Dimensi Kelembagaan Pariwisata Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta (Studi Kapabilitas kelembagaan Obyek Wisata Pulau Tidung)
Nur Sakti Pratama, Sri Susilih
1. Departemen Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia 2. Departemen Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Kegiatan kepariwisataan yang ada di Pulau tidung merupakan wisata nelayan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan perekonomian dengan mengandalkan potensi bahari. Dalam kurun waktu yang tidak lama, wisata nelayan Pulau Tidung menjadi destinasi yang digemari wisatawan. Masyarakat lokal meresponnya dengan gencar membuka beragam jasa wisata namun justru bersifat ekploitasi atas potensi yang ada. Penelitian ini menggunakan pendekatan post-positivistik yang dilandasi teori kapabilitas kelembagaan yang dikemukakan oleh Shabbir Cheema (1981). Hasil penelitian menunjukan bahwa ambisi besar masyarakat sangat didasari motif ekonomi dan kurang memperhatikan kualitas jasa wisata itu sendiri. Pada sisi lain pemerintah yang seharusnya melaksanakan strategi pembangunan ekonomi pariwisata masyarakat dengan memperhatikan aspek keberlanjutan dan profesionalisme, belum memiliki masterplan yang jelas sehingga setiap program Pemerintah yang bersentuhan dengan pembangunan pariwisata Pulau Tidung belum terintegrasi antara satu dengan yang lainnya.
Institutional Dimension of Kepulauan Seribu Tourism Province DKI Jakarta (Institutional Capabilities Study in Tidung Island Tourism)
Abstract
Tourism activities in Tidung Island called “fisherman tourism” which held to improve the economy by relying on maritime potential. In a short times, Tidung Island became a popular tourist destination and local responded with opening various of tourist servisces highly but it was exploitation of local potentials. The study uses post-positivist approach which based on institutional capability theory by Shabbir Cheema (1981). The result showed that local ambitions based on economic motives and given less attention to tourist services quality. On the other hand, government whom should to implement development strategy of local tourism by focusing on sustainability and professionalism, it doesn’tgiven a clear master plan, so regional tourism program in Tidung Island are not integrated with each other. Key words: institutional capabilities; tourism development master plan; Tidung Island tourism
Pendahuluan
Sektor pariwisata tidak hanya berperan memberikan sarana dan fasilitas bagi masyarakat atau
sekedar peningkatan perolehan devisa negara, akan tetapi lebih jauh diharapkan pariwisata
dapat berperan sebagai kasalitator pembangunan suatu wilayah (agent of development) (Yoeti,
2008). Begitu pula halnya bagi Indonesia, di mana di tahun 2011 sektor pariwisata berada di
Dimensi Kelembagaan..., Nur Sakti Pratama, FISIP UI, 2014
urutan keempat sebagai penyumbang devisa terbesar (KPN, 2011). Hal ini tidak terlepas dari
karakteristik Indonesia sebagai negara Kepulauan yang memiliki potensi wisata bahari yang
sangat besar seperti Bali, Raja Ampat, Derawan, Lombok dan Karimun Jawa. Provinsi DKI
Jakarta juga memiliki destinasi wisata bahari yang cukup potensial yang terletak pada
gugusan Kepulauan Seribu di mana terdapat 130 jenis terumbu karang, 242 jenis karang, 141
makrobentos dan sejumlah spesies langka biota laut endemik seperti kima raksasa, kimapasir,
kuda laut, ikan fishir, kelinci laut, penyu dan udang mantis (Adriani, 2000). Pulau Tidung
adalah salah satu Pulau Di Kepulauan Seribu yang mengembangkan sektor pariwisata dan
memperoleh respon positif dari para wisatawan. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel di
bawah,
Tabel 1.1 Data Penumpang Kapal Kerapu (Dishub) Bulan April- September 2012
Berdasarkan Tujuan
No Pulau April Mei Juni Juli Agustus September 1 Tidung 34 1269 1167 1225 926 1196 2 Pari 4 169 140 184 80 100 3 Untung Jawa 7 352 187 185 137 339 4 Lancang 6 178 111 69 64 54
Sumber: Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan dalam angka, 2013
Jumlah wisatawan yang terus-menerus meningkat semakin mendorong masyarakat lokal
Pulau Tidung untuk turut serta dalam sektor pariwisata. Akan tetapi keturutsertaan tersebut
mulai memiliki dampak negatif terhadap keberlanjutan pulau. Hasil penelitian Universitas
Muhammadiyah Jakarta tahun 2012 menyebutkan bahwa pola perilaku masyarakat mulai
mengancam keanekaragaman hayati di ekosistem terestrial, peralihan dan laut (Andam, 2012).
Sebagaian besar disebabkan oleh pembukaan hutan, pengerukan pasir dan karang laut,
pembukaan pantai baru dan berbagai eksploitasi lainnya yang merupakan kegiatan
pengembangan kepariwisataan di Pulau Tidung. Jika dilihat dari kualitas pelayanan, jasa
pariwisata yang diberikan masih sangat minim. Kapal ferry tradisional sebagai sarana
transportasi seringkali dioperasikan melebihi kapasitas kapal itu sendiri dan tidak dilengkapi
peralatan safety sesuai jumlah penumpang. Begitu pula dengan penginapan (homestay) yang
sering kali dipaksakan kapasitasnya melebihi jumlah daya tampung normal. Demi
keuntungan yang besar, proporsi antara wisatawan dengan tourguide juga didesain tidak
seimbang. Dalam beberapa kasus, seorang tourguide bertanggung jawab atas 30 wisatawan,
sangat jauh diatas normal yaitu 10 wisatawan. Di antara para tourguide pun, tidak ada yang
Dimensi Kelembagaan..., Nur Sakti Pratama, FISIP UI, 2014
memiliki sertifikasi usaha pariwisata sebagaimana yang termuat dalam Standar Kompetensi
Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Fakta-fakta tersebut berujung pada pertanyaan besar
mengenai posisi dan peran Pemerintah di dalam pengelolaan dan pengembangan
Kepariwisataan di Pulau Tidung.
