BAB ISEPUTAR FILOLOGI
A. Pengertian Filologi
1. Etimologi Kata Filologi
Filologi secara etimologis berasal dari bahasa Yunani philologia. Philologia
berasal dari dua kata, yaitu philos yang berarti ‘teman’ dan logos yang berarti
‘pembicaraan atau ilmu’. Berdasarkan etimologinya, dua kata tersebut kemudian
membentuk arti ‘senang berbicara’ atau ‘senang ilmu’. Arti ini kemudian
berkembang menjadi senang belajar, senang kepada ilmu, dan senang kepada hasil-
hasil karya-karya tulis yang bermutu tinggi, seperti karya sastra.
2. Istilah Filologi
Filologi sebagai istilah, pertama kali diperkenalkan oleh Erastothenes, dan
kemudian dipergunakan oleh sekelompok ahli dari Iskandariyah sejak abad ke-3
S.M. Sekelompok ahli ini bekerja dengan tujuan untuk menemukan bentuk asli teks-
teks lama Yunani, dengan jalan menyisihkan kesalahan-kesalahan yang terdapat di
dalamnya. Sebagai istilah, filologi mempunyai definisi yang sangat luas, dan selalu
berkembang.
a. Filologi sebagai Imu Pengetahuan
Filologi pernah disebut sebagai L’etalage de savoir ‘pameran ilmu
pengetahuan’. Hal ini dikarenakan filologi membedah teks-teks klasik yang
mempunyai isi dan jangkauan yang sangat luas. Gambaran kehidupan masa lampau,
berserta segala aspeknya, dapat diketahui melalui kajian filologi. Termasuk di
dalamnya, berbagai macam ilmu pengetahuan dari berbagi macam bidang ilmu.
1
b. Filologi sebagai Ilmu Sastra
Filologi juga pernah dikenal sebagai ilmu sastra. Hal ini dikarenakan adanya
kajian filologi terhadap karya-karya sastra masa lampau, terutama yang bernilai
tinggi. Kajian filologi semakin merambah dan meluas menjadi kajian sastra karena
mampu mengungkap karya-karya sastra yang bernilai tinggi.
c. Filologi sebagai Ilmu Bahasa
Teks-teks masa lampau yang dikaji dalam filologi, menggunakan bahasa yang
berlaku pada masa teks tersebut ditulis. Oleh karena itu, peranan ilmu bahasa,
khususnya linguistik diakronis sangat diperlukan dalam studi filologi.
d. Filologi sebagai Studi Teks
Filologi sebagai istilah, juga dipakai secara khusus di Belanda dan beberapa
negara di Eropa daratan. Filologi dalam pengertian ini dipandang sebagai studi
tentang seluk-beluk teks, di antaranya dengan jalan melakukan kritik teks.
Filologi dalam perkembangannya yang mutakhir, dalam arti sempit berarti
mempelajari teks-teks lama yang sampai pada kita di dalam bentuk salinan-salinanya
dengan tujuan menemukan bentuk asli teks untuk mengetahui maksud penyusunan
teks tersebut. Filologi dalam arti luas berarti mempelajari kebudayaan, pranata, dan
sejarah suatu bangsa sebagaimana yang terdapat dalam bahan-bahan tertulis.
Mario Pei dalam bukunya yang berjudul Glossary of Linguistic Terminology
(1966) memberikan batasan bahwa filologi merupakan ilmu dan studi bahasa yang
ilmiah seperti yang disandang oleh linguistik pada masa sekarang, dan apabila
studinya dikhususkan pada teks-teks tua, filologi memperoleh pengertian semacam
linguistik historis (Baried, 1985: 3).
2
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993: 277) istilah filologi diartikan
sebagai ilmu tentang bahasa, kebudayaan, pranata, dan sejarah suatu bangsa
sebagaimana terdapat di bahan-bahan tertulis. Berbicara mengenai filologi, Soebadio
(1991: 3) menyatakan bahwa filologi adalah teknik telaah yang menyangkut
masalah-masalah dalam naskah lama. Filologi juga dapat diartikan sebagai telaah
sastra (kesusastraan) dan ilmu (disiplin) yang berkaitan dengan sastra atau bahasa
yang dipakai dalam karya sastra. Tetapi dalam perkembangannya telaah dengan
teknis filologi kemudian mendapat arti jangkauan yang lebih luas, yaitu dihubungkan
dengan masalah-masalah kebahasaan secara umum, termasuk bidang-bidang yang
kini digolongkan bidang linguistik, seperti tata bahasa, semantik, perubahan sandi,
dan lain-lain. Dewasa ini pengertian filologi telah menjadi lebih luas dan terarah,
yaitu meliputi telaah mengenai bahasa yang digunakan manusia (human speech),
terutama bahasa sebagai wahana sastra dan sebagai bidang studi yang dapat memberi
kejelasan mengenai sejarah kebudayaan (Soebadio, 1991: 3).
Sedangkan Morgan L. Walters dalam Mulyani (1996: 109) menyatakan
bahwa filologi adalah:
The study of the origin, relationship, development, etc. of language. ‘penyelidikan tentang keaslian, hubungan, perkembangan, dan sebagainya dari bahasa’.
Webster’s New International Dictionary menyatakan bahwa filologi adalah ilmu
bahasa dan studi tentang kebudayaan-kebudayaan bangsa-bangsa yang beradab
seperti diungkapkan terutama dalam bahasa, sastra, dan agama mereka (Sutrisno,
1981: 8).
3
Groot Woordenboek der Nederlandse Taal dinyatakankan bahwa filologi
adalah ilmu mengenai bahasa dan sastra suatu bangsa, mula-mula berhubungan
dengan bahasa dan sastra bangsa Yunani dan Romawi, tetapi kemudian meluas
kepada bahasa dan sastra bangsa lain seperti bangsa Perancis, Spanyol, Portugis,
Jerman, Belanda, Inggris, dan Slavia (Sutrisno, 1981: 8).
Filologi juga diberi artian sebagai satu disiplin yang berhubungan dengan
studi terhadap hasil budaya manusia pada masa lampau (Soeratno, 1990:1).
Sedangkan Djamaris (1977: 20) menyatakan bahwa filologi adalah suatu ilmu yang
objek penelitiannya adalah manuskrip-manuskrip kuna. Berbeda halnya dengan
Bachtiar (1973: 1), yang memberikan batasan bahwa filologi adalah pengetahuan
mengenai naskah-naskah sastra. Di Indonesia, yang dalam sejarahnya banyak
dipengaruhi oleh bangsa Belanda, arti filologi mengikuti penyebutan yang ada di
negara Belanda, yaitu suatu disiplin yang mendasarkan kerjanya pada bahan tertulis
dan bertujuan mengungkapkan makna teks tersebut dalam segi kebudayaan.
Filologi di Indonesia diterapkan pada teks-teks yang menggunakan bahasa Indonesia
dan bahasa-bahasa daerah, seperti bahasa Melayu, Aceh, Batak, Minangkabau,
Sunda, Jawa, Bali, Bugis, dan lain-lain. naskah yang mendukung teks dalam bahasa-
bahasa tersebut terdapat pada kertas atau lontar.
Filologi dalam Kamus Istilah Filologi (1977: 27), didefinisikan sebagai “ilmu
yang menyelidiki perkembangan kerohanian suatu bangsa dan kekhususannya, atau
yang menyelidiki kebudayaan berdasarkan bahasa dan kesusastraannya”. Djamaris
(1977: 20) memberikan pengertian yang lebih spesifik mengenai filologi. Filologi
diartikan sebagai suatu ilmu yang objek penelitiannya adalah manuskrip-manuskrip
4
kuna. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian filologi
secara luas, adalah ilmu yang mempelajari perkembangan kebudayaan suatu bangsa
yang meliputi bahasa, sastra, seni, dan lain-lain. Perkembangan tersebut dipelajari
melalui hasil budaya manusia pada masa lampau berupa manuskrip-manuskrip kuna
yang kemudian diteliti, ditelaah, difahami, dan ditafsirkan. Pengertian-pengertian
filologi di atas, menggambarkan keluasan jangkauan analisis filologi.
B. Objek Penelitian Filologi
Sasaran kerja penelitian filologi adalah naskah, sedangkan objek kerjanya
adalah teks (Baried, 1994: 6). Oleh karena itu, perlu dibicarakan hal-hal mengenai
seluk-beluk naskah dan teks.
1. Pengertian naskah
Naskah merupakan objek kajian filologi berbentuk riil, yang merupakan
media penyimpanan teks. Baried (1994: 55), berpendapat bahwa naskah adalah
tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai
hasil budaya bangsa masa lampau. Darusuprapta (dalam Surono 1983: 1),
memberikan definisi, bahwa naskah sering disamakan dengan teks yang berasal dari
bahasa Latin textua yang berarti ‘tulisan yang mengandung isi tertentu’. Naskah juga
dapat diberi pengertian sebagai semua peninggalan tertulis nenek moyang kita pada
kertas, lontar, kulit kayu, dan rotan (Djamaris, 1977: 20). Naskah atau manuskrip,
ditulis dengan bahan-bahan yang beragam. Baried (1985: 6), berpendapat bahwa
bahan-bahan yang digunakan untuk menulis naskah antara lain:
(1) karas yaitu papan atau batu tulis dengan alat yang dipakai untuk menulisi tanah; (2) dluwang, atau kertas Jawa dari kulit kayu; (3) bambu yang dipakai untuk naskah Batak; (4) kertas Eropa yang biasanya ada watermark atau cap air.
5
Ismaun (1996: 4) menyatakan bahwa:
Naskah daerah seperti naskah Sunda dibuat dari daun lontar, janur, daun enau, daun pandan, nipah, daluwang, dan kertas. Naskah Jawa pada umumnya menggunakan lontar menggunakan bahan lontar (ron tal ‘daun tal’ atau ‘daun siwalan’), dluwang, yaitu kertas Jawa dari kulit kayu, dan kertas. Sementara itu masih ada penggolongan jenis dluwang dan kertas yang lebih rinci, seperti kertas gendong, kertas tela, kertas kop, dan kertas bergaris. Bahan naskah (manuskrip) nampaknya tidak terbatas pada bahan-bahan tersebut di atas, bahkan bahan naskah di wilayah nusantara lebih beragam daripada di Jawa, seperti perkamen, kertas, bambu, lontar, kulit kayu, dan lain-lain.
