iUNIVERSITAS INDONESIA
PENGARUH ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN, KELUARGA DAN PERAN PENGAWAS MINUM OBAT
TERHADAP KEMANDIRIAN DAN KEPATUHAN BEROBAT KLIEN SCHIZOPHRENIA DI KERSAMANAH GARUT
TESIS
Rahmi Imelisa1006749182
FAKULTAS ILMU KEPERAWATANPROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIADEPOK, JULI 2012
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
ii
UNIVERSITAS INDONESIA
PENGARUH ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN, KELUARGA DAN PERAN PENGAWAS MINUM OBAT
TERHADAP KEMANDIRIAN DAN KEPATUHAN BEROBAT KLIEN SCHIZOPHRENIA DI KERSAMANAH GARUT
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Keperawatan Kekhususan Keperawatan Jiwa
Rahmi Imelisa1006749182
FAKULTAS ILMU KEPERAWATANPROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWAUNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, JULI 2012
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
iii
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
iv
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
vPengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
vi
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang sebesar-besarnya penyusun sampaikan kepada Allah SWT yang
telah melimpahkan karuniaNya kepada penyusun sehingga tesis ini dapat
diselesaikan. Tesis ini disusun sebagai tugas akhir dalam rangka mencapai gelar
Magister Keperawatan Jiwa pada Program Pasca Sarjana Keperawatan
Universitas Indonesia. Dalam penyusunan tesis ini penyusun mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penyusun bermaksud mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Dewi Irawaty, MA. Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia.
2. Astuti Yuni Nursasi, S.Kp., MN., selaku Ketua Program Pascasarjana Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
3. Prof. Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp., M.App.Sc., sebagai dosen pembimbing 1
yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penyusun
sehingga penyusun dapat terus berproses menyelesaikan tesis ini.
4. Drs. Sutanto Priyo Hastono, M.Kes. sebagai dosen pembimbing 2 yang telah
meluangkan waktu, dan mengarahkan penyusun sehingga dapat memahami
rancangan berjalannya penelitian tesis ini.
5. Mustikasari, S.Kp., MARS., sebagai penguji 1 yang telah banyak memberikan
masukan untuk perbaikan tesis ini.
6. Ibu Nurhalimah, S.Kp., M.Kep., Sp.Kep.J., sebagai penguji 2 yang telah
memberikan banyak masukan untuk perbaikan tesis ini.
7. Novy Helena C.D.,S.Kp., M.Sc. sebagai dosen pembimbing akademik yang
dengan penuh pengertian mengarahkan penyusun selama menjalani masa studi
Program Magister Keperawatan Jiwa.
8. Bpk. Darsono, sebagai Kepala Puskesmas Kersamanah, yang telah dengan
terbuka mengizinkan penyusun untuk melakukan penelitian di Kecamatan
Kersamanah Garut.
9. Bpk. Iyus dan Ibu Ai sebagai staf program Kesehatan Jiwa Puskesmas
Kersamanah yang telah banyak membantu dalam proses penelitian.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
vii
10. Ibu Lilis, Ibu Nyai, Ibu Nunung, Ibu Siti dan Ibu Alit, sebagai kader kesehatan
jiwa yang telah bersedia dan penuh semangat menjalani peran PMO dalam
penelitian ini.
11. Seluruh dosen Program Pasca Sarjana Keperawatan Universitas Indonesia
yang telah membagi ilmu yang dimilikinya.
12. Keluarga yang selalu memberikan doa dan dukungan kepada penyusun.
13. Teman-teman Angkatan VI Program Magister Ilmu Keperawatan Kekhususan
Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang
unik dan selalu memberikan semangat kepada penyusun.
Akhir kata, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi peneliti dan semua pihak yang
terlibat dalam penelitian ini nantinya.
Depok, Juli 2012
Penyusun
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
viii
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
ix Universitas Indonesia
PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS ILMU KEPERAWATANUNIVERSITAS INDONESIA
Tesis, Juli 2012
Rahmi Imelisa
Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran pengawas minum obat terhadap kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut
xviii + 118 hal + 29 tabel + 5 skema + 17 lampiran
ABSTRAK
Prevalensi schizophrenia di Kersamanah adalah sebesar 2.6/1000 jiwa, dan 39,8% klien drop out berobat. Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO (terapi keperawatan) terhadap kemandirian dan kepatuhan berobat. Penelitian ini menggunakan desain quasy experiment dengan purposive sampling. Penelitian menggunakan instrumen kemandirian CMHN Jakarta dan MARS. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perubahan bermakna kemandirian dan kepatuhan berobat setelah diberikan terapi keperawatan (p-value
x Universitas Indonesia
POSTGRADUATE PROGRAM FACULTY OF NURSINGUNIVERSITY OF INDONESIA
Thesis, July 2012
Rahmi Imelisa
The effect of nursing process to client, family and Pengawas Minum Obat role to independency and medication adherence of schizophrenic client in Kersamanah Garut.
xviii + 118 page + 29 table + 5 scheme + 17 appendix
ABSTRACT
The prevalence of schizophrenia in Kersamanah is 2.6/1000 person, 39.8% client has been drop out in medication. This research aimed to found the effect of nursing process to the client, family and PMO role (as nursing therapy) to independency and medication adherence. This research used a quasy experiment design with purposive sampling. This research use the instrument of independency from the CMHN Jakarta research and the MARS instrumen for medication adherence. The result shows that there is a significant change of independency and medication adherence after intervension of nursing therapy (p-value < =0.05). There is a significant differences change between intervention and control group (p-value < =0.05). There is a close relation between independency and medication adherence (p-value < =0.05). This research suggest continue implementation of nursing process to client, family and PMO role in Kersamanah.
Keyword : schizophrenia, independency, medication adherence, PMO, and family psychoeducation
References 29 (2006-2011)
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
ix
PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS ILMU KEPERAWATANUNIVERSITAS INDONESIA
Tesis, Juli 2012
Rahmi Imelisa
Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran pengawas minum obat terhadap kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut
xviii + 118 hal + 29 tabel + 5 skema + 17 lampiran
ABSTRAK
Prevalensi schizophrenia di Kersamanah adalah sebesar 2.6/1000 jiwa, dan 39,8% klien drop out berobat. Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO (terapi keperawatan) terhadap kemandirian dan kepatuhan berobat. Penelitian ini menggunakan desain quasy experiment dengan purposive sampling. Penelitian menggunakan instrumen kemandirian CMHN Jakarta dan MARS. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perubahan bermakna kemandirian dan kepatuhan berobat setelah diberikan terapi keperawatan (p-value
xPOSTGRADUATE PROGRAM FACULTY OF NURSINGUNIVERSITY OF INDONESIA
Thesis, July 2012
Rahmi Imelisa
The effect of nursing process to client, family and Pengawas Minum Obat role to independency and medication adherence of schizophrenic client in Kersamanah Garut.
xviii + 118 page + 29 table + 5 scheme + 17 appendix
ABSTRACT
The prevalence of schizophrenia in Kersamanah is 2.6/1000 person, 39.8% client has been drop out in medication. This research aimed to found the effect of nursing process to the client, family and PMO role (as nursing therapy) to independency and medication adherence. This research used a quasy experiment design with purposive sampling. This research use the instrument of independency from the CMHN Jakarta research and the MARS instrumen for medication adherence. The result shows that there is a significant change of independency and medication adherence after intervension of nursing therapy (p-value < =0.05). There is a significant differences change between intervention and control group (p-value < =0.05). There is a close relation between independency and medication adherence (p-value < =0.05). This research suggest continue implementation of nursing process to client, family and PMO role in Kersamanah.
