1
BAGIAN I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Komunikasi merupakan hal yang penting dalam kehidupan berbahasa,
supaya dapat berkomunikasi antar anggota kelompok masyarakat diperlukan
suatu alat yang disebut bahasa. Bahasa merupakan media komunikasi yang
utama dalam suatu kelompok masyarakat. Bahasa seseorang dapat
mengungkapkan perasaan, pikiran, ide dan kemauannya kepada orang lain.
Masyarakat sebagai salah satu tempat interaksi bahasa berlangsung, secara
sadar atau tidak sadar menggunakan bahasa yang hidup dalam masyarakat.
Anggota-anggota masyarakat menjadi kuat, bersatu dan maju apabila diikat
dengan suatu bahasa. Bahasa dan masyarakat merupakan dua hal yang
berkaitan, anggota masyarakat yang beragam latar belakang, budaya dan
sosialnya berakibat pada hadirnya alih kode dan campur kode sebagai akibat
dari kemampuan anggota masyarakat dalam menggunakan dua bahasa. Dua
atau lebih bahasa bertemu dalam masyarakat tutur dari komunitas bahasa yang
sama, maka terjadi komponen-komponen tertentu dapat tertransfer dari bahasa
yang satu ke bahasa lain (Ohoiwutun, 2002: 72-74). Kajian bahasa menjadi
suatu kajian yang tidak pernah habis untuk dibahas. Bagi bahasa hidup,
merupakan bahasa yang masih terus dipakai dan terus berkembang,
persentuhannya dengan bahasa-bahasa lain menimbulkan masalah lain.
Persentuhan itu menambah khasanah bahasa itu sendiri. Namun, di sisi lain
mengancam keberadaan bahasa itu sendiri.
Kita ketahui kalau campur kode merupakan percampuran antara dua
bahasa atau lebih dalam berkomunikasi. Sedangkan Sumarlam (2009: 159)
mengatakan bahwa campur kode merupakan peralihan pemakaian bahasa atau
ragam bahasa ke bahasa lain atau ragam bahasa lain ke dalam suatu tulisan
atau suatu percakapan. Aktifitas penggunaan campur kode dalam masyarakat
Indonesia saat ini masih banyak dijumpai. Hal ini disebabkan oleh banyaknya
1
2
masyarakat daerah yang mendominasi tinggal di Indonesia. Masyarakat
Indonesia masih kental menggunakan bahasa daerahnya. Selain itu, campur
kode di Indonesia juga terjadi kerena pengaruh budaya dari luar terutama
budaya barat. Masyarakat Indonesia lebih senang meniru gaya kebarat-baratan
sebagai lambang gaul dan gengsi.
Masyarakat Indonesia menganggap campur kode merupakan hal yang
wajar untuk digunakan dalam berkomunikasi setiap saat. Padahal, dalam
situasi formal seharusnya menggunakan tata bahasa Indonesia yang sesuai
EYD. Globalisasi memberi efek yang membahayakan bagi perkembangan
bahasa, khususnya bahasa Indonesia. Masuknya budaya asing perlahan-lahan
mendesak esksistensi bahasa Indonesia. Maraknya tayangan berbahasa Inggris
hingga serbuan para investor asing menyebabkan penggunaan bahasa Inggris
semakin menjadi bagian dari kehidupan sebagian besar masyarakat. Tayangan
berbahasa Inggris, penggunaan nama dengan bahasa Inggris, hingga standar
perusahaan, baik nasional maupun multinasional, mendesak setiap orang
untuk dapat berbahasa Inggris. Kondisi yang demikian menyebabkan bahasa
Indonesia semakin terdesak, di satu sisi bahasa Indonesia memiliki
masalahnya sendiri termasuk masalah tata bahasa.
Bahasa Indonesia yang dulu sering dipertentangkan dengan bahasa
daerah, kini harus berhadapan lagi dengan bahasa asing. Dampak dari serbuan
bahasa asing itu terlihat dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Secara
sederhana, campur kode adalah fenomena pencampuran bahasa kedua ke
dalam bahasa pertama, pencampuran bahasa asing ke dalam struktur bahasa
ibu. Berdasarkan definisi sederhana ini, fenomena campur kode sebenarnya
tidak selalu melibatkan bahasa asing. Bahasa daerah juga digunakan sebagai
campur kode dengan bahasa nasional. Pertentangan dengan bahasa daerah lain
ini dipengaruhi segi sosialnya, hal ini dapat kita ketahui dari pernyataan dari
tokoh terkenal yang membahas mengenai sosiolinguistik, yaitu Kridalaksana
dalam Pateda (1987: 2) menyatakan bahwa sosiolinguistik merupakan cabang
ilmu linguistik yang berusaha untuk menjelaskan ciri-ciri variasi bahasa dan
menempatkan korelasi ciri-ciri variasi bahasa tersebut dengan ciri-ciri sosial.
3
Secara teoritis tujuan utama linguistik adalah dimaksudkan untuk
memberikan dasar-dasar teori, bagaimana kita memandang bahasa dari segi
fungsi (Pateda, 1987: 2) membantu menjelaskan aspek bahasa yang tidak
dapat dijangkau deskripsi sintaksis, morfologi, fonologi, semantik dalam studi
linguistik (Rahardi, 2001: 7). Media atau sarana yang digunakan untuk
penyampaian bahasa dapat dibedakan dalam dua macam ragam bahasa, yaitu
ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis. Ragam bahasa lisan adalah bahasa
yang dihasilkan dengan menggunakan alat ucap (Organ of Speech) dengan
fonem sebagai unsur dasar, sedangkan ragam bahasa tulis adalah bahasa yang
dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya
(Sugono, 2002: 14).
Interaksi terjadi tidak hanya terjadi di lingkungan masyarakat tetapi
digunakan pada bidang pendidikan. Interaksi tersebut menggunakan lebih dari
satu bahasa, yaitu bahasa ibu mereka dan bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional. Dengan demikian, termasuk manusia bilingual, untuk menggunakan
dua bahasa tentunya seseorang harus menggunakan bahasa pertama atau
bahasa ibu dan bahasa daerah, yang kedua bahasa Indonesia dan bahasa asing.