Keterangan di atas dapat memberikan gambaran bahwa bahan naskah
digolongkan dalam tiga golongan, antara lain: bahan mentah dari bambu, kulit kayu,
rontal dan daun palem lainnya. Bahan setengah matang dengan proses sederhana,
antara lain perkamen, dluwang, dan bahan matang dengan proses sempurna seperti
kertas Eropa. Kertas Eropa ini, pada abad XVIII dan XIX mulai menggantikan
dluwang karena kualitasnya lebih baik untuk naskah di Indonesia. Alat yang
digunakan untuk menulis naskah, disesuaikan dengan bahan yang akan ditulisi.
Bahan naskah mentah biasanya menggunakan pisau seperti pengot di Jawa Barat dan
pengutik di Bali.
Naskah lama yang ditulis atau disalin dengan tangan, dapat memberikan
berbagai macam informasi mengenai naskah itu sendiri maupun penulis dan penyalin
naskah yang bersangkutan. Informasi tersebut dapat dilihat dengan membandingkan:
(1) keadaan tulisan. Tulisan yang jelas, rapi, indah, dan tidak mengandung banyak
kesalahan menunjukkan hasil tulisan penulis atau penyalin yang berpengalaman,
seperti penulis ahli pada istana raja; (2) keadaan bahan naskah yang dapat digunakan
sebagai gambaran awal mengenai umur naskah (Soebadio, 1991: 4).
6
2. Penggolongan Naskah
Keanekaragaman naskah tidak hanya terdapat pada unsur fisik naskah seperti
keanekaragaman bahan yang digunakan untuk menulis naskah, jenis tinta yang
digunakan, keadaan tulisan naskah, dan lain-lain. Keanekaragaman juga terlihat
dalam jenis-jenis naskah yang ditulis. Sebagai contoh, misalnya penggolongan
naskah-naskah Jawa. Naskah Jawa sudah dikelompokkan dalam beberapa jenis.
Penjenisan naskah adalah pengelompokan naskah berdasarkan ragam-ragam tertentu
yang menjadi ciri kahas, sehingga berbeda dengan yang lain. Namun harus
dimaklumi, kadang-kadang tidak mudah untuk menentukan sebuah naskah termasuk
jenis mana, karena berbgai ragam yang dikandungnya.
Berikut ini adalah contoh-contoh penjenisan naskah Jawa berdasarkan
beberapa katalog dan pendapat para ahli:
Daftar yang disusun oleh Pigeaud (dalam Soebadio 1991: 10) membagi
naskah menjadi beberapa macam, antara lain:
(1) naskah keagamaan yang meliputi berbagai jaman dan jenis atau aliran agama dan kepercayaan; (2) naskah kebahasaan yang menyangkut ajaran bahasa-bahasa daerah. Ada juga naskah yang memberi pengajaran bahasa yang terselubung dengan memanfaatkan ajaran tata bahasa lewat cerita-cerita rakyat; (3) naskah filsafat dan folklore; (4) naskah mistik rahasia, dalam hal ini perlu diperhatikan secara khusus berbagai jenis naskah yang mengandung ajaran filsafat dan mistik yang tidak dimaksudkan untuk umum, melainkan hanya diajarkan kepada yang sudah termasuk kelompok “dalam” atau yang sudah dikenakan “inisiasi”; (5) naskah mengenai ajaran dan pendidikan moral; (6) naskah mengenai peraturan dan pengalaman hukum; (7) naskah mengenai keturunan dan warga raja-raja; (8) bangunan dan arsitektur; (9) obat-obatan. Naskah tersebut umumnya mengandung petunjuk mengenai ramuan obat-obatan tradisional yang berdasarkan tumbuh-tumbuhan (jamu); terdapat juga naskah yang memberi petunjuk mengenai cara pengobatan lewat jalan mistik, meditasi, yoga, dan sebagainya; (10) perbintangan; (11) naskah mengenai ramalan; (12) naskah kesastraan, kisah epik (kakawin) dan lain sebagainya; (13) naskah bersifat sejarah (babad), dan sebagainya; (14) jenis-jenis lain yang tidak tercakup dalam kategori-kategori di atas.
7
Girardet dan Soetanto (1983), mengelompokkan naskah mula-mula dengan
menggolongkan berdasarkan tempat penyimpanannya. Misalnya di perpustakaan
Kraton Surakarta, Pura Mangkunegaran, Museum Radya Pustaka, Kraton
Yogyakarta, Pura Pakualaman, Sanabudaya, dan lain-lain. Kemudian dikelompokkan
menurut jenis naskah, antara lain: (1) Chronicles, Legends, and Myths; (2) Religion,
Philosophy and Ethics; (3) Court Affairs, Laws, Treaties and Regulations; (4) Text
Books and Guides, Dictionaries, and Encyclopaedias.
Behrend (1990: v-vii), mengelompokkan naskah berdasarkan jenis sastranya,
antara lain:
(1) sejarah; (2) silsilah; (3) hukum; (4) bab wayang; (5) sastra wayang; (6) sastra; (7) piwulang; (8) Islam; (9) primbon; (10) bahasa; (11) musik; (12) tari-tarian; (13) adat-istidadat; (14) lain-lain: teks-teks lain yang tidak dimuat di bawah kategori-kategori lainnya.
Penjenisan Naskah Jawa Berdasarkan Katalogus Naskah Verde antara lain:
(1) Puisi Epis; (2) Mitologi dan Sejarah Legendaris; (3) Babad dan Kronik; (4) Cerita, Sejarah, dan Roman; (5) Karya-karya Dramatis, Wayang, Lakon; (6) Karya-karya Kesusilaan dan Keagamaan; (7) Karya-karya Hukum, Kitab-kitab Undang-undang; (8) Ilmu dan Pelajaran: Tata Bahasa, Perkamusan, Pawukun (Astronomi), Sangkalan (Kronologi), Katuranggan; (9) Serba-serbi
Penjenisan Naskah Jawa Berdasarkan Katalogus Naskah Juynboll:
(1) Prasasti-prasasti dan Turunan-turunannya; (2) Syair Jawa Kuna (Kakawin); (3) Syair Jawa Pertengahan dan Metrum Tengahan; (4) Syair Jawa Pertengahan dengan Metrum Macapat; (5) Syair Jawa Baru dengan Metrum Macapat; (6) Prosa: Jawa Kuna; Jawa Pertengahan; Jawa Baru.
Penjenisan Naskah Jawa Berdasarkan Katalogus Brandes:
Katalogus Brandes terbit dalam empat jilid (Brandes 1901, 1903, 1904, 1916). Penyajiannya tidak digolong-golongkan tetapi dengan disusun berurutan mengikuti abjad naskah. Jelasnya sebagai berikut: (1) Jilid I (1901) : Adigama sampai dengan Ender; (2) Jilid II (1903) : Gatotkacacarana
8
dampai dengan Putrupasaji; (3) Jilid III (1904) : Rabut Sakti sampai dengan Yusup; (4) Jilid IV (1916) : Naskah-naskah tak berjudul.
Penjenisan Naskah Jawa Berdasarkan Katalogus/ Daftar Naskah Poerbatjaraka:
Penjenisan naskah Jawa dalam katalogus ini tidak dikelompok-kelompokkan,
hanya disusun berdasarkan urutan abjad naskah. Namun secara terpsisah sebenarnya
Poerbatjarakan membuat uraian khusus berdasarkan naskah-naskah Jawa yang
dikelompokkan penjenisannya sebagai berikut: (1) Naskah-naskah Panji; (2) Naskah-
naskah Menak; (3) Naskah-naskah Rengganis- Ambiya-Sastra Pesantren – Suluk dan
Primbon; (4) Kakawin; (5) Parwa; (6) Babad; (7) Kitab Undang-undang. Khusus
untuk penggolongan nomor 4 sampai dengan 7 hanya merupakan rencana
penggolongan naskah Jawa, tetapi samapai sekarang ini belum dapat terwujud.
Katalogus Ricklefs–VoorhoevRicklefs dan Voorhoev menggolongkan
naskah-naskah Jawa berdasarkan atas bahasa yang digunakan seara kronologis atau
dialektologis, sehingga terdapat penjenisan naskah Jawa sebagai berikut (1) Naskah-
naskah Jawa Baru; (2) Naskah-naskah Jawa Pertengahan; (3) Naskah-naskah Jawa
Kuna.
Naskah Jawa sendiri, jika digolongkan berdasarkan kandungan isinya,
menurut Pigeaud dalam Soebadio (1991: 10), antara lain adalah:
a. Naskah Keagamaan yang meliputi berbagai jaman dan jenis atau aliran agama
dan kepercayaan.
b. Naskah Kebahasaan yang menyangkut ajaran-ajaran bahasa-bahasa daerah.
c. Naskah Filsafat dsan Folklore
d. Naskah Mistik Rahasia
e. Naskah mengenai ajaran dan pendidikan moral
9
f. Naskah mengenai peraturan dan pengalaman hukum
g. Naskah mengenai keturunan dan warga raja-raja
h. Naskah mengenai bagunan dan arsitektur
i. Naskah mengenai obat-obatan. Naskah tersebut umumnya mengandung petunjuk
mengenai ramuan obat-obatan tradisional yang berdsarkan tumbuh-tumbuhan
(jamu); terdapat juga naskah yang memberi petunjuk mengenai cara pengobatan
lewat jalan mistik, meditasi, yoga, dan lain-lain.
j. Naskah mengenai arti perbintangan. Naskah-naskah yang bersangkutan lebih
cenderung pada astrologi daripada astronomi.
k. Naskah mengenai ramalan, penjelasan impian, dan tanda-tanda yang terdapat
pada tubuh manusia, hewan, dan lain-lain.
l. Naskah kesastraan, kisah epik (kakawin), dan sebagainya. Naskah-naskah ini
memberi informasi pula mengenai keadaan negara dan alam pada jaman naskah
disusun.
m. Naskah bersifat Babad (sejarah), dan lain-lain.
n. Jenis-jenis lain yang tidak tercakup dalam kategori-kategori di atas.
