atas (non
polar) masukkan dalam labu ukur 100 ml tambahkan pelarut organik sampai
tanda batas. Kadar likopen total ditentukan dari lapisan non polar (bagian atas)
dengan spektrofotometer UV – Vis pada panjang gelombang maksimum 471
nm, dengan menggunakan rumus berikut:
Keterangan:
C = konsentrasi (g/100 ml),
A = Absorban,
B = tebal kuvet (cm), dan
E = 𝐸1𝑐𝑚 1% = 3450
4. Uji Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH (Molineaux, 2004).
Sebanyak 10 ml jus tomat dilarutkan dalam labu ukur 100 ml dengan
metanol lalu volumenya dicukupkan dengan metanol sampai garis tanda
(larutan induk 1000 ppm). Larutan induk dipipet sebanyak 1 ml; 2 ml; 3 ml; dan
4 ml dan 5 ml ke dalam labu ukur 100 ml untuk mendapatkan konsentrasi
larutan uji 100 ppm, 200 ppm, 300 ppm, 400 ppm dan 500 ppm.
Kedalam masing-masing labu ukur ditambahkan 5 ml larutan DPPH 0,5
mM lalu volumenya dicukupkan dengan metanol sampai garis tanda. Larutan
blanko dibuat dengan cara larutan DPPH 0,5 mM dipipet sebanyak 5 ml
kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml lalu volumenya dicukupkan
dengan metanol sampai garis tanda.
𝐶 =𝐴
𝐸1𝑐𝑚1% 𝑥 𝑏…….(16)
96
Absorbansi DPPH diukur dengan spektrometer sinar tampak pada
panjang gelombang 517 nm, pada selang waktu 5 menit mulai 0 menit sampai
30 menit. Kemampuan antioksidan diukur sebagai penurunan serapan larutan
DPPH akibat adanya penambahan sampel. Nilai serapan larutan DPPH
sebelum dan sesudah penambahan ekstrak tersebut dihitung sebagai persen
inhibisi (% inhibisi) dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
A kontrol = Absorbansi tidak mengandung sampel
A sampel = Absorbansi sampel
Selanjutnya hasil perhitungan dimasukkan ke dalam persamaan regresi
dengan konsentrasi ekstrak (ppm) sebagai absis (sumbu X) dan nilai % inhibisi
(antioksidan) sebagai ordinatnya (sumbu Y). Nilai IC50dari perhitungan pada
saat % inhibisi sebesar 50%. Y = aX + b (Cahyana, 2002).
F. Pengolahan Data
Data hasil pengamatan diolah dengan analisis sidik ragam (Analsis of
Variance). Bila memperlihatkan pengaruh nyata (α=0.05), maka dilanjutkan
dengan uji beda nyata dengan menggunakan uji beda jarak berganda Duncan
(Aqil dan Efendi, 2015).
% Inhibisi = (𝐴𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙−𝐴𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙)
𝐴𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 x 100% ……..(19)
97
G. Skema Proses Pemanasan Jus Tomat
Gambar 16. Skema Proses Pemanasan Jus Tomat Ohmik
Buah Tomat (Merah)
Sortasi
Pencucian
Pemotongan (menjadi bagian yang lebih kecil)
Penghancuran
Penyaringan
Pemanasan Ohmik: Suhu Pemanasan: (70, 90 dan 110) ºC
Lama Pemanasan: (15, 30 dan 45) Menit
Jus Tomat
Analisis: Total Asam, pH, Total Padatan
Terlarut, Vitamin C, Polifenol (Total Fenol), Flavonoid (Kuersetin), Likopen,
dan Antioksidan
98
BAB IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pemanasan Jus Tomat Ohmik
Dalam penelitian ini jus tomat dipanaskan dengan Teknologi ohmik
menggunakan suhu 70oC, 90oC, 110oC dan lama pemanasan 15, 30, dan 45
menit. Pada Gambar 17, terlihat warna jus tomat yang semakin gelap dengan
semakin tingginya suhu dan lama pemanasan. Jus tomat berwarna merah
menuju merah tua kecoklatan.
Gambar 17. Jus Tomat Ohmik
Keterangan: A = pemanasan 70oC, 15 menit F = pemanasan 90oC, 45 menit
B = pemanasan 70oC, 30 menit G = pemanasan 110oC, 15 menit
C = pemanasan 70oC, 45 menit H = pemanasan 110oC, 30 menit
D = pemanasan 90oC, 15 menit I = pemanasan 110oC, 45 menit
E = pemanasan 90oC, 30 menit O = sebelum pemanasan (30ºC)
Likopen penyumbang warna merah pada tomat. Semakin tinggi suhu
pemanasan dan semakin lama waktu pemanasan, jumlah likopen semakin
meningkat dan intensitas warna merah jus tomat semakin berkurang dan
warnanya berubah dari merah terang menjadi merah kecoklatan. Hal ini
berkaitan antara lain karena perlakuan panas dan lama pemanasan
99
menyebabkan terjadinya perubahan struktur likopen dan reaksi browning yang
mengakibatkan warna gelap pada jus tomat.
Shi dan Le Maguer (2000) dalam penelitiannya melaporkan bahwa
panas memicu terjadinya isomerasi likopen dari bentuk trans menjadi bentuk
cis. Isomerisasi menyebabkan intensitas warna likopen berkurang (Selmi et al.,
2013). Reaksi Maillard (browning non enzimatis) dapat berlangsung selama
pemanasan jus tomat ohmik. Reaksi ini disebabkan karena adanya gugus
karbonil dari gula reduksi dengan gugus amino dari asam amino atau protein
membentuk pigmen coklat. Gula reduksi antara lain adalah monosakarida
(glukosa atau fruktosa) dan disakarida (maltosa atau laktosa). Buah tomat
mengandung asam amino dan karbohidrat yang terdiri dari gula-gula
sederhana dan juga yang tergolong gula pereduksi, sehingga memungkinkan
terjadinya reaksi Maillard selama pemanasan. Reaksi Maillard berlangsung
semakin cepat dengan kenaikan pH dan suhu (Tranggono dan Sutardi, 1990;
Richardson, 2004).
Mekanisme terjadinya reaksi Maillard melalui beberapa tahapan reaksi
sehingga terbentuk pigmen berwarna coklat. Reaksi awal adalah terjadinya
kondensasi pada gugus aldehid dari gula dengan gugus amino yang
menghasilkan glikosamin. Kemudian glikosamin mengalami isomerisasi
membentuk senyawa amadori. Senyawa amadori akan kehilangan gugus
amina (deaminasi) membentuk beberapa fragmen dikarbonil. Salah satu
senyawa fragmen dikarbonil yang paling utama dalam reaksi Maillard adalah 5-
hidroksimetil 2-furfuraldehid (HMF). Selanjutnya HMF ini mengalami
polimerisasi menjadi senyawa berwarna coklat yang disebut melanoidin dan
100
senyawa perusak rasa seperti pirazin (Tranggono dan Sutardi, 1990;
Richardson, 2004).
Penyumbang warna gelap (kecoklatan) lainnya pada jus tomat adalah
terjadinya degradasi asam askorbat selama pemanasan berlangsung.
Degradasi asam askorbat bergantung dari beberapa faktor antara lain pH,
suhu, dan oksigen. Dengan adanya oksigen dan panas, asam askorbat akan
teroksidasi dengan kecepatan yang sebanding dengan kenaikan suhu. Proses
oksidasi asam askorbat umumnya terjadi pada pH berkisar 2–5, dan pH
yang paling optimum adalah berkisar 4–5 (Clegg, 1966). Pada pH lebih tinggi
pencoklatan yang disebabkan oleh oksidasi asam askorbat akan berkurang
(Tranggono dan Sutardi, 1990), tetapi pencoklatan dari reaksi Maillard tetap
berlangsung.
Degradasi vitamin C dapat berlangsung secara aerob dan anaerob.
Secara anaerob asam askorbat mengalami ketonisasi menjadi ketotautomer
(keto-ascorbic acid) yang kemudian mengalami delaktonisasi menjadi asam
diketogulonat (diketogulonic acid). Dengan cara aerob, oksidasi dapat
berlangsung dengan atau tanpa katalis. Kedua cara tersebut menghasilkan
asam dehidro askorbat, yang selanjutnya akan mengalami degradasi lagi
menjadi asam 2,3-diketogulonat (Eskin, 1990). Senyawa asam 2,3-
diketogulonat ini kemudian terdekomposisi membentuk furfural dan
melepaskan CO2. Senyawa furfural inilah yang membentuk pigmen berwarna
coklat (Tranggono dan Sutardi, 1990).
Pada penelitian ini jus tomat merupakan cairan yang bersifat asam.
Menurut Kuellmer (2001) larutan asam askorbat yang mengalami proses
101
browning dapat dilihat dari warna larutannya yang semula berwarna kekuning-
kuningan kemudian berangsur–angsur berubah warna menjadi kecoklatan.
Pada larutan yang mengandung asam askorbat, asam sitrat ternyata juga
memiliki peranan yang penting dalam pembentukan proses browning. Peristiwa
ini tidak dipengaruhi oleh pH dan ketidakhadiran asam sitrat tersebut tidak
dapat digantikan oleh asam organik yang lain. Melihat bahwa asam organik
yang paling dominan pada tomat adalah asam sitrat, maka dapat dikatakan
bahwa faktor asam sitrat juga dapat menjadi penyumbang warna gelap pada
jus tomat ohmik. Demikian pula Richardson (2004), menyatakan bahwa reaksi
browning berlangsung lebih cepat seiring dengan bertambahnya suhu.
Suhu pemanasan yang semakin tinggi serta waktu pemanasan ohmik yang
semakin lama, menyebabkan warna jus semakin coklat.
Suhu yang diterapkan pada pemanasan dengan teknologi ohmik adalah
70oC, 90oC, 110oC dan lama (waktu) pemanasan 15, 30, dan 45 menit.
Pemanasan bergerak dari suhu awal (suhu ruang) 30oC menuju suhu referensi
dan durasi masing-masing pemanasan. Lama pemanasan (detik) dari suhu
awal (suhu ruang) untuk mencapai suhu referensi (pemanasan) tercapai dalam
waktu berbeda-beda seperti tertera pada Tabel 7.
Tabel 7. Pemanasan Ohmik Jus Tomat (Suhu Awal -Suhu Pemanasan) Kode
Perlakuan Suhu
Pemanasan (°C)
Lama Pemanasan
(menit)
Suhu Ruang ke Suhu Pemanasan
(Suhu Referensi)
Waktu (detik)
A 70 15 (30°C - 70°C) 63
B 70 30 (30°C - 70°C) 75
C 70 45 (30°C - 70°C) 98
D 90 15 (30°C - 90°C) 88
E 90 30 (30°C - 90°C) 95
F 90 45 (30°C - 90°C) 104
G 110 15 (30°C - 110°C) 95
H 110 30 (30°C - 110°C) 107
I 110 45 (30°C - 110°C) 114
102
Pada penelitian ini digunakan jus tomat untuk melihat hubungan antara
suhu dan lama pemanasan. Untuk menggambarkan karakteristik laju
pemanasan jus tomat dengan teknologi ohmik dapat dijelaskan dalam grafik
hubungan antara suhu dan waktu (lama) pemanasan.
Gambar 18. Laju Pemanasan Jus Tomat (dari Suhu Awal 30ºC Mencapai Suhu
Referensi 70, 90, dan 110ºC) dan Dipertahankan Stabil pada Masing-Masing Suhu Selama 15 Menit.
Gambar 18 memperlihatkan laju pemanasan ohmik jus tomat mencapai
lama waktu 15 menit. Suhu awal (sebelum pemanasan/tanpa ohmik) adalah
suhu ruang yakni 30oC, kemudian dipanaskan untuk mencapai suhu referensi
70oC, 90oC, dan 110oC dan hasilnya adalah waktu pemanasan yang ditempuh
rata-rata 63 detik, 88 detik dan 95 detik pada masing-masing suhu. Pada awal
pemanasan untuk mencapai suhu pemanasan 70oC dari suhu ruang 30oC, laju
pemanasan berjalan normal. Setelah pemanasan berjalan 60 detik terlihat
kurva mulai melandai, hal ini menandakan bahwa mulai terjadi proses
pendidihan jus tomat, dan pada permukaan elektroda terjadi reaksi kimia yaitu
munculnya gelembung-gelembung gas yang mengakibatkan laju pemanasan
melambat karena intensitas arus listrik cenderung menurun.
0
20
40
60
80
100
120
0 20 40 60 80 100
Suh
u (o
C)
Lama Pemanasan (detik)
Suhu 90
Suhu 70
Suhu 110
103
Gambar 19. Laju Pemanasan Jus Tomat (dari Suhu Awal 30ºC Mencapai Suhu
Referensi 70, 90, dan 110ºC) dan Dipertahankan Stabil pada Masing-Masing Suhu Selama 30 Menit.
Demikian halnya pada gambar 19 memperlihatkan laju pemanasan
ohmik jus tomat pada suhu 70oC, 90oC dan 110oC dengan waktu pemanasan
30 menit. Secara berurutan, waktu pemanasan yang diperlukan rata-rata 75
detik, 95 detik dan 107 detik untuk mencapai suhu target 70oC, 90oC, dan
110oC beranjak dari suhu awal 30oC.
Gambar 20. Laju Pemanasan Jus Tomat (dari Suhu Awal 30ºC Mencapai Suhu
Referensi 70, 90, dan 110ºC) dan Dipertahankan Stabil pada Masing-Masing Suhu Selama 45 Menit.
Selanjutnya pada gambar 20 adalah laju pemanasan ohmik jus tomat
pada suhu 70oC, 90oC dan 110oC dengan waktu pemanasan 45 menit,
0
20
40
60
80
100
120
0 20 40 60 80 100 120
Suh
u(o
C)
Lama Pemanasan (detik)
Suhu 70
Suhu 90
Suhu 110
0
20
40
60
80
100
120
0 50 100 150
Suh
u (o
C)
Lama Pemanasan (detik)
Suhu 70
Suhu 90
Suhu 110
104
diperlukan waktu pemanasan rata-rata 98 detik, 104 detik dan 114 detik, untuk
mencapai suhu target 70oC, 90oC, dan 110oC dari suhu awal 30oC.
Berdasarkan grafik 18, 19, dan 20, suhu pemanasan berada pada
kelompok suhu 70oC, 90oC, dan 110oC dengan lama pemanasan15, 30, dan 45
menit, yang berarti bahwa pemanasan jus tomat mencapai suhu 110oC dan
bertahan selama 45 menit. Sehingga dengan kondisi pemanasan tersebut
dapat dikatakan bahwa pemanasan ohmik yang diterapkan pada jus tomat
mencapai suhu pemanasan pada proses pasteurisasi HTST (High Temperatur
Short Time). Suhu minimal pasteurisasi HTST sebesar 72°C dan ditahan
maksimal selama 15 detik (Budiyono, 2009). Sterilisasi pada kombinasi suhu
tinggi dan waktu singkat akan mampu memberikan tingkat inaktivasi mikroba
sesuai dengan target yang diinginkan, tetapi sekaligus melindungi zat gizi,
sehingga hanya menyebabkan kerusakan mutu dan gizi yang minimum. Prinsip
inilah yang kemudian mendasari dan melahirkan teknik-teknik UHT (Ultra High
Temperature) atau HTST (High Temperature Short Time) (Hariyadi, 2010).
Jika diamati semakin tinggi perlakuan suhu yang diberikan (Gambar 18,
19, dan 20) maka konduktivitas listrik yang dihasilkan juga semakin tinggi,
sehingga semakin cepat proses pemanasan untuk mencapai suhu referensi.
Kerapatan arus menyebabkan meningkatnya suhu akibat pembangkitan panas
secara internal oleh tahanan listrik pada bahan (jus tomat).
Hal ini menjelaskan jika jaringan seluler dipanaskan secara ohmik, maka
kenaikan suhu akan linier dengan kenaikan gradien tegangan yang diberikan
sehingga akan semakin efektif dalam memanaskan bahan (Muchtadi dan
Ayutaningwarno, 2010). Proses pemanasan semakin efektif saat suhu
105
pasteurisasi semakin tinggi, hal ini terjadi karena proses elektro-osmosis ketika
pemanasan berlangsung yang juga bergantung dengan besar dan kecilnya
beda potensial yang diberikan pada bahan (Muchtadi dan Ayitaningwarno,
2010). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan (Sastry dan Salengke,
1998) konduktivitas listrik bahan pangan meningkat secara linier dengan
peningkatan suhu sehingga proses pemanasan menjadi semakin efektif oleh
meningkatnya suhu selama proses pemanasan ohmik berlangsung.
Beberapa penelitian dengan menggunakan pemanasan ohmik pada jus
buah telah dilakukan seperti yang dilaporkan oleh Icier dan Ilicali (2005b)
bahwa konduktivitas listrik meningkat secara linear dengan meningkatnya suhu
untuk jus buah jeruk saat gradien tegangan 20 sampai 60 V/cm. Palaniappan
dan Sastry (1991) melaporkan bahwa konduktivitas listrik dari jeruk, wortel dan
tomat jus meningkat dengan suhu dan menurun dengan kandungan padatan.
Icier et al. (2008) juga menemukan bahwa konduktivitas listrik meningkat
karena suhu meningkat mulai dari 0,4 sampai 0.75 S/m untuk jus anggur segar.
Amiali et al. (2006) mempelajari bahwa konduktivitas listrik (0.13 sampai 0.63
S/m) meningkat secara linear dengan meningkatnya suhu untuk jus buah (yaitu
apel, oranye, dan jus nanas). Pemanasan ohmik jus buah dipelajari pada
gradien tegangan yang berbeda (7,5 sampai 26.25V/ cm). Hasil penelitian
Kong et al. (2008) menunjukkan bahwa gradien tegangan secara signifikan
mempengaruhi tingkat pemanasan ohmik. Konduktivitas listrik juga berubah
secara signifikan dengan berubahnya suhu. Penelitian tersebut untuk
memperoleh data konduktivitas listrik jus lemon selama pemanasan ohmik
pada kisaran suhu sterilisasi.
106
B. Karakteristik Kimia
1. Total Asam
Jenis asam banyak ditemukan pada beberapa jenis tanaman, terutama
buah-buahan. Asam-asam ini terdapat dalam jumlah kecil dan merupakan hasil
antara (intermediete) dalam metabolisme, yaitu dalam siklus kreb (siklus asam
trikarboksilat), siklus asam glioksilat, dan siklus asam shikimat. Penentuan total
asam pada jus tomat dilakukan untuk mengetahui kandungan asam pada jus
tersebut setelah proses pemanasan.
Pada penelitian ini kandungan total asam jus tomat yang
dipanaskan secara ohmik memperlihatkantren penurunan dengan semakin
tinggi suhu pemanasan. Demikian juga semakin lama pemanasan semakin
rendah kandungan total asam jus tomat. Berdasarkan analisis sidik ragam
(Lampiran 2) memperlihatkan bahwa suhu dan lama pemanasan serta interaksi
suhu dan lama pemanasan berpengaruh nyata terhadap total asam jus tomat.
Uji lanjut Duncan, memperlihatkan perlakuan suhu pemanasan 70°C, berbeda
nyata dengan perlakuan suhu pemanasan 90°C dan 110°C, tetapi perlakuan
suhu pemanasan 90°C tidak berbeda nyata dengan perlakuan suhu
pemanasan110°C. Perlakuan lama pemanasan 15 menit berbeda nyata
dengan perlakuan lama pemanasan 30 menit dan perlakuan 45 menit.
107
Gambar 21. Hubungan Suhu Pemanasan (ºC) dan Lama Pemanasan (Menit) terhadap Total Asam (%) Jus Tomat
Penurunan kandungan total asam jus tomat pada proses pemanasan
ohmik disajikan pada Gambar 21. Nilai total asam mula-mula (tanpa perlakuan
ohmik) adalah 0,1691% dan setelah dipanaskan nilai berkisar 0,1627-
0,1164%. Pada pemanasan suhu 110°C selama 45 menit
mengalami penurunan total asam terendah yaitu 0,1164%. Kecenderungan
menurunnya total asam ditentukan oleh beberapa faktor, seperti konsentrasi
dari asam askorbat, asam sitrat serta malat dan lain-lain dari jus tomat.
Semakin berkurang asam-asam yang terkandung dalam jus tomat maka nilai
total asamnya semakin rendah.
Asam organik adalah asam lemah dan mengalami ionisasi sebagian
dalam larutan yang encer (Gaman dan Sherrington, 1992). Semakin lama
pemanasan, maka asam-asam organik seperti asam askorbat mengalami
kerusakan, asam askorbat mengalami proses oksidasi yang juga menurunkan
keasaman produk. Reaksi yang melibatkan asam organik tersebut berlangsung
lebih cepat dengan meningkatnya suhu pemanasan. Menurut Winarno (2002),
00.020.040.060.08
0.10.120.140.160.18
TanpaOhmik
15 30 45
Tota
l Asa
m (
%)
Lama Pemanasan (Menit)
70°C
90°C
110°C
108
kerusakan asam dapat dipercepat oleh adanya kontak panas yang lama, sinar,
alkali, enzim, oksidator, serta katalis tembaga dan besi.
Total asam jus tomat ohmik berkurang dengan bertambahnya waktu dan
suhu pemanasan oleh karena asam sitrat berpartisipasi dalam reaksi kimia
pembentukan pigmen coklat (Clegg, 1966). Pengurangan total asam akibat
terjadinya oksidasi asam askorbat juga merupakan bagian dari pengurangan
total asam. Semakin tinggi suhu pemanasan, maka reaksi yang melibatkan
asam organik tersebut berlangsung lebih cepat. Hal ini menyebabkan total
asam pada proses pemanasan menurun lebih cepat seiring dengan
bertambahnya suhu pemanasan.
Total asam adalah jumlah total asam organik yang dapat dititrasi dengan
larutan NaOH. Total asam dinyatakan sebagai asam sitrat, karena asam sitrat
merupakan kandungan asam organik terbesar dalam tomat (Clegg, 1966).
Selain asam sitrat, asam malat adalah asam organik yang paling berkontribusi
terhadap cita rasa buah tomat. Asam-asam lain yang telah terdeteksi adalah
asam asetat, format, trans-asonitat, laktat dan asam galakturonat.
Penurunan total asam diperlihatkan pula oleh Peneltian Rahayu dan
Yunianta (2015), dimana pada pemanasan saribuah kedondong pada suhu
90°C, prosentase total asam saribuah (jus) kedondong cenderung menurun
dengan semakin lamanya pemanasan.
2. Derajat Keasaman (pH)
Nilai pH menunjukkan konsentrasi ion hidrogen yang menggambarkan
tingkat keasaman. Nilai pH merupakan parameter yang sangat penting untuk
diketahui didalam pengolahan maupun pengawetan bahan makanan.
109
Pengukuran pH atau derajat keasaman dilakukan untuk mengetahui tingkat
keasaman suatu produk.
Gambar 22. Hubungan Suhu Pemanasan (ºC) dan Lama Pemanasan (Menit) terhadap pH Jus Tomat
Nilai pH jus tomat dapat dilihat pada Gambar 22. Pada proses
pemanasan ohmik, semakin tinggi suhu pemanasan maka nilai pH semakin
meningkat. Demikian pula semakin lama waktu pemanasan nilai pH jus tomat
juga semakin tinggi. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 3)
menunjukkan suhu dan lama pemanasan serta interaksi suhu dan lama
pemanasan berpengaruh nyata terhadap pH jus tomat. Uji lanjut Duncan,
memperlihatkan suhu pemanasan berbeda nyata antara perlakuan suhu 70°C,
90°C, dan 110°C. Sedangkan perlakuan lama pemanasan 15 menit berbeda
nyata dengan perlakuan 30 menit dan 45 menit, tetapi perlakuan pemanasan
30 menit dan 45 menit tidak berbeda nyata pada pH jus tomat.
Pada kondisi pemanasan ini, mula-mula pH jus tomat tanpa diberi
perlakuan ohmik nilainya adalah 4,32. Nilai pH terendah 4,05 dicapai pada
pemanasan 70°C selama 15 menit dan mencapai pH tertinggi 4,64 pada
pemanasan 110°C selama 45 menit. Hasil penelitian Vikram et al. (2004)
3.73.83.9
44.14.24.34.44.54.64.7
Tanpa Ohmik 15 30 45
PH
Lama Pemanasan (Menit)
70°C
90°C
110°C
110
menyatakan bahwa semakin tinggi suhu pemanasan, maka degradasi vitamin
C dalam jus tomat berlangsung semakin cepat. Semakin banyak vitamin C
yang terdegradasi semakin meningkat pH jus tomat.
Kecenderungan peningkatan pH pada produk jus tomat ohmik dengan
semakin lamanya pemanasan disebabkan oleh pengaruh panas yang diberikan
mengakibatkan degradasi beberapa zat gizi terutama zat-zat yang labil
terhadap panas seperti asam-asam organik, salah satunya asam sitrat, asam
askorbat serta asam-asam lain sehingga total asam berkurang dalam produk.
Kerusakan asam dapat dipercepat oleh adanya kontak panas yang lama, sinar,
alkali, enzim, oksidator, serta katalis tembaga dan besi (Winarno, 2002).
Umumnya pemanasan ohmik tidak menyebabkan banyak perbedaan
terhadap keasaman dan nilai padatan terlarut dari makanan cair (Icier dan
Ilicali, 2004, 2005ab; Icier et al., 2008; Bozkurt dan Icier, 2010; Yildiz et al.,
2009, 2010 ).
Selain suhu, aktivitas air, oksigen, nutrisi, dan senyawa antimikroba,
maka pH mempengaruhi pertumbuhan mikroba pada bahan pangan.
Kebanyakan mikroba tumbuh baik pada pH sekitar netral dan pH 4,6- 7,0 yang
merupakan kondisi optimum untuk pertumbuhan bakteri, sedangkan kapang
dan khamir tumbuh pada pH yang lebih rendah. Pangan dikelompokkan
berdasarkan nilai pHnya yaitu: kelompok pangan berasam rendah, adalah
pangan yang mempunyai nilai pH 4,6 atau lebih seperti daging, ikan, telur, dan
kebanyakan sayuran. Pangan jenis ini harus mendapat perlakuan pengawetan
secara hati-hati karena mudah mengalami kerusakan oleh bakteri, termasuk
bakteri patogen yang berbahaya. Pangan asam, yang mempunyai pH 3,7-4,5
111
misalnya beberapa sayuran dan buah-buahan, dan pangan berasam tinggi,
yang mempunyai pH dibawah 3,7 misalnya sayur asin, acar, dan lain-lain
(Fardiaz, 1992).
Setiap organisme mempunyai kisaran nilai pH dimana pertumbuhan
masih memungkinkan dan biasanya masing-masing mempunyai pH optimum.
Kebanyakan organisme tumbuh pada pH sekitar 7.0 (6.6-7.5), dan hanya
beberapa yang dapat tumbuh di bawah pH 4.0. Bakteri mempunyai kisaran
pH pertumbuhan lebih sempit dibandingkan dengan kapang dan khamir.