Bahasa yang beragam tanpa disadari alih kode dan campur kode sering terjadi
dalam interaksi pembelajaran siswa kelas VII SMP Negeri 2 Rasau Jaya
Kabupaten Kubu Raya. Namun, bentuk dan faktor penyebab terjadinya alih
kode dan campur kode ketika proses pembelajaran berlangsung tidak disadari
oleh guru atau siswa sehingga perbedaan antara alih kode dan campur kode
saat pembelajaran tidak diketahui secara jelas, sehingga perlu adanya
pedoman atau rujukan tentang perbedaan antara alih kode dan campur kode
dalam interaksi pembelajaran siswa kelas VII SMP Negeri 2 Rasau Jaya
Kabupaten Kubu Raya.
B. Masalah Penelitian
Rumusan masalah selalu beranjak dari adanya masalah yang dihadapi,
serta upaya penyelesaiannya. Seorang peneliti selalu ingin tahu terhadap
masalah yang akan diteliti. Memecahkan suatu masalah seorang peneliti harus
4
mengetahui akar masalah apa yang terdapat dalam penelitian tersebut.
Arikunto (1998: 51) mengatakan bahwa masalah penelitian adalah bagian
pokok dari suatu kegiatan penelitian. Langkahnya disebut perumusan masalah
atau perumusan problematik.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang dibahas
secara umum dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah alih kode dan
campur kode dalam interaksi pembelajaran siswa kelas VII SMP Negeri 2
Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya Melalui Kajian Sosiolinguistik?”. Masalah
umum tersebut dapat diuraikan menjadi beberapa sub masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah bentuk alih kode dan campur kode dalam interaksi
pembelajaran siswa kelas VII SMP Negeri 2 Rasau Jaya Kabupaten Kubu
Raya?
2. Bagaimanakah fungsi alih kode dan campur kode dalam interaksi
pembelajaran siswa kelas VII SMP Negeri 2 Rasau Jaya Kabupaten Kubu
Raya?
3. Bagaimanakah dampak alih kode dan campur kode terhadap hasil
pembelajaran siswa kelas VII SMP Negeri 2 Rasau Jaya Kabupaten Kubu
Raya?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan sangat penting dirumuskan sebelum suatu kegiatan mulai
dilaksanakan, hal ini sesuai dengan pendapat Surakhmad (1990: 32)
mengatakan bahwa setiap penelitian harus berisi lebih dahulu tentang tujuan.
Penulis mampu mengarahkan pemikiran pembaca serta menempatkan uraian-
uraian itu dalam proporsi yang wajar. Ali (1982: 9) menyatakan bahwa tujuan
penelitian sangat besar pengaruhnya terhadap komponen ataupun elemen
penelitian lain terutama metode teknik, alat ataupun generalisasi yang
diperoleh. Oleh karena itu, ketajaman seseorang dalam merumuskan tujuan
penelitian sangat memengaruhi keberhasilan penelitian yang dilaksanakan.
Tujuan penelitian adalah sesuatu yang menjadi sasaran dari setiap
penelitian dan berfungsi sebagai pemandu terhadap kegiatan penelitian.
5
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan secara umum dalam
penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan alih kode dan campur kode dalam
interaksi pembelajaran siswa kelas VII SMP Negeri 2 Rasau Jaya Kabupaten
Kubu Raya Melalui Kajian Sosiolinguistik. Tujuan umum tersebut dapat
diuraikan menjadi beberapa tujuan khusus sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan bentuk alih kode dan campur kode dalam interaksi
pembelajaran siswa kelas VII SMP Negeri 2 Rasau Jaya Kabupaten Kubu
Raya.
2. Menjelaskan fungsi alih kode dan campur kode dalam interaksi
pembelajaran siswa kelas VII SMP Negeri 2 Rasau Jaya Kabupaten Kubu
Raya.
3. Menjelaskan dampak alih kode dan campur kode terhadap hasil
pembelajaran siswa kelas VII SMP Negeri 2 Rasau Jaya Kabupaten Kubu
Raya.
D. Manfaat Penelitian
Segala sesuatu yang kita kerjakan, terutama dalam masalah penelitian
secara sederhana akan selalu membawa manfaat. Penelitian pendidikan juga
diharapkan dapat memberi masukan bagi pengembangan sistem pendidikan
yang ada. Ali (1982: 9) menyatakan bahwa penelitian pendidikan sangat besar
sekali manfaatnya bagi pengembangan sistem pendidikan maupun untuk
kepentingan praktis dalam penyelenggaraan dan hal-hal yang berhubungan
dengan berbagai faktor, baik yang menghambat maupun yang menunjang
pengembangan pendidikan.
Penelitian ini mempunyai manfaat teoretis dan manfaat praktis,
diantaranya sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
Memberikan motivasi dan acuan bagi peneliti lanjutan, sehingga
memperoleh konsep baru, memperkaya wawasan dan pengetahuan kita
dalam bidang bahasa.
6
2. Manfaat praktis
a. Bagi peneliti
Manfaat yang dapat diperoleh oleh peneliti dari penelitian ini adalah
untuk menambah pengetahuan dan pemahaman yang mendalam
tentang alih kode dan campur kode dalam interaksi pembelajaran
khususnya di bidang bahasa dan sastra Indonesia.
b. Bagi guru
Penelitian ini dapat digunakan sebagai pengetahuan yang perlu
diketahui dan diharapkan dapat memberikan masukan bagi guru
Bahasa Indonesia mengenai alih kode dan campur kode dalam
interaksi pembelajaran khususnya di bidang bahasa dan sastra
Indonesia.
c. Bagi siswa
Penelitian ini bermanfaat untuk memperluas pengetahuan bahasa yang
beragam yang diperoleh siswa dalam kegiatan pembelajaran.
d. Bagi sekolah
E. Ruang Lingkup Penelitian
1. Variabel Penelitian
Variabel pada penelitian ini adalah variabel tunggal, yaitu alih
kode dan campur kode dalam interaksi pembelajaran siswa kelas VII SMP
Negeri 2 Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya.
2. Penjelasan istilah
Penjelasan istilah dimaksudkan untuk menghindari kekeliruan
dalam menafsirkan istilah-istilah yang terdapat dalam judul penelitian.
Penelitian ini terdapat definisi operasional, yaitu:
a. Kajian sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang mengkaji
hubungan dan saling pengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku
sosial (Kridalaksana, 2001: 201).
b. Alih kode adalah gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan
situasi (Appel dalam Chaer, 2004: 107).