Keyword : schizophrenia, independency, medication adherence, PMO, and family psychoeducation
References 29 (2006-2011)
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL iHALAMAN JUDUL iiHALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS iiiHALAMAN PENGESAHAN ivLEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN vKATA PENGANTAR viHALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI viiiABSTRAK ixABSTRACT xDAFTAR ISI xiDAFTAR SKEMA xivDAFTAR TABEL xvDAFTAR LAMPIRAN xviii
BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 11.2 Rumusan Masalah 91.3 Tujuan Penelitian 11
1.3.1 Tujuan Umum Penelitian 111.3.2 Tujuan Khusus Penelitian 11
1.4 Manfaat Penelitian1.4.1 Pelayanan Keperawatan 121.4.2 Ilmu Pengetahuan 121.4.3 Penelitian Keperawatan 12
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA2.1 Schizophrenia
2.1.1 Definisi schizophrenia 132.1.2 Proses terjadinya schizophrenia 162.1.3 Tanda dan gejala schizophrenia 182.1.4 Proses keperawatan pada klien dengan schizophrenia 20
2.1.4.1 Pengkajian 212.1.4.2 Diagnosa keperawatan 272.1.4.3 Intervensi keperawatan 30
1. Intervensi keperawatan generalis 302. Intervensi keperawatan spesialis 313. Pemberdayaan kader dan peran pengawas minum obat 34
2.1.4.4 Pedoman pelaksanaan terapi1. Asuhan keperawatan generalis pada klien 412. Family Psychoeducation pada keluarga 413. Pelaksanaan peran Pengawas Minum Obat oleh kader 44
2.1.4.5 Hasil akhir dan evaluasi intervensi keperawatan 45
2.2 Kemandirian klien schizophrenia 472.2.1 Efek schizophrenia terhadap aktivitas sehari-hari 482.2.2 Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian 49
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
xii
2.2.3 Pengukuran kemandirian 502.3 Kepatuhan berobat
2.3.1 Definisi kepatuhan dan ketidakpatuhan 502.3.2 Batasan karakteristik 522.3.3 Faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan 522.3.4 Cara mengukur kepatuhan 53
BAB 3. KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka teori 553.2 Kerangka konsep penelitian 593.3 Hipotesis 623.4 Definisi operasional 62
BAB 4. METODE PENELITIAN4.1 Rancangan penelitian 644.2 Populasi dan sampel 65
4.2.1 Populasi 654.2.2 Sampel 66
4.3 Waktu dan tempat penelitian 694.4 Etika penelitian 704.5 Instrumen penelitian 734.6 Uji coba instrumen 754.7 Prosedur pelaksanaan penelitian 76
4.7.1 Tahap persiapan 764.7.2 Tahap pelaksanaan 774.7.3 Tahap akhir 77
4.8 Pengolahan data 784.9 Analisa data 79
4.9.1 Analisa data univariat 794.9.2 Analisa data bivariat 804.9.3 Analisa data multivariat 82
BAB 5. HASIL PENELITIAN5.1 Karakteristik klien schizophrenia 83
5.1.1 Karakteristik usia klien 835.1.2 Karakteristik jenis kelamin, keluhan fisik dan keyakinan
terhadap pelayanan kesehatan 845.1.3 Faktor predisposisi pada klien schizophrenia di Kecamatan
Kersamanah Kabupaten Garut 86
5.2 Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO terhadap kemandirian klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 875.2.1 Kemandirian klien schizophrenia sebelum dilakukan
terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 87
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
xiii
5.2.2 Perubahan kemandirian klien schizophrenia sebelum dan sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi
dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 88
5.2.3 Kemandirian klien schizophrenia sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 90
5.2.4 Hubungan karakteristik dengan kemandirian klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 91
5.3 Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO terhadap kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Garut 92
5.3.1 Kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 92
5.3.2 Perubahan kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum dan sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 935.3.3 Kepatuhan berobat klien schizophrenia sesudah dilakukan terapi
pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 95
5.3.4 Hubungan karakteristik dengan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 96
5.4 Hubungan kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia pada kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 98
BAB 6 PEMBAHASAN6.1 Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO
pada kemandirian klien 996.2 Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO pada kepatuhan berobat klien 1046.3 Hubungan kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 1096.4 Faktor predisposisi klien schizophrenia 1106.5 Keterbatasan penelitian 1116.6 Implikasi hasil penelitian 112
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN7.1 Kesimpulan 1137.2 Saran 114
DAFTAR PUSTAKA 117LAMPIRAN
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
xiv
DAFTAR SKEMA
Skema 2.1 Model Stress Adaptasi Stuart 20
Skema 3.1 Kerangka teori 58
Skema 3.2 Kerangka konsep penelitian 61
Skema 4.1 Rancangan penelitian 64
Skema 4.2 Gambaran prosedur penelitian 78
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Diagnosa keperawatan pada klien dengan schizophrenia 27
Tabel 3.1 Definisi operasional dan variabel penelitian 63
Tabel 4.1 Pemetaan jumlah klien berdasarkan kelompok intervensi dan kelompok kontrol 69
Tabel 4.2 Kisi-kisi instrumen pengukuran kemandirian klien schizophrenia 74
Tabel 4.3 Kisi-kisi instrumen pengukuran kepatuhan berobat klien schizophrenia 74
Tabel 4.4 Analisis bivariat variabel penelitian 81
Tabel 5.1 Analisis karakteristik klien pada kelompok intervensi dan kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan
Kersamanah Kabupaten Garut 84
Tabel 5.2 Kesetaraan karakteristik klien schizophrenia berdasarkan usia pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan
Kersamanah Kabupaten Garut 84
Tabel 5.3 Distribusi karakteristik klien schizophrenia pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah
Kabupaten Garut 85
Tabel 5.4 Kesetaraan karakteristik klien berdasarkan jenis kelamin, keluhan fisik dan keyakinan terhadap pelayanan kesehatan pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan
Kersamanah Kabupaten Garut 86
Tabel 5.5 Faktor predisposisi pada klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 86
Tabel 5.6 Analisis kemandirian klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 87
Tabel 5.7 Analisis kesetaraan kemandirian klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 88
Tabel 5.8 Analisis perbedaan kemandirian klien schizophrenia sebelum
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
xvi
sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 89
Tabel 5.9 Analisa beda rata-rata selisih kemandirian klien sebelum dan sesudah terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 89
Tabel 5.10 Analisis kemandirian klien schizophrenia sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 90
Tabel 5.11 Perbedaan kemandirian klien schizophrenia setelah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 90
Tabel 5.12 Analisis faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 91
Tabel 5.13 Perbedaan rata-rata kemandirian sebelum dan sesudah terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol 92
Tabel 5.14 Analisis kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 93
Tabel 5.15 Analisis kesetaraan kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 93
Tabel 5.16 Analisis perbedaan kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum dan sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 94
Tabel 5.17 Analisis beda rata-rata selisih kepatuhan berobat klien sebelum dan sesudah terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 95
Tabel 5.18 Analisis kepatuhan berobat klien schizophrenia sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 95
Tabel 5.19 Perbedaan kepatuhan berobat klien schizophrenia sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok
kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 96
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
xvii
Tabel 5.20 Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 97
Tabel 5.21 Perbedaan rata-rata kepatuhan berobat sebelum dan sesudah terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol 97
Tabel 5.22 Analisis hubungan kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 98
Tabel 6.1 Perbandingan presentase peningkatan kemandirian pada penelitian CMHN Jakarta dengan penelitian Kersamanah Garut 102
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Jadwal pelaksanaan penelitian Lampiran 1
Penjelasan penelitian Lampiran 2
Lembar persetujuan responden (informed consent) Lampiran 3
Kuesioner 1 Lampiran 4
Kuesioner 2 Lampiran 5
Kuesioner 3 Lampiran 6
Keterangan lolos uji etik Lampiran 7
Keterangan lolos expert validity Lampiran 8
Keterangan lolos uji kompetensi Lampiran 9
Standar Asuhan Keperawatan Jiwa (Diagnosa Gangguan) Lampiran 10
Modul terapi Family Psycho Education (FPE) Lampiran 11
Buku kerja FPE Lampiran 12
Buku evaluasi PMO Lampiran 13
Buku evaluasi peneliti Lampiran 14
Pedoman pembekalan kader Lampiran 15
Surat-surat Lampiran 16
Daftar riwayat hidup peneliti Lampiran 17
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
1Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah
Schizophrenia merupakan gangguan kesehatan serius yang perlu mendapat
perhatian. Menurut World Health Organiztion (WHO), schizophrenia
merupakan gangguan mental serius yang mempengaruhi sekitar tujuh dari
1000 populasi orang dewasa, kebanyakan dalam rentang usia 15 - 35 tahun.
Walaupun insidennya rendah (3/10.000), prevalensi penyakit ini cukup tinggi
karena penyakit ini bersifat kronis (WHO, 2012). Prevalensi median dari
schizophrenia adalah 4.6/1.000 untuk prevalensi point, 3.3/1.000 for
prevalensi periodik dan 4.0/1.000 untuk lifetime prevalence dan 7.2/1.000
untuk risiko morbiditas (NCBI, 2012). Melihat prevalensi ini, schizophrenia
perlu mendapat perhatian dalam penanganan dan pencegahan meningkatnya
prevalensi.
Prevalensi gangguan jiwa di Indonesia tidak jauh berbeda dengan
prevalensinya di dunia. Angka kejadian gangguan jiwa di Indonesia
berdasarkan data riskesdas adalah sebesar 4,6/1000 jiwa (Balitbangkes, 2007).
Angka ini sama dengan angka prevalensi median gangguan jiwa di dunia. Di
Indonesia diperkirakan sekitar 1 juta penduduk menderita gangguan jiwa
(Depkes, 2012). Hasil pendataan kesehatan untuk schizophrenia ini bisa jadi
merupakan fenomena gunung es di mana angka sebenarnya di lapangan
dapat lebih besar, karena stigma yang buruk mengenai gangguan jiwa yang
menyebabkan kejadian gangguan jiwa atau schizophrenia banyak ditutup-
tutupi oleh masyarakat.
Penyakit schizophrenia juga dianggap penyakit yang tidak kalah berbahaya
dibandingkan dengan penyakit-penyakit fisik kronis lainnya. Ho, Black dan
Andreasen (2003, dalam Townsend, 2009) menyatakan bahwa schizophrenia
mungkin merupakan penyakit yang paling membingungkan dan paling tragis
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
2Universitas Indonesia
yang mengancam jiwa, dan mungkin juga penyakit yang paling merusak.
Penyakit ini tidak kalah berbahaya dibanding penyakit fisik kronis lainnya
pada usia dewasa. Schizophrenia menyerang pada usia muda, karena itu tidak
seperti pasien dengan kanker atau penyakit jantung, pasien dengan
schizophrenia masih tetap hidup bertahun tahun setelah onset penyakit dan
terus menderita karena efek penyakit tersebut, sehingga menghambat mereka
untuk menjalani kehidupan dengan normal, seperti sekolah, bekerja, memiliki
teman dekat, menikah, atau memiliki anak. Schizophrenia dapat berefek
terhadap individu, keluarga dan juga menyebabkan beban ekonomi yang besar
di masyarakat (Townsend, 2009). Dari pernyataan tersebut dapat dilihat
bahwa selain berbahaya, penyakit ini juga berdampak buruk pada keluarga
dan menjadi beban bagi masyarakat.
Klien dengan schizophrenia terpisah dari dunia nyata dan memiliki dunianya
sendiri, seperti pengertian kata schizophrenia yang diambil dari bahasa
Yunani schizein yang berarti terbelah dan phren yang berarti pikiran
(Townsend, 2009). Orang dengan schizophrenia dapat mendengarkan suara
yang tidak dapat didengar orang lain. Mereka dapat berpikir bahwa orang lain
dapat membaca pikirannya, mengontrol pikirannya, atau berencana untuk
menyakiti mereka. Hal ini menakutkan bagi penderita schizophrenia dan
membuat mereka menarik diri atau gelisah berlebihan. Keluarga dan
masyarakat sekitar dapat juga terkena dampak dari schizophrenia.
Kebanyakan orang dengan schizophrenia memiliki kesulitan dalam
menjalankan pekerjaannya atau bahkan untuk merawat dirinya sendiri, maka
mereka bergantung pada bantuan orang lain (NIMH, 2012). Dari sini dapat
dilihat bahwa schizophrenia berdampak buruk pada individu, keluarga dan
masyarakat sekitarnya.
Orang dengan schizophrenia akan mengalami gangguan dalam
kemandiriannya menjalankan fungsi dan peran dalam kehidupan sehari hari,
seperti merawat diri sendiri, sekolah atau bekerja dan fungsi lainnya. Oleh
karena itu, pasien dengan schizophrenia memerlukan bantuan dari pihak lain
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
3Universitas Indonesia
untuk tetap bertahan hidup, atau dengan kata lain bergantung pada bantuan
orang lain (NIMH, 2012). Unit terdekat yang dapat membantu pasien dengan
schizophrenia adalah keluarga. Karena prevalensinya yang tinggi dan penyakit
ini bersifat kronik maka selain memberikan penanganan secara medis dengan
obat-obatan, diperlukan juga terapi untuk meningkatkan kemandirian klien
agar selama menjalani pengobatan kemandirian klien dapat ditingkatkan dan
dapat mengurangi kebergantungan pasien pada orang lain.
Schizophrenia sampai dapat menyebabkan kematian karena kejadian bunuh
diri. Radomsky, Haas, Mann, dan Sweeney (1999, dalam Townsend, 2009)
memperkirakan 10% pasien dengan schizophrenia meninggal karena bunuh
diri. Penelitian lain memperkirakan kejadian ide bunuh diri pada klien
schizophrenia sekitar 40 - 55% dan percobaan bunuh diri sekitar 20 50%
(Addington, 2006 dalam Townsend, 2009). Mempertimbangkan bahaya yang
dapat ditimbulkan oleh penyakit ini kepada individu, maka schizophrenia ini
perlu mendapat perhatian serius dalam penanganannya.