Sebagai contoh, kebanyakan bakteri tidak dapat kapang mempunyai kisaran
pH pertumbuhan 1.5-11.0, khamir mempunyai kisaran pH pertumbuhan 1.5-
8.5. Oleh karena itu, makanan yang mempunyai pH lebih rendah akan semakin
awet karena semakin sedikit jenis mikroorganisme yang dapat tumbuh.
Nilai pH atau keasaman makanan dipengaruhi oleh asam yang
terdapat pada makanan tersebut. Asam didalam makanan dapat terbentuk
secara alamiah, seperti asam buah-buahan, atau terbentuk selama fermentasi,
misalnya yoghurt, pikel, sayur asin, dan sebagainya. Nilai pH minimum untuk
pertumbuhan mikroorganisme kadangkala dipengaruhi oleh jenis asam yang
terdapat dalam makanan tersebut. Sebagai contoh, beberapa Laktobasili
dapat tumbuh pada pH yang lebih rendah jika asam yang terdapat pada
makanan tersebut berupa asam asetat atau asam laktat. Dalam penelitian ini
pH jus tomat yang dipanaskan secara ohmik mempunyai kisaran pH 4,05
sampai 4,64, yang berarti bahwa pH jus tomat berada pada kisaran kelompok
pangan yang tergolong asam (3,7<pH<4,5) sampai berasam rendah (pH≥4,5).
112
Dalam kaitannya dengan proses pasteurisasi dalam pengolahan bahan
pangan, maka pemusnahan mikroba patogen bersifat kritis, sehingga proses
termal yang diberikan harus diberikan dengan benar. Pada pasteurisasi susu
pada suhu 63°C selama 30 menit atau 72°C selama 15 detik (HTST=High
Temperature Short Time) proses termal ini ekivalen dengan pemanasan pada
suhu 89°C selama 1 detik, 90°C selama 0,5 detik dan 94°C selama 0,1 detik.
Kombinasi perlakuan suhu dan waktu tersebut sudah cukup untuk
memusnahkan bakteri patogen tidak berspora yang paling tahan panas yaitu
Mycobacterium tuberculosis dan Coxiella burnetti, dan semua khamir, kapang,
bakteri gram negatif dan beberapa bakteri gram positif. Karena pasteurisasi
hanya ditujukan untuk memusnahkan mikroba patogen atau pembusuk, maka
produk yang sudah dipasteurisasi umumnya masih mengandung mikroba
lainnya seperti bakteri tidak berspora dari genera Streptococcus dan
Lactobacillus, sehingga produk pangan demikian pula penyimpanannya harus
berada pada suhu rendah (Fardiaz, 1996).
Jika suhu pemanasan jus tomat pada penelitian ini dikaitkan dengan
pertumbuhan mikroba pada kisaran pH menurut kelompok keasamannya maka
pemanasan jus tomat dengan metode ohmik telah dapat menghambat
pertumbuhan mikroba patogen dan pembusuk yang menjadi tujuan pada
proses pasteurisasi. Pada kisaran pH jus ohmik tersebut, dengan perlakuan
suhu yang lebih tinggi dari suhu pasteurisasi yakni pemanasan ohmik
mencapai suhu 110°C sampai 45 menit, maka diharapkan dapat
memusnahkan mikroba yang lebih tahan panas yang masih dapat tumbuh
diatas suhu pasteurisasi.
113
Sterilisasi adalah proses termal untuk mematikan semua mikroba
beserta spora-sporanya. Spora bersifat tahan panas, maka umumnya
diperlukan pemanasan selama 15 menit pada suhu 121˚C atau ekivalennya,
artinya semua partikel bahan pangan tersebut harus mengalami perlakuan
panas. Mengingat bahwa perambatan panas melalui kemasan (misalnya
kaleng, gelas) dan bahan pangan memerlukan waktu, maka dalam prakteknya
pemanasan dalam autoklaf akan membutuhkan waktu lebih lama dari 15 menit.
Selama pemanasan dapat terjadi perubahan-perubahan kualitas yang tidak
diinginkan. Makanan tidak perlu dipanaskan hingga steril sempurna agar aman
dan memiliki daya tahan simpan yang cukup lama. Dengan pertimbangan
tersebut umumnya semua makanan kaleng dipastikan diberi perlakuan panas
hingga tercapai keadaan steril secara komersial.
Pemanasan dengan sterilisasi komersial umumnya dilakukan pada
bahan pangan yang sifatnya tidak asam atau bahan pangan berasam rendah.
Yang tergolong bahan pangan ini adalah bahan pangan hewani seperti daging,
susu, telur, dan ikan serta beberapa jenis sayuran seperti buncis dan jagung.
Bahan pangan berasam rendah mempunyai risiko untuk mengandung
bakteri Clostridium botulinum, yang dapat menghasilkan racun yang
mematikan jika tumbuh dalam makanan kaleng. Oleh karena itu spora bakteri
tersebut harus dimusnahkan dengan pemanasan yang cukup tinggi. Sterilisasi
komersial adalah pemanasan pada suhu 121,1˚C selama 15 menit dengan
menggunakan uap air bertekanan dan dilakukan dalam autoklaf. Tujuan
sterilisasi komersial terutama untuk memusnahkan spora bakteri patogen
termasuk sporabakteri C. botulinum.
114
Bakteri C.botulinum merupakan mikroorganisme yang sering menjadi
target proses termal, terutama untuk produk pangan kelompok berasam
rendah. Bakteri ini sangat berbahaya, karena dapat memproduksi toksin
yang mematikan, yaitu botulinin (menyebabkan botulism) dan terdapat pada
tanah atau air sehingga bahan pangan dengan mudah terkontaminasi.
Botulinin merupakan toksin yang sangat kuat, satu gram dapat membunuh 300
ribu orang. Toksin botulinin termasuk neurotoksin, yaitu toksin yang menyerang
sistem syaraf dan dapat menyebabkan kelumpuhan.Tanda-tanda keracunan
botulin adalah tenggorokan menjadi kaku, penglihatan ganda, otot kejang,
serta dapat mengakibatkan kematian akibat penderita tidak
bisa bernapas. Beberapa strain C. botulinum bersifat proteolitik dan
menyebabkan putrefaktif, yaitu membentuk bau karena degradasi protein.
Spora C. botulinum akan bergerminasi dengan baik pada pH di atas 4.8,
sehingga dapat tumbuh baik pada produk pangan berasam rendah. Dalam
prakteknya, nilai pH 4.6 digunakan sebagai batas pH pembeda antara
makanan asam dan makanan asam rendah. Spora C. botulinum dapat
ditemukan pada makanan asam dan asam rendah, akan tetapi pada makanan
asam spora tersebut tidak dapat bergerminasi. Pemanasan sedang dapat
membunuh bakteri non-pembentuk spora atau sel vegetatif pada makanan
asam atau asam rendah. Pada makanan asam rendah, penggunaan panas
harus cukup untuk membunuh spora C. botulinum sehingga makanan ini harus
dipanaskan dengan menggunakan tekanan. Bakteri C. botulinum merupakan
kelompok bakteri mesofilik yang sangat penting dalam makanan kaleng. Hal ini
karena kondisi makanan kaleng yang vakum sangat cocok bagi pertumbuhan
115
bakteri C. botulinum, dan sifatnya yang anaerobik (hidup baik pada kondisi
tidak ada oksigen). Perhatian utama diberikan untuk makanan kaleng
berasam rendah (pH>4.6) dan memiliki aktivitas air tinggi (aw> 0.9), sehingga
C. botulinum tumbuh baik pada kondisi pH dan Aw tersebut. C. botulinum
dapat tumbuh baik pada suhu 30-37°C (kondisi penyimpanan ruang
atau gudang), walaupun dapat tumbuh pada suhu 10 dan 38°C.
Berdasarkan peraturan FDA, makanan dengan Aw lebih besar dari 0,85 dan
pH lebih besar dari 4,6 dikelompokkan sebagai makanan berasam rendah,
dan apabila akan dikalengkan (kondisi vakum tercapai) dan disimpan pada
suhu ruang, maka produk pangan tersebut harus diproses dengan
sterilisasi. Dalam hal proses sterilisasi yang tidak dapat diterapkan pada
makanan berasam rendah, maka penghambatan C. botulinum dapat dilakukan
dengan memanipulasi kondisi pH dengan proses pengasaman, penurunan
aktivitas air atau penambahan garam. Germinasi spora C. botulinum
dapat dihambat dengan proses pengasaman sehingga pH produk pangan
berada di bawah 4.6. Dalam makanan asam hanya sel vegetatif yang perlu
dibunuh, oleh karena itu penggunaan suhu seperti untuk mendidihkan air,
atau pengemasan dalam keadaan panas (hot filling) dapat dilakukan.
Germinasi spora C. botulinum dapat dihambat dengan menurunkan
Aw di bawah 0.93. FDA mensyaratkan Aw<0.85 untuk mengeluarkan
produk pangan dari kelompok berasam rendah. Apabila makanan yang Awnya
diturunkan sampai pada Aw dimana spora tidak dapat bergerminasi, maka
pemanasan tersebut hanya ditujukan untuk membunuh sel vegetatif.
Penurunan Aw tersebut berguna bagi makanan yang sensitif terhadap
116
pemanasan, misalnya keju oles, peanut butter, madu, sirup, jam, jelly dan
produk coklat. Keasaman sangat erat hubungannya dengan total asam.
Semakin tinggi total asam pada buah maka pH buah-buahan akan semakin
tinggi (makin asam), demikian juga sebaliknya.
3. Total Padatan Terlarut
Total Padatan Terlarut merepresentasikan kadar gula atau kadar
padatan yang terlarut dalam bahan tersebut (Winarno dan Aman 1979). Uji
total padatan terlarut dilakukan untuk mengetahui kadar gula pada jus.
Gambar 23. Hubungan Suhu Pemanasan (ºC) dan Lama Pemanasan (Menit) terhadap Total Padatan Terlarut (ºBrix) Jus Tomat
Pada penelitian ini semakin tinggi suhu pemanasan dan semakin lama
pemanasan menghasilkan total padatan terlarut yang semakin tinggi (Gambar
23). Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 4), terdapat pengaruh
nyata pada perlakuan suhu pemanasan dan lama pemanasan terhadap total
padatan terlarut jus tomat, tetapi interaksi suhu pemanasan dan lama
pemanasan tidak berpengaruh nyata. Total padatan terlarut awal adalah 3.2
3
3.1
3.2
3.3
3.4
3.5
3.6
3.7
TanpaOhmik
15 30 45
Tota
l Pad
atan
Ter
laru
t (º
Bri
x)
Lama Pemanasan (Menit)
70°C
90°C
110°C
117
°Brix. Sedangkan total padatan terlarut jus tomat dengan perlakuan ohmik rata-
rata berkisar 3.2-3.6 °Brix.
Peningkatan total padatan terlarut dapat disebabkan oleh terjadinya
pemutusan rantai panjang senyawa-senyawa karbohidrat menjadi senyawa
gula yang larut (Pantastico, 1986). Hal ini sejalan dengan peningkatan suhu
dan waktu pemanasan, semakin tinggi suhu menyebabkan pemutusan rantai-
rantai panjang senyawa karbohidrat menjadi senyawa gula yang larut menjadi
semakin cepat, sehingga kandungan gula yang terdapat dalam larutan (jus)
semakin bertambah. Total padatan terlarut dapat juga meningkat akibat proses
pemanasan yang dapat menguapkan sedikit kandungan air pada jus tomat.
Penguapan meningkatkan komponen padatan akibat berkurangnya kandungan
air dalam jus tomat. Meskipun. demikian tidak terdapat perbedaan yang
signifikan di antara semua perlakuan.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Meikapasa dan Seventilova (2016)
terhadap saus tomat yang dipanaskan masing-masing pada suhu 70°C, 80°C,
90°C, dan 100°C memberi hasil total padatan terlarut paling tinggi adalah pada
proses pemanasan 100°C, dan total padatan terlarut terus meningkat seiring
dengan semakin lamanya waktu pemanasan.
Hasil penelitian Kulshrestha dan Sastry (2006), menyatakan bahwa
perlakuan ohmik menyebabkan kerusakan efektif sel oleh kombinasi efek listrik
dan termal, yang menghasilkan difusi nutrisi penting yang larut selama
pemanasan ohmik. Jika elektropermeabilisasi terjadi pada sayuran/buah pulp
atau pure, maka pori-pori yang terbentuk pada membran sel yang terpapar
medan listrik menyebabkan penurunan resistensi karena ion dapat melewati
118
membran sel (Kulshrestha dan Sastry, 2006). Dengan demikian, dimungkinkan
terjadi sedikit peningkatan nilai pH dan kandungan padatan terlarut pada
makanan cair selama pemanasan ohmik. Pemanasan ohmik pada umumnya
tidak menyebabkan perbedaan keasaman dan kandungan padatan terlarut dari
makanan cair (Icier et al., 2008; Bozkurt and Icier, 2010; Yildiz et al., 2010).
C. Kandungan Senyawa Bioaktif
1. Kandungan Vitamin C
Kandungan Vitamin dalam produk makanan dan minuman termasuk
olahan tomat menjadi satu parameter penting. Vitamin yang terdapat di dalam
buah tomat dapat mengalami kerusakan dalam proses pengolahan menjadi
produk jadi seperti jus tomat.
Kandungan vitamin C pada penelitian ini cenderung menurun seiring
dengan meningkatnya suhu pemanasan yang digunakan. Demikian juga
semakin lama pemanasan semakin menurun kadar vitamin C jus tomat
(Gambar 24). Analisis sidik ragam (Lampiran 5) memperlihatkan terdapat
pengaruh nyata pada lama pemanasan dan suhu pemanasan serta interaksi
antara suhu pemanasan dan lama pemanasan terhadap vitamin C jus tomat.
Pada uji Duncan, suhu pemanasan berbeda nyata antara perlakuan
70°C, 90°C dan 110°C. Sedangkan lama pemanasan juga berbeda nyata
antara perlakuan 15 menit dan 30 menit, dan 45 menit. Pemanasan Ohmik
suhu 70°C selama 15 menit mempunyai vitamin C jus tomat tertinggi yakni
8.197% dan terendah pada pemanasan 110°C selama 45 menit dengan
119
kandungan vitamin C sebesar 2.917%. Buah tomat kaya akan vitamin C.
Vitamin C tanpa perlakuan pemanasan ohmik adalah 8,588%.
Gambar 24. Hubungan Suhu Pemanasan (ºC) dan Pemanasan (Menit) terhadap Vitamin C (%) Jus Tomat
L-asam askorbat merupakan agen pereduksi yang kuat, L-asam
askorbat teroksidasi dengan mudah menjadi asam dehidro-L-askorbat melalui
intermediet radikal asam semidehidro-L-askorbat (disebut juga asam
monodehidro askorbat). Ketiga bentuk L-asam askorbat tersebut membentuk
sistem redoks yang reversibel (Combs, 2008). Sedangkan pada oksidasi L-
asam askorbat yang dikatalis logam, kompleks yang terjadi akan memisah dan
membentuk asam dehidro-L-askorbat, hidrogen peroksida dan ion logam.
Asam dehidro-L-askorbat mudah terhidrolisis menjadi asam 2,3 diketogulonat
yang irreversibel dan tidak memiliki aktivitas asam askorbat. pH makanan
sangat mempengaruhi stabilitas L-asam askorbat. Pencoklatan pada produk
makanan juga sangat mengurangi kadar L-asam askorbat (Eitenmiller dan
Landen, 1999). Senyawa asam 2,3 diketogulonat kemudian terdekomposisi
menjadi furfural yang membentuk pigmen warna coklat dan melepaskan CO2
(Tranggono dan Sutardi, 1990). Saat berada dalam bentuk L-asam askorbat,
0123456789
10
Tanpa Ohmik 15 30 45
Vit
amin
C (
%)
Lama Pemanasan (Menit)
70°C
90°C
110°C
120
memiliki keaktifan 100%. Namun, saat menjadi bentuk asam dehidro-L-
askorbat, keaktifannya menurun menjadi 80% (Combs, 2008).
Perbedaan proses pengolahan atau memasak terlalu lama dapat
menyebabkan kehilangan vitamin C karena adanya oksidasi pada sumber
asam askorbat (Passmore dan Eastwood, 1986). Pemanasan Ohmik
berpengaruh terhadap degradasi vitamin C. Degradasi asam askorbat pada
pemanasan ohmik berkisar pada 3,08-10,63% pada bubur buah cerry Acerola
(Malpighia emarginata). Perlakuan voltase dan jumlah padatan secara
signifikan berpengaruh terhadap degradasi senyawa tersebut. Perbedaan
voltase mempunyai pengaruh positif, meningkatnya gradien voltase akan
meningkatkan degradasi asam askorbat. Total degradasi vitamin C berada
pada kisaran 2,0 sampai 5,1%. Degradasi vitamin C dipengaruhi oleh efek
linear dan kuadrat tegangan. Pemanasan ohmik, bila dilakukan dengan
gradien tegangan rendah, menunjukkan degradasi vitamin C (asam askorbat)
yang mirip dengan pemanasan konvensional. Namun pada gradien tegangan
tinggi dapat meningkatkan degradasi baik vitamin C (Mercali et al., 2012).
Dalam penelitian ini penentuan vitamin C dikerjakan dengan metode
titrasi 2,6-diklorofenol indofenol. Dasar penentuan vitamin C dengan metode
2,6 D (2,6 Dikloro fenol indofenol) berdasarkan sifat mereduksi asam askorbat
terhadap zat warna 2,6 Diklorofenol indofenol membentuk larutan yang tidak
berwarna. Bila semua asam askorbat telah mereduksi 2,6 D, maka kelebihan
2,6 D sedikit saja akan terlihat dengan terjadinya perubahan warna menjadi
merah muda yang menandakan titrasi dihentikan (Lehninger, 1982). Larutan
2,6-diklorofenol indofenol dalam suasana netral atau basa akan berwarna biru
121
sedangkan dalam suasana asam akan berwarna merah muda (Sudarmadji
dkk., 1996).
Titrasi vitamin C dilakukan dengan sangat cepat karena banyak faktor
yang dapat menyebabkan terjadinya oksidasi vitamin C misalnya pada saat
penyiapan sampel yakni pada saat sampel jus tomat dikeluarkan dari wadah
oleh kemungkinan oksidasi. Proses oksidasi tersebut dapat dicegah dengan
menggunakan asam metafosfat, asam asetat, asam trikloroasetat dan asam
oksalat. Penggunaan asam-asam tersebut berguna untuk mengurangi oksidasi
vitamin C oleh enzim-enzim oksidasi yang terdapat pada jaringan tanaman.
Gambar 25. Reaksi Asam Askorbat dengan 2,6-Diklorofenol Indofenol
Selain itu, larutan asam metafosfat-asetat juga berguna untuk pangan
yang mengandung protein karena asam metafosfat dapat memisahkan vitamin
C yang terikat dengan protein. Suasana larutan yang asam akan memberikan
hasil yang lebih akurat dalam analisis dibandingkan dalam suasana netral atau
basa (Andarwulan, 1992; Sudarmadji, 1996).
Asam askorbat memiliki fungsi fisiologis bagi tubuh. Asam askorbat
berperan sebagai kofaktor dari enzim hidroksilase dan monooksigenase yang
122
terlibat dalam sintesis kolagen, karnitin, dan neurotransmitter. Asam askorbat
mengakselerasi reaksi hidroksilasi dengan mempertahankan pusat aktif dari
ion logam yang berada dalam kurang untuk aktivitas optimal dari enzim
hidroksilase dan oksigenase (Naidu, 2003).
Sumber vitamin C adalah sayuran berwarna hijau dan buah-buahan.
Proses pemotongan, pencucian, dan penghancuran dapat menyebabkan
kandungan vitamin C pada bahan menjadi rusak. Proses pemanasan pada
100°C dapat menurunkan kandungan vitamin C karena komponen vitamin C
mengalami oksidasi oleh panas. Penurunan kadar vitamin C oleh proses
penghancuran membuat vitamin C pada bahan mudah teroksidasi dan akan
memicu aktivitas enzim seperti peroksidase, asam askorbat oksidase dan
fenolase (Poedjiadi, 1994).
2. Kandungan Polifenol (Total Fenol)
Komponen polifenol mempunyai peranan yang sangat penting dalam
memberikan manfaat antioksidan pada buah-buahan dan sayuran tertentu.
Secara umum, polifenol terbagi atas dua bagian besar, yaitu flavonoid dan
asam fenolat. Komponen fenolik merupakan senyawa penting yang cukup
potensial pada tomat, meskipun dalam jumlah yang lebih sedikit. Komponen ini
memberikan efek yang menguntungkan.
Dalam penelitian ini semakin lama pemanasan memperlihatkan
kecenderungan kandungan polifenol yang semakin meningkat (Gambar 27).
Analisis sidik ragam (Lampiran 6) jus tomat yang dipanaskan dengan teknologi
ohmik menunjukkan bahwa suhu dan lama pemanasan berpengaruh nyata
123
terhadap polifenol jus tomat. Sedangkan interaksi antara suhu dan lama
pemanasan tidak berpengaruh nyata terhadap polifenol jus tomat.
Gambar 26. Hubungan Suhu Pemanasan (ºC) dan Lama Pemanasan (Menit)
terhadap Polifenol (%) Jus Tomat
Pada uji Duncan tidak berbeda nyata antara perlakuan suhu pemanasan
70°C dan 90°C, tetapi berbeda nyata antara perlakuan suhu pemanasan 70°C
dan 110°C serta perlakuan suhu pemanasan 90°C dan 110°C. Untuk
perlakuan lama pemanasan 15 menit dan 30 menit tidak berbeda nyata, tetapi
perlakuan 15 menit berbeda nyata dengan perlakuan lama pemanasan 45
menit, demikian juga perlakuan lama pmanasan 30 menit berbeda nyata
dengan 45 menit.
Suhu pemanasan 110°C selama 45 menit dalam penelitian ini
memberikan nilai polifenol jus tomat tertinggi yakni 2,936% (dalam setiap gram
jus tomat terdapat fenol yang setara dengan 2,936 mg asam galat). Kandungan
fenol terendah dihasilkan pada pemanasan 90°C selama 15 menit dengan
kandungan 0,860%. Sebagai kontrol jus tomat tanpa pemanasan ohmik
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
Kontrol 15 30 45
Po
life
no
l (%
)
Lama Pemanasan (Menit)
70 °
90 °
110 °
124
memiliki nilai total fenol sebesar 1.039%. Tomat mengandung senyawa-
senyawa fenolat seperti: kuersetin, naringenin, rutin dan asam klorogenat.
Kandungan polifenol dihitung sebagai total fenol. Polifenol larut air
cenderung berkurang sementara polifenol terhidrolisis cenderung meningkat.
Hal ini dapat disebabkan oleh karena terbebasnya polifenol dari matriks sel
selama pemanasan. Konversi fenolat larut menjadi bentuk yang lebih larut juga
dapat terjadi. Pengolahan makanan, seperti perlakuan mekanis dengan
memotong jaringan bahan dan paparan suhu yang lebih tinggi, dapat
menyebabkan gangguan sel dan pemisahan beberapa senyawa fenolat dari
struktur sel seperti lignin dan polisakarida. Selain itu, setiap tanaman memiliki
berbagai jenis senyawa fenolat dengan variasi ikatan yang berbeda-beda
antara senyawa fitokimia dan struktur sel. Variasi ini dapat menyebabkan
pembelahan fenolat dapat lebih tinggi atau lebih rendah sesuai dengan jenis
tanaman dan perlakuan panas yang diberikan.
Proses pemanasan dengan suhu pasteurisasi yang semakin tinggi
menyebabkan terjadinya elektro-osmosis ketika pemanasan dengan ohmik
berlangsung, keadaan ini juga bergantung dengan besar dan kecilnya beda
potensial yang diberikan. Pada elektro-osmosis ion-ion akan terdorong
melewati membran dinding sel bahan, menyebabkan bahan menjadi lebih
konduktan, sehingga peningkatan suhu bahan membuat pemanasan makin
efektif (Muchtadi dan Ayitaningwarno, 2010).
Hasil penelitian Leizerson dan Shimoni (2005a) memperlihatkan bahwa
pemanasan ohmik mempengaruhi kandungan total fenol dari jus buah jeruk.
Senyawa fenolik memiliki nilai sebagai obat dan diminati oleh industri sejak
125
senyawa tersebut memiliki aktivitas antioksidan dan anti-inflamasi. Meskipun
peningkatan beberapa senyawa fenolik dari beberapa jus buah berpengaruh
negatif terhadap rasa.
Penelitian Yildiz et al. (2009) yang memanaskan jus buah delima segar,
ternyata memiliki kandungan fenolik yang tinggi, pada jus dipanaskan dari 20°C
sampai 90°C, dan dipertahankan pada suhu 90°C untuk perlakuan waktu yang
berbeda (0, 3, 6, 9, 12 menit) dan selanjutnya dicocokkan antara sejarah
perlakuan termal ohmik (10-40 V/cm) dengan metode pemanasan
konvensional, ternyata bahwa nilai kandungan total fenol (TPC) berubah pada
periode awal pemanasan dan tidak berubah secara signifikan selama periode
lama pemanasan (suhu dipertahankan stabil). Hal yang menarik ditambahkan
oleh Leizerson dan Shimoni (2005a), bahwa total kandungan senyawa fenolat
(dibandingkan dengan jus segar) relatif lebih besar. Pada pemanasan, baik
secara ohmik maupun konvensional menyebabkan peningkatan jumlah total
fenol. Pemanasan ohmik tidak menyebabkan penurunan yang berbeda pada
kandungan total fenol (TPC) bila dibandingkan dengan pemanasan
konvensional (Leizerson dan Shimoni, 2005a).
Dalam penelitiannya, Dewanto et al. (2002), juga melaporkan bahwa
buah tomat yang dipanaskan pada suhu 88°C selama masing-masing 2, 15
dan 30 menit menghasilkan kadar total fenol yang sedikit lebih tinggi, namun
demikian tidak terdapat perbedaan yang signifikan di antara semua perlakuan.
Sehingga disimpulkan bahwa tidak ada kehilangan atau peningkatan
kandungan fenolat total dalam tomat dengan pemrosesan panas pada 88 °C
untuk lama pemanasan 2, 15, dan 30 menit. Tetapi Pengolahan jus tomat
126
dengan instrument Pulse Electric Field (PEF) pada (35 kV/cm untuk 1500 µs
dengan 4 µs bipolar pulse pada 100 Hz) dan metoda perlakuan termal (90 ºC
selama 30 detik dan 90 ºC selama 60 detik) tidak mempengaruhi kandungan
fenolat jus tomat (Oms-Oliu et al., 2009).
Total fenol merupakan perkiraan kasar jumlah senyawa fenolik yang
terdapat dalam suatu bahan. Pengukuran total fenol yang dilakukan dalam
penelitian ini menggunakan metode yang mereaksikan ekstrak bahan dengan
senyawa folin. Senyawa folin dapat bereaksi dengan gugus kromofor pada
fenolik dan dapat diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang
725 nm.