7
c. Campur kode adalah suatu keadaan berbahasa ketika penutur
mencampurkan dua atau lebih bahasa dengan saling memasukkan
unsur-unsur sehingga unsur yang menyisip tersebut tidak lagi
mempunyai fungsi tersendiri (Suwito dalam Wijana, 2006: 171).
d. Interaksi pembelajaran adalah hubungan timbal balik antara guru dan
siswa yang harus menunjukkan adanya hubungan bersifat edukatif
(Soetomo).
e. Siswa kelas VII SMP Negeri 2 Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya
yang terdiri dari 2 kelas sebanyak 70 orang, yaitu 45 siswa perempuan
dan 25 siswa laki-laki.
F. Metodologi Penelitian
1. Metode penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian deskripsi kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan bentuk
penelitian yang menggambarkan suatu keadaan dengan uraian. Menurut
Djajasudarma (2003: 17) penelitian kualitatif data yang dikumpulkan
bukanlah angka-angka, dapat berupa kata-kata atau gambaran sesuatu
yang mungkin berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto,
video, tape, dokumen pribadi dan yang lainnya. Penelitian deskripsi
kualitatif dipergunakan untuk memperoleh gambaran empiris mengenai
alih kode dan campur kode dalam interaksi pembelajaran siswa kelas VII
SMP Negeri 2 Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya.
2. Bentuk penelitian
Bentuk yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan bentuk penelitian yang
menggambarkan suatu keadaan dengan uraian. Menurut Djajasudarma
(2003: 17) penelitian kualitatif data yang dikumpulkan bukanlah angka-
angka, dapat berupa kata-kata atau gambaran sesuatu yang mungkin
berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, video, tape,
dokumen pribadi dan yang lainnya. Penggunaan bentuk penelitian
8
kualitatif terhadap alih kode dan campur kode dalam interaksi
pembelajaran siswa kelas VII SMP Negeri 2 Rasau Jaya Kabupaten Kubu
Raya bertujuan untuk mengetahui bentuk, fungsi dan dampak terhadap
hasil pembelajaran siswa.
3. Prosedur penelitian
Prosedur penelitian ini akan membahas mengenai langkah-langkah,
yaitu:
a. Tahap perencanaan
Peneliti membuat rencana penelitian berdasarkan hasil pengamatan
yang dilakukan terhadap alih kode dan campur kode dalam interaksi
pembelajaran siswa kelas VII SMP Negeri 2 Rasau Jaya Kabupaten
Kubu Raya.
b. Tahap pelaksanaan
Secara lebih rinci deskripsi tahap pelaksanaan dalam penelitian ini
menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Melakukan observasi terhadap interaksi pembelajaran siswa kelas
VII SMP Negeri 2 Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya.
2) Mengambil data yang berkaitan dengan alih kode dan campur kode
dalam interaksi pembelajaran siswa kelas VII SMP Negeri 2 Rasau
Jaya Kabupaten Kubu Raya.
3) Menyimpulkan hasil penelitian yang telah dilakukan.
c. Tahap penyelesaian
Penyelesaian terhadap penelitian untuk memberikan arti dan
menyimpulkan hasil penelitian yang berjudul “Alih Kode dan Campur
Kode dalam Interaksi Pembelajaran Siswa Kelas VII SMP Negeri 2
Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya Melalui Kajian Sosiolinguistik”.
G. Data dan Sumber Data
1. Data
Data merupakan bahan yang sesuai untuk memberi jawaban
terhadap masalah yang dikaji (Subroto dalam Al-Ma’ruf, 2009: 11). Data
9
penelitian ini adalah data lisan berupa peristiwa tutur dan data tulis berupa
catatan hasil observasi serta hasil wawancara.
2. Sumber data (subjek penelitian)
Loflan (dalam Moleong, 2004: 154) mengatakan sumber data
utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya
adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Berkaitan dengan hal
itu, sumber data dalam penelitian ini, yaitu guru Bahasa Indonesia dan
siswa kelas VII SMP Negeri 2 Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya yang
terdiri dari 2 kelas sebanyak 70 orang, yaitu 45 siswa perempuan dan 25
siswa laki-laki.
3. Lokasi penelitian
Berdasarkan judul penelitian yang penulis tetapkan, yaitu alih kode
dan campur kode dalam interaksi pembelajaran siswa kelas VII SMP
Negeri 2 Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya Melalui Kajian
Sosiolinguistik, maka dipilih lokasi penelitian di SMP Negeri 2 Rasau
Jaya Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat.
H. Teknik dan Alat Pengumpul Data
1. Teknik Pengumpul Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam
penelitian ini adalah observasi, perekaman dan pencatatan. Adapun
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Melakukan pengamatan pada saat proses pembelajaran berlangsung.
b. Merekam interaksi pada saat pembelajaran.
c. Mencatat hasil rekaman sesuai dengan tujuan penelitian.
d. Melakukan wawancara kepada guru dan siswa.
e. Menganalisis data yang sudah terkumpul.
2. Alat Pengumpul Data
Pengumpulan data merupakan langkah yang sangat penting dalam
penelitian, karena itu seorang peneliti harus terampil dalam
mengumpulkan data agar mendapatkan data yang jelas. Pengumpulan data
10
adalah prosedur yang sistematis dan standar untuk memperoleh data yang
diperlukan. Alat pengumpul data pada penelitian ini adalah sesuatu yang
digunakan untuk menjaring data penelitian, yaitu:
a. Pengamatan
Pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan berperan serta secara
pasif. Pengamatan ini dilakukan terhadap guru ketika memberikan
materi pelajaran menentukan di kelas dan mengamati kinerja siswa
selama proses belajar mengajar berlangsung. Hasil observasi ditulis di
lembar observasi.
b. Wawancara atau diskusi
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara si
penanya dengan si penjawab menggunakan alat yang dinamakan
interview guide (panduan wawancara). Tujuan penulis menggunakan
metode ini, untuk memperoleh data secara jelas dan kongkrit tentang
alih kode dan campur kode dalam interaksi pembelajaran siswa kelas
VII SMP Negeri 2 Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya akan
mengadakan wawancara dengan guru dan siswanya.
c. Rekaman (penyadapan)
Rekaman dalam penelitian ini menggunakan alat rekam berupa
handphone. Perekaman ini dilakukan agar peneliti mendapatkan data
yang kongkret pada saat interaksi pembelajaran dimulai.
d. Kajian dokumen
Kajian dokumen yang peneliti lakukan adalah mengkaji hasil data
yang sudah diperoleh berbentuk data tertulis (catatan), yaitu catatan
hasil observasi, hasil wawancara dan hasil rekaman.