Penanganan masalah gangguan jiwa perlu dirancang dengan baik dengan
mengikutsertakan berbagai pihak. Menurut perhitungan utilisasi layanan
kesehatan jiwa di tingkat primer, sekunder, dan tertier kesenjangan
pengobatan diperkirakan >90%. Hal ini berarti bahwa hanya
4Universitas Indonesia
satu penanganan saja yang bisa mengatasi schizophrenia. Karena itu,
penanganan yang efektif memerlukan usaha yang komprehensif, melibatkan
multidisiplin, termasuk terapi farmaka dan berbagai bentuk perawatan
psikososial, seperti kemampuan untuk menjalani hidup sehari-hari dan
keterampilan sosial, rehabilitasi dan terapi keluarga (Townsend, 2009).
Karena itu, penanganan schizophrenia memerlukan kombinasi antara terapi
farmaka dan terapi lain seperti psikoterapi, rehabilitasi dan sebagainya.
Penanganan penyakit schizophrenia dapat melibatkan penanganan medis,
psikoterapi dan rehabilitasi. Dalam keperawatan telah dikenal adanya Standar
Asuhan Keperawatan (SAK) Jiwa yang merupakan panduan bagi perawat
dalam melakukan asuhan keperawatan pada klien dan keluarganya. SAK ini
digunakan oleh perawat untuk memberikan tindakan keperawatan generalis.
SAK ini berisi panduan untuk menangani diagnosa keperawatan Sedangkan
untuk terapi spesialis keperawatan jiwa telah dikembangkan berbagai
psikoterapi untuk individu, kelompok dan keluarga.
Keluarga sebagai unit sosial terdekat dengan klien juga memerlukan terapi
untuk menangani anggota keluarganya yang mengalami schizophrenia. Selain
asuhan keperawatan generalis sesuai SAK, saat ini telah dikembangkan pula
psikoterapi untuk keluarga antara lain Family Psychoeducation dan Triangle
Therapy (Keliat & Walter, 2011). Berbagai terapi ini terus dikembangkan dan
banyak dilakukan penelitian untuk terus mengembangkan metoda terapi dan
efeknya untuk masalah dan gangguan kesehatan jiwa.
Family psycho-education (FPE) atau psikoedukasi keluarga adalah salah satu
terapi untuk keluarga yang dapat digunakan di berbagai setting pelayanan
keperawatan jiwa. Psikoedukasi adalah pendekatan edukasional dan pragmatis
yang bertujuan untuk memperbaiki pengetahuan mengenai anggota keluarga
yang sakit, mengurangi kekambuhan, dan memperbaiki keberjalanan fungsi
pasien dan keluarga (Stuart, 2009). Psikoedukasi keluarga dapat diberikan
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
5Universitas Indonesia
pada keluarga dalam berbagai setting, baik di rumah sakit jiwa, rumah sakit
umum maupun di komunitas.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui efek dari pemberian
FPE ini secara langsung kepada keluarga dan secara tidak langsung kepada
klien. Salah satu penelitian dalam The British Journal of Psychology
menunjukkan efek pemberian FPE pada keluarga yang merawat klien dengan
depresi mayor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok pada
kelompok yang diberikan FPE, waktu kekambuhan klien secara statistik lebih
panjang dibandingkan dengan kelompok keluarga yang tidak diberikan FPE
(Kaplan-Meier survival analysis, P=0,002) (Shimazu, et.al, 2008). Hal ini
menunjukkan bahwa intervensi pada keluarga memberikan dampak yang
positif terhadap klien.
Pemberdayaan masyarakat dalam menangani schizophrenia juga tidak dapat
diabaikan. Seperti telah disampaikan sebelumnya bahwa masalah
schizophrenia memberikan dampak pada keluarga dan masyarakat di
sekitarnya. Karena itu keberadaan keluarga dan masyarakat perlu
dipertimbangkan dalam rangka menangani masalah gangguan jiwa ini.
Pemberdayaan masyarakat dalam keperawatan kesehatan jiwa diwujudkan
dengan dikembangkannya model Community Mental Health Nursing
(CMHN). CMHN / Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas (KKJK)
merupakan salah satu upaya yang digunakan untuk membantu masyarakat
menyelesaikan masalah-masalah kesehatan jiwa akibat dampak konflik,
tsunami, gempa maupun bencana lainnya (Keliat dkk, 2011). Dalam CMHN
masyarakat diberdayakan agar dapat mengatasi masalah kesehatan jiwa di
wilayah tempat tinggalnya.
Penelitian terkait penerapan model CMHN yang dilakukan Keliat, Helena dan
Riasmini (2011) yang mengujicobakan model CMHN pada 237 keluarga di
DKI Jakarta. Pada penelitian ini perawat CMHN melakukan kunjungan rumah
dilakukan sebanyak 12 kali kunjungan. Penelitian dilakukan dengan
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
6Universitas Indonesia
memberikan asuhan keperawatan kepada klien dan memberikan health
education kepada keluarga klien. Hasil analisis menunjukkan rata-rata
kemandirian pasien pada kelompok intervensi sebelum penerapan model
CMHN yaitu 29.94, standar deviasi 11.27, dan setelah penerapan model
CMHN yaitu 38.83, standar deviasi 9.32. Rata-rata waktu produktif pasien
pada kelompok intervensi sebelum penerapan model CMHN yaitu 2.21,
standar deviasi 1.36, dan setelah penerapan model sebesar 3.82, standar
deviasi 1.28. Ada perbedaan bermakna kemampuan kognitif keluarga sebelum
dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi (p value = 0.000), sedangkan
pada kelompok kontrol tidak ada perbedaan bermakna (p value = 0.123) ada
perbedaan bermakna kemampuan psikomotor sebelum dan setelah penerapan
model CMHN baik pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol (p
value = 0.000 dan 0.027). Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa penerapan
model CMHN berdampak positif terhadap klien dan keluarga.
Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan pola kunjungan rumah
seperti pada penelitian di atas ditambah dengan pemberdayaan kader untuk
menjalankan peran PMO (Pengawas Minum Obat). Peran PMO digunakan
dengan mempertimbangkan sumber daya yang telah ada, yaitu tersedianya
kader yang khusus berperan dalam program kesehatan jiwa dan fenomena
yang ditemukan selama peneliti melakukan studi pendahuluan yang akan
dijelaskan lebih rinci pada paragraf selanjutnya.
Peran kader dalam model CMHN salah satunya adalah melakukan kunjungan
rumah ke keluarga pasien gangguan jiwa yang telah mandiri (Keliat, 2010).
Kegiatan yang dapat dilakukan saat kader melakukan kunjungan rumah adalah
menjalankan peran PMO (Pengawas Minum Obat) seperti yang telah
dikembangkan oleh Departemen Kesehatan untuk penyakit tuberculosis. PMO
bertugas untuk menjamin keteraturan pengobatan klien. PMO sendiri
sebaiknya dilakukan oleh petugas kesehatan, atau jika tidak memungkinkan
dapat dilakukan oleh kader atau keluarga klien (Nizar, 2010). Pada penelitian
ini akan diujicobakan pelaksanaan peran PMO oleh kader.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
7Universitas Indonesia
Kecamatan Kersamanah adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Garut
Propinsi Jawa Barat yang cukup potensial untuk diberikan terapi spesialis.
Jumlah klien gangguan jiwa di kecamatan tersebut sampai akhir Desember
2011 mencapai 98 orang dari total jumlah penduduk 37.681 orang. Dengan
demikian prevalensi gangguan jiwa di kecamatan tersebut adalah 2,6/1000
jiwa. Angka ini lebih besar dari prevalensi di Provinsi Jawa Barat yang
mencapai 2,2/1000 jiwa. Desa Kersamanah yang memiliki jumlah klien paling
banyak, yaitu 35 klien, sempat diberitakan sebagai desa gila pada tahun
2008 dalam salah satu media massa di Jawa Barat. Berdasarkan data Bulan
Januari 2012 yang diperoleh dari data sekunder di puskesmas, didapatkan data
dari 98 klien, sebanyak 39 klien terdata drop out (DO) obat dengan alasan
berbeda-beda.
Peneliti melakukan studi pendahuluan dengan mengunjungi enam keluarga
dengan schizophrenia. Dari hasil pengkajian didapatkan dua dari enam klien
belum mandiri melakukan perawatan diri dan salah satu klien tersebut
mengalami pemasungan sehingga perawatan dirinya semakin buruk. Empat
dari enam klien menunjukkan gejala fase aktif schizophrenia seperti
halusinasi, disorganisasi pembicaraan, gejala-gejala negatif seperti afek datar,
dan tidak ada motivasi untuk beraktivitas. Semua klien tidak mengetahui
bagaimana cara mengatasi masalah keperawatan, seperti halusinasi, isolasi
sosial dan risiko perilaku kekerasan yang muncul pada dirinya. Empat dari
enam klien yang dikaji, tidak teratur minum obat dengan berbagai alasan.
Alasan yang dikemukakan terkait pengobatan antara lain, klien menolak
minum obat karena bosan, klien tidak minum obat karena keluarga merasa
tidak perlu diobati, dan klien minum obat semaunya karena tidak diawasi oleh
orangtuanya yang sudah tua. Hal ini menunjukkan bahwa klien memerlukan
asuhan keperawatan untuk meningkatkan kemandirian dan meningkatkan
kepatuhan klien minum obat.
Studi pendahuluan juga dilakukan kepada keluarga klien untuk mengetahui
usaha keluarga untuk mengatasi penyakit klien dan dampak kondisi klien pada
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
8Universitas Indonesia
keluarga. Empat dari enam keluarga merasa bingung dan tidak tahu apa yang
harus dilakukan pada anggota keluarganya yang sakit. Dua keluarga merasa
terancam dan takut kepada klien dan pernah menjadi korban perilaku
kekerasan klien. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga tidak memiliki koping
yang adekuat untuk merawat klien. Untuk itu keluarga perlu diberikan terapi
untuk meningkatkan pengetahuannya tentang cara merawat klien serta
meningkatkan kopingnya dalam menghadapi klien.
Kelima desa di Kecamatan Kersamanah memiliki 4-5 kader untuk membantu
petugas kesehatan di puskesmas. Hal yang sudah dilakukan kader yang ada
adalah membantu pasien mendapatkan obat dari puskesmas, memotivasi
pasien dan keluarga untuk mengingatkan pasien untuk minum obat,
mengidentifikasi pasien baru dan melaporkannya ke pihak puskesmas..