Daya tarik (attracttions), amenitas (amenities), dan aksesibilitas (accessibility), menurut
Michael Hall (2000) merupakan alat ukur dari kualitas sebuah destinasi wisata yang menjadi
daya tarik wisatawan. Ketiga unsur kualitas tersebut dipengaruhi kapabilitas kelembagaan di
mana Shabbir Cheema mengemukakan bahwa kapabilitas institusional (kelembagaan) dalam
pembangunan lokal dan regional mencerminkan kapasitas struktur administrasi nasional,
regional dan lokal termasuk organisasi non-pemerintah serta semi governmental organization
dalam mengoptimalisasikan sumber ekonomi, dan optimalisasi kemampuan masyarakat
dalam akselerasi pembangunan melalui pertimbangan spasial dan distribusi sumber daya
(Cheema, 1981). Terkait dengan Pulau Tidung, penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan kapabilitas kelembagaan dalam pengelolan dan pengembangan obyek wisata
nelayan Pulau Tidung.
Tinjauan Teoritis
Kinerja pembangunan regional sebuah negara pada dasarnya dipengaruhi oleh empat
faktor yang saling berkaitan dan hal ini merupakan sebuah tantangan. Faktor pertama adalah
keberadaan kemampuan teknis, nilai, sikap dan kepercayaan individu dalam kelompok
masyarakat. Kedua, struktut sosiopolitik yang memberikan sebuah lingkungan di mana
individu-individu didalamnya tampil melakukan peran mereka sebagai agen perubahan.
Ketiga, ketersediaan berbagai sumber yang menghasilkan ide-ide dan program. Keempat,
institusional machinery di mana perencanaan dan implementasi pembangunan regional
tersebut berada (Cheema, 1981).
Terdapat dua komponen dari institusional machinery dalam perencanaan dan implementasi
pembangunan regional/lokal yaitu governmental dan non-governmental(Cheema, 1981).
Institutional machinery berperan menyediakan saluran di mana beragam pembangunan
regional yang telah selesai berhasil dilaksanakan, diantaranya mengartikulasi isu sosial yang
relevan dan yang diprioritaskan, memformulasi perencanaan jangka penjek dan panjang,
impelementasi proyek-proyek pembangunan regional, pelibatan masyarakat di luar
pemerintah dalam aktifitas pembangunan, mengintegrasikan proses perencanaan dan
implementasi pembangunan (Inayatullah, 1979). Menurut Cheema (1981), Intittutional
Dimensi Kelembagaan..., Nur Sakti Pratama, FISIP UI, 2014
capability for regional development thus, implies the capacity of national, regional and
subregional or local level administrative structures as well as non-governmental and semi-
governmental organizations to optimeze economic resource and human skill utilization in the
process of development acceleration within the society through consideration of spatial and
distributive dimensions (Cheema, 1981: 5). Terdapatat 6 (enam) komponen yang
mempengaruhi kapabilitas kelembagaan yaitu; (1) mekanisme koordinasi, (2) desentralisasi
fungsi pemerintahan dan finansial, (3) Partisipasi masyarakat, (4) kemampuan monitoring, (5)
eksisstensi prosedur, dan (6) sumber daya manusia (Cheema, 1981).
Pengelolaan suatu obyek wisata alam merupakan bagian dari strategi perlindungan alam
dengan tujuan pengelolaannya harus sejalan dengan tujuan pengelolaan suatu kawasan
konservasi. Hal ini berarti, bahwa pengelolaan harus dilandasi peraturan ketat perihal
konservasi alam (Ko, 2001: 129). Zulkifli (1999) menggutip pernyataan terkait konteks
pengelolaan sumber daya alam yang dikemukakan oleh David Korten (1987) dan Peter
Oakley (1992) di mana pengelolaan sumber daya alam berbasis komunitas (communitybased
– resource management) ditandai dengan adanya partisipasi yang tingggi dari anggota atau
warga komunitasnya baik dari tahap perencanaan, pengawasan, dan pemanfaatan hasil
(Zulkifli, 1999: 55). Konsep tersebut serupa dengan community based tourism yang
hakekatnya membutuhkan pelibatan masyarakat secara aktif, selain didalamnya juga terdapat
pihak-pihak lainnya yang memiliki kepentingan seperti stakeholder, pengelola maupun
pemerintah.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan post-positivist karena penelitian beranjak dari sebuah
teori dan kemudian menguji keterkaitan antara temuan lapangan dengan teori tersebut.
Peneliti berangkat dari sebuah teori yang dikemukakan oleh G.Shabbir Cheema mengenai
kapabilitas kelembagaan yang disertai pengamatan empiris dalam rangka melihat kapabilitas
kelembagaan pengembangan obyek wisata Pulau Tidung di Kepulauan Seribu. Data
dikumpulkan secara kualitatif melalui observasi, studi literatur, dan wawancara mendalam
terhadap sepuluh informan terkait, yaitu (1) Wakil Lurah Pulau Tidung, (2) Ketua Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat (LPM), (3) Ketua Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat Tidung
(FKDM), (4) Kepala Seksi Penindakan bagian Pengawasan dan Pengendalian Dinas
Pariwisata dan Budaya DKI Jakarta, (5) Staf Bidang Pengawasan dan Pengemdalian Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, (6) staf seksi pariwisata Suku Dinas
Dimensi Kelembagaan..., Nur Sakti Pratama, FISIP UI, 2014
Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, (7) Akademisi, (8)
pemilik travel wisata Tidung, (9) Koordinator Lapangan (Korlap) Pariwisata Tidung, (10)
Tokoh masyarakat Pulau Tidung.