3. Pengertian teks
Onions (dalam Darusuprapta 1984: 1), mendefinisikan teks sebagai rangkaian
kata-kata yang merupakan bacaan dengan isi tertentu. Soeratno (1990: 4),
menyebutkan bahwa teks merupakan informasi yang terkandung dalam naskah, yang
sering juga disebut muatan naskah. Ilmu yang mempelajari tentang seluk-beluk teks
disebut tekstologi, yang antara lain meneliti penjelmaan dan penurunan teks sebuah
karya sastra, penafsiran, dan pemahamannya. Secara garis besar dapat disebutkan
10
adanya tiga macam teks dalam penjelmaan dan penurunannya, yaitu: (1) teks lisan
(tidak tertulis); (2) teks naskah (tulisan tangan); (3) teks cetakan (Baried, 1994: 58).
Pengertian naskah dan teks di atas dapat memberikan kesimpulan mengenai
perbedaan naskah dan teks. Naskah merupakan sesuatu yang konkret, sedangkan teks
menunjukkan pengertian sebagai sesuatu yang abstrak. Teks merupakan kandungan
atau muatan naskah, sedang naskah sendiri merupakan alat penyimpanannya.
C. Tujuan Filologi
Tujuan studi filologi dibagi menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan
khusus. Tujuan umum filologi yaitu: (1) memahami sejauh mungkin kebudayaan
suatu bangsa melalui hasil sastranya, baik lisan maupun tertulis; (2) memahami
makna dan fungsi teks bagi masyarakat penciptanya; (3) mengungkapkan nilai-nilai
budaya lama sebagai alternatif pengembangan kebudayaan. Sedangkan tujuan
khususya adalah: (1) menyunting sebuah naskah yang dipandang paling dekat dengan
teks aslinya; (2) mengungkap sejarah terjadinya teks dan sejarah perkembangannya;
(3) mengungkap resepsi pembaca setiap kurun penerimaannya.
Secara khusus, studi filologi sebagai suatu disiplin ilmu, mempunyai tujuan
kerja tertentu. Tujuan kerja filologi tersebut pada dasarnya bertitik tolak dari adanya
berbagai bentuk variasi teks (Soeratno, 1990: 3). Cara pandang mengenai bentuk-
bentuk variasi tersebut kemudian melahirkan dua konsep penelitian filologi, yaitu
konsep filologi tradisional dan konsep filologi modern. Masing-masing konsep ini
memiliki dua tujuan yang berbeda. Konsep filologi tradisional, memandang variasi
secara negatif (sebagai bentuk korup). Oleh karena itu, penelitian filologi dengan
11
konsep ini bertujuan untuk menemukan bentuk asli atau bentuk mula teks, maupun
yang paling dekat dengan bentuk mula teks (Baried, 1994: 6-7).
Arti filologi di Indonesia mengikuti arti yang tradisional yaitu filologi yang
menitikberatkan penelitiannya kepada bacaan yang rusak. Namun dalam
perkembangannya mengarah pada pengertian filologi modern, yaitu studi filologi
yang memandang bahwa perbedaan-perbedaan yang ada dalam berbagai naskah
tersebut sebagai justru sebagai alternatif yang positif. Varian-varian tersebut
dipandang sebagai pengungkapan kegiatan yang kreatif untuk memahami teks,
menafsirkannya, membetulkan jika dipandang tidak tepat, mengaitkan dengan ilmu
bahasa, sastra, budaya, keagamaan, tata politik yang ada pada zamannya. Dalam
pandangan ini naskah dipandang sebagai dokumen budaya, sebagai refleksi dari
zamannya.
D. Tempat Penyimpanan Naskah Nusantara
Naskah yang memiliki keanekaragaman jenis tersebut berjumlah sangat
banyak. Sebagian naskah tersimpan di bagian pernaskahan Perpustakaan Nasional
Jakarta, gedung Kirtya Singaraja, Perpustkaan Sanapustaka Kraton Surakarta,
Perpustakaan Reksapustaka Pura Mangkunegaran Surakarta, dan Perpustakaan
Museum Radya Pustaka Surakarta, Perpustakaan Fakultas Sastra UI, UNS, dan
beberapa pemerintah daerah misalnya Banyuwangi, dan Sumenep, perpustakaan
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Balai Penelitian Bahasa, Jarahnitra, Rumah
budaya Tembi Yogyakarta, Tepas Kapujanggan Widyabudaya Kasultanan
Yogyakarta, Perpustakaan Pura Pakualaman, Museum Sanabudaya, Dewantara Kŗti
Griya, perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UGM, dan lain-lain. “Selain dimiliki oleh
12
beberapa lembaga milik pemerintah maupun swasta, sebagian naskah lainnya masih
tersimpan dalam koleksi pribadi yang tersebar luas di segala lapisan masyarakat”
(Darusuprapta, 1991: 2-3).
Kecuali di Indonesia, naskah-naskah teks Nusantara juga tersimpan di
museum-museum luar negeri. Misalnya di Malaysia, Singapura, Brunai, Srilanka,
Thailand, Mesir, Inggris, Jerman, Rusia, Austria, Hongaria, Swedia, Afrika, Belanda,
Irlandia, Amerika Serikat, Swiss, Denmark, Norwegia, Polandia, Chekoslowakia,
Spanyol, Italia, Perancis, Belgia, dan lain-lain.
13
BAB IIKEDUDUKAN FILOLOGI DI ANTARA ILMU-ILMU LAIN
Filologi dan ilmu-ilmu lain mempunyai hubungan yang sangat erat, hubungan
tersebut berlangsung secara timbal balik dan saling membutuhkan. Untuk
kepentingan tertentu, filologi memandang ilmu-ilmu yang lain sebagai ilmu
bantunya, dan sebaliknya ilmu-ilmu yang lain, juga untuk kepentingan tertentu
memandang filologi sebagai ilmu bantunya. Berikutnya akan dikemukakan relevansi
ilmu-ilmu yang dipandang sebagai ilmu bantu filologi dan yang memandang filologi
sebagai ilmu bantu. Untuk memperjelas relevansi naskah, akan disajikan contoh-
contoh relevansi dua buah teks yang sudah dikaji secara filologi dengan disiplin
ilmu-ilmu yang lain.
Kutipan Teks 1:
1. babaring antiga; 2. lêpasing astra; 3. tumamaning punglu; 4. laraping tamsir; 5. rêmbêsing banyu.Sapangkat manèh diarani Panca Prabawa. Iku dadi pratandhanira, uga
tumangkar limang prakara:1. landhêp; 2. angkêr; 3. sumunu; 4. sumulap; 5. mamarab.
“Hé, Yoganingsun, mara surasanên têpunging karsanira!”, aturing Batharéndra.
“Dhuh Pukulun panutan kawula, ingkang anitahaken ing amba. Mênggah pralampita Tri Panca punika saèstu dèrèng anggayuh kayêktosanipun. Sarèhning kawontênan kawula, saking kawontênan Paduka. Mugi anarbuka, ababar wisanipun. Dadosa tondha gêngnging sih kanugrahan.”Pangandikanipun Sang Hyang Guru:
“Hé Yoganingsun, mungguh cipta sasmita mau, ingsun wus ambabaraké sayêkti, ingsun gêlaraké. Supaya aja wang-wang wasananing jiwata. Dêdunungané sawiji-wiji kaya ngisor iki.”
Terjemahan Bebas:1. menetasnya telur; 2. lepasnya anak panah; 3. bersarangnya “punglu”
(peluru kecil); 4. ayunan pedang; 5. merembesnya air.Satu tingkat lagi dinamakan Panca Prabawa (lima kekuatan batin). Itu
menjadi tanda pengenalmu, yang juga berkembang menjadi lima hal: 1. tajam; 2. angker (keramat); 3. bercahaya; 4. menyilaukan; 5. mengembara.
14
“Hai, anakku, datang dan maknailah bersatunya keinginanku!”, perkataan Dewa Indra.
“Aduh, Tuanku panutan hamba, yang memerintah hamba. Tentang pralambang Tri Panca ini, sungguh belum mencapai kenyataan. Hal ini karena keadaan hamba, dan keadaan Paduka. Semoga terbuka, sirna segala hal yang menyebabkan kejahatan. Semoga menjadi tanda besarnya cinta kasih dan anugrah (Paduka).”Perkataan Sang Hyang Guru:
“Hai Anakku, tentang cipta sasmita (penciptaan pertanda) tadi, aku sudah menjelaskannya secara nyata. Semua (aku) beberkan supaya pada akhirnya (kamu) tidak ragu-ragu dalam hidup. (Semua itu) masing-masing termaktub seperti di bawah ini.”
Kutipan teks 2:
Wuryanta dêra manitra,dina Isnèn wayah jam sanga énjing, Madilawal ping sapuluh, nuju mangsa Kalima, ing prang bakat taun Dal sangkalanipun, atmaja Hyang Girinata, mulang mring punggawa mantri.Taun Jawi 1791. taun Belanda 1862 wulan Desember. ‘Dimulai oleh si penulis, pada hari Senin, pukul 09.00 pagi, bulan Jumadilawal kesepuluh, pada saat musim kelima, di Perang Bakat tahun Dal (tahun kelima dalam hitungan Windu) dalam perhitungan tahun, anak Hyang Girinata, memberi pelajaran kepada punggawa dan mentri. Tahun Jawa 1791. Tauhun Belanda 1862, Bulan Desember’.
A. Relevansi Ilmu Bantu Filologi:
1. Linguistik
Cabang linguistik yang dipandang dapat membantu filologi, diataranya:
etimologi, sosiolinguistik, dan stilistika. Etimologi yaitu ilmu yang mempelajari asal
usul dan sejarah kata. Cabang ini juga relevan dengan analisis teks karena dalam
analisis ini, setiap kata pada teks dirunut, dan dicari sumbernya.