Penentuan kandungan total fenol dilakukan dengan menggunakan
pereaksi Folin-Ciocalteu (Lee et al., 2003). Metode ini merupakan metode yang
paling umum digunakan untuk menentukan kandungan total fenol dalam
tanaman dengan pertimbangan bahwa metode ini pengerjaannya lebih
sederhana dan reagen Folin Ciocalteau digunakan karena senyawa fenolat
dapat bereaksi dengan Folin membentuk larutan yang dapat diukur
absorbansinya. Dalam penelitian ini senyawa fenolik diukur dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 724 nm. Panjang gelombang ini
hampir sama dengan penelitan Apriady (2010), yang meneliti kandungan total
fenol berbagai sayuran indigenus dengan Spektrofotometer UV-vis pada
panjang gelombang 725 nm.
Prinsip dari metode Folin berdasarkan pada kekuatan mereduksi dari
gugus hidroksi fenolik. Semua senyawa fenolik termasuk fenol sederhana
dapat bereaksi dengan reagen Folin Ciocalteu, walaupun bukan penangkap
127
radikal (antiradikal) efektif (Huang et al., 2005). Larutan standar atau
pembanding yang digunakan adalah asam galat yang merupakan salah satu
fenolat alami dan stabil. Menurut Viranda (2009) asam galat termasuk dalam
senyawa fenol turunan asam hidroksibenzoat yang tergolong asam fenol
sederhana. Asam galat direaksikan dengan reagen Folin Ciocalteau
menghasilkan warna kuning sebagai pertanda bahwa terdapat kandungan
senyawa fenol, kemudian setelah itu ditambahkan dengan larutan Na2CO3
untuk pemberi suasana basa. Menurut Sudjadi dan Rohman (2004), adanya
inti aromatis pada senyawa fenol (gugus hidroksi fenolik) dapat mereduksi
fosfomolibdat fosfotungstat menjadi molibdenum-tungsten yang berwarna biru.
Gambar 27. Reaksi Pembentukan Kompleks Molibdenum-Tungsten Blue (Hardiana et al., 2012).
Instrumen spektrofotometer kemudian mendeteksi senyawa kompleks
molibdenum-tungsten yang terbentuk dari reaksi gugus hidroksil pada senyawa
fenolat dengan pereaksi Folin Ciocalteau dengan warna biru yang dihasilkan.
Kepekatan warna biru yang terbentuk, setara dengan konsentrasi ion fenolat,
artinya semakin besar konsentrasi senyawa fenolat maka semakin banyak ion
fenolat yang akan mereduksi asam heteropoli (fosfomolibdat-fosfotungstat)
128
menjadi kompleks molibdenum-tungsten. Kandungan total fenol dalam
tumbuhan dinyatakan dalam GAE (gallic acid equivalent) yaitu jumlah
kesetaraan miligram asam galat dalam 1 gram sampel (Lee et al., 2003).
3. Kandungan Flavonoid (Kuersetin)
Kuersetin adalah senyawa kelompok Flavonoid terbesar, kuersetin dan
glikosidanya berada dalam jumlah sekitar 60-5% dari flavonoid. Flavonoid
merupakan kelompok antioksidan bernama polifenol yang terdiri dari:
antosianidin, biflavon, katekin, flavanon, flavon, dan flavonol. Kuersetin sendiri
termasuk dalam golongan flavonol.
Kandungan kuersetin jus tomat yang dipanaskan secara ohmik (Gambar
29) memperlihatkan kecenderungan peningkatan, baik oleh meningkatnya
suhu maupun dengan semakin lamanya pemanasan.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 7) memperlihatkan
pengaruh nyata pada perlakuan suhu pemanasan dan lama pemanasan serta
interaksi suhu dan lama pemanasan terhadap kandungan kuersetin jus tomat.
Gambar 28. Hubungan Suhu Pemanasan (ºC) dan Lama Pemanasan (Menit) terhadap Kandungan Kuersetin (%) Jus Tomat
0
0.5
1
1.5
2
2.5
Kontrol 15 30 45
Ku
ers
etin
(%)
Lama Pemanasan (Menit)
70°C
90°C
110°C
129
Uji lanjut Duncan memperlihatkan perbedaan nyata antara pemanasan
70°C dan 110°C, dan pemanasan 70°C dan 90°C, tetapi tidak berbeda nyata
antara pemanasan 90°C dan 110°C. Perlakuan lama pemanasan tidak berbeda
nyata antara perlakuan 15 menit, 30 menit, dan perlakuan 45 menit.
Kandungan kuersetin pada pemanasan jus tomat suhu 70°C, dengan
semakin lamanya pemanasan memperlihatkan kurva yang cenderung stabil
dengan kadar kuersetin yang rendah. Pemanasan 90°C, kuersetin meningkat
sampai pada lama pemanasan 45 menit. Pemanasan ohmik pada suhu 110 °C
meningkat dari lama pemanasan 15 menit sampai 30 menit, kemudian
menurun pada pada lama pemanasan 45 menit. Interaksi suhu dan lama
pemanasan diperlihatkan oleh kurva pemanasan, suhu 110°C setelah 30 menit
pemanasan dengan kandungan kuersetin yang menurun, sebaliknya
pemanasan 90°C setelah 30 menit memperlihatkan kecenderungan yang terus
meningkat. Suhu pemanasan 90°C selama 45 menit mempunyai kuersetin jus
tomat tertinggi yakni 2,057% dan terendah pada pemanasan 70°C selama 15
menit dengan kandungan kuersetin 0,554%.
Menurunnya kandungan kuersetin dapat dipengaruhi oleh perlakuan
panas yang diberikan dan juga oleh berubahnya nilai pH pada jus tomat (dari
pH rata-rata pH 4,05 – 4,64). Kuersetin berkurang karena terdegradasi menjadi
senyawa asam protokatekuat pada suhu 100°C. Selain itu perubahan pH
selama pemanasan menurunkan jumlah kuersetin (Buchner et al., 2006).
Semua flavonoid mengalami degradasi pada pemanasan pada 100°C
dalam larutan (air). Struktur flavonoid menjadi rusak atau berubah sedemikian
rupa sehingga senyawa utama tidak lagi terdeteksi oleh sinyal HPLC/DAD
130
(Buchner et al., 2006). Buchner et al. (2006) melakukan penelitian pada larutan
encer flavonol yang dipanaskan pada konsentrasi (1, 2, dan 5 mM) dengan pH
5 (disesuaikan dengan asam hidroklorida 0,5 M) dan pH 8 (disesuaikan dengan
1 M natrium hidroksida) untuk mendeteksi pengaruh pH, sampel diambil
setelah 60, 120, 180, 240, dan 300 menit setelah dikeringkan vakum
selanjutnya dilarutkan dalam metanol, disaring (0,45 mm filter syringe nilon,
Roth), dan dianalisis dengan HPLC/DAD/ESI-MSn dan ESR. Hasilnya
memperlihatkan bahwa pH memiliki pengaruh penting pada proses degradasi
flavonol. Konsentrasi awal flavonol 1 mM pada campuran tersebut terus-
menerus diserap dengan udara. Pada pH 5, jumlah kuersetin menurun menjadi
sekitar 75% setelah 300 menit. Reaksi berlangsung melambat pada pH 8,
dimana kuersetin tidak terdeteksi lagi oleh HPLC/DAD setelah 240 menit.
Penelitian ini memberi gambaran bahwa pH mempengaruhi degradasi
kuersetin pada flavonol dalam suatu larutan.
Menurut Odriozola-Serrano et al. (2008), perlakuan pemanasan 90°C,
selama 60 detik pada jus stroberi tidak memperlihatkan tren peningkatan
dengan bertambahnya suhu selama pemanasan yang dapat berpengaruh
terhadap kandungan kuersetin dan kaempferol, sedangkan pada jus jeruk
kandungan naringin, rutin, kuersetin dan naringenin berkurang (Igual et al.,
2011). Riska (2016), yang menganalisis kandungan kuersetin dalam sirup
belimbing wuluh, ternyata memperoleh hasil rata-rata kuersetin sebesar 63,06
mg. Perlakuan panas seperti perebusan dalam air mendidih dapat
menyebabkan penurunan 18% konsentrasi flavonol (Ramdhan dan Aminah,
2004).
131
Kandungan flavonoid diukur berdasarkan keberadaan kuersetin di dalam
jus tomat. Analisis kandungan flavonoid dilakukan dengan penambahan
pereaksi AlCl3 (suatu asam Lewis). Gugus orto hidroksi dan gugus hidroksi
keton dari senyawa flavonoid akan bereaksi dengan AlCl3 membentuk
kompleks alumunium-flavonoid yang absorbansinya diukur dengan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 430 nm (Prior, 2003).
Gambar 29. Mekanisme Reaksi Uji Flavonoid (Prior et al., 2003)
Perubahan ini diidentifikasi melalui absorbansi pada daerah sinar
tampak melalui alat spektofotometer. Semakin banyak kandungan senyawa
flavonoid dalam suatu ekstrak maka secara visual warna kuning yang terbentuk
akan semakin pekat. Widyastuti (2010) lebih lanjut menyatakan bahwa metode
pengujian dengan menggunakan AlCl3 memiliki kekurangan, dimana AlCl3 juga
dapat mengkompleks beberapa kelompok dari flavonoid seperti flavon (krisin,
apigenin, dan luteolin) dan flavonol (kuersetin, mirisetin, morin, dan rutin) tetapi
tidak dapat mengkompleks golongan flavanon dan flavanonol.
Jumlah kandungan flavonoid dihitung sebagai jumlah mg kuersetin. Arai
et al., (2000) menyatakan bahwa kuersetin adalah golongan flavonoid yang
paling penting sebagai senyawa antioksidan. Dalam penelitian ini, kandungan
132
flavonoid juga berkaitan dengan tingginya kandungan fenolik dalam jus tomat
oleh karena flavonoid merupakan subset dari senyawa fenolik. Maisuthisakul et
al., (2008) menyatakan bahwa tingginya kandungan fenolik dalam suatu bahan
mengindikasikan tingginya kandungan flavonoid dalam bahan tersebut.
4. Kandungan Likopen
Likopen merupakan kelompok pigmen karotenoid berwarna kuning tua
sampai merah tua yang bertanggung jawab terhadap warna merah pada tomat.
Kandungan likopen dalam tomat segar sangat dipengaruhi oleh proses
pematangan dan perbedaan varietas. Semakin merah warnanya, maka
kandungan likopen semakin tinggi (Davies, 2000). Sifat biologis dan fisikokimia
likopen sangat berkaitan dengan pengaruhnya sebagai antioksidan alami (Shi
dan Le Maguer, 2000).
Hasil analisa kandungan likopen memperlihatkan kecenderungan bahwa
semakin tinggi suhu pemanasan semakin tinggi kadar likopen jus tomat.
Demikian pula semakin lama pemanasan semakin tinggi kadar likopennya
(Gambar 30).
Gambar 30. Hubungan Suhu Pemanasan (ºC) dan Lama Pemanasan (Menit)
terhadap Kandungan Likopen (mg/100 ml) Jus Tomat.
05
101520253035
TanpaOhmik
15 30 45
Liko
pen
(mg/
100
ml)
Lama Pemanasan (Menit)
70°C
90°C
110°C
133
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 8) terdapat pengaruh
nyata antara perlakuan suhu pemanasan pada likopen jus tomat. Sedangkan
lama pemanasan berpengaruh sangat nyata terhadap likopen jus tomat.
Interaksi antara suhu pemanasan dengan lama pemanasan, tidak berpengaruh
nyata terhadap likopen jus tomat.
Pada uji lanjut Duncan memperlihatkan bahwa suhu pemanasan tidak
berbeda nyata antara perlakuan suhu 70°C dan 90°C, perlakuan 90°C dan
110°C, tetapi berbeda nyata antara perlakuan 70°C dan 110°C. Sedangkan
perlakuan lama pemanasan berbeda nyata antara perlakuan 15 menit dan 30
menit, 15 menit dan 45 menit, tetapi tidak berbeda nyata antara lama
pemanasan 30 menit dan 45 menit.
Gambar 30 menunjukkan peningkatan dari nilai rata-rata kadar likopen
jus tomat pada suhu pemanasan yang berbeda. Likopen dengan suhu
pemanasan 110°C selama 45 menit mempunyai kandungan tertinggi 32,69
mg/100 ml dan likopen terendah 9,90mg/100 ml pada pemanasan 70°C selama
15 menit. Kandungan likopen jus tomat pada pemanasan ohmik rata-rata
berkisar 9.9 - 32.69 mg/100ml. Sedangkan jus tomat yang tidak diberi
perlakuan ohmik mempunyai kadar likopen rata-rata 10.17 mg/100ml.
Kulit tomat merupakan bagian dari tomat yang mengandung likopen
dalam jumlah terbanyak jika dibandingkan dengan bagian buah lainnya.
Sebanyak 85-90% warna merah pada tomat tua adalah karena kehadiran
pigmen likopen (C40H56). Kulit tomat mengandung likopen lima kali lebih
banyak dibandingkan dengan daging tomat. Dalam basis kering, kulit tomat
mengandung sekitar 280-540 mg/100 g tergantung tingkat kematangannya.
134
Dalam penelitian ini jus tomat dibuat melalui tahapan pemilihan buah,
pencucian, pemotongan, penghancuran, penyaringan, dan pemanasan. Pada
tahap penyaringan tidak semua bagian buah tomat dibuat jus, tetapi terdapat
bagian-bagian yang tidak ikut lolos dalam tahap penyaringan seperti biji dan
sebagian kulit tomat.
Kandungan likopen dalam tomat sangat dipengaruhi oleh proses
pematangan dan perbedaan varietas. Semakin merah warnanya, maka
kandungan likopen semakin tinggi (Davies, 2000). Penelitian Somavat (2011)
pada jus tomat, memperlihatkan kandungan likopen yang tidak berbeda jauh
baik sebelum maupun sesudah pemanasan ohmik dengan suhu pemanasan
90, 100 dan 105 oC selama 0,8 dan 0,4 menit. Penelitian lain yang dilakukan
pada jus tomat yang dipanaskan selama 7 menit pada 90°C dan 100°C
menghasilkan penurunan konsentrasi kandungan likopen, masing-masing 1.1
dan 1.7%. Pada suhu yang lebih tinggi yaitu 130°C, terjadi penurunan
kandungan likopen lebih dari 17.1% (Miki dan Akatsu, 1970).
Sejumlah likopen dapat rusak akibat aplikasi pemanasan saat
mengekstrak likopen. Pemanasan yang dilakukan sebelum ekstraksi likopen
biasanya berupa proses pemblansiran. Blansir dilakukan dengan tujuan
menginaktivasi enzim pektinesterase dan poligalakturonase yang diketahui
mengganggu proses ekstraksi likopen. Tingkat dan sifat kerusakan likopen
dipengaruhi oleh suhu pemanasan. Dalam larutan, likopen hilang sebanyak
26.1% saat dipanaskan selama 3 jam pada suhu 65°C, dan hilang sebanyak
35% saat dipanaskan selama 3 jam pada suhu 100°C (Shi dan Le Maguer,
2000).
135
Telah difahami, bila produk berbasis tomat terkena pengolahan termal,
terjadi perubahan kandungan likopen dan terkonversi dari bentuk trans menjadi
isomer cis yang dapat mengakibatkan penurunan aktivitas biologis (Stahl and
Sies, 1992). Lamanya pemanasan dan suhu pemanasan, merupakan faktor
penting yang menyebabkan degradasi likopen. Waktu pemanasan yang singkat
tidak berpengaruh terhadap degradasi likopen jika suhu pemanasan kurang
dari 100°C.
Gambar 31. Struktur Isomer Trans dan Cis Likopen (Agarwal dan Rao, 2000a).
Di dalam bahan pangan biasanya likopen berada dalam bentuk trans.
Likopen yang terdapat di tomat 94-96% berada dalam bentuk trans, 3-5% 5-cis,
0,1% 13-cis, dan kurang dari 1% dalam bentuk isomer cis lainnya. Proses
pemanasan tomat pada suhu 80oC selama 2, 15, dan 30 menit meningkatkan
136
kandungan likopen all trans dari 2.01 ± 0.04 mg trans likopen/g tomat menjadi
3.11 ± 0.04, 5.45± 0.02,dan 5.32±0.05 mg trans likopen/g tomat (Whitman,
2009).
Stabilitas likopen telah diteliti dengan memanaskan likopen standar
pada suhu 50ºC, 100ºC dan 150ºC untuk rentang waktu yang bervariasi.
Hasilnya menunjukkan likopen meningkat dengan meningkatnya suhu. Pada
pemanasan 50ºC didominasi reaksi isomerisasi pada 9 jam pertama atau tidak
ditemukan perubahan signifikan likopen all-trans, setelah itu berlangsung
reaksi degradasi. Pada suhu 120ºC menyebabkan penurunan total likopen
yang signifikan setelah 9 jam pemanasan. Namun pada suhu yang lebih tinggi
yaitu 150°C (diatas 150°C), degradasi berlangsung lebih cepat. Reaksi utama
pada likopen yang diberi perlakuan panas adalah isomerisasi yang terjadi
selama 9 jam pertama pemanasan dan setelah itu didominasi oleh degradasi
(Lee dan Chen, 2002).
Kadar likopen didalam produk olahan tomat dipengaruhi oleh proses
pengolahannya. Bentuk kimia likopen berubah dengan adanya perubahan suhu
dalam proses pengolahan tomat dan menjadi lebih mudah diabsorbsi oleh
tubuh (Rao et al., 2003). Menurut Tsang (2005), bahwa proses pemanasan
bukan untuk menghasilkan likopen lebih banyak, tetapi mampu melepaskan
likopen dari struktur sel tomat dan mengubah bentuk likopen dari trans ke
bentuk cis sehingga mudah diserap oleh tubuh. Likopen terikat dengan struktur
sel tomat dan perubahan suhu dalam proses pengolahan dapat melepaskan
likopen dari struktur sel tomat.
137
Penelitian yang telah dilakukan (Salengke, 2000) menunjukkan bahwa
teknologi ohmik sangat potensial untuk diaplikasikan dalam bidang pengolahan
pangan karena selain menimbulkan efek pemanasan, juga dapat
menyebabkan terjadinya perubahan permeabilisasi dinding sel tanaman dan
hewani pada berbagai produk pertanian. Peningkatan permeabilisasi dinding
sel tersebut dapat berperan dalam mempercepat proses beberapa reaksi kimia
yang dapat meningkatkan laju difusi senyawa melewati dinding sel tersebut,
meningkatkan rendemen ekstraksi senyawa dan cairan dari dalam sel. Dalam
penelitian ini panas yang seragam dan laju pemanasan ohmik yang efektif
memungkinkan likopen yang masih terdapat dalam struktur sel untuk berdifusi
keluar melewati dinding sel yang mengakibatkan likopen jus tomat meningkat
selama pemanasan.
Lebih lanjut Giovannucci et al. (1999) membandingkan perbedaan
bioavailabilitas likopen dari tomat segar dengan produk olahan tomat, dan
menemukan konsentrasi serum likopen lebih besar saat mengkonsumsi tomat
yang diolah berbasis panas daripada tomat yang belum diproses panas.
Ditemukan juga total likopen berkisar 20 sampai 30% terdiri dari cis-isomer,
saat tomat dipanaskan pada suhu 100°C untuk 1 jam (Stahl dan Sies, 1992).
Gartner et al. (1997) menemukan bioavailabilitas likopen dari pasta dan olahan
jus tomat yang jauh lebih tinggi dari tomat segar yang belum diolah. Fakta ini
berkaitan dengan ketersediaan likopen yang lebih rendah dari bahan baku oleh
karena masih terikat pada jaringan matriks. Pengolahan termal seperti
memasak/pemanasan dan kerusakan tekstur secara mekanis seperti
memotong adalah cara mudah untuk meningkatkan ketersediaan hayati
138
(bioavailabilitas) tomat oleh pecahnya struktur dinding sel, rusaknya membran
kromoplast, dan berkurangnya integritas seluler membuat likopen lebih mudah
diakses. Matriks makanan (yaitu, lipid dan konstituen lainnya dari kromoplas
serta serat yang terkandung dalam buah tomat) dapat berkontribusi terhadap
stabilitas all trans likopen pada buah tomat. Hal ini didukung oleh pengamatan
bahwa saat keseluruhan tomat diproses panas, maka yang terjadi adalah
proses isomerisasi.
Gambar 32. Skema Degradasi All-trans-isomers dan Cis-isomer pada Likopen
(Preedy dan Watson, 2009).
Secara termodinamik bentuk konfigurasi trans dari likopen yang yang
terdapat pada tumbuhan, adalah bentuk yang paling stabil (Nguyen dan
Schwartz, 1999). Dengan pengaruh cahaya dan pemanasan bentuk all-trans
dapat berubah menjadi isomer mono atau poli cis (Sudradjat dan Gunawan,
2003). Secara umum isomer cis bersifat lebih polar, mempunyai
kecenderungan yang lebih rendah untuk menjadi kristal, lebih larut dalam
minyak dan pelarut hidrokarbon, lebih mudah bergabung dengan lipoprotein
maupun struktur lipid subseluler, sehingga lebih mudah masuk ke dalam sel
dan bersifat kurang stabil dibanding isomer trans (Clinton et al., 1996). Faktor-
139
faktor yang mempengaruhi ketersediaan biologi (bioavailability) likopen adalah
bentuk molekul, jumlah likopen dalam bahan, kandungan matriks bahan
makanan, medium lemak atau minyak, efek serat makanan dan interaksi
dengan karotenoid lain.
Metabolisme likopen terjadi bersamaan dengan metabolisme lemak. Di
dalam duodenum misel yang mengandung likopen masuk ke dalam mukosa
sel usus melalui difusi pasif setelah dicerna oleh lipase pankreas dan diemulsi
garam empedu. Selanjutnya dibawa ke dalam aliran darah melalui sistem
limfatik. Likopen didistribusikan ke jaringan terutama melalui LDL. Likopen
paling banyak kandungannya pada beberapa jaringan antara lain testis,
kelenjar adrenal, hati dan prostat (Clinton, 1998). Likopen yang berasal dari
hasil pengolahan bersifat lebih mudah diserap oleh tubuh dibandingkan dengan
yang berasal dari tomat segar (Storey et al., 2003; Rao dan Agarwal, 2002).
Hasil penelitian (Huawei et al., 2014), menunjukkan bahwa degradasi
dan/atau isomerisasi likopen memiliki pengaruh yang penting terhadap
bioavailabilitas dan bioaktivitasnya. Penelitian yang telah dilaporkan
menunjukkan bahwa bentuk konfigurasi dan stabilitas likopen berubah karena
proses panas. Untuk menyederhanakan percobaan tersebut, sistem likopen-
Oktil/Desil Glycerate-TBHQ ditetapkan dalam simulasi sistem pangan secara
nyata, metode HPLC-C30 digunakan untuk menentukan jumlah isomer likopen
yang berbeda, terhadap total likopen, persentase Z-isomer menjadi total
likopen baik sebelum dan sesudah proses panas yang dapat dihitung untuk
menggambarkan isomerisasi dan degradasi likopen selama pengolahan panas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa degradasi likopen dalam sistem simulasi
140
mengikuti model kinetika orde pertama dan laju degradasi konstanta masing-
masing adalah 2,4 × 10-3, 4,3 × 10-3, 1,52 × 10-2 dan 3,32 × 10-2 min-1 pada
100, 115, 130 dan 145oC. Energi aktivasi yang diperoleh 77,24 kJ/mol.
Kandungan total likopen, all-E likopen dan Z-isomernya mengikuti keteraturan
yang cukup baik selama pengolahan.
Gambar 33. Perubahan Struktur Molekul dan Hasil Oksidasi Likopen Selama Pemanasan (Kanasawud dan Crouzet, 1990).
Keteraturan yang baik ditunjukkan dari transformasi konfigurasi dan
degradasi ketika likopen dalam sistem simulasi pangan dipanaskan. Dengan
adanya peningkatan suhu, laju degradasi likopen menunjukkan tren
peningkatan linear; sementara sistem simulasi berada pada suhu konstan dari
100, 115, 130 dan 145°C, degradasi likopen konsisten dengan model kinetika
reaksi orde pertama, baik all-E likopen maupun Z-isomer terkait erat dengan
waktu pemanasan. Dalam penelitian ini, persentase tertinggi Z-isomer dicapai
hingga 57,15%, sedangkan tingkat degradasi mencapai 45,6%. Dengan
mempertimbangkan manfaat ekonomi, nilai biologis, dan fungsi fisiologis, dapat
141
ditarik kesimpulan bahwa proses termal terbaik seharusnya berada pada
kondisi suhu 130°C, dengan lama periode waktu pemanasan enam hingga
sepuluh menit, Z-isomer mencapai 48% dengan tingkat degradasi hanya 27%
(Huawei et al., 2014).
Likopen ditemukan dalam sel mukosa dalam jumlah yang lebih besar
pada individu yang mengkonsumsi saos tomat, hal ini dapat mencerminkan
kadar likopen dalam plasma (Allen et al., 2003). Hal ini disebabkan karena
struktur kimia dari likopen itu sendiri. Sehingga dapat dikatakan bahwa tomat
yang mengalami pengolahan dengan pemanasan terlebih dahulu sebelum
dikonsumsi akan meningkatkan bioavailabilitas likopen dalam tubuh. Hasil
penelitian Allen et al., (2002) menunjukkan bahwa konsumsi saos tomat lebih
efektif meningkatkan bioavailabilitas likopen dalam tubuh dibandingkan dengan
mengkonsumsi tomat segar.
5. Aktivitas Antioksidan
Tomat merupakan sayuran yang kaya akan berbagai senyawa
antioksidan seperti likopen, alfa-karoten, betakaroten, lutein, vitamin C,
flavonoid, dan vitamin E (Willcox et al., 2003). Senyawa tersebut memiliki
keefektifan yang berbeda-beda dalam menjalankan fungsinya sebagai
pelindung fotokimia (Sies,1992).
Kandungan antioksidan pada jus tomat memperlihatkan tren penurunan
dengan semakin lama pemanasan, kecuali pada suhu pemanasan 90°C.
Berdasarkan analisis sidik ragam (Lampiran 9), menunjukkan baik suhu
pemanasan, lama pemanasan maupun interaksi antara suhu dan lama
142
pemanasan berpengaruh nyata terhadap antioksidan jus tomat. Pada uji lanjut
Duncan, antara ketiga perlakuan suhu pemanasan yaitu 70°C, 90°C dan
110°C berbeda nyata, sedangkan lama pemanasan 15 menit, 30 menit dan 45
menit, tidak berbeda nyata.
Gambar 34. Hubungan Suhu Pemanasan (ºC) dan Lama Pemanasan (Menit) terhadap Antioksidan (µg/ml) Jus Tomat
Pada Gambar 34 terlihat bahwa lama pemanasan 15 menit
menunjukkan penurunan nilai IC50 (konsentrasi penghambatan) antioksidan
sampai 30 menit pada pemanasan suhu 70°C, kemudian meningkat kembali
pada 110°C. Tetapi pada pemanasan 90°C, terjadi peningkatan aktivitas
antioksidan sampai pemanasan 45 menit. Sebaliknya dengan suhu 110°C,
terjadi penurunan aktivitas antioksidan (nilai IC50) dengan semakin lamanya
pemanasan ohmik. Nilai IC50 adalah bilangan yang menunjukkan konsentrasi
ekstrak yang mampu menghambat aktivitas suatu radikal sebesar 50%
(Molyneux, 2004).