Hasisl Penelitian
Pulau Tidung terletak di Kelurahan Pulau Tidung Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan dan
merupakan Pulau yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai Pulau Pemukiman, dan bukan
merupakan Pulau Wisata, namun beberapa regulasi tingkat regional DKI Jakarta
menjustifikasi aktivitas pariwisata di pulau pemukiman. Salah satunya termuat dalam pasal
165 Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta yang menyebutkan, “Untuk mendukung
perwujudan kawasan permukiman sebagai kawasan wisata nelayan sebagai objek tujuan
wisata dapat dibangun wisma dan/atau penginapan, serta sentra usaha rakyat termasuk pusat
pelayanan jasa wisata. Jika dibandingkan, Kelurahan PulauTidung merupakan Kelurahan
terpadat di antara Kelurahan lain di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan.
Tabel 1.2 Jumlah Penduduk Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan
No Kelurahan Luas
(Km2) Penduduk Kepadatan
penduduk Sex
Ratio Laki-laki Perempuan Jumlah 1 Pulau Tidung 1,07 2.187 2227 4414 4.126 99 2 Pulau Pari 0,95 1237 1164 2401 2528 107 3 Pulau Untung Jawa 1,03 1078 1004 1082 2022 108
Sumber: BPS Kepulauan Seribu, 2014
Sebelum maraknya aktifitas pariwisata, mayoritas mata pencarian masyarakat Pulau
Tidung adalah Nelayan. Seiring berkembangnya sarana pendukung pariwisata di Pulau
Tidung, sebanyak 98 persen unit usaha yang terdapat di Pulau tersebut (Pulau Tidung Besar)
tergolong dalam sektor pariwisata. Jenis usaha diantaranya adalah, sebanyak 64 persen
penduduk menggeluti jasa penginapan (homestay), 11 persen memiliki usaha kios, 6 persen
memiliki usaha catering, 5 persen usaha warung makan, 4 persen usaha penyewaan alat (boat,
snorkeling, dll.), 3 persen menjadi pemandu wisata, 2 persen memiliki usaha transportasi
kapal, dan 1 persen menjual souvernir. Agen travel dapat dikatakan menduduki posisi
tertinggi di industri pariwisata Pulau Tidung, pasalnya mayoritas wisatawan yang
mengunjungi Pulau Tidung difasilitasi melalui agen travel. Berikut adalah tabel fungsi dari
setiap pemeran di industri pariwisata Tidung.
Dimensi Kelembagaan..., Nur Sakti Pratama, FISIP UI, 2014
Tabel 1.3 Pemeran dalam kegiatan wisata di Pulau Tidung
No Subyek Fungsi Keterangan 1 Agen wisata (travel) Pemasaran (publikasi, menentukan
biaya, berkomunikasi dengan wisatawan, berkomunikasi dengan korlap dan memiliki link terhadap pemilik fasilitas)
Mayoritas dimiliki dan dikelola oleh masyarakat daratan Jakarta
2 Koordinator lapangan Menghubungkan travel dengan pemilik fasilitas
Penduduk asli Pulau
3 Tour guide Menemani wisatawan sejak tur dimulai dan sebagai help desk
4 Pemilik fasilitas Memberikan pelayanan (jasa) atas fasilitas yang dimiliki
Pemilik home stay, perahu tradisional, kapal ferry, catering, penyewaan sepeda, penyewaan alat-alat snorkeling, penyewaan watersport (banana, donut boat, speed boat, dll.)
Sumber: data olahan peneliti, 2014
Berdasarkan hasil observasi, masyarakat memegang penuh kendali pengelolaan kegiatan
wisata di Pulau Tidung. Pemerintah hanya mendorong masyarakat melalui perbaikan
pembangunan infrastruktur Pulau seperti jalan, pelabuhan, sanitasi, dan taman. Disamping itu,
Pemerintah juga melakukan beberapa pelatihan dan bimbingan teknis kepada masyarakat
mengenai standar-standar pelayanan wisata, meliputi:
Tabel 1.4. Program Pelatihan Kepariwisataan No. Kegiatan Penyelenggara Anggaran 1 FGD pengelolaan pariwisata
Kec. Kepulauan Seribu Selatan
Sudin Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
Rp 250.000.000,-
2 Pelatihan kepariwisataan
Sudin Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
Rp 100.000.000,-
3 Bimbingan teknis kepariwisataan masyarakat
Sudin Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
Rp 150.000.000,-
4 Bimbingan teknis pemandu wisata (guide) Kepulauan Seribu
Sudin Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
Rp 175.000.000,-
5 Bimbingan teknis hygen dan sanitasi bagi pengusaha catering/ makanan dan pengusaha homestay
Sudin Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
Rp 137.000.000,-
Sumber: data olahan peneliti, 2014
Dimensi Kelembagaan..., Nur Sakti Pratama, FISIP UI, 2014
Pembahasan
kapabilitas kelembagaan obyek wisata Pulau Tidung berdasarkan teori dimensi kelembagaan
dapat ditinjau melalui enam indikator kapabilitas kelembagaan yaitu mekanisme koordinasi,
desentralisasi, partisipasi masyarakat, kemampuan monitoring, eksistensi prosedur, dan SDM.