I. Validitas Data
Teknik yang digunakan untuk memeriksa validitas data pada penelitian
ini, yaitu triangulasi sumber data dan triangulasi metode pengumpulan data.
Peneliti melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
11
1. Melakukan pengamatan pada saat proses pembelajaran berlangsung.
2. Merekam interaksi pada saat pembelajaran.
3. Mencatat hasil rekaman sesuai dengan tujuan penelitian.
4. Melakukan wawancara kepada guru dan siswa.
5. Menganalisis data yang sudah terkumpul.
J. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data
kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan
tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.
Data dari lapangan terkumpul dengan menggunakan metode pengumpulan
data di atas, maka peneliti akan mengolah dan menganalisis data tersebut
dengan menggunakan analisis secara deskriptif kualitatif, tanpa menggunakan
teknik kuantitatif.
Analisis deskriptif kualitatif merupakan suatu teknik yang
menggambarkan dan menginterpretasikan arti data-data yang telah terkumpul
dengan memberikan perhatian dan merekam sebanyak mungkin aspek situasi
yang diteliti pada saat itu, sehingga memperoleh gambaran secara umum dan
menyeluruh tentang keadaan sebenarnya. Menurut M. Nazir tujuan deskriptif
ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis,
faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar
fenomena yang diselidiki. Analisis data yang dilakukan, yaitu:
1. Pengumpulan data, yaitu pengumpulan data di lokasi studi dengan
melakukan observasi dan mencatat dokumen menentukan strategi
pengumpulan data yang dipandang tepat dan menentukan fokus serta
pendalaman data pada proses pengumpulan data.
2. Reduksi data
Reduksi data adalah proses penyederhanaan yang dilakukan melalui
seleksi data mentah menjadi data yang bermakna.
12
3. Penyajian data
Data yang sudah terkumpul dan terseleksi kemudian dikelompokkan
dalam beberapa bagian sesuai dengan jenis data supaya makna
peristiwanya lebih mudah dipahami. Sajian data dalam penelitian ini
disajikan dalam bentuk paparan deskriptif, tabel dan grafik.
4. Penarikan kesimpulan
Simpulan dalam penelitian ini ditarik berdasarkan reduksi dan penyajian
data. Penarikan simpulan dilakukan sebagai proses pengambilan intisari
dan penyajian data yang telah terorganisasi tersebut dalam bentuk
pernyataan kalimat yang singkat dan padat, tetapi mengandung pengertian
yang luas.
13
K. Waktu Kegiatan Penelitian
Penelitian ini direncanakan selama enam bulan, terhitung dari bulan
Januari 2014 sampai bulan Juni 2014. Rincian waktu penelitian tersebut dapat
dilihat dalam tabel sebagai berikut:
TABEL 1.1
RINCIAN WAKTU PENELITIAN
No. Jenis
Kegiatan
Bulan atau Minggu ke
Januari Februari Maret April Mei Juni
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Pengajuan
judul
2. Pembahasan
3. Konsultasi
4. Rencana
seminar
5. Pengumpulan
data
6. Persiapan
pendaftaran
ujian
7. Rencana ujian
skripsi
14
BAGIAN II
LANDASAN TEORI
A. Hakikat Kajian Sosiolinguistik
1. Pengertian sosiolinguistik
Studi bunyi dialek merupakan salah satu kajian bidang
sosiolinguistik. Sosiolinguistik adalah cabang ilmu bahasa yang membahas
hubungan antara bahasa dengan anggota masyarakat penuturnya.
Kridalaksana (2001: 201) menyatakan bahwa sosiolinguistik adalah
cabang linguistik yang mempelajari hubungan dan saling pengaruh antara
perilaku bahasa dan perilaku sosial. J. A. Fishman dalam Chaer (2004: 3)
mengemukakan bahwa sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas
variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi bahasa dan pemakai bahasa karena
ketiga unsur ini selalu berinteraksi, berubah dan saling mengubah satu
sama lain dalam satu masyarakat tutur. Chaer (2004: 2) menjelaskan
bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari
bahasa dalam kaitannya dengan pengguna bahasa itu di dalam masyarakat.
Sumarsono (2002: 2) menyatakan bahwa sosiolinguistik dibandingkan
dengan ilmu-ilmu sosial lain, seperti ilmu ekonomi, sosiologi, atau dengan
linguistik sendiri merupakan ilmu relatif baru. Ditinjau dari nama,
sosiolinguistik menyangkut sosiologi dan linguistik, karena itu
sosiolinguistik mempunyai kaitan erat dengan kedua kajian tersebut. Sosio
adalah masyarakat dan linguistik adalah kajian bahasa. Berdasarkan
pendapat para ahli di atas, sosiolinguistik adalah kajian tentang bahasa
yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan.
Nababan (1991: 2) mengatakan bahwa istilah sosiolinguistik jelas
terdiri dari 2 unsur, yaitu sosio dan linguistik. Kita mengetahui arti
linguistik, yaitu ilmu yang mempelajari atau membicarakan bahasa,
khususnya unsur-unsur bahasa (fonem, morfem, kata, kalimat) dan
hubungan antara unsur-unsur itu (struktur), termasuk hakekat dan
14
15
pembentukan unsur itu. Unsur sosio adalah seakar dengan sosial, yaitu
yang berhubungan dengan masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat
dan fungsi-fungsi kemasyarakatan. Jadi, sosiolinguistik ialah studi atau
pembahasan dari bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai
anggota masyarakat. Sosiolinguistik mempelajari dan membahas aspek-
aspek kemasyarakatan bahasa, khususnya perbedaan-perbedaan (variasi)
yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor
kemasyarakatan (sosial). Sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari
penggunaan bahasa di dalam masyarakat. Penggunaan bahasa di dalam
masyarakat tersebut mencakup variasi-variasi bahasa. Variasi-variasi
bahasa ini bisa karena waktu, sosial dan geografis.