Penelitian Regina dkk. (2008), pada buah tomat yang diekstrak dengan
larutan metanol kemudian dikeringkan dengan rotari dryer, dan dianalisis
dengan menggunakan metode DPPH, diperoleh aktivitas antioksidan (IC50)
0
100
200
300
400
500
600
700
TanpaOhmik
15 30 45
An
tio
ksid
an (µ
g/m
l)
Lama Pemanasan (Menit)
70°C
90°C
110°C
143
sebesar 44,06 µg/ml. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ekstrak
tomat mempunyai aktivitas antioksidan yang kuat. Menurut Blouis (1958) jika
nilai IC50 (persen penghambatan) kurang dari 200 µg/ml, dikategorikan
antioksidan tersebut berada pada tingkat “kuat”. Menurut Jun et al. (2003), nilai
IC50 yang semakin besar menunjukkan keaktifan antioksidan yang semakin
melemah (berkurang). Pada penelitian ini terlihat kecenderungan peningkatan
keaktifan antioksidan dengan semakin tingginya suhu pemanasan. Hal ini
dapat disebabkan karena beberapa senyawa-senyawa penyumbang keaktifan
antioksidan meningkat dengan semakin tingginya suhu dan semakin lamanya
pemanasan. Likopen adalah antioksidan yang paling kuat. Likopen
penyumbang keaktifan antioksidan bersama-sama dengan polifenol dan
sebahagian kuersetin.
Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (elektron donor) atau
reduktan. Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu
menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi, dengan cara mencegah
terbentuknya radikal (Winarsi, 2007). Selama proses metabolisme tubuh,
antioksidan bertindak sebagai penangkal radikal bebas. Beberapa senyawa
yang berperan sebagai antioksidan pada buah tomat yaitu vitamin C dan
likopen yang merupakan betakaroten. Menurut Tranggono et al. (1988) tomat
merupakan sumber vitamin B, C, E, dan betakaroten yang baik.
Dalam penelitian ini digunakan DPPH (Diphenylpicrylhydrazyl) untuk
menganalisa aktivitas antioksidan jus tomat. Pemerangkapan DPPH kerap
dilakukan untuk pengujian antioksidan dari sistein, glutation, asam askorbat,
144
tokoferol, dan komponen aromatik polihidroksil, minyak zaitun, buah-buahan,
sari buah dan fermentasi anggur (Sanchez-Moreno, 2002).
Metode ini merupakan metode yang sederhana, mudah untuk penapisan
aktivitas penangkapan radikal beberapa senyawa, efektif dan praktis
(Molyneux, 2004). DPPH biasanya digunakan sebagai substrat untuk menguji
aktivitas beberapa senyawa antioksidan. Uji peredaman warna radikal bebas
ini adalah uji untuk menentukan aktivitas antioksidan dalam sampel dengan
melihat kemampuannya dalam menangkal radikal sintetik dalam pelarut
organik polar seperti metanol atau etanol pada suhu kamar (Kumaran dan
Karunakaran, 2007). Contoh radikal sintetik selain 2,2`-difenil-1-pikrilhidrazil
(DPPH) adalah 2,2`azinobis (3-etil benzitiazolin-asam sulfonat) (ABTS).
DPPH merupakan salah satu radikal nitrogen organik yang stabil dan
berwarna ungu. Radikal ini tersedia dalam perdagangan dan tidak harus
dihasilkan terlebih dahulu sebagaimana dengan radikal ABTS (Prior et al.,
2005). Prinsip uji metode DPPH ini adalah adanya donasi atom hidrogen dari
substansi yang diujikan kepada radikal DPPH (senyawa 2,2`-difenil-1-pikril
hidrazil/DPPH sebagai sumber radikal bebas) menjadi senyawa non radikal
difenilpikrilhidrazin yang akan ditunjukkan oleh perubahan warna (Molyneux,
2004).
Gambar 35. Struktur Kimia DPPH (Windono dkk., 2001).
145
Dalam prakteknya, aktivitas antioksidan diukur dengan menghitung
jumlah pengurangan intensitas cahaya ungu DPPH yang sebanding dengan
pengurangan konsentrasi DPPH. Perendaman tersebut dihasilkan oleh
bereaksinya molekul difenilpikril hirazil dengan atom hidrogen yang dilepaskan
oleh molekul komponen sampel sehingga terbentuk senyawa difenil pikril
hidrazin dan menyebabkan terjadinya peluruhan warna DPPH dari ungu
menjadi kuning (Zuhra et al., 2008).
Gambar 36. Reaksi Radikal DPPH dengan Antioksidan (Windono dkk., 2001).
Aktivitas antioksidan jus tomat erat kaitannya dengan tingginya
kandungan senyawa fenolik, flavonoid dan vitamin C dalam jus. Buah yang
memiliki kandungan fenolik tinggi berpotensi memiliki aktivitas antioksidan yang
tinggi (Rekha et al., 2012). Senyawa fenolik, flavonoid dan vitamin C mampu
mendonorkan atom hidrogen ke radikal bebas DPPH membentuk senyawa
DPPH tereduksi (DPPH-H) yang stabil. Semakin tinggi kandungan fenolik,
flavonoid dan vitamin C maka semakin banyak radikal DPPH yang bereaksi
sehingga konsentrasinya semakin berkurang. Semakin besar penurunan
konsentrasi DPPH semakin tinggi aktivitas antioksidannya.
146
Perubahan warna yang akan terjadi adalah perubahan dari larutan yang
berwarna ungu menjadi kuning (Pauly, 2001). Dengan uji menggunakan radikal
DPPH, penangkapan radikal DPPH oleh suatu senyawa antioksidan diikuti
dengan penurunan absorbansi pada λ 517 nm, yang terjadi karena reduksi
radikal tersebut oleh antioksidan atau bereaksi dengan spesies radikal lain,
menurut reaksi:
Gambar 37. Reaksi Radikal Bebas DPPH terhadap Antioksidan
Kelebihan dari metode DPPH adalah secara teknis simpel, dapat
dikerjakan dengan cepat dan hanya membutuhkan spektrofotometer UV-Vis
(Karadag et al., 2009). Kelemahan metode ini adalah radikal DPPH hanya
dapat dilarutkan dalam media organik (terutama media alkoholik), tidak pada
media aqueous sehingga membatasi kemampuannya dalam penentuan peran
antioksidan hidrofilik.
Penentuan aktivitas antioksidan berdasarkan perubahan absorbansi
DPPH harus diperhatikan karena absorbansi radikal DPPH setelah bereaksi
dengan antioksidan dapat berkurang oleh cahaya, oksigen dan tipe pelarut.
Telah diketahui bahwa terjadi pengurangan kapasitas antioksidan ketika kadar
air pelarut melebihi batas tertentu dikarenakan terkoagulasinya DPPH
(Magalhaes et al., 2008).
DPPH + Antioksidan DPPH-H + A°
DPPH° + R° DPPH-R (Pokorny et al., 2001).
(Pokorny et al., 2001).
147
Antioksidan merupakan senyawa yang mempunyai struktur molekul
yang dapat memberikan elektronnya kepada molekul radikal bebas tanpa
terganggu sama sekali dan dapat memutuskan reaksi berantai dari radikal
bebas (Kumalaningsih, 2006). Mekanisme kerja antioksidan antara lain ; (1)
dapat berinteraksi langsung dengan oksidan, radikal bebas atau oksigen
tunggal; (2) mencegah pembentukkan jenis oksigen reaktif; (3) mengubah jenis
oksigen reaktif menjadi kurang toksik; (4) mencegah kemampuan oksigen
reaktif; (5) memperbaiki kerusakan yang timbul.
Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari senyawa
antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan, senyawa
antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan, dan
senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke
makanan sebagai bahan tambahan pangan.
Diantara berbagai antioksidan yang telah dikenal dewasa ini, likopen
adalah antioksidan yang paling potensial dengan urutan: likopen > α-tokoferol >
α—karoten > β-kriptozantin > zeasantin = β-karoten > lutein (Schierle, 1996;
Nguyen, 1999). Likopen bersifat antioksidan dengan cara melindungi sel dari
kerusakan akibat reaksi oksidasi oleh oksigen singlet (singlet oxygen
quenching) dan oksidator lain. Oksigen singlet adalah molekul oksigen yang
sangat reaktif karena berada pada tingkat energi yang tinggi. Spesi tersebut
terbentuk dalam sistem biologi (sel) dan memiliki waktu hidup pendek. Spesi ini
berasal dari oksigen di udara (yaitu oksigen triplet dengan spin elektron sejajar
dan bersifat para magnetik, lebih stabil daripada oksigen singlet dengan spin
berpasangan), yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui jalur pernapasan.
148
Oleh enzim dalam sel, oksigen diubah menjadi radikal hidroksi, peroksida dan
senyawa reaktif yang lain. Diperkirakan dalam sistem biologi, reaksi dengan
spesi oksigen reaktif ini memegang peran penting dalam etiologi beberapa
penyakit kronis, termasuk diantaranya penyakit jantung koroner (Rao AV,
2002). Likopen sangat baik untuk perokok ringan ataupun perokok pasif. Asap
rokok diketahui mengandung nitrogen oksida cukup tinggi. Nitrogen oksida
dapat bereaksi dengan oksigen membentuk radikal nitrogen dioksida yang
sangat berbahaya. Kehadiran likopen secara in vitro sangat efektif untuk
melindungi limfosit dari radikal bebas nitrogen dioksida. Efektivitas likopen
pada tomat maupun buah-buahan lain yang berwarna merah, jauh lebih baik
daripada suplemen likopen. Hal itu disebabkan oleh mekanisme sinergi dengan
komponen-komponen lain pada buah-buahan, seperti vitamin A dan Vitamin C
(Giovannuci, 1999).
Likopen melindungi jaringan dengan mendonorkan elektronnya ke
senyawa ROS, RNOS, dan radikal bebas lainnya seperti nitrogen oksida (NO2),
gugus thiyl reaktif dan sulphonil (RSO2) (Agarwal dan Rao, 2000a) Likopen
mencegah kerusakan biomolekul sel seperti lipid, low density lipoprotein (LDL),
protein dan DNA akibat reaksi oksidasi. Efekivitas likopen sebagai antioksidan
lebih besar karena likopen memiliki jumlah ikatan rangkap terkonyugasi yang
relatif lebih banyak dibandingkan dengan antioksidan lainnya (Storey et al.,
2003; Agarwal dan Rao, 2000b). Likopen bersifat sangat lipofilik, sehingga
likopen banyak terdapat dalam komponen lipid dan bilayer posfilipid membran
sel. Pada keadaan lingkungan yang sesuai, seperti pada bilayer lipid membran
sel, kemampuan free radical scavenger menjadi maksimal. Likopen merupakan
149
antioksidan yang paling efektif dalam melindungi 2,2’-azo-bis (2,4 dimetil valero
nitril) suatu komponen membran sel dari kemungkinan peroksidasi lipid. Selain
itu likopen juga dapat berasosiasi dengan LDL untuk mencegah kerusakan
akibat reaksi oksidasi. Likopen juga memiliki kemampuan untuk melindungi
limposit dari kerusakan yang diinduksi oleh NO2. Kombinasi likopen dan α-
tokoferol dapat mencegah proliferasi sel pada sel karsinoma prostat yang tidak
sensitif terhadap androgen (Storey et al., 2003; Rao dan Agarwal, 2002;
Agarwal dan Rao, 2000a).
Efek antioksidan lainnya terutama disebabkan oleh adanya senyawa
fenol seperti flavonoid, asam fenolat. Senyawa-senyawa yang memiliki aktivitas
antioksidan adalah senyawa fenol yang mempunyai gugus hidroksil yang
tersubstitusi pada posisi orto dan para terhadap gugus –OH dan –OR. Cincin
aromatik dengan satu atau lebih gugus hidroksil (--OH) terikat pada atom
karbon dari cincin aromatik tersebut. Gugus hidroksil dalam fenolik
berkontribusi secara langsung terhadap aktivitas antioksidan dan memainkan
peranan penting dalam penangkapan radikal bebas karena gugus hidroksil dari
senyawa fenolik dapat mendonorkan atom hidrogen sehingga dapat
menstabilkan senyawa radikal bebas (Rezaeizadeh et al., 2011).
Gambar 38. Mekanisme Penangkapan Radikal Bebas oleh Polifenol
(Haryoto dkk., 2007).
150
Antioksidan lainnya pada tomat adalah vitamin C. Vitamin C adalah
nutrien dan vitamin yang larut dalam air dan penting untuk kehidupan serta
untuk menjaga kesehatan. Vitamin ini juga dikenal dengan nama kimia dari
bentuk utamanya yaitu asam askorbat. Vitamin C dikenal sebagai antioksidan
terlarut air paling dikenal, vitamin C juga secara efektif memungut formasi ROS
dan radikal bebas (Frei, 1994).
Gambar 39. Reaksi Vitamin C dengan Radikal Bebas (Suhartono et al., 2007).
Sebagai antioksidan, vitamin C bekerja sebagai donor elektron, dengan
cara memindahkan satu elektron ke senyawa logam. Selain itu, vitamin C juga
dapat menyumbangkan elektron ke dalam reaksi biokimia intraseluler dan
ekstraseluler. Vitamin C mampu menghilangkan senyawa oksigen reaktif di
dalam sel netrofil, monosit, protein lensa, dan retina. Vitamin ini juga dapat
bereaksi dengan Fe-ferritin. Diluar sel, vitamin C dapat menghilangkan
151
senyawa oksigen reaktif, mencegah terjadinya LDL teroksidasi, mentransfer
elektron ke dalam tokoferol teroksidasi dan mengabsorpsi logam dalam saluran
pencernaan (Levine et al., 1995).
Vitamin C dapat langsung menangkap radikal bebas oksigen, baik
dengan atau tanpa katalisator enzim. Reaksinya terhadap senyawa oksigen
reaktif lebih cepat dibandingkan dengan komponen lainnya. Vitamin C juga
melindungi makromolekul penting dari proses oksidatif. Reaksi terhadap radikal
hidroksil terbatas hanya melalui proses difusi.
Gambar 40. Mekanisme Reaksi Asam Askorbat dan Ion Superoksida (atas) dan Hidrogen Peroksida (bawah) (Asada, 1992).
Sebagai zat penyapu radikal bebas, vitamin C dapat langsung bereaksi
dengan anion superoksida, radikal hidroksil, oksigen singlet dan lipid
peroksida. Sebagai reduktor vitamin C akan mendonorkan satu elektron
membentuk semi dehidroaskorbat yang tidak bersifat reaktif dan selanjutnya
mengalami reaksi disproporsionasi membentuk dehidroaskorbat yang bersifat
tidak stabil. Dehidroaskorbat akan terdegradasi membentuk asam oksalat dan
asam treonat. Oleh karena kemampuan vitamin C sebagai penghambat radikal
152
bebas, maka peranannya sangat penting dalam menjaga integritas membran
sel (Suhartono et al., 2007).
Reaksi asam askorbat dengan superoksida yang dihasilkan dalam tubuh
secara fisologis mirip dengan kerja enzim SOD dan reaksi penguraian hidrogen
peroksida dikatalisis oleh enzim askorbat peroksidase (Asada, 1992).
Pengolahan tomat seperti blanching, pengalengan, sterilisasi dan
pembekuan, serta pemasakan mempengaruhi komposisi dan bioavailabilitas
antioksidan serta beberapa senyawa nutrisi antioksidan, seperti vitamin C labil
terhadap panas. Selama pengolahan tomat, seperti proses pencucian terjadi
perubahan kualitatif oleh kerusakan antioksidan yang larut ke dalam air
sekitarnya dan dapat mempengaruhi aktivitas antioksidan dari sayuran.
Beberapa senyawa antioksidan seperti asam askorbat dan karotenoid yang
sangat sensitif terhadap panas dan penyimpanan dapat hilang selama
pengolahan tomat dengan cara yang berbeda (Chipurura, 2010).
D. Degradasi Asam Askorbat (Vitamin C) Jus Tomat Ohmik
Dalam kinetika laju perubahan/reaksi kimia ditentukan oleh jumlah
produk yang dihasilkan atau reaktan yang terpakai tiap satu satuan waktu.
Model kinetika banyak digunakan untuk mengamati perubahan kualitas bahan
hasil pertanian. Beberapa model kinetika tersebut telah diaplikasikan pada
perubahan warna nangka selama proses pengeringan (Saxena et al., 2012),
atau degradasi likopen pada bubur tomat terhadap berbagai kondisi
penyimpanan (Sharma dan Le Maguer, 1996) dan degradasi vitamin C pada
jus jeruk (Wariyah, 2010).
153
1. Retensi Vitamin C (Asam Askorbat) Jus Tomat
L-asam askorbat adalah vitamin larut air yang sangat dibutuhkan oleh
tubuh. Istilah L-asam askorbat merupakan nama trivial dari 2,3- didehidro-L-
treo-hexano-1,4-lakton yang juga dikenal sebagai asam hexuron. L-asam
askorbat merupakan agen pereduksi yang kuat, L-asam askorbat teroksidasi
dengan mudah menjadi asam dehidro-Laskorbat melalui intermediet radikal
asam semidehidro-L-askorbat (biasa disebut juga asam monodehidro
askorbat). Ketiga bentuk L-asam askorbat tersebut membentuk sistem redoks
yang reversibel (Combs, 2008). Sedangkan pada oksidasi L-asam askorbat
yang dikatalis logam, kompleks yang terjadi akan memisah dan membentuk
asam dehidro-L-askorbat, hidrogen peroksida dan ion logam. Asam dehidro-L-
askorbat mudah terhidrolisis menjadi asam 2,3 diketogulonat yang irreversibel
dan tidak memiliki aktivitas asam askorbat.
Saat berada dalam bentuk L-asam askorbat, keaktifannya 100%.
Namun, saat menjadi bentuk asam dehidro-L-askorbat, keaktifannya menurun
menjadi 80% (Combs, 2008). Retensi asam askorbat atau daya
mempertahankan vitamin C (selama pemanasan ohmik) dihitung berdasarkan
persen penurunan asam askorbat (yang masih bertahan/tertinggal) dalam
rentang/lama pemanasan 15 menit, 30 menit, dan 45 menit pada setiap
perlakuan suhu pemanasan (70°C, 90°C. dan 110°C). Kadar dan retensi asam
askorbat dalam jus tomat tertera pada Tabel 8.
154
Tabel 8.Kadar L-Asam Askorbat (Vitamin C) Pada Pemanasan Ohmik Suhu (°C)
Waktu (menit)
Kadar L-Asam Askorbat (%)
Retensi L-Asam Askorbat
70
0 8.588 100%
15 8.197 95,45%
30 4.177 48,64%
45 2.995 34,87%
90
0 8.588 100%
15 5.987 69,71%
30 4.095 47,68%
45 2.995 34,87%
110
0 8.588 100%
15 4.727 55,04%
30 3.78 44,01%
45 2.917 33,97%
Penurunan kadar L-asam askorbat terbesar terjadi pada suhu 110°C
dan penurunan kadar L-asam askorbat terkecil terjadi pada suhu 70°C. Pada
masing-masing suhu, kadar L-asam askorbat semakin berkurang di setiap
penambahan waktu. Hal tersebut dikarenakan oksidasiL-asam askorbat dapat
dipercepat dengan adanya panas yang berasal dari suhu dan akumulasi
selama pasteurisasi (Winarno, 2004). Sehingga semakin tinggi suhu dan
semakin lama proses pasteurisasi maka semakin rendah retensi L-asam
askorbat dalam jus tomat.
Kadar vitamin C awal (sebelum pemanasan ohmik) adalah 8,588%.
Retensi vitamin C setelah pemanasan ohmik pada suhu 70°C selama 15 menit
adalah 95,45% dari 8,588% menjadi 8,197%. Retensi vitamin C pada suhu
70°C selama 30 menit sebesar 48,64% dari 8,588% menjadi 4,177%, dan pada
suhu 70°C selama 45 menit sebesar 34,87% dari 8,588% menjadi 2,995%.
Pada pemanasan suhu 90°C selama 15 menit, 30 menit, dan 45 menit, maka
retensi masing-masing sebesar 69,71%, 47,68%, dan 34,87%, dari vitamin C
awal sebesar 8,588% menjadi 5,987%, 4,095%, dan 2,995%. Demikian pula
155
pada pemanasan suhu 110°C selama 15 menit, 30 menit, dan 45 menit
mempunyai nilai retensi masing-masing sebesar 55,04%, 44,01%, dan 33,97%
dari 8,588% menjadi 4,727%, 3,780%, dan 2,917%.
Asam dapat mempertahankan atau menghambat degradasi vitamin C
selama pengolahan maupun penyimpanan, sedangkan logam tembaga
mempercepat degradasi vitamin C selama pemasakan (Harper et al.,1980).
Vitamin C mudah sekali teroksidasi terutama bila zat dipanaskan dalam larutan
alkali atau netral. Kondisi asam membuat vitamin C menjadi lebih stabil.
Pada jus jeruk dengan kandungan asam tinggi, lebih dari 90% vitamin C
mampu bertahan dalam produk yang dikalengkan. Penambahan sulfur dioksida
pada buah dan sayuran memiliki efek protektif dan membuat retensi vitamin C
yang memuaskan. Jenis wadah pun dapat mempengaruhi derajat kerusakan
vitamin C. Jumlah asam askorbat yang ada dalam bahan pangan yang
dikalengkan dengan kaleng berlapis timah lebih besar daripada jika
dikalengkan dengan kaleng berlapis pernis atau gelas jar, karena oksigen lebih
mudah bereaksi dengan lapisan timah daripada dengan asam askorbat (Harper
et al.,1980).
2. Degradasi L-Asam Askorbat Jus Tomat Ohmik
Model kinetika degradasi L-asam askorbat menggunakan (Persamaan
16) dengan membuat plot antara waktu (sumbu x) dan ln kadar L-asam
askorbat (sumbu y) pada masing-masing suhu pemanasan (Sukasih dkk.,
2005).
156
Tabel 9. Degradasi Vitamin C pada Suhu 70, 90, dan 110ºC dan Lama Pemanasan 15, 30, dan 45 Menit.
Pemanasan
Vitamin C
( %)
Ln Vitamin C
R2
Konstanta (k)
Suhu (ºC)
Lama
(menit)
70
0 8.588 2.150366 0.916
-0.02583
15 8.197 2.103768
30 4.177 1.429593
45 2.955 1.083499
90
0 8.588 2.150366 0.998
-0.0236 15 5.987 1.78959
30 4.095 1.409767
45 2.995 1.096944
110
0 8.588 2.150366 0.998
-0.02309 15 4.727 1.553291
30 3.78 1.329724
45 2.917 1.070556
Slope dari garis lurus tersebut menggambarkan nilai konstanta
kecepatan reaksi degradasi asam askorbat (vitamin C) pada kisaran suhu 70-
110ºC sehingga diperoleh tiga harga konstanta kecepatan reaksi (k) seperti
ditunjukkan pada Tabel 9. Masing-masing nilai konstanta (k) yang diperoleh
pada pemanasan suhu 70ºC dan 90ºC dan 110ºC berturut-turut adalah: -
0.02583, -0.0236, dan -0.02309. Semakin Tinggi suhu, semakin besar nilai
konstanta (k) dan laju degradasi asam askorbat (vitamin C) semakin cepat.
Berdasarkan data pada Tabel 9 , diperoleh persamaan regresi linear
asam askorbat untuk pemanasan suhu 70°C dengan garis y = -0.387x+2.660
dan koefisien determinasi, R²=0.916, pada pemanasan suhu 90°C persamaan
regresi linearnya adalah y = -0.354x+2.496 dan R²=0.998 serta pemanasan
110°C dihasilkan persamaan regresi linear degradasi asam askorbat yakni y=
-0.356x+2.495 dengan nilai R²=0.998.
157
Gambar 41. Degradasi Vitamin C pada Suhu 70°C.
Gambar 42. Degradasi Vitamin C pada Suhu 90°C
Gambar 43. Degradasi Vitamin C pada Suhu 110°C
0
0.5
1
1.5
2
2.5
0 10 20 30 40 50
LnC
Lama Pemanasan (Menit)
0
0.5
1
1.5
2
2.5
0 10 20 30 40 50
LnC
Lama Pemanasan (Menit)
0
0.5
1
1.5
2
2.5
0 10 20 30 40 50
LnC
Lama Pemanasan (Menit)
158
Nilai koefisien determinasi (R2) menunjukkan proporsi keragaman total
nilai-nilai peubah y yang dapat dijelaskan oleh nilai-nilai peubah x melalui
hubungan persamaan linier. Jika didapat R2=1, bermakna bahwa 100% di
antara keragaman total nilai-nilai y dalam contoh dapat dijelaskan secara
sempurna oleh hubungan persamaan liniernya dengan nilai-nilai x (Walpole,
1995). Nilai R2 menunjukkan kevalidan sebuah regresi linier. Pada penelitian
Ariahu dan Abashi (2011) tentang degradasi L-asam askorbat pada daun labu
rambat, maka polanya mengikuti kinetika orde satu dengan nilai R2 antara
0,882-0,974.
3. Penentuan Energi Aktivasi
Energi Aktivasi atau nilai Ea adalah energi minimum yang dibutuhkan
untuk memulai reaksi degradasi L-asam askorbat. Energi aktivasi juga
menunjukkan sensivitas nilai konstanta laju reaksi (k) terhadap perubahan
suhu.
Tabel 10. Energi Aktivasi Degradasi Vitamin C pada Suhu 70, 90, dan 110ºC dan Lama Pemanasan 15, 30, dan 45 Menit. Lama Pemanasan
(menit) Suhu Pemanasan
(ºC) Vitamin C
(%) Energi Aktivasi
(Cal/mol)
15
70 8.197 3600.96 90 5.987
110 4.727
30
70 4.177 644.39 90 4.095
110 3.78
45
70 2.955 79.68 90 2.995
110 2.917
Penentuan nilai Ea menggunakan (Persamaan 20) dengan membuat
plot antara 1/suhu (sumbu x) dengan ln konstanta laju reaksi (sumbu y). Nilai
159
Ea merupakan hasil perkalian [-slope] dari kurva persamaan tersebut dengan
tetapan R (8,314 J/mol K atau 1,987 cal/mol. K) (Sukasih dkk., 2005).
Gambar 44. Energi Aktivasi Jus Tomat pada Lama Pemanasan 15 Menit
Berdasarkan Gambar 44, 45, 46 diperoleh persamaan y=-0.007x-1.876
dengan R²=0.993 untuk lama pemanasan 15 menit, y=-0.000x-2.615 dengan
R²=0.892 untuk lama pemanasan 30 menit, dan y=-6E-05x-3.030 dengan
R²=0.240 untuk lama pemanasan 45 menit.