Peneliti juga menanyakan perihal kunjungan kader dan petugas puskesmas ke
rumah warga. Satu dari enam keluarga yang dikaji adalah kader kesehatan
jiwa yang dinilai cukup aktif di puskesmas. Satu keluarga lain menyatakan
bahwa kader dan petugas puskesmas tidak pernah mendatangi rumahnya. Satu
keluarga lain berikutnya menyatakan jarang, tetapi keluarga akan mendatangi
puskesmas jika gejala klien muncul lagi. Sedangkan tiga keluarga lain
menyatakan kader kesehatan jiwa maupun petugas puskesmas jarang datang
ke rumahnya, petugas atau kader hanya datang ketika memberikan obat atau
menyampaikan ada kegiatan di puskesmas. Kader juga belum pernah
mendapatkan pelatihan Kader Kesehatan Jiwa (KKJ) sebelumnya. Peneliti
tertarik untuk memberdayakan kader untuk melakukan kunjungan rumah
sebagai salah satu peran KKJ untuk melakukan peran PMO.
Kecamatan Kersamanah terdiri dari lima desa, yaitu Desa Kersamanah, Desa
Sukamaju, Desa Girijaya, Desa Nanjungjaya, dan Desa Sukamerang.
Puskesmas utama berlokasi di Desa Sukamerang, dan puskesmas pembantu
terletak di Desa Kersamanah dan Desa Nanjungjaya. Dengan adanya
puskesmas pembantu, diperkirakan akses warga ke puskesmas cukup
terjangkau. Puskesmas juga menyediakan pemeriksaan psikiater gratis di
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
9Universitas Indonesia
puskesmas satu minggu sekali dan pemberian obat gratis. Dapat disimpulkan
bahwa jarak puskesmas dan biaya pengobatan seharusnya tidak menjadi
hambatan untuk klien berobat. Jumlah petugas puskesmas untuk kesehatan
jiwa di Kecamatan Kersamanah adalah 2 orang, dibantu 2 orang lainnya untuk
teknis di lapangan. Petugas puskesmas merasa perlu dibantu oleh kader dalam
menjalankan tugasnya di lapangan seperti menyampaikan obat ke rumah klien.
Pengelolaan klien secara langsung ke rumah-rumah kurang optimal dilakukan
oleh petugas puskesmas karena keterbatasan tenaga. Kecamatan Kersamanah
juga belum pernah terpapar dengan terapi spesialis keperawatan jiwa.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti tertarik untuk
meneliti pengaruh pemberian asuhan keperawatan kepada klien, FPE pada
keluarga dan pelaksanaan peran PMO oleh kader terhadap kemandirian dan
kepatuhan berobat klien gangguan jiwa di Kecamatan Kersamanah tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Kecamatan Kersamanah merupakan salah satu kecamatan di Provinsi Jawa
Barat yang memiliki prevalensi gangguan jiwa lebih tinggi dibandingkan
dengan prevalensi gangguan jiwa di Provinsi Jawa Barat. Jumlah klien yang
terdeteksi sampai Bulan Desember 2012 adalah 98 orang. Dari 98 klien,
sebanyak 39 orang terdata drop out (DO) obat karena berbagai alasan. Dari
hasil studi pendahuluan diketahui empat dari enam klien belum mandiri dalam
melakukan perawatan diri, bahkan salah satu klien dipasung oleh keluarga.
Semua klien yang dikaji menyatakan tidak tahu bagaimana cara mengatasi
masalah yang dialaminya, seperti halusinasi, isolasi sosial, defisit perawatan
diri dan perilaku kekerasan.
Enam keluarga yang dikaji mengatakan tidak tahu dalam merawat klien
dengan gangguan jiwa. Dua keluarga merasa takut dan pernah menjadi korban
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
10
Universitas Indonesia
perilaku kekerasan klien. Seluruh keluarga belum pernah terpapar oleh terapi
spesialis keperawatan jiwa seperti FPE sebelumnya.
Setiap desa memiliki sumber daya berupa kader sebanyak 4-5 orang yang
bertugas untuk membantu petugas puskesmas menjalankan program kesehatan
jiwa di kecamatan tersebut. Namun menurut keluarga petugas puskesmas dan
kader tidak teratur datang ke rumah klien. Belum pernah ada program PMO
sebelumnya.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, didapatkan
masalah-masalah penelitian sebagai berikut:
1.2.1 Prevalensi gangguan jiwa di Kecamatan Kersamanah, yaitu sebesar
2,6/1000 jiwa, lebih tinggi dibanding prevalensi di Jawa Barat sebesar
2,2/1000 jiwa.
1.2.2 Empat dari enam klien yang dikunjungi belum mandiri dalam
melakukan ADL (Activity Daily Living) nya.
1.2.3 Sebesar 39 dari 98 klien (39,8%) dinyatakan drop out berobat.
1.2.4 Semua keluarga yang dikunjungi belum memahami cara merawat klien
di rumah.
1.2.5 Kader tidak teratur melakukan kunjungan rumah.
1.2.6 Belum pernah dilakukan FPE dan peran PMO sebelumnya.
Berdasarkan berbagai permasalahan di atas, peneliti tertarik untuk
memberikan asuhan keperawatan kepada klien, FPE kepada keluarga dan
memberdayakan kader untuk menjalankan peran PMO kepada klien dengan
schizophrenia di Kersamanah Garut, dengan pertanyaan penelitian yaitu:
1. Apakah pemberian asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran
Pengawas Minum Obat oleh kader mempengaruhi kemandirian dan
kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut?
2. Apakah ada hubungan antara kemandirian dengan kepatuhan berobat klien
schizophrenia di Kersamanah Garut?
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
11
Universitas Indonesia
3. Apakah karakteristik klien mempengaruhi kemandirian dan kepatuhan
berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
pemberian asuhan keperawatan kepada klien, keluarga dan peran
Pengawas Minum Obat (PMO) terhadap kemandirian dan kepatuhan
berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut.
1.3.2 Tujuan Khusus Penelitian
Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.3.2.1 Diketahuinya karakteristik klien schizophrenia di Kersamanah
Garut
1.3.2.2 Diketahuinya kemandirian klien schizophrenia di Kersamanah
Garut.
1.3.2.3 Diketahuinya kepatuhan berobat klien schizophrenia di
Kersamanah Garut.
1.3.2.4 Diketahuinya pengaruh asuhan keperawatan kepada klien, FPE
kepada keluarga dan peran PMO oleh kader terhadap
kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di
Kersamanah Garut.
1.3.2.5 Diketahuinya hubungan antara kemandirian dengan kepatuhan
berobat klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah.
1.3.2.6 Diketahuinya karakteristik yang berkontribusi terhadap
kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di
Kecamatan Kersamanah.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
12
Universitas Indonesia
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1.4.1 Pelayanan keperawatan
Dengan penelitian ini diharapkan Unit Kesehatan Jiwa Puskesmas
Kersamanah dapat mengembangkan pelayanan kesehatan jiwa dengan
sasaran klien, keluarga dan kader. Penelitian ini juga diharapkan
menjadikan masukan bagi puskesmas untuk mengadakan pelatihan
CMHN untuk program kesehatan jiwa di Kecamatan Kersamanah.
Bagi kader yang sudah terbentuk diharapkan dapat menjadi masukan
untuk menjalankan peran sebagai Kader Kesehatan Jiwa sesuai dengan
model CMHN.
1.4.2 Ilmu pengetahuan
1.4.2.1 Hasil penelitian ini dapat menjadi data dasar dalam
pengembangan kader sesuai dengan model CMHN
1.4.2.2 Penelitian ini dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi
keluarga, kader dan petugas puskesmas dalam memberikan
intervensi pada klien dengan schizophrenia
1.4.3 Penelitian keperawatan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan data awal untuk melakukan
penelitian selanjutnya terkait intervensi kepada klien dengan
schizophrenia, keluarga dan kader.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
13
Universitas Indonesia
UNIVERSITAS INDONESIA
PENGARUH ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN, KELUARGA DAN PERAN PENGAWAS MINUM OBAT
TERHADAP KEMANDIRIAN DAN KEPATUHAN BEROBAT KLIEN SCHIZOPHRENIA DI KERSAMANAH GARUT
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Keperawatan Kekhususan Keperawatan Jiwa
Rahmi Imelisa1006749182
FAKULTAS ILMU KEPERAWATANPROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWAUNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, JULI 2012
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
14
Universitas Indonesia
UNIVERSITAS INDONESIA
PENGARUH ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN, KELUARGA DAN PERAN PENGAWAS MINUM OBAT
TERHADAP KEMANDIRIAN DAN KEPATUHAN BEROBAT KLIEN SCHIZOPHRENIA DI KERSAMANAH GARUT
TESIS
Rahmi Imelisa1006749182
FAKULTAS ILMU KEPERAWATANPROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIADEPOK, JULI 2012
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
13Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan disampaikan tinjauan pustaka mengenai schizophrenia,
termasuk penanganan kepada klien, keluarga dan peran kader dalam PMO,
kemandirian, dan kepatuhan berobat.
2.1 Schizophrenia
Berikut ini akan dibahas mengenai definisi schizophrenia, proses terjadinya
schizophrenia, tanda dan gejala schizophrenia, dan proses keperawatan pada
klien dengan schizophrenia.
2.1.1 Definisi schizophrenia
Kata schizophrenia adalah kombinasi dari dua kata dari Yunani,
schizein, yang berarti terbelah, dan phren, yang berarti pikiran.
Namun bukan berarti pikiran terbelah seperti yang terjadi pada seseorang
dengan kepribadian terbelah, tetapi keyakinan bahwa pembelahan terjadi
antara kognitif dan emosional seseorang (Stuart, 2009).
Schizophrenia merupakan salah satu fase dari psikosis. Untuk
memahami schizophrenia terlebih dahulu perlu dipahami mengenai
pengertian psikosis. Psikosis adalah kondisi mental di mana terjadi
disorganisasi kepribadian, kerusakan dalam fungsi sosial dan kehilangan
kontak atau distori terhadap realita. Mungkin terjadi halusinasi dan
waham. Psikosis dapat terjadi dengan atau tanpa adanya kerusakan
organik (Townsend, 2009). Stuart (2009) mendefinisikan psikosis
sebagai kondisi mental dimana seseorang memiliki pengalaman realita
yang berbeda dari orang lain. Pada kondisi ini pasien tidak akan
menyadari bahwa orang lain tidak mengalami apa yang dialaminya dan
pasien akan merasa heran karena orang lain tidak bereaksi sama dengan
dirinya (Stuart, 2009). Dan Fontaine (2009) mendefinisikan psikosis
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
14
Universitas Indonesia
sebagai pengalaman perubahan mental yang menetap, seperti
ketidakmampuan berpikir jernih, tidak mampu memaknai sesuatu
dengan benar, dan tidak mampu mengontrol emosi yang berlebih. Dari
beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa psikosis adalah
gangguan mental di mana klien mengalami perubahan persepsi terhadap
realita. Klien dengan psikosis mengalami kesulitan dalam memaknai
kenyataan.