Misalnya dari hasil perunutan kata teks 1, dapat diketahui bahwa kata-kata
yang dipakai dalam teks ini tidak hanya memakai kata dari bahasa Jawa Baru saja,
tetapi juga dari bahasa Persia, Sansekerta, dan bahasa Kawi. Mengingat kenyataan di
atas, dapat dipastikan bahwa cabang ilmu ini sangat membantu bidang ilmu filologi
karena setiap pengkajian bahasa teks pasti ada yang bersifat etimologis. Dengan
15
demikian diperlukan pengetahuan tentang kebahasaan. Terutama bahasa Kawi dan
Sansekerta. Dalam teks 1 banyak ditemukan unsur-unsur serapan dari kedua bahasa
tersebut. Misalnya kata: antiga, lepas, nira, sumunu, peparab, yoga, ingsun, surasa,
pukulun, ngamba, pralampita, Sang Hyang, sasmita, yekti, wang-wang, jiwata, dan
ingisor yang merupakan kata yang diserap dari bahasa Kawi. Sedangkan kata yang
diserap dari bahasa Sansekerta antara lain: astra, panca, prabawa, Bathara, Indra,
tri, paduka, nugraha, dan guru. Teks 2, berdsarkan hasil analisis etimologis
didominasi kata serapan dari bahasa Kawi. Selain itu, kajian etimologis juga berguna
untuk membantu proses penerjemahan naskah, agar memperoleh hasil terjemahan
yang tepat dan sesuai dengan konteks kalimatnya.
Sosiolinguistik, mempelajari hubungan dan saling pengaruh antara perilaku
bahasa dan perilaku masyarakat. Misalnya ada tidaknya undha usuk basa. Kajian ini
berguna untuk dapat membantu mengungkapkan keadaan sosiobudaya yang
terkandung dalam naskah. Dalam teks di atas, tampak adanya dominasi penggunaan
bahasa krama-ngoko. Mengingat teks di atas menggabarkan percakapan antara Dewa
Indra dan Dewa Syiwa (Guru). Dari undha-usuk bahasa yang digunakan, dapat
ditarik kesimpulan bahwa Dewa Syiwa mempunyai kedudukan yang lebih tinggi
daripada Dewa Indra. Hal ini dikarenakan dalam percakapan, Dewa Indra
menggunakan bahasa Jawa ragam krama untuk berbicara kepada Dewa Syiwa,
sedangkan Dewa Syiwa berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko.
Sedangkan teks 2 tampak didominasi penggunaan bahasa krama-ngoko.
16
Stilistika, ilmu ini juga sangat diperlukan mengingat cabang ilmu linguistik ini
mempelajari bahasa sastra. Cabang stilistika juga sangat diperlukan dalam
pengkajian teks di atas. Walaupun karya sastra di atas tidak berbentuk tembang,
melainkan prosa, tetapi tetap mengandung nilai-nilai keindahan yang bisa dikaji
dengan disiplin ilmu stilistika. Misalnya saja penggunaan basa rinengga, yaitu
bahasa yang hanya khusus digunakan dalam karya sastra. Contoh penggunaan basa
rinengga dalam teks 1 ini antara lain dalam kata babaring dan titah. Selain itu, ilmu
ini juga diperlukan untuk mengkaji gaya bahasa dan menentukan tahun ditulisnya
suatu teks, karena dari gaya bahasa yang digunakan oleh si pengarang, akan
menampakkan gambaran tahun/ jaman pada saat karya sastra itu ditulis.
Cabang stilistika juga sangat diperlukan dalam pengkajian teks 2 di atas.
Karena teks di atas merupakan salah satu bentuk karya sastra yang bergenre tembang
Macapat. Ilmu ini juga diperlukan untuk mengkaji ketepatan guru lagu dan guru
wilangan, serta mempelajari mengenai diksi (pilihan kata) dan gaya bahasa yang
digunakan dalam teks di atas. Teks di atas berbentuk tembang Macapat Pangkur,
dengan guru lagu dan guru wilangan: 8a, 11i, 8u, 71, 12u, 8i, 8a, dan guru gatra 7.
Selain itu, ilmu ini juga diperlukan untuk mengkaji gaya bahasa dan menentukan
tahun ditulisnya suatu teks, karena dari gaya bahasa yang digunakan oleh si
pengarang, akan menampakkan gambaran tahun/ jaman pada saat karya sastra itu
ditulis.
17
2. Pengetahuan Bahasa-bahasa yang Mempengaruhi Bahasa Teks
Bahasa Sansekerta diperlukan sebagai ilmu bantu filologi, karena dalam
naskah Jawa, pengaruh bahasa ini sangat besar. Dalam teks ini juga ditemukan kata
yang merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta seperti yang telah disebutkan di
atas. Bahasa Kawi juga diperlukan karena dalam teks 1 ini bahasa Kawi masih
banyak digunakan, terutama sebagai unsur keindahan dalam karya sastra. Bahasa
Sansekerta diperlukan sebagai ilmu bantu filologi, karena dalam naskah Jawa,
pengaruh bahasa ini sangat besar. Dalam teks ini juga ditemukan kata yang
merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta, yaitu: mantri.
Bahasa Arab juga diperlukan karena naskah Jawa juga banyak terpengaruh
oleh bahasa Arab, khususnya pada teks yang berisi ajaran agama Islam dan Tasawuf.
Dalam teks ini 2 juga ditemukan kata serapan dari bahasa Arab, yaitu: Isnén dan
Jumadilawal. Selain itu, diperlukan juga pengetahuan mengenai bahasa daerah,
mengingat kebanyakan teks ditulis dengan bahasa dan huruf daerah. Seperti pada
teks di atas ditulis dengan huruf dan bahasa daerah, yaitu Jawa. Sehingga diperlukan
pengetahuan yang cukup mengenai bahasa yang bersangkutan, agar memperoleh
penafsiran yang tepat dalam mengetahui isi teks.
3. Paleografi
Ilmu paleografi merupakan ilmu macam-macam tulisan kuna. Ilmu ini sangat
menunjang disiplin ilmu filologi, karena dapat digunakan untuk memberi gambaran
mengenai tahun penulisan, daerah asal penulisan teks, apakah teks ditulis sekali jadi
atau pada waktu yang berlainan dengan melihat pada corak dan gaya tulisan yang
digunakan. Sehingga ilmu ini sangat membantu dalam proses penafsiran isi suatu
18
naskah. Demikian halnya dengan teks yang dianalisis kali ini. Dengan paleografi
dapat dilihat jenis kertas dan tinta yang digunakan.
4. Ilmu Sastra
Ilmu ini sangat berguna dalam kajian filologi, karena sebagian besar naskah
nusantara merupakan karya sastra yang berisi cerita-cerita pelipur lara, cerita panji,
dan lain-lain. Pada teks yang dianalisis pada saat ini juga merupakan salah satu
bentuk karya sastra bergenre prosa yang mengisahkan tentang ajaran-ajaran luhur
para Dewa. Dengan ilmu sastra akan diperoleh pengkajian secara mendalam
mengenai teks sastra. Dalam hal ini menyangkut kajian-kajian sastra secara lebih
jauh. Misalnya dengan kajian intertekstual, struktural, semiotik, dan lain-lain.
Dengan ilmu ini juga dapat diperoleh perbandingan varian-varian naskah.
Selain itu, dengan menggunakan cabang ilmu ini, yaitu sosiologi sastra,
peneliti dapat memperoleh gambaran mengenai profesionalisme kepengarangan dan
masyarakat yang dituju oleh pengarang, memberikan gambaran mengenai
masyarakat pada waktu itu, mengetahui fungsi teks tersebut dalam masyarakat.
5. Pengetahuan tentang Agama
Pengetahuan mengenai agama Hindu, Budha, dan Islam sangat diperlukan
dalam ilmu filologi, karena naskah-naskah lama biasa didominasi oleh ajaran dari
ketiga agama tersebut. Ketiga agama tersebut mempunyai pengaruh yang sangat
dominan terhadap isi teks suatu naskah. Hal ini tampak pada teks hasil analisis,
dalam teks tersebut menggambarkan adanya pengaruh dari agama Hindu dan Islam.
Pengaruh agama Hindu terlihat pada kepercayaan terhadap dewa-dewa, salah satunya
adalah Hyang Girinata (Batahara Guru). Sedangkan pengaruh agama Islam tampak
19
pada penggunaan nama hari yaitu Isnén yang berasal dari bahasa Arab dan
Jumadilawal yang merupakan perhitungan nama bulan yang berasal dari Arab/
mengikuti penanggalan Islam.
6. Sejarah Kebudayaan
Disiplin ilmu ini diperlukan untuk mengetahui isi teks berdasarkan
pendekatan historis. Dan lewat sejarah kebudayaan akan diketahui pertumbuhan dan
perkembangan unsur-unsur budaya suatu bangsa. Naskah yang dianalisis ini juga bisa
menjadi bagian dari sejarah kebudayaan; karena dapat dipakai untuk merunut
perkembangan-perkembangan budaya dan keagamaan. Antara lain perkembangan
sejarah agama Hindu. Disiplin ilmu ini diperlukan untuk mengetahui isi teks 2
berdasarkan pendekatan historis. Dan lewat sejarah kebudayaan akan diketahui
pertumbuhan dan perkembangan unsur-unsur budaya suatu bangsa. Dalam teks yang
sedang dianalisis, disiplin ilmu ini sangat diperlukan untuk merunut perkembangan
masa pemerintahan kerajaan di Nusantara, dan pada masa pemerintahan siapa ajaran
bagi punggawa dan menteri itu dibuat. Dengan bantuan sejarah kebudayaan akan
diperoleh tinjauan filologis yang runtut dan jelas dari segi pendekatan historis.
7. Antropologi
Ilmu ini diperlukan untuk mengetahui konteks masyarakat dan budaya yang
melahirkan suatu naskah. Misalnya saja dalam yang terlihat dalam manggala Serat
Sastra Harjendra yang berbunyi sebagai berikut:
Sastra Harjendra, ingkang ugi dipunwastani serat Panca Pranawa. Manawi sumerep sasusuraosipun kawruh kajaten, dipunwastani Sastra Cetha. Menggah ingkang kacariyosaken sarta lajeng katerangaken babaring kawruh dhateng Sang Hyang Wisnu. Kawijang-wijang wijining wewejangan.