Gambar 45. Energi Aktivasi Jus Tomat pada Lama Pemanasan 30 Menit
y = -0.0078x - 1.8762R² = 0.993
-1.905
-1.9
-1.895
-1.89
-1.885
-1.88
-1.875
0.002915452 0.002754821 0.002610966
ln k
lama pemanasan 15 menit
y = -0.0007x - 2.615R² = 0.892
-2.6175
-2.617
-2.6165
-2.616
-2.6155
-2.615
-2.6145
0.002915452 0.002754821 0.002610966
ln k
Lama Pemanasan 30 menit
160
Gambar 46. Energi Aktivasi Jus Tomat pada Lama Pemanasan 45 Menit
Beberapa penelitian tentang degradasi vitamin C dilakukan pada sampel
jus jeruk yang dipasteurisasi secara ohmik kemudian diamati perubahan
vitamin C tersebut akibat degradasi selama produk jus disimpan pada suhu
4°C. Degradasi asam askorbat selama pemanasan ohmik diberi perlakuan
perbedaan pH, suhu dan gradient tegangan, hasilnya menunjukkan bahan
kurva degradasi asam askorbat mengikuti penurunan secara linear pada jeruk
orange, baik yang dipasteurisasi secara ohmik maupun secara konvensional
selama penyimpanan pada 4°C (Leizerson dan Shimoni, 2005b).
Pada penelitian varietas jeruk yang berbeda, untuk melihat degradasi L-
asam askorbat dengan proses pasteurisasi pada suhu 20–96°C diperoleh nilai
Ea antara 21–53 kJ/mol (5015.76-12658.83 kalori/mol) dan nilai z antara 36–
118°C. Faktor yang mempengaruhi lebarnya kisaran nilai Ea dan z adalah
karakteristik intrinsik produk seperti varietas dan kematangan, pH dan tingkat
oksigen terlarut (Mayer et al., 2007).
Lebih lanjut, Assiry et al. (2006) dalam penelitiannya menjelaskan
bahwa degradasi asam askorbat dalam larutan buffer pH 5,7 yang diberi
perlakuan pemanasan secara ohmik dan konvensional mengikuti model
y = -6E-05x - 3.0309R² = 0.2405
-3.0312
-3.03115
-3.0311
-3.03105
-3.031
-3.03095
-3.0309
-3.03085
-3.0308
-3.03075
0.002915452 0.002754821 0.002610966
ln k
Lama Pemanasan 45 menit
161
kinetika degradasi orde pertama. Pengaruh energi dan temperatur pada laju
degradasi asam askorbat saling bergantung satu sama lainnya. Untuk tingkat
energi yang sama, laju reaksi meningkat dengan menurunkan suhu atau
meningkatkan gradien tegangan. Disimpulkan bahwa peningkatan degradasi
asam askorbat pada pH 5,7 dapat dikaitkan dengan meningkatnya disosiasi
asam askorbat dengan peningkatan pH. Bentuk anionik asam askorbat lebih
rentan terhadap degradasi daripada bentuk yang tidak terdisosiasi.
Degradasi vitamin C dipengaruhi hanya oleh efek linear dan kuadrat
tegangan. Pemanasan ohmik, bila dilakukan dengan gradien tegangan
rendah, menunjukkan degradasi asam askorbat yang lebih rendah dibanding
pemanasan konvensional. Namun gradien tegangan tinggi meningkatkan laju
degradasi baik vitamin C maupun asam askorbat yang mirip dengan
pemanasan konvensional (Mercali et al., 2012).
162
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1. Laju pemanasan jus tomat dengan pemanasan ohmik semakin efektif
dengan semakin tinggi suhu dan semakin lama pemanasan.
2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu dan lama pemanasan ohmik
berpengaruh nyata terhadap karakteristik kimia: total asam, pH, dan total
padatan terlarut jus tomat. Semakin tinggi suhu dan lama pemanasan,
nilai total asam semakin rendah dan pH semakin tinggi. Sedangkan total
padatan terlarut semakin meningkat dengan semakin tingginya suhu dan
lama pemanasan.
3. Suhu dan lama pemanasan ohmik berpengaruh nyata terhadap
kandungan senyawa bioaktif antara lain: vitamin C, polifenol, kuersetin,
likopen, dan antioksidan jus tomat. Sedangkan interaksi suhu dan lama
pemanasan tidak berpengaruh terhadap kandungan polifenol dan
likopen jus tomat. Vitamin C tertinggi dicapai pada suhu 70°C dan lama
pemanasan 15 menit. Polifenol dan likopen tertinggi dicapai pada suhu
pemanasan 110°C selama 45 menit. Kuersetin tertinggi dicapai pada
suhu pemanasan 90°C dengan lama pemanasan 45 menit. Aktivitas
antioksidan tertinggi dicapai pada suhu pemanasan 110°C dengan lama
pemanasan 45 menit.
4. Semakin tinggi suhu pemanasan, laju pemanasan semakin efektif
dengan nilai konstanta (k) semakin besar, dan degradasi asam askorbat
(vitamin C) semakin tinggi. Demikian pula perbedaan besaran nilai
163
energi aktivasi yang menggambarkan sensitivitas degradasi vitamin C
terhadap perubahan suhu, makin rendah energi aktivasi maka mulainya
degradasi vitamin C semakin cepat.
B. Saran
1. Perlu penelitian lebih lanjut terhadap warna, total mikroba, dan
organoleptik jus tomat selama pemanasan ohmik.
2. Perlu penelitian lanjutan untuk parameter suhu pemanasan dan lama
pemanasan dalam rentang periode yang lebih singkat untuk produk jus
tomat yang dipanaskan secara ohmik.
3. Diperlukan analisis senyawa bioaktif seperti senyawa karotenoid lainnya
untuk melihat keterkaitannya dengan senyawa bioaktif yang telah
dianalsis pada jus tomat yang dipanaskan secara ohmik.
4. Diperlukan metode analisis senyawa bioaktif lain yang lebih akurat,
spesifik sebagai pembanding pada produk jus yang telah mengalami
proses pemanasan, untuk memperoleh data yang lebih teliti, presisi, dan
maksimal.
164
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2011).http://www.sarjanaku.com/2011/09/manfaat-tomat-bagi-
kesehatan-dan.html. Diakses pada 21 April 2018.
Afrianti. 2013. Teknologi pengawetan pangan. Alfabeta. Bandung.
Agarwal S., dan Rao AV. 2002a. Tomato Lycopene and its Role in Human health and Chronic Disease. CMAJ;163(6):739-44.
Agarwal S, Rao AV. 2000b. role of Antioxidant Lycopene in cancer and heart diseases. Journal of the American College of Nutrition, Vol. 19, No. 5, 563–569.
Akhilender. 2003. Dasar-Dasar Biokimia I. Erlangga, Jakarta.
Alda, L. M.; Gogoasa, I.; Bordean, D. M.; Gergen, I.; Alda, S.; Moldovan, C.; dan Nita, L., 2009, Lycopene Content of Tomatoes and Tomato Products, J. Agroalimentary Processes and Technologies, 15(4):540-542.
Allen, C. M., Smith, A. M., Clinton, S. K. & Schwartz, S. J. 2002. Tomato consumption increases lycopene isomer concentrations in breast milk and plasma of lactating women. J. Am. Diet. Assoc. 102: 1257–1262.
Allen, C. M., Schwartz, S. J., Craft, N. E., Giovannucci, E. L., De Groff, V. L. dan Clinton, S. K. 2003. Changes in plasma and oral mucosal lycopene isomer concentrations in healthy adults consuming standard servings of processed tomato products. Nutr. Cancer 47: 48–56.
Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Amiali, M., Ngadi, M., Raghavan, V. G. S., Nguyen, D. H. 2006. Electrical Conductivities of Liquid Egg Product and Fruit Juices Exposed to High Pulsed Electric Fields. International Journal of Food Properties, 9, 533–540.
Andarwulan, N. dan Koswara, S. 1992. Kimia Vitamin. Rajawali Press.Jakarta.
Anderson, D.R., 2008, Ohmic Heating as an Alternative Food Processing Technology, Kansas State University, Kansas.
Angersbach, A., Heinz, V. dan Knorr, D. 2000. Effects of pulsed electric fields on cell membranes in real food systems, Innovative Food Science & Emerging Technologies, Vol 1(2), pp 135-149.
Anonim, 2009. Roadmap Industri Pengolahan Buah. Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian, Jakarta.
AOAC (Association of Official Analytical Chemists), 2000. Moisture in fruits. An adaptation of method 934.06. Official methods of analysis of Association of analysis of Association of Official Analytical Chemists International (16th ed.) (Gaithersburg, Maryland, USA).
165
AOAC. 2006.Official Method 967.21e Ascorbic Acid in Vitamin Preparations and Juices: 2,6 Dichloroindophenol Titrimetric Method.Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists.
Apak. R., Guçlu. K., Demirata. K., Çelik. S. E., Bektasoglu. B., Berker. K. L., dan Ozyurt. D. 2007. Comparative evaluation of various total antioxidant capacity assays applied to phenolic Compounds with the CUPRAC assay, Molecules 12, 1496-1547.
Apandi, M. 1984. Teknologi Buah dan Sayur. Penerbit Alumni, Bandung.
Apriady, R.A. 2010. Identifikasi Senyawa Asam Fenolat Pada Sayuran Indigenous Indonesia. Institut Pertanian Bogor. file:///C:/Users/MICROSOFT/Documents/Senyawa%20Fenol.%202.pdf
Aqil, M., dan Roy E. 2015. Aplikasi SPSS Dan SAS Untuk Perancangan Percobaan. Absolute Media.
Arai Y, Watanabe S, Kimira M, Shimoi K, Mochizuki R, Kinae N. 2000. Dietary intakes of flavonols, flavones and isoflavones by japanese women and the inverse correlation between quercetin intake and plasma LDL cholesterol concentration. Journal of Nutritional. 30: 2243-2250.
Ariahu, C. C. dan Abashi, D. K. 2011. Kinetics of Ascorbic Acid Loss During Hot Water Blanching of Fluted Pumpkin (Telfairia occidentalis) Leaves. Journal of Food Science Technology, Vol. 48, No. 4.
Asada K. 1992. Ascorbate Peroxidase-Hydrogen Peroxyde Scavenging Enzyme in Plants. Didalam: Physiologia Plantarum. 85:23241
Assiry, A.M., Sastry, S.K., Samaranayake, C.P. (2006). Influence of temperature, electrical conductivity, power and pH on ascorbic acid degradation kinetics during ohmic heating using stainless steel electrodes. Bioelectrochemistry, 68(1), 7-13.
Astawan, M. 2008. Khasiat Warna Warni Makanan. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Atherton, J.G. dan J. Rudith. 1986. The Tomato Crops, A Scientific Basis for Improvement. Chapman and Hall Ltd. New York-USA.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2001. Kajian proses standarisasi produk pangan fungsional di badan Pengawas Obat dan makanan. Lokakarya Kajian Penyusunan Standar Pangan Fungsional. Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta.
Barbosa-Cánovas, G. V., U. R Pothakamury, E. Palou, B.G. Swanson. 1999. Preservation of Foods with Pulsed Electric Fields.Academic Press. San Diego.
Beresford, T.P., O.Reilly, C., O.Connor, P., Murphy, P.M. dan Kelly, A. 1998. Acceleration of cheese ripening: current technologies, potential use of high pressure. Proceedings of VTT Symposium 186, 103 - 114. Helsinki, Finland.
166
Berry, R. E., dan M. K. Veldhuis., 1977. Processing of Oranges, Grapefruit, and Tangerine. The AVI Publ. Co. Inc., Westport, Connecticut.
Blouis, M.S., 1958, “Antioxidant Determinations By The Use Of a Stable Free Radical”, Nature, 1199-1200.
Bohm F, Tinkler JH, Truscott TG. 1995.Carotenoids protect against cell membrane damage by the nitrogen dioxide radical. Nature Med 1:98–99.
Bonavida, B., 2008, Sensitization Of Cancer Cells For Chemo/Immuno/Radio Therapy, Edisi 1, 222, Humana Press, Los Angeles.
Bozkurt, H., Icier, F., 2010. The change of apparent viscosity of liquid whole egg during ohmic and conventional heating. J. Food Process Eng. (DOI:10.1111/j.1745 4530.2010.00575.x, in press).
Bramley PM. 2000. Is lycopene beneficial to human health? Phytochemistry 54, 233- 236.
Buchner, N.,A. Krumbein, S. Rohn, dan L. W. Kroh. 2006. Effect of thermal processing on the flavonols rutin and quercetin. Rapid Communications in Mass Spectrometry. 2006; 20: 3229-3235.
Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet, dan M. Wootton, 1987. Ilmu Pangan. Jakarta: UI-Press.
Budiyono, H. 2009. Analisis daya simpan produk susu pasteurisasi berdasarkan kualitas bahan baku mutu susu. Jurnal Paradigma, 10(2): 198-21.
Buettner G.S dan Fraye Q. S.1993. Review Plant L-ascorbic acid: chemistry, function,metabolism, bioavailability and effects of processing. Journal of the Science of Food and Agriculture. 80:825-860.
Cahyana, M. 2002. Isolasi Senyawa Antioksidan Kulit Batang Kayu Manis(Cinnanomum burmani, Nees ex Blume), ISSN No. 0216-0781.
Canene-Adams, K., Clinton, S.K., King, J.L., Lindshield, B.L., Wharton, C., Jeffery, E., Erdman, J.W. Jr., 2004. The Growth of the Dunning R-3327-H Transplantable Prostate Adenocarcinoma in Rats Fed Diets Containing Tomato, Broccoli, Lycopene, or Receiving Finasteride Treatment. FASEB J 18, A886 (591.4).
Cano.M.P.,Hernandez.A dan De Ancos. B. 199. ,High pressure and temperature effects on enzyme inactivation in strawberry and orange products.J.Food Sci. Vol 62, pp85.
Castro, A., Teixeira, J.A., Salengke, S., Sastry, S.K., Vicente, A.A., 2004. Ohmic heating of strawberry products: electrical conductivity measurements and ascorbic acid degradation kinetics. Innovative Food Sci. Emerg. Technol. 5, 27–36.
Castro, I., Teixeira, J.A., Salengke, S., Sastry, S.K., Vicente, A.A., 2003. The influence of field strength, sugar and solid content on electrical conductivity of strawberry products. J. Food Process Eng. 26 (1), 17-30
167
Chang, C. C., Yang, M.H., Wen, H.M., Chern, J.C. 2002. “Estimation of Total Flavonoid Content in Propolis by Two Complementary Colorimetric Methods”. Dalam J. of Food and Drug Analysis. 10(3): 178-182.
Chipurura, B., Muchuweti M, dan Manditseraa F. 2010. Effect of Thermal Treatment on The Phenolic Content and Antioxidant Activity of Some Vegetables. Asian Journal of Clinical Nutrition2 : 93-100.
Cho, H.-Y., Sastry, S. K., dan Yousef, A. E. 1999. Kinetics of inactivation of Bacillus subtilis spores by continuous or intermittent ohmic and conventional heating. Biotechnology and Bioengineering, 62(3): 368–372.
Clegg, K. Mary. 1966. “Citric Acid and The Browning of Solutions Containing Ascorbic Acid”, Journal Science Food Agricultural, Vol. 17.
Clinton SK, Emenhiser C, Schwartz SJ, Bostwick DG, Williams AW, Moore BJ, Erdman JW, Jr. Cis-trans lycopene isomers, carotenoids, and retinol in the human prostate. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev. 1996;5:823–33.
Clinton, S. 1998. Lycopene Chemistry, Biology, and Implications For Human Health And Disease. Nutrition Reiview; 56; 35-51.
Combs, G. F. Jr. 1992. The Vitamins: Fundamental Aspects in Nutrition and Health. Academic Press Inc. San Diego.
Cousin, M.A. dan Rodriguez, J.H. 1987. Microbiology of aseptic processing and packaging. In Principles of Aseptic Processing and Packaging, P.E. Nelson (Ed.), Food Processors Institute, Washington, D.C.
Cueva, O.A. 2003. Pulsed Electric Field Influences on Acid Tolerance, Bile Tolerance, Protease Activity and Growth Characteristics of Lactobacillus Acidophilus La-K. Escuela Agrícola Panamericana Zamorano. Honduras.
Dalimartha, S. 1999. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid I. Trubus Agriwidya. Anggota IKAPI. PT. Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara. Jakarta.
Davies J, 2000. Tomatoes and Health. Journal of Social Health. vol. 120 No. 2, pp. 81-82.
Dawn B.M., Allan D.M., Smith C.M. 2000. Biokimia Kedokteran Dasar: Sebuah Pendekatan Klinis. Jakarta: EGC. Hal. 321-523.
De Groot, H, dan U. Rauen. 1998. “Tissue Injury by Reactive Oxygen Species and The Protective Effects of Flavonoids.” dalam: Fundamental Clinical Pharmacology. 12: 249-255.
Delgado, Antonio, Kulisiewicz, Leszek, Rauh, Cornelia, Wiersche, Andreas. 2012. Novel Thermal and Non-Thermal Technologies for Fluid Foods. Academic Press, New York.
168
Dewanti, T., W.D. Rukmi, M. Nurcholis dan J.M. Maligan. (2010). Aneka Produk Olahan Tomat dan Cabe. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya, Malang.
Dewanto VW, Adom KK and Liu RH Thermal Processing Enhances the Nutritional Value of Tomatoes by Increasing Total Antioxidant Activity. J. Agric. Food Chem. 2002; 50: 3010 - 3014.
Dewick, P.M., 2002, Medical Natural Products, Edisi 2, 172, John Wiley & Sons, New York.
Di Mascio, P., Kaiser, S.P., Sies, H., 1989. Lycopene as the most efficient biological carotenoid singlet oxygen quencher. Arch. Biochem. Biophys. 274, 532/538.
Eitenmiller, R. R. dan Landen, W. O. 1999. Vitamin Analysis for the Health and Food Sciences. CRC Press. Boca Raton.
Eskin, N. A. M., 1990. Biochemistry of Foods. Academic Press. California.
Esti, S. Introduksi Reaksi Sel terhadap Jejas. Dalam: Sudarto P, Sutisna H, Achmad T (editors). Buku Ajar Patologi I (Umum). Jakarta: Sagung Seto: 2002. Halaman 21-3.
Fardiaz, D. 1996. Proses Termal Makanan Kaleng Berasam Rendah. Makalah pada Kursus Singkat Keamanan Pangan. Universitas Gajah Mada, 8-9 Juli 1996.
Fardiaz,S.1992. Mikrobiologi Pangan 1. PT Gramedia Pustaka Utama,Jakarta.
FDA, 2001. Kinetics of Microbial Inactivation for Alternative Food Processing Technologies: Ohmic and Inductive Heating.http://www.cfsan.fda.gov/~comm/ift-ohm.html, diakses 01 Nopember 2014.
Fessenden, R . J dan J.S. Fessenden. 1986. Kimia Organik. Edisi Ketiga. Erlangga.
Frei. 1994. Reactive Oxygen Species and Antioxidant Vitamins: Mechanisms of Action (American Jurnal Medicine). Excerpta Medica Inc.
Friedman, M., 2002. Tomato glycoalkaloids: role in the plant and in the diet. Journal of Agricultural and Food Chemistry 50, 5751–5780.
Friedman, M., 2013. Anticarcinogenic, cardioprotective, and other health benefits of tomato compounds lycopene, a-tomatine, and tomatidine in pure form and in fresh and processed tomatoes. Journal of Agricultural and Food Chemistry 61, 9534–9550.
Frusciante, L., Carli, P., Ercolano, M.R., Pernice, R., Di Matteo, A., Fogliano, V., Pellegrini, N., 2007. Antioxidant nutritional quality of tomato. Molecular Nutrition & Food Research 51, 609–617.
Fuhramn, B., Elis, A., Aviram, M., 1997. Hypocholesterolemic Effect of Lycopene and β-carotene is Related to Suppression of Cholesterol Synthesis and Augmentation of LDL Receptor Activity in Macrophage. Biochem. Biophys. Res. Commun. 233, 658–662.
169
Gaman, P.M. dan K.B. Sherrington. 1992. Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Gartner, C.,Stahl, W., danSies H.1997. Lycopene is morebioavailable from tomatopaste than from fresh tomatoes. American Journal of Clinic Nutrition, 66, 116–122.
Gavin, A. dan Weddig, L.M. 1995. Canned Foods — Principles of Thermal Process Control, Acidification and Container Closure Evaluation. The Food Processors Institute, Washington, D.C.
Gerster, H., 1997. The potential role of lycopene for human health. J. Am. Coll. Nutr. 16, 109–126.
Ghnimi, S., Flach-Malaspina, N., Dresh, M., Delaplace, G., Main-gonnat, J.F., 2008. Design and Performance Evaluation of an Ohmic Heating Unit for Thermal Processing of Highly Viscous Liquids. Chem. Eng. Res. Des. 86, 627–632.
Giovannucci, E., 1999. Tomatoes, Tomato-based Products, Lycopene, and Cancer: Review of the Epidemiologic Literature. J. Natl. Cancer Inst. 91:317–331.
Goodman., 1991. Vitamin C: The Master Nutrient. Dalam: Muhilal dan Komari., 1995 Ester-C. Vitamin C Generasi III. Cetakan ketiga, Halaman 96-97, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Gordon M.H., 1990, The mechanism of antioxidant action in vitro in: Hudson B.J.F., Editor: Food Antioxidan, London: Elsevier. 1-18.
Grandillo, S., Zamir, D. dan Tanksley, S.D. (1999) Genetic improvement of processing tomatoes: A 20 years perspective. Euphytica 110: 85–9
Halden, K., de Alwis, A., dan Fryer, P. 1990. Changes in the electrical conductivity of foods during ohmic heating. International Journal of Food Science and Technology, 25: 9–25.
Hamid, A.A., O.O Aiyelaagbe, L.A. Usman, O.M. Ameen, dan A. Lawal. 2010. Antioxidant : its Medidal and Pharmacological Applications. African Journal of Pure and Applied Chemistry vol.4(8):142-151.
Hanson, P.M, Ledesma D, Tsou SCS, Lee T.C, Yang R, Wuj, Chan J. 2004. Variation of antioxidant activity and antioxidant in Tomato. Journal of American Society of Horticultural Science;129, 704-711
Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Bandung: Penerbit ITB.
Hardiana R., Rudiyansyah, TA Zaharah. 2012. Aktivitas Antioksidan Senyawa Golongan Fenol dari Beberapa Jenis Tumbuhan Famili Malvaceae. JKK . 1(1): 8-13.
Hariyadi, P. 2004. Prinsip Penetapan dan Pendugaan Masa Kadaluarsa dan UpayaUpaya Memperpanjang Masa Simpan. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian IPB.Bandung.
170
Hariyadi, Purwiyatno. 2010. Sterilisasi UHT Dan Pengemanasan Asptik. https://www.researchgate.net/publication/259572053_Sterilisasi_UHT_dan_Pengemasan_Aseptik. Diakses pada 31 Maret 2018.
Harper, H. A., Rodwell, V. W., dan Mayes, P. A. 1980. Biokimia. Review of Physiological Chemistry. Diterjemahkan oleh M. Muliawan. Kedokteran. E. G. C. Jakarta.
Haryoto Santoso, Broto Nugroho, Hafidz. 2007. Aktivitas antioksidan fraksi polar ekstrak metanol dari kulit kayu batang Shorea acuminatissima dengan metode DPPH. Jurnal ILMU DASAR. 8(2): 158-164.
Heinz V., Alvarez I., Angersbach A., Knorr D. 2002. Preservation of liquid foods by high intensity pulsed electric fields – basic concepts for process design”, Trends Food Sci. Technol. Vol 12, pp103–111.
Hobson, G.E. dan Grierson, D. 1993. Tomato. In Burg, S.P. (Ed.). Postharvest Physiology and Hypobarie Storage of Fresh Produce. CABI Publishing. USA.
Hoffmann, D., 2003, Medical Herbalism: The Science and Pratice of Herbal Medicine, 101-103, Inner Traditions/Bear & Co, Britain.
Hoover.D.G., Merick.C., Papineau.A.M., Farkas.D.F., dan Knorr D.1989. Application of high hydrostatic pressure on foods to inactivate pathogenic and spoilage organisms for extension of shelf life. Food Technology, Vol 43(3), pp 99.
Huang, D., Ou B., and Prior, RL. 2005. The Chemistry behind Antioxidant Capacity Assays, Journal of Agricultural and Food Chemistry, 53, 1841-1856.
Huawei, Z., Xiaowen, W., Elshareif, O., Hong L., Qingrui, S., dan Lianfu, Z. 2014. Isomerisation and degradation of lycopene during heat processing in simulated food system. 2014. International Food Research Journal 21(1): 45-50.
Hulme, A. C. 1971. The Biochemistry of Fruit and Their Product Vol.2.Academic Press, London.
Icier F. Novel thermal and non-thermal technologies for fluid foods. In: Cullen PJ, Tiwari BK, Valdramidis VP, editors. Ohmic heating of fluid foods. San Diego: Academic Press; 2012. p. 305–67 (Chapter 11).
Icier, F., dan Ilicali, C. 2004. Electrical conductivity of apple and sourcherry juice concentrates during ohmic heating. Journal of Food Process Engineering, 27(3), 159–180.
Icier, F., dan Ilicali, C., 2005a. Temperature dependent electrical conductivities of fruit purees during ohmic heating. Food Research. Int. 38 (10), 1135-1142.
Icier, F., Yildiz, H., Baysal, T., 2008. Polyphenoloxidase deactivation kinetics during ohmic heating of grape juice. J. Food Eng. 85, 410-417.
171
Icier,F., dan Ilicali, C. 2005b. The Effects of Concentration on Electrical Conductivity of Orange Juice Concentrates During Ohmic Heating. European Food Research and Technology, 220(3), 406–414.
Igual, M. García-Martínez, E. Camacho, M.M. dan Martínez-Navarrete, N. 2011. Changes in flavonoid content of grapefruit juice caused by thermal treatment and storage. Innovative Food Science and Emerging Technologies, Vol.12, pp.153-162.
Imai, T., Uemura, K., Ishida, N.Yoshizaki S. dan Noguchi, A. 1995. Ohmic Heating of Japanese White Radish Rhaphanus sativus L. International Journal of Food Science and Technology, 30: 461–472.
Jeyamkondan, S., D.S.Jayas, dan R.A. Holley 2008. Pasteurization of foods by Pulsed Electric Fields at High Voltages. Department of Biosystems Engineering and Department of FoodScience University of Manitoba Winnipeg. Canada.
Johnson, E. J., J. Qin, N. I. Krinsky, dan R. M. Russell.1997. Ingestion by Men of a Combined Dose of â-carotene and Lycopene Does Not Affect The Absorption of â-carotene gut Improves That ofLycopene. Journal of Nutrition. 127: 1833-1837.
Johnson, J.R., Braddock, R.J. dan Chen, C.S. 1995. Kinetics of Ascorbic Acid Loss and Non-Enzymatic Browning in Orange Juice Serum: Experimental Rate Constants. Dalam: Jiang, L., Zheng, H. dan Lu, H. Use of Linear and Weibull Functions to Model Ascorbic Acid Degradation in Chinese Winter Jujube During Postharvest Storage in Light and Dark Conditions. Journal of Food Processing and Preservation.