Definisi psikosis dan schizophrenia seringkali beriringan. Shizophrenia
sendiri menurut Townsend (2009) merupakan salah satu tahapan dari
psikosis, yaitu saat tanda dan gejala muncul sangat mencolok. Stuart
(2009) mendefinisikan schizophrenia sebagai penyakit otak
neurobiologis yang menetap. Menurutnya pula, bahwa schizophrenia
merupakan gejala klinis yang berdampak pada kehidupan individu,
keluarga dan komunitasnya. Stuart mengelompokkan schizophrenia ke
dalam rentang respon neurobiologis. Schizophrenia oleh Videbeck
(2008), diartikan sebagai suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan
menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku
yang aneh dan terganggu. Dan Fontaine (2009) mendefinisikan
schizophrenia sebagai kombinasi dari kerusakan berpikir, gangguan
persepsi, ketidaknormalan perilaku, gangguan afektif dan kerusakan
kompetensi sosial. Dapat disimpulkan bahwa schizophrenia merupakan
gangguan neurobiologis yang dimanifestasikan dengan gangguan
persepsi terhadap realita dan disertai dengan perilaku yang abnormal.
Berikut ini adalah kriteria DSM-IV-TR (APA, 2000 dalam Townsend,
2009) yang digunakan untuk mendiagnosa schizophrenia:
1. Gejala karakteristik: dua (atau lebih) dari gejala berikut, masing-
masing terjadi dalam waktu yang signifikan selama periode 1 bulan
(atau kurang jika berhasil ditangani):
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
15
Universitas Indonesia
a. Delusi (waham)
b. Halusinasi
c. Disorganisasi pembicaraan
d. Perilaku katatonik
e. Gejala negatif (misal afek datar, alogia, atau avolisi)
2. Disfungsi sosial atau okupasional: untuk waktu yang signifikan sejak
muncul gangguan, satu atau lebih area mayor atau fungsi seperti
pekerjaan, hubungan interpersonal, atau perawatan diri berada di
bawah normal pada level sebelum onset gangguan (atau jika onset
pada masa anak atau remaja, kegagalan mencapai pencapaian tingkat
interpersonal, akademik atau okupasional).
3. Durasi: gangguan berlanjut dan menetap selama sekurang-kurangnya
6 bulan. Selama 6 bulan ini termasuk masa 1 bulan gejala aktif (atau
kurang jika penanganan baik) dan dapat termasuk fase prodromal
atau residual. Selama masa prodromal dan residual ini, tanda-tanda
dari gangguan ini dapat berupa gejala negatif saja atau dua atau lebih
gejala yang telah diuraikan pada kriteria 1 dan muncul dalam bentuk
yang melemah (misal keyakinan yang aneh, ekpresi persepsi yang
tidak biasa).
4. Eksklusi skizoafektif dan mood disorder: Gangguan skizoafektif dan
mood disorder dengan masalah psikotik telah dikeluarkan karena (1)
tidak ada depresi mayor, manic, atau episode campuran yang terjadi
bersamaan dengan gejala fase aktif; atau (2) jika episode mood
terjadi selama fase aktif, durasi totalnya berhubungan langsung
dengan durasi masa aktif dan residual.
5. Esklusi masalah substansi atau kondisi kesehatan umum: Gangguan
yang terjadi tidak secara langsung merupakan efek fisiologis dari
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
16
Universitas Indonesia
penggunaan substansi tertentu (misal penyalahgunaan obat, atau
pengobatan) atau kondisi medis secara umum.
6. Berhubungan dengan gangguan perkembangan pervasif: jika ada
riwayat autis atau masalah perkembangan lainnya, maka diagnosa
schizophrenia ditambahkan hanya jika waham atau halusinasi yang
sangat kuat muncul selama sekurang-kurangnya 1 bulan (atau kurang
jika penanganan baik).
2.1.2 Proses Terjadinya Schizophrenia
Untuk memahami proses terjadinya schizophrenia, perlu dipahami pula
perjalanan gangguan psikotik, karena schizophrenia merupakan salah
satu fase yang muncul pada perjalanan gangguan psikotik. Berikut ini
akan diuraikan mengenai empat fase perjalanan gangguan psikotik.
Schizophrenia dapat muncul tiba-tiba, tetapi kebanyakan tanda dan
gejala berkembang secara lambat dan bertahap. Gejala yang dapat
muncul seperti menarik diri dari masyarakat, perilaku yang tidak lazim,
kehilangan minat untuk sekolah atau bekerja, dan seringkali
mengabaikan hygiene (Videbeck, 2008).
Psikosis berkembang dalam empat fase, yaitu fase premorbid, fase
prodromal, fase schizophrenia dan fase residual. Berikut ini adalah
uraian dari setiap fase tersebut.
2.1.2.1 Fase I : Fase premorbid
Fase ini ditandai dengan periode munculnya ketidaknormalan
fungsi, walaupun hal ini dapat terjadi sebagai akibat dari efek
penyakit tertentu (Lehman et al, 2006 dalam Townsend, 2009).
Indikator premorbid dari psikosis, diantaranya adalah riwayat
psikiatri keluarga, riwayat prenatal, dan komplikasi obstetrik dan
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
17
Universitas Indonesia
defisit neurologis. Faktor premorbid lain adalah pribadi yang
terlalu pemalu dan menarik diri, hubungan sosial yang kurang
baik dan menunjukkan perilaku antisosial. Faktor usia dan jenis
kelamin perlu menjadi perhatian, perilaku menyimpang
cenderung lebih muncul saat remaja. Dan perilaku antisosial
lebih sering ditunjukkan oleh gender laki-laki, sementara perilaku
pasif dan menarik diri sering ditemui pada wanita (Olin dan
Mednick, 1996 dalam Townsend, 2009). Pada tahap ini individu
telah mengalami gangguan dalam menjalankan fungsi dalam
aktivitasnya sehari-hari. Pada fase ini tanda-tanda psikotik belum
muncul sehingga pencegahan pada klien yang telah menunjukkan
perilaku premorbid perlu diperhatikan.
2.1.2.2 Fase II : Fase prodromal
Fase ini menunjukkan tanda dan gejala tertentu yang mengarah
pada manifestasi fase akut dari penyakit ini. Fase prodromal
dimulai dengan adanya perubahan fungsi premorbid dan meluas
sampai munculnya gejala psikotik. Fase ini dapat terjadi dalam
beberapa minggu atau bulan, tetapi banyak penelitian
menyatakan bahwa fase prodromal terjadi antara 2 sampai 5
tahun. Lehman dan asosiasinya (2006 dalam Townsend, 2009),
menyatakan bahwa selama fase prodromal pasien akan
mengalami kerusakan fungsional penting dan gejala-gejala yang
tidak spesifik, seperti gangguan tidur, kecemasan, mudah
tersinggung, mood depresi, penurunan konsentrasi, lemah, dan
defisit perilaku seperti penurunan fungsi peran dan menarik diri
dari lingkungan sosial. Gejala positif seperti abnormalitas
persepsi, referensi ide, dan kecurigaan berkembang pada akhir
fase prodromal dan semakin mendekati kejadian psikosis
(Townsend, 2009). Pada fase ini tanda-tanda psikotik mulai
muncul dengan intensitas rendah. Pengenalan tanda dan gejala
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
18
Universitas Indonesia
dan penanganan pada fase ini perlu diperhatikan agar tidak
berkembang menuju fase aktif.
2.1.2.3 Fase III : Fase Schizophrenia
Fase schizophrenia merupakan fase aktif dari perjalanan penyakit
psikosis. Pada fase ini gejala gangguan tampak sangat mencolok
(Townsend, 2009). Tanda dan gejala pada fase ini akan
diuraikan pada sub pokok bahasan berikutnya mengenai tanda
dan gejala schizophrenia.
2.1.2.4 Fase IV : Fase Residual
Schizophrenia ditandai dengan adanya masa remisi dan
eksaserbasi. Fase residual biasanya mengikuti fase aktif penyakit.
Selama fase residual, gejala dari masa akut dapat hilang atau
tidak mencolok lagi. Gejala negatif mungkin masih ada, dan afek
datar dan kerusakan fungsi peran biasa terjadi. Kerusakan
residual biasanya berkembang antara masa masa aktif psikosis.
2.1.3 Tanda dan gejala schizophrenia
Pengelompokkan tanda dan gejala schizophrenia dikembangkan dalam
beberapa sistem pengelompokkan. Satu sistem mengelompokkan tanda
dan gejala ini dalam 2 kelompok, yaitu gejala positif dan negatif. Sistem
lain mengelompokkannya dalam 5 kelompok gejala, yaitu gejala positif,
gejala negatif, gejala kognitif, disfungsi sosial dan okupasional, serta
gejala mood (Stuart, 2009). Sistem yang membagi gejala menjadi 5
kelompok mempermudah pemahaman kita akan efek schizophrenia pada
individu, keluarga dan masyarakat (komunitas).
Gejala positif adalah gejala di mana perilaku yang muncul berlebihan
dibandingkan dengan perilaku normal, sebaliknya gejala negatif adalah
gejala yang muncul saat perilaku lebih menurun dibandingkan perilaku
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
19
Universitas Indonesia
normal. Gejala positif adalah gangguan atau fungsi yang berlebihan dari
fungsi normal, biasanya berrespon terhadap semua jenis obat obatan
antipsikotik. Gejala positif dapat dikelompokkan menjadi gangguan
proses pikir; yaitu munculnya waham (paranoid, somatik, kebesaran,
religious, nihilistik, atau penyiksaan; siar pikir, sisip pikir atau kontrol
pikiran) dan halusinasi (pendengaran, penglihatan, peraba, pengecap atau
penghidu), dan disorganisasi pembicaraan dan perilaku; yaitu gangguan
pemikiran formal (inkoherensi, word salad, derailment, ketidaklogisan,
kehilangan asosiasi, pemikiran tangensial, sirkumstansial, pembicaraan
tertekan, pembicaraan terputus, atau sulit untuk bicara) dan perilaku
yang aneh (katatonia, gangguan pergerakan, penururan perilaku sosial)
(Stuart, 2009). Gejala positif menunjukkan perilaku klien yang
berlebihan. Gejala positif ini biasanya memunculkan perilaku agresif dan
dapat membahayakan klien dan orang lain di sekitarnya.