Kaping 5 Sawal Alip 1843.
20
Waktu yang tergambar secara jelas juga terlihat dalam kolofon, yaitu: kaping 18 Sawal ing tahun Alip 1843. Utawi kaping 20 September 1913.
Berdasarkan waktu yang tersebut di atas dan isi teks naskah, dapat diketahui
kondisi sosial dan budaya masyarakat pada saat teks itu ditulis. Misalnya dalam teks
di atas, dapat diketahui bahwa masyarakat pada masa 5 Sawal Alip taun 1843 sampai
dengan masa 18 Alip taun 1843, masyarakat masih berada dalam sistem kepercayaan
antara agama Hindu dan Islam. Di satu pihak sudah menggunakan sistem
penanggalan dalam agama Islam, tetapi di pihak lain masih percaya pada dewa-dewa
dalam agama Hindu.
Teks 2 juga menyebutkan suatu masa yang jelas, yaitu: dina Isnèn wayah jam
sanga énjing, Madilawal ping sapuluh, nuju mangsa Kalima, ing prang bakat taun
Dal sangkalanipun dan tulisan: taun Jawi, 1791, taun Walandi 1862 wulan
Desember. Berdasarkan waktu yang tersebut di atas dan isi teks naskah, dapat
diketahui kondisi sosial dan budaya masyarakat pada saat teks itu ditulis. Misalnya
dalam teks di atas, dapat diketahui bahwa masyarakat pada masa itu menganuti
sistem pemerintahan kerajaan, karena dikenal adanya jabatan punggawa dan mantri.
Selain itu, dari penggunaan pilihan kata dalam teks dapat diketahui bahwa
masyarakat pada masa itu berada dalam sistem kepercayaan antara agama Hindu dan
Islam. Di satu pihak menganut agama Islam tetapi di pihak lain masih percaya pada
dewa-dewa dalam agama Hindu.
B. Relevansi Filologi sebagai Ilmu Bantu
1. Linguistik
Filologi sangat diperlukan sebagai ilmu bantu linguistik diakronis. Karena
para linguis tersebut menggunakan hasil suntingan filologi untuk menganalisis
21
bahasa tulis yang pada umumnya berbeda dengan bahasa sehari. Dalam naskah ini
misalnya penggunaan kata: astra, panca, prabawa, Bathara, Indra, tri, paduka,
antiga, lepas, nira, sumunu, peparab, yoga, ingsun, surasa, pukulun, ngamba,
pralampita, Sang Hyang, sasmita, yekti, wang-wang, jiwata, babaring, yang sudah
jarang digunakan dalam percakapan sehari-hari.
2. Ilmu Sastra
Filologi diperlukan terutama untuk membantu menyusun sejarah dan teori
sastra. Misalnya saja dengan melihat pada teks di atas dapat disimpulkan bahwa pada
tahun 1913, konvensi/ genre sastra yang berupa prosa sudah berkembang, dan para
penulis pada masa itu sudah tidak lagi menggunakan tembang sebagai konvensi
sastra, yang mendominasi karya-karya sastra pada masa-masa sebelumnya. Demikian
juga pada teks 2, yang memperlihatkan bahwa pada tahun 1791 konvensi sastra yang
berupa tembang (terikat guru lagu, guru gatra, dan guru wilangan) masih berlaku
dalam penulisan karya sastra.
3. Sejarah Kebudayaan
Filologi diperlukan dalam studi sejarah kebudayaan, karena lewat pembacaan
naskah-naskah lama banyak dijumpai penyebutan atau pemberitahuan adanya unsur-
unsur budaya yang sekarang sudah jarang dipakai ataupun sudah punah. Misalnya
dalam teks di atas menunjukkan bahwa penanggalannya masih menggunakan:
Kaping 5 Sawal Alip 1843 dan kaping 18 Sawal ing tahun Alip 1843. Utawi kaping
20 September 1913, sebagai sistem penunjuk waktu. Melihat kenyataan ini dapat
disimpulkan bahwa masyarakat pada masa itu sudah mulai menggunakan sistem
penanggalan modern, dengan tahun Masehi. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahun
22
1913, masyarakat mulai bergeser/ berkembang ke arah modernisasi dalam berbagai
aspek kehidupannya. Pada teks 2, ditunjukkan bahwa penanggalannya masih
menggunakan Madilawal ping sapuluh, nuju mangsa Kalima,ing prang bakat taun
Dal sangkalanipun, sebagai sistem penunjuk waktu. Namun pada masa sekarang ini
sistem penanggalan seperti di atas sudah jarang dijumpai.
4. Sejarah
Filologi diperlukan dalam ilmu sejarah karena lewat pembacaan naskah-
naskah didapatkan informasi-informasi mengenai peristiwa-peristiwa sejarah,
misalnya nama raja yang memerintah, dan lain-lain. Teks di atas juga bisa membantu
ilmu sejarah, walaupun dalam teks di atas tidak ditemukan hal-hal tentang
kesejarahan, namun tidak menutup kemungkinan hal-hal kesejarahan tersebut
dikemukakan dalam bagian lain dari teks ini, walaupun tidak dikemukakan secara
eksplisit.
5. Ilmu Bantu Hukum Adat dan Keagamaan
Filologi sebagai ilmu bantu hukum adat dan hukum agama sangat diperlukan,
karena melalui pembacaan-pembacaan naskah dapat diketahui adat, peraturan
keagamaan, dan lain-lain yang berlaku pada masa lalu.. Misalnya pada teks 1 di atas
juga bisa menjadi sumber pengetahuan mengenai aturan-aturan, larangan, anjuran,
dan sebagainya dalam agama Hindu, yang disajikan dalam bentuk percakapan antara
Dewa Syiwa dan Dewa Indra (Wisnu). Sedangkan pada teks 2 jika dibaca lebih lanjut
dapat diperoleh gambaran mengenai aturan-aturan, larangan, anjuran, dan sebagainya
untuk menjadi seorang punggawa dan mantri yang baik.
6. Sejarah Perkembangan Agama
23
Filologi diperlukan sebagai ilmu bantu karena dari hasil suntingan teks,
terutama naskah yang mengandung teks keagamaan akan menjadi bahan penulisan
perkembangan agama yang sangat berguna. Demikian juga dalam teks 1 di atas. Teks
ini dapat digunakan sebagai salah satu media pembantu dalam penyusunan sejarah
agama Hindu. Dari teks ini dapat diketahui bahwa pada masa : Kaping 5 Sawal Alip
1843 sampai dengan kaping 18 Sawal ing tahun Alip 1843. Utawi kaping 20
September 1913, masyarakat masih menganut agama Hindu dan masih percaya
kepada Dewa-dewa. Akan tetapi masyarakat sudah mulai terpengaruh salah-satu
sistem dalam agama Islam, yaitu sistem penanggalannya.
7. Filsafat
Filologi menjadi ilmu bantu filsafat karena dari hasil yang diperoleh
melalui suntingan teks merupakan suatu bentuk gambaran pemikiran dan ideologi
masyarakat yang ada pada masa naskah itu ditulis. Sama halnya dengan teks 1
yang Dari teks tersebut dapat diketahui pola pikir masyarakat dahulu yang masih
kuat kepercayaannya kepada para Dewa, khususnya Dewa Syiwa yang dianggap
sebagai Dewa tertinggi dalam mitologi Hindu. Sedangkan dari teks 2, jika dibaca
lebih lanjut akan diperoleh gambaran mengenai pemikiran orang Jawa tentang
cara yang baik untuk mengabdi kepada raja. Cara ini diberikan dengan menulis
karya sastra yang berisi nasihat dan pelajaran kepada para punggawa dan mantri.
BAB IIIPENGERTIAN DAN TEORI BERKAITAN DENGAN
24
CARA KERJA FILOLOGI
A. Deskripsi Naskah
Deskripsi naskah adalah pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata
secara jelas dan terperinci keadaan naskah. Darusuprapta (1990a: 1), menyatakan
bahwa uraian atau deskripsi naskah berisi keterangan tentang:
1. tempat penyimpanan naskah dan nomor kodeks,
2. judul: berdasarkan keterangan dalam teks oleh penulis pertama, atau berdasarkan
keterangan yang diberikan bukan oleh penulis pertama,
3. pengantar, uraian pada bagian awal di luar isi teks: waktu mulai penulisan, alasan
penulisan, tujuan penulisan, nama diri penulis, harapan penulis, pujaan kepada
Dewa pelindung atau Tuhan Yang Maha Esa, pujian kepada penguasa pemberi
perintah atau nabi-nabi (manggala atau kolofon depan),
4. penutup atau uraian pada bagian akhir di luar isi teks: waktu menyelesaikan
penulisan, tempat penulisan, nama diri penulis, alasan penulisan, tujuan
penulisan, harapan penulis (kolofon belakang),
5. tarikh penyalinan (ditentukan berdasarkan apa), tempat, nama penyalin, dan
pemrakarsa penyalinan,
6. tujuan penyalinan,
7. keadaan, jenis bahan naskah (lontar, bambu, daluwang, kertas), tebal naskah,
ukuran naskah (panjang x lebar naskah),
8. ukuran teks (panjang x lebar teks); jumlah halaman teks,
25
9. kelengkapan teks (lengkap atau kurang, terputus atau hanya fragmen), jenis
naskah (piwulang, sejarah, dan sebagainya), dan sampul naskah (warna, bentuk,
keadaan, bahan, hiasan, jilidan),
10. isi: satu atau kumpulan dari beberapa teks,
11. penomoran halaman, pembagian halaman naskah secara keseluruhan, letak dan
jumlah halaman teks yang menjadi subjek penelitian jika merupakan kodeks,
12. tanda air atau cap air dalam naskah,
13. hiasan atau gambar naskah (deskripsi warna, bentuk, goresan tinta, letak, dan
lain-lain),
14. penulisan judul teks dalam naskah,
15. jumlah baris setiap halaman teks, bentuk teks (puisi atau prosa),
16. jenis huruf (Jawa, Latin, dan lain-lain), goresan (tebal, tipis), ukuran (besar, kecil,
sedang), sikap (tegak, miring ke kanan atau ke kiri),
17. bentuk huruf yang digunakan dalam teks. Bentuk huruf Jawa terbagi menjadi tiga,
yaitu: (1) bata sarimbag: bentuk aksara yang menyerupai rimbag ‘cetakan batu
merah’. Berbentuk persegi, mirip dengan batu merah yang biasa dipakai sebagai
bahan bangunan; (2) ngetumbar: bentuk aksara yang pada sudut-sudutnya tidak
lagi berupa sudut siku ataupun sudut lain. Stilisasi begitu kuat sampai pada
bentuk sudut berubah menjadi bentuk setengah bulat menyerupai biji ketumbar;
(3) mucuk eri: bentuk aksara Jawa yang pada bagian tertentu berupa sudat lancip
seperti duri (eri); (4) kombinasi: yaitu aksara yang terbentuk dari campuran atau
kombinasi ketiga aksara tersebut (Ismaun, 1996: 10).