Jun, M., Fu HY, Hong J, Han X, Yang Cs, dan Ho CT. 2003. Comparison of Antioxidant Actifirs of Isoflavons from Kudzu Root (Pueraria labata Ohwl). Journal Food Science. Agustus 2003. 68(6): 2117-2122.
Kailaku I.S., Dewandari T.K., dan Sunarmani. 2013. Potensi Likopen dalam Tomat untuk Kesehatan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian.
Kanasawud, P. dan JC. Crouzet. 1990. Mechanism of Formation of Volatile Compounds by Thermal Degradation of Carotenoids in Aqueous Medium. Beta-carotene Degradation. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 38: 23-243.
Karadag, A. Ozcelik, B., Saner, S. 2009. Review of Methods to Determine Antioxidant Capacities, Food Analytical Methods Vol. 2:41-60.
Karadeniz, F., Burdurlu, H.S., Koca, N., dan Soyer, Y. 2005, Antioxidant Activity of Selected Fruits and Vegetables Grown in Turkey, Turk. J. Agric. For., 29:297-303.
Kemenristek RI. 2010. Pembuatan Sari Buah. (Online). Tersedia: http://www.academia.edu/5821468/II.
172
Kemp, M. R., Fryer, P. J. 2007. Enhancement of Diffusion Through Foods Using Alternating Electric Fields. Innovative Food Science and Emerging Technologies, 8, 143–153.
Kim, J. dan Pyu,Y. 1995. Extraction of Soy Milk Using Ohmic Heating. Abstract, 9th Congress of Food Science and Technology, Budapest, Hungary.
Komar N., 2012, “Analisis Heat Exchanger Aliran Paralel Pada Pasteurisasi Sari Buah Tomat”, Jurnal Teknologi Pertanian, Vol 4(1): 32-44.
Kong, Y. Q., Li, D., Wang, L. J., Bhandari, B., Chen, D. X., Mao, Z. H. 2008. Ohmic Heating Behavior of Certain Selected Liquid Food Materials. International journal of Food Engineering, 4(3), 1-13.
Koswara, S. 2009. Teknologi pengolahan sayuran dan buah-buahan. eBookPangan.com.
Kuellmer, Volker., 2001. Ascorbic Acid In: Kirk Othmer Encyclopedia of Chemical Technology”, John Wiley and Sons, New York.
Kulshrestha SA, Sastry SK. 2003. Frequency and voltage effects on enhanced diffusion during moderate electric field (MEF) treatment. Innov Food Sci Emerg Technol 4: 189-194.
Kulshrestha, S.A., Sastry, S.K., 2006. Low-frequency dielectric changes in cellular food material from ohmic heating: effect of end point temperature. Innov. Food Sci. Emerg. Technol. 7, 257- 262.
Kumalaningsih, S., Suprayogi. 2006. Tamarillo (Terung Belanda). Surabaya: Trubus Agrisarana.
Kumaran, A. dan Karunakaran, R.J. 2007., In vitro antioxidant activities of methanol extracts of five Phyllanthus species from India. LWT 40 : 344–352.
Kusnandar, Feri. 2010. Pasteurisasi Saribuah. http://itp.fateta.ipb.ac.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=105&Itemid=94, diakses 03 Nopember 2014.
Lakkakula, N., Lima, M., dan Walker, T. 2004. Rice Bran Stabilization and Rice Bran Oil Extraction Using Ohmic Heating. Bioresource Technology, 92: 157–16
Larkin, J. dan Spinak, S. 1996. Safety Considerations for Ohmically Heating, Aseptically Processes, Multiphase Low Acid Food Products. Food Technology, May: 242–245.
Lee Seung, K. dan Adel A. Kader. 2000. Preharvest and Postharvest Factors Influencing Vitamin C Content of HorticulturalCrops. Postharvest Biol. and Technol: no. 20, pp. 207-20.
Lee, K.W., Kim, Y.J., Lee, H.J., dan Lee, C.Y., 2003, Cocoa Has more Phenolik Phytochemical and A higher Antioxidant Capacity than Teas and Red Wine, J.Agric. Food Chem., 51 (52), 729-7295.
173
Lee, MT. dan Chen BH. 2002. Stability of lycopene during heating and illumination in a model system. Article in Food Chemistry 78(4): 425-432.
Lehninger. 1982. Dasar-Dasar Biokimia jilid 3. Jakarta: Erlangga.
Leizerson, S., Shimoni, E., 2005a. Effect of ultrahigh-temperature continuous ohmic heating treatment on fresh orange juice. J. Agr. Food Chem. 53, 3519-3524.
Leizerson, S., Shimoni, E., 2005b. Stability and sensory shelf life of orange juice pasteurized by continuous ohmic heating. J. Agr. Food Chem. 53, 4012-4018.
Levine, M, K.R. Dhariwal, R.W. Welch, Y. Wang, dan J.B. Park. 1995. Determination of Optimal Vitamin C Requirements in Humans. dalam: The WA MERICAN Journal of Clinical Nutrition. 62 (Suppl) 1347S-1356S.
Lima M, Hesket BF, Sastry SK. The effect of frequency andwaveform on the electrical conductivity-temperature profiles of turnip tissue. J Food Process Eng. 2001;22:41–54. doi: 10.1111/j.1745-4530.
Lima, M., dan Sastry, S.K., 1999. The effects of ohmic heating frequency on hot-air drying rate and juice yield. J. Food Eng. 41, 115-119.
Lima, M., Heskitt, B. F., Burianek, L. L., Nokes, S. E., & Sastry, S. K. (1999). Ascorbic acid degradation kinetics during conventional and ohmic heating. Journal of Food Processing Preservation, 23, 421–434.
Linder, M. C. 1992, Nutritional Biochemistry and Metabolism, (Terj.): Parakkasi A. 1992, Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. UI Press. Jakarta: 201-214.
Lu, Y., H. Etoh, N. Watanabe, K. Ina, N. Ukai, S. Oshima, F. Ojima, H. Sakamoto, dan Y. Ishiguro. 1995, A New Carotenoid, Hydrogen Peroxide Oxidation Products from Lycopene, Bioscience of Biotechnology and Biochemistry, 59: 2153-2155.
Luh, B.S., 1980. Nectars, Pulpy Juices and Fruit Juice Blends. Di dalam P.E. Nelson dan D.K. Tressler (eds.) Fruit and Vegetable Juice processing Technology. The AVI Publishing Company,Inc., Westport, Connecticut.
Magalhaes, L.M., Segundo, M.A., Reis, S., Lima, dan Jose L.F.C., 2008, Methodological Aspects about in Vitro Evaluation of Antioxidant Properties, J. Anal. Chim. Acta, 613, 1-19.
Maisuthisakul Pitchaon, Pasuk, Sirikarn Ritthiruangdejca. 2008. Relationship between antioxidant properties and chemical composition of some thai plants. Journal of Food Composition and Analysis. 21: 229– 240.
Manito, P. 1981. Biosintesis Produk Alami. Terjemahan Koensoemardiyah. Semarang: IKIP Semarang Press.
Marra, F., Zell, M., Lyng, J. G., Morgan, D. J., Cronin, D. A. 2009. Analysis of Heat Transfer during Ohmic Processing of a Solid Food, Journal of Food Engineering, 91, 56–63.
174
Mathavi, V., G. Sujatha, Bhavani Ramya, B. Karthika Devi. 2013. New Trends in Food Processing. International Journal of Advances in Engineering & Technology. ISSN: 2231 – 1963.
Matto, A. K., T. Murata, Er. B. Pantastico, K. Chachin, K. Ogata dan C. T Phan. 1989. Perubahan-perubahan kimiawi selama pematangan dan penuaan, p. 160-197. Dalam Er. B. Pantastico (Ed.). Fisiologi Pasca Panen Penanganan dan Pemanfaatan Buah-buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Subtropika. Terjemahan dari Postharvest Physiology, Handling and Utilization Tropical and Subtropical Fruits and Vegetables. Diterjemahkan oleh Kamariyani. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Mayer, C. D., Tbatou, M., Carail, M., Veyrat, C.C., Dornier, M. dan Amiot, M. J. 2007. Thermal Degradation of Antioxidant Micronutrients in Citrus Juice: Kinetics and Newly Formed Compounds. Journal of Agriculture and Food Chemistry, Vol. 55, No. 10.
Mazid, Mohd, Taqi Ahmed Khan , Zeba H. Khan , Saima Quddusi , dan Firoz Mohammad. 2011. Occurrence, Biosynthesis and Potentialities of Ascorbic Acid in Plants. International Journal of Plant, Animal and Environtmental Sciences. Vol I (2).
Meikapasa, N.W.P. dan I.G.N.O.Seventilova. 2016. Karakteristik Total Padatan Terlarut (TPT), Stabilitas Likopen dan Vitamin C Saus Tomat pada Berbagai Kombinasi Suhu dan Waktu Pemasakan. GaneC Swara Maret Vol. 10 no 1. pp 81-86.
Mercali, Giovana D., D. P. Jaeschke, I. C. Tessaro, dan L. D. F. Marczak. 2012. Study of Vitamin C Degradation in Acerola Pulp during Ohmic and Conventional Heat Treatment. Jurnal Food Science and Technology, 47, 91-95.
Miki, N., dan Akatsu, K. 1970. Effect of heat sterilization on the color of tomato juice. Nihon Shokuhin Kogyo Gakkai, 17, 175–181.
Miller, Alan N.D., 1996, Antioxidant flavonoid structural usage alternative medical Review I (2), 103-111.
Mizrahi, S. 1996. Leaching of Soluble Solids During Blanching of Vegetables by Ohmic Heating. Journal of Food Engineering, 29: 153–166.
Molyneux, P. 2004. The use of the stable free radikal diphenyl picrylhydrazyl (DPPH) for estimating antioxidant activity. Journal ScienceofTechnology. 26(2): 211-219.
Muchtadi, D. 1977. Pengetahuan dan Pengolahan Bahan Nabati. Departemen Teknologi Hasil Pertanian IPB: Bogor.
Muchtadi, D., Sri Palupi N., Astawan M. 1993. Metabolisme Zat Gizi. Sumber, Fungsi dan Kebutuhan bagi Tubuh Manusia. Jilid II. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 43-48
Muchtadi, R.T., F. Ayustaningwarno. 2010. Teknologi Proses PengolahanPangan. Penerbit Alfabeta, Bandung.
175
Muchtadi, T.R., Sugiyono, dan F. Ayustingwarno. 2010. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Ikatan Penerbit Indonesia.
Murphy K. J, Chronopoulos A. K., Singh I.2003. Dietary flavanols and procyanidin oligomers from cocoa (Theobroma cacao) inhibit platelet function. American Journal of Clinical Nutrition 2003;77(6):1466-73.
Mursalim. 2013. Teknologi Pertanian; Motor Penggerak Pembangunan Pertanian. Masagena Press, Makassar.
Naidu KA. 2003. Vitamin C in human health and disease is still mistery? An Overview. J Nutr 2:7.
Nelson, W. G., De Marzo, A. M. dan Isaacs, W. B. Prostate cancer. N. Engl. J. Med. 2003; 349:366- 381.
Nguyen ML, Schwartz SJ. 1999. Lycopene: chemical and biological properties. Food Tech 53:38–45.
Norman,H.N. 1998. Prinsip-prinsip kimia. Jakarta: Erlangga.
Odriozola-Serrano, I., Soliva-Fortuny, R. dan Martín-Belloso, O. 2008. Phenolic acids, flavonoids, vitamin C and antioxidant capacity of strawberry juices processed by high-intensity pulsed electric fields or heat treatments. European Food Research Technology, Vol.228, pp.239-248.
Oms-Oliu, G., Odriozola-Serrano,I. Soliva-Fortuny, R., dan Martín-Belloso,O., 2009. Effects of high-intensity pulsed electric field processing conditions on lycopene, vitamin C and antioxidant capacity of watermelon juice. Food Chem. Vol. 115 (4), p. 1312–1319.
Orak, H.H, 2006. Total Antioxidant Activities, Phenolics, Anthocyanins, Polyphenoloxidase Activities in Red Grape Varieties. Electronic Journal of Polish Agricultural University Food Science and Technology, Volume 9, Issu – 118 htm.
Ozkan, N., Ho, I., Farid, M., 2004. Combined ohmic and plate heating of hamburgerpatties: quality of cooked patties. Journal of Food Engineering 63, 141–145
Palaniappan, S., Sastry, S.K., Richter, E.R., 1990. Effects of electricity on microorganisms: a review. J. Food Process. Preserv. 14, 393-414.
Palaniappan, S., Sastry, S.K., Richter, E.R., 1992. Effects of electroconductive heat treatment and electrical pretreatment on thermal death kinetics of selected microorganisms. Biotechnol. Bioeng. 39 (2), 225232.
Palaniappan, S., Sastry., S.K., 1991. Electrical conductivity of selected juices: influences of temperature, solids content, applied voltage, and particle size. J. Food Process Eng. 14, 247-260.
Pantastico, B.E.R., 1986. Fisiologi Pasca Panen. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
176
Passmore, R. dan Eastwood, M.A. 1986. Human Nutrition and Dietetics, 3rd ed. Longman: Hong Kong. pp. 233-4.
Pauly, G., 2001, Cosmetic, Dermatologycal and Pharmaceutical Use of An Extract Of Terminalia catappa, United State Patent Application no. 20000022665
Percival, M. 1998. Antioxidants. Advanced Nutrition Publication, Inc: New York.
Percival, S.S. and R.E. Turner. 2001. Applications of herbs to functional foods. In R.E.C. Wildman (Ed.). Handbook of Nutraceuticals and Functional Foods. CRC Press, Washington DC. p. 393−406.
Picart L, Cheftel JC. 2003. Pulsed electric fields. In: Zeuthen P, Bogh-Sorensen L, editors. Food preservation techniques. Fla.: CRC Press. pp 57–68.
Poedjiadi, A. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Penerbit UI-Press: Jakarta
Pohar KS, Gong MC, Bahnson R, Miller EC dan Clinton SK Tomatoes, Lycopene and Prostate Cancer. World J Urol. 2003; 21: 9-14.
Pokorny J, Korczak J 2001. Preparation of natural antioxidant, in Antioxidants in Food: Practical Applications, 1st ed., Pokorny, J., Yanishlieva, N. and Gordon, M., Eds., Woodhead Publishing Limited, Abington, Cambridge, England, pp. 311-330.
Pracaya, Ir. 2012. Bertanam Tomat. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Prawirokusumo, Soeharto. 1991, Biokimia Nutrisi dan Vitamin. BPFE, Yogyakarta.
Preedy. VR., dan R R Watson. 2009. Lycopene. Nutritional, Medicinal and
Therapeutic Properties. CRC Press.
Prior RL, Hoang HA, Gu L, Wu X, Bacchiocca M, Howard L, Hampsch-Woodill M, Huang D, Ou B, Jacob R. 2003. Assay for hydrophilic and lipophilic antioxidant capacity (oxygen radical absorbance capacity (ORACFL)) of plasma and other biological and food samples. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 51: 3273-3279. Didalam: Hsiu Ling Tsai, Sam KC, Sue-Joan Chang. 2007. Antioxidant content and free radical scavenging ability of fresh red pummelo (Citrus grandis L.) juice and freeze dried products. Journal Agriculture and Food Chemistry. 55: 2867-2872.
Rahayu Rakhmawati dan Yunianta. 2015. Effects of Proportion Fruit: Water and Heating Time on Antioxidant Activity of Hogplum Juice.Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 4 p.1682-1693.
Rahman, M. S. 1999. Handbook of Food Preservation. Second Edition. CRC Press.
Ramdhan, T. dan S. Aminah. 2014. Pengaruh Pemasakan terhadap Kandungan Antioksidan Sayuran. Buletin Pertanian Perkotaan Volume 4 Nomor 2.
177
Rančić D, Quarrie Pekić S, dan Pećinar I. 2010. Anatomy of tomato fruit and fruit pedicel during fruit development. Faculty of Agriculture University of Belgrade, Nemanjina 6 11080 Zemun, Serbia.
Rao AV., dan Agarwal S.1999. Role of lycopene as antioxidant carotenoids in the prevention of chronic desease: a reiew. Nutritional Research.19:305–323.
Rao LG, Guns E, Rao A, 2003. Lycopene: Its Role in Human Health and Disease. AGROFood indusry hi-tech. pp. 25-30.
Rao, A V.,dan Agarwal, S. Role of Antioxidant Lycopene in Cancer and Heart Disease. American College of Nutrition. 2002; Vol.19:5;563-569.
Regina, A., Maimunah, Yovita L. 2008. Penentuan Aktivitas Antioksidan, Kadar Fenolat Total dan Likopen pada Buah Tomat (Solanum lycopersicum L). [Jurnal] Sains dan Teknologi Farmasi, Vol. 13, No. 1.
Rekha C, Poornima G, Manasa M, Abhipsa V, Devi JP, Kumar HTV, Kekuda TRP. 2012. Ascorbic acid, total phenol content and antioxidant activity of fresh juice of four ripe and unripe citrus fruits. Research Article. Chemical Science Transactions. 1(2): 303- 310.
Rezaeizadeh A, Zuki ABZ, M Abdollahi, Goh YM, Noordin MM, Hamid M, Azmi TI. 2011. determination of antioxidant activity in methanolic and chloroformic extract of momordica charantia. African Journal of Biotechnology.10(24): 4932-4940. ISSN 1684–5315.
Richardson, P. 2004.Thermal Technologies in Food Processing, Hlm.
Riska Rovitasari.2016. http://skripsi.co/skripsi-farmasi/penetapan-kadar-kuersetin-dalam-sediaan-sirup-daun-belimbing-wuluh-averrhoa-bilimbi-dengan-metode-spektrofotometri-uv-repository/. Diakses pada 12 April 2018.
Robert, KM. 2003. Sel Darah Merah dan Putih. Dalam: Anna PB. Tiara MN (Editors). Biokimia Harper. Jakarta: EGC; Halaman 730.
Ryall, A.L. dan Lipton, W.J. 1972. Handling, Transportation and Storage of Fruit and Vegetables. Vol I: Vegetables and Melons. AVI Pub., Wesport Connecticut.
Salengke, S. 2000. Electrothermal Effects of Ohmic Heating on Biomaterials. Ph.D. Dissertation, The Ohio State University, Columbus, OH.
Salunkhe K.D., Jadhav J.S., Yu H.M.1974. Quality and Nutritional Composition of Tomato Fruit as Influenced by Certain Biochemical and Physiological Changes. Logan, Edmonton & Washington.
Sanches-Moreno, C., 2002. Review: methods used to evaluate the free radical scavenging activity in foods and biological systems. Food Science Technology-International 8, 121–137.
Sandra, Goodman. 1991. Vitamin C : The Master Nutrient. Dalam : Muhilal dan Komari., 1995 Ester-C. Vitamin C Generasi III. Cetakan ketiga, Halaman 96-97, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
178
Sastry S.K. 1992. A model for heating of liquid-particle mixtures in a continuous flow ohmic heater. Journal of Food Process Engineering 15, 263–278. [Model for continuous flow ohmic heating of solid–liquid mixtures.]
Sastry, S. K., dan Barach, J. T. 2000. Ohmic and inductive heating. Journal of Food Science, Supplement, 65(4), 42–46.
Sastry, S. K., Yousef, A., Cho, H Y., Unal, R., Salengke, S., Wang, W. C., Lima, M., Kulshrestha, S., Wongsa-Ngasri, P., Sensoy, I. 2001. Ohmic Heating and Moderate Electric Field (MEF) Processing. In: Engineering and Food for the 21st Century. Technomic Publishers (in press).
Sastry, S.K. dan Salengke S. 1998. Ohmic heating of solid-liquid mixtures: a comparison of mathematical models under worst-case heating conditions, Journal of Food Process Engineering, 21(6):441-458.
Saxena A, Maity S, Raju P, dan Bawa A. 2012. Degradation kinetics of colour and total carotenoids in jackfruit (Artocarpus heterophyllus) bulb slice during hot air drying. Food Bioprocess Technol 5:672–679.
Schierle, J., Bretzel, W., Biihler, I., Faccin, N., Hess, D., Steiner, H., 1996, “Content and isomeric ratio of lycopene in food and human blood plasma”, Food Chemistry, 3, 459–465.
Schreier, P., Reid, D., dan Fryer, P. 1993. Enhanced Diffusion During the Electrical Heating of Foods. International Journal of Food Science and Technology, 28: 249–260.
Selmi Glaucia AR, Carmen SF Trindade, Carlos GF Grosso. Morphology, stability, and application of lycopene microcapsules produced by complex coaceration. J. Chem. 2013; 982603: 1-7.
Sensoy I., Zhang Q.H., Sastry S.K. 1997. Inactivation kinetic of Salmonella dublin by pulsed electric fields, J. Food Proc. Eng. Vol 20,pp 367–381.
Serpen, A.V.Gokmen,K.S. Bahceci, J. Acar. 2007. Reversible Degradation Kinetics of Vitamin C in Peas During Frozen Storage. Eur Food Res Technol, 2007, 224: 749–753. DOI 10.1007/s00217-006-0369-y.
Sharma S.K., danLe Maguer M. 1996. Kinetics of lycopene degradation in tomato pulp solids under different processing and storage conditions. Food Res. Int. 29:309-315.
Sharma, S.K., dan Le Maguer, M., 1996. Lycopene in Tomatoes and Tomato Pulp Fractions. Ital. J. Food Sci. 2, 107-113.
Shi, J. dan M. Le Maguer. 2000. Lycopene in Tomatoes: Chemical and Physical Properties Affected by Food Processing. Critical Review of Food Science and Nutrition. 40(1): 1-42
Shirsat, N., Lyng, J. G., Brunton, N. P., McKenna, B. 2004. Ohmic processing: Electrical Conductivities of Pork Cuts. Meat Science, 67, 507–514.
Sies H. 1992. Antioxidant Functions of Vitamin: vitamins E and C, A-carotene and other carotenoids. Ann N Y Acad. Ci, 69, 7-20.
179
Simmonds, N. W. 1966. Banana. 2nd Edition. Longman Inc, New York. 446p.
Somavat, R. 2011. Applications and Effects of Ohmic Heating: Sterilization, Influence on Bacterial Spores, Enzymes, Bioactive Components and Quality Factor in Food. Ph.D. Dissertation The Ohio State University, Columbus, OH.
Stahl, W. dan H. Sies. 1992. Uptake of lycopene and its geometrical isomers is greater from heat processed than from unprocessed tomato juice in humans. Jounal of Nutrition, 122, 2161-2166.
Stahl, W., dan Sies, H. 1996. Lycopene: aBiologically Important Carotenoid for Humans? Arch Biochem Biophys: 336: 1-9.
Storey ML., Forshee RA., Anderson PA., Hein GL. The Relationship BetweenConsumption of Tomato Products, Which Contain Lycopene, And Reduction Riskof Prostate Cancer.Center for food and Nutiritional polic.2003;pp:1-70.
Subeki. 1998. Pengaruh Cara Pemasakan terhadap Kandungan Antioksidan Beberapa Macam Sayuran serta Daya Serap dan Retensinya pada Tikus Percobaan, Bogor: IPB.
Sudarmadji. S., Haryono, B., Suhardi. 1996. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty Yogyakarta. Yogyakarta.
Sudjadi dan Rohman, A. 2004. Analisa Obat dan Makanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sudradjat SS, Gunawan I. 2003. Likopen (Lycopene). Majalah Gizi Medik Indonesia Vol. 2 No. 5; 7-8.
Suhartono E, Fachir H, dan Setiawan B. Rokok sebagai sumber radikal bebas dalam Kapita selekta biokimia: Stres oksidatif dasar & penyakit. Banjarmasin. Pustaka Banua. 2007;1(2): 117-8.
Sukasih, E., Setyadjit dan Hariyadi, R. D. 2005. Analisis Kecukupan Panas Pada Proses Pasteurisasi Puree Mangga (Mangifera indica L).Jurnal Pascapanen,Vol. 2,No. 2.
Sun, D. W. 2006. Thermal Food Processing: New Technologies and Quality Issues. CRC Press. Boca Raton
Thompson IM, Goodman PJ, Tangen CM, Lucia MS, Miller GJ, Ford LG, The influence offinasteride on the development of prostate cancer. N Engl J Med. 2003; 349:215-24.
Thompson, H.C. dan W.C. Kelly. 1957. Vegetable Crops. 5th ed. McGraw Hill Book Company, Inc. New York. 611p.
Ting, V. S., dan J. A. Attaway. 1971. Citrus Fruits. Academic Press, London.
Tonucci, L.H., Holden, J.M., Beecher, G.R., Khachik, F., Davis, C.S., Mulokozi, G., 1995. Carotenoid Content of Thermally Processed Tomato-based Food-Products. J. Agric. Food Chem. 43, 579–586.
180
Tranggono dan Sutardi. 1990. Biokimia dan Teknologi Pasca Panen. Hal 185-216. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Universitas Gadja Mada, Jogyakarta.
Tranggono, Zuheid N, dan Djoko W. 1988. Evaluasi Gizi Pengolahan Pangan. Jogyakarta: PAU Pangan Gizi UGM.
Tsang,G., 2005.Lycopenein Tomatoes and ProstateCancer. http://www.healthcastle.com. Diakses 16 Februari 2018.
Tuminah S. 2007.Teh sebagai salah satu antioksidan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Uckiah, D.Goburdhun dan A.Rugoo. 2009. Vitamin C Content During Processing and Sorage of Pineapple. Nutrition & Food Science Vol. 39 No. 4, 2009 pp. 398-412 q Emerald Group Publishing Limited 0034-6659 DOI 10.1108/00346650910976275.
Velioglo, YS, Mazza.G, Gao L.dan Oomah B.D. 1998. Antioxidant Activity and Total Phenolics in Selected Fruits, Vegetables and Grain Product. J. Aqric. Food Chem, 46:4113 – 4117.
Vikram, V. B., Ramesh, M. N., Prapulla, S. G. 2005. Thermal Degradation Kinetics of Nutrients in Orange Juice Heated by Electromagnetic and Conventional Methods. Journal of Food Engineering, 69, 31–40.
Viranda P.M, 2009, Pengujian kandungan Senyawa yang terdapat dalam Tomat, Jurnal P. Universitas Indonesia.
Vogel. 1994. Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Edisi Keempat. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Wallace G., Fry S.C. 1994. Phenolic Components of The Plant Cell Wall. Int Rev Cytol 151 (1994) 229–267
Walpole, R. E. 1995. Pengantar Statistika. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Walstra, P. 2003. Physical Chemistry of Food. Wageningen University, Wageningen The Netherlands. Marcel Dekker, Inc. New York.
Wang, W. C., dan Sastry, S. K. 2002. Effects of Moderate Electrothermal Treatments on Juice Yield from Cellular Tissue. Innovative Food Science and Emerging Technologies. 3 (4), 371–377.
Wang, W. C., dan Sastry, S. K. 2000. Effects of thermal and electrothermal pretreatments on 1034 hot air drying rate of vegetable tissue. Journal of Food Process Engineering, 23, 299- 1035 319.
Wang, W. dan Sastry, S. K. 1997. Starch Gelatinization in Ohmic Heating. Journal of Food Engineering, 34: 225–242.