2. Objek kajian sosiolinguistik
Objek kajian sosiolinguistik merupakan bahasa dalam
penggunaanya di dalam masyarakat. Chaer dan Agustina (2010: 3)
menjelaskan bahwa dalam sosiolinguistik bahasa tidak dilihat sebagai
bahasa sebagaimana dilakukan oleh linguistik umum, melaikan dilihat
sebagai sarana interaksi sosial di dalam masyarakat. Soemarsono (2012: 8)
menjelaskan bahwa sosiolinguistik melihat bahasa sebagai suatu sistem
yang berkaitan dengan masyarakat, bahasa dilihat sebagai sistem yang
tidak terlepas dari ciri-ciri penutur dan dari nilai-nilai sosiobudaya yang
dipatuhi oleh penutur itu. Dimensi dalam penelitian sosiolinguistik, yaitu:
a. Identitas sosial penutur.
b. Identitas sosial pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi.
c. Lingkungan tenpat peristiwa tutur terjadi.
d. Analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial.
e. Penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-
bentuk ujaran.
f. Tingkatan variasi dan ragam linguistik.
g. Penerapan praktis penelitian sosiolingusitk (Dittmar, 1976).
16
3. Manfaat Sosiolinguistik
Kegunaan sosiolinguistik bagi kehidupan praktis sangat banyak,
sebab bahasa merupakan alat komunikasi verbal manusia. Sosiolinguistik
memberi pengetahuan bagaimana menggunakan bahasa di dalam
masyarakat berdasarkan penggunaanya. Sosiolinguistik memberikan
pengetahuan tentang berbagai variasi bahasa yang ada di masyarakat. Kita
sebagai manusia yang hidup di dalam masyarakat, sosiolinguistik
memberikan pengetahuan tentang bagaimana kita dapat menempatkan diri
dalam penggunaan bahasa kita ketika berada pada masyrakat tertentu.
Sosiolinguistik juga meberikan deskripsi variasi bahasa dalam kaitannya
dengan pengguna maupun kegunaannya. Selain itu, sosiolingusitik
memungkinkan kita mengkaji fenomena dan gejala bahasa yang ada di
dalam masyarakt melalui “kaca mata” sosiolinguistik.
Sebagai ilmu yang mengkaji bahasa di dalam masyarakat,
sosiolingusitik mampu “mencair” dengan bidang-bidang ilmu yang lain.
Hal ini karena bahasa merupakan alat verbal manusia yang ada di berbagai
bidang ilmu lain. Sebagai alat komunikasi, tentu bahasa tidak mungkin
terlepas dari ilmu-ilmu lain sebagai sarana untuk mengungkapkan hasil
pemikiran. Selain itu, objek kajian sosiolinguistik adalah bahasa di dalam
masyarakat. Tentu hal tersebut sangat memungkinkan sosiolinguitik untuk
saling terkait dengan bidang-bidang ilmu yang lain seperti politik, budaya,
ekonomi dan sebagainya.
B. Hakikat Kedwibahasaan dan Diglosia
1. Kontak bahasa
Bahasa yang bertemu dengan bahasa lain pasti terjadi kontak,
kontak bahasa adalah pengaruh bahasa yang satu dengan bahasa yang lain
secara langsung ataupun secara tidak langsung. Kontak bahasa yang
menimbulkan interferensi sering dianggap peristiwa negatif, karena
masuknya unsur-unsur bahasa pertama ke dalam bahasa kedua atau
sebaliknya menyimpang dari kaidah bahasa masing-masing. Proses
17
terjadinya kontak bahasa dalam suatu interaksi linguistik harus mengetahui
hubungan peran yang ada di antara peserta percakapan.
2. Kedwibahasaan
Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa
Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Dari istilahnya secara harfiah
bilingualism, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua
kode bahasa. Secara sosiolinguistik, bilingualisme diartikan sebagai
penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan
orang lain secara bergantian (Chaer dan Agustina, 2004: 111-112).
Kedwibahasaan bukanlah gejala bahasa sebagai sistem melainkan sebagai
gejala penuturan, bukan ciri kode melainkan ciri pengungkapan, bukan
bersifat sosial melainkan individual. Kedwibahasaan juga merupakan
karakteristik pemakaian bahasa. Kedwibahasaan dirumuskan sebagai
praktik pemakaian dua bahasa yang sama baiknya secara bergantian oleh
seorang penutur. Ciri-ciri kedwibahasaan secara garis besarnya sebagai
berikut:
a. Dua bahasa atau lebih digunakan oleh seseorang atau kelompok, tetapi
kedua bahasa itu tidak mempunyai fungsi atau peranan sendiri-sendiri
di dalam masyarakat pemakai bahasa.
b. Bahasa itu digunakan semata-mata karena kebiasaan dan kemampuan
saling mengganti di antara pembicara dan lawan bicara.
c. Dua bahasa atau lebih digunakan oleh seseorang atau sekelompok
orang yang menuntut adanya dua bahasa dan pemakaian bahasa baik
secara individu maupun kelompok.
3. Diglosia
Dua bahasa dipergunakan dalam masyarakat yang sama, tetapi
masing-masing bahasa mempunyai fungsi atau peranannya sendiri-sendiri
dalam konteks sosialnya dikenal dengan sebutan “diglosia”. Diglosia
adalah suatu situasi bahasa dimana terdapat pembagian fungsional atas
variasi-variasi bahasa atau bahasa-bahasa yang ada dimasyarakat.
18
Maksudnya bahwa terdapat perbedaan antara ragam formal dan non-
formal, contohnya di Indonesia terdapat perbedaan antara bahasa tulis dan
bahasa lisan.
4. Kode
a. Pengertian kode
Kode adalah suatu sistem tutur yang penerapan unsur
bahasanya mempunyai ciri-ciri khas sesuai dengan latar belakang
penutur, relasi penutur dengan lawan bicara dan situasi tutur yang ada.
Sumarsono (2002: 201) mengatakan bahwa kode merupakan bentuk
netral yang mengacu pada bahasa, dialek, sosiolek atau variasi bahasa.
Kode mencakup bahasa dan perbedaan intra bahasa yang digunakan
untuk berkomunikasi dan variasi bahasa tersebut, termasuk dialek,
tingkat tutur dan ragam.
b. Perubahan kode
Masyarakat yang dwibahasawan (menguasai dua bahasa)
sering terjadi perubahan-perubahan kode. Contohnya masyarakat Jawa
yang dikatakan dwibahasawan karena masuknya bahasa Indonesia ke
dalam inventarisasi kode atau tutur orang Jawa, maka sering timbul
beberapa konsep baru, yaitu:
1) Telah timbul dialek zaman, dialek kaum modern dan kaum
konservatif.