26
18. warna tinta (hitam, biru, kombinasi, dan lain-lain), goresan tinta (jelas, tidak jelas,
dan lain-lain),
19. bahasa teks (Jawa Baru, Kawi, Sansekerta, dan lain-lain),
Hasil deskripsi ini akan memberikan gambaran mengenai keadaan naskah
secara jelas dan terperinci. Keadaan naskah ini dapat digunakan sebagai indikator
awal dalam penentuan naskah unggul, perunutan usia naskah, dan lain-lain.
B. Transliterasi
Transliterasi menurut Onions (dalam Darusuprapta 1984: 2), adalah suntingan
yang disajikan dengan jenis tulisan lain. Baried (1994: 63) berpendapat bahwa
transliterasi adalah penggantian jenis tulisan, huruf demi huruf dari satu abjad ke
abjad yang lain. Transliterasi dalam Kamus Istilah Filologi (1977: 90), didefinisikan
sebagai “pengubahan teks dari satu tulisan ke tulisan yang lain atau dapat disebut alih
huruf atau alih aksara, misalnya dari huruf Jawa ke huruf Latin, dari huruf Sunda ke
huruf Latin, dan sebagainya”.
Transliterasi sangat penting untuk memperkenalkan teks-teks lama yang
tertulis dengan huruf daerah, karena sebagian besar masyarakat pada umumnya tidak
mengenal lagi tulisan daerah. Nurhayati (2000: 20-21) menyebutkan bahwa
transliterasi ada dua macam:
1. transliterasi diplomatik, yaitu penggantian jenis tulisan, huruf demi huruf dari
abjad yang satu ke abjad yang lain apa adanya,
2. transliterasi ortografis atau transliterasi kritik, yang disebut juga transliterasi
standar yaitu penggantian tulisan huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad
27
yang lain dalam hal ini dari huruf Jawa ke huruf Latin yang disesuaikan dengan
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Sifat aksara Jawa berbeda dengan sifat aksara Latin. Hal ini menimbulkan
beberapa masalah kebahasaan yang timbul dalam proses transliterasi. Masalah-
masalah tersebut antara lain:
1. pemisahan kata
Masalah ini timbul karena ketidaksamaan tata tulis huruf dalam naskah dan
tata tulis huruf Latin. Sifat huruf-huruf daerah di Indonesia, termasuk di dalamnya
huruf Jawa adalah silabis, sedangkan huruf Latin bersifat fonemis. Selain itu, tata
tulis huruf daerah tidak mengenal pemisahan kata seperti halnya dalam tata tulis
huruf Latin. Akibatnya, pemisahan kelompok huruf dalam pembentukan kata-kata
kadang-kadang mengalami kesulitan atau kekeliruan, sehingga tidak mustahil
mendapat arti lain,
2. ejaan
Permasalahan ini timbul karena keadaan tiap-tiap bahasa yang tidak sama.
Ejaan yang sesuai untuk suatu bahasa belum tentu dapat diterapkan dengan baik pada
bahasa lain.
3. punktuasi
Punktuasi yaitu tanda baca yang berfungsi sebagai tanda penuturan kalimat
(koma, titik, titik dua, dan lain-lain) dan tanda metra yang berfungsi sebagai tanda
pembagian puisi (pembatas larik, bait, dan tembang). Penuturan kalimat dalam suatu
teks yang berbentuk puisi tidak selalu seiring dan sejalan dengan pembagian larik,
bait, dan tembang. Oleh karena itu, sebagian besar suntingan teks yang berbentuk
28
puisi tidak memperhatikan tanda baca, tetapi lebih memperhatikan pemakaian tanda
metra.
C. Perbandingan Teks
Perbandingan teks dilakukan apabila sebuah cerita ditulis dalam dua naskah
atau lebih. Perbandingan antarteks dapat dilakukan dengan tujuan untuk
membetulkan kata-kata yang tidak terbaca, menemukan variasi antarteks,
menentukan silsilah naskah untuk mendapatkan naskah yang terbaik dan dianggap
paling unggul di antara naskah lain yang sejenis, maupun tujuan yang lain (Djamaris,
1977: 26).
Perbandingan, khususnya dalam pilihan kata juga bisa dipergunakan sebagai
alat untuk menentukan usia teks. Teks-teks yang banyak menggunakan kata ragam
krama dinilai sebagai teks muda, karena fenomena penggunaan ragam ini baru
berkembang pada abad XVII dan sesudahnya (Behrend, 1995: 362). Begitu pula
dengan variasi pemakaian kosakata Kawi (Jawa Kuna). Fenomena ini merupakan ciri
dari gerakan kesastraan Surakarta, yang dipelopori oleh Yasadipura pada abad XVIII.
Jadi, penggunaan kosakata Kawi mayoritas dijumpai pada teks-teks muda yang
ditulis maupun disalin pada abad XVIII dan sesudahnya.
Berbagai macam variasi bacaan terjadi karena dalam tradisi sastra lama,
pengarang atau penyalin bebas untuk menyalin dengan membetulkan, menggunakan
bahasa sendiri, menyalin dengan menambah unsur atau bagian cerita baru karena
adanya pengaruh asing, dan menyalin cerita dari cerita lisan atau dari sumber yang
berbeda (Djamaris, 1977: 27).
29
Salah satu variasi yang timbul dalam penyalinan naskah tersebut adalah
variasi ejaan. Semua manuskrip Jawa cenderung memiliki ejaan yang tidak
konsisten. Ketidakkonsistenan ejaan ini bahkan dapat dijumpai pada halaman dan
bait yang sama pada suatu teks. Variasi ejaan yang lazim dalam penyalinan
manuskrip Jawa antara lain:
(1) penggunaan konsonan median rangkap (manis, mannis); (2) penggunaan konsonan “r” yang berpindah-pindah (trêbang, têrbang); (3) penggunaan vokal yang berbeda (prayétna, prayitna); (4) perpanjangan suku kata (tarêbang, têrabang); (5) penggunaan konsonan antarvokal yang disesuaikan secara aural (têtamuwan, têtamuhan); (6) penggunaan variasi penultima “o” dan “a” terbuka (brangta, brongta); (7) penggunaan fonem dental dan retofleks yang bergantian (nêda, nêdha); (8) penggunaan ejaan yang dianggap mewakili ejaan asli secara cermat, khususnya bagi kata pinjaman dari bahasa Arab (saré’at, saréngat, sariyat). Selain itu untuk mewakili ejaan asli ini digunakan juga vokal awal sebagai aksara swara atau dengan aksara angka (ha); (9) pengalihan konsonan akhir suatu kata kepada kata berikutnya yang berawal dengan vokal (aksara lampah) atau menggunakan cara lain guna menekannya (muwuss aris, muwus haris, muwus Aris) (Behrend, 1995: 342).
Selain variasi ejaan, terdapat pula variasi gaya yang merupakan pilihan kata
khusus, termasuk dalam perubahan tata kalimat yang digunakan penyair untuk
mewujudkan ceritanya dalam bentuk puisi (Behrend, 1995: 350). Collatio
‘perbandingan teks’ merupakan suatu jalan untuk mengidentifikasi perbedaan-
perbedaan segi ejaan maupun pilihan kata teks. Perbandingan teks ini meliputi
perbandingan kata demi kata, bahkan huruf demi huruf. Jika ada lima buah teks harus
dilakukan pula lima kali perbandingan.
Darusuprapta (1990b: 5), berpendapat bahwa urutan proses perbandingan
teks adalah:
(1) menentukan pilihan (heuristika); (2) inventarisasi dengan pertolongan katalogus; (3) pertimbangan (resensi); (4) pengujian (eksaminasi); (5) transliterasi dan perbandingan (kelasio); (6) mencapai ketetapan teks (konstitusio tekstus)
30
Berdasarkan pendapat Darusuprapta di atas, dapat disimpulkan bahwa tiap teks harus
dikaji dan diuji (examinatio) segi-seginya. Sebelum eksaminasi perlu dilakukan
pertimbangan atau recentio teks naskah mana yang akan digarap. Resensi baru dapat
dilakukan setelah terlebih dahulu mencari sebanyak mungkin naskah sejenis dengan
cara mengadakan inventarisasi naskah.
Darusuprapta (1990b: 5) berpendapat bahwa tiap teks yang diperbandingkan
tidak hanya dikaji dan diuji dalam segi ejaan maupun pilihan kata, tetapi harus dikaji
pula makna kata, tata kalimat, dan kandungan isinya. Pendapat Darusuprapta ini,
dapat diaplikasikan dengan cara melakukan perbandingan teks yang meliputi:
1. perbandingan kata demi kata untuk membetulkan kata-kata maupun ejaan yang
tidak terbaca, serta untuk mengetahui karakteristik ejaan masing-masing penyalin,
2. perbandingan kata demi kata untuk mengetahui variasi pilihan kata masing-
masing penyalin teks,
3. perbandingan pihan dan susunan kata dalam gatra, serta perbandingan bait,
4. perbandingan kandungan dan asasi cerita untuk mendapatkan teks yang isinya
lengkap dan tidak menyimpang, mengetahui adanya unsur baru,
mengelompokkan cerita dalam versi maupun varian, dan untuk mendapatkan
cerita yang bahasanya lancar dan jelas.