A. Mekanisme Koordinasi
pembangunan regional/lokal memerlukan eksistensi teori dan praktik dari mekanisme
perangkat administrasi dalam melakukan kordinasi horizontal dan vertikal agar membangun
harmonisasi dan integrasi kegiatan-kegiatan pemerintah yang didasari aspirasi masyarakat
(Cheema, 1981:5). Berdasarkan hasil penelitian, koordinator tertinggi di dalam
pengembangan kepariwisataan di Pulau Tidung adalah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif karena Pulau Tidung masih berada di bawah Rencana Induk Pembangunan Pariwisata
Nasional (RIPPARNAS) yang mengelompokan Kepulauan Seribu sebagai salah satu
Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Pada level teknis, kepariwisataan di
Kepulauan Seribu berada di bawah tanggung jawab Suku Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Di samping Sudin, Pemerintah Kabupaten Adm.
Kep. Seribu juga memiliki andil besar dalam pengembangan kepariwisataan. Sementara
dilihat dari pengembangan insfrastruktur, Sudin Pembangunan Umum, Sudin Perumahan, dan
Sudin Perhubungan juga memiliki peranan bagi prasarana kepariwisataan di Pulau Tidung.
Analisa mekanisme koordinasi dapat dilihat dalam dua bentuk yaitu (1) koordinasi
perencanaan dan (2) koordinasi pelaksanaan.
Koordinasi pembangunan kepariwisataan pada level perencanaan dapat dilihat melalui
musyawarah perencanaan pembangunan sebagai refleksi bagi koordinasi Pemerintah dengan
masyarakat pada ahap perencanaan. Hal ini diungkapkan oleh Suku Dinas Pariwisata dan
Kebudyaan Kepulauan Seribu, ““...sebelumnya ada musyawarah pembangunan daerah, jadi
menangkap aspirasi masyarakat dulu, melihat apa keingingnan masyarakat..” (wawancara
dengan Bapak Alex selaku Staf bagian Pariwisata Sudin Parbud Kep. Seribu, April 2014).
Musrenbang tersebut dimulai dari rembuk RW, musrenbang Kelurahan, musrenbang
Kecamatan, hingga musrenbang Kabupaten, di mana pada level ini, musyawarah dihadiri oleh
perwakilan dari instansi vertikal terkait seperti dinas pariwisata, perhubungan dan lain-lain.
Sementara itu, koordinasi yang dilakukan antara instansi pemerintah terjadi ketika
penyusunan dan pengesahan program tahunan dalam bentuk APBD.
Dimensi Kelembagaan..., Nur Sakti Pratama, FISIP UI, 2014
Pada tahap pelaksanaan, koordinasi yang dilakukan antar peerintah berupakoordinasi
pelaksaan sautu program dan dalam bentuk pelaporan kegiatan kepariwisataan tertentu.
Sementara koordinasi Pemerintah dengan masyarakat pada ahap pelaksanaan hanya berupa
pleatihan-pelatihan mengani standar jasa pariwisata. Untuk melakukan pelatihan tersebut,
LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat) Pulau Tidung adalah jembatan diantara
Pemerintah dengan masyarakat. Berikut ini dapat dilihat bentuk koordinasi dan hubungan
vertikal kelembagaan pariwiwsata Pulau Tidung
Gambar 1.1. Bentuk Hubungan Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2014
B. Desentralisasi
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan Nasional menyebutkan
beberapa poin kewenangan yang diemban oleh Pemerintah Provinsi dalam rangka
desentralisasi fungsi yang terkait dengan kepariwisataan. (1) Provinsi wajib memiliki
Keterangan Gambar: Hubungan Vertikal Hubungan Koordinasi
Pemerintah Pusat Kemenparekaf
Pemprov DKI Jakarta Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Pemkab. Adm. Kep. Seribu
Kecamatan Kep. Seribu Selatan
Sudin Perhubungan Kep. Seribu
Sudin Perumahan dan Gedung Kep. Seribu
Sudin Pariwisata & Kebudayaan Kep. Seribu
Sudin Pembangunan Umum Kep. Seribu
Kelurahan Pulau Tidung (LPM)
Masyarakat Pelaku Usaha Pariwisata
Dimensi Kelembagaan..., Nur Sakti Pratama, FISIP UI, 2014
Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Daerah (RIPPDA) sebagai turunan teknis
RIPPARNAS. Namun hingga saat ini Pemprov DKI Jakarta belum memiliki masterplan
tersebut sehingga pengembangan kepariwisataan di Jakarta belum memiliki arah dan masih
dilaksanakan secara sendiri-sendiri oleh SKPD dan UKPD yang memeiliki keterkaitan dengan
pariwisata. (2) Pemprov juga memiliki kewenangan untuk melakukan pendataan atas usaha
pariwisata. Kewenangan ini telah dilaksanakan oleh Dinas Parbud Pemprov, namun industri
usaha pariwisata di Pulau Tidung belum sama sekali terdata oleh sehingga tidak ada sama
sekali pelaku usaha pariwisata di Pulau Tidung yang memiliki izin usaha. (3) Terdapat pulau
kewenangan mengatur, penyelenggaraan dan pengelolaan kepariwisataan. Satu-satunya
peraturan Pemerintah Provinsi DKI terkait aktivitas pariwisata di Tidung adalah pasal 165
RTRW Jakarta yang memperbolehkan dibentuk penginapan, sentra usaha dan jasa pelayanan
pariwisata. Ketentuan lebih lanjut tetnang teknis dari pasal tersebut belum ada sehingga
penyelenggaraan kepariwisataan masih berjalan sekehendak masyarakat saja sebagaimana
yang diungkapkan oleh Ketua FKDM Tidung “Emang memang wisata disini berjalan
sekehendak masyarakat saja gitu” (wawancara dengan Bapak Selamet Ketua FKDM Tidung,
April 2014).