Gejala negatif adalah penurunan atau hilangnya fungsi normal, biasanya
tidak berrespon terhadap antipsikotik biasa dan lebih berrespon terhadap
antipsikotik atipikal. Yang termasuk ke dalam gejala negatif adalah
masalah emosi seperti afek datar (keterbatasan rentang atau intensitas
dari ekspresi emosi), dan anhedonia/asocial (ketidakmampuan
merasakan kesenangan atau membangun kontak sosial. Gejala negatif
lain yaitu kerusakan kemampuan membuat keputusan, dapat dilihat dari
adanya alogia (terbatasnya pemikiran dan pembicaraan), avolisi/apatis
(kurang inisiatif dalam perilaku mencapai tujuan), dan kerusakan
perhatian (tidak mampu fokus secara mental dan tidak mampu
mempertahankan perhatian) (Stuart, 2009). Dari penjelasan ini dapat
dianalisa bahwa gejala negatif dapat berkontribusi besar terhadap
kemandirian klien. Klien yang menunjukkan gejala negatif akan
mengalami penurunan motivasi dan kemampuan untuk melakukan
kegiatan sehari-hari, sehingga dapat terjadi defisit perawatan diri.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
20
Universitas Indonesia
2.1.4 Proses Keperawatan Pada Klien Dengan Schizophrenia
Unsur dalam proses keperawatan adalah pengkajian, penetapan diagnosis
keperawatan, intervensi, dan evaluasi (Nursalam, 2008). Berikut ini
adalah Model Stress Adaptasi Stuart, yang merupakan salah satu model
yang dapat dikembangkan dalam pendekatan proses keperawatan jiwa.
Model ini mengintegrasikan aspek biologis, psikologis dan sosial budaya
dalam pelayanan kepada klien. Tahapan yang terjadi sehingga muncul
diagnosa keperawatan pada klien dapat dilihat pada skema 2.1.
Skema 2.1
Model Stress Adaptasi Stuart
Sumber: Stuart (2009)
2.1.4.1 Pengkajian
Pengkajian klien schizophrenia dimulai dari mengkaji faktor
predisposisi. Selanjutnya dikaji faktor presipitasi, faktor
presipitasi, penilaian stressor, sumber koping dan mekanisme
koping (Stuart, 2009).
1. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi menurut Model Stress Adaptasi Stuart
terdiri dari tiga faktor, yaitu biologis, psikologis dan sosial
budaya. Pendapat lain menyatakan bahwa schizophrenia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
21
Universitas Indonesia
dapat merupakan hasil dari kombinasi beberapa penyebab
diantaranya faktor biologis, faktor psikologis, dan faktor
lingkungan (Townsend, 2009).
a. Faktor Biologis
Faktor biologis terdiri dari latar belakang genetik, status
nutrisi, sensitivitas biologi, kondisi kesehatan umum, dan
paparan terhadap zat racun.
1) Genetik
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa saudara dari
individu dengan schizophrenia memiliki
kecenderungan lebih besar untuk terkena penyakit ini
dibandingkan populasi secara umum. Risiko umum
untuk terkena schizophrenia adalah 1 persen di antara
populasi penelitian, sedangkan saudara kandung atau
keturunan dari klien yang teridentifikasi
schizophrenia memiliki risiko 5 sampai 10 persen
terkena schizophrenia (Andreasen & Black, 2006
dalam Townsend, 2009). Pada penelitian ini faktor
genetik akan diukur sebagai variabel perancu karena
faktor genetik (herediter) menjadi faktor yang
menyebabkan tingginya risiko seseorang menderita
schizophrenia.
Kejadian schizophrenia pada kembar monozigot
memiliki rasio 4 sampai 5 kali risiko dibandingkan
kembar dizigot dan sekitar 50 kali dibanding populasi
umum (Sadock & Sadock, 2007 dalam Townsend,
2009). Karena setengah kasus menunjukkan bahwa
hanya salah satu dari pasangan monozigot yang
terkena schizophrenia, maka beberapa peneliti
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
22
Universitas Indonesia
menyimpulkan bahwa ada faktor lingkungan yang
berinteraksi dengan faktor genetik (Townsend, 2009).
Hal ini menunjukkan bahwa schizophrenia terjadi
tidak hanya karena faktor biologis saja, tetapi ada
interaksi dengan faktor lain.
2) Sensitivitas biologi
Hipotesis dopamin menyatakan bahwa schizophrenia
(atau gejala mirip schizophrenia) dapat disebabkan
oleh aktivitas berlebih dari syaraf yang tergantung
dopamine pada otak. Beberapa neurotransmitter telah
diimplikasikan sebagai penyebab schizophrenia.
Yaitu dopamine, norepinephrine, serotonin,
glutamate, dan GABA. Sistem dopaminergik adalah
yang paling banyak dipelajari dan yang paling dekat
berkaitan dengan gejala penyakit (Townsend, 2009).
Teori ini menunjukkan bahwa ketidakseimbangan
neurotransmitter sangat berperan dalam munculnya
tanda dan gejala schizophrenia.
3) Kondisi kesehatan umum
Sadock dan Sadock (2007 dalam Townsend, 2009)
melaporkan bahwa data epidemiologis menunjukkan
insiden schizophrenia yang tinggi setelah paparan
influenza pada masa prenatal.
Ketidaknormalan anatomis juga dapat berkaitan
dengan schizophrenia. Dengan penggunaan teknologi
neuroimaging, ditemukan ketidaknormalan struktur
otak pada klien dengan schizophrenia. Adanya
pelebaran ventrikel otak adalah temuan yang paling
konsisten; namun peluasan sulci dan atropi cerebellar
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
23
Universitas Indonesia
juga ditemukan. Pemeriksaan juga menunjukkan
penurunan ukuran lobus frontal, tetapi hal ini tidak
selalu ditemukan. MRI telah digunakan untuk
mengeksplorasi abnormalitas pada area-area yang
spesifik seperti amygdala, hippocampus, lobus
temporal dan ganglia basalis pada otak seorang
dengan schizophrenia.
Pada klien schizophrenia diduga terjadi salah susun
pada sel piramida di hippocampus (Jonsson, Luts,
Guldberg-Kjaer, & Brun, 1997 dalam Townsend,
2009). Teori ini menunjukkan bahwa schizophrenia
dapat terjadi pada seseorang yang memiliki
abnormalitas struktur otak.
4) Kondisi fisik. Beberapa penelitian melaporkan adanya
keterkaitan antara schizophrenia dengan epilepsi
(khususnya pada lobus temporalis), penyakit Huntington,
trauma kelahiran, trauma kepala pada masa dewasa,
penyalahgunaan alcohol, tumor otak (khususnya pada
sistim limbik), masalah cerebrovascular, systemic lupus
eritematosus, myxedema, parkinsonism, dan penyakit
Wilson (Townsend, 2009). Pernyataan ini menunjukkan
korelasi antara kondisi fisik dengan kondisi psikologis.
Hal ini sejalan dengan yang disampaikan (Nasrallah et al,
2005 dalam Stuart, 2009) bahwa seseorang dengan
schizophrenia memiliki morbiditas dan mortalitas lebih
tinggi karena penyakit medis.
b. Faktor Psikologis
Faktor psikologis terdiri dari kecerdasan, keterampilan
verbal, moral, kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
24
Universitas Indonesia
diri, motivasi, pertahanan psikologis dan locus of control
atau perasaan seseorang mampu mengontrol nasibnya
sendiri.
Sadock dan Sadock (2007 dalam Townsend, 2009)
menyatakan bahwa petugas kesehatan harus memikirkan
kedua faktor, biologis dan psikososial, yang
mempengaruhi schizophrenia. Penyakit ini
mempengaruhi seseorang secara individual tetapi dampak
secara psikologis akan unik pada setiap orang. Seperti
dinyatakan pada sub pokok bahasan sebelumnya bahwa
schizophrenia terjadi tidak karena satu faktor saja
melainkan karena adanya interaksi antara berbagai faktor.
Faktor psikologis juga merupakan faktor penting yang
perlu diperhatikan dan perlu diberikan penanganan selain
untuk mengatasi aspek biologis dari schizophrenia.
c. Faktor Sosial Budaya
Faktor sosial budaya terdiri dari usia, jenis kelamin,
pendidikan, penghasilan, pekerjaan, posisi sosial, latar
belakang budaya, keyakinan, afiliasi politik, pengalaman
sosialisasi, dan tingkat integrasi sosial (Townsend, 2009).
Schizophrenia banyak terjadi pada individu dari golongan
sosial konomi rendah (Ho, Black & Andreasen, 2003
dalam Townsend, 2009). Hidup dalam kemiskinan,
seperti tinggal di tempat yang padat, nutrisi yang tidak
mencukupi, tidak adanya perawatan prenatal, kurangnya
sumber-sumber dalam menghadapi stress, dan merasa
tidak berdaya untuk merubah kondisi miskin seseorang
menjadi faktor ekonomi yang dapat menjadi predisposisi
schizophrenia (Townsend, 2009).
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
25
Universitas Indonesia
Pandangan alternatif adalah hipotesa downward drift,
yang menyatakan bahwa, karena karakter penyakit ini,
individu dengan schizophrenia memiliki kesulitan untuk
mempertahankan pekerjaan dan beralih pada tingkat
sosial ekonomi yang lebih rendah (atau gagal untuk
meningkat dari kelompok sosial ekonomi yang rendah).
Pandangan ini mempertimbangkan bahwa kondisi sosial
ekonomi yang sulit merupakan konsekuensi dari
schizophrenia, bukan sebagai penyebab (Townsend,
2009).
2. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dalam Model Stress Adaptasi Stuart dapat
berasal dari faktor biologis, psikologis, dan sosial budaya.
Stressor pencetus dapat berasal dari internal klien atau
lingkungan di luar klien. Selain menggambarkan sumber
stressor, perlu diketahui pula waktu dan berapa kali stressor
terjadi (Stuart, 2009).
Tidak ada bukti yang ilmiah yang membuktikan bahwa stress
menyebabkan schizophrenia. Tetapi sangat memungkinkan
bahwa stress berkontribusi terhadap keparahan penyakit ini.
Diketahui bahwa stress yang ekstrim dapat mencetuskan fase
psikotik. Stress dapat menjadi pencetus penyakit pada
individu yang memiliki kecenderungan genetis terhadap
schizophrenia (Townsend, 2009).
3. Penilaian stressor
Merupakan pandangan klien mengenai stressor.
Schizophrenia dapat berkembang karena adanya hubungan
antara jumlah stress yang dialami seseorang dan ambang
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
26
Universitas Indonesia
batas stress seseorang (Stuart, 2009). Walaupun tidak ada
penelitian yang membuktikan bahwa stress adalah penyebab
dari schizophrenia, namun diyakini bahwa stress dapat
memperburuk schizophrenia (Jones & Fernyhough, 2007
dalam Stuart, 2009).