D. Terjemahan Naskah
Terjemahan adalah pemindahan arti dari bahasa sumber ke bahasa sasaran.
Catford (dalam Darusuprapta 1990a: 4), menyatakan bahwa translation ‘terjemahan’
adalah penggantian bahasa teks dengan bahasa teks yang sederajat dalam bahasa lain.
Bahasa sumber dalam penelitian ini adalah bahasa Jawa dan bahasa sasarannya
31
adalah bahasa Indonesia. Sifat bahasa sumber terkadang berbeda dengan bahasa
sasaran. Hal ini seringkali menimbulkan kesulitan untuk menerjemahkan bagian teks
tertentu secara konsisten dengan kata yang sepadan dalam bahasa sasaran.
Terjemahan dalam penelitian ini dilakukan sedekat-dekatnya dengan makna
masing-masing kata pada bahasa sumber dan konteks kalimatnya. Untuk
menyelaraskan kalimat, maka bila diperlukan akan membuang atau menambah kata-
kata maupun awalan dan akhiran secara terbatas. Selain itu, juga dilakukan
pernerjemahan dengan selengkap-lengkapnya meliputi seluruh teks dan terperinci,
baik yang mudah maupun yang sukar. Catford (dalam Darusuprapta 1990a: 4-6)
membagi berbagai terjemahan sebagai berikut:
1. the extend of translation ‘terjemahan menilik dari luasnya’, dibagi menjadi dua,
yaitu terjemahan penuh dan terjemahan tidak penuh,
2. the level of translation ‘terjemahan menilik dari tingkatnya’, dibagi menjadi dua
yaitu terjemahan menyeluruh dan terbatas yang meliputi bidang fonologi,
grafologi, gramatikal, dan leksikal,
3. the rank of translation ‘terjemahan menilik dari kedudukannya’, dibagi menjadi
empat, yaitu terjemahan terikat, bebas, kata demi kata, harafiah.
Pembagian terjemahan secara garis besar menurut Surono (1983: 15-16)
adalah:
1. terjemahan lurus, yaitu terjemahan kata demi kata yang dekat dengan aslinya atau
terjemahan antarbaris. Pada terjemahan ini, di bawah kata-kata bahasa sumber
dituliskan kata-kata bahasa sasaran. Terjemahan ini begitu harafiah, sehingga
hanya berwujud rangkaian kata-kata dan bukan merupakan kalimat,
32
2. terjemahan isi atau maknanya, yaitu menerjemahkan kata-kata atau ungkapan
dalam bahasa sumber diimbangi dengan bahasa sasaran yang sepadan,
3. terjemahan bebas yaitu menerjemahkan keseluruhan teks bahasa sumber
dialihkan ke dalam bahasa sasaran secara bebas, sesuai dengan konteks
kalimatnya.
Terjemahan, secara teknis dapat disajikan: (1) interlinier ‘antarbaris’; (2)
berdampingan dengan bahasa sumber; (3) dikumpulkan terpisah di belakang. Nama
penulis teks dalam terjemahan dapat ditulis seperti dalam manuskrip, namun bila
memungkinkan tetap diterjemahkan dan diberi keterangan (Darusuprapta, 1990a: 6).
Terjemahan teks dalam penelitian ini, menilik dari luasnya menggunakan terjemahan
penuh. Menilik dari tingkatnya menggunakan terjemahan menyeluruh. Menilik dari
kedudukannya menggunakan terjemahan bebas dengan definisi sesuai dengan
pendapat Surono di atas. Terjemahan secara teknis disajikan berdampingan dengan
bahasa sumber.
E. Pemetaan Keluarga Naskah
Pemetaan keluarga naskah adalah penempatan suatu naskah dalam suatu
kelompok tertentu berdasarkan kriteria banyaknya persamaan dan perbedaan antara
teks yang satu dengan teks yang lain. Semakin banyak persamaan yang terdapat
dalam suatu teks tertentu, maka semakin dekat pula hubungan kekeluargaannya.
Sebaliknya semakin sedikit persamaan yang terdapat dalam suatu teks, maka
semakin jauh pula hubungan kekeluargaan antarteks.
Pemetaan keluarga dilakukan pada naskah majemuk. Jumlah naskah sejenis
yang cukup banyak ini, mengharuskan peneliti untuk melakukan pengelompokan-
33
pengelompokan. Pengelompokan ini berupa pemetaan keluarga naskah dalam
beberapa keluarga besar, baik dalam tataran versi maupun varian. Kriteria
pengelompokan mengacu pada perbandingan awal teks yang meliputi: asasi cerita,
jumlah bait naskah, kandungan bait tiap naskah, gaya bahasa, aturan tembang
Macapat (guru lagu, guru gatra, dan guru wilangan), kelengkapan teks, dan lain-
lain. Pemetaan keluarga naskah juga mengacu pada persamaan dan perbedaan pada
masing-masing naskah yang disusun berdasarkan hasil deskripsi.
Perbandingan awal ini akan membentuk suatu pemetaan keluarga naskah
yang terdiri atas beberapa kelompok versi yang masing-masing mempunyai anggota
keluarga yang sering disebut sebagai varian. Versi merupakan kelompok teks yang
mempunyai perbedaan asasi cerita, sedangkan varian adalah teks-teks yang
mempunyai kesamaan asasi cerita (Baried, 1994: 65). Masing-masing varian yang
tergabung dalam suatu versi ini kemudian dibandingkan gaya bahasanya secara
umum, untuk mengetahui tingkat pertalian antarteks varian, sehingga memperjelas
kedudukan antarteks dan diketahui teks yang memiliki hubungan keluarga terdekat.
Penentuan teks yang memiliki hubungan keluarga terdekat ini dimaksudkan sebagai
dasar untuk menentukan naskah dan teks yang selanjutnya akan dibandingkan secara
lebih mendalam.
F. Suntingan teks
Suntingan teks merupakan salah satu hasil kerja penelitian filologi yang
terpenting. Dengan suntingan teks akan diperoleh teks yang telah mengalami
pembetulan-pembetulan dan perubahan-perubahan sehingga bersih dari segala
kekeliruan (Darusuprapta, 1984: 5). Suntingan teks juga disajikan agar pembaca
34
dapat memahami dan mengetahui fungsi teks. Teks yang telah mengalami proses
penyuntingan juga dapat dipakai sebagai sumber data yang mantap dalam suatu
penelitian.
Robson (1994: 21-27), menyatakan bahwa suntingan teks dibagi menjadi dua,
yaitu suntingan teks edisi diplomatik dan suntingan teks edisi kritis. Suntingan teks
edisi diplomatis, menyajikan teks yang sama persis seperti yang terdapat dalam
sumber naskah, dan meminimalkan campur tangan editorial. Namun dalam suntingan
edisi ini masih termuat penafsiran peneliti atas sistem aksara dan sistem ejaan naskah
sumber (Martana dalam Nurhayati, 2000: 22). Penafisiran ini misalnya dalam
pengambilan keputusan untuk menguraikan aksara yang terdiri atas dua huruf yang
menyerupai satu sama lain dan sulit dimengerti. Akan tetapi untuk dapat setepat
mungkin dengan teks asli, tanda baca dan karakteristik pengejaannya harus
dipertahankan.
Suntingan teks edisi diplomatik mempunyai kelebihan karena mampu
memperlihatkan cara mengeja kata-kata suatu teks dengan tepat. Ejaan suatu teks
merupakan gambaran nyata mengenai konvensi waktu dan tempat tertentu. Edisi
diplomatik juga mampu memperlihatkan secara tepat cara penggunaan tanda baca di
dalam teks. Tetapi, edisi ini mempunyai kekurangan karena tidak bisa membantu
pembaca yang tidak mengenal gaya atau isi suatu teks, sehingga harus menafsirkan
sendiri keanehan, kesulitan, atau perubahan apa saja yang terkandung dalam teks.
Suntingan teks edisi kritis atau edisi standar merupakan usaha penerbitan
naskah dengan membetulkan kesalahan-kesalahan kecil dan ketidakajegan, serta
melakukan penyesuaian ejaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam
35
suntingan teks edisi kritis, terdapat campur tangan penyunting sedemikian rupa
sehingga teks tersebut dapat dipahami (Martana dalam Nurhayati, 2000: 22).
Darusupratpa (1990b: 3), berdapat bahwa suntingan teks edisi kritis harus
mencantumkan variae lectiones ‘variasi bacaan’ dalam teks yang diperbandingkan.
Suntingan yang disajikan dalam edisi kritis ini banyak membantu pembaca
untuk mengatasi berbagai kesulitan yang bersifat tekstual atau yang berkenaan
dengan interpretasi. Teratasinya kesulitan yang bersifat tekstual ini, membuat
pembaca terbebas dari kesulitan dalam proses pemahaman isi suatu teks. Penyunting
yang melakukan suntingan teks edisi kritis akan mengidentifikasi sendiri bagian teks
yang mungkin terdapat masalah dan menawarkan jalan keluar. Jika didapati
kesalahan dalam teks tersebut, penyunting dapat memberikan tanda yang mengacu
pada aparat kritik dan menyarankan bacaan yang lebih baik (Robson, 1994: 25).
Penelitian ini menggunakan suntingan teks edisi standar, sesuai dengan teori
yang dikemukakan oleh Robson dan Martana (dalam Nurhayati) di atas. Pembuatan
suntingan dalam penelitian ini juga mengacu pada teori Darusuprapta, sehingga varie
lectiones teks-teks pembanding ditampilkan dan dihimpun dalam aparat kritik. Hal
ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai karakteristik ejaan yang
terdapat dalam teks-teks pembanding.
Kecuali mempertimbangkan mengenai edisi teks yang akan dipakai dalam
proses penyuntingan, penyunting juga harus menentukan metode suntingan teks yang
sesuai dengan kondisi naskah sebagai langkah awal proses penyuntingan. Soeratno
(1990: 5), menyatakan bahwa penentuan metode suntingan didasarkan pada:
(1) pandangan tentang studi filologi yang dilatari oleh sikapnya terhadap variasi; (2) kondisi sasaran dan objek kerjanya seperti yang terlihat pada
36
materialnya, pada sistem bahasa, sistem sastra, dan konvensi sosial budayanya; (3) besarnya jumlah peninggalan tulisan yang memuat teks dan bentuknya yang bermacam-macam; (4) kondisi bacaan yang rusak atau korup; (5) macam tujuan kerja.