(4) selanjutnya Pemprov juga diberikan kewenangan melakukan promosi destinasi pariwisata
dan produk pariwisata. Dilihat dari anggaran Sudin Parbud. Kep.Seribu, alokasi untuk biaya
promosi mencapai 1,975 miliar di tahun 2014, sementara Dinas Parbud. DKI menganggarkan
68 miliar di tahun yang sama. Dari semua kegiatan promosi tersebut, tidak ada yang secara
langsung memasarkan pariwisata Pulau Tidung. Justru publikasi pariwisata Tidung lebih
gencar dilakukan oleh pengelola-pengelola travel wisata melalui situs online dan jejaring
sosial. (5) Kewenangan daya tarik wisata baru sudah terwujud melalui penelitian dan
pengembangan Pulau Tidung Kecil sebagai destinasi wisata Tidung yang dikembangkan oleh
Pemerintah Kabupaten dan Initut Teknologi Bandung dan PT Delima Laksana Tata. (6)
kewenangan penyelenggaraan pelatihan dan penelitian juga sudah dilakukan dalam konteks
kepariwisataan di Pulau Tidung sebagaimana yang termuat di dalam tabel 1.4 diatas. (7)
Terdapat pula kewenangan melestarikan dan memelihara daya tarik wisata, di mana bagi
Pulau Tidung telah dilakukan khususnya oleh Pemerintah Kabupaten dan LPM dalam
pengelolaan kebersihan kawasan jempatan cinta dan pantai-pantai lainnya. Disamping itu,
Wakil Lurah Tidung juga mneyebutkan adanya keterlibatan pihak lain seperti Sudin PU,
Sudin Perumahan dan Gedung, dan Sudin pehubungan dalam rangka pemeliharan
infrastruktur, “sektor lain kayak PU perumahan untuk sektor prasarana infrastruktur lah,
menunjang sarana kepariwisataan salah satunya” (wawancara dengan Bapak Mashud Wakil
Dimensi Kelembagaan..., Nur Sakti Pratama, FISIP UI, 2014
Lurah Tidung, April 2014). (8) Terdapat pula kewenangan sosialisasi sadar wisata yang
diterjemahkan ke dalam bimbingan teknis dan pelatihan, dan (9) kewenangan
mengalokasikan anggaran kepariwisataan dimana beberapa SKPD telah menganggarkan
kegiatan penunjang dan pengembangan infrastruktur guna meningkatkan kepariwisataan di
Tidung .
C. Partisipasi Masyarakat
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa pengelolaan kegiatan wisata dipegang penuh oleh
masyarakat sehingga banyak pihak yang menyatakan bahwa partisipasi masyarat dalam
pengembangan kepariwistaan sudah tinggi. hal ini juga disebutkan oleh staf Suku Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Administrasi kepulauan seribu, “partisipasinya sudah
tinggi karena dengan banyaknya pengunjung dapat menumbuhkan ekonomi masyarakat
kecil” ” (wawancara dengan Bapak Alex Sudin Parbud, Mei 2014). Begitu juga Mashud
Hamid selaku Wakil Lurah Tidug yang mengatakan hal yang sama. Akan etapi pandangan
berbeda diberikan oleh salah satu koordinator lapangan pariwisata Tidung yang
menyebutkan,“kalo dari masyarakatnya belum terlalu ini lah, partisipasi. Msih rendah...
Sebennarnya e di sektor pariwisata disana tentang mm lokasi wisatanya gitu engga di
sangkutpautin dengan kehidupan mereka. Paling mereka hanya menyewakan rumahnya jadi
homestay jadi Cuma nunggun bookingandari travel-travel” (wawancara dengan Yusuf
(korlap Wisata Tidung, Mei 2014).
Kutipan di atas menunjukan bahwa ambisi besar masyarakat terkait pariwisata sangat terbatas
pada motif ekonomi, sementara kepedulian mereka terhadap spot-spot wisata Tidung seperti
kawasan Jembatan Cinta, Pantai Utara, pelabuhan, dan terumbu-terumbu karang, masih
sangat kurang. Hal ini dibuktikan dari fafkta bahwa banyak lokasi yang kotor, banyak
terumbu karang yang rusak, pengundulan hutan bakau dan padang lamun untuk pembangunan
homestay. Kualitas pelayanan pun minim sebagaimana yang disebutkan pada pendahuluan
bahwa tidak ada sertifikasi dan seringkali memaksakan pelayanan yang melebihi kuota
standar.
D. Kemampuan Monitoring
Kegiatan pengawasan kepariwisataan di Pulau Tidung dapat dibedakan menjadi tiga.
Pertama, pengawaan pemerintah kepada masyarakat. Pengawasan ini dapat dikatakan tidak
sama sekali berjalan karena pendataan terhadap usaha pariwisata di Tidung belum ada.
Bahkan beberapa Pulau Resort seperti Pulau Anyer, Pulau Bidadari, dan Pulau Matahari
Dimensi Kelembagaan..., Nur Sakti Pratama, FISIP UI, 2014
dimana pengeolaan kepariwisataannya dilakukan oleh pihak swasta yang telah berbadan
hukum, pun Dinas Parbud DKI melalui seksi pengawasan dan pengendalian pariwisata dan
kebudayaan belum dilakukan. Akibatnya kualitas pelayanan pariwisata di Tidung masih
berjalan seadanya meski sudah ada patokan standar dari Pemerintah yang diberikan melalui
pelatihan dan bimbingan teknis. Pajak homestay (penginapan) yang diberlakukan Pemkab
adm. Kepulauan Seribu juga belum berjalan sama sekali di Tidung sehingga pembangunan
penginapan kurang terkontrol.