4. Sumber Koping
Schizophrenia membutuhkan penyesuaian pada klien dan
keluarga. Penyesuaian yang diperlukan setelah seseorang
mengalami masalah psikosis adalah: (1) gangguan kognisi,
(2) mencapai pemahaman, (3) keseimbangan semua aspek
kehidupan, dan (4) meraih pencapaian kerja dan pendidikan
(Stuart, 2009).
5. Mekanisme Koping
Pada fase aktif psikosis, pasien menggunakan mekanisme
pertahanan yang tidak disadari untuk melindungi diri dari
pengalaman yang tidak menyenangkan yang disebabkan oleh
penyakitnya. Berbagai mekanisme koping digunakan oleh
klien schizophrenia. Mekanisme koping dapat dijelaskan
berkaitan dengan schizophrenia. Regresi terjadi karena
masalah pemrosesan informasi dan pengeluaran banyak
energi untuk mengatasi ansietas. Proyeksi digunakan sebagai
usaha untuk menjelaskan kebingungan persepsi dengan
mengalihkan masalah pada sesuatu atau seseorang. Menarik
diri terjadi karena kesulitan menjalin kepercayaan dan karena
terlalu asik dengan dunianya sendiri. Keluarga seringkali
menyangkal diagnosa schizophrenia pada anggota
keluarganya. Mekanisme koping yang perlu dikaji pada klien
dengan schizophrenia adalah strategi koping kognitif,
emosional, interpersonal, fisiologis, dan spiritual (Stuart,
2009).
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
27
Universitas Indonesia
2.1.4.2 Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada klien dengan
schizophrenia adalah diagnosa gangguan yang terdiri dari 11
diagnosa keperawatan yaitu gangguan sensori persepsi, gangguan
proses pikir, harga diri rendah, risiko perilaku kekerasan, isolasi
sosial, defisit perawatan diri, risiko perilaku kekerasan, regiment
terapeutik inefektif, regimen keluarga inefektif, berduka
disfungsional dan kerusakan komunikasi verbal. Berikut ini akan
dipaparkan mengenai data subjektif dan data objektif yang
menunjukkan 7 diagnosa gangguan utama.
Tabel 2.1Diagnosa Keperawatan Pada Klien Schizophrenia
No Data Subjektif Data Objektif Diagnosa Keperawatan
1 Mendengar suara-suara atau kegaduhanMendengar suara yang mengajak bercakap-cakapMendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya
Bicara atau tertawa sendiri tanpa lawan bicaraMarah-marah tanpa sebabMencodongkan telinga ke arah tertentu Menutup telinga
Gangguan Sensori Persepsi : Halusinasidengar/suara
Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartun, melihat hantu atau monster
Menunjuk-nunjuk ke arah tertentuKetakutan pada objek yang tidak jelas
Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi Penglihatan
Membaui bau-bauan seperti bau darah, urine, feses, kadang-kadang bau itu menyenangkan
Menghidu seperti sedang membaui bau-bauan tertentuMenutup hidung
Gangguan SensoriPersepsi: Halusinasi Penghidu
Merasakan rasa seperti darah, urine, atau feses
Sering meludah Muntah
Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi pengecapan
Mengatakan ada serangga di permukaan kulit Merasa seperti tersengat listrik
Menggaruk-garuk permukaan kulit
Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi Perabaan
2 Memiliki isi pikir yang berulang-ulang diungkapkan dan menetapTakut terhadap objek atau situasi tertentu atau cemas berlebihan tentang tubuh atau kesehatannyaMerasa benda-benda di sekitarnya aneh dan tidak nyata
- Gangguan proses pikir: Waham
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
28
Universitas Indonesia
Merasa berada di luar tubuhnyaMerasa diawasi atau dibicarakan oleh orang lainBerpikir bahwa pikiran atau tindakannya dikontrol orang lainMengatakan memiliki kekuatan fisik atau kekuatan lain atau yakin bahwa orang lain dapat membaca pikirannya
3 Mengkritik diri sendiriPerasaan tidak mampuPandangan hidup yang pesimisPenolakan terhadap kemampuan diri
Penurunan produktivitasKurang memperhatikan perawatan diriBerpakaian tidak rapiSelera makan kurangTidak berani menatap lawan bicaraLebih banyak menundukBicara lambatNada suara lemah
Harga Diri Rendah
4 Menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lainMerasa tidak aman berada dengan orang lainMengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lainMerasa bosan dan lambat menghabiskan waktuTidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusanMerasa tidak bergunaTidak yakin dapat melangsungkan
Tidak memiliki teman dekatMenarik diriTidak komunikatifTindakan berulang dan tidak bermaknaAsyik dengan pikirannya sendiriTidak ada kontak mataTampak sedih, afek tumpul
Isolasi Sosial
5 Isi pembicaraan mengancam Muka merah dan tegangPandangan tajamMengatupkan rahang dengan kuatMengepalkan tanganJalan mondar-mandirBicara kasarSuara tinggi, menjerit atau berteriakMengancam secara verbal atau fisikMelempar atau memukul benda/orang lainMerusak barang atau bendaTidak mempunyai kemampuan untuk mencegah/mengontrol perilaku kekerasan
Risiko Perilaku Kekerasan
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
29
Universitas Indonesia
6 - Gangguan kebersihan diri: rambut kotor, gigi kotor, kulit berdaki dan bau, kuku panjang dan kotorTidakmampu berhias/berdandan: rambut acak-acakan, pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, tidak bercukur (klien pria), tidak berdandan (klien wanita)Tidak mampu makan mandiri: makan berceceran, makan tidak pada tempatnyaTidak mampu defekasi/berkemih mandiri: defekasi/berkemih tidak pada tempatnya, tidak membersihkan diri dengan baik setelah defekasi/berkemih
Defisit Perawatan Diri
7 Memberikan isyarat secara tidak langsung, misal mengatakan tolong jaga anak-anak saya karena saya akan pergi jauhMengancam akan bunuh diri
Memiliki rencana bunuh diri dengan menunjukkan persiapan alat untuk melaksanakan rencana tersebutMencederai diri sendiri
Risiko Bunuh Diri
Sumber : (Keliat, dkk., 2011)
2.1.4.3 Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan jiwa dikelompokkan dalam intervensi
generalis dan intervensi spesialis. Intervensi generalis
menggunakan standar yang telah disepakati di Indonesia yaitu
SAK (Standar Asuhan Keperawatan) Jiwa. SAK jiwa ini berisi
panduan Strategi Pelaksanaan (SP) untuk melakukan komunikasi
terapeutik pada klien dan pada keluarga. Intervensi spesialis
keperawatan jiwa dapat berupa psikoterapi yang saat ini telah
dikembangkan dengan sasaran individu, keluarga, dan kelompok.
1. Intervensi Keperawatan Generalis
Intervensi keperawatan generalis dilakukan dengan
menggunakan panduan SAK (Standar Asuhan Keperawatan)
Jiwa. SAK berisi panduan untuk melakukan komunikasi
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
30
Universitas Indonesia
terapeutik kepada klien dan keluarga. SAK untuk pasien
maupun untuk keluarga berisi SP 1 sampai SP 5 s.d 12.
Masing-masing SP adalah panduan untuk melakukan satu
kali komunikasi terapeutik kepada klien ataupun keluarga. SP
dapat dilakukan berulang-ulang jika kriteria keberhasilan
yang diharapkan belum tercapai.
Pada setiap SP klien diarahkan untuk mengenali masalahnya
dan dilatih untuk mengatasi masalahnya secara mandiri.
Misalnya untuk klien dengan isolasi sosial, pada pertemuan
pertama (SP 1), klien bersama-sama dengan perawat
mengenali penyebab isolasi sosialnya terjadi, kemudian klien
diajak untuk menyadari pentingnya bersosialisasi, dan klien
dilatih untuk berkenalan dengan anggota keluarganya. Pada
SP berikutnya klien dilatih untuk bersosialisasi secara
bertahap sampai klien dapat melakukannya secara mandiri.
SP keluarga diberikan agar keluarga memahami masalah
yang dialami klien, keluarga mengetahui cara merawat klien,
sampai keluarga mampu merawat klien secara mandiri di
rumah. Panduan lengkap SAK untuk intervensi kepada klien
dan keluarga dapat dilihat pada lampiran.
2. Intervensi Keperawatan Spesialis
Intervensi keperawatan spesialis juga dapat diberikan kepada
klien dan keluarga. Intervensi keperawatan spesialis telah
banyak dikembangkan baik untuk individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat. Terapi spesialis untuk individu
diantaranya adalah cognitive therapy, behavioral therapy,
cognitive-behavioral therapy, social skill training, thought
stopping, progressive relaxation dan assertiveness training.
Selain terapi-terapi tersebut, masih banyak terapi lain yang
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
31
Universitas Indonesia
terus dikembangkan untuk memberikan intervensi kepada
individu dengan schizophrenia.
Intervensi keperawatan spesialis untuk keluarga yang telah
dikembangkan antara lain adalah family psychoeducation dan
triangle therapy. Pada penelitian ini, akan dilakukan family
psychoeducation kepada keluarga dengan klien
schizophrenia. Intervensi keperawatan spesialis jiwa yang
akan digunakan dalam penelitian ini adalah FPE.
Family Psychoeducation (FPE)
Beberapa pemberi layanan menangani schizophrenia sebagai
penyakit yang tidak hanya mengenai individu saja, tetapi juga
seluruh keluarga. Walaupun keluarga tampak memiliki
koping yang baik, dapat dipastikan ada pengaruh pada status
mental keluarga saat salah satu anggota keluarga mengalami
schizophrenia. Safier (1997, dalam Townsend, 2009)
menyatakan bahwa keluarga yang memiliki anggota keluarga
dengan schizophrenia akan mengalami pergolakan yang besar
dalam dirinya. Hal ini menjadi dasar pentingnya keluarga
mendapatkan terapi.
Intervensi kepada keluarga dimaksudkan untuk memperkuat
sistem keluarga, mencegah atau menghambat kekambuhan,
dan mempertahankan klien di masyarakatnya. Program
psikoedukasi ini memperlakukan keluarga sebagai sumber,
bukan sebagai stressor, dengan berfokus pada penyelesaian
masalah yang konkrit, dan perilaku menolong yang spesifik
untuk beradaptasi dengan stress. Dengan memberikan
informasi pada keluarga tentang penyakit dan menyarankan
tentang mekanisme koping yang efektif, program
psikoedukasi mengurangi kecenderungan klien untuk kambuh
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
32
Universitas Indonesia
dan mengurangi pengaruh penyakit ini pada keluarga yang
lain (Townsend, 2009).