Weaver, J.C., Chizmadzhev, Y.A., 1996. Theory of electroporation: a review. Bioelectrochem. Bioenergetics 41 (1), 135-160
Weber P., Bendich dan A. Schalch. 1996. Ascorbic Acid and Human Health– a Review of Recent Data Relevant to Human Requirements. Int J Vit Nutr Res 66:19-30.
181
Whitman WB, Vos PD, Garrity GM, Jones D, Krieg NR, Ludwig W, Rainey FA, Schleifer K, 2009. Bergey’s Manual of Systemic Bacteriology 2nd ed vol. 3. Springer Dordrecht Heidelberg London New York. pp. 49-53.
Widyastuti, N. 2010. Pengukuran Aktivitas Antioksidan dengan Metode CUPRAC, DPPH, dan FRAP serta korelasinya dengan Fenol, Flavonoid pada enam tananman. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan, Institut Pertanian Bogor. hal. 1-31.
Willcox JK, Catignani GL dan Lazarus S. 2003. Tomatoes and cardiovascular Health. Critical Rev. in Food Sci and Nut, 43 (1),1-18.
Wills, R.B.H., W.B. McGlasson, D. Graham, T.H. Lee, and E.G. Hall. 1989. Postharvest: An Introduction to the Physiology and Handling of Fruit and Vegetables. An Avi Book, Van Nostrand Reinhold. New York. 164p.
Winarno FG, dan Aman M.1979. Fisiologi Lepas Panen. Bogor: Sastra Hudaya.
Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit PT Gramedia, Jakarta.
Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia. Jakarta.
Winarsi, H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Windono T Soediman, S Yudawati, U Ermawati, EErowati dan T Inayah. 2001. Uji perendamanradikal bebas terhadap 1,1-Diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH) dari ekstrak kulit buah danbiji anggur (Vitis vinifera L.) Probolinggo Biri danBali, Artocarpus 1(1): 34-43.
Woodall, A.A., S.W.Lee, R.J. Weesie, M.J. Jackson, dan G.Britton. 1997.Oxidation of Carotenoids by Free Radicals; Relationship between Structure and Reactivity.Biochimica et BiophysicaActa, 1336: 33-42.
Yeom HW, Streaker CB, Zhang QH dan Min DB. 2000. “Effects of Pulsed electric fields on the quality of orange juice and comparison with heat pasteurization”. J. Agric. Food Chem. 48(10): pp 4597-4605.
Yildiz, H., Bozkurt, H., Icier, F., 2009. Ohmic and conventional heating of pomegranate juice: effects on rheology, color and total phenolics. Food Sci. Technol. Int. 15 (5), 503-512.
Yildiz, H., Icier, F., Baysal, T., 2010. Changes in β-carotene, chlorophyll and color of spinach puree during ohmic heating. J. Food Process Eng. 33, 763-779.
Yongsawatdigul, J., Park, J. W., Kolbe, E., Abudagga, Y., dan Morrissey, M. T. 1995. Ohmic Heating Maximizes Gel Functionality of Pacific Whiting Surimi. J Food Sci, 60, 10-14.
Yuwono, AH. 2009, Teori dasar pengujian mekanik pada material, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Jakarta.
Zareifard, M. R., Ramaswamy, H. S., Trigui, M., Marcotte, M. 2003. Ohmic Heating Behaviour and Electrical Conductivity of Two-Phase Food
182
Systems. Innovative Food Science and Emerging Technologies, 4, 45–55.
Zuhra, C. F., Tarigan, J. B., dan Sitohang, H. 2008. Aktivitas Antioksidan SenyawaFlavonoid dari Daun Katuk (Sauropus androginus (L) Merr.), Jurnal BiologiSumatera, 3: 7-10.
Zulkarnain, H. 2010. Dasar-dasar Hortikultura. Bumi Aksara. Jakarta.
183
Lampiran 1.
Notasi/Rumus/Persamaan
No
Rumus/Persamaan
Keterangan
1
I = V/R
Hubungan antara arus, tegangan dan hambatan (Hukum Ohm)
2
ϬT= Ϭref [1 + m(T-Tref)
Konduktivitas Listrik (pada suhu T)
3
σ = σ0 1 + mT
Konduktiitas Listrik (Linear)
4
𝑘𝑐𝑑(𝐶)
𝑑𝑡
Laju reaksi perubahan konsentrasi suatu senyawa (dC) terhadap perubahan waktu (dt)
5
dC/dt = - k [C]n
Laju reaksi orde satu
6
k = Ae –Ea/RT
Persamaan Arrhenius (Konstanta Kecepatan Reaksi)
7
ln k = ln k0 - Ea/R . 1/T
Persamaan Arrhenius dalam bentuk logaritma
8
Ln C = Ln Co – kt
Kinetika degradasi L-asam askorbat orde satu
9
D = t
log Co−log C
Decimal Reduction Time
10
Z =T2−T1
log D1−log D2
Ketahanan Panas (Thermal Resistance Constant)
11
k = 2,303
D
Reaction Rate Constant (konstanta k)
12
Ln k = ln ko - 𝐸𝑎
𝑅 .
1
𝑇
Energi Aktivasi
13
Yijk = µ + α1 + ßj + (αß)ij + €ijk
Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial dengan 2 Faktor
14
Total Asam = 𝑏
𝑎
Perhitungan Total Asam
15
K = 100
𝑛𝑥
𝑆𝑃−𝐵𝐿
𝑆𝑇−𝐵𝐿 𝑥 𝑆𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 𝑥 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
Penentuan kandungan vitamin C dengan Metoda Titrasi 2,6 D
16
𝐶 =𝐴
𝐸1𝑐𝑚1% 𝑥 𝑏
Penentuan Kadar Likopen
17
% Inhibisi = (𝐴𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙−𝐴𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙)
𝐴𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 x 100%
Serapan larutan DPPH (% inhibisi)
184
Lampiran 2.
Total Asam Jus Tomat
Univariate Analysis of Variance
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Total Asam Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model .005a 11 .000 8.848 .000 Intercept .590 1 .590 10448.297 .000 Suhu .001 2 .001 10.917 .000 Lama .003 3 .001 16.556 .000 Suhu * Lama .001 6 .000 4.304 .004
Error .001 24 5.651E-005 Total .597 36 Corrected Total .007 35 a. R Squared = .802 (Adjusted R Squared = .712)
Post hoc test Suhu Pemanasan (Celcius) Homogeneous Subsets
Total Asam
Suhu Pemanasan (Celcius) N Subset
1 2
Tukey Ba,b
110 12 .121733
90 12 .126608
70 12 .135850
Duncana,b
110 12 .121733
90 12 .126608
70 12 .135850
Sig. .125 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 5.651E-005. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12.000. b. Alpha = 0.05.
185
Lama Pemanasan (menit) Homogeneous Subsets
Total Asam
Lama Pemanasan (menit) N Subset
1 2 3
Tukey Ba,b
45 9 .117867
0 9 .124100 .124100
30 9 .128367
15 9 .141922
Duncana,b
45 9 .117867
0 9 .124100 .124100
30 9 .128367
15 9 .141922
Sig. .091 .240 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 5.651E-005. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000. b. Alpha = 0.05.
186
Lampiran 3.
PH Jus Tomat
Univariate Analysis of Variance
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: pH Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model .439a 11 .040 17.262 .000 Intercept 663.063 1 663.063 286902.043 .000 Suhu .258 2 .129 55.915 .000 Lama .074 3 .025 10.630 .000 Suhu * Lama .107 6 .018 7.694 .000
Error .055 24 .002 Total 663.557 36 Corrected Total .494 35 a. R Squared = .888 (Adjusted R Squared = .836)
Post Hoc Tests Suhu Pemanasan (Celcius) Homogeneous Subsets
pH
Suhu Pemanasan (Celcius) N Subset
1 2 3
Tukey Ba,b
70 12 4.1892
90 12 4.2892
110 12 4.3967
Duncana,b
70 12 4.1892
90 12 4.2892
110 12 4.3967
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .002. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12.000. b. Alpha = 0.05.
187
Post Hoc Tests
Lama Pemanasan (menit) Homogeneous Subsets
pH
Lama Pemanasan (menit) N Subset
1 2
Tukey Ba,b
15 9 4.2167
30 9 4.2967
0 9 4.3200
45 9 4.3333
Duncana,b
15 9 4.2167
30 9 4.2967
0 9 4.3200
45 9 4.3333
Sig. 1.000 .138
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .002. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000. b. Alpha = 0.05.
188
Lampiran 4.
Total Padatan Terlarut Univariate Analysis of Variance
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Total Padatan Terlarut Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model .649a 11 .059 12.492 .000 Intercept 410.738 1 410.738 86979.765 .000 Suhu .094 2 .047 9.941 .001 Lama .513 3 .171 36.235 .000 Suhu * Lama .042 6 .007 1.471 .230
Error .113 24 .005 Total 411.500 36 Corrected Total .762 35 a. R Squared = .851 (Adjusted R Squared = .783)
Post Hoc Tests Suhu Pemanasan (Celcius) Homogeneous Subsets
Total Padatan Terlarut
Suhu Pemanasan (Celcius) N Subset
1 2 3
Tukey Ba,b
70 12 3.317
90 12 3.375
110 12 3.442
Duncana,b
70 12 3.317
90 12 3.375
110 12 3.442
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .005. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12.000. b. Alpha = 0.05.
189
Lama Pemanasan (menit) Homogeneous Subsets
Total Padatan Terlarut
Lama Pemanasan (menit) N Subset
1 2 3
Tukey Ba,b
0 9 3.200
15 9 3.367
30 9 3.411
45 9 3.533
Duncana,b
0 9 3.200
15 9 3.367
30 9 3.411
45 9 3.533
Sig. 1.000 .183 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .005. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000. b. Alpha = 0.05.
190
Lampiran 5.
4. Vitamin C Univariate Analysis of Variance
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Kandungan Vitamin C
Source Type III Sum of
Squares
df Mean Square F Sig.
Corrected Model 187.847a 11 17.077 125.254 .000
Intercept 1076.930 1 1076.930 7898.923 .000
Suhu 5.887 2 2.944 21.590 .000
Lama 169.059 3 56.353 413.331 .000
Suhu * Lama 12.901 6 2.150 15.771 .000
Error 3.272 24 .136
Total 1268.050 36
Corrected Total 191.119 35
a. R Squared = .983 (Adjusted R Squared = .975)
Post Hoc Tests Suhu Pemanasan (Celcius) Homogeneous Subsets
Kandungan Vitamin C
Suhu Pemanasan (Celcius) N Subset
1 2 3
Tukey Ba,b
110 12 5.002908
90 12 5.416242
70 12 5.989158
Duncana,b
110 12 5.002908
90 12 5.416242
70 12 5.989158
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .136. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12.000. b. Alpha = 0.05.
191
Lama Pemanasan (menit) Homogeneous Subsets
Kandungan Vitamin C
Lama Pemanasan (menit)
N Subset
1 2 3 4
Tukey Ba,b
45 9 2.968889
30 9 4.017222
15 9 6.303333
0 9 8.588300
Duncana,b
45 9 2.968889
30 9 4.017222
15 9 6.303333
0 9 8.588300
Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .136. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000. b. Alpha = 0.05.
192
Lampiran 6.
5. Kandungan Polifenol Univariate Analysis of Variance
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kandungan Polifenol Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 13.416a 11 1.220 3.838 .003 Intercept 85.883 1 85.883 270.258 .000 Suhu 4.058 2 2.029 6.385 .006 Lama 7.403 3 2.468 7.765 .001 Suhu * Lama 1.956 6 .326 1.026 .433
Error 7.627 24 .318 Total 106.926 36 Corrected Total 21.043 35 a. R Squared = .638 (Adjusted R Squared = .471)
Post Hoc Tests
Suhu Pemanasan (Celcius)
Homogeneous Subsets
Kandungan Polifenol
Suhu Pemanasan (Celcius) N Subset
1 2
Tukey Ba,b
90 12 1.27575
70 12 1.34000
110 12 2.01792
Duncana,b
90 12 1.27575
70 12 1.34000
110 12 2.01792
Sig. .782 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .318. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12.000. b. Alpha = 0.05.
193
Lama Pemanasan (menit) Homogeneous Subsets
Kandungan Polifenol
Lama Pemanasan (menit) N Subset
1 2 3
Tukey Ba,b
0 9 1.03900
15 9 1.26567
30 9 1.63556 1.63556
45 9 2.23800
Duncana,b
0 9 1.03900
15 9 1.26567 1.26567
30 9 1.63556
45 9 2.23800
Sig. .402 .177 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .318. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000. b. Alpha = 0.05.
194
Lampiran 7.
Kuersetin Univariate Analysis of Variance
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kuersetin Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 10.365a 11 .942 6.185 .000 Intercept 30.625 1 30.625 201.017 .000 Suhu 2.569 2 1.284 8.430 .002 Lama 2.674 3 .891 5.851 .004 Suhu * Lama 5.122 6 .854 5.603 .001
Error 3.656 24 .152 Total 44.647 36 Corrected Total 14.021 35 a. R Squared = .739 (Adjusted R Squared = .620)
Post Hoc Tests Suhu Pemanasan (Celcius) Homogeneous Subsets
Kuersetin
Suhu Pemanasan (Celcius) N Subset
1 2
Tukey Ba,b
70 12 .54458
110 12 1.10958
90 12 1.11283
Duncana,b
70 12 .54458
110 12 1.10958
90 12 1.11283
Sig. 1.000 .984
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .152. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12.000. b. Alpha = 0.05.
195
Lama Pemanasan (menit)
Homogeneous Subsets Kuersetin
Lama Pemanasan (menit) N Subset
1 2
Tukey Ba,b
0 9 .47900 15 9 .92267 .92267
45 9 1.10856
30 9 1.17911
Duncana,b
0 9 .47900
15 9 .92267
45 9 1.10856
30 9 1.17911
Sig. 1.000 .200
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .152. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000. b. Alpha = 0.05.
196
Lampiran 8.
Likopen
Univariate Analysis of Variance
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Likopen Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 2051.057a 11 186.460 3.700 .004 Intercept 11559.475 1 11559.475 229.352 .000 Suhu 549.526 2 274.763 5.452 .011 Lama 1277.119 3 425.706 8.446 .001 Suhu * Lama 224.412 6 37.402 .742 .621
Error 1209.612 24 50.400 Total 14820.144 36 Corrected Total 3260.669 35 a. R Squared = .629 (Adjusted R Squared = .459)
Post Hoc Tests Suhu Pemanasan (Celcius) Homogeneous Subsets
Likopen
Suhu Pemanasan (Celcius) N Subset
1 2
Tukey Ba,b
70 12 13.2192 90 12 17.7533 17.7533
110 12 22.7850
Duncana,b
70 12 13.2192 90 12 17.7533 17.7533
110 12 22.7850
Sig. .131 .095
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 50.400. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12.000. b. Alpha = 0.05.
197
Lama Pemanasan (menit)
Homogeneous Subsets
Likopen
Lama Pemanasan (menit) N Subset
1 2 3
Tukey Ba,b
0 9 10.1700
15 9 14.3522 14.3522
30 9 21.9800 21.9800
45 9 25.1744
Duncana,b
0 9 10.1700
15 9 14.3522
30 9 21.9800
45 9 25.1744
Sig. .223 .349 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 50.400. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000. b. Alpha = 0.05.
198
Lampiran 9.
Antioksidan Univariate Analysis of Variance
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Antioksidan Source Type III Sum of
Squares Df Mean Square F Sig.
Corrected Model 623638.057a 11 56694.369 18.969 .000 Intercept 8915807.824 1 8915807.824 2983.130 .000 Suhu 373784.865 2 186892.433 62.532 .000 Lama 70869.140 3 23623.047 7.904 .001 Suhu * Lama 178984.052 6 29830.675 9.981 .000
Error 71729.833 24 2988.743 Total 9611175.714 36 Corrected Total 695367.890 35 a. R Squared = .897 (Adjusted R Squared = .850)
Post Hoc Tests Suhu Pemanasan (Celcius) Homogeneous Subsets
Antioksidan
Suhu Pemanasan (Celcius) N Subset
1 2 3
Tukey Ba,b
110 12 358.0317
70 12 536.5942
90 12 598.3417
Duncana,b
110 12 358.0317
70 12 536.5942
90 12 598.3417
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 2988.743. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12.000. b. Alpha = 0.05.
199
Lama Pemanasan (menit)
Homogeneous Subsets
Antioksidan
Lama Pemanasan (menit) N Subset
1 2
Tukey Ba,b
30 9 448.9867
45 9 477.5389
15 9 495.0678
0 9 569.0300
Duncana,b
30 9 448.9867
45 9 477.5389
15 9 495.0678
0 9 569.0300
Sig. .103 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 2988.743. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000. b. Alpha = 0.05.
200
Lampiran 10.
POLIFENOL
Konsentrasi dan Absorbansi Polifenol
Nama Sampel Konsentrasi Absorban
Blanko 0.000 0.000
Asam Galat 0.5 ppm 0.500 0.061
Asam Galat 1.5 ppm 1.500 0.140
Asam Galat 3 ppm 3.000 0.269
Asam Galat 5 ppm 5.000 0.465
Asam Galat 7 ppm 7.000 0.781
Asam Galat 10 ppm 10.000 0.959
y = 0.0997x - 0.0024R² = 0.9871
-0.200
0.000
0.200
0.400
0.600
0.800
1.000
1.200
0.000 5.000 10.000 15.000
abso
rban
konsentrasi
Kurva Standar Asam Galat
Absorban
Linear (Absorban)
201
Nama Sampel Konsentrasi
Sampel Absorban
Kadar Polifenol (%)
Rata-Rata % Kuersetin
A(T70W15).1 1.162 0.113 1.162
1.147 A(T70W15).2 1.117 0.109 1.117
A(T70W15).3 1.162 1.113 1.162
B(T70W30).1 1.655 0.163 1.655
1.678 B(T70W30).2 1.787 0.176 1.787
B(T70W30).3 1.592 0.156 1.592
C(T70W45).1 1.091 0.106 1.091
1.128 C(T70W45).2 1.105 0.108 1.105
C(T70W45).3 1.188 0.116 1.188
D(T90W15).1 1.224 0.120 1.224
1.115 D(T90W15).2 1.048 0.102 1.048
D(T90W15).3 1.074 0.105 1.074
E(T90W30).1 1.815 0.179 1.815
1.705 E(T90W30).2 1.605 0.158 1.605
E(T90W30).3 1.695 0.167 1.695
F(T90W45).1 2.941 0.291 2.941
3.041 F(T90W45).2 3.231 0.320 3.231
F(T90W45).3 2.950 0.292 2.950
G(T110W15).1 2.550 0.252 2.550
2.496 G(T110W15).2 2.550 0.236 2.550
G(T110W15).3 2.388 0.246 2.388
H(T110W30).1 3.230 0.320 3.230
3.111 H(T110W30).2 2.924 0.289 2.924
H(T110W30).3 3.178 0.314 3.178
I(T110W45).1 3.937 0.39 3.937
3.632 I(T110W45).2 3.446 0.341 3.446
I(T110W45).3 3.514 0.348 3.514
O1 1.475 0.145 1.475
1.538 O2 1.502 0.147 1.502
O3 1.637 0.161 1.637
konsentrasi sampel yg diukur = 10000 ppm
% Polifenol = Konsentrasi Sampel x 100%
Konsentrasi Sampel Sebenarnya yg Diukur /100ppm
202
Lampiran 11.
KUERSETIN
Konsentrasi dan Absorbansi Kuersetin
Nama Sampel Konsentrasi Absorban
Blanko 0.000 0.000
Kuersetin 2 ppm 2.000 0.150
Kuersetin 4 ppm 4.000 0.315
Kuersetin 6 ppm 6.000 0.486
Kuersetin 8 ppm 8.000 0.672
Kuersetin 10 ppm 10.000 0.831
y = 0.0842x - 0.0119R² = 0.9991
-0.100
0.000
0.100
0.200
0.300
0.400
0.500
0.600
0.700
0.800
0.900
0.000 5.000 10.000 15.000
ab
sorb
an
konsentrasi
Kurva Standar
Absorban
Linear (Absorban)
203
Nama Sampel Konsentrasi
Sampel Absorban
Kadar Kuersetin (%)
Rata-rata % Kuersetin
A(T70W15).1 0.623 0.04 0.623
0.601 A(T70W15).2 0.630 0.041 0.630
A(T70W15).3 0.551 0.034 0.551
B(T70W30).1 0.602 0.123 0.602
1.156 B(T70W30).2 1.461 0.111 1.461
B(T70W30).3 1.404 0.106 1.404
C(T70W45).1 0.531 0.033 0.531
0.523 C(T70W45).2 0.517 0.031 0.517
C(T70W45).3 0.520 0.032 0.520
D(T90W15).1 0.728 0.049 0.728
0.811 D(T90W15).2 0.800 0.055 0.800
D(T90W15).3 0.905 0.064 0.905
E(T90W30).1 0.588 0.037 0.588
0.647 E(T90W30).2 0.833 0.058 0.833
E(T90W30).3 0.520 0.032 0.520
F(T90W45).1 2.815 0.225 2.815
2.690 F(T90W45).2 2.150 0.169 2.150
F(T90W45).3 3.104 0.249 3.104
G(T110W15).1 2.039 0.16 2.039
1.725 G(T110W15).2 1.359 0.102 1.359
G(T110W15).3 1.776 0.137 1.776
H(T110W30).1 2.081 0.163 2.081
2.011 H(T110W30).2 2.015 0.158 2.015
H(T110W30).3 1.937 0.151 1.937
I(T110W45).1 1.765 0.137 1.765
1.731 I(T110W45).2 1.859 0.144 1.859
I(T110W45).3 1.570 0.12 1.570
O1 0.582 0.037 0.582
0.613 O2 0.612 0.039 0.612
O3 0.645 0.042 0.645
Konsentrasi Sampel yg Diukur = 10000 ppm
% Kuersetin = Konsentrasi Sampel x 100%
Konsentrasi Sampel Sebenarnya yg Diukur (100ppm)
204
Lampiran 12.
LIKOPEN
Kode Sampel
Absorban (A) E 1%1cm
b (cm)
C /konsentrasi (g/100ml)
rata-rata C
(g/100ml)
rata-rata C (mg/100ml)
A.1 0.416 3450 1 0.00012058
0.00012 0.12 A.2 0.415 3450 1 0.00012029
A.3 0.405 3450 1 0.000117391
B.1 0.493 3450 1 0.000142899
0.00014 0.14 B.2 0.490 3450 1 0.000142029
B.3 0.493 3450 1 0.000142899
C.1 0.474 3450 1 0.000137391
0.00014 0.14 C.2 0.476 3450 1 0.000137971
C.3 0.475 3450 1 0.000137681
D.1 0.368 3450 1 0.000106667 0.00011 0.11 D.2 0.367 3450 1 0.000106377
D.3 0.370 3450 1 0.000107246
E.1 0.998 3450 1 0.000289275
0.00029 0.29 E.2 0.995 3450 1 0.000288406
E.3 0.993 3450 1 0.000287826
F.1 0.680 3450 1 0.000197101
0.00020 0.20 F.2 0.686 3450 1 0.000198841
F.3 0.696 3450 1 0.000201739
G.1 0.812 3450 1 0.000235362
0.00024 0.24 G.2 0.821 3450 1 0.000237971
G.3 0.824 3450 1 0.000238841
H.1 1.154 3450 1 0.000334493
0.00034 0.34 H.2 1.159 3450 1 0.000335942
H.3 1.160 3450 1 0.000336232
I.1 1.533 3450 1 0.000444348
0.00045 0.45 I.2 1.569 3450 1 0.000454783
I.3 1.560 3450 1 0.000452174
O.1 0.465 3450 1 0.000134783
0.00013 0.13 O.2 0.461 3450 1 0.000133623
O.3 0.455 3450 1 0.000131884
rumus likopen/C : A /(E 1%
1cmx b)
keterangan C : konsentrasi (g/100ml)
A : Absorban b : tebal kuvet (cm)
E 1%1cm : 3450
205
Lampiran 13.
ANTIOKSIDAN JUS TOMAT
1. Perlakuan A: Suhu 70°C, Waktu 15 menit
No Nama Sampel Konsentrasi
(ppm) Absorban
% Penghambatan
Rata2 % Penghambatan
1 Blank$o/DPPH 1
0
0.939
0.904 2 Blanko/DPPH 2 0.917
3 Blanko/DPPH 3 0.857
4 A 100ppm.1
100
0.708 22.235
20.170 5 A 100ppm.2 0.722 20.686
6 A 100ppm.3 0.750 17.588
7 A 200ppm.1
200
0.679 25.442
26.549 8 A 200ppm.2 0.660 27.544
9 A 200ppm.3 0.668 26.659
10 A 300ppm.1
300
0.570 37.500
33.886 11 A 300ppm.2 0.592 35.066
12 A 300ppm.3 0.646 29.093
13 A 400ppm.1
400
0.533 41.593
40.229 14 A 400ppm.2 0.545 40.265
15 A 400ppm.3 0.558 38.827
16 A 500ppm.1
500
0.483 47.124
45.280 17 A 500ppm.2 0.504 44.801
18 A 500ppm.3 0.512 43.916
y = 0.0639x + 14.053R² = 0.9963
0.000
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
0 200 400 600
% P
engh
amb
atan
konsentrasi
Penghambatan
persenpenghambatan
persenpenghambatan
Linear (persenpenghambatan)
206
A). y = 0.063x + 14.05
50 = 0.063x + 14.05
x = (50-14.05)/0.063
x = 570.63 ppm atau 570.63 µg/ml
Berdasarkan persamaan regresi linier tersebut dapat ditentukan nilai IC50 sampel A
sebesar 570.63 µg/ml. Nilai IC50 ini menunjukkan bahwa sampel A tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang tidak aktif, karena memiliki nilai IC50 570.63 μg/ml
Keterangan: Tingkat kekuatan antioksidan berdasarkan nilai IC50
Intensitas Nilai IC50 (ppm)
Sangat kuat <50
Kuat 50-100
Sedang 101-250
Lemah 251-500
Tidak aktif >500
Konsentrasi Persen Penghambatan
100 20.170
200 26.549
300 33.886
400 40.229
500 45.280
Sumber: Jun M, Fu HY,Hong J, Wan X, Yang CS, dan Ho CT 2003.Comparison of
Antioxodant Actifirs of Isoflavones from Kudzu Root (Pueraria labata Ohwl).