Kedua, pengawasan Pemerintah kepada Pemerintah. hal ini dilakukan dalam bentuk
pelaporan setiap kegiatan kepariwisataan yang dilakukan oleh sebuah instansi dimana harus
dilaporkan kepada instansi di atasnya. Ketiga, pengawasan masyarakat kepada masyarakat.
Pada jenis pengawasan ini, terdapat Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) yang
berfungsi melakukan pengawasan terutama atas kegiatan kepariwisataan Tidung yang tidak
sesuai dengan kearifan lokal. Namun fungsi FKDM kurang berjalan dengan baik bahkan tidak
sedikit masyarakat lokal yang mengetahui FKDM. Para pelaku usaha pariwisata Tidung justru
lebih mengenal LPM sebagai lembaga swadaya yang cukup dekat dengan masyarakat.
Permasalahan diantara pelaku usaha biasanya dimusyawarahkan di forum yang diadakan oleh
LPM seperti masalah perbedaan harga diantara agen travel.
E. Eksistensi Prosedur
Cheema meyebutkan komponen kapabilitas kelima adalah eksistensi prosedur, “The existence
of procedures and then actual extent of practice, given environmental uncertainties, for
operationally lingking planning and budgeting decisions.”(Cheema, 1981: 5). Dapat
dikatakan hal ini adalah pokok permasalahan dari keterbatasan pengelolaan dan
pengembangan kepariwisataan di Kepulauan Seribu khususnya di Tidung. Pasalnya
pelaksanaan program yang seharusnya secara aktual dilakukan masih belum terkordinir
dengan baik karena regional Jakarta belum memiliki masterplan pembangunan pariwisata
daerah (RIPPDA sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Kepariwisataan Nasional.
Pembangunan kepariwisataan meski di satu tempat seperti di Pulau Tidung, tetap merupakan
pembangunan lintas sektor dan konsekuensinya melibatkan berbagai pihak. keterlibatan
banyak pihak inilah yang seharusnya memiliki satu arah tertentu sehingga terwujud
pembangunan kepariwisatan yang terintegrasi.
Secara keseluruhan, pembangunan pariwisata di Kabupaten Kepulauan Seribu merupakan
extensive development sebagaimana klasifikasi pembangunan yang dikemukakan oleh
Douglas Foster (1985). Foster menyebutkan, if project is in undeveloped areas the major
Dimensi Kelembagaan..., Nur Sakti Pratama, FISIP UI, 2014
criteria are the net benefit that would accure tothe country and the damage, if any to the
ecology (Foster, 1985: 180). Oleh karena itu pada pengembangan pariwisata di Kepulauan
Seribu khususnya di Pulau Tidung, belum ada benefitnya kepada daerah kecuali kepada para
pengusaha pariwisata setempat. Sementara lingkungan justru memperoleh dampak negatif
atas benefit yang mereka peroleh.
F. Sumber Daya Manusia
Pemeran utama penyeleggaraan pariwisata di Pulau Tidung yang tergolong ke dalam wisata
nelayan adalah masyarakat. Kondisi ketika masyarakat memiliki partisipasi yang tinggi baik
dalam tahap perencanaan, pengawasan, dan pemanfaatan hasil, David Korten dan Peter
Oakley mengklasifikasikan fenomena tersebut sebagai community based resource
management atau juga disebut community based tourism. Sehingga kompetensi jasa wisata
masyarakat adalah pihak yang seharusnya memperoleh perhatian yang besar. Shabir Cheema
juga menyebutkan enam indikator mobilisasi, alokasi, dan pemanfaatan sumber daya manusia
yaitu: adanya standar kompetensi, peningkatan kompetensi, ekrutmen profesional dari luar,
ukungan finansial bagi SDM, menghadirkan komitmen, mobilisasi komunitas, dan adanya
landasan utama manajemen SDM.
Kompetensi standar usaha pariwisata pada dasarnya telah termuat dalam Peraturan
Pemerintah RI Nomor 52 Tahun 2012 tentang Sertifikasi Kompetensi dan Sertifikasi di
Bidang Usaha Pariwisata. Namun seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tidak ada satupun
pelaku usaha pariwisata Tidung yang telah memiliki sertifikasi. Dalam rangka menjaga
kualitas jasa wisata Pemerintah memberikan bimbingan teknis kepariwisataan yang di
dalamnya memuat standar kompetensi usaha pariwisata. Meskipun demikian, prakteknya
dilapangan, kompetensi dalam penyediaan jasa wisata masih sangat minim, misalnya untuk
menentukan tourguide, kriterianya hanya mampu berenang dan harus penduduk lokal. Salah
satu informan menyebutkan bahwa travel yang dimilikinya seringkali menggunakan siswa
SMP dan SMA sebagai tourguide. Penggunaan tenaga profesional tidak dilakukan dalam
kegiatan wisata, namun lebih kepada penggunaan para ahli dalam rangka mengembangkan
pariwisata baru di Pulau Tidung Kecil melalui kegiatan kajian dan penelitian serta pembuatan
masterplan pariwisata Pulau Tidung Kecil. Dari sisi mempertahan finansial, masyarakat lokal
seringkali melakukan pinjaman kepada Bank sebagai tambahan modal, atau dengan berprofesi
sebagai nelayan pada weekdays. Sementara untuk menghadirkan komitment SDM, jsutru
cukup sulit karena motif ekonomi dari masyarakat dalam pengelolaan pariwisata. Berdasarkan
Dimensi Kelembagaan..., Nur Sakti Pratama, FISIP UI, 2014
tujuannya, sebagaimana yang dimaksud di dalam RTRW yang berlaku, pengembangan wisata
nelayan di Pulau Tidung ditujukan dalam rangka pembangunan perekonomian masyarakat
Kesimpulan
Destinasi wisata Pulau Tidung merupakan obyek wisata yang cukup merketable jika
dilihat dari antusias dan intensitas wisatawan yang berkunjung. Konsep wisata nelayan
menyebabkan pengelolaan kepariwisataan dipegang penuh oleh masyarakat. Namun
berdasarkan hasil penelitian, kapabilitas kelembagaan pariwisata Pulau Tidung dapat
disimpulkan sebagai berikut:
a. Ditinjau dari sisi mekanisme koordinasi, hubungan di antara instansi yang terlibat
dalam pembangunan kepariwisataan Pulau Tidung belum jelas. Hal ini disebabkan
belum terdapat dasar hukum yang jelas mengenai perencanaan kepariwisataan di
Provinsi DKI Jakarta, dibuktikan dari program kepariwisataan dan pendukung
pariwisata belum terintegrasi dan masih dijalankan sendiri-sendiri oleh lembaga yang
bersangkutan.