Intervensi psikoedukasi yang sudah cukup terkenal
dikembangkan oleh National Alliance on Mental Illness
(NAMI). Dalam program dari keluarga ke keluarga, keluarga
saling mengajari satu sama lain mengenai penyakit ini,
metoda koping yang digunakan, dan sumber-sumber
dukungan yang ada.
Psikoedukasi untuk keluarga termasuk dengan individu yang
mengalami gangguan, seperti schizophrenia, depresi mayor,
dan gangguan bipolar, biasanya dikombinasikan dengan
terapi farmaka (Nathan and Gorman, 2007 dalam Stuart,
2009). Psikoedukasi ini terbukti memperbaiki gejala umum
dan mengurangi penolakan serta beban keluarga (Stuart,
2009).
Terapi keluarga biasanya terdiri dari program utama untuk
memberikan edukasi kepada keluarga tentang schizophrenia,
dan program yang lebih luas dengan keluarga dibentuk untuk
mengurangi manifestasi konflik yang jelas dan untuk
merubah pola komunikasi keluarga dan penyelesaian
masalah. Respon terhadap terapi ini sangat dramatis. Ho,
Black, dan Andreasen (2003 dalam Townsend, 2009)
melaporkan pada beberapa penelitian bahwa hasil positif
pada penanganan klien dengan schizophrenia ini dapat
tercapai dengan mengikutsertakan keluarga dalam pelayanan.
Family Psychoeducation therapy adalah salah satu elemen
program perawatan kesehatan jiwa keluarga dengan cara
pemberian informasi dan edukasi melalui komunikasi yang
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
33
Universitas Indonesia
terapeutik. Program psikoedukasi merupakan pendekatan
yang bersifat edukasi dan pragmatik (Stuart, 2009).
FPE dilakukan dalam 5 sesi, yaitu : (1) sesi 1, pengkajian
masalah keluarga, (2) sesi 2, edukasi kepada keluarga tentang
cara merawat klien dengan gangguan jiwa, (3) sesi 3,
manajemen stress keluarga, (4) sesi 4, manajemen beban
keluarga, dan (5) sesi 5, pemberdayaan komunitas untuk
membantu keluarga. Penjelasan lengkap mengenai FPE pada
klien schizophrenia dapat dilihat pada modul FPE terlampir.
3. Pemberdayaan Kader dan Peran Pengawas Minum Obat
(PMO)
Intervensi lain yang dapat diberikan di komunitas adalah
dengan menerapkan model CMHN. Pada penelitian ini akan
dilakukan pemberdayaan kader untuk menjalankan peran
PMO kepada klien dengan schizophrenia di rumah.
Pemberdayaan masyarakat merupakan proses pengembangan
potensi pengetahuan maupun keterampilan masyarakat agar
mereka mampu mengontrol diri dan terlibat dalam
pemenuhan kebutuhan mereka sendiri (Helvie, 1998 dalam
Keliat, 2010). Kader Kesehatan Jiwa (KKJ) merupakan
sumber daya masyarakat yang perlu dikembangkan di Desa
Siaga Sehat Jiwa. Pemberdayaan kader kesehatan jiwa
sebagai tenaga potensial yang ada di masyarakat diharapkan
mampu mendukung program CMHN yang diterapkan di
masyarakat. Seorang kader akan mampu melakukan kegiatan
apabila kader tersebut telah diberikan pembekalan sejak awal.
Metode yang dipakai dalam mengembangkan kader
kesehatan jiwa sebaiknya teratur, sistematis, dan rasional
(Keliat, 2010).
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
34
Universitas Indonesia
Kemampuan kader kesehatan jiwa dalam melakukan kegiatan
perlu dipertahankan, dikembangkan, dan ditingkatkan melalui
manajemen pemberdayaan kader yang konsisten dan sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat
ini. Pengembangan kader kesehatan jiwa digambarkan
sebagai suatu proses pengelolaan motivasi kader sehingga
mereka dapat melaksanakan kegiatan dengan baik. Hal ini
juga merupakan penghargaan bagi kader karena melalui
manajemen sumber daya manusia (SDM) yang baik, kader
akan mendapatkan kompensasi berupa penghargaan
(compensatory reward) sesuai dengan apa yang telah
dikerjakannya (Keliat, 2010).
Manajemen pemberdayaan kader kesehatan jiwa di Desa
Siaga Sehat Jiwa berfokus pada proses rekruitmen, seleksi,
orientasi, penilaian kinerja, dan pengembangan kader. Proses
ini dilakukan dalam mempersiapkan Desa Siaga Sehat Jiwa,
juga setiap kali ada penambahan kader baru (Keliat, 2010).
a) Proses rekruitmen kader kesehatan jiwa
Rekruitmen kader kesehatan jiwa adalah suatu proses
pencarian dan pemikatan para calon kader yang
mempunyai kemampuan dalam mengembangkan Desa
Siaga Sehat Jiwa. Proses awal dalam merekrut kader
adalah dengan melakukan sosialisasi tentang
pembentukan Desa Siaga Sehat Jiwa disertai dengan
kriteria kader yang dibutuhkan. Adapun kriteria kader
adalah sebagai berikut:
1) Bertempat tinggal di Desa Siaga Sehat Jiwa
2) Sehat jasmani dan rohani
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
35
Universitas Indonesia
3) Mampu membaca dan menulis dengan lancar
menggunakan bahasa Indonesia
4) Bersedia menjadi kader kesehatan jiwa sebagai tenaga
suka rela
5) Mempunyai komitmen untuk melaksanakan program
kesehatan jiwa komunitas
6) Menyediakan waktu untuk kegiatan CMHN
7) Mendapat izin dari suami atau istri atau keluarga
(Keliat, 2010)
Rekruitmen kader dilakukan di tiap desa pada wilayah
puskesmas yang akan dikembangkan menjadi Desa Siaga
Sehat Jiwa. Kader Kesehatan Jiwa DSSJ direkrut dengan
rasio satu KKJ bertanggung jawab terhadap 15-20
keluarga (Keliat, 2010).
Proses rekrutmen kader di Desa Siaga Sehat Jiwa
dilakukan dengan melibatkan tokoh masyarakat yang
dapat menentukan calon kader yang mampu dan mau
melakukan kegiatan kesehatan jiwa di lingkungan tempat
tinggalnya. Perawat CMHN melakukan koordinasi
dengan kepala desa, kepala dusun, atau dengan organisasi
masyarakat yang ada di wilayah kerjanya, seperti PKK.
Proses rekrutmen kader kesehatan jiwa dilakukan sebagai
berikut.
1) Perawat CMHN mengadakan pertemuan dengan
kepala desa dan tokoh masyarakat setempat untuk
menjelaskan pembentukan Desa Siaga Sehat Jiwa dan
kebutuhan kader kesehatan jiwa.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
36
Universitas Indonesia
2) Perawat CMHN menjelaskan kriteria kader dan
jumlah kader yang dibutuhkan untuk tiap desa dan
dusun.
3) Tokoh masyarakat melakukan pencarian calon kader
berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.
4) Kader yang telah direkrut mengisi biodata pada
formulir yang telah disediakan untuk proses seleksi
selanjutnya.
(Keliat, 2010).
b) Proses Seleksi Kader Kesehatan Jiwa
Proses seleksi adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk memutuskan apakah calon kader
diterima atau tidak sebagai kader kesehatan jiwa. Proses
seleksi ini penting untuk mendapatkan sumber daya
manusia yang mempunyai motivasi dan kemampuan yang
tepat sesuai dengan yang dibutuhkan. Proses seleksi calon
kader di Desa Siaga Sehat Jiwa adalah sebagai berikut.
1) Perawat CMHN melakukan koordinasi dengan tokoh
masyarakat atau organisasi masyarakat dalam
menentukan calon kader yang memenuhi syarat.
2) Kader terpilih harus mengisi surat pernyataan
bersedia menjadi kader kesehatan jiwa dan bersedia
menjalankan program CMHN.
3) Kader terpilih diwajibkan mengikuti pelatihan kader
kesehatan jiwa.
(Keliat, 2010)
c) Proses Orientasi Kader Kesehatan Jiwa
Setiap kader yang akan melaksanakan program kesehatan
jiwa akan melalui masa orientasi, yaitu mengikuti
sosialisasi program CMHN dan pelatihan kader kesehatan
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
37
Universitas Indonesia
jiwa. Orientasi yang dilakukan mencakup informasi
budaya kerja dan informasi umum tentang visi, misi,
filosofi, kebijakan Desa Siaga Sehat Jiwa, dan
kemampuan kader kesehatan jiwa. Kegiatan orientasi
menggunakan metode klasik selama 2 hari, praktik
lapangan selama 3 hari, dan dilanjutkan dengan praktik
penerapan Desa Siaga Sehat Jiwa. Materi pelatihan kader
kesehatan jiwa mencakup :
1) Program Desa Siaga Sehat Jiwa
2) Deteksi keluarga di masyarakat: kelompok keluarga
sehat, kelompok keluarga yang berisiko mengalami
masalah psikososial, dan kelompok keluarga dengan
gangguan jiwa
3) Peran serta dalam menggerakkan masyarakat pada
kegiatan:
i) Penyuluhan kesehatan untuk kelompok keluarga
sehat jiwa
ii) Penyuluhan kesehatan untuk kelompok yang
berisiko mengalami masalah psikososial
iii) Penyuluhan kesehatan untuk kelompok yang
mengalami gangguan jiwa
iv) Terapi aktivitas kelompok dan rehabilitasi pasien
gangguan jiwa
4) Supervisi keluarga dan pasien gangguan jiwa yang
telah mandiri
5) Perujukan kasus pasien gangguan jiwa
6) Pelaporan kegiatan kader kesehatan jiwa
d) Kemampuan Kader Kesehatan Jiwa
Kemampuan kader yang dinilai di sini adalah kemampuan
dalam:
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
38
Universitas Indonesia
1) Mendeteksi keluarga di Desa Siaga Sehat Jiwa: Sehat,
Risiko, dan Sakit.
2) Menggerakkan keluarga sehat untuk mengikuti
penyuluhan sehat jiwa sesuai dengan usia anak.
3) Menggerakkan keluarga yang berisiko untuk
mengikuti penyuluhan risiko gangguan jiwa.
4) Menggerakkan keluarga pasien gangguan jiwa untuk
mengikuti penyuluhan tentang cara merawat pasien.
5) Menggerakkan pasien gangguan jiwa untuk mengikuti
TAK dan rehabilitasi.
6) Melakukan kunjungan rumah ke keluarga pasien
gangguan jiwa yang telah mandiri.
7) Merujuk kasus ke perawat CMHN.
Top Related