2) Telah timbul tingkat tutur baru, yaitu tingkat tutur bahasa
Indonesia.
3) Telah timbul berbagai register baru, misalnya register surat kabar.
C. Hakikat Alih Kode dan Campur Kode
1. Kode
a. Pengertian kode
Kode adalah suatu sistem tutur yang penerapan unsur
bahasanya mempunyai ciri-ciri khas sesuai dengan latar belakang
penutur, relasi penutur dengan lawan bicara dan situasi tutur yang ada.
19
Sumarsono (2002: 201) mengatakan bahwa kode merupakan bentuk
netral yang mengacu pada bahasa, dialek, sosiolek atau variasi bahasa.
Kode mencakup bahasa dan perbedaan intra bahasa yang digunakan
untuk berkomunikasi dan variasi bahasa tersebut, termasuk dialek,
tingkat tutur dan ragam.
b. Perubahan kode
Masyarakat yang dwibahasawan (menguasai dua bahasa)
sering terjadi perubahan-perubahan kode. Contohnya masyarakat Jawa
yang dikatakan dwibahasawan karena masuknya bahasa Indonesia ke
dalam inventarisasi kode atau tutur orang Jawa, maka sering timbul
beberapa konsep baru, yaitu:
1) Telah timbul dialek zaman, dialek kaum modern dan kaum
konservatif.
2) Telah timbul tingkat tutur baru, yaitu tingkat tutur bahasa
Indonesia.
3) Telah timbul berbagai register baru, misalnya register surat kabar.
2. Alih kode
a. Pengertian alih kode
Alih kode (code switching), yakni peralihan pemakaian dari
satu bahasa atau kebahasaan atau dialek lainnya. Alih bahasa ini
sepenuhnya terjadi karena perubahan-perubahan sosiokultural dalam
situasi berbahasa. Perubahan-perubahan dimaksud meliputi faktor-
faktor seperti hubungan antara pembicara dan pendengar, laras bahasa,
tujuan berbicara, topik yang dibahas, waktu dan tempat berbincangan.
Para penutur yang sedang beralih kode minimum berasal dari dua
komunitas bahasa-bahasa (dialek) yang sedang mereka praktikkan
(Ohoiwutun, 2002: 71).
Chaer dan Agustina (2004: 141) menyatakan bahwa alih kode
adalah peristiwa berubahnya dari ragam santai menjadi ragam resmi
atau juga ragam resmi keragam santai. Jadi, dalam alih kode,
20
pemakaian dua bahasa atau lebih ditandai oleh kenyataan bahwa
masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri
sesuai dengan konteksnya.
b. Latar belakang terjadinya alih kode
Adapun penyebab terjadinya campur kode, yaitu:
1) Pembicara atau penutur.
2) Melakukan alih kode untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat
dari tindakannya itu. Biasanya dilakukan oleh penutur yang dalam
peristiwa tutur itu mengharapkan bantuan lawan tuturnya.
3) Pendengar atau lawan tutur.
4) Penutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa lawan tutur itu.
Biasanya kemampuan berbahasa lawan tutur kurang karena
mungkin bukan bahasa pertamanya.
5) Perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga.
6) Kehadiran orang ketiga atau orang lain yang tidak berlatarbelakang
bahasa yang sama dengan bahasa yang digunakan oleh penutur dan
lawan tutur.
7) Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya.
8) Perubahan situasi berbicara dari ragam bahasa Indonesia santai ke
ragam bahasa Indonesia ragam formal.
9) Perubahan topik pembicaraan.
10) Perpindahan topik yang menyebabkan terjadinya perubahan situasi
dari situasi formal menjadi situasi tidak formal (Chaer dan
Agustina, 2004: 143-147).
c. Bentuk alih kode
Alih kode dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1) Alih kode ekstern
21
2) Alih kode ekstern adalah alih kode yang terjadi ketika penutur
beralih dari bahasa asalnya ke bahasa asing, misalnya dari bahasa
Indonesia kebahasa Inggris atau sebaliknya.
3) Alih kode intern
4) Alih kode intern adalah alih kode yang terjadi antar bahasa daerah
dalam suatu bahasa nasional, antar dialek dalam satu bahasa daerah
atau antar beberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam suatu
dialek.
d. Beberapa faktor yang menyebabkan alih kode
1) Penutur
Seorang penutur kadang dengan sengaja beralih kode terhadap
mitra tutur karena suatu tujuan. Misalnya, mengubah situasi dari
resmi menjadi tidak resmi atau sebaliknya.
2) Mitra tutur
Mitra tutur yang latar belakang kebahasaannya sama dengan
penutur, biasanya beralih kode dalam wujud alih varian dan bila
mitra tutur berlatarbelakang kebahasaan berbeda cenderung alih
kode berupa alih bahasa.
3) Hadirnya penutur ketiga
Untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur
ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila
latar belakang kebahasaan mereka berbeda.
4) Pokok pembicaraan
Pokok pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan
dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang
bersifat formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku dengan
gaya netral dan serius dan pokok pembicaraan yang bersifat
informal disampaikan dengan bahasa tidak baku, gaya sedikit
emosional dan serba seenaknya.
5) Untuk membangkitkan rasa humor
22
Biasanya dilakukan dengan alih varian, alih ragam atau alih gaya
bicara.
6) Untuk sekadar bergengsi
Walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik dan faktor
sosiosituasional tidak mengharapkan adanya alih kode, terjadi alih
kode.
3. Campur kode
a. Pengertian campur kode
Semua penutur yang bilingual atau multilingual, sering
dijumpai suatu gejala yang dapat dipandang sebagai suatu kekacauan.