b. Dilihat dari sisi desentralisasi, undang-undang Kepariwisataan Jakarta menuliskan
beberapa poin kewajiban setiap level pemerintahan dalam pengelolaan dan
pembanguan pariwisata seperti kewenangan Pemerintah dalam pengelolaan,
pendataan, pemeliharaan, pemberian bimbingan kepada masyarakat dan penyusunan
anggaran. Faktanya, fungsi pengelolaan, pengembangan, pemeliharaan termasuk
penganggaran wisata nelayan di Pulau Tidung, dikembangkan secara mandiri oleh
masyarakat tanpa ada dukungan secara langsung dari pemerintah, meskipun terdapat
sejumlah program Pemerintah terkait pelatihan dan bimbingan teknis kepariwisataan
kepada masyarakat. Masyarakat memperoleh dukungan finansial dalam pengelolaan
pariwisata melalui pungutan tertentu yang difasilitasi Lembaga pemberdayaan
Masyarakat, terutama untuk menunjang pemeliharaan sarana wisata Pulau Tidung.
c. Ditinjau dari sisi partisipasi masyarakat, hampir 80 persen penduduk Pulau Tidung
turut serta dalam kegiatan jasa pariwisata karena sektor pariwisata dianggap memiliki
potensi ekonomi yang tinggi. Namun partisipasi tersebut bersifat semu karena
pengembangan yang dilakukan masyarakat adalah pengembangan usaha jasa wisata
Dimensi Kelembagaan..., Nur Sakti Pratama, FISIP UI, 2014
mereka masing-masing, bukan dalam konteks pengembangan obyek wisata Pulau
Tidung.
d. Ditinjau dari sisi kemampuan monitoring, fungsi pengawasan kepariwisataan masih
berjalan dalam tataran normatif seperti penyerahan laporan program kegiatan
Pemerintah. Sementara itu, pengawasan atas penyelenggaraan jasa wisata nelayan
belum memiliki platform yang jelas, meskipun pemerintah telah menetapkan beberapa
standar minimal pelayanan wisata. Akibatnya, kegiatan kepariwisataan berpotensi
menimbulkan hal-hal yang tidak dinginkan, mengingat pelayanan wisata
diselenggarakan seadanya.
e. Dilihat dari segi eksistensi prosedur, Pemprov DKI Jakarta belum memiliki RIPPDA
sehingga keberadaan prosedur tersebut hanya berupa program kegiatan kepariwisataan
masing-masing instansi. Padahal prosedur yang dimaksudkan adalah masterplan
pembangunan kepariwisataan regional (RIPPDA) sehingga hingga saat ini
pembangunan kepariwisataan di Tidung dan Jakarta secara umum, belum memiliki
arah.
f. Ditinjau dari sisi penglolaan sumber daya manusia, kompetensi dan komitmen SDM
sebagai personil dalam pembangunan kepariwisataan di Pulau Tidung juga belum
maksimal. Hal ini tercermin dari jasa wisata masyarakat yang kurang memperhatikan
standar pelayanan minimal dan tidak didasari sertifikasi kompetensi jasa pariwisata
.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti memberikan beberapa rekomendasi mengenai
Kepariwisataaa di Pulau Tidung agar terbentuk kelembagaan pembangunan yang memiliki
kapabilitas yang efektif mulai dari kejelasan koordinasi, wewenang setiap pihak yang terkait,
peranan masyarakat, pengaturan pengelolaan pariwisata masyarakat, pengawasan
pembangunan terutama standar kompetensi dan kelayakan jasa wisata serta pengelolaan SDM
kepariwisataan. Berikut ini adalah beberapa rekomendasi yang peneliti berikan terkait
kapabilitas kelembagaan pariwisata Pulau Tidung:
1. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta segera mengesahkan kebijakan menganai
perencanaan pembangunan pariwisata regional sehingga arah program kerja satuan
perangkat daerah yang berhubungan dengan kepariwisataan terbentuk dan terwujud
Dimensi Kelembagaan..., Nur Sakti Pratama, FISIP UI, 2014
pembangunan kepariwisataan yang terintegrasi dan menciptakan koordinasi
pembangunan yang jelas serta tidak berjalan sendiri-sendiri.