Journal
Food Science. Agustus 2003. 68 (6): Hal 2117-2122
207
2. Perlakuan B: Suhu 70°C, Waktu 30 menit
No Nama Sampel Konsentrasi
(ppm) Absorban
% Penghambatan
Rata2 %Penghambatan
1 Blanko/DPPH 1
0
0.939
0.904 2 Blanko/DPPH 2 0.917
3 Blanko/DPPH 3 0.857
4 B 100ppm.1
100
0.711 21.350
23.156 5 B 100ppm.2 0.694 23.230
6 B 100ppm.3 0.679 24.889
7 B 200ppm.1
200
0.596 34.071
33.776 8 B 200ppm.2 0.620 31.416
9 B 200ppm.3 0.580 35.841
10 B 300ppm.1
300
0.496 45.133
40.376 11 B 300ppm.2 0.551 39.049
12 B 300ppm.3 0.570 36.947
13 B 400ppm.1
400
0.458 49.336
46.645 14 B 400ppm.2 0.497 45.022
15 B 400ppm.3 0.492 45.575
16 B 500ppm.1
500
0.367 59.403
59.440 17 B 500ppm.2 0.409 54.757
18 B 500ppm.3 0.324 64.159
y = 0.0854x + 15.048R² = 0.9833
0.000
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
70.000
0 200 400 600
% P
en
gha
mb
ata
n
konsentrasi
Penghambatan
persenpenghambatan
Linear (persenpenghambatan)
208
B) y = 0.085x + 15.04
50 = 0.085x + 15.04
x =(50 -15.04)/0.085
x = 411.29 ppm
Berdasarkan persamaan regresi linier tersebut dapat ditentukan nilai IC50 sampel B
sebesar 411.29 µg/ml. Nilai IC50 ini menunjukkan bahwa sampel B tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang lemah, karena memiliki nilai IC50 411.29 μg/ml
Keterangan:
Tingkat kekuatan antioksidan berdasarkan nilai IC50
Intensitas Nilai IC50 (ppm)
Sangat kuat <50
Kuat 50-100
Sedang 101-250
Lemah 251-500
Tidak aktif >500
Konsentrasi Persen Penghambatan
100 23.156
200 33.776
300 40.376
400 46.645
500 59.440
Sumber: Jun M, Fu HY,Hong J, Wan X, Yang CS, dan Ho CT 2003.Comparison of
Antioxodant Actifirs of Isoflavones from Kudzu Root (Pueraria labata Ohwl).
Journal Food Science. Agustus 2003. 68 (6): Hal 2117-2122
209
3. Perlakuan C: Suhu 70°C, Waktu 45 menit
No Nama Sampel Konsentrasi
(ppm) Absorban
% Penghambatan
Rata2 % Penghambatan
1 Blanko/DPPH 1
0
0.939
0.904 2 Blanko/DPPH 2 0.917
3 Blanko/DPPH 3 0.857
4 C 100ppm.1
100
0.672 25.664
22.529 5 C 100ppm.2 0.714 21.018
6 C 100ppm.3 0.715 20.907
7 C 200ppm.1
200
0.634 29.867
29.130 8 C 200ppm.2 0.650 28.097
9 C 200ppm.3 0.638 29.425
10 C 300ppm.1
300
0.566 37.389
36.541 11 C 300ppm.2 0.569 37.058
12 C 300ppm.3 0.586 35.177
13 C 400ppm.1
400
0.487 46.128
45.317 14 C 400ppm.2 0.503 44.358
15 C 400ppm.3 0.493 45.465
16 C 500ppm.1
500
0.458 49.336
49.410 17 C 500ppm.2 0.449 50.332
18 C 500ppm.3 0.465 48.562
y = 0.0699x + 15.601R² = 0.9907
0.000
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
0 200 400 600
% P
engh
amb
atan
Konsentrasi
Persen Penghambatan
persenpenghambatan
Linear (persenpenghambatan)
210
C). y = 0.069x + 15.60
50 = 0.069x + 15.60
x =(50 - 15.60)/0.069
x = 498.55 ppm atau 498.55 μg/ml
Berdasarkan persamaan regresi linier tersebut dapat ditentukan nilai IC50 sampel C
sebesar 498.55 µg/ml. Nilai IC50 ini menunjukkan bahwa sampel C tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang lemah, karena memiliki nilai IC50 498.55 μg/ml
Keterangan: Tingkat kekuatan antioksidan berdasarkan nilai IC50
Intensitas Nilai IC50 (ppm)
Sangat kuat <50
Kuat 50-100
Sedang 101-250
Lemah 251-500
Tidak aktif >500
Konsentrasi Persen Penghambatan
100 22.529
200 29.130
300 36.541
400 45.317
500 49.410
Sumber: Jun M, Fu HY,Hong J, Wan X, Yang CS, dan Ho CT 2003.Comparison of
Antioxodant Actifirs of Isoflavones from Kudzu Root (Pueraria labata Ohwl).
Journal Food Science. Agustus 2003. 68 (6): Hal 2117-2122
211
4. Perlakuan D: Suhu 90°C, Waktu 15 menit
No Nama Sampel Konsentrasi
(ppm) Absorban
% Penghambatan
Rata2 %Penghambatan
1 Blanko/DPPH 1
0
0.939
0.904 2 Blanko/DPPH 2 0.917
3 Blanko/DPPH 3 0.857
4 D 100ppm.1
100
0.710 21.460
20.907 5 D 100ppm.2 0.714 21.018
6 D 100ppm.3 0.721 20.243
7 D 200ppm.1
200
0.659 27.102
27.212 8 D 200ppm.2 0.662 26.770
9 D 200ppm.3 0.653 27.765
10 D 300ppm.1
300
0.611 32.412
32.006 11 D 300ppm.2 0.618 31.637
12 D 300ppm.3 0.615 31.969
13 D 400ppm.1
400
0.621 31.305
35.693 14 D 400ppm.2 0.563 37.721
15 D 400ppm.3 0.560 38.053
16 D 500ppm.1
500
0.508 43.805
44.727 17 D 500ppm.2 0.496 45.133
18 D 500ppm.3 0.495 45.243
y = 0.0561x + 15.273R² = 0.9795
0.000
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
0 200 400 600
% P
en
gham
bat
an
Konsentrasi
Persen Penghambatan
persenpenghambatan
Linear (persenpenghambatan)
212
D). y = 0.056 x + 15.27
50 = 0.056 x + 15.27
x =(50 - 15.57)/0.056
x = 614.82 ppm atau614.82 μg/ml
Berdasarkan persamaan regresi linier tersebut dapat ditentukan nilai IC50 sampel D
sebesar 614.82 µg/ml. Nilai IC50 ini menunjukkan bahwa sampel D tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang tidak aktif, karena memiliki nilai IC50614.82 μg/ml
Keterangan: Tingkat kekuatan antioksidan berdasarkan nilai IC50
Intensitas Nilai IC50 (ppm)
Sangat kuat <50
Kuat 50-100
Sedang 101-250
Lemah 251-500
Tidak aktif >500
Konsentrasi Persen Penghambatan
100 20.907
200 27.212
300 32.006
400 35.693
500 44.727
Sumber: Jun M, Fu HY,Hong J, Wan X, Yang CS, dan Ho CT 2003.Comparison of
Antioxodant Actifirs of Isoflavones from Kudzu Root (Pueraria labata Ohwl).
Journal Food Science. Agustus 2003. 68 (6): Hal 2117-2122
213
5. Perlakuan E: Suhu 90°C, Waktu 30 menit
No Nama Sampel Konsentrasi
(ppm) Absorban
% Penghambatan
Rata2 %Penghambatan
1 Blanko/DPPH 1
0
0.939
0.904 2 Blanko/DPPH 2 0.917
3 Blanko/DPPH 3 0.857
4 E 100ppm.1
100
0.688 23.894
23.709 5 E 100ppm.2 0.662 26.770
6 E 100ppm.3 0.719 20.465
7 E 200ppm.1
200
0.624 30.973
32.301 8 E 200ppm.2 0.611 32.412
9 E 200ppm.3 0.601 33.518
10 E 300ppm.1
300
0.575 36.394
40.487 11 E 300ppm.2 0.518 42.699
12 E 300ppm.3 0.521 42.367
13 E 400ppm.1
400
0.459 49.226
47.640 14 E 400ppm.2 0.473 47.677
15 E 400ppm.3 0.488 46.018
16 E 500ppm.1
500
0.380 57.965
59.255 17 E 500ppm.2 0.358 60.398
18 E 500ppm.3 0.367 59.403
y = 0.0864x + 14.749R² = 0.9937
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
0 200 400 600
% P
engh
amb
atan
Axis Title
Persen Penghambatan
persenpenghambatan
Linear (persenpenghambatan)
214
E). y = 0.086x + 14.74
50 = 0.086x + 14.74
x =(50 -14.74)/0.086
x = 410 ppm atau 410 μg/ml
Berdasarkan persamaan regresi linier tersebut dapat ditentukan nilai IC50 sampel E
sebesar 410 µg/ml. Nilai IC50 ini menunjukkan bahwa sampel E tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang lemah, karena memiliki nilai IC50 410 μg/ml
Keterangan: Tingkat kekuatan antioksidan berdasarkan nilai IC50
Intensitas Nilai IC50 (ppm)
Sangat kuat <50
Kuat 50-100
Sedang 101-250
Lemah 251-500
Tidak aktif >500
Konsentrasi Persen Penghambatan
100 23.71
200 32.301
300 40.487
400 47.640
500 59.255
Sumber: Jun M, Fu HY,Hong J, Wan X, Yang CS, dan Ho CT 2003.Comparison of
Antioxodant Actifirs of Isoflavones from Kudzu Root (Pueraria labata Ohwl).
Journal Food Science. Agustus 2003. 68 (6): Hal 2117-2122
215
6. Perlakuan F: Suhu 90°C, Waktu 45 menit
No Nama Sampel Konsentrasi
(ppm) Absorban
% Penghambatan
Rata2 %Penghambatan
1 Blanko/DPPH 1
0
0.939
0.904 2 Blanko/DPPH 2 0.917
3 Blanko/DPPH 3 0.857
4 F 100ppm.1
100
0.668 26.106
23.009 5 F 100ppm.2 0.695 23.119
6 F 100ppm.3 0.725 19.801
7 F 200ppm.1
200
0.656 27.434
24.410 8 F 200ppm.2 0.696 23.009
9 F 200ppm.3 0.698 22.788
10 F 300ppm.1
300
0.586 35.177
29.093 11 F 300ppm.2 0.648 28.319
12 F 300ppm.3 0.689 23.783
13 F 400ppm.1
400
0.642 28.982
36.394 14 F 400ppm.2 0.378 58.186
15 F 400ppm.3 0.705 22.013
16 F 500ppm.1
500
0.353 60.951
39.676 17 F 500ppm.2 0.595 34.181
18 F 500ppm.3 0.688 23.894
y = 0.0453x + 16.921R² = 0.9591
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
0 200 400 600
% P
engh
amb
atan
Axis Title
Persen Penghambatan
persenpenghambatan
Linear (persenpenghambatan)
216
F). y = 0.045x + 16.92
50 = 0.045x + 16.92
x =(50 -16.92)/0.045
x = 735.11 ppm atau 735.11 μg/ml
Berdasarkan persamaan regresi linier tersebut dapat ditentukan nilai IC50 sampel F
sebesar 735.11 µg/ml. Nilai IC50 ini menunjukkan bahwa sampel F tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang tidak aktif, karena memiliki nilai IC50 735.11
μg/ml
Keterangan: Tingkat kekuatan antioksidan berdasarkan nilai IC50
Intensitas Nilai IC50 (ppm)
Sangat kuat <50
Kuat 50-100
Sedang 101-250
Lemah 251-500
Tidak aktif >500
Konsentrasi Persen Penghambatan
100 23.01
200 24.41
300 29.093
400 36.394
500 39.676
Sumber: Jun M, Fu HY,Hong J, Wan X, Yang CS, dan Ho CT 2003.Comparison of
Antioxodant Actifirs of Isoflavones from Kudzu Root (Pueraria labata Ohwl).
Journal Food Science. Agustus 2003. 68 (6): Hal 2117-2122
217
7. Perlakuan G: Suhu 110°C, Waktu 15 menit
No Nama Sampel Konsentrasi
(ppm) Absorban
% Penghambatan
Rata2 %Penghambatan
1 Blanko/DPPH 1
0
0.939
0.904 2 Blanko/DPPH 2 0.917
3 Blanko/DPPH 3 0.857
4 G 100ppm.1
100
0.635 29.757
26.770 5 G 100ppm.2 0.688 23.894
6 G 100ppm.3 0.663 26.659
7 G 200ppm.1
200
0.495 45.243
41.409 8 G 200ppm.2 0.526 41.814
9 G 200ppm.3 0.568 37.168
10 G 300ppm.1
300
0.468 48.230
46.239 11 G 300ppm.2 0.501 44.580
12 G 300ppm.3 0.489 45.907
13 G 400ppm.1
400
0.395 56.305
54.904 14 G 400ppm.2 0.408 54.867
15 G 400ppm.3 0.420 53.540
16 G 500ppm.1
500
0.346 61.726
61.873 17 G 500ppm.2 0.325 64.049
18 G 500ppm.3 0.363 59.845
y = 0.0837x + 21.129R² = 0.9705
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
0 200 400 600
% P
engh
amb
atan
konsentrasi
Persen Penghambatan
persenpenghambatan
Linear (persenpenghambatan)
218
G). y = 0.083x + 21.12
50 = 0.083x + 21.12
x =(50 -21.12)/0.083
x = 347.95 ppm atau 347.95 μg/ml
Berdasarkan persamaan regresi linier tersebut dapat ditentukan nilai IC50 sampel G
sebesar 347.95 µg/ml. Nilai IC50 ini menunjukkan bahwa sampel G tersebut
memiliki aktivitas antioksidan yang lemah, karena memiliki nilai IC50 347.95 μg/ml
Keterangan: Tingkat kekuatan antioksidan berdasarkan nilai IC50
Intensitas Nilai IC50 (ppm)
Sangat kuat <50
Kuat 50-100
Sedang 101-250
Lemah 251-500
Tidak aktif >500
Konsentrasi Persen Penghambatan
100 26.77
200 41.409
300 46.239
400 54.904
500 61.873
Sumber: Jun M, Fu HY,Hong J, Wan X, Yang CS, dan Ho CT 2003.Comparison of
Antioxodant Actifirs of Isoflavones from Kudzu Root (Pueraria labata Ohwl).
Jounal Food Science. Agustus 2003. 68 (6): Hal 2117-2122
219
8. Perlakuan H: Suhu 110°C, Waktu 30 menit
No Nama Sampel Konsentrasi
(ppm) Absorban
% Penghambatan
Rata2 %Penghambatan
1 Blanko/DPPH 1
0
0.939
0.904 2 Blanko/DPPH 2 0.917
3 Blanko/DPPH 3 0.857
4 H 100ppm.1
100
0.607 32.854
33.776 5 H 100ppm.2 0.592 34.513
6 H 100ppm.3 0.597 33.960
7 H 200ppm.1
200
0.480 46.903
47.198 8 H 200ppm.2 0.481 46.792
9 H 200ppm.3 0.471 47.898
10 H 300ppm.1
300
0.395 56.305
60.066 11 H 300ppm.2 0.317 64.934
12 H 300ppm.3 0.371 58.960
13 H 400ppm.1
400
0.340 62.389
63.975 14 H 400ppm.2 0.328 63.717
15 H 400ppm.3 0.309 65.819
16 H 500ppm.1
500
0.297 67.146
69.174 17 H 500ppm.2 0.269 70.243
18 H 500ppm.3 0.270 70.133
y = 0.0876x + 28.566R² = 0.9372
0.000
20.000
40.000
60.000
80.000
0 200 400 600
% P
engh
amb
atan
konsentrasi
Persen Penghambatan
persenpenghambatan
Linear (persenpenghambatan)
220
H). y = 0.087x + 28.56
50 = 0.087x + 28.56
x =(50 -28.56)/0.087
x = 246.43 ppm atau 246.43 μg/ml
Berdasarkan persamaan regresi linier tersebut dapat ditentukan nilai IC50 sampel H
sebesar 246.43 µg/ml. Nilai IC50 ini menunjukkan bahwa sampel H tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang sedang, karena memiliki nilai IC50 246.43 μg/ml
Keterangan: Tingkat kekuatan antioksidan berdasarkan nilai IC50
Intensitas Nilai IC50 (ppm)
Sangat kuat <50
Kuat 50-100
Sedang 101-250
Lemah 251-500
Tidak aktif >500
Konsentrasi Persen Penghambatan
100 33.776
200 47.198
300 60.066
400 63.975
500 69.174
Sumber: Jun M, Fu HY,Hong J, Wan X, Yang CS, dan Ho CT 2003.Comparison of
Antioxodant Actifirs of Isoflavones from Kudzu Root (Pueraria labata Ohwl).
Journal Food Science. Agustus 2003. 68 (6): Hal 2117-2122
221
9. Perlakuan I: Suhu 110°C, Waktu 45 menit
No Nama Sampel konsentrasi
(ppm) Absorban
% Penghambatan
Rata2 %Penghambatan
1 Blanko/DPPH 1
0
0.939
0.904 2 Blanko/DPPH 2 0.917
3 Blanko/DPPH 3 0.857
4 I 100ppm.1
100
0.606 32.965
33.407 5 I 100ppm.2 0.599 33.739
6 I 100ppm.3 0.601 33.518
7 I 200ppm.1
200
0.453 49.889
52.692 8 I 200ppm.2 0.411 54.535
9 I 200ppm.3 0.419 53.650
10 I 300ppm.1
300
0.209 76.881
72.677 11 I 300ppm.2 0.274 69.690
12 I 300ppm.3 0.258 71.460
13 I 400ppm.1
400
0.244 73.009
74.594 14 I 400ppm.2 0.228 74.779
15 I 400ppm.3 0.217 75.996
16 I 500ppm.1
500
0.231 74.447
76.254 17 I 500ppm.2 0.207 77.102
18 I 500ppm.3 0.206 77.212
y = 0.1036x + 31.646R² = 0.8137
0.000
20.000
40.000
60.000
80.000
100.000
0 200 400 600
% P
en
gham
bat
an
Axis Title
Persen Penghambatan
persenpenghambatan
Linear (persenpenghambatan)
222
I). y = 0.103x + 31.64
50 = 0.103x + 31.64
x =(50 -31.64)/0.103
x =178.25 ppm atau 178.25 μg/ml
Berdasarkan persamaan regresi linier tersebut dapat ditentukan nilai IC50 sampel I
sebesar178.25 µg/ml. Nilai IC50 ini menunjukkan bahwa sampel I tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang sedang, karena memiliki nilai IC50 178.25 μg/ml
Keterangan: Tingkat kekuatan antioksidan berdasarkan nilai IC50
Intensitas Nilai IC50 (ppm)
Sangat kuat <50
Kuat 50-100
Sedang 101-250
Lemah 251-500
Tidak aktif >500
Konsentrasi Persen Penghambatan
100 33.407
200 56.692
300 72.677
400 74.594
500 76.254
Sumber: Jun M, Fu HY,Hong J, Wan X, Yang CS, dan Ho CT 2003.Comparison of
Antioxodant Actifirs of Isoflavones from Kudzu Root (Pueraria labata Ohwl). Journal Food Science. Agustus 2003. 68 (6): Hal
2117-2122
223
10. Kontrol Perlakuan (O) : Tanpa/sebelum Ohmik
No Nama Sampel Konsentrasi
(ppm) Absorban
% Penghambatan
Rata2 %Penghambatan
1 Blanko/DPPH 1
0
0.939
0.904 2 Blanko/DPPH 2 0.917
3 Blanko/DPPH 3 0.857
4 O 100ppm.1
100
0.747 17.367
16.777 5 O 100ppm.2 0.754 16.593
6 O 100ppm.3 0.756 16.372
7 O 200ppm.1
200
0.679 24.889
25.406 8 O 200ppm.2 0.675 25.332
9 O 200ppm.3 0.669 25.996
10 O 300ppm.1
300
0.607 32.854
29.093 11 O 300ppm.2 0.722 20.133
12 O 300ppm.3 0.594 34.292
13 O 400ppm.1
400
0.544 39.823
42.957 14 O 400ppm.2 0.501 44.580
15 O 400ppm.3 0.502 44.469
16 O 500ppm.1
500
0.483 46.571
49.189 17 O 500ppm.2 0.466 48.451
18 O 500ppm.3 0.429 52.544
y = 0.0824x + 7.9719R² = 0.9738
0.000
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
0 200 400 600
% P
engh
amb
atan
konsentrasi
Persen Penghambatan
persenpenghambatan
Linear (persenpenghambatan)
224
O). y = 0.082x + 7.971
50 = 0.082x + 7.971
x =(50 - 7.971)/0.082
x =512.55 ppm atau 512.55 μg/ml
Berdasarkan persamaan regresi linier tersebut dapat ditentukan nilai IC50 sampel O
sebesar 512.55 µg/ml. Nilai IC50 ini menunjukkan bahwa sampel O tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang tidak aktif, karena memiliki nilai IC50 512.55 μg/ml
Keterangan: Tingkat kekuatan antioksidan berdasarkan nilai IC50
Intensitas Nilai IC50 (ppm)
Sangat kuat <50
Kuat 50-100
Sedang 101-250
Lemah 251-500
Tidak aktif >500
Konsentrasi Persen Penghambatan
100 16.777
200 25.406
300 29.093
400 42.957
500 49.189
Sumber: Jun M, Fu HY,Hong J, Wan X, Yang CS, dan Ho CT 2003.Comparison of
Antioxodant Actifirs of Isoflavones from Kudzu Root (Pueraria labata Ohwl).
Journal Food Science. Agustus 2003. 68 (6): Hal 2117-2122
225
Lampiran 14.
226
227
228
Lampiran 15.
Data Laju Pemanasan Ohmik Jus Tomat per 2 Detik (Mencapai Suhu Refernsi)
T70 W15 1.03 menit T90 W15 1.28 menit T110 W15 1.35
Lama Pemanasan Suhu Lama Pemanasan Suhu Lama Pemanasan Suhu
1 30 1 30 1 30
3 31 2 31 2 31
5 32 3 32 3 32
7 33 4 33 4 33
9 34 5 34 5 34
10 35 6 35 6 35
11 36 7 36 7 36
12 37 8 37 8 37
13 38 9 38 9 38
14 39 10 39 10 39
15 40 11 40 11 40
17 41 12 41 12 41
19 42 13 42 13 42
21 43 14 43 14 43
23 44 15 44 15 44
24 45 16 45 16 45
25 46 17 46 17 46
26 47 18 47 18 47
27 48 19 48 19 48
28 49 20 49 20 49
29 50 22 50 21 50
30 51 24 51 22 51
31 52 26 52 23 52
32 53 28 53 24 53
33 54 30 54 25 54
34 55 31 55 26 55
35 56 32 56 27 56
37 57 33 57 28 57
39 58 34 58 29 58
41 59 35 59 30 59
43 60 36 60 31 60
45 61 37 61 32 61
47 62 38 62 33 62
49 63 39 63 34 63
51 64 40 64 35 64
53 65 42 65 36 65
55 66 43 66 37 66
57 67 44 67 38 67
229
59 68 45 68 39 68
61 69 46 69 40 69
63 70 48 70 41 70
50 71 42 71
52 72 43 72
54 73 44 73
56 74 45 74
58 75 46 75
60 76 47 76
62 77 48 77
64 78 49 78
66 79 50 79
68 80 51 80
70 81 52 81
72 82 53 82
74 83 54 83
76 84 55 84
78 85 56 85
80 86 57 86
82 87 58 87
84 88 59 88
86 89 60 89
88 90 61 90
62 91
63 92
64 93
65 94
66 95
67 96
69 97
71 98
73 99
75 100
77 101
79 102
81 103
83 104
85 105
87 106
89 107
91 108
93 109
95 110
230
T70 W30 1.15 menit
T90 W30 1.35 menit
T110 W30 1.47 menit Lama
Pemanasan Suhu
Lama Pemanasan Suhu
Lama Pemanasan Suhu
1 30
1 30
1 30
3 31
2 31
2 31
5 32
3 32
3 32
7 33
4 33
4 33
9 34
5 34
5 34
11 35
6 35
7 35
13 36
8 36
9 36
15 37
10 37
10 37
17 38
12 38
12 38
19 39
14 39
14 39
21 40
16 40
15 40
23 41
17 41
16 41
25 42
18 42
17 42
27 43
18 43
18 43
29 44
20 44
19 44
31 45
22 45
21 45
33 46
24 46
23 46
35 47
26 47
25 47
37 48
28 48
27 48
39 49
30 49
29 49
41 50
31 50
31 50
43 51
32 51
32 51
45 52
33 52
33 52
47 53
34 53
34 53
49 54
35 54
35 54
51 55
37 55
36 55
53 56
39 56
38 56
55 57
41 57
40 57
57 58
43 58
42 58
59 59
45 59
44 59
61 60
46 60
46 60
63 61
47 61
47 61
65 62
48 62
48 62
67 63
49 63
49 63
68 64
50 64
50 64
69 65
52 65
51 65
71 66
54 66
53 66
72 67
56 67
55 67
231
73 68
58 68
57 68
74 69
60 69
59 69
75 70
61 70
61 70
62 71
62 71
63 72
63 72
64 73
64 73
65 74
65 74
67 75
66 75
69 76
68 76
71 77
70 77
73 78
71 78
75 79
72 79
76 80
73 80
77 81
74 81
78 82
75 82
79 83
76 83
80 84
77 84
82 85
78 85
84 86
79 86
86 87
80 87
87 88
81 88
90 89
82 89
95 90
83 90
84 91
85 92
86 93
87 94
89 95
91 96
93 97
95 98
96 99
97 100
98 101
99 102
101 103
102 104
103 105
104 106
105 107
106 108
107 109
107 110
232
T70 W45 1.38 menit
T90 W45 1.44 menit
T110 W45 1.54 menit Lama
Pemanasan Suhu
Lama Pemanasan Suhu
Lama Pemanasan Suhu
1 30
1 30
1 30
3 31
2 31
2 31
5 32
3 32
3 32
7 33
4 33
4 33
9 34
5 34
5 34
11 35
6 35
6 35
13 36
7 36
7 36
15 37
8 37
8 37
17 38
9 38
9 38
19 39
10 39
10 39
21 40
11 40
11 40
23 41
12 41
12 41
25 42
13 42
13 42
27 43
14 43
14 43
29 44
15 44
15 44
31 45
16 45
16 45
33 46
17 46
17 46
35 47
18 47
18 47
37 48
19 48
19 48
39 49
20 49
20 49
42 50
24 50
21 50
45 51
26 51
22 51
48 52
28 52
23 52
51 53
30 53
24 53
54 54
32 54
25 54
57 55
34 55
26 55
60 56
36 56
27 56
63 57
38 57
28 57
66 58
40 58
29 58
69 59
42 59
30 59
72 60
44 60
31 60
75 61
46 61
32 61
78 62
48 62
33 62
81 63
50 63
34 63
84 64
52 64
35 64
87 65
54 65
36 65
90 66
56 66
37 66
92 67
58 67
38 67
233
94 68
60 68
39 68
96 69
62 69
40 69
98 70
64 70
41 70
66 71
42 71
68 72
43 72
70 73
44 73
72 74
45 74
74 75
46 75
76 76
47 76
78 77
48 77
80 78
50 78
82 79
52 79
84 80
54 80
86 81
56 81
88 82
58 82
90 83
60 83
92 84
62 84
94 85
64 85
96 86
66 86
98 87
68 87
100 88
70 88
102 89
72 89
104 90
74 90
76 91
78 92
80 93
82 94
84 95
86 96
88 97
90 98
92 99
94 100
96 101
98 102
100 103
102 104
104 105
106 106
108 107
110 108
112 109
114 110
234
Lampiran 16.
235
236
237