Fenomena ini berbentuk penggunaan unsur-unsur dari suatu bahasa
tertentu dalam suatu kalimat atau wacana bahasa lain yang disebut
dengan campur kode (Code Mixing). Campur kode dapat didefinisikan
sebagai penggunaan lebih dari satu bahasa atau kode dalam satu
wacana menurut pola-pola yang masih belum jelas. Campur kode
terjadi jika orang menggunakan sebagian kecil unit (kata atau frase
pendek) dari satu bahasa ke bahasa lain, seringkali dilakukan tanpa
tujuan dan biasanya dalam tingkat kata (Ohoiwutun, 2002: 69).
b. Latar belakang terjadinya campur kode
Chaer dan Agustina (2004: 151) mengatakan bahwa latar
belakang terjadinya campur kode pada dasarnya dapat dikategorikan
menjadi dua tipe, yaitu tipe yang berlatar belakang pada sikap dan tipe
yang berlatar belakang pada kebahasaan, tetapi kedua tipe tersebut
sering bertumpang tindih. Atas dasar latar belakang pada sikap dan
latar belakang pada kebahasaan yang saling bertumpang tindih itu
dapat didefinisikan menjadi beberapa alasan atau penyebab terjadinya
campur kode. Adapun penyebab terjadinya campur kode sebagai
berikut:
1) Identifikasi peran
23
2) Ukuran identifikasi peran adalah sosial, register dan edukational.
3) Identifikasi ragam
4) Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa dimana seorang penutur
melakukan campur kode, akan menempatkan diri dalam hierarki
sosial.
5) Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan karena campur
kode juga menandai sikap dan hubungan dengan orang lain.
Salah satu penyebabkan terjadinya alih kode adalah penutur
yang belum menguasai bahasa, ragam, dialek ataupun tingkat tutur
yang sedang dipergunakan. (Ngalim, 2003: 8).
c. Bentuk campur kode
Campur kode dibedakan menjadi enam macam, yaitu:
1) Penyimpangan unsur-unsur yang berwujud kata.
2) Kata yang dimaksudkan adalah bahasa yang berdiri sendiri, terdiri
dari morfem tunggal atau gabungan morfem.
3) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa.
4) Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak
predikatif gabungan kata itu dapat rapat dan dapat renggang.
5) Penyisipan unsur-unsur yang berbentuk baster.
6) Baster adalah hasil perpaduan dua unsur bahasa yang berbeda yang
membentuk satu makna.
7) Penyisipan unsur-unsur yang berbentuk perulangan kata.
8) Perulangan kata yang dimaksud adalah kata yang dihasilkan oleh
proses reduplikasi.
9) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom.
10) Idiom yang dimaksud adalah konstruksi dari unsur-unsur yang
saling memilih, masing-masing anggota memiliki makna yang ada
karena bersama anggota yang lain.
11) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa.
24
12) Klausa yang dimaksud adalah satuan gramatikal yang berupa
kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari subjek dan
predikat dan mempunyai potensi untuk menjadi kalimat.
D. Hakikat Interaksi Pembelajaran
1. Pengertian interaksi pembelajaran
Interaksi terdiri dari kata inter (antar) dan aksi (kegiatan). Jadi,
interaksi adalah kegiatan timbal balik. Dari segi terminologi “interaksi”
mempunyai arti hal saling melakukan aksi; berhubungan; mempengaruhi
antar hubungan. Interaksi akan selalu berkait dengan istilah komunikasi
atau hubungan. Sedangkan “komunikasi” berpangkal pada perkataan
“communicare” yang berpartisipasi, memberitahukan, menjadi milik
bersama. Sardiman mengatakan bahwa dalam proses komunikasi, dikenal
adanya unsur komunikan dan komunikator. Hubungan komunikan dan
komunikator biasanya menginteraksikan sesuatu, yang dikenal dengan
istilah pesan (message). Untuk menyampaikan pesan diperlukan saluran
atau media. Jadi, di dalam komunikasi terdapat empat unsur, yaitu
komunikan, komunikator, pesan dan saluran atau media.
Jika dikaitkan dengan proses belajar mengajar, maka interaksi
adalah suatu hal saling melakukan aksi dalam proses belajar mengajar
yang di dalamnya terdapat suatu hubungan antara siswa dan guru untuk
mencapai suatu tujuan. Tujuan tersebut adalah suatu hal yang telah
disadari dan disepakati sebagai milik bersama dan berusaha semaksimal
mungkin untuk mencapai tujuan tersebut. Belajar dan mengajar
merupakan dua konsep yang tidak bisa dipisahkan dalam kegiatan
pengajaran. Belajar mengacu kepada apa yang dilakukan oleh individu
(siswa), sedangkan mengajar mengacu kepada apa yang dilakukan oleh
guru sebagai pemimpin belajar. Kedua kegiatan tersebut menjadi terpadu
dalam satu kegiatan manakala terjadi hubungan timbal balik (interaksi)
antara guru dengan siswa pada saat pengajaran berlangsung.
25
Interaksi dalam pendidikan bersifat edukatif dengan maksud bahwa
interaksi itu berlangsung dalam rangka untuk mencapai tujuan pribadi
anak mengembangkan potensi pendidikan. Jadi, interaksi dalam hal ini
bertujuan membantu pribadi anak mengembangkan potensi sepenuhnya,
sesuai dengan cita-citanya serta hidupnya dapat bermanfaat bagi dirinya
sendiri, masyarakat dan negara. Dalam interaksi itu harus ada perubahan
tingkah laku dari siswa sebagai hasil belajar. Di mana siswa yang
menentukan berhasil tidaknya kegiatan belajar mengajar dan guru hanya
berperan sebagai pembimbing. Jadi, interaksi belajar mengajar adalah
kegiatan timbal balik antara guru dengan anak didik, atau dengan kata lain
bahwa interaksi belajar mengajar adalah suatu kegiatan sosial, karena
antara anak didik dengan temannya, antara si anak didik dengan gurunya
ada suatu komunikasi sosial atau pergaulan. Sedangkan menurut Soetomo,
interaksi belajar mengajar ialah hubungan timbal balik antara guru
(pengajar) dan anak (murid) yang harus menunjukkan adanya hubungan
yang bersifat edukatif (mendidik). Interaksi itu harus diarahkan pada suatu
tujuan tertentu yang bersifat mendidik, yaitu adanya perubahan tingkah
laku anak didik ke arah kedewasaan. Dari keterangan di atas, dapat
diambil kesimpulan bahwa interaksi belajar mengajar yang dimaksud di
sini adalah hubungan timbal balik antara guru dan anak didik guna
mencapai suatu tujuan tertentu.