Metode penyuntingan teks berdasarkan jumlah peninggalan tulisan (naskah)
yang memuat suatu teks dapat dibagi menjadi dua, yaitu metode penyuntingan
naskah tunggal dan metode penyuntingan naskah majemuk. Dalam menyunting suatu
naskah tunggal, perbandingan tidak mungkin dilakukan. Oleh karena itu, hanya dapat
ditempuh dua jalan, yaitu melalui penerbitan suatu naskah dalam edisi diplomatik
maupun edisi standar, serta dengan metode fotografi atau facsimile. Metode
penyuntingan naskah majemuk dibagi menjadi empat, yaitu:
1. metode intuitif
Metode ini dilakukan dengan cara mengambil naskah yang dianggap paling
tua, kemudian kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam naskah tersebut diperbaiki
berdasarkan akal sehat, selera, dan pengetahuan yang luas dari penyunting,
2. metode gabungan
Metode ini dipakai jika mutu naskah yang digarap hampir sama atau tidak ada
naskah yang menonjol, dan secara filologis pada semua varian terdapat persamaan
nilai,
3. metode stemma
Metode ini bertujuan untuk mencari naskah yang paling asli. Metode stema
dicapai dengan memberikan pembetulan-pembetulan pada bagian yang dipandang
37
keliru. Metode ini didasarkan bahwa naskah disalin satu demi satu, sehingga apabila
sekali saja penyalin berbuat kesalahan, maka kesalahan itu akan menurun pada
naskah salinan berikutnya (Surono, 1983: 7-8).
4. metode legger atau landasan atau induk
Metode ini dipakai dipakai jika mutu naskah yang satu dan naskah yang lain
dinilai tidak sama. Semua varian dalam metode ini diperiksa dengan cermat baik dari
segi bahasa maupun dari segi sastranya. Naskah yang memiliki teks bacaan yang
lebih baik dipertimbangkan sebagai naskah yang menonjol. Naskah ini dianggap
paling unggul dan paling tepat untuk dijadikan landasan atau induk sebagai dasar
suntingan naskah.
Proses penyuntingan teks, pada dasarnya mencakup tiga hal yaitu
transliterasi, kritik teks, dan terjemahan. Kritiks teks menurut Darusuprapta (1990b:
1), adalah menghakimi atau mengadili dalam arti menelaah atau mengkaji teks.
Tujuan utama mengadakan kritiks teks adalah untuk mendapatkan bentuk teks yang
otentik. Kritiks teks sangat diperlukan karena terbukti dalam tradisi bahwa naskah
selalu mengalami penyalinan turun-temurun berulang kali. Tradisi ini memungkinkan
banyak perubahan dan penyimpangan yang timbul. Perubahan dan penyimpangan
tersebut timbul karena:
1. penyalin sengaja memberikan pertimbangan dengan menambah, mengurangi,
atau mengganti,
2. penyalin yang kurang terdidik,
3. kurang teliti,
38
4. khilaf dan terpecah perhatiannya, terkecoh dengan penggunaan huruf dan kata-
kata yang sama.
Gangguan-gangguan ini akan menimbulkan:
(1) ablepsi: penggantian huruf yang mirip karena penulisan yang kurang jelas; (2) substitusi: penggantian kata yang sama maknanya; (3) transposisi: pertukaran letak suku kata/ larik; (4) hiperkorek: perubahan ejaan karena pergeseran lafal; (5) kontaminasi: penularan kata oleh pengaruh kata lain; (6) haplografi: karena adanya huruf atau suku kata yang sama; (7) saut du meme au meme: melompat dari kata ke kata yang sama; (8) lipografi: karena terlampauinya satu kata, baris, atau bait; (9) dittografi: terdapat pengulangan tulis suatu suku/kata (Darusuprapta, 1990b: 2-4).
Kritik teks menyajikan variae lectiones yang dihimpun dalam aparat kritik.
Aparat kritik merupakan bentuk pertanggungjawaban ilmiah dalam kritik teks dengan
tujuan memberikan koreksi pada teks yang disunting. Koreksi tersebut dapat berupa
pembetulan, penambahan bacaan, lakuna, bacaan yang harus dihilangkan, maupun
adanya perubahan bacaan. Aparat kritik juga memberikan kesempatan kepada
pembaca untuk melihat varian-varian yang terdapat dalam naskah lain yang seversi.
Aparat kritik ini dapat dicantumkan pada kaki halaman yang bersangkutan atau
dikumpulkan tersendiri di belakang teks (Darusuprapta, 1990a:3).
G. Dasar-dasar Penentuan Teks yang Akan Disunting
Teori yang digunakan untuk memilih teks yang akan disunting harus
dihubungkan dengan tujuan penelitiannya. Salah satu tujuan penelitian filologi
adalah mendapatkan suatu teks yang paling lengkap dan representatif dari teks-teks
yang ada. Dengan demikian perlu perbandingan naskah dan teks. Berdasarkan
perbandingan naskah dan teks tersebut, dapat disusun kerangka teori untuk memilih
naskah dan teks yang paling unggul sebagai berikut: (1) isinya lengkap, tidak
menyimpang dari kenyataan teks yang lain; (2) tulisannya jelas dan mudah dibaca;
39
(3) keadaan naskah baik dan utuh; (4) bahasa lancar dan mudah dipahami; (5) umur
naskah lebih tua (Djamaris, 1977: 28-29).
H. Penentuan Tarikh Penyalinan Naskah
Tarikh penyalinan suatu naskah dapat dirunut berdasarkan keterangan dari
dalam (interne evidentie) yang terdiri atas: (1) kolofon (catatan pada akhir teks); (2)
water mark (cap air atau lambang pabrik yang membuat kertas); (3) catatan di
sampul luar, maupun sampul kertas bagian depan dan belakang naskah. Tarikh
penyalinan naskah juga dapat dirunut melalui keterangan dari luar (externe
evidentie), misalnya melalui pustaka-pustaka lain yang menyebut mengenai umur
teks yang bersangkutan (Baried, 1994: 60-61).
Watermark merupakan salah satu bagian naskah yang dapat digunakan untuk
merunut usia penyalinan teks. Cap air dalam kertas ini sering diganti, sehingga dapat
dirunut tahun pembuatannya melalui daftar cap. Kertas dengan watermark mulai
dipakai di Indonesia pada abad 18 dan 19 (Baried, 1985: 6). Kertas ini didatangkan
dari Eropa, kemudian segera dipakai karena persediaan terbatas. Jadi, tarikh
penyalinan naskah dapat diperkirakan tidak jauh berbeda dari tahun pembuatan
kertas (Baried, 1994: 61).
Behrend (1990: 670), menetapkan tanggal penyalinan naskah yang berupa
kodeks melalui kolofon yang terdapat pada kodeks. Selain itu, juga melalui
keterangan-keterangan tertentu berupa sengkalan, catatan-catatan, dan lain-lain yang
terdapat dalam salah satu atau beberapa teks yang termuat dalam kodeks. Behrend
juga menentukan terminus a quo ‘saat penulisan paling awal’ dan terminus ad quem
‘saat penulisan paling akhir’, melalui keterangan-keterangan tersebut di atas.
40
Sengkalan merupakan lambang-lambang tertentu yang mengandung angka
tahun. Jika lambang tersebut dalam bentuk kelompok kata atau kalimat, disebut
sebagai sengkalan lamba. Misalnya kata janma, anak bernilai satu; kata wukir, ardi,
pandhita, muni bernilai tujuh, dan lain-lain. Jika dilambangkan dalam bentuk lukisan
ataupun bangunan, disebut dengan sengkalan mêmêt. Sengkalan yang dilambangkan
dengan huruf Jawa, dan biasanya terukir dalam bilah senjata tajam disebut dengan
sengkalan sastra.
Berdasarkan sistem tahun yang digunakan, terdapat dua jenis sengkalan, yaitu
candrasengkala dan suryasengkala. Candrasengkala adalah sengkalan yang disusun
berdasarkan tahun bulan (tahun Jawa), sedangkan suryasengkala disusun berdasarkan
tahun matahari (Masehi). Sengkalan sudah biasa digunakan sebagai penanda tahun
dalam suatu karya sastra. Bahkan Kitab Bharatayuddha sudah menggunakan
sengkalan yang menunjukkan tahun 1079 Saka (Subalidinata, 1981: 92-93).
Naskah Jawa terutama dalam manggalanya juga biasa mencantumkan tahun
yang tidak tertulis dalam bentuk angka secara eksplisit. Naskah-naskah yang memuat
41
Teori-teori mengenai sengkalan diantaranya dibahas oleh Padmosoekotjo
(1953: 134-142). Pembahasan mengenai sengkalan oleh Padmosoekotjo, tidak begitu
lengkap, sehingga terdapat kata yang tidak diketahui nilai angkanya. Oleh karena itu,
digunakan pula teori mengenai sengkalan oleh Subalidinata (1981: 92-103).
Subalidinata menyusun daftar nilai kata secara jelas dan terperinci, karena daftar ini
dikumpulkan dari tiga buah sumber sengkalan yang masing-masing disusun oleh
Ranggawarsita, Ki Padmasusastra, dan Raden Bratakesawa.
Penafsiran nilai angka dalam suatu sengkalan didasarkan pada beberapa hal,
antara lain:
(1) dasanama ‘sinonim’; (2) kesamaan suku kata; (3) hubungan kerja atau perbuatan; (4) kesamaan unsur bunyi; (5) kesamaan golongan atau jenis; (6) hubungan kerja dan sarana; (7) hubungan milik; (8) hubungan nilai angka Jawa; (9) berdasarkan kebiasaan, hukum, dan kenyataan yang berlaku; (10) berdasar analogi; dan (11) berdasarkan logika (Subalidinata, 1981: 96-98).
42
Top Related