2. Pada tingkat Kelurahan Pulau Tidung, di bentuk organisasi kemasyarakatan yang
berfungsi sebagai wadah bagi para pelaku usaha di bidang pariwisata seperti travel,
penyewaan alat, catering dan tourguide.
3. Segera dilakukan pendataan dan pencatatan atas penyedia jasa wisata seperti
pendataan pemilik agen perjalanan (travel), pemilik wahana air (banana boat), dan
pemilik penyewaan sepeda dan alat-alat snorekling. Di data pula domisili mereka
mengingat sangat banyak penduduk non-pulau yang juga turut membuka usaha
pariwisata Tidung.
4. Selain adanya bimbingan teknis dan pelatihan, sebaiknya kompetensi jasa wisata
masyarakat lokal Pulau Tidung juga diberikan sertifikasi dalam rangka menjaga
kualitas dan keamanan wisatawan meskipun usaha pariwisata masyarakat tersebut
tidak berbadan hukum.
5. Pemerintah Kabupaten secara tegas menjalankan kebijakan pajak homestay dan izin
mendirikan bangunan sehingga pembangunan tidak mengancam keberlangsungan
lingkungan dan intensitas pembangunan homestay yang tinggi juga berdampak pada
input daerah.
6. Pemerintah Kabupaten sebaiknya menetapkan standar harga tertentu bagi jasa
pariwisata nelayan karena perbedaan harga diantara penyedia jasa wisata berpotensi
menimbulkan konflik diantara masyarakat.
7. Selain melakukan pembangunan fisik sarana penunjang pariwisata, Pemerintah
membuat pula program kepariwisataan yang melibatkan masyarakat, bukan sebagai
peserta melainkan masyarakat sebagai pemeran di dalam program tersebut. Hal ini
penting dilakukan untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat secara nyata di dalam
pembangunan kepariwisataan di Pulau Tidung.
8. Adanya kejelasan koordinasi dan tugas serta kegiatan dari Forum Kewaspadaan Dini
Masyarakat baik di tingkat Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten, maupun Provinsi.
9. Pemerintah segera menindaklanjuti pungutan atau “retribusi” kapal ferry melalui
pemberian legalitas maupun larangan dan menentukan untuk apa dan siapa yang
mengelola dana kemasyarakatan tersebut. Hal ini dikarenakan ada kecemburuan sosial
dari banyak lembaga masyarakat termasuk Kelurahan kepada LPM selaku pengelola
pungutan tersebut.
Dimensi Kelembagaan..., Nur Sakti Pratama, FISIP UI, 2014
10. Pemerintah memeberikan kebijakan yang berbeda terhadap penambangan pasir dan
karang laut yang diperuntukan bagi pembangunan kegiatan komersial, karena tingkat
eksplorasi material tersebut sudah mulai berdampak pada kerusakan ekosistem laut.
Daftar Referensi
Adriani, Y. 2000. Pariwisata Kepulauan Seribu: Potensi Pengembangan dan Permasalahannya. http://www.terangi.or.id/index.php?option=com_content&view= article&id=113%3Apengembangan-ekowisata-bahari-berbasis-masyarakat-di-kelurahan-pulau-panggang-kepulauan-seribu-2004-2009&catid=58%3Aekowisata&Itemid=54&lang=id diakses pada 5 Mei 2014 pukul 1.48
Andam, Dewi. 2012. Pulau Tidung Bermasalah? Ini Solusinya. http://www.republika.co.id/ berita/rol-to-campus/umj/12/12/28/mfqrj9-pulau-tidung-bermasalah-ini-solusinya diakses pada 29 Januari 2014 pukul 1:48
Cheema, G. Shaabir. 1981. Institutional Dimensions of Regional Development. Tokyo: Maruzen Asia
Foster, Douglas. 1985. Travel and Tourism Management. London: Macmillan Press Ltd
Hall, Colin Michael. 2000. Tourism Planning Policies, Processes and Relationships. Singapore: Pearson Education Asia.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. 2014. Kecamatan Kepulauan Seribu selatan dalam Angka 2013.
KO.R.K.T. 2001. Obyek Wisata Alam, Pedoman Indentifikasi, Pengembangan Pengelolaan, Pengembangan, Pemeliharaan dan Pemasaran. Cisarua: Yayasan Boena Vista
Pangestu, Mari Elka. 2011. Pengembangan Pariwisata Nasional. Konferensi Pariwisata Nasional Desember 2011
Yoeti, Oka.A. 2008. Ekonomi Pariwisata: Introduksi, Informasi, dan Implementasi. Jakarta: Kompas
Zulkifli. 1999. “Pengembangan investasi modal sosial dalam pembangunan”. Jurnal antropologi indonesia. FISIP UI bekerja sama dengan Yayasan Obor Indonesia. Th. XXIII, No. 59 Mei-Agustus
Republik Indonesia, Undang –Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Nasional (RIPPARNAS) 2010-2025, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 125
Dimensi Kelembagaan..., Nur Sakti Pratama, FISIP UI, 2014
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Organisasi Perangkat Daerah
Peraturan Daeah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030
Peraturan Gubernur DKI Jakarta nomor 44 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyelenggaraan Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat.
Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 133 Tahun 2012 tentang Pendaftaran Usaha Pariwisata
Peraturan Gubernur Nomor 80 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Pemungutan Retribusi Daerah Pelayanan Kepariwisataan
Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 41 tahun 2007 tentang Sertifikasi Profesi Kepariwisataan
Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 118 tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Penyelenggaraan Industri Pariwisata di Provinsi DKI Jakarta
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 10 tahun 2004 kepariwisataan
Dimensi Kelembagaan..., Nur Sakti Pratama, FISIP UI, 2014
Top Related