2. Komponen-komponen dalam Interaksi Belajar Mengajar
Komponen dalam interaksi belajar mengajar itu misalnya tujuan,
bahan, metode dan alat. Untuk mencapai tujuan instruksional, masing-
masing komponen itu akan saling merespon dan mempengaruhi antara
yang satu dengan yang lain. Sehingga tugas guru adalah mendesain dari
masing-masing komponen agar tercipta PBM yang optimal. Guru
selanjutnya dapat mengembangkan interaksi belajar mengajar yang lebih
dinamis untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Mengenai komponen-
komponen tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
26
a. Tujuan
Tujuan mempunyai arti penting dalam kegiatan interaksi
belajar mengajar. Tujuan dapat memberikan arah yang jelas ke mana
kegiatan pembelajaran akan dibawa oleh guru. Tujuan pengajaran yang
ditetapkan oleh guru akan mempengaruhi jenis metode yang
digunakan, sarana prasarana dan lingkungan belajar mengajarnya.
b. Bahan pembelajaran
Bahan pelajaran mutlak harus dikuasai guru dengan baik, oleh
karena itu guru harus mempelajari dan mempersiapkan bahan pelajaran
yang akan disampaikan pada anak didik. Bahan (materi) itu tentunya
dipilih dan disesuaikan dengan bahan yang dapat menunjang
tercapainya tujuan pengajaran yang ditetapkan.
c. Metode
Metode adalah suatu cara yang digunakan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kegiatan belajar mengajar metode
diperlukan oleh guru guna kepentingan pengajaran. Ada beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi metode mengajar, yaitu tujuan
dengan berbagai jenis dan fungsinya, anak didik dengan berbagai
tingkat kematangannya, situasi dengan berbagai keadaannya, fasilitas
dengan berbagai kualitas dan kuantitasnya serta pribadi guru dengan
kemampuan profesionalnya yang berbeda-beda. Adapun metode-
metode dalam proses belajar mengajar antara lain: metode ceramah,
tanya jawab, diskusi, pemberian tugas dan metode demonstrasi.
d. Alat
Alat adalah segala sesuatu yang digunakan dalam rangka
mencapai tujuan pembelajaran. Dalam kegiatan interaksi belajar
mengajar biasanya dipergunakan alat material dan non material. Agar
alat-alat tersebut mencapai tujuan, maka: Pertama harus dikenal
dahulu alat-alat itu sebaik-baiknya, mengerti fungsinya dan apa yang
dapat kita capai dengan alat itu. Kedua, harus jelas tujuan yang
dikehendaki melalui alat tersebut. Ketiga, harus terampil dalam
27
penggunaannya. Keempat, harus sanggup memelihara/memanfaatkan
alat-alat yang ada.
e. Evaluasi
Pelaksanaan evaluasi dilakukan oleh guru dengan memakai
seperangkat instrumen penggali data tes perbuatan, tes tertulis, dan tes
lisan. Oleh karenanya menurut Edwin Wars dan W. Brown evaluasi
adalah suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari
sesuatu. Tujuan evaluasi adalah mengumpulkan data-data yang
membuktikan taraf kemajuan anak didik dalam mencapai tujuan yang
diharapkan, memungkinkan guru menilai aktivitas atau pengalaman
yang di dapat dan menilai metode mengajar yang dipergunakan. Jika
komponen-komponen itu direncanakan dan dipersiapkan dengan
matang, maka akan mengurangi hambatan-hambatan yang muncul
dalam proses belajar mengajar bahkan akan lebih memotivasi anak
untuk melakukan belajar secara efektif dan efisien.
3. Macam-macam interaksi dalam pembelajaran
Menurut Nana Sudjana ada tiga pola komunikasi dalam proses interaksi
guru dan siswa, yaitu:
a. Komunikasi sebagai aksi atau komunikasi satu arah
Guru sebagai pemberi aksi dan siswa sebagai penerima aksi. Guru
aktif dan siswa pasif, mengajar dipandang sebagai kegiatan
menyampaikan bahan pelajaran.
b. Komunikasi sebagai interaksi dua arah
Guru bisa berperan sebagai pemberi aksi atau penerima aksi,
sebaliknya dengan siswa sehingga dialog akan terjadi pada guru dan
siswa.
28
c. Komunikasi sebagai transaksi atau komunikasi banyak arah
Komunikasi tidak hanya terjadi pada guru dan siswa tetapi juga antara
siswa dan siswa. Siswa dituntut aktif dari pada guru. Siswa seperti
halnya guru dapat berfungsi sebagai sumber belajar.
4. Proses interaksi dalam pembelajaran harus mengandung ciri-ciri sebagai
berikut:
a. Ada tujuan yang diinginkan.
b. Ada bahan atau pesan yang menjadi isi interaksi.
c. Ada pelajaran yang aktif mengalami.
d. Ada guru yang melaksanakan.
e. Ada metode untuk mencapai tujuan.
f. Ada situasi yang memungkinkan proses pembelajaran berjalan dengan
baik.
5. Faktor-fakror yang mendasari adanya interaksi, yakni:
a. Faktor tujuan pembelajaran.
b. Faktor bahan materi, metode dan situasi.
c. Faktor guru dan peserta didik.
29
DAFTAR PUSTAKA
Admin. (2008). Sosiolinguistik: Teori, Peran dan Fungsinya. [Online]. Tersedia:
http://bemuinmalang.org/?pilih=lihat&id=34. Html [16 April 2014]
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. (2010). Sosiolinguistik: Perkenalan Awal.
Jakarta: Rineka Cipta.
Ismawati, Esti. (2011). Metode Penelitian Pendidikan Bahasa dan Sastra.
Surakarta: Yuma Pustaka.
Komaidi, Didik dan Wahyu Wijayati. (2011). Panduan Lengkap PTK.
Yogyakarta: Sabda Media.
Mulyani. (2007). Alih Kode dan Campur Kode dalam Kegiatan Belajar Mengajar.
[Online]. Tersedia:
http://www.unmuh-ponorogo.org/ejournal.detail.php?id=43.
Html [16 April 2014]
Siswantoro. (2010). Metode Penelitian Sastra: Analisis Struktur Puisi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kualitatif,
Kuantitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.
Sumarsono. (2007). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.
Suwandi, Sarwiji. (2011). Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dan Penulisan Karya
Ilmiah. Surakarta: Yuma Pustaka.
Wijana, I Dewa Putu dan M. Rohmadi. (2006). Sosiolinguistik: Kajian Teori dan
Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
29
30
Zuldafrial dan Muhammad Lahir. (2011). Penelitian Kualitatif. Surakarta: Yuma
Pustaka.